Pencarian

Cinta Bernoda Darah 17

Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


Lin dan Sian Eng yang sejak tadi mendengarkan dengan heran, kini bersiap untuk menjaga diri.
Akan tetapi Bu Kek Siansu mengangkat tangan kanannya ke atas dan entah bagaimana, isyaratnya ini agaknya mempunyai pengaruh untuk menyetop kedua orang kakek jagoan itu untuk sementara.
"Mengapa kalian begini bernafsu untuk memukul orang" Daripada memukul anak-anak, kalian boleh memukul aku dan aku takkan melawan."
"Sombong! Kau tahu bahwa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong semenjak turun dari pertapaan tak pernah menemui tanding" Tua bangka, jangan kau sombong, sekali pukul kami mampu membikin tubuhmu separuh hangus separuh beku!" teriak si muka merah yang merasa dipandang rendah.
"Biarlah kalau Thian menghendaki demikian. Aku hanya ingin mewakili dua orang anak itu daripada pukulan-pukulanmu."
"Ang-bin-siauwte, mengapabanyak bicara melayani kakek gila ini" Mari kita pukul dia hendak kulihat bagaimana macam mayatnya nanti," kata Pak-kek Sian-ong. Keduanya lalu melangkah maju setindak dan dengan gerakan berbareng mereka memukul dengan pukulan jarak jauh. Biarpun tidak mengeluarkan suara apa-apa, namun dari tangan kedua orang kakek itu dengan jelas sekali tampak menyambar dua macam cahaya putih dan merah. Yang merah mendatangkan hawa panas sekali sedangkan yang putih mendatangkan hawa dingin. Dua cahaya itu bagaikan dua gulung asap menyambar ke arah tubuh Bu Kek Siansu dan.... tidak terjadi apa-apa! Tubuh tua itu masih tetap berdiri di situ, wajahnya tetap berseri, matanya membayangkan keterangan, kesabaran dan cinta kasih terhadap sesama hidup, sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa Bu Kek Siansu merasakan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Dua orang kakek muka merah dan muka putih, tetap berdiri sambil menggerak-gerakkan kedua tangan, agaknya mengerahkan tenaga dan memperkuat daya pukulannya. Namun Bu Kek Siansu tidak mempedulikan mereka, bahkan ia menghampiri Kui Lan Nikouw yang masih rebah pingsan. Pada saat gulungan cahaya kemerahan dan keputihan menyambar punggungnya, Bu Kek Siansu menggerakkan kedua tangannya ke arah tubuh Kui Lan Nikouw dan pendeta wanita itu mengeluh, bergerak, lalu bangkit duduk!
Kiranya Kui Lan Nikouw yang pingsan karena sambaran hawa pukulan kedua orang kakek sakti ketika ia menyelamatkan Bu Sin, sekarang oleh Bu Kek Siansu diobati dengan hawa pukulan yang sama, yaitu kakek sakti ini "memindahkan" hawa pukulan dua orang kakek aneh itu ke tubuh Kui Lan Nikouw dan karenanya pendeta wanita ini segera sembuh kembali. Setelah menyembuhkan Kui Lan Nikouw, Bu Kek Siansu lalu bangkit berdiri dan menghadapi dua orang kakek aneh itu kembali.
"Cukupkah kalian memukul" Belum puaskah nafsumu"
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong saling pandang dengan mata terbelalak. Apakah ilmu mereka mendadak melempem seperti kayu bakar terendam air" Mereka merasa yakin bahwa pukulan mereka mengandung tenaga sepenuhnya, hal ini terasa benar. Akan tetapi mengapa kakek yang punggungnya membawa alat yang-khim ini seperti tidak merasakan sesuatu.
"Belum, belum cukup!" Pak-kek Sian-ong membentak.
"Rasakan ini!" Lak-kek Sian-ong menyambung. Mereka lalu serentak maju dan kini mereka menyerang Bu Kek Siansu. Pukulan mereka ini hebat sekali. Batu hawa pukulannya saja mampu merobohkan lawan, bahkan Suling Emas sendiri, seorang pendekar sakti, tadi juga digencet oleh hawa pukulan mereka. Apalagi kalau pukulan itu langsung mengenai kulit lawan, dapat dibayangkan bahayanya!
Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakannya tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak melawan, tidak menangkis maupun mengelak. Ia berdiri tenang dan tegak, memandang dengan sinar mata orang tua yang menghadapi kenakalan kanak-kanak.
"Buk-buk-plak!" Beberapa kali secara bertubi-tubi telapak tangan kedua orang kakek aneh itu mengenai tubuh Bu Kek Siansu. Namun seperti juga tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak bergeming. Bahkan kedua orang kakek itu yang menjadi pucat dan mundur-mundur dengan jerih karena ketika menampar dan mendorong tadi, mereka merasa bahwa tubuh kakek sakti itu "kosong" sehingga pukulan-pukulan mereka seperti batu-batu berat yang tenggelam ke dalam laut dan tidak meninggalkan bekas.
"Mengapa kalian mundur" Sudah puaskah sekarang kalian memukulku" Kalau belum puas, boleh ditambah lagi kelak dengan mencari aku di puncak-puncak gunung. Cari saja di mana adanya Bu Kek Siansu...." Tiba-tiba kakek sakti ini lenyap dari depan dua orang kakek aneh yang tiba-tiba terbelalak matanya ketika mendengar nama Bu Kek Siansu itu, dan biarpun sudah lenyap bayangannya, namun masih terdengar suara kakek sakti itu melanjutkan kata-katanya ".... bahagialah orang yang sadar akan kekurangan, kelemahan dan kebodohan sendiri."
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sejenak tertegun seperti patung, kemudian mereka mengeluh panjang dan sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.
"Omitohud.... pinni (aku) merasa bahagia sekali mendapat kesempatan untuk bertemu kakek sakti Bu Kek Siansu dan mendengar suaranya...." Kui Lan Nikouw merangkap sepuluh jari di depan dada dan memuji-muji sebentar, kemudian ia membuka mata memandangi ketiga orang keponakannya sambil berkata. "Dan amat menggirangkan hatiku bertemu dengan Sian Eng dan Lin Lin pula di sini. Hal yang tak terduga-duga sama sekali. Akan tetapi di manakah adanya Bu Song" Benarkah dia tadi Bu Song"
Agaknya saking tertarik oleh peristiwa munculnya kakek sakti Bu Kek Siansu tadi, Lin Lin dan Sian Eng juga begitu terpesona sehingga mereka seakan-akan melupakan Suling Emas. Baru sekarang mereka menoleh dan mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan kaget. Lebih-lebih Lin Lin yang menjadi bingung sekali, Bu Song" Kakak tirinya yang sulung" Mengapa bibi guru ini menyebut-nyebut nama Bu Song"
Tiba-tiba muncul banyak orang dari balik gerombolan pepohonan, yaitu tokoh kang-ouw yang sengaja datang hendak menonton pertandingan puncak antara tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai dan bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tewas. Dari dalam gelap berkelebat bayangan orang mendekati Lin Lin sambil berkata.
"Suling Emas diculik seorang wanita baju hijau, kulihat lari ke arah sana!"
Mendengar ini, bagaikan kilat menyambar cepatnya, Lin Lin berkelebat ke arah itu, mengejar. Hatinya pasan bukan main. Bukankah wanita baju hijau itu wanita yang dipukulnya di tanah kuburan, yang kemudian dibawa pergi oleh Suling Emas" Dia tadi mati-matian membantu dan membela Suling Emas, akan tetapi wanita siluman itu malah yang sekarang menggondol kekasihnya!
"Tunggu, Lin-moi....! Aku tahu...." akan tetapi Lin Lin sudah tak mendengarnya karena sudah lari terbang cepat sekali.
Sian Eng yang kini berada dalam keadaan "normal" memegang tangan kakaknya dan bertanya, "Apa yang kau ketahui, Sin-ko"
"Tadi ada wanita baju hijau memondong Bu Song koko, ketika kukejar, dia bilang hendak menolong Koko, membawanya kepada Kim-sim Yok-ong untuk diobati."
"Ah, mari kita kejar....!" dan tiba-tiba saja Bu Sin merasa tangannya dipegang adiknya dan di lain detik tubuhnya telah terseret seperti terbang cepatnya, mengagetkan dan mengherankan hati Bu Sin yang benar-benar tidak mengerti bagaimana adiknya ini sekarang memiliki tenaga dan gin-kang begini hebat. Seperti mereka, para tokoh kang-ouw yang tadinya menjadi "penonton" kini mengelilingi Kui Lan Nikouw dan ramai membicarakan dan memuji-muji Lin Lin dan Sian Eng yang demikian berani dan gagah. Juga mereka tiada habisnya membicarakan Bu Kek Siansu yang selama hidup mereka baru sekali itu mereka lihat dan buktikan kesaktiannya yang tak dapat diukur lagi tingkatnya. Ketika mereka membicarakan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, timbul kekhawatiran besar di hati para tokoh ini karena mereka maklum kalau Suling Emas saja tidak mampu mengalahkan mereka berdua, siapa lagi yang akan dapat menahan mereka kalau mereka mengacau di dunia kang-ouw" Satu-satunya manusia yang dapat menghadapi mereka kiranya hanya Bu Kek Siansu, akan tetapi kakek sakti ini bukan manusia biasa dan tadi pun tidak mau menurunkan tangan keras terhadap kedua kakek iblis itu.
"Harap Cu-wi jangan khawatir akan hal itu," akhirnya Kui Lan Nikouw berkata dengan suaranya yang halus dan tenang, "Betapapun tingginya uap air terbang ke angkasa, akhirnya akan runtuh kembali ke bumi menjadi hujan. Betapapun pandai dam jahatnya manusia menyeleweng daripada kebenaran, akhirnya ia pun akan runtuh dan pasti ada yang mengalahkannya. Kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Maafkan, Cu-wi sekalian, pinni tidak dapat melayani Cu-wi (Anda sekalian) lebih lama bercakap-cakap karena pinni harus menyusul dan mencari keponakan-keponakan pinni tadi." Kui Lan Nikouw lalu menjura dengan hormat dam meninggalkan orang-orang yang masih ramai membicarakan peristiwa hebat tadi sampai pagi hari.
"Nona, lepaskan aku...."
Tan Lian kaget dan juga girang. Ia tadinya lari memondong tubuh Suling Emas yang pingsan. Mendengar kata-kata ini, ia segera menurunkan Suling Emas dengan hati-hati di atas rumput. Kemudian ia sendiri berlutut dam memegangi lengan pendekar itu.
"Kau tidak apa-apa" Ah syukur kepada Tuhan. Aku.... aku tadi khawatir sekali.... kalau.... kalau kau mati.... aku pun tidak mau hidup lagi...." Gadis ini lalu menelungkupkan mukanya di atas dada Suling Emas sambil menangis!
Suling Emas dengan gerakan halus mendorong pundak gadis itu, lalu ia bangkit duduk, malah terus berdiri.
"Nona Tan, harap kau suka sadar dan ingat! Insyaflah bahwa kau terseret oleh nafsu perasaan yang tidak benar. Ah, mengapa kau selemah ini"
Tan Lian kaget, seakan-akan disiram air dingin kepalanya. Ia pun meloncat berdiri dan menghadapi Suling Emas. Untung sinar bulan agak kemerahan sehingga menyembunyikan warna merah pada sepasang pipinya.
"Apa.... apa maksudmu"
Suling Emas menarik napas panjang. Berat rasa hati dan lidahnya untuk bicara akan tetapi ia maklum bahwa betapapun juga akibatnya, ia harus bicara secara terus terang kepada nona ini. Pura-pura tidak tahu hanya akan menambah berat penanggungan batin nona yang patut dikasihani itu.
"Nona," suaranya perlahan dan agak tersendat, "terus terang saja, aku telah tahu akan semua isi hatimu yang kaucurahkan di depan Kim-sim Yok-ong. Aku tahu akan semua persoalanmu dan tahu pula akan niat hatimu. Aku merasa terhormat sekali, Nona, dengan maksudmu untuk.... untuk mengubah ikatan permusuhan orang tua kita dengan ikatan.... ikatan jodoh antara kita. Akan tetapi hal itu tidak mungkin, Nona. Bukan sekali-kali karena aku tidak menghargai perasaan hatimu, akan tetapi.... aku.... aku tidak dapat menerima itu dan.... dan hendaknya kau ingat pula akan tunanganmu! Mana mungkin kita akan demikian tidak mengenal aturan sehingga mementingkan kesenangan diri sendiri dengan mengesampingkan perasaan orang lain yang terluka" Nona, kau kembalilah kepada tunanganmu, dan antara kita.... biarlah kita tetap menjadi sahabat atau saudara. Kita lenyapkan permusuhan antara orang tua kita dengan kesadaran, bukan dengan.... dengan ikatan jodoh...."
Selama bicara, Suling Emas tidak berani menentang muka nona itu. Dan memang hebat akibat kata-kata ini yang tiap kata merupakan ujung pisau beracun yang menikam jantung Tan Lian. Dengan muka pucat dan tubuh gemetar nona itu beberapa kali membuka mulutnya tanpa ada suara yang keluar. Akhirnya ia dapat memaksa mulutnya bertanya.
"Kau.... kau menolakku...." Tidak ada tikaman yang lebih hebat dan parah akibatnya bagi seorang gadis daripada tikaman berupa penolakan cinta kasih oleh seorang pemuda!
"Bukan begitu, Nona. Aku menolak karena tidak mungkin melaksanakan maksud hatimu itu. Aku.... aku tidak mempunyai niat untuk berumah tangga, di samping itu, kita harus ingat kepada tunanganmu...."
"Cukup....! Kau.... kau dua kali menghancurkan hatiku, membasmi harapanku....! Ahhh....!" Gadis itu lalu lari sejadi-jadinya sehingga tidak melihat adanya sebatang pohon yang ditabraknya begitu saja. Ia roboh terguling, merangkak bangun dan lari lagi sambil menangis.
Seluruh urat syaraf di tubuh Suling Emas bergerak mendorongnya hendak mengejar dan menghibur, namun ia mengeraskan hati. Lebih baik begini, pikirnya, lebih baik dia membenciku daripada aku harus memberi harapan yang kelak akan lebih menghancurkan hatinya. Biarlah ia pergi dengan marah, karena hanya jalan inilah yang akan mengurangi kepatahan hati gadis itu agaknya, biarlah dia membenciku, pikirnya. Akan tetapi segera terasa dadanya sesak dan cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk menahan rasa nyeri yang menyesak dada, kemudian ia lalu berlari cepat menuju ke pondok Kim-sim Yok-ong.
"Wah, kau terluka berat....!" seru Kim-sim Yok-ong dan begitu Suling Emas merebahkan dirinya di atas bangku panjang, tabib sakti itu cepat-cepat membuka baju atas pendekar itu dan memeriksanya.
"Aiiihhh! Dua orang kakek iblis itu lagi-lagi yang menurunkan tangan kejamnya!" serunya kaget. "Dua macam tenaga Im dan Yang menyerangmu. Hebat.... ganas! Baiknya tenaga sin-kang dalam tubuhmu cukup kuat, Kim-siauw-eng. Mudah-mudahan aku akan berhasil menolongmu. Tunggulah sebentar, aku membakar jarum-jarumku."
Suling Emas telentang dan mengatur napasnya. Dadanya makin sesak dan ia harus mengakui kehebatan bekas tangan kedua orang lawannya. Ia menjadi penasaran sekali, karena ia diam-diam merasa bahwa andaikata ia tidak terpengaruh oleh racun jahat Siang-mou Sin-ni, kiranya belum tentu ia akan terluka oleh pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Rasa sesalnya ini merugikannya, karena dadanya makin sesak dan untuk kedua kalinya Suling Emas roboh pingsan setelah mengeluh panjang.
Kim-sim Yok-ong mendengar keluhan dan menengok. Ia cepat menghampiri dan memeriksa. Ia cepat menghampiri dan memeriksa, mencium pernapesan Suling Emas, lalu menggeleng-geleng kepalanya, "Luar biasa sekali. Sepantasnya ini hasil kerja Siang-mou Sin-ni, racun darah yang luar biasa jahatnya. Hemmm, pendekar yang begini gagah tak boleh mati sebelum iblis-iblis berupa manusia itu lenyap dari muka bumi." Ia kembali kepada jarum-jarumnya. Dengan tekun tabib sakti itu membuat persiapan-persiapan dengan jarumnya dan sementara itu, malam sudah berganti pagi. Matahari mulai menyinar, menerobos masuk melalui jendela ruangan yang dibukanya lebar-lebar.
Mendadak berkelebat sesosok bayangan orang dan Lin Lin sudah memasuki pondok itu. Begitu melihat Suling Emas telentang di atas bangku panjang dengan muka pucat dan mata meram, ia meloncat dekat. Kemudian ia melihat kakek yang sedang membakar jarum, dan melihat banyak bahan-bahan obat di situ. Seketika harapannya timbul dan ia segera menegur.
"Kakek yang baik bagaimana dengan dia...." Ah, tolonglah dia, Kek.... kausembuhkan dia dan aku akan berlutut seribu kali kepadamu...."
Sepasang mata Kim-sim Yok-ong bersinar-sinar.
"Nona cilik, tanpa kauminta aku pun memang sedang berusaha mengobatinya. Upah berupa penghormatanmu sampai seribu kali itu terlalu melelahkan. Aku tidak pernah minta upah untuk usahaku mengobati orang." Setelah berkata demikian, Kim-sim Yok-ong melanjutkan pekerjaannya membakari jarum.
Lin Lin dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang tabib pandai, akan tetapi ia diam-diam merasa curiga. Tadi ia mendengar dari seorang diantara penonton pertandingan bahwa Suling Emas dibawa lari seorang gadis berbaju hijau, akan tetapi mengapa sekarang ia temukan di dalam pondok ini dalam keadaan pingsan" Kemana perginya gadis baju hijau" Siapa tahu, kakek ini masih ada hubungannya dengan gadis baju hijau itu. Berpikir begini, Lin Lin segera memasuki ruangan dan kamar lain, mencari-cari dan melakukan pemeriksaan! Hatinya lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa pondok itu memang tidak menyembunyikan si nona baju hijau. Ketika ia kembali ke ruangan pengobatan, kakek itu masih sibuk dengan jarum-jarumnya sedangkan wajah Suling. Emas dalam pandangan Lin Lin makin pucat saja! Mulai bingunglah Lin Lin.
"Kek, lekaslah, Kek.... mengapa kau berlambat-lambat benar" Jangan-jangan dia takkan dapat kau tolong lagi. Lihat, dia begini pucat....!" Lin Lin meraba-raba muka Suling Emas dengan jari-jari tangannya, meraba-raba dadanya dan ingin ia menangis di atas dada itu.
Ketika Kim-sim Yok-ong menengok dan menyaksikan keadaan Lin Lin demikian itu, ia segera bertanya, "Nona, apamukah Suling Emas"
"Bukan apa-apa, akan tetapi kalau aku hidup dia harus hidup pula, sebaliknya kalau dia mati aku pun tidak mau hidup lagi. Kek, kau harus tahu, kalau kau dapat menyembuhkan dia, kau pun akan hidup, sebaliknya kalau dia mati kau pun akan ikut kami!"
Sejenak sepasang mata kakek ini terbelalak, kemudian ia menggeleng-geleng kepalanya. Wah, bocah ini memiliki sifat liar, pikirnya, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi, dia mencinta Suling Emas. Teringat ia akan Tan Lian yang juga mencinta pendekar itu. Kembali Yok-ong menghela napas. Sungguh ruwet liku-liku cinta kasih dan diam-diam ia merasa kasihan kepada Suling Emas. Dicinta dara-dara "nekat" macam Tan Lian dan apalagi Lin Lin, benar-benar berabe!
Setelah selesai membakari jarum-jarumnya, Kim-sim Yok-ong lalu berjalan menghampiri Suling Emas dan mulailah ia menusuk-nusukkan jarum-jarum emas dan peraknya ke dada, leher, pundak dan bagian pusar. Lin Lin hanya menonton dari pinggir dengan hati penuh ketegangan, pandang matanya tidak pernah meninggalkan wajah Suling Emas yang masih pucat. Akan tetapi, sepuluh menit kemudian terdengar pendekar ini mengeluh panjang dan wajahnya mulai merah. Diam-diam Lin Lin girang bukan main.
Pada saat itu terdengar suara di luar pondok, "Ah, di sini agaknya!" Ketika Lin Lin menengok, makin girang hatinya karena yang datang adalah Sian Eng bersama Bu Sin. Dua orang ini tersenyum girang dan hendak menegurnya dengan kata-kata. Akan tetapi Lin Lin cepat menaruh telunjuk di depan mulut, mencegah mereka mengeluarkan suara berisik. Bu Sin dan Sian Eng ketika melihat tanda ini dan melihat seorang kakek sedang mengobati Suling Emas dengan tusukan-tusukan jarum, segera melangkah maju dengan hati-hati dan tidak mengeluarkan suara. Tiga orang muda itu segera berdiri mengelilingi Suling Emas yang terlentang di atas meja, sedangkan Kim-sim Yok-ong membungkuk dan mulai mencabuti jarum-jarumnya. Setiap kali jarum dicabut, Suling Emas mengeluh dan setelah jarum terakhir di lehernya dicabut, mulailah ia membuka kedua matanya. Ia mula-mula memandang wajah Kim-sim Yok-ong, lalu memandang Lin Lin, kemudian Sian Eng dan Bu Sin. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya sejenak, lalu mengeluh lagi, "Kepalaku.... ah, pusing...."
"Bagus, itu tandanya dua hawa pukulan yang bertentangan itu sudah mulai bergerak keluar. Lekas kau menelungkup. Bagian belakang tubuhmu mendapat giliran ditusuk!" kata Kim-sim Yok-ong dengan wajah berseri. Tanpa diperintah dua kali Suling Emas segera menelungkup di atas bangku itu, dikelilingi adik-adiknya dan si tabib sakti yang memegang jarum dengan jepitan telunjuk dan ibu jari tangan kiri, siap menusukkan ke jalan darah tertentu.
Sian Eng yang keadaannya normal kembali tiba-tiba teringat akan pelajaran yang ia baca di dalam gua di bawah tanah. Tiba-tiba ia berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan tangannya diangkat ke atas, jari-jarinya bergerak-gerak lalu meluncur ke atas punggung Suling Emas, menotoknya secara aneh sampai tiga kali beruntun, mendahului jarum di tangan Kim-sim Yok-ong! Totokan aneh itu dengan jitu mengenai pusat jalan darah di tengkuk, punggung dan pinggang.
"Auuuhhhhh....!" Suling Emas mengeluh dan membalikkan kepala menoleh.
"Hebat....! Luar biasa....!" Kim-sim Yok-ong berseru.
"Enci Sian Eng....!" Lin Lin berseru, terkejut dan marah.
"Eng-moi, apa yang kaulakukan...." Bu Sin juga membentak.
Akan tetapi secara tiba-tiba keadaan Sian Eng sudah berubah, kini ia menoleh ke arah jendela yang terbuka, matanya liar, mukanya merah padam dan mendadak ia mengeluarkan lengking aneh sekali yang seolah-olah menggetarkan seisi ruangan itu, disusul tubuhnya yang berkelebat melayang keluar jendela.
"Enci Eng....!" Lin Lin loncat mengejar.
"Sian Eng...., tunggu....!" Bu Sin juga mengejar.
Sementara itu Kim-sim Yok-ong berdiri terbelalak keheranan melihat Suling Emas sudah dapat meloncat turun dan hendak mengejar pula. Akan tetapi Suling Emas ingat bahwa ia berada dalam keadaan setengah telanjang, maka ia tidak jadi lari mengejar, melainkan cepat-cepat ia menyambar baju dan memakainya.
"Hebat, gadis itu.... ia memiliki tenaga dan ilmu mujijat! Im-yang Tiam-hoat (Ilmu Menotok Im Yang) seperti itu hanya dimiliki ketua Siauw-lim-si...." kata si tabib sakti itu.
"Dia adikku, harus kukejar. Ada sesuatu yang tidak wajar terjadi...." kata Suling Emas dan ia pun melompat keluar jendela. Akan tetapi ia mengeluh dan melompat masuk lagi, lalu duduk bersila mengerahkan sin-kang. Ketika melompat tadi, dadanya kembali sesak rasanya.
"Kau sudah sembuh sama sekali oleh totokan Im-yang Tiat-hoat tadi, akan tetapi luka di dalam dadamu belumlah sembuh benar. Tak boleh kau bergerak mengeluarkan tenaga dalam sebelum istirahat dan minum obat," kata Kim-sim Yok-ong. Suling Emas menarik napas panjang. Hebat memang akibat pukulan dua orang kakek itu. Ia sudah sembuh, akan tetapi sekali mengeluarkan tenaga gin-kang atau lwee-kang, lukanya akan terasa nyeri. Sedikitnya ia harus beristirahat dua hari sehingga lukanya sembuh betul.
Sementara itu, Lin Lin yang mengejar dengan cepat, ternyata tidak dapat melihat bayangan Sian Eng. Begitu cepatnya dan begitu anehnya gerakan Sian Eng sehingga dalam sekejap mata saja lenyaplah encinya itu. Namun Lin Lin tetap mengejar dengan hanya mengira-ngirakan arah yang dapat ditempuh encinya. Karena pengejaran yang dilakukan secara kira-kira ini, maka jurusan yang diambil Lin Lin berbeda dengan jurusan yang diambil oleh Bu Sin. Dalam mengejar saudara mereka itu kedua orang muda ini berpencar.
Setelah melalui dua buah hutan di lereng Thai-san tanpa menemukan jejak Sian Eng, Lin Lin tiba-tiba teringat akan keadaan Suling Emas dan ia menghentikan pengejarannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan diri Suling Emas. Sudah sembuhkah dia" Ataukah totokan Sian Eng, yang aneh tadi malah membahayakan keselamatan nyawanya" Lin Lin merasa khawatir sekali dan akhirnya ia berlari kembali menuju ke pondok Kim-sim Yok-ong. Kiranya ia telah menghabiskan waktu beberapa jam dalam pengejaran itu dan karena ia belum hafal akan daerah hutan-hutan Gunung Thai-san ini, ia mulai menjadi bingung ke mana ia harus mencari pondok Kim-sim Yok-ong! Lin Lin mengingat-ingat jalan yang ditempuhnya tadi dan beberapa kali ia meloncat naik ke puncak pohon tinggi untuk mencari-cari pondok si tabib sakti.
"Locianpwe.... tolonglah....! Selamatkan dia!"
Suara setengah menangis ini membangunkan Suling Emas daripada samadhinya. Ia membuka mata dan bangkit berdiri. Kim-sim Yok-ong sedang sibuk mencari daun-daun dan akar-akar obat di sebelah belakang, maka agaknya tidak mendengar suara orang di depan pondok itu. Suling Emas melangkah keluar pintu pondok dan melihat seorang pemuda kurus pucat berlutut di depan pintu pondok sambil menangis. Karena memang Suling Emas mengintai dari tempat jauh ketika pemuda ini untuk pertama kali datang ke pondok, maka ia mengenal bahwa pemuda ini adalah tunangan Tan Lian, pelajar yang bernama Thio San itu.
"Apakah yang terjadi" Ceritakan!" Suling Emas bertanya, di dalam hatinya ia merasa amat tidak enak dan kasihan karena ia merasa dirinya menjadi "gara-gara" kesengsaraan hati pemuda ini.
Thio San, pemuda itu mengangkat muka dan ia agak bingung melihat seorang laki-laki gagah yang tak dikenalnya. Ia mengharapkan pertolongan tabib sakti, bukan orang muda ini.
"Jangan ragu-ragu, sahabat. Aku tahu bahwa kau adalah tunangan Nona Tan Lian. Saudara Thio San, apakah yang terjadi" Aku adalah sahabat baik tunanganmu itu, ceritakanlah apa yang terjadi, aku menolongmu."
Pada saat itu, Kim-sim Yok-ong berjalan mendatangi dari belakang. Melihat kakek itu muncul, Thio San menangis lagi dan berkata, "Locianpwe, tolonglah dia! Dia.... dia hendak menjadi nikouw, hendak menggunting rambutnya, dan hendak bunuh diri! Saya tidak kuasa menahannya....!"
Mendengar ini, Suling Emas cepat menyambar tangan pemuda itu dan menariknya pergi. "Cepat, antarkan aku kepadanya!" Jantung Suling Emas berdebar-debar tegang, dan ia merasa khawatir sekali. Sedikit pun tak pernah ia menyangka bahwa hati Tan Lian akan sekeras itu, tak mengira bahwa gadis itu akan menempuh jalan nekat. Sambil berjalan setengah berlari biasa, tak berani ia berlari cepat, pikiran Suling Emas membayangkan keadaan Tan Lian. Mula-mula gadis itu bersumpah hendak membalaskan dendam ayahnya, kemudian gadis itu kecewa karena tidak mampu mengalahkannya, bahkan lebih celaka lagi, gadis itu jatuh cinta kepadanya. Kemudian, di depan makam ayahnya, Tan Lian bersumpah hendak memusuhi anak isteri Suling Emas, kemudian melihat kenyataan bahwa Suling Emas tidak beristeri, lalu timbul kembali cinta kasihnya dan berhasrat menghabiskan permusuhan dengan perjodohan. Akan tetapi kembali harapan ini buyar ketika Suling Emas dengan terus terang menyatakan tak dapat menerimanya.
Ia dapat membayangkan betapa hancur hati gadis itu. Kecewa, menyesal, malu, merasa terhina dan gadis yang tadinya merupakan seorang pendekar wanita, keturunan pendekar besar mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, anak berbakti, kini telah mengambil keputusan nekat untuk menjadi nikouw, bahkan hendak membunuh diri. Dan semua ini dialah yang menjadi gara-garanya. Kalau Tan Lian berhasil membunuhnya, atau kalau dia mau menerimanya sebagai isterinya, tentu takkan terjadi hal-hal ini. Akan tetapi itu bukanlah merupakan jalan keluar yang baik. Apalagi menerima gadis itu menjadi isterinya. Bukankah itu berarti merebut hak orang lain" Dan dia pun tidak ada rasa kasih terhadap Tan Lian! Sayang, seorang gadis yang baik, seorang anak yang berbakti!
Berbakti! Kata-kata ini mendatangkan ilham bagi Suling Emas. Inilah agaknya senjata yang dapat ia pergunakan untuk memecahkan persoalan Tan Lian ini.
"Mari cepat, di mana dia"
"Di depan itu, di balik gunung-gunungan batu, di tepi jurang!" kata Thio San, suaranya gemetar penuh kegelisahan. Dia ini calon suami yang amat baik, pikir Suling Emas. Dengan hati penuh cinta kasih murni, pemuda ini akan dapat mendatangkan bahagia di hati Tan Lian.
Benar saja, ketika mereka memutari gunung-gunungan batu, tampaklah Tan Lian duduk menangis, berlindung dari teriknya matahari di bawah batu yang menonjol, jurang curam yang luas terbentang tak jauh di depan.
"Lian-moi.... Thio San berseru dengan isak tertahan.
Tan Lian mengangkat mukanya dan ia meloncat karena kaget melihat Suling Emas datang bersama tunangannya. Adapun Suling Emas berdiri seperti patung, hatinya serasa tertusuk melihat gadis itu. Muka gadis itu pucat sekali, kedua pipinya basah air mata, matanya kemerahan dan kepalanya gundul plontos. Rambut yang tadinya gemuk hitam dan panjang, yang ia lihat diurai ketika gadis itu bersumpah di depan makam ayahnya, kini lenyap sama sekali. Wajah itu tetap cantik, dan kegundulan kepalanya sama sekali tidak mengakibatkan lucu, melainkan mendatangkan rasa iba.
"Kau.... kaubawa dia datang bersamamu" Kau.... kalian terlalu menghinaku! Apa gunanya hidup lagi" Gadis itu lalu beriari cepat menuju ke tepi jurang, siap hendak meloncat.
"He, tunggu dulu, Nona! Dengar dulu omonganku....!" Suling Emas berlari maju dan Thio San juga lari mengejar dengan kedua lengan dikembangkan, wajahnya makin pucat.
Di tepi jurang, Tan Lian menoleh, kedua tangannya sudah berkembang siap meloncat ke dalam mulut maut yang ternganga lebar di bawah kakinya. "Jangan dekat! Aku akan meloncat dan tak seorang pun dapat mencegahku. Mau bicara apa, boleh bicara, tapi jangan mendekat!"
Dengan hati tegang terpaksa Suling Emas menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa kalau ia mendekat lagi, gadis nekat ini akan meloncat turun tanpa mendengarkan lagi kata-katanya. Hatinya perih melihat titik-titik air mata menetes dan sepasang mata yang lebar, jeli itu memandang kepadanya penuh sesal.
"Nona Tan, ingat dan sadarlah. Pikiriah masak-masak. Apa kau tidak kasihan kepada Saudara Thio San, tunanganmu ini" Dia amat mencintamu, mencinta dengan murni, dengan sepenuh jiwa raganya. Nona, dia bersedia melupakan segala-galanya, bersedia, menerimamu dan melanjutkan perjodohan kalian. Tak seorang pun laki-laki di dunia ini yang dapat mencintamu seperti dia...."
Sepasang mata itu terbelalak memandangnya, bibir yang gemetar itu berkata lemah, "Dia.... dia...." Tertusuklah hati Suling Emas oleh pandang mata dan kata-kata ini. Ia maklum apa artinya itu. Pandang mata dan dua kata itu merangkai pertanyaan tek berbunyi, "Mengapa dia dan dia saja, mengapa bukan engkau"
"Sudahlah, pergilah kalian. Atau.... barangkali kalian ingin melihat aku terjun" Kembali Tan Lian siap untuk terjun ke depan.
"Lian-moi....! Kalau kau bertekad hendak mati, biarlah aku menemanimu ke alam baka!" teriak Thio San. Teriakan ini agaknya meragukan Tan Lian.
Melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk menghalangi maksud gadis keras hati itu, tiba-tiba suling Emas berkata keras.
"Nona Tan Lian, kau ternyata adalah seorang anak yang paling murtad dan tidak berbakti di dunia ini! Arwah ayahmu pasti akan merasa malu sekali!"
Cepat sekali Tan Lian membalikkan tubuhnya. Matanya memandang penuh kemarahan kepgda Suling Emas. "Suling Emas! Tutup mulutmu! Kau sudah menghinaku, apakah kau juga hendak menghina ayah" Tak boleh kausebut-sebut nama ayah, dan aku.... karena baktiku kepada ayah maka sampai begini!"
Suling Emas sengaja tersenyum mengejek. "Huh, orang seperti engkau ini masih mengaku berbakti kepada ayah" Kau durhaka dan tidak berbakti. Orang seperti Saudara Thio San ini, barulah bisa disebut setia dan berbakti. Ia berbakti dan menjunjung tinggi perintah ayahnya untuk menjadi jodohmu dan ia setia kepadamu sampai mati. Akan tetapi engkau" Huh, kau durhaka terhadap ayah, masih pura-pura merasa diri berbakti" Memalukan!"
"Jahanam, tutup mulutmu! Buktikan apa yang kaukatakan tidak berbakti itu, kalau kau tidak dapat membuktikan, hemmm.... aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Suling Emas tertawa memanaskan hati. "Kau sudah bersumpah membalaskan dendam ayahmu, tidak terlaksana. Hal itu masih bisa dimengerti karena ibuku yang hendak kaubalas sudah meninggal dunia, pula untuk membalas dendam itu kepadaku, memang kau tidak mampu menangkan aku. Akan tetapi ayahmu telah memilih Thio San menjadi jodohmu. Perintah ayahmu ini bukan tak dapat kaupenuhi, karena Thio San masih ada dan pemuda itu mencintamu. Mengapa kau mengingkarinya" Mengapa kau hendak melanggar janji perjodohan yang ditentukan ayahmu" Bukankah dengan demikian berarti kau menyeret ayahmu ke jurang kehinaan, sebagai orang yang mengingkari janji ikatan jodoh" Huh-huh, kukira kalau kau sekarang meloncat terjun ke dalam jurang itu dan mampus, arwahmu akan disambut penuh kemarahan dan kebencian oleh arwah ayahmu. Nah, kau loncatlah, biar kulihat!" Suling Emas berdiri tegak sambil memangku tangan.
"Kurang ajar!" Thio San berteriak sambil berlari menghampiri Suling Emas. Kemarahannya membuat wajah pemuda ini merah padam, "Kau kurang ajar sekali. berani mengeluarkan kata-kata menghina seperti itu kepada Lian-moi. Biarpun kau seorang pendekar yang pandai ilmu silat, biarlah aku yang mengadu nyawa denganmu untuk mencuci penghinaanmu!" Setelah berkata demikian Thio San menggerakkan kedua tangannya, bertubi-tubi memukuli muka dan dada Suling Emas yang menerima semua pukulan itu tanpa melawan dan dengan mata tidak berkedip.
"San-koko.... jangan....!" Thio San yang tadinya sudah merasa betapa sia-sia memukuli "manusia baja" yang seperti tidak merasakan pukulannya dan yang sebaliknya malah membuat kedua tangannya sakit itu, tercengang dan cepat menengok mendengar sebutan "koko" dari tunangannya. Ia melihat tunangannya itu menangis tersedu-sedu menutupi muka dengan kedua tangan.
"Lian-moi, dia kurang ajar!"
".... tidak.... dia benar.... Ya Tuhan.... ayah, ampunkan anakmu ini, ayah....!"
Thio San cepat maju memeluk tubuh tunangannya yang terhuyung-huyung hendak roboh. Gadis itu makin tersedu-sedu di atas dada tunangannya. "Koko.... kau.... punmaafkanlah aku...." isaknya. Thio San hanya dapat mengusap pundak gadis pujaan hatinya dengan air mata bercucuran. Ketika ia menengok, ia melihat Suling Emas sudah melangkah pergi dari situ dengan wajah berseri dan bibir tersenyum. Thio San mengejap-ngejapkan matanya menahan haru yang menguasai hatinya. Ia takkan melupakan pendekar itu, selama hidupnya. Tahulah ia sekarang bahwa sesungguhnya nyawa Tan Lian tertolong oleh Suling Emas, bukan hanya nyawa Tan Lian, melainkan juga nyawanya, kebahagiaan hidupnya! Cepat-cepat ia lalu memapah dan merangkul Tan Lian, diajak pergi meninggalkan jurang yang tetap menganga dan sunyi, seakan-akan merenungi peristiwa itu tanpa perasaan apa-apa.
Suling Emas berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia mengerti betul bahwa sungguhpun tadi ia berhasil mencegah Tan Lian membunuh diri, bukan itu saja, juga menemukan kembali dua buah hati dan mempersatukan dua kasih yang tadinya menyeleweng, namun semua hasil ini dibeli dengan pengorbanan yang cukup besar. Karena biarpun ia berhasil membelokkan cinta kasih Tan Lian kepada tempat yang wajar, kepada orang yang berhak, namun sebagai imbangannya ia membangkitkan kembali dendam gadis itu sebagai pelaksanaan daripada kebaktian terhadap ayahnya. Sumpah di depan kuburan yang tadinya terselimut oleh rasa cinta, kini muncul kembali berupa ancaman terhadap keluarga Suling Emas!
Berkali-kali Suling Emas menarik napas panjang dan karena perjalanan ini sedikit banyak mempergunakan tenaga, ia merasa dadanya sakit kembali. Dalam keadaan melamun dan nelangsa ini ia tidak tahu bahwa dirinya dibayangi orang, juga tidak tahu bahwa udara yang tadinya terang menjadi gelap oleh mendung dan angin mulai bertiup. Baru setelah ada daun-daun gugur yang tertiup angin keras menghantam mukanya, dan kain kepalanya hampir terlepas terbang dari kepalanya, ia sadar dan kaget. Ternyata cuaca sudah menjadi agak gelap dan udara yang tadinya tenang menjadi liar karena angin bertiup keras. Sebentar lagi turun hujan, pikirnya. Ia lalu membelok ke arah gunung batu di mana terdapat banyak gua-gua batu untuk berlindung.
"Suling Emas....!"
Di dalam gua ia membalikkan tubuh. Kiranya Lin Lin yang memanggilnya dan kini gadis itu yang berlari cepat sudah masuk gua, serta-merta gadis ini merangkul dan menangis, membenamkan muka ke dadanya! Suling Emas memejamkan dan mendongak ke ataS, sekuat tenaga berusaha menekan guncangan hatinya, namun sia-sia.
"Ah, betapa gelisah dan khawatir hatiku tadi.... aku sedang mengejar Enci Sian Eng ketika aku teringat akan keadaanmu. Aku hendak kembali ke pondok namun sesat jalan. Aku.... aku gelisah dan melihat kau berjalan dengan muka pucat bersama pemuda itu, aku heran dan mengikuti.... pertemuanmu dengan gadis baju hijau yang aneh. Ah, Suling Emas, betapa khawatir hatiku. Dia.... dia mencintamu dan.... ah syukurlah. Kini aku bahagia. Kiranya kau hanya mencinta aku seorang, seperti juga aku hanya mencinta engkau seorang di dunia ini....!"
Suling Emas tidak menjawab, tidak mampu menjawab karena jantungnya yang berdebar-debar seakan-akan hendak pecah itu mencekik tenggorokannya. Karena itu ia hanya dapat menggelengkan kepalanya keras-keras. Gerakan ini agaknya terasa oleh Lin Lin yang segera mengangkat muka memandang. Suling Emas menunduk, muka mereka berdekatan, dua pasang mata saling pandang. Kembali Suling Emas menggeleng kepala dan pandang matanya sayu.
Lin Lin memeluk lebih erat lagi. "Kenapa kau menggeleng kepala" Apa maksudmu hendak menyangkal" Suling Emas, betapapun kau hendak berpura-pura, hatimu tidak akan dapat menipuku, tidak akan menipumu. Debar jantungmu meneriakkan betapa kau mencintaku. Ah, jangan kaugoda aku....!" Kembali Lin Lin membenamkan mukanya pada dada yang bidang itu. Sejenak Suling Emas tenggelam ke dalam alam perasaan indah dan nikmat yang membuat ia membelai-belai rambut hitam halus dan menciuminya penuh nafsu. Biarpun mereka tak berkata-kata, dengan muka Lin Lin terbenam di dada Suling Emas dan muka Suling Emas terbenam di rambut Lin Lin, namun keduanya sama-sama tenggelam dalam kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang terbuai asmara. Mereka tidak menghiraukan bahkan tidak tahu betapa angin makin keras mengamuk di luar gua.
"Koko (kanda).... sebetulnya siapakah namamu" Lin Lin berbisik lirih.
Akan tetapi bagi Suling Emas, bisikan lirih ini seakan-akan merupakan halilintar menyambar kepalanya yang menghancurkan semua mimpi indah dan menyeretnya kembali kepada kenyataan. Dengan halus akan tetapi pasti ia memegang kedua pundak Lin Lin dan mendorong gadis itu sehingga terlepas dari padanya kemudian ia melangkah mundur dan memutar tubuhnya membelakangi Lin Lin sambil berseru keras, "Tidak.... tidak mungkin....!"
Tentu saja Lin Lin terkejut sekali dan memandang dengan muka pucat dan hati khawatir. "Ada apakah" Apa yang tidak mungkin...." katanya sambil memegang lengan Suling Emas, akan tetapi pendekar ini tetap membuang muka dan kedua matanya dipejamkan.
"Tak mungkin kita lanjutkan kegilaan ini. Lin Lin, aku.... betapapun perih rasa hatiku, aku.... aku tak mungkin begitu gila untuk menerima perasaanmu yang murni. Tak mungkin!" Kata-kata terakhir ini keluar dari mulut Suling Emas seperti keluhan dengan suara gemetar dan parau.
Lin Lin tersentak bagaikan disambar petir. Dua titik air mata meloncat turun di atas pipinya yang pucat dan sepuluh jari tangannya bergerak-gerak saling remas membayangkan hati yang bingung, perih dan gelisah.
"Kenapa...." Kenapa...." Suling Emas, bukankah kau mencintaiku" Sejak pertama kali kita bertemu di kota raja.... sikapmu selama ini.... pengakuanmu di depan gadis tadi.... bukankah itu semua membuktikan bahwa kau pun mencintaiku seperti aku mencintamu" Ataukah.... aku telah salah duga" Suling Emas, katakanlah, sebagai seorang laki-laki yang gagah, katakanlah, apakah kau menolak kasihku" Apakah kau tidak.... tidak mencintaku seperti yang kuduga"
Suling Emas bersedakap memangku lengan, ia masih membuang muka dengan mata terpejam karena tidak kuasa ia memandang wajah gadis yang bicara dengan suara begitu tergetar memilukan. Akhirnya ia dapat menjawab, suaranya lirih dan tersendat-sendat menahan goncangan hati.
"Adik Lin Lin, semata-mata bukan aku menolak cinta kasihmu, bukan pula membencimu, akan tetapi justeru aku sangat menyayangkan nasibmu kelak apabila kau menjadi jodohku. Lin Lin, engkau cantik jelita, muda remaja, engkau berhak memperoleh seorang suami yang lebih segala-galanya daripada aku. Masih banyak kesempatan bagimu untuk bertemu jodoh yang tampan dan gagah perkasa, seorang satria sejati yang tepat menjadi teman hidupmu selamanya. Aku.... ah, aku sudah tua untukmu, Lin Lin!"
Di belakang punggungnya, Suling Emas mendengar isak tangis Lin Lin. Ia mengeraskan hatinya. Apa yang ia ucapkan tadi adalah suara hatinya. Lin Lin adalah adiknya, sungguhpun bukan adik kandung dan berasal dari orang lain, namun gadis ini sudah menggunakan she (keturunan) ayahnya, bernama Kam Lin, adik Kam Bu Song, dia sendiri! Ayahnya sudah meninggal dunia, berarti dia sebagai putera sulung menjadi pengganti ayahnya. Dia adalah kakak Lin Lin, juga wakil ayah Lin Lin. Dia yang berkewajiban mencarikan jodoh untuk adiknya ini, jodoh yang tepat. Mana mungkin dia sendiri terlibat cinta kasih dengan Lin Lin! Mana mungkin dia memperisteri Lin Lin, mengambilnya sendiri menjadi jodohnya. Dunia akan mentertawakannya, arwah ayahnya akan mengutuknya, Thian akan menghukumnya. Kalau saja Lin Lin bukan bernama Kam Lin, bukan adik angkatnya, agaknya ia akan membuka kedua lengannya, karena hanya pada Lin Lin ia melihat pengganti Suma Ceng!
"Tidak....! Kau tidak tua bagiku. Aku tidak sudi menjadi jodoh orang lain. Aku hanya mencintaimu seorang! Suling Emas, apakah cinta kasih murni mengenal usia" Ah, Suling Emas, aku yakin betul akan cinta kasihmu, mengapa kau harus berpura-pura, menipu diri sendiri" Mengapa kau hendak merenggut pertalian kasih antara kita, rela merobek hatimu sendiri dan menghancurkan hatiku, hanya karena alasan usia" Tak tahukah engkau bahwa sikapmu ini mengakibatkan hati kita robek-robek berdarah, dan selama hidup akan menyiksa kita sendiri" Aku hanya mencinta engkau seorang, dan kau pun cinta kepadaku.... ah, aku mohon kepadamu.... jangan patahkan ikatan suci ini.... Suling Emas....!" Lin Lin menangis sesenggukan dan tiba-tiba ia berlutut dan merangkul kedua kaki Suling Emas!
"Jangan....! Jangan begitu....!" Suling Emas berseru kaget sambil melangkah mundur.
"Biarlah! Kaulihat. Demi cinta kasihku kepadamu, aku berlutut dan bermohon kepadamu! Aku merendahkan diri, aku bersikap hina, karena.... karena cintaku. Kau telah mengenalku, kalau bukan demi cintaku, lebih baik aku mati daripada merendahkan diri seperti ini....!" Tiba-tiba Lin Lin mengangkat mukanya dan berteriak, "Suling Emas....!" Akan tetapi pendekar itu sudah lenyap, tidak berada di dalam gua lagi. Dengan isak tertahan Lin Lin melompat keluar, disambut angin dan air hujan. Matanya sukar dibuka dan lebih sukar lagi melakukan pengejaran dalam keadaan seperti itu.
"Suling Emas....!" Berkali-kali ia menjerit, memanggil-manggil dan lari ke sana ke mari mencari pendekar itu sambil menangis. Air matanya bercucuran menyaingi air hujan. Beberapa jam kemudian tubuh Lin Lin menggeletak pingsan di antara siraman air hujan.
"Lin-moi....!" Bu Sin terkejut bukan main ketika melihat tubuh Lin Lin seperti telah tak bernyawa lagi itu di atas rumput. Cepat-cepat ia memondong tubuh adiknya dan berlari kembali ke pondok Kim-sim Yok-ong.
"Locianpwe.... tolonglah.... tolonglah adikku ini....! Kudapatkan dia seperti ini di dalam hutan....!" Bu Sin berkata dengan suara gugup kepada kakek tabib yang sedang duduk di ruangan dalam.
Kim-sim Yok-ong menghampiri Lin Lin yang rebah di atas bangku panjang di mana tadinya Suling Emas berbaring. Wajah Lin Lin pucat sekali seperti mayat, dadanya tidak bergerak seakan-akan sudah tak bernapas lagi. Hal inilah yang membuat Bu Sin kebingungan. Setelah menyentuh nadi pergelangan tangan gadis itu, Yok-ong menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang, diawasi oleh Bu Sin yang menjadi amat gelisah.
"Hemmm.... di dunia ini banyak terjadi hal-hal aneh! Entah mengapa adikmu ini sekaligus dapat terserang perasaan malu, kecewa dan duka secara berbareng. Padahal kulihat dia tadi demikian lincah gembira. Akan tetapi jangan khawatir, dia tidak apa-apa."
Bu Sin lega hatinya, namun ia sendiri terheran mendengar keterangan itu. Lin Lin merasa malu, kecewa dan berduka" Apa sebabnya" Ia memang sudah terheran-heran melihat Lin Lin. Adiknya ini tiba-tiba memiliki kepandaian yang hebat, demikian pula Sian Eng. Apakah yang terjadi dengan kedua orang adjknya" Ia belum mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap. Kini Sian Eng secara aneh sekali telah pergi entah ke mana, dan Lin Lin.... mengapa bisa begini"
"Tak usah kau khawatir, Yok-ong bilang dia akan sembuh dua tiga hari setelah beristirahat!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan Bu Sin segera menengok, kiranya bibi gurunya, Kui Lan Nikouw yang berada di situ. Kui Lan Nikouw memang tiba di pondok Yok-ong setelah orang-orang muda itu pergi. Sebagai seorang beribadat, melihat keadaan Yok-ong, Kui Lan Nikouw menjadi kagum sekali dan tanpa diminta ia lalu membantu merajang akar dan daun obat di sebelah belakang pondok sambil menanti kembalinya para keponakannya.
Nikouw ini biarpun ilmu silatnya tidak sangat tinggi, namun ia merupakan tokoh yang terkenal pula di Cin-ling-san dan tubuhnya masih kuat. Biarpun ia hanya berdiam di Cin-ling-san, bertapa dan mengajarkan ilmu batin menurut pelajaran Agama Buddha. Akan tetapi setelah lama ketiga orang murid keponakannya meninggalkan Ting-chun, ia merasa khawatir juga, lalu pada suatu hari ia meninggalkan Cin-ling-san, mencari keponakan-keponakannya ke kota raja.
Secara kebetulan sekali di tengah perjalanan ia bertemu dengan Bu Sin yang hendak mengunjungi Cin-ling-san untuk memberi laporan kepada bibi gurunya tentang mereka bertiga, juga sekalian untuk membicarakan rencana perjodohannya dengan Liu Hwee, puteri dari Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw). Girang hati nikouw ini mendengar tentang rencana perjodohan, akan tetapi di samping kegirangannya, ia pun merasa gelisah memikirkan Sian Eng dan Lin Lin, maka ia menegur keponakannya ini, "Sin-ji (anak Sin), mengapa kau tidak menanti adik-adikmu sehingga dapat pulang bersama mereka" Kau benar-benar terlalu memikirkan kepentingan sendiri. Kurasa, yang dapat menolong kita mendapatkan adik-adikmu hanyalah Bu Song yang kini ternyata menjadi Suling Emas, pendekar besar yang namanya sampai bergema di Cin-ling-san. Pinni (aku) mendengar pula tentang pertandingan besar antara Thian-te Liok-koai di Thai-san. Kurasa Suling Emas akan hadir pula di sana, maka sebaiknya kita langsung ke sana menemuinya. Setelah kita berjumpa dengan Sian Eng dan Lin Lin, baru kita beramai pergi kepada Beng-kauwcu untuk meminang puterinya."
Demikianlah, secara kebetulan sekali Kui Lan Nikouw dan Bu Sin muncul ketika terjadi pertandingan hebat di puncak Thai-san, di mana Kui Lan Nikouw roboh oleh hawa pukulan dua orang kekek sakti karena hendak menyelamatkan Bu Sin, akan tetapi secara mujijat nikouw ini ditolong oleh Bu Kek Siansu. Nikouw ini tadinya gembira sekali karena tepat seperti dugaannya, ia dapat bertemu dengan Suling Emas di puncak Thai-san, bahkan bukan hanya dengan keponakannya yang telah lama hilang ini, juga malah bertemu pula dengan Sian Eng dan Lin Lin yang telah memiliki kepandaian yang ajaib sekali. Akan tetapi kegembiraannya hanya sebentar saja karena sekarang kembali kedua orang keponakannya itu telah lenyap, bahkan kemudian Bu Sin kembali dengan Lin Lin yang berada dalam keadaan pingsan, bahkan seperti telah mati. Baiknya ada Kim-sim Yok-ong yang memberi jaminan bahwa Lin Lin tidaklah berbahaya keadaannya.
Sampai dua hari dua malam Lin Lin tidak sadarkan diri. Tak pernah membuka mata dan kadang-kadang ia mengigau tentang hal-hal yang tak dimengerti sama sekali oleh Kui Lan Nikouw maupun Bu Sin yang dengan hati-hati menjaganya. Ia sering kali mengigau tentang usia tua, tentang cinta yang bernoda darah, tentang ratu-ratu dan puteri-puteri. Sering kali ia menjerit, "Bukan karena tua, akan tetapi karena kau mencinta wanita lain!"
Hanya sedikit bubur encer yang memasuki perutnya, disuapkan ke dalam mulutnya oleh Kui Lan Nikouw. Tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat sekali, dan biarpun kedua matanya meram, akan tetapi banyak air mata keluar dari sepasang matanya.
Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali ia membuka matanya, menengok ke kanan kiri, tampaknya bingung.
"Sin-ko....! Sukouw....!" Akhirnya ia berseru ketika mengenal dua orang yang duduk di pinggir dipan. Ia bangkit duduk dan menubruk bibi gurunya sambil menangis.
Kui Lan Nikouw mengelus-elus rambutnya, penuh kesabaran, "Kau berbaringlah saja, anak baik. Kau sudah sembuh, hanya perlu beristirahat."
"Lin-moi, aku mendapatkan kau rebah pingsan di dalam hutan. Apakah gerangan yang terjadi"
Kui Lan Nikouw memberi isyarat dengan matanya kepada Bu Sin, akan tetapi pemuda ini sudah terlanjur bicara, maka nenek ini menoleh kepada Lin Lin dengan khawatir. Menurut anggapannya, tidak tepat saatnya untuk bicara tentang itu selagi Lin Lin baru saja sadar. Akan tetapi Lin Lin hanya mengerutkan kening, menggeleng kepala, matanya sayu. Ini pun hanya sebentar karena tiba-tiba matanya mengerling kepada Kui Lan Nikouw dan kembali merangkulnya.
"Ah, girang sekali bertemu denganmu, Sukouw. Bagaimanakah Sukouw bisa muncul di sini" Seperti dalam mimpi saja!"
Lega hati Kui Lan Nikouw. Kiranya Lin Lin masih biasa seperti dulu, ramah dan lincah. "Nanti kuceritakan, Lin Lin. Sekarang kau rebahlah, kau perlu beristirahat kata Kim-sim Yok-ong."
"Ah, Si Raja Obat itukah yang menolongku" Benar-benar dia patut disebut Raja Obat, dan tentang hatinya emas atau bukan, perlu diselidiki dulu." Ia tersenyum dan sudah mendapatkan kegembiraannya kembali. "Aku tidak merasa sakit apa-apa, Sukouw, hanya.... lemas dan.... dan lapar sekali! Kalau begini rasanya aku sanggup menghabiskan nasi sepanci dan ayam gemuk tiga ekor, bakmi dua kati!" Gadis ini tertawa dan Kui Lan Nikouw juga tertawa.
"Bocah nakal! Dua hari ini kaubikin hatiku penuh kekhawatiran saja." Nikouw ini girang bukan main. Akan tetapi biarpun mulutnya tersenyum, di dalam hatinya Bu Sin tidak puas. Ia terlampau kenal watak Lin Lin yang memang mudah sekali berduka dan gembira, mudah menangis mudah tertawa semenjak kecilnya. Akan tetapi kini ia melihat betapa di balik wajah berseri dan senyum melebar itu terdapat awan gelap yang membayang dari kesayuan mata adik angkatnya ini, mata sayu lesu yang hanya dapat timbul karena kedukaan yang menindih hati. Maka diam-diam ia merasa prihatin dan kasihan kepada Lin Lin, namun ia tidak berani bertanya karena ia mengenal watak Lin Lin yang takkan mau bercerita kalau tidak atas kehendaknya sendiri.
Ditemani oleh Kim-sim Yok-ong, Lin Lin bersama kakaknya dan bibi gurunya lalu makan masakan tanpa daging yang dimasak oleh Kui Lan Nikouw. Selesai makan mereka bicara tentang peristiwa yang lalu terutama sekali tentang keadaan dan sikap Sian Eng yang amat aneh.
"Sungguh aku merasa heran sekali melihat Enci Sian Eng. Mengapa ia melarikan diri dan apakah yang terjadi atas dirinya maka ia berubah seaneh itu" kata Lin Lin.
"Kau sendiri pun aneh, Lin-moi. Kulihat kau telah memiliki ilmu yang hebat sehingga berdua dengan Sian Eng kau mampu melawan tokoh-tokoh iblis. Bagaimana kau bisa mendapatkan kemajuan dalam waktu singkat dan memiliki ilmu yang luar biasa"
Lin Lin tersenyum. "Ah, kebetulan saja aku mendapatkan warisan ilmu yang tak dapat kuceritakan dari mana asalnya. Enci Sian Eng lebih hebat, dan menjadi begitu aneh, seakan-akan kumelihat sinar yang tidak sewajarnya dari mukanya."
"Sayang sekali, Bu Song juga ikut pergi dan tidak kembali sampai sekarang. Belum sempat aku bercakap-cakap dengan keponakanku itu. Ah, kurasa dia lebih mengetahui akan keadaan Sian Eng yang aneh," kata Kui Lan Nikouw.
"Siapa katamu, Sukouw" Kakak Bu Song...." Di mana dia...." Siapa...." Lin Lin bertanya dengan muka terheran-heran. Sudah dua kali ia mendengar disebutnya nama kakaknya yang sampai kini belum ia lihat itu.
Bu Sin tertawa. "Kasihan kau, Lin-moi. Sampai sekarang pun kau belum tahu dan belum dapat menduga" Aku dan Sian Eng sudah tahu. Yah, mungkin karena kau selalu terpisah dariku, maka kau tidak tahu akan rahasia ini. Suling Emas, pendekar itu, dialah sebetulnya kakak Kam Bu Song yang kita cari-cari!"
"Prakkk!" Pecahlah cangkir yang berada di tangan Lin Lin. Gadis ini bangkit berdiri, matanya terbelalak lebar ketika ia memandang kepada Bu Sin dengan sinar mata tak percaya. Kemudian ia memandang Kui Lan Nikouw dengan mata bertanya.
"Dia...." Kakakku...."
Bu Sin tertawa gembira melihat keheranan dan kekagetan Lin Lin ini. Akan tetapi Kui Lan Nikouw memandang dengan kening berkerut, karena sekarang nenek inilah yang dapat melihat bahwa gadis itu tidak hanya heran dan kaget saja. Ia segera berkata menerangkan.
"Tentu saja dia kakakmu, Lin Lin! Bu Song adalah putera sulung ayahmu dengan Liu Lu Sian. Kemudian Bu Sin dan Sian Eng adalah anak-anak ayahmu yang ke dua dan ke tiga, dari ibu mereka yaitu Souw Bwe Hwa sedangkan kau sendiri adalah...."
"Anak pungut! Aku hanya anak angkat!" Lin Lin berseru keras.
Kini Bu Sin memandang kaget. "Biarpun anak angkat, akan tetapi kau seperti anak ayah ibu sendiri, Lin-moi. Kau adik kami....!"
"Adik angkatnya! Sebetulnya orang lain!" Lin Lin kembali bersitegang sambil menggigit bibirnya yang gemetar.
"Hushhh! Mengapa kau bicara begitu" Kui Lan Nikouw menegur. "Lin Lin, kau juga puteri ayahmu, biarpun anak angkat akan tetapi kau sah menjadi keluarga Kam. Kau she (bernama keturunan) Kam dan namamu Lin...."
"Bukan!" Lin Lin sudah meloncat sekarang, dan sinar keemasan berkilauan ketika ia mencabut pedangnya. Pedang Besi Kuning! Melihat ini, Bu Sin dan Kui Lan Nikouw juga bangkit berdiri dengan muka pucat. Hanya Kim-sim Yok-ong yang tetap duduk tenang, hanya melirik sedikit ke arah Lin Lin, agaknya kejadian seperti ini sama sekali tidak aneh baginya karena ia telah mengetahui dasar-dasarnya.
"Bukan! Aku bukan apa-apa kalian, bukan apa-apanya Bu Song! Aku tidak punya she Kam, dan namaku adalah Yalina! Puteri Mahkota, Puteri Khitan, yang mulia Puteri Yalina! Aku bukan apa-apa kalian. Aku bukan adiknya, bukan adiknya....!" Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan lari keluar dari dalam pondok, pedangnya berkilauan.
"Lin-moi....!" Bu Sin hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang Kui Lan Nikouw.
"Takkan ada gunanya, Sin-ji. Sejak dulu aku sudah menduga bahwa sewaktu-waktu ia akan memenuhi panggilan darahnya. Memang dia berdarah bangsawan Khitan. Kau tidak lihat sikapnya tadi" Begitu agung seperti puteri! Biarkanlah, hatinya keras sekali dan kepandaiannya juga luar biasa, percuma saja dihalangi kehendaknya."
"Korban asmara lagi...." Kim-sim Yok-ong bicara perlahan seperti orang bicara kepada dirinya sendiri. "Penyakit orang muda yang amat sukar diobati. Percuma saja aku disebut Raja Obat, terhadap penyakit yang satu ini aku benar-benar angkat tangan...." lalu ia menarik napas panjang dan meninggalkan meja, memasuki kamarnya untuk mengaso.
Bu Sin hanya dapat saling pandang dengan bibi gurunya, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Raja Obat itu. Yang paling bingung dan sedih adalah Bu Sin. Kembali ia harus berpisah dari Sian Eng dan Lin Lin. Perpisahan yang amat aneh dan luar biasa. Sian Eng lenyap tak meninggalkan bekas sehingga sukar baginya untuk mencarinya. Akan tetapi Lin Lin biarpun pergi secara aneh dan tidak sewajarnya, dapat ia duga bahwa adiknya, adik angkat, yang luar biasa ini besar sekali kemungkinannya pergi ke Khitan! Hanya Suling Emas yang dapat ia harapkan! Suling Emas, atau kakaknya, Kam Bu Song seoranglah yang dapat ia harapkan bantuannya untuk mencari kedua orang adiknya itu. Akan tetapi, Suling Emas juga lenyap tak berbekas, ke mana ia harus mencarinya"
Sementara itu, Lin Lin berlari-lari seperti orang gila, tidak peduli ke mana kakinya bergerak membawanya, berlari sambil mengulang kata-kata, "Dia bukan kakakku.... dia bukan kakakku....!" Sampai malam gelap tiba, gadis ini terus berlari meninggalkan Pegunungan Thai-san dan akhirnya tibalah ia di sebuah hutan di kaki gunung bagian utara. Malam yang gelap tidak memungkinkan ia melanjutkan larinya. Ia menjatuhkan diri di atas rumput dan duduk termenung. Tidak menangis lagi, namun beberapa kali ia masih terisak, sedu-sedan menyelingi napasnya yang terengah-engah karena berjam-jam lari cepat tadi melelahkannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Suling Emas, penuh dengan persoalan Suling Emas.
Sambil menyadarkan tubuhnya pada sebatang pohon, Lin Lin merenung. Ia merasa yakin benar bahwa Suling Emas mencintanya. Hal ini jelas dapat ia tangkap dari pandang mata, dari kata-kata, maupun dari gerak dan belaiannya kemarin. Ia tahu bahwa Suling Emas memaksa diri menjauhinya, memaksa diri memutus rasa cinta kasih. Apakah sebabnya" Inilah yang menjadi bahan pemikirannya. Karena mereka masih bersaudara" Hanya namanya saja saudara! She Kam yang ia pakai bukanlah she-nya yang aseli. Ia tidak berdarah Kam! Tidak dari ayah, juga tidak dari ibu, tidak menghubungkan pertalian darah antara dia dan Suling Emas. Apakah karena Suling Emas betul-betul merasa telah tua" Ini pun tidak betul, karena biarpun ada selisih usia antara dia dan Suling Emas, namun pendekar itu belumlah tua, baru tiga puluh tahun lebih. Lalu, apa sebabnya dia menolaknya. Karena di sana ada wanita lain! Tapi.... ia yakin bahwa Suling Emas mencintanya.
Tiba-tiba ia teringat dan meloncat bangun! Mengapa ia hanya mengingat akan Suling Emas" Sehingga ia lupa akan Kam Bu Song" Ah, sekarang tahulah dia. Pernah ia mendengar tentang hubungan asmara antara kakaknya itu, Kam Bu Song pernah bercinta dengan puteri bangsawan adik Suma Boan. Dan Kam Bu Song adalah Suling Emas! Ah, mengapa ia begini tolol" Teringat ia sekarang akan perjumpaannya yang pertama kali dengan Suling Emas. Di dalam gedung perpustakaan di istana kaisar. Perjumpaan pertama di tempat yang agak gelap itu, di mana serta-merta Suling Emas memeluk dan menciumnya, kemudian kaget dan minta maaf, bukankah ini jelas membuktikan bahwa Suling Emas menyangka dia wanita lain, wanita yang menjadi kekasihnya, yang biasa dipeluk-ciumnya dan biasa mengadakan pertemuan rahasia dengannya" Ah, mengapa ia begitu bodoh" Terang bahwa Suling Emas mencinta wanita lain, tak salah lagi, wanita itu tentulah adik Suma Boan!
Berpikir sampai di sini, muka Lin Lin menjadi merah padam. Alangkah memalukan! Ia mencinta orang yang selama ini dicari-carinya sebagai kakaknya! Dan ia bertepuk sebelah tangan. Orang yang dicintanya sama sekali tidak membalas, karena telah mencinta orang lain. Benar-benar ia telah merendahkan diri sampai sehina-hinanya. Ia merasa malu sekali.
"Aku harus pergi jauh. Aku harus kembali ke Khitan. Aku takkan mau bertemu muka dengan dia lagi, kecuali kalau aku sudah menjadi ratu di Khitan! Baru aku suka bertemu dengan dia, sebagai ratu bukan sebagai adiknya, apalagi sebagai.... kekasihnya. Tapi sebelum ke Khitan.... aku harus melenyapkan wanita itu, wanita yang berani menolak cinta kasih Suling Emas, wanita yang berani merampas hati Suling Emas, wanita yang menjadi penghalang kebahagiaannya!" Berpikir demikian, hati panas membuat Lin Lin lupa akan kelelahannya dan bangkitlah ia, lalu melanjutkan perjalanan di waktu malam, keluar masuk hutan.
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kakinya dan kepalanya dimiringkan. Ia mendengar suara aneh. Lengking tinggi berkali-kali menggema di malam gelap. Hatinya berdebar. Suara sulingkah itu" Ia ragu-ragu. Ia tidak sudi bertemu kembali dengan Suling Emas sebelum ia menjadi ratu di Khitan. Akan tetapi.... sebelum ia pergi jauh, apa salahnya satu kali lagi saja melihat wajahnya" Keraguan meliputi hati Lin Lin, akibat daripada dua macam perasaan yang bertentangan. Namun akhirnya kakinya melangkah, seakan-akan di luar kesadarannya, menuju ke arah suara melengking-lengking, Pedang Besi Kuning sudah berada di dalam tangannya.
Ketika tiba di tempat itu, Lin Lin tertegun. Di sebuah tempat terbuka, di bawah sinar bintang-bintang yang remang-remang, ia melihat pertempuran yang hebat dan ia tersentak kaget. Siang-mou Sin-ni agaknya yang sedang bertanding, melawan seorang kakek bongkok yang bukan lain adalah It-gan Kai-ong! Akan tetapi mana mungkin" Bukankah Siang-mou Sin-ni sudah tewas, terjerumus ke dalam jurang, mati di tangan Suling Emas" Dan suara melengking-lengking itu keluar dari mulut Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi, biarpun wanita itu bertanding dengan rambut terurai, rambut itu tidak sepanjang Siang-mou Sin-ni dan wanita ini bertanding tanpa menggunakan rambutnya seperti keistimewaan Siang-mou Sin-ni! Apakah wanita baju hijau" Pernah ia melihat wanita baju hijau itu berurai rambut ketika bersumpah di depan makam ayahnya. Akan tetapi wanita itu baru-baru ini ia lihat tidak berambut lagi, sudah gundul seperti seorang nikouw! Siapakah gerangan wanita ini"
Ia mendekati dan melihat betapa wanita itu gerakan-gerakannya dahsyat dan aneh luar biasa, It-gan Kai-ong merupakan lawan yang berat, tongkatnya menyambar-nyambar mendatangkan angin keras. Akan tetapi gerakan kakek itu lamban, dan teringatlah Lin Lin bahwa kakek pengemis mata satu ini pun sudah terluka parah. Kalau tidak terluka, agaknya wanita itu bukan lawannya. Lin Lin makin mendekat dan alangkah kaget dan marahnya ketika ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sian Eng!
"Enci Sian Eng, jangan takut. Kubantu kau menghajar mampus iblis ini!" setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat ke depan, didahului sinar kuning emas pedangnya yang sudah menerjang It-gan Kai-ong dengan ganas. Maklum akan kelihaian lawan, serta-merta Lin Lin mainkan jurus-jurus yang ia pelajari dari ilmu rahasia dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Hebat gerakannya itu, biarpun belum matang sekali namun karena jurus-jurus itu adalah jurus sakti yang khusus diciptakan oleh mendiang pendiri Beng-kauw, Pat-jiu Sin-ong, maka hebatnya bukan main. Begitu pedangnya bergerak, It-gan Kai-ong berseru, "Uhhhhh!" Dan kakek ini terhuyung ke belakang, hampir saja perutnya termakan ujung pedang.
"Bagus, Lin-moi adikku! Mari bantu aku bikin mampus anjing ini!" teriak Sian Eng dengan gembira dan kedua tangannya melakukan serangan hebat, dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah dada kakek itu. Lin Lin tertegun karena melihat betapa kedudukan kaki dan gerakan tangan encinya itu mirip sedikit dengan ilmu barunya! Hal ini sebenarnya tidak aneh karena sebuah di antara kitab yang dipelajari Sian Eng di dalam gua adalah kitab ilmu silat Beng-kauw peninggalan Tok-siauw-kui yang tentu saja dasarnya sama dengan ilmu yang ia warisi dari Pat-jiu Sin-ong. Karena ini ia menjadi gembira dan mainkan pedangnya. Secara aneh sekali, gerakan mereka seimbang dan setelah mereka menyerang bersama, maka serangan itu merupakan rangkaian yang cocok dan daya serangannya hebat bukan main. It-gan Kai-ong yang sudah terluka parah dalam pertandingannya melawan Suling Emas beberapa hari yang lalu, menjadi terkejut sekali. Biarpun dua orang gadis itu sudah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang luar biasa, namun andaikata ia tidak terluka parah, agaknya tidaklah mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkannya. Akan tetapi, apa hendak dikata, ia terluka hebat dan luka itu belum sembuh, maka sekarang ia menghadapi keroyokan ini dengan berat. Beberapa kali ia terhuyung dan pada saat ia menangkis Pedang Besi Kuning dengan tongkat yang ia buat dari dahan pohon, kedua senjata itu saling tempel tak dapat dipisahkan lagi. Inilah saat yang celaka bagi It-gan Kai-ong karena pada detik berikutnya, pukulan tangan kanan Sian Eng dengan hebat menghantam lambungnya.
"Blukkk....!" It-gan Kai-ong memekik aneh dan mulutnya menyemburkan darah segar, lalu tubuhnya terjengkang ke belakang. Pedang Besi Kuning yang sudah terlepas dari tempelan tongkat, menyambar dan sebuah bacokan membuat pundak kiri It-gan Kai-ong hampir putus. Kakek itu roboh dan pingsan seketika.
"Adikku, pinjamkan pedangmu sebentar!" kata Sian Eng dengan suara bersorak, kemudian ia menerima Pedang Besi Kuning itu dan.... sambil tertawa-tawa seperti orang gila Sian Eng lalu menghujani tubuh It-gan Kai-ong dengan bacokan dan tusukan sehingga dalam sekejap mata saja tubuh kakek itu hancur tidak karuan macamnya lagi.
"Sudah, Enci Eng....!" Lin Lin merasa ngeri dan memalingkan mukanya. Ia merasa ngeri dan heran mengapa encinya meniadi begitu ganas. "Cukup! Dia sudah mati....!"
Akan tetapi Sian Eng terus membacok-bacok sambil tertawa-tawa sampai tubuh itu tidak merupakan tubuh manusia lagi, melainkan merupakan daging cacahan yang mengerikan. Tiba-tiba ia berhenti membacok, melempar pedangnya ke atas tanah lalu.... gadis ini menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu, sedih sekali.
Lin Lin sejenak terkesima. Kemudian ia mengambil pedangnya, membersihkannya dengan rumput dan menyarungkannya. Setelah itu ia mendekati Sian Eng, berlutut, merangkulnya dan membujuk.
"Sudahlah, Enci Eng. Mengapa kau agaknya begitu membencinya" Mengapa pula kau melarikan diri secara aneh" Ada rahasia apakah yang terjadi padamu" Ceritakanlah kepada adik...." sampai di sini Lin Lin teringat dan menyambung, "ceritakan kepadaku, apa yang kaususahkan."
Mendengar ini, Sian Eng menangis makin keras sampai tubuhnya berguncang-guncang sesenggukan ketika ia membenamkan mukanya pada rangkulan Lin Lin. Akhirnya tangisnya mereda dan ia dapat bicara, "Lin Lin, aku menangis saking girang hatiku dapat membunuh anjing ini. Dapat membunuh.... gurunya dan sekarang aku akan mencarinya. Sebelum aku dapat membunuhnya, aku tidak mau berhenti!"
Lin Lin belum dapat mengerti. "Membunuh siapa, Enci Eng"
"Siapa lagi kalau bukan murid anjing ini"
Lin Lin terkejut, terheran. Setahunya murid It-gan Kai-ong adalah Suma Boan. Memang mereka semua membenci Suma Boan, akan tetapi mengapa agaknya encinya membenci secara luar biasa" "Kaumaksudkan, Suma Boan"
Tiba-tiba meledak lagi tangis Sian Eng. "Betul! Anjing biadab itu! Keparat jahanam Suma Boan, kautunggulah pembalasanku!" Ia berteriak-teriak.
Diam-diam Lin Lin girang. Dia sendiri bermaksud mencari adik perempuan Suma Boan yang ia anggap telah merampas kekasihnya. Akan tetapi di samping kegirangannya mendapat teman encinya pergi ke kota raja, ia pun merasa heran bukan main.
"Enci Sian Eng, memang Suma Boan itu bukan manusia baik-baik dan sudah sepatutnya kita membencinya. Akan tetapi, kausebut-sebut tentang pembalasan. Apakah artinya itu"
Sian Eng merangkul Lin Lin. Pada saat itu, ia telah kembali normal. Lin Lin merapikan rambut encinya, mengatur dan menyanggulkannya kembali.
"Lin-moi, dia.... dia.... ah, tadinya aku.... aku telah gila. Aku.... aku mencintanya...."
"Hemmm...." Tapi Lin Lin menindas keheranannya, "Apa anehnya dengan itu" Wajar, Enci. Memang hati ini tidak dapat dikuasai kalau sudah menjatuhkan pilihannya."
"Tapi dia menipuku! Dia mengkhianatiku! Ah.... Lin-moi, pilihanku keliru....!"
Sambil menangis Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai dia diperalat oleh Suma Boan mencari ilmu warisan Tok-siauw-kui sampai peristiwa di dalam perahu di mana ia dinodai oleh pemuda bangsawan yang berwatak kotor itu.
Berdiri sepasang alis Lin Lin, ia mempertemukan giginya dengan penuh kegemasan sambil berkata, "Bedebah! Dia patut dibasmi! Mari kubantu kau, Enci Sian Eng. Kita cari dia di kota raja dan kita bunuh anjing itu, setelah itu, kita langsung pergi ke istana karena aku pun harus membunuh adik perempuan Suma Boan."
Kini Sian Eng yang memandangnya dengan mata terbelalak heran. Saking kaget dan herannya, Sian Eng lupa akan tangisnya dan dengan mata merah dan pipi masih basah air mata ia menatap wajah adiknya, bertanya, "Suma Ceng" Mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng" Aku pernah bertemu dengannya, dia itu biarpun adik dari Suma Boan, namun wataknya baik sekali, berbeda dengan kakaknya. Pula, dia adalah bekas kekasih kakak Kam Bu Song yang sampai sekarang masih mencintanya."
"Justeru itulah sebabnya mengapa aku harus membunuhnya!"
"Apa" Karena ia mencinta kakak Bu Song"
"Karena ia berani mencinta Suling Emas!"
"Eh, Lin-moi. Bagaimana itu" Apa salahnya itu" Mengapa kau marah melihat Suma Ceng mencinta...."
"Karena aku mencinta Suling Emas!" ucapan Lin Lin ini terdengar keras.
Sian Erg melongo dan sejenak tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian ia memegang lengan adiknya dan mengguncang-guncang, seakan-akan ia hendak membangunkan adiknya daripada tidur dan mimpi buruk.
"Lin-moi....! Gilakah kau" Suling Emas adalah Kam Bu Song!"
"Aku tahu!" jawabnya dingin.
Sian Eng makin bingung. "Kau tahu dan kau bilang mencintanya" Suling Emas atau Kam Bu Song adalah kakakmu...."
"Bukan! Sekali lagi bukan kakakku! Pertalian apakah yang mengikat persaudaraan kami" Dia itu kakak tiriku, memang betul. Kalian seayah lain ibu. Akan tetapi aku" Aku adalah Yalina, Puteri Yalina, Puteri Mahkota Khitan! Dia itu, juga kau, dengan aku adalah orang lain, berlainan darah. Mengapa aku tidak boleh mencinta Suling Emas"
Hening sejenak. Agaknya Sian Eng terpukul mendengar kenyataan yang benar-benar mengguncangkan hatinya ini. Sama sekali tak pernah disangkanya akan terjadi keruwetan cinta kasih semacam ini. Tadinya ia mengira bahwa dialah orang paling tidak beruntung di dunia ini, yang menjatuhkan hati secara keliru. Kiranya sekarang terjadi pertalian asmara yang lebih aneh pada diri Lin Lin.
"Hemmm, begitukah" Kau mencinta Suling Emas. Lalu, mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng" Dia sudah bersuami orang lain, sudah mempunyai anak, mengapa diganggu lagi" Bagaimana sikap Suling Emas terhadap cintamu"
Ditanya begini, tiba-tiba Lin Lin menangis! Keadaan menjadi terbalik sama sekali. Sekarang Lin Lin yang menangis dan Sian Eng memeluknya, menghiburnya. Kemudian, di antara isak tangisnya, Lin Lin yang menceritakan pengalamannya, betapa secara aneh Suling Emas menolak cintanya dengan alasan sudah tua, alasan yang sama sekali tidak dipercayanya karena ia yakin bahwa kakak angkatnya itu juga mencintanya.
"Tentu karena gara-gara Suma Ceng itulah maka ia tidak membalas cintaku, atau lebih tepat ia memaksa diri memutuskan pertalian asmara denganku. Enci Sian Eng, biarpun kita bukan saudara sedarah, namun semenjak kecil kita berkumpul. Aku akan membantumu membunuh Suma Boan, kemudian kau membantu aku membunuh Suma Ceng. Setelah itu, aku akan pergi ke Khitan untuk merampas kedudukan ratu yang menjadi hakku. Nah, bagaimana" Apakah kau mau ikut denganku" Aku akan tetap menganggapmu sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita yang menderita karena asmara ini bersama-sama menghadapi segala hal, sehidup semati."
Sian Eng terharu, merangkulnya dan kedua orang gadis itu bertangisan. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu tempat yang amat menyeramkan karena di situ terdapat onggokan daging tulang dan darah It-gan Kai-ong yang sudah tidak dapat disebut mayat lagi, dan tak lama setelah kedua orang gadis itu pergi, burung-burung liar beterbangan datang untuk menyantap hidangan yang lezat bagi mereka ini!
Sementara itu, terjadi perubahan besar di Kota Raja Kerajaan Sung. Kaisar Sung Thai Cu, Kaisar Kerajaan Sung pertama, telah menyerahkan tahta kerajaan kepada adiknya sendiri yang berjuluk Kaisar Sung Thai Cung juga melanjutkan politik pemerintahan kakaknya, namun dibandingkan dengan Sung Thai Cu kaisar ke dua ini lebih berhasil kemudian Sung Thai Cung berani mempergunakan tangan besi terhadap para pejabat tinggi yang melakukan penyelewengan, tidak mudah dijilat oleh sikap memuji-muji, dan di samping ini, memperkuat pasukan kerajaan dalam persiapan menggempur kerajaan-kerajaan kecil yang sampai saat itu belum juga mau tunduk dan belum mengakui kekuasaan Kerajaan Sung.
Berbeda dengan jaman kerajaan yang sudah-sudah, terutama di jaman Kerajaan Tang yang sering kali terjadi perebutan kekuasaan dan perang saudara di kala tahta kerajaan berpindah tangan, pemindahan kekuasaan dan penggantian kaisar kali ini terjadi dengan aman dan tidak terjadi sesuatu keributan. Hal ini adalah karena kebijaksanaan Kaisar Sung Thai Cu yang dalam hal ini melaksanakan anjuran ibunya, yaitu menyerahkan kekuasaan dan mengangkat adiknya sendiri sebagai penggantinya. Andaikata ia tidak bijaksana dan memaksa untuk mewariskan tahta kerajaan kepada putera-puteranya yang kurang pengalaman, pasti hal ini akan menimbulkan kekeruhan, mendatangkan perebutan kekuasaan dan perang saudara, seperti yang sudah-sudah.
Kaisar yang baru, Sung Thai Cung, adalah seorang yang luas pandangan dan bijaksana. Namun tindakannya yang pertama, yaitu membersihkan petugas-petugas negara yang korup dan nyeleweng, sedikit banyak menimbulkan keributan pula dari para pembesar yang melakukan perlawanan. Betapapun juga, mereka ini semua dapat ditundukkan dan diseret ke dalam penjara, bahkan banyak di antaranya yang diberi hukuman mati. Biarpun peristiwa pembersihan ini melegakan hati rakyat, namun mengubah suasana di kota raja. Karena terlalu banyak pembesar korup dibunuh, dan juga karena memang hampir semua petugas tadinya menyeleweng, banyak di antara mereka yang melarikan diri sebelum tertangkap, dan mereka yang masih berani tinggal di kota raja dengan harapan takkan diketahui dosa-dosa mereka yang lalu, tidak pernah berani keluar rumah, takut ada jari telunjuk menudingnya. Inilah yang membuat kota raja menjadi sunyi. Tidak ada lagi pembesar, lama maupun baru, yang berani berfoya-foya dan berpelesir seperti yang sudah-sudah.
Keadaan di kota raja ini mempengaruhi pula keadaan kota-kota besar lain, terutama sekali yang berdekatan dengan kota raja, seperti kota An-sui. Kota ini pun menjadi sepi dan banyak pembesarnya melarikan diri atau ditangkap.
Gedung besar Pangeran Suma Kong tetap berdiri megah dan pangeran tua ini tidak mau melarikan diri. Memang ia dahulu terkenal sebagai seorang pangeran yang korup dan banyak makan uang negara. Akan tetapi sudah bertahun-tahun ia tidak memegang tugas lagi karena dipecat dan tidak diperbolehkan bertempat tinggal di kota raja oleh kaisar pertama. Selain merasa bahwa dia sekarang sudah "bersih", juga dengan adanya Suma Boan yang amat terkenal, tentu saja keluarga bangsawan Suma ini tidak merasa takut. Bahkan Suma Boan mengumpulkan anak buahnya, yaitu para buaya dan tukang pukul yang memiliki kepandaian, untuk menjaga gedungnya siang malam. Di luar gedung, di setiap pintu, di atas genteng di sebelah kanan kiri dan belakang, semua terjaga dengan kuat siang malam sehingga gedung Pangeran Suma itu seakan-akan berubah menjadi sebuah benteng.
Setiap hari para penjaga yang bertugas menjaga di pekarangan depan yang luas dari gedung itu, melewatkan waktu menganggur dengan latihan-latihan ilmu silat atau olah raga lain yang maksudnya selain untuk berlatih juga sebagai "pamer kekuatan" untuk membangun ketabahan sendiri dan untuk mengecilkan hati golongan yang hendak memusuhi Pangeran Suma. Di situ terdapat delapan belas macam senjata dan juga besi-besi dan batu-batu besar yang mereka angkat dan lempar-lemparkan ke atas untuk mendemonstrasikan tenaga mereka. Penjagaan yang amat ketat ini dilakukan siang malam sehingga keluarga itu seakan-akan mempunyai barisan sendiri yang terdiri dari seratus orang lebih yang melakukan penjagaan secara bergiliran.
Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa, belasan orang penjaga di pekarangan depan itu bermain-main di pekarangan, mengangkat besi dan melempar-lempar batu, ada pula yang bermain silat dengan pelbagai senjata. Di antara mereka, yang mempunyai bentuk tubuh kuat dan menjadi ahli gwa-kang (tenaga luar), sengaja membuka baju untuk memamerkan otot-otot yang besar melingkar-lingkar di tubuh mereka. Kelebatan senjata tajam menyilaukan mata. Para penjaga yang bertugas di atas rumah juga ikut menonton sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
Munculnya Sian Eng di depan pintu pekarangan itu sekaligus menghentikan semua kegiatan olah raga. Semua mata mengincar keluar dan senyum lebar menghias semua mulut para penjaga itu, senyum dan pandang mata kurang ajar karena memang pemandangan di pagi hari ini menyedapkan mata. Pakaian Sian Eng yang ringkas membungkus tubuh yang langsing padat, wajah yang cantik jelita dengan hiasan rambut yang hitam halus disanggul ke atas, gerakan yang lemah gemulai, semua ini merupakan daya penarik yang mengagumkan hati semua laki-laki.
Sudah lazim di dunia ini, apabila melihat seorang wanita cantik, timbul kegembiraan di hati pria. Kalau pria itu hanya sendirian, tentu tidak berani ia mengumbar kekurangajarannya dan akan menyimpan kekagumannya dalam pandang mata dan senyum. Kalau pria itu memang berwatak bersih, ia hanya akan menyimpan kekagumannya di dalam hati. Akan tetapi kalau banyak laki-laki yang memang wataknya kasar sedang berkumpul, tentu akan timbul kekurangajaran mereka dan mulailah para penjaga ini tertawa-tawa.
"Aduhhhhh.... cantiknya....!"
"Wahai.... siapakah begitu bahagia memiliki bidadari ini"
Demikian bermacam-macam teriakan yang terdengar dari mulut mereka, bahkan di antara mereka ada yang mulai pula melempar-lempar batu dan mengangkat-angkat besi berat untuk pamer dan berusaha menarik perhatian gadis cantik ini. Namun Sian Eng tidak pedulikan itu semua, kakinya langsung melangkah masuk dengan tenang.
Melihat gadis itu betul-betul memasuki pekarangan, kegembiraan mereka memuncak dan seorang di antara mereka, komandan jaga, segera melangkah maju bertanya, suaranya digagah-gagahkan, "Nona, kau hendak mencari siapakah" Siapa diantara kita yang hendak kau jumpai" Heee, teman-teman! Adakah di antara kalian yang mengenal Nona ini" kata-kata ini diteriakkan si komandan jaga dengan nada tidak percaya.
"Aku....!"
"Aku kenalannya!"
"Ah, akulah sahabat baiknya!"
"Heee, jangan mengacau! Dia tentu memilih aku!" teriak pula seorang penjaga yang bertugas di atas genteng.
"Pilihlah aku, Nona. Habis bulan semua gajiku akan kuserahkan padamu seluruhnya!" teriak pula seorang yang tubuhnya tinggi besar.
"Ha-ha, jangan percaya! Tentu sebagian sudah ia selundupkan ke tangan isterinya yang pertama!"
Ramailah suara para penjaga, bahkan banyak diantaranya yang mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak sopan. Akan tetapi Sian Eng tetap tenang tidak mempedulikan mereka, bahkan tersenyum sedikit, senyum yang sebenarnya merupakan senyum sedih akan tetapi karena memang ia manis sekali kalau tersenyum, maka senyum ini mendatangkan teriakan-teriakan baru yang lebih riuh. Sian Eng menanti sampai hiruk-pikuk itu reda, baru ia berkata.
"Aku ingin bertemu dengan Suma Boan."
Semua suara sirap seketika dan semua mata memandang penuh curiga, penuh selidik. Semua penjaga ini mengenal belaka kongcu mereka dan mengenal pula wanita-wanita yang mempunyai hubungan dengan putera pangeran itu. Akan tetapi mereka belum pernah melihat Sian Eng, oleh karena itu mereka menjadi curiga.
"Mengapa mencari Suma-kongcu" Apakah kau kenal dia" tanya si komandan matanya memandang penuh selidik.
Sian Eng mengangguk, "Aku kenal dia, harap suka panggil dia keluar."
Seorang penjaga yang bertelanjang dada, yang tubuhnya tegap dan kuat, melangkah maju. "Nona cantik, mengapa mencari Kongcu" Apakah kita ini tidak cukup hebat" Kau tinggal pilih. Lihatlah aku, hemmm, kalau kau menjadi kekasihku, kau akan aman. Lihat betapa kuatnya aku!" Ia lalu membungkuk, kedua lengannya bergerak mengangkat sebuah batu besar. Otot-otot di tangannya melingkar-lingkar dan menonjol keluar ketika ia melemparkan batu itu ke atas, disambut dan dilemparkan lagi berkali-kali, seakan-akan seorang anak kecil bermain-main dengan sebuah bola karet yang ringan. Akhirnya ia membanting batu seberat seratus kati lebih itu ke atas tanah, ke depan Sian Eng, sambil mengangkat dada dengan penuh kebanggaan.
Sejak tadi sebetulnya hati Sian Eng sudah panas dan marah, akan tetapi ditahan-tahannya. Pikirannya sedang normal maka ia dapat mempergunakan kesabarannya, apalagi memang kedatangannya ini sudah ia rencanakan bersama Lin Lin. Mereka sudah beberapa malam mengitari gedung akan tetapi tidak melihat jalan aman untuk memasuki gedung. Demikian ketat penjagaan di situ dan mereka berdua maklum bahwa menghadapi Suma Boan saja sudah berat, apalagi kalau dikeroyok banyak penjaga dan siapa tahu di dalam gedung itu bersembunyi pula orang-orang sakti yang membantu Suma Boan. Akan tetapi menyaksikan lagak orang-orang ini, Sian Eng hampir tidak kuat menahan kesabaran hatinya. Ia melangkah maju mendekati tempat itu, kaki kirinya bergerak dan.... batu besar itu terlempar ke arah penjaga bertelanjang dada yang sedang membusungkan dadanya itu.
"Uhhhhh....!" Orang itu berseru kaget, terpaksa menerima batu itu, namun ia tidak kuat menahan dan tubuhnya terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Untung batu itu segera ia lempar ke samping sehingga tidak menimpa dadanya, namun hantaman tadi cukup membuat ia terengah-engah dan dari mulutnya keluar darah!
Ributlah para penjaga itu. Makin curiga mereka karena ternyata bahwa gadis cantik ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi Sian Eng segera berkata dengan suara ketus. "Aku adalah kenalan baik Suma Boan, apakah kalian masih berani main-main" Tunggu saja kalau Kongcu kalian melihat kekurangajaran kalian, aku akan minta dia memenggal kepala kalian seorang demi seorang!"
Kata-kata ini berpengaruh sekali. Mereka segera mundur dengan muka pucat dan komandan jaga segera mengedipkan mata kepada kawan-kawannya, kemudian ia sendiri berkata, "Maaf, karena kami tidak mengenal Nona, maka berani bersikap kasar. Harap Nona tunggu sebentar, saya akan melaporkan kepada Suma-kongcu."
Sian Eng hanya mengangguk, kemudian ia menghampiri penjaga yang masih duduk terengah-engah. "Kau tidak lekas berlutut" bentaknya.
Penjaga yang sial ini sudah mendengar juga tadi pengakuan gadis lihai ini sebagai kenalan baik Suma-kongcu, maka dengan menahan rasa sakit dan hati penuh rasa takut akan kemarahan majikannya, ia segera berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala minta ampun. Tiba-tiba mereka semua, para penjaga itu, menjadi ngeri den merasa serem karena gadis cantik itu tertawa meleking aneh dan terdengar bukan seperti suara ketawa manusia. "Pergilah!" kaki Sian Eng bergerak dan penjaga itu terlempar beberapa meter jauhnya, bergulingan seperti sebuah bola ditendang. Anehnya, ia merasa dadanya tidak sesak lagi, maka cepat ia meloncat berdiri, mengangguk dengan hormat dan mengundurkan diri!
"Moi-moi....!" Pada saat itu Suma Boan muncul dari pintu samping. Ketika menerima laporan bahwa seorang gadis cantik yang amat lihai datang mencarinya, Suma Boan menjadi curiga dan mengintai dengan jalan memutar, dari pintu samping. Akan tetapi begitu melihat bahwa yang datang adalah Sian Eng, hatinya berdebar keras. Tentu saja ia menjadi curiga dan menyangka buruk. Akan tetapi, karena Sian Eng hanya datang seorang diri, timbul ketabahan hatinya, dan pula memang ia merasa suka kepada gadis cantik yang ia tahu amat mencintanya ini. Maka dengan hati berdebar dan sikap waspada, pemuda ini lalu muncul dan memanggil dengan suara penuh kasih sayang, wajah berseri, akan tetapi sinar matanya penuh selidik menatap wajah yang cantik jelita dan agak pucat itu.
"Koko....!" Sian Eng juga berseru dengan suara tertahan, seakan-akan ia merasa girang dan terharu, mukanya tiba-tiba menjadi merah seperti orang malu dan jengah. "Aku.... aku ingin bicara penting denganmu....!"
Berdebar-debar jantung Suma Boan. Akan tetapi pandang matanya masih penuh selidik, ingin ia menjenguk isi hati gadis itu. Ia tahu bahwa Sian Eng mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa gadis itu bisa mendendam kepadanya dan bisa membenci karena perbuatannya terhadap gadis itu di dalam perahu. Tentu saja ia tidak mencinta dengan setulus dan sejujurnya hati terhadap Sian Eng, melainkan mencintanya karena gadis itu memang cantik jelita. Bagi seorang laki-laki semacam Suma Boan, ia selalu jatuh cinta kepada wanita cantik, berapapun banyaknya, cinta yang berdasarkan nafsu berahi, cinta yang berdasarkan ingin menyenangikan diri sendiri. Di samping kecantikan Sian Eng, juga gadis ini telah menemukan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui yang amat ia inginkan.
Namun Suma Boan adalah seorang laki-laki yang sudah banyak pengalamannya, pula ia terkenal cerdik, maka ia masih saja menaruh curiga. Tentu saja ia cukup percaya akan kepandaian sendiri, tahu bahwa Sian Eng seorang diri saja takkan mampu berbuat buruk terhadapnya, akan tetapi ia sudah membuktikan keadaan aneh gadis ini yang seakan-akan telah menemukan ilmu dan memilikinya secara hebat, sungguhpun belum sempurna benar.
"Koko, aku mau bicara tentang.... kitab...." Seketika wajah Suma Boan berseri. Keinginannya mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui amat besar, apalagi pada waktu sekarang setelah keadaan pemerintahan di kota raja terjadi perubahan dan ia merasa betapa kedudukan keluarga ayahnya terancam, ia ingin sekali mendapatkan kitab-kitab itu dan mewarisi kepandaian yang akan membuat ia menjadi seorang jagoan nomor satu yang ditakuti semua lawan.
"Moi-moi...., aku girang sekali kau datang. Marilah kita bicara di dalam....!" Ia melangkah maju, memegang lengan Sian Eng dan menggandengnya. Sian Eng menurut saja dan berjalanlah mereka bergandengan tangan menuju ke ruangan dalam, melewati pagar penjaga yang berdiri tegak tanpa berkedip. Suma Boan yang menggandeng dan merapatkan tubuhnya merasa betapa jantung di dalam dada gadis itu berdebar-debar keras. Diam-diam ia merasa bahagia sekali karena mengira bahwa gadis ini terlalu girang bertemu dengannya.
Setelah mereka memasuki ruangan sebelah dalam, Suma Boan segera menarik gadis itu ke dalam sebuah kamar tamu yang indah, tiba-tiba ia memeluk Sian Eng dan menciuminya. Sejenak Sian Eng menurut saja, kemudian perlahan ia merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan Suma Boan yang makin merasa yakin bahwa gadis ini tidak marah atau benci kepadanya.
"Moi-moi, kekasihku yang tercinta," bisik Suma Boan, masih memegangi kedua tangan gadis itu, "alangkah rinduku kepadamu! Kau datang seperti seorang bidadari dari sorga yang turun ke dunia untuk menghibur hatiku. Moi-moi, aku tidak akan melepaskanmu lagi, jangan kau pergi meninggaikan aku lagi. Mari kita hidup bahagia di rumahku ini!"
"Suma-koko, kau sudah mengenal hatiku. Perkara itu belum waktunya kita bicarakan. Kedatanganku ini membawa urusan yang amat penting. Lepaskan tanganmu dan mari kita bicara baik-baik." Sian Eng menarik tangannya. Suma Boan tersenyum dan sengaja menekan jantungnya yang berdebar saking girangnya, karena di depan gadis ini ia harus menyembunyikan perasaannya bahwa ia jauh lebih "cinta" pada kitab-kitab pusaka peninggalan Tok-siauw-kui daripada diri gadis ini.
"Marilah, Adik Sian Eng, kita duduk di sana." Ia menarik Sian Eng dan keduanya lalu duduk di atas dipan yang terdapat di kamar itu. Suma Boan tetap tidak melepaskan gadis itu, duduk di sampingnya sambil memeluknya. Sian Eng tidak menolak lagi dan ia berkata perlahan.
"Koko, kau tentu maklum akan perasaan seorang gadis. Saking kaget dan duka hatiku, ketika di dalam perahu dahulu...." suaranya tersendat dan kedua pipinya menjadi merah sekali, "secara tidak sadar aku menyerangmu dan kemudian melarikan diri. Baru kemudian aku merasa betapa.... aku tak dapat hidup terpisah dari padamu, maka.... maka aku datang ke sini...."


Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Girang sekali hati Suma Boan. Ia mengelus-elus rambut kepala gadis itu lalu berkata, "Aku tahu, Moi-moi. Aku.... aku lupa daratan waktu itu saking besarnya cintaku kepadamu. Tentang kitab-kitab itu.... eh, bukankah kau tadi bilang mau bicara tentang kitab"
Wajah Sian Eng berseri dan ia tersenyum lebar. "Kitab-kitab" Ah, belum kuceritakan kepadamu bahwa setelah aku pergi dari perahu, aku memasuki lagi gua rahasia dan mengambil semua kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Kau tahu kitab-kitab apa yang kudapatkan" Kitab rahasia dari Siauw-lim-pai, kitab ilmu pedang dari Kun-lun, kitab rahasia tentang ilmu kesaktian Beng-kauw, ada pula kitab yang mengajarkan ilmu-ilmu mujijat tentang melawan maut, malah ada kubaca sepintas lalu judul sebuah kitab yang mengajarkan ilmu menghilang dan terbang!"
Seperti seorang kelaparan mendengar cerita tentang makanan-makanan lezat, Suma Boan menelan ludah, akan tetapi sebagai seorang yang cerdik ia menahan gelora hatinya ini dan cepat memeluk Sian Eng. "Ah, kekasihku yang baik. Sesungguhnya, soal kitab itu bagiku hanya soal kecil. Yang penting, yang selalu kurindukan, yang selalu kuimpikan, adalah dirimu, Adik Sayang! Akan tetapi aku khawatir sekali karena kau sudah mendapatkan kitab-kitab itu, tentu kau menjadi incaran orang-orang dunia kang-ouw. Akan lebih aman kalau kau tinggal bersamaku di sini, beserta kitab-kitab itu yang boleh kita pelajari bersama. Kita kelak akan menjadi suami isteri yang paling hebat di kolong langit! Di manakah sekarang kitab-kitab itu" Mari kita ambil dan bawa ke sini, Moi-moi."
Sian Eng tersenyum manis, biarpun hatinya penuh kebencian ketika pemuda yang ia cinta akan tetapi yang menghancurkan cinta kasihnya dengan pengkhianatan itu menciuminya mesra. "Itulah sebabnya aku datang, Koko. Kitab-kitab itu kusembunyikan di tempat rahasia. Akan tetapi aku tidak berani mengambilnya sendiri dan membawanya ke sini. Kau benar, kalau sampai ketahuan orang kang-ouw, tentu mereka akan berusaha merampasnya. Marilah kau ikut denganku ke tempat itu, tidak jauh, kita bersama mengambil kitab-kitab itu dan membawanya ke sini. Akan tetapi.... apakah betul kau akan tetap setia kepadaku" Sian Eng pura-pura memandang penuh curiga.
"Ah, Sian Eng, kekasihku, apakan kau masih tidak percaya kepadaku" Tiba-tiba pemuda itu berlutut di depan Sian Eng, merangkul kedua kakinya! Sejenak sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi. Alangkah inginnya ia menggerakkan tangan, sekali pukul ubun-ubun kepala yang tunduk di depannya itu ia akan dapat membunuh Suma Boan. Akan tetapi ia teringat akan banyaknya penjaga dan ia tentu akan terkurung dan berada dalam bahaya.
"Mari kita pergi sekarang, Koko."
"Sekarang" Mengapa tergesa-gesa" Pula, berbahaya sekali mengambilnya di waktu siang. Lebih baik malam nanti kita pergi, Adikku."
Karena tahu bahwa kalau ia mendesak, Suma Boan pasti akan menaruh curiga, gadis itu terpaksa menyetujui.
Pula, memang lebih baik pergi di waktu malam untuk melaksanakan rencananya yang sudah ia atur dengan Lin Lin ini. Ia harus berani berkorban, demi maksud hatinya membalas dendam. Hatinya perih dan makin sakit, akan tetapi Sian Eng rela menjadi permainan Suma Boan sebelum ia mendapat kesempatan menghancurkan orang yang telah membasmi kebahagiaan hatinya. Ia terpaksa menuruti kehendak Suma Boan terpaksa ia menyerah dan menahan-nahan kemuakan hatinya ketika Suma Boan membuktikan "cinta kasihnya", yang sesungguhnya bukan lain hanya terdorong nafsu semata-mata. Makin bencilah hati Sian Eng, dan ketika hari terganti malam Suma Boan menggandeng tangannya keluar dari gedung, hampir Sian Eng tak kuat menahan kebenciannya. Baru setelah mereka berjalan di dalam gelap, gadis ini mencucurkan air mata yang cepat-cepat ia usap dengan ujung lengan bajunya.
Suma Boan kini percaya betul kepada Sian Eng. Siang tadi, gadis ini menyerah ikhlas kepadanya, tanda bahwa gadis ini benar-benar datang karena cintanya. Penyerahan gadis inilah menjadi bukti baginya bahwa di balik kedatangan Sian Eng tidak ada rahasia apa-apa. Kalau tadinya ia menaruh curiga dan menyangka akan adanya jebakan, maka dengan penyerahan diri Sian Eng kepadanya, maka kecurigaan itu lenyap sama sekali. Kini ia yakin bahwa Sian Eng benar-benar mencintanya, benar-benar datang hendak menyerahkan diri sambil membawa kitab-kitab yang berharga. Maka dapat dibayangkan betapa bahagia rasa hati putera pangeran ini.
Mereka memasuki hutan yang letaknya di sebelah barat kota An-sui. Hutan yang tidak terlalu luas akan tetapi cukup gelap karena pohon-pohon besar memenuhi hutan itu.
"Baik sekali kau tidak mengajak pengawal, Koko. Urusan ini lebih baik tidak diketahui orang lain."
"Memang betul, Moi-moi. Kalau saja kau tidak membuktikan cinta kasihmu yang besar siang tadi, tentu aku akan mengajak pengawal-pengawal. Maklumlah, bukan aku kurang percaya kepadamu, akan tetapi perubahan di kota raja membuat musuh-musuhku mencari kesempatan untuk menghancurkan aku. Di manakah gua itu, Adikku"
"Di sebelah sana, sudah dekat. Mari!" Di dalam gelap itu, dengan "mesra" Sian Eng menggandeng tangan Suma Boan dan diajaknya berlari menuju ke tengah hutan. Tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah gua yang depannya tertutup oleh rumput alang-alang. Sian Eng menarik tangan Suma Boan, diajak memasuki gua yang gelap itu sambil menyingkap alang-alang yang tinggi menyembunyikan gua.
"Mari masuk, kusembunyikan di dalam situ." Mereka lalu memasuki gua yang cukup besar itu dengan jalan berindap-indap. Suma Boan mulai curiga dan bersikap waspada, akan tetapi karena tidak mendengar suara apa-apa, ia ikut dengan Sian Eng melangkah masuk ke dalam gua. Setelah mereka melangkah maju sejauh lima meter, mereka bertemu dengan dinding gua.
"Di mana kitab-kitabnya" Suma Boan berbisik.
Akan tetapi tiba-tiba Sian Eng merenggutkan tangannya. Suma Boan kaget. Gua itu gelap, ia melihat bayangan Sian Eng menjauhkan dirinya.
"Moi-moi.... di mana kau" Mana kitabnya...."
Tiba-tiba matanya silau oleh sinar api yang dibuat orang dari luar dan beberapa detik kemudian, Lin Lin yang membawa obor di tangannya telah meloncat masuk, obor di tangan kiri, pedang bersinar kuning di tangan kanan! Juga Sian Eng menyambar sebuah obor, dinyalakannya dan menaruh obor itu di sudut gua. Keadaan menjadi terang menyeramkan.
Suma Boan berdiri terbelalak. Matanya mencari-cari dan ternyata gua itu kosong sama sekali. Luasnya lima meter persegi. Di depannya kini berdiri dua orang gadis berdampingan dan menutup jalan keluar. Lin Lin dengan pedang bersinar kuning di tangannya. Sian Eng dengan kedua tangan terbuka, jari tangannya menegang, matanya terbelalak penuh kebencian. Diam-diam Suma Boan merasa ngeri juga, akan tetapi karena ia seorang laki-laki yang tabah dan berilmu tinggi, ia dapat menekan perasaannya dan pura-pura tidak dapat menduga kehendak mereka.
"Moi-moi.... adikku Sian Eng yang manis, mengapa tiba-tiba adikmu ini muncul" Dan manakah kitab-kitab yang kaujanjikan"
"Suma Boan manusia iblis! Kematian sudah di depan mata, masih pura-pura tidak tahu akan dosa-dosamu" bentak Sian Eng dengan suara gemetar saking menahan kemarahan yang meluap-luap, kemarahan dan kebencian yang selama ini memenuhi dadanya, yang selalu ditahan-tahan dan ditutupi sikap kasih sayang untuk dapat memancing dan menipu Suma Boan.
"Apa...." Eng-moi.... apakah maksudmu" Bukankah kau juga mencintaku seperti aku mencintamu" Bukankah tadi.... kau menyerahkan diri sepenuhnya dengan rela dan suka kepadaku"
"Tutup mulutmu yang kotor!" bentak Sian Eng sambil melangkah maju penuh ancaman. "Ooooohhh, betapa bencinya aku! Makin benci mendengar kata-katamu. Suma Boan manusia berhati binatang, perbuatanmu yang biadab terhadap diriku di dalam perahu telah menodai cinta kasihku, telah merobek-robek hatiku, telah mengubah cintaku menjadi benci yang sebesar-besarnya. Aku ingin mengganyang jantungmu, ingin kuhirup darahmu kukeluarkan isi perutmu!"
Suma Boan kaget bukan main, merasa ngeri dan gentar. Mulai menyesallah hatinya mengapa ia terburu-buru menodai gadis ini yang ternyata tadinya benar-benar mencintanya. Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan melihat bahwa yang menentangnya hanya dua orang gadis ini, tentu ia segera dapat mengusir rasa jerihnya. Ia tersenyum mengejek dan berkata.
"Hemmm, Sian Eng. Dengan kepandaianmu dan dibantu adikmu, apa kaukira akan mudah saja mengalahkan aku" Kau tahu, tingkat ilmu kepandaianku jauh melebihimu. Juga jauh melebihi kepandaian adikmu. Insyaflah akan hal ini dan kalian ini nona-nona manis, sayang sekali kalau sampai tewas di tanganku. Lebih baik kalian hayo ikut denganku, hidup penuh kesenangan di istanaku sambil memperdalam ilmu silat...."
"Laki-laki ceriwis....!" Lin Lin membentak dan pedangnya berubah menjadi sinar kuning, menyambar ke arah leher Suma Boan. Pemuda ini terkejut. Tak disangkanya gerakan Lin Lin demikian cepatnya maka ia segera mengelak dengan meliukkan tubuh ke bawah sambil mendorong dengan tangannya ke arah siku yang memegang pedang ketika pedang itu lewat di atas kepalanya. Namun Lin Lin yang bersilat dengan ilmu saktinya yang baru, yaitu Cap-sha Sin-kun, segera dapat merubah letak pedangnya yang kini membalik ke bawah, menyambar dengan gerakan pergelangan tangan sehingga tangan Suma Boan yang tadinya hendak mencengkeram siku, kini berbalik disambar mata pedang!
"Aaaiiihhh!" Suma Boan yang sudah menarik lengannya itu kini menjerit sambil melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang karena kembali sinar pedang Lin Lin yang tadi dapat dielakkannya itu sudah berubah menjadi segulungan sinar kuning yang berpusing di sekitar dada dan lehernya! Hanya dengan cara berjungkir balik seperti tadi maka ia selamat.
"Bersiaplah menerima hukuman!" bentak Sian Eng dan kembali Suma Boan terkejut sekali karena tiba-tiba angin menyambar berputaran dari arah Sian Eng ketika gadis itu menerjangnya dengan pukulan yang gerakan-gerakannya aneh sekali. Suma Boan baru saja terbebas dari ancaman maut pedang Lin Lin, kini ia cepat menggerakkan tubuhnya miring ke kiri sambil mengibaskan tangannya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya untuk menangkis.
"Wuuuttt! Wuuuttttt!" Angin pukulan kedua fihak yang disertai tenaga sin-kang itu saling sambar dan baiknya Suma Boan adalah seorang jagoan yang terlatih maka biarpun ia merasa tergetar oleh hawa pukulan mujijat dari Sian Eng, namun tidak membuatnya roboh dan tangkisannya tadi berhasil.
"Singgg....!" Kembali sinar kuning pedang Lin Lin menyambar, disusul pukulan Sian Eng yang tidak kalah mengerikan daripada sambaran pedang. Kedua orang gadis itu menerjangnya susul-menyusul dan bertubi-tubi dengan kecepatan yang luar biasa dan gerakan yang amat aneh.
"Kalian hendak mengadu nyawa" Boleh!" Akhirnya Suma Boan memekik marah karena ia tidak melihat jalan keluar lagi. Betapapun juga, dalam hal ilmu silat, ia lebih banyak pengalaman kalau dibandingkan dengan dua orang gadis ini. Maka cepat ia mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang ia dapat dari beberapa orang guru pandai, di antaranya terutama sekali It-gan Kai-ong. Bertahun-tahun putera pangeran ini menjagoi daerah An-sui, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja, ditakuti orang dan pengaruhnya besar sekali. Saking lihainya, ia sampai mendapat julukan Lui-kong-sian atau Dewa Geledek karena pukulan tangannya selalu ampuh dan sekali pukul cukup untuk mengantar nyawa lawan ke akherat. Entah berapa banyaknya lawan yang sudah terbunuh oleh pukulannya. Ketenaran namanya dan kehebatan ilmunya inilah yang membuat Suma Boan menjadi manusia sombong, memandang rendah orang lain, dan ke manapun ia pergi, ia tidak pernah membawa senjata karena ia menganggap bahwa kedua pukulannya sudah cukup untuk mengalahkan musuh yang bagaimanapun juga.
Di antara banyak macam kepandaiannya menggunakan tangan kosong, yang paling hebat adalah ilmu pukulan yang ia pelajari dari It-gan Kai-ong yaitu yang disebut Ho-tok-ciang (Tangan Racun Api). Pukulan ini kalau dipergunakan, hebatnya bukan kepalang karena dapat membuat badan lawan yang terpukul menjadi hangus! Jarang sekali Suma Boan menggunakan ilmu pukulan ini, karena sungguhpun hebat akibatnya kalau mengenai tubuh lawan, juga merugikan diri sendiri karena pengerahan sin-kang di tubuhnya yang dibarengi dengan penggunaan racun yang panas seperti api, dapat merangsang dirinya sendiri sehingga dapat mendatangkan luka pada kedua lengannya.
Menghadapi pengeroyokan Lin Lin dan Sian Eng yang mempunyai gerakan-gerakan aneh mujijat itu, mula-mula Suma Boan menggunakan semua ilmu silat yang ada untuk melawan. Namun baru dua puluh jurus lewat saja ujung pedang Lin Lin sudah menggurat pahanya dan pukulan Sian Eng yang ditangkisnya meleset mengenai pundak sehingga membuatnya terhuyung-huyung. Kagetlah Suma Boan dan tahulah ia sekarang bahwa ia berada dalam bahaya. Kiranya dua orang gadis ini bukanlah Lin Lin dan Sian Eng setahun yang lalu, jauh selisihnya. Dua orang gadis ini mainkan ilmu silat yang amat aneh, ganas dan selain itu, tenaga mereka secara ajaib telah menjadi berpuluh kali lebih kuat daripada dahulu.
"Hiaaattt!" Ketika Sian Eng menerjang lagi, Suma Boan memekik dan meloncat ke kanan sampai mepet dinding gua. Secepat kilat pemuda ini mengeluarkan racun dari sakunya dan digosok-gosokkan kedua telapak tangannya dengan racun bubuk itu sehingga bubuk itu hancur memasuki telapak tangannya. Ketika ia membuka kedua lengannya, telapak tangan itu kelihatan menyala! Menyala dan mengeluarkan asap seperti arang dibakar. Hawa panas segera memenuhi gua.
"Awas tangannya, Enci!" Lin Lin berseru dengan kaget. Akan tetapi gadis ini tidaklah menjadi gentar sungguhpun lawan menggunakan ilmu yang begitu aneh. Malah khawatir kalau-kalau Sian Eng celaka oleh tangan api itu, Lin Lin sudah menerjang maju lebih dulu, memutar pedangnya dan sekaligus ia menggunakan jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat), sebuah di antara tiga belas jurus ilmu saktinya.
Sian Eng juga mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke atas dan dari atas ia menyambar turun dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti hendak mencengkeram kepala lawannya.
Di antara kedua orang pengeroyoknya, Sian Englah yang amat dibuat ngeri oleh Suma Boan. Ia maklum bahwa gadis ini menaruh kebencian besar kepadanya, menaruh dendam yang hanya dapat diredakan oleh darah dan nyawa. Oleh karena itu, begitu melihat datangnya serangan mereka yang demikian dahsyatnya, Suma Boan segera mendahului menggempur Sian Eng yang menyambar turun dari atas dengan dorongan kedua tangannya yang mengandung tenaga Ho-tok-ciang. Melihat ini, Sian Eng nekat. Ia segera mengerahkan tenaga menurut ajaran kitab-kitab yang ia temukan di gua rahasia bawah tanah, lalu memekik tinggi. Belum juga kedua pasang tangan itu bertemu, hawanya sudah menyusup ke tulang sumsum. Sian Eng merasa betapa hawa panas memasuki kedua lengannya, sebaliknya Suma Boan kaget sekali karena serasa kedua lengannya dingin dengan mendadak.
Tiba-tiba mata Suma Boan menjadi silau oleh cahaya kuning. Ia menjerit dan cepat mempergunakan tangan kiri untuk mencengkeram pedang Lin Lin yang menyambar. Kalau tangannya sudah dimasuki tenaga Ho-tok-ciang macam itu, ia tidak takut untuk menangkis atau mencengkeram senjata tajam.
Gerakan inilah yang mencelakakan Suma Boan. Andaikata ia menggunakan seluruh tenaganya menyambut Sian Eng, tentu gadis itu akan kalah kuat dan celaka oleh hebatnya hawa pukulan Ho-tok-ciang. Atau andaikata ia menggunakan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menyambut pedang Lin Lin, tentu pedang itu akan terampas dan Lin Lin akan menemui bahaya maut. Akan tetapi setelah Suma Boan membagi perhatian dan tenaga, juga membagi kedua tangannya, kini berbalik ia yang kalah kuat.
Terdengar jerit mengerikan ketika mereka bertiga itu dalam detik yang sama saling berbenturan. Siang Eng terhuyung mundur, juga Lin Lin terhuyung mundur, akan tetapi Suma Boan terlempar ke belakang, dan hanya dapat berdiri sambil bersandar dinding gua. Tangan kanannya lumpuh, tangan kirinya luka berdarah dan hilang dua buah jarinya. Sejenak ia tertegun, a
Pendekar Pemetik Harpa 27 Pendekar Cacad Karya Gu Long Harpa Iblis Jari Sakti 20
^