Pencarian

Elang Pemburu 3

Elang Pemburu Karya Gu Long Bagian 3


i nyawa Ang ang bukan Thia Siau cing!" kata Po
Ing. "Bukan" Bukti maupun orangnya sudah ada, bahkan tertangkap basah. Kenapa
kau masih berkata bukan dia pembunuhnya?"
"Sekalipun ada orang menyaksikan dengan mata kepala sendiri drama
pembunuhan berdarah itu, aku tetap akan mengatakan bahwa pembunuhnya
bukan dia!"
"Kenapa?" tanya Oh Kim siu keheranan. "Apakah dikarenakan kau selalu
menganggap dalam kasus ini kelebihan seseorang dan kekurangan seseorang?"
"Benar!"
"Tapi... Phoa tayjin memang pembesar yang ditugaskan di kota Chi lam untuk
membongkar kasus pembunuhan ini. Kenapa kau bilang kelebihan seseorang?"
"Karena dulunya dia adalah satu orang tapi kemudian berubah jadi dua orang.
Satu orang sebagai pembesar eselon empat yang terpelajar dan lemah, dan
seorang lagi sebagai jagoan dunia persilatan yang memiliki ilmu silat sangat
tinggi!" Setelah termenung berpikir sejenak, kembali Po Ing berkata, "Yang tidak
kuketahui, sebenarnya dia jenis manusia yang mana" Seorang pembesar lemah
yang tahunya hanya baca buku dan belajar" Ataukah seorang jago dari sungai
telaga yang sudah terbiasa bunuh orang dalam hidupnya?"
Oh Kim siu ikut termenung sambil peras otak, sampai lama kemudian ia baru
berkata, "Terlepas dia merupakan orang yang kau anggap sebagai kelebihan atau
bukan, yang pasti tidak seharusnya gadis kecil bernama Wan wan tidak berada
di tempat kejadian. Menurut kau, mungkinkah dia dibunuh si pembunuh yang
sesungguhnya karena sewaktu terjadinya pembunuhan berdarah, dia hadir di
situ sebagai saksi mata?"
"Kecurigaanmu memang sangat beralasan, oleh sebab itu sisa pertanyaan yang
harus dijawab tinggal satu."
"Soal apa?"
"Kalau betuI dia telah dibunuh untuk membungkam mulutnya mayatnya berada
di mana?" "Mayatnya tidak ditemukan?"
"Tidak ditemukan," jawab Po Ing. "Bahkan seluruh bangunan dan halaman
sudah dibongkar, tapi jejaknya tetap tak ketahuan."
"Ya, padahal waktu itu Phoa Ki seng dan Leng Giok hong berada di situ. Tak
mungkin si pembunuh setelah melakukan pembunuhan berdarah masih punya
cukup waktu untuk membawa kabur jenasah Wan-wan, karena waktu untuk
dirinya sendiri pun tidak banyak."
"Betul!"
"Oleh karena itu analisis yang mengatakan Wan wan dibunuh sama sekali tak
masuk diakal."
"Benar!"
"Lalu. . . mungkinkah dia sendiri yang mengambil keputusan untuk melarikan
diri" Kenapa dia kabur sementara nona yang begitu dekat hubungannya dengan
dia mati terbunuh" Bahkan sampai kini jejak tubuhnya tidak ketahuan"
Mugkinkah si dayang cilik ini mempunyai satu rahasia?"
Oh Kim siu tahu, hanya Wa?-wan sendiri yang bisa menjawab teka teki ini.
Tapi Wan wan sudah lenyap. Dia menjadi orang yang disebut Po Ing sebagai
"kekurangan seseorang." Mustahil dia bisa menjawab pertanyaan itu.
"Masih untung kita masih mempunyai kelebihan seseorang," kata Oh Kim siu.
"Selama ini Phoa Ki seng dikenal sebagai seorang pembesar yang punya
kemampuan besar. Paling tidak terhadap kasus ini dia pasti mempunyai rahasia
yang lebih banyak ketimbang yang diketahui orang lain."
"Tapi kita mesti bertanya kepada yang mana?" kata Po Ing. "Bertanya kepada
Phoa tayjin, atau bertanya kepada Phoa tayhiap?"
"Kedua orang itu sebetulnya adalah satu orang yang sama, bertanya kepada
yang mana pun rasanya sama saja."
"'Tidak sama," jelas Po Ing. "Kalau ingin bertanya kepada Phoa tayjin, maka kita
harus berpakaian necis, menghaturkan kartu nama dan mohon bertemu
dengannya."
"Aaah, kurang menarik kalau harus berpenampilan resmi!"
"Kalau begitu kita harus memakai Ya heng ie (pakaian ketat untuk berjalan
malam), menggembol senjata tajam dan mengunjungi kantor pengadilan di
tengah malam buta. Apa pun yang bakal terjadi kita harus berhasil mengorek
sedikit berita dari mulutnya!"
"Nah yang ini baru menarik!" seru Oh Kim siu dengan mata berkilat.
Po Ing menghela napas panjang. "Menarik sih memang menarik. Yang
dikuatirkan justru kita tak berhasil mempermainkan orang lain, sebaliknya
orang lain yang mempermainkan kita."
Ilmu silat yang dikuasai Phoa Ki seng pada dasarnya memang hebat dan penuh
misteri. Ditambah Leng Giok hong yang belakangan namanya amat tersohor
dalam dunia persilatan, masih ditambah pula dengan kawanan jago dari Lak san
bun yang tersebar di seputar rumah pengadilan kota itu. Mereka memang nyata
merupakan satu kelompok manusia yang tak mudah dihadapi.
Oh Kim siu tidak berbicara, dia hanya tertawa terkekeh kekeh seakan akan sama
sekali tak perduli dengan kekuatiran kekasihnya.
Di saat suara tertawanya amat riang dan nyaring itulah, tiba tiba tubuhnya
melesat keluar dari ruang kereta dengan kecepatan bagai burung walet yang
terbang di angkasa.
Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya mungkin belum terhitung sebagai
lima besar dalam urutan jago kenamaan dunia persilatan. Bahkan dalam urutan
sepuluh besar pun tidak tercantum. Namun keindahan gerak tubuhnya betul
betul mempersonakan hati siapa pun yang melihatnya.
Bahkan ketika ia sudah mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki pun,
gerak tubuh perempuan itu masih sangat menggiurkan bagai seorang nona yang
sedang jalan santai di bawah pepohonan yang rindang.
Apalagi ketika bajunya tersingkap hingga nampak sepasang kakinya yang putih
mulus dan kecil itu, keindahannya benar benar tak terlukis dengan kata.
Sekali lagi Po Ing menghela napas panjang, sambil tertawa getir gumamnya, "Hai,
sampai sekarang penyakit yang terbawa sejak masih nona kecil berusia enam
tujuhbelas tahun masih belum juga hilang.."
Sementara itu tubuh Oh Kim-siu sudah melejit keluar kemudian melayang ke
atap ruang kereta, disusul kemudian terdengar beberapa kali suara bentakan
nyaring serta hembusan angin pukulan yang menderu deru.
Po Ing seolah olah seperti tidak mendengar suara itu. Bahkan misalnya
mendengar pun, urusan tersebut sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan
dirinya. Kini dia pejamkan kembali sepasang matanya.
Ketika matanya dibuka kembali, di hadapannya kini telah bertambah dengan
satu orang. X. Pejabat Eselon Empat
Orang itu berwajah angker penuh wibawa dengan sorot mata yang sangat tajam.
Senyumannya penuh simpatik dan ramah. Dia mengenakan baju berwarna biru,
nyaris tak terlihat perhiasan apapun menghiasi tubuhnya. Perhiasan yang
tampak hanya sebuah benda berbentuk cincin yang berwarna hitam pekat,
berbentuk sangat aneh, tidak jelas berbuat dari emas atau besi yang melingkar
di jari manisnya.
Po Ing tampak sedang mengerutkan dahinya dan pura-pura tidak
memperhatikan cincin itu, padahal setiap waktu setiap saat dia selalu melirik ke
arah benda tadi.
Semakin banyak ia melirik, sorot matanya nampak berubah semakin berat dan
serius hingga akhimya raut mukanya ikut berkerut kencang. Belum pernah ia
memperlihatkan mimik muka seserius ini, kendatipun di saat ia bertemu dengan
Liu Cing ho yang punya julukan sebagai Bu tek kim kiam (pedang emas tanpa
tandingan). Mungkinkah cincin berwarna hitam pekat itu termasuk juga sebagai sebuah
senjata maut yang bisa digunakan untuk membunuh orang"
Akhimya lelaki setengah umur yang mengenakan jubah berwarna, biru itu tak
bisa menahan diri. Dia buka suara lebih dulu, suaranya rendah, berat tapi
penuh tenaga dengan nada memerintah yang tegas dan tandas, ia berseru, "Tuan
Po Ing!" "Ya!" sahut Po Ing, lalu balik bertanya. "Phoa tayjin?"
"Benar ... !"
Po Ing tersenyum, ujarnya lagi, "Phoa tayjin, hebat betul gerakan tubuhmu.
Orang lain selalu berkata bahwa aku punya mata elang telinga kelinci hidung
anjing, tapi kali ini... nyaris aku pun tak tahu sedari kapan Phoa tayjin telah tiba
di sini." Phoa Ki seng mendeham beberapa kali, lalu sambil mengalihkan pokok
pembicaraan, tanyanya, "Tentunya Po sianseng telah berjumpa dengan Kwan jiya?"
"Ya, sekarang dia sudah pulang ke guanya di wilayah barat laut, pergi menengok
adik kesayangannya yang patut dikasihani dan sudah banyak tahun hidup
menjanda,"
Hidup menjanda memang benar, tapi patut dikasihani mah belum tentu! jika
Kwan sam koh-nay nay patut dikasihani, maka tak ada orang lagi yang perlu
dikasihani dalam dunia saat ini.
"Apakah si Lamkong yang tempo dulu pernah malang melintang di kolong langit
dengan mengandalkan golok besarnya juga ikut pergi ke barat laut?" tanya Phoa
Ki seng lagi. "Kenapa dia selalu memata matai dia?"
"Pertama, karena dia suka. Kedua, karena dia sedang menganggur, dan ketiga,
siapa tahu dia sedang menunggu kesempatan untuk membunuh Kwan ji?" jawab
Po Ing. "Kau toh mengerti, bukan satu pekerjaan yang gampang untuk
membunuh Kwan Ji. Apalagi menunggu datangnya kesempatan macam itu,
Mungkin lebih sulit daripada mendaki ke langit."
Sementara itu suara pertarungan dan gerak putar tubuh yang bergema dari atap
kereta tiba tiba makin menjauh. Jelas orang yang sanggup bertarung sekian
lama melawan Oh Kim siu itu bukan seorang jagoan sembarangan.
Tiba tiba terdengar Phoa Ki-seng mengalihkan kembali pokok pembicaraan ke
soal lain, tanyanya kepada Po Ing, "Mana Wan wan?"
"Wan wan?"
"Aku lihat Po sianseng sudah tahu tentang kasus yang menimpa Kwan Ji,
tentunya juga sudah jelas mendalami seluk beluk kasus pembunuhan ini. Aku
pikir kau tak mungkin tak kenal soal Wan-wan bukan?"
"Ada satu persoalan yang hingga kini tak kupahami," kata Po Ing tawar. "Tolong
tanya sebetulnya tempat ini adalah ruang Sidang pengadilan kota Chi lam atau
dalam kereta ku?"
Phoa tayjin tak malu disebut seorang jago kenamaan yang punya kemampuan
hebat dalam pengendalian emosi. Wajahnya sama sekali tak berubah walaupun
mendapat ejekan seperti itu.
Setelah tarik napas dan berbatuk batuk, kembali katanya, "Aku hanya secara
iseng mengajukan pertanyaan itu. Semisal Wan wan bisa ditemukan, maka
kehadirannya akan sangat bermanfaat bagi semua orang. Sebab kalau tidak. . .
mungkin nyawa Thia kongcu akan berakhir sebelum ujung musim gugur tahun
ini." "Sebelum akhir musim gugur" Kenapa?"
"Sebab dia sudah banyak hari mogok makan. Bukan cuma mogok makan dan
mogok minum, bertemu dengan orang lain pun tak mau. Terpaksa kami pun tak
berani memaksa," jelas Phoa Ki seng. "Jika seorang narapidana sampai mati
kelaparan di dalam penjara milik pemerintah, siapa pun tak bisa lolos dari
tanggung jawab ini."
Po Ing termenung dan berpikir sejenak, lalu serunya keras, "Kalau begitu biar
kutengok dirinya lebih dulu."
"Kau tak bakal bertemu dengannya. Siapa pun tak bisa bertemu dengannya,
termasuk Po sianseng sendiri. Aku rasa tak mungkin aku memberi pengecualian
kepadamu."
Tiba tiba berkilat sepasang mata Po Ing. Sambil memandang Phoa Ki seng
dengan mata melotot serunya, "Berani kau taruhan denganku?"
"Taruhan" Taruhan apa?"
"Aku pertaruhkan kopiah jabatan eselon empat yang kau kenakan itu!"
"Jika kau kalah?"
"Kalau aku kalah, kupertaruhkan batok kepalaku!"
"Berapa lama batasannya?"
"Sehari semalam," jawab Po Ing. "Bila sampai besok pada saat yang sama seperti
sekarang aku belum berjumpa dengan Thia Siau cing, anggap saja aku yang
kalah." Lama sekali Phoa Ki seng mengawasi lawannya, akhimya sambil tertawa ia
berkata, "Po sianseng, kau memang seorang penjudi sejati. Sudah kuduga Po
sianseng pasti akan mengajak aku hertaruh!"
Tampaknya ia benar benar sudah tahu, sebab kereta kuda itu sudah berhenti,
berhenti persis di belakang tembok pekarangan kantor pengadilan kota Chi lam.
Halaman di balik tembok pekarangan itu tak lain adalah tempat tahanan yang
digunakan Phoa tayjin untuk mengurung para narapidana.
XI. Kawanan jago Tangguh
Di luar tembok pekarangan terdapat sebuah lorong panjang. Dua tiga kaki di
depan kereta itu berhenti terdapat sebuah warung teh.
Waktu itu fajar baru menyingsing, saat yang paling ramai bagi warung teh untuk
melayani tamunya. Banyak orang mencari sarapan di situ; ada pedagang kecil,
ada penjual kelontong, keliling, pelbagai lapisan masyarakat hampir berkumpul
di sana. Memandang dari kejauhan, warung teh itu nampak tak berbeda jauh dengan
kebanyakan warung teh di negeri ini. Tapi sewaktu Po Ing masuk ke dalam
warung, ia segera menemukan bahwa keadaan di situ sama sekali berbeda. Di
antara tetamu yang Sedang sarapan dalam warung itu ternyata paling tidak
sepuluh orang adalah jago silat berkepandaian tinggi dari dunia persilatan.
Sebetulnya ada jago silat dari dunia persilatan sedang sarapan di warung the
bukanlah satu kejadian yang aneh. Justru keanehan terletak pada sorot mata
mereka yang begitu tajam, sepasang kening dengan jalan darah tay-yang hiat
yang begitu menonjol serta sepasang kulit tangan yang begitu berkilat dengan
aliran darah yang nampaknya begitu cepat di bawah kulit tangan mereka. Jelas
orang orang itu memiliki ilmu silat yang sangat luar biasa.
Di waktu biasa, bukan satu pekerjaan yang gampang untuk bertemu dengan
seorang saja di antara kawanan jago lihay itu. Terlebih tak mungkin mereka
berkumpul jadi satu bila tak ada suatu perkara yang amat serius.
Jika mereka sampai berkumpul jadi satu, maka di tempat itu pasti sudah terjadi
satu peristiwa besar yang sangat menghebohkan dan menggemparkan sungai
telaga. Sekalipun belum terjadi, tak perlu diragukan peristiwa itu segera akan
terjadi. ... Kasus asap ungu kini sudah berakhir, kejadian menghebohkan apa lagi yang
bakal terjadi di tempat itu"
Po Ing mencari tempat duduk, memesan air teh dan makanan kecil, bahkan
membeli selembar kertas yang berisi acara opera yang akan mengadakan
pertunjukkan hari itu.
Sekilas dia seperti sedang membaca kertas acara opera. Padahal secara diam
diam dia awasi kawanan jago tangguh itu, Memperhatikan sorot mata mereka,
gerak gerik mereka, gaya sewaktu ambil cawan, gaya sewaktu duduk bahkan
memperhatikan juga gerak tangan mereka termasuk ruas ruas persendian jari
tangan mereka. Tentu saja dia pun tahu kalau kehadirannya mustahil bisa mengelabuhi mereka.
Dia sendiri memang tak ingin mengelabuhi mereka. Dia sengaja berbuat begini
tak lain hanya ingin memberi muka kepada mereka semua.
Dengan cepat ia berhasil menemukan tanda khusus dari seorang jagoan kelas
satu, dan ternyata tanda khusus itu ditemukan di tubuh mereka semua.
Jagoan tangguh macam mereka sebetulnya tak mungkin bisa diutus atau
diperintah oleh seseorang. Sebab setiap orang dari mereka sanggup berdiri
sendiri setiap orang mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk memerintah
orang lain. Oleh sebab itu kehadiran mereka di sini seharusnya mustahil dikarenakan
sedang menjalankan perintah seseorang.
Po Ing coba peras otak untuk memecahkan persoalan itu. Tapi ia tetap gagal
untuk menemukan jagoan tangguh manakah dalam dunia persilatan saat ini
yang sanggup memberi perintah kepada mereka semua.
Yang lebih penting lagi adalah Po Ing seharusnya bisa mengenali asal usul
mereka dengan cepat. Dari sepuluh orang jagoan tangguh seperti itu, paling
tidak dia seharusnya kenal lima sampai enam orang di antaranya.
Tapi sekarang jangan lagi lima enam orang. Seorang pun di antara mereka tak
ada yang dikenal Po Ing.
Tak bisa disangkal lagi kawanan jago tangguh itu pasti sudah dirubah wajahnya
sedemikian rupa sehingga identitas aslinya menjadi kabur. Hal ini semakin
membuktikan bahwa ada seorang jago yang lebih tangguh lagi dari mereka yang
telah melakukan perubahan wajah tersebut. Bukan saja dia memiliki


Elang Pemburu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaian merias muka yang bebat, bahkan sangat mahir mengubah identitas
seseorang. Setahu Po Ing, sudah tak banyak jago dalam dunia persilatan saat ini yang
memiliki kemahiran merubah wajah seampuh ini. Kalau ada pun paling banter
cuma ada dua orang.
Kedua orang ini pun merupakan jago jago yang biasa hidup menyendiri. Mereka
punya pandangan yang sangat tinggi. Di hari biasa teramat jarang bergaul
dengan orang lain. Bukan satu pekerjaan yang gampang untuk mengundang
mereka keluar, apalagi berkarya demi orang itu.
Kehebatan apa yang Sebenarnya dimiliki orang misterius itu" Bagaimana
caranya untuk mengundang mereka"
Po Ing menghela napas panjang. la mulai merasa semenjak campur tangan
dirinya, persoalan itu telah berubah makin lama semakin rumit.
Di antara sekian banyak jago tangguh yang hadir di situ, orang yang paling
menarik hati Po Ing adalah seorang kakek kecil berwajah kuning kepucat
pucatan. Tampaknya usia orang itu sudah tua sekali. Giginya berwarna kuning dan
tinggal berapa biji yang belum tanggal. Sepasang cakar tangannya panjang persis
seperti cakar burung, kuku di jari kelingking tangan kanannya dipelihara sampai
panjang sekali, begitu panjang hingga hampir menggulung jadi satu lingkaran,
Bukan satu pekerjaan yang gampang untuk memelihara kuku jari tangan
sampai sepanjang itu. Paling tidak butuh duapuluh tahun untuk memperoleh
kuku sepanjang itu.
Yang lebih aneh lagi adalah kakek yang kurus kecil itu ternyata memiliki sorot
mata yang tajam sekali, setajam sinar matahari yang memantul di atas
permukaan air, membuat orang yang memandangnya merasakan satu
kegembiraan yang tak terlukiskan dengan kata. Sorot mata kakek kurus kecil itu
mirip sekali dengan sorot mati seorang nona kecil.
Jika dia berniat merubah identitas sendiri menjadi seseorang yang lain,
seharusnya dia bisa menggunakan selapis kristal yang tipis untuk menutupi
sorot matanya itu, menahan kilatan cahaya yang memancar dari matanya.
Tapi dia justru tidak berbuat begitu. Dia seperti sengaja meninggalkan titik
kelemahan itu agar orang lain bisa menyelidiki identitas dirinya yang
sebenarnya. Po Ing merasa semakin tertarik dan gembira dengan penemuannya ini.
. . . Jangan jangan si kakek kurus kecil itu benar benar adalah seorang nona
kecil" Atau mungkin dia adalah Wan-wan, seseorang yang telah "berkurang" itu"
Sorang pelayan warung yang kurus dan lemah dengan membawa sebuah teko air
teh berjalan mendekat. Ketika tiba disisi kakek kurus kecil itu, tiba-tiba kakinya
sempoyongan. Bukan saja tubuhnya akan segera jatuh menimpa di tubuh kakek
kurus itu, air teh panas yang berada di tekonya juga nampaknya segera akan
mengguyur di tubuh kakek itu.
Hampir semua orang yang berada dalam warung berteriak kaget, malahan ada
orang yang berlarian untuk datang membantu. Tapi kalau. berbicara dari situasi
saat itu, tampaknya tak seorang pun bisa memberikan bantuannya.
Yang lebih penting lagi adalah kawanan jago tangguh yang berhasil dikenali Po
Ing tadi ternyata tetap duduk tak berkutik di tempat semula, seakan akan
mereka memang sengaja hendak menonton keramaian itu. Seperti juga mereka
telah memperhitungkan kalau si kakek kurus itu punya kemampuan untuk
menghadapi situasi itu dan tak perlu orang lain mencampurinya.
Mereka tidak bergerak, tentu saja Po Ing pun tidak bergerak. Tapi kakek kurus
kecil itu tak bisa tak bergerak. Siapa yang tahan jika sekujur badannya diguyur
sepoci besar air teh yang masih mendidih"
Tapi seandainya dia melakukan gerakan, maka tindakan itu sama halnya dengan
membongkar identitas sendiri, agar orang lain tahu asal-usul ilmu silatnya dan
membiarkan orang tahu kalau dia adalah seorang jagoan tangguh berilmu tinggi.
Sementara Po Ing masih putar otak memperkirakan tindakan apa yang akan
digunakan kakek kecil itu, tampak langkah kaki si pelayan tahu tahu sudah
berdiri stabil. Bukan saja air teh dalam teko yang dibawanya tidak mengguyur ke
tubuh kakek kecil itu, bahkan muncrat keluar setetes pun tidak.
Ternyata di saat yang paling kritis itulah tiba tiba kakek kecil itu menggerakkan
tangannya mendorong sikut pelayan yang memegang poci teh itu perlahan. Si
pelayan segera merasakan ada segumpal kekuatan yang sangat besar
menstabilkan keseimbangan tubuhnya. Dia merasa ada segumpal aliran hawa
panas yang mencengkeram semua ruas tulang di tubuhnya, seperti ada tujuhdelapanbelas
buah tangan yang memegangi badannya secara bersamaan.
Sebetulnya dorongan itu sangat enteng dan sederhana, bahkan orang lain tak
sampai menaruh perhatian khusus ke situ. Namun Po Ing yang menyaksikan hal
ini seperti melihat sesuatu kejadian yang amat mengagetkan hatinya. Begitu
terkesiap hatinya hingga kelopak matanya pun ikut berkerut.
Pada saat yang bersamaan, mendadak ia mendengar ada orang berbisik ke
arahnya dari belakang dengan suara rendah, "Harap ikuti aku!"
Suara orang itu sangat aneh. Di balik suara yang parau terkandung nada tajam
yang menusuk telinga, bahkan nada suara itu begitu aneh hingga sulit baginya
untuk membedakan suara tersebut berasal dari suara seorang lelaki atau suara
seorang wanita"
. . . Sejak masuk ke dalam warung teh, Po Ing sudah menemukan ada beberapa
orang di antara mereka yang sulit dibedakan lelaki atau perempuan.
Yang bisa dipastikan saat ini adalah suara bisikan tersebut sama sekali tidak
mengandung maksud jahat. Bila orang itu berniat jahat, sesungguhnya dia tak
perlu buka suara. Kalau bisa membokong dari belakang punggung Po Ing, buat
apa banyak bicara"
Ketika Po Ing berpaling, lagi-lagi dia merasa terperanjat, seolah-olah dia telah
menyaksikan satu kejadian yang mengejutkan hati.
Padahal yang terlihat olehnya saat itu hanya seseorang, satu or?ang dengan
selembar wajah dan sepasang mata.
Sepasang mata yang membuat Po Ing amat terperanjat!
XII. Ilmu Sakti Yang Menggetarkan Dunia
Orang itu berperawakan sedang, usianya sekitar empatpuluh tahunan. Kalau
dibandingkan orang biasa, ia lebih kurus dan lemah. Saat itu ia mengenakan
baju berwarna abu abu. Wajahnya sangat sederhana, jenggotnya tak seberapa
banyak bahkan dibiar?kan tumbuh tak beraturan; seorang lelaki setengah umur
yang amat bersahaja.
Yang lebih penting lagi adalah sepasang matanya sangat biasa. Kecuali Po Ing,
mungkin orang lain tak akan merasakan sesuatu yang istimewa dengan orang
ini. Sudah barang tentu tak akan dibuat terperanjat oleh kehadiran?nya.
Apa yang membuat Po Ing sangat terperanjat"
Tak sepatah kata pun yang dia ucapkan, dengan mulut terbung?kam ia berjalan
keluar mengikuti di belakang orang itu.
Di luar ruangan adalah sebuah halaman yang tidak terlalu besar juga tak terlalu
kecil. Kayu bakar ditumpuk di sisi halaman, di seberang sana adalah sederet
bangunan rumah rata, asap putih mengepul dari balik ruangan itu. Bahkan
kelihatan banyak pelayan yang hilir mudik di sana. jelas tempat itu adalah
dapur. Ketika berjalan menyeberangi halaman itulah, mendadak satu kejadian aneh
telah berlangsung.
Ketika lelaki setengah umur yang kurus dan lemah itu berjalan sampai di tengah
halaman, tiba?-tiba perawakan tubuhnya seakan-?akan telah berubah. Bukan
saja badannya menjadi lebih tinggi dua inci, bahunya juga menjadi lebih lebar
berapa inci. Hanya sepasang tangannya yang sejak tadi berada di luar baju
masih tetap nampak panjang dan lembut. Sepasang tangan yang halus dan tak
pernah dipakai untuk mengangkat tong berisi air.
Semakin berjalan ke depan, perawakan badannya seolah olah berubah semakin
tinggi dan besar. Sekalipun tidak nampak bagaimana mimik mukanya saat itu,
namun kalau dipandang dari belakang, dia seakan akan telah berubah menjadi
seseorang yang lain.
Menyaksikan semua peruba?han yang sangat mengejutkan itu, Po Ing malahan
tidak kaget. Dia seperti sudah menduga sejak awal kalau akan terjadi banyak
peru?bahan pada tubuh orang itu. Bahkan seberapa mengejutkannya
perubahan itu, asal perubahan terjadi pada orang ini maka perubahan tersebut
dipandangnya sebagai suatu kejadian yang sangat biasa.
Jalan punya jalan, tiba tiba or?ang itu melambung ke udara lalu dengan sekali
lompatan dia sudah naik ke atap rumah di seberang sana. Waktu melompat dia
seperti orang biasa yang sedang, naik ke anak tangga saja, sama sekali tak
ngotot atau pun mengeluarkan banyak tenaga.
Ketika tiba di atap rumah, perawakan tubuh orang itu seperti semakin
bertambah besar; kini setiap ayunan langkah kakinya paling tidak bisa mencapai
dua-tiga kaki. Ilmu meringankan tubuh semacam ini memang pernah dibicarakan orang
persilatan di masa lalu. Tapi orang yang benar-benar pernah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri mungkin cuma berapa orang saja. Po Ing segera
mengikuti di belakangnya.
Sambil mengembangkan jubah panjangnya, Po Ing melayang di tengah udara
bagaikan seekor rajawali sakti. Satu kali dia pernah menggunakan gerakan itu
untuk melewati sebuah lembah lebar di puncak gunung Hoa san.
Inilah ilmu sakti andalannya, juga merupakan ilmu meringankan tubuh yang
jarang dijumpai dalam dunia persilatan. Dengan mengandalkan ilmu
meringankan tubuh ini, nama Po Ing pernah berada pada urutan ke empat.
Tapi sekarang, Po Ing harus mengerahkan tenaga yang paling besar untuk bisa
mengikuti di belakang orang itu dengan susah payah.
Orang itu sama sekali tidak berpaling, katanya dengan suara hambar,
"Belakangan ini kau terlalu banyak mencampuri urusan tetek bengek. Selain
kelewat banyak bertaruh, kau pun kelewat banyak minum. Tampaknya kau
harus pulang bersama aku untuk makan berpantang selama beberapa hari."
Po Ing segera tertawa.
"Kau makan barang tak berjiwa, aku makan daging. Kau menikmati kehidupan
yang tenang dan tak terganggu banyak urusan, aku lebih suka hidup dengan
urusan tetek bengekku. Lebih baik kita berdua saling mempertahankan
kehidupan semula."
Kalau ditinjau dari nada pembicaraan ini, jelas mereka berdua sudah saling
kenal sejak lama. Bukan saja saling mengenal, bahkan sudah kenal sangat lama.
Hubungan mereka pun amat akrab.
Siapakah orang ini" Mungkinkah dia adalah salah satu dari tiga tauke yang
mengadakan sarang perjudian"
Mereka berhenti di atas gunung gunungan di tengah sebuah kebun bunga.
Kebun bunga itu indah sekali, aneka jenis bunga yang sedang mekar
menyiarkan bau harum semerbak. Di seberang gunung-gunungan itu adalah
sebuah ruang yang sangat indah, perabot dalam ruangan itu hampir semuanya
diatur dengan rapi dan bersih, sepasang lian tergantung di sisi pintu.
"Mabuk arak membuat kuda jempolan harus dicambuk."
"Kasih cinta yang terlambat membuat wanita cantik terbengkalai."
Di atas meja tersedia arak. Tak banyak jumlah arak itu tapi baunya sangat
kental. Tersedia pula hidangan sayur; semua hidangan sedikit jumlahnya tapi
dibuat sangat lezat.
Lelaki setengah umur itu kini telah berubah menjadi tinggi besar dan sangat
kekar, dan wajahnya pun ikut berubah. Kalau semula dia mempunyai wajah
yang sangat bersahaja, sekarang telah berubah menjadi begitu angker dan
penuh wibawa. Wajah itu membawa hawa pembunuhan yang sangat gelap,
bagaikan awan gelap yang menyelimuti angkasa menjelang datangnya hujan
badai, membuat dada orang yang melihatnya terasa seperti terhimpit.
Po Ing memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu. Sebentar dia pandang orang
itu, sebentar mengawasi arak dan sayur yang ada di atas meja, lalu sambil
menghela napas panjang gumamnya, "Kelihatannya belakangan ini kau makan
lebih sedikit."
"Semenjak Sie Hong ing mati karena penyakit ginjal, aku memang makan Iebih
sedikit. Tapi tidak makan toh tidak bisa," sahut orang berbaju abu abu itu
sambil tertawa. "Sungguh tak disangka penyakit ginjal adalah penyakit yang
susah diobati."
"Kalau begitu seharusnya kau tetap tinggal di atas gunung untuk
menenteramkan hati. Kemunculanmu kali ini betul-betul membuat aku
terperanjat!" kata Po Ing.
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Melihat kehadiranmu
dalam persoalan ini, aku lihat kasus ini tampaknya jauh lebih serius sepuluh
persen daripada apa yang kubayangkan semula."
"Bukan hanya sepuluh persen, paling tidak enam tujuhpuluh persen lebih serius
daripada apa yang kau pikirkan!"
Tiba tiba ia bertanya lagi kepada Po Ing, "Kau sempat lihat tidak siapakah kakek
kecil yang nyaris terguyur air mendidih tadi?"
"Tentu saja dia tak bakal terguyur air mendidih," sahut Po Ing sambil
mengangguk. "Jika Siau hun siau cing ie (si baju hijau pembetot sukma) sampai
mati terguyur air mendidih, waah... itu baru satu kejadian yang sangat
menggelikan!"
Si baju hijau pembetot sukma, si jubah merah pencabut nyawa.
Sedikit sekali orang dalam dunia persilatan yang bisa sejajar nama besarnya
dengan kakek Li si jubah merah, apalagi bila urutan namanya masih di atas
orang ini. Bisa dibayangkan sampai di mana kehebatan ilmu silat yang dimiliki si
baju hijau pembetot sukma.
Kepandaian apa yang sebenarnya dia miliki" Tak banyak orang persilatan yang
mengetahui hal ini, sebab kepandaian yang dia kuasai benar benar kelewat
banyak. Hampir semua aliran ilmu silat yang ada di dunia kangouw saat ini
diketahui olehnya, terutama dalam hal ilmu melepaskan senjata rahasia dan
keterampilan lainnya. Ci Kim-hoat menaruh nama besarnya pada urutan ke dua
dari jago paling tangguh di kolong langit.
Ilmu bersalin rupa yang dia miliki pun termasuk nomor wahid. Tak disangkal
kawanan jago tangguh yang hadir dalam warung teh itu hampir semuanya telah
dirubah identitasnya.
Oleh sebab itulah pertanyaan yang hendak diajukan Po Ing sekarang adalah,
"Apakah dia dan mereka adalah satu kelompok?"
"Benar!"
"Bagaimana mungkin kawanan jago yang selama ini malang melintang sendirian
dan selalu meletakkan matanya di atas ubun-ubun bisa satu kelompok
dengannya"."
"Karena mereka mempunyai satu organisasi yang istimewa!"
"Dan oraug orang itu adalah anggota organisasi itu?"
"Benar!"
"Organisasi ini bisa menjaring begitu banyak jago tangguh, bahkan sampai si
baju hijau pembetot sukma pun termasuk satu di antaranya, kehebatan dan
kedahsyatan organisasi ini benar-benar mengerikan!" kata Po Ing sambil
menghela napas. "Kelihatannya, belakangan ini aku memang terlalu banyak
mengurusi masalah tetek bengek sehingga munculnya satu organisasi yang
begitu dahsyat pun sampai tak kedengaran!"
Setelah termenung sejenak, kembali tanyanya, "Dengan hadirnya mereka semua
di sini, jelas menunjukkan kalau organisasi misterius itu telah bersiap siap ikut
campur dalam kasus ini. Tapi kenapa mereka harus mencampuri urusan ini?"
Orang berbaju abu abu itu tidak menjawab. Pertanyaan ini harus dijawab Po Ing
sendiri, dan pertanyaan ini hanya ada satu jawabannya.
"Mereka campur tangan dalam kasus ini karena si pembunuh juga merupakan
anggota dari organisasi ini!"
Dengan kening berkerut Po Ing berkata lagi, "Jika jagoan macam Siau cing pun
sudah ikut campur dalam kasus ini, kelihatannya akan menjadi sangat sulit bila
kita hendak mengusik pembunuh yang sesungguhnya."
Orang berbaju abu abu itu tertawa hambar.
"Pikiranmu kelewat jauh," katanya. "Hingga sekarang kita masih belum tahu
siapakah pembunuh yang sebenarnya. Darimana kita bisa mengusiknya?"
"Berarti kau pun menganggap Thia Siau cing bukan pembunuh yang
sebenarnya?"
Orang berbaju abu abu itu seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi kemudian
ditahan kembali. Mendadak wajahnya kelihatan sangat letih hingga paras
mukanya ikut berubah semakin menghitam. Tiba tiba dia ulapkan tangannya
sembari berkata, "Aku sangat lelah, kau boleh pergi."
"Pergi ke mana?"
"Mencari Thia Siau cing!"
Sesungguhnya dia memang harus segera mencari Thia Siau-cing. Banyak
persoalan dan teka-teki yang baru bisa dipahami dia bertemu dengan pemuda
itu. "Tapi, apakah tidak kelewat pagi untuk pergi mencarinya sekarang?" tanya Po
Ing. "Apa tidak lebih baik menunggu setelah hari gelap nanti?"
"Kalau menunggu sampai malam nanti, penjagaan di tempat itu akan semakin
ketat dan gawat. Kalau pergi sekarang justru di luar dugaan mereka," kata orang
berbaju abu abu itu menjelaskan. "Apalagi orang yang sedang dipenjara persis di


Elang Pemburu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelah kamar tahanan itu adalah seorang perampok ulung yang sudah
mengundurkan diri. Harta kekayaannya sangat banyak, maka dia sudah
menyogok semua pegawai dan penjaga yang berada dalam penjara itu. Tiap hari
ada orang rumah yang datang mengirim sayur dan arak. Bila kau bisa temukan
cara terbaik untuk menggantikan petugas penghantar makanan, rasanya tak
sulit bagimu untuk bisa bertemu dengan Thia Siau cing!"
Po Ing menghela napas panjang.
"Penyakitmu membutuhkan banyak waktu untuk beristirahat. Alangkah baiknya
jika kau tak usah banyak berpikir. Kalau kali ini kau tak perlu turun tangan,
lebih baik jangan ikut ikutan."
Orang berbaju abu abu itu tertawa angkuh, sahutnya, "Bukan urusan yang
mudah untuk memaksaku ikut ikutan. Apalagi di kolong langit saat ini tinggal
berapa orang saja yang pantas untuk bertanding denganku!"
XIII. Serangan Kilat
Sesuai dengan rencana yang dibuat orang berbaju abu abu itu, dengan sangat
mudah Po Ing berhasil menemukan Thia Siau cing. Satu satunya masalah yang
patut disesali adalah Thia Siau-cing enggan bertemu dengannya.
Ruang penjara yang dihuni Thia Siau cing berhubungan dengan kamar penjara
yang dihuni perampok ulung itu. Biarpun ilmu silat yang dimiliki perampok itu
tidak hebat, tapi cara kerjanya sangat mengagumkan.
Selama duapuluh tahun malang melintang di kalangan Liok lim, harta kekayaan
yang berhasil dihimpunnnya sudah amat banyak. Setelah mengundurkan diri,
dia pun pandai menyembunyikan ketenarannya. Oleh sebab itu orang persilatan
banyak yang mengira dia sudah lenyap tak berbekas.
Siapa tahu begitu Phoa Ki seng tiba di kota Chi lam dan menjadi pembesar di
kota itu, ekor rasenya segera terbongkar. Tidak sampal setengah bulan, dia
sudah berhasil ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.
Ternyata dia kenal dengan Po Ing. Sekalipun harus mengamatinya sampai lama
tapi pada akhirnya dia mengenali juga. Begitu mengenali siapa yang berada di
hadapanya, perampok itu jadi ketakutan setengah mati, sampai sampai kakinya
jadi lemas semua. Apa saja yang ditanyakan Po Ing, dia langsung jawab dengan
jelas. Menurut penuturannya semenjak Thia Siau cing masuk ke dalam ruang penjara,
dia tak pernah mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan dia selalu mogok makan
maupun minum. Itulah sebabnya kondisi tubuhnya saat ini sangat loyo dan tak
bertenaga. Menurut kondisi yang ada saat ini, rasanya memang tak ada orang lagi yang bisa
menyelamatkan jiwanya. Jika seseorang sudah punya niatan untuk mati, siapa
pula yang bisa selamatkan jiwanya"
Po Ing tidak segera pergi walaupun menghadapi kenyataan seperti ini. Dia malah
mengambil bangku yang biasa dipakai sipir penjara dan duduk di pintu masuk
penjara. Sipir penjara yang ada di kamar sebelah buru buru menuangkan
secawan air teh untuknya.
Po Ing duduk dengan santainya di atas bangku sambil menikmati air teh panas.
Dia seperti sedang menunggu kedatangan seseorang.
Selama ini, hanya si perampok yang berbicara terus sementara Thia Siau cing
hanya duduk di sudut ruangan. Jangan lagi bicara, mengangkat kepalanya pun
tidak. Lewat berapa saat kemudian, tiba tiba Po Ing berseru, "Akhirnya kau
datang juga, aku tahu kau pasti akan datang kemari!"
Yang muncul memang Phoa Ki seng. Dia masih mengenakan jubah
kebesarannya sebagai pembesar eselon empat, tapi kopiah kebesarannya telah
dicopot dan berada di tanganya. "Lagi lagi kau yang berhasil menangkan
pertaruhan ini, makanya aku khusus kemari untuk mempersembahkan kopiah
kebesaran ini kepadamu."
"Ehm, tampaknya kau sudah ikhlas dengan kekalahan ini."
"Biarpun aku kalah bertaruh hingga mesti kehilangan kopiah kebesaran, masih
untung ada barang lain yang belum sampai kalah kupertaruhkan," ujar Phoa Ki
seng sambil tertawa. "Nyawaku belum sampai kalah dipertaruhkan!"
"Setiap orang hanya memiliki selembar nyawa, apa gunanya kau pertahankan
nyawamu itu?" Po Ing sengaja bertanya. "Meman?nya kau pingin beradu nyawa?"
Padahal dia sama sekali tak membayangkan kalau Phoa Ki-seng bakal beradu
nyawa. Beradu nyawa hanya perbuatan orang tolol, seorang jagoan yang benar
tangguh jarang sekali melakukan perbuatan ini.
Tapi kali ini, Phoa Ki seng telah melakukannya.
Tak bisa dipungkiri dia memang terhitung seorang jagoan yang berilmu tinggi,
bahkan termasuk jagoan kelas satu di dunia. Tapi begitu serangan dilancarkan
dia selalu menggunakan serangan serangan maut yang mengadu jiwa. Ketika
jurus serangan macam itu digunakan dalam ruang penjara yang sempit, maka
ancaman bahaya yang tercipta pun semakin mengerikan.
Po Ing tidak menjadi terdesak karena serangan lawan. Sambil mengembangkan
bajunya hingga tubuhnya melambung di udara bagai sayap burung elang, ia
seperti daun bakau yang terombang ambing oleh arus laut, setiap saat seperti
dapat berputar menuju ke arah yang berbeda, bahkan seringkali melancarkan
serangan dari sudut yang mustahil bisa dilakukan kebanyakan orang.
Ketika gerakan tubuh semacam ini dikembangkan di dalam tempat yang sempit,
maka kekuatan yang timbul pun semakin mencengangkan hati.
Thia Siau cing belum juga berpaling, sebaliknya perampok yang berada di ruang
sebelah sudah dibuat terperangah dan berdiri tertegun.
Dalam tiga sampai lima gebrakan kemudian, Po Ing telah sekali berhasil
mendesak Phoa Ki seng hingga tak sanggup melancarkan serangan balasan. Dia
tampak mulai keteter dan segera akan mengalami kekalahan total.
Tapi Po Ing tak pernah melancarkan serangan yang mematikan. Seakan akan tak
disengaja dia selalu mendesak Phoa Ki seng hingga mundur berulang kali, tapi
setiap kali selalu menyediakan jalan kehidupan baginya.
Pada saat itulah pintu kamar dari ruang penjara di sebelah ruang Thia Siau cing
tiba tiba terbuka lebar, si perampok yang sudah lama mengundurkan diri dari
Liok lim dan selama ini hanya berdiri, tertegun itu tiba tiba melompat keluar
bagai seekor harimau kelaparan. Bahkan dengan ilmu Pa nau kang (ilmu cakar
harimau) yang jauh lebih hebat dari Eng jiau kang, dia serang urat nadi di
kening kiri Po Ing yang menonjol keluar.
Sipir penjara yang tadi menuangkan air teh untuk Po Ing pun kini ikut
melancarkan serangan kilat.
Kepandaian silat yang dia gunakan adalah sejenis ilmu pukulan keras yang
mengandung tenaga lunak. Di antara jurus jurus serangan yang sebentar lembek
bagai sutera, sebentar keras bagai baja itu, dia selipkan juga ilmu-ilmu pukulan
sejenis Han yang sin ciang dari aliran Mokau. Kemungkinan besar orang ini
adalah sisa sisa pengikut aliran Mokau di masa silam.
Orang ke tiga menerjang masuk dari luar pintu, ilmu silat yang digunakan
adalah ilmu pukulan Kim kong ciang yang berhawa pukulan keras. Deruan
angin pukulan yang tajam dan kuat hampir menutup seluruh jalan mundur Po
Ing. Ketiga orang ini bukan saja memiliki ilmu silat yang hebat, serangan yang
mereka lancarkan pun sama sekali diluar dugaan. Dalam sekilas pandangan saja
Po Ing segera mengenali mereka adalah orang yang pernah muncul di warung teh
tadi, bahkan paling tidak ia berhasil mengetahui asal-usul ilmu silat yang
digunakan kedua orang itu.
Setelah mereka munculkan diri, mungkinkah si baju hijau pembetot sukma juga
akan segera menampilkan diri"
Persoalan inilah yang sesungguhnya amat dikuatirkan Po Ing. Sangat tidak
beruntung apa yang paling dikuatirkan justru segera akan terjadi. Di atas
bangku panjang yang tadi didudukinya, tiba tiba sudah bertambah dengan
seseorang. Orang itu adalah seorang kakek kecil yang sangat sederhana.
Melihat kemunculan kakek kecil itu, Po Ing sangat terperanjat. Phoa Ki seng
segera memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur dari ruang penjara.
Siapa pun orangnya, bila dia sudah tahu asal usul yang sebenarnya dari kakek
kecil itu, mereka pasti akan dibuat terkesiap setelah menyaksikan
kemunculannya. Sementara itu Po Ing tak mampu mencegah kepergian Phoa Ki seng. Dia pun tak
mampu melakukan pengejaran, sebab semua jalan perginya telah dihadang
orang. Terdengar kakek kecil itu dengan menggunakan suaranya yang tinggi
melengking dan sangat aneh bertanya kepada Po Ing, "Po toa tauke, apakah kau
sudah teringat akan sesuatu?"
"Soal apa?"
"Semua orang berkata, tempat di mana aku pernah kunjungi, semua barang
yang ada di situ kemungkinan besar beracun. Apakah kau percaya dengan cerita
ini?" "Tentu saja percaya!"
"Apakah kau tidak berpikir, kemungkinan besar dalam air teh yang kau minum
tadi juga mengandung racun?"
"Mungkin saja!"
"Tampaknya kau telah menghabiskan air teh tersebut. Apa sedikit pun kau tidak
merasa takut?"
"Oooh, takut sekali!"
Namun sikap maupun gerak gerik Po Ing masih amat santai, tak sedikit pun
perasaan takut yang dia perlihatkan.
"Justru karena takut maka aku telah bertindak sangat hati hati," kata Po Ing
santai. "Karena aku sangat berhati hati, maka air teh yang kau berikan tadi
sama sekali tak kuminum biar cuma satu tegukan pun!"
Lama sekali kakek kecil itu mengawasi wajahnya, tiba tiba ia tertawa terkekeh,
kemudiam dia ambil keluar kantung berisi tembakau dan mulai menyulut
huncwee yang berada di tangannya. Asap putih yang tebal dengan cepat
menyelimuti seluruh wajahnya.
Dari balik asap huncweenya yang putih tebal itulah kembali dia berkata dengan
suara yang aneh, seperti suara kaca yang bergesekan dengan benda logam.
"Tahukah kau bahwa aku masih memiliki sejenis dupa pemabuk yang sangat
beracun" Dupa pemabuk itu bernama Cap-li siau hun cing ie san (bubuk hijau
pembetot sukma sejauh sepuluh li). . ."
"Ya, aku pernah dengar nama itu. "
"Kira kira kau takut tidak jika dalam huncweeku ini telah kutaruh bubuk hijau
pembetot sukma itu?"
"Wah... takut... takut sekali!"
"Sayang sekali, walaupun kau takut tapi tak mampu kabur dari sini. Sekalipun
kau bisa menahan napas, sampai berapa lama kau bisa tahan napasmu itu?"
"Yaaa, aku memang sedang menguatirkan persoalan ini."
"Lantas apa rencanamu selanjutnya?"
"Sekarang aku belum menemukan cara terbaik untuk menghadapi ancaman itu,"
ujar Po Ing sambil menghela napas. "Bila sampai akhirnya aku tetap gagal
menemukan cara yang terbaik, yah... apa boleh buat. Terpaksa aku biarkan kau
meracuni aku sampai mati!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh kakek kecil itu manggut-manggut, sahutnya,
"Bukan suatu kejadian yang sulit untuk mati terkena racunku. Bila kau
menahan napas, mungkin masih bisa bertahan beberapa saat lagi. Tapi kini, kau
bicara melulu, aku kuatir. . ." Belum selesai perkataan itu diucapkan, tubuh Po
Ing sudah mundur dengan langkah sempoyongan. Mukanya yang semula merah
kini telah berubah jadi pucat pias.
Terdengar kakek kecil itu berkata lagi, "Tapi kau tak perlu kuatir, aku tak akan
meracunimu hingga mati. Paling banter aku hanya akan membuat kau pingsan
berapa saat."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Bahan obat-obatan yang
dibutuhkan untuk membuat bubuk hijau ini mahal harganya. Aku tak tega
untuk memakainya terlalu banyak?"
Po Ing sudah tak sanggup berbicara lagi. Mungkin apa yang diucapkan si kakek
kecil itu sudah tak terderigar lagi olehnya. Tiba tiba terdengar seseorang berseru
sambil tertawaa tergelak, "Hahaha... ternyata Po Ing yang begitu menggemparkan
sungai telaga tak lebih hanya begitu saja!"
Suara tertawa itu sangat keras dan nyaring, penuh rasa bangga dan nada
mengejek. Tapi rasa bangga itu hanya, berlangsung sekejap. Tiba tiba terlihat Po
Ing yang setengah sadar itu sudah tertawa keras sambil melejit ke udara,
kemudian dengan menggunakan gerakan seekor rajawali dia meluncur melewati
atas kepala kawanan jago itu.
Begitu berhasil melewati para jago, dengan gerakan selicin ikan yang berenang
dalam air, dia melejit ke luar dari ruang penjara melalui sudut yang tak terduga
siapa pun! Tahu tahu dia sudah lolos dari kepungan mereka.
Orang yang semula tertawa mengejek, kini tak sanggup tertawa lagi. Sementara
si kakek kecil segera berseru sambil tertawa terkekeh kekeh ' "Hahaha, . . . mesti
diakui Po Ing yang tersohor di kolong langit memang punya ilmu andalan!"
XIV. Hukuman Mati
Bagi Po Ing, bukan pekerjaan yang terlalu sulit bila ingin kabur dari tempat itu;
entah mau kabur ke arah mana pun.
Bahkan ada banyak orang yang beranggapan bahwa di kolong langit saat ini tak
ada tempat yang mampu menahan dia, juga tak seorang manusia pun yang
sanggup menghalangi dia. Padahal cara yang dia gunakan adalah sebuah cara
yang sederhana, tapi justru cara yang paling sederhana memberikan hasil yang
paling manjur. Tidak terkecuali kali ini.
Biasanya, orang yang berhasil kabur dari cengkeraman maut si baju hijau
pembetot sukma pasti akan mengalami perubahan besar. Berubah dari seorang
manusia hidup menjadi sesosok mayat hidup. Tapi tidak demikian dengan Po
Ing. Setelah berhasil kabur dari cengkeraman maut itu, dia tetap sehat walafiat
tak kekurangan apa Pun.
Hanya butuh waktu satu sentilan jari dia telah berhasil loIos dari kamar penjara
dan tiba di halaman luar. Tapi dengan cepat dia telah melihat seseorang,
seseorang yang sama sekali tak terduga bisa terlihat pada saat dan keadaan
seperti ini. Dia telah melihat Phoa Ki-seng.
Halaman luas itu merupakan halaman yang khusus dipakai untuk menyimpan
kayu bakar serta batu arang. Persis di tengahnya tumbuh sebuah pohon besar.
Ketika itu Phoa Ki seng sedang berdiri seorang diri di bawah pohon.
Orang yang tadi masih menggunakan seluruh tenaga yang dimilikinya untuk
meloloskan diri, sekarang justru berdiri santai di bawah pohon, Sama sekali tak
terlihat ada maksud atau niat untuk melarikan diri. Bahkan sangat mirip pada
saat ini, di tempat ini dia sedang menanti kedatangan seseorang. Siapa yang dia
tunggu" Po Ing ingin sekali menghampiri untuk menanyakan hal ini sampai jelas. Tapi
belum sampai dia bergerak, ada seseorang bergerak lebih cepat darinya; seorang
pemuda tampan bertubuh tegap, berpakaian rapi dengan kecepatan tinggi telah
muncul ke hadapan Phoa Ki seng.
Gerakan tubuh orang itu sangat cepat. Belum sempat Po Ing mengetahui siapa
gerangan orang itu, dalam sekejap mata dia telah tiba di hadapan Phoa Ki seng.
Bahkan sambil tersenyum telah menyapa pembesar eselon empat ini.
Phoa Ki seng tampak balas menyapa, bahkan mulai berbicara. Tampaknya
mereka sudah saling kenal, bahkan akrab sekali hubungannya. Sayang jarak Po
Ing dengan mereka jauh sekali, apalagi nada bicara mereka berdua amat rendah
dan lirih hingga sulit bagi Po Ing untuk mengetahui apa yang sedang
dibicarakan. Dia hanya melihat paras muka kedua orang itu sangat gembira.
Berapa saat kemudian, kira-kira mereka telah berbicara sebanyak belasan kata,
tiba tiba pembicaraan berakhir.
Po Ing ingin sekali maju menghampiri mereka, dia ingin tahu siapakah pemuda
itu" Tapi akhirnya niat itu diurungkan, sebab secara lamat lamat ia sudah bisa
menduga siapa gerangan pemuda itu.
Tampaknya pemuda itu segera akan berlalu... tiba tiba dia membalikkan badan
dan mengatakan sesuatu lagi kepada Phoa Ki seng. Untuk sesaat lamanya Phoa
Ki-seng nampak ragu, dia seperti sedang mempertimbangkan jawaban apa yang
harus di?ucapkan. . . Pada detik itulah mendadak pemuda itu mencabut keluar
sebilah pisau belati, dengan mata pisau yang berkilat setajam halilintar dia
tusuk ulu hati Phoa Ki seng kuat kuat.
Raut muka Phoa Ki seng segera mengejang keras. Rasa terkejut bercampur ngeri
segera membayangi wajahnya. Tapi dengan cepat perasaan kaget berubah jadi
rasa takut yang luar biasa...
Pemuda itu masih berdiri tenang di tempat. Ia sedang memandang lawannya
dengan pandangan sangat dingin, tak terlintas pikiran untuk melarikan diri dari
tempat kejadian.
Apakah dia tidak kuatir Po Ing menuntut pertanggungan jawabannya"
Dalam pada itu sekujur tubuh Phoa Ki seng telah mengejang keras, dia seperti
ingin menjerit minta tolong tapi sayang otot tenggorokannya sudah mulai
mengejang juga. Tak setitik suara pun yang sanggup diucapkan. Terpaksa ia
berpaling ke arah Po Ing, memandangnya dengan sinar mata penuh
permohonan, minta belas kasihannya untuk menolong jiwanya...


Elang Pemburu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam keadaan seperti ini, bila Po Ing masih tetap berlagak pilon, tidak bertanya
juga tidak mendengar, maka pastilah Po Ing adalah seorang yang sudah mati.
Yang lebih aneh lagi ternyata pemuda itu masih belum punya niat untuk pergi
dari situ, malahan dengan ramah dan penuh sopan santun dia menyapa,
"Apakah tuan adalah Po Ing sianseng?"
"Ya, akulah Po Ing!"
"Barusan Po sianseng telah melihat bagaimana aku membunuh orang dengan
pisau. Tapi sikapku hingga kini masih tetap tenang seolah olah tak ada kejadian
apa pun. Tentunya kau merasa agak heran bukan?"
"Betul, aku memang merasa heran."
"Tahukah Po sianseng, kenapa aku masih tetap bersantai ria walaupun baru saja
membunuh seseorang?"
"Tidak tahu... Bukan cuma tak tahu, menebak pun tak bisa."
"Aku bisa membunuh tanpa harus kuatir lantaran kedudukanku!"
"Oh ya?"
"Aku dari marga Leng bernama Giok hong, komandan polisi dari sektor kriminal.
Pembunuhan yang kulakukan semuanya sesuai dengan prosedur hukum."
Ternyata anak muda ini adalah jago nomor wahid dari golongan Lak-san bun,
komandan polisi Leng Giok hong. Tapi Po Ing tidak merasa tercengang, sebab hal
ini sudah terduga olehnya sejak awal kejadian.
"Sekalipun kau adalah seorang komandan polisi dari sektor kriminal, rasanya
tak ada hukum yang mengatakan bahwa seorang komandan polisi boleh
sembarangan membunuh," kata Po Ing kemudian. "Biarpoun dia seorang petugas
hukum, jika melanggar peraturan dengan melakukan pembunuhan, dia tetap
harus menerima hukuman."
"Tentu saja ini tergantung pada siapa yang telah dibunuh," jelas Leng Giok hong.
"Bila orang itu adalah seorang buronan kelas kakap, bukan saja tak berdosa,
bahkan bisa peroleh pahala besar!"
"Phoa Ki seng adalah seorang pejabat tinggi eselon empat, dosa apa yang telah
dia lakukan" Sekalipun dia telah bersalah, sepantasnya kalau hukuman
dijatuhkan setelah melalui persidangan yang adil."
Leng Giok hong tidak langsung menjawab, dari sakunya dia keluarkan secarik
surat perintah, surat perintah yang sangat resmi dari kerajaan.
"Segera tangkap buronan kelas kakap Phoa It hui, nama lain Phoa Kiseng. Tak
perlu melalui persidangan, segera laksanakan hukum mati di tempat!"
Dalam surat perintah itu bukan saja dilengkapi dengan cap jabatan pembesar
perbagai propinsi, disahkan juga oleh Menteri Kehakiman.
"Cukup tidak surat perintah ini?" tanya Leng Giok hong kemudian.
"Ya, cukup!"
"Biarpun Phoa Ki seng adalah seorang pejabat tinggi negara dengan pangkat
setingkat eselon empat, tapi dia mempunyai sisi lain. Dulu dia adalah seorang
perompak ulung yang biasa mangkal di seputar sungai Huangho. Bukan saja
menguasai ilmu silat tinggi, ilmu dalam airnya pun sangat mahir. "
Setelah menghela napas panjang, kembali Leng Gok hong melanjutkan, "Orang
ini menguasai bun (sastra) maupun bu (ilmu silat) secara mahir. Sesungguhnya
dia termasuk seorang jago berbakat alam yang langka di dunia persilatan saat
ini." Po Ing ikut menghela napas.
"Sayangnya bila harus dibandingkan dengan seseorang yang lain, dia masih
ketinggalan jauh sekali," katanya.
"Siapa yang kau maksud?"
"Kau!" sahut Po Ing hambar. "Bila dia lebih tangguh darimu, bagaimana mungkin
bisa berakhir tragis di tanganmu?"
Berbicara sampai di situ dia tidak melanjutkan lagi, hanya serunya, "Selamat
tinggal!" Tiba tiba Leng Giok hong berseru, Po sianseng, kelihatannya urusan di sini telah
selesai semua. Mau ke mana kau?"
"Aku harus pergi menengok seseorang, seorang yang tak bernama!"
Leng Giok hong tertawa.
"Orang yang tak bernama rasanya selalu lebih menakutkan daripada orang yang
bernama. ."
"Itu sih tergantung.
"Tergantung?"
"Tergantung siapakah orang tak bernama itu. Seringkali ada manusia tak
bernama yang menemui ajalnya sebelum menyadari apa yang telah terjadi."
"Itu pun tergantung," sela Leng Giok hong, "Tergantung siapakah manusia tak
bernama itu."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku kenal dengan seorang manusia tak
bernama. la pernah membantai tigabelas orang jago silat yang menggetarkan
Sungai telaga dalam dalam waktu sekejap mata."
Po Ing menatapnya tajam-tajam, lalu tanyanya perlahan, "Bukankah manusia
tak bernama yang kau maksudkan adalah dirimu sendiri?"
Leng Giok hong tertawa.
"Aku hanya tahu, di kolong langit saat ini hanya ada dua orang manusia tak
bernama yang paling menakutkan."
"Oh ya?"
"Konon, dari tiga orang toatauke pemilik Rumah Perjudian, dua di antaranya
adalah manusia tak bernama. Mereka bisa membantai orang hanya dalam waktu
satu kedipan mata saja!"
"Ohhh ... !"
Kembali Leng Giok hong tertawa, lanjutnya, "Untung sekali kau bukanlah satu di
antara kedua orang itu. Sebab kau adalah orang kenamaan, orang yang sangat
ternama." Po Ing tertawa tergelak.
"Tepat sekali perkataanmu itu," katanya. "Tak malu kau menjabat sebagai
seorang komandan polisi dari sektor kriminal. Sayangnya ada satu hat yang
masih belum kau pahami!"
"Soal apa?"
Mendadak Po Ing menghentikan gelak tertawanya, lalu sepatah demi sepatah
kata lanjutnya, "Orang yang ternama pun sama saja bisa membunuh orang!"
Leng Giok hong tidak bicara lagi, sementara Po Ing juga tutup mulutnya. Mereka
berdua saling berpandangan dengan mata tajam, namun wajah mereka tidak
menampilkan hawa nafsu membunuh yang menakutkan.
Angin musim gugur selalu berhembus kencang, jauh lebih kencang dari
hembusan angin di musim lain. Deru angin yang kencang membuat daun kering
pada berguguran.
Dalam suasana yang membeku itulah kedua orang itu saling berpandangan
tanpa melakukan sesuatu gerakan pun.
Sampai lama kemudian akhirnya Leng Giok hong menghembuskan napas
panjang, katanya, "Jangan sekarang, saat ini tidak cocok. Kalau ingin bertarung
seru, lebih baik pilih waktu yang lebih tepat."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Sebelum menghitung saat yang
baik, sebelum memilih tempat yang menguntungkan, pertarungan jangan
dilakukan. Apalagi kalau hawa nafsu membunuh belum muncul, Iebih baik
pertarungan ditunda."
Po Ing sangat setuju dengan ucapan itu.
"Bila harus turun tangan di saat tak ingin turun tangan, kekalahan pasti akan
terbentang di depan mata."
"Untungnya, cepat atau lambat, suatu saat nanti pertarungan pasti dapat
dilangsungkan."
"Semua orang persilatan tahu kalau Po sianseng amat jarang turun tangan.
Selama duapuluh tahun malang melintang dalam dunia persilatan, dia hanya
tiga kali bertarung," kata Leng Giok-hong. "Tapi kau tak usah kuatir, aku pasti
akan memberi kesempatan kepadamu untuk bertarung melawanku."
XV. Analisis Saat ini tengah hari sudah. menjelang tiba. Setelah beristirahat hampir satu jam
lamanya, kakek berbaju abu abu yang tak bernama itu sudah nampak lebih
segar. Paras mukanya sudah mulai memerah, sementara jidatnya yang semula
kehitam hitaman, kini sudah nampak pantulan cahaya.
Dia sedang bersantap, semua bahan makanan yang disantapnya telah melalui
seleksi yang amat ketat. Tak boleh kelewat berminyak, juga tak boleh sama
sekali tak berminyak. Tak boleh kelewat berprotein, tapi juga tak boleh
kekurangan protein. Hidangan sebangsa daging-dagingan serta kacang kacangan
tidak boleh makan kelewat banyak, tapi juga tak boleh kekurangan. Sedang
minuman sebangsa arak jangan lagi diminum, disentuh pun jangan.
Penyakit ginjal atau lever memang penyakit yang sangat merepotkan. Selama ini
dia jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan. Hal ini
dikarenakan sepanjang tahun ia selalu bertarung melawan keganasan penyakit
itu. Mengenai hidangannya, Po Ing sama sekali tak tertarik. Seringkali dia merasa
keheranan bagaimana mungkin seseorang bisa melanjutkan hidup hanya
mengandalkan bahan makanan semacam ini.
Manusia berbaju abu abu itu melahap hidangannya dengan penuh nikmat.
Katanya, "Jika kau, menganggap jenis makanan ini sangat lezat maka makanan
itu akan sangat lezat kalau dimakan."
Inilah prinsip hidup yang selalu dipegangnya. Ketika Po Ing muncul di situ, dia
baru saja selesai melahap satu piring bihun yang dimasak dengan terong.
Kepalanya segera didongakkan.
"Apakah kau telah berjumpa dengan Thia Siau cing?" tanyanya. "Sudah" jawab
Po Ing. "Sayangnya dia seperti tidak melihat kehadiranku."
"Bagaimana dengan Wan wan" Sudah mendapat kabar beritanya?"
"Sama sekali belum," Po Ing menggeleng. "Tapi aku telah bertemu dengan Phoa
Ki seng serta Leng Giok hong. Si baju hijau pembetot sukma ternyata muncul
juga di situ. Ilmu bersalin rupa yang dia kuasai benar benar nomor wahid di
kolong langit! Sampai sekarang aku masih belum melihat wajah aslinya."
Semua persoalan itu sama sekali tidak ditanggapi orang berbaju abu abu itu
sebagai hal yang luar biasa. Sebaliknya pertanyaan yang diajukan orang berbaju
abu abu itu justru sangat mencengangkan hati.
"Bagainiana dengan Phoa Ki-seng?" tanyanya kepada Po Ing. "Phoa Ki seng
sudah mati di tangan Leng Giok hong atau di tangan si baju hijau?"
Po Ing termasuk orang yang jarang terkejut, tapi kali ini dia benar benar
terkesiap. Serunya tak tertahan, "Darimana kau bisa tahu kalau Phoa Ki seng
telah mati ditangan orang lain?"
Orang berbaju abu abu itu tertawa.
"Banyak persoalan di dunia ini hampir semuanya selalu begini; yang
sepantasnya mati memang seharusnya segera mati, yang terlalu banyak
mengetahui persoalan juga harus segera mati." Setelah berhenti sejenak,
terusnya, "Phoa Ki seng dan Wan-wan adalah mereka yang terlalu banyak tahu
tentang persoalan ini. "
"Apa yang mereka ketahui?" tanya Po Ing tak tahan.
Orang berbaju abu abu itu tidak menjawab, dia malah balik bertanya, "Apa saja
yang telah kau ketahui?"
Po Ing termenung dan mulai berpikir, lewat lama kemudian dia baru menjawab,
"Aku tahu sejak permulaan mereka sudah keliru, bukan saja keliru pilih orang
juga keliru memilih jalan!"
"Lanjutkan. . ."
"Mereka selalu menganggap Thia Siau cing dan Ang ang adalah sepasang
kekasih yang sedang memadu cinta. Ang ang terpaksa kawin dengan orang lain
hanya lantaran Sam Kou nay nay tidak setuju dengan perkawinan mereka.
Kemudian setelah menikah ia mengalami lagi nasib yang tragis. Dalam keputus
asaan dan kekecewaanya akhirnya dia menceburkan diri menjadi seorang
pelacur." "Kenapa dia tidak melakukan pekerjaan lain, tapi ngotot menjadi seorang
pelacur?" "Maksudmu kenapa tidak menjadi nikoh saja" Sama sama jauh dari pergaulan
orang banyak?"
"Mungkin. .
"Sayang apa yang kita bayangkan selama ini keliru besar," kata Po Ing. "Ang ang
bisa terjun sebagai pelacur bukan lantaran kegagalannya kawin dengan Thia
Siau cing, tapi semuanya disebabkan Tuan muda Pek!"
"Pek Sian kui?"
"Pek Sian kui adalah suami Ang ang. Dia adalah keturunan dari Pek sam ya dari
Hong yan-sam yu," jelas Po Ing.
Setelah tarik napas panjang, kembali lanjutnya, "Keluarga Pek adalah sebuah
keluarga persilatan kenamaan di wilayah Kou siok. Semenjak kecil tuan muda
Pek adalah seorang bocah ajaib. Sayang kepandaian yang dipelajari bukan ilmu
silat, melainkan sastra: membuat syair, main khim, melukis dan berpantun.
"Untuk ukuran sebuah keluarga yang termashur karena ilmu silatnya, bocah
semacam ini dianggapnya sebagai anak yang put-hau, anak tidak berbakti yang
merusak citra keluarga.
"Oleh sebab itu semua orang beranggapan perkawinannya dengan Ang ang tidak
harmonis. Ang ang pasti tak puas dengan kemampuan suaminya, karenanya
setelah ditinggal mati dan hidup menjanda, ia sama sekali tidak bersedih hati
karena perasaan cintanya selarna ini hanya tertambat pada kekasih lamanya
Thia Siau cing seorang."
Setelah tertawa getir, Po Ing melanjutkan, "Padahal, analisis kita selama ini
keliru besar!"
"Oh ya?"
"Ang ang tak pernah memikirkan Thia Siau cing. Hubungan percintaan antara
mereka berdua hanya bertepuk sebelah tangan. Hanya Thia Siau-cing yang
selama ini masih mencintai gadis itu. Sebaliknya Ang ang tak pernah
menanggapinya, dia tak pernah masukkan perasaan cinta pemuda itu ke dalam
hatinya!" "Padahal orang yang benar benar dia pikirkan dan perhatikan adalah suaminya
Pek kongcu," sambung orang berbaju abu abu itu. "Baginya, Thia Siau cing tak
lebih hanya seorang sahabat yang tumbuh jadi dewasa secara bersama sama."
"Walaupun Thia Siau cing sangat mencintainya, tapi dengan hubungan yang
sudah terjalin selama ini, tak mungkin dia akan membohongi perasaan pemuda
itu. Ang ang pasti sudah memberitahu Thia Siau cing secara jujur bagaimana
perasaan hatinya yang sebenarnya."
"Betul" Po Ing mengangguk. "Tak mungkin dia tega untuk rnembohongi bekas
kekasihnya. Dia pasti sudah bercerita secara jujur."
"Ya, memang seharusnya begitu."
"Oleh karena itu, terjunnya Ang ang sebagai pelacur bukan lantaran masalah
Thia Siau cing. Dalam hal ini aku berani memastikannya."
"Lalu untuk siapa dia jadi pelacur?"
"Tentu saja demi Pek kongcu!" Po Ing menjelaskan lebih jauh, "Semenjak
kematian Hong yan-sam yu secara beruntun, keluarga Pek dari kota Kou siok
sudah tak di kenal sebagai keluarga persilatan yang unggul karena ilmu silatnya.
Waktu itu Pek kongcu sudah bersiap siap mengubah citra keluarganya. Dia ingin
orang lain mengenali keluarganya sebagai satu keluarga sastrawan yang pandai
dalam ilmu bun (sastra). Sayang sekali Pek Sam ya selama masih berkelana di
dalam dunia persilatan banyak mengikat tali permusuhan dengan orang banyak.
Tentu saja musuh-musuhnva tak mau melewatkan peluang tersebut dengan
begitu saja. Akibatnva dalam semalaman seluruh keluarga besar Pek telah
terbantai habis. Hanya Ang ang seorang yang berhasil meloloskan diri, itupun
berkat pertolongan dari Lenghou Put heng yang secara kebetulan sedang
berkunjung malam itu. Tujuhpuluh lembar nyawa keluarga Pek tertumpas pada
malam itu juga!"
"Tampaknya tidak banyak orang persilatan yang mengetahui kasus berdarah
ini?" kata orang berbaju abu abu itu.
"Ya, hal ini disebabkan si pembunuh melakukan pembantaian dengan sadis dan
kejamnya. Kelewat telengas! Bahkan dalam hal ini menyangkut juga nama baik
dari kaum wanita yang ada di keluarga Pek. Oleh sebab itu hanya beberapa
orang saja yang mengetahui peristiwa ini. Banyak yang tak tega untuk
menceritakannya kembali."
"Siapakah pembunuhnya?"
"Hingga kini siapa pembunuhnya masih merupakan tanda tanya besar," jawab
Po Ing; "Pernah ada orang yang melakukan penelitian atas seluruh musuh besar
dari Pek Sam ya semasa hidupnya. Tapi sewaktu terjadinya kasus pembantaian
itu, ternyata tak satu pun di antara mereka yang berada di sekitar kota Kou
siok." "Karena keluarga suami sudah terbantai habis, sedang dia sendiri pun mungkin
mengalami pelecehan seks yang sangat memalukan, dalam sedih dan
dendamnya maka dia pun terjun sebagai seorang pelacur," kata orang berbaju
abu abu itu. "Mungkin inilah sebab utama kenapa Ang ang terjun sebagai
pelacur kelas tinggi."
"Secara garis besar memang seharusnya begitu, tapi bagaimana kejadian yang
sesungguhnya mungkin hanya Ang ang sendiri yang bisa jelaskan."


Elang Pemburu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut pendapatmu masih ada alasan apa lagi selain alasan tadi?"
"Mungkin tujuan yang paling utama kenapa Ang ang jadi pelacur adalah untuk
mencari jejak pembunuh sesungguhnya."
"Mencari pembunuh sesungguhnya" Kenapa harus jadi seorang pelacur?"
"Nah, di sinilah kunci utama dari semua persoalan. Asal kita temukan Ang ang
maka semua persoalan akan menjadi jelas!"
"Tapi Ang ang sudah mati!"
"Kalau begitu kita harus mencari orang yang paling dekat dengan Ang ang!"
"Wan wan?"
"Betul!" Po Ing membenarkan.
"Ada masalah tertentu yang tak mungkin Ang ang bicarakan dengan Lenghou
Put heng. Hanya di hadapan Wan wan ia bisa menumpahkan seluruh isi hatinya.
Oleh sebab itu rahasia dari Ang-ang mungkin hanya diketahui Wan-wan
seorang." "Sayang sekali Wan wan telah lenyap secara tiba tiba di saat Yang paling kritis.
Hingga kini tampaknya belum ada yang mengetahui kabar beritanya."
"Kemungkinan besar masih ada seseorang yang tahu, hanya orang ini yang
mengetahui segalanya," tegas Po Ing.
"Siapa yang kau maksud?"
"Phoa Ki seng!"
Kembali Po Ing menjelaskan, "Sewaktu terjadi peristiwa berdarah pagi itu, hanya
Phoa Ki seng yang berada di gedung seputar tempat tinggal Ang ang. Waktu itu
kemungkinan besar Wan wan sudah merasakan gelagat tidak menguntungkan,
maka ia gunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Phoa Ki-seng pasti
melihat kejadian ini, maka dia pun menghalangi kepergiannya, bahkan mungkin
menyembunyikan dia di suatu tempat yang paling aman. Phoa Ki seng adalah
pembesar kota Chi lam, tentu saja dia sangat menguasai medan di sekitar situ.
Bukan pekerjaan yang terlalu sulit baginya untuk menyembunyikan seseorang."
"Masuk di akal!" puji orang berbaju abu abu itu.
"Waktu itu asap ungu sudah mulai muncul dari dalam gedung, disusul
kemudian ditemukannya Thia Siau cing sambil menggenggam pisau berdarah
berdiri di depan ranjang sang korban, bahkan dengan cepat mengakui dia
sebagai pembunuhnya!" lanjut Po Ing. "Setelah kejadian berkembang jadi begitu,
apa pun yang ingin diucapkan Pho Ki-seng juga tak ada gunanya lagi, maka
diapun membungkam."
"Ehmm, masuk di akal."
"Semenjak kehadiranku di kota Chi-lam, berulangkali Pho Ki-seng mencari
kesempatan untuk bertemu denganku. Rupanya dia ingin mencari kesempatan
untuk membeberkan rahasia itu kepadaku."
"Kenapa dia tidak langsung saja membawa pergi menemui Wan-wan" Kenapa dia
malah membawamu ke warung penjual teh itu?"
"Karena dia tahu, di dalam warung penjual teh itu hadir banyak sekali jago
tangguh yang khusus datang untuk menyelesaikan persoalan ini. Semua orang
tak ingin melihat Thia Siau-cing bebas dari sangkaan!" jelas Po Ing. "Phoa Kiseng
sengaja membawaku ke sana alasannya tak lain hanya ingin tahu apakah
kemampuanku bisa digunakan untuk menghadapi kawanan jago tersebut."
"Bila kemampuanmu tak sanggup menghadapi mereka, tak ada gunanya Phoa
Ki-seng membeberkan rahasia tersebut kepadamu"
"Benar," Po Ing mengangguk. "Phoa Ki seng memang seorang yang sangat berhati
hati dalam melakukan pekerjaannya."
"Tapi sampai akhir pun dia tak sempat memberitahukan rahasia itu kepadamu?"
"Benar! " Po Ing membenarkan. "Oleh karena itu ketika tiba waktunya dia ingin
membeberkan rahasia itu kepadaku, waktu sudah terlambat. Padahal sewaktu
masih berada di dalam ruang penjara Thia Siau cing, aku masih mengira dia
sengaja ingin menghindari aku. Rupanya dia ingin memancing aku keluar untuk
mengejarnya lalu menggunakan kesempatan itu mengajakku pergi menemui
Wan wan. Dia sengaja mengajakku bertarung tak lebih hanya sengaja ingin
diperlihatkan kepada orang lain."
Setelah berhenti sebentar untuk tarik napas, lanjutnya, "Ketika berpapasan
dalam ruang penjara tadi, aku mengira si baju hijau sekalian khusus meluruk ke
situ karena ingin menolong Thia Siau cing. Sungguh tak disangka ternyata
mereka datang untuk membunuh Phoa Ki seng. Tak heran kalau dia
menungguku di tengah halaman. Sayang sebelum aku tiba di situ, dia sudah
keburu dibantai orang."
"Yang membunuhnva adalah Leng Giok hong?"
"Benar, Leng Giok hong membawa surat perintah resmi dari kerajaan. Dia
diperbolehkan menjatuhkan hukuman mati kepadanva. Ditinjau dari peristiwa
ini, bisa disimpulkan kalau dia pun termasuk salah satu anggota dari organisasi
rahasia itu. Selama ini dia tinggal di kota Chi lam tak lain hanya ingin
mengaburkan identitas aslinya."
"Bagaimana dengan Leng Giok hong" Apakah dia pun termasuk salah satu
anggota organisasi rahasia itu?"
"Kemungkinan besar begitu!"
Orang berbaju abu abu itu manggut manggut, katanya, ?"Itulah sebabnya setelah
Wan-wan melarikan diri dari tempat kediaman Ang ang, Phoa Ki seng sama
sekali tidak berniat masuk ke dalam kamar untuk membekuk si pembunuh
sadis itu, karena mungkin dia juga tahu kalau pembunuh yang sesungguhnya
adalah Leng Giok hong! justru lantaran peristiwa ini, organisasi rahasia itu pasti
beranggapan bahwa Phoa Ki seng hendak berkhianat. Mereka pun segera
mengutus orang untuk melenyapkan jiwanya!"
"Betul" Po Ing mengangguk.
"Oleh karena itu dalam kasus berdarah ini, tinggal dua teka teki yang belum
terjawab!"
"Dua hal yang mana?"
"Pertama, kenapa Ang ang ngotot ingin jadi pelacur" Kedua, kenapa Leng Giok
hong harus membunuh perempuan itu?"
Ingin mencari musuh besamya bukan berarti harus jadi seorang pelacur, di balik
teka teki ini pasti terdapat satu alasan yang amat besar.
Leng Giok hong membantai Ang ang bukan saja melewati satu perencanaan yang
cermat dan teliti, bahkan dia masih di dukung oleh satu organisasi maha
dahsyat yang menjadi tulang punggungnya.
Sekalipun Leng Giok hong adalah pembunuh yang telah membantai seluruh
keluarga Pek, dan kali ini dia bantai Ang ang hanya sebagai tindakan mencabut
rumput hingga akamya, tapi berbicara dari status dan kedudukan Ang ang
dalam percaturan dunia persilatan, rasanya tak berharga baginya untuk berbuat
berlebihan semacam ini.
Dua persoalan yang merupakan teka teki besar ini memang betul betul sukar
dijelaskan. Kecuali...
" Kecuali Wan wan tahu akan rahasia itu, sedang kita berhasil menemukan dia
tepat pada waktunya."
"Sayang sekali sebelum Phoa Ki seng sempat membeberkan jejaknya, dia sudah
keburu mati dibantai orang," ujar manusia berbaju abu abu itu. "Tapi untung"
kadangkala orang mati juga bisa membocorkan sedikit rahasia!"
"Kali ini rahasia apa yang telah dibocorkan orang mati?"
"Paling tidak Phoa Ki seng telah beritahu kepada kita bahwa dia mengetahui Wan
wan bersembunyi di mana. Kemungkinan besar tempat itu terletak dekat sekali
dengan gedung besar yang ditempati Ang ang semasa hidupnya," kata orang
berbaju abu abu itu.
Kemudian tanyanya lagi kepada Po Ing, "Jika kau menjadi Phoa Ki seng, kira kira
Wan wan akan kau sembunyikan di mana?"
Po Ing termenung sambil putar otak, lalu jawabnya dengan serius, "Malam
sewaktu terjadinya kasus pembunuhan itu, Phoa Ki seng selalu berkumpul
dengan Ni Siau cong di atas sebuah loteng sambil mengamati situasi. Sewaktu
dia menjumpai Wan wan melarikan diri, kemungkinan besar dia akan
sembunyikan gadis itu dalam bangunan loteng tersebut."
"Ehmmm, kemungkinan besar memang begitu."
"Tapi setelah Thia Siau cing mengaku dia sebagai pembunuhnya, dan kasus pun
kemudian ditutup, Phoa Ki seng pasti akan memindahkan Wan wan ke suatu
tempat yang jauh lebih aman. Untuk menghindari pengawasan orang banyak,
tempat itu pasti terletak di sekitar loteng itu."
Kemudian ia mengambil satu kesimpulan, "Tempat itu, kemungkinan besar
adalah gedung besar yang pernah didiami Ang-ang semasa hidupnya!"
Tampaknya orang berbaju abu abu itu setuju sekali dengan analisis yang
dibeberkan Po Ing. Paras mukanya nampak jauh lebih cerah dan bersinar.
Kembali Po Ing berkata, "Sejak terjadinya peristiwa pembunuhan berdarah itu,
gedung tersebut selalu dibiarkan kosong dan terbengkalai. Bahkan kemungkinan
besar telah disegel pihak kerajaan. Berarti semua penghuni yang ada di dalam
gedung pasti telah diusir keluar semua, sedang orang luar tak mungkin masuk
ke dalam. Gedung kosong yang terbengkalai semacam ini rasanya merupakan
tempat yang paling cocok untuk menyembunyikan diri."
Setelah berhenti sejenak lanjutnya, "Apalagi Wan wan sudah cukup lama
berdiam di situ. Sekalipun ada orang yang menerobos masuk ke dalam, dengan
sangat mudah ia bisa menghindarkan diri dari pengawasan orang orang itu."
"Jadi kau simpulkan saat ini mereka pasti berada dalam gedung besar itu?"
"Aku hanya memastikan Wan wan berada di situ."
"Bagaimana dengan Ni Siau cong?"
"Kalau Ni Siau cong sih susah dikatakan," sahut Po Ing sambil tertawa getir.
"Keluarga Ni banvak memiliki rahasia yang tak diketahui orang luar, jadi sulit
bagiku untuk menebaknya."
"Keluarga Ni memang merupakan satu keluarga persilatan yang sangat aneh.
Ada orang bilang mereka adalah kelompok keluarga dari golongan bandit, selain
mahir dalam ilmu meringankan tubuh, mereka pun menguasai Suo kut kang
(ilmu mengunci, tulang), Sut kut hoat (ilmu menciutkan tulang), ilmu bersalin
rupa, senjata rahasia, dupa pemabuk, obat racun. . . asal kepandaian yang
berhubungan dengan kaum bandit hampir semuanya mereka kuasai," kata
orang berbaju abu abu itu menjelaskan.
"Kalau soal itu memang tak perlu diragukan lagi. Tapi selain itu semua, konon
keluarga mereka juga masih mempunyai banyak hal yang aneh!"
"Ya, memang ada yang berkata bahwa dari keluarga mereka pernah muncul
beberapa orang jago yang sangat mahir dalam tenaga dalam. Bahkan ada yang
berhasil melatih ilmu Bu tong-khikang yang maha dahsyat. Hanya saja, sewaktu
melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, mereka seringkali berganti
nama," kata orang berbaju abu abu itu.
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Malahan ada yang bilang, satu
di antara keempat tianglo dari Bu tong pay berasal dari keluarga Ni!"
"Menurut aku, kepandaian paling khas yang dimiliki keluarga Ni adalah sistim
mereka untuk bertukar berita dan informasi," kata Po Ing. "Sewaktu mereka
saling bertukar informasi dan kabar, kalau bukan anggota keluarga Ni, jangan
harap kalian bisa merasakannya!"
"Konon kaum wanita dari keluarga ini pun termasuk orang-orang yang sangat
aneh, bahkan mereka semua adalah orang kenamaan di dalam dunia persilatan."
Berbicara sampai di sini, tiba-tiba orang berbaju abu abu itu mengalihkan pokok
pembicaraan. Tanyanya kepada Po Ing, "Tahukah kau kita berada di mana
sekarang?"
Po Ing langsung tersenyum.
"Bila tebakanku tak salah, seharusnya tempat kita berada sekarang adalah
halaman belakang dari gedung yang pernah ditempati Ang ang!"
Orang berbaju abu abu itu ikut tertawa, bahkan suara tertawanya amat keras.
"Belakangan ini kemajuan yang berhasil kau capai memang sangat
mengagumkan. Tak heran kalau setiap kali bertaruh pasti menang. Tampaknya
dewa uang pun kalah bertaruh melawan kau!"
"Berapa orang dari dewa uang memang tak pantas disebut seorang penjudi
sejati." Setelah berhenti sejenak, Po Ing mengalihkan pembicaraan. Tanyanya kepada
orang berbaju abu abu itu, "Bila sekarang kita berada di halaman belakang
gedung itu, bukankah berarti Wan wan juga berada di sini?"
"Benar!"
XVI. Tangan Suci Pencabut Nyawa
Seorang nona cilik berbaju putih bersih, dengan membawa sebuah nampan bulat
berisi sayur dan arak berfalan masuk ke tengah halaman. Dia mempunyai wajah
bulat, mata bulat dan sepasang lesung pipi yang bulat juga.
Akhirnya Wan wan (si bulat) muncul juga. Tapi senyuman belum muncul di
wajahnya. Maklum, nona besar keluarga mereka baru saja mati dibunuh orang.
Bukan saja dia adalah orang terdekatnya, dia juga merupakan satu satunya
sanak baginya. "Ketika tengah malam menjelang tiba, aku sudah tahu ada gelagat yang tidak
beres, sebab Leng Giok hong tidak lain adalah pembunuh yang telah melakukan
pembantaian terhadap keluarga. Pek!" cerita Wan wan. "Oleh karena itu aku
gunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Maksudku aku ingin mencari
bala bantuan."
"Ketika melarikan diri, apakah niat ini muncul atas keinginanmu sendiri?"
"Benar!"
"Kenapa nonamu tak setuju untuk ikut melarikan diri?"
"Sebab dia ingin balas dendam dengan tangannya sendiri," tiba-tiba Wan wan
kelihatan agak sangsi. Dia seperti ragu untuk mengatakan sesuatu, tapi
kemudian lanjutnya, "Dia tak ingin kisah memalukan yang menimpa dirinya
tersebar keluar."
"Balas dendam adalah satu tindakan yang heroik, kenapa kau katakan sebagai
hal yang memalukan?"
Wan wan segera tutup mulutnya rapat rapat, jelas dia tak ingin mengungkit
masalah itu. Karenanya Po Ing segera mengalihkan pembicaraan ke soal lain.
"Mana Ni Siau cong?"
"Dia sudah pergi, kelihatannya dalam keluarganya telah terjadi satu masalah
yang cukup gawat. Lagipula dia tak ingin bertemu dengan Leng Giok hong,
terlebih lagi dia tak ingin berjumpa dengan si baju hijau."
"Kenapa?" tanya Po Ing keheranan. "Apakah di antara mereka berdua juga
mempunyai hubungan khusus?"
"Soal itu aku kurang jelas," Wan wan menggeleng. "Urusan yang menyangkut
keluarga Ni, bahkan kau sendiri pun tak jelas, apalagi aku?"
"Berarti Ni Siau cong juga beranggapan bahwa pembunuhnya adalah Leng Giok
hong?" "Dia memang berkata begitu!"
"Atas dasar apa kalian berani memastikan kalau Leng Giok-hong lah
pembunuhnya?"
"Berdasarkan sebuah bekas bacokan golok!"
"Bekas bacokan" Bekas bacokan macam apa?" tukas Po Ing.
"Sebuah bekas bacokan yang bentuknya mirip seekor kelabang, panjang sekali
dan jelek sekali. Sebab setelah terkena bacokan golok dulu, dia segera menjahit
mulut luka itu dengan sebuah benang yang terbuat dari kulit kerbau. Ketika
mulut luka itu sembuh maka ujung benang di kedua sisi bekas lukanya yang
mencuat keluar berubah jadi kaki-kaki kelabang Yang sangat panjang."
Setelah berhenti sejenak, kembali Wan wan melanjutkan, "Tapi seekor kelabang
yang sebenarnya tak akan sepanjang itu."
"Berapa panjangnya?"
"Paling tidak ada satu depa Iebih tiga empat inci," sahut Wan-wan. "Bacokan
golok itu sangat kuat dan dalam. Sayangnya Leng Giok hong mengenakan baju
tebal waktu itu. Kalau tidak, mungkin bacokan itu sudah menewaskan dia! "
"Kalau begitu, orang yang ingin membunuhnya waktu itu adalah seorang jagoan
tangguh yang sangat mahir menggunakan golok?"
"Bukan cuma orang yang membawa golok adalah jagoan tangguh, orang yang
menjahitkan mulut lukanya juga pasti seorang jago hebat!"
Kalau betul di tubuhnya terdapat sebuah bekas bacokan yang begitu panjang,
kenapa selama ini aku tak pernah melihatnya?"
Sekali lagi Wan wan menutup mulutnya rapat rapat.
Dengan menggunakan sepasang matanya yang tajam bagai mata elang, Po Ing
mengawasi gadis itu lekat lekat, kemudian baru katanya, "Aku tidak melihatnya,
apakah dikarenakan bekas Iuka itu berada di suatu tempat yang tak mungkin
dilihat orang lain" Apakah bekas luka itu tidak bisa terlihat bila dia tidak
melepaskan semua pakaian yang dikenakan?"
Wan wan masih juga tidak menjawab, tapi wajahnya telah menunjukkan mimik
muka yang sangat aneh, selain amat gusar juga amat sedih.
Sebenarnya gadis ini merupakan seorang gadis lincah yang sangat pandai
berbicara. Tapi setiap kali mengungkit persoalan itu, air mukanya segera
berubah hebat, seakan akan dia ingin sekali melayangkan satu tonjokan untuk
menghajar mulut Po Ing, merontokkan giginya agar dia tak bisa mengungkit lagi
persoalan itu untuk selamanya.
Padahal tak perlu gadis itu memberikan penjelasan pun, Po Ing sudah paham
seluruhnya. ... Tak diragukan lagi, Leng Giok hong adalah pembunuh yang telah melakukan
pembantaian atas keluarga Pek.


Elang Pemburu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

... Banyak perempuan dari keluarga Pek yang mengalami kekerasan seks. Ang
ang adalah salah satu di antaranya.
... Di salah satu bagian yang paling rahasia dari Leng Giok-hong terdapat sebuah
bekas luka bacokan yang panjangnya lebih dari satu depa dan berbentuk
kelabang. Bekas luka itu baru terlihat jika dia dalam keadaan telanjang bulat.
... Ang ang sengaja bekerja sebagai pelacur karena dia ingin menciptakan
kesempatan seperti ini, karena hanya seorang pelacur yang bisa melihat seorang
lelaki asing dalam keadaan telanjang bulat.
... Tentu saja dia tak sanggup menemukan pembunuh itu. Tapi dia percaya bila
si pembunuh mendengar ada seorang pelacur macam dia, cepat atau lambat dia
pasti akan datang sendiri untuk mencarinya.
Atas dasar beberapa sebab dan alasan itulah bisa ditarik kesimpulan, apa alasan
sang pembunuh untuk menghabisi nyawa Ang ang.
Jelas peristiwa ini adalah suatu peristiwa yang memalukan. Wan-wan enggan
menyinggungnya, tentu saja Po Ing segan untuk mengungkitnya kembali.
Katanya kemudian, "Sekarang, tampaknya tinggal satu persoalan yang belum
kita kerjakan."
"Membunuh Leng Giok hong?"
"Sekalipun tidak dibunuh, paling tidak juga harus ditangkap dan diadili!"
Manusia berbaju abu abu yang selama ini membungkam, tiba-tiba berkata juga,
"Sekarang kasus asap berwarna ungu sudah terungkap. Walaupun Thia Siau
cing masih mencintai Ang ang, bahkan rela menemaninya mati, tapi sekarang
rasanya dia tak perlu pergi mati."
"Sekalipun dia ingin mati, mungkin keinginannya tak akan kesampaian."
"Oleh sebab itulah pertaruhanmu dengan kakek Li berjubah merah telah kau
menangkan. Buat apa kau mesti mencampuri urusan ini lagi?"
"Selama dia belum mati, rasanya aku belum puas!"
"Semenjak berusia dua belas tahun, Leng Giok hong telah berhasil membongkar
satu kasus perampokan yang rumit. Satu persatu rampok rampok licik dan buas
itu berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Aku rasa orang seperti dia
pasti sangat ahli juga dalam hal melarikan diri. Aku rasa tak gampang jika kau
ingin menangkapnya."
"Aku mengerti, untungnya aku tak perlu melakukannya!"
"Tak perlu mengejarnya?"
"Betul!"
"Kenapa?"
"Karena aku percaya pasti ada orang yang mewakiliku untuk melaksanakan
tugas ini," kata Po Ing. "Kecuali aku, pasti masih ada orang lain yang tak ingin
membiarkan dia hidup terus."
Lagi lagi apa yang dikatakan tepat sekali.
Tiba tiba dari luar dinding pekarangan muncul sebuah tangan. Tangan itu
seakan akan muncul dari dalam air, tenang dan sangat lembut, bukan saja tidak
menimbulkan suara, juga tak tampak ada dinding yang retak atau rusak. Setitik
debu pun tak nampak gugur dari atas dinding pekarangan itu. Tangan itu sangat
indah, jari jemarinya ramping lagi panjang. Satu satunya cacad yang patut
disesali hanyalah ruas jari tangan itu kelihatan agak besar dan kasar. Oleh
sebab itulah semua jari tangannya dihiasi dengan enam buah cincin berbatu
mutu manikam yang terdiri dari mustika berwarna wami.
Tak bisa disangkal tangan itu adalah tangan seorang wanita. Dia sedang
menggapai ke arah Po Ing. Tanpa ragu atau sangsi Po Ing segera menghampiri.
Dengan langkah lebar dia berjalan melewati tembok itu, seakan akan di
hadapannya sama sekali tak ada dinding pembatas.
Ketika ia sudah berjalan lewat, di atas dinding pekarangan itu baru muncul
sebuah lubang besar, sementara Po Ing telah keluar dari dinding pemisah itu.
Di luar pagar adalah sebuah gunung gunungan dengan pancuran air yang
mengalir deras.
Di antara bayangan yang ter?pantul dari permukaan air, lamat-lamat tampak
sesosok bayangan hijau berkelebat lewat.
Ketika Po Ing menyusul sampai di luar pagar, bayangan itu sudah berada di atas
gunung-gunungan di seberang sana. Orang itu mengenakan baju berwarna hijau
muda, sekalipun seseorang yang tak tahu kualitas kain pun dalam sekilas
pandangan sudah dapat melihat kalau pakaian yang dikenakan orang itu sangat
mewah dan mahal harganya.
Perawakan tubuhnya termasuk sangat indah, ramping, kecil mungil dan sangat
menggiurkan. Hanya sayang ia berdiri membelakangi Po Ing sehingga tak
nampak raut muka sebenarnya.
Po Ing tidak berusaha untuk mengejar. Karena dia sudah bergerak duluan, maka
jaraknya dengan Po Ing sekarang sudah terpaut tujuh delapan kaki, sekalipun
mau dikejar juga sulit untuk menyusulnya.
Apalagi di luar sana masih terdapat sebuah benda yang jauh lebih menarik
perhatian Po Ing... ditepi kolam air di bawah gunung-gunungan itu ternyata
terbujur sebuah peti mati.
Po Ing tidak mengejar, orang berbaju hijau itu juga tidak pergi. Sampai Po Ing
mulai membuka peti mati itu pun dia sama sekali tidak berpaling.
Sudah barang tentu dia tahu apa isi peti mati itu.
Biasanya isi dari sebuah peti mati adalah mayat seseorang. Tidak terkecuali isi
peti mati ini. Leng Giok hong yang masih kelihatan begitu gagah dan segar
setengah hari berselang, kini sudah membujur kaku di dalam peti mati itu.
Benarkah mayat itu adalah mayat dari Leng Giok hong asli" Tiba tiba terdengar
orang berbaju hijau yang berada di atas gunung gunungan itu tertawa terkekeh
kekeh. Suara tertawanya sangat aneh, tajam melengking dan sangat menusuk
pendengaran, katanya, "Lebih baik jangan kau sentuh dia. Juga tak perlu
memeriksa bekas bacokan golok di tubuhnya, karena kemungkinan besar
sekujur badannya saat ini sudah mengandung racun ganas. Bila kau sentuh
kakinya maka kakinya akan membusuk, bila tanganmu menyentuh tangannya
maka tangan itu akan membusuk. Akhimya seluruh badannya akan muIai
membusuk dan hancur lebur!"
Sembari berkata, selangkah demi selangkah dia mundur ke belakang. la mundur
dengan langkah biasa. Walaupun menguasai ilmu meringankan tubuh yang
sangat hebat, dia sama sekali tidak menggunakannya.
Ketika ia mundur beberapa langkah lagi maka terlihatlah manusia berbaju abu
abu itu muncul dari sisi gunung-gunungan yang lain. Setiap langkah ia mundur
ke atas gunung-gunungan, manusia berbaju abu-abu itu maju selangkah lebih
ke depan. Tentu saja ia tak mampu mengetuarkan ilmu meringankan tubuhnya untuk
melarikan diri, karena saat ini semua jalan darah kematian disekujur tubuhnya
sudah berada dibawah ancaman pukulan orang berbaju abu abu itu. Satu
serangan yang bisa mencabut nyawanya setiap saat.
Demikian hebatnya tenaga ancaman itu sampai Wan wan yang berdiri di tempat
kejauhan pun dapat merasakan kekuatan itu. Sedemikian tegangnya nona kecil
ini sampai telapak tangannya ikut mengeluarkan peluh dingin.
Tentu saja tenaga tekanan yang dirasakan orang berbaju hijau itu jauh lebih
dahsyat lagi. Asal dia beniat kabur maka jiwanya pasti akan terancam. Entah ke
mana pun kau hendak lari dan memakai cara apa pun untuk menghindar, sulit
rasanya untuk meloloskan diri dari ancaman manusia berbaju abu abu itu.
Pada saat itulah tiba tiba manusia berbaju abu abu itu menghentikan
langkahnya. Si baju hijau tidak menyianyiakan kesempatan baik itu, ia segera bersalto di
tengah udara. Dengan jurus "dada ramping menembus awan," satu gerak jurus
yang amat sederhana, ia melesat mundur jauh ke belakang.
Tampaknya dia sudah menduga kalau Po Ing tak bakal melepaskan dirinya,
maka sebelum diserang orang, dia berusaha melancarkan serangan duluan.
Ketika badannya meluncur ke bawah, tiga buah serangan kilat segera
dilancarkan dalam waktu sekejap. Tiba tiba paras muka Po Ing berubah hebat.
Mimik muka yang sangat aneh terlintas di wajahnya. Dia seolah olah baru saja
menyaksikan suatu peristiwa yang sebenamya mustahil bisa terjadi di situ. Si
baju hijau tidak menyia nyiakan kesempatan itu. Secepat kilat dia mundur ke
belakang dan melarikan diri dari situ.
Wan wan menyaksikan perubahan wajah Po Ing dengan sangat jelas, tak tahan
segera serunya, "Paman Po, kau seperti baru saja melihat setan. Sebenarnya apa
yang kau lihat?"
Sampai lama sekali Po Ing berdiri tertegun, akhimya setelah menghela napas
panjang katanya, "Aku telah melihat wajah seseorang. Tidak seharusnya wajah
orang itu muncul di wajah si baju hijau."
"Siapakah orang itu?"
"Ni Siau cong!"
"Maksudmu wajah si baju hijau tadi adalah wajah Ni Siau-cong?"
"Benar!"
Wan wan ikut tertegun, gumamnya, "Masa Ni Siau cong adalah si baju hijau"
Masa si baju hijau adalah Ni Sijau cong?"
"Tapi Ni Siau cong sudah pergi, bahkan pasti pergi bersama Oh Kim siu!"
"Darimana kau bisa tahu?"
"Karena orang yang menghadang perjalananku di tengah jalan bersama Phoa Ki
seng tadi, kemudian memancing keluar Oh Kim siu dari dalam kereta, adalah Ni
Siau cong."
"Benar!"
"Konon keluarga Ni Siau cong sedang dilanda masalah serius dan dia harus buru
buru pulang ke rumah. Oh Kim siu pasti pergi bersamanya," kata Po Ing. Setelah
tertawa getir lanjutnya, "Belakangan ini nona besar Oh tampak seperti amat
tertarik dengan urusan yang menyangkut keluarga Ni."
"Maka kau tak pernah menanyakan kabar beritanya?"
"Kalau kau pun tidak bertanya, tentu saja aku merasa sangat lega," sahut Po
Ing. "Apalagi ada baiknya juga bila kami berdua berpisah berapa saat, daripada
tiap hari hidung menyenggol hidung, mata menyenggol mata, lama kelaman jadi
bosan juga!"
Tiba tiba manusia berbaju abu abu itu menyela, "Masuk diakal juga
perkataanmu itu. Suami istri memang harus diingat dalam hati saja, ketimbang
tiap hari ketemu dan beradu mulut!"
Walaupun dia sedang tersenyum tapi wajahnya kelihatan sangat lelah, paras
mukanya kelihatan jauh lebih hitam ketimbang barusan. Matanya juga mulai
nampak kekuning-kuningan.
"Walaupun si baju hijau telah pergi, tapi dia toh tak ada sangkut pautnya
dengan kasus ini. Padahal kasus pembunuhan ini telah terbongkar dan selesai
sampai di sini," kata manusia berbaju abu-abu itu.
Kemudian setelah melihat Po Ing sekejap, tambahnya, "Aku lihat wajahmu mulai
pucat dan kurang sehat. Konon ilmu memasak dari nona besar Oh sangat hebat
dan sangat berguna untuk menambah kekuatan lelaki. Kenapa kau tidak
mencarinya untuk makan barang satu dua mangkuk?"
Po Ing tersenyum. Dia pun sedang memandang wajah orang berbaju abu abu itu;
pandangan penuh rasa kuatir dan perhatian.
"Kau juga mesti baik baik jaga diri," pesannya. "Obat paling manjur untuk
mengobati penyakit ginjalmu adalah "istirahat dengan tenang." Lebih baik jangan
banyak marah dan mengumbar emosi. "tidak baik untuk kesehatan badanmu."
Manusia berbaju abu abu itu tersenyum. "Aku tahu, asal kau tidak selalu
mencari gara gara di luaran, mungkin aku pun tak perlu marah marah lagi,"
katannya. Selesai berkata, ia segera bertepuk tangan dua kali, dari balik tembok
pekarangan tiba-tiba melayang masuk sebuah tandu. Tandu bersama
penandunya melayang masuk dengan kecepatan tinggi. Bukan hanya cepat,
gerakan badannya juga amat ringan, sedemikian ringannya seolah olah tandu
dan penandunya hanya terbuat dari kertas biasa.
Manusia berbaju abu abu itu segera naik ke dalam tandu. Orang bersama
tandunya kembali melayang di udara dan meluncur keluar dari pagar
pekarangan. Dari kejauhan sana, terdengar ia berseru lagi, "Jangan lupa, orang yang
memakai cincin besi berwarna hitam itu besar kemungkinan adalah satu
komplotan dengan si baju hijau. Biarpun kali ini dia tidak turun tangan, jika ia
sampai turun tangan, mungkin kau akan semakin kerepotan!"
Organisasi rahasia apakah yang dimaksud" Untuk sementara waktu Po Ing tak
ingin memikirkannya. Bagaimana pun juga persoalan itu adalah persoalan
dalam kisah cerita yang lain.
TAMAT Lanjutan seri ini
Sarang Perjudian
Petualang Asmara 7 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 23
^