Kilas Balik Merah Salju 3
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bagian 3
a, dinding penyekat yang membuat
perasaan sendiri susah untuk diungkap keluar dan
perasaan orang pun mustahil bisa menembus
masuk ke hatinya.
Oleh karena itu semakin sikapnya dingin dan
angkuh, semakin hampa perasaannya, makin
kesepian dan merana hatinya. Khususnya bila tiba
malam yang hening, sering dia merasa begitu
kesepian hingga nyaris menjadi gila.
Seringkah dia harus begadang karena susah
memejamkan mata, setiap kali begitu, dia hanya
bisa membelalakkan mata mengawasi kegelapan
malam di luar jendela hingga fajar menyingsing.
Sudah berapa kali dia ingin mencari pasangan
hidup yang bisa diajak meluapkan perasaan
kasihnya, menghilangkan rasa sepinya, saling
menghibur, saling mengungkap perasaan, namun
pada akhirnya dia tak berani melangkah lebih
jauh, dia tak berani mempersembahkan perasaan
sendiri. Belakangan dia seringkah merasa menyesal,
menyesal mengapa sikapnya terhadap Cui long
begitu keji, bisa jadi selama hidup hanya Cui long
seorang yang dicintainya, namun dia tak pernah
mau mengakui kenyataan itu.
Heran, mengapa manusia selalu tak pernah
bisa menghargai dan menyayangi perasaan yang
telah diperolehnya, mengapa baru dia menyesal
setelah kehilangan" Penderitaan semacam ini tak
disangkal merupakan penderitaan paling kuno
dan paling mendalam bagi umat manusia sejak
zaman dahulu kala.
Cahaya terang mencorong masuk dari luar
jendela, menyinari tubuh Pho Ang-soat yang
masih berbaring di atas ranjang.
Mengawasi orang itu, kembali pandangan sedih
melintas di wajah Yap Kay, sesungguhnya dia
sama sekali tak punya hubungan dengan orang
itu, dia memang hanya seorang biasa,
tapi dikarenakan keegoisan generasi
sebelumnya, karena dendam kesumat yang
keliru, dia telah diubah menjadi sebuah alat balas
dendam, alat balas dendam bagi kepentingan
orang itu. Walaupun kemudian Yap Kay mengungkap
rahasia itu, sayang sikap dan mental sebuah alat
balas dendam telah telanjur melekat di tubuh Pho
Ang-soat, membuat Yap Kay tidak mampu lagi
untuk menyelamatkan nya, tak mampu
mengubahnya....
Kembali Yap Kay meneguk araknya, sampai
lama kemudian baru ia bicara lagi, "Sebetulnya
Kongsun Toan termasuk jagoan temperamen,
kasar dan berangasan, tapi aneh, Kongsun Toan
yang muncul kali ini sama sekali berbeda, apakah
kau pun merasakan hal ini?"
Pho Ang-soat hanya mendengarkan, tanpa
menjawab. "Setelah menemukan Buyung Bing-cu tewas di
kamarmu, bukan saja dia tidak menyebar luaskan
berita ini, malah secara diam-diam menyingkirkan
jenazah dan membersihkan kamarmu. Bahkan
pagi tadi Be Khong-cun menegurmu, dia tak
pernah mengucapkan sepatah katapun, bahkan
sampai kau dipaksa turun tangan pun, Kongsun
Toan tak pernah menampilkan diri."
Ditatapnya wajah Pho Ang-soat lekat-lekat,
kemudian tambahnya, "Dari tindak-tanduknya
yang di luar kebiasaan, kesimpulan apa yang bisa
kau ambil?"
"Aku sedang mendengarkan," jawab Pho Angsoat.
"Aku lihat tujuan Ban be tong tak bakal
sesederhana itu, hanya bertujuan membunuh kita
berdua," ujar Yap Kay lagi, "kelihatannya mereka
lebih menitik beratkan pada kemunculannya
kembali dalam Bu-lim, mereka pasti mempunyai
rencana busuk yang lebih besar."
"Rencana busuk" Rencana busuk apa?"
Setelah meneguk kembali araknya, Yap Kay
baru berkata, "Bila Ban be tong ingin tampil
kembali ke dalam dunia persilatan, berapa banyak
uang yang dibutuhkan" Jangankan begitu besar
bangunan di tempat ini bisa pulih kembali
kemegahannya dalam semalam, cukup dari Be
Khong-cun sekalian, benarkah mereka hidup
kembali dari kematian?"
Yap Kay menertawakan diri sendiri, lalu
katanya lebih jauh, "Jangankan kau, aku
sendiri pun tidak percaya, tapi kita pasti sudah
melihatnya dengan jelas bahwa orang-orang itu
bukan hasil penyaruan orang lain, mereka benarbenar
adalah kelompok yang dulu."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Pagi tadi
aku telah bertemu Siau Piat-li, menurut
pendapatnya, hidupnya kembali orang-orang itu
lantaran terpengaruh oleh kemunculan komet
yang terjadi setiap tujuh puluh enam tahun satu
kali." "Terpengaruh komet?"
"Menurut dia, terdapat semacam kekuatan
misterius yang maha dahsyat hidup dalam alam
jagad kita, dan kekuatan misterius itu setiap
tujuh puluh enam tahun satu kali akan
terpengaruh oleh kehadiran komet itu," kata Yap
Kay sambil tertawa, "karena kekuatan misterius
itulah orang-orang yang telah mati bisa hidup
kembali." Kemudian sambil menatap rekannya ia
bertanya, "Apakah kau percaya?"
Pho Ang-soat tidak langsung menjawab, dia
berpikir sebentar, kemudian baru menyahut,
"Ternyata pernyataan Siau Piat-li mirip sekali
dengan perkataannya."
"Perkataan siapa?" "Yan Lam-hui!"
"Yan Lam-hui?" Yap Kay tertegun, "Yan Lamhui
si penerus Kongcu-ih?"
"Benar."
"Bukankah dia pun sudah mati, mati di ujung
golokmu sejak lima tahun berselang?"
"Sudah begitu banyak anggota Ban be tong
yang bangkit lagi dari kematian, apalagi hanya
seorang Yan Lam-hui," kata Pho Ang-soat
hambar. "Benar juga perkataanmu," Yap Kay tertawa
geli, "kapan kau bertemu dengannya" Apa saja
yang dia katakan?"
Pho Ang-soat pun segera bercerita bagaimana
sekembalinya ke kamar semalam ia mendengar
suara nyanyian, bagaimana melakukan
pengejaran dan di sebuah gundukan tanah
menjumpai peristiwa yang sangat aneh,
kemudian Yan Lam-hui muncul....
Matahari telah tenggelam di langit barat, awan
keabu-abuan mulai menyelimuti seluruh angkasa,
cahaya lentera mulai terlihat dari tempat
kejauhan sana. Pho Ang-soat belum menyulut lentera di dalam
kamarnya, mereka berdua masih tenggelam di
balik keremangan cuaca.
Sehabis mendengar penuturan Pho Ang-soat,
Yap Kay segera terjerumus dalam pemikiran yang
mendalam, alisnya berkerut kencang, secercah
cahaya mulai muncul dari balik matanya yang
cekung. Pho Ang-soat pun membungkam setelah selesai
menceritakan pengalamannya, dengan tenang dia
mengawasi Yap Kay, menunggu kesimpulan apa
yang akan diambil rekannya itu.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya dia
mengambil poci arak dan meneguk isinya,
kemudian baru berkata, "Gumpalan cahaya yang
memancar keluar dari balik gundukan tanah
berubah menjadi Yan Lam-hui" Benar-benar
peristiwa yang tak masuk akal, andaikata bukan
kau alami dengan mata kepala sendiri, siapa pun
tak bakal percaya."
"Aku yang mengalami sendiri peristiwa itu pun
tidak percaya, apalagi hanya mendengar dari
cerita orang."
"Konon di tempat kita hidup sekarang masih
terdapat dunia lain, pernyataan seperti ini mirip
pernyataan Siau Piat-li yang mengatakan terdapat
satu kekuatan misterius dalam kehidupan kita."
Yap Kay tertawa.
"Menurut pernyataan Yan Lam-hui, agar bisa
memasuki dunia keempat, seseorang harus mati
terlebih dulu," ungkap Pho Ang-soat, "berarti
semua penghuni dunia keempat adalah orangorang
yang bangkit kembali dari kematian."
"Mungkin semacam Be Khong-cun sekalian?"
Yap Kay menghela napas panjang, "tampaknya
kita hanya bisa melihat peristiwa itu sebagai
sebuah kenyataan"
"Kenyataan apa?"
"Kenyataan bahwa di tempat kehidupan kita
memang benar-benar terdapat semacam
kekuatan misterius yang maha dahsyat, bahwa di
sisi kehidupan kita masih terdapat dunia lain yang
disebut dunia keempat," kata Yap Kay sambil
tertawa, "kalau tidak, alasan tepat apa lagi yang
bisa kita gunakan untuk menjelaskan semua yang
telah kita jumpai selama ini?"
Tampaknya hanya kesimpulan itu yang terasa
paling cocok sampai saat itu.
Yap Kay memandang sekejap cuaca di luar
jendela, ternyata hari telah malam, sudah
saatnya bersantap dan saatnya pula Pek Ih-ling
hendak berjumpa dengan semua orang.
"Sewaktu makan malam nanti, entah
permainan baru apa lagi yang akan
diselenggarakan Be Khong-cun?" ujar Yap
Kay sambil bangkit,
"dari situasi sore tadi, delapan puluh persen
orang yang bakal dipilih Pek Ih-ling pastilah kau."
Tidak menunggu Pho Ang-soat bicara, Yap Kay
menambahkan, "Cuma kau jangan keburu
senang, siapa tahu bakal muncul kejutan lain."
Habis berkata Yap Kay segera berlalu dengan
senyum di kulum, dia yakin mimik muka Pho Angsoat
saat ini pasti tak sedap dipandang. Bagi
orang itu, persoalan apa pun boleh dibuat bahan
gurauan kecuali masalah yang berhubungan
dengan laki perempuan.
Memandang bayangan punggung Yap Kay yang
menghilang di balik pintu, Pho Ang-soat menghela
napas panjang, gumamnya, "Kau keliru besar,
bila aku tak bisa menghadapi gurauan semacam
ini, mana mungkin aku bisa hidup hingga kini?"
"Kau pun keliru," tiba-tiba wajah Yap Kay
muncul kembali di depan pintu, "apakah kau tidak
merasa bahwa gundukan tanah itu merupakan
kunci dari semua rahasia yang ada?"
Bab 7. MANUSIA KERDIL
Santap malam diselenggarakan di ruang utama
Ban be tong. Ada sembilan orang duduk mengelilingi sebuah
meja bundar, sementara dua-tiga puluhan orang
berdiri di sekitarnya untuk melayani kebutuhan
tamu. Hidangan yang tersaji di meja pun tidak terlalu
banyak, paling hanya tujuh-delapan macam
masakan. Tentu saja semua masakan yang disajikan
adalah hidangan khas luar perbatasan, semuanya
lezat, tapi yang paling menarik perhatian Yap Kay
adalah sekuali kuah panas yang diletakkan persis
di tengah meja.
Dalam kuali itu hanya ada daging ayam
kampung yang dipotong ditambah arak keras dari
pinggiran kota, ketika dicampur di atas tungku,
uap panas yang mengepul segera menyebarkan
bau arak yang sangat keras.
"Hidangan macam apa ini?" tanya Yap Kay
setelah mencicipi sesuap kuah ayam arak itu.
"Inilah hidangan paling tersohor di pinggiran
kota," jawab Be Khong-cun sambil tertawa,
"orang menyebutnya ayam masak arak."
"Ayam masak arak" Wah, cocok benar nama
masakan ini."
Kemudian setelah mengambil semangkuk dan
menyuap, kembali tanyanya, "Kau bilang
hidangan ini tersohor di pinggiran kota, kenapa
waktu aku datang dulu tak pernah mencicipinya?"
"Sudah berapa lama kau tak pernah berkunjung
lagi ke sini?" tiba-tiba Hoa Boan-thian bertanya.
"Mungkin sepuluh tahun."
"Tak heran kau belum pernah mencicipinya,"
seru Hoa boan-thian sambil tertawa, "hidangan ini
baru tercipta tujuh tahun lalu, diciptakan tanpa
sengaja oleh Sam-lopan."
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tujuh tahun berselang?" "Tahun itu musim
dingin terasa luar biasa dinginnya, biar sudah
makan apa pun badan belum terasa hangat, tentu
saja minum arak bisa menghangatkan badan, tapi
kalau kebanyakan bisa mabuk," kata Be Khongcun
dengan bangga, "oleh sebab itu aku pun
mulai berpikir, bila kucampur arak keras dengan
ayam, selain tak memabukkan, juga dapat
membuat tubuh terasa hangat?"
"Maka kau pun mencobanya?"
"Betul, sejak saat itulah muncul hidangan baru
yang kunamakan ayam masak arak."
"Sayang sekali hidangan yang begini lezat tak
bisa dinikmati oleh Buyung-kongcu," kata Yap Kay
hambar, "aneh, kenapa tidak kulihat Buyung
Bing-cu" Apakah dia tidak diundang dalam
perjamuan ini?"
Kongsun Toan yang selama ini hanya
membungkam tiba-tiba berkata, "Sore tadi dia
harus buru-buru pulang karena mendapat surat
penting," "Semisal dia hadir di sini, dapat kupastikan dia
pun akan memuji kelezatan hidangan ini," kata
Yap Kay lagi sambil melirik ke arah Pho Ang-soat
sekejap. Paras muka Pho Ang-soat sama sekali tak
mengunjuk perubahan apa pun, dia bersantap
dengan wajah dingin, hanya saja ujung matanya
beberapa kali seperti sengaja tak sengaja melirik
ke arah Be Khong-cun.
Dalam pada itu, Be Khong-cun pun sedang
menatap wajah Kongsun Toan dengan penuh
amarah. "Mengapa kau tidak segera melaporkan
kejadian ini kepadaku?" tegurnya keras.
"Saat itu kebetulan Sam-lopan sedang tidur
siang," sahut Kongsun Toan sambil menunduk
kepala, "aku sendiri pun kebetulan sedang repot
sekali, hingga masalah ini jadi kelupaan."
"Aku harap kejadian seperti ini jangan terulang
lagi." "Pasti tak akan terulang."
Sekali lagi Be Khong-cun melirik ke arah
Kongsun Toan, setelah itu baru mengangkat
cawannya dan berkata kepada semua orang
sambil tersenyum, "Biarpun berkurang dengan
seorang Buyung Bing-cu, aku percaya ini tak
sampai mengurangi kegembiraan kalian."
"Terhadap diriku memang sama sekali tak
berpengaruh," kata Loh Loh-san tertawa, "usiaku
sudah tua, apa lagi yang bisa kuperebutkan?"
"Biarpun orang muda lebih tampan dan gagah,
sayang mereka belum mapan!" tiba-tiba Pek Ihling
berkata sambil tertawa.
"Oh, begitu rupanya!" sinar berkilat kembali
mencorong dari balik mata Loh Loh-san.
"Wah, itu berarti kaum muda harus lebih giat
bekerja, " sela Yap Kay sambil tertawa, "kalau
tidak, beberapa tahun kemudian bila semua nona
punya pikiran seperti Pek-siocia, kami bisa mati
mengenaskan."
"Memang sudah seharusnya begitu, anak muda
zaman sekarang selain ingin menang sendiri dan
bertindak semena-mena, nyaris tak ada kelebihan
lain." "Tapi bila kaum muda tidak cari menang
sendiri, jadi apa dunia persilatan saat ini?" kata
Yap Kay sambil tertawa, "bukankah begitu?"
"Biar muda, biar tua, semuanya memiliki
kebaikan dan kelebihan masing-masing," sela Be
Khong-cun sambil mengangkat cawan araknya,
"mari kita bersulang satu cawan!"
Begitu mendengar bersulang, tentu saja Loh
Loh-san yang paling gembira, tapi sayang takaran
minum orang ini sangat cetek, baru beberapa
cawan air kata-kata yang pindah ke dalam
perutnya, ia sudah mabuk berat.
Pada saat itulah tiba-tiba mereka mendengar
suara seruling berkumandang memecah
keheningan. Irama seruling itu lembut dan indah, nadanya
halus sedap didengar, tanpa terasa semua orang
terperana dibuatnya, semua orang dibuat terbuai
dan mabuk kepayang.
Dengan mata yang setengah meram Loh Lohsan
mengalihkan pandangan matanya ke arah
pintu, menyusul irama seruling yang merdu
merayu itu, dari balik kegelapan muncul dua
orang, dua orang kerdil.
Ya, benar-benar dua orang kerdil.
Yang seorang adalah seorang kakek kecil
sementara yang lain adalah nenek kerdil, mereka
mempunyai wajah yang kecil, hidung yang kecil,
mulut yang kecil dan seruling kemala putih yang
kecil pula. Yap Kay belum pernah menjumpai
manusia yang begitu kerdil, bagian mana pun
dari tubuh mereka memiliki bentuk yang jauh
lebih kecil. Walau begitu, bentuk tubuh mereka sempurna,
sedikit pun tidak nampak lucu atau jelek.
Si kakek kerdil memiliki wajah yang ramah
dengan rambut telah beruban, sementara si
nenek memiliki wajah halus, lembut dan amat
anggun, sepasang tangannya yang memegang
seruling kelihatan begitu halus dan putih, tak
ubahnya seperti seruling yang dipegang.
Siapa pun mau tak mau pasti akan mengakui
bahwa mereka berdua adalah pasangan serasi,
pasangan ideal.
Tak ada orang yang bersuara, begitu juga
dengan Yap Kay, barang siapa mendengar irama
seruling itu dari kemudian menyaksikan bentuk
badan mereka berdua, dapat dipastikan akan
termangu dan terperangah dibuatnya.
Hanya Pek Ih-ling terkecuali, begitu
menyaksikan kedua orang itu berjalan masuk,
sekulum senyuman gembira segera tersungging di
ujung bibirnya.
"Lo-siansing, Lo-thaythay, kenapa kalian pun
datang kemari?"
"Tentu saja kami harus kemari," jawab si kakek
kerdil sambil tertawa, "masalah ini adalah
masalah besarmu, bagaimana mungkin kami tidak
ikut kemari?"
Masalah besar" Masalah besar bagi Pek Ih-ling"
Apakah mereka berdua pun datang kemari
lantaran Pek Ih-ling sedang mencari calon suami"
Apakah si kakek kerdil pun ingin turut serta dalam
kompetisi ini"
Tiba-tiba Be Khong-cun berdiri, dengan sikap
sangat menghormat menjura kepada kakek kerdil
itu. Seolah terperanjat oleh penghormatan itu, si
kakek segera berkata, "Aku tak lebih hanya
seorang kakek biasa yang tidak berguna, buat
apa kau memberi penghormatan yang begitu
besar kepadaku?"
"Setelah berjumpa Hong-locianpwe, mana
berani aku bersikap kurang sopan?" sahut Be
Khong-cun dengan sikap lebih menghormat.
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik
mata Yap Kay, ditatapnya kakek kerdil itu dengan
terperanjat. "Hong-locianpwe?" gumam Yap Kay dengan
nada terkesiap, "apakah kau adalah Hong-loyacu
yang berjuluk Jian li hui hun, ban li cui gwe, sin
kiau bu im tui hong siu (seribu li terbang di awan,
selaksa li menangkap rembulan, kakek tanpa
bayangan pengejar angin)?"
Sambil tersenyum kakek kerdil itu manggutmanggut.
Kembali Yap Kay memandang ke arah nenek
yang memegang seruling kemala itu, kemudian
ujarnya lagi, "Hong siu gwe po (kakek angin
nenek rembulan) selamanya tak pernah
berpisah, berarti nenek adalah
Gwe-popo si nenek rembulan yang nama
besarnya telah tersohor di Seantero jagad"
"Tak kusangka anak muda ini meski masih kecil
umurnya namun memiliki pengetahuan yang
luas," puji Gwe-popo sambil tersenyum ramah.
"Cianpwe berdua bukannya menikmati hari tua
di loteng Poan-gwe-siu-lau, mau apa mendatangi
tempat terpencil yang sepi dan jauh dari
keramaian ini?" kata Be Khong-cun sambil
tertawa. "Apa tujuan Sam-lopan mengumpulkan orang
di sini malam ini" Bukankah karena masalah
perkawinan Pek-siocia, " tegur Tui hong siu sambil
tertawa. "Darimana kalian bisa tahu?" tanya Be Khongcun
agak melengak. "Tentu saja kami tahu" suara tawa Tui hong siu
semakin riang, "mana mungkin kami tidak
mengetahui persoalan seperti ini" Bukan begitu
Pek-siocia?"
"Ah, tak kusangka masalahku bisa mengusik
kehadiran kalian berdua," seru Pek Ih-ling
tertawa. "Anak Ling, jadi kau kenal baik kedua
Locianpwe ini?" tegur Be Khong-cun terperanjat.
"Dia adalah teman bermain catur Ong-supek,
ketika masih tinggal serumah, mereka bahkan
sering mengajari aku bermain catur."
"Teman bermain catur" Padahal kami tak lebih
hanya orang bawahannya," Gwe-popo
menerangkan sambil tertawa.
Orang bawahan" Tokoh maha sakti seperti
mereka pun masih menjadi bawahan orang lain"
Lalu manusia macam apa tokoh yang dipanggil
Ong-supek itu" Malaikat seperti apa Ong-supek
itu hingga sanggup memiliki bawahan seperti
kakek pengejar angin dan nenek rembulan"
Yap Kay benar-benar terperangah dibuatnya,
bukan hanya dia, Pho Ang-soat yang selama ini
membungkam pun ikut tergerak hatinya.
"Apakah Ong-supek yang menyuruh kalian
datang kemari?" terdengar Pek Ih-ling bertanya
sambil tertawa ringan.
"Selain dia, siapa lagi yang bisa menyuruh aku
si tua bangka melakukan perjalanan jauh?" omel
Tui hong siu, "tapi seandainya dia tidak menyuruh
pun, kami tetap akan kemari, siapa suruh kau
adalah kesayangan kami."
"Sejak kepergianmu, kami seperti kehilangan
sesuatu," kata Gwe-popo pula sambil tertawa,
"tiap hari mereka berdua berkerut kening saja,
sampai main catur pun tak pernah konsentrasi,
yang lebih parah lagi, walau sedang main catur
namun mereka seperti sedang berlomba
menghela napas."
"Ah, bukankah kau pun sama saja, tiap hari
hanya bersembunyi dalam kamar, seruling
enggan ditiup, sepasang mata merah melulu."
Biarpun usia kedua orang ini sudah mencapai
seratus tahun, namun cara mereka bicara tak
ubahnya seperti dua anak kecil, membuat siapa
pun yang mendengar jadi geli dan tertawa.
Tapi Yap Kay tahu dengan pasti bahwa kedua
orang ini bukan terhitung orang yang
menggelikan atau menawan, jauh sebelum orang
tua Yap Kay mulai pacaran, kedua orang itu
sudah merupakan tokoh menakutkan di Bu-lim.
Tui hong siu terkenal karena keras kepala,
sementara Gwe-popo tersohor karena tindaktanduknya
yang semau hati, tentu saja yang
paling menakutkan adalah ilmu silat yang mereka
miliki. Bila watak semau hati Gwe-popo mulai
kambuh, biar dia menginginkan rembulan di
angkasa pun nenek itu pasti akan berusaha
mendapatkannya, sementara Tui hong siu
bila menganggap kau harus mati, maka
biarpun bersembunyi di kolong ranjang sang
kaisar pun jangan harap nyawamu bisa selamat.
Kemunculan mereka berdua yang tiba-tiba,
apalagi hubungannya yang begitu akrab dengan
Pek Ih-ling membuat Yap Kay merasa bahwa
persoalan ini makin lama semakin menarik.
Kelihatannya Gwe-popo pun merasa Yap Kay
adalah orang yang menarik, sepasang matanya
yang kecil mengawasi terus gerak-geriknya
sambil tersenyum.
Selama hidup Yap Kay tak pernah merasa rikuh
bila diawasi seorang wanita, tapi sekarang,
seandainya di tanah ada lubang, dijamin dia pasti
akan segera menerobos masuk untuk
bersembunyi. Tui hong siu sedang mengawasi juga sekeliling
ruangan, sinar matanya yang tajam mengamati
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajah setiap orang tanpa berkedip, tapi akhirnya
berhenti pada wajah Yap Kay.
Belum lagi Yap Kay melakukan sesuatu,
mendadak terdengar Gwe-popo berkata, "Siau
ling ji, di antara beberapa orang lelaki yang
berada di sini sekarang, bukankah sudah ada
seorang yang bisa menjadi calon suamimu?"
"Aku...." paras muka Pek Ih-ling kontan
berubah merah jengah, bahkan ia tertunduk
dengan tersipu-sipu.
"Tua bangka, coba lihat, ternyata ada saatnya
juga paras muka Siau ling ji kita berubah merah
padam," goda Gwe-popo lagi.
"Ah, dia kan anak perempuan, masakah harus
meniru kau, kulit badan yang tak bakal robek
biarpun diledakkan!"
"Apa" Kau menuduh kulit mukaku tebal seperti
badak?" "Maksudku, kau adalah seorang perempuan
cantik, biasanya perempuan cantik tak bakal
merah padam wajahnya."
Ternyata bukan anak muda saja yang suka
mendengar ucapan menjilat pantat, tak heran
Gwe-popo berseri wajahnya lantaran girang.
Menggunakan kesempatan itu Tui hong -siu
berpaling ke arah Pek ih-ling sambil membuat
muka setan, dua orang itu pun tertawa terkekehkekeh.
Yap Kay ikut tertawa, tertawa melihat Gwepopo
sebenarnya mengetahui tingkah-laku kedua
orang itu, tapi berlagak bodoh.
Memang itulah yang dilakukan mereka suami
istri, terkadang mata harus melotot, terkadang
harus setengah terpejam, saling mengalah
memang bukan tindakan bodoh.
Tak disangkal Gwe-popo sangat memahami
teori itu, karena itulah meski melihat namun dia
tetap berlagak seolah tidak melihat.
Beberapa saat kemudian baru dia
mendongakkan kepala sambil berkata, "Siau ling
ji, peduli siapa pun calon yang bakal kau pilih, dia
harus lulus dulu dari kami berdua."
Kemudian setelah tertawa lebar, lanjutnya,
"Tapi kalian tak usah kuatir, kami tak bakal
menyusahkan dirimu, tentu saja asal kau berhasil
lolos dari tiga ujian."
"Tiga ujian" Ujian apa?" seru Pek Ih-ling panik
bercampur kaget.
"Ujian pertama harus tampan dan gagah
penampilannya," kata Gwe-popo sambil tertawa,
"sementara ujian kedua, dia harus dijajal dulu
kehebatan ilmu silatnya oleh si tua bangka."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas,
kembali nenek itu menambahkan, "Sedang ujian
ketiga, tentu saja aku si nenek yang akan
melakukannya."
"Apa yang akan kau lakukan pada ujian
ketiga?" "Pemeriksaan badan."
"Periksaan badan?" Pek Ih-ling tertegun,
"bagaimana caramu memeriksa?"
"Bugil, tentu saja harus bugil! Kalau tidak,
bagaimana aku bisa melakukan pemeriksaan?"
"Bugil," kali ini Pek Ih-ling benar-benar amat
terperanjat, "suruh dia melucuti semua pakaian
dan membiarkan kau memeriksanya?"
"Tentu saja."
"Tapi... sesudah dia telanjang bulat, dengan...
dengan cara apa kau hendak memeriksanya?"
tanya Pek Ih-ling tergagap.
"Akan kuperiksa seinci demi seinci, kalau tidak,
bagaimana aku bisa tahu dia berpenyakit atau
tidak?" Seorang lelaki dewasa yang telah melucuti
semua pakaiannya hingga bugil harus diperiksa
seluruh badannya oleh seorang perempuan,
sekalipun usia perempuan itu sudah lewat
setengah abad pun, dia masih tetap seorang
perempuan, bagaimana pun pasti akan rikuh dan
malu. Begitu Gwe-popo selesai bicara, semua yang
hadir terperanjat, khususnya Yap Kay, karena
sorot mata Gwe-popo yang menatapnya seakan
telah berubah menjadi sepasang tangan yang
sedang melucuti pakaiannya satu per satu.
Dia seolah-olah sudah memastikan bahwa Yap
Kay yang bakal menjadi suami Pek Ih-ling, oleh
karenanya sorot mata yang terpancar penuh
selidik. Dengan susah-payah akhirnya Yap Kay berhasil
juga lolos dari sergapan mata Gwe-popo, baru
saja dia menghembuskan napas lega, terdengar
Gwe-popo sudah bertanya kepada Pek Ih-ling,
"Siau-ling-ji, calonmu yang mana?"
Pek Ih-ling menundukkan kepala, mukanya
merah, ia duduk di pojokan dengan perasaan
serba kikuk, tapi senyum kegirangan mulai
tersungging di ujung bibirnya, senyuman itu
persis seperti senyum kemenangan seekor rase
kecil yang baru saja berhasil mencuri seekor
ayam gemuk. Sebenarnya siapa yang dia sukai" Siapa yang
bakal dipilihnya sebagai calon pendamping"
Semua hadirin memandang ke arahnya, bahkan
Pho Ang-soat yang biasanya membisu tanpa
bicara pun tak kuasa ikut melihat, siapa
gerangan lelaki yang bakal dipilihnya.
Loh Loh-san yang selama ini mabuk berat pun
tiba-tiba jadi sadar kembali, dengan sorot mata
penuh harapan dia mengawasi nona itu.
Melihat Pek Ih-ling tidak bersuara, sekali lagi
Gwe-popo bertanya, "Ayo, cepat katakan Siauling-
ji!" Kepala Pek Ih-ling tertunduk semakin rendah,
pipinya semakin merah, sampai lama sekali baru
dia mengiakan dengan suara yang jauh lebih
lembut daripada suara nyamuk.
Tapi begitu dia bersuara, kontan jantung Loh
Loh-san nyaris melompat keluar, sekujur
badannya jadi lemas tak bertenaga, hampir saja
tubuhnya roboh ke kolong ranjang.
"Siapa sebenarnya?" teriak Gwe-popo, "yang
berkepentingan tidak gelisah, malah penonton
yang panik. Tentunya kau harus mengatakan
bukan?" Be Khong-cun yang selama ini hanya
menonton sambil tersenyum tiba-tiba ikut
buka suara, "Kenapa anak Ling ragu-ragu
menjawab, mungkin aku mengetahui sedikit
alasannya."
"Apa alasannya?" tanya Gwe-popo.
"Dia kuatir calon yang dipenujui menampik
permintaannya." "Siapa yang bakal menampik?"
"Andaikata ada yang menampik?"
"Kalau ada yang berani menampik, akan
kubunuh orang itu," seru Tui hong siu sambil
menarik kembali senyumannya, kemudian sambil
menatap wajah semua orang satu per satu,
lanjutnya, "Aku rasa kalian semua sudah
mendengar perkataanku dengan jelas bukan?"
Dengan kondisi yang begitu menarik, dengan
tulang punggung yang begitu kuat, apalagi si
nona pun cantik jelita, siapa yang bakal
menampik tawaran itu"
Yap Kay tahu ada seseorang pasti akan
menampik, sebab dia sudah melihat orang itu
telah bangkit. Dengan wajah dingin Pho Ang-soat bangkit
berdiri, kemudian tanpa mengucapkan sepatah
kata pun beranjak pergi dari situ.
"Mau apa kau?" bentak Gwe-popo dengan
wajah berubah. Walaupun Pho Ang-soat menghentikan langkah
kakinya, namun dia sama sekali tidak berpaling,
hanya sahutnya ketus, "Hari sudah malam."
Habis berkata, kembali ia melangkahkan
kakinya yang bebal dan lamban berjalan menuju
ke pintu. Baru saja sorot mata Gwe-popo mencorong
tajam, tiba-tiba tubuh Tui hong siu telah tiba di
depan pintu dan menghadang jalan pergi Pho
Ang-soat. Malam memang sudah kelam, saat itu pun
sudah waktunya untuk tidur, tapi berarti pula dia
telah menolak lamaran itu.
Sekalipun Pho Ang-soat tak menjelaskan
maksud ucapannya, tapi setiap orang memahami
arti ucapan itu, terlebih Tui hong siu.
Setelah menghadang di depan pintu, dengan
sorot matanya yang berkilat, meski tak setajam
sorot mata Gwe-popo, namun telah dipenuhi
hawa napsu membunuh, dia mengawasi lawan
tanpa berkedip.
Karena pintu terhadang, terpaksa Pho Ang-soat
menghentikan langkah, sinar matanya yang selalu
tampak sayu dan kesepian, balas menatap wajah
Tui hong siu. Suasana dalam gedung pun seketika menjadi
hening, kalau semula semua orang merasakan
kegembiraan maka dalam waktu singkat hawa
napsu membunuh seakan sudah menyelimuti
seluruh ruangan.
Berada dalam keadaan seperti ini, mestinya Be
Khong-cun sebagai tuan rumah harus segera
turun tangan melerai, tapi Yap Kay lihat orang itu
masih tetap duduk sambil tertawa, sama sekali
tak ada niat untuk menghalangi.
Pho Ang-soat masih berdiri tak bergerak, tapi
otot hijau di tangan kirinya sudah merongkol, dari
balik matanya yang dingin, hambar dan kesepian
kembali terlintas perasaan pilu yang mendalam.
Dengan sorot mata penuh Yiapsu membunuh
Tui hong siu segera menegur, "Jadi kau ingin
tidur?" "Benar!" jawaban Pho Ang-soat singkat.
"Ingin tidur berarti menampik permintaan?"
Kali ini Pho Ang-soat tidak menjawab.
Terkadang tidak menjawab berarti
mengakuinya. Tui hong siu bukan orang bodoh, oleh sebab itu
bukan cuma sorot matanya saja ryang
mengandung hawa membunuh, bahkan seluruh
tubuhnya telah diselimuti hawa membunuh yang
tak berwujud. Di tengah ketegangan yang mencekam seluruh
ruangan, tiba-tiba Yap Kay bertindak, dengan
senyum menghiasi wajahnya ia berjalan
menghampiri Tui hong siu serta Pho Ang-soat,
kemudian ujarnya, "Masalah perkawinan adalah
masalah besar, aku percaya Pek-siocia pun belum
tentu bisa mengambil keputusan. Kini malam
sudah makin larut, apa salahnya kalau kita
beristirahat dulu semalam, kemudian besok pagi
masalah ini baru diputuskan Pek-siocia sendiri?"
Tui hong siu berpaling mengawasi Yap Kay,
bukan wajahnya yang diperhatikan, tapi posisi
yang ditempati pemuda itu, setelah
memandangnya sejenak tiba-tiba ia tertawa
tergelak, "Bagus, bagus sekali, ternyata anak
muda ini banyak latahnya."
"Tidak berani."
Jangan dilihat Yap Kay hanya berdiri
sembarangan di tempat itu, justru posisi yang
ditempatinya sekarang amat strategis, bukan saja
dia telah menghalangi arah serangan Tui hong
siu, bahkan bisa mencegah Gwe-popo
melancarkan serangan bantuan pula.
Begitu melihat pemuda itu tampil, perasaan
kecewa melintas di wajah Gwe-popo, mendadak
dia menghela napas dan berdiri.
"Orang masih muda, kenapa jalan pikirannya
belum terbuka?" ujar nenek rembulan sambil
menghela napas, "tidak heran umur orang zaman
sekarang rata-rata pendek."
Biarpun dia hanya berdiri, namun bagi jago
yang pengalaman dapat dilihat dia telah
membuka kembali posisi yang semula dihambat
Yap Kay. Begitu nenek itu bergerak, Yap Kay sama sekali
tak berkutik, tapi jari telunjuk, ibu jari serta jari
tengah tangan kirinya disentilkan sebanyak tiga
kali. Hanya tiga gerakan, tapi cukup membuat Gwepopo
tercengang. Jangan dilihat tiga gerakan sentilan itu amat
sederhana, padahal ancaman yang ditimbulkan
justru jauh lebih hebat daripada tusukan maut
seorang jago pedang.
Pertarungan tanpa wujud semacam ini tentu
saja bukan setiap orang dapat merasakan, hanya
jago-jago seperti Tui hong siu dan Gwe-popo saja
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sadar, betapa dahsyat dan menakutkan
serangan itu. Tiba-tiba saja keempat orang itu seperti orang
yang tertotok jalan darahnya, sama sekali tak
berkutik. Bukan hanya orangnya, bahkan sang angin
pun seolah turut tak bergerak, suasana tegang
dan serius segera mencekam seluruh ruangan,
kecuali keempat orang itu, meski orang
lain tak ikut dalam pertarungan, namun
mereka ikut merasa keletihan yang luar
biasa, seakan mereka pun baru saja ikut
bertempur ratusan gebrakan, peluh dingin nyaris
membasahi seluruh pakaian mereka.
Entah berapa lama sudah situasi bertahan
semacam ini, saat itulah mendadak terdengar Pek
Ih-ling menghela napas sambil bangkit.
"Hong-kongkong, Gwe-popo, kalau kalian
begitu terus, aku... aku akan....
"Kau mau apa?" tanya Gwe-popo.
"Aku mau mati saja"
"Jangan mati," teriak Tui-hong-siu dengan
gelisah, "kalau kau mati, bagaimana
pertanggung jawaban kami terhadapnya?"
Yang dimaksudkan sebagai dia tentu saja Ongsupek
yang pernah disebut Pek Ih-ling.
"Lantas buat apa kalian memaksa orang terus
menerus, seakan aku... aku sudah tak laku kawin
saja," seru Pek Ih-ling manja.
"Lalu apa yang harus kami lakukan?"
"Sekarang malam sudah larut, lagi pula kalian
berdua baru datang dari tempat jauh, apa
salahnya kita beristirahat dulu, sementara urusan
lain dibicarakan lagi besok?"
Be Khong-cun yang selama ini membungkam
tiba-tiba ikut buka suara, katanya, "Benar, silakan
Locianpwe berdua beristirahat dulu, kalau ada
persoalan lebih baik besok saja kita bicarakan
lagi!" Sinar rembulan malam ini nampak cerah dan
terang, secerah sinar rembulan di wilayah
Kanglam. Kanglam berada jauh di sana, begitu pula
dengan bulan purnama, bedanya kau bisa melihat
rembulan asal mau mendongakkan kepala, tapi
bagaimana dengan wilayah Kanglam"
Oh Sam tumbuh dewasa di wilayah Kanglam,
tapi sudah belasan tahun ia tinggal di daerah
pinggiran kota.
Selama belasan tahun belum pernah ia balik ke
wilayah Kanglam walau satu kali pun, setiap kali
sedang mabuk berat, setiap kali dia bermimpi di
tengah malam buta, ia selalu teringat dan
terkenang kampung halamannya.
Sampai kapan baru ia bisa kembali ke kampung
halaman" Sampai kapan baru bisa bertemu ayah
dan ibu" Mengapa seorang pengembara selalu
begitu jauh meninggalkan kampung halamannya"
Malam ini Sam-lopan dari Ban be tong telah
menghadiahkan lima puluh guci arak untuk
bawahannya. Oh Sam dan beberapa orang rekan
akrabnya mengusulkan untuk 'bermain' di rumah
makan Siang ki-lau di kota kecil seusai
menenggak habis isi guci.
Oleh sebab itulah mereka berlima muncul di
tengah perjalanan. Biarpun masih musim panas,
namun hembusan angin di tengah malam terasa
jauh lebih dingin daripada udara di musim salju.
Tapi Oh Sam berlima sedikit pun tidak merasa
kedinginan, mereka membiarkan baju bagian
dada terbuka lebar, mungkin karena pengaruh
arak" Atau karena hangatnya suasana di Siang kilau"
Di bawah cahaya rembulan yang terang, dari
balik kegelapan di ujung jalan, tiba-tiba mereka
melihat ada seseorang berdiri menunggu.
Orang itu mengenakan pakaian ringkas
berwarna hitam, tapi air mukanya justru putih
pucat bagaikan mayat.
Apakah dia pun anggota Ban be tong" Oh Sam
memperhatikan orang itu, dia ingin tahu siapa
gerangan orang itu agar besok punya bahan
cerita untuk mengolok-oloknya.
Oh Sam berlima melanjutkan kembali
langkahnya, tapi belum jauh bertindak, tiba-tiba
mereka lihat orang itu tidak sama sekali tak
bergerak, orang itu masih tetap berdiri di tengah
jalan bagaikan patung.
Sesungguhnya selisih jarak antara kedua belah
pihak tidaklah terlalu jauh, karena itu dalam
waktu singkat Oh Sam sekalian telah tiba di
hadapan orang itu.
"He, siapa kau" Mengapa seorang diri berdiri di
sini?" Kata berikut sudah tak sanggup dilanjutkan lagi
oleh Oh Sam karena saat ini dia sudah dapat
melihat dengan jelas siapa gerangan orang yang
berdiri di hadapannya.
Orang itu mengenakan pakaian ketat berwarna
hitam, wajahnya putih pucat bagai mayat,
ternyata dia bukan lain adalah Hwi thian ci cu
yang semalam telah digigit sampai mati oleh
setan pengisap darah.
Bukankah dia sudah mati terbunuh" Bukankah
mayatnya sudah dikubur" Bahkan Oh Sam sendiri
yang melakukannya, kenapa sekarang bisa
muncul di sini" Jangan-jangan ....
Mendadak hati Oh Sam bergidik, bulu kuduknya
berdiri, dia jadi teringat sebuah dongeng.
Konon orang yang mati digigit setan pengisap
darah, pada malam keesokannya akan berubah
juga menjadi setan pengisap darah.
Membayangkan dongeng itu, tak kuasa lagi
bulu kuduk Oh Sam berlima berdiri, perasaan
ngeri, takut segera terpancar keluar dari mata
mereka, ditatapnya wajah Hwi thian ci cu tanpa
berkedip. Pada saat itulah mereka lihat Hwi thian ci cu
mulai mementang mulut, darah segar meleleh
keluar dari sisi bibirnya, sementara dua buah gigi
taringnya yang lebih panjang dari jari tangan
membiaskan cahaya berkilauan di bawah timpaan
sinar rembulan.
Mengikuti melelehnya darah segar, dari balik
tenggorokan Hwi -thian ci cu berkumandang
suara tertawanya yang menakutkan.
Orang pertama yang teringat untuk kabur tentu
saja adalah Oh Sam, beruntung sepasang kakinya
masih mau mengikuti perintah, dia kabur dengan
begitu cepatnya.
Di saat dia sedang berlarian itulah lamat-lamat
terdengar empat kali jeritan ngeri yang
memilukan, tampaknya keempat orang rekannya
yang tertinggal telah menjadi korban santapan
setan pengisap darah itu.
Oh Sam tak berani berpaling, dia kuatir setan
pengisap darah itu tahu-tahu muncul di belakang
tubuhnya. Saat itulah mendadak ia mendengar suara aneh
berkumandang dari atas kepalanya, suara itu
mirip suara burung besar yang sedang
mengebaskan sayapnya yang lebar.
Tak tahan lagi dia segera mendongakkan
kepala, ternyata bukan seekor burung yang
berada di atas kepalanya, melainkan Hwi thian ci
cu sedang mementang sepasang tangannya,
tangan itu mirip bentangan sayap kelelawar
raksasa yang sedang menerkam ke arahnya.
Kontan Oh Sam merasakan kakinya lemas,
"Bruk!", ia jatuh terduduk di tanah.
Dengan cepat Hwi thian ci cu melayang turun,
persis turun di hadapannya.
Oh Sam masih sempat menyaksikan mimik
muka Hwi thian ci cu yang menyeramkan, dia pun
menyaksikan sepasang gigi taringnya yang tajam
kian lama kian bertambah dekat dengan
tengkuknya, menyusul kemudian ia merasa
kesakitan yang luar biasa timbul dari leher
sebelah kiri. Menyusul rasa sakit itu, dia pun
merasa cairan darah dalam tubuhnya
mengalir cepat dan menyembur keluar melalui
mulut luka di leher sebelah kirinya,
lambat-laun dia merasa kakinya lemas,
kemudian menyusul badannya, tangannya...
tubuhnya seolah sebuah kantung kulit yang
mulai mengempis.
Tak lama kemudian seluruh tubuh Oh Sam
terkapar lemas di tanah, kulit badannya mulai
berkerut kencang, mukanya yang makin memucat
akhirnya berubah jadi hitam keabu-abuan,
seluruh cairan darah di tubuhnya telah terisap
habis. Hwi thian ci cu melepas mayat Oh Sam yang
layu, kemudian mendongakkan kepala sambil
berpekik nyaring, ceceran darah masih meleleh
keluar dari ujung bibirnya.
Kemudian bagaikan seekor kelelawar raksasa,
dia melayang ke udara dan meluncur ke balik
kegelapan malam.
BAGIAN II. SUARA GOLOK
Bab 1. MELOLOH GADIS CILIK
"Mana goloknya?"
"Goloknya tak nampak."
"Kenapa?"
"Sebab setelah mendengar suara golok, golok
itu pun tak terlihat."
"Suara golok?"
"Betul, begitu mendengar suara golok, sang
korban pun segera tewas."
"Oleh sebab itu hanya terdengar suara golok,
tapi tidak terlihat goloknya?"
"Benar."
Sekembali ke kamarnya semalam dan
berbaring di atas ranjang, Yap Kay baru merasa
punggungnya telah basah kuyup oleh keringat
dingin. Membayangkan kembali situasi tegang yang
dialaminya dalam gedung tadi, andaikata Pek Ihling
tidak melerai secara tiba-tiba, Yap Kay tak
bisa membayangkan bagaimana hasil pertarungan
itu" Semenjak lima puluh tahun berselang Tui hong
siu maupun Gwe-popo sudah terhitung jagoan
nomor wahid di kolong langit, biarpun usianya
sekarang bertambah tua, namun kehebatan ilmu
silat bukan bisa dibatasi dengan meningkatnya
umur seseorang.
Lagipula pada jidat Tui hong siu maupun Gwepopo
secara lamat-lamat terlihat cahaya merah,
gejala semacam itu baru akan muncul jika tenaga
dalam telah dilatih hingga mencapai puncak
kesempurnaan. Dari situasi tadi, posisinya ketika berada dalam
gedung itu jauh lebih unggul dari siapa pun, tapi
Yap Kay menyadari, kecuali dia bisa melancarkan
serangan lebih dulu, begitu turun tangan
menggunakan pisau terbang ajaran Siau-li si
pisau terbang, ....kalau tidak, lima puluh
gebrakan kemudian ia pasti akan menderita
kekalahan. Dari sikap Be Khong-cun semalam, tampaknya
dia pun tidak kenal Tui hong siu maupun Gwepopo,
dia pun tidak mengetahui hubungan akrab
Pek Ih-ling dengan mereka berdua.
Dari pembicaraan Tui-hong-siu, dia pun
mendapat tahu bahwa selama beberapa tahun
terakhir Pek Ih-ling hidup bersama mereka, dia
pun tinggal dengan seorang yang disebut Ongsupek.
Dari sini dapat diketahui bahwa Pek Ih-ling
bukanlah Be Hong-ling. Yap Kay yakin, mustahil
gadis itu adalah putri tunggal Pek Thian-ih.
Jangankan Tui hong siu serta Gwe-popo,
mungkin orang yang disebut Ong-supek pun tidak
mengetahui asal-usul gadis itu.
Lalu siapakah dia" Bila bisa diketahui asalusulnya,
bisa jadi dia pun dapat mengungkap
rahasia di balik sepak terjang Ban be tong kali ini.
Tapi, tidak gampang untuk menguak tabir
rahasia semacam ini, bila rahasia Pek Ih-ling
merupakan kunci semua rahasia itu, maka orang
yang melindungi gerak-gerik gadis itu pasti akan
bekerja lebih ketat.
Bisa jadi dia harus membayar dengan harga
yang tak ternilai agar bisa mengungkap semua
rahasia itu. Matahari telah terbit di ufuk timur.
Sang surya ibarat gadis perawan yang baru
mendusin dari tidur, membuka sepasang matanya
dengan sayup dan mengawasi kekasih yang
berada di sisi pembaringan dengan pandangan
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lembut. Langit di sebelah barat masih remang-remang
gelap, masih tertutup warna kelabu, secercah
cahaya fajar mulai memancar keluar, menyinari
kamar tidur Yap Kay.
Semalaman ia tak bisa memejamkan mata,
otaknya dipenuhi peristiwa yang terjadi semalam,
walau sudah semalam begadang, namun tak
terasa mengantuk sedikit pun, sebaliknya ia
justru kelihatan gembira dan bersemangat.
Begitu melompat bangun dari ranjang, dia
melakukan enam-tujuh puluh gerakan aneh,
bagaikan tak punya tulang saja dia melakukan
berbagai tekukan yang aneh dan tak masuk akal.
Setelah berbaring semalaman tanpa selimut,
keempat anggota badannya sudah hampir
membeku kaku saking kedinginan.
Selasai berolah raga, dengan penuh semangat
dia membuka pintu kamar, menyongsong
datangnya sinar matahari pagi.
Angin fajar berhembus lembut menggoyang
dedaunan, embun pagi meleleh ke bawah
membasahi permukaan tanah.
Yap Kay berjalan menyusuri pepohonan,
menyongsong datangnya sinar pagi, tanpa terasa
ia berjalan menuju ke arah rimba lebat.
Yap Kay berjalan dan berjalan terus, dengan
langkah perlahan tapi pasti menembus hutan,
menuju ke bagian dalam rimbunnya pepohonan.
Tak lama kemudian dari kejauhan ia sudah
melihat sebuah gundukan tanah perbukitan,
gundukan tanah yang tidak terlalu besar.
Begitu sederhana bentuk gundukan tanah itu,
mungkinkah tempat inilah yang dikisahkan Pho
Ang-soat dengan segala kejadian aneh dan
misterius itu"
Dengan perasaan sangsi Yap Kay mulai berjalan
mengitari gundukan tanah itu, memeriksa dan
mengamati dengan seksama sekeliling tempat itu,
namun tak ada yang ditemukan, bahkan sesuatu
yang aneh pun tidak dijumpai di situ.
Ia mencoba meraba permukaan tanah,
mengambil segenggam tanah, meski terasa
agak lembab namun tanah di situ tak beda
jauh dengan tanah di tempat lain, bahkan
sewaktu diendus pun tidak dijumpai bau lain.
Yap Kay mulai menepekur, berpikir tiada
hentinya, perasaan sangsi mulai muncul pada
wajahnya. "Jangan-jangan aku salah tempat?"
Tidak mungkin, tidak mungkin salah, Yap Kay
coba membantah dugaan itu.
Sekali lagi dia amati gundukan tanah itu
dengan seksama, heran, mengapa tidak
ditemukan pemandangan seperti apa yang
dikisahkan Pho Ang-soat" Atau kedatangannya
tidak tepat waktu" Apakah dia pun harus
mendatangi tempat itu di saat fajar hampir
menyingsing" Atau mungkin gundukan tanah itu
bagaikan seorang gadis perawan, malu bertemu
orang di pagi hari dan hanya muncul di tengah
malam" Teringat akan gadis pemalu, tanpa terasa Yap
Kay terbayang So Ming-ming, cewek berbaju
putih yang nampak kesepian itu.
Baru saja sekulum senyuman tersungging di
ujung bibirnya, Yap Kay segera mendengar suara
gadis itu. "Tak kusangka kau pun tahu di tempat ini
terdapat gundukan kecil," tiba-tiba So Mingming
muncul dari balik pepohonan yang
lebat, "terlebih tak kusangka kau pun sangat
tertarik dengan gundukan tanah itu."
Baru teringat akan seseorang, ternyata orang
itu segera muncul di depan mata, kejadian seperti
ini benar-benar merupakan kejadian yang
menyenangkan. "Lalu darimana kau tahu di tempat ini terdapat
gundukan tanah?" Yap Kay balik bertanya sambil
tertawa, "apakah kau pun tertarik juga dengan
gundukan tanah ini?"
"Tentu saja sangat tertarik, sejak kecil aku
sudah terpesona oleh cerita mengenai gundukan
tanah perbukitan ini."
"Cerita tentang gundukan tanah?" Yap Kay
langsung merasakan semangatnya bangkit
kembali, "maukah kau bercerita padaku, siapa
tahu aku pun bakal kesemsem?"
"Boleh saja aku bercerita, tapi dengan cara apa
kau hendak membalas budi ini?" suara tawa So
Ming-ming semakin mempesona.
"Bagaimana kalau aku traktir makan sampai
kenyang atau mengajakmu pesiar ke wilayah
Kanglam?" "Ke Kanglam?"
Sebetulnya Kanglam hanya terdiri dari dua
huruf, namun begitu mendengar nama itu, dari
balik mata So Ming-ming memancarkan sinar
aneh. Melihat keanehan di wajah nona itu,
kembali Yap Kay berkata, "Orang yang belum
pernah datang ke Kanglam pasti ingin sekali
pergi ke sana, tapi bila sudah berada di
Kanglam, kau pasti akan merindukan
pinggiran kota."
Tiba-tiba sinar mata Yap Kay pun
memancarkan sinar kelesuan dan kemurungan.
Apakah dia sedang rindu kampung
halamannya" Apakah dia sedang membayangkan
suasana Kanglam"
Kanglam memang berada dalam alam
impiannya, impian yang dipenuhi kemurungan
dan kesedihan seorang pengembara.
"Apakah kampung halamanmu adalah
Kanglam?" suara So Ming-ming terdengar begitu
sayu dan sendu, seolah hembusan angin yang
terkirim dari wilayah Kanglam.
"Ya, aku dibesarkan di Kanglam."
"Lalu dimana kampung halamanmu?"
Dimana" Tentu saja di pinggiran kota.
Pinggiran kota adalah kampung halaman Yap
Kay, pinggiran kota adalah tempat kelahirannya.
Di pinggiran kota itulah semua impiannya
berada, sayang hanya semua impian buruk.
Biarpun impian buruk telah berlalu, namun
pinggiran kota masih seperti sedia kala,
bagaimana dengan manusianya" Pek Thian-ih
suami istri, orang tua Yap Kay... mereka...
mereka telah ....
Tiba-tiba ia menggeleng kepala, seolah hendak
membuang jauh semua impian buruk itu, tak
lama kemudian sekulum senyuman kembali
menghiasi wajahnya.
"Sebagai seorang pengembara, empat samudra
adalah rumahku, kemana aku mengembara, di
situlah rumahku," kata Yap Kay sambil tertawa,
"kembali ke masalah pokok, coba kau ceritakan
gundukan tanah itu!"
"Menurut dongeng, zaman dahulu kala di
pinggiran jagad, di bagian terujung dari dunia ini
terdapat sebuah puncak gunung yang tingginya
mencapai langit," So Ming-ming mulai bercerita,
suaranya seolah datang dari puncak bukit itu,
"di atas puncak gunung itu bukan saja
terdapat salju abadi yang tak pernah mencair, di
sana pun hidup seekor makhluk aneh yang sangat
langka, bahkan terdapat pula siluman iblis yang
jauh lebih menakutkan daripada setan bengis."
"Kau maksudkan puncak Cu mu lang ma?"
tanya Yap Kay. "Benar, siluman iblis yang tinggal di puncak
gunung itu konon adalah roh jahat yang berusia
ribuan tahun, bukan saja dia dapat menempel
pada benda apa pun, bahkan dapat pula berwujud
sebagai manusia."
Sorot matanya yang penuh kemurungan tibatiba
memancarkan cahaya yang sangat aneh,
seolah dia sedang mengawasi suatu tempat di
kejauhan sana yang penuh diselimuti
kemisteriusan dan keanehan.
Kelihatannya Yap Kay ikut terpengaruh oleh
mimik wajah gadis itu.
"Di saat roh jahat berusia seribu tahun itu
tampil dalam wujud manusia, dia pun mendatangi
wilayah gunung dan menguasai semua manusia
yang hidup di sana," kata So Ming-ming lebih
lanjut, "setelah diperbudak hampir seratus tahun
lamanya, muncullah seorang bintang penolong
yang membebaskan mereka dari perbudakan,
orang itu adalah utusan dari dewa."
"Utusan dari dewa?"
"Begitu tiba di tempat itu, utusan dewa pun
bertempur sengit melawan roh jahat berusia
seribu tahun itu selama tujuh kali tujuh empat
puluh sembilan hari, akhirnya dengan
mengandalkan bokor sakti, dia berhasil mengunci
roh jahat itu di dalam gundukan tanah perbukitan
ini." "Oh, hanya dikurung" Bukan dibunuh?" Yap
Kay bertanya. "Roh jahat berusia seribu tahun tak dapat
dibunuh, dia hanya terkunci di dalam bokor sakti.
Sebelum pergi meninggalkan tempat itu, utusan
dewa sempat berpesan wanti-wanti kepada
semua orang yang tinggal di situ, katanya
gundukan tanah ini tidak boleh digali, kalau tidak,
maka roh jahat itu bakal melarikan diri."
"Berarti hingga sekarang roh jahat berusia
seribu tahun itu masih terkurung di dalam
gundukan tanah perbukitan ini?" tanya Yap Kay
sambil mengamati gundukan tanah di
hadapannya, "sudah berapa lama roh jahat itu
terkurung di sini" Lebih dari seratus tahun?"
"Seratus tahun" Roh jahat itu sudah empat
ratus lima puluh enam tahun terkurung di sini."
"Empat ratus lima puluh enam tahun?" Yap Kay
tercengang bercampur kaget, "heran, kau bisa
mengingatnya begitu jelas?"
"Sudah kuhitung," tiba-tiba So Ming-ming
tertawa geli, "sewaktu masih kecil dulu, kakekku
pernah memberitahu, tahun pertama sewaktu roh
jahat itu tertangkap adalah tahun kemunculan
komet yang keenam."
"Kemunculan komet yang keenam?"
"Kemunculan pada tahun ini adalah
kemunculan yang ketujuh, bukankah bintang itu
muncul setiap tujuh puluh enam tahun satu kali"
Berarti sudah empat ratus lima puluh enam
tahun." "Keenam kali" Komet?" Yap Kay termenung
sambil memeras otak, selang sesaat kemudian ia
bertanya lagi, "Kalau begitu tahukah kau sejak
tahun pertama kemunculan roh jahat itu hingga
tahun pertama ia dikurung oleh utusan dewa,
semuanya selisih berapa tahun" Apakah tahun
kemunculannya persis pada tahun pertama
kemunculan komet?"
"Entahlah, aku kurang jelas," So Ming-ming
menggeleng, "aku hanya tahu di saat kemunculan
roh jahat itu, di atas langit pernah muncul gejala
yang sangat aneh."
"Gejala aneh?"
Gejala aneh seperti apa" Apakah gejala adanya
bintang berekor yang menyapu jagad" Lamatlamat
Yap Kay masih ingat, zaman kuno orang
menyebut komet sebagai 'bintang sapu', ini
disebabkan bintang itu mempunyai ekor yang
sangat panjang menyerupai sebuah sapu, bahkan
setiap kali kemunculannya selalu membawa
ketidak beruntungan bagi umat manusia.
Ketidak beruntungan seperti apa yang bakal
dibawa bintang itu tahun ini" Apakah hidupnya
kembali orang-orang yang telah mati" Atau
seperti dongeng kuno, munculnya roh jahat yang
akan mengacau dunia"
Benarkah di dalam gundukan tanah perbukitan
itu terdapat roh jahat dari zaman kuno" Benarkah
roh jahat itu masih hidup"
Cahaya matahari yang terik menyelinap melalui
celah-celah ranting pepohonan, membuat
bayangan dedaunan terpampang persis di atas
gundukan tanah.
Berdiri berhadapan dengan gundukan tanah itu,
Yap Kay benar-benar tidak percaya akan
kebenaran dongeng itu.
Seandainya di dunia ini benar-benar terdapat
roh jahat berusia seribu tahun, lalu buat apa
orang persilatan melatih diri dengan berbagai ilmu
silat sakti dan hebat" Buat apa pula orang saling
gontok mencari nama dan kedudukan" Sehebat
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa pun kungfu yang kau miliki, betapa besarnya
kekuasaan yang kau miliki, mampukah melawan
cengkeraman iblis roh jahat berusia seribu tahun"
Menghadapi dongeng yang penuh misteri itu,
untuk sesaat Yap Kay tak tahu harus
mempercayainya atau tidak" Untuk sesaat dia
bimbang, ragu dan penuh tanda tanya.
Mendadak So Ming-ming menatapnya dengan
sorot mata yang sayu, "Kelihatannya kau
meragukan omonganku?"
"Bukan meragukan, tapi aku benar-benar sulit
mempercayainya," sahut Yap Kay tertawa getir,
"apa yang kau kisahkan sesungguhnya hanya
dongeng belaka, kalau belum pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
bagaimana mungkin aku bisa mempercayai
semua itu sebagai kejadian sebenarnya?"
Tiba-tiba So Ming-ming tersenyum misterius,
katanya, "Kau ingin membuktikan benar
tidaknya" Bukankah teka-teki itu berada dalam
gundukan tanah ini, asal kita gali, bukankah
semuanya akan jelas?"
"Menggalinya?"
So Ming-ming kembali mengangguk.
Sekali lagi Yap Kay mengalihkan pandangan
matanya ke atas gundukan itu, setelah lama
termenung baru ia berkata, "Rasanya itulah satusatunya
jalan untuk menyingkap tabir rahasia
ini." Ditatapnya So Ming-ming sekejap, kemudian
lanjutnya, "Apakah kau tidak kuatir jika di
dalamnya benar-benar bersembunyi roh jahat
berusia seribu tahun?"
"Aku tak mau berpikir begitu banyak" kata Yap
Kay penuh semangat, "sejak kecil aku selalu
berharap datangnya hari seperti ini. "
"Tapi bagaimana menggalinya" Pakai tangan?"
Bisa saja menggali dengan tangan, tapi yang
jelas bakal membuang banyak waktu, beruntung
So Ming-ming telah menyiapkan alat untuk
menggali, dari balik rimbunnya pepohonan dia
mengeluarkan dua buah cangkul.
Melihat dia telah menyiapkan dua buah
cangkul, tanpa terasa Yap Kay tertawa getir,
serunya, "Ternyata kau sudah siap sejak awal,
juga yakin aku bakal membantumu menggali."
So Ming-ming tidak menjawab, dia hanya
tertawa ringan sembari menyerahkan sebuah
cangkul kepada Yap Kay, maka mereka berdua
pun mulai menggali tanah.
Di antara bayangan pepohonan yang
bergoyang, cangkul kedua orang itu naik turun
tiada hentinya, keringat sudah membasahi tubuh
mereka, menetes pula di atas permukaan tanah
yang lembab. Makin menggali, paras So Ming-ming makin
memperlihatkan kegembiraan yang meluap. Sinar
kegembiraan yang berbaur dengan gejolak emosi
yang aneh, membuat gadis itu nampak semakin
menarik. Dia menggali jauh lebih semangat ketimbang
Yap Kay, tampaknya dongeng kuno sudah begitu
mengakar dalam hatinya hingga mulai tumbuh
benih baru, keinginannya untuk menguak tabir
rahasia roh jahat berusia seribu tahun terasa jauh
lebih bernapsu ketimbang Yap Kay.
Tentu saja Yap Kay pun ingin sekali mengetahui
rahasia gundukan tanah itu, namun tujuannya
sangat berbeda dengan gadis itu, jika benar
seperti apa yang dikatakan Pho Ang-soat, dari
balik gundukan tanah itu dapat memancarkan
kumpulan cahaya yang bisa berubah bentuk jadi
orang, maka dalam gundukan tanah itu sudah
pasti terdapat penjelasan yang masuk akal atau
telah dilengkapi dengan suatu peralatan yang
masuk akal. Hal itulah yang sangat ingin diketahui Yap Kay,
sebab setiap peristiwa yang dijumpainya
belakangan ini nyaris tak satu pun dapat
dijelaskan dengan akal sehat, benarkah dari balik
gundukan tanah yang bersahaja, gundukan tanah
yang bisa dijumpai dimana pun, benar-benar
tersembunyi roh jahat berumur seribu tahun"
Benarkah dari situ dapat pula memancarkan
cahaya yang bisa berubah bentuk menjadi
manusia" Saat itu tengah hari sudah menjelang, sinar
matahari sedang memancar dengan teriknya,
angin gunung pun terasa berhembus sangat
kencang, sedemikian kencang dan tajam bagaikan
pisau yang menyayat kulit.
Tak selang lama kemudian, gundukan tanah itu
sudah digali hingga rata dengan permukaan tanah
dan muncullan lantai yang terbuat dari batu hijau.
Batu lantai itu sama sekali tidak berwarna putih,
melainkan berwarna hijau lumut, seakan-akan di
masa silam di tempat itu pernah berceceran darah
segar. "Wah, kelihatannya roh jahat berumur seribu
tahun itu sudah tertindih hingga berubah jadi
sepotong batu hijau," olok Yap Kay sambil
tertawa. "Bukan berubah jadi potongan batu, tapi
tertindih di bawah batu hijau itu," sahut So Mingming
sambil tertawa pula.
Ketika memegang batu hijau itu, tak kuasa Yap
Kay dan So Ming-ming saling berpandangan
sekejap. Seandainya di bawah tanah benar-benar
terkurung roh jahat berusia seribu tahun, maka
batu hijau itulah tombol pembuka ruang rahasia.
Tak heran mereka berdua nampak sedikit ragu
kendati rasa ingin tahu yang kuat menguasai
perasaan mereka.
Menyaksikan begitu bergairahnya So Mingming,
akhirnya Yap Kay berbisik, "Mari kita
singkirkan batu itu!"
Sambil memperkuat kuda-kuda, kedua orang
itu menghimpun tenaga dalam dan segera
mengangkat batu hijau itu, ternyata batu hijau
yang mereka sangka ringan, kenyataan beratnya
bukan kepalang.
Paras muka So Ming-ming yang sudah
memerah kini berubah semakin merah padam.
Terpaksa Yap Kay harus menambah kekuatan
tenaga dalamnya untuk membantu.
Akhirnya diiringi suara bentakan keras, batu
hijau itu terangkat dan bergeser ke samping.
Tak ada asap putih, tak ada kumpulan cahaya,
bahkan tak ada suara aneh, hanya bau busuk
yang luar biasa berhembus keluar dari balik liang
itu. "Wah, bau sekali!" teriak So Ming-ming sambil
menutup hidung dan mundur dua langkah.
Yap Kay sendiri mesti tidak ikut menutup
hidung, tak urung ia berkerut kening juga.
Sesudah mengusir hawa busuk dari hadapannya,
cepat dia melongok ke dalam gua, tapi begitu
melihat, alisnya berkerut kencang.
So Ming-ming segera maju mendekat dan ikut
melongok ke dalam gua, tapi segera teriaknya,
"Aneh, tak ada apa-apanya!"
Ternyata setelah batu hijau itu disingkirkan,
gua di bawahnya tidak dijumpai apa pun kecuali
sebuah gua setinggi tubuh manusia, jangankan
roh jahat berusia seribu tahun, gerombolan semut
pun tak nampak seekor pun.
"Bagaimana mungkin bisa begini?" teriak So
Ming-ming sambil membelalakkan mata, cahaya
gairah yang semula menghiasi wajahnya seketika
hilang tak berbekas.
"Jangan-jangan roh jahat itu tak kuasa
menahan sabar hingga diam-diam sudah
melarikan diri?" goda Yap Kay sambil tertawa.
"Ai, sudah mengorbankan begitu banyak
tenaga, ternyata tidak ada hasil yang bisa
diperoleh," keluh So Ming-ming dengan kesal, ia
merasa kecewa sekali.
"Biarpun tak ada sesuatu yang bisa dilihat,
paling tidak kita bisa makan."
"Bisa makan" Makan apa?" tanya So Ming-ming
melengak. "Tentu saja makan nasi!"
Sebelum hidangan yang dipesan diantar ke
meja, So Ming-ming memperhatikan sekejap
ruangan rumah makan itu, kemudian bertanya
kepada Yap Kay, "Kenapa kau tidak mengajakku
bersantap di rumah makan milik Cihuku" Siangki-
lau tersedia aneka hidangan, kenapa kau
bukannya bersantap di sana?"
"Ah, pertama, mau apa saja di situ, kita harus
turun tangan sendiri, kelewat merepotkan," sahut
Yap Kay, "kedua, bila Siau-siansing melihat kau
datang bersamaku, kujamin dia pasti akan
menuduhku sebagai si hidung bangor, terus yang
ketiga...."
"Masih ada yang ketiga?"
"Betul, di sini jauh dari orang-orang yang kenal
denganmu," kata Yap Kay tertawa, "jadi aku
bisa melolohmu hingga mabuk."
"Melolohku sampai mabuk?" perasaan
tercengang bercampur kaget melintas di wajah So
Ming-ming, jangankan orang dewasa, anak kecil
usia tiga tahun pun pasti tahu bahwa saat itu dia
sedang berlagak, "kenapa kau ingin melolohku
hingga mabuk?"
"Bila seorang lelaki ingin meloloh seorang
wanita hingga mabuk, biasanya terdapat beratus
macam dalih, tapi aku berani menjamin, dari
berapa ratus dalih yang ada, tak satu pun yang
bisa menangkan dalih yang akan kukemukakan."
"Dalih apa itu?"
"Sampai waktunya kau pasti akan tahu dengan
sendirinya," suara tawa Yap Kay kelihatan begitu
misterius. Sebetulnya So Ming-ming ingin bertanya lagi,
kebetulan pelayan datang mengantar arak dan
hidangan, terpaksa ia menghentikan katakatanya.
Menanti pelayan berlalu, baru dia berkata,
"Kalau tidak kau katakan, aku tidak mau minum"
"Hanya ada satu cara bila kau ingin
mengetahuinya." "Cara apa itu?"
"Minum saja dulu," sahut Yap Kay tertawa,
"hanya dengan minum arak lebih dulu baru kau
akan tahu apa dalih yang akan kukemukakan."
Arak masih ada dalam guci, cawan masih ada di
tangan, namun orangnya sudah tergeletak di atas
meja. Sudah hampir satu jam lamanya mereka
menenggak susu macan, namun belum ada
pertanda mabuk di wajah masing-masing,
khususnya So Ming-ming, gadis itu malah terlihat
makin meneguk sinar kesepian terpancar makin
tebal. Begitu dia mulai meneguk cawan yang
pertama, Yap Kay segera mengetahui bahwa
bukan pekerjaan gampang untuk meloloh gadis
itu hingga mabuk, bahkan asal dia sendiri bisa
bertahan tidak mabuk pun sudah hebat.
Setiap meneguk secawan arak, sayur
sesuap segera mengikuti, itulah cara So
Ming-ming meneguk air kata-kata, belum
sampai satu jam paling tidak ia sudah
menghabiskan tiga puluhan cawan arak.
Tiga puluh cawan arak dengan tiga puluh suap
masakan, Yap Kay benar-benar sangsi bagaimana
mungkin sayur dan arak itu bisa muat dalam
perut So Ming-ming, padahal tubuhnya kurus
ceking, tak nyana mempunyai takaran minum dan
makan yang luar biasa besarnya.
Bagi Yap Kay, minum arak mungkin bukan
masalah baginya, tapi kalau disuruh bersantap,
dia hanya bisa memegang perut sendiri sambil
menggeleng kepala dan menghela napas berulang
kali. "Kenapa kau menghela napas?" tanya So Mingming.
"Aku betul-betul seorang lelaki bodoh," ujar
Yap Kay, "ternyata aku meloloh seorang
perempuan yang tumbuh dewasa sembari tidur."
Kemudian setelah menghela napas lagi,
tambahnya, "Bukankah sama artinya aku sedang
mencari penyakit buat diri sendiri?"
Kontan saja So Ming-ming tertawa cekikikan
sehabis mendengar kata-katanya itu, tegurnya,
"Baru minum satu jam, masa kau sudah tak
sanggup meneguk lebih banyak?"
"Kalau suruh aku makan hidangan, lebih baik
aku menyerah saja," sahut Yap Kay tertawa, "tapi
soal arak" Jangankan baru satu jam, tiga jam lagi
pun bukan masalah."
Dia mendongakkan kepala memandang gadis
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, kemudian tambahnya, "Bagaimana dengan
kau sendiri?"
So Ming-ming tidak segera menjawab, dia
tertawa lebih dulu lalu meneguk habis secawan
arak, setelah memenuhi kembali cawannya yang
kosong baru dia berkata, "Tahukah kau, sejak
usia berapa aku mulai minum arak?"
"Lima belas tahun."
"Keliru, tiga belas tahun. Ketika usiaku baru
mencapai tiga belas tahun, sudah banyak orang
ingin melolohku sampai mabuk."
"Bagaimana akhirnya" Berapa kali kau berhasil
diloloh hingga mabuk?"
Asal kau seorang lelaki, kau pasti ingin
mengetahui jawaban dari pertanyaan ini.
"Kalau dibilang aku tak pernah mabuk garagara
diloloh, jelas jawaban itu bohong, menipu
orang," kata So Ming-ming sambil tertawa,
"hanya satu kali."
"Satu kali," Yap Kay menggeleng sambil
menghela napas, "satu kali pun sudah luar biasa."
Tentu saja So Ming-ming mengetahui apa yang
dimaksud Yap Kay, setelah tertawa katanya lagi,
"Kali itu adalah saat Ciciku menikah, aku diloloh
Ciciku hingga mabuk."
"Cicimu yang meloloh?"
"Betul."
"Kalau takaran minummu saja sudah cukup
membuat orang mati lantaran kaget, berarti
kehebatan Cicimu cukup membuat setan pun
ketakutan?"
"Sesungguhnya Ciciku memang sudah tersohor
sebagai jagoan arak dari Lhasa."
"Lhasa" Kau maksudkan kota suci orang Tibet?"
"Memangnya masih ada kota Lhasa lainnya?"
"Jadi kau dan Cicimu dilahirkan di kota Lhasa?"
"Selain dilahirkan, kami pun dibesarkan di
sana," So Ming-ming menerangkan, "kami dua
bersaudara dijamin memang ayam kampung dari
Lhasa." "Ayam kampung?" sekali lagi Yap Kay dibuat
melengak. "Itu perumpamaan," kembali So Ming-ming
menerangkan sambil tertawa, "orang-orang yang
lahir dan dibesarkan di kota Lhasa biasanya
dipanggil ayam kampung."
Langit bersambungan dengan bumi, sejauh
mata memandang hanya pasir kuning yang
beterbangan di angkasa.
Jarang ada makanan dan hidangan yang
disajikan di pinggiran kota lolos dari sergapan
pasir, setiap suap hidangan yang kau makan
sama artinya dengan kau melahap sesuap pasir.
Memang itulah salah satu ciri khas kehidupan di
pinggiran. Masih untung daun jendela yang ada di rumah
makan bakmi dimana Yap Kay sedang bersantap
saat ini dilapisi dengan kertas tebal, oleh sebab
itu sedikit sekali pasir kuning yang tercampur
dalam hidangan mereka.
Jendela dengan kertas tebal selain bisa
digunakan untuk menahan hembusan pasir, dapat
juga mengurangi teriknya panas matahari, hanya
saja udara jadi terasa lebih lembab.
Kalau tiada hembusan angin, tentu hawa
panas tak bisa terusir.
Banyak sekali kejadian seperti itu berlangsung
di dunia ini, ada sisi untung pasti ada sisi rugi,
oleh karena itulah sebagai manusia janganlah
kelewat pelit dan hitungan.
Yap Kay berulang kali menyeka peluh yang
membasahi jidatnya, lalu dengan kipas berusaha
mendinginkan badannya yang terasa gerah.
Entah karena sebagai 'ayam kampung' sudah
terbiasa dengan udara di situ atau karena sebab
lain, So Ming-ming bukan saja tidak berkeringat,
malah wajahnya tak nampak merah, napas pun
tak terlihat terengah-engah.
"Tampaknya kau memang benar-benar ayam
kampung dari wilayah Kanglam," olok So Mingming
sambil tertawa, "padahal saat ini musim
panas baru tiba, baru begini sudah kepayahan,
apalagi kalau musim panas sudah datang, apa
jadinya kau?"
"Apa lagi" Tentu saja mencari tempat untuk
berteduh," sahut Yap Kay sambil tertawa, "atau
paling sebagian besar waktuku kugunakan untuk
berendam dalam air."
Baru saja So Ming-ming ingin tertawa,
mendadak terdengar suara seorang bocah
perempuan berkumandang dari luar pintu.
"Jangan kuatir, sampai waktunya siapa tahu
orang itu sudah tidak berada di tempat jorok
seperti ini."
Begitu suara itu bergema, tahu-tahu So Mingming
sudah melihat seorang nenek kerdil sudah
berdiri tepat di hadapannya.
Tentu saja Yap Kay tahu siapa gerangan orang
ini, tapi dia betul tak habis mengerti mengapa
Gwe-popo bisa muncul pula di sana"
So Ming-ming tidak kenal nenek kecil mungil
itu, selama hidup belum pernah ia bersua dengan
seorang nenek yang sedemikian aneh, bahkan
diapun tidak mengira bakal bertemu dengan
seorang macam begini.
Nenek kecil mungil itu bukan cuma kelihatan
sangat tua bahkan luar biasa mini, ada beberapa
bagian tubuhnya kelihatan jauh lebih tua dari
siapa pun, ada pula beberapa bagian tubuhnya
yang nampak jauh lebih kecil dan mini ketimbang
siapa pun. Nenek itu benar-benar sangat tua dan mini,
tapi kulit wajahnya justru lebih halus dan lembut
ketimbang wajah seorang bayi, selain putih juga
terasa begitu halus dan lembut, semu merah di
antara putih dan empuk bagaikan tahu, apalagi
suaranya, bukan saja merdu dan halus, bahkan
lebih manja dari suara gadis remaja.
So Ming-ming memandang nenek yang serba
luar biasa ini, hampir saja dia tertawa geli, sebab
si nenek sedang menggunakan matanya yang
lembut untuk memandang Yap Kay.
Padahal sejak berusia tiga-empat belas tahun
Yap Kay sudah terbiasa diawasi orang, khususnya
oleh kaum gadis. Sampai berumur tiga puluh satu
tahun, dia masih sering diawasi orang, diawasi
berbagai jenis perempuan. Jadi sebetulnya dia
sudah terbiasa ditatap orang.
Tapi sejak ditatap si nenek semalam, entah
mengapa tiba-tiba ia merasa rikuh sekali.
Apalagi sekarang, ia mulai merasa tak leluasa
dengan tatapan si nenek itu, pipinya terasa mulai
panas dan memerah.
"Apa yang kau pandang?" akhirnya tak tahan
Yap Kay bertanya.
"Aku sedang memandangmu," jawab si nenek.
Yap Kay sengaja menghela napas panjang,
katanya, "Aku sudah tua bangka, buat apa
melihatku?"
Gwe-popo tak mau kalah, dia pun sengaja
menghela napas sambil menyahut, "Aku pun
sudah nenek-nenek, kalau bukan memandang
kakek tua, siapa pula yang kupandang?"
Sebetulnya So Ming-ming tak ingin tertawa,
apa mau dikata ia justru tak kuasa menahan rasa
gelinya lagi, secara tiba-tiba ia merasa bahwa si
nenek betul-betul seorang yang menarik.
Bab 2. CINTA KADALUWARSA
"Baik-baikkah kau!" sapa So Ming-ming
kemudian. "Aku sangat baik, begitu baik sampai tak
terkirakan."
"Siapa namamu" Mau apa datang kemari?"
"Aku bukan bermarga siapa, kemari pun tak
ada urusan apa-apa," sahut Gwe-popo, "aku
kemari lantaran satu urusan yang sama sekali tak
berarti." "Urusan apa?"
"Coba saja kau tebak," sahut Gwe-popo lagi
sambil memutar biji matanya, "asal tebakanmu
betul, aku akan menyembahmu sebanyak tiga
ribu enam ratus kali."
"Buat apa kau menyembah begitu banyak"
Tentu kau akan lelah!" So Ming-ming
menggeleng, "aku bertanya justru lantaran aku
tak bisa menebak apa maksudmu datang kemari."
"Tentu saja kau tak mampu menebak, selama
hidup jangan harap kau bisa menebaknya."
"Kalau memang begitu, kenapa tidak segera
kau terangkan?"
"Biarpun sudah kukatakan pun belum tentu kau
percaya." "Coba katakan."
"Baik, akan kukatakan," tiba-tiba Gwe-popo
berpaling ke arah Yap Kay, kemudian
melanjutkan, "aku datang kemari lantaran aku
ingin menelanjangi kau dan memandang setiap
jengkal badanmu dengan seksama."
Kontan So Ming-ming tergelak, mula-mula dia
terperangah tapi kemudian rasa geli mengalahkan
perasaan tercengangnya, selama hidup belum
pernah ia mendengar ocehan sekonyol itu,
bahkan mimpi pun tak mengira bakal mendengar
lelucon semacam ini.
Yap Kay betul-betul tak mampu tertawa.
Sebetulnya dia masih bisa tertawa, dalam
keadaan biasa dia bakal tertawa keras mendengar
ucapan semacam itu, sekarang ia terbungkam,
benar-benar tak mampu tertawa lagi, sebab dia
kelewat memahami tabiat Gwe-popo.
Dia sangat memahami tabiatnya yang bertindak
sesuka hati. Kalau Tui hong siu tersohor karena
keras kepala, maka Gwe-popo terkenal karena
tindak-tanduknya yang liar.
Teringat akan hal ini, Yap Kay tak sanggup
tertawa lagi, namun dia masih mencoba
memaksakan diri menampilkan sekulum
senyuman. Masih mendingan jika dia tidak tertawa, begitu
tersenyum maka wajahnya kelihatan jelek hingga
menyerupai orang sedang menangis
"Jangan kau perlihatkan mimik muka seperti
itu," buru-buru Gwe-popo mencela dengan penuh
rasa sayang, "sikap semacam itu bisa membuat
wajahmu berkerut dan cepat tua."
"Ai... aku lebih suka kulit wajahku saat ini
berubah jadi tua dan jelek, seperti wajah kakek
berusia sembilan puluh tahun," gumam Yap Kay
sambil tertawa getir.
Tiba-tiba So Ming-ming menarik kembali
senyumannya, dengan sikap yang lebih serius
tanyanya kepada Gwe-popo, "Jadi kau benarbenar
akan menelanjangi dia dan menikmati
tubuh bugilnya" Sekarang juga" Di tempat ini?"
"Apa salahnya kulakukan sekarang"
Memangnya kurang cocok?"
"Jelas tidak boleh dan tidak cocok," teriak Yap
Kay gelisah. "Kenapa?"
"Bukankah Siau-ling-ji belum menunjuk calon
suaminya, mana boleh kau telanjangi aku lebih
dulu?" protes Yap Kay, "lagi pula sudah dia
katakan kau tak boleh melakukannya di siang hari
bolong, apalagi di depan umum."
"Baiklah, aku pasti akan membuat kau bugil
dengan perasaan ikhlas!" kata Gwe-popo
kemudian. Begitu selesai berkata, seperti sewaktu masuk
tadi, tahu-tahu Gwe-popo sudah lenyap dari
pandangan mata. Coba seandainya tidak tersisa
bau harum tubuhnya, So Ming-ming pasti mengira
dia sedang mabuk berat.
Kini Yap Kay bisa menghembuskan napas lega,
perasaan tegang pun berangsur mengendor,
berulang kali dia meneguk arak untuk meredakan
hatinya yang berdebar.
"Dia benar-benar akan melucuti pakaianmu
hingga telanjang?" tanya So Ming-ming kemudian
selesai meneguk arak.
"Jika kau sudah tahu siapa nenek itu,
pertanyaan ini pasti tak akan kau ajukan."
"Lalu siapakah dia?"
"Pernah kau dengar nama besar Tui hong siu?"
"Tui hong siu" Belum pernah!"
"Nama Gwe-popo?"
Kembali So Ming-ming menggeleng,
"Aku hanya tahu seorang lelaki bernama Yap
Kay, ternyata dia hanya setan bernyali kecil, baru
ada seorang nenek ingin menelanjangi dia,
ternyata dia sudah ketakutan setengah mati."
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau manusia seperti Tui hong siu dan Gwepopo
pun sama sekali tidak diketahui olehnya,
bagaimana mungkin nona itu bisa memahami
perasaan takut Yap Kay" Oleh sebab itu Yap Kay
enggan memberi penjelasan lebih lanjut, dia
hanya tertawa getir, hanya meneguk araknya
secawan demi secawan.
Tampaknya So Ming-ming tak berniat
menyudahi pertanyaannya, kembali ia berkata,
"Siapa pula Siau ling-ji itu" Apakah dia seorang
perempuan" Masih muda" Atau sudah neneknenek?"
Yap Kay mengerti, bila tidak ia ceritakan kisah
pengalamannya semalam, jangan harap
kehidupannya di masa datang bisa dilewatkan
dengan tenteram, maka secara ringkas dia pun
mengisahkan kembali kejadian semalam.
So Ming-ming termenung sambil melamun
selesai mendengar penuturan Yap Kay, dia seakan
terjerumus dalam pemikiran yang serius, biar
cawan arak di tangan namun tak sekali pun
diteguk isinya, sementara sorot matanya
memandang ke tempat jauh dengan termangu.
Yap Kay tercengang melihat sikapnya itu,
bukankah peristiwa yang berlangsung semalam
sama sekali tak ada hubungan atau sangkut-paut
dengan dirinya" Bahkan semua orang yang hadir
semalam pun tak ada sangkut-pautnya, kenapa
sikapnya tiba-tiba berubah jadi sangat aneh"
Begitulah, untuk sesaat mereka berdua hanya
membungkam dan masing-masing terjerumus
dalam pemikiran sendiri-sendiri.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya
terdengar So Ming-ming menghembuskan napas
panjang, lalu berkata, "Mungkinkah orang yang
dipanggil Ong-supek adalah tua bangka aneh
itu?" "Tua bangka aneh" Tua bangka aneh yang
mana" Kau kenal orang itu?" tanya Yap Kay.
Perlahan-lahan So Ming-ming menarik kembali
sorot matanya dan meneguk habis isi cawannya,
tapi suaranya seolah masih tertinggal di tempat
jauh, ujarnya, "Di dalam kota Lhasa terdapat
sebuah istana yang bernama istana Potala,
kurang lebih seratus lima puluh li dari istana
Potala ada sebuah bukit yang bernama Cagopoli,
di atas bukit inilah terdapat sebuah tempat yang
disebut kebun monyet."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas,
kembali gadis itu melanjutkan, "Pemilik kebun
monyet adalah seorang kakek yang aneh, dia
sudah berumur seratus tahun, dari marga Ong.
Anak-anak yang tinggal di Lhasa biasa
memanggilnya sebagai Ong-supek."
"Kebun monyet" Ong-supek?" wajah Yap Kay
mulai berseri, "apakah orang tua yang bernama
Ong-supek ini amat suka dengan monyet?"
"Bukan hanya suka, bahkan nyaris suka
setengah mati, sukanya mendekati gila," So MingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ming menerangkan sambil tertawa, "di dalam
kebunnya paling tidak terdapat seribu ekor
monyet, monyet jenis apa pun terdapat di situ,
bahkan terdapat sejenis monyet yang mimpi pun
tak pernah kau bayangkan."
Tiba-tiba mimik mukanya menunjukkan
perubahan yang aneh, katanya lagi, "Aku dengar
di situ terdapat sejenis monyet yang aneh, konon
meski berbadan monyet tapi berkepala manusia."
"Kepala manusia bertubuh monyet?" Yap Kay
tertegun. "Benar, bahkan pandai pula berbicara."
"Ah, mana mungkin di dunia ini terdapat
monyet jenis seperti itu" sahut Yap Kay dengan
wajah sangsi, "apakah kau pernah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri?"
"Belum pernah! Tapi anak-anak yang tinggal di
Lhasa pernah bersumpah kepadaku bahwa
mereka pernah bertemu, malah pernah
mendengar monyet itu berbicara."
Bila seorang kakek aneh berusia seratus tahun,
sebuah kebun yang penuh dengan monyet dan
sejenis monyet berkepala manusia yang dapat
berbicara digabungkan menjadi satu, akan
muncul gambaran seperti apa"
"Aku malah pernah mendengar bahwa dalam
kebun monyet itu tinggal pula sepasang suami
istri kecil mungil serta seorang nona cilik,"
kembali So Ming-ming melanjutkan perkataannya.
"Sepasang suami istri kecil mungil dan seorang
nona cilik?" bisik Yap Kay cepat, dia semakin
tertarik kisah ini.
"Itulah sebabnya sewaktu kudengar kau
bercerita tentang Pek Ih-ling serta kakek tua Ong,
dalam benakku segera terlintas kebun monyet
itu," kata So Ming-ming, "kau menyinggung
tentang sepasang suami istri kerdil itu, aku
semakin yakin Pek Ih-ling sebetulnya adalah si
nona cilik yang tinggal dalam kebun monyet."
"Ehm, ada kemungkinan benar," Yap Kay
manggut-manggut setelah berpikir sejenak.
Tiba-tiba So Ming-ming berbisik, "Kau ingin
melihat keadaan di situ?"
"Melihat apa?"
"Melihat kebun monyet, sekalian melihat si
monyet yang pandai berbicara."
Mau! Sudah pasti mau! Kalau tak mau berarti
dia adalah kura-kura.
Malam itu, sesudah meninggalkan ruang
gedung utama, Pho Ang-soat berjalan menuju ke
kamar tidurnya, tapi dia sama sekali tidak tidur.
Begitu masuk ke dalam kamar dan menutup
pintu, ia segera melesat keluar lagi lewat jendela
dan melayang naik ke atap rumah, di situ ia
menunggu dan melakukan pengamatan, setelah
yakin semua orang telah kembali ke kamar
masing-masing untuk beristirahat, baru ia
meluncur ke kamar tidur Be Hong-ling.
Jangan dilihat sewaktu berjalan gerak-geriknya
begitu lamban dan berat, begitu menggunakan
Ginkangnya, ia bergerak sangat indah dan cepat.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun dia
melayang masuk ke dalam kamar Be Hong-ling,
begitu melompat turun dia pun mendekam tanpa
bergerak, menunggu matanya sudah dapat
menyesuaikan diri dengan kegelapan di situ,
perlahan-lahan baru dia berjalan menuju
pembaringan dan merebahkan diri.
Begitu badannya rebah, dia pun
memejamkan mata, seolah-olah maksud
kedatangannya ke situ adalah untuk tidur.
Benarkah dia datang ke sana untuk tidur"
Malam ini berbintang, tapi sayang cahaya
bintang amat redup, ada rembulan tapi sinar
rembulan pun suram, begitu suram dan redup.
Rembulan tiada bersuara, begitu pula dengan
sang bintang. Suasana di dalam kamar Be Hong-ling pun
sangat hening, benarkah Pho Ang-soat telah
tertidur" Kini tengah malam sudah lewat, memang saat
paling nyenyak untuk tidur, tapi saat yang paling
tepat juga untuk mereka yang berjalan malam
mulai beroperasi.
Dari balik kertas putih pada daun jendela tibatiba
muncul seseorang, ia berhenti sejenak
seakan sedang memastikan adakah orang di
dalam kamar, sesaat kemudian baru ia berlalu
dari situ. Di bawah cahaya rembulan kembali muncul
seseorang yang mengenakan Ya heng ih (pakaian
berjalan malam) dan berkerudung hitam sehingga
hanya terlihat sepasang matanya yang tajam.
Kini sepasang mata itu sedang mengawasi
ruang dalam, cahaya rembulan yang redup hanya
sempat menyinari meja dan bangku, namun tak
mampu menjangkau ranjang di sudut dinding.
Sekilas perasaan puas melintas di balik mata
orang berbaju hitam itu, dengan sekali lompatan
ia sudah menerobos masuk ke dalam kamar,
merapatkan kembali daun jendela dan secepat
kilat tubuhnya telah menerjang ke depan meja
rias. Tampaknya dia sangat hapal dengan segala
sesuatu yang berada di situ, tangannya langsung
membuka laci ketiga di sisi kiri meja, kemudian
mengambil sesuatu.
Tanpa diperiksa lagi benda itu dimasukkan ke
dalam saku, seusai menutup kembali lacinya, dia
membalikkan tubuh siap kabur dari sana.
Mendadak ia menyadari sesuatu, ia saksikan
seseorang telah berdiri menghadang tepat di
depan jendela. Orang yang berdiri di hadapannya mempunyai
mata yang sangat hitam, namun sinar matanya
begitu dingin, paras mukanya pucat-pasi,
tangannya pun putih memucat, hanya golok
dalam genggamannya yang berwarna hitam
pekat. Begitu hitam pekat seakan datangnya
kematian! Sebelum orang berbaju hitam itu mendekati
kamar, Pho Ang-soat sudah mengetahui
kehadirannya, di balik kegelapan secara lamatlamat
ia dapat melihat sekulum senyuman dingin
yang menghiasi ujung bibirnya.
Tujuan kedatangannya malam ini ke kamar Be
Hong-ling tak lain karena hendak menunggu saat
seperti ini, setelah melakukan permainan
'memungut rambut putih' dari lantai, dia percaya
dan yakin malam ini sang pembunuh pasti akan
melakukan aksinya.
Ternyata apa yang diduganya tidak keliru.
Kini walaupun dia telah saling berhadapan
dengan orang berbaju hitam yang cuma nampak
matanya ini, ternyata Pho Ang-soat masih belum
bisa menebak siapa gerangan dirinya, tapi ada
satu hal yang pasti adalah orang itu lelaki.
Sesaat setelah kedua orang itu saling tatap,
dengan cepat orang itu membalikkan badan dan
berlari menuju ke arah lain, siapa tahu baru saja
tiba di depan pintu, lagi-lagi Pho Ang-soat telah
berdiri menanti di situ.
Sorot mata yang dingin dengan golok berwarna
hitam pekat. "Kau tidak patut melakukan hal ini," tegur Pho
Ang-soat dingin.
"Aku tidak patut?"
"Kau tidak patut melimpahkan semua
kesalahan dan dosamu ke pundakku," ucap Pho
Ang-soat lambat, seolah kuatir pihak lawan tidak
memahami perkataannya.
Tiba-tiba saja orang itu bungkam, tubuhnya
tidak bergerak, hanya sinar matanya yang
berkedip tak tenang, seakan sedang memeras
otak, seperti juga ketakutan.
Pho Ang-soat tidak bergerak, tiada kilatan sinar
mata, dia hanya memandang orang itu dingin dan
hambar. Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya sambil
menghela napas panjang perlahan-lahan orang itu
melolos sebilah golok dari belakang punggungnya.
Sebilah golok dengan taburan mutiara pada
gagangnya, golok yang bersinar tajam.
Ketika dia mengawasi golok dalam
genggamannya, seolah sedang mengawasi sang
kekasih, sambil membelai gagang goloknya
dengan penuh kasih sayang, ujarnya lembut,
"Aku berlatih golok sejak usia lima belas tahun,
kini umurku lima puluh dua tahun, berarti sudah
tiga puluh delapan tahun lamanya aku melatih
diri," gumam orang itu, "hampir setiap hari aku
bermimpi bisa menjadi jago golok tercepat di
kolong langit."
Asal kau adalah orang persilatan, siapa pun
pasti mempunyai keinginan seperti itu.
"Tapi aku tahu, mustahil impianku menjadi
kenyataan... karena aku kelewat suka menikmati
hidup." Dari bentuk senjatanya saja orang sudah tahu.
Golok dipakai untuk membunuh, bukan
melambangkan status dan kedudukan.
Tapi golok bertaburkan permata miliknya
kadangkala justru tak sanggup menghadapi
sebilah golok biasa.
Apalagi jika golok itu golok hitam yang berada
di tangan Pho Ang-soat.
Biar berbeda bentuk, namun kedua bilah
senjata itu mempunyai kegunaan yang sama,
keduanya sama-sama golok, keduanya sering
dipakai untuk membunuh orang.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sinar sebening permata memancar dari balik
mata orang itu.
"Setelah impian pertama susah terwujud, tentu
aku masih punya impian kedua," katanya, "hanya
sayang impianku yang kedua pun tampaknya
susah untuk terwujud."
"Trang...!" Suara golok tercabut dari sarungnya
bergema hampir bersamaan selesainya katakatanya,
begitu golok dicabut, sinar mata
kepedihan terpancar dari balik matanya.
Semacam kepedihan yang tak mungkin bisa
terlupakan untuk selamanya.
Dia meraung keras, tiba-tiba mengayunkan
goloknya. Di saat golok diayunkan, saat itulah
kematian menjelang tiba. Di saat ia mencabut
golok, Pho Ang-soat tidak bergerak. Di saat dia
mengayunkan goloknya, Pho Ang-soat masih
juga tidak bergerak.
Sampai mata goloknya tinggal lima inci dari
tenggorokan Pho Ang-soat pun seolah belum juga
bergerak, sebab dia sama sekali tidak melihat
adanya kilatan cahaya golok.
Dia hanya mendengar satu suara yang sangat
ringan, halus, lembut, indah dan seakan suara
golok di kejauhan sana.
Menanti ia mendengar suara golok itu, Pho
Ang-soat telah lenyap dari pandangan matanya,
dia telah kehilangan lawan, langit, bumi, sinar
matanya dan segala sesuatu yang dimilikinya.
Dia hanya menjumpai tubuhnya sudah
tergeletak di tengah genangan darah, Pho Angsoat
berdiri persis di hadapannya.
Tiba-tiba orang berbaju hitam itu menangkap
perasaan sedih dan secercah perasaan iba dari
balik mata Pho Ang-soat yang dingin.
Apa yang dia sedihkan" Sedih karena
membunuhnya" Kenapa dia harus iba" Iba karena
harus membunuh orang berbaju hitam itu"
Orang itu balas menatap Pho Ang-soat, tibatiba
ia berseru sambil tertawa tergelak, "Bila kau
tidak melepaskan kain kerudung wajahku,
kujamin kau tak bakal bisa menebak siapakah
diriku." "Aku tahu, aku tahu siapakah kau," jawab Pho
Ang-soat singkat.
"Kau tahu?" orang itu nampak terkesiap, "kau
tahu siapakah aku?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, hanya sorot
matanya dialihkan ke butiran mutiara yang kini
tergeletak di tengah genangan darah.
Babatan golok Pho Ang-soat tadi bukan saja
telah merobek tenggorokan orang berbaju hitam
itu, merobek juga pakaiannya.
Benda yang baru saja diambil orang itu dari
laci, kini sudah tergeletak di tengah genangan
darah segar. Biar darah berwarna merah, mutiara itu masih
memantulkan cahaya yang berkilauan.
Tertegun orang itu memandang mutiara di
tengah genangan darah, kemudian baru ia
berkata perlahan, "Ternyata kau memang
sudah tahu siapa aku."
Pho Ang-soat tidak menjawab, namun perasaan
iba semakin tebal memancar dari balik matanya.
Dengan tangan kirinya yang gemetar orang itu
memungut mutiara itu dari genangan darah.
Cahaya mutiara gemerlap bagai cahaya
bintang, sementara darah segar memerah bagai
bunga mawar, butiran darah masih mengucur dari
mulut luka, membasahi mutiara itu dan menetes
ke tengah genangan.
Dengan tangan kanannya orang itu melepas
kerudung mukanya, kemudian membungkus
mutiara itu, membungkus dengan hati-hati,
seolah bungkusan itu adalah hadiah yang akan
diberikan kepada kekasih hat inya.
Cahaya rembulan bagai kerlingan mata sang
kekasih, memancar di wajah orang itu.
Ternyata orang yang tak mungkin bisa
mewujudkan impian keduanya ini tak lain adalah
Loh Loh-san. Selesai membungkus mutiara itu, Loh Loh-san
menyodorkan bungkusan itu sambil berkata,
"Impianku tak mungkin bisa terwujud, maukah
kau menyerahkan bungkusan ini kepadanya?"
"Baik."
Pho Ang-soat menerima bungkusan itu, bahkan
dengan tegas berjanji, "Aku pasti akan
menyerahkan sendiri ke tangannya."
"Terima kasih."
Itulah perkataan terakhir yang diucapkan Loh
Loh-san sebelum akhir hidupnya.
Mengawasi Loh Loh-san yang mati dengan
membawa kelegaan, cahaya pilu semakin kental
memancar dari balik mata Pho Ang-soat.
Ternyata kedatangan Loh Loh-san ke kamar
tidur Be Hong-ling bukan lantaran dia
pembunuhnya, tapi ia datang untuk
menghilangkan barang bukt i.
Dia datang ke sana karena ingin mengambil
mutiara itu. Dia ingin memberikan benda itu
untuk seorang nona yang cantik dan masih muda,
gadis yang menurutnya bakal menyukai dirinya.
Mengawasi mayat Loh Loh-san yang mulai
membujur kaku, Pho Ang-soat seolah mendengar
kata-kata Pek Ih-ling semalam, "Biarpun orang
muda lebih tampan dan gagah, sayang dalam hal
ekonomi mereka lemah!"
Ternyata gara-gara perkataan itulah kematian
telah menimpa dirinya!
Ternyata Loh Loh-san menyangka dewa cinta
telah memilih dirinya, ternyata dia datang ke situ
hanya ingin mencuri mutiara dan menyerahkan
kepada Pek Ih-ling.
Apakah perbuatannya merupakan penampilan
perasaan cintanya" Tak tahan Pho Ang-soat
menghela napas panjang.
Bila orang berkata bahwa cinta yang
sesungguhnya hanya terjadi satu kali, tak
mungkin untuk kedua kalinya, maka apa yang
telah ia katakan tadi memang sangat masuk akal.
Karena cinta adalah sesuatu yang gampang
berubah sifat, dapat berubah menjadi cinta
karena persahabatan, sebagai saudara, bahkan
dapat juga berubah menjadi benci dan dendam.
Sebab antara cinta dan benci sebetulnya hanya
dipisahkan oleh pikiran sesaat.
Apa pun yang dapat berubah biasanya
gampang pula terlupakan.
Di saat perasaan cinta pertama mulai
memudar, terkadang bakal muncul cinta kedua,
perasaan cinta kedua seringkah akan berubah
menjadi semurni, sedalam, semesra dan
sependerita perasaan cinta pertama.
Cinta pun tidak membatasi usia, penyakit
menular ini bisa meracuni kaum muda, dapat pula
meracuni mereka yang sudah dewasa bahkan
yang sudah tua.
Biarpun anak muda lebih berani menyatakan
cinta, lebih berani menyataan benci, bahkan
ungkapan cinta mereka lebih panas dan
bergairah, namun orang dewasa pun terkadang
mudah tergila-gila, mudah terbuai gara-gara
pengaruh cinta.
Baik dia tua maupun muda, menghadapi
perasaan cinta biasanya akan bersikap lebih jujur.
Dia akan mencintai dengan sepenuh hati, tidak
segan mencintai dengan taruhan nyawa.
Sayangnya bagi sementara orang tua, kejujuran
cinta mereka biasanya justru dimanfaatkan oleh
pihak lain. Bukan cuma dimanfaatkan orang, malah
terkadang dimanfaatkan juga oleh diri sendiri.
Loh Loh-san adalah contoh yang jelas tentang
hal ini. Dia sangka Pek Ih-ling menaruh perasaan
terhadapnya, maka dengan perasaan jujur dan
tulus dia bersiap menerima luapan rasa cinta itu.
Tapi akhirnya dia harus kehilangan nyawa,
harus mengalami nasib tragis.
Ternyata cinta dapat menciptakan segalanya,
dapat memusnahkan segalanya pula.
Ya cinta! Segala sesuatunya hanya gara-gara
cinta! Bab 3. PHO ANG-SOAT TERANCAM
BAHAYA Hari telah terang tanah.
Sinar kepedihan belum luntur sama sekali dari
sorot mata Pho Ang-soat.
Kepedihan hatinya bukan lantaran kematian
Loh Loh-san, tapi karena perasaan cinta yang tak
berdaya. Dia pernah mengalami pengalaman pahit
seperti itu, dia pun pernah merasakan gejolak
perasaan yang tak berbendung, kobaran emosi
yang membuatnya tak segan mengorbankan
segala sesuatu.
Biarpun segala sesuatunya sekarang sudah
sejauh taburan bintang di langit, namun masih
tertanam dalam lubuk hatinya, bagai kutu yang
siang malam selalu menggerogoti tubuhnya.
Dia tak tahu sampai kapan dirinya baru bisa
lolos dari semua penderitaan itu.
Mengikuti munculnya sinar fajar, Pho Ang-soat
menggeliat sambil mengendorkan tubuhnya yang
kaku, tiba-tiba pandangannya terhenti pada
secercah cahaya matahari yang menembus
masuk lewat jendela, tiba-tiba saja ia teringat
pada kumpulan cahaya yang memancar dari balik
gundukan tanah.
"Tidakkah kau merasa bahwa semua kunci
persoalan terletak pada gundukan tanah itu?"
Itulah ucapan Yap Kay semalam sebelum
meninggalkan dirinya, sekalipun bukan terhitung
ucapan yang menyadarkan dia dari impian, tak
dapat disangkal petunjuk itu memang ada
benarnya. Langit mulai terang, dari kejauhan
terdengar ayam berkokok, namun jagad raya
masih gelap gulita, seakan masih terlelap
dalam t idurnya.
Pho Ang-soat melompat turun dari atas
ranjang, golok hitam pekat masih tergenggam di
tangan kirinya.
Hitam pekat bagai kematian, hitam pekat bagai
langit malam yang tiada tepian.
Dengan langkah kakinya yang aneh dan bebal
dia menuju pintu kamar, belum lagi membuka
pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan
sendirinya. Apakah pintu itu terbuka oleh hembusan angin"
Ataukah ada seseorang mendorongnya"
Ternyata yang mendorong pintu adalah si
kakek kerdil Tui hong siu, si kakek pengejar
angin. Pho Ang-soat tidak kaget, sedikit perasaan
kaget pun tak ada, dia seolah sudah menduga Tui
hong siu bakal membuka pintu pada saat itu.
"Selamat pagi!" sapa Tui hong siu sambil
tertawa. "Ada urusan?" tegur Pho Ang-soat ketus.
"Tentu saja ada, kalau tak ada urusan buat apa
pagi-pagi sudah berdiri menunggu di depan pintu
kamar orang."
Pho Ang-soat bergeser ke samping membiarkan
Tui hong siu masuk, kemudian setelah duduk di
hadapan tamunya baru ia bertanya, "Ada urusan
apa?" "Sudah lama aku kawin dengan si nenek tua,
sayangnya jangankan punya anak, bertelur
sebutir pun tak pernah, itulah sebabnya kami
selalu menyayangi Pek Ih-ling bagaikan
menyayangi anak kandung sendiri."
Tui hong siu berhenti sejenak menarik napas,
kemudian lanjutnya, "Itulah sebabnya urusan
perkawinannya merupakan masalah besar bagi
kami, bukankah untuk itu kami harus bersikap
lebih serius?"
"Apa sangkut-pautnya dengan aku?"
"Tentu saja ada. Jika Siau ling-ji memilih kau,
bukankah antara kau dan kami jadi ada sangkutpautnya."
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia hanya
tertawa dingin.
"Bagi kami, latar belakang dan asal-usul
bukanlah masalah yang penting," ujar Tui hong
siu lagi, "bagi seorang wanita, kebahagiaan
hiduplah segalanya, asal sang suami
mencintainya dan tahu bagaimana menyayangi,
hal itu jauh lebih penting. Tentu saja selain
kebahagiaan, suaminya pun harus seorang lelaki
yang memiliki kondisi kesehatan prima, hanya
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari tubuh yang primalah akan lahir keturunan
yang prima juga."
Dari nada bicara Tui hong siu, dia seolah sudah
menganggap Pho Ang-soat sebagai suami Pek Ihling.
"Suami yang sehat merupakan kebahagiaan
bagi sang istri," kata Tui hong siu sambil tertawa,
"sejak zaman dulu sudah begitu, aku percaya
selanjutnya pun akan begitu."
Ia memandang Pho Ang-soat sekejap sambil
tertawa, kemudian lanjutnya, "Oleh karena demi
kebahagiaan Siau ling-ji di kemudian hari, kami
wajib melakukan pemeriksaan lebih dulu atas
kesehatan suaminya, dalam hal ini kau setuju
bukan?" "Ada satu hal aku tak tahu, apakah kau pun
sudah memikirkan dengan jelas?" perlahan Pho
Ang-soat berkata.
"Hal apa?"
"Kalian seenaknya bicara seolah segala
sesuatunya bisa dilakukan semaumu sendiri,
pernahkah kalian pertimbangkan pihak lawan
merasa keberatan?"
"Tak bakal ada yang keberatan, apalagi Siau
ling-ji kami begitu cantik dan menawan, syarat
yang dia miliki pun sangat mendukung, hanya
orang tolol yang bakal menampik tawarannya."
"Kebetulan saat ini kau telah menjumpai satu di
antaranya," kata Pho Ang-soat dingin. Selesai
berkata dia pun beranjak meninggalkan ruangan
itu. Tui hong siu tidak menghalangi, namun
katanya, "Kusarankan kepadamu untuk
mendengarkan dulu satu hal sampai selesai
sebelum mempertimbangkan akan pergi atau
tidak." "Katakan!" kata Pho Ang-soat sambil
menghentikan langkahnya.
"Biarpun pada lima puluh tahun berselang
nama kami suami istri sudah termashur dalam
dunia persilatan, tapi sejak mengundurkan diri
dari keramaian dunia pada tiga puluh tahun lalu,
jarang sekali kami mencampuri urusan dunia
persilatan, dengan sendirinya perkembangan ilmu
silat kami pun ikut terhambat," kata Tui hong siu
hambar, "terlebih dengan munculnya jago-jago
muda dalam Bu-lim, jelas kehebatan orang
sekarang jauh melebihi kemampuan orang-orang
dulu." Ia bangkit, perlahan-lahan berjalan menuju ke
hadapan Pho Ang-soat, lalu katanya lagi,
"Sekalipun begitu, apabila keadaan mendesak,
terpaksa kami suami istri tetap akan turun tangan
juga, biar tak sanggup mengungguli lawan, meski
kami harus tewas gara-gara perbuatan ini, kami
tetap rela dan ikhlas melakukannya."
Sambil menatap wajah Pho Ang-soat, ujarnya,
"Sekarang kau sudah memahami maksudku
bukan?" Maksud perkataan itu jelas sekali, jika dia
masih ngotot ingin pergi atau tetap menolak,
terpaksa kita harus bertarung.
Pho Ang-soat mengerti, tentu saja Tui hong siu
juga mengerti, melihat Pho Ang-soat sama sekali
tidak melakukan tindakan apa pun sehabis
mengucapkan perkataan tadi, tanpa terasa
sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya.
Mendadak terdengar Pho Ang-soat berkata,
"Biarpun aku bukan orang Ouwlam, tapi sayang
watakku seperti keledai."
Lalu dia bertanya, "Di sini" Sekarang?"
Mau bertarung di sini" Atau ganti tempat lain"
Tentu saja Tui hong siu mengerti maksud
perkataan itu, tak heran senyumannya langsung
membeku, hanya sorot mata tajam yang
terpancar keluar.
Tiada angin yang berhembus, udara seakan
menjadi beku dalam waktu sekejap.
Pho Ang-soat sama sekali tak bergerak,
pancaran sinar matanya tetap dingin.
Tui hong siu juga tidak bergerak, sepasang
tangannya dibiarkan terkulai ke bawah.
Biarpun belum pernah ada berita dalam dunia
persilatan tentang jenis senjata andalannya, tapi
Pho Ang-soat tahu dia bersenjata, sebab ia telah
merasakan hawa membunuh yang terpancar dari
senjatanya. Hawa pedang yang lebih dingin dari salju, hawa
pedang itu terpancar dari tubuh Tui hong siu,
ternyata tubuh orang itu jauh lebih tajam
daripada sebilah pedang.
Tubuh kakek kecil itu memang merupakan
sebilah pedang!
Sejak terjun ke dunia Kangouw belasan tahun
berselang, boleh dibilang musuh macam apa pun
pernah dijumpainya, tentu saja di antara mereka
terdapat juga jago pedang yang tersohor akan
kehebatannya. Ada sementara orang memiliki ilmu pedang
yang ringan dan gesit, cepat, telengas dan ganas.
Siapa pun dia, biasanya keangkerannya baru
terwujud setelah melancarkan serangan dengan
jurus pedangnya.
Tapi kini bukan saja Tui hong siu belum
melancarkan serangan, bahkan seperti apakah
bentuk pedangnya pun tak ada yang tahu, tapi
Pho Ang-soat dapat merasakan tekanan hawa
pedang yang mengerikan.
Tiada hembusan angin, tapi ujung baju Tui
hong siu berkibar dan menari, kakinya sama
sekali tak bergerak, tapi Pho Ang-soat merasa
seakan-akan ia sedang bergeser.
Pho Ang-soat bisa merasakan hal seperti itu
karena Tui hong siu telah mengerahkan seluruh
kekuatan yang dimilikinya, seluruh kekuatan telah
diubah menjadi hawa pedang, yang membuat
orang lain hanya bisa merasakan tekanan hawa
pedangnya dan melupakan keberadaannya.
Tubuhnya telah menyatu dengan pedangnya,
membaur ke seluruh ruangan, membaur ke
seluruh jagad raya, oleh karena itulah di saat dia
tak bergerak, ia seolah-olah sedang bergerak, di
saat dia bergerak justru seolah-olah tidak
bergerak. Akhirnya Pho Ang-soat menyadari kehebatan
Cianpwe itu sebagai seorang jago pedang
memang bukan nama kosong belaka.
Menanti Pho Ang-soat bergerak, keadaan sudah
terlambat, seluruh tubuhnya sudah terkurung di
bawah tekanan hawa pedang Tui hong siu.
Selama hidup sudah ratusan kali dia
menghadapi musuh, dalam setiap pertarungan dia
selalu menunggu sampai pihak musuh turun
tangan lebih dulu, goloknya baru melancarkan
serangan balasan, sebab ilmu golok yang
dipelajarinya adalah ilmu golok yang
mengendalikan gerak dengan gerak, dengan
lambat mengatasi kecepatan.
Tapi kali ini dia benar-benar menyesal mengapa
tidak turun tangan lebih dahulu.
Tiba-tiba ia merasakan ilmu golok yang
dilatihnya selama ini telah kehilangan daya guna,
telah kehilangan manfaat di hadapan Tui hong
siu. Di saat Pho Ang-soat menyesal mengapa tidak
mencabut goloknya terlebih dulu, dan pada saat
Yap Kay menyaksikan Gwe-popo memasuki
warung bakmi, tanah gundukan yang telah digali
Yap Kay di dalam hutan lebat itu telah terjadi
perubahan. Gua yang semula kosong itu mendadak
mengeluarkan bunyi yang sangat aneh, seolaholah
ada seseorang sedang memutar roda gigi
sebuah mesin. Menyusul kemudian bergema suara mencicit
aneh dan terlihatlah seekor monyet melompat
keluar dari balik gua, melompat keluar dari gua
itu dan berdiri di sisinya sambil celingukan.
Monyet itu memiliki sepasang mata yang jeli
dan tajam, setelah memeriksa sekejap sekitar
tempat itu, dia langsung berlari menuju ke arah
hutan belantara.
Baru satu tombak monyet itu kabur, tiba-tiba
dari dalam gua meluncur seutas tali, "Sret!", tali
itu dengan cepat membelenggu tubuh monyet
yang sedang kabur itu.
Dengan sepasang tangannya monyet itu
berusaha melepas tali yang membelenggunya,
tapi bagaimana pun dia menarik, usahanya tak
berhasil. Akhirnya dengan gelisah binatang itu
berteriak-teriak sambil melompat ke sana kemari.
Tiba-tiba dari balik gua yang gelap
b Golok Halilintar 15 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Rahasia 180 Patung Mas 16
a, dinding penyekat yang membuat
perasaan sendiri susah untuk diungkap keluar dan
perasaan orang pun mustahil bisa menembus
masuk ke hatinya.
Oleh karena itu semakin sikapnya dingin dan
angkuh, semakin hampa perasaannya, makin
kesepian dan merana hatinya. Khususnya bila tiba
malam yang hening, sering dia merasa begitu
kesepian hingga nyaris menjadi gila.
Seringkah dia harus begadang karena susah
memejamkan mata, setiap kali begitu, dia hanya
bisa membelalakkan mata mengawasi kegelapan
malam di luar jendela hingga fajar menyingsing.
Sudah berapa kali dia ingin mencari pasangan
hidup yang bisa diajak meluapkan perasaan
kasihnya, menghilangkan rasa sepinya, saling
menghibur, saling mengungkap perasaan, namun
pada akhirnya dia tak berani melangkah lebih
jauh, dia tak berani mempersembahkan perasaan
sendiri. Belakangan dia seringkah merasa menyesal,
menyesal mengapa sikapnya terhadap Cui long
begitu keji, bisa jadi selama hidup hanya Cui long
seorang yang dicintainya, namun dia tak pernah
mau mengakui kenyataan itu.
Heran, mengapa manusia selalu tak pernah
bisa menghargai dan menyayangi perasaan yang
telah diperolehnya, mengapa baru dia menyesal
setelah kehilangan" Penderitaan semacam ini tak
disangkal merupakan penderitaan paling kuno
dan paling mendalam bagi umat manusia sejak
zaman dahulu kala.
Cahaya terang mencorong masuk dari luar
jendela, menyinari tubuh Pho Ang-soat yang
masih berbaring di atas ranjang.
Mengawasi orang itu, kembali pandangan sedih
melintas di wajah Yap Kay, sesungguhnya dia
sama sekali tak punya hubungan dengan orang
itu, dia memang hanya seorang biasa,
tapi dikarenakan keegoisan generasi
sebelumnya, karena dendam kesumat yang
keliru, dia telah diubah menjadi sebuah alat balas
dendam, alat balas dendam bagi kepentingan
orang itu. Walaupun kemudian Yap Kay mengungkap
rahasia itu, sayang sikap dan mental sebuah alat
balas dendam telah telanjur melekat di tubuh Pho
Ang-soat, membuat Yap Kay tidak mampu lagi
untuk menyelamatkan nya, tak mampu
mengubahnya....
Kembali Yap Kay meneguk araknya, sampai
lama kemudian baru ia bicara lagi, "Sebetulnya
Kongsun Toan termasuk jagoan temperamen,
kasar dan berangasan, tapi aneh, Kongsun Toan
yang muncul kali ini sama sekali berbeda, apakah
kau pun merasakan hal ini?"
Pho Ang-soat hanya mendengarkan, tanpa
menjawab. "Setelah menemukan Buyung Bing-cu tewas di
kamarmu, bukan saja dia tidak menyebar luaskan
berita ini, malah secara diam-diam menyingkirkan
jenazah dan membersihkan kamarmu. Bahkan
pagi tadi Be Khong-cun menegurmu, dia tak
pernah mengucapkan sepatah katapun, bahkan
sampai kau dipaksa turun tangan pun, Kongsun
Toan tak pernah menampilkan diri."
Ditatapnya wajah Pho Ang-soat lekat-lekat,
kemudian tambahnya, "Dari tindak-tanduknya
yang di luar kebiasaan, kesimpulan apa yang bisa
kau ambil?"
"Aku sedang mendengarkan," jawab Pho Angsoat.
"Aku lihat tujuan Ban be tong tak bakal
sesederhana itu, hanya bertujuan membunuh kita
berdua," ujar Yap Kay lagi, "kelihatannya mereka
lebih menitik beratkan pada kemunculannya
kembali dalam Bu-lim, mereka pasti mempunyai
rencana busuk yang lebih besar."
"Rencana busuk" Rencana busuk apa?"
Setelah meneguk kembali araknya, Yap Kay
baru berkata, "Bila Ban be tong ingin tampil
kembali ke dalam dunia persilatan, berapa banyak
uang yang dibutuhkan" Jangankan begitu besar
bangunan di tempat ini bisa pulih kembali
kemegahannya dalam semalam, cukup dari Be
Khong-cun sekalian, benarkah mereka hidup
kembali dari kematian?"
Yap Kay menertawakan diri sendiri, lalu
katanya lebih jauh, "Jangankan kau, aku
sendiri pun tidak percaya, tapi kita pasti sudah
melihatnya dengan jelas bahwa orang-orang itu
bukan hasil penyaruan orang lain, mereka benarbenar
adalah kelompok yang dulu."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Pagi tadi
aku telah bertemu Siau Piat-li, menurut
pendapatnya, hidupnya kembali orang-orang itu
lantaran terpengaruh oleh kemunculan komet
yang terjadi setiap tujuh puluh enam tahun satu
kali." "Terpengaruh komet?"
"Menurut dia, terdapat semacam kekuatan
misterius yang maha dahsyat hidup dalam alam
jagad kita, dan kekuatan misterius itu setiap
tujuh puluh enam tahun satu kali akan
terpengaruh oleh kehadiran komet itu," kata Yap
Kay sambil tertawa, "karena kekuatan misterius
itulah orang-orang yang telah mati bisa hidup
kembali." Kemudian sambil menatap rekannya ia
bertanya, "Apakah kau percaya?"
Pho Ang-soat tidak langsung menjawab, dia
berpikir sebentar, kemudian baru menyahut,
"Ternyata pernyataan Siau Piat-li mirip sekali
dengan perkataannya."
"Perkataan siapa?" "Yan Lam-hui!"
"Yan Lam-hui?" Yap Kay tertegun, "Yan Lamhui
si penerus Kongcu-ih?"
"Benar."
"Bukankah dia pun sudah mati, mati di ujung
golokmu sejak lima tahun berselang?"
"Sudah begitu banyak anggota Ban be tong
yang bangkit lagi dari kematian, apalagi hanya
seorang Yan Lam-hui," kata Pho Ang-soat
hambar. "Benar juga perkataanmu," Yap Kay tertawa
geli, "kapan kau bertemu dengannya" Apa saja
yang dia katakan?"
Pho Ang-soat pun segera bercerita bagaimana
sekembalinya ke kamar semalam ia mendengar
suara nyanyian, bagaimana melakukan
pengejaran dan di sebuah gundukan tanah
menjumpai peristiwa yang sangat aneh,
kemudian Yan Lam-hui muncul....
Matahari telah tenggelam di langit barat, awan
keabu-abuan mulai menyelimuti seluruh angkasa,
cahaya lentera mulai terlihat dari tempat
kejauhan sana. Pho Ang-soat belum menyulut lentera di dalam
kamarnya, mereka berdua masih tenggelam di
balik keremangan cuaca.
Sehabis mendengar penuturan Pho Ang-soat,
Yap Kay segera terjerumus dalam pemikiran yang
mendalam, alisnya berkerut kencang, secercah
cahaya mulai muncul dari balik matanya yang
cekung. Pho Ang-soat pun membungkam setelah selesai
menceritakan pengalamannya, dengan tenang dia
mengawasi Yap Kay, menunggu kesimpulan apa
yang akan diambil rekannya itu.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya dia
mengambil poci arak dan meneguk isinya,
kemudian baru berkata, "Gumpalan cahaya yang
memancar keluar dari balik gundukan tanah
berubah menjadi Yan Lam-hui" Benar-benar
peristiwa yang tak masuk akal, andaikata bukan
kau alami dengan mata kepala sendiri, siapa pun
tak bakal percaya."
"Aku yang mengalami sendiri peristiwa itu pun
tidak percaya, apalagi hanya mendengar dari
cerita orang."
"Konon di tempat kita hidup sekarang masih
terdapat dunia lain, pernyataan seperti ini mirip
pernyataan Siau Piat-li yang mengatakan terdapat
satu kekuatan misterius dalam kehidupan kita."
Yap Kay tertawa.
"Menurut pernyataan Yan Lam-hui, agar bisa
memasuki dunia keempat, seseorang harus mati
terlebih dulu," ungkap Pho Ang-soat, "berarti
semua penghuni dunia keempat adalah orangorang
yang bangkit kembali dari kematian."
"Mungkin semacam Be Khong-cun sekalian?"
Yap Kay menghela napas panjang, "tampaknya
kita hanya bisa melihat peristiwa itu sebagai
sebuah kenyataan"
"Kenyataan apa?"
"Kenyataan bahwa di tempat kehidupan kita
memang benar-benar terdapat semacam
kekuatan misterius yang maha dahsyat, bahwa di
sisi kehidupan kita masih terdapat dunia lain yang
disebut dunia keempat," kata Yap Kay sambil
tertawa, "kalau tidak, alasan tepat apa lagi yang
bisa kita gunakan untuk menjelaskan semua yang
telah kita jumpai selama ini?"
Tampaknya hanya kesimpulan itu yang terasa
paling cocok sampai saat itu.
Yap Kay memandang sekejap cuaca di luar
jendela, ternyata hari telah malam, sudah
saatnya bersantap dan saatnya pula Pek Ih-ling
hendak berjumpa dengan semua orang.
"Sewaktu makan malam nanti, entah
permainan baru apa lagi yang akan
diselenggarakan Be Khong-cun?" ujar Yap
Kay sambil bangkit,
"dari situasi sore tadi, delapan puluh persen
orang yang bakal dipilih Pek Ih-ling pastilah kau."
Tidak menunggu Pho Ang-soat bicara, Yap Kay
menambahkan, "Cuma kau jangan keburu
senang, siapa tahu bakal muncul kejutan lain."
Habis berkata Yap Kay segera berlalu dengan
senyum di kulum, dia yakin mimik muka Pho Angsoat
saat ini pasti tak sedap dipandang. Bagi
orang itu, persoalan apa pun boleh dibuat bahan
gurauan kecuali masalah yang berhubungan
dengan laki perempuan.
Memandang bayangan punggung Yap Kay yang
menghilang di balik pintu, Pho Ang-soat menghela
napas panjang, gumamnya, "Kau keliru besar,
bila aku tak bisa menghadapi gurauan semacam
ini, mana mungkin aku bisa hidup hingga kini?"
"Kau pun keliru," tiba-tiba wajah Yap Kay
muncul kembali di depan pintu, "apakah kau tidak
merasa bahwa gundukan tanah itu merupakan
kunci dari semua rahasia yang ada?"
Bab 7. MANUSIA KERDIL
Santap malam diselenggarakan di ruang utama
Ban be tong. Ada sembilan orang duduk mengelilingi sebuah
meja bundar, sementara dua-tiga puluhan orang
berdiri di sekitarnya untuk melayani kebutuhan
tamu. Hidangan yang tersaji di meja pun tidak terlalu
banyak, paling hanya tujuh-delapan macam
masakan. Tentu saja semua masakan yang disajikan
adalah hidangan khas luar perbatasan, semuanya
lezat, tapi yang paling menarik perhatian Yap Kay
adalah sekuali kuah panas yang diletakkan persis
di tengah meja.
Dalam kuali itu hanya ada daging ayam
kampung yang dipotong ditambah arak keras dari
pinggiran kota, ketika dicampur di atas tungku,
uap panas yang mengepul segera menyebarkan
bau arak yang sangat keras.
"Hidangan macam apa ini?" tanya Yap Kay
setelah mencicipi sesuap kuah ayam arak itu.
"Inilah hidangan paling tersohor di pinggiran
kota," jawab Be Khong-cun sambil tertawa,
"orang menyebutnya ayam masak arak."
"Ayam masak arak" Wah, cocok benar nama
masakan ini."
Kemudian setelah mengambil semangkuk dan
menyuap, kembali tanyanya, "Kau bilang
hidangan ini tersohor di pinggiran kota, kenapa
waktu aku datang dulu tak pernah mencicipinya?"
"Sudah berapa lama kau tak pernah berkunjung
lagi ke sini?" tiba-tiba Hoa Boan-thian bertanya.
"Mungkin sepuluh tahun."
"Tak heran kau belum pernah mencicipinya,"
seru Hoa boan-thian sambil tertawa, "hidangan ini
baru tercipta tujuh tahun lalu, diciptakan tanpa
sengaja oleh Sam-lopan."
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tujuh tahun berselang?" "Tahun itu musim
dingin terasa luar biasa dinginnya, biar sudah
makan apa pun badan belum terasa hangat, tentu
saja minum arak bisa menghangatkan badan, tapi
kalau kebanyakan bisa mabuk," kata Be Khongcun
dengan bangga, "oleh sebab itu aku pun
mulai berpikir, bila kucampur arak keras dengan
ayam, selain tak memabukkan, juga dapat
membuat tubuh terasa hangat?"
"Maka kau pun mencobanya?"
"Betul, sejak saat itulah muncul hidangan baru
yang kunamakan ayam masak arak."
"Sayang sekali hidangan yang begini lezat tak
bisa dinikmati oleh Buyung-kongcu," kata Yap Kay
hambar, "aneh, kenapa tidak kulihat Buyung
Bing-cu" Apakah dia tidak diundang dalam
perjamuan ini?"
Kongsun Toan yang selama ini hanya
membungkam tiba-tiba berkata, "Sore tadi dia
harus buru-buru pulang karena mendapat surat
penting," "Semisal dia hadir di sini, dapat kupastikan dia
pun akan memuji kelezatan hidangan ini," kata
Yap Kay lagi sambil melirik ke arah Pho Ang-soat
sekejap. Paras muka Pho Ang-soat sama sekali tak
mengunjuk perubahan apa pun, dia bersantap
dengan wajah dingin, hanya saja ujung matanya
beberapa kali seperti sengaja tak sengaja melirik
ke arah Be Khong-cun.
Dalam pada itu, Be Khong-cun pun sedang
menatap wajah Kongsun Toan dengan penuh
amarah. "Mengapa kau tidak segera melaporkan
kejadian ini kepadaku?" tegurnya keras.
"Saat itu kebetulan Sam-lopan sedang tidur
siang," sahut Kongsun Toan sambil menunduk
kepala, "aku sendiri pun kebetulan sedang repot
sekali, hingga masalah ini jadi kelupaan."
"Aku harap kejadian seperti ini jangan terulang
lagi." "Pasti tak akan terulang."
Sekali lagi Be Khong-cun melirik ke arah
Kongsun Toan, setelah itu baru mengangkat
cawannya dan berkata kepada semua orang
sambil tersenyum, "Biarpun berkurang dengan
seorang Buyung Bing-cu, aku percaya ini tak
sampai mengurangi kegembiraan kalian."
"Terhadap diriku memang sama sekali tak
berpengaruh," kata Loh Loh-san tertawa, "usiaku
sudah tua, apa lagi yang bisa kuperebutkan?"
"Biarpun orang muda lebih tampan dan gagah,
sayang mereka belum mapan!" tiba-tiba Pek Ihling
berkata sambil tertawa.
"Oh, begitu rupanya!" sinar berkilat kembali
mencorong dari balik mata Loh Loh-san.
"Wah, itu berarti kaum muda harus lebih giat
bekerja, " sela Yap Kay sambil tertawa, "kalau
tidak, beberapa tahun kemudian bila semua nona
punya pikiran seperti Pek-siocia, kami bisa mati
mengenaskan."
"Memang sudah seharusnya begitu, anak muda
zaman sekarang selain ingin menang sendiri dan
bertindak semena-mena, nyaris tak ada kelebihan
lain." "Tapi bila kaum muda tidak cari menang
sendiri, jadi apa dunia persilatan saat ini?" kata
Yap Kay sambil tertawa, "bukankah begitu?"
"Biar muda, biar tua, semuanya memiliki
kebaikan dan kelebihan masing-masing," sela Be
Khong-cun sambil mengangkat cawan araknya,
"mari kita bersulang satu cawan!"
Begitu mendengar bersulang, tentu saja Loh
Loh-san yang paling gembira, tapi sayang takaran
minum orang ini sangat cetek, baru beberapa
cawan air kata-kata yang pindah ke dalam
perutnya, ia sudah mabuk berat.
Pada saat itulah tiba-tiba mereka mendengar
suara seruling berkumandang memecah
keheningan. Irama seruling itu lembut dan indah, nadanya
halus sedap didengar, tanpa terasa semua orang
terperana dibuatnya, semua orang dibuat terbuai
dan mabuk kepayang.
Dengan mata yang setengah meram Loh Lohsan
mengalihkan pandangan matanya ke arah
pintu, menyusul irama seruling yang merdu
merayu itu, dari balik kegelapan muncul dua
orang, dua orang kerdil.
Ya, benar-benar dua orang kerdil.
Yang seorang adalah seorang kakek kecil
sementara yang lain adalah nenek kerdil, mereka
mempunyai wajah yang kecil, hidung yang kecil,
mulut yang kecil dan seruling kemala putih yang
kecil pula. Yap Kay belum pernah menjumpai
manusia yang begitu kerdil, bagian mana pun
dari tubuh mereka memiliki bentuk yang jauh
lebih kecil. Walau begitu, bentuk tubuh mereka sempurna,
sedikit pun tidak nampak lucu atau jelek.
Si kakek kerdil memiliki wajah yang ramah
dengan rambut telah beruban, sementara si
nenek memiliki wajah halus, lembut dan amat
anggun, sepasang tangannya yang memegang
seruling kelihatan begitu halus dan putih, tak
ubahnya seperti seruling yang dipegang.
Siapa pun mau tak mau pasti akan mengakui
bahwa mereka berdua adalah pasangan serasi,
pasangan ideal.
Tak ada orang yang bersuara, begitu juga
dengan Yap Kay, barang siapa mendengar irama
seruling itu dari kemudian menyaksikan bentuk
badan mereka berdua, dapat dipastikan akan
termangu dan terperangah dibuatnya.
Hanya Pek Ih-ling terkecuali, begitu
menyaksikan kedua orang itu berjalan masuk,
sekulum senyuman gembira segera tersungging di
ujung bibirnya.
"Lo-siansing, Lo-thaythay, kenapa kalian pun
datang kemari?"
"Tentu saja kami harus kemari," jawab si kakek
kerdil sambil tertawa, "masalah ini adalah
masalah besarmu, bagaimana mungkin kami tidak
ikut kemari?"
Masalah besar" Masalah besar bagi Pek Ih-ling"
Apakah mereka berdua pun datang kemari
lantaran Pek Ih-ling sedang mencari calon suami"
Apakah si kakek kerdil pun ingin turut serta dalam
kompetisi ini"
Tiba-tiba Be Khong-cun berdiri, dengan sikap
sangat menghormat menjura kepada kakek kerdil
itu. Seolah terperanjat oleh penghormatan itu, si
kakek segera berkata, "Aku tak lebih hanya
seorang kakek biasa yang tidak berguna, buat
apa kau memberi penghormatan yang begitu
besar kepadaku?"
"Setelah berjumpa Hong-locianpwe, mana
berani aku bersikap kurang sopan?" sahut Be
Khong-cun dengan sikap lebih menghormat.
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik
mata Yap Kay, ditatapnya kakek kerdil itu dengan
terperanjat. "Hong-locianpwe?" gumam Yap Kay dengan
nada terkesiap, "apakah kau adalah Hong-loyacu
yang berjuluk Jian li hui hun, ban li cui gwe, sin
kiau bu im tui hong siu (seribu li terbang di awan,
selaksa li menangkap rembulan, kakek tanpa
bayangan pengejar angin)?"
Sambil tersenyum kakek kerdil itu manggutmanggut.
Kembali Yap Kay memandang ke arah nenek
yang memegang seruling kemala itu, kemudian
ujarnya lagi, "Hong siu gwe po (kakek angin
nenek rembulan) selamanya tak pernah
berpisah, berarti nenek adalah
Gwe-popo si nenek rembulan yang nama
besarnya telah tersohor di Seantero jagad"
"Tak kusangka anak muda ini meski masih kecil
umurnya namun memiliki pengetahuan yang
luas," puji Gwe-popo sambil tersenyum ramah.
"Cianpwe berdua bukannya menikmati hari tua
di loteng Poan-gwe-siu-lau, mau apa mendatangi
tempat terpencil yang sepi dan jauh dari
keramaian ini?" kata Be Khong-cun sambil
tertawa. "Apa tujuan Sam-lopan mengumpulkan orang
di sini malam ini" Bukankah karena masalah
perkawinan Pek-siocia, " tegur Tui hong siu sambil
tertawa. "Darimana kalian bisa tahu?" tanya Be Khongcun
agak melengak. "Tentu saja kami tahu" suara tawa Tui hong siu
semakin riang, "mana mungkin kami tidak
mengetahui persoalan seperti ini" Bukan begitu
Pek-siocia?"
"Ah, tak kusangka masalahku bisa mengusik
kehadiran kalian berdua," seru Pek Ih-ling
tertawa. "Anak Ling, jadi kau kenal baik kedua
Locianpwe ini?" tegur Be Khong-cun terperanjat.
"Dia adalah teman bermain catur Ong-supek,
ketika masih tinggal serumah, mereka bahkan
sering mengajari aku bermain catur."
"Teman bermain catur" Padahal kami tak lebih
hanya orang bawahannya," Gwe-popo
menerangkan sambil tertawa.
Orang bawahan" Tokoh maha sakti seperti
mereka pun masih menjadi bawahan orang lain"
Lalu manusia macam apa tokoh yang dipanggil
Ong-supek itu" Malaikat seperti apa Ong-supek
itu hingga sanggup memiliki bawahan seperti
kakek pengejar angin dan nenek rembulan"
Yap Kay benar-benar terperangah dibuatnya,
bukan hanya dia, Pho Ang-soat yang selama ini
membungkam pun ikut tergerak hatinya.
"Apakah Ong-supek yang menyuruh kalian
datang kemari?" terdengar Pek Ih-ling bertanya
sambil tertawa ringan.
"Selain dia, siapa lagi yang bisa menyuruh aku
si tua bangka melakukan perjalanan jauh?" omel
Tui hong siu, "tapi seandainya dia tidak menyuruh
pun, kami tetap akan kemari, siapa suruh kau
adalah kesayangan kami."
"Sejak kepergianmu, kami seperti kehilangan
sesuatu," kata Gwe-popo pula sambil tertawa,
"tiap hari mereka berdua berkerut kening saja,
sampai main catur pun tak pernah konsentrasi,
yang lebih parah lagi, walau sedang main catur
namun mereka seperti sedang berlomba
menghela napas."
"Ah, bukankah kau pun sama saja, tiap hari
hanya bersembunyi dalam kamar, seruling
enggan ditiup, sepasang mata merah melulu."
Biarpun usia kedua orang ini sudah mencapai
seratus tahun, namun cara mereka bicara tak
ubahnya seperti dua anak kecil, membuat siapa
pun yang mendengar jadi geli dan tertawa.
Tapi Yap Kay tahu dengan pasti bahwa kedua
orang ini bukan terhitung orang yang
menggelikan atau menawan, jauh sebelum orang
tua Yap Kay mulai pacaran, kedua orang itu
sudah merupakan tokoh menakutkan di Bu-lim.
Tui hong siu terkenal karena keras kepala,
sementara Gwe-popo tersohor karena tindaktanduknya
yang semau hati, tentu saja yang
paling menakutkan adalah ilmu silat yang mereka
miliki. Bila watak semau hati Gwe-popo mulai
kambuh, biar dia menginginkan rembulan di
angkasa pun nenek itu pasti akan berusaha
mendapatkannya, sementara Tui hong siu
bila menganggap kau harus mati, maka
biarpun bersembunyi di kolong ranjang sang
kaisar pun jangan harap nyawamu bisa selamat.
Kemunculan mereka berdua yang tiba-tiba,
apalagi hubungannya yang begitu akrab dengan
Pek Ih-ling membuat Yap Kay merasa bahwa
persoalan ini makin lama semakin menarik.
Kelihatannya Gwe-popo pun merasa Yap Kay
adalah orang yang menarik, sepasang matanya
yang kecil mengawasi terus gerak-geriknya
sambil tersenyum.
Selama hidup Yap Kay tak pernah merasa rikuh
bila diawasi seorang wanita, tapi sekarang,
seandainya di tanah ada lubang, dijamin dia pasti
akan segera menerobos masuk untuk
bersembunyi. Tui hong siu sedang mengawasi juga sekeliling
ruangan, sinar matanya yang tajam mengamati
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajah setiap orang tanpa berkedip, tapi akhirnya
berhenti pada wajah Yap Kay.
Belum lagi Yap Kay melakukan sesuatu,
mendadak terdengar Gwe-popo berkata, "Siau
ling ji, di antara beberapa orang lelaki yang
berada di sini sekarang, bukankah sudah ada
seorang yang bisa menjadi calon suamimu?"
"Aku...." paras muka Pek Ih-ling kontan
berubah merah jengah, bahkan ia tertunduk
dengan tersipu-sipu.
"Tua bangka, coba lihat, ternyata ada saatnya
juga paras muka Siau ling ji kita berubah merah
padam," goda Gwe-popo lagi.
"Ah, dia kan anak perempuan, masakah harus
meniru kau, kulit badan yang tak bakal robek
biarpun diledakkan!"
"Apa" Kau menuduh kulit mukaku tebal seperti
badak?" "Maksudku, kau adalah seorang perempuan
cantik, biasanya perempuan cantik tak bakal
merah padam wajahnya."
Ternyata bukan anak muda saja yang suka
mendengar ucapan menjilat pantat, tak heran
Gwe-popo berseri wajahnya lantaran girang.
Menggunakan kesempatan itu Tui hong -siu
berpaling ke arah Pek ih-ling sambil membuat
muka setan, dua orang itu pun tertawa terkekehkekeh.
Yap Kay ikut tertawa, tertawa melihat Gwepopo
sebenarnya mengetahui tingkah-laku kedua
orang itu, tapi berlagak bodoh.
Memang itulah yang dilakukan mereka suami
istri, terkadang mata harus melotot, terkadang
harus setengah terpejam, saling mengalah
memang bukan tindakan bodoh.
Tak disangkal Gwe-popo sangat memahami
teori itu, karena itulah meski melihat namun dia
tetap berlagak seolah tidak melihat.
Beberapa saat kemudian baru dia
mendongakkan kepala sambil berkata, "Siau ling
ji, peduli siapa pun calon yang bakal kau pilih, dia
harus lulus dulu dari kami berdua."
Kemudian setelah tertawa lebar, lanjutnya,
"Tapi kalian tak usah kuatir, kami tak bakal
menyusahkan dirimu, tentu saja asal kau berhasil
lolos dari tiga ujian."
"Tiga ujian" Ujian apa?" seru Pek Ih-ling panik
bercampur kaget.
"Ujian pertama harus tampan dan gagah
penampilannya," kata Gwe-popo sambil tertawa,
"sementara ujian kedua, dia harus dijajal dulu
kehebatan ilmu silatnya oleh si tua bangka."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas,
kembali nenek itu menambahkan, "Sedang ujian
ketiga, tentu saja aku si nenek yang akan
melakukannya."
"Apa yang akan kau lakukan pada ujian
ketiga?" "Pemeriksaan badan."
"Periksaan badan?" Pek Ih-ling tertegun,
"bagaimana caramu memeriksa?"
"Bugil, tentu saja harus bugil! Kalau tidak,
bagaimana aku bisa melakukan pemeriksaan?"
"Bugil," kali ini Pek Ih-ling benar-benar amat
terperanjat, "suruh dia melucuti semua pakaian
dan membiarkan kau memeriksanya?"
"Tentu saja."
"Tapi... sesudah dia telanjang bulat, dengan...
dengan cara apa kau hendak memeriksanya?"
tanya Pek Ih-ling tergagap.
"Akan kuperiksa seinci demi seinci, kalau tidak,
bagaimana aku bisa tahu dia berpenyakit atau
tidak?" Seorang lelaki dewasa yang telah melucuti
semua pakaiannya hingga bugil harus diperiksa
seluruh badannya oleh seorang perempuan,
sekalipun usia perempuan itu sudah lewat
setengah abad pun, dia masih tetap seorang
perempuan, bagaimana pun pasti akan rikuh dan
malu. Begitu Gwe-popo selesai bicara, semua yang
hadir terperanjat, khususnya Yap Kay, karena
sorot mata Gwe-popo yang menatapnya seakan
telah berubah menjadi sepasang tangan yang
sedang melucuti pakaiannya satu per satu.
Dia seolah-olah sudah memastikan bahwa Yap
Kay yang bakal menjadi suami Pek Ih-ling, oleh
karenanya sorot mata yang terpancar penuh
selidik. Dengan susah-payah akhirnya Yap Kay berhasil
juga lolos dari sergapan mata Gwe-popo, baru
saja dia menghembuskan napas lega, terdengar
Gwe-popo sudah bertanya kepada Pek Ih-ling,
"Siau-ling-ji, calonmu yang mana?"
Pek Ih-ling menundukkan kepala, mukanya
merah, ia duduk di pojokan dengan perasaan
serba kikuk, tapi senyum kegirangan mulai
tersungging di ujung bibirnya, senyuman itu
persis seperti senyum kemenangan seekor rase
kecil yang baru saja berhasil mencuri seekor
ayam gemuk. Sebenarnya siapa yang dia sukai" Siapa yang
bakal dipilihnya sebagai calon pendamping"
Semua hadirin memandang ke arahnya, bahkan
Pho Ang-soat yang biasanya membisu tanpa
bicara pun tak kuasa ikut melihat, siapa
gerangan lelaki yang bakal dipilihnya.
Loh Loh-san yang selama ini mabuk berat pun
tiba-tiba jadi sadar kembali, dengan sorot mata
penuh harapan dia mengawasi nona itu.
Melihat Pek Ih-ling tidak bersuara, sekali lagi
Gwe-popo bertanya, "Ayo, cepat katakan Siauling-
ji!" Kepala Pek Ih-ling tertunduk semakin rendah,
pipinya semakin merah, sampai lama sekali baru
dia mengiakan dengan suara yang jauh lebih
lembut daripada suara nyamuk.
Tapi begitu dia bersuara, kontan jantung Loh
Loh-san nyaris melompat keluar, sekujur
badannya jadi lemas tak bertenaga, hampir saja
tubuhnya roboh ke kolong ranjang.
"Siapa sebenarnya?" teriak Gwe-popo, "yang
berkepentingan tidak gelisah, malah penonton
yang panik. Tentunya kau harus mengatakan
bukan?" Be Khong-cun yang selama ini hanya
menonton sambil tersenyum tiba-tiba ikut
buka suara, "Kenapa anak Ling ragu-ragu
menjawab, mungkin aku mengetahui sedikit
alasannya."
"Apa alasannya?" tanya Gwe-popo.
"Dia kuatir calon yang dipenujui menampik
permintaannya." "Siapa yang bakal menampik?"
"Andaikata ada yang menampik?"
"Kalau ada yang berani menampik, akan
kubunuh orang itu," seru Tui hong siu sambil
menarik kembali senyumannya, kemudian sambil
menatap wajah semua orang satu per satu,
lanjutnya, "Aku rasa kalian semua sudah
mendengar perkataanku dengan jelas bukan?"
Dengan kondisi yang begitu menarik, dengan
tulang punggung yang begitu kuat, apalagi si
nona pun cantik jelita, siapa yang bakal
menampik tawaran itu"
Yap Kay tahu ada seseorang pasti akan
menampik, sebab dia sudah melihat orang itu
telah bangkit. Dengan wajah dingin Pho Ang-soat bangkit
berdiri, kemudian tanpa mengucapkan sepatah
kata pun beranjak pergi dari situ.
"Mau apa kau?" bentak Gwe-popo dengan
wajah berubah. Walaupun Pho Ang-soat menghentikan langkah
kakinya, namun dia sama sekali tidak berpaling,
hanya sahutnya ketus, "Hari sudah malam."
Habis berkata, kembali ia melangkahkan
kakinya yang bebal dan lamban berjalan menuju
ke pintu. Baru saja sorot mata Gwe-popo mencorong
tajam, tiba-tiba tubuh Tui hong siu telah tiba di
depan pintu dan menghadang jalan pergi Pho
Ang-soat. Malam memang sudah kelam, saat itu pun
sudah waktunya untuk tidur, tapi berarti pula dia
telah menolak lamaran itu.
Sekalipun Pho Ang-soat tak menjelaskan
maksud ucapannya, tapi setiap orang memahami
arti ucapan itu, terlebih Tui hong siu.
Setelah menghadang di depan pintu, dengan
sorot matanya yang berkilat, meski tak setajam
sorot mata Gwe-popo, namun telah dipenuhi
hawa napsu membunuh, dia mengawasi lawan
tanpa berkedip.
Karena pintu terhadang, terpaksa Pho Ang-soat
menghentikan langkah, sinar matanya yang selalu
tampak sayu dan kesepian, balas menatap wajah
Tui hong siu. Suasana dalam gedung pun seketika menjadi
hening, kalau semula semua orang merasakan
kegembiraan maka dalam waktu singkat hawa
napsu membunuh seakan sudah menyelimuti
seluruh ruangan.
Berada dalam keadaan seperti ini, mestinya Be
Khong-cun sebagai tuan rumah harus segera
turun tangan melerai, tapi Yap Kay lihat orang itu
masih tetap duduk sambil tertawa, sama sekali
tak ada niat untuk menghalangi.
Pho Ang-soat masih berdiri tak bergerak, tapi
otot hijau di tangan kirinya sudah merongkol, dari
balik matanya yang dingin, hambar dan kesepian
kembali terlintas perasaan pilu yang mendalam.
Dengan sorot mata penuh Yiapsu membunuh
Tui hong siu segera menegur, "Jadi kau ingin
tidur?" "Benar!" jawaban Pho Ang-soat singkat.
"Ingin tidur berarti menampik permintaan?"
Kali ini Pho Ang-soat tidak menjawab.
Terkadang tidak menjawab berarti
mengakuinya. Tui hong siu bukan orang bodoh, oleh sebab itu
bukan cuma sorot matanya saja ryang
mengandung hawa membunuh, bahkan seluruh
tubuhnya telah diselimuti hawa membunuh yang
tak berwujud. Di tengah ketegangan yang mencekam seluruh
ruangan, tiba-tiba Yap Kay bertindak, dengan
senyum menghiasi wajahnya ia berjalan
menghampiri Tui hong siu serta Pho Ang-soat,
kemudian ujarnya, "Masalah perkawinan adalah
masalah besar, aku percaya Pek-siocia pun belum
tentu bisa mengambil keputusan. Kini malam
sudah makin larut, apa salahnya kalau kita
beristirahat dulu semalam, kemudian besok pagi
masalah ini baru diputuskan Pek-siocia sendiri?"
Tui hong siu berpaling mengawasi Yap Kay,
bukan wajahnya yang diperhatikan, tapi posisi
yang ditempati pemuda itu, setelah
memandangnya sejenak tiba-tiba ia tertawa
tergelak, "Bagus, bagus sekali, ternyata anak
muda ini banyak latahnya."
"Tidak berani."
Jangan dilihat Yap Kay hanya berdiri
sembarangan di tempat itu, justru posisi yang
ditempatinya sekarang amat strategis, bukan saja
dia telah menghalangi arah serangan Tui hong
siu, bahkan bisa mencegah Gwe-popo
melancarkan serangan bantuan pula.
Begitu melihat pemuda itu tampil, perasaan
kecewa melintas di wajah Gwe-popo, mendadak
dia menghela napas dan berdiri.
"Orang masih muda, kenapa jalan pikirannya
belum terbuka?" ujar nenek rembulan sambil
menghela napas, "tidak heran umur orang zaman
sekarang rata-rata pendek."
Biarpun dia hanya berdiri, namun bagi jago
yang pengalaman dapat dilihat dia telah
membuka kembali posisi yang semula dihambat
Yap Kay. Begitu nenek itu bergerak, Yap Kay sama sekali
tak berkutik, tapi jari telunjuk, ibu jari serta jari
tengah tangan kirinya disentilkan sebanyak tiga
kali. Hanya tiga gerakan, tapi cukup membuat Gwepopo
tercengang. Jangan dilihat tiga gerakan sentilan itu amat
sederhana, padahal ancaman yang ditimbulkan
justru jauh lebih hebat daripada tusukan maut
seorang jago pedang.
Pertarungan tanpa wujud semacam ini tentu
saja bukan setiap orang dapat merasakan, hanya
jago-jago seperti Tui hong siu dan Gwe-popo saja
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang sadar, betapa dahsyat dan menakutkan
serangan itu. Tiba-tiba saja keempat orang itu seperti orang
yang tertotok jalan darahnya, sama sekali tak
berkutik. Bukan hanya orangnya, bahkan sang angin
pun seolah turut tak bergerak, suasana tegang
dan serius segera mencekam seluruh ruangan,
kecuali keempat orang itu, meski orang
lain tak ikut dalam pertarungan, namun
mereka ikut merasa keletihan yang luar
biasa, seakan mereka pun baru saja ikut
bertempur ratusan gebrakan, peluh dingin nyaris
membasahi seluruh pakaian mereka.
Entah berapa lama sudah situasi bertahan
semacam ini, saat itulah mendadak terdengar Pek
Ih-ling menghela napas sambil bangkit.
"Hong-kongkong, Gwe-popo, kalau kalian
begitu terus, aku... aku akan....
"Kau mau apa?" tanya Gwe-popo.
"Aku mau mati saja"
"Jangan mati," teriak Tui-hong-siu dengan
gelisah, "kalau kau mati, bagaimana
pertanggung jawaban kami terhadapnya?"
Yang dimaksudkan sebagai dia tentu saja Ongsupek
yang pernah disebut Pek Ih-ling.
"Lantas buat apa kalian memaksa orang terus
menerus, seakan aku... aku sudah tak laku kawin
saja," seru Pek Ih-ling manja.
"Lalu apa yang harus kami lakukan?"
"Sekarang malam sudah larut, lagi pula kalian
berdua baru datang dari tempat jauh, apa
salahnya kita beristirahat dulu, sementara urusan
lain dibicarakan lagi besok?"
Be Khong-cun yang selama ini membungkam
tiba-tiba ikut buka suara, katanya, "Benar, silakan
Locianpwe berdua beristirahat dulu, kalau ada
persoalan lebih baik besok saja kita bicarakan
lagi!" Sinar rembulan malam ini nampak cerah dan
terang, secerah sinar rembulan di wilayah
Kanglam. Kanglam berada jauh di sana, begitu pula
dengan bulan purnama, bedanya kau bisa melihat
rembulan asal mau mendongakkan kepala, tapi
bagaimana dengan wilayah Kanglam"
Oh Sam tumbuh dewasa di wilayah Kanglam,
tapi sudah belasan tahun ia tinggal di daerah
pinggiran kota.
Selama belasan tahun belum pernah ia balik ke
wilayah Kanglam walau satu kali pun, setiap kali
sedang mabuk berat, setiap kali dia bermimpi di
tengah malam buta, ia selalu teringat dan
terkenang kampung halamannya.
Sampai kapan baru ia bisa kembali ke kampung
halaman" Sampai kapan baru bisa bertemu ayah
dan ibu" Mengapa seorang pengembara selalu
begitu jauh meninggalkan kampung halamannya"
Malam ini Sam-lopan dari Ban be tong telah
menghadiahkan lima puluh guci arak untuk
bawahannya. Oh Sam dan beberapa orang rekan
akrabnya mengusulkan untuk 'bermain' di rumah
makan Siang ki-lau di kota kecil seusai
menenggak habis isi guci.
Oleh sebab itulah mereka berlima muncul di
tengah perjalanan. Biarpun masih musim panas,
namun hembusan angin di tengah malam terasa
jauh lebih dingin daripada udara di musim salju.
Tapi Oh Sam berlima sedikit pun tidak merasa
kedinginan, mereka membiarkan baju bagian
dada terbuka lebar, mungkin karena pengaruh
arak" Atau karena hangatnya suasana di Siang kilau"
Di bawah cahaya rembulan yang terang, dari
balik kegelapan di ujung jalan, tiba-tiba mereka
melihat ada seseorang berdiri menunggu.
Orang itu mengenakan pakaian ringkas
berwarna hitam, tapi air mukanya justru putih
pucat bagaikan mayat.
Apakah dia pun anggota Ban be tong" Oh Sam
memperhatikan orang itu, dia ingin tahu siapa
gerangan orang itu agar besok punya bahan
cerita untuk mengolok-oloknya.
Oh Sam berlima melanjutkan kembali
langkahnya, tapi belum jauh bertindak, tiba-tiba
mereka lihat orang itu tidak sama sekali tak
bergerak, orang itu masih tetap berdiri di tengah
jalan bagaikan patung.
Sesungguhnya selisih jarak antara kedua belah
pihak tidaklah terlalu jauh, karena itu dalam
waktu singkat Oh Sam sekalian telah tiba di
hadapan orang itu.
"He, siapa kau" Mengapa seorang diri berdiri di
sini?" Kata berikut sudah tak sanggup dilanjutkan lagi
oleh Oh Sam karena saat ini dia sudah dapat
melihat dengan jelas siapa gerangan orang yang
berdiri di hadapannya.
Orang itu mengenakan pakaian ketat berwarna
hitam, wajahnya putih pucat bagai mayat,
ternyata dia bukan lain adalah Hwi thian ci cu
yang semalam telah digigit sampai mati oleh
setan pengisap darah.
Bukankah dia sudah mati terbunuh" Bukankah
mayatnya sudah dikubur" Bahkan Oh Sam sendiri
yang melakukannya, kenapa sekarang bisa
muncul di sini" Jangan-jangan ....
Mendadak hati Oh Sam bergidik, bulu kuduknya
berdiri, dia jadi teringat sebuah dongeng.
Konon orang yang mati digigit setan pengisap
darah, pada malam keesokannya akan berubah
juga menjadi setan pengisap darah.
Membayangkan dongeng itu, tak kuasa lagi
bulu kuduk Oh Sam berlima berdiri, perasaan
ngeri, takut segera terpancar keluar dari mata
mereka, ditatapnya wajah Hwi thian ci cu tanpa
berkedip. Pada saat itulah mereka lihat Hwi thian ci cu
mulai mementang mulut, darah segar meleleh
keluar dari sisi bibirnya, sementara dua buah gigi
taringnya yang lebih panjang dari jari tangan
membiaskan cahaya berkilauan di bawah timpaan
sinar rembulan.
Mengikuti melelehnya darah segar, dari balik
tenggorokan Hwi -thian ci cu berkumandang
suara tertawanya yang menakutkan.
Orang pertama yang teringat untuk kabur tentu
saja adalah Oh Sam, beruntung sepasang kakinya
masih mau mengikuti perintah, dia kabur dengan
begitu cepatnya.
Di saat dia sedang berlarian itulah lamat-lamat
terdengar empat kali jeritan ngeri yang
memilukan, tampaknya keempat orang rekannya
yang tertinggal telah menjadi korban santapan
setan pengisap darah itu.
Oh Sam tak berani berpaling, dia kuatir setan
pengisap darah itu tahu-tahu muncul di belakang
tubuhnya. Saat itulah mendadak ia mendengar suara aneh
berkumandang dari atas kepalanya, suara itu
mirip suara burung besar yang sedang
mengebaskan sayapnya yang lebar.
Tak tahan lagi dia segera mendongakkan
kepala, ternyata bukan seekor burung yang
berada di atas kepalanya, melainkan Hwi thian ci
cu sedang mementang sepasang tangannya,
tangan itu mirip bentangan sayap kelelawar
raksasa yang sedang menerkam ke arahnya.
Kontan Oh Sam merasakan kakinya lemas,
"Bruk!", ia jatuh terduduk di tanah.
Dengan cepat Hwi thian ci cu melayang turun,
persis turun di hadapannya.
Oh Sam masih sempat menyaksikan mimik
muka Hwi thian ci cu yang menyeramkan, dia pun
menyaksikan sepasang gigi taringnya yang tajam
kian lama kian bertambah dekat dengan
tengkuknya, menyusul kemudian ia merasa
kesakitan yang luar biasa timbul dari leher
sebelah kiri. Menyusul rasa sakit itu, dia pun
merasa cairan darah dalam tubuhnya
mengalir cepat dan menyembur keluar melalui
mulut luka di leher sebelah kirinya,
lambat-laun dia merasa kakinya lemas,
kemudian menyusul badannya, tangannya...
tubuhnya seolah sebuah kantung kulit yang
mulai mengempis.
Tak lama kemudian seluruh tubuh Oh Sam
terkapar lemas di tanah, kulit badannya mulai
berkerut kencang, mukanya yang makin memucat
akhirnya berubah jadi hitam keabu-abuan,
seluruh cairan darah di tubuhnya telah terisap
habis. Hwi thian ci cu melepas mayat Oh Sam yang
layu, kemudian mendongakkan kepala sambil
berpekik nyaring, ceceran darah masih meleleh
keluar dari ujung bibirnya.
Kemudian bagaikan seekor kelelawar raksasa,
dia melayang ke udara dan meluncur ke balik
kegelapan malam.
BAGIAN II. SUARA GOLOK
Bab 1. MELOLOH GADIS CILIK
"Mana goloknya?"
"Goloknya tak nampak."
"Kenapa?"
"Sebab setelah mendengar suara golok, golok
itu pun tak terlihat."
"Suara golok?"
"Betul, begitu mendengar suara golok, sang
korban pun segera tewas."
"Oleh sebab itu hanya terdengar suara golok,
tapi tidak terlihat goloknya?"
"Benar."
Sekembali ke kamarnya semalam dan
berbaring di atas ranjang, Yap Kay baru merasa
punggungnya telah basah kuyup oleh keringat
dingin. Membayangkan kembali situasi tegang yang
dialaminya dalam gedung tadi, andaikata Pek Ihling
tidak melerai secara tiba-tiba, Yap Kay tak
bisa membayangkan bagaimana hasil pertarungan
itu" Semenjak lima puluh tahun berselang Tui hong
siu maupun Gwe-popo sudah terhitung jagoan
nomor wahid di kolong langit, biarpun usianya
sekarang bertambah tua, namun kehebatan ilmu
silat bukan bisa dibatasi dengan meningkatnya
umur seseorang.
Lagipula pada jidat Tui hong siu maupun Gwepopo
secara lamat-lamat terlihat cahaya merah,
gejala semacam itu baru akan muncul jika tenaga
dalam telah dilatih hingga mencapai puncak
kesempurnaan. Dari situasi tadi, posisinya ketika berada dalam
gedung itu jauh lebih unggul dari siapa pun, tapi
Yap Kay menyadari, kecuali dia bisa melancarkan
serangan lebih dulu, begitu turun tangan
menggunakan pisau terbang ajaran Siau-li si
pisau terbang, ....kalau tidak, lima puluh
gebrakan kemudian ia pasti akan menderita
kekalahan. Dari sikap Be Khong-cun semalam, tampaknya
dia pun tidak kenal Tui hong siu maupun Gwepopo,
dia pun tidak mengetahui hubungan akrab
Pek Ih-ling dengan mereka berdua.
Dari pembicaraan Tui-hong-siu, dia pun
mendapat tahu bahwa selama beberapa tahun
terakhir Pek Ih-ling hidup bersama mereka, dia
pun tinggal dengan seorang yang disebut Ongsupek.
Dari sini dapat diketahui bahwa Pek Ih-ling
bukanlah Be Hong-ling. Yap Kay yakin, mustahil
gadis itu adalah putri tunggal Pek Thian-ih.
Jangankan Tui hong siu serta Gwe-popo,
mungkin orang yang disebut Ong-supek pun tidak
mengetahui asal-usul gadis itu.
Lalu siapakah dia" Bila bisa diketahui asalusulnya,
bisa jadi dia pun dapat mengungkap
rahasia di balik sepak terjang Ban be tong kali ini.
Tapi, tidak gampang untuk menguak tabir
rahasia semacam ini, bila rahasia Pek Ih-ling
merupakan kunci semua rahasia itu, maka orang
yang melindungi gerak-gerik gadis itu pasti akan
bekerja lebih ketat.
Bisa jadi dia harus membayar dengan harga
yang tak ternilai agar bisa mengungkap semua
rahasia itu. Matahari telah terbit di ufuk timur.
Sang surya ibarat gadis perawan yang baru
mendusin dari tidur, membuka sepasang matanya
dengan sayup dan mengawasi kekasih yang
berada di sisi pembaringan dengan pandangan
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lembut. Langit di sebelah barat masih remang-remang
gelap, masih tertutup warna kelabu, secercah
cahaya fajar mulai memancar keluar, menyinari
kamar tidur Yap Kay.
Semalaman ia tak bisa memejamkan mata,
otaknya dipenuhi peristiwa yang terjadi semalam,
walau sudah semalam begadang, namun tak
terasa mengantuk sedikit pun, sebaliknya ia
justru kelihatan gembira dan bersemangat.
Begitu melompat bangun dari ranjang, dia
melakukan enam-tujuh puluh gerakan aneh,
bagaikan tak punya tulang saja dia melakukan
berbagai tekukan yang aneh dan tak masuk akal.
Setelah berbaring semalaman tanpa selimut,
keempat anggota badannya sudah hampir
membeku kaku saking kedinginan.
Selasai berolah raga, dengan penuh semangat
dia membuka pintu kamar, menyongsong
datangnya sinar matahari pagi.
Angin fajar berhembus lembut menggoyang
dedaunan, embun pagi meleleh ke bawah
membasahi permukaan tanah.
Yap Kay berjalan menyusuri pepohonan,
menyongsong datangnya sinar pagi, tanpa terasa
ia berjalan menuju ke arah rimba lebat.
Yap Kay berjalan dan berjalan terus, dengan
langkah perlahan tapi pasti menembus hutan,
menuju ke bagian dalam rimbunnya pepohonan.
Tak lama kemudian dari kejauhan ia sudah
melihat sebuah gundukan tanah perbukitan,
gundukan tanah yang tidak terlalu besar.
Begitu sederhana bentuk gundukan tanah itu,
mungkinkah tempat inilah yang dikisahkan Pho
Ang-soat dengan segala kejadian aneh dan
misterius itu"
Dengan perasaan sangsi Yap Kay mulai berjalan
mengitari gundukan tanah itu, memeriksa dan
mengamati dengan seksama sekeliling tempat itu,
namun tak ada yang ditemukan, bahkan sesuatu
yang aneh pun tidak dijumpai di situ.
Ia mencoba meraba permukaan tanah,
mengambil segenggam tanah, meski terasa
agak lembab namun tanah di situ tak beda
jauh dengan tanah di tempat lain, bahkan
sewaktu diendus pun tidak dijumpai bau lain.
Yap Kay mulai menepekur, berpikir tiada
hentinya, perasaan sangsi mulai muncul pada
wajahnya. "Jangan-jangan aku salah tempat?"
Tidak mungkin, tidak mungkin salah, Yap Kay
coba membantah dugaan itu.
Sekali lagi dia amati gundukan tanah itu
dengan seksama, heran, mengapa tidak
ditemukan pemandangan seperti apa yang
dikisahkan Pho Ang-soat" Atau kedatangannya
tidak tepat waktu" Apakah dia pun harus
mendatangi tempat itu di saat fajar hampir
menyingsing" Atau mungkin gundukan tanah itu
bagaikan seorang gadis perawan, malu bertemu
orang di pagi hari dan hanya muncul di tengah
malam" Teringat akan gadis pemalu, tanpa terasa Yap
Kay terbayang So Ming-ming, cewek berbaju
putih yang nampak kesepian itu.
Baru saja sekulum senyuman tersungging di
ujung bibirnya, Yap Kay segera mendengar suara
gadis itu. "Tak kusangka kau pun tahu di tempat ini
terdapat gundukan kecil," tiba-tiba So Mingming
muncul dari balik pepohonan yang
lebat, "terlebih tak kusangka kau pun sangat
tertarik dengan gundukan tanah itu."
Baru teringat akan seseorang, ternyata orang
itu segera muncul di depan mata, kejadian seperti
ini benar-benar merupakan kejadian yang
menyenangkan. "Lalu darimana kau tahu di tempat ini terdapat
gundukan tanah?" Yap Kay balik bertanya sambil
tertawa, "apakah kau pun tertarik juga dengan
gundukan tanah ini?"
"Tentu saja sangat tertarik, sejak kecil aku
sudah terpesona oleh cerita mengenai gundukan
tanah perbukitan ini."
"Cerita tentang gundukan tanah?" Yap Kay
langsung merasakan semangatnya bangkit
kembali, "maukah kau bercerita padaku, siapa
tahu aku pun bakal kesemsem?"
"Boleh saja aku bercerita, tapi dengan cara apa
kau hendak membalas budi ini?" suara tawa So
Ming-ming semakin mempesona.
"Bagaimana kalau aku traktir makan sampai
kenyang atau mengajakmu pesiar ke wilayah
Kanglam?" "Ke Kanglam?"
Sebetulnya Kanglam hanya terdiri dari dua
huruf, namun begitu mendengar nama itu, dari
balik mata So Ming-ming memancarkan sinar
aneh. Melihat keanehan di wajah nona itu,
kembali Yap Kay berkata, "Orang yang belum
pernah datang ke Kanglam pasti ingin sekali
pergi ke sana, tapi bila sudah berada di
Kanglam, kau pasti akan merindukan
pinggiran kota."
Tiba-tiba sinar mata Yap Kay pun
memancarkan sinar kelesuan dan kemurungan.
Apakah dia sedang rindu kampung
halamannya" Apakah dia sedang membayangkan
suasana Kanglam"
Kanglam memang berada dalam alam
impiannya, impian yang dipenuhi kemurungan
dan kesedihan seorang pengembara.
"Apakah kampung halamanmu adalah
Kanglam?" suara So Ming-ming terdengar begitu
sayu dan sendu, seolah hembusan angin yang
terkirim dari wilayah Kanglam.
"Ya, aku dibesarkan di Kanglam."
"Lalu dimana kampung halamanmu?"
Dimana" Tentu saja di pinggiran kota.
Pinggiran kota adalah kampung halaman Yap
Kay, pinggiran kota adalah tempat kelahirannya.
Di pinggiran kota itulah semua impiannya
berada, sayang hanya semua impian buruk.
Biarpun impian buruk telah berlalu, namun
pinggiran kota masih seperti sedia kala,
bagaimana dengan manusianya" Pek Thian-ih
suami istri, orang tua Yap Kay... mereka...
mereka telah ....
Tiba-tiba ia menggeleng kepala, seolah hendak
membuang jauh semua impian buruk itu, tak
lama kemudian sekulum senyuman kembali
menghiasi wajahnya.
"Sebagai seorang pengembara, empat samudra
adalah rumahku, kemana aku mengembara, di
situlah rumahku," kata Yap Kay sambil tertawa,
"kembali ke masalah pokok, coba kau ceritakan
gundukan tanah itu!"
"Menurut dongeng, zaman dahulu kala di
pinggiran jagad, di bagian terujung dari dunia ini
terdapat sebuah puncak gunung yang tingginya
mencapai langit," So Ming-ming mulai bercerita,
suaranya seolah datang dari puncak bukit itu,
"di atas puncak gunung itu bukan saja
terdapat salju abadi yang tak pernah mencair, di
sana pun hidup seekor makhluk aneh yang sangat
langka, bahkan terdapat pula siluman iblis yang
jauh lebih menakutkan daripada setan bengis."
"Kau maksudkan puncak Cu mu lang ma?"
tanya Yap Kay. "Benar, siluman iblis yang tinggal di puncak
gunung itu konon adalah roh jahat yang berusia
ribuan tahun, bukan saja dia dapat menempel
pada benda apa pun, bahkan dapat pula berwujud
sebagai manusia."
Sorot matanya yang penuh kemurungan tibatiba
memancarkan cahaya yang sangat aneh,
seolah dia sedang mengawasi suatu tempat di
kejauhan sana yang penuh diselimuti
kemisteriusan dan keanehan.
Kelihatannya Yap Kay ikut terpengaruh oleh
mimik wajah gadis itu.
"Di saat roh jahat berusia seribu tahun itu
tampil dalam wujud manusia, dia pun mendatangi
wilayah gunung dan menguasai semua manusia
yang hidup di sana," kata So Ming-ming lebih
lanjut, "setelah diperbudak hampir seratus tahun
lamanya, muncullah seorang bintang penolong
yang membebaskan mereka dari perbudakan,
orang itu adalah utusan dari dewa."
"Utusan dari dewa?"
"Begitu tiba di tempat itu, utusan dewa pun
bertempur sengit melawan roh jahat berusia
seribu tahun itu selama tujuh kali tujuh empat
puluh sembilan hari, akhirnya dengan
mengandalkan bokor sakti, dia berhasil mengunci
roh jahat itu di dalam gundukan tanah perbukitan
ini." "Oh, hanya dikurung" Bukan dibunuh?" Yap
Kay bertanya. "Roh jahat berusia seribu tahun tak dapat
dibunuh, dia hanya terkunci di dalam bokor sakti.
Sebelum pergi meninggalkan tempat itu, utusan
dewa sempat berpesan wanti-wanti kepada
semua orang yang tinggal di situ, katanya
gundukan tanah ini tidak boleh digali, kalau tidak,
maka roh jahat itu bakal melarikan diri."
"Berarti hingga sekarang roh jahat berusia
seribu tahun itu masih terkurung di dalam
gundukan tanah perbukitan ini?" tanya Yap Kay
sambil mengamati gundukan tanah di
hadapannya, "sudah berapa lama roh jahat itu
terkurung di sini" Lebih dari seratus tahun?"
"Seratus tahun" Roh jahat itu sudah empat
ratus lima puluh enam tahun terkurung di sini."
"Empat ratus lima puluh enam tahun?" Yap Kay
tercengang bercampur kaget, "heran, kau bisa
mengingatnya begitu jelas?"
"Sudah kuhitung," tiba-tiba So Ming-ming
tertawa geli, "sewaktu masih kecil dulu, kakekku
pernah memberitahu, tahun pertama sewaktu roh
jahat itu tertangkap adalah tahun kemunculan
komet yang keenam."
"Kemunculan komet yang keenam?"
"Kemunculan pada tahun ini adalah
kemunculan yang ketujuh, bukankah bintang itu
muncul setiap tujuh puluh enam tahun satu kali"
Berarti sudah empat ratus lima puluh enam
tahun." "Keenam kali" Komet?" Yap Kay termenung
sambil memeras otak, selang sesaat kemudian ia
bertanya lagi, "Kalau begitu tahukah kau sejak
tahun pertama kemunculan roh jahat itu hingga
tahun pertama ia dikurung oleh utusan dewa,
semuanya selisih berapa tahun" Apakah tahun
kemunculannya persis pada tahun pertama
kemunculan komet?"
"Entahlah, aku kurang jelas," So Ming-ming
menggeleng, "aku hanya tahu di saat kemunculan
roh jahat itu, di atas langit pernah muncul gejala
yang sangat aneh."
"Gejala aneh?"
Gejala aneh seperti apa" Apakah gejala adanya
bintang berekor yang menyapu jagad" Lamatlamat
Yap Kay masih ingat, zaman kuno orang
menyebut komet sebagai 'bintang sapu', ini
disebabkan bintang itu mempunyai ekor yang
sangat panjang menyerupai sebuah sapu, bahkan
setiap kali kemunculannya selalu membawa
ketidak beruntungan bagi umat manusia.
Ketidak beruntungan seperti apa yang bakal
dibawa bintang itu tahun ini" Apakah hidupnya
kembali orang-orang yang telah mati" Atau
seperti dongeng kuno, munculnya roh jahat yang
akan mengacau dunia"
Benarkah di dalam gundukan tanah perbukitan
itu terdapat roh jahat dari zaman kuno" Benarkah
roh jahat itu masih hidup"
Cahaya matahari yang terik menyelinap melalui
celah-celah ranting pepohonan, membuat
bayangan dedaunan terpampang persis di atas
gundukan tanah.
Berdiri berhadapan dengan gundukan tanah itu,
Yap Kay benar-benar tidak percaya akan
kebenaran dongeng itu.
Seandainya di dunia ini benar-benar terdapat
roh jahat berusia seribu tahun, lalu buat apa
orang persilatan melatih diri dengan berbagai ilmu
silat sakti dan hebat" Buat apa pula orang saling
gontok mencari nama dan kedudukan" Sehebat
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa pun kungfu yang kau miliki, betapa besarnya
kekuasaan yang kau miliki, mampukah melawan
cengkeraman iblis roh jahat berusia seribu tahun"
Menghadapi dongeng yang penuh misteri itu,
untuk sesaat Yap Kay tak tahu harus
mempercayainya atau tidak" Untuk sesaat dia
bimbang, ragu dan penuh tanda tanya.
Mendadak So Ming-ming menatapnya dengan
sorot mata yang sayu, "Kelihatannya kau
meragukan omonganku?"
"Bukan meragukan, tapi aku benar-benar sulit
mempercayainya," sahut Yap Kay tertawa getir,
"apa yang kau kisahkan sesungguhnya hanya
dongeng belaka, kalau belum pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
bagaimana mungkin aku bisa mempercayai
semua itu sebagai kejadian sebenarnya?"
Tiba-tiba So Ming-ming tersenyum misterius,
katanya, "Kau ingin membuktikan benar
tidaknya" Bukankah teka-teki itu berada dalam
gundukan tanah ini, asal kita gali, bukankah
semuanya akan jelas?"
"Menggalinya?"
So Ming-ming kembali mengangguk.
Sekali lagi Yap Kay mengalihkan pandangan
matanya ke atas gundukan itu, setelah lama
termenung baru ia berkata, "Rasanya itulah satusatunya
jalan untuk menyingkap tabir rahasia
ini." Ditatapnya So Ming-ming sekejap, kemudian
lanjutnya, "Apakah kau tidak kuatir jika di
dalamnya benar-benar bersembunyi roh jahat
berusia seribu tahun?"
"Aku tak mau berpikir begitu banyak" kata Yap
Kay penuh semangat, "sejak kecil aku selalu
berharap datangnya hari seperti ini. "
"Tapi bagaimana menggalinya" Pakai tangan?"
Bisa saja menggali dengan tangan, tapi yang
jelas bakal membuang banyak waktu, beruntung
So Ming-ming telah menyiapkan alat untuk
menggali, dari balik rimbunnya pepohonan dia
mengeluarkan dua buah cangkul.
Melihat dia telah menyiapkan dua buah
cangkul, tanpa terasa Yap Kay tertawa getir,
serunya, "Ternyata kau sudah siap sejak awal,
juga yakin aku bakal membantumu menggali."
So Ming-ming tidak menjawab, dia hanya
tertawa ringan sembari menyerahkan sebuah
cangkul kepada Yap Kay, maka mereka berdua
pun mulai menggali tanah.
Di antara bayangan pepohonan yang
bergoyang, cangkul kedua orang itu naik turun
tiada hentinya, keringat sudah membasahi tubuh
mereka, menetes pula di atas permukaan tanah
yang lembab. Makin menggali, paras So Ming-ming makin
memperlihatkan kegembiraan yang meluap. Sinar
kegembiraan yang berbaur dengan gejolak emosi
yang aneh, membuat gadis itu nampak semakin
menarik. Dia menggali jauh lebih semangat ketimbang
Yap Kay, tampaknya dongeng kuno sudah begitu
mengakar dalam hatinya hingga mulai tumbuh
benih baru, keinginannya untuk menguak tabir
rahasia roh jahat berusia seribu tahun terasa jauh
lebih bernapsu ketimbang Yap Kay.
Tentu saja Yap Kay pun ingin sekali mengetahui
rahasia gundukan tanah itu, namun tujuannya
sangat berbeda dengan gadis itu, jika benar
seperti apa yang dikatakan Pho Ang-soat, dari
balik gundukan tanah itu dapat memancarkan
kumpulan cahaya yang bisa berubah bentuk jadi
orang, maka dalam gundukan tanah itu sudah
pasti terdapat penjelasan yang masuk akal atau
telah dilengkapi dengan suatu peralatan yang
masuk akal. Hal itulah yang sangat ingin diketahui Yap Kay,
sebab setiap peristiwa yang dijumpainya
belakangan ini nyaris tak satu pun dapat
dijelaskan dengan akal sehat, benarkah dari balik
gundukan tanah yang bersahaja, gundukan tanah
yang bisa dijumpai dimana pun, benar-benar
tersembunyi roh jahat berumur seribu tahun"
Benarkah dari situ dapat pula memancarkan
cahaya yang bisa berubah bentuk menjadi
manusia" Saat itu tengah hari sudah menjelang, sinar
matahari sedang memancar dengan teriknya,
angin gunung pun terasa berhembus sangat
kencang, sedemikian kencang dan tajam bagaikan
pisau yang menyayat kulit.
Tak selang lama kemudian, gundukan tanah itu
sudah digali hingga rata dengan permukaan tanah
dan muncullan lantai yang terbuat dari batu hijau.
Batu lantai itu sama sekali tidak berwarna putih,
melainkan berwarna hijau lumut, seakan-akan di
masa silam di tempat itu pernah berceceran darah
segar. "Wah, kelihatannya roh jahat berumur seribu
tahun itu sudah tertindih hingga berubah jadi
sepotong batu hijau," olok Yap Kay sambil
tertawa. "Bukan berubah jadi potongan batu, tapi
tertindih di bawah batu hijau itu," sahut So Mingming
sambil tertawa pula.
Ketika memegang batu hijau itu, tak kuasa Yap
Kay dan So Ming-ming saling berpandangan
sekejap. Seandainya di bawah tanah benar-benar
terkurung roh jahat berusia seribu tahun, maka
batu hijau itulah tombol pembuka ruang rahasia.
Tak heran mereka berdua nampak sedikit ragu
kendati rasa ingin tahu yang kuat menguasai
perasaan mereka.
Menyaksikan begitu bergairahnya So Mingming,
akhirnya Yap Kay berbisik, "Mari kita
singkirkan batu itu!"
Sambil memperkuat kuda-kuda, kedua orang
itu menghimpun tenaga dalam dan segera
mengangkat batu hijau itu, ternyata batu hijau
yang mereka sangka ringan, kenyataan beratnya
bukan kepalang.
Paras muka So Ming-ming yang sudah
memerah kini berubah semakin merah padam.
Terpaksa Yap Kay harus menambah kekuatan
tenaga dalamnya untuk membantu.
Akhirnya diiringi suara bentakan keras, batu
hijau itu terangkat dan bergeser ke samping.
Tak ada asap putih, tak ada kumpulan cahaya,
bahkan tak ada suara aneh, hanya bau busuk
yang luar biasa berhembus keluar dari balik liang
itu. "Wah, bau sekali!" teriak So Ming-ming sambil
menutup hidung dan mundur dua langkah.
Yap Kay sendiri mesti tidak ikut menutup
hidung, tak urung ia berkerut kening juga.
Sesudah mengusir hawa busuk dari hadapannya,
cepat dia melongok ke dalam gua, tapi begitu
melihat, alisnya berkerut kencang.
So Ming-ming segera maju mendekat dan ikut
melongok ke dalam gua, tapi segera teriaknya,
"Aneh, tak ada apa-apanya!"
Ternyata setelah batu hijau itu disingkirkan,
gua di bawahnya tidak dijumpai apa pun kecuali
sebuah gua setinggi tubuh manusia, jangankan
roh jahat berusia seribu tahun, gerombolan semut
pun tak nampak seekor pun.
"Bagaimana mungkin bisa begini?" teriak So
Ming-ming sambil membelalakkan mata, cahaya
gairah yang semula menghiasi wajahnya seketika
hilang tak berbekas.
"Jangan-jangan roh jahat itu tak kuasa
menahan sabar hingga diam-diam sudah
melarikan diri?" goda Yap Kay sambil tertawa.
"Ai, sudah mengorbankan begitu banyak
tenaga, ternyata tidak ada hasil yang bisa
diperoleh," keluh So Ming-ming dengan kesal, ia
merasa kecewa sekali.
"Biarpun tak ada sesuatu yang bisa dilihat,
paling tidak kita bisa makan."
"Bisa makan" Makan apa?" tanya So Ming-ming
melengak. "Tentu saja makan nasi!"
Sebelum hidangan yang dipesan diantar ke
meja, So Ming-ming memperhatikan sekejap
ruangan rumah makan itu, kemudian bertanya
kepada Yap Kay, "Kenapa kau tidak mengajakku
bersantap di rumah makan milik Cihuku" Siangki-
lau tersedia aneka hidangan, kenapa kau
bukannya bersantap di sana?"
"Ah, pertama, mau apa saja di situ, kita harus
turun tangan sendiri, kelewat merepotkan," sahut
Yap Kay, "kedua, bila Siau-siansing melihat kau
datang bersamaku, kujamin dia pasti akan
menuduhku sebagai si hidung bangor, terus yang
ketiga...."
"Masih ada yang ketiga?"
"Betul, di sini jauh dari orang-orang yang kenal
denganmu," kata Yap Kay tertawa, "jadi aku
bisa melolohmu hingga mabuk."
"Melolohku sampai mabuk?" perasaan
tercengang bercampur kaget melintas di wajah So
Ming-ming, jangankan orang dewasa, anak kecil
usia tiga tahun pun pasti tahu bahwa saat itu dia
sedang berlagak, "kenapa kau ingin melolohku
hingga mabuk?"
"Bila seorang lelaki ingin meloloh seorang
wanita hingga mabuk, biasanya terdapat beratus
macam dalih, tapi aku berani menjamin, dari
berapa ratus dalih yang ada, tak satu pun yang
bisa menangkan dalih yang akan kukemukakan."
"Dalih apa itu?"
"Sampai waktunya kau pasti akan tahu dengan
sendirinya," suara tawa Yap Kay kelihatan begitu
misterius. Sebetulnya So Ming-ming ingin bertanya lagi,
kebetulan pelayan datang mengantar arak dan
hidangan, terpaksa ia menghentikan katakatanya.
Menanti pelayan berlalu, baru dia berkata,
"Kalau tidak kau katakan, aku tidak mau minum"
"Hanya ada satu cara bila kau ingin
mengetahuinya." "Cara apa itu?"
"Minum saja dulu," sahut Yap Kay tertawa,
"hanya dengan minum arak lebih dulu baru kau
akan tahu apa dalih yang akan kukemukakan."
Arak masih ada dalam guci, cawan masih ada di
tangan, namun orangnya sudah tergeletak di atas
meja. Sudah hampir satu jam lamanya mereka
menenggak susu macan, namun belum ada
pertanda mabuk di wajah masing-masing,
khususnya So Ming-ming, gadis itu malah terlihat
makin meneguk sinar kesepian terpancar makin
tebal. Begitu dia mulai meneguk cawan yang
pertama, Yap Kay segera mengetahui bahwa
bukan pekerjaan gampang untuk meloloh gadis
itu hingga mabuk, bahkan asal dia sendiri bisa
bertahan tidak mabuk pun sudah hebat.
Setiap meneguk secawan arak, sayur
sesuap segera mengikuti, itulah cara So
Ming-ming meneguk air kata-kata, belum
sampai satu jam paling tidak ia sudah
menghabiskan tiga puluhan cawan arak.
Tiga puluh cawan arak dengan tiga puluh suap
masakan, Yap Kay benar-benar sangsi bagaimana
mungkin sayur dan arak itu bisa muat dalam
perut So Ming-ming, padahal tubuhnya kurus
ceking, tak nyana mempunyai takaran minum dan
makan yang luar biasa besarnya.
Bagi Yap Kay, minum arak mungkin bukan
masalah baginya, tapi kalau disuruh bersantap,
dia hanya bisa memegang perut sendiri sambil
menggeleng kepala dan menghela napas berulang
kali. "Kenapa kau menghela napas?" tanya So Mingming.
"Aku betul-betul seorang lelaki bodoh," ujar
Yap Kay, "ternyata aku meloloh seorang
perempuan yang tumbuh dewasa sembari tidur."
Kemudian setelah menghela napas lagi,
tambahnya, "Bukankah sama artinya aku sedang
mencari penyakit buat diri sendiri?"
Kontan saja So Ming-ming tertawa cekikikan
sehabis mendengar kata-katanya itu, tegurnya,
"Baru minum satu jam, masa kau sudah tak
sanggup meneguk lebih banyak?"
"Kalau suruh aku makan hidangan, lebih baik
aku menyerah saja," sahut Yap Kay tertawa, "tapi
soal arak" Jangankan baru satu jam, tiga jam lagi
pun bukan masalah."
Dia mendongakkan kepala memandang gadis
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, kemudian tambahnya, "Bagaimana dengan
kau sendiri?"
So Ming-ming tidak segera menjawab, dia
tertawa lebih dulu lalu meneguk habis secawan
arak, setelah memenuhi kembali cawannya yang
kosong baru dia berkata, "Tahukah kau, sejak
usia berapa aku mulai minum arak?"
"Lima belas tahun."
"Keliru, tiga belas tahun. Ketika usiaku baru
mencapai tiga belas tahun, sudah banyak orang
ingin melolohku sampai mabuk."
"Bagaimana akhirnya" Berapa kali kau berhasil
diloloh hingga mabuk?"
Asal kau seorang lelaki, kau pasti ingin
mengetahui jawaban dari pertanyaan ini.
"Kalau dibilang aku tak pernah mabuk garagara
diloloh, jelas jawaban itu bohong, menipu
orang," kata So Ming-ming sambil tertawa,
"hanya satu kali."
"Satu kali," Yap Kay menggeleng sambil
menghela napas, "satu kali pun sudah luar biasa."
Tentu saja So Ming-ming mengetahui apa yang
dimaksud Yap Kay, setelah tertawa katanya lagi,
"Kali itu adalah saat Ciciku menikah, aku diloloh
Ciciku hingga mabuk."
"Cicimu yang meloloh?"
"Betul."
"Kalau takaran minummu saja sudah cukup
membuat orang mati lantaran kaget, berarti
kehebatan Cicimu cukup membuat setan pun
ketakutan?"
"Sesungguhnya Ciciku memang sudah tersohor
sebagai jagoan arak dari Lhasa."
"Lhasa" Kau maksudkan kota suci orang Tibet?"
"Memangnya masih ada kota Lhasa lainnya?"
"Jadi kau dan Cicimu dilahirkan di kota Lhasa?"
"Selain dilahirkan, kami pun dibesarkan di
sana," So Ming-ming menerangkan, "kami dua
bersaudara dijamin memang ayam kampung dari
Lhasa." "Ayam kampung?" sekali lagi Yap Kay dibuat
melengak. "Itu perumpamaan," kembali So Ming-ming
menerangkan sambil tertawa, "orang-orang yang
lahir dan dibesarkan di kota Lhasa biasanya
dipanggil ayam kampung."
Langit bersambungan dengan bumi, sejauh
mata memandang hanya pasir kuning yang
beterbangan di angkasa.
Jarang ada makanan dan hidangan yang
disajikan di pinggiran kota lolos dari sergapan
pasir, setiap suap hidangan yang kau makan
sama artinya dengan kau melahap sesuap pasir.
Memang itulah salah satu ciri khas kehidupan di
pinggiran. Masih untung daun jendela yang ada di rumah
makan bakmi dimana Yap Kay sedang bersantap
saat ini dilapisi dengan kertas tebal, oleh sebab
itu sedikit sekali pasir kuning yang tercampur
dalam hidangan mereka.
Jendela dengan kertas tebal selain bisa
digunakan untuk menahan hembusan pasir, dapat
juga mengurangi teriknya panas matahari, hanya
saja udara jadi terasa lebih lembab.
Kalau tiada hembusan angin, tentu hawa
panas tak bisa terusir.
Banyak sekali kejadian seperti itu berlangsung
di dunia ini, ada sisi untung pasti ada sisi rugi,
oleh karena itulah sebagai manusia janganlah
kelewat pelit dan hitungan.
Yap Kay berulang kali menyeka peluh yang
membasahi jidatnya, lalu dengan kipas berusaha
mendinginkan badannya yang terasa gerah.
Entah karena sebagai 'ayam kampung' sudah
terbiasa dengan udara di situ atau karena sebab
lain, So Ming-ming bukan saja tidak berkeringat,
malah wajahnya tak nampak merah, napas pun
tak terlihat terengah-engah.
"Tampaknya kau memang benar-benar ayam
kampung dari wilayah Kanglam," olok So Mingming
sambil tertawa, "padahal saat ini musim
panas baru tiba, baru begini sudah kepayahan,
apalagi kalau musim panas sudah datang, apa
jadinya kau?"
"Apa lagi" Tentu saja mencari tempat untuk
berteduh," sahut Yap Kay sambil tertawa, "atau
paling sebagian besar waktuku kugunakan untuk
berendam dalam air."
Baru saja So Ming-ming ingin tertawa,
mendadak terdengar suara seorang bocah
perempuan berkumandang dari luar pintu.
"Jangan kuatir, sampai waktunya siapa tahu
orang itu sudah tidak berada di tempat jorok
seperti ini."
Begitu suara itu bergema, tahu-tahu So Mingming
sudah melihat seorang nenek kerdil sudah
berdiri tepat di hadapannya.
Tentu saja Yap Kay tahu siapa gerangan orang
ini, tapi dia betul tak habis mengerti mengapa
Gwe-popo bisa muncul pula di sana"
So Ming-ming tidak kenal nenek kecil mungil
itu, selama hidup belum pernah ia bersua dengan
seorang nenek yang sedemikian aneh, bahkan
diapun tidak mengira bakal bertemu dengan
seorang macam begini.
Nenek kecil mungil itu bukan cuma kelihatan
sangat tua bahkan luar biasa mini, ada beberapa
bagian tubuhnya kelihatan jauh lebih tua dari
siapa pun, ada pula beberapa bagian tubuhnya
yang nampak jauh lebih kecil dan mini ketimbang
siapa pun. Nenek itu benar-benar sangat tua dan mini,
tapi kulit wajahnya justru lebih halus dan lembut
ketimbang wajah seorang bayi, selain putih juga
terasa begitu halus dan lembut, semu merah di
antara putih dan empuk bagaikan tahu, apalagi
suaranya, bukan saja merdu dan halus, bahkan
lebih manja dari suara gadis remaja.
So Ming-ming memandang nenek yang serba
luar biasa ini, hampir saja dia tertawa geli, sebab
si nenek sedang menggunakan matanya yang
lembut untuk memandang Yap Kay.
Padahal sejak berusia tiga-empat belas tahun
Yap Kay sudah terbiasa diawasi orang, khususnya
oleh kaum gadis. Sampai berumur tiga puluh satu
tahun, dia masih sering diawasi orang, diawasi
berbagai jenis perempuan. Jadi sebetulnya dia
sudah terbiasa ditatap orang.
Tapi sejak ditatap si nenek semalam, entah
mengapa tiba-tiba ia merasa rikuh sekali.
Apalagi sekarang, ia mulai merasa tak leluasa
dengan tatapan si nenek itu, pipinya terasa mulai
panas dan memerah.
"Apa yang kau pandang?" akhirnya tak tahan
Yap Kay bertanya.
"Aku sedang memandangmu," jawab si nenek.
Yap Kay sengaja menghela napas panjang,
katanya, "Aku sudah tua bangka, buat apa
melihatku?"
Gwe-popo tak mau kalah, dia pun sengaja
menghela napas sambil menyahut, "Aku pun
sudah nenek-nenek, kalau bukan memandang
kakek tua, siapa pula yang kupandang?"
Sebetulnya So Ming-ming tak ingin tertawa,
apa mau dikata ia justru tak kuasa menahan rasa
gelinya lagi, secara tiba-tiba ia merasa bahwa si
nenek betul-betul seorang yang menarik.
Bab 2. CINTA KADALUWARSA
"Baik-baikkah kau!" sapa So Ming-ming
kemudian. "Aku sangat baik, begitu baik sampai tak
terkirakan."
"Siapa namamu" Mau apa datang kemari?"
"Aku bukan bermarga siapa, kemari pun tak
ada urusan apa-apa," sahut Gwe-popo, "aku
kemari lantaran satu urusan yang sama sekali tak
berarti." "Urusan apa?"
"Coba saja kau tebak," sahut Gwe-popo lagi
sambil memutar biji matanya, "asal tebakanmu
betul, aku akan menyembahmu sebanyak tiga
ribu enam ratus kali."
"Buat apa kau menyembah begitu banyak"
Tentu kau akan lelah!" So Ming-ming
menggeleng, "aku bertanya justru lantaran aku
tak bisa menebak apa maksudmu datang kemari."
"Tentu saja kau tak mampu menebak, selama
hidup jangan harap kau bisa menebaknya."
"Kalau memang begitu, kenapa tidak segera
kau terangkan?"
"Biarpun sudah kukatakan pun belum tentu kau
percaya." "Coba katakan."
"Baik, akan kukatakan," tiba-tiba Gwe-popo
berpaling ke arah Yap Kay, kemudian
melanjutkan, "aku datang kemari lantaran aku
ingin menelanjangi kau dan memandang setiap
jengkal badanmu dengan seksama."
Kontan So Ming-ming tergelak, mula-mula dia
terperangah tapi kemudian rasa geli mengalahkan
perasaan tercengangnya, selama hidup belum
pernah ia mendengar ocehan sekonyol itu,
bahkan mimpi pun tak mengira bakal mendengar
lelucon semacam ini.
Yap Kay betul-betul tak mampu tertawa.
Sebetulnya dia masih bisa tertawa, dalam
keadaan biasa dia bakal tertawa keras mendengar
ucapan semacam itu, sekarang ia terbungkam,
benar-benar tak mampu tertawa lagi, sebab dia
kelewat memahami tabiat Gwe-popo.
Dia sangat memahami tabiatnya yang bertindak
sesuka hati. Kalau Tui hong siu tersohor karena
keras kepala, maka Gwe-popo terkenal karena
tindak-tanduknya yang liar.
Teringat akan hal ini, Yap Kay tak sanggup
tertawa lagi, namun dia masih mencoba
memaksakan diri menampilkan sekulum
senyuman. Masih mendingan jika dia tidak tertawa, begitu
tersenyum maka wajahnya kelihatan jelek hingga
menyerupai orang sedang menangis
"Jangan kau perlihatkan mimik muka seperti
itu," buru-buru Gwe-popo mencela dengan penuh
rasa sayang, "sikap semacam itu bisa membuat
wajahmu berkerut dan cepat tua."
"Ai... aku lebih suka kulit wajahku saat ini
berubah jadi tua dan jelek, seperti wajah kakek
berusia sembilan puluh tahun," gumam Yap Kay
sambil tertawa getir.
Tiba-tiba So Ming-ming menarik kembali
senyumannya, dengan sikap yang lebih serius
tanyanya kepada Gwe-popo, "Jadi kau benarbenar
akan menelanjangi dia dan menikmati
tubuh bugilnya" Sekarang juga" Di tempat ini?"
"Apa salahnya kulakukan sekarang"
Memangnya kurang cocok?"
"Jelas tidak boleh dan tidak cocok," teriak Yap
Kay gelisah. "Kenapa?"
"Bukankah Siau-ling-ji belum menunjuk calon
suaminya, mana boleh kau telanjangi aku lebih
dulu?" protes Yap Kay, "lagi pula sudah dia
katakan kau tak boleh melakukannya di siang hari
bolong, apalagi di depan umum."
"Baiklah, aku pasti akan membuat kau bugil
dengan perasaan ikhlas!" kata Gwe-popo
kemudian. Begitu selesai berkata, seperti sewaktu masuk
tadi, tahu-tahu Gwe-popo sudah lenyap dari
pandangan mata. Coba seandainya tidak tersisa
bau harum tubuhnya, So Ming-ming pasti mengira
dia sedang mabuk berat.
Kini Yap Kay bisa menghembuskan napas lega,
perasaan tegang pun berangsur mengendor,
berulang kali dia meneguk arak untuk meredakan
hatinya yang berdebar.
"Dia benar-benar akan melucuti pakaianmu
hingga telanjang?" tanya So Ming-ming kemudian
selesai meneguk arak.
"Jika kau sudah tahu siapa nenek itu,
pertanyaan ini pasti tak akan kau ajukan."
"Lalu siapakah dia?"
"Pernah kau dengar nama besar Tui hong siu?"
"Tui hong siu" Belum pernah!"
"Nama Gwe-popo?"
Kembali So Ming-ming menggeleng,
"Aku hanya tahu seorang lelaki bernama Yap
Kay, ternyata dia hanya setan bernyali kecil, baru
ada seorang nenek ingin menelanjangi dia,
ternyata dia sudah ketakutan setengah mati."
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau manusia seperti Tui hong siu dan Gwepopo
pun sama sekali tidak diketahui olehnya,
bagaimana mungkin nona itu bisa memahami
perasaan takut Yap Kay" Oleh sebab itu Yap Kay
enggan memberi penjelasan lebih lanjut, dia
hanya tertawa getir, hanya meneguk araknya
secawan demi secawan.
Tampaknya So Ming-ming tak berniat
menyudahi pertanyaannya, kembali ia berkata,
"Siapa pula Siau ling-ji itu" Apakah dia seorang
perempuan" Masih muda" Atau sudah neneknenek?"
Yap Kay mengerti, bila tidak ia ceritakan kisah
pengalamannya semalam, jangan harap
kehidupannya di masa datang bisa dilewatkan
dengan tenteram, maka secara ringkas dia pun
mengisahkan kembali kejadian semalam.
So Ming-ming termenung sambil melamun
selesai mendengar penuturan Yap Kay, dia seakan
terjerumus dalam pemikiran yang serius, biar
cawan arak di tangan namun tak sekali pun
diteguk isinya, sementara sorot matanya
memandang ke tempat jauh dengan termangu.
Yap Kay tercengang melihat sikapnya itu,
bukankah peristiwa yang berlangsung semalam
sama sekali tak ada hubungan atau sangkut-paut
dengan dirinya" Bahkan semua orang yang hadir
semalam pun tak ada sangkut-pautnya, kenapa
sikapnya tiba-tiba berubah jadi sangat aneh"
Begitulah, untuk sesaat mereka berdua hanya
membungkam dan masing-masing terjerumus
dalam pemikiran sendiri-sendiri.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya
terdengar So Ming-ming menghembuskan napas
panjang, lalu berkata, "Mungkinkah orang yang
dipanggil Ong-supek adalah tua bangka aneh
itu?" "Tua bangka aneh" Tua bangka aneh yang
mana" Kau kenal orang itu?" tanya Yap Kay.
Perlahan-lahan So Ming-ming menarik kembali
sorot matanya dan meneguk habis isi cawannya,
tapi suaranya seolah masih tertinggal di tempat
jauh, ujarnya, "Di dalam kota Lhasa terdapat
sebuah istana yang bernama istana Potala,
kurang lebih seratus lima puluh li dari istana
Potala ada sebuah bukit yang bernama Cagopoli,
di atas bukit inilah terdapat sebuah tempat yang
disebut kebun monyet."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas,
kembali gadis itu melanjutkan, "Pemilik kebun
monyet adalah seorang kakek yang aneh, dia
sudah berumur seratus tahun, dari marga Ong.
Anak-anak yang tinggal di Lhasa biasa
memanggilnya sebagai Ong-supek."
"Kebun monyet" Ong-supek?" wajah Yap Kay
mulai berseri, "apakah orang tua yang bernama
Ong-supek ini amat suka dengan monyet?"
"Bukan hanya suka, bahkan nyaris suka
setengah mati, sukanya mendekati gila," So MingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ming menerangkan sambil tertawa, "di dalam
kebunnya paling tidak terdapat seribu ekor
monyet, monyet jenis apa pun terdapat di situ,
bahkan terdapat sejenis monyet yang mimpi pun
tak pernah kau bayangkan."
Tiba-tiba mimik mukanya menunjukkan
perubahan yang aneh, katanya lagi, "Aku dengar
di situ terdapat sejenis monyet yang aneh, konon
meski berbadan monyet tapi berkepala manusia."
"Kepala manusia bertubuh monyet?" Yap Kay
tertegun. "Benar, bahkan pandai pula berbicara."
"Ah, mana mungkin di dunia ini terdapat
monyet jenis seperti itu" sahut Yap Kay dengan
wajah sangsi, "apakah kau pernah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri?"
"Belum pernah! Tapi anak-anak yang tinggal di
Lhasa pernah bersumpah kepadaku bahwa
mereka pernah bertemu, malah pernah
mendengar monyet itu berbicara."
Bila seorang kakek aneh berusia seratus tahun,
sebuah kebun yang penuh dengan monyet dan
sejenis monyet berkepala manusia yang dapat
berbicara digabungkan menjadi satu, akan
muncul gambaran seperti apa"
"Aku malah pernah mendengar bahwa dalam
kebun monyet itu tinggal pula sepasang suami
istri kecil mungil serta seorang nona cilik,"
kembali So Ming-ming melanjutkan perkataannya.
"Sepasang suami istri kecil mungil dan seorang
nona cilik?" bisik Yap Kay cepat, dia semakin
tertarik kisah ini.
"Itulah sebabnya sewaktu kudengar kau
bercerita tentang Pek Ih-ling serta kakek tua Ong,
dalam benakku segera terlintas kebun monyet
itu," kata So Ming-ming, "kau menyinggung
tentang sepasang suami istri kerdil itu, aku
semakin yakin Pek Ih-ling sebetulnya adalah si
nona cilik yang tinggal dalam kebun monyet."
"Ehm, ada kemungkinan benar," Yap Kay
manggut-manggut setelah berpikir sejenak.
Tiba-tiba So Ming-ming berbisik, "Kau ingin
melihat keadaan di situ?"
"Melihat apa?"
"Melihat kebun monyet, sekalian melihat si
monyet yang pandai berbicara."
Mau! Sudah pasti mau! Kalau tak mau berarti
dia adalah kura-kura.
Malam itu, sesudah meninggalkan ruang
gedung utama, Pho Ang-soat berjalan menuju ke
kamar tidurnya, tapi dia sama sekali tidak tidur.
Begitu masuk ke dalam kamar dan menutup
pintu, ia segera melesat keluar lagi lewat jendela
dan melayang naik ke atap rumah, di situ ia
menunggu dan melakukan pengamatan, setelah
yakin semua orang telah kembali ke kamar
masing-masing untuk beristirahat, baru ia
meluncur ke kamar tidur Be Hong-ling.
Jangan dilihat sewaktu berjalan gerak-geriknya
begitu lamban dan berat, begitu menggunakan
Ginkangnya, ia bergerak sangat indah dan cepat.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun dia
melayang masuk ke dalam kamar Be Hong-ling,
begitu melompat turun dia pun mendekam tanpa
bergerak, menunggu matanya sudah dapat
menyesuaikan diri dengan kegelapan di situ,
perlahan-lahan baru dia berjalan menuju
pembaringan dan merebahkan diri.
Begitu badannya rebah, dia pun
memejamkan mata, seolah-olah maksud
kedatangannya ke situ adalah untuk tidur.
Benarkah dia datang ke sana untuk tidur"
Malam ini berbintang, tapi sayang cahaya
bintang amat redup, ada rembulan tapi sinar
rembulan pun suram, begitu suram dan redup.
Rembulan tiada bersuara, begitu pula dengan
sang bintang. Suasana di dalam kamar Be Hong-ling pun
sangat hening, benarkah Pho Ang-soat telah
tertidur" Kini tengah malam sudah lewat, memang saat
paling nyenyak untuk tidur, tapi saat yang paling
tepat juga untuk mereka yang berjalan malam
mulai beroperasi.
Dari balik kertas putih pada daun jendela tibatiba
muncul seseorang, ia berhenti sejenak
seakan sedang memastikan adakah orang di
dalam kamar, sesaat kemudian baru ia berlalu
dari situ. Di bawah cahaya rembulan kembali muncul
seseorang yang mengenakan Ya heng ih (pakaian
berjalan malam) dan berkerudung hitam sehingga
hanya terlihat sepasang matanya yang tajam.
Kini sepasang mata itu sedang mengawasi
ruang dalam, cahaya rembulan yang redup hanya
sempat menyinari meja dan bangku, namun tak
mampu menjangkau ranjang di sudut dinding.
Sekilas perasaan puas melintas di balik mata
orang berbaju hitam itu, dengan sekali lompatan
ia sudah menerobos masuk ke dalam kamar,
merapatkan kembali daun jendela dan secepat
kilat tubuhnya telah menerjang ke depan meja
rias. Tampaknya dia sangat hapal dengan segala
sesuatu yang berada di situ, tangannya langsung
membuka laci ketiga di sisi kiri meja, kemudian
mengambil sesuatu.
Tanpa diperiksa lagi benda itu dimasukkan ke
dalam saku, seusai menutup kembali lacinya, dia
membalikkan tubuh siap kabur dari sana.
Mendadak ia menyadari sesuatu, ia saksikan
seseorang telah berdiri menghadang tepat di
depan jendela. Orang yang berdiri di hadapannya mempunyai
mata yang sangat hitam, namun sinar matanya
begitu dingin, paras mukanya pucat-pasi,
tangannya pun putih memucat, hanya golok
dalam genggamannya yang berwarna hitam
pekat. Begitu hitam pekat seakan datangnya
kematian! Sebelum orang berbaju hitam itu mendekati
kamar, Pho Ang-soat sudah mengetahui
kehadirannya, di balik kegelapan secara lamatlamat
ia dapat melihat sekulum senyuman dingin
yang menghiasi ujung bibirnya.
Tujuan kedatangannya malam ini ke kamar Be
Hong-ling tak lain karena hendak menunggu saat
seperti ini, setelah melakukan permainan
'memungut rambut putih' dari lantai, dia percaya
dan yakin malam ini sang pembunuh pasti akan
melakukan aksinya.
Ternyata apa yang diduganya tidak keliru.
Kini walaupun dia telah saling berhadapan
dengan orang berbaju hitam yang cuma nampak
matanya ini, ternyata Pho Ang-soat masih belum
bisa menebak siapa gerangan dirinya, tapi ada
satu hal yang pasti adalah orang itu lelaki.
Sesaat setelah kedua orang itu saling tatap,
dengan cepat orang itu membalikkan badan dan
berlari menuju ke arah lain, siapa tahu baru saja
tiba di depan pintu, lagi-lagi Pho Ang-soat telah
berdiri menanti di situ.
Sorot mata yang dingin dengan golok berwarna
hitam pekat. "Kau tidak patut melakukan hal ini," tegur Pho
Ang-soat dingin.
"Aku tidak patut?"
"Kau tidak patut melimpahkan semua
kesalahan dan dosamu ke pundakku," ucap Pho
Ang-soat lambat, seolah kuatir pihak lawan tidak
memahami perkataannya.
Tiba-tiba saja orang itu bungkam, tubuhnya
tidak bergerak, hanya sinar matanya yang
berkedip tak tenang, seakan sedang memeras
otak, seperti juga ketakutan.
Pho Ang-soat tidak bergerak, tiada kilatan sinar
mata, dia hanya memandang orang itu dingin dan
hambar. Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya sambil
menghela napas panjang perlahan-lahan orang itu
melolos sebilah golok dari belakang punggungnya.
Sebilah golok dengan taburan mutiara pada
gagangnya, golok yang bersinar tajam.
Ketika dia mengawasi golok dalam
genggamannya, seolah sedang mengawasi sang
kekasih, sambil membelai gagang goloknya
dengan penuh kasih sayang, ujarnya lembut,
"Aku berlatih golok sejak usia lima belas tahun,
kini umurku lima puluh dua tahun, berarti sudah
tiga puluh delapan tahun lamanya aku melatih
diri," gumam orang itu, "hampir setiap hari aku
bermimpi bisa menjadi jago golok tercepat di
kolong langit."
Asal kau adalah orang persilatan, siapa pun
pasti mempunyai keinginan seperti itu.
"Tapi aku tahu, mustahil impianku menjadi
kenyataan... karena aku kelewat suka menikmati
hidup." Dari bentuk senjatanya saja orang sudah tahu.
Golok dipakai untuk membunuh, bukan
melambangkan status dan kedudukan.
Tapi golok bertaburkan permata miliknya
kadangkala justru tak sanggup menghadapi
sebilah golok biasa.
Apalagi jika golok itu golok hitam yang berada
di tangan Pho Ang-soat.
Biar berbeda bentuk, namun kedua bilah
senjata itu mempunyai kegunaan yang sama,
keduanya sama-sama golok, keduanya sering
dipakai untuk membunuh orang.
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sinar sebening permata memancar dari balik
mata orang itu.
"Setelah impian pertama susah terwujud, tentu
aku masih punya impian kedua," katanya, "hanya
sayang impianku yang kedua pun tampaknya
susah untuk terwujud."
"Trang...!" Suara golok tercabut dari sarungnya
bergema hampir bersamaan selesainya katakatanya,
begitu golok dicabut, sinar mata
kepedihan terpancar dari balik matanya.
Semacam kepedihan yang tak mungkin bisa
terlupakan untuk selamanya.
Dia meraung keras, tiba-tiba mengayunkan
goloknya. Di saat golok diayunkan, saat itulah
kematian menjelang tiba. Di saat ia mencabut
golok, Pho Ang-soat tidak bergerak. Di saat dia
mengayunkan goloknya, Pho Ang-soat masih
juga tidak bergerak.
Sampai mata goloknya tinggal lima inci dari
tenggorokan Pho Ang-soat pun seolah belum juga
bergerak, sebab dia sama sekali tidak melihat
adanya kilatan cahaya golok.
Dia hanya mendengar satu suara yang sangat
ringan, halus, lembut, indah dan seakan suara
golok di kejauhan sana.
Menanti ia mendengar suara golok itu, Pho
Ang-soat telah lenyap dari pandangan matanya,
dia telah kehilangan lawan, langit, bumi, sinar
matanya dan segala sesuatu yang dimilikinya.
Dia hanya menjumpai tubuhnya sudah
tergeletak di tengah genangan darah, Pho Angsoat
berdiri persis di hadapannya.
Tiba-tiba orang berbaju hitam itu menangkap
perasaan sedih dan secercah perasaan iba dari
balik mata Pho Ang-soat yang dingin.
Apa yang dia sedihkan" Sedih karena
membunuhnya" Kenapa dia harus iba" Iba karena
harus membunuh orang berbaju hitam itu"
Orang itu balas menatap Pho Ang-soat, tibatiba
ia berseru sambil tertawa tergelak, "Bila kau
tidak melepaskan kain kerudung wajahku,
kujamin kau tak bakal bisa menebak siapakah
diriku." "Aku tahu, aku tahu siapakah kau," jawab Pho
Ang-soat singkat.
"Kau tahu?" orang itu nampak terkesiap, "kau
tahu siapakah aku?"
Pho Ang-soat tidak menjawab, hanya sorot
matanya dialihkan ke butiran mutiara yang kini
tergeletak di tengah genangan darah.
Babatan golok Pho Ang-soat tadi bukan saja
telah merobek tenggorokan orang berbaju hitam
itu, merobek juga pakaiannya.
Benda yang baru saja diambil orang itu dari
laci, kini sudah tergeletak di tengah genangan
darah segar. Biar darah berwarna merah, mutiara itu masih
memantulkan cahaya yang berkilauan.
Tertegun orang itu memandang mutiara di
tengah genangan darah, kemudian baru ia
berkata perlahan, "Ternyata kau memang
sudah tahu siapa aku."
Pho Ang-soat tidak menjawab, namun perasaan
iba semakin tebal memancar dari balik matanya.
Dengan tangan kirinya yang gemetar orang itu
memungut mutiara itu dari genangan darah.
Cahaya mutiara gemerlap bagai cahaya
bintang, sementara darah segar memerah bagai
bunga mawar, butiran darah masih mengucur dari
mulut luka, membasahi mutiara itu dan menetes
ke tengah genangan.
Dengan tangan kanannya orang itu melepas
kerudung mukanya, kemudian membungkus
mutiara itu, membungkus dengan hati-hati,
seolah bungkusan itu adalah hadiah yang akan
diberikan kepada kekasih hat inya.
Cahaya rembulan bagai kerlingan mata sang
kekasih, memancar di wajah orang itu.
Ternyata orang yang tak mungkin bisa
mewujudkan impian keduanya ini tak lain adalah
Loh Loh-san. Selesai membungkus mutiara itu, Loh Loh-san
menyodorkan bungkusan itu sambil berkata,
"Impianku tak mungkin bisa terwujud, maukah
kau menyerahkan bungkusan ini kepadanya?"
"Baik."
Pho Ang-soat menerima bungkusan itu, bahkan
dengan tegas berjanji, "Aku pasti akan
menyerahkan sendiri ke tangannya."
"Terima kasih."
Itulah perkataan terakhir yang diucapkan Loh
Loh-san sebelum akhir hidupnya.
Mengawasi Loh Loh-san yang mati dengan
membawa kelegaan, cahaya pilu semakin kental
memancar dari balik mata Pho Ang-soat.
Ternyata kedatangan Loh Loh-san ke kamar
tidur Be Hong-ling bukan lantaran dia
pembunuhnya, tapi ia datang untuk
menghilangkan barang bukt i.
Dia datang ke sana karena ingin mengambil
mutiara itu. Dia ingin memberikan benda itu
untuk seorang nona yang cantik dan masih muda,
gadis yang menurutnya bakal menyukai dirinya.
Mengawasi mayat Loh Loh-san yang mulai
membujur kaku, Pho Ang-soat seolah mendengar
kata-kata Pek Ih-ling semalam, "Biarpun orang
muda lebih tampan dan gagah, sayang dalam hal
ekonomi mereka lemah!"
Ternyata gara-gara perkataan itulah kematian
telah menimpa dirinya!
Ternyata Loh Loh-san menyangka dewa cinta
telah memilih dirinya, ternyata dia datang ke situ
hanya ingin mencuri mutiara dan menyerahkan
kepada Pek Ih-ling.
Apakah perbuatannya merupakan penampilan
perasaan cintanya" Tak tahan Pho Ang-soat
menghela napas panjang.
Bila orang berkata bahwa cinta yang
sesungguhnya hanya terjadi satu kali, tak
mungkin untuk kedua kalinya, maka apa yang
telah ia katakan tadi memang sangat masuk akal.
Karena cinta adalah sesuatu yang gampang
berubah sifat, dapat berubah menjadi cinta
karena persahabatan, sebagai saudara, bahkan
dapat juga berubah menjadi benci dan dendam.
Sebab antara cinta dan benci sebetulnya hanya
dipisahkan oleh pikiran sesaat.
Apa pun yang dapat berubah biasanya
gampang pula terlupakan.
Di saat perasaan cinta pertama mulai
memudar, terkadang bakal muncul cinta kedua,
perasaan cinta kedua seringkah akan berubah
menjadi semurni, sedalam, semesra dan
sependerita perasaan cinta pertama.
Cinta pun tidak membatasi usia, penyakit
menular ini bisa meracuni kaum muda, dapat pula
meracuni mereka yang sudah dewasa bahkan
yang sudah tua.
Biarpun anak muda lebih berani menyatakan
cinta, lebih berani menyataan benci, bahkan
ungkapan cinta mereka lebih panas dan
bergairah, namun orang dewasa pun terkadang
mudah tergila-gila, mudah terbuai gara-gara
pengaruh cinta.
Baik dia tua maupun muda, menghadapi
perasaan cinta biasanya akan bersikap lebih jujur.
Dia akan mencintai dengan sepenuh hati, tidak
segan mencintai dengan taruhan nyawa.
Sayangnya bagi sementara orang tua, kejujuran
cinta mereka biasanya justru dimanfaatkan oleh
pihak lain. Bukan cuma dimanfaatkan orang, malah
terkadang dimanfaatkan juga oleh diri sendiri.
Loh Loh-san adalah contoh yang jelas tentang
hal ini. Dia sangka Pek Ih-ling menaruh perasaan
terhadapnya, maka dengan perasaan jujur dan
tulus dia bersiap menerima luapan rasa cinta itu.
Tapi akhirnya dia harus kehilangan nyawa,
harus mengalami nasib tragis.
Ternyata cinta dapat menciptakan segalanya,
dapat memusnahkan segalanya pula.
Ya cinta! Segala sesuatunya hanya gara-gara
cinta! Bab 3. PHO ANG-SOAT TERANCAM
BAHAYA Hari telah terang tanah.
Sinar kepedihan belum luntur sama sekali dari
sorot mata Pho Ang-soat.
Kepedihan hatinya bukan lantaran kematian
Loh Loh-san, tapi karena perasaan cinta yang tak
berdaya. Dia pernah mengalami pengalaman pahit
seperti itu, dia pun pernah merasakan gejolak
perasaan yang tak berbendung, kobaran emosi
yang membuatnya tak segan mengorbankan
segala sesuatu.
Biarpun segala sesuatunya sekarang sudah
sejauh taburan bintang di langit, namun masih
tertanam dalam lubuk hatinya, bagai kutu yang
siang malam selalu menggerogoti tubuhnya.
Dia tak tahu sampai kapan dirinya baru bisa
lolos dari semua penderitaan itu.
Mengikuti munculnya sinar fajar, Pho Ang-soat
menggeliat sambil mengendorkan tubuhnya yang
kaku, tiba-tiba pandangannya terhenti pada
secercah cahaya matahari yang menembus
masuk lewat jendela, tiba-tiba saja ia teringat
pada kumpulan cahaya yang memancar dari balik
gundukan tanah.
"Tidakkah kau merasa bahwa semua kunci
persoalan terletak pada gundukan tanah itu?"
Itulah ucapan Yap Kay semalam sebelum
meninggalkan dirinya, sekalipun bukan terhitung
ucapan yang menyadarkan dia dari impian, tak
dapat disangkal petunjuk itu memang ada
benarnya. Langit mulai terang, dari kejauhan
terdengar ayam berkokok, namun jagad raya
masih gelap gulita, seakan masih terlelap
dalam t idurnya.
Pho Ang-soat melompat turun dari atas
ranjang, golok hitam pekat masih tergenggam di
tangan kirinya.
Hitam pekat bagai kematian, hitam pekat bagai
langit malam yang tiada tepian.
Dengan langkah kakinya yang aneh dan bebal
dia menuju pintu kamar, belum lagi membuka
pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dengan
sendirinya. Apakah pintu itu terbuka oleh hembusan angin"
Ataukah ada seseorang mendorongnya"
Ternyata yang mendorong pintu adalah si
kakek kerdil Tui hong siu, si kakek pengejar
angin. Pho Ang-soat tidak kaget, sedikit perasaan
kaget pun tak ada, dia seolah sudah menduga Tui
hong siu bakal membuka pintu pada saat itu.
"Selamat pagi!" sapa Tui hong siu sambil
tertawa. "Ada urusan?" tegur Pho Ang-soat ketus.
"Tentu saja ada, kalau tak ada urusan buat apa
pagi-pagi sudah berdiri menunggu di depan pintu
kamar orang."
Pho Ang-soat bergeser ke samping membiarkan
Tui hong siu masuk, kemudian setelah duduk di
hadapan tamunya baru ia bertanya, "Ada urusan
apa?" "Sudah lama aku kawin dengan si nenek tua,
sayangnya jangankan punya anak, bertelur
sebutir pun tak pernah, itulah sebabnya kami
selalu menyayangi Pek Ih-ling bagaikan
menyayangi anak kandung sendiri."
Tui hong siu berhenti sejenak menarik napas,
kemudian lanjutnya, "Itulah sebabnya urusan
perkawinannya merupakan masalah besar bagi
kami, bukankah untuk itu kami harus bersikap
lebih serius?"
"Apa sangkut-pautnya dengan aku?"
"Tentu saja ada. Jika Siau ling-ji memilih kau,
bukankah antara kau dan kami jadi ada sangkutpautnya."
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia hanya
tertawa dingin.
"Bagi kami, latar belakang dan asal-usul
bukanlah masalah yang penting," ujar Tui hong
siu lagi, "bagi seorang wanita, kebahagiaan
hiduplah segalanya, asal sang suami
mencintainya dan tahu bagaimana menyayangi,
hal itu jauh lebih penting. Tentu saja selain
kebahagiaan, suaminya pun harus seorang lelaki
yang memiliki kondisi kesehatan prima, hanya
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari tubuh yang primalah akan lahir keturunan
yang prima juga."
Dari nada bicara Tui hong siu, dia seolah sudah
menganggap Pho Ang-soat sebagai suami Pek Ihling.
"Suami yang sehat merupakan kebahagiaan
bagi sang istri," kata Tui hong siu sambil tertawa,
"sejak zaman dulu sudah begitu, aku percaya
selanjutnya pun akan begitu."
Ia memandang Pho Ang-soat sekejap sambil
tertawa, kemudian lanjutnya, "Oleh karena demi
kebahagiaan Siau ling-ji di kemudian hari, kami
wajib melakukan pemeriksaan lebih dulu atas
kesehatan suaminya, dalam hal ini kau setuju
bukan?" "Ada satu hal aku tak tahu, apakah kau pun
sudah memikirkan dengan jelas?" perlahan Pho
Ang-soat berkata.
"Hal apa?"
"Kalian seenaknya bicara seolah segala
sesuatunya bisa dilakukan semaumu sendiri,
pernahkah kalian pertimbangkan pihak lawan
merasa keberatan?"
"Tak bakal ada yang keberatan, apalagi Siau
ling-ji kami begitu cantik dan menawan, syarat
yang dia miliki pun sangat mendukung, hanya
orang tolol yang bakal menampik tawarannya."
"Kebetulan saat ini kau telah menjumpai satu di
antaranya," kata Pho Ang-soat dingin. Selesai
berkata dia pun beranjak meninggalkan ruangan
itu. Tui hong siu tidak menghalangi, namun
katanya, "Kusarankan kepadamu untuk
mendengarkan dulu satu hal sampai selesai
sebelum mempertimbangkan akan pergi atau
tidak." "Katakan!" kata Pho Ang-soat sambil
menghentikan langkahnya.
"Biarpun pada lima puluh tahun berselang
nama kami suami istri sudah termashur dalam
dunia persilatan, tapi sejak mengundurkan diri
dari keramaian dunia pada tiga puluh tahun lalu,
jarang sekali kami mencampuri urusan dunia
persilatan, dengan sendirinya perkembangan ilmu
silat kami pun ikut terhambat," kata Tui hong siu
hambar, "terlebih dengan munculnya jago-jago
muda dalam Bu-lim, jelas kehebatan orang
sekarang jauh melebihi kemampuan orang-orang
dulu." Ia bangkit, perlahan-lahan berjalan menuju ke
hadapan Pho Ang-soat, lalu katanya lagi,
"Sekalipun begitu, apabila keadaan mendesak,
terpaksa kami suami istri tetap akan turun tangan
juga, biar tak sanggup mengungguli lawan, meski
kami harus tewas gara-gara perbuatan ini, kami
tetap rela dan ikhlas melakukannya."
Sambil menatap wajah Pho Ang-soat, ujarnya,
"Sekarang kau sudah memahami maksudku
bukan?" Maksud perkataan itu jelas sekali, jika dia
masih ngotot ingin pergi atau tetap menolak,
terpaksa kita harus bertarung.
Pho Ang-soat mengerti, tentu saja Tui hong siu
juga mengerti, melihat Pho Ang-soat sama sekali
tidak melakukan tindakan apa pun sehabis
mengucapkan perkataan tadi, tanpa terasa
sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya.
Mendadak terdengar Pho Ang-soat berkata,
"Biarpun aku bukan orang Ouwlam, tapi sayang
watakku seperti keledai."
Lalu dia bertanya, "Di sini" Sekarang?"
Mau bertarung di sini" Atau ganti tempat lain"
Tentu saja Tui hong siu mengerti maksud
perkataan itu, tak heran senyumannya langsung
membeku, hanya sorot mata tajam yang
terpancar keluar.
Tiada angin yang berhembus, udara seakan
menjadi beku dalam waktu sekejap.
Pho Ang-soat sama sekali tak bergerak,
pancaran sinar matanya tetap dingin.
Tui hong siu juga tidak bergerak, sepasang
tangannya dibiarkan terkulai ke bawah.
Biarpun belum pernah ada berita dalam dunia
persilatan tentang jenis senjata andalannya, tapi
Pho Ang-soat tahu dia bersenjata, sebab ia telah
merasakan hawa membunuh yang terpancar dari
senjatanya. Hawa pedang yang lebih dingin dari salju, hawa
pedang itu terpancar dari tubuh Tui hong siu,
ternyata tubuh orang itu jauh lebih tajam
daripada sebilah pedang.
Tubuh kakek kecil itu memang merupakan
sebilah pedang!
Sejak terjun ke dunia Kangouw belasan tahun
berselang, boleh dibilang musuh macam apa pun
pernah dijumpainya, tentu saja di antara mereka
terdapat juga jago pedang yang tersohor akan
kehebatannya. Ada sementara orang memiliki ilmu pedang
yang ringan dan gesit, cepat, telengas dan ganas.
Siapa pun dia, biasanya keangkerannya baru
terwujud setelah melancarkan serangan dengan
jurus pedangnya.
Tapi kini bukan saja Tui hong siu belum
melancarkan serangan, bahkan seperti apakah
bentuk pedangnya pun tak ada yang tahu, tapi
Pho Ang-soat dapat merasakan tekanan hawa
pedang yang mengerikan.
Tiada hembusan angin, tapi ujung baju Tui
hong siu berkibar dan menari, kakinya sama
sekali tak bergerak, tapi Pho Ang-soat merasa
seakan-akan ia sedang bergeser.
Pho Ang-soat bisa merasakan hal seperti itu
karena Tui hong siu telah mengerahkan seluruh
kekuatan yang dimilikinya, seluruh kekuatan telah
diubah menjadi hawa pedang, yang membuat
orang lain hanya bisa merasakan tekanan hawa
pedangnya dan melupakan keberadaannya.
Tubuhnya telah menyatu dengan pedangnya,
membaur ke seluruh ruangan, membaur ke
seluruh jagad raya, oleh karena itulah di saat dia
tak bergerak, ia seolah-olah sedang bergerak, di
saat dia bergerak justru seolah-olah tidak
bergerak. Akhirnya Pho Ang-soat menyadari kehebatan
Cianpwe itu sebagai seorang jago pedang
memang bukan nama kosong belaka.
Menanti Pho Ang-soat bergerak, keadaan sudah
terlambat, seluruh tubuhnya sudah terkurung di
bawah tekanan hawa pedang Tui hong siu.
Selama hidup sudah ratusan kali dia
menghadapi musuh, dalam setiap pertarungan dia
selalu menunggu sampai pihak musuh turun
tangan lebih dulu, goloknya baru melancarkan
serangan balasan, sebab ilmu golok yang
dipelajarinya adalah ilmu golok yang
mengendalikan gerak dengan gerak, dengan
lambat mengatasi kecepatan.
Tapi kali ini dia benar-benar menyesal mengapa
tidak turun tangan lebih dahulu.
Tiba-tiba ia merasakan ilmu golok yang
dilatihnya selama ini telah kehilangan daya guna,
telah kehilangan manfaat di hadapan Tui hong
siu. Di saat Pho Ang-soat menyesal mengapa tidak
mencabut goloknya terlebih dulu, dan pada saat
Yap Kay menyaksikan Gwe-popo memasuki
warung bakmi, tanah gundukan yang telah digali
Yap Kay di dalam hutan lebat itu telah terjadi
perubahan. Gua yang semula kosong itu mendadak
mengeluarkan bunyi yang sangat aneh, seolaholah
ada seseorang sedang memutar roda gigi
sebuah mesin. Menyusul kemudian bergema suara mencicit
aneh dan terlihatlah seekor monyet melompat
keluar dari balik gua, melompat keluar dari gua
itu dan berdiri di sisinya sambil celingukan.
Monyet itu memiliki sepasang mata yang jeli
dan tajam, setelah memeriksa sekejap sekitar
tempat itu, dia langsung berlari menuju ke arah
hutan belantara.
Baru satu tombak monyet itu kabur, tiba-tiba
dari dalam gua meluncur seutas tali, "Sret!", tali
itu dengan cepat membelenggu tubuh monyet
yang sedang kabur itu.
Dengan sepasang tangannya monyet itu
berusaha melepas tali yang membelenggunya,
tapi bagaimana pun dia menarik, usahanya tak
berhasil. Akhirnya dengan gelisah binatang itu
berteriak-teriak sambil melompat ke sana kemari.
Tiba-tiba dari balik gua yang gelap
b Golok Halilintar 15 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Rahasia 180 Patung Mas 16