Pencarian

Petualang Asmara 13

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


iang- tok Mo-li meloncat dan berhasil menangkap bokor emas yang melayang dari atas itu.
"Ehh, ke mana kau membuang pusa-ka itu?" Toat-beng Hoat-su berteriak kaget, mengira
bahwa Kwi-eng Niocu membuang bokor yang mereka perebut-kan. Juga Ban-tok Coa-
ong dan Hek-bin Thian-sin terkejut. Bukan hanya tiga orang kakek itu yang terkejut,
bahkan Kwi-eng Niocu juga kaget sekali ketika melihat betapa Siang-tok Mo-li setelah
menerima bokor itu lalu melemparkan bokor itu ke seberang jurang lain dan bokor itu
lenyap! Siang-tok Mo-li meno-leh dan tersenyum lebar penuh ejekan, kemudian
membalikkan tubuh dan sekali melompat tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon!
Timbul kecurigaan di hati Ang Hwi Nio, akan tetapi dia sudah dapat meng-hadapi tiga
orang kakek itu sambil ber-kata mengejek, "Kalian ini tua-tua bang-ka mau apa lagi"
Kalian takkan dapat merampas bokor itu!"
Tiga orang kakek itu maklum bahwa mereka tidak mungkin melompati jurang ini tanpa
bahaya maut mengancam me-reka, dan untuk melakukan pengejaran, mereka harus
menuruni bukit dan meng-ambil jalan memutar yang makan waktu lama dan tentu orang
termuda dari lima datuk itu sudah pergi jauh entah ke mana!
"Ha-ha-ha-ha, sekali ini Kwi-eng Niocu menjadi seorang yang amat tolol dan mudah saja
ditipu orang. Ha-ha-ha!"
Kwi-eng Niocu memandang Kakek Raja Ular itu dengan mata mendelik. Biarpun hatinya
makin tidak enak, akan tetapi dia membentak, "Ban-tok Coa-ong! Engkau bicara seenak
perutmu sendiri. Apa kaukira Kwi-eng Niccu takut menghadapi ular-ularmu yang hanya
dapat kaupakai menakuti kanak-kanak itu?"
Akan tetapi kini Toat-beng Hoat-su juga berkata penuh penyesalan. "Ucapan Si Raja Ular
benar sekali. Kwi-eng Niocu, apa kaukira Siang-tok Mo-li akan demikian lemah hatinya
untuk membagi bokor itu denganmu" Hemm, aku berani bertaruh dua jari tangan! Dia
tentu sudah lari minggat membawa bokor itu bersama seorang sekutunya yang tadi
menyambut bokor di seberang jurang di bawah itu."
Wajah Kwi-eng Niocu menjadi pucat sekali. "Celaka...! Giok-hong-cu...!"
"Siapa" Siapa itu Giok-hong-cu?" Hek-bin Thian-sin berseru.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
361 "Siapa lagi" Muridnya. Celaka, perempuan iblis itu telah menipuku. Kalian benar. Mari
kita kejar mereka sebelum mereka berlari terlalu jauh!" Kwi-eng Niocu segera meloncat
dan berlari cepat turun dari bukit. Tiga orang kakek itu juga tidak mau ketinggalan dan
mereka berempat lari bersicepat seperti berlumba menuruni bukit untuk mencari Bu
Leng Ci dimulai di tempat di mana tadi Siang-tok Mo-li menerima bokor.
Empat orang datuk sesat ini seperti orang-orang yang lupa diri dan mereka melakukan
pengejaran dan pencaharian tanpa mengenal lelah. Seolah-olah hidup mereka
bergantung kepada bokor emas itu! Seolah-olah hidup mereka akan menjadi hampa dan
tak berarti, kalau mereka tidak mendapatkan bokor emas yang diperebutkan itu. Bokor
emas itu, yang mengandung rahasia besar yang didongengkan orang, pusaka dari
Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di seluruh dunia, merupakan tujuan satu-
satunya bagi para datuk ini. Mereka me-rasa yakin bahwa kalau mereka berhasil
menguasai bokor emas, tentu mereka menjadi orang yang terkuat, terpandai, dan
terkaya di dunia ini, dan tentu me-reka tidak akan kekurangan apa-apa lagi, dan
karenanya dapat hidup bahagia!
Betapa tersesatnya pendapat seperti ini, dan betapa menyedihkan bahwa kita semua ini,
disadari maupun tidak, kita hidup dalam cengkeraman tujuan dan cita-cita seperti para
datuk itu! Kita mengharapkan sesuatu, selalu mengharapkan, menginginkan sesuatu
yang kita beri nama cita-cita muluk! Padahal, mengapa kita harus bercita-cita" Mengapa
kita harus mengharap dan beringin" Bukankah pengharapan dan keinginan ini menjadi
penyebab dari kekecewaan dan kekhawatiran" Kita mengejar sesuatu yang kita namakan
cita-cita, dan hati kita selalu diliputi kekhawatiran kalau--kalau kita gagal! Dan kalau
sampai ga-gal, kita akan dirundung kecewa, merasa sengsara. Padahal, kalau kita
berhasil menguasai apa yang kita kejar dan kita namakan cita-cita itu, benarkah kita
akan menemukan bahagia" Berhasilnya cita-cita yang kita kejar itu, benarkah akan
membebaskan kita dari duka dan kecewa, dari bosan dan dari khawatir" Biasanya,
sesuatu yang amat diinginkan, kalau sudah tergenggam tangan, hanya akan
mendatangkan kepuasan sejenak saja, kemudian kita menjadi bosan dan kita mengejar
yang lain lagi sehingga cita-cita menjadi lingkaran setan yang tiada putusnya, yang
mencengkeram se-lama hidup kita dan membuat hidup kita tak pernah bebas dan
tenang! Pengejaran cita-cita menandakan bah-wa kita tidak dapat menghadapi dan mengerti
keadaan apa adanya, dan sekali kita tidak merasa puas dengan keadaan apa adanya,
maka selamanya kita takkan pernah merasa puas, apa dan bagaimana pun keadaan kita.
Sekali kita dicengke-ram oleh pengejaran cita-cita, maka hidup hanya merupakan derita
karena kita tak pernah dapat melihat dan me-nikmati saat sekarang, saat demi saat di
mana kita sesungguhnya hidup, karena mata kita hanya ditujukan jauh ke depan,
kepada esok, lusa, dan masa depan, se-hingga saat ini, sekarang, tidak ada arti-nya lagi.
Padahal saat ini atau sekarang inilah kita hidup!
Para datuk kaum sesat itu, demi untuk memperoleh bokor emas yang menjadi tujuan
dan cita-cita mereka, tidak segan-segan melakukan apapun juga. Tidak segan untuk
membunuh, kalau perlu anta-ra kawan sendiri. Dan demikian pula dengan kita yang
berlumba dalam mengejar cita-cita, untuk berhasil dalam pengejaran ini, kita pun akan
selalu menying-kirkan segala aral yang melintang di tengah jalan! Maka timbullah
pertentang-an, permusuhan, dan kebencian, dan se-mua itu dilapisi dengan kedok
kebenaran dan keadilan yang pada hakekatnya ada-lah kebenaran dan keadilan demi
kepentingan pribadi dan karenanya palsu. Bahkan dalam kesesatan kita tidak segan-
segan pula di antara kita manusia ada yang berpegang kepada semboyan "tujuan
menghalalkan segala cara"!
Semboyan dan pendapat yang sama sekali tidak patut! Cara tidaklah berbeda garis
dengan tujuan. Mungkinkah mengusahakan perdamaian dengan peperangan" Mungkin-
kah menghilangkan permusuhan dengan penindasan" Mengusahakan persahabatan
dengan kemenangan" Cara yang buruk tidak mungkin sama sekali memperoleh tujuan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
362 yang baik, demikian pula, tujuan yang buruk tidak mungkin dilakukan de-ngan cara yang
baik! Sebulan kemudian, usaha pencaharian yang tekun dari empat orang datuk itu dibagi
menjadi dua kelompok. Sebetulnya mereka itu berpencar, akan tetapi karena saling
curiga dan tidak ingin kalau orang lain menemukan tempat persembunyian Siang-tok
Mo-li tanpa yang lain mengetahuinya, maka diam-diam mereka saling membayangi, atau
lebih tepat lagi, Kwi--eng Niocu dan Hek-bin Thian-sin melan-jutkan pencaharian mereka
dengan arah yang sama, dan demikian pula Toat--beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong
saling membayangi.
Hek-bin Thian-sin dan Kwi-eng Niocu lebih tepat menentukan arahnya dan setelah
mencari keterangan di sana-sini, akhirnya pada suatu hari mereka tiba di depan guha di
Bukit Burung Walet. Bukit itu terkenal sebagai sarang burung walet. Maka dinamakan
demikian, dan di situ terdapat banyak guha dan di dalam guha--guba inilah burung-
burung itu bersarang. Sebuah di antara guha-guha itu kini dija-dikan tempat sembunyi
Siang-tok Mo-li dan Giok-hong-cu muridnya!
Hari telah sore dan burung-burung valet beterbangan memasuki guha-guha yang amat
banyak itu. Kedua orang da-tuk kaum sesat itu masih belum tahu benar guha yang mana
yang dijadikan tempat sembunyi orang yang dicarinya. Mereka berdiri di depan guha-
guha dan memasuki guha yang gelap.
"Hemm, tak salah lagi, tentu di sana dia bersembunyi." Akhirnya Kwi-eng Nio-cu berkata
sambil menuding ke arah sebuah guha yang agak besar di tengah--tengah kumpulan
guha itu. Hek-bin Thian-sin memandang. Mula-mula dia tidak dapat menduga mengapa Kwi-eng
Niocu dapat menentukan demikian, akan tetapi dia pun bukan orang bodoh dan segera
dia dapat melihat per-bedaan keadaan guha yang satu ini de-ngan yang lain. Burung-
burung walet yang beterbangan itu, memasuki guha--guha yang lain dengan cepat tanpa
ragu--ragu, akan tetapi burung-burung yang hendak memasuki guha yang dimaksudkan
itu, tidak langsung terbang masuk me-lainkan beterbangan ke sana-sini di depan guha,
seolah-olah mereka segan masuk atau ada sesuatu di dalam guha itu yang mereka
takuti. "Memang, di sanalah dia bersembu-nyi!"
Seperti dikomando saja, keduanya berloncatan dan dengan beberapa loncat-an saja, dua
orang datuk yang berilmu tinggi itu telah tiba di depan guha yang dimaksudkan tadi.
Guha itu besar dan gelap, juga karena agak dalam maka tidak kelihatan ujungnya dari
luar. "Bu Leng Ci, keluarlah engkau! Kami telah tahu bahwa engkau bersembunyi di dalam
guha ini! Apa kauminta kami membakar dan mengasapi guha sehingga kau terpaksa
keluar seperti seekor kelinci dari dalam lubang" Ha-ha-ha!" Hek--bin Thian-sin berteriak.
"Plok! Plok!" Dua ekor burung walet yang sedang beterbangan di atas kepala kedua
orang datuk itu, tiba-tiba jatuh di depan kaki mereka dan ternyata dua ekor burung itu
telah tewas dengan tu-buh berlubang-lubang terkena Siang-tok-soa (Pasir Beracun
Wangi). "Bu Leng Ci, engkau anjing betina, pengkhianat!" Kwi-eng Niocu memaki dengan marah.
"Ang-cici, aku sudah menantimu sam-pai lama sekali di sini! Aku tetap men-jadi
sekutumu! Mari kita bunuh Si Muka Hitam itu dan bokor ini kita nikmati berdua!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
363 Akan tetapi Kwi-eng Niocu sudah terlalu marah karena dikhianati dan dia tidak lagi
percaya kepada Siang-tok Mo-li, maka dia berkata, "Tidak perlu banyak cerewet. Aku
datang untuk mem-bunuhmu dan merampas bokor!"
"Serrr... serrr...!"
Sinar hijau menyambar ke arah dua orang datuk itu. Tentu saja dua orang sakti yang
sudah bersiap sedia ini dapat cepat mengelak dan menghindarkan diri dari ancaman
maut Siang-tok-soa. Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.
"Hek-bin Thian-sin!" terdengar teriak-an Bu Leng Ci dari dalam guha, "Mari kaubantu aku
membunuh Kwi-eng Niocu, dan bokor kita nikmati berdua! Kalau kau tidak mau
bersekutu dengan aku, mana mungkin engkau menghadapi dia dan dua orang kakek tua
bangka yang lain?"
Kwi-eng Niocu terkejut sekali dan dia sudah siap menghadapi kalau-kalau Si -Muka
Hitam itu terkena bujukan Bu Leng Ci yang amat licik itu. Hek-bin Thian--sin meraba-
raba dagunya dan mengerut-kan alisnya, kelihatan ragu-ragu sekali kembali memandang
ke arah Kwi-eng Niocu. Kemudian dia mengomel, "Hemm... hemm, usulmu itu
sebetuinya baik juga... tapi..."
"Thian-sin, jangan gila kau!" Kwi--eng Niocu berseru. "Begitu bodoh tertipu oleh anjing
betina itu!"
Saat itu dari dalam guha berkelebat bayangan Bu Leng Ci, didahului pedang samurainya
yang menjadi sinar terang menyambar ke arah Kwi-eng Niocu. Ten-tu saja Kwi-eng
Niocu sudah cepat me-loncat ke belakang menghindar, lalu me-nerjang maju lagi
menggunakan senjata-nya yang tidak kalah ampuhnya dengan segala macam senjata
tajam, yaitu kuku--kuku tangannya yang panjang dan bera-cun!
"Hek-bin Thian-sin, kaupilih saja! Tikus betina tua yang berbahaya ini atau aku yang
memegang bokor emas!" Bu Leng Ci masih berteriak sambil mengge-rakkan samurainya
menghadapi Kwi-eng Niocu.
Hek-bin Thian-sin masih berdiri termangu dan memandang dua orang wanita yang sudah
bertanding dengan hebat itu.
Di dalam pikirannya terjadi perang sen-diri. Membantu yang mana" Kalau dia membantu,
tentu seorang di antara dua wanita ini kalah dan tewas, dan dia memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinannya, tentu saja dengan menekankan keuntungan bagi dirinya
sendiri. Senjata-nya yang menyeramkan, sebatang golok besar yang tajam mengkilap,
telah siap di tangan kanannya.
Pertandingan yang terjadi antara dua orang wanita lihai itu, amat seru dan mati-matian.
Pedang samurai yang pan-jang melengkung sedikit itu telah lenyap bentuknya, berubah
menjadi segulung sinar terang yang berkeredepan. Akan tetapi, gerakan Kwi-eng Niocu
bukan main gesitnya. Memang, datuk wanita ini terkenal sekali dengan ilmu gin-kangnya
sehingga tubuhnya menjadi amat ringan, gerakannya cepat sampai bayangannya lenyap
dan karena kelihaian gin-kangnya inilah maka dia dijuluki Si Bayangan Hantu! Biarpun
dia tidak memegang sen-jata namun sepuluh buah kuku jari tangannya merupakan
senjata-senjata yang amat ampuh, karena jangankan sampai terkena tusukan, baru
terkena guratan sebuah di antaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan!
Namun, menghadapi Bu Leng Ci yang dia tahu amat lihai ilmu pedang samurainya yang
tajam itu, dia harus berhati-hati, karena betapa pun kuat kukunya, kalau sampai terkena
sabetan samurai tentu akan patah. Kedua orang wanita ini bertanding dengan bimbang
terutama sekali Kwi-eng Niocu yang khawatir kalau-kalau Si Muka Hitam itu terkena
bujukan Bu Leng Ci dan akan maju mengeroyoknya. Kebimbangannya inilah yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
364 membuat pertandingan itu menjadi seimbang, biarpun sebenarnya tingkat kepandaian
Ketua Kwi-eng-pang ini masih menang setingkat dibandingkan dengan lawannya.
Tiba-tiba Hek-bin Thian-sin tertawa bergelak dan berseru nyaring, "Ha-ha-ha!
Mampuslah kau!" Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher Kwi-eng Niocu! Ketua
Kwi-eng-pang ini kaget dan cepat mengelak, akan tetapi tahu-tahu golok itu sudah
menyeleweng dan dengan kecepatan yang tak terduga-duga telah membacok ke arah
tubuh Bu Leng Ci! Kiranya kakek muka hitam itu tadi hanya menyerang Kwi-eng Niocu
secara palsu untuk mengalihkan perhatian Bu Leng Ci, padahal yang menjadi sasaran
goloknya sebenarnya adalah Siang-tok Mo-li. Kepu-tusan ini diambil dan membuktikan
kelihaian dan kecerdikan Si Muka Hitam ini. Biarpun bokor berada di tangan Bu Leng Ci,
namun dia mengambil keputusan un-tuk membantu Kwi-eng Niocu. Dia ter-ingat akan
keterangan Kwi-eng Niocu bahwa Bu Leng Ci mempunyai seorang murid yang berjuluk
Giok-hong-cu, dan dia sudah mendengar pula akan kelihaian Giok-hong-cu. Bu Leng Ci
muncul sendirian dan bokor emas tidak berada di tangannya, tentu berada di tangan
Giok--hong-cu itu. Kalau dia membantu Bu Leng Ci dan mereka berdua berhasil
membunuh Kwi-eng Niocu, berarti bahwa dia akan berhadapan dengan Bu Leng Ci dan
muridnya itu. Ilmu kepandaiannya hanya menang setingkat dibandingkan dengan Bu
Leng Ci, maka kalau Siang--tok Mo-li itu dibantu muridnya yang lihai juga, mana dia
akan mampu menang"
Sebaliknya, kalau dia membantu Kwi--eng Niocu, tentu Bu Leng Ci dan murid-nya dapat
dirobohkan, dan kemudian dia hanya akan berhadapan dengan Kwi-eng Niocu seorang!
Tentu saja lebih ringan dan lebih besar harapannya untuk dapat merampas bokor.
Bu Leng Ci terkejut bukan main. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Si
Muka Hitam itu akan menye-rangnya. Tadi ketika mendengar seruan kakek itu dan
melihat golok menyambar ke arah Kwi-eng Niocu, dia sudah mera-sa girang sekali. Siapa
mengira bahwa golok itu tiba-tiba membalik dan menye-rangnya sedemikian cepat dan
hebatnya! Agak terlambat dia menggerakkan samu-rainya menangkis.
"Cringgg...!" Bu Leng Ci berhasil menyelamatkan diri dari sambaran golok dengan
tangkisannya, akan tetapi karena dia menangkis terlambat dan kedudukan-nya tidak
baik, maka terhuyung dan pada saat itu dia merasa pundaknya perih dan panas!
"Siluman betina...!" Dia memaki dan terdengar suara ketawa Kwi-eng Niocu yang telah
berhasil mencengkeram dan melukai pundak Bu Leng Ci. Dengan kemarahan meluap, Bu
Leng Ci tidak mempedulikan lagi sambaran golok di tangan Hek-bin Thian-sin,
samurainya meluncur seperti sambaran halilintar ke arah Kwi-eng Niocu. Serangan nekat
ini membuat Kwi-eng Niocu terkejut, dan terpaksa dia mengelak. Melihat samurai masih
mengancamnya, terpaksa dia menggunakan ujung kuku tangan kirinya menangkis.
"Trakkk...!" Dia berhasil menyela-matkan diri, akan tetapi dia harus me-ngorbankan lima
kuku jari tangan kirinya yang terbabat putus semua! Dan pada saat itu, golok Hek-bin
Thian-sin telah melukai paha kanan Bu Leng Ci. Wanita ini terguling, akan tetapi sambil
memu-tar samurainya, dia sudah meloncat lagi, tidak mempedulikan darah yang
muncrat--muncrat keluar dari luka di pahanya.
"Bi Kiok...! Lari...!" Dia menjerit.
Tepat seperti diduga oleh Hek-bin Thian-sin, murid Siang-tok Mo-li memang
bersembunyi di dalam guha sambil menanti tanda dari gurunya. Kalau bujukan gurunya
berhasil dan Kwi-eng Niocu dapat dirobohkan, dia akan keluar memban-tu gurunya
mengeroyok Hek-bin Thian--sin. Akan tetapi betapa terkejutnya ketika dari
pengintaiannya dara ini melihat keadaan berubah dan terbalik sama seka-li. Malah
gurunya yang dikeroyok oleh dua orang datuk itu, dan kini gurunya terluka hebat.
Sebetulnya ingin dia me-ngamuk, membela gurunya, akan tetapi karena memang semua
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
365 telah diatur guru-nya, semenjak mereka melarikan diri setelah berhasil menguasai bokor
emas, Bi Kiok tidak berani melanggar perintah dan dia lalu melompat keluar dari dalam guha
dan terus melarikan diri.
"Haii, hendak ke mana engkau?" Hek-bin Thian-sin yang memang sudah
memperhitungkan hal ini, dapat bergerak lebih cepat dan daripada Kwi-eng Niocu. Dia
sengaja mendekati mulut guha dan membiarkan Kwi-eng Niocu melampiaskan
kemarahannya karena kehilangan kuku jari tangan kiri kepada Bu Leng Ci sedangkan dia
sendiri begitu melihat berkelebatnya bayangan seorang dara cantik, cepat menubruk
maju. "Singgg...!" Sinar terang meluncur ke arah kakek itu ketika Yo Bi Kiok atau yang berjuluk
Giok-hong-cu menusukkan pedangnya kepada kakek yang mengha-dang di depannya.
"Trangggg...!" Golok besar itu me-nangkis dengan pengerahan tenaga hebat sekali,
membuat pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangan Bi Kiok! Dara itu maklum
bahwa dia tidak boleh terlalu lama melayani lawannya yang amat tangguh, maka sesuai
dengan rencana yang telah diatur gurunya, dia melemparkan bokor emas jauh ke kiri.
Melihat ini, Hek-bin Thian-sin cepat mendorongkan tangan kirinya ke arah Bi Kiok.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pukulan jarak jauh ini dahsyat sekali dah Bi Kiok yang tidak menyangkanya, dilanda
hawa pukulan sehingga terjengkang. Dadanya terasa panas dan napasnya sesak, akan
tetapi dia dapat meloncat bangun dan cepat melarikan diri dari tempat itu. Hek-bin
Thian-sin tertawa bergelak ketika dia menyambar bokor emas dengan tangan kirinya,
cepat membalikkan tubuh ke arah Kwi-eng Niocu dengan golok siap di tangan kanan.
Kwi-eng Niocu telah berhasil merobohkan Bu Leng Ci. Kegemasannya terhadap adik
angkat yang sebetulnya diangkat adik hanya untuk memenuhi muslihat masing-masing,
karena Bu Leng Ci telah mengkhianatinya dan telah mematahkan lima kuku jari tangan
kirinya, membuat Ketua Kwi-eng-pang ini seperti gila. Mula-mula, sebuah tangannya
berhasil melemparkan samurai dari genggaman tangan Bu Leng Ci yang terluka parah,
terkena racun kuku jari Kwi-eng-pang dan pahanya terluka herat oleh golok Hek-bin
Thian-sin. Namun Bu Leng Ci yang sudah maklum akan bahaya maut yang mengancam
nyawanya, masih nekat melakukan perlawanan, bahkan menubruk maju dengan kedua
tangan hendak mencengkeram, kedua tangan yang telah merobek banyak dada pria
untuk mengambil jantungnya dan memakannya itu, jari tangan yang amat kuat seperti
baja. Namun karena dia sudah terluka, maka gerakannya kurang cepat dan Kwi-eng
Niocu yang maklum pula betapa bahayanya lawan yang sudah menjadi nekat, cepat
miringkan tubuh mengelak sehingga tubuh Bu Leng Ci terdorong ke depan oleh
gerakannya sendiri. Saat itu dipergunakan oleh Kwi-eng Niocu untuk mencengkeram
ubun-ubun kepala lawan dari samping.
"Krekkk...! Auuugghhh...!" Bu Leng Ci yang terkenal dengan julukan Siang-tok Mo-li,
yang namanya amat terkenal ditakuti soperti iblis di daerah selatan pantai laut selatan,
kini menjerit mengerikan dan agaknya nyawanya melayang pergi bersama jeritannya itu.
Setelah melihat lawannya tewas, Kwi-eng Niocu memandang Hek-bin Thian-sin yang
tersenyum-senyum memandangi bokor emas di tangannya.
"Hek-bin Thian-sin, karena kita berdua yang menemukan bokor itu, dan aku yapg
membunuh Siang-tok Mo-li, maka sudah sepatutnya ka1au kita berdua yang berhak atas
pusaka itu."
"Ha-ha, Kwi-eng Niocu. Terhadap Siang-tok Mo-li saja aku sudah tidak dapat terbujuk,
apalagi menghadapi engkau. Tentu saja aku tidak percaya. Kalau kau mampu, boleh
kaucoba merampas bokor ini dari tanganku!" Kakek muka hitam itu memegang bokor
dengan tangan kiri sedangkan golok di tangan kanannya dikelebatkan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
366 Kwi-eng Niocu bukanlah seorang bodoh. Dalam keadaan tidak terluka sekali-pun,
kekuatannya seimbang dibandingkan dengan Si Muka Hitam itu dan biarpun dia tidak
takut, dia agaknya harus me-ngeluarkan seluruh kepandaiannya untuk memenangkan
datuk timur ini. Akan tetapi sekarang dia telah kehilangan lima buah kuku jari tangan
kirinya. Biarpun tidak terluka, namun malapetaka ini baginya lebih hebat daripada kalau
dia terluka karena dia kehilangan separuh dari senjatanya dan karenanya dia tidak akan
dapat bergerak leluasa. Dalam ke-adaan seperti sekarang ini, melawan Hek-bin Thian-sin
sama artinya dengan membunuh diri secara konyol. Tentu saja dia tidak sudi membunuh
diri. Masih banyak waktu untuk kelak berusaha me-rampas bokor itu dari tangan Si Muka
Hitam. Bukankah tidak ada orang lain yang tahu bahwa bokor yang diperebutkan itu kini
berada di tangan Hek-bin Thian-sin" Maka dia tidak menjawab, bahkan cepat dia
membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu sebelum datuk dari timur itu berpikir
lain. Dan memang kepergian Kwi-eng Niocu ini tidak terlambat dan tepat sekali karena
setelah datuk wanita itu pergi, Hek-bin Thian-sin mengerutkan alis dan merasa menyesal
mengapa dia tidak membunuh saja Kwi-eng Niocu yang sudah kehilangan semua kuku
tangan kirinya. Kini dia maklum bahwa setidaknya masih ada bahaya mengancam
kepadanya dari satu jurusan, yaitu dari Kwi-ouw tempat tinggal Ketua Kwi-eng-pang itu.
Akan tetapi kegembiraan memperoleh bokor emas yang diidam-idamkan itu membuat
dia segera melupakan hal ini dan cepat dia pun lari pergi menuju ke timur karena dia
berniat untuk bersembunyi di pantai timur, tempat di mana dia menjadi datuknya dan
diam-diam memeriksa rahasia bokor emas yang kabarnya selain mengandung rahasia
tempat penyimpanan harta karun yang amat besar, juga mengandung rahasia tempat
penyimpanan kitab-kitab pelajaran kesak-tian dari Panglima Besar The Hoo! Dia harus
cepat-cepat menyelamatkan diri dan menghindarkan pengejaran dua orang kakek datuk
lainnya, yaitu Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, dua orang yang dia tahu amat
sakti dan lebih lihai daripada dia sendiri. Selain ini, juga dia harus menghindarkan
pertemuan dengan kakek asing botak Legaspi Selado yang selain lihai juga mempunyai
banyak kaki tangan, bahkan bersekutu dengan pasukan pemberontak. Tadinya memang
dia telah menceritakan tentang bokor kepada Le-gaspi sehingga menarik perhatian kakek
itu yang berjanji untuk membantunya.
Akan tetapi setelah kini bokor terjatuh ke dalam tangannya, dia merasa tidak perlu lagi
untuk berurusan dengan kakek asing itu!
Ternyata bahwa Hek-bin Thian-sin terlalu memandang rendah kepada Legas-pi Selado.
Dia sama sekali tidak mengira bahwa kakek asing yang botak itu selain berkepandaian
tinggi, juga amat cerdik, jauh lebih cerdik daripada datuk timur ini! Maka, dapat
dibayangkan betapa kaget hati Hek-bin Thian-sin ketika dia menuruni bukit dan tiba di
hutan yang mengurung kaki bukit, tiba-tiba saja muncul Legaspi Selado di depannya
sam-bil tersenyum lebar! Terlambat bagi Hek--bin Thian-sin untuk menyembunyikan
bokor emas itu dan dengan jantung berdebar dia mendengar kakek asing botak itu
menegurnya. "Ahai sahabatku yang baik Hek-bin Thian-sin Louw Ek Bu! Siapa mengira
bahwa kita bertemu di sini dan ternyata engkau telah berhasil menemukan bokor emas
itu. Bagus! Mari kita bawa ke kapalku dan di sana kita mencari rahasia bokor itu,
sahabatku yang baik!"
Biarpun dia terkejut dan khawatir melihat munculnya kakek asing yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya ini, mendengar ucapan itu, Hek-bin Thian-sin menjadi marah. Dia
maklum bahwa Legaspi memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak takut.
"Legaspi Selado, bokor ini adalah aku sendiri yang mendapatkannya, maka tidak
mungkin dapat kubagi dengan siapapun juga."
"Hemmm, begitukah...?" Kakek botak itu tiba-tiba mengeluarkan suara bersuit nyaring
dan bermunculanlah belasan orang dari balik pohon-pohon di sekeliling tempat itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
367 Mereka ini adalah para per-wira pemberontak yang berhasil menye-lamatkan diri dan lari
ketika Ceng-to diserbu oleh pasukan pemerintah yang di-pimpin sendiri oleh Pendekar
Sakti Cia Keng Hong. Bekas perwira ini menyamar dengan pakaian preman dan
dipergunakan oleh Legaspi Selado yang juga berhasil melarikan diri bersama teman-
teman sebangsanya. Kini, atas isyarat yang diberikan kakek botak itu, mereka telah
mencabut senjata golok dan pedang, mengurung Hek-bin Thian-sin.
"Legaspi Selado, mau apa kau?" Hek--bin Thian-sin membentak.
"Ha-ha-ha, Tuan Low Ek Bu! Engkau memang seorang yang murka dan khianat. Di Ceng-
to, engkau telah meninggal-kan kami. Sekarang, dengan baik aku mengajakmu
bersama-sama menyelidiki rahasia bokor, akan tetapi engkau hendak menguasainya
sendiri saja. Karena itu, aku tidak sudi bersahabat lagi denganmu. Engkau adalah musuh
dan kau harus me-nyerahkan bokor atau nyawamu!"
"Anjing biadab asing keparat!" Hek bin Thian-sin memaki dan golok di ta-ngannya sudah
diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan mengamuklah
datuk timur ini. Dua orang bekas perwira yang menangkis goloknya, berteriak ketika
pedang mereka patah-patah dan golok terus menyambar ke arah tubuh mereka,
merobek dada dan perut sehingga mereka roboh dan tewas seketika. Seorang lain yang
menusukkan pedang dari belakang, dielakkan oleh Hek-bin Thian-sin, goloknya
menyambar lagi. Pedang, itu kena dihantam dari sam-ping, mencelat dan pedang itu
menancap di dada kiri seorang pengeroyok yang memekik nyaring dan roboh telentang,
tewas pula. Amukan Hek-bin Thian-sin amat he-bat. Kepandaiannya tidak dapat dilawan oleh para
bekas perwira. Melihat ini, Legaspi menjadi marah sekali. Dilolosnya pecut dari
pinggangnya, dan pecut itu digerakkan cepat sekali, meledak-ledak, menyambar ke atas
kepala Hek-bin Thian-sin.
"Tar-tar-tar-tarrr...!"
Hek bin Thian-sin cepat mengelak sambil membabatkan golok di sekeliling-nya dengan
kecepatan luar biasa. Kemba-li ada tiga orang pengeroyok roboh dan darah muncrat dari
luka-luka mereka.
"Mundur semua...!" Legaspi Selado berteriak marah melihat enam orang anak buahnya
tewas oleh sepak terjang lawan yang hebat itu. Dia sendiri sudah menerjang maju dan
terjadilah kini per-tandingan yang amat seru. Legaspi Se-lado memperoleh ilmu
cambuknya dari Nepal, dilatih oleh seorang ahli cambuk yang banyak terdapat di negara
itu. Se-lain ini, Legaspi sudah banyak mempela-jari ilmu silat dan memiliki sin-kang serta
gin-kang yang tinggi. Namun, Hek-bin Thian-sin adalah seorang datuk timur yang lihai.
Dengan bokor di tangan kiri kakek ini menggerakkan goloknya, kadang-kadang bertubi-
tubi menyerang kadang-kadang golok diputarnya sedemi-kian rupa sehingga tubuhnya
terlindung oleh gulungan sinar, membuat ancaman dan serangan ujung cambuk gagal
semua. Legaspi Selado selama berkenalan dengan Hek-bin Thian-sin, juga baru sekali ini
bertanding melawan bekas sekutu ini, maka dia yang terlalu mengandalkan kepandaian
sendiri dan memandang rendah orang lain, ketika melihat betapa cambuk saktinya yang
selamanya ini sukar menemukan tanding, kini tidak dapat berbuat banyak menghadapi
datuk timur ini.
"Tar-tar-tar... wuuttttt...!" Kini dia merobah gerakan pecutnya. Ujung cambuk itu
menjadi sinar hitam melingkar-lingkar di atas, kemudian meluncur ke bawah dan tahu-
tahu telah melibat golok Hek-bin Thian-sin. Datuk ini kaget sekali, tentu saja
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
368 mempertahankan golok-nya dengan pengerahan sin-kangnya. Terjadi tarik-menarik,
keduanya mengerah-kan tenaga sin-kang.
"Trakkk...! Brettt...!" Golok patah tengahnya dan cambuk juga putus bagian tengahnya.
Kedua orang itu mendengus marah, melempar gagang golok dan ga-gang cambuk,
kemudian mereka saling menerjang dengan tangan koseng!
Akan tetapi karena Hek-bin Thian-sin menggunakan tangan kirinya untuk memeluk bokor
emas, maka dia hanya mempergunakan tangan kanan dan hal ini membuat dia terdesak
hebat. Selagi ka-kek ini mencari jalan ke luar untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar
suara tertawa halus dan dari atas melayang sesosok tubuh yang langsung menerjang
kedua orang yang sedang bertanding. Begitu terjun dari atas, tangan kiri orang itu
mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Hek-bin Thian-sin dengan gerakan yang
dahsyat sekali.
"Aihhh...!" Hek-bin Thian-sin berte-riak kaget, maklum bahwa serangan ke arah ubun-
ubun kepalanya itu dapat mendatangkan maut! Maka cepat dia menang-kis dengan
tangan kirinya dan pada saat itu, tangan kanan Toat-beng Hoat-su sudah merampas
bokor emas yang dipe-gang erat-erat oleh tangan kiri datuk timur.
"Heii... kembalikan!" Hek-bin Thian--sin berseru.
"Serahkan bokor itu kepadaku!" Legas-pi Selado juga berteriak. Dua orang ka-kek ini
mengulurkan tangan untuk merampas bokor, akan tetapi dengan gerak-an amat ringan,
Toat-beng Hoat-su sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan tertawa melihat betapa
Legaspi dan Hek--bin Thian-sin bertumbukan ketika berebut merampas bokor. Tubrukan
ini diperguna-kan oleh Legaspi untuk menghantam ke arah dada Hek-bin Thian-sin.
Melihat gerakan ini, Toat-beng Hoat-su yang sudah meluncur turun itu pun mengguna-
kan telapak tangan kirinya untuk meng-hantam punggung Hek-bin Thian-sin. Diserang
secara berbareng oleh dua orang kakek sakti itu, dari depan dan belakang, Hek-bin
Thian-sin terkejut, mengerahkan sin-kang dan berusaha menangkis. Namun terlambat.
Dada dan punggungnya terpu-kul, dia berkelojot, matanya terbelalak, mulutnya
menyemburkan darah segar, kedua tangannya masih berusaha untuk memukul kedua
orang lawan itu, akan tetapi begitu Legaspi dan Toat-beng Hoat-su meloncat mundur,
Hek-bin Thian--sin Louw Ek Bu terguling roboh dan tewas seketika. Tentu saja isi
dadanya remuk terkena hantaman dua orang sakti dari depan dan belakang itu.
Legaspi Selado memandang kepada Toat-beng Hoat-su dengan mata terbelalak lebar.
Dia belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi dari keterangan Hek-bin Thian-
sin ketika masih menjadi sekutunya, dia telah mendengar tentang empat orang datuk
kaum sesat lainnya, maka kini melihat Toat-beng Hoat-su, segera dia dapat
menduganya. "Toat-beng Hoat-su, berikan bokor itu kepadaku!" bentaknya sambil meloncat ke depan
dan serta merta dia memukul dengan kedua tangannya bergantian.
"Ha-ha-ha, anjing asing kau ikut-ikut memperebutkan bokor!" Toat-beng Hoat--su
menangkis. "Dess! Dess! Plak-plal-plakkk!" Pertemuan kedua tangan secara bertubi ini membuat
keduanya terhuyung ke bela-kang dan keduanya terkejut sekali. Per-temuan tangan
mereka tadi telah mem-buktikan betapa masing-masing memiliki tenaga sin-kang yang
berimbang atau kalau ada selisihnya pun tidak banyak. Toat-beng Hoat-su yang sudah
berhasil merampas bokor, segera meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri keluar
dari hutan itu.
"Kejar...!" Legaspi Selado berseru sambil lari mengejar, diikuti oleh sisa anak buahnya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
369 Akan tetapi, tiba-tiba tampak bebe-rapa orang yang riap-riapan rambutnya melepas
anak panah berapi sehingga terjadilah kebakaran di hutan itu yang menghadang Legaspi
dan anak buahnya. Kiranya mereka itu adalah orang-orang Nepal yang meniadi anak
buah Toat-beng Hoat-su! Ketika Toat-beng Hoat-su bersama tiga orang datuk lain secara
ber-pencar menyelidiki larinya Siang-tok Mo-li, dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong
Ouwyang Kok telah berunding dan ber-mufakat untuk bekerja sama. Mereka maklum
bahwa kalau seorang di antara mereka berhasil mendapatkan bokor, tentu mereka akan
terpaksa saling bunuh dan mereka tidak akan pernah dapat hidup aman dengan bokor di
tangan. Maka mereka mengambil keputusan untuk bekerja sama sehingga kedudukan
mere-ka kuat, dan Ban-tok Coa-ong malah menawarkan tempat persembunyiannya di
Pulau Ular, dan orang-orang Nepal itu adalah para pembantunya pula yang kemudian
sebagian membantu Toat-beng Hoat-su dan sebagian pula membantu Ban-tok Coa-ong
untuk mencari secara terpisah. Akhirnya, Toat-beng Hoat-su yang berhasil lebih dulu dan
bersama anak buah orang-orang Nepal itu dia melarikan diri ke pantai di mana telah
menanti sebuah perahu besar yang diberi nama Angin Barat. Toat-beng Hoat-su dan
anak buahnya disambut oleh Ban-tok Coa-ong yang telah kembali ke pera-hu dulu. Tentu
saja Ban-tok Coa-ong menjadi girang sekali.
"Biarkan Angin Barat berangkat sen-diri, kita berdua menggunakan perahu kecilku!" kata
Ouwyang Kok Si Raja Ular itu.
"Mengapa begitu" Bukankah lebih aman naik Angin Barat yang besar?" Toat-beng Hoat-
su bertanya. "Benda ini dicari oleh banyak sekali orang pandai di dunia kang-ouw dan menurutkan
ceritamu tadi, tentu Legaspi Selado tidak akan tinggal diam begitu saja. Orang-orang
asing itu memiliki ka-pal besar yang jauh lebih kuat daripada perahu kita, maka kalau
sampai kita ter-susul di tengah lautan, tentu akan berbahaya sekali. Kapal asing itu
mempunyai senjata api besar berupa meriam dan kalau perahu besar kita tenggelam,
apa yang dapat kita lakukan" Lebih baik kita naik perahu kecil, perahu nelayan sehingga
tidak ada yang menaruh curiga. Kalau kita sudah tiba di Pulau Ular, kita tidak perlu
khawatir lagi terhadap serbuan musuh."
Toat-beng Hoat-su mengangguk-ang-guk, memuji kecerdikan dan sikap yang berhati-
hati ini. Mereka mendahului berangkat dengan sebuah perahu layar kecil yang meluncur
cepat biarpun pagi itu tiada angin karena dua batang dayung digerakkan oleh dua pasan
tangan yang memiliki kekuatan dahsyat.
Enam orang Nepal itu segera mema-sang layar, memberangkatkan perahu Angin Barat
yang meluncur seenaknya di atas air laut meninggalkan pantai. Akan tetapi, belum jauh
dari pantai, orang--orang Nepal yang rambutnya riap-riapan tertiup angin laut itu melihat
perahu kecil dengan penumpang tiga orang. Orang yang tadinya duduk di tengah,
seorang kakek kurus, tiba-tiba merampas dayung dari tangan temannya dan dialah yang
kini mendayupg perahu itu mendekati perahu besar Angin Barat.
"Wah, jangan-jangan mereka itu mata--mata musuh!" Pemimpin orang Nepal berkata.
"Jelas bukan perahu nelayan, akan tetapi, kelau perahu pelancong mengapa sampai
begini jauh meninggalkan pantai?"
"Kita tabrak saja biar terguling dan menjadi mangsa ikan!" kata temannya.
Pemimpin orang-orang Nepal itu memegang kemudi perahu, diputarnya perahu Angin
Barat sehingga kini membelok dan dengan laju meluncur ke arah perahu kecil. Kakek
yang memegang dayung, menggunakan kedua tangan mendayung perahu untuk
menghindari tubrukan. Memang terhindar, akan tetapi ombak yang dibuat oleh Angin
Barat membuat perahu kecil oleng.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
370 "Berpegang erat-erat!" kakek itu berseru, kemudian dayungnya bergerak cepat dan...
perahu kecil itu meluncur terbang ke atas perahu besar Angin Barat!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya orang-orang Nepal itu melihat perahu kecil itu dapat
"terbang" ke atas perahu besar mereka. Tentu saja perahu kecil itu bukannya terbang,
melainkan terlempar ke atas ketika kakek kurus itu menggunakan dayungnya untuk
menekan langkan perahu Angin Barat dan meng-gunakan kakinya untuk mengait papan
di dalam perahu kecilnya. Dari kenyataan ini saja dapat dibayangkan betapa lihainya
kakek kurus itu.
Dua orang Nepal hendak menyerbu, akan tetapi kakek itu menggunakan dayungnya
menampar dan dua orang itu roboh pingsan! Terdengar suara keras ketika perahu kecil
itu mendarat di atas dek perahu Angin Barat, dan empat orang Nepal dengan marah
datang menerjang. Kembali dayung itu bergerak empat kali dan empat orang ini pun
roboh tak dapat bangkit kembali!
Tentu saja pemimpin orang Nepal yang roboh dan patah tulang pundaknya itu terkejut
sekali dan timbul rasa takut di hatinya ketika kakek tinggi kurus itu melangkah
menghampirinya.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hayo katakan di mana adanya Toat-beng Hoat-su!"
Pemimpin orang Nepal itu makin terkejut ketika mendengar orang tinggi kurus ini
membentak kepadanya dalam bahasa Nepal yang cukup baik! Tahulah dia bahwa orang
tinggi kurus ini adalah seorang aneh yang berkepandaian tinggi, maka sambil merintih
dia berkata. "Ampunkan... hamba... hamba tidak tahu... kami hanyalah nelayan-
nelayan..."
"Hemm... masih berani membohong" Kalian tentu pelarian dari penjaga di Nepal yang
belum lama ini memberontak dengan bantuan Ban-tok Coa-ong, bukan" Jangan mengira
aku tidak mengerti. Kau berhadapan dengan pengawal pertama dari Panglima Besar The
Hoo." Mendengar ini, orang Nepal itu dan juga teman-temannya yang sudah siuman terkejut
dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun adalah orang kurus
tinggi itu bukan lain adalah Pengawal Thio Hok Gwan, Si Pengantuk yang lihai itu! Dan
orang yang datang bersamanya dalam perahu adalah dua orang pengawal yang selalu
menemaninya, yaitu Si Muka Pucat Kui Siang Han dan Si Muka Merah Song Kim! Setelah
selesai menggempur para pemberontak di Sungai Huang-ho, dan mendengar bahwa
bokor emas dilarikan Kwi-eng Niocu, Si Pengantuk ini mengajak dua orang teman itu
untuk pergi melakukan pengejaran dan hal itu disetujui oleh Souw Li Hwa. Memang
pengawal suhunya itu bertugas untuk mencari kembali bokor emas, maka dia mengalah
dan dialah yang mengawal tawanan ke kota raja, setelah dia membebaskan Yuan de
Gama. "Aku sudah tahu bahwa Kakek Toat-beng Hoat-su pagi tadi kalian bantu di hutan,
kemudian lari ke perahu Angin Barat ini. Hayo katakan ke mana dia pergi bersembunyi."
Tahulah kini orang-orang Nepal itu bahwa mereka tidak mungkin dapat membohong lagi.
"Dia bersama dengan Ban-tok Coa-ong telah pergi dengan pe-rahu layar kecil ke Pulau
Ular." "Pulau Ular" Di mana dia itu" Tempat apa?" Tio Gwan membentak.
"Kami sendiri belum lama dibawa oleh Ban-tok Coa-ong ke tempat itu, dan letaknya di
bagian selatan Teluk Pohai. Pulau kosong yang amat berbahaya, penuh ular berbisa."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
371 Tio Hok Gwan tidak berani sembrono melakukan pengejaran ke pulau itu. Dia tahu
betapa lihainya Toat-beng Hoat-su. Menghadapi datuk pertama ini saja belum tentu dia
dan dua orang pemban-tunya dapat menang, apalagi di sana masih ada Ban-tok Coa-ang
yang amat lihai dan berbahaya, dan kabarnya putera dari Raja Ular itu juga amat lihai,
ditambah lagi dengan tempat berbahaya penuh ular dan mungkin anak buah mereka
yang banyak jumlahnya.
Dia lalu memerintahkan dua orang pembantunya untuk melayarkan perahu Anginn Barat
itu ke pantai, kemudian menyerahkan enam orang Nepal itu sebagai tahanan di kota
terdekat dan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, segera kembali ke kota raja
untuk melaporkan kepada Panglima Besar The Hoo akan bokor emas yang kini berada di
Pulau Ular! Kun Liong berjalan seorang diri sam-bil kadang-kadang tersenyum geli. Dia masih
teringat akan nikouw yang diobatinya dan merasa geli kalau teringat beta-pa tanpa
disangka-sangkanya, dia berke-sempatan untuk meraba-raba pinggul seorang wanita
yang begitu halus dan mulus! Biarpun dia tidak berniat melaku-kan perbuatan itu
melainkan terpaksa
untuk mengobatinya, namun kini teringat akan itu, teringat pula betapa nikouw itu
menjadi malu, dia tersenyum sendiri. Betapa anehnya semua hal yang dialaminya,
pikirnya. Hal-hal yang berhubungan dengan wanita! Dia selalu merasa senang berurusan
dengan wanita! Banyak sudah terjadi hal yang menyenangkan.
DENGAN Liem Hwi Sian yang diciumnya dan yang ternyata menyatakan cinta kepadanya!
Dengan Cia Giok Keng yang cantik jelita akan tetapi ga-lak dan gagah perkasa. Dengan
Yo Bi Kiok yang juga menyatakan cinta kepada-nya! Dengan Souw Li Hwa yang angkuh.
Kemudian dengan nikouw yang hanya dikenal pinggul sebelahnya saja! Aneh semua itu!
Sudah ada dua orang dara cantik jelita mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi mana
mungkin dia membo-hongi mereka dan mengaku cinta" Tidak, dia tidak sekejam itu! Dia
tidak mau membohongi dara-dara yang amat disukanya itu.
Mengenangkan kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan Bi Kiok.
Mengapa dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya" Benarkah bahwa
mereka mencintanya" Mengapa ketika dia berterus terang menyatakan bahwa dia suka
akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia tidak membalas cinta mereka, kedua
orang dara itu menjadi marah dan ber-duka" Apakah cinta itu menuntut balas-an"
Cintakah atau nafsu berahikah itu yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan
masing-masing mencurah-kan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar,
tuntutan itu saling memi-liki, saling menguasai, dan saling menye-nangkan dan
disenangkan" Kalau ada tun-tutan seperti itu, sudah pasti sekali ter-cipta kecewa, duka,
cemburu dan benci. Benarkah bahwa cinta menimbulkan se-mua kesengsaraan ini" Kalau
begitu, bu-kanlah cinta namanya, yang menimbulkan kecewa, duka, cemburu, benci dan
iri adalah pikiran, ingatan. Kalau pikiran memasuki hati, semuanya menjadi keruh
dan rusak, karena pikiran memperkuat si aku sehingga segala gerak tubuh, segala gerak
hati dan pikiran selalu ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si aku. Maka cinta
pun menjadi bukan cinta lagi karena di situ terkandung tuntutan supa-ya aku dicinta,
aku diperhatikan, aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, aku menggantungkan semua
harapan akan kepuasan dan kenikmatan hidup kepada-mu. Selama engkau melayani
segala ke-butuhanku lahir batin, selama engkau memuaskan aku, selama engkau
menye-nangkan aku, selama engkau menjadi mi-likku pribadi, mulut ini tak segan-segan
menyatakan "aku cinta padamu". Akan tetapi kalau engkau mengingkari semua
tuntunanku itu, kalau engkau tidak mau melayani kebutuhan lahir batin dariku, kalau
engkau mengecewakan aku, kalau engkau tidak menyenangkan aku, kalau engkau
melepaskan diri dariku dan lari kepada orang lain, cintaku berubah men-jadi cemburu
dan benci! Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
372 Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Yang begitukah cinta" Betapa rendah tipis
dangkal dan tidak bermutu! Betapa-
pun juga, dia menyesal teringat bahwa dia menyebabkan dua orang dara itu berduka dan
kecewa. Akan tetapi, nanti dulu! Benarkah dia yang menyebabkan mereka berduka"
Bukankah yang menjadi penyebab adalah pikiran mereka sendiri" Di dunia ini apa pun
yang menimpa diri secara batiniah, yang menimbulkan perasaan girang-sedih, cinta-
benci, puas-kecewa dan suka-duka, sama sekali tidak disebabkan dari luar, melainkan
disebabkan oleh ingatannya sendiri. Ingatan yang menimbulkan itu semua. Kalau orang
tidak mengingat akan masa lalu apakah ada itu yang dinamakan benci, duka dan
sebagainya" Membenci seorang lain tentu ditimbulkan oleh ingatan akan masa lalu, apa
yang telah dilakukan oleh orang itu terhadap dirinya, tentu saja yang merugikan akunya.
Ingatannya yang menjadi gara-gara kesengsaraan hidup. Dapatkah manusia hidup bebas
dari ingatan, bebas dari pikiran"
Kun Liong menggerakkan kedua pundaknya dan melanjutkan perjalanannya memasuki
hutan terakhir di kota Liok-bun. Agaknya kota ini dinamakan Liok-bun (Enam Pintu)
karena pintu gerbangnya berjumlah enam buah.
Ingatan memang ada perlunya, dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil melangkah
ke dalam hutan yang indah itu. Akan tetapi ingatan itu hanya perlu untuk menghadapi
urusan lahiriah yang nyata, untuk keperluan pemeliharaan dan kelangsungan hidup ini.
Tanpa ingatan tentu akan kacau-balau kehidupan lahir-iah ini. Akan tetapi, sekali ingatan
membayangkan segala hal yang lalu dan yang akan datang, membayangkan peristiwa--
peristiwa yang dibagi dua sebagai hal
yang menyenangkan dan tidak menye-nangkan, kalau pikiran memasuki batin, maka
terciptalah segala perasaan yang bertentangan dan menjadikan hidup manusia ini seperti
dalam neraka yang di-ceritakan dongeng.
Tiba-tiba Kun Liong sadar dari lamunannya oleh suara yang datang terbawa angin. Suara
tambur dan terompet, suara banyak orang, suara pasukan yang besar! Suara itu datang
dari arah depan, dari kota Liok-bun. Agaknya di kota itu terdapat banyak pasukan,
pikirnya sambil mempercepat langkahnya karena dia menjadi ingin sekali tahu mengapa
tempat itu penuh dengan pasukan.
Ketika dia melangkah dengan tergesa--gesa itu, tiba-tiba terdengar suara orang
memanggilnya. "Eh, bukankah kau Kun Liong...?"
Kun Liong cepat menahan langkahnya dan menoleh ke kiri. Betapa girangnya ketika dia
mengenal Pendekar Sakti Cia Keng Hong sedang duduk seorang diri di bawah pohon!
Cepat dia menghampiri dan memberi hormat.
"Cia-supek...! Mengapa Supek berada di sini seorang diri?"
Cia Keng Hong yang berpakaian se-derhana dan membungkus rambut kepala-nya
dengan sutera kuning itu tersenyum. "Duduklah, Kun Liong. Aku sedang me-ngaso dan
menjauhkan diri dari kesibukan pasukan. Betapa indah menyenangkan di tempat sunyi
ini setelah berpekan-pekan sibuk menghadapi banyak orang dan me-lihat kekerasan dan
perang. Sungguh benar ucapan seorang pujangga kuno bahwa di mana ada manusia, di
situ tentu timbul kekerasan, kekejaman, dan kekacauan. Kebenaran itu terasa sekali
kalau kita duduk menyendiri di tempat yang sunyi dari kehadiran manusia seper-ti di
tempat ini."
Kun Liong duduk di atas rumput dengan pendekar sakti itu. "Memang tepat sekali apa
yang Supek katakan. Teecu (murid) sendiri sudah berkali-kali me-nyaksikan kekerasan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
373 dan kekejaman yang terjadi antara manusia. Apakah selama kita berpisah di Ceng-to
dahulu itu ke-adaan Supek baik-baik saja?"
Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Entah bagaimana aku harus menjawab
pertanyaanmu itu. Aku telah melapor ke kota raja, pasukan dikirim dan aku ditugaskan
untuk membantu. Pasukan pemerintah berhasil menghancurkan pemberontak, sisanya
melarikan diri cerai--berai dan memasuki hutan-hutan. Mereka sudah terpecah belah,
tidak membahaya-kan keamanan negara lagi. Bahkan orang--orang asing itu telah
menghubungi pemerintah dan dengan langsung dari kota raja mereka diperbolehkan
untuk mendarat dan berdagang, akan tetapi terbatas di sekitar pantai Pohai saja. Aku
melihat perang, melihat ratusan orang roboh dan tewas, saling bunuh dan saling
sembelih. Entah keadaan seperti itu baik atau buruk." Pendekar sakti itu menarik napas
panjang. Kun Liong juga menghela napas. Dia sendiri merasa ngeri menyaksikan keganasan
manusia saling bunuh.
"Bagaimana dengan engkau sendiri?" Cia Keng Hong bertanya. "Apa yang terjadi dengan
gadis yang kita tolong dari rumah Hek-bin Thian-sin di Ceng-to dahulu itu?"
"Nona itu bernama Liem Hwi Sian dan bersama kedua orang suhengnya dia menerima
tugas dari gurunya yang bernama Gak Liong di Secuan untuk membantu pemerintah
menyelidiki para pemberontak."
"Hemmm, jadi murid dari pendekar Secuan itu! Pantas dia gagah dan berani sekali,
sungguhpun kurang perhitungan dan hampir celaka. Pendekar Gak Liong di Secuan
adalah murid keponakan dari Panglima Besar The Hoo dan namanya sudah terkenal,
sungguhpun dia sendiri tidak pernah terjun ke dunia ramai. Bagaimana dengan usahamu
mencari kedua orang tuamu?"
Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul.
"Belum ada hasilnya sama sekali, Supek. Teecu merasa heran sekali ke mana per-ginya
Ayah dan Ibu."
Cia Keng Hong memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam, kemudian terdengar
dia berkata, "Kun Liong, aku merasa khawatir sekali akan keadaan orang tuamu. Kalau
mereka itu masih hidup, tidak mungkin mereka berdua menyembunyikan diri selama
bertahun--tahun ini, setidaknya mereka tentu akan datang mengunjungi kami di Cin-
ling--san."
Kun Liong terkejut dan memandang wajah pendekar itu. "Maksud... maksud Supek...?"
"Aku khawatir bahwa telah terjadi sesuatu dengan mereka, Kun Liong."
"Bagaimana Supek dapat menduga demikian?" Kun Liong bertanya, wajahnya agak
pucat. "Pertama, ayah bundamu adalah orang-orang gagah yang tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut sam-pai bertahun-tahun. Ke dua, kalau me-reka
menghadapi kesukaran, ada dua tempat di mana mereka dapat datang, yaitu di Cin-ling-
san atau di Siauw-lim-si. Akan tetapi di kedua tempat itu me-reka tak pernah muncul.
Dan ke tiga, kedaan dunia makin kacau, orang-orang golongan sesat bermunculan dan
mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi dengan munculnya orang-orang
asing. Karena itu, setelah aku sendiri berusaha menyelidiki dan mendengar--dengar
tentang mereka tanpa hasil se-olah-olah orang tuamu lenyap ditelan bumi tanpa
meninggalkan jejak, mulailah aku ragu-ragu apakah mereka itu masih hidup."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
374 "Supek...!"
"Kun Liong, kita sebagai manusia harus berani menghadapi kenyataan hidup yang
bagaimanapun juga. Kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan, kita harus berani
membuka mata menyambut da-tangnya segala sesuatu yang kita hadapi, baik itu
merupakan hal yang semanis--manisnya atau sepahit-pahitnya. Tidak perlu mencari-cari
hiburan kosong bagi hati yang dirundung kekhawatiran, karena dengan demikian rasa
takut akan makin menggerogoti hati. Kenyataannya adalah bahwa orang tuamu telah
lenyap tak meninggalkan bekas, dan ini adalah tidak wajar sama sekali kecuali tentu saja
kalau mereka itu telah tewas."
Kun Liong memejamkan kedua mata-nya. Sampai lama dia duduk mengatur napas
untuk menahan pukulan batin yang timbul dari kekhawatirannya mendengar kata-kata
pendekar sakti itu. Cia Keng Hong memandang dengan penuh rasa terharu dan juga
kagum. Pemuda ini menarik hatinya dan makin condong hati-nya untuk menjodohkan
puterinya dengan pemuda ini. Dia mendiamkan saja sampai pemuda itu membuka
kembali kedua matanya dan sepasang mata yang tajam itu kelihatan membasah.
"Supek benar. Kita harus berani menghadapi kenyataan hidup, betapapun pahitnya. Dan
setelah teecu pikir-pikir, memang tidak mungkin Ayah dan Ibu bersembunyi sampai
bertahun-tahun ini. Besar sekali kemungkinan bahwa kedua orang tua teecu itu, telah...
telah tewas. Namun tetap teecu akan mencarinya, setidaknya mencari tahu bagaimana
hal itu terjadi, kalau benar-benar mereka telah tewas."
Cia Keng Hong mengangguk. "Memang semestinya begitu, dan aku pun akan berusaha
mencari keterangan dari kenalan-kenalanku. Sekarang engkau hendak ke mana, Kun
Liong?" "Pertama-tama, teecu akan melanjutkan usaha teecu mengambil kembali dua buah
pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Kwi-eng-pang. Selain itu, juga teecu harus minta
kembali pusaka bokor emas yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu."
"Bokor emas" Pusaka The-taiciangkun yang hilang?" Cia Keng Hong bertanya.
Kun Liong mengangguk dan dia lalu dengan singkat menceritakan tentang perebutan
pusaka yang telah berada di tangannya itu dan terpaksa dia melemparkannya kepada
Kwi-eng Niocu dengen harapan kelak dapat dia minta kembali.
Mendengar penuturan itu, Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Aihhhh, tugasmu
sungguh amat berbahaya dan berat, Kun Liong. Telaga Kwi-ouw sangat terkenal sebagai
tempat yang amat berbahaya, sesuai dengan namanya. Entah sudah berapa hanyak
tokoh kang-ouw tewas ketika berusaha mendatangi pulau di tengah telaga yang
dijadikan sarang Kwi-eng-pang."
"Teecu pernah mendarat di pulau itu, Supek."
Cia Keng Hong kelihatan terkejut. "Heh" Benarkah?"
Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia pergi ke pulau di tengah Telaga
Setan itu, betapa di tepi telaga dalam hutan dia bertemu dengan Toat-beng Hoat-su
yang tidak dikenalnya, kemudian betapa dia ditipu oleh pelayan wanita Kwi-eng Niocu
sehingga tertawan dan dia dijadikan rebutan antara Siang--tok Mo-li dan Toat-beng
Hoat-su sehingga akhirnya dia menjadi tawanan kakek datuk kaum sesat nomor satu itu.
"Aihhh, kalau begitu engkau sama sekali belum mengenal Telaga Setan dan pulaunya
itu," kata Cia Keng Hong. "Dan masih untung engkau tertawan secara itu karena
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
375 andaikata engkau yang belum me-ngenal rahasia Telaga Setan itu datang sendiri ke sana
dan melakukan pendarat-an, mungkin engkau akan celaka dan tewas dalam jebakan-
jebakan rahasia yang amat berbahaya. Aku pemah men-dengar penuturan seorang
sahabat yang telah berhasil menyelidiki rahasia itu maka kalau kau hendak mendarat ke
sana, sebaiknya engkau mempelajari ra-hasia-rahasia yang akan kaulukiskan untukmu."
Pendekar sakti itu lalu bertepuk ta-ngan dan menggapai kepada seorang pen-jaga di luar
pintu gerbang kota Liok--bun yang tampak dari situ. Perajurit yang memegang tombak
itu berlari-lari mendatangi dan memberi hormat kepada pendekar ini. Cia Keng Hong
menyu-ruhnya mengembalikan kertas dan alat tulis. Penjaga itu cepat berlari memasuki
pintu gerbang kota Liok-bun. Tak lama kemudian dia datang berlari-lari memba-wa
kertas lebar bergulung dan alat tulis yang diminta pendekar itu. Kemudian, penjaga itu
berdiri agak menjauh sambil berdiri dengan tombak tetap di tangan, berjaga dan
menanti perintah selanjutnya dari pendekar itu.
Cia Keng Hong lalu mulai membuat gambaran telaga dan pulaunya sambil memberi
petunjuk kepada Kun Liong yang memandang penuh perhatian.
"Tepi Telaga Kwi-ouw dari tiga jurus-an, yaitu barat, selatan dan timur, me-rupakan
daerah yang kelihatannya datar dan aman, akan tetapi justeru tiga bagi-an inilah yang


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling berbahaya bagi para pendatang dari luar. Tiga daerah ini penuh dengan alat-alat
jebakan yang ber-bahaya sekali."
"Akan tetapi, Supek. Ketika teecu ikut dengan perahu pelayan itu, teecu juga melalui dari
selatan." "Karena pelayan itu telah mengenal daerahnya, tentu sala dia dapat mendayung
perahunya dengan aman. Di bagian selatan itu, di bawah permukaan air ter-dapat
banyak sekali ranjau yang berupa batu karang di bawah permukaan air, akan tetapi
sekali saja disentuh oleh perahu asing, anak panah yang hanyak sekali dan yang sudah
dipasang di dalam batu karang buatan itu akan meluncur ke luar dan menyerang
penumpang perahu secara tiba-tiba dan hebat sekali. Selain ini, begitu orang mendarat
di pulau itu dari selatan, biarpun di situ penuh pasir, namun terdapat begian pasir yang
ber-putar dan menyedot kaki orang yang menginjaknya sehingga tanpa petunjuk orang
yang mengenal daerah itu, sekali kakimu terseret, sukarlah bagimu untuk
menyelamatkan diri."
Kun Liong terbelalak dan bergidik ngeri.
"Daerah barat yang amat berbahaya karena penuh dengan lubang-lubang jebakan yang
tertutup dengan rumput hi-dup, dan di dalam setiap lubang terisi banyak ular berbisa
yang siap menyambut setiap orang yang terjeblos masuk. Juga air di bagian itu banyak
sekali terdapat ganggang yang hidup di bawah permukaan air, penuh dan dapat
mendamparkan pe-rahu yang lewat. Tentu saja bagi mereka yang sudah hafal, mereka
tahu bagian mana yang tumbuhan ganggangnya tidak begitu banyak dan dapat dilalui
perahu. Kemudian bagian timur, biarpun tidak di-pasangi jebakan pada permukaan air
te-laga, namun di situ terdapat air berpu-sing yang amat berbahaya, dapat me-nyeret
dan menyedot perahu ke dalam pusingan air. Agaknya ada sebuah lubang besar di
bagian ini yang menciptakan air berpusing. Sedangkan di daratan pulau di timur ini
terdapat alat-alat rahasia yang kalau dilanggar kaki asing, akan mem-buat timbunan
batu besar yang menggu-nung di bagian ini runtuh ke bawah dan tentu saja akan
menyerang para penda-tang, sukar untuk menyelamatkan diri dari serangan batu-batu
besar itu."
"Ihhh, keji sekali!" Kun Liong berseru dan merasa lega bahwa dia telah diberi tahu akan
hal-hal yang membahayakan itu sehingga dia dapat lebih berhati-hati.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
376 "Satu-satunya jalan adalah dari utara. Akan tetapi bagian ini yang bersih dari jebakan
merupakan daerah yang amat sukar didatangi. Tepi daratan pulau di bagian ini amat
terjal, merupakan tebing tinggi yang curam sekali dan tidak mu-dah didaki dari bawah."
Cia Keng Hong membuat lukisan tebing tinggi itu sambil memberi penjelasan. "Akan
tetapi, saha-batku itu pernah melihat beberapa kera memanjat ke atas dan hal ini
memberi dia petunjuk bagaimana caranya menda-tangi pulau dengan aman. Yaitu
dengan memanjat akar-akar yang menonjol ke-luar di dinding tebing itu, memanjat
melalui akar dan batu menonjol. Tentu saja hal ini harus dilakukan dengan hati--hati,
membutuhkan keringanan tubuh dan kecekatan, karena biasanya hanya monyet saja
yang dapat memanjat ke atas. Se-kali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas,
engkau akan terjatuh ke bawah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri lagi dari
maut." "Agaknya, memang jalan melalui tebing itu yang paling aman," Kun Liong berkata sambil
memandang lukisan su-peknya.
"Betapapun juga, engkau harus berhati-hati sekali karena siapa tahu bahwa Kwi-eng-
pang yang kuat itu kini telah memasangi jebakan pula pada jalan pa-ling sukar akan
tetapi paling aman ini."
Tiba-tiba perajurit yang tadi berdiri berjaga dengan tombak di tangan berse-ru, "Tai-
hiap, Liu-ciangkun datang meng-hadap!"
Kun Liong menoleh dan Cia Keng Hong memandang seorang perwira yang bertubuh
tinggi besar. Perwira itu cepat memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan berkata,
"Seorang utusan dari kerajaan datang membawa sepucuk surat yang disampaikan
kepada Tai-hiap, dari Panglima Besar The Hoo sendiri."
Cia Keng Hong menggulung gambar itu, menyerahkannya kepada Kun Liong, kemudian
dia bangkit berdiri dan menerima sampul tertutup. Setelah mengucapkan terima kasih
dan perwira itu pergi pula dan berdua dengan Kun Liong, pendekar itu kembali duduk di
bawah pohon dan membuka surat dari Panglima Besar The Hoo. Wajahnya yang masih
tampan dan gagah tidak membayangkan sesuatu ketika membaca surat itu sehingga
sukar bagi Kun Liong untuk menduga apakah surat itu membawa berita baik ataukah
buruk. Setelah selesai membaca, Cia Keng Hong melipat surat, menyimpan ke dalam
saku jubahnya, memandang Kun Liong dan berkata, "Ahhh, sungguh hebat sekali, bokor
emas itu benar-benar menimbulkan geger di dunia kang-ouw. Kun Liong, bokor itu telah
terlepas lagi dari tangan Kwi-eng Niocu seperti yang kauceritakan kepadaku dan kini
bokor itu berada di tangan Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong. Mereka membawa
bokor itu ke Pulau Ular! Panglima Besar The Hoo mendengar laporan ini dari Ban-kin-kwi
Tio Hok Gwan. Hemmm, Pulau Ular di Teluk Pohai. Berbahaya sekali! Dan Nona Souw
secara lancang pergi sendiri melakukan penyelidikan ke sana!"
Kun Liong terkejut. "Apakah Supek maksudkan Nona Souw Li Hwa?"
"Engkau sudah mengenalnya?"
"Sudah beberapa kali teecu berjumpa dengan Nona Souw Li Hwa," jawab Kun Liong
singkat. Dia merasa malu kalau harus menceritakan betapa dia pernah menjadi tawanan
nona cantik! "Bukankah dia murid Panglima Besar The Hoo?"
"Memang dari gurunya dia mempela-jari ilmu-ilmu yang tinggi. Akan tetapi dia masih
amat muda dan belum berpengalaman. Bagaimana dia begitu lancang untuk pergi
seorang diri ke Pulau Ular" Betapa mungkin dia dapat melawan dua orang datuk kaum
sesat yang lihai itu" Ah, sungguh mengkhawatirkan sekali. Panglima The Hoo minta
kepadaku untuk merampas kembali bokor itu, akan tetapi berita tambahan tentang
kepergian nona itu ke Pulau Ular, benar-benar membikin gelisah."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
377 "Supek, kalau begitu, biarlah teecu lebih dulu menyusulnya ke sana."
Cia Keng Hong memandang kepadanya. Dia maklum bahwa pemuda ini me-miliki ilmu
kepandaian yang hebat, apa-lagi kini telah menjadi pewaris Thi-khi--i-beng sehingga
boleh diandalkan. Dia sendiri harus mengepung Pulau Ular itu karena kalau dia menyerbu
begitu saja, kedua orang datuk itu akan dapat mela-rikan diri dan membawa bokor
emas. Maka dia harus mengepung ketat pulau itu, barulah dia akan turun tangan. De-
ngan demikian, dua orang datuk itu tidak akan mendapat kesempatan untuk mem-bawa
lari bokor emas milik Panglima The Hoo itu.
"Baiklah kalau kau suka membantu, Kun Liong. Memang bokor itu perlu se-kali
diselamatkan. Kalau sampai terjatuh ke tangan penjahat, bisa berbahaya. Bo-kor itu
selain mengandung petunjuk tem-pat rahasia penyimpan harta pusaka ter-pendam yang
amat besar jumiahnya, juga penyimpanan kitab-kitab pusaka pelajaran ilmu silat yang
mujijat. Demikian menu-rut keterangan yang kuperolch dari Pang-lima The Hoo sendiri.
Bokor itu dahulu milik seorang pendeta perantau berilmu tinggi yang kemudian
meninggal dunia di Nepal. Setelah berpindah-pindah tangan, akhirnya bokor itu terjatuh
ke tangan Panglima The Hoo dan sampai sekarang, belum ada yang dapat membuka
rahasia tempat penyimpanan pusaka itu."
Kun Liong mengangguk-angguk. "Me-mang teecu harus ikut berusaha menda-patkannya
kembali, bukan hanya mengingat bahwa teecu ikut bersalah mem-biarkan bokor terjatuh
ke tangan datuk kaum sesat, juga dahulu teecu sudah berjanji kepada perwira pengawal
Tio Hok Gwan untuk kelak menghaturkan bokor itu kepada Panglima The Hoo sendiri!"
Kun Liong tidak mendapat keterangan sejelasnya tentang letak Pulau Ular, kemudian dia
menerima bekal secukupnya dari Cia Keng Hong, karena untuk keper-luan itu dia harus
membeli sebuah pe-rahu di pantai Pohai. Setelah menerima petunjuk dan nasihat, Kun
Liong berang-kat secepatnya seorang diri menuju ke daerah Teluk Pohai, sedangkan Cia
Keng Hong lalu berunding dengan para perwira yang memimpin pasukan pemerintah un-
tuk mengatur siasat, mengepung Pulau Ular dan mengatur persiapan.
Kini pulau itu menjadi sebuah tempat tinggal yang indah akan tetapi juga menyeramkan
bagi orang luar. Pulau itu bertanah subur, bahkan sebagian tanahnya telah diolah
menjadi ladang yang subur dan yang menghasilkan bahan makanan, dikerjakan oleh
anak buah Ban-tok Coa-ong. Akan tetapi, datuk kaum sesat ini pun telah menangkap
banyak ular-ular beracun dan ular-ular ini kemudian dilepas di pulaunya sehingga
beberapa tahun kemudian, pulau ini penuh dengan ular dari segala macam ukuran dan
warna, kesemuanya mengandung bisa yang amat jahat. Maka terkenallah Pulau Ular dan
tidak ada seorang pun pelancong atau nelayan yang berani mendekati pulau itu. Karena
sudah bertahun-tahun tidak ada orang berani mendekati pulau, ditambah pula dengan
keadaan pulau yang terlindung oleh tembok benteng tebal dan mengandalkan nama
besarnya yang ditakuti, maka Ban-tok Coa-ong tidak melakukan penjagaan dan
membiarkan pulau itu "terbuka". Namun, semenjak Toat-beng Hoat-su datang dan
berhasil membawa bokor emas, anak buah Ban-tok Coa-ong dikerahkan untuk
melakukan penjagaan di sekeliling pulau, di atas tembok-tembok benteng.
Anak buah Ban-tok Coa-ong yang tinggal di Pulau Ular terdiri dari orang-orang Nepal dan
pribumi, tentu saja mereka adalah orang-orang dari golongan hitam. Mereka berjumlah
kurang lebih lima puluh orang dan sebagian di antara mereka ada yang membawa
keluarga mereka. Bahkan di antara orang-orang Nepal adapula yang membawa isteri dan
tinggal di Pulau Ular dengan beberapa orang anak mereka.
Karena bertahun-tahun tidak ada orang luar berani memasuki Pulau ular, maka anak
buah Ban-tok Coa-ong tidak pernah menghadapi serangan musuh. Hal ini membuat
mereka amat percaya kepada kekuatan sendiri, terutama mengandalkan nama besar
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
378 pemimpin mereka. Biarpun kini mereka menerima tugas untuk berjaga-jaga, namun
karena mereka tidak percaya akan ada orang berani datang ke pulau itu, mereka
melakukan penjagaan dengan malas-malasan. Apalagi di pulau itu selain pemimpin
mereka, Ban-tok Coa-ong yang sakti, masih terdapat pula putera pemimpin mereka itu
yang mereka sebut Ouw-yang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang), bahkan masih ada lagi
kakek tua renta yang kabarnya tidak kalah lihai dibandingkan pemimpin mereka yaitu
Toat-beng Hoat-su.
Karena penjagaan yang tidak ketat itulah yang memudahkan Li Hwa untuk mendaratkan
perahunya di pinggir Pulau Ular tanpa diketahui oleh para penjaga. Setelah
menyembunyikan perahunya di dalam semak-semak di pinggir telaga, Li Hwa lalu mulai
dengan penyelidikannya, menuju ke tengah pulau di mana tampak olehnya bangunan-
bangunan pondok. Dia melihat para penjaga, makin ke tengah makin banyak, akan
tetapi para penjaga itu sedang bercakap-cakap dan agaknya sama sekali tidak
memperhatikan penjagaan mereka. Apalagi ketika dia tiba di antara pondok-pondok
yang berdiri berjajar di tengah pulau, dia meihat betapa banyak penjaga sedang tertarik
oleh sebuah peristiwa yang terjadi di tempat terbuka depan sebuah pondok terbesar, Li
Hwa menyelinap di antara pobon-pohon dan pondok-pondok, kemudian berhasil
meloncat naik ke atas sebuah pohon besar dan mengintai ke bawah.
Ada belasan orang laki-laki membentuk sebuah lingkaran lebar tempat itu. Mereka itu
terdiri dari tujuh orang Nepal yang berambut panjang dan selebihnya orang Han biasa,
dan rata-rata mereka bersikap kasar dan pada saat itu mereka tersenyum menyeringai
lebar seolah-olah menghadapi sebuah tontonan yang menarik hati. Di ujung sana duduk
seorang pemuda berwajah tampan yang menyeringai lebar dan mata pemuda tampan ini
bergerak-gerak liar menyeramkan. Melihat sikap dan pakaiannya yang seperti pakaian
seorang putera bangsawan itu, mudah diduga bahwa dia tentulah seorang yang tinggi
kedudukannya di antara mereka, dan bahkan Li Hwa dapat menduga bahwa agaknya
pemuda itu adalah Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok
yang kabarnya memiliki kekejaman melebihi ayahnya.
Akan tetapi pada saat itu, yang menarik perhatian Li Hwa adalah tontonan yang
membuat belasan orang itu tertarik, yaitu yang terdapat di tengah-tengah lingkaran
mereka. Dia melihat dua orang laki-laki dan wanita. Melihat bentuk wajah dan model
rambut mereka, mudah diketahui bahwa laki-laki dan wanita itu tentulah bangsa asing
Nepal seperti tujuh orang pria yang menonton di situ. Laki-laki itu tinggi besar, usianya
antara empat puluh tahun, sedangkan wanitanya berkulit putih tidak seperti kaum
prianya, berusia antara tiga puluh tahun. Yang mengherankan hati Li Hwa adalah bahwa
bahwa kedua orang itu telanjang bulat sama sekali! Wanita itu kelihatan takut, wajahnya
pucat dan matanya terbelalak lebar memandang ke sana-sini seperti orang minta tolong.
Sedangkan yang pria hanya menunduk, kelihatannya seperti orang yang sudah putus
harapan dan menyerahkan diri kepada nasib.
Tiba-tiba pemuda tampan yang ber-mata liar, yang memang bukan lain ada-lah
Ouwyang Bouw itu, mengangkat ta-ngan ke atas dan agaknya ini merupakan isyarat
karena semua orang yang tadinya menonton sambil berbisik-bisik, kini diam semua, dan
hanya memandang ke arah wanita telanjang bulat yang berusaha se-dapat mungkin
untuk menggunakan kedua tangannya menutupi tubuhnya, lengan kiri melintang di
depan dada dan tangan kanan menutupi bagian bawah pusarnya, kedua kaki dirapatkan
dan wanita itu berlutut setengah menelungkup, hanya mukanya diangkat ke atas
memandang kepada para penonton dengan sinar mata minta pertolongan. Adapun laki-
laki te-lanjang itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi bawah pusarnya sambil
berlutut dan menundukkan muka.
"Hemmm, kalian sudah tertangkap basah. Sanghida, kau mau bilang apa lagi" Mengapa
engkau berjina dengan isteri Rajid?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
379 Laki-laki telanjang itu makin menunduk dan dengan suara lemah dia menja-wab, "Saya
mencinta dia, Ouwyang-kongcu."
"Benarkah" Apa engkau menganggap dia cukup berharga, untuk kaubela de-ngan
nyawa?" Sanghida, orang Nepal itu, mengangguk. "Saya bersedia membelanya dengan nyawa."
"Ha-ha-ha, agaknya Madhula pandai sekali melayanimu sehingga engkau ter-gila-gila,
ha-ha-ha!" Ouwyang Bouw tertawa dan semua orang yang menonton ikut pula tertawa,
kecuali seorang di antara mereka yang bertubuh gemuk, seorang Nepal yang mukanya
merah. "Heii, Madhula! Engkau yang berjina dengan laki-laki lain, apakah senang kepada
Sanghida daripada kepada suamimu sendiri?" Kembali Ouw-yang Bouw bertanya, kini
ditujukan kepada wanita itu.
Wanita itu menoleh dan memandang kepada Ouwyang Bouw dengan sinar mata penuh
kemarahan. Li Hwa dari atas da-pat melihat bahwa wanita itu memang cantik sekali,
kecantikan yang aneh, khas dan menarik.
"Ouwyang-kongcu, engkau tentu lebih tahu apa yang telah terjadi! Karena aku telah
menolak cintamu, menolak bujukan dan rayuanmu untuk berjina denganmu karena aku
selalu setia kepada suamiku, maka engkau telah mempergunakan Si Jahanam Sanghida
ini untuk memper-kosaku! Engkau menaruh racun dalam minuman kami sehingga kami
berdua teracun dan mabok, melakukan perbuatan di luar kesadaran kami berdua selagi
suamiku kausuruh berjaga di luar. Kemu-dian kau sendiri yang sengaja menangkap kami
dan menuduh kami berjina. Semua ini kaulakukan untuk membalas penolak-anku
terhadap bujukanmu!"
"Tutup mulutmu!" Ouwyang Bouw membentak marah sekali, akan tetapi kemudian dia
tertawa-tawa lagi. Sikap yang berubah-ubah ini amat menyeramkan, dan Li Hwa yang
berada di atas pohon menduga bahwa agaknya pemuda itu memang benar-benar gila
seperti disohorkan dunia kang-ouw.
"Semua tuduhan itu tidak ada buktinya. Akan tetapi perjinaan kalian sudah jelas
terbukti. Kalau kalian tidak berjina, mana mungkin kalian berdua berada da-lam satu
kamar dan satu pembaringan tanpa pakaian sama sekali?" Dia tertawa dan semua orang
tertawa pula. Wanita itu tidak menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak penuh
kemarahan kepada Ouwyang Bouw.
Pemuda ini kembali tertawa bergelak dan secara tiba-tiba menghentikan ketawanya,
memandang wanita itu dan berkata, "Madhula, engkau memang cantik sekali, pantas
diperebutkan oleh kaum pria. Heii, Rajid, apa katamu" Setelah kau melihat sendiri
betapa isterimu dipeluk dan ditiduri oleh Sanghida, beranikah engkau mempertahankannya dan melawan Sanghida?"
Orang Nepal yang bermuka merah dan bertubuh gemuk, yang sejak tadi bermuke
muram dan tidak Ikut tedawa seperti yang lain, meloncat ke depan, meman-dang
kepada dua orang yang telanjang itu, kemudian meludah ke bawah dan berkata,
"Perbuatan mereka yang terku-tuk ini sudah jelas! Anjing jantan ini harus dibunuh dan
anjing betina ini pun tidak patut dibiarkan hidup!"
"Ha-ha-ha, kalau begitu, kuberikan Sanghida kepadamu, Rajid!" kata Ouw-yang Bouw.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
380 Mendengar ucapan ini, orang Nepal yang gemuk itu mengeluarkan suara te-riakan keras
dan tubuhnya sudah cepat menerjang maju, mengirim pukulan de-ngan tangan terkepal
ke arah kepala Sanghida yang telanjang. Biarpun tubuhnya gemuk, akan tetapi orang
Nepal bermuka merah ini gerakannya cepat, menunjukkan bahwa dia memiliki
kepandaian tinggi. Akan tetapi, dengan tangan kiri masih menutupi bawah pusarnya,
Sanghida mengelak dan meloncat ke belakang. Gerakannya sigap sekali dan ketika Rajid
menerjang lagi, Sanghida menangkis dengan lengan kanan.
Tubuh Rajid terhuyung ke belakang dan ternyata bahwa dia kalah tenaga.
"Rajid... aku tidak ingin bertempur denganmu...!" Sanghida berkata dan kembali dia


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangkis, kini sambil menangkis, tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan
tangan Raiid dan sekali menariknya, tubuh Rajid terdorong ke depan dan hampir
terbanting jatuh. Rajid makin marah, mukanya makin merah ketika dia meloncat
membalik dan mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang golok melengkung dan
tajam sekali. Li Hwa yang besembunyi di atas pohon, memandang dengan alis berkerut. Dia tidak
merasa ngeri menonton pertempuran karena gadis ini sudah terbiasa dengan
pertempuran dan perang, apalagi dia sendiri sudah menghadapi pertandingan seringkali.
Akan tetapi yang membuat dia merasa ngeri dan canggung karena malu adalah melihat
betapa Sanghida bertanding dengan tubuh telanjang bulat! Selama hidupnya belum
pernah dia melihat laki-laki telanjang dan kini dia melihat seorang laki-laki tinggi besar
bertelanjang bulat dan berkelahi pula! Kalau mungkin, dia ingin menjauhkan pandangan
matanya dari tubuh bawah laki-laki telanjang itu, akan tetapi karena dia ingin pula
melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu, terpaksa dia menonton terus dan sedapat
mungkin menghindarkan pandang matanya dari bagian yang dianggap mendatangkan
rasa malu luar biasa itu.
"Rajid... aku tidak mau bertanding melawanmu. Aku sudah bersalah kepadamu, kau
sahabatku dan... dan Madhula..."`
"Tutup mulutmu!" Rajid membentak dan goloknya sudah menyambar lagi.
"Singgg...!" Sinar menyilaukan mata dari golok itu agaknya tentu akan dapat membabat
tubuh tinggi besar itu buntung menjadi dua kalau mengenai sasaran, akan tetapi
Sanghida ternyata amat tangkasnya. Kini menghadapi penyerangan lawan yang
memegang golok, biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi, dia terpaksa harus
menggunakan kedua tangannya sehingga dia sama sekali tidak lagi dapat menutupi
bagian tubuh bawahnya. Tentu saja hal ini mendatangkan penglihatan yang luar biasa,
lucu sedangkan bagi para penonton pria, akan tetapi mendirikan bulu roma bagi Li Hwa!
"Rajid... maafkan aku...! Aku scorang laki-laki sejati, harus membela diri kalau
diserang... dan kami... aku dan Madhula... kami melakukan hal itu tanpa kami
sengaja..."
"Siuuutttt... plak! Plak!" Sambil mengelak, Sanghida berhasil menampar lengan kanan
Rajid sehingga sambaran golok menyeleweng dan tamparan ke dua mengenai pundak
Rajid, membuat suami yang penuh cemburu dan kemarahan ini terhuyung pula.
"Sanghida! Engkau atau aku yang harus mampus untuk memperoleh Madhula!" Rajid
membentak pula. "Kalau aku mati, kau boleh mengambil dia, kalau kau yang mati, dia
harus kuhukum, mampus pula!"
"Rajid...! Kau boleh membunuh aku, tapi jangan membunuh dia! Dia tidak berdosa...
seperti yang dikatakannya tadi, kami terkena racun perangsang... auuhhh...!" Tiba-tiba
Sanghida terhuyung ke belakang dan Rajid menubruk ke depan, goloknya menyambar.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
381 "Crapppp.... Aduuhhh...!" Perut Sanghida terobek oleh golok, tubuhnya terjengkang dan
darah muncrat keluar dari perut itu, diikuti oleh isi perut yang keluar dari luka lebar itu.
Tubuh Sanghida berkelojotan, namun tidak lama karena Rajid sudah membacokkan
goloknya dua kali yang membuat leher lawannya putus!
Li Hwa melihat betapa Ouwyang Bouw telah menyerang Sanghida dari jauh, dengan
gerakan jari tangan dan tampak sinar merah kecil menyambar ke arah orang Nepal
tinggi besar itu sehing-ga dia terhuyung dan terkena bacokan golok Rajid. Tahulah Li
Hwa bahwa me-mang Ouwyang Bouw sengaja hendak membunuh Sanghida dan
mungkin sekali karena dia tidak suka mendengar raha-sianya dibocorkan. Li Hwa
menjadi pe-nonton tak diundang ini segera dapat menyimpulkan peristiwa itu. Jelas bagi-
nya bahwa memang agaknya semua ini sudah diatur oleh pemuda iblis itu.
Mungkin benar tuduhan Madhula yang cantik bahwa berkali-kali Ouwyang Bouw
membujuk rayunya, akan tetapi selalu ditolak oleh isteri Rajid itu. Hal ini membuat
Ouwyang Bouw menjadi sakit hati dan dengan curangnya pemuda itu menaruh racun
perangsang ke dalam makanan atau minuman Sanghida dan Madhula sehingga terjadilah
perjinaan di antara mereka, perjinaan di luar kesa-daran mereka yang terpengaruh
racun, pada saat Rajid disuruh berjaga oleh Ouwyang Bouw. Tentu saja pemuda iblis ini
sudah mengatur perangkapnya dan begitu kedua orang mabok itu melakukan perjinaan,
dia menangkap basah mereka!
Semua orang yang menonton kelihatan puas dengan pertunjukan kekejaman ini, dan
melihat waiah mereka yang seolah-olah haus darah dan kini semua mata ditujukan
kepada tubuh telanjang Madhula seperti serombongan srigala kelaparan, Li Hwa bergidik.
Dia berhadapan dengan orang-orang yang telah mati perasaan kemanusiaan mereka,
manusia-manusia yang haus darah dan yang menganggap kekejaman seperti sebuah
kesenangan yang mengasyikkan. Maka timbullah perasaan kasihan kepada wanita yang
bernasib malang itu. Li Hwa adalah seorang yang masih amat muda, maka tentu saja
perasaannya amat halus dan mudah tersinggung. Melihat peristiwa ini di depan mata, dia
sudah melupakan tugasnya, tugas sebagai seorang penyelidik yang ingin menyelidiki
tentang bokor emas. Kini baginya yang terpenting hanyalah urusan yang terjadi di depan
matanya, yaitu menolong Madhula! Kelemahannya sebagai seorang muda inilah yang
mengkhawatirkan hati Panglima The Hoo dan Pendekar Cia Keng Hong ketika mendengar
bahwa dara itu melakukan penyelidikan seorang diri, sungguhpun mereka tahu bahwa
ilmu kepandaian dara itu sudah cukup tinggi untuk bekal pe-nyelidikan berbahaya itu.
Madhula roboh telentang menyaksikan kematian Sanghida yang demikian menye-
dihkan. Dia tidak mencinta laki-laki tinggi besar itu. Dia mencinta suaminya, dan karena
cintanya ini pula maka tidak seperti kaum wanita lainnya di pulau itu yang bahkan
mengharapkan rayuan Ouw-yang-kongcu, dia menolak godaan pemuda itu. Akan tetapi
dia pun tahu kini bahwa Sanghida mencintanya. Sahabat baik sua-minya dan dia itu
sesungguhnya mencin-tanya, dan kini menjadi korban karena kelicikan Ouwyang Bouw.
Semua mata para penonton kini dapat berpesta pora dan melahap tubuh wanita cantik
yang telentang polos itu, tidak terlindung lagi oleh kedua lengannya.
"Perempuan hina ini pun harus mam-pus!" Rajid yang seperti kemasukan setan karena
dendam dan cemburu, mengangkat goloknya membacok ke arah tubuh isteri-nya yang
biasanya merupakan sebuah benda hidup yang paling disayangnya di dunia ini.
"Singg... tringggg!" Golok itu ter-lempar ketika terbentur oleh sebuah batu kecil yang
dilemparkan oleh tangan Ouw-yang Bouw. Melihat ini, Li Hwa menjadi kagum dan
maklumlah dia bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tak lemah!
"Ehhh... Ouwyang-kongcu... menga-pa...?" Rajid memandang pemuda itu dengan mata
penuh penasaran.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
382 "He-heh, sabarlah, Rajid. Memang dia harus dihukum, akan tetapi hukuman seperti yang
hendak kaulakukan itu kurang menarik. Pokoknya kau menghen-daki dia mati, bukan"
Nah, biarlah dia dihukum dengan caraku dan panggil semua wanita ke sini agar mereka
me-nyaksikan pula betapa berat hukuman bagi mereka yang berani melanggar hu-kum
kami di sini!" Rajid mengangguk--angguk dan beberapa orang laki-laki sudah berlari
memanggil semua wanita yang berada di pulau itu. Hanya ada dua puluh orang wanita
tua muda yang datang ke situ dengan muka pucat. Para suami girang, dengan hal ini,
mengharap isteri-isteri mereka takut dan tidak berani berjina dengan laki-laki lain. Akan
tetapi, para wanita yang memandang dengan muka pucat itu mempunyai pengertian lain
ketika mendengar kata-kata Ouwyang-kongcu.
"Kalian lihatlah. Begini nasib wanita yang berani melanggar hukum kami di sini!" kata
Ouwyang-kongcu setelah me-nyuruh Rajid mengikat tubuh telanjang Madhula kepada
sebuah tiang, diikat kaki dan tangannya pada tiang itu sehingga tubuh bagian depannya
tampak nyata, sedikit pun tidak terlindung, kecuali rambut hitam panjang terurai yang
seba-gian menggantung ke depan. Para wanita itu mengerti bahwa yang dimaksudkan
oleh Ouwyang-kongcu, hukuman ini akan jatuh menimpa wanita yang berani meno-lak
majikan muda itu!
Ouwyang Bouw yang agak miring otaknya itu memang mempunyai kegemaran yang
aneh dan mengerikan. Dia sudah tergila-gila oleh wanita cantik maupun tidak cantik.
Bahkan pernah dia tergila-gila oleh seorang wanita nenek-nenek, dan pernah pula
tergila-gila kepada seorang anak perempuan yang masih kecil! Dan mereka semua harus
menyerahkan diri kepadanya! Dia sama sekali tidak pemah memperkosa, dia tidak mau
memperkosa wanita. Akan tetapi dia mempunyai cara lain untuk membuat setiap orang
wanita tunduk kepadanya dan mau menyerahkan diri, yaitu dengan ancaman dan
bayangan penyiksaan yang mengerikan. Hampir semua wanita, besar kecil, tua muda
yang menyerah kepadanya tentu didorong oleh rasa takut dan ngeri, bukan karena
sukarela karena sikap pemuda ini, biarpun wajahnya tampan dan tubuhnya menarik,
jelas menunjukkan gejala otak miring yang mendatangkan rasa ngeri dan menjijikkan!
Madhula masih pingsan ketika Ouwyang-kongcu mengeluarkan sebatang suling kecil
yang panjangnya hanya dua jengkal. Mulailah pemuda itu menyuling. Suara suling yang
melengking dengan nada tinggi membuat Li Hwa terkejut karena dia maklum bahwa
suara melengking yang menggetar itu mengandung tenaga khi-kang yang kuat sekali.
Dia melihat betape semua penonton kini berkumpul di belakeng Ouwyang-kongcu,
seolah-olah menanti sesuatu dengan penuh ketegangan. Adapun tubuh Madhula yang
diikat pada tiang itu pun menghadap kepada mereka, sedangkan mayat Sanghida yang
berlumuran darah menggeletak tak jauh diri kaki Madhula.
Sebelum ular itu tiba, Li Hwa sudah dapat menduga dengan hati diliputi penuh kengerian
bahwa suara suling dari pemuda iblis itu tentulah merupakan tanda panggilan kepada
ular-ularnya. Hal ini mudah saja diduga karena pertama, pemuda itu adalah putera Si
Raja Ular! Ke dua, mereka berada di Pulau Ular, dan memang biasanya pada ahli ular
mengundang ular-ular mereka dengan suara melengking tinggi, biasanya suara suling.
Memang tepat dugaan Li Hwa. Akan tetapi ketika ular-ular itu datang, biar-pun dia sudah
menduganya, dia menjadi kaget bukan main karena tidak menyang-ka bahwa yang
datang demikian banyak-nya! Rombongan demi rombongan ular berdatangan dari empat
penjuru, dan warna kulit mereka pun berbeda-beda, ada yang hijau, ada yang hitam
kemerah-merahan, kuning, dan ada yang belang-belang. Biarpun Li Hwa tidak mengenal
banyak ular, namun dia dapat menduga bahwa ular-ular itu tentulah ular berbisa yang
amat berbahaya. Ular-ular yang lewat di dekat Ouwyang-kongcu dan anak buahnya,
seperti takut menghadapi api, dan bina-tang yang merayap dekat cepat menying-kir dan
mengambil jalan memutar. Sete-lah ular-ular itu tiba di tempat itu, Li Hwa hampir tidak
kuat melihat lebih lama lagi. Ular-ular yang mendesis-desis itu kini berebutan menyerang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
383 mayat Sanghida, melahap dan merobek-robek mayat itu sehingga mayat itu seperti
hidup kembali karena bergerak-gerak ke sana-sini, seperti berkelojotan. Dalam waktu
sebentar saja, habislah semua kulit, daging dan isi perut mayat itu, tinggal rangka yang
kering, tidak ada setetes pun darah yang tampak karena semua telah dijilat habis!
Kini ular-ular itu mulai merayap, ke arah Madhula dan wanita ini pun baru siuman dari
pingsannya. Dengan mata terbelalak ia tadi melihat betapa potongan-potongan daging
terakhir dari Sanghida dibuat perebutan ular-ular itu. Dia maklum akan nasibnya, akan
tetapi betapapun dia berusaha untuk memejamkan kedua matanya menerima maut,
kedua mata itu malah selalu terbelalak kembali memandang ke arah ular-ular yang
merayap-rayap di sekelilingnya. Ular-ular itu adalah ular-ular kecil, paling besar dua kaki
panjangnya dan jumiahnya ada empat puluh ekor lebih, menggeliat-geliat seperti
sekumpulan cacing, akan tetapi tidak ada yang berani menyerang Madhula, agaknya
menanti "perintah" suara suling yang masih terus melengking sejak tadi.
Memang benar demikian. Ular-ular itu seolah-olah bergerak menurut getaran suara
suling dan tiba-tiba suara suling itu berubah merendah. Ular-ular itu kelihatan gelisah,
kemudiah seekor demi seekor, ular-ular itu meninggalkan tempat itu, membuat semua
penonton menjadi heran.
"Mengapa dia tidak dihukum?" Rajid membanting kaki dan memandang penasaran.
Ouwyang Bouw sudah melepas sulingnya dan sambil memandang ke arah tu-buh
Madhula dia berkata, "Kurang menarik, kalau disuruh mengeroyok ular-ular kecil yang
sudah kenyang itu. Dia yang sudah mau berjina dengan Sanghida, ten-tu tidak puas
dengan ular-ular kecil itu. Kaulihatlah saja." Sambil berkata dia lalu menempelkan lubang
suling di depan bibirnya dan kini terdengarlah lengking suara suling yang berbeda dari
tadi. Suaranya naik turun dengan nada rendah, namun mengandung getaran yang amat
kuat sehingga para penonton ada yang kelihatan menggigil kedua kakinya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara mendesis-desis. Li Hwa terkejut dan memandang
ke bawah. Seekor ular yang amat besar sedang merayap lewat d bawah pohon. Dia
menggigil jijik. Ulat ini berkulit hitam kehijauan, sepasang matanya seperti mata
manusia, lidahnya merah menjilat-jilat keluar, besar tubuhnya sama dengan pahanya
dan panjangnya ada sepuluh kaki!
Madhula juga sudah melihat ular itu dan wanita ini mengeluarkan rintihan panjang,
mukanya makin pucat dan matanya terbelalak, penuh kengerian. Suara suling menuntun
ular itu mendekat dan terdengarlah suara berbisik orang-orang yang menonton karena
tegang dan tertarik ketika melihat betapa dengan perlahan ular besar itu mendekati
tiang di mana tubuh Madhula terikat. Ular itu mendesis-desis, lidahnya yang merah
makin sering menjilat-jilat. Melihat bentuk mulutnya yang besar agaknya dia akah
sanggup menelan tubuh wanita Nepal itu! Suara suling makin meninggi dan kini
moncong ular mulai naik dan lidah itu mulai menjilati kaki yang telanjang. Madhula
mengeluarkan suara rintihan ketika merasa betapa ular mulai merayap naik melalui
betisnya! Semua penonton menahan napas, mata mereka memandang melotot seperti
hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Ketika suara rintihan Madhula makin sering
dan ular itu mentaati suara suling, kini merayapi seluruh tubuh telanjang itu, membelit-
belit dan tampak seolah-olah ular itu membelai-belai tubuh Madhula seperti hendak
mengajak wanita itu bermain cinta, para penonton menelan ludah penuh nafsu berahi
dan gairah. Makin hebat suara suling yang ditiup Ouwyang Bouw, makin cepat ular itu
bergerak-gerak, mengeliat-geliat menyelusuri seluruh tubuh Madhula yang kini sudah
memejamkan mata dan merapatkan kedua bibirnya, sama sekali tidak bersuara lagi.
Li Hwa menanti saat baik dan ketika kepala ular itu kebetulan merayap naik dan lebih
tinggi dari kepada Madhula,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
384 tangan kirinya bergerak dan tampaklah sinar perak meluncur ke arah kepala ular itu.
Ular itu menggerakkan kepala seperti gila, berkelojotan dan tanpa disengaja dia
mempererat belitannya pada tubuh Madhula. Kembali ada sinar perak menyambar dan
kepala ular yang sudah ditembusi dua batang jarum perak itu terkulai, tubuhnya
perlahan-lahan mele-paskan belitan. Akan tetapi betapa kagetnya hati Li Hwa ketika dia
melihat darah bertetesan dari kedua bibir Ma-dhula yang dirapatkan. Dia cepat meloncat
turun dari atas pohon sambil berteriak, "Ouwyang Bouw manusia iblis yang kejam!"
Ouwyang Bouw sudah meloncat bangun, dan semua pembantunya yang tadi terheran-
heran melihat ular itu menghentikan permainannya bahkan berkelojotan di bawah, kini
juga marah dan siap untuk mengeroyok orang yang menjadi pengacau. Akan tetapi
ketika mereka melihat seerang dara yang amat cantik jelita melayang turun dari atas
pohon, mencabut pedang dan membabat putus belenggu kaki tangan Madhula mereka
tercengang dan memandang kagum! Madhula membuka mata, membuka mulut akan
tetapi tidak ada kata-kata yang keluar karena begitu mulutnya dibuka, darah
menyembur keluar dan dengan penuh kengerian Li Hwa maklum bahwa wanita itu telah
menggigit putus lidahnya sendiri! Dalam keadaan ngeri dan tersiksa, Madhula mengambil
keputusan nekat, membunuh diri dengan menggigit lidahnya. Lidah itu putus di
tengahnya, dan tidak mungkin nyawanya dapat tertolong lagi, apalagi karena dia telah
mengeluarkan banyak sekali darah yang tadi dia paksa menelan darahnya sendiri agar
jangan sampai Ouwyang-kongcu menyelamatkan nyawanya.
Melihat keadaan wanita itu, Li Hwa yang tadi memeluk tubuh yang terguling setelah
belenggunya terlepas, perlahan-lahan menurunkan tubuh Madhula. Tubuh itu lemas dan
orangnya sudah tidak ingat apa-apa lagi, darah terus mengalir keluar dari lidah yang
buntung. Madhula dalam sekarat, seperti juga tubuh ular yang sekarat, hanya bedanya,
kalau tubuh Madhula sama sekali tidak bergerak, tubuh ular itu berkelojotan,
menggeliat--geliat dan darah mengalir keluar dari dua lubang kecil di antara kedua
matanya. Ouwyang Bouw tadi juga terkejut sekali. Gadis cantik itu telah dapat menyclundup ke
dalam pulau tanpa ada yang tahu, bahkan telah berada di atas pohon tanpa dia sendiri
mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dara itu tentu memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Apalagi ketika dibuktikannya dengan membunuh ularnya
menggunakan jarum, ini menjadi tanda pula bahwa dalam hal penggunaan senjata
rahasia jarum dara itu belum tentu kalah lihai olehnya yang juga mahir menggunakan
senjata rahasia jarum kecil merah yang berbisa. Akan tetapi, kini Ouwyang Bouw telah
dapat menguasai rasa kagetnya, matanya terputar-putar menggerayangi seturuh tubuh
Li Hwa dan dia tertegun penuh kekaguman. Seorang dara yang masih muda, seorang
perawan yang amat jelita, akan tetapi juga amat gagah perkasa! Begitu melihat Li Hwa,
sekaligus hati Ouwyang Bouw telah jatuh! Selama petualangannya dengan wanita dari
segala macam bentuk dan usia, dia merasa belum pernah dia memperoleh seorang dara
muda seperti yang kini berdiri di depannya dengan sikap gagah perkasa itu! Dan dia
harus memperolehnya, dengan cara bagaimana- pun juga!
"Aihhh, harap Nona sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan seorang
tamu agung seperti Nona sehing-ga tidak mengadakan penyambutan sela-yaknya!"
Ouwyang Bouw berkata sambil melangkah maju dan memberi hormat dengan menjura
dan mengangkat kedua tangan di depan dada.
Diam-diam Li Hwa terkejut dan terheran. Tak disangkanya bahwa pemuda yang
disohorkan sebagai seorang iblis muda yang kejam dan gila ini ternyata pandai bersikap
demikian sopan-santun seperti seorang terpelajar dan bersusila! Terseret oleh sikap yang
begitu hormat, otomatis dia pun mengangkat kedua tangan, membalas penghormatan.
Teringat akan hal ini, dia terkejut dan cepat me-nurunkan lagi tangannya, diam-diam dia
maklum betapa berbahaya dan lihainya pemuda ini yang dengan gerak dan kata--kata
sudah dapat menyeretnya!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
385 "Aku Souw Li Hwa bukan tamu dan tidak mengharap sambutan. Akan tetapi


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyaksikan kekejaman yang biadab tadi, aku tak mungkin mendiamkannya saja.
Bukankah engkau yang disebut Ouwyang Bouw, pemuda iblis yang gila?"
Biarpun anak buahnya sudah menge-luarkan suara marah, Ouwyang Bouw ter-senyum
saja mendengar makian ini, bah-kan memandang makin kagum dan sesaat kedua bola
matanya seperti lupa untuk berputaran seperti biasa. "Dugaanmu benar, Nona Souw Li
Hwa. Aku adalah Ouwyang Bouw, majikan muda dari Pulau Ular ini, dan aku merasa
senang sekali dapat berkenalan denganmu. Bolehkah aku mengetahui apa sesungguhnya
kehen-dak Nona memberi kehormatan kepada kami dengan mengunjungi pulau ini?"
Ditanya demikian, barulah Li Hwa teringat dan terkejut. Celaka! Rusaklah usahanya
menyelidiki bokor emas yang katanya dibawa ke pulau itu! Akan tetapi karena sudah
terlanjur, maka dia membentak, "Cih! Siapa sudi berkenalan denganmu" Aku datang
hendak membunuhmu dan membersihkan pulau ini dari iblis-iblis macam kalian dan ular-
ular jahat!"
"Hayaaa...! Dari mana datangnya nona cantik yang sombong ini?" Tiba--tiba terdengar
seruan orang dan muncul-lah dua orang kakek yang dipandang oleh Li Hwa dengan
penuh perhatian. Yang berseru tadi adalah seorang kakek tua berusia enam puluhan
tahun, tubuhnya tinggi sekali, tinggi kurus dengan leher panjang sehingga kalau dia
bergerak-gerak, tubuhnya seperti seekor ular. Mata-nya sipit memandang tajam penuh
selidik dan melihat kakek kurus tidak ragu lagi hati Li Hwa menduganya bahwa tentu
kakek inilah Si Raja Ular Ban-tok Coa--ong Ouwyang Kok. Adapun kakek ke dua adalah
seorang kakek yang lebih tua lagi, tujuh puluh tahun lebih usianya, juga tubuhnya tinggi
kurus dan dia tidak berkata-kata, hanya terbatuk-batuk, rambut-nya tidak terpelihara,
panjang penuh uban, juga jenggot dan kumisnya tidak terpelihara. Karena pakaiannya
sederhana, kakek ini makin kelihatan jorok (kotor). Diam-diam Li Hwa menduga dengan
hati penuh ketegangan bahwa tentu kakek ini yang disebut datuk sesat nomor satu Toat-
beng Hoat-su. Tahulah dia bahwa dia telah dikurung oleh orang-orang jahat yang
berlimu tinggi, namun sedikit pun hatinya tidak merasa takut, bahkan dia tidak mau
berpura-pura lagi, dengan sikap gagah dan suara lantang dia bertanya,
"Apakah kalian berdua orang tua Ban-tok Coa-ong dan Toat-beng Hoat-su?"
"Hemm, bocah sombong. Engkau telah mengenal kami. Siapakah engkau dan engkau
yang masih amat muda dan cantik ini mengapa ingin membunuh diri dengan lancang
memasuki Pulau Ular tanpa ijin?" Ban-tok Coa-ong berkata, suaranya mengandung
ancaman karena kakek ini telah menjadi marah sekali. Kalau ada orang luar berani
memasuki pulaunya tanpa ijin, hal itu selain merupakan pelanggaran yang harus
dihukum mati, juga merupakan penghinaan kepadanya karena menunjukkan bahwa Si
Pelanggar itu memandang rendah kepadanya.
"Ayah, Nona ini bernama Souw Li Hwa, cantik jelita dan gagah perkasa. Ayah, sekarang
aku mengambil keputusan untuk menikah. Bukankah Ayah sering mengatakan bahwa
aku sudah cukup dewasa untuk menikah dan bahwa Ayah ingin sekali menimang cucu"
Ayah, dia itulah calon isteriku!"
Mendengar kata-kata yang jelas membayangkan kegilaan ini, Li Hwa menjadi marah
bukan main. Dia melangkah maju menudingkan telunjuk kirinya kepada Toat-beng Hoat-
su dan Ban-tok Coa-ong lalu membentak, "Ban-tok Coa-ong, aku mondengar bahwa
engkau dan Toat-beng Hoat-su sudah merampas bokor emas, maka aku datang untuk
minta kembali bokor emas itu. Mungkin saja Suhu akan suka mengampuni kalian kalau
kalian mengembalikan pusaka itu secara baik-baik kepadaku. Kalian tahu, kalau Suhu
marah dan mendengar kalian tidak mau mengembalikan benda pusaka milik Suhu itu,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
386 kemana pun kalian melarikan diri dan bersembunyi, akhirnya kalian tentu akan
menerima hukuman dari Suhu."
Mula-mula Ban-tok Coa-ong marah sekali mendengar ucapan nona itu yang dianggapnya
sombong. Akan tetapi ketika mendengar kalimat-kalimat selanjutnya, dia dan Toat-beng
Hoat-su terkejut.
"Kau... kau murid The Hoo?" Toat-beng Hoat-su bertanya dengan alis berkerut dan hati
masih ragu-ragu. The Hoo adalah seorang panglima besar yang amat terkenal sebagai
seorang yang memiliki kesaktian hebat. Benarkah dara jelita yang muda ini muridnya"
"Panglima Besar The Hoo adalah guruku dan aku menerima tugas dari Suhu untuk minta
kembali bokor emas yang terjatuh ke tangan kalian." Li Hwa menjawab dengan suara
lantang. Muka Ban-tok Coa-ong berubah merah. "Bagus, kaukira aku mudah menyerah begitu
saja" Bocah lancang sombong, jangan kau mempergunakan nama The Hoo untuk
menakut-nakuti Ban-tok Coa-ong!"
"Wuuuuttt...!" Angin keras yang dahsyat menerjang ke arah Li Hwa ketika kakek
bertubuh ular itu tahu-tahu telah menyerangnya. Kedua kakinya masih tidak bergeser,
akan tetapi tubuh atasnya melengkung dan kedua tangannya dengan jari terbuka
mencengkeram ke arah dara itu. Panjang tubuh disambung lengan cukup untuk
menjangkau dan mencapai tubuh Li Hwa.
"Ayah, jangan lukai calon isteriku!" Ouwyang Bouw berseru.
Akan tetapi, betapapun lihai serangan itu, dengan mudah saja Li Hwa mengelak dengan
gerakan cekatan sekali, dan lengannya bergerak, tangannya mengebut ke samping
mengenai lengan tangan kanan kakek itu.
"Plakkk!"
Biarpun Li Hwa harus meloncat ke belakang karena pertemuan tenaga itu membuat
lengannya tergetar, akan tetapi juga kakek Raja Ular itu merasa betapa kulit lengannya
panas, tanda bahwa dara muda itu benar-benar memiliki kepandaian hebat dan tenaga
sin-kang yang kuat!
Dengan marah dan penasaran, tanpa mempedulikan seruan puteranya, Ouwyang Kok
sudah hendak menerjang lagi, akan tetapi Toat-beng Hoat-su mendekatinya dan
membisikkan siasatnya, "Tunggu... dia merupakan sandera yang baik dan berharga
sekali... mungkin dapat ditukar dengan bokor...!"
Mendengar ini, Ban-tok Coa-ong menghentikan gerakannya hendak menyerang dan
dengan wajah berseri kakek ini menghadapi Li Hwa dan berkata lantang "Nona Souw Li
Hwa. Engkau dapat menghindarkan seranganku, hal ini saja sudah membuat engkau
cukup berharga untuk bicara denganku. Engkau mengaku murid The Hoo, dan puteraku
jatuh cinta kepadamu. Semua itu baik-baik saia, akan tetapi engkau harus diuji lebih
dulu apakah benar engkau murid The Hoo dan apakah engkau cukup berharga untuk
menjadi mantuku, ha-ha-ha!" Kakek Raja Ular itu menggapai kepada seorang Nepal yang
tubuhnya tinggi besar seperu raksasa dan kumis jenggotnya lebat sekali hampir
menutupi seluruh mukanya, sambil berkata, "Maju dan lawanlah nona ini!"
Orang Nepal itu menyeringai sehingga tampaklah giginya yang besar-besar, dan dengan
sikap jumawa sekali dia melangkah ke dalam lapangan itu menghadapi Li Hwa. Sengaja
dia mengerahkan tenaga pada kedua kakinya sehingga langkahnya seperti langkah
gajah, membuat tanah tergetar setiap kali dia membanting ka-kinya!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
387 Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa mendengar ucapan Ban-tok Coa-ong
tadi. Ucapan itu dianggap amat menghinanya, akan tetapi karena dia pun cukup maklum
bahwa dia berada di sa-rang harimau dan menghadapi banyak lawan pandai, dia tidak
mau terseret oleh kemarahannya. Gurunya pernah me-ngatakan kepadanya bahwa
dalam meng-hadapi lawan tangguh, yang terpenting sekali adalah sikap tenang dan
sikap tenang ini akan rusak apabila membiar-kan diri dikuasai pikiran yang menda-
tangkan kemarahan, ketakutan, atau kesombongan. Maka kini menghadapi raksa-sa
Nepal itu, dia bersikap tenang, sedikit pun tidak merasa takut, juga tidak me-mandang
rendah dan sama sekali bebas dari kemarahan. Dengan sikapnya yang tenang, dia dapat
memandang tajam dan segera dapat melihat bahwa lawannya adalah seorang yang
memiliki tenaga kasar yang amat kuat dan otot-otot yang menggembung di seluruh
tubuh raksasa ini telah terlatih, Namun, sekilas pan-dang saja Li Hwa sudah dapat
menduga kelemahan lawan ini yaitu kelambanan gerak sehingga dia sudah tahu bahwa
untuk mengalahkannya dia harus mengan-dalkan kecepatannya.
Dengan pikiran ini, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menye-rangnya Li
Hwa sudah menerjang maju dan mengirim dua kali pukulan beruntun ke arah dada dan
lambung. Gerakannya cepat bukan main karena dara ini telah mempergunakan jurus
Ilmu Silat Jit-goat--sin-ciang-hoat. Dua pukulan yang dilaku-kan kedua tangan itu pun
mengandung dua macam tenaga keras dan lembut, akan tetapi keduanya amat
berbahaya karena yang keras dapat meremukkan tulang, dan yang lembut dapat
merusak urat syaraf!
"Plakk! Blukk!"
Li Hwa terkejut bukan main karena kedua pukulannya, baik yang mengandung tenaga
Yang-kang (keras) maupun Im-kang (lembut) bertemu dengan kulit dada dan kulit
lambung yang kerasnya seperti baja! Tak disangkanya sama sekali bahwa raksasa itu
memiliki tubuh yang kebal dan kuat bukan main. Dan lebih-lebih kagetnya ketika tiba-
tiba kedua lengannya telah ditangkap oleh raksasa itu dan dengan tenaga yang seperti
tarikan gajah, tubuh Li Hwa telah diangkat ke atas!
"Jangan bunuh dia...!" bentakan Ouwyang Bouw itu dijawab dengan suara tertawa
bergelak oleh raksasa Nepal itu yang cepat melontarkan tubuh Li Hwa ke atas dan sambil
bertolak pinggang dia tertawa-tawa menanti turunnya tubuh itu. Dia jelas bendak
mempermainkan tubuh dara itu seperti sebuah bola yang dilempar-lemparkan ke atas!
Li Hwa sudah mempergunakan gin-kangnya, ketika tubuhnya meluncur ke atas seperti
anak panah meluncur, cepat dia berjungkir balik sampai lima kali untuk mematahkan
tenaga luncuran itu, kemudian melayang turun. Dari atas dia melihat
Pendekar Gelandangan 2 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Pendekar Riang 9
^