Pencarian

Romantika Sebilah Pedang 1

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bagian 1


"Romantika Sebilah Pedang
(Na Yi Jian Di Feng Qing, 1982)
Karya : Gu Long, Ting Jing
Saduran : Tjan I D
Pendahuluan. Sebuah bilik, sebuah lampu lentera, sepoci arak,
seorang kakek, seorang pemuda.
"Berpisah biasanya untuk bertemu kembali," kakek itu
berkata sambil menegak arak, "Tiada perpisahan,
darimana datangnya pertemuan?"
"Tiada pertemuan, apa ada perpisahan?"
"Betul."
"Senjata kait Nyo Cing dinamakan Kait perpisahan
karena dia ingin bertemu dan berkumpul sepanjang
masa dengan kekasih hatinya."
"Benar!"
"Lalu apa nama pisau setipis kertas milik Ti Cing-ling?"
"Ada bayangan tanpa jejak, ada bentuk tanpa
wujud, cepat bagai sambaran kilat, lembut bagai
rambut seorang gadis, pisau setipis kertas itu bernama
Un-lo (Kelembutan)."
"Kelembutan" golok yang seperti pisau digunakan
untuk membunuh disebut Golok Kelembutan?"
"Betul, sebab setiap kali membunuh, golok itu selalu
melakukan dengan amat lembut, bagai pelukan lembut
seorang kekasih."
"Shau Gong-cu telah membuat golok kelembutan
dengan menggunakan lempengan baja ribuan tahun
yang dibawa Ban Kun-bu, kemudian benda itu telah
ditukar Ing Bu-ok dengan sejilid kitab ilmu pedang yang
tidak utuh."
"Sisi kiri kitab pedang itu telah terbakar hangus,
karena itu setiap jurus serangan yang tercantum dalam
kitab pusaka itu tinggal setengah jurus, boleh dibilang
mustahil untuk menguasai sebuah ilmu pedang yang
sempurna."
"Justru lantaran ada kitab pedang yang tidak utuh,
maka muncul senjata Kait perpisahan."
"Benar, dengan menggunakan inti baja milik Lan toasianseng
yang tidak utuh, Shau Gong-cu telah
menempanya menjadi sebilah senjata Kait perpisahan."
"Dengan cacad menutupi cacad, dengan tidak utuh
menutupi tidak utuh, karena muncul kitab pedang yang
tidak utuh maka muncul senjata pedang yang cacad
kemudian berubah jadi senjata kaitan. Inikah yang
dimaksud kehendak Thian?"
"Mungkin bukan kehendak Thian, mungkin saja
kehendak Shau suhu pribadi?"
"Kalau memang ada golok dan senjata kaitan,
bukankah seharusnya ada juga sebilah pedang?"
"Benar."
"Kalau memang ada pedang, kenapa tidak ada
yang tahu kabar beritanya?"
"Menurut cerita yang beredar dalam dunia persilatan,
Shau suhu menghabisi nyawa sendiri lantaran gagal
menempa inti baja yang dibawa Lan Toa-sianseng
menjadi sebilah pedang, padahal cerita itu keliru besar,
Shau suhu bunuh diri bukan lantaran senjata kaitan, tapi
karena senjata yang ketiga."
"Oh?""
"Setelah golok kelembutan dan Kait perpisahan
muncul dalam dunia persilatan, lamat-lamat seakan
muncul sebuah kekuatan kasat mata yang mendesak
Shau Gong-cu untuk melebur sisa dari baja yang dipakai
untuk membuat golok kelembutan serta sisa baja yang
dipakai untuk membuat kait perpisahan, ditambah
cucuran darah yang meleleh keluar dari kawanan jago
di bukit Thay-heng-san untuk menempa pedang ketiga."
"Pedang macam apa itu?"
"Nu-kiam (Pedang Amarah)!"
"Pedang itu bernama pedang amarah?"
"Benar, sebab ketika pedang itu selesai ditempa, garis
yang timbul ditubuh pedang ruwet bagai serat ulat
sutera, garis cahaya diujung pedang mirip cahaya api
yang memancar ke empat penjuru, malah secara
kebetulan ketika pedang itu baru diangkat dari
perapian, langit tiba-tiba menjadi mendung gelap,
halilintar menyambar-nyambar dan guntur menggelegar
tiada hentinya, hujan musim semi jatuh setengah bulan
lebih awal dari jadwal biasa."
"Ketika pedang diangkat dari perapian, hujan musim
semi turun lebih awal dari jadwal?"
"Betul, karena itulah dinamakan Pedang amarah,
disebut juga kemarahan musim semi."
"Berada dimana pedang itu sekarang?"
"Pedang tersebut adalah sebuah benda maksiat
pembawa bencana, persis seperti orang yang dilahirkan
dengan sifat buas, sejak lahir sudah membawa hawa
sesat, karena itulah ketika selesai menempa pedang itu,
Shau suhu tidak segan mengakhiri hidupnya sendiri."
"Dia mengubur pedang itu lalu mengubur dirinya
sendiri?" "Benar."
"Dikubur di mana?"
"Sebuah tempat yang menyeramkan!"
Sebuah penjara yang sempit, gelap, lembab dan
penuh dengan kutu busuk, mendampingi seorang kakek
cacad yang kurus, ceking, bau dan amis, seorang kakek
yang cacad kedua belah kakinya dan batuk tiada
hentinya. Biarpun sinar matahari di bulan ke sembilan terasa
cerah dan lembut, selembut belaian tangan gadis cilik
yang mencorong masuk melalui jendela penjara, namun
yang tersisa hanya bayangan tubuh si kakek yang
terbias dipermukaan tanah, bayangan seorang kakek
yang masih batuk tiada hentinya.
Kakek itu merangkak ditanah mengelilingi ruangan
yang sempit, dia merangkak dengan kedua belah
tangannya sambil menyeret sepasang kakinya yang
cacad. Memang hanya gerakan semacam ini yang bisa dia
lakukan, inilah satu-satunya hiburan yang dia miliki dan
bisa dia nikmati.
Dengan menyeret sepasang kakinya yang cacad,
sepasang kaki yang sudah kehilangan perasa, dia
sengaja menggesekkannya diatas dinding penjara yang
kasar, menggesek diatas batu cadas yang tidak rata,
membiarkan kulit kakinya robek lalu terkoyak,
membiarkan darah bercucuran, meski terluka namun
mimik muka kakek itu justru memperlihatkan kenikmatan,
suatu kenikmatan yang diperoleh dari menyiksa diri, dari
suatu perbuatan yang sadis.
.............Menyiksa diri, kadangkala merupakan
semacam pelampiasan, semacam pelampiasan yang
mengandung maksud mengejek diri sendiri.
Tampak selembar daun kering melayang dan
meronta ditengah udara, ditengah hembusan angin
musim gugur, seolah-olah sedang mencari tempat akhir
bagi dirinya. ........... daun yang rontok akhirnya akan jatuh ke
tanah, dekat akarnya, tapi bagaimana dengan para
perantau" Para gelandangan" Apakah kalian telah
menemukan persinggahan yang terakhir"
Daun kering menembusi cahaya matahari, melayang
masuk lewat daun jendela lalu melayang jatuh
dihadapan orang tua itu tanpa daya. Seakan dia tahu,
kehidupan kakek itu pun segera akan berakhir, maka dia
khusus datang untuk menemaninya.
Daun-daunan selalu rontok dimusim gugur, kakek
itupun tahu, hari ini merupakan hari terakhirnya sejak dia
menghuni penjaranya tujuh tahun berselang.
Memandang daun dilantai yang kering dan kuning,
paras muka kakek itu nampak semakin layu, kusut, tua
dan letih. Tiba tiba dia bergumam, bergumam dengan penuh
rasa syukur disamping perasaan duka yang mendalam,
"Thian dilangit Tee dibumi, tiada kejadian lain yang lebih
nyata daripada sebuah kematian!"
Kembali kakek itu menghela napas, pelan-pelan
memungut rontokan dedaunan kering itu lalu dipeluknya
dengan lembut, selembut seorang pemuda yang
sedang memeluk kekasihnya.
Mendadak terdengar Derap kaki manusia bergema
dari serambi panjang yang hening, derap kaki manusia
yang amat nyaring.
Kakek itu tidak bergumam lagi, dia terbungkam.
Langkah kaki kian mendekat lalu berhenti, disusul
terdengar suara gemerincing gembokan yang dibuka
orang, suara gemerincing yang bergema nyaring dalam
penjara itu, bergaung tiada hentinya.
Daun-daunan kering semakin banyak berguguran ke
tanah ketika tertimpa angin, musim gugur telah
mendekati penghujung. Tiada perasaan takut atau ngeri
yang melintas diwajah kakek itu, yang tersisa hanya
wajah pasrah, wajah tidak berdaya.
Komandan sipir penjara yang membuka gembokan
kunci tadi sudah mulai berjalan menelusuri serambi
panjang, dua orang petugas sipir dengan satu di kiri,
satu di kanan, menggotong kakek yang cacad kedua
belah kakinya, berjalan ikut di belakangnya.
Serambi itu panjang sekali, selama perjalanan yang
terasa hanya keangkeran dan suasana seram, ditambah
suara gemerincing borgol di kaki orang tua itu ketika
bergesek dengan lantai batu.
Suara itu amat membuat pedih hati, bagaikan jeritan
tikus menjelang ajalnya, membuat hati orang merasa
miris, ngeri.......
Tatkala rombongan itu tiba dipertengahan jalan di
serambi panjang itu, tiba-tiba komandan sipir itu
membalikkan badan sambil berjongkok, entah sejak
kapan ditangannya telah bertambah dengan dua
batang jarum yang lembut tapi panjang ramping.
Dengan satu gerakan cepat dia menusukkan jarumjarum
tajam itu ke atas jalan darah Giok-swan-hiat di
tumit si kakek yang cacad.
Belum sempat dua orang sipir yang menggotong
kakek cacad itu mengetahui apa yang lelah terjadi,
tahu tahu mereka sudah dipukul roboh oleh komandan
sipir itu, sementara kakek cacad itu mendadak berdiri
sendiri, berdiri tegak setelah dua batang jarum tajam itu
menancap di tumitnya.
Darah berwarna hitam memancar keluar dari jalan
darah giok-swan-hiat, menetes ke lantai menelusuri
batang jarum itu, sang komandan yang menggenggam
jarum itu hanya mengawasi kakek tersebut dengan
pandangan tenang.
Lambat laun kakek cacad yang terbatuk batuk itu
mulai menunjukkan perubahan, mimik mukanya mulai
berubah menjadi semu merah, pinggangnya yang
semula terbungkuk kini mulai berdiri lurus dan tegak.
Mendadak dia merentangkan sepasang lengannya,
kemudian terdengarlah serentetan bunyi ledakan yang
beruntun, bagai bunyi mercon bambu bergemuruh dari
balik tubuh kakek tua itu.
Wajah kuyuh, sayu dan lemah dari seorang kakek
yang terbatuk-batuk telah hilang lenyap entah ke mana,
orang yang berdiri dihadapannya sekarang adalah
seseorang yang seolah-olah telah berganti rupa,
seorang lelaki dengan wajah yang sangat dingin,
hambar dan senyum tidak senyum.
Tiba-tiba komandan sipir yang menggenggam jarum
itu kembali mencabut keluar sebilah pisau, sebilah pisau
yang tipis bagaikan kertas, sebilah pisau tipis yang
memancarkan cahaya kebiru-biruan, dengan sikap
yang sangat hormat dia menpersembahkan pisau
tersebut kehadapan kakek itu.
Cahaya kebiru-biruan yang tawar memantul diwajah
kakek itu, membiaskan sekilas cahaya yang menyilaukan
mata. Disaat dia menggenggam pisau tipis bercahaya biru
itulah, paras muka kakek itu seolah telah pulih kembali
dengan wajah ganteng yang anggun seperti masa lalu,
wajah Ti Cing-ling, Ti Siau-hoya yang memandang nama
dan harta bagaikan sampah, memandang kuda
jempolan dan wanita cantik bagaikan nyawa sendiri.
Cahaya pisau sangat tawar, amat tipis, setipis dan
setawar cahaya bulan sabit yang tergantung diawangawang.
Kini pisau tidak bergerak, Ti Cing-ling pun tidak
bergerak. Kecuali sepasang matanya, dia seolah-olah
telah berubah jadi sebuah patung arca, berubah
menjadi patung semenjak menggenggam pisau itu.
Seluruh kekuatannya, semangatnya, hawa murninya,
tenaganya, rohnya, sukmanya seakan telah terhimpun
didalam pisau tipis yang berada dalam genggamannya
itu, terhimpun dalam waktu singkat.
Ti Cing-ling mengawasi pisau tipis itu lekat-lekat,
sampai lama kemudian dia baru membuka mulut dan
berbicara, mengucapkan sepatah kata yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan pisau tersebut.
"Kau tentu sudah lama... lama sekali tidak pernah
makan dengan nikmat, makan dengan kenyang, karena
raut mukamu sudah menunjukkan tanda-tanda
kelaparan."
Komandan sipir yang menggenggam jarum itu berdiri
tertegun, dia seakan tidak mengerti mengapa orang itu
mengucapkan kata-kata yang sama sekali tidak
dipahami. "Setiap benda mestika yang diciptakan seorang ahli,
seorang empu kenamaan, persis sama seperti
kehidupan manusia biasa," ujar Ti Cing-ling dengan sorot


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata setajam sembilu, "Bukan saja dia berwajah,
bahkan punya aura, punya nyawa, bila lama sekali tidak
menikmati segarnya darah manusia, dia pasti akan
perlihatkan tanda-tanda kelaparan."
Sorot mata Ti Cing-ling pelan pelan mulai bergeser,
dari atas pisau tipisnya dialihkan ke tempat kejauhan
sana, tiba-tiba sekilas rasa benci dan dendam yang
amat dalam memancar dari balik matanya.
"Nyo Cing, gembirakah kehidupanmu selama tujuh
tahun terakhir ini?"
BAGIAN - 1 Pedang amarah Bunga kalap.
BAB 1. Pembicaraan ditengah hujan.
Perasaan hati Cong-hoa amat gembira, tapi sayang
cuaca amat buruk. Hujan sudah turun selama dua hari
dua malam, kalau dilihat dari derasnya hujan yang
turun, mungkin sampai hari ketiga pun belum tentu akan
reda. Walaupun hujan di musim gugur sangat meresahkan
hati, bila Cong-hoa teringat kembali mimik muka Thi-juibu-
cing (tangan besi tanpa perasaan) Tu Thian, Tu toaya
sewaktu menderita kekalahan pagi tadi, dia pingin sekali
berjumpalitan beberapa kali saking gembiranya.
Thi-jiu-bu-cing, Tangan besi tanpa perasaan memang
sebuah julukan yang gagah dan keren, tapi tidak
menjamin pemiliknya adalah seorang opas kenamaan
atau seorang enghiong hohan yang gagah berani.
Namun juga tidak berarti Tu Thian adalah seseorang
perampok ulung yang gampang marah, tidak
berperasan dan selalu telengas bila turun tangan, tidak
pernah membiarkan korbannya tetap hidup.
Thi-jiu-bu-cing, tangan besi tanpa perasaan hanya
melukiskan kekikiran Tu Thian, orang yang kelewat
hitungan dalam soal duit.
Tu Thian bukan nama aslinya, nama sesungguhnya
adalah Tu It-toa. Tapi lantaran dia anggap nama Tu Ittoa
susah disebut, lagipula untuk menulis nama sendiri
pun terlalu banyak membuang waktu, maka dia
berpendapat mempunyai dua huruf jauh lebih
berhemat ketimbang tiga huruf.
Apalagi bila diartikan secara harfiah, It-toa hanya
mengartikan satu lembar yang besar, itu tidak cukup
baginya, dia berharap bisa lebih besar daripada langit,
oleh karena itulah dia pun mengubah namanya dari Tu
It-toa menjadi Tu Thian.
Di kota ini, hampir sebagian besar pedagang dan
tuan rumah kenal dengan Tu Thian, tapi jangan harap
ada seorang pun yang mampu membawa pulang uang
setengik pun dari tangannya, apalagi mendapatkan
semacam barang.
Dia selalu ingin ikut campur dalam bisnis macam
apapun yang bisa mendatangkan keuntungan, asal dia
sudah ikut campur, biasanya rekan-rekan seprofesi yang
ada disekelilingnya akan segera angkat kaki untuk
mencari selamat.
Kalau tidak, bukan saja uang gagal diperoleh, pada
akhirnya ceceran darah sendiri pun akan ikut
mengering. Untuk meminjam uang setengik saja dari orang ini jauh
lebih susah ketimbang memanjat ke langit, apalagi
untuk mendapatkan tiga puluh guci arak Li-ji-ang yang
telah berusia banyak tahun.
Tapi hari ini, Cong-hoa telah berhasil menangkan tiga
puluh guci arak Li-ji-ang dari tangannya.
Udara di pagi hari memang selalu paling segar, paling
pas untuk dinikmati, pagi hari juga merupakan saat yang
paling tenang dikala segala makhluk bumi belum
mendusin dari tidurnya.
Tu Thian amat senang pagi hari, dia berpendapat
pagi hari merupakan saat otak seseorang paling segar,
paling terang, saat seperti inilah merupakan saat yang
paling cocok untuk mengurusi segala persoalan dan
menganalisa pelbagai masalah.
Oleh sebab itu dia selalu keluar dari rumah setiap pagi
hari, mengunjungi pelbagai toko dan warung untuk
memeriksa dan menyelesaikan pelbagai persoalan.
Walaupun hujan dimusim gugur telah turun selama
dua hari berturut turut, tidak lantaran persoalan ini Tu
Thian lantas menghentikan kebiasaannya melakukan
pekerjaan di pagi hari.
Ketika keluar dari rumah pagi tadi, dia telah
menjumpai satu kejadian yang sangat aneh, satu
kejadian aneh yang dia anggap sangat lucu dan
menggelikan. Dia menjumpai seorang gadis, ditengah hujan yang
amat deras sedang berusaha memanjat naik keatas
salah satu diantara tiga puluh batang pohon besar yang
tumbuh di kedua belah sisi pintu gerbang rumahnya.
Untuk memanjat ke atas sebatang pohon yang
demikian besar memang amat sulit, apalagi ditengah
hujan lebat, namun gadis itu masih tetap berusaha
dengan sepenuh tenaga untuk memanjat ke atas.
Batang pohon itu amat licin, ditambah lagi
perempuan itu memang tidak memiliki kekuatan tubuh
yang kuat, tidak heran setiap kali memanjat sampai
separuh jalan, tubuhnya selalu terpeleset jatuh lagi ke
bawah. Namun gadis itu tidak putus asa, setiap kali terpeleset
jatuh ke bawah, dia selalu bangkit berdiri dan memanjat
lagi, jatuh lagi, memanjat lagi...
Melihat caranya memanjat ke atas pohon yang
begitu lucu, Tu Thian tidak tahan untuk tertawa geli.
"Ketiga puluh batang pohonku itu tidak pernah
berbuah aneh, juga tidak pernah menghasilkan emas
lantakan, kenapa sih kau terburu-buru ingin memanjat ke
atas?" Tiba tiba gadis itu berpaling sambil melotot besar,
serunya, "Pertama, aku tidak terburu-buru ingin
memanjat ke atas, kedua aku pun tidak ingin
mengambil buah mestika atau emas lantakan dari atas
pohon, aku hanya ingin menikmati keindahan air hujan
dari puncak pohon, ketiga aku ingin membuktikan
bukan hanya lelaki yang mampu memanjat pohon."
"Baik, baik, tapi kalau memanjat dengan cara begitu,
sampai tahun kapan baru bisa sampai diatas?"
"Ooh?" gadis itu berhenti memanjat, berpaling
menengok Tu Thian dan serunya, "Jadi maksudmu, kau
dapat memanjat lebih cepat ketimbang aku?"
"Sebenarnya aku ingin sekali bertanding melawanmu,
sayang kondisi tubuh dan usiaku sudah tidak mendukung
untuk berbuat begitu."
Tu Thian tidak terhitung kelewat gemuk, bobot
tubuhnya baru mencapai seratus enam puluh kati,
usianya juga belum termasuk tua, paling banter baru
empat-lima puluh tahunan.
Kalau suruh orang semacam ini bertanding minum
arak, dia yakin pasti dapat memenangkan pertarungan
itu, tapi kalau suruh dia memanjat pohon, tidak usah
dijawab pun sudahjelas semuanya.
Apalagi dia adalah Tu Toaya, tauke Tu, mana
mungkin Tu toaya mau bertanding memanjat pohon
dengan orang lain" Tentu saja tidak mungkin.
Tu Thian memang enggan memanjat, tapi dia bisa
suruh orang lain memanjat, maka dia pun mengajukan
usul kepada gadis tersebut.
"Asal dalam seperempat jam kau sanggup memanjat
ketiga puluh batang pohon itu, apa pun yang kau
inginkan pasti akan kuberi."
"Kalau gagal memanjat seluruh pohon itu?" gadis itu
mulai bertanya dengan wajah tertarik.
"Kau mesti bekerja untukku selama tiga tahun!"
"Baik!"
Tentu saja gadis itu tidak lain adalah Cong-hoa.
Sudah lama Cong-hoa merasa sebal dengan watak
kikir dan hitungan dari Tu Thian, ia berjanji suatu ketika
pasti akan mengerjainya, dia selalu menunggu
datangnya kesempatan seperti itu.
Tapi kehidupan pribadi Tu Thian seperti gadis perawan
dalam pingitan, dia tidak pernah memberi kesempatan
kepada orang lain.
................ Tapi, biarpun seorang perawan pingitan,
suatu hari toh tetap harus menjadi seorang ibu.
Kelemahan terbesar dari Tu Thian adalah senang
bertaruh, bertaruh sesuatu yang hasil kemenangannya
seratus persen pasti berada dipihaknya.
Oleh sebab itu Cong-hoa sudah pasti akan kalah
dalam taruhan ini, menyelesaikan panjatan tiga puluh
batang pohon dalam seperempat jam" Jelas bukan
satu pekerjaan yang gampang.
Tentu saja Tu Thian tahu kalau gadis itu bakal kalah
dalam taruhan ini, mustahil gadis itu dapat
menyelesaikan panjatannya dalam waktu seperempat
jam kepada ketiga puluh batang pohon itu.
Maka dia pun mengajaknya bertaruh. Ketika Conghoa
menyelesaikan panjatannya pada pohon keempat,
Tu Thian mulai tidak dapat tertawa, namun
ketika gadis itu mulai memanjat pohon yang kedua
puluh lima, senyuman kembali menghiasi ujung bibirnya.
Dia yakin dan percaya, gadis itu paling banter Cuma
mampu memanjat sampai pohon yang kedua puluh
sembilan. Pada satu setengah menit terakhir, Cong-hoa baru
mulai memanjat pohon yang ketiga puluh, dia sudah
pasti tidak punya waktu lagi untuk turun dari pohon itu.
Tertawa Tu Thian sangat lebar, dia sangat gembira.
Biarpun keberhasilan Cong-hoa untuk memanjati pohon
yang ketiga puluh merupakan satu kejadian yang jauh
diluar dugaannya, namun dia yakin gadis itu sudah
kehabisan waktu untuk turun dari pohon tersebut.
Ketika dia sudah bersiap sedia menerima pekerja
gratis itu bekerja rodi untuknya, mendadak satu peristiwa
yang sama sekali tidak masuk diakal telah terjadi
dihadapannya. Dia menyaksikan Cong-hoa menjatuhkan diri dari atas
pohon, dia bukan melompat turun tapi membiarkan
badannya terbanting jatuh ke atas tanah.
Pada detik yang terakhir, tubuh Cong-hoa telah
mencium bumi. Karena itulah gadis ini berhasil
memenangkan taruhan.
Mimik muka Tu Thian waktu itu persis seperti seorang
jejaka yang baru saja menyaksikan seorang nenek
berusia delapan puluh tahun telanjang bulat. Dia sangat
kecewa, sangat galau... pada saat seperti itulah dia
mendengar ada orang sedang terbatuk-batuk di
belakang tubuhnya.
Seorang lelaki gelandangan yang memakai jubah
panjang berwarna abu-abu muncul dari belakang
pohon sambil batuk tiada hentinya.
Padahal tadi, mereka semua tidak pernah melihat
kehadiran orang itu, di belakang pohon jelas tidak
pernah ada orangnya, tapi... mengapa pada saat ini
orang tersebut bisa tiba-tiba muncul dari belakang
pohon" Orang itu berjalan lamban sekali, suara batuknya
amat keras dan berat.
Bersama dengan munculnya orang itu, air hujan
dimusim gugur seakan ikut berubah warna karena
kehadirannya, langit tampak berubah jadi putih keabuabuan,
kosong, hampa dan mengenaskan.
Orang itu mempunyai sepasang mata berwarna
hitam, sepasang mata yang hitam pekat.
.............. Putih keabu-abuan atau hitam pekat,
semuanya merupakan warna yang dominan ketika
seseorang mendekati saat ajalnya! Bukankah kematian
merupakan batas akhir dari kekosongan, kehampaan
dan kesepian"
Sambil terbatuk tiada hentinya lelaki gelandangan itu
berjalan mendekat dengan langkah yang sangat
lamban, tiba tiba dia berhenti, menghentikan
langkahnya persis di hadapan Cong-hoa, suara
batuknya juga tiba-tiba ikut berhenti.
"Apa artinya?"
Cong-hoa tidak mengerti apa maksud dari perkataan
itu, belum sempat bertanya, orang itu sudah
membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke arah Tu
Thian. Dengan perasaan terkesiap Tu thian memandang
lelaki gelandangan itu, tiba tiba orang itu tertawa
kepadanya dan berkata pula,
"Buat apa?"
Baru selesai dia berkata, lelaki gelandangan itu sudah
berbatuk-batuk lagi, bahkan pelan-pelan berjalan
meninggalkan tempat itu.
Dengan wajah terkesima Tu thian mengawasi
bayangan punggungnya, begitu juga dengan Conghoa,
dia awasi orang itu dengan pandangan
keheranan, dia seakan tidak paham apa maksud dari
perkataannya itu.
Baru saja Cong-hoa hendak menyusulnya untuk
bertanya lebih jauh, ternyata bayangan tubuh orang itu
sudah hilang lenyap tidak berbekas.
Walaupun langkah kakinya sangat lamban, namun
dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap
tidak berbekas, bahkan suara batuknya juga sama sekali
tidak kedengaran lagi.
"Aneh...sungguh aneh..." gumam Tu thian keheranan,
"Mengapa aku merasa seperti amat mengenal dengan
wajah orang itu?"
Cong-hoa juga sedang bergumam, "Aneh...sungguh


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aneh...sudah jelas aku yang menang, kenapa belum
ada yang bertanya kepadaku mau minta apa?"
Benda yang diminta Cong-hoa tentu saja tiga puluh
guci arak Li-ji-ang yang sudah berusia tua.
"Menjatuhkan diri" dan "melompat turun" adalah dua
gerakan turun yang beda sekali unsur kecepatannya.
Berbicara dari unsur kecepatan, "melompat turun"
jelas masih termasuk jenis gerakan yang lebih lamban,
karena masih terbuka kemungkinan terhambat oleh
rentangan batang dan ranting pohon.
Berbeda sekali dengan "menjatuhkan diri", gerakan
tersebut adalah gerakan jatuh dengan punggung
menghadap ke bawah, berhubung separuh tubuh atas
manusia biasanya lebih berat ketimbang separuh
tubuh bagian bawah, maka kecepatan meluncurnya
jelas jauh lebih cepat.
Tapi, berhubung harus menjatuhkan diri dari atas
pohon yang begitu tinggi dan besar, jelas tidak setiap
orang berani dan mampu melakukannya.
Hingga kini, punggung Cong-hoa masih terasa sakit
sekali, namun hatinya berbunga, sangat gembira,
bagaimana pun juga belum pernah ada orang kedua di
dunia ini yang mampu menipu Tu Thian hingga masuk
perangkap. Tidak heran bila perasaan hati Cong-hoa gembira
sekali, amat riang.
Hujan dimusim gugur masih mengguyur permukaan
bumi, sang surya sudah mulai condong ke langit barat.
Sinar matahari senja memang jarang muncul dibalik
deraian air hujan.
Sinar matahari senja tampak begitu lembut, begitu
halus menerobos keluar dari balik kabut hujan, sinar itu
nampak begitu sepi, begitu menyendiri...
Begitu pula dengan manusia, selalu merasa kesepian,
selalu terasing, tersendiri....
............... Kecuali ada urusan penting, biasanya
amat jarang ada orang mau berjalan-jalan ditengah
hujan deras. Sejak kecil Cong-hoa senang air hujan, terutama
hujan dimusim gugur, dia senang sekali dengan
perasaan kemalas-malasan yang terbias dari balik hujan
dimusim gugur. Hanya sewaktu berada ditengah curahan hujan, dia
dapat melupakan untuk sementara semua kenangan
yang sudah terkubur dalam-dalam di lubuk hatinya,
terkubur dibalik tulang belulangnya yang paling dalam.
......................Apakah manusia macam dia juga
memiliki penderitaan yang sudah merasuk hingga ke
tulang sumsum"
................... Benarkah semua penderitaan mudah
dilupakan"
Sinar matahari seperti senjata memancar dari balik
hujan, menerangi jalan raya, menerangi pula tubuh
Cong Hoa, selain dia seorang, dijalan raya tidak nampak
bayangan manusia lain, termasuk bayangan setan
sekalipun. Sementara Cong Hoa masih terbuai dalam mabuk
ditengah curahan hujan yang deras, saat itulah tiba-tiba
dia menyaksikan satu rombongan manusia.
Satu rombongan pemuda berusia tujuh-delapan
belas tahunan, semuanya berwajah tampan, mereka
muncul dari ujung jalan raya sana dan perlahan-lahan
berjalan mendekat, ditangan mereka ada yang
membawa tiang bambu, ada yang membawa
permadani ada pula yang membawa perabot.
Selama hidup belum pernah Cong Hoa mempunyai
kesempatan untuk menyaksikan satu rombongan besar
pemuda tampan, maka dengan seksama dia awasi
setiap pemuda itu, mengawasinya dengan bersungguh
hati. Agaknya kehadiran kawanan pemuda itu memang
bertujuan mendatangi Cong Hoa, mereka berhenti
persis dihadapannya, kemudian dengan cepat
mendirikan sebuah tenda bambu, menyiapkan
permadani merah dan menata rapi meja dan kursi.
Ketika semuanya telah selesai dipersiapkan, seorang
pemuda yang agak jangkung perawakannya maju
mendekat sembari mem-beri hormat.
"Hoa toa siocia, silahkan duduk!" katanya.
Cong Hoa tidak mengucapkan perkataan apapun,
dia maju mendekat, menarik sebuah bangku dan
langsung duduk.
"Diatas meja tersedia aneka macam hidangan, tapi
lebih baik kau jangan memakannya," kata seorang
pemuda lagi dengan hormat, "Karena didalam aneka
macam hidangan itu sudah dibubuhi sedikit racun."
Cong Hoa mengambil sumpit dan dengan cepat
mencicipi semua hidangan yang tersedia dimeja.
"Racun didalam botol arak itu paling banyak, lebih
baik jangan diminum!"
Cong Hoa tetap membungkam, dia sambar sebotol
arak, membuka penutupnya dan langsung menuang isi
botol itu ke dalam perutnya, nyaris tanpa berganti napas
dia telah habiskan isi botol itu dalam sekali tegukan.
Tiba-tiba terdengar seseorang menghela napas
panjang dari belakang tubuhnya.
"Arak yang begitu wangi ternyata diteng-gak dengan
cara sekasar itu, benar benar telur busuk makan bakmi,
hanya membuang percuma barang bagus."
"Kau keliru besar, bukan telur busuk yang makan
bakmi, tapi seekor kura-kura yang sedang makan
bakmi," dengan kata yang sama Cong Hoa balas
menjawab. Seorang kakek muncul sambil tertawa terbahakbahak.
"Hahaha... Ternyata kau bukan telur busuk, melainkan
seekor kura-kura," ejeknya.
"Kalau seekor telur busuk makan semangkuk bakmi,
mungkin dia menyia-nyiakan makanan enak, tapi jika
kura-kura yang minum arak, tidak mungkin dia menyianyiakan
barang bagus. Apalagi kalau arak itu adalah
arak Li-ji-ang yang telah berusia lima puluh tahun."
"Bagus, bagus sekali!" seru si kakek sambil tertawa
riang, "Ternyata Hoa toa-siocia memang tidak malu
disebut Hoa toa-siocia."
Tiba-tiba Cong Hoa merasa kakek itu sangat menarik
hati, bila bertemu orang yang menarik tanpa minum
arak, keadaan tersebut persis seperti bermain catur
melawan diri sendiri.
Maka Ciong Hoa pun kembali mengambil sebotol
arak, kali ini dia meneguknya sedikit lebih lambat.
"Arak Li-ji-ang sebagus ini bila tidak diminum dalam
keadaan hangat, sungguh patut disayangkan."
katanya. "Benar!"
Kakek itu segera mengulapkan tangannya memberi
tanda, seorang pemuda segera muncul dengan
membawa sebuah anglo, didalam anglo ada arang,
arang itupun sudah menyala.
Kakek itu segera mengambil sebuah j apitan untuk
menggeser arang arang menyala itu, kemudian
meletakkan satu guci arak Li-ji-ang diatas anglo tersebut,
setelah itu dia baru membuka mulut guci dengan sangat
berhati-hati. Semua perbuatan itu dilakukan si kakek dengan
penuh kasih sayang, seakan seorang nenek yang
sedang membelai cucu perempuannya.
Ketika penutup guci telah dibersihkan, kakek itu baru
mengambil selembar kertas dan disegelkan di mulut guci
tadi, kemudian dengan rasa puas katanya,
"Menghangatkan arak persis sama seperti membuat air
teh, besar kecilnya api harus diperhatikan, suhu
kehangatannya juga mesti pas," kakek itu
menerangkan, "Bila api kelewat besar, suhu kelewat
tinggi, maka rasa asli arak itu pasti akan turut menguap
hingga rasanya jadi tawar."
Cong Hoa sangat setuju dengan perkataan itu, dia
mengangguk cepat.
"Sebaliknya bila api kelewat kecil hingga tingkat
kehangatannya berkurang banyak, arak itu pasti
rasanya kecut," kakek itu seakan sedang membicarakan
satu masalah yang amat serius, "Bila api nya cukup,
kehangatannya juga cukup, bau asli arak itu baru akan
terasa, dengan sendirinya arak itupun akan sangat
bermanfaat bagi tubuh manusia."
Api yang cukup, waktu yang cukup dan kehangatan
yang cukup, tidak gampang untuk mencapai taraf
seperti ini, dibutuhkan kegagalan yang berulang kali
untuk mendapatkan pengalaman yang semakin
meningkat. "Waktu hawa arak dalam gunci baru saja
mengepulkan asap, kau mesti angkat guci itu dari atas
anglo," kakek itu meletakkan guci arak ke atas meja
sambil menerangkan, kemudian tunggu sampai uap
panas membasahi kertas segel diatas mulut guci, saat
itulah usahamu telah berhasil."
Kakek itu menuangkan secawan arak hangat untuk
Cong Hoa. "Saat ini tingkat kehangatan dari arak tersebut persis
selisih dua derajat setengah dibandingkan suhu badan
manusia, dan itulah suhu yang paling ideal," kakek itu
melanjutkan. Belum lagi arak diteguk, bau harum semerbak telah
terendus diseluruh ruangan.
Begitu arak mengalir di dalam tenggorokan, terasa
bagaikan ada sebuah cairan manis mengalir lewat
secara perlahan masuk ke dalam rubuh, membuat
seluruh badan serasa berada diatas awan.
"Bagus, arak bagus!" puji Cong Hoa dengan
bersungguh hati, "Tapi yang lebih bagus adalah karya
sianseng."
"Terima kasih," kakek itu menuding guci arak itu dan
menambahkan, "Guci arak tersebut merupakan salah
satu diantara tiga puluh guci arak yang harus dibayar Tu
toaya karena kekalahannya, sisanya yang dua puluh
sembilan guci Hoa toa-siocia dapat mengambil setiap
saat." "Bisa menenggak arak hangat hasil karya lo-sianseng
sudah merupakan satu kejadian besar bagi hidupku,
apalah artinya sisa arak yang lain?"
"Bukan begitu maksudnya, mengapa kau harus
membuat Tu toaya memikul beban sebagai orang yang
ingkar janji?"
BAB 2. Dongeng yang misterius.
Cong Hoa tentu saja tidak bermarga Cong, juga
bukan merupakan julukan yang disandang
sebagaimana para enghiong hohan pada umumnya.
Sejak kecil Cong Hoa memang bernama Cong Hoa.
Semenjak kecil dia senang dengan bunga, seringkali
Dia berdiri termangu hanya demi sekuntum bunga yang
tidak diketahui namanya.
Dia pernah cukup lama bersedih hati lantaran kuncup
bunga yang layu sebelum berkembang, lalu mencari
sebuah tempat yang tersembunyi dan mengubur
kuncup bunga itu.
Justru lantaran Dia suka bunga maka ada orang yang
memanggilnya siau-hoa, bunga kecil, ada juga yang
memanggilnya Siau Cong-hoa, penyembunyi bunga
kecil, bahkan ada yang memanggilnya Conghoa-ji.
Apa pun nama panggilannya, tidak ada seorangpun
yang tahu dia datang dari mana dan berasal dari
mana" Cong Hoa tidak pernah menjelaskan soal itu, hingga
akhirnya ada juga yang memanggilnya Siau Ya-hoa si
bunga liar kecil.
Selain berarti bunga liar kecil, siau Ya-hoa sendiri juga
mengartikan bahwa dia adalah bocah buangan, bocah
yang tidak dikehendaki siapapun.
Tentu saja Cong Hoa tahu akan hal ini, juga mengerti,
namun dia tidak pernah marah, jangan lagi berdebat,
membantah pun tidak.
Namun anehnya, orang-orang yang sering
memanggilnya si bunga liar kerapkali merasakan
gebukan tongkat yang aneh dan tidak jelas sumbernya,
malah kadangkala, ketika mendusin dari tidur, mereka
jumpai mulutnya sudah penuh dijejali lumpur kotor.
Secara garis besar, orang kaya terbagi jadi berapa
jenis: jenis orang pelit, berjiwa kerdil, sayang keluar duit
dan sering berlagak miskin dengan mencari keuntungan
dari orang lain.
Ada pula yang berlagak macam orang kaya
mendadak, kalau bisa dia ingin orang diseluruh dunia
tahu kalau dia berduit, ada juga yang mau keluar duit
tapi sering mencari kambing hitam.
Diantara sekian jenis orang kaya, tentu saja orang
yang pandai menggunakan uang, pandai menikmati
hidup dengan uangnya merupakan jenis yang paling
ideal, Tu Thian termasuk orang kaya jenis ini.
Seluruh lantai rumah Tu Thian dilapisi dengan karpet
berbulu putih yang khusus didatangkan dari negeri jauh
yang bernama Persia, ketika orang berjalan melalui
lapisan karpet itu maka terasa bagaikan sedang
melayang-layang ditengah lapisan kabut putih yang
nyaman. Konon semua perabot rumahnya juga didatangkan
dari negeri yang lebih jauh lagi, negeri barat. Bukan saja
tiap benda sangat indah, antik dan menawan, bahkan
amat leluasa bila digunakan.
Ambil contoh kursi yang sedang diduduki Cong Hoa
sekarang, ukuran kursinya khusus dirancang dan dibuat


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesuai dengan perawakan tubuh manusia.
Punggung kursi sedikit dibuat melengkung ke dalam,
bikin orang yang mendudukinya serasa bagaikan
pedang yang masuk kedalam sarungnya, begitu rapat,
begitu pas dan begitu nyaman.
Baru saja duduk dikursi itu, Cong Hoa sudah
merasakan kenyamanan yang luar biasa, diam-diam dia
punya rencana, bila ada uang nanti dia pun ingin
membeli kursi semacam ini untuk dinikmati di dalam
rumah. Ada kursi tentu saja ada meja, meja yang berada
dirumah Tu Thian ini jauh lebih hebat, jauh lebih menarik
lagi. Permukaan meja itu bulat, ditengah bulatan meja
terdapat pula sebuah bulatan kecil yang bisa diputar,
aneka macam hidangan diletakkan pada bulatan kecil
ditengah meja itu.
Bulatan meja kecil itu dapat berputar, ketika kau
pingin mengambil sejenis hidangan, tidak usah bangkit
berdiri, asal kau putar bulatan itu maka hidangan yang
kau inginkan segera akan berputar sendiri ke
hadapanmu. Cong Hoa memutar bulatan meja kecil itu tiada
hentinya, bukan untuk mengambil hidangan yang ada
disitu, dia hanya merasa aneh, lucu dan amat menarik
hati. "Meja ini khusus didatangkan dari negeri barat yang
jauh sekali letaknya, sengaja dirancang untuk para
bangsawan dan ningrat di negeri barat," Tu Thian
menerangkan dengan penuh rasa bangga, "Aku lihat
cocok sekali bila digunakan sewaktu bersantap, maka
aku telah memberi sebuah nama untuk meja ini."
"Apa namanya?"
"Meja makan ala barat."
"Jadi kursi yang disinipun ada namanya?" Cong Hoa
bertanya keheranan, "Apakah dinamakan bangku
makan raja barat?"
Sambil tersenyum Tu Thian manggut-manggut.
"Kalau begitu rumah makannya disebut rumah raja
barat?" lanjut si nona cepat.
"Rasanya memang begitu," dengan perasaan riang
Tu Thian meneguk habis isi cawannya.
Kembali si kakek penghangat arak menuang penuh
cawan araknya kemudian sekali lagi mundur ke
samping. Cawan itu terbuat dari kristal putih, sementara
araknya berwarna merah muda.
Ketika arak berwarna merah muda dituang kedalam
cawan kristal putih, kelihatan sekali bentuknya bagai
bibir basah seorang gadis perawan.
"Cara membuat arak inipun berasal dari negeri
barat," kembali Tu Thian menerangkan.
"Apakah dinamakan arak raja barat?"
"Arak itu terbuat dari campuran sejenis arak anggur
dengan beberapa macam cairan buah yang diaduk
menjadi satu," Tu Thian angkat cawannya sambil
mengawasi isi cawan dengan termangu, "Sewaktu
diramu, warnanya terdiri dari lima macam warna yang
aneka ragam, persis seperti ekor ayam jago, karena itu
arak semacam ini dinamakan Khee-wi-ciu arak ekor
ayam." "Khee-wi-ciu?" Cong Hoa mengalihkan sorot
matanya keluar jendela, memandang suatu tempat
dikejauhan sana, "Bila ada kesempatan, mungkin
akupun akan berpesiar ke negeri barat itu."
"Kau pasti akan mendapatkan kesempatan ini,
kemungkinan itu selalu terbuka untukmu."
"Apakah aku sudah mabuk, atau telinga ku ada
penyakitnya?" suara Cong Hoa persis seperti orangnya,
penuh keraguan dan rasa curiga, "Aku seakan
mendengar ada seseorang sedang mengucapkan
perkataan yang amat menarik."
"Kujamin telingamu pasti normal," kembali Tu Thian
menenggak arak dicawannya, "Aku lihat takaran minum
arakmu tidak kelewat cetek."
"Maukah kau mengulang sekali lagi perkataan yang
menawan itu?"
"Kau pasti akan mendapatkan kesempatan ini,
kemungkinan itu selalu terbuka untukmu."
"Heran, aku tahu kalau itu omongan bohong,
mengapa kedengarannya selalu nyaman di hati."
"Ini bukan omongan bohong tapi kata yang
sejujurnya!" Tu Thian menegaskan dengan wajah serius.
"Kaupun mesti perhatikan, tempat yang ingin
kudatangi bukan dapur dirumahmu tapi sebuah tempat
yang jauh sekali."
"Jangan bilang kau akan ke negeri barat untuk
mengambil kitab seperti dalam cerita See-yu, mau
belajar falsafat ajaran Khong-hu-cu pun tidak jadi soal,"
ujar Tu Thian sambil menatap Cong Hoa serius, "Asal kau
selesaikan dulu satu hal."
Tiba-tiba Cong Hoa tidak bicara lagi, dengan
sepasang matanya yang bulat besar dia awasi wajah Tu
Thian, matanya mirip dengan bintang yang terang di
ufuk timur. "Maksudmu sudah kupahami," kata Cong Hoa
kemudian sambil menempelkan cawan araknya disisi
hidung, "Bukankah ada satu masalah yang tidak
mampu kau selesaikan sendiri, maka kau minta aku yang
tampil, asal dapat kuselesaikan persoalan itu maka
kaupun bersedia menghantar aku pergi, bukan begitu?"
"Benar, ada sedikit urusan "kecil" yang harus kau
selesaikan dulu, terlepas berhasil atau tidak, kau tetap
akan peroleh imbalan yang setimpal, soal ke mana kau
akan pergi, itu bukan urusanku!"
"Aku boleh tidak kesana?" tanya Cong Hoa serius.
"Tentu saja boleh," Tu Thian segera bertepuk tangan,
"Hantar tamu."
Kakek penghangat arak segera berjalan menuju ke
tepi pintu dan berseru pelan, "Siapkan kuda."
"Malam sudah menjelang tiba," ujar Tu Thian pula
sambil tersenyum, "Selisih jarak dari sini hingga ke
gerbang kota masih butuh waktu setengah jam, maka
sering kusediakan kuda untuk digunakan para tamu
yang mau berlalu, "Terima kasih untuk pelayananmu,
aku pergi dulu," ujar Cong Hoa sambil bangkit berdiri.
"Tidak menghantar, tidak menghantar."
Dengan satu langkah cepat Cong Hoa keluar dari
ruangan, tidak selang berapa saat kemudian terdengar
suara ringkikan kuda yang semakin menjauh.
"Aaai..." sepeninggal Cong Hoa, Tu Thian menghela
napas panjang, "Kukira asal mencari dia maka urusan
segera akan beres, ternyata dia jauh berbeda dengan
apa yang tersiar dalam dunia persilatan selama ini."
"Manusia macam apa aku ini di dalam dongeng
yang tersiar selama ini?" tiba tiba Cong Hoa berseru
sambil melompat masuk lewat jendela.
"Haah, bukankah kau sudah pergi?" Tu Thian
kelihatan terkejut bercampur ragu.
"Sudah pergi" Itu mah kudanya yang pergi," Cong
Hoa duduk kembali di bangkunya, "Sedang aku" Aku
pingin tahu manusia macam apa aku ini didalam
dongeng yang tersiar dalam dunia persilatan."
"Latah, angkuh dan ngawur!"
"Aku ngerti maksud kata latah dan angkuh, tapi
ngawur.....?" Cong Hoa memenuhi cawan sendiri
dengan arak, "Kenapa aku dibilang ngawur?"
"Ngawur artinya jauh lebih berani bertindak daripada
berani, berani berbuat berani menghadapi!" nada
ucapan Tu Thian dipenuhi sindiran dan tertawa.
Berani berbuat berani menghadapi memang
terhitung perbuatan seorang lelaki sejati, bahkan
dewasa ini tidak banyak "pendekar" yang sanggup
melakukan hal tersebut.
Ada budi harus dibalas, ada dendam harus dituntut,
kau menghadiahkan satu bacokan golok kepadaku dan
akupun membalas satu tusukan pedang untukmu, mana
budi mana dendam selamanya terpisah secara jelas,
dalam kehidupan seorang pendekar, hal semacam ini
adalah lumrah. ...... Selama hidup tidak pernah merugikan diri sendiri,
menunggang kuda tercepat, mendaki gunung tertinggi,
makan hidangan terpedas, minum arak terkeras, main
golok tercepat dan membunuh orang terkejam. Seperti
misalnya Hong Su-nio sang pengantin wanita yang harus
kabur pada malam pertama pengantinnya......KoYa-lam
sang murid Hoa-san yang dikejar Oh Thi-hoa sampai
dua-tiga tahun lamanya dan memaksanya untuk
kawin....... Yan Jit yang pernah mati tujuh kali dan
menyamar jadi lelaki untuk merecoki Kweek Taylok..... Cu
toa-siocia Cu Jit-Jit. yang mengembara hampir tiga
puluh tahun dengan Sim Long, So Yong-yong si bunga
anggrek malam yang dari cinta tumbuh rasa bencinya
hingga berusaha membunuh Cho Lu-hiang.
Kesemuanya itu adalah jago-jago persilatan kenamaan
yang sangat menggemparkan sungai telaga, mereka
adalah pendekar wanita yang sulit dilupakan siapapun,
namun bila dibandingkan dengan Cong Hoa, maka
terasa mereka ada sedikit kekurangannya.... mereka
kurang latah, kurang gila.
Angin malam dipermulaan musim gugur meski tidak
terlampau dingin, namun mendatangkan suara yang
mengibakan. "Kau pernah tahu manusia yang bernama Ti Cingling?"
tanya Tu Thian sambil mene-rawang keluar
jendela, "Ti Siauho bangawan Ti yang memandang
harta kekayaan bagaikan sampah, tapi menganggap
kuda jempolan dan wanita cantik melebihi nyawa
sendiri?" "Aku tahu," sebuah jawaban yang dingin, hambar
dan ringkas. "Berarti kau pasti tahu juga tentang Nyoo Cing" Dulu
dia hanya seorang opas tidak ternama," sikap Tu Thian
sedikit agak aneh. Sayang Cong Hoa tidak terlalu
menaruh perhatian, ketika tahu pun kejadian tersebut
sudah lewat sangat lama.
"Aku paling kagum dengan orang ini!" seru Cong Hoa
penuh semangat, "Dulu, dia hanya seorang opas kecil,
tapi dengan kekuatan dan kemampuan seorang diri dia
berhasil membongkar kebusukan yang dilakukan Ti Cingling,
bangsawan nomor wahid masa itu."
Tu Thian tidak bicara, pelan-pelan dia letakkan
kembali cawannya ke meja, seakan ada satu masalah
serius yang sedang dipikirkan dan dipertimbangkan.
Masalah serius apa yang membuatnya berpikir begitu
serius" Rasa ingin tahu Cong Hoa semakin bertambah,
apalagi persoalan tersebut sudah menyangkut masalah
Nyoo Cing dan Ti Cing-ling.
"Aku minta kau pergi menolong Ti Cing-ling!" akhirnya
sepatah demi sepatah kata Tu Thian berbisik.
Cong Hoa tertegun, sampai lama kemu-dian dia baru
berbisik, "Tampaknya kau sudah mabuk berat..."
"Tidak, dia tidak mabuk!" sela kakek penghangat arak
sambil memenuhi cawan Tu Thian dengan arak.
"Berarti dia pasti sedang sakit," sambung Cong Hoa
tertawa, "Hanya pikiran orang yang sedang sakit
ngawur dan tidak waras, hanya orang macam begini
yang senang mengigau dan bicara tidak karuan."
"Sungguh tidak beruntung dia pun sama sekali tidak
sakit," kembali si kakek berkata sambil tertawa.
"Kalau begitu aku sendiri yang lagi bermimpi?"
"Malam belum larut, kaupun belum tidur, dari mana
bisa bermimpi?" ujar Tu Thian sambil mengangkat
cawannya. "Daripada kau kebingungan, biar aku saja yang
menuturkan masalahnya," kakek penghangat arak
akhirnya mengambil tempat duduk dan menuang
secawan arak untuk diri sendiri, "dulu ada sebuah negeri
di timur jauh yang amat jauh dan misterius..."
................. Konon keluarga bangsawan di negeri
misterius itu bila mati, jenasahnya selalu diawetkan
dengan sejenis ramuan rahasia, kemudian seluruh
tubuhnya diperban dengan memakai sejenis kain yang
khusus. .............. Setelah melalui kedua proses pengawetan
itu, mereka menyebut jenasah itu sebagai "Mummi".
.............Mereka pun menyimpan "mummi" itu ke
dalam sebuah peti berbentuk kotak.
........ dibawah bimbingan dan pengawasan seorang
Hoatsu, mummi itu dikirim ke dalam sebuah bangunan
piramida yang besar dan tinggi dan menyimpannya
disitu. ........Konon bila dilakukan semua upacara ritual itu,
biar sudah melewati ratusan bahkan ribuan tahun pun,
dalam suatu kondisi dan situasi tertentu, mummi itu
dapat bangkit dan hidup kembali.
"Ramuan dan resep rahasia pembuatan mummi itu
dibawa masuk kenegeri kita oleh seorang pendeta asal
negeri Thian-tok (India) dan konon akan
dipersembahkan kepada Baginda raja," si kakek
menurut ceritanya dengan meneguk cawan arak ke
tujuh. "Tapi begitu memasuki wilayah negeri kita, tiba-tiba
pendeta itu hilang lenyap tidak berbekas," lanjut Tu
Thian, "Kabar beritanya hilang begitu saja bagai uap air
yang lenyap di udara."
"Biarpun lenyap tidak berbekas, sebelumnya pasti
ada orang yang pernah bersua dengannya bukan?"
tanya Cong Hoa.
"Benar, memang ada, dia adalah Ti Cing-ling."


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ti Cing-ling?" seru Cong Hoa tercengang.
"Benar, dia adalah utusan rahasia yang dikirim Sri
baginda untuk menjemput pendeta itu, jadi hanya Ti
Cing-ling seorang yang tahu jejak pendeta itu."
"Karenanya kalian minta aku untuk pergi menolong Ti
Cing-ling?" ujar Cong Hoa sambil mengawasi kakek itu
dan Tu Thian lekat-lekat, "Tapi apa hubungannya urusan
ini dengan kalian berdua?"
"Gara-gara persoalan ini, sudah hampir dua puluh
tahun lamanya kami hidup mengasingkan diri dan
menyembunyikan identitas asli," kata si kakek sambil
menghela napas panjang.
Cong Hoa menyumpit sepotong daging dan
dikunyahnya perlahan-lahan, dia seperti mencoba
meresapi apa yang dituturkan si kakek barusan.
Berapa saat kemudian dia baru berkata, "Sudah dua
puluh tahun" Aku dengar pada dua puluh tahun
berselang, ketika Ti Cing-ling berhasil dijebloskan ke
dalam penjara besar oleh Nyoo Cing, dua orang tokoh
kenamaan dalam kerajaan pun ikut hilang lenyap
secara tiba-tiba..."
Ditatapnya Tu Thian lekat-lekat, kemu-dian terusnya,
"Yang seorang adalah pengawal kelas satu dari istana
terlarang, Tu Bu-heng."
"Satu tusukan pedang tanpa meninggalkan jejak, Tu
Bu-heng," sambung Tu Thian.
"Benar," kata Cong Hoa manggut manggut,
kemudian sambil berpaling ke arah kakek penghangat
arak, lanjutnya, "yang lain adalah wajah besi berhati
lembut." "Un-hwee sianseng," sambung sang kakek.
"Yaa, aku dengar Un-hwee sianseng adalah ketua
mahkamah termuda dalam sejarah kerajaan, sejak
berusia dua puluh lima tahun sudah memangku jabatan,
orang kejaksaan menyebutnya Un It-to, konon ilmu
goloknya luar biasa dahsyat dan cepatnya!"
Lalu sambil menatap tajam wajah kakek itu, dia
melanjutkan, "Apa yang kuucapkan tidak keliru bukan
Un-hwee sianseng?"
"Tepat sekali!" Un-hwee sianseng manggut-manggut,
"Sungguh tidak kusangka setelah hidup mengasingkan
diri hampir dua puluh tahun lamanya, masih ada juga
orang yang teringat akan diriku."
Un-hwee sianseng berusia empat puluh tujuh tahun,
dia adalah petugas mahkamah agung yang
memegang peran penting dalam penyelidikan kasus
besar. Yang membuat banyak orang tidak habis mengerti
adalah disaat namanya makin mero-ket dan
jabatannya makin memegang peranan penting, tahutahu
di usianya yang kedua puluh tujuh dia telah
menyerahkan jabatannya kepada orang lain, bahkan
sejak itu kabar beritanya hilang lenyap tidak berbekas.
Dibawah sinar lentera, wajah Un-hwee sianseng
kelihatan jauh lebih tua dari usia sebenarnya.
......... Alasan apa yang membuat wajahnya nampak
jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya" Apakah
lantaran dia terlalu banyak membunuh orang"
Sementara itu Cong Hoa telah berpaling ke arah Tu
Thian, kemudian ujarnya lagi, "Sinar pedang berkelebat,
pinggang putus darah berhampuran, tiada bekas
tertinggal dibadan... apakah kau adalah Tu Bu-heng?"
Tiba-tiba tampak cahaya tajam berkelebat lewat,
entah sedari kapan tahu-tahu Tu Bu-heng sudah
meloloskan sebilah pedang.
"Pedang ini sudah dua puluhan tahun tidak pernah
menghirup darah," ujar Tu Bu-heng kemudian sambil
mengamati pedangnya, "Tidak dinyana masih juga ada
orang yang mengenalinya."
"Mengapa kalian berdua meninggalkan jabatan dan
hidup mengasingkan diri justru disaat kedudukan kalian
sedang tinggi dan pamor kalian sedang tersohor?"
"Aaai..... apa lagi kalau bukan lantaran Ti Cing-ling,"
sahut Tu Bu-heng sambil menghela napas.
"Kami mendapat perintah rahasia dari Sri Baginda
untuk menyelidiki kabar berita pendeta dari Thian-tok
itu," sambung Un-hwee sianseng perlahan, "Tapi biarpun
sudah peras tenaga dan keringat hampir tiga bulan
lamanya, jangan lagi bayangan tubuhnya, bau
kentutnya pun tidak berhasil kami temukan."
Gagal menyelesaikan tugas yang dititahkan sang
Kaisar berarti harus potong kepala, sambil memegang
tengkuk sendiri Tu Bu-heng berkata lebih jauh,
"Mengingat jasa kami bagi kerajaan sudah terlalu
banyak maka hukum pacung dapat ditiadakan, namun
karena kegagalan tersebut terpaksa kami harus
lepaskan semuajabatan dan hidup mengasingkan diri."
"Oleh karena itu kalian hidup bersem-bunyi disini
karena Ti Cing-ling memang berada dalam penjara
besar di Lam-koen-ong-hu?" sela Cong Hoa cepat, "Tapi
ada satu hal yang membuat aku tidak habis mengerti,
persoalan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kalian,
mengapa kalian tetap ngotot akan menolong Ti Cingling?"
"Haai... sebelum pengharapan kami terpenuhi,
masalah itu terasa masih mengganjal di dalam hati,
membuat kami selalu tidak enak makan tidak nyenyak
tidur." "Oooh rupanya begitu," Cong Hoa manggut
manggut, "Dua puluh tahun berselang kalian tidak
berhasil mengorek keterangan dari mulutnya,
memangnya dua puluh tahun kemudian kalian punya
cara untuk mendapatkan keterangan?"
"Kami berpendapat, sekeras apapun hati seseorang,
bila sudah merasakan siksaan dan penderitaan selama
dua puluh tahun dalam penjara, paling tidak pikiran dan
hatinya akan berubah lebih lunak," Un-hwee sianseng
menerangkan. "Persoalannya sekarang, mengapa kalian tidak turun
tangan sendiri melakukan pertolongan, mengapa harus
aku yang tampil?"
"Karena Lo Kay-sian tidak takut kepada siapa pun,
namun cuma takut kepadamu."
Padahal Ti Cing-ling sudah ditolong orang semenjak
tiga belas tahun berselang, mengapa Tu Bu-heng dan
Un-hwee sianseng masih tetap bersikeras minta Cong
Hoa menyerbu ke penjara besar untuk menolong orang
itu" Apa yang sebenarnya terjadi dan ada rahasia apa
dibalik kesemuanya itu"
BAB 3. Bertemu lagi dengan Nyoo Cing.
Hujan di musim gugur baru saja berhenti, suasana di
dalam hutan selain gelap pun amat becek dan lembab,
bukan saja sinar matahari di siang hari tidak mampu
menembus masuk, dimalam haripun tidak bisa tampak
bintang dan rembulan, tidak heran kalau tidak seorang
manusia pun berani memasuki hutan itu kelewat dalam,
orang dusun disekitarnya juga karena takut, bisa tersesat
hingga selama hidup jangan harap bisa keluar dari
hutan itu dalam keadaan selamat.
Orang lain demikian takut, namun Nyoo Cing tidak
takut. Sejak kecil dia memang suka berjalan menelusuri
hutan belantara itu, tatkala mencapai usia sembilan
tahun, dia bahkan saban hari bermain satu dua jam
lamanya dalam hutan itu, malah kadangkala ditengah
malam buta dia juga berani menerobos masuk ke dalam
hutan. Tidak seorang pun tahu apa yang dia lakukan
didalam hutan itu, dia pun tidak pernah mengijinkan
siapa pun turut serta bersamanya.
Hingga dua puluh tahun berselang, gara-gara harus
berduel melawan Ti Cing-ling, saat itulah dia baru
mengajak Lu Siok-bun pindah ke situ.
Bila menelusuri jalan setapak dalam hutan lebat itu,
setelah berbelok kiri kanan hampir setengah jam
lamanya, maka akan tiba ditepi sebuah mata air yang
muncul jauh ditengah hutan belantara, disamping mata
air itulah berdiri sebuah rumah kayu kecil yang sudah
kuno dan bobrok.
Setelah lewat puluhan tahun lamanya, hari ini untuk
pertama kalinya Nyoo Cing datang kembali ke situ,
tampak bangunan rumah kecil itu masih berdiri seperti
sedia kala, tapi bagaimana dengan manusia yang
dirindukan"
Pintu rumah masih berada dalam keadaan terkunci,
dibalik ruangan hanya terdapat sebuah ranjang, sebuah
meja, sebuah bangku, sebuah mangkuk kasar, sebuah
lentera dan sebuah anglo yang terbuat dari tanah liat.
Semua benda sudah dipenuhi debu, sarang labalaba
hampir menyelimuti seluruh sudut ruangan, lumut
hijau yang tebal bagai permadani terhampar dipintu
depan, hal ini membuktikan kalau sudah sangat lama
tempat itu tidak pernah dijamah manusia.
"Dulu, sewaktu masih ada orang tinggal disini, tempat
ini pasti amat sederhana, sepi dan susah," tidak kuasa Lu
Siok-bun bertanya kepada Nyoo Cing, "Tempat apa ini"
Kenapa kau bisa menemukan tempat seperti ini?"
"Karena dulu hampir setiap hari aku berada disini,
kadangkala dalam sehari bisa datang berkunjung
hampir dua kali."
"Mau apa datang kemari?"
"Datang menjenguk seseorang!"
"Siapa?"
Nyoo Cing termenung berapa saat lamanya,
perasaan hormat dan tersiksa tiba-tiba melintas diatas
wajahnya, lama kemudian dia baru menjawab, sepatah
demi sepatah kata, "Aku datang menjenguk ayahku."
Kemudian sambil mengawasi lapisan lumut diluar
jendela, dia melanjutkan, "Disaat dia orang tua akan
meninggal dunia, hampir setiap hari aku selalu berdiri di
muka jendela ini, menunggu dia datang menengokku."
Lu Siok-bun nampak agak tertegun.
Sejak Nyoo Cing masih bayi, dia sudah hidup didusun
tepi hutan lebat ini, ibunya selalu hidup menjanda dan
bekerja sebagai tukang cuci baju dan menjahit pakaian
orang untuk menyambung hidup.
Selama ini Lu Siok-bun tidak tahu kalau Nyoo Cing
mempunyai ayah, orang dusun pun tidak ada yang
tahu. Sebenarnya dia ingin bertanya kepada Nyoo Cing,
mengapa ayahnya hidup seorang diri ditengah hutan
lebat dan tidak mau bertemu dengan orang lain"
Namun dia tidak bertanya.
Setelah melalui pelbagai pengalaman hidup, dia
sudah belajar ikut memikirkan orang lain, belajar
menyimpan rahasia orang lain, tidak berusaha mencari
tahu rahasia orang dan tidak mengajukan pertanyaan
yang orang lain enggan untuk menjawab.
Untung saja Nyoo Cing mengatakannya sendiri.
... Walaupun mereka tidak pernah menikah secara
resmi, namun Nyoo Cing dan Lu Siok-bun selalu hidup
bersama layaknya suami istri.
... Diantara suami istri biasanya memang tidak akan
saling merahasiakan sesuatu.
"Ayahku berwatak kasar dan berangasan, musuh
besarnya tersebar diseantero jagad, ketika aku
dilahirkan, orang tua kami bersembunyi dalam hutan
karena kuatir disatroni orang," cerita Nyoo Cing dengan
wajah sedih, "Ketika aku berusia delapan tahun, ayahku
terluka sangat parah sehingga harus mengungsi ke
dalam hutan untuk merawat lukanya, saat itulah aku
baru berkesempatan untuk bertemu dengannya."
"Ap luka ayahmu berhasil disembuhkan?" Dengan
sedih Nyoo Cing menggeleng, "Setelah dia mengungsi
ke dalam hutan itu, para musuh besarnya yang tersebar
di seantero dunia tidak pernah berhasil menemukannya
kembali. Itulah sebabnya ketika kita mengha-dapi
ancaman dulu, aku pun membawamu mengungsi
kemari, sebab tidak akan ada orang yang bisa
menemukan tempat ini."
Malam sudah semakin kelam, suasana disana amat
gelap karena tidak ada lentera yang menerangi
ruangan, ditengah kegelapan itulah Nyoo Cing
mengenang kembali masa lalunya yang penuh dengan
masalah. ------"Aku sengaja membawamu kemari karena
setelah kepergianku nanti, tidak mungkin ada orang
yang bisa menemukan dirimu disini."
Tiba-tiba Nyoo Cing merasa bibirnya seakan berubah
jadi dingin dan membeku, namun dia berusaha keras
untuk mengendalikan gejolak perasaan hatinya.
Ketika dia berhasil mengalahkan Ti Cing-ling dan balik
kembali ke rumah gubuk ditengah butan itu, bukan Lu
Siok-bun yang ditemukan didalam rumah gubuk itu,
melainkan hanya selembar kertas.
Sepucuk surat ancaman yang isinya berbunyi begini,
"Karena kau menawan Ti Cing-ling, maka aku
menawan Lu Siok-bun.
Tertanda: Cing-liong-hwee"
Rembulan masih memancarkan sinarnya yang redup
di angkasa, malam itu penuh bintang, angin malam pun
berhembus kencang.
Sinar rembulan yang redup menembusi daun-daunan
yang lebat, memancar masuk ke dalam ruang gubuk
melalui jendela dan menerangi wajah Nyoo Cing yang
murung. Angin kencang berhembus menggoyangkan daun
dan ranting sehingga menimbulkan suara gemerisik yang
nyaring.

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba tiba Nyoo Cing merasakan munculnya segulung
hawa panas dari belakang punggungnya, hawa panas
itu segera menyebar ke seluruh tubuh dan seakan
hendak mencabik cabik tubuhnya.
Dengan perasaan kaget Nyoo Cing berpaling, dia
menyaksikan ada segulung semburan api telah
menerjang masuk melalui pintu depan, semburan api itu
bagaikan sebuah toya baja yang membara, langsung
disodokkan keatas tubuhnya.
Bara api itu luar biasa panasnya, jangan lagi tubuh
manusia, besi baja pun akan meleleh bila tersembur
olehnya. Belum lagi semburan api itu mengenai tubuhnya,
Nyoo Cing sudah merasakan hawa panas yang luar
biasa. Buru buru dia menyambar permukaan meja dan
menekannya ke bawah, tekanan yang kuat membuat
kaki meja patah jadi dua.
Menggunakan kesempatan itu Nyoo Cing menerobos
ke bawah untuk berkelit, semburan api itu dengan cepat
menyambar lewat persis dari atas punggungnya.
Untung sejak kecil dia sudah melatih diri dengan
tekun, reaksinya sangat cepat dan pendengarannya
tajam, coba kalau bukan begitu, saat ini mungkin dia
sudah mati tersembur kobaran api dahsyat itu.
Biarpun berhasil lolos dari maut, tidak urung baju yang
dikenakan hangus sebagian, bahkan lamat-lamat dia
merasakan punggungnya amat sakit.
Ketika gagal mengenai sasarannya, semburan api itu
segera lenyap dibalik pohon-pohonan sana, namun
sebagai gantinya muncul semburan air yang kuat dari
balik jendela, semburan air itu menyambar datang
dengan cepatnya, bahkan membawa suara gemuruh
bagaikan ada beribu-ribu kuda yang sedang lari
bersama. Kembali Nyoo Cing berjumpalitan meloloskan diri dari
sergapan semburan air itu, sementara tubuhnya masih
melambung di udara, semburan api kembali muncul
dan langsung menghantam tubuhnya yang masih
berada di udara.
Pada saat bersamaan, serangan air muncul lagi dari
arah bawah. Tampaknya serangan air dan api itu berusaha
menggencet tubuh Nyoo Cing yang sedang
melambung, kini dia kehabisan jalan dan terdesak
hingga musti mundur ke sudut ruangan.
Tampaknya tubuh Nyoo Cing segera akan tertelan
oleh gulungan api dan air yang datang menyerang
secara dahsyat itu.
Nyoo Cing memiliki sebuah kelebihan ketika sedang
bertarung melawan orang, setiap waktu setiap saat dia
bisa menyerang secara nekad, bila dia sudah nekad,
biasanya cara yang digunakan jauh lebih nekad dari
siapa pun. Yang dia pergunakan bukan ilmu silat yang benar,
belum pernah ada orang melihat dia bertarung
menggunakan jurus silat yang benar, begitu pula ketika
sedang menghadapi ancaman yang lain, modalnya
hanya satu, nekad!
Tapi kali ini dia dibuat kelabakan, karena yang
dihadapinya sekarang sama sekali berbeda, bukan
manusia yang harus dihadapi melainkan semburan air
dan api yang maha dahsyat.
Bagaimana mungkin dia bisa nekad" Bagaimana
mungkin dia bisa mengadu jiwa bila lawannya adalah
benda yang tidak bernyawa"
Tapi Nyoo Cing tidak ambil perduli, dia tetap nekad,
dia tetap menerjang tanpa memperdulikan nyawa
sendiri. Tentu saja yang dia terjang bukan semburan api, juga
bukan semburan air, tiba-tiba ia membalikkan badan
lalu menumbukkan batok kepalanya ke atas dinding
ruangan, tumbukan yang keras sekali.
Dia harus menumbuk dinding itu kuat-kuat karena
dinding yang tebal tidak akan jebol bila tidak diterjang
dengan tenaga besar. "Blaaaam....!"
Dinding tembok itu seketika jebol dan rontok ke
tanah, namun sebagai gantinya darah segar
menyembur keluar dari atas jidat Nyoo Cing.
Tapi dia tidak ambil perduli, lebih baik jidat sendiri
terluka daripada mati konyol karena dibakar semburan
api. Dengan cepat Nyoo Cing merangkak bangun sambil
bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
"Bagus, bagus sekali, ternyata Nyoo Cing memang
tetap nekad!" seseorang berbaju putih berwajah bersih
berseru memuji dengan suaranya yang dingin.
Nyoo Cing segera berpaling, ternyata orang itu berdiri
di bawah sebatang pohon, wajahnya tampak dingin
membeku dan dihiasi dengan mimik muka senyum tidak
senyum. Begitu bertemu dengan orang itu, kontan Nyoo Cing
merasakan tubuhnya dingin membeku, tubuhnya
seolah olah sudah terperosok ke dalam bongkahan salju
yang sudah berusia ribuan tahun.
Wajah yang dingin dengan mimik muka senyum tidak
senyum itu sangat dikenal olehnya, biar sudah berubah
jadi abu pun Nyoo Cing tidak bakal melupakan raut
wajah orang itu.
Karena orang inilah terpaksa dia harus menggunakan
Kait perpisahan.
Karena orang inilah terpaksa dia harus berpisah
dengan Lu Siok-bun.
Orang ini tidak lain adalah.. .Ti Cing-ling.
"Sudah dua belas tahun tujuh bulan empat belas hari
berlalu," ujar Ti Cing-ling dengan nada dingin, "Selama
ini apakah kehidupanmu amat gembira?"
"Gembira, gembira sekali!" jawab Nyoo Cing sambil
berusaha mengendalikan amarahnya, "Bagaimana
denganmu?"
"Walaupun kehidupanku jauh lebih baik ketimbang
sewaktu hidup dalam penjara, namun setiap hari aku
selalu paksakan diri untuk bergabung dengan Un-lo
(kelembutan)"
Entah sejak kapan tahu-tahu Ti Cing-ling telah
meloloskan sebilah golok yang tipis melebihi kertas,
kemudian terusnya, "Karena aku percaya suatu saat
nanti kita bakal bertemu kembali."
Sekilas cahaya biru memancar keluar dari tubuh
golok, sekilas cahaya yang sangat tawar, setawar
cahaya fajar yang baru muncul diufuk timur.
... Golok tipis itu adalah sebilah golok pembunuh,
namun dia memberi nama senjata pembunuh itu
sebagai kelembutan.
Dengan pandangan tajam Nyoo Cing mengawasi
"kelembutan", sementara Ti Cing-ling mengawasi Nyoo
Cing tanpa berkedip.
"Kini aku sudah mempersiapkan golokku, bagaimana
denganmu?" jengek Ti Cing-ling dengan senyum tidak
senyum, "Mana kait perpisahanmu?"
Secara tiba-tiba Nyoo Cing merasa tidak mampu
berbicara lagi, sebab dia sadar selama belasan tahun
terakhir, genggamannya sudah bukan memegang kait
perpisahan, bukan juga golok atau pedang melainkan
cawan, cawan arak.
Dengan satu getaran ringan, pedang "kelembutan"
kembali lenyap dari genggaman Ti Cing-ling.
"Dua puluh tahun berselang kau sudah kalah, bukan
kalah oleh ilmu silatku," Nyoo Cing menatap tajam
wajah Ti Cing-ling, "Kau kalah karena kesombonganmu,
yang tidak pernah memandang sebelah matapun
kepada orang lain."
Ti Cing-ling memang seorang jago yang kelewat
sombong, tapi dia mempunyai alasan yang nyata untuk
bersikap sombong: Kepandaian silatnya memang tidak
nanti bisa ditandingi Nyoo Cing, diapun tidak
menggunakan ilmu pedang yang luar biasa untuk
menghadapi lawannya, senjata yang dipergunakan
hanya sebilah golok yang amat pendek dan amat tipis.
"Kelembutan" tidak jauh berbeda dengan senjata
Kait perpisahan milik Nyoo Cing, sama-sama hasil
tempaan seorang empu yang sama, karena salah
menempa sebilah pedang maka muncullah senjata kait
perpisahan dan golok kelembutan.
Kepandaian Ti Cing-ling dalam memakai golok
kelembutan telah mencapai tingkat yang luar biasa,
setiap serangan dapat dia lancarkan sesuai dengan
kehendak hatinya, seakan-akan gerakan golok itu sudah
menyatu dengan jalan pikirannya, kemana dia berpikir,
kesanalah golok itu menyambar, jika dia ingin menusuk
ulu hati seseorang, tidak nanti golok itu akan melenceng
biar setengah inci pun.
Tampak cahaya golok berkelebat lewat, ujung golok
segera menembusi jalan darah ci-ti-hiat di tubuh Nyoo
Cing, karena memang tempat itulah yang ingin Ti Cingling
tusuk dengan golok kelembutannya.
Dia tidak ingin Nyoo Cing mati kelewat cepat, dia pun
tahu bila jalan darah Ci-ti-hiat seseorang sampai
tertusuk, maka separuh badan korbannya akan
kesemutan, kaku dan akhirnya kehilangan rasa, dan dia
tidak akan mampu mengerahkan tenaganya lagi.
Sebetulnya rencana dan jalan pemikirannya sudah
tepat dan bagus, sayang dia tidak menyangka kalau
Nyoo Cing bukan saja tidak menghindar, sebaliknya
justru malah menerjang ke depan dengan penuh
kekuatan. Tidak ampun golok kelembutan langsung menusuk
diatas jalan darah ci-ti-hiat hingga tembus ke dalam
tulang belulangnya, menanti dia ingin mencabut
goloknya, cahaya kilat yang memancar keluar dari
senjata kait perpisahan telah menyambar tiba diatas
tenggorokannya.
... Siapa sombong dia pasti kalah, perkataan ini
memang sangat tepat, sudah sewajarnya bila diingat
oleh setiap manusia.
"Siapa sombong dia pasti kalah..." Ti Cing-ling berbisik
hambar, "Aku telah mengorbankan waktu hampir dua
puluh tahun lamanya untuk menebus hal ini."
Cahaya rembulan memancarkan sinarnya
menembusi hutan belukar, menyinari jalan setapak yang
tidak rata, menyinari pula wajah Nyoo Cing.
Tiba tiba satu perubahan mimik muka yang sangat
aneh melintas diatas wajahnya.
Biarpun Ti Cing-ling hanya berdiri bermalas-malasan
disitu, namun dia seperti mendatangkan tenaga
tekanan seberat ribuan kati diatas dadanya.
Seandainya saat itu ada orang berdiri di belakang
Nyoo Cing, dia pasti akan melihat kalau pakaiannya
sudah basah kuyup oleh peluh yang jatuh bercucuran.
Sekalipun Ti Cing-ling belum menggerakkan senjata
goloknya, bahkan dia masih berdiri agak jauh
dihadapannya, namun secara lamat-lamat Nyoo Cing
dapat merasakan hawa golok yang luar biasa tajamnya.
... Dia merasa seluruh tubuh Ti Cing-ling seolah
merupakah sebilah golok yang sedang diasah, dari
seluruh tubuhnya memancarkan hawa pembunuhan
yang mengerikan.
Mimpi pun Nyoo Cing tidak menyangka, setelah
berpisah belasan tahun bukan saja Ti Cing-ling
bertambah hebat bahkan berubah lebih tajam dan
menggidikkan hati.
Angin malam berhembus lewat, mengibarkan ujung
baju Ti Cing-ling, biarpun kakinya sama sekali belum
bergeser, namun Nyoo Cing merasa seakan lawannya
sudah mulai bergerak.
Dia tahu Ti Cing-ling telah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya, mengubah tenaga dalam menjadi
hawa setajam golok, membuat orang lain hanya bisa
merasakan tekanan hawa goloknya yang mengerikan
dan melupakan kehadiran dari wujud tubuhnya.
Tubuhnya seolah-olah telah menyatu dengan hawa
golok, hawa tekanan maha dahsyat yang menyelimuti
seluruh jagad, itulah sebabnya walaupun tidak bergerak,
orang merasa dia sedang bergerak, ketika dia mulai
bergerak, orang mengira dia sama sekali tidak bergerak.
Angin malam meski berhembus amat kencang,
namun seluruh jagad seolah-olah telah membeku.
Nyoo Cing merasakan butiran keringat jatuh
bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, dia merasa
seluruh jagad telah berhenti, sama sekali tidak bergerak,
bahkan waktu pun seperti ikut berhenti berputar.
Dia seakan merasa ada sebuah tangan tanpa wujud
yang sedang mencekik tengkuknya, membuat dia
tidak mampu bernapas.
Tidak seorang pun bisa membayangkan betapa
tersiksa dan menderitanya Nyoo Cing, tapi pada saat
itulah, tiba-tiba dia menghem-buskan napas lega
kemudian menatap wajah Ti Cing-ling dengan
pandangan tercengang.
Pada detik yang terakhir, disaat mati hidupnya segera
akan ditentukan, tiba-tiba hawa golok yang mengerikan
itu hilang lenyap tidak berbekas.
Sudah jelas Ti Cing-ling telah bersiap-siap menghabisi
nyawa Nyoo Cing, bahkan dia bisa mencabut nyawa
musuhnya secara gampang, mengapa secara tiba-tiba
dia lepaskan kesempatan baik itu dengan begitu saja"
Dengan perasaan tidak habis mengerti Nyoo Cing
mengawasi wajah Ti Cing-ling.
"Aku masih ingat, bulan sepuluh tanggal tujuh
merupakan hari pertunanganmu dengan Lu Siok-bun"


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujar Ti Cing-ling, "Juga merupakan kali pertama Lu Siokbun
memasuki rumah kayu kecil ini."
Nyoo Cing terbungkam, hatinya serasa diiris-iris
dengan beribu bilah pisau tajam.
"Hari ini adalah bulan sembilan tanggal dua puluh
enam, lewat berapa hari lagi merupakan ulang tahun
pertunanganmu dengan Lu Siok-bun, "suara Ti Cing-ling
seolah datang dari tempat yang jauh sekali, "Apakah
kau ingin bertemu dengannya?"
Rindu memang merupakan siksaan batin yang amat
berat bagi umat manusia.
Bagaimana pula rasanya bila seseorang berusaha
mengendalikan rasa rindu yang mencekam hatinya"
Itu berarti kau harus memendam rasa cinta mu
kedalam hatimu yang terdalam, harus dipendam dibalik
tulang belulangmu.
Jika "Rindu" adalah sebilah golok yang mengiris hati
maka "tidak berani rindu" merupakan sebilah golok
yang sedang mengiris tulang belulangmu.
"Dia" mengiris dirimu dari dasar tulang belulang yang
paling dalam, sekali demi sekali menyayat terus tiada
hentinya, ketika kau gunakan arak untuk membuatnya
membeku maka hanya penderitaan yang semakin
menghimpit perasaan hatimu.
Nyoo Cing sesungguhnya bukan seseorang yang
banyak pikiran dan gampang murung, dia selalu
berpandangan terbuka terhadap masalah apa pun,
mau kumpul, mau pisah, baginya bukan siksaan yang
berat, sebab dia bisa menerima semua kenyataan.
Baginya, kehidupan manusia di dunia ini hanya
berlangsung sesaat, seandainya dapat berkumpul,
berapa lama kau bisa berkumpul" Seandainya harus
berpisah, berapa lama perpisahan itu harus
berlangsung" Cepat atau lambat semuanya akan beres
sendiri, buat apa dia mesti memandang serius hal seperti
itu" Sekarang dia sadar bahwa pandangannya dulu
adalah keliru besar.
Hubungan antar manusia ibarat bintang meteor yang
melintas diangkasa, kau hanya akan menjumpainya
dalam waktu sekejap, karena semuanya segera akan
berlalu. Nyoo Cing dapat menerima pandangan seperti ini,
tapi dia pun bukan manusia yang tidak berperasaan.
Walaupun Lu Siok-bun sudah tidak berada disana,
namun gerak-geriknya, luapan perasaan hatinya,
keharuman tubuhnya seakan tetap tertinggal di atas
ranjang, tersisa ditepi meja, tertinggal disetiap sudut
ruangan rumah kayu itu.
Perasaan itu pun masih tertinggal di hati Nyoo Cing,
dalam benaknya, dalam pandangan nya, dalam
pikirannya, dia selalu dan selamanya tetap tertinggal
pada dirinya. Sekalipun dia tahu tidak mungkin istrinya akan balik,
namun dia seperti masih mendengar dengus napasnya,
tetap bisa merasakan kehadirannya.
Itulah sebabnya kenangan dalam kesepian telah dia
ubah menjadi kenikmatan dalam kehangatan.
"Kau ingin bertemu dengannya?"
Nyoo Cing menatap tajam wajah Ti Cing-ling, bukan
curiga akan keseriusan perkataan itu, tapi dia sedang
menganalisa apa maksud dan tujuan perkataannya.
Ti Cing-ling adalah anggota perkumpulan naga hijau,
dia pasti tahu kasus penculikan ini.
Lu Siok-bun jelas diculik oleh orang-orang
perkumpulan naga hijau, sudah pasti Ti Cing-ling
mengetahui kabar beritanya, tapi pada saat ini
mengapa dia mengajukan pertanyaan seperti itu"
"Tadi, seharusnya kau bisa melihat, kalau aku ingin
membunuhmu maka hal itu bisa kulakukan segampang
memotong tahu," sekulum senyuman licik menghiasi
ujung bibir Ti Cing-ling, "Tapi sebelum kulakukan hal
tersebut, ada satu hal perlu kau ketahui, kini kau sudah
menjadi seorang ayah."
Perkataan tersebut ibarat sebuah martil yang
menghantam batok kepala Nyoo Cing keras-keras, sorot
mata kegembiraan bercam-pur perasaan ngeri segera
terpancar keluar dari balik matanya.
Dia gembira karena Lu Siok-bun terbukti belum mati,
bahkan melahirkan seorang anak untuknya.
Dia merasa ngeri karena secara lamat lamat sudah
dapat menebak maksud dan tujuan Ti Cing-ling.
Tiba-tiba muncul segulung kabut tebal dari balik
hutan, kabut itu perlahan-lahan melayang datang dan
menyelimuti sekeliling tempat itu.
Dibalik tebalnya kabut, dia melihat ada sesosok
bayangan manusia sedang berkelebat.
Senyuman licik yang menghiasi ujung bibir Ti Cing-ling
nampak semakin menebal, senyuman itu terasa semakin
menggidikkan hati.
Tapi Nyoo Cing tidak ambil perduli, dia masih
mengawasi bayangan manusia dibalik kabut tebal itu
tanpa berkedip.
Kabut tebal telah menyelimuti angkasa, membungkus
seluruh tubuh Nyoo Cing, menyelimuti pula seluruh hutan
belukar itu. Bayangan manusia yang muncul dari balik kabut
kelihatan makin lama semakin mendekat sebelum
akhirnya muncul dihadapannya.
Ternyata seorang gadis muda!
Dia memiliki pandangan mata yang lembut dan
bening bagaikan sinar matahari dimusim semi.
Rambutnya halus mengkilap, pinggangnya ramping
menawan, tidak ubahnya seperti ranting pohon liu yang
berhembus angin sepoi.
Perempuan itu bukan jenis perempuan yang bisa
mendatangkan rangsangan napsu ketika dipandang
kaum lelaki, sebab pria mana pun yang pernah bertemu
dengannya, dia seperti akan melupakan segalanya,
melupakan semua persoalan kecuali raut mukanya.
Dan sekarang, perempuan itu sedang berjalan keluar
dari balik kabut. Berjalan dengan langkah yang amat
lambat. Meskipun perempuan itu melangkah dengan santai,
namun gerak-geriknya menampilkan keindahan dan
keanggunan yang menawan.
Pakaian yang dia kenakan bukan pakaian mewah,
dia tidak mengenakan perhiasan apa pun, sebab
benda-benda mewah semacam itu sama sekali tidak
berguna baginya, sama sekali tidak akan
mempengaruhi keanggunannya.
Betapa pun mahalnya perhiasan dan pakaian, tidak
akan menutupi kecerahan dari penampilan tubuhnya.
Betapapun tebalnya dandanan yang dia kenakan
juga tidak bakal menambah kecantikan wajahnya.
Kini, dia muncul dihadapan Nyoo Cing.
Begitu bertemu dengan perempuan itu, nyaris Nyoo
Cing menjerit keras...betapa miripnya wajah perempuan
ini dengan wajah Lu Siok-bun.
Terutama ujung matanya yang memancarkan
kekerasan hati, satu penampilan yang mirip sekali
dengan istrinya.
Ditengah remang-remangnya cahaya bintang yang
menembusi ketebalan kabut, gadis itu seakan sedang
mandi dibawah cahaya bintang.
Tangannya begitu lembut dan halus, wajahnya putih
bersih dan mulus bagaikan sinar bintang.
Pakaian yang dikenakan berwarna putih, amat
ringan, amat tipis, ketika terhembus angin, ujung baju
yang tipis itu berkibar tiada hentinya.
Kecantikan wajah gadis ini tidak terlukiskan dengan
kata-kata, semacam kecantikan yang mendekati
kesempurnaan. Kecantikan yang mendatangkan rasa mabuk bagi
yang memandang, kecantikan yang gampang
membuat perasaan manusia terkoyak koyak.
Dengan pandangan mata yang sayu gadis itu balas
mengawasi wajah Nyoo Cing, dari balik pandangan
matanya itu seakan terlintas perasaan sedih yang
mendalam. Nyoo Cing merasakan hatinya remuk, perasaan
hatinya seakan tersayat-sayat, dia ingin sekali menerjang
ke muka dan memeluknya erat erat, tapi dia tidak
melakukannya karena (diantara mereka berdua seolah
sudah dipisahkan oleh sebuah sekat, sebuah dinding
pemisah yang amat tinggi dan tebal.
Dinding pemisah itu tidak lain adalah kehadiran Ti
Cing-ling. "Dia dari marga Hoa, bernama U-gi," Ti Cing-ling
menerangkan. Dari marga Hoa" benarkah dia putriku" Tapi,
mengapa wajahnya begitu mirip dengan Lu Siok-bun"
Dengan pandangan ragu dan penuh tanda tanya Nyoo
Cing melihat Ti Cing-ling.
"Sebetulnya dia dari marga Nyoo, tapi lantaran
ibunya kuatir ditertawakan orang karena punya anak
tidak punya bapak, maka sebelum kelahirannya, dia
telah menikah dengan seorang lelaki yang bernama
Hoa Ciok," kembali Ti Cing-ling menerangkan.
Sorot mata Hoa U-gi memancarkan sinar kepedihan
yang semakin tebal, setebal kabut yang sedang
menyelimuti tempat tersebut.
Nyoo Cing tidak berani menatapnya, dia takut
pertahanan batinnya runtuh. Dia terlebih tidak berani
menanyakan tentang kabar berita ibunya, semua
pertanyaan, semua perasaan harus disimpan dalam
dalam didasar hatinya.
"Dua puluh tahun berselang, sebenarnya kau punya
kesempatan untuk membunuhku, tapi hal tersebut tidak
kau lakukan," kembali Ti Cing-ling berkata sambil
menatap tajam wajah lawannya, "Maka hari ini, akupun
memberi satu kesempatan untukmu, bawalah putrimu
dan pergilah dari sini, setahun kemudian bawa senjata
kait perpisahanmu, tunggulah aku ditempat ini."
Begitu selesai bicara, bayangan tubuh Ti Cing-ling
sudah lenyap dibalik tebalnya kabut.
Kini dalam hutan hanya tinggal Nyoo Cing dan U-gi
berdua. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi gadis
ini, dia tidak tahu apa yang harus diucapkan sekarang"
Menanti dia berpaling kembali, menatap wajah gadis itu
sekali lagi, semua kenangan masa lalu yang sudah lama
hilang dari pikirannya, kini muncul kembali dihadapan
mata. Oh Thian! Betapa miripnya wajah nona ini dengan
dirinya. Sekali lagi Nyoo Cing merasakan hatinya hancur
lebur. Ulah CongHoa. Senja telah menjelang, hanya sebuah cahaya lentera
menerangi sebuah ruangan.
Api yang membara dibawah tungku tidak terlalu
besar, Lo-kaysian seorang kakek tua sedang
menggunakan sebuah garpu besi membakar ikan
diatasnya, sambil memanggang ikan, tiada hentinya dia
semir tubuh ikan dengan bumbu minyak.
Agaknya seluruh perhatian orang tua itu sedang
tertuju pada bakaran ikan, dia seolah tidak
memperdulikan suasana disekelilingnya.
Sewaktu Cong Hoa masuk ke dalam, lo-kaysian juga
tidak tahu. Setiap kali sedang memanggang ikan, biar langit
runtuh pun dia tidak pernah ambil perduli, sekalipun
terjadi peristiwa besar, urusan baru bisa dibicarakan
setelah dia selesai membakar ikannya.
Bau harum makin lama semakin menyengat hidung,
akhirnya Cong Hoa tidak kuasa menahan diri, dia
menghela napas panjang.
"Kelihatannya panggang ikanmu sudah matang?"
Lo Kaysian tidak menggubris, dia tetap membungkam
diri. "Kalau dipanggang lebih lama apa tidak hangus?"
kembali Cong Hoa bertanya.
BAB 4. "Aaai! Kenapa sih kau mengganggu terus?" keluh Lo
Kaysian sambil menghela napas, "Setelah perhatianku
terpecah, rasa ikan ini tentu kurang sedap. Biar aku
berikan untukmu saja!"
Sambil menyodorkan garpu besi berisi ikan panggang
itu kembali Lo Kaysian bergumam, "Orang yang tidak
sabaran, mana mungkin bisa menikmati hidangan
lezat?" "Paling tidak, bagi orang yang tidak sabaran masih
bisa menikmati hidangan gratis," sela Cong Hoa sambil
tertawa tergelak, tanpa sungkan dia menyambar pula
dua guci arak. "Kau memang seorang teman yang bermuka tebal..."
sekali lagi Lo Kaysian menghela napas, dia mengambil
seekor ikan dan mulai memanggangnya kembali,
"Bertemu manusia macammu, entah kesalahan siapa?"
Cong Hoa benar-benar tidak berlaku sungkan, dia
langsung duduk bersila dan mulai melahap ikan
panggang itu. "Caramu makan pun jauh lebih cepat dari kecepatan
orang biasa, berhadap manusia macam mu, aku benar
benar mati kutu, orang lain baru menghabiskan seekor,
kau sudah menghabiskan sepuluh ekor."
Kali ini Cong Hoa yang tidak ambil perduli, dia giat
melahap ikan bakar itu, ketika selesai melahap, sorot
matanya kembali mengincar ikan yang sedang dibakar
Lo Kaysian.

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah matang belum?" Cong Hoa menelan air
liurnya. "Dimeja sebelah sana masih ada sedikit arak dan
hidangan, Hoa toa-siocia, kenapa kau tidak mengisi
perutmu dengan hidangan tersebut."
"Mana ada hidangan lain selezat ikan
panggangmu?" Cong Hoa pejamkan matanya seraya
menggeleng, "Telapak beruang pernah kucicipi, ikan
paohi pernah kusantap, tapi bila dibandingkan ikan hasil
bakaran Lo Kaysian, aku rela melepaskan telapak
beruang dan ikan paohi."
"Ooh, tidak kusangka pengetahuanmu soal makan
hebat juga!"
Bulan sembilan tanggal dua puluh enam, lewat
tengah hari. Udara hari ini amat cerah, matahari memancarkan
sinarnya menerangi empat penjuru, meski tidak sampai
menyinari ruang sempit yang lembab lagi remang itu,
paling tidak masih ada sedikit cahaya yang menerobos
ke dalam. Cong Hoa mengisi dua cawan arak, satu diberikan
kepada Lo Kaysian. Sementara kakek tua itu sedang
mengawasi si nona dengan mata melotot besar.
"Kau tahu sekarang sudah jam berapa?"
"Sudah tengah hari!"
"Tengah hari sudah mulai minum arak?"
"Memangnya minum arak harus melihat waktu?"
"Tengah hari tidak boleh minum, malam hari baru
boleh, hari terang tidak boleh, harus menunggu sampai
hujan turun, Je-it dan Cap-ngo juga tidak boleh minum,
harus menunggu sampai ji (dua) Si (empat) lak (enam)"
sambil mengoceh, Lo Kaysian mengangkat cawannya
dan menegak habis isinya, "Sekarang arak sudah
kuhabiskan Hoa toa siocia!"
"Tidak bisa, kau mesti meneguk tiga cawan."
"Bagaimana kalau dua cawan saja?" Cong Hoa
menggeleng. "Kalau begitu dua cawan setengah?"
Cong Hoa tetap menggeleng, dia tunjukkan ketiga jari
tangannya. "Aaai...kelihatannya pada penghidupanku yang lalu
aku sudah banyak hutang kepadamu...." keluh Lo
Kaysian sambil mengisi kembali araknya.
"Kau memang tidak tahu diri!" omel Cong Hoa,
"Padahal orang yang ingin minum arak denganku
sampai berbaris dari sini hingga luar pintu gerbang kota,
aku tulus mengundangmu minum, kau masih mengomel
melulu..."
"Baik, baik...lain kali bisa kah kau tidak usah
mengundangku minum?"
"Tidak bisa, aku harus mengundangmu!" Cong Hoa
kembali duduk, mengawasi hidangan diatas meja lalu
gelengkan kepalanya.
"Kau tidak punya bini, tidak punya anak, tidak punya
saudara, uang yang kau peroleh selama ini, untuk apa
kalau tidak untuk dinikmati?"
"Justru lantaran tidak punya keluarga maka aku harus
tinggalkan sedikit modal, kalau tidak, setelah mati nanti
siapa yang sudi mengurusi diriku?"
"Benar juga perkataanmu," Cong Hoa mengangguk
sambil menyumpit sepotong sayur, "Tapi, bila kau
benar-benar sudah mampus, siapa yang akan
membantu menguburkan jenasahmu?"
"Aaah, pengetahuanmu benar-benar amat cetek,
masa kau tidak tahu kalau ada semacam kuil yang bisa
disewa?" "Aku tahu, orang-orang yang sudah tua, yang tidak
ingin hidup sendirian di rumah, bisa mengeluarkan sedikit
uang untuk menyewa sebuah kamar didalam kuil,
kemudian meminta penghuni kuil merawat mereka."
"Betul tahukah kau selain tempat untuk menumpang
hidup, ada lagi semacam kuil yang disebut Ki-poan?"
"Ki-poan?" Cong Hoa mengulang, dia segera
menggeleng, "Aku kurang tahu."
"Hahaha...rupanya ada juga persoalan yang tidak
kau ketahui!" Lo Kaysian tertawa senang, "Kau tahu
bukan, banyak anak yang tidak berbakti di dunia ini,
seringkali mereka hidup berfoya-foya hingga
menghabiskan semua harta orang tuanya, maka dari itu
untuk menghindari setelah mati terlantar, orang bisa
menitipkan dulu uangnya di kuil, agar setelah dia mati
nanti, pihak kuil yang akan mengurusi segala urusan
terakhir orang tersebut."
"Selain yang berkeluarga, ternyata ada juga jenis
manusia lain yaitu orang macam kau, hidup sebatang
kara di dunia ini," sela Cong Hoa.
"Benar, sistim seperti inilah yang dinamakan Kipoan(
titip untuk dikerjakan), mengerti?"
Cong Hoa manggut-manggut, mendadak tanyanya
lagi, "Kalau ada orang hukuman yang mati, siapa yang
mengurusi layonnya?"
"Tentu saja keluarga dari terhukum."
"Kalau dia tidak punya keluarga?"
"Biasanya akan dilakukan pihak pemerintah, tentu
saja penguburan secara sederhana dan ala kadarnya."
"Bagi komandan sipir penjara macammu, masa
setelah meninggal, pihak pemerintah tidak
membantumu?"
"Jangan bermimpi!" seru Lo Kaysian sambil
mempertinggi suaranya, "Tapi aku dengar Lam-ong-ya
sangat menyayangi anak buahnya."
"Bagaimana dengan Nyoo Cing?"
"Dia amat menyayangi anak buahnya, selalu
bijaksana dan bijaksana, siapa salah dihukum, siapa
berjasa diberi hadiah."
"Konon dimasa lalu seorang diri dia berhasil
membongkar rencana keji yang dilakukan bangsawan
nomor wahid Ti Cing-ling?" tanya Cong Hoa.
"Kalau menyinggung soal sepak terjangnya,
diceritakan selama tiga hari tiga malam pun tidak bakal
habis," ucap Lo Kaysian, "Ketika itu Ong-ya pun tidak
lebih hanya seorang komandan opas kota keresidenan
itu, konon dia tidak kenal susah, tidak kenal menderita,
dengan gagah berani dia lawan perbuatan semenamena
bangsawan kaya itu..."
Mengenai kegagahan dan kepahlawanan Nyoo
Cing, sudah banyak kali Cong Hoa mendengar orang
bercerita, tapi setiap kali mendengar kisah itu, dia
selalu merasakan darah ditubuhnya bergolak. Dalam
pandangannya, baik dia seorang pria atau wanita,
patut meniru teladan dari Nyoo Cing, harus belajar
memiliki keberanian, ketulusan dan kejujuran seperti
dirinya. -------Dalam beberapa hal, sepak terjang yang
dilakukan Cong Hoa memang mirip sekali dengan
perbuatan Nyoo Cing.
"Manusia busuk macam Ti Cing-ling, sudah
sepantasnya dihukum pacung dari dulu, kenapa mesti
dikurung dalam penjara?" tanya Cong Hoa.
"Itu semua merupakan keputusan atasan, kami orang
bawahan tahu apa?"
Cong Hoa mendongakkan kepalanya mengawasi
sekejap ruang penjara diujung lorong sebelah depan,
lalu katanya lagi, "Kalau aku yang mesti dikurung selama
dua puluh tahun ditempat seperti ini, kalau bukan edan,
aku pasti sudah mampus, mati konyol!"
"Aaai, siapa sih manusia di dunia ini yang rela masuk
ke tempat semacam ini?" Lo Kaysian menghela napas
panjang, "Asal tidak melakukan tindak pidana, sekalipun
kau ingin masukpun belum tentu akan menemukan
pintunya."
"Aku dengar Ti Cing-ling pada dua puluh tahun
berselang adalah seorang pemuda yang tampan,
perlente dan romantis, entah bagaimana keadaannya
setelah melewati "tujuh" tahun siksaan disini?" gumam
Cong Hoa. "Kalau soal itu, aku kurang tahu."
"Aneh, bukankah dia dikurung dalam sel nomor satu"
Bukankah setiap hari kau mengontrol penjara dan
bertemu dengannya?"
"Siapa bilang dia dikurung disini?" Lo Kaysian
membelalakkan matanya, "Kalau dia disekap disini,
tidak nanti orang itu bisa kabur dari penjara."
"Jadi dia tidak dikurung disini?"
"Benar!"
"Dan dia berhasil kabur dari penjara?"
"Benar!" Lo Kaysian balik bertanya, "Masa berita
seheboh itupun kau tidak pernah dengar?"
Cong Hoa mulai meraba ujung hidungnya. ...Setiap
kali menghadapi kesulitan, dia punya kebiasaan suka
meraba ujung hidungnya sendiri.
"Dulu, dia dikurung di mana" Sejak kapan kabur dari
penjara?" "Dia disekap dalam sebuah gua granit dibukit Bu-hoasan,
sebelah barat kota. Kabur pada tiga belas tahun
berselang, dimusim gugur."
"Bukit Bu-hoa-san" Tiga belas tahun berselang?"
Cong Hoa termenung sejenak, "Lalu siapa yang dikurung
dalam ruang penjara nomor satu itu?"
"Cong Hui-miat!"
"Maksudmu Hui-thian-miat-tee, thian-he-tok-cun
(Penghancur langit pemusnah bumi, jago tunggal di
kolong langit) Cong Hui-miat?"
"Benar!"
Cong Hoa mengangkat cawan araknya dan pelanpelan
menegak habis isinya.
Ti Cing-ling tidak pernah dikurung dalam penjara ini
bahkan sudah kabur dari penjara sejak tiga belas tahun
berselang, apakah Tu Bu-heng dan Un-hwee
mengetahui kejadian ini"
Mustahil kalau mereka tidak tahu.
Tapi seandainya mereka sudah tahu, kenapa masih
memerintahkan Cong Hoa untuk datang
menyelamatkan Ti Cing-ling"
Pesanggrahan salju penuh diliputi bunga salju, di situ
pun ada bunga, aneka bunga yang mekar dengan
indahnya. Saat ini baru musim gugur, saat bunga seruni mekar
dengan indahnya.
Keng Siau-tiap dengan mengenakan baju yang
dibawanya dari negeri Hu-siang (Jepang) sedang
merawat tanaman bunganya dalam pesanggrahan
salju. Dia sangat menguasahi ilmu pertanaman, dia tahu
bunga itu jenis apa, kapan harus dirabuk, kapan harus
disirami, kapan harus dipotong dan kapan harus dirawat,
kemampuannya tidak ada yang mampu
menandinginya. Sejak kecil dia memang mendapat didikan yang
ketat dari ayahnya, bahkan dia amat menguasahi
kepandaian tentang "Hoa-liu."
"Hoa-liu" merupakan sejenis ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan tanaman bunga dan berasal dari
negeri Hu-siang, ilmu ini terbagi dalam dua kelompok
besar, pertama tentang ilmu menanam dan kedua
tentang ikebana yaitu ilmu merangkai bunga.
Oleh karena Keng Siau-tiap adalah seorang yang
sangat ahli dalam hal tanam-menanam, ilmu merangkai
bunga yang dimiliki juga nomor satu, maka Nyoo Cing
tidak segan mengundang nya datang dari ngeri Husiang
khusus untuk merawat pesanggrahan soat-lu nya.
Sinar senja di musim gugur meski cerah namun terasa
lembut, sinar yang lembut menyinari diatas permukaan
salju, menyinari juga diatas aneka bunga yang tumbuh
dengan indahnya.
Saat senja merupakan saat untuk menyiram bunga
dan memotong ranting, tidak heran kalau saat ini
merupakan saat yang paling sibuk bagi Keng Siau-tiap.
Biasanya, saat inilah raja muda Lam-kun-ong Nyoo
Cing datang ke kebun untuk menikmati keindahan
aneka bunga. "Bunga mawar itu ibarat kecantikan seorang wanita,
bunga teratai melambangkan kesucian, bunga bwee
melambangkan keteguhan dan kesabaran," Nyoo Cing
berkata kepada Siau-tiap, "Tahukah kau, kalau bunga
seruni itu melambangkan apa?"
"Kesepian," jawab Siau-tiap tanpa berpaling.
"Kesepian?" seru Nyoo Cing agak terperanjat,
"Kenapa?"
"Bunga seruni itu berbeda dari jenis bunga lainnya
yang memiliki banyak kuntum bunga dalam satu ranting,
bunga seruni hanya memiliki sekuntum bunga di setiap
batangnya."
Siau-tiap memandang sekejap bunga seruni yang
sedang bergoyang terhembus angin, kemudian
terusnya, "Tangkai bunga seruni ramping lagi panjang,
bunga tumbuh dipuncak tangkainya, coba lihat sewaktu
terhembus angin, mirip sekali dengan seorang manusia
yang dengan susah payah mendaki sebuah puncak
bukit, tapi setibanya diatas puncak, dia merasa bahwa
dirinya hanya seorang diri, saat itulah dia baru
menyadari bahwa dirinya telah mencapai kesuksesan
dari sebuah kesepian."
"Kesuksesan dari sebuah kesepian?" gumam Nyoo
Cing. Apakah kesepian itu" Hidup seorang diri" Tidak ada
yang menemani minum arak dan berbincang-bincang"
Inikah yang dinamakan kesepian"
Tiada orang yang bisa memahami perasaan hatimu,
meski punya teman banyak tapi tidak seorang pun yang
bisa memahami dirimu, tidak bisa diajak bertukar pikiran,


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan isi hati, apakah inipun yang dinamakan
kesepian" Kalau kau mengatakan benar, maka pendapatmu
keliru besar, keadaan seperti itu bukan bernama
kesepian, apa yang kau rasakan hanya merupakan
perasaan yang kesepian.
Kesepian yang sebenarnya adalah sebuah perasaan
hamba yang sudah merasuk ke tulang sumsum,
membuat kau merasakan kehampaan yang luar biasa.
Walaupun kau sedang bergembira, meski kau sedang
tertawa, namun perasaanmu tetap hampa, kau akan
tetap merasa sedih, murung dan masgul dihati kecilmu.
Nyoo Cing bukan Cuma tahu, diapun sangat
memahami, karena perasaan hampa seperti inilah yang
setahap demi setahap menggerogoti tulang
belulangnya. "Orang bilang, menjumpai kegembiraan akan
menyegarkan semangat, tapi aku lihat perkataan ini
tidak sesuai untukmu," ujar Siau-tiap sambil menatap
wajah Nyoo Cing.
"Oya" Kenapa?" Nyoo Cing balik bertanya sambil
tertawa. "Tidak ada angin tidak ada hujan, tahu-tahu muncul
seorang anak perempuan yang bukan saja berwajah
cantik, tubuhnya pun indah dan perangainya lembut,
siapa sih yang tidak menginginkan perempuan seperti
ini?" "Benarkah begitu?"
U-gi memang seorang gadis yang sempurna, belum
sehari tiba di pesanggrahan itu, dia sudah dapat
bergaul hangat dengan semua orang.
Dia ramah, halus dalam bertutur kata bukan karena
dirinya adalah putri dari seorang raja muda, dia tidak
pernah berlagak sok.
Gadis semacam ini memang merupakan harapan
dari setiap orang, tapi bagaimana dengan Nyoo Cing"
Ketika secara tiba-tiba dan diluar dugaan dia harus
menerima seorang anak perempuan, untuk berapa
waktu Nyoo Cing jadi kebingungan sendiri, dia tidak
tahu harus bersikap bagaimana untuk menghadapinya.
Seandainya U-gi masih seorang bocah, mungkin dia
bisa menggunakan waktu untuk membangun hubungan
batin antara ayah dan anak.
Seandainya U-gi adalah seorang anak lelaki, hal ini
lebih mudah lagi untuk menjalin hubungan, asal arak
dan sayur dihidangkan, tiga empat cawan arak
kemudian hubungan mereka akan mencair dan dapat
berkembang makin akrab.
Tapi kenyataannya sekarang, U-gi adalah seorang
gadis muda yang cantik jelita, apalagi gadis itu sudah
memiliki jalan pikiran sendiri, punya kemampuan untuk
mengambil keputusan.
Terbayang kembali sewaktu pertama kali bertemu
didepan rumah kayu kecil, sorot mata kesedihan dan
kemurungan yang terpancar dari balik mata gadis itu,
hingga kini masih terkesan dalam benak Nyoo Cing.
Apa yang dia sedihkan" Apa yang dia murungkan"
Apakah dia sedih dan murung karena dirinya tidak
pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorang
ayah" Dibalik kelembutan U-gi terpancar keteguhan hatinya,
dia tidak pernah sembarangan mengutarakan perasaan
hatinya, dia telah mewarisi watak dari Lu Siok-bun,
ibunya. Sebenarnya Nyoo Cing ingin sekali bertanya tentang
kondisi Lu Siok-bun, dia ingin tahu istrinya kini berada
dimana" Dia pun ingin tahu apa yang telah terjadi selama dua
puluh tahun perpisahan, dia ingin tahu setelah Lu Siokbun
kawin lagi dengan Hoa Coat, apakah dia hidup
dengan gembira dan bahagia"
Terlalu banyak persoalan yang sebenarnya ingin dia
tanyakan, namun setiap kali terbentur dengan sorot
matanya yang murung dan sedih, semua perkataan
seolah tertelan kembali ke perut.
Inilah sebab utama mengapa dia tidak bersemangat
walaupun sedang mengalami satu kejadian yang
menggembirakan.
Sinar matahari senja masih memancarkan sisa
cahayanya dari balik bukit, namun angin telah berhenti
berhembus. Aneka bunga dengan aneka warna tumbuh
memenuhi seluruh tanah kebun, sejauh mata
memandang aneka bunga itu mirip sekali dengan
segerombol ikan yang sedang berenang ditengah
samudra luas, penuh dengan tenaga kehidupan, penuh
dengan keindahan dari sebuah kehidupan.
Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi aneka
bunga itu, sementara minum arak, menikmati bunga
adalah sebuah acara yang tidak boleh ketinggalan.
Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah botol kecil,
membuka penutupnya dan mene-guk isinya, kemudian
dia bergumam, "Arak wangi, bunga indah, wanita
cantik, apa lagi yang diharapkan seorang lelaki?"
Dia alihkan sorot matanya ke wajah Siau-tiap, lalu
katanya lagi, "Udara sangat dingin, bagaimana kalau
kau juga meneguk secawan arak untuk
menghangatkan tubuh?"
"Terima kasih atas pemberianmu."
Siau-tiap menerima botol itu dan meneguk satu
tegukan, Nyoo Cing memang amat mengagumi type
manusia semacam ini.
Ketika dia sedang menerima balik botol arak itu dari
tangan Siau-tiap, mendadak Nyoo Cing mendengar
sebuah suara yang aneh.
Semacam suara hancurnya lapisan salju yang tebal.
Menyusul kemudian lamat-lamat terlihat ada dua
sosok bayangan manusia berjumpalitan ditengah udara
kemudian langsung meluncur ke tubuh Nyoo Cing.
Kedua sosok bayangan manusia itu tidak membawa
senjata, namun Nyoo Cing dapat merasakan tekanan
hawa golok yang sangat menggidikkan, hawa golok
yang semakin menghimpit tubuhnya sejalan dengan
kemunculan bayangan itu.
Tatkala bayangan manusia itu semakin mendekat,
tiba tiba Nyoo Cing menyaksikan adalahnya sekilas
cahaya tajam dari balik tangan orang-orang itu.
... Kalau tidak membawa senjata, darimana
munculnya pantulan cahaya tajam"
Nyoo Cing yang sudah siap menangkis dengan
tangannya tapi tiba-tiba mengurungkan niatnya, cepat
dia mengegos ke samping.
Serangan pembunuh gelap yang muncul secara tibatiba
itu tidak sampai membuat Siau-tiap ketakutan,
dengan jelas dia dapat menyaksikan kalau pembunuh
itu menggerakkan tangannya dengan cepat ketika
selisih jarak dengan lengan kiri Nyoo Cing tinggal tiga
depa jauhnya. Gerakan itu mirip sekali dengan gerakan membabat,
seakan-akan pembunuh itu sedang memegang sebilah
golok dan waktu itu sedang membabat lengan kiri
lawannya. Apakah pembunuh itu tidak sadar kalau dia tidak
memegang senjata" Siau-tiap mulai tertawa, tapi belum
selesai senyumannya mengembang, tiba-tiba wajahnya
kembali membeku kaku.
Ternyata dia menyaksikan lengan kiri Nyoo Cing mulai
berdarah, dia seakan tidak percaya dengan
pandangan mata sendiri, setelah mengucak matanya
berulang kali, dia coba memastikan penglihatannya.
Benar saja, ternyata lengan kiri Nyoo Cing sudah
berlumuran darah. Mungkinkah si pembunuh itu benar
benar menyembunyikan sebilah golok tidak berwujud
didalam genggamannya"
Setelah berhasil dengan serangannya, kawanan
pembunuh itu tidak melanjutkan kembali serangannya,
mereka hanya meng-awasi Nyoo Cing dengan
pandangan dingin.
Sebaliknya Nyoo Cing sendiri masih bersikap malasmalasan,
senyuman malas tersungging diujung bibirnya.
"Kau adalah satu-satunya korban yang berhasil lolos
dari serangan golok salju," kata pembunuh itu dingin.
Rupanya senjata yang mereka gunakan bukan
senjata biasa melainkan golok yang terbuat dari salju.
Selain berwarna putih bening, ketika digunakan
didaerah yang diliputi salju maka bentuknya jadi tidak
nampak hingga sekilas pandang mirip sekali dengan
sebuah senjata tak berwujud.
Tadi, apabila perkiraan Nyoo Cing keliru atau dia
agak terlambat menganalisa situasi, mungkin saat ini
sebuah lengannya sudah berpisah meninggalkan
badannya. "Peng-to-ji-sat (Dua pembunuh golok salju) sudah
kutemui satu orang, mana pembunuh lainnya?" jengek
Nyoo Cing kemudian.
"Hmmm, selamanya tidak pernah ada manusia hidup
yang pernah berjumpa dengan pembunuh kedua!"
suara seseorang menyahut dari balik pepohonan.
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, tiba-tiba
tampak selapis tenaga tekanan yang maha dahsyat
diiringi selapis demi selapis bunga salju yang tebal
menyebar ke empat penjuru, menyusul kemudian
tampak sekilas cahaya golok berkelebat lewat, langsung
mengancam dada Nyoo Cing.
Serangan golok ini bukan saja meluncur datang
dengan kecepatan luar biasa bahkan tanpa wujud,
kehebatannya mengerikan, meski hanya satu bacokan
namun membuat lawan serasa sulit untuk menghindari.
Sekalipun waktu itu Nyoo Cing mengenakan mantel
yang tebal, tidak urung dia merasak
Bukit Pemakan Manusia 10 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Golok Yanci Pedang Pelangi 4
^