Pencarian

Amanat Marga 9

Amanat Marga Karya Khu Lung Bagian 9


Pada saat itulah terdengar Loh-ih-sian
membentak,"perempuan keji, biar aku mengadu
jiwa denganmu!"
Serentak Suma Tiong-thian juga jemput kembali
tombaknya. Tapi si kakek kelimis dan tojin jubah biru lantas
mengadang di depan mereka.
Tek-ili Hujin juga lantas mendmgus, "Hm, kalian
tidak lekas minta ampun padaku, memangnya
kalian tidak ingin hidup lagi"''
Seketika Suma Tiong-thian merandek, sebab
mendadak leringat olehnya akan anak-istri dan
keluarganya. "Aku memang sudah bosan hidup! " teriak Loh
Ih-sian, berbareng ia menghantam dengan kalap.
"Kausendiri bosan hidup, apakah orang lain juga
bosan hidup?" ucap Tek-ih Hujin.
Seketika Loh Ih-.sian melengak dan ber-henti
meyeraing, waktu ia memandang ke sana, Suma
Tiong-thian kalihatan lesu, sedangkan Lamkiong
Siang-ju tampak sedih. Lamkiong-hujin
memandang putra kesayangannya dengan cemas.
Loh Ih-sian terharu. pikirnya, "Aku sendiri
sebatangkara, dengan sendirinya mati hidup tidak
menjadi soal bagiku. Tapi orang lain berumah
tangga dan anak istri Iengkap bahagia, mana
mereka bisa meniru dirimu dan menyuruh mereka
mati begitu saja" "
Maklumlah, lantaran wataknya yang mudah
tersinggung, makanya dia putus asa dan
mengasingkan diri Selama 20 tahun, dengan segala
daya upaya berusaha mengumpulkan duit,
sebaliknya pribadinya sama sekaili tidak terawat.
Sekarang hatinya menjadi dingin dan berdiri
termangu tanpa bicara.
Tiba-tiba Lamkiong Peng berseru, "Cara
bagaimana kaubikin susah Toako kami, ke mana
perginya sekarang" "
Tek-ih Hujin tersenyum, "Asalkan kauturut
perkataanku, urusan Toakomu tentu akan
kuberitahukan padamu, Sekarang hari sudah
hampir pagi racun yang kalian minum sudah
hampir bekerja. kalian tidak berani bertempur dan
juga tidak mau menyerah, apakah memang ingin
menanti ajal saja di sini" "
"Hm, jangan kau gembira dalu, segala macam
racun di dunia ini pasti ada obat penawarnya "
Jengek Lamkiong Siang-ju mendadak
"Ah. tidak perlu kaubicara lagi kutahu
maksudmu hanya ingin memancing supaya ku-beri
tahu seluk-beluk racun ini, " kata Tek-ih Hujin
dengan tertawa, "Terus terang kukatakan, racunku
ini di dunia hanya dipunyai dua keluarga saja,
atau dengan lain perkataan juga cuma dua tempat
ini saja yang mempunyai obat penawar, salah satu
tempat itu justru jauh terletak di luar perbatasan
utara sana. biarpun sekarang engkau dapat
terbang ke sana juga tidak keburu lagi "
Hati Lamkiong Peng tergerak, didengar-nya sang
ibu sedang berkata, "Habis cara ba-gaimana baru
dapat kauberi . . . . "
Belum lanjut ucapannya, "kekk ", menda-dak
seekor burung beo menerobos masuk me-lalui
jendela dan hinggap di atas sebuah peti lalu
mengguncangkan sayap untuk merontokkan air
hujan yang membasahi bulunya, kemudian
bersuara panjang pula satu kali. Meski kecil
burungnya, tapi tampak gagah.
"Aha. sudah Jatang! " Mendadak Lamkiong
Siang-ju berseru girang.
Beruang beo itu melayang dan hinggap di
pundak Siang-ju serta menirukan ucapannya,
"Sudah datang . . " "
Benar juga segera terdengar suara langkah orang
di undakan batu, sesosok bayangan tinggi besar
lantas muncul di depan pintu.
Orang yang berperawakan raksasa ini memakai
baju satin yang sangat mewah, tapi caranya
memakai justru tidak teratur, dari tujuh buah
kancing hanya dirapatkan tiga buah saja sehingga
dadanya terbuka dan kelihatan dadanya yang
bidang dengan simbar (bulu) dada yang hitam
lebat. Rambut orang ini juga semerawut tak teratur,
kedua alisnya sangat tebal, mata kiri justru
tertutup oleh sebuah kedok mata sehingga
menambah keseraman mata kanannya.
Tangan kirinya tampak melambai lurus dan
lengan kanan menyanggah pada sebuah tongkat
hitam, kaki kanan buntung sebatas dengkul.
Sorot matanya yang tajam itu sekarang sedang
menyapu pandang keadaan sekelilingaya. Tergetar
hati Tek-ih Hujin melihat kemunculan orang aneh
ini. Burung beo tadi segera terbang dan hinggap di
pundak si buntung kaki dan bermata satu ini.
Lamkiong Siang-ju memberi hormat dan berseru,
"Sudah lama kami menunggu, silakan masuk. "
Pelahan orang aneh itu mengangguk, kata-nya
tambil memandang Lamkiong Peng, "Ini-kah putra
kesayanganmu" .... Haha, bagus. momang hebat! "
Diam-diam Tek-ih Hujin menyurut mundur ke
sudut yang agak gelap. Sedang si tojin berjubah
biru dan si kakek berdiri dengan air muka prihatin
memandangi pendatang yang aneh ini.
Seperti tak acuh si buntung tersenyum, katanya,
"Sudahlah, tidak perlu bertempur lagi, kabut
racunmu sama sekali takkan mempan terhadapku.
" Tek-ih Hujin terkesiap. Belum lagi dia bertindak,
tongkat lelaki buntung itu mengetuk lantai,
pelahan ia melangkah masuk, katanya, " Bagus,
peti-peti ini sudah siap . . . . "
Burung beo tadi menirukan, "Bagus . . Bagus,...
" Si tojin jubah biru dan si kakek kurus saling
memberi tanda, berbareng mereka hendak
menubruk maju. Tanpa berpaling lelaki buntung itu mendadak
membentak, "Jangan bergerak! "
Seketika kedua orang itu urung bertindak.
Dengan tak acuh lelaki buntung itu mem-balik
tubuh, lalu berkata, "Aha, sekian tahun tidak
bertemu, mengapa kalian masih suka main sergap
begini" "
Tojin jubah biru terkekeh, "Ah, masakah main
sergap, maksud kami banya ingin menyapa kepada
kenalan lam saja.! "
"Bagus, bagus . . . . " ucap si buntung sam-bil
membelai bulu burung beo yang hitam legam itu.
"Rupanya kalian berdua juga berhasil menemukan
Kun-mo-to dan kedatanganmu sekarang hendak
memusuhiku, bukan" "
Mendadak si kakek menyela, "Betul" " Sinar
matanya mencorong terang dan siap tempur.
Namun si buntung hanya memandangnya
sekejap dengan hambar, ia berkata ke arah lain,
"Lamkiong-cengeu, jika putramu sudah datang,
peti juga sudah siap, bila ada arak harap sediakan
dua guci.habis minum segera berangkat! "
"Hm, kutahu kami tidak kaupandang se-belah
mata, " jengek sikakek mendadak. "Tapi bila petipeti
ini hendak kaubawa pergi, sedikitnya harus
kaulangkahi dulu mayatku. "
Dengan terkekeh si tojin jubah biru lantas
menyambung, "Meski kungfu kami bukan
tandinganmu, tapi jika. dua lawan satu, jelas
engkau takkan menarik kcuntungan. Apalagi,
hehe. bukan mustahil keluarga lamkiong akan
berdiri di pihak kami. "
Si buntung bermata satu itu berucap, "Bagus,
boleh kalian coba saja nanti . . . Hehe, dan Dona
besar itu, jika obat penawar tidak kaubei-ikan,
apakah kaukira dapat keluar dari Lamkiong-sanceng
dengan hidup" "
Air muka Tek-ih Hujin berubah, katanya dengan
tersenyum genit, "Eh, jika engkau melarang
kupergi, biarlah kutemanimu di sini. "
"Haha. bagus, Bu-tau-ong, Hek-sim-khek, coba
kalian bekuk dia, akan kuberi rasa enak padanya, "
seru si buntung.
Suma Tiong-thian tertesiap mendengar namanama
yang disebut itu, kiranya kedua orang ini
adalah "Bu-sim-siang-ok" atau dua manusia jahat
tak berhati yang terkenal berpuluh tahun lampau
itu, pantas kungfu mereka tinggi dan tindaktanduknya
keji. Lamkiong Peng belum luas pengalaman
kangouw, tak diketahuinya asal-usul Bu-simsiang-
ok yang ditakuti beberapa puluh tahun yang
lalu ini. Si kakek kurus, Bu-tau-ong atau kakak tanpa
kepala, tertawa ngekek, ucapnya, "Hehe, kauminta
kami membekuk dia" .... Hah, barangkali setelah
kaumasuk Co-sin-tian, pikir-anmu menjadi kurang
waras. " "Hm, apakah kalian memang sudah bosan hidup
dan tidak mau minta obat penawar ke-padanya" "
jengek si buntung.
Bu-tau-ong dan Hek-sim-khek sama me-lengak,
seru mereka, "Apa artinya" "
"Hah, rupanya kalian belum lagi tahu, " seru si
buntung dengan tertawa. "Baik, ingin kutanya
padamu, apakah sebelumnya kalian telah mencium
obat penawar" "
Kedua orang sama terkesiap dan tidak dapat
bicara. "Haha, kalian mengira ucapannya tadi hanya
untuk menggertak pihat Lamkiong-cengeu saja dan
tidak benar telah menebar-kan kabut berbisa
soalnya kalian memang tidak tahu kapan dia
menyebarkan racun, begitu bukan?"
Muka Hek-sim-khek tambah pucat, wajah Busim-
ong pun semakin beringas.
"Huh, jangan kalian percaya kepada ocehannya,
" kata Tek-ih Hujin dengan tertawa, namun
suaranya rada gemetar
Serentak Bu-sim-siang-ok berputar tubuh, Heksim-
khek Iantas menegur, "Jadi benar kaugunakan
racun" "
Bu-tau-ong juga lantas melangkah maju sambil
menjulurkan tangan. "Serahkan obat penawarnya!
" Si buntung kelihatan tertawa senang. ia
bersandar tak acuh di atas peti, katanya "Obat
penawar tulen. setelah dicium, kontan akan bersin
tujuh kali, harus kaucoba du!u, jangan sampai
tertipu. "
Tek-ih Hujin menyurut mundur, ucapnya gugup,
"Jangan . . jangan kaupercaya, dia bohong! "
"Jika tidak serahkan obat penawar, akan
kucincang dirimu, dagingmu akan "kumakan
bersama arak, " bentak Bu-tau-ong bengis.
"Kulitnya putih halus, dagingnya tentu empuk,
rasanya pasti enak. " Tukas Hek-sim-khek.
"Cuma sayang, tentu rada berbau langu, " ujar si
buntung dengan tertawa.
Dalam pada jtu Tek-ih Hujin mash terus
menyurut mundur, ucapnya, "Baik, akan"akan
kuberi" "
Ia meraba bajunya, tapi mendadak tangannya
terangkat, berpuluh titik perak tajam serenntak
berhamburan, ia sendiri segera melayang keluar
melalui jendela.
Cepat lengan baju Hek-sim-khek mengebas,
kedua tangan Bu-sim-ong juga menghantam dari
jauh sehingga senjata rahasia lawan dibikin
rontok, tanpa berhenti mereka terus mengejar
sambil membentak, "Lari ke mana"! "
Pada saat itu juga dari luar menyambar masuk
setitik cahaya tajam menuju ke arah Lamkiong
Peng. Selagi anak muda itu hendak menangkap
senjata rahasia itu, sekonyong-konyong tangan
terasa kesemutan, "tring ", cahaya perak itu
mencelrt jauh ke sana. Entah sejak kapan si
buntung bermata satu sudah berada di
sampingnya, jarinya mengetuk pelahan tangan
Lamkiong Peng, tongkat yang menyanggah
ketiaknya membentur senjata rahasia musuh
hingga mencelat. Meski tinggi besar tubuhnya,
namun gerak-gerik ternyata sangat gesit.
Lamkiong Peng jadi melengak sendiri.
Dengan tak acuh si buntung melangkah ke sana
dan bersandar pula di peti, katanya, "Permainan
itu tidak boleh disentuh. "
"Tidak boleh disentuh" " Lamkiong Peng
menegas. Si mata satu tertawa, katanya, "Meski nona
besar itu tidak betul menyebarkan kabut berbisa


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa wujud itu, tapi senjata rahasianya memang
betul berbisa jahat dan tidak boleh disentuh.
Kakiku ini justru korban senjata rahasia lakinya
pada waktu Ban-siu-san-ceng terbakar dulu,
hampir saja jiwaku ikut melayang. Sampai
akhirnya bahkan harus dipotong. "
Semua orang sama terkejut,
Si mata satu menyeringai, ucapnya pula, "Ah di
dunia ini mana ada racun tanpa bau dan tiada
wujud, kalau ada, bukankah nona besar itu dapat
malang melintang di dunia ini tanpa tandingan" "
Sinar matanya menyapa pandang wajah semua
orang yang kelihatan bingung itu, tuturnya pula,
"Kabut pembetot sukma hanya semacam asap
berbisa yang tipis dan dapat terlibat oleh mata,
racun ini sudah pemah kuratakan, apa yang
kukatakan tadi tidak lebih hanya untuk mengadu
domba antara mereka sendiri supaya anjing
menggigit anjing, biar nona besar itu merasakan
betapa kejamnya kedua kawannya sendiri- Haha,
mana mungkin dapat diberikannya obat penawar
yang dapat membuat orang bersin tujuh kali.
Cuma . . . nona besar itu juga bukan seteru yang
mudah ditandingi, akhirnya Bu-sim-siang-ok juga
takkan menarik sesuatu kcuntungan, bisa jadi
kedua pihak akan sama-sama konyol. "
Suma Tiong-thian berseru senang, "Haha,
hampir saja aku tertipu olehnya. "
Si mata satu memandangnya sekejap, jengeknya,
"Orang yang tidak takut mati tak mungkin tertipu
olehnya. "
"Memangnya engkau sendiri tidak takut mati"
tanya Suma Tiong-thian.
"Siapa bilang aku tidak takut mati" Orang yang
tidak takut mati tentu orang tolol. "
Mendadak Suma Tiong-thian menunduk,
gumamnya, "Tapi jelas.engkau tidak takut mati,
kalau takut, mustahil engkau mau menerjang
Bao-siu-san-ceng di tengah malam buta
sendirian dan membakar beratus binatang buas
serta membinasakan Hok-siu-san-kun . . . . "
"Ah, itu cuma perbuatan ugal-ugalanku pada
waktu muda, " ujar si mata satu dengan tertawa.
'Manusia makin tua makin licik, hari ini aku juga
tidak mau bergebrak dengan orang, terpaksa
menggunakan akal licik untuk mengadu domba
mereka sendiri. "
Dengan tersenyum Lamkiong Siang-ju berucap,
"Meski sudah lama kutahu kungfu Anda maha
tinggi, tapi tak pemah terpikir Cianpwe ini ialah
Hong Man-thian, Hong-taihiap. terlebih tidak
menyangka setelah pertemuan Wi-tan dahulu
Hong-taihiap lantas menghilang sekian lamanya
dan ternyata masih sehat walafiat. "
"Haha, sciudah pertemuan Wi-san, orang
kangouw lama mengira kawanan makhluk tua itu
sudah mampus semua dan cuma tersisa Sin-liong
dan Tan-hong berdua, tidak ada yang tabu bahwa
kawanan tua bangka itu masih banyak yang hidup
di dunia fana ini, cuma kebanyakan sudah
mengasingkan diri ke Cu-sin-to dan Kun-moto,
bicara sesungguhnya. keadaannya tidak banyak
bedanya dengan mati. "
"Hah, jadi Hong-taihiap inilah yang ter-kenal di
dunia persilatan sebagai Mo-hiam-kuncu (si jantan
petualang) Tiang-jiu-thian-kun (Si ksatria suka
tertawa)?" tanya Lam-kiong Peng.
Hong Man-thian menengadah dan tergelak, "Ah,
itu hanya sebutan yang sembarangan diberikan
oleh kawan kangouw, mana aku dapat disebut
sbagai Kuncu segala, kalau Siaujin (orang rendah)
sih lebih tepat. "
Dalam pada itu hajan sudah reda. cahaya
remang subuh sudah kelihatan di luar.
Lamkiong Siang-ju dan Loh Ih-sian
mengumpulkan batu permata yang berserakan tadi
dan dimasukan lagi ke dalam peti.
Lamkiong-hujin mengeluarkan seguci arak dan
seperangkat baju kering, arak untuk Hong Manthian,
baju diberikan kepada Lamkiong Peng yang
basah kuyup itu.
Suasana yang diliputi ketegangan tadi kini
berubah menjadi sepi dan haru akan perpisahan.
Hong Man-thiaa dan Loh Ih-sian duduk
berhadapan tanpa bicara dan asyik menenggak
arak, hanya sekejap saja seguci arak sudah
dihabiskan mereka berdua.
"Sungguh kuat takaran minummu, " sera Hong
Man-thian sambil menepuk bahu Loh Ih-sian.
Sambil bergelak tertawa Loh Ih-sian menjawab,
"Kekuatanmu minum arak juga sangat hebat,
sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau
sengaja tinggal menyepi di Cu-sin-to, padahal
alangkah senangnya jika tinggal di dunia fana sini,
kan bisa lebih banyak minum arak beberapa guci
lagi. " Hong Man-thian menengadah dengan termangumangu,
gumamnya, "Alangkah senangnya minum
arak".Hah, tidak ada pesta yang tidak bubar,
sekarang sudah terang tanah, sudah waktunya
berangkat! Untuk ini kiranya perlu bantuan
beberapa kereta Suma-taihiap di luar sana."
"Untuk mengantar keberangkatan anak Peng
keluar lautan, biarlah kami antar be-berapa
jauhnva, jika tidak keberatan, sudilah Suma-heng
tinggal dulu di sini sampai datangnya penghuni
baru perkampungan ini. "
Suma Tiong-thian mengangguk setuju, katanya,
"Jangan kuatir, Lamkiong-heng, meski sudah tua
bangka, sedikit urusan ini tentu dapat kubereskan.
" "Biar kudatangkan kereta di luar sana, " seru
Loh Ih-sian sambil melompat pergi.
"Akan kubantu, Jicek, " seru Lamkiong Peng
terus ikut lari keluar.
Kedua orang berlari menuju ke luar
perkampungan, tertampak sepanjang jalan senjata
berserakan, di tengah hutan, di semak belukar.
mayat bergelimpangan, darah sudah bersih
terguyur air hujan,
Tidak jauh di sebelah sana beberapa ekor kuda
tanpa bertuan sedang asyik makan rumput yang
segar. Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian baru saja
sampai di depan hutan, mendadak di tengah
semak-semak sana berkumandang suara rintihan
orang. Keduanya saling pandang sekejap terus
melompat maju, terlihat dua batang pohon babakbelur
serupa habis dipahat dan dibacok oleh
senjata tajam. Tetumbuhan di sekitar pohon juga bekas
terinjak-injak. Dengan hati-hati kedua orang
melangkah ke depan.
Mendadak terdengar suara tertawa seram, dua
sosok bayangan orang muncul dari balik semaksemak
pohon sana. "Siapa?"bentak Lamkiong Peng.
Tapi segera dapat mereka kenali kedua orang ini
ternyata Bu-sim-siang-ok adanya.
Pakaian kedua orang ini kelihatan morat-marit
penuh rumput, seperti berguling-guling dari sana,
sedang muka, hidung, mulut dan telinga
berlepotan darah, mata mendelik kalap.
Berapa tabah Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian
merasa ngeri juga melihat keadaan kedua orang
itu. "Hehe, obat penawar . . . mana obat pe-nawar ...
" Bu-sim-ong terkekeh, kedua tangan terpentang
dan segera menubruk maju.
Lamkiong Peng kaget dan menyurut mundur.
Tak terduga baru saja Bu-sim-ong melangkah
segera jatuh terguling.
Hek-sim-khek juga membentak, "Ganti
nyawaku!" Belum lenyap suaranva dia juga terjungkal, tapi
tangannya sempat terangkat, selarik sinar hitam
gilap lantas menyambar ke arah Lamkiong Peng.
Serangan sebelum ajalnya ternyata sangat lihai.
Cepat Lamkiong Peng menggeser ke samping,
terdengar suara mendesing menyambat lewat di
topi telinganya, cahaya hitam gilap itu masih terns
melayang ke sana dan menumbuk batang pohon,
Kiranya benda itu sebuah kotak kecil
Untuk sejenak Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian
siap siaga, setelah sekian lama kedua orang itu
tidak berkutik lagi barulah mereka mendekati,
ternyata keduanya sudah mati dengan. mata
mendelik. Demi melihat kotak itu, Loh Ih-sian berucap
dengan gegetun, "Ai, Tek-ih Hujin itu memang
sangat keji, kotak racun ini dikatakannya sebagai
obat penawar, betapa licin juga Bu-sim-siang-ok
takkan menyangka obat yang diserahkan Teh-ih
Hujin dalam keadaan terpaksa ini justru adalah
racun, dan sekali dicium maka celakalah mereka. "
Sebagai seorang jago kawakan dugaannya
ternyata tidak keliru. Cuma tidak diketahuinya
bahwa pada waktu sebelum "Bu-sim-siang-ok
mencium racun itu, lebih dulu mereka sudah
memaksa Teh-ih Hujin mencium dulu obat itu,
setelah menyaksikan tidak terjadi sesuatu barulah
mereka berebut menciumnya. Dan karena itulah
mereka jadi benar-benar terjebak, sebab
sebalumnya Teh-ih Hujin sudah memakai obat
penawar lebih dulu, makanya dia tidak mengalami
sesuatu setelah mencium racunnya,
Padahal bubuk racun dalam kotaknya itu kalau
disebarkan dan tertiup angin, maka sedikitnya
akan menimbulkan korban beratus orang, sebab
asalkan mencium hawanya saja cukup membuat
jiwa melayang. Apalagi Bu-sim-siang-ok kuatir obat penawar
yang mereka endus itu kurang banyak, mereka
mencium sekuat-kuatnya sehingga se-kotak kecil
bubuk racun itu hampir seluruhnya masuk rongga
dada mereka, keruan jiwa mereka tak tertolong
lagi. Begitulah mereka berguling di tanah dan
tersiksa oleh bekerjanya racun, tubuh serasa
ditusuk beribu jarum tak tertahankan rasa
sakitnya. Mereka menjadi kalap seperti orang gila,
batang pohon dicakar sekuatnya, rumput dibetot,
keadaan itulah yang dilihat Lamkiong Peng tadi.
Sedangkan Teh ih Hujin sempat melarikan diri.
Biarpun Bu-sim-siang-ok memang penjahat yang
berlumuran darah tangannya, tidak urung
Lamkiong Peng terharu melihat kematian mereka
yang mengenaskan itu. la mengumpulkan ranting
kayu dan rumput kering untuk menutupi mayat
mereka dan tinggal pergi.
Ia menemukan beberapa ekor kuda, lain
dipasang pada kedua kereta kosong di luar
perkampungansana serta dibawa pulang.
Tertampak ayah-ibunya dan Iain-lain sama
berdiri di depan rumah sedang menunggu.
Beramai-ramai semua peti lantas dimuat keatas
kereta. Suma Tiong-thian mengucapkan selamat jalan
kepada semua orang. ia pegang tangan Lamkiong
Peng dan memberi nasihat agar berjaga diri baikbaik,
terutama harus awas terhadap orang
perempuan. Rupanya dia belum lagi lupa kepada
Kwe Giok-he yang diam-diam berusaha
menjatuhkan nama anak muda itu.
Lamkiong Peng terkesiap dan tidak paham
maksud orang tua itu, tapi mengiakannya dengan
terima kasih. Dan begitulah 20-an peti termuat dua kereta
terus berangkat menuju ke timur. Loh Ih-sian dan
Hong Man-thian menumpang bersama satu kereta
dan asyik minum arak sepanjang jalan.
Sedangkan Lamkiong Siang-ju bersama anak
dan istrinya menumpang pada kereta lain,
ketiganya tidak banyak bicara sepanjang jalan.
Malamnya mereka sampai di suatu kota dan
mendapatkan rumah pondokan. Kereta di parkir di
halaman. Hong Man-thian mencari sepotong kapur
dan menulis sebuah huruf "koan " pada dinding
kereta. "Apakah peti perlu diturunkan" " tanya Koh Ihsian.
"Dengan huruf "koan" ini, siapa pula di dunia ini
yang berani mengincarnya"' ujar Hong Man-thian
dengan tertawa.
Kiranya tulisan "koan " ini adalah tanda
tangannya yang dulu pemah mengguncangkan
dunia pestilatan.
Satu kali dia membantu seorang teman yang
harta bendanya dirampok kaum bandit di Thayhing-
san, tanpa susah-payah Hong Man-thian
berhasil meminta kembali harta yang hilang itu.


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa peti harta benda itu ditumpuk di lereng
bukit sunyi, peti diberi tanda pengenal huruf "koan
", lalu ditinggalkan pulang, kawan pemilik barang
disuruh mengambil sendiri ke tempat penimbunan
peti. Tentu saja kawannya kaget, disangkanya harta
benda yang baru diminta kembali itu pasti akan
dicuri orang lagi. Cepat ja menuju ke tempat yang
dimaksudkan yang berjarak tiga-hari-tiga-malam
perjalanan itu Siapa tahu setiba di tempat, harta yang
dimaksud ternyata masih utuh tanpa terganggu
sedikit pun. Rupanya orang dunia parsilatan
setelah melihat tanda pengenal Hong Man-thian itu
bukannya mengganggu, sebaliknya diam diam
memberi perlindungan malah.
Begitulah dia berkisah kegagahannya pada masa
lampau sehingga tambah semangatnya minum
arak. Lamkiong-hujin lantas minta disediakan
berbagai jenis arak, ia mencampur sendiri arak
yang paling enak, dan ternyata sangat menyocoki
selera Hong Man-thian dan Loh Ih-sian sehingga
tiada henti-hentinya kedua orang itu memuji.
Dan seterusnya setiap persinggahan selalu Hong
Man-thian minum sampai mabuk oleh ramuan
arak Lamkiong-hujin yang istimewa itu. Entah
karena ingin menikmati arak enak atau karena ada
sebab lain, perjalanan makin hari makin lambat.
Anehnya pada setiap tempat persinggahan Hong
Man-thian pasti keluar sampai setengah harian,
pulangnya dia membawa satu kereta penuh
muatan, kebanyakan berupa peti besar dan kecil,
semuanya tertutup rapat entah apa isinya. Peti
yang paling besar serupa peti mati, yang paling
kecil juga berukuran dua-tiga kaki panjangnya.
Akhirnya kereta yang dikumpulkan bertambah
banyak sehingga merupakan satu iring-iringan
kereta. Wilayah timur ini kebanyakan daerah
pegunungan dan merupakan sarang penjahat.
Dengan sendirinya iring-iringan kereta mereka
menimbulkan perhatian orang. Banyak lelaki kekar
berkuda mondar-mandir mengawasi kon-voi
mereka, namun Hong Man-thian anggap seperti
tidak tahu saja.
Walaupun begitu, kawanan bandit juga heran
dan sangsi melihat iringan kereta yang panjang itu
ternyata tidak dikawal sebagaimana lazimnya,
karena belum jelas asal-usulnya, seketika pun
tidak ada yang berani mendahului turun tangan
mengganggunya. Hari ini rombongan mereka sampai di Tangyang,
di depan adalah lereng gunung pertemuan antara
pegunungan, Hwekeh, Thian-tai dan Sa-beng-san.
Menjelang magrib mereka pun berhenti pada
rumah pondokan. Hong Man-thian keluar lagi
mengilari kota.
Esok paginya, rumah pondokan itu mendadak
menjadi riuh ramai didatangi orang banyak.
Kiranya kemarin Hong Man-thian telah
mendatangi semua pandai besi di kota Tangyang
ini dan minta dibuatkan satu-dua buah sangkar
besi yang besarnya antara satu tombak sehingga
jumlah seluruhnya lebih 20 buah.
Dengan sendirinya orang lain tidak tahu apa
gunanya sangkar besi sebanyak itu. Tapi Hong
Man-thian lantas menyuruh orang memindahkan
peti ke dalam sangkar besi, lalu dimuat lagi ke atas
kereta dan melanjutkan perjalanan.
Kawanan bandit yang selalu mengintai gerakgerik
konvoi mereka ini menjadi geii, pikir mereka,
"Biarpun harta benda telah kau simpan di dalam
sangkar besi, memangnya kami tidak dapat
merampas sekalian bersama sangkarnya" "
Karena itu mereka mentertawai kebodohan
pemilik barang ini, hati mereka jadi mantap dan
malam ini juga bemiat turun tangan.
Setelah lewat beberapa kampung lagi, di depan
adalah lereng pegunungan, penunggang kuda yang
wira-wiri mengikuti iringan kereta mereka tambah
banyak, semuanya bertampang jahat menakutkan.
Tentu saja para kusir kereta jadi ketakutan,
diam-diam mereka bersepakat bilamana kawanan
bandit datang mereka akan menyelamatkan diri
lebih dulu. Lamkiong Siang-ju dan lain-lain juga tidak tahu
untuk apa Hong Man-thian membeli sangkar besi
besar sebanyak itu, akhirnya mereka coba minta
keterangan kepadanya.
Hong Man-thian tertawa, tuturnya, ''Dulu, terjadi
sebuah Lelucon, begini ceritanya. Seorang
membawa galah bambu masuk ke kota. Baik
bambu melintang maupun menegak tetap sukar
memasuki gerbang kota. Setelah berkutak-kutek
sekian lamanya, akhirnya orang itu melemparkan
galah bambu ke dalam kota melalui atas tembok
benteng. "Seorang di tepi jalan terbahak-bahak geli,
katanya, 'Bodoh amat orang ini, kenapa galah
bambu itu tidak dipatahkan menjadi dua atau tiga
potong, dengan begitu kan leluasa pergi ke mana
pun'. " Loh Ih-sian melenggong, ia pun tidak paham arti
lelucon itu, katanya, "Kenapa dia tidak meluruskan
bambunya dan menerobos masuk ke kota . . . . "
"Jika dia masuk kota begitu saja kan bukan lagi
lelucon namanya, " ujar Hong Man-thian dengan
tergelak. Lamkiong Peng juga tertawa geli.
Maka Hong Man-thian melanjutkan, "Jika
kawanan penjahat melihat kusimpan peti harta
benda di dalam sangkar besi, tentu mereka akan
tertawa akan kebodohanku serupa orang vang
membawa galah bambu itu, kan sangkar besi
dapat juga diangkut sekalian biarpun peti
tersimpan di dalamnya. Mereka lupa bahwa orang
yang membawa galah bambu itu mendadak. bisa
membawa galahnya masuk ke kota dengan lurus
begitu saja, untuk ini kawanan bandit itu tentu tak
bisa tertawa lagi. "
Loh Ih-sian meraba kepalanya yang botak,
"Memangnya apa gunanya sangkar besi sebanyak
ini" "
"Jika kuceritakan apa gunanya, tentu juga
bukan lelucon lagi. " kata Hong Man-thian.
Mendadak burung beo yang selalu hinggap di
pundak Hong Man-thian itu ikut bersuara,
"Lelucon , .. lelucon . . . . "
Pada saat itulah sekonyong-konyong tiga anak
panah mendenging memecah angkasa sunyi.
Kembali burung beo itu berteriak, "Lelucon
datang . . . lelucon datang . . . . "
Lamkiong Siang-ju tidak heran, ia memang
sudah menduga akan kejadian demikian. Ia cuma
mengatur rombongan kereta menjadi satu
lingkaran, para kusir sama menyingkir ketakutan.
Terdengar dari kanan-kiri suara derap kaki kuda
yang ramai, debu mengepul, serentak muncul
berpuluh penunggang kuda. Dari arah timur
dipimpin seorang bermuka hitam dan berjenggot
pendek, kelihatan gagah perkasa, segera ia
berteriak, "Inilah Thian-gwa-hui-lai-poan-cai-thian
(setengah bukit melayang turun dari langit) berada
di sini, para saudara siap! "
Sambil bersuara ia terus melompat ke atas dan
berdiri di atas pelana kudanya dengan gagah.
Segera kawanan penunggang kuda dari beberapa
penjuru itu sama berhenti di se-keliling lelaki
kekar itu. Dari rombongan sana tampil lagi tiga
penunggang kuda yang gagah, mereka melompat
turun dari kudanya dan berkumpul untuk
berunding. "Hah, rupanya beberapa rombongan bandit ini
sudah saling kenal, semula kukira mereka akan
saling cakar-cakaran, agaknya tontonan menarik
ini tidak jadi muncul, " ucap Loh Ih-sian dengan
tertawa. "Tontonan menarik sih masih ada, " ujar Hong
Man-thian. "Untuk itu hendaknya kalian jangan
turun tangan dulu, turutlah kepada caraku. "
Dalam pada itu keempat lelaki tadi setelah
berkumpul dan berunding, lalu mereka melangkah
maju seorang diantaranya yang kurus kecil tapi
mata bersinar tajam segera beseru, "Di mana
pemilik iringan kereta ini harap tampil untuk
bicara. " Orangnya kecil, tapi suaranya besar, Hong Manthian
berlagak bingung dan memandang kian
kemari, tanyanya, "Eh, di mana orang yang bicara
itu" "
Tentu saja si kurus kecil mendongkol,
jengeknya, "Apakah matamu belum melek, di
sinilah aku yang bicara. "
Hong Man-thian sengaja berkerut kening,
katanya, "Ai, rasanya kita belum saling kenal,
entah ada petunjuk apa Anda mengajak bicara
padaku" "
Si kurus terbahak, "Haha, supaya kautahu, aku
inilah Jiu-hong-kui-yap (angin musim rontok
menyapu daun) Toh Stau-giok dari Lok-yap-ceng
.... " "Haha, Lok-yap-ceng (perkampungan daun
rontok), tampaknya nama yang baik juga, " seru
Hong Man-thian,
"Ketiga orang ini yang satu adalah Oh-taihiap
yang terkenal dengan ilmu goloknya dari Hun-cuikoan
dan . . . . "
"Untuk apa banyak omong dengan dia, " sela
seorang temannya yang bersuara lantang tadi.
"Ayolah sahabat, terus terang saja kita buka kartu,
memangnya perlu apa kau berlagak bodoh.
Tinggalkan keretamu dengan seluruh isinya dan
jiwa kalian akan diampuni. "
Hong Man-thian mengelus jenggot dan purapura
kaget, "Hah, kukira kalian datang untuk ikut
minum arak bersamaku, tak tahu-nya kalian
mengincar harta benda juga" "
'O, barangkali engkau ini penggemar sanjak, " si
jangkung menyeringai. "Baiklah, biar aku Thi Toakan
membawakan sajak bagimu, nah dengarkan . .
. Gunung ini aku yang buka, hutan ini aku yang
tanam. Jika ingin lalu di sini, bayar dulu uang
jalan. Ingat, jangan coba coba bilang tidak, senjata
kami tidak kenal ampun. "
Mendadak ia ayun kepalan dan meng-hantam
kepala salah seekor kuda, kontan kepala kuda
pecah, belum lagi sempat meringkik sudah roboh
binasa. Lamkiong Siang-ju dan lain-lain tetap tenang
saja. Sebaliknya Toh Siau-giok dan dan
begundalnya sama berseri kaget, "Wah, tangan
hebat! " Thi Toa-kan tertawa, katanya, "Nah, dapat kalian
pahami tidak akan sajakku" "
Hong Man-thian berlagak terkejut, "Wah,
kusangka kalian adalah kaum pelancong yang
iseng, siapa tahu kalian ini kaum bandit dan
perampok. . . "
Diam-diam ia mengedipi Lamkiong Peng, lalu
berteriak. "Ai celaka, ada bandit! Ayolah lekas
kemari pengawalku, hajarlah bandit ini! "
Lamkiong Peng merasa geli. segera ia tampil ke
muka. Semula Thi Toa-kan dan begundalnya melengak
juga, tapi ketika diketahui yang muncul cama
seorang anak muda belia, hati mereka menjadi
tabah, dengan tertawa Thi Toa-kan berseru, "Haha,
apakah ini jago pengawalmu. Eh, Toa piauthau
yang terhormat engkau dari Piaukiok mana"
Setelah kenal nama kami, masakah kauberani
main kayu lagi dengan kami?"
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu Lamkiong
Peng melompat maju dan "plok ", pipi-nya telah
tergampar dengan tepat.
Keruan Thi Toa-kan melengak. teriaknya murka,
"Binatang ,.... "
Baru saja bersuara, pipi sebelah lain juga kena
gamparan keras, ia tergetar mundur dengan mulut
berdarah, sambil mengusap darah segera ia
hendak menerjang maju.
Tapi Toh Siau-giok keburu menarik baju-nya
dan mendesis, "Sabar dulu! "
Lalu ia berkata kepada Lamkiong Peng, 'Eh, lihai
benar kungfu saudara muda ini, siapakah namamu
dan murid dari perguruan mana" "
"Aku murid Sin-Hong, Lamkiong Peng ada nya! "
seru anak muda itu lantang.
Thi Toa-kan, Toh Siau-giok, dan Oh Cin, si jago
golok dan seorang lagi berbaju hitam bemama Tio


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiong-to berjuluk Im-yang-poh, si kampak, saling
pandang dengan air muka berubah, seru Toh Siaugiok,
"Hah, Anda inikah Lamkiong Peng" "
Lamkiong Peng hanya mendengus saja tanpa
bicara lagi. Hendaknya maklum, sejak pertarungan sengit di
restoran Koai-cip-lau dan menerjang Hui-goan-sanceng
tempat Wi.Ki dahulu, Lamkiong Peng lantas
tersiar luas di kangouw dan disegani.
Keruan keempat orang itu sama gentar, Thi Toakan
menyingkir ke samping dan memanggil
seorang anak buahnya, mendadak dijambretnya
leher baju orang dan didamperatnya, "Inikah hasil
selidikanmu, kaubilang pengawal iringan kereta ini
cuma orang tua yang cacat dan reyot, mengapa
bisa mendadak muncul seorang Lamkiong Peng" "
Anak buahnya ketakutan, 'Hah, dia . . . dia
Lamkiong Peng" "
Kontan Thi Toa-kan menjotosnya sehingga
mencelat. Segera keempat orang itu berunding apa yang
harus dilakukannya lebih lanjut.
Tio Hiong-to mendesis, "Kabarnya Lam kiong
Peng ini sangat lihai, tapi kita sudah telanjur
datang, masa harus pulang dengan tangan hampa.
Biarpun hebat, dua kepalan takkan mampu
melawan empat tangan, kalau kita maju sekaligus,
masa kali perlu takut padanya" "
"Betul ". sambut Oh Cin. "Betapapun kita
berempat harus mengujinya dulu. "
Setelah sepakat, segera mereka maju lagi
bersama, cuma sikap mereka sudah tidak segalak
tadi. Toh Siau-giok mendahului bicara, "Jika iringan
kereta ini dikawal oleh Lamkiong-kongeu, mestinya
kami akan segera angkat kaki dari sini. Cuma,
hehe, ketiga sahabatku ini justru ingin belajar
kenal dulu sejurus dua dengan Lamkiong-kongeu,
sedikitnya agar menambah pengalaman kami. "
Dia memang licik, semua tanggung jawab ia
tumplek atas diri ketiga kawannya.
Lamkiong Peng mendengus, "Ayolah sila-kan
mana dulu yang akan maju"! "
Toh Siau-giok menyurut mundur malah, Thi
Toa-kan bertiga juga saling pandang dengan ragu,
mereka hanya berani main kerubut, untuk satu
lawan satu mereka jeri. Terlebih Thi Toa-kan yang
habis merasakan digampar, betapapun ia tidak
berani maju sendirian.
Terdengar Toh Siau-giok berucap di samping,
"Ketiga saudara jangan berebut turun tangan,
masa di antara saudara sendiri perlu rendah hati"
" Muka Oh Cin tampak merah, mendadak ia
berpaling dan menjengek, "Aneh juga, kenapa
mendadak Toh-heng seperti tidak berkepentingan
lagi akan urusan ini" "
"Aku memang tidak ingin berebut duluan dengan
kalian, jika Oh-heng juga sangsi, silakan mundur
saja menonton di samping. " sahut Toh Siau-giok.
Oh Giu menjadi gusar, Hm, memangnya kaukira
aku jeri, apa langannya kaumaju untuk belajar
kenal dengan dia, " ucap Oh Cin. Segera ia
melangkah maju sambil melolos golok.
Mendadak Hong Man-thian berseru sambil
menggoyangkan tangannya, "Eh, jangan! Nanti
dulu!' Oh Cin melengak dan bertanya, "Ada a pa lagi" "
"Lamkiong-piauthau, " kata Hong Man-thian.
"Hendaknya urusan ini jangan sampai terjadi
perkelahian. "
Lamkiong Peng melongo heran juga.
Hong Man-thian lantas menyambung, "Sebab
kalau perkelahian ini terjadi serentak kawanan
orana gagah ini pasti akan main kerubut, jika
terjadi demikian, wah, aku si tua bangka ini pasti
akan celaka. Padahal kuminta engkau menjadi
pengawalku justru berharap cukup dengan
namamu dapatlah barang kirimanku ini akan
sampai di tempat tujuan dengan aman, sekarang
gelagatnya ternyata kurang menguntungkan,
rasanya lebih baik kukorbankan sedikit harta
bendaku saja, yang penting aman dan selamat. "
"Hm, ternyata kaupun bisa berpikir panjang, "
jengek Oh Cin. "Jika kau mau kompromi baiklah
akan kudamaikan bagimu. "
Si dogol Thi Toa-kan juga lantas membusungkan
dada dan berseru, "Mendingan kau dapat melihat
gelagat, kalau tidak, hmm . . . . "
Diam-diam Lamkiong Peng merasa geli dan
mengundurkan diri.
Hong Man-thian lantas berkata pula, "Sangkar
besi di atas kereta tidak digembok, bilamana kalian
mau, silakan ambil saja, asal-kan jangan dikuras
habis, tapi sisakan yang pantas uutuk hari tuaku.
" Meski Lamkiong Peng dan lain-lain tahu tingkah
orang tua ini pasti menarik, tapi sejauh ini belum
lagi diketahui apa sebenarnya maksudnya.
Sebaliknya Thi Toa-kan dan Iain-lain sangat
girang, segera mereka memberi tanda ke-pada
anak buahnya dan siap hendak membongkar peti.
Mendadak Thio Hiong-to berteriak. "Nanti dulu! "
"Ada apa" " tanya Oh Gin kurang senang.
"Biarpun saudara sekandung, utang-piutang
juga harus dihitung dengan betul, " kata Tio Hiongto.
"Tampaknya rejeki hari ini tidaklah sedikit,
meski di antara kita sudah kenal baik, perlu juga
segala sesuatu diatur secara jelas. Peti-peti ini
berukuran yang sama, isinya juga tidak seragam,
bilamana antara kita cuma ambil begitu saja dan
bisa kacau dan tidak adil "
"Betul, " sambut Oh Cin, "tadi pihak kami turun
tangan dahulu, dengan sendirinya hak utama
berada padaku. Mengenai Toh heng, jika dia sudah
rela menonton saja di samping, dengan sendirinya
ia pun melepaskan haknya. "
Seketika orang Lok-yap-ceng menjadi gempar,
segera ada yang melolos senjata dan siap tempur.
Tapi Toh Siau-giok memberi tanda kepada anak
buahnya itu supaya tenang.
Rupanya dia sudah menduga di balik urusan ini
pasti ada sesuatu yang tidak beres, umpama betul
persoalannya semudah ini juga dia sudah siap
sedia untuk merobohkan lawan.
Di antara keempat pentolan bengal ini memang
Toh Siau-giok yang paling licik dan licin, selain
kungfunya lebih tinggi juga lebih pandai
menggunakan otak.
Tio Hiong-to lantas menarik muka dan
mendengus, "Hm, bilakah Oh-heng pemah turun
tangan' Thi-beng, apakah kaulihat" "
"Kalau bicara turun tangan, kukira akulah yang
paling dulu, " ujar Thi Toa-kan. Teringat pada dua
gamparan yang dirasakannya tadi, tanpa terasa
mukanya menjadi merah.
Tentu saja Oh Cin kurang senang, goloknya
bergerak, serunya, "Habis bagaimana cara
membaginya menurut pendapat kalian" "
"Dengan sendirinya pihak Thian-tai-ce ka-mi
berhak mengambil dulu. " seru Thi Toa-kan sambil
membusungkan dada. Dia memang tinggi besar,
sekali membusung mendadak perawakannya
bertambah satu kepala lebih tinggi daripada orang
lain. "Hm, kalau bicara tentang tubuh dengan
sendirinya Thi-heng lebih gede, cuma sayang tubuh
gede terkadang juga tiada gunanya, " ejek Tio
Hiong-to. "Kurangajar! Kaubilang apa" " bentak Thi Toa
kan. Oh Cin juga angkat goloknya dan berseru "Apa
pun engkau tidak berhak ambil dulu."
Tio Hiong-to melirik Toh Siau-giok sekejap lalu
berkata, "Kukira biarkan Toh-heng saja yang
membagi rata rejeki ini. Kepandaian Toh-heng
paling tinggi, anggota Lok-yap-ceng juga paling
banyak, kupercaya dia pasti tidak akan menang
sendiri dan bikin rugi orang lain. "
Rupanya dia merasa pihak sendiri tidak sanggup
menghadapi pihak yang lain, maka cepat ia ganti
haluan dan ingin mencari kawan.
Diam-diam Toh Siau-giok mengawasi air muka
Lamkiong Peng dan lain-lain, dilihat-nya anak
muda itu tenang-tenang saja. sorot matanya
menampilkan rasa geli, tergerak hatinya, dengan
tertawa ia berkata, "Ah, soal harta bagiku sih tidak
kupikirkan lagi, silakan kalian bertiga membagi
sendiri. "
Habis berkata, benar juga ia lantas memberi
tanda agar anak buahnya menyingkir mundur.
Meski penasaran, terpaksa anak buahnya
menurut. Selagi Thi Toa kan bertiga melenggong, tiba-tiba
Hong Man-thian berseru pula dengan tertawa, "Ai,
sudah kukatakan silakan bagi saja sendiri, tapi
kalian ternyata sungkan-sungkan. Jika begitu, aku
ada juga suatu akal baik, mungkin dapat kalian
setujui. "
Tio Hiong-to kuatir pihaknya akan dikerubut
oleh Oh Cin dan Thi Toa-kan, segera ia mendahului
menyatakan setuju, "Bagus, jika Losiansing mau
turun tangan dengan bijaksana, kupercaya caramu
membagi pasti adil. "
Oh Cin dan Thi Toa-kan saling pandang sekejap,
dalam hati mereka juga berpikir sama seperti Tio
Hiong-to, maka tiada jalan lain kecuali
mengangguk setuju.
"Kalian tahu, orang tua semacam aku ini paling
takut melihat darah bercucuran, sebab itulah
kurela menyerahkan sebagian harta bendaku ini,
yang penting semuanya berjalan aman dan lancar.
Cuma kalian harus berjanji juga setelah
mendapatkan pesangon yang layak jangan lagi
kalian cari perkara lagi, kalau tidak . . .. "
mendadak Hong Man-thian menarik muka dan
menyambung, "Kalian sudah menyaksikan sendiri
kepandaian jago pengawalku, bilamana dia tidak
mau turut lagi kepada perkataanku, tentu kalian
tahu sendiri akibatnya. "
Mau-tak-mau ketiga orang itu merasa ngeri juga,
terutama Thi Toa-kan yang sudah kena hajaran
Lamkiong Peng tadi, cepat Tio Hiong-to mendahului
menanggapi, "Baik, asal saja caramu adil, kami
pasti setuju. "
"Haha, tentu saja adil, " kata Hong Man-thian.
"Kalian adalah kesatria kaum Lok-lias makin gagah
makin mengagumkan, makin banyak tangan kalian
berlumuran darah makin dipuja, Maka sekarang
kuingin tahu dulu siapa kiranya di antara kalian
yang paling gagah perkasa. Asalkan setiap orang
dapat menceritakan suatu kejadian nyata dari hasil
karyanya yang paling gagah perkasa, maka dia
berhak mengambil dulu isi petiku ini. Tapi jika
perbuatan yang pemah dilakukannya kurang
gemilang, terpaksa harus disilakan menyingkir saja
ke pinggir. "
Selesai berucap, mendadak tongkatnya terjulur,
sebuah peti di luar sangkar dicungkit dan
diraihnya ke depannya, lalu berkata pula, "Nah,
ingin kutambahkan lagi, peti yang semakin dekat
danganku isinya juga semakin berharga. Maka
nanti bilamana di antara kalian harus berebut dulu
mendului, terpaksa kalian harus menggunakan
kepandaian sejati masing-masing untuk
memperoleh peti ini. "
Semula orang-orang itu sama ragu oleh cara
aneh yang diuraikan Hong Man-thian itu, tapi
kemudian demi peti dibuka dan isinya ternyata
penuh batu permata yang sukar di nilai, seketika
mata mereka menjadi merah dan lupa daratan.
Maklum, kebanyakan manusia tamak kalau
urusannya sudah menyangkut harta, maka tuju-an
menghalalkan cara dan tidak kenal malu lagi,
segera mereka berebut dulu menceritakan
perbuatannya yang gagah perkasa.
Sambil menepuk dada Thi Toa-kan ber-teriak,
"Pemah pada suatu malam di kota Limhai
sekaligus kulakukan tujuh perkara besar, kusikat
habis setiap orang yang memergokiku dan
melawan, kubunuh semuanya sehingga mata
golokku pun tumpul. Kejadian ini cukup diketahui
siapa pun sehingga tidak perlu kuberi bukti atau
saksi. Nah, apakah perbuatanku itu bukan sesuatu
yang gagah perkasa" "
Habis berkata ia bergelak tertawa bangga. Oh
Cin tidak mau kalah, segera ia menyambung,
"Huh, hanya begitu saja belum masuk hitungan.
Pemah pada suatu hari, di luar kota Thaisun, di
tengah siang hari bolong sekaligus kukerjai


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpuluh anak perempuan yang sedang berziarah
ke Gan-tang-san, semuanya kusikat . . . . "
Begitulah mereka seperti kuatir ketinggalan,
satu persatu mereka menuturkan "karya besar "
masing-masing, bahkan kuatir tidak di percaya,
mereka berani memberi bukti dan mengajukan
saksi segala. Seketika apa yang didengar Lamkiong Peng dan
Iain-lain adalah kisah kejahatan yang meliputi
perampokan, pembunuhan dan sebagainya yang
membuat darah meluap. Setiap perbuatannya yang
"gemilang " itu pantas dijatuhi hukuman penggal
kepala sepuluh kali.
Toh Siau-giok tetap mengikuti semua ke jadiin
itu secara diam-diam, makin dipandang makin
dirasakan urusan tidak biasa.
Tadi ketika tongkat Hong Man-thian menggait
peti sudah dapat didengarnya suara logam, jelas
bukan sembarangan tongkat. Apalagi cara kakek
yang kelihatan reyot itu menentukan pemberian isi
peti juga harus diragukan. Makin dipikir makin
ngeri hati Toh Siau-giok, tanpa terasa ia pun
menyurut mundur terlebih jauh.
Anak buah Lok-yap-ceng mestinya penasaran
karena orang lain bakal mendapat rejeki nomplok,
tapi pihaknya justru diperintahkan mundur. Tapi
biasanya mereka sangat tunduk kepada
kebijaksanaan sang Cengeu, terpaksa mereka ikut
mundur sesuai perintah Toh Siau-giok.
Dan begitulah, setelah gembong Lok-lim itu
sama menguraikan perbuatan gagah masingmasing,
kemudian mereka lantas bersiap-siap di
sekeliling Hong Man-thian.
"Bagus, bagus, kalian ternyata sama gagah
perkasa, " seru Hong Man-thian. ''Sekarang
bolehlah kalian siap sedia, sekali kuberi tanda
dengan tepukan tangan, bolehlah kalian buka dulu
peti dalam sangkar yang sudah terbuka itu. "
Pelahan ia lantas angkat tangannya, jantung
semua orang sama berdebar menantikan
beradunya telapak tangannya, semuanya melotot
dan siap tempur.
"Plok, " begitu tangan Hong Man-thian menepuk,
beramai-ramai orang-orang itu lantas menyerbu
serupa segerombolan binatang buas menerkam
mangsanya. Ada yang menubruk peti besar-kecil di
atas kereta, ada yang membuka peti di dalam
berbagai sangkar besi itu.
Melihat kelakuan orang-orang yang biadab itu,
sebenarnya Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian sudah
tidak tahan lagi rasa gemasnya. Sedangkan
Lamkiong Siang ju dan istrinya tetap tenang saja,
mereka yakin tokoh kosen angkatan tua seperti
Hong Man-thian ini pasti mempunyai maksud
tujuan yang di luar dugaan.
Dalam pada itu berpuluh orang itu sebagian
besar telah menyerbu peti di dalam sangkar besi
tanpa pikir akibatnya.
Mendadak Hong Man-thian membentak, "Tutup
pintu sangkar! "
Serentak Lamkiong Siang-ju berempat bergarak
cepat, hanya sekejap saja berpuluh pintu sangkar
besi itu sudah ditutup rapat.
Kawanan berandal itu lagi lupa daratan ingin
merebut rejeki, tentu saja mereka tidak
memperhatikan kejadian lain. Ketika mereka
menyadari apa yang terjadi, mereka hanya bisa
mengeluh dan semuanya sudah terlambat.
Mendadak Hong Man-thian mendekap bibir dan
bersuit keras, makin lama makin melengking
suitannya sehingga anak telinga orang terasa
pekak. Lamkiong Sian-ju berempat saja sama
tergetar jantungnya, apalagi kawanan berandal itu,
sebagian sudah kelengar, ada yang sanggup
bertahan juga tidak urung muka pucat dan gigi
gemertuk, Toh Siau-giok yang berdiri agak jauh
pun merasa lemas kakinya, ingin lari pun tidak
mampu. Di tengah suara suitan dahsyat itu, satu-dua
tutup peti besar di antara puluhan buah peti itu
pelahan mulai terbuka. Sekonyong-konyong
terdengar raungan yang menggetar, seekor singa
pelahan menongol dari dalam peti besar itu.
Menyusul terdengar pula suara harimau
meraung, suara serigala, beruang dan sebagai-nya,
suara berbagai binatang buas itu serasa
mengguncang bumi dan menggetar sukma.
Sebagian binatang buas itu muncul dari peti di
sangkar besi sana, dari sangkar besi sini menongol
kawanan ular berpuluh ekor banyaknya
Tadi kawanan berandal itu menyerbu serupa
binatang buas kelaparan, sekarang mereka sendiri
yang menjadi mangsa kawanan binatang buas yang
benar-benar kelaparan itu, seketika darah
berhamburan dan daging beterbangan, sungguh
adegan yang mengerikan.
Pada saat itulah dari kejauhan mestinya sedang
melayang tiba beberapa sosok bayangan orang
Begitu mendengar suara suitan dahsyat itu,
serentak mereka berhenti, seorang di antaranya
bertubuh ramping dan gemulai, dia itulah Kwe
Giok he. Di kanan-kirinya dua orang lelaki, yang seorang
adalah Yim Hong-peng yang gagah dan yang lain
adalah Ciok Tim yang bermuka pucat. Di belakang
mereka mengikut empat orang tua, mereka adalah
empat di antara Kang-lam-jit-eng atau tujuh elang
dari daerah Kanglam.
"Suara suitan siapa itu, begitu lihai! " ta-nya
Giok-he dengan kening bekernyit.
"Kalau tidak salah duga, rasanya seperti suara
Hong Man-thian yang dahulu seorang diri
menerjang dan membakar Ban-siu-san-ceng, itulah
Iwekang Boh-giok-siu (suitan penghancur batu
pualam) yang maha lihai, " ujar si elang hitam
sambil mendekap telinganya.
"Masakah tokoh tua itu belum mati" " tanya
Giok-he. "Konon dahulu dengan lwekangnya yang maha
ampuh Boh-giok~siau itu dia dapat menundukkan
kawanan binatang buas sehingga Ban-siu-san-ceng
dapat dibobolnya, " tutur Yim Hong-peng.
"Jika makhluk tua she Hong itu berada di situ,
tampaknya kedatangan kita ini hanya sia-sia
belaka, marilah kita pergi saja, " ajak Giok-he
sambil menarik tangan Yim Hong-peng.
Dengan sendirinya tingkah laku Giok-he itu
tidak terlepas dari pengawasan Ciok Tim, air
mukanya tampak kelam, entah gusar entah sedih,
tapi akhirnya ia ikut juga di belakang Giok-he
dengan kepala menunduk, mereka ber-lari pergi
secepat datangnya tadi.
Ketujuh orang ini datang dan pergi lagi, dengan
sendirinya hal ini tidak diketahui oleh orang-orang
yang berada di sana.
Sementara itu suitan Hoag Man-thian su-dah
mereda, namun suara raungan binatang buas
belum lagi lenyap, apalagi ditambah dengan suara
kawanan binatang buas itu sedang mengganyang
mangsanya. Menyaksikan kejadian ngeri itu, Lamkiong Peng
merasa ingin tumpah, tapi darah pun bergolak,
meski jelas diketahuinya orang-orang itu
seluruhnya adalah kaum penjahat yang tak
terampunkan, tapi dia tidak sampai hati
menyaksikan mereka dijadikan umpan binatang
buas itu. Ia memburu ke depan Hong Man-thian dan
berseru, "Sudahlah, berhenti! "
Dibukanya semua pintu sangkar besi itu'
Hong Man-thian melengak, tapi mendadak ia
mendongak dan tertawa keras. Begitu hebat suara
tertawanya sehingga kawanan binatang itu sama
terpengaruh pula serupa kena sihir dan lupa
mengganyang mangsanya lagi.
Di dalam sangkar besi masih ada belasan orang
yang belum mati dan masih meronta-ronta, demi
mendengar suara lengking tawa Hong Man-thian,
serentak mereka terhentak sadar, cepat mereka
merangkak dan menerobos keluar, Thi Toa kan
kelihatan buntung lengan kanan akibat digigit
singa. Thio Hiong-to sekujur badan berlumuran
darah dan terluka parah. Sedangkan Oh Cin sudah
hancur lebur dirobek oleh cakar harimau dan
sebagian tubuhnya sudah menjadi isi perut
binatang buas itu.
Dalam sekejap saja orang-orang yang beruntung
masih hidup itu segera melarikan diri. Diam-diam
Toh Siau-giok juga bersyukur tidak menjadi
mangsa kawanan binatang dan lekas-lekat
mengeluyur pergi.
Serentak Hong Man-thian juga beraksi pula
dengan tongkatnya, ia mengetuk tubuh binatang
buas itu, lalu dicengkeram kuduknya terus
dilemparkan ke dalam peti, hanya sebentar saja
berpuluh ekor singa, harimau dan serigala telah
dibekuk seluruhnya dan ditutup lagi ke dalam peti.
Puluhan ekor ular berbisa itu pun digiring
masuk kembali ke dalam peti, suasana menjadi
tenang pula. Kalau tidak ada bekas darah dan
ceceran daging. siapa pun tidak tahu baru saja
telah terjadi peristiwa yang mengerikan itu.
"Nah, setelah kenyang makan darah dan daging
orang jahat, tentu kalian dapat meringkuk dan
puasa belasan hari lagi, " ucap
Man-thian dengan tertawa. "Beginikah caramu
memberi makan kawanan binatang" " tanya
Lamkiong Peng. "Kawanan penjahat itu digunakan sebagai
umpan binatang buas kan cukup adil dan setimpal
bagi perbuatan mereka" " jawab Hong Man-thian
tertawa. Seketika Lamkiong Peng melongo dan tidak
dapat bicara lagi.
Loh Ih-sian menghela napas, katanya, "Sungguh
tak terpikir olehku dalam petimu itu ter-simpan
barang hidup, anehnya mengapa kawanan
binatang itu sedemikian menurut dan mau
mendekam diam di dalam peti. Kalau tidak melihat
sendiri sungguh sukar untuk dipercaya "
"Kalau diceritakan sebenarnya juga tidak perlu
diherankan, " tutur Hong Man-thian.
"Caraku mengendalikan kawanan binatang ini
tiada ubahnya seperti ilmu tiam-hiat, pada bagian
tertentu tiap binatang juga ada tempat yang lemah,
asalkan dapat kaukuasai tempat dan waktunya
secara tepat, sekali ketuk dia takkan berdaya dan
akan tunduk padamu. "
Selagi mereka asyik bicara tentang cara
mengatasi binatang buas di sebelah sana Lamkiong
Peng lagi sibuk menggali liang untuk mengubur
sisa tubuh manusia yang berserakan itu.
Tidak lama kemudian, kawanan kuda yang ijuga
jatuh kelengar karena suara suitan Hong Manthian
tadi sebagian telah sadar kembali, sebagian
lain mati ketakutan melihat binatang buas tadi.
Iringan kereta lantas melanjutkan perjalanan,
perasaan semua orang sama tertekan dan jarang
yang bicara. Dua hari kemudian, sampailah mereka di
semenanjung Sam-bun-wan, sejauh mata
memandang tertampaklah air laut yang biru dan
beriak itu. Sudah sejak jaman kuno perdagangan Tiong-kok
melalui laut terbuka secara luas, semenanjung
Sam-bun wan ini adalah pelabuhan perdagangan
yang merupakan pangkalan besar bagi padagang di
wilayah Ciatkang. Kangsoh dan Anhui. Sebab
itulah kota pelabuhan ini sangat ramai.
Menjelang magrib, di jalanan kota lantas penuh
orang berlalu lalang, kebanyakan adalah kaum
nelayan yang berbau amis dan pelaut yang berbaju
pendek dan berbadan kekar, dada terbuka dan
lengan telanjang. Mereka masuk ke kota untuk
mencari hiburan, makan minum, tidak ketinggalan
main perempuan pula.
Dengan sendirinya suasana kota pelabuhan
begini dirasakan serba baru bagi Lamkiong Peng, ia
berdiri di luar hotel memandangi keramaian itu.
Hong Man-thian sendiri asyik minum arak Iagi.
Mendadak ia mengeluarkan sehelai kertas panjang
dan dibentang di atas meja. Kertas itu penuh
tulisan yang tidak rajin, ada yang gaya tulisannya
indah, ada yang tulisannya serupa cakar ayam.
Baris pertama tulisan itu berbunyi: Timbel 300
kati, air raksa 100 kati.
Baris berikutnya tertulis: Benang 100 kati, besi
seribu kati. Lalu tertulis Iagi berbagai jenis barang keperluan
lain.

Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya kertas itu adalah sehelai daftar belanja.
Anehnya kebanyakan barang yang tertulis itu
bukanlah barang keperluan sehari-hari.
Yang paling aneh adalah bagian terakhir, barang
belanja yang diperlukan ternyata tertulis: Harimau
satu ekor, singa jantan-betina sepasang, ular
berbisa 120 ekor. Serigala dan macan tutul
masing-masing dua ekor.
Waktu Lamkiong Peng dan lain-lain ikut
membaca daftar itu, semuanya terheran-heran,
entah apa yang akan di perbuat oleh tokoh-tokoh
kosen yang berdiam di pulau misterius Cu-sin-to
dengan barang belanjaannya yang luar biasa ini"
Yang paling membingungkan adalah baris
terakhir yang terbaca oleh Lamkiong Peng, ya-itu
tertulis: Orang jahat sepuluh.
'Masa orang jahat terhitung juga barang
belanjaan" Apa gunanya dan akan dibeli di mana"
" tanyanya heran.
"Nanti tentu kautahu sendiri, " ujar Hong Manthian
dengan tersenyum aneh, senyum misterius
dan juga mengandung rasa duka.
Lamkiong Peng tidak dapat menerka
maksudnya, ia pun tidak tanya lebih lanjut.
Habis makan-minum, Hong Man-thian lantas
keluar untuk belanja, tapi pulangnya ternyata
tidak membawa sesuatu barang.
Malamnya, Hong Man-thian memesan satu meja
penuh santapan pilihan, sambil makan-minum ia
mengajak mengobrol macam macam urusan. Dia
memang pandai bereerita sehingga orang lain sama
lupa lelah dan kantuk juga lupa tanya padanya
kapan dan di mana dia akan berlayar.
Tanpa terasa perjamuan berlangsung hingga
hampir tengah malam, tiba-tiba Hong Man-thian
menuangkan arak bagi Lamkiong Siang-ju
berempat, lalu angkat cawan dan berucap, "Betapa
lama berkumpul akhirnya harus berpisah juga, di
dunia ini memang tidak ada pesta yang tidak
bubar. Bahwa sekali ini Hong Man thian dapat
berkunjung ke Kanglam dan bertemu dengan para
sahabat, sungguh kejadian yang menggembirakan.
Cuma sayang tidak dapat berkumpul lebih lama,
waktu berpisah sudah tiba, marilah kita habiskan
secawan ini dan segera kumohon diri. "
Semua orang menyangka barang belanjaannya
belum lagi lengkap, tentu dia akan tinggal lagi
beberapa hari lagi, siapa tahu mendadak ia
mengucapkan kata perpisahan, tentu saja semua
orang terkesiap.
Lamkiong-hujin memandang putra kesayangan
dengan perasaan berat, katanya, "Kenapa Hongtaihiap
mendadak hendak berangkat di tengah
malam buta, apakah tidak menunggu sampai . . . .
" Belum lenyap suaranya, mendadak kepala terasa
pening dan tidak sanggup bicara lagi.
Bahkan Loh Ih-sian dan lain-lain serentak juga
merasa kepala pusing dan mata berkunangkunang,
bumi seperti berputar dan langit akan
ambruk. Segala benda serasa berputar seperti
kitiran. Lamkiong-hujin terkejut, serunya kuatir, "Anak
Peng . . . . "
Segera ia berbangkit hendak mendekati
Lamkiong Peng, tapi baru melangkah segera ia
jatuh terkulai.
Lamkiong Peng juga tidak tahan oleh rasa
pusing, samar samar dilihatnya sorot mata ibu
kesayangan yang kuatir itu, tapi ia pun tidak
berdaya dan tidak ingat sesuatu lagi.
Entah berselang berapa lama lagi, Samar-samar
Lamkiong Peng merasa berada di sebuah pulau
yang indah, tetumbuhan menghijau permai.
Banyak bebuahan yang aneh, bahkan bumi penuh
berserakan batu permata.
Di kejauhan ada sebuah istana megah dengan
undak-undakan batu kemala dan tiang emas, di
depan istana tampak bergerombol orang mondarmandir
serupa malaikat dewata di sorgaloka.
Malahan mendadak dilihatnya ayah-ibunda juga
berada di tengah orang banyak itu.
Saking girangnya mendadak ia memburu ke
sana. Tapi tahu-tahu kakinya menginjak tempat
kosong, di bawah ternyata jurang yang tertutup
mega. Ia menjerit kaget dan sekuatnya berusaha
melompat ke atas, waktu ia membuka mata,
dirasakan keringat membasahi tubahnya, kira-nya
baru saja mimpi buruk.
Ia berpaling, tampak dirinya berbaring di dalam
ruang yang kosong, hanya terlihat sebuah tempat
tidur, sebuah meja dengan dua kursi. Di ketinggian
ada sebuah jendela kecil, bintang gemerlip di
angkasa Iuar. Rupanya ia telah tertidur sehari semalam, ia
coba menenangkan diri dan meronta bangun,
dirasakan lantai bergoyang-goyang, terdengar pula
suara gemercak air di sekeliling, tiba-tiba
disadarinya dirinya berada di dalam sebuah kapal
yang terombang-ambing di tengah laut. Kiranya
dalam keadaan tidak sadar ia telah jauh
meninggalkan ayah-bundanya, me-ninggalkan
tanah kelahirannya, meninggalkan kampung
halaman dan orang yang dikenalnya, kini jaraknya
entah sudah berapa jauh, sedetik demi sedetik
bertambah jauh terpisah.
Pedih rasa hatinya, apakah akan tamat begini
saja kehidupannya" Sedangkan budi kebaikan
orang tua dan guru belum lagi dibalas-nya, masih
banyak amal bakti yang perlu dilaksanakannya
pula. Setelah termenung sekian lama, mendadak ia
mengepal tinjunya dan bergumam, "Tidak, aku
masih harus pulang ke sana, harus! "
Mendadak seorang tertawa dan berkata sambil
mendorong pintu kamar, "Haha, bagus!
Tekadmu harus dipuji. "
Kelihatan Hong Man-thian muncul dengan
membawa poci arak, langkahnya agak
sempoyongan, jelas terlalu banyak menenggak
arak. "Mari keluar, " kata Hong Man-thian ke-mudian.
Ketika Lamkiong Peng ikut ke geladak kapal,
tertampak jauh di ufuk timur sana sudah ada
cahaya remang-remang, hanya sebentar saja
subuh ternyata sudah tiba. Pemandangan
kelihatan indah, tapi keadaan di atas geladak kapal
morat-marit penuh tertimbun berbagai macam
barang. Di buritan sana, di samping tiang layar tertaruh
sebaris sangkar besi, isinya tentu saja kawanan
binatang buas yang sudah dilepaskan dari peti,
ssmuanya meraung dan menyeringai ketika
melihat manusia.
Seorang lelaki kurus dan pendiam dengan dada
baju terbuka berdiri di buritan sambil memegang
kemudi, ada lagi seorang lelaki pendek kecil dan
agak buntak dengan baju yang dekil, kepala
kurapan dan lagi cengar-cengir.
Melihat orang ini, timbul rasa jemu dan mual.
Kebanyakan pelaut dan nelayan, biarpun kasar
dan miskin, rata-rata juga kelihatan sehat dan
bersih, tapi orang ini selain kotor dan menjemukan
mukanya, suaranya juga tidak enak didengar.
"Siapa orang ini" " tanya Lamkiong Peng.
"Juru masak, " jawab Hong Man-thian.
Lamkiong Peng melengak, terbayang sayur
mayur yang akan dimakannya selanjutnya adalah
hasil pengolahan orang dekil jni, seketika tambah
mual rasanya, gumamnya.
"Kenapa mencari juru masak seperti ini" "
Hong Man-thian tergelak, katanya, "Kau-tahu,
bukan pekerjaan gampang untuk mendapatkan
pelaut ini. Biarpun orang yang biasa hidup
berkecimpung di lautan, siapa yang mau ikut
berlayar tanpa batas waktu dengan kapal yang tak
dikenalnya" "
"Dan cara bagaimana Cianpwe
mendapatkannnya" " tanya Lamkiong Peng.
Mendadak Hong Man-thian bersuit pelahan,
burung beo piaraannya yang selalu mengintil ke
mana dia pergi itu lantas hinggap di pundaknya.
"Panggil Jitko, " kata Hong-thian.
Segera beo itu berteriak, "Jitko...Jitko.... "
Mendadak papan geladak tersingkap, seorang
lelaki hitam kekar melompat keluar dari bawah
geladak. Terperanjat juga Lamkiong Peng melihat bentuk
orang yang aneh ini, perawakannya pendek gemuk,
pundaknya lebar sehingga bentuknya mirip peti.
Punggung agak bungkuk dan kepala scakan-akan
terselip di antara pundaknya, Namun gerakgeriknya
justru sangat gesit, sekali lompat sudah
berada di depan Hong Man-thian.
Rupanya yang buruk juga sangat mengejutkan,
mulut lebar dengan gigi panjang serupa siung,
dagunya mencuat ke depan. kelakunnnya kasar.
Dengan tunduk kepala ia berkata kepada Hong
Man-thian, "Apa yang Cukong ingin hamba
kerjakan" "
Hong Man-thian terbahak-bahak, katanya
kepada Lamkiong Peng, "Bersama dia inilah kami
berdua berlayar mengarungi samudera raya
dengan sebuah perahu kecil dan akhirnya sampai
di daerah Kanglam. Kembalinya sekarang tentu
saja kami tidak ingin menderita lagi, kami ganti
kapal besar ini, tapi juga tambah muatan
sedemikian banyak, maka kami juga perlu pakai
tenaga pelaut cukup banyak. "
"Berapa banyak pelaut yang kaubawa"' tanya
Lamkiong Peng. "Belasan orang ", jawab Hong Man-thian,
"Apakah kauingin melihat mereka" "
"Ah, tidak, " jawab Lamkiong Peng sambil
menggeleng. Setelah melihat bentuk "Jitko' yang
serupa binatang dan si juru masak yang
memualkan itu, ia pikir kebanyakan pelaut yang
mau bekerja di kapal ini tentu juga manusia yang
tidak sedap dipandang.
Bangun kapal ini sangat kukuh, cuma ada
sebuah tiang layar, sekarang layar sudah
berkembang dan tertiup angin, ada layar buritan
juga sudah dikembangkan, kapal laju dengan
cepat. Untuk pertama kalinya Lamkiong Peng
merasakan kehidupan berlayar di samudera raya
ini, lambat laun terlupalah segala rasa kesalnya,
sebaliknya timbul rasa serba baru. Namun juga
diharapkannya selekasnya mencapai tempat
tujuan, dengan begitu dapat berdaya untuk
selekasnya pulang ke Kanglam.
Kebanyakan pelaut yang bekerja di kapal ini
memang berwajah bengis, semuanya me-mandang
Lamkiong Peng dengan sorot mata yang waswas
serupa binatang buas lagi meng-incar mangsanya.
Diam-diam Lamkiong Peng juga waspada,
sebaliknya Hong Man-thian seperti tak
mengacuhkan. Setiap pagi pada waktu sang turya baru terbit,
tentu Hong Man-thian berdiri di haluan kapal,
selain itu dia hanya duduk minum arak di dalam
kabin, makin jarang dia bicara, terkadang sehari
suntuk tidak buka suara.
Selain minum arak sendiri, setiap kali ia pun
membujuk Lamkiong Peng ikut minum be-berapa
cawan arak yang keras itu. Tapi bila melihat si
tukang masak kudisan itu membawa-kan
makanan, hati Lamkiong Peng lantas mual, tanpa
didorong dengan arak memang sukar menelan
makanan itu. Tukang masak kudisan itu sungguh sangat
jorok, terkadang tidak cuci muka sehingga masih
belekan. Untungnya dia memang mahir mengolah
makanan yang sangat mencocoki se-lera sehingga
biarpun menjemukan masih di-biarkan saja.
Sepanjang hari tukang masak itu hanya tertawa
linglung, segala urusan tak diacuhkannya, bila
melihat Lamkiong Peng ia suka me-nyengir,
sebaliknya Lamkiong Peng cepat melengos.
Beberapa hari kapal berlayar, laut luas tanpa
kelihatan tepinya.
"Apakah masih jauh" " demikian Lamkiong Peng
sering bertanya.
"Sabar, setibanya di sana akan kautahu sendiri,
" jawab Hong Man-thian dengan dingin. Makin
lama kapal berlayar, air muka orang tua itu pun
tambah kelam, arak yang diminum juga tambah
banyak, dengan sendirinya ini agak janggal, sebab
umumnya orang yang pu-lang, semakin dekat


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah sendiri seharusnya semakin senang, kenapa
dia justru tambah murung"
Malam ini omb'ak sangat besar, Lamkiong Peng
lebih banyak minum arak dan terkenang kepada
ayah-bunda, hati merasa kesal. Ia me-langkah ke
atas geladak dan bersandar di ha-luan, dilihatnya
bintang bertaburan di langit, suasana sepi, hanya
debur ombak yang ter-dengar.
Selagi pikirannya merasa lapang, se-konyongkonyong
didengarnya di bawah geladak suara
tertawa orang yang khas, menyusul ada suara
orang melangkah tiba, suara tertawa itu dikenalnya
sebagai suara si tukang masak kudisan itu.
Sesungguhnya Lamkiong Peng tidak suka
melihat orang ini, kening bekernyit dan ber-usaha
menggeser ke bagian yang gelap. Waktu berpaling,
terlihat dua kelasi menarik si kudisan naik ke atas
geladak. Mestinya Lamkiong Peng hendak tinggal pergi,
demi melihat gerak-gerik ketiga orang ini rada
mencurigakan, tergerak pikiran Lamkiong Peng,
cepat ia sembunyi di balik kabin.
Kedua kelasi yang kurus dan gesit itu bemama
Kim Siong, seorang lagi si juru mudi bemama Tio
Cin-tong, kedua orang ini adalah kelasi yang
berpengalaman dan disegani di antara lesama
kelasi, maka Lamkiong Peng kenal mereka.
Begitu melompat ke geladak dan memandang
sekellling, dengan pelahan Kim Siong lantas
mendesis, "Sepi! "
"Coba periksa lagi, apakah juru mudinya kawan
sendiri atau bukan" " sahut Tio Cin-tong.
Mereka bicara dengan bahasa sandi kaum
bandit, hal ini menimbulkan curiga Lamkiong
Peng. Dilihatnya Kim Siong lantas memeriksa keadaan
sekitar geladak, ia sempat lewat di samping tempat
sembunyi Lamkiong Peng, lalu lapor kepada
kawannya, "Aman, hanya juru-mudi berada di
kabinnya dan agaknya sedang mengantuk. "
Tio Cin-tong mengangguk, si juru masak
kudisan diseretnya ke samping setumpukan barang
muatan. Si kudisan kelihatan sempoyong-an,
muka pun pucat.
"Sret ", Tio Cin-tong melolos belati yang terselip
pada sepatu bot yang dipakainya, lalu belati yang
mengkilat itu bergerak gerak di de-pan hidung si
juru masak, desisnya dengan meyeringai,
"Kauingin mati atau minta hidup" "
"Dengan . . . dengan sendirinya ingin hidup, "
jawab si kudisan dengan gelagapan ka-rena
ketakutan. "Kalau ingin hidup harus tunduk kepada
perintahku, " kata Tio Cin-tong. "Terus terang,
kami ini adalah tokoh-tokoh yang biasa membunuh
orang tanpa berkedip, jika memang biasa
berkacimpung di lautan tentu pemah kaudengar
nama kami, aku inilah Hai-pa (singa laut) Tio-lotoa
dari Hai-pa-pang (kawanan ba-jak singa laut) di
sekitar Ciu-san! "
Juru masa itu tampak malengak, jawab-nya
dengan gemetar, "Ah, tentu . . . tentu hamba akan
menurut. "
"Memangnya kauberani membantah, " je-ngek
Tio Cin-tong. Lalu ia mengeluarken satu
bungkusan kertas dan berkata pula, "Nah, be-sok
hendaknya kaumasak kuah ayam yang se-dap.
separoh isi bungkusan ini masukkan ke dalam
kuah dan separoh lagi campurkan pada makanan
lain. " "Eh, kuah ayam kan tidak perlu pakai merica. "
ujar si kudisan dengan lagak seorang nhli masak.
"Sialan, " omel Tio Cin-tong. "Ini bukan merica
melainkan racun, tahu"! Barangsiapa makan sititik
saja, dalam sekejap akan mam-pus dengan matahidung-
telinga-mulut keluar darah, maka ingat,
jangan kauanggep sebagai gula dan kaumakan,
sesudah urusan beres dan tuanmu mendapat
rejeki nomplok, tentu kau-pun akan kami bagi
sedikit. Tapi bila urusan ini sampai bocor, biar
kami cencang dirimu lebih dulu dan kami buang ke
laut sebagai umpan ikan. Tahu" "
Juru masak itu menjura dan mengiakan
berulang. Kim Siong tertawa, katanya, "Menurut
pengamatanku selama beberapa hari ini, rejeki ini
memang sukar dinilai jumlahnya- Cuma si
buntung itu jelas bukan lawan yang empuk, juga si
makhluk aneh itu, malahan si bagus itu pun
kehhatan bisa sejurus dua. "
Tio Cin-tong mendengus, "Hm, kecuali me-reka,
apakah kaukira Ong Ti, Sun Ciau dan si jurumudi
Li-losam itu adalah orang baik" Kurasa tujuan
mereka ikut dalum kapal ini juga tidak bermaksud
baik, besar kemungkin-an mereka pun sahabat
kalangan hitam. Cuma
mereka bukan segaris deagan kita, besok kita
kerjai mereka sekalian. "
Mereka bicara dengan lirih, namun dapat
didengar jelas oleh Lamkiong Peng, diam-diam
anak muda itu terkejut dan bersyukur juga,
"Untung kudengar tipu muslihat mereka, kalau
tidak bukan mustahil akan dikerjai mereka. "
Selagi berpikir, sekonyong-konyong dari se-belah
kiri terdengar suara mendesir, sesosok bayangan
orang melayang tiba.
Langsung pendatang ini mendengus, "Hm, Tiolotoa,
keji amat hatimu, sampai kami ber-saudara
juga akan kaukerjai" "
Air muka Tio Cin Tong berubah, ia me-lompat
mundur sambil membentak, "Siapa" "
Bayangan orang itu melangkah maju, tertampak
wajahnya yang kaku, tangan besar kaki panjangg.
dia inilah Li-losam, si juru mudi.
Tio Cin-tong dan Kim Siong siap siaga,
sebaliknya Li-losam seperti tidak mengacuhkannya,
pelahan ia melangkah ke sana dan
berucap "Anjing kudisan, serahkan racunnya tadi"
" Juru masak kudisan itu ketakutan dan
sembunyi di tengah tumpukan barang muatan sehingga
mirip anjing kudisan memang.
Belum lagi si juru masak menjawab, men-dadak
Tio Cin-tong membentak, "Kauserah-kan jiwamu! "
Sekali belati terangkat segera ia hendak
menerjang maju.
"Nanti dulu, " seru Li-losam mendadak.
"Rupanya cngkau tidak tahu maksudku, ku-minta
racun ini tidaklah bemiat jahat, Hen-daknya ingat,
si buntung itu tokoh macam apa, masa dia dapat
dibereskan dengan sebungkus racun begini saja"
Jika ketahuan, engkau bisa mati konyol malah.
Lekas lemparkan racun itu ke dalam laut, biarlah
kuatar rencana lain untuk membereskan mereka. "
Tio Cin-tong urung menyerang, tapi mu-lutnya
tetap garang, "Hm, kau ini apa, aku Hai-pa Tiolotoa
harus tunduk padamu" "
"Hm, jadi tidak kaukenal diriku" " jengek Lilosam,
mendadak ia melangkah maju lagi dan
mendesiskan dua-tiga kata dengan lirih.
Seketika air muka Tio Cin-tong berubah, badan
gemetar dan "trang ", belati pun jatuh, ucapnya
dengan terputus-putus, "Hah . . . cngkau . . .
mengapa . . . . "
"Tidak perlu banyak omong, lekas kembali ke
kamarmu dan tidur saja, tiba saatnya tentu akan
kuberitahukan padamu, " ujar Li-losam, "Hai-papang
kalian telah bekerja dengan susah-payah,
tentu takkan kubikin rugi kalian. "
Terpaksa Tio Cin-tong mengiakan dan
melangkah pergi dengan menarik Kim Siong.
Si juru makan kudisan juga mau ikut pergi
dengan takut-takut, mendadak Li-losam mencengkeram
lengannya sambil membentak,
"Kurangajar! Kauberani berlagak dungu di de-pan
tuanmu" .... Serahkan nyawamu! "
Berbareng itu sebelah tangannya terus
mengliantam kepala orang.
Lamkiong Peng menjadi heran apakah mungkin
si kudisan ini samaran seorang tokoh persilatan"
Dilihatnya juru masak itu ketakutan hingga
terkulai lemas di lantai, pukulan Li-losam tampaknya
segera akan membuat batok kepalanya
hancur tapi dia masih diam saja. Tak terduga
pukulan Li-losam itu mendadak berhenti setongah
jalan, dia hanya me-nepuk pelahan pada pundak si
kudisan dan berkata, "Jangan takut, aku hanya
mencoba dirimu saja. Nah, pergilah sekarang! "
Apa yang diperbuat dan apa yang dibicarakannya
air mukanya tidak pemah ber-ubah,
tetap kaku dm dingin. Habis bicara ia lantas
kembali ke tempat kemudi.
Si kudisan lantas merambat turun ke ba-wah
geladak, sinar matanya melirik sekejap ke tempat
sembunyi Lamkiong Peng seperti tidak sengaja.
Melihat sekeliling tiada orang lagi, pelahan
Lamkiong Peng menyelinap kembali ke ka-marnya,
tapi baru saja dia msnarik pintu ka-mar, tiba-tiba
diketahuinya dalam kegelapan sepasang mata
mencorong sedang menatapnya, orang seperti
sudah sejak tadi menunggunya di balik pintu,
Lamkiong Peng terkejut, segera ia siap menghadapi
ssgala kemungkinan. Tapi setelah diamati, kiranya
dia bukan lain daripada si makhluk aneh yang
dipanggil "Jitko "' itu.
Jitko menyengir sehingga kelihatan barisan
giginya yang putih panjang serupa taring itu. lalu
melangkah pergi.
Kejut dan heran Lamkiong Peng, ia pikir apakah
makhluk aneh ini pun mendergar percakapan
orang orang tadi" Mengapa dia tidak bertindak
sesuatu" la lantas masuk ke dalam kabin dan mencari
Hong Man-thian, dilihatnya orang tua itu asyik
minum arak di bawah cahaya lampu yang sudah
redup, orang dua cacat ini scaken-akan tidak tidur
dan juga tidak makan nasi, dia sr-perti dilahirkan
melulu untuk minum arak saja.
Tanpa menoleh ia menegur Lamkiong Peng,
"Belum tidur" Apo mau minum dua cawan" "
"Sekarang Cianpwe boleh minum sepuas-nyn,
selanjutnya mungkin tidak dapat minum lagi. "'
kata Lamkiong Peng.
Hong Man-thian tertawa, "Masa di dunia ini ada
sesuatu urusan yang dapat membuatku tidak
minum arak9 Wah, rasanya aku jadi ingin tahu
apa urusannya" "
Habis bicara ia meneggak lagi satu cawan.
"Apakah Cianpwe tahu kelasi kapalmu ini
,adalah kawanan bajak yang biasa main bunuh
dan rampok" " kata Lamkiong Peng, lalu
diceritakannya apa yang dilihat dan didengar tadi.
Siapa tahu Hong Man-thian tetap tenang saja.
Dengan kening bekernyit Lamkiong Peng berkata
pula, "Meski wanpwe juga tidak me-nguatirkan
gangguan penjahat itu, tapi setelah kutahu
maksud jahat mereka, sedikit banyak harus
mengawasi gerak-gerik mereka. "
"Memangnya kaukira aku tidak tahu, " ja-wab
Hong Man-thian dengan tergelak. "Sejak mereka
menginjak kapal ini segera kutahu mereka tiada
seorang pun orang baik. Hanya si kudisan yang
kelihatan linglung itu bukanlah sekomplotan
mereka, sebab itulah kusuruh di kudisan menjadi
juru masak. Namun aku tetap m.engawasi gerakgerik
mereka, untuk menjaga srgala kemungkinan,
di dalam arak sudah ku-taruh obat penawar segala
macam racun, ma-kanya setiap kali makan
kusuruh kauminum dua-tiga cawan untuk berjaga
bilamana diracun, apabila mereka berani main
kekerasan, haha. itu berati mereka mencari
mampus sendiri. Kau lihat sepanjang hari aku
selalu minum arak, apa kaukira aku bisa mabuk" "
Diam-diam Lamkiong Peng menghela na-pas,
ucapnya. "Kehebatan Cianpwe sungguh sukar
dibandingi siapa pun . . . . "
Hong Man-thian tertawa bangga, lalu berkata
pula, "Sebenarnya aku cuma tua keladi dan dapat
melihat segala sesuatu dengan lebih jelas, bila
usiamu juga setingkat diriku tentu akan
kaurasakan segala tipu maslihat di dunia ini tidak
lebih hanya begini-begini saja. Cuma Li-losam itu
tampaknya memang seorang tokoh yang tidak
boleh diremehkan, entah dia berasal dari orang
macam apa" "
"Orang ini pasti mempunyai asal-usul ter-tentu,
tapi di depan Locianpwe masakah dia mampu
berbuat sesuka hatinya" " ujar Lamkiong Peng.
"Tidak peduli bagaimana asal-usulnya, yang
jelas dia suruh orang she Tio jangan menaruh


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

racun dalam makanan, hal ini menandakan dia
cukup cerdik, " ujar Hong Man-tliian. "Padahal
betapa hebatnya racun atau obat bius, di mana
pun dia campurkan, jika tidak kuketahui hal ini
kan berarti sia-sia hidupku selama sekian puluh
tahun di dunia ini. "
"Apakah Cianpwe tidak ingin membongkar tipu
muslihat mereka" " tanya Lamkiong Peng.
"Jika kubongkar rencana keji mereka dan
membunuh mereka, lalu siapa yang akan menjadi
kuli di kapa! ini" " Hong Man-thian tergelak.
"Kawanan penjahat ini memang sial bertemu
dengan diriku. "
Mendadak hati Lamkiong Peng tergerak,
tanyanya, "Apakah mungkin Cianpwe hendak
menggunakan mereka untuk memenuhi daftar
belanja yang terakhir itu" "'
"Memang begitulah, " ujar Hong Man-thian
dengan tertawa. "Sudah. kuduga ada orang akan
mengnntarkan dirinya sendiri. maka akupun tidak
perlu repot mencari-cari orang, setiba di sana,
haha . . . . " mendadak ia berhenti tertawa dan
menenggak arak lagi.
Lamkiong Peng hanya menggeleng kepala saja,
dirasakan orang tua ini salain me-ngagumkan,
juga menakutkan. Dilihatnya alis orang tua itu
berkerut rapat, serupa menanggung urusan ynng
membuatnya masgul, maka arak terus
ditenggaknya secawan demi secawan.
Mendadak ia berpaling dan berkata pula kepada
Lamkiong Peng, ''Selama hidupku ha-nya ada
suatu penyesalan, apakah kautahu urusan apa" "
Lamkiong Peng menggeleng dan menjawab tidak
tahu. "Brak ", mendadak Hong Man-thian
menggabrukkan cawan arak di atas meja, lalu berkata,
"Urusan yang membuatku menyesal se-lama
hidup ini adalah minum arak tidak pemah mabuk,
biarpun kuminum sepanjang hari pikiranku
tetapjemih, sungguh aku sangat me nyesal
mengapa bisa terjadi begini. "
"Minum tidak pemah mabuk, itu tandanya
takaran minum Locianpwe yang luar biasa, masa
dibuat menyesal malah" " ujar Lamkiong Peng.
Kembali Hong Man-thian menenggak tiga cawan
pula, lalu berkata, "Manusia minum arak
sebenarnya untuk menghilangkan rasa kesal.
Orang yang takaran minumnya kurang kuat,
cukup sedikit minum saja sudah melupakan
semua kesedihan, dan inilah yang dicari. Orang
yang kuat takaran minumnya, sudah banyak arak
yang diminum diminum dan tetap tidak mabuk,
selain makan waktu juga makan biaya, hal ini kan
tidak menguntungkan. Jika serupa diriku,
selamanya minum tanpa mabuk, jelas ini
kemalangan besar dan terlebih harus disesalkan. "
Uraian orang tua ini sungguh tidak dimengerti
oleh Lamkiong Peng, ia tertawa dan
berkata, "Selama hidup Locianpwe gagah perkasa,
namamu termashur di seluruh jagat, sesudah
tua pun tirakat di Cu-sin-tian, tempat yang
serupa sorgaloka bagi pandangan setiap orang
persilatan, semua ini sukar dibandingi orang lain,
mengapa Locianpwe justru menggunakan arak
untuk menghapus rasa kesal" " "Cu-sin-tian ... "
Hong Man-thian ber-gumam dengan terkesima,
mendadak ia memberi tanda, "Aku sudah dikawani
oleh arak, boleh kaupergi tidur saja. "
Sungguh Lamkiong Peng tetap tidak mengerti
mengapa orang tua itu selalu murung.
Esok paginya ia naik ke atas geladak, dilihatnya
Tio Cin-tong, Kim Siong dan Li-lo-sam masih tetap
bertugas seperti biasa. Dengan sendirinya ia pun
berlagak tidak tahu apa-apa, cuma diam diam ia
pun gegetun bagi nasib malang beberapa orang ini.
Selama brberapa hari terakhir ini Hong Manthian
juga tampak pendiam, hanya cara minum
araknya tambah banyak.
Melihat orang tua itu semakin lama semakin
lesu. hati Lamkiong Peng juga ikut tertekan dan
lesu serupa binatang buas di dalam kurungan itu.
Maklumlah, di tengah lautan makanan dan air
minum adalah benda paling berharga, dengan
sendirinya tidak ada rangsum yang cu-kup bagi
kawanan binatang itu, ditambah lagi ombak besar
yang mengombang-ambingkan kapal, betapapun
kawanan binatang itu pun mabuk sehingga
binatang yang, biasanya buas dan garang tersiksa
hingga lemas dan lesu, sama sekali kehilangan
kegarangannya, sampai ssuara meraung pun
jarang terdengar.
Memandangi Hong Man-thian dan memandang
pula kawanan binatang buas itu, tanpa terasa
Lamkiong Peng menghela napas.
Layar mengembang, kapal terus laju di tengah
lautan yang tiada kelihatan ujung pangkalnya. Lilosam
dengan wajahnya yang kaku itu duduk di
pinggir kapal dan sedang memancing ikan.
Menjelang magrib, Hong Man-thian juga
membawa buli-buli arak dan bersandar di taiang
layar untuk menyaksikan orang mancing.
"Masa ikan laut juga mau dipancing?" tanya
Lamkiong Peng dengan tertawa.
"Asal ada umpan, ikan dimana pun dapat
dipancing," ujar Hong Man-thian.
Belum lenyap suaranya, mendadak Li-losam
menarik tali pancing, benar juga seckor ikan kakap
kena dikailnya,
"Aha, bagus, ikan ini pasti sangat lezat, cuma
sayang di sini tidak ada ahli masak serupa ibumu,
" kata Hong Man-thian dengan gegetun.
Menyinggung ibunya, Lamkiong Peng men-jadi
sedih, tapi segera ia tertawa cerah. dan berucap,
"Rasanya caraku masak pun lumayan. "
"Apa betul" " Hong Man-thian menegas dengan
girang. "Tentu saja betul, " jawab Lamkiong Peng. Untuk
membuat senang hati orang tua ini, dia benarbenar
bawa ikan hasil kaitan Li-losam itu ke
dapur. Hendaklah maklum, kepandaian memasak pun
diperlukan kungfu (sesuatu keahlian disebut
kungfu, jadi arti kungfu tidak identik dengan ilmu
silat) yang khas, antara lain cara me-motong,
bahannya, apinya, rempah-rempahnya semuanya
memerlukan kepandaian khusus.
Bakat Lamkiong Peng memang tinggi, se-lain
ilmu silat dan kesusastraan, dalam ha! masak
memasak ia pun belajar dan cukup menguasainya.
Maka tidak seberapa lama seporsi Ang-sio-hi
sudah di bawa keluar, ternyata memang sangat
hebat, baik wama, bau maupun rasanya,
semuanya memenuhi selera Hong Man-thian,
sembari makan Ang-sio-hi berulang- ulang ia
menenggak arak, hanya sebentar saja seekor ikan
sudah tersisa kepala dan ekornya saja.
"Kenapa kausendiri tidak makan ang-sio-hi
buatan sendiri" " sesudah kenyang makan baru
Hong Man-thian ingat kepada Lamkiong Peng yang
sejak tadi hanya menyaksikan dia makan.
Dengan tersenyum Lamkiong Peng menyumpit
ekor ikan, ekor ang-sio-hi biasanya kering dan
rasanya seperti keripik, dengan nlkmatnya anak
muda itu mengunyah keripik ekor ikan itu. Ia pun
gembira melihat Hong Man-thian makan Ang-sio-hi
dengan bemafsu.
Waktu menoleh, Hong Man-thian melihat si
makhluk aneh "Jitko " berdiri di samping dan biji
lehernya naik turun, tampaknya hampir mengiler,
dengan tertawa ia berseru, "Apakah kaupun ingin
makan" Ambil saja kepala-nya! "
'Tanpa disuruh lagi segera Jitko comot kepala
ikan terus dijejalkan ke dalam mulut dan dikunyah
kulit bersama tulangnya, caranya makan sungguh
rakus serupa binatang buas saja.
"Haha., ibunya ahli masak, anaknya juga
lumayan . . . . " selagi Hong Man-thian ber-seru
memuji, mendadak suaranya berubah se-rak dan
mata melotot, ia meraung, "Wah, ce-lakal "
Langsung sebelah tangannya terus mencangkeram
ke arah Lamkiong Peng.
Karena bingung, Lamkiong Peng diam saja, tapi
gerakan Hong Man-thian itu ter-nyata bukan
menyerang malainkan merampas sisa tulang ikan
yang masih belum habis di-makan anak muda itu.
"Bangsat, aku jadi terjebak juga olehmu! "
bentak Hong Man-thian dengan beringas, langsung
ia sambitkan tulang ikan yang dirampas-nya itu ke
arah Li-losam yang memegang pan-cing dan berdiri
di pinggir kapal sana.
Namun cepat Li-losam sempat menegas. Hong
Man-thian lantas berteriak, "Makanan beracun!
Lekas binasakan kawanan bangsat ini! "
Serentak ia melompat bangun dan tongkat
berputar Tanpa ayal si makhluk aneh Jitko segera
bertindak, ia meraung serupa binatang buat terus
menerkam salah seorang anggota Hai-pa-pang itu
scakan-akan pecah nyalinya dan tidak tahu
menghindar, segera ia terpegang, kesepuluh jarinya
Jitko mencengkram masuk ulu hatinya, baru saja
ia menjerit sudah lantas binasa.
Waktu Jitko menarik tangannya, isi perut orang
itu kena dirogoh keluar seluruhnya, bahwa isi
perut korbannya terus dilalapnya serupa binatang
buas benar-benar. Kelihatan sinar matanya yang
jelilatan, mukanya penuh berlepotan darah,
sembari tertawa aneh ia menerkam lagi korban
yang lain. Keruan orang itu ketakutan setengah mati,
segera ia hendak kabur, tak terduga belum lagi
lenyap suara tertawanya, mendadak kedua mata
jitko mendelik terus jatuh terjengkang, darah
tampak mengucur dari mulutnya.
Sekali hantam Lamkiong Peng juga
membinasakan seorang lelaki lalu, bergebrak dengan
Kim Siong, tapi baru satu-dua gebrakan tibatiba
kepala terasa pening dan hampir ti-dak tahan.
Diam-diam ia mengeluh bisa ce-laka. Betapaputi ia
tidak ingin jatuh di tangan kawanan bandit ini,
segera ia bergerak hendak terjun ke laut.
Siapa tahu mendadak Tio Cin-tong sempat
menarik ikat pinggangnya, katanya sambil
menyeringai, "Huh, masa kauingin mati dengan
cnak! " Di sebelah sana secepat terbang Hong Man-thian
lantas menubruk Li-losam, melihat betapa lihai
orang tua itu, mau-tak-mau Li-losam merasa
takut. Ia tidak berani melawan tapi melompat
mundur sambil menjengek, "Hm, tua bangka,
masakah engkau tidak segera roboh"!'
Namun gerakan Hong Man-thian terlampau
cepat baginya, sekali raih baju Li-losam sem -pat
dipegangnya. Saking kagettnya Li-losam meronta sekuat nya,
"bret ", baju robek, pecah nyali Li losam, tanpa
pikir ia terjun ke dalam laut untuk menyelamatkan
diri. Serentak Hong Man-thian membalik tubuh,
tongkatnya menyambarseorang lelaki. Perawakan
ornng ini sangat kekar, mukanya juga buas, ia
bermaksud menangkis, tapi tahu-tahu dia kena
dicengkeram Hong Man-thian dan diangkat terus
dilemparkan hingga terbanting di geladak. Ia hanya
sempat meraung, segera kepala pecah dan otak
berhamburan. Tanpa berhenti Hong Man-thian
menubruk pula ke arah Kim Siong. Ia menyadari
keracunan, maka niatnya membinasakan segenap
penjahat di atas kapal. Tak terduga racun yang
masuk tubuhnya teramat banyak, obat bius ini
pun lain dari-yang lain, biarpun dia memiliki
lwekang tlnggi tetap tidak tahan. Terasa mata
birkunang-kunang, bayangan Tio Cin-tong mulai
berubah dua dan dari dua menjadi empat dan lebih
banyak lagi, semuanya melayang kian kemari di
sekitarnya. Ia tahu tidak sanggup tahan lagi, sungguh
celaka, seorang gagah perkasa harus jatuh di
tangan orang pengecut tak dikenal. Mendadak ia
meraung sambil melemparkan tongkatnya, lalu
roboh terkapar. Serangan terakhir ini
menggunakan segenap sisa tenaganya, tentu saja
dahsyat sekali.
Ketika tongkat itu menyambar tiba, Kim Siong
seperti tidak tahu cara bagaimana harus
menghindar. Rupanya nyalinya pecah saking
takutnya sehingga dia melongo seperti patung,
keruan .dadanya ditembus oleh tongkat baja dan
terpantek di lantai kapal.
Semua ini terjadi dalam sekejap, kelasi kapal


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang beruntung tidak mati menjadi ke takutan
juga, semuanya gemetar.
Yang tersisa tanpa cedera hanya si juru masak
kudisan saja yang sibuk bekerja di da-pur, ketika
mendengar ramai-ramai di geladak dan jeritan
ngeri, buru-buru ia naik ke atas untuk melihat apa
yang terjadi. Dalam pada itu Lamkiong Peng, Hong Man-thian
dan si makhluk aneh Jitko sudah roboh terkapar,
hanya burung beo saja yang masih terbang kian
kemari, dan hinggap di sa-na-sini sambil menjerit,
"Lucu . . . haha, lu-cu . . . . "
Dengan basah kuyup Li-losam merangkak ke
atas kapal lagi, setelah memandang sekeliling, ia
berucap, 'Mendingan, cuma mati empat.
Lemparkan mereka ke laut, cuci bersih papan
geladak, esok akan kubereskan mereka ber-tiga. "
Meski mengalami kejadian ini, dia -tetap tenang
saja, ia tutuk beberapa kali pada tubuh Lamkiong
Peng,. Hong Man-thian dan si makhluk aneh Jitko,
ini pun tidak mengurangi rasa kuatirnya,
ditambahi lagi ikatan tali yang ke-tat pada tubuh
ketiga tawanannya, habis ini barulah ia tinggal
pergi. Tio Cin-tong dan Iain-lain tentu saja sangat
kagum atas hasil tipu Li losam itu, mereka lantas
membersihkan lantai geladak.
Kiranya tadi Li-losam menggunakan obat bius
yang paling keras pada umpan pancing, ikan yang
dapat dikailnya itu makan umpan yang penuh
racun, karena tidak menduga akan hal ini, apalagi
Hong Man-thian melihat sen-diri ikan itu baru saja
ditangkap dari dalam laut, ang-sio hi juga diolah
sendiri oleh Lamkiong Peng, maka tanpa sangsi ia
makan ikan saus manis itu.
Tak tersangka bahwa ikan yaug dianggap-nya
pasti bersih itu justru telah ditaruhi obat bius yang
tidak dapat dipunahkan oleh sem- barangan ohat
penawar, ketika Hong Man-thian menyadari apa
yang terjadi dan ber-maksud menolak keluar racun
yang masuk tu-buh, namun sudah kasip, akhirnya
tokoh yang tidak ada bandingannya toh kena
diringkus orang tanpa berdaya.
Setelah lewat sekian lama, ketika hari sudah
pagi, Li-losam sudah kenyang tidur dan keluar dari
kamarnya, lalu ia menyuruh orang menyiram Hong
Man-thian bertiga dengan air dingin, akhirnya
barulah mereka siuman.
Segera Lamkiong Peng merasakan cahaya
matahari yang menyilaukan mata, namun tubuh
sama sekali tidak dapat berkutik.
Terdengar Li-losam mendengus, "Hm, ha-nya
dengan sedikit perangkap saja kalian lan-tas
terjebak, rupanya hanya begini saja kelihaian
kalian " Waktu Lamkiong Peng memandang ke sana,
terlihat Hong Man-thian dan si makhluk aneh Jitko
juga teringkus seperti dirinya dan tidak dapat
bergerak. Tertampak Li-losam memegang cambuk panjang,
ujung cambuk menuding hidung Hong Man-thian
dan lagi menegur, 'Eh, Hong Man-thian, apa pula
yang akan kaukatakan, konon kungfumu maha
lihai, kenapa sekarang kaupun mati kutu dan
jatuh dalam ceng-keramanku" "
Meski sudah siuman, namun sejauh ini Hong
Man-thian tidak membuka mata, kini men-dadak
ia mendengus, "Hm, akumemang sudah bosan
hidup, mau bunuh atau mau sembelih boleh
terserah kepadamu" "
"Sudah berpuluh tahun kutunggu kesempatan
seperti ini, baru gekarang kau jatuh dalam
tanganku, bila kubiarkan kaumati dengan enak
rasanya aku kan berdosa terhadap diriku sendiri, "
suaranya sbenarnya serak, tapi dua kalimat
terakhir itu mendadak berubah tajam nyaring,
Seketika Hong Man-thian terbelalak, muka
berubah pucat dan berseru, "Hah, kira-nya . . "
"Haha, bagus, akhirnya dapat kaukenali diriku,
cuma sudah terlambat! " seru Li-losam sambil
tergelak. Berbareng cambuknya meng-geletar di
udara. Mendadak Lamkiong Peng mendengar su-ara
raungan harimau, kiranya di belakangnya
adalah kurungan harimau. Tapi karena bunyi
cambuk Li-losam, harimau itu lantas mendekam
dan tidak berani bertingkah lagi.
Setelah mendengar suara Li-losam yang
melengking nyaring dan kepandaiannya menjinakkan
harimau, hati Lamkiong Peng tergerak,
tiba-tiba teringat olehnya akan seorang, seru-nya,
"Hah, Tek-ih Hujin! "
Li-losam terbahak-bahak, "Haha, bagus, kaupun
mengenali diriku! "
Sembari bicara terus berpaling kesana, waktu ia
menoleh kembali ke sini, tahu-tahu mukanya yang
dingin kaku serupa orang mati itu mendadak
berubah menjadi wajah yang cantik molek, wajah
Tek-ih Hujin yang mempesona itu.
Diam-diam Lamkiong Peng gegetun, "Pantas dia
dapat menaruh racnn pada ikan segar dan pandai
menundukkan harimau, kiranya dia samaran Tekih
Hujin. Sekarang kujatuh di tangan orang ini,
entah bagaimana nasibku nanti. "
Tek-ih Hujin lantas-mendekati Hong Man-thian,
pelahan ia meraba mukanya dan ber-kata dengan
tertawa, "Hong-lotaucu, sudah la- ma aku
merindukan dirimu, cara bagaimana akan
kuperlakukan dirimu sekarang, apakah da-pat
kauterka" "
Mendadak ia mengeluarkan sebuah botol kecil,
sambungnya, "Apa kautahu apa isi bo-tol ini" "
Hong Man-thian memejamkan mata dan tidak
menggubrisnya. Tek-ih Hujin mengerling genit, ucapnya dengan
terkekeh, "Hihi, biar kuberitahukan, isi botol ini
adalah obat perangsang lelaki yang paling kuat,
barangsiapa asalkan men-ciumnya sedikit,
seketika nafsu berahi akan berkobar. Apakah
kaumau menciumnya sedikit saja"! "
Waktu menyamar tadi mukanya kelihatan kaku
dingin, tapi sekarang setiap kali bicara wajahnya
kelihatan sangat mempersona dan menggiurkan,
gayanya itu membuat Tio Cin-tong dan Iain-lain
sama terkesima.
Namun Hong Man-thian tetap diam saja. Tek-ih
Hujin lantas menyodorkan botol kecil itu dan
berkata, "Eh, coba endus sedikit, sesudah
mencium bubuk ini, meski sekujur badan tidak
dapat berkutik, rasanya tentu luar biasa, kujamin
cngkau pasti tidak pemah me-ngalami perasaan
demikian . . . . "
Lamkiong Peng belum berpengalaman, ia tidak
tahu apa yang bakal terjadi, ia coba me-mandang
ke sana, Dilihatnya botol kecil yang dipegang Tek-ih Hujin
semakin mendekati hidung Hong Man-thian,
dengan mata terpejam Hong Man-thian tetap tidak
menghiraukannya, namun apa daya, sama sekali ia
tidak dapat bergerak.
Pada saat itulah mendadak seorang men-jerit,
harimau juga meraung kaget karena je-ritan itu,
serentak Tek-ih Hujin berpaling sehingga botol
yang dipegangnya sedikit mi ring dan isinya
tertuang setitik dan kabur ter-bawa angin.
Kiranya si juru masak kudisan itulah yang
menjerit, waktu Tek-ih Hujin berpaling, dengan
tergagap ia berkata, "Ken . . . kenapa cngkau
berubah menjadi orang perempuan" Ap .... apakah
engkau dewa yang dapat berubah wu-jud" "
Tek-ih Hujin tersenyum senang, "Kaulihat aku
cakap tidak" "
"Ya, cakap . . . cakap sekali! " jawab si kudisan
dengan menyengir.
"Mendingan kaupun dapat membedakan orang
cakap dan tidak, " ujar Tek-ih Hujin dengan
senang. "Baiklah, lekas pergi membuatkan
beberapa macam makanan enak, sebentar boleh
kaupandang diriku lebih la'ma. " Si kudisan
tertawa dan berlari pergi. Tek-ih Hujin
membetulkan rambutnya, katanya pula dengan
tertawa, "Hong-lotaucu, coba kaulihat, seorang
linglung saja mengetahui aku .... "
Belum lanjut ucapannya, sekilas diketahui-nya
seorang kelasi kekar di sebelahnya sedang
menatapnya dengan sorot mata merah beringas
serupa binatang buas lagi mengincar mangsanya
Ia terkejut dan menegur, "Kaumau apa" " Tubuh
lelaki itu tampak gemetar, muka merah beringas,
mendadsk ia pentang kedua tangan terus
menubruk maju, karena tidak ter-sangka sangka,
tubuh Tek-ih Hujin terpeluk dengan crat, dengan
kalap lelaki itu berteriak, "Kuharap . . . kuminta
engkau . . . aku tidak tahan " . . . "
Kiranya karena isi botol tadi sedikit tertuang dan
terbawa angin, lalu terisap oleh kelasi itu, obat itu
adalah obat perangsarg yang sangat keras, seketika
mengobarkan nafsu berahinya
sehingga membuatnya beringas dan
lupa daratan. Sama sekali tak terpikir oleh Tek-ih Hu-jin
bahwa kelasi itu berani merangkulnya, seketika ia
terpeluk dengan crat, dirasakan ba-dan orang
panas seperti dibakar, bagian ter-tentu juga
membuat hatinya terguncang. Pada dasarnya
perangai Tek-ih Hujin memang ca-bul, dia tidak
marah, sebaliknya malah tertawa sambil
mengomel, "Orang mampus . . . . "
"Bluk ", akhirnya dia roboh tertindih lelaki kalap
itu. Mendadak Tio Cin-tong menubruk maju, sekali
menikam dengan belatinya, kontan pung-gung
kelasi itu tertembus, bentaknya, "Berani
kurangajar terhadap Hujin"! "
Lelaki itu meraung keras, tubuh membalik dan
binasa. Muka Tek-ih Hujin tampak merah, cepat ia
melompat bangun, omelnya, "Siapa suruh
kaubunuh dia" "
Tio Cin-tong melenggong, tapi Tek-ih Hujin
lantas berkata pula, "Ah, kutahu, tentunya engkau
cemburu! "
Mendadak sebelah tangannya menampar
tehingga Tio Cin-tong jatuh terguling.
Dengan muka kereng Tek-ih Hujin menyapu
pandang sekejap para kelasi, bentaknya dengan
bengis, 'Nah, inilah contohuya! Asalkn kalian
bekerja dergan baik dan menurut perintah, tentu
akan kuberi imbalan yang setimpal. Cuma, siapa
pun tidak boleh cemburu, tahu" "
Lalu ia mendekati Tio Cin-tong dan menjulurkan
tangan. Muka Tio Cin-tong tampak pucat dan melongo
bingung. Tak terduga Tek-ih Hujin hanya meraba
perlahan pada mukanya yang digampar tadi.
mendadak ia berkata dengan tertawa,
"Lemparkan keparat itu ke laut, pergilah pegang
kemudi, kerjalah baik-baik, tahu" "
Seperti mendapat pengampunan, cepat Tio Cintong
mengiakan dan berlari pergi.
Semua kejadian i!u dapat di saksikan
olehLamkiong Peng,ia hanya geleng kepala, ia
merasa bila orang jatuh dalam cengkeraman
perempuan seperti ini, sungguh lebih baik mati
daripada hidup.
Dilihatnya si juru masak kudisan telah muncul
kembali dengan membawa enam ma-cam
hidangan, bau sedapnya sungguh menusuk
hidung. "Biarlah di sini juga kita makan siang, sembari
maksud ingin kulihat permainan si tua bangka she
Hong itu, " kata Tek-ih Hujin.
Dengan cepat para kelasi lantas mengatur meja
kursi, Tek-ih Hujin menuang secawan arak dan
dibawa ke depan Hong Man-thian katanya, "Sedap
tidak baunya"
Lalu ia mendekati Lamkiong Peng dan si
makhluk aneh serta mengiming iming arak itu di
depan hidung mereka.
Makhluk aneh Jitko menyeringai, mata pun
melotot, Tek-ih Hujin memperlihatkan botol kecil tadi,
katanya pula dengan tertawa, "Jangan kuatir, saat
ini pendirianku sudah berubah, biar kalian
merasakan dulu siksaan orang ke-laparan dan
kehausan, habis itu baru merasakan betapa
celakanya orang yang dirangsang nafsu berahi. "
Mendadak ia memberi tanda kepada Tio Cintong,
katanva, "Ikat dulu kemudinya, marilah kita


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minum bersama untuk merayakan kemenangan
ini! " Kecuali Lamkiong Peng bertiga, yang berada di
atas kapal kini tersisa tujuh orang saja, jadi tepat
untuk memenuhi satu meja.
Kawanan anggota Hai-pa-pang meski bi-asanya
sangat garang, tapi menghadapi Tek-ih Hujin,
mereka benar-benar mati kutu dan juga kebatkebit.
Yang paling senang jelas adalah Tek-ih Hujin
sendiri, bahwa musuh utama selama hidupnya kini
dapat ditawan, sungguh hal ini harus dirayakan. Ia
angkat cawan arak dan berseru, "Wahai Hong Manthian,
betapa ga-gahnya engkau dahulu ketika
membakar Ban-siu-san-ceng kami dan aku terusir
hingga tiada tempat berteduh. Dua bulan yang
ialu, di Lamkiong-san-ceng hampir juga jiwaku
melayang di tanganmu, tapi sekarang di mana
kagagahanmu" "
Sernbari berolok-olok tidak lupa pula menenggak
arah, dia memang ayu, setelah minum arak
wajahnya semakin menggiurkan.
Kawanan berandal Hai-pa-pang semua masih
takut-takut, sesudah minum secawan
arak, mereka bertambah tabah dan segera
makan minum tanpa pantang lagi.
Si juru masak kudisan sibuk naik turun
membawakan hidangan dan tambah arak, na-mun
lirikan matanya tidak pemah melepaskan gerakgerik
Tek-ih Hujin. Tiba-tiba Tek-ih Hujin berbangkit dan mendekati
Lamkiong Peng, sambil mengamati anak muda itu
ia bertanya, "Adik cilik, berapa usiamu tahun ini" "
Lamkiong Peng diam saja.
Tek-ih Hujin tertawa, katanya pula. "Ai, kenapa
malu-malu bicara dengan Taci, bila... "
Belum lanjut ucapannya, mendadak terdengar
suara gemerincing. mangkuk piring sa-ma tumpah,
ketujuh lelaki itu sama roboh ter-jungkal,
semuanya mabuk serupa orang mampus.
"Huh, manusia tak berguna, baru dua-tiga
cawan sudah menggeletak, " omel Tek-ih Hujin.
Tak terduga mendadak ia pun me-ngeluh, "Celaka!
" Cepat ia melompat ke samping si juru masak,
segera ia cengkeram pergelangan tangan-nya.
"Ada . . . ada apa" " tanya si kudisan dengan
melongo. "Budak kurang ajar! " bentak Tek-ih Hujin.
"Kauberani menaruh racun dalam arak, lekas
serahkan obat penawarnya, kalau tidak . . . . "
"Hehehehe! " tiba-tiba si kudisan terkekeh.
"Akhirnya kautahu juga" Cuma, semuanya sudah
terlambat. "
Dia menirukan ucapan Tek-ih Hujin tadi, tentu
saja air muka Tek-ih Hujin alias si nyo-nya senang
menjadi pucat seketika.
Semangat Lamkiong Peng dan Hong Man-thian
sama terbangkit juga melihat kejadian itu.
Terdengar si kudisan lagi tertawa, katanya,
"Obat ini kuterima dari kalian, sekarang kugunakan
untuk kalian, ini kan adil dan pantas" "
Di tengah tertawa juru masak itu, Tek-ih Hujin
segera roboh terkulai.
"Hehe, nyonya senang ternyata tidak lama
senangnya, " si kudisan berolok-olok pula, kelakuannya
tetap angin-anginan,
Diam-diam Lamkiong Peng merasa gegetun,
sungguh sukar dinilai dari lahiriahnya, tak terduga
orang yang bermuka jelek daa ke-lihatan bodoh ini
ternyata juga memiliki ke-cerdasan. Kecuali dia
rasanya juga jarang ada orang yang sanggup
mengelabui mata Tek-ih Hujin.
Dengan langkahnya yang lamban si juru masak
kudisan lantas mendekati Lamkiong Peng bertiga
dan membuka tali pengikatnya. Tapi karena hiat-to
mereka masih tertutuk se-hingga belum dapat
bargerak. "Budi besar tidak berani balas dengan ucapan
terima kasih, untuk selanjutnya masih diharapkan
bantuan Anda untuk membuka hiat-to kami, "
ucap Hong Man-thian dengan sungkan.
"Hiat-to apa maksudmu" " si kudisan ber-tanya
dengan ketolol-tololan.
"Ai, jika. Anda sengaja menyembanyikan
kepandaian, terpaksa aku pun tak dapat memaksa,
" ujar Man-thian dengan gegetun.
"Mana . . . mana hamba tahu hiat-to apa segala,
tapi kalau Loyacu mau memberi pe-tunjuk,
mungkin . , . mungkin bisa kucoba, " kata si
kudisan. Hong Man-thian pikir jika orang memang
sengaja berlagak bodoh, apa salahnya kukatakan
cara membuka hiat-to yang harus dilakukannya.
Maka dengan pelahan ia lantas
menguraikan bagian mana yang harus dipijat ' dan
ditutuk, juru masak yang kotor itu menuruti
petuinjuk itu dan meraba-raba tubuh Lamkiong
Peng, walaupun begitu diperlukan sekian lamanya
baru anak muda itu dapat di-bebaskan dari
kelumpuhannya. Hidung Lamkiong Peng tercium bau busuk kudis
di tubuh orang, rasanya ingin tumpah. Untung
segera ia merasa dirinya audah dapat bergerak,
tanpa tunggu lagi ia melompat ba-ngun sehingga si
kudisan tertumbuk sempoyongan.
Cepat Lamkiong Peng membuka hiat-to Hong
Man-thian yang tertutuk, begitu melompat bangun
Man-thian lantas menjura kepada si kudisan.
"Ah. Loyacu jangan banyak adat, " ujar si juru
masak dengan gugup.
"Yang kuhormati bukan karena jiwaku kau
selamatkan, tapi karena engkau telah
membeebaskan diriku dari hinaan dan aniaya
musuh, "ujar Hong Man-thian.
Tika-tiba terlihat si Jitko sedang menyeret salah
seorang kelasi tadi ke tepi kapal.
"He, akan kau apakan dia" " tegur Lam-kiong
Peng. "Buang saja ke laut untuk umpan ikan. " jawab
Jitko. "Nanti dulu,' kata Lamkiong Peng. "Apa pun juga
kita tidak sampai diperlakukan me-lampaui batas,
biarlah jiwa mereka boleh di ampuni saja, Taruh
saja mereka di dalam se-koci dan hanyutkan sekoci
itu, terserah kepada nasib mereka akan selamat
atau ditelan laut, bukan lagi urusan kita, "
Hati Lamkiong Peng memang luhur, be-tapapun
ia tidak sampai hati melemparkan orang-orang
yang belum mati itu ke laut.
Hong Man-thian menggeleng kepala atas jalan
pikiran anak muda itu. Si juru masak kudisan juga
tidak membantah, segera mereka menurunkan
sekoci dan memindahkan tujuh lelaki dan seorang
perempuan itu ke dalam
parahu kecil itu dan dihanyutkan di tengah laut.
Ketika mereka bertiga tertawan, Tek-ih Hujin
telah memerintahkan kapal berlayar kembali ke
arah semula, sekarang kapal juga tetap laju
menuju pulang. Lamkiong Peng pikir juru masak kotor ini
sungguh banyak terdapat kcanehan, ia coba tanya,
"Bila tidak keberatan, apakah boleh kami tanya
$iapa nama Anda yang sebenar-nya" "
"Ah, nama orang rendah semacam hamba mana
ada harganya untuk disebut, " jawab si kudisan
tetap dengan tertawa seperti orang bo-doh. Cuma
nama Lamkiong-kongeu justru su-dah pemah
hamba dengar dari seorang kawan-mu. "
"Hah, apa betul, siapa dia" " tanya Lamkiong
Peng. Juru masak itu memandang jauh ke sana,
katanya kemudian, "Orang itu bukan saja ka-wan
Kongeu, bahkan boleh dikatakan orang terdekat
Kongeu. " "Eh, jangan-jangan engkau kenal Liong-toakoku"
" Lamkiong Peng menegas dengan girang.
"Bukan, " kata si juru masak.
' Lantas siapa" Apakah Ciok-siko, atau Su-malopiauthau
atau Loh-sacek . . . . " begitu-lah
sekaligus la menyebut beberapa nama orang yang
ada hubungan rapat dengan dirinya, malahan
nama Kwe Giok-he, Ong So-so dan Yap Man-jing
juga disebutnya.
Namun si juru masak tetap menggeleng dan
menjawab bukan.
Lamkiong Peng menjadi bingung sendiri. la pikir
orang yang rapat dengan dirinya se-lain yang
sudah disebutkan tinggal Bwe Kim-soat yang juga
boleh dikatakan orang yang ada hubungan rapat
denganku. Tapi dia berwatak dingin, juga suka
pada kebersihan. misalnya sslama sepuluh tahun
ia tersekap di dalam peti mati, jika orang lain tentu
sudah mati konyol, tapi dia dapat keluar dengan
hidup dan pa-kaiannya masih tetap putih bersih.
Mustahil dia tidak jijik melihat orang dekil dan berbau
busuk semacam ini, apalagi mau bicara
dengan dia"
Karena itulah akhirnya ia menggeleng dan
mengaku, "Wah, rasanya aku tidak ingat lagi ada
orang lain yang ada hubungan dekat denganku. "
juru masak ia memandang jauh tanpa bicara.
sekian lama barulah itu berkata pula dengan
pelahan, "Masa selain orang-orang itu Kongeu
tidak mempunyai sahabat lain lagi" "
"Rasanya tidak . . . tidak ada lagi, " jawab
Lamkiong Peng. Juru masak itu termenung sejenak pula,
mendadak ia tertawa, katanya, "Ah, tahulah aku,
tentu orang itu sengaja mengaku sebagai sahabat
baik Kongeu. "
Lalu ia melangkah ke pinggir kapal dan
mengelamun sendiri.
Hong Man-thian yang sedang pegang ke-mudi itu
memandang Lamkiong Peng sekejap selagi dia
hendak bicara, mendadak si juru masak berteriak,
"Wah, eclaka! "
"Ada apa" " tanya Man-thian cepat.
Jura masak kudisan itu menuding badan kapal,
waktu Hong Man-thian melongok ke bawah,
seketika air mukanya juga berubah hebat. Kiranya
badan kapal yang terapung di permukaan air kini
tinggal tiga-empat ka-ki saja.
"Hah, jadi kapal ini lagi tenggelam dengan
pelahan"! " teriak Lamkiong Peng kuatir.
Hong Man-thian tidak menjawab, sekali lompat,
tubuhnya yang gede itu melayang ke
bawah kabin, Meski tongkatnya sudah terlempar
ke laut, namun gerak-geriknya tetap cepat dan
gesit. Segera Lamkiong Peng menyusul ke sana, setiba
di bawah dek, keduanya saling pandang dengan
muka pucat. Ternyata di antara celah-celah kabin
sudah mulai merembes air laut, makin lama makin
keras, sebagian barang sudah terapung di
permukaan air. Malahan rembesan air segera
berubah deras, sebentar saja sudah sebatas paha
Lamkiong Peng. "Lekas naik ke atas! " seru Man-thian.
Keduanya lantas melompat lagi ke atas geladak,
Jitko yang lagi pasang mata di puncak layar juga
merambat turun.
"Bagaimana" " tanya si juru masak dengan
kuatir. "Kapal bocor, air laut sudah merembes. masuk
dan hampir menggenangi dek bawah, tidak sampai
setengah jam lagi kapal ini akan tenggelam, " tutur
Hong Man-thian.
Juru masak itu tampak bingung, mendadak ia
mengentak kaki dan berkata. "Pantas sebelum Tekih
Hujin memperlihatkah jejaknya, setiap hari dia
pasti mendatangi dek, agaknya diam-diam dia
sudah membuat lubang di dasar kapal dan setiap
hari harus disumbat. Bilamana akal kejinya
berhasil, lubang itu tetap dibikin rapat, jika gagal
usahanya, lubang itu akan membesar dan
semuanya akan terkubur di'da-lam laut. Saat Ini
tentu penyumbat lubang itu sudah jebol dan air
laut merembes masuk dengan deras di luar tahu
kita. " "Sungguh keji amat perempuan itu, " ge-rutu
Lamkiong Peng dengan gemas. Lantas apa daya
kita" "
"Kecuali meninggalkan kapal, masa ada jalan
lain" " jengek Man-thian.
"Ai, jika aku tidak memberikan sekoji itu, tentu .
... " si juru masak juga menyesal.
"Jiwa kami diselamatkan olehmu, buat apa
engkau menyecal" " kata Man-thian. "Mati-hidup
manusia sudah tercatat lakdir, apa arti-nya mati
bagi kita. Cuma akhirnya aku tetap mati di tangan


Amanat Marga Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tek-ih Hujin, sampai di akhirat dia tetap merasa
senang, sungguh aku tidak rela. "
"Biar kuperiksa lagi, mungkin bisa . . . . " kata
Lamkiong Peng. 'Bisa apa" " ujar Man-thian, "Perbekalan dan air
minum sudah terendam air laut, biarpun
kita terapung dan tidak karam juga akan
mati kelaparan dan kehausan. "
Lamkiong Peng melenggong dan urung
melangkah pergi.
"Hong-locianpwe sungguh seorang yang tidak
gentar mati, " ujar si juru masak.
"Aku memang sudah bosan hidup, apa artinya
mati bagiku, cuma sayang, kalian yang masih
muda ini harut ikut menjadi korban, "' ucap Manthian
dengan menyesal. "Jitko, coba kaucari
beberapa guci aruk lagi, ssbelum mati marilah kita
minum sepuasnya. "
Makhluk hidup ltu tampaknya juga tidak
menghiraukan hidup atau mati, ia pergi ke bawah
dan mendapatkan dua guci arak, kata-nya,
"Tinggal ini saja. yang lain sudah pecah tertumbuk.
" Segera Hong Man-thian membuka guci arak dan
menenggak arak, kapal tenggelam dengan cepat
Pendekar Kembar 1 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Pendekar Gelandangan 3
^