Pencarian

Pendekar Super Sakti 12

Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


untuk memperkenalkannya kepadamu. Siapa tahu, engkau malah sudah datang ke sini! Bagaimana engkau bisa sampai ke sini"
"Cihu, aku mengejar musuh besarku, perwira muka kuning! Ke mana dia" Harap Cihu jangan mencampuri, suruh dia keluar bersama musuh-musuhku yang lain!"
"Eh-eh, Adik Han Han. Mengapa engkau memaksa diri hendak menyebabkan kekacauan" Harap kau suka memandang mukaku, dan mengingat Encimu. Kalau engkau melakukan hal-hal yang mengacaukan di sini, dan membunuh panglima-panglima kerajaan, berarti engkau akan mendatangkan malapetaka kepadaku."
"Mengapa mereka datang ke rumah Cihu di sini" Mau apa" Apa artinya ini semua"
"Adikku, mereka adalah panglima-panglima kerajaan, tentu saja mereka pun sudah biasa mengadakan pertemuan dengan aku dan para tokoh pengawal. Ah, lebih baik kuperkenalkan kau dengan para pengawal." Pada saat itu, beberapa buah pintu terbuka dan muncullah tiga orang yang amat aneh keadaannya. Han Han memandang tajam dan ia pun siap dan waspada, maklum bahwa tiga orang yang muncul ini bukanlah orang-orang sembarangan dan ia mulai curiga terhadap cihunya.
"Sam-wi locianpwe, inilah Adik iparku yang gagah perkasa dan yang telah mempersiapkan tenaganya untuk membantu kerajaan. Inilah pendekar muda Sie Han." Giam-ciangkun memperkenalkan, kemudian berkata kepada Han Han, "Adikku, locianpwe itu adalah Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang amat lihai dari Khitan. Adapun kedua orang locianpwe ini adalah kedua Saudara Bhong yang berjuluk Sepasang Tikus Kuburan, juga memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali."
Han Han memandang mereka, terutama sekali Si Burung Hantu yang amat aneh keadaannya itu. Burung Hantu memandang Han Han dengan mata disipitkan, jelas sekali memandang rendah, kemudian berkata.
"Ehemmm, Adik iparmu ini lumayan juga, Giam-ciangkun!" Mungkin karena ketika bicara mulutnya terbuka dan mengeluarkan bau yang seperti sampah, dua ekor lalat terbang menyambar ke arah mulutnya. "Heh, segala macam lalat mengganggu saja!" kata Si Burung Hantu dan dua kali tampak sinar berkelebat-kelebat ketika manusia aneh ini menggerakkan senjatanya yang seperti sabit dan.... tubuh dua ekor lalat kecil itu jatuh ke lantai, terbelah menjadi dua!
Han Han yang melihat ini diam-diam merasa ngeri dan kaget sekali, maklum bahwa manusia yang seperti burung itu benar-benar amat sakti. Akan tetapi dia tidak mau peduli, lalu berkata kepada Giam-ciangkun, "Cihu, aku tidak ingin berkenalan dengan para locianpwe ini, melainkan ingin segera berhadapan dengan musuh-musuhku. Suruh mereka keluar, atau terpaksa aku akan mencari mereka sendiri di dalam rumah ini!"
"Heh-heh, bocah yang menjadi iparmu ini sungguh tidak memandang mata kepada kami, Ciangkun. Siapakah yang menjadi musuh-musuh mereka yang dicarinya di sini" tanya Bhong Poa Sik yang kepalanya botak dan ubun-ubunnya ada "telur"nya.
Giam-ciangkun menarik napas panjang. "Hemmm, inilah yang menyusahkan hatiku, Sam-wi Locianpwe. Adik iparku ini mempunyai dendam pribadi terhadap rekan kita Giam Kok Ma dan lima orang panglima lain dan berkeras hendak membunuh mereka. Bagaimana aku harus berbuat" Dia ini adalah Adik iparku sendiri, sedangkan membunuh enam orang rekan panglima sama saja dengan pemberontakan. Adikku Han Han, pikirlah baik-baik. Sebaiknya engkau menghapus semua dendam pribadi yang tidak ada gunanya itu dan marilah menikmati kemuliaan di kerajaan bersama para locianpwe ini. Percayalah, Kaisar amat bijaksana dan dapat menghargai seorang pandai."
Han Han mengerutkan keningnya dan menggeleng kepala. "Tidak bisa, Cihu. Dari pada menjadi seorang anak yang puthauw (durhaka), yang tidak mau membalas kematian keluarga orang tuaku, lebih baik aku menempuh segala bahaya sampai mati!"
"Hem, bocah sombong. Engkau hendak membunuhi enam orang panglima kerajaan" Wah-wah, nanti dulu! Apa kaukira hadirnya orang macam aku di sini tiada gunanya" Lawan dulu sabitku, baru boleh kau coba-coba melanjutkan niatmu yang jahat!" Sin-tiauw-kwi mengejek dan kakinya yang hanya sebelah yang berdiri itu meloncat-loncat seperti burung, maju mendekati Han Han.
"Orang muda, dengan adanya kami di sini, mana mungkin engkau akan membunuh panglima kerajaan" Jangan mimpi di siang hari!" bentak Bhong Lek yang sudah maju pula bersama adiknya.
Han Han mengerutkan keningnya dan memandang kakak iparnya, lalu berkata, suaranya dingin sekali. "Hemmm, beginikah kehendakmu, Cihu"
Bertemu pandang dengan adik iparnya, Giam-ciangkun merasa bulu tengkuknya berdiri. Pandang mata Han Han seolah-olah menembus dan dapat menjenguk isi hatinya, maka sambil menggerakkan pundaknya dan mengalihkan pandang ia menjawab, "Engkaulah yang menyusahkan aku, Han Han. Tentu saja tidak seorang pun di sini yang akan membiarkan engkau membunuh orang, apalagi hendak membunuh enam orang panglima. Bahkan aku sendiri mau tidak mau harus mencegahmu, karena kalau aku membiarkanmu, berarti aku seorang pemberontak pula. Mengapa kau tidak mau sadar"
Han Han memutar otaknya dan teringatlah ia akan semua kejadian semenjak malam tadi. Ia ingat akan percakapan antara cihunya dan cicinya, kemudian teringat akan perbuatan Giam Kok Ma sehingga perwira itu pergi ke tempat ini. Ternyata cihunya sudah berada di sini pula bersama tokoh-tokoh ini. Bukankah semua ini sudah diatur lebih dulu" Dugaan ini menimbulkan amarah di hatinya, maka ia mengangkat muka membusungkan dada.
"Keputusanku sudah jelas! Aku akan mencari Si Keparat Panglima Muka Kuning yang bernama Giam Kok Ma itu dan lima orang sekutunya yang dulu menghancurkan keluarga orang tuaku. Kalau ada yang hendak menghalang, dia itu pun harus kuenyahkan!"
"Heh-heh, orang muda yang sombong!" Dua orang Tikus Kuburan sudah menubruk maju untuk menangkap Han Han. Mereka memandang rendah sekali. Pemuda itu masih bocah, biarpun keadaannya aneh dan sikapnya luar biasa dingin dan beraninya, namun mempunyai kepandaian apakah"
Han Han yang sudah marah itu membalikkan tubuh dan menggerakkan kedua tangannya mendorong. Karena maklum akan kelihaian dua orang kakek ini, sekaligus ia telah mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang pada kedua lengannya.
"Hayaaaaa....!" Dua orang itu terkejut setengah mati ketika ada hawa panas menyambar dan menyesakkan dada mereka, membuyarkan semua tenaga sin-kang mereka yang mereka pergunakan untuk menahan pukulan, akhirnya mereka tidak kuat dan terpaksa melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan menjauhkan diri! Mereka meloncat bangun dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
"Ehemmm, kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian!" Si Burung Hantu membentak, akan tetapi sebelum ia turun tangan, terdengar suara ketawa.
"Hi-hi-hi, burung yang jelek, jangan rampas korbanku! Serahkan bocah ini kepadaku!" Tubuh Toat-beng Ciu-sian-li melayang turun dan tahu-tahu ia telah berhadapan dengan Han Han.
Karena merasa pernah menjadi murid wanita ini, Han Han terkejut sekali dan otomatis ia menjura dengan hormat sambil berkata, "Subo, harap jangan mencampuri urusan pribadiku!"
"Heh-heh-hi-hik, kalian semua telah mendengarnya, kan" Dia adalah muridku dan karena dia telah melakukan dosa melanggar peraturan-peraturan perguruan, maka dia sepenuhnya menjadi hakku."
Sin-tiauw-kwi tertawa. "Heh-heh, aku bukanlah orang yang suka mencampuri urusan guru dan murid. Toat-beng Ciu-sian-li, muridmu ini sombong dan tidak benar, memang perlu sekali akan pengajaranmu!"
Teat-beng Ciu-sian-li menghadapi Han Han sambil menyeringai. "Bocah iblis murid durhaka. Apakah engkau tidak lekas berlutut minta ampun kepada gurumu"
Han Han mengerutkan alisnya. Ia melihat cihunya sudah duduk dengan tenang di atas kursi menghadapi meja, juga sepasang Tikus Kuburan sudah mengambil tempat duduk sedangkan Sin-tiauw-kwi sudah berdiri dengan satu kaki, sikap mereka semua seperti orang-orang yang hendak menonton pertunjukan menarik. Han Han menduga bahwa memang dia hendak diadu dengan bekas gurunya ini, atau memang mereka hendak mencelakakannya dalam usaha mereka melindungi enam orang musuh-musuhnya yang hendak ia basmi. Ia menjadi penasaran akan tetapi sedikit pun tidak gentar. Ia menghadapi Ciu-sian-li dan berkata lantang.
"Locianpwe, aku menghormatimu sebagai bekas guru, akan tetapi sekarang aku bukanlah muridmu lagi. Tentang kesalahanku dahulu telah melarikan diri darimu karena aku memang tidak suka menjadi muridmu. Sekarang, karena sedang menghadapi urusan pribadi hendak membasmi musuh-musuh keluargaku, harap kau orang tua suka mengalah dan membiarkan aku membereskan urusan pribadiku. Kalau sudah selesai aku membasmi musuh-musuhku barulah kita bicara tentang urusan kita."
"Eh, Si keparat bocah tak mengenal budi! Tak usah banyak bicara hayo lekas berlutut di depanku!"
Akan tetapi bentakan ini malah mendatangkan rasa penasaran di hati Han Han. Selama ia keluar dari Pulau Es, dia selalu dimusuhi orang, baik oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang disebut golongan putih maupun oleh tokoh-tokoh golongan hitam. Rasa penasaran ini membuat ia marah dan nekat.
"Toat-beng Ciu-sian-li, engkau mempunyai pendirian, aku pun punya! Aku akan membasmi musuh-musuhku dan siapa pun yang menghalangiku, biar engkau sekalipun, akan kulawan!"
"Wah-wah, baru sekarang aku melihat murid lebih galak dari gurunya!" kata Sin-tiauw-kwi sambil tertawa.
"Tutup mulutmu, Burung Buruk!" Ciu-sian-li membentak. "Kaukira aku tidak dapat menguasai muridku" Han Han, sekali lagi, engkau tidak mau taat"
"Terserah kepadamu, aku tidak menganggapmu sebagai guru lagi."
Toat-beng Ciu-sian-li mengeluarkan suara teriakan melengking dan tiba-tiba rantai gelang yang dijadikan anting-anting telinganya itu menyambar dari kanan kiri, yang kiri menyambar kepala Han Han, yang kanan menyambar ke arah dada.
Sambaran kedua benda itu cepat dan kuat sekali, mengeluarkan bunyi berdesing dan Han Han yang tidak keburu mengelak, mengerahkan tenaganya dan menghantam ke arah dua ujung rantai gelang itu dengan kedua telapak tangannya.
"Plak-plak!"
"Bukkk!" Tanpa disangka-sangka oleh Han Han, pukulan nenek itu sudah menyusul pada saat ia menggerakkan tangan menangkis sehingga dadanya kena didorong oleh tangan kiri nenek itu. Tubuh Han Han roboh bergulingan, dadanya ampek dan napasnya sesak. Akan tetapi ia menahan napas dan meloncat bangun. Juga nenek itu terkejut bukan main karena tangkisan kedua tangan pemuda itu membuat rantai gelangnya kehilangan dua buah mata gelang yang pecah terkena hantaman tangan Han Han.
"Bocah keparat, berani engkau melawan Toat-beng Ciu-sian-li!" Nenek itu memekik dan tubuhnya sudah melayang naik dan meluncur ke arah Han Han dengan terjangan dahsyat sekali. Kedua tangan nenek itu mengirim pukulan-pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Hawa pukulan kedua tangannya bercuitan bunyinya dan tercium bau amis sebelum pukulan itu datang. Melihat ini, Han Han maklum bahwa ia menghadapi lawan yang lebih lihai daripada Gak Liat atau Ma-bin Lo-mo, maka ia cepat mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dan menggunakan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang.
"Wusssss.... plak-plak....!" dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya kembali Han Han terjengkang dan bergulingan. Akan tetapi nenek itu berdiri menggigil dan mulutnya berseru berkali-kali, "Luar biasa.... luar biasa....!"
Memang ia merasa heran setengah mati mendapat kenyataan betapa kekuatan Im-kang bocah itu lebih hebat daripada Swat-im Sin-ciang Ma-bin Lo-mo sendiri!
"Heh-heh-heh, Dewi Pemabuk! Apakah engkau kewalahan menghadapi muridmu sendiri" Si Burung Hantu mengejek sambil tertawa.
Nenek itu melengking tinggi karena marahnya, tubuhnya berkelebat cepat ke depan dan segera Han Han dihujani serangan dengan kedua tangan yang bergantian memukul, kedua kaki yang bergantian menendang, dan sepasang anting-anting raksasa yang menyambar-nyambar dari kiri kanan! Hebat bukan main sepak terjang nenek ini sehingga secara berturut-turut Han Han terdesak, beberapa kali menerima pukulan dan hantaman senjata rantai gelang sehingga ia terguling-guling dan merasa tubuhnya sakit-sakit semua.
Sepasang Tikus Kuburan bertepuk-tepuk tangan saking gembira dan memang mereka kagum bukan main. Sudah lama mereka mendengar nama besar Toat-beng Ciu-sian-li, akan tetapi baru sekarang mereka menyaksikan kelihaian nenek itu. Tadi mereka sudah mengenal kehebatan tenaga bocah itu, kini melihat betapa nenek itu mendesak dan menghimpit, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Han Han, tentu saja mereka menjadi kagum sekali. Adapun Giam-ciangkun yang menyaksikan betapa adik isterinya terancam bahaya maut hanya tenang-tenang saja karena sesungguhnya ia menganggap Han Han sebagai ancaman bagi dirinya sendiri.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Ma-bin Lo-mo dan Gak Liat, nenek ini pun tidak ingin membunuh Han Han karena dia sudah mendengar dari tiga orang muridnya tentang keadaan diri Han Han yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Dia pun diam-diam menduga bahwa Han Han tentu telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, maka ia ingin memaksa anak muda itu untuk membuka rahasia tentang Pulau Es, ingin menangkapnya dan membawanya pergi. Di samping ini, juga ia ingin memamerkan kepandaiannya kepada para jagoan kerajaan, maka ia sengaja mempermainkan Han Han dan mengeluarkan kepandaiannya yang memang mengagumkan sekali. Kalau ia kehendaki, tentu ia telah dapat membunuh Han Han dengan pukulan-pukulan Toat-beng-tok-ciang yang dikerahkan dengan tenaga sepenuhnya.
Untuk ke sekian kalinya, ketika dengan nekat Han Han menubruk, menggunakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dengan tangan kanan dan pukulan Swat-im Sin-ciang dengan tangan kiri, yang amat mengagumkan hati nenek itu, Toat-beng Ciu-sian-li mencelat ke atas sehingga kedua pukulan itu luput, kemudian dari atas kakinya menendang, mengenai dada Han Han sehingga tubuh pemuda ini terlempar sampai di sudut ruangan itu. Han Han terbanting pada dinding, tangannya meraba kaki meja hiasan tinggi yang menjadi tempat pot bunga. Ia meloncat bangun dan mematahkan kaki meja itu. Seperti juga kursi yang diduduki Giam-ciangkun, kaki meja itu terbuat daripada akar pohon yang bengkak-bengkok dan nyeni, begitu ia patahkan menjadi sebatang tongkat dan dengan senjata sederhana ini Han Han maju lagi menghadapi Si Nenek sakti dengan kemarahan meluap-luap. Ia maklum bahwa kepandaiannya kalah jauh, akan tetapi kemauannya yang keras membuat ia nekat dan pantang menyerah, kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya di tangan bekas gurunya ini.
"Ha-ha-ha-ha, biar engkau berubah menjadi tiga orang, tak mungkin engkau dapat menangkap Toat-beng Ciu-sian-li, bocah sombong!" Bhong Lek yang mukanya kaya tikus mengejek.
"Heh-heh, biar dia berkepala tiga dan berlengan enam, takkan mampu menang!" Bhong Poa Sik mengejek pula.
Mendengar ini, nenek itu terkekeh. "Jangankan hanya menjadi tiga, biar menjadi tiga puluh sekalipun aku masih sanggup mempermainkannya!"
Han Han makin marah, merasa dianggap rendah sekali. Ia teringat akan kemampuannya yang luar biasa, yang hampir berhasil ketika ia pergunakan dalam menghadapi Setan Botak dan Si Muka Kuda tempo hari. Mendengar itu, ia pun lalu berkata dengan suara lantang, sinar matanya menyambar-nyambar seperti kilatan halilintar dan suaranya yang mengandung khi-kang kuat itu didasari kekuatan kemauan mujijat yang amat berpengaruh.
"Nenek sombong! Lihat, aku sudah menjadi tiga orang! Engkau mau bisa apa" Sambil berkata demikian ia menyerang dengan pukulan tongkat kaki meja ke depan dan terbelalaklah semua orang ketika melihat betapa Han Han benar-benar telah menjadi tiga orang! Tiga orang muda berambut riap-riapan, ketiganya memegang tongkat dan menyerang Toat-beng Ciu-sian-li dari tiga jurusan!
"Hehhh....! Mimpikah aku" Si Burung Hantu berkata gagap dengan mata makin menjuling.
"Demi segala iblis di neraka!" Si Muka Tikus Bhok Lek berseru dengan mata terbelalak.
"Ajaib.... se.... se.... setan....!" Adiknya juga berseru.
"Ilmu hitam apakah ini...." Giam-ciangkun juga berseru, jantungnya seperti berhenti berdetik.
"Ayaaaaa....!" Toat-beng Ciu-sian-li menjadi bingung dan menjerit, punggungnya terkena hantaman tongkat.
Akan tetapi tubuhnya kebal dan sungguhpun ia merasa punggungnya nyeri, namun ia tidak terluka dan kembali ia melengking nyaring, tubuhnya mencelat ke atas dan ia menghindarkan pukulan tangan kanan kedua orang "Han Han" yang berada di belakangnya sambil menggerakkan rantai gelang telinga kanannya menyerang ke arah dada Han Han yang bergerak ke depannya.
"Pranggg....!" Dengan telapak tangan kanannya Han Han menampar ujung rantai itu sehingga dua buah gelang pecah-pecah sambil memegang tongkat dengan tangan kiri. Dalam pandang mata empat orang yang menjadi penonton, dua orang "Han Han" yang lain juga memindahkan tongkat ke tangan kiri dan mereka menerjang berbareng.
"Eh.... hiiihhhhh....!" Toat-beng Ciu-sian-li selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti itu. Ia kembali meloncat ke atas untuk menghindarkan diri dan tiba-tiba ia menggerakkan tangan. Kiranya ia sudah melolos tiga buah gelang rantainya dan melontarkannya ke arah tiga orang lawannya. Memang anting-anting luar biasa itu selain menjadi "perhiasan" dan senjata ampuh, juga dapat ia pergunakan sebagai senjata rahasia, yaitu dengan cara melolos gelang-gelangan rantainya.
Han Han cepat mengelak sambil menangkis dengan tongkatnya. "Trakkk!" Tongkatnya patah dan remuk dan ternyata bahwa tongkat kedua orang "bayangannya" juga patah dan remuk. Kini dia dan bayangan-bayangannya itu mengeroyok dengan tangan kosong. Melihat ini Giam-ciangkun segera berseru, "Ilmu sihir! Dia hanya seorang, yang dua hanyalah bayangan!"
Toat-beng Ciu-sian-li bukan seorang bodoh. Dia seorang datuk golongan hitam yang sakti. Maka ia segera sadar bahwa tidak mungkin ada manusia yang dapat mengubah diri menjadi tiga orang, maka ia mengerahkan kekuatan batinnya dan seketika pandangannya menjadi terang. Lawannya hanya seorang saja, bekas muridnya yang telah memperoleh kemajuan luar biasa sekali, terutama telah memiliki tenaga sin-kang yang mentakjubkan.
Akan tetapi rasa gentar dan bingung tadi dipergunakan baik-baik oleh Han Han. Selagi lawannya bingung, ia mengerahkan tenaganya di kedua tangan dan begitu tubuh nenek itu turun, ia menubruk ke depan, memukul dengan dorongan dahsyat. Kini ia menggunakan inti tenaga Im-kang yang ia latih selama bertahun-tahun di Pulau Es, menurut petunjuk kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Sepasang Pedang Iblis dan dengan pukulan seperti itu Han Han mampu memukul air menjadi beku dan menjadi sebongkah salju sebesar kerbau!
"Ihhhhh....!" Toat-beng Ciu-sian-li merasa betapa hebatnya hawa pukulan yang amat dingin itu. Baru terkena hawanya saja, ia merasa semua darah di tubuhnya seperti membeku, maka maklumlah nenek ini bahwa kalau ia terkena pukulan itu, tentu ia tidak akan kuat menahan dan akan tewas! Maka ia mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba tubuhnya lenyap. Pukulan Han Han mengenai lantai di belakang tempat nenek itu tadi berdiri, membuat lantai itu bergetar dan semua perabot yang berada di belakangnya hancur semua. Kiranya nenek itu mempergunakan tenaganya yang mujijat dan tubuhnya telah amblas ke lantai! Dia selamat, akan tetapi ketika ia meloncat keluar dari lantai yang mencetak tubuhnya merupakan lubang sedalam satu kaki, ia kelihatan pucat dan dari ujung bibirnya menetes darah. Ia hanya kena serempet saja, namun cukup membuat nenek ini terluka!
"Ha-ha-ha, nenek setan arak, biar kubantu engkau!" Tiba-tiba terdengar seruan keras dan tahu-tahu Gak Liat Si Setan Botak telah berada di belakang Han Han, lalu secepat kilat ia memukul punggung Han Han dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Han Han merasa betapa hawa panas menyambarnya dari belakang. Ia mengerahkan sin-kang melindungi tubuhnya sambil membalik, namun terlambat. Pukulan ampuh mengenai punggungnya dan biarpun tubuhnya dilindungi sin-kang yang kuat, tidak urung ia terlempar juga dan roboh pingsan di depan kaki Toat-beng Ciu-sian-li.
"Ha-ha-ha! Aku sudah membantumu. Engkau pun harus membantu kami, membantu kerajaan, Toat-beng Ciu-sian-li!" kata pula Gak Liat.
Nenek itu memandang tubuh yang tergolek pingsan di depan kakinya, mengusap darah dari ujung bibirnya dan menarik napas panjang. "Sebetulnya aku tidak membutuhkan bantuanmu, Setan Botak. Akan tetapi aku memang sudah berjanji untuk membantu kalian asal Kaisar dapat menghargai tenaga orang. Sekarang aku ada urusan pribadi dengan bocah ini. Sampai jumpa! Lain kali aku datang lagi!" Ia mengempit tubuh Han Han yang lemas dan hendak pergi.
"Ha-ha-ha, takkan ada gunanya kau membujuk dia untuk bicara tentang Pulau Es, Ciu-sian-li. Dia keras kepala, engkau takkan berhasil!" kata pula Gak Liat.
Toat-beng Ciu-sian-li menengok dan berkata, suaranya dingin, "Siapa hendak bicara tentang Pulau Es" Dia bekas muridku yang durhaka, harus diberi hukuman untuk memberi contoh kepada murid-murid lain!" Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyap.
Giam-ciangkun bernapas lega, merasa seolah-olah sebuah batu berat yang selalu menekan di dalam dadanya telah ikut terbawa pergi oleh nenek sakti itu. "Aaahhhhh, sungguh berbahaya...." katanya sambil menyapu peluh yang membasahi lehernya. Pintu terbuka dan munculiah Giam Kok Ma, mukanya yang kuning kini berubah putih dan ia bertanya terengah-engah, "Be.... betulkah apa yang kulihat tadi" Dia.... iblis cilik itu.... berubah menjadi tiga" Celaka.... jangan-jangan hanya satu yang dibawa pergi, yang dua lagi...." Panglima muka kuning ini memandang ke seluruh ruangan dengan mata jelilatan, takut kalau-kalau ia akan menemukan dua orang Han Han lagi di tempat itu, yang pasti akan membunuhnya.
Kang-thouw-kwi Gak Liat tertawa, lalu duduk di atas kursi dan berkata.
"Ciangkun, tidak usah khawatir. Dia memang memiliki sedikit ilmu sihir. Bukan tubuhnya berubah menjadi tiga, hanya dia mempengaruhi pandangan dan kemauan kita sehingga kita melihatnya seperti tiga orang. Setan cilik itu betul-betul amat berbahaya kalau dibiarkan hidup. Dia memiliki banyak ilmu yang aneh-aneh. Untung dia telah tertawan oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan aku mengenal betul siapa Ciu-sian-li. Iblis cilik itu pasti tidak akan hidup lagi. Ha-ha-ha!"
"Syukurlah kalau begitu," kata Giam Cu dan Giam Kok Ma dengan hati lega.
"Tenaga sin-kangnya tidak lumrah manusia," kata kedua orang Saudara Bhong.
Gak Liat hanya tertawa, tidak mau bicara banyak karena dia sendiri masih ngeri kalau mengingat betapa dia dengan Ma-bin Lo-mo sampai terluka ketika melawan bocah itu, dan lebih-lebih lagi, ketika hendak membunuhnya tiba-tiba muncul tokoh yang paling disegani, paling dihormati, juga paling ditakuti di dunia ini. Koai-lojin!
"Ehmmm.... sayang sekali aku tidak mendapat kesempatan untuk menghajar bocah sombong itu!" tiba-tiba Sin-tiauw-kwi berkata sambil menggoyang senjata sabit di tangannya.
"Ha-ha-ha, Sin-tiauw-kwi burung jelek. Percuma menyesal, dia tentu akan mampus di tangan Ciu-sian-li. Kalau kau ingin memperlihatkan kepandaianmu, boleh kau coba-coba dengan aku."
"Boleh! Sekarang pun boleh!" kata Si Burung Hantu dan ia menggerakkan tangan kirinya ke arah seekor lalat yang selalu banyak beterbangan di sekitar tubuhnya yang mungkin karena tertarik baunya yang apek dan penguk. Begitu ia memutar-mutar tangannya, ada angin berpusingan keras dan betapapun lalat itu hendak terbang, ia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan hanya terbang bingung berputar-putar di depannya!
Demonstrasi sin-kang yang seperti main-main ini sesungguhnya hebat, memperlihatkan betapa Si Burung Hantu sudah menguasai sin-kang sampai cukup tinggi sehingga mampu menggunakan tenaga yang dibikin halus seperti itu!
"Ha-ha-ha! Beraninya hanya sama lalat!" Setan Botak tertawa dan menggerakkan tangannya mendorong ke arah lalat yang beterbangan berputaran itu. Lalat itu jatuh dan.... hangus!
"Huh!" Si Burung Hantu mendengus. "Hwi-yang Sin-ciang boleh jadi dapat menghanguskan seekor lalat, akan tetapi aku tidak takut!" katanya menentang.
Melihat ini, Giam-ciangkun lalu bangkit berdiri dan menengahi mereka, hatinya kesal menyaksikan ulah kedua orang sakti yang aneh, seperti kanak-kanak yang saling tidak mau mengalah. "Sudahlah, harap ji-wi locianpwe suka menghentikan main-main yang berbahaya ini. Gak-locianpwe, bagaimanakah dengan hasil perjalanan locianpwe"
"Seperti ciangkun telah melihat sendiri, Toat-beng Ciu-sian-li sudah menyanggupi untuk membantu kita. Biarpun omongan nenek tua bangka itu belum tentu dapat dipegang, akan tetapi saya yakin, bahwa dia tidak akan sudi membantu kaum pemberontak. Tentang Ma-bin Lo-mo, memang Si Muka Kuda yang menjemukan itu sukar sekali diurus. Akan tetapi saya mempunyai daya upaya untuk membubarkan murid-muridnya yang selalu dia tanamkan bibit kebencian kepada pemerintah baru dalam hati mereka. Hemmm, Si Muka Kuda itu mengira bahwa tidak ada orang mengetahui rahasianya. Dia lupa bahwa tidak mudah orang menyembunyikan rahasia dari Kang-thouw-kwi, heh-heh!"
"Bagus! Rahasia apakah itu locianpwe" Murid-murid Ma-bin Lo-mo sudah banyak mendatangkan banyak kepusingan pada para penjaga di perbatasan. Kalau kita dapat menundukkan mereka, berarti semua tenaga anti pemberontakan dapat dikerahkan menghadapi Se-cuan saja."
"Rahasia besar Ma-bin Lo-mo, rahasia busuk, ha-ha-ha!" Gak Liat tertawa, menyambar guci arak di atas meja lalu minum arak sampai terdengar bunyi mengelogok di tenggorokannya. "Setiap orang muridnya adalah putera-puteri keluarga yang terbasmi habis. Semua muridnya percaya dan mengira bahwa keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Padahal tidak seorang pun keluarga mereka terbasmi oleh pasukan Mancu. Yang membunuh keluarga mereka adalah Ma-bin Lo-mo sendiri. Ha-ha-ha!"
Sepasang Tikus Kuburan terkejut. Mereka juga mengenal siapa adanya Ma-bin Lo-mo, seorang bekas menteri Kerajaan Beng-tiauw yang tentu saja anti Kerajaan Mancu. Mereka mendengar betapa di In-kok-san, di puncak Pegunungan Tai-hang-san, kakek itu melatih puluhan orang murid yang kini telah menjadi orang-orang muda berilmu yang di mana-mana memusingkan petugas kerajaan karena mereka itu selalu melakukan kekacauan. Mereka ini mendengar bahwa para murid In-kok-san memusuhi Kerajaan Mancu karena mereka adalah keturunan para keluarga yang terbasmi oleh pasukan Mancu dalam perang.
"Eh, Gak-locianpwe. Benarkah itu"
Kang-thouw-kwi melototkan matanya kepada kedua orang saudara Bhong ini. "Mengapa tidak benar" Orang lain boleh ditipu, akan tetapi aku tidak! Aku mengetahui rahasia Ma-bin Lo-mo. Dia memilih calon murid, laki-laki atau perempuan yang memiliki tulang dan bakat baik, kemudian ia membasmi keluarga calon murid itu, mengatakan bahwa yang membasmi adalah orang-orang Mancu dan ia membawa murid itu ke In-kok-san dan selain memberi kepandaian, juga menanamkan kebencian terhadap pemerintah Ceng. Dalam usahanya membentuk barisan orang-orang muda yang membenci pemerintah baru itu ia dibantu oleh Si Muka Tengkorak Swi Coan, Si Muka Bopeng Ouw Kian dan Kek Bu Hwesio. Kalau murid-murid itu tahu akan tipu muslihat guru mereka, ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang akan dapat dilakukan Si Muka Kuda. Ha-ha-ha!"
"Akan tetapi, betapa mungkin dapat menginsafkan para muridnya, locianpwe"
"Hal itu memang sukar, akan tetapi saya rasa Puteri Nirahai akan dapat mencari akalnya. Tentang siasat, sebaiknya kita serahkan kepada Sang Puteri yang seratus kali lebih cerdik daripada saya si tua bangka. Dan tentang gadis Mancu yang menjadi adik angkat Han Han, agaknya Ciangkun tentu sudah mendengar dari murid saya Ouwyang-kongcu."
"Ouwyang-kongcu memang sudah pulang bersama Lulu, akan tetapi gadis itu hanya menimbulkan keributan saja. Dia telah diterima di istana, bahkan telah diangkat menjadi siuli, akan tetapi baru beberapa hari saja dia sudah minggat entah ke mana. Kini Ouwyang-kongcu sedang berusaha mencarinya dan belum pulang."
"Wah, sungguh merepotkan. Dan Puteri Nirahai, apakah sudah pulang"
"Belum," jawab Giam-ciangkun. "Marilah kita kembali ke kota raja. Kita harus memberi laporan kepada Pangeran Ouwyang Cin Kok, dan aku sendiri masih menghadapi kesukaran. Hemmm.... tak tahu aku bagaimana harus menyampaikan kepada isteriku tentang adiknya."
Giam Kok Ma berkata, "Sebaiknya kalau dikatakan bahwa Adik iparmu itu pergi tanpa pamit mencari Lulu. Bukankah alasan itu yang paling baik"
Giam Cu mengangguk-angguk. "Hemm, agaknya benar begitu. Memang tidak ada alasan lain."
Kembalilah mereka beramai ke kota raja. Giam Kok Ma menjadi girang bukan main dan baru pada malam hari itu ia dapat tidur setelah beberapa malam semenjak diberi tahu Giam Cu bahwa dia dan rekan-rekannya diancam oleh Han Han ia sama sekali tidak dapat tidur nyenyak tidak dapat makan enak!
*** Di dalam kempitan seorang sakti seperti Toat-beng Ciu-sian-li, apalagi dua jalan darahnya telah ditotok, biarpun sudah sadar Han Han tidak mampu berbuat apa-apa. Melihat dirinya dikempit dan dibawa lari cepat sekali, Han Han berkata.
"Toat-beng Ciu-sian-li, setelah aku kalah, mengapa susah payah membawa aku pergi" Lebih baik kaubunuh sajalah aku, habis perkara!"
Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li melemparkan tubuh Han Han ke atas tanah lalu berkata. "Enak saja membunuhmu! Engkau telah berdosa, telah melanggar peraturan di In-kok-san. Engkau harus dihukum! Ataukah engkau dapat bicara sesuatu untuk meringankan hukumanmu"
Han Han tersenyum pahit. "Aku tahu isi hatimu, Ciu-sian-li. Engkau telah menyaksikan kelihaianku dan engkau menghendaki agar supaya aku bicara tentang Pulau Es, bukan"
"Benar, benar....!" Ciu-sian-li berkata penuh gairah. "Bicaralah, dan aku akan memperingan hukuman, bahkan mungkin saja aku mengampunimu, tergantung dari berharga atau tidaknya bicaramu."
Han Han berpikir dan hatinya kecewa bukan main. Beginikah wataknya orang-orang pandai di dunia ini" Gak Liat, Siangkoan Lee dan nenek ini adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi, sukar dicari bandingnya namun toh mereka masih belum puas akan apa yang mereka miliki, masih amat rakus akan ilmu orang lain! Tidak salah ucapan orang pandai di jaman dahulu bahwa kalau menurutkan nafsu, manusia ini ingin memeluk dunia, ingin menyamai kekuasaan Tuhan! Kalau ia bicara tentang Pulau Es, nyawanya akan diampuni, tidak akan dibunuh! Benarkah ini" Andaikata benar dan ia menunjukkan Pulau Es kepada nenek ini, padahal dia sendiri sangsi apakah dia akan sanggup mencari pulau itu, berarti dia mengkhianati penghuni Pulau Es! Padahal dia dan Lulu telah menerima budi yang bukan main besarnya dari penghuni Pulau Es! Apakah artinya hidup menjadi pengkhianat" Dia sudah menjadi anak puthauw, belum mampu membalas kematian orang tuanya, apakah kini mau ditambah menjadi pengkhianat lagi" Biarpun kakeknya seorang jahat, dia akan berusaha agar tidak menjadi orang yang tidak berharga! Lebih baik mati sebagai seorang yang mempertahankan kebenaran daripada hidup sebagai seorang manusia yang rendah budi!
"Tidak ada yang dapat kubicarakan tentang Pulau Es," katanya tegas.
"Hemmm, bocah keras kepala. Apakah engkau ingin kusiksa"
"Sesukamulah. Sehebat-hebatnya siksaan hanya akan berakhir dengan kematian, dan aku tidak takut mati, Ciu-sian-li. Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menyiksaku habis-habisan, mereka pun hanya melelahkan diri sendiri. Sia-sia. Lebih baik kaubunuh saja aku, habis perkara. Engkau tidak pusing, aku pun tidak jemu!" Memang luar biasa sekali ketabahan yang tidak lumrah manusia ini dan memang dia tidak hanya menggertak atau pura-pura saja. Ia akan mampu menghadapi maut dengan mata terbuka.
"Hemmm, enaknya. Engkau akan kubawa ke In-kok-san, akan kuberi hukuman agar menjadi contoh bagi semua murid yang murtad!"
Han Han tidak mau menjawab lagi, hanya memandang nenek itu dengan sinar mata tidak acuh sama sekali. Nenek itu mendengus marah, menyambar lagi tubuh Han Han dan mengempitnya lalu membawanya lari cepat sekali seperti terbang.
Para murid di In-kok-san kini telah menjadi pejuang-pejuang muda yang gagah berani dan biarpun mereka itu tidak bekerja sama, juga jumlah mereka hanya beberapa puluh orang saja, namun sudah cukup mendatangkan kepusingan bagi pemerintah Mancu. In-kok-san kini hanya merupakan tempat di mana kadang-kadang para murid itu pulang, karena memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi. Setelah mereka tamat belajar dan mulai membantu perjuangan menentang pemerintah penjajah, In-kok-san menjadi sunyi. Bahkan Ma-bin Lo-mo jarang sekali berada di puncak itu. Hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya yang selalu berada di situ, karena berbeda dengan Ma-bin Lo-mo yang mendidik murid-muridnya untuk memusuhi pemerintah Mancu, Toat-beng Ciu-sian-li tidak mementingkan soal politik, dan tekun melatih tiga orang muridnya, yaitu Kim Cu, Phoa Ciok Lin dan Gu Lai Kwan. Biarpun demikian, tiga orang muridnya yang semenjak dibawa ke In-kok-san oleh Ma-bin Lo-mo memang sudah membenci bangsa Mancu karena keluarga, mereka terbasmi oleh bangsa Mancu, apalagi karena semua murid Ma-bin Lo-mo yang berada di situ juga saudara-saudara seperguruan mereka, maka tiga orang muda ini tentu saja tidak mau tinggal diam melihat perjuangan para murid Ma-bin Lo-mo. Sering kali mereka bertiga meninggalkan In-kok-san untuk mengganggu pembesar-pembesar Mancu, membunuhi mereka, terutama sekali kepala kampung-kepala kampung atau pembesar-pembesar baru di dusun-dusun. Toat-beng Ciu-sian-li yang melihat betapa tiga orang muridnya juga ikut-ikut berjuang, tidak ambil peduli dan menganggap itu sebagai latihan yang baik bagi mereka.
Akan tetapi betapa kaget, penasaran dan marah hati nenek ini ketika hari itu ketiga orang muridnya melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Han Han yang melindungi seorang Panglima Mancu yang hendak pulang ke kota raja dan betapa mereka bertiga telah kalah melawan Han Han! Tiga orang muridnya yang ia banggakan itu, yang tentu saja ketiganya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada semua murid Ma-bin Lo-mo, kalah oleh murid durhaka yang melarikan diri itu" Nenek itu marah, penasaran, dan juga di sudut hatinya timbul keheranan dan dugaan bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian yang terdapat di Pulau Es. Maka ia lalu turun dari In-kok-san menuju ke kota raja. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat yang membujuk-bujuknya untuk membantu istana dengan menjanjikan kemuliaan kepada nenek itu. Toat-beng Ciu-sian-li tertarik, maka ia dianjurkan oleh Gak Liat untuk langsung menghadap Pangeran Ouwyang Cin Kok seperti telah direncanakan. Karena memang dia hendak mencari muridnya yang murtad di kota raja, maka nenek itu menyanggupi dan seperti telah diceritakan, dia bertemu dengan Pangeran Ouwyang Cin Kok dan betapa girang hatinya ketika ia mendengar pula, bahwa Han Han berada di kota raja. Maka ia lalu ikut menjalankan siasat memancing Han Han keluar kota raja kemudian menangkap pemuda itu dan membawanya ke In-kok-san. Mula-mula memang ia hendak membujuk Han Han untuk bicara tentang Pulau Es, akan tetapi setelah hatinya yakin bahwa ia takkan berhasil membujuk pemuda aneh yang memiliki kekerasan hati luar biasa itu, ia mengambil keputusan untuk mengancam Han Han dengan hukuman-hukuman dan kalau pemuda itu tetap menolak, ia akan menghukum mati di depan murid-muridnya agar para muridnya tunduk kepadanya.
Ketika Toat-beng Ciu-san-li tiba di In-kok-san mengempit tubuh Han Han, tiga orang muridnya menyambutnya dengan berbagai macam perasaan. Gu Lai Kwan menjadi girang sekali bahwa orang yang pernah mengalahkannya dan membuatnya penasaran kini telah ditawan gurunya. Phoa Ciok Lin juga tersenyum puas karena gadis bermata tajam ini menganggap Han Han sebagai musuh, pembela seorang Panglima Marcu. Adapun Kim Cu memandang Han Han dengan mata terbelalak dan hatinya seperti ditusuk pedang karena ia merasa kasihan sekali dan merasa ngeri betapa bekas sahabatnya yang paiing baik ini akan mengalami hukuman yang mengerikan! Akan tetapi karena ia tak mungkin dapat menolongnya, ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Juga belasan orang murid Ma-bin Lo-mo yang kebetulan berada di In-kok-san memandang dan saling berbisik membicaraken Han Han yang tentu saja mereka kenal sebagai seorang murid yang murtad dan menyeleweng, minggat dari In-kok-san.
Nenek itu menoleh kepada para murid yang bergerombol memandang itu dan berkata, "Murid murtad sudah tertangkap, mari kalian saksikan dia dihukum!"
Nenek itu langsung membawa Han Han ke sebuah kamar yang kosong dan buruk, yaitu kamar penyiksaan atau kamar tempat hukuman bagi para murid murtad. Di situ hanya terdapat sebuah dipan bambu kecil di tengah kamar. Toat-beng Ciu-sian-li melempar tubuh Han Han ke atas dipan.
"Ikat kedua tangannya!" Nenek itu memerintah dan Gu Lai Kwan cepat maju, mengambil tambang yang terbuat dari serat yang ulet dan kuat, menelikung kedua lengan Han Han ke belakang dan membelenggunya, melibat-libat kedua lengan dan tubuhnya dengan erat sekali. Han Han tidak dapat berdaya karena ia berada dalam keadaan tertotok. Ia hanya sekilas saja melayangkan pandang matanya kepada para murid itu dan mengenal mereka. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kim Cu, sejenak pandang mata mereka melekat, dan Han Han menjadi terharu ketika dapat melihat betapa gadis itu memandangnya dengan muka pucat dan sinar mata penuh kekhawatiran dan iba. Ia menarik napas panjang dan mengharap supaya hukuman segera dilaksanakan karena dalam keadaan tertotok seperti itu ia tidak akan terlalu menderita rasa nyeri.
Akan tetapi harapannya ini buyar ketika nenek itu menotoknya dua kali untuk membebaskan jalan darahnya. Maka mulailah ia merasa nyeri-nyeri tubuhnya dan ketika ia berusaha menggerakkan kedua tangan, ia mendapat kenyataan bahwa tambang yang mengikatnya itu kuat sekali. Pula, apa artinya memberontak" Dia tidak akan dapat melawan Toat-beng Ciu-sian-li, apalagi di situ terdapat belasan orang murid nenek itu dan murid-murid Ma-bin Lo-mo yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan yang tentu akan mengeroyoknya. Karena ia tidak mau menjadi tontonan, ia lalu miringkan tubuhnya ke kanan, membelakangi para murid In-kok-san dan menyerahkan nasibnya kepada Thian. Bermacam pikiran memasuki benaknya. Dia menghadapi maut yang sekali ini tak mungkin akan dapat ia hindarkan lagi. Dia akan mati! Apakah artinya mati" Apakah bedanya antara mati dan hidup" Dari mana ia datang sebelum hidup" Dalam pengertian manusia yang amat terbatas, setelah lahir dan hidup baru ada, dan sebelum dilahirkan sebagai manusia, dia tidak ada. Betapa akal budi dapat menyelami keadaan sebelum lahir" Dan betapa pula dapat menyelami keadaan sesudah mati" Betapapun juga, sebelum lahir dia mesti ada, karena tidak mungkin ada terlahir dari tidak ada. Kalau sebelum terlahir itu dia ada tentu sesudah mati juga ada, yaitu keadaan yang menjadi rahasia bagi manusia, yang tak terselami akal manusia selagi hidup. Jadi, kematian hanya akan mengantarkannya menembus pintu rahasia itu, kembali kepada KEADAAN sebelum dia terlahir. Kalau demikian, sama halnya dengan kembali ke asalnya, yaitu asal sebelum terlahir, mengapa mati takut" Han Han tersenyum, hatinya besar, sedikit pun tidak ada rasa khawatir di hatinya dan ia memejamkan matanya, seperti tidur, atau lebih tepat lagi seperti dalam keadaan samadhi karena memang dia bersamadhi untuk menyambut uluran tangan maut yang sudah berada di ambang pintu.
Keadaan di dalam ruangan itu sunyi senyap, semua murid memandang dengan jantung berdebar. Mereka adalah orang-orang gagah yang sudah banyak menghadapi pertempuran, sudah banyak membunuh musuh tanpa berkedip. Akan tetapi selalu, apabila ada seorang murid In-kok-san menjalani hukuman, jantung mereka berdebar tegang, karena nasib seperti yang dialami si murid terhukum sewaktu-waktu dapat menimpa pula diri mereka sendiri.
"Kim Cu, kauisi guci arakku yang kosong ini!" Toat-beng Ciu-sian-li berkata sambil melontarkan guci araknya yang kosong kepada si murid. Lontaran ini sengaja ia lakukan dengan tenaga sin-kang sehingga bagi orang yang tidak memiliki sin-kang kuat dan tidak terlatih, menerima lontaran guci ini saja cukup untuk membuatnya roboh dengan nyawa melayang meninggalkan badan! Akan tetapi dengan tubuh miring, Kim Cu dapat menerima guci itu dengan baik, lalu lari pergi untuk mengisi guci arak itu dengan arak simpanan gurunya. Setelah mengisi guci arak, ia berlari kembali dan menyerahkan guci arak kepada gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li menenggak guci araknya. Beberapa tetes arak mengalir keluar dari mulutnya karena agaknya sudah ketagihan sekali dan tergesa-gesa minum araknya. Kemudian ia menurunkan guci dari mulut dan berkata, suaranya bengis menyeramkan.
"Murid-muridku, juga murid Ma-bin Lo-mo, semua murid-murid In-kok-san. Lihat baik-baik, Sie Han ini adalah seorang murid yang murtad, yang telah minggat dan melakukan banyak hal yang melanggar peraturan Perguruan In-kok-san. Oleh karena itu, hari ini kalian akan menyaksikan dia dihukum. Akan tetapi sebelum hukuman dilakukan, aku masih memberi kesempatan kepadanya untuk membuka suatu rahasia. Apabila dia suka bicara, mungkin sekali aku akan mengampuninya. Heh, Han Han, sekarang tibalah saat terakhir bagimu! Masihkah engkau berkeras kepala dan tidak mau bicara tentang rahasia itu kepadaku"
Hening sejenak di situ. Keheningan yang mencekam perasaan. Semua murid ingin mendengarkan jawaban Han Han. Kim Cu yang makin pucat mukanya itu terdengar berkata, seperti orang mimpi, sehingga dapat diketahui bahwa dia bicara di luar kesadarannya, suara yang keluar dari hatinya yang terguncang, suara yang gemetar.
"Han Han.... kau bicaralah....!"
Gadis itu terkejut sendiri mendengar suara hatinya keluar dari mulutnya, memecah kesunyian. Ketika ia sadar bahwa semua mata kini ditujukan kepadanya, wajahnya menjadi merah dan ia menundukkan mukanya.
Han Han yang berada dalam keadaan samadhi itu seperti mimpi. Ia melihat bayangan ibunya. Ibunya menghampirinya, mengulurkan kedua tangan dengan pandang mata penuh kasih sayang. Tiba-tiba terdengar suara Toat-beng Ciu-sian-li tadi yang disusul suara Kim Cu. Bayangan ibunya melangkah mundur, kemudian membalikkan tubuh dan berdiri membelakanginya seperti orang berduka, menundukkan muka. Karena Han Han ingin agar kematian segera menjemputnya, agar ia dapat mengikuti ibunya yang memiliki sinar mata demikian penuh kasih sayang, yang tak pernah ia temui dalam pandang mata siapa pun di dunia ini, melebihi kemesraan pandang mata Lulu, ia lalu menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Toat-beng Ciu-sian-li dan anjuran Kim Cu. Ia masih memejamkan matanya dan menujukan perhatiannya kepada tubuh ibunya yang berdiri membelakanginya dan pundak ibunya bergerak-gerak seperti orang menangis.
Toat-beng Ciu-sian-li marah sekali. Pemuda itu sungguh menggemaskan. Menjawab dengan mulut pun tidak mau, hanya menggeleng kepala.
"Gu Lai Kwan, ambil golok alat menghukum!" bentaknya.
Gu Lai Kwan meloncat ke sudut di mana terdapat sebatang golok. Golok ini memang dipersiapkan di tempat itu bersama alat-alat lain untuk menghukum murid murtad. Semua orang murid di situ tahu belaka bahwa murid murid yang melarikan diri akan dihukum dengan pembuntungan kaki! Mereka memandang dan makin tegang ketika Gu Lai Kwan berdiri di dekat gurunya, membawa golok yang diminta.
"Lai Kwan, aku menunjuk engkau sebagai pelaksana hukuman. Kaupergunakan golok itu untuk memenggal leher Sie Han!"
Suara nenek ini bagaikan halilintar menyambar, membuat wajah para murid menjadi pucat. Gu Lai Kwan sendiri yang tadinya berseri wajahnya karena dia diberi kehormatan sebagai pelaksana hukuman, terbelalak mendengar ucapan gurunya itu. Dia memang penasaran dan marah kepada Han Han. Akan tetapi tadinya dia tidak mengira bahwa dia akan diperintahkan memenggal leher Han Han.
"Le.... lehernya, subo...." tanyanya, seolah-olah ia khawatir kalau ia salah mendengar perintah gurunya.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang muridnya ini dengan mata mendelik. "Lehernya, kau dengar" Lehernya! Penggal lehernya! Bocah keparat ini harus mati!" Setelah berkata demikian, nenek itu mengangkat guci araknya dan minum arak menggelogok dengan mata mengerling ke arah dipan untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman dan menikmatinya sambil minum araknya!
Gu Lai Kwan mengangkat golok itu ke atas mukanya sungguh-sungguh dan kini sinar matanya mengandung kekejaman. Ia hanya pelaksana dan ia harus mentaati perintah gurunya. Semua murid yang menyaksikan itu mengikuti setiap gerakan tangan Gu Lai Kwan yang mengangkat golok ke atas dengan hati berdebar-debar. Kemudian Lai Kwan mengerahkan tenaga pada lengannya, berseru keras, "Haiiittttt!" Golok itu berubah menjadi sinar putih menyilaukan mata yang menyambar dari atas ke bawah, menuju leher Han Han yang rebah miring ke kanan membelakanginya.
"Ohhhhh, jangan....!" Jeritan ini keluar dari mulut Kin Cu dan gadis ini sudah menyambitkan sebuah senjata rahasia berbentuk bola baja berduri yang menyambar cepat sekali ke arah golok yang sedang melayang menuju ke leher Han Han.
"Tranggggg....!" Golok yang tadinya melayang turun ke arah leher Han Han itu terpukul senjata rahasia, menyeleweng ke kiri, menyambar kaki kiri Han Han.
"Crokkkkk!"
"Ibuuuuu....!"
Kaki kiri Han Han terbabat golok, buntung di atas lututnya dan darah mengucur deras, kaki yang buntung terlempar ke bawah dipan.
"Ibuuuuu....! Jangan tinggalkan anakmu, Ibu....!" Han Han menjerit, dengan mata masih terpejam karena ia melihat bayangan ibunya melangkah pergi, makin lama makin jauh dan makin kecil, sehingga akhirnya lenyap.
"Ibuuuuu....!" Sekali lagi Han Han menjerit dan ia roboh pingsan.
Ketika ia siuman kembali, ia melihat Kim Cu berlutut di dekat dipan dan gadis itu menotok punggung dan pangkal pahanya untuk menghentikan darah yang mengucur keluar dari pahanya yang buntung. Han Han merasa betapa kaki kirinya perih dan nyeri sekali, akan tetapi ia tidak mengeluh dan maklumlah ia bahwa dia tidak dibunuh, melainkan dibuntungi sebelah kaki kirinya!
Ruangan itu sudah tidak terlalu penuh orang lagi. Semua murid Ma-bin Lo-mo telah disuruh pergi oleh Toat-beng Ciu-sian-li yang marah sekali menyaksikan betapa muridnya yang paling ia sayang, Kim Cu, telah melakukan hal yang amat memalukan dan memarahkan hatinya. Kini yang berada di situ hanya Toat-beng Ciu-sian-li dan tiga orang muridnya. Lai Kwan berdiri di sudut ruangan dengan kening berkerut, hatinya mendongkol terhadap Kim Cu yang telah membuat pelaksanaan tugasnya tidak sempurna. Juga ia mendongkol karena Kim Cu yang diam-diam dicintanya itu membela Han Han. Phoa Ciok Lin berdiri di sudut lain, memandang ke arah Kim Cu dan gurunya berganti-ganti. Hatinya gelisah karena ia maklum bahwa sucinya itu tentu tidak akan dapat terbebas dari hukuman atas perbuatannya tadi. Nenek itu masih menenggak araknya, matanya mengeluarkan sinar berapi memandang Kim Cu yang agaknya tidak mempedulikan semua itu dan berusaha menghentikan darah yang mengucur dari paha Han Han.
Suasana yang amat sunyi itu menimbulkan kegelisahan di hati Han Han. Pertama, dia tidak jadi mati! Ke dua, kakinya buntung dan apa yang dapat ia lakukan dengan kaki yang hanya tinggal sebelah itu" Ke tiga, ia amat cemas memikirkan nasib Kim Cu, gadis yang telah menolongnya dan di depan gurunya berani menolong menghentikan darahnya dan berusaha pula membebat luka di pahanya dengan robekan ujung baju!
"Kim Cu, mengapa engkau berani menangkis golok Lai Kwan" Mengapa engkau berani menggagalkan hukuman penggal kepala bocah itu" tiba-tiba Nenek itu bertanya, suaranya dingin sekali, perlahan dan lambat, namun malah mendatangkan pengaruh yang menyeramkan, mengandung ancaman yang mengerikan.
Han Han tersentak kaget, memandang Kim Cu. Hatinya penuh haru dan tak terasa lagi dua butir air mata menitik dari kedua matanya. Jadi gadis ini tidak hanya menolongnya setelah kakinya buntung, bahkan gadis ini telah menolong nyawanya, menangkis golok Lai Kwan yang tadinya hendak memenggal lehernya!
"Duhai.... Kim Cu, mengapa kaulakukan itu...." Ia berbisik lirih sambil memandang gadis itu dengan mata basah. Kim Cu mendengar bisikan ini dan menoleh, memandang kepadanya. Mata gadis ini pun basah air mata, dan sejenak mereka berpandangan. Han Han merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh sekali memancar keluar dari pandang mata gadis itu, yang membuat jantungnya seperti ditusuk, yang membuatnya terharu sekali.
"Kim Cu! Jawablah!" Toat-beng Ciu-sian-li membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas lantai. Dia marah sekali sehingga bantingan kakinya pada lantai membuat ruangan itu tergetar.
Setelah melepaskan pandang matanya dari wajah Han Han, Kim Cu bangkit berdiri dan berkata.
"Subo, teecu menangkis golok Gu-suheng karena teecu menjaga nama baik subo, dan nama kehormatan Perguruan In-kok-san. Semenjak dahulu, peraturan di In-kok-san amatlah adil, hukuman dijatuhkan sesuai dengan dosanya. Han Han memang bersalah, kesalahannya adalah melarikan diri dari In-kok-san. Dan semenjak dahulu, hukuman bagi murid yang melarikan diri adalah kakinya dibuntungkan! Akan tetapi subo hendak memenggal lehernya, maka terpaksa teecu turun tangan dan sekarang Han Han sudah buntung kaki kirinya, berarti bahwa Thian menyetujui pendapat teecu!"
Nenek itu mengerutkan kening. "Hemmm.... engkau pandai bicara! Akan tetapi mengapa engkau menolongnya dan mengobatinya pula"
"Subo, betapapun juga, Han Han adalah bekas suteku, bagaimana teecu dapat membiarkan dia menderita seperti ini" Teecu.... merasa kasihan...."
"Heh, bocah tak bermalu! Apa kaukira mudah saja membohongi aku" Apa kaukira mataku buta tak dapat melihat bahwa engkau mencinta pemuda ini"
Wajah, Lai Kwan merah, matanya beringas. Juga wajah Kim Cu menjadi merah sekali, ia menundukkan mukanya. Han Han memandang bengong, mengeluh dan bangkit duduk.
"Toat-beng Ciu-sian-li, harap jangan menyalahkan Kim Cu. Kalau engkau masih penasaran, bunuhlah aku, masih belum terlambat!"
"Han Han!" Kim Cu menjerit, membalikkan tubuh dan memandangnya. "Tidak boleh begitu. Murid yang sudah dihukum, tidak aken dihukum lagi!"
"Keparat! Engkau sudah bukan muridku lagi! Dengan kaki buntung, hendak kulihat apakah engkau akan bisa hidup lagi, dan kalau pun hidup, engkau akan bisa berbuat apa" Engkau telah menjadi seorang buntung, seorang penderita cacad yang tidak berguna lagi. Ha-ha-ha! Pergilah! Kim Cu, engkau masuk kamarmu dan sebelum kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan kamarmu!"
Kim Cu memandang Han Han sejenak lalu membalikkan tubuh lari dari ruangan itu dengan isak tertahan. Han Han menghela napas, lalu bangkit berdiri dengan sebelah kaki. Seluruh tubuhnya menggigil oleh rasa nyeri yang kiut-miut rasanya, membuat ia pucat sekali menahan rasa nyeri. Seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk dan kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Terpaksa ia memejamkan mata untuk menghilangkan bintang-bintang yang menari-nari di depan matanya, ratusan bintang. Namun, ketika ia memejamkan mata, bintang-bintang itu makin bersinar dan makin cepat bergerak-gerak di depan matanya.
"Ha-ha-ha! Inikah pemuda yang telah mewarisi ilmu dari Pulau Es" Ha-ha-ha, Si Buntung yang tiada guna, lihat betapa lemahnya!"
Mendengar suara ejekan dan ketawa yang amat menusuk perasaan itu, bangkitlah amarah di hati Han Han. Ia segera mengerahkan tenaganya dan hawa yang hangat mengalir di tubuhnya. Akan tetapi aneh sekali, dahulu kalau dia sudah marah dan mengerahkan sin-kang, selalu timbul sifat beringas dan buas yang membuat ia ingin melihat darah mengalir di tubuh lawan, ingin melihat lawan tergolek tak bernyawa di depan kakinya. Kini perasaan itu tidak ada, perasaan yang dahulu menyiksa hatinya setelah ia melihat akibat daripada kebuasannya. Kini ia merasa tenang dan setelah ia mengerahkan tenaga, kepeningan kepalanya berkurang. Ia membuka mata, lalu melangkah. Ia lupa bahwa kakinya tinggal sebuah, maka ia tersuruk ke depan dan roboh menelungkup!
Gu Lai Kwan hanya memandang dengan muka keruh. Ia membenci Han Han setelah mendengar pernyataan gurunya bahwa Kim Cu mencinta pemuda yang kini buntung kakinya itu. Adapun Phoa Ciok Lin memandang dengan mata tajam, tidak ada perasaan apa-apa terbayang di wajahnya. Han Han kembali mendengar suara ketawa Toat-beng Ciu-sian-li. Ia mengerahkan tenaga dan bangkit lagi dengan kedua tangannya menekan lantai, lalu berdiri dan dengan hati-hati ia berloncatan dengan sebelah kaki menuju ke pintu, terus keluar dari rumah Perguruan In-kok-san itu. Akan tetapi dalam keadaan menderita nyeri yang hebat itu, ia tidak melihat jurusan dan kiranya ia keluar dari pintu belakang memasuki taman In-kok-san. Ia berloncatan terus dengan sebelah kakinya.
Hari sudah lewat senja. Taman itu mulai gelap. Akan tetapi Han Han berloncatan terus, kalau hendak roboh ia menangkap batang pohon, mengaso sebentar untuk melenyapkan rasa berdenyut-denyut di kaki yang naik ke dada dan kepala. Dipatahkannya sebuah cabang pohon yang rendah, dibuangnya ranting dan daun, dan cabang itu ia pergunakan sebagai tongkat. Ia berloncatan, lambat sekali, terus ke depan. Akhirnya ia roboh juga, setengah pingsan setengah tidur di bawah pohon di luar taman dalam sebuah hutan siong, menggeletak terlentang dan tongkatnya melintang di atas dadanya.
Menjelang subuh, ia terbangun oleh suara kokok ayam hutan. Dilihatnya, cuaca masih amat gelap, hawanya dingin bukan main. Rasa nyeri pada kakinya sudah banyak berkurang, dapat ditahankan, akan tetapi perutnya terasa perih sekali karena lapar. Sudah empat hari empat malam dia tidak makan, semenjak ditangkap Toat-beng Ciu-sian-li. Dan kehilangan darah membuat tubuhnya lemas. Ia bangkit duduk, bersandar batang pohon, menengadah memandang langit yang hitam penuh bintang. Amat indah pemandangan di angkasa itu. Adakah ibunya di sana, di antara bintang-bintang itu" Alangkah akan senangnya dapat berada di sana di samping ibunya. Jauh daripada penderitaan hidup. Mati sudah pasti tidak seburuk hidup kalau menderita begini. Yang jelas, tidak akan ia rasakan lagi nyeri-nyeri di tubuh, lapar di perut dan kepusingan karena segala kegagalan yang dialaminya. Kini ia menjadi seorang tapadaksa, murid buntung yang tentu tidak akan ada gunanya, seperti yang dikatakan Toat-beng Ciu-sianli. Apalagi hendak membalas dendam orang tuanya, melangkah pun harus berloncatan dibantu tongkat, itu pun tidak tegak! Tugasnya belum selesai sama sekali. Ia meraba dadanya. Kantung berisi surat-surat peninggalan penghuni Pulau Es masih disimpannya. Surat-surat itu belum dapat ia sampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Kewajiban ini belum dilaksanakan. Kemudian membalas dendam keluarganya juga sama sekali tidak dapat dilaksanakannya. Seorang di antara tujuh perwira musuhnya telah menjadi cihu-nya. Biarpun kini ia menduga bahwa cihu-nya bersekongkol dengan tokoh-tokoh istana itu, menyerahkannya kepada Toat-beng Ciu-sian-li, tetap saja ia tidak mungkin akan dapat membunuh orang yang dicinta cicinya. Dan enam orang perwira lain pun tak mungkin dapat dibalas setelah ia kini menjadi buntung. Di waktu ia belum buntung pun ia tidak mampu membalas. Musuh-musuhnya itu dilindungi orang-orang sakti. Masih ada tugas lagi yang makin sulit dilaksanakan, yaitu mencari Lulu!
Ia mengingat-ingat jalan hidupnya. Teringat ia akan wejangan kakek di Siauw-lim-si. Perbuatan berguna apakah yang telah ia lakukan" Tidak ada! Bahkan ia hanya menjadi sebab timbulnya hal-hal yang menyedihkan, yang mengorbankan nyawa orang. Yang terakhir ini pun ia telah menyebabkan celakanya Kim Cu. Ah, kasihan gadis itu, entah bagaimana nasibnya nanti. Dan gadis itu mencintanya" Tidak mungkin! Mana ada gadis yang mencinta seorang sial seperti dia, apalagi kini dia hanya seorang pemuda buntung! Buntung kakinya! Tiba-tiba ia teringat lagi akan wejangan dan nasihat kankek di kuil Siauw-lim-si. Dia dinasihatkan untuk membuntungi kaki kirinya di samping harus belajar mengalah kepada orang lain. Membuntungi kaki kiri" Han Han tersenyum duka dan memandang kaki kirinya yang sudah tidak ada. Kini hanya tampak sepotong kaki celana menutupi pahanya yang buntung. Tidak susah ia buntungkan, kini sudah ada yang membuntungi kakinya! Agaknya kakek tua di kuil itu sudah tahu bahwa kakinya akan buntung maka menasihatinya agar membuntungi kakinya sendiri, daripada dibuntungi orang lain. Ia tersenyum pahit. Nasihat yang tidak lucu!
Dia belum ditakdirkan mati, masih diharuskan hidup oleh Yang Maha Kuasa. Baik, dia akan hidup, dan apa pun jadinya, akan ia hadapi, sungguhpun dia tidak mungkin dapat mengharapkan untuk melaksanakan tugasnya yang pertawa, yaitu membalas dendam. Timbul rasa rindunya kepada Lulu, adiknya. Kalau saja Lulu berada di sampingnya, tentu akan dapat menghiburnya. Akan tetapi wahai.... alangkah akan hancur hati adiknya itu kalau melihat kakinya buntung! Berpikir demikian, timbul pula rasa iba terhadap dirinya sendiri dan tak kuasa bertahan lagi Han Han mengucurkan air mata. Sampai lama ia menangis seperti ini. Tiba-tiba ia tersentak kaget ketika teringat betapa ia telah menangis mengguguk. Selamanya belum pernah ia berhal seperti ini! Mengapa ia sampai menangis seperti ini" Ke mana kekerasan hatinya" Ia meloncat bangun, lupa akan buntungnya dan ia jatuh lagi, mengeluh. Ia merasa seolah-olah telah menjadi seorang manusia lain sekali. Dan ia menjadi gelisah. Ia termenung, air mata masih membasahi pipinya, matanya masih merah bekas banyak menangis. Berjam-jam ia termenung, pikirannya kosong, hanyut terbawa pergi melayang-layang bersama embun pagi yang mulai terusir sinar matahari pagi. Telinganya tidak mendengar kicau burung yang riang gembira menyambut pagi. Matanya tidak menyaksikan keindahan sinar surya yang cemerlang menembus celah-celah daun, menciptakan mutiara-mutiara dari titik-titik embun yang bergantungan pada daun pohon. Sambaran seekor burung yang mungkin mengira pemuda ini hanya sebatang tonggak, hampir hinggap di atas rambutnya, menyadarkan Han Han. Ia bergerak dan berdongak. Matanya tertawan oleh berkilaunya setetes air embun yang disinari matahari pagi, menjadi sebutir mutiara yang bercahaya.
Ia terpesona. Sesaat ia lupa akar nyeri tubuhnya, lupa akan lapar perutnya. Pandang matanya lekat pada sebutir air yang berubah menjadi mutiara itu, lekat dan seolah-olah ia pun bergantung pada ujung daun itu, bergantung dengan butiran air embun berkilauan, jauh dari derita, jauh dari kepahitan, hanya aman damai dan bahagia. Tiba-tiba butiran mutiara itu runtuh dan lenyap, sebutir pecah menimpa bumi, lenyap tak berbekas. Ujung daun itu kosong, tidak ada apa-apa lagi, tidak ada mutiara-mutiara berkilau.
Han Han tersentak kaget, penuh kecewa. Hemmm, seperti itulah hidup. Hanya setetes air yang berkilauan untuk beberapa lama saja. Kemudian apabila saatnya tiba, akan gugur dan lenyap tanpa meninggalkan bekas! Ia menghela napas panjang. Dia adalah ibarat mutiara air embun yang gugur sebelum waktunya. Lenyap sudah kilauannya, lenyap kebahagiaannya sebelum mati! Seperti air embun berkilau tiba-tiba kehilangan cahayanya karena matahari tertutup mendung. Hanya tinggal air yang bergantung di daun pohon, tidak ada indahnya, tidak ada cahayanya, hanya menanti saat gugur ke bumi. Seperti dia! Hidup tiada guna, buntung, sukar bergerak, hanya menanti datangnya maut menjemput!
"Han Han....!" Suara yang halus merdu penuh iba itu memanggilnya seperti berbisik.
Han Han menoleh dan melihat Kim Cu telah berdiri di situ, membawa sebuah buntalan. Gadis yang cantik manis, rambutnya yang hitam halus itu terurai kusut, matanya masih basah bekas tangis, pakaiannya juga kusut, wajahnya agak pucat, pandang matanya penuh iba ditujukan kepada wajah Han Han, kemudian perlahan-lahan menurun, ke arah paha yang buntung.
"Kim Cu.... engkau.... datang ke sini...." Han Han menegur penuh kekhawatiran. "Tentu Gurumu akan marah...."
Kim CU berlutut dekat Han Han dan berkata, "Jangan banyak bicara dulu, mari kau makanlah ini. Kubawakan makanan dan minuman, dan obat bubuk untuk menambah darah, obat untuk mengobati lukamu...."
Melihat gadis itu dengan jari-jari tangannya yang kecil-kecil meruncing membuka buntalan, mengeluarkan roti dan sedikit daging, sebotol minuman air hangat, menghidangkannya di depannya, Han Han mengikuti segala gerakannya dengan hati penuh keharuan.
"Han Han, makanlah dulu...." Gadis itu mengangkat muka. Mereka berpandangan. Kim Cu terisak, menggigit bibir menahan tangis. "Han Han.... kau.... kau menangis...." Ia melihat dua butir air mata turun perlahan dari kedua mata pemuda yang terbuka lebar.
"Kim Cu...." Suara Han Han menggetar. "Mengapa...."
Kim Cu memandang, juga air matanya berderai, "Kau hendak berkata apa...."
"Mengapa engkau sebaik ini kepadaku...."
Dengan air mata masih berderai Kim Cu memandang, bibirnya yang dirapatkan itu bergerak-gerak menggigil, seperti hendak menangis, akan tetapi ia lalu memaksa senyum, senyum yang malah menggurat perasaan hati Han Han.
"Makanlah dulu, Han Han. Engkau pucat sekali, matamu merah.... makanlah dulu, baru nanti kita bicara...."
Han Han mengangguk, lalu mengambil roti dan memakannya. Ia lapar sekali, dan roti itu terasa lezat, akan tetapi ia makan perlahan sambil kadang-kadang memandang wajah Kim Cu yang berlutut di situ, berusaha untuk menjenguk isi hati gadis itu. Kim Cu kadang-kadang memandang, akan tetapi kalau pandang mata mereka bertaut, ia lalu menundukkan mukanya dan merangkapkan sepuluh jari tangannya.
Roti yang dibawa Kim Cu itu hampir habis. "Engkau tidak makan" Marilah...."
Kim Cu menggeleng kepala perlahan. "Makanlah, habiskan. Aku tidak lapar, engkau tentu lama tidak makan...."
Roti itu habis dan Han Han minum air hangat, menyapu bibirnya dengan ujung lengan baju. "Kim Cu, banyak terima kasih kuucapkan padamu. Bukan hanya untuk roti dan minuman ini...."
"Sssttttt, nanti dulu. Minumlah obat ini. Obat ini manjur sekali, penambah darah dan peringan rasa nyeri, kemudian akan kugantikan obat ini pada lukamu."
Han Han minum obat bubuk itu dengan air hangat, kemudian ia melihat betapa Kim Cu membuka balut pahanya. Ia merasa nyeri ketika balut yang melekat dengan darah kering pada lukanya itu diambil. Akan tetapi ia tidak mengeluh. Hatinya penuh rasa haru dan terima kasih melihat betapa gadis itu membersihkan luka di pahanya tanpa rasa jijik sedikit pun, kemudian menaruhkan obat bubuk dan membalutnya kembali dengan kain bersih yang sengaja dibawanya untuk keperluan itu.
Setelah selesai membalut luka itu, Han Han berkata, "Kim Cu, percayalah, aku selama hidupku takkan dapat melupakan kebaikan hatimu, karena engkau telah menolong nyawaku, telah melepas budi kepadaku dan terutama sekali, engkau telah mengorbankan dirimu...."
"Jangan katakan itu, Han Han. Mana mungkin aku membiarkan dirimu dibunuh hanya karena kesalahanmu yang kecil itu" Engkau masih muda, engkau masih banyak harapan dalam hidup, mengapa harus dibunuh secara sia-sia"
Han Han menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri, bersandar pada batang pohon, tangan kiri menekan tongkat cabang pohon. "Aaahhhhh, harapan apalagi yang ada padaku" Aku telah menjadi murid tapadaksa.... tiada gunanya...." Kembali ada dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipi Han Han.
Kim Cu memandang penuh iba hati, kemudian ia mendekati Han Han, menggunakan ujung ikat pinggangnya dari sutera untuk menghapus air mata itu. "Ah, Han Han, kasihan sekali engkau...." Sambil berkata demikian, Kim Cu memandang dengan mata basah.
Han Han makin terharu, air matanya deras mengucur dan ia segera memeluk dan mendekap muka Kim Cu ke dadanya. Gadis itu terisak-isak dan Han Han menengadah ke angkasa, mengejap-ngejapkan mata untuk menahan membanjirnya air matanya. Sampai lama keduanya berdekapan, Kim Cu membasahi dada Han Han dengan air matanya, kedua lengannya melingkari pinggang Han Han, sedangkan pemuda itu mengusap-usap rambut yang hitam halus dan harum itu.
"Kim Cu...." Han Han berbisik dekat telinga gadis itu. "Benarkah dugaan gurumu bahwa engkau.... mencintaku"
Gadis itu tidak menjawab, hanya gerakan mukanya yang mengangguk amat meyakinkan. Hati Han Han terasa perih dan dengan halus ia mendorong kedua pundak gadis itu sehingga menjauh. Gadis itu memandang kepadanya dan cinta kasihnya tersinar keluar dari pandang matanya.
Han Han membuang muka, tubuhnya miring dan kini ia bersandar pada batang pohon dengan pundak kirinya, alisnya berkerut dan mukanya keruh.
"Kim Cu, ini tidak benar! Engkau tidak bisa mencintaku, tidak boleh! Aku kini telah menjadi seorang laki-laki yang buntung kakinya, murid laki-laki yang tidak berguna sama sekali. Engkau hanya akan menyesal kelak, dan akan malu berada di samping seorang pria yang menjijikkan...."
"Ohhh, Han Han, mengapa kau berkata demikian" Kim Cu mengusap air matanya dengan punggung tangan kemudian merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari saling cengkeram, suaranya sungguh-sungguh, menggetar dan penuh perasaan.
"Han Han, kenapa kau menjadi putus asa" Ke mana perginya kekerasan hatimu yang dahulu" Ke mana perginya kejantananmu yang menyinar semenjak kita masih kecil dahulu" Dahulu engkau begitu keras hati, begitu besar semangat, begitu mengagumkan" Setelah kakimu bun.... eh, hanya tinggal satu apakah engkau menjadi seorang yang tidak berguna lagi" Tidak sama sekali! Seharusnya peristiwa yang kaualami ini malah memperkuat dan memperkeras batinmu! Perlihatkanlah kepada dunia, kepada seluruh manusia bahwa engkau dapat berbuat lebih baik daripada manusia yang utuh tanpa cacad! Bangkitkan semangatmu, tunjukkan bahwa manusia cacad tidak boleh dihina! Jangan menjadi melempem, Han Han!"
Ucapan yang bersemangat dari Kim Cu ini merupakan cambuk yang mencambuki batin Han Han. Seketika matanya memancarkan api, kegairahan hidupnya timbul kembali. Dia bukanlah seperti mutiara embun yang tidak berdaya, yang akan mudah jatuh gugur hanya karena tiupan angin sedikit saja! Dia seorang manusia, yang berakal budi! Biarpun cacad, kalau kemauannya masih ada, mengapa tidak mungkin menjadi orang berguna"
"Aduh, Kim Cu...., terima kasih....!" Saking gembiranya karena tiba-tiba semangatnya timbul kembali, Han Han merangkul gadis itu dan menciumnya. Dia belum pernah berciuman didasari cinta kasih, dan biasanya dia mencium Lulu secara main-main, dengan hidung pada pipi atau dahinya, hanya menyentuhkan ujung hidungnya sedikit saja pada kulit pipi atau kulit dahi adiknya. Betapa senangnya Lulu menggodanya, mengatakan ujung hidungnya dingin seperti es! Akan tetapi entah bagaimana, ciumannya sekali ini, yang dibalas oleh Kim Cu dengan sepenuh hati dan kemesraan, menjadi kecupan cium mulut yang penuh gairah, ciuman yang seolah-olah melekat takkan terlepas lagi.
Mereka saling melepaskan ciuman dan rangkulan, saling memandang dengan mata terbelalak dan napas terengah-engah. Wajah Kim Cu menjadi merah sekali dan agaknya untuk menutupi rasa malu yang tiba-tiba timbul, ia berbisik tergagap, "Han Han, aku.... aku mencintamu...."
Han Han memegang kedua tangan gadis itu. "Percayalah kalau kau bisa percaya kepadaku, engkau seorang gadis yang kujunjung tinggi di dalam hatiku. Engkau murid gadis yang takkan pernah kulupakan! Engkau seorang gadis yang semulia-mulianya bagiku dan.... heiii, Kim Cu, celaka. Engkau harus lekas kembali! Ah, bagaimana engkau berani meninggalkan kamarmu" Bukankah.... bukankah gurumu mengatakan bahwa engkau tidak boleh keluar dari kamar" Ahhh, bagaimana ini" Tentu engkau akan dibunuh guru dan suhengmu kalau engkau pulang nanti....!" Tiba-tiba Han Han yang teringat akan keselamatan gadis ini berkata dengan penuh kekhawatiran.
Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya dan berkata, "Aku sudah lari dari kamarku. Aku.... aku tidak mau kembali. Aku akan ikut bersamamu, Han Han."
Han Han terkejut sekali. "Tidak....! Jangan, Kim Cu, jangan! Kalau sampai ketahuan gurumu, dan kakimu.... kakimu dibuntungi seperti aku...."
"Biarlah, dengan begitu keadaan kita akan sama, bukan" Kim Cu menjawab, suaranya sungguh-sungguh.
Tiba-tiba berkelebat bayangan dan dua orang muda yang sudah memiliki pandangan mata awas dan pendengaran tajam itu cepat menengok. Kagetlah mereka ketika melihat Toat-beng Ciu-sian-li sudah berdiri di hadapan mereka!
"Hemmm.... Kim Cu! Engkau berani menentang perintahku" Engkau sudah begitu tergila-gila kepada bocah ini"
"Subo, aku mencinta Han Han!" kata Kim Cu dengan berani.
"Toat-beng Ciu-sian-li, jangan salahkan dia. Hukumlah aku kalau pertemuan ini kauanggap suatu pelanggaran!" kata Han Han.
Toat-beng Ciu-sian-li memandang marah. Ia merasa kecewa sekali bahwa Han Han tetap berkeras tidak mau bicara tentang Pulau Es, dan ia lebih kecewa lagi melihat betapa murid yang paling disayangnya, Kim Cu, mencinta pemuda itu dan berani menentang perintahnya.
"Kalian saling mencinta, ya" Hem, baik. Kalian tidak akan terpisah lagi satu sama lain. Hayo ikut bersamaku!" Nenek itu berkata dengan bengis. Kim Cu dan Han Han saling berpandangan, dan Kim Cu yang merasa tiada gunanya melawan gurunya, berkata kepada Han Han.
"Marilah, Han Han. Apapun yang akan terjadi, aku rela asal bersamamu." Ia memegang tangan Han Han, mengajaknya pergi mengikuti gurunya. Han Han yang merasa terharu dan tidak berdaya melindungi gadis itu, tidak berkata apa-apa dan berloncatan dengan sebuah kakinya, dibantu dengan tongkat dan dibimbing oleh Kim Cu. Mereka berdua maklum bahwa mereka berada di tangan nerek itu, mungkin menghadapi bahaya maut, akan tetapi wajah Kim Cu berseri, sedikit pun tidak takut asal ia bersama orang yang dicintanya. Mati pun bukan apa-apa lagi bagi seorang yang sedang diamuk cinta. Han Han tidak berani mengaku dalam hatinya bahwa ia mencinta Kim Cu, sungguhpun ia amat suka dan berterima kasih kepada gadis ini sehingga ia akan rela mengorbankan nyawa untuk melindungi gadis ini. Ia hanya merasa cemas, bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan gelisah memikirkan keselamatan Kim Cu. Betapapun juga, aku akan menggunakan segala sisa tenaga dan kemampuanku untuk melindungi Kim Cu, demikian pikir dan tekadnya ketika ia berloncatan bersama Kim Cu yang menggandengnya di belakang tubuh nenek yang mengerikan itu.
*** Kita tinggalkan dulu Han Han dan Kim Cu yang terancam bahaya maut di tangan Toat-beng Ciu-sian-li, bagaikan dua ekor domba yang dituntun ke penjagalan oleh nenek itu, dan mari kita ikuti perjalanan Lulu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu diculik oleh Ouwyang Seng dan dibawa ke kota raja. Terhadap pemuda bangsawan yang lihai ini, Lulu tidak berdaya dan setibanya di kota raja, Ouwyang Seng berkata kepadanya.
"Dengarlah, bocah yang binal! Aku Ouwyang Seng atau Ouwyang-kongcu, putera Pangeran Ouwyang Cin Kok dan aku tidak mempunyai niat buruk kepadamu." Ia masih belum membebaskan gadis itu dari totokan.
"Beginikah orang yang tidak berniat buruk" Kenapa kau culik aku dan menotokku sampai tidak mampu betgerak"
Ouwyang Seng tertawa. Gadis ini berani dan penuh semangat. Kalau saja bukan gadis Mancu, kalau saja tidak diketahui keadaannya oleh Puteri Nirahai, tentu ia akan dapat menikmati wanita selincah ini.
"Kalau kau berjanji tidak akan melawan, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi engkau harus berjanji untuk ikut denganku ke kota raja, dan tidak membikin ribut. Ketahuilah, aku sudah tahu bahwa engkau seorang gadis Mancu dan engkau akan kuhadapkan ke istana kaisar."
Lulu mengangguk dan berkata. "Baiklah. Bebaskan aku." Dia cerdik sekali dan dia akan mencari kesempatan baik untuk membebaskan diri, tentu saja dia tidak akan nekat menggunakan kekerasan karena ia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda yang tampan akan tetapi jahat ini.
Ouwyang Seng membebaskan totokannya dan Lulu mengomel, "Engkau kejam sekali. Sampai kaku-kaku tubuhku, dan kauapakan Kokoku Han Han"
"Dia bukan Kakakmu, engkau gadis Mancu dan puteri perwira, bukan"
"Bagaimana engkau bisa tahu"
"Pendeknya aku tahu, dan eh, siapa namamu"
"Katanya sudah tahu. Kenapa tanya nama"
Ouwyang Seng gemas. Kalau bukan gadis Mancu, tentu sudah ditubruknya dan digigitnya bibir manis yang lincah itu.
"Dengarlah. Kami telah mencari-carimu dan engkau berhak untuk hidup mulia di kota raja. Sudah lama kami mencarimu dan aku membawamu ke sini dengan niat baik. Katakan siapa namamu."
"Namaku Lulu. Sie Lulu!"
Kembali Ouwyang Seng tertawa. "Mana bisa kau memakai nama keturunan Sie" Apakah orang tuamu she Sie" Tak bisa kau mengambil she (nama keturunan) seperti orang memungut batu di pinggir jalan!"
"Kokoku she Sie, tentu saja aku pun she Sie," bantah Lulu merengut.
"Sudahlah, baik kau she Sie. Lulu, engkau harus menghadap Ayahku dulu, kemudian baru kau akan kami bawa ke istana."
Lulu tidak membantah dan mengikuti Ouwyang Seng ke gedung Ouwyang Cin Kok. Ketika pangeran ini melihat puteranya berhasil membawa Lulu, ia menjadi girang sekali. Pangeran ini sendiri lalu membawa Lulu menghadap kaisar dan menceritakan keadaan gadis itu. Ketika Lulu menghadap kaisar, dia merasa takut sekali dan menundukkan muka tidak berani memandang. Keadaan di istana yang begitu megah dan mewah membuat ia merasa dirinya kecil. Kaisar menegurnya dalam bahasa Mancu dan biarpun agak kaku, Lulu dapat menjawab dan dia menceritakan tentang orang tuanya yang dibunuh para pemberontak, betapa kemudian ia terlantar dan akhirnya diambil adik angkat oleh Han Han. Dia tidak bercerita tentang Pulau Es karena seperti juga Han Han, dia mengerti bahwa pulau itu harus dirahasiakan kepada orang lain.
Kaisar merasa suka dan kasihan kepada Lulu, maka gadis itu lalu diangkat menjadi siuli dan untuk ini ia harus belajar tata susila dan peraturan-peraturan dari seorang petatih. Sejak hari itu, Lulu tinggal di istana. Akan tetapi hati dara ini selalu berduka, sungguhpun hal itu ia sembunyikan. Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan, pada suatu malam ia berhasil minggat dari istana. Bagaimana mungkin ia dapat hidup senang, biar di dalam istana indah sekalipun kalau ia jauh dari kakaknya"
Lulu memang cerdik. Ia maklum bahwa larinya tentu akan menimbulkan geger dan ia tentu akan dicari dan dikejar oleh para pengawal istana. Maka ia berlari terus malam itu dan pada keesokan harinya, ia melepaskan semua perhiasan emas permata yang harus ia pakai ketika dia dilatih menjadi siuli, kemudian ia menjual sebagian perhiasan itu, membeli pakaian pria dan ia berganti pakaian pria. Biarpun telah menyamar sebagai seorang pemuda remaja yang terlalu tampan, ia masih tidak mau menghentikan larinya dan ia pun melarikan diri ke jurusan selatan. Ia hendak pergi mencari kakaknya dan di dalam hatinya ia khawatir sekali. Kakaknya diserang oleh orang-orang seperti Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang lihai. Masih hidupkah kakaknya"
Ia memasuki kota Tiong-bun pada suatu sore dan melihat banyak orang berduyun-duyun menuju ke selatan kota, ia mendekati seorang kakek dan bertanya mengapa banyak orang pergi ke jurusan itu. Si kakek menjawab bahwa mereka hendak menonton pertunjukan silat yang dibuka oleh rombongan ahli silat perantauan. Lulu tertarik sekali dan ikut menuju ke tempat itu. Di ujung selatan kota, di pinggir jalan yang sunyi, ia melihat sebuah panggung yang tingginya hanya satu setengah meter dan dari jauh sudah terdengar suara tambur dipukul dan tampak olehnya seorang gadis kecil berusia kira-kira dua belas tahun bermain silat pedang.
Ilmu silat memang merupakan seni budaya yang amat indah. Keindahannya terletak pada gerak tari yang terdapat dalam setiap gerakan kaki tangan, gerak tarian yang indah namun menyembunyikan unsur-unsur bela diri yang kokoh kuat dan daya serang yang lihai dan praktis. Cadis cilik itu tentu saja belum matang gerakan-gerakannya, lebih memberatkan kepada gerak tariannya sehingga tampak indah gemulai ketika ia bermain pedang. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu adalah ilmu pedang yang bersumber pada ilmu pedang Hoa-san-pai, indah gemulai dan memang gadis itu memiliki bakat menari yang baik, Lulu sampai melongo menonton pertunjukan itu. Dia tidak pernah mimpi bahwa ilmu pedang dapat dimainkan seindah itu. Dia pun tidak tahu bahwa kalau ia bermain ilmu silat, gerakannya lebih indah daripada gadis itu sehingga dahulu kakaknya sering kali menggodanya dan mengatakan bahwa dia bukan bersilat melainkan menari.
Yang menabuh tambur adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun, wajahnya membayangkan kedukaan besar, sungguhpun kedukaan itu ditutupi dengan senyum-senyum melihat betapa banyak orang yang menonton kelihatan tertarik sekali kepada permainan silat pedang anak perempuan itu. Selain kakek itu, ada pula seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan laki-laki ini berdiri bertolak pinggang memandang gerakan anak perempuan itu dengan pandang mata penuh penilaian. Ada seorang lagi yang duduk di dekat kakek itu, dia ini adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun kurang, memegang gembreng kecil yang ditabuhnya perlahan-lahan mengikuti irama tambur. Tambur dan gembreng ini menambah keindahan tarian pedang gadis itu.
Gadis cilik itu mengakhiri permainan pedangnya dengan gerakah indah, pedangnya berkelebat dari kanan ke kiri, berhenti di depan dada dan diacungkan ke atas, tangan kiri dirangkapkan kepada tangan kanan merupakan penghormatan, tubuhnya membungkuk ke empat penjuru dan senyum manis menghias bibirnya yang mungil.
Tepuk tangan dan sorak-sorai meledak menyambut permainan pedang gadis cilik itu yang tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk lagi sebagai tanda terima kasih. Lulu ikut pula bertepuk tangan dan bersorak memuji, karena dia benar-benar kagum sekali.
Kini kakek itu maju dengan tersenyum-senyum, tidak mempedulikan hujan uang kepingan yang dilemparkan ke atas panggung. Juga Lulu mengambil seraup uang kepingan dan melemparkannya ke atas panggung.
"Cu-wi sekalian, terima kasih banyak atas perhatian cu-wi terhadap permainan pedang yang masih buruk dari cucuku. Hendaknya cu-wi sekalian ketahui bahwa kami sekeluarga mengadakan pertunjukan silat di kota ini, bukan semata-mata untuk mencari dana sungguhpun tidak sekali-kali kami kurang menghargai kebaikan hati cu-wi sekalian yang telah sudi menyumbang. Tujuan kami yang terutama adalah mencari sahabat dan kenalan dari satu golongan, yaitu para penggemar ilmu silat. Oleh karena itu, kami harap sudilah kiranya di antara cu-wi yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi suka naik ke panggung dan melebarkan pandang mata, meluaskan pengalaman, dan menambah pengertian kami dengan ilmu silat. Kini saya hendak menyuruh anak perempuan saya, kemudian mantu laki-laki saya, dan terakhir saya sendiri akan mainkan beberapa macam pukulan tangan kosong dan juga dengan senjata. Kami mohon sudilah suka menemani kami sehingga kami dapat berkenalan dengan cu-wi sekalian. Terima kasih."
Pidato singkat kakek itu disambut dengan suara riuh dan tepuk tangan, tanda setuju. Bahkan ada yang saling towel, saling menyuruh teman untuk naik ke panggung memenuhi permintaan kakek itu. Mereka dorong-mendorong, dan yang merasa memiliki sedikit ilmu silat tidak berani naik ke panggung, mereka hendak melihat-lihat dulu bagaimana macamnya dan tingginya tingkat kepandaian mereka, yaitu keluarga tukang silat itu.
Atas isyarat kakek itu, wanita yang tadi memukul gembreng menyerahkan gembrengnya kepada suaminya, dan dia sendiri lalu mempererat ikat pinggangnya, kemudian ia maju beberapa langkah sampai di tengah panggung, mengangkat kedua tangan ke dada sebagai penghormatan ke empat penjuru, kemudian mulailah ia bersilat. Seperti juga puterinya, wanita ini bersilat tangan kosong, gerakannya halus gemulai namun kini berbeda dengan gerakan puterinya, gerakannya penuh dengan sambaran tenaga yang cukup kuat. Gerakan tangan kakinya teratur baik dan jelas bahwa dia telah menguasai ilmunya dengan mahir sekali.
Wanita itu menghabiskan gerakannya sampai lima belas jurus, kemudian berhenti dan menghadapi para penonton, berkata dengan suara manis dan sopan.
"Di antara cu-wi sekalian yang sudi memberi pelajaran kepadaku, dipersilakan naik."
Sampai lama tidak ada yang naik karena memang mereka yang mengerti ilmu silat melihat dasar gerakan wanita itu, menjadi gentar. Benar bahwa naik berarti hanya menguji kepandaian, akan tetapi kalau kalah, apalagi deh seorang wanita, tentu akan menjatuhkan namanya. Maka kembali saling dorong dan saling membujuk teman yang mengerti ilmu silat.
Setelah wanita itu mengulangi sampai tiga empat kali ajakannya tadi, tiba-tiba mdayanglah tubuh seorang laki-laki yang bermuka hitam dan gerakannya kasar. Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Ketika kakinya turun ke panggung, panggung itu tergetar, tanda bahwa tubuhnya berat dan tenaganya besar. Ia menyeringai dan berkata kepada wanita yang menyambutnya dengan kedua tangan dirangkapkan ke dadanya.
"Aku bernama Louw Cang, penduduk kota Ciang-kwi-an di sebelah utara kota ini. Aku hanya mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi di kotaku aku berjuluk Hek-bin-liong (Naga Muka Hitam). Sekarang mendengar kesempatan untuk menguji kepandaian silat, dan tertarik akan ilmu silat yang lihai dari Hujin (Nyonya), saya ingin belajar kenal!" Ketika mengucapkan kata-kata "belajar kenal" matanya bermain dan sikapnya ini memancing suara ketawa banyak orang.
"Terima kasih atas perhatian Louw-enghiong yang saya percaya tentu memiliki kepandaian yang lihai sekali. Silakan!" Nyonya itu sudah memasang kuda-kuda dan menghadapi calon lawannya dengan sikap tenang sekali.
"Nyonya, lihat seranganku!" Louw Cang menerjang maju dan sekali bergerak saja Lulu tahu bahwa orang kasar ini hanya memiliki tenaga besar, akan tetapi tidak memiliki kepandaian yang berarti. Agaknya hal ini dapat diketahui oleh kakek dan mantunya, maka mereka menonton dengan acuh tak acuh. Nyonya muda itu pun tahu bahwa lawannya tidak begitu hebat kepandaiannya, maka cepat ia mengelak ke kiri. Cara ia mengelak sengaja diperlambat sehingga Si Muka Hitam yang tadinya sudah mengira bahwa pukulan pertamanya tentu akan mengenai pundak, ketika tiba-tiba dielakkan, tubuhnya terdorong ke depan sampai terhuyung.
Kalau nyonya itu menghendaki, selagi tubuh lawan terhuyung tentu dengan mudah ia akan dapat mengirim pukulan atau tendangan dari belakang. Akan tetapi mereka itu tidak akan mencari musuh, maka ia juga menanti saja. Si Muka Hitam membalikkan tubuhnya lagi, dan kembali ia menerjang dengan pukulan yang lebih keras, kini mengarah dada! Kembali nyonya itu mengelak. Penasaranlah hati laki-laki itu. Ia cepat membalikkan tubuh lagi dan menerjang seperti kerbau gila, pukulannya bertubi-tubi dan ia mengerahkan tenaganya sehingga ketika sampai sepuluh kali dielakkan, tubuhnya penuh keringat, napasnya megap-megap.
Nyonya itu merasa sudah cukup mengelak terus, apalagi kini tubuh lawannya yang berkeringat itu mengeluarkan bau yang tidak enak, maka ia mengambil keputusan untuk menyudahi saja pertempuran itu. Apalagi, dari bunyi tambur yang dipukul ayahnya, ia tahu bahwa ayahnya pun memberi tanda kepadanya untuk mengakhiri pertandingan. Maka ketika laki-laki lawannya itu kembali memukul dengan keras, ia miringkan tubuhnya, menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dari samping, memutarnya dengan gerakan pergelangan tangannya sehingga tubuh laki-laki itu terpaksa berputar, kaki Si Wanita menendang perlahan ke arah belakang lutut sambil mendorong tangan yang menangkap pergelangan tangan. Tak dapat dicegah lagi tubuh Si Naga Muka Hitam itu terdorong ke depan dan robohlah ia, robohnya miring di atas panggung!
Tepuk sorak para penonton menyambut kemenangan nyonya yang lihai itu. Akan tetapi Si Muka Hitam sudah meloncat bangun kembali. Dia adalah seorang kasar yang tak tahu diri, dan karena ia menjadi jagoan di kotanya maka ia merasa bahwa kepandaiannya sudah amat tinggi. Kini dengan mudah dirobohkan oleh seorang wanita, hatinya menjadi penasaran, apalagi karena robohnya tidak mengakibatkan luka atau rasa nyeri. Ia sama sekali tidak mau mengerti bahwa nyonya itu telah menjaga mukanya dan tidak merobohkannya secara hebat.
"Aku belum kalah!" bentaknya seolah-olah hendak membantah sorak-sorai para penonton yang menganggap nyonya itu sudah menang. "Jagalah seranganku!" Ia menerjang lagi dan sorakan penonton berhenti karena mereka maklum bahwa kini pertandingan tentu akan berlangsung lebih hebat melihat betapa Si Muka Hitam itu agaknya sudah marah sekali. Dugaan mereka itu memang benar karena kini Si Muka Hitam menerjang dengan nekat, mengeluarkan jurus-jurus mematikan dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Seperti tadi, nyonya itu mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak dengan meloncat ke kanan kiri. Akan tetapi berbeda dengan tadi, dia tidak mau mengulur waktu untuk menyudahi pertandingan dan diam-diam ia merasa gemas melihat laki-laki yang tak tahu diri ini. Ia pun maklum bahwa kalau tidak diberi sedikit hajaran, Si Muka Hitam ini tentu akan nekat terus.
"Hyaaatt!" Si Muka Hitam menendang dengan kaki kanan, ketika dielakkan, ia menurunkan kaki kanan itu jauh ke depan sehingga tubuhnya mendoyong ke depan, kepalan tangan kanannya yang besar itu menonjok dari bawah mengarah pusar lawannya. Wanita cantik itu maklum akan datangnya pukulan maut, cepat tubuhnya mengelak ke kiri dan melihat kaki kanan Si Muka Hitam, ia mendapat kesempatan, sambil mengelak kakinya menyambar, ujung sepatunya menendang dengan pengerahan lwee-kang ke arah lutut Si Muka Hitam.
"Krekkk!" Tak dapat dihindarkan lagi, sambungan lutut Si Muka Hitam tercium ujung sepatu nyonya yang lihai itu.


Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayaaa.... hwaduhhh.... uggghhh....!" Si Muka Hitam itu mengaduh-aduh, menyeringai dan mengangkat kaki kanannya ke atas, memegangi kaki itu dengan kedua tangan sambil berloncatan dengan kaki kiri terputar-putar. Rasa nyeri yang amat hebat membuat ia lupa diri dan merintih-rintih, rasa nyeri menusuk-nusuk dari lutut sampai ke jantung.
Karena para penonton yang menyaksikan sikapnya tadi sudah merasa tidak senang kepadanya, kini menyaksikan penderitaan Si Muka Hitam mereka tidak merasa kasihan bahkan menjadi geli dan terdengar suara ketawa riuh-rendah. Akhirnya Si Muka Hitam sadar bahwa dia menjadi bahan tertawaan.
"Maafkan saya, Louw-enghiong." Nyonya itu berkata kepadanya setelah mendapat teguran pandang dari ayahnya. Kakek itu cepat menghampiri Louw Cang dan menotok kaki yang terluka itu di betis dan paha, kemudian menyerahkan sebungkus obat kepada Si Muka Hitam sambil berkata.
"Harap Louw-enghiong memaafkan kami dan obat ini akan menyembuhkan sambungan lututmu."
Akan tetapi Si Muka Hitam yang kini tidak lagi menderita terlalu nyeri setelah kakinya ditotok, memandang dengan mata melotot, kemudian membalikkan tubuh tanpa mau menerima obat itu, dan tanpa pamit ia melangkah ke pinggir panggung. Akan tetapi mukanya menyeringai lagi ketika ia melangkahkan kaki karena begitu digerakkan untuk berjalan, lututnya terasa sakit lagi. Ia menggigit bibir dan tidak berani meloncat turun, kemudian menuruni panggung dengan memanjat tiangnya yang tidak tinggi, setelah tiba di atas tanah ia lalu pergi dengan kaki pengkor, terpincang-pincang sehingga dari belakang tampak pantatnya berjungkat-jungkit dan tubuhnya miring-miring amat lucu bagi para penonton yang makin tidak suka akan sikapnya.
Setelah nyonya itu mundur, kakek itu menghadapi para penonton dan menjura sikap tenang. "Kami merasa amat menyesal atas kejadian tadi, akan tetapi para sahabat yang lihai dalam ilmu silat tentu mengerti bahwa kejadian itu bukan karena kesalahan anak saya yang didesak-desak. Kami mengharap munculnya para sahabat yang benar-benar ingin berkenalan dan mengisi kekurangan dalam pengetahuan ilmu silat, Kami persilakan!" Ia menjura dan mundur kembali, menabuh tamburnya perlahan-lahan dan lambat-lambat.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di antara para penonton sebelah kiri, dan tampak para penonton bergerak mundur dan minggir untuk memberi jalan kepada beberapa orang perwira Mancu dan para pengikutnya yang melihat pakaiannya adalah perajurit-perajurit yang berpangkat, sedikitnya kepala regu. Ada tiga orang perwira dan sepuluh orang anak buahnya mendekati panggung itu. Setelah saling bicara dalam bahasa Mancu yang dimengerti oleh Lulu, murid di antara para perwira itu, yang hidungnya melengkung seperti hidung burung kakatua, dengan gerakan ringian meloncat ke atas panggung.
Lulu memandang penuh perhatian, hatinya merasa tidak senang mendengar percakapan mereka tadi sebelum naik ke panggung, karena mereka itu membicarakan kecantikan nyonya tadi dan mengandung niat hati tidak baik, menganggap para rombongan silat itu sebagai "pelanggar hukum".
Melihat majunya seorang perwira Mancu, kakek penabuh tambur itu kelihatan tenang saja, malah memberi isyarat mata kepada mantunya untuk menggantikannya menabuh tambur. Kemudian ia sendiri melangkah maju menyambut perwira hidung bengkok itu sambil menjura penuh hormat dan berkata.
"Maaf, Tai-ciangkun. Apakah ciangkun juga begitu baik hati untuk berkenalan dengan kami dan memberi petunjuk dalam ilmu silat kepada kami"
Perwira itu mengangkat dadanya yang bidang dan dengan muka angkuh ia berkata, suaranya nyaring, "Kakek, apakah engkau tidak tahu akan peraturan dan tidak tahu bahwa kalian telah melanggar hukum"
Para penonton mendengar suara keras ini menjadi tegang dan gelisah. Juga mantu, anak perempuan dan cucu Si Kakek itu memandang gelisah. Akan tetapi kakek itu tetap tenang saja ketika menjawab.
"Maaf, ciangkun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada peraturan yang melarang rombongan silat seperti kami membuka pertunjukan silat untuk berkenalan dengan para ahli silat dan untuk meluaskan pengalaman."
"Hemmm, semua orang tahu bahwa telah dikeluarkan larangan bagi rakyat untuk membawa senjata tajam. Apakah engkau tidak tahu atau barangkali berpura-pura tidak tahu"
Kembali kakek itu menjura. Keadaan di situ sunyi, tidak ada suara terdengar di antara para penonton yang menjadi gelisah, bahkan sebagian dari para penonton diam-diam telah meninggalkan tempat itu, karena khawatir kalau terbawa-bawa. Apalagi mereka yang merasa telah "melanggar hukum". Pada waktu itu, pemerintah Mancu mengeluarkan larangan dan peraturan-peraturan yang menghina penduduk pribumi. Pertama, pribumi dilarang membawa senjata, rambut diharuskan bertumbuh panjang dan dikuncir ke belakang seperti buntut, dan pakaian para pribumi harus "mencontoh" pakaian Mancu! Tentu saja peraturan ini tidak dapat ditaati secara serentak, dan pemerintah Mancu pun cukup bijaksana dan cerdik untuk tidak terlalu menekan, melainkan perlahan-lahan rakyat pribumi dipaksa ke arah pelaksanaan perintah-perintah itu. Yang terpenting adalah pelarangan membawa senjata tajam yang tentu saja dimaksudkan agar pribumi tidak dapat mengadakan pemberontakan. Maka di antara para penonton yang belum menyesuaikan pakaian dan rambutnya, diam-diam pergi meninggalkan tempat itu ketika Si Perwira Hidung Bengkok mempersoalkan hukum ini.
"Maaf, Tai-ciangkun," Si Kakek menjawab dengan sikap penuh hormat sungguhpun tidak menjilat, "kami mengerti akan peraturan itu dan tidak ada niat kami untuk melanggarnya. Kami membawa senjata hanya sebagai perlengkapan dalam permainan silat yang kami pertunjukkan. Tanpa senjata, bagaimana kami dapat mempertunjukkan ilmu silat" Cucu saya itu hanya bisa menari pedang, kalau tidak membawa pedang tentu tidak akan dapat menari. Adapun mengenai rambut dan pakaian, hal ini pun terpaksa kami sesuaikan dengan pertunjukan kami. Bagi kami, pertunjukan silat kami selain untuk menarik sahabat-sahabat untuk berkenalan, juga merupakan rombongan kesenian dan tentu saja dibutuhkan pakaian dan tata rambut yang sesuai dan ringkas. Harap ciangkun sudi memaafkan. Kalau tidak sedang mengadakan pertunjukan silat, tentu kami akan mengubah cara kami berpakaian, dan akan kami tinggalkan semua senjata di rumah."
Perwira itu tertawa dan melirik ke arah nyonya cantik yang berdiri di sudut sambil memandang penuh perhatian. "Ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Kakek! Aku pun hanya mengingatkan kalian saja, kalau berniat buruk, tentu sudah tadi-tadi kusuruh tangkap kalian! Kalian mencari kenalan ahli silat" Hemmm, kebetulan sekali, aku pun pernah belajar ilmu silat. Tadi kulihat puterimu itu amat lihai ilmu silatnya sehingga mudah saja mengalahkan Si Muka Hitam. Biarlah aku mencoba-coba kelihalannya. Bagaimana"
Kakek itu mengerutkan keningnya, "Ah, anak perempuan saya hanya memiliki ilmu silat pasaran saja, mana ada harganya menandingi Tai-ciangkun" Harap ciangkun jangan main-main." Kakek itu tersenyum.
"Siapa main-main" Hayo suruh dia maju, hendak kulihat bagaimana kelihaiannya!"
Kakek itu menjadi serba salah. Dia tidak khawatir kalau-kalau anaknya akan kalah, akan tetapi bertanding menghadapi seorang perwira berbeda dengan orang biasa. Kalau lawannya orang biasa, kalah atau menang bukanlah merupakan hal aneh lagi. Akan tetapi kalau melayani perwira ini, kalau anaknya menang si perwira tentu akan merasa tersinggung kehormatannya dan tentu akan mengandalkan kekuasaannya mencelakakan mereka. Akan tetapi kalau anaknya mengalah, tentu saja berbahaya bagi keselamatan anaknya.
"Biarlah saya yang akan maju melayani Tai-ciangkun beberapa jurus," katanya. Kalau dia yang maju, tentu saja dia akan mengalah dan tidak mengapa menerima satu dua pukulan dari ciangkun ini, asal keluarganya tidak terganggu.
Akan tetapi, perwira hidung bengkok itu malah menjadi marah. Ia bertolak pinggang dan alisnya diangkat, matanya melotot. "Heh, kalau orang lain boleh bertanding melawan perempuan itu, mengapa aku tidak" Apakah kauanggap aku tidak cukup berharga untuk bertanding melawan anakmu" Kakek, hati-hatilah engkau dengan sikapmu."
Wanita itu melangkah maju dan berkata, "Ayah, biarkan saya melayani Tai-ciangkun ini beberapa jurus."
Kakek itu menghela napas dan mundur, kembali kepada tamburnya, sedangkan mantunya yang memandang dengan wajah tidak berubah akan tetapi sinar matanya mengandung kekhawatiran, lalu mainkan gembreng. Wanita itu melangkah perlahan ke tengah panggung, dipandang oleh si perwira yang menelan ludah melihat langkah-langkah lemah gemulai dan pinggang ramping yang meliuk-liuk ketika wanita itu mendekat. Wanita itu benar-benar cantik, amat menarik karena wajahnya yang berkulit halus itu tanpa dihias bedak sama sekali. Bentuk tubuhnya masih ramping padat dan matang seperti biasa tubuh wanita yang sudah tiga puluh kurang lebih usianya dan sudah mempunyai seorang anak.
Wanita itu menjura dengan hormat dan berkata dengan suara halus, "Tai-ciangkun hendak memberi pelajaran silat kepada saya" Silakan."
Sejenak perwira itu memandang kagum, terpesona oleh kecantikan aseli wanita itu, kemudian tertawa menyeringai. Orang yang ketawa atau senyumnya dibuat-buat, tidak sewajarnya dengan niat agar menarik dan wajahnya berubah tampan, akan kecelik karena senyum atau tawa yang tidak sewajarnya dan dibuat-buat itu akan membuat mukanya makin buruk dan senyumnya seperti monyet menyeringai.
"Heh-heh, Nona terlalu merendah. Akulah yang minta diberi pelajaran silat Nona yang lihai itu." Ia sengaja menyebut nona bukan dengan niat tidak menghormat, sebaliknya malah ingin menyenangkan hati orang karena perwira ini maklum bahwa murid wanita akan gembira kalau disebut nona, sebaliknya seorang nona akan cemberut kalau disebut nyonya. Akan tetapi wanita itu adalah seorang ibu yang baik, seorang isteri yang setia, maka mendengar sebutan yang ia tahu disengaja ini, ia menjawab.
"Saya bukan gadis, ciangkun, melainkan seorang ibu. Di sana itu suami saya dan anak perempuan itu adalah anak saya."
Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini dan perwira itu menyeringai makin lebar, wajahnya agak merah. "Ah, baiklah, Nyonya. Marilah kita main-main sebentar!" Ia lalu melangkah maju dan menampar dengan tangan kirinya. Gerakannya seperti orang main-main, akan tetapi nyonya itu terkejut ketika merasa betapa tamparan ini membawa angin pukulan yang amat kuat. Ia tidak berani memandang rendah dan cepat menggerakkan kakinya mundur mengelak, kemudian tubuhnya meliuk ke kiri dan dari samping kakinya mencuat ke arah lambung perwira itu dengan sebuah tendangan kilat.
"Aihhhhh, cepat sekali!" Si perwira berseru, akan tetapi tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanan yang dimiringkan untuk membabat kaki yang menendang.
Wanita itu cepat menarik kembali kakinya dan kini menggunakan kesempatan selagi perwira itu membabatkan tangannya, ia telah mendoyongkan tubuh ke depan dan mengirim pukulan ke arah muka si perwira yang terbuka.
Perwira itu sengaja berlaku lambat dan membiarkan tangan lawan meluncur ke arah mukanya. Setelah dekat sekali sehingga kiranya tidak mungkin bagi lawan untuk menarik kembali tangannya seperti yang dilakukannya dengan tendangan tadi, tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat dari bawah, menyambar ke atas dan tahu-tahu pergelangan tangan kanan wanita yang memukul itu telah ditangkapnya! Terdengar seruan kaget dari suami nyonya itu, juga para penonton menahan seruan mereka. Si wanita sendiri menjadi terkejut karena tidak disangkanya perwira itu memiliki kecepatan seperti itu. Tangan kanannya telah ditangkap dan ia tidak mampu melepaskannya, maka cepat ia memukul ke arah pelipis lawan dengan tangan kiri, dengan pukulan yang melengkung dari luar. Seperti tadi, perwira itu seperti tidak mengelak, dan setelah pukulan tangan kiri dekat, kembali tangan kanannya menyambar dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan yang terus ia bawa ke tangan kiri. Jari-jari tangan kirinya yang panjang kini mencengkeram kedua pergelangan tangan nyonya itu menjadi satu!
"Ohhh.... le.... lepaskan tanganku....!" Nyonya itu berseru dan meronta, berusaha melepaskan tangannya yang keduanya telah terbelenggu oleh jari-jari tangan yang kuat itu. Namun usahanya sia-sia dan si perwira tertawa-tawa bahkan mengulur tangan kanannya mencengkeram ke arah dada!
Kakek itu terkejut, maklum bahwa nyawa puterinya terancam maut. Akan tetapi ternyata perwira itu tidak mencengkeram untuk membunuh, melainkan mencengkeram dengan halus dan meremas-remas dada wanita itu secara kurang ajar sekali sambil tertawa-tawa!
"Lepaskan isteriku!" Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi memandang penuh kemarahan, meloncat maju. Ia masih ingat bahwa ia tidak boleh menyerang perwira itu, karena hal ini akan membahayakan keluarganya, maka ia mengulur tangan untuk menarik tubuh isterinya yang sedang mengalami penghinaan dari perwira tak tahu malu itu. Akan tetapi perwira itu membentak.
"Pergilah!"
Tangan kiri yang membelenggu kedua tangan nyonya itu mendorong sehingga tubuh si wanita terhuyung ke belakang, sedangkan tangan kanan yang tadi meremas-remas buah dada kini menghantam ke arah kepala laki-laki suami wanita itu.
"Ahhhh....!" Laki-laki yang diserang secara tiba-tiba itu cepat menangkis, akan tetapi dengan cepat sekali tangan si perwira itu menyambar pundaknya.
"Krek Pukulan Naga Sakti 13 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Pendekar Gelandangan 8
^