Kilas Balik Merah Salju 8
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bagian 8
p darah, setelah lewat sehari akan berubah pula menjadi
setan pengisap darah. Aku dengar setan pengisap
darah seperti itu baru bisa mati bila jantungnya
ditusuk dengan kayu bunga Tho
"Oh, jadi kau ingin membuktikan apakah
malam nanti mayat itu akan berubah pula
menjadi setan pengisap darah?"
"Tepat sekali, jawabanmu memang benar,"
kembali Yap Kay tertawa.
Biarpun dinding pekarangan sangat tinggi,
namun bagi Yap Kay hadangan itu
bagaikan seorang anak sedang bermain
lompat tali, dengan mudah dia melampaui
dinding tinggi tadi dan melayang turun di
halaman belakang kebun monyet.
Saat itu waktu menunjukkan mendekati tengah
hari, suasana dalam kebun monyet terasa begitu
hening seperti berada di tengah malam saja, Yap
Kay mencoba mengawasi seputar sana, kemudian
dengan cepat menghampiri sebuah ruangan yang
jendelanya terbuka.
Begitu dekat dinding ruangan, mula-mula Yap
Kay menempelkan telinga di atas dinding, setelah
yakin tak ada suara yang mencurigakan, baru ia
mendorong daun jendela semakin lebar.
Di dalam kamar itu hanya terdapat sebuah
ranjang, tak ada meja, tak ada kursi. Di atas
ranjang pun hanya tersedia sebuah selimut,
sementara pada dinding dekat ranjang tergantung
sebuah rantai besi. Saat itu ruangan dalam
keadaan kosong.
Sesudah melompat masuk lewat jendela, Yap
Kay menghampiri pembaringan itu, dipegangnya
rantai yang tergantung di atas dinding, lalu
diperiksa sejenak.
Ternyata rantai dihubungkan dengan borgol,
tampaknya borgol itu memang disiapkan untuk
memborgol seseorang di situ.
Tapi siapa yang hendak diborgol di sana"
Sambil berpikir Yap Kay meletakkan kembali
rantai borgol itu, menyingkap seprei dan
memeriksa seluruh ranjang dengan seksama.
Padahal ia tak perlu melakukan pemeriksaan
dengan seksama, sebab begitu selimut disingkap,
segera terlihat sejumlah bulu bertebaran di atas
ranjang. Bulu-bulu pendek berwarna kuning emas.
Diambilnya beberapa lembar bulu itu dan
dirabanya dengan seksama, bulu itu terasa
sangat kasar, waktu diendus, tersiar bau busuk
yang aneh. Bau khas seekor monyet!
Mungkinkah kamar itu digunakan untuk
memborgol seekor monyet"
Tapi mengapa monyet itu diborgol di sini" Kalau
susah dilatih, bukankah bisa dikurung dalam
sangkar" Mengapa harus diborgol dalam ruang
kamar yang begini besar"
Seingatnya, monyet berjongkok waktu tidur,
mengapa disediakan ranjang di tempat ini"
Atau mungkin monyet itu sangat besar" Bahkan
jauh lebih tinggi dari manusia"
Menurut analisanya berdasarkan fakta yang
ada, rasanya memang hanya kemungkinan itu
yang masuk akal, Yap Kay pun tertawa, dia
masukkan beberapa lembar bulu itu ke sakunya,
lalu berjalan menuju ke pintu kamar,
membukanya perlahan-lahan dan melongok
keluar. Di luar pintu ada sebuah serambi panjang,
suasana di serambi itu pun hening, di ujungnya
terdapat lagi sebuah pintu.
Dengan kecepatan luar biasa ia segera
menerobos ke sana, sekali berkelebat Yap Kay
telah tiba di sisi pintu di ujung serambi.
Berdasarkan pantauan indra keenamnya, Yap
Kay tahu ruangan itu pasti kosong, maka dia pun
mendorong pintu, tapi tak berhasil.
Rupanya kamar itu terkunci" Tidak mungkin,
bukankah dalam ruangan tak ada penghuninya"
Mengapa justru kamar itu terkunci rapat"
Yap Kay coba memperhatikan bentuk pintu itu
dan mengetuknya beberapa kali, walaupun pintu
itu sepintas mirip pintu kayu, namun kenyataan
merupakan sebuah pintu besi yang dibungkus
kulit kayu, tak heran susah dibuka.
Sebuah pintu besi memang tak gampang untuk
dibuka dengan sekali dorongan.
Dia pun mengerahkan tenaga dalamnya sambil
mendorong kuat-kuat, kali ini pintu besi bergeser
ke dalam hingga terbuka, segulung hawa dingin
tiba-tiba berhembus keluar.
Yap Kay bersin, aneh, di udara yang begini
panas, mengapa dari dalam ruangan justru
berhembus hawa dingin bagai bongkahan es"
Setelah pintu terbuka, kamar itu memang tak
ada penghuninya.
Bukan saja tak ada penghuninya, bahkan dalam
ruangan tidak nampak perabot apa pun,
jangankan meja rias atau meja kursi, sebuah
ranjang yang sederhana pun tak nampak.
Walau begitu, bukan berarti ruangan itu
kosong melompong.
Setelah menyaksikan pemandangan dalam
ruangan itu, Yap Kay segera mengerti apa yang
sebenarnya terjadi, tak tahan muncul hawa dingin
yang menggidikkan di hati kecilnya.
Persis di tengah ruangan terdapat sebuah meja
altar panjang, di atasnya tersedia berderet
bongkahan es beku.
Ternyata hawa dingin itu berasal dari
bongkahan es batu yang memenuhi altar panjang.
Di sekeliling altar tersedia lemari tinggi, lemari
itu terbuat dari batu kristal hingga semua benda
yang berada di dalamnya bisa terlihat jelas,
namun Yap Kay tak bisa mengenali barang apa
saja yang ada di sana.
Lemari itu dipenuhi kotak-kotak bulat, isi kotak
itu adalah cairan seperti arak anggur dari Persia,
hanya warnanya agak sedikit tua dan kental.
Jangan-jangan tempat ini adalah gudang es
untuk menyimpan arak anggur"
Setelah mendekati lemari itu Yap Kay baru tahu
bahwa semua rak lemari diberi label nomor,
semuanya ada empat buah.
"Jenis kesatu", "Jenis kedua", "Jenis ketiga"
dan "Jenis keempat". Jenis apa itu" Masa arak
pun mempunyai jenis"
Sampai hari ini Yap Kay belum pernah
mendengar hal semacam ini, dibukanya lemari
sebelah kanan dan diambilnya sebuah
kotak, lalu dibuka penutupnya.
Tapi begitu diendus baunya, kontan keningnya
berkerut kencang.
Darah, bau darah!
Ternyata isi kotak-kotak bulat itu adalah darah.
Darah sesegar bunga mawar.
Ternyata kotak bulat yang berada dalam lemari
kristal berisikan darah, lalu apa gunanya begitu
banyak darah tersimpan di sana"
Dalam empat buah lemari tersimpan empat
jenis darah, akhirnya Yap Kay tahu kalau jenis
darah pun terbagi jadi empat jenis. Sekarang
baru dia teringat perkataan gurunya bahwa
darah yang mengalir dalam tubuh manusia secara garis
besar terbagi dalam empat jenis darah yang
berbeda. Tak mungkin jenis darah yang berbeda
dicampur-aduk menjadi satu, artinya orang yang
mempunyai darah jenis kesatu hanya bisa di
transfusi dengan darah dari jenis kesatu.
Tentu saja dia pun masih ingat perkataan
gurunya, bahwa untuk menjaga kesegaran darah,
maka harus disimpan dalam suhu yang rendah
dan dingin. Ditinjau dari semua perlengkapan yang tersedia
di sini, dapat disimpulkan bahwa Ong-losiansing
bukan saja mengetahui pembagian jenis darah
manusia, dia pun sangat mengerti cara
menyimpan darah segar.
Tapi untuk apa dia menyimpan begitu banyak
jenis darah"
Kalau dibilang dia adalah seorang tabib sakti
yang suka menolong orang, bisa jadi persediaan
darahnya akan digunakan untuk menolong nyawa
orang, tapi kenyataan dia tak lebih hanya seorang
kakek yang mempunyai banyak uang, untuk apa
persediaan darah itu"
Mungkinkah persediaan darah segar itu ada
sangkut-pautnya dengan berbagai misteri yang
terjadi dalam kebun monyet" Ataukah mungkin
darah itu bukan darah manusia, melainkan darah
monyet" Menyaksikan ruang penyimpan darah yang
dingin membekukan itu, Yap Kay segera merasa
dalam kebun monyet telah bertambah lagi dengan
selapis misteri yang mencurigakan.
Sementara Yap Kay masih termenung,
mendadak dari luar pintu berkumandang suara
langkah manusia, dalam kagetnya ia sudah tak
sempat lagi menerjang keluar ruangan, padahal
sekeliling tempat itu tak tersedia tempat untuk
menyembunyikan diri, apa yang harus dilakukan
sekarang" Dalam pada itu suara langkah manusia
terdengar makin lama semakin dekat.
Pintu besi telah terbuka, tampak dua orang
pemuda berbaju kuning berjalan masuk ke dalam
ruangan. Seorang di antaranya yang
berperawakan agak tinggi membawa dua buah
tabung bambu. Mereka langsung menuju ke rak lemari
bertuliskan "jenis kedua", pemuda yang
berperawakan agak pendek segera mengeluarkan
kotak darah yang isinya paling sedikit dan
membuka penutupnya.
Pemuda agak tinggi itu pun menuang isi kedua
tabung bambu itu ke dalam kotak bulat tadi.
Tentu saja cairan yang mengalir keluar dari
tabung bambu adalah darah segar.
Menanti semua cairan dalam tabung bambu
telah tertuang dan kotak bulat itu sudah ditutup
kembali, pemuda agak pendek itu meletakkan
kembali ke dalam laci sambil katanya, "Heran
juga, aku masih ingat ketika masuk kemari tempo
hari, setiap kotak 'jenis kedua' masih terisi penuh
semua, kenapa sekarang lagi-lagi berkurang
banyak?" "Lagi-lagi" Apa maksudmu lagi-lagi?" tanya
pemuda yang agak tinggi.
"Lagi-lagi maksudnya kejadian seperti ini sudah
terjadi berulang kali, setiap kali masuk kemari,
aku selalu menemukan kotak yang semula sudah
kuisi penuh ternyata telah berkurang banyak."
Pemuda yang agak tinggi itu memandang sekali
lagi kotak darah dalam laci, kemudian gumamnya
sambil menggeleng, "Aku benar-benar tak habis
mengerti, buat apa si tua itu membutuhkan
begitu banyak darah?"
"Si tua" Siapa si tua?"
"Dia adalah.....
Tapi sebelum dia melanjutkan kata-katanya,
pemuda yang lebih pendek telah menyumbat
mulutnya sambil berbisik, "Memangnya kau sudah
bosan hidup?"
"Aku..... "Tak seorang pun berani menyebutnya si tua,"
bisik pemuda itu lagi, baru ia lepaskan
bekapannya setelah memeriksa pintu sekejap,
"hari ini kau berani bicara begitu keras,
memangnya sudah bosan hidup?"
"Dia tak ada di sini, darimana bisa tahu?"
biarpun pemuda agak tinggi itu masih keras
ucapannya, namun ia sudah merendahkan nada
suaranya. "Banyak orang yang suka menyampaikan
laporan demi meraih pahala."
"Tapi di sini hanya ada kau dan aku, tak
ada...." Sebenarnya dia hendak mengatakan "di sini tak
ada orang lain, siapa yang bakal melaporkan hal
ini", tiba-tiba ia teringat kalau rekannya bukankah
seorang juga"
Sambil tertawa paksa ia menepuk bahu
rekannya, katanya pula, "Lauko, dalam kamarku
tersimpan dua guci arak Li ji-ang berusia tiga
puluh tahun, malam ini kita bisa berpesta-pora."
Setelah berhenti sejenak, kembali tambahnya,
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja Laute akan menyediakan hidangan
juga." "Bukankah kedua guci arak itu adalah barang
mestikamu, mana aku berani meneguknya?"
"Lauko, kau kan bukan orang luar, asal Lauko
melupakan apa yang Siaute katakan tadi, apa pun
yang kau kehendaki tentu akan Laute penuhi."
"Tahu rahasia tapi tidak melapor, dosanya bisa
berlipat ganda," kata pemuda agak pendek
berlagak jual mahal.
"Kakakku yang baik, tolong ampunilah aku
sekali ini saja!"
"Hm, kalau bukan melihat hubungan kita
selama ini, aku "Terima kasih Lauko."
Setelah pemuda yang agak tinggi itu mengajak
rekannya keluar ruangan dan baru saja
merapatkan kembali pintu besi, terlihat seseorang
melayang turun dari atas wuwungan rumah
Begitu hinggap di lantai, Yap Kay segera
menggerakkan jari tangan dan kakinya, karena
harus bersembunyi di wuwungan rumah tadi
tanpa bergerak, kini tangan dan kakinya sudah
mulai membeku. Selesai menghangatkan badan, Yap Kay baru
termenung sambil mengulang kembali semua
pembicaraan yang barusan terdengar.
Berdasar pembicaraan kedua orang itu, Yap
Kay menyimpulkan tiga hal. Pertama, cairan
merah yang berada dalam kotak bulat itu adalah
darah manusia. Kedua, semua anak buah Onglosiansing
tak ada yang tahu apa kegunaan darah
itu dan ketiga, Ong-losiansing membutuhkan
darah dalam jumlah banyak sehingga setiap
berapa hari anak buahnya harus mengisi kembali
kotak-kotak itu.
Kini dalam benak Yap Kay bertambah satu
pertanyaan, darimana mereka memperoleh darah
itu" Jangan-jangan... " Tapi... rasanya tak
mungkin. Mana mungkin persoalan ini disatukan dengan
masalah setan pengisap darah"
Tak tahan Yap Kay tertawa geli.
Sebetulnya dia ingin melakukan penyelidikan
lebih lanjut, tapi sayang waktu sudah
menunjukkan 'bukan waktu yang tepat
untuk melakukan pelacakan'. Kini penjagaan
dalam kebun monyet pasti sudah kembali seperti
sedia kala. Berarti dia harus segera mengundurkan diri dari
situ dan selesai menyelidiki kasus setan pengisap
darah malam nanti, besok dia akan menyatroni
kebun monyet lagi.
Taburan bintang semalam belum lagi muncul,
sinar senja hari ini telah tenggelam di langit
barat. Yap Kay segera mencari sebuah tempat yang
strategis dan mulai menyembunyikan diri.
Di halaman belakang rumah nyonya setengah
umur itu terdapat sebuah sumur, tepat di depan
sumur berdiri sebuah pohon tua yang amat besar.
Pohon itu sangat besar dan berdaun lebat, di
situlah Yap Kay menyembunyikan diri, sebab dari
atas pohon bukan saja ia dapat melihat jelas
situasi di sekeliling halaman belakang, bahkan
radius seluas tujuh tombak pun tak akan lolos
dari pengamatannya.
Dengan berbekal dua poci arak dan sejumlah
rangsum ia menanti di atas pohon dengan tenang,
coba kalau bukan sedang menunggu kasus aneh,
menikmati arak di atas pohon pasti sangat
mengasyikkan. Ketika bintang utara pertama baru muncul di
angkasa, Yap Kay telah menghabiskan separoh
poci arak dan mengusir sebagian hawa dingin
yang merongrong tubuhnya.
Posisi mayat masih sama seperti pagi tadi,
berbaring di tengah halaman. Di bawah sinar
rembulan yang baru muncul, terlihat jelas bekas
noda darah pada luka di tengkuk mayat itu telah
membeku dan berubah warna jadi kehitamhitaman.
Bila berita angin yang selama ini beredar benar,
malam ini mayat itu akan berubah jadi mayat
hidup, akan berubah jadi setan pengisap darah.
Benarkah setan pengisap darah tak bisa
dibunuh dengan senjata apa pun" Benarkah
makhluk itu baru terbunuh bila jantungnya
ditusuk kayu runcing dari pohon bunga Tho"
Omong kosong semacam itu biasanya hanya
muncul dalam cerita, tapi sekarang telah muncul
dalam kehidupannya, bayangkan saja apa yang
dilakukan Yap Kay sekarang"
Dia hanya tertawa getir, ya, dia hanya bisa
tertawa getir. Bila malam ini mayat itu benar-benar bisa
hidup kembali, Yap Kay ingin membuktikan, apa
benar setan pengisap darah tak dapat dibunuh
dengan senjata lain, bilamana perlu dia akan
menggunakan kayu runcing dari dahan bunga Tho
untuk menghadapinya.
Sekarang kayu runcing bunga Tho sudah
terselip di pinggangnya.
Andaikata teman-temannya mengetahui
ulahnya itu, bisa jadi mereka akan tertawa hingga
terlepas giginya.
Kalau bukan menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, siapa yang bakal mempercayainya"
Bagaimana pula dengan Yap Kay"
Bila ia benar-benar berjumpa setan pengisap
darah malam ini, apakah dia akan percaya"
Yap Kay tak tahu, ia tak sanggup menjawab
pertanyaan itu.
Ada sementara kejadian, walau sudah kau
saksikan dengan mata kepala sendiri pun belum
tentu akan percaya, apalagi omong kosong yang
tak ada kepastian seperti ini.
Hawa dingin yang terbawa angin barat
membawa serta bau harumnya hidangan kota
Lhasa, teriring juga lagu gembala yang pilu dan
penuh kesedihan.
Ketika mendengar lagu yang memilukan itu,
tiba-tiba Yap Kay teringat akan seseorang.
"Bulan tiga di musim semi, kawanan domba
berpesta rerumputan. Musim salju yang beku,
siapa yang akan memberi makan serigala"
Hati lembut bagai domba, hati keras bagai
serigala. Hati manusia sukar diterka, perasaan manusia
beku bagai salju...."
Siau Cap-it-long!
Di kolong langit hanya Siau Cap-it-long yang
paling memahami serigala, dia pula yang
menaruh simpatik terhadap serigala.
Dia sendiri seolah-olah adalah seekor serigala,
seekor serigala yang kesepian, kedinginan dan
kelaparan. Berkelana di tanah bersalju, tujuannya
tak lain hanya berjuang untuk mempertahankan
hidup. Tak seorang pun di dunia ini yang mau
mengulurkan tangan membantunya, setiap orang
hanya ingin menendangnya, menginjaknya
sampai mampus. Manusia di dunia ini hanya tahu kasihan dan
simpatik kepada domba, jarang ada yang
mengetahui penderitaan dan kesepian yang
dirasakan serigala. Yang dilihat umat manusia
hanya keganasan serigala ketika menerkam
domba, tak pernah menggubris bagaimana
menderita serigala ketika kelaparan di tanah
bersalju, ketika berkelana sendirian di tengah
alam yang sepi.
Ketika domba lapar, dia makan rumput.
Bagaimana kalau serigala sedang lapar" Apakah
dia harus mati kelaparan"
Yap Kay sangat memahami serigala, oleh sebab
itu dia pun sangat memahami Siau Cap-it-long.
Biarpun mereka berdua bukan berasal dari
zaman yang sama, namun Yap Kay sangat
menguasai cerita tentang Siau Cap it-long, setiap
kali teringat akan ceritanya, badannya akan
terasa panas dan darah dalam tubuhnya bergolak
keras. Bukan tanpa sebab secara mendadak Yap Kay
teringat Siau Cap-it-long, sekalipun lagu gembala
yang pilu itu membuat dia teringat akan tokoh
besar itu, namun membuatnya teringat juga
perkataan seorang bijak: Nun jauh di negeri
seberang, konon setiap malam bulan purnama
akan muncul makhluk aneh yang suka menggigit
tengkuk manusia dan mengisap darahnya, di
negeri itu rakyat menyebutnya sebagai manusia
serigala. Kebetulan malam ini bulan purnama.
Yap Kay mendongak memandang rembulan di
angkasa, rembulan yang bulat dan besar, apakah
setan pengisap darah sama seperti manusia
serigala, akan muncul pada malam bulan
purnama" Yang satu terjadi di negeri barat sementara
yang lain berlangsung di negeri timur yang penuh
misteri, biarpun berbeda sebutan, mungkinkah
mereka adalah sejenis makhluk yang sama"
Yap Kay masih teringat cerita orang bijak itu:
Manusia serigala hanya bisa dibunuh dengan
benda yang terbuat dari perak.
Persis seperti setan pengisap darah hanya bisa
dibunuh dengan kayu runcing dari bunga Tho.
Korban yang digigit manusia serigala konon
akan berubah jadi manusia serigala, bukankah
korban yang digigit setan pengisap darah pun
akan berubah jadi setan pengisap darah"
Kelihatannya walaupun manusia serigala bukan
jenis makhluk yang sama dengan setan pengisap
darah, paling tidak mereka pasti punya hubungan
famili. Bulan nampak sangat bulat, bintang bertaburan
di angkasa membiaskan cahaya yang sejuk,
hanya hembusan angin barat yang terasa dingin
membeku. Ketika angin berhembus menggugurkan
dedaunan, tak tahan Yap Kay merapatkan kerah
bajunya, entah lantaran hawa yang dingin atau
membayangkan kejadian menyeramkan,
tubuhnya nyaris meringkuk jadi satu.
Cepat ia mengambil sisa arak setengah poci
dan menenggaknya hingga habis, setelah itu
tubuhnya baru terasa lebih nyaman.
Saat itu tengah malam sudah hampir tiba,
andaikata akan terjadi sesuatu, seharusnya
peristiwa itu sebentar lagi akan berlangsung.
Berpikir begitu, dia pun menggunakan
kesempatan itu untuk menangsal perut agar nanti
sedikit lebih bertenaga.
Baru saja pikiran itu melintas dan hendak
mengambil rangsum siap digigit, tiba-tiba
terdengar suara aneh berkumandang datang.
Suara itu mirip ringkik selaksa kuda yang
sedang berlari bersama.
Menyusul bergemanya suara itu, tampak ada
segumpal cahaya tajam memancar keluar dari
dalam sumur kering dan langsung menyorot ke
angkasa. Sementara suara ringkik aneh itu bergema
makin keras, semburan cahaya itu pun makin
terang benderang.
Tak tahan Yap Kay segera menutup sepasang
telinganya dengan tangan, biarpun dengan segala
kemampuan ia berusaha melihat apa gerangan
yang telah terjadi, sayang pantulan cahaya itu
terlampau kuat, akhirnya mau tak mau terpaksa
dia harus memejamkan mata.
Meski mata telah terpejam, namun dia masih
dapat merasakan betapa kuatnya pancaran
cahaya itu, apalagi gendang telinganya.
Coba kalau dia tidak memiliki tenaga dalam
yang sempurna, saat ini niscaya dia sudah jadi
gila dibuatnya.
Apa yang sebenarnya telah terjadi"
Apakah kejadian ini merupakan irama pembuka
sebelum setan pengisap darah itu muncul"
Bab 2. MASA SEMBILAN BELAS TAHUN
HING BU-BING Dalam sekejap mata, cahaya terang yang
memancar membuat suasana di halaman
belakang berubah jadi terang benderang, dalam
waktu singkat pepohonan bergetar tiada hentinya,
daun dan ranting pohon pun ikut bergoyang dan
menari di udara.
Sejak kapan kumpulan cahaya itu menghilang"
Sejak kapan suara itu berhenti" Yap Kay sama
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali tak tahu, dia hanya tahu seakan-akan
sudah lewat lama, lama sekali, seperti sudah
lewat seabad lamanya.
Meski telinganya tidak lagi terasa sakit
bagaikan ditusuk jarum, namun sisa dengungan
suara masih bergema dalam gendang telinganya.
Biarpun sorot cahaya itu sudah tidak kuat tadi,
namun matanya yang terpejam masih tersisa
bekas sinar yang menusuk pandangan.
Menanti telinganya sekali lagi dapat menangkap
suara deru angin barat, menanti matanya
terbiasa dengan pemandangan di saat
malam, sekujur tubuh Yap Kay basah kuyup
bermandikan keringat dingin.
Apa yang barusan terjadi"
Setelah berhasil menenangkan diri, Yap Kay
mulai memeriksa keadaan di seputar sana,
semuanya tenang, aman, tak terlihat perubahan
apa pun. Ah, tidak, tidak benar, ada sebuah benda yang
telah hilang dari halaman belakang.
Benda apakah itu" Ternyata benda itu tak lain
adalah jenazah lelaki tadi.
Mayat yang sebelumnya masih berbaring di
tengah halaman, sekarang telah berubah jadi
seonggok daun. Dengan cepat Yap Kay melakukan pemeriksaan
di sekeliling halaman belakang, bahkan wilayah
beberapa tombak dari sana pun tak luput dari
pengamatannya, tapi sekeliling sana tampak sepi,
yang ada hanya selapis kabut tipis.
Mayat itu benar-benar hilang.
Benarkah mayat itu telah berubah jadi setan
pengisap darah" Apakah raungan suara dan
pancaran cahaya kuat merupakan perjalanan
yang harus terjadi di saat mayat itu berubah jadi
setan pengisap darah"
Kalau benar begitu, mengapa tak nampak setan
pengisap darah"
Kalau mayat itu benar-benar telah berubah jadi
setan pengisap darah, mengapa dia tak datang
menggigit Yap Kay" Masa setannya tidak melihat
atau tidak merasa"
Atau Jangan-jangan setan itu kabur gara-gara
mengendus bau kayu bunga Tho yang terselip di
pinggang Yap Kay"
Berbagai pertanyaan itu seolah membelenggu
seluruh benaknya, membuat anak muda itu
termangu untuk sesaat.
Akhirnya dia mengambil sepoci arak lagi dan
menenggaknya, sampai arak mengalir ke dalam
perut baru dia menarik napas panjang dan
melayang turun ke bawah.
Dia langsung melayang turun ke sisi gundukan
daun kering itu, kemudian dari sana perhatiannya
dialihkan ke sumur kering, kakinya pun perlahanlahan
melangkah mendekati sumur itu.
Mungkinkah dari sumur kering semacam ini
dapat muncul suara dan cahaya yang luar biasa"
Yap Kay memungut sepotong batu, lalu
ditimpukkan ke dasar sumur.
"Tuk!", memang tak keliru, suara benturan
batu ke atas tanah, dari suara pantulan, tanah di
dasar sumur itu pasti sangat keras, tak mungkin
terdapat ruang atau lorong rahasia.
Perlahan Yap Kay bangkit, sambil bertopang
dagu keningnya berkerut, masa semua yang
terlihat olehnya barusan hanya khayalan pribadi
atau fatamorgana" Sekalipun suara dan cahaya
tajam itu muncul dari khayalan pribadi, lalu
bagaimana dengan mayat itu" Bukankah terbukti
jenazah itu telah hilang"
Bila orang lain yang bertemu kasus seperti ini,
mereka pasti memilih pulang dulu untuk tidur
sampai puas, kalau ada masalah lain, besok baru
dibicarakan lagi.
Sayang Yap Kay bukan manusia semacam itu.
Bila dia adalah manusia semacam itu, tak
mungkin akan muncul banyak kejadian yang
penuh kesedihan, kegembiraan, kemurungan dan
kepiluan. Biar sepintas sumur kering itu tak
menunjukkan pertanda yang mencurigakan,
namun bila Yap Kay tak turun ke bawah dan
melakukan pemeriksaan, selama tiga hari tiga
malam ia pasti tak bisa tidur nyenyak.
Karena itu tak lama setelah mengernyitkan alis,
pemuda itu sudah meluncur masuk ke dasar
sumur. Dasar sumur kering itu memang keras bagai
baja, begitu melayang ke bawah Yap Kay segera
tahu di bawah sana tak mungkin terdapat ruang
rahasia atau sebangsanya, maka seluruh
perhatiannya tertuju ke sekeliling dinding sumur.
Lumut hijau tumbuh subur di dinding sumur,
perhatian Yap Kay pun segera dipusatkan pada
lumut itu. Bukankah sumur ini kering sepanjang tahun"
Mana mungkin di atas tanah yang kering bisa
tumbuh lumut hijau"
Sesudah diperhatikan, sekulum senyuman
segera tersungging di bibir Yap Kay. Tangannya
pun mulai meraba dinding sumur yang penuh
ditumbuhi lumut.
Ketika jari tangannya menyentuh lumut itu,
senyuman yang tersungging semakin mengental,
tiba-tiba dipegangnya lumut itu, lalu ditarik ke
belakang, mendadak lumut yang menempel di
dinding sumur itu terobek sebagian.
Mana ada lumut yang bisa dirobek sebagian"
Sudah jelas lumut yang berada dalam genggaman
Yap Kay saat ini adalah lumut palsu.
Setelah lumut palsu itu terkelupas dari dinding,
kini terlihatlah empat-lima buah lubang bulat
kecil, lalu apa kegunaan lubang kecil itu"
Tampaknya lumut palsu itu memang khusus
ditempel di dinding untuk menutupi keberadaan
lubang-lubang kecil itu.
Mengapa di atas dinding sumur yang kering
bisa muncul lubang-lubang kecil" Apa kegunaan
lubang kecil itu" Ketika semua lumut palsu
dikupas, maka muncul lubang kecil yang lebih
banyak. Yap Kay memasukkan jari tangan ke dalam
lubang itu, ternyata tidak tercapai dasarnya, ini
menunjukkan lubang kecil itu sangat dalam.
Karena gelap gulita, tentu saja ia tak dapat
melihat dengan jelas isi di balik gua, mau
didengar dengan menempelkan telinga pun tidak
terdengar suara apa pun.
Sekali lagi Yap Kay dibuat pusing tujuh keliling,
baru saja berhasil mengungkap rahasia lumut
tempelan, kini terhadang lagi dengan rahasia
lubang kecil. Mengawasi begitu banyak lubang kecil yang
tersebar di dinding sumur, Yap Kay berdiri
termangu, dia benar-benar tak habis mengerti
apa kegunaan lubang itu"
Untunglah di saat kepalanya terasa semakin
pusing, tiba-tiba ia menemukan sesuatu,
dilihatnya antara batu di dinding dengan batuan
yang lain ternyata tidak berada dalam satu garis
lurus, di antara batu dengan batu terlihat ada
sebuah celah. Bebatuan itu ada yang berbentuk besar ada
pula yang kecil, sehingga sekilas pandang dinding
itu nampak tidak rata dan teratur, tapi pada
dinding yang berada satu setengah meter dari
dasar sumur terlihat sederet bebatuan yang justru
tersusun rata. Ketika bebatuan itu sampai di situ, semuanya
tersusun menjadi satu garis datar, tampaknya
tempat itu memang sengaja diatur demikian.
Begitu menjumpai penemuan itu, bukan saja
rasa pusing Yap Kay seketika hilang, senyuman
yang tersungging di ujung bibirnya juga nampak
semakin kental.
Ditatapnya celah yang rata itu beberapa saat,
ia dorong dinding itu ke dalam.
Baru saja menggunakan tiga bagian tenaganya,
dinding itu tahu-tahu sudah amblas ke bawah,
dengan amblasnya dinding sumur, maka
terasalah hawa dingin yang menyengat menerpa
keluar, bahkan diiringi suara mencicit yang sangat
aneh. Yap Kay tahu, gejala itu merupakan akibat
bertemunya udara dari dalam dan dari luar, maka
ditunggunya hingga suara aneh itu lenyap baru
dia melangkah masuk ke dalam pintu rahasia itu.
Lorong itu sangat gelap, sedemikian gelapnya
hingga susah melihat jari tangan sendiri. Apakah
jalan itu lurus" Atau ada belokan"
Terpaksa Yap Kay berjalan sambil berpegangan
dinding, lebih kurang tujuh-delapan tikungan
kemudian secara lamat-lamat baru ia melihat ada
cahaya lentera di kejauhan sana.
Berjalan mendekati sumber cahaya, perasaan
Yap Kay malah tidak setegang tadi, karena
dimana terdapat sumber cahaya di situlah terletak
jawaban semua teka-teki ini, tentu saja tempat
itu merupakan sumber dari segala mara-bahaya.
"Kalau sudah datang, berusaha melakukan
yang terbaik", maksud perkataan itu diketahui
Yap Kay melebihi orang lain, maka dengan riang
dia melanjutkan langkahnya mendekati sumber
cahaya itu. Cahaya lentera sangat lembut, tapi sepasang
mata itu nampak berwarna keabu-abuan.
Begitu tiba di ruangan yang bercahaya, Yap
Kay pun menyaksikan sepasang mata berwarna
abu-abu. Bukan saja abu-abu warnanya, bahkan jauh
lebih dingin daripada salju abadi di puncak Cu mu
lang ma, begitu dingin sehingga membuat aliran
darah siapa pun terasa ikut membeku.
Yap Kay menghindari tatapan mata orang itu,
dan dia pun melihat tangannya.
Tangan kiri orang itu buntung, warna tangan
kanan pun semu abu-abu, seperti tangan mayat
yang baru keluar dari balik peti mati.
Ia mengenakan jubah panjang berwarna hijau
pupus, rambutnya panjang namun tersisir rapi,
kedua alisnya tebal dan rapat, hidungnya
mancung, tapi sayang raut mukanya kelewat
menunjukkan kesepian dan kesendirian.
Bibirnya amat tipis, tapi sekilas pandang dia
seperti orang yang selalu pegang janji. Orang
yang telah mati di tangannya juga sangat banyak,
kelihatan sekali tangannya lebih banyak dipakai
membunuh daripada mulutnya digunakan untuk
berbicara. Sebilah pedang tanpa sarung terselip di
pinggang sebelah kiri.
Pedang itu berwarna hitam pekat, sepekat alis
matanya. Tegasnya pedang itu tak pantas disebut sebilah
pedang, lebih cocok kalau dibilang lempengan
besi sepanjang satu meter yang tidak memiliki
mata pedang, tak punya ujung pedang, bahkan
gagang pedang pun tak ada.
Dia hanya menggunakan dua lembar kayu tipis
yang dipantekkan di ujung lempengan besi dan
menganggapnya sebagai gagang pedang.
Pedang yang dimilikinya memberi kesan seakan
sebuah mainan anak-anak, tapi Yap Kay sadar
justru mainan itu berbahaya sekali dan lebih baik
jangan mencoba untuk bermain dengannya.
Orang itu duduk di bawah cahaya lentera
dengan tenang, tapi punggungnya tetap dibiarkan
tegak lurus, tubuhnya seakan terbuat dari besi
baja, hawa dingin, keletihan, kepenatan dan rasa
lapar tak akan membuatnya takluk dan runtuh.
Di kolong langit seakan tak terdapat kejadian
apa pun yang dapat membuatnya takluk.
Alis matanya yang tebal pekat, matanya yang
besar, bibirnya yang tipis hanya nampak satu
garis, hidungnya yang mancung membuat raut
muka orang ini kelihatan begitu kurus kering, raut
muka itu gampang membuat orang teringat akan
sebongkah batu karang, batu karang yang begitu
keras, kokoh, dingin, sama sekali tak peduli
dengan urusan lain, bahkan terhadap diri sendiri
sekalipun. Menyaksikan tampang orang ini, tak terasa Yap
Kay teringat A Fei, A Fei yang mempunyai
hubungan sehidup semati dengan gurunya.
Ada banyak bagian pada tubuh orang ini yang
mirip A Fei, satu-satunya perbedaan hanya
terletak pada matanya, kalau sinar mata A Fei
selalu memancarkan kehangatan, mata orang ini
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
justru mendatangkan kematian.
Yap Kay percaya, yang selalu didatangkan
pedang milik orang ini adalah kematian.
Tidak ada kehidupan di ujung pedangnya, kiri
kanan pedang pembunuh ganda.
Yap Kay yakin, orang ini pastilah si
pembunuh berwajah dingin Hing Bu-bing,
seorang pembunuh yang angkat nama berbareng
A Fei. Hing Bu-bing!
Yap Kay yakin dugaannya tak keliru, dia
percaya orang yang berada di hadapannya
sekarang adalah Hing Bu-bing, pembantu utama
Siangkoan Kim-hong.
Sebab hanya Hing Bu-bing yang bisa
mendatangkan perasaan kematian bagi siapa pun.
Sekali lagi Yap Kay mengalihkan sorot matanya
mengawasi mata orang itu, sekali lagi mengamati
cahaya abu-abu yang mendatangkan kesan
kematian. Bila orang ini benar-benar Hing Bu-bing, berarti
hari ini Yap Kay bakal menghadapi sebuah
pertarungan paling berbahaya yang belum pernah
dialaminya sepanjang hidup.
Dia masih teringat pesan gurunya, "Walaupun
ilmu silat yang dimiliki Siangkoan Kim-hong jauh
lebih tinggi daripada Hing Bu-bing, tapi dia tidak
sengeri Hing Bu-bing, sebab dia tidak memiliki
hawa kematian yang dimiliki Hing Bu-bing".
"Aku lebih senang bertarung tiga hari tiga
malam melawan Siangkoan Kim-hong daripada
bertarung sesaat melawan Hing Bu-bing".
Itulah perkataan yang pernah disampaikan
Siau-li si pisau terbang tentang Hing Bu-bing. Dia
memang seorang yang sangat menakutkan.
Dan kini Yap Kay telah berjumpa dengannya,
berhadapan langsung dengan Hing Bu-bing.
Dulu Li Sun-hoan belum sempat bertarung
melawan Hing Bu-bing, apakah hari ini Yap Kay
harus mundur sebelum bertarung"
Di ujung lorong bawah tanah merupakan
sebuah ruangan kosong, selain Hing Bu-bing, di
sana hanya terdapat tujuh-delapan buah lentera.
Biarpun cukup banyak lentera yang tersedia,
namun cahaya yang terpancar sangat lembut.
Suara orang itu pun sangat lambat, tak ada nada
suara, juga tak terselip perasaan dan emosi.
Hanya Hing Bu-bing yang bisa mengeluarkan
suara semacam ini.
"Jenis manusia di dunia ini sangat banyak, ada
sebagian orang yang mudah dibunuh, ada pula
sebagian yang susah," mimik mukanya kelihatan
begitu suram dan layu, tapi suara maupun sorot
matanya terasa begitu dingin menggidikkan,
"tangan pun ada banyak jenis, ada yang bisa
membunuh, ada pula yang tak mampu."
Yap Kay tidak menanggapi, tidak bicara, hanya
mendengarkan, mendengarkan dengan seksama.
"Dulu aku tersohor karena menggunakan
tangan kiri, tapi sejak tangan kiriku kutung,
banyak orang menyangka aku hanya seorang
cacat yang tak berguna."
Tak salah lagi, ternyata orang ini benar-benar
Hing Bu-bing. "Oleh karena itu orang-orang itu mampus di
ujung pedang tangan kananmu," Yap Kay
membantunya menyelesaikan perkataan itu.
Perlahan-lahan Hing Bu-bing mengangkat
tangan kanannya, sambil menatap tangan sendiri,
ujarnya, "Sejak usia sebelas tahun aku mulai
berlatih pedang, pada usia lima belas sudah
mampu memainkan pedang kilat. Tapi aku butuh
waktu hampir tujuh tahun lamanya untuk melatih
tangan kiriku memainkan pedang, tahukah kau
apa sebabnya aku berbuat demikian?" "Katakan!"
"Aku selalu percaya, di antara jagoan yang
tangguh pasti terdapat jagoan yang lebih
tangguh. Aku melatih tangan kiriku menggunakan
pedang karena aku yakin suatu ketika nanti pasti
akan bertemu juga dengan musuh yang benarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
benar tangguh, saat itulah pedang tangan kiriku
akan memperlihatkan kebolehannya."
Sesudah berhenti sejenak, terusnya, "Siapa
sangka belum sempat kugunakan kemampuanku,
tangan kiriku sudah keburu buntung."
Tangan kirinya bukan ditebas kutung orang,
tapi dia sendiri yang memotongnya. Walaupun
bahu kirinya terluka lebih dulu karena serangan
Siau-li si pisau terbang, tapi kalau bukan dia
sendiri yang menghujamkan pisau terbang itu
hingga melukai tulang sendinya, tak nanti tangan
kirinya bakal cacat.
Tentu saja Yap Kay mengetahui kejadian ini,
sekalipun bukan diberitahu Li Sun-hoan, namun
berita itu sudah tersebar luas dalam dunia
persilatan. Yap Kay punya telinga, bisa mendengar sendiri,
bisa menganalisa dan mengambil kesimpulan,
oleh sebab itu selama ini dia sangat mengagumi
sepak terjang Hing Bu-bing.
Sepak terjang" Sepak terjang seorang
Enghiong" Apa yang disebut Enghiong" Apakah
sepak terjang Hing Bu-bing selama ini bisa
dianggap sebagai Enghiong" Enghiong
melambangkan apa" Bukankah tak lebih hanya
kesadisan, kekejaman, kesepian dan tidak
berperasaan"
Pernah ada orang menyimpulkan arti Enghiong,
membunuh orang bagaikan mencabut rumput,
suka judi bagai orang kalap, suka minum bagai
orang kehausan, suka main wanita setengah
mati! Tentu saja tidak semua Enghiong berwatak
begitu, masih ada sejenis Enghiong yang lain.
Enghiong semacam Li Sun-hoan.
Tapi ada berapa banyak Enghiong macam Li
Sun-hoan di dunia ini" Namun terlepas Enghiong
macam apakah dia, mungkin hanya satu hal
mereka mempunyai kesamaan, mau menjadi
Enghiong macam apa pun, jelas bukan suatu
perjuangan yang enteng untuk mencapainya.
Hing Bu-bing telah mengalihkan pandangan
matanya dari tangan kanan sendiri ke wajah
Yap Kay yang masih berdiri di depan pintu, lalu
perlahan-lahan memperkenalkan diri, "Aku
bernama Hing Bu-bing!"
"Aku tahu."
"Peristiwa terbesar yang membuatku menyesal
sepanjang masa adalah tak sempat bertarung
melawan Li Sun-hoan," kata Hing Bu-bing lagi,
setelah berhenti sejenak terusnya, "Apakah kau
bernama Yap Kay?"
"Benar. Yap daun dan Kay membuka."
"Jadi kaulah satu-satunya murid pewaris ilmu Li
Sun-hoan?"
"Sayang aku hanya berhasil menyerap duatiga
bagian ilmu silat guruku."
Sekali lagi Hing Bu-bing menatap tajam Yap
Kay. "Mana pisau terbangmu?"
"Ada."
"Dimana?"
"Ditempat seharusnya dia berada," jawaban
Yap Kay sangat hambar. Tempat seperti apakah
seharusnya dia berada" Bagian mematikan di
tubuh lawan"
Jawaban Yap Kay kali ini sangat tepat dan
diplomatis, tentu saja Hing Bu-bing sangat
memahami artinya, oleh sebab itu dari balik
matanya yang keabu-abuan terlintas secercah
cahaya tajam, namun hanya sebentar kemudian
lenyap kembali.
"Bagus, tak ada guru pandai yang tak memiliki
murid hebat," kata Hing Bu-bing hambar, "bila di
masa lalu Li Sun-hoan pun memiliki sifat yang
bebas tak terikat, tak mungkin dia mengalami
nasib yang begitu tragis."
Yap Kay hanya tertawa, menyangkut persoalan
ini dia memang tak pernah mau menj awab.
Tentu saja Hing Bu-bing mengerti maksud Yap
Kay, maka dengan cepat ia berganti topik.
"Tanggal berapa hari ini?" tiba-tiba ia bertanya.
"Bulan delapan tanggal sebelas," lalu Yap Kay
balik bertanya, "apakah hari ini bermakna
khusus?". "Betul," dari balik mata Hing Bu-bing tiba-tiba
muncul cahaya kabur tak jelas, dengan nada
seperti terkenang kembali masa lampau,
terusnya, "Hari ini pada sembilan belas tahun
berselang Siangkoan Kim-hong tewas di ujung
pisau terbang Li Sun-hoan."
Kemudian setelah berhenti sebentar untuk tarik
napas, tambahnya, "Hari ini pada sembilan belas
tahun berselang, aku pun sedang merayakan
ulang tahunku yang kesembilan belas."
Ternyata hari ini adalah hari ulang tahun Hing
Bu-bing, berbareng juga hari ulang tahun
kematian Siangkoan Kim-hong.
Yap Kay menatap tajam wajah Hing Bu-bing,
tampaknya hari ini dia hendak menyelesaikan
semua budi dan dendam yang terjalin selama ini.
Hing Bu-bing menarik kembali sinar matanya
yang kabur, sekali lagi dia menatap wajah Yap
Kay. "Tahun ini aku baru berusia tiga puluh delapan
tahun, namun seandainya aku tidak menyebut
usiaku, dapatkah kau sangka usiaku baru tiga
puluh delapan tahun?"
Yap Kay mengawasi wajah Hing Bu-bing
dengan seksama, bila harus menilai usianya dari
raut mukanya sekarang, siapa pun tak akan
mengira dia baru berumur tiga puluh delapan
tahun. Biarpun wajahnya memiliki cahaya seorang
berusia pertengahan, namun ujung matanya
justru telah dipenuhi kerutan seorang lelaki tua,
sampai pipinya yang menonjol keluar pun sudah
dipenuhi kerutan.
Biarpun rambutnya masih berwarna hitam,
namun jenggotnya sudah banyak yang putih,
biarpun tubuhnya masih keras, tapi siapa
pun dapat melihat semua itu tertopang oleh
penderitaan, siksaan serta rasa dendamnya yang
membara. Kesan yang ditimbulkan atas keseluruhan
tubuhnya bukan hanya kusut dan tua saja,
bahkan lebih tepat kalau dibilang benar-benar
sudah peyot dan rentan.
"Kau memang tidak mirip orang yang baru
berusia tiga puluh delapan," Yap Kay berterus
terang, "paling tidak wajahmu menunjukkan
usiamu sudah mencapai lima puluh delapan
tahun." "Benar, wajahku memang mencerminkan wajah
orang yang telah berusia lima puluh delapan,"
Hing Bu-bing manggut-manggut, "ini disebabkan
selama sembilan belas tahun terakhir aku telah
menjadi jauh lebih tua dari siapa pun."
Menjadi lebih tua sembilan belas tahun dari
orang lain" Memang tak salah, kalau orang lain
sedih paling hanya sesaat, tapi selama sembilan
belas tahun dia harus menanggung derita karena
sedih, pilu dan terbakar api dendam kesumat.
Memang ada dua hal di dunia ini yang gampang
membuat orang menjadi cepat tua, satu karena
cinta, yang lain karena dendam kesumat.
Benih cinta dapat membuat orang sedih hingga
membetot sukma, sementara dendam bisa
membuat orang pilu hingga ke tulang sumsum,
sampai mati pun tak akan reda.
"Sembilan belas tahun sudah lewat," Hing Bubing
menghela napas panjang, "selama sembilan
belas tahun ini hampir setiap saat kunantikan
kesempatan berduel melawan Li Sun-hoan, tapi
hingga hari ini aku baru dapat bertemu
denganmu, dan baru sekarang kusadari akan satu
hal, jangan harap dalam kehidupanku bisa
mengungguli Li Sun-hoan. Tahukah kau apa
sebabnya?"
"Kenapa?"
"Karena dendam kesumat."
"Dendam kesumat?"
"Aku hidup demi dendam kesumat, tapi aku
pun kalah karena dendam kesumat," Hing Bubing
menerangkan, "sekalipun aku berlatih tekun
sembilan belas tahun lagi juga jangan harap bisa
menangkan Li Sun-hoan, sebab hatiku selalu
dibakar oleh rasa dendam yang membara,
sementara Li Sun-hoan memiliki hati pemaaf dan
pengampun."
Yap Kay tidak memahami maksud
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkataannya, tentu saja Hing Bu-bing juga tahu
dia tak paham, maka segera jelasnya, "Dipandang
dari luar, aku memang selalu berusaha
mempelajari ilmu silat Li Sun-hoan, berusaha
menemukan titik kelemahan jurus silatnya.
Setelah berjuang selama sembilan belas tahun,
kuakui memang aku berhasil menemukan titik
kelemahannya, tapi sayang aku tetap tak mampu
mengunggulinya."
Setelah berhenti sejenak, terangnya lebih jauh,
"Sebab selama ini aku hanya berkonsentrasi
mencari pemecahan dalam melawan ilmu
silatnya, sementara kemampuan silatku sendiri
justru terhenti pada posisi sembilan belas tahun
berselang. Padahal Li Sun-hoan tak terbeban
masalah apa pun, jelas dalam sembilan belas
tahun terakhir kungfunya telah mengalami
kemajuan yang lebih pesat...."
Bila ilmu silat tidak dilatih pasti akan
mengalami kemunduran, bila air tidak mengalir
pasti terjadi penyumbatan. Teori ini berlaku dari
dulu hingga sekarang dan tak pernah berubah.
Tapi sayang kebanyakan orang tak dapat
memahami teori ini, tak disangka dalam keadaan
seperti ini Hing Bu-bing justru menyadarinya, dari
sini dapat disimpulkan kalau kungfu yang
dimilikinya saat ini sudah berbeda jauh dengan
sembilan belas tahun silam.
Dapat menyelami berarti ada kemajuan. Teori
ini pun tak pernah berubah sejak dulu.
"Sekalipun aku tahu sulit mengungguli Li Sunhoan,
namun aku tetap akan bertarung
melawannya, karena hal ini menyangkut soal
prinsip," kemudian sambil berpaling ke arah Yap
Kay, tanyanya, "Kau paham?"
"Aku paham," Yap Kay manggut-manggut,
"sama seperti diriku, biarpun tahu dalam
pertarungan hari ini aku bukan tandinganmu,
namun aku tetap akan bertempur melawanmu,
sebab hal ini pun merupakan prinsipku."
Walau sudah tahu bakal mati, tapi tetap juga
bertarung. Karena masalahnya sudah bukan
menyangkut masalah hidup dan mati.
Masalah ini sudah menyangkut pertarungan
antara kaum lurus melawan sesat, kebaikan
melawan kejahatan, kehormatan melawan
penghinaan. Bab 3 . MENGANDUNG ANAKNYA
Sepasang tangan Pho Ang-soat terasa amat
dingin, hatinya pun dingin.
Sebuah kesalahan yang selamanya tak
mungkin bisa dihilangkan telah terjadi, kedua
orang itu tak tahu bagaimana harus berhadapan.
Bila kau jadi Pho Ang-soat, apa yang akan kau
perbuat" Bila kau jadi Hong-ling, apa pula yang akan
kau lakukan"
Menyusul datangnya sinar fajar, kabut
malam berangsur hilang, sinar matahari pagi
mulai menembus daun jendela, menyinari
wajah Hong-ling.
Ia sedang mementang mata lebar-lebar,
mengawasi Pho Ang-soat yang masih berbaring di
sisinya tanpa berkedip.
Pho Ang-soat tak berani balas menatap
wajahnya, dia hanya berharap apa yang terjadi
semalam hanya impian.
Benarkah kejadian semalam hanya impian"
Sekalipun memang impian lalu bagaimana"
Di atas ranjang masih tersisa bau harum yang
tertinggal karena gejolak birahi semalam, bau
harum itu tiada hentinya menyusup masuk ke
lubang hidung Pho Ang-soat, timbul perasaan
yang tak terlukis dengan kata dalam hati
kecilnya. Jendela berada dalam keadaan terbuka, langit
di luar sana pun sudah semakin terang. Langit,
lembah dan pagi hari yang tenang, langit dan
bumi seolah tercekam dalam keheningan.
Namun perasaan Pho Ang-soat justru tak
tenang, pikirannya terasa amat kalut.
Sebentarnya dia adalah seorang yang suka
kebebasan, berkelana seorang diri, berbuat
semau hati, tapi sekarang terjebak dalam
keadaan serba salah, dia tak tahu bagaimana
harus bersikap terhadap Hong-ling.
Sikap Hong-ling sendiri masih seperti sedia
kala, sambil bangun dan duduk dia benahi
rambutnya yang kusut, lalu sambil tersenyum
tanyanya kepada Pho Ang-soat, "Pagi ini kau
ingin makan apa?"
Dalam situasi dan keadaan seperti sekarang,
setelah mereka melakukan hubungan yang begitu
bergairah, ternyata wanita itu masih bisa
bertanya kepadanya dengan nada lembut, ingin
makan apa"
Pho Ang-soat berdiri bodoh, dia betul-betul tak
tahu bagaimana harus menj awab.
Hong-ling mendelik, tegurnya, "He, sejak kapan
kau berubah jadi bisu?"
"Aku... tidak... tidak...."
Kontan Hong-ling tertawa cekikikan. "Ah,
ternyata kau bukan berubah jadi bisu, tapi rada
mirip orang bloon," ejeknya.
Sikapnya terhadap Pho Ang-soat masih seperti
sedia kala, sama sekali tidak berubah, atas
kejadian semalam pun dia sama sekali tak
menyinggung. Dari lagaknya, seakan-akan dia tidak
menganggap peristiwa yang terjadi semalam
sebagai satu masalah serius, dia masih tetap
bersikap sebagai Hong-ling yang dulu.
Mungkinkah peristiwa berasyik-masyuk yang
terjadi di antara mereka semalam dianggapnya
sebagai sebuah impian saja"
Pho Ang-soat tak kuasa menahan diri lagi,
serunya, "Kau.....
Agaknya Hong-ling dapat menebak apa
yang hendak dia ucapkan, segera tukasnya,
"Kenapa denganku" Masa kau pun ingin
mengatakan kalau aku pun orang bloon" Kau
tidak kuatir kujitak kepalamu sampai bocor?"
Kini Pho Ang-soat sudah mengerti niat Hongling,
tampaknya dia sudah bertekad tak akan
menyinggung lagi peristiwa semalam, hal ini
dikarenakan dia tak ingin kedua belah pihak
sama-sama menderita dan tersiksa gara-gara
kejadian itu. Pho Ang-soat menatapnya lembut, tiba-tiba
muncul perasaan haru yang tak terlukiskan
dengan kata, sekalipun dirinya dapat melupakan
kejadian semalam, namun perasaan haru dan
terima kasihnya tak pernah akan terlupakan
untuk selamanya.
"Kau tak ingin bangun?" kembali Hong-ling
menegur sambil memperlihatkan senyumannya
yang khas, "masa kau ingin berbaring terus di
atas ranjang?"
"Aku tak ingin," akhirnya Pho Ang-soat ikut
tertawa, "biarpun aku seorang bloon, paling tidak
masih belum segoblok seekor babi."
Selama hidup mungkin Pho Ang-soat belum
pernah menikmati sarapan selezat hari ini.
Tentu saja hal ini menurut anggapannya. Paling
tidak sarapan hari ini dilahap dalam suasana hati
yang amat riang dan gembira.
Riang pasti ada, tapi mengapa harus gembira"
Dia sendiri pun tak sanggup memberi penjelasan.
Dia hanya merasa dadar telur hari ini sangat
harum, ca rebungnya amat manis, ca sayurannya
amat lezat, bahkan nasi yang mengepul pun
terasa nikmat. Sehabis sarapan pagi, Pho Ang-soat membuat
sepoci air teh dan duduk di halaman depan sambil
menikmati indahnya sinar matahari pagi.
Seusai bebenah dalam dapur, Hong-ling ikut
muncul di halaman muka sambil tersenyum,
kepada Pho Ang-soat katanya, "Hari ini aku
hendak turun gunung sejenak."
"Turun gunung" Mau apa?" tanya Pho Ang-soat
tertegun. "Aku ingin membeli barang di dusun terdekat."
"Membeli barang" Apakah kau butuh barang di
sini?" kata Pho Ang-soat terperanjat.
"Tidak, hanya secara tiba-tiba aku ingin
membeli sedikit barang," sahut Hong-ling sambil
tersenyum, "bukankah membeli barang adalah
sebuah kenikmatan, apalagi untuk seorang
wanita." Pho Ang-soat manggut-manggut,
menghamburkan uang memang termasuk salah
satu kenikmatan, tentu saja dia mengerti akan
teori itu. "Membeli barang memang merupakan suatu
pekerjaan yang menyenangkan, terlepas barang
yang kau beli berguna atau tidak, namun sewaktu
membeli kau akan merasakan satu kenikmatan,"
Hong-ling menerangkan, "padahal wanita sendiri
juga tahu, terkadang barang yang dibeli belum
tentu berguna, tapi setelah melihatnya mereka
tetap tak tahan untuk membeli. Tahukah kau apa
sebabnya begitu?"
Pho Ang-soat tidak tahu.
"Hal ini dikarenakan mereka suka dengan sikap
jilat pantat yang dilakukan pelayan toko," ujar
Hong-ling lagi sambil tertawa, "sudah lama aku
tak menikmati perasaan semacam itu, maka hari
ini aku berniat menikmati lagi bagaimana
enaknya jilat pantat."
Pagi ini udara memang terasa lembut, sampai
hembusan angin pun terasa indah. Pho Ang-soat
duduk tak bergerak di tengah halaman, hari ini ia
benar-benar menikmati kehidupan yang indah.
Hong-ling sudah setengah jam meninggalkan
rumah, sebelum pergi dia berjanji akan pulang
sebelum tengah hari.
Kini jarak dengan tengah hari masih satu jam
lebih, Pho Ang-soat mulai merasa sedikit lapar,
dia berharap tengah hari segera tiba.
Perasaannya saat ini sungguh aneh, dia bukan
lapar karena ingin makan, tapi dia amat
menyukai suasana rumah ketika bersantap.
Biarpun Hong-ling baru setengah jam
meninggalkan rumah, namun dia merasa seolah
sudah ditinggal setengah tahun lamanya, hatinya
begitu gundah dan tak tenang, seperti seorang
perjaka yang untuk pertama kalinya jatuh cinta,
selalu berharap datangnya waktu untuk
berjumpa. Mirip juga seorang bocah yang mencuri makan
gula-gula, lalu bersembunyi di balik selimut
sambil menikmatinya, selain senang, dia pun
kuatir ketahuan orang.
Seorang lelaki yang telah berusia tiga puluh
tahunan ternyata masih malu-malu macam
perjaka, membayangkan keadaan dirinya, tanpa
terasa Pho Ang-soat tertawa getir.
Andaikata Yap Kay mengetahui kejadian ini, dia
pasti akan tertawa terbahak-bahak saking
gelinya. Teringat akan Yap Kay, tanpa terasa timbul lagi
perasaan kuatir di hati kecil Pho Ang-soat,
kemana saja dia telah pergi" Apakah telah balik
ke Ban be tong" Ataukah melanjutkan
penyelidikannya atas kehidupan Be Khong-cun"
Bagaimana keadaannya sekarang" Apakah
bertemu ancaman bahaya maut"
Begitu teringat Yap Kay, Pho Ang-soat merasa
malu sendiri, ternyata demi seorang wanita dia
telah belasan hari bersembunyi di situ, ternyata
demi seorang wanita dia telah meninggalkan
sahabat, tidak menggubris keselamatan
temannya lagi. Ai! Kalau dahulu, biar dihajar sampai mampus
pun tak bakal dia lakukan, tapi sekarang ... dia
telah melakukan semua itu.
Ah, tidak bisa begini terus! Kalau ingin
kehidupan di kemudian hari dilewatkan dengan
tenang, kau harus segera kembali ke Ban be tong
untuk membantu Yap Kay, kalau tidak hati
nuranimu pasti tak bakal tenang.
Pho Ang-soat memutuskan akan
memberitahukan rencananya pada Hong-ling
setelah ia kembali nanti, besok dia harus
meninggalkan tempat itu selama beberapa hari,
bagaimana pun dia tak boleh berpeluk tangan
membiarkan rekannya menderita.
Ia yakin Hong-ling pasti mengerti dan
memakluminya. Di saat penantian, waktu selalu terasa seolah
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan sangat lambat.
Dengan susah payah akhirnya tiba juga saat
tengah hari, tiba-tiba Pho Ang-soat merasa
hatinya semakin tegang, matanya mengawasi
terus jalanan setapak di luar pintu tanpa
berkedip. Matahari tepat di tengah langit, hawa panas
yang menyengat membuat kening Pho Ang-soat
dibasahi oleh keringat, bukan berkeringat karena
hawa yang kelewat panas, ia berkeringat karena
hingga sekarang Hong-ling belum juga kembali.
Setelah tiba saatnya, waktu pun seolah
berubah jadi amat cepat, Pho Ang-soat berusaha
menghibur diri sendiri, sebentar lagi dia pasti
akan kembali, buat apa dirinya panik" Kan belum
benar-benar lewat tengah hari.
Entah berapa lama telah lewat, kini matahari
telah bergeser ke langit barat.
Hembusan angin masih tetap seperti hembusan
angin pagi, awan pun masih sama seperti pagi
tadi. Namun dalam perasaan Pho Ang-soat, seluruh
dunia seakan telah berubah, berubah total,
berubah jadi hampa.
Hingga kini dia masih tetap duduk di ruang
tengah, cahaya matahari senja yang memancar di
wajahnya membuat parasnya yang pucat berubah
jadi kuning keemas-emasan.
Magrib sudah menjelang tiba.
Hingga kini Hong-ling belum juga terlihat
kembali, bayangan pun tak nampak.
Perasaan gelisah Pho Ang-soat kini telah
berubah jadi perasaan kuatir, dia kuatir Hong-ling
telah menjumpai masalah, apakah ia sudah
dihadang seseorang" Atau suatu peristiwa telah
menimpanya" Jangan-jangan Be Khong-cun telah
mengirim orang lagi dan mencegatnya di tengah
jalan" Sekarang ia mulai menyesal, mengapa pagi tadi
ia memberi izin kepadanya untuk pergi seorang
diri" Mengapa bukan pergi bersama dirinya"
Kalau kemarin jagoan yang dikirim Be Khongcun
bisa melakukan pembokongan di tempat itu,
besar kemungkinan hari ini mereka akan
menghadang di tengah jalan.
Berpikir sampai di situ, Pho Ang-soat makin
panik, kalau bisa dia ingin segera menyusul ke
dusun terdekat.
Tapi baru saja melangkah keluar pintu,
kembali pemuda itu ragu, kalau sekarang ia
menyusul ke kota sementara Hong-ling
kebetulan kembali, bukankah mereka berdua
bakal bersimpangan jalan"
Ketika Hong-ling tiba di rumah dan tidak
melihatnya, ia pasti mengira dirinya telah pergi,
dia pasti mengira dirinya sudah tak sudi
melihatnya lagi, khususnya sesudah peristiwa
yang terjadi semalam.
Walaupun langkahnya telah terhenti, namun
perasaannya tetap tak menentu, sulit baginya
untuk mengambil keputusan. Pergi" Atau tidak
pergi" Kalau tidak pergi, dia pun kuatir wanita itu
menjumpai masalah di dusun terdekat.
Kalau pergi, dia pun kuatir mereka
bersimpangan jalan hingga tercipta salah paham
yang mendalam. Sepanjang hidup belum pernah Pho Ang-soat
menjumpai masa pelik seperti ini, sulit
mengambil keputusan.
Magrib telah menjelang tiba.
Bau bunga liar di atas bukit terbawa angin dan
terendus hingga ke dalam ruangan.
Suasana dalam rumah kayu terasa hening,
sepi. Jalan setapak yang tak merata di tanah
perbukitan tampak bagaikan seutas ikat pinggang
emas di bawah timpaan cahaya senja, meliuk-liuk
di antara pepohonan nan hijau.
Pho Ang-soat betul-betul gelisah setengah
mati, dia benar-benar habis daya dan tak tahu
apa yang harus dilakukan. Seluruh pakaiannya
telah basah kuyup bermandikan keringat.
Taburan bintang di langit masih seperti
keadaan semalam, angin malam berhembus
membawa bau harumnya nasi dari kejauhan, Pho
Ang-soat baru teringat sekarang, sudah seharian
ia belum mengisi perut.
Cahaya lentera di rumah penduduk di kaki bukit
telah menerangi langit yang gelap, tapi kegelapan
malam justru serasa menyelimuti Pho Ang-soat
yang panik. Gelisah, panik, tak tenang dan kini ditambah
ngeri bercampur takut membuat Pho Ang-soat
balik kembali ke dalam rumah tanpa daya,
bagaimana pun dia harus menyalakan lentera
lebih dahulu. Setelah menyalakan geretan dan menyulut
sumbu lentera, cahaya terang pun menyinari
seluruh ruangan.
Mendadak Pho Ang-soat menyaksikan sesuatu,
sepucuk surat, ya, sepucuk surat terpampang di
depan mata. Surat" Apakah ia meninggalkan pesan"
Apakah pesan yang ditinggalkan Hong-ling"
Dengan tangan gemetar Pho Ang-soat
mengambil surat itu, membuka sampulnya dan
membaca isinya.
Tulisan pertama yang melompat masuk ke
dalam pandangan matanya adalah "Pho Angsoat",
nama dirinya. Tak salah lagi, surat itu memang peninggalan
Hong-ling. Ternyata dia telah menyiapkan semua
itu, sementara dirinya sendiri masih
mencemaskan keselamatannya bagai seorang
tolol. Isi surat amat singkat, tapi cukup membuat
hati Pho Ang-soat seperti terjerumus dalam
kubangan salju.
Pho Ang-soat, Aku tahu, dalam hidupku selanjutnya tak
mungkin lagi bisa membunuhmu, tapi kau telah
membunuh seorang sanakku, dendam ini harus
kubalas. Maka akan kubawa pergi benih anak
yang tertinggal dalam rahimku sekarang, paling
tidak aku pun dapat memusnahkan seorang
sanakmu. Tertanda, Hong-ling.
Bukan saja perasaan Pho Ang-soat saat ini
berubah jadi dingin, seluruh tubuhnya serasa
kaku, dalam benaknya berulang kali mengulang
kata-kata dalam surat itu, "Kubawa pergi benih
anak yang tertinggal dalam rahimku". Benih
anak" Benih anak yang mana"
Apa maksud perkataannya itu"
Benih anak" Darimana datangnya benih anak"
Masa baru saja mereka lakukan semalam... lalu
sudah berbentuk benih anak"
Surat itu sudah terjatuh ke tanah, Pho Ang-soat
mengertak gigi, tangan menggenggam golok. Dia
merasa sedih sekali, hatinya serasa diremas
hingga hancur-lantak, diremas sangat kuat.
Cahaya lentera sangat keruh.
Lentera yang menyinari warung arak seakan
selalu mendatangkan perasaan pilu yang
mendalam. Arak pun tampak keruh.
Lampu dan arak yang keruh, kini semuanya
terpampang di hadapan Pho Ang-soat.
Sepuluh tahun berselang ia pernah mabuk, dia
tahu mabuk sama sekali tak dapat melupakan
segalanya, tapi sekarang dia ingin sekali mabuk.
Sepuluh tahun berselang ia pernah merasakan
derita karena cinta, dalam anggapannya kini ia
sudah sanggup bertahan atas penderitaan
semacam itu, tapi kini, secara tiba-tiba ia
membuktikan penderitaan semacam itu memang
susah ditahan dan dihadapi.
Arak yang keruh telah memenuhi cawan
kasarnya, ia putuskan untuk meneguk habis arak
kegetiran ini. Arak getir suatu kehidupan.
Tapi sebelum tangannya meraih mangkuk arak
itu, sebuah tangan yang muncul dari sisinya telah
merampas mangkuk arak itu. "Kau tak boleh
meneguk arak semacam ini."
Tangan itu sangat besar, kuat dan kering,
sekuat dan sekering nada suaranya.
Pho Ang-soat tak mendongakkan kepala, dia
kenal pemilik tangan itu, dia pun kenal suara itu .
. . Siau Piat-li memang seorang yang kuat tapi
kering. "Kenapa aku tak boleh meneguknya?"
"Kau boleh minum, tapi bukan minum arak
semacam ini," jawab Siau Piat-li hambar.
Dari kursi rodanya Siau Piat-li mengeluarkan
sepoci arak dan meletakkannya ke atas meja,
selesai membuang isi mangkuk tadi, dia tuang
lagi dengan arak lain.
Sepuluh tahun berselang kau pernah mabuk
satu kali. Mimik muka Siau Piat-li tidak menampilkan
rasa simpati, juga tiada perasaan iba, dia hanya
menuang arak ke dalam mangkuk Pho Ang-soat
dan mendorong ke hadapannya.
Minumlah! Pho Ang-soat memang hanya ingin
mabuk. Arak yang getir dan pedas bagai segumpal bara
api langsung menyambar tenggorokan Pho Angsoat.
Sambil mengertak gigi ia teguk habis isi cawan,
memaksakan diri untuk bertahan, agar tak
sampai batuk. Namun air matanya nyaris mengucur keluar.
Siapa bilang arak itu manis"
"Itulah arak Siau to cu!"
Kembali Siau Piat-li menuang untuk mangkuk
kedua. Ketika arak mangkuk kedua mengalir masuk
tenggorokannya, ia merasa arak itu jauh lebih
nikmat, ketika mangkuk ketiga ditenggak,
mendadak dari hati kecil Pho Ang-soat timbul
semacam perasaan yang sangat aneh.
Sepuluh tahun berselang dia pun pernah
merasakan keadaan seperti ini.
Lampu di meja yang redup seakan menjadi
terang kembali, tubuh yang semula kaku dan
hampa, tiba-tiba terasa berubah, kini dipenuhi
tenaga kehidupan yang aneh.
Dia seakan telah melupakan semua kepiluan
dan kepedihan hatinya, namun jarum yang
menusuk serasa masih tertinggal dalam hati.
Siau Piat-li menatap tajam wajahnya,
tiba-tiba ia berkata, "Sepuluh tahun
berselang kau pernah berusaha
menghancurkan diri sendiri karena seorang
wanita, sepuluh tahun kemudian apakah
kau akan mengulang kembali sejarahmu"
Hancur hanya dikarenakan seorang wanita?"
"Dari... darimana kau tahu?" cepat Pho Angsoat
mendongakkan kepala balas menatap Siau
Piat-li. "Ketika seorang menderita dan tersiksa karena
cinta, keadaannya tak jauh berbeda seperti
sebatang pohon yang semula hijau segar tiba-tiba
menjadi layu," kata Siau Piat-li hambar, "bukan
saja Hong-ling tak pantas untuk kau kenang,
pada hakikatnya tak pantas kau tangisi karena
kepergiannya."
"Kau. . . kau pun tahu. . . tahu tentang
persoalan ini. ..." suara Pho Ang-soat terdengar
mulai gemetar. "Aku tahu," Siau Piat-li manggut-manggut,
"tentu saja aku tahu."
"Dari... darimana kau bisa tahu," penderitaan
yang terpancar dari mata Pho Ang-soat semakin
mengental, "tahukah kau, penderitaanku bukan...
bukan disebabkan dia pergi meninggalkan aku,
tapi... tapi dikarenakan... karena....
"Karena dia hendak membunuh darah
dagingmu bukan?" Siau Piat-li bantu
menyelesaikan perkataan itu.
Setiap saat, entah berapa banyak kenangan
yang melintas"
Ada penderitaan tentu ada pula kegembiraan.
Ada saat kikuk, tentu ada pula saat mesra.
Pelukan penuh birahi yang terjadi semalam,
cumbu rayu yang penuh kemesraan, kini telah
berlalu, semuanya tinggal kenangan.
Desahan napas, cucuran keringat, luapan birahi
yang telah terukir hingga ke lubuk hati, apakah
kini harus dilupakan semuanya"
Bagaimana kalau selamanya tak terlupakan"
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaimana pula kalau selalu teringat"
Dua orang yang tidak seharusnya menjadi satu,
dua orang yang seharusnya terikat dendam,
bagaimana mungkin bisa terikat dalam satu
kesatuan" Kehidupan, kehidupan macam apakah ini"
"Aku telah mendapatkan bibit darah
dagingmu."
"Aku akan memusnahkan seorang sanakmu."
Sanak" Darah daging" Kalau memang darah
dagingku, apakah bukan darah dagingmu juga"
Tegakah kau melakukannya" Tegakah kau bunuh
darah dagingmu sendiri"
Benarkah ada kejadian seperti ini di dunia yang
fana" Bekas air mata telah muncul di wajah Pho Angsoat,
serat darah telah muncul di bibirnya yang
kering, tangannya digenggam kencang kini
berubah jadi putih pucat.
Mabuklah, dalam keadaan seperti ini lebih baik
mabuklah. Yang bisa dia lakukan kini hanya meloloh diri
dengan arak wangi, agar dirinya mabuk, agar
sakit hatinya terlupakan untuk sesaat.
Jarum tajam telah menghujam hatinya, jarum
tajam yang dingin.
Tak ada yang bisa membayangkan betapa
dalam penderitaannya saat ini, betapa
tersiksanya dia sekarang.
Kecuali benci dan dendam, untuk pertama
kalinya dia menyadari bahwa di dunia masih
terdapat sebuah siksaan lain yang jauh lebih,
menakutkan daripada rasa benci dan dendam.
Yang dihasilkan rasa benci tak lebih hanya ingin
memusnahkan musuh besarnya, tapi siksaan
karena cinta justru dapat memusnahkan diri
sendiri, dapat memusnahkan seluruh dunia.
Baru sekarang ia sadar, ternyata tanpa disadari
dirinya benar-benar sudah jatuh cinta kepada
Hong-ling, itulah sebabnya ia sangat menderita.
Kau telah membunuh kerabatku, maka aku pun
akan membunuh kerabatmu.
Inikah yang disebut pembalasan"
Dia tak berani percaya bahwa di dunia terdapat
cara pembalasan seperti ini, namun kenyataan
telah tertera di depan mata, dapatkah kau tidak
mempercayainya"
Malam di musim panas.
Bintang masih bertaburan di angkasa, angin
malam pun masih berhembus sepoi menggoyang
dedaunan. Bintang masih tampak, rembulan pun masih
terlihat, tapi kemana perginya si dia"
Tiga belas hari, mereka telah hidup bersama
tiga belas hari.
Tiga belas siang dan tiga belas malam, waktu
berlalu sedemikian cepat, dalam sekejap semua
kenangan bermunculan dalam benaknya.
"Kau... darimana kau bisa mengetahui
persoalanku?" seru Pho Ang-soat agak terkejut.
"Tentu saja aku tahu. Bahkan aku pun
mengetahui rahasia yang tidak kau ketahui."
"Rahasia apa?"
"A-jit datang untuk membunuhmu, Hong-ling
datang untuk membalas dendam, pengepungan di
rumah kayu, Ting-tong bersaudara meloloh
perempuan itu dengan arak perangsang,
kemudian kalian pun berhubungan badan...
padahal semuanya itu sudah tersusun rapi dalam
sebuah rencana, rencana besar yang sudah
dirancang untuk sebuah intrik j ahat."
"Intrik jahat" Maksudmu kejadian semalam aku
dan dia... semuanya merupakan hasil rancangan,
sebuah rencana besar?" "Benar."
"Aku... aku tak percaya."
"Sayang kau harus mempercayainya."
"Apa... apa tujuan mereka berbuat demikian?"
"Mereka memang sengaja berbuat begitu agar
kau menghancurkan dirimu sendiri, agar kau
menderita," Siau Piat-li menjelaskan, "sebab
mereka tahu, bukan pekerjaan gampang untuk
membunuh manusia macam kau. Tapi satusatunya
titik kelemahan yang kau miliki adalah
masalah cinta, bila ingin membunuhmu, satusatunya
cara adalah membuat kau patah hati,
biar kau menderita, biar kau tersiksa hingga
akhirnya menghancurkan diri sendiri."
Dia tatap wajah Pho Ang-soat sekejap,
kemudian ujarnya lebih lanjut, "Itulah sebabnya
mereka mengatur rencana ini, serangkaian siasat
berantai, untuk menjebakmu dan
menghancurkan kehidupanmu."
Lambat-laun gejolak emosi dalam dada Pho
Ang-soat mulai reda, memandang cawan arak di
tangan, beberapa saat kemudian baru ia
bertanya, "Siapa mereka" Kalau dilihat sepintas,
seharusnya Be Khong-cun."
Sebelum orang lain menanggapi, kembali dia
menambahkan sendiri, "Padahal bukan."
"Benar."
Pho Ang-soat menatap Siau Piat-li lekat-lekat,
mengawasi dengan pandangan dingin, kemudian
tegurnya, "Darimana kau bisa tahu tentang
rencana busuk ini?"
Siau Piat-li tidak langsung menjawab,
ditatapnya dulu wajah Pho Ang-soat dengan
tenang, setelah termenung sesaat, dia penuhi
cawan sendiri dan meneguknya hingga habis,
setelah itu dengan suara yang hambar ujarnya,
"Karena semua rencana itu adalah hasil
rancanganku."
"Hasil rancanganmu?"
"Benar."
"Tidak salah?" tegas Pho Ang-soat agak emosi.
"Tidak salah."
Bab 4. MELAKUKAN PERJALANAN JAUH
Tentu saja Siau Piat-li dapat melihat otot-otot
hijau merongkol di tangan Pho Ang-soat, tangan
yang menggenggam golok, tentu dia pun telah
melihat hawa membunuh yang terpancar dari
balik matanya, akan tetapi dia tetap acuh, tak
ambil peduli, dia tetap duduk tenang di kursi
rodanya. "Jadi semua rencana busuk ini hasil
rancanganmu?" sekali lagi Pho Ang-soat bertanya.
"Benar," jawab Siau Piat-li hambar, "namun hal
itu terjadi pada sepuluh tahun berselang."
"Sepuluh tahun berselang?" sekali lagi Pho
Ang-soat terkesiap, "sejak sepuluh tahun
berselang kau telah merancang intrik busuk itu
dan menunggu sepuluh tahun kemudian baru
dilaksanakan?"
"Tidak, rencana ini telah dijalankan sejak
sepuluh tahun lalu," tiba-tiba Siau Piat-li tertawa,
"hanya saja sepuluh tahun kemudian, ternyata
ada orang lain yang mencoba mengulangi semua
rencanaku ini. "
Karena Pho Ang-soat tak mengerti, maka Siau
Piat-li menjelaskan lebih jauh, "Sepuluh tahun
berselang, ketika aku belum mengetahui dengan
jelas wajah Be Khong-cun yang sebenarnya, saat
itu aku memang membantunya menghadapimu,
maka aku pun merancang siasat yang khusus
tertuju pada titik kelemahanmu, yaitu mengatur
pertemuanmu dengan Cui long. Tujuanku adalah
membiarkan kau menaruh cinta kepadanya, lalu
perempuan itu mencampakkan dirimu agar kau
patah hati dan menghancurkan diri sendiri, saat
itulah kau jadi lemah dan kami pun dapat dengan
mudah membereskan nyawamu."
Setelah tertawa ringan, kembali lanjutnya,
"Sungguh tak disangka sepuluh tahun kemudian
ternyata kelompok Be Khong-cun kembali
mengulangi siasat itu dengan mengirim seorang
wanita macam Hong-ling."
Berbicara sampai di situ, ia menatap
Pho Ang-soat sekejap, kemudian terusnya,
"Tak nyana ternyata kau lagi-lagi
terjebak, dengan cara yang sama kau ingin
menggunakan arak untuk melarikan diri dari
kenyataan."
Hembusan angin di kota kecil itu sama
dinginnya dengan hembusan angin di atas bukit,
tapi Pho Ang-soat merasakan munculnya hawa
panas dalam tubuhnya, karena ia sudah mulai
tertarik dengan ucapan Siau Piat-li.
"Maksudmu kemunculan Hong-ling ini pun
merupakan bagian dari rencana busuk mereka"
Ingin menggunakan dia seperti Cui long sepuluh
tahun berselang?" tanya Pho Ang-soat.
"Benar."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, kemudian
secara ringkas dia pun bercerita bagaimana si
Golok lengkung A-jit muncul mencarinya, lalu
Hong-ling ingin balas dendam, kemudian ia
membawanya ke rumah kayu untuk merawat
lukanya, bagaimana Ting tang hengte melolohnya
dengan obat perangsang dan akhirnya terjadi
hubungan badan dengan dirinya.
Dia pun bercerita apa yang terjadi hari ini,
bagaimana Hong-ling meninggalkan surat dalam
rumah dan pergi meninggalkan dirinya.
Dengan seksama Siau Piat-li mendengarkan
cerita ini, kemudian sambil tertawa ujarnya, "Kau
benar-benar dibuat linglung. Hubungan badan
baru terjadi semalam, tidak menjamin dia pasti
akan mengandung bibit darah dagingmu,
semisalnya di kemudian hari dia memang
hamil....Ditatapnya Pho Ang-soat sekejap,
kemudian melanjutkan,
"Cinta seorang ayah berbeda dengan cinta
seorang ibu, seorang ayah baru mencintai
anaknya sejak si jabang bayi lahir dari rahim
ibunya. Sejak pandangan pertama itulah seorang
ayah baru belajar mencintai anaknya.
Pho Ang-soat bungkam, dia hanya
mendengarkan. "Berbeda dengan cinta ibu, cintanya alami,
sejak dia mulai hamil, sejak sang jabang bayi
mulai terbentuk dalam rahimnya, si ibu sudah
mulai tumbuh rasa cintanya, cinta pada calon bayi
yang berada dalam rahimnya."
"Biarpun sang bayi belum lahir, namun sang ibu
sudah menaruh perhatian khusus kepadanya. Jadi
kesimpulannya, cinta ibu adalah alami sedang
cinta ayah baru terbentuk secara perlahan-lahan."
Baru pertama kali ini Pho Ang-soat mendengar
ada orang menjelaskan perbedaan antara cinta
seorang ibu dan ayah.
Kembali Siau Piat-li berkata setelah tertawa
lebar, "Tahukah kau, ada begitu banyak wanita di
dunia ini yang mula-mula sangat membenci benih
dalam kandungannya akibat perkosaan, tapi
tatkala mereka yakin dirinya mulai mahir, bukan
saja rasa benci itu hilang, bahkan mereka sangat
berharap bisa melahirkan si bocah dengan
selamat, tahukah kau karena apa?"
"Karena cinta seorang ibu?"
"Benar. Terlepas siapa ayah bocah itu, terlepas
bocah itu bisa lahir disebabkan peristiwa apa,
namun kehamilan dapat membuat seorang wanita
belajar menjadi ibu, dapat mengubah rasa benci
mereka menjadi cinta."
Walaupun Pho Ang-soat masih mendengarkan,
namun sorot matanya telah dialihkan ke tempat
jauh, memandang suatu tempat nun jauh di sana.
"Sekalipun Hong-ling benar-benar ingin
membunuh sanakmu, ingin membunuh bocah itu,
tapi di saat benihnya telah berwujud jabang bayi
dalam rahimnya, rasa benci itu pasti akan segera
berubah menjadi cinta seorang ibu," Siau Piat-li
kembali menegaskan. "Oleh karena itu, biarpun si
perancang rencana busuk itu ingin berbuat
begitu, Hong-ling pasti akan berusaha sekuat
tenaga melindungi darah dagingnya."
Oh perempuan, sebenarnya manusia seperti
apakah perempuan itu" Pho Ang-soat merasa
dirinya benar-benar tak paham tentang wanita.
Bukan hanya dia yang tak paham, ada berapa
banyak lelaki di jagad ini yang benar-benar
memahami wanita"
Malam telah berakhir, sinar fajar kembali
muncul di ufuk timur.
Dalam hati Pho Ang-soat sudah tak ada lagi
jarum tajam yang mengganjal, ia telah
mengambil keputusan untuk melacak peristiwa ini
hingga jelas. Walau harus membayar mahal,
harus mempertaruhkan keselamatan jiwanya, dia
ingin tahu siapa dalang di balik semua itu.
Cepat dia menarik kembali sorot matanya dari
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kejauhan dan memandang sekejap warung arak
itu. Cahaya lentera tetap terasa redup, arak pun
masih keruh, dia mengambil secawan arak,
kemudian dengan sikap yang amat tulus katanya
kepada Siau Piat-li, "Kuhormati secawan arak
untukmu." "Menghormati aku?" tanya Siau Piat-li
terperanjat. "Sebetulnya aku tak patut minum arak lagi,
tapi secawan ini aku harus tetap
menghormatimu," kata Pho Ang-soat, "karena
kau telah membantu melepaskan simpul mati
dalam hatiku."
"Bukan aku yang melepaskan simpul mati itu,
kau sendiri yang melakukan," tiba-tiba Siau Piat-li
tertawa, "biarpun begitu, semangkuk arak ini
tetap akan kuterima, sebab merupakan peristiwa
yang langka bila Pho Ang-soat mau menghormati
orang lain dengan secawan arak."
Arak yang mereka minum bukan arak
kegirangan, bukan juga arak kesedihan, tapi arak
pembangkit semangat antara seorang lelaki
dengan lelaki lain.
Dengan cepat kedua isi mangkuk itu sudah
berpindah ke perut mereka berdua, begitu
mangkuk diletakkan, Siau Piat-li segera mengisi
lagi dengan arak wangi.
"Kali ini akulah yang akan menghormati
secawan untukmu," kata Siau Piat-li sambil
mengangkat cawan araknya, "karena sehabis
meneguk arak ini, kau harus melakukan
perjalanan jauh."
"Perjalanan jauh?"
"Benar, kau harus berangkat ke pusat tempat
ibadah orang Tibet, kota Lhasa."
"Ke Lhasa" Kenapa aku harus berangkat ke
Lhasa?" "Demi Yap Kay."
"Yap Kay?" Pho Ang-soat tertegun, "apakah dia
terancam mara-bahaya?"
"Dia telah lenyap."
Cahaya sang surya menembus awan yang
tebal, menyinari tiang bendera yang tak terlalu
tinggi. Biarpun bendera di atas tiang masih berkibar
ketika terhembus angin, namun sudah tidak
sementereng dan segagah apa yang pernah
disaksikan Pho Ang-soat dulu, walaupun bendera
itu masih merupakan bendera kebesaran Kwan
tang ban be tong.
Meski bendera itu masih bertuliskan Ban be
tong, namun sebagian besar sudah dalam kondisi
bekas terbakar, bukan saja bentuk panji itu
kumuh dan robek, bahkan sudah banyak
ditempeli sarang laba-laba.
Dari bentuk panji itu dapat diketahui bahwa
perubahan tidak terjadi dalam waktu singkat,
paling tidak sudah sepuluh tahun lamanya.
Sepuluh tahun. Kegagahan dan pamor Ban be tong seakan
sudah lenyap ditelan bumi, apa yang terlihat kini
tak lebih hanya rumah bobrok, rumah kumuh
yang pernah dilihat Pho Ang-soat ketika malam
pertama tiba di tempat itu.
Rumah yang setengah roboh, dinding pagar
yang sebagian telah mengelupas, debu dan
kotoran bertebaran, seluruh kompleks bangunan
itu nyaris terbengkalai.
Sepuluh tahun kemudian, secara mengejutkan
dan mengherankan bangunan Ban be tong pulih
penuh kegagahan dan mentereng seperti semula,
lalu secara aneh dan tidak dimengerti berubah
jadi terbengkalai dan bobrok lagi.
Apa yang sebenarnya telah terjadi"
Menyaksikan perubahan yang sama sekali tak
terduga ini, Pho Ang-soat berdiri terperangah,
setengah bodoh dibuatnya.
"Maka dari itu aku memaksamu datang kemari
untuk menengok keadaan yang sebenarnya,"
terdengar Siau Piat-li berkata, "kalau tidak kau
saksikan sendiri, siapa pun tak akan percaya
kenyataan ini. "
"Mengapa bisa berubah begini" Sejak kapan
semuanya terjadi?" tanya Pho Ang-soat.
"Sejak tiga belas hari berselang, hari kedua
setelah kau mengajak Hong-ling meninggalkan
tempat ini."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, kemudian
tanyanya lagi, "Apakah perubahan terjadi dalam
semalaman, berubah secara aneh dan ajaib?"
"Benar. Malah kali ini aku berada di tempat
kejadian."
Pho Ang-soat tidak paham kata-katanya itu.
"Hari kedua sepeninggalmu, saat pihak Ban be
tong mengerahkan segenap kekuatannya melacak
jejakmu, tiba-tiba kutemui Be Khong-cun, meski
waktu pertama kali berjumpa denganku dia
nampak terkejut, namun biarpun aku teliti dengan
lebih seksama pun tidak kujumpai pertanda dia
itu gadungan."
Secara ringkas Siau Piat-li menceritakan
pengalamannya pada saat itu.
"Dia melayani aku dengan hangat, kami berdua
pun berbincang sambil minum arak di dalam
kamar bacanya, yang dibicarakan hanya seputar
rahasia pribadiku dan Be Khong-cun."
"Rahasia yang tak mungkin diketahui orang
lain?" "Benar. Itulah sebabnya pada waktu itu aku
curiga Be Khong-cun besar kemungkinan adalah
Be Khong-cun yang telah mati sepuluh tahun
berselang dan kini hidup kembali," kata Siau Piatli,
"bicara punya bicara, tiba-tiba secara tak
kusadari ternyata aku telah mabuk berat, waktu
itu sudah tengah malam."
"Kemudian?"
"Kemudian sewaktu sadar kembali, ternyata
hari sudah terang tanah. Biarpun aku masih
duduk di kamar baca tempat kami minum arak
semalam, namun semua pemandangan telah
berubah, menjadi keadaan seperti apa yang kau
saksikan sekarang."
"Kemana orang-orang itu?"
"Tak ada orang, tak seorang pun yang
terlihat."
"Tak ada orang" Semua jagoan Ban be tong
yang bangkit kembali dari kematian ikut lenyap?"
"Benar."
Sepuluh tahun berselang Ban be tong telah
dimusnahkan, semua penghuninya telah mati,
tapi sepuluh tahun kemudian secara aneh dan tak
masuk akal mereka muncul kembali.
Kini secara aneh dan tak masuk akal mereka
lenyap kembali tak berbekas.
Sebenarnya apa yang telah terjadi"
Pho Ang-soat pernah bertemu So Ming-ming,
dari mulut gadis itu dia pun tahu Yap Kay
berangkat ke Lhasa karena ingin menyelidiki
kebun monyet, tempat dimana Pek Ih-ling yang
seharusnya Be Hong-ling pernah tinggal.
Di saat mendengarkan penuturan So Ming-ming
tentang Yap Kay yang berangkat ke kota Lhasa,
dia mendengarkan dengan seksama dan teliti. Tak
sepotong kata pun yang tercecer.
Ketika mendengar Hong-ling di rumah
keliningan, walaupun hati kecilnya merasa amat
sakit, namun perasaan duka itu tak sampai
ditampilkan di wajah.
Tentu saja Pho Ang-soat pun tahu Yap Kay
lenyap karena masalah setan pengisap darah,
justru karena persoalan itulah So Ming-ming
khusus mendatangi kota kecil itu dan mengajak
Siau Piat-li berunding.
Itu pula sebabnya Siau Piat-li memaksa
menghormati Pho Ang-soat dengan secawan arak
sambil mengatakan dia bakal melakukan
perjalanan jauh.
Kini Ban be tong telah pulih dalam keadaan
yang sesungguhnya, bangunan yang tinggal
puing, bobrok dan terbengkalai. Be Khong-cun
dan para begundalnya juga lenyap. Kemana
semua orang itu telah pergi"
Tampaknya jawaban atas teka-teki itu hanya
bisa ditemukan di kota Lhasa.
Oleh karena itu Pho Ang-soat bersama So Mingming
segera berangkat ke kota Lhasa.
Bab 5. RUMAH PHO ANG-SOAT
Lhasa. Di pegunungan nan hijau dan pepohonan yang
terbentang luas, dari kejauhan terlihat secara
lamat-lamat bangunan istana serta dinding kota.
Langit amat bersih, istana Potala di bawah
cahaya terang terlihat begitu megah dan keren.
Pho Ang-soat sama sekali tak menyangka, nun
jauh di luar perbatasan ternyata terdapat tempat
yang begitu indah, keindahannya begitu megah
dan penuh misteri, keindahannya membuat orang
terbuai dan terpikat, keindahan yang membuat
orang jadi mabuk.
Bangunan benteng didirikan sepanjang batu
karang membuat bangunan kuno ini tampak
gagah dan menakjubkan.
Seluruh kota Lhasa nampak begitu indah
bagaikan dalam impian, untuk sesaat Pho Angsoat
dibuat terperana, termangu-mangu saking
kagumnya. Bagaimana dengan Hong-ling" Apakah dia telah
kembali ke rumah keliningan"
Bagaimana rasanya bila orang yarig
mendampinginya sekarang adalah Hong-ling"
Manusia memang sangat mengherankan, di
saat hatinya sedang tersentuh oleh keindahan,
mengapa semakin sulit baginya melupakan
seseorang yang ingin sekali dilupakan"
Bangunan kuno bagaikan selembar kulit hasil
samak, ada bagian yang licin dan indah, ada pula
bagian yang kasar dan jelek. Jalanan di luar kuil
Tay-cau-si merupakan sisi lain dari kota Lhasa.
Sepanjang jalan terlihat sampah berserakan,
kawanan pengemis tua dengan pakaian kumal,
berkepala gundul, bertelanjang kaki berdiri di
sepanjang jalan sambil menyodorkan tangannya
meminta sedekah.
So Ming-ming memang sengaja mengajak Pho
Ang-soat melalui jalanan itu, sebab ia pernah
berkata kepada gadis itu, "Aku tak ingin tinggal di
rumahmu, aku pun tak ingin tinggal di tempat
yang kotor."
Karena itulah So Ming-ming mengajak Pho Angsoat
menuju ke jalan itu, sebab di sini terdapat
sebuah penginapan yang tidak terlalu menyolok
dan jarang didatangi orang.
Merek dagang rumah penginapan ini pun
sangat hebat, sekali pandang orang akan
terkesan olehnya.
Penginapan itu bernama penginapan Sau-lay
(jarang yang datang).
Kalau nama penginapannya nyentrik,
pemiliknya pun nyentrik.
Lopan pemilik rumah penginapan Sau-lay
adalah seorang lelaki setengah baya berusia
empat puluh tahunan, walaupun dandanannya tak
jauh berbeda dengan kebanyakan orang, namun
bila keesokan harinya tamu yang menginap di
sana belum juga membayar ongkos sewa kamar,
maka dengan wajah tak berperasaan dia akan
berkata kepada tamunya, "Pergilah! Ingat, lain
kali jangan kemari lagi."
Bayangkan saja, apakah manusia semacam ini
tak pantas disebut manusia eksentrik"
Kamar yang tersedia di rumah penginapan Saulay
tidak berbeda jauh dengan kamar losmen di
wilayah Kanglam, sebuah ruangan yang
sederhana dengan sebuah lampu minyak dan
perabot seadanya.
Tapi begitu Pho Ang-soat masuk ke dalam
kamar penginapan Sau-lay, paras mukanya
kontan berubah hebat, berubah jadi amat jelek
seolah baru saja melihat setan.
Sebenarnya setan itu tidak menakutkan,
banyak orang tidak takut setan.
Pho Ang-soat pun tidak takut, jauh lebih berani
dibandingkan sebagian besar orang.
Apalagi dalam ruang kamar itu memang tak
ada setannya. Setiap benda, setiap perabot yang tersedia di
sana persis barang-barang yang tersedia di
losmen lain. So Ming-ming memang kurang begitu tahu
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentang Pho Ang-soat. tapi selama dua hari
belakangan ini dia tahu pemuda itu bukan
termasuk orang yang mudah terperanjat. Tapi
kini dia pun dapat melihat Pho Ang-soat benarbenar
dibuat terperana.
Dia tidak bertanya kepada Pho Ang-soat, "Apa
yang telah kau lihat?"
Sebab apa yang bisa dilihat pemuda itu, dia
pun dapat melihat jelas. Tapi dari sekian banyak
benda yang dapat dilihat olehnya, tak satu pun
yang bisa membuatnya ketakutan.
Yang terlihat olehnya hanya sebuah ranjang,
meja, beberapa bangku, meja rias, lemari baju
dan sebuah lampu minyak, semua barang amat
sederhana dan sudah kuno.
Apa yang dilihat Pho Ang-soat hanya barangbarang
itu, tak seorang pun yang tahu apa
sebabnya dia begitu ketakutan"
Jangan-jangan kamar ini adalah sebuah kamar
setan" Sebuah kamar yang dipenuhi setan, iblis
dan roh gentayangan" Sebuah kamar yang akan
mencekik dan menyiksa dirimu"
Kalau memang begitu, mengapa So Ming-ming
sama sekali tidak merasakan"
Jangan-jangan kawanan setan iblis itu hanya
menyatroni Pho Ang-soat seorang"
So Ming-ming ingin sekali bertanya padanya,
mengapa sikapnya berubah jadi begitu, namun ia
tak berani, tampang Pho Ang-soat saat ini
kelewat menakutkan.
Mimik mukanya sekarang seperti setan,
perlahan-lahan ia duduk bersandar dinding dekat
meja kayu, duduk di bangku bambu kuno.
Begitu duduk, paras mukanya kembali berubah,
berubah semakin kalut tak keruan, di samping
rasa gusar yang membara, dia pun
memperlihatkan perasaan cinta dan kangen yang
seakan selamanya sulit dihilangkan dari
benaknya. Sebuah kamar losmen sederhana mengapa
dalam waktu sekejap dapat membangkitkan dua
macam perasaan yang saling bertentangan"
Kembali So Ming-ming ingin bertanya, namun
dia tetap tak berani.
Tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Walaupun Hoa
Pek-hong bukan ibu kandungku, namun ia sudah
memelihara dan mendidikku selama delapan belas
tahun." Masalah budi dan dendam antara Pho Ang-soat,
Yap Kay dan Be Khong-cun telah didengar So
Ming-ming dari penuturan Siau Piat-li, karena itu
dia pun tahu siapakah Hoa Pek-hong yang
dimaksud. "Biarpun sepanjang hidupnya selalu terkurung
dalam rasa benci dan dendam, namun dia orang
berhati lembut," gumam Pho Ang-soat.
Yap Kay lenyap tak berbekas, Be Khong-cun
ikut menguap, teka-teki seputar Ban be tong
belum terurai, mengapa di saat dan keadaan
seperti ini mendadak Pho Ang-soat menyinggung
Hoa Pek-hong"
Kembali So Ming-ming ingin bertanya, tapi lagilagi
tak berani, maka terpaksa dia hanya
mendengarkan Pho Ang-soat berkata lebih lanjut.
"Selama delapan belas tahun, dia yang
memelihara dan mendidik aku hingga dewasa,
meskipun dia pun selalu melolohku dengan
masalah dendam, namun dia pun amat
mencintaiku, merawatku dengan penuh kasih
sayang," ujar Pho Ang-soat perlahan.
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Aku
sengaja memberi tahu hal ini kepadamu karena
aku ingin kau tahu, meskipun Hoa Pek-hong
bukan ibu kandungku, namun dia telah memberi
kehangatan keluarga kepadaku."
Sebetulnya dia seorang anak yatim piatu,
secara tiba-tiba memiliki rumah, merasakan
hangatnya berkeluarga, meski perempuan itu
bukan ibu kandungnya, namun telah mendidik
dan memeliharanya.
Budi pemeliharaan lebih tinggi dari langit.
Tentu saja So Ming-ming mengerti teori ini.
Tiba-tiba Pho Ang-soat bangkit, berjalan
menuju ke tepi jendela, mendorongnya hingga
terbuka dan memandang kegelapan yang mulai
mencekam jagad.
Setelah lama termenung, kembali ia berkata,
"Selama delapan belas tahun aku tinggal di
sebuah rumah batu, dalam rumah batu itu hanya
terdapat sebuah ranjang, meja, beberapa bangku,
lemari baju, meja rias dan sebuah lampu
minyak." Setelah memandang lagi kegelapan malam
beberapa saat, ia pun berkata lebih jauh, "Semua
barang yang ada dalam kamar ini berasal dari
dalam rumah batu itu."
Akhirnya So Ming-ming mengerti juga apa
sebabnya paras muka Pho Ang-soat berubah
begitu hebat sejak masuk ke dalam kamar ini.
Ternyata setiap benda yang ada di sini,
semuanya dipindahkan dari rumah batu yang
pernah ditempatinya bersama Hoa Pek-hong.
Tapi siapa yang telah memindahkan kemari"
Sudah pasti ulah dalang yang berada di balik
kekuatan Ban be tong, bisa jadi dia pula yang
menjadi penyebab hilangnya Yap Kay.
Tidak bisa disangkal si dalang pasti telah
menemukan tempat tinggal Hoa Pek-hong dan
besar kemungkinan pada saat ini Yap Kay telah
terjatuh ke cengkeraman sang dalang.
So Ming-ming hanya mengawasi Phe Ang-soat
dari kejauhan, untuk sesaat dia tak berani
mengusiknya. Air mata mulai mengembeng, berkumpul di
balik kelopak mata, untung tak sampai mengucur,
hanya di saat kesedihan yang paling puncak, air
mata baru boleh mengucur.
Kalau Pho Ang-soat belum menangis, maka air
mata So Ming-ming telah membasahi pipinya, dia
sangat memahami hubungan batin antara Pho
Ang-soat dan Hoa Pek-hong.
Dengan mulut membungkam dia awasi
bayangan punggung Pho Ang-soat yang kesepian,
sesaat kemudian ia berbalik badan dan beranjak
keluar ruangan.
Tetapi sebelum dia melangkah keluar,
terdengar Pho Ang-soat berkata, "Kau tak perlu
keluar." "Tak perlu keluar?" So Ming-ming
menghentikan langkah sambil berpaling,
"apakah kau tahu aku hendak kemana" Dan mau
berbuat apa?"
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tak bakal memperoleh jawaban apa pun,
sudah pasti bukan pemilik losmen yang
memindahkan barang-barang itu kemari, bahkan
belum tentu dia tahu siapa yang
memindahkannya kemari."
Orang yang hendak dicari So Ming-ming
memang Lopan pemilik losmen Sau-lay.
Setelah lampu minyak disulut, cahaya semu
kuning menerangi seluruh kamar, Pho Ang-soat
masih berdiri di tepi jendela, mengawasi
kegelapan malam di kejauhan.
Cahaya rembulan terasa begitu lembut,
sementara taburan bintang berkedip-kedip.
Apakah cahaya rembulan dan bintang di tempat
ini sama menariknya dengan rembulan dan
bintang di rumah batu yang pernah ditempati Pho
Ang-soat" Sewaktu lampu mulai menyala, So Ming-ming
telah beranjak pergi dari situ.
Pho Ang-soat yang minta dia untuk pergi,
sebab malam ini dia perlu beristirahat dengan
sebaik-baiknya, dia harus menyimpan tenaga,
harus meningkatkan kewaspadaan, kesensitipan
dan perasaannya hingga ke tingkat paling tinggi.
Sebab yang bakal menyongsong dirinya besok
adalah masa depan yang tak terbayangkan.
Di bawah sinar rembulan, bukit bersalju nun
jauh di sana terlihat memantulkan cahaya
keperakan, membuat suasana di jalan yang kalut
itu sedikit lebih romantis.
Suasana romantis di tepi perbatasan.
Sepasang mata Pho Ang-soat sudah hampir
tinggal satu garis lurus, biarpun badannya terbuat
dari besi baja, kini sudah tak sanggup menahan
perubahan yang terjadi secara bertubi-tubi,
apalagi seharian ini dia disergap masalah yang
berat, termasuk masalah ibu angkatnya.
Di kala Pho Ang-soat mulai merasa lelah, ingin
beristirahat itulah mendadak dari sudut jalan ia
lihat seseorang yang sangat dikenal berkelebat,
sesosok tubuh gadis bertubuh ramping.
Begitu melihat orang itu, alis Pho Angsoat
segera bekernyit, cepat dia melompat
bangun, melompat keluar lewat jendela
dan mengejar ke jalan raya.
Angin malam yang dingin berdesir lewat di sisi
telinga Pho Ang-soat, tak selang berapa lama
kemudian Pho Ang-soat telah mengejar orang
yang sangat dikenalnya itu hingga pinggiran kota.
Antara tebing karang dengan pohon kaktus
berdiri sebuah gardu segi delapan, ketika tiba di
sana, orang itu berhenti dan berdiri tenang dalam
gardu. Pho Ang-soat ikut berhenti, berhenti di luar
gardu, mengawasi punggung orang yang berdiri
semampai, secercah kehangatan terlintas dari
balik matanya yang dingin dan kesepian.
Hong-ling" Apakah Hong-ling yang berdiri
dalam gardu itu" Ya, pasti dia. Sebab pakaian
yang dikenakan tak lain adalah pakaian yang
dikenakan sewaktu pergi meninggalkan dirinya.
Pho Ang-soat merasa detak jantungnya
semakin cepat, bibirnya gemetar saking emosi,
sesaat dia tak tahu apa yang mesti dibicarakan.
Malam bertambah larut, rembulan pun masih
bulat, bahkan hembusan angin malam yang
begitu dingin pun terasa lebih lembut dan hangat,
sehangat hembusan angin di musim semi.
"Baik... baikkah kau?"
Pho Ang-soat benar-benar tak tahu apa yang
mesti diucapkan, terpaksa hanya beberapa patah
kata itu yang diucapkan.
Orang yang berdiri dalam gardu kelihatan
sedikit bergerak, tapi seperti juga sama sekali tak
berkutik. Ketika ditunggu sampai lama belum juga
nampak ia bergerak, akhirnya Pho Ang-soat
berkata lagi, "Meng... mengapa kau harus pergi?"
Pho Ang-soat menundukkan kepala,
katanya lagi, "Apakah semua yang kau tulis
dari suratmu merupakan ketulusan hatimu?" Tibatiba
orang itu menghela napas sedih.
"Baru berkenalan tiga belas hari, sudah begitu
besar perhatianmu terhadapnya, apakah dalam
pandanganmu, aku tak mampu melebihi dia?"
Kembali terdengar helaan napas amat pedih,
kemudian orang dalam gardu itu baru perlahanlahan
membalikkan badan.
Di bawah sorotan cahaya rembulan yang
lembut, terlihat jelas raut muka bayangan itu.
Sekarang Pho Ang-soat baru dapat melihat
jelas siapakah orang itu, ternyata dia tak lain
adalah Pek Ih-ling yang semestinya Be Hong-ling.
"Rupanya kau?"
"Kecewa?" kembali sinar pedih terpancar dari
balik mata Pek Ih-ling, "kau tak menyangka
bukan?" Bara api cinta yang baru akan menyala seketika
sirna kembali, sorot mata Pho Ang-soat kembali
dingin dan hambar, bahkan terselip sedikit
kepiluan. "Kemunculanmu memang tepat waktu, aku
memang sedang mencarimu," ujar Pho Ang-soat
dingin. "Mencari aku" Mencari aku untuk menanyakan
masalah Be Khong-cun?" kata Pek Ih-ling sambil
tertawa pedih. "Sebenarnya siapakah kau?" tanya Pho Angsoat
sambil menatap tajam wajahnya.
"Siapa aku?" sekali lagi Pek Ih-ling tertawa
sedih, "sebenarnya siapakah aku?"
Setelah memutar biji matanya yang sayu dan
menatap sekejap wajahnya, ia melanjutkan, "Aku
tak lebih hanya sebuah keliningan kecil. "
"Keliningan kecil?"
"Ya, keliningan kecil, bila ada orang
menggoyang aku, maka aku pun berdenting, jika
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang tidak menggoyangku, aku pun
terbungkam."
Dari balik mata Pek Ih-ling seolah terlihat
cahaya air mata, tambahnya, "Keliningan kecil,
coba kau dengar, bagus bukan namaku ini?"
Kembali ia menghela napas panjang, sekarang
baru ia tahu, entah itu Pek Ih-ling atau Be Hongling,
semuanya mempunyai masa lalu yang pedih
dan penuh kesedihan.
Mengapa seorang yang tak pernah gembira
selalu bertemu dengan orang tak pernah gembira
lainnya" "Setiap orang yang hidup di dunia ini terkadang
memang tak bisa lari menjadi keliningan orang
lain, kau adalah keliningan orang, siapa bilang
aku tidak?" ujar Pho Ang-soat hambar, "bisa jadi
orang yang menjadikan kau sebagai keliningan
pun sesungguhnya sudah terikat tali orang lain
dan dijadikan keliningan juga."
Pek Ih-ling kembali menatap wajah pemuda itu,
lama kemudian baru ia menghela napas panjang.
"Ternyata watakmu tidak sedingin dan sesadis
penampilanmu, tapi heran, mengapa ada begitu
banyak orang yang justru menginginkan
kematianmu?"
Setelah tertunduk sedih, terusnya, "Padahal
ada pula kematian sementara orang yang justru
membuat orang lain merasa gembira, meski ada
juga yang kematiannya membuat banyak orang
bercucuran air mata
Mendadak dia mendongakkan kepala,
menatapnya sekejap. "Seandai nya kau yang
mati, aku pasti akan mengucurkan air mata. Oleh
karena itu lebih baik kau segera pergi, semakin
jauh semakin baik, semakin cepat semakin
bagus." "Oya?"
"Jangan kau sangka kedatanganmu di Lhasa
merupakan sesuatu yang amat rahasia, padahal
semua gerak-gerikmu, sepak terjangmu sudah
berada dalam perhitungan orang lain."
Kembali Pek Ih-ling memperlihatkan rasa
kuatirnya yang besar, "Semakin lama kau
berada di Lhasa, hanya kematian yang bakal
kau dapat."
Tiba-tiba Pho Ang-soat menggunakan
pandangan matanya yang mendalam menatap si
gadis, memandang begitu lama sampai gadis itu
merasa j engah dan menundukkan kepala.
"Pergilah!" ucap pemuda itu, "aku pun tak ingin
menyusahkan dirimu."
"Kau minta aku pergi?"
"Padahal sudah seharusnya aku tahu siapa
dirimu," kata Pho Ang-soat, "semula aku ingin
mencari tahu jejak mereka dari mulutmu, tapi
sekarang Mendadak ia menghentikan perkataannya.
"Bagaimana sekarang?"
Pho Ang-soat tidak bicara lagi, dia
membalikkan badan, lalu menggunakan
langkahnya yang aneh beranjak pergi dari situ.
"Kau akan pergi begitu saja?"
Pho Ang-soat tidak berhenti, begitu dia mulai
melangkah, sulitlah untuk berhenti, biarpun tahu
di depan mata menghadang kematian, tak bakal
dia menghentikan langkah.
"Kalau kau pergi begitu saja, hanya kematian
yang bakal kau hadapi," hampir menjerit Pek Ihling
meneriakkan perkataan itu.
Pho Ang-soat seolah tidak mendengar teriakan
itu, dia sudah pergi jauh, biar terdengar pun apa
pula yang akan dilakukan"
Air mata mengembeng di mata Pek Ih-ling
akhirnya meleleh jatuh ke bawah, membasahi
pipinya. Ketika terkena cahaya rembulan segera
terpantul cahaya yang sendu.
Sambil mengawasi bayangan punggung yang
mulai lenyap di balik kegelapan, gadis itu berdiri
termangu, rasa pilu dan sedih semakin kental
tercermin di balik wajahnya.
Sebuah tangan penuh bekas luka yang kuat
dan besar menjulur mengangsurkan selembar
sapu tangan ke depan wajah Pek Ih-ling.
"Lupakan dia, anakku!"
Ketika Pek Ih-ling berpaling, Be Khong-cun
sudah berdiri di belakangnya dengan wajah
sendu, dengan penuh kasih sayang ia bantu
menyeka air mata di pipinya.
Gadis itu tak kuasa menahan rasa sedihnya
lagi, ia menangis tersedu-sedu, sambil memukuli
dada Be Khong-cun yang bidang, jeritnya,
"Kenapa" Kenapa harus begini?"
"Karena kita semua hanya keliningan orang
lain," jawab Be Khong-cun sambil menepuk bahu
putrinya. Mendengar ucapan itu, tangisan Pek Ih-ling
semakin memilukan, sambil menggigit bibir
jeritnya, "Ayah!"
BAGIAN V. CINTA DAN DENDAM DI
BALIK GOLOK Bab 1. DUEL DI GARDU
Sewaktu tersadar kembali, Yap Kay merasa
mulutnya kering, bahkan lamat-lamat dadanya
terasa sedikit sakit, dia tahu inilah gejala pertama
yang dirasakan setelah tersadar dari pengaruh
obat pemabuk. Pertama kali membuka matanya tadi,
kepalanya masih terasa agak pening, ia tak tahu
berada dimanakah dirinya sekarang, secara
lamat-lamat dia hanya teringat bagaimana dirinya
roboh terkapar.
Berada dalam sumur kering, sebuah ruang
rahasia di ujung lorong panjang, ketika dia tahu
di sana telah menanti Hing Bu-bing, dia pun sadar
hari ini pasti akan terjadi pertarungan yang amat
sengit. "Walaupun aku tahu bukan tandinganmu, tapi
hari ini aku tetap akan bertarung melawanmu,"
ujar Yap Kay dengan suara hambar, "ada berapa
banyak Hing Bu-bing di kolong langit" Bila aku
tidak bertarung melawanmu hari ini, mungkin
sulit bagiku untuk mencari seorang lawan macam
kau di kemudian hari."
Setiap orang yang berlatih silat, ketika ilmu
silatnya telah mencapai puncak kesempurnaan,
dia akan merasa amat kesepian, sebab sampai
waktu itu sulitlah baginya untuk menemukan
seorang lawan tangguh yang sesungguhnya.
Oleh karena itulah ada sementara orang yang
tak segan mencari kekalahan, karena dia
beranggapan asal dapat bertemu seorang lawan
tangguh yang sesungguhnya, biar kalah pun tetap
membuat hatinya gembira.
Tapi Hing Bu-bing tahu perasaan Yap Kay saat
ini bukanlah demikian, dia justru siap berduel
karena semuanya itu demi Li Sun-hoan .
Bila hari ini Yap Kay mundur sebelum
bertarung, menandakan Siau-Li si pisau terbang
telah kalah di tangan Hing Bu-bing.
Perbuatan itu bukan saja akan mempermalukan
nama baik perguruan, Yap Kay pun tak akan
memaafkan diri sendiri.
Sebagai seorang lelaki sejati lakukanlah apa
yang bisa kau perbuat, ajaran ini sudah lama Yap
Kay serap dari ajaran yang diberikan Li Sun-hoan
kepadanya. Oleh sebab itu biarpun hari ini mesti mati, dia
tetap akan melayani tantangan Hing Bu-bing.
Dalam ruang rahasia tak ada angin, tapi sudah
dipenuhi hawa membunuh yang pekat.
Pedang belum dilolos dari sarungnya, namun
hawa pedang sudah menyergap tubuh orang,
seluruh ruang rahasia telah dipenuhi hawa
membunuh yang serius dan menyeramkan.
Sepasang mata Hing Bu-bing yang keabuabuan
mengawasi terus tangan Yap Kay,
mengawasi tanpa berkedip, sebab dia tahu
tangan itu adalah tangan yang menakutkan.
Kini Yap Kay seolah telah berubah menjadi
orang lain, matanya sudah tidak memperlihatkan
sikap acuhnya, dari balik mata yang berkilat
terpancar sejenis cahaya yang menyilaukan mata.
Dia ibarat sebilah pedang yang sudah lama
tersimpan dalam kotak, tak ada pamor, tak ada
aora yang kuat, jarang ada orang bisa melihat
cahayanya yang berkilauan.
Tapi kini sang pedang telah dikeluarkan dari
dalam kotak. Yap Kay telah menggerakkan tangannya,
sebilah pisau terbang telah tergenggam di antara
jari tangannya.
Pisau terbang milik Siau-li yang tak pernah
luput dari sasaran.
Justru yang paling menakutkan dari Siau-li si
pisau terbang adalah di saat pisaunya belum
disambitkan. Begitu pisau terbang terlepas, tak ada lagi
yang perlu ditakuti.
Sebab orang mati memang tak kenal takut.
Hawa membunuh semakin mengental.
Hing Bu-bing telah mencabut pedangnya sambil
dilintangkan di depan dada, sementara tatapan
matanya tak pernah terlepas dari tangan
Hati Budha Tangan Berbisa 8 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 11
p darah, setelah lewat sehari akan berubah pula menjadi
setan pengisap darah. Aku dengar setan pengisap
darah seperti itu baru bisa mati bila jantungnya
ditusuk dengan kayu bunga Tho
"Oh, jadi kau ingin membuktikan apakah
malam nanti mayat itu akan berubah pula
menjadi setan pengisap darah?"
"Tepat sekali, jawabanmu memang benar,"
kembali Yap Kay tertawa.
Biarpun dinding pekarangan sangat tinggi,
namun bagi Yap Kay hadangan itu
bagaikan seorang anak sedang bermain
lompat tali, dengan mudah dia melampaui
dinding tinggi tadi dan melayang turun di
halaman belakang kebun monyet.
Saat itu waktu menunjukkan mendekati tengah
hari, suasana dalam kebun monyet terasa begitu
hening seperti berada di tengah malam saja, Yap
Kay mencoba mengawasi seputar sana, kemudian
dengan cepat menghampiri sebuah ruangan yang
jendelanya terbuka.
Begitu dekat dinding ruangan, mula-mula Yap
Kay menempelkan telinga di atas dinding, setelah
yakin tak ada suara yang mencurigakan, baru ia
mendorong daun jendela semakin lebar.
Di dalam kamar itu hanya terdapat sebuah
ranjang, tak ada meja, tak ada kursi. Di atas
ranjang pun hanya tersedia sebuah selimut,
sementara pada dinding dekat ranjang tergantung
sebuah rantai besi. Saat itu ruangan dalam
keadaan kosong.
Sesudah melompat masuk lewat jendela, Yap
Kay menghampiri pembaringan itu, dipegangnya
rantai yang tergantung di atas dinding, lalu
diperiksa sejenak.
Ternyata rantai dihubungkan dengan borgol,
tampaknya borgol itu memang disiapkan untuk
memborgol seseorang di situ.
Tapi siapa yang hendak diborgol di sana"
Sambil berpikir Yap Kay meletakkan kembali
rantai borgol itu, menyingkap seprei dan
memeriksa seluruh ranjang dengan seksama.
Padahal ia tak perlu melakukan pemeriksaan
dengan seksama, sebab begitu selimut disingkap,
segera terlihat sejumlah bulu bertebaran di atas
ranjang. Bulu-bulu pendek berwarna kuning emas.
Diambilnya beberapa lembar bulu itu dan
dirabanya dengan seksama, bulu itu terasa
sangat kasar, waktu diendus, tersiar bau busuk
yang aneh. Bau khas seekor monyet!
Mungkinkah kamar itu digunakan untuk
memborgol seekor monyet"
Tapi mengapa monyet itu diborgol di sini" Kalau
susah dilatih, bukankah bisa dikurung dalam
sangkar" Mengapa harus diborgol dalam ruang
kamar yang begini besar"
Seingatnya, monyet berjongkok waktu tidur,
mengapa disediakan ranjang di tempat ini"
Atau mungkin monyet itu sangat besar" Bahkan
jauh lebih tinggi dari manusia"
Menurut analisanya berdasarkan fakta yang
ada, rasanya memang hanya kemungkinan itu
yang masuk akal, Yap Kay pun tertawa, dia
masukkan beberapa lembar bulu itu ke sakunya,
lalu berjalan menuju ke pintu kamar,
membukanya perlahan-lahan dan melongok
keluar. Di luar pintu ada sebuah serambi panjang,
suasana di serambi itu pun hening, di ujungnya
terdapat lagi sebuah pintu.
Dengan kecepatan luar biasa ia segera
menerobos ke sana, sekali berkelebat Yap Kay
telah tiba di sisi pintu di ujung serambi.
Berdasarkan pantauan indra keenamnya, Yap
Kay tahu ruangan itu pasti kosong, maka dia pun
mendorong pintu, tapi tak berhasil.
Rupanya kamar itu terkunci" Tidak mungkin,
bukankah dalam ruangan tak ada penghuninya"
Mengapa justru kamar itu terkunci rapat"
Yap Kay coba memperhatikan bentuk pintu itu
dan mengetuknya beberapa kali, walaupun pintu
itu sepintas mirip pintu kayu, namun kenyataan
merupakan sebuah pintu besi yang dibungkus
kulit kayu, tak heran susah dibuka.
Sebuah pintu besi memang tak gampang untuk
dibuka dengan sekali dorongan.
Dia pun mengerahkan tenaga dalamnya sambil
mendorong kuat-kuat, kali ini pintu besi bergeser
ke dalam hingga terbuka, segulung hawa dingin
tiba-tiba berhembus keluar.
Yap Kay bersin, aneh, di udara yang begini
panas, mengapa dari dalam ruangan justru
berhembus hawa dingin bagai bongkahan es"
Setelah pintu terbuka, kamar itu memang tak
ada penghuninya.
Bukan saja tak ada penghuninya, bahkan dalam
ruangan tidak nampak perabot apa pun,
jangankan meja rias atau meja kursi, sebuah
ranjang yang sederhana pun tak nampak.
Walau begitu, bukan berarti ruangan itu
kosong melompong.
Setelah menyaksikan pemandangan dalam
ruangan itu, Yap Kay segera mengerti apa yang
sebenarnya terjadi, tak tahan muncul hawa dingin
yang menggidikkan di hati kecilnya.
Persis di tengah ruangan terdapat sebuah meja
altar panjang, di atasnya tersedia berderet
bongkahan es beku.
Ternyata hawa dingin itu berasal dari
bongkahan es batu yang memenuhi altar panjang.
Di sekeliling altar tersedia lemari tinggi, lemari
itu terbuat dari batu kristal hingga semua benda
yang berada di dalamnya bisa terlihat jelas,
namun Yap Kay tak bisa mengenali barang apa
saja yang ada di sana.
Lemari itu dipenuhi kotak-kotak bulat, isi kotak
itu adalah cairan seperti arak anggur dari Persia,
hanya warnanya agak sedikit tua dan kental.
Jangan-jangan tempat ini adalah gudang es
untuk menyimpan arak anggur"
Setelah mendekati lemari itu Yap Kay baru tahu
bahwa semua rak lemari diberi label nomor,
semuanya ada empat buah.
"Jenis kesatu", "Jenis kedua", "Jenis ketiga"
dan "Jenis keempat". Jenis apa itu" Masa arak
pun mempunyai jenis"
Sampai hari ini Yap Kay belum pernah
mendengar hal semacam ini, dibukanya lemari
sebelah kanan dan diambilnya sebuah
kotak, lalu dibuka penutupnya.
Tapi begitu diendus baunya, kontan keningnya
berkerut kencang.
Darah, bau darah!
Ternyata isi kotak-kotak bulat itu adalah darah.
Darah sesegar bunga mawar.
Ternyata kotak bulat yang berada dalam lemari
kristal berisikan darah, lalu apa gunanya begitu
banyak darah tersimpan di sana"
Dalam empat buah lemari tersimpan empat
jenis darah, akhirnya Yap Kay tahu kalau jenis
darah pun terbagi jadi empat jenis. Sekarang
baru dia teringat perkataan gurunya bahwa
darah yang mengalir dalam tubuh manusia secara garis
besar terbagi dalam empat jenis darah yang
berbeda. Tak mungkin jenis darah yang berbeda
dicampur-aduk menjadi satu, artinya orang yang
mempunyai darah jenis kesatu hanya bisa di
transfusi dengan darah dari jenis kesatu.
Tentu saja dia pun masih ingat perkataan
gurunya, bahwa untuk menjaga kesegaran darah,
maka harus disimpan dalam suhu yang rendah
dan dingin. Ditinjau dari semua perlengkapan yang tersedia
di sini, dapat disimpulkan bahwa Ong-losiansing
bukan saja mengetahui pembagian jenis darah
manusia, dia pun sangat mengerti cara
menyimpan darah segar.
Tapi untuk apa dia menyimpan begitu banyak
jenis darah"
Kalau dibilang dia adalah seorang tabib sakti
yang suka menolong orang, bisa jadi persediaan
darahnya akan digunakan untuk menolong nyawa
orang, tapi kenyataan dia tak lebih hanya seorang
kakek yang mempunyai banyak uang, untuk apa
persediaan darah itu"
Mungkinkah persediaan darah segar itu ada
sangkut-pautnya dengan berbagai misteri yang
terjadi dalam kebun monyet" Ataukah mungkin
darah itu bukan darah manusia, melainkan darah
monyet" Menyaksikan ruang penyimpan darah yang
dingin membekukan itu, Yap Kay segera merasa
dalam kebun monyet telah bertambah lagi dengan
selapis misteri yang mencurigakan.
Sementara Yap Kay masih termenung,
mendadak dari luar pintu berkumandang suara
langkah manusia, dalam kagetnya ia sudah tak
sempat lagi menerjang keluar ruangan, padahal
sekeliling tempat itu tak tersedia tempat untuk
menyembunyikan diri, apa yang harus dilakukan
sekarang" Dalam pada itu suara langkah manusia
terdengar makin lama semakin dekat.
Pintu besi telah terbuka, tampak dua orang
pemuda berbaju kuning berjalan masuk ke dalam
ruangan. Seorang di antaranya yang
berperawakan agak tinggi membawa dua buah
tabung bambu. Mereka langsung menuju ke rak lemari
bertuliskan "jenis kedua", pemuda yang
berperawakan agak pendek segera mengeluarkan
kotak darah yang isinya paling sedikit dan
membuka penutupnya.
Pemuda agak tinggi itu pun menuang isi kedua
tabung bambu itu ke dalam kotak bulat tadi.
Tentu saja cairan yang mengalir keluar dari
tabung bambu adalah darah segar.
Menanti semua cairan dalam tabung bambu
telah tertuang dan kotak bulat itu sudah ditutup
kembali, pemuda agak pendek itu meletakkan
kembali ke dalam laci sambil katanya, "Heran
juga, aku masih ingat ketika masuk kemari tempo
hari, setiap kotak 'jenis kedua' masih terisi penuh
semua, kenapa sekarang lagi-lagi berkurang
banyak?" "Lagi-lagi" Apa maksudmu lagi-lagi?" tanya
pemuda yang agak tinggi.
"Lagi-lagi maksudnya kejadian seperti ini sudah
terjadi berulang kali, setiap kali masuk kemari,
aku selalu menemukan kotak yang semula sudah
kuisi penuh ternyata telah berkurang banyak."
Pemuda yang agak tinggi itu memandang sekali
lagi kotak darah dalam laci, kemudian gumamnya
sambil menggeleng, "Aku benar-benar tak habis
mengerti, buat apa si tua itu membutuhkan
begitu banyak darah?"
"Si tua" Siapa si tua?"
"Dia adalah.....
Tapi sebelum dia melanjutkan kata-katanya,
pemuda yang lebih pendek telah menyumbat
mulutnya sambil berbisik, "Memangnya kau sudah
bosan hidup?"
"Aku..... "Tak seorang pun berani menyebutnya si tua,"
bisik pemuda itu lagi, baru ia lepaskan
bekapannya setelah memeriksa pintu sekejap,
"hari ini kau berani bicara begitu keras,
memangnya sudah bosan hidup?"
"Dia tak ada di sini, darimana bisa tahu?"
biarpun pemuda agak tinggi itu masih keras
ucapannya, namun ia sudah merendahkan nada
suaranya. "Banyak orang yang suka menyampaikan
laporan demi meraih pahala."
"Tapi di sini hanya ada kau dan aku, tak
ada...." Sebenarnya dia hendak mengatakan "di sini tak
ada orang lain, siapa yang bakal melaporkan hal
ini", tiba-tiba ia teringat kalau rekannya bukankah
seorang juga"
Sambil tertawa paksa ia menepuk bahu
rekannya, katanya pula, "Lauko, dalam kamarku
tersimpan dua guci arak Li ji-ang berusia tiga
puluh tahun, malam ini kita bisa berpesta-pora."
Setelah berhenti sejenak, kembali tambahnya,
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja Laute akan menyediakan hidangan
juga." "Bukankah kedua guci arak itu adalah barang
mestikamu, mana aku berani meneguknya?"
"Lauko, kau kan bukan orang luar, asal Lauko
melupakan apa yang Siaute katakan tadi, apa pun
yang kau kehendaki tentu akan Laute penuhi."
"Tahu rahasia tapi tidak melapor, dosanya bisa
berlipat ganda," kata pemuda agak pendek
berlagak jual mahal.
"Kakakku yang baik, tolong ampunilah aku
sekali ini saja!"
"Hm, kalau bukan melihat hubungan kita
selama ini, aku "Terima kasih Lauko."
Setelah pemuda yang agak tinggi itu mengajak
rekannya keluar ruangan dan baru saja
merapatkan kembali pintu besi, terlihat seseorang
melayang turun dari atas wuwungan rumah
Begitu hinggap di lantai, Yap Kay segera
menggerakkan jari tangan dan kakinya, karena
harus bersembunyi di wuwungan rumah tadi
tanpa bergerak, kini tangan dan kakinya sudah
mulai membeku. Selesai menghangatkan badan, Yap Kay baru
termenung sambil mengulang kembali semua
pembicaraan yang barusan terdengar.
Berdasar pembicaraan kedua orang itu, Yap
Kay menyimpulkan tiga hal. Pertama, cairan
merah yang berada dalam kotak bulat itu adalah
darah manusia. Kedua, semua anak buah Onglosiansing
tak ada yang tahu apa kegunaan darah
itu dan ketiga, Ong-losiansing membutuhkan
darah dalam jumlah banyak sehingga setiap
berapa hari anak buahnya harus mengisi kembali
kotak-kotak itu.
Kini dalam benak Yap Kay bertambah satu
pertanyaan, darimana mereka memperoleh darah
itu" Jangan-jangan... " Tapi... rasanya tak
mungkin. Mana mungkin persoalan ini disatukan dengan
masalah setan pengisap darah"
Tak tahan Yap Kay tertawa geli.
Sebetulnya dia ingin melakukan penyelidikan
lebih lanjut, tapi sayang waktu sudah
menunjukkan 'bukan waktu yang tepat
untuk melakukan pelacakan'. Kini penjagaan
dalam kebun monyet pasti sudah kembali seperti
sedia kala. Berarti dia harus segera mengundurkan diri dari
situ dan selesai menyelidiki kasus setan pengisap
darah malam nanti, besok dia akan menyatroni
kebun monyet lagi.
Taburan bintang semalam belum lagi muncul,
sinar senja hari ini telah tenggelam di langit
barat. Yap Kay segera mencari sebuah tempat yang
strategis dan mulai menyembunyikan diri.
Di halaman belakang rumah nyonya setengah
umur itu terdapat sebuah sumur, tepat di depan
sumur berdiri sebuah pohon tua yang amat besar.
Pohon itu sangat besar dan berdaun lebat, di
situlah Yap Kay menyembunyikan diri, sebab dari
atas pohon bukan saja ia dapat melihat jelas
situasi di sekeliling halaman belakang, bahkan
radius seluas tujuh tombak pun tak akan lolos
dari pengamatannya.
Dengan berbekal dua poci arak dan sejumlah
rangsum ia menanti di atas pohon dengan tenang,
coba kalau bukan sedang menunggu kasus aneh,
menikmati arak di atas pohon pasti sangat
mengasyikkan. Ketika bintang utara pertama baru muncul di
angkasa, Yap Kay telah menghabiskan separoh
poci arak dan mengusir sebagian hawa dingin
yang merongrong tubuhnya.
Posisi mayat masih sama seperti pagi tadi,
berbaring di tengah halaman. Di bawah sinar
rembulan yang baru muncul, terlihat jelas bekas
noda darah pada luka di tengkuk mayat itu telah
membeku dan berubah warna jadi kehitamhitaman.
Bila berita angin yang selama ini beredar benar,
malam ini mayat itu akan berubah jadi mayat
hidup, akan berubah jadi setan pengisap darah.
Benarkah setan pengisap darah tak bisa
dibunuh dengan senjata apa pun" Benarkah
makhluk itu baru terbunuh bila jantungnya
ditusuk kayu runcing dari pohon bunga Tho"
Omong kosong semacam itu biasanya hanya
muncul dalam cerita, tapi sekarang telah muncul
dalam kehidupannya, bayangkan saja apa yang
dilakukan Yap Kay sekarang"
Dia hanya tertawa getir, ya, dia hanya bisa
tertawa getir. Bila malam ini mayat itu benar-benar bisa
hidup kembali, Yap Kay ingin membuktikan, apa
benar setan pengisap darah tak dapat dibunuh
dengan senjata lain, bilamana perlu dia akan
menggunakan kayu runcing dari dahan bunga Tho
untuk menghadapinya.
Sekarang kayu runcing bunga Tho sudah
terselip di pinggangnya.
Andaikata teman-temannya mengetahui
ulahnya itu, bisa jadi mereka akan tertawa hingga
terlepas giginya.
Kalau bukan menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, siapa yang bakal mempercayainya"
Bagaimana pula dengan Yap Kay"
Bila ia benar-benar berjumpa setan pengisap
darah malam ini, apakah dia akan percaya"
Yap Kay tak tahu, ia tak sanggup menjawab
pertanyaan itu.
Ada sementara kejadian, walau sudah kau
saksikan dengan mata kepala sendiri pun belum
tentu akan percaya, apalagi omong kosong yang
tak ada kepastian seperti ini.
Hawa dingin yang terbawa angin barat
membawa serta bau harumnya hidangan kota
Lhasa, teriring juga lagu gembala yang pilu dan
penuh kesedihan.
Ketika mendengar lagu yang memilukan itu,
tiba-tiba Yap Kay teringat akan seseorang.
"Bulan tiga di musim semi, kawanan domba
berpesta rerumputan. Musim salju yang beku,
siapa yang akan memberi makan serigala"
Hati lembut bagai domba, hati keras bagai
serigala. Hati manusia sukar diterka, perasaan manusia
beku bagai salju...."
Siau Cap-it-long!
Di kolong langit hanya Siau Cap-it-long yang
paling memahami serigala, dia pula yang
menaruh simpatik terhadap serigala.
Dia sendiri seolah-olah adalah seekor serigala,
seekor serigala yang kesepian, kedinginan dan
kelaparan. Berkelana di tanah bersalju, tujuannya
tak lain hanya berjuang untuk mempertahankan
hidup. Tak seorang pun di dunia ini yang mau
mengulurkan tangan membantunya, setiap orang
hanya ingin menendangnya, menginjaknya
sampai mampus. Manusia di dunia ini hanya tahu kasihan dan
simpatik kepada domba, jarang ada yang
mengetahui penderitaan dan kesepian yang
dirasakan serigala. Yang dilihat umat manusia
hanya keganasan serigala ketika menerkam
domba, tak pernah menggubris bagaimana
menderita serigala ketika kelaparan di tanah
bersalju, ketika berkelana sendirian di tengah
alam yang sepi.
Ketika domba lapar, dia makan rumput.
Bagaimana kalau serigala sedang lapar" Apakah
dia harus mati kelaparan"
Yap Kay sangat memahami serigala, oleh sebab
itu dia pun sangat memahami Siau Cap-it-long.
Biarpun mereka berdua bukan berasal dari
zaman yang sama, namun Yap Kay sangat
menguasai cerita tentang Siau Cap it-long, setiap
kali teringat akan ceritanya, badannya akan
terasa panas dan darah dalam tubuhnya bergolak
keras. Bukan tanpa sebab secara mendadak Yap Kay
teringat Siau Cap-it-long, sekalipun lagu gembala
yang pilu itu membuat dia teringat akan tokoh
besar itu, namun membuatnya teringat juga
perkataan seorang bijak: Nun jauh di negeri
seberang, konon setiap malam bulan purnama
akan muncul makhluk aneh yang suka menggigit
tengkuk manusia dan mengisap darahnya, di
negeri itu rakyat menyebutnya sebagai manusia
serigala. Kebetulan malam ini bulan purnama.
Yap Kay mendongak memandang rembulan di
angkasa, rembulan yang bulat dan besar, apakah
setan pengisap darah sama seperti manusia
serigala, akan muncul pada malam bulan
purnama" Yang satu terjadi di negeri barat sementara
yang lain berlangsung di negeri timur yang penuh
misteri, biarpun berbeda sebutan, mungkinkah
mereka adalah sejenis makhluk yang sama"
Yap Kay masih teringat cerita orang bijak itu:
Manusia serigala hanya bisa dibunuh dengan
benda yang terbuat dari perak.
Persis seperti setan pengisap darah hanya bisa
dibunuh dengan kayu runcing dari bunga Tho.
Korban yang digigit manusia serigala konon
akan berubah jadi manusia serigala, bukankah
korban yang digigit setan pengisap darah pun
akan berubah jadi setan pengisap darah"
Kelihatannya walaupun manusia serigala bukan
jenis makhluk yang sama dengan setan pengisap
darah, paling tidak mereka pasti punya hubungan
famili. Bulan nampak sangat bulat, bintang bertaburan
di angkasa membiaskan cahaya yang sejuk,
hanya hembusan angin barat yang terasa dingin
membeku. Ketika angin berhembus menggugurkan
dedaunan, tak tahan Yap Kay merapatkan kerah
bajunya, entah lantaran hawa yang dingin atau
membayangkan kejadian menyeramkan,
tubuhnya nyaris meringkuk jadi satu.
Cepat ia mengambil sisa arak setengah poci
dan menenggaknya hingga habis, setelah itu
tubuhnya baru terasa lebih nyaman.
Saat itu tengah malam sudah hampir tiba,
andaikata akan terjadi sesuatu, seharusnya
peristiwa itu sebentar lagi akan berlangsung.
Berpikir begitu, dia pun menggunakan
kesempatan itu untuk menangsal perut agar nanti
sedikit lebih bertenaga.
Baru saja pikiran itu melintas dan hendak
mengambil rangsum siap digigit, tiba-tiba
terdengar suara aneh berkumandang datang.
Suara itu mirip ringkik selaksa kuda yang
sedang berlari bersama.
Menyusul bergemanya suara itu, tampak ada
segumpal cahaya tajam memancar keluar dari
dalam sumur kering dan langsung menyorot ke
angkasa. Sementara suara ringkik aneh itu bergema
makin keras, semburan cahaya itu pun makin
terang benderang.
Tak tahan Yap Kay segera menutup sepasang
telinganya dengan tangan, biarpun dengan segala
kemampuan ia berusaha melihat apa gerangan
yang telah terjadi, sayang pantulan cahaya itu
terlampau kuat, akhirnya mau tak mau terpaksa
dia harus memejamkan mata.
Meski mata telah terpejam, namun dia masih
dapat merasakan betapa kuatnya pancaran
cahaya itu, apalagi gendang telinganya.
Coba kalau dia tidak memiliki tenaga dalam
yang sempurna, saat ini niscaya dia sudah jadi
gila dibuatnya.
Apa yang sebenarnya telah terjadi"
Apakah kejadian ini merupakan irama pembuka
sebelum setan pengisap darah itu muncul"
Bab 2. MASA SEMBILAN BELAS TAHUN
HING BU-BING Dalam sekejap mata, cahaya terang yang
memancar membuat suasana di halaman
belakang berubah jadi terang benderang, dalam
waktu singkat pepohonan bergetar tiada hentinya,
daun dan ranting pohon pun ikut bergoyang dan
menari di udara.
Sejak kapan kumpulan cahaya itu menghilang"
Sejak kapan suara itu berhenti" Yap Kay sama
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali tak tahu, dia hanya tahu seakan-akan
sudah lewat lama, lama sekali, seperti sudah
lewat seabad lamanya.
Meski telinganya tidak lagi terasa sakit
bagaikan ditusuk jarum, namun sisa dengungan
suara masih bergema dalam gendang telinganya.
Biarpun sorot cahaya itu sudah tidak kuat tadi,
namun matanya yang terpejam masih tersisa
bekas sinar yang menusuk pandangan.
Menanti telinganya sekali lagi dapat menangkap
suara deru angin barat, menanti matanya
terbiasa dengan pemandangan di saat
malam, sekujur tubuh Yap Kay basah kuyup
bermandikan keringat dingin.
Apa yang barusan terjadi"
Setelah berhasil menenangkan diri, Yap Kay
mulai memeriksa keadaan di seputar sana,
semuanya tenang, aman, tak terlihat perubahan
apa pun. Ah, tidak, tidak benar, ada sebuah benda yang
telah hilang dari halaman belakang.
Benda apakah itu" Ternyata benda itu tak lain
adalah jenazah lelaki tadi.
Mayat yang sebelumnya masih berbaring di
tengah halaman, sekarang telah berubah jadi
seonggok daun. Dengan cepat Yap Kay melakukan pemeriksaan
di sekeliling halaman belakang, bahkan wilayah
beberapa tombak dari sana pun tak luput dari
pengamatannya, tapi sekeliling sana tampak sepi,
yang ada hanya selapis kabut tipis.
Mayat itu benar-benar hilang.
Benarkah mayat itu telah berubah jadi setan
pengisap darah" Apakah raungan suara dan
pancaran cahaya kuat merupakan perjalanan
yang harus terjadi di saat mayat itu berubah jadi
setan pengisap darah"
Kalau benar begitu, mengapa tak nampak setan
pengisap darah"
Kalau mayat itu benar-benar telah berubah jadi
setan pengisap darah, mengapa dia tak datang
menggigit Yap Kay" Masa setannya tidak melihat
atau tidak merasa"
Atau Jangan-jangan setan itu kabur gara-gara
mengendus bau kayu bunga Tho yang terselip di
pinggang Yap Kay"
Berbagai pertanyaan itu seolah membelenggu
seluruh benaknya, membuat anak muda itu
termangu untuk sesaat.
Akhirnya dia mengambil sepoci arak lagi dan
menenggaknya, sampai arak mengalir ke dalam
perut baru dia menarik napas panjang dan
melayang turun ke bawah.
Dia langsung melayang turun ke sisi gundukan
daun kering itu, kemudian dari sana perhatiannya
dialihkan ke sumur kering, kakinya pun perlahanlahan
melangkah mendekati sumur itu.
Mungkinkah dari sumur kering semacam ini
dapat muncul suara dan cahaya yang luar biasa"
Yap Kay memungut sepotong batu, lalu
ditimpukkan ke dasar sumur.
"Tuk!", memang tak keliru, suara benturan
batu ke atas tanah, dari suara pantulan, tanah di
dasar sumur itu pasti sangat keras, tak mungkin
terdapat ruang atau lorong rahasia.
Perlahan Yap Kay bangkit, sambil bertopang
dagu keningnya berkerut, masa semua yang
terlihat olehnya barusan hanya khayalan pribadi
atau fatamorgana" Sekalipun suara dan cahaya
tajam itu muncul dari khayalan pribadi, lalu
bagaimana dengan mayat itu" Bukankah terbukti
jenazah itu telah hilang"
Bila orang lain yang bertemu kasus seperti ini,
mereka pasti memilih pulang dulu untuk tidur
sampai puas, kalau ada masalah lain, besok baru
dibicarakan lagi.
Sayang Yap Kay bukan manusia semacam itu.
Bila dia adalah manusia semacam itu, tak
mungkin akan muncul banyak kejadian yang
penuh kesedihan, kegembiraan, kemurungan dan
kepiluan. Biar sepintas sumur kering itu tak
menunjukkan pertanda yang mencurigakan,
namun bila Yap Kay tak turun ke bawah dan
melakukan pemeriksaan, selama tiga hari tiga
malam ia pasti tak bisa tidur nyenyak.
Karena itu tak lama setelah mengernyitkan alis,
pemuda itu sudah meluncur masuk ke dasar
sumur. Dasar sumur kering itu memang keras bagai
baja, begitu melayang ke bawah Yap Kay segera
tahu di bawah sana tak mungkin terdapat ruang
rahasia atau sebangsanya, maka seluruh
perhatiannya tertuju ke sekeliling dinding sumur.
Lumut hijau tumbuh subur di dinding sumur,
perhatian Yap Kay pun segera dipusatkan pada
lumut itu. Bukankah sumur ini kering sepanjang tahun"
Mana mungkin di atas tanah yang kering bisa
tumbuh lumut hijau"
Sesudah diperhatikan, sekulum senyuman
segera tersungging di bibir Yap Kay. Tangannya
pun mulai meraba dinding sumur yang penuh
ditumbuhi lumut.
Ketika jari tangannya menyentuh lumut itu,
senyuman yang tersungging semakin mengental,
tiba-tiba dipegangnya lumut itu, lalu ditarik ke
belakang, mendadak lumut yang menempel di
dinding sumur itu terobek sebagian.
Mana ada lumut yang bisa dirobek sebagian"
Sudah jelas lumut yang berada dalam genggaman
Yap Kay saat ini adalah lumut palsu.
Setelah lumut palsu itu terkelupas dari dinding,
kini terlihatlah empat-lima buah lubang bulat
kecil, lalu apa kegunaan lubang kecil itu"
Tampaknya lumut palsu itu memang khusus
ditempel di dinding untuk menutupi keberadaan
lubang-lubang kecil itu.
Mengapa di atas dinding sumur yang kering
bisa muncul lubang-lubang kecil" Apa kegunaan
lubang kecil itu" Ketika semua lumut palsu
dikupas, maka muncul lubang kecil yang lebih
banyak. Yap Kay memasukkan jari tangan ke dalam
lubang itu, ternyata tidak tercapai dasarnya, ini
menunjukkan lubang kecil itu sangat dalam.
Karena gelap gulita, tentu saja ia tak dapat
melihat dengan jelas isi di balik gua, mau
didengar dengan menempelkan telinga pun tidak
terdengar suara apa pun.
Sekali lagi Yap Kay dibuat pusing tujuh keliling,
baru saja berhasil mengungkap rahasia lumut
tempelan, kini terhadang lagi dengan rahasia
lubang kecil. Mengawasi begitu banyak lubang kecil yang
tersebar di dinding sumur, Yap Kay berdiri
termangu, dia benar-benar tak habis mengerti
apa kegunaan lubang itu"
Untunglah di saat kepalanya terasa semakin
pusing, tiba-tiba ia menemukan sesuatu,
dilihatnya antara batu di dinding dengan batuan
yang lain ternyata tidak berada dalam satu garis
lurus, di antara batu dengan batu terlihat ada
sebuah celah. Bebatuan itu ada yang berbentuk besar ada
pula yang kecil, sehingga sekilas pandang dinding
itu nampak tidak rata dan teratur, tapi pada
dinding yang berada satu setengah meter dari
dasar sumur terlihat sederet bebatuan yang justru
tersusun rata. Ketika bebatuan itu sampai di situ, semuanya
tersusun menjadi satu garis datar, tampaknya
tempat itu memang sengaja diatur demikian.
Begitu menjumpai penemuan itu, bukan saja
rasa pusing Yap Kay seketika hilang, senyuman
yang tersungging di ujung bibirnya juga nampak
semakin kental.
Ditatapnya celah yang rata itu beberapa saat,
ia dorong dinding itu ke dalam.
Baru saja menggunakan tiga bagian tenaganya,
dinding itu tahu-tahu sudah amblas ke bawah,
dengan amblasnya dinding sumur, maka
terasalah hawa dingin yang menyengat menerpa
keluar, bahkan diiringi suara mencicit yang sangat
aneh. Yap Kay tahu, gejala itu merupakan akibat
bertemunya udara dari dalam dan dari luar, maka
ditunggunya hingga suara aneh itu lenyap baru
dia melangkah masuk ke dalam pintu rahasia itu.
Lorong itu sangat gelap, sedemikian gelapnya
hingga susah melihat jari tangan sendiri. Apakah
jalan itu lurus" Atau ada belokan"
Terpaksa Yap Kay berjalan sambil berpegangan
dinding, lebih kurang tujuh-delapan tikungan
kemudian secara lamat-lamat baru ia melihat ada
cahaya lentera di kejauhan sana.
Berjalan mendekati sumber cahaya, perasaan
Yap Kay malah tidak setegang tadi, karena
dimana terdapat sumber cahaya di situlah terletak
jawaban semua teka-teki ini, tentu saja tempat
itu merupakan sumber dari segala mara-bahaya.
"Kalau sudah datang, berusaha melakukan
yang terbaik", maksud perkataan itu diketahui
Yap Kay melebihi orang lain, maka dengan riang
dia melanjutkan langkahnya mendekati sumber
cahaya itu. Cahaya lentera sangat lembut, tapi sepasang
mata itu nampak berwarna keabu-abuan.
Begitu tiba di ruangan yang bercahaya, Yap
Kay pun menyaksikan sepasang mata berwarna
abu-abu. Bukan saja abu-abu warnanya, bahkan jauh
lebih dingin daripada salju abadi di puncak Cu mu
lang ma, begitu dingin sehingga membuat aliran
darah siapa pun terasa ikut membeku.
Yap Kay menghindari tatapan mata orang itu,
dan dia pun melihat tangannya.
Tangan kiri orang itu buntung, warna tangan
kanan pun semu abu-abu, seperti tangan mayat
yang baru keluar dari balik peti mati.
Ia mengenakan jubah panjang berwarna hijau
pupus, rambutnya panjang namun tersisir rapi,
kedua alisnya tebal dan rapat, hidungnya
mancung, tapi sayang raut mukanya kelewat
menunjukkan kesepian dan kesendirian.
Bibirnya amat tipis, tapi sekilas pandang dia
seperti orang yang selalu pegang janji. Orang
yang telah mati di tangannya juga sangat banyak,
kelihatan sekali tangannya lebih banyak dipakai
membunuh daripada mulutnya digunakan untuk
berbicara. Sebilah pedang tanpa sarung terselip di
pinggang sebelah kiri.
Pedang itu berwarna hitam pekat, sepekat alis
matanya. Tegasnya pedang itu tak pantas disebut sebilah
pedang, lebih cocok kalau dibilang lempengan
besi sepanjang satu meter yang tidak memiliki
mata pedang, tak punya ujung pedang, bahkan
gagang pedang pun tak ada.
Dia hanya menggunakan dua lembar kayu tipis
yang dipantekkan di ujung lempengan besi dan
menganggapnya sebagai gagang pedang.
Pedang yang dimilikinya memberi kesan seakan
sebuah mainan anak-anak, tapi Yap Kay sadar
justru mainan itu berbahaya sekali dan lebih baik
jangan mencoba untuk bermain dengannya.
Orang itu duduk di bawah cahaya lentera
dengan tenang, tapi punggungnya tetap dibiarkan
tegak lurus, tubuhnya seakan terbuat dari besi
baja, hawa dingin, keletihan, kepenatan dan rasa
lapar tak akan membuatnya takluk dan runtuh.
Di kolong langit seakan tak terdapat kejadian
apa pun yang dapat membuatnya takluk.
Alis matanya yang tebal pekat, matanya yang
besar, bibirnya yang tipis hanya nampak satu
garis, hidungnya yang mancung membuat raut
muka orang ini kelihatan begitu kurus kering, raut
muka itu gampang membuat orang teringat akan
sebongkah batu karang, batu karang yang begitu
keras, kokoh, dingin, sama sekali tak peduli
dengan urusan lain, bahkan terhadap diri sendiri
sekalipun. Menyaksikan tampang orang ini, tak terasa Yap
Kay teringat A Fei, A Fei yang mempunyai
hubungan sehidup semati dengan gurunya.
Ada banyak bagian pada tubuh orang ini yang
mirip A Fei, satu-satunya perbedaan hanya
terletak pada matanya, kalau sinar mata A Fei
selalu memancarkan kehangatan, mata orang ini
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
justru mendatangkan kematian.
Yap Kay percaya, yang selalu didatangkan
pedang milik orang ini adalah kematian.
Tidak ada kehidupan di ujung pedangnya, kiri
kanan pedang pembunuh ganda.
Yap Kay yakin, orang ini pastilah si
pembunuh berwajah dingin Hing Bu-bing,
seorang pembunuh yang angkat nama berbareng
A Fei. Hing Bu-bing!
Yap Kay yakin dugaannya tak keliru, dia
percaya orang yang berada di hadapannya
sekarang adalah Hing Bu-bing, pembantu utama
Siangkoan Kim-hong.
Sebab hanya Hing Bu-bing yang bisa
mendatangkan perasaan kematian bagi siapa pun.
Sekali lagi Yap Kay mengalihkan sorot matanya
mengawasi mata orang itu, sekali lagi mengamati
cahaya abu-abu yang mendatangkan kesan
kematian. Bila orang ini benar-benar Hing Bu-bing, berarti
hari ini Yap Kay bakal menghadapi sebuah
pertarungan paling berbahaya yang belum pernah
dialaminya sepanjang hidup.
Dia masih teringat pesan gurunya, "Walaupun
ilmu silat yang dimiliki Siangkoan Kim-hong jauh
lebih tinggi daripada Hing Bu-bing, tapi dia tidak
sengeri Hing Bu-bing, sebab dia tidak memiliki
hawa kematian yang dimiliki Hing Bu-bing".
"Aku lebih senang bertarung tiga hari tiga
malam melawan Siangkoan Kim-hong daripada
bertarung sesaat melawan Hing Bu-bing".
Itulah perkataan yang pernah disampaikan
Siau-li si pisau terbang tentang Hing Bu-bing. Dia
memang seorang yang sangat menakutkan.
Dan kini Yap Kay telah berjumpa dengannya,
berhadapan langsung dengan Hing Bu-bing.
Dulu Li Sun-hoan belum sempat bertarung
melawan Hing Bu-bing, apakah hari ini Yap Kay
harus mundur sebelum bertarung"
Di ujung lorong bawah tanah merupakan
sebuah ruangan kosong, selain Hing Bu-bing, di
sana hanya terdapat tujuh-delapan buah lentera.
Biarpun cukup banyak lentera yang tersedia,
namun cahaya yang terpancar sangat lembut.
Suara orang itu pun sangat lambat, tak ada nada
suara, juga tak terselip perasaan dan emosi.
Hanya Hing Bu-bing yang bisa mengeluarkan
suara semacam ini.
"Jenis manusia di dunia ini sangat banyak, ada
sebagian orang yang mudah dibunuh, ada pula
sebagian yang susah," mimik mukanya kelihatan
begitu suram dan layu, tapi suara maupun sorot
matanya terasa begitu dingin menggidikkan,
"tangan pun ada banyak jenis, ada yang bisa
membunuh, ada pula yang tak mampu."
Yap Kay tidak menanggapi, tidak bicara, hanya
mendengarkan, mendengarkan dengan seksama.
"Dulu aku tersohor karena menggunakan
tangan kiri, tapi sejak tangan kiriku kutung,
banyak orang menyangka aku hanya seorang
cacat yang tak berguna."
Tak salah lagi, ternyata orang ini benar-benar
Hing Bu-bing. "Oleh karena itu orang-orang itu mampus di
ujung pedang tangan kananmu," Yap Kay
membantunya menyelesaikan perkataan itu.
Perlahan-lahan Hing Bu-bing mengangkat
tangan kanannya, sambil menatap tangan sendiri,
ujarnya, "Sejak usia sebelas tahun aku mulai
berlatih pedang, pada usia lima belas sudah
mampu memainkan pedang kilat. Tapi aku butuh
waktu hampir tujuh tahun lamanya untuk melatih
tangan kiriku memainkan pedang, tahukah kau
apa sebabnya aku berbuat demikian?" "Katakan!"
"Aku selalu percaya, di antara jagoan yang
tangguh pasti terdapat jagoan yang lebih
tangguh. Aku melatih tangan kiriku menggunakan
pedang karena aku yakin suatu ketika nanti pasti
akan bertemu juga dengan musuh yang benarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
benar tangguh, saat itulah pedang tangan kiriku
akan memperlihatkan kebolehannya."
Sesudah berhenti sejenak, terusnya, "Siapa
sangka belum sempat kugunakan kemampuanku,
tangan kiriku sudah keburu buntung."
Tangan kirinya bukan ditebas kutung orang,
tapi dia sendiri yang memotongnya. Walaupun
bahu kirinya terluka lebih dulu karena serangan
Siau-li si pisau terbang, tapi kalau bukan dia
sendiri yang menghujamkan pisau terbang itu
hingga melukai tulang sendinya, tak nanti tangan
kirinya bakal cacat.
Tentu saja Yap Kay mengetahui kejadian ini,
sekalipun bukan diberitahu Li Sun-hoan, namun
berita itu sudah tersebar luas dalam dunia
persilatan. Yap Kay punya telinga, bisa mendengar sendiri,
bisa menganalisa dan mengambil kesimpulan,
oleh sebab itu selama ini dia sangat mengagumi
sepak terjang Hing Bu-bing.
Sepak terjang" Sepak terjang seorang
Enghiong" Apa yang disebut Enghiong" Apakah
sepak terjang Hing Bu-bing selama ini bisa
dianggap sebagai Enghiong" Enghiong
melambangkan apa" Bukankah tak lebih hanya
kesadisan, kekejaman, kesepian dan tidak
berperasaan"
Pernah ada orang menyimpulkan arti Enghiong,
membunuh orang bagaikan mencabut rumput,
suka judi bagai orang kalap, suka minum bagai
orang kehausan, suka main wanita setengah
mati! Tentu saja tidak semua Enghiong berwatak
begitu, masih ada sejenis Enghiong yang lain.
Enghiong semacam Li Sun-hoan.
Tapi ada berapa banyak Enghiong macam Li
Sun-hoan di dunia ini" Namun terlepas Enghiong
macam apakah dia, mungkin hanya satu hal
mereka mempunyai kesamaan, mau menjadi
Enghiong macam apa pun, jelas bukan suatu
perjuangan yang enteng untuk mencapainya.
Hing Bu-bing telah mengalihkan pandangan
matanya dari tangan kanan sendiri ke wajah
Yap Kay yang masih berdiri di depan pintu, lalu
perlahan-lahan memperkenalkan diri, "Aku
bernama Hing Bu-bing!"
"Aku tahu."
"Peristiwa terbesar yang membuatku menyesal
sepanjang masa adalah tak sempat bertarung
melawan Li Sun-hoan," kata Hing Bu-bing lagi,
setelah berhenti sejenak terusnya, "Apakah kau
bernama Yap Kay?"
"Benar. Yap daun dan Kay membuka."
"Jadi kaulah satu-satunya murid pewaris ilmu Li
Sun-hoan?"
"Sayang aku hanya berhasil menyerap duatiga
bagian ilmu silat guruku."
Sekali lagi Hing Bu-bing menatap tajam Yap
Kay. "Mana pisau terbangmu?"
"Ada."
"Dimana?"
"Ditempat seharusnya dia berada," jawaban
Yap Kay sangat hambar. Tempat seperti apakah
seharusnya dia berada" Bagian mematikan di
tubuh lawan"
Jawaban Yap Kay kali ini sangat tepat dan
diplomatis, tentu saja Hing Bu-bing sangat
memahami artinya, oleh sebab itu dari balik
matanya yang keabu-abuan terlintas secercah
cahaya tajam, namun hanya sebentar kemudian
lenyap kembali.
"Bagus, tak ada guru pandai yang tak memiliki
murid hebat," kata Hing Bu-bing hambar, "bila di
masa lalu Li Sun-hoan pun memiliki sifat yang
bebas tak terikat, tak mungkin dia mengalami
nasib yang begitu tragis."
Yap Kay hanya tertawa, menyangkut persoalan
ini dia memang tak pernah mau menj awab.
Tentu saja Hing Bu-bing mengerti maksud Yap
Kay, maka dengan cepat ia berganti topik.
"Tanggal berapa hari ini?" tiba-tiba ia bertanya.
"Bulan delapan tanggal sebelas," lalu Yap Kay
balik bertanya, "apakah hari ini bermakna
khusus?". "Betul," dari balik mata Hing Bu-bing tiba-tiba
muncul cahaya kabur tak jelas, dengan nada
seperti terkenang kembali masa lampau,
terusnya, "Hari ini pada sembilan belas tahun
berselang Siangkoan Kim-hong tewas di ujung
pisau terbang Li Sun-hoan."
Kemudian setelah berhenti sebentar untuk tarik
napas, tambahnya, "Hari ini pada sembilan belas
tahun berselang, aku pun sedang merayakan
ulang tahunku yang kesembilan belas."
Ternyata hari ini adalah hari ulang tahun Hing
Bu-bing, berbareng juga hari ulang tahun
kematian Siangkoan Kim-hong.
Yap Kay menatap tajam wajah Hing Bu-bing,
tampaknya hari ini dia hendak menyelesaikan
semua budi dan dendam yang terjalin selama ini.
Hing Bu-bing menarik kembali sinar matanya
yang kabur, sekali lagi dia menatap wajah Yap
Kay. "Tahun ini aku baru berusia tiga puluh delapan
tahun, namun seandainya aku tidak menyebut
usiaku, dapatkah kau sangka usiaku baru tiga
puluh delapan tahun?"
Yap Kay mengawasi wajah Hing Bu-bing
dengan seksama, bila harus menilai usianya dari
raut mukanya sekarang, siapa pun tak akan
mengira dia baru berumur tiga puluh delapan
tahun. Biarpun wajahnya memiliki cahaya seorang
berusia pertengahan, namun ujung matanya
justru telah dipenuhi kerutan seorang lelaki tua,
sampai pipinya yang menonjol keluar pun sudah
dipenuhi kerutan.
Biarpun rambutnya masih berwarna hitam,
namun jenggotnya sudah banyak yang putih,
biarpun tubuhnya masih keras, tapi siapa
pun dapat melihat semua itu tertopang oleh
penderitaan, siksaan serta rasa dendamnya yang
membara. Kesan yang ditimbulkan atas keseluruhan
tubuhnya bukan hanya kusut dan tua saja,
bahkan lebih tepat kalau dibilang benar-benar
sudah peyot dan rentan.
"Kau memang tidak mirip orang yang baru
berusia tiga puluh delapan," Yap Kay berterus
terang, "paling tidak wajahmu menunjukkan
usiamu sudah mencapai lima puluh delapan
tahun." "Benar, wajahku memang mencerminkan wajah
orang yang telah berusia lima puluh delapan,"
Hing Bu-bing manggut-manggut, "ini disebabkan
selama sembilan belas tahun terakhir aku telah
menjadi jauh lebih tua dari siapa pun."
Menjadi lebih tua sembilan belas tahun dari
orang lain" Memang tak salah, kalau orang lain
sedih paling hanya sesaat, tapi selama sembilan
belas tahun dia harus menanggung derita karena
sedih, pilu dan terbakar api dendam kesumat.
Memang ada dua hal di dunia ini yang gampang
membuat orang menjadi cepat tua, satu karena
cinta, yang lain karena dendam kesumat.
Benih cinta dapat membuat orang sedih hingga
membetot sukma, sementara dendam bisa
membuat orang pilu hingga ke tulang sumsum,
sampai mati pun tak akan reda.
"Sembilan belas tahun sudah lewat," Hing Bubing
menghela napas panjang, "selama sembilan
belas tahun ini hampir setiap saat kunantikan
kesempatan berduel melawan Li Sun-hoan, tapi
hingga hari ini aku baru dapat bertemu
denganmu, dan baru sekarang kusadari akan satu
hal, jangan harap dalam kehidupanku bisa
mengungguli Li Sun-hoan. Tahukah kau apa
sebabnya?"
"Kenapa?"
"Karena dendam kesumat."
"Dendam kesumat?"
"Aku hidup demi dendam kesumat, tapi aku
pun kalah karena dendam kesumat," Hing Bubing
menerangkan, "sekalipun aku berlatih tekun
sembilan belas tahun lagi juga jangan harap bisa
menangkan Li Sun-hoan, sebab hatiku selalu
dibakar oleh rasa dendam yang membara,
sementara Li Sun-hoan memiliki hati pemaaf dan
pengampun."
Yap Kay tidak memahami maksud
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkataannya, tentu saja Hing Bu-bing juga tahu
dia tak paham, maka segera jelasnya, "Dipandang
dari luar, aku memang selalu berusaha
mempelajari ilmu silat Li Sun-hoan, berusaha
menemukan titik kelemahan jurus silatnya.
Setelah berjuang selama sembilan belas tahun,
kuakui memang aku berhasil menemukan titik
kelemahannya, tapi sayang aku tetap tak mampu
mengunggulinya."
Setelah berhenti sejenak, terangnya lebih jauh,
"Sebab selama ini aku hanya berkonsentrasi
mencari pemecahan dalam melawan ilmu
silatnya, sementara kemampuan silatku sendiri
justru terhenti pada posisi sembilan belas tahun
berselang. Padahal Li Sun-hoan tak terbeban
masalah apa pun, jelas dalam sembilan belas
tahun terakhir kungfunya telah mengalami
kemajuan yang lebih pesat...."
Bila ilmu silat tidak dilatih pasti akan
mengalami kemunduran, bila air tidak mengalir
pasti terjadi penyumbatan. Teori ini berlaku dari
dulu hingga sekarang dan tak pernah berubah.
Tapi sayang kebanyakan orang tak dapat
memahami teori ini, tak disangka dalam keadaan
seperti ini Hing Bu-bing justru menyadarinya, dari
sini dapat disimpulkan kalau kungfu yang
dimilikinya saat ini sudah berbeda jauh dengan
sembilan belas tahun silam.
Dapat menyelami berarti ada kemajuan. Teori
ini pun tak pernah berubah sejak dulu.
"Sekalipun aku tahu sulit mengungguli Li Sunhoan,
namun aku tetap akan bertarung
melawannya, karena hal ini menyangkut soal
prinsip," kemudian sambil berpaling ke arah Yap
Kay, tanyanya, "Kau paham?"
"Aku paham," Yap Kay manggut-manggut,
"sama seperti diriku, biarpun tahu dalam
pertarungan hari ini aku bukan tandinganmu,
namun aku tetap akan bertempur melawanmu,
sebab hal ini pun merupakan prinsipku."
Walau sudah tahu bakal mati, tapi tetap juga
bertarung. Karena masalahnya sudah bukan
menyangkut masalah hidup dan mati.
Masalah ini sudah menyangkut pertarungan
antara kaum lurus melawan sesat, kebaikan
melawan kejahatan, kehormatan melawan
penghinaan. Bab 3 . MENGANDUNG ANAKNYA
Sepasang tangan Pho Ang-soat terasa amat
dingin, hatinya pun dingin.
Sebuah kesalahan yang selamanya tak
mungkin bisa dihilangkan telah terjadi, kedua
orang itu tak tahu bagaimana harus berhadapan.
Bila kau jadi Pho Ang-soat, apa yang akan kau
perbuat" Bila kau jadi Hong-ling, apa pula yang akan
kau lakukan"
Menyusul datangnya sinar fajar, kabut
malam berangsur hilang, sinar matahari pagi
mulai menembus daun jendela, menyinari
wajah Hong-ling.
Ia sedang mementang mata lebar-lebar,
mengawasi Pho Ang-soat yang masih berbaring di
sisinya tanpa berkedip.
Pho Ang-soat tak berani balas menatap
wajahnya, dia hanya berharap apa yang terjadi
semalam hanya impian.
Benarkah kejadian semalam hanya impian"
Sekalipun memang impian lalu bagaimana"
Di atas ranjang masih tersisa bau harum yang
tertinggal karena gejolak birahi semalam, bau
harum itu tiada hentinya menyusup masuk ke
lubang hidung Pho Ang-soat, timbul perasaan
yang tak terlukis dengan kata dalam hati
kecilnya. Jendela berada dalam keadaan terbuka, langit
di luar sana pun sudah semakin terang. Langit,
lembah dan pagi hari yang tenang, langit dan
bumi seolah tercekam dalam keheningan.
Namun perasaan Pho Ang-soat justru tak
tenang, pikirannya terasa amat kalut.
Sebentarnya dia adalah seorang yang suka
kebebasan, berkelana seorang diri, berbuat
semau hati, tapi sekarang terjebak dalam
keadaan serba salah, dia tak tahu bagaimana
harus bersikap terhadap Hong-ling.
Sikap Hong-ling sendiri masih seperti sedia
kala, sambil bangun dan duduk dia benahi
rambutnya yang kusut, lalu sambil tersenyum
tanyanya kepada Pho Ang-soat, "Pagi ini kau
ingin makan apa?"
Dalam situasi dan keadaan seperti sekarang,
setelah mereka melakukan hubungan yang begitu
bergairah, ternyata wanita itu masih bisa
bertanya kepadanya dengan nada lembut, ingin
makan apa"
Pho Ang-soat berdiri bodoh, dia betul-betul tak
tahu bagaimana harus menj awab.
Hong-ling mendelik, tegurnya, "He, sejak kapan
kau berubah jadi bisu?"
"Aku... tidak... tidak...."
Kontan Hong-ling tertawa cekikikan. "Ah,
ternyata kau bukan berubah jadi bisu, tapi rada
mirip orang bloon," ejeknya.
Sikapnya terhadap Pho Ang-soat masih seperti
sedia kala, sama sekali tidak berubah, atas
kejadian semalam pun dia sama sekali tak
menyinggung. Dari lagaknya, seakan-akan dia tidak
menganggap peristiwa yang terjadi semalam
sebagai satu masalah serius, dia masih tetap
bersikap sebagai Hong-ling yang dulu.
Mungkinkah peristiwa berasyik-masyuk yang
terjadi di antara mereka semalam dianggapnya
sebagai sebuah impian saja"
Pho Ang-soat tak kuasa menahan diri lagi,
serunya, "Kau.....
Agaknya Hong-ling dapat menebak apa
yang hendak dia ucapkan, segera tukasnya,
"Kenapa denganku" Masa kau pun ingin
mengatakan kalau aku pun orang bloon" Kau
tidak kuatir kujitak kepalamu sampai bocor?"
Kini Pho Ang-soat sudah mengerti niat Hongling,
tampaknya dia sudah bertekad tak akan
menyinggung lagi peristiwa semalam, hal ini
dikarenakan dia tak ingin kedua belah pihak
sama-sama menderita dan tersiksa gara-gara
kejadian itu. Pho Ang-soat menatapnya lembut, tiba-tiba
muncul perasaan haru yang tak terlukiskan
dengan kata, sekalipun dirinya dapat melupakan
kejadian semalam, namun perasaan haru dan
terima kasihnya tak pernah akan terlupakan
untuk selamanya.
"Kau tak ingin bangun?" kembali Hong-ling
menegur sambil memperlihatkan senyumannya
yang khas, "masa kau ingin berbaring terus di
atas ranjang?"
"Aku tak ingin," akhirnya Pho Ang-soat ikut
tertawa, "biarpun aku seorang bloon, paling tidak
masih belum segoblok seekor babi."
Selama hidup mungkin Pho Ang-soat belum
pernah menikmati sarapan selezat hari ini.
Tentu saja hal ini menurut anggapannya. Paling
tidak sarapan hari ini dilahap dalam suasana hati
yang amat riang dan gembira.
Riang pasti ada, tapi mengapa harus gembira"
Dia sendiri pun tak sanggup memberi penjelasan.
Dia hanya merasa dadar telur hari ini sangat
harum, ca rebungnya amat manis, ca sayurannya
amat lezat, bahkan nasi yang mengepul pun
terasa nikmat. Sehabis sarapan pagi, Pho Ang-soat membuat
sepoci air teh dan duduk di halaman depan sambil
menikmati indahnya sinar matahari pagi.
Seusai bebenah dalam dapur, Hong-ling ikut
muncul di halaman muka sambil tersenyum,
kepada Pho Ang-soat katanya, "Hari ini aku
hendak turun gunung sejenak."
"Turun gunung" Mau apa?" tanya Pho Ang-soat
tertegun. "Aku ingin membeli barang di dusun terdekat."
"Membeli barang" Apakah kau butuh barang di
sini?" kata Pho Ang-soat terperanjat.
"Tidak, hanya secara tiba-tiba aku ingin
membeli sedikit barang," sahut Hong-ling sambil
tersenyum, "bukankah membeli barang adalah
sebuah kenikmatan, apalagi untuk seorang
wanita." Pho Ang-soat manggut-manggut,
menghamburkan uang memang termasuk salah
satu kenikmatan, tentu saja dia mengerti akan
teori itu. "Membeli barang memang merupakan suatu
pekerjaan yang menyenangkan, terlepas barang
yang kau beli berguna atau tidak, namun sewaktu
membeli kau akan merasakan satu kenikmatan,"
Hong-ling menerangkan, "padahal wanita sendiri
juga tahu, terkadang barang yang dibeli belum
tentu berguna, tapi setelah melihatnya mereka
tetap tak tahan untuk membeli. Tahukah kau apa
sebabnya begitu?"
Pho Ang-soat tidak tahu.
"Hal ini dikarenakan mereka suka dengan sikap
jilat pantat yang dilakukan pelayan toko," ujar
Hong-ling lagi sambil tertawa, "sudah lama aku
tak menikmati perasaan semacam itu, maka hari
ini aku berniat menikmati lagi bagaimana
enaknya jilat pantat."
Pagi ini udara memang terasa lembut, sampai
hembusan angin pun terasa indah. Pho Ang-soat
duduk tak bergerak di tengah halaman, hari ini ia
benar-benar menikmati kehidupan yang indah.
Hong-ling sudah setengah jam meninggalkan
rumah, sebelum pergi dia berjanji akan pulang
sebelum tengah hari.
Kini jarak dengan tengah hari masih satu jam
lebih, Pho Ang-soat mulai merasa sedikit lapar,
dia berharap tengah hari segera tiba.
Perasaannya saat ini sungguh aneh, dia bukan
lapar karena ingin makan, tapi dia amat
menyukai suasana rumah ketika bersantap.
Biarpun Hong-ling baru setengah jam
meninggalkan rumah, namun dia merasa seolah
sudah ditinggal setengah tahun lamanya, hatinya
begitu gundah dan tak tenang, seperti seorang
perjaka yang untuk pertama kalinya jatuh cinta,
selalu berharap datangnya waktu untuk
berjumpa. Mirip juga seorang bocah yang mencuri makan
gula-gula, lalu bersembunyi di balik selimut
sambil menikmatinya, selain senang, dia pun
kuatir ketahuan orang.
Seorang lelaki yang telah berusia tiga puluh
tahunan ternyata masih malu-malu macam
perjaka, membayangkan keadaan dirinya, tanpa
terasa Pho Ang-soat tertawa getir.
Andaikata Yap Kay mengetahui kejadian ini, dia
pasti akan tertawa terbahak-bahak saking
gelinya. Teringat akan Yap Kay, tanpa terasa timbul lagi
perasaan kuatir di hati kecil Pho Ang-soat,
kemana saja dia telah pergi" Apakah telah balik
ke Ban be tong" Ataukah melanjutkan
penyelidikannya atas kehidupan Be Khong-cun"
Bagaimana keadaannya sekarang" Apakah
bertemu ancaman bahaya maut"
Begitu teringat Yap Kay, Pho Ang-soat merasa
malu sendiri, ternyata demi seorang wanita dia
telah belasan hari bersembunyi di situ, ternyata
demi seorang wanita dia telah meninggalkan
sahabat, tidak menggubris keselamatan
temannya lagi. Ai! Kalau dahulu, biar dihajar sampai mampus
pun tak bakal dia lakukan, tapi sekarang ... dia
telah melakukan semua itu.
Ah, tidak bisa begini terus! Kalau ingin
kehidupan di kemudian hari dilewatkan dengan
tenang, kau harus segera kembali ke Ban be tong
untuk membantu Yap Kay, kalau tidak hati
nuranimu pasti tak bakal tenang.
Pho Ang-soat memutuskan akan
memberitahukan rencananya pada Hong-ling
setelah ia kembali nanti, besok dia harus
meninggalkan tempat itu selama beberapa hari,
bagaimana pun dia tak boleh berpeluk tangan
membiarkan rekannya menderita.
Ia yakin Hong-ling pasti mengerti dan
memakluminya. Di saat penantian, waktu selalu terasa seolah
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjalan sangat lambat.
Dengan susah payah akhirnya tiba juga saat
tengah hari, tiba-tiba Pho Ang-soat merasa
hatinya semakin tegang, matanya mengawasi
terus jalanan setapak di luar pintu tanpa
berkedip. Matahari tepat di tengah langit, hawa panas
yang menyengat membuat kening Pho Ang-soat
dibasahi oleh keringat, bukan berkeringat karena
hawa yang kelewat panas, ia berkeringat karena
hingga sekarang Hong-ling belum juga kembali.
Setelah tiba saatnya, waktu pun seolah
berubah jadi amat cepat, Pho Ang-soat berusaha
menghibur diri sendiri, sebentar lagi dia pasti
akan kembali, buat apa dirinya panik" Kan belum
benar-benar lewat tengah hari.
Entah berapa lama telah lewat, kini matahari
telah bergeser ke langit barat.
Hembusan angin masih tetap seperti hembusan
angin pagi, awan pun masih sama seperti pagi
tadi. Namun dalam perasaan Pho Ang-soat, seluruh
dunia seakan telah berubah, berubah total,
berubah jadi hampa.
Hingga kini dia masih tetap duduk di ruang
tengah, cahaya matahari senja yang memancar di
wajahnya membuat parasnya yang pucat berubah
jadi kuning keemas-emasan.
Magrib sudah menjelang tiba.
Hingga kini Hong-ling belum juga terlihat
kembali, bayangan pun tak nampak.
Perasaan gelisah Pho Ang-soat kini telah
berubah jadi perasaan kuatir, dia kuatir Hong-ling
telah menjumpai masalah, apakah ia sudah
dihadang seseorang" Atau suatu peristiwa telah
menimpanya" Jangan-jangan Be Khong-cun telah
mengirim orang lagi dan mencegatnya di tengah
jalan" Sekarang ia mulai menyesal, mengapa pagi tadi
ia memberi izin kepadanya untuk pergi seorang
diri" Mengapa bukan pergi bersama dirinya"
Kalau kemarin jagoan yang dikirim Be Khongcun
bisa melakukan pembokongan di tempat itu,
besar kemungkinan hari ini mereka akan
menghadang di tengah jalan.
Berpikir sampai di situ, Pho Ang-soat makin
panik, kalau bisa dia ingin segera menyusul ke
dusun terdekat.
Tapi baru saja melangkah keluar pintu,
kembali pemuda itu ragu, kalau sekarang ia
menyusul ke kota sementara Hong-ling
kebetulan kembali, bukankah mereka berdua
bakal bersimpangan jalan"
Ketika Hong-ling tiba di rumah dan tidak
melihatnya, ia pasti mengira dirinya telah pergi,
dia pasti mengira dirinya sudah tak sudi
melihatnya lagi, khususnya sesudah peristiwa
yang terjadi semalam.
Walaupun langkahnya telah terhenti, namun
perasaannya tetap tak menentu, sulit baginya
untuk mengambil keputusan. Pergi" Atau tidak
pergi" Kalau tidak pergi, dia pun kuatir wanita itu
menjumpai masalah di dusun terdekat.
Kalau pergi, dia pun kuatir mereka
bersimpangan jalan hingga tercipta salah paham
yang mendalam. Sepanjang hidup belum pernah Pho Ang-soat
menjumpai masa pelik seperti ini, sulit
mengambil keputusan.
Magrib telah menjelang tiba.
Bau bunga liar di atas bukit terbawa angin dan
terendus hingga ke dalam ruangan.
Suasana dalam rumah kayu terasa hening,
sepi. Jalan setapak yang tak merata di tanah
perbukitan tampak bagaikan seutas ikat pinggang
emas di bawah timpaan cahaya senja, meliuk-liuk
di antara pepohonan nan hijau.
Pho Ang-soat betul-betul gelisah setengah
mati, dia benar-benar habis daya dan tak tahu
apa yang harus dilakukan. Seluruh pakaiannya
telah basah kuyup bermandikan keringat.
Taburan bintang di langit masih seperti
keadaan semalam, angin malam berhembus
membawa bau harumnya nasi dari kejauhan, Pho
Ang-soat baru teringat sekarang, sudah seharian
ia belum mengisi perut.
Cahaya lentera di rumah penduduk di kaki bukit
telah menerangi langit yang gelap, tapi kegelapan
malam justru serasa menyelimuti Pho Ang-soat
yang panik. Gelisah, panik, tak tenang dan kini ditambah
ngeri bercampur takut membuat Pho Ang-soat
balik kembali ke dalam rumah tanpa daya,
bagaimana pun dia harus menyalakan lentera
lebih dahulu. Setelah menyalakan geretan dan menyulut
sumbu lentera, cahaya terang pun menyinari
seluruh ruangan.
Mendadak Pho Ang-soat menyaksikan sesuatu,
sepucuk surat, ya, sepucuk surat terpampang di
depan mata. Surat" Apakah ia meninggalkan pesan"
Apakah pesan yang ditinggalkan Hong-ling"
Dengan tangan gemetar Pho Ang-soat
mengambil surat itu, membuka sampulnya dan
membaca isinya.
Tulisan pertama yang melompat masuk ke
dalam pandangan matanya adalah "Pho Angsoat",
nama dirinya. Tak salah lagi, surat itu memang peninggalan
Hong-ling. Ternyata dia telah menyiapkan semua
itu, sementara dirinya sendiri masih
mencemaskan keselamatannya bagai seorang
tolol. Isi surat amat singkat, tapi cukup membuat
hati Pho Ang-soat seperti terjerumus dalam
kubangan salju.
Pho Ang-soat, Aku tahu, dalam hidupku selanjutnya tak
mungkin lagi bisa membunuhmu, tapi kau telah
membunuh seorang sanakku, dendam ini harus
kubalas. Maka akan kubawa pergi benih anak
yang tertinggal dalam rahimku sekarang, paling
tidak aku pun dapat memusnahkan seorang
sanakmu. Tertanda, Hong-ling.
Bukan saja perasaan Pho Ang-soat saat ini
berubah jadi dingin, seluruh tubuhnya serasa
kaku, dalam benaknya berulang kali mengulang
kata-kata dalam surat itu, "Kubawa pergi benih
anak yang tertinggal dalam rahimku". Benih
anak" Benih anak yang mana"
Apa maksud perkataannya itu"
Benih anak" Darimana datangnya benih anak"
Masa baru saja mereka lakukan semalam... lalu
sudah berbentuk benih anak"
Surat itu sudah terjatuh ke tanah, Pho Ang-soat
mengertak gigi, tangan menggenggam golok. Dia
merasa sedih sekali, hatinya serasa diremas
hingga hancur-lantak, diremas sangat kuat.
Cahaya lentera sangat keruh.
Lentera yang menyinari warung arak seakan
selalu mendatangkan perasaan pilu yang
mendalam. Arak pun tampak keruh.
Lampu dan arak yang keruh, kini semuanya
terpampang di hadapan Pho Ang-soat.
Sepuluh tahun berselang ia pernah mabuk, dia
tahu mabuk sama sekali tak dapat melupakan
segalanya, tapi sekarang dia ingin sekali mabuk.
Sepuluh tahun berselang ia pernah merasakan
derita karena cinta, dalam anggapannya kini ia
sudah sanggup bertahan atas penderitaan
semacam itu, tapi kini, secara tiba-tiba ia
membuktikan penderitaan semacam itu memang
susah ditahan dan dihadapi.
Arak yang keruh telah memenuhi cawan
kasarnya, ia putuskan untuk meneguk habis arak
kegetiran ini. Arak getir suatu kehidupan.
Tapi sebelum tangannya meraih mangkuk arak
itu, sebuah tangan yang muncul dari sisinya telah
merampas mangkuk arak itu. "Kau tak boleh
meneguk arak semacam ini."
Tangan itu sangat besar, kuat dan kering,
sekuat dan sekering nada suaranya.
Pho Ang-soat tak mendongakkan kepala, dia
kenal pemilik tangan itu, dia pun kenal suara itu .
. . Siau Piat-li memang seorang yang kuat tapi
kering. "Kenapa aku tak boleh meneguknya?"
"Kau boleh minum, tapi bukan minum arak
semacam ini," jawab Siau Piat-li hambar.
Dari kursi rodanya Siau Piat-li mengeluarkan
sepoci arak dan meletakkannya ke atas meja,
selesai membuang isi mangkuk tadi, dia tuang
lagi dengan arak lain.
Sepuluh tahun berselang kau pernah mabuk
satu kali. Mimik muka Siau Piat-li tidak menampilkan
rasa simpati, juga tiada perasaan iba, dia hanya
menuang arak ke dalam mangkuk Pho Ang-soat
dan mendorong ke hadapannya.
Minumlah! Pho Ang-soat memang hanya ingin
mabuk. Arak yang getir dan pedas bagai segumpal bara
api langsung menyambar tenggorokan Pho Angsoat.
Sambil mengertak gigi ia teguk habis isi cawan,
memaksakan diri untuk bertahan, agar tak
sampai batuk. Namun air matanya nyaris mengucur keluar.
Siapa bilang arak itu manis"
"Itulah arak Siau to cu!"
Kembali Siau Piat-li menuang untuk mangkuk
kedua. Ketika arak mangkuk kedua mengalir masuk
tenggorokannya, ia merasa arak itu jauh lebih
nikmat, ketika mangkuk ketiga ditenggak,
mendadak dari hati kecil Pho Ang-soat timbul
semacam perasaan yang sangat aneh.
Sepuluh tahun berselang dia pun pernah
merasakan keadaan seperti ini.
Lampu di meja yang redup seakan menjadi
terang kembali, tubuh yang semula kaku dan
hampa, tiba-tiba terasa berubah, kini dipenuhi
tenaga kehidupan yang aneh.
Dia seakan telah melupakan semua kepiluan
dan kepedihan hatinya, namun jarum yang
menusuk serasa masih tertinggal dalam hati.
Siau Piat-li menatap tajam wajahnya,
tiba-tiba ia berkata, "Sepuluh tahun
berselang kau pernah berusaha
menghancurkan diri sendiri karena seorang
wanita, sepuluh tahun kemudian apakah
kau akan mengulang kembali sejarahmu"
Hancur hanya dikarenakan seorang wanita?"
"Dari... darimana kau tahu?" cepat Pho Angsoat
mendongakkan kepala balas menatap Siau
Piat-li. "Ketika seorang menderita dan tersiksa karena
cinta, keadaannya tak jauh berbeda seperti
sebatang pohon yang semula hijau segar tiba-tiba
menjadi layu," kata Siau Piat-li hambar, "bukan
saja Hong-ling tak pantas untuk kau kenang,
pada hakikatnya tak pantas kau tangisi karena
kepergiannya."
"Kau. . . kau pun tahu. . . tahu tentang
persoalan ini. ..." suara Pho Ang-soat terdengar
mulai gemetar. "Aku tahu," Siau Piat-li manggut-manggut,
"tentu saja aku tahu."
"Dari... darimana kau bisa tahu," penderitaan
yang terpancar dari mata Pho Ang-soat semakin
mengental, "tahukah kau, penderitaanku bukan...
bukan disebabkan dia pergi meninggalkan aku,
tapi... tapi dikarenakan... karena....
"Karena dia hendak membunuh darah
dagingmu bukan?" Siau Piat-li bantu
menyelesaikan perkataan itu.
Setiap saat, entah berapa banyak kenangan
yang melintas"
Ada penderitaan tentu ada pula kegembiraan.
Ada saat kikuk, tentu ada pula saat mesra.
Pelukan penuh birahi yang terjadi semalam,
cumbu rayu yang penuh kemesraan, kini telah
berlalu, semuanya tinggal kenangan.
Desahan napas, cucuran keringat, luapan birahi
yang telah terukir hingga ke lubuk hati, apakah
kini harus dilupakan semuanya"
Bagaimana kalau selamanya tak terlupakan"
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaimana pula kalau selalu teringat"
Dua orang yang tidak seharusnya menjadi satu,
dua orang yang seharusnya terikat dendam,
bagaimana mungkin bisa terikat dalam satu
kesatuan" Kehidupan, kehidupan macam apakah ini"
"Aku telah mendapatkan bibit darah
dagingmu."
"Aku akan memusnahkan seorang sanakmu."
Sanak" Darah daging" Kalau memang darah
dagingku, apakah bukan darah dagingmu juga"
Tegakah kau melakukannya" Tegakah kau bunuh
darah dagingmu sendiri"
Benarkah ada kejadian seperti ini di dunia yang
fana" Bekas air mata telah muncul di wajah Pho Angsoat,
serat darah telah muncul di bibirnya yang
kering, tangannya digenggam kencang kini
berubah jadi putih pucat.
Mabuklah, dalam keadaan seperti ini lebih baik
mabuklah. Yang bisa dia lakukan kini hanya meloloh diri
dengan arak wangi, agar dirinya mabuk, agar
sakit hatinya terlupakan untuk sesaat.
Jarum tajam telah menghujam hatinya, jarum
tajam yang dingin.
Tak ada yang bisa membayangkan betapa
dalam penderitaannya saat ini, betapa
tersiksanya dia sekarang.
Kecuali benci dan dendam, untuk pertama
kalinya dia menyadari bahwa di dunia masih
terdapat sebuah siksaan lain yang jauh lebih,
menakutkan daripada rasa benci dan dendam.
Yang dihasilkan rasa benci tak lebih hanya ingin
memusnahkan musuh besarnya, tapi siksaan
karena cinta justru dapat memusnahkan diri
sendiri, dapat memusnahkan seluruh dunia.
Baru sekarang ia sadar, ternyata tanpa disadari
dirinya benar-benar sudah jatuh cinta kepada
Hong-ling, itulah sebabnya ia sangat menderita.
Kau telah membunuh kerabatku, maka aku pun
akan membunuh kerabatmu.
Inikah yang disebut pembalasan"
Dia tak berani percaya bahwa di dunia terdapat
cara pembalasan seperti ini, namun kenyataan
telah tertera di depan mata, dapatkah kau tidak
mempercayainya"
Malam di musim panas.
Bintang masih bertaburan di angkasa, angin
malam pun masih berhembus sepoi menggoyang
dedaunan. Bintang masih tampak, rembulan pun masih
terlihat, tapi kemana perginya si dia"
Tiga belas hari, mereka telah hidup bersama
tiga belas hari.
Tiga belas siang dan tiga belas malam, waktu
berlalu sedemikian cepat, dalam sekejap semua
kenangan bermunculan dalam benaknya.
"Kau... darimana kau bisa mengetahui
persoalanku?" seru Pho Ang-soat agak terkejut.
"Tentu saja aku tahu. Bahkan aku pun
mengetahui rahasia yang tidak kau ketahui."
"Rahasia apa?"
"A-jit datang untuk membunuhmu, Hong-ling
datang untuk membalas dendam, pengepungan di
rumah kayu, Ting-tong bersaudara meloloh
perempuan itu dengan arak perangsang,
kemudian kalian pun berhubungan badan...
padahal semuanya itu sudah tersusun rapi dalam
sebuah rencana, rencana besar yang sudah
dirancang untuk sebuah intrik j ahat."
"Intrik jahat" Maksudmu kejadian semalam aku
dan dia... semuanya merupakan hasil rancangan,
sebuah rencana besar?" "Benar."
"Aku... aku tak percaya."
"Sayang kau harus mempercayainya."
"Apa... apa tujuan mereka berbuat demikian?"
"Mereka memang sengaja berbuat begitu agar
kau menghancurkan dirimu sendiri, agar kau
menderita," Siau Piat-li menjelaskan, "sebab
mereka tahu, bukan pekerjaan gampang untuk
membunuh manusia macam kau. Tapi satusatunya
titik kelemahan yang kau miliki adalah
masalah cinta, bila ingin membunuhmu, satusatunya
cara adalah membuat kau patah hati,
biar kau menderita, biar kau tersiksa hingga
akhirnya menghancurkan diri sendiri."
Dia tatap wajah Pho Ang-soat sekejap,
kemudian ujarnya lebih lanjut, "Itulah sebabnya
mereka mengatur rencana ini, serangkaian siasat
berantai, untuk menjebakmu dan
menghancurkan kehidupanmu."
Lambat-laun gejolak emosi dalam dada Pho
Ang-soat mulai reda, memandang cawan arak di
tangan, beberapa saat kemudian baru ia
bertanya, "Siapa mereka" Kalau dilihat sepintas,
seharusnya Be Khong-cun."
Sebelum orang lain menanggapi, kembali dia
menambahkan sendiri, "Padahal bukan."
"Benar."
Pho Ang-soat menatap Siau Piat-li lekat-lekat,
mengawasi dengan pandangan dingin, kemudian
tegurnya, "Darimana kau bisa tahu tentang
rencana busuk ini?"
Siau Piat-li tidak langsung menjawab,
ditatapnya dulu wajah Pho Ang-soat dengan
tenang, setelah termenung sesaat, dia penuhi
cawan sendiri dan meneguknya hingga habis,
setelah itu dengan suara yang hambar ujarnya,
"Karena semua rencana itu adalah hasil
rancanganku."
"Hasil rancanganmu?"
"Benar."
"Tidak salah?" tegas Pho Ang-soat agak emosi.
"Tidak salah."
Bab 4. MELAKUKAN PERJALANAN JAUH
Tentu saja Siau Piat-li dapat melihat otot-otot
hijau merongkol di tangan Pho Ang-soat, tangan
yang menggenggam golok, tentu dia pun telah
melihat hawa membunuh yang terpancar dari
balik matanya, akan tetapi dia tetap acuh, tak
ambil peduli, dia tetap duduk tenang di kursi
rodanya. "Jadi semua rencana busuk ini hasil
rancanganmu?" sekali lagi Pho Ang-soat bertanya.
"Benar," jawab Siau Piat-li hambar, "namun hal
itu terjadi pada sepuluh tahun berselang."
"Sepuluh tahun berselang?" sekali lagi Pho
Ang-soat terkesiap, "sejak sepuluh tahun
berselang kau telah merancang intrik busuk itu
dan menunggu sepuluh tahun kemudian baru
dilaksanakan?"
"Tidak, rencana ini telah dijalankan sejak
sepuluh tahun lalu," tiba-tiba Siau Piat-li tertawa,
"hanya saja sepuluh tahun kemudian, ternyata
ada orang lain yang mencoba mengulangi semua
rencanaku ini. "
Karena Pho Ang-soat tak mengerti, maka Siau
Piat-li menjelaskan lebih jauh, "Sepuluh tahun
berselang, ketika aku belum mengetahui dengan
jelas wajah Be Khong-cun yang sebenarnya, saat
itu aku memang membantunya menghadapimu,
maka aku pun merancang siasat yang khusus
tertuju pada titik kelemahanmu, yaitu mengatur
pertemuanmu dengan Cui long. Tujuanku adalah
membiarkan kau menaruh cinta kepadanya, lalu
perempuan itu mencampakkan dirimu agar kau
patah hati dan menghancurkan diri sendiri, saat
itulah kau jadi lemah dan kami pun dapat dengan
mudah membereskan nyawamu."
Setelah tertawa ringan, kembali lanjutnya,
"Sungguh tak disangka sepuluh tahun kemudian
ternyata kelompok Be Khong-cun kembali
mengulangi siasat itu dengan mengirim seorang
wanita macam Hong-ling."
Berbicara sampai di situ, ia menatap
Pho Ang-soat sekejap, kemudian terusnya,
"Tak nyana ternyata kau lagi-lagi
terjebak, dengan cara yang sama kau ingin
menggunakan arak untuk melarikan diri dari
kenyataan."
Hembusan angin di kota kecil itu sama
dinginnya dengan hembusan angin di atas bukit,
tapi Pho Ang-soat merasakan munculnya hawa
panas dalam tubuhnya, karena ia sudah mulai
tertarik dengan ucapan Siau Piat-li.
"Maksudmu kemunculan Hong-ling ini pun
merupakan bagian dari rencana busuk mereka"
Ingin menggunakan dia seperti Cui long sepuluh
tahun berselang?" tanya Pho Ang-soat.
"Benar."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, kemudian
secara ringkas dia pun bercerita bagaimana si
Golok lengkung A-jit muncul mencarinya, lalu
Hong-ling ingin balas dendam, kemudian ia
membawanya ke rumah kayu untuk merawat
lukanya, bagaimana Ting tang hengte melolohnya
dengan obat perangsang dan akhirnya terjadi
hubungan badan dengan dirinya.
Dia pun bercerita apa yang terjadi hari ini,
bagaimana Hong-ling meninggalkan surat dalam
rumah dan pergi meninggalkan dirinya.
Dengan seksama Siau Piat-li mendengarkan
cerita ini, kemudian sambil tertawa ujarnya, "Kau
benar-benar dibuat linglung. Hubungan badan
baru terjadi semalam, tidak menjamin dia pasti
akan mengandung bibit darah dagingmu,
semisalnya di kemudian hari dia memang
hamil....Ditatapnya Pho Ang-soat sekejap,
kemudian melanjutkan,
"Cinta seorang ayah berbeda dengan cinta
seorang ibu, seorang ayah baru mencintai
anaknya sejak si jabang bayi lahir dari rahim
ibunya. Sejak pandangan pertama itulah seorang
ayah baru belajar mencintai anaknya.
Pho Ang-soat bungkam, dia hanya
mendengarkan. "Berbeda dengan cinta ibu, cintanya alami,
sejak dia mulai hamil, sejak sang jabang bayi
mulai terbentuk dalam rahimnya, si ibu sudah
mulai tumbuh rasa cintanya, cinta pada calon bayi
yang berada dalam rahimnya."
"Biarpun sang bayi belum lahir, namun sang ibu
sudah menaruh perhatian khusus kepadanya. Jadi
kesimpulannya, cinta ibu adalah alami sedang
cinta ayah baru terbentuk secara perlahan-lahan."
Baru pertama kali ini Pho Ang-soat mendengar
ada orang menjelaskan perbedaan antara cinta
seorang ibu dan ayah.
Kembali Siau Piat-li berkata setelah tertawa
lebar, "Tahukah kau, ada begitu banyak wanita di
dunia ini yang mula-mula sangat membenci benih
dalam kandungannya akibat perkosaan, tapi
tatkala mereka yakin dirinya mulai mahir, bukan
saja rasa benci itu hilang, bahkan mereka sangat
berharap bisa melahirkan si bocah dengan
selamat, tahukah kau karena apa?"
"Karena cinta seorang ibu?"
"Benar. Terlepas siapa ayah bocah itu, terlepas
bocah itu bisa lahir disebabkan peristiwa apa,
namun kehamilan dapat membuat seorang wanita
belajar menjadi ibu, dapat mengubah rasa benci
mereka menjadi cinta."
Walaupun Pho Ang-soat masih mendengarkan,
namun sorot matanya telah dialihkan ke tempat
jauh, memandang suatu tempat nun jauh di sana.
"Sekalipun Hong-ling benar-benar ingin
membunuh sanakmu, ingin membunuh bocah itu,
tapi di saat benihnya telah berwujud jabang bayi
dalam rahimnya, rasa benci itu pasti akan segera
berubah menjadi cinta seorang ibu," Siau Piat-li
kembali menegaskan. "Oleh karena itu, biarpun si
perancang rencana busuk itu ingin berbuat
begitu, Hong-ling pasti akan berusaha sekuat
tenaga melindungi darah dagingnya."
Oh perempuan, sebenarnya manusia seperti
apakah perempuan itu" Pho Ang-soat merasa
dirinya benar-benar tak paham tentang wanita.
Bukan hanya dia yang tak paham, ada berapa
banyak lelaki di jagad ini yang benar-benar
memahami wanita"
Malam telah berakhir, sinar fajar kembali
muncul di ufuk timur.
Dalam hati Pho Ang-soat sudah tak ada lagi
jarum tajam yang mengganjal, ia telah
mengambil keputusan untuk melacak peristiwa ini
hingga jelas. Walau harus membayar mahal,
harus mempertaruhkan keselamatan jiwanya, dia
ingin tahu siapa dalang di balik semua itu.
Cepat dia menarik kembali sorot matanya dari
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kejauhan dan memandang sekejap warung arak
itu. Cahaya lentera tetap terasa redup, arak pun
masih keruh, dia mengambil secawan arak,
kemudian dengan sikap yang amat tulus katanya
kepada Siau Piat-li, "Kuhormati secawan arak
untukmu." "Menghormati aku?" tanya Siau Piat-li
terperanjat. "Sebetulnya aku tak patut minum arak lagi,
tapi secawan ini aku harus tetap
menghormatimu," kata Pho Ang-soat, "karena
kau telah membantu melepaskan simpul mati
dalam hatiku."
"Bukan aku yang melepaskan simpul mati itu,
kau sendiri yang melakukan," tiba-tiba Siau Piat-li
tertawa, "biarpun begitu, semangkuk arak ini
tetap akan kuterima, sebab merupakan peristiwa
yang langka bila Pho Ang-soat mau menghormati
orang lain dengan secawan arak."
Arak yang mereka minum bukan arak
kegirangan, bukan juga arak kesedihan, tapi arak
pembangkit semangat antara seorang lelaki
dengan lelaki lain.
Dengan cepat kedua isi mangkuk itu sudah
berpindah ke perut mereka berdua, begitu
mangkuk diletakkan, Siau Piat-li segera mengisi
lagi dengan arak wangi.
"Kali ini akulah yang akan menghormati
secawan untukmu," kata Siau Piat-li sambil
mengangkat cawan araknya, "karena sehabis
meneguk arak ini, kau harus melakukan
perjalanan jauh."
"Perjalanan jauh?"
"Benar, kau harus berangkat ke pusat tempat
ibadah orang Tibet, kota Lhasa."
"Ke Lhasa" Kenapa aku harus berangkat ke
Lhasa?" "Demi Yap Kay."
"Yap Kay?" Pho Ang-soat tertegun, "apakah dia
terancam mara-bahaya?"
"Dia telah lenyap."
Cahaya sang surya menembus awan yang
tebal, menyinari tiang bendera yang tak terlalu
tinggi. Biarpun bendera di atas tiang masih berkibar
ketika terhembus angin, namun sudah tidak
sementereng dan segagah apa yang pernah
disaksikan Pho Ang-soat dulu, walaupun bendera
itu masih merupakan bendera kebesaran Kwan
tang ban be tong.
Meski bendera itu masih bertuliskan Ban be
tong, namun sebagian besar sudah dalam kondisi
bekas terbakar, bukan saja bentuk panji itu
kumuh dan robek, bahkan sudah banyak
ditempeli sarang laba-laba.
Dari bentuk panji itu dapat diketahui bahwa
perubahan tidak terjadi dalam waktu singkat,
paling tidak sudah sepuluh tahun lamanya.
Sepuluh tahun. Kegagahan dan pamor Ban be tong seakan
sudah lenyap ditelan bumi, apa yang terlihat kini
tak lebih hanya rumah bobrok, rumah kumuh
yang pernah dilihat Pho Ang-soat ketika malam
pertama tiba di tempat itu.
Rumah yang setengah roboh, dinding pagar
yang sebagian telah mengelupas, debu dan
kotoran bertebaran, seluruh kompleks bangunan
itu nyaris terbengkalai.
Sepuluh tahun kemudian, secara mengejutkan
dan mengherankan bangunan Ban be tong pulih
penuh kegagahan dan mentereng seperti semula,
lalu secara aneh dan tidak dimengerti berubah
jadi terbengkalai dan bobrok lagi.
Apa yang sebenarnya telah terjadi"
Menyaksikan perubahan yang sama sekali tak
terduga ini, Pho Ang-soat berdiri terperangah,
setengah bodoh dibuatnya.
"Maka dari itu aku memaksamu datang kemari
untuk menengok keadaan yang sebenarnya,"
terdengar Siau Piat-li berkata, "kalau tidak kau
saksikan sendiri, siapa pun tak akan percaya
kenyataan ini. "
"Mengapa bisa berubah begini" Sejak kapan
semuanya terjadi?" tanya Pho Ang-soat.
"Sejak tiga belas hari berselang, hari kedua
setelah kau mengajak Hong-ling meninggalkan
tempat ini."
Pho Ang-soat berpikir sejenak, kemudian
tanyanya lagi, "Apakah perubahan terjadi dalam
semalaman, berubah secara aneh dan ajaib?"
"Benar. Malah kali ini aku berada di tempat
kejadian."
Pho Ang-soat tidak paham kata-katanya itu.
"Hari kedua sepeninggalmu, saat pihak Ban be
tong mengerahkan segenap kekuatannya melacak
jejakmu, tiba-tiba kutemui Be Khong-cun, meski
waktu pertama kali berjumpa denganku dia
nampak terkejut, namun biarpun aku teliti dengan
lebih seksama pun tidak kujumpai pertanda dia
itu gadungan."
Secara ringkas Siau Piat-li menceritakan
pengalamannya pada saat itu.
"Dia melayani aku dengan hangat, kami berdua
pun berbincang sambil minum arak di dalam
kamar bacanya, yang dibicarakan hanya seputar
rahasia pribadiku dan Be Khong-cun."
"Rahasia yang tak mungkin diketahui orang
lain?" "Benar. Itulah sebabnya pada waktu itu aku
curiga Be Khong-cun besar kemungkinan adalah
Be Khong-cun yang telah mati sepuluh tahun
berselang dan kini hidup kembali," kata Siau Piatli,
"bicara punya bicara, tiba-tiba secara tak
kusadari ternyata aku telah mabuk berat, waktu
itu sudah tengah malam."
"Kemudian?"
"Kemudian sewaktu sadar kembali, ternyata
hari sudah terang tanah. Biarpun aku masih
duduk di kamar baca tempat kami minum arak
semalam, namun semua pemandangan telah
berubah, menjadi keadaan seperti apa yang kau
saksikan sekarang."
"Kemana orang-orang itu?"
"Tak ada orang, tak seorang pun yang
terlihat."
"Tak ada orang" Semua jagoan Ban be tong
yang bangkit kembali dari kematian ikut lenyap?"
"Benar."
Sepuluh tahun berselang Ban be tong telah
dimusnahkan, semua penghuninya telah mati,
tapi sepuluh tahun kemudian secara aneh dan tak
masuk akal mereka muncul kembali.
Kini secara aneh dan tak masuk akal mereka
lenyap kembali tak berbekas.
Sebenarnya apa yang telah terjadi"
Pho Ang-soat pernah bertemu So Ming-ming,
dari mulut gadis itu dia pun tahu Yap Kay
berangkat ke Lhasa karena ingin menyelidiki
kebun monyet, tempat dimana Pek Ih-ling yang
seharusnya Be Hong-ling pernah tinggal.
Di saat mendengarkan penuturan So Ming-ming
tentang Yap Kay yang berangkat ke kota Lhasa,
dia mendengarkan dengan seksama dan teliti. Tak
sepotong kata pun yang tercecer.
Ketika mendengar Hong-ling di rumah
keliningan, walaupun hati kecilnya merasa amat
sakit, namun perasaan duka itu tak sampai
ditampilkan di wajah.
Tentu saja Pho Ang-soat pun tahu Yap Kay
lenyap karena masalah setan pengisap darah,
justru karena persoalan itulah So Ming-ming
khusus mendatangi kota kecil itu dan mengajak
Siau Piat-li berunding.
Itu pula sebabnya Siau Piat-li memaksa
menghormati Pho Ang-soat dengan secawan arak
sambil mengatakan dia bakal melakukan
perjalanan jauh.
Kini Ban be tong telah pulih dalam keadaan
yang sesungguhnya, bangunan yang tinggal
puing, bobrok dan terbengkalai. Be Khong-cun
dan para begundalnya juga lenyap. Kemana
semua orang itu telah pergi"
Tampaknya jawaban atas teka-teki itu hanya
bisa ditemukan di kota Lhasa.
Oleh karena itu Pho Ang-soat bersama So Mingming
segera berangkat ke kota Lhasa.
Bab 5. RUMAH PHO ANG-SOAT
Lhasa. Di pegunungan nan hijau dan pepohonan yang
terbentang luas, dari kejauhan terlihat secara
lamat-lamat bangunan istana serta dinding kota.
Langit amat bersih, istana Potala di bawah
cahaya terang terlihat begitu megah dan keren.
Pho Ang-soat sama sekali tak menyangka, nun
jauh di luar perbatasan ternyata terdapat tempat
yang begitu indah, keindahannya begitu megah
dan penuh misteri, keindahannya membuat orang
terbuai dan terpikat, keindahan yang membuat
orang jadi mabuk.
Bangunan benteng didirikan sepanjang batu
karang membuat bangunan kuno ini tampak
gagah dan menakjubkan.
Seluruh kota Lhasa nampak begitu indah
bagaikan dalam impian, untuk sesaat Pho Angsoat
dibuat terperana, termangu-mangu saking
kagumnya. Bagaimana dengan Hong-ling" Apakah dia telah
kembali ke rumah keliningan"
Bagaimana rasanya bila orang yarig
mendampinginya sekarang adalah Hong-ling"
Manusia memang sangat mengherankan, di
saat hatinya sedang tersentuh oleh keindahan,
mengapa semakin sulit baginya melupakan
seseorang yang ingin sekali dilupakan"
Bangunan kuno bagaikan selembar kulit hasil
samak, ada bagian yang licin dan indah, ada pula
bagian yang kasar dan jelek. Jalanan di luar kuil
Tay-cau-si merupakan sisi lain dari kota Lhasa.
Sepanjang jalan terlihat sampah berserakan,
kawanan pengemis tua dengan pakaian kumal,
berkepala gundul, bertelanjang kaki berdiri di
sepanjang jalan sambil menyodorkan tangannya
meminta sedekah.
So Ming-ming memang sengaja mengajak Pho
Ang-soat melalui jalanan itu, sebab ia pernah
berkata kepada gadis itu, "Aku tak ingin tinggal di
rumahmu, aku pun tak ingin tinggal di tempat
yang kotor."
Karena itulah So Ming-ming mengajak Pho Angsoat
menuju ke jalan itu, sebab di sini terdapat
sebuah penginapan yang tidak terlalu menyolok
dan jarang didatangi orang.
Merek dagang rumah penginapan ini pun
sangat hebat, sekali pandang orang akan
terkesan olehnya.
Penginapan itu bernama penginapan Sau-lay
(jarang yang datang).
Kalau nama penginapannya nyentrik,
pemiliknya pun nyentrik.
Lopan pemilik rumah penginapan Sau-lay
adalah seorang lelaki setengah baya berusia
empat puluh tahunan, walaupun dandanannya tak
jauh berbeda dengan kebanyakan orang, namun
bila keesokan harinya tamu yang menginap di
sana belum juga membayar ongkos sewa kamar,
maka dengan wajah tak berperasaan dia akan
berkata kepada tamunya, "Pergilah! Ingat, lain
kali jangan kemari lagi."
Bayangkan saja, apakah manusia semacam ini
tak pantas disebut manusia eksentrik"
Kamar yang tersedia di rumah penginapan Saulay
tidak berbeda jauh dengan kamar losmen di
wilayah Kanglam, sebuah ruangan yang
sederhana dengan sebuah lampu minyak dan
perabot seadanya.
Tapi begitu Pho Ang-soat masuk ke dalam
kamar penginapan Sau-lay, paras mukanya
kontan berubah hebat, berubah jadi amat jelek
seolah baru saja melihat setan.
Sebenarnya setan itu tidak menakutkan,
banyak orang tidak takut setan.
Pho Ang-soat pun tidak takut, jauh lebih berani
dibandingkan sebagian besar orang.
Apalagi dalam ruang kamar itu memang tak
ada setannya. Setiap benda, setiap perabot yang tersedia di
sana persis barang-barang yang tersedia di
losmen lain. So Ming-ming memang kurang begitu tahu
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentang Pho Ang-soat. tapi selama dua hari
belakangan ini dia tahu pemuda itu bukan
termasuk orang yang mudah terperanjat. Tapi
kini dia pun dapat melihat Pho Ang-soat benarbenar
dibuat terperana.
Dia tidak bertanya kepada Pho Ang-soat, "Apa
yang telah kau lihat?"
Sebab apa yang bisa dilihat pemuda itu, dia
pun dapat melihat jelas. Tapi dari sekian banyak
benda yang dapat dilihat olehnya, tak satu pun
yang bisa membuatnya ketakutan.
Yang terlihat olehnya hanya sebuah ranjang,
meja, beberapa bangku, meja rias, lemari baju
dan sebuah lampu minyak, semua barang amat
sederhana dan sudah kuno.
Apa yang dilihat Pho Ang-soat hanya barangbarang
itu, tak seorang pun yang tahu apa
sebabnya dia begitu ketakutan"
Jangan-jangan kamar ini adalah sebuah kamar
setan" Sebuah kamar yang dipenuhi setan, iblis
dan roh gentayangan" Sebuah kamar yang akan
mencekik dan menyiksa dirimu"
Kalau memang begitu, mengapa So Ming-ming
sama sekali tidak merasakan"
Jangan-jangan kawanan setan iblis itu hanya
menyatroni Pho Ang-soat seorang"
So Ming-ming ingin sekali bertanya padanya,
mengapa sikapnya berubah jadi begitu, namun ia
tak berani, tampang Pho Ang-soat saat ini
kelewat menakutkan.
Mimik mukanya sekarang seperti setan,
perlahan-lahan ia duduk bersandar dinding dekat
meja kayu, duduk di bangku bambu kuno.
Begitu duduk, paras mukanya kembali berubah,
berubah semakin kalut tak keruan, di samping
rasa gusar yang membara, dia pun
memperlihatkan perasaan cinta dan kangen yang
seakan selamanya sulit dihilangkan dari
benaknya. Sebuah kamar losmen sederhana mengapa
dalam waktu sekejap dapat membangkitkan dua
macam perasaan yang saling bertentangan"
Kembali So Ming-ming ingin bertanya, namun
dia tetap tak berani.
Tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Walaupun Hoa
Pek-hong bukan ibu kandungku, namun ia sudah
memelihara dan mendidikku selama delapan belas
tahun." Masalah budi dan dendam antara Pho Ang-soat,
Yap Kay dan Be Khong-cun telah didengar So
Ming-ming dari penuturan Siau Piat-li, karena itu
dia pun tahu siapakah Hoa Pek-hong yang
dimaksud. "Biarpun sepanjang hidupnya selalu terkurung
dalam rasa benci dan dendam, namun dia orang
berhati lembut," gumam Pho Ang-soat.
Yap Kay lenyap tak berbekas, Be Khong-cun
ikut menguap, teka-teki seputar Ban be tong
belum terurai, mengapa di saat dan keadaan
seperti ini mendadak Pho Ang-soat menyinggung
Hoa Pek-hong"
Kembali So Ming-ming ingin bertanya, tapi lagilagi
tak berani, maka terpaksa dia hanya
mendengarkan Pho Ang-soat berkata lebih lanjut.
"Selama delapan belas tahun, dia yang
memelihara dan mendidik aku hingga dewasa,
meskipun dia pun selalu melolohku dengan
masalah dendam, namun dia pun amat
mencintaiku, merawatku dengan penuh kasih
sayang," ujar Pho Ang-soat perlahan.
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Aku
sengaja memberi tahu hal ini kepadamu karena
aku ingin kau tahu, meskipun Hoa Pek-hong
bukan ibu kandungku, namun dia telah memberi
kehangatan keluarga kepadaku."
Sebetulnya dia seorang anak yatim piatu,
secara tiba-tiba memiliki rumah, merasakan
hangatnya berkeluarga, meski perempuan itu
bukan ibu kandungnya, namun telah mendidik
dan memeliharanya.
Budi pemeliharaan lebih tinggi dari langit.
Tentu saja So Ming-ming mengerti teori ini.
Tiba-tiba Pho Ang-soat bangkit, berjalan
menuju ke tepi jendela, mendorongnya hingga
terbuka dan memandang kegelapan yang mulai
mencekam jagad.
Setelah lama termenung, kembali ia berkata,
"Selama delapan belas tahun aku tinggal di
sebuah rumah batu, dalam rumah batu itu hanya
terdapat sebuah ranjang, meja, beberapa bangku,
lemari baju, meja rias dan sebuah lampu
minyak." Setelah memandang lagi kegelapan malam
beberapa saat, ia pun berkata lebih jauh, "Semua
barang yang ada dalam kamar ini berasal dari
dalam rumah batu itu."
Akhirnya So Ming-ming mengerti juga apa
sebabnya paras muka Pho Ang-soat berubah
begitu hebat sejak masuk ke dalam kamar ini.
Ternyata setiap benda yang ada di sini,
semuanya dipindahkan dari rumah batu yang
pernah ditempatinya bersama Hoa Pek-hong.
Tapi siapa yang telah memindahkan kemari"
Sudah pasti ulah dalang yang berada di balik
kekuatan Ban be tong, bisa jadi dia pula yang
menjadi penyebab hilangnya Yap Kay.
Tidak bisa disangkal si dalang pasti telah
menemukan tempat tinggal Hoa Pek-hong dan
besar kemungkinan pada saat ini Yap Kay telah
terjatuh ke cengkeraman sang dalang.
So Ming-ming hanya mengawasi Phe Ang-soat
dari kejauhan, untuk sesaat dia tak berani
mengusiknya. Air mata mulai mengembeng, berkumpul di
balik kelopak mata, untung tak sampai mengucur,
hanya di saat kesedihan yang paling puncak, air
mata baru boleh mengucur.
Kalau Pho Ang-soat belum menangis, maka air
mata So Ming-ming telah membasahi pipinya, dia
sangat memahami hubungan batin antara Pho
Ang-soat dan Hoa Pek-hong.
Dengan mulut membungkam dia awasi
bayangan punggung Pho Ang-soat yang kesepian,
sesaat kemudian ia berbalik badan dan beranjak
keluar ruangan.
Tetapi sebelum dia melangkah keluar,
terdengar Pho Ang-soat berkata, "Kau tak perlu
keluar." "Tak perlu keluar?" So Ming-ming
menghentikan langkah sambil berpaling,
"apakah kau tahu aku hendak kemana" Dan mau
berbuat apa?"
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Tak bakal memperoleh jawaban apa pun,
sudah pasti bukan pemilik losmen yang
memindahkan barang-barang itu kemari, bahkan
belum tentu dia tahu siapa yang
memindahkannya kemari."
Orang yang hendak dicari So Ming-ming
memang Lopan pemilik losmen Sau-lay.
Setelah lampu minyak disulut, cahaya semu
kuning menerangi seluruh kamar, Pho Ang-soat
masih berdiri di tepi jendela, mengawasi
kegelapan malam di kejauhan.
Cahaya rembulan terasa begitu lembut,
sementara taburan bintang berkedip-kedip.
Apakah cahaya rembulan dan bintang di tempat
ini sama menariknya dengan rembulan dan
bintang di rumah batu yang pernah ditempati Pho
Ang-soat" Sewaktu lampu mulai menyala, So Ming-ming
telah beranjak pergi dari situ.
Pho Ang-soat yang minta dia untuk pergi,
sebab malam ini dia perlu beristirahat dengan
sebaik-baiknya, dia harus menyimpan tenaga,
harus meningkatkan kewaspadaan, kesensitipan
dan perasaannya hingga ke tingkat paling tinggi.
Sebab yang bakal menyongsong dirinya besok
adalah masa depan yang tak terbayangkan.
Di bawah sinar rembulan, bukit bersalju nun
jauh di sana terlihat memantulkan cahaya
keperakan, membuat suasana di jalan yang kalut
itu sedikit lebih romantis.
Suasana romantis di tepi perbatasan.
Sepasang mata Pho Ang-soat sudah hampir
tinggal satu garis lurus, biarpun badannya terbuat
dari besi baja, kini sudah tak sanggup menahan
perubahan yang terjadi secara bertubi-tubi,
apalagi seharian ini dia disergap masalah yang
berat, termasuk masalah ibu angkatnya.
Di kala Pho Ang-soat mulai merasa lelah, ingin
beristirahat itulah mendadak dari sudut jalan ia
lihat seseorang yang sangat dikenal berkelebat,
sesosok tubuh gadis bertubuh ramping.
Begitu melihat orang itu, alis Pho Angsoat
segera bekernyit, cepat dia melompat
bangun, melompat keluar lewat jendela
dan mengejar ke jalan raya.
Angin malam yang dingin berdesir lewat di sisi
telinga Pho Ang-soat, tak selang berapa lama
kemudian Pho Ang-soat telah mengejar orang
yang sangat dikenalnya itu hingga pinggiran kota.
Antara tebing karang dengan pohon kaktus
berdiri sebuah gardu segi delapan, ketika tiba di
sana, orang itu berhenti dan berdiri tenang dalam
gardu. Pho Ang-soat ikut berhenti, berhenti di luar
gardu, mengawasi punggung orang yang berdiri
semampai, secercah kehangatan terlintas dari
balik matanya yang dingin dan kesepian.
Hong-ling" Apakah Hong-ling yang berdiri
dalam gardu itu" Ya, pasti dia. Sebab pakaian
yang dikenakan tak lain adalah pakaian yang
dikenakan sewaktu pergi meninggalkan dirinya.
Pho Ang-soat merasa detak jantungnya
semakin cepat, bibirnya gemetar saking emosi,
sesaat dia tak tahu apa yang mesti dibicarakan.
Malam bertambah larut, rembulan pun masih
bulat, bahkan hembusan angin malam yang
begitu dingin pun terasa lebih lembut dan hangat,
sehangat hembusan angin di musim semi.
"Baik... baikkah kau?"
Pho Ang-soat benar-benar tak tahu apa yang
mesti diucapkan, terpaksa hanya beberapa patah
kata itu yang diucapkan.
Orang yang berdiri dalam gardu kelihatan
sedikit bergerak, tapi seperti juga sama sekali tak
berkutik. Ketika ditunggu sampai lama belum juga
nampak ia bergerak, akhirnya Pho Ang-soat
berkata lagi, "Meng... mengapa kau harus pergi?"
Pho Ang-soat menundukkan kepala,
katanya lagi, "Apakah semua yang kau tulis
dari suratmu merupakan ketulusan hatimu?" Tibatiba
orang itu menghela napas sedih.
"Baru berkenalan tiga belas hari, sudah begitu
besar perhatianmu terhadapnya, apakah dalam
pandanganmu, aku tak mampu melebihi dia?"
Kembali terdengar helaan napas amat pedih,
kemudian orang dalam gardu itu baru perlahanlahan
membalikkan badan.
Di bawah sorotan cahaya rembulan yang
lembut, terlihat jelas raut muka bayangan itu.
Sekarang Pho Ang-soat baru dapat melihat
jelas siapakah orang itu, ternyata dia tak lain
adalah Pek Ih-ling yang semestinya Be Hong-ling.
"Rupanya kau?"
"Kecewa?" kembali sinar pedih terpancar dari
balik mata Pek Ih-ling, "kau tak menyangka
bukan?" Bara api cinta yang baru akan menyala seketika
sirna kembali, sorot mata Pho Ang-soat kembali
dingin dan hambar, bahkan terselip sedikit
kepiluan. "Kemunculanmu memang tepat waktu, aku
memang sedang mencarimu," ujar Pho Ang-soat
dingin. "Mencari aku" Mencari aku untuk menanyakan
masalah Be Khong-cun?" kata Pek Ih-ling sambil
tertawa pedih. "Sebenarnya siapakah kau?" tanya Pho Angsoat
sambil menatap tajam wajahnya.
"Siapa aku?" sekali lagi Pek Ih-ling tertawa
sedih, "sebenarnya siapakah aku?"
Setelah memutar biji matanya yang sayu dan
menatap sekejap wajahnya, ia melanjutkan, "Aku
tak lebih hanya sebuah keliningan kecil. "
"Keliningan kecil?"
"Ya, keliningan kecil, bila ada orang
menggoyang aku, maka aku pun berdenting, jika
Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang tidak menggoyangku, aku pun
terbungkam."
Dari balik mata Pek Ih-ling seolah terlihat
cahaya air mata, tambahnya, "Keliningan kecil,
coba kau dengar, bagus bukan namaku ini?"
Kembali ia menghela napas panjang, sekarang
baru ia tahu, entah itu Pek Ih-ling atau Be Hongling,
semuanya mempunyai masa lalu yang pedih
dan penuh kesedihan.
Mengapa seorang yang tak pernah gembira
selalu bertemu dengan orang tak pernah gembira
lainnya" "Setiap orang yang hidup di dunia ini terkadang
memang tak bisa lari menjadi keliningan orang
lain, kau adalah keliningan orang, siapa bilang
aku tidak?" ujar Pho Ang-soat hambar, "bisa jadi
orang yang menjadikan kau sebagai keliningan
pun sesungguhnya sudah terikat tali orang lain
dan dijadikan keliningan juga."
Pek Ih-ling kembali menatap wajah pemuda itu,
lama kemudian baru ia menghela napas panjang.
"Ternyata watakmu tidak sedingin dan sesadis
penampilanmu, tapi heran, mengapa ada begitu
banyak orang yang justru menginginkan
kematianmu?"
Setelah tertunduk sedih, terusnya, "Padahal
ada pula kematian sementara orang yang justru
membuat orang lain merasa gembira, meski ada
juga yang kematiannya membuat banyak orang
bercucuran air mata
Mendadak dia mendongakkan kepala,
menatapnya sekejap. "Seandai nya kau yang
mati, aku pasti akan mengucurkan air mata. Oleh
karena itu lebih baik kau segera pergi, semakin
jauh semakin baik, semakin cepat semakin
bagus." "Oya?"
"Jangan kau sangka kedatanganmu di Lhasa
merupakan sesuatu yang amat rahasia, padahal
semua gerak-gerikmu, sepak terjangmu sudah
berada dalam perhitungan orang lain."
Kembali Pek Ih-ling memperlihatkan rasa
kuatirnya yang besar, "Semakin lama kau
berada di Lhasa, hanya kematian yang bakal
kau dapat."
Tiba-tiba Pho Ang-soat menggunakan
pandangan matanya yang mendalam menatap si
gadis, memandang begitu lama sampai gadis itu
merasa j engah dan menundukkan kepala.
"Pergilah!" ucap pemuda itu, "aku pun tak ingin
menyusahkan dirimu."
"Kau minta aku pergi?"
"Padahal sudah seharusnya aku tahu siapa
dirimu," kata Pho Ang-soat, "semula aku ingin
mencari tahu jejak mereka dari mulutmu, tapi
sekarang Mendadak ia menghentikan perkataannya.
"Bagaimana sekarang?"
Pho Ang-soat tidak bicara lagi, dia
membalikkan badan, lalu menggunakan
langkahnya yang aneh beranjak pergi dari situ.
"Kau akan pergi begitu saja?"
Pho Ang-soat tidak berhenti, begitu dia mulai
melangkah, sulitlah untuk berhenti, biarpun tahu
di depan mata menghadang kematian, tak bakal
dia menghentikan langkah.
"Kalau kau pergi begitu saja, hanya kematian
yang bakal kau hadapi," hampir menjerit Pek Ihling
meneriakkan perkataan itu.
Pho Ang-soat seolah tidak mendengar teriakan
itu, dia sudah pergi jauh, biar terdengar pun apa
pula yang akan dilakukan"
Air mata mengembeng di mata Pek Ih-ling
akhirnya meleleh jatuh ke bawah, membasahi
pipinya. Ketika terkena cahaya rembulan segera
terpantul cahaya yang sendu.
Sambil mengawasi bayangan punggung yang
mulai lenyap di balik kegelapan, gadis itu berdiri
termangu, rasa pilu dan sedih semakin kental
tercermin di balik wajahnya.
Sebuah tangan penuh bekas luka yang kuat
dan besar menjulur mengangsurkan selembar
sapu tangan ke depan wajah Pek Ih-ling.
"Lupakan dia, anakku!"
Ketika Pek Ih-ling berpaling, Be Khong-cun
sudah berdiri di belakangnya dengan wajah
sendu, dengan penuh kasih sayang ia bantu
menyeka air mata di pipinya.
Gadis itu tak kuasa menahan rasa sedihnya
lagi, ia menangis tersedu-sedu, sambil memukuli
dada Be Khong-cun yang bidang, jeritnya,
"Kenapa" Kenapa harus begini?"
"Karena kita semua hanya keliningan orang
lain," jawab Be Khong-cun sambil menepuk bahu
putrinya. Mendengar ucapan itu, tangisan Pek Ih-ling
semakin memilukan, sambil menggigit bibir
jeritnya, "Ayah!"
BAGIAN V. CINTA DAN DENDAM DI
BALIK GOLOK Bab 1. DUEL DI GARDU
Sewaktu tersadar kembali, Yap Kay merasa
mulutnya kering, bahkan lamat-lamat dadanya
terasa sedikit sakit, dia tahu inilah gejala pertama
yang dirasakan setelah tersadar dari pengaruh
obat pemabuk. Pertama kali membuka matanya tadi,
kepalanya masih terasa agak pening, ia tak tahu
berada dimanakah dirinya sekarang, secara
lamat-lamat dia hanya teringat bagaimana dirinya
roboh terkapar.
Berada dalam sumur kering, sebuah ruang
rahasia di ujung lorong panjang, ketika dia tahu
di sana telah menanti Hing Bu-bing, dia pun sadar
hari ini pasti akan terjadi pertarungan yang amat
sengit. "Walaupun aku tahu bukan tandinganmu, tapi
hari ini aku tetap akan bertarung melawanmu,"
ujar Yap Kay dengan suara hambar, "ada berapa
banyak Hing Bu-bing di kolong langit" Bila aku
tidak bertarung melawanmu hari ini, mungkin
sulit bagiku untuk mencari seorang lawan macam
kau di kemudian hari."
Setiap orang yang berlatih silat, ketika ilmu
silatnya telah mencapai puncak kesempurnaan,
dia akan merasa amat kesepian, sebab sampai
waktu itu sulitlah baginya untuk menemukan
seorang lawan tangguh yang sesungguhnya.
Oleh karena itulah ada sementara orang yang
tak segan mencari kekalahan, karena dia
beranggapan asal dapat bertemu seorang lawan
tangguh yang sesungguhnya, biar kalah pun tetap
membuat hatinya gembira.
Tapi Hing Bu-bing tahu perasaan Yap Kay saat
ini bukanlah demikian, dia justru siap berduel
karena semuanya itu demi Li Sun-hoan .
Bila hari ini Yap Kay mundur sebelum
bertarung, menandakan Siau-Li si pisau terbang
telah kalah di tangan Hing Bu-bing.
Perbuatan itu bukan saja akan mempermalukan
nama baik perguruan, Yap Kay pun tak akan
memaafkan diri sendiri.
Sebagai seorang lelaki sejati lakukanlah apa
yang bisa kau perbuat, ajaran ini sudah lama Yap
Kay serap dari ajaran yang diberikan Li Sun-hoan
kepadanya. Oleh sebab itu biarpun hari ini mesti mati, dia
tetap akan melayani tantangan Hing Bu-bing.
Dalam ruang rahasia tak ada angin, tapi sudah
dipenuhi hawa membunuh yang pekat.
Pedang belum dilolos dari sarungnya, namun
hawa pedang sudah menyergap tubuh orang,
seluruh ruang rahasia telah dipenuhi hawa
membunuh yang serius dan menyeramkan.
Sepasang mata Hing Bu-bing yang keabuabuan
mengawasi terus tangan Yap Kay,
mengawasi tanpa berkedip, sebab dia tahu
tangan itu adalah tangan yang menakutkan.
Kini Yap Kay seolah telah berubah menjadi
orang lain, matanya sudah tidak memperlihatkan
sikap acuhnya, dari balik mata yang berkilat
terpancar sejenis cahaya yang menyilaukan mata.
Dia ibarat sebilah pedang yang sudah lama
tersimpan dalam kotak, tak ada pamor, tak ada
aora yang kuat, jarang ada orang bisa melihat
cahayanya yang berkilauan.
Tapi kini sang pedang telah dikeluarkan dari
dalam kotak. Yap Kay telah menggerakkan tangannya,
sebilah pisau terbang telah tergenggam di antara
jari tangannya.
Pisau terbang milik Siau-li yang tak pernah
luput dari sasaran.
Justru yang paling menakutkan dari Siau-li si
pisau terbang adalah di saat pisaunya belum
disambitkan. Begitu pisau terbang terlepas, tak ada lagi
yang perlu ditakuti.
Sebab orang mati memang tak kenal takut.
Hawa membunuh semakin mengental.
Hing Bu-bing telah mencabut pedangnya sambil
dilintangkan di depan dada, sementara tatapan
matanya tak pernah terlepas dari tangan
Hati Budha Tangan Berbisa 8 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 11