Pencarian

Romantika Sebilah Pedang 6

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bagian 6


dah tidak setakut tadi lagi,
agak ragu tegurnya, "Apakah kau.....kau tidak salah
masuk rumah orang?"
"Tampaknya memang begitu," jawab Cu Liok sambil
tertawa getir. Yaa, dalam keadaan begini dia memang hanya bisa
tertawa getir. Bayangkan saja, jika anda yang mengalami kejadian
seperti ini, kecuali tertawa getir, apa lagi yang bisa kau
perbuat" Tiba tiba gadis itu tertawa cekikikan.
"Tadi, kusangka kau adalah perampok!" serunya.
"Mana ada perampok yang begitu goblok macam
aku?" "Memang tidak ada," sahut si nona sambil tertawa,
"Apakah kau datang mencari seseorang?"
"Benar, bukankah rumah ini milik tabib Cu?"
"Tabib Cu" Apakah Cu Hay-jing yang kau maksud?"
"Benar," sahut Cu Liok, "Apakah dia ada dirumah?"
"Tentu saja ada di rumah."
"Boleh aku bertemu dengannya?"
"Kalau itu mah aku tidak bisa berbuat apa-apa!"
"Kenapa?"
"Dia memang ada di rumah, tapi aku tidak tahu di
mana rumahnya," jawab nona itu sambil tertawa, "Kalau
aku tidak tahu di mana tempat tinggalnya, mana
mungkin bisa kuundang dia keluar?"
"Apa" Dia.... dia tidak tinggal di sini?" seru Cu Liok
tertegun. "Dulu disini, tapi sekarang tidak!"
"Sekarang tidak disini?" gumam Cu Liok.
"Benar."
"Kau tinggal disini dengan siapa" Sudah berapa lama
kalian pindah kemari?"
"Hampir lima tahun, aku tinggal bersama nenekku."
"Semalam kalian tidak pernah meninggalkan tempat
ini?" "Jangan lagi semalam, sejak lima tahun berselang
kami tidak pernah meninggalkan tempat ini."
"Pagi tadi jam berapa kalian bangun dari tidurmu?"
"Pagi sekali, karena hari ini adalah ulang tahun
nenekku, maka aku bangun lebih awal."
"Dan selama ini tidak pernah meninggalkan rumah?"
"Benar."
"Wah, kalau begitu aku benar benar telah salah
masuk," kata Cu Liok sambil tertawa getir.
"Terkadang setiap, orang bisa melakukan kesalahan
yang tidak disengaja, kau tidak perlu bersedih hati,"
hibur gadis itu sambil tertawa, "Setelah sampai disini,
bagaimana kalau makan dulu sebelum pergi, hari ini aku
memotong seekor ayam."
"Tidak usah, terima kasih banyak atas penawaranmu,
aku masih banyak urusan, lain kali saja akan berkunjung
kembali." Selesai berkata dia membalikkan badan siap beranjak
pergi, mendadak ujung matanya menemukan sesuatu
benda yang terasa amat dikenalnya, benda itu berada
diatas meja bambu.
Dengan satu gerakan cepat dia lari ke depan meja,
menjepit benda yang tergeletidak disitu kemudian
tertawa. Dia tertawa sangan riang.
Benda yang ditemukan Cu Liok dari meja bambu itu
tidak lain adalah bubuk obat yang diremukkan Cu Hayjing
tadi. "Semestinya kau sudah berada dalam perjalanan
menuju ke rumahmu," kata nona itu kemudian sambil
menatap wajah Cu Liok.
"Rasanya memang seharusnya begitu."
"Sebenarnya kesalahan apa yang telah kami perbuat
hingga kau bisa menaruh curiga?"
"Kesalahan kalian hanya terletak tidak terlampau
paham akan diri Cu Hay-jing," Cu Liok menerangkan,
"Aku tidak tahu darimana kau bisa tahu kalau aku akan
datang kemari, semua yang kalian atur disini meski
cermat dan bagus, sayang kurang sempurna, aku tidak
menyangka orang yang menyamar sebagai Cu Hay-jing
pun mirip sekali dengan Cu Hay-jing."
Ditatapnya gadis itu sekejap, kemudian lanjutnya,
"Bukan hanya gerak-geriknya, cara berbicara maupun
gayanya memang mirip dengan Cu Hay-jing, nyaris aku
berhasil kalian kelabuhi. Tapi sayang, kalian telah teledor
memperhatikan satu gerakan Cu Hay-jing yang "normal"
baginya tapi tidak normal bagi orang pada umumnya."
"Apa itu?"
"Waktu kecil piaukoku pernah patah tangan
kanannya, meskipun telah diobati namun belum sembuh
seratus persen, oleh sebab itu dalam melakukan
pekerjaan apa pun, dia selalu menggunakan tangan
kirinya." Gadis itu balas menatap Cu Liok, ujarnya tiba tiba,
"Keteledoran kami akan menjadi kesialan bagimu!"
Mimik muka Nyoo Cing sama sekali tidak
memperlihatkan perubahan apapun. Benar-benar tidak
menunjukkan perubahan apapun. Dia hanya berbaring
diatas ranjang, sementara sorot matanya mengawasi
Tay Thian dengan termangu.
"Jenasahnya dijumpai sore tadi di lembah Hui-yasan,"
ujar Tay Thian dengan wajah tanpa perasaan,
"Kudanya si arak tua, tergeletak pula disamping
tubuhnya."
"Arak tua" adalah nama kuda, seekor kuda jempolan,
seekor kuda yang mampu berlari cepat.
"Dengan kekuatan larinya, sebelum tengah hari
seharusnya dia sudah tiba di rumah?" tanya Nyoo Cing
hambar. "Benar!"
"Walaupun bukit Hui-ya-san amat curam dan
berbahaya, sudah beribu kali Cu Liok melewati tempat
itu, mengapa dia bisa terpeleset hingga jatuh ke dalam
jurang?" "Semalam dia berangkat dengan menunggang si
arak tua, menjelang fajar sudah tiba di tempat tujuan,"
kata Tay Thian, "Tapi satu jam kemudian, ada orang
melihat dia bersama seorang lelaki dan dua orang
wanita minum arak di dalam kedainya janda Ciu."
"Kemudian?"
"Menurut janda Ciu, mereka berempat minum hampir
satu jam lamanya, kemudian setelah membayar
rekening mereka pun berangkat menuju ke timur."
"Menuju ke timur?" seru Nyoo Cing, "Bukankah arah
itu menuju ke desa Hohan?"
"Benar, setibanya di desa Hohan, mereka berdua
masing-masing membawa seorang wanita masuk ke
dalam kamar losmen."
"Kemudian?"
"Kemudian" Sudah tidak ada lagi!"
"Tidak ada?"
"Sejak masuk ke dalam losmen hingga jenasahnya
ditemukan di dasar jurang, tidak seorangpun tahu kabar
beritanya lagi."
Kalau Tay Thian sudah mengatakan tidak seorangpun,
berarti dalam kenyataan tidak mungkin ada orang tahu
jejaknya lagi. "Bagaimana dengan bungkusan obat itu?"
"Masih berada didalam sakunya, hanya salah satu
obatnya sudah diremuk orang."
"Apa mungkin dia kebanyakan minum arak hingga
susah mengendalikan diri dan terpeleset jatuh ke dalam
jurang?" "Kalau ditinjau dari situasi yang ada, semestinya
memang begitu ceritanya, apa perlu kukirim bungkusan
obat itu ke tempat lain......"
"Tidak perlu," tidak menunggu Tay Thian
menyelesaikan perkataannya Nyoo Cing telah menukas,
"Aku berani jamin, obat yang berada dalam bungkusan
itu pasti hanya berisi obat penambah darah."
Kemudian dia bertanya lagi, "Apakah Cu Hay-jing
masih hidup?"
"Entahlah, tapi yang pasti dia sudah tidak tinggal di
rumah bambu lagi, sudah pindah sejak lima tahun
berselang, tidak seorangpun yang tahu ia sudah pindah
ke mana!" Nyoo Cing kembali menarik batang hidungnya
dengan tangan kiri.
Tay Thian tahu, lagi lagi ia sedang memikirkan
persoalan itu, setiap kali Nyoo Cing sedang menarik
hidungnya, lebih baik kau jangan mengusik ketenangan
hatinya. Lama, lama kemudian, akhirnya Nyoo Cing
menghentikan juga perbuatannya.
"Bagaimana dengan si arak tua" Apakah mati juga
karena terpeleset?" tanya Nyoo Cing.
"Benar, kuda itu mati disamping Cu Liok."
"Berapa selisih jarak antara mereka berdua?"
"Tidak tercantum dalam laporan."
Tapi begitu perkataan itu diucapkan, sepasang mata
Tay Thian segera berbinar, serunya lagi, "Sekarang juga
aku akan ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan."
"Soal ini penting sekali."
"Aku tahu."
Semula Tay Thian memang tidak terlalu perhatian, tapi
sekarang dia sadar kalau hal tersebut merupakan
sebuah keteledoran.
Bila dia bisa memperhitungkan jarak antara bangkai
kuda dengan jenasah Cu Liok, kemudian ditambah
dengan jarak ketinggian tebing maka denga cepat bisa
diketahui apakah mereka terpeleset sendiri ataukah
memang sengaja dilemparkan orang ke dalam jurang.
"Moga-moga saja masih sempat," Nyoo Cing
menghela napas panjang.
"Sekarang juga akan kulaksanakan."
"Tidak ada gunanya berangkat ditengah malam
buta, perkiraanmu bisa meleset."
"Kalau begitu aku segera akan berangkat setelah
terang tanah nanti..."
"Yang betul berangkat ditengah malam dan tiba
disitu persis disaat fajar telah menyingsing," Nyoo Cing
menambahkan. "Baik."
"Apa yang akan kau lakukan dengan bangkai si
arak tua dan jenasah Cu Liok?"
"Silahkan memberi perintah," Nyoo Cing tertawa.
"Kalau tidak ada orang lain, kau tidak usah bersikap
resmi," katanya.
"Baik."
"Kalau begitu serahkan saja kepada Siau tua!"
"Aaah, cocok dengan jalan pikiranku."
BAB 3. Jarum Pembetot sukma Langit dan Bumi.
Tahun ini lo-Siau atau si Siau tua telah berusia tujuh
puluh tiga tahun.
Orang tua yang dihari hari biasa mirip seorang kakek
rentan yang hampir masuk peti mati, begitu ada
pekerjaan yang harus dilakukan, Dia sama sekali
berubah, berubah jadi lebih bersemangat, bahkan
gerak-geriknya mirip seorang lelaki yang baru berusia
empat puluh tahunan, berubah menjadi seorang ahli.
Lo-Siau bernama Siau Pek-cau, dia adalah seorang
yang sangat ahli melakukan pembedahan jenasah.
Ia tinggal disebuah rumah yang berjarak dua gang
dari penjara besar, tempat tinggalnya merupakan juga
tempatnya bekerja. Pekerjaan utamanya adalah
membedah jenasah. Oleh sebab itu tempat tinggalnya
tidak banyak dikunjungi orang luar.
Di siang hari saja jarang ada yang singgah, apalagi
ketika malam telah menjelang tiba, yang tersisa hanya
deruan angin yang berhembus kencang.
Kini malam sudah menjelang tiba, angin malam
berhembus sangat kencang. Kecuali suara angin,
suasana amat hening, sepi, tidak kedengaran sedikit
suara pun. Jenasah Cu Liok sudah tiba di rumah lo-Siau,
diletakkan diatas meja altar berbentuk panjang.
Wajah lo-Siau yang semula nampak kelelahan,
murung dan kesepian, dengan cepat berubah jadi lebih
bersemangat, dia sedang mengawasi jenasah Cu Liok
yang tergeletidak dihadapannya.
"Dia adalah seorang yang sangat baik," kata lo-Siau
dengan suara yang berduka, "seringkali dia membawa
arak ditengah malam dan datang mencariku, aku
sangat tahu maksud kedatangannya, dia bukan
mencari aku untuk menemaninya minum, tapi dia
memang khusus datang untuk menemani aku."
Tay Thian mendengarkan, dia hanya mendengarkan.
"Tahukah kau, setelah orang seusia ku, apa yang
paling ditakuti?"
Tidak menanti Tay Thian memberi jawaban, Dia sudah
menjawab duluan.
"Kesepian," kata lo-Siau lebih jauh sambil tertawa
getir, "biasanya yang menemani kami hanya kesepian.
Seakan akan setiap orang yang sudah menjadi tua
hanya sebuah barang pajangan."
..... Kesepian, memang merupakan sebuah ketidak
berdayaan didalam kehidupan.
"Semakin besar usia seseorang, semakin sedikit teman
yang dimiliki, bahkan aku tidak memiliki walau
seorangpun," ujar lo-Siau lebih jauh dengan wajah
kesepian, "yaa, bicara sejujurnya, siapa sih yang sudi
bergaul dengan seorang kakek yang setiap saat hanya
bergumul dengan mayat?"


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ini memang sebuah kenyataan, sebuah kesedihan
bagi seseorang yang bertugas sebagai petugas autopsi.
Kesedihan semacam ini merupakan kesedihan yang
merasuk ke dalam tulang, merupakan sebuah
kesepedihan yang menunjukkan ketidak berdayaan.
"Usia makin tua, hidup makin kesepian, semakin hidup
kesepian makin susah untuk tidur malam," lo-Siau
kembali menatap jenasah Cu Liok, "oleh sebab itu
hanya dia yang sering datang menemani aku, minum
arak hingga fajar, bahkan terkadang aku pun diajak
makan siang bersama, makan di rumah makan......."
Dia mulai meraba rambut Cu Liok.
"Coba kau lihat, rambutnya masih hitam, tidak seperti
aku, telah beruban semua," katanya, "Aaai, hidup
manusia memang bagai awan putih yang bergerak di
angkasa..."
Dia bungkukkan tubuh, mengeluarkan sebuah tas kulis
dari bawah altar, lalu dibukanya. Dalam tas itu penuh
berisikan pelbagai peralatan bekerja serta botol-botol
yang berbentuk aneh, dalam botol-botol itu berisikan
aneka ragam bubuk obat.
Kemudian dia mulai membuka kelopak mata Cu Liok
dan memeriksanya sekejap, setelah itu kembali
gumamnya, "Aku tidak menyangka suatu saat bakal
mengautopsi tubuhmu.
"Lo-Siau, kau masih bisa mengendalikan diri?" tegur
Tay Thian kuatir.
"Memang inilah pekerjaanku, tidak nanti aku jadi
begitu lemah sehingga tidak sanggup menggerakkan
pisauku." Lo-siau mengambil sebatang pisau yang tipis sekali,
kembali ujarnya, "Terlepas apa penyebab kematianmu,
asal pernah kulihat sebelumnya, aku yakin tabir
kematiannya pasti dapat kusingkap!"
Sebilah pisau yang tipis, harus berada dalam
genggaman sebuah tangan yang mantap. Pisau itu
sangat tajam, dibawah kendali jari tangan yang lincah,
memancarkan cahaya putih yang menyilaukan mata.
Mata pisau mulai membelah, kulit dan daging mulai
teririt, cairan darah mulai meleleh keluar.
Darah berwarna hitam! Meski belum membeku, paling
tidak sudah hampir menggumpal. Tempat yang diiris lo-
Siau dengan pisaunya adalah kaki Cu Liok yang patah.
Tidak lama kemudian tulang kakinya yang remuk pun
kelihatan. Sekalipun disekeliling ruangan penuh disinari cahaya
terang, tidak urung Tay Thian merasakan seram juga, dia
merasa udara didalam ruangan itu dipenuhi bau busuk
mayat yang mulai menyengat dicampur bau harumnya
pelbagai obat obatan, campuran bau itu menciptakan
sejenis bau yang tidak terlukiskan dengan kata.
Jika bukan seseorang yang sudah terbiasa dengan
suasana macam begini, mungkin dia akan dibuat
"ngeri" oleh bau aneh yang menyelimuti tempat
tersebut. Bau "ngeri" semacam ini baru pertama kali dirasakan
Tay Thian, membedah tubuh mayat pun baru pertama
kali ini dia saksikan, perasaan ngeri dan muak membuat
dia sudah berpaling ke arah lain.
Satu jam sudah lewat, duajam sudah lewat.
Walaupun malam itu adalah malam di akhir musim
gugur, walaupun udara terasa sangat dingin, butiran
keringat telah membasahi jidat Tay Thian.
Pakaian yang dikenakan lo-siau pun sudah basah
kuyup oleh keringat. Maka udara dalam ruangan pun
bertambah lagi dengan sejenis bau, bau busuk keringat!
Kalau boleh, ingin sekali Tay Thian keluar dari ruangan
itu untuk menghirup udara segar diluaran sana. Tapi dia
tidak berani melakukan hal terseut, diapun tidak bisa.
Kini, masalahnya sudah mencapai taraf yang paling
penting, sedikit saja melakukan kesalahan bisa berakibat
semua urusan jadi berantakan, dia tidak ingin terjadi hal
seperti ini, bagaimana caranya dia memberi
pertanggungan jawab kepada Nyoo Cing nanti"
Kebetulan lo-Siau telah menghentikan pekerjaannya
waktu itu. "Sudah ditemukan penyebab kematiannya?" buru
buru Tay Thian bertanya.
"Dia sudah tewas sebelum terpeleset jatuh ke dalam
jurang," kata lo-Siau dengan wajah lusuh.
"Itu berarti jenasahnya dilempar orang ke dalam
jurang?" "Benar," lo-Siau manggut-manggut, "Dia mati karena
keracunan!"
"Terkena racun apa?"
"Tidak tahu."
"Tidak tahu?"
"Tenggorokannya tidak menunjukkan gejala yang
aneh, ini berarti racun tersebut bukan masuk melalui
kerongkongannya."
"Kalau bukan masuk melalui kerongkongan, berarti
disambit dengan senjata rahasia," kata Tay Thian,
"Apakah sudah ditemukan mulut luka yang lain?"
"Belum, kecuali luka tulang patah akibat terlempar ke
dalam jurang, tidak ditemukan mulut luka lainnya."
"Mungkin tidak masuk melalui pori pori kulit tubuh?"
mendadak Tay Thian teringat dengan gejala kematian
yang ditemukan di tubuh Tu Bu-heng.
"Tidak mungkin!" sahut lo-Siau pasti, "Bila racun itu
masuk melalui pori-pori kulit tubuh, maka diatas
permukaan tubuhnya akan ditemukan pertanda yang
jelas." "Berarti kau tidak berhasil menemukan penyebab
kematiannya?"
"Pasti bisa ditemukan, toch aku belum membedah isi
perutnya."
"Kau akan mengeluarkan isi perutnya?"
"Benar, bahkan harus, jika dalam isi perutnya tidak
ditemukan gejala yang mencurigakan, aku akan
membedah otaknya."
Bila dalam otak pun tidak ditemukan sesuatu hasil,
tempat mana lagi yang akan dibedah" Lo-Siau kembali
berkonsentrasi dengan pekerjaannya.
Usus, lambung, hati, jantung, paru paru sudah
dikeluarkan semua dari rongga badan dan dikumpulkan
jadi satu, saat ini lo-siau sedang memeriksa bagian usus.
Setelah semua isi perut dibongkar dan dikeluarkan
dari rongga tubuhnya, sanggupkah lo-Siau untuk
mengembalikan lagi seperti keadaan semula"
Bukan setiap manusia mempunyai kesempatan untuk
melihat isi perut seseorang, bagi Tay Thian, kejadian ini
terhitung sebuah keberuntungan.
Tapi, siapakah yang mengharapkan keberuntungan
macam begini"
Dalam waktu singkat seluruh isi perut sudah selesai
diperiksa, tapi jawabannya tetap nihil. Maka lo-Siau pun
mulai membedah tengkorak kepala Cu Liok dan
mengeluarkan isi otaknya.
Pemandangan yang terpapar dihadapannya
sekarang jauh lebih mengerikan, jauh lebih memuakkan,
Tay Thian semakin tidak berani mengikutinya jalannya
pembedahan, bahkan nyaris ayam ca mete yang
disantapnya malam tadi menyembur keluar saking
muaknya. Dia benar benar merasa kagum dengan kemampuan
Siau Pek-cau, membedah mayat manusia macam
menggorok seekor ayam saja, apalagi korban yang
harus dia kerjakan malam ini adalah sahabat karibnya,
andaikata dia yang harus melakukan pekerjaan
tersebut, Tay Thian sadar, dia tidak nanti sanggup
melakukannya. Waktu berlalu tanpa terasa, akhirnya lo-Siau
menghembuskan napas lega, dia letakkan kembali
pisau bedahnya, peluh telah membasahi seluruh
tubuhnya, wajah yang kelihatan sangat penat membuat
punggungnya nampak semakin membengkok...
bagaimana pun dia memang seseorang yang sudah
tua. Dengan pandangan mata yang luruh ditatapnya
wajah Tay Thian sekejap, kemudian ujarnya, "Aku telah
menemukan tiga buah lubang jarum yang sangat kecil
diatas tempurung kepalanya."
"Seberapa kecil?"
"Lebih kecil dari jarum jahit," ujar lo-Siau sambil duduk,
"Aku harus memeriksa sebanyak tiga kali sebelum
berhasil menemukan ketiga mulut jarum itu."
"Lebih kecil dari jarum jahit?" Tay Thian termenung
sejenak, "Senjata rahasia apa itu?"
"Tidak ditemukan racun pada senjata rahasia
tersebut, jarum-jarum itu menembusi ubun-ubun cu Liok
dan langsung menembusi otak besarnya," Lo-Siau
menerangkan, "Waktu itu Cu Liok pasti mati seketika,
mati tanpa terasakan penderitaan sedikitpun."
"Kalau ada mulut jarumnya, berarti pasti ada senjata
rahasianya, di mana senjata rahasianya?"
"Ini dia, disini!" kata lo-Siau sambil merentangkan
tangan kirinya.
Benar juga, ternyata jarum itu sangat lembut lagi kecil,
ketiga batang jarum itu semuanya memancarkan sinar
kebiru biruan yang sangat tawar.
"Tidak mungkin senjata rahasia selembut ini
dilancarkan dengan tangan."
"Benar, jarum-jarum itu pasti disambit dengan
menggunakan semacam alat."
Tay Thian telah pergi, pergi sambil membawaketiga
batangjarum lembut itu.
Isi perut Cu Liok sudah dimasukkan kembali ke tempat
asalnya, mulut luka pun sudah dijahit kembali. Siau Pekcau
duduk seorang diri sambil mengawasi j enasah Cu
Liok yang masih berbaring diatas meja altar.
"Jarum selembut itu dilepaskan dengan alat apa"
bagaimana bisa menembusi kulit tengkorak yang
keras?" Diantara bayangan yang bergerak diluar jendela,
tiba-tiba terdengar seseorang menyahut dengan nada
dingin, "Disambit dengan kotak pembetot nyawa, ketiga
batang jarum itu adalah jarum pembetot nyawa langit
dan bumi!"
Saat itu langit sudah hampir terang tanah, namun
belum seratus persen terang.
Kabut masih menyelimuti seluruh udara, kabut yang
sangat tebal. Kabut membuat langit serasa membeku, udara terasa
dingin menggigilkan tubuh.
Kabut menyelimuti pula pepohonan, tanah rumput
dan jalanan kecil, membasahi juga rambut, alis mata
dan pakaian yang dikenakan Cong Hoa.
Saat itu Cong Hoa sedang duduk diatas tanah, duduk
persis dihadapan kuburan Lo Kay-sian. Tempat itu
adalah belakang bukit Pesanggrahan pengobatan
Coan-sin-ie-khek, yaitu taman yang khusus disiapkan
pesanggrahan pengobatan sebagai tempat pekuburan.
Sebelum fajar menyingsing, Cong Hoa telah
membawa arak datang ke situ, kemudian diapun minum
arak didepan kuburan Lo Kay-sian. Setiap kali meneguk
satu cawan, dia pun menyiram kuburan Lo Kay-sian
dengan secawan arak juga.
Waktu berlalu detik demi detik, arak yang disiramkan
keata permukaan tanah telah menguap, semangat
yang berada dalam rongga dada Cong Hoa pun
semakin berkobar.
Tidak lama kemudian, tiga botol arak yang
dibawanya telah habis diteguk, setengahnya masuk ke
dalam perut Cong Hoa, dan setengahnya lagi dituang
diatas tanah pekuburan.
Cong Hoa telah bangkit berdiri, selesai membersihkan
pasir yang melekat ditubuhnya, dia berpaling ke arah
batu nisan yang bertuliskan: "Disini disemayankan Lo
Kay-sian", kemudian ujarnya sambil tertawa, "Lo Kaysian,
hari ini kita minum sampai disini dulu, masih ada
urusan penting yang harus kuselesaikan, lain waktu akan
kutemani dirimu lagi."
Batu nisan tidak menjawab, pun tidak bersuara, tapi
dari alam yang luas kedengaran ada suara. Suara itu
datang dari jalan bukit nun jauh didepan sana.
Suara nyanyian orang, membawakan lagu rakyat
yang jenaka, paling tidak ada dua orang sedang nyanyi
bersama. Siapa yang sepagi ini membawakan lagu rakyat keras
keras" Apakah mereka pun membawa perasaan yang
sama seperti apa yang dirasakan Cong Hoa sekarang"
Di situ merupakan tanah pekuburan, tempat orang
mengenang kembali sanak keluarganya yang telah
tiada, mengapa mereka malah membawakan lagu
rakyat yang bertema jenaka"
Dengan cepat pertanyaan itu diperoleh jawabannya.
Ada empat orang lelaki dengan riangnya
menggotong sebuah peti mati baru dan berjalan
menuju ke bawah bukit, sambil berjalan mereka
membawakan lagu dengan riangnya.
Ternyata mereka adalah para petugas penggotong
peti mati, tidak heran kalau lagu yang mereka nyanyikan
begitu riang. Cong Hoa tertawa sendiri, maklum kalau mereka
masih berselera untuk menyanyi, ternyata yang mereka
gotong bukan peti mati sanak keluarganya, bahkan
sama sekali tidak ada hubungan dengan mereka.
"Selamat pagi teman teman, sepagi ini sudah mulai
bekerja?" sapa Cong Hoa sambil tertawa.
"Yaa selamat pagi, agar cepat masuk liang, biar


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera bisa dititiskan kembali," sahut para kuli sambil
menurunkan peti mati itu di sebuah liang kosong dan
mulai mengambil peralatannya untuk menggali.
"Siapa yang kalian kubur kali ini?" tanya Cong Hoa
keheranan. "Seorang nona, konon cantik sekali."
"Yaa, katanya dia adalah pengurus kebun di istana
raja muda, datang dari negeri Hu-siang."
Aaah! Rupanya Siau-tiap! Sambil tertawa Cong Hoa
mengawasi peti mati yang berada dihadapannya.
Terlepas semasa hidupnya dulu dia adalah seorang
mata-mata atau seorang enghiong hohan, setelah mati,
tubuhnya tidak lebih hanya seonggok tanah liat.
Memang inilah yang dinamakan kehidupan! Cong
Hoa gelengkan kepalanya berulang kali dan mulai
meninggalkan tempat itu.
Jalanan bukit itu sangat sempit lagi curam, aneh,
kenapa jalanan menuju ke tanah pekuburan itu tidak
dibikin lebih lebar dan lebih datar sehingga lebih
mempermudah para kuli penggotong peti mati
menyelesaikan tugasnya"
Sambil berpikir Cong Hoa melanjutkan perjalanannya.
Mendadak ia seperti teringat akan sesuatu dan
segera menghentikan langkahnya. Para penggotong
peti mati" Jalanan yang sempit dan curam" Cong Hoa
segera berpaling kembali ke arah tanah pekuburan.
Aneh, sungguh aneh, sewaktu menggotong peti mati
mendaki ke jalanan yang curam tadi, mengapa ke
empat orang itu tidak nampak kepayahan" Mungkinkah
lantaran mereka sudah terbiasa menggotong barang
berat" Tapi, paling tidak j enasah manusia akan lebih
berat setelah menjadi jenasah bukan" Jangan jangan...
Cong Hoa mengawasi tanah pekuburan itu dengan
paras muka semakin serius.
"Aaaah, ini mah jarum pembetot sukma langit dan
bumi," ujar Nyoo Cing sambil mengawasi ketiga
batangjarum lembut itu.
"Jarum pembetot sukma langit dan bumi?" ulang Tay
Thian dengan wajah terkesiap, "Maksudmu raja dari
segala macam senjata rahasia, begitu disambit segera
mencabut nyawa?"
"Benar!"
"Aku dengar jarum pembetot sukma langit dan bumi
diciptakan oleh seseorang yang sama sekali tidak
mengerti ilmu silat?"
"Di dunia terdapat enam macam benda yang paling
menakutkan, jarum pembetot sukma adalah satu
diantaranya," Nyoo Cing menerangkan, "Orang yang
menciptakan senjata rahasia ini sesungguhnya masih
termasuk keturunan dari seorang tokoh persilatan, dia
bernama Ciu Sie-bin, waktu itu ayahnya termashur
sebagai Lam-ouw-siang-kiam (sepasang pedang dari
telaga selatan)!"
"Tapi menurut apa yang kuketahui, orang yang
menciptakan senjata rahasia itu sama sekali tidak
pandai bersilat," kata Tay Thian, "Sebagai putra dari
sepasang pedang Lam-ouw-siang-kiam, mana mungkin
dia tidak pandai bersilat?"
"Apa yang saudara Tay dengar memang tidak
salah," ujar Nyoo Cing sambil tertawa, "Ciu Sie-bin
memang tidak pandai bersilat, ini disebabkan sejak kecil
dia sudah menderita sebuah penyakit aneh, tulangnya
lemas hingga jangan lagi belajar silat, untuk bangkit
berdiri pun tidak mampu."
Tay Thian mendengarkan dengan seksama, dia sama
sekali tidak menimbrung.
"Keluarga mereka terdiri dari lima bersaudara, Ciu Siebin
menempati urutan ketiga, tapi kecerdasan otaknya
jauh melebihi saudara saudara lainnya," Nyoo Cing
berkata lebih lanjut, "Tapi sayang dia cacad badan,
ketika melihat saudara lainnya berhasil memperoleh
nama besar dalam dunia persilatan, otomatis diapun
merasa sangat bersedih hati, maka diam-diam dia
bersumpah akan melakukan suatu karya yang bisa
menggetarkan seluruh kolong langit, agar tidak kalah
dengan kemampuan saudara-saudara lainnya."
"Apakah ke empat bersaudara itu yang terkenal
dalam dunia persilatan sebagai Kanglam-su-gie (empat
persaudaraan dari Kanglam)?"
"Benar! Ciu Sie-bin yang cacad badan sepanjang
tahun hanya bisa membaca buku, tapi dasar otaknya
memang amat cerdas lagipula dia memiliki sepasang
tangan yang trampil, maka tidak heran kalau di setiap
sudut ruangan tidurnya dilengkapi dengan pelbagai alat
jebakan yang luar biasa."
"Waah, ruangan itu pasti sangat menarik hati!" seru
Tay Thian tertawa, "Coba kalau tokoh sakti ini masih
hidup, aku pasti akan berkunjung ke situ."
"Suatu tahun, dengan sebatang kayu dia
menciptakan sebuah kotak rahasia, dia minta saudarasaudaranya
untuk mencarikan seorang pandai besi
yang bisa membuatkan sebuah kotak yang sama seperti
contohnya. Waktu itu saudara saudaranya mengira dia
sedang membuat mainan higga tidak terlalu
diperhatikan, maka diundanglah seorang pandai besi
yang ternama untuk datang ke rumah, tukang besi itu
bernama 'Kiau Jiu-song'"
Setelah berhenti sejenak, kembali Nyoo Cing
melanjutkan, "Hampir dua tahun lamanya Kiau-jiu-song
berdiam di rumah Ciu Sie-bin, tidak banyak yang tahu
apa yang sedang mereka kerjakan di dalam rumah, tapi
setiap bulan Ciu sie-bin selalu mengutus orang untuk
mengirim sejumlah uang kepada istri tukang besi itu,
tidak heran kalau keluarga Kiau Jiu-song sama sekali
tidak kuatir."
"Tampaknya bini Kiau Jiu-song tidak sadar kalau uang
yang diterimanya itu sebetulnya adalah biaya untuk
membeli nyawa suaminya," ujar Tay Thian sambil
menghela napas.
"Benar, dua tahun kemudian begitu Kiau Jiu-song
meninggalkan gedung itu, diapun roboh untuk tidak
bangun kembali, konon mati lantaran kelelahan. Tapi
bagaimana kejadian yang sesungguhnya tidak banyak
diketahui orang. Apalagi nama besar keluarga Ciu
dalam dunia persilatan waktu itu sangat tersohor, oleh
sebab itu keluarga pandai besi itupun tidak berani
melakukan penyelidikan."
"Si pandai besi Kiau Jiu-song menguasai tehnik
pembuatan alat penembak senjata rahasia tersebut,
untuk menjaga kerahasiaan alat tersebut tentu saja Ciu
Sie-bin tidak akan membiarkan dia hidup terus," kata Tay
Thian, "Mungkin dialah orang pertama yang tewas
terhajar jarum pembetot sukma langit dan bumi."
"Setelah lewat setengah bulan kemudian, tiba-tiba
Ciu Sie-bin menyebar undangan dengan mengundang
semua jago senjata rahasia yang paling tersohor saat
itu," kata Nyoo Cing kemudian, "Waktu pertemuan
adalah hari Tiong-ciu, saat bulan sedang purnama.
Banyak orang persilatan yang terpaksa datang
memenuhi undangan karena memandang wajah
Kanglam Su-gie, tidak sedikit yang hadir saat itu.
"Setelah arak dihidangkan, secara tiba-tiba Ciu Siebin
meminta kepada Ho Lam-hui untuk beradu senjata
rahasia melawannya."
"Ho Lam-hui?" kata Tay Thian, "Apakah jagoan yang
disebut orang Pat-pit-sin-wan (monyet sakti berlengan
delapan) Ho Lam-hui?"
"Betul, bukan saja dari seluruh tubuhnya dapat
memancarkan senjata rahasia, konon pada saat yang
bersamaan dia sanggup melepaskan dua belas jenis
senjata rahasia secara bersamaan, bahkan
kemampuannya dalam melepaskan amgi sudah
mencapai tingkatan yang luar biasa. Orang ini boleh
dibilang merupakan jago kelas satu dalam dunia
persilatan."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Sebagai
jagoan terkemuka, mana mungkin dia mau bertanding
senjata rahasia melawan seorang cacad, apalagi
diapun sahabat karib dari Kanglam Su-gie."
"Yaa, biar menangpun, bukan sebuah kemenangan
yang terhormat."
"Semua orang mengira Ciu Sie-bin hanya bergurau,
siapa sangka Ciu Sie-bin bersikeras memaksa Ho Lam-hui
untuk beradu kepandaian, bahkan sempat melontarkan
perkataan yang menyakitkan hati, hal mana memaksa
Ho Lam-hui kehilangan muka dan akhirnya tidak
sanggup mengendalikan diri."
"Kemudian?"
"Akhirnya Ho Lam-hui tewas diujung jarum pembetot
sukma langit dan bumi, bahkan ada berapa orang jago
am-gi yang kehilangan nyawanya juga waktu itu," kata
Nyoo Cing, "Sekalipun semua orang tahu kalau senjata
rahasia itu dibidikkan melalui sebuah kotak besi yang
berada di tangan Ciu Sie-bin, apa lacur tidak seorang
jago pun yang sanggup menghindarkan diri."
"Sungguh keji perbuatan Ciu Sie-bin!" seru Tay Thian
kemudian, "Sejak kecil dia sudah cacad, mungkin
karena itu wataknya jadi aneh, tapi masa sepasang
pedang dari telaga selatan maupun empat jagoan dari
Kanglam tidak berusaha mencegah?"
"Waktu itu Lam-ouw siang-kiam sudah lama
meninggal, sementara Kanglam Su-gie nampaknya
mempunyai tujuan lain!"
"Apa tujuan mereka?"
"Menyaksikan senjata rahasia yang dimiliki saudara
sendiri begitu lihay, rupanya mereka ingin
memanfaatkan kesempatan itu untuk semakin
mempopulerkan nama besar keluarga Ciu," kata Nyoo
Cing, "Mimpi pun mereka tidak menyangka, gara-gara
kejadian ini, banyak orang persilatan yang mulai
memusuhi keluarga Ciu, siapa pun tidak ingin
membiarkan senjata rahasia yang maha dahsyat itu
tetap berada di tangan keluarga Ciu, karena mereka
kuatir, suatu saat nanti senjata rahasia itu bakal
dipergunakan untuk menghadapi diri mereka."
"Yaa, apalagi mereka yang sejak semula sudah
bermusuhan dengan keluarga Ciu," kata Tay Thian,
"Mereka pasti sadar, suatu saat mereka pun akan
menjadi korban berikut."
"Oleh sebab itu semua orang berebut untuk turun
tangan terlebih dulu, dengan pelbagai cara mereka
singkirkan Kanglam su-gie satu per satu, kemudian
mereka bakar perkampungan keluarga Ciu sehingga
Ciu Sie-bin pun ikut tewas dalam kebakaran dahsyat itu."
"Dia memang pantas mati!" umpat Tay Thian tanpa
sadar, kemudian tambahnya, "Setelah peristiwa itu,
jarum pembetot sukma langit dan bumi itu jatuh ke
tangan siapa?"
"Tidak ada yang tahu senjata rahasia itu jatuh ke
tangan siapa, sebab siapa pun yang berhasil
mendapatkan senjata tersebut, tidak seorangpun mau
mengakuinya," kata Nyoo Cing, "Tapi setiap tiga sampai
lima bulan, selalu ada jagoan persilatan yang tewas oleh
jarum thian-te-soh-hun-ciam ini, sebaliknya orang yang
berhasil memiliki senjata maut itupun biasanya tidak
berumur panjang, sebab begitu rahasianya ketahuan,
maka berbondong bondong orang akan datang
mencarinya dan berusaha merebutnya."
"Waah, kalau begitu bukankah senjata Thian-tee-sohhun-
ciam menjadi benda pembawa sial?"
"Selama puluhan tahun terakhir, entah sudah berapa
ratus kali barang itu berpindah tangan, biasanya orang
yang berhasil mendapatkan benda itu pasti tewas
dalam keadaan mengenaskan, hingga berapa tahun
berselang, tiba tiba senjata rahasia itu lenyap dari
peredaran dunia persilatan, mungkin orang yang
berhasil mendapatkan benda itu belum pernah
mempergunakannya..."
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Itulah
sebabnya walaupun banyak jago yang pernah
mendengar tentang kehebatan senjata rahasia Thiantee-
soh-hun-ciam, bahkan ada banyak orang yang tahu
bagaimana bentuknya serta sampai dimana
kehebatannya, namun belum pernah ada seorang
manusia pun yang benar-benar melihat sendiri benda
itu." "Kalau begitu nasib Cu Liok terhitung cukup bagus."
"Mungkin kali ini pihak perkumpulan naga hijau
bersiap untuk menghadapiku, maka mereka pun
mengusung datang orang yang memiliki senjata rahasia
Thian-tee-soh-hun-ciam itu."
"Tapi anehnya, kalau memang pihak perkumpulan
Cing Liong Hwee telah bersusah payah mendapatkan
senjata rahasia Thian-tee-soh-hun-ciam, mengapa
secara sembarangan mereka gunakan terhadap Cu
Liok?" "Mungkin Cu Liok telah menyaksikan sesuatu yang
tidak seharusnya diketahui orang, atau keadaan sangat
mendesak sehingga mau tidak mau terpaksa mereka
harus menggunakannya."
"Menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya
diketahui orang?" Tay Thian termenung berapa saat,
"Kalau memang telah menyaksikan sesuatu yang tidak
seharusnya diketahui orang, berarti kejadian itu tentu
ada di rumah bambu."
Nyoo Cing mengangguk membenarkan.
Tiba tiba Tay Thian tidak bicara lagi, dia membuang
pandangan matanya ke luar jendela.
"Sedemikian sempurnanya kotak pembidik senjata
rahasia itu dan sedemikian dahsyatnya kekuatan yang


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipancarkan membuat benda ini tidak malu disebut raja
diantara senjata rahasia!" tiba tiba ujar Nyoo Cing, "Bila
senjata itu dibandingkan dengan berapa macam
senjata rahasia terhebat yang ada saat ini, masalah
kecepatan bahkan masih selisih dua bagian, apalagi
dalam hal ketepatannya mengenai sasaran, boleh
dibilang senjata yang ada sekarang masih ketinggalan
jauh." "Bagaimana bila dibandingkan dengan anak panah
kekasih?" "Kehebatan dari anak panah kekasih bukan terletak
pada kecepatan, melainkan dalam hal kekuatan
tangan, sementara bidikan jarum maut thian-tee-sohhun-
ciam boleh dibilang belum seorang manusia pun
sanggup menghindarinya."
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali
tambahnya, "Konon jarum maut Thian-tee-soh-hun-ciam
bisa membidikkan tiga puluh enam batang jarum pada
saat yang bersamaan, sementara Cu Liok hanya
mendapat hadiah tiga batang."
"Berarti masih ada tiga puluh tiga batang jarum yang
ketinggalan dalam rumah bambu?"
"Benar," sahut Nyoo Cing sambil menatapnya tajam,
"Untuk menghadapi Cu Liok, tiga batang pun sudah
lebih dari cukup, tapi berbeda untuk menghadapi kau,
mungkin ketiga puluh tiga batang jarum itu harus
digunakan semua."
"Hahahaha... mungkin malah kurang dari tiga puluh
tiga batang!" seru Tay Thian sambil tertawa tergelak.
"Aku tahu, apa yang telah kau putuskan susah untuk
dicegah lagi, Cuma untuk mengunjungi rumah bambu
itu kau mesti berhati-hati, sebab tempat tersebut pasti
sangat berbahaya!"
"Aku tahu!"
BAB 4. Kakak tua berdarah.
Sehabis hujan bintang kelihatan jauh lebih bersih, jauh
lebih cemerlang, membuat orang semakin
menyukainya. Sejak kecil Cong Hoa memang suka akan bintang,
kerapkali dia berkhayal membayangkan masa kecil,
menikmati indahnya impian dimasa dulu, kegembiraan
seorang bocah. Malam ini bukan saja banyak bintang yang
bertaburan di angkasa, lagipula merupakan bintang
setelah hujan. Sore tadi telah turun hujan guntur yang amat
kencang, membawa kesegaran dan kebersihan di
seluruh permukaan bumi, namun mendatangkan juga
kemurungan bagi Cong Hoa.
Setelah turun hujan yang begitu deras, jalan setapak
jadi penuh berlumpur dan becek. Di hari biasa saja
sudah sulit dilalui, apalagi setelah hujan. Dengan susah
payah akhirnya berhasil juga Cong Hoa mencapai
puncak bukit di belakang pesanggrahan pengobatan,
kini dia berdiri diatas bukit sambil menarik napas
panjang. Malam ini, cahaya bintang terasa jauh lebih bening
dan bersinar, cahayanya seolah sempat menyinari
seluruh tanah perbukitan itu. Cong Hoa memperhatikan
sejenak tanah gundukan baru dimana pagi tadi Siautiap
dikubur...empat orang penggotong peti mati itu
berjalan begitu ringan dan santainya mencapai puncak
bukit. Apa arti dari kesemuanya itu" Mungkin-kah peti mati
itu tanpa jenasah"
Atau ke empat penggotong peti mati itu adalah jago
jago berilmu tinggi"
Untuk peroleh jawaban yang pasti, hanya ada satu
jalan yang bisa ditempuh yakni membongkar tanah
pekuburan itu. Tapi ada satu hal yang pasti, apa pun
yang bakal terjadi, jelas masalah ini ada sangkut
pautnya dengan Pesanggrahan pengobatan Coan-sin-
Ie-khek. Seandainya kuburan Siau-tiap ada yang tidak beres,
bukankah kuburan Lo Kay-sian pun..."
Tanpa terasa Cong Hoa berpaling ke arah kuburan Lo
Kay-sian, andaikata kuburannya pun ada yang tidak
beres, berarti seluruh tanah pekuburan itu...
Cong Hoa tidak berani berpikir lebih lanjut, dia
gelengkan kepalanya berulang kali, berusaha untuk
membuang jauh jauh semua kecurigaan didalam
hatinya. Tidak selang seperminum teh kemudian, kuburan itu
sudah dibongkar, peti mati pun sudah nampak.
Inilah detik paling penting untuk menyingkap rahasia
ini, tangan Cong Hoa kelihatan sedikit gemetar, entah
karena takut atau mungkin lantaran udara yang terasa
amat dingin"
Ternyata peti mati itu tidak dalam keadaan terpaku,
Cong Hoa mulai berkerut kening, perlahan-lahan dia
dorong penutup peti mati itu, ternyata dengan sangat
mudah berhasil digeser ke samping.
Dibawah sinar bintang yang menyoroti peti mati
tersebut, tampak pakaian yang dikenakan Siau-tiap.
Hanya pakaian, sama sekali tidak ada jenasah!
Rupanya peti mati itu adalah sebuah peti mati
kosong. Lalu ke mana larinya jenasah Siau-tiap" Mengapa
pihak pesanggrahan pengobatan hanya mengubur
sebuah peti mati yang kosong"
Cong Hoa mulai berpaling mengawasi kuburan Lo
Kay-sian, moga moga...
Dalam waktu singkat kuburan Lo Kay-sian pun telah
dibongkar. Kosong! Ternyata isi peti mati itupun kosong, yang ada hanya
satu stel pakaian. Paras muka Cong Hoa telah berubah
amat serius, dia mulai termenung sambil mengawasi
kedua peti mati yang kosong itu.
Tidak perlu diragukan lagi, seluruh kuburan yang ada
disitu sudah pasti hanya menanam peti mati yang
kosong. Tapi mengapa"
Mengapa pihak pesanggrahan pengobatan Coansin-
ie-khek hanya mengubur peti mati yang kosong"
Lalu ke mana larinya jenasah mereka yang telah
mati" Setiap orang yang dikirim ke pesanggrahan
pengobatan Coan-sin-ie-khek, bila akhirnya mati disitu
maka pihak pesanggrahan pasti akan mengurusi
jenasah mereka, konon sebagai ungkapan penyesalan
mereka lantaran tidak berhasil menyembuhkan sakitnya.
Cong Hoa berdiri termangu diatas puncak bukit
sambil mengawasi pesanggrahan Coan-sin-ie-khek yang
bermandikan cahaya lampu di kaki bukit sana.
Mungkinkah di balik cahaya lampu yang terang
benderang itu, tersimpan sebuah rahasia besar yang
luar biasa"
Tapi rahasia besar apakah itu"
Mendadak Cong Hoa teringat kembali akan
pembicaraannya dengan Ing Bu-ok, dulu ketika berada
di rumah makan sebuah kota kecil.
.....Dari sebuah negeri di wilayah Timur nun jauh di
sana, terbawa sebuah rahasia cara serta resep untuk
mengawetkan tubuh manusia yang telah mati.
..... Ketika jenasah itu berhasil diawetkan dengan cara
serta resep rahasia itu, maka mereka akan disebut
"Mummi".
.....Mummi-mummi itu bisa disimpan suatu jangka
waktu tertentu, suatu hari akan bangkit dan hidup
kembali. Pelbagai pikiran dan ingatan berkecamuk dalam
benak Cong Hoa, jangan-jangan...
Jangan-jangan pesanggrahan Coan-sin-ie-khek ada
hubungannya dengan lenyapnya Cong Hui-miat"
Mungkinkah tempat ini ada sangkut pautnya dengan
teka-teki serta rahasia yang sudah berlangsung sejak
dua puluh tahun berselang"
Berbinar sepasang mata Cong Hoa, begitu terang
cahaya yang terpancar keluar, seolah lebih terang dari
pantulan sinar yang dipancarkan bintang di langit.
Fajar sudah hampir tiba, inilah saat saat terakhir
kegelapan menyelimuti angkasa.
Ketika kegelapan malam mulai tergeser, setitik
cahaya terang mulai muncul di ufuk sebelah timur.
Kabut melayang diatas permukaan bumi, menyelimuti
seluruh jalan dan lorong di kota kecil itu.
"Rumah bambu" pun terbungkus oleh lapisan kabut
yang tebal. Ditengah remang remangnya suasana, diantara
tebalnya kabut yang melapisi permukaan tanah,
tampak seseorang berdiri tenang dibalik kegelapan.
Walaupun pakaian yang dikenakan orang itu sudah
dilapisi debu dan pasir, namun tidak menutupi
keangkeran serta kewibawaan yang terpancar dari balik
wajahnya. ..... Keangkeran dari seorang pengurus rumah
tangga! Dia tidak lain adalah Tay Thian.
Setelah menempuh perjalanan hampir semalaman
suntuk, tibalah dia di depan lorong jalan itu.
Sekarang, Tay Thian sedang mengawasi "rumah
bambu" itu dengan wajah serius.
Ditinjau dari luar, bangunan rumah bambu itu amat
sederhana dan tidak menunjukkan ancaman bahaya
apa pun, tapi justru dibalik ketenangan tersembunyi
ancaman jarum maut Thian-tee-soh-hun-ciam yang
sangat menakutkan, bahkan bisa jadi masih tersimpan
kejadian kejadian lain yang jauh lebih menyeramkan.
Tiada perasaan takut atau jeri yang terlintas diwajah
Tay Thian, dia hanya berharap dari tempat ini dapat
ditemukan ekor dari sang naga, asal ekornya sudah
ditemukan maka tidak sulit untuk mencari di mana
kepala sang naga menyembunyikan diri.
Selangkah demi selangkah dia berjalan mendekati
pintu 'rumah bambu', dia melangkah dengan sangat
hati-hati, penuh kewaspadaan, serangan jarum maut
thian-tee-soh-hun-ciam bukan serangan main main, dia
tidak mau pertaruhkan nyawanya dengan bergurau,
sebab terhajar sebatang jarum saja sudah lebih dari
cukup untuk menghantarnya pulang ke langit barat.
Tidak terjadi apa-apa! Hingga tiba di pintu masuk
'rumah bambu', sama sekali tidak terjadi suatu kejadian
yang luar biasa.
Diam-diam Tay Thian menghembuskan napas lega,
namun berbarengan timbul juga perasaan kecewanya.
.... Mungkinkah peristiwa yang diharapkan t idak akan
terjadi" Dari balik rumah bambu itu masih tidak nampak reaksi
apapun, yang terlihat hanya setitik cahaya lampu yang
memancar keluar dari sela-sela dinding. Pintu depan
rumah bambu berada dalam keadaan setengah
terbuka. Dengan sangat hati hati Tay Thian mendorong pintu
itu hingga terbuka, kemudian diapun melangkah masuk
ke dalam. Tapi begitu melangkah masuk, dia pun berdiri
terperangah. Tay Thian sudah pernah berkunjung ke banyak
tempat, pelbagai tempat aneh pernah dikunjunginya,
dia pun tahu dengan pasti tempat mana yang indah
bagaikan surga dan tempat mana yang menakutkan
bagaikan neraka.
Tapi rumah bambu ini benar-benar sangat indah,
setiap benda yang ada didalam ruangan rata-rata
sangat indah dan menawan, namun dibalik keindahan
terasa pula bagaikan sebuah neraka.
Sebuah neraka yang sangat indah!
Benda pertama yang disaksikan Tay Thian adalah
sebuah lukisan, sebuah lukisan yang tergantung diatas
dinding. Diatas dinding rumah yang panjangnya lima
depa (8 m), dipenuhi pelbagai lukisan bergambar iblis
berkepala siluman.
Iblis berkepala siluman!
Berbagai iblis, berbagai siluman. Ada yang berwajah
manusia bertubuh hewan, ada yang mirip manusia tapi
bukan manusia, ada pula yang hewan tapi justru
memiliki jantung manusia.
Diatas dinding ruangan yang lebarnya mencapai lima
depa itu, selain dipenuhi lukisan siluman, disitu pun
terdapat seekor burung kakak tua.
Kakak tua berdarah!
Dalam genggaman semua iblis siluman itu
memegang sebilah golok melengkung, dari ujung golok
meleleh keluar tetesan darah, tetesan darah yang
mewujudkan seekor kakak tua berdarah.
Burung kakak tua berdarah itu sedang pentang sayap
siap terbang ke arah seorang lelaki setengah umur yang
mengenakan kopiah raja terbuat dari emas putih.
Seorang lelaki setengah umur yang lembut lagi tampan.
Para siluman iblis sedang menyembah ke arahnya,
seakan akan para hamba setia yang sedang
menyembah kaisarnya.
Mungkinkah "dia" adalah iblis diantara siluman iblis"
Apakah lelaki setengah umur yang mirip manusia itu
adalah raja dari kaum iblis"
Burung kakaktua berdarah pun memiliki anak buah.
Tiga belas ekor burung aneh yang sangat cantik sedang
mengelilinginya, terbang di kiri dan kanannya.
Ketiga belas ekor burung aneh itu memiliki bulu seekor


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merak, sayap seekor kelelawar, lincah dan gesit seperti
seekor walet dan memiliki jarum beracun seperti seekor
tawon. Tay Thian terperangah dibuatnya.
Di dalam ruangan itupun tersedia sebuah ranjang
yang sangat besar, ranjang yang membuat orang
langsung membayangkan adegan yang syuur,
disamping ranjang adalah sebuah meja, diatas meja
tersedia enam macam hidangan, enam macam
hidangan yang membuat air liurmu meleleh keluar,
disamping hidangan tersedia juga enam botol arak,
cukup dari botolnya dapat diketahui kalau arak tersebut
adalah arakjempolan.
Ternyata Tay Thian tidak menaruh perhatian pada hal
yang lain, seluruh konsentrasinya hanya tertuju pada
lukisan yang tergantung diatas dinding rumah.
Sedemikian kesemsemnya dengan lukisan itu hingga dia
sama sekali tidak sadar kalau diatas ranjang berbaring
seseorang. Masih untung pada akhirnya dia mendengar juga
suara dari perempuan itu. Suaranya merdu merayu,
terselip pula suara tertawa yang sedap didengar.
"Kau menyukai lukisan itu?" Tay Thian berpaling dan
terlihatlah seorang perempuan yang selama hidup
belum pernah terlihat olehnya.
Belum pernah terlihat kecantikannya, belum pernah
terlihat keanehan dandanannya. Pakaian yang
dikenakan sangat aneh, pakaian yang hanya separuh
bagian. Yang separuh bagian bukan baju yang di atas,
pun bukan separuh bagian yang ada dibawah.
Pakaian yang disebelah kanan dikenakan sangat rapi
sementara yang disebelah kiri justru telanjang bulat,
telinganya mengenakan anting anting besar, wajahnya
yang separuh berbedak dan bergincu, rambutnya pun
diberi tusuk konde bermutiara.
Tapi semuanya hanya dibagian kanan. Sementara di
bagian kirinya polos dan bugil, persis seperti bayi yang
baru dilahirkan. Tay Thian semakin terperangah.
Lama sekali ia berdiri termangu, kemudian buru
berpaling lagi memandang lukisan diatas dinding,
lukisan dengan tiga belas ekor burung aneh yang amat
cantik. Kali ini dia memperhatikan dengan lebih
seksama. Akhirnya diapun menemukan hal yang sama atas
burung-burung aneh didalam lukisan itu... separuh
bagian bersayap kelelawar sementara separuh bagian
yang lain bersayap burung elang, separuh bagian
berbulu seperti merak sementara separuh bagian yang
lain berbulu burung hong.
Perempuan itu mulai tertawa.
Ketika tertawa, senyumannya nampak lembut
bagaikan hembusan angin dimusim semi, indah dan
cantik bagai sekuntum bunga, tapi mirip juga dengan
arus air sungai yang lembut dan tenang.
Namun kelopak matanya justru mendelong agak ke
dalam, pandangan matanya lebih dingin dari salju, lebih
tajam dari sembilu.
"Kakak tua berdarah," suara bisikannya pun indah
bagaikan kicauan burung nuri.
"Kakak tua berdarah?"
"Betul, lantaran dia tercipta oleh tetesan darah
siluman iblis. Tiga belas ekor burung aneh yang terbang
mengelilinginya merupakan budaknya, karena itu
dinamakan Hiat-nu (budak darah)"
"Hiat-nu" Budak darah?" Tay Thian mencoba
menatapnya lebih tajam, "Kenapa kau
menggantungkan begitu banyak lukisan yang
menakutkan diatas dinding rumahmu?"
"Karena aku senang melihat orang ketakutan," sahut
perempuan itu sambil tertawa merdu, "Ketakutan
merupakan sebuah rangsangan, seringkah' dapat
merangsang kaun lelaki hingga mendekati kalap."
... Tampaknya dia sangat memahami sifat seorang
lelaki. "Lantas apa pula yang dimaksud dengan kawanan
siluman iblis itu?"
"Mereka sedang merayakan ulang tahun raja iblis,"
perempuan itu menuding ke arah lelaki setengah umur
yang tampan itu, "dialah raja dari segala siluman iblis!"
"Masa raja iblis berwajah tampan?"
"Bagi pandangan kaum wanita, hanya lelaki yang
paling tampan pantas menjadi raja dari segala siluman
iblis." Kerlingan matanya mulai merayu, debar jantung Tay
Thian pun bertambah kencang.
"Seratus ribu siluman iblis dengan seratus ribu tetes
darah iblis menciptakan seekor burung, yaitu kakak tua
berdarah," suara bisikannya semakin memabukkan,
semakin merangsang napsu, "Karena hanya dibutuhkan
sembilan puluh delapan ribu enam ratus enam puluh
empat tetes darah untuk mewujudkan kakak tua
berdarah maka sisanya yang seribu tiga ratus tetes
berubah menjadi ketiga belas budak darah itu."
"Masih ada sisa yang tiga puluh enam tetes?"
"Tiga puluh enam tetes darah yang terakhir telah
berubah menjadi jarum."
"Jarum?" seru Tay Thian terkesiap, "Jarum apa itu?"
"Jarum berwarna biru, jarum yang mampu membetot
sukma manusia dalam sekejap mata!"
"Jarum berwarna biru" Jarum pembetot sukma thiantee-
soh-hun-ciam?"
"Betul!"
Konon kawanan setan dan iblis yang menghuni
dalam alam baka tidak memiliki darah. Berita tersebut
sesungguhnya kurang tepat. Setan memang tidak
punya darah, tapi iblis mempunyai darah.
Darah iblis! Konon suatu ketika, demi merayakan ulang tahun ke
seratus ribu tahun dari raja iblis nomor wahid, para iblis
dari langit timur dan kawanan iblis dari langit barat
sama-sama berkumpul di suatu tempat yang disebut "kilong-
ka-ka-bu."
Tempat macam apakah Kilong kakabu itu" Konon
tempat itu merupakan dunianya kaum iblis, diatas tidak
ada langit, dibawah pun tidak ada bumi, yang ada
hanya angin, kabut, hawa dingin yang membeku dan
bara api yang panas.
Hari itu, para iblis telah merobek ujung jari sendiri,
dengan menggunakan darah iblis mereka yang
menetes keluar menciptakan seekor burung kakak tua,
kakak tua itu mereka persembahkan sebagai kado
ulang tahun. Seratus ribu iblis dengan seratus ribu tetes darah iblis!
Konon kakak tua berdarah itu bukan saja dapat
menyingkap seluruh rahasia yang ada dilangit maupun
di bumi, lagipula dapat memenuhi tiga permintaan
orang. Asal kau dapat berjumpa dengannya,
menangkapnya, dia akan memenuhi tiga
permintaanmu. Konon setiap tujuh tahun sekali, kakak tua berdarah
akan datang ke alam semesta, dan sekarang sudah
tujuh tahun lamanya semenjak terakhir kali kakak tua
berdarah itu munculkan diri.
"Setiap tujuh tahun, kakak tua berdarah akan
berkunjung satu kali ke alam semesta?" Tay Thian
meneguk secawan arak, "Konon dia pun akan
memenuhi tiga permintaanmu?"
"Benar, asal kau dapat berjumpa dengannya maka
dia pun akan memenuhi tiga buah permintaanmu."
"Apa permintaan apa pun pasti akan terkabul?"
"Benar, semua permintaannya pasti akan terkabul."
"Aku tidak percaya."
"Kau tidak percaya?"
"Betul, itu mah Cuma dongeng, tidak mungkin ada
orang yang benar benar dapat bertemu."
"Coba pandanganlah aku!" mendadak perempuan
itu berkata. Memandangnya" Siapa takut" "Siapakah aku?"
"Kau" Tentu saja seorang wanita," sahut Tay Thian
sambil tertawa, "Seorang wanita yang sangat cantik
dan menawan hati."
"Coba perhatikan sekali lagi, perhatikan lebih
seksama, siapakah aku?" dari balik matanya yang
bening seolah memancar keluar jilatan api yang panas
membara, jilatan api yang memikat.
Ternyata Tay Thian sangat penurut, dia menghampiri
perempuan itu dan memandangnya dengan lebih
seksama. "Siapakah aku?"
Tay Thian menghela napas panjang, "Aaai,
bagaimana pun kupandang, rasanya kau tetap seorang
wanita." "Benarkah?"
Tiba-tiba pandangan sinar api yang membara itu
padam seketika, yang muncul kini adalah kesenduan
dan kesedihan, semacam kesedihan yang tidak bisa
diungkap dengan ucapan.
.....Kesedihan yang tidak terungkap, bukankah jauh
lebih menggetarkan hati"
"Benarkah?" kembali perempuan itu mengulang
pertanyaannya hingga tiga kali, sementara air mata
tiba-tiba berlinang membasahi pipinya.
Tay Thian merasa hatinya jadi lemah.
.....Dari dulu hingga sekarang, lelaki mana yang bisa
tahan menyaksikan wanita melelehkan air mata"
Tay Thian kembali menghela napas, ditatapnya air
mata yang berlinang itu dengan termangu. Perempuan
itu tidak bicara lagi, hanya sepasang matanya masih
berkaca-kaca. Pandangan yang sendu, air mata yang
bening. Tay Thian merasa hatinya seolah-olah hampir
remuk, diapun hampir terbuai karena mabuk.
Biarpun air matanya meleleh, sorot matanya sama
sekali tidak berubah, matanya tidak berkedip, kelopak
matanya tidak bergerak, seakan semuanya sudah
berubah jadi kaku dan membeku. Ditengah pandangan
mata yang membeku, diantara air mata yang
menyilaukan, sekonyong-konyong muncul seseorang.
Yaa, seseorang!
Selama ini Tay Thian selalu mengawasi matanya, tentu
saja diapun dapat menyaksikan munculnya seseorang
dari balik biji matanya yang bening.
.....Seberapa besar matanya" Seberapa besar biji
matanya" .....Seberapa besar pula manusia yang muncul dibalik
matanya yang bening" Yang ada dibalik matanya yang
bening sebetulnya hanya bayangan tubuh sendiri, tapi
sekarang, setelah kemunculan orang itu, bayangan
tubuh sendiri justru hilang entah ke mana.
Dengan ketajaman mata Tay Thian, dia pun tidak bisa
melihat jelas bayangan sendiri yang terpantul dibalik
matanya, tapi kemunculan orang tersebut justru dapat
terlihat olehnya dengan sangat jelas.
Wajah yang tampan dan lembut, kopiah putih
bagaikan kemala, dia memandang Tay Thian sambil
tersenyum. Bukankah orang itu adalah lelaki setengah umur yang
berada pada lukisan diatas dinding"
Bukankah dia adalah lelaki yang sedang disembah
seratus ribu setan iblis, yang dikitari kakak tua berdarah"
Bukankah dia adalah raja diraja dari segenap setan
iblis yang ada di jagat ini" Raja iblis!
"Raja iblis!" Tay Thian berpekik kaget.
Bagaimana mungkin raja iblis itu bisa berjalan keluar
dari balik matanya yang sendu" Bagaimana mungkin
bisa terjadi peristiwa semacam ini"
Tay Thian tertegun, terperangah. Orang itu persis
sama seperti orang yang berada dalam lukisan dinding.
Raut muka wanita itu kembali berubah, berubah
bagaikan asap, berubah bagaikan kabut.
Orang yang muncul dari balik matanya pun seakan
ikut berubah...
Kini asap telah hilang, kabut pun telah buyar, ternyata
wanita itupun ikut lenyap dari pandangan mata.
Sementara "lelaki tampan itu" justru duduk di tempat
dimana perempuan itu duduk tadi. Akhirnya Tay Thian
dapat melihat jelas "diri" nya.
"Dia" berwajah putih bagai pualam, tangannya pun
sama putihnya, kini "dia" sedang tertawa, senyumannya
lembut tapi anggun.
"Raja iblis!" pekik Tay Thian gembira.
Berapa banyak manusia di dunia ini yang pernah
bertemu dengan raja iblis"
Tidak disangkal, dapat bertemu dengan raja iblis pun
merupakan semacam kebanggaan. Raja iblis sedang
tertawa. Tay Thian menatapnya lekat-lekat, dia ingin
mengucapkan sesuatu tapi segera diurungkan, dia ingin
bertanya kepada raja iblis itu, "Kilong Kakabu
sebenarnya terletak dimana" Konon bila dapat bertemu
dengan kakak tua berdarah maka dia bisa mengajukan
tiga permintaan"
"Tim tahu, banyak pertanyaan yang ingin kau ajukan
kepadaku," tampaknya raja iblis benar-benar dapat
membaca suara hatinya, dia berkata dengan suara
yang lembut bagai seorang wanita, tapi bernada keren
penuh kewibawaan.
Tanpa sadar Tay Thian mengangguk.
"Bukankah kau ingin mengetahui rahasia dari kakak
tua berdarah?" kembali raja iblis berkata sambil tertawa,
"Bukankah kaupun ingin tahu Kilongkakabu terletidak di


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana?" "Benar."
"Sekarang berdirilah, ikuti aku!" kata raja iblis sambil
bangkit berdiri.
Tanpa sadar Tay Thian bangkit berdiri.
Raja iblis membalikkan tubuh, berjalan menuju ke
lukisan diatas dinding. Terpaksa Tay Thian mengikutinya.
Selangkah demi selangkah akhirnya sampailah
didepan lukisan diatas dinding, namun raja iblis sama
sekali tidak menghentikan langkahnya, dia berjalan terus
menuju ke lukisan diatas dinding.
Tay Thian berdiri bodoh, berdiri mematung didepan
lukisan diatas dinding, dia bukan siluman iblis, juga bukan
raja iblis, mana mungkin bisa memasuki lukisan diatas
dinding" "Mengapa kau tidak mengikuti tim masuk kemari?"
ternyata suara itu muncul dari balik lukisan diatas
dinding. "Tapi... tapi disitu kan dinding tembok?"
"Kalau tim suruh kau masuk, kau masuk saja!"
"Baik!"
Terpaksa Tay Thian bulatkan hati dengan melangkah
masuk ke dalam dinding itu, ternyata kakinya dengan
gampang melangkah masuk ke balik dinding. Tay Thian
merasa girang bercampur tercengang, bagaimana
mungkin seluruh tubuhnya dapat memasuki dinding itu"
Kini seluruh tubuhnya sudah masuk ke dalam lukisan,
mula-mula dia merasa gelap kemudian terlihatlah
secercah cahaya, cahaya yang kabur, cahaya yang
redup, tidak diketahui bersumber dari mana"
Ada angin berhembus lewat, angin menggoyangkan
ujung baju Tay Thian. Angin yang sangat dingin, begitu
dingin sehingga terasa menyeramkan, tapi aneh,
tubuhnya sama sekali tidak merasa kedinginan.
Ada kabut, kabut yang putih dan tebal melayang
disekeliling tubuh Tay Thian, namun tebalnya kabut
ternyata sama sekali tidak menghalangi pandangan
matanya. Kembali Tay Thian melangkah maju ke depan.
Kini dia menyaksikan cahaya yang amat menyilaukan
mata. Cahaya api!
Jilatan api yang melayang datang, bagaikan
gulungan ombak muncul dari sisi kanan tubuhnya.
Tergopoh gopoh dia menyingkir ke samping kiri. Jilatan
api segera lenyap dari pandangan mata, kini yang
muncul adalah hawa dingin. Hawa dingin yang
membeku, hawa dingin yang menggulung bagaikan
ombak, menerjang ke arah tubuhnya.
Jilatan api berhenti ditengah ruangan, gulungan
hawa dinginpun berhenti ditengah ruangan, kini yang
tersisa hanya jalan selebar setengah depa. Melalui
jalanan seluas setengah depa itulah Tay Thian berjalan,
tanpa terasa dia tundukkan kepalanya memandang ke
arah bawah. Dibawah pijakan kakinya ternyata tidak ada tanah,
tidak ada bumi. Tay Thian terkejut setengah mati, nyaris
dia terperosok jatuh ke bawah.
Apa akibatnya bila dia terperosok ke bawah" Tidak
terlukiskan dengan kata. Kini mati hidupnya hanya
bertumpu pada sepasang kakinya. Yang aneh, ternyata
dia tidak sampai terperosok ke bawah.
Diantara angin dan kabut, ditengah kobaran api dan
hawa dingin, ternyata muncul sebuah jalanan yang
tidak berwujud, dan sekarang dia sedang berjalan
menelusuri jalanan tidak berwujud itu.
Tay Thian menghembuskan napas dinding, dia
mendongakkan kepalanya, mencoba memperhatikan
bagian atas. Diatas tidak nampak langit, hanya hawa
dingin yang menggulung, jilatan api sedang terbang
menari, angin sedang menderu dan kabut menyelimuti
semua tempat. Di manakah letak langit"
Di mana pula terletak bumi"
Di atas kepala tidak ada langit, dibawah kaki tidak
ada bumi, yang ada hanya angin dan kabut, hawa
dingin dan jilatan api.
Jangan-jangan tempat inilah yang disebut dunianya
kaum setan iblis" Jangan-jangan disinilah ke seratus ribu
iblis meneteskan darahnya untuk menciptakan seekor
burung kakak tua berdarah"
Jangan-jangan tempat inilah yang disebut Kilongkakabu"
Benarkah tempat ini adalah Kilong-kakabu" Tay Thian
berpekik didalam hati, tidak sepatah katapun sanggup
diucapkan keluar, pandangan matanya penuh
pancaran sinar gembira, tapi terselip juga pandangan
ngeri dan seram.
Baru pertama kali ini dia mendengar tentang kota
iblis, sebetulnya dia tidak percaya kalau dalam jagad ini
benar-benar terdapat sebuah tempat yang disebut
Kilongkakabu, tapi sekarang dia sudah hadir ditempat
tersebut, mau tidak percaya pun tidak mungkin.
Dengan penuh keheranan, tidak percaya, rasa ingin
tahu, dia mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu.
"Bluuup!" tiba-tiba segumpal kobaran api terjatuh
persis dihadapannya, jilatan api bagaikan bunga teratai
yang sedang mekar, dari balik jilatan api bagaikan
teratai yang sedang mekar itu mendadak berdiri
seseorang. Bukan manusia, pun bukan hewan.
Tay Thian tidak dapat mengenali "manusia" yang
muncul dari balik kobaran api itu sebenarnya makhluk
apa. Seluruh tubuhnya bening tembus pandang, namun
tidak memiliki wujud yang pasti.
Kemudian dia mulai melihat dengan jelas tulang demi
tulang muncul dihadapan matanya, tulang rusuk, tulang
dada, setelah itu dari dada disebelah kiri muncul sebuah
jantung merah sebesar kepalan tangan.
Jantung manusia!
Jantung itu merah bagaikan tetesan darah, namun
tidak ada darah yang meleleh, seluruh tubuhnya dari
atas hingga ke bawah tidak nampak setetes darah pun.
Di dalam tubuh itu hanya ada sebuah jantung
manusia. Baru saja Tay Thian akan periksa raut mukanya, jilatan
api bagai bunga teratai mekar itu sudah menutup
kembali, api itu berubah menjadi segumpal kobaran api
dan meluncur ke sisi kanan dimana lautan api berada.
Dengan cepat Tay Thian mengalihkan
pandangannya ke arah gumpalan api itu, mengikuti
gerakannya hingga mencebur ke lengah lautan api,
mendadak dia jumpai disana bukan hanya ada jilatan
api saja, ditengah api masih terdapat "manusia",
"manusia" dalam jumlah yang tidak terhitung.
Dalam waktu singkat sekeliling tubuhnya sudah
dipenuhi oleh "manusia", ada yang melayang mengikuti
hembusan angin, ada yang muncul dari balik kabut,
malah tidak terhitung jumlahnya mereka yang berada
hawa dingin yang menggulung.
Tidak diketahui berasal dari mana kemunculan orangorang
itu, mereka seakan sudah lama berada disitu,
hanya sekarang baru menampilkan wujudnya.
Tay Thian tidak merasa asing dengan "Orang-orang"
itu, dia sudah pernah menjumpai lukisannya diatas
dinding ruangan dalam rumah bambu itu.
Mereka bukan "manusia", mereka adalah siluman
iblis, berbagai macam iblis, pelbagai macam siluman.
Ada diantara mereka yang berbentuk setengah
manusia setengah hewan, ada yang bukan manusia
pun bukan hewan, ada yang berbentuk manusia tapi
bukan manusia, ada yang berbentuk hewan tapi justru
memiliki jantung manusia.
Ditengah hembusan angin, dibalik kabut, ditengah
lautan api, didalam bekunya hawa dingin, hampir
semuanya terlihat ada siluman iblis yang bermunculan.
Sebenarnya ada berapa banyak siluman iblis yang
berdatangan kali ini"
Mengapa mereka berkumpul di Kilongka-kabu" Apa
yang hendak mereka lakukan"
Apakah hari inipun hari ulang tahun raja iblis" Hadiah
apa pula yang akan mereka persembahkan kepada
raja iblis"
Ke mana perginya raja iblis"
Sekarang Tay Thian baru teringat akan raja iblis,
sementara kawanan siluman iblis itu telah lenyap dibalik
angin, kabut, panas dan dingin.
Begitu banyak siluman iblis yang tadi berkumpul disitu,
sekarang hampir semuanya telah lenyap, tak tertinggal
setengah pun. Begitu kawanan siluman iblis itu lenyap tidak
berbekas, Tay Thian pun kembali berjumpa dengan raja
iblis. Waktu itu raja iblis sedang berdiri didepan sana, ia
sedang menggapai ke arahnya.
Buru buru Tay Thian menyusul ke depan, namun tidak
pernah berhasil menyusulnya, betapa cepatnya dia lari,
iblis itu tetap berada di depannya.
Selama ini dia tidak pernah menyaksikan gerakan kaki
si raja iblis itu. Pada hakekatnya raja iblis itu bukan
bergerak dengan langkah kakinya, tapi melayang
diantara hembusan angin dan lapisan kabut.
Entah sudah berapa lama mereka berlarian, entah
sudah berapa jauh mereka pergi, sepanjang jalan
hanya angin, kabut, api dan hawa dingin yang
menyelimuti sekelilingnya.
Betapapun baiknya sifat sabar yang dimiliki Tay Thian,
tidak urung dia mulai gelisah, baru saja ingin bertanya
masih berapa jauh dan akan pergi ke mana mereka
berdua, mendadak si raja iblis yang berada didepan
sudah lenyap tidak berbekas.
Baru saja dia ingin mencegah kepergian raja iblis itu,
tahu-tahu hawa yang dingin disisi tubuhnya telah
berubah jadi tebing yang tinggi lagi curam.
Kobaran api yang membara pun berubah jadi
dinding api yang sangat tinggi.
Dari balik dinding api dan dinding salju itulah
kawanan siluman iblis kembali menampakkan diri,
berdiri berbanjar dengan wajah serius.
Sebuah bangunan istana yang megah hampir
bersamaan waktu muncul dihadapan mukanya.
Bangunan istana itu seakan melayang turun dari
dunia luar, seakan akan mengambang ditengah angin
dan awan. Tay Thian berdiri terbelalak, mulutnya melongo, disaat
dia masih dicekam perasaan heran bercampur kaget,
terdengarlah suara rentetan bunyi keleningan yang
merdu. Suara keleningan itu datang dari tempat yang jauh,
kemudian tampak tiga belas ekor burung aneh terbang
melintasi lautan api dan terbang sambil melayang di
angkasa. Burung aneh yang sangat indah dengan bulu dari
merak, sayap dari kelelawar, ekor dari burung walet,
jarum beracun dari lebah, separuh bersayap elang,
setengah bersayap kelelawar, setengah berbulu merak
setengahnya lagi berbulu burung hong.
Komposisi warna pun sangat serasi dan segar, sebuah
keindahan yang luar biasa, sebuah keanehan yang luar
biasa. Pada leher setiap burung tergantung sebuah
keleningan, suara keleningan yang aneh dan khas
seakan ingin membetot sukma semua yang
mendengarnya. Sukma Tay Thian tidak sampai terbetot oleh suara itu,
tapi keadaannya sekarang tidak beda dengan orang
yang kehilangan nyawa.
Sebenarnya dia tidak percaya ada burung seaneh
itu, karena di dunia ini tidak pernah terdapat burung
sedemikian anehnya, belum pernah dia saksikan burung
semacam ini. Tapi sekarang, mau tidak mau dia harus
mempercayainya.
Dia bahkan mulai curiga dengan mata sendiri, apa
mau dikata sepasang matanya justru tidak pernah
berpenyakitan. Pada hakekatnya burung seaneh ini tidak mungkin
berasal dari alam dunia.
... Tempat tersebut, pada hakekatnya juga bukan
alam dunia. Burung aneh itu sebetulnya memang milik istana iblis,
tercipta oleh darah iblis.
..... Seratus ribu iblis sakti, seratus ribu tetes darah iblis,
tercipta seekor kakak tua berdarah, karena dalam
kenyataan hanya membutuhkan sembilan puluh
delapan ribu enam ratus enam puluh empat tetes, maka
sisanya yang seribu tiga ratus tetes terwujud menjadi tiga
belas ekor burung iblis.
Tiga belas ekor burung yang menjadi budaknya kakak
tua berdarah. Budak darah! ...... Masih ada sisa tiga puluh enam tetes, membeku
dan berubah menjadi tiga puluh enam batang jarum.
Jarum pembetot sukma Thian-tee-soh-hun-ciam!
Tiga belas ekor budak darah beterbangan
dihadapan Tay Thian, sekonyong-konyong mereka
berkumpul jadi satu, dalam waktu singkat..."Ting, tang!"
kembali suara keleningan berbunyi, ketiga belas ekor
burung budak darah itu segera menyebar ke empat
penjuru dan terbang balik ke arah asalnya.
Kobaran api yang dilewati burung burung itu segera
membara dan menjilat makin tinggi, bunga api meletup
dan menyebar kemana-mana.
Bunga api yang meletup memancarkan tujuh warna,


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah bagaikan lelehan darah.
Diseluruh angkasa pun tersebar selapis hujan darah
yang menyeramkan.
Hujan darah itu menyebar kemana-mana, sebagian
ada yang menodai tubuh Tay Thian, tapi begitu
menyebar, hujan darah itupun kembali lenyap tidak
berbekas, anehnya, darah yang menodai pakaiannya
ikut lenyap tidak berbekas.
Tay Thian semakin termangu, semakin berdiri bodoh.
Ditengah ledakan bunga api, tiba-tiba muncul seekor
burung kakak tua, kakak tua berwarna merah darah.
Itulah kakak tua berdarah!
Bulu yang berwarna merah, paruh dan cakar yang
berwarna merah, sepasang mata pun berwarna merah
darah. Dari sembilan puluh delapan ribu enam ratus enam
puluh empat tetes darah iblis yang terwujud menjadi
seekor burung kakak tua, burung kakak tua berdarah.
Mengawasi kakak tua berdarah itu, tidak kuasa lagi
Tay Thian mendecak kagum.
Saat itulah dia mulai mendengar suara tertawa, suara
tertawa yang aneh, jelas suara tertawa manusia.
Suara tertawa itu berasal dari arah depan, padahal
disitu tidak ada seorang manusia pun, dihadapannya
hanya ada tiga belas budak darah dan seekor kakak
tua berdarah. Ternyata suara tertawa itu berasal dari burung kakak
tua berdarah. Suara tertawa kakaktua berdarah, sama persis seperti
suara tertawa manusia.
Dibalik suara tertawanya, penuh diliputi hawa sesat,
hawa siluman yang sangat aneh.
Tidak kuasa lagi seluruh tubuh Tay Thian berubah jadi
dingin membeku, hawa dingin yang tajam bagai
tusukan jarum timbul dari belakang punggungnya,
menembusi tulang belulangnya, menembus hingga ke
tulang sumsum, menembusi ulu hatinya.
Suatu perasaan ngeri yang membingungkan tiba-tiba
muncul dari dasar hatinya dan menyebar luas kemanamana.
Dia mulai merasakan tubuhnya gemetar, bulu
kuduknya pada bangun berdiri, meski begitu, kakinya
tetap berdiri tegap di posisi semula.
.....Setiap tujuh tahun, kakak tua berdarah selalu
berkunjung satu kali ke alam dunia, setiap kali datang
dia selalu akan meluluskan tiga permintaan.
..... Asal kau adalah orang pertama yang bertemu
dengannya, maka tiga buah permintaanmu pasti akan
terkabulkan. ..... Apa pun permintaanmu, pasti akan terwujud
menjadi kenyataan.
Sekarang dia telah bertemu dengan kakak tua
berdarah, permintaan apa yang akan diajukan"
Permintaan pertama, dia berharap bisa hidup terus
tanpa pernah tua, lalu apa permintaan yang kedua"
Tay Thian tertawa, disaat senyuman mulai muncul dan
menghiasi ujung bibirnya, mendadak suara tertawa
yang sesat itu berhenti seketika.
Kakak tua berdarah dengan matanya yang merah
membara sedang menatap wajahnya. "Tay Thian!"
Ternyata dia mampu mengucapkan perkataan
manusia, ternyata dia sanggup memanggilnya sebagai
"Tay Thian".
"Kakak tua berdarah?" bisik Tay Thian dengan bibir
gemetar. Dalam keadaan begini, ternyata dia masih sanggup
berbicara, bahkan dia sendiripun merasa keheranan.
Dia tidak tahu, suara sendiri justru telah berubah jadi
begitu tidak sedap di dengar, boleh dibilang sama sekali
tidak mirip suara manusia.
Sekali lagi kakak tua berdarah itu tertawa. Tay Thian
pun ikut tertawa, tertawa getir.
"Konon kau akan mengabulkan tiga permintaan yang
diajukan?"
"Lantas apa permintaanmu?"
"Permintaanku yang pertama, aku ingin mengetahui
rahasiamu."
Begitu perkataan itu diucapkan, Tay Thian segera
merasa amat menyesal.
Kembali suara tertawa burung kakak tua berdarah itu
berkumandang, kali ini suara tertawanya lebih tajam
melengking, lebih menusuk pendengaran, dibalik suara
tertawanya penuh terkandung hawa sesat, penuh
mengandung sindiran.
Seratus ribu siluman iblis yang berdiri berjajar diatas
lautan api dan dinding salju seakan ikut tertawa, tertawa
tergelak, tertawa bersama.
Bisa dibayangkan bagaimana suasananya ketika
ada seratus ribu siluman iblis tertawa bersama......
Jangan lagi siluman iblis, suara tertawa seratus ribu
manusia pun sudah cukup menggetarkan seluruh langit
dan bumi. Disini tidak ada langit, juga tidak ada bumi.
Disaat ke seratus ribu siluman iblis itu mulai tertawa,
tiba-tiba kakak tua berdarah itu lenyap tidak berbekas,
tiga belas budak darah pun ikut lenyap entah ke mana.
Dari balik dinding api dan salju, dari balik angin dan
kabut bermunculan seratus ribu bilah golok iblis, golok
lengkung yang memantulkan cahaya aneh.
Golok itu berada ditangan para siluman iblis.
Mereka menggenggam golok sambil menengadah
ke atas, wajahnya yang aneh tersisip keseriusan yang
luar biasa. Mengikuti arah yang dipandang, Tay Thian turut
menengadah, lagi-lagi dia melihat kemunculan Raja
iblis. Raja iblis yang muncul kali ini jauh berbeda dengan
kemunculannya tadi, kini dia berubah jadi tinggi besar,
paling tidak ketinggiannya mencapai tiga meter.
Wajahnya masih tetap tampan seperti tadi, masih
tetap lembut dan ramah.
Serentetan bunyi irama musik yang aneh mendadak
bergema, serentak kawanan siluman iblis yang
menggenggam golok ditangan kanan, mengacungkan
jari tengah tangan kirinya ke depan, wajah mereka
bertambah serius.
Terlihat cahaya golok berkelebat, hujan darah
kembali memercik kemana-mana.
Seratus ribu bilah golok iblis memotong diatas seratus
ribu jari tangan, seratus ribu tetes darah iblis memercik
ditengah cahaya golok dan secepat kilat meluncur ke
arah raja iblis, terhimpun jadi satu persis dihadapannya.
Setetes menggumpal dengan tetesan yang lain, tetes
demi tetes terkumpul jadi satu, sembilan puluh delapan
ribu enam ratus enam puluh empat tetes darah iblis
menggumpal jadi satu dan terwujudlah kakak tua
berdarah. Seribu dua ratus tetes berubah menjadi tiga belas
budak darah. Sekali lagi kakak tua berdarah menampakkan diri,
diiringi budak-budak darah disisi kiri kanannya.
..... Beginikah pemandangan yang pernah terjadi di
hari ulang tahun raja iblis waktu itu"
Sekali lagi cahaya golok berkelebat, seratus ribu golok
iblis hilang lenyap di balik kabut yang tebal. Irama musim
yang aneh pun ikut sirna, bersama lenyapnya raja iblis
yang berapa depa tingginya.
Dua belas budak darah masih beterbangan mengitari
tuannya, sementara burung kakak tua berdarah kembali
tertawa, nada sindiran semakin tebal terkandung dalam
suara tertawanya.
"Inilah rahasia ku!"
Walaupun dapat berbicara namun dia tidak
pergunakan kata lain untuk menjabarkan lebih jauh, dia
hanya mengulang kejadian yang berlangsung disaat
raja iblis merayakan ulang tahunnya yang ke seratus
ribu. Menggunakan kenyataan untuk menjawab
pertanyaan Tay Thian, menggunakan kenyataan untuk
memenuhi permintaan Tay Thian.
Hampir saja Tay Thian menendang diri sendiri
kemudian ditambah dengan seratus ribu tempelengan
diatas wajah sendiri.
Paling tidak rahasia burung kakak tua berdarah
pernah dilihatnya dari lukisan yang tertera di dinding
rumah bambu, sekalipun sebelumnya dia mengira itu
hanya sebuah lukisan biasa, sebuah dongeng.
Sebab dia belum pernah berkunjung ke
Kilongkakabun, diapun belum pernah bersua raja iblis,
tapi sekarang dia pernah berkunjung ke Kilongkakabun,
diapun telah berjumpa dengan raja iblis.
Jelas mereka bukan makhluk manusia yang hidup di
alam semesta. Bila mereka semua terwujud sebagai
sebuah kenyataan, mana mungkin rahasia kakak tua
berdarah hanya cerita isapan jempol"
Dia sudah tahu dengan jelas rahasia dari kakak tua
berdarah, buat apa harus menanyakan lagi rahasia
kakak tua berdarah" Bahkan telah menggunakan
permintaannya yang pertama dari tiga permintaan
yang dimiliki, bukankah perbuatannya sangat
menggelikan"
Bukan Cuma menggelikan, bahkan teramat tolol,
teramat goblok dan boros"
"Apa permintaanmu yang kedua?"
Kali ini dia tidak boleh goblok lagi. Tay Thian mulai
berpikir, walaupun dia masih muda, suatu ketika tentu
akan berangkat tua dan akhirnya mati, kenapa tidak
menggunakan kesempatan ini dia memohon kehidupan
yang kekal dan tidak pernah tua"
Ingatan tersebut segera dihapus kembali oleh Tay
Thian, dia tahu raja iblis pasti berharap bisa
mendatangkan musibah dan bencana bagi umat
manusia, permintaan yang bisa dipenuhi kakak tua
berdarah pun pasti hal hal yang bisa mendatangkan
bencana dan ketidak beruntungan.
Lantas permintaan apa yang harus diajukan"
Perkumpulan Cing Liong Hwee sudah berdiri sejak
ratusan tahun berselang, tapi belum pernah ada
seorang manusia pun yang tahu organisasi macam
apakah itu, juga tidak pernah ada orang yang tahu
siapa pemimpin perkumpulan naga hijau itu.
Perselisihan Nyoo Cing dengan perkumpulan naga
hijau sudah berlangsung hampir dua puluh tahun,
banyak korban telah tewas gara-gara perseteruan itu,
bukankah kedatangannya ke rumah bambu kali ini pun
bertujuan untuk itu"
Tampaknya yang bisa mengungkap rahasia Cing
Liong Hwee saat ini hanya raja iblis dan kakak tua
berdarah. Dikemudian hari, sudah pasti dia tidak akan
menjumpai kesempatan lagi untuk berkunjung ke
Kilongkakabu, diapun tidak akan mempunyai peluang
untuk bertemu lagi dengan burung kakaktua berdarah.
Sekarang merupakan satu satunya kesempatan
baginya, satu-satunya kesempatan untuk menyingkap
rahasia Cing Liong Hwee.
"Permintaanku yang kedua adalah ingin tahu siapa
pemimpin perkumpulan Cing Liong Hwee" Organisasi
macam apakah itu?"
Baru selesai dia berkata, kali ini yang tertegun justru
burung kakak tua berdarah.
Menyaksikan reaksi yang begitu aneh, Tay Thian
segera menegur, "Bagaimana" Kau tidak bisa
penuhi permintaanku?"
"Bisa!"
"Asal bisa, itu lebih dari cukup, kenapa kau kelihatan
melengak?" kata Tay Thian sambil tertawa.
"Aku hanya merasa keheranan."
"Apa yang kau herankan?"
"Setiap orang selalu ingin awet muda dan tidak bisa
mati, bisa memiliki uang dan kekayaan yang tidak
pernah habis digunakan, kini kau telah memperoleh
peluang ini, kenapa tidak kau pergunakan?"
"Sebab aku tak ingin satu barisan dengan bencana
dan ketidak beruntungan."
"Ternyata kau adalah seorang yang pintar."
"Boleh juga."
Mendadak kakak tua berdarah tertawa tergelak,
sambil tertawa dia membalikkan tubuh seraya berseru,
"Ikut aku!"
Angin menderu deru, kabut melayang diatas
permukaan, jilatan api mulai membara, dinding salju
yang membeku kembali menjulang tinggi.
Burung kakak tua berdarah langsung terbang menuju
istana iblis, siluman iblis yang berdiri serius di kedua sisi
jalan tiba-tiba hilang tidak berbekas.
Kini Tay Thian sudah berada di muka istana iblis.
Begitu tiba disitu, tiga belas budak darah pun ikut
lenyap, sementara raja iblis entah sudah berada
dimana. "Kau naiklah hingga ke puncak altar, setelah tiba
disana kau akan menyaksikan sebuah samudra, disisi
samudra terdapat sebuah sampan, sampan itu akan
membawamu pergi."
"Kenapa aku harus pergi?" tanya Tay Thian.
"Bukan suruh kau pergi, sampan itu hanya akan
menghantarmu ke suatu tempat."
"Tempat apa?"
"Sebuah tempat yang bisa memenuhi permintaanmu
kedua." Begitu selesai bicara, kakak tua berdarah itupun


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berubah jadi segumpal bara api dan lenyap dari
pandangan. Tay Thian segera menaiki anak tangga, tiba dipuncak
altar dia pun menyaksikan sebuah samudra, anehnya air
samudra tidak berwarna biru, juga tidak hijau tapi
berwarna merah, merah bagaikan bara api.
Tay Thian mulai mencari sampan yang dimaksud, tapi
disitu tidak ada sampan, yang ada hanya sebuah rakit
yang terbuat dari kayu.
Apakah rakit kayu ini sanggup membawanya
menyeberangi samudra api" Rakit itu akan
membawanya kemana" Bertemu dengan siapa"
Tay Thian tidak membuang waktu lagi, dia bersiapsiap
melompat ke atas rakit itu.
Apa yang bakal terjadi setelah dia melompat ke atas
rakit" Apakah dia akan tercebur ke dalam luutan api"
Seandainya dia benar benar tercebur ke dalam
lautan api, apa yang kemudian akan terjadi" Apa yang
bakal dialaminya"
BAB 5 Jurus pedang ke lima belas.
Sampan iblis masih mengapung.
Tay Thian tidak ragu ragu lagi, dengan satu lompatan
dia meluncur ke atas rakit itu.
Dia telah melompat dengan menggunakan segenap
tenaga yang dimilikinya.........
Pada saat itulah mendadak Dia mendengar
seseorang berteriak nyaring, suara dari seseorang yang
terasa amat asing, tapi juga seperti amat dikenalnya,
suara itu seolah datang dari tempat yang jauh.
"Bahaya!"
Menyusul kemudian dia melihat datangnya sebuah
cambuk panjang, muncul dari belakang tubuhnya dan
langsung melilit pinggangnya.
Begitu cambuk itu melilit di pinggang, tubuhnya yang
sedang melompat pun berhasil melayang turun diujung
altar. Menyusul kemudian batok kepalanya serasa
menumbuk sebuah benda secara keras, "duuuk!" dan
dia pun tidak sadarkan diri.
Suasana amat gelap, sejauh mata memandang
hanya kegelapan yang mencekam.
Dari balik kegelapan seolah terdengar ada suara,
seolah ada pula setitik cahaya.
Semua suara, semua cahaya seolah-olah berasal dari
tempat yang sangat jauh, seolah-olah pula berasal dari
sisi telinganya.
Dia mendengar seakan ada suara wanita, diapun
merasa cahaya itu seolah berasal dari bara api yang
menyala. Suara itu seperti berasal dari atas langit, mengalun
dan menggema mengikuti hembusan angin.
Cahaya api itupun seolah sedang berkedip, seakan
akan sedang meronta-ronta...
Semuanya, segala sesuatunya seakan berasal dari
tempat yang begitu jauh, tapi seolah tampak begitu
jelas dan nyata.
Tay Thian sekuat tenaga gelengkan kepalanya
berulang kali. Gelengan kepalanya bukan saja tidak berhasil
membuang semua penderitaan dan siksaan karena hal
yang maya, sebaliknya malah menambah kenyataan
yang terpampang didepan mata.
Gema suara yang mendengung terdengar makin
keras, cahaya yang memancar terasa makin menusuk
pandangan mata.
Buru buru Tay Thian pejamkan matanya rapat rapat,
selang berapa saat kemudian dia baru membuka
kembali matanya, membukanya perlahan-lahan.
Begitu dia membuka matanya, lagi-lagi terlihat lautan
api terbentang didepan mata.
Lautan api itu tiada ujung tiada pangkal, lautan api
itu seolah tiada bertepian... tapi aneh, ternyata lautan
itu memiliki ujung akhir.
Ujung akhir dari lautan api itu adalah ranjang, ranjang
yang terletak didekat jendela. Lautan api yang
membara ternyata berada diatas ranjang itu. Bagian
tengah ranjang itu sudah retak terbelah, bara api itu
muncul dari bagian ranjang yang retak.
Tay Thian menjumpai tubuhnya sedang berada diatas
lantai, persis disisi ranjang.
Dia berdiri disudut ranjang, menghadap ke arah
pembaringan, berhadapan langsung dengan lautan api
yang berada ditengah ranjang, sementara sebuah
cambuk panjang melilit dipinggangnya.
Tay Thian segera berpaling.
Begitu berpaling, dia pun menyaksikan kembali
Kilongkakabu, lukisan Kilongkakabu yang tergantung
diatas dinding ruangan.
Didepan lukisan dinding terdapat sebuah meja, meja
yang pernah diduduki sebelum memasuki kerajaan iblis
tadi. Diatas meja masih ada arak, enam botol arak, ada
pula hidangan sayur, enam macam hidangan sayur.
Disamping meja terlihat pula seseorang. Seorang
gadis yang masih sangat muda!
Gadis itu telanjang disisi kirinya dan berpakaian indah
disisi kanannya, dia tidak lain adalah gadis yang
menerangkan soal burung kakak tua berdarah
kepadanya tadi.
Wajahnya masih tampak cantik, sebuah kecantikan
yang sangat aneh, tapi sekarang rasa takut dan ngeri
sudah menyelimuti wajahnya.
Apa yang dia takuti" Apa yang membuatnya ngeri"
Pandangan matanya bukan tertuju ke wajah Tay
Thian, melainkan terarah ke depan pintu sana. Dengan
perasaan sangsi bercampur ingin tahu Tay Thian
berpaling ke arah pintu. Ternyata seseorang berdiri di
depan pintu. Seseorang yang berdiri sambil memegang cambuk
panjang, ujung cambuk tidak lain adalah cambuk yang
melilit di pinggang Tay Thian.
Saat itu, orang tersebut sedang tertawa, tertawa
keras. "Ui sauya?" seakan tidak percaya Tay Thian berseru.
"Rasanya betul!" jawab Ui sauya sambil tertawa,
"Rasanya aku memang Ui sauya."
"Kenapa kau bisa berada disini?"
"Seharusnya saat seperti ini aku sedang berada di
rumah sambil menikmati arak Li-ji-ang," ujar Ui sauya
sambil menghela napas, "Tapi ada seseorang justru ingin
terjun ke tengah lautan api, coba bayangkan sendiri,
mana mungkin aku bisa menikmati arak dengan
perasaan lega?"
Tay Thian mengawasi jilatan api ditengah ranjang,
kemudian memandang pula cambuk yang melilit
dipinggangnya, tiba-tiba saja dia tersadar kembali.
Rupanya orang yang hendak terjun ke dalam api
tidak lain adalah dirinya.
Tapi, bukankah dia sedang berada di dalam kerajaan
iblis" Bukankah dia sedang berada di Kilongkakabu"
Kenapa secara tiba- tiba bisa muncul kembali dalam
rumah bambu" Tay Thian berpaling, mengawasi si nona
yang berada disamping meja, kemudian
memperhatikan pula enam botol arak yang tersedia
diatas meja. "Arak itu memang arak kwalitas bagus!" ujar Ui sauya,
"Lagipula terhitung arak Tiok-yap-cing kelas satu, hanya
sayangnya, dalam arak bagus itu telah dicampur
dengan sedikit bubuk.
"Opium?" tanya Tay Thian.
"Rasanya begitu," sahut Ui sauya, "Paling tidak bubuk
sebangsa itulah."
"Aaah! Rupanya begitu..." tiba-tiba saja Tay Thian jadi
paham, paham sekali.
Ternyata apa yang dilihat, apa yang dirasakan, apa
yang diperbuat barusan tidak lebih hanya sebuah ilusi,
semua khayalan yang tercipta dalam benaknya sendiri,
tercipta karena terpengaruh lukisan "setan" yang
terpampang diatas dinding ruangan.
Semuanya yang telah terlihat, raja iblis, burung kakak
tua berdarah, budak darah, tiga permintaan, kerajaan
iblis Kilongkakabu, semuanya hanya ilusi, semuanya
hanya khayalan, semuanya kosong... kosong...
Semua khayalan dan ilusi itu timbul karena dia sudah
meneguk arak "wangi" yang tersedia diatas meja,
karena campuran bubuk opium yang ada dalam arak.
Kobaran api ditengah ranjang benar-benar sangat
besar dan membara.
Seandainya Ui sauya tidak datang tepat waktu,
seandainya dia sudah melompat ke dalam lautan api
itu, bisa dibayangkan apa akibat yang harus dialaminya.
Mati! Mati terbakar!
"Jadi kau adalah budak darah?" Tay Thian menegur.
"Benar!" ternyata gadis itu mengakuinya. "Budak
darah dari burung kakak tua berdarah?"
"Bukan!" ternyata suara itu muncul dari balik lukisan
yang tergantung diatas dinding ruangan.
"Tentu saja dia adalah budak darahmu!" seru Ui
sauya sambil tertawa, "Bila dia menjadi budak darahku,
sudah pasti aku yang tidak tahan, dapat kupastikan,
saat itu topi yang kukenakan pasti tidak akan berwarna
lain kecuali topi warna hijau!"
Gadis itu tidak dapat menahan diri, ternyata dia
tertawa cekikikan, tertawa geli.
"Bagus," kembali suara dari balik lukisan itu bergema,
"Kau memang tidak malu disebut Ui sauya!"
"Masih untung aku adalah Ui sauya, coba berganti
orang lain, pasti akan dibuat ketakutan setengah mati
oleh sandiwara kalian yang begitu menyeramkan,
tanggung saat itu aku sudah berubah jadi si kura-kura
Ui." Bicara sampai disitu kembali dia menggetarkan
tangannya, cambuk itu segera balik kembali ke
tangannya. Begitu lilitan cambuk dipinggangnya terlepas, Tay
Thian pun segera membenarkan posisi berdirinya.
"Kura-kura selalu menyembunyikan kepalanya, takut
bertemu orang," kata Ui sauya lagi, "Hey, apakah
kaupun seekor kura-kura?"
Tiada jawaban. Tiba-tiba persis ditengah lukisan yang terpampang
diatas dinding ruangan itu terbelah jadi dua dan muncul
sebuah pintu rahasia, dari balik ruang rahasia muncul
seseorang. Senyuman menghiasi wajah orang itu, senyuman
yang angkuh... Orang itu mengenakan pakaian panjang berwarna
hijau, sepatunya hijau bahkan pita pengikat
rambutnyajuga berwarna hijau.
Tangan kanannya sedang membenahi rambutnya
yang agak kusut, sementara tangan kirinya terkulai lurus
ke bawah, kosong, tidak berisi.
Ternyata dia tidak memiliki tangan kiri, tangan kirinya
kosong... Rupanya dia adalah seorang berlengan tunggal.
Begitu munculkan diri, orang itu menatap Tay Thian
sambil berkata, "Kau tidak menyangka kalau aku
bukan?" "Benar," Tay Thian menghela napas panjang, "Biar
dipukul sampai mampus pun aku tidak akan percaya
kalau yang muncul adalah kau."
"Padahal sejak hilangnya kait perpisahan disusul
kematian dari Lo Kay-sian, seharusnya kau sudah
teringat akan diriku."
Tiba-tiba dia terbatuk-batuk, batuk dengan suara
keras, menanti napasnya teratur kembali dia baru
melanjutkan, "Manusia mana yang bisa lolos dari
kematian bila Ti Cing-ling menginginkan kematiannya?"
"Walaupun kau tidak sampai mampus, tapi harga
yang harus kau bayar pun tidak terhitung kecil," kata
Tay Thian, "Kau harus kehilangan tangan kirimu!"
"Jika ingin menjadi seorang jagoan yang hebat, kau
harus bayar dengan suatu nilai yang pantas, apa artinya
kehilangan sebuah lengan kiri?"
"Kalau memang tidak berarti apa-apa, buat apa
harus kau lakukan?" sela Ui sauya sambil tertawa, "Ing
Bu-ok, kau anggap pengorbanan mu itu sudah pantas?"
Ternyata orang yang barusan muncul dari balik lukisan
dinding itu tidak lain adalah Ing Bu-ok.
"Demi perkumpulan Cing Liong Hwee, tidak ada
perkataan pantas atau tidak," jawab Ing Bu-ok cepat.
"Bagus! Sungguh beruntung perkumpulan Cing Liong
Hwee memiliki seorang jagoan macam kau, juga tidak
menyesal Ti Cing-ling hanya memotong sebuah
lenganmu."
Perkataan macam apakah itu" Mungkin hanya Ui
sauya seorang yang berani mengucapkan kata-kata
seperti itu. Sebuah perkataan yang mengandung maksud
mendalam. Perkataan semacam ini mungkin hanya
manusia segolongan Ing Bu-ok yang memahami artinya.
Jelas perkataan itu mengandung sindiran.
Tentu saja Ing Bu-ok mengerti maksud perkataan itu,
tapi dia tak ambil perduli.
.... Ketika seseorang sudah menjadi budak, sudah
menjadi orang bawahan, kebanyakan mereka sudah
terbiasa menghadapi kata kata sindiran semacam itu.
Mau tak mau mereka harus membiasakan diri,
seseorang yang sudah terbiasa menjadi seorang budak,


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah terbiasa menjadi kaki tangan orang, mana
mungkin dia akan terbiasa dengan kebiasaan seorang
"manusia?"
Ing Bu-ok mulai tertawa dingin, dia memang hanya
bisa tertawa dingin.
"Jika kepandaian silatmu dapat setajam dan sehebat
perkataanmu, aku pasti akan takluk kepadamu!"
ujarnya ketus. "Aku tidak berharap kau tunduk kepadaku," Ui Sauya
tetap tertawa, "Aku hanya ingin mengikatmu diatas
garpu besi kemudian memanggang tubuhmu diatas
kobaran api itu."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Aku
jadi ingin merasakan bagaimana rasanya panggangan
seseorang yang sudah menjadi anjing kaki tangan orang
lain." "Pasti tidak enak rasanya, baunya pun pasti busuk!"
seru Tay Thian segera.
"Aku tahu, tapi aku tetap ingin tahu, terlebih ingin
mendengar kaingan anjing yang sedang dipanggang
diatas api."
"Seandainya kau datang terlambat selangkah saja,
kujamin kau pasti akan mendengar suara itu," kata Ing
Bu-ok sambil melirik Tay Thian sekejap, "Kau pasti dapat
menyaksikan adegan tersebut!"
"Waaah lain, sudah pasti lain!" seru Ui sauya lagi,
"Mana mungkin jeritan manusia bisa dibandingkan
dengan kaingan anjing?"
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya,
"Kalau manusia yang dipanggang, itu kejam namanya,
kelewat sadis, tapi kalau anjing yang dipanggang, aku
mah bilang pantas dan sudah seharusnya!"
Saat itu seharusnya fajar telah menyingsing.
Tapi suasana fajar tidak dapat dirasakan didalam
rumah, sebab semua pintu dan jendela berada dalam
keadaan tertutup rapat, didalam ruangan itu hanya ada
lampu lentera. Cahaya lentera yang menerangi seluruh ruangan.
Kecuali cahaya lentera, kini pun muncul cahaya
lainnya, cahaya yang menyilaukan mata. Cahaya
pedang! Sebilah pedang yang panjang lagi sempit, dari ujung
pedang memancarkan cahaya ke biru-biruan.
Tampak cahaya tajam berputar kemudian terbias
bunga pedang yang bergetar, tahu-tahu Ing Bu-ok
sudah melintangkan pedangnya di depan dada.
Cahaya pedang berkilauan, sinar mata Ing Bu-ok pun
ikut berkilauan.
Berkilau seperti cahaya pedang.
"Sudah hampir dua puluh tahun pedang ini tidak
pernah keluar dari sarungnya," ujar Ing Bu-ok sambil
menatap pedangnya, "Aku berharap hari ini dia dapat
menyantap sebuah hidangan yang teramat lezat."
"Tidak mungkin hidangan yang lezat," kata Ui sauya,
"Sejak dulu, daging anjing begundal selalu kecut dan
masam rasanya, terlebih darahnya, pasti teramat
busuk." "Aaai!" Ing Bu-ok menghela napas panjang, cahaya
pedang kembali berputar.
"Walaupun lenganku buntung sebelah, tapi dengan
cepat kalian akan tahu dimana letak kelebihan yang
dimiliki si tangan buntung," ujar Ing Bu-ok sambil
menatap Ui Sauya.
Ketika dua jago lihay saling bertarung, seringkah
menang kalah ditentukan dalam satu gebrakan, tentu
saja satu gebrakan yang dimaksud belum tentu akan
terjadi pada jurus yang pertama, mungkin saja jurus ke
berapa puluh bahkan beratus-ratus gebrakan kemudian.
Sekarang mereka sudah bertarung hampir lima puluh
jurus, Ing Bu-ok melancarkan tiga puluh tujuh jurus
sementara Ui sauya membalas tiga belas jurus.
Dia memang tidak ingin menyelesaikan pertarungan
itu secara terburu-buru, dia ingin tahu sejauh mana
kehebatan jurus pedang yang dimiliki Ing Bu-ok, terlebih
ingin tahu sampai dimana "kelebihan" yang dimiliki
lengan buntungnya.
Tampaknya Ing Bu-ok pun menyadari akan hal ini,
maka dia tidak melancarkan serangan dengan sepenuh
tenaga, dia sendiripun hanya menggunakan jurus
serangan yang sederhana untuk menghadapi ancaman
lawan. Tay Thian tidak berpeluk tangan, ketika Ing Bu-ok
mulai melancarkan serangan, dia sendiripun sudah
terlibat dalam pertarungan sengit melawan gadis aneh
itu. Jangan dilihat perawakan tubuh gadis itu lembut,
ramping dan menawan, begitu melancarkan serangan,
Tay Thian mulai keteteran dan sedikit tidak tahan
menghadapi gempurannya.
Sebagaimana diketahui, pakaian yang dikenakan
terbelah setengah, waktu tidak bergerak, keadaan
masih rada mendingan, tapi begitu bergerak, pakaian
yang dikenakan pun ikut tersingkap, bagian-bagian
tubuh yang paling rahasia pun seketika terlihat sangat
jelas. Asal kau adalah seorang pria, ditanggung pasti tidak
akan tahan setelah menyaksikan bagian rahasianya itu.
Padahal yang dibutuhkan dalam sebuah pertarungan
adalah konsentrasi, mana mungkin pikiran dan
perhatiannya boleh bercabang"
Tidak heran kalau berapa kali Tay Thian terjerumus
dalam keadaan yang sangat berbahaya, buru-buru dia
memperingatkan diri sendiri, jangan tengok bagian
terlarang gadis itu.
Tapi aneh, sepasang matanya seolah bukan miliknya,
matanya selalu berusaha untuk menengok "bagian
terlarang" gadis itu.
Makin bertarung, keringat dingin semakin membasahi
tubuh Tay Thian, sementara suara tertawa gadis itu
makin cabul dan menggoda.
Kalau pertarungan harus dilanjutkan dalam keadaan
begini, mana tahan"
Pertarungan sudah berlangsung berapa ratus
gebrakan tanpa ada yang menang atau kalah, ketika Ui
sauya mulai merasa bosan dengan keadaan tersebut,
tiba-tiba jurus serangan yang dilancarkan Ing Bu-ok
mulai berubah. Jurus pedangnya yang semula datar tanpa
perubahan mendadak berubah jadi sangat aneh, suara
tajam mendesing dari ujung pedangnya.
Kalau tadinya semua serangan dilancarkan amat
cepat, maka saat ini gerak serangannya justru
melambat. Malah lambat sekali. Biarpun lambat namun gerak
serangannya berubah terus.
Dalam waktu singkat Ing Bu-ok sudah melancarkan
tujuh buah tusukan, serangan demi serangan
dilancarkan semakin melambat, tapi sinar mata yang
terpancar dari mata Ui sauya justru makin bertambah
cemerlang. Ketika serangan ketujuh sudah mencapai puncaknya
dan belum sempat tenaga baru tumbuh, Ui sauya
segera manfaatkan kesempatan itu untuk menghimpun
kekuatannya siap menyambut serangan lawan yang ke
delapan, pada saat itulah ujung baju kirinya yang
kosong tiba-tiba menyapu datar ke depan.
Waktu itu seluruh konsentrasi Ui sauya hanya tertuju
untuk menghadapi pedang ditangan Ing Bu-ok,
mimpipun dia tidak menyangka kalau dalam saat seperti
ini dia bisa melancarkan sapuan dengan ujung bajti
kirinya. "Plaaaak!" pipi kanan Ui sauya segera terhajar hingga
merah membengkak, merah padam bagai pantat babi.
Ternyata lengannya yang kutung memang memiliki
kelebihan yang diluar dugaan.
Ui sauya bersumpah bila lain kali harus bertarung lagi
melawan seorang musuh buntung, dia tidak akan
memusatkan konsentrasi untuk menghadapi pedangnya
saja tanpa menaruh perhatian pada lengannya yang
kutung, dia tidak ingin melakukan kesalahan untuk
kedua kalinya. Tatkala ujung bajunya menghajar Ui sauya tadi,
serangan ke delapan dari Ing Bu-ok telah dilancarkan.
Walaupun Ui sauya berhasil menghindari serangan
yang ke delapan ini, tidak urung dadanya terbabat juga
hingga muncul sebuah luka yang memanjang. Darah
mulai meleleh keluar dari lukanya itu.
"Sekarang kau pasti sudah mengetahui kelebihan dari
si tangan buntung bukan?" jengek Ing Bu-ok sambil
tertawa dingin.
"Hmmm, hanya orang cacad macam kau yang bisa
memikirkan jurus serangan tidak tahu malu seperti itu."
Dipihak lain Tay Thian sendiripun bagaikan orang bisu
makan empedu, pahit tapi tidak bisa diutarakan,
terkadang dia merasa yakin dapat meraih kemenangan
dalam tiga gebrakan, tapi setelah bertarung ternyata
dugaannya meleset, bukan lantaran tidak tega untuk
membunuh gadis cantik itu, melainkan karena tidak
mampu melakukan serangan yang merobohkan.
Setiap kali dia akan melancarkan serangan
mematikan, tahu-tahu bagian tubuh yang menjadi
sasaran berubah menjadi bagian yang paling "rahasia"
dari gadis itu, mana mungkin dia boleh menyerang
bagian itu"
Bagian tubuhnya yang boleh diserang hampir
semuanya dilindungi gadis itu secara ketat, sebaliknya
bagian tubuhnya yang seharusnya tidak boleh terlihat
oleh lelaki, dia justru pamerkan. Jika Tay Thian adalah
seorang siaujin, pertarungan ini pasti sudah berakhir
sejak tadi. Seandainya Tay Thian adalah seorang pemogoran,
jangan lagi melakukan pertarungan, mungkin
bertarungan gaya lain sudah berlangsung sedari tadi.
Sayang Tay Thian bukan siaujin, terlebih bukan
pemogoran, maka mau tidak mau dia harus bertarung
dengan perasaan tersiksa.
"Kemudian dengan cara apa kau berhasil
menaklukan gadis itu?" pertanyaan itu diajukan Nyoo
Cing dikemudian hari setelah mendengar penuturan dari
Tay Thian. "Aku terdesak hebat sehingga tidak tahu harus
berbuat apa, maka satu satunya jalan akupun
melepaskan ikat pinggangku."
"Jadi kau tidak tahan?"
"Waktu itu, Agaknya gadis itupun berpendapat
demikian," ujar Tay Thian sambil tertawa, "Begitu aku
mulai melepaskan ikat pinggangku, pipinya kontan
berubah jadi merah dadu."
"Kalau tidak merah baru aneh namanya."
"Begitu pipinya berubah jadi merah, tiba-tiba saja
gerak serangannya jadi kacau, sepasang paha yang
seharusnya dipentang lebar mendadak malah
dirapatkan kencang- kencang. Bahkan sepasang
tangannya mulai sibuk menutupi baju dibagian
dadanya." "Perempuan memang begitu, semakin kau takut
kepadanya, nyalinya semakin besar!" kata Nyoo Cing
sambil tertawa, "Tapi begitu kau mulai menunjukkan
reaksi, dia malah kabur jauh-jauh."
"Karena aku tidak bisa memukul dengan tangan,
terpaksa kugunakan ikat pinggang," dengan bangga
Tay Thian menjelaskan, "Ikat pinggangku segera ku
getarkan dan menotok jalan darah hian-ki-hiat di
perutnya."
"Dia pasti akan menarik kaki kanannya dan
mengubah tangan kiri menjadi rentangan telapak untuk
melindungi jalan darah hiat-ko-hiat nya," kata Nyoo
Cing. "Aku memang mengharapkan dia berb
Harpa Iblis Jari Sakti 17 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Pendekar Gelandangan 2
^