Pencarian

Rahasia Peti Wasiat 3

Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 3


tan sedikit juga boleh, cuma jangan terlampau cepat,"
ujar si nona. Mendadak Liong It-hiong membentak sekali, kuda ditariknya
terus dibawa lari dengan cepat, seketika kuda putih itu
membedal secepat terbang.
Keruan Beng-ay menjerit kaget, teriaknya, "Haya, jangan,
terlalu cepat!"
Dia kelihatan bergoyang di atas pelana, seperti hendak
terperosot. It-hiong menoleh dan memandangnya sekejap, serunya
dengan tertawa, "Ini pun belum terhitung cepat, asalkan
engkau berpegangan erat tentu takkan terbanting jatuh."
Sembari bicara ia tetap berlari cepat ke depan.
Ia tahu seorang yang baru pertama kali menunggang kuda,
pada waktu kuda membedal secara mendadak, kebanyakan
tentu akan jatuh terbanting, terlebih seorang nona lemah,
jelas pasti akan terbanting. Sebab itulah sekarang ia pun ingin
tahu apakah Ni Beng-ay akan terlempar jatuh atau tidak.
Kalau tidak terlempar, maka sangat mungkin dia adalah si
"cucakrawa" yang misterius itu. Bila terbanting jatuh, maka
sangat mungkin pula dia bukanlah si "cucakrawa".
"Eh, tahan, terlalu cepat!" jerit Beng-ay dengan tubuh
bergontai ke kanan dan ke kiri.
Namun It-hiong tidak menghiraukannya, sebaliknya tambah
cepat larinya dan dengan sendirinya kuda itu ikut lari terlebih
cepat. "Auuhh!" begitu terdengar suara jeritan, segera terdengar pula
suara "bluk".
Rupanya nona itu benar-benar terbanting jatuh.
Waktu It-hiong berpaling, dilihatnya si nona sudah
menggeletak telentang di tepi jalan, cepat ia berteriak
menghentikan kuda putih itu, lalu memburu ke belakang untuk
membangunkan si nona, serunya, "He, nona Ni, engkau
terluka?" Wajah Beng-ay tampak pucat, mata terpejam dan tidak
bersuara, entah terbanting semaput atau pingsan ketakutan.
It-hiong coba meraba belakang kepalanya, ternyata tidak
terluka, diduganya nona itu pingsan karena ketakutan. Segera
dipondongnya dan mencemplak ke atas kuda serta
melanjutkan perjalanan.
Sekarang rasa curiga It-hiong sudah hilang sebagian besar,
dapat dipastikan si nona bukanlah si "cucakrawa", maka
timbul juga rasa kasihannya terhadap seorang anak
perempuan, dirangkulnya erat tubuh Beng-ay.
Sejenak kemudian, perlahan nona itu siuman. Ketika merasa
dirinya dirangkul oleh It-hiong, Beng-ay sangat malu, serunya,
"Hei, lekas ... lekas lepaskan aku!"
"Tidak, biarkan kurangkulmu, akan lebih aman," kata It-hiong.
"Biarkan kuturun!" seru Beng-ay pula.
Tapi It-hiong menjawab dengan lebih tegas, "Tidak, kecuali
engkau sanggup meronta lepas dari rangkulanku, kalau tidak
biarlah kita melanjutkan perjalanan cara begini."
Setelah meronta sejenak dan tetap sukar terlepas dari
rangkulan tangan It-hiong yang kuat, Beng-ay lantas
mencucurkan air mata, ratapnya, "O, baru sekarang kutahu
engkau ternyata juga bukan orang baik-baik."
"Aku memang bukan orang baik, bukankah kemarin sudah
kuberi tahukan padamu?" jawab It-hiong.
"Oo, kubenci padamu!" seru Beng-ay sambil menangis.
"Eh, kenapa jadi begini?" tanya It-hiong dengan tertawa.
"Semalam di kelenteng itu bukankah kau berani menggelendot
di sampingku" Kenapa sekarang merasa keberatan
kurangkul?"
"Tadi engkau sengaja membuatku terlempar dari kuda,
kutahu," kata Beng-ay.
"Betul, aku memang sengaja," jawab It-hiong.
"Kenapa engkau berbuat begitu, apa maksudmu?" tanya si
nona dengan marah-marah. "Kau tahu aku tidak pernah
menunggang kuda, mengapa sengaja kau bikin aku jatuh
terbanting?"
Perlahan It-hiong menjawab, "Sebab aku ingin tahu
sesungguhnya engkau seorang nona baik atau si cucakrawa
yang kucurigai itu."
"Lepaskan aku," teriak Beng-ay mendadak. "Engkau ini suka
curiga, aku tidak mau lagi bersamamu."
"Sekarang engkau tidak dapat pergi lagi," ujar It-hiong dengan
tertawa. Kejut dan gusar Beng-ay, "Memangnya kau mau apa?"
"Membawamu ke Wanpeng dan menyerahkanmu kepada
pamanmu itu." kata It-hiong.
Si nona melenggong, "Engkau tidak ... tidak akan
mengganggu diriku?"
"Bisa jadi akan kuganggu dirimu, tapi terbatas, serupa ini ...."
bicara sampai di sini mendadak ia menunduk, muka si nona
diciumnya sekali.
Seketika Beng-ay malu dan gusar, tangan bergerak, "plak", Ithiong
digamparnya dengan keras, dampratnya, "Kurang ajar!"
It-hiong tidak marah, ia tetap melarikan kudanya dengan
tersenyum. Sesudah memukul, hati Beng-ay menjadi takut malah,
khawatir kalau anak muda itu menjadi marah dan melakukan
kekerasan terhadapnya. Tapi ketika dilihatnya It-hiong tidak
menampilkan marah sama sekali, hal ini terasa di luar dugaan,
ia pandang anak muda itu dengan termenung.
Di tengah pandangannya yang termenung itu, lambat laun
dapat dilihatnya Liong It-hiong bukanlah manusia jahat
sebagaimana dibayangkannya. Malahan dari sinar mata anak
muda itu dapat dilihatnya mencorong semacam semangat
kejantanan yang terhormat, dengan cepat rasa sangsinya itu
buyar, tanpa terasa ia menjulurkan tangan untuk meraba pipi
It-hiong yang digamparnya tadi, ucapnya dengan menyesal,
"Sakit tidak?"
"Lumayan," sahut It-hiong dengan tertawa.
"Maaf, aku ... aku ...."
"Sudahlah, jangan bicara tentang ini lagi," kata It-hiong.
"Sekarang boleh kau pejamkan matamu, anggaplah seperti
tidur di ranjang, tidurlah yang nyenyak."
"Kalau ... kalau dilihat orang lalu, kan malu," ucap Beng-ay
dengan kikuk. "Sungguh bodoh, anggap saja tidur di ranjang, masa orang
lalu dapat melihatmu?" ujar It-hiong dengan tertawa.
Beng-ay tersenyum malu dan membenamkan kepalanya di
pangkuan It-hiong.
Selang sejenak, tiba-tiba ia angkat kepalanya lagi dan berkata,
"Wah, tidak bisa, aku tidak dapat pulas."
"Jika aku, tentu aku dapat pulas," kata It-hiong dengan
tertawa. Beng-ay memandangnya dengan penuh arti, tanyanya lirih,
"Beri tahukan padaku, di mana tempat tinggalmu?"
"Aku tidak punya rumah," jawab It-hiong.
"Masa engkau tidak punya orang tua?"
"Punya, tapi semuanya sudah meninggal."
"Jika begitu, siapa yang membesarkanmu?"
"Guruku."
"Siapa gurumu?"
"Seorang tua yang tidak suka memperkenalkan namanya. Saat
ini dia menjadi guru sekolah di suatu desa."
"Mengapa dia tidak mau mengatakan namanya?" tanya pula si
nona. "Khawatir mendatangkan kesulitan, ia tidak suka bilamana
orang mengetahui beliau menguasai ilmu tinggi, ia lebih suka
hidup secara tenang dan damai."
"Jika begitu, mengapa dia mau mengajarkan ilmu silatnya
kepadamu?" tanya Beng-ay.
"Aku sendiri tidak tahu, bisa jadi beliau cuma tidak suka
menonjolkan diri di dunia persilatan, jadi bukan lantaran tidak
suka kepada ilmu silat."
"Apa kerjamu selama ini?"
"Sibuk melulu!"
"Oo"!" Beng-ay tidak mengerti.
"Soalnya sepanjang hari, setahun penuh aku hanya
berkeluyuran kian kemari, bila melihat sesuatu kejadian yang
tidak pantas lantas ikut campur, terkadang juga bekerja buat
orang lain, melakukan sesuatu yang kusukai."
"Jadi engkau tidak mempunyai pekerjaan tetap, lalu cara
bagaimana engkau mempunyai biaya hidup?" tanya Beng-ay.
"Itu kan mudah," kata It-hiong. "Bila aku kehabisan uang,
dapat kuminta pada kenalan, bila perlu hitam makan hitam,
kucari tahu di mana ada penjahat yang baru berhasil
mendapat rezeki, lalu kudatangi mereka dan bilang lagi bokek,
tentu mereka akan memberi bagian padaku."
"Tindakan ini kurang baik," ujar Beng-ay.
"Bisa jadi memang kurang baik, tapi duit yang mereka rampas
itu toh pasti akan dihamburkan, bila kubantu mereka
membuang sedikit kan tidak salah bukan?"
Beng-ay terdiam sejenak, tiba-tiba ia tertawa malu, katanya,
"Ingin katanya padamu, kau bicara dengan kakek penjaga
kelenteng itu tentang kesaktian Sian-li segala, katanya kelak
engkau akan membayar kaul, sesungguhnya apa yang kalian
bicarakan itu?"
"Haha," It-hiong tergelak. "Begini urusannya, semalam waktu
aku memondok di kelenteng itu, si kakek penjaga sangat suka
mengobrol, dia tanya aku sudah berkeluarga atau belum,
kujawab belum, lalu dia menganjurkan aku memohon berkah
kepada Sian-li agar selekasnya aku mendapatkan istri yang
cantik, dia bilang Sian-li mahasakti, setiap permohonan pasti
terkabul."
"Dan engkau benar telah memohonnya?" tanya Beng-ay.
"Ya, aku berdoa dan mohon diberkahi mendapatkan seorang
istri secantik bidadari. Siapa tahu, baru habis aku
sembahyang, segera engkau muncul. Coba, kan sangat aneh."
"Memangnya kau sangka kedatanganku untuk memenuhi
doamu kepada Sian-li?" tanya Beng-ay dengan tersenyum
malu. "Aku pun tidak tahu," jawab It-hiong. "Kalau menurut
pendapatmu bagaimana?"
Muka Beng-ay menjadi merah, katanya, "Aku bukan nona
secantik bidadari, aku justru ...."
"Dalam hal ini engkau tidak perlu rendah hati," kata It-hiong
cepat. "Engkau adalah nona yang paling cantik dan paling
menarik daripada semua nona yang pernah kulihat."
Tentu saja hati Beng-ay sangat senang, tapi di mulut ia
mengomel, "Ai, engkau ini tidak genah, aku tidak mau bicara
lagi denganmu."
It-hiong menahan lari kudanya, katanya dengan menyesal,
"Ya, mungkin aku pun tidak banyak kesempatan untuk bicara
lagi denganmu."
Si nona melengak, tanyanya cepat, "He, kenapa?"
"Coba kau lihat ke sana," kata It-hiong.
Waktu Beng-ay menengadah, seketika berubah air mukanya,
jeritnya khawatir, "Wah, jangan-jangan datang lagi perampas
petimu ini?"
Ternyata betul, beberapa tombak di depan sana berdiri
berjajar lima orang lelaki kekar, semuanya berwajah bengis
dan menakutkan.
Sekali orang memandang wajah kelima lelaki ini segera akan
diketahui mereka pasti saudara sekandung. Perawakan
mereka sama tegap dan kekar sekali, semuanya hanya
memakai kaus kutang warna hitam sehingga kelihatan dada
dan punggungnya, bahkan semuanya memegang senjata
berbentuk kapak.
Hanya dalam hal usia saja berbeda di antara mereka, yang
paling tua berumur 50-an, yang paling muda juga ada 35-an.
Bahkan yang paling menakutkan adalah lelaki yang paling tua
dan berdiri di tengah itu, kedua matanya kelihatan besar bulat
serupa keleningan, mukanya penuh daging lebih, jenggot
merah pendek, bentuknya serupa seekor harimau lapar.
Dengan sendirinya It-hiong tahu maksud kedatangan mereka,
ia menaruh Ni Beng-ay di atas pelana supaya duduk dengan
baik, lalu ia melompat turun, sapanya dengan memberi salam,
"Apabila aku tidak salah lihat, kalian tentulah Kang-pak-go-hou
(kelima harimau dari utara sungai) yang termasyhur di dunia
persilatan, kelima Li bersaudara adanya"!"
Dia sengaja memperkeras kata "termasyhur" sehingga kelima
lelaki tegap yang berwajah kriminil itu sama menampilkan rasa
senang. Tampaknya sikap Liong It-hiong yang merendah diri
dan menyanjung puji itu sangat mencocoki selera mereka.
Maka lelaki yang paling tua dan berdiri di tengah itu lantas
berubah sikap yang angkuh itu, jawabnya dengan lantang,
"Ya, betul, kami memang Kang-pak-go-hou adanya."
Suaranya ternyata keras menggelegar dan membuat orang
gentar. Cepat It-hiong memberi hormat lagi, "Wah, nama kalian
bersaudara sudah lama kudengar, sungguh beruntung sekali
hari ini dapat berjumpa di sini."
Lotoa atau si tertua tambah senang, ia tertawa dan berkata,
"Namamu Liong It-hiong berjuluk Liong-hiap juga, sudah lama
kami kagumi."
"Ah, mana, diriku kan mirip kunang-kunang saja, mana berani
berlomba cahaya dengan matahari atau rembulan, janganlah
Li-toako merendah hati," ujar It-hiong.
"Liong-hiap, apakah kau tahu apa maksud tujuan kedatangan
kami ini?" tanya si Lotoa dengan tertawa.
"Tentu saja tahu," It-hiong mengangguk. "Tentu yang kalian
tuju adalah peti hitam yang kubawa ini, betul tidak?"
"Haha, memang betul, dan sudikah Liong-hiap
menyerahkannya kepada kami?" tanya Lotoa pula.
"Perlu kuminta petunjuk dulu kepada Li-toako," jawab Ithiong.
"Dari mana kalian bersaudara mendapat tahu tentang
peti ini berada padaku?"
Lotoa menjawab, "Semalam, seorang kenalan ibu ...."
Sampai di sini, mendadak salah seorang saudaranya yang
mungkin si nomor tiga dan berdiri di sebelah kirinya
menjawilnya sambil berseru, "Toako, nenek Miau sudah
memberi pesan agar kita jangan bilang dia yang menghasut
kita, kenapa sekarang kau ceritakan padanya?"
Kening si Lotoa bekernyit, ia berpaling dan mengomeli
adiknya, "Tolol, kenapa engkau tidak tutup mulut saja?"
Losam atau si nomor tiga merasa penasaran, ucapnya dengan
kurang senang, "Maksudku hanya mengingatkan Toako saja,


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masa salah?"
"Coba jawab," kata Lotoa dengan mendelik, "siapa yang lebih
dulu menyebut nenek Miau, aku atau kau?"
Tapi Losam tetap ngotot, "Justru lantaran kukhawatir Toako
menyebutnya, maka cepat kuperingatkan padamu."
Saking mendongkol hingga tubuh Lotoa rada gemetar,
dampratnya pula, "Setan alas, kenapa aku mempunyai adik
goblok semacam dirimu, sungguh sialan!"
"Huh, entah siapa yang sialan"!" jengek Losam tak mau kalah.
Lotoa angkat kapaknya dan membentak, "Keparat, berani kau
bicara lagi segera kupecahkan kepalamu!"
Losam merasa seperti anak yang diomeli tanpa salah,
mendadak ia menangis serupa anak kecil dan berteriak, "Wah,
biar kukatakan pada ibu, akan kulaporkan pada ibu!"
Sambil mengentak kaki segera ia membalik tubuh dan berlari
pergi, sembari lari ia pun menangis dan berteriak-teriak, "Ibu,
ibu! Toako mengancamku lagi, katanya kepalaku akan
dipecahkannya dengan kapak, tolong, Ibu! Berilah hajaran,
pada Toako!"
Muka si Toako tampak merah padam, ia berpaling dan tertawa
kikuk terhadap It-hiong, katanya, "Samteku ini memang orang
dogol, harap Liong-hiap jangan menertawainya."
It-hiong menggeleng, "Tidak, justru kulihat dia sangat pintar,
malahan dia dapat mengingatkanmu agar jangan menyebut
Miau-lolo yang menghasut kalian merecoki diriku."
Lotoa menghela napas, katanya, "Karena engkau toh sudah
tahu, biarlah aku bicara saja terus terang. Memang betul,
semalam Miau-lolo datang ke rumahku, dia dan ibuku adalah
kenalan karib, dia memberitahukan ibu bahwa Liong-hiap
membawa satu peti berisi harta benda seharga sepuluh laksa
tahil perak dan akan lalu di sini pagi ini, kami bersaudara
didorong agar mencegat dirimu. Dengan wanti-wanti beliau
berpesan agar jangan bilang dia yang menghasut kami, siapa
tahu Samteku yang dogol itu malah menyebut dia."
"Hah, engkau tertipu, Li-toako," seru It-hiong dengan tertawa.
"Tertipu bagaimana?" tanya Lotoa melengak.
It-hiong mengangkat peti yang tergantung pada pergelangan
tangannya, katanya, "Kau percaya peti ini berisi harta benda
bernilai sepuluh laksa tahil?"
"Memangnya tidak?" Lotoa menegas.
"Coba kutanya lagi, bagaimana kepandaian kalian berlima
dibandingkan Miau-lolo?" tanya It-hiong.
"Jelas dia jauh lebih tinggi daripada kami," jawab Lotoa terus
terang. "Itu dia, kalau dikatakannya isi peti ini bernilai sebanyak itu,
kenapa dia tidak turun tangan sendiri untuk merampasnya,
tapi kesempatan mendapat rezeki besar ini malah sengaja
diberikan kepada kalian?"
Loji, saudara kedua, manggut-manggut, katanya, "Betul,
kukira pasti ada sesuatu yang tidak beres."
Tiba-tiba Losi, si keempat, menukas, "Toako, isi peti itu harta
benda atau bukan, asalkan peti itu dibuka kan lantas terjawab
seluruhnya?"
Lotoa merasa benar juga usul itu, segera ia memandang Ithiong
dan berkata, "Liong-hiap, harap engkau suka membuka
petimu itu?"
"Maaf, peti ini tidak boleh dibuka," jawab It-hiong sambil
menggeleng. "Apalagi peti ini bukanlah milikku, umpama
dapat dibuka juga takkan kuperlihatkan kepada kalian!"
Lotoa mendengus, "Hm, jika engkau tidak mau membuka peti
itu agar jelas apa isinya, hal ini menandakan isi peti memang
betul benda mestika."
It-hiong tidak mau banyak rewel dengan dia, katanya dengan
tertawa, "Apakah Li-toako bermaksud rebut dengan
kekerasan?"
"Betul!" jawab Lotoa.
"Bagus jika begitu, biarlah kutemani kalian untuk main
beberapa jurus, apabila aku bukan tandingan kalian, biarlah
peti ini diambil kalian. Cuma pada sebelum bergebrak perlu
kutanya dulu beberapa hal ...."
"Silakan tanya," ujar Lotoa.
"Kalian Kang-pak-go-hou ini semuanya lelaki sejati dan jantan
tulen, betul tidak?"
"Tentu saja betul," jawab Lotoa.
"Dan yang kalian incar adalah petinya dan bukan orangnya,
begitu bukan?"
"Betul," jawab pula Lotoa.
"Kalian juga pasti takkan mengambil peti ini dengan cara yang
rendah dan tidak tahu malu, bukan?"
"Apa artinya cara rendah dan tidak tahu malu?" Lotoa
menegas. "Selain kalian bergebrak denganku dan mengalahkanku secara
terang-terangan, cara apa pun yang lain adalah tindakan
rendah dan memalukan."
Lotoa mengangguk, "Kami justru ingin mengalahkanmu
dengan bergebrak dan tidak ingin menggunakan cara yang
rendah dan memalukan."
"Jika betul demikian, hendaknya kanan membiarkan nona ini
lewat lebih dulu, habis itu baru kita bertanding habis-habisan,"
kata It-hiong. Lotoa memandang Beng-ay sekejap, tanyanya, "Dia ada
hubungan apa dengan Liong-hiap?"
"Dia seorang nona yang harus dikasihani, ia hendak mencari
pamannya di kota Wanpeng, di tengah jalan kepergok
penjahat, kebetulan kulihat dan kutolong dia, maka hendak
kuantar dia ke Wanpeng."
"Baik, kami takkan membikin susah padanya," ucap Lotoa.
Habis bicara ia lantas memberi jalan kepada Ni Beng-ay.
It-hiong lantas berkata kepada nona itu, "Nah, boleh kau
berangkat lebih dulu, di depan adalah kota Koyu, boleh kau
tunggu aku di sana."
"Tidak, kalau mati biarlah kumati bersamamu," kata si nona.
It-hiong tertawa, "Hus, jangan sembarangan omong, aku
justru tidak ingin mati."
Beng-ay melirik sekejap Kang-pak-go-hou, tanyanya kepada
It-hiong, "Apakah engkau sanggup melawan mereka
berempat?"
"Jangan khawatir," It-hiong mengangguk dengan tertawa.
"Aku pasti akan menyusul ke sana dengan selamat."
"Jika mereka sudah berjanji takkan membikin susah padaku,
buat apa aku berangkat lebih dulu?"
"Nyata engkau tidak tahu urusan," ujar It-hiong. "Kebanyakan
orang pada permulaan memang suka bicara muluk-muluk dan
gagah kesatria, tapi bila mereka menderita kalah, dari malu
bisa berubah menjadi kalap, lalu segala jalan dapat
ditempuhnya. Sebab itulah mumpung mereka tidak mau
membikin susah padamu boleh lekas kau pergi dari sini."
"Engkau pasti tidak menjadi soal?" tanya Beng-ay dengan
khawatir. "Hal ini bergantung padamu, bila kau turut kepada
perkataanku dan lekas berangkat dulu, dalam keadaan pikiran
tidak dibebani urusan lain pasti aku akan menang."
Beng-ay paham maksudnya, katanya, "Baiklah, akan kutunggu
di pinggir gerbang kota, sehari engkau tidak datang akan
kutunggu sehari, selamanya engkau tidak muncul juga akan
kutunggu selamanya."
"Tidak perlu sampai satu hari, paling banyak setengah hari
pun sudah cukup," kata It-hiong dengan tertawa. "Tapi
bilamana terjadi sesuatu atas diriku, sebaiknya engkau jangan
menunggu selamanya di situ, biarlah kudaku itu kau ambil
saja, sedikit bekal dalam ranselku itu pun kuberikan padamu
dan boleh kau berangkat sendirian ke Wanpeng."
Bicara sampai di sini, tanpa memberi kesempatan bicara lagi
kepada Ni Beng-ay segera ia tepuk pantat kuda dan dibentak,
"Kudaku sayang, ayo lekas pergi!"
Serentak kuda putih itu membedal ke depan dengan cepat.
Kuda itu tidak lari sepenuh tenaga, namun Pek-sin-liong itu
memang kuda mestika yang cerdik, ia tahu Beng-ay tidak
mahir menunggang kuda, maka sengaja tidak lari cepat.
Setelah menyaksikan Beng-ay sudah pergi jauh barulah ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong berpaling dan berkata kepada Lotoa tadi, "Nah, baiklah,
sekarang kalian boleh mulai turun tangan. Cuma sebelumnya
perlu kuperingatkan kepada kalian, bilamana benar kalian
dapat mengalahkanku dan merampas peti ini, kalian masih
perlu juga hati-hati terhadap seorang lagi."
"Hati-hati terhadap siapa?" tanya Lotoa.
"Miau-lolo," jawab It-hiong.
"Memangnya dia kenapa?" Lotoa menegas dengan sangsi.
"Semalam dia dan Kim-kong Taysu, Koh-ting Tojin, Kiong-susing
Sun Thian-tek bertiga sama muncul juga dan hendak
merampas petiku ini, lantaran dia dan ketiga orang lain itu
merasa sama-sama tokoh Bu-lim terkemuka dan cukup
dihormati, mereka tidak mau saling bermusuhan hanya
lantaran berebut sebuah peti, maka mereka lantas bersepakat
mengadakan pertandingan pendahuluan, yang menang boleh
ikut dalam perebutan peti, akhirnya dia dan Kim-kong Taysu
serta Koh-ting Tojin tersisihkan, sebab itulah dia malu untuk
mengincar lagi petiku ini ...."
Dengan sendirinya Lotoa pernah juga mendengar nama Kimkong
Taysu dan Koh-ting Tojin yang disegani itu, ia merasa
Kungfu dirinya ditambah saudaranya masih selisih jauh bila
dibandingkan tokoh-tokoh itu, sedangkan Liong It-hiong yang
dihadapinya sekarang justru mampu lolos dengan selamat dari
cegatan jago kuat sebanyak itu, maka diam-diam ia terkejut
akan kelihaian anak muda ini.
Rupanya cerita Liong It-hiong itu pun menarik baginya, ia
coba tanya lagi, "Dan siapa akhirnya yang keluar sebagai
pemenang, apakah Kiong-su-sing Sun Thian-tek?"
It-hiong mengangguk, "Betul."
Lotoa tampak kejut dan ragu, tanyanya pula, "Dan dia tidak
jadi merampas petimu ini?"
"Memangnya kau kira dia begitu murah hati terhadapku?"
sahut It-hiong dengan tertawa.
"O, jadi dia telah turun tangan hendak merampasnya?" desak
Lotoa. "Ya, dengan sendirinya dia telah turun tangan padaku," kata
It-hiong. "Tapi engkau dapat menggempurnya lagi?" tanya Lotoa
dengan terbelalak.
Karena It-hiong sudah berjanji kepada Sun Thian-tek takkan
menyiarkan apa yang terjadi sesungguhnya, maka dia sengaja
melantur, katanya, "Tidak, orang semacam diriku mana
mampu mengalahkan Kiong-su-sing Sun Thian-tek yang
termasyhur itu" Soalnya dia sendiri yang lengah sehingga aku
berhasil meloloskan diri."
Keterangan ini membuat Lotoa merasa lega, sebab ia pikir jika
Liong It-hiong belum lagi mengalahkan Sun Thian-tek, maka
mereka bersaudara barulah ada harapan mengalahkan anak
muda ini. Segera ia tanya lagi, "Dan apa maksudmu menyuruh
kami hati-hati terhadap Miau-lolo?"
"Sebab dia tidak bebas lagi merampas peti ini langsung dariku,
maka kalian dihasut agar mencegat diriku, sudah tentu telah
direncanakan bilamana kalian berhasil mendapatkan peti ini
dariku, segera juga ia akan merampasnya dari kalian."
"Hm, apa betul beginilah tujuannya?" jengek Lotoa dengan air
muka berubah. "Menurut dugaanku, delapan bagian pasti demikian."
Lotoa menjadi gusar, teriaknya, "Nenek keparat, kiranya dia
tidak berniat baik!"
Mendadak Loji ikut bicara, "Jangan Toako terkena tipu
mengadu domba bocah ini, Miau-lolo adalah kawan baik ibu
selama puluhan tahun, mana dia sampai hati merampas
barang kami."
Lotoa itu agaknya juga orang yang tidak punya pendirian,
ucapan saudaranya itu dirasakan beralasan juga, segera ia
pasang kuda-kuda dan berseru, "Liong-hiap, segera kami akan
turun tangan merampas petimu, jika kami mengalahkanmu
harus kau serahkan peti itu."
"Baik, tapi bagaimana bila beruntung aku yang menang?"
tanya It-hiong.
"Jika begitu segera kami memberi jalan kepadamu," jawab
Lotoa. "Bagus, setuju?"
"Setuju!"
It-hiong lantas melolos Siau-hi-jong dan siap tempur, katanya,
"Silakan mulai."
Lotoa mengedipi ketiga saudaranya, serentak keempat orang
mengepung It-hiong di tengah, lalu mendesak maju dan siap
serang. Sudah sering juga It-hiong mendengar nama "Kang-pak-gohou,"
namun dia tidak memandang sebelah mata kepada
mereka, dengan pedang terhunus ia berdiri tenang dan
menunggu serangan mereka dengan tersenyum.
Meski di antara kelima saudara itu sudah pergi seorang,
namun cara mereka main kerubut terhadap musuh sudah
sangat berpengalaman, dari empat jurusan mereka mendesak
maju, langkahnya teratur serupa berbaris.
Namun It-hiong tidak ingin mendahului menyerang, ia
bermaksud menghadapi lawan dengan ketenangan, ini
memang kebiasaannya, sebelum musuh menyerang dia tidak
mau menyerang. Sekali musuh bergerak segera ia mendahului
menyerang. Ketika Kang-pak-go-hou sudah mendekat, kira-kira satu
tombak di sekitar It-hiong, lalu berhenti terus mulai mengitar.
Empat orang memakai delapan kapak besar dan gemilapan di
bawah sinar matahari, seram juga tampaknya.
Sekonyong-konyong Lotoa mendahului melancarkan serangan,
ia meraung sekali, kapak sebelah kiri membacok pundak
kanan It-hiong.
Serangan ini merupakan perintah mengerubut kepada
saudaranya, maka serentak Loji, Losi dan Logo sama ikut
menyerang, empat kapak mereka pun menyambar ke tubuh
It-hiong. "Bagus!" bentak It-hiong, sekali berputar, lebih dulu ia
hindarkan kapak Lotoa, menyusul tangan kiri menyambitkan
peti hitam untuk menghantam muka Loji, menyusul pedang
pandak di tangan kanan menebas kapak Losi, berbareng kaki
kanan juga menendang pergelangan tangan kanan Logo. Tiga
jurus serangan dilancarkan sekaligus, gerakannya cepat,


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gayanya indah. Loji tidak menduga orang dapat menggunakan peti hitam itu
sebagai senjata, ketika peti itu menyambar tiba, ia terkejut,
cepat ia menarik kembali kapaknya dan mendak ke bawah
untuk menghindar.
Ketika Losi merasa gagang kapak sendiri hendak ditebas oleh
pedang pandak lawan, ia pun cepat mengangkat kapak ke
atas untuk menangkis.
"Creng", kapak beradu dengan pedang pandak, tapi mata
kapak telah tertebas sebagian oleh pedang, Siau-hi-jong
sungguh pedang mestika yang dapat memotong besi seperti
merajang sayur.
Keruan Losi melompat mundur dengan kaget, teriaknya,
"Awas, bocah ini memakai pedang mestika!"
Pada waktu dia berteriak, "blang", dengan tepat pergelangan
tangan Logo juga kena ditendang oleh It-hiong.
Logo menjerit kaget sambil melompat mundur.
Kontak pada gebrakan pertama ini boleh dikatakan Liong Ithiong
sama sekali berada di atas angin.
Kiranya Kang-pak-go-hou sebenarnya bukanlah tokoh silat
kelas tinggi, perkembangan anggota badan mereka memang
subur, namun otak mereka kerdil, sebabnya nama mereka
terkenal di dunia Kangouw adalah berkat kebesaran nama ibu
mereka. Ibu mereka adalah satu di antara "Sam-lolo" atau tiga nenek
yang termasyhur di Bu-lim yaitu Gu-lolo, salah seorang tokoh
wanita dunia persilatan yang top pada zaman ini.
Akan tetapi ibu yang lihai itu ternyata melahirkan lima anak
yang tolol. Tubuh mereka memang gede, namun semuanya
berotak udang, mereka hanya menguasai sedikit Kungfu
kasaran saja, Kungfu yang agak tinggi sukar masuk ke dalam
otak mereka. Cuma lantaran mereka mempunyai seorang ibu
yang gemilang maka orang Kangouw sama mengalah kepada
mereka. Lantaran pikiran seperti itu juga, maka cara bertempur Liong
It-hiong juga pakai ukuran, kalau benar dia mau melabrak
mereka, cukup sekali dua gebrak saja mereka sudah
dibereskannya. Kini demi melihat si buncit kena ditendang Liong It-hiong,
Lotoa khawatir kalau lawan menambahi serangan maut lagi
kepada Logo, cepat ia membentak dan memburu maju, kedua
kapak diangkat terus membacok sekuatnya.
Berbareng itu Loji, dan Losi juga ikut menyerang, yang satu
dari kanan yang lain dari kiri, kapak terus menghujani lawan.
Namun dengan gerakan yang lincah dan cepat dapatlah Ithiong
menghindarkan setiap serangan mereka, mendadak ia
mendak ke bawah, pedang pandak terus berputar, sekali
berkelebat, terdengarlah suara mendering, menyusul ia lantas
melompat mundur, serunya dengan tertawa. "Nah, Li-toako,
sudah cukup bukan?"
Keempat Li bersaudara itu saling pandang dengan melongo.
Kiranya kedelapan kapak mereka kini sama tersisa setengah
gagang saja yang terpegang di tangan, semuanya sudah
tertebas putus dan jatuh ke lantai.
Sampai sekian lama, Lotoa melenggong, kemudian barulah ia
menggerutu, "Keparat, ini keberapa kali?"
"Kesepuluh kalau tidak salah!" ucap Loji.
Dengan gemas Lotoa melemparkan gagang kapak ke tanah,
teriaknya, "Sekali ini kita harus ganti gagang kapak sendiri,
supaya tidak ditertawai Loh-lotia (bapak Loh)."
"Betul," tukas Logo. "Setiap kali kita minta dia mengganti
gagang kapak kita selalu kita diolok-olok olehnya."
"Sekali ini kita ganti saja dengan gagang besi agar tidak selalu
ditebas putus orang," ujar Losi.
"Betul, setuju!" Logo mengangguk-angguk.
Lotoa menghela napas, keluhnya, "Wah, sebentar di rumah
tentu akan dimaki ibu lagi ...."
"Memang," sambung Logo. "Selama sekian tahun kita
bersaudara tidak pernah menang berkelahi, pantas juga ibu
lalu marah."
Kembali Lotoa menghela napas, lalu memberi tanda kepada
Liong It-hiong, katanya, "Liong-hiap, bolehlah engkau berlalu."
Sebabnya Kang-pak-go-hou dapat hidup sampai sekarang juga
terletak pada hal ini, yaitu berani mengaku kalah.
It-hiong memberi hormat, katanya, "Terima kasih, cuma aku
mungkin tidak dapat berangkat sekarang."
"Memangnya kenapa?" tanya Lotoa.
"Ibumu datang!" jawab It-hiong dengan tertawa.
Benar juga, Gu-lolo telah muncul.
Sebabnya dia disebut "Gu-lolo" atau si nenek kerbau mungkin
bukan lantaran dia she Gu melainkan karena tubuhnya segede
kerbau. Kelihatan usianya sudah di atas tujuh puluhan, rambutnya
sudah ubanan, tapi tinggi badannya lebih enam kaki, seluruh
badan daging belaka. Yang lucu adalah tongkat yang
dipegangnya adalah sebatang tongkat bambu yang kecil
sehingga tidak berimbang dengan perawakannya.
Dia muncul dari dalam hutan di tepi jalan sana, setiap satu
langkah bumi seakan-akan berguncang, sungguh sangat
menakutkan perbawanya.
Losam yang tadi menangis dan berlari pulang itu sekarang
mengintil di belakang sang ibunda, dia seperti dapat menduga
Lotoa pasti akan mendapat ganjaran, maka dia kelihatan
senang dan setengah mengejek.
Benar juga, sesudah dekat, Gu-lolo tidak lantas berurusan
dengan Liong It-hiong, tapi langsung melototi putranya yang
tertua itu dengan sikap garang seolah-olah hendak
menelannya bulat-bulat.
Seketika Lotoa ketakutan serupa tikus ketemu kucing, dengan
sikap gugup ia menunduk dan membungkuk tubuh.
Setelah mendeliki Lotoa sejenak, mendadak ia membentak
bengis, "Angkat kepalamu!"
Lotoa tampak gemetar, perlahan ia angkat kepala, ucapnya
dengan gelagapan, "Bu, dengarkan dulu penjelasanku ...."
"Penjelasan apa?" hardik Gu-lolo dengan mendelik.
"Menjelaskan bahwa kau pintar memukuli adik sendiri, begitu
bukan" Sialan, bapakmu tidak becus, hasilnya beberapa anak
seperti kalian juga tidak becus, tiap hari hanya bikin marah
orang tua saja."
Lotoa menunduk dan tidak berani bersuara lagi.
Dengan muka bengis Gu-lolo berkata pula, "Coba jawab,
kenapa kau bilang mau pecahkan kepala Losam?"
"Aku ... aku hanya ... hanya mengancamnya saja dan tidak ...
tidak sungguh-sungguh," jawab Lotoa dengan tergegap.
"Kenapa kau ancam dia" Padahal kau tahu nyalinya kecil,
mengapa kau takut-takuti dia?" desak lagi Gu-lolo.
"Dia goblok, tanpa ditanya dia menyebut Miau-lolo segala,"
tutur Lotoa. "Bukan, tidak, dia yang omong lebih dulu, kuperingatkan dia
jangan omong, dia berbalik memaki diriku dan mengancam
hendak memecahkan kepalaku dan hendak mencencang
tubuhku berkeping-keping," teriak Losam.
"Kentut!" teriak Lotoa dengan gusar. "Bilakah pernah kubilang
mau mencencang tubuhmu" Jika berani sembarang omong
lagi bisa ku ...."
"Kau mau apakan dia?" bentak Gu-lolo.
Seketika Lotoa tutup mulut dan menunduk.
"Hm, di depanku saja berani kau takuti dia, maka bagaimana
jadinya bila di belakangku tentu dapat dibayangkan," jengek
Gu-lolo. "Ayo, berlutut!"
Lotoa tidak berani membangkang, dengan penasaran ia
bertekuk lutut.
"Kau tidak berani kepada orang luar, tetapi berani memukuli
adik sendiri, kau pantas dihajar atau tidak?" tanya pula Gulolo.
"Pan ... pantas dihajar," jawab Lotoa.
"Jika begitu lekas julurkan tanganmu!"
Perlahan Lotoa lantas menjulurkan kedua tangannya.
Gu-lolo mengangkat tongkat bambunya dan memukul telapak
tangannya tiga kali, lalu membentak, "Nah, lain kali masih
berani tidak?"
"Tidak berani lagi," jawab Lotoa sambil menggosok-gosok
tangannya yang kesakitan.
"Tadi kalian menang atau kalah?" tanya Gu-lolo.
"Ka ... kalah," jawab Lotoa takut-takut.
"Apakah masih ingat peraturan yang kutetapkan tempo hari!"
"Ingat," jawab Lotoa.
"Jika begitu, julurkan lagi tanganmu," bentak Gu-lolo dengan
gusar. Dengan takut-takut Lotoa menjulurkan lagi kedua tangannya
dan memohon, "Bu, harap engkau pukul perlahan sedikit, bila
terlalu keras, tangan anak bisa tidak berguna lagi."
"Memangnya sudah lama kau tidak berguna lagi, bilamana
berguna tentu tidak kalah setiap bertempur sehingga bikin
malu nama ibu sendiri," maki Gu-lolo.
Sambil bicara ia angkat tongkat bambu dan menyabet
sekerasnya, setiap kali menyabet selalu disertai caci maki.
Agaknya peraturannya menentukan bila kalah satu kali harus
dihajar pukul telapak tangan sembilan kali, maka sesudah
memukul sembilan kali ia lantas berhenti dan membentak,
"Lekas minggir!"
Cepat Lotoa bangun dan menyingkir dengan lesu.
Lalu Gu-lolo berkata kepada Loji, Losi dan Logo, "Nah, kalian
pun julurkan tangan."
Terpaksa ketiga saudara itu menjulurkan tangan.
Lalu tongkat bambu Gu-lolo bekerja cepat, ia pun memukul
telapak tangan mereka sembilan kali setiap orang, lalu ia
berpaling dan membentak Losam, "Kau pun sama, kenapa
tidak lekas menjulurkan tangan."
"Jangan ibu memukulku," protes Losam.
"Kenapa jangan?" bentak Gu-lolo.
"Sebab pertarungan tadi aku tidak ikut serta, mereka
berempat yang kalah, anak tidak hadir di sini," seru Losam.
"Apa betul begitu?" Gu-lolo menegas.
"Betul," kata Losam. "Bila anak ikut bertempur tadi pasti
takkan kalah."
Gu-lolo mengangguk, "Ehm, betul juga, Ngo-gu-sin-tin
(barisan sakti lima kerbau) yang kuajarkan kepada kalian tidak
ada tandingannya, bilamana tadi kau ikut pasti takkan kalah.
Baiklah, bukan salahmu, bebas dari hukuman."
Maka tertawalah Losam dengan bangga.
Lalu Gu-lolo berpaling ke arah Liong It-hiong, tegurnya
dengan dingin, "Apakah kau ini yang bernama Liong It-hiong
dengan julukan Liong-hiap segala?"
"Betul," It-hiong memberi hormat, "Sungguh beruntung hari
ini dapat berjumpa dengan Gu-lolo yang namanya termasyhur
di seluruh kolong langit ini."
"Hm, tidak perlu kau pakai cara menyanjung puji segala,
nyonya besar tidak mempan dicekoki cara begini," jawab Gulolo
dengan ketus. "Sama sekali tidak ada maksudku menyanjung puji, sebab
engkau memang benar tokoh yang termasyhur," ujar It-hiong.
Betapa pun setiap orang suka diumpak, maka tidak urung
tertawa juga Gu-lolo, dengan ramah ia berkata pula. "Baiklah,
sekarang boleh kau tinggalkan kotak itu, mengingat engkau
masih tahu sopan santun, biarlah kuampuni jiwamu."
"Wah, maaf, tidak dapat kuberikan peti ini," sahut It-hiong.
Seketika Gu-lolo menarik muka, bentaknya, "Kenapa tidak?"
"Sebab peti ini bukan milikku," tutur It-hiong.
"Omong kosong," damprat Gu-lolo dengan gusar, "Kalau
bukan milikmu kenapa bisa berada padamu."
"Masa engkau tidak diberitahukan oleh Miau-lolo?" tanya Ithiong.
"Dia bilang petimu itu berisi benda mestika berharga sepuluh
laksa tahil perak dan hendak diantar sebagai kado ulang tahun
kepada seorang pangeran," kata si nenek. "Hm, ingin
kuperingatkan padamu, daripada susah payah kau antar peti
itu kepada pangeran apa, kan lebih baik kau berikan kepada
nyonya besar saja."
"Engkau tertipu, Gu-lolo," kata It-hiong. "Isi peti ini sama
sekali bukan benda mestika, jika cuma barang seharga
sepuluh laksa tahil tak nanti menarik perhatian tokoh kelas
tinggi sebangsa Kim-kong Taysu, Koh-ting Totiang dan
sebagainya."
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 5 "Habis apa isi peti itu?" tanya si nenek.
"Aku pun tidak tahu," ucap It-hiong sambil menggeleng. "Aku
hanya dipesan orang untuk menyampaikannya ke suatu
tempat ...."
Lalu ia menceritakan apa yang dialaminya secara singkat.
Tampaknya Gu-lolo rada tertarik, "Apakah benar
penuturanmu?"
"Seratus persen benar, masa kubohong?" jawab It-hiong
tegas. Sinar mata si nenek tampak menampilkan rasa gusar, "Hm,
persaudaraan selama berpuluh tahun, tak tersangka dia juga
mendustai diriku."
"Pribadi Miau-lolo itu keji dan kejam, engkau justru harus
waspada terhadapnya," ujar It-hiong.
Tiba-tiba Gu-lolo tersenyum, "Cuma, kalau peti ini terusmenerus
menjadi incaran mereka, hal ini menandakan nilainya
tidak cuma sepuluh laksa tahil perak saja, bisa jadi berharga
ratusan atau ribuan laksa."
"Tidak," cepat It-hiong menyangkal. "Menurut dugaanku, isi
peti ini adalah sesuatu benda yang sangat penting dan bukan
harta pusaka."
"Peduli barang apa isi peti itu, jika mereka saling berebut,
tidak boleh tidak aku pun ikut merampas juga," kata Gu-lolo
dengan tertawa.
"Tadi putramu sudah berjanji di muka, bilamana mereka kalah
segera aku boleh pergi, Lolo sendiri adalah tokoh ternama,
masa akan merusak nama baik sendiri?"
"Nenek adalah nenek dan mereka adalah mereka, yang
berjanji akan melepaskanmu kan mereka dan bukan aku."
"Kuharap engkau suka menimbangnya lebih mendalam," kata
It-hiong. "Jika peti ini menjadi incaran orang sebanyak itu,
barang siapa memperolehnya berarti akan dijadikan sasaran
pula oleh yang lain, peti ini pasti akan mendatangkan
malapetaka bagimu."
"Tidak menjadi soal, nyonya besar selamanya bernasib mujur


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berezeki besar, betapa hebat datangnya malapetaka juga
akan buyar, tidak perlu kau khawatirkan bagiku," kata Gu-lolo
dengan tertawa. Habis bicara, sekali melangkah maju, kontan
tongkatnya lantas menghantam.
Jangan sangka tongkat bambu itu sekecil itu, berada di tangan
si nenek berubah menjadi sangat lihai dengan tenaga yang
sukar diukur. Liang It-hiong tidak berani meremehkan nenek ini, cepat ia
mengelak dan menangkis dengan pedang pandak.
Pedang pandak itu sanggup memotong besi serupa merajang
sayur, untuk menebas tongkat bambu sekecil itu tentu saja
sangat mudah, sebab itulah tanpa pikir ia tangkis tongkat
bambu lawan dengan maksud menebasnya hingga putus
untuk membuatnya gelar.
Tak terduga Gu-lolo tidak setolol kelima anaknya, serangannya
cepat, cara menarik kembali tongkatnya juga cepat. Begitu
melihat pedang pandak It-hiong menebas, cepat ia tarik
tongkat dan ganti dengan serangan lain, ia tutuk pinggang
anak muda itu dengan ujung tongkat.
Cepat Liong It-hiong juga ganti jurus serangan, ia putar ke
samping, berbareng pedang balas menusuk tenggorokan si
nenek. Gu-lolo terkekeh, ia mengegos dan tongkat bambu menyabet
kaki lawan. Cepat It-hiong melompat untuk menghindar, berbareng
pedang menebas ke bawah, kembali tongkat bambu orang
hendak dikutunginya.
Si nenek seperti sudah tahu sebelumnya, belum jurus
serangan Liong It-hiong dilancarkan dia sudah tahu langkah
lanjut anak muda itu. Keadaan demikian terjadi juga sekarang,
baru saja It-hiong melompat ke atas, segera Gu-lolo ganti
serangan pula, bukan cuma pedang It-hiong menebas tempat
kosong, bahkan tongkat bambu terus menutuk lambungnya.
Sama sekali It-hiong tidak menduga begini cepat perubahan
serangan si nenek, dalam keadaan terapung di udara tentu
sulit baginya untuk menangkis, karena kepepet, kembali ia
gunakan kotak hitam yang terantai di tangannya, kotak
digunakan untuk menimpuk kepala lawan.
Serangan ini sangat nekat, yaitu biar gugur bernama musuh,
karena merasa tidak mampu menghindari tusukan si nenek,
terpaksa It-hiong berbuat nekat.
Pada detik yang paling gawat, yaitu ketika serangan masingmasing
hampir mengenai sasarannya, sekonyong-konyong
terdengar suara "plok" sekali.
Suara ini timbul dari pantat Gu-lolo seperti tertimpuk sesuatu
benda. Seketika nenek itu berjingkrak kesakitan sambil berteriak,
"Aduh! Keparat, siapa yang menyerang orang secara gelap?"
Karena teriakan dan berjingkrak, dengan sendirinya tutukan
tongkatnya tidak tepat mengenai sasaran melainkan cuma
mengenai pinggul It-hiong yang tidak berbahaya, sebaliknya
kotak hitam anak muda itu tidak mengenai kepala si nenek
melainkan mengenai pundaknya.
"Bluk", kontan Gu-lolo tertimpuk dan jatuh terjengkang.
It-hiong tahu ada orang diam-diam membantunya, ia sangat
girang, tanpa ayal lagi ia terus angkat langkah seribu, lari ke
depan secepat terbang.
Melihat It-hiong mau kabur, cepat Lotoa tadi melompat maju
merintanginya sambil membentak, "Jangan lari!"
Berbareng kedua tangan lantas menyodok ke depan.
It-hiong mengelak ke samping, dampratnya dengan gusar,
"Orang she Li, tadi kalian sudah kalah, apakah ucapanmu
serupa kentut belaka"!"
Muka Lotoa menjadi merah dan urung menyerang lagi
melainkan membiarkan It-hiong kabur.
Setelah berlari lari sekian jauhnya, waktu berpaling dan tidak
terlihat dikejar Gu-lolo, tahulah It-hiong nenek itu terluka tidak
ringan dan takkan menyusulnya. Ia lantas mengendurkan
larinya, sembari melanjutkan perjalanan ia membatin, "Yang
melukai nenek itu tadi entah si 'cucakrawa' atau si 'aku bukan
cucakrawa'?"
Ia merasa lebih besar kemungkinan si "aku bukan cucakrawa"
yang telah menolongnya. Namun hal ini membuatnya tidak
mengerti juga. Tak terpikir olehnya siapakah yang sudi
membantunya" Padahal setiap orang sama mengincar kotak
yang dibawanya, mengapa ada seorang sengaja membelanya
malah" Ia tidak memikirkan lagi hal ini, sebab sekarang timbul lagi
tanda tanya yang lain, yaitu tentang Ni Beng-ay.
Nona itu baru berangkat sebentar saja, menurut perkiraan
paling jauh baru dua-tiga li saja, padahal sekarang dirinya
sudah menyusul lima-enam li jauhnya, mengapa bayangan si
nona belum lagi kelihatan.
Jangan-jangan dia lari dengan sangat cepat" Rasanya hal ini
tidak mungkin terjadi, sebab dia tidak mahir menunggang
kuda, tentu tidak berani membedal kuda dengan terlampau
cepat. Atau mungkin dia tidak melalui jalan raya melainkan memilih
jalan kecil"
Ini pun tidak mungkin. Pek-sin-liong adalah kuda yang cerdik,
kuda ini takkan sembarangan membawa si nona ke jalan yang
tidak benar, pula nona itu juga tidak dapat mengendalikannya.
Wah, jika begitu tentu terjadi sesuatu!
Berpikir sampai di sini, It-hiong menjadi gelisah, segera ia
percepat lagi larinya, kembali dua-tiga li sudah dilaluinya dan
bayangan Ni Beng-ay tetap tidak kelihatan, hal ini
membuatnya tambah gugup dan cemas.
"Celaka, nona secantik itu, bilamana diculik oleh orang jahat,
akibatnya tentu sukar dibayangkan. Tahu begini, tidak nanti
kusuruh dia berangkat lebih dulu," demikian pikirnya dengan
khawatir. Selagi bingung, tiba-tiba di kejauhan samping kanan sana ada
orang berteriak padanya, "Hai, Liong-hiap, harap kemari!"
Tergetar hati It-hiong, cepat ia berhenti dan memandang ke
arah suara, terlihat beberapa puluh tombak di dekat hutan
sana ada seorang sedang menggapai padanya. Karena
jaraknya agak jauh sehingga tidak tertampak jelas siapa dia,
tapi segera disadarinya Ni Beng-ay pasti telah berada dalam
cengkeraman orang itu.
Ia pikir jika kudekati dia, tentu dia akan memerasku dengan
menggunakan Ni Beng-ay sebagai alat ancaman untuk
memaksa kuserahkan kotak ini. Jika aku berlagak tidak tahu
dan tetap melanjutkan perjalanan, dari sana diam-diam aku
berputar balik untuk menolong si nona.
Pikiran itu bekerja dengan cepat, maka segera ia berlari lagi
ke depan. "Liong It-hiong, harap datang kemari!" kembali orang tadi
berseru. Namun It-hiong berlagak tuli, dan tetap lari ke depan.
Melihat anak muda itu tidak menggubrisnya orang itu
berteriak pula, "Liong It-hiong, jika engkau tetap tidak kemari,
segera kubunuh dulu kudamu ini!"
Mendengar ancaman ini, mau tak mau It-hiong harus menaruh
perhatian, ia tahu pihak lawan mungkin takkan segera
membunuh Ni Beng-ay, tapi untuk membunuh seekor kuda
bisa saja dilakukannya dengan segera. Dengan sendirinya ia
tidak mau kuda kesayangannya dibunuh orang, terpaksa ia
putar balik dan lari ke hutan sana.
Jarak beberapa puluh tombak itu dalam sekejap saja sudah
dicapainya, dilihatnya di depan adalah hutan yang lebat, orang
yang berteriak itu adalah seorang kakek berbaju kelabu dan
berwajah kurus tirus.
It-hiong berhenti satu tombak jauhnya di depan kakek itu,
tanyanya, "Siapa Anda, mau apa memanggilku ke sini?"
Kakek itu tertawa mengekek, katanya pula, "Coba kemari,
akan kuperlihatkan satu orang kepadamu."
Habis berkata ia terus masuk ke dalam hutan.
Usia kakek ini lebih 60-an, perawakannya sedang, namun
kelihatan kuat. Senjatanya yang tersandang di punggungnya
adalah sepasang ruyung baja bersegi banyak, dipandang dari
gerak-geriknya jelas dia seorang tokoh Bu-lim terkemuka.
It-hiong tahu orang yang hendak diperlihatkan kepadanya
tentu Ni Beng-ay adanya, maka ia hanya tersenyum dan ikut
masuk ke dalam hutan.
Tidak jauh, lebih dulu dilihatnya kuda putihnya tertambat di
batang pohon dan asyik makan rumput.
Menyusul lantas terlihat Ni Beng-ay.
Nona itu terikat pada batang pohon dan sedang menangis
sedih, melihat kedatangan It-hiong segera ia menjerit, "Oo,
lekas menolongku Liong-kongcu!"
Tapi si kakek berbaju kelabu mendahului melompat ke
samping Beng-ay, ia ancam tenggorokan si nona dengan
sebilah belati, katanya sambil terkekeh. "Hehe, Liong It-hiong,
apakah kau minta nona ini tetap hidup atau mati?"
Dengan tak acuh, It-hiong bersandar di pohon, ucapnya
dengan melirik hambar, "Numpang tanya dulu, siapa namamu
yang terhormat?"
"Maaf, aku-tidak perlu memberitahukan nama segala," jawab
si kakek dengan tertawa licik.
"Oo, jika begitu, tampaknya engkau toh mempunyai perasaan
malu juga," ujar It-hiong dengan tersenyum.
"Betul, selama hidupku memang tidak pernah berbuat rendah
seperti ini," kata si kakek. "Tapi hari ini demi mendapatkan
kotak itu, terpaksa kulakukan cara begini, kuharap engkau
dapat memakluminya."
"Jika tidak kuserahkan kotak ini lalu bagaimana?"
"Jika begitu, kukira kau tahu apa yang akan kulakukan."
"Apakah engkau mempunyai anak kunci untuk membuka
belenggu di tanganku ini?" tanya It-hiong.
"Ada," jawab si kakek.
"Miau-lolo dan lain-lain tidak punya anak kunci, sebaliknya
engkau punya, ini menandakan betapa erat hubunganmu
dengan peti ini," kata It-hiong dengan tertawa.
"Memang betul," ujar si kakek baju kelabu.
"Baiklah, coba lemparkan anak kuncimu," pintu It-hiong.
Air muka si kakek menampilkan rasa girang, katanya, "Sudah
kau putuskan akan kau serahkan kotak hitam itu kepadaku?"
"Omong kosong," semprot It-hiong sambil berkerut kening.
"Jika tidak kuberikan peti ini, untuk apa kuminta anak
kuncinya kepadamu?"
Dengan girang si kakek lantas mengeluarkan serenceng anak
kunci, katanya dengan tertawa, "Di sini ada lima buah anak
kunci, sengaja kubuat setelah mempelajari berbagai gembok,
kuyakin satu di antaranya pasti dapat membuka belenggu itu,
boleh kau cobanya satu per satu."
Segera ia melemparkan serenceng anak kunci itu.
Dengan cekatan It-hiong menangkapnya dan dipandang
sekejap, katanya dengan tertawa, "Melihat bentuknya hampir
semuanya serupa."
"Ya, semua anak kunci itu dibuat khusus untuk membuka
belenggu tangan, maka bentuknya hampir sama."
It-hiong tidak segera mencoba anak kunci itu, sambil
mengangkat serenceng anak kunci ia berkata, "Jika tidak
dapat kubuka janganlah kau salahkan diriku lho"!"
Suara si kakek berubah ketus, katanya, "Bila tidak dapat
membukanya, terpaksa harus merepotkan dirimu agar
berusaha memotong rantainya, pokoknya hari ini harus
kudapatkan kotak itu, kalau tidak takkan kubebaskan nona
ini." "Ai, kenapa tidak kau pikirkan, bilamana dapat kupotong rantai
borgol ini, mana kumau menunggu sampai sekarang?" ujar Ithiong.
"Hm, tidak perlu berlagak bodoh," jengek si kakek. "Aku sudah
tahu engkau baru mendapatkan sebilah pedang pusaka dari
Sun Thian-tek."
"Hah, cepat juga berita yang kau dapatkan," seru It-hiong
dengan tertawa.
"Sudahlah, tidak perlu banyak cincong, lekas buka belenggu
itu," dengus si kakek tak sabar.
It-hiong mengangkat pundak, katanya, "Sekarang kotak ini
akan segera jatuh ke tanganmu, maka aku jadi ingin tahu juga
apa isi kotak ini, sudikah kau katakan padaku?"
"Tidak, lebih baik engkau tidak tahu, sebab bilamana kau tahu
tentu berbahaya bagimu dan tiada faedahnya," ujar si kakek.
"Miau-lolo dan lain-lain sama tahu, mengapa aku tidak boleh
tahu?" tanya It-hiong."
Si kakek tidak menjawabnya lagi melainkan memandang belati
yang mengancam di tenggorokan Ni Beng-ay, jengeknya,
"Ayo, jika tidak lekas kau buka segera kutubles lehernya."
"Baik, baik, segera kubuka!" seru It-hiong cepat.
Ia pilih sebuah anak kunci dan dimasukkan ke dalam mata
kunci serta diputar ke kanan dan ke kiri, lalu katanya, "Yang
ini tidak cocok."
"Coba yang kedua," kata si kakek.
Segera It-hiong memasukkan lagi anak kunci kedua dan
diputar, katanya sambil menggeleng kepala, "Ini pun tidak
bisa." "Coba lagi yang ketiga," seru kakek itu.
Ketika anak kunci ketiga dimasukkan lagi oleh It-hiong, sekali
putar, "klik", belenggu itu segera terbuka.
"Hah, bagus, sekarang lekas lemparkan padaku kotak itu
bersama belenggunya," seru si kakek dengan girang.
Melihat borgol yang sudah terbuka itu, seluruh tubuh It-hiong
merasa terbebas dari tekanan berat. Tapi apa yang
dirasakannya sesungguhnya bukan keringanan, hatinya justru
merasa malu, merasa menyesal karena tidak dapat
melaksanakan pesan Si Hin yang sudah mati itu.
Diam-diam ia berdoa, "Si Hin, demi untuk menyelamatkan
nyawa seorang nona, terpaksa harus kuserahkan kotak ini
kepada orang lain, hendaknya engkau memaafkan
kesalahanku ini. Bilamana kotak ini dapat kurebut kembali,
tentu akan kutunaikan tugas bagimu."
Habis berdoa barulah ia melepaskan belenggunya dan
bersama kotak hitam itu dilemparkannya kepada si kakek
berbaju kelabu.
Si kakek merangkap belenggu itu dan langsung dipasang pada
pergelangan tangan kiri sendiri, lalu menjulurkan tangan dan
berkata pula, "Dan anak kunci itu!"
Tanpa rewel It-hiong melemparkan lagi anak kunci yang
diminta. Setelah menyimpan anak kunci dalam baju barulah berkata


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tertawa, "Terima kasih. Hendaknya jangan kau kejar
diriku, bila tidak menurut nasihat, kesempatanku untuk
mencelakai nona ini selalu ada."
Habis berkata mendadak ia melompat ke pucuk pohon,
dengan Ginkangnya yang sangat tinggi ia terus melayang
pergi. It-hiong menyusul ke atas pohon, dilihatnya dalam sekejap
saja kakek itu sudah melayang beberapa tombak jauhnya,
betapa tinggi Ginkang orang sungguh jarang dilihatnya selama
hidup ini. Mau tak mau It-hiong merasa ragu untuk mengejar, pikirnya,
"Tua bangka ini jelas bukan tokoh sembarangan, sekalipun
dapat kususul dia juga belum tentu mampu merampas
kembali kotak itu. Yang paling penting sekarang harus
kulepaskan Ni Beng-ay dulu."
Segera ia melompat turun dan mendekati Ni Beng-ay, ia
potong tali ringkusan nona itu dengan pedang pandak yang
tajam itu. Begitu bebas serentak Ni Beng-ay menjatuhkan diri dalam
pelukan It-hiong dan menangis sedih.
"Jangan menangis," hibur It-hiong. "Sekarang segalanya
sudah beres, tidak apa-apa lagi, jangan menangis!"
"Tapi aku telah ... telah membikin kotakmu dirampas orang,"
ratap Beng-ay. "Tidak menjadi soal," kata It-hiong. "Kotak itu barang mati,
manusia kan makhluk hidup, meski kehilangan sebuah kotak,
tapi dapat kuselamatkan nyawa seorang, kan cukup
berharga?"
"Tidak boleh berkata demikian, sebab peti itu memang
kepunyaanmu," ucap Beng-ay dengan tersendat.
"Jika kepunyaanku terlebih tidak menjadi soal lagi."
"Lekas kau kejar ke sana, coba, barangkali dapat menyusulnya
dan merampas kembali peti itu."
"Tidak, sudah tidak keburu lagi, Ginkang tua bangka itu
sangat hebat, saat ini mungkin sudah beberapa li jauhnya."
"Wah, lantas bagaimana baiknya?" ujar Beng-ay.
"Jangan khawatir, perlahan nanti kucari tahu, setelah
mengetahui siapa namanya tentu dapat kucari dia untuk minta
kembali peti itu."
"Dapat kau temukan nama dan tempat tinggalnya?" tanya si
nona. It-hiong mengangguk, "Kukira tidak sulit. Ginkangnya sangat
tinggi, senjata andalannya berbentuk ruyung baja istimewa,
berdasar ke dua ciri ini mungkin tidak sulit untuk mencari
keterangan tentang dia."
"Sungguh tidak tahu malu dia," omel Beng-ay dengan gemas.
"Dia menggunakan diriku untuk memerasmu menyerahkan
peti itu. Jika dia punya kepandaian, tidak seharusnya dia
menggunakan cara serendah itu."
"Di dunia persilatan, orang yang tidak tahu malu terlampau
banyak, pada umumnya orang tua tadi belum termasuk terlalu
busuk ...."
"Masa begitu perbuatannya tidak termasuk orang busuk?"
Beng-ay menegas dengan melongo.
"Ya, ada sementara orang selain merampas harta juga
memerkosa," kata It-hiong. "Padahal dia hanya mengincar
kotak saja dan tidak mengganggu dirimu, ini menandakan dia
tidak terlampau busuk."
Tiba-tiba It-hiong mengangkat dagu si nona, tanyanya dengan
tertawa, "Dia kan tidak sembarangan mengganggumu?"
"Ya, tidak," jawab Beng-ay dengan muka merah.
"Makanya kubilang dia tidak terlampau busuk," kata It-hiong.
"Cara bagaimana dia menculikmu ke sini?"
"Waktu itu aku sedang melarikan kuda putih, mendadak dia
menyusul tiba, tali kendali direbutnya terus dibawanya lari,
keruan aku ketakutan setengah mati, sekencangnya kupegang
pelana kuda ...."
"Dan akhirnya engkau dibawa ke sini?" tukas It-hiong dengan
tertawa. "Ya setiba di sini aku lantas diseret turun dan diikat di batang
pohon, aku diancam agar jangan berteriak minta tolong, kalau
tidak aku akan dibunuhnya."
"Mengapa engkau tidak pingsan ketakutan?" tanya It-hiong
dengan tersenyum.
"Ya, aku sendiri tidak tahu," jawab Beng-ay.
"Apa lagi yang dibicarakannya padamu?"
"Dia tidak bicara apa-apa."
It-hiong berpikir sejenak, lalu berkata pula, "Marilah kita
berangkat."
Habis itu ia lantas memondong si nona.
Agaknya Beng-ay sudah mulai terbiasa dengan ulah Liong Ithiong
yang urakan itu, ia membiarkan tubuhnya dipondong
dan tidak melawan.
Setelah membawa si nona ke atas kuda, segera It-hiong
membedal kuda putih itu keluar hutan dan meneruskan
perjalanan. Serupa anak kecil meringkuk dalam pangkuan sang ibu, Bengay
terus mendekap di dada It-hiong dan memejamkan mata.
Sejenak kemudian barulah ia mengangkat kepala dan berkata,
"Eh, tadi apakah dapat kau hajar lari kelima bandit itu?"
"Telah kukalahkan mereka, cuma mereka tidak lari, akulah
yang lari," tutur It-hiong.
"Mengapa bisa begitu?" tanya Beng-ay.
"Waktu aku hendak meninggalkan mereka, ibu kelima Li
bersaudara yang berjuluk Kang-pak-go-hou itu, Gu-lolo,
mendadak muncul. Haha, bicara tentang nenek Gu ini
sungguh sangat menggelikan. Ilmu silatnya tidak di bawah
Miau-lolo, dia juga tokoh termasyhur di dunia persilatan, dia
kelihatan sangat sayang kepada putranya yang ketiga, yaitu
Losam yang dogol itu."
Beng-ay tertawa geli, "Hihi, jahanam itu memang lucu, sudah
sebesar itu, tapi perangainya serupa anak kecil saja, hanya
diomeli beberapa kata oleh sang Toako segera ia menangis
dan lari pulang mengadu kepada maknya."
"Betul, bahkan begitu Gu-lolo datang, tanpa tanya ini-itu Lotoa
terus dihajar olehnya," sambung It-hiong.
Lalu ia menceritakan apa yang dilihatnya dan kemudian cara
bagaimana bertempur dengan Gu-lolo itu.
Beng-ay heran dan sangsi mendengar ada lagi orang yang
diam-diam membantu anak muda itu, tanyanya, "Siapa orang
itu?" "Kukira dia adalah orang yang mengaku 'aku bukan
cucakrawa' itu."
"Mengapa dia berturut-turut membantumu?" tanya pula si
nona. "Aku pun tidak tahu," jawab It-hiong.
"Kuyakin pasti ada alasannya!" ujar Beng-ay.
"Tentu saja, dia pasti orang iseng dan penganggur yang
sengaja menguntit diriku tanpa maksud tujuan."
Tanpa terasa Beng-ay memandang sekejap ke belakang,
katanya, "Kau bilang dia menguntit dirimu secara diam-diam?"
"Betul," jawab It-hiong.
"Sekarang juga masih menguntitmu?" si nona menegas.
"Kotak hitam itu sekarang sudah dibawa pergi si kakek baju
kelabu, apakah dia masih menguntitku atau tidak tentu saja
kurang jelas."
"Orang ini juga sangat aneh sehingga sukar diraba apa
maksud tujuannya," kata Beng-ay. "Jika dibilang sasarannya
terletak pada kotak hitam itu, buat apa pula berulang dia
membantumu menghalau musuh" Kalau dikatakan tujuannya
bukan terletak pada kotak itu, lalu untuk apa dia terus
membuntutimu?"
"Ya, memang aneh," tukas It-hiong.
"Makanya kukira cuma dapat disimpulkan yaitu dia mungkin
seorang pendekar berbudi, lantaran tahu banyak orang
hendak merampas kotakmu, maka diam-diam dia
melindungimu."
"Jika demikian, tadi waktu si kakek baju kelabu membawa lari
kotak itu, kenapa dia tidak mau keluar untuk merintanginya!"
"Ya, betul, jika dia bermaksud baik, seharusnya tadi dia
muncul mencegah perampasan itu dan takkan membiarkan
kakek baju kelabu itu kabur begitu saja."
"Makanya kukira dia juga bukan manusia baik-baik," ujar Ithiong.
"Sekarang kotak itu sudah dirampas orang, apakah engkau
masih akan menemaniku ke Wanpeng?" tanya Beng-ay.
It-hiong mengangguk, "Tentu saja, menolong orang tidak
boleh kepalang tanggung, apalagi nona lemah seperti dirimu,
rasanya sulit sekali menempuh perjalanan sejauh ini ke
Wanpeng." Saking terima kasihnya sampai Beng-ay mencucurkan air
mata, katanya, "Sedemikian baik engkau terhadapku, entah
cara bagaimana harus kubalas budimu."
"Asalkan selanjutnya engkau tidak menangis lagi kan berarti
sudah membalas kebaikanku," kata It-hiong dengan tertawa.
Beng-ay melenggong, tanyanya, "Apa arti ucapanmu?"
"Soalnya aku paling takut melihat anak perempuan menangis,
terutama anak perempuan cantik, sebab hal ini menimbulkan
rasa putus asa bagiku seakan-akan dunia sudah hampir
kiamat." "Hus, engkau ini suka omong tidak genah," omel Beng-ay.
"Betul, aku lebih suka melihat orang perempuan tertawa dan
tidak senang melihat orang perempuan menangis."
Beng-ay lantas mengusap air mata, katanya, "Kupikir, biarlah
kupergi sendiri ...."
"Sebab apa?" tanya It-hiong.
"Kukhawatir bikin runyam urusanmu yang lebih penting,
seharusnya kau pergi mencari kakek berbaju kelabu itu untuk
minta kembali petimu."
"Peti adalah benda mati, manusia kan makhluk hidup, kupikir
lebih penting harus menyelamatkan manusianya."
"Dan sekarang aku sudah selamat, asalkan kau pinjami aku
beberapa tahil perak untuk ongkos, aku dapat melanjutkan
perjalanan sendirian."
"Tidak boleh!"
"Boleh saja."
"Tidak, mutlak tidak boleh," kata It-hiong sambil menggeleng.
"Siapa bilang" Beng-ay tetap ngotot.
"Sian-li yang bilang," kata It-hiong.
Si nona mengikik tawa, "Hm, jangan kau kira Sian-li akan
membahagiakanmu, ingin kukatakan padamu, aku ... aku ...."
"Engkau kenapa?" It-hiong menegas.
"Aku takkan nikah denganmu," jawab Beng-ay dengan tertawa
malu. "Haha," It-hiong tergelak. "Belum lagi kulamar dirimu, kenapa
engkau menjadi gugup?"
"Kukira harus kubicarakan dulu di muka agar nanti tidak
membuatmu kecewa."
"Jika begitu, perlu juga kukatakan satu hal padamu," ujar Ithiong.
"Selama ini belum terpikir olehku akan berkeluarga,
kelak juga tidak. Aku cuma suka pada anak perempuan, tapi
tidak ingin hidungku dicocok anak perempuan dan dibawa kian
kemari serupa kerbau."
"Jika begitu, mengapa kau mau mengiringiku ke Wanpeng?"
"Jika engkau tidak paham, bolehlah kau anggap aku ini orang
tolol yang mau berbuat bodoh, kan beres?"
Mendadak Beng-ay menegakkan tubuhnya dan menuding kota
yang kelihatan di depan, "Eh, lihat, apakah itu kota Ko-yu!"
"Betul," It-hiong mengangguk.
"Engkau benar hendak mengiringiku ke Wanpeng?"
Kembali It-hiong mengiakan dengan mengangguk.
"Jika begitu, biarlah hari ini kita istirahat dulu di Ko-yu, dan
besok baru melanjutkan perjalanan."
"Apa alasanmu?" tanya It-hiong.
"Pinggang pegal dan tulang linu," keluh si nona.
"Betul juga, orang yang pertama kali menunggang kuda
memang akan mengalami gejala demikian," ujar It-hiong
dengan tertawa. "Baiklah, boleh kita menginap semalam di
hotel, esok pagi kita melanjutkan perjalanan."
Tengah bicara, gerbang kota sudah kelihatan dari dekat.
Melihat orang yang berlalu-lalang mulai banyak, It-hiong
lantas melompat turun dan membiarkan Beng-ay menunggang
kuda sendirian.
Tidak lama sampailah mereka di depan gerbang kota, It-hiong
menuntun kuda ke dalam kota.
Saat itu tepat tengah hari, jalan kota kelihatan ramai,
beberapa buah rumah makan penuh tamu yang sedang
makan siang. It-hiong menyusuri jalan raja itu dan sampai di sebuah hotel
yang agak mentereng, dilihatnya tingkat bawah hotel
merangkap menjadi restoran, ia berhenti dan berkata kepada
Beng-ay, "Bagaimana kalau kita tinggal di hotel ini?"
"Baiklah," jawab si nona sambil merosot ke bawah.
Segera pelayan hotel menyongsong kedatangan mereka,
sapanya dengan berseri, "Silakan duduk di dalam, di hotel
kami tersedia kamar kelas satu, juga ada santapan yang
paling lezat, bahkan harga pantas ...."
It-hiong menyodorkan tali kendali kuda kepalanya sambil
berkata, "Kami ingin bermalam, berikan dua kamar kelas
utama." Berulang pelayan mengiakan dan cepat membawa pergi kuda
putih itu dan ditambat pada tempatnya, lalu membawa Ithiong
berdua ke tingkat dua menuju sederetan kamar yang
berhadapan dengan halaman, dibukanya dua kamar dan
bertanya, "Apakah kedua kamar ini boleh?"
It-hiong mengangguk setuju.
Setelah membawa mereka ke dalam kamar, pelayan sibuk
membawakan air minum, lalu bertanya pula, "Apakah Tuan
tamu sudah makan siang?"
"Belum," jawab It-hiong.
"Apakah perlu diantar ke kamar atau makan di bawah saja?"
tanya pula si pelayan.
It-hiong berpaling dan tanya Beng-ay, "Kau suka makan di sini
atau makan di bawah?"
Beng-ay pikir sejenak, katanya kemudian, "Kukira makan saja
di sini, suruh mereka antar saja dua porsi bakmi kuah."
Segera It-hiong menyampaikan pesan itu, katanya, "Nah, biar
kami makan siang di sini saja, bawakan lauk-pauk lima sayur
satu kuah, pilih masakan yang paling lezat."
Pelayan mengiakan dengan hormat dan mengundurkan diri.
Beng-ay lantas menggerundel, "Makan semangkuk bakmi saja


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau cukup, buat apa pesan lima macam sayur dan satu kuah
lagi?" It-hiong mengangkat pundak, katanya dengan tertawa, "Ya,
memang menjadi ciriku, sok berlagak cukong di depan orang
perempuan."
"Aku justru tidak suka membuang duit," ujar Beng-ay.
"Makanya kita tidak mungkin terikat menjadi suami-istri," kata
It-hiong dengan tersenyum.
"Aku kan bermaksud menghemat bagimu, masa caraku tidak
baik?" kata si nona.
Selagi It-hiong hendak menjawab, dilihatnya si pelayan tadi
datang lagi, tentu saja ia heran dan tanya ada apa.
Pelayan memberi hormat, katanya dengan tertawa,
"Hendaknya Tuan tamu makan di bawah saja, sebab ada
orang hendak mentraktir makan kalian."
"Hah, masa ada kejadian sebaik ini, siapa yang akan
mentraktir?" tanya It-hiong dengan tertawa.
"Seorang Siangkong, dia mengaku sebagai sahabat Tuan,
maka hamba disuruh mengundang Tuan ke bawah," tutur si
pelayan. "Dia tidak memberitahukan siapa namanya?" tanya It-hiong
lagi. "Ada, dia bilang namanya 'aku bukan ...' apa begitu ...."
"Aku bukan cucakrawa?" It-hiong menegas.
"Aha, betul, dia mengaku bernama aku bukan cucakrawa!"
seru si pelayan.
"Ehm, memang betul sahabatku, apakah dia sekarang berada
di restoran bawah?" tanya It-hiong tertawa.
"Ya, betul. Siangkong sudah memesan santapan dan
menunggu kedatangan Tuan berdua."
It-hiong lantas memberi tanda kepada Beng-ay, katanya, "Mari
kita turun!"
Beng-ay juga sangat ingin tahu siapa "aku bukan cucakrawa"
itu, maka tanpa pikir ia ikut turun ke bawah loteng.
Setiba di dalam restoran, begitu tahu siapa si "aku bukan
cucakrawa" itu seketika It-hiong berteriak, "Buset, kiranya
kau!" Rupanya orang yang mengaku sebagai "aku bukan
cucakrawa" itu tak-lain-tak-bukan adalah Hou-hiap Pang Bunhiong.
Saat itu Pang Bun-hiong lagi duduk dengan tersenyum, kipas
lempit bergoyang perlahan, sikapnya tetap acuh tak acuh dan
dugal. It-hiong langsung mendekatinya, teriaknya sambil menuding
hidung orang, "Hah, kiranya engkau terus-menerus menguntit
diriku!" Pang Bun-hiong tetap menggoyang kipasnya dengan tenang,
ucapnya perlahan, "Perkelahian kita kan belum pernah
berlangsung, bukan?"
"Kau bilang pada musim semi tidak mau meninggalkan daerah
Kanglam?" tanya It-hiong.
"Memang betul, biasanya musim semi aku selalu tinggal di
Kanglam," jawab Bun-hiong. "Tapi sesudah kau pergi, tiba-tiba
timbul hasratku untuk pergi ke utara, maka aku lantas
menyusulmu."
Bicara sampai di sini ia lantas berdiri dan memberi hormat
dengan sopan kepada Ni Beng-ay, katanya, "Silakan duduk,
nona!" Si nona memandang It-hiong dengan ragu.
It-hiong lantas memperkenalkan mereka, "Dia she Pang,
namanya Bun-hiong, di dunia Kangouw terkenal sebagai Houhiap,
seorang yang suka ikut campur urusan tetek bengek."
Bun-hiong tidak marah, kembali ia memberi hormat kepada
Beng-ay, katanya, "Betul, aku Pang Bun-hiong, harap nona
sering-sering memberi petunjuk."
"Sesungguhnya kalian ini kawan atau lawan?" tanya Beng-ay
dengan bingung.
"Boleh dikatakan kedua-duanya," jawab Bun-hiong dengan
tertawa. "Sesuai perjanjian, kelak kami pasti akan berkelahi,
bisa jadi dia akan membunuhku, mungkin juga aku yang akan
membinasakan dia."
Setelah berhenti sejenak, lalu sambungnya pula, "Eh, silakan
duduk, kan lebih enak bicara sambil berduduk .... Hei,
pelayan, ambilkan teh!"
Waktu pelayan membawakan teh, It-hiong dan Beng-ay sudah
berduduk di sebelah Bun-hiong.
Sesudah pelayan pergi, segera It-hiong menepuk pundak Bunhiong
dan menegur, "Coba jawab, engkau yang membantu
melukai Kiong-su-sing Sun Thian-tek, bukan?"
Bun-hiong menggeleng, "Bukan, yang berbuat itu ialah si
cucakrawa."
"Siapa itu si cucakrawa?" tanya It-hiong.
"Ialah si pencuri kuda itu."
"Siapa pula si pencuri kuda?"
"Si kakek berbaju kelabu," tutur Bun-hiong dengan tertawa.
"Hah, dia!" seru It-hiong sambil menggebrak meja. "Maknya,
kiranya dia!"
Bun-hiong melirik Beng-ay sekejap, katanya dengan tertawa,
"Hei, saudara, ada nona hadir di sini, kalau bicara janganlah
pakai kata kotor."
"Kau kenal kakek itu?" tanya It-hiong.
"Tidak," Bun-hiong menggeleng.
"Perawakannya sedang, Ginkangnya sangat tinggi, dia
membawa senjata sepasang ruyung baja bersegi," tutur Ithiong.
"Kutahu, semuanya sudah kulihat."
"Yang melukai Gu-lolo juga dia?" tanya It-hiong pula.
"Bukan, akulah yang melukai Gu-lolo," kata Bun-hiong.
"Kemudian engkau membuntuti aku ke hutan itu?"
Bun-hiong mengangguk, "Ya, betul."
Mendadak It-hiong menarik muka, "Jika sudah menguntit ke
situ, mengapa tidak kau cegat dia pada saat dia hendak
kabur?" Bun-hiong tersenyum, "Semula aku pun bermaksud bertindak
begitu, tapi setelah kupikir, daripada kucegat dia kan lebih
baik kubuntuti dia ...."
"Hah, betul juga," seru It-hiong dengan tertawa, dari dongkol
ia menjadi gembira. "Dan jadi kau buntuti dia?"
"Ya," sahut Bun-hiong.
"Lekas ceritakan, sekarang dia berada di mana?" desak Ithiong.
"Sabar dulu," ujar Bun-hiong. "Nanti, habis makan tentu akan
kukatakan padamu .... Auhh, ada apa kau?"
Rupanya mendadak It-hiong telah menjambret dada bajunya
sambil membentak, "Ayo, katakan atau tidak?"
"Ai, kenapa kau jadi terburu-buru begini?" ujar Bun-hiong
dengan tertawa. "Habis makan siang nanti akan kubawa
engkau mengunjungi dia, boleh?"
It-hiong melengak, "Jadi tempat tinggalnya berada di sekitar
sini?" "Tidak, ia bermalam di suatu hotel kecil di kota ini," tutur Bunhiong.
"Sebelum hari gelap kukira dia takkan meninggalkan
kota." "Dari mana kau tahu?" tanya It-hiong sambil melepaskan
cengkeramannya.
"Dapat kudengar," tutur Bun-hiong. "Ia pernah memberi
pesan kepada pelayan hotel, katanya malam nanti ada
seorang perempuan akan mencarinya, pelayan disuruh
membawa perempuan itu menemuinya di hotel, maka kuyakin
sebelum malam tiba tidak nanti dia meninggalkan
pondokannya."
Baru tenang hati It-hiong setelah mendapat keterangan ini,
segera ia tanya lagi, "Dia memondok di hotel mana?"
Bun-hiong tidak menjawab, sebab pada saat itu pelayan
datang membawakan santapan, sesudah pelayan meladeni
segala sesuatu yang diperlukan dan mengundurkan diri,
segera Bun-hiong menuangkan arak bagi It-hiong dan Bengay,
sembari menuang arak sambil bertanya, "Apakah kalian
bermaksud bermalam di kota ini?"
"Betul," jawab It-hiong. "Untuk pertama kalinya nona Ni naik
kuda, akibatnya pinggang linu dan bonyok pegal, maka kami
bermaksud bermalam dulu di sini."
Bun-hiong tertawa dan berseloroh, "Wah, engkau kejam
benar, sungguh tidak berperikemanusiaan, anak gadis lemah
lembut serupa nona Ni masakah kau suruh menunggang kuda
dan dilarikan secara semena-mena?"
"Kalau tidak menyuruhnya naik kuda, memangnya suruh dia
berjalan kaki?"
"Kan dapat kau sewa sebuah tandu baginya?" kata Bun-hiong.
"Haha, hebat juga gagasanmu," seru It-hiong sambil tergelak.
"Tapi belum pernah kulihat orang menumpang tandu untuk
perjalanan beribu li jauhnya."
"Ya, sedikitnya kan dapat kau sewakan kereta," kata Bunhiong
pula. "Kami bertemu di kelenteng yang terpencil itu, dari mana
dapat menyewa kereta?" kata It-hiong.
"Di kota ini pasti ada," ujar Bun-hiong. "Mari minum!"
Mendadak Beng-ay berdiri dan berkata, "Maaf, kalian makan
dulu, aku mau ke kamar sebentar, segera kukembali."
It-hiong tidak mencegah, katanya, "Baiklah, silakan!"
Segera Beng-ay meninggalkan mereka dan naik ke loteng.
Sambil memegangi cawan arak, pandangan Bun-hiong terus
mengikuti langkah Beng-ay yang lemah gemulai itu, lalu
menghela napas dan berkata, "Sungguh mujur kau, selama ini
belum pernah kutemui anak gadis secantik ini."
"Sayang ia tidak paham ilmu silat," kata It-hiong dengan
tertawa. "Kan dapat kau ajari dia?" ujar Bun-hiong.
"Tidak, tidak mau lagi aku berbuat hal-hal yang bodoh," kata
It-hiong sambil menggeleng. "Aku hanya akan mengantar dia
sampai di Wanpeng saja, habis itu segera kuucapkan selamat
tinggal padanya."
Tampaknya hal ini sangat di luar dugaan Bun-hiong, tanyanya,
"Apa engkau tidak suka padanya?"
"Jika dia bukan anak perempuan dari keluarga baik-baik tentu
aku akan main-main dengan dia," kata It-hiong. "Tapi dia
justru anak perempuan keluarga baik, inilah yang membuatku
repot. Kau tahu, main cinta dengan anak perempuan keluarga
baik-baik kan terlampau merepotkan, harus mengeluarkan
perasaan tulus, aku justru tidak punya waktu luang untuk
bercinta cara begini."
"Jika engkau tidak menghendaki dia, bagaimana kalau
serahkan padaku?" tanya Bun-hiong dengan tertawa.
"Tidak bisa," seketika It-hiong mendelik. "Orang macam
dirimu sudah telanjur bangor, engkau tidak cocok untuk
menjadi suaminya."
Bun-hiong angkat cawan dan sama habiskan secawan
bersama It-hiong, lalu bersantap sambil berkata, "Meski aku
suka main perempuan, tapi anak perempuan dari keluarga
baik-baik tidak nanti kupermainkan, jangan kau khawatir."
"Tidak, tidak dapat dipercaya," It-hiong menggeleng.
"Ah, jangan kau ukur dirimu dengan orang lain," jengek Bunhiong.
"Ingin kuperingatkan padamu, jika berani kau goda dia, hm,
lihat saja kalau tidak kuhajar mampus dirimu."
"Haha, tampaknya engkau toh sangat suka padanya!" Bunhiong
tertawa. "Aku ibaratnya seorang tukang kebun belaka, kupandang dia
sebagai sekuntum bunga yang indah dan suci bersih, aku tidak
suka melihat dia sembarangan dipetik dan dirusak oleh tangan
kotor." "Haha, kau salah," seru Bun-hiong dengan terbahak. "Memang
betul perempuan diibaratkan sebagai bunga, tapi bila tidak
kau sayangi dia tentu dia akan layu dan kering, lalu apa
artinya bunga yang indah itu?"
It-hiong lantas bersantap juga, katanya, "Kisah hidupnya
harus dikasihani, dia perlu suatu rumah tangga yang bahagia,
tapi kita ini bukan calon yang baik baginya, maka jangan
bicara lagi urusan ini."
"Apakah dia juga jatuh hati padamu?" tanya Bun-hiong.
"Entah, aku tidak tahu."
"Pada umumnya bilamana seorang perempuan merasa utang
budi kepada seorang penolongnya, biasanya lantas
menyerahkan dirinya ...."
"Sudahlah, kuminta jangan bicara lagi tentang dia. Marilah kita
minum saja," sela It-hiong.
Kembali Bun-hiong mengangkat cawan bersama It-hiong,
katanya kemudian dengan tersenyum, "Bicara terus terang,
aku rada mencurigai dia ...."
"Aku juga," tukas It-hiong. "Cuma setelah kulihat dia diikat di
pohon oleh kakek berbaju kelabu itu, aku lantas tidak sangsi
lagi." Mendadak ia ganti pokok bicara, tanyanya dengan tertawa,
"Eh, coba katakan, dengan barang apa kau lukai Gu-lolo?"
"Hanya sepotong batu kecil saja," tutur Bun-hiong dengan
tertawa. "Tapi kudengar suaranya cukup keras."
"Hal itu disebabkan pantatnya terlampau tebal."
"Kuyakin Kungfunya sudah mencapai tingkatan yang
sempurna, jika tidak ada bantuanmu, mungkin aku tidak
sanggup menahan seratus jurus serangannya."
"Meski Kungfunya sangat tinggi, tapi kecerdikannya jauh di
bawah Miau-lolo," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Betul," kata It-hiong. "Miau-lolo sungguh tidak tahu malu, ia
hendak memperalat Gu-lolo untuk merampas kotak hitam itu."
"Menurut penilaianku, Koh-ting Totiang, Kim-kong Taysu dan
Sun Thian-tek cukup kesatria," ujar Bun-hiong. "Begitu kalah
segera mereka angkat kaki, sungguh harus dipuji."
It-hiong tertawa dan berkata, "Malahan aku mendapat untung
sebilah pedang pandak dari Sun Thian-tek, kau tahu?"
"Tahu," Bun-hiong mengangguk. "Tak kusangka
kepandaianmu main catur sedemikian tinggi, bila ada
kesempatan kita pun harus coba-coba main."
"Aku dapat memberi sebiji benteng padamu," ucap It-hiong
dengan tertawa angkuh.
"Ah, sebaiknya engkau jangan sok, kalau tidak, bukan
mustahil Siau-hi-jong bisa jatuh ke dalam tanganku," Bunhiong
berseloroh. Ia menenggak araknya lagi, lalu memandang ke arah tangga
dan berkata, "Aneh, mengapa begitu lama dia pergi?"
"Ssst, mungkin ke kamar kecil," desis It-hiong.
"Kenapa tidak kau susul dan coba melihatnya?" ujar Bunhiong.
"Tidak perlu," It-hiong menggeleng. "Kotak hitam itu sudah
tidak berada padaku, tidak ada orang yang mau menculiknya


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi." "Aku justru khawatir dia mengeluyur pergi?" kata Bun-hiong.
It-hiong melengak, "Mengeluyur pergi" Masa dia bisa
mengeluyur pergi sendiri?"
"Jika dia si burung cucakrawa itu, sangat mungkin dia akan
meninggalkan dirimu di sini."
"Tapi dia pasti bukan si cucakrawa," ujar It-hiong. "Jika dia si
cucakrawa, mana bisa kena diringkus oleh si kakek baju
kelabu di pohon."
"Tapi bilamana dia berkomplot dengan kakek itu?" ucap Bunhiong
sambil berdehem.
Tergetar juga hati It-hiong, katanya dengan sangsi, "Ah,
kukira tidak ... tidak sampai begitu."
Bun-hiong tertawa, "Aku pun harap tidak, nona secantik itu,
bilamana dia sekomplotan dengan si kakek baju kelabu, kan
sayang sekali."
Pikiran It-hiong menjadi gelisah, ia berdiri dan berkata. "Coba
kulihat ke atas."
Habis bicara segera ia berlari ke atas loteng.
Meski dia sangat tidak ingin mencurigai Ni Beng-ay adalah
komplotan si kakek baju kelabu yang sengaja menjebaknya,
tapi rasio memberitahukan kepadanya bahwa hal ini sangat
mungkin terjadi. Maka buru-buru ia lari ke atas loteng,
langsung menuju ke kamar si nona.
Kamar mereka berdampingan, dapat dilihatnya pintu kamar
tertutup rapat, begitu sampai di depan pintu segera ia
menggedor dan berteriak, "Nona Ni, engkau di dalam?"
Tapi tidak ada jawaban. Ia coba mendorong daun pintu dan
melongok ke dalam, kamar kosong melompong, mana ada
bayangan Ni Beng-ay. Cepat ia mendatangi kamar sendiri dan
menggedor pintu pula sambil berteriak, "Nona Ni, engkau di
dalam?" Tetap tidak ada suara apa pun.
Cepat ia menolak pintu dan masuk ke dalam. Ni Beng-ay
memang tidak terdapat di situ, keruan hati It-hiong serasa
tenggelam, muka pun merah padam.
Apakah curiga Pang Bun-hiong itu menjadi kenyataan, Ni
Beng-ay memang benar komplotan si kakek baju kelabu"
Dengan cara licik mereka menjebaknya, setelah kotak hitam
diperoleh segera nona itu kabur.
Seketika hati It-hiong panas seperti dibakar, ia termangu
sejenak, mendadak ia berlari keluar kamar dan berteriakteriak,
"Siauji! Siauji!"
Seorang pelayan mengiakan dan lari tiba dengan tertawa
ramah, "Tuan tamu minta apa?"
"Apakah kau lihat nona yang datang bersamaku itu?" tanya Ithiong.
Siauji atau pelayan itu mengangguk, "Ya, lihat. Baru saja dia
turun melalui tangga belakang, katanya hendak keluar untuk
belanja." "Belanja apa?"
"Entah, nona itu tidak menjelaskan, hamba tidak tahu," jawab
pelayan. It-hiong diam saja, mendadak ia lari turun ke restoran, Pang
Bun-hiong ditariknya sambil berkata, "Lekas kita pergi!"
"Pergi ke mana?" tanya Bun-hiong dengan bingung.
"Hotel kecil itu," desis It-hiong.
"Di mana Ni Beng-ay?" tanya Bun-hiong dengan ragu.
"Hm, dia sudah minggat," jengek It-hiong. "Jika tidak salah
dugaanku, saat ini tentu dia sedang menuju ke hotel kecil
yang kau katakan itu. Dia pasti hendak bergabung dengan
kakek itu untuk merat bersama."
"Oo, jadi dia memang berkomplotan dengan kakek berbaju
kelabu itu untuk menipumu?" Bun-hiong menegas.
"Betul," jawab It-hiong.
Mendadak Bun-hiong mengentak kaki dan berkata, "Wah,
tamatlah sekali ini!"
"Apa maksudmu?" tanya It-hiong dengan terbelalak.
"Letak hotel kecil itu justru di gang belakang hotel ini," seru
Bun-hiong. It-hiong menjadi gugup juga, cepat ia menarik Bun-hiong dan
diajak lari keluar sambil berseru, "Ayo, lekas kita ke sana!"
Buru-buru mereka lari keluar restoran itu dan menuju ke
persimpangan jalan sana.
Setiba di perempatan, Bun-hiong membawanya membelok ke
jalan sebelah kanan, berpuluh langkah kemudian lantas
membelok lagi ke gang di sebelahnya, lalu ia menunjuk
sebuah hotel yang terletak tidak jauh dan berkata, "Nah, hotel
itu!" Hotel kecil itu bernama Kang-pak-khek-can, Hotel Utara
Sungai. Langsung Bun-hiong menerjang ke dalam hotel dan
mendekati kasir, ia tanya kepada salah seorang pengurus tua
yang duduk di belakang meja, "Numpang tanya, barusan
apakah ada seorang nona masuk ke hotel ini?"
Kasir tua itu mendongak dan memandangnya sekejap, lalu
menjawab dengan tak acuh, "Anda mencari nona yang
mana?" "Seorang nona cantik, berusia antara delapan belasan," tutur
Bun-hiong. Dengan ketus kasir tua itu menjawab, "Tidak lihat!"
Bun-hiong mengeluarkan sepotong uang perak dan disodorkan
kepadanya, lalu berkata pula, "Pakaian nona itu sangat
sederhana, dia datang ke sini untuk mencari seorang kakek
berbaju kelabu, kakek itu membawa sepasang senjata ruyung
baja ...."
Uang memang serbaguna, kasir tua yang semula tak acuh itu
seketika tertawa dengan sinar mata mencorong, belum lagi
habis ucapan It-hiong segera ia menukas, "Ah, rupanya yang
dimaksudkan kalian adalah nona jelita itu .... Ada, ada, dia
baru saja berangkat bersama tamu tua itu."
Cepat It-hiong menegas, "Kira-kira berapa lama mereka
pergi?" "Belum lama, baru saja," sahut si tua.
"Menuju ke arah mana?" tanya It-hiong.
"Ke sana," sahut si tua sambil menuding ke suatu arah.
"Mereka akan kembali lagi ke sini tidak?" tukas Bun-hiong.
"Mereka sudah membereskan rekening, jelas tidak kembali
lagi," kata si tua.
"Adakah meninggalkan pesan atau mengatakan ke mana
mereka akan pergi?" tanya Bun-hiong.
Si tua menggeleng, "Tidak."
"Waktu kakek baju kelabu itu bermalam di sini, adakah dia
meninggalkan nama dan alamatnya?" tanya It-hiong.
"Tidak ada," jawab si tua. "Tamu tua itu baru satu jam yang
lalu masuk hotel, katanya hendak menunggu kedatangan
seorang nona. Dan begitu si nona datang segera si kakek
membereskan rekening hotel terus berangkat."
"Baiklah, terima kasih," kata It-hiong, segera ia menarik Bunhiong
dan diajak pergi, ia memandang ke arah yang ditunjuk
si tua dan berkata, "Bagaimana kalau kita menyusul ke sana?"
"Boleh juga," kata Bun-hiong, "cuma harapannya kukira tidak
besar. Jalan ini bukan jalan raya melainkan gang sempit,
mereka menuju ke ujung gang, bukan mustahil membelok lagi
ke tempat lain."
It-hiong melangkah dengan cepat, katanya dengan gemas,
"Harus kubekuk dia kembali dan akan kupukuli pantatnya.
Sungguh sialan, sepanjang hari aku menembak burung, tak
tersangka malah kena dipatuk burung, sungguh
menjengkelkan."
Bun-hiong tertawa, "Dia dapat menipumu, ini menandakan
caranya memang sangat pintar, seharusnya kau kagum
padanya." "Tidak, justru akan kuhajar dia," kata It-hiong.
"Haha, kutahu, tentu dia telah menipu perasaanmu?" seru
Bun-hiong dengan terbahak.
"Betul," ucap It-hiong dengan marah. "Dia bilang ibunya kawin
lagi, ayah tirinya jahat dan hendak menjualnya ke rumah
pelacuran, maka dia minggat dari rumah dan bermaksud
mencari seorang pamannya di Wanpeng, ceritanya panjang
lebar dan membuat orang berbelas kasihan padanya. Keparat,
tak tahunya cuma omong kosong belaka."
"Orang perempuan memang mempunyai bakat pembawaan
untuk berdusta," ujar Bun-hiong. "Cuma, bilamana dia tidak
cantik, tentu kau pun takkan percaya padanya. Betul tidak?"
"Memang," It-hiong mengaku terus terang. "Dia begitu cantik,
siapa tahu juga pintar berdusta, sungguh tidak nyana."
"Makanya kupikir kaum lelaki ini memang berengsek," ujar
Bun-hiong dengan tertawa. "Asal bertemu dengan gadis ayu
dan dirayu sedikit, seketika lupa daratan dan kegirangan
setengah mati."
"Semula aku pun tidak terlalu percaya padanya," tutur Ithiong.
"Tapi dia bisa juga mencucurkan mata, bila bicara dan
berduka, air mata lantas berderai serupa hujan, siapa pun
pasti akan percaya padanya."
Bicara sampai di sini, mendadak ia berhenti.
Kiranya dia berada tepat di perempatan jalan, orang yang
berlalu-lalang sangat banyak, namun tidak kelihatan bayangan
si kakek baju kelabu dan Ni Beng-ay.
Bun-hiong memandang sekeliling dan berkata, "Bisa jadi
mereka sudah kabur keluar kota, dari sini terus ke depan akan
mencapai pintu kota selatan, ke kanan dan kiri adalah jalan
menuju ke gerbang timur dan barat, menurut perkiraanmu
mereka akan melalui pintu gerbang yang mana?"
"Bagaimana menurut pendapatmu sendiri?" jawab It-hiong.
Bun-hiong menggeleng, "Aku bukan malaikat dewata, tidak
dapat kuramalkan arah kabur mereka."
"Hari ini kita baru masuk kota ini dari pintu selatan, maka
kemungkinan mereka akan keluar lagi ke pintu selatan
rasanya sangat kecil ...."
"Tepat, sekarang tinggal dua jurusan saja, kalau tidak menuju
ke timur, tentu mereka menuju ke barat."
"Bagaimana kalau kita membagi arah untuk mengejar
mereka?" "Baik, engkau ke timur dan aku ke barat, kalau tidak
menemukan sesuatu, sebelum magrib kita bertemu kembali ke
hotel tadi."
Habis berkata segera Bun-hiong hendak melangkah pergi.
Cepat It-hiong menahannya dan berkata, "Nanti dulu,
bilamana satu di antara kita dapat menyusul mereka, lalu cara
bagaimana kita akan mengadakan kontak?"
Bun-hiong berpikir sebentar, katanya kemudian, "Kakek
berbaju kelabu itu jelas bukan orang biasa, tak peduli siapa di
antara kita dapat menyusulnya, rasanya tidak mudah untuk
merebut kembali kotak itu hanya dengan tenaga seorang diri
...." "Betul," kata It-hiong. "Tapi kalau tidak segera turun tangan,
terpaksa harus menguntitnya secara diam-diam, jika demikian
halnya, kita berdua menjadi sukar untuk berkumpul lagi."
Kembali Bun-hiong berpikir sejenak, lalu berkata, "Ah, ada
akal. Sesudah meninggalkan kota, sepanjang jalan kita
meninggalkan kode, jika engkau tidak melihat kupulang ke
hotel, hendaknya segera ke arahku berdasarkan kode yang
kutinggalkan, begitu pula sebaliknya aku akan mencarimu
berdasarkan kode yang akan kau tinggalkan sepanjang jalan."
"Baik, tapi kode apa yang harus kita tinggalkan?" tanya Ithiong.
"Umpamanya membuat ujung panah yang menunjuk ke arah
yang harus dituju, kan bisa?" ujar Bun-hiong.
"Bagus, setuju," seru It-hiong. "Ayolah berangkat!"
Begitulah mereka lantas terpencar, yang satu ke timur dan
yang lain ke barat.
Dengan langkah cepat It-hiong mencapai pintu gerbang timur,
baru mau keluar kota, sekilas pandang dilihatnya seorang
kakek penjual buah di kaki tembok sana, ia coba
mendekatinya dan bertanya, "Numpang tanya Lotiang, adakah
kau lihat seorang tua keluar kota dengan seorang nona?"
Kakek penjual buah itu berpikir sejenak, lalu menjawab,
"Entah, aku tidak menaruh perhatian, banyak orang berlalulalang,
tidak ingat lagi berapa banyak orang tua dan nona
yang lewat di sini."
It-hiong tahu tiada gunanya bertanya lagi, ia mengucapkan
terima kasih dan meneruskan perjalanan.
Ia percepat langkahnya, sepanjang jalan ia meninggalkan
kode sebagaimana disepakati dengan Pang Bun-hiong itu.
Kira-kira dua-tiga li di luar kota, setelah pejalan kaki sudah
jarang-jarang, segera ia berlari cepat ke depan.
Sambil berlari sembari memberi tanda, sekaligus ia lari 20-an li
dan tetap tidak tampak bayangan si kakek berbaju kelabu dan
Ni Beng-ay. Lamat-lamat dapat dirasakannya perjalanan ini pasti sia-sia
belaka, namun dia tidak putus asa dan masih terus lari ke
depan. Belasan li lagi dan sampailah di suatu pedusunan, ia coba
tanya dua buah warung makan kecil dan tetap tidak
mendapatkan sesuatu berita yang menyenangkan, ia tambah
yakin si kakek dan Beng-ay pasti tidak lewat jalan ini, segera
ia putar balik kembali ke Ko-yu.
Setiba di hotel, tepat waktu magrib.
Melihat tamunya kembali lagi pelayan hotel terheran-heran
dan menyapa, "Eh, bagaimana Kongcuya, mengapa makan
siang tadi sama sekali tidak dimakan terus lari pergi begitu
saja, kalian pergi ke mana?"
It-hiong duduk di ruangan restoran dan bertanya, "Nona yang
datang bersamaku itu apakah kelihatan kembali ke sini?"
"Tidak, memangnya ke ... kenapa dengan nona itu?" tanya
pelayan. "Dan Kongcu yang minum arak bersamaku itu, juga tidak
kelihatan?" tanya It-hiong pula.
"Ya, juga belum kelihatan," jawab pelayan.
"Kudaku sudah diberi makan belum?"
"Sudah, sudah diberi komboran paling baik, jangan khawatir,"
tutur pelayan. "Sekarang boleh sediakan air cuci muka bagiku, lalu siapkan
santapan, wah, lapar sekali," kata It-hiong.
Pelayan mengiakan dan mengundurkan diri.
Tidak lama kemudian selesailah It-hiong membersihkan badan
dan mulai makan-minum sendirian di restoran.
Ia sudah ambil keputusan bila sudah makan kenyang dan
Pang Bun-hiong belum juga pulang, jelas ini menandakan
kawan itu sudah menemukan si kakek baju kelabu dan Ni
Beng-ay dan sedang mengikuti jejak mereka, maka segera ia
sendiri akan menyusulnya.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi baru saja ia ambil keputusan demikian, tahu-tahu Pang
Bun-hiong sudah muncul.
Sekali pandang saja It-hiong lantas tahu kawannya juga tidak
menemukan sasarannya, segera ia menyapa, "Engkau sudah
pulang?" Bun-hiong mendekatinya dan duduk di depannya, tanyanya
dengan tertawa, "Sudah berapa lama kau kembali ke sini?"
"Belum lama, baru saja," jawab It-hiong.
"Berapa jauh kau kejar mereka?" tanya Bun-hiong pula.
"Kira-kira lebih tiga puluh li," tutur It-hiong.
"Tidak menemukan mereka?"
"Tidak, dan engkau sendiri?"
"Sama saja," jawab Bun-hiong. "Bisa jadi mereka tidak melalui
jalan raya melainkan mengambil jalan kecil."
It-hiong memanggil pelayan dan minta ditambah lagi makanan
dan arak, lalu berkata pula dengan mendongkol, "Jika tidak
kutemukan mereka, sungguh tak terlampias rasa gemasku."
Bun-hiong menenggak secawan arak, katanya dengan
tertawa, "Siapa kakek berbaju kelabu itu, cepat atau lambat
dapat diketahui, tapi ketika menemukan dia, mungkin sekali
kotak itu sudah dibuka olehnya."
"Kau tahu apa isi kotak itu?" tanya It-hiong.
"Tidak tahu," Bun-hiong menggeleng. "Ketika di Sian-li-bio
kemarin malam bukankah Sun Thian-tek hendak
memberitahukan padamu" Kenapa kau tolak?"
"Ada dua alasanku kutolak keterangannya itu," tutur It-hiong.
"Pertama, kukhawatir setelah tahu bukan mustahil akan timbul
juga hasratku untuk mengangkanginya. Kedua, bila aku tidak
ingin tahu isi kotak kan sama dengan membuktikan bahwa
aku tidak mempunyai kepentingan pribadi, aku hanya ingin
melaksanakan tugasku sesuai pesan orang mati untuk
menyampaikan kotak hitam ke Cap-pek-pan-san. Maka barang
siapa mengincar kotak itu harus menghadapi diriku lebih dulu.
Selain itu, orang yang bermaksud merampas kotak itu setelah
tahu aku sama sekali tidak tahu apa isi kotak, tentu mereka
takkan bertindak keji padaku."
"Jika sekarang ada orang mau memberitahukan apa isi kotak
itu, apakah kau mau tahu?" tanya Bun-hiong dengan tertawa.
"Sekarang aku jadi ingin tahu," ujar It-hiong dengan
mengangguk. "Tapi sayang sekarang tidak ada yang dapat memberi tahu,"
kata Bun-hiong.
Segera It-hiong angkat cawan arak, katanya, "Ayo habiskan
satu cawan!"
Bun-hiong mengadu cawan dengan dia dan menghabiskan isi
secawan, lalu berkata dengan terbahak, "Haha, melihat gerakgerikmu,
tampaknya tidak menjadi sedih lantaran kotak itu
dirampas orang, tapi hanya murung karena ditinggal pergi Ni
Beng-ay." "Aku tidak cuma bicara saja," kata It-hiong, "Bila kutemukan
dia, tentu akan kuhajar dia."
"Lalu tidur bersama dia," sambung Bun-hiong.
"Betul," kata It-hiong.
Bun-hiong tertawa, "Bicara sih begitu, tapi kalau orang yang
melukai Sun Thian-tek kemarin malam itu ialah dia, ini
membuktikan Kungfunya pasti tidak di bawahmu, maka
tidaklah mudah bagimu bilamana hendak kau hajar dia."
It-hiong berkerut kening, katanya, "Melihat gerak-geriknya
seperti nona yang tidak pernah berlatih silat, kulit dagingnya
juga sangat halus."
Seketika Bun-hiong terbeliak, serunya, "Hah, pernah kau raba
dia?" "Kupondong dia di atas kuda dan menempuh perjalanan
sekian jauhnya, dapat kurasakan sekujur badannya halus
lunak serupa tidak bertulang," tutur It-hiong dengan tertawa.
"Ini kan tidak dapat memastikan dia tidak pernah berlatih
Kungfu," ujar Bun-hiong. "Bisa jadi hal itu justru disebabkan
karena Kungfunya sudah mencapai tingkatan sempurna, maka
sama sekali tidak kentara."
"Tidak mungkin," kata It-hiong sambil menggeleng. "Jika ilmu
silatnya sangat tinggi, tidak nanti ia menggunakan cara
menipu." "Dan sekarang apa yang akan kau lakukan!" tanya Bun-hiong.
"Akan kucari seorang tokoh angkatan tua, hendak kuminta
keterangan padanya tentang asal usul si kakek baju kelabu,"
tutur It-hiong. "Rasanya tidak banyak tokoh zaman kini yang
bersenjata ruyung baja persegi, kukira tidak sulit untuk
mencari keterangannya."
"Engkau tidak ke Kim-leng dan mencari Giok-nio lagi?" tanya
Bun-hiong. "Sesudah beres urusan ini baru akan kucari dia."
"Apakah dapat kau katakan padaku maksudmu mencari Gioknio?"
It-hiong tersenyum, katanya, "Hah, engkau ini sungguh orang
sok mau tahu, segala apa pun ingin turut campur."
"Betul, terlebih urusan yang menyangkut orang perempuan,
paling menarik bagiku," jawab Bun-hiong tertawa.
It-hiong termenung sejenak, lalu berkata, "Soalnya ada
seorang detektif ulung yang sudah pensiun minta bantuanku
mencari dia ...."
"Detektif ulung yang sudah pensiun?" Bun-hiong menegas.
"Ya, namanya Tui-beng-poan-koan To Po-sit, dulu detektif
termasyhur di kota Tiang-an, baru pensiun tahun yang lalu,"
tutur It-hiong.
"Ah, kiranya dia," seru Bun-hiong, tertarik juga dia. "Konon dia
memang tokoh yang hebat, selama hidupnya tak terhitung
penjahat yang telah dibekuknya, dia pernah menerjang Ohliong-
ceh di Mo-thian-nia seorang diri dan menawan bandit
paling ditakuti pada waktu itu."
"Betul, itulah dia," kata It-hiong. "Ada orang memaki dia
sebagai alap-alap atau anjing pemburu pihak pemerintah, tapi
kupandang dia sebagai seorang pendekar yang suka membela
rakyat jelata dan penumpas kejahatan."
"Saat ini dia berusia berapa?" tanya Bun-hiong.
"Lebih 60 tahun."
"Bagi seorang yang berlatih Kungfu, umur 60 memang belum
terhitung terlalu tua, kenapa dia minta pensiun dan pulang ke
kampung halaman?" tanya Bun-hiong.
"Sebab dia tidak suka pada gejala aneh di kalangan pembesar
yang dilihatnya," tutur It-hiong. "Pula sebagai detektif yang
terkenal, bilamana waktu mengusut perkara banyak mendapat
pembatasan dan tidak bisa bekerja bebas, maka ia pikir lebih
baik mengundurkan diri saja."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung lagi, "Alasan yang lain
adalah karena dulu kakinya pernah terluka parah, meski sudah
diobati dan sembuh, namun masih sering kambuh dan sakit,
keadaan akhir-akhir ini tambah gawat, waktu berjalan perlu
bantuan tongkat, terpaksa ia harus minta pensiun."
"Ada hubungan apa antara dirimu dengan dia?" tanya Bunhiong.
"Hanya kenalan saja, karena merasa cocok, maka
bersahabat," tutur It-hiong.
"Untuk apa dia minta kau cari Giok-nio?"
"Dia seorang yang sudah pensiun tapi, tidak mau
menganggur," kata It-hiong, "maka sering dia menyatakan
menyesal karena beberapa perkara lama yang belum sempat
dipecahkannya. Pada suatu hari secara iseng kukatakan
padanya bagaimana bila kubantu dia menyelesaikan
perkaranya yang belum tuntas, dia sangat senang mendengar
gagasanku, segera ia memberikan perintahnya yang pertama
dan menyuruhku mencari seorang perempuan hiburan
bernama Giok-nio dan menangkapnya."
"Memangnya apa kesalahan Giok-nio?" tanya Bun-hiong.
"Dia tidak melanggar sesuatu kesalahan," kata It-hiong.
"Orang tidak salah kenapa akan ditangkap?" tanya Bun-hiong
heran. "Menurut Tui-beng-poan-koan To Po-sit, katanya kalau Gioknio
ditangkap akan dapat memecahkan suatu perkara pelik."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Bun-hiong.
"Dia memang orang aneh, dia tidak mau memberitahukan
seluk-beluk perkara yang dimaksud, hanya diceritakan
serbasedikit, katanya Giok-nio itu adalah adik perempuan Engjiau-
ong Oh Kim-lam."
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 6 "Hahh," Bun-hiong terkejut. "Masa Giok-nio adik
perempuan Eng-jiau-ong (si Raja Cakar Elang) Oh Kiam-lam?"
"Sangat mengherankan bukan?" ujar It-hiong dengan
tersenyum. "Memang aneh," kata Bun-hiong. "Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam
adalah pemimpin besar ke-72 gerombolan bandit terbesar di
daerah utara dan selatan, mengapa adik perempuannya bisa
telantar menjadi perempuan hiburan?"
"Tentang Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam sudah mati lima tahun
yang lalu, apakah kau tahu?" tanya It-hiong.
"Tahu, konon dia habis melakukan suatu perkara besar, tidak
lama kemudian lantas ditemukan mati di luar kota Tiang-an,"
kata Bun-hiong.
"Betul, perkara yang dikerjakannya itu memang terlampau
besar," kata It-hiong sambil mengangguk. "Yang dirampok
adalah satu partai harta kiriman bantuan pemerintah ke
daerah Kangsay untuk menolong bencana alam yang timbul di
sana. Setelah berhasil merampok Oh Kiam-lam lantas
menghilang, siapa tahu tiga bulan kemudian mendadak
ditemukan sudah mati terbunuh di luar kota Tiang-an."
"Yang membunuhnya pasti juga kawannya dari golongan
hitam," ujar Bun-hiong. "Tujuannya adalah merampas harta
hasil rampokannya itu."
"Bisa juga lantaran pembagian rezeki yang tidak rata sehingga
timbul percekcokan di antara kawan sendiri."
Bun-hiong mengangguk. "Ya, mungkin. Dan adakah hubungan
dengan maksud Tui-beng-poan-koan To Po-sit mencari Gioknio?"
"Dia tidak mau menjelaskan, aku hanya disuruh membekuk
Giok-nio baru akan dijelaskan nanti," tutur It-hiong. "Menurut
dugaanku, maksud tujuannya menangkap Giok-nio mungkin
bukan untuk mengusut harta pemerintah yang dirampok itu,
sebab kalau Giok-nio tersangkut perkara itu, tentu kawan
golongan hitam takkan membiarkan dia hidup bebas,
sebaliknya kalau dia mendapatkan bagian rezeki itu, tidak
nanti dia hidup telantar menjadi perempuan hiburan."
"Meski masuk di akal perkiraanmu, tapi kupercaya maksud To
Po-sit hendak menangkap Giok-nio pasti ada hubungannya
dengan Oh Kiam-lam."
"Tapi Oh Kiam-lam kan sudah mati," kata It-hiong.
"Orang mati kan juga dapat meninggalkan urusan yang
panjang," kata Bun-hiong. "Dan kenapa To Po-sit tidak mau
menceritakan sebabnya dia ingin menangkap Giok-nio?"
"Dia memang mempunyai watak yang aneh," tutur It-hiong.
"Setiap perkara yang belum dipecahkan olehnya, biasanya dia
memang tutup mulut serapatnya. Aku cukup kenal wataknya,
maka aku suka bekerja baginya."
"Konon ilmu silatnya sangat tinggi, bahkan serbatahu," kata
Bun-hiong. "Kalau saja tidak menjadi pejabat sebenarnya dia
dapat menjadi pemimpin suatu golongan tersendiri di dunia
persilatan dan menjadi guru besar ilmu silat."
"Memang betul," It-hiong mengangguk.
"Dia juga pernah memberi petunjuk padamu?" tanya Bunhiong.
"Ada, pernah dia mengajarkan padaku sejurus ilmu pukulan
dan sejurus ilmu menangkap dan mencengkeram." tutur Ithiong.
"Sekarang dia tinggal di mana?" tanya Bun-hiong.
"Maaf, hubungan kita belum cukup akrab, tidak dapat
kukatakan tempat tinggalnya kepadamu."
"Tidak mau kau katakan ya sudahlah, aku pun tidak
memaksa," ujar Bun-hiong tersenyum.
"Kembali urusan pokok, apakah kau tahu di sekitar sini ada
tokoh dunia persilatan yang agak menonjol?" tanya It-hiong
tiba-tiba. "Ada apa?" tanya Bun-hiong.
"Supaya dapat kuminta keterangan tentang asal usul si kakek
baju kelabu."
"Di sekitar sini tidak ada tokoh yang kukenal, tapi kukenal dua
pemimpin Siang-liong-piaukiok di Kim-leng, mereka berusaha
di bidang pengawalan, orang dari golongan putih maupun
kalangan hitam tentu cukup banyak yang dikenal mereka, jika
ingin mencari keterangan tentang si kakek baju kelabu, kukira
boleh kita cari mereka."
"Jika begitu kira harus putar kembali ke sana?" tanya It-hiong.
"Dari sini ke Kim-leng kan tidak terlalu jauh, pula setiba di
sana kau pun dapat mencari Giok-nio, bukankah sekali tindak
dua hasil?"
It-hiong berpikir sejenak, katanya kemudian, "Betul juga, jika
begitu bolehlah kita bermalam di sini, esok segera berangkat
ke Kim-leng."
Maka sehabis makan malam, mereka keluar pula berfoya-foya,
lalu kembali lagi ke hotel.
Esoknya mereka meninggalkan Ko-yu dan menuju ke selatan.
Pang Bun-hiong tidak membawa kuda, maka bersama It-hiong
menunggang satu kuda. Pek-sin-liong adalah kuda tangkas
dan kuat, meski memuat dua orang tetap berlari dengan amat
pesat. Menjelang malam mereka pun tiba di kota Kim-leng.
Kim-leng adalah sebuah kota ternama yang bersejarah,
terhitung salah satu kota yang ramai dan makmur, gedungnya
megah berderet, pada waktu malam bilamana lampu sudah
menyala, pasar malam tambah ramai dan pemandangan
memesona. Begitu masuk kota, Bun-hiong lantas turun dari kuda dan
berjalan kaki, katanya dengan tertawa, "Di kota Kim-leng ini
aku pun cukup dikenal."
"Jika begitu harap engkau mencarikan dulu sebuah hotel,
urusan lain boleh dirundingkan nanti," kata It-hiong.
"Baik, ikut saja padaku," ujar Bun-hiong.
Ia membawa It-hiong ke suatu jalan yang paling ramai di
pusat kota, lalu berhenti di depan sebuah hotel mewah
bernama Kim-leng-khek-can.
Seorang pelayan yang bermata jeli segera mengenali Pang
Bun-hiong, cepat ia menyongsong kedatangan langganannya
dan menyapa, "Aha, Pang-kongcu, sudah lama nian tidak
berkunjung kemari" Tumben kelihatan sekarang, lekas masuk,
silakan masuk."
Bun-hiong menuding It-hiong dan berkata. "Ini Liong-kongcu,


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahabatku. Malam ini kami hendak menginap di sini, sediakan
dua kamar kelas utama."
Berulang pelayan mengiakan, lalu
Golok Halilintar 10 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 15
^