Pencarian

Durjana Dan Ksatria 12

Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 12


damu, biar kubela dirimu. Aku gurunya, tentu dia akan
menurut padaku."
Kiranya Tong-hujin telah menyusul tiba.
"Tapi be . . ke mana harus kucari dia?" sahut Nyo Yam
dengan bingung.
Kembali sebuah suara yang sudah dikenalnya menukas,
"Anak bodoh, dengan sendirinya Ling-cicimu takkan kau
temukan di pegunungan ini. Ke mana dia akan pergi,
hendaknya gunakan pikiran-mu sedikit."
Orang yang bicara ini ternyata Ki Tiang-hong adanya, ia
pun menguatirkan anak angkatnya dan ikut Tong-hujin ke sini.
"Gihu, menurut perkiraanmu, apakah Ling-cici pulang ke
Cadam, ke tempat pamannya?" tanya Nyo Yam.
"Saat ini pasukan Boanjing sedang menggempur daerah
Sinkiang, setahuku laskar Cadam juga sudah bergerak dan
membantu kaum muslim melawan kerajaan Boanjing. maka
boleh coba kau-pergi ke Lodan lebih dulu.."
Tong-hujin mengangguk, katanya. "Betul, sebenarnya Kah
goan sudah berunding denganku dan bermaksud mengirim
anak muridnya untuk membantu Lohai. Soalnya Kah goan
baru saja menjabat ketua, pula timbul kasus Ciong tianglo ini,
mungkin dia masih harus mengurus dulu perguruannya baru
dapat berangkat. Maka hendaknya kau pergi lebih dulu."
Nyo Yam menerima Peng-pok-han-kong-kiam katanya, "Jika
begitu biarlah segera kuberangkat."
"Nanti dulu," tiba-tiba berkumandang suara ketiga yang
sudah dikenalnya.
Kiranya Beng Hoa juga menyusul tiba.
"Ini Siau-hoau-tan yang baru kuminta dari Bu-gi Taisu,
kuberikan padamu," kata Beng Hoa kepada Nyo Yam.
Siau-hoa-tan adalah obat mujarab buatan Siau-lim-si, obat
paling manjur untuk menyembuhkan luka dalam. Nyo Yam
keracunan dan banyak mengganggu tenaga murni,
kekuatannya sekarang baru pulih tiga bagian saja, maka Siau
hoan tan itu sangat berguna baginya.
Dengan air mata berlinang Nyo Yam berkata, "Koko,
engkau terlampau baik padaku. Apa yang terjadi dulu
semuanya kesalahanku."
"Ai, masakah kita masih perlu bicara sungkan serupa orang
luar," ujar Beng Hoa dengan tertawa. "Jika bertemu dangan
Lohai, sampaikan permintaan maafku kepadanya. Mestinya
aku hendak pergi ke sana untuk membantunya, tapi terpaksa
kutunda niatku ini karena untuk sementara ini harus
kuselesaikan urusan lain yang penting."
Nyo Yam tahu urusan penting lain yang di maksudkan sang
kakak adalah urusan membalaskan sakit hati Ciong Tian,
katanya segera, "Baik. biarlah kita membagi tugas. Tentu akan
kusampaikan pesanmu ini."
Beng Hoa baru saja saling mengaku saudara dengan Nyo
Yam, ia merasa berat untuk segera berpisah, katanya pula,
"Untuk membalas sakit hati Ciong-tianglo memang juga tidak
harus ku lakukan dengan segera, biarlah kuantar
keberangkatanmu."
Waktu diam-diam Ling Peng-ji meninggalkan Thian-san, ia
melanjutkan perjalanan dengan pikiran kusut.
Tiba-tiba terdengar suara kresak-kresek, menyusul suara
pletak-pletok retaknya gumpalan es seperti bunyi kacang
goreng meletus, keras memekak telinga.
Peng-ji terkejut. waktu ia pandang ke depan. tertampak
debu bergulung-gulung dan kabut berhambur. Kiranya di
depan ada sebagian lereng gunung sedang terjadi salju
longsor. Di lereng gunung yang penuh berserakan salju dan es,
sedikit mengalami guncangan saja akan terjadi es dan salju
longsor. Peng-ji sudah sering melihat kejadian demikian.
dengan sendirinya tidak heran.
Dilihatnya keadaannya tidak begitu gawat, ia rada tenang,
ia bersyukur bukan gugur salju yang dahsyat.
Siapa tahu, belum habis terpikir, di tengah suara pletakpletok
retak gumpalan es itu sayup-sayup seperti terseling
jeritan orang minta tolong.
Meski salju longsor itu tidak terlalu gawat, tapi kalau
kebetulan orang lalu kepergok suasana demikian pasti juga
akan terpendam hidup hidup oleh salju yang longsor itu.
Peng-ji kuatir yang tertimpa musibah itu jangan-jangan
tamu undangan Thian-san-pai, tanpa pikir segera ia keluarkan
ginkang yang tinggi, menghindari longsoran dari depan dan
lari turun kesana untuk menolong orang.
Ginkang Peng-ji terhitung nomor satu di antara anak murid
Thian-san-pai angkatan muda, kalau melulu soal ginkang ia
hampir setinggi Beng Hoa dan sudah melampaui Nyo Yam. Ia
berlari di lereng es yang licin secepat terbang, hanya sekejap
saja sudah sampai di bagian yang datar.
Karena kelongsoran itu tidak gawat, sampai di pinggang
gunung yang tidak datar, gerakan longsor itu sudah mereda,
bahkan berhenti. tertampak gumpalan es yang pecah dan
debu pasir tertimbun setinggi manusia. Benar juga, di bawah
gundukan es itu terdengar ada suara rintih orang.
Gundukan pasir campur es itu tampak menjumbul ke atas,
sekali pandang dapat diketahui orang yang teruruk di bawah
itu pun memiliki kungfu yang tidak lemah, saat itu sedang
berusaha menyelamatkan diri sekuatnya.
Menolong orang serupa memadamkan api, dengan
sendirinya Peng-ji tidak mau tinggal diam dan membiarkan
orang meronta sebisanya. Cepat ia bantu menyingkirkan
gumpalan es yang menguruk di atas orang itu dan
menyeretnya keluar.
Dan begitu bentuk tubuh orang itu dapat dilihat, seketika
Peng-ji serupa melihat hantu, hampir saja ia tidak percaya
kepada pandangan sendiri.
Meski muka orang itu masih berlepotan tanah, tubuh juga
kotor, namun Peng-ji sudah dapat mengenali siapa dia.
Nyata dia bukan lain daripada orang yang paling dibenci
Peng-ji, yaitu Toan Kiam-jing adanya.
Pada saat Peng-ji sedang melenggong, segera Toan Kiamjing
melompat ke sampiug sehingga si nona terlambat satu
langkah. Begitu melompat minggir, dangan cengar-cengir Toan
Kiam-jing lantas menyapa, "Peng-ji, terima kasih atas
kebaikanmu yang mengingat pada hubungan kita dahulu sudi
menyelamatkan diriku."
Tidak kepalang gemas Peng-ji karena salah menolong
musuh, segera ia mendamperat, "Bangsat, hari ini kalau bukan
kamu yang mampus biarlah aku yang gugur!"
Sembari memaki ia terus melolos pedang dan menusuk.
Karena hampir terkubur hidup-hidup oleh longsoran salju,
napas saja masih tersengal, Toan Kiam-jing tidak sanggup
melawan, terpaksa ia gunakan lengan bajunya untuk
mengebas. Tapi segera terdengar "bret", lengan baju terobek
oleh pedang Peng-ji.
Diam-diam Toan Kiam-jing mengeluh, namun ia tetap
cengar-cengir. katanya, "Peng-ji, tampaknya kamu ingin
menjadi pasanganku yang senasib dan setanggungan"
Memang, andaikan kita tidak dapat lahir pada tahun, bulan
dan hari yang sama, biarlah kita mati bersama pada saat yang
sama." Peng-ji terpancing oleh akal bulus Toan Kiam-jing, saking
gusarnya tangan pun gemetar, meski tusukan kedua kalinya
dilontarkan, namun karena marahnya sasarannya kurang
tepat. Namun pada waktu Toan Kiam-jing menghindar, tidak
urung langkahnya juga sempoyongan.
Serangan mengenai tempat kosong berbalik membuat
pikiran Peng-ji menjadi jernih, ia tahu kesempatan baik sukar
dicari, sedapatnya ia menahan omosi, ia incar dengan baik,
"sret", kembali pedang menusuk lagi.
Karena gerak-gerik belum leluasa, Toan Kiam-jing sukar
mematahkan serangan lawan. Terpaksa ia sambut serangan
Peng-ji dengan keras. Ia keluarkan Liong-siang-kang dengan
memukul dari jauh sebelum pedang si nona menyambar tiba.
Liong-siang-kangnya sudah mencapai tingkat kedelapan,
dalam keadaan biasa pedang Peng-ji pasti akan tergetar jatuh.
Tapi sekarang tenaganya tersisa tingkat kedua saja, untuk
mengguncang ujung pedang lawan saja tidak kuat. Maka
serangan Peng-ji telah menggores luka pada punggung tangan
Toan Kiam-jing.
Untung dia masih sisa dua bagian tenaga. kalau tidak
mungkin telapak tangan pun akan terkutung.
Toan Kiam-jing menghela napas, katanya, "Baiklah,
kumohon kemurahan hatimu agar aku membereskan nyawaku
sendiri. .Jelek-jelek kita pernah berhubungan baik, aku cuma
minta diberi kelonggaran agar kepala tidak berpisah dengan
tubuhku." Habis bicara ia terus menjatuhkan diri dan menggelinding
ke bawah lereng yang landai itu.
Peng-ji menyangka orang sudah kehabisan tenaga dan
percaya dia benar-benar hendak bunuh diri, betapapun
hatinya menjadi lunak dan tidak tega memotong kepala orang,
ia pikir tidak ada ruginya membiarkan orang mati dengan
tubuh lengkap. Setelah menggelinding ke bawah dan sampai di tempat
yang agak datar, Toan Kiam-jing terus mendekam tanpa
bergerak. Tanah bersalju cukup rata dan licin sehingga untuk
menggelinding ke bawah tidak sampai menimbulkan luka.
Peng-ji tidak tahu dengan cara bagaimana orang akan
membunuh diri, ia coba mendekatinya, dilihatnya ubun-ubun
kepala orang mengepulkan kabut tipis.
Toan Kiam-jing masih ada sisa tenaga, untuk memutus urat
nadi sendiri dan membunuh diri tidaklah sulit. Tapi melihat
keadaan orang, Peng-ji menjadi sangsi.
Tiba-tiba nona itu sadar jangan-iangan cuma pura-pura
saja, maka ia coba menggertak, "Ah, kukira lebih baik
kubereskanmu saja, cukup pedangku bekerja pelahan dan
segera kamu akan terbebas dari segala siksa derita."
Belum lenyap suaranya, benar juga Toan Kiam-jing lantas
melompat bangun.
Segera Peng-ji memaki, "Bangsat yang tidak tahu malu,
berani menipuku dengan pura-pura mati"!"
"Hahahaha, aku merasa berat meninggalkanmu, maka
mendadak tidak mati," seru Toan Kiam-jing dengan tergelak.
Dalam pada itu, secepat kilat ujung pedang Peng-ji telah
mengancam di depan tenggorokannya sambil mendengus,
"Hm manusia kotor semacam dirimu untuk apa hidup di dunia
ini." Tampaknya ujung pedang si nona segera akan menembus
leher lawan, siapa duga mendadak jari Toan Kiam jing
menyelentik, "tring", pedang Peng-ji tergetar ke samping.
"Kamu salah omong," kata Toan Kiam jing dengan cengarcengir.
"Masih ada gunanya kuhidup di dunia ini, yaitu dapat
menemanimu. Menurut pendapatku, lebih cocok kau kawin
saja denganku. Sebelum ini aku memang berbuat kurang baik
padamu, aku tahu salah. Padahal bocah she Nyo itu terlebih
brengsek daripadaku. masa tidak kau lihat dia sedang
memikat Siau-yau-li she Liong itu. Hm, bocah she Nyo itu
agaknya ingin sekali tembak dua burung,"
Gemas tambah murka Peng-ji oleh ocehan Toan Kiam-jing,
serentak ia menyerang lagi belasan kali. Namun gerakan Toan
Kiam-jing sekarang ternyata tidak lamban lagi, kedua tangan
bekerja cepat dan seluruh serangan Peng-ji dapat dipatahkan.
"Haha, Peng-ji, sudah terlambat jika sekarang kamu ingin
membunuhku"!" seru Toan Kiam-jing dengan terbahak.
Kiranya tadi meski Toan Kiam-jing hampir kerpendam hidup
hidup, namun dia tidak mengalami luka apa pun. Sebabnya
tenaganya banyak berkurang, yang utama adalah akibat
pertarungannya melawan Nyo Yam. Pada jurus terakhir, meski
dengan jarum berbisa Nyo Yam dapat dilukainya, tapi tenaga
Toan Kiam-jing sendiri juga tersisa separoh saja.
Justru lantaran itulah ginkangnya juga terpengaruh,
akibatnya langkahnya kurang lincah dan ringan dan
menimbulkan salju longsor serta tergelincir ke bawah.
Toan Kiam-jing masih menguasai semacam Iwekang
istimewa, namanya "Ku-sit-Kang" atau ilmu tahan napas cara
kura-kura. Lwekang ajaran seorang paderi Thian-tok hasil
bujuk rayu dan tipu liciknya. Ilmu inilah yang sekarang
dilaksanakannya.
Rupanya pada waktu ia mendekam di bawah dan pura-pura
mati tadi, dalam waktu tidak terlalu lama itu ia sempat
mengatur pernapasan dengan Ku-sit-kang sehingga
memulihkan setengah tenaganya. Cuma tenaga yang terkuras
akibat pertempuran dengan Nyo Yam tidak dapat dipulihkan
seluruhnya dalam waktu singkat.
Untung juga tenaganya baru pulih separoh saja sehingga
Ling Peng-ji masih sedikit lebih unggul.
Toan Kiam-jing juga kuatir anak murid Thian-san-pai yang
lain akan menyusul tiba, maka setelah mematahkan belasan
jurus serangan Peng-ji, pada suatu kesempatan, segera ia
menjentikkan puyer Sin-sian-san dengan kuku jarinya.
Mendingan ia tidak menggunakan Sin-sian-san, sekali ia
menggunakan obat bius itu, seketika memancing
digunakannya Peng-pok-sin-tan oleh Ling Peng-ji
Peng-pok-sin-tan atau peluru es sakti dapat membuyarkan
gas racun Sin-sian-san, maka ketika merasa kepala pening
segera Peng ji ingat padanya masih tersimpan puluhan biji
Peng-pok-sin-tan.
Lebih dulu ia melompat mundur beberapa tombak jauhnya,
menyusul peluru es sakti lantai dihamburkan.
Karena hujan peluru es itu, Iwekang Toan Kiam-jing yang
baru pulih separoh itu tentu saja tidak tahan. meski tidak
sampai kaku terbeku, tidak urung giginya gemertak. Tiada
jalan lain terpaksa ia menyerempet bahaya dan melancarkan
serangan lagi. Toan Kiam-jing pernah belajar tiga tahun di Thian-san, ia
cukup apal terhadap ilmu pedang Thian-san, malahan lebih
mahir daripada Ling Peng-ji. Dengan menahan rasa dingin ia
balas menyerang mati-matian sehingga dari terserang kini
berubah menjadi penyerang. Terpaksa Peng-ji harus
memainkan Peng-tjoan-kiam-hoat barulah mampu bertahan.
Sayangnya Peng-tjoan-kiam-hoat Peng-ji adalah ajaran
Tong-hujin dan belum terlatih sempurna, yang lebih sayang
lagi pedang yang digunakan bukan Peng-pok-han-kong-kiam,
kalau tidak, tidak mungkin Toan Kiam-jing sanggup


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawannya dari jarak dekat.
Namun terdesaknya Peng-ji oleh serangan balasan Toan
Kiam-jing itu hanya untuk sementara saja, hal ini dipahami
Peng-ji, juga disadari Toan Kiam-jing. Jika pertempuran
berlangsung lama, selain Toan Kiam-jing harus menghadapi
Peng-tjoan-kiam-hoat yang masih asing baginya, ia juga harus
melawan hawa dingin yang timbul dari Peng-pok-sin-tan,
maka sisa tenaganya yang tinggal separoh itu pasti akan susut
dan akhirnya pasti kalah.
Setelah serangan cepat gagal, timbul nafsu bunuh Toan
Kiam-jing. Waktu perang tanding dengan Nyo Yam tadi ia
melukai anak muda itu dengan jarum berbisa dan dari
terdesak menjadi menang. Sekarang ia hendak mengulangi
akal liciknya itu, diam-diam ia siapkan sebatang jarum berbisa.
la tahu kalau melulu berdasarten tenaga sekarang, bila
jarum ini dilemparkan tentu akan disampuk jatuh oleh pedang
Ling Peng-ji, satu-satunya jalan agar jarum langsung
mengenai tubuh lawan harus menyerempet bahaya mendekati
si nona. Setelah ambil keputusan, serentak ia menubruk maju
dengan gerakan ilmu yoga yang aneh.
Perhitungannya cukup tepat, saat itu Ling Peng-ji sedang
menggunakan jurus "Peng-ho kai-tang" atau sungai es
mencair, pedang bergerak ke depan sehingga pertahanan
terbuka, dalam keadaan demikian bila ia maju tentu pedang si
nona sukar melukainya.
Tapi apa yang terjadi sama sekali di luar dugaannya,
tusukannya meleset. Justru pada detik terakhir yang
menentukan, tiba-tiba dirasakan Kik-ti-hiat pada sikut
kanannya kesemutan sehingga cengkeramannya melenceng,
pedang Ling Peng ii terus putar balik dan menyayat luka
panjang pada lengan kirinya. Untung selisih beberapa senti
dan tidak melukai tulang belikatnya.
Toan Kiam jing meraung kesakitan sambil melompat
mundur, bentaknya, "Siapa itu , ."
Belum lanjut ucapannya, kembali ujung pedang Ling Peng ji
menuding lagi dadanya.
Diam-diam Peng ji juga bersyukur, ia tidak mengerti
mengapa pada detik menentukan itu Toan Kiam-jing bisa
berbuat kesalahan. Ketika didengarnya bentakan Toan Kiam
jing bertanya "siapa" barulah teringat olehnya jangan-jangan
di luar tahunya ada orang telah membantunya"
Ia coba memandang sekitarnya dan tidak melihat bayangan
seorang pun. Ia tidak sempat pikir lagi, asalkan pedangnya
putar balik lagi tentu Toan Kiam jing dapat dibinasakan, buat
apa mesti minta bantuan orang lain pula"
Siku Toan Kiam-jing terbena senjata rahasia kecil, menurut
perasaannya dapat diketahui sejenis jarum yang lembut, dan
entah berbisa atau tidak.
Dalam keadaan terdesak, ucapannya tadi tidak sanggup
diteruskan, ia ngeri dan mengira sekali ini jiwanya pasti
melayang. Siapa tahu mendadak terdengar "tring" sekali, entah dari
mana datangnya sebutir batu menimpuk jatuh pedang yang
dipegang Ling Peng-ji.
Lolos dari cengkeraman elmaut, seketika Toan Kiam-jing
lemas lunglai serupa orang habis sakit berat dan menggeletak
terkapar di tanah. Berbareng itu ia pun sempat melihat
kemunculan si penolong.
Kiranya tak-lain tak bukan adalah Pek-toh-sancu adanya.
Dalam sekejap itu selain kejut dan girang, malahan Toan
Kiam-jing juga merasa sangsi. Sebab, bilamana Ubun Pok
telah menolongnya jelas dia pasti bukan orang yang
menyergapnya tadi. Lantas siapa pula orang itu"
Melihat kemunculan Ubun Pok, tidak kepalang gemas dan
pedih Ling Peng-ji, teriaknya, "Bangsat she Toan. biarpun hari
ini tidak dapat kubunuhmu, menjadi setan pun akan kutuntut
balas padamu."
Habis berkata demikian segera ia bermaksud memutuskan
urat nadi sendiri untuk membunuh diri.
Akan tetapi Ubun Lok bertindak lebih cepat daripada Pengji,
baru saja nona itu mulai mengerahkan tenaga dalam,
kembali sebiji batu kecil ditimpukkan Ubun Pok dan tepat
mengenui hiat to Peng-ji, seketiku nona itu berdiri kaku dan
tak bisa berkutik.
"Nona Ling, kau cari mati," kata Ubun Pok dengan tertawa.
"Jika kamu tidak ingin jatuh dalam tangan Toan Kiam-jing,
biarlah kubawa diri"mu pulang ke Pek-toh-san."
Luka Kinm-jing tidak ringan, baru sekarang ia dapat
merangkak bangun, dengan sangsi ia berkata, "Ubun-sancu,
apakah benar engkau hendak membawanya pulang?"
Padahal yang ingin ditanyakan adalah mengapa tidak kau
serahkan dia padaku, soalnya ia tidak berani bertanya secara
terang-terangan, maka ia sengaja main putar dan tanya
secara tidak langsung.
Dengan hambar Ubun Pok menjawab, "Betul, anak dara ini
sangat berguna bagiku, ingin kuambil dia sebagai murid. Toan
cilik, untuk menjadi suami-istri perlu saling sayang, anak dara
ini benci dan ingin membunuhmu, jika kau paksa dia kawin
denganmu, selama bidupmu tentu akan selalu kebat-kebit
kuatir melulu, lalu apa artinya hidupmu beristrikan dia?"
Tentu saja Toan Kiam-jing sangat mendongkol, tapi saat ini
ia perlu pertolongan Ubun Pok untuk bisa meninggalkan
Thian-san, dalam keadaan kepepet mana ia berani
membantah. Setelah agak tenang, dengan menyengir ia menjawab,
"Ucapan Sancu memang betul. Seorang lelaki masakah kuatir
tidak mendapatkan istri. Jika Sancu suka kepada anak dara ini,
terserahlah kepada kehendakmu. Cuma, di sekitar sini seperti
tersembunyi seorang begundalnya, hendaknya Sancu waspada
bilamana disergap."
Ubun Pok memandang sekitarnya, mendadak ia
menghantam beberapa kali ke segenap penjuru sehingga
menimbulkan batu pasir beterbangan, namun tidak tampak
bayangan seorang pun. Dengan terbahak ia berkata, "Aku
tidak sempat mencarl lagi, biarpun ada begundalnya kuyakin
juga tidak berani menyergapku."
Habis bicara segera ia angkat Peng-ji dan dibawa pergi.
Keruan Toan Kiam-jing terkejut dan kuatir, cepat teriaknya,
"Hei, Ubun-saucu. kan aku pun perlu pertolonganmu!"
Dengan ketus Ubun Pok menjawab, "Aku cuma dapat
menbawa satu orang, jika sementara ini kamu belum sanggup
berjalan, boleh istirahat sementara di sini."
Saking gemasnya hampir saja Toan Kiam jing jatuh
kelengar, tapi apa daya, terpaksa ia hanya menyaksikan
kepergian orang.
Tapi baru beberapa langkah, mendadak Ubun Pok berhenti
dan berdiri di atas sepotong batu padas yang tinggi serta
memandang sekelilingnya, lalu beriuit panjang.
Hanya sebentar saja terdengar suara suitan lain menyahut
dari kejauhan, suaranya kecil bening mendenging di angkasa
raya. Meski suara suitan orang itu tidak sekuat suitan Ubun Pok,
namun betapa tinggi lwekangnya jelas masih di atas Ubun
Pok. -ooo0dw0ooo- Jilid 19 Diam-diam Ubun Pok terkesiap, namun tetap bersikap
tenang saja, ia berpaling dan teigelak, katanya kepada Toan
Kiam-jing, "Betul juga keterangan anru u, memang benar
masih ada orang lain. Tapi tidak perlu kuatir, ini kan orang kita
sendiri. Hche, jika ada orang datang, tentu kamu akan
dibantunya, maka boleh kautunggu di sini '
Meski kehilangan teuaga, apa pun juga Toan Kiam-jing
seorang ahli suat, dapat didengarnya suara suitan itu berku r
nd i g dari lima-enam li jauhnya, betapa tinggi ginkaug
pendatang ini juga memerlukan sementara waktu.
Sebenarnya ia hendak memberitahukan Ubun Pok bahwa
perver^p tadi tenu masih sembunyi di sekitar sini dan bu La n
orang yang bersuit ini. Tapi belum lagi ia cei takan
pengalamannya disergap tadi, Ubun Pok sudah telanjur pergi.
Ubun Pok tidak n enuju ke arah datangnya suara
melainkan ke arah yang berlawanan, bahkan cepat sekali
langkahnya, hanya sekepap saja sudah lenyap.
Mau-tak-mau timbul juga curiga Toan Kiam-jing, jika orang
sendiri, mengapa Ubun Pok malah menghindarinya" Janganjangan
karena menggondol Ling Peng ji sehingga malu
menemui orang sendiri.
Toan Kiam-jing mengira dugaannya itu cukup masuk di
akal, tak tahunya urusannya s*"ma sekali bukan begitu.
Maksud tujuan Ubun Pok justru jauh lebih keji daripada
perkiraannya. Pada hakikatnya Ubun Pok tidak tahu siapa yang datang itu,
yang d ketahuinya hanya pasti "bukan orang sendiri."
Dan karena bukan orang sendiri, maka besar kemungkinan
orang pihak Tbian-san-pai, jika begitu, maka dia harus lekaslekas
melarikan diri.
Kiranya Thian-mo-kai-te-tai-hoat yang dikerahkan untuk
menambah tenaganya itu sekarang mulai lenyap. Menurut
perhitungan, paling lama satu jam lagi keadaannya akan pulih
kembali serupa dia bertempur melawan Beng Hoa tadi, yaitu
cuma setengahnya kekuatannya semula. Sisa setengah tenaga
ini levvct tiga hari lagi tentu akan tinggal sebagian kecil saja.
Dalam keadain bagifu, jika dalam rcpuluh hari ia dapat
pulang ke Pefe-toh-san, maka untunglah baginya , kalau tidak,
tentu dia akan menggeletak di tengah jalan. Sebab itulah ia
justru berharap yang datang ini adalah orang sendiri.
Tapi begitu mendengar suara suitan fadi, segera ia tahu
pasti bukan orang sendiri. Betapa tinggi lwekang pendatang
ini, biarpun keadaannya sehat juga tidak dapat melebihi orang
ini. Ia bersuit juga cuma untuk menguji pihak lawan saja,
setelah jelivs, ?"a pikir Toan Kiam-jing sudah tiada gunanya
lagi bagiku, jika tidak kubunuh dia fudah cukup baik baginya,
jika pen-dat ng ini benar orang pihak Thian-san, tentu Toai
Kiam-jing akan dibunuhnya. Dia memang murid khianat Thiansan,
jika dibunuh orang seperku ruannya tentu setimpal juga.
Ternyata dugaan Ubun Pok ini kembali meleset. Sobab
orang yang datang ini bukan orang Thian-san-pai.
Seorang lagi yang sembunyi di sekitar situ begitu Ubun Pok
pergi segera muncul "membereskan" Toan Kiam-jing juga
bukan orang Thian-san-pai melainkan Liong Ieng-cu.
Pada waktu terjadi salju longsor, Leng-cu sembunyi di
bawah celah-celah batu karang yang tepat terletak di belakang
Toan Kiam-jirg sehingga apa yang terjadi dapat disaksikannya.
Ia tidak ingin bsrtemu dengan Ling Peng-ji, maka ia cuma
membantunya dengan sergapan jarum sehingga Toan Kiamjing
dirobohkan. Siapa tahu, meski bantuan Leng-cu secara diam-d>ara itu
berhasil, tapi sebelum Ling Peng-ji sempat membunuh Toan
Kiam-jing, tahu tahu Ubun Pok keburu muncul.
Leng-cu tahu dirinya pasti bukan tandingan Ubun Pok,
terpaksa ia saksikan Ling Peng-ji dibawa lari oleh Ubun Pok.
Dan begitu Ubun Pok pergi, seorang lagi selekasnya juga akan
muncul, yaitu orang yang bersuit nyaring itu.
Waktu sudah mendesak, tidak boleh tidak dia harus lekas
bertindak membereskan Toan Kiam-jing, maklumlah, suara
suitan itu pun tidak dikenalnya suara siapa.
Pada saat yang sama Toan Kiam-jing juga mera a sangsi
dan bermaksud bangun. Tapi kedua bahunya lantas dirasakan
kesakitan sekali, tanpa ampun ia menjerit dan jatuh pingsan.
Tulang bahu Toan Kiam-jing ditembus oleh jarum Liong
Leng-cu, semula nona itu bermaksud
t mencabut nyawanya, tapi terpikir olehnya dendam Ling
Peng-ji kepada orang she Toan itu sedalam lautan, lebih baik
biarkan Peng-ji sendiri yang membunuhnya kelak. Karena
perubahan pikiran itulah, ia hanya memunahkan kungfu Toan
Kiam-jing dengan membuat cacat tulang bahunya.
Lalu timbul pikiran Leng-cu akan kembali ke Thian-san
untuk menyampaikan berita diculiknya Ling Peng-cu oleh Ubun
Pok. Agar tidak dipergoki pendatang yang bersuit itu, segera ia
ambil arah yang lain dan putar balik ke Thian-san
Mungkin sudah suratan nasib, karena ke pergiannya
itulah ia kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Nyo
Yam sehingga harus berselang agak lama baru kemudian
Nyo Yam menerima kabar tentang diculiknya Ling Peng-ji
itu. Entah sudah berselang berapa lama, akhirnya Toan Kiamjing
siuman kembali. Dan begitu sadar segera ia melihat orang
yang sekian lama ingin dihindari, tapi sekarang justru sangat
diharapkannya. Rupanya dugaan Liong Leng-cu bahwa pendatang ini
adalah begundal Toan Kiam-jing ternyata keliru. Kebohongan
Ubun Pok berbalik tepat malah.
Orang ini bukanlah begunda1. Toan Kiam-jing melainkan
satu-satunya sanak keluarga Toan Kiam-jing yang terdekat,
yaitu pamannya, Toan Siu-seh. Walaupun bukan "orang
sendiri" seperti apa yang dimaksudkan Ubun Pok, namun
memang betul orang sendiri.
Kedatangan Toan Siu-seh ini justru ingin mencari dan
menangkap Toan Kiam-jing untuk dibawa pulang dan diberi
hajaran setimpal.
Kedatangannya ini sebenarnya untuk memenuhi undangan
Tong Kah-goan. di tengah perjalanan ia bertemu Koai-hoat
Tnio yang menyampaikan sebuah kabar padanya, yaitu
tentang ber-komplotnya Toan Kiam-jing dengan Pek-toh-sancu
Ubun Pok, bahkan diberitahu bahwa kedua orang itu saat ini
sedang menuju ke Thian-san.
Biarpun Toan Siu-seh sangat gemas terhadap kemenakan
yang durhaka itu, tapi berita itu membuatnya kaget dan juga
cemas. Maklumlah, karena patah hati pada waktu muda, sudah
lama Toan Siu-seh bertekad takkan menikah. Maka Tcan
Kiam-jing merupakan satu-satunya bibit keluarga Toan yang
berkewajiban meneruskan keturunan.
Karena itulah ia kuatir Toan Kiam-jing akan menimbulkan
bencana dan di bawah kemurkaan orang banyak, bukan
mustahil orang Thian-san-pai akan menghukum mati


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemenakannya itu.
Tak terduga sebslum hadir di tengah upacara besar Thiansan-
pai, di sini sudah ditemui Toan Kiam-jing vang terluka
parah. Cepat ia memberikan obat luka serta membalut
tulangnya yang remuk. Jadi Toan Kiam-jing siuman karena
kesakitan waktu sang paman melakukan pertolongan padanya.
Begitu siuman, Toan Kiam-jing hanya sempat bersuara
minta tolong pada sang paman, lalu tidak sanggup
meneruskan lagi. Padahal umpama sanggup bicara juga apa
yang dapat dikatakannya kepada sang paman"
Pedih juga hati Toan Siu-seh dan juga gemas, la gemas
karena kemenakannya yang durhaka itu, pedih juga karena
kemenakan yang diharapkan meneruskan keturunan keluarga
Toan ini kini telah menjadi cacat selama hidup.
Ia sangka dipunahkannya kungfu kemenakan itu adalah
hukuman yang diberikan pihak Thian-san-pai. Ia tidak berani
dendam kepada Thian-san-pai. cuma dianggapnya hukuman
demikian agak terlalu berat.
Dalam keadaan demikian, apa pula yang dapat
dikatakannya" Mencaci maki kemenakan itu atau
menghiburnya, ia merasa serba salah, yang dilakukannya
hanya berusaha menyelamatkannya saja.
Dan begitulah, sesudah Nyo Yam berpisah dengan Beng
Hoa, iayup-sayup lantas didengarnya di tempat yang tidak
jauh seperti ada orang me-rintih.
Mestinya ia tidak menuju ke arah sana, demi mendengar
suara rintihan itu, kuatir kalau yang terluka itu Ling Peng-ji
maka cepat ia memburu ke sana. Dari sama sekali di luar
dugaannya bahwa Toan Kiam-jing yang ditemuinya dalam
keadaan terluka.
Ia tidak kenal Toan Siu-seh, melihat orang tua ini sedang
membalut luka Kiam-jing, disangkanya Toan Siu-seh adalah
kawanan siluman Pek-toh-san. Segera ia melolos pedang dan
menerjang ke sana.
"Kamu mau apa?" bentak Toan Siu-seh.
Nyo Yam balas membentak, "Jika kamu tidak ingin mati
bersama jahanam ini, hendaknya lekas enyah dari sini!"
"Apakah atas perintah ketua kalian kamu memburu kemari
untuk membunuhnya?" tanya Toan Siu-seh.
"Urusan Thian-san-pai tidak perlu kautanya," jengek Nyo
Yam. "Jika ingin nyawa lekas enyah dan jangan banyak
cingcong."
Memangnya Toan Siu-seh sudih kurang puas, ia merasa
hukuman pihak Thian-san-pai terhadap kemenakannya agak
terlalu berat. Sekarang Nyo Yam menghadapinya dengan katakata
keras, mau tak-mau ia menjadi marah juga. Jawabnya,
"Maaf, aku justru ingin ikut campur urusan ini. Boleh kau
pulang dan lapor kepada ketua kalian, katakan sebentar akan
kukunjungi dia dengan membawa Kiam-jing."
Nyo Yam tidak sabar lagi, bentaknya, "Baik, boleh coba cara
bagaimana kamu akan ikut campur"!"
Habis berucap, kontan pedangnya menusuk.
Serangan ini menggunakan Liong-sang-kiam-hoat, cepat
lagi ganas. Toan Siu-seh terkejut, ia pikir sudah sepuluh tahun tidak
berkunjung ke Thian-san, tak tersangka tunas Thian-san-pai
sudah tumbuh secepat ini, sampai seorang murid ingusan
begini juga menguasai ilmu pedang sehebat ini.
Namun ia sendiri adalah seorang maha guru persilatan,
meski tidak kenal Liong-siang-kiam-hoatt untuk melayaninya
tentu tidak sulit. Sekali lengan baju mengebas, segera pedang
Nyo Yam tersampuk ke samping. Jika dia mengeluarkan
sepenuh tenaga, bisa jadi Nyo Yam yang belum pulih kembali
kekuatannya itu akan kewalahan dan pedang terlepas dari
tangan. Sekali gagal menusuk, segera pula Nyo Yam ganti jurus
serangan, yang digunakan sekali ini adalah Si-mi-kiam-hoat,
dari menyerang berubah menjadi bertahan.
Kembali Toan Siu-seh terkejut dan mengakui kelihaian Nyo
Yam, biarpun belum sehebat Tong Kah-goan, jelas sudah di
atas keempat murid utama Thian-san-pai. Hanya tenaga
dalam anak muda ini kelihatan lemah, jangan-jangan tadi
Kiara-jing sudah bergebrak dengan dia.
Belum habis berpikir, kembali serangan Nyo Yam nerubah
lagi, yang digunakan sekarang adalah jurus Oh-kah-cap-pekpah
yang baru saja dipelajarinya. Meski tidak selihai Tan-ciusing
dan Beng Hoa, namun sekaligus ia sudah mampu
menyerang ke-18 tempat hiat-to Toan Siu-seh.
Sebagai sahabat lama Tan-ciu-sing, dengan sendirinya Toan
Siu-seh kenal jurus andalan kawan itu dan tidak nanti sampai
kecundang oleh jurus serangan ini.
Tentu saja ia tambah heran dan kejut, "cring", ia selentik
pedang Nyo Yam sambil membentak, "Siapa kamu ini" Siapa
yang mengajarkan jurus Oh-kah-cap-pek-pah ini kepadamu?"
Nyo Yam terkesiap, diam-diam ia mengaku pengetahuan
orang yang luas dan dapat mengeral jurus Oh-kah-cep-pekpeh.
Jawabnya sambil mendengus, "Hm, antara yang benar
dan jahat tidak dapat hidup bersama. Biarpun bukan
tandinganmu tetap akan kulawan, jika kamu mampu, silakan
bunuh saja diriku dan tidak perlu banyak omong."
Dan ketika pedang Nyo Yam menusuk lagi, tiba tiba
seorang membentak, "Jangan bertindak kasar, adik Yam!"
Orang ini menggunakan gelombang suara dan tersiar dari
jarak beberapa li jauhnya, namun kedengarannya serupa
orang bicara berhadapan.
Nyo Yam terkejut karena ia kenal suara orang, ia tidak
percaya kepada telinga sendiri, ia heran mengapa kakak
berbalik membela kawanan siluman ini.
Belum habis terpikir, terlihat Beng Hoa sudah muncul di
depannya. Kiranya sehabis Beng Hoa berpisah dengan Nyo Yara,
belum seberapa jauh lantas didengarnya suara suitan Toan
Siu-seh yang dikenalinya sebagai suara sang guru, maka cepat
ia memburu kemari untuk menyongsongnya. Tak terduga
dilihatnya sang guru sedang bertempur dengan adiknya, maka
dari jauh ia lantas bersuara agar kedua orang tidak saling
cidera. Toan Siu-seh adalah guru pertama Beng Hoa, bahkan yang
membesarkan anak muda ini.
Segera Beng Hoa memberi hormat, katanya, "Suhu, mohon
dimaafkan kesembronoan adik murid yang kurang pengalaman
ini." "Hah, dia gurumu?" tanya Nyo Yam terkejut.
"Nah, tidak lekas kauminta maaf kepada Su pok"' bentak
Beng Hoa. Namun Nyo Yam tidak menurut, jawabnya, "Jika benar ia
gurumu, mengapa dia sengaja membela si jahanam Toan
Kiam-jing ini?"'
"O, kiranya dia adikmu," kata Siu-seh kepada Beng Hoa.
"masih muda belia dan sudah memiliki kepandaian setinggi ini,
sungguh harus dipuji. Ia tidak tahu asal-usulku, maka dia tidak
dapat disalahkan."
Ia berhenti sejenak, lalu menghela napas dan berkata pula,
"Memang kemenakanku ini yang salah, seumpama dia tidak
menghormatimu juga tidak kumarah padamu. Beng Hoa,
sekarang bukan kewajibanmu mintakan maaf bagi adikmu,
justru akulah yang ingin mohon kemurahan hati kalian
bersaudara."
Keruan Beng Hoa gugup, ucapnya, "Mengapa Suhu bicara
demikian, sungguh murid merasa malu. Ada urusan apa,
silakan Suhu bicara saja."
"Aku tidak dapat ikut campur urusan dalam perguruan
Thian-san," ucap Toan Siu-seh. "Cuma kungfu binatang cilik ini
sekarang sudah punah, maka kuharap kalian suka
mengampuni kematian nya."
Beng Hoa semula menyangka tulang pundak Toan Kiamjing
dihancurkan sendiri oleh sang paman, ia pikir umpama
Toan Kiam-jing dibawa pulang din dijatuhi hukuman, paling
berat juga cuma apa yang terjadi sekarang. Maka jawabnya,
"Suhu maha adil tanpa pandang bulu, tentu urusan ini akan
kulaporkan kepada Tong-ciangbun dan tentu beliau akan
memaklumi kehendak Suhu."
"Aku . . . aku ingin pulang ke Taili, biar mati saja di ... di
rumah. Paman, mohon engkau membawaku pulang . . . . "
habis bicara. Kiam-jirg pura-pura pingsan.
Tentu saja lagak pingsannya itu sukar mengelabui mata
Toan Siu-seh, namun punahnya kungfu Kiam-jing adalah
nyata, dengan sendirinya ia dapat membayangkan derita
kemenakannya itu jika harus disekap di Thian-san yang
bersuhu maha dingin.
Setelah ragu sejenak, akhirnya Toan Siu-seh berkata, "Anak
Hoa, mestinya aku hendak menyampaikan selamat kepada
Tong-ciangbun, tapi sekarang . . . ."
"Jika Suhu ada urusan lain boleh silakan saja," tukas Beng
Hoa. "Biarlah nanti kusampaikan pesan Suhu ini kepada Tong
ciangbun."
"Kamu memang murid yang baik," kata Toan Siu-seh sambil
memanggul Toan Kiam-jing dan dibawa peigi
Setelah kedua orang itu pergi, Nyo Yam berkata, 'Koko,
engkau sungkan kepada gurumu, tapi terlalu enak bagi
jahanam Toan Kiam-jing itu."
"Jangan berkata demikian," ujar Beng Hoa. "Manusia mana
yang tidak . . . ."
"Manusia mana yang tidak pernah berbuat salah, kalau
salah berani memperbaikinya itulah jalan paling baik,"
sambung Nyo Yam. "Demikian bukan yang hendak
kaukatakan" Namun aku tidak percaya manusia semacam
Toan Kiam-jing benar-benar dapat menyadari kekeliruannya?"
"Tapi tulang bahunya sudab dihancurkan pamannya dan
kungfunya sudah punah?" ujar Beng Hoa. '"Umpama sampai
mati pun dia tidak sadar, lalu apa yang mampu diperbuatnya
lagi" Keadaannya sudah sedemikian rupa, kupercaya Lingcicimu
pasti juga akan mengampuni dia. Sekarang lekas
kaususul ke Lodan untuk. mencari Ling cicimu."
- * - Tanpa alangan Nyo Yam menempuh per-jalanan dan tidak
sampai sebulan ia sudah masuk wilayah suku bangsa Lodan.
Di luar dugaannya, Ling Peng-ji tidak ditemukan, tapi sahabat
baik Peng-ji yang dilihatnya lebih dulu, yaitu pasangan suamiistri
Sindal dan Romana
Luka Sindal sudah sembuh, dia datang dari kampungnya.
Romana sendiri karena menguatirkan keselamatan sang
suami, maka sengaja memimpin sepasukan prajurit wanita
bertolak dari Lodan untuk memapak Sindal
Pertemuan dengan Nyo yam tanpa terduga ini membuat
mereka semua gembira. Kembali Sin-dal mengucapkan terima
kasih atas pertolongan Nyo Yam tempo hari, ia tanya, "Nyosiauhiap,
urusan engkau difitnah orang jahat itu tentu sudah
dibereskan bukan?"
"Terima kasih atas perhatianmu," tutur Nyo Yam. "Sekarang
Ciangbunjin baru sudah berkenan menerimaku kembali ke
dalam perguruan."
"Lalu dagaimana dengan Ling-cici, mengapa tidak datang
bersamamu?" sela Romana.
Nyo Yam terkejut, "Justru hendak kutanya kepadamu,
memangnya dia belum sampai di sini?"
"Tiga hari yang lalu waktu kutinggalkan Lo dan belum lagi
melihat kedatangannya," tutur Romana. "Tadi baru kutanya:
seorang prajurit pengintai yang baru keluar dari kota. katanya
beberapa orang yang baru datang juga tidak terdapat ' Lingcici."
Ling Peng-ji adalah sahabat baik Romana, jika nona itu
sudah datang tentu akan d laporkan prajurit pengintai itu
kepadauya. Keterangan ini sangat mengecewakan Nyo Yam, ia coba
tanya lagi, "Lalu bagaimana dengan Ce Se-kiat" Kaharnya
sejak bulan yang lalu ia sudah berangkat dari Cadam menuju
ke Lodan . . . ."
"Betul, dia memang suciah datang, tapi juga lantas
berangkat lagi," sahut Romana. "Tadinya kukira dalam
perjalanannya akan bertemu denganmu."
"Apakah dia berangkat ke Thian-san?" tanya Nyo Yam.
"Betul, begitu dia datang dan mendengar berita
keberangkatanmu ke Thian-san bersama Ling-cici, segera ia
pun menyusul ke sana," tutur Romana. "Eh. bukankah pedang
yang kaubawa ini adalah Peng pok-han-kong-kiam milik Lengcici?"
"Betul, justru Ling-cici yang minta kuserahkan pedang ini
kepadanya," kata Nyo Yam. "Sayang, kembali tidak dapat
bertemu dengan dia."
Diam-diam ia pikir, "Ce Se-kiat juga jatuh hati kepada Lingcici,
apabila dahulu tidak dialang-alangi ibunva, sebenarnya
mereka dapat menjadi pasangan suami-istri yang baik. Ai,
semuanya gara-garaku sehingga urusan menjadi runyam."
Mendadak perasaannya tergetar, "Mengapa aku menyesal
kegagalan hubungan mereka" Bukankah kuyakin hanya, diriku
saja yang dapat membuat bahagia Ling-cici" Mengapa
sekarang kepercayaanku sendiri goyah?"
Karena pikiran ini, seketika ia termenung dengan pikiran
kusut. "Eh, bagaimana dengan nona Liong itu?" tanya Romana
tiba-tiba. "Aku pun tidak tahu dia berada di mana sekarang," jawab
Nyo Yam bingung.
Romana menggeleng kepala, katanya, "Masih ingatkah apa
yang pernah kukatakan padamu tempo hari?"
"Apakah maksudmu kata kiasan suku Kasak yang
memgumpamakan cinta dengan gembok dan anak kunci itu?"
jawab Nyo Yam. "Betul," kata Romana "Kata kiasan itu menyatakan hanya
sebuah anak kunci yang dapat membuka sebuah gembok."
Melihat sikap Nyo Yam yang linglung itu Sin-dal juga
menggeleng kepala, katanya, "Peperangan di sini hampir
dimulai, untuk apa kalian bicara tentang gembok dan kunci
segala" Kukira urusan penting yang perlu kita bicarakan
sekarang adalah tentang cara bagaimana harus kita bobol
kepungan pasukan Boanjing kepada kita."
"He, bukankah kalian sudah menang suatu pertempuran?"
tanya Nyo Yam. "Peperangan tidak dapat ditentukae dengan sekali dua kali
kemenangan saja," ujar Sindal. "Pihak Boanjing sudah
mendatangkan bala bantuan dari Lamling, mungkin dalam


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu singkat mereka akan melancarkan serangan besarbesaran.'
"Coba terka mengapa kutanya kata nona Liong padamu?"
kata Romana. "Soalnya ada seorang kawan lain juga ingin
tahu keadaannya."
"Siapa"' tanya Nyo Yam.
"Orang ini pun kaukenal." tutur Romana. "Dia adalah tokoh
laskar rakyat Cadam Sau Ho-lian adanya."
Dahulu atas permintaan Beng Hoa pernah Sau Ho-lian
menggiring Nyo Yam ke Cadam, di tengah jalan tawanannya
dirampas Liong Leng-cu.
'Apakah dia masih dendam pada nona Liong dan diriku?"
tanya Nyo Yam. "Kebalikannya," tutur Romana. "Dia sudah tahu kalian
adalah kawan seperjuangan yang membantu kami melawan
pasukan Boanjing. Dia diutus oleh laskar rakyat untuk
mengadakan kontak dengan kami, sekarang dia masih berada
di tempat kami. Kabarnya Beng Goan-ciau Beng-taihiap segera
akan tiba membawa sepasukan sukarelawan."
"Apa betul?" Nyo Yam menegas dengan perasaan
terguncang sehingga suara pun berubah parau.
"Tentu saja betul," ucap Romana. "Eh, ada apa?"
Pada saat itulah terlihat di puncak gunung sekeliling
mengepul asap tebal, itulah isyarat pengintai yang berada di
pos pengintai puncak gunung itu menemukan jejak musuh.
"Hm, kedatangan pasukan musuh ternyata lebih cepat
daripada dugaan kita," jengek Smdal
"Ya, bukan waktunya buat kita bicara urusan pribadi,
marilah lekas kita pulang untuk siap tempur," ajak Romana.
"odwo"
Perkemahan sudah memenuhi loreng gunung, pada tanah
luang di depan setiap kemah terpancang tiang bendera, slang
hari bendera tanda kesatuan berkibar, malam hari tiang
bendera digunakan sebagai gantungan lampu.
Itulah kemah markas besar panglima pasukan Boanjing.
Waktunya tepat tengah malam, tempatnya di pegunungan
Pangkra, tepat sebelah timur ibukota Lodan.
Disiplin militer memang sangat keras, meski berlaksa
prajurit bercokol d?'lereng gunnng itu, namun suasana sunyi
senyap, Hanya terkadang terdengar alat tiup tanda waktu dan
desir angin yang menggoyangkan tabir kemah.
Beribu lampu yang tergantung di tiang bendera sebentar
guram sebentar terang laksana bintang-bintang di langit
sehingga pegunungan yang srnyi itu terhias semarak serupa
perempuan keluarga miskin yang mendadak bermandikan
batu manikam. Sayangnya tidak ada orang yang menikmati
kemegahannya. Yang ada cuma mondar-mandirnya prajurit
yang dinas ronda.
Panglima perang pasukan Boanjing sudah ganti orang.
Putranya tidak becus, sekarang bapaknya yang maju. Ting
Tiau-yong sendiri yang menggantikan Ting Hian-bu yang cuma
namanya saja gagah tapi sesungguhnya goblok.
Namun kekuasaan yang lebih besar justru berada di tangan
komisaris pasukan yaitu We Tiaug-jing. Dalam kedudukannya
sebagai wakil komandan pasukan pengawal istana, We Tiangjing
memegang pedang berkuasa penuh dari kaisar
Sekarang We Tiang-jing berada dalam kemah sendiri dan
lagi bicara dengan seorang perwira.
Tidak rendah juga pangkat perwira ini, dia memiliki
kedudukan ganda, pertama dia adalah ahliwaris Liok-yang-jiu
keluarga Nyo di Poting kedudukan yang lain adalah jago
pengawal istana kelas satu.
Dia bukan lain daripada ayah Nyo Yam, yaitu Nyo Bok.
Namun kedua tokoh yang dipuja ini sekarang duduk
berhadapan dan kelihatan resah.
Sudah sebulan lamanya pasukan Boanjing mengepung
dan menyerang Lodan, meski puncak gunung sekitarnya telah
diduduki, bahkan pasukan sudah berada di luar kota dan
mengepungnya rapat, namun selama ini belum mampu
membobolnya. Ucap We Tiang-jing dengan menyesal, "Sebenarnya kota ini
tidak terhitung kuat, tembok kota t.dak lebih cuma tiga
tombak tingginya, tak tersangka orang Katak ini selain mahir
menyerang juga pandai bertahan, Kabarnya kawanan penjabat
di Cadam sudah dikerahkan, juga bala bantuan dari beberapa
kelompok suku akan datang kemari. Jika dalam beberapa hari
kita tidak mampu menduduki kota ini. mungkin kita harus
menghadapi lawan dari muka dan belakang."
Nyo Bok berusaha memberi semangat, katanya, "Meski bala
bantuan dari beberapa kelompok suku itu pandai bertempur,
tapi mereka tidak terlatih, mereka tidak kompak dan tidak
perlu ditakuti. Lawan kita yang harus diperhatikan justru
adalah kawanan bandit dari Cadam itu Namun dari Cadam
kemari harus menembus tujuh lapis garis pertahanan kita,
memangnya begitu gampang dapat mereka lakukan' Apalagi
puncak gunung di sekeliling sini sudah kita duduki, jika mereka
ingin bergabung dengan pasukan yang bertahan di dalam
kota, sedikitnya mereka harus berkorban besar."
"Apakah kau tahu siapa panglima mereka?" tanya Wo
Tiang-jing dengan menyengir.
"Kalau bukan Ling Thi-jiau, bisa jadi adalah Siau Ci-wan."
ujar Nyo Bok Ling Thi-jiau dan Siau Ci-wan adalah pe-mimpin dan wakil
pemimpin Iaskar pemberontak di Cadam, dugaannya memang
masuk di akal. Namun ia tahu dugaannya itu pasti keliru, cuma
ia sengaja berlagak tidak tahu.
"Salah," kata We Tiang-jing. "Bukan Ling Thi-jiau, juga
bukan Siau Ci-wan, tapi dpimpin musuh bebuyutanmu, yaitu
Beng Goan-ciau."
Nyo Bok berlagak terkejut dan berseru, "Hah, dia?"
"Betul, dia," ucap We Tiang-jing dengan tegas. "Ia cuma
tokoh nomor tiga di Cadam, tapi bicara tentang memimpin
pasukan dan perang, dia lebih kuat daripada Ling dan Siau
berdua. Apalagi usia kedua orang ini sudah lanjut, kekuasaan
sesungguhnya sudah diserahkan ktpada Beng Goan-ciau dan
tokoh muda yang lain seperti Song Ting-siau yang berasal dan
keluarga terpelajar dan banyak membaca kitab militer, dia
memang seorang tokoh yang lihai. Namun Beng Goan-ciau
terlebih gagah dan cerdik daripada yang lain, dia terlebih
sukar dilayani, maka ketujuh lapis garis pertahanan kita
mungkin juga sukar menahannya "
Nyo Bok hanya menyengir saja, katanya, "Ah, Taijin
terlampau memuji kekuatan musuh dan melemahkan pamor
sendiri. Betapa lihai Beng Goan-ciau juga belum tentu selihai
itu. Apalagi dia datang dari tempat jauh, kekuatan pasukannya
juga jauh lebih lemah daripada kita. Betapapun kita tak perlu
gentar terhadap mereka."
"Sudah tentu kita tidak perlu gentar," kata We Tiang jing.
"Cuma sedemikian banyak tambahan kekuatan musuh, sedikit
banyak kan merepotkan juga.'
Bicara sampai di sini, ia pandang Nyo Bok sekejap, tiba-tiba
ia tanya dengan dingin, "Apakah sudah kaudapatkan berita
tentang putramu?"
Nyo Bok memang kuatir urusan ini ditanyakan orang,
terpaksa ia menjawab dengan gelagapan, "O, bel . . . belum."
"Kan kautugaskan putramu membunuh Beng Goan-ciau,
tampaknya anakmu itu tidak tunduk kepada perintahmu,
sebaliknya malah mengakui musuh sebagai ayah," jengek
We Tiang-jing. Nyo Bok tahu sebabnya dirinya masih dimanfaatkan adalah
karena pihak atasan masih berharap memperalat Nyo Yam,
terpaksa ia berusaha membela anaknya, katanya, "Meski
tindak-tanduk putraku itu kurang terkontrol, tapi bilang dia
mengakui musuh sebagai ayah kukira takkan terjadi. Di
depanku dia pernah bersumpah akan membunuh Beng Goanciau,
mungkin dia belum memperoleh kesempatan yang baik."
Air muka We Tiang-jing tampak agak cerah, tanyanya pula,
"Apakah dia masih berada di Cadam?"
"Kurang jelas. Jika dia ke Cadam, tentu sukar bagiku
mengadakan kontak dengan dia."
"Baik, akan kukirim orang untuk menyelidiki, jika sekali ini
putramu datang bersama Beng Goan-ciau, selanjutnya
mungkin masih diperlukan tenagamu "
Nvo Bok mengusap keringat, jawabnya, "Asalkan Taijin
perlukan jasa hamba, tentu akan ku-laksanakan sebaiknya."
"Kamu memang setia padaku, tentu akan kuperlakukan
dirimu dengan baik pula."
"Terima kasih atas perhatian Taijin," kata Nyo Bok.
"Kutahu O-congkoan menjadi bekingmu, tapi orang
kepercayaannya juga tidak cuma dirimu saja? jika ada tugas
baik mungkin sukar mend patkan giliran bagimu."
Kiranya We Tiang-jing semula adalah wakil Tai-lwecongkoan
Ogotai, baru beberapa bulan yang lalu dipindah
tugasnya menjadi wakil komandan pasukan istana. Dasar
ambisi orang ini memang besar, dia selalu penasaran karena
ke sana-sini hanya menduduki tempat wakil melulu. Sebab
itulah ia ingin banyak merangkul orang kepercayaan, dan Nyo
Bok termasuk salah seorang sasarannya.
Orang tua licin sebagai Nyo Bok tentu saja dapat meraba
maksud orang, dengan tertawa ia berkata, "Betapapun hamba
tidak berani mengharapkan tugas enak dari O-congkoan,
malahan hamba berharap beliau melupakan diriku saja. Yang
diperhatikan olehnya sekarang adalah Pek-toh-sancu, bulan
yang lalu delapan jago istana telah dikirim untuk membantu
Pek-toh-sancu untuk menumpas pihak Thian-san-pai. Tapi
kedelapan orang sampai sekarang tidak ada kabar beritanya,
besar kemungkinan sudah dibereskan orang. Coba tugas
semacam ini apakah enak" Kan lebih baik tidak."
"Apakah kautahu sebabnya kamu bebas dari penugasan
ini"'' tanya We Tiang-jing. "Mestinya kamu sudah masuk daftar
tugas, akulah yang pindahkan dirimu ke sini dengan atasan
untuk menghadapi Beng Goan-ciau. karena tidak ada alasan
untuk menolak, terpaksa ia luluskan permintaanku."
Nyo Bok berlagak sangat terharu dan mengucapkan terima
kasih, dalam hati ia pikir jika benar anak Yam telah mengaku
musuh sebagai ayah, sekali ini aku sendiri yang berbalik akan
celaka. Selagi pikirannya mefuyang memikirkan Nyo Yam, tiba-tiba
seorang penjaga masuk melapor kepada We Tiang-jing bahwa
Ting Tiau-yong mengundangnya ke markas untuk berunding.
Petugas yang mengundang ini bernama Lok Hong, orang
kepercayaan Ting Tiau-yong, bertugas sebagai ajudan yang
menyampaikan perin-tah panglima.
We Tiang-jing minta Nyo Bok tunggu dulu dalam
perkemahannya, ia sendiri mendahului menuju ke tempat Ting
Tiau-yong. Lok Hong harus menurut tatacara dan mengambil
tanda pengenalnya yang ditinggalkan di bagian piket. Perwira
piket dinas malam ini bukan lain daripada Bin Sing-liong, murid
Nyo Bok. Rupanya We Tiangjing ingin merangkul Nyo Bok,
maka sengaja mengangkat Bin Sing-liong sebagai pengawal
kepercayaannya.
Bin Sing liong juga kenal Lok Hong, sambil menyelesaikan
tatacara, dengan tertawa ia coba mengajak Lok Hong minum
arak dulu. Namun Lok Hong mengucapkan terima kasih karena
harus segera pulang untuk melayani Ting Tiau-yong.
Setelah meninggalkan perkemahan, belum terlalu jauh,
tiba-tiba muncul seorang yang membentak dan menyuruhnya
menyebut kata sandi
Lok Hong melihat yang menegurnya adalah seorang prajurit
peronda, ia merasa curiga, ia balas tanya. "Masa kamu tidak
kenal diriku?"
"Aku bertugas ronda, tidak peduli siapa pun harus bisa
menyebut kata sandi malam ini," jawab prajurit itu.
"Hm, kamu tidak lihat aku baru keluar dan kemah We-taijin,
sudah kutemui juga Bin Sing-liong, kamu hendak menanyai
aku?" jengek Lok Hong
Prajurit yang masih muda ini diam-diam ber-girang.
rupanya di sinilah kemah We Fiang-jing, sungguh sangat
kebetulan. Cuma dia rnasih sangsi akan sesuatu, ia coba
tanya, "Mengapa Bin Sing-liong berada di situ?"
Tentu saja Lok Hong curiga, katanya, "Bin Sing-liong dinas
piket di situ, masa kamu tidak tahu. Hm, jangan-jangan kamu
ini . . . ."
Belum sempat ia menyebut mata-mata musuh, prajurit
muda itu sudah turun tangan secepat kilat, tahu-tahu hiat-to
Lok Hong sudah tertutuk.
"Hehe, dugaanmu memang tidak salah," kata pemuda itu
dengan tertawa. "Bagi kalian, aku memang benar mata-mata
musuh." Sembari bicara ia seret Lok Hong dan dilemparkan ke dalarn
semak-semak. Rupanya pemuda ini baru datang sehingga tidak melihat
We Tiang-jing meninggalkan kemahnya dan disangka orang
masih berada di dalam. Cepat ia menggunakan ginkang yang
tinggi dan menyusup ke dalam kemah We Tiang-jing.
Saat itu Nyo Bok sedang duduk di dalam kemah dengan
pikiran kusut, ketika tiba-tiba dirasakan angin berkesiur dan
tabir kemah tersingkap oleh orang.
Nyo Bok duduk termenung dengan menunduk, d bawah
cahaya lampu yang guram pemuda ini tid ik melihat jelas
wajahnya, maka kontan ia lolos pedang dan menusuknya.
Pada detik terakhir itulah Nyo Bok mengangkat kepala dan
menegur, "Apakah Sing-Fong . . . . tahu-tahu terlihat ujung
pedang orang sudah mengancam di depan lehernya, keruan
kejutnya tak terkatakan
Ujung pedang terasa menempel tenggorokannya, asalkan
didorong sedikit aja pasti akan menembus lehernya. Namun
aneh juga, pada saat begitu orang itu justru melenggong,
ujung pedang gemetar dan tusukan tidak diteruskan.
Meski bukan tokoh kelas wahid, namun kungfu Nyo Bok
cukup hebat, pada detik yang menentukan mati-hidup itu,
begitu ada kesempatan, segera ia mengegos dan menutuk
Koh-cing-hiat orang. Tanpa perlawanan, "bruk", kontan orang
itu terjungkal.
Waktu Nyo Bok mengamati, ia sendiri me-lenggong juga.
Meski penerangan kurang, namun remang-remang wajah
orang masih dapat dilihatnya dengar, jelas Siapakah prajurit
muda ini" Kiranya tak-lain-tak-bukan adalah putranya sendiri
alias Nyo Yam. Rupanya ketika Nyo Yam membantu Lohai bertahan di
dalam kota, makin hari makin gawat suasananya. Tanpa


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa mereka sudah terkurung hampir sebulan dan bala
bantuan belum tampak tiba. Sedang perbekalan di dalam kota
semakin tipis. Setelah dipikir, akhirnya Nyo Yam mengambil suatu
keputusan, ia rela mengorbankan sendiri dan menyusup ke
markas besar musuh untuk membunuh panglima musuh.
Di luar tahu Lohai ia ganti pakaian seragam prajurid musuh
yang tertawan, malamnya lantas menyusup ke perkemuhau
pasukan musuh. Berkat ginkangnya yang tinggi, jejaknya tidak
sampai diketahui orang.
Kemah memenuhi lereng gunung, ia tidak tahu di mana
letak kemah panglima musuh, yaitu Ting Tiau-yong Selagi
bimbang, kebetulan juga dilihatnya Lok Hong keluar diri
perkemahan tadi, maka ia coba menggertaknya.
Siapa tahu kebetulan kemah panglima musuh yang
dicarinya terletak di depannya sekarang. Maka setehih
melemparkan Lok Hong ke dalam semak, segera ia menyuap
ke dalam kemah, lebih dulu Bin Sing-liong disergapnya. namun
orang yang duduk di dalam kemah ternyata bukan We Tiangjing
yang hendak dibunuhnya melainkan ayah sendiri, yaitu
Nyo Bok. Dasar ajal Nyo Bok belum tiba, ia bersuara lebih dulu.
Mengenali suara sang ayah, tusukan Nyo Yam tidak jadi
diteruskan. Dengan kungfu Nyo Yam sebenarnya sudah jauh di atas
sang ayah, dalam keadaan biasa, sekalipun dia tidak sampai
hati mencelakai ayah sendiri, betapapun Nyo Bok juga sukar
hendak menutuk roboh dia. Tapi sekarang, karena kaget,
maka dengan mudah sekali ia ditutuk roboh oleh Nyo Bok.
Kejadian tak terduga ini sama sekali tidak terpikir oleh Nyo
Yam, juga sama sekali tak tersangka oleh Nyo Bok.
Nyo Bok hanya mempunyai seorang putra kandung ini, pula
anak ini tadi pun tidak tega mencelakai dia, apakah sekarang
ia sendiri sampai hati menggunakan anaknya untuk menukar
kedudukan dan kejayaan yang diharapkannya"
Namun ia juga tidak berani menghadapi ke hancuran masa
depannya, bahkan risiko amblasnya nyawa sendiri jika
anaknya dilepaskan.
Begitulah timbul pergolakan pikirannya antara kedudukan
dan anak kandung sendiri,- akhirnya ia pikir harus
menyelesaikan Bin Sing-liong dulu, semoga We Tiang-jing
akan pulang agak lambat, kalau anak Yam dapat dibujuk
untuk menuruti kehendaknya, tentu segala urusan akan beres.
Ia coba keluar, benar juga terlihat Bin Sing-liong
menggeletak tcrtutuk. Ia bebaskan hiat-to murid yang tertutuk
itu dan berkata, "Sing-liong, bagaimana selama ini
kuperlakukan dirimu?"
Hati Bin Sing-liong kebat kebit, jawabnya, "Suhu sangat
berbudi padaku, jika bukan dukungan Suhu, mana murid
mempunyai kedudukan seperti sekarang?"
"Baik, jika begitu, ada suatu urusan ingin kuminta
bantuanmu, apakah sanggup?"
"Asalkan Suhu memberi perintah, biarpun terjun ke lautan
mendidih juga takkan kutolak."
"Tidak perlu terjun ke lautan segala, cukup kaututup mulut
mengena; apa yang baru terjadi ini," kata Nyo Bok. "Nanti
kalau We-taijin pulang, jangan kaulaporkan tentang
kedatangan perusuh."
"Baik, murid paham," jawab Bin Sing-liong lirih. "Suhu, cara
bagaimana akan kaubebaskan Sute?"
"Aku belum ambil keputusan. Akan coba ku-bujuk dia ke
perkemahanku."
Karena tertutuk, Nyo Yam tidak dapat berkutik, namun
mulutnya dapat bicara.
Tapi ketika sang ayah mengajak bicara padanya dan
membujuknya dengan berbagai cara, Nyo Yam tetap
membungkam tanpa bicara sepatuh kata pun.
"Anak Yam," bujuk Nyo Bok lebih lanjut. "Jika kamu tidak
mau membantu ayahmu, jelas nyawa ayah sukar
diselamatkan, kamu sendiri juga sukar lolos dari sarang
musuh. Memangnya kamu tega gugur bersamaku begini saja?"
Entah karena terharu atau ingin melunakkan hati anaknya.
bicara sampai di sini beberapa butir air mata Nyo Bok benarbenar
menitik keluar.
Baru sekarang Nyo Yam tidak tahan dan buka mulut,
"Ayahku sudah lama mati. Soal diriku, jika aku sayang akan
jiwaku, tentu aku tidak berani datang kemari."
Nyo Bok tersenyum kecut, ia hendak membujuk lagi, tibatiba
terdengar suara orang, ternyata We Tiang-jing sudah
pulang. Nyo Bok terkejut, cepat ia tambahi Nyo Yam dengan
tutukan hiat-to bisunya dan mendorong anak muda itu ke
kolong ranjang.
Kolong ranjang yang dimaksudkan disini adalah "ranjang"
khas orang utara, yaitu terbuat dan tanah liat. Karena hawa
udara yang dingin di daerah utara, biaranya kolong ranjang
diberi arang atau bahan bakar lain untuk menggarang ranjang
tanah liat agar menimbulkan rssa banget.
We Tiang-jing berkedudukan sebagai komisaris atau
inspektur pasukan, tempat tidurnya tentu iuga lebih bagus
daripada orang lain. Kolong ranjang-nya lebih longgar, arang
yang dibakar hanya terdapat di bagian tengah, kedua sisi
masih ada tempat luang untuk menaruh arang. Karena sisa
tempat itulah Nyo Bok dapat menggunakannya untuk
menyembunyikan Nyo Yam.
Dan baru selesai Nyo Bok bekerja, We Tiang-jing sudah
masuk ke dalam kemah, tentu saja hati Nyo Bok berdebardebar,
cepat ia mengucapkan selamat malam.
"Bagus sekali kamu, Nyo Bok!" kontan We Tiang-jing
mendengus. Keruan Nyo Bok terkejut, ucapnya, dengsn suara agak
gemetar, "Hamba . . . hamba tidak"
Belum lanjut ucapannva, sambil menjengek We Tiang-jing
lantas menutuk hiat-to dan merobohkan Nyo Bok.
Yang tertutuk hanya hiat-to kelumpuhan sehingga mulut
Nyo Bok masih dapat bicara, dengan ketakutan ia berseru,
"Selama ini hamba selalu setia kepada Taijin, entah dalam hal
apa hamba barbuat salah, mohon . . . mohon Taijin memberi
petunjuk, supaya mati pun hamba tidak penasaran."
"Hm, kamu bagus sekali," jengek We Tiang-jing pula. "Tapi
aku justru ikut terembet susah oleh perbuatanmu."
"Maaf, hamba tidak paham maksud Taijin, mohon diberi
penjelasan," pinta Nyo Bok.
"Apakah kautahu untuk apa Ting Tiau-yong mengundangku
ke sana?" tanya We Tiang-jing, tapi sejenak kemudian ia
menjawab sendiri, "Ternyata bukan untuk berunding sesuatu
urusan penting segala melainkan cuma memberitahukan
tingkah-polah anak kesayanganmu itu."
Nyo Bok tambah terkejut, ia pikir jangan-jangan waktu anak
Yam datang tadi telah dilihat orang Ting Tiau-yong.
Tapi setelah dipikir lagi, jika benar We Tiang-jing tahu anak
Yam sudah datang kemari, begitu kembali tentu dia akan
tanya Bin Sing-liong dan tidak mungkin masuk ke dalam
kemah begitu saja. Maka sedapatnya ia tenangkan diri, lalu
berkata pula, "Apakah yang telah dilakukan binatang kecil itu,
sungguh hamba tidak tahu."
"Kamu benar tidak tahu atau cuma pura-pura tidak tahu?"
jengek We Tiang-jing pula. "Supaya mengerti, bahwa kau
bilang anakmu tidak nanti mengaku musuh sebagai ayah,
kenyataan justru kebalikannya. Sudah lama ia mengaku
musuh sebagai ayah. Bukannya ia bunuh Beng Goan-ciau,
sebaliknya ia berkomplot dengan dia dan merusak rencana
besar kita. Hm, mendingan kupercaya tiada persekutuan
antara kalian ayah dan anak, tapi Ting Tiau-yona; tidak
mempercayaimu lagi. Jika tidak kujamin akan dirimu, saat ini
mungkin kepalamu sudah dipenggal."
"Terima kasih atas budi pertolongan Taijin," seru Nyo Yam.
"Apa yang diperbuat binatang kecil itu sungguh hamba tidak
tahu menahu dan tidak ada sangkut pautnya denganku."
"Apakah benar kamu tidak tahu saat ini Nyo Yam berada di
mana?" tanya We Tiang-jing.
Tergetar hati Nyo Bok, dengan nekat ia menjawab, "Hamba
memang tidak tahu."
"Dia tidak berada di Cadam, juga tidak berada dalam
pasukan Beng Goan-ciau, tapi dia sekarang berada di Thiansan."
Nyo Bok menghela napas lega, katanya. "Untuk apa
binatang kecil itu pergi ke Thian-san" Setahuku dia sudah
dipecat oleh Thian-san-pai dan dia tidak berani pulang ku
sana, sungguh sangat di luar dugaan."
We Tiang-jing mendengus, katanya, "Jadi kamu memang
tidak tahu" Padahal anak itu sudah berjasa bagi Thian-san-pai
din sekarang Tong Kah-goan sudah mengizinkan dia masuk
kembali kedalam perguruan."
Nvo Yam tambah terkejut, maklumlah, tentang Nyo Yam
berjasa bagi Thian-san-pai, bagi mereka sesungguhnya adalah
"dosa" Nyo Yam. Maka untuk menghindar agar dirinya tidak
tersangkut, cepat Nyo Bok bertanya. "Sesungguhnya apa yang
telah diperbuat binatang cilik itu?"
"Menurut cerita Bu Ek bertiga yang baru pulang dari sana,
mereka bertiga bergabung dengan Pek-toa-sancu dan
menyergap pihak Thion-sun-pai, rencana mereka sebenarnya
teratur sangat rapi, siapa tahu entah mengapa pihak Thiausau-
pai sudah siap sedia lebih dulu, akibatnya usaha mereka
gagal total. Sebabnya Thian-sen-pai merdapat kemenangan
adalah karena dua orang andalan mereka. Yang satu Beng
Hoa dan yang laia udalah putramu Nyo Yam. Beng Hoa
mengalahkan Pek-toh-sancu dan Nyo Yam juga pernah
bergebrak dengan Ubun Pok, lalu bertempur lagi dengan Toan
Kiam-jing. Mereka mendengar sendiri Nyo Yam memanggil
Koko kepada Beng Hoa. Jika dia dapat menyebut kakak
kepada Beng Hoa, dengan sendirinya juga dapat memanggil
ayah kepada Beng Goan-ciau. Coba, bukankah itu berarti tu
sudah mei gakui musuh sebagai ayah?"
Nyo Bok tidak berani menanggapi, ia cuma mencaci-maki,
"Dasar binatang, sungguh aku bisa mati gusar karena
tingkahnya itu."
"Hm, mendingan jika dia cuma mengakui musuh sebagai
ayah," jengek We Tiang-jing. "Mungkin sekali gagalnya
rencana ini juga karena perbuatannya. Bu Ek sudah
melaporkan apa yang terjadi itu kepada Ting Tiau-yong dan
minta diusut siapa yang membocorkan rahasia kepada
musuh." Bu Ek dan begundalnya baru pulang dari kekalahan mereka
di Thian-san, dengan sendirinya mereka mencari alasan untuk
menutupi rasa malu mereka. Sebab itulah mereka sengaja
mengalihkan kekalahan mereka dengin alasan ada orang
membocorkan rahasia rencana mereka kepada pihak Thiansan-
pai. Dan karena itulah Nyo Bok yang menjadi sasaran
curiga mereka. Nyo Bok sendiri adalah jago pengawal istana, ia pun tahu
rencana sergapan terhadap Thian-san-pai itu.
Keruan mukanya menjadi pucat, cepat ia mengeluh, "Wah,
padahal sejak tahun yang lalu ku libat binatang kecil itu di
kotaraja, sampai sekarang belum pernah lagi kulihat dia.
Pertemuan dnlu itu juga atas perintah O-congkoan, hamba
menyuruhnya membunuh Beng Goan-ciau, siapa tahu justru
kebalikannya yang dilakukan."
Sebenarnya Nyo Yam sudah tidak mempunyai sesuatu ilusi
terhadap sang ayah, tapi kini mendengar sendiri pengakuan
Nyo Bok itu, mau-tak-mau timbul juga rasa gusar dan dukanya
akan jiwa sang ayah yang kotor itu.
Terdengar We Tiang-jing berkata pula, 'Kan sudah
kukatakan, kupercaya padamu, namun Ting taiswe yang tidak
mau percaya padamu."
"Mohon Taijin suka bicara bagiku di depan Ting-taijin,"
mohon Nyo Bok. We Tiang-jing menggeleng, katanya, "Bu Ek bertiga sudah
menyatakan pasti kamu y?ng membocorkan rahasia kepada
musuh, maka Ting Tiau yong hendak meringkusmu dan
memeriksa sendiri urusan ini. Kecuali kamu menjamin akan
mencari pahala untuk menebus dosa, kalau tidak, betapapun
tidak kutolong dirimu."
Cepat Nyo Bok berseru, "Baik, hamba berjanji. . . ."
"Jangan terlalu cepat bicara," jengek We Tiang-jing.
"Mencari pahala untuk menebus dosa, untuk ini harus ada
tindakan nyata baru orang mau percaya padamu. Maka
setelah jelas apa yang akan kaulakukan bolehlah kaubicara
lagi padaku."
Berdebar-debar hati Nyo Bok, ia pikir bila sekarang
kuserahkan anak Yam, tentu jiwaku dapat diselamatkan. Tapi
jiwa anak Yam yang akan menjadi korban.
Selagi Nyo Bok sukar mengambil keputusan tanpa diundang
tampak Bin Sing-tiong muncul di situ.
"Tanpa kupanggil, kenapa kautinggalkan tempat tugas,
untuk apa kaudatang kemari?" bentak We Tiang-jing.
"Hamba ingin bicara urusan Suhu," jawab Sing-liong.
"Hm, hanya dirimu saja dapat membela Nyo Bok?" bentak
We Tiang-jing gusar.
Nyo Bok tidak tahu apa kehendak Bin Sing-liong, namun
lamat-lamat dirasakan gelagat tidak anak, cepat ia pun
membentak agar muridnya itu lekas enyah.
Tapi Bin Sing-liong mendadak berlutut dan berkata,
"Maafkan Suhu, jika urusan ini tidak kukatakan, rasanya aku
berdosa terhadap We-taijin."
Nyo Bok terkejut, cepat bentaknya, "Kauberani semb . . . . "
Belum lanjut ucapannya ia sendiri sudah tidak sanggup
meneruskan. Betapa licin dan pengalaman We Tiang-jNyo Bok itu segera ia tahu orang kuatir muridnya melaporkan
sesuatu, segera ia tutuk lagi hiat-to bisu Nyo Bok, lalu katanya
kepada Bin Sing-liong, "Jangan takut, bicaralah yang jelas.
Apikah ada sesuatu urusan yang dia rahasiakan padaku?"
"Hamba utang budi terhadtp guru, sebenarnya tidak layak
kulapor kesalahan guru sendiri," tutur Bin Sin-liong. "Tapi
urutan ini sangat luas sangkut-pautnya, maka.."
"Jangan melantur, lekas bicara urusan pokok," bentak
Tiang-jing. "Dugaan Taijin memang tepat, memang betul ada sesuatu
yang dirahasiakan Suhu terhadap Taijin," tutur Sing-liong.
"Urusan apa?" tanya We Tiang-jing.


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tadi Nyo Yam masuk ke sini hendak menyergap Taijin dan
dapat dipergoki Suhu, sejauh ini hamba tidak melihat bocah
itu keluar dari sini, kukira dia masih disembunyikan di sini oleh
Suhu." Keruan We Tiang-jing terkejut, serunya, "Apa katamu" Nyo
Yam berada di sini?"
"Ya, silakan Taijin menggeledah kemah ini." kata Sing-liong.
Segera We Tiang-jing mencengkeram Nyo Bok dan berkata,
'"Baik, boleh kaugeledah segenap pelosok kemah ini. Jika
bocah itu berani melawan. segera kumampuskan ayahnya."
Rupanya We Tiang-jing tidak tahu Nyo Yam juga tidak
dapat berkutik karena hiat-to tertutuk oleh sang ayah. untuk
mencari selamat, lebih dulu ia pegang Nyo Bok sebagal
tameng, lalu menyuruh Bin Sing-liong melakukan
penggeledahan. Bin Sing-liong tahu asalkan tempat sembunyi Nyo Yam
ditemukan, denpan mudah dapatlah anak muda itu dibekuk.
Diam-diam ia bergirang, disangkanya mendapat kesempatan
baik untuk mencari pahala.
Agar sandiwara Ini dapat dimainkan dengan baik, ia
berlagak bekerja giat dan cermat, setiap sudut kemah itu
diperiksanya dengan tenti Tak disadarinya bahwa caranya
mengulur waktu itu justru memberi kesempatan kepada Nyo
Yam untuk meloloskan diri dari lubang jarum.
Karena di dalam kemah tidak banyek tempat yang
tersembunyi, dengan sendirinya Nyo Yam dapat ditemukannya
di dalam kolong ranjang.
"Aha, ini dia!' serunya dengan tertawa begitu berjongkok
dan melongok ke kolong.
Siapa tahu, belum lenyap suaranya, tahu-tahu tubuhnya
terlempar serupa bola.
Kiranya pada saat itu juga Nyo Yam berhasil mengerahkan
tenaga murni dan menjebo hiat-to yang tertutuk. Lwekangnya
memang sudah melebihi sang ayah, tutukan Nyo Bok juga
tidak menggunakan tenaga berat. Maka begitu hiat-to terbuka
seketika tenaga Nyo Yam pun pulih. Baru saja Bin Sing-liong
berjongkok, kontan perutnya didepak Nyo Yam hingga
mencelat Sangat kebetulan jugi, arah mencelat tubuh Bin Sing-liong
itu justru menuju tempat We Tiang-jing yang sedang
menubruk maju. Perubahan kejadian ini datangnya terlalu mendadak, We
Tiang-jing kaget dan menyangka Nyo Bok bersekongkol
dengan muridnya untuk menjebaknya. Ketika mendadak tubuh
Bin Sing-liong menyambar tiba, tanpa banyak pikir segera ia
menghantam sehingga Bin Sing-liong terbanting ke lantai,
sedang Nyo Bok yang terpegang olehnya berbalik terlempar.
Sudah terdepak, ditambah lagi luka pukulan We Tiang-jing,
tanpa ampun lagi Bin Sing-liong menjerit dan binasa.
Dalam pada itu, dengan cepat sekali Nyo Yam lantas
menerjang keluar laksana harimau menerkam.
Ilmu silat mereka berdua memang mempunyai keunggulan
sendiri, ketika bergebrak di kotaraja dahulu juga belum dapat
ditentukan kalah dan menang. Tapi pertama lantaran selama
setengah tahun ini kungfu Nyo Yam mengalami kemajuan
pesat, kedua, We Tiang-jing diserang secara mendadak
sehingga dia kaget dan agak gugup. Maka di bawah serangan
gencar Nyo Yam, setelah 30 jurus kemudian We Tiang-jing
mulai kewalahan.
Sembari bertahan sekuatnya We Tiang-jing lantas berteriakteriak
memanggil anak buah, akan tetapi aneh, sampai sekian
lama tidak ada jawaban dan juga tidak ada seorang pun yang
muncul. Dengan suara parau We Tiang-jing berteriak lagi, segera
ada orang menjawab, ' We taijin, jangau kuatir, kudatang
membantu!"
Anehnya, yang menanggapi ini suara orang perempuan.
Yang kegirangan adalah Nyo Yam, serunya, "Leng-cu,
kiranya engkau!"
Dalam sekejap itu, Nyo Yam dan We Tiang-jing sama sama
melenggong. Pada saat itulah tabir kemah tersingkap dan
seorang menerobos masuk sambil ayun sebelah tangan.
Pendatang ini memakai seragam prajurit Boanjing meski
berdandan sebagai lelaki, betapapun tetap dikenali Nyo Yam,
jelas orang ini samaran Liong Leng-cu.
Dalam girangnya segera Nyo Yam ingat keadaan masih
gawat, segera ia melancarkan serangan dahsyat lagi terhadap
We Tiang-jing. Karena harus melayani sana-sini dan menyadari apa yang
terjadi, namun sudah terlambat, tahu-tahu dengkul terasa
kesemutan terkena sebuah jarum yang disambitkan Liong
Leng cu. Nona itu pun sudah mengeluarkan cambuk perak dan
langsung menyabet bagian kaki We Tiang-jing.
Kerja sama Nyo Yam dan Liong Lcng-cu sangat bagus, We
Tiang-jing hanya sempat menangkis pukulan Nyo Yam dari
depan dan sukar menghindari cambuk Liong Leng-cu, apalagi
kaki terkena jarum, tanpa ampun ia tertutuk hiat-to
kelumpuhan oleh Nyo Yam, dapatlah kedua muda-mudi itu
menawan gembong kerajaan Boanjing ini.
Nyo Yam tidak sempat tanya Liong Leng cu, segera ia
mendekati sang ayah dan membuka hiat-to yang tertutuk.
Lunak juga hati Nyo Yam, ia pikir betapapun ayah masih
punya perasaan dan tidak sampai bati menjual diriku. Seketika
ia pun tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Ia keluarkan sebiji obat dan dijejalkan ke mulut Nyo Bok,
katanya, "Inilah Siau-hoan-tan buatin Siau-lim-si, minumlah,
nanti kita cari akal untuk lari."
"Bumi ini sudah tiada tempat berpijak untukku, barlah
kalian saja lekas lari, jangan urus diriku lagi," ucap Nyo Bok
dengan menyengir.
Ia tahu luka dalam sendiri sargat parah, biarpun diberi Shuboau
tan juga sukar hidup lama lagi. Apalagi luka batinnya
jauh lebih parah daripada luka badan, ia malu untuk mencari
selamat di bawah pertolongan anandanya.
Nyo Yam dan Leng-cu tidak tahu separah itu luka Nyo Bok,
Leng-cu coba membujuk, "Paman, jangan engkau berpikir
demikian, asalkan seterusnya engkau mau meninggalkan
tempat musuh dan tidak kembali lagi, betapapun kita tetap
sanak keluarga. Yang diharapkan kami justru datangnya hari
seperti ini, meski sudah lama kami tunggu, tapi belum terlalu
terlambat Betul tidak, kakak Yam?"
Kerongkongan Nyo Yam seresa tersumbat, ia hanya
mengangguk saja.
"Beberapa prajurit di luarsudah kurobohkan." tutur Leng-cu.
"Mumpung hari belum terang, marilah kita lekas berangkat
Apakah paman sanggup berjalan?"
Selagi Nyo Yam hendak memanggul sang ayah untuk
melarikan diri, tiba-tiba terdengar suara gemuruh meriam
berkumandang dari jauh. Menyusul suara tambur bertalu-talu
dengan ramai disertai ringkik kuda dan teriak manusia
Serentak perkemahan pasukan menjadi ramai sekali.
Waktu Nyo Bok menyingkap ujung tabir kemah, terlihat
beberapa pasukan sudah mulai bergerak menjadi barisan
panjang dengan obor yang terang benderang.
Nyo Bok sudah lama berkecimpung dalam pasukan perang,
katanya, "Melibat gelagatnya, besar kemungkinan patukan
musuh hendak menyerang di tengah malam."
Meski kurang senang kata "musuh" yang diucapkan sang
ayah itu, namun Nyo Yam lantas berseru kegirangan. "Ah,
bagus sekali, tentu laskar Cadaai yang menyerbu tiba."
"Walaupun bagus, tapi sekarang pasukan di luar sedang
siap tempur dengan obor terang benderang, betapapun kalian
sulit menerjang keluar," kata Nyo Bok.
Belum lenyap suaranya, terdengar suara lari kuda, dua
penunggang kuda tampak mendekati kemah We Tiang-jing ini.
Pengalaman Nyo Bok sangat banyak, ia menduga yang
datang ini mungkin petugas yang hendak menyampaikan
perintah Ting Tiau-yong. Segera ia ambil keputusan cepat,
katanya, "Lekas ringkus diriku, We-taijin, maaf, hendaknya
kita main sandiwara satu babak."
Buru-buru ia mengitur tipu dan menyuruh Nyo Yam dan
Liong Leng-cu melaksanakannya.
Nyo Yam dan Leng-cu memakai seragam prajurit Boanjing,
segera Leng-cu meringkus Nyo Bok dan pura-pura sebagai
penjaga. Sedang Nyo Yam menyaru sebagai anak buah We
Tiang-jing dan berdiri di sebelahnya.
Nyo Yam membuka hiat-to We Tiang-jing, tapi dengan cara
yang khas, yaitu hanya membuat Wo Tiang-jing dapat
bergerak bebas, namun tidak bertenaga. Lalu Bin Sing-liong
dilemparkan ke dalam kolong.
"Jangan sembarang omong jika tidak ingin kusiksa dirimu,"
bisik Nyo Yam di tepi telinga Tiang-jing. Baru sekaii ia
membisiki We Tiang-jing kedua orang pendatang pun masuk.
Meski kedua orang ini pernah melihat Nyo Yam di Thiansan,
tapi sekarang anak muda ini dalam keadaan menyamar
dan berseragam prajurit, dengan sendirinya tidak dapat
dikenali mereka.
Kiranya kedua orang ini adalah Ho Tiu dan To Lian yang
baru pulang.Pecundang dari Thian-san bersama Bu Ek itu.
Mereka heran ajudan We Tiang-jing bukan Bin Sing-liong,
tapi sudah ganti orang lain, namun demi melihat keadaan Nyo
Bok, mereka pikir jika Nyo Bok saja sudah ditangkap, dengan
sendirinya Bin Sing-liong yang menjadi murid Nyo Bok juga
tidak dapat dipakai lagi.
Segera Ho Tiu bsrkata, "Cara bekerja Wetajin sungguh
amat cepat, kiranya sejak tadi mata-mata mu"uh ini sudah
tertngkap di sini."
"Memang baru saja hendak kugusur dia ke tempat Tingtaijin,"
kata We Tiang-jing.
"Ting-taijUi tidak ada waktu untuk memeriksa mata-mata
musuh, beliau menyuruh kami mengawasinya untuk
sementara, bolehlah We-taijin menyerahkan dia kepada kami
saja," tukas To Lian.
"Betul juga, belum kutanya untuk urusan apa kalian datang
kemari," kata We Tiang-jing.
"Selain mengambil tawanan, juga hendak melaporkan
keadaan," tatur Ho Tiu.
"Genderang berbunyi riuh di luar, entah ada terjadi urusan
gawat apa?" tanya We Tiang-jing pula.
"Musuh melancarkan serangan malam," tutur Ho Tiu.
"Pertempuran sedang berlangsung di lembah bawah, malahan
sebagian musuh sudah menyerbu ke atas. Menurut laporan,
pasukan penyerbu ini selain kaum pemberontak dari Cadam,
terdapat juga beberapa kelompok suku bangsa daerah
Sinkiang. Pentolan laskar pemberontak Cadam, yaitu Beng
Goan-ciau, sudah terlibat di tengah pasukan musuh."
Nyo Yam yang berdiri di samping We Tiangjing sedapatnya
menahan perasaan gembiranya, tapi tetap tidak tahan dan
terlihat dari air mukanya yang berseri-seri.
Terdengar To Lian ikut bicara, "Saat ini Ting taijin sibuk
mengatur siasat, mestinya beliau hendak datang dan bicara
sendiri dengan We-taijin, tapi karena keadaan cukup genting
sehingga terpaksa We-taijin diminta ke sana sekarang juga."
Habis bicara segera mereka siap untuk membawa pergi Nyo
Bok. Tiba-tiba We Tiang-jing berkata, "Untuk mengawal tawanan
penting ini, biarlah kedua pem-bantuku ini ikut pergi bersama
kalian." Sembari bicara ia pun memberi kedipan. Karena berdiri di
samping, Nyo Yam tidak melihat perbuatan We Tiang-jing itu.
Ho Tiu berdua memang sudah menaruh curiga terhadap
Nyo Yam, kedipan mata We Tiang-jing membuat mereka
waswas, serentak mereka melolos senjata dan hendak
menyeret Nyo Bok sambil membentak, "Biarkan kami sendiri
yang membawa tawanan ini."
Belum lenyap suara mereka, Nyo Yam telah menyambut
mereka dengan terbahak, "Haha, sudah terlambat!"
Sekali melompat, langsung ia papaki kedua jago istana itu
dan menyerang secepat kilat.
Di tengah suara gemerincing dan cahaya perak vang
menyilaukan, kedua jago istana kontan roboh.
Kiranya yang digunakan Nyo Yam adalah jurus "Oh-kahcap-
pek-pak". Setelah menyaksikan Tan-ciu-sing dan Beng
Hoa menggunakan jurus ini tempo hari, dalam waktu singkat
Nyo Yam pun dapat mendalaminya dengan baik.
Sebenarnya Ho Tiu berdua terhitung jago pedang kelas
tinggi di antara jago istana, dalam keadaan biasanya mestinya
Nyo Yam sukar mengalahkan mereka. Tapi lantaran kedua
orang itu sudah pernah kecundang oleh jurus serangan itu di
Thian-san, mereka masih ngeri mambayangkan jurus serangan
maut itu, pula sama sekali tidak mereka duga bahwa se'am
Tan-ciu-sing dan Beng Hoa ternyata masih ada seorang anak
muda yang mampu menggunakan jurus serangan lihai itu.
We Tiang jing juga melongo kaget, ucapnya, "Sungguh
hebat. Nyo Yam, boleh kaubunuhku dengan jurus ini. Biarpun
mati pun berharga jika gugur di bawah jurus serangan ini."
Nyo Yam tidak menggubisnya, ia mendekati Nyo Bok dan
hendak membuka ringkusannya.
"Tidak perlu," teriak Nyo Bok dengan gusar.
"Sebab apa?" Nyo Yam melenggong.
"Biarkan We Tiang-jing membawaku menemui Ting Tiauyong,"
kata Nyo Bok. "Jangan, ayah," seiu Nyo Yam, "mana boleh engkau
mandah dibinasakan erang" Apapun juga kita harus
menerjang keluar."
"Selelah membuka ringkusanku, apakah kita dapat
menerjang keluar?" ucap Nyo Bok. "Caraku ini adalah biarkan
mati untuk kemudian mencari hidup. Dengan sendirinya bukan
melulu We Tiang-jing saja yang menggusurku ke sana, kalian
tetap dapat menyamar sebagai anak buahnya. Nah, anak Yam,
masa kamu belum paham maksudku?"
Tersadar juga Nyo Yam, ia pikir memang betul, hanya
dengan cara demikian baru dapat mendekati Ting Tiau-yong.
Tatkala mana, secara mendadak Ting Tiau-yong dapat dibekuk
dan dijadikan sandera, dengan begitu mungkin ada harapan
untuk lolos. Padahal tidak semua jalan pikiran Nyo Bok tepat dipahami
Nyo Yam. Rupanya Nyo Bok menyadari jiwanya takkan bertahan lama,


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka ia bertekad akan mengorbankan nyawa sendiri untuk
memberi kesempatan hidup bagi putranya.
Meski keputusannya itu akan mengakibatkan siksa badaniah
baginya, caman perataannya justru terasa puas. ia pikir sudah
sekian iama kuharapkan dan baru sekarang dia sudi
memanggil ayah padaku, maka mati pun aku tidak escayesal
lagi. Segera Nyo Yam mendengus terhadap We tiang-jing, "Hm,
kamu ingin mati dengan enak, mana boleh begitu mudah
bagimu?" Sekali jarinya menjojoh tubuh orang, seketika We Tiang-jiag
merasakan segenap ruas tulangnya seperti ditusuk beribu
jarum, penderitaan demikian sungguh melebihi alat siksaan
apa pun di dunia ini.
Yang lebih celaka adalah tenaga dalamnya sudah hilang,
ingin membunuh diri pun sukar, terpaksa ia memohon, engkau
menghendaki apa, biarlah aku menurut saja, harap
mengampuni aku."
"Menurut perintahku dan menemui Ting Tiau-yong," kata
Nyo Yam. "Hra, jika berani main gila, masih banyak berbagai
cara penviksaan yang dapat kaurasakan."
Habis berkata ia lemparkan mayat To Lian dan Ho Tiu ke
kolong, lalu We Tiang-jing dipaksa menurut perintahnya.
Pertempuran sedang berlangsung dengan sengit, malam
yang semula cerah mendadak diliputi awan mendung tebal,
bahkan berjangkit angin keras.
Selesai mengatur siasat, saat itu Ting Tiau-yong sedang
memimpin satu pasukan pribadi dan mengontrol garis
pertahanan bagian belakang.
Melihat malam gelap, dengan kening be kernyit ia
berkata, "Sungguh cuaca yang sukar diduga, tampaknya
segera akan hujan lebat."
Maklumlah, bilamana terjadi hujan di tengah malam gelap,
itu berarti lebih menguntungkan se raigan musuh.
"Hanya kawanan bandit, paling-paling hanya bersif it
mengacau saja, ujar Seng Thian-tik, komandan pengawal
pribadi. "Betapapun mereka tidak mampu membobol garis
pertahanan kita yang berlapis-lapis."
Baru selesai ucapannya, tiba-tiba api berkobar di puncak
bukit depan sana, suara pertempuran kedengarannya cukup
dekat dan terseling jerit prajurit yang terluka atau binasa
Jarak puncak bukit itu cuma tiga li dari kemah markas
panglima itu dan sudah termasuk garis pertahanan terakhir.
Keruan Ting Tiau-yong terkejut, katanya,
"Mengapa begini cepat kemajuan musuh, lekas kirim ornng
untuk mencari berita."
"Ketiga jurusan yang lain tidak teriadi sesuatu, tampaknya
cuma kelompok kecil kaum bandit yang berusaha menyergap
Hek-hou-kong," tutur Seng Thian-tik.
Hek-hou-kang atau bukit harimau hitam adalah puncak
bukit terapat perkemehan pasukan Boanjing yang terbakar itu.
"Hek-hou-kang cukup curam dan sukar dibobol musuh,
mana mungkin kawanan bandit mampu menerjang ke situ
secara mendadak, apakah mungkin mereka bisa terbang?"
ujar Ting Tiau-yong dengan bingung sehingga menambah rasa
waswasnya. Sementara itu angin puyuh teiah berjangkit, sekonyongkoayong
terdengar suara gemuruh, tiang bendera di depan
markas besar patah tertiup angin, panji kebesaran panglima
pun jatuh. Itulah alamat tidak baik.
Tentu saja perasaan Ting Tiau-yong tambah tidak enak,
bentaknya, "Mengapa dari Hek-hou-kang belum datang
laporan, lekas kirim orang uatuk menyelidiki."
Bu Ek hadir di situ, tiba tiba ia berkata, "Itu dia, kelihatan
beberapa orang datang!"
Ting Tiau yong berpaling dan bertanya, "Di mara?"
"Tampaknya bukan orang dari Hek-hou-kang melainkan dari
bukit di sebelah sana," tutur Bu Ek.
Baru sekarang Ting Tiau-yong melihat lamat-lamat di lereng
bukit sana ada beberapa sosok bayangan orang
"He, tampaknya kungfu beberapa orang itu tidak lemah?"
seru Seng Thian-tik dengan heran
Ting Tiau-yong merasa curiga, bentaknya "Lekas tegur
siapa mereka"!"
Maklumlah, bilamana benar utusan dari garis depan yang
hendak menyampaikan berita, senarus nva mereka naik kuda.
Lwekang Bu Ek jauh lebih kuat daripada Seng Thian-tik,
segera ia membentak dengan lantang untuk menegur
kawanan pendatang itu.
Ting Tiau-yong tidak dapat mendengar jawaban orang, tapi
Bu Ek melapor, kedengaran pihak sana menjawab We-taijin
yang datang untuk berunding dengan Ting-taijin dan sekaligus
menggiring tiba tawanannya. Namun yang bicara itu bukan
We Tiang-jing sendiri.
Hai inilah yang menimbuikan curiga Bu Ek ia pikir Iwekang
We Tiang-jing tidak di bawahku, mengapa dia tidak menjawab
dengan kata sandi.
Sementara itu rombongan Nyo Yam sudah semakin dekat,
ia tidak sabar, maka waktu berlari ia setengah menyeret We
Tiang-jing, setelah sekian jauh barulah dilepaskan. Dan hal ini
sudah sempat dilihat oleh'Bu Ek.
Tentu saja Bu Ek heran, kedatangan We Tiang-jing
seyogianya naik kuda lebih dulu, malahan pengiringnya itu
bisa berlari lebih cepat daripada We Tiang-jing sendiri, ia pikir
tentu ada sesuatu yang tidak beres.
Selagi Ting Tiau-yong hendak turun kuda untuk
menyambut, Bu Ek membisikinya, "Taiswe jangan turun dulu,
biar hamba bicara dulu."
Dan baru saja Bu Ek dan SeDg Thian-tik melompat turun,
sementara rombongan Nyo Yam juga sudah tiba.
Ting Tiau-yong menahan kuda dan bertanya, "Baru saja
kukirim Ho Tiu dan To Lian ke tempatmu ,untuk mengambil
tawanan, apakah sudah kaulihat mereka?"
We Tiang-jing menjawab sesuai pesan Nyo Bok, "Karena
situasi cukup genting, maka kusuruh mereka memeriksa ke
garis depan. Tawanan kubawa sendiri kemari untuk
menghemat waktu dan tenaga."
"Sekarang juga akan kuperiksa pertahanan kita dan tidak
sempat memeriksa tawanan, harap We-taijin maafkan
penyambutan yang kurang layak ini," ucap Ting Tiau-yong.
Komisaris pasukan sama tingginya dengan ke-dudukan
panglima, tapi karena We Tiang jing adalah utusan langsung
kaisar, biasanya Ting Tiau-yong suka mencari muka padanya.
Maka Tiang-jing menjawab, "Mana hamba berani minta
disambut segala, janganlah Ting-taijin rendah hati."
Ucapan ini terlebih ganjil, seorang yang berkedudukan
sejujur masakah msnyebut diri sendiri sebagai "hamba".
Nyo Yam masih hijau, ia tidak tahu keganjilan itu, tapi Nyo
Bok lantas terkejut, pikirnya, "Jelas keganjilan ini sengaja
dibikin We Tiang-jing."
Karena dia adalah tawanan sehingga tidak dapat
memperingatkan Nyo Yam, dan ketika anak muda itu
menyadari persoalannya, namun sudah terlambat. Tiba-tiba
terdengar Ting Tiau-yong membentak, "Kukira mata-mata
musuh tidak perlu lagi diperiksa, binasakan saja sekarang
juga." Seng Thian-tik mengiakan, serentak golok membacok "Nyo
Bok yang kedua tangan diringkus ditelikung itu.
Pada saat yang sama Bu Ek juga menghantam We Tiangjing.
Liong Leng-cu menyamar sebagai pengawal We Tiang-jing
dan bertugas menggiring Nyo Bok, sebelumnya ia sudah siap
tempur, maka cepat ia tangkis golok Seng Thiau-tik dengan
pedang. Sebaliknya hantaman Bu Ek itu sama sekali di luar dugaan
Nyo Yam. Ia berdiri di samping belakang We Tiang-jing, meski
segera ia cengkeram We Tiang jing, namun segera pula terasa
suatu arus tenaga maha dahsyat menyambar tiba, We Tiangjing
jatuh ke samping dan hantaman Bu Ek langsung menuju
kepala Nyo Yam.
Bu Ek juga tidak menduga bahwa pengiring We Tiang-jing
yang dicurigai ini bisa sedemikian tinggi kungfunya, apalagi
ginkang Nyo Yam juga lebih tinggi diri dia, sedikit mengegos
dapatlah hantaman Bu Ek terhindar.
Hanya satu jurus itu saja Bu Ek belum dapat mengenali Nyo
Yam. Meski sebelum ini mereka pernah bergebrak.
Sekonyong-konyong cahaya perak kemilauan, sambil
menghindar Nyo Yam terus melolos pedang, secepat kilat ia
balas menabas pergelangan tangan Bu Ek. Betapapun
cepatnya Bu Ek menarik tangan, tidak urung dua ujung jari
tertabas juga. Tui hong kiam-hoat memang sangat cepat dan lihai. Dalam
kagetnya cepat Bu -Ek menjatuhkan diri dan menggelinding ke
samping, dengan begitu dapatlah serangan maut susulan Nyo
Yam dapat dihindarinya. Tapi ketika ia menggelinding di tanah
itulah, We Tiang-jing yang baru jatuh itu ditumbuknya hingga
terguling ke bawah lereng.
Tenaga dalam We Tiang-jing sudah hilang, karena getaran
tenaga pukulan Bu Ek tadi sudah membuatnya terluka parah,
sekarang kena ditumbuk lagi dan tergelincir ke bawah gunung,
tanpa ampun lagi jiwanya melayang.
-ooo0dw0ooo- Jllid 20 llmu silat Seng Thian-tik tidak dapat menandingi Liong
Leng-cu, cuma selisihnya juga tidak jauh. Mestinya ia dapat
bertahan untuk sementara dan menunggu datangnya bala
bantuan. Tak tersangka Bu Ek bisa dikalahkan secepat itu.
Jeritan We Tiang-jing sebelum ajal itu pun membuat Seng
Thian-tik gugup. Maka sekali cambuk perak Liong Leng-cu
menyabat, seketika lehernya terjirat.
Dalam pada itu, dengan cepat sekali dua jago pengawal
Ting Tiau-yong juga lantas menerjang ke arah Liong Leng-cu.
Akan tetapi Nyo Yam terlebih cepat daripada mereka,
sebelum Liong Leng-cu bertindak, tahu-tnhu cahaya perak
berkelebat dan kedua jago pengawal itu sudah terjungkal di
bawah pedang Nyo Yam.
Sekali cambuk peiak Leng-cu menyendal, kontan Seng
Thian-tik dilemparkan ke jurang, lalu ia labrak kawanan
pengawal yang lain.
"Leng-cu, terjang keluar lebih dulu!" seru Nyo Yam.
Tengah bicara. sebatang tombak menusuk ke arahnya. Nyo
Yam lantas menloncat ke atas, ujung kaki menahan ujung
tombak. dengan tenaga pinjaman lawan ia terus melayang
lewat di atas kepala beberapa jago pengawal dan langsung
menubruk Ting Tiau-Yong yang masih bertengger di atas
kudanya. Mana Ting Tiau-yong pernah melihat ginkang sehebat ini,
biarpun dia sudah berpengalaman, tidak urung menjadi gugup
juga. Dan belum lagi dia sempat menggunakan gerakan
mengelak, tahu-tahu Nyo Yam sudah menubruk tiba.
Kuatir serangannya tidak berhasil, maka begitu menyerang,
Nyo Yam lantas menggunakan jurus Oh kah cap-pek-pah yang
ampuh. Sekali tusuk mengincar ke-18 hiat-to maut di tubuh
Ting Tiau-yong.
Jika tokoh bekas murid Kai-pang serupa Bu Ek saja tidak
mampu menahan jurus serangan maut ini apalagi Ting Tiauyong
yang biasa hidup enak. ting Tiau yong hanya pandai
mengatur siasat perang, tapi tidak paham kungfu yang maha
dalam. Maka tusukan Nyo Yam Ini jelas pasti akan membuat
jiwanya melayang.
Siapa duga kejadian di luar dugaan kembali muncul. Pada
saat itulah sesosok bayangan mendadak juga msnubruk anak
muda itu. Kaki Nyo Yam masih terapung di udara, kedua
orang lantas saling gempur dengan keras
orang itu telah membentang mantel yang di-pakainya
sehingga terwujud sebuah perisai lemas dan digunakan untuk
menahan jurus Oh-kah-cap-pek-pah yang lihai itu.
Dengan begitu Ting Tiau-yong sempat menjatuhkan diri ke
bawah kuda. Nyo Yam dan orang itu juga sama hinggap di
atas tanah. Sekilas pandang orang itu melihat mantel sendiri sudah
penuh lubang kecil seperti sarang tawon. Bilamana ia diberi
waktu untuk menghitung. lubang itu seluruhnya justru
berjumlah delapan belas.
Keruan ia terkejut, diam-diam ia mengakui ilmu pedang ini
sungguh tidak di bawah Beng Hoa dahulu.
Ia terkejut, Nyo Yam juga terkejut, tak di-sangkanya di
samping Ting Tiau-yong masih ada seorang pengawal
berkepandaian setinggi ini, rasanya We Tiang-jing dan Bu Ek
pun tidak dapat membandinginya.
Nyo Yam tidak tahu asal-usul orang ini tidak sembarangan,
bukan saja ilmu silatnya lebih tinggi daripada We Tiang-jing,
bicara tentang sejarah juga dia lebih tinggi daripada We
Tiang-jing. Ia bukan lain daripada We Tok-peng yang terkenal
sebagai jago istana nomor satu pada belasan tahun yang
lampau. Soalnya pernah satu kali ia gagal menunaikan tugas yang
diberikan oleh kerajaan, ia dikalahkan oleh Beng Hoa sehingga
kehilangan pamor, terpaksa ia diberi tugas luar dan
dipindahkan ke tengah pasukan Ting Tiau-yong.
Rupanya sekarang We Tok-peng ingin mendapatkan pahala
untuk menebus kesalahannya dulu, maka dengan ganas ia
terjang Nyo Yam.
Nyo Yam terus menempurnya dengan tangkas, hanya
sekejap saja sudah berubah tiga macam ilmu pedang. Jurus
pertama ia gunakan gaya San-yap-Ciang Hoat ajaran Siau Yatkek,
jurus kedua bergaya ilmu pedang ajaran kakek Liong
Leng-cu dan jurus ketiga berubah secepat kilat, yaitu Tuihong-
kiam hoat perguruan Thian-san sendiri.
Tiga jurus serangan maha lihai, namun tetap dapat
dipatahkan oleh We Tok-peng, ia putar mantelnya yang penuh
berlubang itu sehingga serupa perisai baja saja yang tidak
tembus air. Setelah menjatuhkan beberapa jago pengawal, baru saja
Liong Leng-cu hendak memburu ke sana untuk bergabung
dengan Nyo Yam, mendadak Bu Ek yang menggeletak tadi
melompat bangun, di rampasnya tombak seorang prajurit dan
menghadang di depan Liong Leng-cu.
Rupanya cuma dua jarinya saja tertabas oleh pedang Nyo
Yam, lukanya tidak parah. Karena dia lebih kuat daripada
Liong Leng-cu, karena tidak mampu menerjang lewat,


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpaksa Leng-cu hanya bertahan.
Awan mendung mengalingi cahaya bulan, mendadak
terdengar guntur menggclegar, hujan segera turun dengan
lebatnya. Semula pasukan Ting Tiau-yong ini diterangi belasan obor,
karena hujan, sebagian besar obor lantas padam. Tinggal dua
lentera kurung saja, meski tidak sampai padam, tapi guram
sehingga sukar menerangi tempat jauh.
Tiba tiba teringat oleh We Tok-peng baru saja Ting Tiauyong
jatuh dari kudanya, entah terluka atau tidak, cepat ia
berseru menyuruh anak buahnya mencari sang panglima.
"Aku berada di sini!" terdengar Ting Tiau-yong berteriak, Ia
jatuh dan patah tulang iga, saking kesakitannya hampir saja
kelengar dan saat itu sedang meronta berusaha bangun.
Kedua prajurit pengawal pribadinya lekas mendekatinya
untuk memayangnya. Beberapa jago pengawal yang
mengerubuti Liong Leng-cu juga lari balik untuk menjaga sang
panglima. "Aku tidak apa-apa... lekas tangkap kawanan bangsat itu,"
teriak Ting Tiau-yong dengan menahan sakit.
Pada saat itulah terlihat rombongan orang muncul dari arah
Hek-hou-kang, wakil komandan pasukan pengawal Ih Ban-san
merasa lega, ucap-nya, "Syukurlah bala bantuan kita sudah
datang. masakah beberapa bangsat kecil ini dapat kabur!"
Tiang Tiau-yong sudah luas pengalaman tempurnya,
tergerak hatinya dan berkata, "Ah, tampaknya tidak beres.
Hek-hou-kang disergap musuh, pasukan kita yang lolos
seharusnya tidak teratur lagi, padahal rombongan ini kelihatan
berbaris dengan teratur baik."
Kedua prajurit tadi mengangkat tinggi lentera yang
dipegangnya, kelihatan rombongan itu sudah sedemikin dekat
dan cukup jelas, dengan girang kedua prajurit itu berteriak,
"Jangan kuatir, Tai-Kue, mereka memang kawan kita!"
Mendadak angin meniup keras, pasir batu berhamburan,
kedua lentera itu serentak padam.
Padahal kedua lentera itu berkerudung kaca dan dilindungi
ram kawat, sepantasnya tidak mudah pecah terkena batu.
Ting Tiau-yong merasa gelagat tidak baik, selagi hendak
memberi perintah agar waspada, sekonyong konyong kedua
bahu terasa sakit, tahu tahu tulang pundak telah diremas
orang. Cengkeraman orang itu begitu kuat laksana kaitan dan
membuatnya kesakitan setengah mati. meski Ting Tiau-yong
ingin menjaga gengsi sebagai seorang panglima, tapi saking
tidak tahannya, tidak urung ia menjerit kesakitan serupa babi
hendak disembelih.
Karena kejadian mendadak dan membingungkan ini, dalam
kegelapan para pengawal Ting Tiau-yong tidak berani
sembarangan bertindak.
Mendengar jeritan sang panglima, We Tok-peng tidak
berani bertempur lebih lama lagi, cepat ia putar balik. Dalam
kegelapan Leng-cu juga melepaskan diri dari Bu Ek dan
bergabung dengan Nyo Yam.
Hujan badai berlangsung dengan dahsyat, obor padam
sama sekali, saat demikian sebenarnya kesempatan baik untuk
meloloskan diri bagi mereka. Tapi Nyo Bok belum
diketemukan, mana boleh mereka kabur begitu saja"
Diam-diam Nyo Yam berkata kepada Leng-cu, "Ting Tiauyong
menjerit serupa babi hendak disembelih, agaknya dia
terluka atau ditawan orang, mari kita coba melibatnya."
Belum habis ucapannya, di sebelah sana Ih Ban-san sudah
menyalakan obor yang selalu di-bawanya. Begitu sinar api
berkelebat, segera terlihat jelas orang yang mencengkeram
Ting Tiau yong itu.
Dengan kejut dan gusar Ih Bun-san lantas membentak,
"Nyo Bok, berani kau gunakan Taiswe sebagai sandera?"
Kiranya orang yang menangkap Ting Tiau-yong itu adalah
Nyo Bok. Tali yang meringkusnya ternyata sudah terbuka.
Dalam kegelapan siapa pun tidak memperhatikan dia, pada
waktu lentera padam tadi segera ia berhasil mencengkeram
tulang pundak Ting Tiau-yong.
Cara mencengkeram keluarga Nyo merupakan kungfu khas
persilatan dan tentu saja sangat lihai. Meski Nyo Bok sudah
terluka, tapi sergapan nekat membuat tenaganva tetap sangat
kuat, sekali cengkeram segera Ting Tiau-yong digunakannya
sebagai tameng.
"Jika jiwa Ting Tiau-yong tidak kalian pikir lagi, silakan coba
maju." bentak Nyo Bok. "Hm, memangnya aku hendak
dibunuhnya, biarlah ku-gugur bersama dia."
Anak buah Ting Tiau-yong siap menerjang maju, tapi tiada
seorang pun berani turun tangan begitu saja.
Setelah saling bertahan sebentar, sementara itu pasukan
tadi sudah dekat.
Perwira pasukan itu mendadak bersuara heran, obor
dinyalakan, segera ia menerjang ke arah Nyo Bok.
Nyo Yam sudah mencampurkan diri di tengah orang
banyak, disangkanya perwira itu hendak menolong
panglimanya, kuatir ayahnya diserang, tanpa pikir pedang Nyo
Yam lantas menusuk dengan jurus Oh-Lah-cap-pek-pah.
Terdengar suara dering nyaring memecah telinga, jurus
serangan Nyo Yam yang lihai ini telah dapat dipatahkan oleh
golok lawan, sama sekali tidak dapat mengenai tubuh orang.
"Beng Goan-ciau, kiranya kau!" seru Nyo Yam kaget di
tengah dering nyaring itu.
Pada saat yang sama Beng Goan-ciau juga berseru, "Anak
Yam, kiranya kau!"
Rupanya pasukan yang menyergap Hek-hou-kang tadi di
bawah pimpinan Beng Goan-ciau, mereka memakai seragam
pasukan Boanjing sehingga dapat mengelabui musuh dan
melintasi jalan pegunungan yang curam
Beng Goan-ciau juga yang menyambit padam kedua lentera
tadi. Ia pun kejut dan heran atas perbuatan Nyo Bok.
Setelah bergebrak satu jurus dengan Nyo Yam, segera Beng
Goan-ciau berhenti. Tapi di belakang Nyo Yam ada lagi
seorang yang menyergapnya. Orang ini ialah We Tok-peng.
We Tok-peng memang pandai menggunakan kesempatan
baik, pada saat Nyo Yam bertempur dengan Beng Goan-ciau,
mendadak ia menubruk maju, sekali hantam langsung ia incar
hiat-to pada punggung anak muda itu.
Kungfu andalan We Tok-peng adalah Tai-lik-eng-jiau-kang,
ilmu cakar elang bertenaga raksasa, pukulannya ini sungguh
sangat dahsyat.
Jurus Oh-kah-cap-pek-pah yang dilancarkan Nyo Yam tadi
telah dipatahkan oleh golok kilat Beng Goan-ciau, selain
pedang tergetar dan tangan pegal, sebelum sempat menarik
kembali pedangnya tahu tahu sudah dihantam We Tok-peng,
dalam keadaan demikian jelas dia tidak dapat menghindarkan
sergapan dari belakang.
Tampaknya Nyo Yam segera akan binasa di bawah pukulan
lawan, pada detik menentukan itulah Beng Goan-ciau
menerjang maju, Nyo Yam ditubruk ke pinggir dan pukulan
We Tok-peng itu ditangkisnya.
Tenaga kedua orang sama kuat, keduanya sama
mengerahkan tenaga sepenuhnya, We Tok-peng tergetar
mundur beberapa tindak, Beng Goan-ciau juga tergeliat dan
tumpah darah. Lahirnya kelihatan Beng Goan-ciau kecundang, tapi darah
We Tok-peng yang hampir tersembur keluar ditelan kembali
mentah-mentah. Dia ingin jaga gengsi dan darah tidak
ditumpahkan. Karena t?dak ditumpahkan, luka dalamnya
tambah parah. Cara Beng Goan-ciau menumbuk minggir Nyo Yam dengan
tenaga lunak sehingga anak muda itu tergetar mundur
beberapa tindak, meski darah pun terasa sesak terguncang
oleh tenaga pukulan Wo Tok-peng, namun tidak sampai
terluka. Setelah tenangkan diri segera ia menubruk maju,
kembali jurus Oh-kah-cap-pek-pah dilancarkan lagi.
Dalam pada itu dengan cepat Beng Goan-ciau telah melolos
golok pusakanya dan membacok ke arah We Tok-peng.
Diserang dari muka dan belakang, memangnya We Tok-peng
sudah kewalahan, apalagi golok Beng Goan-ciau secepat kilat.
kontan ia terbacok menjadi dua.
Di tengah jalan jurus serangan Nyo Yam berganti arah dan
tepat memapak Ih Ban-san, seketika tubuh Ih Ban-san
tertusuk belasan lubang.
Hujan badai datangnya cepat berhentinya juga cepat. bulan
sabit yang bersembunyi di balik awan kembali menongol lagi.
Dan setelah kendur pegangannya, segera Nyo Bok
terhuyung huyung, keadaannya serupa pelita yang kehabiaan
minyak. Sementara itu Nyo Yam sempat mencengkeram Ting Tiauyong
yang akan terjungkal., sedang Beng Goan-ciau
memegangi Nyo Bok yang keadaannya kelihatan payah, muka
pucat dan napas lemah.
"Istirahatlah sebentar," kata Goan-ciau.
Selagi ia hendak melakukan pertolongan pertama, dengan
tersenyum getir Nyo Bok berkata, "Sudahlah Goan-ciau, tidak
perlu buang tenaga lagi. Aku . . . aku berdosa padamu,
semoga engkau memandang anak Yam serupa anakmu sendiri
dan legalah hatiku."
Nyo Yam terkejut dan cepat mendorong pergi Ting Tiauyong
untuk diawasi oleh anak buah Beng Goan-ciau, cepat ia
mendekat dan berseru, "Ayah, jangan . . . jangan engkau
......" Belum lagi kata "mati" terucapkan Nyo Bok benar-benar
sudah mengembuskan napas terakhir. Rupanya setelah
menyatakan "legalah hatiku", lalu putus napasnya.
Nyo Yam merangkul jenazah sang ayah, ketika jenazah
mulai dingin, dalam hatinya justru mulai merasakan hangatnya
ayah dan anak. Ia ingin menangis, tapi tidak keluar air mata.
Ia cuma bergumam, "O, ayah, sayang engkau ter ... terlambat
datang." Semua orang paham arti "terlambat" yang dimaksudkan,
seketika tidak ada yang dapat menghiburnya.
Sejenak kemudian barulah Beng Goan-ciau berkata,
"Sebenarnya juga tidak terlalu terlambat, sekarang dia kan
masih hidup di dalam lubuk hatimu."
Mendengar ucapan Beng Goaa-ciau ini barulah Nyo Yam
mengeluarkan suara tangis.
"Anak Yam, saat ini bukan waktunya untuk menangis," ucap
Beag Goan-ciau perlahan, "kita masih memerlukan bantuanmu
untuk membobol kepungan musuh. Serahkan ayahmu
kepadaku saja."
Segera ia mengangkat jenazah Nyo Bok dan
memerintahkan anah buahnya menguburnya di situ juga serta
diberi tanda, lalu katanya pula, "anak Yam, setelah
mengalahkan musuh, kelak kita datang lagi memindahkan
layon ayahmu. Sekarang kamu harus membangkitkan
semangat dan bersama kami melabrak musuh."
Nyo Yam mengusap air mata, katanya, "Ucapan ayah
memang tepat, anak menurut!"
Untuk pertama kalinya ia panggil Beng Goan-ciau sebagai
ayah, dari Beng Goan-ciau akan diterimanya kasih sayang
seorang ayah untuk mengurangi rasa dukanya. Ia pikir dirinya
jauh lebih berutung dari orang lain, setelah mati seorang ayah
masih ada lagi ayah lain.
Beng Goan-ciau lantas menarik bangun Ting Tiau-yong,
katanya, "Ting-taiswe, marilah, kawanan bandit seperti kami
ini akan mengiringimu memimpin peperangan."
Ting Tiau-yong patah tulang iga, dengan menahan sakit ia
mendamperat, "Sebagai seorang panglima, mati pun aku
pantang dihina. Beng Goan-ciau, boleh kau bunuh diriku, tidak
nanti aku nuu dipermainkan olehmu."
"Hahaha, urusan sudah begini, memangnya Ting-taiswe
masih berkuasa?" seru Beng Goan-ciau dengan terbahak.
Segera ia menutuk hiat-to kelumpuhan Ting Tiau-yong,
katanya, "Karena kita masih memerlukan panglima semacam
ini, biarkan dia tetap menjadi panglima dan harus kita
perlakukan dengan hormat boleh dia menunggang kudaku ini."
Cara tiam-hiat Beng Goan-ciau sangat bagus, setelah Ting
Tiau-yong ditutuk otot dagingnya keras dan kaku sehingga
ketika ditaruh di atas kuda ia dapat duduk tegak tanpa
bergerak, kalau tidak diamat amati dari dekat sukar untuk
mengetahui kelainannya.
Dengan tertawa Leng-cu berkata, "Lagaknya ini memang
sangat mirip seorang panglima perang yang gagah perkasa,
cuma dia mungkin takkan sanggup duduk mantap di atas
pelana." "Ada caraku untuk mengatur dia," kata Goan-oiau Segera ia
mengeluarkan segulung tali sutera, Ting Tiau-yong diikat erat
di atas kuda. Tali sutera itu sangat halus separti benang jahit, di bawah
cahaya lampu hampir sukar di bedakan oleh mata telanjang.
Panjang tali sutera itu ada tujuh atau delapan tombak, Beng
Goan-ciau memegangi ujung tali yang lain, katanya dengan
tertawa, "Panglima kita ini sudah menjadi boneka, mau-tidakmau
dia harus mandah kudalangi"
Segera pasukan Beng Goan-ciau ini menyamar sebagai
pasukan pengawal pribadi Ting Tiau-yong, beramai-ramai
mereka terus menuju ke medan perang.
Beng Goan-ciau telah ganti seekor kuda dan dilarikan
berjajar dengan Ting Tiau-yong. Kudanya yang semula adalah
kuda yang sudah terlatih, dari samping ia tetap dapat
mengendalikan kuda itu sesukanya.
Medan perang sudah bergeser menuju ke lereng gunung,
beribu prajurit sedang bertempur dengan sengit.
Pasukan Boan-jing sebagian besar sudah terjun di medan
perang, tapi ada tiga kompi pasukan berkuda pilihan yang
tertinggal untuk melindungi Ting Tiau-yong. Hanya dalam
keadaan luar biasa saja ketiga kompi tentara ini boleh
bergerak, yaitu pada waktu musuh menyerbu tiba dan
bilamana panglima sendiri yang memberi perintah.
Meski medan parang sudah meluas sampai lereng gunung,
tapi belum mendekati perkemahan panglima, ini berarti
keadaan darurat pertama tadi belum terjadi.
Waktu Beng Goan-ciau memandang dari ketinggian,
ternyata keadaan baru muncul lagi. Terlihat puncak gunung di
sekitar situ sama mengepulkan asap tebal, arah yang menuju
kota Lodan sana ada barisan obor yang panjang.
Melihat gelagatnya, segera Bang Goan-ciau dapat menduga


Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling sedik Jodoh Rajawali 31 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Harpa Iblis Jari Sakti 21
^