Kisah Si Bangau Putih 11
Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
berubah menjadi Bu Beng Lokai."
"Kalau begitu, Nona adalah saudara seperguruan dari nona Suma Lian"
"Benar sekali! Engkau mengenal suciku" Sungguh, semakin sempit saja dunia ini!" Untuk sejenak, Li Sian melupakan kedukaannya dan ia tersenyum gembira sekali. Kun Tek ikut bergembira melihat hal ini.
"Sungguh menyenangkan sekali. Kiranya engkau masih ada hubungan keluarga seperguruan yang dekat dengan Hong Beng, dan dia adalah sahabat lamaku yang amat baik. Kita ternyata masih orang segolongan yang berhubungan dekat. Sayang kita saling berjumpa dalam keadaan seperti ini."
Li Sian teringat kembali akan keadaan mereka, teringat kembali akan keadaan dirinya. Ia membayangkan kemungkinan mengerikan yang akan menimpa dirinya. Ia tahu kini betapa kejam dan kejinya hati Siangkoan Liong dan para pimpinan pemberontak itu. Ada bahaya yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian mengancam dirinya. Hong Beng dan Kun Tek memang benar kalau tadi mengkhawatirkan keselamatannya karena ia seorang wanita. Membayangkan semua ini, ia teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda dan ia pun mengepal tinjunya.
"Benar apa yang telah dilakukan enci Ciong Siu Kwi itu! Kalau mendapat kesempatan lagi, aku akan melawan dan mengadu nyawa dengan mereka. Lebih baik aku mati daripada sampai tertawan kembali!" Wajah gadis itu menjadi pucat dan sepasang matanya seperti bernyala.
"Jangan khawatir, Nona. Aku Cu Kun Tek bersumpah akan membelamu sampai mati." Tiba-tiba Kun Tek berkata dengan suaranya yang dalam dan mantap. Mendengar ini, Li Sian menoleh dan menatap wajah pendekar muda yang gagah itu, dan keduanya saling pandang, sinar mata mereka bertemu dan berpaut, dan dalam saat beberapa detik itu, Li Sian melihat betapa sinar mata pemuda itu penuh dengan cinta kasih yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat ia terharu dan wajahnya yang pucat tadi berubah kemerahan, lalu sinar matanya menunduk dan kedua matanya menjadi basah. Melihat keadaan mereka berdua itu, timbul kekhawatiran dalam hati Hong Beng. Dia sudah mengenal watak Kun Tek yang keras dan pantang mundur, gagah perkasa dan berani menentang kematian sehingga watak ini kadang-kadang dapat membuat dia menjadi agak sembrono. Dia tahu bahwa kalau kedua orang muda itu nekat mengadu nyawa, hal itu hanya berarti bahwa mereka berdua akan membunuh diri saja, atau mati konyol karena bagaimanapun juga, mereka bertiga tidak akan mungkin mampu mengalahkan musuh yang jumlahnya demikian banyak dan memiliki banyak orang yang lebih lihai daripada mereka.
"Nona Li Sian dan Kun Tek, dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita bertiga mengalami nasib yang sama, menjadi tawanan tak berdaya di sini. Bagaimanapun juga, kita harus dapat meloloskan diri dan kurasa untuk itu, tak mungkin kalau kita hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan saja. Kita harus menggunakan akal dan kuharap kalian suka mengikuti apa yang akan kulakukan, demi keselamatan kita. Ingat, kalau aku mempergunakan akal, hal itu bukan berarti aku pengecut dan takut mati. Sama sekali bukan. Hanya agar kita dapat lolos lebih dahulu dari sini, untuk kemudian mengatur siasat bagaimana agar dapat menghancurkan mereka, kalau perlu dengan bala bantuan."
"Menggunakan akal" Apa yang kaumaksudkan, Hong Beng" tanya Kun Tek.
"Kita harus mengakui bahwa kalau hanya menggunakan kenekatan, kita takkan mampu mengalahkan mereka yang jauh lebih banyak jumlahnya, dan akhirnya kita takkan mampu lolos dan akan mati konyol di sini."
"Aku tidak takut, apalagi untuk melindungi nona Li Sian!" kata Kun Tek dengan sikap gagah. Hong Beng tersenyum dan diam-diam dia teringat akan masa lampau. Pemuda tinggi besar dan yang gagah perkasa itu kalau sudah jatuh cinta memang kelihatan nekat sekali!
"Kita semua tidak takut mati, saudaraku yang baik. Akan tetapi mati konyol seperti itu bukanlah perbuatan gagah namanya, melainkan perbuatan bodoh sekali. Bukankah begitu" Tidak, untuk keadaan kita yang dalam perimbangan lebih lemah ini kita harus menggunakan akal. Kalau perlu, aku akan bermain sandiwara dan pura-pura takluk...."
"Takluk kepada mereka" Tidak sudi! Aku akan melawan!" teriak Kun Tek.
"Saudara Kun Tek, harap suka mendengarkan dulu perjelasan saudara Hong Beng. Dia benar, kalau tidak ada harapan menang menggunakan kekerasan, mengapa tidak menggunakan akal mengalah" Mengalah untuk akhirnya menang"
Aneh sekali, demikian pikir Hong Beng. Mendengar ucapan gadis itu, Kun Tek kelihatan sabar kembali dan mengangguk, lalu berkata, "Bagaimana akalmu, coba katakan Hong Beng."
Hemmm, raksasa ini sudah menjadi jinak agaknya, di bawah sinar mata lembut gadis hebat ini, demikian Hong Beng berkata dalam hatinya.
"Begini. Mereka itu jelas musuh kita, akan tetapi setelah kita memberontak terhadap mereka atas bantuan Ci Hwa tadi, setelah kita membunuh belasan orang anak buah mereka, kini kita ditawan kembali. Kita tidak mengalami siksaan, juga tidak dibunuh. Hal ini bukan tidak ada artinya sama sekali. Kalau kita terus dibunuh, hal itu sudah jelas. Akan tetapi tidak, kita tidak dibunuh dan ini hanya berarti bahwa mereka itu, setidaknya pemimpinnya, dan kurasa kakek berkipas itu sendiri, tidak menginginkan kita mati. Dan alasannya tentu hanya satu, yaitu dia menghendaki agar kita membantu pemberontakan mereka."
"Tidak sudi! Aku...." Kun Tek menghentikan teriakannya ketika melihat betapa Li Sian menoleh dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Teruskan, Hong Beng.... " akhirnya dia berkata lirih.
Hong Beng menahan kegelian hatinya melihat sikap Kun Tek, lalu melanjutkan dengan suara bisik-bisik. "Tentu saja kita tidak akan bersekutu dengan kaum sesat seperti mereka. Akan tetapi, dalam keadaan terjepit dan tiada pilihan lain, kita boleh memperlihatkan sikap seolah-olah kita setuju untuk bersama mereka menentang pemerintah. Bagaimanapun juga, bukankah kita sendiri juga tidak suka melihat pemerintah penjajah menguasai tanah air kita" Tapi, sikap kita setuju menentang pemerintah penjajah bukan merupakan suatu kepura-puraan belaka. Hanya sikap mau bekerja sama itu yang menjadi permainan sandiwara kita. Nah, kalau sudah begitu, tentu muncul kesempatan bagi kita untuk membebaskan diri kelak. Bagaimana pendapat kalian"
Kun Tek masih hendak membantah. Pemuda ini merasa betapa memalukan kalau dia harus memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan tetapi, melihat betapa Li Sian mengangguk-angguk menyambut pendapat Hong Beng itu dan nampaknya setuju, dia pun.... mengangguk pula beberapa kali dan menutup mulutnya!
Mereka bertiga terpaksa kini menutup mulut karena mendengar suara orang dan langkah kaki menuju ke kamar tahanan itu. Ternyata yang muncul adalah Ouwyang Sianseng bersama Siangkoan Liong! Hong Beng bertukar pandang dengan Kun Tek, memberi isyarat bahwa agaknya apa yang diduganya akan terjadi. Buktinya Ouwyang Sianseng yang lihai sekali itu, kini mengunjungi mereka! Apalagi kalau bukan untuk membujuk mereka agar suka bekerja sama" Akan tetapi, Hong Beng melihat betapa Li Sian memandang kepada Siangkoan Liong dengan sinar mata memandang penuh kebencian sehingga dia terkejut. Pandang mata seperti itu tak dapat menipu yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang amat benci karena dendam sakit hati! Apakah yang telah dilakukan pemuda tampan putera ketua Tiat-long-pang itu sehingga membuat Li Sian demikian membencinya"
Di belakang kedua orang ini nampak tiga belas orang yang keadaan tubuhnya amat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, dengan tubuh bagian atas telanjang sehingga nampak dada dan pundak lengan yang berotot melingkar-lingkar dan juga berbulu! Mereka itu seperti segerombolan orang hutan, mata mereka sempit kemerahan dan mulut mereka, lebar menyeringai, nampak gigi yang tidak terpelihara baik-baik dan kekejaman yang buas nampak pada wajah mereka. Usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun dan celana mereka hitam dengan kaki bersepatu kulit tebal. Ketika Siangkoan Liong dan gurunya membuka pintu kamar tahanan dan memasukinya, tiga belas raksasa Mongol itu tinggal di luar, akan tetapi mereka menjenguk ke dalam melalui jeruji-jeruji besi dan mata mereka semua memandang kepada Li Sian seperti segerombolan srigala kelaparan, dengan mulut menyeringai, dan di antara mereka ada yang tak dapat menahan air liur yang mengalir keluar melalui ujung bibir mereka. Li Sian membuang muka karena merasa ngeri dan jijik.
Dua orang anak buah Tiat-liong-pang membawa dua buah bangku dan memberikannya kepada guru dan murid itu, kemudian keluar lagi. Siangkoan Liong dan gurunya duduk di dekat pintu, memandang kepada tiga orang tawanan yang kini sudah bangkit berdiri, seperti dua orang yang nonton tiga ekor binatang buas yang diikat pada dinding. Kun Tek memandang kepada mereka dengan mata melotot marah. Kalau saja kaki kirinya tidak dibelenggu rantai baja dan terikat pada dinding, ingin rasanya dia menerjang kedua orang itu! Hong Beng berdiri dengan sikap tenang saja, sedangkan Li Sian yang juga sudah berdiri, kini menundukkan pandang matanya karena tidak sudi lagi ia memandang kepada Siangkoan Liong lebih lama lagi.
"Sian-moi, sungguh aku merasa bersedih dan menyesal sekali bahwa engkau telah terkena hasutan Bi Kwi sehingga engkau memusuhi aku. Sian-moi, tidak dapatkah kita berbaik kembali" Lupakah engkau akan hubungan antara kita"
Kalau tadinya Li Sian sudah dapat menenangkan batinnya, kini mendengar ucapan itu, seolah-olah api yang sudah mengecil itu disiram minyak sehingga berkobar kembali, mengingatkan ia akan kematian kakaknya dan akan dirinya yang telah ternoda oleh pemuda perayu ini. Ketika ia mengangkat mukanya, sepasang matanya berkilat memandang Siangkoan Liong penuh kebencian. "Siangkoan Liong, tidak perlu banyak bicara lagi! Omonganmu yang beracun tidak perlu kudengarkan lagi. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kita kecuali hubungan dendam dan permusuhan yang hanya akan dapat dihapus dengan darah!"
Seperti juga Hong Beng, kini Kun Tek memandang dan menekan keheranan hatinya. Dia juga dapat merasakan kebencian yang mendalam dari gadis itu terhadap Siangkoan Liong.
Sebelum Siangkoan Liong menjawab atau bicara lagi, Ouwyang Sianseng sudah mencegahnya dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan kini terdengar kakek itu bicara, suaranya halus dan penuh wibawa, sikapnya tenang sekali dan sikapnya seperti dia sedang bicara kepada para muridnya saja.
"Tidak perlu perbantahan lagi, lebih baik kalau nona Pouw Li Sian mengetahui duduknya persoalan yang sebenarnya. Nona Pouw Li Sian, bukankah engkau merasa penasaran dan mendendam sakit hati karena kakak kandungmu terbunuh" Nah, ketahuilah bahwa memang sesungguhnyalah kalau dia itu dibunuh oleh kami sendiri! Lebih baik berterus terang agar engkau tahu duduknya persoalan."
Li Sian mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Matanya terbelalak dan tentu saja ia mau mendengarkan karena kakek itu agaknya kini berterus terang dan mengakui secara jujur.
"Akan tetapi, mengapa dia dibunuh" Apa kesalahannya" tanyanya sambil mengamati wajah kakek itu penuh selidik.
"Dia telah mengkhianati perjuangan kami! Dia hendak melaporkan kegiatan kami ke kota raja. Kalau dia tidak dibunuh, kami semua bisa celaka."
"Bohong! Aku tidak percaya!" kata Li Sian, walaupun di sudut hatinya ia meragukan bantahannya sendiri. Bukankah kakaknya itu sudah memperlihatkan sikap aneh, seolah-olah terkejut dan sama sekali tidak setuju melihat ia membantu gerakan perjuangan yang dipimpin Siangkoan Lohan itu" "Bukankah kakakku itu anak buah Coa Tai-ciangkun yang sudah bergabung dengan Tiat-liong-pang"
"Itulah sebabnya mengapa kami harus bertindak tegas. Pengkhianatannya itu diketahui oleh perwira lain dan ketika dia ditegur, terjadi perkelahian di antara mereka. Kakakmu menang, perwira itu dibunuhnya, akan tetapi pada saat itu, kami mengetahuinya dan kami lalu membunuhnya pula. Nah, engkau sudah mendengar sekarang, dan memang demikianlah keadaannya. Karena itu, harap engkau suka menyadari kekeliruanmu memusuhi muridku ini, nona Pouw."
Pouw Li Sian hampir terbujuk, akan tetapi ia teringat kembali akan kematian Yo Jin dan Bi Kwi yang mengerikan, dan perasaan tidak suka sudah mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Liong yang tadinya berhasil menjatuhkan hatinya.
"Tidak, aku masih belum percaya! Ini semua tentu tipu muslihat kalian!" katanya.
"Memang kami hendak memperlihatkan bukti kebenaran omongan kami." kata kakek itu sambil memberi isyarat ke luar kamar tahanan yang luas itu. Terdengar suara gaduh dan masuklah seorang anak buah Tiat-liong-pang menyeret lengan seorang wanita yang wajahnya pucat dan pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan. Namun masih dapat nampak jelas bahwa wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu berwajah cantik dan memiliki tubuh yang montok menggairahkan. Wanita itu terhuyung lalu jatuh berlutut di depan kaki Ouwyang Sianseng.
"Nah, Nyonya Pouw Ciang Hin, sudahkah engkau pikir baik-baik. Kalau engkau ingin agar kami mengampunimu, ceritakan dengan terus terang tentang suamimu yang menjadi pengkhianat itu!" kata Ouwyang Sianseng dengan sikap lembut namun keren.
Li Sian merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ia mengamati wajah wanita itu. Kiranya mendiang kakaknya telah mempunyai seorang isteri dan kini isterinya telah menjadi tawanan dari gerombolan ini pula!
Wajah pucat itu diangkat memandang kepada Ouwyang Sianseng dengan sinar mata mohon dikasihani. Sudah berulang kali kuceritakan semuanya, dan suamiku bukan seorang pengkhianat...."
"Bohong!" bentak Siangkoan Liong marah. "Dia mengkhianati Coa Tai-ciangkun, dia mengkhianati gerakan perjuangan kami, dia setia kepada pemerintah penjajah Mancu dan dia merencanakan pengkhianatan dengan laporan ke kota raja. Hayo. ceritakan, siapa saja sekutunya dalam pengkhianatan ini!"
"Kongcu.... sudah berulang kali kunyatakan bahwa aku tidak tahu.... dia seorang yang baik dan tidak mungkin menjadi pengkhianat.... ah, Kongcu, aku telah menceritakan segalanya dan engkau masih belum juga percaya" Kalau begitu, bunuh saja aku agar aku dapat menyusul suamiku...." Wanita itu menangis.
Siangkoan Liong bertukar pandang dengan gurunya dan Ouwyang Sianseng mengangguk. Siangkoan Liong lalu memanggil ke luar kamar. "Hei, seorang dari kalian masuklah ke sini!"
Ketika pemuda itu menunjuk kepada mereka, tiga belas orang raksasa Mongol itu menyeringai dan mereka saling berebut hendak masuk, bahkan dorong mendorong dan tarik menarik. Siangkoan Liong menghardik dan mereka pun diam, lalu seorang di antara mereka, yang paling besar, dengan tubuh berbulu seperti seekor gorila, melangkah masuk, kedua tangannya tergantung panjang sampai ke lutut, mulutnya yang lebar menyeringai dan matanya yang sipit kemerahan itu ditujukan kepada wanita yang masih berlutut dan kini memandang dengan mata terbelalak ngeri kepada manusia monyet itu.
Raksasa itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siangkoan Liong, dan suaranya terdengar parau dan besar ketika dia bertanya, "Kongcu, apakah yang harus saya lakukan" Karena logat bicaranya asing, maka terdengar lucu dan juga menyeramkan.
"Engkau Okatou, kau boleh melakukan apa saja terhadap wanita tawanan ini agar ia mau mengakui semua pengkhianatan suaminya. Akan tetapi jangan bunuh!"
Raksasa itu lalu menyeringai dan menoleh kepada isteri mendiang Pouw Ciang Hin. "Heh-heh-heh, Kongcu. Boleh saya melakukan apa saja terhadapnya, di sini"
"Ya, bahkan kalau perlu kau boleh memperkosanya agar ia mau mengaku!" kata pula Siangkoan Liong. Mendengar ini, wajah Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian menjadi merah karena marah. Akan tetapi mereka tidak berdaya dan hanya dapat menonton dengan hati tegang. Sementara itu, dua belas orang raksasa lain di luar kamar, menonton dari balik jeruji dan mereka tertawa-tawa dan menyeringai dengan mulut berliur, agaknya mereka iri terhadap kawan mereka yang dianggap mujur itu
Raksasa bernama Okatou itu kini bangkit dan menghampiri isteri Pouw Ciang Hin yang terbelalak dengan muka pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun bangkit berdiri. Karena keadaan terhimpit, ia pun agaknya hendak berlaku nekat dan memasang kuda-kuda. Agaknya sedikit banyak wanita ini pernah belajar silat dari suaminya. Melihat ini, Okatou tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang besar-besar dan kotor.
"Cui Bi, mengakulah saja sebelum dia menjamah tubuhmu." terdengar Siangkoan Liong berkata dan mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kecil nyonya itu, mudah diduga bahwa dia sudah akrab dengannya. Dan memang demikianlah semenjak suaminya meninggal, nyonya ini diboyong ke dalam kamar Siangkoan Liong dan dengan cara halus, dengan bujuk rayu dan permainan cinta, pemuda itu sudah berusaha untuk membuat wanita itu mengakui semua kegiatan suaminya. Karena tidak berhasil walaupun nyonya itu telah menyerahkan diri dengan terpaksa, maka diambil jalan ini, untuk memaksa nyonya itu mengaku, juga sekalian untuk membuat Li San dan dua orang pemuda tawanan itu menjadi jerih dan tunduk.
Nyonya itu menggeleng kepala berkali-kali. "Tidak.... tidak.... jangan lakukan ini, Kongcu.... ah, bunuh sajalah aku...."
Raksasa Okatou itu sambil menyeringai telah menubruk dengan kedua lengannya yang panjang. Wanita itu mengelak dan mencoba untuk menendang dari samping. Akan tetapi, sekali sambar, raksasa itu telah menangkap kaki dan menendang.
"Ahhhhh.... lepaskan kakiku.... Lepaskan aku....! Nyonya yang bernama Cui Bi itu meronta-ronta, namun percuma saja, kaki kanannya seperti terjepit besi. Kini tangan kiri raksasa itu menyambar ke depan dan di lain saat tubuh wanita itu telah dirangkulnya dan ditariknya mendekat, didekapnya dan sambil tersenyum menyeringai, raksasa Mongol itu itu menciumi muka Cui Bi! Wanita ini berusaha memutar kepalanya ke kanan kiri untuk mengelak, namun kini tangan kiri Okatou menjambak rambutnya, memaksa kepala itu untuk diam dan dengan lahapnya dia mencium pipi dan mulut Cui Bi dengan ciuman yang mengeluarkan bunyi.
Dua belas orang raksasa Mongol lainnya menonton dengan mata melotot dan mulut mengeluarkan air liur. Sementara itu, Li Sian menarik-narik rantai di kakinya. Ia sudah marah sekali dan kalau saja ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, tentu ia akan menerjang raksasa Mongol yang sedang menghina kakak iparnya itu! Akan tetapi rantai itu telalu kuat. Kun tek juga mengepal tinju dan berteriak. "Jahanam busuk, lepaskan ia!" Akan tetapi, Okatou yang hanya mentaati perintah Siangkoan Liong, tentu saja tidak memperdulikan semua itu.
"Brettttt! Brettttt....!" Kini kedua tangan raksasa itu merobek-robek dan merenggut pakaian Cui Bi. Bagaikan kertas saja, kain pakaian itu robek dan tanggal sehingga kini tubuh wanita yang malang itu menjadi telanjang bulat! Dan jari-jari tangan yang besar berbulu itu, tanpa rikuh atau malu-malu di depan banyak orang, menggerayangi bagian tubuh dengan penuh nafsu. Okatou dan kawan-kawannya, yang menjadi pasukan khusus dan anak buah Siangkoan Liong, datang dari luar Tembok Besar dan mereka itu memang merupakan manusia liar yang buas. Mereka sudah biasa melakukan siksaan atau pembunuhan, perkosaan begitu saja di depan banyak orang tanpa merasa rikuh sedikit pun juga.
Cui Bi, wanita yang malang itu, hampir pingsan ketika dirinya didekap, diciumi dan kini pakaiannya telah tanggal semua, akan tetapi ia masih ingat untuk nekat menggigit pipi raksasa Mongol itu sekuat tenaga.
"Aughhh....!" Okatou mengeluarkan suara gerengan seperti binatang buas dan dia mendorong tubuh Cui Bi dengan keras sehingga gigitan itu terlepas dan tubuh Cui Bi terlempar ke arah Li Sian. Raksasa itu meraba pipinya yang kulitnya robek berdarah oleh gigitan Cui Bi, kini matanya makin merah memandang ke arah Cui Bi yang tentu akan terbanting kalau saja Li Sian tidak menyambutnya dengan tangan kirinya.
"Heh-heh-heh...." dalam kemarahannya, Okatou menyeringai dan terkekeh, lalu melangkah perlahan-lahan menghampiri wanita telanjang itu, sinar matanya penuh ancaman mengerikan.
"Heh-heh-heh, engkau kuda betina binal.... heh-heh-heh, mari sini manis...." Okatou tiba-tiba melompat ke depan, tangannya terulur untuk menangkap rambut Cui Bi yang kini terurai karena terlepas dari sanggulnya. Akan tetapi, sebuah kaki menyambutnya.
"Dukkk....!" Dan tubuh Okatou terjengkang keras oleh tendangan yang dilakukan Li Sian untuk melindungi Cui Bi. Tubuh Okatou terbanting keras dan Li Sian berkata kepada Cui Hi, "So-so (Kakak Ipar), bersembunyilah di belakangku. Aku akan melindungimu, aku adalah adik perempuan suamimu."
Pada saat itu Cui Bi merangkak ke belakang Li Sian. Okatou sudah bangkit lagi dan dengan kemarahan meluap, Okatou sudah menubruk ke depan, sekali ini bukan menubruk ke arah Cui Bi, melainkan ke arah Li Sian, wanita tawanan yang berani menendang sehingga dadanya terasa nyeri dan sesak napas itu. Li Sian yang sudah amat marah dan membenci raksasa ini, sudah mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga sin-kang pada seluruh tubuhnya. Ia menanti sampai penyerangnya itu dekat, lalu ia mendahului dengan luncuran tangan kirinya, dengan dua jari mencuat, yaitu telunjuk dan jari tengah, agak direnggangkan dan dua buah jari itu meluncur dan menghujam ke arah kedua mata raksasa itu.
"Creppp....!" Dua batang jari itu seperti sumpit baja menusuk dan masuk ke dalam rongga mata Okatou. Tubuh Okatou menggigil dan gerengan aneh keluar dari mulutnya, kemudian dia terjengkang, akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Li Sian menyusul dengan tendangan maut.
"Desssss....!" Dan kini tubuh itu terbanting keras dan tidak mampu bergerak lagi. Kedua matanya berlumuran darah dan di bagian tengah celananya juga berlepotan darah. Kalau tusukan jari tangan itu membutakan matanya, maka tendangan tadi menghancurkan selangkangnya dan membuat nyawa raksasa buas itu melayang!
"Soso, jangan takut, aku melindungimu," kata pula Li Sian kepada wanita telanjang yang masih berlutut di belakangnya. Akan tetapi, Cui Bi terbelalak memandangnya, kemudian berkata dengan suara lantang.
"Hemmm, kiranya engkau adik suamiku yang bernama Pouw Li Sian" Cihhh, sungguh tidak tahu malu engkau! Kakakmu dibunuh orang dan engkau menyerahkan diri dan kehormatanmu kepada Siangkoan Kongcu!"
Wajah Li Sian tiba-tiba menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah dan pada saat itu, Siangkoan Liong yang juga tidak mengira wanita itu akan mengeluarkan kata-kata seperti itu, menghardik, "Cui Bi, ke sini engkau!"
Bagaikan seekor anjing yang takut mendengar panggilan majikannya, Cui Bi berjalan menghampiri Siangkoan Liong, berusaha menggunakan kedua tangan menutupi bagian tubuh atas dan bawah, lalu ia berlutut di depan pemuda itu.
"Kongcu, jangan siksa aku seperti ini. Ampunkan atau bunuh saja aku," ratapnya.
Ouwyang Sianseng mengerutkan alisnya menyaksikan semua peristiwa yang tidak disangkanya itu. "Hemmm, Kongcu apakah engkau masih menyayang dan membutuhkan wanita ini" tanyanya kepada Siangkoan Liong.
Pemuda itu menggeleng kepala dan mendengus dengan pandang mata menghina.
"Tidak, Suhu, saya sudah bosan padanya."
"Kalau begitu, suruh bunuh saja ia agar jangan mendatangkan keributan lagi," kata Ouwyang Sianseng.
Siangkoan Liong memandang kepada Cui Bi, lalu menoleh kepada wajah dua belas orang raksasa Mongol di luar yang masih terbelalak memandang ke arah tubuh wanita telanjang itu seperti srigala-srigala kelaparan, lalu dia berkata, "Tidak Suhu. Biar untuk mereka saja! Nih, ia kuberikan kepada kalian. Bawa pergi ke belakang sana!" Siangkoan Liong tiba-tiba melakukan gerakan dengan kakinya, menendang tubuh Cui Bi yang terlempar keluar dari pintu kamar. Di luar, dua belas orang itu sambil mengeluarkan suara teriakan-teriakan liar telah menyambut dan jerit melengking yang keluar dari mulut Cui Bi mengatasi semua suara gaduh. Li Sian melihat tubuh berkulit putih mulus menjadi rebutan, di antara tangan-tangan yang berbulu ,dan berotot, lalu tubuh wanita itu diangkat pergi oleh dua belas orang raksasa itu. Yang terdengar hanya lengking tangis dan Li Sian lalu menundukkan mukanya dan mematikan pendengarannya agar ia tidak lagi mendengar jeritan kakak iparnya.
Sementara itu, Kun Tek kini duduk bersila dan matanya menatap ke arah Siangkoan Liong, bagaikan mencorong dan mengeluarkan api. Di dalam hatinya, pemuda ini mengambil keputusan untuk membunuh pemuda tampan itu. Bukan hanya untuk perbuatannya yang keji terhadap Cui Bi, melainkan juga karena Li Sian! Kini dia mulai mengerti mengapa gadis perkasa itu demikian penuh kebencian terhadap Siangkoan Liong!
Setelah para anak buah Tiat-liong-pang membawa pergi mayat Okatou, Ouwyang Sianseng lalu memandang kepada tiga orang tawanan itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Ahhh, perang memang kejam. Dalam perjuangan, kadang-kadang memang harus mempergunakan kekerasan terhadap musuh. Apalagi kaum pengkhianat memang harus dibasmi. Kami mengenal Sam-wi (Kalian bertiga) sebagai orang-orang gagah, keturunan para pendekar sakti. Sudah tentu memiliki jiwa patriot dan membenci pemerintah penjajah Mancu. Kami sedang berusaha menumbangkan penjajah, membebaskan rakyat dari penjajahan, oleh karena itu, kami yakin bahwa sebagai pendekar-pendekar gagah yang membela tanah air dan rakyat, Sam-wi tentu akan berpikir panjang. Membantu perjuangan kami atau terpaksa kami lenyapkan Sam-wi sebagai lawan-lawan yang berbahaya. Kami memberi waktu untuk mengambil keputusan sampai besok pagi." Setelah berkata demikian, Ouwyang Sianseng mengajak muridnya keluar dari kamar itu dan memesan kepada para anak buah untuk menyuguhkan hidangan yang hangat dan baik kepada mereka bertiga.
Dengan cerdik, Hong Beng diam saja, tidak menjawab pertanyaan Ouwyang Sianseng. Dia tahu bahwa Kun Tek dan Li Sian masih terguncang batinnya menyaksikan kekejaman yang tak berperikemanusiaan tadi, maka mereka berdua itu pasti akan menentangnya kalau dia menyambut dengan lembut. Apalagi, kakek itu memberi waktu sampai besok, masih banyak waktu bagi mereka bertiga berunding.
*** Suma Ceng Liong dan isterinya, biarpun tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an yang jauh dari keramaian, jauh pula dari urusan para pendekar di dunia persilatan, namun ada saja kenalan yang memerlukan singgah di dusun itu untuk mengunjungi suami isteri terkenal ini dan menyampaikan penghormatan mereka. Oleh karena itu, berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw yang memberontak di perbatasan utara, dipimpin oleh Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang, dapat mereka dengar dan hal ini mengejutkan hati mereka.
"Sungguh mengherankan sekali berita itu." kata Suma Ceng Liong kepada Kam Bi Eng, isterinya. "Padahal, nama Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang amat terkenal. Perkumpulan itu bahkan pernah berjasa terhadap pemerintah Mancu, dan kalau tidak salah, aku pernah mendengar bahwa Siangkoan Lohan dihadiahi seorang puteri dari keluarga kaisar untuk menjadi isterinya. Bagaimana kini tersiar berita bahwa dia memimpin orang-orang kang-ouw untuk mengadakan pemberontakan" Sungguh aneh."
"Hal seperti itu mungkin saja terjadi," kata isterinya. "Bagaimanapun juga, sebagai seorang pendekar yang gagah, tentu Lohan juga merasa tidak puas melihat betapa bangsa dan tanah air dijajah oleh orang-orang Mancu. Kalau sekarang dia mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang pemerintah penjajah, apakah anehnya hal itu"
Kalau dia menggerakkan orang-orang gagah dan rakyat yang tertindas untuk berjuang menentang penjajah Mancu, hal itu tidaklah aneh dan tidak mengkhawatirkan. Akan tetapi, menurut berita yang kita dengar itu, dia menggerakkan orang-orang kang-ouw (sungai telaga), golongan hitam dan sesat. Ini amat berbahaya karena perjuangan itu jelas bukan demi rakyat, bukan demi bangsa dan tanah air, melainkan mengandung pamrih untuk golongan itu dan celakalah rakyat jelata kalau hal itu terjadi. Mereka, kalau menang, bahkan akan lebih jahat dan kejam daripada pemerintah penjajah sendiri."
Kam Bi Eng memegang lengan suaminya. "Sudahlah, kenapa kita harus memusingkan kepala memikirkan urusan pemberontakan" Itu urusan pemerintah dan bukankah pemerintah memiliki pasukan yang kuat untuk memberantasnya" Bukan urusan kita untuk mencampurinya. Hanya, aku teringat kepada anak kita. Ke mana perginya Lian-ji" Engkau tahu, wataknya masih amat keras sehingga kalau ia mendengar tentang persekutuan golongan hitam itu, tentu ia akan maju menentangnya."
Suma Ceng Liong mengangguk. "Itulah yang kukhawatirkan. Ia memang telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk membela diri, akan tetapi kalau ia sampai mencampuri urusan pemberontakan itu dan ia menentang Tiat-liong-pang, sungguh berbahaya. Tingkat kepandaian Siangkoan Lohan amat tinggi dan belum tentu anak kita yang kurang pengalaman itu akan mampu menandinginya, apalagi kalau diingat bahwa Siangkoan Lohan mengumpulkan banyak tokoh sesat seperti yang beritanya kita dengar."
Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. "Lalu bagamana baiknya" Kita harus menyusulnya dan melindunginya!
Suaminya mengangguk-angguk. "Hanya tidak mudah mencari anak kita itu. Sebaiknya kita pergi berkunjung ke pertapaan kanda Suma Ciang Bun. Tentu ia sudah tiba di tempat itu untuk menyampaikan pesan kita, dan dari sana kita bisa mengikuti jejaknya, karena tentu Bun-ko tahu kemana anak itu pergi setelah meninggalkan tempatnya."
Karena mengkhawatirkan keadaan anak tunggal mereka yang tercinta, sepasang suami isteri perkasa ini lalu berkemas dan meninggalkan rumah mereka menuju ke Tapa-san, di mana Suma Ciang Bun bertapa untuk mulai mencari jejak puteri mereka.
Suami isteri yang sakti ini sudah lama tidak pernah memasuki dunia ramai, apalagi mencampuri urusan dunia persilatan. Belasan tahun lamanya mereka hidup dengan tenang dan tenteram di dusun Hong-cun. Kini, begitu meninggalkan rumah, apalagi setelah mereka tiba di luar dusun, timbul kegembiraan dalam hati mereka. Jiwa petualangan mereka bangkit lagi. Di waktu muda, mereka adalah orang-orang yang suka bertualang, menghadapi banyak macam bahaya sebagai pendekar-pendekar yang setiap saat siap menentang kejahatan. Kegembiraan itu nampak pada wajah mereka yang berubah cerah. Bagaikan suami isteri yang sedang bertamasya saja mereka berjalan perlahan menuruni bukit kecil menuju ke padang rumput di kaki bukit yang menjadi permulaan sawah ladang yang amat luas, dengan warna hijau menguning menyedapkan mata. Bau tanah dan tanaman gandum yang harum memasuki hidung mereka, bersama hawa udara yang amat segar dan nyaman.
Akan tetapi, tiba-tiba mata mereka yang sudah terlatih dan amat tajam melihat sesuatu yang menarik perhatian mereka. Jauh di sana, di luar padang rumput yang membatasi padang rumput dengan sawah ladang nampak beberapa orang manusia bergerak-gerak. Kecil sekali mereka itu nampak dari tempat jauh, akan tetapi gerakan-gerakan mereka itu dapat dikenal suami isteri ini sebagai gerakan orang-orang berkelahi dengan ilmu silat tinggi.
"Di sana ada orang-orang berkelahi!" kata Kam Bi Eng kepada suaminya. "Seorang dikeroyok oleh tujuh lawan!"
"Benar," kata suaminya, seolah-olah suami isteri ini sedang mengadu ketajaman mata mereka. "Yang seorang itu agaknya wanita, dan pengeroyoknya seorang wanita dan enam orang pria."
Mendengar ucapan suaminya itu, Kam Bi Eng mengerahkan tenaganya memandang dan ia pun berseru membenarkan. "Hayo cepat kita ke sana!" teriak wanita sakti itu dan tanpa menanti jawaban suaminya, Kam Bi Eng sudah meloncat ke depan dan berlari secepat angin menuruni bukit. Suma Ceng Liong juga segera mempergunakan ilmunya berlari cepat, mengejar isterinya. Karena keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat yang hebat sekali, maka tak lama kemudian mereka berdua pun sudah tiba di tempat perkelahian itu. Memang penglihatan Suma Ceng Liong dari jauh tadi tidak keliru. Seorang gadis cantik manis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun sedang dikeroyok oleh seorang wanita setengah tua dan enam orang laki-laki. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun gadis muda itu pun hebat sekali ilmu silatnya.
Melihat betapa gadis cantik manis itu memainkan ilmu pedang yang aneh, namun yang tidak asing baginya, Suma Ceng Liong segera berkata kepada isterinya. "Mari kita bantu gadis itu, bubarkan para pengeroyoknya sebelum ia celaka!"
Memang pada saat itu, gadis berpedang itu sudah terdesak hebat karena memang para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan wanita setengah tua itu agaknya jauh menonjol tingkat kepandaiannya dibanding para pengeroyok lain. Sesungguhnya, tidak mengherankan kalau para pengeroyok itu lihai, karena wanita setengah tua itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, tokoh sesat yang menjadi pembantu utama dari Siangkoan Lohan! Dan selain Sin-kiam Mo-li, di antara mereka terdapat pula Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang menjadi rekan dan juga kekasihnya, dan lima orang lain adalah kaki tangan Tiat-liong-pang yang sedang mengadakan pemberontakan. Adapun gadis cantik manis yang sedang dikeroyok itu adalah Hong Li!
Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini memang sedang menuju dusun Hong-cun di luar kota Cin-an di Propinsi Shantung, lembah Huang-ho untuk berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong seperti yang dipesan oleh ayah ibunya. Ketika tiba di padang rumput di kaki bukit itu, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang laki-laki setengah tua pesolek yang genit dan ceriwis sekali. Pria itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Sudah menjadi watak atau ciri khas dari tokoh sesat yang berjuluk Raja Pedang ini untuk tidak melewatkan setiap kesempatan bertemu wanita cantik. Selalu saja dia mengganggu dan berusaha mendapatkan wanita itu dan kalau hatinya tertarik, dia tidak peduli lagi siapa wanita itu, isteri orang atau anak gadis orang. Dia akan menundukkannya, dan mungkin dengan bujuk rayu mengandalkan kegantengannya, kalau tidak, dia akan mempergunakan kepandaiannya untuk mendapatkannya. Dia tidak pantang mempergunakan kekerasan memperkosa wanita itu.
Melihat seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu, apalagi gadis itu cantik manis sekali, segera hati Giam San Ek terpikat dan dia pun menghadang sambil cengar-cerigir menyeringai untuk memikat. Baru beberapa hari dia dan Sin-kiam Mo-li bersama beberapa orang kaki tangan mereka, tinggal mondok di dusun berdekatan dalam tugas mereka menghimpun tenaga bantuan untuk gerakan yang dilakukan Tiat-liong-pang.
"Selamat pagi, Nona Manis! Dari mana hendak ke manakah" Dan bolehkah kutemani Nona yang berjalan sendirian saja agar tidak kesepian" demkian tegur Toat-beng Kiani-ong Giam San Ek kepada Kao Hong Li.
Wajah yang bulat telur itu menjedi merah dan mata yang jeli lebar itu mengeluarkan sinar berapi. Hong Li adalah seorang gadis yang cantik dan manis sekali dan sudah lama melakukan perjalanan seorang diri, maka sudah tidak aneh baginya melihat sikap pria yang mencoba untuk menggodanya. Dan setiap kali digoda pria secara kurang ajar, ia pasti turun tangan menghajar pria yang snma sekali tidak menyangkanya bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang lihai sekali. Kini melihat sikap pria setengah tua yang amat ceriwis itu, Hong Li yang juga pandai bicara lalu tersenyum simpul, menahan kemarahannya yang membuat kedua pipinya kemerahan itu.
"Hemmm, orang tua, pernahkah engkau bercermin"
Melihat gadis itu tersenyum simpul yang membuat wajahnya semakin manis, dan melihat kedua pipi yang halus itu kemerahan yang disangkanya gadis itu malu-malu kucing, Giam San Ek tidak marah mendengar gadis itu menyebutnya orang tua. Dia meraba rambutnya, dan meneliti pakaiannya apakah ada yang kusut, lalu menjawab.
"Tentu saja, Nona Manis! Aku selalu membawa cermin ke manapun aku pergi. Lihat!" Dan seperti bermain sulap saja, tangan kirinya yang bergerak itu telah mengeluarkan sebuah cermin kecil dari saku bajunya. Melihat betapa ucapannya itu dianggap benar-benar dan orang itu benar-benar pula mengeluarkan sebuah cermin, Kao Hong Li tak dapat menahan ledakan ketawanya.
"Hemmm, manusia tak tahu diri! Kalau engkau sering bercermin, apakah engkau belum juga melihat betapa engkau ini sudah tua" Akan tetapi engkau masih pesolek, genit dan suka menggoda gadis muda seperti aku. Tidak malukah engkau"
Mana mungkin orang macam Giam San Ek memiliki perasaan malu" Teguran Hong Li ini dianggapnya main-main saja, bahkan disangka sebagai tanda bahwa gadis itu menanggapi godaannya.
"Ha-ha-ha, Nona Manis. Betapa tuanya seorang laki-laki, kalau melihat gadis manis sepertimu ini, siapa yang tidak menjadi tergila-gila" Hayolah, tak usah malu-malu, mari ikut dengan aku bersenang-senang!" Berkata demikian, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengulurkan tangannya untuk mencubit dagu gadis itu.
Tentu saja Kao Hong Li menjadi marah melihat sikap orang ini makin berkelanjutan, bahkan semakin berani hendak mencolek dagunya. Dengan mudah ia mengelak dengan mundur selangkah, dan tangannya menampar keras sekali ke arah muka orang.
Giam San Ek yang sama sekali tidak mengira bahwa gadis manis itu berani menamparnya, mengelak, akan tetapi karena memandang rendah, dia bergerak kurang cepat sehingga walaupun mukanya tidak kena ditampar, pundaknya masih terserempet ujung tangan gadis itu. Dia terkejut, baru tahu betapa tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, maka dia pun melangkah mundur dan memandang dengan alis berkerut.
"Eh" Engkau hendak membalas keramahan orang dengan pukulan" bentaknya, kini kurang ramah.
"Keramahanmu hanyalah kekurangajaran, dan aku adalah seorang gadis yang tidak sudi kaupermainkan. Pukulanku adalah pukulan untuk menghajar laki-laki kurang sopan macam kalian ini!" Dan kini Kao Hong Li sudah menerjang ke depan, mengirim tamparan bertubi-tubi. Gerakannya tentu saja cepat dan kuat sekali!
Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengelak dan menangkis dua kali.
"Dukkk! Plak!" Pertemuan kedua tangan mereka membuat keduanya terkejut. Hong Li juga kaget karena ternyata dalam tangkisan tangan lawan itu terkandung tenaga sin-kang yang kuat, sedangkan Giam San Ek tentu saja kaget karena pertemuan lengan itu membuat tubuhnya hampir terjengkang kalau saja dia tidak dapat meloncat ke belakang. Kini dia memandang gadis itu penuh perhatian, baru tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga dalam yang kuat.
"Ah, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, pantas sikapmu jual mahal!" bentak Giam San Ek dan dia pun sudah menerjang lagi dengan cepat dan ganas, menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ingin memegang atau mencolek.
Namun, sekali ini dia kecelik dan bukan hanya gadis itu mampu menghindarkan diri dari semua terkamannya, bahkan membalas tak kalah dahsyatnya sehingga membuat Toat-beng Kiam-ong itu terdesak mundur. Kalau dilanjutkan perkelahian tangan kosong itu, tentu dia akan kalah, karena Kao Hong Li adalah cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ahli ilmu silat tangan kosong dengan ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, dan juga isterinya ahli silat tangan kosong Han-tok-ciang (Silat Tangan Selaksa Racun). Kedua ilmu silat ini telah diwarisi Hong Li dari ayahnya, yaitu Kao Cin Liong. Juga dari ibunya, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es gadis bermata lebar ini telah mewarisi ilmu-ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek terdesak hebat setelah mereka berkelahi selama belasan jurus saja.
"Singgg...." Nampak sinar berkelebat ketika Giam San Ek yang berjuluk Raja Pedang Pencabut Nyawa itu menghunus pedangnya dan mengelebatkan pedang di depan tubuhnya. Melihat ini, Hong Li juga mencabut pedangnya. Giam San Ek yang berwatak tekebur itu tertawa mengejek, memandang rendah.
"Ha-ha-ha, Nona Manis. Dengan tangan kosong memang aku tidak berhasil mengalahkanmu, akan tetapi ketahuilah dengan siapa engkau berhadapan! Aku Giam San Ek terkenal dengan julukan Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa), sungguh sayang bahwa seorang gadis jelita seperti engkau terpaksa harus tercabut nyawanya oleh pedangku!"
"Tak perlu banyak cakap, lihat pedangku!" bentak Hong Li dan ia pun sudah memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya.
"Haaaiiitt!" Dengan lagak mengejek, Giam San Ek menangkis, membuat putaran dengan pedangnya dan membalas dengan tusukan ke arah dada Hong Li. Akan tetapi, gadis itu bukan hanya tangguh dalam ilmu silat tangan kosong, juga ia amat lihai dengan pedangnya. Ia mainkan Ban-tok Kiam-sut dan biarpun ilmu pedang ini paling tepat dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam milik neneknya, namun dengan pedang di tangannya pun yang tidak beracun, ilmu pedang itu tetap hebat. Kalau tadinya Giam San Ek masih mengejek dan memandang rendah, makin lama dia menjadi semakin kaget mendapat kenyataan betapa lihainya gadis itu dengan pedangnya. Apalagi mencari kemenangan dengan mudah, baru mempertahankan dirinya agar tidak sampai terkena pedang lawan saja sudah merupakan hal yang tidak mudah baginya! Bahkan makin lama, Si Raja Pedang yang sombong ini menjadi semakin terdesak.
Selagi Giam San Ek kebingungan, muncullah bantuan baginya yang amat membesarkan hatinya karena yang muncul itu bukan lain adalah kekasihnya, Sin-kiam Mo-li yang lebih lihai darinya dan lima orang anak buahnya, yaitu tiga orang anggauta Ang I Mopang dan dua orang murid Tiat-liong-pang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang sudah boleh diandalkan. Melihat betapa kekasih dan rekannya itu terdesak oleh seorang wanita muda yang lihai sekali, Sin-kiam Mo-li segera mengeluarkan pedang dan kebutannya, lalu terjun ke dalam pertempuran. Lima orang kawannya juga segera mengeluarkan senjata masing-masing dan kini Hong Li harus menghadapi pengeroyokan tujuh orang lawan tangguh! Namun, gadis perkasa ini tidak menjadi gentar walaupun kini ia terkepung, terhimpit dan terdesak karena fihak para pengeroyoknya memang amat kuat, jauh lebih kuat dari padanya. Namun, dengan putaran pedangnya, dibantu tangan kirinya yang mendorong disertai tenaga Swat-im Sin-kang, satu di antara ilmu dari Pulau Es yang amat hebat karena dorongan tangan itu mengeluarkan hawa dingin yang amat kuat, ia melindungi dirinya.
Ketika Suma Ceng Liong melihat dorongan tangan kiri ini, yakinlah dia bahwa gadis itu tentulah keluarga PulauEs, anggauta dari keluarganya sendiri. Siapa lagi gadis itu kalau bukan puteri dari encinya, Suma Hui, yang bernama Kao Hong Li" Dia lupa lagi akan wajah keponakannya itu, apalagi karena bertahun-tahun tak pernah berjumpa, akan tetapi pukulan itu bagaimanapun juga akan dikenalnya dengan baik!
"Jangan takut, kami datang membantumu!" kata Ceng Liong yang tadi sudah menganjurkan isterinya untuk membantu gadis yang dikeroyok. Kini tubuhnya berkelebat menerjang ke depan dan melihat betapa yang paling lihai di antara para pengeroyok itu adalah wanita yang berpedang dan memegang kebutan, maka dia pun lalu menerjang wanita itu dengan totokan Coan-kut-ci! Coan-kut ci (Jari Penembus Tulang) adalah suatu ilmu yang dahsyat sekali, yang dipelajari Suma Ceng Liong dari Hek I Mo-ong, gurunya yang juga seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal.
Terdengar suara mencicit dibarengi angin yang kuat bukan main menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li. Wanita ini terkejut bukan main, cepat menyambut dengan kebutannya. Akan tetapi, begitu bertemu dengan jari tangan Ceng Liong, bulu kebutan itu rontok dan wanita itu merasa betapa lengannya yang memegang kebutan tergetar hebat. Ia membalas dengan tusukan pedang, akan tetapi didahului oleh tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang cepat dari Ceng Liong, membuat wanita itu cepat-cepat melempar diri ke belakang. Nyaris perutnya tertendang dan kini Sin-kiam Mo-li benar-benar kaget bukan main, tidak menyangka akan bertemu dengan lawan sehebat ini! Ia lalu berkemak-kemik dan menudingkan pedangnya ke arah Suma Ceng Liong, mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak.
"Engkau yang berani melawan aku, berlututlah!"
Akan tetapi laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu malah tertawa bergelak. Tentu saja sihir itu tidak dapat mempengaruhi Ceng Liong karena pendekar ini pun telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri, yaitu mendiang nenek Teng Siang In. Sambil tertawa, Ceng Liong juga mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja Sin-kiam Mo-li juga tertawa bergelak, tidak dapat menahan geli hatinya karena terseret oleh suara ketawa Ceng Liong! Sambil tertawa, Ceng Liong sudah melakukan gerakan-gerakan mendorong dengan kedua tangannya silih berganti, yang kanan mengeluarkan hawa panas dengan Hwiyang Sin-kang, yang kiri mengeluarkan hawa dingin dengan Swat-im Sin-kang. Sin-kiam Mo-li sedang terkejut bukan main melihat dirinya tertawa tanpa dapat dikuasainya, cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh tawa itu. Dan pada saat itu, lawannya sudah menyerangnya dengan dua ilmu yang hebat dari Pulau Es. Tentu saja ia menjadi kaget bukan main dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan saja wanita ini dapat terhindar dari pukulan lawan yang dahsyat.
Sementara itu, Kam Bi Eng juga sudah mencabut suling emasnya dan kini suling itu mengaung-ngaung ketika ia mainkan ilmu pedang gabungan antara Koai-long Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Ilmu ini pun merupakan satu di antara ilmu-ilmu tertinggi pada waktu itu, dan yang diserang oleh Kam Bi Eng adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Orang ini terkejut, mencoba untuk memutar pedangnya, akan tetapi tangkisannya tidak dapat menahan suling itu yang terus menerobos di antara sinar pedangnya dan mengancam ulu hatinya. Giam San Ek berteriak kaget dan melempar tubuh ke samping, lalu meloncat agak jauh dengan keringat dingin membasahi tubuhnya! Nyaris dia celaka oleh suling wanita cantik dan gagah itu!
Biarpun ia pangling dan tidak mengenal suami isteri perkasa yang datang membantunya, tapi begitu menyaksikan gerakan-gerakan mereka, apalagi melihat Kam Bi Eng memainkan suling emas, Kao Hong Li segera dapat menduga siapa adanya mereka.
"Paman Liong dan bibi Eng, terima kasih kalian datang membantuku!" teriaknya dan tendangan-tendangannya membuat lima orang pengeroyoknya menjadi kalang kabut.
Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong adalah dua orang yang cerdik dan licik. Melihat kehebatan musuh, mereka berdua tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri, diikuti oleh lima orang anak buah mereka yang juga menjadi ketakutan! Kap Hong Li meloncat untuk mengejar, akan tetapi Suma Ceng Liong mencegahnya. "Musuh yang lari jangan dikejar!" kata pendekar ini. Dia maklum betapa lihainya lawan, dan tentu licik sekali sehingga mengejar mereka amatlah berbahaya. Siapa tahu mereka itu lari ke tempat kawan-kawan mereka.
Kao Hong Li mentaati cegahan pamannya akan tetapi ia mengerutkan alisnya memandang ke arah menghilangnya tujuh bayangan orang itu dan berkata, "Sayang, seharusnya mereka itu ditumpas, terutama sekali wanita itu!" Lalu, seperti baru teringat bahwa baru saja ia berjumpa dengan paman dan bibinya, gadis itu memberi hormat dan berkata, "Saya segera mengenal Paman dari gerakan Paman, dan mengenal Bibi setelah melihat suling emas itu!"
"Kami pun mengenalmu setelah melihat gerakan silatmu, Hong Li," kata Kam Bi Eng sambil mengamati wajah yang cantik manis itu.
"Hong Li, siapakah wanita tadi" Ia kelihatan lihai sekali, dan melihat senjatanya pedang dan kebutan, mengingatkan aku akan seorang iblis betina...."
"Dugaan Paman benar. Ia adalah Sin-kiam Mo-li!"
"Ahhh!" Suami isteri itu terkejut.
"Agaknya ia tidak mengenal saya lagi, Paman, karena ketika ia menculik saya, ketika itu usia saya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, saya tidak akan pernah dapat melupakan iblis itu dan tadi, begitu bertemu, saya segera mengenalnya. Padahal, saya memang sengaja hendak mencari dan membunuhnya!" kata gadis itu penuh semangat. Ia teringat akan pengalamannya ketika berusia tiga belas tahun. Pernah ia diculik oleh iblis betina itu, bahkan kemudian diaku sebagai anak angkat dan murid, akan tetapi ia kemudian tahu bahwa sikap baik iblis betina itu hanya siasat belaka(baca kisah Suling Naga).
Suma Ceng Liong menatap tajam wajah Kao Hong Li, diam-diam merasa heran mengapa gadis ini seolah-olah diracuni dendam, padahal, dia mengenal benar pribadi ayah dan ibu gadis ini, orang-orang yang berjiwa pendekar dan tidak mudah dikuasai dendam.
"Hong Li, kenapa engkau hendak membunuhnya dan nampaknya engkau amat membencinya" Apakah karena ia dahulu menculikmu" tanya Ceng Liong tak puas.
Hong Li menarik napas panjang. "Memang saya sedang menuju ke rumah Paman untuk menceritakan hal ini. Saya tidak mendendam karena ia pernah menculik saya, Paman. Akan tetapi karena ia dan kawan-kawannya telah menyerbu kerumah kakek dan nenek di Gurun Pasir, mereka mengeroyok dan berhasil membunuh kakek, nenek dan juga locianpwe Wan Tek Hoat, bahkan membakar Istana Gurun Pasir."
"Ihhh....!" Kam Bi Eng berseru kaget.
Suma Ceng Liong juga terkejut sekali. "Apa" Bagaimana mungkin ia membunuh locianpwe Kao Kok Cu, isterinya, dan bahkan locianpwe Wan Tek Hoat" Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang mampu membunuh tiga orang sakti itu, apalagi kalau orang itu hanya wanita tadi dan kawan-kawannya.
"Ayah, ibu dan saya sendiri tadinya juga merasa terkejut, heran dan tidak percaya, Paman. Akan tetapi pembawa berita itu adalah murid dari tiga orang tua sakti itu sendiri." Hong Li lalu mengulang cerita tentang peristiwa di Istana Gurun Pasir itu seperti yang didengarnya dari Tan Sin Hong. Suami isteri perkasa itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan wajah mereka dibayangi duka mendengar akan kematian tiga orang tua sakti itu. Setelah Hong Li selesai bercerita, Kam Bi Eng tidak sabar lagi bertanya.
"Tiga orang tua yang sakti itu tewas semua, akan tetapi bagaimana mungkin murid mereka itu dapat hidup dan dapat menceritakan peristiwa itu kepada keluargamu"
"Kami juga berpendapat demikian dan dengan penasaran menanyakan hal itu kepada Tan Sin Hong, dan ternyata bahwa pada saat penyerbuan terjadi, murid itu sama sekali tidak berdaya. Ia baru saja menerima pengoperan tenaga sakti dari tiga orang gurunya dan selama satu tahun dia pantang mempergunakan tenaga sakti karena hal itu berarti akan membunuh dirinya sendiri. Karena itulah maka dia tidak dapat melakukan perlawanan, karena sekali mengerahkan tenaga, dia akan mati konyol."
Mendengar ini, Ceng Liong menarik napas panjang, "Aih, sungguh menyedihkan. Akan tetapi bagaimanapun juga, tiga orang locianpwe itu sudah tua sekali dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam menghadapi orang-orang sesat. Heran sekali nasib mereka sama benar dengan nasib kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es! Gugur dalam menghadapi penyerbuan tokoh-tokoh sesat. Sekarang aku mengerti. Tentu setelah mengoperkan tenaga sakti kepada murid mereka itu, ketiga locianpwe itu mengalami kekurangan tenaga dan pada saat itu, para tokoh sesat datang menyerbu. Bagaimanapun juga, hampir semua penyerbu tewas, dan ini membuktikan bahwa tiga orang locianpwe yang sudah berusia tinggi sekali itu memang masih amat hebat. Nyawa manusia di tangan Tuhan! Kalau Tuhan menghendaki, maka ada saja penyebab kematian seseorang. Kita tidak mungkin dapat mengelakkan kehendak Tuhan!"
"Untung sekali bahwa saya dapat bertemu dengan Ji-wi di sini sehingga bukan saja Paman dan Bibi dapat menyelamatkan saya dari tangan orang-orang jahat itu, akan tetapi juga saya tidak kecelik berkunjung ke rumah Paman dan Bibi yang kosong. Sebenarnya, ke manakah Paman dan Bibi hendak pergi, maka kebetulan berada di sini"
"Kami memang meninggalkan rumah karena kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang kabarnya dilakukan oleh Tiat-liong-pang dibantu oleh para tokoh sesat. Karena anak kami Suma Lian, juga sedang merantau, maka kami merasa khawatir dan ingin mencarinya."
"Ah, Paman! Kebetulan sekali belum lama ini saya bertemu dengan adik Suma Lian!" Hong Li segera bercerita tentang pertemuannya dengan Suma Lian yang diawali perkelahian karena kesalahpahaman ketika Hong Li mengejar seorang laki-laki yang menculik seorang anak laki-laki.
"Pertemuan itu singkat saja, Paman. Kami berpisah, saya pergi berkunjung kepada Paman sedangkan, adik Lian melakukan pengejaran terhadap laki-laki penculik anak-anak itu."
"Di mana terjadi peristiwa itu"
"Di kota Ban-koan."
"Kalau begitu, kami akan cepat mencari jejaknya di sana," kata Ceng Liong. Mereka lalu berpisah, Ceng Liong dan Bi-Eng segera menuju ke kota Ban-koan, sedangkan.Hong Li mencoba untuk mencari jejak Sin-kiam Mo-li yang tadi melarikan diri bersama kawan-kawannya. Ia kini bersikap hati-hati, maklum bahwa Sin-kiam Mo-li mempunyai banyak kawan yang lihai. Menghadapi wanita itu sendiri, ia tidak gentar, akan tetapi kalau dikeroyok banyak orang seperti tadi, ia bisa celaka.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di kota Ban-koan, tentu saja suami isteri pendekar itu sama sekali tidak dapat menemukan lagi jejak puteri mereka. Tak seorang pun tahu tentang Suma Lian dan penculik anak-anak, karena memang kedua orang ini meninggalkan kota itu secara diam-diam, di waktu malam pula. Dari tempat ini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu pergi ke Pegunungan Tapa-san untuk mengunjungi pondok tempat tinggal Suma Ciang Bun karena sebelum pergi, Suma Lian telah mereka pesan untuk berkunjung ke rumah pamannya itu dan membujuk Suma Ciang Bun yang hidup sebatanghara untuk tinggal bersama mereka di dusun Hong-cun. Tentu Suma Ciang Bun akan dapat memberi keterangan ke mana selanjutnya puteri mereka itu pergi setelah berkunjung ke sana.
Dugaan mereka yang juga menjadi harapan mereka memang tidak keliru. Di tempat kediaman Suma Ciang Bun, mereka memperoleh keterangan yang banyak. Suma Ciang Bun menyambut mereka dengan gembira sekali dan pendekar ini merangkul adiknya dengan sepasang mata basah. Dia sudah merasa rindu sekali kepada Suma Ceng Liong dan pertemuan ini sungguh membuat dia terharu dan juga gembira.
"Bagaimana, Bun-ko, engkau tentu sehat-sehat saja, bukan" Engkau nampak sehat dan segar."
"Engkau juga semakin gagah saja, Liong-te. Dan isterimu juga semakin gagah dan cantik!" kata Suma Ciang Bun.
Kam Bi Eng tertawa, mukanya berubah agak kemerahan. "Ah, Bun-koko ini bisa saja. Orang sudah semakin tua, mana mungkin semakin cantik"
Seorang anak laki-laki muncul. Usianya baru tujuh tahun lebih, akan tetapi keadaan anak ini sungguh mengagumkan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Anak itu memiliki sepasang mata yang tajam bersinar penuh semangat dan keberanian, juga mengandung kecerdikan dan wajahnya tampan.
"Ah, Bun-ko telah memiliki seorang murid yang baru" Dia baik sekali, Bunko...."
Suma Ciang Bun tersenyum. "Anak ini hanya titipan, yang menitipkannya di sini adalah puteri kalian!"
Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang sekali. "Suma Lian, anak kami" keduanya hampir berbareng bertanya.
Suma Ciang Bun mengangguk, dan mengajak mereka semua duduk di dalam pondoknya yang tidak besar namun karena mempunyai banyak jendela maka terbuka dan sejuk hawanya. Lalu dia menceritakan tentang kunjungan Suma Lian dan Tan Sin Hong dan tentang Yo Han yang dititipkan kepadanya oleh dua orang muda itu.
"Bun-ko, apakah kaumaksudkan Tan Sin Hong murid dari Istana Gurun Pasir itu" tanya Ceng Liong memotong cerita kakaknya.
"Benar, engkau sudah mendengar akan malapetaka yang terjadi di sana"
"Sudah, dari Kao Hong Li yang kami jumpai di jalan."
"Dan tahukah engkau siapa anak ini" Anak ini adalah putera dari Ciong Siu Kwi dan suaminya, Yo Jin," kata Suma Ciang Bun.
"Ciong Siu Kwi...." Bi...." Suma Ceng Liong yang tadinya hendak mengatakan Bi Kwi, menahan ucapannya teringat akan kehadiran anak itu. Suma Ciang Bun maklum dan dia mengangguk, lalu diceritakannya semua yang pernah didengarnya dari Suma Lian tentang anak itu, betapa ayah dan ibu anak itu menjadi tawanan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-long-pang.
Mendengar semua cerita itu, Suma Ceng Liong saling pandang dengan isterinya, kemudian dia menghela napas panjang. Kami sudah mengkhawatirkan bahwa tentu Lian-ji akan terlibat dalam urusan pemberontakan Tiat-liong-pang. Kalau ia mendengar akan gerakan kaum sesat mendukung pemberontakan, tentu ia akan menentangnya. Kami justeru mengkhawatirkan hal itu, Bun-ko. Oleh karena itu, kami tidak akan berlama-lama tinggal di sini. Kami akan segera berangkat untuk mencari puteri kami dan membantunya kalau ia menentang Tiat-liong-pang."
Suma Ciang Bun mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya begitu, Liong-te. Kaum muda itu memang amat berani, dan kadang-kadang terlalu berani sehingga tidak lagi memakai perhitungan. Aku juga mendengar bahwa gerakan Tiat-liong-pang sekali ini didukung oleh tokoh-tokoh sesat yang amat lihai, bahkan kabarnya Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai ikut pula mendukung, belum lagi pasukan pemerintah yang berkhianat dan orang-orang Mongol."
Suami isteri itu lalu berpamit dan mereka pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari puteri mereka. Sekali ini, tujuan mereka sudah jelas, yaitu perkumpulan Tiat-liong-pang yang pusatnya berada di lereng bukit di kota Sangcia-kou di utara.
*** Di benteng pasukan-pasukan pemerintah Ceng yang berada di perbatasan utara terjadilah peristiwa yang menggegerkan. Selama beberapa minggu sudah ada belasan orang perwira menengah dan perwira tinggi secara tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak! Mereka yang hilang itu semua adalah para perwira yang setia kepada pemerintah. Karena tidak mungkin pasukan tanpa pimpinan, maka beberapa pasukan yang kehilangan pimpinan lalu dikuasai oleh Coa Tai-ciangkun, seorang di antara panglima yang bertugas di perbatasan utara. Perwira-perwira baru diangkat oleh Coa Tai-ciangkun.
Keadaan seperti itu mencemaskan hati para perwira yang setia kepada pemerintah dan yang masih hidup. Ada beberapa orang di antara mereka nyaris diculik oleh orang-orang berkedok yang berkepandaian tinggi. Mereka ini merasa cemas melihat betapa rekan-rekan mereka lenyap dan kini kekuasaan. Coa Tai-ciangkun atas pasukan-pasukan di utara semakin besar. Padahal, mereka sudah mendengar desas-desus bahwa Coa Tai-ciangkun disangsikan kesetiaannya karena kabarnya mengadakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan di luar pasukan. Maka, diam-diam di antara para perwira itu mengirim utusan dengan cepat ke selatan, ke kota raja untuk melaporkan peristiwa yang mencemaskan itu.
Pada suatu pagi yang cerah, di atas puncak sebuah bukit tak jauh dari Tembok Besar nampak dua orang menuruni bukit itu perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah dari puncak bukit. Memang indah bukan main pemandangan dari situ. Tembok Besar buatan manusia yang sudah mengorbankan mungkin jutaan orang manusia dalam pembuatannya dan perbaikan-perbaikannya itu, nampak seperti seekor naga di antara bukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, membuat dua orang itu kadang-kadang berhenti melangkah untuk lebih menikmati pemandangan itu.
Mereka adalah seorang nenek dan seorang kakek. Kakek itu usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, berpakaian sastrawan yang sederhana, bertubuh tinggi agak kurus, namun wajahnya masih membayangkan ketampanan dan tubuh itu masih tegak. Gerak-geriknya halus, dan pandang matanya lembut, walaupun kadang-kadang mencorong penuh wibawa. Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, baru lima puluh tahun lebih, gerak-geriknya masih lincah dan bentuk tubuhnya masih ramping dan cekatan. Keduanya menggendong sebuah buntalan pakaian di punggung dan keduanya nampak gembira, mungkin karena hawa udara yang sejuk nyaman dan pemandangan alam yang amat indahnya itu menyeret mereka ke dalam suasana gembira. Manusia adalah sebagian dari alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari alam, oleh karena itu, betapapun manusia mabuk oleh nafsu duniawi yang membuat mereka selalu tenggelam ke dalam kesibukan mencari uang, mengejar kesenangan, hiburan atau urusan rumah tangga, keluarga, atau juga masyarakat dan negara sekali waktu akan timbul rindunya kepada alam. Dan setelah manusia jenuh daripada segala keduniawian dengan tata kehidupan yang serba mengejar kesenangan ini, misalnya dia berada di puncak bukit atau di tepi samudera, dia akan tenggelam ke dalam kesyahduan alam, ke dalam keheningan yang menghanyutkan, yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di dalam batin. Timbul suatu pertanyaan masing-masing, dalam batin masing-masing, yaitu : Dapatkah kita bebas daripada segala kebisingan pikiran sewaktu kita berada di dalam masyarakat ramai sehingga kita memperoleh keheningan ketenangan dan kedamaian seperti kalau kita berada seorang diri di puncak gunung atau di tepi samudera"
Biarpun kakek dan nenek itu kelihatan seperti orang-orang biasa saja, namun kalau ada yang mengenal mereka, tentu si pengenal akan terkejut sekali mendapatkan mereka berdua di situ. Mereka bukanlah orang biasa, melainkan pasangan pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu mereka yang tinggi! Kakek itu bernama Kam Hong. Puluhan tahun yang lalu dia pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmunya yang tinggi dan dijuluki Pendekar Suling Emas karena ilmunya mengingatkan dunia persilatan akan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari seorang pendekar ratusan tahun yang lalu yang Juga berjuluk Suling Emas(baca kisah Suling Emas Naga Siluman). Adapun nenek itu adalah isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bernama Bu Ci Sian. Isterinya ini, yang belasan tahun lebih muda dari sang suami, juga masih sumoi dari suami itu, karena mereka berdualah yang telah menemukan kitab ilmu yang amat tinggi dan keduanya mempelajari ilmu itu. Disamping ilmu memainkan suling emas, juga nenek Bu Ci Sian ini memiliki ilmu menaklukkan ular, dan di samping itu, juga pernah menerima gemblengan ilmu gabungan sin-kang Im dan Yang dari pendekar Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti Pulau Es.
Sudah puluhan tahun kedua suami isteri ini tidak pernah terjun ke dunia persilatan, hidup aman tenteram di istana kuno yang pernah menjadi pusat perkumpulan Khong-sim Kai-pang, yaitu di puncak bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, sebelah selatan kota Pao-teng. Bagaimana kini mendadak suami isteri tua yang sakti itu berada di pegunungan utara dekat Tembok Besar"
Sebulan yang lalu, nenek Bu Ci Sian merasa rindu sekali kepada puterinya, yaitu Kam Bi Eng yang telah menjadi isteri Suma Ceng Liong, juga ia ingin sekali melihat dunia luar setelah bertahun-tahun berdiam di rumah saja. Ia mengajak suaminya untuk meninggalkan istana tua itu dan berkunjung ke tempat kediaman puteri mereka di dusun Hong-cun. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, ternyata Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tidak berada di rumah dan menurut keterangan para pembantu rumah tangga, suami isteri itu meninggalkan rumah untuk pergi mencari nona Suma Lian yang telah pergi lebih dahulu dari rumah. Para pembantu rumah tangga itu tidak dapat memberi keterangan ke mana majikan mereka pergi.
Kakek dan nenek itu tentu saja merasa kecewa dan mereka hanya tinggal semalam saja di rumah puteri mereka yang kosong. Mereka telah mendengar berita tentang gerakan Tiat-liong-pang yang dibantu oleh banyak tokoh sesat, maka kakek Kam Hong menduga bahwa tentu puteri, mantu dan cucu mereka itu pergi ke sana untuk menentang gerakan kaum sesat. Maka, mereka berdua lalu pergi ke utara untuk melihat-lihat keadaan dan mencari puteri dan mantu mereka. Di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan dan makin kuat dugaan mereka bahwa puteri mereka tentu pergi ke utara setelah mendengar bahwa memang banyak pendekar yang melakukan perjalanan ke utara sehubungan dengan berita gerakan kaum sesat di utara yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang itu
Demikianlah, pada pagi hari itu, kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian tiba di puncak bukit, menuruni bukit sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah, kadang-kadang berhenti dan memandang ke empat penjuru dengan penuh kagum.
"Eh, lihat di sana itu!" Tiba-tiba nenek itu berseru sambil menuding ke arah selatan, ke bawah. "Bukankah itu sebuah kereta"
Kakek Kam Hong cepat memandang ke arah yang ditunjuk isterinya dan mengamati. "Benar, sebuah kereta dikawal oleh belasan orang."
"Dan para pengawal itu mengenakan pakaian seragam!" Sambung Bu Ci Sian.
"Juga di kereta itu ada benderanya, tidak jelas dari sini, akan tetapi seperti bendera tanda pangkat. Agaknya orang berpangkat yang duduk di dalam kereta itu
"He, lihat! Dari sebelah kanan itu! Dua orang itu seperti hendak menghadang kereta!"
"Siancai....! Benar katamu, dan lihat, mereka sudah bertempur!" kata kakek Kam Hong. "Ah, dua orang itu bukanlah lawan para pengawal, mari kita cepat ke sana untuk melihat apa yang telah terjadi!"
Kakek dan nenek itu bagaikan terbang cepatnya menuruni bukit dan berkat ilmu berlari cepat mereka yang tinggi, tak lama kemudian mereka tiba di tempat pertempuran.
Ketika mereka tiba di tempat itu, belasan orang berpakaian seragam telah rebah malang melintang tanpa nyawa lagi! Hanya tinggal empat orang berpakaian perwira yang masih melindungi kereta itu. Dengan pedang di tangan, empat orang itu repot sekali melindungi dirinya di depan kereta, menahan serangan seorang pemuda yang juga memainkan pedang akan tetapi permainan pedangnya sedemikian hebatnya sehingga empat orang perwira itu terdesak hebat dan agaknya takkan lama lagi mereka dapat bertahan.
Sementara itu, orang ke dua yang menghadang kereta, seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, berpakaian seperti seorang sastrawan, tinggi kurus, dengan gerakan ringan sekali meloncat ke dekat kereta dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan kereta itu pecah berantakan, dua ekor kudanya yang terkejut meronta lepas dan melarikan diri. Dari dalam kereta meloncat ke luar seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berpakaian sebagai seorang panglima besar dengan tanda pangkat di pundak dan dada. Dengan gerakan cukup sigap panglima ini meloncat turun sehingga tidak ikut terbanting dengan pecahnya kereta. Melihat panglima itu, sastrawan tua tersenyum mengejek sambil mengeluarkan sebuah kipas dan mengipasi tubuhnya.
"Hemmm, kiranya engkau yang disebut Panglima Besar Liu, yang datang dari kota raja untuk menyelidiki keadaan di benteng utara" Jangan harap akan dapat menyelidiki apa pun, karena engkau akan mati di sini seperti yang dialami anak buahmu. Nah bersiaplah untuk mati!"
Panglima Besar yang bertubuh tinggi besar itu tidak kelihatan takut, bahkan mencabut pedangnya, siap untuk membela diri sedapat mungkin walaupun dia tahu bahwa bela dirinya takkan ada gunanya, melihat betapa para pengawalnya yang lihai saja kini nampak repot menghadapi penyerang muda itu.
"Bagus, kini aku mengerti mengapa terjadi geger di benteng utara dan banyak perwira kami yang kabarnya lenyap diculik orang. Kiranya ada musuh yang sengaja bersekutu dengan pengkhianat dan kalau aku tidak keliru, tentu engkau ini yang disebut Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin seperti yang dikabarkan oleh orang-orang kami. Engkau bersekutu dengan Tiat-liong-pang untuk mengadakan pemberontakan, dan membujuk beberapa orang panglima dan perwira kami untuk berkhianat."
Ouwyang Sianseng menudingkan kipasnya. "Tidak keliru, Liu Tai-ciangkun, dan sekarang tiba giliranmu untuk mati di tanganku!"
"Tahan....!" Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Ouwyang Sianseng telah berdiri seorang kakek tua yang bukan lain adalah Kam Hong sedangkan Bu Ci Sian berkelebat ke arah pemuda yang mendesak empat orang pengawal itu, mengelebatkan suling emasnya. Nampak sinar terang sekali dan disusul suara berdentang nyaring ketika pedang yang dipergunakan oleh Siangkoan Liong untuk mendesak empat orang lawannya itu bertemu dengan sinar kuning emas. Siangkoan Liong terkejut dan meloncat mundur ketika merasa betapa benturan senjata itu membuat tangan kanannya tergetar hebat. Maklum bahwa ada lawan tangguh yang muncul, Siangkoan Liong cepat menghampiri gurunya. Bu Ci Sian juga menghampiri suaminya dan kini suami isteri tua itu berdiri berhadapan dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong.
Ouwyang Sianseng mengamati kakek dan nenek di depannya itu, mengerutkan alisnya dan bertanya kepada muridnya, "Tahukah engkau siapa mereka ini" Siangkoan Liong juga memandang penuh perhatian, lalu dia menggeleng kepala sebagai jawaban. Ouwyang Sianseng kini menatap wajah Kam Hong dengan penuh perhatian dan diam-diam hatinya diliputi kekaguman. Kakek di depannya ini sebaya dengan dia, dan memiliki sikap yang halus berwibawa. Mengertilah dia bahwa kakek yang pakaiannya juga seperti sastrawan amat sederhana ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Ouwyang Sianseng lalu menjura dengan sikap hormat.
"Selamat berjumpa, Sobat," katanya dengan suara yang halus, "boleh aku mengetahui, siapakah Ji-wi dan apa pula alasan Ji-wi hendak mencampuri urusan kami yang sedang menentang penjajah Mancu"
Kam Hong mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa sikap ramah dan halus dari orang ini membuat dia waspada karena sikap itu hanya menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Apalagi orang ini dengan cerdiknya menempatkan dia di posisi yang buruk, seolah-olah orang itu adalah pejuang dan patriot, sedangkan dia dan isterinya merupakan orang-orang yang membela kaum penjajah! Dengan tenang dia pun tersenyum dan balas menjura dengan hormat, diikuti pula oleh isterinya karena tadi ketika Ouwyang Sianseng menjura, pemuda tampan itu pun ikut pula memberi hormat.
"Maaf, Sobat," jawabnya halus pula. "Memang di antara kita tidak pernah saling mengenal, juga tidak ada hubungan apa pun. Penjajah Mancu sudah menguasai tanah air sejak hampir seratus tahun dan kami kira panglima ini bukanlah biang keladi penjajahan, melainkan hanya seorang petugas! Kami melihat betapa Ji-wi membunuhi para pengawal dan menyerang kereta, maka hal ini sudah merupakan urusan pribadi, bukan lagi pertempuran dalam perjuangan melawan penjajah! Dan kami tidak biasa membiarkan saja manusia saling bunuh, apalagi melihat yang lebih kuat membunuh yang lemah tanpa sebab."
Ouwyang Sianseng masih bersikap sabar. "Kami adalah pejuang-pejuang yang berjiwa patriot. Kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, dan kami mulai dari utara ini dengan cara melenyapkan para perwira dan panglima. Barulah kami akan bergerak ke selatan, menyerang ke kota raja dan merampas tahta kerajaan!" Ketika berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam, juga pemuda di sampingnya yang bukan lain adalah Siangkoan Liong, memandang dengan muka berseri penuh semangat.
"Kami percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa patriot pula, oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali kalau Ji-wi sudi membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!" kata Siangkoan Liong.
Kam Hong tersenyum, diam-diam memuji kecerdikan pemuda itu, dan dia menjawab dengan cerdik, "Kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang dipelopori oleh Tiat-liong-pang, tidak tahu apakah Ji-wi ada hubungannya dengan Tiat-liong-pang" Kemudian disambungnya, "Kami pernah mendengar bahwa Siangkoan Tek, ketua Tiat-liong-pang, adalah seorang yang gagah."
"Dia adalah ayah saya!" kata Siangkoan Liong dengan cepat, girang bahwa kakek itu mengenal ayahnya dan menyebut ayahnya orang gagah.
Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada isterinya, lalu berkata, seolah-olah kepada isterinya, "Sungguh aneh sekali. Sepanjang pendengaran kita, sekarang Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat, bagaimana bisa begitu"
Bu Ci Sian mendengus. "Huh, kalau perjuangan sudah dikotori dengan masuknya kaum sesat, jelas bahwa perjuangan itu tidak bersih lagi, hanya merupakan pemberontakan yang berpamrih demi kepentingan pribadi atau golongan. Aku tidak bisa percaya gerakan macam itu!"
"Maaf, maaf....!" kata Ouwyang Sianseng. "Dalam gerakan perjuangan tidak terdapat istilah golongan jahat atau golongan baik, kaum hitam atau kaum putih. Yang penting kita haruslah mengumpulkan seluruh kekuatan dari rakyat jelata untuk menentang pemerintah penjajah. Yang penting, tujuan kita adalah baik, yaitu menumbangkan penjajahan, adapun caranya dapat mempergunakan cara apa saja agar berhasil."
Kam Hong tertawa, merasa bahwa lawannya terjebak. "Ha, sobat baik, bagaimana mungkin cara yang kotor dapat menghasilkan tujuan yang bersih" Yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya itulah! Kalau caranya kotor, maka kami tidak ingin mengotorkan tangan membantunya, bahkan sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya. Kalau kalian bersekutu dengan kaum sesat untuk membunuhi para perwira dan panglima, maka terpaksa kami akan menentang kalian!"
Habislah kesabaran Ouwyang Sianseng. Kalau tadi dia bersikap sabar hanya karena dia menghargai kakek dan nenek itu dan kalau mungkin menarik orang-orang pandai sebanyak mungkin untuk membantu gerakannya. Kini, mendengar ucapan Kam Hong, dia pun maklum bahwa akan percuma saja membujuk kakek dan nenek itu untuk bekerja sama kalau pendiriannya seperti itu.
"Bagus! Kalau begitu ternyata kalian adalah pengkhianat penjual negara kepada orang Mancu dan layak mati di tanganku!" berkata demikian, Ouwyang Sianseng lalu menggerakkan kipasnya, melakukan totokan bertubi dengan cepat sekali ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian tubuh atas depan dari lawannya. Melihat gerakan serangan ini, diam-diam Kam Hong terkejut dan dia pun maklum bahwa lawannya ini sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sementara itu, melihat betapa gurunya menyerang kakek lawan, Siangkoan Liong juga menggerakkan pedangnya, menerjang ke arah nenek yang sejak tadi memandang penuh perhatian. Bu Ci Sian tidak terkejut melihat datangnya serangan pedang secepat kilat itu. Begitu tangannya bergerak, nampak sinar keemasan berkelebat dan tangannya sudah memegang sebatang suling emas, tidak sebesar milik suaminya, akan tetapi cukup panjang untuk menjadi sebuah senjata yang digerakkan seperti pedang. Siangkoan Liong yang terkejut ketika tiba-tiba saja matanya silau oleh sinar kuning emas yang mengeluarkan suara mendegung mengerikan dan tahu-tahu dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arahnya. Dia harus memutar pedangnya secepatnya untuk menarik serangan dan mengubah gerakannya menjadi gerakan pertahanan, membentuk gulungan sinar seperti payung yang menjadi perisai dan pelindung tubuhnya.
"Trang-cringgg....!" Kembali Siangkoan Liong terkejut karena tangannya tergetar dan pada saat itu, tangan kiri nenek itu sudah mendorong dan keluarlah hawa panas sekali ke arahnya. Siangkoan Liong adalah seorang pemuda perkasa, dengan ilmu silat yang tinggi, maka menghadapi pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang panas ini dia pun cepat mengelak dan mengibaskan lengan kirinya menyampok dan menangkis, lalu pedangnya berkelebat membalas serangan nenek itu dengan tusukan yang dahsyat. Nenek itu juga maklum akan datangnya tusukan maut, maka dengan amat lincahnya, tubuh nenek itu sudah meliuk dan menghindar, lalu dari samping membalas dengan ujung suling yang menotok tiga kali bertubi-tubi ke arah leher, pundak, lalu lambung! Repot juga Siangkoan Liong menghadapi totokan berbahaya ini dan hanya dengan keadaan terhimpit dan terdesak dia mampu menghindarkan diri lalu memutar pedangnya dan membalas dengan gerakan dahsyat dan sengit karena dia merasa penasaran dan marah sekali.
Ketika Ouwyang Sianseng melakukan totokan ke arah tubuh atas Kam Hong dengan gagang kipasnya, tiba-tiba saja kipasnya bertemu dengan sebatang kipas lain yang dipegang oleh tangan kiri Kam Hong. Ouwyang Sianseng terkejut akan tetapi juga kagum dan gembira. Kiranya lawannya ini pun agaknya pandai mempergunakan kipas sebagai senjata! Ouwyang Sianseng lalu mengeluarkan kepandaiannya, kipasnya bergerak-gerak dengan cepatnya. Kipas itu bagaikan seekor kupu-kupu raksasa, beterbangan, kadang-kadang terbuka sayapnya, kadang-kadang tertutup dan kalau terbuka sayapnya, kipas menyambar mendatangkan angin yang kuat, kalau tertutup sayapnya, gagang kipas meluncur dengan totokan-totokan maut! Diam-diam Kam Hong kagum sekali dan dia pun menggerakkan kipasnya dan mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang hebat dan kuat. Dengan ilmu itu, Kam Hong juga ingin menguji ilmu kepandaian lawan.
Ouwyang Sianseng juga kagum. Ternyata lawannya ini memiliki ilmu permainan kipas yang kuat dan tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya, membantu kipasnya dengan pukulan-pukulan tangan miring yang menjadi demikian kuat tiada ubahnya sebatang pedang, membabat dan mengeluarkan suara bercuitan. Terkejutlah Kam Hong. Sungguh seorang lawan yang amat tangguh. Sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu lawan setangguh ini, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar kuning emas bergulung-gulung, dibarengi suara suling yang melagu seperti ditiup saja. Padahal suling itu mengeluarkan suara hanya karena digerakkan oleh Kam Hong. Sinar terang menyambar bagaikan kilat dari atas mengarah kepala Ouwyang Sianseng. Orang ini terkejut, menangkis dengan kipasnya dan akibatnya, dia terhuyung! Dia segera meloncat ke belakang.
"Tahan!" serunya kaget dan dia memandang penuh perhatian. Kam Hong menghentikan gerakannya, tersenyum menanti, kipas di tangan kiri, suling emas di tangan kanan, sikapnya halus namun gagah sekali, membuat Ouwyang Sianseng merasa gentar juga.
"KaukauPendekar Suling Emas...." tanyanya, suaranya agak gemetar saking tegangnya.
Kam Hong tersenyum, bukan senyum bangga, melainkan merasa betapa lucunya segala macam julukan itu, seperti kanak-kanak manja yang ingin dipuji saja!
"Dulu orang menyebut aku seperti itu, akan tetapi sekarang aku hanyalah seorang tua bangka yang sebetulnya tidak ingin lagi mempergunakan senjata, kalau tidak terpaksa. Serangan-seranganmu berbahaya, engkau seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan terpaksa aku harus mengeluarkan kedua senjataku ini."
Biarpun belum berkelahi dengan sungguh-sungguh, namun Ouwyang Sianseng merasa gentar. Dia sudah mendengar akan nama besar Pendekar Suling Emas, dan sudah mendengar pula betapa isteri pendekar itu pun merupakan adik seperguruan yang lihai. Ketika dia melirik, dia melihat betapa Siangkoan Liong repot bukan main menghadapi gulungan sinar kuning emas dari suling di tangan nenek itu, maka dia pun membentak, "Siangkoan Liong, mundur dan jangan kurang ajar di depan orang pandai!"
Mendengar bentakan suhunya, Siangkoan Liong merasa heran, akan tetapi juga lega dan dia pun cepat meloncat mundur mendekati gurunya. Dia sudah terdesak hebat dan kini dia dapat menghentikan perkelahian itu tanpa merasa meninggalkan gelanggang karena dia dilarang gurunya! Jadi dia berhenti sebelum kalah. Melihat lawannya mundur, Bu Ci Sian yang kini telah berubah wataknya menjadi penyabar seperti suaminya, lalu tersenyum dan berdiri di samping suaminya. Kalau mengingat wataknya ketika gadis dahulu, tentu ia tidak akan berhenti sebelum lawannya kalah dan akan mendesak terus!
Ouwyang Sianseng berkata kepada muridnya, sekedar untuk membuyarkan suasana penuh pertentangan tadi, "Ketahuilah, bahwa Locianpwe ini bukan lain adalah Pendekar Suling Emas dan isterinya yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia sebagai pendekar-pendekar yang berbudi dan gagah perkasa." Lalu dia menjura kepada Kam Hong dan isterinya, diikuti pula oleh Siangkoan Liong yang sudah cepat-cepat menyimpan kembali pedangnya.
"Saudara yang perkasa," kata Ouwyang Sianseng, "kami sudah mendengar bahwa saudara dan isteri saudara adalah pendekar-pendekar perkasa, oleh karena itu, dengan segala kehormatan kami mengundang Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami, bersama-sama menentang pemerintah penjajah dan membasmi mereka untuk menyelamatkan tanah air dan bangsa...."
"Cukup," kata Kam Hong dengan alis berkerut. "Sudah kami katakan tadi, kalau gerakan kalian itu didukung oleh para tokoh sesat, maka itu merupakan suatu pemberontakan berpamrih demi kepentingan golongan sendiri, dan kami sudah pasti tidak akan suka bekerja sama, bahkan akan menentangnya."
Ouwyang Sianseng tersenyum pahit. "Terserah kalau demikian penilaianmu! Sudahlah, Siangkoan Liong, mari kita pergi!" katanya dan sekali meloncat, dia pun sudah lenyap, demikian cepatnya gerakan kakek ini. Siangkoan Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar gurunya yang sudah berada jauh di depan.
Kam Hong menarik napas panjang. "Hebat sekali kepandaian orang itu!"
"Orang muda itu pun lihai sekali!" kata pula isterinya.
Panglima yang tadi hampir celaka di tangan guru dan murid yang lihai itu, kini menghampiri mereka dan di depan Kam Hong, dia lalu memberi hormat dengan hati terharu, "Kalau bukan Ji-wi Taihiap yang muncul dan menolong, tentu kami semua telah tewas di tangan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong itu. Kami menghaturkan terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan mohon tanya nama besar Ji-wi. Kami sendiri adalah Panglima Liu, utusan dari kota raja yang hendak menyelidiki peristiwa aneh yang terjadi di benteng pasukan pemerintah di utara."
Kam Hong dan Bu Ci Sian membalas penghormatan itu dengan sederhana. Bagaimanapun juga, mereka berdua tidak mempunyai perasaan bersahabat dengan para pembesar pemerintah Mancu yang menjajah tanah air mereka. Akan tetapi Kam Hong tertarik juga untuk menyelidiki keadaan para pemberontak yang bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat.
"Liu Tai-ciangkun, sebenarnya apakah yang telah terjadi. Mengapa kedua orang tadi menghadang rombongan Ciangkun di sini dan membunuh" tanya Kam Hong.
"Di perbentengan utara terjadi kehebohan karena banyak sekali perwira-perwira dan panglima yang setia kepada pemeritah tiba-tiba lenyap, dan kedudukan mereka diganti oleh orang-orangnya Coa-ciangkun yang memimpin sebagian dari pasukan di utara. Coa-ciangkun menurut laporan yang kami terima, dicurigai mengadakan hubungan dengan Tiat-liong-pang yang akan memberontak. Maka, kami diutus dengan wewenang penuh dari raja untuk melakukan penyelidikan dan menangkap mereka yang bersalah dan berkhianat. Kami sudah mendapat laporan lengkap tentang Tiat-liong-pang dan tentang hubungan Coa-ciangkun dengan para pemberontak. Oleh karena itu, kami tahu bahwa dua orang tadi adalah Ouwyang Sianseng atau juga dikenal dengan nama Nam San Sianjin, dan yang muda itu adalah Siangkoan Liong, putera dari Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Tentu saja mereka hendak membunuh kami karena mudah diduga bahwa Tiat-liong-pang atau para pemberontak yang bersekutu dengan Coa-ciangkun itulah yang telah menculik dan membunuhi para perwira dan panglima yang setia kepada pemerintah, untuk diganti dengan kaki tangan mereka sendiri agar pasukan mudah dikuasai untuk membantu gerakan pemberontakan."
Kam Hong mengerutkan alisnya. Biarpun dia sendiri tentu saja sama sekali tidak berniat untuk membantu tegaknya pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi gerakan Tiat-liong-pang yang didukung para tokoh dunia hitam ini amatlah berbahaya bagi keselamatan rakyat jelata dan dia harus ikut menentangnya, bukan untuk membantu pemerintah, melainkan untuk membasmi para tokoh sesat yang tentu hendak memancing di air keruh itu.
"Kalau begitu berbahaya sekali. Biarpun Ciangkun sudah terhindar dari bahaya di sini, akan tetapi kedua orang itu tentu akan menghubungi panglima yang menjadi sekutunya dan sebelum Ciangkun tiba di benteng, tentu akan dihadang dan dibunuh."
Panglima Liu mengangguk-angguk, saling pandang dengan empat orang pengawal pribadinya yang tadi mati-matian mempertahankan keselamatan atasan mereka dari serangan guru dan murid itu.
"Baiklah, kita mencari jalan bagaimana baiknya. Mari, silakan duduk di sana, karena kami mohon bantuan Ji-wi untuk mencari jalan keluar yang baik, sementara empat orang pengawalku biar mengubur jenazah belasan orang anggauta pasukan pengawal itu."
Panglima besar Liu mengajak Kam Hong dan Bu Ci Sian bercakap-cakap di bawah pohon, sedangkan empat orang pengawal itu menggali sebuah lubang besar untuk mengubur belasan orang rekan mereka yang tewas dalam pertempuran tadi.
Sambil duduk di bawah pohon, panglima besar Liu bercakap-cakap dengan kakek dan nenek pendekar itu, minta pendapat dan nasihat mereka. Setelah mendengar semua penjelasan panglima itu, Kam Hong lalu mengajukan siasat, yaitu agar Liu Tai-ciangkun dan empat orang pengawal pribadinya bersembunyi dulu di dalam hutan, ditemani dan dilindungi oleh Bu Ci Sian. Sedangkan Kam Hong sendiri akan membawa surat panglima itu menemui Pouw-ciangkun, yaitu perwira yang telah mengirim laporan kepada para pembesar di kota raja. Kam Hong akan mengajak perwira Pouw itu keluar dari benteng dan menjumpai Liu Tai-ciangkun dan kemudian akan diatur rencana sebaiknya untuk menyambut kedatangan panglima besar itu agar dapat memasuki benteng tanpa gangguan dari pihak pengkhianat dan pemberontak. Setelah masuk ke dalam benteng, dikawal oleh Kam Hong dan isterinya, maka panglima dan perwira yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang dapat diringkus sebelum mereka dapat melakukan gerakan.
Setelah penguburan itu selesai, Kam Hong dan isterinya mengajak Panglima Liu masuk ke dalam hutan dan memilih tempat yang baik untuk bersembunyi, yaitu di sebuah gua. Kemudian, Kam Hong meninggalkan mereka untuk menyelundup ke dalam benteng. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Kam Hong untuk menyelundup, ke dalam benteng tanpa diketahui para penjaga, melompati pagar tembok benteng dan mencari perwira Pouw!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya perwira Pouw yang sedang tidur di dalam kamarnya seorang dari ketika tiba-tiba saja ada orang mengguncang tubuhnya dan ketika dia terbangun, dia melihat seorang kakek sastrawan sudah berdiri di dekat pembaringannya. Akan tetapi kakek itu memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara.
"Tenanglah, Pouw-ciangkun, aku datang bukan dengan niat buruk. Aku adalah utusan dari panglima besar yang datang dari kota raja."
Wajah Pouw-ciangkun yang tadinya sudah pucat itu menjadi agak merah kembali. Tadinya dia mengira bahwa tentu orang ini masuk ke kamarnya untuk menculik dan membunuhnya, seperti yang telah terjadi pada belasan orang rekannya yang lenyap tanpa meninggalkan bekas. Mendengar kata-kata itu, dia terkejut dan heran, lalu bangkit duduk, masih belum lenyap kekhawatirannya. Kam Hong maklum akan kegelisahan perwira itu, maka cepat dia mengeluarkan sebuah sampul yang ada cap dari Panglima Besar Liu, dan menyerahkannya kepada perwira itu.
"Nah, inilah surat dari beliau untukmu, Pouw-ciangkun."
Perwira itu menerima sampul, memeriksanya dan hatinya menjadi semakin lega ketika dia melihat bahwa memang benar cap pada sampul itu adalah cap dari Panglima Besar Liu yang dikenalnya sebagai seorang panglima yang jujur dan adil, juga bertangan besi terhadap para pemberontak.
"Akan tetapi, mengapa Liu-tai-ciangkun tidak langsung saja datang bersama pasukan pengawalnya ke sini" Kenapa harus mengutus Locianpwe" Pouw-ciangkun menggunakan sebutan penghormatan ini karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi sehingga malam itu dapat tiba-tiba saja muncul di dalam kamarnya seperti setan. Bagaimanapun juga, dia masih sangsi karena peristiwa ini terlalu aneh baginya.
Kam Hong maklum akan keraguan perwira itu. "Liu-ciangkun dan pasukan pengawalnya dihadang oleh Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong di dalam perjalanan dan belasan orang pasukan pengawalnya tewas semua. Hanya beliau dan empat orang pengawal pribadi yang masih hidup ketika aku dan isteriku datang membantunya. Karena kami maklum bahwa nyawanya masih terancam, maka akulah yang datang mengantar suratnya, dan isteriku melindunginya di tempat persembunyian."
Mendengar ini, terkejutlah Pouw-ciangkun. Kini dia percaya dan cepat dibuka dan dibacanya surat itu. Ternyata Liu-tai-ciangkun memanggilnya, sekarang juga agar dia ikut dengan kakek sakti ini. Tanpa banyak cakap lagi Pouw-ciangkun lalu diam-diam memanggil tiga orang rekannya, yaitu para perwira lain yang setia kepada pemerintah. Tiga orang perwira itu pun terkejut melihat Kam Hong, akan tetapi ketika mereka mendengar keterangan Pouw-ciangkun, mereka lalu mengatur siasat dengan Pouw-ciangkun.
"Malam ini aku akan pergi menghadap Liu-tai-ciangkun bersama Locianpwe ini dan kalian harus dapat merahasiakan kepergianku ini. Aku akan mengambil jalan rahasia kita, dan mungkin besok malam aku baru kembali." kata Pouw-ciangkun. Para rekannya menyetujui dan demikianlah, Pouw-ciangkun lalu pergi bersama Kam Hong, melalui jalan rahasia di belakang benteng. Tanpa diketahui orang lain, mereka berdua pergi meninggalkan benteng dan lewat tengah malam, mereka tiba di dalam hutan di mana Liu-tai-ciangkun bersembunyi di dalam gua dijaga oleh empat orang pengawal pribadi dan juga nenek Bu Ci Sian.
Pouw-ciangkun cepat memberi horinat kepada atasannya itu dan mereka bersama Kam Hong dan Bu Ci Sian, segera mengadakan perundingan dan mengatur siasat. Pouw-ciangkun menceritakan betapa keadaan sudah amat berbahaya karena kekuasaan Coa-tai-ciangkun kini menjadi semakin besar. Tidak kurang dari dua puluh orang perwira yang menjadi bawahannya dan yang menyetujui persekutuannya dengan Tiat-liong-pang, termasuk mereka yang diangkat untuk menggantikan para perwira setia yang diculik.
"Bagaimana dengan pasukannya sendiri" tanya Liu-ciangkun, terkejut juga mendengar akan hal itu.
"Sudah saya selidiki, Tai-ciangkun. Para anggauta pasukan agaknya belum tahu akan niat Coa-ciangkun yang bersekutu dengan para pemberontak. Akan tetapi, pasukan yang bertugas di utara adalah pasukan istimewa yang selalu mentaati perintah atasan tanpa banyak bertanya. Jadi, kalau para perwiranya sudah dapat dikuasai Coa-ciangkun, maka dengan sendirinya pasukannya juga akan taat akan segala perintahnya. Mereka takkan mundur walaupun diperintah untuk menyerbu pasukan pemerintah sendiri!"
"Berapa jumlah seluruh pasukan yung berjaga di tapal batas utara"
"Yang sudah siap di benteng adalah pasukan-pasukan inti yang jumlahnya kurang lebih selaksa orang. Pasukan cadangan berada di benteng sebelah selatan, akan tetapi mereka itu biasanya kurang siap dan kurang kuat karena merasa jauh dari bahaya, tidak seperti pasukan inti yang berada di tapal batas."
"Dan berapa banyak yang telah dipengaruhi Coa-ciangkun"
"Melihat jumlahnya perwira, kurang lebih separuh yang telah dikuasainya. Yang separuh lagi, sebagian masih setia kepada kerajaan, ada sebagian yang bimbang dan gelisah karena adanya penculikan-penculikan itu."
Liu-ciangkun mengangguk-angguk. "Engkau kembali ke benteng dan hubungi para rekan yang setia, agar mereka siap siaga. Lalu aturlah agar terdapat pasukan khusus yang menyambut kedatanganku yang akan dikawal oleh kedua Locianpwe ini. Dengan adanya penyambutan pasukan khusus yang cukup besar jumlahnya, apalagi adanya kedua Locianpwe ini, tentu para penjahat itu tidak berani turun tangan. Kemudian, di sana aku akan memanggil semua perwira dan panglima untuk berkumpul dan mengadakan rapat. Nah, pada saat itulah aku akan mengumumkan penangkapan terhadap mereka. Engkau harus sudah mempersiapkan pasukan yang setia untuk mengepung tempat pertemuan itu sehingga mereka tidak akan mampu lolos. Kemudian, akan kuangkat perwira-perwira baru yang setia, dan semua gerakan ini harus dirahasiakan, jangan sampai bocor agar jangan diketahui oleh pihak Tiat-liong-pang. Selanjutnya akan kuatur nanti. Demikianlah Liu-tai-ciangkun mengambil keputusan setelah berunding dengan Kam Hong dan Bu Ci Sian.
Untuk menjaga keselamatannya agar semua rencana dapat berjalan dengan lancar, Pouw-ciangkun kembali ditemani Kam Hong ketika kembali ke benteng, juga melalui jalan rahasia di belakang benteng setelah melihat betapa Pouw ciangkun kembali dengan selamat tanpa diketahui siapapun, Kam Hong lalu kembali dan mereka semua menanti datangnya pasukan yang akan mengadakan penyambutan.
Pouw-ciangkun berunding dengan para rekannya, kemudian mengumumkan bahwa Liu-tai-ciangkun akan datang berkunjung ke benteng, maka dia dan para rekannya lalu mempersiapkan dua ratus orang pasukan khusus untuk keluar benteng melakukan penyambutan. Tentu saja diam-diam Coa-tai-ciangkun sudah mendengar dari sekutunya akan datangnya Lui-tai-ciangkun dari kota raja yang pangkatnya lebih tinggi darinya, bahkan yang membawa surat kuasa dari para penguasa di kota raja. Dia tidak berdaya untuk menghalangi kunjungan ini, akan tetapi karena merasa bahwa kekuasaannya di benteng amat besar, dia tidak merasa khawatir, bahkan oleh Ouwyang Sianseng dianjurkan untuk menerima utusan kota raja itu dalam benteng. Nanti kalau gerakan dimulai, akan mudah menyergap Lui-tai-ciangkun, demikian pendapat Ouwyang Sianseng. Andaikata pasukan penyambut tidak begitu besar, tentu Coa-tai-ciangkun dan para rekannya akan turun tangan menghadang dan membasmi pasukan penyambut dan membunuh utusan kota raja itu. Akan tetapi pasukan yang dikumpulkan dan dikerahkan Pouw-ciangkun itu berjumlah dua ratus orang dan merupakan pasukan khusus, maka tentu saja hal ini akan sukar dilaksanakan tanpa terjadi pertempuran besar yang tentu akan mengguncangkan benteng itu dan akan memecah belah pasukan sehingga akan terjadi perang saudara sendiri yang akan menghancurkan seluruh pasukan!
Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika pasukan khusus itu memasuki hutan, muncullah Liu Tai-ciangkun bersama empat orang pengawal pribadi, ditemani pula oleh kakek dan nenek itu yang selalu siap siaga, menjaga segala kemungkinan. Namun, penyambutan berjalan lancar dan dengan kehormatan, Lui Tai-ciangkun dikawal oleh pasukan itu memasuki benteng.
Begitu memasuki benteng dan disambut oleh semua perwira dan panglima, Liu Tai-ciangkun berkata dengan suara lantang, "Kami datang membawa perintah dari kota raja! Kami akan mengadakan rapat rahasia dengan seluruh pimpinan di benteng ini. Tidak seorang pun dari luar, kecuali kedua Locianpwe ini, yang boleh berada di dalam benteng. Pintu benteng harus ditutup dan dijaga ketat agar tidak ada orang luar dapat masuk. Kuperingatkan pasukan yang menjemputku tadi agar dibagi dan melakukan penjagaan membantu para penjaga di semua pintu benteng! Sekarang, kuperintahkan agar semua perwira dan panglima berkumpul di ruangan rapat pusat!"
Karena utusan dari kota raja itu memperlihatkan pula surat kuasa yang dibawanya dari kota raja, maka tak seorang pun perwira berani membantah, bahkan Coa Tai-ciangkun tidak membantah. Dia merasa lega karena sikap panglima tinggi dari kota raja itu sama sekali tidak memperlihatkan kecurigaan kepadanya, dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa utusan itu akan melakukan tindakan-tindakan. Maka dia pun memberi isyarat kepada para kaki tangannya untuk mematuhi perintah itu, untuk melihat perkembangan selanjutnya sebelum dia mengambil keputusan untuk bergerak.
Semua perwira berkumpul di dalam ruangan rapat yang luas itu, dan diam-diam pasukan yang khusus dipersiapkan oleh Pouw-ciangkun dan para rekannya seperti yang telah direncanakan oleh Liu-tai-ciangkun, mulai mengepung ruangan rapat itu. Ada lima ratus orang pasukan dikerahkan, mengepung rapat tempat itu bukan hanya untuk mencegah mereka yang berada di dalam menerobos keluar, juga untuk menjaga kalau-kalau ada kaki tangan pemberontak yang menyerbu untuk membebaskan mereka yang berada di dalam ruangan rapat! Dan semua ini berlangsung diam-diam tanpa keributan seperti yang diperintahkan Liu-tai-ciangkun sehingga tidak ada seorang pun di antara para perwira yang mengetahui bahwa tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh pasukan. Tentu saja yang mengetahui hanya Liu-tai-ciangkun, Pouw-ciangkun dan para rekan-rekannya yang melaksanakan siasat itu.
Suasana dalam rapat itu tenang setelah semua orang mengambil tempat duduk. Ada tiga puluh orang lebih perwira menengah dan perwira tinggi, dan semua kursi menghadap ke arah panggung di mana duduk Liu-tai-ciangkun yang dikawal hanya oleh kakek dan nenek yang duduk tenang di belakangnya itu. Tidak ada anggauta pasukan pengawal menjaga panglima tinggi ini. Dan kakek nenek itu kelihatannya sudah tua dan lemah, bahkan sama sekali tidak nampak membawa senjata.
Setelah menghitung jumlah perwira. Liu-tai-ciangkun membuka persidangan itu dengan pertanyaan. "Mengapa yang hadir hanya ini" Di mana lagi yang lain" Bukankah di sini terdapat perwira-perwira yang jumlahnya ada lima puluh orang" Lalu dia memandang ke arah Coa Tai-ciangkun yang duduk di deretan paling depan. "Coa-ciangkun, setelah dua orang panglima lainya tidak hadir, maka engkaulah perwira paling tinggi pangkatnya di sini. Nah, aku ingin mendengar laporanmu di mana adanya belasan orang perwira lainnya itu dan mengapa pula mereka tidak hadir!"
Wajah Coa Tai-ciangkun berubah merah. Dia merasa heran mengapa utusan kota raja ini masih berpura-pura. Dia yakin bahwa tentu ada di antara para perwira yang melapor ke kota raja dan tentu dalam laporan itu sudah disebutkan akan lenyapnya belasan orang perwira secara aneh. Mengapa Liu Tai-ciangkun masih berpura-pura bodoh dan bertanya kepadanya" Namun, dengan sikap tenang dia lalu bangkit berdiri, memberi hormat secara militer dan melapor dengan suaranya yang lantang.
"Lapor kepada Liu Tai-ciangkun! Empat belas orang perwira dan panglima yang pada hari ini tidak hadir, telah lenyap dalam waktu selama dua bulan ini. Mereka lenyap secara aneh dan biarpun kami sudah mencari-carinya, namun tidak berhasil menemukan di mana mereka berada, sudah mati ataukah masih hidup!"
Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya. "Hemmm, mana mungkin ada belasan orang perwira lenyap begitu saja dari dalam benteng tanpa diketahui orang sama sekali ke mana perginya"
"Kami semua sudah berusaha mencari dan menyebar penyelidik, namun tidak berhasil. Kami telah menunjuk perwira-perwira pengganti untuk sementara, dan karena mereka belum dilantik dan disahkan, maka tidak kami hadirkan di tempat ini."
"Hemmm, sungguh kacau balau dan menyedihkan! Kehilangan belasan orang perwira tanpa dapat diketahui ke mana mereka pergi hanya menunjukkan kelemahan para pemimpin yang menguasai perbentengan ini. Perlu diadakan perombakan seperlunya! Sekarang kami hendak mengadakan pemilihan, dan perwira yang namanya kami sebut, harap suka berdiri di bagian kiri ruangan ini!" Mendengar suara Liu Tai-ciangkun yang penuh wibawa, semua perwira yang hadir saling pandang dan merasa tegang, bahkan Coa Ciangkun sendiri merasa tidak enak, akan tetapi dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh utusan kota raja itu, maka dia pun tidak dapat berbuat sesuatu kecuali saling pandang dengan para anak buahnya. Selagi masih kebingungan karena tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara Liu Tai-ciangkun yang lantang memanggil namanya!
"Panglima Coa Seng! Silakan berdiri di bagian kiri sana!"
Tentu saja Coa Tai-ciangkun semakin kaget, akan tetapi dia tidak dapat berbuat lain kecuali bangkit berdiri dari tempat duduknya, memandang ke sekeliling, kemudian kepada Liu Tai-ciangkun yang dengan tangannya mempersilakan dia pergi ke bagian kiri ruangan itu, di mana sudah ada bangku-bangku kosong menunggu. Dengan senyum menghias bibirnya dan sikap yang tenang karena dia percaya akan kekuasaannya, Coa Tai-ciangkun yang bernama Coa Seng itu lalu melangkah dan duduk di bangku terdepan dari tempat yang ditunjuk itu.
"Perwira Song Pun Ki!" Disebutnya nama ke dua ini membuat jantung Coa Tai-ciangkun berdebar tegang. Kenapa kebetulan sekali yang disebut sebagai orang ke dua adalah Song-ciangkun, perwira berkumis tebal yang menjadi tangan kanannya dalam persekutuannya degan pihak Tiat-liong-pang" Apakah ini hanya kebetulan saja" Akan tetapi, seperti juga dia, Song-ciangkun tidak dapat membantah dan dia pun lalu bangkit, lalu berjalan dengan langkah lebar, lalu duduk di dekat Coa Tai-ciangkun, sejenak mereka saling pandang, akan tetapi tentu saja tidak sempat untuk bicara.
Nama demi nama dipanggil dan keadaan menjadi semakin menegangkan karena ternyata bahwa nama-nama yang dipanggil ini adalah nama-nama para perwira yang menjadi anak buah Coa Tai-ciangkun, yaitu para perwira yang sudah setuju untuk bersama Tiat-liong-pang melakukan pemberontakan!
Setelah dua puluh dua orang perwira dipanggil dan berkumpul di bagian kiri ruangan itu, panggilan dihentikan oleh Liu Tai-ciangkun dan panglima tinggi ini lalu bangkit berdiri. Sambil memandang ke arah para perwira yang duduk di ruangan sebelah kiri, dan dengan suara lantang, Panglima Liu itu lalu berkata dengan tegas, "Panglima Coa Seng dan semua perwira yang telah berkumpul di sebelah kiri, semua sebanyak dua puluh dua orang, atas nama Kaisar, dengan wewenang yang ada pada kami selaku utusan yang berkuasa penuh, kami menangkap dan menahan kalian dengan tuduhan memberontak!"
Coa-ciangkun, Song-ciangkun dan rekan-rekannya serentak bangkit berdiri, ada pula yang mencabut pedang. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan dua orang berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu, kakek Kam Hong dan isterinya, nenek Bu Ci Sian, sudah meloncat ke arah sekumpulan perwira yang hendak ditangkap itu. Pada saat itu, Coa-ciangkun dan Song-ciangkun sudah siap memberontak bersama rekan-rekannya, dan memberi tanda kepada anak buah mereka yang berada di luar. Bahkan mereka sudah mencabut pedang masing-masing.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Coa-ciangkun roboh terkulai, terkena totokan jari tangan kakek Kam Hong, sedangkan Song-ciangkun demikian pula, roboh tertotok oleh nenek Bu Ci Sian! Para perwira lainnya segera menyerang dan hendak memberontak di ruangan itu, maka kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian bergerak cepat merobohkan beberapa orang. Pada saat itu, pasukan yang sudah siap di luar dan mengepung tempat itu, menerjang masuk dan dengan mudah, tanpa banyak menimbulkan kegaduhan, apalagi karena dibantu oleh Kam Hong dan Bu Ci Sian, dua puluh dua orang perwira pemberontak itu dapat dilumpuhkan, diborgol kedua tangan mereka dan menjadi tawanan! Semua ini berlangsung tanpa diketahui orang luar.
Liu Tai-ciangkun lalu memerintahkan agar menjaga ketat benteng itu dan melarang semua anggauta pasukan keluar dari dalam benteng. Ternyata perintahnya ini membawa hasil dengan ditangkapnya puluhan orang anak buah pasukan, perwira-perwira rendahan yang hendak melarikan diri keluar benteng. Mereka adalah anak buah Coa Tai-ciangkun yang mendengar akan penangkapan-penangkapan itu dan mereka hendak melarikan diri dan melapor kepada Tiat-liong-pang. Namun, berkat kesiapsiagaan sesuai dengan perintah Liu-tai-ciangkun, mereka semua tertangkap dan selanjutnya, dengan memaksa para tawanan ini, dengan mudah rekan-rekan mereka ditangkapi. Ternyata jaringan itu sudah cukup luas karena jumlah orang tawanan ada seratus orang lebih!
Liu-ciangkun lalu mengangkat perwira-perwira baru untuk menggantikan memegang pimpinan di dalam benteng itu, dan membersihkan semua unsur pemberontakan. Para tawanan dika
Kisah Sepasang Rajawali 1 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Dewi Ular 6
berubah menjadi Bu Beng Lokai."
"Kalau begitu, Nona adalah saudara seperguruan dari nona Suma Lian"
"Benar sekali! Engkau mengenal suciku" Sungguh, semakin sempit saja dunia ini!" Untuk sejenak, Li Sian melupakan kedukaannya dan ia tersenyum gembira sekali. Kun Tek ikut bergembira melihat hal ini.
"Sungguh menyenangkan sekali. Kiranya engkau masih ada hubungan keluarga seperguruan yang dekat dengan Hong Beng, dan dia adalah sahabat lamaku yang amat baik. Kita ternyata masih orang segolongan yang berhubungan dekat. Sayang kita saling berjumpa dalam keadaan seperti ini."
Li Sian teringat kembali akan keadaan mereka, teringat kembali akan keadaan dirinya. Ia membayangkan kemungkinan mengerikan yang akan menimpa dirinya. Ia tahu kini betapa kejam dan kejinya hati Siangkoan Liong dan para pimpinan pemberontak itu. Ada bahaya yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian mengancam dirinya. Hong Beng dan Kun Tek memang benar kalau tadi mengkhawatirkan keselamatannya karena ia seorang wanita. Membayangkan semua ini, ia teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda dan ia pun mengepal tinjunya.
"Benar apa yang telah dilakukan enci Ciong Siu Kwi itu! Kalau mendapat kesempatan lagi, aku akan melawan dan mengadu nyawa dengan mereka. Lebih baik aku mati daripada sampai tertawan kembali!" Wajah gadis itu menjadi pucat dan sepasang matanya seperti bernyala.
"Jangan khawatir, Nona. Aku Cu Kun Tek bersumpah akan membelamu sampai mati." Tiba-tiba Kun Tek berkata dengan suaranya yang dalam dan mantap. Mendengar ini, Li Sian menoleh dan menatap wajah pendekar muda yang gagah itu, dan keduanya saling pandang, sinar mata mereka bertemu dan berpaut, dan dalam saat beberapa detik itu, Li Sian melihat betapa sinar mata pemuda itu penuh dengan cinta kasih yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat ia terharu dan wajahnya yang pucat tadi berubah kemerahan, lalu sinar matanya menunduk dan kedua matanya menjadi basah. Melihat keadaan mereka berdua itu, timbul kekhawatiran dalam hati Hong Beng. Dia sudah mengenal watak Kun Tek yang keras dan pantang mundur, gagah perkasa dan berani menentang kematian sehingga watak ini kadang-kadang dapat membuat dia menjadi agak sembrono. Dia tahu bahwa kalau kedua orang muda itu nekat mengadu nyawa, hal itu hanya berarti bahwa mereka berdua akan membunuh diri saja, atau mati konyol karena bagaimanapun juga, mereka bertiga tidak akan mungkin mampu mengalahkan musuh yang jumlahnya demikian banyak dan memiliki banyak orang yang lebih lihai daripada mereka.
"Nona Li Sian dan Kun Tek, dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita bertiga mengalami nasib yang sama, menjadi tawanan tak berdaya di sini. Bagaimanapun juga, kita harus dapat meloloskan diri dan kurasa untuk itu, tak mungkin kalau kita hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan saja. Kita harus menggunakan akal dan kuharap kalian suka mengikuti apa yang akan kulakukan, demi keselamatan kita. Ingat, kalau aku mempergunakan akal, hal itu bukan berarti aku pengecut dan takut mati. Sama sekali bukan. Hanya agar kita dapat lolos lebih dahulu dari sini, untuk kemudian mengatur siasat bagaimana agar dapat menghancurkan mereka, kalau perlu dengan bala bantuan."
"Menggunakan akal" Apa yang kaumaksudkan, Hong Beng" tanya Kun Tek.
"Kita harus mengakui bahwa kalau hanya menggunakan kenekatan, kita takkan mampu mengalahkan mereka yang jauh lebih banyak jumlahnya, dan akhirnya kita takkan mampu lolos dan akan mati konyol di sini."
"Aku tidak takut, apalagi untuk melindungi nona Li Sian!" kata Kun Tek dengan sikap gagah. Hong Beng tersenyum dan diam-diam dia teringat akan masa lampau. Pemuda tinggi besar dan yang gagah perkasa itu kalau sudah jatuh cinta memang kelihatan nekat sekali!
"Kita semua tidak takut mati, saudaraku yang baik. Akan tetapi mati konyol seperti itu bukanlah perbuatan gagah namanya, melainkan perbuatan bodoh sekali. Bukankah begitu" Tidak, untuk keadaan kita yang dalam perimbangan lebih lemah ini kita harus menggunakan akal. Kalau perlu, aku akan bermain sandiwara dan pura-pura takluk...."
"Takluk kepada mereka" Tidak sudi! Aku akan melawan!" teriak Kun Tek.
"Saudara Kun Tek, harap suka mendengarkan dulu perjelasan saudara Hong Beng. Dia benar, kalau tidak ada harapan menang menggunakan kekerasan, mengapa tidak menggunakan akal mengalah" Mengalah untuk akhirnya menang"
Aneh sekali, demikian pikir Hong Beng. Mendengar ucapan gadis itu, Kun Tek kelihatan sabar kembali dan mengangguk, lalu berkata, "Bagaimana akalmu, coba katakan Hong Beng."
Hemmm, raksasa ini sudah menjadi jinak agaknya, di bawah sinar mata lembut gadis hebat ini, demikian Hong Beng berkata dalam hatinya.
"Begini. Mereka itu jelas musuh kita, akan tetapi setelah kita memberontak terhadap mereka atas bantuan Ci Hwa tadi, setelah kita membunuh belasan orang anak buah mereka, kini kita ditawan kembali. Kita tidak mengalami siksaan, juga tidak dibunuh. Hal ini bukan tidak ada artinya sama sekali. Kalau kita terus dibunuh, hal itu sudah jelas. Akan tetapi tidak, kita tidak dibunuh dan ini hanya berarti bahwa mereka itu, setidaknya pemimpinnya, dan kurasa kakek berkipas itu sendiri, tidak menginginkan kita mati. Dan alasannya tentu hanya satu, yaitu dia menghendaki agar kita membantu pemberontakan mereka."
"Tidak sudi! Aku...." Kun Tek menghentikan teriakannya ketika melihat betapa Li Sian menoleh dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Teruskan, Hong Beng.... " akhirnya dia berkata lirih.
Hong Beng menahan kegelian hatinya melihat sikap Kun Tek, lalu melanjutkan dengan suara bisik-bisik. "Tentu saja kita tidak akan bersekutu dengan kaum sesat seperti mereka. Akan tetapi, dalam keadaan terjepit dan tiada pilihan lain, kita boleh memperlihatkan sikap seolah-olah kita setuju untuk bersama mereka menentang pemerintah. Bagaimanapun juga, bukankah kita sendiri juga tidak suka melihat pemerintah penjajah menguasai tanah air kita" Tapi, sikap kita setuju menentang pemerintah penjajah bukan merupakan suatu kepura-puraan belaka. Hanya sikap mau bekerja sama itu yang menjadi permainan sandiwara kita. Nah, kalau sudah begitu, tentu muncul kesempatan bagi kita untuk membebaskan diri kelak. Bagaimana pendapat kalian"
Kun Tek masih hendak membantah. Pemuda ini merasa betapa memalukan kalau dia harus memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan tetapi, melihat betapa Li Sian mengangguk-angguk menyambut pendapat Hong Beng itu dan nampaknya setuju, dia pun.... mengangguk pula beberapa kali dan menutup mulutnya!
Mereka bertiga terpaksa kini menutup mulut karena mendengar suara orang dan langkah kaki menuju ke kamar tahanan itu. Ternyata yang muncul adalah Ouwyang Sianseng bersama Siangkoan Liong! Hong Beng bertukar pandang dengan Kun Tek, memberi isyarat bahwa agaknya apa yang diduganya akan terjadi. Buktinya Ouwyang Sianseng yang lihai sekali itu, kini mengunjungi mereka! Apalagi kalau bukan untuk membujuk mereka agar suka bekerja sama" Akan tetapi, Hong Beng melihat betapa Li Sian memandang kepada Siangkoan Liong dengan sinar mata memandang penuh kebencian sehingga dia terkejut. Pandang mata seperti itu tak dapat menipu yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang amat benci karena dendam sakit hati! Apakah yang telah dilakukan pemuda tampan putera ketua Tiat-long-pang itu sehingga membuat Li Sian demikian membencinya"
Di belakang kedua orang ini nampak tiga belas orang yang keadaan tubuhnya amat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, dengan tubuh bagian atas telanjang sehingga nampak dada dan pundak lengan yang berotot melingkar-lingkar dan juga berbulu! Mereka itu seperti segerombolan orang hutan, mata mereka sempit kemerahan dan mulut mereka, lebar menyeringai, nampak gigi yang tidak terpelihara baik-baik dan kekejaman yang buas nampak pada wajah mereka. Usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun dan celana mereka hitam dengan kaki bersepatu kulit tebal. Ketika Siangkoan Liong dan gurunya membuka pintu kamar tahanan dan memasukinya, tiga belas raksasa Mongol itu tinggal di luar, akan tetapi mereka menjenguk ke dalam melalui jeruji-jeruji besi dan mata mereka semua memandang kepada Li Sian seperti segerombolan srigala kelaparan, dengan mulut menyeringai, dan di antara mereka ada yang tak dapat menahan air liur yang mengalir keluar melalui ujung bibir mereka. Li Sian membuang muka karena merasa ngeri dan jijik.
Dua orang anak buah Tiat-liong-pang membawa dua buah bangku dan memberikannya kepada guru dan murid itu, kemudian keluar lagi. Siangkoan Liong dan gurunya duduk di dekat pintu, memandang kepada tiga orang tawanan yang kini sudah bangkit berdiri, seperti dua orang yang nonton tiga ekor binatang buas yang diikat pada dinding. Kun Tek memandang kepada mereka dengan mata melotot marah. Kalau saja kaki kirinya tidak dibelenggu rantai baja dan terikat pada dinding, ingin rasanya dia menerjang kedua orang itu! Hong Beng berdiri dengan sikap tenang saja, sedangkan Li Sian yang juga sudah berdiri, kini menundukkan pandang matanya karena tidak sudi lagi ia memandang kepada Siangkoan Liong lebih lama lagi.
"Sian-moi, sungguh aku merasa bersedih dan menyesal sekali bahwa engkau telah terkena hasutan Bi Kwi sehingga engkau memusuhi aku. Sian-moi, tidak dapatkah kita berbaik kembali" Lupakah engkau akan hubungan antara kita"
Kalau tadinya Li Sian sudah dapat menenangkan batinnya, kini mendengar ucapan itu, seolah-olah api yang sudah mengecil itu disiram minyak sehingga berkobar kembali, mengingatkan ia akan kematian kakaknya dan akan dirinya yang telah ternoda oleh pemuda perayu ini. Ketika ia mengangkat mukanya, sepasang matanya berkilat memandang Siangkoan Liong penuh kebencian. "Siangkoan Liong, tidak perlu banyak bicara lagi! Omonganmu yang beracun tidak perlu kudengarkan lagi. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kita kecuali hubungan dendam dan permusuhan yang hanya akan dapat dihapus dengan darah!"
Seperti juga Hong Beng, kini Kun Tek memandang dan menekan keheranan hatinya. Dia juga dapat merasakan kebencian yang mendalam dari gadis itu terhadap Siangkoan Liong.
Sebelum Siangkoan Liong menjawab atau bicara lagi, Ouwyang Sianseng sudah mencegahnya dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan kini terdengar kakek itu bicara, suaranya halus dan penuh wibawa, sikapnya tenang sekali dan sikapnya seperti dia sedang bicara kepada para muridnya saja.
"Tidak perlu perbantahan lagi, lebih baik kalau nona Pouw Li Sian mengetahui duduknya persoalan yang sebenarnya. Nona Pouw Li Sian, bukankah engkau merasa penasaran dan mendendam sakit hati karena kakak kandungmu terbunuh" Nah, ketahuilah bahwa memang sesungguhnyalah kalau dia itu dibunuh oleh kami sendiri! Lebih baik berterus terang agar engkau tahu duduknya persoalan."
Li Sian mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Matanya terbelalak dan tentu saja ia mau mendengarkan karena kakek itu agaknya kini berterus terang dan mengakui secara jujur.
"Akan tetapi, mengapa dia dibunuh" Apa kesalahannya" tanyanya sambil mengamati wajah kakek itu penuh selidik.
"Dia telah mengkhianati perjuangan kami! Dia hendak melaporkan kegiatan kami ke kota raja. Kalau dia tidak dibunuh, kami semua bisa celaka."
"Bohong! Aku tidak percaya!" kata Li Sian, walaupun di sudut hatinya ia meragukan bantahannya sendiri. Bukankah kakaknya itu sudah memperlihatkan sikap aneh, seolah-olah terkejut dan sama sekali tidak setuju melihat ia membantu gerakan perjuangan yang dipimpin Siangkoan Lohan itu" "Bukankah kakakku itu anak buah Coa Tai-ciangkun yang sudah bergabung dengan Tiat-liong-pang"
"Itulah sebabnya mengapa kami harus bertindak tegas. Pengkhianatannya itu diketahui oleh perwira lain dan ketika dia ditegur, terjadi perkelahian di antara mereka. Kakakmu menang, perwira itu dibunuhnya, akan tetapi pada saat itu, kami mengetahuinya dan kami lalu membunuhnya pula. Nah, engkau sudah mendengar sekarang, dan memang demikianlah keadaannya. Karena itu, harap engkau suka menyadari kekeliruanmu memusuhi muridku ini, nona Pouw."
Pouw Li Sian hampir terbujuk, akan tetapi ia teringat kembali akan kematian Yo Jin dan Bi Kwi yang mengerikan, dan perasaan tidak suka sudah mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Liong yang tadinya berhasil menjatuhkan hatinya.
"Tidak, aku masih belum percaya! Ini semua tentu tipu muslihat kalian!" katanya.
"Memang kami hendak memperlihatkan bukti kebenaran omongan kami." kata kakek itu sambil memberi isyarat ke luar kamar tahanan yang luas itu. Terdengar suara gaduh dan masuklah seorang anak buah Tiat-liong-pang menyeret lengan seorang wanita yang wajahnya pucat dan pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan. Namun masih dapat nampak jelas bahwa wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu berwajah cantik dan memiliki tubuh yang montok menggairahkan. Wanita itu terhuyung lalu jatuh berlutut di depan kaki Ouwyang Sianseng.
"Nah, Nyonya Pouw Ciang Hin, sudahkah engkau pikir baik-baik. Kalau engkau ingin agar kami mengampunimu, ceritakan dengan terus terang tentang suamimu yang menjadi pengkhianat itu!" kata Ouwyang Sianseng dengan sikap lembut namun keren.
Li Sian merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ia mengamati wajah wanita itu. Kiranya mendiang kakaknya telah mempunyai seorang isteri dan kini isterinya telah menjadi tawanan dari gerombolan ini pula!
Wajah pucat itu diangkat memandang kepada Ouwyang Sianseng dengan sinar mata mohon dikasihani. Sudah berulang kali kuceritakan semuanya, dan suamiku bukan seorang pengkhianat...."
"Bohong!" bentak Siangkoan Liong marah. "Dia mengkhianati Coa Tai-ciangkun, dia mengkhianati gerakan perjuangan kami, dia setia kepada pemerintah penjajah Mancu dan dia merencanakan pengkhianatan dengan laporan ke kota raja. Hayo. ceritakan, siapa saja sekutunya dalam pengkhianatan ini!"
"Kongcu.... sudah berulang kali kunyatakan bahwa aku tidak tahu.... dia seorang yang baik dan tidak mungkin menjadi pengkhianat.... ah, Kongcu, aku telah menceritakan segalanya dan engkau masih belum juga percaya" Kalau begitu, bunuh saja aku agar aku dapat menyusul suamiku...." Wanita itu menangis.
Siangkoan Liong bertukar pandang dengan gurunya dan Ouwyang Sianseng mengangguk. Siangkoan Liong lalu memanggil ke luar kamar. "Hei, seorang dari kalian masuklah ke sini!"
Ketika pemuda itu menunjuk kepada mereka, tiga belas orang raksasa Mongol itu menyeringai dan mereka saling berebut hendak masuk, bahkan dorong mendorong dan tarik menarik. Siangkoan Liong menghardik dan mereka pun diam, lalu seorang di antara mereka, yang paling besar, dengan tubuh berbulu seperti seekor gorila, melangkah masuk, kedua tangannya tergantung panjang sampai ke lutut, mulutnya yang lebar menyeringai dan matanya yang sipit kemerahan itu ditujukan kepada wanita yang masih berlutut dan kini memandang dengan mata terbelalak ngeri kepada manusia monyet itu.
Raksasa itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siangkoan Liong, dan suaranya terdengar parau dan besar ketika dia bertanya, "Kongcu, apakah yang harus saya lakukan" Karena logat bicaranya asing, maka terdengar lucu dan juga menyeramkan.
"Engkau Okatou, kau boleh melakukan apa saja terhadap wanita tawanan ini agar ia mau mengakui semua pengkhianatan suaminya. Akan tetapi jangan bunuh!"
Raksasa itu lalu menyeringai dan menoleh kepada isteri mendiang Pouw Ciang Hin. "Heh-heh-heh, Kongcu. Boleh saya melakukan apa saja terhadapnya, di sini"
"Ya, bahkan kalau perlu kau boleh memperkosanya agar ia mau mengaku!" kata pula Siangkoan Liong. Mendengar ini, wajah Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian menjadi merah karena marah. Akan tetapi mereka tidak berdaya dan hanya dapat menonton dengan hati tegang. Sementara itu, dua belas orang raksasa lain di luar kamar, menonton dari balik jeruji dan mereka tertawa-tawa dan menyeringai dengan mulut berliur, agaknya mereka iri terhadap kawan mereka yang dianggap mujur itu
Raksasa bernama Okatou itu kini bangkit dan menghampiri isteri Pouw Ciang Hin yang terbelalak dengan muka pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun bangkit berdiri. Karena keadaan terhimpit, ia pun agaknya hendak berlaku nekat dan memasang kuda-kuda. Agaknya sedikit banyak wanita ini pernah belajar silat dari suaminya. Melihat ini, Okatou tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang besar-besar dan kotor.
"Cui Bi, mengakulah saja sebelum dia menjamah tubuhmu." terdengar Siangkoan Liong berkata dan mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kecil nyonya itu, mudah diduga bahwa dia sudah akrab dengannya. Dan memang demikianlah semenjak suaminya meninggal, nyonya ini diboyong ke dalam kamar Siangkoan Liong dan dengan cara halus, dengan bujuk rayu dan permainan cinta, pemuda itu sudah berusaha untuk membuat wanita itu mengakui semua kegiatan suaminya. Karena tidak berhasil walaupun nyonya itu telah menyerahkan diri dengan terpaksa, maka diambil jalan ini, untuk memaksa nyonya itu mengaku, juga sekalian untuk membuat Li San dan dua orang pemuda tawanan itu menjadi jerih dan tunduk.
Nyonya itu menggeleng kepala berkali-kali. "Tidak.... tidak.... jangan lakukan ini, Kongcu.... ah, bunuh sajalah aku...."
Raksasa Okatou itu sambil menyeringai telah menubruk dengan kedua lengannya yang panjang. Wanita itu mengelak dan mencoba untuk menendang dari samping. Akan tetapi, sekali sambar, raksasa itu telah menangkap kaki dan menendang.
"Ahhhhh.... lepaskan kakiku.... Lepaskan aku....! Nyonya yang bernama Cui Bi itu meronta-ronta, namun percuma saja, kaki kanannya seperti terjepit besi. Kini tangan kiri raksasa itu menyambar ke depan dan di lain saat tubuh wanita itu telah dirangkulnya dan ditariknya mendekat, didekapnya dan sambil tersenyum menyeringai, raksasa Mongol itu itu menciumi muka Cui Bi! Wanita ini berusaha memutar kepalanya ke kanan kiri untuk mengelak, namun kini tangan kiri Okatou menjambak rambutnya, memaksa kepala itu untuk diam dan dengan lahapnya dia mencium pipi dan mulut Cui Bi dengan ciuman yang mengeluarkan bunyi.
Dua belas orang raksasa Mongol lainnya menonton dengan mata melotot dan mulut mengeluarkan air liur. Sementara itu, Li Sian menarik-narik rantai di kakinya. Ia sudah marah sekali dan kalau saja ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, tentu ia akan menerjang raksasa Mongol yang sedang menghina kakak iparnya itu! Akan tetapi rantai itu telalu kuat. Kun tek juga mengepal tinju dan berteriak. "Jahanam busuk, lepaskan ia!" Akan tetapi, Okatou yang hanya mentaati perintah Siangkoan Liong, tentu saja tidak memperdulikan semua itu.
"Brettttt! Brettttt....!" Kini kedua tangan raksasa itu merobek-robek dan merenggut pakaian Cui Bi. Bagaikan kertas saja, kain pakaian itu robek dan tanggal sehingga kini tubuh wanita yang malang itu menjadi telanjang bulat! Dan jari-jari tangan yang besar berbulu itu, tanpa rikuh atau malu-malu di depan banyak orang, menggerayangi bagian tubuh dengan penuh nafsu. Okatou dan kawan-kawannya, yang menjadi pasukan khusus dan anak buah Siangkoan Liong, datang dari luar Tembok Besar dan mereka itu memang merupakan manusia liar yang buas. Mereka sudah biasa melakukan siksaan atau pembunuhan, perkosaan begitu saja di depan banyak orang tanpa merasa rikuh sedikit pun juga.
Cui Bi, wanita yang malang itu, hampir pingsan ketika dirinya didekap, diciumi dan kini pakaiannya telah tanggal semua, akan tetapi ia masih ingat untuk nekat menggigit pipi raksasa Mongol itu sekuat tenaga.
"Aughhh....!" Okatou mengeluarkan suara gerengan seperti binatang buas dan dia mendorong tubuh Cui Bi dengan keras sehingga gigitan itu terlepas dan tubuh Cui Bi terlempar ke arah Li Sian. Raksasa itu meraba pipinya yang kulitnya robek berdarah oleh gigitan Cui Bi, kini matanya makin merah memandang ke arah Cui Bi yang tentu akan terbanting kalau saja Li Sian tidak menyambutnya dengan tangan kirinya.
"Heh-heh-heh...." dalam kemarahannya, Okatou menyeringai dan terkekeh, lalu melangkah perlahan-lahan menghampiri wanita telanjang itu, sinar matanya penuh ancaman mengerikan.
"Heh-heh-heh, engkau kuda betina binal.... heh-heh-heh, mari sini manis...." Okatou tiba-tiba melompat ke depan, tangannya terulur untuk menangkap rambut Cui Bi yang kini terurai karena terlepas dari sanggulnya. Akan tetapi, sebuah kaki menyambutnya.
"Dukkk....!" Dan tubuh Okatou terjengkang keras oleh tendangan yang dilakukan Li Sian untuk melindungi Cui Bi. Tubuh Okatou terbanting keras dan Li Sian berkata kepada Cui Hi, "So-so (Kakak Ipar), bersembunyilah di belakangku. Aku akan melindungimu, aku adalah adik perempuan suamimu."
Pada saat itu Cui Bi merangkak ke belakang Li Sian. Okatou sudah bangkit lagi dan dengan kemarahan meluap, Okatou sudah menubruk ke depan, sekali ini bukan menubruk ke arah Cui Bi, melainkan ke arah Li Sian, wanita tawanan yang berani menendang sehingga dadanya terasa nyeri dan sesak napas itu. Li Sian yang sudah amat marah dan membenci raksasa ini, sudah mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga sin-kang pada seluruh tubuhnya. Ia menanti sampai penyerangnya itu dekat, lalu ia mendahului dengan luncuran tangan kirinya, dengan dua jari mencuat, yaitu telunjuk dan jari tengah, agak direnggangkan dan dua buah jari itu meluncur dan menghujam ke arah kedua mata raksasa itu.
"Creppp....!" Dua batang jari itu seperti sumpit baja menusuk dan masuk ke dalam rongga mata Okatou. Tubuh Okatou menggigil dan gerengan aneh keluar dari mulutnya, kemudian dia terjengkang, akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Li Sian menyusul dengan tendangan maut.
"Desssss....!" Dan kini tubuh itu terbanting keras dan tidak mampu bergerak lagi. Kedua matanya berlumuran darah dan di bagian tengah celananya juga berlepotan darah. Kalau tusukan jari tangan itu membutakan matanya, maka tendangan tadi menghancurkan selangkangnya dan membuat nyawa raksasa buas itu melayang!
"Soso, jangan takut, aku melindungimu," kata pula Li Sian kepada wanita telanjang yang masih berlutut di belakangnya. Akan tetapi, Cui Bi terbelalak memandangnya, kemudian berkata dengan suara lantang.
"Hemmm, kiranya engkau adik suamiku yang bernama Pouw Li Sian" Cihhh, sungguh tidak tahu malu engkau! Kakakmu dibunuh orang dan engkau menyerahkan diri dan kehormatanmu kepada Siangkoan Kongcu!"
Wajah Li Sian tiba-tiba menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah dan pada saat itu, Siangkoan Liong yang juga tidak mengira wanita itu akan mengeluarkan kata-kata seperti itu, menghardik, "Cui Bi, ke sini engkau!"
Bagaikan seekor anjing yang takut mendengar panggilan majikannya, Cui Bi berjalan menghampiri Siangkoan Liong, berusaha menggunakan kedua tangan menutupi bagian tubuh atas dan bawah, lalu ia berlutut di depan pemuda itu.
"Kongcu, jangan siksa aku seperti ini. Ampunkan atau bunuh saja aku," ratapnya.
Ouwyang Sianseng mengerutkan alisnya menyaksikan semua peristiwa yang tidak disangkanya itu. "Hemmm, Kongcu apakah engkau masih menyayang dan membutuhkan wanita ini" tanyanya kepada Siangkoan Liong.
Pemuda itu menggeleng kepala dan mendengus dengan pandang mata menghina.
"Tidak, Suhu, saya sudah bosan padanya."
"Kalau begitu, suruh bunuh saja ia agar jangan mendatangkan keributan lagi," kata Ouwyang Sianseng.
Siangkoan Liong memandang kepada Cui Bi, lalu menoleh kepada wajah dua belas orang raksasa Mongol di luar yang masih terbelalak memandang ke arah tubuh wanita telanjang itu seperti srigala-srigala kelaparan, lalu dia berkata, "Tidak Suhu. Biar untuk mereka saja! Nih, ia kuberikan kepada kalian. Bawa pergi ke belakang sana!" Siangkoan Liong tiba-tiba melakukan gerakan dengan kakinya, menendang tubuh Cui Bi yang terlempar keluar dari pintu kamar. Di luar, dua belas orang itu sambil mengeluarkan suara teriakan-teriakan liar telah menyambut dan jerit melengking yang keluar dari mulut Cui Bi mengatasi semua suara gaduh. Li Sian melihat tubuh berkulit putih mulus menjadi rebutan, di antara tangan-tangan yang berbulu ,dan berotot, lalu tubuh wanita itu diangkat pergi oleh dua belas orang raksasa itu. Yang terdengar hanya lengking tangis dan Li Sian lalu menundukkan mukanya dan mematikan pendengarannya agar ia tidak lagi mendengar jeritan kakak iparnya.
Sementara itu, Kun Tek kini duduk bersila dan matanya menatap ke arah Siangkoan Liong, bagaikan mencorong dan mengeluarkan api. Di dalam hatinya, pemuda ini mengambil keputusan untuk membunuh pemuda tampan itu. Bukan hanya untuk perbuatannya yang keji terhadap Cui Bi, melainkan juga karena Li Sian! Kini dia mulai mengerti mengapa gadis perkasa itu demikian penuh kebencian terhadap Siangkoan Liong!
Setelah para anak buah Tiat-liong-pang membawa pergi mayat Okatou, Ouwyang Sianseng lalu memandang kepada tiga orang tawanan itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Ahhh, perang memang kejam. Dalam perjuangan, kadang-kadang memang harus mempergunakan kekerasan terhadap musuh. Apalagi kaum pengkhianat memang harus dibasmi. Kami mengenal Sam-wi (Kalian bertiga) sebagai orang-orang gagah, keturunan para pendekar sakti. Sudah tentu memiliki jiwa patriot dan membenci pemerintah penjajah Mancu. Kami sedang berusaha menumbangkan penjajah, membebaskan rakyat dari penjajahan, oleh karena itu, kami yakin bahwa sebagai pendekar-pendekar gagah yang membela tanah air dan rakyat, Sam-wi tentu akan berpikir panjang. Membantu perjuangan kami atau terpaksa kami lenyapkan Sam-wi sebagai lawan-lawan yang berbahaya. Kami memberi waktu untuk mengambil keputusan sampai besok pagi." Setelah berkata demikian, Ouwyang Sianseng mengajak muridnya keluar dari kamar itu dan memesan kepada para anak buah untuk menyuguhkan hidangan yang hangat dan baik kepada mereka bertiga.
Dengan cerdik, Hong Beng diam saja, tidak menjawab pertanyaan Ouwyang Sianseng. Dia tahu bahwa Kun Tek dan Li Sian masih terguncang batinnya menyaksikan kekejaman yang tak berperikemanusiaan tadi, maka mereka berdua itu pasti akan menentangnya kalau dia menyambut dengan lembut. Apalagi, kakek itu memberi waktu sampai besok, masih banyak waktu bagi mereka bertiga berunding.
*** Suma Ceng Liong dan isterinya, biarpun tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an yang jauh dari keramaian, jauh pula dari urusan para pendekar di dunia persilatan, namun ada saja kenalan yang memerlukan singgah di dusun itu untuk mengunjungi suami isteri terkenal ini dan menyampaikan penghormatan mereka. Oleh karena itu, berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw yang memberontak di perbatasan utara, dipimpin oleh Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang, dapat mereka dengar dan hal ini mengejutkan hati mereka.
"Sungguh mengherankan sekali berita itu." kata Suma Ceng Liong kepada Kam Bi Eng, isterinya. "Padahal, nama Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang amat terkenal. Perkumpulan itu bahkan pernah berjasa terhadap pemerintah Mancu, dan kalau tidak salah, aku pernah mendengar bahwa Siangkoan Lohan dihadiahi seorang puteri dari keluarga kaisar untuk menjadi isterinya. Bagaimana kini tersiar berita bahwa dia memimpin orang-orang kang-ouw untuk mengadakan pemberontakan" Sungguh aneh."
"Hal seperti itu mungkin saja terjadi," kata isterinya. "Bagaimanapun juga, sebagai seorang pendekar yang gagah, tentu Lohan juga merasa tidak puas melihat betapa bangsa dan tanah air dijajah oleh orang-orang Mancu. Kalau sekarang dia mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang pemerintah penjajah, apakah anehnya hal itu"
Kalau dia menggerakkan orang-orang gagah dan rakyat yang tertindas untuk berjuang menentang penjajah Mancu, hal itu tidaklah aneh dan tidak mengkhawatirkan. Akan tetapi, menurut berita yang kita dengar itu, dia menggerakkan orang-orang kang-ouw (sungai telaga), golongan hitam dan sesat. Ini amat berbahaya karena perjuangan itu jelas bukan demi rakyat, bukan demi bangsa dan tanah air, melainkan mengandung pamrih untuk golongan itu dan celakalah rakyat jelata kalau hal itu terjadi. Mereka, kalau menang, bahkan akan lebih jahat dan kejam daripada pemerintah penjajah sendiri."
Kam Bi Eng memegang lengan suaminya. "Sudahlah, kenapa kita harus memusingkan kepala memikirkan urusan pemberontakan" Itu urusan pemerintah dan bukankah pemerintah memiliki pasukan yang kuat untuk memberantasnya" Bukan urusan kita untuk mencampurinya. Hanya, aku teringat kepada anak kita. Ke mana perginya Lian-ji" Engkau tahu, wataknya masih amat keras sehingga kalau ia mendengar tentang persekutuan golongan hitam itu, tentu ia akan maju menentangnya."
Suma Ceng Liong mengangguk. "Itulah yang kukhawatirkan. Ia memang telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk membela diri, akan tetapi kalau ia sampai mencampuri urusan pemberontakan itu dan ia menentang Tiat-liong-pang, sungguh berbahaya. Tingkat kepandaian Siangkoan Lohan amat tinggi dan belum tentu anak kita yang kurang pengalaman itu akan mampu menandinginya, apalagi kalau diingat bahwa Siangkoan Lohan mengumpulkan banyak tokoh sesat seperti yang beritanya kita dengar."
Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. "Lalu bagamana baiknya" Kita harus menyusulnya dan melindunginya!
Suaminya mengangguk-angguk. "Hanya tidak mudah mencari anak kita itu. Sebaiknya kita pergi berkunjung ke pertapaan kanda Suma Ciang Bun. Tentu ia sudah tiba di tempat itu untuk menyampaikan pesan kita, dan dari sana kita bisa mengikuti jejaknya, karena tentu Bun-ko tahu kemana anak itu pergi setelah meninggalkan tempatnya."
Karena mengkhawatirkan keadaan anak tunggal mereka yang tercinta, sepasang suami isteri perkasa ini lalu berkemas dan meninggalkan rumah mereka menuju ke Tapa-san, di mana Suma Ciang Bun bertapa untuk mulai mencari jejak puteri mereka.
Suami isteri yang sakti ini sudah lama tidak pernah memasuki dunia ramai, apalagi mencampuri urusan dunia persilatan. Belasan tahun lamanya mereka hidup dengan tenang dan tenteram di dusun Hong-cun. Kini, begitu meninggalkan rumah, apalagi setelah mereka tiba di luar dusun, timbul kegembiraan dalam hati mereka. Jiwa petualangan mereka bangkit lagi. Di waktu muda, mereka adalah orang-orang yang suka bertualang, menghadapi banyak macam bahaya sebagai pendekar-pendekar yang setiap saat siap menentang kejahatan. Kegembiraan itu nampak pada wajah mereka yang berubah cerah. Bagaikan suami isteri yang sedang bertamasya saja mereka berjalan perlahan menuruni bukit kecil menuju ke padang rumput di kaki bukit yang menjadi permulaan sawah ladang yang amat luas, dengan warna hijau menguning menyedapkan mata. Bau tanah dan tanaman gandum yang harum memasuki hidung mereka, bersama hawa udara yang amat segar dan nyaman.
Akan tetapi, tiba-tiba mata mereka yang sudah terlatih dan amat tajam melihat sesuatu yang menarik perhatian mereka. Jauh di sana, di luar padang rumput yang membatasi padang rumput dengan sawah ladang nampak beberapa orang manusia bergerak-gerak. Kecil sekali mereka itu nampak dari tempat jauh, akan tetapi gerakan-gerakan mereka itu dapat dikenal suami isteri ini sebagai gerakan orang-orang berkelahi dengan ilmu silat tinggi.
"Di sana ada orang-orang berkelahi!" kata Kam Bi Eng kepada suaminya. "Seorang dikeroyok oleh tujuh lawan!"
"Benar," kata suaminya, seolah-olah suami isteri ini sedang mengadu ketajaman mata mereka. "Yang seorang itu agaknya wanita, dan pengeroyoknya seorang wanita dan enam orang pria."
Mendengar ucapan suaminya itu, Kam Bi Eng mengerahkan tenaganya memandang dan ia pun berseru membenarkan. "Hayo cepat kita ke sana!" teriak wanita sakti itu dan tanpa menanti jawaban suaminya, Kam Bi Eng sudah meloncat ke depan dan berlari secepat angin menuruni bukit. Suma Ceng Liong juga segera mempergunakan ilmunya berlari cepat, mengejar isterinya. Karena keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat yang hebat sekali, maka tak lama kemudian mereka berdua pun sudah tiba di tempat perkelahian itu. Memang penglihatan Suma Ceng Liong dari jauh tadi tidak keliru. Seorang gadis cantik manis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun sedang dikeroyok oleh seorang wanita setengah tua dan enam orang laki-laki. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun gadis muda itu pun hebat sekali ilmu silatnya.
Melihat betapa gadis cantik manis itu memainkan ilmu pedang yang aneh, namun yang tidak asing baginya, Suma Ceng Liong segera berkata kepada isterinya. "Mari kita bantu gadis itu, bubarkan para pengeroyoknya sebelum ia celaka!"
Memang pada saat itu, gadis berpedang itu sudah terdesak hebat karena memang para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan wanita setengah tua itu agaknya jauh menonjol tingkat kepandaiannya dibanding para pengeroyok lain. Sesungguhnya, tidak mengherankan kalau para pengeroyok itu lihai, karena wanita setengah tua itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, tokoh sesat yang menjadi pembantu utama dari Siangkoan Lohan! Dan selain Sin-kiam Mo-li, di antara mereka terdapat pula Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang menjadi rekan dan juga kekasihnya, dan lima orang lain adalah kaki tangan Tiat-liong-pang yang sedang mengadakan pemberontakan. Adapun gadis cantik manis yang sedang dikeroyok itu adalah Hong Li!
Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini memang sedang menuju dusun Hong-cun di luar kota Cin-an di Propinsi Shantung, lembah Huang-ho untuk berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong seperti yang dipesan oleh ayah ibunya. Ketika tiba di padang rumput di kaki bukit itu, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang laki-laki setengah tua pesolek yang genit dan ceriwis sekali. Pria itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Sudah menjadi watak atau ciri khas dari tokoh sesat yang berjuluk Raja Pedang ini untuk tidak melewatkan setiap kesempatan bertemu wanita cantik. Selalu saja dia mengganggu dan berusaha mendapatkan wanita itu dan kalau hatinya tertarik, dia tidak peduli lagi siapa wanita itu, isteri orang atau anak gadis orang. Dia akan menundukkannya, dan mungkin dengan bujuk rayu mengandalkan kegantengannya, kalau tidak, dia akan mempergunakan kepandaiannya untuk mendapatkannya. Dia tidak pantang mempergunakan kekerasan memperkosa wanita itu.
Melihat seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu, apalagi gadis itu cantik manis sekali, segera hati Giam San Ek terpikat dan dia pun menghadang sambil cengar-cerigir menyeringai untuk memikat. Baru beberapa hari dia dan Sin-kiam Mo-li bersama beberapa orang kaki tangan mereka, tinggal mondok di dusun berdekatan dalam tugas mereka menghimpun tenaga bantuan untuk gerakan yang dilakukan Tiat-liong-pang.
"Selamat pagi, Nona Manis! Dari mana hendak ke manakah" Dan bolehkah kutemani Nona yang berjalan sendirian saja agar tidak kesepian" demkian tegur Toat-beng Kiani-ong Giam San Ek kepada Kao Hong Li.
Wajah yang bulat telur itu menjedi merah dan mata yang jeli lebar itu mengeluarkan sinar berapi. Hong Li adalah seorang gadis yang cantik dan manis sekali dan sudah lama melakukan perjalanan seorang diri, maka sudah tidak aneh baginya melihat sikap pria yang mencoba untuk menggodanya. Dan setiap kali digoda pria secara kurang ajar, ia pasti turun tangan menghajar pria yang snma sekali tidak menyangkanya bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang lihai sekali. Kini melihat sikap pria setengah tua yang amat ceriwis itu, Hong Li yang juga pandai bicara lalu tersenyum simpul, menahan kemarahannya yang membuat kedua pipinya kemerahan itu.
"Hemmm, orang tua, pernahkah engkau bercermin"
Melihat gadis itu tersenyum simpul yang membuat wajahnya semakin manis, dan melihat kedua pipi yang halus itu kemerahan yang disangkanya gadis itu malu-malu kucing, Giam San Ek tidak marah mendengar gadis itu menyebutnya orang tua. Dia meraba rambutnya, dan meneliti pakaiannya apakah ada yang kusut, lalu menjawab.
"Tentu saja, Nona Manis! Aku selalu membawa cermin ke manapun aku pergi. Lihat!" Dan seperti bermain sulap saja, tangan kirinya yang bergerak itu telah mengeluarkan sebuah cermin kecil dari saku bajunya. Melihat betapa ucapannya itu dianggap benar-benar dan orang itu benar-benar pula mengeluarkan sebuah cermin, Kao Hong Li tak dapat menahan ledakan ketawanya.
"Hemmm, manusia tak tahu diri! Kalau engkau sering bercermin, apakah engkau belum juga melihat betapa engkau ini sudah tua" Akan tetapi engkau masih pesolek, genit dan suka menggoda gadis muda seperti aku. Tidak malukah engkau"
Mana mungkin orang macam Giam San Ek memiliki perasaan malu" Teguran Hong Li ini dianggapnya main-main saja, bahkan disangka sebagai tanda bahwa gadis itu menanggapi godaannya.
"Ha-ha-ha, Nona Manis. Betapa tuanya seorang laki-laki, kalau melihat gadis manis sepertimu ini, siapa yang tidak menjadi tergila-gila" Hayolah, tak usah malu-malu, mari ikut dengan aku bersenang-senang!" Berkata demikian, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengulurkan tangannya untuk mencubit dagu gadis itu.
Tentu saja Kao Hong Li menjadi marah melihat sikap orang ini makin berkelanjutan, bahkan semakin berani hendak mencolek dagunya. Dengan mudah ia mengelak dengan mundur selangkah, dan tangannya menampar keras sekali ke arah muka orang.
Giam San Ek yang sama sekali tidak mengira bahwa gadis manis itu berani menamparnya, mengelak, akan tetapi karena memandang rendah, dia bergerak kurang cepat sehingga walaupun mukanya tidak kena ditampar, pundaknya masih terserempet ujung tangan gadis itu. Dia terkejut, baru tahu betapa tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, maka dia pun melangkah mundur dan memandang dengan alis berkerut.
"Eh" Engkau hendak membalas keramahan orang dengan pukulan" bentaknya, kini kurang ramah.
"Keramahanmu hanyalah kekurangajaran, dan aku adalah seorang gadis yang tidak sudi kaupermainkan. Pukulanku adalah pukulan untuk menghajar laki-laki kurang sopan macam kalian ini!" Dan kini Kao Hong Li sudah menerjang ke depan, mengirim tamparan bertubi-tubi. Gerakannya tentu saja cepat dan kuat sekali!
Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengelak dan menangkis dua kali.
"Dukkk! Plak!" Pertemuan kedua tangan mereka membuat keduanya terkejut. Hong Li juga kaget karena ternyata dalam tangkisan tangan lawan itu terkandung tenaga sin-kang yang kuat, sedangkan Giam San Ek tentu saja kaget karena pertemuan lengan itu membuat tubuhnya hampir terjengkang kalau saja dia tidak dapat meloncat ke belakang. Kini dia memandang gadis itu penuh perhatian, baru tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga dalam yang kuat.
"Ah, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, pantas sikapmu jual mahal!" bentak Giam San Ek dan dia pun sudah menerjang lagi dengan cepat dan ganas, menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ingin memegang atau mencolek.
Namun, sekali ini dia kecelik dan bukan hanya gadis itu mampu menghindarkan diri dari semua terkamannya, bahkan membalas tak kalah dahsyatnya sehingga membuat Toat-beng Kiam-ong itu terdesak mundur. Kalau dilanjutkan perkelahian tangan kosong itu, tentu dia akan kalah, karena Kao Hong Li adalah cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ahli ilmu silat tangan kosong dengan ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, dan juga isterinya ahli silat tangan kosong Han-tok-ciang (Silat Tangan Selaksa Racun). Kedua ilmu silat ini telah diwarisi Hong Li dari ayahnya, yaitu Kao Cin Liong. Juga dari ibunya, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es gadis bermata lebar ini telah mewarisi ilmu-ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek terdesak hebat setelah mereka berkelahi selama belasan jurus saja.
"Singgg...." Nampak sinar berkelebat ketika Giam San Ek yang berjuluk Raja Pedang Pencabut Nyawa itu menghunus pedangnya dan mengelebatkan pedang di depan tubuhnya. Melihat ini, Hong Li juga mencabut pedangnya. Giam San Ek yang berwatak tekebur itu tertawa mengejek, memandang rendah.
"Ha-ha-ha, Nona Manis. Dengan tangan kosong memang aku tidak berhasil mengalahkanmu, akan tetapi ketahuilah dengan siapa engkau berhadapan! Aku Giam San Ek terkenal dengan julukan Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa), sungguh sayang bahwa seorang gadis jelita seperti engkau terpaksa harus tercabut nyawanya oleh pedangku!"
"Tak perlu banyak cakap, lihat pedangku!" bentak Hong Li dan ia pun sudah memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya.
"Haaaiiitt!" Dengan lagak mengejek, Giam San Ek menangkis, membuat putaran dengan pedangnya dan membalas dengan tusukan ke arah dada Hong Li. Akan tetapi, gadis itu bukan hanya tangguh dalam ilmu silat tangan kosong, juga ia amat lihai dengan pedangnya. Ia mainkan Ban-tok Kiam-sut dan biarpun ilmu pedang ini paling tepat dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam milik neneknya, namun dengan pedang di tangannya pun yang tidak beracun, ilmu pedang itu tetap hebat. Kalau tadinya Giam San Ek masih mengejek dan memandang rendah, makin lama dia menjadi semakin kaget mendapat kenyataan betapa lihainya gadis itu dengan pedangnya. Apalagi mencari kemenangan dengan mudah, baru mempertahankan dirinya agar tidak sampai terkena pedang lawan saja sudah merupakan hal yang tidak mudah baginya! Bahkan makin lama, Si Raja Pedang yang sombong ini menjadi semakin terdesak.
Selagi Giam San Ek kebingungan, muncullah bantuan baginya yang amat membesarkan hatinya karena yang muncul itu bukan lain adalah kekasihnya, Sin-kiam Mo-li yang lebih lihai darinya dan lima orang anak buahnya, yaitu tiga orang anggauta Ang I Mopang dan dua orang murid Tiat-liong-pang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang sudah boleh diandalkan. Melihat betapa kekasih dan rekannya itu terdesak oleh seorang wanita muda yang lihai sekali, Sin-kiam Mo-li segera mengeluarkan pedang dan kebutannya, lalu terjun ke dalam pertempuran. Lima orang kawannya juga segera mengeluarkan senjata masing-masing dan kini Hong Li harus menghadapi pengeroyokan tujuh orang lawan tangguh! Namun, gadis perkasa ini tidak menjadi gentar walaupun kini ia terkepung, terhimpit dan terdesak karena fihak para pengeroyoknya memang amat kuat, jauh lebih kuat dari padanya. Namun, dengan putaran pedangnya, dibantu tangan kirinya yang mendorong disertai tenaga Swat-im Sin-kang, satu di antara ilmu dari Pulau Es yang amat hebat karena dorongan tangan itu mengeluarkan hawa dingin yang amat kuat, ia melindungi dirinya.
Ketika Suma Ceng Liong melihat dorongan tangan kiri ini, yakinlah dia bahwa gadis itu tentulah keluarga PulauEs, anggauta dari keluarganya sendiri. Siapa lagi gadis itu kalau bukan puteri dari encinya, Suma Hui, yang bernama Kao Hong Li" Dia lupa lagi akan wajah keponakannya itu, apalagi karena bertahun-tahun tak pernah berjumpa, akan tetapi pukulan itu bagaimanapun juga akan dikenalnya dengan baik!
"Jangan takut, kami datang membantumu!" kata Ceng Liong yang tadi sudah menganjurkan isterinya untuk membantu gadis yang dikeroyok. Kini tubuhnya berkelebat menerjang ke depan dan melihat betapa yang paling lihai di antara para pengeroyok itu adalah wanita yang berpedang dan memegang kebutan, maka dia pun lalu menerjang wanita itu dengan totokan Coan-kut-ci! Coan-kut ci (Jari Penembus Tulang) adalah suatu ilmu yang dahsyat sekali, yang dipelajari Suma Ceng Liong dari Hek I Mo-ong, gurunya yang juga seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal.
Terdengar suara mencicit dibarengi angin yang kuat bukan main menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li. Wanita ini terkejut bukan main, cepat menyambut dengan kebutannya. Akan tetapi, begitu bertemu dengan jari tangan Ceng Liong, bulu kebutan itu rontok dan wanita itu merasa betapa lengannya yang memegang kebutan tergetar hebat. Ia membalas dengan tusukan pedang, akan tetapi didahului oleh tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang cepat dari Ceng Liong, membuat wanita itu cepat-cepat melempar diri ke belakang. Nyaris perutnya tertendang dan kini Sin-kiam Mo-li benar-benar kaget bukan main, tidak menyangka akan bertemu dengan lawan sehebat ini! Ia lalu berkemak-kemik dan menudingkan pedangnya ke arah Suma Ceng Liong, mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak.
"Engkau yang berani melawan aku, berlututlah!"
Akan tetapi laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu malah tertawa bergelak. Tentu saja sihir itu tidak dapat mempengaruhi Ceng Liong karena pendekar ini pun telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri, yaitu mendiang nenek Teng Siang In. Sambil tertawa, Ceng Liong juga mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja Sin-kiam Mo-li juga tertawa bergelak, tidak dapat menahan geli hatinya karena terseret oleh suara ketawa Ceng Liong! Sambil tertawa, Ceng Liong sudah melakukan gerakan-gerakan mendorong dengan kedua tangannya silih berganti, yang kanan mengeluarkan hawa panas dengan Hwiyang Sin-kang, yang kiri mengeluarkan hawa dingin dengan Swat-im Sin-kang. Sin-kiam Mo-li sedang terkejut bukan main melihat dirinya tertawa tanpa dapat dikuasainya, cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh tawa itu. Dan pada saat itu, lawannya sudah menyerangnya dengan dua ilmu yang hebat dari Pulau Es. Tentu saja ia menjadi kaget bukan main dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan saja wanita ini dapat terhindar dari pukulan lawan yang dahsyat.
Sementara itu, Kam Bi Eng juga sudah mencabut suling emasnya dan kini suling itu mengaung-ngaung ketika ia mainkan ilmu pedang gabungan antara Koai-long Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Ilmu ini pun merupakan satu di antara ilmu-ilmu tertinggi pada waktu itu, dan yang diserang oleh Kam Bi Eng adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Orang ini terkejut, mencoba untuk memutar pedangnya, akan tetapi tangkisannya tidak dapat menahan suling itu yang terus menerobos di antara sinar pedangnya dan mengancam ulu hatinya. Giam San Ek berteriak kaget dan melempar tubuh ke samping, lalu meloncat agak jauh dengan keringat dingin membasahi tubuhnya! Nyaris dia celaka oleh suling wanita cantik dan gagah itu!
Biarpun ia pangling dan tidak mengenal suami isteri perkasa yang datang membantunya, tapi begitu menyaksikan gerakan-gerakan mereka, apalagi melihat Kam Bi Eng memainkan suling emas, Kao Hong Li segera dapat menduga siapa adanya mereka.
"Paman Liong dan bibi Eng, terima kasih kalian datang membantuku!" teriaknya dan tendangan-tendangannya membuat lima orang pengeroyoknya menjadi kalang kabut.
Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong adalah dua orang yang cerdik dan licik. Melihat kehebatan musuh, mereka berdua tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri, diikuti oleh lima orang anak buah mereka yang juga menjadi ketakutan! Kap Hong Li meloncat untuk mengejar, akan tetapi Suma Ceng Liong mencegahnya. "Musuh yang lari jangan dikejar!" kata pendekar ini. Dia maklum betapa lihainya lawan, dan tentu licik sekali sehingga mengejar mereka amatlah berbahaya. Siapa tahu mereka itu lari ke tempat kawan-kawan mereka.
Kao Hong Li mentaati cegahan pamannya akan tetapi ia mengerutkan alisnya memandang ke arah menghilangnya tujuh bayangan orang itu dan berkata, "Sayang, seharusnya mereka itu ditumpas, terutama sekali wanita itu!" Lalu, seperti baru teringat bahwa baru saja ia berjumpa dengan paman dan bibinya, gadis itu memberi hormat dan berkata, "Saya segera mengenal Paman dari gerakan Paman, dan mengenal Bibi setelah melihat suling emas itu!"
"Kami pun mengenalmu setelah melihat gerakan silatmu, Hong Li," kata Kam Bi Eng sambil mengamati wajah yang cantik manis itu.
"Hong Li, siapakah wanita tadi" Ia kelihatan lihai sekali, dan melihat senjatanya pedang dan kebutan, mengingatkan aku akan seorang iblis betina...."
"Dugaan Paman benar. Ia adalah Sin-kiam Mo-li!"
"Ahhh!" Suami isteri itu terkejut.
"Agaknya ia tidak mengenal saya lagi, Paman, karena ketika ia menculik saya, ketika itu usia saya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, saya tidak akan pernah dapat melupakan iblis itu dan tadi, begitu bertemu, saya segera mengenalnya. Padahal, saya memang sengaja hendak mencari dan membunuhnya!" kata gadis itu penuh semangat. Ia teringat akan pengalamannya ketika berusia tiga belas tahun. Pernah ia diculik oleh iblis betina itu, bahkan kemudian diaku sebagai anak angkat dan murid, akan tetapi ia kemudian tahu bahwa sikap baik iblis betina itu hanya siasat belaka(baca kisah Suling Naga).
Suma Ceng Liong menatap tajam wajah Kao Hong Li, diam-diam merasa heran mengapa gadis ini seolah-olah diracuni dendam, padahal, dia mengenal benar pribadi ayah dan ibu gadis ini, orang-orang yang berjiwa pendekar dan tidak mudah dikuasai dendam.
"Hong Li, kenapa engkau hendak membunuhnya dan nampaknya engkau amat membencinya" Apakah karena ia dahulu menculikmu" tanya Ceng Liong tak puas.
Hong Li menarik napas panjang. "Memang saya sedang menuju ke rumah Paman untuk menceritakan hal ini. Saya tidak mendendam karena ia pernah menculik saya, Paman. Akan tetapi karena ia dan kawan-kawannya telah menyerbu kerumah kakek dan nenek di Gurun Pasir, mereka mengeroyok dan berhasil membunuh kakek, nenek dan juga locianpwe Wan Tek Hoat, bahkan membakar Istana Gurun Pasir."
"Ihhh....!" Kam Bi Eng berseru kaget.
Suma Ceng Liong juga terkejut sekali. "Apa" Bagaimana mungkin ia membunuh locianpwe Kao Kok Cu, isterinya, dan bahkan locianpwe Wan Tek Hoat" Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang mampu membunuh tiga orang sakti itu, apalagi kalau orang itu hanya wanita tadi dan kawan-kawannya.
"Ayah, ibu dan saya sendiri tadinya juga merasa terkejut, heran dan tidak percaya, Paman. Akan tetapi pembawa berita itu adalah murid dari tiga orang tua sakti itu sendiri." Hong Li lalu mengulang cerita tentang peristiwa di Istana Gurun Pasir itu seperti yang didengarnya dari Tan Sin Hong. Suami isteri perkasa itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan wajah mereka dibayangi duka mendengar akan kematian tiga orang tua sakti itu. Setelah Hong Li selesai bercerita, Kam Bi Eng tidak sabar lagi bertanya.
"Tiga orang tua yang sakti itu tewas semua, akan tetapi bagaimana mungkin murid mereka itu dapat hidup dan dapat menceritakan peristiwa itu kepada keluargamu"
"Kami juga berpendapat demikian dan dengan penasaran menanyakan hal itu kepada Tan Sin Hong, dan ternyata bahwa pada saat penyerbuan terjadi, murid itu sama sekali tidak berdaya. Ia baru saja menerima pengoperan tenaga sakti dari tiga orang gurunya dan selama satu tahun dia pantang mempergunakan tenaga sakti karena hal itu berarti akan membunuh dirinya sendiri. Karena itulah maka dia tidak dapat melakukan perlawanan, karena sekali mengerahkan tenaga, dia akan mati konyol."
Mendengar ini, Ceng Liong menarik napas panjang, "Aih, sungguh menyedihkan. Akan tetapi bagaimanapun juga, tiga orang locianpwe itu sudah tua sekali dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam menghadapi orang-orang sesat. Heran sekali nasib mereka sama benar dengan nasib kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es! Gugur dalam menghadapi penyerbuan tokoh-tokoh sesat. Sekarang aku mengerti. Tentu setelah mengoperkan tenaga sakti kepada murid mereka itu, ketiga locianpwe itu mengalami kekurangan tenaga dan pada saat itu, para tokoh sesat datang menyerbu. Bagaimanapun juga, hampir semua penyerbu tewas, dan ini membuktikan bahwa tiga orang locianpwe yang sudah berusia tinggi sekali itu memang masih amat hebat. Nyawa manusia di tangan Tuhan! Kalau Tuhan menghendaki, maka ada saja penyebab kematian seseorang. Kita tidak mungkin dapat mengelakkan kehendak Tuhan!"
"Untung sekali bahwa saya dapat bertemu dengan Ji-wi di sini sehingga bukan saja Paman dan Bibi dapat menyelamatkan saya dari tangan orang-orang jahat itu, akan tetapi juga saya tidak kecelik berkunjung ke rumah Paman dan Bibi yang kosong. Sebenarnya, ke manakah Paman dan Bibi hendak pergi, maka kebetulan berada di sini"
"Kami memang meninggalkan rumah karena kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang kabarnya dilakukan oleh Tiat-liong-pang dibantu oleh para tokoh sesat. Karena anak kami Suma Lian, juga sedang merantau, maka kami merasa khawatir dan ingin mencarinya."
"Ah, Paman! Kebetulan sekali belum lama ini saya bertemu dengan adik Suma Lian!" Hong Li segera bercerita tentang pertemuannya dengan Suma Lian yang diawali perkelahian karena kesalahpahaman ketika Hong Li mengejar seorang laki-laki yang menculik seorang anak laki-laki.
"Pertemuan itu singkat saja, Paman. Kami berpisah, saya pergi berkunjung kepada Paman sedangkan, adik Lian melakukan pengejaran terhadap laki-laki penculik anak-anak itu."
"Di mana terjadi peristiwa itu"
"Di kota Ban-koan."
"Kalau begitu, kami akan cepat mencari jejaknya di sana," kata Ceng Liong. Mereka lalu berpisah, Ceng Liong dan Bi-Eng segera menuju ke kota Ban-koan, sedangkan.Hong Li mencoba untuk mencari jejak Sin-kiam Mo-li yang tadi melarikan diri bersama kawan-kawannya. Ia kini bersikap hati-hati, maklum bahwa Sin-kiam Mo-li mempunyai banyak kawan yang lihai. Menghadapi wanita itu sendiri, ia tidak gentar, akan tetapi kalau dikeroyok banyak orang seperti tadi, ia bisa celaka.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di kota Ban-koan, tentu saja suami isteri pendekar itu sama sekali tidak dapat menemukan lagi jejak puteri mereka. Tak seorang pun tahu tentang Suma Lian dan penculik anak-anak, karena memang kedua orang ini meninggalkan kota itu secara diam-diam, di waktu malam pula. Dari tempat ini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu pergi ke Pegunungan Tapa-san untuk mengunjungi pondok tempat tinggal Suma Ciang Bun karena sebelum pergi, Suma Lian telah mereka pesan untuk berkunjung ke rumah pamannya itu dan membujuk Suma Ciang Bun yang hidup sebatanghara untuk tinggal bersama mereka di dusun Hong-cun. Tentu Suma Ciang Bun akan dapat memberi keterangan ke mana selanjutnya puteri mereka itu pergi setelah berkunjung ke sana.
Dugaan mereka yang juga menjadi harapan mereka memang tidak keliru. Di tempat kediaman Suma Ciang Bun, mereka memperoleh keterangan yang banyak. Suma Ciang Bun menyambut mereka dengan gembira sekali dan pendekar ini merangkul adiknya dengan sepasang mata basah. Dia sudah merasa rindu sekali kepada Suma Ceng Liong dan pertemuan ini sungguh membuat dia terharu dan juga gembira.
"Bagaimana, Bun-ko, engkau tentu sehat-sehat saja, bukan" Engkau nampak sehat dan segar."
"Engkau juga semakin gagah saja, Liong-te. Dan isterimu juga semakin gagah dan cantik!" kata Suma Ciang Bun.
Kam Bi Eng tertawa, mukanya berubah agak kemerahan. "Ah, Bun-koko ini bisa saja. Orang sudah semakin tua, mana mungkin semakin cantik"
Seorang anak laki-laki muncul. Usianya baru tujuh tahun lebih, akan tetapi keadaan anak ini sungguh mengagumkan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Anak itu memiliki sepasang mata yang tajam bersinar penuh semangat dan keberanian, juga mengandung kecerdikan dan wajahnya tampan.
"Ah, Bun-ko telah memiliki seorang murid yang baru" Dia baik sekali, Bunko...."
Suma Ciang Bun tersenyum. "Anak ini hanya titipan, yang menitipkannya di sini adalah puteri kalian!"
Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang sekali. "Suma Lian, anak kami" keduanya hampir berbareng bertanya.
Suma Ciang Bun mengangguk, dan mengajak mereka semua duduk di dalam pondoknya yang tidak besar namun karena mempunyai banyak jendela maka terbuka dan sejuk hawanya. Lalu dia menceritakan tentang kunjungan Suma Lian dan Tan Sin Hong dan tentang Yo Han yang dititipkan kepadanya oleh dua orang muda itu.
"Bun-ko, apakah kaumaksudkan Tan Sin Hong murid dari Istana Gurun Pasir itu" tanya Ceng Liong memotong cerita kakaknya.
"Benar, engkau sudah mendengar akan malapetaka yang terjadi di sana"
"Sudah, dari Kao Hong Li yang kami jumpai di jalan."
"Dan tahukah engkau siapa anak ini" Anak ini adalah putera dari Ciong Siu Kwi dan suaminya, Yo Jin," kata Suma Ciang Bun.
"Ciong Siu Kwi...." Bi...." Suma Ceng Liong yang tadinya hendak mengatakan Bi Kwi, menahan ucapannya teringat akan kehadiran anak itu. Suma Ciang Bun maklum dan dia mengangguk, lalu diceritakannya semua yang pernah didengarnya dari Suma Lian tentang anak itu, betapa ayah dan ibu anak itu menjadi tawanan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-long-pang.
Mendengar semua cerita itu, Suma Ceng Liong saling pandang dengan isterinya, kemudian dia menghela napas panjang. Kami sudah mengkhawatirkan bahwa tentu Lian-ji akan terlibat dalam urusan pemberontakan Tiat-liong-pang. Kalau ia mendengar akan gerakan kaum sesat mendukung pemberontakan, tentu ia akan menentangnya. Kami justeru mengkhawatirkan hal itu, Bun-ko. Oleh karena itu, kami tidak akan berlama-lama tinggal di sini. Kami akan segera berangkat untuk mencari puteri kami dan membantunya kalau ia menentang Tiat-liong-pang."
Suma Ciang Bun mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya begitu, Liong-te. Kaum muda itu memang amat berani, dan kadang-kadang terlalu berani sehingga tidak lagi memakai perhitungan. Aku juga mendengar bahwa gerakan Tiat-liong-pang sekali ini didukung oleh tokoh-tokoh sesat yang amat lihai, bahkan kabarnya Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai ikut pula mendukung, belum lagi pasukan pemerintah yang berkhianat dan orang-orang Mongol."
Suami isteri itu lalu berpamit dan mereka pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari puteri mereka. Sekali ini, tujuan mereka sudah jelas, yaitu perkumpulan Tiat-liong-pang yang pusatnya berada di lereng bukit di kota Sangcia-kou di utara.
*** Di benteng pasukan-pasukan pemerintah Ceng yang berada di perbatasan utara terjadilah peristiwa yang menggegerkan. Selama beberapa minggu sudah ada belasan orang perwira menengah dan perwira tinggi secara tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak! Mereka yang hilang itu semua adalah para perwira yang setia kepada pemerintah. Karena tidak mungkin pasukan tanpa pimpinan, maka beberapa pasukan yang kehilangan pimpinan lalu dikuasai oleh Coa Tai-ciangkun, seorang di antara panglima yang bertugas di perbatasan utara. Perwira-perwira baru diangkat oleh Coa Tai-ciangkun.
Keadaan seperti itu mencemaskan hati para perwira yang setia kepada pemerintah dan yang masih hidup. Ada beberapa orang di antara mereka nyaris diculik oleh orang-orang berkedok yang berkepandaian tinggi. Mereka ini merasa cemas melihat betapa rekan-rekan mereka lenyap dan kini kekuasaan. Coa Tai-ciangkun atas pasukan-pasukan di utara semakin besar. Padahal, mereka sudah mendengar desas-desus bahwa Coa Tai-ciangkun disangsikan kesetiaannya karena kabarnya mengadakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan di luar pasukan. Maka, diam-diam di antara para perwira itu mengirim utusan dengan cepat ke selatan, ke kota raja untuk melaporkan peristiwa yang mencemaskan itu.
Pada suatu pagi yang cerah, di atas puncak sebuah bukit tak jauh dari Tembok Besar nampak dua orang menuruni bukit itu perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah dari puncak bukit. Memang indah bukan main pemandangan dari situ. Tembok Besar buatan manusia yang sudah mengorbankan mungkin jutaan orang manusia dalam pembuatannya dan perbaikan-perbaikannya itu, nampak seperti seekor naga di antara bukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, membuat dua orang itu kadang-kadang berhenti melangkah untuk lebih menikmati pemandangan itu.
Mereka adalah seorang nenek dan seorang kakek. Kakek itu usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, berpakaian sastrawan yang sederhana, bertubuh tinggi agak kurus, namun wajahnya masih membayangkan ketampanan dan tubuh itu masih tegak. Gerak-geriknya halus, dan pandang matanya lembut, walaupun kadang-kadang mencorong penuh wibawa. Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, baru lima puluh tahun lebih, gerak-geriknya masih lincah dan bentuk tubuhnya masih ramping dan cekatan. Keduanya menggendong sebuah buntalan pakaian di punggung dan keduanya nampak gembira, mungkin karena hawa udara yang sejuk nyaman dan pemandangan alam yang amat indahnya itu menyeret mereka ke dalam suasana gembira. Manusia adalah sebagian dari alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari alam, oleh karena itu, betapapun manusia mabuk oleh nafsu duniawi yang membuat mereka selalu tenggelam ke dalam kesibukan mencari uang, mengejar kesenangan, hiburan atau urusan rumah tangga, keluarga, atau juga masyarakat dan negara sekali waktu akan timbul rindunya kepada alam. Dan setelah manusia jenuh daripada segala keduniawian dengan tata kehidupan yang serba mengejar kesenangan ini, misalnya dia berada di puncak bukit atau di tepi samudera, dia akan tenggelam ke dalam kesyahduan alam, ke dalam keheningan yang menghanyutkan, yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di dalam batin. Timbul suatu pertanyaan masing-masing, dalam batin masing-masing, yaitu : Dapatkah kita bebas daripada segala kebisingan pikiran sewaktu kita berada di dalam masyarakat ramai sehingga kita memperoleh keheningan ketenangan dan kedamaian seperti kalau kita berada seorang diri di puncak gunung atau di tepi samudera"
Biarpun kakek dan nenek itu kelihatan seperti orang-orang biasa saja, namun kalau ada yang mengenal mereka, tentu si pengenal akan terkejut sekali mendapatkan mereka berdua di situ. Mereka bukanlah orang biasa, melainkan pasangan pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu mereka yang tinggi! Kakek itu bernama Kam Hong. Puluhan tahun yang lalu dia pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmunya yang tinggi dan dijuluki Pendekar Suling Emas karena ilmunya mengingatkan dunia persilatan akan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari seorang pendekar ratusan tahun yang lalu yang Juga berjuluk Suling Emas(baca kisah Suling Emas Naga Siluman). Adapun nenek itu adalah isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bernama Bu Ci Sian. Isterinya ini, yang belasan tahun lebih muda dari sang suami, juga masih sumoi dari suami itu, karena mereka berdualah yang telah menemukan kitab ilmu yang amat tinggi dan keduanya mempelajari ilmu itu. Disamping ilmu memainkan suling emas, juga nenek Bu Ci Sian ini memiliki ilmu menaklukkan ular, dan di samping itu, juga pernah menerima gemblengan ilmu gabungan sin-kang Im dan Yang dari pendekar Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti Pulau Es.
Sudah puluhan tahun kedua suami isteri ini tidak pernah terjun ke dunia persilatan, hidup aman tenteram di istana kuno yang pernah menjadi pusat perkumpulan Khong-sim Kai-pang, yaitu di puncak bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, sebelah selatan kota Pao-teng. Bagaimana kini mendadak suami isteri tua yang sakti itu berada di pegunungan utara dekat Tembok Besar"
Sebulan yang lalu, nenek Bu Ci Sian merasa rindu sekali kepada puterinya, yaitu Kam Bi Eng yang telah menjadi isteri Suma Ceng Liong, juga ia ingin sekali melihat dunia luar setelah bertahun-tahun berdiam di rumah saja. Ia mengajak suaminya untuk meninggalkan istana tua itu dan berkunjung ke tempat kediaman puteri mereka di dusun Hong-cun. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, ternyata Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tidak berada di rumah dan menurut keterangan para pembantu rumah tangga, suami isteri itu meninggalkan rumah untuk pergi mencari nona Suma Lian yang telah pergi lebih dahulu dari rumah. Para pembantu rumah tangga itu tidak dapat memberi keterangan ke mana majikan mereka pergi.
Kakek dan nenek itu tentu saja merasa kecewa dan mereka hanya tinggal semalam saja di rumah puteri mereka yang kosong. Mereka telah mendengar berita tentang gerakan Tiat-liong-pang yang dibantu oleh banyak tokoh sesat, maka kakek Kam Hong menduga bahwa tentu puteri, mantu dan cucu mereka itu pergi ke sana untuk menentang gerakan kaum sesat. Maka, mereka berdua lalu pergi ke utara untuk melihat-lihat keadaan dan mencari puteri dan mantu mereka. Di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan dan makin kuat dugaan mereka bahwa puteri mereka tentu pergi ke utara setelah mendengar bahwa memang banyak pendekar yang melakukan perjalanan ke utara sehubungan dengan berita gerakan kaum sesat di utara yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang itu
Demikianlah, pada pagi hari itu, kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian tiba di puncak bukit, menuruni bukit sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah, kadang-kadang berhenti dan memandang ke empat penjuru dengan penuh kagum.
"Eh, lihat di sana itu!" Tiba-tiba nenek itu berseru sambil menuding ke arah selatan, ke bawah. "Bukankah itu sebuah kereta"
Kakek Kam Hong cepat memandang ke arah yang ditunjuk isterinya dan mengamati. "Benar, sebuah kereta dikawal oleh belasan orang."
"Dan para pengawal itu mengenakan pakaian seragam!" Sambung Bu Ci Sian.
"Juga di kereta itu ada benderanya, tidak jelas dari sini, akan tetapi seperti bendera tanda pangkat. Agaknya orang berpangkat yang duduk di dalam kereta itu
"He, lihat! Dari sebelah kanan itu! Dua orang itu seperti hendak menghadang kereta!"
"Siancai....! Benar katamu, dan lihat, mereka sudah bertempur!" kata kakek Kam Hong. "Ah, dua orang itu bukanlah lawan para pengawal, mari kita cepat ke sana untuk melihat apa yang telah terjadi!"
Kakek dan nenek itu bagaikan terbang cepatnya menuruni bukit dan berkat ilmu berlari cepat mereka yang tinggi, tak lama kemudian mereka tiba di tempat pertempuran.
Ketika mereka tiba di tempat itu, belasan orang berpakaian seragam telah rebah malang melintang tanpa nyawa lagi! Hanya tinggal empat orang berpakaian perwira yang masih melindungi kereta itu. Dengan pedang di tangan, empat orang itu repot sekali melindungi dirinya di depan kereta, menahan serangan seorang pemuda yang juga memainkan pedang akan tetapi permainan pedangnya sedemikian hebatnya sehingga empat orang perwira itu terdesak hebat dan agaknya takkan lama lagi mereka dapat bertahan.
Sementara itu, orang ke dua yang menghadang kereta, seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, berpakaian seperti seorang sastrawan, tinggi kurus, dengan gerakan ringan sekali meloncat ke dekat kereta dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan kereta itu pecah berantakan, dua ekor kudanya yang terkejut meronta lepas dan melarikan diri. Dari dalam kereta meloncat ke luar seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berpakaian sebagai seorang panglima besar dengan tanda pangkat di pundak dan dada. Dengan gerakan cukup sigap panglima ini meloncat turun sehingga tidak ikut terbanting dengan pecahnya kereta. Melihat panglima itu, sastrawan tua tersenyum mengejek sambil mengeluarkan sebuah kipas dan mengipasi tubuhnya.
"Hemmm, kiranya engkau yang disebut Panglima Besar Liu, yang datang dari kota raja untuk menyelidiki keadaan di benteng utara" Jangan harap akan dapat menyelidiki apa pun, karena engkau akan mati di sini seperti yang dialami anak buahmu. Nah bersiaplah untuk mati!"
Panglima Besar yang bertubuh tinggi besar itu tidak kelihatan takut, bahkan mencabut pedangnya, siap untuk membela diri sedapat mungkin walaupun dia tahu bahwa bela dirinya takkan ada gunanya, melihat betapa para pengawalnya yang lihai saja kini nampak repot menghadapi penyerang muda itu.
"Bagus, kini aku mengerti mengapa terjadi geger di benteng utara dan banyak perwira kami yang kabarnya lenyap diculik orang. Kiranya ada musuh yang sengaja bersekutu dengan pengkhianat dan kalau aku tidak keliru, tentu engkau ini yang disebut Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin seperti yang dikabarkan oleh orang-orang kami. Engkau bersekutu dengan Tiat-liong-pang untuk mengadakan pemberontakan, dan membujuk beberapa orang panglima dan perwira kami untuk berkhianat."
Ouwyang Sianseng menudingkan kipasnya. "Tidak keliru, Liu Tai-ciangkun, dan sekarang tiba giliranmu untuk mati di tanganku!"
"Tahan....!" Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Ouwyang Sianseng telah berdiri seorang kakek tua yang bukan lain adalah Kam Hong sedangkan Bu Ci Sian berkelebat ke arah pemuda yang mendesak empat orang pengawal itu, mengelebatkan suling emasnya. Nampak sinar terang sekali dan disusul suara berdentang nyaring ketika pedang yang dipergunakan oleh Siangkoan Liong untuk mendesak empat orang lawannya itu bertemu dengan sinar kuning emas. Siangkoan Liong terkejut dan meloncat mundur ketika merasa betapa benturan senjata itu membuat tangan kanannya tergetar hebat. Maklum bahwa ada lawan tangguh yang muncul, Siangkoan Liong cepat menghampiri gurunya. Bu Ci Sian juga menghampiri suaminya dan kini suami isteri tua itu berdiri berhadapan dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong.
Ouwyang Sianseng mengamati kakek dan nenek di depannya itu, mengerutkan alisnya dan bertanya kepada muridnya, "Tahukah engkau siapa mereka ini" Siangkoan Liong juga memandang penuh perhatian, lalu dia menggeleng kepala sebagai jawaban. Ouwyang Sianseng kini menatap wajah Kam Hong dengan penuh perhatian dan diam-diam hatinya diliputi kekaguman. Kakek di depannya ini sebaya dengan dia, dan memiliki sikap yang halus berwibawa. Mengertilah dia bahwa kakek yang pakaiannya juga seperti sastrawan amat sederhana ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Ouwyang Sianseng lalu menjura dengan sikap hormat.
"Selamat berjumpa, Sobat," katanya dengan suara yang halus, "boleh aku mengetahui, siapakah Ji-wi dan apa pula alasan Ji-wi hendak mencampuri urusan kami yang sedang menentang penjajah Mancu"
Kam Hong mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa sikap ramah dan halus dari orang ini membuat dia waspada karena sikap itu hanya menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Apalagi orang ini dengan cerdiknya menempatkan dia di posisi yang buruk, seolah-olah orang itu adalah pejuang dan patriot, sedangkan dia dan isterinya merupakan orang-orang yang membela kaum penjajah! Dengan tenang dia pun tersenyum dan balas menjura dengan hormat, diikuti pula oleh isterinya karena tadi ketika Ouwyang Sianseng menjura, pemuda tampan itu pun ikut pula memberi hormat.
"Maaf, Sobat," jawabnya halus pula. "Memang di antara kita tidak pernah saling mengenal, juga tidak ada hubungan apa pun. Penjajah Mancu sudah menguasai tanah air sejak hampir seratus tahun dan kami kira panglima ini bukanlah biang keladi penjajahan, melainkan hanya seorang petugas! Kami melihat betapa Ji-wi membunuhi para pengawal dan menyerang kereta, maka hal ini sudah merupakan urusan pribadi, bukan lagi pertempuran dalam perjuangan melawan penjajah! Dan kami tidak biasa membiarkan saja manusia saling bunuh, apalagi melihat yang lebih kuat membunuh yang lemah tanpa sebab."
Ouwyang Sianseng masih bersikap sabar. "Kami adalah pejuang-pejuang yang berjiwa patriot. Kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, dan kami mulai dari utara ini dengan cara melenyapkan para perwira dan panglima. Barulah kami akan bergerak ke selatan, menyerang ke kota raja dan merampas tahta kerajaan!" Ketika berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam, juga pemuda di sampingnya yang bukan lain adalah Siangkoan Liong, memandang dengan muka berseri penuh semangat.
"Kami percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa patriot pula, oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali kalau Ji-wi sudi membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!" kata Siangkoan Liong.
Kam Hong tersenyum, diam-diam memuji kecerdikan pemuda itu, dan dia menjawab dengan cerdik, "Kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang dipelopori oleh Tiat-liong-pang, tidak tahu apakah Ji-wi ada hubungannya dengan Tiat-liong-pang" Kemudian disambungnya, "Kami pernah mendengar bahwa Siangkoan Tek, ketua Tiat-liong-pang, adalah seorang yang gagah."
"Dia adalah ayah saya!" kata Siangkoan Liong dengan cepat, girang bahwa kakek itu mengenal ayahnya dan menyebut ayahnya orang gagah.
Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada isterinya, lalu berkata, seolah-olah kepada isterinya, "Sungguh aneh sekali. Sepanjang pendengaran kita, sekarang Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat, bagaimana bisa begitu"
Bu Ci Sian mendengus. "Huh, kalau perjuangan sudah dikotori dengan masuknya kaum sesat, jelas bahwa perjuangan itu tidak bersih lagi, hanya merupakan pemberontakan yang berpamrih demi kepentingan pribadi atau golongan. Aku tidak bisa percaya gerakan macam itu!"
"Maaf, maaf....!" kata Ouwyang Sianseng. "Dalam gerakan perjuangan tidak terdapat istilah golongan jahat atau golongan baik, kaum hitam atau kaum putih. Yang penting kita haruslah mengumpulkan seluruh kekuatan dari rakyat jelata untuk menentang pemerintah penjajah. Yang penting, tujuan kita adalah baik, yaitu menumbangkan penjajahan, adapun caranya dapat mempergunakan cara apa saja agar berhasil."
Kam Hong tertawa, merasa bahwa lawannya terjebak. "Ha, sobat baik, bagaimana mungkin cara yang kotor dapat menghasilkan tujuan yang bersih" Yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya itulah! Kalau caranya kotor, maka kami tidak ingin mengotorkan tangan membantunya, bahkan sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya. Kalau kalian bersekutu dengan kaum sesat untuk membunuhi para perwira dan panglima, maka terpaksa kami akan menentang kalian!"
Habislah kesabaran Ouwyang Sianseng. Kalau tadi dia bersikap sabar hanya karena dia menghargai kakek dan nenek itu dan kalau mungkin menarik orang-orang pandai sebanyak mungkin untuk membantu gerakannya. Kini, mendengar ucapan Kam Hong, dia pun maklum bahwa akan percuma saja membujuk kakek dan nenek itu untuk bekerja sama kalau pendiriannya seperti itu.
"Bagus! Kalau begitu ternyata kalian adalah pengkhianat penjual negara kepada orang Mancu dan layak mati di tanganku!" berkata demikian, Ouwyang Sianseng lalu menggerakkan kipasnya, melakukan totokan bertubi dengan cepat sekali ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian tubuh atas depan dari lawannya. Melihat gerakan serangan ini, diam-diam Kam Hong terkejut dan dia pun maklum bahwa lawannya ini sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sementara itu, melihat betapa gurunya menyerang kakek lawan, Siangkoan Liong juga menggerakkan pedangnya, menerjang ke arah nenek yang sejak tadi memandang penuh perhatian. Bu Ci Sian tidak terkejut melihat datangnya serangan pedang secepat kilat itu. Begitu tangannya bergerak, nampak sinar keemasan berkelebat dan tangannya sudah memegang sebatang suling emas, tidak sebesar milik suaminya, akan tetapi cukup panjang untuk menjadi sebuah senjata yang digerakkan seperti pedang. Siangkoan Liong yang terkejut ketika tiba-tiba saja matanya silau oleh sinar kuning emas yang mengeluarkan suara mendegung mengerikan dan tahu-tahu dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arahnya. Dia harus memutar pedangnya secepatnya untuk menarik serangan dan mengubah gerakannya menjadi gerakan pertahanan, membentuk gulungan sinar seperti payung yang menjadi perisai dan pelindung tubuhnya.
"Trang-cringgg....!" Kembali Siangkoan Liong terkejut karena tangannya tergetar dan pada saat itu, tangan kiri nenek itu sudah mendorong dan keluarlah hawa panas sekali ke arahnya. Siangkoan Liong adalah seorang pemuda perkasa, dengan ilmu silat yang tinggi, maka menghadapi pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang panas ini dia pun cepat mengelak dan mengibaskan lengan kirinya menyampok dan menangkis, lalu pedangnya berkelebat membalas serangan nenek itu dengan tusukan yang dahsyat. Nenek itu juga maklum akan datangnya tusukan maut, maka dengan amat lincahnya, tubuh nenek itu sudah meliuk dan menghindar, lalu dari samping membalas dengan ujung suling yang menotok tiga kali bertubi-tubi ke arah leher, pundak, lalu lambung! Repot juga Siangkoan Liong menghadapi totokan berbahaya ini dan hanya dengan keadaan terhimpit dan terdesak dia mampu menghindarkan diri lalu memutar pedangnya dan membalas dengan gerakan dahsyat dan sengit karena dia merasa penasaran dan marah sekali.
Ketika Ouwyang Sianseng melakukan totokan ke arah tubuh atas Kam Hong dengan gagang kipasnya, tiba-tiba saja kipasnya bertemu dengan sebatang kipas lain yang dipegang oleh tangan kiri Kam Hong. Ouwyang Sianseng terkejut akan tetapi juga kagum dan gembira. Kiranya lawannya ini pun agaknya pandai mempergunakan kipas sebagai senjata! Ouwyang Sianseng lalu mengeluarkan kepandaiannya, kipasnya bergerak-gerak dengan cepatnya. Kipas itu bagaikan seekor kupu-kupu raksasa, beterbangan, kadang-kadang terbuka sayapnya, kadang-kadang tertutup dan kalau terbuka sayapnya, kipas menyambar mendatangkan angin yang kuat, kalau tertutup sayapnya, gagang kipas meluncur dengan totokan-totokan maut! Diam-diam Kam Hong kagum sekali dan dia pun menggerakkan kipasnya dan mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang hebat dan kuat. Dengan ilmu itu, Kam Hong juga ingin menguji ilmu kepandaian lawan.
Ouwyang Sianseng juga kagum. Ternyata lawannya ini memiliki ilmu permainan kipas yang kuat dan tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya, membantu kipasnya dengan pukulan-pukulan tangan miring yang menjadi demikian kuat tiada ubahnya sebatang pedang, membabat dan mengeluarkan suara bercuitan. Terkejutlah Kam Hong. Sungguh seorang lawan yang amat tangguh. Sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu lawan setangguh ini, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar kuning emas bergulung-gulung, dibarengi suara suling yang melagu seperti ditiup saja. Padahal suling itu mengeluarkan suara hanya karena digerakkan oleh Kam Hong. Sinar terang menyambar bagaikan kilat dari atas mengarah kepala Ouwyang Sianseng. Orang ini terkejut, menangkis dengan kipasnya dan akibatnya, dia terhuyung! Dia segera meloncat ke belakang.
"Tahan!" serunya kaget dan dia memandang penuh perhatian. Kam Hong menghentikan gerakannya, tersenyum menanti, kipas di tangan kiri, suling emas di tangan kanan, sikapnya halus namun gagah sekali, membuat Ouwyang Sianseng merasa gentar juga.
"KaukauPendekar Suling Emas...." tanyanya, suaranya agak gemetar saking tegangnya.
Kam Hong tersenyum, bukan senyum bangga, melainkan merasa betapa lucunya segala macam julukan itu, seperti kanak-kanak manja yang ingin dipuji saja!
"Dulu orang menyebut aku seperti itu, akan tetapi sekarang aku hanyalah seorang tua bangka yang sebetulnya tidak ingin lagi mempergunakan senjata, kalau tidak terpaksa. Serangan-seranganmu berbahaya, engkau seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan terpaksa aku harus mengeluarkan kedua senjataku ini."
Biarpun belum berkelahi dengan sungguh-sungguh, namun Ouwyang Sianseng merasa gentar. Dia sudah mendengar akan nama besar Pendekar Suling Emas, dan sudah mendengar pula betapa isteri pendekar itu pun merupakan adik seperguruan yang lihai. Ketika dia melirik, dia melihat betapa Siangkoan Liong repot bukan main menghadapi gulungan sinar kuning emas dari suling di tangan nenek itu, maka dia pun membentak, "Siangkoan Liong, mundur dan jangan kurang ajar di depan orang pandai!"
Mendengar bentakan suhunya, Siangkoan Liong merasa heran, akan tetapi juga lega dan dia pun cepat meloncat mundur mendekati gurunya. Dia sudah terdesak hebat dan kini dia dapat menghentikan perkelahian itu tanpa merasa meninggalkan gelanggang karena dia dilarang gurunya! Jadi dia berhenti sebelum kalah. Melihat lawannya mundur, Bu Ci Sian yang kini telah berubah wataknya menjadi penyabar seperti suaminya, lalu tersenyum dan berdiri di samping suaminya. Kalau mengingat wataknya ketika gadis dahulu, tentu ia tidak akan berhenti sebelum lawannya kalah dan akan mendesak terus!
Ouwyang Sianseng berkata kepada muridnya, sekedar untuk membuyarkan suasana penuh pertentangan tadi, "Ketahuilah, bahwa Locianpwe ini bukan lain adalah Pendekar Suling Emas dan isterinya yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia sebagai pendekar-pendekar yang berbudi dan gagah perkasa." Lalu dia menjura kepada Kam Hong dan isterinya, diikuti pula oleh Siangkoan Liong yang sudah cepat-cepat menyimpan kembali pedangnya.
"Saudara yang perkasa," kata Ouwyang Sianseng, "kami sudah mendengar bahwa saudara dan isteri saudara adalah pendekar-pendekar perkasa, oleh karena itu, dengan segala kehormatan kami mengundang Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami, bersama-sama menentang pemerintah penjajah dan membasmi mereka untuk menyelamatkan tanah air dan bangsa...."
"Cukup," kata Kam Hong dengan alis berkerut. "Sudah kami katakan tadi, kalau gerakan kalian itu didukung oleh para tokoh sesat, maka itu merupakan suatu pemberontakan berpamrih demi kepentingan golongan sendiri, dan kami sudah pasti tidak akan suka bekerja sama, bahkan akan menentangnya."
Ouwyang Sianseng tersenyum pahit. "Terserah kalau demikian penilaianmu! Sudahlah, Siangkoan Liong, mari kita pergi!" katanya dan sekali meloncat, dia pun sudah lenyap, demikian cepatnya gerakan kakek ini. Siangkoan Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar gurunya yang sudah berada jauh di depan.
Kam Hong menarik napas panjang. "Hebat sekali kepandaian orang itu!"
"Orang muda itu pun lihai sekali!" kata pula isterinya.
Panglima yang tadi hampir celaka di tangan guru dan murid yang lihai itu, kini menghampiri mereka dan di depan Kam Hong, dia lalu memberi hormat dengan hati terharu, "Kalau bukan Ji-wi Taihiap yang muncul dan menolong, tentu kami semua telah tewas di tangan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong itu. Kami menghaturkan terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan mohon tanya nama besar Ji-wi. Kami sendiri adalah Panglima Liu, utusan dari kota raja yang hendak menyelidiki peristiwa aneh yang terjadi di benteng pasukan pemerintah di utara."
Kam Hong dan Bu Ci Sian membalas penghormatan itu dengan sederhana. Bagaimanapun juga, mereka berdua tidak mempunyai perasaan bersahabat dengan para pembesar pemerintah Mancu yang menjajah tanah air mereka. Akan tetapi Kam Hong tertarik juga untuk menyelidiki keadaan para pemberontak yang bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat.
"Liu Tai-ciangkun, sebenarnya apakah yang telah terjadi. Mengapa kedua orang tadi menghadang rombongan Ciangkun di sini dan membunuh" tanya Kam Hong.
"Di perbentengan utara terjadi kehebohan karena banyak sekali perwira-perwira dan panglima yang setia kepada pemeritah tiba-tiba lenyap, dan kedudukan mereka diganti oleh orang-orangnya Coa-ciangkun yang memimpin sebagian dari pasukan di utara. Coa-ciangkun menurut laporan yang kami terima, dicurigai mengadakan hubungan dengan Tiat-liong-pang yang akan memberontak. Maka, kami diutus dengan wewenang penuh dari raja untuk melakukan penyelidikan dan menangkap mereka yang bersalah dan berkhianat. Kami sudah mendapat laporan lengkap tentang Tiat-liong-pang dan tentang hubungan Coa-ciangkun dengan para pemberontak. Oleh karena itu, kami tahu bahwa dua orang tadi adalah Ouwyang Sianseng atau juga dikenal dengan nama Nam San Sianjin, dan yang muda itu adalah Siangkoan Liong, putera dari Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Tentu saja mereka hendak membunuh kami karena mudah diduga bahwa Tiat-liong-pang atau para pemberontak yang bersekutu dengan Coa-ciangkun itulah yang telah menculik dan membunuhi para perwira dan panglima yang setia kepada pemerintah, untuk diganti dengan kaki tangan mereka sendiri agar pasukan mudah dikuasai untuk membantu gerakan pemberontakan."
Kam Hong mengerutkan alisnya. Biarpun dia sendiri tentu saja sama sekali tidak berniat untuk membantu tegaknya pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi gerakan Tiat-liong-pang yang didukung para tokoh dunia hitam ini amatlah berbahaya bagi keselamatan rakyat jelata dan dia harus ikut menentangnya, bukan untuk membantu pemerintah, melainkan untuk membasmi para tokoh sesat yang tentu hendak memancing di air keruh itu.
"Kalau begitu berbahaya sekali. Biarpun Ciangkun sudah terhindar dari bahaya di sini, akan tetapi kedua orang itu tentu akan menghubungi panglima yang menjadi sekutunya dan sebelum Ciangkun tiba di benteng, tentu akan dihadang dan dibunuh."
Panglima Liu mengangguk-angguk, saling pandang dengan empat orang pengawal pribadinya yang tadi mati-matian mempertahankan keselamatan atasan mereka dari serangan guru dan murid itu.
"Baiklah, kita mencari jalan bagaimana baiknya. Mari, silakan duduk di sana, karena kami mohon bantuan Ji-wi untuk mencari jalan keluar yang baik, sementara empat orang pengawalku biar mengubur jenazah belasan orang anggauta pasukan pengawal itu."
Panglima besar Liu mengajak Kam Hong dan Bu Ci Sian bercakap-cakap di bawah pohon, sedangkan empat orang pengawal itu menggali sebuah lubang besar untuk mengubur belasan orang rekan mereka yang tewas dalam pertempuran tadi.
Sambil duduk di bawah pohon, panglima besar Liu bercakap-cakap dengan kakek dan nenek pendekar itu, minta pendapat dan nasihat mereka. Setelah mendengar semua penjelasan panglima itu, Kam Hong lalu mengajukan siasat, yaitu agar Liu Tai-ciangkun dan empat orang pengawal pribadinya bersembunyi dulu di dalam hutan, ditemani dan dilindungi oleh Bu Ci Sian. Sedangkan Kam Hong sendiri akan membawa surat panglima itu menemui Pouw-ciangkun, yaitu perwira yang telah mengirim laporan kepada para pembesar di kota raja. Kam Hong akan mengajak perwira Pouw itu keluar dari benteng dan menjumpai Liu Tai-ciangkun dan kemudian akan diatur rencana sebaiknya untuk menyambut kedatangan panglima besar itu agar dapat memasuki benteng tanpa gangguan dari pihak pengkhianat dan pemberontak. Setelah masuk ke dalam benteng, dikawal oleh Kam Hong dan isterinya, maka panglima dan perwira yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang dapat diringkus sebelum mereka dapat melakukan gerakan.
Setelah penguburan itu selesai, Kam Hong dan isterinya mengajak Panglima Liu masuk ke dalam hutan dan memilih tempat yang baik untuk bersembunyi, yaitu di sebuah gua. Kemudian, Kam Hong meninggalkan mereka untuk menyelundup ke dalam benteng. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Kam Hong untuk menyelundup, ke dalam benteng tanpa diketahui para penjaga, melompati pagar tembok benteng dan mencari perwira Pouw!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya perwira Pouw yang sedang tidur di dalam kamarnya seorang dari ketika tiba-tiba saja ada orang mengguncang tubuhnya dan ketika dia terbangun, dia melihat seorang kakek sastrawan sudah berdiri di dekat pembaringannya. Akan tetapi kakek itu memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara.
"Tenanglah, Pouw-ciangkun, aku datang bukan dengan niat buruk. Aku adalah utusan dari panglima besar yang datang dari kota raja."
Wajah Pouw-ciangkun yang tadinya sudah pucat itu menjadi agak merah kembali. Tadinya dia mengira bahwa tentu orang ini masuk ke kamarnya untuk menculik dan membunuhnya, seperti yang telah terjadi pada belasan orang rekannya yang lenyap tanpa meninggalkan bekas. Mendengar kata-kata itu, dia terkejut dan heran, lalu bangkit duduk, masih belum lenyap kekhawatirannya. Kam Hong maklum akan kegelisahan perwira itu, maka cepat dia mengeluarkan sebuah sampul yang ada cap dari Panglima Besar Liu, dan menyerahkannya kepada perwira itu.
"Nah, inilah surat dari beliau untukmu, Pouw-ciangkun."
Perwira itu menerima sampul, memeriksanya dan hatinya menjadi semakin lega ketika dia melihat bahwa memang benar cap pada sampul itu adalah cap dari Panglima Besar Liu yang dikenalnya sebagai seorang panglima yang jujur dan adil, juga bertangan besi terhadap para pemberontak.
"Akan tetapi, mengapa Liu-tai-ciangkun tidak langsung saja datang bersama pasukan pengawalnya ke sini" Kenapa harus mengutus Locianpwe" Pouw-ciangkun menggunakan sebutan penghormatan ini karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi sehingga malam itu dapat tiba-tiba saja muncul di dalam kamarnya seperti setan. Bagaimanapun juga, dia masih sangsi karena peristiwa ini terlalu aneh baginya.
Kam Hong maklum akan keraguan perwira itu. "Liu-ciangkun dan pasukan pengawalnya dihadang oleh Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong di dalam perjalanan dan belasan orang pasukan pengawalnya tewas semua. Hanya beliau dan empat orang pengawal pribadi yang masih hidup ketika aku dan isteriku datang membantunya. Karena kami maklum bahwa nyawanya masih terancam, maka akulah yang datang mengantar suratnya, dan isteriku melindunginya di tempat persembunyian."
Mendengar ini, terkejutlah Pouw-ciangkun. Kini dia percaya dan cepat dibuka dan dibacanya surat itu. Ternyata Liu-tai-ciangkun memanggilnya, sekarang juga agar dia ikut dengan kakek sakti ini. Tanpa banyak cakap lagi Pouw-ciangkun lalu diam-diam memanggil tiga orang rekannya, yaitu para perwira lain yang setia kepada pemerintah. Tiga orang perwira itu pun terkejut melihat Kam Hong, akan tetapi ketika mereka mendengar keterangan Pouw-ciangkun, mereka lalu mengatur siasat dengan Pouw-ciangkun.
"Malam ini aku akan pergi menghadap Liu-tai-ciangkun bersama Locianpwe ini dan kalian harus dapat merahasiakan kepergianku ini. Aku akan mengambil jalan rahasia kita, dan mungkin besok malam aku baru kembali." kata Pouw-ciangkun. Para rekannya menyetujui dan demikianlah, Pouw-ciangkun lalu pergi bersama Kam Hong, melalui jalan rahasia di belakang benteng. Tanpa diketahui orang lain, mereka berdua pergi meninggalkan benteng dan lewat tengah malam, mereka tiba di dalam hutan di mana Liu-tai-ciangkun bersembunyi di dalam gua dijaga oleh empat orang pengawal pribadi dan juga nenek Bu Ci Sian.
Pouw-ciangkun cepat memberi horinat kepada atasannya itu dan mereka bersama Kam Hong dan Bu Ci Sian, segera mengadakan perundingan dan mengatur siasat. Pouw-ciangkun menceritakan betapa keadaan sudah amat berbahaya karena kekuasaan Coa-tai-ciangkun kini menjadi semakin besar. Tidak kurang dari dua puluh orang perwira yang menjadi bawahannya dan yang menyetujui persekutuannya dengan Tiat-liong-pang, termasuk mereka yang diangkat untuk menggantikan para perwira setia yang diculik.
"Bagaimana dengan pasukannya sendiri" tanya Liu-ciangkun, terkejut juga mendengar akan hal itu.
"Sudah saya selidiki, Tai-ciangkun. Para anggauta pasukan agaknya belum tahu akan niat Coa-ciangkun yang bersekutu dengan para pemberontak. Akan tetapi, pasukan yang bertugas di utara adalah pasukan istimewa yang selalu mentaati perintah atasan tanpa banyak bertanya. Jadi, kalau para perwiranya sudah dapat dikuasai Coa-ciangkun, maka dengan sendirinya pasukannya juga akan taat akan segala perintahnya. Mereka takkan mundur walaupun diperintah untuk menyerbu pasukan pemerintah sendiri!"
"Berapa jumlah seluruh pasukan yung berjaga di tapal batas utara"
"Yang sudah siap di benteng adalah pasukan-pasukan inti yang jumlahnya kurang lebih selaksa orang. Pasukan cadangan berada di benteng sebelah selatan, akan tetapi mereka itu biasanya kurang siap dan kurang kuat karena merasa jauh dari bahaya, tidak seperti pasukan inti yang berada di tapal batas."
"Dan berapa banyak yang telah dipengaruhi Coa-ciangkun"
"Melihat jumlahnya perwira, kurang lebih separuh yang telah dikuasainya. Yang separuh lagi, sebagian masih setia kepada kerajaan, ada sebagian yang bimbang dan gelisah karena adanya penculikan-penculikan itu."
Liu-ciangkun mengangguk-angguk. "Engkau kembali ke benteng dan hubungi para rekan yang setia, agar mereka siap siaga. Lalu aturlah agar terdapat pasukan khusus yang menyambut kedatanganku yang akan dikawal oleh kedua Locianpwe ini. Dengan adanya penyambutan pasukan khusus yang cukup besar jumlahnya, apalagi adanya kedua Locianpwe ini, tentu para penjahat itu tidak berani turun tangan. Kemudian, di sana aku akan memanggil semua perwira dan panglima untuk berkumpul dan mengadakan rapat. Nah, pada saat itulah aku akan mengumumkan penangkapan terhadap mereka. Engkau harus sudah mempersiapkan pasukan yang setia untuk mengepung tempat pertemuan itu sehingga mereka tidak akan mampu lolos. Kemudian, akan kuangkat perwira-perwira baru yang setia, dan semua gerakan ini harus dirahasiakan, jangan sampai bocor agar jangan diketahui oleh pihak Tiat-liong-pang. Selanjutnya akan kuatur nanti. Demikianlah Liu-tai-ciangkun mengambil keputusan setelah berunding dengan Kam Hong dan Bu Ci Sian.
Untuk menjaga keselamatannya agar semua rencana dapat berjalan dengan lancar, Pouw-ciangkun kembali ditemani Kam Hong ketika kembali ke benteng, juga melalui jalan rahasia di belakang benteng setelah melihat betapa Pouw ciangkun kembali dengan selamat tanpa diketahui siapapun, Kam Hong lalu kembali dan mereka semua menanti datangnya pasukan yang akan mengadakan penyambutan.
Pouw-ciangkun berunding dengan para rekannya, kemudian mengumumkan bahwa Liu-tai-ciangkun akan datang berkunjung ke benteng, maka dia dan para rekannya lalu mempersiapkan dua ratus orang pasukan khusus untuk keluar benteng melakukan penyambutan. Tentu saja diam-diam Coa-tai-ciangkun sudah mendengar dari sekutunya akan datangnya Lui-tai-ciangkun dari kota raja yang pangkatnya lebih tinggi darinya, bahkan yang membawa surat kuasa dari para penguasa di kota raja. Dia tidak berdaya untuk menghalangi kunjungan ini, akan tetapi karena merasa bahwa kekuasaannya di benteng amat besar, dia tidak merasa khawatir, bahkan oleh Ouwyang Sianseng dianjurkan untuk menerima utusan kota raja itu dalam benteng. Nanti kalau gerakan dimulai, akan mudah menyergap Lui-tai-ciangkun, demikian pendapat Ouwyang Sianseng. Andaikata pasukan penyambut tidak begitu besar, tentu Coa-tai-ciangkun dan para rekannya akan turun tangan menghadang dan membasmi pasukan penyambut dan membunuh utusan kota raja itu. Akan tetapi pasukan yang dikumpulkan dan dikerahkan Pouw-ciangkun itu berjumlah dua ratus orang dan merupakan pasukan khusus, maka tentu saja hal ini akan sukar dilaksanakan tanpa terjadi pertempuran besar yang tentu akan mengguncangkan benteng itu dan akan memecah belah pasukan sehingga akan terjadi perang saudara sendiri yang akan menghancurkan seluruh pasukan!
Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika pasukan khusus itu memasuki hutan, muncullah Liu Tai-ciangkun bersama empat orang pengawal pribadi, ditemani pula oleh kakek dan nenek itu yang selalu siap siaga, menjaga segala kemungkinan. Namun, penyambutan berjalan lancar dan dengan kehormatan, Lui Tai-ciangkun dikawal oleh pasukan itu memasuki benteng.
Begitu memasuki benteng dan disambut oleh semua perwira dan panglima, Liu Tai-ciangkun berkata dengan suara lantang, "Kami datang membawa perintah dari kota raja! Kami akan mengadakan rapat rahasia dengan seluruh pimpinan di benteng ini. Tidak seorang pun dari luar, kecuali kedua Locianpwe ini, yang boleh berada di dalam benteng. Pintu benteng harus ditutup dan dijaga ketat agar tidak ada orang luar dapat masuk. Kuperingatkan pasukan yang menjemputku tadi agar dibagi dan melakukan penjagaan membantu para penjaga di semua pintu benteng! Sekarang, kuperintahkan agar semua perwira dan panglima berkumpul di ruangan rapat pusat!"
Karena utusan dari kota raja itu memperlihatkan pula surat kuasa yang dibawanya dari kota raja, maka tak seorang pun perwira berani membantah, bahkan Coa Tai-ciangkun tidak membantah. Dia merasa lega karena sikap panglima tinggi dari kota raja itu sama sekali tidak memperlihatkan kecurigaan kepadanya, dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa utusan itu akan melakukan tindakan-tindakan. Maka dia pun memberi isyarat kepada para kaki tangannya untuk mematuhi perintah itu, untuk melihat perkembangan selanjutnya sebelum dia mengambil keputusan untuk bergerak.
Semua perwira berkumpul di dalam ruangan rapat yang luas itu, dan diam-diam pasukan yang khusus dipersiapkan oleh Pouw-ciangkun dan para rekannya seperti yang telah direncanakan oleh Liu-tai-ciangkun, mulai mengepung ruangan rapat itu. Ada lima ratus orang pasukan dikerahkan, mengepung rapat tempat itu bukan hanya untuk mencegah mereka yang berada di dalam menerobos keluar, juga untuk menjaga kalau-kalau ada kaki tangan pemberontak yang menyerbu untuk membebaskan mereka yang berada di dalam ruangan rapat! Dan semua ini berlangsung diam-diam tanpa keributan seperti yang diperintahkan Liu-tai-ciangkun sehingga tidak ada seorang pun di antara para perwira yang mengetahui bahwa tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh pasukan. Tentu saja yang mengetahui hanya Liu-tai-ciangkun, Pouw-ciangkun dan para rekan-rekannya yang melaksanakan siasat itu.
Suasana dalam rapat itu tenang setelah semua orang mengambil tempat duduk. Ada tiga puluh orang lebih perwira menengah dan perwira tinggi, dan semua kursi menghadap ke arah panggung di mana duduk Liu-tai-ciangkun yang dikawal hanya oleh kakek dan nenek yang duduk tenang di belakangnya itu. Tidak ada anggauta pasukan pengawal menjaga panglima tinggi ini. Dan kakek nenek itu kelihatannya sudah tua dan lemah, bahkan sama sekali tidak nampak membawa senjata.
Setelah menghitung jumlah perwira. Liu-tai-ciangkun membuka persidangan itu dengan pertanyaan. "Mengapa yang hadir hanya ini" Di mana lagi yang lain" Bukankah di sini terdapat perwira-perwira yang jumlahnya ada lima puluh orang" Lalu dia memandang ke arah Coa Tai-ciangkun yang duduk di deretan paling depan. "Coa-ciangkun, setelah dua orang panglima lainya tidak hadir, maka engkaulah perwira paling tinggi pangkatnya di sini. Nah, aku ingin mendengar laporanmu di mana adanya belasan orang perwira lainnya itu dan mengapa pula mereka tidak hadir!"
Wajah Coa Tai-ciangkun berubah merah. Dia merasa heran mengapa utusan kota raja ini masih berpura-pura. Dia yakin bahwa tentu ada di antara para perwira yang melapor ke kota raja dan tentu dalam laporan itu sudah disebutkan akan lenyapnya belasan orang perwira secara aneh. Mengapa Liu Tai-ciangkun masih berpura-pura bodoh dan bertanya kepadanya" Namun, dengan sikap tenang dia lalu bangkit berdiri, memberi hormat secara militer dan melapor dengan suaranya yang lantang.
"Lapor kepada Liu Tai-ciangkun! Empat belas orang perwira dan panglima yang pada hari ini tidak hadir, telah lenyap dalam waktu selama dua bulan ini. Mereka lenyap secara aneh dan biarpun kami sudah mencari-carinya, namun tidak berhasil menemukan di mana mereka berada, sudah mati ataukah masih hidup!"
Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya. "Hemmm, mana mungkin ada belasan orang perwira lenyap begitu saja dari dalam benteng tanpa diketahui orang sama sekali ke mana perginya"
"Kami semua sudah berusaha mencari dan menyebar penyelidik, namun tidak berhasil. Kami telah menunjuk perwira-perwira pengganti untuk sementara, dan karena mereka belum dilantik dan disahkan, maka tidak kami hadirkan di tempat ini."
"Hemmm, sungguh kacau balau dan menyedihkan! Kehilangan belasan orang perwira tanpa dapat diketahui ke mana mereka pergi hanya menunjukkan kelemahan para pemimpin yang menguasai perbentengan ini. Perlu diadakan perombakan seperlunya! Sekarang kami hendak mengadakan pemilihan, dan perwira yang namanya kami sebut, harap suka berdiri di bagian kiri ruangan ini!" Mendengar suara Liu Tai-ciangkun yang penuh wibawa, semua perwira yang hadir saling pandang dan merasa tegang, bahkan Coa Ciangkun sendiri merasa tidak enak, akan tetapi dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh utusan kota raja itu, maka dia pun tidak dapat berbuat sesuatu kecuali saling pandang dengan para anak buahnya. Selagi masih kebingungan karena tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara Liu Tai-ciangkun yang lantang memanggil namanya!
"Panglima Coa Seng! Silakan berdiri di bagian kiri sana!"
Tentu saja Coa Tai-ciangkun semakin kaget, akan tetapi dia tidak dapat berbuat lain kecuali bangkit berdiri dari tempat duduknya, memandang ke sekeliling, kemudian kepada Liu Tai-ciangkun yang dengan tangannya mempersilakan dia pergi ke bagian kiri ruangan itu, di mana sudah ada bangku-bangku kosong menunggu. Dengan senyum menghias bibirnya dan sikap yang tenang karena dia percaya akan kekuasaannya, Coa Tai-ciangkun yang bernama Coa Seng itu lalu melangkah dan duduk di bangku terdepan dari tempat yang ditunjuk itu.
"Perwira Song Pun Ki!" Disebutnya nama ke dua ini membuat jantung Coa Tai-ciangkun berdebar tegang. Kenapa kebetulan sekali yang disebut sebagai orang ke dua adalah Song-ciangkun, perwira berkumis tebal yang menjadi tangan kanannya dalam persekutuannya degan pihak Tiat-liong-pang" Apakah ini hanya kebetulan saja" Akan tetapi, seperti juga dia, Song-ciangkun tidak dapat membantah dan dia pun lalu bangkit, lalu berjalan dengan langkah lebar, lalu duduk di dekat Coa Tai-ciangkun, sejenak mereka saling pandang, akan tetapi tentu saja tidak sempat untuk bicara.
Nama demi nama dipanggil dan keadaan menjadi semakin menegangkan karena ternyata bahwa nama-nama yang dipanggil ini adalah nama-nama para perwira yang menjadi anak buah Coa Tai-ciangkun, yaitu para perwira yang sudah setuju untuk bersama Tiat-liong-pang melakukan pemberontakan!
Setelah dua puluh dua orang perwira dipanggil dan berkumpul di bagian kiri ruangan itu, panggilan dihentikan oleh Liu Tai-ciangkun dan panglima tinggi ini lalu bangkit berdiri. Sambil memandang ke arah para perwira yang duduk di ruangan sebelah kiri, dan dengan suara lantang, Panglima Liu itu lalu berkata dengan tegas, "Panglima Coa Seng dan semua perwira yang telah berkumpul di sebelah kiri, semua sebanyak dua puluh dua orang, atas nama Kaisar, dengan wewenang yang ada pada kami selaku utusan yang berkuasa penuh, kami menangkap dan menahan kalian dengan tuduhan memberontak!"
Coa-ciangkun, Song-ciangkun dan rekan-rekannya serentak bangkit berdiri, ada pula yang mencabut pedang. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan dua orang berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu, kakek Kam Hong dan isterinya, nenek Bu Ci Sian, sudah meloncat ke arah sekumpulan perwira yang hendak ditangkap itu. Pada saat itu, Coa-ciangkun dan Song-ciangkun sudah siap memberontak bersama rekan-rekannya, dan memberi tanda kepada anak buah mereka yang berada di luar. Bahkan mereka sudah mencabut pedang masing-masing.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Coa-ciangkun roboh terkulai, terkena totokan jari tangan kakek Kam Hong, sedangkan Song-ciangkun demikian pula, roboh tertotok oleh nenek Bu Ci Sian! Para perwira lainnya segera menyerang dan hendak memberontak di ruangan itu, maka kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian bergerak cepat merobohkan beberapa orang. Pada saat itu, pasukan yang sudah siap di luar dan mengepung tempat itu, menerjang masuk dan dengan mudah, tanpa banyak menimbulkan kegaduhan, apalagi karena dibantu oleh Kam Hong dan Bu Ci Sian, dua puluh dua orang perwira pemberontak itu dapat dilumpuhkan, diborgol kedua tangan mereka dan menjadi tawanan! Semua ini berlangsung tanpa diketahui orang luar.
Liu Tai-ciangkun lalu memerintahkan agar menjaga ketat benteng itu dan melarang semua anggauta pasukan keluar dari dalam benteng. Ternyata perintahnya ini membawa hasil dengan ditangkapnya puluhan orang anak buah pasukan, perwira-perwira rendahan yang hendak melarikan diri keluar benteng. Mereka adalah anak buah Coa Tai-ciangkun yang mendengar akan penangkapan-penangkapan itu dan mereka hendak melarikan diri dan melapor kepada Tiat-liong-pang. Namun, berkat kesiapsiagaan sesuai dengan perintah Liu-tai-ciangkun, mereka semua tertangkap dan selanjutnya, dengan memaksa para tawanan ini, dengan mudah rekan-rekan mereka ditangkapi. Ternyata jaringan itu sudah cukup luas karena jumlah orang tawanan ada seratus orang lebih!
Liu-ciangkun lalu mengangkat perwira-perwira baru untuk menggantikan memegang pimpinan di dalam benteng itu, dan membersihkan semua unsur pemberontakan. Para tawanan dika
Kisah Sepasang Rajawali 1 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Dewi Ular 6