Pencarian

Rahasia 180 Patung Mas 3

Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 3


raba peta yang berada dalam bajunya, dalam hati ia tidak percaya peta yang dipegangnya itu palsu. Namun dalam lubuk hatinya timbul juga keraguan bahwa apa yang dikatakan Toh-Jiu-hong itu bukannya tidak mungkin terjadi, sebab besar kemungkinan Hu-kui-ong Liong-Ih-kong juga kuatir ada orang hendak merebut peta itu, untuk keamanan peta asli sengaja diserahkannya kepada gundik kesayangannya itu untuk disimpan, lalu dibuatnya sehelai peta palsu yang selalu dibawanya untuk persiapan bila suatu ketika kewalahan menghadapi musuh, terpaksa ia Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menyerahkan peta palsu itu, kemudian dia akan kabur bersama Toh-Jiu-hong dengan membawa peta yang asli.
Berpikir sampai di sini, terasa tidak enak juga hati Kiam-eng, pikirnya pula, "Sayang sekarang asap tebal menyelimuti bumi, kalau tidak, sekali pandang saja akan ketahuan peta yang aku pegang ini asli atau palsu ..."
Terdengar Toh-Jiu-hong lagi berteriak pula, "Sim-sin-ih, lekas kemari menyelamatkan hamba, apabila aku mati, selamanya kalian pun takkan menemukan peta asli."
"Betul juga. Sim-sin-ih, lekas kau tolong dia, aku jamin pun takkan menyerangmu, " sambung Leng-Jing-jing.
Ketika meninggalkan Bu-lim-teh-co tempo hari Su-Kiam-eng sudah membawa berbagai macam obat penawar racun pemberian Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho. Maka ia menjawab ucapan Leng-Jing-jing tadi, "Jika aku sanggupi menyelamatkan dia, lalu cara bagaimana Leng-to-cu akan berurusan denganku?"
Habis berucap, agar musuh tidak menyerangnya mengikuti arah suaranya, cepat ia menggeser ke samping lain.
Terdengar Leng-Jing-jing menjawabnya dengan tertawa, "Dengan sendirinya kita harus bekerja sama.
Engkau satu-satunya orang yang mahir menyembuhkan orang terkena gas racun, bila peta itu aku dapatkan, tetap aku tidak boleh kekurangan dirimu."
"Leng-to-cu adalah tokoh terkemuka dunia persilatan, apa yang kau katakan hendaknya dipegang teguh,
" kata Kiam-eng.
"Jangan kuatir, tidak nanti aku ingkar janji." ujar Leng-Jing-jing. "Nah, lekas kau sembuhkan dia."
Su-Kiam-eng menggeser ke arah Toh-Jiu-hong sembari bertanya, "Nona Toh, kamu berada di mana?"
"Di sini, lekas kemari" sahut Toh-Jiu-hong.
Kiam-eng mendekati orang mengikuti arah suara, ia coba mendengarkan dengan cermat, ia merasa ada suara langkah orang yang perlahan mengikutinya, segera ia membentak, "Leng-to-cu hendaknya jangan ikut kemari!"
Cepat Leng-Jing-jing menghentikan langkahnya, katanya dengan tertawa, "Memangnya engkau tetap tidak percaya padaku?"
"Apa mau dikatakan lagi, dalam keadaan demikian terpaksa aku harus berjaga akan segala kemungkinan, " ujar Kiam-eng dengan tertawa.
"Baiklah, aku tidak ikut ke sana, lekas kau obati dia, " ujar Li-hun-nio-nio.
Tanpa kuatir lagi Kiam-eng berjongkok di samping Toh-Jiu-hong, perlahan ia meraba sambil, "Di bagian mana yang digigit ular?"
"Ini, di sini, dekat lulut kaki kanan, " tutur Toh-Jiu-hong.
Kuatir menyentuh paha orang, Kiam-eng meraba mulai dari betis si nona dan merambat ke atas. Siapa tahu, ketika merasa sampai di dengkul sekonyong-konyong ke dua tangannya dipegang orang dan urat nadi terpencat.
"Perempuan hina, kiranya kau ..." bentak Kiam-eng gusar.
Akan tetapi segera terdengar suara terkekeh Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing dari jauh mendekat menyusul serangkum angin pukulan kuat menyambar kepalanya.
"Blang, " dengan telak kepalanya kena dihantam orang seketika ia jatuh kelengar.
****** Sekali lagi dia siuman dari pingsannya.
Keadaannya serupa kejadian dahulu, waktu sadar, ia merasakan dirinya berbaring dalam sebuah kamar Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
yang indah, Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing dan Toh-Jiu-hong tampak duduk di depan tempat tidur dengan mengulum senyum.
Begitu melihat jelas Toh-Jiu-hong hadir di situ seketika Kiam-eng melengak bingung. Serentak ia bangun duduk, ia coba merogoh saku bajunya, ternyata peta sudah hilang, baru sekarang ia paham duduknya perkara.
"Hm, kiranya Siau-yan-nio yang kau sebut itu ialah Toh-Jiu-hong ini!" jengek Kiam-eng dengan tersenyum kecut.
Toh-Jiu-hong melirik genit, ucapnya dengan terkikik, "Hihi, memang begitulah. Tak kau sangka bukan?"
"Memang, " Jengek Kiam-eng. "Aku dengar setiap perempuan penghuni Li-hun-to semuanya cacat badan, namun tubuhmu tiada terlihat ada bagian yang cacat, maka sama sekali tidak aku sangka kamu juga anak buah Li-hun-nio-nio."
Toh-Jiu-hong hanya tersenyum saja tanpa menanggapi.
Kiam-eng menatapnya dengan tajam, tanyanya, "Tapi dari mana kau tahu Hu-kui-ong mendapatkan peta dan lebih dulu menyusup ke tempatnya?"
Toh-Jiu-hong memandang Leng-Jing-jing yang berada di sebelahnya, jawabnya dengan tertawa "Tiada halangannya aku katakan padamu. Soalnya hamba diperintahkan untuk mendekati Liong-Ih-kong, tujuan semula hanya ingin merampas harta bendanya, kemudian diketahui dia berhasil membeli peta pusaka itu, maka tujuanku pun berubah, diam-diam aku laporkan hal itu kepada To-cu kami untuk merebut petanya.
"Oo, kiranya begitu, " kata Kiam-eng, lalu ia tanya Leng-Jing-jing, "Leng-to-cu, apakah sekarang engkau tidak mau bekerja sama lagi denganku?"
"Jika tidak ada maksud bekerja sama denganmu tentu sejak tadi aku bereskan dirimu serupa aku kerjai Sam-koai itu, " ujar Leng-Jing-jing dengan tersenyum.
"Oo, Leng-to-cu sudah membinasakan Sam-koai?" tanya Kiam-eng dengan girang.
"Betul, " Li-hun-nio-nio mengangguk, "Jiu-hong sudah melemparkan mereka ke tengah kobaran api."
"Bagus itu pun terhitung menumpas tiga penjahat bagi dunia persilatan, " ujar Kiam-eng.
"Tapi aku tidak berpikir demikian, " kata Leng-Jing-jing. "Aku tumpas Sam-koai, soalnya karena aku tidak menginginkan mereka ikut berebut harta karun denganku."
"Baiklah sekarang boleh kita bicara tentang rencana kerja sama kita, " ujar Kiam-eng dengan tertawa.
"Lantas cara bagaimana Leng-to-cu hendak bekerja sama denganku?"
"Begini, " kata Leng-Jing-jing, "setelah menemukan kota emas itu, aku beri satu per sepuluh bagian untukmu."
Padahal tujuan Su-Kiam-eng hanya terletak pada Jian-lian-hok-leng yang sangat penting untuk bahan obat, yang diharapkannya asalkan pihak lawan percaya padanya dan sudah cukup. Tapi ia berlagak kurang puas, jawabnya, "Masa cuma satu per sepuluh bagian saja" Hm, Sam-koai saja mau membagi satu per empat bagiku masa Leng-to-cu malah turun harga sejauh itu?"
"Ya, aku hanya dapat memberi bagian satu per sepuluh untukmu, " jawab Leng-Jing-jing.
Kiam-eng mengangkat pundak, ucapnya, "Lebih dulu ingin, aku tanya pula padamu, tanpa ikut serta dariku, apakah Leng-to-cu sanggup mencapai tempat tujuan?"
"Tidak sanggup!" jawab Leng-Jing-jing.
"Begitulah, " Kiam-eng tertawa. "Kalau Leng-to-cu tidak sanggup mencapai tempat tujuan tanpa ikut serta diriku, maka seyogianya aku diberi setengah bagian."
"Huh, hendaknya kau tahu diri sedikit, " jengek perempuan buta itu. "Bahwa Sam-koai menyatakan hendak memberi seperempat bagian untukmu, jelas itu dusta belaka. Bilamana mereka berhasil menemukan kota emas, tentu kamu akan dibunuh oleh mereka. Sebaliknya aku katakan mau memberi Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
satu per sepuluh bagian untukmu, janji ini pasti aku laksanakan, kalau tidak, kau dapat juga aku janjikan seperempat atau setengah bagian untukmu, tapi apakah janji demikian akan terpenuhi atau tidak kan masih menjadi soal."
"Tapi ... tapi satu per sepuluh bagian rasanya terlalu ... terlalu sedikit ..." ucap Kiam-eng sambil berpikir.
"Tidak sedikit, " tukas Li-hun-nio-nio. "Kabarnya di kota emas itu ada 180 buah patung emas dan bangunan yang terbuat dari emas murni. Coba kau pikir, melulu ke 180 patung emas itu saja kamu akan mendapat bagian 18 buah patung. Masa kau bilang sedikit?"
Kiam-eng berlagak menimbang sebentar, lalu mengangguk dan berkata, "Ya, sudahlah. Lantas, kapan kita berangkat?"
"Hari ini juga, " lalu Leng-Jing-jing berkata kepada Toh-Jiu-hong, "Nah, Jiu-hong, boleh kau berikan barang-barang yang telah disiapkan."
Toh-Jiu-hong mendekati tempat tidur, ditariknya keluar satu bungkus baju rombeng dari kolong ranjang, ada lagi satu gulung tikar rusak dan sebatang pentung bambu, semua itu diserahkan kepada Su-Kiam-eng, katanya, "Kau paham ilmu rias bukan?"
"Maksudmu aku harus menyamar sebagai pengemis!" Kiam-eng berlagak heran dan bingung.
"Betul, kau jadi pengemis lelaki dan aku pengemis perempuan, " tukas Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing.
"Kita menyamar sebagai suami istri pengemis, sembari melakukan pekerjaan minta minta kita berangkat ke selatan."
"Oo, gagasan bagus, " ujar Kiam-eng dengan tertawa. "Tapi apakah Leng-to-cu tidak merasa kekurangan tenaga pembantu?"
"Dengan sendirinya sudah aku atur, " kata perempuan buta itu. "Diam-diam sudah aku tugaskan anak buahku mengikuti jejak kita, pula ... "
Sampai di sini, mendadak ia menoleh dan berseru keluar kamar, "Silakan Ciok-hou-hoat masuk."
Segera suara seorang perempuan mengiakan di luar kamar, lalu pintu didorong dan masuklah dia.
Ciok-hou-hoat (Ciok si pelindung hukum) yang masuk ini bukan saja seorang perempuan buta, bahkan perawakan dan wajahnya serupa benar dengan Leng-Jing-jing sehingga seperti pinang dibelah dua.
Kiam-eng melengak dan berseru heran, "Hei, Ciok-hou-hoat ini ... "
"Serupa benar denganku, bukan?" tukas Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing tertawa.
"Betul, apakah kalian saudara kembar?" tanya Kiam-eng.
"Tidak, " Leng-Jing-jing tertawa. "Cuma dia memang juga perempuan buta. Namun wajahnya sekarang sengaja dirias serupa diriku."
"Oo, kiranya begitu, " baru Kiam-eng paham urusannya. "Memangnya apa maksud Leng-to-cu menyuruh dia menyamar sebagai dirimu?"
"Boleh coba kau terka, " kata Leng-Jing-jing dengan tersenyum.
Dengan sendirinya Kiam-eng tahu maksud tujuan orang, tapi pura pura memejamkan mata dan berpikir sejenak, lalu membuka mata dan berkata seperti baru mengerti persoalannya, "Aha, bagus! Tentu Leng-to-cu sengaja hendak memancing pergi orang yang berniat merampas peta itu."
"Betul, " Leng-Jing-jing mengangguk. "Yang sudah terjadi jangan terlupa, yang akan terjadi harus kita pikirkan, maka kita perlu bertindak hati-hati"
"Leng-to-cu memang cermat, sungguh aku sangat kagum, " ucap Kiam-eng.
Leng-Jing-jing tertawa, lalu katanya terhadap Ciok-hou-hoat tadi, "Ciok-hou-hoat, boleh kau berangkat lebih dulu bernama anak buahmu."
Ciok-hou-hoat mengiakan dengan hormat, lalu keluar kamar.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Sim-sin-ih, kau pun silakan mulai menyamar, " ujar Li-hun-nio-nio. "Satu jam lagi kita akan meninggalkan pulau dan berangkat ke selatan."
Kata "meninggalkan pulau" membuat Kiam-eng tercengang, katanya. "Oo, kiranya Leng-to-cu membawa diriku ke Li-hun-to sini?"
"Habis kau kira ini tempat apa?" ujar Leng-Jing-jing tertawa.
"Pernah aku dengar selama ini Leng-to-cu melarang orang lelaki menginjak pulaumu, mengapa sekali ini kau langgar peraturanmu sendiri?"
"Aku cuma melarang pulau ini didatangi kaum lelaki yang bermaksud jahat. Jika kedatangannya ada manfaatnya bagiku tentu tidak aku larang."
Habis berkata, sembari tertawa ia pun tinggal pergi.
Melihat Toh-Jiu-hong masih berdiri di situ, Kiam-eng tercengang, tanyanya, "Nona Toh masih ada urusan apa lagi?"
"Tidak ada, hanya atas perintah supaya mengawasi caramu menyamar, " jawab Toh-Jiu-hong.
Kiam-eng berlagak rikuh, katanya, "Ai, apa artinya ini, masa harus aku buka baju di depan mata nona?"
"Tidak menjadi soal, sudah sering aku lihat orang telanjang, tidak apa-apa, " kata Toh-Jiu-hong dengan tertawa.
"Kamu tidak apa-apa, aku yang repot, " seru Kiam-eng dengan lagak marah.
"Biar aku katakan terus terang. To-cu kami kuatir engkau tidak pandai menyamar, maka hamba disuruh tinggal di sini untuk membantu. Setelah aku bantu merias wajahmu, segera aku pergi."
"Tidak perlu, soal rias merias bagiku pun tidak asing, boleh kau pergi saja sekarang, " ujar Kiam-eng.
Toh-Jiu-hong juga tidak ngotot, ia tersenyum dan melangkah pergi.
Kiam-eng merapatkan pintu kamar dan dipalang, lalu mulai menyamar.
Tidak lama berubahlah dia seorang pengemis tua dengan rambut kusut dan dekil, ia angkat gulungan tikar rongsok dan memegang pentung bambu, lalu membuka pintu kamar, tiba-tiba dilihatnya di depan pintu kamar sudah berdiri seorang pengemis perempuan tua.
Pengemis perempuan tua ini dengan sendirinya samaran Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing. Ia sengaja mendongak dan tersenyum, tanyanya, "Sudah beres!"
Kiam-eng mengangguk dan menjawab, "Beres, coba lihat bagaimana kepandaianku menyamar?"
"Kami sengaja mengolok-olok diriku bukan?" omel Leng-Jing-jing tertawa.
Baru Kiam-eng ingat kedua mata orang sudah buta, cepat ia minta maaf.
"Mari kita makan dulu, " ajak Leng-Jing-jing mendahului menuju ke ruang depan.
Setelah meninggalkan kamar tidur baru Kiam-eng dapat melihat wajah asli Li-hun-to yang terkenal di dunia persilatan ini. Diam-diam ia sangat kagum kepada Leng-Jing-jing yang pandai mengatur dan membangun pangkalannya ini.
Kiranya Li-hun-to adalah sebuah pulau kecil tengah Tong-ting-oh, danau ini sangat luas, sedangkan pulau kecil itu cuma selebar satu li persegi. Sebelum kedatangan Leng-Jing-jing, pulau ini adalah sebuah pulau kecil yang sunyi, tapi sekarang telah berubah menjadi sebuah taman yang sangat indah. Ada ratusan rumah di tengah pulau pepohonan teratur dengan baik, apabila tidak menyaksikan penghuni pulau ini seluruhnya orang perempuan cacat, tentu orang akan merasakan berada di suatu pulau impian.
Melihat kawanan perempuan cacat yang bekerja di tengah pulau, mau-tak-mau timbul rasa iba tapi bila melihat pula ketenangan dan kesantaian kawanan wanita itu seperti kehidupan sehari-hari dilewatkan dengan aman sejahtera, betapapun ia sangat kagum dan menghormati 'keluhuran' budi Leng-Jing-jing.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Maklum, bilamana seorang perempuan buta dapat mengorbankan kepentingan sendiri untuk menolong sesamanya, menghimpun sekawanan orang perempuan cacat yang terlantar di suatu pulau sehingga mereka terhindar dari kelaparan dan kedinginan, jiwa yang luhur dan welas asih ini sungguh sukar dibandingi mereka yang setiap hari berdoa dan bersujud.
Sebab itulah diam-diam Su-Kiam-eng mengambil keputusan, asalkan tenaga sendiri sanggup, selayaknya dirinya membantu Leng-Jing-jing menemukan kota emas itu dan bila menemukan patung emas, yang perlu diambilnya juga terbatas pada Jian-lian-hok-leng saja.
Setiba di ruangan makan yang indah, Kiam-eng dan Leng-Jing-jing duduk di suatu meja yang sudah penuh barang santapan, mereka makan minum dengan dilayani dua dayang cilik.
"Ciok-hou-hoat yang menyamar sebagai Leng-to-cu itu apakah sudah berangkat?" tanya Kiam-eng sembari makan.
"Betul, dia sudah meninggalkan pulau ini, " jawab Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing.
"Betapa tinggi ilmu silatnya?" tanya Kiam-eng pula.
"Kiranya setingkat dengan para jago pengawal Liong-Ih-kong."
"Jika begitu, apakah Leng-to-cu tidak kuatir dia menghadapi bahaya?"
"Seharusnya tidak sampai terjadi, " ujar Leng-Jing-jing. "Dan sudah aku beri pesan padanya, apabila menemukan lawan yang sukar ditandingi, boleh serahkan saja peta yang dibawanya."
"Oo, ia membawa sehelai peta palsu?" tanya Kiam-eng dengan melengak.
"Tentu saja peta palsu, memangnya aku biarkan dia membawa peta yang asli?" ujar Leng-Jing-jing dengan tertawa.
"Leng-to-cu sungguh tidak malu disebut ksatria kaum wanita, sungguh aku sangat kagum."
"Ah, yang benar saja. Di mulut kau bilang kagum, dalam hati mungkin lain?"
"Sungguh, aku benar-benar kagum lahir batin terhadap Leng-to-cu."
Li-hun-nio-nio tertawa, ia minum arak seteguk, lalu berkata, "Sebelum ini, aku dengar Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho adalah seorang tokoh yang angkuh dan berpribadi lain daripada yang lain, sesudah berjumpa sekarang, aku rasa ... "
"Silakan Leng-to-cu memberi kritik, " tukas Kiam-eng dengan tertawa.
"Engkau tidak marah?"
"Pasti tidak. Betapa aku rasakan ada manfaatnya bilamana dapat aku dengar kelemahan sendiri dari mulut orang lain."
"Begini, aku rasakan kamu Sai-hoa-to ini sesungguhnya seorang yang licik dan licin, " sambung Leng-Jing-jing dengan tertawa.
Kiam-eng tertawa kikuk, "Betul juga kritik Leng-to-cu. Tapi apakah dapat memberi sedikit keterangan yang lebih jelas?"
"Boleh, " jawab Leng-Jing-jing. "Kamu dipanggil ke Hu-kui-san-ceng oleh Hu-kui-ong, semula kau mau bekerja sama dengan dia. Tapi ketika Sam-koai muncul dan berebut peta dengan dia, kau lihat Hu-kui-ong sukar mempertahankan petanya, segera pula kau ganti haluan dan menebas sebelah tangan Liong-Ih-kong, waktu itu ada maksudmu membawa lari peta, cuma lantaran menurut perhitunganmu sukar mengalahkan Sam-koai lalu kamu pura-pura mau bekerja sama dengan Sam-koai. Kemudian Sam-koai terjebak oleh perangkapku, kembali kamu berlaku licik dengan merobohkan Bong-to-jin di tengah kabut tebal. Sekarang kamu jatuh juga dalam cengkeramanku, mungkin kau pun tidak setulus hati hendak bekerja sama denganku melainkan ingin mencari kesempatan untuk merebut kembali peta pusaka ini."
"Hahahaha, jika cara demikian jalan pikiran Leng-to-cu, jelas itu salah wesel, " seru Kiam-eng dengan terbahak. "Sebabnya aku lakukan tindakan begitu terhadap Liong-Ih-kong dan Sam-koai, semua itu Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
disebabkan mereka terhitung tokoh kalangan hitam. Sekarang aku menyatakan mau bekerja sama dengan Leng-to-cu, hal ini timbul dari lubuk hatiku yang sejujurnya tanpa tipu muslihat apa pun. Jika Leng-to-cu tidak percaya, apa boleh buat biarlah aku pergi saja."
"Kau bilang Liong-Ih-kong dan Sam-koai adalah tokoh kalangan hitam, apakah nyonya besar tidak terhitung tokoh kalangan hitam?" tanya Leng-Jing-jing.
"Leng-to-cu telah menolong anak perempuan sebanyak ini selagi mereka terancam bahaya, ini kan sama dengan Bodhisatwa penolong kaum sengsara, mana bisa dianggap orang jahat?"
"Akan tetapi dalam pandangan orang persilatan aku dianggap sebagai iblis perempuan yang suka merampok dan membunuh orang tanpa berkedip."
"Untuk menghidupi kaum wanita cacat sebanyak ini, terkadang Leng-to-cu perlu bertindak agak keras, untuk ini tidak dapat dikatakan jahat, " ujar Su-Kiam-eng.
Jing-jing tertawa, "Sedemikian hormat dan sanjungmu terhadapku, tampaknya kamu memang" sangat kagum padaku. Jika begitu, ketika aku nyatakan mau membagi satu per sepuluh untukmu, mengapa kamu menyatakan tidak puas?"
"Hal ini tidak dapat dicampurkan, sesungguhnya satu per sepuluh bagian memang terlampau sedikit."
"Begitu saja. Asalkan kamu bekerja sama sejujurnya denganku, bilamana kota emas itu sudah kita temukan, tentu akan aku beri lagi semacam benda mestika yang sukar dicari."
"Oo, benda mestika apakah itu?" tanya Kiam-eng.
"Jian-lian-hok-leng!" jawab Leng-Jing-jing.
"Hahh, jadi Leng-to-cu juga sudah tahu urusan ini?" tanya Kiam-eng terkejut.
"Tahu, " Leng-Jing-jing mengangguk. "Cuma, meski Jian-lian-hok-leng itu memang benda mestika yang sukar dicari, aku justru tidak tertarik olehnya."
"Apakah Leng-to-cu tahu apa sebabnya Kiam-ho-Lok-Cing-hui menyuruh muridnya yang pertama yaitu Gak-Sim-lam, menuju ke wilayah selatan yang masih liar itu untuk mencari Jian-lian-hok-leng?"
Kembali Leng-Jing-jing mengangguk, "Tahu hendak digunakannya Jian-lian-hok-leng untuk menyembuhkan penyakit seorang nona yang bernama In-Ang-bi, yaitu putri kandung Bu-tek-sin-pian In-Giok-san. Kabarnya mungkin nona In itu menyaksikan sendiri terbunuhnya ke 18, tokoh utama dunia persilatan di Hwe-liong-kok dulu, saking kaget dan takutnya dia kehilangan daya ingatan. Sebab itulah Lok-Cing-hui hendak menyembuhkan penyakitnya agar siapa si pembunuh di Hwe-liong-kok itu dapat diketahui dari keterangan nona In dan sekaligus menumpas pengganas bagi dunia persilatan.
"Bagaimana pendapat Leng-to-cu terhadap tindakan Kiam-ho-Lok-Cing-hui dan anak muridnya?" tanya Kiam-eng pula.
"Kiam-ho-Lok-Cing-hui adalah pendekarnya pendekar, dengan sendirinya aku sangat kagum kepadanya,
" jawab Li-hun-nio-nio.
"Ya, aku pun kagum sekali terhadap mereka guru dan murid, " ucap Kiam-eng dengan senang. "Sebab itulah bila kita mendapatkan Jian-lian-hok-leng seyogianya kita berikan kepada Lok-Cing-hui."
"Yang jelas aku tidak memerlukan barang semacam itu, cara bagaimana akan kau lakukan atas bahan obat itu boleh terserah padamu."
Kiam-eng menaruh mangkuk nasi, katanya, "Baiklah, sudah cukup kenyang. Marilah kita siap berangkat."
Leng-Jing-jing memberi tanda agar pelayan mengambilkan handuk, katanya pula dengan tersenyum,
"Masih ada sesuatu yang tidak pantas aku katakan, hendaknya engkau jangan marah ..."
"Silakan bicara saja, akan aku dengarkan dengan senang hati."
"Begini. Aku harapkan engkau bekerja sama denganku dengan tulus hati, bilamana engkau bermaksud busuk dan hendak merampas dan bawa lari peta pusaka, maka engkau pasti akan mati dengan cepat, sebab sekarang tidak aku tahu guna-guna dalam makanan yang telah masuk perutmu dan setiap saat Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
dapat aku perintahkan untuk mencabut nyawamu."
"Hah, kamu bisa main tenung?" Kiam-eng melonjak kaget.
Leng-Jing-jing mengangguk dengan tertawa, "Betul, kepandaian ini aku belajar dari seorang kepala suku di Kim-sah-kang dahulu, Cuma engkau jangan kuatir, biarpun guna-gunaku sudah masuk perutmu, tanpa perintahku dia takkan mencelakaimu."
Betapapun Kiam-eng tetap kuatir, tanyanya cepat. "Tenung apa yang kau mainkan atas diriku?"
"Tenung naga!" jawab Leng-Jing-jing.
Kiam-eng tidak asing terhadap permainan guna-guna, ia tahu "tenung naga" itu jadian dari binatang melata sebangsa ular berbisa, kelabang dan sebagainya, semacam tenung yang paling lihai.
Keruan ia tarkejut pula dan berteriak, "Wah, tidak bisa jadi! Lekas kau keluarkan guna-guna itu dari tubuhku. Mana boleh kau turun tangan keji terhadapku."
"Kenapa kamu tegang dan gugup, memangnya kamu tidak berniat bekerja sama denganku?" tanya Leng-Jing-jing tertawa.
"Mengapa tidak" Cuma engkau tidak boleh menggunakan cara begini untuk memeras diriku!" seru Kiam-eng.
"Bila engkau bekerja sama denganku secara jujur, kan tidak perlu takut, nanti kalau aku pandang sudah dapat aku punahkan tenungku, dengan sendirinya akan aku punahkan tanpa kau minta."
"Tetapi bila nanti engkau ingkar janji, lalu bagaimana?" tanya Kiam-eng.
"Tidak nanti begitu. Betapapun aku juga manusia, tidak mungkin aku kemaruk pada sepersepuluh bagianmu itu. Kamu jangan kuatir."
Kiam-eng tahu tidak ada gunanya banyak omong lagi. Ia tahu jika ingin lawan menghapuskan tenung baginya, untuk itu hanya ada satu jalan, yaitu kembali pada wajah aslinya dan menerangkan segalanya terhadap perempuan buta itu. Namun cara ini pun ada risikonya, sebab, pertama, bila orang tahu dirinya bukan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho yang sebenarnya, bisa jadi orang tidak percaya bahwa dirinya sudah berhasil belajar cara mengobati gas racun segala dan tidak mau lagi mengajaknya ikut mencari kota emas.
Kedua, bila orang tahu dirinya adalah murid Kiam-ho-Lok-Cing-hui, mungkin karena takut terhadap gurunya dan nekat membunuhnya sekalian untuk menghilangkan saksi hidup.
Maka setelah dipikir, akhirnya ia merasa lebih baik tetap mengaku sebagai Sai-hoa-to saja. Begitulah ia lantas menghela napas dan berkata, "Baiklah, perjalanan jauh baru kenal kekuatan kuda, sesudah lama baru tahu hati manusia. Pada suatu hari nanti tentu Leng-to-cu akan jelas kepribadianku."
Leng-Jing-jing tidak banyak omong lagi, ia melangkah keluar ruangan, katanya, "Ya, sekarang marilah ikut padaku."
Setelah meninggalkan ruang makan, Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing membawa Su-Kiam-eng ke tepi pantai dan menumpang sebuah perahu nelayan, lalu meluncur meninggalkan Li-hun-to dan menuju ke arah Wan-kang.
Tong-ting-oh merupakan hulu dari berbagai sungai di wilayah Oh-lam, meliputi beberapa ratus li di sekitarnya. Li-hun-to terletak di permukaan danau di timur laut Wan-kang atau sungai Wan maka perahu nelayan itu berlayar cukup lama baru mencapai hulu sungai.
Perahu merapat di tepi danau di suatu tempat yang sepi, Kiam-eng mendahului melompat ke daratan, melihat sekelilingnya tiada orang lain, katanya kepada Li-hun-nio-nio, "Lo-po-cu, bolehlah engkau naik kemari!"
"Lo-po-cu" atau si nenek tua adalah sebutan yang telah disepakati mereka di atas perahu tadi, maka sesudah mendarat jadilah mereka satu pasangan suami istri pengemis tua.
Meski ke dua mata buta, namun Leng-Jing-jing sangat apal terhadap keadaan sekitar Tong-ting-oh perlahan ia berdiri, begitu kaki bekerja, dengan ringan ia meloncat meninggalkan perahu dan hinggap di Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
samping Su-Kiam-eng, lalu menjulurkan tangan kiri dan berkata, "Mari, biarkan aku pegangi pentung bambu!"
Kiam-eng menyodorkan ujung pentung dan membawanya berangkat. Sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya bahwa kota emas yang terletak beribu li jauhnya, setiap manusia yang sehat pun akan merasakan perjalanan panjang ini sangat menakutkan, tapi sekarang sungguh lelucon yang tidak lucu.
Menjelang magrib, sampailah mereka di suatu kota kecil bernama Soa-tau, jarak dengan Tong-ting-oh cuma likuran li saja.
Memandangi cahaya senja di ufuk barat, Kiam-eng hanya tersenyum getir belaka, katanya, "Lo-po-cu dengan kecepatan jalan seperti ini, bilakah baru kita akan mencapai tempat tujuan?"
"Jangan patah semangat, pada suatu hari tentu akan tiba di sana, " ujar Leng-Jing-jing dengan tertawa.
"Tapi ketika kita sampai di sana, partai barang itu mungkin sudah bersih diangkut orang."
"Tidak bisa, " ujar Li-hun-nio-nio. "Kecuali kita berdua, siapa pula yang dapat menemukan barang-barang itu?"
"Kan masih ada seorang yang berhasil menculik Gak-Sik-lam itu?" desis Su-Kiam-eng.
"Jangan kuatir. Meski mereka berhasil menculik Gak-Sik-lam, belum pasti Gak-Sik-lam mau menceritakan di mana beradanya partai barang itu. Katakanlah Gak-Sik-lam mau memberitahukan tempat tersimpannya harta karun, pasti juga mereka tidak mampu mencapai tempat tujuan."
"Berdasarkan apa kau katakan demikian?" tanya Su-Kiam-eng.
"Mereka kan kurang seorang Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho"!" ujar Leng-Jing-jing.
"Kendati begitu, akan lebih baik juga jika kita bisa mencapai tempat tujuan dengan lebih cepat."
"Tentu, beberapa hari lagi, jika sudah jelas kita tidak dibuntuti orang, segera kita berganti cara berjalan malam dan siang istirahat"
"Lantas, malam ini kita berhenti di mana?" tanya Kiam-eng pula.
"Kamu lelah tidak?" Leng-Jing-Jing berbalik tanya.
"Baru sejauh ini lantas lelah, tentu selama hidup ini takkan mencapai tempat tujuan, " jawab Kiam-eng dengan tertawa.
"Jika begini, biarlah kita bermalam di suatu tempat dekat Tho-hoa-kang nanti, " kata Leng-Jing-jing.
"Berapa jauhnya jarak Tho-hoa-kang dari sini?" tanya Kiam-eng.
"Kira-kira 40-an li."
"Wah, jika begitu, tengah malam baru akan sampai di sana."
"Betul. Istirahat setengah malaman kan cukup bagi kita?"
Maka mereka meneruskan perjalanan. Agar sesuai dengan keadaan penyamaran mereka, perjalanan mereka dilakukan sangat lambat, bila berada di jalan yang tidak rata, Su-Kiam-eng harus pula memegangi Leng-Jing-jing sehingga sering menimbulkan pujian orang lalu dan menganggap mereka adalah pasangan pengemis yang setia.
Tengah malam sampailah mereka di Tho-hoa-kang, mereka mendapatkan sebuah kelenteng, di serambi depan kelenteng itu mereka menggelar tikar rongsokan dan mengeluarkan rangsum kering untuk tangsal perut. Kemudian mereka bersandaran di kaki dinding dan memejamkan mata.
Tak terduga, baru saja mereka memicingkan mata segera terdengar suara orang melangkah masuk kelenteng. Sedikit membuka mata, Kiam-eng melihat pendatang ini adalah seorang pengemis setengah umur dengan wajah yang jelek. Tanpa tertahan hati Kiam-eng rada tergetar.
Sesudah masuk ke dalam kelenteng, pengemis setengah umur itu berbaring di samping meja Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
sembahyang, tiba-tiba ia bersuara "huwaak" dan masuk menumpahkan darah segar.
Mendengar suara aneh itu, Leng-Jing-jing tanya dengan bisikan gelombang suara, "Sim-sin-ih, siapa itu yang datang?"
"Seorang pengemis setengah tua, " jawab Kiam-eng dengan sama lirihnya. "Ia seperti terluka parah dan tumpah darah."
"Kau lihat dia seperti sekaum kita bukan?"
"Ya, tampaknya begitu."
"Dia melihat kita tidak?"
"Belum ... Ah, dia tumpah darah lagi, biar coba aku periksa dia ..."
Bicara sampai di sini, Kiam-eng lantas berdiri mendekat ke sana, tanyanya. "Lau-te (saudara), engkau kenapa?"
Pengemis setengah tua itu kaget mendengar suara Kiam-eng, waktu ia menengadah dan melihat Kiam-eng berdandan sebagai pengemis, dari kaget ia berubah girang, cepat ia balas tanya, "Engkau orang ...
orang Kai-pang kita?"
Kiam-eng mengangguk dan menjawab, "Ya. Apakah engkau sakit?"
Pengemis itu tidak menjawab, sebaliknya cepat tanya pula. "Bagus sekali. Engkau termasuk anggota wilayah mana?"
Dengan samar-samar Kiam-eng menjawab. "Pengemis tua biasa luntang-lantung kian kemari termasuk wilayah mana memang ..."
"Siapa kepalamu?" potong pengemis itu.
Kiam-eng berlagak tidak sabar, ucapnya dengan kening berkerenyit, "Eh, kenapa tidak kau beritahukan dulu keadaan penyakitmu?"
"Aku tidak sakit, tapi terluka dalam ...", tutur pengemis itu dengan cemas. "Apakah kepalamu si Coa tua di Han-yang?"
"Betul, cuma, biasanya aku sangat jarang bertemu dengan beliau ..."
Dengan rasa sangsi pengemis itu memandangi Kiam-eng sejenak, lalu tanya pula, "Apakah kamu tidak mahir ilmu silat?"
"Jika mahir ilmu silat, tentu sudah lama aku cari hidup dengan jalan lain, " tutur Kiam-eng dengan menyengir.
"O, kiranya begitu, pantas kamu tidak kena diriku..." pengemis tua itu seperti menyadari duduknya perkara. "Biar aku beri tahu, aku adalah To-cu pertama Kai-pang kita, Hek-jiu-kai (si pengemis tangan hitam) Pang-Liat."
Kiam-eng pura-pura bersuara kaget dan cepat memberi hormat, "Ai, kiranya Pang-to-cu adanya.
Maafkan mata pengemis tua sudah lamur sehingga kurang hormat. Maaf!"
Kembali Hek-jiu-kang Pang-Liat muntah darah lagi, lalu memejamkan mata dengan napas terengah, katanya kemudian, "Aku dipukul satu kali oleh Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing, isi perutku terluka parah dan sudah dekat ajal. Sekarang ada suatu urusan penting harus aku beritahukan padamu, hendaknya dalam sepuluh hari harus kau capai kota Han-yang dan menyampaikan pesanku kepada Coa-to-cu, tahu tidak?"
Melihat luka orang memang sangat parah, hanya Sai-hoa-to asli saja yang mampu menolong jiwanya, maka cepat ia menjawab dengan hormat, "Baik, silakan Pang-to-cu memberi pesan."
"Sampaikan kepada Coa-to-cu bahwa Tiang-lo kita To-kau-seng-jiu telah dibunuh oleh Hu-kui-ong Liong-Ih-kong, peta juga sudah berganti jatuh di tangan Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing. Kemarin dia membawa tiga jago pilihan anak buahnya telah berangkat ke wilayah selatan untuk mencari harta pusaka. Diam-Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
diam aku buntuti perjalanan mereka, sayang diketahui mereka, akibatnya aku terkena pukulan maut Leng-Jing-jing dan ... "
Bicara sampai di sini, kembali ia tumpah darah darah menurut.
"Pang-to-cu terluka kena pukulan Leng-Jing-jing di tempat mana?" tanya Kiam-eng, ia tahu yang dimaksud tentu Ciok-hou-hoat yang menyamar sebagai Leng-Jing-jing itu.
Sinar mata Pang-Liat tampak buram, napas pun empas-empis, jawabnya lemah, "Aku kepergok mereka di ... dia dekat Ma-jik-tong ... "
"Di mana letak Ma-jik-tong itu?" tanya Kiam-eng pula.
Mendadak tubuh Hek-jiu-kai Pang-Liat mengeluarkan suara "pletak-pletok", yaitu suara buyarnya lwekang seorang. Ia menghela napas dan berucap lemah, "Ingat, harus ... harus lekas menyampaikan pesanku kepada Coa-to-cu dan ... dan suruh dia lekas melaporkan kepada Pang-cu..."
Habis berkata, kepalanya tergolek ke samping dan berhentilah napasnya.
Cepat Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing melompat ke samping Kiam-eng, katanya dengan tertawa, "Ang-pang-cu mereka juga terlalu, masakah mengirim jago kelas kambing seperti ini untuk ikut berebut pusaka."
"Bisa jadi ikut sertanya berebut pusaka oleh orang semacam To-kau-seng-jiu dan Hek-jiu-kai ini adalah tindakan mereka pribadi di luar tahu Ang-pang-cu mereka, " ujar Kiam-eng dengan tertawa.
"Untung engkau bukan pengemis sungguhan, kalau tidak, tentu urusan bisa gawat. Sebab It-sik-sin-kai Ang-Pek-to itu memang tidak boleh dipandang remeh."
"Jarak Ma-jik-tong dari sini tidak jauh bukan?" tanya Kiam-eng.
"Ya, mungkin cuma 30 li di depan sana. Jika kita percepat perjalanan kita, mungkin tidak lama lagi dapat menyusul Ciok-hou-hoat berempat."
"Apakah Leng-to-cu bermaksud menyusul mereka?" tanya Kiam-eng.
Leng-Jing-jing menggeleng, "Tidak, aku cuma omong sekadarnya. Kita tidak boleh mendekati mereka, bahkan berjarak makin jauh makin baik.
Ia merandek sejenak, lalu menyambung, "Sekarang boleh kau seret Hek-jiu-kai ini ke belakang kelenteng. Kita tidur lagi."
Kiam-eng membawa rakyat Pang-Liat ke belakang kelenteng, dikuburnya di lubang pembuangan sampah sekadarnya, lalu putar balik ke dalam kelenteng dan tidur di sebelah Ling-Jing-jing.
Baru saja fajar menyingsing mereka lantas bangun dan berangkat menuju ke selatan.
Sepanjang jalan tidak terjadi sesuai. Memasuki malam ke empat, selagi mereka menyusuri kaki bukit Kuda Putih, tiba tiba tidak jauh di depan berkumandang suara benturan senjata yang terputus-putus, lalu terdengar lagi.
"He, di depan ada orang lagi bertempur!" seru Kiam-eng tertarik.
"Ya, dari suaranya seperti lebih lima atau enam orang, " tukas Leng-Jing-Jing.
"Bolehkah kita melihatnya ke sana?"
"Baik, cuma jangan sampai kepergok mereka, juga tidak boleh ikut campur urusan tetek-bengek."
"Jika salah satu pihak itu Ciok-hou-hoat berempat, lalu bagaimana?"
"Sama!"
"Tempat bertempur seperti tepat di tengah jalan ini, marilah kita putar ke atas bukit, mungkin takkan dilihat mereka ... Ayo!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Ia pegang Leng-Jing-jing mengitar ke atas bukit, setelah melintasi sebuah tanjakan, diam-diam mereka menurun ke samping sebuah dinding tebing, lalu mengintai ke bawah. Terlihatlah yang sedang bertempur itu terdiri dari tiga lelaki dan empat perempuan, satu di antara ke empat orang perempuan itu tak-lain-tak-bukan adalah Ciok-hou-hoat yang menyamar sebagai Li-hun-nio-nio itu.
Ke tiga orang lelaki itu, seorang memegang pedang, dua orang lagi bersenjata ruyung, usia mereka rata-rata sudah lebih setengah abad, namun gerak-gerik mereka masih tangkas dan kuat, Ciok-hou-hoat berempat tampak tercecer hingga cuma mampu menangkis dan tidak sanggup balas menyerang.
Mendengar suara pertarungan yang sengit itu cepat Leng-Jing-jing berbisik dengan gelombang suara,
"Siapa mereka, Sim-sin-ih?"
"Kebetulan dapat aku terka dengan tepat ..." bisik Kiam-eng. "Mereka adalah Ciok-hou-hoat berempat dan tiga orang tua."
"Kau kenal mereka?"


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak kenal. Cuma dari gaya ilmu silat mereka, tampaknya mereka orang Kong-tong-pai."
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Mendingan Ciok-hou-hoat, tapi ke tiga kawannya jelas tidak dapat tahan lama lagi."
"Kedengarannya dua orang lawannya bersenjata ruyung bukan?"
"Betul!"
"Hm, mereka itu Im-yang-siang-pian!"
"Im-yang-siang-pian?" Su-Kiam-eng menegas.
"Ya, jago terkemuka Kong-tong-pai, keduanya saudara sekandung. Yang tua bernama Im-pian (ruyung negatif) Bok Tat, adiknya bernama Yang-pian (ruyung positif) Bok-Tat."
"Dan orang tua ke tiga bersenjata pedang tampaknya terlebih lihai daripada Im-yang-siang-pian!"
"Kau lihat pada kening kirinya ada sebuah uci-uci bukan?"
"Betul. Siapa dia?"
"Dia su-heng Im-yang-siang-pian, namanya It-ji-kiam (Si pedang satu huruf) Khu-Bu-peng. Hm, tak tersangka golongan Kong-tong-pai yang mengaku sebagai perguruan ternama dan berkelakuan baik juga ikut dalam barisan perebutan harta karun ini."
"Di antara ke tiga anak buah Leng-to-cu itu, siapa namanya yang pada mukanya ada panunya?"
"O, dia bernama Kui-bin-po (si nenek muka setan) Ni-Jai-hoa, dia termasuk salah seorang jago pilihan anak buahku. Memangnya kenapa?"
"Selekasnya dia akan kalah!"
"Oo ... "
"Apakah perlu aku turun ke sana untuk membantu mereka?" tanya Kiam-eng.
"Tidak!"
"Leng-to-cu sampai hati menyaksikan mereka gugur dalam pertempuran?"
"aku kira tidak segawat itu. Bila mereka tidak sanggup tertahan, tentu mereka dapat kabur."
"Hm, aku kira mereka tak bisa kabur lagi!"
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar suara "trang" satu kali, senjata Kui-bin-po Ni-Jai-hoa terbentur mencelat oleh ruyung Yang-pian Bok-Tian. Sembari menjerit kaget Ni-Jai-hoa melompat mundur, akan tetapi agak kasip, pundaknya tersabet ruyung kontan ia jatuh terduduk.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sekali berhasil, serentak Yang-pian Bok-Tian berputar, ruyung menyabet lagi kedua perempuan yang mengerubut Im-pian-Bok-Tat.
Kedua orang perempuan itu berusia 40-an, seorang cacat hidung, mukanya buruk menakutkan. Seorang lagi bibir sumbing sehingga sehingga kelihatan barisan giginya, wajahnya tidak banyak lebih menarik daripada lawannya.
Mereka mengerubut Bok-Tat dan sekadar dapat mengimbangi, sekarang ketambahan Bok-Tian, seketika mereka terdesak di bawah angin, tampaknya kekalahan mereka hanya tinggal menunggu waktu saja.
Sementara itu It-ji-kiam yang satu melawan satu menghadapi Ciok-hou-hoat sudah dapat melihat pihak sendiri pasti akan menang, tentu saja ia tambah girang, katanya dengan tergelak, "Haha, Leng-to-cu, aku bilang biarpun emas sangat berharga, tapi iwa terlebih bernilai. Aku kira lebih baik serahkan saja peta pusaka itu, kalau tidak, bisa jadi jiwamu pun akan amblas."
Ciok-hou-hoat yang menyamar sebagai Leng-Jing-jing itu diam saja dan tetap bertempur dengan tekun, ia menggunakan senjata tongkat berkepala naga seperti Leng-Jing-jing, gerak serangannya lincah, tenaga juga cukup kuat. Cuma sayang ke dua matanya buta, betapapun kurang menguntungkan. Maka setelah berlangsung sekian lama, biarpun belum lagi kalah, tapi setiap orang dapat melihat tiada kesempatan menang baginya.
Melihat kedua orang perempuan itu segera akan kalah, tiba-tiba Kiam-eng teringat suatu soal tanyanya kepada Leng-Jing-jing yang berada di sebelahnya dengan bisikan gelombang suara, "Leng-to-cu, jika Ciok-hou-hoat itu menyamar sebagai dirimu, ketika bertempur dengan musuh seharusnya ia pun perlu menggunakan granat tabir asap."
"Betul, " jawab Leng-Jing-jing dengan gelombang suara yang sama lirihnya. "Mungkin begitu musuh muncul segera mereka bertempur sehingga Ciok-hou-hoat tidak mendapat kesempatan untuk menggunakan granat tabir asapnya."
"Granat tabir asap Leng-to-cu sungguh lihai, sampai Sam-koai yang kosen itu pun kena kau kerjai, " ujar Kiam-eng. "Cuma aku rasakan, bilamana granat tabir asap Leng-to-cu itu dapat ditambahi lagi dengan obat bius, begitu lawan mencium asapnya seketika jatuh kelengar, cara demikian kan lebih hebat."
"Hal ini pun pernah aku pikirkan, " ujar Leng-Jing-jing. "Tapi kemudian aku pikir kurang praktis, maka tidak pernah aku buat granat jenis demikian."
"Kenapa kau bilang kurang praktis, apa maksudnya" tanya Kiam-eng.
"Kau tahu kedua mataku buta, ke mana pun perlu dilayani dan mendapat bantuan orang. Jika aku buat granat tabir asap yang dapat membuat lawan pingsan, bilamana aku gunakan, bukankah anak buahku sendiri juga akan menjadi korban. Inilah yang aku maksudkan kurang praktis."
"Kabarnya Sam-bi-sin-ong (kakak sakti tiga macam bau) juga mahir membuat Yan-mo-tan (granat tabir asap), entah selain membuat granat yang mengandung tiga macam bau harum, busuk dan pedas, adalah pernah dia membuat juga granat tabir asap yang dapat membuat orang pingsan"
"Entah, dia kan tokoh aneh dunia persilatan yang beroperasi sendirian, tentu saja dia dapat membuat senjata khas semacam itu."
"Wah, anak buahmu yang cacat hidung itu, tampaknya segera akan kaok!" seru Kiam-eng tiba-tiba.
"Blang" tahu-tahu pinggang perempuan hidung gerowong itu kena sabet ruyung Im-pian Bok-Tat, menyusul tubuh lantas terbanting, serupa Kui-bin-po Ni-Jai-hoa, meski tidak binasa, tapi tidak sanggup merangkak bangun lagi.
Kembali 20 30 jurus berlangsung lagi, perempuan bibir sumbing akhirnya juga kecundang, dengkul kanan tersabet ruyung Bok-Tian, saking sakitnya sampai senjata dibuangnya, lalu menungging sambil menjerit dan memegangi dengkul.
Dengan demikian tinggal Li-hun-nio-nio gadungan saja alias Ciok-hou-hoat, melihat sang su-heng belum lagi berhasil menundukkan lawan, segera Im-yang-siang-pian memburu ke sana sambil membentak,
"Leng-Jing-jing, ke tiga anak buahmu sudah terluka, jika kamu tidak menyerah, segera kami membunuh mereka lebih dulu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Mendengar ucapan demikian, mendadak Ciok-hou-hoat putar tongkat dan melompat mundur, jengeknya,
"Baik, biar nyonya besar mengaku kalah. Tapi setelah aku serahkan peta, apakah kalian menjamin takkan mengganggu jiwa kami?"
"Tentu saja kami jamin, " jawab It-Ji-kiam Khu-Bu-peng. "Jika kami berniat membinasakan kalian, sejak tadi kedua su-te ku ini sudah turun tangan."
"Hm, kalian tidak membunuh mereka bertiga, mungkin sengaja kalian atur untuk memancing nyonya besar supaya menyerahkan peta. Setelah aku berikan peta, lalu kalian akan turun tangan keji, begitu bukan?"
"Tidak, tujuan kami adalah peta dan bukan membunuh, " sahut It-ji-kiam Khu-Bu-peng.
"Apakah kalian tidak gentar bilamana aku tuntut balas kelak?" tanya Ciok-hou-hoat. "Tidak takut, "
jawab Khu-Bu-peng tegas, "Bicara secara blak-blakan, dahulu kami mengira Leng-to-cu mempunyai kung-fu yang luar biasa tapi setelah kami uji tadi baru diketahui kepandaianmu juga cuma sekian saja.
Dengan kung-fu mu ini, kalau ingin menuntut balas pada kami, hah, takkan berlebihan jika aku katakan cuma mimpi belaka, "
"Baik, sekarang akan aku serahkan peta kepada kalian, tapi tidak lebih dan sebulan aku bersumpah pasti akan aku rebut kembali." kata Ciok-hou-hoat.
Habis bicara ia terus mengeluarkan gulungan peta palsu dan dilemparkan kepada Khu-Bu-peng.
Cepat It-ji-kiam Khu-Bu-peng menjulurkan tangan hendak menangkap gulungan peta itu. Tak tersangka pada saat itu juga sekonyong-konyong gulungan peta itu seperti terbentur oleh sesuatu benda dan mendadak melenceng terbang ke samping kanan.
Dalam sekejap itu semua orang dapat melihat jelas ada orang menyambitkan semacam senjata rahasia kecil sebangsa jarum dari kegelapan sebelah kiri dan tepat mengenai gulungan peta sehingga membelok ke kanan.
Air muka It-ji-kiam Khu-Bu-peng dan Im-yang-siang-pian berubah hebat, berbareng mereka membentak dan serentak melompat ke sana untuk memburu gulungan peta.
Namun mereka tetap terlambat satu langkah, tampaknya peta sudah hampir tersusul, tapi tahu-tahu keburu ditangkap seorang lain.
Orang itu berusia hampir 50-an, bertubuh tinggi kurus, mukanya tirus serupa kera dan pucat pasi seperti kertas, tapi dihias sepasang alis tebal lurus ke atas sehingga terlihat serupa setan jangkungan.
Setelah menangkap gulungan peta dan dimasukkan ke dalam baju, dia tidak lantas kabur melainkan tetap berdiri tegak di tempat semula.
Sebaliknya setelah melihat jelas wajah lawan, seketika It-ji-kiam Khu-Bu-peng dan Im-yang-siang-kiam serupa melihat hantu benar-benar, cepat mereka menahan gerakan memburu maju tadi dan tidak berani sembarangan menerjang lagi.
Air muka Khu-Bu-peng sebentar hijau sebentar pucat, katanya kemudian dengan menyengir, "Aha, aku kira siapa, kiranya Bok-tiau-bu-siang Yan-tai-hiap adanya ... "
Mendengar sama itu, terkesiap juga hati Su-Kiam-eng yang sembunyi di balik tebing sana, keluhnya,
"Celaka! Rupanya ke dua setan iblis Kui-kok-ji-bu-siang juga ikut dalam perebutan harta karun ini."
Apa yang disebut Kui-kok-ji-bu-siang atau dua setan dari lembah hantu itu terdiri dari dua bersaudara, yang tua bernama Yau-It-lim berjuluk Bok-tiau-bu-siang si setan ukiran kayu, yang muda bernama To-Sin berjuluk Ni-kik-bu-siang si setan buatan lempung. Keduanya terhitung tokoh terkemuka kalangan hitam.
Perawakan keduanya juga berlainan, yang satu jangkung, yang lain pendek gemuk, usia mereka tampaknya belum ada 50-an, namun sebenarnya sudah lebih 80, keduanya sudah terkenal sejak lebih 50
tahun yang lalu.
Malahan nama buruk mereka juga melebihi Bong-to-jin, Tam-thau-to dan Hiau-su-sing bertiga, tapi lantaran mereka malas bergerak dan cuma gemar makan dan tidur, dalam setahun hanya satu kali saja meninggalkan sarang setan mereka untuk merampok sehari-hari cuma tiduran saja di sarangnya, maka Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
mereka diberi julukan sebagai setan patung ukiran kayu dan buatan lempung.
Apalagi beberapa tahun terakhir ini mereka tidak lagi muncul di dunia kang-ouw, maka lambat-laun nama mereka pun dilupakan orang. Tak terduga malam ini mereka bisa muncul mendadak di sini, sungguh boleh dikata maha sial bagi It-ji-kiam Khu-Bu-peng bertiga.
Biasanya ke dua setan jangkung dan pendek itu selalu berada bersama ke mana pun pergi, maka begitu It-ji-kiam menyebut nama Yau-tai-hiap tadi segera dari sana berkumandang suara tertawa aneh terkekeh-kekeh, menyusul si setan buatan lempung To-Sin pun muncul dengan langkah yang mirip goyang sampan.
Perawakan To-Sin ini justru berlawanan dengan Yau-It-lim yang jangkung itu, tubuhnya pendek, paling-paling cuma satu meter saja, perutnya gendut mukanya gemuk penuh daging lebih dan berwarna hitam, mata besar dan mulut lebar, sungguh buruk sekali dan aneh.
Ia berdiri beberapa meter di belakang It-ji-kiam Khu-Bu-peng bertiga, mengambil posisi menggencet dari muka dan belakang bersama Yau-It-lim.
Dalam pada itu Bok-tiau-bu-siang Yau-it-lim yang berdiri diam dengan wajah dingin lagi berkata, "Khu-Bu-peng, kau mau bicara apa lagi?"
Meski Khu-Bu-peng sangat jeri terhadap ke dua hantu itu, namun penasaran juga baginya bila peta dirampas orang begitu saja. Dengan menyengir terpaksa ia menjawab, "Cara kalian bertindak ini terasa kurang bersahabat, dengan susah payah kami bersaudara baru berhasil mendapatkan peta ... "
"Tidak perlu omong kosong." potong si hantu buatan lempung To-Sin dengan tertawa aneh. "Ke dua pihak kita pada hakikatnya bukan sahabat segala, dengan sendirinya dapat bertindak secara kurang bersahabat."
Khu-Bu-peng merasa malu sehingga mukanya merah padam, dengan gemas ia balas mendengus, "Hm, jika demikian cara bicara To-cian-pwe, itu menandakan urusan ini tidak dapat diselesaikan secara damai?"
"Coba berikan penjelasan apa yang kau maksudkan diselesaikan secara damai?" tanya To-Sin dengan mengunjuk rasa tidak mengerti.
"Harta karun yang tiada pemiliknya, barang siapa ikut melihatnya mendapat bagian, " ucap It-ji-kiam Khu-Bu-peng. "Tegasnya kami bersedia bekerja sama dengan kalian untuk mencari kota emas itu, entah bagaimana pendapat kalian?"
"Tidak, " jawab To-Sin tegas. "Orang yang berukuran serupa dirimu saja sama sekali belum memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan kami."
Yang-pian Bok-Tian berwatak berangasan, tentu saja ia tidak tahan oleh ucapan To-Sin, dengan murka ia membentak, "Baik, jika To-cian-pwe memandang hina kami, biarlah sekarang juga aku belajar kenal dengan kepandaianmu!"
"Seharusnya begitu, " ucap To-Sin dengan tertawa lucu. "Bila dapat mengalahkan kami berdua, peta tetap akan menjadi milik kalian."
Yang-pian Bok-Tian tidak banyak omong lagi mendadak ia melangkah maju, ruyung terus menyabet sambil membentak, "Terima serangan!"
Ia berjuluk Yang-pian, ruyung positif, ini menandakan dia mengutamakan kekerasan tenaga. Ternyata serangannya sekarang memang sangat kuat, sedikitnya bertenaga lima atau enam ratus kati.
Namun To-Sin tidak menangkis, juga tidak mengelak, serangan lawan dianggapnya seperti tidak ada, ia tetap berdiri tegak tanpa bergerak.
"Blang, " dengan tepat ruyung Bok-Tian mengenai pinggang lawan, tapi rasanya seperti mengenai gumpalan barang yang lunak, sama sekali To-Sin tidak bergeming, sebaliknya Bok-Tat tergetar oleh daya tolakan lawan sehingga terhuyung-huyung ke belakang.
Kejadian ini membuat Khu-Bu-peng terkejut cepat ia berseru "Berhenti dulu, Sam-su-te, dengarkan ucapanku!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sebenarnya dengan nekat Bok-Tian hendak menyerang pula, dengan penasaran ia menoleh dan tanya
"Ada petunjuk apa, Su-heng?"
Dengan prihatin Khu-Bu-peng berkata, "Yau dan To berdua cian-pwe tidak dapat kita tandingi, biarlah kita mengalah saja!"
"Kenapa Su-heng berkata demikian, " seru Bok-Tian dengan muka merah padam. "Manusia mengutamakan kehormatan, jika kita mengalah begini saja, apakah takkan dijadikan bahan tertawaan orang?"
"Tidak, " jawab Khu-Bu-peng tegas, "Yau dan To berdua cian-pwe bukanlah tokoh biasa, jika kita mengalah kepada mereka bukanlah sesuatu yang memalukan."
Yang-pian Bok-Tian juga menyadari kung-fu mereka bertiga masih selisih jauh dibandingkan kedua setan iblis itu, jika pertarungan diteruskan pihaknya pasti akan berakhir dengan terluka atau binasa. Terpaksa ia bertiga penasaran dan menjawab, "Baiklah, engkau adalah su-heng, terpaksa aku harus menurut!"
Khu-Bu-peng lantas memberi hormat kepada Ji-bu-siang, katanya, "Nah, kami menyadari bukan tandingan kedua cian-pwe, biarlah kami mengalah suka rela, semoga kedua cian-pwe selekasnya menemukan kota emas itu."
Habis berkata, ia simpan kembali pedangnya dan memberi tanda kepada Im-yang-siang-pian, lalu hendak tinggal pergi.
Mendadak Bok-tiau-bu-siang Yau-It-lim yang jangkung itu membentak, "Kembali sini!"
It-ji-kiam Khu-Bu-peng menyangka pihak lawan merasa terharu oleh sikapnya yang suka mengalah, maka sekarang mau memberi sedikit bagian padanya, maka dengan girang ia putar balik dan memberi hormat, tanyanya dengan tertawa "Yau-cian-pwe ada petunjuk apa?"
"Ingin aku tanya padamu, peta ini sudah melalui beberapa tangan sebelum ini?" tanya Yau-It-lim dengan kaku.
"Sudah empat kali berganti pemegang, " jawab Khu-Bu-peng dengan tersenyum. "Pertama dapat dibeli oleh Hu-kui-ong Liong-Ih-kong, kemudian dirampas Bu-lim-sam-koai, tidak sampai setengah hari direbut lagi oleh Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing dan sekarang peta itu jatuh di tangan Yau-cian-pwe."
"Jika begitu, tentunya kau pun tahu sekarang di sekitar sini masih bersembunyi tidak sedikit orang yang sedang mengincar peta ini." ucap Yau-It-lim.
"Betul. Tapi dengan kung-fu ke dua Cian-pwe yang sudah sempurna, siapa lagi yang berani merebut peta dengan ke dua Cian-pwe?" ujar Khu-Bu-peng.
"Walaupun betul begitu, tapi kalau mereka tidak coba-coba mungkin juga belum rela mengundurkan diri."
"Apakah ... apakah maksud Yau-cian-pwe menghendaki bantuan kami?" tanya Khu-Bu-peng dengan tertawa.
"Betul, ingin aku pinjam kepala kalian bertiga sekadar menyembelih ayam untuk menakuti kera, biar orang-orang itu tahu diri dan cepat enyah!"
Keruan Khu-Bu-peng terkejut, tanpa terasa ia menyurut mundur dua langkah, katanya dengan menyengir, "Ah, jangan bergurau, Yau-cian-pwe. Kami kan sudah rela mengalah, masakah belum cukup"!"
"Belum cukup, " Jengek Yau-It-lim. "Aku justru ingin membuat setiap orang yang mengincar peta ini supaya paham, barang siapa berani merecoki kami berdua, bagi mereka hanya ada satu jalan, yaitu jalan kematian."
Pucat pasi muka Khu-Bu-peng, sedapatnya ia menyengir dan berkata, "Dengan perkataan Yau-cian-pwe ini, apakah sengaja hendak bermusuhan dengan Kong-tong-pai kami?"
Ia menonjolkan nama Kong-tong-pai, maksudnya memperingatkan lawan agar jangan sembarangan bertindak, "kalau kami bertiga dibunuh, kelak segenap tokoh Kong-tong-pai pasti akan menuntut balas."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Siapa tahu Bok-tiau-bu-siang Yau-It-lim justru tidak gentar sedikit pun, sebaliknya ia terbahak dengan suaranya yang serupa gembreng pecah, katanya, "Hahaha, jangan kau gunakan nama Kong-tong-pai untuk main gertak, hari ini sekalipun ketua Kong-tong-pai kalian datang sendiri di sini juga tetap kami bunuh tanpa ampun!"
Habis berkata, dengan muka masam ia terus melangkah ke depan.
Khu-Bu-peng menyadari urusan tidak dapat didamaikan lagi, cepat ia melolos pedang dan siap tempur dengan mati-matian.
Berbareng Im-yang-siang-pian juga membalik tubuh menghadapi Yau-It-lim dan bermaksud mengeroyoknya.
Tak terduga, pada saat pertarungan yang sengit segera meletus itu, tiba-tiba terdengar suara mendesir angin menggema di sekeliling situ. Dalam sekejap saja muncul sepuluh orang dan merubung dari empat penjuru.
Ke sepuluh orang itu terbagi menjadi tiga kelompok. Yang mendesak maju dari jurusan timur terdiri dari tiga orang kakek berbaju hijau, semuanya berpedang. Yang datang dari barat adalah tiga orang kakek barbaju biru, senjata mereka terdiri dari satu pedang dan dua golok.
Ada pun yang muncul dari hutan di lereng bukit sana adalah empat kakek berbaju hitam, senjata mereka terdiri dari pedang, seruling dan kipas. Wajah ke sepuluh kakek berbeda-beda, hanya ada satu persamaan, yaitu pelipis muka sama menonjol dan sinar mata sama mencorong terang jelas mereka bukan orang biasa.
Air muka Ji-bu-siang rada berubah juga demi melihat jelas kedatangan ke sepuluh kakek itu, Yau It-lim mengangkat alis dan mendengus, "Huh, bagus sekali! Tak terduga ke tiga ketua Hoa-san-pai, Tiam-jong-pai dan Thai-kek-bun juga memburu kemari dengan tokoh-tokoh perguruannya. Bagus, bagus sekali.
hehehe ..."
Memang betul, ke sepuluh kakak yang muncul ini, tiga di antaranya adalah ketua Hoa-san-pai, Tiam-jong-pai dan Thai-kek-bun.
Ketua Hoa-san-pai bernama Oh-Lok-thian berjuluk "Poan-ti-lo-jin", si kakek setengah mengerti. Sedang ketua Tiam-jong-pai adalah Bu-si-soh Lau-Kong-liang, si kakek tanpa janggut.
Adapun ketua Thai-kek-bun bernama Teng-Go berjuluk Kian-kun-jiu, si tangan sakti.
Sekarang yang paling gembira dengan sendirinya ialah It-ji-kiam Khu-Bu-peng bertiga, sebab Kong-tong-pai ada hubungan erat dengan Hoa-san-pai, Tiam-jong-pai dan Thai-kek-bun. Sekarang para kakek itu muncul pada saat pertarungan berlangsung, jelas itu menandakan para kakek itu ada maksud membantu mereka. Dan kalau 13 orang melawan Ji-bu-siang tentu saja kelebihan.
Benar juga, begitu selesai ucapan Bok-tiau-bu-siang Yau-It-lim tadi, segera ketua Hoa-san-pai, Poan-ti-lo-jin Oh-Lok-thian menanggapi, "Eh, ada apa" Memangnya kami tidak boleh datang kemari?"
Kakek ini berjuluk "Poan-ti" alias setengah mengerti, soalnya dia memang rada pikun, terhadap urusan apa pun selalu cuma setengah paham dan sedikit mengerti, namun dalam hal ilmu silat justru paling tinggi dalam perguruannya, sebab itulah ia diangkat sebagai ketua setelah ketua angkatan yang lalu terbunuh di Hwe-liong-kok.
Kembali Yau-It-lim terkekeh terhadap ucapan Oh-Lok-thian, dengusnya, "Boleh, tentu saja boleh datang.
Cuma kami merasa heran, mengapa kalian Hoa-san-pai, Tiam-jong-pai dan Thai-kek-bun bisa bergabung menjadi satu?"
Dengan tertawa Poan-ti-lo-jin Oh-Lok-thian menjawab, "Masa kamu tidak paham" Bergabungnya ke tiga perguruan kami jelas akan mendapatkan peta pusaka, kalau tercerai berarti satu per satu akan kalian gempur hancur, sebab itulah kami perlu bergabung."
"Tetapi setelah peta dapat kalian rebut, lalu cara bagaimana akan kalian atur?" tanya Yau-It-lim dengan tertawa licik.
"Sangat sederhana sekali, " ujar Poan-ti-lo-jin. "Bila kota emas sudah kami temukan, akan kami bagi sama rata."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Yang aku maksudkan adalah setelah peta dapat kalian rebut, lalu siapa yang akan memegangnya?"
"Mana suka! Siapa pun yang memegangnya tidak menjadi soal!"
Yau-It-lim sengaja mengeluarkan peta, katanya dengan tertawa, "Sebabnya kalian menunjuk pasti satu orang. Sebab sekaligus kalian datang sepuluh orang, perkelahian yang pasti kalah tidak nanti aku lakukan, maka hendak aku serahkan peta ini. Tapi entah kepada siapa harus aku serahkan?"
Terbeliak mata Poan-ti-lo-jin Oh-Lok-thian, dengan girang ia menjawab, "Boleh serahkan saja kepadaku.
Biar aku yang menyimpannya, tanggung aman!"
Melihat wajah Poan-ti-lo-jin yang memperlihatkan mata rakus itu, ketua Tiam-jong-pai, si kakek tanpa janggut Lau-Kong-liang, merasa kuatir, cepat ia ikut bicara, "Tidak, siapa yang menyimpan peta itu perlu dirundingkan lebih dulu!"
Poan-ti-Lo-jin melengak, ia tanya Lau-Kong-liang, "Eh, masakah Lau-ciang-bun-jin sangsi terhadap diriku?"
"Bukan sangsi, " sahut Lau-Kong-liang dengan tertawa yang dibuat-buat, "Agar adil, aku kira peta itu tidak boleh dipegang satu orang saja ..."
"Tapi peta hanya ada satu, kalau tidak dipegang oleh satu orang saja, bagaimana caranya beberapa orang dapat memegang sehelai peta?" tanya Poan-ti-lo-jin.
"Ini soal mudah, " ujar Lau-Kong-liang, si kakek kelimis alias tanpa janggut, "Kita dapat menggunting peta itu menjadi empat potong, setiap perguruan kita memegang satu bagian."
Chapter 5. Rahasia 180 Patung Mas
Bok-tiau-bu-siang hanya bermaksud memecah belah mereka dan tidak berniat menyerahkan peta pusaka, kini saran yang dikemukakan Bu-si-soh alias kakek tak berjanggut itu ternyata sangat adil, rasanya akal mengadu domba sendiri bisa gagal, tentu saja ia kuatir, cepat ia menanggapi "wah, cara begitu kurang aman. Jarak kota emas itu dari sini ada beberapa ribu li jauhnya, dalam hal ini bukan mustahil bisa terjadi lagi sesuatu, bilamana salah satu bagian peta itu hilang, kan bisa ke tiga bagian menjadi kertas tak berguna" Maka aku kira akan lebih aman bilamana diserahkan untuk disimpan Oh-ciang-bun-jin saja."
Habis berkata ia benar-benar melemparkan peta kepada Poan-ti-lo-jin. Siapa tahu, ketika peta itu ditangkap oleh Poan-ti-lo-jin, mendadak Ni-kik-bu-siang berteriak.
"Eh, Oh-ciang-bun-jin hendaknya jangan lupa pada janji kita ... Ayo, lekas angkat kaki!"
Mendengar seruan itu, orang-orang Tiam-jong-pai dan Thai-kek-pai mengira di antara Poan-ti-lo-jin dan Ji-bu-siang sudah ada persekongkolan lebih dulu, mereka menjadi kuatir peta pusaka akan dibawa kabur, serentak mereka menubruk ke arah Poan-ti-lo-jin.
Keruan Poan-ti-lo-jin terkejut, cepat ia melompat mundur.
Langkah demikian semakin menimbulkan curiga orang banyak, semuanya tambah yakin si kakek berniat tidak baik, mereka menerjang maju terlebih dahsyat.
Selagi keadaan berubah kacau, tiba-tiba It-ji-kiam Khu-Bu-peng berteriak, "He, jangan kalian tertipu, itu dia kedua Bu-siang telah kabur!"
Dengan bingung semua orang berhenti bertempur dan berpaling ke sana, benar juga terlihat Ji-bu-siang sudah menghilang di kejauhan.
Kian-kun-jiu Ting Go, ketua Thai-kek-bun, merasa bingung oleh ucapan Khu-Bu-peng. tanyanya, "Apa katamu, Khu-tai-hiap?"
"Peta yang diberikan Bok-tiau-bu-siang kepada Oh-ciang-bun-jin itu pasti bukan peta tulen, hendaknya kalian jangan tertipu!" seru It-ji-kiam Khu-Bu-peng.
Seketika semua orang merasa sadar, serentak mereka berpaling lagi dan berkata terhadap Poan-ti-lo-jin yang mereka kepung itu, "Harap Oh-ciang-bun-jin lekas periksa peta itu, coba apakah peta tulen atau palsu?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Cepat Poan-ti-lo-jin membentang gulungan kertas yang diterimanya dari lemparan Ni-kik-bu-siang tadi, sekali pandang ternyata cuma kertas kosong belaka tanpa satu huruf pun, kontan ia buang kertas itu sambil memaki, "Bangsat, kiranya cuma sehelai kertas pembersih pantat belaka!"
Baru sekarang semua orang yakin bahwa mereka memang tertipu oleh Ji-bu-siang. Bu-si-soh, si kakek kelimis mengentak kaki dan mengomel, "Oh-ciang-bun-jin juga kurang gesit tadi waktu menerima, gulungan kertas itu kenapa tidak segera kau periksa dulu?"
Poan-ti-lo-jin mendelik, jawabnya dengan gemas "Periksa dulu apa" Memangnya kalian memberi kesempatan padaku untuk memeriksanya?"
Segera Ting-Go tanya Khu-Bu-peng, "Khu-tai-hiap melihat mereka lari ke jurusan mana?"
"Ke sana," jawab Khu-Bu-peng sambil menuding ke selatan.
Tanpa ayal Ting-Go mendahului lari ke sana sembari berseru, "Ayolah lekas kita kejar dan jangan cuma omong kosong saja di situ!"
Segera semua orang ikut lari ke sana, serupa segerombolan anjing hutan kelaparan saja, dalam sekejap mereka pun menghilang di tengah remang senja.
Di tempat yang ribut tadi kini hanya tersisa seorang Li-hun-nio-nio gadungan dan Kui-bin-po Ni-Jai-hoa bertiga yang terluka parah itu.
Melihat Poan-ti-lo-jin dan lain-lain sudah tidak kelihatan lagi, Su-Kiam-eng berkata kepada Li-hun-nio-nio dengan tertawa, "Akal Leng-to-cu telah berhasil dengan baik, selanjutnya ..."
Mendadak Li-hun-nio-nio Leng-Jing-Jing menjawilnya sambil mendesis, "Ssst, jangan bersuara, ada orang lari kembali ke sini!"
Kiam-eng terkejut, waktu memandang ke sana, benar juga terlihat dua sosok bayangan orang lagi berlari tiba dari arah timur, hanya sekejap saja sudah sampai di depan Li-hun-nio-nio.
Yang datang ini ternyata Bok-tiau dan Ni-kik-bu-siang yang baru saja kabur di tengah kekacauan tadi.
Li-hun-nio-nio hanya dapat mendengar ada orang datang, tapi sukar mengetahui siapa pendatang ini, maka ia coba tanya Su-Kiam-eng dengan gelombang suara, "Sim-sin-ih, siapakah kedua orang ini?"
"Ji-bu-siang," jawab Kiam-eng lirih, "entah mengapa mereka putar balik lagi."
"Hm, ternyata tidak terlepas dari dugaanku..." jengek Li-hun-nio-nio.
"Oo, jadi sebelumnya Leng-to-cu telah menduga mereka akan putar balik?" tanya Su-Kiam-eng dengan tercengang.
"Betul, mau-tak-mau mereka pasti akan putar balik."
"Sebab apa?" tanya Kiam-eng.
"Lihat saja kelanjutannya, tentu kamu akan tahu sendiri," ujar Li-hun-nio-nio.
Sementara itu Bok-tiau-bu-siang berkata terhadap Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing palsu dengan tertawa,
"Leng-to-cu, luka ke tiga anak buahmu ini tidak ringan, kalau tidak diobati dengan baik, mungkin mereka tidak mampu pulang ke Li-hun-to."
"Hm, setelah kabur kalian putar balik lagi, jelas ada alasannya, lebih baik katakan terus terang saja,"
dengus Leng-Jing-jing palsu.
"Bagus, Leng-to-cu memang orang yang suka bicara blak-blakan," ujar Bok-tiau-bu-siang dengan terkekeh. "Sebab itu aku pun tidak perlu ber tele-tele. Nah, sebabnya kami putar balik lagi ke sini adalah ingin minta satu orang terhadap Leng-to-cu."
"Siapa yang kau minta?" tanya Leng-Jing-jing gadungan.
"Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho!" jawab Bok-tiau-bu-siang.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Hehe, jadi dia yang kau minta!" jengek Li-hun-nio-nio palsu dengan sikap angkuh.
"Pokoknya begini," sambung Bok-tiau-bu-siang tak sabar. "Apabila Leng-to-cu mau bicara secara jelas, maka kami pun akan membagi sedikit kebaikan untukmu, kalau tidak ... "
"Bagaimana kalau tidak?" tanya Leng-Jing-jing palsu.
"Aku kira Leng-to-cu tentu sudah tahu watak kami berdua, buat apa tanya lagi?" sahut Bok-tiau-bu-siang dengan tertawa.
"Apa pula membagi sedikit kebaikan yang kau maksudkan?"
"Jika Leng-to-cu mau menerangkan ke mana perginya Sai-hoa-to, maka kami akan menyembuhkan luka ke tiga anak buahmu ini kelak bila kota emas itu kami temukan, tentu akan kami bagi pula sedikit rejeki untukmu."
"Sedikit itu berapa?" tanya Leng-Jing-jing gadungan.
Bok-tiau-bu-siang berpikir sejenak, lalu berkata, "Akan kami bagi 10 kati emas murni untukmu."
"Huh, 10 kati emas murni?" jengek Li-hun-nio-nio gadungan dengan sikap meremehkan. "Hm, coba kau terka berapa banyak bagian Sai-hoa-to yang kau janjikan untuk dia?"
"Memangnya berapa banyak bagian yang kau janjikan?" tanya Bok-tiau-bu-siang.
"Satu per sepuluh, tahu!" jengek Leng-Jing-jing palsu.
"Satu per sepuluh itu sama dengan berapa?" tanya Bok-tiau-bu-siang pula dengan ragu.
"Apabila kota emas itu terdapat simpanan emas murni satu laksa kati, itu berarti dia akan mendapat bagian seribu kati," tutur Li-hun-nio-nio palsu.
Bok-tiau-bu-siang sangat tertarik, tanyanya pula, "Apa betul di kota emas itu terdapat emas sebanyak itu?"
"Di kota emas itu ada 180 buah patung emas ditambah lagi banyak bangunan yang terbuat dari emas.
Aku kira harta karun di sana tidak terbatas cuma satu laksa kati."
"Wah, jika betul terdapat emas sebanyak itu biarlah aku bagi juga satu per sepuluh untuk Leng-to-cu,"
seru Bok-tiau-bu-siang dengan girang.
"Cukup baik jumlah ini." ujar Li-hun-nio-nio palsu. "Tapi cara bagaimana supaya aku percaya kepada janjimu?"
"Leng-to-cu jangan kuatir, usia kami rata-rata sudah lebih 80 tahun, masa hidup kami sudah tidak panjang lagi, jumlah emas sebanyak itu tidak mungkin habis kami pakai, masakah kami perlu ingkar janji?"
"Baiklah, jika begitu, harap kalian menyembuhkan dulu ke tiga orang anak buahku."
"Dan di manakah Sai-hoa-to itu?" tanya Bok-tiau-bu-siang.
"Sembuhkan dulu mereka, dengan sendirinya akan aku beritahu nanti."
"Di sini tidak leluasa untuk mengobati mereka, marilah kita mencari suatu tempat lain ..."
"Jika begitu silakan bawa mereka," tukas Li-hun-nio-nio palsu.
Bok-tiau-bu-siang lantas mengangkat Kui-bin-po Ni-Jai-hoa, sedang Ni-kik-bu-siang mengangkat ke dua orang lainnya, segera mereka berangkat menuju ke utara.
Su-Kiam-eng menyaksikan menghilangnya mereka di kejauhan, lalu berdiri dan berkata dengan tertawa,
"Hehe, tak tersangka Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho kini menjadi satu bagian daripada peta pusaka itu."
Li-hun-nio-nio juga berdiri, katanya, "Tapi sekarang kamu harus tunduk di bawah pimpinanku, kalau tidak, racun dalam perutmu tentu akan mencabut nyawamu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul juga ucapanmu," ujar Kiam-eng dengan menyengir. "Dan sekarang kita pun boleh berangkat."
Setelah turun dari bukit itu, kedua orang tetap berangkat ke depan.
"Malam ini kita jangan berhenti, harus menempuh perjalanan dan baru istirahat nanti menjelang fajar, mulai besok, sedikitnya kita harus menempuh seratus li dalam semalam," kata Li-hun-nio-nio.
"Dengan cara demikian, kira-kira kapan baru akan mencapai tempat tujuan?" tanya Kiam-eng.
"Asalkan tidak terjadi hal-hal di luar dugaan kira-kira dua setengah bulan dapat tiba di sana," jawab Leng-Jing-jing.
"Setiba di sana, dengan cara bagaimana akan kau temukan kota emas itu?"
"Dengan sendirinya mencarinya menurut petunjuk peta."
"Tetapi, untuk itu kan perlu melihat dengan mata"!" Kiam-eng menegas.
"Hehe, kau maksudkan aku buta dan tidak dapat melihat. Memangnya orang lain juga tidak bisa melihat misalnya anak buahku?"
"Dan mataku takkan berguna lagi bagimu?" gumam Su-Kiam-eng dengan menyesal.
"Matamu tidak dapat dipercaya," ujar Li-hun-nio-nio dengan tertawa.
"Leng-to-cu kan sudah menaruh racun dalam perutku apa pula yang kau kuatirkan?"
"Bagimu cukup menunggu mengambil satu per sepuluh bagianmu, untuk apa mesti ikut melihat peta segala?"
"Soalnya dahulu pernah beberapa kali aku kunjungi daerah selatan yang masih hutan belukar itu untuk mencari bahan obat, apabila Leng-to-cu mau memperlihatkan peta itu padaku, bisa jadi dengan cepat akan dapat aku temukan kota emas itu."
"Baik, setiba di daerah selatan akan aku perlihatkan peta itu padamu," kata Li-hun-nio-nio.
Sembari bicara sambil berjalan, tanpa terasa ufuk timur sudah mulai remang-remang. Waktu Kiam-eng memandang jauh ke depan, terlihat tidak jauh ada sebuah kota kecil, segera katanya, "Di depan ada sebuah kota, bagaimana kalau kita istirahat saja di sana?"
"Kota ini namanya Liong-tam, di luar kota ada sebuah kelenteng, biarlah kita tidur saja di kelenteng itu,"
ujar Li-hun-nio-nio.
Kiam-eng terkesiap, katanya, "Indra penglihatan Leng-to-cu kurang baik, mengapa sedemikian apal terhadap keadaan berbagai tempat?"
"Justru lantaran penglihatanku cacat, maka perlu aku ingat baik-baik keadaan setiap tempat. Mungkin kamu tidak percaya jika aku ceritakan. Berbagai tempat dan kota di sekeliling Li-hun-to kami dapat aku ingat dengan sangat jelas."
"Wah, daya ingat Leng-to-cu sedemikian hebat tangguh sukar membuat orang percaya."
"Setiap orang buta tentu mempunyai daya ingat yang melebihi orang biasa, sebab dia tidak dapat melihat sehingga tidak akan terganggu oleh, urusan lain ..."
Sembari bicara, sementara itu kota Liong-tam sudah dimasuki, karena fajar baru menyingsing banyak rumah penduduk dan toko belum buka pintu. Untung Su-Kiam-eng membawa sebuah kantung rangsum kering, mereka tidak perlu membeli makanan lagi, maka tanpa berhenti di kota, mereka langsung menuju luar kota sana.
Setiba di luar kota, Li-hun-nio-nio menuding ke arah kanan, katanya, "Jika aku tidak salah ingat, terus ke depan sana adalah sebuah kelenteng yang terletak di lereng bukit karang."
Kiam-eng membawa Leng-Jing-jing ke depan, tidak jauh, benar juga ada tanah pekuburan di lereng bukit kecil, terlihat juga sebuah kelenteng.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ai, sedemikian apal Leng-to-cu terhadap keadaan berbagai tempat, apabila mau pulang sendiri ke Lihun-to, aku yakin takkan mengalami kesulitan apa pun," ujar Su-Kiam-eng dengan gegetun.
Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing hanya tersenyum saja tanpa menanggapi.
Kedua orang menelusuri tanah pekuburan dan masuk ke kelenteng itu. Su-Kiam-eng membuka kantung yang dibawanya, digelarnya tikar dan duduk di situ, lalu mengeluarkan rangsum untuk dimakan.
Tengah makan, mendadak Li-hun-nio-nio menaruh rangsum dan berbisik, "Ssst, ada orang datang!"
Waktu Kiam-eng melongok keluar kelenteng benar juga terlihat seorang perempuan kampung membawa sebuah keranjang barang sesaji sedang menuju ke kelenteng ini.
"Tidak apa-apa, hanya seorang yang hendak sembahyang," Kiam-eng balas mendesis.
"Mengapa pagi-pagi begini ada orang sembahyang ke kelenteng?" ujar Leng-Jing-jing dengan curiga.
"Mungkin orang yang hendak bayar nadar," kata Kiam-eng.
Baru habis ucapannya, terlihat perempuan kampung itu sudah memasuki kelenteng.
Usia perempuan kampung ini sekitar 30-an, berwajah pucat hijau, pakai baju kasar dan kumal. Begitu masuk dan melihat di dalam kelenteng sudah duduk sepasang suami-istri pengemis, ia rada terkesiap.
Namun tidak berucap apa pun, segera ia menaruh keranjang dan mengeluarkan sesaji dan ditaruh di atas meja sembahyang, lalu mengeluarkan pula lilin dan dupa ..."
"Eh, adik ini, mengapa pagi-pagi sudah datang sembahyang?" tegur Leng-Jing-jing.
Perempuan kampung itu tampak malu-malu, jawabnya, "Soalnya suamiku jatuh sakit, sudah beberapa hari tidak dapat bangun. Aku sudah berujar kepada Toa-pe-kong dan sakit suami lantas sembuh, maka pagi ini ibu mertuaku segera menyuruhku membayar nadar ke sini!"
Apa yang dikatakan itu memang kejadian umum di kalangan orang udik yang bodoh, maka Li-hun-nionio tidak menaruh curiga lagi, katanya dengan tertawa, "Oo, kiranya begitu."
Perempuan kampung tertawa malu dan tidak menanggapi lagi. Ia mengeluarkan ketikan api dan menyalakan dupa, lalu mulai sembahyang.


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selesai sembahyang dan menancapkan dupa di hio-lo (tempat dupa), kemudian ia berdiri di tepi pintu untuk memandangi tanah pekuburan di luar sana.
Li-hun-nio-nio meneruskan makan rangsum, hanya sebentar saja mendadak tubuhnya tergetar-teriaknya, "Wah, celaka! Dupa itu... "
Belum lanjut ucapannya, "bluk", langsung ia jatuh terkapar di lantai.
Su-Kiam-eng juga berteriak dan bermaksud bangun tapi baru sedikit menegak ia pun jatuh terguling.
Cepat perempuan kampung itu berpaling dan tersenyum ejek, ia mendekati meja sembahyang dan mencabut ke tiga batang dupa tadi dan ditancapkan lagi secara terbalik sehingga api dupa pun padam.
Lalu ia buka daun jendela agar udara membuyarkan asap dupa dalam ruangan kelenteng, habis ini barulah ia tertawa senang dan mendekati Li-hun-nio-nio.
Ia berjongkok di samping Li-hun-nio-nio yang tidak sadar itu, ia mulai meraba dan menggeledah, siapa tahu meski sekujur badan Leng-Jing-jing sudah digerayangi tetap tidak menemukan barang yang dicarinya.
Ia berkerut kening dan bergumam sendiri, "Aneh, peta itu disembunyikan ke mana oleh perempuan bangsat ini?"
Tiba-tiba pandangannya tertarik oleh pentung bambu yang terletak di samping "Sai-hoa-to", cepat ia raih pentung bambu itu, digepuknya bagian ujung bambu, benar juga terlihat satu gulung kertas terselip dalam bumbung bambu itu. Ia bersorak gembira dan cepat menyimpan gulungan kertas ke dalam baju sendiri. Lalu membalik tubuh untuk menggeledah baju "Sai-hoa-to".
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Tak tersangka sekonyong-konyong Su-Kiam-eng bertindak, secepat kilat ia cengkeram urat nadi pergelangan tangan perempuan kampung itu.
Keruan perempuan itu kaget setengah mati ia menjerit, "Haya! Kau ..."
Setelah berhasil memencet urat nadi orang, menyusul Kiam-eng tutuk pula hiat-to kelumpuhan perempuan kampung itu dan membiarkannya terkapar di lantai, ia sendiri lantas berdiri dan menegur dengan tertawa, "Haha, barang apa yang kau cari?"
Perempuan itu tidak menyangka "Sai-hoa-to" ternyata tidak jatuh pingsan oleh obat biusnya, ia gemetar ketakutan sehingga tidak sanggup menjawab.
Kiam-eng menarik muka, jengeknya, "Kamu ini siapa" Mengapa kau tahu rahasia penyamaran kami?"
Dengan gelagapan perempuan kampung itu menjawab, "Aku ... aku bermaksud ... bermaksud bekerja sama denganmu. Apakah ... apakah engkau tidak merasa bersekutu dengan seorang buta ..."
"Aku tanya kamu ini siapa?" potong Kiam-eng.
"O. aku ... aku Toh-Jiu-ang," sahut perempuan itu.
"Hah, kamu ini Toh-Jiu-ang?" Kiam-eng menegas dengan terbelalak.
"Ya, Sim-sin-ih." kata perempuan itu. "Aku tahu dalam hatimu tidak suka bekerja sama dengan to-cu kami, maka aku kira lebih baik kita saja yang bekerja sama. Asalkan engkau sudi, hamba bersedia menyerahkan diriku kepadamu. Apakah engkau mau?"
Su-Kiam-eng menghela napas panjang, ucapnya dengan tertawa, "Ai, sungguh tidak nyana kau berani mengkhianati Leng-to-cu ..."
"Itu kan membawa kebaikan bagimu," tukas Toh-Jiu-ang cepat. "Leng-to-cu cuma mau membagi satu per sepuluh bagian untukmu, sedangkan hamba mau membagi sama rata denganmu. Jika engkau sudi menerima diriku, maka setengah bagianmu juga akan menjadi milikku. Punyaku juga punyamu, bukan?"
"Oo, boleh juga gagasanmu ini ... " ucap Kiam-eng dengan tertawa.
Melihat orang seperti mau menerima usulnya tentu saja Toh-Jiu-ang sangat girang, cepat ia menambahkan lagi, "Jika begitu, harap lekas engkau membuka hiat-to ku, mumpung Leng-to-cu belum sadar, cepat kita bunuh dia."
Sungguh Kiam-eng tidak berani percaya bahwa perempuan secantik ini ternyata mempunyai hati berbisa maka ia hanya tersenyum saja tanpa menjawab.
"Engkau jangan kuatir," kata Toh-Jiu-ang pula. "Biar aku katakan padamu, ia bilang menaruh racun dalam perutmu, semua itu cuma omong kosong belaka. Pada hakikatnya dia tidak tahu ilmu tenung dan urusan racun segala."
Tergerak juga hati Kiam-eng, tanyanya, "Apa betul keteranganmu ini?"
"Pasti betul, ucap Toh-Jiu-ang. "Ia kuatir engkau tidak mau tunduk kepada pimpinannya, maka ia pura-pura menenung dirimu. Ia sendiri yang katakan demikian padaku."
Diam-diam Kiam-eng merasa terhibur, katanya kemudian sambil mengangguk, "Kira-kira kapan dia akan siuman kembali?"
"Kira-kira setengah jam lagi," tutur Jiu-ang. "Untuk apa kau tanya urusan ini?"
Kiam-eng tidak menjawab, sebaliknya ia tanya lagi, "Adakah cara membuatnya mendusin sekarang juga?"
"Ingin kau tolong dia?" Toh-Jiu-ang menegas dengan muka pucat.
"O, tidak, aku cuma ingin membuktikan apakah perutku keracunan atau tidak. Jika tidak, segera akan aku terima usulmu untuk bekerja sama denganmu. Sebaliknya, ya, terpaksa maaf saja."
"Baik, boleh kau buka dulu hiat-to kelumpuhanku, segera hamba memberitahukan cara menyadarkan Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
dia." Kiam-eng menggeleng kepala, "Tidak, hendak kau katakan dulu cara membuatnya siuman."
"Boleh juga," kata Toh-Jiu-ang. "Namun perlu kau tutuk dulu hiat-to kelumpuhannya, kalau tidak, begitu siuman tentu hamba akan dibunuhnya."
Kiam-eng menurut dan menutuk hiat-to kelumpuhan Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing lalu berkata, "Nah sekarang katakan, cara bagaimana membuatnya sadar?"
"Aku membawa obat penawar, boleh kau beri minumkan dia satu biji, segera juga dia akan sadar."
Segera Kiam-eng meraba saku baju Toh-Jiu-ang, dikeluarkannya sebuah botol kecil dan peta kota emas, botol porselin kecil itu ditaruhnya di samping, lebih dulu ia periksa peta itu.
Untuk ke tiga kalinya dia mendapatkan peta, tapi baru pertama kali ini dia dapat melihat peta itu, maka dia sangat emosi sehingga tangan pun terasa gemetar.
Akan tetapi ketika pandangannya kontak dengan lukisan dan tulisan dalam peta, seketika tubuhnya tergetar tanpa terasa ia berseru "Oo, Tuhanku!"
"Ada apa?" tanya Toh-Jiu-ang dengan bingung dan sangsi.
Dengan lemas Kiam-eng jatuh terduduk di tikar, menunduk tanpa bersuara lagi, kelihatan lesu luar biasa.
Dengan bingung Toh-Jiu-ang bertanya pula "Ada apakah, Sim-sin-ih?"
Kiam-eng menghela napas perlahan, dibukanya sumbat botol porselin dan dikeluarkan sebiji obat serta dijejalkan ke mulut Li-hun-nio-nio, lalu dibukanya hiat-to orang yang tertutuk.
Toh-Jiu-ang terkejut dan berseru, "Hei, mengapa kau buka hiat-to nya?"
Perlahan Kiam-eng berpaling, jengeknya sambil menatap perempuan itu, "Hm, kamu perempuan berbisa, memangnya kau kira aku ingin bekerja sama denganmu" Hm, jangan mimpi!"
Seketika Toh-Jiu-ang gemetar lagi, mohonnya, "Tidak menjadi soal bila engkau tidak mau bekerja sama dengan hamba, aku mohon lekas bebaskan hamba, kalau tidak, bila dia mendusin, tentu hamba akan dibunuhnya. Aku mohon ... mohon ..."
Kiam-eng berlagak tidak mendengar, ia sudah terlampau kesal dan tidak sudi bicara lagi.
Ketika Toh-Jiu-ang hendak memohon pula, terlihat Li-hun-nio-nio sudah mulai siuman. Begitu pulih kesadarannya, serentak teringat olehnya pernah jatuh pingsan, cepat ia bangun duduk dan berteriak,
"Sim-sin-ih!"
"Aku ada di sini!" jawab Kiam-eng dengan tenang.
Cepat Li-hun-nio-nio tanya pula, "Bukankah kita terperangkap oleh perempuan udik?"
"Betul ..."
Kedua tangan Li-hun-nio-nio terjulur dan meraba kian kemari, katanya pula dengan tegang, "Di mana kah pentung bambuku" Di mana?"
"Di sini," kata Kiam-eng sambil menyodorkan pentung bambu itu.
Setelah menerima pentung bambu, ketika terasa bagian ujung pentung, seketika air muka Li-hun-nio-nio berubah, jeritnya kaget, "Hai, celaka! Peta itu telah dirampas oleh perempuan kampung itu!"
Kiam-eng menyodorkan lagi peta yang dimaksud kepadanya dan berkata, "Tidak, peta masih berada di sini!"
Li-hun-nio-nio melengak, ia terima peta itu dan diraba serta diremas sejenak, agaknya dapat dirasakan peta yang dipegangnya memang betul peta semula, ia menjadi melengong malah, katanya. "Eh, sesungguhnya apa yang terjadi?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Dengan tenang Kiam-eng bertutur, "Waktu perempuan itu menyalakan dupa tadi, diam-diam memang sudah aku rasakan keganjilan, maka cepat aku tahan napas, lalu berlagak jatuh pingsan."
"Ai, syukur ada dirimu," seru Leng-Jing-jing girang. "Kemudian bagaimana?"
"Ia meraba tubuh Leng-to-cu dan tidak menemukan peta kemudian ditemukannya dalam pentung bambu, namun dia belum lagi puas meski sudah menemukan peta, kembali dia hendak menggerayangi tubuhku ..."
"Lalu kau tangkap dia?" tukas Leng-Jing-jing dengan girang.
"Betul sekarang juga dia tergeletak tidak jauh di depanmu," kata Kiam-eng.
Leng-Jing-jing melangkah ke depan dan dapat meraba kepala Toh-Jiu-ang, segera kedua tangan bekerja, dicekiknya leher Toh-Jiu-ang, katanya sembari menyeringai, "Sim-sin-ih, siapakah bangsat ini!"
"Coba Leng-to-cu menerkanya," kata Kiam-eng.
"Menerkanya" Cara bagaimana dapat aku terka?" ujar Leng-Jing-jing.
"Waktu kita menyamar sebagai pengemis dan diam-diam meninggalkan Li-hun-to, semua itu kita lakukan tanpa diketahui siapa pun sebaliknya perempuan udik ini tahu rahasia kita, dari sini aku kira tidak sulit bagi Leng-to-cu untuk menerkanya."
Air muka Leng Jing-jing tampak berubah lagi, serunya sangsi, "Hah, jangan-jangan bangsat ini anak buahku sendiri?"
"Sedikit pun tidak salah," tukas Kiam-eng. "Dia bukan lain daripada Toh-Jiu-ang, yaitu kau sebut dengan julukan sebagai Siau-yan-nio, si nona ayu!"
Mata Leng-Jing-jing mendelik, air muka dari terkejut berubah menjadi murka, mendadak ia menghardik terhadap Toh-Jiu-ang, "Siau-yan-nio, jadi kamu, betul?"
Siau-yan-nio Toh-Jiu-ang tampak gemetar hebat, jawabnya dengan terputus-putus, "Ya ... to-cu ... Jiu-ang mengaku salah, mohon ... mohon to-cu memberi ampun ..."
Kulit muka Leng-Jing-jing tampak berkerut-kerut, jengeknya, "Hm, bagus sekali! Sejak kecil aku besarkanmu, aku pandang dirimu serupa anak kandung sendiri, tak tersangka sama sekali kamu dapat mengkhianati aku. Coba katakan, di mana letak hati nuranimu?"
Dia seperti meluap murkanya, sampai di sini, mendadak cekikannya pada leher Toh-Jiu-ang diperkeras.
Ingin menjerit pun Toh-Jiu-ang tidak sempat lagi, hanya terdengar bunyi "krak-krok" dua kali dari kerongkongannya, sekujur badan lemas berkelojotan, lalu binasa.
Dengan tak acuh Su-Kiam-eng menyaksikan, kematian Toh-Jiu-ang, melihat cekikan Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing belum lagi dilepaskan, tampaknya seperti ingin patahkan tulang leher bekas anak buah itu, hati Kiam-eng tidak tega, katanya "Sudahlah, Leng-to-cu, dia sudah mati!"
Mendengar itu baru Leng-Jing-jing mengendurkan tangannya dan tertawa terkekeh, ucapnya "Hehe, untung bagi perempuan hina ini, seharusnya aku hukum mati dia dengan cara lebih kejam!"
Tiba-tiba Kiam-eng berkata, "Sebabnya dia berani mengkhianati to-cu, aku kira kesalahan terletak pada Leng-to-cu sendiri."
"Mengapa bilang aku yang salah?" tanya Leng-jing-jing dengan kurang senang.
"Selama ini yang diterima Leng-to-cu hanya orang perempuan cacat, akan tetapi Toh-Jiu-ang ini seorang nona cantik yang sehat dan tangkas, jika dia diharuskan tinggal selamanya di Li-hun-to yang terasing itu, jelas dia tidak dapat mematuhi peraturanmu yang ketat itu."
"Hm, kau kira dia seorang nona sehat?" jengek Leng-Jing-jing.
"Memangnya bukan?"
"Biar aku katakan terus terang, dia seorang ciok-li (gadis batu)!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Apa katamu" Dia seorang gadis batu?" Kiam-eng menegas dengan tercengang.
"Betul. Sebab itulah tidak lama setelah dia lahir ayah ibunya lantas membuangnya di tepi sungai."
"Wah, jika begitu, mengapa dia dapat menjadi perempuan penghibur di rumah pelacuran di Tiang-an"
Mengapa pula dia bisa menjadi gundik Hu-kui-ong?" tanya Kiam-eng bingung.
"Kendati dia menjadi pelacur di Tiang-an, dia hanya menemani tamu minum arak dan tidak menemani tidur, sebab itulah tidak ada yang tahu seluk-beluk tubuhnya yang tidak normal itu," tutur Li-hun-nio-nio.
"Kemudian dia diambil sebagai gundik oleh Liong-Ih-kong, walaupun kemudian tua bangka itu mengetahui gundiknya itu seorang gadis batu yang tidak dapat melakukan hubungan kelamin namun ia sendiri sudah tua bangka dan loyo, keinginan ada tenaga pun kurang, maka dia tidak mempersoalkan tubuh gundiknya yang abnormal itu. Apalagi punya gundik secantik itu pun cukup untuk menghibur hati dan menyedapkan mata, maka sejauh itu dia tetap memiaranya sebagai gundik kesayangan."
Kiam-eng merasa kikuk sendiri oleh cerita Leng-Jing-jing mengenai seluk-beluk orang lelaki dan perempuan, katanya dengan tertawa, "Oo, kiranya begitu, jadi aku lah yang salah duga."
Tampaknya rasa murka Leng-Jing-jing belum lagi lenyap, ia mendengus beberapa kali sambil memelototi mayat Toh-Jiu-ang, habis itu tiba-tiba seperti teringat sesuatu mendadak ia tertawa aneh terhadap Su-Kiam-eng, katanya, "Sim-sin-ih, peta itu sudah kau lihat bukan?"
"Betul, sudah aku lihat," jawab Kiam-eng terus terang.
"Kesempatan itu mestinya dapat kau gunakan untuk membawa lari peta, sebabnya kamu tidak berani berbuat demikian tentunya kuatir racun yang telah aku taruh dalam perutmu itu bukan?"
"Bukan?" jawab Kiam-eng sambil menggeleng.
Sekilas rasa kejut dan sangsi pada wajah Li-hun-nio-nio, tanyanya pula, "Habis kalau bukan, jadi kamu benar-benar ingin bekerja sama denganku?"
"Semula memang begitu maksudku, tapi sekarang tidak lagi," sahut Kiam-eng.
"Sebab apa?" tanya Leng-Jing-jing dengan air muka berubah kecut.
"Sebab baru saja aku ketahui, biarpun aku mau bekerja sama denganmu, akhirnya juga takkan memperoleh sesuatu apa pun."
"Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Leng-Jing-jing bingung.
"Soalnya, peta itu palsu!" ucap Kiam-eng tegas. Leng-Jing-jing melonjak bangun, serunya terkejut, "Apa katamu" Peta itu palsu" Dari mana kau tahu peta itu palsu?"
"Sebab aku kenal tulisan tangan Gak-Sik-lam," tutur Kiam-eng tenang. "Sedangkan tulisan dalam petamu itu pada hakikatnya bukan tulisan Gak-Sik-lam."
Melengong juga Leng-Jing-jing, tanyanya, "Sungguh aneh, cara bagaimana kamu Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho mengenal tulisan tangan Gak-Sik-lam?"
"Bicara terus terang, aku ini bukan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho segala!"
Pada waktu bicara demikian suaranya sudah kembali pada suaranya sendiri, sebab itulah air muka Lihun-nio-nio Leng-Jing-jing berubah hebat ia angkat pentung bambu dan berteriak bengis. "Bangsat! Jadi kamu berani menyamar sebagai Sai-hoa-to untuk menipuku! Lantas kamu ini siapa?"
Dengan tenang Kiam-eng menjawab, "Harap Leng-to-cu jangan marah dulu, silakan dengarkan penjelasanku."
"Siapa kamu ini, bicara!" bentak Li-hun-nio-nio gusar.
"Aku ini murid kedua Kiam-ho-Lok Cing-hui aku she Su bernama Kiam-eng."
Tergetar hebat tubuh Li-hun-nio-nio, ucapnya melengong, "Jadi ... jadi kamu ini murid Lok-Cing-hui?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul, sekarang tentunya Leng-to-cu paham maksud tujuanku menyamar sebagai Sai-hoa-to bukan?"
Meski Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing terkenal sebagai iblis perempuan yang suka bertindak menurut kehendaknya, tapi demi mendengar Sai-hoa-to palsu di depannya ini ternyata murid tokoh dunia persilatan terkemuka, seketika ia pun merasa jeri dan tanpa terasa menyurut mundur selangkah, katanya, "Tapi kamu harus tahu jelas, sama sekali aku tidak tersangkut urusan menghilangnya su-heng mu Gak-Sik-lam."
"Ini cukup aku ketahui," ujar Kiam-eng. "Sebabnya aku menyaru sebagai Sai-hoa-to, tujuannya juga bukan hendak mencari Gak-su-heng ku."
Perlahan Li-hun-nio-nio menurunkan pentung bambunya, lalu bertanya, "Lantas, apakah kamu pun ingin berebut kota emas itu?"
"Tidak," Kiam-eng menggeleng. "Tujuanku hanya pada Jian-lian-hok-leng saja agar dapat aku gunakan untuk menyembuhkan penyakit nona In. Apabila Leng-to-cu ingin tahu lebih jelas duduknya perkara, silakan duduk saja dan mendengarkan keteranganku."
Li-hun-nio-nio tampak ragu sejenak, lalu duduk di atas tikar. Maka berceritalah Su-Kiam-eng kisah penyamaran dirinya sebagai Sai-hoa-to, ia pun menegaskan kembali sama sekali tiada maksud hendak berebut kota emas itu. Akhirnya ia berkata, "Pada waktu guruku mendengar cerita bahwa Leng-to-cu banyak mengumpulkan dan merawat orang perempuan cacat, beliau sangat kagum dan hormat terhadap keluhuran budi Leng-to-cu, maka beliau pernah pesan padaku apabila kelak berhasil menemukan kota emas itu, seluruh isi kota emas itu harus aku sumbangkan kepada Leng-to-cu. Tempo hari Leng-to-cu telah menaklukkan Sam-koai dan berhasil merampas peta aku kuatir Leng-to-cu tidak percaya padaku akan mampu mengobati gas racun daerah selatan, maka aku tidak berani menemui Leng-to-cu dengan wajah asli. Namun dalam hatiku sudah bertekad akan membantu Leng-to-cu untuk berebut kota emas itu. Tak tersangka selama beberapa hari ini peta yang diperebutkan dengan mati-matian oleh orang banyak ternyata cuma sehelai peta palsu belaka ..."
Bicara sampai di sini, ia menghela napas panjang.
Li-hun-nio-nio cukup kenal pribadi Lok-Cing-hui dan anak muridnya, ia tahu apa yang diuraikan Su-Kiam-eng itu pasti bukan omong kosong belaka, maka hilang lah rasa permusuhannya terhadap anak muda itu, dengan tertawa ia berkata, "Sebenarnya aku ini memang seorang iblis perempuan yang suka membunuh orang, tak tersangka bisa mendapat pujian orang kosen terkemuka jaman ini, sungguh aku merasa sangat bahagia."
"Yang dibunuh Leng-to-cu kebanyakan adalah manusia jahat, yang kau ambil pun harta yang tidak halal dan cukup dapat dipertanggungjawabkan, jadi tidak dapat dipersamakan dengan kaum iblis dunia persilatan umumnya, pula ..."
"Sudahlah," potong Li-hun-nio-nio tertawa, "lebih baik marilah kita coba mempelajari peta ini.
Kau bilang peta ini palsu, jika begitu tentulah permainan si tua bangka Liong-Ih-kong itu, peta tulen sengaja disembunyikannya dan peta palsu diserahkan kepada Sam-koai, begitu bukan?"
"Tidak ..." ucap Kiam-eng sambil berpikir. "Menurut dugaanku, yang main gila bukan dia melainkan orang yang menjual peta itu."
"Belum tentu," ujar Leng-Jing-jing. "Kabarnya dia menjual peta kepada Liong-Ih-kong dengan 500 tahil emas murni, tapi harga itu baru akan diterimanya bilamana Liong-Ih-kong sudah menemukan kota emas, yakni untuk memperlihatkan kesungguhan hatinya. Malahan ia terima dikurung, lagi di Hu-kui-san-ceng tempat Liong-Ih-kong semua ini membuktikan peta yang dijualnya kepada Liong-Ih-kong bukanlah peta palsu."
"Justru berdasarkan hal itulah aku menduga yang main gila pastilah dia."
"Mengapa kau bilang demikian?"
"Tujuannya menjual peta palsu tidak lain hanya untuk pancingan belaka, yaitu sama seperti maksud Leng-to-cu menyuruh anak buahmu menyaru sebagai dirimu. Aku yakin dia pasti sudah mendapatkan peta aslinya, karena kuatir direbut orang, maka dia sengaja membuat sebuah peta palsu dan dijual kepada Liong-Ih-kong, kemudian dia sengaja menyebarkan berita bahwa Liong-Ih-kong telah mendapatkan peta pusaka, dengan tipu suara di timur pukul ke barat dipancingnya agar semua orang yang ingin berebut peta sama membuntuti jejak Liong-Ih-kong, dengan begitu ia sendiri diam-diam Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
dapat menuju ke daerah selatan dan mencari kota emas itu berdasarkan petunjuk peta tulen.
"Ah, tepat sekali. Sebab itulah sepeninggal Liong-Ih-kong dari tempat kediamannya, serentak banyak tokoh kalangan hitam muncul untuk berebut petanya. Keparat, sungguh nenek dikibuli anak kecil, tak tersangka nyonya besar juga terjebak oleh tipu liciknya."
Karena emosi, tanpa terasa ia pun mencaci maki dengan kata-kata kotor.
Meski dalam keadaan lesu, tidak urung Kiam-eng tertawa geli juga. Katanya kemudian, "Cuma ada juga yang tidak aku pahami, yaitu tokoh semacam Kui-kok-ji-bu-siang, setelah berhasil merampas peta, tetap mereka ingin mendapatkan seorang Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, sebaliknya mengapa dia tidak memerlukan diriku?"
"Mungkin ia tahu kamu cuma seorang Sai-hoa-to gadungan, maka dia hendak mencari Sai-hoa-to yang tulen," ujar Leng-Jing-jing.
"Ini tidak mungkin. Sebab yang tahu aku ini Sai-hoa-to palsu hanya ketua Heng-ih-bun Bun-In-tiok bertiga saja dan ke tiga orang berkedok, dari mana penjual peta itu mengetahui aku ini Sai-hoa-to gadungan?"
"Atau bisa juga setelah kamu meninggalkan Bu-lim-teh-co, lalu dia pergi ke wi-go-san untuk mencari Sai-hoa-to, jadi kalian berselisih jalan."
"Tidak, ini pun tidak mungkin," Kiam-eng menggeleng kepala, "jika dia berniat menjual peta palsu kepada Liong-Ih-kong, mana bisa mendahului pembelinya mencari Sai-hoa-to. Padahal sebelum Liong-Ih-kong, kecuali Ih-Wan-hui tidak ada lagi orang kedua yang mencari Sai-hoa-to untuk diajak bekerja sama."
"Bila begitu, mungkin ia sendiri mempunyai cara menolak gas racun dan tidak memerlukan tenaga Sai-hoa-to," ujar Li-hun-nio-nio Leng-Jing-jing.
Kiam-eng mengangguk, "Ya, hanya perkiraan inilah yang lebih masuk akal, maka ada maksudku hendak cepat menuju ke selatan, semoga setiba di Mo-pan-san dapat menemukan jejaknya ..."
"Baik, biar aku pergi bersamamu," kata Leng-Jing-jing.
"Tidak," tukas Kiam-eng. "Penglihatan Leng-to-cu terganggu, tentu tidak leluasa menempuh perjalanan sejauh ini. Biarlah aku pergi sendiri saja, kalau dapat aku cegat orang itu dan merampas kembali petanya, segera aku berdaya memberi kabar kepada Leng-to-cu, dengan cara demikian aku kira lebih aman."
"Tapi pihak lawan tidak cuma satu orang saja kau sendiri apakah sanggup?"
"Aku akan bertindak menurut keadaan, jika tidak sanggup melawan dengan kekuatan, biar aku hadapi dengan akal," ujar Kiam-eng dengan tersenyum.
Leng-Jing-jing berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, "Baiklah, apabila peta sudah kau rebut, hendaknya jangan tamak dan ingin makan sendirian!"
"Leng-to-cu jangan kuatir," jawab Kiam-eng tegas. "Yang kami cari adalah Jian-lian-hok-leng itu, mengenai kota emas dan isinya, aku bersumpah takkan mengincarnya satu potong apa pun."
Leng-Jing-jing merasa ucapan sendiri agak terlalu menyinggung perasaan, cepat ia menambahkan dengan tertawa, "Ah, aku cuma bercanda saja denganmu. Padahal bila benar kau temukan kota emas itu, asalkan aku diberi bagian setengahnya saja sudah jauh daripada cukup."
Kiam-eng tertawa, tanyanya kemudian, "Dari sini pulang sendiri ke Li-hun-to, apakah tidak ada kesulitan bagi Leng-to-cu?"
"Tentu saja tidak ada kesulitan," jawab Leng-Jing-jing. "Jika Su-siau-hiap ingin berangkat sekarang, boleh silakan saja!"
"Jika begitu, baiklah aku mohon diri sekarang juga," ucap Kiam-eng sambil berbangkit. "Setelah tiba kembali di Li-hun-to mohon Leng-to-cu mengirim seorang anak buah ke Bu-lim-teh-co untuk menyampaikan berita tentang diriku kepada Wi-ho-Lo-jin agar beliau dan guruku tidak menguatirkan diriku."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Leng-Jing-jing ikut berdiri dan berkata, "Baik pasti akan aku kerjakan pesanmu!"
Kiam-eng lantas memberi hormat dan mengucapkan sampai berjumpa pula lalu meninggalkan kelenteng itu dan menuju ke selatan dengan cepat.
Petangnya sampailah dia di perbatasan kota Won-ciu. Teringat sudah beberapa hari tidak pernah membersihkan badan, segera ia menanggalkan bajunya yang rombeng dan pulih kembali pada dandanan aslinya lalu mencari sebuah hotel.
Selesai mandi dan habis makan malam, ia jalan jalan ke luar hotel setelah pesiar kian kemari tanpa terasa sampai di suatu ujung jalan, dilihatnya di bagian dekat pintu gerbang kota sana sedang berkerumun orang banyak di depan sebuah pasar kuda, tampaknya ada orang lagi ribut mulut. Karena ingin tahu apa yang terjadi, ia coba mendekati tempat itu.
Mendengar sampai di sini dapatlah Kiam-eng menarik kesimpulan apa yang terjadi. Ia coba mendesak maju untuk melihat. Tertampak di tengah kerumunan orang banyak itu adalah seorang lelaki kekar setengah baya, yaitu pemilik peternak kuda, yang menderita adalah seorang lelaki berdandan sebagai kusir. Yang belakang ini kematian kakak, namun tidak terlihat rasa duka, seperti urusan akan beres apabila pemilik kuda itu mau memberi ganti rugi lebih banyak.
Pada saat itulah seorang tua penonton tampil ke muka dan coba menjadi penengah bagi pemilik kuda dan si penderita, katanya, "Eh, menurut pendapatku, rasanya kalian berdua pihak sama-sama salah.
Engkau, pemilik kuda, sudah jelas tahu kudamu masih liar dan kurang jinak, seharusnya kau larang dicoba oleh kakaknya. Sebaliknya kamu, saudara ini, jika kakakmu kurang mahir naik kuda, seyogianya jangan main coba-coba. Maka menurut pendapatku sebaiknya kalian sama-sama mengalah sedikit.
Saudara pemilik kuda ini biarlah korban harta untuk menebus bala, hendaknya kau beri sedikit lebih.
Sebaliknya saudara ini hendaknya juga jangan berkeras minta seribu tahil perak, terimalah tawarannya.
Nah, kalian setuju tidak terhadap usulku?"
Si penderita berkata dengan lagak penasaran, "Memangnya dia mau tambah berapa?"
Si orang tua lantas berkata kepada pemilik kuda, "Lau-hia (saudara), kiranya berapa akan kau beri?"
"Memangnya aku takut" Boleh silakan mengadu pada pihak yang berwajib!" demikian terdengar seorang berteriak bengis.
"Keparat! Kudamu mendepak orang hingga mati, masih juga kamu berlagak garang begini" Kau kira aku tidak berani mengadukan dirimu?"
"Silakan! Apa yang aku takuti" Sejak mula sudah aku katakan kudaku ini sangat binal dan sukar dijinakkan, tapi kakakmu berkeras ingin membelinya katanya, dia sanggup menjinakkan kuda ini.
Sekarang dia terbanting mampus, aku anggap lagi sial dan rela memberi ganti rugi seratus tahil perak, tapi kamu malah menggunakan kesempatan ini untuk memerasku dan minta aku beri seribu tahil perak.
Hm, memangnya kau kira duitku terbuat dari tanah dan mudah dicari" Boleh silakan mengadu saja kepada yang berwajib, bahkan kakakmu mampus jatuh dari kuda, apa sangkut-pautnya dengan pemilik kuda. Mendingan kamu tidak mengadu dan akan mendapat ganti rugi seratus tahil perak, sekali kamu mengadu, huh, sepeser pun kamu jangan harap akan terima!"
"Ya, sudahlah, aku tambah lagi 50 tahil, kalau tidak mau boleh dia mengadu saja kepada yang berwajib,"
jawab si pemilik kuda.
"Tidak, paling sedikit tambah seratus tahil lagi kalau tidak biar aku adukan saja," ujar si penderita.
"Kamu salah, saudara," ucap si orang tua. "Bukanlah urusan enak membikin perkara. Coba pikir saja, pertama, untuk mengadukan perkara ini, lebih dulu perlu kau minta bantuan pengacara untuk menulis surat pengaduan. Padahal kaum pokrol bambu itu biasanya cuma mengutamakan uang tidak peduli salah atau benar, untuk menulis sehelai surat pengaduan saja lebih dulu harus kau bayar entah sepuluh atau dua puluh tahil perak. Malahan kalau dia sengaja membuat sedikit lubang pada surat pengaduan sehingga membuat perkaramu tidak memang juga belum kalah sehingga urusan berlarut-larut, maka, hehe, akhirnya sekalipun memang perkara juga kamu pasti sudah bangkrut."
Agaknya si penderita juga sangsi akan menang perkara bilamana mengadukan persoalan ini, maka lagaknya berubah lunak dan tampaknya seperti mau terima saran si orang tua, namun dia coba tahan harga, "Tidak kalau tidak 200 tahil, sedikitnya juga harus 170 tahil. Coba kalian pikir, kakak juga hidup menjadi kusir ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak yang masih kecil kalau tidak diberi santunan Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
yang layak cara bagaimana mereka dapat hidup selanjutnya?"
Si orang tua berpaling dan berkata lagi terhadap si pemilik kuda, "Betul juga alasannya. Maka aku mohon saudara ini hendaknya kasihan pada janda dan anak-anaknya, harap kau beri tambahan sedikit."
Pemilik kuda itu mendengus, katanya terhadap seorang pembantunya yang berdiri di belakangnya, "Lau-Sam, ambilkan 170 tahil perak!"
Anak buahnya mengiakan dan cepat berlari pergi. Tidak lama kemudian ia sudah kembali dengan membawa beberapa bungkus uang perak. Pemilik kuda lantas menyerahkan ganti ruginya kepada si penderita, katanya, "Nah, ambil ini! Anggap aku yang sial!"
Setelah menerima santunan itu, si penderita pun tidak banyak omong lagi dan segera angkat kaki.
Penonton yang berkerumun pun lantas bubar. Si pemilik kuda agaknya menyesal karena kehilangan seratus tahil perak lebih, melihat penonton sudah bubar, segera ia berkata kepada pembantunya tadi,
"Lau-Sam, ambilkan golok!"
"Untuk apa, juragan"!" tanya Lau-Sam.
"Potong kuda ini, biar kita makan daging kuda!" kata si pemilik.
"Ai, masakah perlu mengorbankan seekor kuda, juragan," ujar Lau-Sam terkejut.
"Menurut pandangan hamba, meski kuda ini tampak liar dan sukar dijinakkan, tapi aku lihat kuda ini keturunan bibit unggul yang sukar dicari. Kuda binal harus ditunggangi manusia galak. Aku yakin pada suatu hari kuda ini akan menemui majikan yang sanggup menjinakkan dia."
Pemilik kuda mendengus, "Hm, jika aku biarkan dia hidup lebih lama lagi, entah berapa banyak hartaku akan diludeskannya. Selama sebulan dia telah menjatuhkan dua pembeli hingga luka parah sehingga banyak ganti rugi yang aku keluarkan. Hari ini dia tambah celaka dan mendepak mati calon pembelinya, kuda celaka begini apa gunanya dibiarkan hidup?"
"Akan tetapi ..."
"Sudahlah, jangan banyak omong, lekas ambilkan golok!"
Terpaksa Lau-Sam mengiakan. Tidak lama kemudian ia datang kembali dengan menghunus sebatang golok mengkilat. Pemilik kuda memegang golok tajam itu, dengan beringas ia menuju ke kandang kuda.
Tiba-tiba sesosok bayangan orang meleset cepat dan hinggap di depannya serta merintangi jalannya.
Pemilik kuda berhenti dengan bingung, tanyanya, "Kamu ini siapa?"
Kiam-eng memberi hormat, jawabnya dengan tersenyum, "Aku datang untuk membeli kuda."
"Oo," pemilik kuda bersuara singkat. Segera pula ia memberi perintah, "Lau-Sam, bawa tuan tamu ini untuk memilih kuda."
"Tidak perlu pilih lagi, aku minta kuda itu," kata Kiam-eng tertawa sambil menunjuk kuda di dalam kandang yang mendepak mati orang tadi.
Dengan tegas pemilik kuda menggeleng kepala katanya, "Tidak, kuda itu tidak aku jual."
"Apa alasanmu tidak menjual kuda itu?" tanya Kiam-eng dengan tertawa.
"Apa yang terjadi masakah tidak kau lihat?" ujar pemilik kuda.
"Aku lihat," jawab Kiam-eng. "Tapi apa yang dikatakan pembantumu itu pun betul. Kuda binal harus ditunggangi orang galak. Dan sekarang orang galak itu sudah datang."
Pemilik kuda melirik hina terhadap Kiam-eng, ucapnya, "Ah sudahlah, aku tidak ingin membayar ganti rugi 170 tahil perak lagi,"
"Eh, coba katakan, apabila kuda itu dapat aku jinakkan, berapa harganya akan kau jual?" tanya Kiam-eng tiba-tiba.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Bila benar ada orang mampu menundukkan dia, biar aku jual dengan separoh harga pun tidak menjadi soal. Cuma, betapapun aku kebera
Kisah Para Pendekar Pulau Es 8 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 13
^