Pencarian

Rahasia Peti Wasiat 7

Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 7


ap Ma-lotia dengan tertawa.
"Akan tetapi dia menjamu tamu pada siang hari ini, sudah
terlambat jika diantar sekarang."
"Tidak apa-apa," ujar Ma-lotia. "Biarpun tidak pesta juga Wicengcu
biasa membeli, apalagi pesut sebesar ini."
"Betul juga, lekas kau antar ke sana," seru yang lain.
"Ya, akan kucari dulu karung kosong," ujar si kakek dan
segera berlari pulang ke rumahnya.
Liong It-hiong mendekati seorang tua dan coba tanya,
"Numpang tanya Lotiang, orang macam apakah Wi-cengcu
itu?" Si kakek memandangnya sekejap, lalu balas bertanya,
"Saudara cilik ini bukan penduduk daerah sini?"
"Ya, kudatang dari Kanglam," jawab Bun-hiong.
"Pantas engkau tidak kenal siapa Wi-cengcu," tutur kakek itu.
"Beliau adalah tokoh terkenal di daerah kami sini, seorang
hartawan besar, orangnya juga berhati baik, suka menolong
orang miskin dan membantu yang kesukaran, bulan yang lalu
beliau malahan menyumbang seribu tahil perak untuk
membangun sebuah jembatan."
"Jika demikian, jelas Wi-cengcu itu seorang dermawan, entah
di mana tempat tinggalnya?" tanya It-hiong.
"Perkampungan tempat tinggalnya itu bernama Liong-coanceng,
hanya belasan li dari sini," tutur si kakek.
"Apakah hari ini dia mengadakan pesta?" tanya It-hiong pula.
"Betul, hari ini adalah ulang tahun Wi-cengcu yang ke-60,"
tutur orang tua itu. "Kabarnya ada beberapa ratus orang akan
menyampaikan ucapan selamat ke Liong-coan-ceng, beberapa
hari yang lalu beliau sudah memberi pesan agar berusaha
menangkap beberapa ekor pesut, sungguh tidak kebetulan,
selama beberapa hari ini cuma tertangkap dua-tiga ekor yang
kecil dan baru sekarang tertangkap seekor sebesar ini."
Tengah bicara Ma-lotia sudah berlari kembali dengan
membawa sebuah karung goni, beramai-ramai orang banyak
membantunya memasukkan pesut itu ke dalam karung dan
diikat dengan baik, lalu diterobos dengan sebuah pikulan.
"Jisiaucu, ayolah bantu gotong pesut ini ke Liong-coan-ceng,"
seru Ma-lotia. Seorang pemuda tanggung berkepala borokan mendekat dan
bertanya, "Bisa minum arak tidak?"
"Tentu, sesudah terima uang, akan kutraktir minum
sepuasnya," ujar Ma-lotia.
"Ayolah kubantu," kata pemuda itu.
It-hiong tidak menghiraukan mereka lagi, ia mencemplak ke
atas kudanya dan dilarikan ke arah selatan.
Ia yakin Hui Giok-koan pasti berkunjung ke Liong-coan-ceng
untuk memberi selamat kepada Wi-cengcu, sedangkan pesta
ulang tahun Wi-cengcu itu diselenggarakan pada siang hari ini,
maka dirinya harus cepat menuju ke sana, sebab sekarang
sudah lewat tengah hari, mungkin pesta itu hampir bubar.
Bilamana hubungan Hui Giok-koan dengan Wi-cengcu kurang
erat mungkin sehabis pesta akan terus mohon diri. Dan kalau
telanjur pergi, tentu tidak gampang lagi untuk mencarinya.
Sebab itulah langsung ia melarikan kudanya menuju Liongcoan-
ceng. Hanya sepertanak nasi lamanya sudah tibalah dia di tempat
tujuan. Ternyata Liong-coan-ceng bukan perkampungan biasa
melainkan terhitung sebuah kota kecil karena banyak tempat
wisata di tempat ini, terutama ada tempat mandi air belerang,
maka di tempat ini banyak tersedia sarana bagi kaum
pelancong seperti hotel, restoran dan sebagainya, sungguh
sebuah kota yang ramai.
It-hiong mendapatkan sebuah hotel, kuda diserahkan kepada
pelayan, lalu ia cari keterangan tentang tempat tinggal Wicengcu.
Kiranya tempat kediaman Wi-cengcu terletak di pinggir kota,
dekat kaki gunung. Segera ia berjalan kaki ke sana, dari jauh
tertampak suatu kompleks bangunan di kaki gunung sana.
Sebuah jalan batu lurus menembus ke pintu gerbang
perkampungan yang bergapura besar dengan papan bertulis
empat huruf besar yang berarti "Keluarga Dermawan".
Sangat megah bangunan gapura itu, di kedua samping gapura
adalah sederetan tembok berwarna merah, kelihatan memang
keluarga yang kaya raya.
Saat itu suasana kompleks perumahan ini kelihatan riang
gembira, suasana pesta pora dengan macam-macam hiasan,
di luar pintu gerbang banyak berparkir kereta kuda, tandu dan
puluhan ekor kuda. Jelas kendaraan para tamu. Orang di
dalam perkampungan hilir mudik kian kemari tiada hentinya,
suara riuh gemuruh, melihat gelagatnya pesta belum lagi usai.
Liong It-hiong tidak bermaksud masuk ke perkampungan itu,
sebab ia tidak kenal orang macam apakah Wi-cengcu itu, ia
pun tidak ingin kedatangannya dilihat oleh Hui Giok-koan,
maka ia mengambil keputusan akan menunggu saja di luar
perkampungan, nanti kalau Hui Giok-koan keluar, lalu akan
dikuntitnya. Sebab menurut perkiraannya, tidak mungkin Hui Giok-koan
menyampaikan ucapan selamat kepada Wi-cengcu dengan
membawa kotak hitam itu melainkan pasti disembunyikan di
suatu tempat, maka kalau ingin merampas kembali kotak itu
harus menunggu selesai Hui Giok-koan menghadiri pesta itu
dan membuntutinya secara diam-diam.
Ia coba mengamat-amati keadaan sekitarnya, dilihatnya di
sebelah kiri jalan sana adalah hutan yang cukup lebat, di
antaranya ada sebatang pohon cemara tua dan tinggi, dari
atas pohon itu dapat mengintai keadaan di dalam
perkampungan serta jalan di luar kampung.
Segera ia menyelinap ke dalam hutan, ia melompat ke atas
pohon cemara itu dan menongkrong di suatu dahan pohon
yang teraling oleh daun lebat.
Tak terduga, baru saja ia duduk di dahan pohon, mendadak
dari sebelah atas ada orang menegurnya, "Hei, saudara cilik,
kau mau apa datang ke sini?"
Tentu saja It-hiong kaget karena sama sekali tidak menyangka
di atas pohon itu sudah ada orang.
Cepat ia mendongak dan balas menegur, "Siapa itu"!"
Setelah diawasi barulah diketahui pada sebuah dahan lain di
bagian atas sana juga menongkrong seorang tua yang
bertubuh tinggi besar.
Usia kakek ini antara 57-58 tahun, badan gemuk dan muka
bulat serupa Buddha tertawa yang gendut itu, kepalanya
botak plontos, hanya sekitar pelipis ada sedikit rambut pendek
keriting sehingga mirip ikat kepala.
Baju orang tua ini terlebih aneh, hanya memakai sepotong
baju kulit macan tutul yang tak berlengan, celana yang
dipakainya berwarna kelabu dan berkaki telanjang, bentuknya
seperti seorang pemburu.
Tapi sekali pandang saja Liong It-hiong lantas yakin orang tua
ini pasti seorang tokoh persilatan kelas tinggi, sebab dahan
pohon yang didudukinya itu sangat kecil, namun tubuhnya
yang gede itu ternyata seringan kapas tanpa membuat dahan
kecil itu melengkung ke bawah, ini menandakan Ginkang
kakek gendut ini pasti luar biasa.
Meski kejut dan heran di dalam hati, namun It-hiong tidak
gentar, sebab ia tahu jika orang bersembunyi di atas pohon,
tentu bukan orang dari Liong-coan-ceng.
Setelah menenangkan perasaannya, dengan tertawa It-hiong
lantas bertanya, "Numpang tanya, siapa nama Locianpwe
yang terhormat?"
Kakek berbaju kulit macan itu tertawa lebar, jawabnya, "Eh,
kita tidak perlu saling memberi tahu nama masing-masing,
jadi?" "Baik," jawab It-hiong tertawa, "Tapi apakah boleh kutahu
untuk apa Locianpwe bersembunyi di atas pohon?"
"Jika aku yang tanya padamu akan kau jelaskan atau tidak?" si
kakek balas bertanya.
It-hiong melengak, tapi dengan tersenyum ia menjawab,
"Akan kujelaskan, yaitu menunggu orang di sini."
"Menunggu siapa?" tanya si kakek berbaju kulit macan.
It-hiong mengangkat bahu, "Wah, maaf, tak dapat
kukatakan."
"Hehe, jika begitu, boleh juga kujelaskan, aku pun sedang
menunggu orang, soal siapa yang kutunggu, hehe, juga tidak
dapat kukatakan."
Lalu si kakek menunjuk sebuah dahan kecil di sebelahnya dan
berkata pula dengan tertawa, "Kenapa engkau tidak
nongkrong saja di sini?"
It-hiong tahu orang hendak menguji kemampuannya, dengan
sendirinya ia tidak mau dipandang lemah, dengan suatu
lompatan ringan dapatlah ia mencapai dahan itu dan duduk di
situ dengan santainya. Dahan itu pun tidak melengkung sama
sekali. Air muka si kakek tampak rada berubah, ia manggut-manggut
sebagai tanda memuji, katanya, "Boleh juga, anak muda
seperti dirimu mempunyai kepandaian sehebat ini."
"Terima kasih," jawab It-hiong.
"Mengapa engkau tidak masuk ke perkampungan sana?" tanya
pula si kakek. "Dan Lotiang (bapak) sendiri kenapa tidak masuk ke sana?" Ithiong
balas bertanya.
"Sebab aku tidak kenal Wi Ki-tiu, tidak ada sesuatu hubungan
apa pun, " jawab si kakek berbaju kulit macan.
"Sama, Cayhe pun begitu," kata, It-hiong.
Si kakek memandangnya sejenak dengan tajam, lalu berucap
pula dengan tersenyum, "Tapi jika kau mau masuk ke sana
untuk mengucapkan selamat ulang tahun, mereka pasti takkan
menolak kedatanganmu."
"Ya, tapi Cayhe tidak bermaksud masuk ke sana untuk
mengucapkan selamat," ujar It-hiong.
Si kakek diam sejenak, lalu tanya lagi, "Orang yang kau
tunggu itu kawan atau lawan?"
"Bukan kawan, juga bukan lawan." tutur It-hiong.
"Habis orang macam apa dan ada hubungan apa denganmu?"
"Kalau kita tidak perlu saling memberi tahu nama masingmasing,
bagaimana kalau kita juga tidak saling tanya maksud
kedatangan kita, oke?"
"Baik," si kakek tertawa. "Coba lihat, ramai sekali pesta di
sana." Suasana di tengah Liong-coan-ceng memang sangat ramai,
dipandang dari atas pohon yang tinggi itu, tertampak jelas di
pelataran perkampungan itu berjajar 50-60 buah meja
perjamuan yang penuh dikelilingi tetamu, pelayan tampak
sibuk membawakan hidangan kian kemari, suara tertawa
tetamu riuh rendah menggema angkasa.
Setelah memandang sejenak, dengan tertawa It-hiong tanya,
"Apakah Locianpwe melihat orang yang engkau tunggu?"
"Tidak terlihat, cuma dia pasti berada di sana, tidak salah
lagi," ujar si kakek.
"Di tengah tetamu itu banyak tokoh dunia persilatan, bukan?"
tanya It-hiong.
"Ya," si kakek berbaju kulit macan mengangguk.
"Seorang hartawan yang terkenal berjiwa sosial ternyata
banyak bergaul dengan tokoh dunia persilatan, ini
menandakan Wi-cengcu sendiri pasti orang yang luar biasa,"
ujar It-hiong. "Ya, dia memang orang luar biasa, sebab ia sendiri tadinya
juga tokoh dunia Lok-lim (rimba hijau alias kaum bandit),
namanya tidak berada di bawah Oh Kiam-lam," tutur si kakek.
"Oo, apa betul?" It-hiong menegas.
"Tentu saja betul," tutur si kakek dengan tertawa. "Cuma dia
sudah mengundurkan diri beberapa tahun yang lalu, tidak lagi
melakukan pekerjaan membunuh dan membakar itu."
"O, Tuhanku, orang begini mana sesuai untuk disebut sebagai
dermawan?" keluh It-hiong sambil menghela napas.
"Sebutan dermawan dipasang olehnya sendiri," kata si kakek.
"Cuma akhir-akhir ini dia memang betul berbuat sedikit
kebaikan, di sinilah letak kepintarannya. Bilamana seorang
lebih dulu mencari jalan untuk memupuk kekayaan, kemudian
mengasingkan diri di tempat lain, lalu muncul kembali dengan
wajah yang tidak sama dan sengaja berbuat sedikit hal-hal
yang kelihatan bajik untuk memperoleh pujian, orang, maka
seterusnya dapatlah dia hidup aman tenteram dengan sebutan
dermawan."
"Jika begitu, nama aslinya tentu bukan Wi Ki-tiu?" tanya Ithiong.
"Dia memang bernama Wi Ki-tiu dan berjuluk Kui-sui-poa
(swipoa setan), cuma sekarang dia telah ganti nama menjadi
Co-im (amal leluhur)."
"Wah, jika dia berjuluk Kui-sui-poa, itu menandakan dia ahli
berhitung dan tidak mau rugi," ujar It-hiong.
"Selain begitu, dia memang juga menggunakan swipoa
sebagai senjata," tutur si kakek berbaju kulit macan tutul.
"Malahan biji swipoanya dapat dilepaskan dan digunakan
sebagai senjata rahasia. Kepandaiannya memang tidak
rendah, selama berpuluh tahun dia malang melintang di
kalangan Lok-lim daerah utara tanpa ketemukan tandingan
yang berarti."
"Mungkin sekali dia tidak sungguh-sungguh mengundurkan
diri," kata It-hiong.
"Oo, apa dasarnya?" tanya si kakek.
"Bilamana benar dia sudah cuci tangan dari pekerjaannya
dulu, seharusnya dia jauh meninggalkan pergaulan dengan
tokoh dunia persilatan dan tirakat di tempat terpencil. Tapi
sekarang dia mengadakan pesta ulang tahun ke-60 dan
datang sekian banyak tokoh persilatan untuk mengucap
selamat kepadanya, ini menandakan dia tidak pernah benarbenar
mengundurkan diri."
"Ya, mungkin betul begitu, tapi masih ada alasan lain, yaitu
dengan menggunakan kesempatan ini dia hendak menarik
keuntungan sebanyak-banyaknya."
"Keuntungan sebanyaknya bagaimana?" tanya It-hiong.
"Kau tahu tokoh dunia persilatan yang datang mengucapkan
selamat kepadanya kebanyakan adalah bekas anak buahnya
dahulu," tutur si kakek. "Melihat betapa banyak tamu yang
hadir itu, bilamana separuh di antaranya adalah kawan
segolongannya, umpama saja ada 300 orang, kalau seorang
menyumbang 100 tahil, maka sekaligus dia akan bertambah
kaya 30 laksa tahil perak."
"Ya, betul juga," tukas It-hiong. "Padahal biaya perjamuannya
yang 60 meja itu takkan lebih dari seribu tahil perak."


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betul, belum lagi sebagian tetamu yang lain, sedikit banyak
juga ada yang menyumbang, maka dapat dipastikan hari ini
dia mendapat untung besar," kata si kakek.
"Hah, pantas dia mau memberi derma untuk membangun
jembatan, rupanya dia mempunyai sumber rezeki sendiri,"
ujar It-hiong. "Lihat itu, Kui-sui-poa Wi Ki-tiu sudah keluar," seru si kakek
tiba-tiba. Waktu It-hiong memandang ke sana, benar juga dilihatnya
seorang tua dengan pakaian mentereng di bawah iringan
beberapa orang tampak keluar perkampungan besar itu, lalu
berdiri di sisi pintu gerbang, melihat gelagatnya dia siap
mengantar kepergian para tamunya.
"Kakek berpakaian perlente itukah Kui-sui-poa Wi Ki-tiu?"
tanya It-hiong.
"Betul," jawab si kakek.
"Tadi Locianpwe bilang tidak kenal Wi Ki-tiu, mengapa sekali
pandang dapat kau kenali dia sebagai Wi Ki-tiu?" tanya Ithiong
pula. "Bila pesta usai, tuan rumah harus mengantar sendiri
kepergian tetamu, itulah sopan santun pergaulan, maka dapat
kuterka dia pasti Wi Ki-tiu."
Dalam pada itu sudah ada tamu yang keluar, terlihat Kui-suipoa
Wi Ki-tiu sibuk memberi salam mengantar keberangkatan
tetamunya, sikapnya cukup hormat dan rendah hati.
"Ssst, jangan bicara lagi, marilah kita mengamati sasaran kita
masing-masing." desis si kakek.
It-hiong mengangguk.
Tidak lama kemudian, para tamu berbondong-bondong keluar,
ada yang menumpang kereta, ada yang naik kuda, ada pula
yang naik tandu, sebagian berjalan kaki, semuanya melalui
jalan batu yang lurus ini sehingga memanjang serupa pawai.
Dari atas pohon yang tinggi Liong It-hiong dan kakek berbaju
kulit macan tutul itu dapat mengawasi setiap tamu itu dengan
jelas. Hanya orang yang menumpang tandu dan kereta saja
yang tak dapat terlihat wajahnya, tapi Liong It-hiong yakin Hui
Giok-koan pasti tidak menumpang kereta atau naik tandu,
maka yang diperhatikannya hanya tamu yang naik kuda dan
berjalan kaki. Rupanya si kakek juga mempunyai pikiran yang sama, ia tidak
memerhatikan orang yang menumpang kereta dan naik tandu.
Begitulah beramai-ramai beberapa ratus tamu itu beriring
menelusuri jalan batu kecil itu menuju ke arahnya masingmasing,
cukup lama juga barulah tetamu itu pergi seluruhnya.
It-hiong merasa kecewa, sebab di antara tetamu itu ternyata
tidak ditemukan jejak Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan.
Sungguh aneh, apakah dia memang tidak hadir ke sini"
Rasanya tidak begitu, sebab menurut keterangan pelayan
hotel yang ditanyai Liong It-hiong, jelas diketahui Hui Giokkoan
membeli kado untuk ulang tahun kawannya, kawan yang
dimaksud itu pasti Kui-sui-poa Wi Ki-tiu adanya.
Bisa jadi Hui Giok-koan menumpang kereta atau naik tandu"
Rasanya juga tidak, sebab si pelayan hotel bilang dia
berangkat dengan berjalan kaki, bahkan tempat Wi Ki-tiu
berjarak tidak jauh, tidak nanti dia berkendaraan.
Habis ke mana perginya" Mengapa tidak tertampak
bayangannya"
Mungkinkah sehabis mengucapkan selamat kepada tuan
rumah lalu pergi lagi tanpa ikut dalam perjamuan"
Ini pun sangat tidak mungkin, kedatangannya ke Tengciu jelas
karena ingin makan enak, yaitu menikmati daging pesut,
mustahil kalau dia pergi lagi secara tergesa-gesa sebelum
tercapai maksud tujuannya.
Atau, ini sangat mungkin, yaitu sebagai satu di antara ketujuh
gembong kalangan hitam di daerah selatan, nama dan
kedudukannya tentu lain daripada yang lain, maka dalam
pesta Wi Ki-tiu ini tentu dia termasuk tamu yang terhormat,
mungkin sekali Wi Ki-tiu akan menahannya agar tinggal lagi
beberapa hari di tempatnya.
Berpikir sampai di sini, dalam hati Liong It-hiong sudah ada
kepastian. Dilihatnya si kakek berbaju kulit macan tutul itu juga sedang
termenung bingung, jelas orang tua ini pun tidak melihat
orang yang ditunggunya, maka dengan tersenyum It-hiong
bertanya, "Apakah orang yang Locianpwe cari itu tidak
kelihatan muncul?"
Si kakek bekernyit kening, katanya, "Ya, sungguh bedebah!
Padahal berita yang kuterima sangat dapat dipercaya dan jelas
mengatakan dia akan datang ke sini untuk mengucapkan
selamat kepada Wi Ki-tiu."
"Bisa jadi terjadi perubahan mendadak, umpamanya ada
urusan lain yang lebih penting dan dia tidak jadi kemari," ujar
It-hiong. "Tidak, justru kuyakin dia pasti kemari," kata si kakek, "Dia
adalah sahabat lama Wi Ki-tiu, tidak bisa tidak hadir."
"Atau, mungkin juga dia sudah pergi dengan menumpang
kereta atau naik tandu," kata It-hiong pula.
Si kakek menggeleng kepala, "Tidak, ia tidak suka
menumpang kereta, apalagi naik tandu, biasanya ia cuma
suka naik kuda."
Mendadak ia menatap It-hiong dan balas bertanya, "Dan
bagaimana dengan orang yang kau tunggu" Terlihat?"
"Tidak, ia pun tidak tampak batang hidungnya," jawab Ithiong
dengan menyengir.
"Mengapa bisa begitu?" tanya si kakek.
"Entah," It-hiong juga menggeleng kepala.
"Sekarang tetamu sudah pergi semua, apakah engkau hendak
menunggu lagi di sini?" tanya si kakek.
"Tidak, segera aku mau pergi saja," sembari bicara segera Ithiong
bergaya hendak melompat ke bawah.
"Eh, nanti dulu!" seru si kakek.
"Ada apa?" tanya It-hiong, diam-diam ia menghimpun tenaga
untuk menjaga segala kemungkinan.
"Begini," kata si kakek. "Bilamana kau mau katakan siapa
orang yang hendak kau tunggu, bisa jadi aku dapat bantu
mencarinya bagimu."
"Ah, terima kasih, kukira tidak perlu," ujar It-hiong.
"Apakah tidak terpikir olehmu, orang yang hendak kau cari itu
sangat mungkin masih ngendon di tempat Wi Ki-tiu?" ucap si
kakek tiba-tiba.
"Oo ...." It-hiong melenggong.
"Makanya kubilang jangan pergi dulu," kata si kakek dengan
tertawa. "Marilah kita menunggu lagi, bila hari sudah gelap
dan mereka belum juga muncul, malam nanti kita masuk ke
sana untuk mencarinya."
Sesungguhnya memang sudah ada niat Liong It-hiong akan
menyelidiki Liong-coan-ceng malam nanti, namun usul si
kakek terasa di luar dugaannya, sahutnya dengan tertawa,
"Apakah Locianpwe merasa kita dapat melakukan operasi
bersama?" "Kalau bisa saling membantu, apa alangannya?" ujar si kakek.
"Mengapa Locianpwe tidak masuk saja sendirian ke sana?"
"Masuk sendirian ke sana juga tidak menjadi soal bagiku, tapi
kalau bertambah seorang teman kan lebih baik?" ujar si kakek.
"Nah, bagaimana, mau?"
It-hiong berpikir sejenak, katanya kemudian dengan
mengangguk, "Baik malam ini biar kita operasi bersama, akan
kita selidiki perkampungan itu."
Si kakek tampak sangat senang, katanya dengan tertawa,
"Kepandaianmu tidak rendah, makanya kuajak kerja sama
denganmu. Engkau anak murid dari perguruan mana?"
"Ah, asal usul diriku ini hina dina, tidak pernah berguru dan
juga tidak masuk sesuatu aliran," jawab It-hiong.
"Masa" Kukira engkau terlampau rendah hati," ucap si kakek.
"Tampaknya Kungfumu pasti tidak di bawah Liong-hiap Liong
It-hiong."
"Haha," It-hiong tergelak. "Mana kuberani dibandingkan
Liong-hiap Liong It-hiong. Orang kan pendekar termasyhur,
sedangkan Cayhe cuma seorang keroco. Eh, Locianpwe kenal
Liong-hiap Liong It-hiong?"
"Tidak, tidak kenal," jawab si kakek. "Cuma pernah kudengar
kabar bahwa dia adalah toko angkatan muda yang paling
menonjol. Terakhir kudengar dia pernah mengalahkan KiongKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
su-sing Sun Thian-tik, tampaknya dia memang punya Kungfu
sejati." "Locianpwe dengar dari siapa?" tanya It-hiong berlagak pilon.
"Kudengar di rumah makan."
"Ya, aku pun pernah dengar cerita seperti itu. Cuma kabarnya
cara Liong It-hiong mengalahkan Kiong-su-sing Sun Thian-tik
tidak dengan ilmu silat melainkan keduanya main catur
dengan taruhan sebilah pedang mestika."
"Oo, kiranya begitu," si kakek tercengang.
Selagi It-hiong hendak bicara pula, tiba-tiba terlihat si nelayan
tua Ma-lotia bersama anak tanggung Jisiaucu menggotong
karung yang berisi pesut itu lagi mendatangi melalui jalan di
kaki gunung. "Itu dia, ada orang datang," desis It-hiong menuding ke sana.
Si kakek melongok ke sana, katanya, "Mereka bukan tetamu."
"Ehm, melihat dandanan yang tua, tampaknya seperti seorang
nelayan," ujar It-hiong. "Entah barang apa yang mereka
gotong itu?"
"Ya, entah apa?" kata si kakek.
"Mungkinkah pesut?" tukas It-hiong.
Terbeliak mata si kakek, "Pesut" Ehm, betul juga, Wi Ki-tiu
memang terkenal gemar makan daging pesut, setiap nelayan
di daerah sini bila berhasil menangkap pesut pasti
membawanya ke sini untuk dijual kepadanya."
"Tampaknya Locianpwe sangat jelas terhadap segala sesuatu
sifat Wi Ki-tiu," kata It-hiong dengan tertawa.
Si kakek berbaju kulit macan tutul itu tidak menanggapi,
mendadak ia melayang turun ke bawah dan melangkah cepat
ke sana mengadang di depan Ma-lotia, dengan kereng ia
menegur, "Hei, ini jalan menuju Liong-coan-ceng, kalian
berdua hendak ke mana?"
Ma-lotia mengira dia orang Liong-coan-ceng, ia berhenti dan
menjawab dengan tertawa, "Kami justru hendak ke tempat
kalian." Si kakek berbaju kulit macan berlagak garang dan bertanya
lagi, "Untuk apa kalian ke sana?"
"Ini, kami berhasil menangkap seekor pesut besar dan hendak
dijual kepada Wi-locengcu," tutur Ma-lotia alias si kakek Ma.
"Pesta ulang tahun Cengcu sudah usai, mungkin Cengcu tak
mau membeli lagi," kata si kakek berbaju kulit macan.
"Tentu akan dibeli, Wi-cengcu sering memberi pesan, bila
berhasil menangkap pesut boleh antar kemari kapan pun,"
ujar Ma-lotia. "Lantas akan kau jual berapa duit?" tanya si kakek berbaju
kulit macan. Ma-lotia tertawa, "Ah, masa hamba berani pasang harga
segala, Wi-cengcu adalah langganan kami, terserah beliau
mau memberi berapa."
"Tampaknya tidak kecil pesut ini," kata si kakek berbaju kulit
macan. "Bagaimana kalau kubayar lima tahil perak?"
Sebenarnya Ma-lotia hanya ingin menjual dua tahil perak saja,
sekarang orang mau membayar lima tahil, keruan jauh
melampaui harapannya, berulang ia mengangguk, katanya
dengan tertawa, "Boleh, boleh!"
Si kakek lantas menyodorkan sepotong uang perak lima tahil,
katanya, "Di tempat kami masih ada sebagian tamu yang
belum pergi, kalian tidak perlu masuk ke sana, pesut ini
serahkan saja kepadaku."
Tentu saja Ma-lotia kegirangan, berulang ia menyatakan
terima kasih, karung berisi perut itu lantas ditaruh di atas
tanah. "Tinggalkan juga pikulanmu, sebentar akan kusuruh orang
menggotong ke sana," kata si kakek baju kulit macan.
Setelah mendapat lima tahil perak, dengan sendirinya Ma-lotia
tidak keberatan meninggalkan pikulan dan karungnya, apalagi
syarat jual-beli juga terjadi begini mudah dan menguntungkan
baginya. Berulang ia mengucapkan terima kasih pula, lalu
tinggal pergi bersama kawannya.
Setelah kedua orang itu pergi, segera si kakek berbaju kulit
macan mengangkat karung itu dan cepat menyusup masuk
lagi ke dalam hutan.
It-hiong sudah dapat meraba maksud tujuan si kakek membeli
pesut itu, jelas karena ingin menyamar dan supaya dapat
masuk ke Liong-coan-ceng, diam-diam ia memuji, "Tua
bangka ini tampaknya kasar, rupanya juga banyak tipu
akalnya." Dalam pada itu si kakek telah menjinjing karung goni itu dan
melompat lagi ke atas pohon, karung berisi pesut itu
digantung di antara cabang pohon, lalu mendongak dan
berkata kepada It-hiong dengan tertawa, "Saudara cilik, kau
mau makan daging pesut tidak?"
It-hiong tersenyum, "Masa Locianpwe sudi mengundangku
makan?" "Ya, jika kau mau, nanti kita makan sepuasnya," ujar si kakek
tertawa. "Ah, sudahlah," ucap It-hiong.
"Ada maksudku hendak menyamar sebagai nelayan untuk
menjual pesut ini kepada Wi Ki-tiu, kau berani ikut masuk ke
sana atau tidak?" tanya si kakek.
"Kenapa tidak berani?" jawab It-hiong. "Cuma, engkau tidak
khawatir akan dikenali?"
"Kita dapat merias dan berganti rupa," ujar si kakek.
"Ya, betul, harus mengubah dulu wajah kita, tapi apakah
Locianpwe membawa alat-alat rias?" tanya It-hiong.
"Biarlah kita mencari suatu rumah penduduk dan membeli dua
potong baju bekas, lalu ditambah sebuah caping, kan beres?"
"Setelah masuk ke sana, lalu apa yang akar kita lakukan?"
"Tujuanku hanya ingin tahu orang yang kucari itu berada di
sana atau tidak. Kalau ada malam nanti akan kumasuk lagi ke
sana Kalau tidak ada, ya tidak perlu repot lagi pergi ke sana."
"Baik, kalau begitu marilah kita menyamar," ucap It-hiong.
Kedua orang lantas menerobos keluar hutan dan menuju ke
suatu kampung yang terletak agak jauh sana.
Tidak lama, mereka sudah kembali lagi ke kaki gunung di
dekat Liong-coan-ceng.
Kini keduanya sudah menyamar sebagai kaum nelayan,


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keduanya sama memakai caping, muka dan tangan diberi
hangus hingga kelihatan hitam kotor, biarpun orang yang
kenal mereka, kalau bertemu sekarang, bila tidak diawasi
dengan teliti juga akan pangling.
Si kakek berbaju kulit macan itu melompat lagi ke atas pohon
dan menurunkan karung berisi pesut itu, katanya, "Marilah
kita gotong ke sana."
Begitulah kedua orang lantas menggotong pesut itu menyusuri
jalan batu itu menuju ke Liong-coan-ceng. Hanya sebentar
saja mereka sudah sampai di depan perkampungan itu.
Seorang centeng melihat kedatangan mereka dan segera
memapak serta menegur, "Apa yang kalian bawa?"
Si kakek menurunkan pikulannya dan menjawab dengan
membungkuk hormat, "O, pesut, kabarnya Wi-cengcu suka
beli pecut, kebetulan hari ini kami berhasil menangkap seekor
yang besar dan sengaja kami antar kemari."
Centeng itu mendepak perlahan karung yang berisi pesut itu,
"Wah, memang benar cukup besar. Cuma kedatangan kalian
agak terlambat, pesta sudah bubar baru kalian antar kemari."
Si kakek berlagak kecewa, "Wah, lantas bagaimana, tidak mau
terima?" "Coba tunggu dulu, akan kutanyakan," kata si centeng. Lalu ia
masuk ke dalam.
Tidak lama keluarlah seorang Lokoankeh (kepala rumah
tangga), ia suruh si kakek berbaju kulit macan membuka
ikatan karung, sesudah memeriksa pesutnya ia tanya, "Baru
saja tertangkap?"
"Ya, ya," jawab si kakek.
Lokoankeh memberi tanda, "Baik, gotong masuk saja!"
Si kakek mengiakan, cepat ia mengikat erat lagi karung goni
itu dan bersama Liong It-hiong menggotongnya dan ikut
masuk ke dalam perkampungan bersama Lokoankeh.
Dalam hati kedua orang sama rada kecewa, sebab melihat
gelagatnya mereka hanya dapat berhubungan dengan
Lokoankeh saja dan tidak diberi kesempatan bertemu dengan
Kui-sui-poa Wi Ki-tiu pribadi.
"Kalau tidak dapat bertemu dengan Wi Ki-tiu, itu berarti juga
tidak mungkin dapat bertemu dengan orang yang mereka cari
sehingga perjalanan mereka ini hanya sia-sia belaka.
Begitulah Lokoankeh membawa mereka melintasi pelataran
yang luas dan memutar ke belakang sana, di situ terletak
dapur. It-hiong pikir bilamana sampai di dapur, kesempatan untuk
bertemu dengan Wi Ki-tiu dan tetamu yang lain tentu terlebih
kecil. Tiba-tiba timbul akalnya, mendadak ia berteriak, "Pesut,
pesut besar! Ayolah lihat pesut besar!"
Karena gembar-gembor It-hiong, serentak banyak orang
kampung sama berkerumun kemari hendak melihat.
Lokoankeh tampak kurang senang, ia melototi It-hiong
sekejap dan mengomel, "Hus, ada apa berkaok-kaok?"
Tapi si kakek berbaju kulit macan itu sengaja melepaskan
pikulannya malah, katanya dengan tertawa, "Pesut sebesar ini
memang jarang terlihat, tidak ada alangan biar ditonton
sebentar oleh mereka."
Habis itu ia terus membuka ikatan karung hingga pesut
terlihat jelas.
"Wah, besar amat pesut ini!"
"Ya, sungguh besar, sedikitnya ada 50 kati!"
"Pasti lebih!"
"Ini pesut harimau, betul tidak?"
"Ya, ini memang pesut harimau! Konon masih ada jenis pesut
gajah!" Begitulah macam-macam komentar orang kampung yang
menonton itu, karena suara ramai inilah telah mengejutkan
Kui-sui-poa Wi Ki-tiu yang sedang mengobrol dengan
tetamunya di ruangan tamu sana, bersama kedua tamunya ia
lantas keluar juga.
Kedua tamunya itu ternyata yang satu adalah Kiong-su-sing
Sun Thian-tik dan yang lain ialah Hiat-pit-siucay Hui Giokkoan.
Girang sekali hati It-hiong melihatnya, tapi khawatir dikenali
mereka, cepat ia melengos ke arah lain dan menunduk.
Kui-sui-poa Wi Ki-tiu adalah seorang kakek bermuka lebar dan
bertelinga besar, sedikit pun tidak mirip orang yang licin dan
licik. Bisa lantaran sedang gembira berhubung ulang tahun keKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
60, dia kelihatan berseri-seri, dengan tertawa cerah ia
mendekat dan bertanya, "Ada urusan apa?"
"Lapor Cengcu," segera Lokoankeh tadi memberi hormat,
"kedua orang ini dapat menangkap seekor pesut besar,
katanya hendak dijual kepada Cengcu, hamba pikir pesutnya
memang besar, maka menyuruh mereka menggotong masuk
ke sini." Kui-sui-poa Wi Ki-tiu ikut melongok ke dalam karung, seketika
ia merasa senang juga, katanya, "Wah, memang pesut besar.
Bagus, dibeli saja!"
Kiong-su-sing Sun Thian-tik dan Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan
juga ikut berkerumun maju untuk melongok. Sun Thian-tik
lantas bersorak juga, "Aha, besar amat pesut ini! Wah, Wicengcu,
mestinya aku sudah akan mohon diri, tapi sekarang
rasanya berubah pikiran dan ingin merepotkanmu pula pada
makan malam nanti."
"Hahaha, jika Sun-tayhiap sudi tinggal lagi di sini, tentu saja
kusambut dengan senang hati," seru Wi Ki-tiu dengan
terbahak. Lalu ia pandang Hui Giok-koan dan menambahkan, "Eh,
apakah Hui-laute juga gemar makan daging pesut?"
"Betul," jawab Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan dengan tertawa.
"Kedatanganku ke Tengciu selain untuk mengucapkan selamat
ulang tahun kepada Wi-cengcu, sesungguhnya juga ingin
makan pesut yang merupakan makanan khas daerah sini."
"Haha, bagus sekali, biarlah malam nanti kita bertiga minum
arak dengan daging pesut," seru Wi Ki-tiu dengan tertawa.
"Eh, saudara Giok-koan, orang bilang biji mata pesut sangat
berbisa, apakah engkau berani makan matanya?" tiba-tiba Sun
Thian-tik berseloroh dengan tertawa.
"Haha, asalkan Sun-heng berani makan, aku pasti juga
berani," jawab Hui Giok-koan.
Seketika lenyap senyum Sun Thian-tik, ucapnya, "Apa betul?"
"Tentu saja betul," sahut Hui Giok-koan tanpa pikir.
"Baik, sekarang juga kita coba," seru Sun Thian-tik penasaran.
Dengan sendirinya Hui Giok-koan tidak mau dipandang lemah,
kontan ia menjawab, "Jadi!"
Segera Sun Thian-tik berpaling dan berkata kepada Wi Ki-tiu,
"Wi-cengcu, mohon engkau menjadi saksi, kami akan
berlomba makan mata pesut, lihat saja nanti siapa yang tahan
hidup dan siapa yang mati."
"Hahaha!" Wi Ki-tiu tergelak. "Jangan Sun-tayhiap berkelakar.
Selama 60 tahun umurku belum pernah kudengar ada orang
tidak mati makan mata pesut. Ayolah, kita mengobrol lagi di
ruang tamu."
Habis bicara ia mendahului melangkah kembali ke tempat
mengobrol semula.
Melihat tuan rumah tidak setuju pertandingan mereka,
terpaksa Sun Thian-tik dan Hui Giok-koan hanya menyengir
saja dan ikut masuk lagi ke ruang tamu.
Segera Lokoankeh tadi menyuruh si kakek dan Liong It-hiong
menggotong pesut ke dapur, pesut dimasukkan ke dalam
sebuah bak air, lalu bertanya, "Berapa harganya?"
Si kakek menjawab dengan tertawa, "Ah, terserah kemurahan
hati juragan di sini, mana berani kupasang harga."
Lokoankeh menyodorkan dua tahil perak kepadanya dan
berkata, "Ini dua tahil perak, ambil saja!"
Cepat si kakek menerimanya dengan kedua tangan sambil
mengucapkan terima kasih berulang-ulang.
"Baiklah, sekarang kalian boleh pulang," kata Lokoankeh.
"Selanjutnya kalau dapat menangkap pesut lagi boleh antar
saja kemari."
Si kakek mengiakan dengan hormat, lalu berkata kepada Ithiong,
"Ayo, nak, kita pulang!"
Begitulah kedua orang lantas pamit, yang satu memegang
pikulan dan yang lain membawa karung, mereka
meninggalkan Liong-coan-ceng dengan lagak gembira ria.
Setiba di tempat sepi si kakek menyusup lagi ke dalam hutan
diikuti oleh Liong It-hiong.
Si kakek berbaju kulit macan tutul duduk di bawah sambil
melempar-lemparkan kedua tahil perak hasil jualan pesut tadi,
ucapnya dengan tertawa, "Keparat! Belinya lima tahil perak
dijual cuma dua tahil perak. Berdagang cara begini mustahil
takkan bangkrut setiap hari."
It-hiong tertawa, "Tapi kuyakin Locianpwe pasti takkan rugi."
"Ya, betul juga, tentu aku akan untung dengan cara lain," kata
si kakek dengan tertawa gembira.
"Siapakah kedua lelaki setengah baya yang muncul bersama
Wi Ki-tiu tadi?" tanya It-hiong sengaja.
"Yang seorang bernama Kiong-su-sing Sun Thian-tik dan yang
lain berjuluk Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan."
"Ahh, kiranya mereka berdua," It-hiong berlagak melengak.
"Lantas orang yang mana di antara mereka yang hendak kau
cari?" Si kakek tertawa, "Coba kau katakan lebih dulu, siapa di
antara mereka berdua yang hendak kau cari?"
It-hiong menggeleng, "Kedua-duanya bukan orang yang ingin
kucari." "Oo, jika begitu orang hendak kau cari mungkin tidak datang
ke Liong-coan-ceng, atau dia sudah pergi di luar tahumu," ujar
si kakek. It-hiong berlagak kecewa, katanya, "Ya, tampaknya nasibku
lagi jelek ...."
"Sebaliknya orang yang ingin kucari sudah kulihat tadi," kata si
kakek berbaju kulit macan dengan tertawa.
"Oo, yang mana?" tanya It-hiong cepat.
"Coba kau terka," kata si kakek.
"Hui Giok-koan yang berjuluk Hiat-pit-siucay itu?" tanya Ithiong
pula. "Bukan, tapi Sun Thian-tik!" tutur si kakek.
Sejak mula dalam hati Liong It-hiong lamat-lamat dirasakan
orang yang hendak dicari si kakek sangat mungkin orang yang
sama dengan dirinya, sekarang setelah mendengar yang dicari
si kakek bukan Hui Giok-koan, hal ini rada di luar dugaan
malah, pikirnya, "Apakah dia bicara sejujurnya" Betulkah
orang yang dia cari ialah Sun Thian-tik dan bukan Hui Giokkoan?"
Sekilas pikir, lalu ia tanya, "Locianpwe ada permusuhan
dengan Kiong-su-sing Sun Thian-tik?"
"Ya," si kakek mengangguk.
"Cara bagaimana bisa bermusuhan?" tanya It-hiong pula.
"Dia membawa minggat istriku, maka ingin kucabut
nyawanya," tutur si kakek.
"Hah, kan aneh," ujar It-hiong tertawa. "Usianya jauh Lebih
muda daripadamu, umur istri Locianpwe tentu juga tidak
muda lagi, masa dia membawa lari istrimu?"
"Istriku justru masih sangat muda, baru berumur likuran,"
tutur si kakek dengan penuh rasa benci dan dendam.
"Wah, tentu sangat cantik, makanya Sun Thian-tik kepincut,"
ujar It-hiong. "Betul, istriku memang cantik molek, makanya Sun Thian-tik
tergila-gila padanya, selagi aku tidak di rumah dia
membawanya minggat."
"Sungguh perbuatan yang kotor dan rendah," kata It-hiong.
"Begitulah, karena dia telah merusak rumah tanggaku, maka
harus kubinasakan dia, tidak bisa tidak," ucap si kakek dengan
geregetan. "Dan ketika melihat dia tadi, kenapa Locianpwe tidak segera
turun tangan?" tanya It-hiong.
"Tidak boleh, kutahu kepandaiannya tidak rendah, apalagi dia
menjadi tamu di Liong-coan-ceng, dalam keadaan begitu bila
kulabrak dia tentu akan gagal total," ujar si kakek.
"Lantas, cara bagaimana Locianpwe akan bertindak
terhadapnya?" tanya It-hiong.
"Malam nanti dia tentu masih tinggal di tempat Wi Ki-tiu,
diam-diam aku menyelundup ke sana, setelah dia tidur, akan
kupenggal kepalanya."
"Waktu masuk ke sana tadi telah kuperiksa keadaan
perkampungan itu, melihat gelagatnya penjagaan mereka
cukup ketat, usaha Locianpwe mungkin sulit terlaksana," ujar
It-hiong. "Betapa pun aku harus mencobanya, sekalipun harus
menyerempet bahaya," kata si kakek tegas.
"Kenapa tidak tunggu saja sampai besok bila dia
meninggalkan Liong-coan-ceng, kan dapat kau cegat dia di
tengah jalan?"
"Tidak, rasanya aku tidak sabar lagi," kata si kakek.
"Wah, sangat menyesal, karena orang yang kucari tidak
berada di sana, terpaksa malam nanti tidak dapat
kubantumu."
"Ya, tidak apa-apa, bolehlah kau pergi!" ujar si kakek.
Melihat orang berubah sikap dan tidak menanggalkan baju
bekas yang dipakainya dan berkata, "Jika begitu, maaf,
kumohon diri lebih dulu."
Si kakek menatapnya dengan tajam dan berkata dengan nada
mengancam. "Awas, jangan kau pergi ke sana dan
memberitahukan padanya, jika terjadi demikian, tentu jiwamu
pun akan kurenggut."
"Locianpwe jangan khawatir, sama sekali tidak ada hubungan
apa pun antara Sun Thian-tik denganku, untuk apa kuberi
tahukan kepadanya?" sahut It-hiong.
Habis berucap demikian ia lantas meninggalkan hutan itu dan
pulang ke tengah kota.
Setiba di hotel ia pesan pelayan menyediakan semangkuk mi
babat, habis makan ia lantas tidur.
Nyenyak sekali tidurnya, waktu bangun ternyata sudah dekat
tengah malam. Meski dalam waktu begini masuk ke Liong-coan-ceng
dirasakan terlampau dini, tapi ia memutuskan akan berangkat
lebih pagi, sebab ia mencurigai orang yang ingin dicari si
kakek sangat mungkin adalah Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan,
tujuannya bukan mustahil juga kotak hitam itu, sebab itulah ia
tidak atau didahului orang.
Setelah ganti baju hitam, baju yang biasa digunakan untuk
bekerja malam hari, ia selipkan pedang pandak yang dulu
didapatnya dari Sun Thian-tik itu di pinggang, lalu membuka


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daun jendela, setelah yakin keadaan di luar sepi tiada orang,
segera ia melompat keluar, melintasi pagar tembok belakang
hotel terus menuju ke Liong-coan-ceng.
Hanya sebentar saja ia sudah sampai di kaki gunung dekat
Liong-coan-ceng, ia tidak ingin kepergok si kakek berbaju kulit
macan lagi, maka ia sengaja menyusup ke dalam hutan di sisi
lain dan merunduk ke perkampungan itu.
Ia tiba di kaki tembok yang terletak agak jauh dari pintu
gerbang, dengan ilmu "cecak merayap di tembok" ia merayap
ke atas pagar tembok. Dilihatnya di dalam perkampungan
terang benderang oleh obor, masih banyak orang yang
bergerak kian kemari, ia menaksir bila sekarang juga
menyelundup ke dalam akan sulit menyembunyikan jejak,
maka ia mundur kembali ke dalam hutan dan mendekam di
semak-semak yang lebat.
Tak terduga, baru saja ia berjongkok, segera didengarnya
suara orang berjalan yang sangat perlahan dari tengah hutan
di belakangnya. Dari suaranya dapat diduga terdiri dari dua
orang pejalan malam.
Cepat It-hiong bersembunyi dengan menahan napas, sedikit
pun tidak berani bergerak, diam-diam ia terkesiap, "Buset!
Rupanya selain aku dan si kakek berbaju kulit macan itu masih
banyak pula orang lain yang hendak menyusup ke sana."
Tengah berpikir, suara kaki orang sudah sangat dekat,
dilihatnya beberapa langkah di sebelah kiri sana muncul dua
orang pejalan malam.
Sekali pandang dan tahu siapa mereka, hati It-hiong tambah
terkejut, pikirnya, "Sungguh aneh, mengapa mereka pun
datang ke sini?"
Kiranya kedua orang ini tak-lain-tak-bukan ialah Kim-kong
Taysu dan Koh-ting Tojin adanya.
Kim-kong Taysu tetap membawa senjata tongkat dan Koh-ting
Tojin tidak lagi membawa wajan antiknya, melainkan cuma
memegang sebatang kebut bulu.
Dengan langkah enteng mereka menerobos keluar hutan
serupa Liong It-hiong, mereka pun menggunakan ilmu cecak
merayap untuk merambat ke atas pagar tembok dan
melongok keadaan di dalam perkampungan.
Habis itu, sama juga kelakuan Liong It-hiong, mereka
menyurut mundur lagi ke dalam hutan.
Kim-kong Taysu duduk di bawah pohon, ucapnya lirih, "Masih
dini, biarlah kita duduk sementara waktu di sini."
Koh-ting Tojin ikut duduk di sebelah Kim-kong Taysu, ia pun
mendesis, "Tadi tentunya Taysu melihat seorang centeng
membawa semangkuk makanan ke dalam sebuah ruangan."
"Ya, kulihat," Kim-kong Taysu mengangguk.
"Melihat gelagatnya, Wi Ki-tiu dan tetamunya masih asyik
makan-minum," kata Koh-ting Tojin.
"Ehmm," Kim-kong Taysu bersuara perlahan.
"Kau kira Wi Ki-tiu mengetahui atau tidak tentang kotak hitam
yang dirampas Hui Giok-koan itu?" tanya Koh-ting dengan
tersenyum. "Entah, sebaiknya dia belum tahu," ujar Kim-kong Taysu.
"Jika dia tahu, menurut pendapatmu, apa yang akan
dilakukannya?"
"Hm, masa perlu dijelaskan lagi, tentu dia akan menahan
orang she Hui itu dan memaksa dia menyerahkan kotak
pusaka itu."
"Jika terjadi demikian, mungkin kita harus lebih banyak
membuang tenaga lagi," ujar Koh-ting sambil meraba
jenggotnya. Kim-kong Taysu mengangguk sependapat. Mendengar sampai
di sini, timbul rasa kejut dan heran dalam hati It-hiong,
pikirnya. "Sungguh aneh, dari mana mereka mendapatkan
berita ini sedemikian cepat" Padahal tentang direbutnya kotak
hitam itu oleh Hui Giok-koan hanya diketahui aku dan Pang
Bun-hiong berdua, lalu dari mana mereka mendapatkan kabar
ini" Selain tahu Hui Giok-koan berhasil merampas kotak hitam
itu, malahan mengetahui pula kedatangan Hui Giok-koan ke
Liong-coan-ceng sini dan segera menyusul kemari."
Belum habis terpikir, terdengar Koh-ting Tojin berkata pula,
"Menurut penglihatanku, keparat she Wi itu resminya saja
mengundurkan diri, tapi dia tetap bercokol di wilayah
kekuasaannya serta membagi rezeki dengan begundalnya.
Kuyakin dia pasti juga sudah menerima berita tentang kotak
hitam yang direbut Hui Giok-koan itu."
"Jika begitu, malam nanti dia tentu akan bertindak terhadap
orang she Hui," ujar Kim-kong Taysu.
"Untungnya orang she Hui itu tidak selalu membawa kotak
pusaka itu sehingga masih besar harapan kita akan
mendapatkannya," kata Koh-ting Tojin.
Kim-kong Taysu tersenyum, "Dari mana Toheng mengetahui
dia tidak membawa kotak hitam itu?"
"Hal ini dapat kupastikan, mutlak dia tidak berani membawa
kotak itu dan berkeluyuran kian kemari," jawab Koh-ting
sambil meraba jenggot pula, lalu menyambung dengan
tersenyum penuh keyakinan, "Apa pun juga, akhirnya kotak
pusaka itu pasti akan kita dapatkan."
Kembali Kim-kong Taysu tersenyum, "Mungkin Miau-lolo dan
Sun Thian-tik berdua juga sudah mendapat kabar, kedua
orang ini agak sulit dihadapi."
"Tapi mereka berdua pasti takkan bergabung untuk operasi
bersama seperti kita," kata Koh-ting Tojin. "Maka biarpun
mereka datang kemari, tetap kita lebih unggul."
Kim-kong Taysu memandang pagar tembok yang mengelilingi
Liong-coan-ceng itu, katanya, "Kapan kita akan masuk ke
sana?" "Sebentar lagi, tunggu setelah mereka tidur," jawab Koh-ting
Tojin. "Padahal kukira kita tidak perlu bertindak secara sembunyisembunyi
begini," ujar Kim-kong Taysu. "Lebih baik kita
datang saja terang-terangan ke sana dan membekuknya, kan
beres?" "Tidak, jangan," kata Koh-ting. "Soalnya bukan kutakut Wi Kitiu
akan ikut campur, tapi kita harus menjaga gengsi, betapa
pun kita berdua dalam pandangan orang persilatan kan bukan
kaum bandit atau penjahat umumnya?"
Kim-kong Taysu tersenyum, katanya, "Tapi tindak tanduk kita
sekarang masa ada bedanya dengan kaum bandit atau
penjahat?"
Koh-ting Tojin angkat pundak, "Memangnya engkau Kim-kong
Taysu yang termasyhur berharap dipandang orang sebagai
bandit?" "Asalkan bisa mendapatkan kotak pusaka itu, jangankan akan
dipandang orang sebagai bandit atau penjahat, biarpun nanti
harus masuk neraka juga kurela," ucap Kim-kong Taysu.
"Ya, aku juga sependapat denganmu," ujar Koh-ting. "Tapi
bilamana kotak itu dapat kita rebut tanpa diketahui siapa pun
kan terlebih baik buat kita?"
Kim-kong Taysu tidak membuka mulut lagi, tampaknya ia
memejamkan mata sedang mengheningkan cipta.
Koh-ting Tojin lantas bangun dan menuju keluar hutan,
kembali ia merambat pagar tembok dengan ilmu cecak
merayap, sejenak kemudian setelah melongok keadaan dalam
perkampungan itu, ia mundur kembali ke tempat semula dan
berkata, "Sontoloyo! Sudah jauh malam mereka masih makanminum."
Kim-kong Taysu tetap duduk dengan mata terpejam, ucapnya,
"Biarkan saja, sebaiknya kalau mereka minum sampai mabuk
sehingga lupa daratan, dengan begitu tindakan kita nanti bisa
berjalan lancar."
"Tampaknya di sana-sini cahaya lampu sudah dipadamkan,
kukira kita sudah boleh mulai bergerak," kata Koh-ting.
Mendadak Kim-kong Taysu membuka mata, "Toheng tidak
sabar lagi dan ingin masuk ke sana tanpa menunggu setelah
mereka tidur?"
"Jika kita masuk ke sana sekarang, kan dapat pula
mendengarkan apa yang dipercakapkan mereka," ujar Kohting
Tojin. "Soalnya aku merasa sangsi orang yang makan
minum bersama Wi Ki-tiu itu sangat mungkin tidak cuma
seorang Hui Giok-koan saja."
Kim-kong Taysu termenung sejenak, lalu berdiri dan berkata,
"Baik, mari kita berangkat sekarang!"
Begitulah kedua orang lantas keluar hutan dan merayap ke
atas pagar tembok, setelah memeriksa keadaan sejenak,
mereka terus melompat ke balik tembok sana.
Melihat kedua orang itu sudah menyusup ke dalam Liongcoan-
ceng, It-hiong tidak menjadi cemas atau gelisah karena
ketinggalan, sebaliknya ia rada senang malah, sebab dengan
masuknya Koh-ting dan Kim-kong ke Liong-coan-ceng lebih
dulu serupa juga dia mengirim dua pengintai yang akan
mencarikan jalan baginya.
Siapa duga, baru saja timbul pikiran demikian, sekonyongkonyong
terdengar suara bende dibunyikan bertalu-talu di
dalam perkampungan luas itu.
Berbareng itu lantas ada orang berteriak-teriak, "Maling,
maling. Tangkap maling, tangkap!"
"Itu dia, di sana, jangan sampai lolos!"
"Kepung dia, bekuk dan hajar dia!"
Begitulah suara orang ramai disertai gonggong anjing di sanasini.
Tentu saja It-hiong melengak. Padahal kepandaian Kim-kong
Taysu dan Koh-ting Tojin sudah pernah dilihatnya, kalau cuma
soal menyusup ke dalam perkampungan saja tidak mungkin
begitu saja kepergok orang. Tapi sekarang baru saja mereka
masuk ke sana seketika lantas kepergok, sungguh sukar
dimengerti. Malahan segera dilihatnya Koh-ting dan Kim-kong berdua
buru-buru melintasi pagar tembok lagi dan cepat menyusup
kembali ke dalam hutan dan bersembunyi di balik semaksemak
yang lebat. Diam-diam It-hiong tertawa geli melihat kelakuan mereka,
pikirnya, "Manusia memang tidak boleh berbuat busuk.
Contohnya kedua tokoh kelas tinggi yang berlainan agama ini,
Kungfu mereka cukup memenuhi syarat untuk menjadi guru
besar suatu aliran tersendiri, semuanya perkasa dan lihai, tapi
begitu digembori orang sebagai "maling&;#8217;, seketika
mereka pun ketakutan dan lari sipat kuping."
Tengah berpikir, terdengar suara teriakan tangkap maling
perlahan mulai bergeser menjauh ke sebelah sana, mungkin
maling yang kepergok orang kampung itu bukan Kim-kong
Taysu dan Koh-ting Tojin berdua, maka tidak mengejar ke
jurusan sini. Sebentar lagi suara teriakan pun mulai berhenti, agaknya
malingnya keburu kabur, pemburuan pun dihentikan.
Segera It-hiong teringat kepada si kakek berbaju kulit macan
tutul, pikirnya, "Ah, jangan-jangan kakek itu yang kepergok
ketika menyusup ke dalam kampung" Tapi jelas dia juga
bukan tokoh sembarangan mengapa begitu gampang
kepergok peronda kampung?"
Baru saja ia berpikir demikian, dilihatnya Kim-kong Taysu dan
Koh-ting Tojin telah merangkak keluar dari tempat
sembunyinya, air muka kedua orang sama mengunjuk rasa
bingung dan sangsi sambil memandang pagar tembok di luar
hutan sana. "Memangnya terjadi apa?" ucap Kim-kong Taysu dengan
kening bekernyit.
"Siapa tahu?" jawab Koh-ting sambil menyengir kikuk.
"Maling yang hendak mereka tangkap mungkin bukan kita
berdua," ujar Kim-kong.
"Ya," Koh-ting mengangguk. "Aku memang juga lagi heran,
masa baru saja kita melompat turun ke situ, seketika suara
bende berbunyi, apakah mungkin maling yang kepergok
mereka itu bukan kita berdua ...."
"Bisa jadi," ujar Kim-kong Taysu. "Maling macam apa yang
begitu besar nyalinya sehingga berani menggerayangi Liongcoan-
ceng?" "Ya, memang maling luar biasa," tukas Koh-ting Tojin.
Gemerdep sinar mata Kim-kong Taysu, katanya, "Janganjangan
ada tokoh dunia persilatan lain yang juga datang
kemari dengan maksud tujuannya yang sama seperti kita?"
"Betul, sangat mungkin," kata Koh-ting.
"Jika benar demikian, malam ini kita jangan harap lagi akan
dapat masuk ke Liang-coan-ceng," ucap Kim-kong Taysu.
"Maksudmu?" tanya Koh-ting Tojin.
"Setahuku, penghuni Liong-coan-ceng kecuali Wi Ki-tiu dan
beberapa orang kepercayaannya, hampir seluruhnya tidak
mahir ilmu silat, mana bisa mereka memergoki orang yang
menyusup ke sana di tengah malam buta?"
"Bisa jadi kepergok secara kebetulan," ujar Koh-ting Tojin.
"Tidak," kata Kim-kong Taysu. "Menurut dugaanku, tentu
karena Wi Ki-tiu sudah tahu lebih dulu malam ini bakal
kedatangan orang persilatan yang akan mencari perkara
padanya, maka lebih dulu ia sudah mengatur persiapan."
"Wah, jika begitu, kita benar-benar tidak dapat masuk ke
sana," kata Koh-ting dengan kening bekernyit.
"Menurut pendapatku, bilamana Wi Ki-tiu tahu orang she Hui
mendapatkan kotak pusaka dan menahannya di situ, kita tetap
ada harapan akan merampas kotak itu," tutur Kim-kong
Taysu. "Sebab kalau Wi Ki-tiu mendapat tahu tempat kotak
pusaka itu disembunyikan, tentu dia sendiri akan pergi
mengambilnya. Dan kita cukup menguntitnya secara diamdiam,
begitu dia mendapatkan kotak itu, segera kita muncul
merampasnya, kan cepat dan mudah?"
"Maksud Taysu malam ini kita tidak perlu masuk ke sana
untuk menyelidiki?"
"Ya, kita sembunyi saja di luar sini dan diam-diam mengawasi
gerak-gerik Wi Ki-tiu."
Koh-ting Tojin berpikir sejenak, katanya kemudian dengan
mengangguk, "Begini pun baik, kupercaya paling lambat esok
pagi urusan pasti akan ketahuan dengan jelas. Jika besok
orang she Hui meninggalkan Liong-coan-ceng tanpa terjadi
sesuatu, dia yang akan kita buntuti, sebaliknya kalau yang
meninggalkan perkampungan itu ialah Wi Ki-tiu sendiri, kita
pun akan menguntit dia."
"Betul," kata Kim-kong Taysu. "Sekarang kita menunggu saja
di jalan kecil sana."
Habis bicara ia lantas mendahului merunduk ke jalan batu
kecil itu. Cepat Koh-ting menyusul ke sana, hanya sekejap saja kedua
orang lantas menghilang di balik kerimbunan hutan.
Ebook oleh : Dewi KZ


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Scan book oleh : BBSC
Jilid 12 Diam-diam Liong It-hiong menghela napas lega, pikirnya,
"Untung sudah pergi, kalau tidak malam ini aku tentu tidak
dapat bergerak."
Ia menaksir Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin sudah pergi
jauh, maka perlahan ia berdiri dan merunduk ke kaki pagar
tembok. Ia coba pasang telinga mendengarkan dengan cermat, tak
terdengar sesuatu suara di balik pagar tembok, segera ia
menggunakan lagi ilmu cecak merayap untuk merambat ke
atas tembok, lalu melongok ke dalam.
Ternyata seluruh perkampungan itu sudah sunyi senyap.
Sejauh mata memandang tidak terlihat sesosok bayangan
pun, serupa segenap penghuni perkampungan sudah
tenggelam dalam impian masing-masing.
Tapi sekali pandang saja It-hiong lantas tahu di balik
kesunyian itu penjagaan di dalam perkampungan pasti sangat
ketat, di mana-mana terdapat pos pengawasan yang
tersembunyi. Namun dia tetap bertekad akan menyelidiki
perkampungan itu, sebab ucapan Kim-kong Taysu tadi telah
menimbulkan kepercayaan atas diri sendiri.
Tadi Kim-kong Taysu berkata, "Penghuni Liong-coan-ceng itu
kecuali Wi Ki-tiu dan beberapa orang kepercayaannya, yang
lain tidak ada yang mengerti ilmu silat."
Ia yakin keterangan ini tidak perlu diragukan lagi, kalau tidak,
tentu Wi Ki-tiu tidak perlu menggunakan suara bende untuk
menakut-nakuti musuh yang datang menyatroninya. Sebab
itulah ia memutuskan akan masuk ke perkampungan ini untuk
menyelidiki, umpama kepergok juga dapat melarikan diri
dengan mudah. Begitulah ia lantas mengamat-amati keadaan perkampungan
itu, ia merasa menyusup masuk melalui belakang
perkampungan akan lebih aman. Maka ia mundur kembali ke
dalam hutan, dikumpulkannya seonggok rumput kering dan
diusung ke kaki pagar tembok sana, lalu mengeluarkan alat
ketikan api, dibakarnya onggokan rumput kering itu.
Begitu api menyala, cepat ia lari ke belakang kampung
mengitari pagar tembok. Baru saja berpuluh langkah ia lari,
segera terdengar suara bende berbunyi dengan ramai.
"Api, api! Kebakaran! Tolong, kebakaran!" demikian seorang
lantas berteriak.
Dalam sekejap lantas riuh gemuruh suara orang ribut di dalam
kampung. Dengan beberapa kali lompatan Liong It-hiong melejit ke kaki
tembok di belakang kampung, dari situ ia terus melompat ke
atas pagar tembok, dilihatnya di kejauhan banyak centeng
yang berlari ke tempat "kebakaran".
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Liong It-hiong, cepat ia
melayang ke dalam kampung, lalu melompat lagi ke atas
sederetan rumah dan mendekam di emper rumah.
Setelah mendekam sebentar dan tidak terdengar suara orang
berteriak tangkap maling, ia tahu akalnya "bikin ribut di timur
dan serang di barat" telah berhasil dengan baik.
Waktu ia menengadah dan memandang ke sana, dilihatnya di
sebelah kiri ruangan depan sana ada sebuah gedung
berloteng, dari pengalaman dapat diduganya gedung itu pasti
wisma tamu. Ia pikir Sun Thian-tik dan Hui Giok-koan malam ini pasti
menginap di situ. Dengan hati-hati ia lantas memberosot turun
dari rumah itu, di bawah bayang-bayang deretan rumah itu ia
merunduk ke wisma tamu itu.
Mendadak terdengar suara bende dibunyikan lagi dengan
keras dan ramai, lalu ada orang berteriak, "Wah, celaka! Kita
tertipu! Itu bukan kebakaran sungguhan! Lekas geledah
seluruh kampung, tentu ada maling menyusup kemari!"
"Tangkap maling, tangkap maling!"
Begitulah ramai orang sahut-menyahut di sana-sini, semuanya
cuma untuk menggertak belaka, padahal tidak terlihat
bayangan "maling" segala.
Sementara itu Liong It-hiong sudah melayang ke atas wisma
tamu tadi, dengan kedua kaki ia menggantol di emper rumah,
lalu tubuh bagian atas menggelantung ke bawah, ia mengintip
ke dalam wisma melalui jendela.
Sekali pandang seketika jantungnya berdebar.
Kiranya terlihat Wi Ki-tiu, Sun Thian-tik dan Hui Giok-koan
bertiga asyik mengobrol di dalam sambil minum teh.
Terlihat Wi Ki-tiu lagi berkata dengan tersenyum simpul,
"Mungkin dahulu aku pernah berbuat salah terhadap
sementara orang, maka pada hari ulang tahunku ini mereka
sengaja bikin ribut ke sini ...."
"Bisa jadi musuh sudah menyusup ke dalam kampung, apakah
perlu kubantu Wi-cengcu mencarinya?" kata Hui Giok-koan.
Wi Ki-tiu menggeleng kepala, "Tidak perlu, paling-paling hanya
sebangsa maling pencuri ayam, biarkan saja."
Sun Thian-tik menghirup teh, lalu berkata, "Kampung Wicengcu
kemasukan maling, tapi Cengcu sendiri sedemikian
tenangnya, sungguh aku sangat kagum."
"Hahaha," Wi Ki-tiu terbahak. "Selama hidupku ini tidak jarang
menghadapi gelombang badai, kalau cuma satu-dua maling
ayam saja tidak dapat mengertak diriku."
"Dari mana Wi-cengcu tahu pendatang ini cuma maling ayam
saja" Bisa jadi tokoh kelas tinggi," kata Sun Thian-tik dengan
tertawa. "Itu pun tidak menjadi soal," ujar Wi Ki-tiu dengan tertawa.
"Jika yang dituju adalah diriku, cepat atau lambat dia pasti
akan memperlihatkan tampangnya."
"Kukira lebih baik Wi-cengcu pergi memeriksanya dan tidak
perlu lagi menemani kami di sini," kata Hui Giok-koan.
"Baiklah," Wi Ki-tiu berdiri. "Akan kupergi melihat apa yang
terjadi, silakan kalian mengaso saja bila perlu."
Habis berkata ia memberi salam, lalu tinggal pergi.
Sun Thian-tik dan Hui Giok-koan berdiri mengantar kepergian
tuan rumah, setelah Wi Ki-tiu keluar barulah mereka duduk
kembali. Sembari menghirup lagi seceguk air teh, Sun Thian-tik
memandang Hui Giok-koan, katanya dengan tersenyum,
"Saudara Giok-koan, menurut perkiraanmu, siapakah
penyatron ini?"
"Dari mana kutahu?" jawab Hui Giok-koan dengan hambar.
"Sudah berpuluh tahun Kui-sui-poa Wi Ki-tiu merajai Lok-lim
(dunia bandit), meski sekarang dia menyatakan sudah
mengundurkan diri, namun Kungfunya tidak pernah
ditelantarkannya. Kupikir orang yang berani menyatroni Liongcoan-
ceng ini pasti bukan tokoh sembarangan."
"Oo ...." Hui Giok-koan hanya mengangguk-angguk saja.
"Tapi mungkin juga ... sasaran yang dituju oleh penyatron itu
bukanlah dia melainkan aku atau engkau."
Hui Giok-koan tertawa, jawabnya, "Kuyakin pasti bukan diriku,
sebab aku merasa tidak punya musuh."
"Aku juga tidak punya musuh," tukas Sun Thian-tik cepat.
"Jika begitu, jelas yang dicari pendatang itu bukan kita
berdua," kata Giok-koan.
"Seorang mencari seseorang terkadang juga bukan untuk
menuntut balas melainkan bisa jadi mengincar barangnya ...."
kata Sun Thian-tik. "Apakah mungkin Hui-heng membawa
sesuatu benda berharga?"
Cepat Hui Giok-koan menggeleng kepala, "Tidak, tidak ada,
barangkali Sun-heng sendiri membawa barang berharga?"
"Tidak, aku sendiri terkenal rudin, mana ada barang berharga
yang kubawa?" ujar Sun Thian-tik. "Walaupun dulu terkadang
juga kudapatkan barang berharga, tapi semuanya kutaruh di
suatu tempat."
"Tempat mana?" tanya Hui Giok-koan.
"Pegadaian," jawab Sun Thian-tik.
"Haha, Sun-heng sungguh suka bergurau," seru Giok-koan
dengan tergelak.
"Aku bicara dengan betul," sambung Sun Thian-tik. "Setiap
saat bila kupunya sesuatu benda berharga langsung saja
kuantar ke pegadaian. Ai, rasanya selama hidupku sudah
menjadi langganan tetap pegadaian."
"Itu menandakan keluhuran budi Sun-heng yang tidak suka
memegang apa pun, hal itu sukar dilakukan oleh kebanyakan
orang," ujar Giok-koan.
"Ah, masa begitu, justru aku ingin mempunyai apa pun,
soalnya sukar kuperoleh," kata Thian-tik.
"Ah, sudah tidak sedikit arak yang kutenggak, sudah merasa
ngantuk, marilah kita pergi tidur saja," ujar Giok-koan.
"Eh, nanti dulu," cegah Sun Thian-tik. "Jika sebentar ternyata
Wi-cengcu berhasil membekuk musuh yang menyatroni dia,
kita kan perlu melihatnya juga siapa dia."
"O, tidak, aku tidak ingin ikut campur urusan orang lain, lebih
baik kupergi tidur saja," kata Hui Giok-koan.
"Bagaimana kalau kita tidur sekamar?" tanya Thian-tik sambil
berdiri. "Wah, maaf, aku tidak biasa tidur bersama orang lain, lebih
baik kita tidur di kamar masing-masing saja," ucap Hui Giokkoan.
"Bilamana yang hendak tidur bersamamu adalah orang
perempuan?"
"Itu tentu tidak sama persoalannya," ujar Hui Giok-koan
dengan tertawa.
"Jika begitu, kenapa tidak menunggu lagi sebentar," kata
Thian-tik. Hui Giok-koan melenggong, "Memangnya kau maksudkan di
sini tersedia orang perempuan?"
"Betul," jawab Thian-tik dengan tersenyum misterius.
"Oya, di mana?" tanya Hui Giok-koan, seketika sinar matanya
berjelalatan. "Tadi waktu makan-minum kan Wi Ki-tiu memberi isyarat
bahwa dia dapat menyediakan beberapa orang perempuan
untuk kita, kuyakin dia takkan melupakan ucapannya itu," kata
Thian-tik. "Bisa jadi ia cuma omong iseng saja, masa kau anggap
sungguhan?"
"Tidak, aku justru percaya dia bicara dengan serius," ujar
Thian-tik. "Waktu perjamuan selesai kulihat dia berbisik
memberi pesan kepada seorang anak buahnya, lalu centeng
itu berlari pergi, sangat mungkin pergi memanggil cewek."
Hui Giok-koan hanya tertawa saja seperti tidak percaya, lalu ia
menuju ke sebuah kamar di wisma tamu itu.
Sun Thian-tik menggaruk-garuk kepala sambil bergumam
sendiri, "Masa bocah ini benar-benar mau tidur?"
Sembari mengomel ia sendiri juga menuju kamarnya.
Pada saat itulah tiba-tiba datang dua tandu, yang mengantar
kedua tandu itu adalah centeng yang disuruh pergi tadi, ketika
dilihatnya Sun Thian-tik hendak masuk ke dalam, cepat ia
berseru, "Sun-tayhiap, tunggu dulu!"
Sun Thian-tik berhenti dan berpaling, tanyanya, "Ada apa?"
Centeng itu mendekatinya, lalu berucap dengan suara
tertahan, "Cengcu menyuruh hamba memanggilkan dua nona
cantik, silakan Sun-tayhiap memeriksanya sendiri."
"Aha, bagus sekali!" seru Thian-tik kegirangan, segera ia ikut
centeng itu mendekati tandu yang telah diturunkan di depan
undak-undakan sana.
Centeng itu menyuruh penggotong tandu membuka pintu
tandu, lalu berkata dengan tersenyum, "Kedua nona silakan
keluar!" Segera dua nona jelita yang malu-malu kucing dengan lengan
baju mengalingi mukanya melangkah keluar dari tandu.
Tertampak yang seorang berpinggang ramping dan berwajah
cantik molek. Seorang lagi beralis lentik dan beraut wajah
bulat telur, tubuh bernas dan sexy, keduanya sama cewek
pilihan. Dengan bersemangat Sun Thian-tik menyapa, "Eh, siapakah
nama manis kedua nona cantik ini?"
Centeng itu menunjuk yang ramping dan berkata, "Yang ini
bernama Long-giok."
Lalu ia tuding satunya lagi dan menyambung, "Yang itu
bernama Lik-cu. Nah, lekas kalian memberi hormat kepada
Sun-tayhiap."
Dengan gemulai Long-giok dan Lik-cu lantas memberi hormat
sambil bersuara, "Selamat bertemu, Sun-tayhiap."
Sun Thian-tik tertawa lebar, "Jangan sungkan, jangan
sungkan!" "Dan di manakah Hui-tayhiap?" tanya si centeng dengan
tertawa. "O, dia sudah berada di kamarnya," tutur Sun Thian-tik.
"Baiklah, silakan Sun-tayhiap pilih mana suka, yang lain akan
kubawa untuk Hui-tayhiap," kata si centeng.
Pandangan Sun Thian-tik tertuju si molek yang bernama Longgiok,
katanya dengan tertawa, "Kusuka nona yang ramping,
boleh kau bawa nona Lik-cu kepada Hui-heng."
Si centeng lantas memberi tanda kepada Lik-cu dan berkata,
"Mari, silakan nona ikut padaku."
Dengan kepala menunduk si sexy yang bernama Lik-cu ikut
melangkah ke sana.
Tampaknya Sun Thian-tik tidak sabaran lagi, ia terus menarik
tangan Long-giok, katanya dengan tertawa, "Mari, kamarku di
sebelah sana, ayo kita bicara di dalam kamar."
Langsung ia mengajak Long-giok ke kamarnya.
Kamar pada wisma tamu itu terpajang sangat mewah, dari sini
dapat terlihat betapa kaya raya Wi Ki-tiu.
Thian-tik menarik Long-giok duduk di tepi ranjang,
dirangkulnya pinggangnya yang ramping serta diciumnya pipi
orang yang harum, ucapnya, "Ehm, engkau sangat cantik."
Setiap anak perempuan suka dipuji, rayuan Sun Thian-tik pun
kena sasarannya, dengan malu-malu Long-giok menjawab,
"Terima kasih atas pujian Toaya."
Mendapat hati segera Sun Thian-tik merogoh rempela, Longgiok
terus dipeluknya, tanyanya pula, "Berapa umurmu?"
Long-giok ternyata sangat menurut dan pasrah, sambil
meringkuk dalam pelukan orang ia menjawab, "Tahun ini 20."
Tangan Sun Thian-tik lantas beraksi, kembali ia tanya dengan
tertawa, "Kau tinggal di kota Liong-coan-tin ini?"
"Ehm," Long-giok mengangguk.
"Di rumah hiburan mana?"
"Thian-hiang-ih."
"Wah, tentu engkau ratunya rumah hiburan tersebut."
"Ah, mana. Terima kasih."
"Dan bagaimana dengan nona Lik-cu itu?" tanya Thian-tik.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia juga penghuni di sana," tutur Long-giok.
Thian-tik mencopot sepatu dan menurunkan kelambu, lalu si
nona diangkatnya ke tempat tidur.
"Ai, Sun-toaya, kenapa engkau terburu nafsu begini,"
terdengar Long-giok berucap dengan tertawa cekikak dan
cekikik. Sun Thian-tik juga tertawa, jawabnya, "Tentu saja aku terburu
nafsu, habis kalau terlambat kan bisa runyam."
"Apa maksud ucapan Sun-toaya ini?" tanya Long-giok.
Sun Thian-tik tidak menjawab, agaknya sibuk beraksi ....
***** Pada saat yang sama Hui Giok-koan juga sedang menghadapi
Lik-cu yang sexy itu.
Caranya main perempuan juga mempunyai gayanya sendiri.
Setelah si nona berdiri di depannya, sama sekali tidak
disentuhnya melainkan cuma dipandangnya serupa seorang
juri pemilihan kecantikan yang sedang menilai calon ratu,
diamatinya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, dari
tangan hingga ke dada dan bagian tertentu yang
menggiurkan, sampai lama sekali ia mengamat-amatinya
tanpa menyentuhnya.
Dengan sendirinya Lik-cu merasa agak risi, ucapnya dengan
suara lirih, "Hui-toaya, engkau ...."
"Ah, tidak ada apa-apa," sela Hui Giok-koan dengan tertawa.
"Silakan duduk saja."
Tapi Lik-cu tetap berdiri tanpa bergerak, katanya dengan
malu-malu, "Apabila Hui-toaya tidak penujui hamba, bolehlah
hamba pulang saja."
"O, tidak, engkau keliru," seru Hui Giok-koan dengan
terbahak. "Aku justru sangat suka terhadapmu ...."
Lik-cu meliriknya sekejap, katanya, "Jika demikian, mengapa
...." "Rupanya kau salah paham," kata Giok-koan. "Aku sedang
merenungkan suatu soal ...."
"Merenungkan soal apa?" tanya si nona.
"Kupikir sebab apakah Wi-cengcu melayaniku sedemikian
hangat," kata Giok-koan.
"Bukankah kalian sahabat karib?"
Giok-koan mengangguk, "Betul, kami boleh dikatakan
bersahabat baik, cuma sebelum ini dia tidak pernah berlaku
sebaik kepadaku."
Lik-cu tertawa, "Wi-cengcu berlaku baik padamu masa malah
membuatmu tidak enak hati?"
"Betul, bagiku timbul semacam perasaan kikuk malah," kata
Giok-koan. "Sudah biasa Wi-cengcu melayani tetamunya cara demikian,
setiap kali ada sahabat berkunjung padanya dan tinggal di
Liong-coan-ceng sini, selalu beliau menyuruh hamba melayani
tamunya, apakah cara demikian tidak biasa bagi Hui-toaya?"
"Oo, tidak," Giok-koan menggeleng dengan tertawa.
Lik-cu lantas duduk di samping Hui Giok-koan dan
memperlihatkan senyum memikat, katanya, "Sebenarnya
pelayanan Wi-cengcu terhadapmu tidak terlalu spesial, kenapa
Hui-toaya mesti kikuk malah?"
Hui Giok-koan mencium semacam bau harum yang
merangsang, seketika perasaannya terguncang dan bagian
tertentu pun timbul reaksi, dirangkulnya pinggang si cantik,
katanya dengan tertawa, "Engkau tidak dusta padaku?"
"Dusta apa?" Lik-cu melengak.
Giok-koan berbisik di tepi telinganya, "Masa Wi-cengcu tidak
memberikan sesuatu tugas rahasia padamu?"
"Ah, mana ada?" jawab Lik-cu dengan tercengang.
"Ssst, perlahan sedikit, tidak enak kalau didengar orang," desis
Giok-koan. Dengan mata terbelalak lebar Lik-cu berkata pula, "Masa Huitoaya
menyangka hamba melayanimu karena mengemban
sesuatu tugas tertentu atas perintah Wi-cengcu?"
"O, tidak, jangan salah mengerti," kata Giok-koan. "Ah, indah
benar rambutmu, apa kau sisir sendiri?"
Lalu Giok-koan membelai rambut si nona dengan perlahan.
Lik-cu mengangguk dan tersenyum manis jawabnya, "Ya,
hamba selalu menyisir rambut sendiri, tidak puas rasanya
kalau tidak menyisir sendiri."
Tangan Giok-koan terus memberosot ke bawah dan meremasremas
perlahan leher si nona, ucapnya dengan tertawa, "Ehm,
kulitmu sangat putih dan halus, serupa kemala."
"Ah, mana, Hui-toaya terlampau memuji," sahut Lik-cu dengan
menunduk malu. "Betul, belum pernah kulihat nona secantik dirimu," kata GiokKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
koan. "Meski Nyo-kuihui (selir kaisar Tong-beng-cong pada
dinasti Tong) juga akan merasa silau karena tak dapat
menandingimu."
Raba punya raba akhirnya tangan Hui Giok-koan mencapai
bagian dada. Lik-cu menggeliat risi, ucapnya, "Ah, Hui-toaya jadi begini, aku
tak mau ...."
Hui Giok-koan tambah terangsang, segera ia menariknya lebih
merapat dan menatapnya dengan sinar mata mencorong
serupa serigala kelaparan, ucapnya, "Jangan mengelak, ai,
engkau jadi mengobarkan api berahiku!"
Sembari bicara tangannya mulai menggerayang lagi dan
melepas baju si nona.
Dengan lagak pura-pura tidak mau, tapi belum diminta sudah
setuju, Lik-cu membiarkan bajunya dilucuti satu per satu
sehingga akhirnya cuma tertinggal kutang dan celana dalam
saja, tertampaklah kulit badannya yang putih mulus.
Napa Hui Giok-koan terdengar mulai ngos-ngosan, jelas nafsu
berahinya berkobar-kobar dan tidak tahan lagi.
Mendadak Lik-cu meronta dan melepaskan tangan orang, lalu
menyingkir dari tempat tidur, ucapnya dengan tertawa,
"Ayolah, sekarang giliran Hui-toaya."
"Giliranku apa?" Giok-koan melenggong.
"Giliranmu membuka pakaian," kata Lik-cu.
Baru sekarang Giok-koan tahu apa artinya, terus saja ia
melepaskan pakaian sendiri, dengan cepat sekali dia sudah
telanjang bulat. Lalu dengan gerakan "harimau lapar
menerkam domba", segera ia tubruk si nona.
Tentu saja sekali tubruk si dia lantas dirangkulnya, tapi
mendadak dirasakannya yang terpeluk olehnya serupa seekor
landak, kontan ia menjerit aduh dan jatuh terkulai di lantai.
Lik-cu tertawa, perlahan ia menggeser kedua kakinya yang
indah, dengan langkah gemulai ia mendekati tempat tidur,
perlahan ia mengambil pakaian, sepotong demi sepotong
dikenakannya kembali, lalu menggeser ke dekat dinding sana
dan mengetuk perlahan tiga kali.
Perlahan dinding bergerak naik ke atas sehingga berwujud
sebuah jalan masuk.
Lalu ia putar balik ke samping Hui Giok-koan, tanpa permisi ia
jambak rambut Hui Giok-koan dan diseret ke dalam
terowongan itu.
***** Pada saat yang sama Sun Thian-tik masih berada di tempat
tidur di kamarnya, cuma sekarang dia sudah selesai
berpakaian, saat itu dia memegang sebilah belati dan lagi
digosok-gosokkan kian kemari di atas tubuh Long-giok sambil
mengancam, "Nah, kau mau bicara atau tidak?"
Wajah Long-giok kelihatan pucat lesu karena takut.
Seluruh tubuhnya telanjang bulat, namun dia telentang lurus
tanpa bergerak, agaknya selain dia telah dilalap oleh Sun
Thian-tik, juga Hiat-to kelumpuhannya telah ditutuknya.
Jelas nona jelita itu sama sekali tidak mampu melawan dan
juga sangat takut kalau belati Sun Thian-tik benar-benar
ditubleskan padanya, dengan suara gemetar ia menjawab,
"Apa ... apa, yang harus kukatakan?"
Muka Sun Thian-tik tampak bengis, ujung belati diarahkan ke
dada Long-giok, jengeknya, "Hm, kukira tidak perlu
kubinasakanmu, tapi bila belatiku ini bekerja, kuyakin akan
membuatmu tidak mendapatkan kasih sayang Wi Ki-tiu lagi.
Nah, boleh coba kau renungkan dulu."
Dengan muka pucat Long-giok berucap, "Baik ... baiklah, akan
kukatakan. Kami berdua memang betul perempuan piaraan
Cengcu, dia menyuruh kami menyamar sebagai gadis
panggilan untuk memikat kalian. Cuma sasarannya ialah Hui
Giok-koan dan bukan Sun-toaya."
"Cara bagaimana dia suruh kau kerjai diriku?" tanya Thian-tik.
"Dia menaruh curiga padamu karena Sun-toaya tidak pergi
melainkan masih tinggal di sini, aku disuruh mengawasi gerakgerikmu,"
tutur Long-giok.
"Selain itu?" desak Sun Thian-tik.
"Tidak ada lagi," jawab si nona.
"Dan cara bagaimana Lik-cu akan memperlakukan Hui Giokkoan?"
"Lik-cu diperintahkan menutuk Hiat-to Hui Giok-koan di luar
dugaannya, lalu menawannya ke dalam Cui-ci-kiong (istana
kristal air)," tutur Long-giok.
"Di mana letak Cui-ci-kiong itu?" tanya Thian-tik pula.
"Di bawah tanah."
"Mengapa disebut Cui-ci-kiong?"
"Tempat itu merupakan sebuah ruang di bawah tanah yang
sangat luas," tutur Long-giok. "Di tengahnya dibangun sebuah
kolam mandi dengan air hangat, di dalam ruangan itu
terpajang sangat mewah dan megah, sebab itulah disebut
istana kristal air."
"Biasanya kalian sama tinggal di Cui-ci-kiong itu?"
Long-giok mengiakan.
"Selain kau dan Lik-cu, terdapat siapa lagi?" tanya Thian-tik.
"Ada lagi Hiang-kun, Hi-moay, Hui-hong dan Ing-ing berlima,
semuanya anak perempuan jelita."
"Cara bagaimana menuju ke istana kristal air itu?"
"Wah, tidak dapat kukatakan padamu, untuk itu Wi Ki-tiu bisa
membunuhku."
"Dia akan membunuhmu atau tidak belum lagi diketahui
dengan pasti, yang jelas sekarang engkau akan segera mati
jika tidak kau katakan padaku."
Long-giok ragu sejenak, ucapnya kemudian sambil menghela
napas, "Ai, apa boleh buat. Setelah kuberi tahukan padamu,
maukah engkau membawaku meninggalkan tempat ini?"
"Kau ingin meninggalkan kungkungan Wi Ki-tiu?" tanya Thiantik.
"Ya," jawab Long-giok. "Dia mempunyai hobi yang sangat
berbeda dengan orang umumnya, pada hakikatnya kami tidak
dipandangnya sebagai manusia, sungguh aku sudah cukup
tersiksa di sini."
Sun Thian-tik termenung sejenak, katanya kemudian sambil
mengangguk, "Baik, aku berjanji akan membawamu
meninggalkan tempat ini. Cuma kedatanganku ini adalah
karena ingin merampas sebuah kotak yang diperoleh Hui Giokkoan,
sekarang aku ingin coba melihat ke dalam Cui-ci-kiong,
hendaknya kau bawaku ke bawah sana."
"Baiklah, harap bebaskan dulu Hiat-toku agar kudapat
memakai baju," ujar si nona.
"Biar kupakaikan bajumu," ujar Thian-tik dengan tertawa.
Benar juga, segera ia mengambil baju si nona dan mulai
membantunya memakai baju. Bagi seorang lelaki, mendandani
seorang perempuan dalam keadaan telanjang sesungguhnya
semacam kenikmatan.
Tapi tujuan Sun Thian-tik bukan untuk kenikmatan melainkan
karena khawatir bilamana Hiat-to orang dibuka dan mendadak
akan balas menyerang padanya.
Selesai memberi berbaju, lalu Thian-tik menariknya bangun
duduk, katanya, "Kukira kamar ini pasti ada jalan tembus
rahasia menuju ke Cui-ci-kiong. Di mana tempatnya?"
"Mohon bukanlah Hiat-to kelumpuhanku, biar hamba
membawamu ke bawah," pinta Long-giok.
"Tidak, cukup kau beri petunjuk, aku yang akan membawamu
ke bawah," ujar Thian-tik.
"Masa Sun-toaya belum lagi percaya kepadaku?" tanya Longgiok.
"Nanti setelah meninggalkan Liong-coan-ceng kan belum
terlambat untuk mendapatkan kepercayaanku padamu?" ujar
Thian-tik dengan tertawa.
Terpaksa Long-giok berkata, "Dinding sebelah kanan itulah
jalan tembus rahasia menuju ke Cui-ci-kiong. Boleh kau ketuk
tiga kali pada dinding itu dan segera jalan rahasianya akan
muncul." Thian-tik memakai sepatunya, lalu melangkah ke dinding yang
dimaksud. "Blang-blang-blang!" selagi ia hendak mengetuk dinding,
mendadak pintu kamar digedor orang dari luar.
Keruan Thian-tik terkejut, tanpa berpikir ia bertanya, "Siapa
itu?" "Aku!" jawab orang di luar.
Thian-tik tidak dapat mengenali siapa orang itu, ia coba tanya
lagi, "Engkau siapa?"
"Hamba centeng perkampungan ini, atas perintah Cengcu
akan menyampaikan pesan kepada Sun-tayhiap, harap buka
pintu!" seru orang di luar. Suaranya sangat lirih, seperti
khawatir didengar orang lain.
Setelah berpikir sejenak, lalu Sun Thian-tik menjawab, "Baik,
tunggu sebentar, segera kubuka pintu."
Ia terus melompat kembali ke depan tempat tidur, dengan
sikap mengancam ia mengisiki Long-giok, "Awas, setelah
kubuka pintu, jika kau berani berteriak, seketika kucabut
nyawamu." Dengan suara lirih Long-giok menjawab, "Tidak, hamba pasti
takkan berbuat demikian, jangan khawatir."
Habis ini barulah Sun Thian-tik menuju lagi ke depan pintu,
ditariknya palang pintu, daun pintu ditarik sedikit, melalui
celah pintu ia tanya, "Ada apa" .... Hei, kau"!"
Yang berdiri di luar ternyata Liong It-hiong adanya.
Segera It-hiong mendorong pintu dan menyelinap ke dalam,
ucapnya dengan tertawa tertahan, "Di luar dugaanmu,
bukan?" Thian-tik menyurut mundur dan memandang It-hiong dengan
melenggong, tanyanya dengan tidak mengerti, "Cara ... cara
bagaimana kau masuk kemari?"
It-hiong membalik tubuh dan merapatkan daun pintu, lalu
menjawab dengan tersenyum, "Untuk masuk ke Liong-coanceng
ini tidaklah sulit, untuk memasuki Cui-ci-kiong itulah
yang tidak gampang."
"Tadi yang berteriak tangkap maling di luar sana adalah
engkau?" tanya Thian-tik.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It-hiong menggeleng, "Bukan, yang berteriak itu orang lain
lagi. Dia sangat bodoh, begitu masuk kampung lantas
kepergok."
"Siapakah dia?" tanya Thian-tik.
"Tidak kukenal, dia seorang kakek botak, memakai baju kulit
macan tutul," tutur It-hiong.
"O, dia Kim-ci-pa (si macan tutul) Song Goan-po," kata Sun
Thian-tik. "Ahh, kiranya dia," tergetar juga hati It-hiong. "Mengapa tidak
terpikir olehku akan dia"!"
"Jadi dia juga masuk ke perkampungan ini?" tanya Thian-tik.
"Tidak," jawab It-hiong. "Dia serupa Kim-kong Taysu dan Kohting
Tojin, begitu masuk lantas kabur lagi karena suara
bende." Kening Sun Thian-tik bekernyit, "Hm, tajam juga berita
mereka, ternyata semuanya sudah tahu .... Eh, waktu kau
masuk kemari, apakah tidak dilihat orang?"
"Tidak," jawab It-hiong.
"Untuk apa kau datang kemari?"
It-hiong tersenyum, "Sudah tahu kenapa Sun-tayhiap sengaja
bertanya pula?"
"Jika begitu, untuk urusan apa kau cari diriku?" desak Thiantik.
"Kuharap akan dapat bekerja sama denganmu," jawab Ithiong.
"Kita dapat masuk ke Cui-ci-kiong bersama dan
menaklukkan Wi Ki-tiu, lalu memaksa Hui Giok-koan mengaku
di mana di menyimpan kotak pusaka hitam itu."
"Dan bagaimana setelah berhasil mendapatkan kotak pusaka
itu?" tanya Thian-tik.
"Boleh kita main catur lagi untuk menentukan siapa yang
berhak memiliki kotak hitam itu," jawab It-hiong.
"Hm, jangan mimpi," jengek Thian-tik sambil menggeleng.
"Betapa pun tidak nanti kumain catur lagi denganmu."
It-hiong tersenyum, "Jika begitu, boleh juga kita menentukan
kalah-menang dengan cara lain. Pendek kata, menurut
pendapatku, jika ingin merampas kembali kotak pusaka itu,
tiada jalan lain kecuali untuk sementara ini harus bekerja
sama denganmu."
Thian-tik berpikir sebentar, akhirnya mengangguk setuju,
"Boleh juga, biarlah kita bergabung dulu untuk menghadapi Wi
Ki-tiu ...."
Ia menuding Long-giok, lalu menyambung dengan tertawa,
"Dia termasuk satu di antara ketujuh jelita simpanan Wi Ki-tiu,
namanya Long-giok."
"Ya, kutahu," ujar It-hiong.
"Oo, kau tahu" Sudah sejak tadi engkau mengintip kami?"
tanya Thian-tik.
"Betul," It-hiong mengaku. "Mestinya aku ingin mengintip
keadaan Hui Giok-koan bersama Lik-cu, cuma kamar mereka
terletak di tengah kamar wisma tamu ini dan sukar untuk
diintip, terpaksa aku mengintip kalian di sini."
Lalu ia menyambung lagi dengan tersenyum, "Rezekimu
sungguh tidak jelek mendapatkan cewek semolek ini."
"Sontoloyo! Matamu bisa lamur kalau suka intip sana-sini,"
omel Thian-tik dengan kikuk.
It-hiong tergelak tertahan, katanya, "Sudahlah, jangan omong
iseng lagi. Mungkin Hui Giok-koan sudah tertawan ke dalam
Cui-ci-kiong, mari kita lekas ke bawah sana."
Sun Thian-tik lantas membalik ke sana untuk mengangkat
Long-giok, lalu mendekati dinding sebelah kanan, tanyanya,
"Ketuk bagian mana?"
"Tepat di depanmu ini," kata Long-giok.
Segera Thian-tik mengetuk tiga kali pada tempat yang
dimaksud, benar juga, perlahan dining lantas bergeser ke atas
dan muncul sebuah lubang masuk, ia coba melongok ke
dalam, terlihat sebuah lorong dengan undak-undakan batu
yang menjurus ke bawah.
"Masa tidak ada alat perangkap di bawah?" tanya Thian-tik
pula. "Tidak ada," jawab Long-giok.
Sun Thian-tik lantas berpaling dan berkata kepada It-hiong,
"Gerak-gerikku tidak bebas karena membawa dia, bagaimana
jika engkau yang menjadi pembuka jalan di depan?"
"Boleh," jawab It-hiong tanpa pikir. Segera ia mendahului
melangkah ke bawah sana.
Jalan rahasia itu sangat sempit, hanya cukup untuk dilalui dua
orang yang bersimpangan, namun penerangan cukup, setiap
beberapa langkah tentu ada sebuah lampu gelas sehingga
keadaan tertampak dengan jelas.
Liong It-hiong mendahului menuruni undak-undakan batu itu,
dilihatnya di depan melintang sebuah lorong yang berliku-liku,
sedangkan dinding lorong itu semuanya dipahat dari batu,
sejauh mata memandang ke sana tertampak halus licin dan
menyilaukan mata.
Ia berhenti di undakan dan melihat ke kanan-kiri lorong yang
melintang itu, tidak sesosok bayangan pun terlihat, ia coba
menoleh dari tanya Long-giok dengan suara tertahan, "Menuju
ke jurusan yang mana?"
"Lurus ke depan," jawab Long-giok.
"Lurus ke depan?" It-hiong menegas dengan melenggong.
"Kan menumbuk dinding?"
"Cui-ci-kiong justru terletak di balik dinding besar itu," kata
Long-giok. "Tapi di mana letak pintunya?" tanya It-hiong pula.
"Tepat di depan situ, pencet saja tombolnya dan segera pintu
akan terbuka," tutur Long-giok.
Segera It-hiong melangkah ke sana, hanya lima-enam langkah
saja sudah sampai di depan dinding batu besar itu.
"Sun-tayhiap!" tiba-tiba Long-giok berkata.
"Ehm, ada apa?" tanya Sun Thian-tik.
"Maukah engkau bersumpah?" kata Long-giok pula.
Keruan Sun Thian-tik melengak, "Sumpah apa maksudmu?"
"Bersumpah bahwa engkau berjanji akan membawaku kabur
meninggalkan Liong-coan-ceng ini, bahkan akan menerimaku
untuk tinggal bersamamu," ucap Long-giok.
Sejenak Sun Thian-tik tertegun, katanya kemudian, "Boleh
saja membawamu meninggalkan tempat ini, tapi mengapa
harus kuterima dirimu untuk tinggal bersamaku?"
"Sebab engkau sudah ada pergaulan tubuh denganku, bila ...
bila engkau tidak menolak, biarlah kuikut padamu selama
hidup," kata si nona.
Thian-tik merasa ragu, ucapnya, "Apakah maksudmu minta
kukawini dirimu?"
"Jika engkau keberatan juga tidak menjadi soal, cukup asalkan
aku diperbolehkan ikut padamu," ujar Long-giok.
"Wah, jika begitu, apa bedanya dengan mengawinimu?" kata
Thian-tik. "Kan banyak orang lelaki tidak suka kawin secara resmi, tapi
ingin mempunyai seorang pacar tetap, maka biarlah kujadi
pacarmu yang tetap dan tidak perlu menjadi istrimu. Dengan
demikian engkau takkan punya beban pikiran."
Sun Thian-tik merasa tertarik oleh tawaran si nona, katanya
dengan tertawa, "Ehm, cara demikian terasa bagus. Aku
memang tidak suka beristri, hanya suka mempunyai seorang
pacar tetap."
"Jadi kau mau?" tanya Long-giok.
"Baiklah," jawab Thian-tik.
"Jika begitu, ayolah bersumpah."
"Kenapa perlu bersumpah segala?"
"Setelah bersumpah barulah kuberi tahukan apa sebabnya."
Kembali Thian-tik tertawa, katanya, "Baik. Aku Sun Thian-tik
bilamana ucapan tidak sesuai dengan tindakan, tidak
membawamu kabur meninggalkan tempat ini dan tidak
menerimamu untuk tinggal bersamaku, biarlah malaikat
dewata menghukumku mati tanpa terkubur."
"Bagus sekali!" sorak Long-giok dengan gembira.
"Nah, sekarang coba beri tahukan sebab apa kau minta aku
bersumpah?"
"Masa engkau belum lagi paham?" tukas Liong It-hiong
dengan tertawa.
"Ya, aku belum paham," jawab Thian-tik.
"Dia minta engkau menyatakan perasaanmu dengan
setulusnya, habis itu baru mau membawamu ke dalam Cui-cikiong,"
kata It-hiong. Thian-tik tertawa, "Ai, dasar perempuan, suka curiga."
Long-giok tersenyum, "Habis, aku khawatir dibohongi."
"Baiklah, sekarang lekas katakan cara bagaimana untuk bisa
masuk ke Cui-ci-kiong," kata Sun Thian-tik.
"Di sini ada dua pintu tembus," tutur Long-giok. "Yang satu
dapat mengejutkan Wi Ki-tiu, pintu yang lain tidak. Nah, coba
katakan, kalian suka melalui pintu yang mana?"
"Dengan sendirinya melalui pintu yang takkan mengejutkan Wi
Ki-tiu," ujar Sun Thian-tik cepat.
"Jika begitu, di kaki dinding sana ada dua buah tombol, pencet
saja tombol sebelah, dengan demikian dapatlah masuk ke Cuici-
kiong tanpa di ketahui setan sekalipun."
Segera It-hiong berjongkok untuk mencari tombol yang
dimaksud, benar juga dilihatnya di kaki dinding ada dua alat
sebesar kacang menempel di situ berjajar, segera ia gunakan
jari untuk memencet tombol yang sebelah kiri.
Maka terdengarlah suara "krek" perlahan, sepotong batu
sepanjang enam kaki dan selebar empat kaki lantas berputar
dan akhirnya terbentang sebuah pintu rahasia.
Di balik pintu rahasia ini ternyata adalah sebuah kamar tidur
yang sangat indah dengan berbagai macam perabot yang
mewah. "Ayolah masuk saja!" kata Long-giok.
"Ssst, di dalam kamar tidak ada orang?" desis It-hiong.
"Ya, tidak ada," tutur Long-giok. "Inilah kamarku sendiri,
kecuali diriku tidak ada orang lain."
It-hiong coba melongok dulu ke dalam, setelah jelas tidak ada
orang di dalam kamar barulah ia melangkah ke situ.
Sambil memondong Long-giok cepat Thian-tik ikut masuk,
melihat keindahan kamar tidur ini, ia tertawa, katanya, "Ingat,
selanjutnya jika engkau ikut diriku, tidak mungkin lagi akan
mendiami kamar sebagus ini."
"Asalkan ada orang benar-benar suka padaku, biarpun tinggal
di rumah gubuk atau di bawah jembatan juga kurela," jawab
Long-giok. Lalu ia berkata juga kepada Liong It-hiong, "Di sebelah kiri
ada sebuah tombol lagi, jika kau tekan tombol tersebut segera
pintu akan menutup sendiri."
It-hiong melakukannya sesuai keterangan si nona, benar juga
perlahan pintu lantas merapat kembali seperti semula, hampir
sukar dicari celah-celahnya.
Sekeliling kamar itu juga dinding batu besar, tapi tidak berarti
tertutup rapat sama sekali tak tertembus angin, sebab di
kanan-kiri dinding ada lubang angin yang dirancang secara
bagus sehingga sedikit pun tidak terasa sumpek.
Sun Thian-tik menaruh Long-giok di tempat tidur yang terbuat
dari gading, lalu bertanya, "Inikah yang dimaksud Cui-cikiong?"
"Ini hanya sebuah kamar di antara istana kristal dalam air
yang dimaksud," tutur Long-giok. "Selain ini masih ada lagi
sembilan buah kamar besar seperti ini dan sebuah ruangan
bulat yang sepuluh kali luasnya daripada kamar ini, ruangan
bulat itulah yang disebut Cui-ci-kiong."
"Keparat!" maki Sun Thian-tik. "Untuk membangun istana
kristal air ini tentu tidak sedikit biaya yang dikeluarkan oleh Wi
Ki-tiu." "Menurut pengakuannya, biaya bangunan istana kristal ini
menghabiskan dua puluh laksa tahil perak," tutur Long-giok.
"Mengapa dia sengaja hidup nikmat dengan bersembunyi di
ruang bawah tanah?" tanya Liong It-hiong.
"Sebab dia tidak ingin orang lain mengetahui cara hidupnya, ia
cuma menghendaki orang kenal dia sebagai seorang bajik,
seorang dermawan," kata Long-giok.
"Cara bagaimana bisa masuk ke ruangan bulat itu?" tanya Ithiong
pula. "Pintunya terletak di depanmu situ, cuma engkau hanya dapat
membukanya satu celah saja dengan perlahan, sebab saat ini
Wi Ki-tiu lagi berada di ruangan itu," tutur si nona.
Sun Thian-tik mendekati dinding yang dimaksud dan coba
memeriksanya dengan teliti, benar juga, dilihatnya di kaki
dinding ada celah-celah sebuah pintu, di sebelah kirinya ada
sebuah pegangan pintu terbuat dari perunggu dan berbentuk
melengkung, ia coba pegang dan ditarik perlahan. Namun
tidak bergerak sedikit pun.
"Diputar ke kanan dulu, habis itu baru ditarik," kata Long-giok.
Sun Thian-tik menurut petunjuk itu, diputarnya pegangan
pintu itu, lalu ditarik, benar juga, pintu lantas bergerak,
dengan perlahan ditariknya menjadi sebuah celah-celah, lalu
mengintip ke sana, seketika tertampaklah segala apa yang
dilukiskan Long-giok tadi.
Memang benar, di balik pintu adalah sebuah ruangan bulat
yang sangat besar.
Luas ruangan ini sedikitnya adalah sepuluh tombak, tinggi tiga
tombak, atapnya berbentuk kubah penuh dihiasi daun-daun
warna emas sehingga mirip kulit kura-kura, pada ujung tengah
bagian yang paling tinggi tergantung sebuah lampu kristal
sebesar gantang dengan hiasan sembilan biji mutiara yang
bercahaya menyilaukan mata dan menerangi seluruh ruangan
sehingga serupa siang hari.
Sedangkan dinding batu sekeliling ruangan banyak
bergantungan patung bersepuh emas, semuanya patung
manusia telanjang, baik lelaki maupun perempuan dengan
macam-macan gaya yang menarik, sekali orang
memandangnya segera akan timbul pikiran yang bukanbukan.
Persis di tengah-tengah ruangan benar juga terdapat sebuah
kolam mandi berbentuk bulat juga, air kolam kelihatan
menguap, jelas sumber air panas yang mengalir dari tempat
lain. Pada saat itu Wi Ki-tiu dan lima orang perempuan cantik
tampak sedang mandi di dalam kolam.
Dia dan kelima gadis cantik itu sama telanjang bulat, telanjang
bulat seorang lelaki tentu saja tidak menarik bagi Sun Thiantik,
berbeda dengan kelima gadis cantik itu, semuanya sangat
menggiurkan, terlihat semuanya berdada padat dan
berpinggang ramping, kulit putih bersih serupa salju, sungguh
pemandangan yang menakjubkan dan sukar dicari.
Diam-diam Sun Thian-tik menarik napas, ia berpaling dan
mendesis kepada Liong It-hiong, "Buset! Coba lihat sini, tua


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangka ini sungguh pintar menikmati hidupnya."
Liong It-hiong coba mendekat ke sana dan ikut mengintip,
segera ia pun dapat melihat pemandangan yang memesona
itu, tentu saja ia pun terangsang, desisnya, "Wah, memang
luar biasa. Bilamana aku dapat ikut berendam bersama
mereka di sana, sungguh mati pun aku tidak menyesal."
Sun Thian-tik coba menarik sedikit lagi daun pintu itu, maka
tertampaklah adegan pemandangan lain, ia memberi tanda
kepada Liong It-hiong dan mendesis lagi, "Coba lihat, Hui
Giok-koan sedang tersiksa di situ."
Waktu It-hiong mengintip ke sana, betul juga, dilihatnya
kedua tangan dan kedua kaki Hui Giok-koan sama terikat dan
digantung terjungkir tepat di pojok atas kolam mandi itu.
Hui Giok-koan juga telanjang bulat dan tergantung terbalik
oleh seutas tambang sehingga kelihatannya sangat lucu.
Malahan Lik-cu tepat berdiri di bawahnya dengan memegang
cambuk, agaknya siap untuk menghajarnya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Wi Ki-tiu yang berendam
di kolam mandi itu bersuara, "Nah, Hui Giok-koan, sudah kau
pertimbangkan atau tidak?"
Kontan Hui Giok-koan mencaci maki, "Wi Ki-tiu, engkau
keparat, jahanam, maknya dirodok, pada hakikatnya aku tidak
tahu-menahu tentang kotak pusaka apa segala, apalagi
memperolehnya. Harus cara bagaimana baru engkau mau
percaya kepadaku?"
"Hahahaha!" Wi Ki-tiu terbahak-bahak, "Berita yang kuperoleh
sangat dapat dipercaya, bila malam ini engkau tidak mengaku
terus terang di mana kau sembunyikan kotak pusaka itu, maka
terpaksa ku ...."
"Mau bunuh atau mau kau cencang boleh terserah padamu,
tidak perlu banyak bacot!" teriak Hui Giok-koan dengan
murka. "Hehe, apa betul?" ejek Wi Ki-tiu dengan menyeringai.
Dengan mengertak gigi Hui Giok-koan berucap sekata demi
sekata, "Apabila Hui-toaya sampai bekernyit kening sedikit
saja, jangan kau panggil aku Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan!"
"Bagus!" seru Wi Ki-tiu sambil memberi tanda kepada Lik-cu
agar mencambuk, "Justru ingin kulihat betapa daya tahanmu."
Karena mendapat isyarat, serentak Lik-cu mundur setindak,
cambuk yang dipegangnya terus berayun dan menyabet,
"tarrr", tubuh Hui Giok-koan lantas terbelit oleh cambuk.
Susul-menyusul cambuk Lik-cu bekerja pula, "tar, tar, tarrr!"
Namun Hui Giok-koan tidak bersuara sana sekali, apalagi
merintih. "Lik-cu, memangnya engkau lagi menggelitiknya?" ucap Wi Kitiu
perlahan. Cepat Lik-cu menyabet sekerasnya, sekaligus ia memecut
belasan kali sehingga sekujur badan Hui Giok-koan babak
belur, darah segar pun mengucur.
Siapa tahu Hui Giok-koan benar-benar kepala batu, ia tetap
mengertak gigi dan bertahan sekuatnya, sedikit pun tidak
mengeluh dan merintih, kening pun tidak bekernyit, apalagi
menjerit. "Hajar terus!" ucap Wi Ki-tiu dengan tak acuh.
Cambuk Lik-cu lantas bekerja berulang-ulang, terdengar suara
"tar-tar" yang tiada hentinya serupa bunyi mitraliur.
Hanya sebentar saja tubuh Hui Giok-koan tiada satu bagian
pun yang utuh. Darah segar bertetesan serupa air hujan.
Mendadak Lik-cu berhenti menghajar orang, katanya, "Loya,
dia jatuh pingsan!"
"Ambil sebaskom air dingin dan siram dia," perintah Wi Ki-tiu.
Mulutnya memberi perintah, tangannya juga tidak
menganggur dan main gerayang sini dan remas sana di tubuh
kelima gadis jelita. Rupanya cara gerayang dan remas Wi Kitiu
itu memang sadis sehingga kelima gadis itu sama menjerit
dan berteriak sembari berusaha mengelak kian kemari dengan
belingsatan. Dalam pada itu Lik-cu telah mendekati kolam dan menciduk
sebaskom air, lalu dibawa kembali ke samping Hui Giok-koan,
ia merandek sejenak, akhirnya air itu disiramkan ke muka Hui
Giok-koan. Perlahan Hui Giok-koan siuman dan membuka mata.
"Hui Giok-koan," kata Wi Ki-tiu, "sungguh bodoh kau. Meski
kotak itu sangat berharga, tapi jiwamu kan terlebih berharga.
Jika jiwamu melayang, memangnya kotak itu akan kau bawa
serta ke neraka?"
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Nah, akan kukatakan
sekali lagi. Asalkan kau katakan di mana kau sembunyikan
kotak itu, sebagai imbalannya akan kuberikan Liong-coan-ceng
ini kepadamu. Coba pikirkan, mau tidak?"
Dengan geregetan Hui Giok-koan menjawab, "Hm, jangan kau
mimpi pada siang hari bolong, biarpun mati juga takkan
kuserahkan kotak pusaka itu."
"Hahahaha! Bagus!" seru Wi Ki-tiu dengan terbahak. "Akhirnya
kau mengaku juga mempunyai sebuah kotak pusaka.
Sekarang kuberi lagi kesempatan berpikir bagimu, hendaknya
direnungkan dengan baik."
Habis bicara kembali ia melancarkan "serangan" terhadap
kelima gadis jelita tadi dan bergumul menjadi satu dengan
mereka. Mengintip sampai di sini, Liong It-hiong saling pandang
sekejap dengan Sun Thian-tik, wajah mereka sama
mengunjuk rasa kikuk.
"Neneknya," desis Sun Thian-tik. "Bangsat tua Wi Ki-tiu ini
sungguh berengsek."
It-hiong juga berbisik dengan tertawa, "Orang she Hui itu pun
kepala batu benar. Jika aku jadi dia, sejak tadi aku sudah
menyerah dan minta ampun."
"Dan cara bagaimana hendak kau turun tangan?" tanya Thiantik.
"Tunggu lagi sebentar dan lihat dulu, mungkir Wi Ki-tiu akan
menggunakan siksaan lain untuk memeras Hui Giok-koan, aku
tidak percaya dia mampu bertahan lagi," jawab It-hiong.
"Ya, begitu dia mengatakan tempat sembunyi kotak pusaka
itu, diam-diam kita lantas kabur dulu keluar Liong-coan-ceng
dan mengambil kotak itu."
"Betul," It-hiong mengangguk.
"Bagus, coba kita mengintip lagi," ujar Sun Thian-tik. "Wah,
coba lihat, apa yang sedang dilakukan Wi Ki-tiu" Neneknya,
bangsat tua ini sungguh sadis, kotor dan rendah!"
Waktu It-hiong mengintip lagi, jantungnya berdetak keras
juga, desisnya, "Pantas Long-giok ingin melepaskan diri dari
cengkeramannya, kiranya tua bangka mempunyai hobi yang
sama sekali berbeda dengan orang biasa."
"Hm, barangkali dia sudah tidak mampu lagi atau nafsu besar
tapi tenaga kurang, terpaksa mencari kepuasan dengan
tangan ...."
It-hiong menoleh dan memandang sekejap Long-giok yang
berbaring di tempat tidur, lalu menyenggol Thian-tik dengan
tangan sambil bertanya dengan suara tertahan, "Apakah benar
hendak kau bawa pergi dia?"
Sun Thian-tik seperti ragu, ia balas tanya, Bagaimana menurut
pendapatmu?"
"Entah, aku tidak tahu," jawab It-hiong. "Hanya saja, jika dia
memang mau mengikutmu dengan setulus hati, apa salahnya
kau terima dia."
"Namun dia adalah perempuan bebas Wi Ki-tiu, mana boleh
kupakai sepatu bekas orang lain?" ujar Thian-tik.
"Bukan begitu soalnya," kata It-hiong. "Seorang asalkan
hatinya, jiwanya suci bersih, yang lain boleh tidak perlu
dipikirkan. Seperti kata orang, lebih baik mengambil pelacur
sebagai istri, tapi tangan sekali-kali mengambil istri untuk
dijadikan pelacur."
Hati Sun Thian-tik rada tergerak, katanya, "Menurut
pandanganmu, apakah dia berhati tulus terhadapku?"
It-hiong mengangguk, "Kukira ada, kalau tidak, mengapa
kesempatan baik sekarang tidak digunakannya untuk berteriak
minta tolong?"
Thian-tik merasa ucapan It-hiong cukup masuk akal, katanya,
"Baik, asalkan hatinya tulus, nanti akan kubawa pergi dia."
Begitulah kedua orang berbicara dengan perlahan, sampai di
sini, terdengar Wi Ki-tiu yang masih bercanda dengan kelima
gadis itu tiba-tiba berkata pula, "Nah, bagaimana Hui Giokkoan?"
Yang ditanya hanya tutup mulut saja bersuara.
Muka Wi Ki-tiu tampak berubah bengis, jengeknya, "Hm,
kesabaranku tentu juga ada batasnya, jika kau kira akan
mampu bertahan, biarlah kuberikan lagi kesempatan padamu
untuk mencicipi rasanya air asin."
Selesai berucap, kembali ia memberi tanda kepada Lik-cu.
Lik-cu lantas membuang cambuknya dan mendekati kolam
mandi, dituangnya isi ember tadi, lalu ditimbanya lagi seember
penuh air hangat, kemudian mengeluarkan sebungkus garam
dan dituang ke air hangat.
Sesudah mengaduk garam itu sehingga larut di dalam air
hangat, lalu ia berseru kepada salah seorang gadis cantik di
dalam kolam, "Hui-hong, coba naik kemari untuk
membantuku."
Gadis yang bernama Hui-hong mengiakan, dengan badan
telanjang ia keluar dari kolam dan membantu Lik-cu
menggotong ember air garam itu ke bawah Hui Giok-koan
yang tergantung itu.
"Wah, sungguh luar biasa," ucap Thian-tik dengan lirih.
"Ya, sungguh keji amat!" desis It-hiong.
"Tidak, yang kumaksudkan adalah gadis yang bernama Huihong
itu," kata Thian-tik. "Coba kau lihat, dia berjalan kian
kemari di depan orang banyak dengan telanjang bulat, sedikit
pun tidak merasa malu."
"Mungkin dia sangat jarang mendapat kesempatan untuk
berbaju, kalau sudah kulino kan menjadi biasa," ujar It-hiong
dengan tersenyum.
Sun Thian-tik menjilat-jilat bibir dan berkata, "Cuma, dia
memang sangat molek, serupa bunga teratai yang basah."
"Eh, lihat, mereka sedang melepaskan Hui Giok-koan," kata Ithiong.
Terlihatlah Lik-cu sedang membuka tali yang menggantung
Hui Giok-koan itu dan dikerek turun dengan perlahan,
akhirnya sekujur badan Hui Giok-koan terbenam dalam air
garam. Karena sekujur badan babak belur, bahkan darah pun masih
mengucur, sekarang direndam dengan air garam, keruan
dapat dibayangkan betapa perihnya. Terdengarlah Hui Giokkoan
menjerit ngeri, suaranya menyayat perasaan orang yang
mendengarnya. "Keluarkan, keluarkan aku! Akan ... akan kukatakan!" seru
Giok-koan dengan suara terputus-putus.
Segera Lik-cu menarik tali dan mengereknya lagi ke atas,
ucapnya dengan tertawa, "Jika begitu, ayolah lekas mengaku!"
Seluruh tubuh Hui Giok-koan serasa disengat tawon, saking
sakitnya sampai mengejang dan mengerang tiada hentinya,
seketika sukar baginya untuk bicara.
"Lik-cu," kata Wi Ki-tiu, "siram dia dengan air tawar!"
Lik-cu mengiakan, diciduknya lagi sebaskom air hangat di
kolam, lalu disiramnya tubuh Hui Giok-koan, katanya dengan
tertawa, "Nah, tentu agak enak sedikit!"
Karena air garam sudah terguyur, benar juga penderitaan Hui
Giok-koan agak berkurang, ia menghela napas, katanya,
"Orang she Wi, ingat saja utangmu ini!"
"Baik, akan selalu kuingat dengan baik dan setiap saat
kutunggu kedatanganmu untuk menuntut balas," ucap Wi KiKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
tiu dengan tertawa. "Nah, sekarang lekas katakan, di mana
kau simpan kotak pusaka itu."
"Tidak dapat kukatakan, tapi dapat kubawamu ke sana," ujar
Giok-koan. "Apa maksudmu?" tanya Wi Ki-tiu dengan melengak.
"Artinya aku belum lagi mau mati," jawab Hui Giok-koan.
"Kujanji takkan membunuhmu, boleh kau katakan saja di sini,"
ujar Wi Ki-tiu.
"Tidak!" jawab Giok-koan tegas.
"Hm, meski kau bawaku ke sana, apakah dengan demikian
engkau tidak perlu mati?" jengek Wi Ki-tiu. "Jika hendak
kubunuhmu, sesudah mendapatkan kotak pusaka itu tetap
dapat kubunuhmu."
"Untuk itu sedikitnya aku masih dapat hidup beberapa hari
lagi," kata Giok-koan. "Setiap orang bilamana menghadapi
jalan buntu, kalau bisa hidup lebih lama beberapa hari kan
juga baik."
"Selamanya aku bicara satu tidak pernah berubah menjadi
dua," kata Wi Ki-tiu. "Jika sudah kukatakan takkan
membunuhmu pasti takkan kubunuhmu. Engkau tidak perlu
khawatir."
"Tidak, tidak bisa," kata Giok-koan. "Pendek kata, aku cuma
dapat membawamu ke sana, tapi tidak dapat kukatakan."
"Berapa jauhnya dari sini?" tanya Wi Ki-tiu dengan ragu.
"Jika menumpang kereta diperlukan tujuh-delapan hari," tutur
Giok-koan. "Wah, kukira agak repot," ujar Wi Ki-tiu. "Jang
Puteri Es 2 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 6
^