Tiga Mutiara Mustika 4
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Bagian 4
membikin hingga kini masih belum
kamu antarkan, apa kamu tidak tahu bahwa Kui-tjongping
sudah datang?" terdengar kedua Totong itu berseru
mendamprat dengan berlagak.
Menyusul itu nampak seorang imam tua mengantar ke
dalam sebuah nampan yang berisi ceret teh dengan empat
cangkir dari porselin.
Sementara itu kedua Totong telah pergi ke dapur pula dan
menegur. "Hai! Kamu lekas sediakan santapan ke kamar tamu,
beberapa pengikut Kui-tjongping sedang menanti dahar di
sana!" serunya lagi.
Tahulah kini Bun Sui-le berdua bahwa pembesar negeri itu
bukan lain ialah Tjongping atau komandan militer kota
Limtjing, Kui Ping-boan.
Kui Ping-boan memimpin pasukan yang terlatih dengan
baik dari Pat-ki, ia terhitung pula salah seorang kepercayaan
Perdana Menteri Nilan.
Kemudian mereka melayang melewati los panjang tadi,
mereka melihat di depan loteng yang tinggi sana terdapat
sebatang pohon tua yang lebat sekali, cocok untuk tempat
persembunyian mereka, maka tanpa ayal lagi mereka lantas
mengenjot naik menongkrong di atas pohon itu, justru di
belakang loteng itu terbuka sebuah jendela, hingga untuk
memandang ke dalam bisa terlihat dengan jelas sekali.
Ketika itu di dalam ruangan sedang duduk seorang
pembesar militer, mereka menduga tentu bukan lain adalah
Limtjing-tjongping Kui Ping-boan.
Di samping pembesar itu terdapat dua orang pula,
kesemuanya berdandan sebagai imam, usia mereka di antara
empat puluhan tahun, mereka sedang melayani pembesar itu
dengan sangat menghormat.
Karena dari pucuk pohon dimana mereka menyembunyikan
diri terlalu jauh jaraknya, maka suara pembicaraan dalam
ruangan loteng itu tidak bisa mereka dengar.
Agar bisa mengetahui dengan jelas apa yang sedang
dipercakapkan, Bun Sui-le memberi tanda pada Hong-ko
dengan maksud agar ia ini tak usah ikut, lalu ia melayang
turun ke atas emperan dan loteng yang tinggi itu, terus
menggelantungkan setengah tubuhnya ke bawah untuk
mengintip. Tiba-tiba ia mendengar suara tangga berbunyi keletekan,
sesudah itu naik pula seorang dengan dandanan sebagai Busu
atau jagoan, usianya mendekati setengah abad tetapi
langkahnya sebat enteng.
Ketika sudah berhadapan dengan Kui Ping-boan, orang itu
terus menekuk lutut memberi hormat
"Hamba Tjhi Djin-ho menghadap Tjongping-taydjin!"
tuturnya. Pembesar yang duduk itu hanya sedikit membungkuk
sebagai balasan.
"Tjhi-pothau, silakan berbangkit," sahutnya. "Memang aku
justru ada sesuatu hendak bertanya padamu!"
Tjhi Djin-ho lantas berbangkit dan berdiri tegak di samping.
"Tjhi-pothau apa sudah menerima surat Tam-taydjin?"
terdengar Kui Ping-boan bertanya pula. "Kali ini ada perintah
dari Nilan-tjaysiang (Perdana Menteri) menyuruh aku
mengunjungi Hoa-san ini buat menemui Tjiwi-totiang ini untuk
merundingkan cara mempersembahkan Tjin-tju-goan kepada
kerajaan, dengan begitu supaya barang mestika itu tidak
terjatuh lagi ke dalam tangan kawanan penjahat."
Atas pertanyaan orang itu, terdengar Tjhi Djin-ho berulangulang
mengiakan. "Lapor pada Kui-taydjin," katanya kemudian. "Topi mestika
Tjin-tju-goan itu sudah lama Tam-taydjin berniat
mempersembahkan kepada pemerintah, tak terduga karena
sedikit bocor, tiga buah mutiara mestika di atas topi itu sudah
hilang dua butir, baru sesudah itu Tam-taydjin melapor pada
Nilan-tjaysiang dar minta dikirim jagoan dari kerajaan,
kemudian bersama Hian-hong Totiang mengantarkannya ke
kotaraja, hamba sudah menerima surat dari Tam-taydjin,
itulah apa yang ia pesankan."
Kui Ping-boan mengangguk-angguk menyatakan bagus,
kemudian ia berkata pula, "Jagoan yang dikirim dari ibukota
dalam beberapa hari sudah bisa sampai, hal ini biar aku nanti
yang memberitahukan lagi padamu!"
Belum habis suara perkataannya, pada saat itu juga tibatiba
kain kerai kuning di dalam loteng itu melambai, menyusul
mana dua sinar putih menyambar menembus kain kuning itu.
Giok-bin-yao-hou yang menggelantungkan dirinya sedang
mengintip, ia dapat menyaksikan dengan jelas sekali bahwa
kedua sinar putih itu secepat kilat menyambar ke arah Kui
Ping-boan. "Ada pembunuh!" segera terdengar Tjhi Djin-ho berteriak.
Sehabis itu ia berniat menyeret Kui Ping-boan buat berkelit ke
samping. Namun terlambat, di antara suara jeritan ngeri, Kui Pingboan
telah roboh terguling.
Giok-bin-yao-hou mengetahui gelagat jelek, dengan sekali
lompat ia turun ke bawah, sementara itu sinar lampu di dalam
ruangan loteng mendadak sirap.
Teng Hong-ko yang masih hijau, dalam keadaan demikian
ini ia masih bercokol di atas pohon tak mau kabur, karena itu
Bun Sui-le menjadi gugup.
"Lekas lari!" ia meneriaki kawannya itu dengan bahasa
rahasia. Baru setelah itu terlihat Hong-ko melompat turun dari
pohon, akan tetapi sudah terlambat, dua bayangan orang
melayang keluar dari dalam loteng, yang pertama bukan lain
ialah 'Hek-swe-sin' atau malaikat maut hitam, Tjhi Djin-ho,
sedang yang lain ialah seorang di antara kedua imam di atas
loteng itu, begitu keluar, senjata mereka lantas menusuk.
Mengerti bahaya apa yang bakal ia hadapi, segera juga Bun
Sui-le menyiapkan pedangnya di tangan.
Ketika ia menengok Hong-ko, dia membalik berniat kabur,
tetapi senjatanya masih belum ia lolos, sedangkan pedang si
imam sementara itu sudah menyambar membabat kakinya.
Kuatir kalau kawannya kena dicelakai, terpaksa Bun Sui-le
harus membalik dengan gerakan 'Liu-sing-hui-tui' atau bintang
kemukus meluncur jatuh, ia menerjang ke pihak lawan, lebih
dulu ia menyampuk pergi pedang Tjhi Djin-ho, lantas ia merangsek
maju dan ujung senjatanya menotok ke punggung si
imam. Dengan tidak menghiraukan keselamatannya sendiri, ia
menerjang mati-matian, yang ia ingat hanya supaya bisa
menghindarkan Hong-ko dari ancaman maut.
Mendengar di belakangnya ada angin berkesiur, lekas si
imam itu menarik pedangnya dan menangkis ke belakang,
keruan saja kedua senjata lantas saling bentur hingga
mencipratkan lelatu api.
Segera juga Bun Sui-le, si rase bermuka ayu, ini merasakan
kesehatan si imam itu dan tenaganya pun tidak kecil, ia insyaf
telah berhadapan dengan tokoh cabang atas Khong-tong-pay.
Pada saat itu juga Hong-ko melolos pedangnya, ketika ia
melihat Tjhi Djin-ho dari samping hendak membokong Bun
Sui-le, tanpa ayal lagi segera ia melangkah maju dan
mendahului ke tengah, dengan gerakan 'Ya-tjhe-tam-hay' atau
setan dayang menyelidik ke laut, ia menangkis pergi senjata
Tjhi Djin-ho dan dengan begitu mereka berdua pun saling
bertempur di sebelah lain.
Sesudah bergebrak beberapa jurus dengan imam itu, Bun
Sui-le dapat merasakan lihainya tipu serangan orang yang
memang terdiri dari kiam-hoat hebat Khong-tong-pay, maka ia
pun tak berani gegabah, segera ia mainkan 'Thian-mo-kiamhoat'
yang ia pelajari dari Thian-san-pay, sinar pedangnya
menggon-cang pergi datang dan bergulung-gulung di muka
lawannya. Namun Tosu itu cukup tangkas juga, pedangnya ia putar
secepat angin, sedang langkahnya pun tidak menjadi kacau, ia
menyambut setiap serangan Bun Sui-le yang lihai itu.
Nyata mereka sama-sama kuat dan menemukan tandingan
yang sembabat. Di pihak sana, Hong-ko setelah beberapa jurus melawan
Tjhi Djin-ho, ia pun dapat melihat ilmu pedang sang lawan
memang berbahaya, begitu cepat ia berputar ditambah
perubahan-perubahan dari gerak tubuhnya yang memakai
perhitungan, kadang di kala cepatnya ia berputar, kakinya bisa
ikut maju pula menendang, hingga mau tidak mau Hong-ko
harus mencurahkan sepenuh kemahirannya untuk
melawannya. Kiranya yang Tjhi Djin-ho yakinkan itu adalah 'Pat-siankiam',
tipu serangannya memang sangat aneh dan tiap-tiap
serangannya ganas pula.
Ketika Hong-ko sedikit berjongkok terus menikam dengan
pedangnya, tiba-tiba ia lihat lawannya itu memasang kudakuda
dengan kaki bersilang, sedang ujung senjatanya melurus
ke bawah, kemudian pelahan saja dengan gerakan 'Hwe-liongtiam-
tjui' atau ular naga bermain air, ia dapat
mengesampingkan serangan pedang orang.
Lekas Hong-ko melangkah mundur, menyusul mana ia
tusukan pula pedangnya ke dada lawannya.
Dengan cepat lawannya mendadak menggeser kudakudanya,
dengan sedikit mengegos terus ia menangkis pula
serangan musuh, sedang jari tangan kirinya bersiap
melengkung di belakang kepalanya, memang sudah ia siapkan
untuk menyerang secara kejam, kini dengan 'Dji-liong-tjingtju'
atau dua naga berebut mutiara, kedua jarinya dia arahkan
ke muka Hong-ko dengan maksud hendak mencukil biji
matanya, serangannya begitu cepat laksana bintang meluncur.
Di sebelah sana, sekilas Giok-bin-yao-hou dapat melihat
pedang Hong-ko sedang ditangkis pergi, untuk menolong diri
Hong-ko dari jari lawan, dengan melompat ke belakang sudah
tak keburu lagi, ia menjadi kuatir akan keselamatannya hingga
ia ikut berkeringat dingin.
Namun Hong-ko bukan anak murid dan Go-bi-pay kalau ia
gampang diselomoti orang, ia cukup gesit, begitu melihat jari
Tjhi Djin-ho menyelonong tiba, segera ia sedikit mengegos
dan berjongkok, sedang tangan kirinya dengan gerakan 'Paong-
ki-teng' atau Tjoh Pa-ong mengangkat wajan, dalam
sekejap saja ia berhasil menyangga pergi.
Setelah itu tangannya yang lain menarik senjatanya terus
balik hendak memotong kedua kaki Tjhi Djin-ho, karena itu
dengan tepat ancaman bahaya tadi dapat ia elakkan dengan
baik. Melihat Hong-ko ternyata cekatan, kepandaiannya terang
diperoleh dengan melatih diri secara matang sekali, Tjhi Djinho
insyaf tidak gampang untuk memperoleh kemenangan
secara terburu-buru. maka lantas ia bersuit, habis itu dari atas
loteng terlihat melompat keluar pula seorang Tosu, terus
menuju ke arah Teng Hong-ko.
Baru saja Giok-bin-yao-hou merasa lega karena Hong-ko
dapat menghindarkan serangan berbahaya dari Tjhi Djin-ho
tadi, tiba-tiba ia lihat dari atas loteng melayang keluar pula
seorang yang hendak mengembut pemuda itu, ia menjadi
kuatir, lekas ia pura-pura memberi tusukan, sesudah mana ia
berniat menarik dirinya ke dekat Hong-ko buat membantu
padanya sejajar melawan musuh.
Tak ia duga, imam yang bergebrak dengan dia itu rupanya
sudah dapat menaksir apa maunya, maka beruntun ia
menggencarkan serangan senjatanya, terus mencegat jalan
mundurnya. Karena harus menangkis, sedang kepandaiannya dengan
imam itu memangnya sama kuat, maka seketika Bun Sui-le tak
mampu melepaskan diri dari rangsekannya.
la mencoba melirik pada Hong-ko, ia lihat pemuda ini
sedang melayani kedua musuhnya dengan sepenuh tenaga,
pedangnya diputar sedemikian cepatnya, namun lama
kelamaan rupanya ia pun kewalahan juga.
Imam yang keluar belakangan itu bukan lain adalah
seorang di antara kedua imam di atas loteng tadi, sudah tentu
ilmu silatnya pun tidak lemah.
Karenanya Bun Sui-le menjadi gugup.
Dalam pada itu imam yang menjadi lawannya itu
mengeluarkan serangan cepat dengan tipu 'Tjiam-liong-djiphay'
atau naga mendekam masuk ke laut, ujung pedangnya
menyambar dengan gaya huruf S'.
Lekas Bun Sui-le melangkah mundur, sedang ujung
pedangnya melurus ke bawah kemudian lantas membalik ke
atas dengan gerakan 'Sian-li-san-hoa' atau bidadari menyebar
bunga, keruan saja kedua pedang kembali beradu dan
menerbitkan suara nyaring dan mencipratkan lelatu api.
Ia mengerti bahwa imam itu memang sengaja
memanteknya, supaya tidak bisa pergi membantu kawannya,
karena itu ia menjadi semakin gugup.
"Kena!" tiba-tiba terdengar imam yang ada di depan Hongko
berseru. Menyusul mana secercah bintik terang menyambar
menusuk, sedang Tjhi Djin-ho pun menindih ke bawah pedang
Hong-ko supaya pemuda ini tak mampu balas menyerang.
Hong-ko mengetahui bahwa ketika itu dari muka belakang
ada serangan, maka segera ia menarik senjatanya dan
melompat pergi, dengan begitu ia baru bisa menghindarkan
serangan berbahaya itu, tetapi imam tua ternyata tidak tinggal
diam, senjatanya pun menyusul pula.
Dengan sedikit memutar tubuh, Hong-ko tiba-tiba menggeraki
tangannya, dengan gerakan 'Hwe-thau-bong-gwat' atau
berpaling memandang rembulan, senjatanya mendadak ia
tusukkan dari samping.
Namun imam tua itu pun cukup awas, dengan aneka gerak
pedangnya ia menyampuk pergi pedang yang ditusukkan itu.
Dengan tipu serangan pedangnya itu, sebenarnya Hong-ko
hanya memancing musuh belaka, sementara i'u dari dalam
tangannya sudah tergenggam penuh seraupan pelor besi,
tanpa ayal lagi segera ia menghamburkannya.
Dengan sekali jeritan, ternyata Tjhi Djin-ho roboh terguling.
Berbareng itu Hong-ko pun menangkis pergi pedang si
^niarn yang lagi ditusukkan tadi, ketika melihat Tjhi Djin-ho
roboh terguling, girang sekali hatinya.
Waktu itu, tiba-tiba dari depan istana kuil telah muncul pula
dua bayangan orang, secepat terbang sedang mendatangi.
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah Kui-taydjin ada di sini!" terdengar mereka berseka.
Dalam pada itu, Tjhi Djin-ho yang terguling, ternyata hanya
terluka tulang pundaknya, maka dengan cepat ia dapat
melompat bangkit pula, waktu mendengar seruan orang, ia
segera menjawab.
"Kui-taydjin sudah kena dibokong oleh kedua penjahat ini,
lekas kalian membantu membekuk kedua anjing lakiperempuan
ini!" Karena jawaban itu, sebelum sampai mereka sudah
mencabut senjatanya lebih dulu terus menerjang datang
dengan cepat. Nyata mereka berdandan sebagai jagoan dari kerajaan,
usia mereka pun tidak dari empat puluh tahun.
Tanpa berkata-kata lagi yang seorang segera memapaki
Hong-ko dan beruntun melontarkan dua kali serangan. Sedang
seorang lainnya menerjang Bun Sui-le.
Ketika melihat wanita itu, segera ia berseru pula.
"Hian-thian Totiang! Dia ini adalah Li-tjhat (penjahat
wanita) dari Tay-san-kwan itu, malam ini jangan sampai ia
dapat lolos!"
Setelah itu pedangnya bergerak, dari samping segera ia
ikut mengeroyok.
Begitu melihat cara gerakan musuh yang baru datang ini,
segera Bun Sui-le mengerti kembali bertambah pula seorang
lawan tangguh, maka dalam hati ia semakin kuatir.
Sementara itu tiba-tiba terdengar di sebelah sana Hong-ko
berteriak, pedangnya seperti kena dipukul jatuh oleh si imam
tadi. Sedang jagoan dari kerajaan yang baru datang itu
mengambil kesempatan baik itu untuk menyapu dengan
kakinya. Ketika Hong-ko berniat melompat naik buat menghindari
serampangan kaki orang, tahu-tahu tangan si imam dengan
gerakan Kim-na-djiu yang lihai dan susah dielakkan telah
sampai di atas kepalanya. Dengan sekali totok, dua jarinya
menjojoh ke belakang kepala Hong-ko di tempat 'Ling-tay-hiat'
hingga seketika itu juga seluruh tubuhnya kaku kesemutan,
imam tua itu tidak menghentikan gerakannya, ia terus
mengangkat tubuh Hong-ko dan dibawa lari masuk ke dalam
rumah biara itu.
Mengetahui bahwa Hong-ko kena ditangkap musuh, bukan
main rasa terkejut Giok-bin-yao-hou.
Selagi perasaannya sedang bimbang, mendadak jagoan
kerajaan itu menusuk hingga hampir saja ia pun kena
dipecundangi. Beruntung Ginkangnya cukup tinggi dan sempurna, dengan
menurutkan kakinya ia pun melompat miring ke samping,
sementara itu senjata si imam pun membabat lagi.
Dalam keadaan terdesak, terpaksa Bui Sui-ie harus
menerjang mati-matian, ia keluarkan tendangannya yang
istimewa, imam tua itu tidak pernah menyangka bahwa pada
ujung sepatunya terdapat kaitan baja yang lihai. Ia hanya
merasakan tangannya tergetar, pedangnya kena ditendang
pergi, sedang sebelah kakinya yang lain menyelonong sampai
di depannya pula, keruan saja ia menjadi kaget.
Sekonyong-konyong terdengar suara memberebet, lengan
baju Hian-thian Todjin yang panjang lebar ternyata sudah
terobek panjang.
Kiranya pada waktu kaki Giok-bin-yao-hou beterbangan
menendang tadi, kaitan tajam di ujung sepatunya dapat
membentur pedang Hian-thian terus masih menyelonong
mengarah ke tenggorokannya secepat kilat.
Sudah tentu Hian-thian sama sekali tidak pernah menduga
bahwa Giok-bin-yao-hou masih menyimpan kepandaian
tunggalnya itu, dalam sekejap itu ia menjadi kaget, masih
beruntung ia tergolong tokoh tingkat tinggi dari Khong-tongpay,
dalam keadaan terancam bahaya ia masih bisa berlaku
tenang, lekas ia keluarkan kepandaiannya Kim-na-djiu, yakni
cara mencekal dan menawan.
Kuatir kalau kakinya yang putih halus dan kecil mungil
betul-betul kena dicekal tangan orang, dengan cepat Giok-binyao-
hou memutar kakinya ke samping lain, hingga karena itu
lengan baju Hian-thian kena terobek.
Walaupun serangannya tidak membawa hasil yang
diharapkan, namun sudah cukup membikin kaget imam tua itu
hingga ia mengeluarkan keringat dingin.
Jagoan yang datang dari kerajaan tadi, ketika mendadak
melihat si imam sempoyongan, ia kuatir kawannya ini kena
dipecundangi orang, lekas ia maju buat memayangnya.
Kesempatan itu digunakan Giok-bin-yao-hou buat
melompat keluar dari Tjui-hun-kiong secepat terbang, dari
jauh tertampak ia naik turun bergerak beberapa kali terus
menghilang dalam kegelapan.
Hian-thian Todjin dan kawan-kawan pun tidak mengejar,
ketika mereka berpaling, terlihat Tjhi Djin-ho yang kena
ditembak remuk tulang pundaknya sedang merintih kesakitan
hingga menekuk pinggang.
Masih beruntung juga bagi pihak mereka bisa berhasil
menangkap seorang penjahat.
Kemudian mereka kembali ke atas loteng tadi buat
memeriksa keadaan Limtjing Tjongping Kui Ping-boan,
ternyata pembesar itu menggelongsor roboh bermandi darah,
di dadanya tertampak menancap sebuilah pisau terbang dan
napasnya sudah terputus.
Melihat kejadian itu, kedua jagoan yang dikirim dari
kerajaan tadi berubah air mukanya.
"Kedatangan kami ialah hendak menemui Kui-taydjin,
mengapa dia bisa kena terbunuh?" tanya mereka dengan
suara terputus-putus.
Dengan muka muram Tjhi Djin-ho coba menceritakan apa
yang terjadi tadi.
"Hui-to ini adalah dari golongan Djing-liong-pang, apakah
mungkin Bun Sui-le, si perempuan busuk itu yang
membunuhnya?" kata kedua bayangkara itu dengan heran
setelah memeriksa pisau belati yang mereka cabut keluar dari
dada Kui Ping-boan.
"Kalian Si-wei-ya (tuan bayangkara) berdua, menurut
pandangan kami pembunuh ini dilakukan oleh orang lain," ujar
Hian-thian berbareng imam rekannya, Hian-ang.
"Ketika pisau ini menyambar masuk tadi. segera juga kami
mengejar keluar, kami melihat ada sesosok bayangan secepat
angin menghilang ke tempat jauh, belakangan baru tertampak
pula Giok-bin-yao-hou dan seorang pemuda mengumpet di
belakang loteng sana, mungkin pembunuh itu datangnya
bersama mereka."
Sementara itu Tjhi Djin-ho sudah selesai membalut
lukanya. "Kini kita sudah dapat menangkap seorang di antara
mereka, biar sebentar lagi kita memeriksa dia segera pula bisa
kita ketahui semuanya." katanya dengan masih gemas.
"Kini kita lebih penting memindahkan jenazah Kui-taydjin
kembali ke tempat kedudukannya terlebih dahulu, di samping
itu lekas kita melaporkan pada pemerintah, urusan memeriksa
penjahat itu, boleh sampai besok pagi saja," ujar jagoan dari
kera-jaan tadi.
Kedua jagoan yang dikirim dari kerajaan itu memangnya
adalah bayangkara kelas satu dari Kaisar Khong-hi, yang
seorang bernama Tui-hun-djiu' Njo Djun dan yang lainnya
ialah Siau-song-sin' Li Ngo.
Cara bagaimana mereka bisa dikirim ke Hoa-san sini, hal ini
harus diurut dari diri Soatang Sunbu Tam Ting-siang.
Semula gebernur Soatang itu memerintahkan Tjhi Djin-ho
mengirim topi bertabur mutiara itu kembali ke Tjelam, niatnya
untuk dipersembahkan kepada Nilan-tjaysiang untuk terus
disampaikan kepada Sri baginda, tak terduga dua kali pula Tjhi
Djin-ho kehilangan Po-tju atau mutiara mestika, karena itu ia
insyaf, hanya dengan kepandaian Tjhi Djin-ho tak mungkin ia
mampu mencari kembali mutiara-mutiara yang hilang itu.
Pembesar itu berpikir, dalam kerajaan terdapat banyak
sekali orang kosen sedang topi mestika itu memangnya akan
dihaturkan kepada pemerintah mengapa tidak melaporkan
saja pada Nilan-tjaysiang dan minta padanya mengirimkan
beberapa orang pandai dari kerajaan untuk membantu,
sekalian untuk mencari mutiara-mutiara yang hilang itu. Jika
berhasil, tentu dengan lengkap topi mestika itu bisa
dihaturkan ke hadapan Sri Baginda Khong-hi.
Setelah mengambil keputusan itu, lantas ia pun mengirim
orang kepercayaannya menemui Perdana Menteri Nilan dan
melaporkan sekitar kejadian kehilangan Po-tju atau mutiara
mestika itu oleh Tjhi Djin-ho.
Mendapat laporan itu, Nilan-tjaysiang menjadi sangat
murka, ia pikir penjahat-penjahat dari Kangouw ini betul-betul
bernyali besar, sampai barang milik pemerintah pun berani
dirampoknya. Ketika kemudian ia menghadap Kaisar Khong-hi, ia
melaporkan juga peristiwa itu, Khong-hi lantas menyumh
Perdana Menteri itu memilih dua orang jagoan kosen dari
dalam kerajaan untuk dikirim ke Limtjing untuk menemui Kui
Ping-boan sebagai pejabat militer di tempat itu, lebih dulu
supaya Tjin-tju-goan yang masih ada itu dikirim ke kotaraja,
habis itu baru mencari pula mutiara-mutiara yang hilang itu.
Tak terduga, karena tugas itu Kui Ping-boan sampai di Tjuihun-
kiong, segera pula ia menghantarkan nyawanya.
Keruan saja. seorang pembesar negeri terbunuh dengan
sendirinya tempat kejadian itu menjadi kalang kabut, karena
itu Teng Hong-ko yang tertangkap untuk sementara belum
sempat diperiksa.
Dalam pada itu Giok-bin-yao-hou Bun Sui-le yang berhasil
lolos keluar dari Tjui-hun-kiong, segera juga ia angkat langkah
seribu dengan kepandaiannya ilmu mengentengkan tubuh dan
tems berlari di malam gelap, ia terus menuju ke jumsan
Djong-liong-nia.
Di tengah jalan ia tems berpikir, "Hong-ko kena dibekuk
orang, sedang kedua Tosu yang berada di Tjui-hun-kiong itu
kesemuanya adalah tokoh terkenal dari Khong-tong-pay, kalau
hanya kedua orang ini saja aku masih sanggup melawannya,
tetapi kini bertambah dengan dua orang jagoan pedang pula
dari kerajaan, kalau tidak lekas aku lari niscaya kini aku pun
akan diringkus mereka juga. dan kalau aku jatuh di tangan
mereka, lebih celaka lagi bagi Hong-ko, karena tiada orang
yang akan menolongnya."
Begitulah sambil berpikir, ia mencari daya upaya cara
bagaimana harus mencari seorang pembantu untuk menolong
Hong-ko dari tawanan musuh.
Tengah pikirannya melayang, tiba-tiba di atas bukit
berkelebat bayangan orang. Fa jadi terkejut ia menyangka
tentu itu adalah begundal dari imam di Tjui-hun-kiong yang
sedang mengejar padanya, tetapi dalam sekejap itu bayangan
tadi sudah lenyap.
Lekas ia mempercepat langkahnya melintasi punggung
bukit, namun ia merasa pula di belakangnya ada orang
menguntit iagi.
Ketika ia menoleh, maka tertampaklah bayangan orang
yang tinggi besar sudah berada di belakangnya dalam jarak
tidak lebih dari sekali paseran panah, lapat-lapat ia seperti
mengenali orang ini, bukan lain ialah orang yang tadi ia dan
Hong-ko pergoki itu, maka lekas ia melolos pedangnya untuk
menjaga diri bila perlu.
Melihat orang melolos senjata, tiba-tiba orang itu membuka
suara, "Bun-tjetju tak usah sangsi, si pembesar anjing Kui
Ping-boan tadi akulah yang membunuhnya, sebaliknya kawanmulah
yang menjadi tawanan mereka, karenanya aku sengaja
menyusul ke sini buat omong-omong sedikit dengan Buntjetju!"
Walaupun orang sudah menjelaskan maksud
kedatangannya, namun Bun Sui-le masih belum mau percaya
seluruhnya, ia tetap pasang kuda-kuda dan dengan pedang
terhunus ia menjaga segala kemungkinan.
"Ho-han (orang gagah) termasuk dari garis yang mana"
Mengapa bisa mengenal namaku?" kemudian ia balas
bertanya sambil mengamat-amati orang di depannya ini.
Tertampak olehnya orang ini adalah seorang laki-laki
bertubuh kekar tegap dan sudah setengah umur, alisnya tebal,
matanya besar, mulutnya lebar dan di bawah j anggurnya
tumbuh bre-wok yang pendek kaku, kelihatannya tergolong
orang baik. "Cukup apabila Tjetju percaya bahwa aku bukan begundal
dari imam di Tjui hun-kiong, maka namaku pun tidak perlu lagi
Tjetju tanyakan," terdengar laki-laki itu menjawab. "Kawanmu
dari Go-bi-pay yang terjatuh di tangan mereka itu, apa kau
tidak berpikir buat menolongnya?"
Nampak orang rupanya tidak bermaksud jahat, baru Bun
Sui-le berjalan mendekatinya.
"She apakah Djtnheng yang mulia" Mengapa kau
membunuh Kui Ping-boan?" tanyanya kemudian dengan suara
rendah. "'Jika Hengtay sudi angkat senjata membantu
menolong kawanku she Teng itu, maka tentu aku akan sangat
berterima kasih sekali dan tidak akan melupakannya."
Habis berkata ia lebih mendekat lagi untuk memberi hormat
kepada orang di hadapannya.
"Tjayhe she Dian," lekas laki-laki itu menjawab sembari
balas menghormat. "Pembesar anjing Kui Ping-boan itu adalah
begundal dorna Nilan, dulu entah sudah berapa banyak orangorang
Bu-lim yang menjadi korban di tangannya, justru kaum
budak yang suka berlagak melebihi tuannya ini, siapa saja
boleh membunuhnya. Tjayhe tidak lebih hanya membasmi
seorang musuh kawan Bu-lim saja. Soal menolong kawanmu
itu, dapatkah Tjetju menceritakan asal-usulnya, apabila dia
tergolong laki-laki sejati dari kalangan Kangouw, tak mungkin
aku menolak sekalipun harus menghadapi bahaya!"
Atas ucapan orang yang cukup menarik itu, Bun Sui-le pun
tidak ragu-ragu lagi. Ia lantas membeberkan asal-usul diri
Hong-ko dan menceritakan pula cara bagaimana mereka
berjumpa dengan para pentolan dari berbagai golongan di
Soatang, akhirnya mereka terpaksa menuju ke Hoa-san buat
mengintai gerak-gerik Tjhi Djin-ho.
"Kiranya kawanmu orang she Teng itu adalah anak murid
Go-bi-pay, gurunya Bu-tun Todjin dengan aku pun kenal,
maka sudah pasti harus menolongnya" dengan mengangguk
laki-laki itu berkata. "Cuma tadi kau bilang ada seorang wanita
yang disebut Ang-koh, dia ialah seorang 'Sian-koh' dari Peklian-
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau, pengaruhnya cukup besar. Pembesar-pembesar
negeri takut pada mereka yang bisa berilmu hitam, kini paling
baik ialah kita merundingkan cara bagaimana menolong Tengheng
saja!" Mendengar kata-kata orang, ditambah tadi ia sendiri telah
menyaksikan ilmu Ginkangnya ketika melintasi bukit. Bun Suile
tahu bahwa orang di hadapannya ini pasti adalah seorang
pendekar dari Kangouw maka ia tidak menaruh prasangka
buruk lagi dan kemudian berjalan berendeng turun gunung.
Setelah melintasi Djong-liong-nia, tiba-tiba laki-laki ini
membelok menuju ke Djian-djiok-tjeng, dari jauh tertampak di
antara lembah gunung itu terdapat sebuah kuil kecil, ketika
sudah dekat kiranya rumah biara ini adalah sebuah 'am-teng'
atau rumah biara kaum Nikoh, dari papan nama yang
tergantung di atas pintu tertampak tiga huruf 'Pek-lian-am'
Rumah biara kecil ini ternyata menyelip di suatu tempat
yang tersembunyi sekali di pegunungan ini. ketika laki-laki she
Dian itu berdehem sekali, kemudian tampak seorang Nikoh
setengah umur keluar dari kuil itu.
"Boan-liong Tayhiap, angin apakah yang telah meniup kau
kemari dan nona ini apakah datang bersama dengan
Tayhiap?" tanya Nikoh itu dengan merangkap kedua
tangannya demi melihat siapa tetamunya.
"Lik-dju Taysu." sahut laki-laki itu sembari balas
menghormat. "Nona ini adalah Bun-tjetju dari Tay-san-kwan
yang tersohor itu, karena kebetulan kunjunganku ke Tjuihunkiong,
maka telah bertemu dengannya di sana dan
sengaja aku mengajaknya kemari."
Sementara itu Bun Sui-le pun maju memberi hormat pada
si Nikoh. Baru kini ia mengetahui bahwa lelaki she Dian ini tidak lain
ialah Boan-liong Kiam-khek yang namanya menggetarkan
daerah utara, dulunya ia adalah 'Tjiang-toh' (pengemudi -
ketua) dari Djing-liong-pang, pantas ilmu silatnya begitu
mengagumkan, makin menjadi legalah hati Bun Sui-le demi
mengetahui siapakah laki-laki ini.
"Taysu, kedua imam yang memakai pedang di Tjuihunkiong
itu apa bukan orang dari Khong-tong-pay?" tanya
Boan-liong Kiam-khek setelah mereka dipersilakan masuk ke
ruangan tamu. "Apa Tayhiap maksudkan Htau-thian dan Hian-ang
berdua?" sahut Liok-dju. "Sudah setengah tahun mereka
datang di Hoa-san, cuma di belakang istana Tjui-hun-kiong itu
masih terdapat pula Tji-hun Tjindjin sebagai imam tua
penguasa istana. Ia adalah tokoh tingkat atas Bu-tong-pay,
usianya kini sudah lebih dari delepan puluh tahun, biasanya ia
tidak suka dengan urusan di luar, kali ini Tjhi Djin-ho datang
ke sini buat menengok Hian-thian Totiang, aku kira Tji-hun
Loto tentu tidak merasa senang."
"Hm, kalau Taysu tidak bilang, aku hampir saja lupa bahwa
di dalam istana itu masih terdapat Tji-hun Tjindjin yang
sedang tirakat," Boan-liong Kiam-khek menjengek dan
kemudian melanjutkan pula. "Dia adalah saudara seperguruan
Tji-yang Tjindjin, dengan mata kepala sendiri ia bisa antapi
Hian-thian dan kawan-kawan bersekongkol dengan kawanan
cakar alap-alap dan menganggapnya seperti tidak tahu?"
"Tayhiap mungkin tidak tahu bahwa sejak imam-imam
Khong-tong-pay itu sampai di Tjui-hun-kiong, mereka
berkomplot dengan imam-imam muda dan menduduki Tjuihun-
kiong, Tji-hun yang memangnya tidak suka mengurus hal
tetek-bengek, dengan sendirinya ini tidak mempedulikan
mereka juga."
Mendengar keterangan itu, Boan-liong menganggukangguk
dan tidak bertanya lebih jauh.
Malam itu juga, di Kim-sok-kwan terlihat ada bayangan
orang yang melayang cepat menuju ke Tjui-hun-kiong.
Ilmu entengi tubuh orang ini ternyata gesit dan cepat
sekali, ia mengenjot naik turun ke depan, kadang-kadang ia
berpaling juga ke belakang untuk melihat apakah dirinya
dikuntit orang atau tidak.
Bayangan orang ini tidak lain ialah Giok-bin-yao-hou Bun
Sui-le, setelah ia mendapatkan akal yang diajarkan Boan-liong
Kiam-khek padanya, kembali ia pergi mengintai lagi ke Tjuihun-
kiong malam-malam.
Tatkala itu di istana Tjui-hun-kiong hanya tinggal beberapa
orang imam untuk menjaga penjara di bawah tanah, sedang
Hian-thian, Hian-ang dan para jagoan dari kerajaan, Njo Djun
serta Li Ngo, pada sore hari itu sudah mengantar jenazah Limtjing-
tjongping Kui Ping-boan turun gunung.
Beberapa imam yang masih tinggal ini, meski imam dari
Khong-tong-pay juga, tetapi kepandaian mereka jauh di
bawah Hian-thian dan Hian-ang.
Sementara itu Hong-ko oleh mereka dipenjarakan dalam
penjara di bawah tanah yang tertutup oleh dua lapis pintu
besi, kaki tangannya pun digembok di atas pembaringan batu.
Setelah sampai di Tjui-hun-kiong, Bun Sui-le mengitar
menuju ke belakang istana itu
Di sebelah belakang ternyata masih ada dua istana >ang
disebut 'Hwe-sian-kiong', di samping terdapat pula sebuah
panggung balu setinggi tujuh atau delapan tombak, yakni
panggung buat ibadat para imam.
Di bagian belakang sunyi senyap tak nampak satu
bayangan pun, di dalam Hwe-sian-kiong sedikitpun tidak
nampak ada sinar api.
Ketika dari atas serambi depan Bun Sui-le tidak
menemukan sesuatu yang mencurigakan, ia balik melompat ke
serambi bagian belakang.
Di serambi belakang ia melihat sebuah pintu bundar yang
menembus ke suatu ruangan rumah lain yang berpagar
bambu dan banyak pohon-pohon tua, rada mirip seperti
tempat tirakat kaum imam.
Dengan enteng sekali dari atas ia melayang turun terus
mendekam ke depan rumah itu, tanpa menerbitkan suara
sedikitpun. Ia lihat pada dinding rumah itu terdapat sebuah
pintu berbentuk setengah lingkaran, di samping rumah
terdapat pula sebuah lubang angin yang dipalang terbuat dari
batu bata, dari sini ia memandang ke dalam, namun keadaan
di dalamnya gelap gulita.
Ketika secara berindap-indap ia mendekati lubang angin itu
dan menegasi lagi ke dalam dengan matanya yang sanggup
melihat dalam keadaan gelap, barulah tertampak olehnya
bahwa di dalam kamar membujur sebuah pembaringan dan di
atasnya duduk seorang imam tua, selain itu terdapat juga
sebuah kendi dan gayung yang terletak di sampingnya.
Roman imam tua ini sebagian tertutup oleh kumis dan
jenggotnya yang lebat. Hanya sepasang matanya yang
bersinar tajam berkelap-kelip di tempat gelap.
Waktu ia memeriksa keadaan dalam kamar itu, ternyata di
lantai penuh terserak daun kering, mungkin masuk dari luar
karena tertiup angin, sedang di pojok pembaringan penuh
dengan jala laba-laba, dimana-mana banyak terdapat kotoran
burung dan kelelawar, nampaknya seperti sudah lama tidak
ditinggali manusia, agaknya imam tua ini sudah lama sekali
tidak meninggalkan dipan semadinya itu.
Diam-diam Bun Sui-le hanya mengintip saja ke dalam dan
tidak berani ia sembarangan masuk. Sementara itu imam tua
itu masih memejamkan kedua matanya, keadaan dalam
rumah sunyi senyap.
"Silakan masuk saja!" tiba-tiba terdengar ada suara
perkataan orang di tepi telinganya. "Pin-to sudah lama tidak
mencampuri urusan luar, buat apa tongal-tongol di luar saja,
kalau kau orang yang dikirim Hian-thian, maka bolehlah kau
lekas enyah!"
Suara itu menggema di tepi telinganya begitu terang dan
tegas. Bun Sui-le terkejut, ia menoleh namun satu bayangan
pun tak nampak.
Waktu ia memandang lagi ke dalam rumah, imam tua itu
masih tetap sedikit menunduk dan sedang semadi, mulutnya
pun tidak nampak pernah bergerak.
Bun Sui-le mengerti itu adalah 'Toan-im-djip-bit', yakni
semacam ilmu Lwekang luar biasa yang bisa mengirim suara
dari jarak jauh, maka tahulah dia, imam tua ini tentu luar
biasa. Maka tak berani ia ayal lagi, segera ia menjawab dari luar
dengan suara pelahan.
"Aku she Bun mendapat petunjuk Boan-liong Tayhiap, ada
sedikit kepentingan hendak menemui Tjindjin!"
"Lekas masuk! Di luar bukan tempat untuk beromongomong!"
terdengar pula di tepi telinganya ada suara jawaban.
Tanpa ragu-ragu lagi lantas Bun Sui-le menuju ke pintu, ia
mendorong pintu yang setengah tertutup itu dan masuk ke
dalam. "Siaulutju (wanita kecil) Bun Sui-le memberi hormat!"
katanya kemudian setelah menyembah di depan imam itu.
Namun, segera ia merasakan tenaga angin yang cukup
besar keluar dari tangan imam tua yang sedikit digeraki, maka
tanpa tertahan ia telah diangkat berdiri.
"Tjindjin sudilah mendengarkan," ia menutur lagi sembari
berdiri di samping dengan kedua tangan lurus ke bawah.
"Siaulutju mendapat petunjuk dari Boan-liong Tayhiap ke sini,
untuk memohon Tjindjin suka memberi bantuan agar suka
menolong seorang kawan dari Go-bi-pay yang kini tertawan di
penjara bawah tanah, budi mana pasti tidak akan aku
lupakan." "Sudah belasan tahun ini Pin-to tidak pernah meninggalkan
gunung ini, apa Boan-liong tidak mengetahui bahwa
selamanya aku tidak suka ikut campur urusan orang lain?"
sahut Tji-hun Tjindjin dengan agak kurang senang. "Apa yang
Hian-thian perbuat dalam istana ini, Pin-to pun tidak
mendengar dan tidak mengurus, semalam kiranya ada orang
yang membikin ribut, dan tentunya adalah perbuatan Boanliong,
harap nona suka kembali dan memberitahukan padanya
bahwa urusan ini Pin-to tidak bisa ikut campur tangan."
Mendengar kata orang, Bun Sui-le menjadi gugup hingga
dari wajahnya tertampak penuh rasa kecewa, terpaksa ia coba
membujuk dengan menceritakan cara bagaimana Hong-ko
datang ikut bersama dia dan tertawan oleh Hian-thian
semalam, apabila tetap tak bisa menolongnya, maka dirinya
lebih suka mati daripada kembali dengan tangan kosong.
Seterusnya ia memohon dengan sangat dan membujuk
sebisanya sampai akhirnya ia meneteskan air mata.
Melihat kesungguhan orang, agaknya imam tua itu tergerak
hatinya. "Pemuda she Teng itu pernah apa dengan kau?" tanyanya
sambil memandang tajam.
Karena pertanyaan yang mendadak itu, dari sedih Bun Suile
berubah menjadi jengah hingga wajahnya bersemu merah.
"Dia.....dia.....kawan seperjalananku!" jawabnya dengan
menggumam kemalu-maluan.
"Tampaknya kamu adalah sahabat baik, sebenarnya Pin-to
tidak suka ikut campur, tetapi karena memandang padamu
biarlah aku memberi saru jalan padamu," dengan tersenyum
Tji-hun berujar. "Tapi sekembalimu boleh kau memberitahu
kepada Boan-liong Kiam-khek bahwa sekali-kali jangan ia
tumplekkan segala urusan padaku lagi!"
Habis berkata ia menyuruh Bun Sui-le ke dekatnya terus ia
membisiki padanya bahwa di bawah panggung batu itu
terdapat sebuah wajan besi yang sangat besar, apabila wajan
itu diputar, maka dari undak-undakan batu panggung itu
lantas terbuka sebuah jalan di bawah tanah, masuk dari jalan
itu bisa menolong keluar Teng Hong-ko.
Lekas Giok-bin-yao-hou menghaturkan terima kasih atas
petunjuk itu dan terus berbalik keluar dari kamar itu, begitu ia
melangkah keluar, dengan segera pintu kamar ternyata sudah
tertutup sendiri.
Tanpa ayal lagi segera ia menuju ke bawah panggung batu
yang memang sudah ia lihat tadi, di sini sama sepinya tanpa
seorang pun, betul juga ia nampak ada sebuah wajan yang
besar. Ketika tutup wajan itu ia rangkul terus diputar, segera juga
terdengar suara yang berkeretek. di samping undakan batu di
antara semak-semak, ternyata lantas tertampak sebuah
lubang gua yang cukup untuk dimasuki oleh satu orang.
Dengan menghadapi bahaya ia melangkah masuk ke dalam,
kakinya menyentuh pada undak-undakan batu terus berturutturut
hingga belasan undakan, akhirnya, sampailah jalanan di
bawah tanah. Dengan kepandaiannya memandang di tempat gelap, ia
menyusur menuju ke depan menuruti jalan bawah tanah yang
berliku-liku itu, tidak lama kemudian sampailah dia pada akhir
jalanan itu yang terhalang oleh selapis pintu besi.
Ia mencoba meraba-raba dalam kegelapan, ternyata pada
sebelah pintu besi itu terdapat sebuah pegangan, ketika ia
menarik, pintu itu terbuka dengan gampang, kiranya di
belakang pintu itu rapat menempel dengan kamar yang bukan
lain ialah kamar penjara di bawah tanah dari istana itu.
Bukan main rasa girangnya, kini ia nampak Hong-ko tidur
telentang di atas dipan batu, tangannya tergembok di atas
dipan batu itu. Di dinding batu sana tergantung pelita minyak
yang kelap-kelip mengeluarkan sinar remang-remang hingga
menambah keseraman dalam kamar itu.
Seketika itu juga dirasakan darahnya mendidih, dengan
sekali lompat ia sampai di depan Hong-ko, ia lihat pemuda itu
dengan kesima sedang memandang padanya laksana sedang
bermimpi. "Hong-ko!" ia memanggil sembari mencabut pedangnya
tenis memotong rantai dan gembok yang mengikat anggota
badan pemuda itu.
Pedangnya ini adalah pusaka dari Thian-san, maka rantai
besi yang cukup besar itu dengan gampang saja terpotong
putus. Karena kedua tangannya sudah bisa bergerak bebas, tanpa
tertahan Hong-ko merangkul ke leher Bun Sui-le.
"Oh, Tjitji yang baik, apa aku sedang bermimpi?" katanya
dengan terharu.
Hangat sekali rasa batin Bun Sui-le, saking terharunya
hingga ia mengalirkan entah air mata kegirangan atau kekuatiran.
"Mari lekas kita pergi!" katanya tiba-tiba tersadar.
Namun ia lupa kaki Hong-ko masih tergembok. Justru pada
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat itu juga pintu goa batu itu tiba-tiba disurung terbuka dari
luar, menyusul mana bayangan orang yang tinggi besar
melompat masuk.
Sekilas dari sinar pelita yang remang-remang, Bun Sui-le
dapat mengenali bahwa orang yang datang ini ialah 'Sip-tiathong'
Ie Djan, di tubuhnya masih tetap mengenakan baju kain
kasar dan dengan cepat ia mengangkat goloknya terus
menga-dang di depan pintu.
"Perempuan keparat, hari ini kebentur pada tuanmu, kau
sendirilah yang ingin menghadap Giam-lo-ong!" serunya
berbareng goloknya terus membacok.
Lekas Bun Sui-le melompat mundur sambil menarik diri
Hong-ko, akan tetapi segera terdengar Hong-ko menjerit,
kiranya kedua kakinya yang masih terantai di dipan batu kena
tertarik, maka ia jadi menjerit kesakitan.
Dengan cepat Bun Sui-le melepaskan tangannya, sudah itu
ia memutar buat melindungi, sekalian lantas melolos
pedangnya, senjatanya menempel golok lawan terus ia
goncangkan pergi.
Karena tujuannya hendak melindungi diri Hong-ko, maka
begitu tangkisannya berhasil, segera juga ia melompat berdiri
di atas dipan batu dan beruntun memberi dua kali serangan
kepada musuh. Sementara itu Ie Djan pun menyambut serangan lawannya
itu, berbareng sebelah tangannya pun memukul.
Tapi di tengah jalan Bun Sui-le merubah serangannya
dengan membalikkan tubuh, ia menggunakan gerakan 'Gikhong"
tio-bang" atau memasang layar menolak angin,
pedangnya ia tarik terus disurungkan ke depan lagi, ia
menikam ke arah dada le Djan.
Justru saat itu juga Ie Djan lagi menggunakan tipu Kim-nadjiu
yang lihai hendak mencekal, lekas Bun Sui-le mengangkat
pundak, terus saling susul dengan kedua kakinya ia
menendang memakai gerakan 'Lian-hian-wan-yang-rui'.
Dengan sehatnya Giok bin yao hou membalikkan tubuh
menangkis serangan golok lawan.
Karena itu mendadak le Djan merasa ada angin tajam
menyambar ke mukanya, dengan cepat segera ia menarik
tangannya yang dipukulkan tadi terus melompat ke belakang,
sehingga kedua kaitan tajam yang terpasang di ujung sepatu
Bun Sui-le menyambar lewat di depan mukanya, hampir saja
ia terkena, karena itu ia menjadi terkejut atas kelihaian orang.
Dalam pada itu Bun Sui-le menyerang pula dengan
pedangnya, sinar tajam berkelebat, hingga le Djan terdesak
mundur sampai di dekat pintu penjara itu, sementara itu
kedua kaki wanita yang lihai ini masih beterbangan
menendang juga dan merangsek dengan hebatnya.
Karena ruangan penjara yang sempit, le Djan tidak sempat
mengeluarkan kepandaiannya 'Tjiam-ie-sip-pat-tiat', akhirnya
terpaksa ia harus mundur sampai di luar pintu, di sini ia
mencoba bertahan dengan goloknya atas serangan-serangan
lawan yang cukup ganas.
Tidak ia duga, secara mati-matian Giok-bin-yao-hou
merangsek, tujuannya tidak lain ialah hendak mendesak
supaya ia mundur keluar pintu, dengan begitu menyusul pula
kedua kakinya ia tendangkan secara susul-menyusul, dan
pada kesempatan yang hanya sekejap saja itu, selagi
lawannya berkelit, tanpa ayal segera ia gabrukkan pintu
penjara dan ditutup rapat terus ia pantek sekalian dengan
palang pintu, dengan demikian terhalanglah le Djan di luar.
Kemudian dengan cepat sekali Bun Sui-le membaliki
tubuhnya mendekati Hong-ko lagi, ia menggerakkan
pedangnya dengan cepat untuk memutuskan borgol yang
masih terpasang di kaki pemuda itu, kemudian ia kempit
Hong-ko terus dibawa lari kembali melalui jalan lorong di
bawah tanah tadi.
Sementara itu terdengar di luar penjara itu suara keras
benda yang ditumbuk dan didobrak, ia mengerti tentu le Djan
yang lagi berusaha mendobrak pintu besi. Tak berani ia
tinggal lebih lama lagi, laksana terbang segera ia kabur
secepatnya. "Ie Djan tentu tidak sendirian, kalau kabur melalui luar
istana pasti akan dicegat oleh mereka," begitu ia berpikir di
tengah jalan. Ketika ia sedang berpikir, sementara itu ia sudah sampai di
akhir lorong bawah tanah itu, ia meletakkan Hong-ko, lalu
memutar pula wajan besar tadi dari dalam, segera juga mulut
jalan lorong terbuka lagi dengan mengeluarkan suara
berkeretek dan kemudian menutup pula dengan sendirinya.
Meski terasa rada letih, namun Hong-ko masih sanggup
berjalan. Bun Sui-le menarik tangannya terus menuju ke
gunung di belakang Tjui-hun-kiong.
Tetapi baru saja mereka hendak melangkah lebih jauh,
tiba-tiba tertampak dari atas gunung sana ada dua bayangan
orang sedang berlari mendatangi secepat terbang dan gerakan
tubuhnya gesit sekali.
Bun Sui-le mengerti pasti kaum cakar alap-alap lagi yang
menguntit mereka, terpaksa ia mengajak Hong-ko untuk
mengumpet lagi menuju ke istana bagian belakang.
Setelah mereka melewati pintu bundar, terlihat kamar Tjihun
Tjindjin yang sunyi sepi itu pintunya terpentang lebar,
Bun Sui-le menjadi girang sekali, tanpa berpikir lagi segera ia
menarik Hong-ko terus masuk ke dalam kamar itu.
Ketika kemudian ia memandang ke dipan tempat bersemadi
imam tua itu, kiranya tempat itu sudah kosong tanpa ada baangan
orang, diam-diam ia menjadi rada kuatir.
Sementara itu ia mendengar ada suara orang melompat
turun ke bawah, keadaan sudah kepepet, tanpa pikir lagi
segera ia menarik Hong-ko terus menyelusup masuk ke kolong
dipan dan dengan menahan napas mereka menantikan apa
yang bakal terjadi.
Bun Sui-le mencoba menempelkan kupingnya ke lantai, ia
mendengar di luar kamar itu sepertinya ada suara tindakan
dua orang yang berjalan kian kemari.
"Tji-hun Totiang apakah berada di dalam?" begitulah
kemudian terdengar ada suara orang bertanya.
Suara pertanyaan itu diulangi lagi, namun tetap tiada
jawaban. Diam-diam Bun Sui-le menjadi heran, bukankah terang
sekali bahwa tadi ketika mereka masuk ke kamar, pintu kamar
masih terpentang lebar dan mengapa kini bisa tertutup rapat
hingga orang perlu bertanya"
Karena pertanyaannya berulang kali tanpa jawaban,
menyusul lantas terdengar ada suara pintu yang didorong.
Akan tetapi belum sampai pintu terbuka, mendadak di luar
ada suara sahutan yang agak tertekan, "Pin-to ada di sini, Djiwi
datang kemari hendak mencari siapa?"
Suara itu bukan lain ialah suara Tji-hun Tjindjin.
Karena sahutan itu, rupanya kedua orang yang datang ini
menjadi kaget. "Haya, kiranya Totiang tidak ada di dalam!" terdengar
mereka bersuara dengan rada terperanjat. "Kami adalah orang
dari markas Tjongtin hendak menggiring seorang tawanan
turun gunung, di luar sana masih ada pula pasukan tentara
yang datang bersama kami, tadi justru ada dua bayangan
orang berkelebat dan begitu melihat kedatangan kami lantas
menyembunyikan diri, maka kami bermaksud mencarinya."
"Hm, kamu sungguh tidak punya aturan sama sekali,"
terdengar Tji-hun Tjindjin mengomel, rupanya ia agak kurang
senang. "Aku yang berada di atas panggung batu tidak
nampak ada bayangan seorang pun, tetapi kamu ternyata
berani usil ke istana bagian belakang ini, bukankah kamu tahu
bahwa aku biasanya tidak suka ikut campur urusan luar tetapi
ternyata kamu masih berani mengacau ke sini!"
Karena dampratan itu, kedua orang tadi menjadi bungkam
dan tak berani menyahut.
"Baiklah kita pergi saja, boleh kita menemui dulu Sip-tiathong
buat bertanya padanya," terdengar seorang di antara
mereka berkata.
Habis mana lantas terdengar suara tindakan yang ramai
dan cepat menuju ke bagian depan.
Mendengar orang-orang di luar itu sudah berlalu, Giok-binyao-
hou dan Hong-ko yang bersembunyi di kolong dipan
barulah merasa lega.
Dalam pada itu tiba-tiba di dalam kamar terlihat ada
bayangan orang berkelebat lagi, ketika mereka memandang
dengan rasa terkejut, kiranya tidak lain ialah Tji-hun Tjindjin
yang telah berdiri di depan tempat persembunyian mereka.
"Marilah, silakan kalian keluar!" begitulah terdengar
semacam suara yang lemah-lembut berkata.
Tanpa sangsi lagi, segera juga Bun Sui-le bersama Hong-ko
merangkak keluar dari kolong dipan terus menjura memberi
hormat kepada Tji-hun sebagai tanda terima kasih.
"Tadi karena terpaksa, kami telah masuk ke kamar Totiang
tanpa permisi, harap suka dimaafkan!" kata Giok-bin-yao-hou
pula. "Keonaran yang Boan-liong terbitkan sudah terlalu besar,
lekas kamu kembali memberitahukan padanya supaya cepat
meninggalkan Hoa-san dan jangan tinggal lebih lama lagi
hingga urusan menjadi semakin runyam," ujar Tji-hun Tjindjin.
Kedua orang itu berulang-ulang menyatakan baik,
kemudian mereka lantas hendak berlalu, namun Tji-hun
keburu mencegah.
"Di luar sudah dijaga oleh pasukan tentara," kata imam tua
itu. "Kalian boleh melalui jalanan kecil di belakang gunung
saja, setelah keluar dari 'Lo-kun-le-kau', Pek-lian-am tentu
sudah dalam jangkauan pandangan kalian!"
Kembali Bun Sui-le menghaturkan terima kasihnya atas
petunjuk itu, kemudian mereka berpamitan pada imam tua itu
terus menuju ke bagian belakang istana.
Setelah melintasi pagar tembok belakang Tjui-hun-kiong,
mereka nampak sebuah gerujukan air kecil mengalir ke suatu
sungai kecil, di tepi sungai itu batu gunung berserakan hingga
merupakan suatu tempat persembunyian yang baik sekali.
Dengan menyusur tepi sungai itu, mereka meninggalkan
Tjui-hun-kiong yang berbahaya, dari jauh mereka masih
nampak bagian luar istana itu terdapat banyak bayangan
orang dan berkumandang pula suara kuda yang mendengking
ramai, mereka mengerti tentu 'Sip-tiat-hong' Ie Djan yang
kembali dengan membawa pasukan tentara, cuma kedua
orang tadi yang mengaku dari markas Tjongtin entah manusia
macam apa"
Begitulah, tidak lama kemudian mereka sudah sampai di
'Lo-kun-le-kau', dekat dengan Djong-liong-nia.
Tengah mereka berdua berjalan, tiba-tiba Bun Sui-le
mendengar di balik gunung sana mendesir datang suara
keresekan seperti rumput yang tersambar sesuatu benda,
lekas ia menarik Hong-ko terus mendekam mengumpet di
semak-semak yang lebat.
Sekejap kemudian, mendadak sesosok bayangan orang
melayang lewat dengan kain bajunya melambai tertiup angin.
Hong-ko yang bermata cukup jeli, dalam sekelebatan itu ia
dapat menampak orang itu adalah seorang wanita, sekilas ia
mengenali orang itu bukan lain ialah Ang-koh yang pernah ia
jumpai di Soatang.
Diam-diam ia menjawil Bun Sui-le yang tentunya juga
sudah kenal siapa adanya orang itu. Dalam pada itu, dengan
cepat sekali bayangan tadi melayang menuju ke Tjui-hunkiong
dan tak lama kemudian menghilang dalam kegelapan.
"Mengapa ia datang ke sini juga?" ujar Bun Sui-le dengan
heran. "Mungkin kau lupa bahwa dia juga termasuk anak murid
dari Khong-tong-pay!" sahut Hong-ko dengan pelahan.
Dengan jawaban Hong-ko itu, barulah Bun Sui-le sadar, lalu
ia mengangguk-angguk.
"Baiklah kita lekas kembali ke Pek-lian-am dulu buat
menemui Boan-liong Tayhiap!" katanya kemudian.
Kali ini yang menunjukkan jalan agar Bun Sui-le pergi
memohon pertolongan kepada Tji-hun Tjindjin buat
melepaskan diri Hong-ko dari tawanan, memang bukan lain
ialah Boan-liong, melihat mereka betul-betul telah kembali
dengan selamat, dengan sendirinya ia ikut bergirang.
Kemudian Hong-ko menyatakan terima kasihnya atas
bantuan orang, ia menyebut Boan-liong sebagai Lotjianpwe
atau kaum angkatan tua.
Bun Sui-le pun lantas menceritakan pengalamannya tadi
ketika berada di Tjui-hun-kiong.
"Kedatanganku kali ini memang untuk memenuhi janji
dengan Hian-hong Totiang, sebenarnya tiada niatanku untuk
campur tangan soal Tjhi Djin-ho itu, siapa sangka justru Kui
Ping-boan, si pembesar anjing celaka ini telah terbentur dalam
tanganku," tutur Boan-liong. "Tetapi kalau Tji-hun Tjindjin kini
meminta aku harus meninggalkan tempat ini, maka boleh tak
usah aku menunggu lagi!"
"Dian-tayhiap apa kau tak perlu menunggu Hian-hong
lagi?" tanya ketua pengurus rumah biara itu.
"Sudah lewat temponya belum juga datang, biarlah aku
pergi saja!" ujar Boan-liong.
"Tetapi kini Ang-koh pun sudah sampai di Tjui-hun-kiong,
apakah Tayhiap tidak sabar menunggu lagi, mungkin tak lama
Hian-hong pun pasti akan datang juga!" kata Bun Sui-le.
"Begitupun baik," sahut Boan-liong mengangguk. "Memang
sudah lama aku mendengar bahwa di dalam Pek-lian-kau ada
seorang pemimpin wanita yang dipanggil sebagai Ang-koh dan
pernah diaku sebagai anak murid Khong-tong-san, aku ingin
melihatnya juga macam apakah orang itu?"
Begitulah maka untuk sementara mereka tetap tinggal di
Pek-lian-am, tiap hari Boan-liong Tayhiap tentu keluar buat
mencari kabar kedatangan Hian-hong, ia berpesan agar Bun
Sui-le berdua jangan mengunjuk muka dulu.
Dalam pergaulan paling belakang ini, persahabatan di
antara Hong-ko dan Bun Sui-le ternyata makin rapat,
ditambah pula Bun Sui-le melepaskan dirinya dari bahaya
maut tanpa memikirkan resiko sendiri, hal ini sudah tentu
banyak menambali kekalnya hubungan mereka
Meski Hong-ko masih belum lupa akan kawan kecilnya, Pek
Eng-dji, kawan di masa anak-anak mereka dan bahkan telah
dipertunangkan oleh kedua orang tua mereka, namun setelah
berpisah belasan tahun, lagi pula waktu perkenalan mereka
masih masa anak-anak, hakekatnya belumlah berarti bahwa
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada tertanam sesuatu bibit asmara di antara mereka
Lain halnya hubungannya dengan Bun Sui-le yang siang
dan malam selalu berdekatan dan dalam usia mereka yang
sudah menginjak remaja sudah tentu berbeda sekali
keadaannya, maka diam-diam mengutarakan perasaan
mereka dan terjalinlah kedua hati mereka.
Selang dua hari kemudian, setelah kembali Boan-liong
mengatakan pada mereka berdua, "Aku mendapat kabar
bahwa Hian-hong Totiang sudah sampai di Tjui-hun-kiong,
wanita yang dipanggil Ang-koh itu ternyata betul adalah putri
Pek Ting-djoan, Kun-su dari Pek-lian-kau, kedatangannya ke
Hoa-san kali ini, katanya hendak mencari sesuatu benda yang
telah hilang dari agama mereka. Yang aneh ialah para imam
dari Khong-tong-san, Hian-thian, Hiang-ang dan Hian-hong
serta kawan-kawan ternyata sudah lama bersekongkol dengan
Pek-lian-kau, terhadap Ang-koh mereka ternyata cukup segan
dan hormat."
Besok paginya Hong-ko menghilang, semua orang
menyangka tentu ia sedang jalan-jalan keluar, tak tahunya
sampai lohor ternyata pemuda ini masih belum pulang juga,
keruan saja Bun Sui-le menjadi kuatir.
Kiranya secara diam-diam Hong-ko pergi mengintai pula ke
Tjui-hun-kiong, ia ingin mengetahui lebih jelas apakah yang
dianggil Ang-koh apa betul-betul adalah Pek Eng-dji yang
menjadi kawannya semasa anak-anak. Apabila betul, maka ia
ingin menghilangkan kesalah-pahaman ketika ia melukai
tangannya dengan pelor besi dahulu dan sekalian menasehati
agar supaya Eng-dji suka melepaskan dirinya dari Pek-lian-kau
dan jangan tersesat lebih jauh.
Setelah ia meninggalkan Lo-kun-le-kau, ia terus
melanjutkan perjalanannya menuju ke Kim-so-kwan.
Tatkala itu adalah pagi hari, sepanjang jalan ia nampak
banyak orang yang naik gunung hendak bersembahyang ke
rumah-rumah biara itu. Hong-ko mencampurkan diri di antara
orang-orang yang hendak bersujud ke Tjui-hun-kiong.
Selang tak lama, bersama dengan serombongan orang
lainnya ia sudah sampai di Tjui-hun-kiong, dalam istana itu,
kecuali beberapa imam dari Khong-tong-pay, selebihnya tiada
yang kenal Hong-ko, mereka menyangka seperti tetamu biasa
saja yang hendak bersujud, maka ia disongsong ke sebuah
kamar tamu. Di sini ia disuguh air teh dan penganan sekedarnya. Ketika
ia disodori buku derma, tanpa ragu-ragu segera Hong-ko
menulis di atasnya, Liautang Hap-kongtju menyokong lima
puluh tahil perak.
Imam yang melayaninya nampak ia begitu tangan terbuka,
namanya pun serupa bangsa Boan, ia disangka salah satu
Kong-tju dari tingkat atas, maka sudah tentu ia dilayani makin
baik. dari sini kemudian ia dipersilakan ke sebuah kamar
tetamu yang bersih, di sini ada satu baris kamar-kamar bagus
yang khusus dipergunakan untuk melayani keluarga
bangsawan dan hartawan.
Setelah selesai mengatur tetamunya, imani pelayan itu
lantas mengundurkan diri.
Hong-ko melihat kamar tetangganya ada lelaki maupun
perempuan, kesemuanya adalah keluarga dari kaum
hartawan. la lantas menutup pintu kamarnya dan mengeluyur keluar
dari ruangan itu. kebetulan ia menemukan seorang imam cilik,
tetapi ia disangka sebagai tetamu pelancongan biasa saja,
maka dirinya tidak diperhatikan.
Setelah ia menembusi beberapa ruangan, ia sampai di
bagian belakang dari rumah biara itu, ia mengenali sebuah
loteng tinggi yang dipagari pagar tembok merah bukan lain
adalah tempat pada malam itu ia bertempur dengan imam
Khong-tong-pay.
Selagi ia berniat masuk melalui pintu bulan (pintu yang
berbentuk bundar), tiba-tiba ia mendengar ada suara tindakan
orang yang mendatangi ke jurusannya, maka lekas ia
berlindung ke belakang gunung-gunungan.
Yang mendatangi ternyata adalah dua imam muda, sambil
berjalan mereka sembari saling mengomel.
"Bukankah tadi kau sudah disuruh melayaninya dengan
hati-hati, ia mempunyai kedudukan sebagai Sian-koh, kalau
kurang sempurna pelayananmu, Susiok tentu akan menghajar
kita habis-habisan!" terdengar seorang di antaranya berkata.
"Ya sudahlah Suheng! Setelah sekarang aku mengetahui
dia adalah Sian-koh yang tidak sembarangan, tentu aku tidak
berani ayal lagi!" sahut yang lain.
Sambil berkata, tak lama mereka pun sudah pergi jauh.
Mendengar percakapan mereka, Hong-ko berpikir, "Kalau
begitu Ang-koh tentu tinggal di atas loteng itu, tetapi dalam
keadaan siang hari bolong, cara bagaimana aku bisa ke sana?"
Karena pikirannya hanya satu, yaitu bertujuan untuk
melihat Ang-koh dari dekat, maka pada saat demikian ini
Hong-ko lupa bahaya apa yang bakal ia hadapi, seketika itu ia
sudah mengambil suatu keputusan.
Dalam pada itu ia mendengar ada suara orang yang
mendatangi lagi, ia lihat tidak lain ialah imam muda tadi,
tangannya menjinjing sebuah kotak berisi makanan.
Hong-ko menunggu setelah imam cilik ini sudah lewat,
secara berindap-indap ia menguntit dari belakang, mendadak
ia kelebatkan pisau belati ke muka imam itu terus secara cepat
ditekankan ke tenggorokannya.
"Jangan berteriak!" gertaknya dengan suara tertahan.
"Begitu bersuara, segera aku habisi nyawamu!"
Imam yang sekonyong-konyong nampak pisau belati yang
mengkilap berkelebat di mukanya itu dan dibarengi dengan
suara ancaman, ia menjadi kaget dan ketakutan hingga
seketika itu ia tertegun tanpa berani berkutik.
Hong-ko menyeretnya ke belakang gunung-gunungan tadi
terus dibekuk ke tanah, saking takutnya hingga imam itu tak
bertenaga lagi, kedua kakinya lemas dan dengan sendirinya ia
mendeprok ke bawah.
Lebih dulu Hong-ko menyumbat mulut imam kecil itu
dengan kain bajunya, sesudah itu ia meringkus pula kaki
tangannya dan ditutup lagi matanya, kemudian baru ia
menggusur imam itu ke suatu pojok terus mencopoti pakaian
imam untuk dipakainya sendiri, setelah selesai, sambil
menjinjing bakul yang berisi penganan tadi ia lantas menuju
ke halaman loteng.
Dengan menyamar sebagai imam, ternyata ia bisa masuk
dengan leluasa. Setelah sampai di atas loteng, ia lihat kain
layar kuning melambai turun dan di lantai tergelar permadani
merah tebal Setelah itu ia mencoba berdehem, segera juga terdengar
ada suara kaum wanita yang berseru, "Siapa?"
"Aku yang rendah mengantar makanan untuk Sian-koh,"
sahut Hong-ko dengan tekanan suara yang dibikin-bikin.
"Masuk!" terdengar pula suara dari dalam.
Maka dengan kepala menunduk masuklah Hong-ko ke
dalam, ia sengaja menjinjing tinggi-tinggi bakul penganan
yang ia bawa tadi, dengan begitu ia menutupi setengah
mukanya agar tidak dikenali orang.
Ketika ia melirik, terlihat olehnya di sana duduk seorang
wanita yang bukan lain ialah Ang-koh, tertampak rambutnya
yang indah dengan bunga cempakanya masih tetap seperti
apa yang pernah ia lihat dahulu, hanya pakaiannya yang
berlainan, mukanya pun mirip dengan Pek Eng-dji yang kurus
kering dan kulit kekuning-kuningan di masa dahulu, terang
berbeda jauh sekali dengan keadaannya sekarang.
Sementara itu Ang-koh hanya melengos, sudah itu ia
membalikkan kepalanya lagi, nyata ia sedang mencurahkan
perhatiannya terhadap beberapa gelintir pelor besi yang ada di
dalam tangannya.
Dengan setengah membelakangi, Hong-ko menaruh bakul
makanannya berbareng ia coba melirik mengintai, akan tetapi
segera hatinya menjadi tergoncang dan berdebar-debar, ia
tidak menduga bahwa apa yang ada dalam genggaman
tangan Ang-koh ternyata adalah senjata rahasia miliknya, di
antaranya dua gelintir yang kehitam-hitaman ialah senjata
yang ia timpukkan padanya ketika berada di Soatang dahulu,
sedang dua buah pelor baja lainnya adalah senjata yang ia
arahkan pada Tjhi Djin-ho malam-malam, kini kesemuanya
ternyata berada di tangan Ang-koh dan sedang diamat-amati
apakah pemakai senjata rahasia itu sama orangnya, suatu
tanda pula bahwa wanita ini masih belum lupa karena
tangannya terluka di Soatang dahulu.
"Silakan Sian-koh bersantap pagi!" Hong-ko menyilakan
sambil sedikit membungkuk setelah ia mengatur makanan
yang ia bawa itu.
Terdengar Ang-koh menjawab dari tempat duduknya,
namun ia tetap tidak berpaling.
Karena itu, dengan memberanikan diri Hong-ko lantas
memandangnya secara terang-terangan dari depan, ia merasa
air mukanya, dari hidung, mata, alis hingga mulut dan lainnya
lagi iemua mirip sekali dengan Pek Eng-dji, ia teringat bahwa
pada daun kuping sebelah kanan ada suatu tanda, ternyata
tanda itu hingga kini masih tertampak juga.
"Banyak membikin lelah To-heng saja!" tiba-tiba Ang-koh
berpaling dan berkata.
Sekilas itu, agaknya Ang-koh tertegun, sinar matanya yang
tajam bertemu dengan pandangan Hong-ko.
Karena itu Hong-ko menjadi terkejut sekali, lekas ia
menunduk sambil membungkuk lagi.
"Apa Sian-koh masih ada pesan lain?" tanyanya pura-pura.
la tak berani mengangkat kepalanya lagi.
"Di sini sudah selesai, terima kasih!" sahut Ang-koh.
Lekas Hong-ko membaliki tubuhnya terus hendak angkat
kaki, tetapi baru saja beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba ia
mendengar dari belakang Ang-koh memanggil lagi.
"Nanti dulu To-heng, gelarmu masih belum aku ketahui!"
ujarnya. Terpaksa Hong-ko harus membalik lagi, ia berpura-pura
sedikit membungkukkan dan menjawab pertanyaan orang.
"Aku bergelar Hoat-tjin, Tosu pelayan tamu di sini, apa
Sian-koh masih ada sesuatu keperluan?"
Setelah memandang padanya agaknya Ang-koh pun
menunjukkan wajah yang heran, karena Hong-ko berhenti dan
ber-balik menjawab, ia menjadi ragu-ragu.
"Hoat-tjin To-heng, baiklah, silakan kau pergi!" sahutnya
pada akhirnya. Seperti terlepas dari beban yang berat, lekas Hong-ko
angkat kaki, ia turun dari tangga, tetapi dalam hatinya merasa
sayang juga, sebenarnya ingin hatinya bisa lebih banyak
memandang pada Ang-koh.
Di bawah loteng itu ada sebuah ruangan lain, ketika ia
lewat di pintu samping, tiba-tiba dari depan menubruk datang
seorang imam, karena itu mereka saling tumbuk.
Bagi orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi, tidak peduli
kapan dan dimana, begitu ada sesuatu yang menyentuh
tubuhnya, dengan sendirinya pasti akan mengeluarlah
semacam tenaga penolak.
Kini tanpa disengaja Hong-ko bertubrukan dengan imam
tua yang datang secara mendadak itu, seketika ia
mengeluarkan tenaga dalamnya buat menahan tubuhnya,
namun karena ilmu silat imam itu jauh lebih tinggi dari Hongko,
maka Hong-ko tergetar hingga sempoyongan beberapa
tindak, lekas ia memakai langkah Hi-djiok-kue-ki atau burung
kutilang berpindah cabang pohon, dengan begitu ia bisa
menahan tubuhnya untuk berdiri tegak, dalam pada itu si
imam tadi sudah masuk ke dalam ruangan.
Waktu Hong-ko menegasi, tiba-tiba ia mengeluh!
Kiranya imam ini memakai jubah pertapaan dan berjenggot
cabang tiga yang serupa dengan Hian-thian dan Hian-ang,
sinar matanya tajam.
Agar dirinya tidak lantas dikenali, lantas Hong-ko
mendekam ke bawah dan berulang-ulang menjura memberi
hormat. "Harap Supek memaafkan, tadi secara tidak sengaja telah
menabrak Supek, di sini Wanpwe memberi hormat!" katanya.
Akan tetapi imam itu ternyata tidak gampang diingusi, ia
mengamat-amati padanya, sudah itu mendadak ia mengebut
dengan lengan bajunya hingga seketika itu topi imam di atas
kepala Hong-ko kabur copot oleh sambaran angin lengan
bajunya. "Besar sekali nyalimu, kiranya kaulah yang telah
menyamar!" terdengar imam tua itu segera membentak.
Bukan main kejut Hong-ko demi mengetahui dirinya
terbuka kedoknya, lekas ia menggelundung pergi ke samping.
Kiranya imam ini ialah Hian-hong, kali ini ia berjanji dengan
Boan-liong Kiam-khek untuk bertemu di Hoa-san, kebetulan
juga Ang-koh mendapat berita bahwa Giok-bin-yao-hou Bun
Sui-le telah sampai di Hoa-san, oleh karena itu ia menyusul
kemari, karena Hian-hong masih harus mampir ke markas
Tjongtin di Limtjing untuk mencari sutenya, Hian-thian, maka
berbalik ia datang lebih belakang.
Ketika itu imam tua ini sedang hendak menuju ke loteng di
belakang istana itu untuk menemui Ang-koh, tiba-tiba ia
mendengar suara riuh tindakan kaki yang tergesa-gesa sedang
turun dari loteng, tindakan itu membawa gaya yang enteng, ia
dapat membedakan orang yang datang ini pasti seorang ahli
silat. Waktu kemudian ia memandang, ia lihat yang turun adalah
seorang imam muda, maka ia menjadi heran, maka sengaja ia
menubruk padanya dan segera pula ia dapat menjajal bahwa
imam muda ini agak mencurigakan.
Dalam pada itu, setelah Hong-ko menggelundungkan diri
keluar istana tadi, sekonyong-konyong Kim-na-djiu yang lihai
dari Hian-hong pun sudah memapaki padanya, ia berpikir
hendak mencabut belatinya, namun sudah terlambat, terpaksa
ia merogoh sekenanya beberapa biji pelor besinya terus ia
sambit-kan ke arah imam tua itu.
Mendengar sambaran angin, Hian-hong mementang
tangannya terus menyambut datangnya pelor.
"Bagus, kiranya yang biasa menyambit dengan pelor besi
adalah kau, kali ini jangan harap kau bisa lolos," serunya
dengan tertawanya.
Dalam pada itu, Hong-ko sudah sempat mencabut
belatinya, segera ia melangkah maju dengan gerakan 'Moakoh-
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tjin-yok' atau si nona menyuguh minuman, segera ia
menikam. Bagaimanapun, memang Hian-hong mempunyai
kepandaian sudah jauh lebih masak daripada Hong-ko,
dengan sedikit mengegos ke samping, berbareng lagi menuju
ke muka si pemuda, karena itu pandangan matanya menjadi
terhalang, sementara itu, si imam merangkap dua jarinya
terus menotok dengan tipu 'Yap-te-tau-hoa' atau mencuri
bunga dari bawah daun, secepat kilat ia menotok ke pundak
Hong-ko. Gerak tipu itu adalah ilmu totokan yang lihai dari Kim-nadjiu
yang mempunyai 72 jurus gerakan, karena tidak sempat
menghindar lagi, segera 'Hun-bun-hiat' di pundak Hong-ko
terkena totokan Hian-hong hingga seketika ia roboh
tersungkur tanpa bisa berkutik.
Saat itu juga, dari luar istana masuk pula dua orang yang
bukan lain adalah jagoan-jagoan dari kerajaan pada malam
itu, yakni Tui-hun-djiu' Njo Djun dan 'Siau-song-sin' Li Ngo.
Tatkala mereka nampak Hian-hong dapat menotok roboh
seorang yang menyamar sebagai imam, segera mereka dapat
mengenali sebagai bocah yang tempo hari kepergok bersama
Giok-bin-yao-hou.
Maka lekas mereka berkatakan pada Hian-hong, "Totiang,
orang ini ialah pembunuh Kui-taydjin, kita justru sedang
mencari dia, kali ini betul-betul ia sendiri yang telah
menghantar jiwanya."
Mendengar penuturan itu, diam-diam Hian-hong berpikir,
"Kebetulan juga, dahulu ketika aku mengawal Pi-hwe-tju,
mutiara mestika itu telah kena digondol lari oleh bocah ini di
hutan Tjo, kini justru ia terjatuh di tanganku, maka boleh
dikata aku yang lagi mujur, mana mungkin aku menyerahkan
dia pada kalian berdua untuk digiring ke kotaraja buat
menerima pahala?"
Begitulah segera Hian-hong mengatur tipunya, ia hendak
merebut kembali mutiara mestika yang pernah digondol lari
oleh Hong-ko dulu, maka ia tidak bersedia menyerahkan
pemuda itu kepada Njo Djun dan Li Ngo berdua, tetapi ia
kualir juga apabila Ang-koh melihat Hong-ko, pemuda ini bisa
dipaksa menyerahkan mutiaranya itu.
"Tuan-tuan bayangkara tidak usah kuatir, orang ini
menyamar sebagai imam dalam istana ini, Pin-to harus
menyerahkan dia pada Hian-thian Sute untuk diperiksa buat
mengetahui cara bagaimana ia bisa menyelundup masuk ke
dalam dan apakah masih ada begundalnya, sudah itu baru
diserahkan pada Dji-wi untuk digiring ke kotoraja dan
dihukum, aku kira di tangan kami tak mungkin ia bisa lolos!"
Dengan perkataannya itu, Hian-hong secara samar-samar
mengatakan bahwa dia yang menangkap, maka harus
diperiksa dahulu baru bisa diserahkan pada mereka.
Njo Djun dan Li Ngo cukup kenal kepandaian Hian-hong,
maka mereka lantas menjawab baik. Begitulah lantas, Hianhong
meringkus kaki tangan Hong-ko terus ia seret sendiri dan
digusur ke dalam penjara, sudah itu baru ia naik ke loteng lagi
buat menemui Ang-koh.
Melihat kedatangan Hian-hong, lekas Ang-koh menyambut
padanya, kedua bayangkara itupun setelah bertemu, mereka
pun berdiri di samping.
"Kabarnya Totiang tadi telah menangkap seorang yang
menyamar sebagai Tosu yang menjadi begundal Giok-bin-yaohou,
entah orang ini bernama siapa dan kini berada dimana?"
tanya Ang-koh. Teng Hong-ko yang belum lama merantau, tidak terkenal di
kalangan Kangouw, ia hanya dikenal sebagai seorang bocah
yang pernah merampas mutiara mestika di hutan Tjo dahulu,
belakangan setelah mengintai ke Tjui-hun-kiong malammalam
bersama Giok-bin-yao-hou dan dengan pelor besinya
telah melukai Tjhi Djin-ho, kesemuanya itu adalah
perbuatannya seorang.
'Sian-koh, Pin-to sudah mengurung penjahat cilik itu dalam
panjara bawah tanah," begitu sahut Hian-hong atas
pertanyaan orang tadi. "Dulu orang yang merampas kereta di
hutan Tjo tidak lain adalah dia ini, sayang ketika itu Pin-to
datang terlambat hingga ia keburu bisa melarikan kereta,
hanya dari Ie Djan didapat keterangan bahwa oleh kawankawannya
ia diteriaki sebagai 'Siau Kim-kong'. Beberapa hari
yang lalu bersama perempuan terkutuk Bun Sui-le datang ke
sini lagi, kedua Si-we-ya (tuan bayangkara) ini malam itu telah
bergebrak dengan mereka, tentu mereka mengetahui asalusulnya!"
Karena diri mereka disinggung, seketika Li Ngo menjadi
tergagap. "Tjayhe pun tidak mengetahui siapa nama jahanam ini,"
sahutnya pada akhirnya. "Hanya diketahui bahwa dia adalah
anak murid dari Go-bi-pay, dan kali ini ikut Giok-bin-yao-hou
ke sini untuk membunuh Kui-taydjin."
Mendapat penuturan itu, tiba-tiba Ang-koh menjadi teringat
pada waktu malam-malam ia mengintai ke Mo-dji-tje di
Soatang dahulu, ia melihat seorang pemuda yang mirip
dengan Teng Hong-ko, orang yang menyamar sebagai imam
hari ini, kalau ia membayangkan pun rada mirip juga.
Maka lantas ia berkata pada Njo Djun berdua, "Djiwi silakan
mengaso saja, penjahat yang tertangkap itu baiklah besok
boleh Djiwi giring kembali ke ibukota."
Setelah itu Njo Djun dan Li Ngo mengundurkan diri.
"Kedatangan Totiang kali ini, siapakah yang hendak
ditemui?" tanya Ang-koh pada Hian-hong setelah tinggal
mereka berdua. Maka berceritalah Hian-hong mengenai perjanjiannya
bertemu dengan Boan-liong Kiam-khek.
"Boan-liong sendiri asalnya juga anak murid dari Khongtong-
pay, hanya belakangan ia masuk ke dalam Djing-Iionghwe,"
Hian-hong menambahkan lagi.
"Sungguh aku tidak mengerti mengapa Tjiangkau begitu
jeri padanya, kalau ia betul-betul berani berlawanan dengan
Pek-lian-kau, tatkala itu ia bisa memohon ketujuh Tjindjin dari
tujuh gua Khong-tong untuk meringkusnya dan dihukum,
bukankah itu lebih baik?" ujar Ang-koh.
Tjiangkau atau pejabat agama yang Ang-koh sebut tadi
adalah 'Thong-thian-kiu-tju' dari Pek-lian-kau, waktu itu imamimam
dari Khong-tong-pay sudah bersekongkol dengan Peklian-
kau. Dalam pada itu tiba-tiba Hian-hong teringat sesuatu.
"Sebelum aku menuju ke Hoa-san sini," katanya pada Angkoh.
"Diam-diam Tjiangkau memberitahu padaku bahwa ia
orang tua dalam waktu singkat ini akan menyambangi para
Tjindjin di Khong-tong-san, kalau Sian-koh keburu datang,
dalam sebulan pun diminta menemuinya di sana!"
"Kebetulan sekali kedatangan Tjiangkau, aku justru hendak
melaporkan tentang kehilangan Thian-hu itu," sahut Ang-koh
dengan girang. Begitulah setelah mereka berdua mengobrol lagi, cuaca
sudah mulai gelap, dengan alasan masih ada urusan lain,
lantas Hian-hong memohon diri dan kemudian turun dari atas
loteng. Kembali mengenai diri Teng Hong-ko, setelah pemuda ini
kena dibekuk oleh Hian-hong, ia dikurung pula ke dalam
penjara, jalan darahnya yang tadinya tertotok, kini sudah
lancar kembali, ketika membuka matanya, ia lihat kedua
kakinya sudah dirantai orang.
Penjara ini adalah tempat yang sama seperti tempo hari ia
dikurung, sejak Giok-bin-yao-hou berhasil menolong dirinya,
karena takut peristiwa itu terulang pula, kali ini khusus dikirim
dua orang penjaga untuk menjaga di luar pintu penjara,
penjaga-penjaga ini adalah bawahan Tui-hun-djiu Njo Djun,
mereka diperintahkan begitu ada orang hendak merampas
tawanan, boleh seketika membereskan jiwa Hong-ko.
Dalam pada itu terdengar di luar kamar penjara ada suara
percakapan orang yang pelahan, menyusul mana pintu jeruji
besi dari kamar penjara itu dibuka oleh penjaga, kemudian
ada pula orang yang masuk ke dalam dan pintu penjara pun
ditutup kembali.
Waktu Hong-ko mencoba memandang, ia lihat yang masuk
ini adalah seorang kacung, kepalanya memakai ikat kain,
pakaiannya ringkas, usianya masih di bawah dua puluhan,
tampaknya ia seorang pekerja di dalam kuil itu.
Di dalam kamar penjara terlalu gelap karena api lentera
yang remang-remang, sedang ikat kepala kacung itu diikat
hingga hampir menutupi mukanya, oleh karenanya tak begitu
jelas untuk melihat mukanya. Hanya terlihat kacung ini
menjinjing sebuah bakul barang, setelah sampai di depan
Hong-ko lantas ia meletakkan bakulnya, sudah itu dengan
membelakangi sinar lentera dengan mata tanpa berkedip terus
saja ia mengamat-amati Hong-ko.
Nampak kelakuan orang itu, Hong-ko pun tidak ambil
pusing. Tak ia duga mendadak kacung itu malah membuka
suara lebih dahulu.
"Apakah kau ini saudara Siau Kim-kong" Laparkah
perutmu?" tanyanya, suaranya halus lembut tetapi rada
lemah. Mengetahui orang tidak mengandung maksud jahat, maka
Hong-ko pun lantas mengangguk-anggukkan kepalanya
sebagai jawaban.
Maka kacung itu lantas mengeluarkan beberapa macam
penganan dan seceret wedang.
"Saudara, inilah barang-barang yang ingin aku berikan
padamu," katanya kemudian sambil menaruh barang-barang
tadi ke lantai. Kemudian ia menyambung, "Tadi mendengar
logat suaramu, tampaknya kau seperti berasal dari daerah
selatan Kang-say, kalau begitu mungkin kita adalah
sekampung halaman!"
Mendengar itu Hong-ko jadi tercengang sejenak, ia tidak
menduga cara bagaimana bisa bertemu dengan orang
sekampungnya. "Saudara juga orang dari daerah selatan Kangsay?"
tanyanya kurang percaya. Ia berkata dalam logat kampung
halamannya di daerah sekitar Bwe-kang.
"Ya, bahkan aku adalah orang dari Tjiok-ge-tjun, entah
saudara asal dari kampung mana?" sahut kacung itu.
Diam-diam Hong-ko menjadi terkejut mendengar suara
perkataan orang ternyata sama logatnya dengan dia sendiri,
lekas ia mencoba memandang orang lebih terang, namun
kacung itu menunduk ke bawah buat menuangkan
minumannya. Mendadak Hong-ko mencium pula bau wangi, hatinya jadi
bertambah tidak mengerti, namun ia tidak berani
menerangkan bahwa dirinya pun berasal dari kampung Tjiokge-
tjun. "Banyak terima kasih atas pelayanan saudara ini," sahutnya
kemudian. "Aku adalah orang dari Tiang-sing-si, sejak kecil
sudah merantau di Kangouw, hari ini aku tertangkap oleh
Hian-hong, aku kira maksud baik saudara hanya akan sia-sia
saja." Seketika kacung itu ternyata tidak menjawab, ia hanya
mengangsurkan makanan ke tangan Hong-ko. Pemuda ini pun
tidak menolak, lantas ia makan seadanya.
"Kau tidak seharusnya bersama Giok-bin-yao-hou ke sini
buat mencari setori pada Toaya kami, kalau kau mau
menerangkan asal-usulmu, mungkin aku masih bisa
mencarikan orang buat menolongmu," kacung itu berkata lagi.
"Siapa yang mampu menolong aku keluar dari sini?" ujar
Hong-ko sambil menghela napas. "Hian-hong menangkap aku
sebagai seorang tawanan kerajaan, kecuali kalau saudara suka
membantu mengirimkan kabar keluar bagiku!"
"Kau ingin aku mengirimkan kabar kemana?" tanya kacung
itu mendadak. "Kalau aku bisa melaksanakan, pasti akan aku
lakukan." Akan tetapi Hong-ko masih ragu-ragu, ia tidak lantas
memberitahukan.
"Sudah terlalu lama aku berada di sini, lekas kau katakan!"
sementara kacung itu mendesak pula.
Sejenak itu Hong-ko menjadi bingung dan ragu-ragu, dari
mulurnya ia hanya mengatakan "Pek-lian-am" tiga suku kata
saja, tetapi mendadak ia sadar bahwa kacung ini agak
mencurigakan, maka tidak ia teruskan perkataannya.
Namun si kacung pun tidak bertanya lebih lanjut.
"Sudahlah, aku harus pergi dari sini, makanan ini
kutinggalkan untukmu saja," katanya, terus saja ia menjemput
bakulnya dan hendak pergi.
"Tadi aku lupa bertanya padamu," tiba-tiba ia menoleh pula
sebelum pergi. "Di Tjiok-ge-tjun ada seorang guru silat
bernama Teng Ling, apakah saudara kenal dia?"
Terperanjat sekali Teng Hong-ko tatkala mendadak
mendengar orang menyebut nama ayahnya, meski kedua
kakinya terbelenggu, namun tubuhnya masih bisa bergerak,
maka segera ia mencoba melompat naik, tiba-tiba dengan tipu
'Pek-ho-liang-sia' atau bangau putih mengunjuk sayap, tangan
kirinya menyambar ke atas kepala orang dengan cepat, ia
bermaksud menyingkap ikat kepalanya.
Gerak tubuh Hong-ko cukup cepat, tak ia duga cara kacung
itu berkelit jauh lebih cepat lagi, dengan sedikit berjongkok,
dengan gampang saja ia menghindarkan serangan pemuda
itu. "Siapa kau?" bentak Hong-ko.
Berbareng itu ia maju selangkah meski kakinya terantai,
sesudah itu dari samping ia mengirim pukulan pula dengan
sebelah telapak tangannya, dengan tipu serangannya yang
mengandung cara Kim-na-djiu atau cara mencekal dan
menawan ini, ia menyambret dada kacung itu dengan gaya
'Hun-tiong-dju-goat' atau menyangga rembulan di antara
awang-awang. Namun kacung itu keburu mengegos ke samping, menyusul
kemudian dengan baku! yang ia pegang terus saja diayunkan
ke muka Hong-ko untuk menghalau serangannya, kemudian
dengan cepat ia melompat ke dekat pintu kamar penjara.
"Dasar manusia tak berbudi!" dampratnya kemudian sambil
mendorong pintu penjara, terus saja ia melompat keluar.
Menyaksikan orang sudah pergi, baru Hong-ko sadar
bahwa tentu yang menyamar sebagai kacung ini ialah Angkoh,
kalau melihat gerak tangannya tadi, terang ia bukan
seorang kacung biasa saja. Tampaknya Ang-koh ini pasti
adalah Pek Eng-dji adanya, hal ini sudah tidak usah diragukan
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Begitulah, dalam lamunannya tanpa terasa ia sudah
tertidur. Keadaan mana entah sudah lewat berapa lama lagi, ketika
dalam tidurnya yang layap-layap itu, mendadak ia merasa
seperti ada orang sedang menggoyang-goyang padanya,
waktu ia membuka matanya, tertampaklah kacung tadi sedang
mendekam di sampingnya.
Hong-ko menjadi gusar, tiba-tiba kakinya mendupak sambil
menggertak, "Enyahlah kau!"
Akan tetapi belum sampai kakinya mengenai orang, cepat
sekali dengan gerakan 'Ho-ping-kiu-li' atau merebah di tanah
es mengharapkan ikan mas, orang itu berkelit pergi,
berbareng tangan kanannya terus diulur maju lagi, segera ia
sudah berhasil mencekal kaki Hong-ko, sedang sebelah
tangannya yang lain ia mendekap mulut orang pula.
"Sssst, apa kau sudah gila" Akulah yang ada di sini!" seru
orang itu dengan suara tertahan.
Ketika Hong-ko menegasi, ternyata orang yang berhadapan
dengan dia kini ialah Boan-liong Kiam-khek, karena itu ia
menjadi terperanjat. Ia mengucek matanya, mengira dirinya
masih dalam alam mimpi, dalam pada itu Boan-liong sudah
menarik dirinya bangun, barulah ia mengetahui pula bahwa
belenggu kakinya sudah sejak tadi terlepas.
"Bagaimana Tayhiap bisa mengetahui aku berada di sini?"
tanya Hong-ko dengan cepat.
Boan-liong tidak lantas menjawab, sebaliknya ia menarik
Hong-ko dan terus diajak berangkat.
"Mari lekas kita pergi!" desaknya.
Kembali Hong-ko bertanya dimana adanya Bun Sui-le.
Dengan menarik dirinya, Boan-liong membawanya kabur
melalui jalanan di bawah tanah rahasia itu dan berbareng di
tengah jalan ia memberitahukan pengalamannya bagaimana
bisa masuk ke dalam penjara rahasia tersebut.
Kiranya sesudah Hong-ko berangkat, hal mana sangat menguatirkan
Giok-bin-yao-hou Bun Sui-le.
Setelah menunggu sepanjang hari Hong-ko masih tetap
belum kembali juga, kemudian Boan-liong pun pergi keluar
buat mencari berita, maka ia lebih-lebih merasa kualir dan
gugup, akhirnya seorang diri ia meninggalkan Pek-lian-am
juga. Sampai malam harinya, ketika Boang-liong kembali ke kuil
itu dan tidak menemukan Bun Sui-le, maka tahulah dia, pasti
gadis itu telah pergi lagi ke Tjui-hun-kiong buat berusaha
menolong Teng Hong-ko.
"Dengan Hian-hong bertiga saja Giok-bin-yao-hou bukan
tandingan mereka, apalagi kini ditambah seorang Ang-koh, kepergiannya
kini pasti banyak bahayanya daripada
selamatnya!" begitu ia berpikir.
Karena itu, segera juga ia berangkat malam-malam sampai
di Tjui-hun-kiong, lebih dulu ia pergi menghadap Tji-hun Tjindjin,
imam tua ini menganggap orang terlalu suka ikut campur
urusan lain, namun belakangan ia tidak tahan juga oleh
permohonan Boan-liong yang sungguh-sungguh itu, akhirnya
ia memberitahu juga jalanan rahasia di bawah tanah yang
menuju ke kamar penjara itu.
Sesudah Boan-liong masuk ke dalam jalan di bawah tanah,
pada suatu ruangan ia lihat ada seperangkat pakaian dan ikat
kepala serta sebuah bakul makanan, ia menduga tentu
tinggalan petugas pengantar makanan, maka lantas ia
menukar pakaiannya dengan pakaian yang sudah tersedia itu
dan menyamar sebagai seorang kacung, waktu berhadapan
dengan penjaga, ia dikira Ang-koh yang datang kembali, maka
tanpa susah-susah lagi segera penjaga membukakan pintu,
tetapi pada kesempatan itu juga Boan-liong menotok roboh
kedua penjaga itu dan dengan leluasa ia bisa masuk ke dalam
buat menolong Hong-ko.
Begitulah, sesudah Hong-ko mendapat tahu bahwa karena
hendak menolong dirinya maka tanpa menghiraukan bahaya,
seorang diri Bun Sui-le berkunjung ke Tjui-hun-kiong lagi dan
belum diketahui bagaimana keadaannya, segera hatinya
menjadi kuatir dan tidak tenteram.
Sementara itu mereka sudah sampai di luar, Boan-liong
berniat membawa Hong-ko terus hendak berangkat kembali,
namun pemuda ini ternyata menolak.
"Tidak, aku tidak bisa pergi begitu saja!" ujarnya.
"Dengan tidak memikirkan bahaya aku datang
menolongmu, sebentar lagi Hian-hong dan kawan-kawan pasti
akan mengejar kemari, apakah kau ingin jatuh ke tangan
mereka pula?" sahut Boan-liong mendongkol.
"Aku bersedia tertangkap pula oleh imam tua Hian-hong itu
daripada aku harus membiarkan Bun-tjetju jatuh ke dalam
mulut macan!" kata Hong-ko lagi berkeras.
"Kita belum tahu dengan pasti apakah dia telah datang ke
Thui-hun-kiong lagi, lebih baik kita kembali dahulu untuk
memikirkan cara yang paling baik!" ujar Boan-liong pula.
"Tidak," sahut Hong-ko tetap keras kepala. "Bun-tjetju
tentu telah datang ke sini lagi, ia tidak berhasil menolong aku
tentu banyak kemungkinan sudah jatuh di tangan Hian-hong."
Karena tak berdaya menginsyafkan pemuda ini, terpaksa
Boan-liong menuruti keinginannya, berbareng mereka
melompat naik ke atas istana rumah biara itu, mereka lihat
gedung-gedung kompleks Tjui-hun-kiong itu berderet-deret
penuh dengan ruangan dan kamar, tetapi tiba-tiba mereka
mendengar ada suara gemerincing beradunya senjata tajam
yang berkumandang dari jauh.
Mendengar suara itu Boan-liong mengerti tentu ada orang
sedang bertempur, dari suara getaran senjata yang
berkumandang itu, dapat ia duga yang sedang bertarung itu
pasti tergolong ahli semua, maka mereka berdua lantas
menuju ke tempat datangnya suara tadi.
Bercerita tentang Ang-koh, sesudah gadis ini menyaru
sebagai kacung dalam rumah biara itu untuk memeriksa
tawanan dalam kamar tahanan, ia mengetahui bahwa
tawanan itu memang bukan lain ialah Teng Hong-ko.
Dengan perasaan bimbang dan penuh kemasgulan
kemudian ia kembali ke kamarnya.
Di luar dugaannya, begitu ia menyingkap kerai untuk
masuk ke kamar, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat,
segera ia dipapaki dengan sinar pedang yang menuju ke
mukanya. Kepandaian Ang-koh memang tidak lemah, ketika
mendadak nampak pedang musuh menyerang padanya,
segera juga ia merobohkan diri ke belakang dan dengan sekali
berjumpalitan berbareng ia melolos keluar juga pedangnya.
Kemudian setelah ia mengetahui bahwa yang menyerang
mendadak padanya itu bukan lain ialah Giok-bin-yao-hou Bun
Sui-le, keruan saja ia menjadi murka.
Sementara itu setelah tusukannya tadi luput, segera Giokbin-
yao-hou mundur ke belakang.
"Perempuan siluman, perempuan tak tahu malu, lekas kau
katakan, dimana kau sembunyikan suamiku Teng Hong-ko?"
dampratnya kemudian dengan menuding Ang-koh.
Dengan kata-katanya ini memang Bun Sui-le telah
membikin gusar Ang-koh, memangnya ia sudah mengetahui
dari cerita Hong-ko bahwa Pek Eng-dji sejak kecil sudah
dipertunangkan dengannya, oleh sebab itu sengaja di hadapan
Ang-koh ia menyebut Hong-ko sebagai suaminya, dengan
begitu ia ingin mengetahui reaksi Ang-koh, apakah gadis ini
Pek Eng-dji adanya.
Pancingannya ini ternyata berhasil, karena mendadak Angkoh
makin murka hingga matanya mendelik dan alisnya
berdiri. "Perempuan jahanam tak punya muka, siapa yang
menyembunyikan gendakmu, nonamu hanya menangkap
seorang penjahat cilik bernama Siau Kim-kong, kalau kau
mampu boleh kau membawanya pergi!" gertaknya sengit.
Namun Giok-bin-yao-hou pun tidak banyak bicara lagi,
dengan sekali bergerak, pedangnya segera menyerang lagi.
"Lihat senjata, perempuan siluman!" bentaknya juga.
Dengan cepat Ang-koh melompat ke atas dengan gaya
'Wan-kau-siang-djiu' atau kera memanjat ke atas pohon, ia
menghindarkan babatan itu dengan tipu 'Ya-tjhe-tam-hay'
atau setan dayang meronda ke laut, ia menangkis senjata
orang pula. Namun Bun Sui-le sudah merubah serangannya pula,
secara bertubi-tubi ia menghujani lawannya dengan berbagai
tipu serangan, tetapi Ang-koh tidak mengunjuk kelemahan,
apalagi yang dia latih adalah Bu-kek-kiam-hoat yang terkenal,
ia menjaga dirinya begitu rapat dan tiap-tiap gerak tipunya
aneh tetapi hebat.
Karena berada di goa macan, lagi pula ingin bisa lekas
memperoleh kemenangan, maka berulang-ulang Giok-bin-yaohou
mengeluarkan tipu-tipu serangan yang berbahaya dan
membawa resiko, karenanya ciri-ciri dan kelemahannya ini
dapat dipahami oleh Ang-koh yang melayaninya dengan
penuh semangat tetapi tenang.
Begitulah mereka bertarung dengan sengit, sesudah
bergebrak hingga beberapa puluh jurus, ternyata masih belum
nampak siapa yang bakal menjadi pecundang.
Lama kelamaan Ang-koh menjadi tidak sabar lagi, tiba-tiba
ia merubah ilmu pedangnya, ia mengeluarkan ajaran
perguruannya yang paling hebat.
"Perempuan rendah, hari inilah tibalah ajalmu!" bentaknya
sengit. Menyusul mana ia merubah serangan dengan gerak cepat
terus membacok.
Bun Sui-le yang memangnya sudah rada gugup karena
sudah begitu lama masih belum sanggup mengatasi lawannya,
kini kena dibikin marah oleh dampratan itu pula, segera ia
melompat naik berbareng itu dari atas senjatanya terus
menikam ke bawah, karena itu kedua senjata beradu dan
sama-sama tergoncang pergi.
Sesudah itu kembali Bun Sui-le merangsek lagi, beruntun ia
menyerang dua kali dengan tipu 'Giok-li-tjwan-tjiam' atau si
gadis ayu menisik jarum, terus dengan gerak tipu 'Liong-tingti-
tju' atau mengambil mutiara di atas kepala naga, ia
mendesak Ang-koh hingga terpaksa gadis ini harus main
mundur terus. Karena nafsunya untuk memperoleh kemenangan dengan
cepat, kembali Bun Sui-le merangsek maju lagi dengan gaya
"Thio-hui-tui-tjo' atau Thio Hui mengejar Tjo Tjho, serangan
ketiganya segera menyusul lagi.
Tidak ia duga bahwa Ang-koh tadi sengaja mengalah dua
serangan padanya, maksudnya tidak lain ialah sebagai
pancingan belaka, ia sengaja memancing Bun Sui-le masuk ke
suatu pojok yang tidak menguntungkan, setelah itu pada
waktu tusukan ketiga Bun Sui-le tiba, segera ia sedikit
berjongkok dan meng-kerutkan tubuh, menyusul mana
dengan gerak tubuh yang bagus dan secepat kilat, tiba-tiba
sinar pedangnya berkelebat.
Tipu serangannya ini begitu cepat, lagi di luar perhitungan
Bun Sui-le, karena sedikit terlambat saja, seketika itu juga
sebelah tangannya sudah terkurung oleh senjata Ang-koh
hingga mengucurkan darah, dengan sekali jeritan ngeri,
segera ia jatuh terguling.
Pada saat lengan Bun Sui-le hampir terkurung tadi, tibatiba
di luar ruangan itu ada bayangan orang berkelebat,
bayangan yang tinggi besar itu secepat kilat menerobos
masuk melalui jendela dan terus memburu ke samping Angkoh
dengan maksud hendak menangkis serangannya tadi.
Tak tersangka gerak serangan Ang-koh tadi begitu cepat,
maka pada waktu pedang orang itu diangkat hendak
menangkis, tahu-tahu sebelah tangan Giok-bin-yao-hou sudah
terkutung putus lebih dulu.
Menampak ada orang secara mendadak hendak menghalau
serangannya tadi, lekas Ang-koh mundur ke belakang, waktu
ia menegasi, ternyata yang datang sekonyong-konyong ini
bukan lain ialah Hong-ko.
Sementara itu terlihat Hong-ko melompat maju untuk memayang
Giok-bin-yao-hou yang tampak sudah sempoyongan.
"Kenapakah kau?" teriak pemuda itu.
Menyaksikan kerapatan hubungan kedua orang itu,
mendadak timbul juga rasa cemburu Ang-koh, ia menjadi
kalap, ia menubruk maju lagi terus membabat dengan
pedangnya. Namun Hong-ko keburu mengegos ke samping sambil
melindungi diri Giok-bin-yao-hou, sedang pedangnya terus
diangkat untuk menangkis, begitu kuat tenaganya hingga Angkoh
tergetar mundur.
"Eng-dji, tidak nyana kau telah berubah hingga seperti ini,
kalau kau mendesak aku lagi, jangan kau salahkan aku tak
berbudi!" damprat Hong-ko kepada Ang-koh dengan muka
muram, tetapi sinar matanya bengis.
Teng Hong-ko adalah anak murid dari Go-bi-pay, walau
Lwekangnya belum setara Hian-hong dan kawan-kawan, tetapi
kiam-hoatnya pun bukan kaum lemah lagi.
Karena gertakan orang tadi, sekejap itu Ang-koh menjadi
jeri dan roman mukanya pun kemerah-merahan.
Sudah belasan tahun gadis ini berkecimpung di dalam Peklian-
kau atau perkumpulan agama Teratai Putih ini. Karena
hubungannya itu, lambat-laun wataknya sudah banyak
berubah dan lupa akan asal-usul dirinya, suka duka di masa
anak-anak pun sudah ia lupakan.
Tetapi kini setelah kena digertak oleh Hong-ko tadi, tibatiba
ia seperti dikemplang sekali, dalam hati kecilnya segera
timbul sedikit kenangannya pada masa dulu. Sebenarnya ia
mencintai Hong-ko semenjak ia kenal apa artinya asmara itu,
dalam beberapa tahun ini karena kabar beritanya terputus,
sedang di dalam Pek-lian-kau kedudukannya makin hari makin
menanjak juga, maka tiada kesempatan buat dia untuk
memikirkan perkara hubungan pemuda-pemudi. Ditambah lagi
ikatan peraturan da-iam Pek-lian-kau yang terlalu keras,
umumnya bagi golongan pemimpin, soal perjodohan mereka
harus diputuskan juga oleh ketua agama mereka dan tidak
boleh sembarangan mengikat diri dengan orang di luar
perkumpulan agama, kalau peraturan ini dilanggar bisa
dihukum mati. Oleh sebab itu, meski kadangkala Ang-koh terkenang pada
Teng Hong-ko juga, namun tak berani ia mengatakan pada
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang lain, tetapi sebenarnya dalam hati senantiasa terukir
bayangan Hong-ko.
Melihat gadis ini termenung-menung serta berdiri di
tempatnya tadi dengan menunjukkan wajah kemalu-maluan,
Hong-ko mengerti hati gadis ini masih belum tersesat
seluruhnya. Maka ia pun tidak mengurus padanya sebaliknya lantas ia
merobek sebagian kain bajunya sendiri untuk membalut luka
Bun Sui-le dan menotok jalan darahnya untuk menghentikan
darah mengalir lebih banyak.
Dengan mata memandang padanya, Ang-koh sepatah kata
pun tidak buka suara, sampai akhirnya terdengar ia menghela
napas. "Hong-ko, baiklah, boleh kau bawa dia pergi!" katanya
kemudian dengan melambaikan tangan.
Habis berkata, lantas ia memutar tubuhnya terus masuk ke
belakang kerai, betapa pilu rasa hatinya, air matanya pun berlinang-
linang membasahi kedua pipinya, namun hal ini sama
sekali tidak terlihat oleh Hong-ko.
Dalam pada itu Giok-bin-yao-hou yang terluka parah,
napasnya sudah sangat lemah. Hong-ko mengangkat
tubuhnya terus digendong, kemudian ia melompat keluar dari
ruangan itu. Mendadak dari tempat gelap memapaki sesosok bayangan
orang, dengan cepat Hong-ko mengangkat senjatanya sambil
menanti musuh, namun segera terdengar orang itu memberi
tanda dengan suitan, ternyata orang ini ialah Boan-liong Kiamkhek.
Tadi waktu mereka berdua menyusul ke sini, mereka
mengerti di atas loteng itu sedang terjadi pertarungan sengit,
tentu Ang-koh telah memergoki Bun Sui-le, maka Boan-liong
lantas berkata pada Hong-ko sambil menyerahkan pedangnya,
"Coba kau menyaksikan ke atas, aku tidak ingin dilihat oleh
Ang-koh dan tentu akan menanam bibit pertikaian dengan
Pek-lian-kau!"
Begitulah, setelah menerima pedang orang segera Hong-ko
melompat masuk ke ruangan dimana sedang terjadi
pertarungan seru antara Ang-koh melawan Bun Sui-le, tetapi
akhirnya kedatangannya tetap juga terlambat selangkah.
Kini melihat yang datang ialah Boan-liong, barulah hati
Hong-ko menjadi lega.
Demi melihat Bun Sui-le terkutung sebelah lengannya,
Boan-liong pun ikut terkejut.
"Sayang aku agak terlambat sedikit, kalau tidak, di
hadapanku mungkin Ang-koh tidak nanti begitu kejam," ujar
Hong-ko dengan penuh penyesalan.
"Lukanya parah sekali, dari sini kembali ke Pek-lian-am
masih harus ditempuh belasan li lagi, bagaimana ini baiknya?"
kata Boan-long yang merasa kuatir.
Tiba-tiba Hong-ko teringat akan sesuatu, ia meraba-raba ke
pinggangnya, ternyata masih ada tersisa dua butir obat pil
bikinan Go-bi-san yang tidak kena digeledah oleh Njo Djun.
Lekas ia mengeluarkan pil itu untuk dicekokkan pada Giokbin-
yao-hou, namun gadis ini ternyata sudah tak mampu
menelan lagi. "Jangan kau sungkan-sungkan lagi, kalau tidak lekas kau
obati dia, mungkin ia sudah tak tahan untuk kembali ke sana,"
ujar Boan-liong.
Hong-ko melihat di bawah ada sungai kecil, maka lekas ia
merebahkan Giok-bin-yao-hou, lebih dulu ia mengunyah
hancur obat pilnya terus dari mulut ke mulut ia melolohi gadis
itu, habis itu ia berkumur dengan air sungai terus dicekokkan
ke mulut Bun Sui-le secara pelahan-lahan.
Lewat tak lama kemudian, Giok-bin-yao-hou dengan pelahan
sudah bisa menggerakkan lehernya.
"Auuh!" begitu ia membuka matanya, ia sudah menjerit
kesakitan. Melihat gadis ini sudah mendusin, mereka berdua menjadi
lega, maka mereka lantas melanjutkan perjalanan menuju
kembali ke Pek-lian-am.
Ketika mereka melintasi Djong-liong-nia atau bukit naga
tua, cuaca sudah mulai terang, dari sini mereka melanjutkan
perjalanan pula, tidak lama kemudian mereka sampai di kuil
yang dituju itu.
Pada waktu itu juga, tiba-tiba mereka mendengar di
belakang ada suara teriakan orang yang lagi mengejar
mereka, ketika mereka menoleh, ternyata yang memburu
datang ada lima orang, yang berjalan paling depan ialah
seorang yang memakai pakaian kebesaran yang mereka kenal,
adalah Tjhi Djin-ho, di belakangnya menyusul Hian-hong,
Hian-thian dan Hian-ang, ketiga imam Khong-tong-pay dan
yang berjalan paling belakang adalah Li Ngo.
Kiranya pada waktu Giok-bin-yao-hou menerobos masuk ke
Tjui-hun-kiong tadi dengan tujuan menolong Hong-ko, di
kamar belakang ia telah dipergoki oleh Hian-hong bertiga yang
sedang bersenang-senang minum arak dengan Tjhi Djin-ho, di
samping mereka masih terdapat pula lima atau enam orang
Ni-koh atau padri wanita, ada yang sedang memetik alat
musik dan ada pula yang lagi bernyanyi kecil.
Menyaksikan Pendekar Super Sakti 7 Pendekar Riang Karya Khu Lung Pendekar Kelana 5
membikin hingga kini masih belum
kamu antarkan, apa kamu tidak tahu bahwa Kui-tjongping
sudah datang?" terdengar kedua Totong itu berseru
mendamprat dengan berlagak.
Menyusul itu nampak seorang imam tua mengantar ke
dalam sebuah nampan yang berisi ceret teh dengan empat
cangkir dari porselin.
Sementara itu kedua Totong telah pergi ke dapur pula dan
menegur. "Hai! Kamu lekas sediakan santapan ke kamar tamu,
beberapa pengikut Kui-tjongping sedang menanti dahar di
sana!" serunya lagi.
Tahulah kini Bun Sui-le berdua bahwa pembesar negeri itu
bukan lain ialah Tjongping atau komandan militer kota
Limtjing, Kui Ping-boan.
Kui Ping-boan memimpin pasukan yang terlatih dengan
baik dari Pat-ki, ia terhitung pula salah seorang kepercayaan
Perdana Menteri Nilan.
Kemudian mereka melayang melewati los panjang tadi,
mereka melihat di depan loteng yang tinggi sana terdapat
sebatang pohon tua yang lebat sekali, cocok untuk tempat
persembunyian mereka, maka tanpa ayal lagi mereka lantas
mengenjot naik menongkrong di atas pohon itu, justru di
belakang loteng itu terbuka sebuah jendela, hingga untuk
memandang ke dalam bisa terlihat dengan jelas sekali.
Ketika itu di dalam ruangan sedang duduk seorang
pembesar militer, mereka menduga tentu bukan lain adalah
Limtjing-tjongping Kui Ping-boan.
Di samping pembesar itu terdapat dua orang pula,
kesemuanya berdandan sebagai imam, usia mereka di antara
empat puluhan tahun, mereka sedang melayani pembesar itu
dengan sangat menghormat.
Karena dari pucuk pohon dimana mereka menyembunyikan
diri terlalu jauh jaraknya, maka suara pembicaraan dalam
ruangan loteng itu tidak bisa mereka dengar.
Agar bisa mengetahui dengan jelas apa yang sedang
dipercakapkan, Bun Sui-le memberi tanda pada Hong-ko
dengan maksud agar ia ini tak usah ikut, lalu ia melayang
turun ke atas emperan dan loteng yang tinggi itu, terus
menggelantungkan setengah tubuhnya ke bawah untuk
mengintip. Tiba-tiba ia mendengar suara tangga berbunyi keletekan,
sesudah itu naik pula seorang dengan dandanan sebagai Busu
atau jagoan, usianya mendekati setengah abad tetapi
langkahnya sebat enteng.
Ketika sudah berhadapan dengan Kui Ping-boan, orang itu
terus menekuk lutut memberi hormat
"Hamba Tjhi Djin-ho menghadap Tjongping-taydjin!"
tuturnya. Pembesar yang duduk itu hanya sedikit membungkuk
sebagai balasan.
"Tjhi-pothau, silakan berbangkit," sahutnya. "Memang aku
justru ada sesuatu hendak bertanya padamu!"
Tjhi Djin-ho lantas berbangkit dan berdiri tegak di samping.
"Tjhi-pothau apa sudah menerima surat Tam-taydjin?"
terdengar Kui Ping-boan bertanya pula. "Kali ini ada perintah
dari Nilan-tjaysiang (Perdana Menteri) menyuruh aku
mengunjungi Hoa-san ini buat menemui Tjiwi-totiang ini untuk
merundingkan cara mempersembahkan Tjin-tju-goan kepada
kerajaan, dengan begitu supaya barang mestika itu tidak
terjatuh lagi ke dalam tangan kawanan penjahat."
Atas pertanyaan orang itu, terdengar Tjhi Djin-ho berulangulang
mengiakan. "Lapor pada Kui-taydjin," katanya kemudian. "Topi mestika
Tjin-tju-goan itu sudah lama Tam-taydjin berniat
mempersembahkan kepada pemerintah, tak terduga karena
sedikit bocor, tiga buah mutiara mestika di atas topi itu sudah
hilang dua butir, baru sesudah itu Tam-taydjin melapor pada
Nilan-tjaysiang dar minta dikirim jagoan dari kerajaan,
kemudian bersama Hian-hong Totiang mengantarkannya ke
kotaraja, hamba sudah menerima surat dari Tam-taydjin,
itulah apa yang ia pesankan."
Kui Ping-boan mengangguk-angguk menyatakan bagus,
kemudian ia berkata pula, "Jagoan yang dikirim dari ibukota
dalam beberapa hari sudah bisa sampai, hal ini biar aku nanti
yang memberitahukan lagi padamu!"
Belum habis suara perkataannya, pada saat itu juga tibatiba
kain kerai kuning di dalam loteng itu melambai, menyusul
mana dua sinar putih menyambar menembus kain kuning itu.
Giok-bin-yao-hou yang menggelantungkan dirinya sedang
mengintip, ia dapat menyaksikan dengan jelas sekali bahwa
kedua sinar putih itu secepat kilat menyambar ke arah Kui
Ping-boan. "Ada pembunuh!" segera terdengar Tjhi Djin-ho berteriak.
Sehabis itu ia berniat menyeret Kui Ping-boan buat berkelit ke
samping. Namun terlambat, di antara suara jeritan ngeri, Kui Pingboan
telah roboh terguling.
Giok-bin-yao-hou mengetahui gelagat jelek, dengan sekali
lompat ia turun ke bawah, sementara itu sinar lampu di dalam
ruangan loteng mendadak sirap.
Teng Hong-ko yang masih hijau, dalam keadaan demikian
ini ia masih bercokol di atas pohon tak mau kabur, karena itu
Bun Sui-le menjadi gugup.
"Lekas lari!" ia meneriaki kawannya itu dengan bahasa
rahasia. Baru setelah itu terlihat Hong-ko melompat turun dari
pohon, akan tetapi sudah terlambat, dua bayangan orang
melayang keluar dari dalam loteng, yang pertama bukan lain
ialah 'Hek-swe-sin' atau malaikat maut hitam, Tjhi Djin-ho,
sedang yang lain ialah seorang di antara kedua imam di atas
loteng itu, begitu keluar, senjata mereka lantas menusuk.
Mengerti bahaya apa yang bakal ia hadapi, segera juga Bun
Sui-le menyiapkan pedangnya di tangan.
Ketika ia menengok Hong-ko, dia membalik berniat kabur,
tetapi senjatanya masih belum ia lolos, sedangkan pedang si
imam sementara itu sudah menyambar membabat kakinya.
Kuatir kalau kawannya kena dicelakai, terpaksa Bun Sui-le
harus membalik dengan gerakan 'Liu-sing-hui-tui' atau bintang
kemukus meluncur jatuh, ia menerjang ke pihak lawan, lebih
dulu ia menyampuk pergi pedang Tjhi Djin-ho, lantas ia merangsek
maju dan ujung senjatanya menotok ke punggung si
imam. Dengan tidak menghiraukan keselamatannya sendiri, ia
menerjang mati-matian, yang ia ingat hanya supaya bisa
menghindarkan Hong-ko dari ancaman maut.
Mendengar di belakangnya ada angin berkesiur, lekas si
imam itu menarik pedangnya dan menangkis ke belakang,
keruan saja kedua senjata lantas saling bentur hingga
mencipratkan lelatu api.
Segera juga Bun Sui-le, si rase bermuka ayu, ini merasakan
kesehatan si imam itu dan tenaganya pun tidak kecil, ia insyaf
telah berhadapan dengan tokoh cabang atas Khong-tong-pay.
Pada saat itu juga Hong-ko melolos pedangnya, ketika ia
melihat Tjhi Djin-ho dari samping hendak membokong Bun
Sui-le, tanpa ayal lagi segera ia melangkah maju dan
mendahului ke tengah, dengan gerakan 'Ya-tjhe-tam-hay' atau
setan dayang menyelidik ke laut, ia menangkis pergi senjata
Tjhi Djin-ho dan dengan begitu mereka berdua pun saling
bertempur di sebelah lain.
Sesudah bergebrak beberapa jurus dengan imam itu, Bun
Sui-le dapat merasakan lihainya tipu serangan orang yang
memang terdiri dari kiam-hoat hebat Khong-tong-pay, maka ia
pun tak berani gegabah, segera ia mainkan 'Thian-mo-kiamhoat'
yang ia pelajari dari Thian-san-pay, sinar pedangnya
menggon-cang pergi datang dan bergulung-gulung di muka
lawannya. Namun Tosu itu cukup tangkas juga, pedangnya ia putar
secepat angin, sedang langkahnya pun tidak menjadi kacau, ia
menyambut setiap serangan Bun Sui-le yang lihai itu.
Nyata mereka sama-sama kuat dan menemukan tandingan
yang sembabat. Di pihak sana, Hong-ko setelah beberapa jurus melawan
Tjhi Djin-ho, ia pun dapat melihat ilmu pedang sang lawan
memang berbahaya, begitu cepat ia berputar ditambah
perubahan-perubahan dari gerak tubuhnya yang memakai
perhitungan, kadang di kala cepatnya ia berputar, kakinya bisa
ikut maju pula menendang, hingga mau tidak mau Hong-ko
harus mencurahkan sepenuh kemahirannya untuk
melawannya. Kiranya yang Tjhi Djin-ho yakinkan itu adalah 'Pat-siankiam',
tipu serangannya memang sangat aneh dan tiap-tiap
serangannya ganas pula.
Ketika Hong-ko sedikit berjongkok terus menikam dengan
pedangnya, tiba-tiba ia lihat lawannya itu memasang kudakuda
dengan kaki bersilang, sedang ujung senjatanya melurus
ke bawah, kemudian pelahan saja dengan gerakan 'Hwe-liongtiam-
tjui' atau ular naga bermain air, ia dapat
mengesampingkan serangan pedang orang.
Lekas Hong-ko melangkah mundur, menyusul mana ia
tusukan pula pedangnya ke dada lawannya.
Dengan cepat lawannya mendadak menggeser kudakudanya,
dengan sedikit mengegos terus ia menangkis pula
serangan musuh, sedang jari tangan kirinya bersiap
melengkung di belakang kepalanya, memang sudah ia siapkan
untuk menyerang secara kejam, kini dengan 'Dji-liong-tjingtju'
atau dua naga berebut mutiara, kedua jarinya dia arahkan
ke muka Hong-ko dengan maksud hendak mencukil biji
matanya, serangannya begitu cepat laksana bintang meluncur.
Di sebelah sana, sekilas Giok-bin-yao-hou dapat melihat
pedang Hong-ko sedang ditangkis pergi, untuk menolong diri
Hong-ko dari jari lawan, dengan melompat ke belakang sudah
tak keburu lagi, ia menjadi kuatir akan keselamatannya hingga
ia ikut berkeringat dingin.
Namun Hong-ko bukan anak murid dan Go-bi-pay kalau ia
gampang diselomoti orang, ia cukup gesit, begitu melihat jari
Tjhi Djin-ho menyelonong tiba, segera ia sedikit mengegos
dan berjongkok, sedang tangan kirinya dengan gerakan 'Paong-
ki-teng' atau Tjoh Pa-ong mengangkat wajan, dalam
sekejap saja ia berhasil menyangga pergi.
Setelah itu tangannya yang lain menarik senjatanya terus
balik hendak memotong kedua kaki Tjhi Djin-ho, karena itu
dengan tepat ancaman bahaya tadi dapat ia elakkan dengan
baik. Melihat Hong-ko ternyata cekatan, kepandaiannya terang
diperoleh dengan melatih diri secara matang sekali, Tjhi Djinho
insyaf tidak gampang untuk memperoleh kemenangan
secara terburu-buru. maka lantas ia bersuit, habis itu dari atas
loteng terlihat melompat keluar pula seorang Tosu, terus
menuju ke arah Teng Hong-ko.
Baru saja Giok-bin-yao-hou merasa lega karena Hong-ko
dapat menghindarkan serangan berbahaya dari Tjhi Djin-ho
tadi, tiba-tiba ia lihat dari atas loteng melayang keluar pula
seorang yang hendak mengembut pemuda itu, ia menjadi
kuatir, lekas ia pura-pura memberi tusukan, sesudah mana ia
berniat menarik dirinya ke dekat Hong-ko buat membantu
padanya sejajar melawan musuh.
Tak ia duga, imam yang bergebrak dengan dia itu rupanya
sudah dapat menaksir apa maunya, maka beruntun ia
menggencarkan serangan senjatanya, terus mencegat jalan
mundurnya. Karena harus menangkis, sedang kepandaiannya dengan
imam itu memangnya sama kuat, maka seketika Bun Sui-le tak
mampu melepaskan diri dari rangsekannya.
la mencoba melirik pada Hong-ko, ia lihat pemuda ini
sedang melayani kedua musuhnya dengan sepenuh tenaga,
pedangnya diputar sedemikian cepatnya, namun lama
kelamaan rupanya ia pun kewalahan juga.
Imam yang keluar belakangan itu bukan lain adalah
seorang di antara kedua imam di atas loteng tadi, sudah tentu
ilmu silatnya pun tidak lemah.
Karenanya Bun Sui-le menjadi gugup.
Dalam pada itu imam yang menjadi lawannya itu
mengeluarkan serangan cepat dengan tipu 'Tjiam-liong-djiphay'
atau naga mendekam masuk ke laut, ujung pedangnya
menyambar dengan gaya huruf S'.
Lekas Bun Sui-le melangkah mundur, sedang ujung
pedangnya melurus ke bawah kemudian lantas membalik ke
atas dengan gerakan 'Sian-li-san-hoa' atau bidadari menyebar
bunga, keruan saja kedua pedang kembali beradu dan
menerbitkan suara nyaring dan mencipratkan lelatu api.
Ia mengerti bahwa imam itu memang sengaja
memanteknya, supaya tidak bisa pergi membantu kawannya,
karena itu ia menjadi semakin gugup.
"Kena!" tiba-tiba terdengar imam yang ada di depan Hongko
berseru. Menyusul mana secercah bintik terang menyambar
menusuk, sedang Tjhi Djin-ho pun menindih ke bawah pedang
Hong-ko supaya pemuda ini tak mampu balas menyerang.
Hong-ko mengetahui bahwa ketika itu dari muka belakang
ada serangan, maka segera ia menarik senjatanya dan
melompat pergi, dengan begitu ia baru bisa menghindarkan
serangan berbahaya itu, tetapi imam tua ternyata tidak tinggal
diam, senjatanya pun menyusul pula.
Dengan sedikit memutar tubuh, Hong-ko tiba-tiba menggeraki
tangannya, dengan gerakan 'Hwe-thau-bong-gwat' atau
berpaling memandang rembulan, senjatanya mendadak ia
tusukkan dari samping.
Namun imam tua itu pun cukup awas, dengan aneka gerak
pedangnya ia menyampuk pergi pedang yang ditusukkan itu.
Dengan tipu serangan pedangnya itu, sebenarnya Hong-ko
hanya memancing musuh belaka, sementara i'u dari dalam
tangannya sudah tergenggam penuh seraupan pelor besi,
tanpa ayal lagi segera ia menghamburkannya.
Dengan sekali jeritan, ternyata Tjhi Djin-ho roboh terguling.
Berbareng itu Hong-ko pun menangkis pergi pedang si
^niarn yang lagi ditusukkan tadi, ketika melihat Tjhi Djin-ho
roboh terguling, girang sekali hatinya.
Waktu itu, tiba-tiba dari depan istana kuil telah muncul pula
dua bayangan orang, secepat terbang sedang mendatangi.
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah Kui-taydjin ada di sini!" terdengar mereka berseka.
Dalam pada itu, Tjhi Djin-ho yang terguling, ternyata hanya
terluka tulang pundaknya, maka dengan cepat ia dapat
melompat bangkit pula, waktu mendengar seruan orang, ia
segera menjawab.
"Kui-taydjin sudah kena dibokong oleh kedua penjahat ini,
lekas kalian membantu membekuk kedua anjing lakiperempuan
ini!" Karena jawaban itu, sebelum sampai mereka sudah
mencabut senjatanya lebih dulu terus menerjang datang
dengan cepat. Nyata mereka berdandan sebagai jagoan dari kerajaan,
usia mereka pun tidak dari empat puluh tahun.
Tanpa berkata-kata lagi yang seorang segera memapaki
Hong-ko dan beruntun melontarkan dua kali serangan. Sedang
seorang lainnya menerjang Bun Sui-le.
Ketika melihat wanita itu, segera ia berseru pula.
"Hian-thian Totiang! Dia ini adalah Li-tjhat (penjahat
wanita) dari Tay-san-kwan itu, malam ini jangan sampai ia
dapat lolos!"
Setelah itu pedangnya bergerak, dari samping segera ia
ikut mengeroyok.
Begitu melihat cara gerakan musuh yang baru datang ini,
segera Bun Sui-le mengerti kembali bertambah pula seorang
lawan tangguh, maka dalam hati ia semakin kuatir.
Sementara itu tiba-tiba terdengar di sebelah sana Hong-ko
berteriak, pedangnya seperti kena dipukul jatuh oleh si imam
tadi. Sedang jagoan dari kerajaan yang baru datang itu
mengambil kesempatan baik itu untuk menyapu dengan
kakinya. Ketika Hong-ko berniat melompat naik buat menghindari
serampangan kaki orang, tahu-tahu tangan si imam dengan
gerakan Kim-na-djiu yang lihai dan susah dielakkan telah
sampai di atas kepalanya. Dengan sekali totok, dua jarinya
menjojoh ke belakang kepala Hong-ko di tempat 'Ling-tay-hiat'
hingga seketika itu juga seluruh tubuhnya kaku kesemutan,
imam tua itu tidak menghentikan gerakannya, ia terus
mengangkat tubuh Hong-ko dan dibawa lari masuk ke dalam
rumah biara itu.
Mengetahui bahwa Hong-ko kena ditangkap musuh, bukan
main rasa terkejut Giok-bin-yao-hou.
Selagi perasaannya sedang bimbang, mendadak jagoan
kerajaan itu menusuk hingga hampir saja ia pun kena
dipecundangi. Beruntung Ginkangnya cukup tinggi dan sempurna, dengan
menurutkan kakinya ia pun melompat miring ke samping,
sementara itu senjata si imam pun membabat lagi.
Dalam keadaan terdesak, terpaksa Bui Sui-ie harus
menerjang mati-matian, ia keluarkan tendangannya yang
istimewa, imam tua itu tidak pernah menyangka bahwa pada
ujung sepatunya terdapat kaitan baja yang lihai. Ia hanya
merasakan tangannya tergetar, pedangnya kena ditendang
pergi, sedang sebelah kakinya yang lain menyelonong sampai
di depannya pula, keruan saja ia menjadi kaget.
Sekonyong-konyong terdengar suara memberebet, lengan
baju Hian-thian Todjin yang panjang lebar ternyata sudah
terobek panjang.
Kiranya pada waktu kaki Giok-bin-yao-hou beterbangan
menendang tadi, kaitan tajam di ujung sepatunya dapat
membentur pedang Hian-thian terus masih menyelonong
mengarah ke tenggorokannya secepat kilat.
Sudah tentu Hian-thian sama sekali tidak pernah menduga
bahwa Giok-bin-yao-hou masih menyimpan kepandaian
tunggalnya itu, dalam sekejap itu ia menjadi kaget, masih
beruntung ia tergolong tokoh tingkat tinggi dari Khong-tongpay,
dalam keadaan terancam bahaya ia masih bisa berlaku
tenang, lekas ia keluarkan kepandaiannya Kim-na-djiu, yakni
cara mencekal dan menawan.
Kuatir kalau kakinya yang putih halus dan kecil mungil
betul-betul kena dicekal tangan orang, dengan cepat Giok-binyao-
hou memutar kakinya ke samping lain, hingga karena itu
lengan baju Hian-thian kena terobek.
Walaupun serangannya tidak membawa hasil yang
diharapkan, namun sudah cukup membikin kaget imam tua itu
hingga ia mengeluarkan keringat dingin.
Jagoan yang datang dari kerajaan tadi, ketika mendadak
melihat si imam sempoyongan, ia kuatir kawannya ini kena
dipecundangi orang, lekas ia maju buat memayangnya.
Kesempatan itu digunakan Giok-bin-yao-hou buat
melompat keluar dari Tjui-hun-kiong secepat terbang, dari
jauh tertampak ia naik turun bergerak beberapa kali terus
menghilang dalam kegelapan.
Hian-thian Todjin dan kawan-kawan pun tidak mengejar,
ketika mereka berpaling, terlihat Tjhi Djin-ho yang kena
ditembak remuk tulang pundaknya sedang merintih kesakitan
hingga menekuk pinggang.
Masih beruntung juga bagi pihak mereka bisa berhasil
menangkap seorang penjahat.
Kemudian mereka kembali ke atas loteng tadi buat
memeriksa keadaan Limtjing Tjongping Kui Ping-boan,
ternyata pembesar itu menggelongsor roboh bermandi darah,
di dadanya tertampak menancap sebuilah pisau terbang dan
napasnya sudah terputus.
Melihat kejadian itu, kedua jagoan yang dikirim dari
kerajaan tadi berubah air mukanya.
"Kedatangan kami ialah hendak menemui Kui-taydjin,
mengapa dia bisa kena terbunuh?" tanya mereka dengan
suara terputus-putus.
Dengan muka muram Tjhi Djin-ho coba menceritakan apa
yang terjadi tadi.
"Hui-to ini adalah dari golongan Djing-liong-pang, apakah
mungkin Bun Sui-le, si perempuan busuk itu yang
membunuhnya?" kata kedua bayangkara itu dengan heran
setelah memeriksa pisau belati yang mereka cabut keluar dari
dada Kui Ping-boan.
"Kalian Si-wei-ya (tuan bayangkara) berdua, menurut
pandangan kami pembunuh ini dilakukan oleh orang lain," ujar
Hian-thian berbareng imam rekannya, Hian-ang.
"Ketika pisau ini menyambar masuk tadi. segera juga kami
mengejar keluar, kami melihat ada sesosok bayangan secepat
angin menghilang ke tempat jauh, belakangan baru tertampak
pula Giok-bin-yao-hou dan seorang pemuda mengumpet di
belakang loteng sana, mungkin pembunuh itu datangnya
bersama mereka."
Sementara itu Tjhi Djin-ho sudah selesai membalut
lukanya. "Kini kita sudah dapat menangkap seorang di antara
mereka, biar sebentar lagi kita memeriksa dia segera pula bisa
kita ketahui semuanya." katanya dengan masih gemas.
"Kini kita lebih penting memindahkan jenazah Kui-taydjin
kembali ke tempat kedudukannya terlebih dahulu, di samping
itu lekas kita melaporkan pada pemerintah, urusan memeriksa
penjahat itu, boleh sampai besok pagi saja," ujar jagoan dari
kera-jaan tadi.
Kedua jagoan yang dikirim dari kerajaan itu memangnya
adalah bayangkara kelas satu dari Kaisar Khong-hi, yang
seorang bernama Tui-hun-djiu' Njo Djun dan yang lainnya
ialah Siau-song-sin' Li Ngo.
Cara bagaimana mereka bisa dikirim ke Hoa-san sini, hal ini
harus diurut dari diri Soatang Sunbu Tam Ting-siang.
Semula gebernur Soatang itu memerintahkan Tjhi Djin-ho
mengirim topi bertabur mutiara itu kembali ke Tjelam, niatnya
untuk dipersembahkan kepada Nilan-tjaysiang untuk terus
disampaikan kepada Sri baginda, tak terduga dua kali pula Tjhi
Djin-ho kehilangan Po-tju atau mutiara mestika, karena itu ia
insyaf, hanya dengan kepandaian Tjhi Djin-ho tak mungkin ia
mampu mencari kembali mutiara-mutiara yang hilang itu.
Pembesar itu berpikir, dalam kerajaan terdapat banyak
sekali orang kosen sedang topi mestika itu memangnya akan
dihaturkan kepada pemerintah mengapa tidak melaporkan
saja pada Nilan-tjaysiang dan minta padanya mengirimkan
beberapa orang pandai dari kerajaan untuk membantu,
sekalian untuk mencari mutiara-mutiara yang hilang itu. Jika
berhasil, tentu dengan lengkap topi mestika itu bisa
dihaturkan ke hadapan Sri Baginda Khong-hi.
Setelah mengambil keputusan itu, lantas ia pun mengirim
orang kepercayaannya menemui Perdana Menteri Nilan dan
melaporkan sekitar kejadian kehilangan Po-tju atau mutiara
mestika itu oleh Tjhi Djin-ho.
Mendapat laporan itu, Nilan-tjaysiang menjadi sangat
murka, ia pikir penjahat-penjahat dari Kangouw ini betul-betul
bernyali besar, sampai barang milik pemerintah pun berani
dirampoknya. Ketika kemudian ia menghadap Kaisar Khong-hi, ia
melaporkan juga peristiwa itu, Khong-hi lantas menyumh
Perdana Menteri itu memilih dua orang jagoan kosen dari
dalam kerajaan untuk dikirim ke Limtjing untuk menemui Kui
Ping-boan sebagai pejabat militer di tempat itu, lebih dulu
supaya Tjin-tju-goan yang masih ada itu dikirim ke kotaraja,
habis itu baru mencari pula mutiara-mutiara yang hilang itu.
Tak terduga, karena tugas itu Kui Ping-boan sampai di Tjuihun-
kiong, segera pula ia menghantarkan nyawanya.
Keruan saja. seorang pembesar negeri terbunuh dengan
sendirinya tempat kejadian itu menjadi kalang kabut, karena
itu Teng Hong-ko yang tertangkap untuk sementara belum
sempat diperiksa.
Dalam pada itu Giok-bin-yao-hou Bun Sui-le yang berhasil
lolos keluar dari Tjui-hun-kiong, segera juga ia angkat langkah
seribu dengan kepandaiannya ilmu mengentengkan tubuh dan
tems berlari di malam gelap, ia terus menuju ke jumsan
Djong-liong-nia.
Di tengah jalan ia tems berpikir, "Hong-ko kena dibekuk
orang, sedang kedua Tosu yang berada di Tjui-hun-kiong itu
kesemuanya adalah tokoh terkenal dari Khong-tong-pay, kalau
hanya kedua orang ini saja aku masih sanggup melawannya,
tetapi kini bertambah dengan dua orang jagoan pedang pula
dari kerajaan, kalau tidak lekas aku lari niscaya kini aku pun
akan diringkus mereka juga. dan kalau aku jatuh di tangan
mereka, lebih celaka lagi bagi Hong-ko, karena tiada orang
yang akan menolongnya."
Begitulah sambil berpikir, ia mencari daya upaya cara
bagaimana harus mencari seorang pembantu untuk menolong
Hong-ko dari tawanan musuh.
Tengah pikirannya melayang, tiba-tiba di atas bukit
berkelebat bayangan orang. Fa jadi terkejut ia menyangka
tentu itu adalah begundal dari imam di Tjui-hun-kiong yang
sedang mengejar padanya, tetapi dalam sekejap itu bayangan
tadi sudah lenyap.
Lekas ia mempercepat langkahnya melintasi punggung
bukit, namun ia merasa pula di belakangnya ada orang
menguntit iagi.
Ketika ia menoleh, maka tertampaklah bayangan orang
yang tinggi besar sudah berada di belakangnya dalam jarak
tidak lebih dari sekali paseran panah, lapat-lapat ia seperti
mengenali orang ini, bukan lain ialah orang yang tadi ia dan
Hong-ko pergoki itu, maka lekas ia melolos pedangnya untuk
menjaga diri bila perlu.
Melihat orang melolos senjata, tiba-tiba orang itu membuka
suara, "Bun-tjetju tak usah sangsi, si pembesar anjing Kui
Ping-boan tadi akulah yang membunuhnya, sebaliknya kawanmulah
yang menjadi tawanan mereka, karenanya aku sengaja
menyusul ke sini buat omong-omong sedikit dengan Buntjetju!"
Walaupun orang sudah menjelaskan maksud
kedatangannya, namun Bun Sui-le masih belum mau percaya
seluruhnya, ia tetap pasang kuda-kuda dan dengan pedang
terhunus ia menjaga segala kemungkinan.
"Ho-han (orang gagah) termasuk dari garis yang mana"
Mengapa bisa mengenal namaku?" kemudian ia balas
bertanya sambil mengamat-amati orang di depannya ini.
Tertampak olehnya orang ini adalah seorang laki-laki
bertubuh kekar tegap dan sudah setengah umur, alisnya tebal,
matanya besar, mulutnya lebar dan di bawah j anggurnya
tumbuh bre-wok yang pendek kaku, kelihatannya tergolong
orang baik. "Cukup apabila Tjetju percaya bahwa aku bukan begundal
dari imam di Tjui hun-kiong, maka namaku pun tidak perlu lagi
Tjetju tanyakan," terdengar laki-laki itu menjawab. "Kawanmu
dari Go-bi-pay yang terjatuh di tangan mereka itu, apa kau
tidak berpikir buat menolongnya?"
Nampak orang rupanya tidak bermaksud jahat, baru Bun
Sui-le berjalan mendekatinya.
"She apakah Djtnheng yang mulia" Mengapa kau
membunuh Kui Ping-boan?" tanyanya kemudian dengan suara
rendah. "'Jika Hengtay sudi angkat senjata membantu
menolong kawanku she Teng itu, maka tentu aku akan sangat
berterima kasih sekali dan tidak akan melupakannya."
Habis berkata ia lebih mendekat lagi untuk memberi hormat
kepada orang di hadapannya.
"Tjayhe she Dian," lekas laki-laki itu menjawab sembari
balas menghormat. "Pembesar anjing Kui Ping-boan itu adalah
begundal dorna Nilan, dulu entah sudah berapa banyak orangorang
Bu-lim yang menjadi korban di tangannya, justru kaum
budak yang suka berlagak melebihi tuannya ini, siapa saja
boleh membunuhnya. Tjayhe tidak lebih hanya membasmi
seorang musuh kawan Bu-lim saja. Soal menolong kawanmu
itu, dapatkah Tjetju menceritakan asal-usulnya, apabila dia
tergolong laki-laki sejati dari kalangan Kangouw, tak mungkin
aku menolak sekalipun harus menghadapi bahaya!"
Atas ucapan orang yang cukup menarik itu, Bun Sui-le pun
tidak ragu-ragu lagi. Ia lantas membeberkan asal-usul diri
Hong-ko dan menceritakan pula cara bagaimana mereka
berjumpa dengan para pentolan dari berbagai golongan di
Soatang, akhirnya mereka terpaksa menuju ke Hoa-san buat
mengintai gerak-gerik Tjhi Djin-ho.
"Kiranya kawanmu orang she Teng itu adalah anak murid
Go-bi-pay, gurunya Bu-tun Todjin dengan aku pun kenal,
maka sudah pasti harus menolongnya" dengan mengangguk
laki-laki itu berkata. "Cuma tadi kau bilang ada seorang wanita
yang disebut Ang-koh, dia ialah seorang 'Sian-koh' dari Peklian-
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau, pengaruhnya cukup besar. Pembesar-pembesar
negeri takut pada mereka yang bisa berilmu hitam, kini paling
baik ialah kita merundingkan cara bagaimana menolong Tengheng
saja!" Mendengar kata-kata orang, ditambah tadi ia sendiri telah
menyaksikan ilmu Ginkangnya ketika melintasi bukit. Bun Suile
tahu bahwa orang di hadapannya ini pasti adalah seorang
pendekar dari Kangouw maka ia tidak menaruh prasangka
buruk lagi dan kemudian berjalan berendeng turun gunung.
Setelah melintasi Djong-liong-nia, tiba-tiba laki-laki ini
membelok menuju ke Djian-djiok-tjeng, dari jauh tertampak di
antara lembah gunung itu terdapat sebuah kuil kecil, ketika
sudah dekat kiranya rumah biara ini adalah sebuah 'am-teng'
atau rumah biara kaum Nikoh, dari papan nama yang
tergantung di atas pintu tertampak tiga huruf 'Pek-lian-am'
Rumah biara kecil ini ternyata menyelip di suatu tempat
yang tersembunyi sekali di pegunungan ini. ketika laki-laki she
Dian itu berdehem sekali, kemudian tampak seorang Nikoh
setengah umur keluar dari kuil itu.
"Boan-liong Tayhiap, angin apakah yang telah meniup kau
kemari dan nona ini apakah datang bersama dengan
Tayhiap?" tanya Nikoh itu dengan merangkap kedua
tangannya demi melihat siapa tetamunya.
"Lik-dju Taysu." sahut laki-laki itu sembari balas
menghormat. "Nona ini adalah Bun-tjetju dari Tay-san-kwan
yang tersohor itu, karena kebetulan kunjunganku ke Tjuihunkiong,
maka telah bertemu dengannya di sana dan
sengaja aku mengajaknya kemari."
Sementara itu Bun Sui-le pun maju memberi hormat pada
si Nikoh. Baru kini ia mengetahui bahwa lelaki she Dian ini tidak lain
ialah Boan-liong Kiam-khek yang namanya menggetarkan
daerah utara, dulunya ia adalah 'Tjiang-toh' (pengemudi -
ketua) dari Djing-liong-pang, pantas ilmu silatnya begitu
mengagumkan, makin menjadi legalah hati Bun Sui-le demi
mengetahui siapakah laki-laki ini.
"Taysu, kedua imam yang memakai pedang di Tjuihunkiong
itu apa bukan orang dari Khong-tong-pay?" tanya
Boan-liong Kiam-khek setelah mereka dipersilakan masuk ke
ruangan tamu. "Apa Tayhiap maksudkan Htau-thian dan Hian-ang
berdua?" sahut Liok-dju. "Sudah setengah tahun mereka
datang di Hoa-san, cuma di belakang istana Tjui-hun-kiong itu
masih terdapat pula Tji-hun Tjindjin sebagai imam tua
penguasa istana. Ia adalah tokoh tingkat atas Bu-tong-pay,
usianya kini sudah lebih dari delepan puluh tahun, biasanya ia
tidak suka dengan urusan di luar, kali ini Tjhi Djin-ho datang
ke sini buat menengok Hian-thian Totiang, aku kira Tji-hun
Loto tentu tidak merasa senang."
"Hm, kalau Taysu tidak bilang, aku hampir saja lupa bahwa
di dalam istana itu masih terdapat Tji-hun Tjindjin yang
sedang tirakat," Boan-liong Kiam-khek menjengek dan
kemudian melanjutkan pula. "Dia adalah saudara seperguruan
Tji-yang Tjindjin, dengan mata kepala sendiri ia bisa antapi
Hian-thian dan kawan-kawan bersekongkol dengan kawanan
cakar alap-alap dan menganggapnya seperti tidak tahu?"
"Tayhiap mungkin tidak tahu bahwa sejak imam-imam
Khong-tong-pay itu sampai di Tjui-hun-kiong, mereka
berkomplot dengan imam-imam muda dan menduduki Tjuihun-
kiong, Tji-hun yang memangnya tidak suka mengurus hal
tetek-bengek, dengan sendirinya ini tidak mempedulikan
mereka juga."
Mendengar keterangan itu, Boan-liong menganggukangguk
dan tidak bertanya lebih jauh.
Malam itu juga, di Kim-sok-kwan terlihat ada bayangan
orang yang melayang cepat menuju ke Tjui-hun-kiong.
Ilmu entengi tubuh orang ini ternyata gesit dan cepat
sekali, ia mengenjot naik turun ke depan, kadang-kadang ia
berpaling juga ke belakang untuk melihat apakah dirinya
dikuntit orang atau tidak.
Bayangan orang ini tidak lain ialah Giok-bin-yao-hou Bun
Sui-le, setelah ia mendapatkan akal yang diajarkan Boan-liong
Kiam-khek padanya, kembali ia pergi mengintai lagi ke Tjuihun-
kiong malam-malam.
Tatkala itu di istana Tjui-hun-kiong hanya tinggal beberapa
orang imam untuk menjaga penjara di bawah tanah, sedang
Hian-thian, Hian-ang dan para jagoan dari kerajaan, Njo Djun
serta Li Ngo, pada sore hari itu sudah mengantar jenazah Limtjing-
tjongping Kui Ping-boan turun gunung.
Beberapa imam yang masih tinggal ini, meski imam dari
Khong-tong-pay juga, tetapi kepandaian mereka jauh di
bawah Hian-thian dan Hian-ang.
Sementara itu Hong-ko oleh mereka dipenjarakan dalam
penjara di bawah tanah yang tertutup oleh dua lapis pintu
besi, kaki tangannya pun digembok di atas pembaringan batu.
Setelah sampai di Tjui-hun-kiong, Bun Sui-le mengitar
menuju ke belakang istana itu
Di sebelah belakang ternyata masih ada dua istana >ang
disebut 'Hwe-sian-kiong', di samping terdapat pula sebuah
panggung balu setinggi tujuh atau delapan tombak, yakni
panggung buat ibadat para imam.
Di bagian belakang sunyi senyap tak nampak satu
bayangan pun, di dalam Hwe-sian-kiong sedikitpun tidak
nampak ada sinar api.
Ketika dari atas serambi depan Bun Sui-le tidak
menemukan sesuatu yang mencurigakan, ia balik melompat ke
serambi bagian belakang.
Di serambi belakang ia melihat sebuah pintu bundar yang
menembus ke suatu ruangan rumah lain yang berpagar
bambu dan banyak pohon-pohon tua, rada mirip seperti
tempat tirakat kaum imam.
Dengan enteng sekali dari atas ia melayang turun terus
mendekam ke depan rumah itu, tanpa menerbitkan suara
sedikitpun. Ia lihat pada dinding rumah itu terdapat sebuah
pintu berbentuk setengah lingkaran, di samping rumah
terdapat pula sebuah lubang angin yang dipalang terbuat dari
batu bata, dari sini ia memandang ke dalam, namun keadaan
di dalamnya gelap gulita.
Ketika secara berindap-indap ia mendekati lubang angin itu
dan menegasi lagi ke dalam dengan matanya yang sanggup
melihat dalam keadaan gelap, barulah tertampak olehnya
bahwa di dalam kamar membujur sebuah pembaringan dan di
atasnya duduk seorang imam tua, selain itu terdapat juga
sebuah kendi dan gayung yang terletak di sampingnya.
Roman imam tua ini sebagian tertutup oleh kumis dan
jenggotnya yang lebat. Hanya sepasang matanya yang
bersinar tajam berkelap-kelip di tempat gelap.
Waktu ia memeriksa keadaan dalam kamar itu, ternyata di
lantai penuh terserak daun kering, mungkin masuk dari luar
karena tertiup angin, sedang di pojok pembaringan penuh
dengan jala laba-laba, dimana-mana banyak terdapat kotoran
burung dan kelelawar, nampaknya seperti sudah lama tidak
ditinggali manusia, agaknya imam tua ini sudah lama sekali
tidak meninggalkan dipan semadinya itu.
Diam-diam Bun Sui-le hanya mengintip saja ke dalam dan
tidak berani ia sembarangan masuk. Sementara itu imam tua
itu masih memejamkan kedua matanya, keadaan dalam
rumah sunyi senyap.
"Silakan masuk saja!" tiba-tiba terdengar ada suara
perkataan orang di tepi telinganya. "Pin-to sudah lama tidak
mencampuri urusan luar, buat apa tongal-tongol di luar saja,
kalau kau orang yang dikirim Hian-thian, maka bolehlah kau
lekas enyah!"
Suara itu menggema di tepi telinganya begitu terang dan
tegas. Bun Sui-le terkejut, ia menoleh namun satu bayangan
pun tak nampak.
Waktu ia memandang lagi ke dalam rumah, imam tua itu
masih tetap sedikit menunduk dan sedang semadi, mulutnya
pun tidak nampak pernah bergerak.
Bun Sui-le mengerti itu adalah 'Toan-im-djip-bit', yakni
semacam ilmu Lwekang luar biasa yang bisa mengirim suara
dari jarak jauh, maka tahulah dia, imam tua ini tentu luar
biasa. Maka tak berani ia ayal lagi, segera ia menjawab dari luar
dengan suara pelahan.
"Aku she Bun mendapat petunjuk Boan-liong Tayhiap, ada
sedikit kepentingan hendak menemui Tjindjin!"
"Lekas masuk! Di luar bukan tempat untuk beromongomong!"
terdengar pula di tepi telinganya ada suara jawaban.
Tanpa ragu-ragu lagi lantas Bun Sui-le menuju ke pintu, ia
mendorong pintu yang setengah tertutup itu dan masuk ke
dalam. "Siaulutju (wanita kecil) Bun Sui-le memberi hormat!"
katanya kemudian setelah menyembah di depan imam itu.
Namun, segera ia merasakan tenaga angin yang cukup
besar keluar dari tangan imam tua yang sedikit digeraki, maka
tanpa tertahan ia telah diangkat berdiri.
"Tjindjin sudilah mendengarkan," ia menutur lagi sembari
berdiri di samping dengan kedua tangan lurus ke bawah.
"Siaulutju mendapat petunjuk dari Boan-liong Tayhiap ke sini,
untuk memohon Tjindjin suka memberi bantuan agar suka
menolong seorang kawan dari Go-bi-pay yang kini tertawan di
penjara bawah tanah, budi mana pasti tidak akan aku
lupakan." "Sudah belasan tahun ini Pin-to tidak pernah meninggalkan
gunung ini, apa Boan-liong tidak mengetahui bahwa
selamanya aku tidak suka ikut campur urusan orang lain?"
sahut Tji-hun Tjindjin dengan agak kurang senang. "Apa yang
Hian-thian perbuat dalam istana ini, Pin-to pun tidak
mendengar dan tidak mengurus, semalam kiranya ada orang
yang membikin ribut, dan tentunya adalah perbuatan Boanliong,
harap nona suka kembali dan memberitahukan padanya
bahwa urusan ini Pin-to tidak bisa ikut campur tangan."
Mendengar kata orang, Bun Sui-le menjadi gugup hingga
dari wajahnya tertampak penuh rasa kecewa, terpaksa ia coba
membujuk dengan menceritakan cara bagaimana Hong-ko
datang ikut bersama dia dan tertawan oleh Hian-thian
semalam, apabila tetap tak bisa menolongnya, maka dirinya
lebih suka mati daripada kembali dengan tangan kosong.
Seterusnya ia memohon dengan sangat dan membujuk
sebisanya sampai akhirnya ia meneteskan air mata.
Melihat kesungguhan orang, agaknya imam tua itu tergerak
hatinya. "Pemuda she Teng itu pernah apa dengan kau?" tanyanya
sambil memandang tajam.
Karena pertanyaan yang mendadak itu, dari sedih Bun Suile
berubah menjadi jengah hingga wajahnya bersemu merah.
"Dia.....dia.....kawan seperjalananku!" jawabnya dengan
menggumam kemalu-maluan.
"Tampaknya kamu adalah sahabat baik, sebenarnya Pin-to
tidak suka ikut campur, tetapi karena memandang padamu
biarlah aku memberi saru jalan padamu," dengan tersenyum
Tji-hun berujar. "Tapi sekembalimu boleh kau memberitahu
kepada Boan-liong Kiam-khek bahwa sekali-kali jangan ia
tumplekkan segala urusan padaku lagi!"
Habis berkata ia menyuruh Bun Sui-le ke dekatnya terus ia
membisiki padanya bahwa di bawah panggung batu itu
terdapat sebuah wajan besi yang sangat besar, apabila wajan
itu diputar, maka dari undak-undakan batu panggung itu
lantas terbuka sebuah jalan di bawah tanah, masuk dari jalan
itu bisa menolong keluar Teng Hong-ko.
Lekas Giok-bin-yao-hou menghaturkan terima kasih atas
petunjuk itu dan terus berbalik keluar dari kamar itu, begitu ia
melangkah keluar, dengan segera pintu kamar ternyata sudah
tertutup sendiri.
Tanpa ayal lagi segera ia menuju ke bawah panggung batu
yang memang sudah ia lihat tadi, di sini sama sepinya tanpa
seorang pun, betul juga ia nampak ada sebuah wajan yang
besar. Ketika tutup wajan itu ia rangkul terus diputar, segera juga
terdengar suara yang berkeretek. di samping undakan batu di
antara semak-semak, ternyata lantas tertampak sebuah
lubang gua yang cukup untuk dimasuki oleh satu orang.
Dengan menghadapi bahaya ia melangkah masuk ke dalam,
kakinya menyentuh pada undak-undakan batu terus berturutturut
hingga belasan undakan, akhirnya, sampailah jalanan di
bawah tanah. Dengan kepandaiannya memandang di tempat gelap, ia
menyusur menuju ke depan menuruti jalan bawah tanah yang
berliku-liku itu, tidak lama kemudian sampailah dia pada akhir
jalanan itu yang terhalang oleh selapis pintu besi.
Ia mencoba meraba-raba dalam kegelapan, ternyata pada
sebelah pintu besi itu terdapat sebuah pegangan, ketika ia
menarik, pintu itu terbuka dengan gampang, kiranya di
belakang pintu itu rapat menempel dengan kamar yang bukan
lain ialah kamar penjara di bawah tanah dari istana itu.
Bukan main rasa girangnya, kini ia nampak Hong-ko tidur
telentang di atas dipan batu, tangannya tergembok di atas
dipan batu itu. Di dinding batu sana tergantung pelita minyak
yang kelap-kelip mengeluarkan sinar remang-remang hingga
menambah keseraman dalam kamar itu.
Seketika itu juga dirasakan darahnya mendidih, dengan
sekali lompat ia sampai di depan Hong-ko, ia lihat pemuda itu
dengan kesima sedang memandang padanya laksana sedang
bermimpi. "Hong-ko!" ia memanggil sembari mencabut pedangnya
tenis memotong rantai dan gembok yang mengikat anggota
badan pemuda itu.
Pedangnya ini adalah pusaka dari Thian-san, maka rantai
besi yang cukup besar itu dengan gampang saja terpotong
putus. Karena kedua tangannya sudah bisa bergerak bebas, tanpa
tertahan Hong-ko merangkul ke leher Bun Sui-le.
"Oh, Tjitji yang baik, apa aku sedang bermimpi?" katanya
dengan terharu.
Hangat sekali rasa batin Bun Sui-le, saking terharunya
hingga ia mengalirkan entah air mata kegirangan atau kekuatiran.
"Mari lekas kita pergi!" katanya tiba-tiba tersadar.
Namun ia lupa kaki Hong-ko masih tergembok. Justru pada
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saat itu juga pintu goa batu itu tiba-tiba disurung terbuka dari
luar, menyusul mana bayangan orang yang tinggi besar
melompat masuk.
Sekilas dari sinar pelita yang remang-remang, Bun Sui-le
dapat mengenali bahwa orang yang datang ini ialah 'Sip-tiathong'
Ie Djan, di tubuhnya masih tetap mengenakan baju kain
kasar dan dengan cepat ia mengangkat goloknya terus
menga-dang di depan pintu.
"Perempuan keparat, hari ini kebentur pada tuanmu, kau
sendirilah yang ingin menghadap Giam-lo-ong!" serunya
berbareng goloknya terus membacok.
Lekas Bun Sui-le melompat mundur sambil menarik diri
Hong-ko, akan tetapi segera terdengar Hong-ko menjerit,
kiranya kedua kakinya yang masih terantai di dipan batu kena
tertarik, maka ia jadi menjerit kesakitan.
Dengan cepat Bun Sui-le melepaskan tangannya, sudah itu
ia memutar buat melindungi, sekalian lantas melolos
pedangnya, senjatanya menempel golok lawan terus ia
goncangkan pergi.
Karena tujuannya hendak melindungi diri Hong-ko, maka
begitu tangkisannya berhasil, segera juga ia melompat berdiri
di atas dipan batu dan beruntun memberi dua kali serangan
kepada musuh. Sementara itu Ie Djan pun menyambut serangan lawannya
itu, berbareng sebelah tangannya pun memukul.
Tapi di tengah jalan Bun Sui-le merubah serangannya
dengan membalikkan tubuh, ia menggunakan gerakan 'Gikhong"
tio-bang" atau memasang layar menolak angin,
pedangnya ia tarik terus disurungkan ke depan lagi, ia
menikam ke arah dada le Djan.
Justru saat itu juga Ie Djan lagi menggunakan tipu Kim-nadjiu
yang lihai hendak mencekal, lekas Bun Sui-le mengangkat
pundak, terus saling susul dengan kedua kakinya ia
menendang memakai gerakan 'Lian-hian-wan-yang-rui'.
Dengan sehatnya Giok bin yao hou membalikkan tubuh
menangkis serangan golok lawan.
Karena itu mendadak le Djan merasa ada angin tajam
menyambar ke mukanya, dengan cepat segera ia menarik
tangannya yang dipukulkan tadi terus melompat ke belakang,
sehingga kedua kaitan tajam yang terpasang di ujung sepatu
Bun Sui-le menyambar lewat di depan mukanya, hampir saja
ia terkena, karena itu ia menjadi terkejut atas kelihaian orang.
Dalam pada itu Bun Sui-le menyerang pula dengan
pedangnya, sinar tajam berkelebat, hingga le Djan terdesak
mundur sampai di dekat pintu penjara itu, sementara itu
kedua kaki wanita yang lihai ini masih beterbangan
menendang juga dan merangsek dengan hebatnya.
Karena ruangan penjara yang sempit, le Djan tidak sempat
mengeluarkan kepandaiannya 'Tjiam-ie-sip-pat-tiat', akhirnya
terpaksa ia harus mundur sampai di luar pintu, di sini ia
mencoba bertahan dengan goloknya atas serangan-serangan
lawan yang cukup ganas.
Tidak ia duga, secara mati-matian Giok-bin-yao-hou
merangsek, tujuannya tidak lain ialah hendak mendesak
supaya ia mundur keluar pintu, dengan begitu menyusul pula
kedua kakinya ia tendangkan secara susul-menyusul, dan
pada kesempatan yang hanya sekejap saja itu, selagi
lawannya berkelit, tanpa ayal segera ia gabrukkan pintu
penjara dan ditutup rapat terus ia pantek sekalian dengan
palang pintu, dengan demikian terhalanglah le Djan di luar.
Kemudian dengan cepat sekali Bun Sui-le membaliki
tubuhnya mendekati Hong-ko lagi, ia menggerakkan
pedangnya dengan cepat untuk memutuskan borgol yang
masih terpasang di kaki pemuda itu, kemudian ia kempit
Hong-ko terus dibawa lari kembali melalui jalan lorong di
bawah tanah tadi.
Sementara itu terdengar di luar penjara itu suara keras
benda yang ditumbuk dan didobrak, ia mengerti tentu le Djan
yang lagi berusaha mendobrak pintu besi. Tak berani ia
tinggal lebih lama lagi, laksana terbang segera ia kabur
secepatnya. "Ie Djan tentu tidak sendirian, kalau kabur melalui luar
istana pasti akan dicegat oleh mereka," begitu ia berpikir di
tengah jalan. Ketika ia sedang berpikir, sementara itu ia sudah sampai di
akhir lorong bawah tanah itu, ia meletakkan Hong-ko, lalu
memutar pula wajan besar tadi dari dalam, segera juga mulut
jalan lorong terbuka lagi dengan mengeluarkan suara
berkeretek dan kemudian menutup pula dengan sendirinya.
Meski terasa rada letih, namun Hong-ko masih sanggup
berjalan. Bun Sui-le menarik tangannya terus menuju ke
gunung di belakang Tjui-hun-kiong.
Tetapi baru saja mereka hendak melangkah lebih jauh,
tiba-tiba tertampak dari atas gunung sana ada dua bayangan
orang sedang berlari mendatangi secepat terbang dan gerakan
tubuhnya gesit sekali.
Bun Sui-le mengerti pasti kaum cakar alap-alap lagi yang
menguntit mereka, terpaksa ia mengajak Hong-ko untuk
mengumpet lagi menuju ke istana bagian belakang.
Setelah mereka melewati pintu bundar, terlihat kamar Tjihun
Tjindjin yang sunyi sepi itu pintunya terpentang lebar,
Bun Sui-le menjadi girang sekali, tanpa berpikir lagi segera ia
menarik Hong-ko terus masuk ke dalam kamar itu.
Ketika kemudian ia memandang ke dipan tempat bersemadi
imam tua itu, kiranya tempat itu sudah kosong tanpa ada baangan
orang, diam-diam ia menjadi rada kuatir.
Sementara itu ia mendengar ada suara orang melompat
turun ke bawah, keadaan sudah kepepet, tanpa pikir lagi
segera ia menarik Hong-ko terus menyelusup masuk ke kolong
dipan dan dengan menahan napas mereka menantikan apa
yang bakal terjadi.
Bun Sui-le mencoba menempelkan kupingnya ke lantai, ia
mendengar di luar kamar itu sepertinya ada suara tindakan
dua orang yang berjalan kian kemari.
"Tji-hun Totiang apakah berada di dalam?" begitulah
kemudian terdengar ada suara orang bertanya.
Suara pertanyaan itu diulangi lagi, namun tetap tiada
jawaban. Diam-diam Bun Sui-le menjadi heran, bukankah terang
sekali bahwa tadi ketika mereka masuk ke kamar, pintu kamar
masih terpentang lebar dan mengapa kini bisa tertutup rapat
hingga orang perlu bertanya"
Karena pertanyaannya berulang kali tanpa jawaban,
menyusul lantas terdengar ada suara pintu yang didorong.
Akan tetapi belum sampai pintu terbuka, mendadak di luar
ada suara sahutan yang agak tertekan, "Pin-to ada di sini, Djiwi
datang kemari hendak mencari siapa?"
Suara itu bukan lain ialah suara Tji-hun Tjindjin.
Karena sahutan itu, rupanya kedua orang yang datang ini
menjadi kaget. "Haya, kiranya Totiang tidak ada di dalam!" terdengar
mereka bersuara dengan rada terperanjat. "Kami adalah orang
dari markas Tjongtin hendak menggiring seorang tawanan
turun gunung, di luar sana masih ada pula pasukan tentara
yang datang bersama kami, tadi justru ada dua bayangan
orang berkelebat dan begitu melihat kedatangan kami lantas
menyembunyikan diri, maka kami bermaksud mencarinya."
"Hm, kamu sungguh tidak punya aturan sama sekali,"
terdengar Tji-hun Tjindjin mengomel, rupanya ia agak kurang
senang. "Aku yang berada di atas panggung batu tidak
nampak ada bayangan seorang pun, tetapi kamu ternyata
berani usil ke istana bagian belakang ini, bukankah kamu tahu
bahwa aku biasanya tidak suka ikut campur urusan luar tetapi
ternyata kamu masih berani mengacau ke sini!"
Karena dampratan itu, kedua orang tadi menjadi bungkam
dan tak berani menyahut.
"Baiklah kita pergi saja, boleh kita menemui dulu Sip-tiathong
buat bertanya padanya," terdengar seorang di antara
mereka berkata.
Habis mana lantas terdengar suara tindakan yang ramai
dan cepat menuju ke bagian depan.
Mendengar orang-orang di luar itu sudah berlalu, Giok-binyao-
hou dan Hong-ko yang bersembunyi di kolong dipan
barulah merasa lega.
Dalam pada itu tiba-tiba di dalam kamar terlihat ada
bayangan orang berkelebat lagi, ketika mereka memandang
dengan rasa terkejut, kiranya tidak lain ialah Tji-hun Tjindjin
yang telah berdiri di depan tempat persembunyian mereka.
"Marilah, silakan kalian keluar!" begitulah terdengar
semacam suara yang lemah-lembut berkata.
Tanpa sangsi lagi, segera juga Bun Sui-le bersama Hong-ko
merangkak keluar dari kolong dipan terus menjura memberi
hormat kepada Tji-hun sebagai tanda terima kasih.
"Tadi karena terpaksa, kami telah masuk ke kamar Totiang
tanpa permisi, harap suka dimaafkan!" kata Giok-bin-yao-hou
pula. "Keonaran yang Boan-liong terbitkan sudah terlalu besar,
lekas kamu kembali memberitahukan padanya supaya cepat
meninggalkan Hoa-san dan jangan tinggal lebih lama lagi
hingga urusan menjadi semakin runyam," ujar Tji-hun Tjindjin.
Kedua orang itu berulang-ulang menyatakan baik,
kemudian mereka lantas hendak berlalu, namun Tji-hun
keburu mencegah.
"Di luar sudah dijaga oleh pasukan tentara," kata imam tua
itu. "Kalian boleh melalui jalanan kecil di belakang gunung
saja, setelah keluar dari 'Lo-kun-le-kau', Pek-lian-am tentu
sudah dalam jangkauan pandangan kalian!"
Kembali Bun Sui-le menghaturkan terima kasihnya atas
petunjuk itu, kemudian mereka berpamitan pada imam tua itu
terus menuju ke bagian belakang istana.
Setelah melintasi pagar tembok belakang Tjui-hun-kiong,
mereka nampak sebuah gerujukan air kecil mengalir ke suatu
sungai kecil, di tepi sungai itu batu gunung berserakan hingga
merupakan suatu tempat persembunyian yang baik sekali.
Dengan menyusur tepi sungai itu, mereka meninggalkan
Tjui-hun-kiong yang berbahaya, dari jauh mereka masih
nampak bagian luar istana itu terdapat banyak bayangan
orang dan berkumandang pula suara kuda yang mendengking
ramai, mereka mengerti tentu 'Sip-tiat-hong' Ie Djan yang
kembali dengan membawa pasukan tentara, cuma kedua
orang tadi yang mengaku dari markas Tjongtin entah manusia
macam apa"
Begitulah, tidak lama kemudian mereka sudah sampai di
'Lo-kun-le-kau', dekat dengan Djong-liong-nia.
Tengah mereka berdua berjalan, tiba-tiba Bun Sui-le
mendengar di balik gunung sana mendesir datang suara
keresekan seperti rumput yang tersambar sesuatu benda,
lekas ia menarik Hong-ko terus mendekam mengumpet di
semak-semak yang lebat.
Sekejap kemudian, mendadak sesosok bayangan orang
melayang lewat dengan kain bajunya melambai tertiup angin.
Hong-ko yang bermata cukup jeli, dalam sekelebatan itu ia
dapat menampak orang itu adalah seorang wanita, sekilas ia
mengenali orang itu bukan lain ialah Ang-koh yang pernah ia
jumpai di Soatang.
Diam-diam ia menjawil Bun Sui-le yang tentunya juga
sudah kenal siapa adanya orang itu. Dalam pada itu, dengan
cepat sekali bayangan tadi melayang menuju ke Tjui-hunkiong
dan tak lama kemudian menghilang dalam kegelapan.
"Mengapa ia datang ke sini juga?" ujar Bun Sui-le dengan
heran. "Mungkin kau lupa bahwa dia juga termasuk anak murid
dari Khong-tong-pay!" sahut Hong-ko dengan pelahan.
Dengan jawaban Hong-ko itu, barulah Bun Sui-le sadar, lalu
ia mengangguk-angguk.
"Baiklah kita lekas kembali ke Pek-lian-am dulu buat
menemui Boan-liong Tayhiap!" katanya kemudian.
Kali ini yang menunjukkan jalan agar Bun Sui-le pergi
memohon pertolongan kepada Tji-hun Tjindjin buat
melepaskan diri Hong-ko dari tawanan, memang bukan lain
ialah Boan-liong, melihat mereka betul-betul telah kembali
dengan selamat, dengan sendirinya ia ikut bergirang.
Kemudian Hong-ko menyatakan terima kasihnya atas
bantuan orang, ia menyebut Boan-liong sebagai Lotjianpwe
atau kaum angkatan tua.
Bun Sui-le pun lantas menceritakan pengalamannya tadi
ketika berada di Tjui-hun-kiong.
"Kedatanganku kali ini memang untuk memenuhi janji
dengan Hian-hong Totiang, sebenarnya tiada niatanku untuk
campur tangan soal Tjhi Djin-ho itu, siapa sangka justru Kui
Ping-boan, si pembesar anjing celaka ini telah terbentur dalam
tanganku," tutur Boan-liong. "Tetapi kalau Tji-hun Tjindjin kini
meminta aku harus meninggalkan tempat ini, maka boleh tak
usah aku menunggu lagi!"
"Dian-tayhiap apa kau tak perlu menunggu Hian-hong
lagi?" tanya ketua pengurus rumah biara itu.
"Sudah lewat temponya belum juga datang, biarlah aku
pergi saja!" ujar Boan-liong.
"Tetapi kini Ang-koh pun sudah sampai di Tjui-hun-kiong,
apakah Tayhiap tidak sabar menunggu lagi, mungkin tak lama
Hian-hong pun pasti akan datang juga!" kata Bun Sui-le.
"Begitupun baik," sahut Boan-liong mengangguk. "Memang
sudah lama aku mendengar bahwa di dalam Pek-lian-kau ada
seorang pemimpin wanita yang dipanggil sebagai Ang-koh dan
pernah diaku sebagai anak murid Khong-tong-san, aku ingin
melihatnya juga macam apakah orang itu?"
Begitulah maka untuk sementara mereka tetap tinggal di
Pek-lian-am, tiap hari Boan-liong Tayhiap tentu keluar buat
mencari kabar kedatangan Hian-hong, ia berpesan agar Bun
Sui-le berdua jangan mengunjuk muka dulu.
Dalam pergaulan paling belakang ini, persahabatan di
antara Hong-ko dan Bun Sui-le ternyata makin rapat,
ditambah pula Bun Sui-le melepaskan dirinya dari bahaya
maut tanpa memikirkan resiko sendiri, hal ini sudah tentu
banyak menambali kekalnya hubungan mereka
Meski Hong-ko masih belum lupa akan kawan kecilnya, Pek
Eng-dji, kawan di masa anak-anak mereka dan bahkan telah
dipertunangkan oleh kedua orang tua mereka, namun setelah
berpisah belasan tahun, lagi pula waktu perkenalan mereka
masih masa anak-anak, hakekatnya belumlah berarti bahwa
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada tertanam sesuatu bibit asmara di antara mereka
Lain halnya hubungannya dengan Bun Sui-le yang siang
dan malam selalu berdekatan dan dalam usia mereka yang
sudah menginjak remaja sudah tentu berbeda sekali
keadaannya, maka diam-diam mengutarakan perasaan
mereka dan terjalinlah kedua hati mereka.
Selang dua hari kemudian, setelah kembali Boan-liong
mengatakan pada mereka berdua, "Aku mendapat kabar
bahwa Hian-hong Totiang sudah sampai di Tjui-hun-kiong,
wanita yang dipanggil Ang-koh itu ternyata betul adalah putri
Pek Ting-djoan, Kun-su dari Pek-lian-kau, kedatangannya ke
Hoa-san kali ini, katanya hendak mencari sesuatu benda yang
telah hilang dari agama mereka. Yang aneh ialah para imam
dari Khong-tong-san, Hian-thian, Hiang-ang dan Hian-hong
serta kawan-kawan ternyata sudah lama bersekongkol dengan
Pek-lian-kau, terhadap Ang-koh mereka ternyata cukup segan
dan hormat."
Besok paginya Hong-ko menghilang, semua orang
menyangka tentu ia sedang jalan-jalan keluar, tak tahunya
sampai lohor ternyata pemuda ini masih belum pulang juga,
keruan saja Bun Sui-le menjadi kuatir.
Kiranya secara diam-diam Hong-ko pergi mengintai pula ke
Tjui-hun-kiong, ia ingin mengetahui lebih jelas apakah yang
dianggil Ang-koh apa betul-betul adalah Pek Eng-dji yang
menjadi kawannya semasa anak-anak. Apabila betul, maka ia
ingin menghilangkan kesalah-pahaman ketika ia melukai
tangannya dengan pelor besi dahulu dan sekalian menasehati
agar supaya Eng-dji suka melepaskan dirinya dari Pek-lian-kau
dan jangan tersesat lebih jauh.
Setelah ia meninggalkan Lo-kun-le-kau, ia terus
melanjutkan perjalanannya menuju ke Kim-so-kwan.
Tatkala itu adalah pagi hari, sepanjang jalan ia nampak
banyak orang yang naik gunung hendak bersembahyang ke
rumah-rumah biara itu. Hong-ko mencampurkan diri di antara
orang-orang yang hendak bersujud ke Tjui-hun-kiong.
Selang tak lama, bersama dengan serombongan orang
lainnya ia sudah sampai di Tjui-hun-kiong, dalam istana itu,
kecuali beberapa imam dari Khong-tong-pay, selebihnya tiada
yang kenal Hong-ko, mereka menyangka seperti tetamu biasa
saja yang hendak bersujud, maka ia disongsong ke sebuah
kamar tamu. Di sini ia disuguh air teh dan penganan sekedarnya. Ketika
ia disodori buku derma, tanpa ragu-ragu segera Hong-ko
menulis di atasnya, Liautang Hap-kongtju menyokong lima
puluh tahil perak.
Imam yang melayaninya nampak ia begitu tangan terbuka,
namanya pun serupa bangsa Boan, ia disangka salah satu
Kong-tju dari tingkat atas, maka sudah tentu ia dilayani makin
baik. dari sini kemudian ia dipersilakan ke sebuah kamar
tetamu yang bersih, di sini ada satu baris kamar-kamar bagus
yang khusus dipergunakan untuk melayani keluarga
bangsawan dan hartawan.
Setelah selesai mengatur tetamunya, imani pelayan itu
lantas mengundurkan diri.
Hong-ko melihat kamar tetangganya ada lelaki maupun
perempuan, kesemuanya adalah keluarga dari kaum
hartawan. la lantas menutup pintu kamarnya dan mengeluyur keluar
dari ruangan itu. kebetulan ia menemukan seorang imam cilik,
tetapi ia disangka sebagai tetamu pelancongan biasa saja,
maka dirinya tidak diperhatikan.
Setelah ia menembusi beberapa ruangan, ia sampai di
bagian belakang dari rumah biara itu, ia mengenali sebuah
loteng tinggi yang dipagari pagar tembok merah bukan lain
adalah tempat pada malam itu ia bertempur dengan imam
Khong-tong-pay.
Selagi ia berniat masuk melalui pintu bulan (pintu yang
berbentuk bundar), tiba-tiba ia mendengar ada suara tindakan
orang yang mendatangi ke jurusannya, maka lekas ia
berlindung ke belakang gunung-gunungan.
Yang mendatangi ternyata adalah dua imam muda, sambil
berjalan mereka sembari saling mengomel.
"Bukankah tadi kau sudah disuruh melayaninya dengan
hati-hati, ia mempunyai kedudukan sebagai Sian-koh, kalau
kurang sempurna pelayananmu, Susiok tentu akan menghajar
kita habis-habisan!" terdengar seorang di antaranya berkata.
"Ya sudahlah Suheng! Setelah sekarang aku mengetahui
dia adalah Sian-koh yang tidak sembarangan, tentu aku tidak
berani ayal lagi!" sahut yang lain.
Sambil berkata, tak lama mereka pun sudah pergi jauh.
Mendengar percakapan mereka, Hong-ko berpikir, "Kalau
begitu Ang-koh tentu tinggal di atas loteng itu, tetapi dalam
keadaan siang hari bolong, cara bagaimana aku bisa ke sana?"
Karena pikirannya hanya satu, yaitu bertujuan untuk
melihat Ang-koh dari dekat, maka pada saat demikian ini
Hong-ko lupa bahaya apa yang bakal ia hadapi, seketika itu ia
sudah mengambil suatu keputusan.
Dalam pada itu ia mendengar ada suara orang yang
mendatangi lagi, ia lihat tidak lain ialah imam muda tadi,
tangannya menjinjing sebuah kotak berisi makanan.
Hong-ko menunggu setelah imam cilik ini sudah lewat,
secara berindap-indap ia menguntit dari belakang, mendadak
ia kelebatkan pisau belati ke muka imam itu terus secara cepat
ditekankan ke tenggorokannya.
"Jangan berteriak!" gertaknya dengan suara tertahan.
"Begitu bersuara, segera aku habisi nyawamu!"
Imam yang sekonyong-konyong nampak pisau belati yang
mengkilap berkelebat di mukanya itu dan dibarengi dengan
suara ancaman, ia menjadi kaget dan ketakutan hingga
seketika itu ia tertegun tanpa berani berkutik.
Hong-ko menyeretnya ke belakang gunung-gunungan tadi
terus dibekuk ke tanah, saking takutnya hingga imam itu tak
bertenaga lagi, kedua kakinya lemas dan dengan sendirinya ia
mendeprok ke bawah.
Lebih dulu Hong-ko menyumbat mulut imam kecil itu
dengan kain bajunya, sesudah itu ia meringkus pula kaki
tangannya dan ditutup lagi matanya, kemudian baru ia
menggusur imam itu ke suatu pojok terus mencopoti pakaian
imam untuk dipakainya sendiri, setelah selesai, sambil
menjinjing bakul yang berisi penganan tadi ia lantas menuju
ke halaman loteng.
Dengan menyamar sebagai imam, ternyata ia bisa masuk
dengan leluasa. Setelah sampai di atas loteng, ia lihat kain
layar kuning melambai turun dan di lantai tergelar permadani
merah tebal Setelah itu ia mencoba berdehem, segera juga terdengar
ada suara kaum wanita yang berseru, "Siapa?"
"Aku yang rendah mengantar makanan untuk Sian-koh,"
sahut Hong-ko dengan tekanan suara yang dibikin-bikin.
"Masuk!" terdengar pula suara dari dalam.
Maka dengan kepala menunduk masuklah Hong-ko ke
dalam, ia sengaja menjinjing tinggi-tinggi bakul penganan
yang ia bawa tadi, dengan begitu ia menutupi setengah
mukanya agar tidak dikenali orang.
Ketika ia melirik, terlihat olehnya di sana duduk seorang
wanita yang bukan lain ialah Ang-koh, tertampak rambutnya
yang indah dengan bunga cempakanya masih tetap seperti
apa yang pernah ia lihat dahulu, hanya pakaiannya yang
berlainan, mukanya pun mirip dengan Pek Eng-dji yang kurus
kering dan kulit kekuning-kuningan di masa dahulu, terang
berbeda jauh sekali dengan keadaannya sekarang.
Sementara itu Ang-koh hanya melengos, sudah itu ia
membalikkan kepalanya lagi, nyata ia sedang mencurahkan
perhatiannya terhadap beberapa gelintir pelor besi yang ada di
dalam tangannya.
Dengan setengah membelakangi, Hong-ko menaruh bakul
makanannya berbareng ia coba melirik mengintai, akan tetapi
segera hatinya menjadi tergoncang dan berdebar-debar, ia
tidak menduga bahwa apa yang ada dalam genggaman
tangan Ang-koh ternyata adalah senjata rahasia miliknya, di
antaranya dua gelintir yang kehitam-hitaman ialah senjata
yang ia timpukkan padanya ketika berada di Soatang dahulu,
sedang dua buah pelor baja lainnya adalah senjata yang ia
arahkan pada Tjhi Djin-ho malam-malam, kini kesemuanya
ternyata berada di tangan Ang-koh dan sedang diamat-amati
apakah pemakai senjata rahasia itu sama orangnya, suatu
tanda pula bahwa wanita ini masih belum lupa karena
tangannya terluka di Soatang dahulu.
"Silakan Sian-koh bersantap pagi!" Hong-ko menyilakan
sambil sedikit membungkuk setelah ia mengatur makanan
yang ia bawa itu.
Terdengar Ang-koh menjawab dari tempat duduknya,
namun ia tetap tidak berpaling.
Karena itu, dengan memberanikan diri Hong-ko lantas
memandangnya secara terang-terangan dari depan, ia merasa
air mukanya, dari hidung, mata, alis hingga mulut dan lainnya
lagi iemua mirip sekali dengan Pek Eng-dji, ia teringat bahwa
pada daun kuping sebelah kanan ada suatu tanda, ternyata
tanda itu hingga kini masih tertampak juga.
"Banyak membikin lelah To-heng saja!" tiba-tiba Ang-koh
berpaling dan berkata.
Sekilas itu, agaknya Ang-koh tertegun, sinar matanya yang
tajam bertemu dengan pandangan Hong-ko.
Karena itu Hong-ko menjadi terkejut sekali, lekas ia
menunduk sambil membungkuk lagi.
"Apa Sian-koh masih ada pesan lain?" tanyanya pura-pura.
la tak berani mengangkat kepalanya lagi.
"Di sini sudah selesai, terima kasih!" sahut Ang-koh.
Lekas Hong-ko membaliki tubuhnya terus hendak angkat
kaki, tetapi baru saja beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba ia
mendengar dari belakang Ang-koh memanggil lagi.
"Nanti dulu To-heng, gelarmu masih belum aku ketahui!"
ujarnya. Terpaksa Hong-ko harus membalik lagi, ia berpura-pura
sedikit membungkukkan dan menjawab pertanyaan orang.
"Aku bergelar Hoat-tjin, Tosu pelayan tamu di sini, apa
Sian-koh masih ada sesuatu keperluan?"
Setelah memandang padanya agaknya Ang-koh pun
menunjukkan wajah yang heran, karena Hong-ko berhenti dan
ber-balik menjawab, ia menjadi ragu-ragu.
"Hoat-tjin To-heng, baiklah, silakan kau pergi!" sahutnya
pada akhirnya. Seperti terlepas dari beban yang berat, lekas Hong-ko
angkat kaki, ia turun dari tangga, tetapi dalam hatinya merasa
sayang juga, sebenarnya ingin hatinya bisa lebih banyak
memandang pada Ang-koh.
Di bawah loteng itu ada sebuah ruangan lain, ketika ia
lewat di pintu samping, tiba-tiba dari depan menubruk datang
seorang imam, karena itu mereka saling tumbuk.
Bagi orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi, tidak peduli
kapan dan dimana, begitu ada sesuatu yang menyentuh
tubuhnya, dengan sendirinya pasti akan mengeluarlah
semacam tenaga penolak.
Kini tanpa disengaja Hong-ko bertubrukan dengan imam
tua yang datang secara mendadak itu, seketika ia
mengeluarkan tenaga dalamnya buat menahan tubuhnya,
namun karena ilmu silat imam itu jauh lebih tinggi dari Hongko,
maka Hong-ko tergetar hingga sempoyongan beberapa
tindak, lekas ia memakai langkah Hi-djiok-kue-ki atau burung
kutilang berpindah cabang pohon, dengan begitu ia bisa
menahan tubuhnya untuk berdiri tegak, dalam pada itu si
imam tadi sudah masuk ke dalam ruangan.
Waktu Hong-ko menegasi, tiba-tiba ia mengeluh!
Kiranya imam ini memakai jubah pertapaan dan berjenggot
cabang tiga yang serupa dengan Hian-thian dan Hian-ang,
sinar matanya tajam.
Agar dirinya tidak lantas dikenali, lantas Hong-ko
mendekam ke bawah dan berulang-ulang menjura memberi
hormat. "Harap Supek memaafkan, tadi secara tidak sengaja telah
menabrak Supek, di sini Wanpwe memberi hormat!" katanya.
Akan tetapi imam itu ternyata tidak gampang diingusi, ia
mengamat-amati padanya, sudah itu mendadak ia mengebut
dengan lengan bajunya hingga seketika itu topi imam di atas
kepala Hong-ko kabur copot oleh sambaran angin lengan
bajunya. "Besar sekali nyalimu, kiranya kaulah yang telah
menyamar!" terdengar imam tua itu segera membentak.
Bukan main kejut Hong-ko demi mengetahui dirinya
terbuka kedoknya, lekas ia menggelundung pergi ke samping.
Kiranya imam ini ialah Hian-hong, kali ini ia berjanji dengan
Boan-liong Kiam-khek untuk bertemu di Hoa-san, kebetulan
juga Ang-koh mendapat berita bahwa Giok-bin-yao-hou Bun
Sui-le telah sampai di Hoa-san, oleh karena itu ia menyusul
kemari, karena Hian-hong masih harus mampir ke markas
Tjongtin di Limtjing untuk mencari sutenya, Hian-thian, maka
berbalik ia datang lebih belakang.
Ketika itu imam tua ini sedang hendak menuju ke loteng di
belakang istana itu untuk menemui Ang-koh, tiba-tiba ia
mendengar suara riuh tindakan kaki yang tergesa-gesa sedang
turun dari loteng, tindakan itu membawa gaya yang enteng, ia
dapat membedakan orang yang datang ini pasti seorang ahli
silat. Waktu kemudian ia memandang, ia lihat yang turun adalah
seorang imam muda, maka ia menjadi heran, maka sengaja ia
menubruk padanya dan segera pula ia dapat menjajal bahwa
imam muda ini agak mencurigakan.
Dalam pada itu, setelah Hong-ko menggelundungkan diri
keluar istana tadi, sekonyong-konyong Kim-na-djiu yang lihai
dari Hian-hong pun sudah memapaki padanya, ia berpikir
hendak mencabut belatinya, namun sudah terlambat, terpaksa
ia merogoh sekenanya beberapa biji pelor besinya terus ia
sambit-kan ke arah imam tua itu.
Mendengar sambaran angin, Hian-hong mementang
tangannya terus menyambut datangnya pelor.
"Bagus, kiranya yang biasa menyambit dengan pelor besi
adalah kau, kali ini jangan harap kau bisa lolos," serunya
dengan tertawanya.
Dalam pada itu, Hong-ko sudah sempat mencabut
belatinya, segera ia melangkah maju dengan gerakan 'Moakoh-
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tjin-yok' atau si nona menyuguh minuman, segera ia
menikam. Bagaimanapun, memang Hian-hong mempunyai
kepandaian sudah jauh lebih masak daripada Hong-ko,
dengan sedikit mengegos ke samping, berbareng lagi menuju
ke muka si pemuda, karena itu pandangan matanya menjadi
terhalang, sementara itu, si imam merangkap dua jarinya
terus menotok dengan tipu 'Yap-te-tau-hoa' atau mencuri
bunga dari bawah daun, secepat kilat ia menotok ke pundak
Hong-ko. Gerak tipu itu adalah ilmu totokan yang lihai dari Kim-nadjiu
yang mempunyai 72 jurus gerakan, karena tidak sempat
menghindar lagi, segera 'Hun-bun-hiat' di pundak Hong-ko
terkena totokan Hian-hong hingga seketika ia roboh
tersungkur tanpa bisa berkutik.
Saat itu juga, dari luar istana masuk pula dua orang yang
bukan lain adalah jagoan-jagoan dari kerajaan pada malam
itu, yakni Tui-hun-djiu' Njo Djun dan 'Siau-song-sin' Li Ngo.
Tatkala mereka nampak Hian-hong dapat menotok roboh
seorang yang menyamar sebagai imam, segera mereka dapat
mengenali sebagai bocah yang tempo hari kepergok bersama
Giok-bin-yao-hou.
Maka lekas mereka berkatakan pada Hian-hong, "Totiang,
orang ini ialah pembunuh Kui-taydjin, kita justru sedang
mencari dia, kali ini betul-betul ia sendiri yang telah
menghantar jiwanya."
Mendengar penuturan itu, diam-diam Hian-hong berpikir,
"Kebetulan juga, dahulu ketika aku mengawal Pi-hwe-tju,
mutiara mestika itu telah kena digondol lari oleh bocah ini di
hutan Tjo, kini justru ia terjatuh di tanganku, maka boleh
dikata aku yang lagi mujur, mana mungkin aku menyerahkan
dia pada kalian berdua untuk digiring ke kotaraja buat
menerima pahala?"
Begitulah segera Hian-hong mengatur tipunya, ia hendak
merebut kembali mutiara mestika yang pernah digondol lari
oleh Hong-ko dulu, maka ia tidak bersedia menyerahkan
pemuda itu kepada Njo Djun dan Li Ngo berdua, tetapi ia
kualir juga apabila Ang-koh melihat Hong-ko, pemuda ini bisa
dipaksa menyerahkan mutiaranya itu.
"Tuan-tuan bayangkara tidak usah kuatir, orang ini
menyamar sebagai imam dalam istana ini, Pin-to harus
menyerahkan dia pada Hian-thian Sute untuk diperiksa buat
mengetahui cara bagaimana ia bisa menyelundup masuk ke
dalam dan apakah masih ada begundalnya, sudah itu baru
diserahkan pada Dji-wi untuk digiring ke kotoraja dan
dihukum, aku kira di tangan kami tak mungkin ia bisa lolos!"
Dengan perkataannya itu, Hian-hong secara samar-samar
mengatakan bahwa dia yang menangkap, maka harus
diperiksa dahulu baru bisa diserahkan pada mereka.
Njo Djun dan Li Ngo cukup kenal kepandaian Hian-hong,
maka mereka lantas menjawab baik. Begitulah lantas, Hianhong
meringkus kaki tangan Hong-ko terus ia seret sendiri dan
digusur ke dalam penjara, sudah itu baru ia naik ke loteng lagi
buat menemui Ang-koh.
Melihat kedatangan Hian-hong, lekas Ang-koh menyambut
padanya, kedua bayangkara itupun setelah bertemu, mereka
pun berdiri di samping.
"Kabarnya Totiang tadi telah menangkap seorang yang
menyamar sebagai Tosu yang menjadi begundal Giok-bin-yaohou,
entah orang ini bernama siapa dan kini berada dimana?"
tanya Ang-koh. Teng Hong-ko yang belum lama merantau, tidak terkenal di
kalangan Kangouw, ia hanya dikenal sebagai seorang bocah
yang pernah merampas mutiara mestika di hutan Tjo dahulu,
belakangan setelah mengintai ke Tjui-hun-kiong malammalam
bersama Giok-bin-yao-hou dan dengan pelor besinya
telah melukai Tjhi Djin-ho, kesemuanya itu adalah
perbuatannya seorang.
'Sian-koh, Pin-to sudah mengurung penjahat cilik itu dalam
panjara bawah tanah," begitu sahut Hian-hong atas
pertanyaan orang tadi. "Dulu orang yang merampas kereta di
hutan Tjo tidak lain adalah dia ini, sayang ketika itu Pin-to
datang terlambat hingga ia keburu bisa melarikan kereta,
hanya dari Ie Djan didapat keterangan bahwa oleh kawankawannya
ia diteriaki sebagai 'Siau Kim-kong'. Beberapa hari
yang lalu bersama perempuan terkutuk Bun Sui-le datang ke
sini lagi, kedua Si-we-ya (tuan bayangkara) ini malam itu telah
bergebrak dengan mereka, tentu mereka mengetahui asalusulnya!"
Karena diri mereka disinggung, seketika Li Ngo menjadi
tergagap. "Tjayhe pun tidak mengetahui siapa nama jahanam ini,"
sahutnya pada akhirnya. "Hanya diketahui bahwa dia adalah
anak murid dari Go-bi-pay, dan kali ini ikut Giok-bin-yao-hou
ke sini untuk membunuh Kui-taydjin."
Mendapat penuturan itu, tiba-tiba Ang-koh menjadi teringat
pada waktu malam-malam ia mengintai ke Mo-dji-tje di
Soatang dahulu, ia melihat seorang pemuda yang mirip
dengan Teng Hong-ko, orang yang menyamar sebagai imam
hari ini, kalau ia membayangkan pun rada mirip juga.
Maka lantas ia berkata pada Njo Djun berdua, "Djiwi silakan
mengaso saja, penjahat yang tertangkap itu baiklah besok
boleh Djiwi giring kembali ke ibukota."
Setelah itu Njo Djun dan Li Ngo mengundurkan diri.
"Kedatangan Totiang kali ini, siapakah yang hendak
ditemui?" tanya Ang-koh pada Hian-hong setelah tinggal
mereka berdua. Maka berceritalah Hian-hong mengenai perjanjiannya
bertemu dengan Boan-liong Kiam-khek.
"Boan-liong sendiri asalnya juga anak murid dari Khongtong-
pay, hanya belakangan ia masuk ke dalam Djing-Iionghwe,"
Hian-hong menambahkan lagi.
"Sungguh aku tidak mengerti mengapa Tjiangkau begitu
jeri padanya, kalau ia betul-betul berani berlawanan dengan
Pek-lian-kau, tatkala itu ia bisa memohon ketujuh Tjindjin dari
tujuh gua Khong-tong untuk meringkusnya dan dihukum,
bukankah itu lebih baik?" ujar Ang-koh.
Tjiangkau atau pejabat agama yang Ang-koh sebut tadi
adalah 'Thong-thian-kiu-tju' dari Pek-lian-kau, waktu itu imamimam
dari Khong-tong-pay sudah bersekongkol dengan Peklian-
kau. Dalam pada itu tiba-tiba Hian-hong teringat sesuatu.
"Sebelum aku menuju ke Hoa-san sini," katanya pada Angkoh.
"Diam-diam Tjiangkau memberitahu padaku bahwa ia
orang tua dalam waktu singkat ini akan menyambangi para
Tjindjin di Khong-tong-san, kalau Sian-koh keburu datang,
dalam sebulan pun diminta menemuinya di sana!"
"Kebetulan sekali kedatangan Tjiangkau, aku justru hendak
melaporkan tentang kehilangan Thian-hu itu," sahut Ang-koh
dengan girang. Begitulah setelah mereka berdua mengobrol lagi, cuaca
sudah mulai gelap, dengan alasan masih ada urusan lain,
lantas Hian-hong memohon diri dan kemudian turun dari atas
loteng. Kembali mengenai diri Teng Hong-ko, setelah pemuda ini
kena dibekuk oleh Hian-hong, ia dikurung pula ke dalam
penjara, jalan darahnya yang tadinya tertotok, kini sudah
lancar kembali, ketika membuka matanya, ia lihat kedua
kakinya sudah dirantai orang.
Penjara ini adalah tempat yang sama seperti tempo hari ia
dikurung, sejak Giok-bin-yao-hou berhasil menolong dirinya,
karena takut peristiwa itu terulang pula, kali ini khusus dikirim
dua orang penjaga untuk menjaga di luar pintu penjara,
penjaga-penjaga ini adalah bawahan Tui-hun-djiu Njo Djun,
mereka diperintahkan begitu ada orang hendak merampas
tawanan, boleh seketika membereskan jiwa Hong-ko.
Dalam pada itu terdengar di luar kamar penjara ada suara
percakapan orang yang pelahan, menyusul mana pintu jeruji
besi dari kamar penjara itu dibuka oleh penjaga, kemudian
ada pula orang yang masuk ke dalam dan pintu penjara pun
ditutup kembali.
Waktu Hong-ko mencoba memandang, ia lihat yang masuk
ini adalah seorang kacung, kepalanya memakai ikat kain,
pakaiannya ringkas, usianya masih di bawah dua puluhan,
tampaknya ia seorang pekerja di dalam kuil itu.
Di dalam kamar penjara terlalu gelap karena api lentera
yang remang-remang, sedang ikat kepala kacung itu diikat
hingga hampir menutupi mukanya, oleh karenanya tak begitu
jelas untuk melihat mukanya. Hanya terlihat kacung ini
menjinjing sebuah bakul barang, setelah sampai di depan
Hong-ko lantas ia meletakkan bakulnya, sudah itu dengan
membelakangi sinar lentera dengan mata tanpa berkedip terus
saja ia mengamat-amati Hong-ko.
Nampak kelakuan orang itu, Hong-ko pun tidak ambil
pusing. Tak ia duga mendadak kacung itu malah membuka
suara lebih dahulu.
"Apakah kau ini saudara Siau Kim-kong" Laparkah
perutmu?" tanyanya, suaranya halus lembut tetapi rada
lemah. Mengetahui orang tidak mengandung maksud jahat, maka
Hong-ko pun lantas mengangguk-anggukkan kepalanya
sebagai jawaban.
Maka kacung itu lantas mengeluarkan beberapa macam
penganan dan seceret wedang.
"Saudara, inilah barang-barang yang ingin aku berikan
padamu," katanya kemudian sambil menaruh barang-barang
tadi ke lantai. Kemudian ia menyambung, "Tadi mendengar
logat suaramu, tampaknya kau seperti berasal dari daerah
selatan Kang-say, kalau begitu mungkin kita adalah
sekampung halaman!"
Mendengar itu Hong-ko jadi tercengang sejenak, ia tidak
menduga cara bagaimana bisa bertemu dengan orang
sekampungnya. "Saudara juga orang dari daerah selatan Kangsay?"
tanyanya kurang percaya. Ia berkata dalam logat kampung
halamannya di daerah sekitar Bwe-kang.
"Ya, bahkan aku adalah orang dari Tjiok-ge-tjun, entah
saudara asal dari kampung mana?" sahut kacung itu.
Diam-diam Hong-ko menjadi terkejut mendengar suara
perkataan orang ternyata sama logatnya dengan dia sendiri,
lekas ia mencoba memandang orang lebih terang, namun
kacung itu menunduk ke bawah buat menuangkan
minumannya. Mendadak Hong-ko mencium pula bau wangi, hatinya jadi
bertambah tidak mengerti, namun ia tidak berani
menerangkan bahwa dirinya pun berasal dari kampung Tjiokge-
tjun. "Banyak terima kasih atas pelayanan saudara ini," sahutnya
kemudian. "Aku adalah orang dari Tiang-sing-si, sejak kecil
sudah merantau di Kangouw, hari ini aku tertangkap oleh
Hian-hong, aku kira maksud baik saudara hanya akan sia-sia
saja." Seketika kacung itu ternyata tidak menjawab, ia hanya
mengangsurkan makanan ke tangan Hong-ko. Pemuda ini pun
tidak menolak, lantas ia makan seadanya.
"Kau tidak seharusnya bersama Giok-bin-yao-hou ke sini
buat mencari setori pada Toaya kami, kalau kau mau
menerangkan asal-usulmu, mungkin aku masih bisa
mencarikan orang buat menolongmu," kacung itu berkata lagi.
"Siapa yang mampu menolong aku keluar dari sini?" ujar
Hong-ko sambil menghela napas. "Hian-hong menangkap aku
sebagai seorang tawanan kerajaan, kecuali kalau saudara suka
membantu mengirimkan kabar keluar bagiku!"
"Kau ingin aku mengirimkan kabar kemana?" tanya kacung
itu mendadak. "Kalau aku bisa melaksanakan, pasti akan aku
lakukan." Akan tetapi Hong-ko masih ragu-ragu, ia tidak lantas
memberitahukan.
"Sudah terlalu lama aku berada di sini, lekas kau katakan!"
sementara kacung itu mendesak pula.
Sejenak itu Hong-ko menjadi bingung dan ragu-ragu, dari
mulurnya ia hanya mengatakan "Pek-lian-am" tiga suku kata
saja, tetapi mendadak ia sadar bahwa kacung ini agak
mencurigakan, maka tidak ia teruskan perkataannya.
Namun si kacung pun tidak bertanya lebih lanjut.
"Sudahlah, aku harus pergi dari sini, makanan ini
kutinggalkan untukmu saja," katanya, terus saja ia menjemput
bakulnya dan hendak pergi.
"Tadi aku lupa bertanya padamu," tiba-tiba ia menoleh pula
sebelum pergi. "Di Tjiok-ge-tjun ada seorang guru silat
bernama Teng Ling, apakah saudara kenal dia?"
Terperanjat sekali Teng Hong-ko tatkala mendadak
mendengar orang menyebut nama ayahnya, meski kedua
kakinya terbelenggu, namun tubuhnya masih bisa bergerak,
maka segera ia mencoba melompat naik, tiba-tiba dengan tipu
'Pek-ho-liang-sia' atau bangau putih mengunjuk sayap, tangan
kirinya menyambar ke atas kepala orang dengan cepat, ia
bermaksud menyingkap ikat kepalanya.
Gerak tubuh Hong-ko cukup cepat, tak ia duga cara kacung
itu berkelit jauh lebih cepat lagi, dengan sedikit berjongkok,
dengan gampang saja ia menghindarkan serangan pemuda
itu. "Siapa kau?" bentak Hong-ko.
Berbareng itu ia maju selangkah meski kakinya terantai,
sesudah itu dari samping ia mengirim pukulan pula dengan
sebelah telapak tangannya, dengan tipu serangannya yang
mengandung cara Kim-na-djiu atau cara mencekal dan
menawan ini, ia menyambret dada kacung itu dengan gaya
'Hun-tiong-dju-goat' atau menyangga rembulan di antara
awang-awang. Namun kacung itu keburu mengegos ke samping, menyusul
kemudian dengan baku! yang ia pegang terus saja diayunkan
ke muka Hong-ko untuk menghalau serangannya, kemudian
dengan cepat ia melompat ke dekat pintu kamar penjara.
"Dasar manusia tak berbudi!" dampratnya kemudian sambil
mendorong pintu penjara, terus saja ia melompat keluar.
Menyaksikan orang sudah pergi, baru Hong-ko sadar
bahwa tentu yang menyamar sebagai kacung ini ialah Angkoh,
kalau melihat gerak tangannya tadi, terang ia bukan
seorang kacung biasa saja. Tampaknya Ang-koh ini pasti
adalah Pek Eng-dji adanya, hal ini sudah tidak usah diragukan
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Begitulah, dalam lamunannya tanpa terasa ia sudah
tertidur. Keadaan mana entah sudah lewat berapa lama lagi, ketika
dalam tidurnya yang layap-layap itu, mendadak ia merasa
seperti ada orang sedang menggoyang-goyang padanya,
waktu ia membuka matanya, tertampaklah kacung tadi sedang
mendekam di sampingnya.
Hong-ko menjadi gusar, tiba-tiba kakinya mendupak sambil
menggertak, "Enyahlah kau!"
Akan tetapi belum sampai kakinya mengenai orang, cepat
sekali dengan gerakan 'Ho-ping-kiu-li' atau merebah di tanah
es mengharapkan ikan mas, orang itu berkelit pergi,
berbareng tangan kanannya terus diulur maju lagi, segera ia
sudah berhasil mencekal kaki Hong-ko, sedang sebelah
tangannya yang lain ia mendekap mulut orang pula.
"Sssst, apa kau sudah gila" Akulah yang ada di sini!" seru
orang itu dengan suara tertahan.
Ketika Hong-ko menegasi, ternyata orang yang berhadapan
dengan dia kini ialah Boan-liong Kiam-khek, karena itu ia
menjadi terperanjat. Ia mengucek matanya, mengira dirinya
masih dalam alam mimpi, dalam pada itu Boan-liong sudah
menarik dirinya bangun, barulah ia mengetahui pula bahwa
belenggu kakinya sudah sejak tadi terlepas.
"Bagaimana Tayhiap bisa mengetahui aku berada di sini?"
tanya Hong-ko dengan cepat.
Boan-liong tidak lantas menjawab, sebaliknya ia menarik
Hong-ko dan terus diajak berangkat.
"Mari lekas kita pergi!" desaknya.
Kembali Hong-ko bertanya dimana adanya Bun Sui-le.
Dengan menarik dirinya, Boan-liong membawanya kabur
melalui jalanan di bawah tanah rahasia itu dan berbareng di
tengah jalan ia memberitahukan pengalamannya bagaimana
bisa masuk ke dalam penjara rahasia tersebut.
Kiranya sesudah Hong-ko berangkat, hal mana sangat menguatirkan
Giok-bin-yao-hou Bun Sui-le.
Setelah menunggu sepanjang hari Hong-ko masih tetap
belum kembali juga, kemudian Boan-liong pun pergi keluar
buat mencari berita, maka ia lebih-lebih merasa kualir dan
gugup, akhirnya seorang diri ia meninggalkan Pek-lian-am
juga. Sampai malam harinya, ketika Boang-liong kembali ke kuil
itu dan tidak menemukan Bun Sui-le, maka tahulah dia, pasti
gadis itu telah pergi lagi ke Tjui-hun-kiong buat berusaha
menolong Teng Hong-ko.
"Dengan Hian-hong bertiga saja Giok-bin-yao-hou bukan
tandingan mereka, apalagi kini ditambah seorang Ang-koh, kepergiannya
kini pasti banyak bahayanya daripada
selamatnya!" begitu ia berpikir.
Karena itu, segera juga ia berangkat malam-malam sampai
di Tjui-hun-kiong, lebih dulu ia pergi menghadap Tji-hun Tjindjin,
imam tua ini menganggap orang terlalu suka ikut campur
urusan lain, namun belakangan ia tidak tahan juga oleh
permohonan Boan-liong yang sungguh-sungguh itu, akhirnya
ia memberitahu juga jalanan rahasia di bawah tanah yang
menuju ke kamar penjara itu.
Sesudah Boan-liong masuk ke dalam jalan di bawah tanah,
pada suatu ruangan ia lihat ada seperangkat pakaian dan ikat
kepala serta sebuah bakul makanan, ia menduga tentu
tinggalan petugas pengantar makanan, maka lantas ia
menukar pakaiannya dengan pakaian yang sudah tersedia itu
dan menyamar sebagai seorang kacung, waktu berhadapan
dengan penjaga, ia dikira Ang-koh yang datang kembali, maka
tanpa susah-susah lagi segera penjaga membukakan pintu,
tetapi pada kesempatan itu juga Boan-liong menotok roboh
kedua penjaga itu dan dengan leluasa ia bisa masuk ke dalam
buat menolong Hong-ko.
Begitulah, sesudah Hong-ko mendapat tahu bahwa karena
hendak menolong dirinya maka tanpa menghiraukan bahaya,
seorang diri Bun Sui-le berkunjung ke Tjui-hun-kiong lagi dan
belum diketahui bagaimana keadaannya, segera hatinya
menjadi kuatir dan tidak tenteram.
Sementara itu mereka sudah sampai di luar, Boan-liong
berniat membawa Hong-ko terus hendak berangkat kembali,
namun pemuda ini ternyata menolak.
"Tidak, aku tidak bisa pergi begitu saja!" ujarnya.
"Dengan tidak memikirkan bahaya aku datang
menolongmu, sebentar lagi Hian-hong dan kawan-kawan pasti
akan mengejar kemari, apakah kau ingin jatuh ke tangan
mereka pula?" sahut Boan-liong mendongkol.
"Aku bersedia tertangkap pula oleh imam tua Hian-hong itu
daripada aku harus membiarkan Bun-tjetju jatuh ke dalam
mulut macan!" kata Hong-ko lagi berkeras.
"Kita belum tahu dengan pasti apakah dia telah datang ke
Thui-hun-kiong lagi, lebih baik kita kembali dahulu untuk
memikirkan cara yang paling baik!" ujar Boan-liong pula.
"Tidak," sahut Hong-ko tetap keras kepala. "Bun-tjetju
tentu telah datang ke sini lagi, ia tidak berhasil menolong aku
tentu banyak kemungkinan sudah jatuh di tangan Hian-hong."
Karena tak berdaya menginsyafkan pemuda ini, terpaksa
Boan-liong menuruti keinginannya, berbareng mereka
melompat naik ke atas istana rumah biara itu, mereka lihat
gedung-gedung kompleks Tjui-hun-kiong itu berderet-deret
penuh dengan ruangan dan kamar, tetapi tiba-tiba mereka
mendengar ada suara gemerincing beradunya senjata tajam
yang berkumandang dari jauh.
Mendengar suara itu Boan-liong mengerti tentu ada orang
sedang bertempur, dari suara getaran senjata yang
berkumandang itu, dapat ia duga yang sedang bertarung itu
pasti tergolong ahli semua, maka mereka berdua lantas
menuju ke tempat datangnya suara tadi.
Bercerita tentang Ang-koh, sesudah gadis ini menyaru
sebagai kacung dalam rumah biara itu untuk memeriksa
tawanan dalam kamar tahanan, ia mengetahui bahwa
tawanan itu memang bukan lain ialah Teng Hong-ko.
Dengan perasaan bimbang dan penuh kemasgulan
kemudian ia kembali ke kamarnya.
Di luar dugaannya, begitu ia menyingkap kerai untuk
masuk ke kamar, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat,
segera ia dipapaki dengan sinar pedang yang menuju ke
mukanya. Kepandaian Ang-koh memang tidak lemah, ketika
mendadak nampak pedang musuh menyerang padanya,
segera juga ia merobohkan diri ke belakang dan dengan sekali
berjumpalitan berbareng ia melolos keluar juga pedangnya.
Kemudian setelah ia mengetahui bahwa yang menyerang
mendadak padanya itu bukan lain ialah Giok-bin-yao-hou Bun
Sui-le, keruan saja ia menjadi murka.
Sementara itu setelah tusukannya tadi luput, segera Giokbin-
yao-hou mundur ke belakang.
"Perempuan siluman, perempuan tak tahu malu, lekas kau
katakan, dimana kau sembunyikan suamiku Teng Hong-ko?"
dampratnya kemudian dengan menuding Ang-koh.
Dengan kata-katanya ini memang Bun Sui-le telah
membikin gusar Ang-koh, memangnya ia sudah mengetahui
dari cerita Hong-ko bahwa Pek Eng-dji sejak kecil sudah
dipertunangkan dengannya, oleh sebab itu sengaja di hadapan
Ang-koh ia menyebut Hong-ko sebagai suaminya, dengan
begitu ia ingin mengetahui reaksi Ang-koh, apakah gadis ini
Pek Eng-dji adanya.
Pancingannya ini ternyata berhasil, karena mendadak Angkoh
makin murka hingga matanya mendelik dan alisnya
berdiri. "Perempuan jahanam tak punya muka, siapa yang
menyembunyikan gendakmu, nonamu hanya menangkap
seorang penjahat cilik bernama Siau Kim-kong, kalau kau
mampu boleh kau membawanya pergi!" gertaknya sengit.
Namun Giok-bin-yao-hou pun tidak banyak bicara lagi,
dengan sekali bergerak, pedangnya segera menyerang lagi.
"Lihat senjata, perempuan siluman!" bentaknya juga.
Dengan cepat Ang-koh melompat ke atas dengan gaya
'Wan-kau-siang-djiu' atau kera memanjat ke atas pohon, ia
menghindarkan babatan itu dengan tipu 'Ya-tjhe-tam-hay'
atau setan dayang meronda ke laut, ia menangkis senjata
orang pula. Namun Bun Sui-le sudah merubah serangannya pula,
secara bertubi-tubi ia menghujani lawannya dengan berbagai
tipu serangan, tetapi Ang-koh tidak mengunjuk kelemahan,
apalagi yang dia latih adalah Bu-kek-kiam-hoat yang terkenal,
ia menjaga dirinya begitu rapat dan tiap-tiap gerak tipunya
aneh tetapi hebat.
Karena berada di goa macan, lagi pula ingin bisa lekas
memperoleh kemenangan, maka berulang-ulang Giok-bin-yaohou
mengeluarkan tipu-tipu serangan yang berbahaya dan
membawa resiko, karenanya ciri-ciri dan kelemahannya ini
dapat dipahami oleh Ang-koh yang melayaninya dengan
penuh semangat tetapi tenang.
Begitulah mereka bertarung dengan sengit, sesudah
bergebrak hingga beberapa puluh jurus, ternyata masih belum
nampak siapa yang bakal menjadi pecundang.
Lama kelamaan Ang-koh menjadi tidak sabar lagi, tiba-tiba
ia merubah ilmu pedangnya, ia mengeluarkan ajaran
perguruannya yang paling hebat.
"Perempuan rendah, hari inilah tibalah ajalmu!" bentaknya
sengit. Menyusul mana ia merubah serangan dengan gerak cepat
terus membacok.
Bun Sui-le yang memangnya sudah rada gugup karena
sudah begitu lama masih belum sanggup mengatasi lawannya,
kini kena dibikin marah oleh dampratan itu pula, segera ia
melompat naik berbareng itu dari atas senjatanya terus
menikam ke bawah, karena itu kedua senjata beradu dan
sama-sama tergoncang pergi.
Sesudah itu kembali Bun Sui-le merangsek lagi, beruntun ia
menyerang dua kali dengan tipu 'Giok-li-tjwan-tjiam' atau si
gadis ayu menisik jarum, terus dengan gerak tipu 'Liong-tingti-
tju' atau mengambil mutiara di atas kepala naga, ia
mendesak Ang-koh hingga terpaksa gadis ini harus main
mundur terus. Karena nafsunya untuk memperoleh kemenangan dengan
cepat, kembali Bun Sui-le merangsek maju lagi dengan gaya
"Thio-hui-tui-tjo' atau Thio Hui mengejar Tjo Tjho, serangan
ketiganya segera menyusul lagi.
Tidak ia duga bahwa Ang-koh tadi sengaja mengalah dua
serangan padanya, maksudnya tidak lain ialah sebagai
pancingan belaka, ia sengaja memancing Bun Sui-le masuk ke
suatu pojok yang tidak menguntungkan, setelah itu pada
waktu tusukan ketiga Bun Sui-le tiba, segera ia sedikit
berjongkok dan meng-kerutkan tubuh, menyusul mana
dengan gerak tubuh yang bagus dan secepat kilat, tiba-tiba
sinar pedangnya berkelebat.
Tipu serangannya ini begitu cepat, lagi di luar perhitungan
Bun Sui-le, karena sedikit terlambat saja, seketika itu juga
sebelah tangannya sudah terkurung oleh senjata Ang-koh
hingga mengucurkan darah, dengan sekali jeritan ngeri,
segera ia jatuh terguling.
Pada saat lengan Bun Sui-le hampir terkurung tadi, tibatiba
di luar ruangan itu ada bayangan orang berkelebat,
bayangan yang tinggi besar itu secepat kilat menerobos
masuk melalui jendela dan terus memburu ke samping Angkoh
dengan maksud hendak menangkis serangannya tadi.
Tak tersangka gerak serangan Ang-koh tadi begitu cepat,
maka pada waktu pedang orang itu diangkat hendak
menangkis, tahu-tahu sebelah tangan Giok-bin-yao-hou sudah
terkutung putus lebih dulu.
Menampak ada orang secara mendadak hendak menghalau
serangannya tadi, lekas Ang-koh mundur ke belakang, waktu
ia menegasi, ternyata yang datang sekonyong-konyong ini
bukan lain ialah Hong-ko.
Sementara itu terlihat Hong-ko melompat maju untuk memayang
Giok-bin-yao-hou yang tampak sudah sempoyongan.
"Kenapakah kau?" teriak pemuda itu.
Menyaksikan kerapatan hubungan kedua orang itu,
mendadak timbul juga rasa cemburu Ang-koh, ia menjadi
kalap, ia menubruk maju lagi terus membabat dengan
pedangnya. Namun Hong-ko keburu mengegos ke samping sambil
melindungi diri Giok-bin-yao-hou, sedang pedangnya terus
diangkat untuk menangkis, begitu kuat tenaganya hingga Angkoh
tergetar mundur.
"Eng-dji, tidak nyana kau telah berubah hingga seperti ini,
kalau kau mendesak aku lagi, jangan kau salahkan aku tak
berbudi!" damprat Hong-ko kepada Ang-koh dengan muka
muram, tetapi sinar matanya bengis.
Teng Hong-ko adalah anak murid dari Go-bi-pay, walau
Lwekangnya belum setara Hian-hong dan kawan-kawan, tetapi
kiam-hoatnya pun bukan kaum lemah lagi.
Karena gertakan orang tadi, sekejap itu Ang-koh menjadi
jeri dan roman mukanya pun kemerah-merahan.
Sudah belasan tahun gadis ini berkecimpung di dalam Peklian-
kau atau perkumpulan agama Teratai Putih ini. Karena
hubungannya itu, lambat-laun wataknya sudah banyak
berubah dan lupa akan asal-usul dirinya, suka duka di masa
anak-anak pun sudah ia lupakan.
Tetapi kini setelah kena digertak oleh Hong-ko tadi, tibatiba
ia seperti dikemplang sekali, dalam hati kecilnya segera
timbul sedikit kenangannya pada masa dulu. Sebenarnya ia
mencintai Hong-ko semenjak ia kenal apa artinya asmara itu,
dalam beberapa tahun ini karena kabar beritanya terputus,
sedang di dalam Pek-lian-kau kedudukannya makin hari makin
menanjak juga, maka tiada kesempatan buat dia untuk
memikirkan perkara hubungan pemuda-pemudi. Ditambah lagi
ikatan peraturan da-iam Pek-lian-kau yang terlalu keras,
umumnya bagi golongan pemimpin, soal perjodohan mereka
harus diputuskan juga oleh ketua agama mereka dan tidak
boleh sembarangan mengikat diri dengan orang di luar
perkumpulan agama, kalau peraturan ini dilanggar bisa
dihukum mati. Oleh sebab itu, meski kadangkala Ang-koh terkenang pada
Teng Hong-ko juga, namun tak berani ia mengatakan pada
Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang lain, tetapi sebenarnya dalam hati senantiasa terukir
bayangan Hong-ko.
Melihat gadis ini termenung-menung serta berdiri di
tempatnya tadi dengan menunjukkan wajah kemalu-maluan,
Hong-ko mengerti hati gadis ini masih belum tersesat
seluruhnya. Maka ia pun tidak mengurus padanya sebaliknya lantas ia
merobek sebagian kain bajunya sendiri untuk membalut luka
Bun Sui-le dan menotok jalan darahnya untuk menghentikan
darah mengalir lebih banyak.
Dengan mata memandang padanya, Ang-koh sepatah kata
pun tidak buka suara, sampai akhirnya terdengar ia menghela
napas. "Hong-ko, baiklah, boleh kau bawa dia pergi!" katanya
kemudian dengan melambaikan tangan.
Habis berkata, lantas ia memutar tubuhnya terus masuk ke
belakang kerai, betapa pilu rasa hatinya, air matanya pun berlinang-
linang membasahi kedua pipinya, namun hal ini sama
sekali tidak terlihat oleh Hong-ko.
Dalam pada itu Giok-bin-yao-hou yang terluka parah,
napasnya sudah sangat lemah. Hong-ko mengangkat
tubuhnya terus digendong, kemudian ia melompat keluar dari
ruangan itu. Mendadak dari tempat gelap memapaki sesosok bayangan
orang, dengan cepat Hong-ko mengangkat senjatanya sambil
menanti musuh, namun segera terdengar orang itu memberi
tanda dengan suitan, ternyata orang ini ialah Boan-liong Kiamkhek.
Tadi waktu mereka berdua menyusul ke sini, mereka
mengerti di atas loteng itu sedang terjadi pertarungan sengit,
tentu Ang-koh telah memergoki Bun Sui-le, maka Boan-liong
lantas berkata pada Hong-ko sambil menyerahkan pedangnya,
"Coba kau menyaksikan ke atas, aku tidak ingin dilihat oleh
Ang-koh dan tentu akan menanam bibit pertikaian dengan
Pek-lian-kau!"
Begitulah, setelah menerima pedang orang segera Hong-ko
melompat masuk ke ruangan dimana sedang terjadi
pertarungan seru antara Ang-koh melawan Bun Sui-le, tetapi
akhirnya kedatangannya tetap juga terlambat selangkah.
Kini melihat yang datang ialah Boan-liong, barulah hati
Hong-ko menjadi lega.
Demi melihat Bun Sui-le terkutung sebelah lengannya,
Boan-liong pun ikut terkejut.
"Sayang aku agak terlambat sedikit, kalau tidak, di
hadapanku mungkin Ang-koh tidak nanti begitu kejam," ujar
Hong-ko dengan penuh penyesalan.
"Lukanya parah sekali, dari sini kembali ke Pek-lian-am
masih harus ditempuh belasan li lagi, bagaimana ini baiknya?"
kata Boan-long yang merasa kuatir.
Tiba-tiba Hong-ko teringat akan sesuatu, ia meraba-raba ke
pinggangnya, ternyata masih ada tersisa dua butir obat pil
bikinan Go-bi-san yang tidak kena digeledah oleh Njo Djun.
Lekas ia mengeluarkan pil itu untuk dicekokkan pada Giokbin-
yao-hou, namun gadis ini ternyata sudah tak mampu
menelan lagi. "Jangan kau sungkan-sungkan lagi, kalau tidak lekas kau
obati dia, mungkin ia sudah tak tahan untuk kembali ke sana,"
ujar Boan-liong.
Hong-ko melihat di bawah ada sungai kecil, maka lekas ia
merebahkan Giok-bin-yao-hou, lebih dulu ia mengunyah
hancur obat pilnya terus dari mulut ke mulut ia melolohi gadis
itu, habis itu ia berkumur dengan air sungai terus dicekokkan
ke mulut Bun Sui-le secara pelahan-lahan.
Lewat tak lama kemudian, Giok-bin-yao-hou dengan pelahan
sudah bisa menggerakkan lehernya.
"Auuh!" begitu ia membuka matanya, ia sudah menjerit
kesakitan. Melihat gadis ini sudah mendusin, mereka berdua menjadi
lega, maka mereka lantas melanjutkan perjalanan menuju
kembali ke Pek-lian-am.
Ketika mereka melintasi Djong-liong-nia atau bukit naga
tua, cuaca sudah mulai terang, dari sini mereka melanjutkan
perjalanan pula, tidak lama kemudian mereka sampai di kuil
yang dituju itu.
Pada waktu itu juga, tiba-tiba mereka mendengar di
belakang ada suara teriakan orang yang lagi mengejar
mereka, ketika mereka menoleh, ternyata yang memburu
datang ada lima orang, yang berjalan paling depan ialah
seorang yang memakai pakaian kebesaran yang mereka kenal,
adalah Tjhi Djin-ho, di belakangnya menyusul Hian-hong,
Hian-thian dan Hian-ang, ketiga imam Khong-tong-pay dan
yang berjalan paling belakang adalah Li Ngo.
Kiranya pada waktu Giok-bin-yao-hou menerobos masuk ke
Tjui-hun-kiong tadi dengan tujuan menolong Hong-ko, di
kamar belakang ia telah dipergoki oleh Hian-hong bertiga yang
sedang bersenang-senang minum arak dengan Tjhi Djin-ho, di
samping mereka masih terdapat pula lima atau enam orang
Ni-koh atau padri wanita, ada yang sedang memetik alat
musik dan ada pula yang lagi bernyanyi kecil.
Menyaksikan Pendekar Super Sakti 7 Pendekar Riang Karya Khu Lung Pendekar Kelana 5