Kisah Bangsa Petualang 7
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Bagian 7
jelasan kepada kami semua?"
Kie Tie melirik orang she Lam itu, lantas dia tertawa.
"Ehem, kau nampaknya sangat memperhatikan si nona!"
katanya. Lalu dia menggeleng kepala. Tapi hanya sebentar, ia tertawa
pula. Lantas dia berkata lagi, menyambungi, "Sekarang belum
tiba saatnya untuk bicara! Meski demikian, dapat aku
menolongi kau melakukan sesuatu..."
Ce In heran hingga kembali ia berdiam saja.
"Ada urusan apakah dari aku maka dia mau mewakilkan
mengurusnya?" ia tanya hati kecilnya.
Kie Tie cuma berhenti sebentar, segera dia berkata pula,
"Apa yang kau pikir dalam hatimu, yang kau belum ucapkan,
aku telah mengetahuinya! Kau jangan kuatir akan aku menjadi
comblangmu! Umpama kata dia tidak menggubris aku si
pengemis bau, akan aku cari si Toan kecil untuk ia membantu
aku berbicara dengannya!"
Muka Lam Ce In menjadi merah karena likat.
"Lo-cianpwe bergurau!" katanya.
"Siapa bilang aku bergurau?" kata jago tua itu, romannya
sungguh-sungguh. "Sekarang juga aku akan pergi! Baiklah aku
omong terus terang pada kau! Dengan datang ke lembang
Liong Bin Kok, aku sengaja hendak menantikan Nona Hee itu,
cuma ia nampaknya sebal terhadap aku si pengemis
bangkotan! Baiklah, sekarang aku mau pergi mencarikan dia
seorang suami yang cocok dengan rasa hatinya, aku percaya
kemudian dia bakal menjadi suka terhadapku!"
Benar-benar jago tua ini lantas berlari pergi.
"Kie Lojie!" Han Tam berseru. "Kalau kau tiba di Giok Sie San
dan bertemu dengan Khong Khong Jie, kau beritahukan dia
halnya Ong Pek Thong sudah berkongkol dengan An Lok San,
andaikata dia tidak percaya pembilanganmu, bilangi dia bahwa
itulah kata-kataku!"
"Aku mengerti!" berkata Kie Tie, yang masih sempat
menjawab. "Hayo, tak dapat aku berayal lagi, nanti tak keburu
aku menyusul dia!"
Seperginya pengemis itu, Han Tam berkata kepada kawankawannya,
"Diantara tiga pengemis aneh dalam dunia Sungai
Telaga, Hong-kay We Wat si edan membenci kejahatan seperti
dia membenci musuhnya, kalau dia turun tangan, dia agak
telengas. See-gak Sin Liong Hong-hu Siong adalah yang sepak
terjangnya rada aneh, dia separuh lurus dan separuh sesat,
sulit untuk memastikannya. Tentang ini pengemis tukang
tenggak susu macan, Ciu-kay Kie Tie, walaupun dia berandalan,
dia paling rajin dan bersungguh-sungguh, gemar sekali dia
membantu atau menolong orang. Di antara orang-orang tiga
agama dan enam golongan, dia mempunyai sahabatsahabatnya.
Dia cuma mempunyai suatu cacad, ialah hatinya
terlalu lemah, kalau dia bukan bertemu dengan orang sangat
jahat, tak mudah dia menjadi gusar, maka juga di antara
sahabat-sahabatnya, selain orang baik-baik ada juga orang
buruk." "Barusan dia tidak sudi bicara, mungkinkah itu disebabkan
dia hendak menutupi keburukannya Hong-hu Siong?" Ce In
tanya. "Aku kira itulah tak mungkin," menjawab Han Tam.
"Umpama kata benar Hong-hu Siong melakukan perbuatan
semacam itu, tidak nanti We Wat berdiam saja. We Wat
menjadi sahabatnya dua orang she Leng dan Hee itu, pastilah
dia sudah bekerja sama menyingkirkan Hong-hu Siong dari ini
dunia! Memang, perkara darah itu pernah menyebabkan
kegemparan Rimba Persilatan dan pernah beberapa orang
gagah membantui Keluarga Hee mencari tahu si pembunuh!
Aku tidak nyana sampai sekarang, sudah berselang dua puluh
tahun, perkara itu masih tetap gelap!"
"Ayah," berkata Han Cie Hun, "Setelah peristiwa di Liong Bin
Kok ini, aku rasa kita tak dapat tinggal dengan aman lagi di
tempat kita ini, maka itu aku pikir baiklah kita pergi ke Giok Sie
San..." Han Tam tertawa.
"Aku tahu kau memang ingin pergi ke sana untuk turut
dalam keramaian!" katanya.
"Benar, ayah!" sahut si nona. ."tapi kepergian kita akan ada
baiknya. Umpama kata terjadi bentrokan pula di antara Khong
Khong Jie dan Toan Tayhiap, ayah dapat datang sama tengah
untuk berusaha mendamaikannya."
"Jikalau kau menduga demikian, kau pasti akan kecele!" kata
ayah itu. "Khong Khong Jie telah memberikan janjinya akan
membayar pulang anak orang, mana bisa terjadi mereka kedua
belah pihak berkelahi pula"
"Apakah ayah tidak kuatir suteenya, Ceng Ceng Jie, nanti
main gila, mengacau diantaranya?" tanya pula si anak dara.
"Aku pernah pikir kemungkinan itu," Han Tam menjawab,
"Akan tetapi Kie Tie sudah berangkat ke sana, seandainya Ceng
Ceng Jie mau main gila, Kie Tie bakal tiba terlebih dahulu, dia
akan menyampaikan pesanku, maka itu, meskipun benar Khong
Khong Jie tidak mempercayai Kie Tie sendiri, dia mesti percaya
aku." Ia hening sejenak, terus ia menambahkan, "Apa yang aku
buat kuatir ialah mereka itu bakal tak melepaskan pada Lam
Tayhiap serta Tiat Siauw-cecu. Maka itu aku pikir baiklah kita
berangkat terus malam ini, untuk mengantarkan mereka ke
Hoay-yang, kemudian bersama Lam Tayhiap kita pergi ke Kiugoan
untuk menemui Kwe Leng-kong, guna membeber
sekongkolan di antara Ong Pek Thong dengan An Lok san,
supaya Kwe Leng-kong dapat mengatur persiagaan. Aku mau
menduga, Khong Khong Jie dan Lam Tayhiap mungkin dari
musuh akan berbalik menjadi sahabat-sahabat satu dengan
lain, hingga kemudian dia akan suka pergi ke Kiu-goan."
Ce In dan Mo Lek girang sekali mendengar perkataannya
jago tua she Han itu. Lebih girang pula Tiat Mo Lek meski
kegirangannya itu disimpan di dalam hatinya. Ia ternyata
sangat suka bergaul dengan Han Cie Hun, yang usianya
sepantaran. Sejak berkenalan, mereka merasa sangat cocok
satu dengan lain, hingga tak suka ia berpisahan...
-o0dw0o- Hee Leng Song tengah mengaburkan kuda putihnya ketika
dengan tiba-tiba ia mendengar suara memanggil di sebelah
belakangnya, "Nona Hee, tunggu sebentar! Aku si pengemis tua
hendak ada bicara denganmu!"
Ia lantas menoleh dan melihat si pengemis tukang mabuk.
Dengan di punggungnya tergendol buli-bulinya yang besar,
pengemis itu bernapas mengorong, meski demikian, dengan
lekas dia sudah menyandak. Ia menjadi heran, ia mengawasi
terus. "Kudaku lari keras sekali, kenapa pengemis tua ini dapat
menyusul aku?" ia kata di dalam hati. "Dengan begini bukankah
ternyata dalam ilmu ringan tubuh dia melebihkan Khong Khong
Jie?" Nona itu berpikir demikian tanpa ia ketahui, meski benar
barusan dia telah mengambil jalan memotong, sebab dia kenal
baik keadaan tempat yang dilalui ini.
Leng Song tidak puas. Ia sebal untuk orang punya bau arak.
"Ada urusan apa Kie Lo-cianpwe?" ia tanya terpaksa.
"Kabarnya nona mau pergi membunuh See-gak Sin Liong
Hong-hu Siong, benarkan itu?" Kie Tie tanya langsung.
"Benar!" jawab Leng Song, terus terang. "Dia telah
melakukan banyak kejahatan, maka aku menerima perintah
ibuku untuk menolong dunia Kang Ouw menyingkirkan
ancaman malapetaka!"
"Hong-hu Siong tidak dapat dibinasakan!" kata Kie Tie.
Kembali Leng Song heran.
"Kenapa tak dapat?" ia tanya.
"Tuduhan ibumu bahwa dia telah melakukan perbuatanperbuatan
busuk itu, tak ada satu jua yang benar-benar
dilakukan tangannya sendiri!"
Nona Hee menjadi gusar, hingga ia melupakan ia lagi
berhadapan dengan seorang lo-cianpwe, yang martabatnya
jauh terlebih tinggi.
"Ngaco!" ia membentak. "Menurut kau, mustahilkan ibuku
mendusta?"
"Ibumu juga bukannya mendusta," kata Kie Tie.
Ia tidak menjadi tidak senang.
"Didalam urusan kamu ini telah terbit salah faham!
Musuhnya ibumu bukannya dia!"
"Memang juga ibuku sendiri tak langsung bermusuh
dengannya!" kata Leng Song. "Sebenarnya dia telah mencelakai
bukan sedikit orang, maka juga ibu berniat mesti
membunuhnya! Aku lihat, yang salah mengerti ialah kau!"
"Keliru! Keliru! Keliru...!" kata Kie Tie berulang-ulang.
Leng Song heran, ia mengawasi. Ia melihat sikap orang luar
biasa sekali. "Kenapa keliru?" ia menegaskan.
Si pengemis tukang tenggak susu macan menghela napas.
"Ah...!" katanya. "Soal ini tak dapat aku bicara jelas
denganmu. Sekarang ini di mana adanya ibumu" Hendak aku
bicara sendiri dengannya!"
"Ibuku tak menemui orang luar!" jawab si nona tawar.
"Kalau kau mau bicara, bicara saja dengan aku!"
Kie Tie mengerutkan kening. Ia bersangsi.
"Jikalau kau tidak suka bicara padaku, ya sudah!" kata Leng
Song. "Nah, aku hendak lekas-lekas melanjuti perjalananku!"
Nona ini menarik tali les kudanya atas mana si kuda putih
menggeraki keempat kakinya.
"Baiklah!" Kie Tie berkata, nyaring. "Baik, akan aku bicara
denganmu!"
Leng Song menahan pula kudanya. Dengan sikap ogahogahan
atau tak sabaran, ia berpaling.
"Kau bicaralah!" katanya. "Dapat aku mendengar, tak usah
kau bicara keras-keras!"
Kie Tie mengawasi, dia kata, "Hong-hu Siong tidak ada
sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah itu, orang yang
berlaku tak selayaknya terhadap ibumu itu ialah seorang
lainnya. Dia..."
"Bagaimana?" Leng Song menyelak, tak sabaran.
"Dia itu, walaupun dia berhati tak lurus, dia tak dapat
dibunuh olehmu!"
Nona Hee tertawa tawar.
"Benar-benar aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu
itu!" katanya. "Bagus benar! Hong-hu Siong itu orang baik, dia
tak dibunuh! Lalu itu orang lainnya, dia orang jahat, tetapi dia
tak dibunuh juga! Bagaimana aneh perkataan kau ini"
Sudahlah, tak usah kau bicara lebih jauh! Aku tahu kau dengan
Hong-hu Siong satu komplotan!"
Kie Tie sabar sekali.
"Tak dapatkan kau mendengari lagi satu perkataanku?" dia
tanya. Mendadak jago tua ini mencelat ke depan hingga tahu-tahu
dia sudah menyambar buntut kuda si nona. Sambil menarik
binatang tunggangan itu dia menanya, "Tahukah kau, nona,
kau she apa" Kau bukannya she Hee dan ayahmu juga
bukannya Hee Seng To!"
Leng Song gusar sekali, hingga ia sudah lantas menghunus
pedangnya. "Angin busuk!" ia membentak sengit. "Jikalau kau mau main
gila, pergilah ke lain tempat, tak dapat aku mendengar
suaramu yang bau busuk!"
Perkataan itu ditutup dengan serangan pedang yang cepat
sekali. Kie Tie tidak mau melayani, ia melepaskan cekalannya
sambil ia berlompat mundur.
Justeru orang menyingkir, si nona mengeprak kudanya untuk
dikasih kabur. Selang tak lama, ia sudah lari jauhnya belasan lie
karena kudanya itu lari sangat pesat. Ia mendongkol dan gusar,
tetapi ia pun heran hingga timbul keragu-raguannya.
"Dia mabuk arak tetapi dia tak mabuk hingga lupa daratan,"
ia berpikir. "Mustahilkan jauh-jauh dia menyusul aku cuma untuk
mengasih dengar ocehan belaka" Mungkinkah dia bermaksud
benar-benar" Ah, tak mungkin... Setiap orang mengatakan
romanku mirip dengan ibuku, maka itu kenapa aku bukannya
anak ibuku itu" Ibu mempunyai cuma seorang suami, kenapa
ayahku bukannya Hee Seng To" Hm! Tak perduli si pengemis
bau cuma ngaco belo, dia tetap sudah menghina ibuku!"
Meski demikian, walaupun ia menyangsikan Kie Tie, Nona
Hee tetap bersangsi. Maka lekas-lekas ia mengambil keputusan,
"Toan Tayhiap menjadi sahabat kekal ibuku, baik aku tunggu
sampai aku bertemu dengannya, nanti aku sampaikan padanya
kata-kata si pengemis edan ini, hendak aku lihat apa kata
tayhiap..."
Karena itu, Leng Song mesti menyusul Toan Kui Ciang dan
Touw Sian Nio, suami isteri itu yang pikirannya sedang
terganggu soal keselamatan anak mereka. Mereka melakukan
perjalanan terus menerus, tak siang tak malam. Maka pada
suatu hari tibalah mereka di kaki gunung Giok Sie San.
Dengan Lantas Sian Nio diganggu oleh kesangsiannya.
Khong Khong Jie menjadi musuh besar keluarganya - Keluarga
Touw - sekarang dia hendak pergi kepada musuh itu untuk
minta pulang anaknya! Ia merasa malu dan likat, sedang juga,
hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan besar.
Kui Ciang dapat mengerti pikiran sang isteri, di tengah jalan
ia sudah mengasih penjelasan dan hiburan, belum dapat ia
membikin lega hati isterinya itu.
Demikian mereka membuat perjalanan, sampai mereka tiba
di gunung Giok Sie San. Gunung itu tinggi dan penuh salju,
yang tak putusnya, hingga dipandang dari jauh, puncaknya
yang putih mirip sebuah tiang kemala yang menjulang
menembusi mega. Pula jalanan mendaki gunung sukar sekali,
banyak batunya yang besar dan luar biasa bentuknya.
Dari mulut gunung terlihat sebuah selat dan lembah yang
panjang, tak nampak ujungnya. Penglihatan selat itu
menyeramkan. "Engko," kata Sian Nio, yang timbul kecurigaannya. "Kalau
Khong Khong Jie mengandung maksud buruk, dan dengan jalan
ini dia menjebak kita ke dalam perangkapnya, pasti kita bisa
celaka tanpa ada yang ketahui...!"
"Kau terlalu bercuriga, adikku," kata Kui Ciang, menghibur.
"Khong Khong Jie terlebih liehay daripada kita, jikalau benar dia
berniat membikin kita mati, buat apa dia memilih jalan ini?"
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi," kata si isteri, yang kecurigaannya tak mudah lenyap,
"Tapi ingat gunung Giok Sie San ini terpisah jauh delapan ratus
lie dari gunung Hui Houw San, kenapa dia bukan ambil tempat
yang dekat hanya memilih tempat jauh ini guna
menyembunyikan anak kita?"
Pertanyaan ini benar dan Kui Ciang juga tak mengerti, akan
tetapi guna membujuki isterinya, ia menjawab, "Mungkin dia
mau pertontonkan ilmu ringan tubuhnya, supaya dia dapat
menaklukkan kita..."
Khong Khong Jie itu, habis menculik anaknya Kui Ciang,
lantas di hari keduanya, lewat tengah hari, berangkat ke Hui
Houw San dimana cfia mengajukan tantangannya. Maka itu,
kalau benar dia telah pergi ke Giok Sie San, hingga dia mesti
melakukan perjalanan pergi pulang demikian cepat, sungguh
ilmu ringan tubuhnya luar biasa sekali. Touw Sian Nio
menggeleng kepala.
"Aku tidak percaya dia di dalam tempo satu malam dan satu
hari dapat melakukan perjalanan seribu lie lebih!" katanya.
"Aku lebih percaya kalau dia cuma memancing kita datang ke
mari!" "Kalau tidak demikian, mungkin gunung inilah rumahnya,"
Kui Ciang membujuk pula. "Boleh jadi sekali dia tidak percaya
Ong Pek Thong maka dia kirim orangnya membawa anak kita
pulang ke rumahnya ini, untuk disembunyikan di sini."
"Begitulah kau percaya Khong Khong Jie?" sang isteri tanya.
"Kita sudah sampai di sini, kita percaya atau tidak
kesudahannya sama saja!" kata sang suami. "Apa daya
sekarang" Aku percaya kita dapat naik ke atas puncak dalam
tempo setengah harian. Mari kita naik terus, sampai di atas
baru kita lihat, nanti kita mandapat tahu segala apa!"
"Sebenarnya aku tidak tahu Giok Sie San begini jauh," kata
Sian Nio ragu-ragu, "Maka juga selama di sepanjang jalan,
makin lama kecurigaanku makin besar. Aku lihat, pastilah
perjalanan kita ini perjalanan sia-sia belaka. Taruh kata benar
Khong Khong Jie tidak berniat mencelakai kita, sedikitnya dia
pasti sengaja hendak mempermainkannya!"
"Adik Sian," kata sang suami, sabar, "Aku minta janganlah
kau pandang segala urusan dari sudut buruknya..."
Belum berhenti kata-kata Kui Ciang atau mereka segera
mendengar suara yang menggelegar keras, hingga mereka
terkejut dan lantas mengangkat kepala, melihat ke atas.
Untuk kagetnya mereka, mereka mendapatkan sebuah batu
besar lagi menggelinding turun ke arah mereka. Dengan lantas
mereka lompat berkelit.
Mulanya tayhiap itu sangka itu hanya batu yang
menggelinding secara kebetulan saja, tak tahunya, habis itu,
lantas terdengar suara lainnya, lantas mereka melihat jatuhnya
beberapa batu lain saling susul!
"Ada orang di atas!" Sian Nio berseru.
Benarlah Nyonya Toan ini. Ketika beberapa buah batu itu
jatuh terus tanpa meminta korban, di atas gunung terlihat
munculnya beberapa orang.
"Telur tolol!" berteriak seorang diantaranya. "Siapa suruh
kamu datang sendiri masuk dalam jaring perangkap" Kamu
sudah memasuki tempat kematian, apakah kamu masih
memikir buart hidup lebih lama pula?"
Toan Kui Ciang jadi sangat gusar, maka ia lantas berteriak,
"Khong Khong Jie! Aku menganggap kaulah seorang laki-laki
sejati, tak tahunya kau begini hina dina! Marilah kau perlihatkan
dirimu!" Dari atas itu terdengar ejekan, "Untuk membereskan kamu
dua butir telur apa kami membutuhkan bantuan Khong Khong
Jie?" Kata-kata itu diiring dengan tertawa dingin.
Kui Ciang menduga orang ialah orang suruhannya Khong
Khong Jie, maka dalam murkanya ia tertawa dingin dan kata,
"Sungguh tidak tahu malu yang kamu menggunai ini cara
sangat rendah! Apa perlunya kau menyembunyikan diri?"
Sian Nio sangat mendongkol.
"Buat apa melayani segala manusia hina itu?" kata dia. "Mari
kita menghajarnya!"
Lantas sang nyonya ini menggunai biang panahnya, untuk
menyerang dengan pelurunya!
Rombongan itu berada di atas gunung yang tinggi, maka itu,
peluru panahnya Sian Nio mesti menyerang jauh sekali.
Sebaliknya mereka itu dari tempat terlebih tinggi, leluasa
menyerang dengan butir-butir batunya, yang turunnya gencar.
Sian Nio gusar sekali, ia berlompat. Akan tetapi ia segera
ditarik Kui Ciang, suaminya. Ketika itu sebuah batu besar jatuh
secara hebat, hampir mengenai nyonya itu. Ketika jatuh di
kobakan dengan suara sangat berisik, lumpur pun muncrat
berhamburan, hingga suami isteri itu tak luput.
"Sungguh berbahaya!" kata Sian Nio, yang mengeluarkan
keringat dingin.
"Aku yang menyebabkan kesulitan kau ini..." kata Kui Ciang,
menyesal. "Inilah lantaran aku terlalu percaya orang!" Sian Nio
menggertak gigi.
"Sudah kepalang, mari kita maju terus!" kata isteri yang setia
itu. "Tak perduli kita menghadapi bahaya!"
Kui Ciang mengiringi isterinya itu, maka dengan tak
menghiraukan serangan batu, mereka maju bersama.
Di tanjakan gunung, tumpukan salju terkena getaran, selagi
angin keras sekali, getaran membuatnya pecah melekah, lalu
jatuh runtuh, meluruk merupakan kepingan-kepingan es yang
besar. Hebatnya itu tak kalah dengan jatuhnya butiran-butiran
batu. Kui Ciang mendapat beberapa luka lecet karena ia selalu
melindungi isterinya. Syukur itu tidak membahayakan. Terpaksa
ia ajak isterinya itu bersembunyi di tempat yang gerohong. Ini
berbahaya. Musuh melihatnya dan mengincar dengan timpukan
batu ke arah mereka. Beberapa buah batu hampir mengenai.
Mereka menjadi letih, karena beberapa batu, yang menimpa ke
arah mereka, mesti disampok mental.
"Syukur belum gempa salju..." kata Kui Ciang, "Hanya..." Ia
berhenti sebentar, ia mendongkol sekali. "Sungguh
menyebalkan! Apakah benar kita mesti membuang jiwa di sini?"
Memang, kalau sampai gempa salju, pasti akan jatuh
meluruk ke bawah, salju tentu akan mengurung segala
gerohong atau tempat rendah. Dengan begitu, mana dapat
mereka melawan salju"
Touw Sian Nio tertawa meringis, katanya, "Kita sudah
menjadi suami isteri sepuluh tahun, kalau aku dapat mati
bersama-sama berbareng di dalam satu hari, satu bulan dan
satu tahun, akan aku mati tanpa penasaran...!"
Selagi berlindung itu, Kui Ciang mendapatkan serangan batu
mulai tak gencar lagi.
"Kelihatannya kita belum boleh putus asa," kata ia. "Mari kita
keluar, untuk melihat. Tak dapat kita manda binasa tanpa
berdaya..."
Baru saja suami isteri ini keluar dari tempatnya berlindung,
telinga mereka lantas mendapat dengar suara hirup pikuk di
atas gunung, Mereka lantas dongak, hingga mereka melihat
orang seorang perempuan tengah menyerang kalang kabutan
pada musuh. Segera mereka memburu najk.
"Nona Hee di sana?" Kui Ciang berteriak menanya.
"Toan Peehu di sana?" ada jawaban wanita di atas itu.
"Lekas naik, marilah kita menyerang musuh!"
Kui Ciang menjadi bersemangat.
"Mari!" ia mengajak isterinya.
Hee Leng Song melihat suami isteri itu bagaikan terkurung,
ia lantas mendaki dari lain arah, ia tiba di atas tanpa rintangan,
maka itu dapat ia lantas menyerang musuh, hingga mereka itu
tak dapat terus menghujani Kui Ciang berdua dengan batu.
Itulah yang membikin hujan batu berkurang.
Sian Nio mendaki cepat, begitu berada di atas, dengan
pelurunya ia menyerang seorang musuh di depan Leng Song.
Tak ampun lagi, musuh itu terhajar jitu dan roboh. Membarengi
itu. Nona Hee menikam terguling satu musuh lainnya. Dengan
naiknya Nyonya Toan, musuh menjadi terkepung dari dua
jurusan. Kui Ciang pun sudah lantas menyusul isterinya.
Seorang kepala bandit lantas berteriak-teriak dengan katakata
rahasianya, mengisyaratkan ada bahaya.
Sian Nio menyerang terus, hingga lagi beberapa penjahat
pecah kepalanya.
Menampak demikian, Kui Ciang teriaki isterinya, "Hajar saja
jalan darah tiauw-hoan! Kita membutuhkan mulut yang hidup!"
Dengan tiga butir pelurunya, Sian Nio mengincar tiga kepala
penjahat. Dengan beruntun semua pelurunya itu meluncur ke
arah sasarannya masing-masing.
Seorang penjahat melihat bahaya, ia bisa menolong dirinya
dengan jalan menangkis, tetapi dua kawannya, yang di kiri dan
kanannya, menjadi kurban. Yang satu terhajar lengannya, yang
lain kakinya, tepat jalan darah tian-hoan di pahanya menjadi
sasaran, tanpa ampun dia roboh seketika.
Si kepala penjahat cerdik, ia lantas menendang kawannya
yang terluka itu hingga terguling ke bawah, ia sendiri menyusul
dengan menjatuhkan diri, buat bergelindingan turun. Ia
menjadi nekad hingga ia tak menghiraukan bahaya lagi.
Contoh kepala penjahat itu contoh bagus, ia lantas ditelad
oleh kawanan berandal, semua lantas lari ke pinggiran, untuk
pada menjatuhkan diri, hingga Leng Song tak dapat mengejar
pada mereka itu.
Baru saja musuh kabur, atau Kui Ciang berteriak, "Celaka!
Salju gempal!"
Inilah sebab ia merasa kakinya bergerak tidak keruannya,
yang mana disusul dengan suatu bunyi dahsyat. Tapi sambil
berteriak itu, ia lompat ke atas, untuk lari naik.
Sian Nio sudah lantas berlari naik juga.
Dafi atas salju meluruk ke bawah. Itulah hebat yang
kawanan penjahat, yang tak keburu menyingkir lebih jauh.
Maka mereka itu, satu demi satu, kena teruruk, hingga
terdengar saja jeritan menyayati hati dari mereka.
"Sayang, sayang..." kata Kui Ciang, yang hatinya pun
terharu, sebab tak tega ia mendengar jeritan itu, walau pun
itulah jeritan musuh. "Sayang apa?" tanya Sian Nio heran.
"Sayang tak ada musuh yang kena ditangkap hidup supaya
kita bisa mengorek keterangan dari mulutnya," sahut sang
suami. "Tak usah ditanya lagi, mereka pasti kambratnya Khong
Khong Jie!" kata sang isteri. "Engko, apakah sampai di saat ini
kau tetap mempercayai dia?"
Kui Ciang berdiam. Ia terus ragu-ragu. Katanya di dalam
hati, "Mereka ini termasuk golongan kelas dua atau kelas tiga.
Mustahil Khong Khong Jie malu turun tangan sendiri, untuk
mencelakai aku, mestinya ia pakai tenaga orang yang liehay!
Kenapa ia pakai sebangsa mereka ini yang tidak punya
guna".Hanya, kalau mereka bukan suruhan Khong Khong Jie,
kenapa mereka ketahui aku beramai mau mendaki gunung Giok
Sie San?" Ketika itu Leng Song datang menghampirkan. Nona itu
menyelamatkan diri dengan menyingkir di lain tempat.
Sian Nio telah mendengar dari suaminya hal Nona Hee, ia
tahu orang menjadi puterinya Pek-ma Lie-hiap Leng Soat Bwe,
maka ia menjadi kagum, dalam hatinya ia memuji, "Sungguh
seorang nona cantik! Toako kata dia mirip ibunya, tak heran
dulu hari ibunya membikin dunia Kang Ouw menjadi tergilagila!"
"Eh, Leng Song!" Kui Ciang menegur. "Bagaimana kebetulan,
kau pun datang ke sini" Sungguh berbahaya! Syukur ada kau!"
"Toan Peehu, kau telah terpedayakan Khong Khong Jie!"
kata Nona Hee. "Khong Khong Jie bersama ayah dan anak
Keluarga Ong itu sudah berkongkol, mereka sudah bersepakat
untuk membantu An Lok San yang lagi siap sedia untuk
berontak. Kui Ciang terkejut.
"Benarkan itu?" dia tanya.
"Tak salah lagi, peehu!" sahut si nona. "Aku telah
mendengar dan melihatnya sendiri! Bahkan mereka itu sudah
mulai melaksanakannya!"
Leng Song lantas memberikan penuturan perihal peristiwa di
lembah Liong Bin Kok, bagaimana mulanya ia mendengar
pembicaraan orang lalu besoknya ia turut di dalam
pertempuran di dalam lembah itu.
"Aku kuatir mereka di sini nanti mencelakai kau, peehu,
maka aku lekas-lekas menyusul kemari," si nona
menambahkan. "Nah, apa kataku?" kata Sian Nio pada suaminya. "Kau tetap
masih percaya Khong Khong Jie?"
Kui Ciang berdiam. Nyatanya di dalam urusan ini terselip
suatu kekeliruan.
Ketika malam itu Leng Song mendapat dengar pembicaraan
di Liong Bin Kok, yang dengan Ong Pek Thong ayah dan anak
bukan Khong Khong Jie hanya Ceng Ceng Jie. Di situ hadir Thio
Tiong Cie dan lainnya. Benar An Lok San minta bantuan
mereka. Waktu itu si nona tidak mendengar perkataannya Ong Pek
Thong bahwa untuk sementara Pek Thong mau sembunyikan
urusan dari Khong Khong Jie. Si nona mau percaya saja Ceng
Ceng Jie dan Khong Khong Jie, yang menjadi suheng dan
sutee, kakak beradik seperguruan, sama kelakuannya.
Pula habis bertempur di Liong Bin Kok itu ia sudah tergesagesa
berangkat menyusul Toan Kui Ciang, ia menjadi tidak
berkesempatan mendengar omongan Han Tam untuk
disampaikan pada Khong Khong Jie itu.
Leng Song kuatir Kui Ciang nanti mendapat susah di Giok Sie
San ini disebabkan ia bercuriga terhadap sikapnya Ong Liong
Kek. Ialah Ong Liong Kek sudah tidak mau memberitahukan ia
kemana arah tujuan kepergiannya Kui Ciang, bahkan Liong Kek
sengaja mendustakan ia bahwa mungkin Kui Ciang berangkat
ke Tiang-an, hingga ia mesti melakukan perjalanan jauh secara
sia-sia. Kuda putihnya sudah kabur tiga ratus lie lebih tetapi di jalan
ke Tiang-an itu ia tak lihat paman she Toan itu, karena mana,
ia lekas kembali ke Liong Bin Kok, sampai besokannya di waktu
pertempuran, ia mendengar dari Tiat Mo Lek halnya Kui Ciang
telah pergi mencari Khong Khong Jie
Ia masih menegasi Ong Liong Kek, masih anaknya Ong Pek
Thong itu tak mau omong secara terus terang, hingga ia
menjadi masgul berbareng mendongkol. Nona Hee tak tahu
persekutuannya Pek Thong ayah dan anak. Mereka itu
melakukan segala apa diluar tahunya Khong Khong Jie.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Thong dan anaknya ketahui baik sekali Toan Kui Ciang
menjadi menantu Keluarga Touw, mereka kuatir dibelakang
hari Kui Ciang nanti mencari balas untuk keluarga mertuanya
itu, akan tetapi di muka Khong Khong Jie, mereka terpaksa
membiarkan Kui Ciang dan Sian Nio berlalu dengan merdeka.
Baru kemudian, seberlalunya Khong Khong Jie, mereka
lantas bekerja. Mereka menulis surat dan mengirimnya dengan
perantaraan burung dara, memberitahukan cabang di Liang-ciu,
supaya orangnya mengatur "tentara sembunyi" di dekat Giok
Sie San, guna merintangi dan membinasakan Kui Ciang sami
dan isteri itu.
Di antara Leng Song dan Liong Kek ada perkenalan yang
erat sekali, karena itu, waktu si nona ketahui jelas perihal Ong
Liong Kek, ia berdua, cuma kepada Kui Ciang ia tak mau
menyebut-nyebut namanya pemuda she ong itu.
Kui Ciang menjadi bersangsi. Telah cukup kesaksian hal
perbuatannya Khong Khong Jie. Isterinya menyangsikan dan
Leng Song memberikan kesaksiannya.
Nona Hee tak dapat diragu-ragukan. Toh ia heran. Bukankah
Khong Khong Jie gagah perkasa" Kenapa sekarang Khong
Khong Jie bersikap rendah, untuk menghadapi ia dan isterinya,
dia main gila seperti itu"
Wajah Sian Nio menjadi guram. Ia berkuatir dan berduka.
"Kelihatannya anak kita terancam bahaya..." berkata ia.
"Khong Khong Jie telah sengaja memperdaya kita, mana
mungkin dia sudi membayar pulang anak kita itu?"
Kui Ciang pun berkuatir dan bingung, akan tetapi dia dapat
mengambil keputusan.
"Sekarang ini baik kita cari Khong Khong Jie dulu!" katanya.
"Kita nanti bicara dengannya!"
"Memang tidak bisa lain," kata Sian Nio. "Jikalau aku tidak
dapat pulang anakku, aku tidak mau hidup pula, hendak aku
mengadu jiwa dengannya!"
Leng Song pun setuju buat mencari Khong Khong Jie, maka
ia suka mengikuti. Dengan Kui Ciang jalan di muka, bertiga
mereka mendaki gunung, untuk memanjat puncak Giok Sie
San. Mereka tidak menghadapi rintangan apa-apa. Ketika
matahari mulai doyong ke barat, mereka telah mencapai
puncak tertinggi.
Luar biasa puncak gunung itu. Di situ kedapatan pohonpohon
bunga dan rumpun rumput. Di situ ada burung-burung
dan binatang kaki empat. Di situ pun terdapat beberapa
sumber air hangat, hingga hawanya menjadi lebih hangat
daripada di bawah gunung.
Yang paling dulu terlihat Kui Ciang ialah sebuah rumah suci
kaum tosu atau imam. Dengan lantas pada hatinya timbul
pengharapan. Lekas ia menghampirkan kelenteng itu dan
mengetuk pintu.
Ia pun berkata nyaring, "Aku si orang she Toan
memenuhkan janji datang kemari! Aku mohon tuan rumah suka
keluar menemui aku!"
Ketukan pintu itu, kata-kata itu, tak memperoleh jawaban.
Tempo Kui Ciang mengulanginya, tetapi tidak ada suara apaapa
dari dalam kelenteng.
Sian Nio tidak sesabar suaminya. Maka dia kata sambil
tertawa dingin, "Dia telah melakukan kesalahan, mana dia
berani menemui kita" Sampai waktu ini, buat apa kita masih
berlaku sungkan terhadapnya" Terjang saja pintunya!"
Kui Ciang merangkap kedua tangannya, untuk memberi
hormat ke arah pintu.
"Khong Khong Jie!" katanya, nyaring. "Jikalau kau tetap tidak
mau keluar, aku minta janganlah kau sesalkan aku si orang she
Toan berlaku tidak hormat padamu!"
Benar-benar tidak ada penyahutan, pintu tak terbuka dari
dalam. Maka itu, tanpa berayal lagi, Kui Ciang menyerang
dengan kepalan Kim Kong Ciang!
Dengan bersuara nyaring dan berisik, kedua daun pintu
menjeblak terbuka.
Touw Sian Nio sudah lantas bersiap dengan panah
pelurunya, sedang Leng Song menghunus pedangnya. Kui
Ciang bertindak masuk dengan diiring isterinya dan nona itu.
Tiba di dalam, mereka bertiga mendapatkan kelenteng
kosong. "Mungkinkah dia jeri dan kabur?" tanya Leng Song, raguragu.
Kelenteng itu tidak besar, di dalam tempo singkat, Kui Ciang
bertiga dapat menggeledah seluruhnya. Di dalam kamar yang
terakhir, Sian Nio menemukan sebuah ayunan kosong serta beberapa helai
pakaian wanita.
Mendadak dia menangis dan berkata, "Anak kita telah
dicelakai...!" Kui Ciang berlaku tenang.
Buat apakah dia mencelakai seorang bayi?" katanya, tetapi
suaranya dalam. "Memang benar anak kita pernah berada di
sini. Itulah bukti bahwa dia tidak bicara dusta..."
Tapi Sian Nio gusar.
"Anak kita tidak ada, Khong Khong Jie tidak ada juga!"
katanya nyaring. "Taruh kata anak kita benar tidak dibinasakan,
tetapi sudah pasti dia telah menyembunyikannya pula di lain
tempat! Engko, dia menghendaki jiwa kita, kenapa kau masih
bicara begini tentang dia?"
Sudah sepuluh tahun suami isteri ini menikah dan hidup
bersama rukun dan damai, saling menyinta dan saling
menghormati. Inilah pertama kali Sian Nio bicara keras
demikian rupa terhadap suaminya itu.
Kui Ciang tidak menjadi kurang senang atau gusar. Ia sabar
sekali. Ia dapat memahami hati isterinya itu.
"Aku memikir dari sudut lain," kata ia tenang. "Jikalau benarbenar
Khong Khong Jie tidak membayar pulang anak kita, pasti
aku mengadu jiwaku dengannya!"
Habis berkata suami ini mengawasi sekitarnya.
"Kelihatannya ada seorang wanita yang mengurus anak
kita," katanya kemudian. "Seprai di dalam ayunan ini masih
basah bekas air kencing, rupanya belum lama orang berlalu dari
sini. Sekarang cuma belum dapat diketahui wanita itu pernah
apa dengan Khong Khong Jie."
"Percuma kau memikirkan ini!" kata Sian Nio, yang hatinya
cemas. "Paling benar kita cari Khong Khong Jie si manusia
rendah itu, baru kita akan mendapat kepastian!"
Baru Nyonya Toan berhenti bicara, atau dari luar mereka
bertiga mendengar ini suara nyaring, "Benar-benar Toan
Tayhiap seorang yang dapat dipercaya! Aku minta dimaafkan
yang aku telah melanggar janji!"
Kui Ciang lantas berseru, "Itulah Khong Khong Jie!"
Tanpa menanti lagi, Sian Nio sudah lantas lompat, untuk
terus lari keluar. Kui Ciang dan Leng Song segera menyusul.
Di luar tampak Khong Khong Jie seorang diri dan kedua
tangannya kosong. Tidak ada bayinya di tangannya itu.
Bukan main gusarnya Sian Nio.
"Bagus ya!" teriaknya. "Sudah kau menipu kami datang ke
gunung ini, sekarang kau sembunyikan juga anak kami!"
Dalam murkanya, Nyonya Toan segera menyerang dengan
tiga butir pelurunya.
Khong Khong Jie berlaku celi dan gesit, dengan lincah ia
berkelit dari tiga peluru maut itu.
"Sabar, sabar!" katanya. "Tahan! Mari kita bicara dulu!"
Kui Ciang menyandak.
"Adik Sian Nio, sabar!" kata suami itu. "Mari kita dengar dulu
apa katanya!"
Khong Khong Jie lantas berkata, "Untuk sementara belum
dapat aku membayar pulang anak kamu! Aku minta kamu
jangan kuatir apa-apa, kamu boleh tetapkan hati kamu! Anak
kamu itu selamat tidak kurang suatu apa, dan aku jamin
keselamatannya!"
"Kenapa kau tidak dapat segera membayar pulang?" Kui
Ciang tanya. Khong Khong Jie nampak jengah. "Sebab... sebab..." katanya
sukar. "Sebab apa?" bentak Sian Nio. "Jikalau hari ini kau tidak
membayar pulang anakku, pasti aku tidak mau mengerti!"
Khong Khong Jie mengulapkan kedua tangannya.
"Pendeknya, aku jamin!" katanya. "Pasti aku nanti membayar
pulang anakmu! Hanya sekarang, aku tidak berdaya!"
"Nanti" Nanti kapan?" tanya Kui Ciang.
"Itu... itu..." kata Khong Khong Jie, ragu-ragu, "Itu tak dapat
aku pastikan..."
"Kau bersangsi!" bentak Kui Ciang. "Kau bersangsi apakah"
Sebenarnya, ada apakah sebabnya?"
"Toan Tayhiap, kali ini aku menyesal terhadapmu!" kata
Khong Khong Jie. "Aku harap kau jangan menanyakan terlebih
jauh! Jikalau kau percaya aku, mari kita mengikat tali
persahabatan. Aku bilang, anakmu berada di tangannya satu
orang, hal itu ada baiknya, tidak ada jahatnya!"
Sian Nio menjadi sangat gusar.
"Siapa kesudian percaya lagi obrolan setanmu!" dia
membentak. "Oh, manusia hina dina yang tak tahu malu!
Kebetulan kami tidak mampus tercelakakan olehmu, daripada
nanti kami dibikin celaka lebih jauh dengan perbuatanmu yang
sangat rendah, baik sekarang saja kami serahkan jiwa kami
kepadamu!"
Khong Khong Jie gusar bukan kepalang. Dialah seorang
kosen yang angkuh, yang kepalanya besar. Seumurnya dia
belum pernah terhinakan orang. Maka tubuhnya menjadi
bergemetaran. "Hai, perempuan busuk, mengapa kau berani lancang
mendamprat aku?" dia berteriak.
Kui Ciang pun telah timbul amarahnya, maka itu, melihat
orang berani menghina isterinya, ia lantas menghunus
pedangnya. "Kenapa jikalau kami mencacimu?" ia tanya. "Bukankah kau
pantas dicaci maki?"
Khong Khong Jie gusar hingga dia berkaokan.
"Bagus, Toan Kui Ciang, bagus!" teriaknya. "Kau pun
mencaci aku! Kenapa aku pantas dicaci?"
"Aku mendamprat karena kau tak tahu benar tak tahu
salah!" sahut Kui Ciang. "Karena kaulah si manusia jahat yang
membantu Kaisar Tiu melakukan kejahatan! Aku mencaci kau
karena kau berbuat jahat, kau toh menyangkal! Kaulah satu
manusia rendah! Kaulah si bangsat cilik sangat hina dina dan
sangat tak tahu malu!"
Wajahnya Khong Khong Jie menjadi merah padam.
"Toan Kui Ciang, kau mesti berlutut padaku dan
mengangguk-angguk meminta ampun!" dia berteriak. "Kalau
tidak, jangan kau harap kau nanti dapat turun dari gunung ini!"
Kui Ciang tertawa dingin.
"Sekalipun kau menekuk lutut dan manggut padaku
berulang-ulang, aku juga tidak akan mengasih ampun
padamu!" Kui Ciang membaliki. "Tidak salah, dalam ilmu silat
kau jauh terlebih liehay daripada aku, akan tetapi satu laki-laki,
mati tinggal mati, untuknya tak ada yang ditakuti! Meski aku
terbinasa di tanganmu, hendak aku mencaci terus padamu!"
"Baik!" Khong Khong Jie berteriak. "Karena kau menganggap
aku satu manusia jahat, jangan kau sesalkan aku yang aku
tidak menaruh belas kasihan lagi! Hayo, kau makilah pula
padaku!" Mendadak tubuh jago ini mencelat dan sebelah tangannya
meluncur ke muka orang.
Hebat serangan itu. Akan tetapi Toan Kui Ciang sudah siap
sedia, la lantas saja berkelit. Karena pedangnya sudah dihunus,
ia juga lantas balas menyerang, bahkan terus sampai tiga kali
beruntun tefhpo tabasannya yang pertama gagal begitu pun
yang kedua kali.
Touw Sian Nio juga tidak diam saja. Ia lompat maju dengan
bacokannya. Liehay Khong Khong Jie. Ia lolos dari serangan berulangulang
dari Kui Ciang, ia bebas dari bacokan Sian Nio, ketika ia
berkelit seraya terus menyambar ke arah Kui Ciang, meskipun
tayhiap itu berkelit, tak urung punggungnya kena terserempet
tangan terbuka hingga dia merasakan sangat panas dan nyeri.
Sebenarnya Khong Khong Jie mau menghajar muka. Syukur
Kui Ciang lolos, kalau tidak, dia pasti malu bukan main.
Dalam murkanya Kui Ciang serukan isterinya, "Adik Sian, kau
benar! Untuk melayani ini bangsat sangat jahat, kita cuma
harus mengadu jiwa!"
Ketika itu Khong Khong Jie telah lompat mencelat, ia hendak
membalas menyerang. Karena berlompat itu, ia menjadi turun
dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Sementara itu
tangannya sudah menghunus pisau belatinya yang tajam luar
biasa. Tanpa menanti menginjak tanah, ia menangkis senjatanya
suami isteri itu. Ia mengeluarkan kepandaiannya, karena
niatnya menghajar terlepas pedang dan goloknya kedua lawan
itu. Kui Ciang sudah merantau semenjak dia masih muda sekali,
sudah sering dia melakukan pertempuran, dari itu, benar dia
kalah gagah dari Khong Khong Jie akan tetapi dia menang
pengalaman, maka juga, melihat orang mencelat tinggi, dia
sudah lantas dapat maksudnya lawan itu. Dia lantas
menggeraki pedangnya dalam satu gertakan, lantas dia
membarengi golok isterinya.
Satu bentrokan tak dapat dielakkan. Itulah beradunya pisau
belati dengan golok si nyonya. Bentrokan itu dibarengi dengan
suara robek! Kui Ciang dan isterinya mundur masing-masing tiga tindak.
Sian Nio terkejut. Goloknya, golok bian-to yang sangat tajam,
telah "terlukakan" pedang lawannya.
Sebaliknya, Khong Khorig Jie turun di tanah dengan kaget
dan mendongkol. Ujung bajunya telah kena ditublas pedang Kui
Ciang. Syukur ia masih sempat berkelit, kalau tidak,
tangannyalah yang bakal terluka.
Jurus ini menyebabkan kedua pihak meluap kemurkaannya.
Maka ketika mereka merapat pula, mereka mengeluarkan
kepandaiannya masing-masing. Khong Khong Jie gusar sebab
merasa terhina, suami isteri itu nekad karena hendak membelai
anak mereka. Maka pertempuran ini jauh lebih dahsyat
daripada pertempuran mereka di gunung Hui Houw San.
Kui Ciang bertempur mati-matian, pedangnya senantiasa
mengeluarkan suara angin keras. Sian Nio dengan ilmu golok
Pat-kwa-to mencoba mengurung lawannya yang tangguh itu,
selalu ia mencari sasaran yang berbahaya.
Sejak kegagalan di Hui Houw San, suami isteri ini telah
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berunding dan memikirkan semacam ilmu silat gabungan
pedang dan golok yang diperuntukkan melawan Khong Khong
Jie, sekarang tiba saatnya untuk mencoba itu. Benar-benar
mereka memperoleh kemajuan.
Tengah ia bertempur hebat itu, Khong Khong Jie terdengar
menghela napas dan berkata masgul, "Kamu suami isteri
sangat mendesak padaku, aku tidak bisa berbuat lain, terpaksa
aku mesti mengorbankan jiwaku untuk melayani kamu..."
Kalau tadi dia gusar, sekarang Khong Khong Jie berduka.
Toan Kui Ciang dapat mendengar kata-kata orang itu.
"Mustahilkah benar-benar Khong Khong Jie ada kesulitannya
yang dia tak dapat beritahukan pada lain orang?"
Justeru ia berpikir itu, justeru ia melihat perubahan silat si
lawan. Pisau belati Khong Khong Jie lantas berputaran, menyamber
ke timur dan ke barat, ke selatan dan ke utara, bergeraknya
sangat cepat, hingga sinar pisaunya berkilauan, hingga ia
nampak berada di pelbagai penjuru.
Menampak demikian, Kui Ciang terkejut. Terpaksa dari
menyerang ia mengambil siasat membela diri. Ini membuatnya
terdesak. Maka lekas juga terdengar pula suara bentrokan
senjata, kali ini pisau belati melawan pedang, bahkan beruntunruntun
sampai sembilan kali!
Mulanya tidak ada niat Khong Khong Jie memusuhkan Kui
Ciang, walaupun ia dikepung hebat, meski juga ia murka sekali.
Ia cuma memikir mengalahkan mereka itu. Siapa tahu setelah
bertempur itu, Kui
Ciang berdua menjadi nekad. Sebab suami'.isteri ini
menganggap ia benar-benar manusia busuk.
Didalam keadaan seperti itu, ia mesti membela dirinya, atau
ia bakal celaka. Maka tak ayal lagi, ia mengeluarkan
kepandaiannya. Itulah semacam tipu silat terdiri dari sembilan
jurus berantai, yang dapat menyusun serangan beruntun
sembilan kali. Khong Khong Jie masih merasa sayang, maka juga tadi ia
telah mengasih dengar helaan napas serta suara penyesalan
itu. Ketika Toan Kui Ciang melayani Ceng Ceng Jie, Ceng Ceng
Jie pernah menggunai semacam ilmunya Khong Khong Jie ini.
Tatkala itu ia dapat bertahan. Sekarang lain, kendati ilmu
silatnya serupa. Itulah sebab Khong Khong Jie beda daripada
Ceng Ceng Jie. Ceng Ceng Jie baru dapat melakukan tingkatan ketujuh.
Khong Khong Jie pula menang berlipat ganda ilmu ringan
rubuhnya daripada Ceng Ceng Jie, sang sutee, maka dia dapat
bergerak cepat luar biasa.
Begitulah, meski Kui Ciang berkelahi dibantu isterinya, ia
segera terdesak, ia menjadi repot membela diri. Sian Nio juga
turut terdesak musuh yang tangguh itu.
Leng Song menonton saja sekian lama itu, setelah melihat
suasana, ia maju seraya menyerukan Sian Nio, "Bibi Toan,
silahkan mundur! Kau gunai saja pelurumu menghajarnya!"
Dengan memutar pedangnya, ia maju terus, guna
menggantikan Nyonya Toan Kui Ciang itu.
-ooo0dw0ooo- Jilid 12 Didalam ilmu pedang, Nona Hee tak dapat melawan Kui
Ciang, akan tetapi dibanding dengan Sian Nio dengan goloknya,
ia menang banyak. Maka itu Khong Khong Jie menjadi heran
dibuatnya. "Siapakah yang mengajari kau ilmu pedangmu ini?" dia
tanya. Leng Song tidak menjawab, ia hanya mendesak. Tiga
kali berantai ia menyerang hebat, dan setiap jurusnya itu
terpecah pula dalam tiga jurus lain. Ia menyerang sambil
menggertak. Disamping si nona, Kui Ciang turut merangsak. Khong Khong
Jie heran sekali. Sekarang tak sempat ia menanya pula si nona.
Dengan mereka itu merangsak secara demikian, ia tidak
berkesempatan memecah pemusatan pikirannya.
Sian Nio mengambil tempat di pinggiran. Ia menuruti
pikirannya Leng Song. Begitu siap, ia mulai dengan serangan
panah pelurunya.
Mulanya ia melepaskan tiga kali beruntun, mengincar Khong
Khong Jie pada ketiga jalan darah bie-cian di atas, hong-hu di
tengah dan hoan-tiauw di bawah. Ia liehay, disini ia mengasih
lihat keliehayannya, meski orang bertempur bertiga dan
bergerak gesit tak hentinya, sasarannya itu dapat ia cari.
Khong Khong Jie pun memperlihatkan kegesitan dan
keliehayannya. Dengan beruntun ia dapat mengelit diri dari dua
peluru yang pertama. Untuk itu ia berlompat dan menyambut
dengan tangan bajunya, lalu yang ketiga, ia tangkis dengan
pisau belatinya.
Meneruskan gerakan senjatanya itu, ia menikam ke arah iga
Leng Song di mana ada jalan darah hun-bun. Tapi ia gagal,
karena si nona waspada. Dilain pihak Kui Ciang, yang
menggunai ketikanya dengan baik, sudah menebas ujung
bajunya! Bukan main gusarnya jago ini. Ketika tadi ia menyambut dua
buah peluru Sian Nio, semua peluru itu kena tergulung,
sekarang ia menggunai itu untuk menyerang balik, membalas
kepada Kui Ciang.
Suaminya Sian Nio celi matanya dan gesit tubuhnya, dia
dapat berkelit.
Khong Khong Jie tidak berhenti dengan serangan peluru
saja, ia membarengi menikam dengan pisau belatinya. Ia
mencari sasaran yang berupa ulu hatinya Toan Tayhiap.
Kui Ciang mesti berkelit, demikianpun Leng Song. Ketika itu
Sian Nio tidak menyerang pula. Ia melihat orang rapat sekali.
Tiba-tiba terdengar Khong Khong Jie berseru nyaring,
menyusul itu, mereka bertiga berlompat mencar.
Leng Song kaget sekali. Tusuk kundai di kepalanya telah
kena disambar kutung pisau belati Khong Khong Jie, walaupun
ia berkelit sebat sekali. '
Adalah di itu waktu, Touw Sian Nio memanah pula.
Mendadak tubuh Khong Khong Jie jatuh terguling. Kiranya
dia menggunai "Kun Tee Tong" atau ilmu silat "Roboh
bergulingan" guna menyelamatkan diri, menyusuli mana, sambil
bergulingan itu, ia membabat bergantian ke kakinya Kui Ciang
dan Leng Song. Sian Nio bekerja pula, kembali ia memanah.
Dua-dua Kui Ciang dan Leng Song berkelit sambil berlompat,
Kui Ciang yang berlompat lebih dulu lalu membalas menyerang
dengan cepat. Khong Khong Jie berkelit, karena mana, hampir peluru Sian
Nio mengenai suaminya..
Hanya sekejap, ketiga musuh sudah lantas bertempur pula
secara rapat. Karena ini, kembali Sian Nio menunda pelurunya.
Ia baru menyerang setiap kali ia melihat lowongan. Untuk itu ia
mesti bermata sangat celi dan bertindak sangat cepat. Hanya,
meski ia sudah mengorbankan belasan peluru, terus ia tidak
mendapatkan hasil.
Khong Khong Jie liehay tetapi dia repot juga. Dia mesti
berhati-hati dari panah peluru itu. Karena ini, menghadapi
desakan Kui Ciang dan Leng Song, mereka menjadi seimbang.
Tatkala itu matahari sudah turun jauh ke barat. Sang magrib
mendatangi. Kedua pihak sudah bertempur setengah jam.
Tengah pertempuran berlangsung terus, tiba-tiba mereka
mendengar ada seruan untuk mereka, "Eh, kenapa kamu
bertempur! Berhenti! Berhenti!"
Kui Ciang sudah lantas mengambil kesempatan akan melirik
ke arah suara itu. Maka ia melihat seorang pengemis dengan
pakaian banyak tambalan serta buli-buli di punggungnya,
sembari berlari-lari keras, pengemis itu lari ke arah mereka. Ia
pun segera mengenali Ciu-kay Kie Tie si Pengemis Pemabuk.
Juga Khong Khong Jie mengenali pengemis tukang tenggak
arak itu, ketika ia melihat Kui Ciang berhenti menyerang, ia
menghentikan perlawanannya, ingin ia menyapa si pengemis.
Justeru itu, Sian Nio memanah, maka pelurunya mengenai dahi
orang, hingga sasarannya itu mengucurkan darah!
Hee Leng Song tak mau berhenti, ia lompat menyerang.
Khong Khong Jie gusar, dia menangkis. Maka bentroklah
senjata mereka satu dengan lain, setelah mana, jago itu
kembali membabat ujung tusuk kundai kemala si nona. Syukur
Kui Ciang maju pula, guna membantu Leng Song. Karena ini,
mereka bertiga jadi bertarung pula. Kie Tie menjadi kurang
puas. "Touw Liehiap," ia kata pada Sian Nio, "Aku minta kau
memberi muka padaku si pengemis tua!"
Sian Nio lagi sengit, ia tidak menghiraukan perkataan orang,
ia melanjuti serangannya.
Menampak demikian, Ciu-kay menggelogoki isi buli-bulinya,
habis itu ia menyemburkan keras ke arah medan pertempuran.
Serangan ini membuat repot kepada Khong Khong Jie bertiga.
Mereka tak takut terlukakan, tetapi mereka tak sudi dibikin
mandi arak. Kie Tie menyembur pula, kali ini ke arah Sian Nio. Ia mau
mencegah nyonya itu memanah terlebih jauh.
Muka Nyonya Kui Ciang lantas kena kecipratan arak, dia
menjadi tidak senang.
"Kie Lo-cianpwe!" serunya, "Aku bukan tidak sudi memberi
muka kepada kau tetapi manusia ini jahat luar biasa! Dia telah
merampas anak kami! Kalau dia dibiarkan lolos, kepada siapa
kami harus minta pulang anak kami! Dapatkah kau yang
menggantinya?"
Mendengar itu, Kie Tie menjadi melengak.
Touw Sian Nio berkata pula, nyaring, "Jikalah lo-cianpwe
tidak suka membantu kami, tidak apa, tetapi janganlah locianpwe
merintangi kami, kalau tidak, maaf, peluruku nanti
tidak mengenali kau!"
Kata-kata si nyonya diiring samberan pelurunya, yang
mengenai buli-buli Kie Tie.
"Marilah kita bicara!" Ciu-kay berseru. Dia sadar dari
melongonya. "Jangan kau menyerang pula! Jangan kau
menyerang pula! Kalau mustikaku ini rusak, aku si pengemis
tua tidak punya lagi susu macan untuk ditenggak!"
Justeru itu Hee Leng Song berseru, "Toan Peehu, jangan
ladeni pengemis bangkotan itu! Dialah konco musuh!"
Toan Kui Ciang menjadi bersangsi, apa pula pada saat itu ia
melihat pihaknya mulai menang unggul. Laginya, kalau ia
mundur, Leng Song tentu bakal segera terdesak lawan. Maka
terpaksa ia berkelahi terus. Habis menyingkir dari arak, mereka
bertiga merapat diri pula.
Pada Kie Tie, Toan Tayhiap berseru, "Kie Lo-cianpwe maaf,
aku minta kau tanya tentang urusan kita ini kepada isteriku,
setelah kau ketahui jelas duduknya, baru kau datang
memisahkan kita!"
Touw Sian Nio menyambungi kata-kata suaminya tanpa
menanti Kie Tie menanyakannya. Ia kata, "Dia yang
menjanjikan kami datang kemari, tetapi di mulut gunung tadi
dia memasang orang tersembunyi untuk mencelakai kami,
hampir kami suami isteri mati tertimpa hujan batu! Kami tiba di
sini, kami bertemu dengan dia, ketika kami minta pulang anak
kami, dia menolak memulanginya! Sampai saat ini kami belum
tahu anak kami masih hidup atau sudah mati! Lo-cianpwe,
silahkan kau timbang dengan adil! Pantas atau tidak jikalau
kami mengadu jiwa kami?"
Ketika tadi Kie Tie lewat di mulut gunung, ia memang
melihat beberapa mayat. Ia menjadi bersangsi.
"Khong Khong Jie, bagaimana ini?" dia tanya.
Rupanya Khong Khong Jie pun panas hatinya.
"Kau hendak tanya aku dalam urusan apa?" dia balik
menanya, keras.
"Apakah benar-benar kau hendak membinasakan mereka ini
suami isteri?" tanya Ciu-kay.
"Gila!" berteriak Khong Khong Jie. "Mana itu dapat terjadi"
Jikalau aku hendak membunuh mereka, pasti aku telah
melakukannya siang-siang!"
"Jikalau begitu, kenapa kau tidak mau membayar pulang
anak mereka?" Kie Tie tanya pula.
Khong Khong Jie berdiam, tak dapat dia menjawab. Inilah
justeru kesulitannya. Hal itu yang membuatnya merasa malu
sendirinya. Kalau tidak, tentulah tadi dia sudah menjelaskan,
atau membereskannya pada Kui Ciang suami isteri itu.
Sebenarnya Kie Tie dan Khong Khong Jie cuma kenalan
sambil lalu, tidak ada hubungan erat di antara mereka, karena
itu sudah sewajarnya saja ia percaya Toan Kui Ciang dan tak
mempercayai kakak seperguruan Ceng Ceng Jie itu.
Ia pun berpikir, "Han Tam membilang dia baik tetapi ketika
Han Tam mengenalinya, dia masih kecil, sekarang mereka
sudah berpisah buat banyak tahun, siapa tahu dia sudah
berubah sifat?"
Karenanya, ia menjadi curiga. Maka itu, melihat orang
berdiam, ia lantas menanya pula suaranya keras, "Khong Khong
Jie, kenapa kau ragu-ragu" Sebenarnya bagaimanakah
duduknya hal?"
Didesak begitu rupa, Khong Khong Jie menjadi tidak senang,
ia menjadi gusar.
"Orang tua she Kie, apakah kau hendak memeriksa aku?" ia
menegur. "Inilah urusanku, tak usah kau campur tahu!"
Kie Tie menggelogoki araknya, ia berkata dingin, "Aku
bukannya hendak memeriksa kau! Laginya aku si pengemis tua,
seumurku belum pernah aku usilan mencampuri urusan lain
orang! Tapi sekarang aku datang kemari karena aku diminta
tolong oleh Lo-cianpwe Han Tam. Han Lo-cianpwe menyuruh
aku tanya kau, benarkah kau menjadi kemaruk harta atau
pangkat, maka kau jadi bekerja sama dengan Ceng Ceng Jie,
adik seperguruanmu itu?"
Sebetulnya Han Tam menghendaki Kie Tie memberitahukan
saja kepada Khong Khong Jie perihal sekongkolan dari Ong Pek
Thong dengan Ceng Ceng Jie yang mau bekerja sama dengan
An Lok San, dan untuk menanya Khong Khong Jie tahu atau
tidak urusan dua orang itu, tetapi guna mengesankan hal, ia
bicara dengan sikap menegur itu.
Khong Khong Jie sangat menyayangi adik seperguruannya,
dari itu ia menjadi gusar.
"Pengemis tua, kenapa kau ngaco belo?" tegurnya pula.
"Apakah yang tak benar dari adik seperguruanku itu" Kenapa
kau bersikap begini rupa?"
Kie Tie tertawa dingin ketika ia memberikan jawabannya,
"Adik seperguruanmu itu sudah tak segan membantu harimau
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengganas! Mustahilkah kau belum ketahui sepak terjang adik
seperguruanmu itu!"
"Apa kau bilang?" Khong Khong Jie bentak.
"An Lok San lagi mementang pengaruhnya, tidaklah heran
dia dapat membeli Ong Pek Thong!" jawab si pengemis
pengarakan. "Yang tidak disangka-sangka ialah adik
seperguruanmu itu! Dia juga rela menjadi gundal! Sekarang ini
Ong Pek Thong dan An Lok San telah bekerja sama, mereka
berkongkol, kelakuan mereka itu sudah diketahui oleh orangorang
gagah di kolong langit ini! Mengenai adik seperguruanmu
itu, apakah masih hendak kau menyangkal?"
Khong Khong Jie tercengang. Tapi cuma sejenak, dia lantas
membentak, "Angin busuk! Kau memfitnah orang!"
Kie Tie gusar, ia terus mengubarnya.
"Khong Khong Jie!" ia kata nyaring. "Kau muncul dalam
dunia Kang Ouw belum lama, kenapa kau jadi begini jumawa"
Cara bagaimana kau berani mencaci aku si pengemis tua?"
Khong Khong Jie mengerti disini mesti terselip sesuatu, akan
tetapi dia muda dan keras tabiatnya, dia menjadi tak sudi
menggubris si pengemis.
Maka dia tertawa nyaring dan kata, "Bagus, ya! Kau pandang
aku Khong Khong Jie bukan sebagai manusia! Kalau begitu,
buat apa kau bicara secara sahabat denganku" Pengemis tua,
kau majulah!"
Selama itu, Khong Khong Jie melayani Kie Tie berbicara
dengan dia masih terus menempur Toan Kui Ciang dan Hee
Leng Song, mereka kedua pihak sama unggul, tetapi karena
perhatiannya sangat terpengaruhkan, dan dia pun mendongkol,
pemusatannya menjadi terganggu.
Begitulah ketika Toan Kui Ciang menikam secara liehay,
pundaknya kena tertowel hingga terluka dan mengucurkan
darah! Kejadian ini membikin dia menjadi panas hati, dengan
hebat dia maju, guna merangsak orang she Toan itu, ketika
pisau belatinya meluncur, dia mengarah ulu hatinya lawan.
Justeru itu Kie Tie berlompat maju. Pengemis ini tak suka
mengadu mulut, terlebih jauh. Ia menangkis senjata si jago
muda. Buli-buli dan pisau belati bentrok satu dengan lain. Buli-buli,
yang dipandang sebagai mustika itu, kalah kuat, ujung pedang
menumblas bolong, maka seketika juga isinya - arak yang
harum - molos keluar dan berhamburan di tanah!
Touw Sian Nio terkejut, dia berseru.
Justeru itu terdengar juga siulannya Khong Khong Jie, yang
tubuhnya mencelat tinggi, untuk mengangkat kaki, sampai
peluru si nyonya tak dapat menyusulnya.
Dari kejauhan cuma terdengar suaranya ini, "Toan Kui Ciang,
jikalau kau hendak membenci aku, terserah kepada kau!
Tentang anakmu, dibelakang hari pasti aku akan bayar pulang
kepada kamu! Dan kau, pengemis tua, denganmu biarlah dilain
kali kita bertemu pula! Sekarang aku hendak melakukan
penyelidikan, sesudah itu, nanti aku cari kau untuk
membereskan perhitungan kita ini!"
Ketika suara itu berhenti, tubuh Khong Khong Jie pun turut
lenyap. Touw Sian Nio lantas menghampirkan suaminya. Ia terkejut
melihat muka suami itu penuh darah.
"Apakah kau terluka?" dia tanya. "Di mana lukanya?"
"Tidak apa-apa," sahut Kui Ciang, yang tertawa getir. "Pisau
belati Khong Khong Jie dapat menikam aku!"
Tapi Kui Ciang benar terluka dan lukanya sama dengan
lukanya Khong Khong Jie. Tadinya pelurunya sang isteri nyasar
ke dahinya. Setelah melihat luka suaminya itu, Sian Nio mengerti
kekeliruannya. Ia menjadi menyesal, malu dan berduka. Tapi ia
pun mendongkol. Maka ia kata sengit, "Oh, itu bangsat jahat!
Sayang tadi peluruku tidak menghajar picak matanya!"
Kui Ciang sebaliknya kata di dalam hatinya, "Kalau tadi
Khong Khong Jie mengulangi serangannya, kalau tidak
terbinasakan, aku mestinya terluka parah. Syukur Kie Locianpwe
telah menalangi aku, hingga dia rusak buli-bulinya.
Sebenarnya, asal ia mau, Khong Khong Jie dapat menyerang
terus, kenapa ia tak berbuat demikian" Bukankah
penyerangannya itu cuma siasat untuk dia dapat berlompat
mundur, guna mengangkat kaki, jadi bukan untuk mencelakai
aku?" "Sudah, adik Sian," kata ia, mendengar suara isterinya itu.
"Dia sudah kabur, dan lukaku pun ringan, tak usah kau mencaci
dia. Tak usah kau bersusah hati..."
Kie Tie tidak dapat memikir Khong Khong Jie berlaku murah
hati terhadapnya, dia tertawa lebar.
Kata dia, "Toan Tayhiap, benar-benar kau berhati mulia, tak
sembarang orang dapat menyamai kau!"
Kembali dia tertawa, lantas dia menambahkan pada Sian Nio,
"Toan Toaso, sekarang kau toh tak dapat mencaci pula aku si
pengemis tua, bukan?"
"Oh, maaf lo-cianpwe!" kata Sian Nio lekas, sambil memberi
hormat. "Sayang buli-buliku ini!" kata pula Kie Tie tertawa. "Ha, ha,
ha! Inilah upahnya aku suka usilan terhadap urusan orang
lain!" Kui Ciang pun menghaturkan maaf kepada pengemis jago
itu. Selama itu, Hee Leng Song berdiri diam di pinggiran, ia
tertawa dingin, ia tidak menghiraukan mereka itu.
Kie Tie pun seperti tak menghiraukan segala apa, dia masih
tertawa dan kata, "Hari ini aku mendapat dua rupa pengajaran!
Benar-benar, gemar mencampuri urusan luar berarti membakar
diri sendiri! Bukan saja Khong Khong Jie membenci aku, bahkan
Nona Hee turut mendongkol terhadapku!"
Kui Ciang heran. Ia tak mengerti sikapnya Leng Song itu.
"Keponakanku," ia berkata kepada nona itu, "Lo-cianpwe ini
bukan lain orang, hanya dialah yang dunia Kang Ouw
memanggilnya Ciu-kay Kie Tie! Marilah kau pun menghunjuk
hormatmu kepadanya!"
"Kita berdua sudah bertemu terlebih dahulu daripada ini,"
berkata Nona Hee tawar. "Hm! Meski dia bukannya konco dari
Khong Khong Jie, dia toh konconya Hong-hu Siong! Tidak dapat
aku memandang sebagai lo-cianpwe!"
Paras Kui Ciang berubah, ia menjadi jengah sekali.
"Keponakanku, harap kau bicara tak melupai adat
kehormatan," kata ia, masgul. "Kau baru muncul di dalam dunia
Kang Ouw, mungkin ada yang kau belum ketahui jelas. Kie Locianpwe
ini bersama Hong-hu Siong serta seorang pengemis
lain, yaitu Hong-kay We Wat, adalah yang dijulukkan Kang Ouw
Ie-kay. Apa yang beda ialah sepak terjang Hong-hu Siong tak
sama dengan sepak terjang mereka berdua. Hong-hu Siong itu
manusia aneh, dia sesat, dia suka berbuat jahat dan keliru.
Tidak demikian dengan We dan Kie Lo-cianpwe ini, mereka
bahkan tersohor sekali sikapnya membenci kejahatan seperti
musuh! Mana dapat Hong-hu Siong disamakan dengan mereka
itu berdua" Maka itu aku percaya kau mestinya telah
memperoleh pendengaran yang keliru. Keponakanku, mari kau
memberi hormat pada Kie Lo-cianpwe!"
Leng Song berdiri tetap dan tegak, sepasang alisnya bangun
berdiri. Kelihatannya ia hendak bicara tetapi rupanya malang
terhadap Tan Kui Ciang.
Toan Tayhiap menjadi heran sekali, hingga ia ingin bicara
lebih jauh atau Kie Tie, yang tertawa lebar, mendahului ia.
"Toan Tayhiap, kata si pengemis, "Kaulah seorang yang aku
hormati, hanya kata-katamu kali ini tidak tepat!" "Kenapa tak
tepat?" ia tanya.
"Aku si pengemis tua, tak sanggup aku bicara sempurna
seperti kau," kata Kie Tie perlahan dan sabat. "Di mataku, aku
si pengemis tak demikian baik seperti katamu barusan, sedang
Hong-hu Siong tidak demikian busuk seperti uraianmu ini!"
"Nah, bagaimana?" kata Leng Song menyelak, tawar. "Kau
masih membilangnya dia bukan konconya Hong-hu Siong! Di
dalam segala bidang, dia membelai orang she Hong-hu itu! Dia
membeli Hong-hu Siong, kenapa aku dicegah untuk menuntut
balas?" Kui Ciang mengerutkan alisnya.
"Bagaimana ini?" ia tanya Leng Song.
Ia bingung sekali.
"Di antara kau dan Kie Lo-cianpwe ada selisih paham apa,
keponakanku?"
Nona Hee habis sabarnya.
"Bukan melainkan selisih paham!" sahut Leng Song sengit.
"Toan Peehu, jikalau aku tidak memandang kau, pasti sekarang
aku sudah melakukan pembalasan sakit hatinya ibuku!"
Mau atau tidak, Kui Ciang terkejut.
"Apa kau bilang?" ia tanya. "Kie Lo-cianpwe menjadi sahabat
karib dari almarhum ayahmu, cara bagaimana dia dapat
menjadi musuh ibumu?"
Mukanya Nona Hee menjadi merah. Ia jengah.
"Dia... dia omong tidak keruan terhadap aku!" teriaknya.
"Dia menghina ayah dan ibuku...!"
Mata Kui Ciang dipentang lebar dipakai mengawasi CIu Kay,
si pengemis jago arak.
Kie Tie tidak menjadi gusar, sebaliknya dia bersenyum.
"Nona Hee," katanya, sabar, "Coba kau ulangi apa katakataku
untuk didengar oleh Toan Peehu kau ini, agar dia
menimbangnya benar atau tidak aku berlaku tak pantas
terhadapmu?"
Kui Ciang memandang si nona.
"Keponakanku," kata ia, sabar, "Aku dan ayahmu menjadi
sahabat kekal, terhadapku kau boleh menyebutkan segala apa,
tidak ada halangannya."
Leng Song mendongkol sekali.
"Dia... dia membilangi aku bahwa aku bukannya orang she
Hee!" kata dia keras. "Dia juga kata ayahku bukannya Hee
Seng To! Itu... itu... bukankah suatu penghinaan untuk ayah
dan ibuku?"
Saking gusar, nona ini hendak menghunus pedangnya.
Kecurigaan, atau kesangsian Toan Kui Ciang, timbul secara
tiba-tiba. Ia lantas ingat peristiwa di malaman pernikahan di
antara Leng Soat Bwe dan Hee Seng To itu.
Hee Seng To terbinasakan dimalaman itu. Maka itu, dari
mana datangnya anak bernama Leng Song ini" Dulu hari pun ia
sudah pusing memikirkannya, siapa tahu sekarang Kie Tie
menimbulkannya.
"Sabar," ia kata kepada nona itu. Ia terus menoleh kepada
Kie Tie untuk segera menanya, "Kie Lo-cianpwe, itulah
peristiwa yang selama dua puluh tahun telah menjadi perkara
yang tergantung saja. Mestinya lo-cianpwe ketahui itu..."
Kie Tie mengulapkan tangannya.
"Itulah urusan yang tak leluasa untuk dibicarakan di sini!"
katanya. Kui Ciang dapat dikasih mengerti, ia berpengalaman luas.
"Kalau begitu, mari kita pergi bicara di sana," katanya hening
sejenak. "Keponakanku, kau sabar dulu. Urusan ini sangat
penting, mesti aku dapat membikinnya menjadi terang! Kau toh
percaya aku, bukan?"
Leng Song berdiam, ia mengangguk.
Kie Tie sudah lantas berjalan, maka Kui Ciang menyusulnya.
Mereka berjalan sampai kira setengah lie dimana mereka
mencari tempat yang sepi.
"Ketika peristiwa menyedihkan itu terjadi, aku tidak di
tempat kejadian," Kie Tie memberikan keterangannya. "Tapi
aku tahu, kau sendiri justeru berada di sana. Katanya
pembunuhan terjadi sehabisnya orang bersenda gurau
menggodai sepasang mempelai."
"Tidak salah," Kui Ciang membenarkan. "Terjadinya itu tak
sampai setengah bakaran sebatang hio habis orang bersenda
gurau itu. Mempelai laki-laki telah terbunuh dan mempelai
perempuan terculik."
"Kalau begitu, kau percaya perkataanku, bukan?" tanya Kie
Tie. "Pasti sekali Hee Seng To tak dapat mempunyai Nona Hee
itu sebagai puterinya yang tulen?"
"Hal itu... aku mau percaya," kata Kui Ciang, meskipun ia
ragu-ragu. "Habis, siapakah orang yang menjadi ayah yang
sejati itu?"
Kie Tie tidak lantas menjawab, sebaliknya dia menanya dulu,
"Apakah kau pernah bertemu muka dengan pembunuh itu?"
"Malam itu rembulan guram dan bintang-bintang jarang, aku
cuma mendapat lihat punggungnya," Kui Ciang jawab.
"Barangkali yang lain-lainnya?"
"Pasti sekali lain-lain orang juga tak ada yang melihat
mukanya pembunuh itu!" sahut Kui Ciang pula. "Kalau tidak,
tidak nanti perkara itu menjadi perkara gantung sampai
sekarang ini..."
"Tepat!" kata si pengemis. "Semua kamu tidak melihat
pembunuh itu, tetapi kenapa kamu menerka Hong-hu Siong,
bahkan menerka secara pasti sekali?"
"Mengenai itu ada sebabnya," Kui Ciang memberi
keterangan. "Sebelumnya dia menghembuskan napasnya yang
terakhir, mempelai laki-laki itu meninggalkan tulisan yang
belum lengkap. Ialah dia menulis hanya sebuah huruf 'Hong'.
Itu yang pertama. Yang kedua, punggungnya pembunuh itu
terlihat sama dengan punggungnya Hong-hu Siong. Dan yang
ketiga, jikalau dia bukannya Hong-hu Siong, kenapa Leng Bwe
menghendaki puterinya itu membinasakan dia?"
Untuk menjelaskan, Kui Ciang menuturkan peristiwa sedih
malam itu sebagaimana yang ia saksikan sendiri.
Kie Tie menghela napas.
"Pantaslah Hong-hu Siong yang dicurigai," katanya, masgul.
"Mempelai laki-laki mati kecewa dan mempelai perempuan
malang nasibnya, karena sampai sekarang ini duduknya
kejadian tetap masih belum jelas..."
"Sebenarnya bagaimana duduknya hal itu?" tanya Toan Kui
Cian, yang bemapsu memperoleh perjelasan. "Siapa pembunuh
yang sebenarnya itu?"
"Pembunuh itu bukannya Hong-hu Siong," menyahut Kie Tie,
"Cuma dengan Hong-hu Siong, dia ada sangkut pautnya.
Pembunuh itu, dia... dia..."
Kui Ciang menjadi sangat tidak sabaran, begitu juga isterinya
dan Leng Song. Itulah perkara gantung yang sudah berjalan
dua puluh tahun. Ia menjadi tidak sabaran karena Kie Tie main
ayal-ayalan. . "Dia... dia siapakah?" ia tanya mendesak. "Dia..."
Mendadak terasa sampokan angin dari belakang.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada orang!" teriak Kui Ciang terkejut.
"Kau!" Kie Tie berseru seraya dia mementang kedua
tangannya, untuk melindungi Kui Ciang, akan tetapi belum
berhenti suaranya itu atau rubuhnya sudah roboh terbanting!
Kui Ciang kaget bukan kepalang. Tapi ialah seorang jago,
dapat ia menguasai dirinya. Ia tahu itulah hasil perbuatan
serangan gelap dengan senjata rahasia. Tanpa menanti sampai
ia menoleh lagi, untuk melihat siapa tukang bokong itu,
tubuhnya sudah mencelat berputar, untuk lompat
menghampirkan penyerang itu, sedang pedangnya telah
dihunus dan dipakai melindungi dirinya. Ia menjaga diri kalaukalau
serangan gelap itu diulangi.
Berbareng dengan itu terdengar dampratan Leng Song, yang
juga sudah lantas mengejar.
Penyerang itu berlompat lari sambil membalik kepalanya,
terdengar suaranya yang aneh. Suara itu tertawa bukan,
menangis bukan. Toh nadanya sedih. Ia mengasih dengar
suara itu sambil mengawasi Nona Hee.
Toan Kui Ciang sudah lantas mengenali orang itu. Dia bukan
lain daripada Hong-hu Siong. Ia menjadi mendongkol dan gusar
sekali. Tengah orang berdiam mengawasi Leng Song, ia lompat
menerjang dengan satu tikaman hebat.
Hong-hu Siong masih sempat menangkis dengan
tongkatnya, tetapi terdengarnya satu suara nyaring, ujung
tongkat itu kena terhajar hingga "terluka".
Dilain pihak, tangan Kui Ciang tergempur hingga
telapakannya terasa nyeri dan kesemutan, hingga ia mesti
mundur guna mempertahankan kuda-kudanya.
Menggunai ketikanya yang baik itu, Hong-hu Siong lompat
nyamping, untuk menyingkir ke dalam rimba.
Sementara itu Kie Tie, setelah robohnya, cuma mengasih
dengar suara menyayatkan satu kali, terus tidak terdengar apaapa
lagi, karena mana Kui Ciang lari balik untuk menolongi.
Hee Leng Song sebaliknya, dia mengejar terus. Dia sampai
tidak menghiraukan teriakan Kui Ciang, yang memanggil dia
kembali. Touw Sian Nio kuatir nona itu mendapat celaka, sebaliknya
daripada suaminya, dengan membawa panahnya, ia lari
menyusul, guna memberikan bantuannya kalau itu dibutuhkan.
Kui Ciang membiarkan isterinya pergi. Meski ia tahu Hong-hu
Siong liehay, sebagaimana bentrokan barusan telah memberi
bukti kepadanya, akan tetapi ia percaya Leng Song dibantu
isterinya itu tak nanti terkalahkan orang she Hong-hu itu. Ia
hanya memerlukan memeriksa Kie Tie.
Mukanya pengemis itu lantas saja menjadi bersemu hitam
dan dari ujung mulutnya mengalir darah, yang mendatangkan
bau bacin yang keras.
Menampak demikian, orang she Toan ini menjadi kaget
sekali. Itulah tanda dari bencana besar. Tatkala ia mengulur
tangannya meraba tubuh orang, nyata napas Kie Tie telah
lantas berhenti jalan. Ia menjadi mendongkol dan berduka
sekali. Ia melongo sekian lama, akhirnya - tanpa merasa lagi -
ia menangis. "Kie Lo-cianpwe," katanya, sangat menyesal, "Kau masih
mengatakan bukannya Hong-hu Siong. Sekarang jiwamu
diantar pergi oleh tangannya..."
Terang sudah duduknya kejadian. Hong-hu Siong berada di
dekat-dekat situ, ia bersembunyi untuk memasang mata dan
telinga. Ia takut Kie Tie nanti membuka rahasia, maka ia
menurunkan tangan dengan membokong dengan senjata
rahasianya yang berbisa itu.
Terang ia hendak membinasakan Kie Tie dan Kui Ciang
berdua tetapi Kie Tie melindungi si orang she Toan, yang
menjadi tertolong terhindar dari bahaya maut, hanya dia sendiri
yang menjadi korban.
Coba Kie Tie bukan si jago tua, tidak nanti Hong-hde Siong
menurunkan tangan jahat itu. Hanya, apa yang aneh, Kie Tie
membilang Hong-hu Siong bukan pembunuhnya ayah Nona
Hee. Pula aneh, Kie Tie dapat mati lantas sedang dia tangguh.
Kenapa dia tidak mau segera menyebutkan nama si
pembunuh" Kalau si pembunuh benar Hong-hu Siong, apa
mungkin dia mau melindungi orang she Hong-hu itu dengan
memegang rahasia namanya, hingga dia sudi mengorbankan
jiwanya" Sambil menenangkan diri, Toan Kui Ciang membuang tempo
untuk membikin lenyap rasa nyeri di tangannya. Ia ingat
senjatanya Honghu Siong, lantas ia mencari kayu atau ujung
tongkatnya Hong-hu Siong yang kena terbabat pedangnya tadi.
Ia berhasil mendapatkan. Ujung tongkat itu memberi harum
kayu cendana asal Lam Hay, Laut Selatan.
"Hong-hu Siong mempunyai tongkat kayu asal Lam Hay," ia
berpikir, "Tongkat itu hendak aku jadikan bukti. Semua jago
Rimba Persilatan yang tua-tua mesti mengenalnya. Ujung
tongkat ini mesti aku jadikan bukti dari perbuatannya yang
jahat. Aku pun mesti minta bantuannya beberapa orang tertua
untuk mereka itu mencari balas buat Kie Lo-cianpwe...!"
Tak lama maka terlihat Leng Song dan Sian Nio kembali
dengan tangan kosong.
"Rimba sangat lebat, penjahat itu dapat lolos," kata sang
isteri. "Bagaimana dengan Kie Lo-cianpwe?"
"Tak beruntung untuknya, ia sudah menutup mata karena
lukanya," sahut Kui Ciang, masgul. "Mari bantu aku, supaya kita
dapat menguburnya di sini..."
Sian Nio heran.
"Kenapa dia mati demikian lekas?" katanya, yang segera
menghampirkan. Ialah ahli senjata rahasia.
Lantas ia berseru tertahan, "Inilah akibatnya jarum beracun
yang begitu mengenai lantas menutup kerongkongan! Kenapa
Hong-hu Siong dapat menggunai senjata rahasia yang begini
jahat?" Di jaman itu banyak jago Rimba Persilatan menghargai
martabat sendiri. Di antara golongan kelas satu, sangat sedikit
orang yang menggunai senjata itu. Sekarang Hong-hu Siong
menggunai jarum jahat, tidak heran Sian Nio menjadi
tercengang. "Benar!" kata Kui Ciang. "Tadi aku ingat sampai kesitu, adik
Sian. Menurut apa yang aku tahu, Hong-hu Siong belum pernah
menggunakan senjata rahasia, apapula senjata rahasia yang
dipakaikan racun. Mustahilkah... mustahilkah...?"
Sian Nio dapat membade hati suaminya. Ia menggeleng
kepala. "Tak mungkin!" katanya. "Tak mungkin Hong-hu Siong itu
Hong-hu Siong palsu! Bukankah kita bertiga melihatnya tegas
sekali?" "Ibuku membilangi aku Hong-hu Siong licik dan jahat tak
lawannya!" kata Leng Song. "Maka itu aku mau percaya, dia
biasa tak menggunai senjata rahasia melulu siasatnya untuk
membikin martabatnya naik tinggi, tetapi sekarang ini, di saat
begini mendesak, dia tidak dapat memilih jalan lain, maka juga
senjata yang paling jahat dan berbisa pun dia gunai!"
Kui Ciang merasa si nona bicara terpengaruhkan rasa
bencinya, akan tetapi ia telah melihat sendiri kepada Hong-hu
Siong, maka itu, bersangsi atau tidak, ia mau menerima baik
pikiran nona itu.
"Hiantit-lie," kata ia, kemudian, "Hendak aku menanya kau
satu urusan. Aku dengar halnya kau baru ini di gunung Lee
San, di dalam kuil Thouw Tee Bio, telah bertemu dengan Honghu
Siong. Kau katanya hendak membunuh dia, tetapi dia duduk
tak bergeming di lantai, dia menyerah untuk dibunuh. Benarkah
itu?" "Tidak salah, itulah benar," sahut si nona. "Karena itu juga,
ketika itu Lam Tayhiap kena diabui dia, Lam Tayhiap
menganggap dialah seorang baik hingga aku dicegah
membunuhnya. Menurut anggapanku, perbuatan dia itu waktu
mestinya perbuatan sandiwara saja, itu menandakan
kelicikannya. Dia rupanya percaya betul bahwa Lam Tayhiap
bakal menghalang-halangi aku!"
Mendengar demikian, Kui Ciang heran.
"Ketika itu aku tak sadarkan diri," katanya. "Ketika itu Honghu
Siong yang telah menolongi aku dengan memukul mundur
musuh, kemudian dia menolongi jiwaku hingga aku mendusin
dan selamat. Itulah kenyataan. Tapi sekarang terjadi peristiwa
ini. Kenapa dulu dia berbuat sangat baik padaku, dia telah
menolong aku dua kali" Kenapa sekarang dia justeru hendak
membinasakan aku" Kenapa?"
"Engko, kau selalu mengambil pandangan dari sudut yang
menyenangkan," kata Sian Nio. "Apakah yang aneh disini"
Bukankah kau pernah membilangi bahwa ketika dia semula
menolongi kau, dia mengharap supaya kau nanti membalas
budi kepadanya, supaya kau dari imusuh memandangnya
sebagai sahabat" Sekarang dia ketahui permusuhan tak dapat
didamaikan pula, dia pula takut Kie Tie nanti membeber hal
yang sebenarnya hingga kau ketahui duduknya perkara, maka
itu dia pasti ingin menurunkan tangan jahat atas dirimu!"
Leng Song telah menjadi tidak sabaran. Begitu mendengar
perkataannya Sian nio, dia lantas menanyai Kui Ciang,
"Sebetulnya, apakah yang si pengemis tua bilang padamu?"
Kui Ciang ayal-ayalan ketika ia menjawab, "Dia... dia
membilang bahwa Hong-hu Siong bukanlah musuh kamu, akan
tetapi di saat yang paling penting, yaitu ketika dia hendak
menyebutkan- she dan namanya musuhmu itu, dia telah lantas
dibinasakan Hong-hu Siong..."
"Baik, biarkanlah urusan ini!" kata Nona Hee kemudian.
"Ibuku juga bermaksud untuk hanya menyingkirkan bahaya
bagi orang banyak, bukan buat permusuhan yang tak dapat tak
dibereskan di antara Hong-hu Siong dengan kami. Yang aku
hendak tanyakan ialah, apakah pengemis tua itu ada
menyebutkan sesuatu yang mengenai riwayat diriku?"
"Dia belum sampai menyebutkan," sahut Kui Ciang, yang
kembali ragu-ragu, nampaknya dia jengah. "Hanya... hanya aku
mau percaya bahwa apa yang dia telah bilangi kau kiranya
bukan hal ngaco belo saja.
Parasnya Leng Song menjadi pucat, alisnya rapat satu
dengan lain. Hatinya memang seperti terbenam dalam
kegelapan, maka sekarang, boleh ia tak percaya Kie Tie tetapi
ia harus percaya Kui Ciang.
Ia lantas tunduk dan mengeluarkan kata-kata yang tidak
tegas, "Mungkinkah ibu ada menyembunyikan apa-apa
kepadaku?" ia berpikir.
Ia berhenti sejenak, terus ia tanya pula Toan Tayhiap, "Toan
Peehu, kaulah sahabatnya ayahku, dapatkau kau memberikan
keterangan padaku?"
Kui Ciang bersangsi, sulit untuk ia berbicara. Maka ia mesti
berpikir keras.
"Semenjak ayahmu menikah, aku tak pernah melihat pula ia
serta ibumu," ia menjawab kemudian. "Hanya, menurut apa
yang aku duga, Hong-hu Siong itu mungkin benar musuh orang
tuamu, maka itu ibumu menghendaki kau membunuhnya bukan
cuma guna menyingkirkan bencana untuk umum tetapi sekalian
buat membalaskan sakit hatinya sendiri..."
Leng Song cerdas, maka ia lantas dapat merasa Kui Ciang
tidak bicara seluruhnya. Walaupun demikian, berdasarkan
keterangan Kui Ciang ini, ia mau menduga bahwa tentang asal
usulnya sendiri mestilah suatu soal yang ruwet. Maka ia
menggigit bibirnya.
"Baikah, peehu!" katanya. "Jikalau peehu tidak dapat
menjelaskan, baik nanti saja aku pulang untuk menanya
kepada ibuku sendiri..."
"Bukannya aku tidak mau bicara," kata Kui Ciang, sabar,
"Aku hanya tidak dapat bicara lantaran masih ada hal-hal yang
aku belum jelas.
Aku rasa kalau nanti kau sudah bertemu dengan ibumu baru
kau akan megerti duduknya hal yang benar."
"Aku belum pernah bertemu dengan ibumu," kata Sian Nio
pada si nona, "Akan tetapi sudah lama aku mendengar dan
mengagumi dia. Dapatkah aku pergi untuk menjenguk ibumu
itu?" "Bibi suka mengunjungi kami, aku bersyukur bukan main,
pasti kami akan menyambut dengan girang sekali," menyahut
Leng Song, "Hanya di dalam hal ini, aku tak dapat mengambil
keputusan sendiri. Maka itu bagaimana kalau aku pulang dulu
untuk menanyakan ibu, habis mana baru aku memberi kabar
kepada bibi" Tabiat itu ada sedikit aneh, ia tak suka bertemu
dengan orang yang belum dikenal..."
Dengan perkataannya ini, masih ada sesuatu yang si nona
sembunyikan. Itulah pesan wanti-wanti dari ibunya supaya
alamatnya juga jangan diberitahukan kepada Toan Kui Ciang.
Sian Nio tidak dapat memaksa, sedang Kui Ciang berdiam
saja. "Lam Tayhiap sudah pergi ke Hoay-yang," kata Leng Song
kemudian. "Turut apa yang aku tahu, dia hendak
menyampaikan kepada Thio Sunbu dan Kwe Cu Gie tentang
komplotan di antara Ong Pek Thong ayah dan anak dengan An
Lok San. Dari Hoay-yang, dia mau kembali ke Kiu-goan. Lam
Tayhiap minta aku menyampaikan dan menanya kau, peehu,
apakah kau suka pergi menemui dia di Kiu-goan atau tidak?"
Pertanyaan ini ada baiknya untuk Kui Ciang. Ada alasan
untuknya membuka mulut.
"Aku memang mau pergi ke Kiu-goan," sahurnya. "Kalau
nanti kau sudah bertemu dengan ibumu, andaikata ada sesuatu
yang diperlukan dari aku, kau boleh pergi ke Kiu-goan akan
mencari aku di sana."
Leng Song mengangguk.
Sampai disitu, bertiga mereka lantas bekerja, guna menggali
tanah, guna mengubur mayatnya Kie Tie.
Kui Ciang berduka bukan main menyaksikan kuburannya
pengemis jagoan itu, yang tak mestinya terkubur di tempat
belukar itu. Selesai mengubur, ketiga orang ini bersama-sama turun
gunung. Selagi berjalan, semua berdiam. Mereka merasa hati
mereka masing-masing berat sekali.
Baru kemudian Touw Sian Nio menarik napas.
"Selama beberapa bulan ini," katanya masgul, "Pelbagai
urusan yang tak menyenangkan hati datang bersilih ganti, lalu
akhirnya kita menjadi rumah hilang dan orang menutup mata...
Semua itu mirip dengan impian buruk yang tak pernah tamat!"
Kui Ciang merasa sulit menghibur isterinya, tetapi ia paksa
tertawa dan kata, "Mungkin itu disebabkan kita sudah
merasakan hidup berbahagia sepuluh tahun lamanya, maka
Thie-kong sengaja membuat kita merasakan penderitaan..."
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Leng Song tidak turut bicara. Ia hanya memanggil kuda
putihnya, yang terus muncul.
"Sampai kita bertemu pula!" katanya seraya lompat atas
kudanya, untuk terus kabur dengan menepas airmata...
Hari dan bulan berlalu dengan cepat, banyak yang telah
berganti rupa. Sejak Ong Pek Thong dan anak-anaknya
memukul hancur benteng Hui Houw San, tujuh tahun telah
berselang. Selama tujuh tahun ini, banyak perubahan dalam
dunia Sungai Telaga.
Dengan runtuhnya Keluarga Touw, Keluarga Ong telah
menggantikannya. Benar telah terjadi itu kekacauan di lembah
Liong Bin Kok dimana rahasianya Keluarga Ong terbuka, hingga
kaum Rimba Hijau menjadi terpecah, Ong Pek Thong tetap
tercapai cita-citanya menjadi Lok-lim Beng-cu, ketua kaum
Rimba Hijau, dan orang Rimba Hijau yang menghamba
kepadanya juga berjumlah besar. Maka dalam kalangan Rimba
Hijau itu, pengaruhnya menjadi besar sekali, bahkan paling
besar. Dengan begitu juga, maka orang telah mulai melupakan
kemashuran Touw-kee Ngo-houw, Lima Harimau Keluarga
Touw dari gunung Hui Houw San itu.
Di kalangan pemerintahan, sebaliknya, Pemerintah Agung
nampak makin lemah, sedang pengaruhnya An Lok San
bertambah besar, dengan kedudukannya sebagai pembesar
dari tiga kota Hoan-yang, Peng-pou dan Hoo-tong, dia seperti
sebuah negara yang merdeka sendiri di bagian utara itu. Dia
mempunyai tentara dan rangsum yang jumlahnya melebihkan
rangsum dan tentara pemerintah.
Pada suatu hari di dalam bulan sembilan dari tahun Thian Po
ke empat belas dari Kerajaan Tong, di tanah datar di dalam
wilayah kota Peng-yang, ada seorang penunggang kuda yang
lagi mengaburkan kudanya. Dialah seorang perwira dengan
potongan yang disebut "berpinggang beruang dan
berpunggung harimau".
Inilah tidak heran, sebab dialah Cin Siang, turunan dari
Jenderal Cin Siok Poo, salah satu panglima perang yang turut
membangun Kerajaan
Tong, dan sekarang dialah satu di antara Toa-kho-ciu, orang
tergagah, di dalam istana kaisar.
Cin Siang sedang bertugas, dia diperintah mengikut Tiong-su
Phang Sin Wie yang diutus Pemerintah Agung untuk menemui
An Lok San, guna "menghibur" itu Ciat-touw-su yang sangat
besar pengaruhnya, guna membikin hati tenteram.
Dia mengaburkan kudanya sebab dia berlalu secara diamdiam
dari kota Hoan-yang yang menjadi tempat kedudukannya
An Lok San. Dia mau pulang ke kota raja guna menyampaikan
laporan kepada pemerintah tentang cita-cita atau aksinya An
Lok San untuk menerbitkan huru-hara, buat berontak terhadap
Pemerintah Agung.
Pada tujuh tahun yang sudah berlalu, Kwe Cu Gie sudah
mengajukan laporan rahasia kepada Raja Hian Cong halnya An
Lok San lagi bekerja keras "membeli" orang-orang Rimba Hijau
serta mengumpulkan kuda dan tentara, untuk persediaannya
berontak merobohkan pemerintah, tetapi laporan itu tidak
dihiraukan. Raja sedang sangat percaya pada Ciat-touw-su itu yang
disayanginya, sedang Yo Kui-hui telah bicara baik perihal
panglima di perbatasan itu. Didiamkannya laporan rahasia itu
membuatnya An Lok San merdeka dengan persiapannya itu.
An Lok San cerdik. Tahun dulu itu dia tidak segera
mengangkat senjata disebabkan tiga soal. Pertama-tama
persiapannya belum matang. Kedua lantaran siasatnya
menggunai tenaga Ong Pek Thong menghadapi rintangan. Dan
ketiga, dia telah mendengar selentingan perihal laporan rahasia
dari Kwe Cu Gie itu. Maka terpaksa dia terus beraksi bersetia
kepada Kaisar Hian Cong, yang diabuinya.
Dengan demikian juga, tahun ketemu tahun,
pemberontakannya belum dapat diletupkan. Barulah tahun ini
dia merasa waktunya sudah tiba buat turun tangan karena
tentaranya sudah berjumlah besar dan kepala perangnya
banyak. Dia percaya bahwa dialah yang bakal merebut
kemenangan. Demikian dengan alasan "mempersembahkan kuda" dia telah
menghaturkan suratnya. Dia kata daerah perbatasan tempat
bertugasnya itu menjadi tempat yang mengeluarkan kuda
pilihan, maka ia sudah memilih tiga ribu ekor lebih dan
mempersembahkannya kepada junjungannya yang maha
agung. Dia menjelaskan kudanya itu dapat dipakai andaikata Raja
mau menyerang ke timur atau menerjang ke barat, sebab
setiap, kuda telah diperlengkapi pelana yang dapat memuat
dua orang serdadu. Dia kata dia mengutus dua puluh empat
Hoan-ciang, perwira suku perbatasan, guna mengantari semua
kuda itu, sedang hari keberangkatannya bakal dipilih dan
ditetapkan. Karena itu dia minta Raja memerintahkan semua
pembesar, yang daerahnya bakal dilalui rombongan kuda itu,
bersiap sedia menyambut dan mengatur rumput makanan
kuda. Kapan Kaisar Hian Cong menerima surat itu, mau atau tidak,
timbul juga kecurigaannya, tak perduli ia sangat percaya
panglimanya itu. Ia pikir, kalau seekor kuda dapat membawa
dua serdadu, tiga ribu ekor berarti enam ribu serdadu, dan
rombongan itu diantar juga dua puluh empat Hoan-ciang,
sedang setiap Hoan-ciang mesti ada pengikutnya lagi.
Tidakkah jumlahnya semua akan ada kira sepuluh ribu jiwa"
Kalau mereka itu dibiarkan memasuki kota Tiang-an, tidakkah
mereka membahayakan"
Lantas Raja mengadakan sidang. Para menteri menganggap
An Lok San harus dicurigai dan tak dapat dipercaya. Mereka
kata berbahaya kalau "kudanya" An Lok San itu dibiarkan
memasuki kota raja. Maka mereka mengusulkan supaya An Lok
San ditegur. Walaupun para menteri bersikap demikian rupa, Kaisar Hian
Cong bersangsi. Ia masih tak percaya An Lok San benar berniat
berontak. Karenanya ia kuaur, kalau An Lok San ditegur, dia
jadi tak senang hati dan benar-benar berontak.
Kesangsian Raja menyebabkan seorang menteri tua
mengusulkan untuk dengan lunak mencegah An Lok San
mengirimkan hadiah kudanya itu. Usul itu diterima baik. Maka
itu Tiong-su Phang Sin Wie lantas diutus ke Hoan-yang.
Dalam firman kepada An Lok San, Raja puji kesetiaan
panglirna itu, bahwa ia merasa senang, kemudian dengan
manis hadiah ditampik, yaitu katanya kuda itu tak usah dikirim
ke kota raja. Sebagai alasan dikemukakan kuda mesti berjalan
untuk banyak hari sedang itu waktu permulaan musim rontok,
musim panen. Dikatakan baiklah pengiriman ditunda saja
sampai lain musim.
Phang Sin Wie bersama Cin Siang telah tiba di Hoan-yang.
An Lok San gusar sekali. Dari kota raja ia sudah menerima
warta rahasia dan mengetahui duduknya hal. Ia tidak mau
keluar menyambut utusan kaisar, dan ketika Phang Sin Wie
membacakan firman, ia juga tidak mau menjalankan
kehormatan dengan bertekuk lutut, bahkan dia duduk agungagungan
di atas pembaringannya, sebuah pembaringan model
pembaringan orang Ouw (Tartar).
Setelah firman dibacakan, berulang kali dia tertawa dingin,
dengan roman murka dia kata, "Aku dengar kabar Yo Kui-hui di
dalam keraton belajar menunggang kuda, aku pikir Raja
menggemari kuda, aku di sini mempunyai banyak kuda pilihan,
maka mau aku mempersembahkannya. Kalau begini bunyi
firman, baiklah, tak apa aku tidak mempersembahkan!"
Phang Sin Wie melihat pasukan pengiringnya An Lok San
teratur rapi, tak mau ia membantah.
An Lok San memberi tempat beristirahat pada utusan itu,
tapi ia memperlakukannya tawar sekali.
Lewat beberapa hari, Phang Sin Wie mau pulang ke kota
raja, ia mohon menghadap An Lok San, ia menanya ada surat
balasan atau tidak.
Atas itu An Lok San kata, "Firman menyebut lain musim, itu
artinya sampai bulan sepuluh, sekalipun aku tidak
mempersembahkan kuda, aku sendiri bakal datang ke kota raja
untuk melihat pemerintahan, dari itu, buat apa aku memberi
balasan" Bahkan kau sendiri, tak usah kau kesusu pulang, kau
tunggu saja sampai bulan sepuluh, nanti kita berangkat
bersama-sama!"
Phang Sin Wie tidak berani banyak omong. Ia tahu pasti An
Lok San benar mau berontak. Sekembalinya ke gedung
penginapannya, ia lantas berdamai dengan Cin Siang. Ia minta
Cin Siang lekas pulang guna memberi kisikan pada raja, supaya
raja siap sedia.
Cin Siang gagah, dia dirintangi oleh orang-orangnya An Lok
San tetapi dia lolos. Demikian dia kabur dari kota Hoan-yang,
siang dan malam, dan besokannya tengah hari, dia sudah
meninggalkan kota seratus lie lebih. Karena itu, meski kudanya
jempol, kuda itu toh sangat letih dan mulurnya berbusa.
Terpaksa dia mau singgah, supaya kudanya bisa mengaso,
makan rumput dan minum.
Itu waktu Cin Siang berada di kaki gunung. Tiba-tiba dia
dipegat serombongan pasukan berkuda, yang muncul dari
tikungan gunung. Mereka itu memegat sambil meminta uang
cukai jalan. "Jalan gunung ini kami yang buka! Pohon-pohon di sini kami
yang tanam! Siapa mau lewat di sini, dia mesti membayar sewa
jalan!" demikian katanya.
Cin Siang gusar hingga dia berseru, "Bapak kamu she Cin ini
justeru kakek moyang berandal! Kamu kawanan kurcaci tak
tahu nol putul, kamu berani memegat kau?"
Terus dia gunakan sepasang ruyung kim-cong-gan menyerbu
kawanan pemegat itu.
Sepasang senjata itu ada senjata turunan, beratnya enam
puluh empat kati. Dulu hari Cin Siong alias Siok Po, leluhurnya
telah menggunakan senjata itu membantu Lie Sie Bin
membasmi delapan belas raja-raja muda hingga akhirnya
bangunkan Kerajaan Tong. Sekarang Cin Siang menggunainya
melabrak hebat pada kawanan perintangnya ini!
Dari dalam pasukan berandal dengan mendadak muncul dua
orang penunggang kuda yang bersamaan romannya, yang
usianya masing-masing usia pertengahan. Mereka itu mencekal
golok masing-masing di tangan kiri dan tangan kanan.
Dengan lantas mereka mengepung kepada Cin Siang dan
serangannya hebat sekali, sebab dua batang golok mereka
merupakan sebagai segelempang bianglala!
Cin Siang terperanjat. Ia lantas merasa bahwa ia lagi
berhadapan bukan dengan sembarang penjahat. Tapi ia tidak
takut, bahkan ia menyambut mereka dengan seruannya,
"Bagus!"
Sepasang ruyung sudah lantas bekerja menangkis serangan
dahsyat itu. Dua tenaga baru itu ialah dua saudara she Cio yang terjuluk
Im-yang-to atau golok "Im Yang". Keduanya menjadi
sebawahan yang diandalkan Ong Pek Thong karena ilmu golok
mereka yang luar^ biasa. Mereka selalu berkelahi berdua,
disebabkan senjata mereka yang dicekal dengan tangan kiri
dan kanan masing-masing.
Cin Siang tidak mau mengasih hati walaupun orang liehay. Ia
ingin lekas-lekas mengundurkan musuh. Baru beberapa jurus,
mendadak ia menangkis hebat dengan sepasang ruyungnya.
Dua kali beruntun terdengar bentrokan keras, lalu goloknya Cio
It Liong kena dibikin terbang, disusul dengan mentalnya golok
Cio It Houw! Justeru itu ada terdengar suara panah nyaring. Untuk kaum
Rimba Hijau, itulah isyarat untuk menghentikan pertempuran,
tetapi untuk peperangan resmi, itu dapat diartikan sebagai
perbuatan menghina.
Cin Siang tidak senang, ia menangkis panah itu,
membuatnya terpental, hanya berbareng dengan itu ia
merupakan jemparing bertenaga besar sekali.
Segera juga muncul si pelepas panah, seorang penunggang
kuda lainnya. Dialah seorang pemuda yang tampan dan gagah
romannya. Karena dialah Ong Liong Kek, anaknya Ong Pek
Thong. Liong Kek pandai ilmu totok, senjatanya yang biasa ialah
sepasang thie-san-ie atau kipas besi, akan tetapi senjata
pendek itu tak leluasa dipakai dalam pertempuran sambil
menunggang kuda, maka ia tukar itu dengan sepasang poankoan-
pit, gegaman semacam alat tulis yang istimewa, ialah
empat kaki lebih panjangnya, sedang yang umum ialah enam
kaki delapan dim.
"Tuan!" Liong Kek menyapa setelah dia datang dekat,
"Didalam pasukan pemerintah ada perwira segagah kau, itulah
hal yang langka! Tuan, mengapa kau kesudian menjual jiwamu
kepada negara" Lebih baik tuan turut kami menjadi Raja
Gunung, untuk kita hidup merdeka! Tidakkah itu bagus?"
"Bangsat cilik, angin busuk!" Cin Siang membentak, seraya
dengan Kim-cong-gan, ruyungnya, ia lantas menyerang.
Liong Kek waspada. Ia berkelit dengan sebat. Tubuhnya
berguling, untuk berputaran pada perut kudanya. Itulah tipu
silat "Kim-lie Coan-po," atau "Ikan gabus menembus
gelombang". Kedua kakinya dengan liehay menyantel pada
pelananya. Cin Siang ingat perjalanannya. Begitu serangannya itu gagal,
ia mengedul tali lesnya dan kedua kakinya menjepit perut
kudanya, untuk membikin kuda itu berlompat kabur. Akan
tetapi baru kudanya memutar kepala, lawannya sudah lompat
menyusul untuk naik di punggung kudanya itu.
Liehay si anak muda, ia berlompat dengan menggunai tipu
lompat "It-ho Ciong-thian," atau "Burung jenjang terbang ke
langit". Sambil berlompat itu, ia juga menyerang dengan alat
totoknya. Cin Siang menangkis tetapi jgagal, orang sudah bercokol di
punggung kudanya. Ia terkejut, lebih-lebih sebab dengan
senjatanya yang berat enam puluh empat kati itu, sulit untuk
bertempur rapat.
Ong Liong Kek tidak mensia-siakan waktunya yang baik itu.
Segera dia menotok.
Cin Siang tidak dapat menangkis, ia berkelit, akan tetapi
poan-koan-pit sudah mendahului mengenai dadanya hingga
terdengar satu suara nyaring. Ia tidak roboh atau terluka,
sebab ia memakai baju lapis lunak, sedang totokan itu kurang
tepat. Maka itu cuma baju perangnya yang pecah.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cin Siang menjadi sangat gusar. Ingin ia membikin
pembalasan. Dengan sebat ia menancap ruyungnya di sela
pelananya, setelah itu sambil berseru keras, "Pergilah kau!" Ia
menyamber kepada musuhnya itu, menyamber ikat
pinggangnya, untuk terus mengangkat tubuh dia itu!
Liong Kek kaget sekali. Itulah kejadian yang ia mimpikan pun
tidak. Tidak disangka sekali orang berani melepaskan
senjatanya, untuk sebaliknya menggunai tangan kosong!
Bukankah tadi bersenjata dia seperti tak berdaya" Kenapa
dia berani berlaku demikian berani" Maka ia lantas menyerang,
sepasang pirnya ditotokkan ke jalan darah kin-ceng kiri dan
kanan. Hanya baru ia menotok, tubuhnya sudah kena diangkat.
Cin Siang tersohor untuk tenaganya yang besar luar biasa.
Ketika si anak muda kena diangkat, ia merasakan sangat nyeri
sampai ke ulu hatinya, hingga lenyaplah tenaga
perlawanannya. Benar kedua senjatanya menotok lepat akan
tetapi tidak ada hasilnya, bahkan kedua tangannya terpaksa
diturunkan sendirinya.
Dua saudara Cio menjadi sangat kaget, tetapi mereka masih
ingat mengeprak kuda mereka dengan niatnya menolong! Tapi
mereka terlebih kaget lagi. Mereka mendengar Liong Kek
menjerit mengeluh dan rubuhnya diangkat bagaikan badan
ayam yang enteng, karena tubuh jago muda itu dapat
dibulang-balingkan, diputar seperti titiran.
Cin Siang berseru, "Dengan membinasakan bangsat cilik ini
cuma-cuma mengotorkan tanganku!"
Lantas ia melepaskan cekalannya, membikin tubuh orang
terlempar pergi.
Kuda Cin Siang kuda yang terlatih baik, yang telah sering
maju di medan perang. Sebenarnya kuda itu sudah letih sekali,
akan tetapi menghadapi saat-saat yang berbahaya, dia dapat
bertindak tepat. Begitulah dia meringkik keras, dia mengangkat
keempat kakinya, buat berlompat untuk terus lari menerjang
kurungan. Dengan menerbitkan suara menderum, dari belakang
terdengar suaranya anak-anak panah menyamber.
Cin Siang berseru pula. Ia menancap pula senjatanya, yang
ia sudah cabut buat dipakai menerjang musuh, dengan tangan
kosong, ia menyambuti dua batang jemparing, untuk
ditimpukkan dengan keras.
Celaka dua tauwbak yang mengejar, yang melepaskan panah
itu, tak sempat mereka menangkis atau berkelit, anak-anak
panah itu sudah kembali dan menancap di tubuhnya masingmasing,
maka dengan satu teriakan hebat, keduanya roboh
terguling dengan jiwanya melayang dalam sekejap.
Kejadian tersebut membuat sekalian liauwlo menghentikan
pengejaran mereka.
Sementara itu, Liong Kek tidak roboh binasa atau terluka.
Selagi dilemparkan, ia meneruskan bergerak untuk jumpalitan,
maka ia turun di tanah dengan tidak kurang suatu apa.
"Orang she Cin!" ia kata, tertawa dingin. "Hendak aku lihat,
berapa jauh kau dapat menyingkir dari sini" Anak-anak, jangan
perdulikan dia!"
Cin Siang heran. Ia mau menyangka orang menggertak
padanya. Ia pikir, "Coba aku tidak mau lekas kembali ke kota
raja, mesti aku ajar adat kepadamu..."
Maka ia lari terus. Sebentar saja sudah kabur belasan lie. Di
sini kudanya lantas lari perlahan dengan napasnya mengorong.
"Syukur ada kau, kudaku!" kata Cin Siang sambil mengusapusap
leher kudanya itu.
Kemudian ia berpikir pula, "Aku bukannya opsir yang
mengantar rangsum, buat apa kawanan berandal itu memegat
aku" Ah, aku mengerti sekarang! Telah lama aku mendengar
kabar An Lok San berkongkol dengan Rimba Hijau, mungkin
inilah rombongan konconya itu..."
Selagi memikir begitu, Touw-ut ini mendengar suara teguran
yang nyaring tapi halus, "Cin Tayjin, meski kau tidak letih,
kudamu tentu sudah capai sekali! Silahkan kau turun untuk
beristirahat dulu!"
Dengan terkejut Cin Siang menoleh, maka ia melihat seorang
nona yang cantik muncul di hadapannya, melintang di tengah
jalan. Di belakang nona itu ada rombongannya, semua liauwlo
wanita, jumlahnya belasan, dan mereka itu membawa sehelai
bendera sulam air emas yang merupakan seekor burung walet.
Rombongan itu memernahkan diri sebagai perintang.
"Kau bikin apa?" tanya Touw-ut ini heran. "Apakah kamu
juga, nona-nona, melakukan pekerjaan Jalan Hitam yang tidak
memakai modal?"
Nona itu sangat cantik, maka itu meski Cin Siang menduga
dia terang tak bermaksud baik, ia menyaksikan merekalah
kawanan berandal. Karena itu ia mengajukan pertanyaannya
itu. Si nona tertawa.
"Cin Tayjin, nyatalah kau memandang sangat enteng kepada
kami!" katanya. "Apakah kau kira pekerjaan Jalan Hitam tanpa
modal itu cuma pekerjaan bangsa pria" Tapi janganlah kau
takut! Aku tidak menghendaki jiwamu, aku melainkan memikir
mengundang kau datang ke tempat kami, untuk berdiam buat
beberapa hari! Kau sudah melakukan perjalanan cepat dan jauh
sekali, sudah selayaknya kau singgah untuk beristirahat!"
"Aku tidak mempunyai tempo luang untuk dilewatkan
bersama kamu!" Cin Siang menjawab. "Maka itu lekaslah kau
membuka jalan untukku!"
-ooo0dw0ooo- Jilid 13 Seorang serdadu wanita itu tertawa.
"Kau berani sekali!" katanya. "Nona kami mengundang kau
menjadi tetamu kami, kenapa kau tidak tahu salatan?"
Tak sudi Cin Siang melayani orang perempuan, ia menahan
sabar. "Kita tidak kenal satu dengan lain, aku bersyukur yang kamu
begini baik hati," ia kata. "Tapi aku perlu melanjuti
perjalananku sebab aku mempunyai urusan penting! Tolong
kau memberi aku lewat!"
Si nona, yang sedari tadi mengawasi saja, mendadak
tertawa. "Cin Tayjin," ia berkata, "Menurut perkataan kau ini, kau
jadinya seperti si orang yang diberi selamat dengan arak sudah
menampik tetapi sebaliknya kau meminta arak dendaan!
Apakah kau tahu aturan kami kaum Rimba Hijau?"
Cin Siang mementang sepasang matanya.
"Apakah katamu?" dia menegas.
"Kau sungkan menjadi tetamu kami," kata si nona, "Karena
itu terpaksa kami harus memandang kau sebagai kambing
kami! Kau harus ditangkap untuk dijadikan bingkisan untuk
kami!" Cin Siang mendongkol berbareng merasa lucu. Maka ia
tertawa berkakak.
"Jadi kau juga belajar memberandal?" tanyanya. "Apakah
kau tahu bahwa aku baru saja keluar dari dalam barisan
berandal" Kau baik ketahui sepasang senjataku ini, kesatu tidak
menghajar orang yang tidak punya nama dan kedua tidak
melayani kaum wanita! Aku beri ingat kepada kamu baiklah
kamu bubaran saja!"
Nona itu tidak menjawab, ia juga tidak membilang suatu
apa, hanya dari seorang prajuritnya ia menyambuti sebatang
busur lengkap, untuk dengan itu mendadak dia memanah
kudanya si perwira.
Cin Siang terperanjat, akan tetapi ia masih keburu
menyampok anak panah. Karena itu, ia kembali menjadi
terkejut. Kali ini disebabkan ia merasa jemparing itu bertenaga
besar. Inilah diluar dugaannya. Kudanya lompat berjingkrak
disebabkan jemparing melesat ke kakinya!
Ia lompat turun dari kuda yang ia sayang itu, sambil
menepuk-nepuk ia kata, "Kudaku, kudaku, pergilah kau ke
depan! Di sana kau tunggui aku!"
Kuda itu benar-benar mengerti, dia terus lari menuju ke
jalanan samping mereka.
Barisan si nona pun bekerja sangat sebat, mendadak mereka
menggunai empat buah gaetan, kuda itu lantas tergaet roboh,
sedang seorang nona menyamber lesnya, hingga dia lantas
kena ditarik. "Itulah kuda jempolan!" berkata si nona tertawa. "Baikbaiklah
rawat lukanya!"
Kemudian ia menoleh kepada Cin Siang, untuk berkata
sambil tertawa terkekeh, "Cin Tayjin, kudamu ini kuda
jempolan, cuma masih ada kekurangannya! Dan itu sepasang
kim-gan, yang mengkilat kuning, pasti itu terbuatnya dari emas
perada dan beratnya mungkin seratus kati, itulah tentu besar
harganya! Sekarang begini saja, kuda itu ditambah kim-gan itu,
senjatamu itu, cukup untuk memberi muka padamu, maka kau
tinggallah, silahkan kau pergi!"
Cin Siang gusar bukan main.
"Jikalau kau masih ngoceh saja, awas, aku tak akan
sungkan-sungkan lagi!" katanya sengit. Si nona tertawa.
"Apakah sekarang kau suka menempur kami bangsa
perempuan?" ia tanya. "Baiklah! Asal kau dapat menangkan
pedangku ini, akan aku memberi kemerdekaan padamu untuk
lewat di sini dan kudamu juga akan aku bayar pulang!"
Cin Siang mendongkol bukan main. Ia lantas menghajar
sebuah pohon di sisi jalan, hingga pohon itu patah dan roboh.
"Nona, lihatlah biar tegas," ia kata. "Kau lihat senjataku
bukan senjata main-main! Apakah benar kau hendak
menempur aku satu sama satu?"
Si nona bersenyum.
"Telah aku melihat tegas!" sahutnya. "Cuma harus kau ingat,
pohon itu pohon mati dan manusia ialah manusia hidup! Aku
tidak percaya senjatamu itu dapat melukakan aku! Disebelah
itu aku tahu baik sekali bahwa pedangku ini pedang yang tak
dapat dibuat permainan!"
Cin Siang menjadi kewalahan.
"Baik!" katanya. "Karena kau bicara besar, kau majulah!"
Si nona dengan sabar merapihkan ikat pinggangnya, lalu
mendadak ia memutar pedangnya sambil berseru, "Kau
sambutlah!"
Lantas juga ia menyerang, membabat lengan orang!
Cin Siang percaya si nona liehay hanya ia tidak menyangka
orang dapat melayaninya, karena itu ia merasa berkasihan dan
ia berkuatir nanti melukai orang, maka ketika ia menangkis, ia
menggunai tenaga tiga bagian.
Kesudahan sikap berkasihannya itu, ia menjadi kaget sekali,
nyata si nona liehay. Dia menyerang untuk menggertak saja,
ketika dia menarik pedangnya, yang mental tertangkis, dengan
tiba-tiba dia meneruskan itu untuk menyerang dada lawan
dimana ada jalan darah soan-kie.
Dalam kaget bukan main, Cin Siang masih sempat membela
diri. Ia melengat dengan tipu silat, "Tiat-poan-kio" atau
"Jembatan besi" Ia dapat bergerak dengan sebat hingga ujung
pedang lewat di atasan mukanya sedikit. Lalu, sebelum si nona
sempat menyerang pula, lekas-lekas ia berdiri tegak, untuk
melakukan serangan membalas dengan sepasang ruyungnya.
Meski begitu, ia masih tak sudi membinasakan si nona, maka
ia menyerang ke arah senjatanya nona itu dengan keinginan
membikin senjata itu terlepas dan jatuh.
"Sungguh liehay!" si nona berseru seraya ia menggunai tipu
huruf "Lolos". Ketika pedangnya nempel dengan ruyung lawan,
ia menariknya pulang dengan tubuhnya lompat melejit. Bahkan
ruyung kanan si Touw-ut mengenai tempat kosong, hingga
tubuhnya meluncur sedikit ke depan!
Si nona tidak berhenti setelah ia bebas itu. ia segera
melakukan pembalasan!
Sampai disitu, Cin Siang tidak berani memandang ringan
kepada lawannya ini. Ia mendapat kenyataan orang gesit luar
biasa dan tenaga dalamnya pun mahir. Karena ini, ia menjadi
berlaku sungguh-sungguh. Sepasang kim-gan digeraki hingga
berkilauan dan suara anginnya menderu-deru.
Si nona tidak menajdi jeri meskipun ia dilawan keras. Ia
tertawa dan berkata, "Cin Tayjin, bukankah sepasang
ruyungmu ini diperantikan menghajar bangsa orang gagah"
Hari ini kau memberi pengajaran kepadaku, aku jadi sangat
girang dan bersyukur sekali terhadapmu!"
Itulah melulu kata-kata untuk memperolok-olok. Sembari
bergurau itu, si nona tapinya tidak beralpa. Dengan liehay ia
menggunai pedangnya.
Muka Cin Siang menjadi merah sendirinya. Orang telah
menyindir kepadanya. Ia pun mendongkol karena hampir saja
iganya kena tertikam ketika si nona merabuh ke kiri dan kanan,
untuk mempermainkannya.
"Bangsat licik!" ia berteriak saking mendongkol. Ia
menyerang dengan pukulan "Heng-in Toan-hong," atau "Awan
melintang memutus puncak". Ia menggunai sepasang
ruyungnya. Ia sampai melupai sang lawan ialah seorang wanita
- seorang nona!
Nona itu cerdik. Ia tahu bahaya, ia tidak mau menangkis. Ia
berkelit. Kembali ia melawan dengan menggunai kelincahannya.
Sia-sia belaka Cin Siang berlaku keras. Ia tetap tidak berhasil
menghajar si nona. Hanya, disamping itu, walaupun ia gesit, si
nona sebaliknya tak dapat merapatkan lawan yang tangguh itu.
Inilah sebab ilmu pedangnya itu belum mencapai puncak
kemahiran, dia masih belum sempurna latihannya. Demikian
mereka nampak sama unggul.
Ketika Cin Siang kabur dari Hoan-yang, dia lebih banyak
mengambil jalan sawah atau belukar, yang sukar dilaLuinya,
sekarang dia berkelahi begini keras, tenaganya keluar banyak
sekali. Lama-lama dia merasa letih juga. Disebabkan
penjagaannya yang rapat, si nona belum dapat menggunai
kesempatannya guna balik mendesak.
Tengah mereka itu berkutat, dari kejauhan terdengar riuh
suara kaki kuda berlari-lari dan berisiknya suara
kelenengannya. Cin Siang dapat mendengar suara itu, ia
mengambil kesempatan buat menoleh sebentar. Lantas- saja ia
mengeluh di dalam hatinya. Di sana mendatangi rombongan
tentara berandal, ialah rombongan yang tadi dilabrak!
Ong Liong Kek, yang menunggang kuda, tertawa lebar.
"Orang she Cin!" teriaknya. "Apa aku bilang" Tak dapat kau
lolos! Sekarang kau tak dapat membilang apa-apa lagi, bukan"
Ha, ha, ha!"
Lalu sambil mengangkat sepasang poan-koan-pitnya, ia
berseru, "Adik Yan, inilah bukan saat orang bertanding
mengadu kepandaian! Buat apa kau mensia-siakan tempo
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melawannya" Ah, buat apakah gaetan kamu itu" Hayo, lekas
kamu bantui nona kamu! Lekas kamu bekuk musuh!"
Kata-kata yang belakangan itu ditujukan kepada barisan
wanita. Memang nona itu adiknya Ong Liong Kek, yaitu Nona
Ong Yan Lie. Barisan wanita itu tidak berani bergerak tanpa ada perintah
nonanya, tetapi sekarang si majikan muda, tak berani mereka
tidak menurut. Maka dengan lantas semuanya bekerja.
Begitulah mereka maju dengan belasan gaetan mereka,
mengarah kakinya si Touw-ut. Ong Liong Kek sendiri sudah
lantas tiba, maka ia menyerbu guna membantui adiknya.
Barisan wanita itu sudah terdidik baik, hebat mereka
menyerang dengan gaetan mereka, senjata yang panjang dan
bercagak itu. Mereka mengurung dari jauh dan menyerang
setiap lowongan, semua serangannya dengan beraturan.
Cin Siang mendongkol dan penasaran. Ia lantas menyerang
dengan tendangan beranta
Pendekar Bayangan Setan 11 Pendekar Cacad Karya Gu Long Bentrok Rimba Persilatan 1
jelasan kepada kami semua?"
Kie Tie melirik orang she Lam itu, lantas dia tertawa.
"Ehem, kau nampaknya sangat memperhatikan si nona!"
katanya. Lalu dia menggeleng kepala. Tapi hanya sebentar, ia tertawa
pula. Lantas dia berkata lagi, menyambungi, "Sekarang belum
tiba saatnya untuk bicara! Meski demikian, dapat aku
menolongi kau melakukan sesuatu..."
Ce In heran hingga kembali ia berdiam saja.
"Ada urusan apakah dari aku maka dia mau mewakilkan
mengurusnya?" ia tanya hati kecilnya.
Kie Tie cuma berhenti sebentar, segera dia berkata pula,
"Apa yang kau pikir dalam hatimu, yang kau belum ucapkan,
aku telah mengetahuinya! Kau jangan kuatir akan aku menjadi
comblangmu! Umpama kata dia tidak menggubris aku si
pengemis bau, akan aku cari si Toan kecil untuk ia membantu
aku berbicara dengannya!"
Muka Lam Ce In menjadi merah karena likat.
"Lo-cianpwe bergurau!" katanya.
"Siapa bilang aku bergurau?" kata jago tua itu, romannya
sungguh-sungguh. "Sekarang juga aku akan pergi! Baiklah aku
omong terus terang pada kau! Dengan datang ke lembang
Liong Bin Kok, aku sengaja hendak menantikan Nona Hee itu,
cuma ia nampaknya sebal terhadap aku si pengemis
bangkotan! Baiklah, sekarang aku mau pergi mencarikan dia
seorang suami yang cocok dengan rasa hatinya, aku percaya
kemudian dia bakal menjadi suka terhadapku!"
Benar-benar jago tua ini lantas berlari pergi.
"Kie Lojie!" Han Tam berseru. "Kalau kau tiba di Giok Sie San
dan bertemu dengan Khong Khong Jie, kau beritahukan dia
halnya Ong Pek Thong sudah berkongkol dengan An Lok San,
andaikata dia tidak percaya pembilanganmu, bilangi dia bahwa
itulah kata-kataku!"
"Aku mengerti!" berkata Kie Tie, yang masih sempat
menjawab. "Hayo, tak dapat aku berayal lagi, nanti tak keburu
aku menyusul dia!"
Seperginya pengemis itu, Han Tam berkata kepada kawankawannya,
"Diantara tiga pengemis aneh dalam dunia Sungai
Telaga, Hong-kay We Wat si edan membenci kejahatan seperti
dia membenci musuhnya, kalau dia turun tangan, dia agak
telengas. See-gak Sin Liong Hong-hu Siong adalah yang sepak
terjangnya rada aneh, dia separuh lurus dan separuh sesat,
sulit untuk memastikannya. Tentang ini pengemis tukang
tenggak susu macan, Ciu-kay Kie Tie, walaupun dia berandalan,
dia paling rajin dan bersungguh-sungguh, gemar sekali dia
membantu atau menolong orang. Di antara orang-orang tiga
agama dan enam golongan, dia mempunyai sahabatsahabatnya.
Dia cuma mempunyai suatu cacad, ialah hatinya
terlalu lemah, kalau dia bukan bertemu dengan orang sangat
jahat, tak mudah dia menjadi gusar, maka juga di antara
sahabat-sahabatnya, selain orang baik-baik ada juga orang
buruk." "Barusan dia tidak sudi bicara, mungkinkah itu disebabkan
dia hendak menutupi keburukannya Hong-hu Siong?" Ce In
tanya. "Aku kira itulah tak mungkin," menjawab Han Tam.
"Umpama kata benar Hong-hu Siong melakukan perbuatan
semacam itu, tidak nanti We Wat berdiam saja. We Wat
menjadi sahabatnya dua orang she Leng dan Hee itu, pastilah
dia sudah bekerja sama menyingkirkan Hong-hu Siong dari ini
dunia! Memang, perkara darah itu pernah menyebabkan
kegemparan Rimba Persilatan dan pernah beberapa orang
gagah membantui Keluarga Hee mencari tahu si pembunuh!
Aku tidak nyana sampai sekarang, sudah berselang dua puluh
tahun, perkara itu masih tetap gelap!"
"Ayah," berkata Han Cie Hun, "Setelah peristiwa di Liong Bin
Kok ini, aku rasa kita tak dapat tinggal dengan aman lagi di
tempat kita ini, maka itu aku pikir baiklah kita pergi ke Giok Sie
San..." Han Tam tertawa.
"Aku tahu kau memang ingin pergi ke sana untuk turut
dalam keramaian!" katanya.
"Benar, ayah!" sahut si nona. ."tapi kepergian kita akan ada
baiknya. Umpama kata terjadi bentrokan pula di antara Khong
Khong Jie dan Toan Tayhiap, ayah dapat datang sama tengah
untuk berusaha mendamaikannya."
"Jikalau kau menduga demikian, kau pasti akan kecele!" kata
ayah itu. "Khong Khong Jie telah memberikan janjinya akan
membayar pulang anak orang, mana bisa terjadi mereka kedua
belah pihak berkelahi pula"
"Apakah ayah tidak kuatir suteenya, Ceng Ceng Jie, nanti
main gila, mengacau diantaranya?" tanya pula si anak dara.
"Aku pernah pikir kemungkinan itu," Han Tam menjawab,
"Akan tetapi Kie Tie sudah berangkat ke sana, seandainya Ceng
Ceng Jie mau main gila, Kie Tie bakal tiba terlebih dahulu, dia
akan menyampaikan pesanku, maka itu, meskipun benar Khong
Khong Jie tidak mempercayai Kie Tie sendiri, dia mesti percaya
aku." Ia hening sejenak, terus ia menambahkan, "Apa yang aku
buat kuatir ialah mereka itu bakal tak melepaskan pada Lam
Tayhiap serta Tiat Siauw-cecu. Maka itu aku pikir baiklah kita
berangkat terus malam ini, untuk mengantarkan mereka ke
Hoay-yang, kemudian bersama Lam Tayhiap kita pergi ke Kiugoan
untuk menemui Kwe Leng-kong, guna membeber
sekongkolan di antara Ong Pek Thong dengan An Lok san,
supaya Kwe Leng-kong dapat mengatur persiagaan. Aku mau
menduga, Khong Khong Jie dan Lam Tayhiap mungkin dari
musuh akan berbalik menjadi sahabat-sahabat satu dengan
lain, hingga kemudian dia akan suka pergi ke Kiu-goan."
Ce In dan Mo Lek girang sekali mendengar perkataannya
jago tua she Han itu. Lebih girang pula Tiat Mo Lek meski
kegirangannya itu disimpan di dalam hatinya. Ia ternyata
sangat suka bergaul dengan Han Cie Hun, yang usianya
sepantaran. Sejak berkenalan, mereka merasa sangat cocok
satu dengan lain, hingga tak suka ia berpisahan...
-o0dw0o- Hee Leng Song tengah mengaburkan kuda putihnya ketika
dengan tiba-tiba ia mendengar suara memanggil di sebelah
belakangnya, "Nona Hee, tunggu sebentar! Aku si pengemis tua
hendak ada bicara denganmu!"
Ia lantas menoleh dan melihat si pengemis tukang mabuk.
Dengan di punggungnya tergendol buli-bulinya yang besar,
pengemis itu bernapas mengorong, meski demikian, dengan
lekas dia sudah menyandak. Ia menjadi heran, ia mengawasi
terus. "Kudaku lari keras sekali, kenapa pengemis tua ini dapat
menyusul aku?" ia kata di dalam hati. "Dengan begini bukankah
ternyata dalam ilmu ringan tubuh dia melebihkan Khong Khong
Jie?" Nona itu berpikir demikian tanpa ia ketahui, meski benar
barusan dia telah mengambil jalan memotong, sebab dia kenal
baik keadaan tempat yang dilalui ini.
Leng Song tidak puas. Ia sebal untuk orang punya bau arak.
"Ada urusan apa Kie Lo-cianpwe?" ia tanya terpaksa.
"Kabarnya nona mau pergi membunuh See-gak Sin Liong
Hong-hu Siong, benarkan itu?" Kie Tie tanya langsung.
"Benar!" jawab Leng Song, terus terang. "Dia telah
melakukan banyak kejahatan, maka aku menerima perintah
ibuku untuk menolong dunia Kang Ouw menyingkirkan
ancaman malapetaka!"
"Hong-hu Siong tidak dapat dibinasakan!" kata Kie Tie.
Kembali Leng Song heran.
"Kenapa tak dapat?" ia tanya.
"Tuduhan ibumu bahwa dia telah melakukan perbuatanperbuatan
busuk itu, tak ada satu jua yang benar-benar
dilakukan tangannya sendiri!"
Nona Hee menjadi gusar, hingga ia melupakan ia lagi
berhadapan dengan seorang lo-cianpwe, yang martabatnya
jauh terlebih tinggi.
"Ngaco!" ia membentak. "Menurut kau, mustahilkan ibuku
mendusta?"
"Ibumu juga bukannya mendusta," kata Kie Tie.
Ia tidak menjadi tidak senang.
"Didalam urusan kamu ini telah terbit salah faham!
Musuhnya ibumu bukannya dia!"
"Memang juga ibuku sendiri tak langsung bermusuh
dengannya!" kata Leng Song. "Sebenarnya dia telah mencelakai
bukan sedikit orang, maka juga ibu berniat mesti
membunuhnya! Aku lihat, yang salah mengerti ialah kau!"
"Keliru! Keliru! Keliru...!" kata Kie Tie berulang-ulang.
Leng Song heran, ia mengawasi. Ia melihat sikap orang luar
biasa sekali. "Kenapa keliru?" ia menegaskan.
Si pengemis tukang tenggak susu macan menghela napas.
"Ah...!" katanya. "Soal ini tak dapat aku bicara jelas
denganmu. Sekarang ini di mana adanya ibumu" Hendak aku
bicara sendiri dengannya!"
"Ibuku tak menemui orang luar!" jawab si nona tawar.
"Kalau kau mau bicara, bicara saja dengan aku!"
Kie Tie mengerutkan kening. Ia bersangsi.
"Jikalau kau tidak suka bicara padaku, ya sudah!" kata Leng
Song. "Nah, aku hendak lekas-lekas melanjuti perjalananku!"
Nona ini menarik tali les kudanya atas mana si kuda putih
menggeraki keempat kakinya.
"Baiklah!" Kie Tie berkata, nyaring. "Baik, akan aku bicara
denganmu!"
Leng Song menahan pula kudanya. Dengan sikap ogahogahan
atau tak sabaran, ia berpaling.
"Kau bicaralah!" katanya. "Dapat aku mendengar, tak usah
kau bicara keras-keras!"
Kie Tie mengawasi, dia kata, "Hong-hu Siong tidak ada
sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah itu, orang yang
berlaku tak selayaknya terhadap ibumu itu ialah seorang
lainnya. Dia..."
"Bagaimana?" Leng Song menyelak, tak sabaran.
"Dia itu, walaupun dia berhati tak lurus, dia tak dapat
dibunuh olehmu!"
Nona Hee tertawa tawar.
"Benar-benar aku tidak mengerti apa maksud kata-katamu
itu!" katanya. "Bagus benar! Hong-hu Siong itu orang baik, dia
tak dibunuh! Lalu itu orang lainnya, dia orang jahat, tetapi dia
tak dibunuh juga! Bagaimana aneh perkataan kau ini"
Sudahlah, tak usah kau bicara lebih jauh! Aku tahu kau dengan
Hong-hu Siong satu komplotan!"
Kie Tie sabar sekali.
"Tak dapatkan kau mendengari lagi satu perkataanku?" dia
tanya. Mendadak jago tua ini mencelat ke depan hingga tahu-tahu
dia sudah menyambar buntut kuda si nona. Sambil menarik
binatang tunggangan itu dia menanya, "Tahukah kau, nona,
kau she apa" Kau bukannya she Hee dan ayahmu juga
bukannya Hee Seng To!"
Leng Song gusar sekali, hingga ia sudah lantas menghunus
pedangnya. "Angin busuk!" ia membentak sengit. "Jikalau kau mau main
gila, pergilah ke lain tempat, tak dapat aku mendengar
suaramu yang bau busuk!"
Perkataan itu ditutup dengan serangan pedang yang cepat
sekali. Kie Tie tidak mau melayani, ia melepaskan cekalannya
sambil ia berlompat mundur.
Justeru orang menyingkir, si nona mengeprak kudanya untuk
dikasih kabur. Selang tak lama, ia sudah lari jauhnya belasan lie
karena kudanya itu lari sangat pesat. Ia mendongkol dan gusar,
tetapi ia pun heran hingga timbul keragu-raguannya.
"Dia mabuk arak tetapi dia tak mabuk hingga lupa daratan,"
ia berpikir. "Mustahilkan jauh-jauh dia menyusul aku cuma untuk
mengasih dengar ocehan belaka" Mungkinkah dia bermaksud
benar-benar" Ah, tak mungkin... Setiap orang mengatakan
romanku mirip dengan ibuku, maka itu kenapa aku bukannya
anak ibuku itu" Ibu mempunyai cuma seorang suami, kenapa
ayahku bukannya Hee Seng To" Hm! Tak perduli si pengemis
bau cuma ngaco belo, dia tetap sudah menghina ibuku!"
Meski demikian, walaupun ia menyangsikan Kie Tie, Nona
Hee tetap bersangsi. Maka lekas-lekas ia mengambil keputusan,
"Toan Tayhiap menjadi sahabat kekal ibuku, baik aku tunggu
sampai aku bertemu dengannya, nanti aku sampaikan padanya
kata-kata si pengemis edan ini, hendak aku lihat apa kata
tayhiap..."
Karena itu, Leng Song mesti menyusul Toan Kui Ciang dan
Touw Sian Nio, suami isteri itu yang pikirannya sedang
terganggu soal keselamatan anak mereka. Mereka melakukan
perjalanan terus menerus, tak siang tak malam. Maka pada
suatu hari tibalah mereka di kaki gunung Giok Sie San.
Dengan Lantas Sian Nio diganggu oleh kesangsiannya.
Khong Khong Jie menjadi musuh besar keluarganya - Keluarga
Touw - sekarang dia hendak pergi kepada musuh itu untuk
minta pulang anaknya! Ia merasa malu dan likat, sedang juga,
hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan besar.
Kui Ciang dapat mengerti pikiran sang isteri, di tengah jalan
ia sudah mengasih penjelasan dan hiburan, belum dapat ia
membikin lega hati isterinya itu.
Demikian mereka membuat perjalanan, sampai mereka tiba
di gunung Giok Sie San. Gunung itu tinggi dan penuh salju,
yang tak putusnya, hingga dipandang dari jauh, puncaknya
yang putih mirip sebuah tiang kemala yang menjulang
menembusi mega. Pula jalanan mendaki gunung sukar sekali,
banyak batunya yang besar dan luar biasa bentuknya.
Dari mulut gunung terlihat sebuah selat dan lembah yang
panjang, tak nampak ujungnya. Penglihatan selat itu
menyeramkan. "Engko," kata Sian Nio, yang timbul kecurigaannya. "Kalau
Khong Khong Jie mengandung maksud buruk, dan dengan jalan
ini dia menjebak kita ke dalam perangkapnya, pasti kita bisa
celaka tanpa ada yang ketahui...!"
"Kau terlalu bercuriga, adikku," kata Kui Ciang, menghibur.
"Khong Khong Jie terlebih liehay daripada kita, jikalau benar dia
berniat membikin kita mati, buat apa dia memilih jalan ini?"
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi," kata si isteri, yang kecurigaannya tak mudah lenyap,
"Tapi ingat gunung Giok Sie San ini terpisah jauh delapan ratus
lie dari gunung Hui Houw San, kenapa dia bukan ambil tempat
yang dekat hanya memilih tempat jauh ini guna
menyembunyikan anak kita?"
Pertanyaan ini benar dan Kui Ciang juga tak mengerti, akan
tetapi guna membujuki isterinya, ia menjawab, "Mungkin dia
mau pertontonkan ilmu ringan tubuhnya, supaya dia dapat
menaklukkan kita..."
Khong Khong Jie itu, habis menculik anaknya Kui Ciang,
lantas di hari keduanya, lewat tengah hari, berangkat ke Hui
Houw San dimana cfia mengajukan tantangannya. Maka itu,
kalau benar dia telah pergi ke Giok Sie San, hingga dia mesti
melakukan perjalanan pergi pulang demikian cepat, sungguh
ilmu ringan tubuhnya luar biasa sekali. Touw Sian Nio
menggeleng kepala.
"Aku tidak percaya dia di dalam tempo satu malam dan satu
hari dapat melakukan perjalanan seribu lie lebih!" katanya.
"Aku lebih percaya kalau dia cuma memancing kita datang ke
mari!" "Kalau tidak demikian, mungkin gunung inilah rumahnya,"
Kui Ciang membujuk pula. "Boleh jadi sekali dia tidak percaya
Ong Pek Thong maka dia kirim orangnya membawa anak kita
pulang ke rumahnya ini, untuk disembunyikan di sini."
"Begitulah kau percaya Khong Khong Jie?" sang isteri tanya.
"Kita sudah sampai di sini, kita percaya atau tidak
kesudahannya sama saja!" kata sang suami. "Apa daya
sekarang" Aku percaya kita dapat naik ke atas puncak dalam
tempo setengah harian. Mari kita naik terus, sampai di atas
baru kita lihat, nanti kita mandapat tahu segala apa!"
"Sebenarnya aku tidak tahu Giok Sie San begini jauh," kata
Sian Nio ragu-ragu, "Maka juga selama di sepanjang jalan,
makin lama kecurigaanku makin besar. Aku lihat, pastilah
perjalanan kita ini perjalanan sia-sia belaka. Taruh kata benar
Khong Khong Jie tidak berniat mencelakai kita, sedikitnya dia
pasti sengaja hendak mempermainkannya!"
"Adik Sian," kata sang suami, sabar, "Aku minta janganlah
kau pandang segala urusan dari sudut buruknya..."
Belum berhenti kata-kata Kui Ciang atau mereka segera
mendengar suara yang menggelegar keras, hingga mereka
terkejut dan lantas mengangkat kepala, melihat ke atas.
Untuk kagetnya mereka, mereka mendapatkan sebuah batu
besar lagi menggelinding turun ke arah mereka. Dengan lantas
mereka lompat berkelit.
Mulanya tayhiap itu sangka itu hanya batu yang
menggelinding secara kebetulan saja, tak tahunya, habis itu,
lantas terdengar suara lainnya, lantas mereka melihat jatuhnya
beberapa batu lain saling susul!
"Ada orang di atas!" Sian Nio berseru.
Benarlah Nyonya Toan ini. Ketika beberapa buah batu itu
jatuh terus tanpa meminta korban, di atas gunung terlihat
munculnya beberapa orang.
"Telur tolol!" berteriak seorang diantaranya. "Siapa suruh
kamu datang sendiri masuk dalam jaring perangkap" Kamu
sudah memasuki tempat kematian, apakah kamu masih
memikir buart hidup lebih lama pula?"
Toan Kui Ciang jadi sangat gusar, maka ia lantas berteriak,
"Khong Khong Jie! Aku menganggap kaulah seorang laki-laki
sejati, tak tahunya kau begini hina dina! Marilah kau perlihatkan
dirimu!" Dari atas itu terdengar ejekan, "Untuk membereskan kamu
dua butir telur apa kami membutuhkan bantuan Khong Khong
Jie?" Kata-kata itu diiring dengan tertawa dingin.
Kui Ciang menduga orang ialah orang suruhannya Khong
Khong Jie, maka dalam murkanya ia tertawa dingin dan kata,
"Sungguh tidak tahu malu yang kamu menggunai ini cara
sangat rendah! Apa perlunya kau menyembunyikan diri?"
Sian Nio sangat mendongkol.
"Buat apa melayani segala manusia hina itu?" kata dia. "Mari
kita menghajarnya!"
Lantas sang nyonya ini menggunai biang panahnya, untuk
menyerang dengan pelurunya!
Rombongan itu berada di atas gunung yang tinggi, maka itu,
peluru panahnya Sian Nio mesti menyerang jauh sekali.
Sebaliknya mereka itu dari tempat terlebih tinggi, leluasa
menyerang dengan butir-butir batunya, yang turunnya gencar.
Sian Nio gusar sekali, ia berlompat. Akan tetapi ia segera
ditarik Kui Ciang, suaminya. Ketika itu sebuah batu besar jatuh
secara hebat, hampir mengenai nyonya itu. Ketika jatuh di
kobakan dengan suara sangat berisik, lumpur pun muncrat
berhamburan, hingga suami isteri itu tak luput.
"Sungguh berbahaya!" kata Sian Nio, yang mengeluarkan
keringat dingin.
"Aku yang menyebabkan kesulitan kau ini..." kata Kui Ciang,
menyesal. "Inilah lantaran aku terlalu percaya orang!" Sian Nio
menggertak gigi.
"Sudah kepalang, mari kita maju terus!" kata isteri yang setia
itu. "Tak perduli kita menghadapi bahaya!"
Kui Ciang mengiringi isterinya itu, maka dengan tak
menghiraukan serangan batu, mereka maju bersama.
Di tanjakan gunung, tumpukan salju terkena getaran, selagi
angin keras sekali, getaran membuatnya pecah melekah, lalu
jatuh runtuh, meluruk merupakan kepingan-kepingan es yang
besar. Hebatnya itu tak kalah dengan jatuhnya butiran-butiran
batu. Kui Ciang mendapat beberapa luka lecet karena ia selalu
melindungi isterinya. Syukur itu tidak membahayakan. Terpaksa
ia ajak isterinya itu bersembunyi di tempat yang gerohong. Ini
berbahaya. Musuh melihatnya dan mengincar dengan timpukan
batu ke arah mereka. Beberapa buah batu hampir mengenai.
Mereka menjadi letih, karena beberapa batu, yang menimpa ke
arah mereka, mesti disampok mental.
"Syukur belum gempa salju..." kata Kui Ciang, "Hanya..." Ia
berhenti sebentar, ia mendongkol sekali. "Sungguh
menyebalkan! Apakah benar kita mesti membuang jiwa di sini?"
Memang, kalau sampai gempa salju, pasti akan jatuh
meluruk ke bawah, salju tentu akan mengurung segala
gerohong atau tempat rendah. Dengan begitu, mana dapat
mereka melawan salju"
Touw Sian Nio tertawa meringis, katanya, "Kita sudah
menjadi suami isteri sepuluh tahun, kalau aku dapat mati
bersama-sama berbareng di dalam satu hari, satu bulan dan
satu tahun, akan aku mati tanpa penasaran...!"
Selagi berlindung itu, Kui Ciang mendapatkan serangan batu
mulai tak gencar lagi.
"Kelihatannya kita belum boleh putus asa," kata ia. "Mari kita
keluar, untuk melihat. Tak dapat kita manda binasa tanpa
berdaya..."
Baru saja suami isteri ini keluar dari tempatnya berlindung,
telinga mereka lantas mendapat dengar suara hirup pikuk di
atas gunung, Mereka lantas dongak, hingga mereka melihat
orang seorang perempuan tengah menyerang kalang kabutan
pada musuh. Segera mereka memburu najk.
"Nona Hee di sana?" Kui Ciang berteriak menanya.
"Toan Peehu di sana?" ada jawaban wanita di atas itu.
"Lekas naik, marilah kita menyerang musuh!"
Kui Ciang menjadi bersemangat.
"Mari!" ia mengajak isterinya.
Hee Leng Song melihat suami isteri itu bagaikan terkurung,
ia lantas mendaki dari lain arah, ia tiba di atas tanpa rintangan,
maka itu dapat ia lantas menyerang musuh, hingga mereka itu
tak dapat terus menghujani Kui Ciang berdua dengan batu.
Itulah yang membikin hujan batu berkurang.
Sian Nio mendaki cepat, begitu berada di atas, dengan
pelurunya ia menyerang seorang musuh di depan Leng Song.
Tak ampun lagi, musuh itu terhajar jitu dan roboh. Membarengi
itu. Nona Hee menikam terguling satu musuh lainnya. Dengan
naiknya Nyonya Toan, musuh menjadi terkepung dari dua
jurusan. Kui Ciang pun sudah lantas menyusul isterinya.
Seorang kepala bandit lantas berteriak-teriak dengan katakata
rahasianya, mengisyaratkan ada bahaya.
Sian Nio menyerang terus, hingga lagi beberapa penjahat
pecah kepalanya.
Menampak demikian, Kui Ciang teriaki isterinya, "Hajar saja
jalan darah tiauw-hoan! Kita membutuhkan mulut yang hidup!"
Dengan tiga butir pelurunya, Sian Nio mengincar tiga kepala
penjahat. Dengan beruntun semua pelurunya itu meluncur ke
arah sasarannya masing-masing.
Seorang penjahat melihat bahaya, ia bisa menolong dirinya
dengan jalan menangkis, tetapi dua kawannya, yang di kiri dan
kanannya, menjadi kurban. Yang satu terhajar lengannya, yang
lain kakinya, tepat jalan darah tian-hoan di pahanya menjadi
sasaran, tanpa ampun dia roboh seketika.
Si kepala penjahat cerdik, ia lantas menendang kawannya
yang terluka itu hingga terguling ke bawah, ia sendiri menyusul
dengan menjatuhkan diri, buat bergelindingan turun. Ia
menjadi nekad hingga ia tak menghiraukan bahaya lagi.
Contoh kepala penjahat itu contoh bagus, ia lantas ditelad
oleh kawanan berandal, semua lantas lari ke pinggiran, untuk
pada menjatuhkan diri, hingga Leng Song tak dapat mengejar
pada mereka itu.
Baru saja musuh kabur, atau Kui Ciang berteriak, "Celaka!
Salju gempal!"
Inilah sebab ia merasa kakinya bergerak tidak keruannya,
yang mana disusul dengan suatu bunyi dahsyat. Tapi sambil
berteriak itu, ia lompat ke atas, untuk lari naik.
Sian Nio sudah lantas berlari naik juga.
Dafi atas salju meluruk ke bawah. Itulah hebat yang
kawanan penjahat, yang tak keburu menyingkir lebih jauh.
Maka mereka itu, satu demi satu, kena teruruk, hingga
terdengar saja jeritan menyayati hati dari mereka.
"Sayang, sayang..." kata Kui Ciang, yang hatinya pun
terharu, sebab tak tega ia mendengar jeritan itu, walau pun
itulah jeritan musuh. "Sayang apa?" tanya Sian Nio heran.
"Sayang tak ada musuh yang kena ditangkap hidup supaya
kita bisa mengorek keterangan dari mulutnya," sahut sang
suami. "Tak usah ditanya lagi, mereka pasti kambratnya Khong
Khong Jie!" kata sang isteri. "Engko, apakah sampai di saat ini
kau tetap mempercayai dia?"
Kui Ciang berdiam. Ia terus ragu-ragu. Katanya di dalam
hati, "Mereka ini termasuk golongan kelas dua atau kelas tiga.
Mustahil Khong Khong Jie malu turun tangan sendiri, untuk
mencelakai aku, mestinya ia pakai tenaga orang yang liehay!
Kenapa ia pakai sebangsa mereka ini yang tidak punya
guna".Hanya, kalau mereka bukan suruhan Khong Khong Jie,
kenapa mereka ketahui aku beramai mau mendaki gunung Giok
Sie San?" Ketika itu Leng Song datang menghampirkan. Nona itu
menyelamatkan diri dengan menyingkir di lain tempat.
Sian Nio telah mendengar dari suaminya hal Nona Hee, ia
tahu orang menjadi puterinya Pek-ma Lie-hiap Leng Soat Bwe,
maka ia menjadi kagum, dalam hatinya ia memuji, "Sungguh
seorang nona cantik! Toako kata dia mirip ibunya, tak heran
dulu hari ibunya membikin dunia Kang Ouw menjadi tergilagila!"
"Eh, Leng Song!" Kui Ciang menegur. "Bagaimana kebetulan,
kau pun datang ke sini" Sungguh berbahaya! Syukur ada kau!"
"Toan Peehu, kau telah terpedayakan Khong Khong Jie!"
kata Nona Hee. "Khong Khong Jie bersama ayah dan anak
Keluarga Ong itu sudah berkongkol, mereka sudah bersepakat
untuk membantu An Lok San yang lagi siap sedia untuk
berontak. Kui Ciang terkejut.
"Benarkan itu?" dia tanya.
"Tak salah lagi, peehu!" sahut si nona. "Aku telah
mendengar dan melihatnya sendiri! Bahkan mereka itu sudah
mulai melaksanakannya!"
Leng Song lantas memberikan penuturan perihal peristiwa di
lembah Liong Bin Kok, bagaimana mulanya ia mendengar
pembicaraan orang lalu besoknya ia turut di dalam
pertempuran di dalam lembah itu.
"Aku kuatir mereka di sini nanti mencelakai kau, peehu,
maka aku lekas-lekas menyusul kemari," si nona
menambahkan. "Nah, apa kataku?" kata Sian Nio pada suaminya. "Kau tetap
masih percaya Khong Khong Jie?"
Kui Ciang berdiam. Nyatanya di dalam urusan ini terselip
suatu kekeliruan.
Ketika malam itu Leng Song mendapat dengar pembicaraan
di Liong Bin Kok, yang dengan Ong Pek Thong ayah dan anak
bukan Khong Khong Jie hanya Ceng Ceng Jie. Di situ hadir Thio
Tiong Cie dan lainnya. Benar An Lok San minta bantuan
mereka. Waktu itu si nona tidak mendengar perkataannya Ong Pek
Thong bahwa untuk sementara Pek Thong mau sembunyikan
urusan dari Khong Khong Jie. Si nona mau percaya saja Ceng
Ceng Jie dan Khong Khong Jie, yang menjadi suheng dan
sutee, kakak beradik seperguruan, sama kelakuannya.
Pula habis bertempur di Liong Bin Kok itu ia sudah tergesagesa
berangkat menyusul Toan Kui Ciang, ia menjadi tidak
berkesempatan mendengar omongan Han Tam untuk
disampaikan pada Khong Khong Jie itu.
Leng Song kuatir Kui Ciang nanti mendapat susah di Giok Sie
San ini disebabkan ia bercuriga terhadap sikapnya Ong Liong
Kek. Ialah Ong Liong Kek sudah tidak mau memberitahukan ia
kemana arah tujuan kepergiannya Kui Ciang, bahkan Liong Kek
sengaja mendustakan ia bahwa mungkin Kui Ciang berangkat
ke Tiang-an, hingga ia mesti melakukan perjalanan jauh secara
sia-sia. Kuda putihnya sudah kabur tiga ratus lie lebih tetapi di jalan
ke Tiang-an itu ia tak lihat paman she Toan itu, karena mana,
ia lekas kembali ke Liong Bin Kok, sampai besokannya di waktu
pertempuran, ia mendengar dari Tiat Mo Lek halnya Kui Ciang
telah pergi mencari Khong Khong Jie
Ia masih menegasi Ong Liong Kek, masih anaknya Ong Pek
Thong itu tak mau omong secara terus terang, hingga ia
menjadi masgul berbareng mendongkol. Nona Hee tak tahu
persekutuannya Pek Thong ayah dan anak. Mereka itu
melakukan segala apa diluar tahunya Khong Khong Jie.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Thong dan anaknya ketahui baik sekali Toan Kui Ciang
menjadi menantu Keluarga Touw, mereka kuatir dibelakang
hari Kui Ciang nanti mencari balas untuk keluarga mertuanya
itu, akan tetapi di muka Khong Khong Jie, mereka terpaksa
membiarkan Kui Ciang dan Sian Nio berlalu dengan merdeka.
Baru kemudian, seberlalunya Khong Khong Jie, mereka
lantas bekerja. Mereka menulis surat dan mengirimnya dengan
perantaraan burung dara, memberitahukan cabang di Liang-ciu,
supaya orangnya mengatur "tentara sembunyi" di dekat Giok
Sie San, guna merintangi dan membinasakan Kui Ciang sami
dan isteri itu.
Di antara Leng Song dan Liong Kek ada perkenalan yang
erat sekali, karena itu, waktu si nona ketahui jelas perihal Ong
Liong Kek, ia berdua, cuma kepada Kui Ciang ia tak mau
menyebut-nyebut namanya pemuda she ong itu.
Kui Ciang menjadi bersangsi. Telah cukup kesaksian hal
perbuatannya Khong Khong Jie. Isterinya menyangsikan dan
Leng Song memberikan kesaksiannya.
Nona Hee tak dapat diragu-ragukan. Toh ia heran. Bukankah
Khong Khong Jie gagah perkasa" Kenapa sekarang Khong
Khong Jie bersikap rendah, untuk menghadapi ia dan isterinya,
dia main gila seperti itu"
Wajah Sian Nio menjadi guram. Ia berkuatir dan berduka.
"Kelihatannya anak kita terancam bahaya..." berkata ia.
"Khong Khong Jie telah sengaja memperdaya kita, mana
mungkin dia sudi membayar pulang anak kita itu?"
Kui Ciang pun berkuatir dan bingung, akan tetapi dia dapat
mengambil keputusan.
"Sekarang ini baik kita cari Khong Khong Jie dulu!" katanya.
"Kita nanti bicara dengannya!"
"Memang tidak bisa lain," kata Sian Nio. "Jikalau aku tidak
dapat pulang anakku, aku tidak mau hidup pula, hendak aku
mengadu jiwa dengannya!"
Leng Song pun setuju buat mencari Khong Khong Jie, maka
ia suka mengikuti. Dengan Kui Ciang jalan di muka, bertiga
mereka mendaki gunung, untuk memanjat puncak Giok Sie
San. Mereka tidak menghadapi rintangan apa-apa. Ketika
matahari mulai doyong ke barat, mereka telah mencapai
puncak tertinggi.
Luar biasa puncak gunung itu. Di situ kedapatan pohonpohon
bunga dan rumpun rumput. Di situ ada burung-burung
dan binatang kaki empat. Di situ pun terdapat beberapa
sumber air hangat, hingga hawanya menjadi lebih hangat
daripada di bawah gunung.
Yang paling dulu terlihat Kui Ciang ialah sebuah rumah suci
kaum tosu atau imam. Dengan lantas pada hatinya timbul
pengharapan. Lekas ia menghampirkan kelenteng itu dan
mengetuk pintu.
Ia pun berkata nyaring, "Aku si orang she Toan
memenuhkan janji datang kemari! Aku mohon tuan rumah suka
keluar menemui aku!"
Ketukan pintu itu, kata-kata itu, tak memperoleh jawaban.
Tempo Kui Ciang mengulanginya, tetapi tidak ada suara apaapa
dari dalam kelenteng.
Sian Nio tidak sesabar suaminya. Maka dia kata sambil
tertawa dingin, "Dia telah melakukan kesalahan, mana dia
berani menemui kita" Sampai waktu ini, buat apa kita masih
berlaku sungkan terhadapnya" Terjang saja pintunya!"
Kui Ciang merangkap kedua tangannya, untuk memberi
hormat ke arah pintu.
"Khong Khong Jie!" katanya, nyaring. "Jikalau kau tetap tidak
mau keluar, aku minta janganlah kau sesalkan aku si orang she
Toan berlaku tidak hormat padamu!"
Benar-benar tidak ada penyahutan, pintu tak terbuka dari
dalam. Maka itu, tanpa berayal lagi, Kui Ciang menyerang
dengan kepalan Kim Kong Ciang!
Dengan bersuara nyaring dan berisik, kedua daun pintu
menjeblak terbuka.
Touw Sian Nio sudah lantas bersiap dengan panah
pelurunya, sedang Leng Song menghunus pedangnya. Kui
Ciang bertindak masuk dengan diiring isterinya dan nona itu.
Tiba di dalam, mereka bertiga mendapatkan kelenteng
kosong. "Mungkinkah dia jeri dan kabur?" tanya Leng Song, raguragu.
Kelenteng itu tidak besar, di dalam tempo singkat, Kui Ciang
bertiga dapat menggeledah seluruhnya. Di dalam kamar yang
terakhir, Sian Nio menemukan sebuah ayunan kosong serta beberapa helai
pakaian wanita.
Mendadak dia menangis dan berkata, "Anak kita telah
dicelakai...!" Kui Ciang berlaku tenang.
Buat apakah dia mencelakai seorang bayi?" katanya, tetapi
suaranya dalam. "Memang benar anak kita pernah berada di
sini. Itulah bukti bahwa dia tidak bicara dusta..."
Tapi Sian Nio gusar.
"Anak kita tidak ada, Khong Khong Jie tidak ada juga!"
katanya nyaring. "Taruh kata anak kita benar tidak dibinasakan,
tetapi sudah pasti dia telah menyembunyikannya pula di lain
tempat! Engko, dia menghendaki jiwa kita, kenapa kau masih
bicara begini tentang dia?"
Sudah sepuluh tahun suami isteri ini menikah dan hidup
bersama rukun dan damai, saling menyinta dan saling
menghormati. Inilah pertama kali Sian Nio bicara keras
demikian rupa terhadap suaminya itu.
Kui Ciang tidak menjadi kurang senang atau gusar. Ia sabar
sekali. Ia dapat memahami hati isterinya itu.
"Aku memikir dari sudut lain," kata ia tenang. "Jikalau benarbenar
Khong Khong Jie tidak membayar pulang anak kita, pasti
aku mengadu jiwaku dengannya!"
Habis berkata suami ini mengawasi sekitarnya.
"Kelihatannya ada seorang wanita yang mengurus anak
kita," katanya kemudian. "Seprai di dalam ayunan ini masih
basah bekas air kencing, rupanya belum lama orang berlalu dari
sini. Sekarang cuma belum dapat diketahui wanita itu pernah
apa dengan Khong Khong Jie."
"Percuma kau memikirkan ini!" kata Sian Nio, yang hatinya
cemas. "Paling benar kita cari Khong Khong Jie si manusia
rendah itu, baru kita akan mendapat kepastian!"
Baru Nyonya Toan berhenti bicara, atau dari luar mereka
bertiga mendengar ini suara nyaring, "Benar-benar Toan
Tayhiap seorang yang dapat dipercaya! Aku minta dimaafkan
yang aku telah melanggar janji!"
Kui Ciang lantas berseru, "Itulah Khong Khong Jie!"
Tanpa menanti lagi, Sian Nio sudah lantas lompat, untuk
terus lari keluar. Kui Ciang dan Leng Song segera menyusul.
Di luar tampak Khong Khong Jie seorang diri dan kedua
tangannya kosong. Tidak ada bayinya di tangannya itu.
Bukan main gusarnya Sian Nio.
"Bagus ya!" teriaknya. "Sudah kau menipu kami datang ke
gunung ini, sekarang kau sembunyikan juga anak kami!"
Dalam murkanya, Nyonya Toan segera menyerang dengan
tiga butir pelurunya.
Khong Khong Jie berlaku celi dan gesit, dengan lincah ia
berkelit dari tiga peluru maut itu.
"Sabar, sabar!" katanya. "Tahan! Mari kita bicara dulu!"
Kui Ciang menyandak.
"Adik Sian Nio, sabar!" kata suami itu. "Mari kita dengar dulu
apa katanya!"
Khong Khong Jie lantas berkata, "Untuk sementara belum
dapat aku membayar pulang anak kamu! Aku minta kamu
jangan kuatir apa-apa, kamu boleh tetapkan hati kamu! Anak
kamu itu selamat tidak kurang suatu apa, dan aku jamin
keselamatannya!"
"Kenapa kau tidak dapat segera membayar pulang?" Kui
Ciang tanya. Khong Khong Jie nampak jengah. "Sebab... sebab..." katanya
sukar. "Sebab apa?" bentak Sian Nio. "Jikalau hari ini kau tidak
membayar pulang anakku, pasti aku tidak mau mengerti!"
Khong Khong Jie mengulapkan kedua tangannya.
"Pendeknya, aku jamin!" katanya. "Pasti aku nanti membayar
pulang anakmu! Hanya sekarang, aku tidak berdaya!"
"Nanti" Nanti kapan?" tanya Kui Ciang.
"Itu... itu..." kata Khong Khong Jie, ragu-ragu, "Itu tak dapat
aku pastikan..."
"Kau bersangsi!" bentak Kui Ciang. "Kau bersangsi apakah"
Sebenarnya, ada apakah sebabnya?"
"Toan Tayhiap, kali ini aku menyesal terhadapmu!" kata
Khong Khong Jie. "Aku harap kau jangan menanyakan terlebih
jauh! Jikalau kau percaya aku, mari kita mengikat tali
persahabatan. Aku bilang, anakmu berada di tangannya satu
orang, hal itu ada baiknya, tidak ada jahatnya!"
Sian Nio menjadi sangat gusar.
"Siapa kesudian percaya lagi obrolan setanmu!" dia
membentak. "Oh, manusia hina dina yang tak tahu malu!
Kebetulan kami tidak mampus tercelakakan olehmu, daripada
nanti kami dibikin celaka lebih jauh dengan perbuatanmu yang
sangat rendah, baik sekarang saja kami serahkan jiwa kami
kepadamu!"
Khong Khong Jie gusar bukan kepalang. Dialah seorang
kosen yang angkuh, yang kepalanya besar. Seumurnya dia
belum pernah terhinakan orang. Maka tubuhnya menjadi
bergemetaran. "Hai, perempuan busuk, mengapa kau berani lancang
mendamprat aku?" dia berteriak.
Kui Ciang pun telah timbul amarahnya, maka itu, melihat
orang berani menghina isterinya, ia lantas menghunus
pedangnya. "Kenapa jikalau kami mencacimu?" ia tanya. "Bukankah kau
pantas dicaci maki?"
Khong Khong Jie gusar hingga dia berkaokan.
"Bagus, Toan Kui Ciang, bagus!" teriaknya. "Kau pun
mencaci aku! Kenapa aku pantas dicaci?"
"Aku mendamprat karena kau tak tahu benar tak tahu
salah!" sahut Kui Ciang. "Karena kaulah si manusia jahat yang
membantu Kaisar Tiu melakukan kejahatan! Aku mencaci kau
karena kau berbuat jahat, kau toh menyangkal! Kaulah satu
manusia rendah! Kaulah si bangsat cilik sangat hina dina dan
sangat tak tahu malu!"
Wajahnya Khong Khong Jie menjadi merah padam.
"Toan Kui Ciang, kau mesti berlutut padaku dan
mengangguk-angguk meminta ampun!" dia berteriak. "Kalau
tidak, jangan kau harap kau nanti dapat turun dari gunung ini!"
Kui Ciang tertawa dingin.
"Sekalipun kau menekuk lutut dan manggut padaku
berulang-ulang, aku juga tidak akan mengasih ampun
padamu!" Kui Ciang membaliki. "Tidak salah, dalam ilmu silat
kau jauh terlebih liehay daripada aku, akan tetapi satu laki-laki,
mati tinggal mati, untuknya tak ada yang ditakuti! Meski aku
terbinasa di tanganmu, hendak aku mencaci terus padamu!"
"Baik!" Khong Khong Jie berteriak. "Karena kau menganggap
aku satu manusia jahat, jangan kau sesalkan aku yang aku
tidak menaruh belas kasihan lagi! Hayo, kau makilah pula
padaku!" Mendadak tubuh jago ini mencelat dan sebelah tangannya
meluncur ke muka orang.
Hebat serangan itu. Akan tetapi Toan Kui Ciang sudah siap
sedia, la lantas saja berkelit. Karena pedangnya sudah dihunus,
ia juga lantas balas menyerang, bahkan terus sampai tiga kali
beruntun tefhpo tabasannya yang pertama gagal begitu pun
yang kedua kali.
Touw Sian Nio juga tidak diam saja. Ia lompat maju dengan
bacokannya. Liehay Khong Khong Jie. Ia lolos dari serangan berulangulang
dari Kui Ciang, ia bebas dari bacokan Sian Nio, ketika ia
berkelit seraya terus menyambar ke arah Kui Ciang, meskipun
tayhiap itu berkelit, tak urung punggungnya kena terserempet
tangan terbuka hingga dia merasakan sangat panas dan nyeri.
Sebenarnya Khong Khong Jie mau menghajar muka. Syukur
Kui Ciang lolos, kalau tidak, dia pasti malu bukan main.
Dalam murkanya Kui Ciang serukan isterinya, "Adik Sian, kau
benar! Untuk melayani ini bangsat sangat jahat, kita cuma
harus mengadu jiwa!"
Ketika itu Khong Khong Jie telah lompat mencelat, ia hendak
membalas menyerang. Karena berlompat itu, ia menjadi turun
dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Sementara itu
tangannya sudah menghunus pisau belatinya yang tajam luar
biasa. Tanpa menanti menginjak tanah, ia menangkis senjatanya
suami isteri itu. Ia mengeluarkan kepandaiannya, karena
niatnya menghajar terlepas pedang dan goloknya kedua lawan
itu. Kui Ciang sudah merantau semenjak dia masih muda sekali,
sudah sering dia melakukan pertempuran, dari itu, benar dia
kalah gagah dari Khong Khong Jie akan tetapi dia menang
pengalaman, maka juga, melihat orang mencelat tinggi, dia
sudah lantas dapat maksudnya lawan itu. Dia lantas
menggeraki pedangnya dalam satu gertakan, lantas dia
membarengi golok isterinya.
Satu bentrokan tak dapat dielakkan. Itulah beradunya pisau
belati dengan golok si nyonya. Bentrokan itu dibarengi dengan
suara robek! Kui Ciang dan isterinya mundur masing-masing tiga tindak.
Sian Nio terkejut. Goloknya, golok bian-to yang sangat tajam,
telah "terlukakan" pedang lawannya.
Sebaliknya, Khong Khorig Jie turun di tanah dengan kaget
dan mendongkol. Ujung bajunya telah kena ditublas pedang Kui
Ciang. Syukur ia masih sempat berkelit, kalau tidak,
tangannyalah yang bakal terluka.
Jurus ini menyebabkan kedua pihak meluap kemurkaannya.
Maka ketika mereka merapat pula, mereka mengeluarkan
kepandaiannya masing-masing. Khong Khong Jie gusar sebab
merasa terhina, suami isteri itu nekad karena hendak membelai
anak mereka. Maka pertempuran ini jauh lebih dahsyat
daripada pertempuran mereka di gunung Hui Houw San.
Kui Ciang bertempur mati-matian, pedangnya senantiasa
mengeluarkan suara angin keras. Sian Nio dengan ilmu golok
Pat-kwa-to mencoba mengurung lawannya yang tangguh itu,
selalu ia mencari sasaran yang berbahaya.
Sejak kegagalan di Hui Houw San, suami isteri ini telah
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berunding dan memikirkan semacam ilmu silat gabungan
pedang dan golok yang diperuntukkan melawan Khong Khong
Jie, sekarang tiba saatnya untuk mencoba itu. Benar-benar
mereka memperoleh kemajuan.
Tengah ia bertempur hebat itu, Khong Khong Jie terdengar
menghela napas dan berkata masgul, "Kamu suami isteri
sangat mendesak padaku, aku tidak bisa berbuat lain, terpaksa
aku mesti mengorbankan jiwaku untuk melayani kamu..."
Kalau tadi dia gusar, sekarang Khong Khong Jie berduka.
Toan Kui Ciang dapat mendengar kata-kata orang itu.
"Mustahilkah benar-benar Khong Khong Jie ada kesulitannya
yang dia tak dapat beritahukan pada lain orang?"
Justeru ia berpikir itu, justeru ia melihat perubahan silat si
lawan. Pisau belati Khong Khong Jie lantas berputaran, menyamber
ke timur dan ke barat, ke selatan dan ke utara, bergeraknya
sangat cepat, hingga sinar pisaunya berkilauan, hingga ia
nampak berada di pelbagai penjuru.
Menampak demikian, Kui Ciang terkejut. Terpaksa dari
menyerang ia mengambil siasat membela diri. Ini membuatnya
terdesak. Maka lekas juga terdengar pula suara bentrokan
senjata, kali ini pisau belati melawan pedang, bahkan beruntunruntun
sampai sembilan kali!
Mulanya tidak ada niat Khong Khong Jie memusuhkan Kui
Ciang, walaupun ia dikepung hebat, meski juga ia murka sekali.
Ia cuma memikir mengalahkan mereka itu. Siapa tahu setelah
bertempur itu, Kui
Ciang berdua menjadi nekad. Sebab suami'.isteri ini
menganggap ia benar-benar manusia busuk.
Didalam keadaan seperti itu, ia mesti membela dirinya, atau
ia bakal celaka. Maka tak ayal lagi, ia mengeluarkan
kepandaiannya. Itulah semacam tipu silat terdiri dari sembilan
jurus berantai, yang dapat menyusun serangan beruntun
sembilan kali. Khong Khong Jie masih merasa sayang, maka juga tadi ia
telah mengasih dengar helaan napas serta suara penyesalan
itu. Ketika Toan Kui Ciang melayani Ceng Ceng Jie, Ceng Ceng
Jie pernah menggunai semacam ilmunya Khong Khong Jie ini.
Tatkala itu ia dapat bertahan. Sekarang lain, kendati ilmu
silatnya serupa. Itulah sebab Khong Khong Jie beda daripada
Ceng Ceng Jie. Ceng Ceng Jie baru dapat melakukan tingkatan ketujuh.
Khong Khong Jie pula menang berlipat ganda ilmu ringan
rubuhnya daripada Ceng Ceng Jie, sang sutee, maka dia dapat
bergerak cepat luar biasa.
Begitulah, meski Kui Ciang berkelahi dibantu isterinya, ia
segera terdesak, ia menjadi repot membela diri. Sian Nio juga
turut terdesak musuh yang tangguh itu.
Leng Song menonton saja sekian lama itu, setelah melihat
suasana, ia maju seraya menyerukan Sian Nio, "Bibi Toan,
silahkan mundur! Kau gunai saja pelurumu menghajarnya!"
Dengan memutar pedangnya, ia maju terus, guna
menggantikan Nyonya Toan Kui Ciang itu.
-ooo0dw0ooo- Jilid 12 Didalam ilmu pedang, Nona Hee tak dapat melawan Kui
Ciang, akan tetapi dibanding dengan Sian Nio dengan goloknya,
ia menang banyak. Maka itu Khong Khong Jie menjadi heran
dibuatnya. "Siapakah yang mengajari kau ilmu pedangmu ini?" dia
tanya. Leng Song tidak menjawab, ia hanya mendesak. Tiga
kali berantai ia menyerang hebat, dan setiap jurusnya itu
terpecah pula dalam tiga jurus lain. Ia menyerang sambil
menggertak. Disamping si nona, Kui Ciang turut merangsak. Khong Khong
Jie heran sekali. Sekarang tak sempat ia menanya pula si nona.
Dengan mereka itu merangsak secara demikian, ia tidak
berkesempatan memecah pemusatan pikirannya.
Sian Nio mengambil tempat di pinggiran. Ia menuruti
pikirannya Leng Song. Begitu siap, ia mulai dengan serangan
panah pelurunya.
Mulanya ia melepaskan tiga kali beruntun, mengincar Khong
Khong Jie pada ketiga jalan darah bie-cian di atas, hong-hu di
tengah dan hoan-tiauw di bawah. Ia liehay, disini ia mengasih
lihat keliehayannya, meski orang bertempur bertiga dan
bergerak gesit tak hentinya, sasarannya itu dapat ia cari.
Khong Khong Jie pun memperlihatkan kegesitan dan
keliehayannya. Dengan beruntun ia dapat mengelit diri dari dua
peluru yang pertama. Untuk itu ia berlompat dan menyambut
dengan tangan bajunya, lalu yang ketiga, ia tangkis dengan
pisau belatinya.
Meneruskan gerakan senjatanya itu, ia menikam ke arah iga
Leng Song di mana ada jalan darah hun-bun. Tapi ia gagal,
karena si nona waspada. Dilain pihak Kui Ciang, yang
menggunai ketikanya dengan baik, sudah menebas ujung
bajunya! Bukan main gusarnya jago ini. Ketika tadi ia menyambut dua
buah peluru Sian Nio, semua peluru itu kena tergulung,
sekarang ia menggunai itu untuk menyerang balik, membalas
kepada Kui Ciang.
Suaminya Sian Nio celi matanya dan gesit tubuhnya, dia
dapat berkelit.
Khong Khong Jie tidak berhenti dengan serangan peluru
saja, ia membarengi menikam dengan pisau belatinya. Ia
mencari sasaran yang berupa ulu hatinya Toan Tayhiap.
Kui Ciang mesti berkelit, demikianpun Leng Song. Ketika itu
Sian Nio tidak menyerang pula. Ia melihat orang rapat sekali.
Tiba-tiba terdengar Khong Khong Jie berseru nyaring,
menyusul itu, mereka bertiga berlompat mencar.
Leng Song kaget sekali. Tusuk kundai di kepalanya telah
kena disambar kutung pisau belati Khong Khong Jie, walaupun
ia berkelit sebat sekali. '
Adalah di itu waktu, Touw Sian Nio memanah pula.
Mendadak tubuh Khong Khong Jie jatuh terguling. Kiranya
dia menggunai "Kun Tee Tong" atau ilmu silat "Roboh
bergulingan" guna menyelamatkan diri, menyusuli mana, sambil
bergulingan itu, ia membabat bergantian ke kakinya Kui Ciang
dan Leng Song. Sian Nio bekerja pula, kembali ia memanah.
Dua-dua Kui Ciang dan Leng Song berkelit sambil berlompat,
Kui Ciang yang berlompat lebih dulu lalu membalas menyerang
dengan cepat. Khong Khong Jie berkelit, karena mana, hampir peluru Sian
Nio mengenai suaminya..
Hanya sekejap, ketiga musuh sudah lantas bertempur pula
secara rapat. Karena ini, kembali Sian Nio menunda pelurunya.
Ia baru menyerang setiap kali ia melihat lowongan. Untuk itu ia
mesti bermata sangat celi dan bertindak sangat cepat. Hanya,
meski ia sudah mengorbankan belasan peluru, terus ia tidak
mendapatkan hasil.
Khong Khong Jie liehay tetapi dia repot juga. Dia mesti
berhati-hati dari panah peluru itu. Karena ini, menghadapi
desakan Kui Ciang dan Leng Song, mereka menjadi seimbang.
Tatkala itu matahari sudah turun jauh ke barat. Sang magrib
mendatangi. Kedua pihak sudah bertempur setengah jam.
Tengah pertempuran berlangsung terus, tiba-tiba mereka
mendengar ada seruan untuk mereka, "Eh, kenapa kamu
bertempur! Berhenti! Berhenti!"
Kui Ciang sudah lantas mengambil kesempatan akan melirik
ke arah suara itu. Maka ia melihat seorang pengemis dengan
pakaian banyak tambalan serta buli-buli di punggungnya,
sembari berlari-lari keras, pengemis itu lari ke arah mereka. Ia
pun segera mengenali Ciu-kay Kie Tie si Pengemis Pemabuk.
Juga Khong Khong Jie mengenali pengemis tukang tenggak
arak itu, ketika ia melihat Kui Ciang berhenti menyerang, ia
menghentikan perlawanannya, ingin ia menyapa si pengemis.
Justeru itu, Sian Nio memanah, maka pelurunya mengenai dahi
orang, hingga sasarannya itu mengucurkan darah!
Hee Leng Song tak mau berhenti, ia lompat menyerang.
Khong Khong Jie gusar, dia menangkis. Maka bentroklah
senjata mereka satu dengan lain, setelah mana, jago itu
kembali membabat ujung tusuk kundai kemala si nona. Syukur
Kui Ciang maju pula, guna membantu Leng Song. Karena ini,
mereka bertiga jadi bertarung pula. Kie Tie menjadi kurang
puas. "Touw Liehiap," ia kata pada Sian Nio, "Aku minta kau
memberi muka padaku si pengemis tua!"
Sian Nio lagi sengit, ia tidak menghiraukan perkataan orang,
ia melanjuti serangannya.
Menampak demikian, Ciu-kay menggelogoki isi buli-bulinya,
habis itu ia menyemburkan keras ke arah medan pertempuran.
Serangan ini membuat repot kepada Khong Khong Jie bertiga.
Mereka tak takut terlukakan, tetapi mereka tak sudi dibikin
mandi arak. Kie Tie menyembur pula, kali ini ke arah Sian Nio. Ia mau
mencegah nyonya itu memanah terlebih jauh.
Muka Nyonya Kui Ciang lantas kena kecipratan arak, dia
menjadi tidak senang.
"Kie Lo-cianpwe!" serunya, "Aku bukan tidak sudi memberi
muka kepada kau tetapi manusia ini jahat luar biasa! Dia telah
merampas anak kami! Kalau dia dibiarkan lolos, kepada siapa
kami harus minta pulang anak kami! Dapatkah kau yang
menggantinya?"
Mendengar itu, Kie Tie menjadi melengak.
Touw Sian Nio berkata pula, nyaring, "Jikalah lo-cianpwe
tidak suka membantu kami, tidak apa, tetapi janganlah locianpwe
merintangi kami, kalau tidak, maaf, peluruku nanti
tidak mengenali kau!"
Kata-kata si nyonya diiring samberan pelurunya, yang
mengenai buli-buli Kie Tie.
"Marilah kita bicara!" Ciu-kay berseru. Dia sadar dari
melongonya. "Jangan kau menyerang pula! Jangan kau
menyerang pula! Kalau mustikaku ini rusak, aku si pengemis
tua tidak punya lagi susu macan untuk ditenggak!"
Justeru itu Hee Leng Song berseru, "Toan Peehu, jangan
ladeni pengemis bangkotan itu! Dialah konco musuh!"
Toan Kui Ciang menjadi bersangsi, apa pula pada saat itu ia
melihat pihaknya mulai menang unggul. Laginya, kalau ia
mundur, Leng Song tentu bakal segera terdesak lawan. Maka
terpaksa ia berkelahi terus. Habis menyingkir dari arak, mereka
bertiga merapat diri pula.
Pada Kie Tie, Toan Tayhiap berseru, "Kie Lo-cianpwe maaf,
aku minta kau tanya tentang urusan kita ini kepada isteriku,
setelah kau ketahui jelas duduknya, baru kau datang
memisahkan kita!"
Touw Sian Nio menyambungi kata-kata suaminya tanpa
menanti Kie Tie menanyakannya. Ia kata, "Dia yang
menjanjikan kami datang kemari, tetapi di mulut gunung tadi
dia memasang orang tersembunyi untuk mencelakai kami,
hampir kami suami isteri mati tertimpa hujan batu! Kami tiba di
sini, kami bertemu dengan dia, ketika kami minta pulang anak
kami, dia menolak memulanginya! Sampai saat ini kami belum
tahu anak kami masih hidup atau sudah mati! Lo-cianpwe,
silahkan kau timbang dengan adil! Pantas atau tidak jikalau
kami mengadu jiwa kami?"
Ketika tadi Kie Tie lewat di mulut gunung, ia memang
melihat beberapa mayat. Ia menjadi bersangsi.
"Khong Khong Jie, bagaimana ini?" dia tanya.
Rupanya Khong Khong Jie pun panas hatinya.
"Kau hendak tanya aku dalam urusan apa?" dia balik
menanya, keras.
"Apakah benar-benar kau hendak membinasakan mereka ini
suami isteri?" tanya Ciu-kay.
"Gila!" berteriak Khong Khong Jie. "Mana itu dapat terjadi"
Jikalau aku hendak membunuh mereka, pasti aku telah
melakukannya siang-siang!"
"Jikalau begitu, kenapa kau tidak mau membayar pulang
anak mereka?" Kie Tie tanya pula.
Khong Khong Jie berdiam, tak dapat dia menjawab. Inilah
justeru kesulitannya. Hal itu yang membuatnya merasa malu
sendirinya. Kalau tidak, tentulah tadi dia sudah menjelaskan,
atau membereskannya pada Kui Ciang suami isteri itu.
Sebenarnya Kie Tie dan Khong Khong Jie cuma kenalan
sambil lalu, tidak ada hubungan erat di antara mereka, karena
itu sudah sewajarnya saja ia percaya Toan Kui Ciang dan tak
mempercayai kakak seperguruan Ceng Ceng Jie itu.
Ia pun berpikir, "Han Tam membilang dia baik tetapi ketika
Han Tam mengenalinya, dia masih kecil, sekarang mereka
sudah berpisah buat banyak tahun, siapa tahu dia sudah
berubah sifat?"
Karenanya, ia menjadi curiga. Maka itu, melihat orang
berdiam, ia lantas menanya pula suaranya keras, "Khong Khong
Jie, kenapa kau ragu-ragu" Sebenarnya bagaimanakah
duduknya hal?"
Didesak begitu rupa, Khong Khong Jie menjadi tidak senang,
ia menjadi gusar.
"Orang tua she Kie, apakah kau hendak memeriksa aku?" ia
menegur. "Inilah urusanku, tak usah kau campur tahu!"
Kie Tie menggelogoki araknya, ia berkata dingin, "Aku
bukannya hendak memeriksa kau! Laginya aku si pengemis tua,
seumurku belum pernah aku usilan mencampuri urusan lain
orang! Tapi sekarang aku datang kemari karena aku diminta
tolong oleh Lo-cianpwe Han Tam. Han Lo-cianpwe menyuruh
aku tanya kau, benarkah kau menjadi kemaruk harta atau
pangkat, maka kau jadi bekerja sama dengan Ceng Ceng Jie,
adik seperguruanmu itu?"
Sebetulnya Han Tam menghendaki Kie Tie memberitahukan
saja kepada Khong Khong Jie perihal sekongkolan dari Ong Pek
Thong dengan Ceng Ceng Jie yang mau bekerja sama dengan
An Lok San, dan untuk menanya Khong Khong Jie tahu atau
tidak urusan dua orang itu, tetapi guna mengesankan hal, ia
bicara dengan sikap menegur itu.
Khong Khong Jie sangat menyayangi adik seperguruannya,
dari itu ia menjadi gusar.
"Pengemis tua, kenapa kau ngaco belo?" tegurnya pula.
"Apakah yang tak benar dari adik seperguruanku itu" Kenapa
kau bersikap begini rupa?"
Kie Tie tertawa dingin ketika ia memberikan jawabannya,
"Adik seperguruanmu itu sudah tak segan membantu harimau
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengganas! Mustahilkah kau belum ketahui sepak terjang adik
seperguruanmu itu!"
"Apa kau bilang?" Khong Khong Jie bentak.
"An Lok San lagi mementang pengaruhnya, tidaklah heran
dia dapat membeli Ong Pek Thong!" jawab si pengemis
pengarakan. "Yang tidak disangka-sangka ialah adik
seperguruanmu itu! Dia juga rela menjadi gundal! Sekarang ini
Ong Pek Thong dan An Lok San telah bekerja sama, mereka
berkongkol, kelakuan mereka itu sudah diketahui oleh orangorang
gagah di kolong langit ini! Mengenai adik seperguruanmu
itu, apakah masih hendak kau menyangkal?"
Khong Khong Jie tercengang. Tapi cuma sejenak, dia lantas
membentak, "Angin busuk! Kau memfitnah orang!"
Kie Tie gusar, ia terus mengubarnya.
"Khong Khong Jie!" ia kata nyaring. "Kau muncul dalam
dunia Kang Ouw belum lama, kenapa kau jadi begini jumawa"
Cara bagaimana kau berani mencaci aku si pengemis tua?"
Khong Khong Jie mengerti disini mesti terselip sesuatu, akan
tetapi dia muda dan keras tabiatnya, dia menjadi tak sudi
menggubris si pengemis.
Maka dia tertawa nyaring dan kata, "Bagus, ya! Kau pandang
aku Khong Khong Jie bukan sebagai manusia! Kalau begitu,
buat apa kau bicara secara sahabat denganku" Pengemis tua,
kau majulah!"
Selama itu, Khong Khong Jie melayani Kie Tie berbicara
dengan dia masih terus menempur Toan Kui Ciang dan Hee
Leng Song, mereka kedua pihak sama unggul, tetapi karena
perhatiannya sangat terpengaruhkan, dan dia pun mendongkol,
pemusatannya menjadi terganggu.
Begitulah ketika Toan Kui Ciang menikam secara liehay,
pundaknya kena tertowel hingga terluka dan mengucurkan
darah! Kejadian ini membikin dia menjadi panas hati, dengan
hebat dia maju, guna merangsak orang she Toan itu, ketika
pisau belatinya meluncur, dia mengarah ulu hatinya lawan.
Justeru itu Kie Tie berlompat maju. Pengemis ini tak suka
mengadu mulut, terlebih jauh. Ia menangkis senjata si jago
muda. Buli-buli dan pisau belati bentrok satu dengan lain. Buli-buli,
yang dipandang sebagai mustika itu, kalah kuat, ujung pedang
menumblas bolong, maka seketika juga isinya - arak yang
harum - molos keluar dan berhamburan di tanah!
Touw Sian Nio terkejut, dia berseru.
Justeru itu terdengar juga siulannya Khong Khong Jie, yang
tubuhnya mencelat tinggi, untuk mengangkat kaki, sampai
peluru si nyonya tak dapat menyusulnya.
Dari kejauhan cuma terdengar suaranya ini, "Toan Kui Ciang,
jikalau kau hendak membenci aku, terserah kepada kau!
Tentang anakmu, dibelakang hari pasti aku akan bayar pulang
kepada kamu! Dan kau, pengemis tua, denganmu biarlah dilain
kali kita bertemu pula! Sekarang aku hendak melakukan
penyelidikan, sesudah itu, nanti aku cari kau untuk
membereskan perhitungan kita ini!"
Ketika suara itu berhenti, tubuh Khong Khong Jie pun turut
lenyap. Touw Sian Nio lantas menghampirkan suaminya. Ia terkejut
melihat muka suami itu penuh darah.
"Apakah kau terluka?" dia tanya. "Di mana lukanya?"
"Tidak apa-apa," sahut Kui Ciang, yang tertawa getir. "Pisau
belati Khong Khong Jie dapat menikam aku!"
Tapi Kui Ciang benar terluka dan lukanya sama dengan
lukanya Khong Khong Jie. Tadinya pelurunya sang isteri nyasar
ke dahinya. Setelah melihat luka suaminya itu, Sian Nio mengerti
kekeliruannya. Ia menjadi menyesal, malu dan berduka. Tapi ia
pun mendongkol. Maka ia kata sengit, "Oh, itu bangsat jahat!
Sayang tadi peluruku tidak menghajar picak matanya!"
Kui Ciang sebaliknya kata di dalam hatinya, "Kalau tadi
Khong Khong Jie mengulangi serangannya, kalau tidak
terbinasakan, aku mestinya terluka parah. Syukur Kie Locianpwe
telah menalangi aku, hingga dia rusak buli-bulinya.
Sebenarnya, asal ia mau, Khong Khong Jie dapat menyerang
terus, kenapa ia tak berbuat demikian" Bukankah
penyerangannya itu cuma siasat untuk dia dapat berlompat
mundur, guna mengangkat kaki, jadi bukan untuk mencelakai
aku?" "Sudah, adik Sian," kata ia, mendengar suara isterinya itu.
"Dia sudah kabur, dan lukaku pun ringan, tak usah kau mencaci
dia. Tak usah kau bersusah hati..."
Kie Tie tidak dapat memikir Khong Khong Jie berlaku murah
hati terhadapnya, dia tertawa lebar.
Kata dia, "Toan Tayhiap, benar-benar kau berhati mulia, tak
sembarang orang dapat menyamai kau!"
Kembali dia tertawa, lantas dia menambahkan pada Sian Nio,
"Toan Toaso, sekarang kau toh tak dapat mencaci pula aku si
pengemis tua, bukan?"
"Oh, maaf lo-cianpwe!" kata Sian Nio lekas, sambil memberi
hormat. "Sayang buli-buliku ini!" kata pula Kie Tie tertawa. "Ha, ha,
ha! Inilah upahnya aku suka usilan terhadap urusan orang
lain!" Kui Ciang pun menghaturkan maaf kepada pengemis jago
itu. Selama itu, Hee Leng Song berdiri diam di pinggiran, ia
tertawa dingin, ia tidak menghiraukan mereka itu.
Kie Tie pun seperti tak menghiraukan segala apa, dia masih
tertawa dan kata, "Hari ini aku mendapat dua rupa pengajaran!
Benar-benar, gemar mencampuri urusan luar berarti membakar
diri sendiri! Bukan saja Khong Khong Jie membenci aku, bahkan
Nona Hee turut mendongkol terhadapku!"
Kui Ciang heran. Ia tak mengerti sikapnya Leng Song itu.
"Keponakanku," ia berkata kepada nona itu, "Lo-cianpwe ini
bukan lain orang, hanya dialah yang dunia Kang Ouw
memanggilnya Ciu-kay Kie Tie! Marilah kau pun menghunjuk
hormatmu kepadanya!"
"Kita berdua sudah bertemu terlebih dahulu daripada ini,"
berkata Nona Hee tawar. "Hm! Meski dia bukannya konco dari
Khong Khong Jie, dia toh konconya Hong-hu Siong! Tidak dapat
aku memandang sebagai lo-cianpwe!"
Paras Kui Ciang berubah, ia menjadi jengah sekali.
"Keponakanku, harap kau bicara tak melupai adat
kehormatan," kata ia, masgul. "Kau baru muncul di dalam dunia
Kang Ouw, mungkin ada yang kau belum ketahui jelas. Kie Locianpwe
ini bersama Hong-hu Siong serta seorang pengemis
lain, yaitu Hong-kay We Wat, adalah yang dijulukkan Kang Ouw
Ie-kay. Apa yang beda ialah sepak terjang Hong-hu Siong tak
sama dengan sepak terjang mereka berdua. Hong-hu Siong itu
manusia aneh, dia sesat, dia suka berbuat jahat dan keliru.
Tidak demikian dengan We dan Kie Lo-cianpwe ini, mereka
bahkan tersohor sekali sikapnya membenci kejahatan seperti
musuh! Mana dapat Hong-hu Siong disamakan dengan mereka
itu berdua" Maka itu aku percaya kau mestinya telah
memperoleh pendengaran yang keliru. Keponakanku, mari kau
memberi hormat pada Kie Lo-cianpwe!"
Leng Song berdiri tetap dan tegak, sepasang alisnya bangun
berdiri. Kelihatannya ia hendak bicara tetapi rupanya malang
terhadap Tan Kui Ciang.
Toan Tayhiap menjadi heran sekali, hingga ia ingin bicara
lebih jauh atau Kie Tie, yang tertawa lebar, mendahului ia.
"Toan Tayhiap, kata si pengemis, "Kaulah seorang yang aku
hormati, hanya kata-katamu kali ini tidak tepat!" "Kenapa tak
tepat?" ia tanya.
"Aku si pengemis tua, tak sanggup aku bicara sempurna
seperti kau," kata Kie Tie perlahan dan sabat. "Di mataku, aku
si pengemis tak demikian baik seperti katamu barusan, sedang
Hong-hu Siong tidak demikian busuk seperti uraianmu ini!"
"Nah, bagaimana?" kata Leng Song menyelak, tawar. "Kau
masih membilangnya dia bukan konconya Hong-hu Siong! Di
dalam segala bidang, dia membelai orang she Hong-hu itu! Dia
membeli Hong-hu Siong, kenapa aku dicegah untuk menuntut
balas?" Kui Ciang mengerutkan alisnya.
"Bagaimana ini?" ia tanya Leng Song.
Ia bingung sekali.
"Di antara kau dan Kie Lo-cianpwe ada selisih paham apa,
keponakanku?"
Nona Hee habis sabarnya.
"Bukan melainkan selisih paham!" sahut Leng Song sengit.
"Toan Peehu, jikalau aku tidak memandang kau, pasti sekarang
aku sudah melakukan pembalasan sakit hatinya ibuku!"
Mau atau tidak, Kui Ciang terkejut.
"Apa kau bilang?" ia tanya. "Kie Lo-cianpwe menjadi sahabat
karib dari almarhum ayahmu, cara bagaimana dia dapat
menjadi musuh ibumu?"
Mukanya Nona Hee menjadi merah. Ia jengah.
"Dia... dia omong tidak keruan terhadap aku!" teriaknya.
"Dia menghina ayah dan ibuku...!"
Mata Kui Ciang dipentang lebar dipakai mengawasi CIu Kay,
si pengemis jago arak.
Kie Tie tidak menjadi gusar, sebaliknya dia bersenyum.
"Nona Hee," katanya, sabar, "Coba kau ulangi apa katakataku
untuk didengar oleh Toan Peehu kau ini, agar dia
menimbangnya benar atau tidak aku berlaku tak pantas
terhadapmu?"
Kui Ciang memandang si nona.
"Keponakanku," kata ia, sabar, "Aku dan ayahmu menjadi
sahabat kekal, terhadapku kau boleh menyebutkan segala apa,
tidak ada halangannya."
Leng Song mendongkol sekali.
"Dia... dia membilangi aku bahwa aku bukannya orang she
Hee!" kata dia keras. "Dia juga kata ayahku bukannya Hee
Seng To! Itu... itu... bukankah suatu penghinaan untuk ayah
dan ibuku?"
Saking gusar, nona ini hendak menghunus pedangnya.
Kecurigaan, atau kesangsian Toan Kui Ciang, timbul secara
tiba-tiba. Ia lantas ingat peristiwa di malaman pernikahan di
antara Leng Soat Bwe dan Hee Seng To itu.
Hee Seng To terbinasakan dimalaman itu. Maka itu, dari
mana datangnya anak bernama Leng Song ini" Dulu hari pun ia
sudah pusing memikirkannya, siapa tahu sekarang Kie Tie
menimbulkannya.
"Sabar," ia kata kepada nona itu. Ia terus menoleh kepada
Kie Tie untuk segera menanya, "Kie Lo-cianpwe, itulah
peristiwa yang selama dua puluh tahun telah menjadi perkara
yang tergantung saja. Mestinya lo-cianpwe ketahui itu..."
Kie Tie mengulapkan tangannya.
"Itulah urusan yang tak leluasa untuk dibicarakan di sini!"
katanya. Kui Ciang dapat dikasih mengerti, ia berpengalaman luas.
"Kalau begitu, mari kita pergi bicara di sana," katanya hening
sejenak. "Keponakanku, kau sabar dulu. Urusan ini sangat
penting, mesti aku dapat membikinnya menjadi terang! Kau toh
percaya aku, bukan?"
Leng Song berdiam, ia mengangguk.
Kie Tie sudah lantas berjalan, maka Kui Ciang menyusulnya.
Mereka berjalan sampai kira setengah lie dimana mereka
mencari tempat yang sepi.
"Ketika peristiwa menyedihkan itu terjadi, aku tidak di
tempat kejadian," Kie Tie memberikan keterangannya. "Tapi
aku tahu, kau sendiri justeru berada di sana. Katanya
pembunuhan terjadi sehabisnya orang bersenda gurau
menggodai sepasang mempelai."
"Tidak salah," Kui Ciang membenarkan. "Terjadinya itu tak
sampai setengah bakaran sebatang hio habis orang bersenda
gurau itu. Mempelai laki-laki telah terbunuh dan mempelai
perempuan terculik."
"Kalau begitu, kau percaya perkataanku, bukan?" tanya Kie
Tie. "Pasti sekali Hee Seng To tak dapat mempunyai Nona Hee
itu sebagai puterinya yang tulen?"
"Hal itu... aku mau percaya," kata Kui Ciang, meskipun ia
ragu-ragu. "Habis, siapakah orang yang menjadi ayah yang
sejati itu?"
Kie Tie tidak lantas menjawab, sebaliknya dia menanya dulu,
"Apakah kau pernah bertemu muka dengan pembunuh itu?"
"Malam itu rembulan guram dan bintang-bintang jarang, aku
cuma mendapat lihat punggungnya," Kui Ciang jawab.
"Barangkali yang lain-lainnya?"
"Pasti sekali lain-lain orang juga tak ada yang melihat
mukanya pembunuh itu!" sahut Kui Ciang pula. "Kalau tidak,
tidak nanti perkara itu menjadi perkara gantung sampai
sekarang ini..."
"Tepat!" kata si pengemis. "Semua kamu tidak melihat
pembunuh itu, tetapi kenapa kamu menerka Hong-hu Siong,
bahkan menerka secara pasti sekali?"
"Mengenai itu ada sebabnya," Kui Ciang memberi
keterangan. "Sebelumnya dia menghembuskan napasnya yang
terakhir, mempelai laki-laki itu meninggalkan tulisan yang
belum lengkap. Ialah dia menulis hanya sebuah huruf 'Hong'.
Itu yang pertama. Yang kedua, punggungnya pembunuh itu
terlihat sama dengan punggungnya Hong-hu Siong. Dan yang
ketiga, jikalau dia bukannya Hong-hu Siong, kenapa Leng Bwe
menghendaki puterinya itu membinasakan dia?"
Untuk menjelaskan, Kui Ciang menuturkan peristiwa sedih
malam itu sebagaimana yang ia saksikan sendiri.
Kie Tie menghela napas.
"Pantaslah Hong-hu Siong yang dicurigai," katanya, masgul.
"Mempelai laki-laki mati kecewa dan mempelai perempuan
malang nasibnya, karena sampai sekarang ini duduknya
kejadian tetap masih belum jelas..."
"Sebenarnya bagaimana duduknya hal itu?" tanya Toan Kui
Cian, yang bemapsu memperoleh perjelasan. "Siapa pembunuh
yang sebenarnya itu?"
"Pembunuh itu bukannya Hong-hu Siong," menyahut Kie Tie,
"Cuma dengan Hong-hu Siong, dia ada sangkut pautnya.
Pembunuh itu, dia... dia..."
Kui Ciang menjadi sangat tidak sabaran, begitu juga isterinya
dan Leng Song. Itulah perkara gantung yang sudah berjalan
dua puluh tahun. Ia menjadi tidak sabaran karena Kie Tie main
ayal-ayalan. . "Dia... dia siapakah?" ia tanya mendesak. "Dia..."
Mendadak terasa sampokan angin dari belakang.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada orang!" teriak Kui Ciang terkejut.
"Kau!" Kie Tie berseru seraya dia mementang kedua
tangannya, untuk melindungi Kui Ciang, akan tetapi belum
berhenti suaranya itu atau rubuhnya sudah roboh terbanting!
Kui Ciang kaget bukan kepalang. Tapi ialah seorang jago,
dapat ia menguasai dirinya. Ia tahu itulah hasil perbuatan
serangan gelap dengan senjata rahasia. Tanpa menanti sampai
ia menoleh lagi, untuk melihat siapa tukang bokong itu,
tubuhnya sudah mencelat berputar, untuk lompat
menghampirkan penyerang itu, sedang pedangnya telah
dihunus dan dipakai melindungi dirinya. Ia menjaga diri kalaukalau
serangan gelap itu diulangi.
Berbareng dengan itu terdengar dampratan Leng Song, yang
juga sudah lantas mengejar.
Penyerang itu berlompat lari sambil membalik kepalanya,
terdengar suaranya yang aneh. Suara itu tertawa bukan,
menangis bukan. Toh nadanya sedih. Ia mengasih dengar
suara itu sambil mengawasi Nona Hee.
Toan Kui Ciang sudah lantas mengenali orang itu. Dia bukan
lain daripada Hong-hu Siong. Ia menjadi mendongkol dan gusar
sekali. Tengah orang berdiam mengawasi Leng Song, ia lompat
menerjang dengan satu tikaman hebat.
Hong-hu Siong masih sempat menangkis dengan
tongkatnya, tetapi terdengarnya satu suara nyaring, ujung
tongkat itu kena terhajar hingga "terluka".
Dilain pihak, tangan Kui Ciang tergempur hingga
telapakannya terasa nyeri dan kesemutan, hingga ia mesti
mundur guna mempertahankan kuda-kudanya.
Menggunai ketikanya yang baik itu, Hong-hu Siong lompat
nyamping, untuk menyingkir ke dalam rimba.
Sementara itu Kie Tie, setelah robohnya, cuma mengasih
dengar suara menyayatkan satu kali, terus tidak terdengar apaapa
lagi, karena mana Kui Ciang lari balik untuk menolongi.
Hee Leng Song sebaliknya, dia mengejar terus. Dia sampai
tidak menghiraukan teriakan Kui Ciang, yang memanggil dia
kembali. Touw Sian Nio kuatir nona itu mendapat celaka, sebaliknya
daripada suaminya, dengan membawa panahnya, ia lari
menyusul, guna memberikan bantuannya kalau itu dibutuhkan.
Kui Ciang membiarkan isterinya pergi. Meski ia tahu Hong-hu
Siong liehay, sebagaimana bentrokan barusan telah memberi
bukti kepadanya, akan tetapi ia percaya Leng Song dibantu
isterinya itu tak nanti terkalahkan orang she Hong-hu itu. Ia
hanya memerlukan memeriksa Kie Tie.
Mukanya pengemis itu lantas saja menjadi bersemu hitam
dan dari ujung mulutnya mengalir darah, yang mendatangkan
bau bacin yang keras.
Menampak demikian, orang she Toan ini menjadi kaget
sekali. Itulah tanda dari bencana besar. Tatkala ia mengulur
tangannya meraba tubuh orang, nyata napas Kie Tie telah
lantas berhenti jalan. Ia menjadi mendongkol dan berduka
sekali. Ia melongo sekian lama, akhirnya - tanpa merasa lagi -
ia menangis. "Kie Lo-cianpwe," katanya, sangat menyesal, "Kau masih
mengatakan bukannya Hong-hu Siong. Sekarang jiwamu
diantar pergi oleh tangannya..."
Terang sudah duduknya kejadian. Hong-hu Siong berada di
dekat-dekat situ, ia bersembunyi untuk memasang mata dan
telinga. Ia takut Kie Tie nanti membuka rahasia, maka ia
menurunkan tangan dengan membokong dengan senjata
rahasianya yang berbisa itu.
Terang ia hendak membinasakan Kie Tie dan Kui Ciang
berdua tetapi Kie Tie melindungi si orang she Toan, yang
menjadi tertolong terhindar dari bahaya maut, hanya dia sendiri
yang menjadi korban.
Coba Kie Tie bukan si jago tua, tidak nanti Hong-hde Siong
menurunkan tangan jahat itu. Hanya, apa yang aneh, Kie Tie
membilang Hong-hu Siong bukan pembunuhnya ayah Nona
Hee. Pula aneh, Kie Tie dapat mati lantas sedang dia tangguh.
Kenapa dia tidak mau segera menyebutkan nama si
pembunuh" Kalau si pembunuh benar Hong-hu Siong, apa
mungkin dia mau melindungi orang she Hong-hu itu dengan
memegang rahasia namanya, hingga dia sudi mengorbankan
jiwanya" Sambil menenangkan diri, Toan Kui Ciang membuang tempo
untuk membikin lenyap rasa nyeri di tangannya. Ia ingat
senjatanya Honghu Siong, lantas ia mencari kayu atau ujung
tongkatnya Hong-hu Siong yang kena terbabat pedangnya tadi.
Ia berhasil mendapatkan. Ujung tongkat itu memberi harum
kayu cendana asal Lam Hay, Laut Selatan.
"Hong-hu Siong mempunyai tongkat kayu asal Lam Hay," ia
berpikir, "Tongkat itu hendak aku jadikan bukti. Semua jago
Rimba Persilatan yang tua-tua mesti mengenalnya. Ujung
tongkat ini mesti aku jadikan bukti dari perbuatannya yang
jahat. Aku pun mesti minta bantuannya beberapa orang tertua
untuk mereka itu mencari balas buat Kie Lo-cianpwe...!"
Tak lama maka terlihat Leng Song dan Sian Nio kembali
dengan tangan kosong.
"Rimba sangat lebat, penjahat itu dapat lolos," kata sang
isteri. "Bagaimana dengan Kie Lo-cianpwe?"
"Tak beruntung untuknya, ia sudah menutup mata karena
lukanya," sahut Kui Ciang, masgul. "Mari bantu aku, supaya kita
dapat menguburnya di sini..."
Sian Nio heran.
"Kenapa dia mati demikian lekas?" katanya, yang segera
menghampirkan. Ialah ahli senjata rahasia.
Lantas ia berseru tertahan, "Inilah akibatnya jarum beracun
yang begitu mengenai lantas menutup kerongkongan! Kenapa
Hong-hu Siong dapat menggunai senjata rahasia yang begini
jahat?" Di jaman itu banyak jago Rimba Persilatan menghargai
martabat sendiri. Di antara golongan kelas satu, sangat sedikit
orang yang menggunai senjata itu. Sekarang Hong-hu Siong
menggunai jarum jahat, tidak heran Sian Nio menjadi
tercengang. "Benar!" kata Kui Ciang. "Tadi aku ingat sampai kesitu, adik
Sian. Menurut apa yang aku tahu, Hong-hu Siong belum pernah
menggunakan senjata rahasia, apapula senjata rahasia yang
dipakaikan racun. Mustahilkah... mustahilkah...?"
Sian Nio dapat membade hati suaminya. Ia menggeleng
kepala. "Tak mungkin!" katanya. "Tak mungkin Hong-hu Siong itu
Hong-hu Siong palsu! Bukankah kita bertiga melihatnya tegas
sekali?" "Ibuku membilangi aku Hong-hu Siong licik dan jahat tak
lawannya!" kata Leng Song. "Maka itu aku mau percaya, dia
biasa tak menggunai senjata rahasia melulu siasatnya untuk
membikin martabatnya naik tinggi, tetapi sekarang ini, di saat
begini mendesak, dia tidak dapat memilih jalan lain, maka juga
senjata yang paling jahat dan berbisa pun dia gunai!"
Kui Ciang merasa si nona bicara terpengaruhkan rasa
bencinya, akan tetapi ia telah melihat sendiri kepada Hong-hu
Siong, maka itu, bersangsi atau tidak, ia mau menerima baik
pikiran nona itu.
"Hiantit-lie," kata ia, kemudian, "Hendak aku menanya kau
satu urusan. Aku dengar halnya kau baru ini di gunung Lee
San, di dalam kuil Thouw Tee Bio, telah bertemu dengan Honghu
Siong. Kau katanya hendak membunuh dia, tetapi dia duduk
tak bergeming di lantai, dia menyerah untuk dibunuh. Benarkah
itu?" "Tidak salah, itulah benar," sahut si nona. "Karena itu juga,
ketika itu Lam Tayhiap kena diabui dia, Lam Tayhiap
menganggap dialah seorang baik hingga aku dicegah
membunuhnya. Menurut anggapanku, perbuatan dia itu waktu
mestinya perbuatan sandiwara saja, itu menandakan
kelicikannya. Dia rupanya percaya betul bahwa Lam Tayhiap
bakal menghalang-halangi aku!"
Mendengar demikian, Kui Ciang heran.
"Ketika itu aku tak sadarkan diri," katanya. "Ketika itu Honghu
Siong yang telah menolongi aku dengan memukul mundur
musuh, kemudian dia menolongi jiwaku hingga aku mendusin
dan selamat. Itulah kenyataan. Tapi sekarang terjadi peristiwa
ini. Kenapa dulu dia berbuat sangat baik padaku, dia telah
menolong aku dua kali" Kenapa sekarang dia justeru hendak
membinasakan aku" Kenapa?"
"Engko, kau selalu mengambil pandangan dari sudut yang
menyenangkan," kata Sian Nio. "Apakah yang aneh disini"
Bukankah kau pernah membilangi bahwa ketika dia semula
menolongi kau, dia mengharap supaya kau nanti membalas
budi kepadanya, supaya kau dari imusuh memandangnya
sebagai sahabat" Sekarang dia ketahui permusuhan tak dapat
didamaikan pula, dia pula takut Kie Tie nanti membeber hal
yang sebenarnya hingga kau ketahui duduknya perkara, maka
itu dia pasti ingin menurunkan tangan jahat atas dirimu!"
Leng Song telah menjadi tidak sabaran. Begitu mendengar
perkataannya Sian nio, dia lantas menanyai Kui Ciang,
"Sebetulnya, apakah yang si pengemis tua bilang padamu?"
Kui Ciang ayal-ayalan ketika ia menjawab, "Dia... dia
membilang bahwa Hong-hu Siong bukanlah musuh kamu, akan
tetapi di saat yang paling penting, yaitu ketika dia hendak
menyebutkan- she dan namanya musuhmu itu, dia telah lantas
dibinasakan Hong-hu Siong..."
"Baik, biarkanlah urusan ini!" kata Nona Hee kemudian.
"Ibuku juga bermaksud untuk hanya menyingkirkan bahaya
bagi orang banyak, bukan buat permusuhan yang tak dapat tak
dibereskan di antara Hong-hu Siong dengan kami. Yang aku
hendak tanyakan ialah, apakah pengemis tua itu ada
menyebutkan sesuatu yang mengenai riwayat diriku?"
"Dia belum sampai menyebutkan," sahut Kui Ciang, yang
kembali ragu-ragu, nampaknya dia jengah. "Hanya... hanya aku
mau percaya bahwa apa yang dia telah bilangi kau kiranya
bukan hal ngaco belo saja.
Parasnya Leng Song menjadi pucat, alisnya rapat satu
dengan lain. Hatinya memang seperti terbenam dalam
kegelapan, maka sekarang, boleh ia tak percaya Kie Tie tetapi
ia harus percaya Kui Ciang.
Ia lantas tunduk dan mengeluarkan kata-kata yang tidak
tegas, "Mungkinkah ibu ada menyembunyikan apa-apa
kepadaku?" ia berpikir.
Ia berhenti sejenak, terus ia tanya pula Toan Tayhiap, "Toan
Peehu, kaulah sahabatnya ayahku, dapatkau kau memberikan
keterangan padaku?"
Kui Ciang bersangsi, sulit untuk ia berbicara. Maka ia mesti
berpikir keras.
"Semenjak ayahmu menikah, aku tak pernah melihat pula ia
serta ibumu," ia menjawab kemudian. "Hanya, menurut apa
yang aku duga, Hong-hu Siong itu mungkin benar musuh orang
tuamu, maka itu ibumu menghendaki kau membunuhnya bukan
cuma guna menyingkirkan bencana untuk umum tetapi sekalian
buat membalaskan sakit hatinya sendiri..."
Leng Song cerdas, maka ia lantas dapat merasa Kui Ciang
tidak bicara seluruhnya. Walaupun demikian, berdasarkan
keterangan Kui Ciang ini, ia mau menduga bahwa tentang asal
usulnya sendiri mestilah suatu soal yang ruwet. Maka ia
menggigit bibirnya.
"Baikah, peehu!" katanya. "Jikalau peehu tidak dapat
menjelaskan, baik nanti saja aku pulang untuk menanya
kepada ibuku sendiri..."
"Bukannya aku tidak mau bicara," kata Kui Ciang, sabar,
"Aku hanya tidak dapat bicara lantaran masih ada hal-hal yang
aku belum jelas.
Aku rasa kalau nanti kau sudah bertemu dengan ibumu baru
kau akan megerti duduknya hal yang benar."
"Aku belum pernah bertemu dengan ibumu," kata Sian Nio
pada si nona, "Akan tetapi sudah lama aku mendengar dan
mengagumi dia. Dapatkah aku pergi untuk menjenguk ibumu
itu?" "Bibi suka mengunjungi kami, aku bersyukur bukan main,
pasti kami akan menyambut dengan girang sekali," menyahut
Leng Song, "Hanya di dalam hal ini, aku tak dapat mengambil
keputusan sendiri. Maka itu bagaimana kalau aku pulang dulu
untuk menanyakan ibu, habis mana baru aku memberi kabar
kepada bibi" Tabiat itu ada sedikit aneh, ia tak suka bertemu
dengan orang yang belum dikenal..."
Dengan perkataannya ini, masih ada sesuatu yang si nona
sembunyikan. Itulah pesan wanti-wanti dari ibunya supaya
alamatnya juga jangan diberitahukan kepada Toan Kui Ciang.
Sian Nio tidak dapat memaksa, sedang Kui Ciang berdiam
saja. "Lam Tayhiap sudah pergi ke Hoay-yang," kata Leng Song
kemudian. "Turut apa yang aku tahu, dia hendak
menyampaikan kepada Thio Sunbu dan Kwe Cu Gie tentang
komplotan di antara Ong Pek Thong ayah dan anak dengan An
Lok San. Dari Hoay-yang, dia mau kembali ke Kiu-goan. Lam
Tayhiap minta aku menyampaikan dan menanya kau, peehu,
apakah kau suka pergi menemui dia di Kiu-goan atau tidak?"
Pertanyaan ini ada baiknya untuk Kui Ciang. Ada alasan
untuknya membuka mulut.
"Aku memang mau pergi ke Kiu-goan," sahurnya. "Kalau
nanti kau sudah bertemu dengan ibumu, andaikata ada sesuatu
yang diperlukan dari aku, kau boleh pergi ke Kiu-goan akan
mencari aku di sana."
Leng Song mengangguk.
Sampai disitu, bertiga mereka lantas bekerja, guna menggali
tanah, guna mengubur mayatnya Kie Tie.
Kui Ciang berduka bukan main menyaksikan kuburannya
pengemis jagoan itu, yang tak mestinya terkubur di tempat
belukar itu. Selesai mengubur, ketiga orang ini bersama-sama turun
gunung. Selagi berjalan, semua berdiam. Mereka merasa hati
mereka masing-masing berat sekali.
Baru kemudian Touw Sian Nio menarik napas.
"Selama beberapa bulan ini," katanya masgul, "Pelbagai
urusan yang tak menyenangkan hati datang bersilih ganti, lalu
akhirnya kita menjadi rumah hilang dan orang menutup mata...
Semua itu mirip dengan impian buruk yang tak pernah tamat!"
Kui Ciang merasa sulit menghibur isterinya, tetapi ia paksa
tertawa dan kata, "Mungkin itu disebabkan kita sudah
merasakan hidup berbahagia sepuluh tahun lamanya, maka
Thie-kong sengaja membuat kita merasakan penderitaan..."
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Leng Song tidak turut bicara. Ia hanya memanggil kuda
putihnya, yang terus muncul.
"Sampai kita bertemu pula!" katanya seraya lompat atas
kudanya, untuk terus kabur dengan menepas airmata...
Hari dan bulan berlalu dengan cepat, banyak yang telah
berganti rupa. Sejak Ong Pek Thong dan anak-anaknya
memukul hancur benteng Hui Houw San, tujuh tahun telah
berselang. Selama tujuh tahun ini, banyak perubahan dalam
dunia Sungai Telaga.
Dengan runtuhnya Keluarga Touw, Keluarga Ong telah
menggantikannya. Benar telah terjadi itu kekacauan di lembah
Liong Bin Kok dimana rahasianya Keluarga Ong terbuka, hingga
kaum Rimba Hijau menjadi terpecah, Ong Pek Thong tetap
tercapai cita-citanya menjadi Lok-lim Beng-cu, ketua kaum
Rimba Hijau, dan orang Rimba Hijau yang menghamba
kepadanya juga berjumlah besar. Maka dalam kalangan Rimba
Hijau itu, pengaruhnya menjadi besar sekali, bahkan paling
besar. Dengan begitu juga, maka orang telah mulai melupakan
kemashuran Touw-kee Ngo-houw, Lima Harimau Keluarga
Touw dari gunung Hui Houw San itu.
Di kalangan pemerintahan, sebaliknya, Pemerintah Agung
nampak makin lemah, sedang pengaruhnya An Lok San
bertambah besar, dengan kedudukannya sebagai pembesar
dari tiga kota Hoan-yang, Peng-pou dan Hoo-tong, dia seperti
sebuah negara yang merdeka sendiri di bagian utara itu. Dia
mempunyai tentara dan rangsum yang jumlahnya melebihkan
rangsum dan tentara pemerintah.
Pada suatu hari di dalam bulan sembilan dari tahun Thian Po
ke empat belas dari Kerajaan Tong, di tanah datar di dalam
wilayah kota Peng-yang, ada seorang penunggang kuda yang
lagi mengaburkan kudanya. Dialah seorang perwira dengan
potongan yang disebut "berpinggang beruang dan
berpunggung harimau".
Inilah tidak heran, sebab dialah Cin Siang, turunan dari
Jenderal Cin Siok Poo, salah satu panglima perang yang turut
membangun Kerajaan
Tong, dan sekarang dialah satu di antara Toa-kho-ciu, orang
tergagah, di dalam istana kaisar.
Cin Siang sedang bertugas, dia diperintah mengikut Tiong-su
Phang Sin Wie yang diutus Pemerintah Agung untuk menemui
An Lok San, guna "menghibur" itu Ciat-touw-su yang sangat
besar pengaruhnya, guna membikin hati tenteram.
Dia mengaburkan kudanya sebab dia berlalu secara diamdiam
dari kota Hoan-yang yang menjadi tempat kedudukannya
An Lok San. Dia mau pulang ke kota raja guna menyampaikan
laporan kepada pemerintah tentang cita-cita atau aksinya An
Lok San untuk menerbitkan huru-hara, buat berontak terhadap
Pemerintah Agung.
Pada tujuh tahun yang sudah berlalu, Kwe Cu Gie sudah
mengajukan laporan rahasia kepada Raja Hian Cong halnya An
Lok San lagi bekerja keras "membeli" orang-orang Rimba Hijau
serta mengumpulkan kuda dan tentara, untuk persediaannya
berontak merobohkan pemerintah, tetapi laporan itu tidak
dihiraukan. Raja sedang sangat percaya pada Ciat-touw-su itu yang
disayanginya, sedang Yo Kui-hui telah bicara baik perihal
panglima di perbatasan itu. Didiamkannya laporan rahasia itu
membuatnya An Lok San merdeka dengan persiapannya itu.
An Lok San cerdik. Tahun dulu itu dia tidak segera
mengangkat senjata disebabkan tiga soal. Pertama-tama
persiapannya belum matang. Kedua lantaran siasatnya
menggunai tenaga Ong Pek Thong menghadapi rintangan. Dan
ketiga, dia telah mendengar selentingan perihal laporan rahasia
dari Kwe Cu Gie itu. Maka terpaksa dia terus beraksi bersetia
kepada Kaisar Hian Cong, yang diabuinya.
Dengan demikian juga, tahun ketemu tahun,
pemberontakannya belum dapat diletupkan. Barulah tahun ini
dia merasa waktunya sudah tiba buat turun tangan karena
tentaranya sudah berjumlah besar dan kepala perangnya
banyak. Dia percaya bahwa dialah yang bakal merebut
kemenangan. Demikian dengan alasan "mempersembahkan kuda" dia telah
menghaturkan suratnya. Dia kata daerah perbatasan tempat
bertugasnya itu menjadi tempat yang mengeluarkan kuda
pilihan, maka ia sudah memilih tiga ribu ekor lebih dan
mempersembahkannya kepada junjungannya yang maha
agung. Dia menjelaskan kudanya itu dapat dipakai andaikata Raja
mau menyerang ke timur atau menerjang ke barat, sebab
setiap, kuda telah diperlengkapi pelana yang dapat memuat
dua orang serdadu. Dia kata dia mengutus dua puluh empat
Hoan-ciang, perwira suku perbatasan, guna mengantari semua
kuda itu, sedang hari keberangkatannya bakal dipilih dan
ditetapkan. Karena itu dia minta Raja memerintahkan semua
pembesar, yang daerahnya bakal dilalui rombongan kuda itu,
bersiap sedia menyambut dan mengatur rumput makanan
kuda. Kapan Kaisar Hian Cong menerima surat itu, mau atau tidak,
timbul juga kecurigaannya, tak perduli ia sangat percaya
panglimanya itu. Ia pikir, kalau seekor kuda dapat membawa
dua serdadu, tiga ribu ekor berarti enam ribu serdadu, dan
rombongan itu diantar juga dua puluh empat Hoan-ciang,
sedang setiap Hoan-ciang mesti ada pengikutnya lagi.
Tidakkah jumlahnya semua akan ada kira sepuluh ribu jiwa"
Kalau mereka itu dibiarkan memasuki kota Tiang-an, tidakkah
mereka membahayakan"
Lantas Raja mengadakan sidang. Para menteri menganggap
An Lok San harus dicurigai dan tak dapat dipercaya. Mereka
kata berbahaya kalau "kudanya" An Lok San itu dibiarkan
memasuki kota raja. Maka mereka mengusulkan supaya An Lok
San ditegur. Walaupun para menteri bersikap demikian rupa, Kaisar Hian
Cong bersangsi. Ia masih tak percaya An Lok San benar berniat
berontak. Karenanya ia kuaur, kalau An Lok San ditegur, dia
jadi tak senang hati dan benar-benar berontak.
Kesangsian Raja menyebabkan seorang menteri tua
mengusulkan untuk dengan lunak mencegah An Lok San
mengirimkan hadiah kudanya itu. Usul itu diterima baik. Maka
itu Tiong-su Phang Sin Wie lantas diutus ke Hoan-yang.
Dalam firman kepada An Lok San, Raja puji kesetiaan
panglirna itu, bahwa ia merasa senang, kemudian dengan
manis hadiah ditampik, yaitu katanya kuda itu tak usah dikirim
ke kota raja. Sebagai alasan dikemukakan kuda mesti berjalan
untuk banyak hari sedang itu waktu permulaan musim rontok,
musim panen. Dikatakan baiklah pengiriman ditunda saja
sampai lain musim.
Phang Sin Wie bersama Cin Siang telah tiba di Hoan-yang.
An Lok San gusar sekali. Dari kota raja ia sudah menerima
warta rahasia dan mengetahui duduknya hal. Ia tidak mau
keluar menyambut utusan kaisar, dan ketika Phang Sin Wie
membacakan firman, ia juga tidak mau menjalankan
kehormatan dengan bertekuk lutut, bahkan dia duduk agungagungan
di atas pembaringannya, sebuah pembaringan model
pembaringan orang Ouw (Tartar).
Setelah firman dibacakan, berulang kali dia tertawa dingin,
dengan roman murka dia kata, "Aku dengar kabar Yo Kui-hui di
dalam keraton belajar menunggang kuda, aku pikir Raja
menggemari kuda, aku di sini mempunyai banyak kuda pilihan,
maka mau aku mempersembahkannya. Kalau begini bunyi
firman, baiklah, tak apa aku tidak mempersembahkan!"
Phang Sin Wie melihat pasukan pengiringnya An Lok San
teratur rapi, tak mau ia membantah.
An Lok San memberi tempat beristirahat pada utusan itu,
tapi ia memperlakukannya tawar sekali.
Lewat beberapa hari, Phang Sin Wie mau pulang ke kota
raja, ia mohon menghadap An Lok San, ia menanya ada surat
balasan atau tidak.
Atas itu An Lok San kata, "Firman menyebut lain musim, itu
artinya sampai bulan sepuluh, sekalipun aku tidak
mempersembahkan kuda, aku sendiri bakal datang ke kota raja
untuk melihat pemerintahan, dari itu, buat apa aku memberi
balasan" Bahkan kau sendiri, tak usah kau kesusu pulang, kau
tunggu saja sampai bulan sepuluh, nanti kita berangkat
bersama-sama!"
Phang Sin Wie tidak berani banyak omong. Ia tahu pasti An
Lok San benar mau berontak. Sekembalinya ke gedung
penginapannya, ia lantas berdamai dengan Cin Siang. Ia minta
Cin Siang lekas pulang guna memberi kisikan pada raja, supaya
raja siap sedia.
Cin Siang gagah, dia dirintangi oleh orang-orangnya An Lok
San tetapi dia lolos. Demikian dia kabur dari kota Hoan-yang,
siang dan malam, dan besokannya tengah hari, dia sudah
meninggalkan kota seratus lie lebih. Karena itu, meski kudanya
jempol, kuda itu toh sangat letih dan mulurnya berbusa.
Terpaksa dia mau singgah, supaya kudanya bisa mengaso,
makan rumput dan minum.
Itu waktu Cin Siang berada di kaki gunung. Tiba-tiba dia
dipegat serombongan pasukan berkuda, yang muncul dari
tikungan gunung. Mereka itu memegat sambil meminta uang
cukai jalan. "Jalan gunung ini kami yang buka! Pohon-pohon di sini kami
yang tanam! Siapa mau lewat di sini, dia mesti membayar sewa
jalan!" demikian katanya.
Cin Siang gusar hingga dia berseru, "Bapak kamu she Cin ini
justeru kakek moyang berandal! Kamu kawanan kurcaci tak
tahu nol putul, kamu berani memegat kau?"
Terus dia gunakan sepasang ruyung kim-cong-gan menyerbu
kawanan pemegat itu.
Sepasang senjata itu ada senjata turunan, beratnya enam
puluh empat kati. Dulu hari Cin Siong alias Siok Po, leluhurnya
telah menggunakan senjata itu membantu Lie Sie Bin
membasmi delapan belas raja-raja muda hingga akhirnya
bangunkan Kerajaan Tong. Sekarang Cin Siang menggunainya
melabrak hebat pada kawanan perintangnya ini!
Dari dalam pasukan berandal dengan mendadak muncul dua
orang penunggang kuda yang bersamaan romannya, yang
usianya masing-masing usia pertengahan. Mereka itu mencekal
golok masing-masing di tangan kiri dan tangan kanan.
Dengan lantas mereka mengepung kepada Cin Siang dan
serangannya hebat sekali, sebab dua batang golok mereka
merupakan sebagai segelempang bianglala!
Cin Siang terperanjat. Ia lantas merasa bahwa ia lagi
berhadapan bukan dengan sembarang penjahat. Tapi ia tidak
takut, bahkan ia menyambut mereka dengan seruannya,
"Bagus!"
Sepasang ruyung sudah lantas bekerja menangkis serangan
dahsyat itu. Dua tenaga baru itu ialah dua saudara she Cio yang terjuluk
Im-yang-to atau golok "Im Yang". Keduanya menjadi
sebawahan yang diandalkan Ong Pek Thong karena ilmu golok
mereka yang luar^ biasa. Mereka selalu berkelahi berdua,
disebabkan senjata mereka yang dicekal dengan tangan kiri
dan kanan masing-masing.
Cin Siang tidak mau mengasih hati walaupun orang liehay. Ia
ingin lekas-lekas mengundurkan musuh. Baru beberapa jurus,
mendadak ia menangkis hebat dengan sepasang ruyungnya.
Dua kali beruntun terdengar bentrokan keras, lalu goloknya Cio
It Liong kena dibikin terbang, disusul dengan mentalnya golok
Cio It Houw! Justeru itu ada terdengar suara panah nyaring. Untuk kaum
Rimba Hijau, itulah isyarat untuk menghentikan pertempuran,
tetapi untuk peperangan resmi, itu dapat diartikan sebagai
perbuatan menghina.
Cin Siang tidak senang, ia menangkis panah itu,
membuatnya terpental, hanya berbareng dengan itu ia
merupakan jemparing bertenaga besar sekali.
Segera juga muncul si pelepas panah, seorang penunggang
kuda lainnya. Dialah seorang pemuda yang tampan dan gagah
romannya. Karena dialah Ong Liong Kek, anaknya Ong Pek
Thong. Liong Kek pandai ilmu totok, senjatanya yang biasa ialah
sepasang thie-san-ie atau kipas besi, akan tetapi senjata
pendek itu tak leluasa dipakai dalam pertempuran sambil
menunggang kuda, maka ia tukar itu dengan sepasang poankoan-
pit, gegaman semacam alat tulis yang istimewa, ialah
empat kaki lebih panjangnya, sedang yang umum ialah enam
kaki delapan dim.
"Tuan!" Liong Kek menyapa setelah dia datang dekat,
"Didalam pasukan pemerintah ada perwira segagah kau, itulah
hal yang langka! Tuan, mengapa kau kesudian menjual jiwamu
kepada negara" Lebih baik tuan turut kami menjadi Raja
Gunung, untuk kita hidup merdeka! Tidakkah itu bagus?"
"Bangsat cilik, angin busuk!" Cin Siang membentak, seraya
dengan Kim-cong-gan, ruyungnya, ia lantas menyerang.
Liong Kek waspada. Ia berkelit dengan sebat. Tubuhnya
berguling, untuk berputaran pada perut kudanya. Itulah tipu
silat "Kim-lie Coan-po," atau "Ikan gabus menembus
gelombang". Kedua kakinya dengan liehay menyantel pada
pelananya. Cin Siang ingat perjalanannya. Begitu serangannya itu gagal,
ia mengedul tali lesnya dan kedua kakinya menjepit perut
kudanya, untuk membikin kuda itu berlompat kabur. Akan
tetapi baru kudanya memutar kepala, lawannya sudah lompat
menyusul untuk naik di punggung kudanya itu.
Liehay si anak muda, ia berlompat dengan menggunai tipu
lompat "It-ho Ciong-thian," atau "Burung jenjang terbang ke
langit". Sambil berlompat itu, ia juga menyerang dengan alat
totoknya. Cin Siang menangkis tetapi jgagal, orang sudah bercokol di
punggung kudanya. Ia terkejut, lebih-lebih sebab dengan
senjatanya yang berat enam puluh empat kati itu, sulit untuk
bertempur rapat.
Ong Liong Kek tidak mensia-siakan waktunya yang baik itu.
Segera dia menotok.
Cin Siang tidak dapat menangkis, ia berkelit, akan tetapi
poan-koan-pit sudah mendahului mengenai dadanya hingga
terdengar satu suara nyaring. Ia tidak roboh atau terluka,
sebab ia memakai baju lapis lunak, sedang totokan itu kurang
tepat. Maka itu cuma baju perangnya yang pecah.
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cin Siang menjadi sangat gusar. Ingin ia membikin
pembalasan. Dengan sebat ia menancap ruyungnya di sela
pelananya, setelah itu sambil berseru keras, "Pergilah kau!" Ia
menyamber kepada musuhnya itu, menyamber ikat
pinggangnya, untuk terus mengangkat tubuh dia itu!
Liong Kek kaget sekali. Itulah kejadian yang ia mimpikan pun
tidak. Tidak disangka sekali orang berani melepaskan
senjatanya, untuk sebaliknya menggunai tangan kosong!
Bukankah tadi bersenjata dia seperti tak berdaya" Kenapa
dia berani berlaku demikian berani" Maka ia lantas menyerang,
sepasang pirnya ditotokkan ke jalan darah kin-ceng kiri dan
kanan. Hanya baru ia menotok, tubuhnya sudah kena diangkat.
Cin Siang tersohor untuk tenaganya yang besar luar biasa.
Ketika si anak muda kena diangkat, ia merasakan sangat nyeri
sampai ke ulu hatinya, hingga lenyaplah tenaga
perlawanannya. Benar kedua senjatanya menotok lepat akan
tetapi tidak ada hasilnya, bahkan kedua tangannya terpaksa
diturunkan sendirinya.
Dua saudara Cio menjadi sangat kaget, tetapi mereka masih
ingat mengeprak kuda mereka dengan niatnya menolong! Tapi
mereka terlebih kaget lagi. Mereka mendengar Liong Kek
menjerit mengeluh dan rubuhnya diangkat bagaikan badan
ayam yang enteng, karena tubuh jago muda itu dapat
dibulang-balingkan, diputar seperti titiran.
Cin Siang berseru, "Dengan membinasakan bangsat cilik ini
cuma-cuma mengotorkan tanganku!"
Lantas ia melepaskan cekalannya, membikin tubuh orang
terlempar pergi.
Kuda Cin Siang kuda yang terlatih baik, yang telah sering
maju di medan perang. Sebenarnya kuda itu sudah letih sekali,
akan tetapi menghadapi saat-saat yang berbahaya, dia dapat
bertindak tepat. Begitulah dia meringkik keras, dia mengangkat
keempat kakinya, buat berlompat untuk terus lari menerjang
kurungan. Dengan menerbitkan suara menderum, dari belakang
terdengar suaranya anak-anak panah menyamber.
Cin Siang berseru pula. Ia menancap pula senjatanya, yang
ia sudah cabut buat dipakai menerjang musuh, dengan tangan
kosong, ia menyambuti dua batang jemparing, untuk
ditimpukkan dengan keras.
Celaka dua tauwbak yang mengejar, yang melepaskan panah
itu, tak sempat mereka menangkis atau berkelit, anak-anak
panah itu sudah kembali dan menancap di tubuhnya masingmasing,
maka dengan satu teriakan hebat, keduanya roboh
terguling dengan jiwanya melayang dalam sekejap.
Kejadian tersebut membuat sekalian liauwlo menghentikan
pengejaran mereka.
Sementara itu, Liong Kek tidak roboh binasa atau terluka.
Selagi dilemparkan, ia meneruskan bergerak untuk jumpalitan,
maka ia turun di tanah dengan tidak kurang suatu apa.
"Orang she Cin!" ia kata, tertawa dingin. "Hendak aku lihat,
berapa jauh kau dapat menyingkir dari sini" Anak-anak, jangan
perdulikan dia!"
Cin Siang heran. Ia mau menyangka orang menggertak
padanya. Ia pikir, "Coba aku tidak mau lekas kembali ke kota
raja, mesti aku ajar adat kepadamu..."
Maka ia lari terus. Sebentar saja sudah kabur belasan lie. Di
sini kudanya lantas lari perlahan dengan napasnya mengorong.
"Syukur ada kau, kudaku!" kata Cin Siang sambil mengusapusap
leher kudanya itu.
Kemudian ia berpikir pula, "Aku bukannya opsir yang
mengantar rangsum, buat apa kawanan berandal itu memegat
aku" Ah, aku mengerti sekarang! Telah lama aku mendengar
kabar An Lok San berkongkol dengan Rimba Hijau, mungkin
inilah rombongan konconya itu..."
Selagi memikir begitu, Touw-ut ini mendengar suara teguran
yang nyaring tapi halus, "Cin Tayjin, meski kau tidak letih,
kudamu tentu sudah capai sekali! Silahkan kau turun untuk
beristirahat dulu!"
Dengan terkejut Cin Siang menoleh, maka ia melihat seorang
nona yang cantik muncul di hadapannya, melintang di tengah
jalan. Di belakang nona itu ada rombongannya, semua liauwlo
wanita, jumlahnya belasan, dan mereka itu membawa sehelai
bendera sulam air emas yang merupakan seekor burung walet.
Rombongan itu memernahkan diri sebagai perintang.
"Kau bikin apa?" tanya Touw-ut ini heran. "Apakah kamu
juga, nona-nona, melakukan pekerjaan Jalan Hitam yang tidak
memakai modal?"
Nona itu sangat cantik, maka itu meski Cin Siang menduga
dia terang tak bermaksud baik, ia menyaksikan merekalah
kawanan berandal. Karena itu ia mengajukan pertanyaannya
itu. Si nona tertawa.
"Cin Tayjin, nyatalah kau memandang sangat enteng kepada
kami!" katanya. "Apakah kau kira pekerjaan Jalan Hitam tanpa
modal itu cuma pekerjaan bangsa pria" Tapi janganlah kau
takut! Aku tidak menghendaki jiwamu, aku melainkan memikir
mengundang kau datang ke tempat kami, untuk berdiam buat
beberapa hari! Kau sudah melakukan perjalanan cepat dan jauh
sekali, sudah selayaknya kau singgah untuk beristirahat!"
"Aku tidak mempunyai tempo luang untuk dilewatkan
bersama kamu!" Cin Siang menjawab. "Maka itu lekaslah kau
membuka jalan untukku!"
-ooo0dw0ooo- Jilid 13 Seorang serdadu wanita itu tertawa.
"Kau berani sekali!" katanya. "Nona kami mengundang kau
menjadi tetamu kami, kenapa kau tidak tahu salatan?"
Tak sudi Cin Siang melayani orang perempuan, ia menahan
sabar. "Kita tidak kenal satu dengan lain, aku bersyukur yang kamu
begini baik hati," ia kata. "Tapi aku perlu melanjuti
perjalananku sebab aku mempunyai urusan penting! Tolong
kau memberi aku lewat!"
Si nona, yang sedari tadi mengawasi saja, mendadak
tertawa. "Cin Tayjin," ia berkata, "Menurut perkataan kau ini, kau
jadinya seperti si orang yang diberi selamat dengan arak sudah
menampik tetapi sebaliknya kau meminta arak dendaan!
Apakah kau tahu aturan kami kaum Rimba Hijau?"
Cin Siang mementang sepasang matanya.
"Apakah katamu?" dia menegas.
"Kau sungkan menjadi tetamu kami," kata si nona, "Karena
itu terpaksa kami harus memandang kau sebagai kambing
kami! Kau harus ditangkap untuk dijadikan bingkisan untuk
kami!" Cin Siang mendongkol berbareng merasa lucu. Maka ia
tertawa berkakak.
"Jadi kau juga belajar memberandal?" tanyanya. "Apakah
kau tahu bahwa aku baru saja keluar dari dalam barisan
berandal" Kau baik ketahui sepasang senjataku ini, kesatu tidak
menghajar orang yang tidak punya nama dan kedua tidak
melayani kaum wanita! Aku beri ingat kepada kamu baiklah
kamu bubaran saja!"
Nona itu tidak menjawab, ia juga tidak membilang suatu
apa, hanya dari seorang prajuritnya ia menyambuti sebatang
busur lengkap, untuk dengan itu mendadak dia memanah
kudanya si perwira.
Cin Siang terperanjat, akan tetapi ia masih keburu
menyampok anak panah. Karena itu, ia kembali menjadi
terkejut. Kali ini disebabkan ia merasa jemparing itu bertenaga
besar. Inilah diluar dugaannya. Kudanya lompat berjingkrak
disebabkan jemparing melesat ke kakinya!
Ia lompat turun dari kuda yang ia sayang itu, sambil
menepuk-nepuk ia kata, "Kudaku, kudaku, pergilah kau ke
depan! Di sana kau tunggui aku!"
Kuda itu benar-benar mengerti, dia terus lari menuju ke
jalanan samping mereka.
Barisan si nona pun bekerja sangat sebat, mendadak mereka
menggunai empat buah gaetan, kuda itu lantas tergaet roboh,
sedang seorang nona menyamber lesnya, hingga dia lantas
kena ditarik. "Itulah kuda jempolan!" berkata si nona tertawa. "Baikbaiklah
rawat lukanya!"
Kemudian ia menoleh kepada Cin Siang, untuk berkata
sambil tertawa terkekeh, "Cin Tayjin, kudamu ini kuda
jempolan, cuma masih ada kekurangannya! Dan itu sepasang
kim-gan, yang mengkilat kuning, pasti itu terbuatnya dari emas
perada dan beratnya mungkin seratus kati, itulah tentu besar
harganya! Sekarang begini saja, kuda itu ditambah kim-gan itu,
senjatamu itu, cukup untuk memberi muka padamu, maka kau
tinggallah, silahkan kau pergi!"
Cin Siang gusar bukan main.
"Jikalau kau masih ngoceh saja, awas, aku tak akan
sungkan-sungkan lagi!" katanya sengit. Si nona tertawa.
"Apakah sekarang kau suka menempur kami bangsa
perempuan?" ia tanya. "Baiklah! Asal kau dapat menangkan
pedangku ini, akan aku memberi kemerdekaan padamu untuk
lewat di sini dan kudamu juga akan aku bayar pulang!"
Cin Siang mendongkol bukan main. Ia lantas menghajar
sebuah pohon di sisi jalan, hingga pohon itu patah dan roboh.
"Nona, lihatlah biar tegas," ia kata. "Kau lihat senjataku
bukan senjata main-main! Apakah benar kau hendak
menempur aku satu sama satu?"
Si nona bersenyum.
"Telah aku melihat tegas!" sahutnya. "Cuma harus kau ingat,
pohon itu pohon mati dan manusia ialah manusia hidup! Aku
tidak percaya senjatamu itu dapat melukakan aku! Disebelah
itu aku tahu baik sekali bahwa pedangku ini pedang yang tak
dapat dibuat permainan!"
Cin Siang menjadi kewalahan.
"Baik!" katanya. "Karena kau bicara besar, kau majulah!"
Si nona dengan sabar merapihkan ikat pinggangnya, lalu
mendadak ia memutar pedangnya sambil berseru, "Kau
sambutlah!"
Lantas juga ia menyerang, membabat lengan orang!
Cin Siang percaya si nona liehay hanya ia tidak menyangka
orang dapat melayaninya, karena itu ia merasa berkasihan dan
ia berkuatir nanti melukai orang, maka ketika ia menangkis, ia
menggunai tenaga tiga bagian.
Kesudahan sikap berkasihannya itu, ia menjadi kaget sekali,
nyata si nona liehay. Dia menyerang untuk menggertak saja,
ketika dia menarik pedangnya, yang mental tertangkis, dengan
tiba-tiba dia meneruskan itu untuk menyerang dada lawan
dimana ada jalan darah soan-kie.
Dalam kaget bukan main, Cin Siang masih sempat membela
diri. Ia melengat dengan tipu silat, "Tiat-poan-kio" atau
"Jembatan besi" Ia dapat bergerak dengan sebat hingga ujung
pedang lewat di atasan mukanya sedikit. Lalu, sebelum si nona
sempat menyerang pula, lekas-lekas ia berdiri tegak, untuk
melakukan serangan membalas dengan sepasang ruyungnya.
Meski begitu, ia masih tak sudi membinasakan si nona, maka
ia menyerang ke arah senjatanya nona itu dengan keinginan
membikin senjata itu terlepas dan jatuh.
"Sungguh liehay!" si nona berseru seraya ia menggunai tipu
huruf "Lolos". Ketika pedangnya nempel dengan ruyung lawan,
ia menariknya pulang dengan tubuhnya lompat melejit. Bahkan
ruyung kanan si Touw-ut mengenai tempat kosong, hingga
tubuhnya meluncur sedikit ke depan!
Si nona tidak berhenti setelah ia bebas itu. ia segera
melakukan pembalasan!
Sampai disitu, Cin Siang tidak berani memandang ringan
kepada lawannya ini. Ia mendapat kenyataan orang gesit luar
biasa dan tenaga dalamnya pun mahir. Karena ini, ia menjadi
berlaku sungguh-sungguh. Sepasang kim-gan digeraki hingga
berkilauan dan suara anginnya menderu-deru.
Si nona tidak menajdi jeri meskipun ia dilawan keras. Ia
tertawa dan berkata, "Cin Tayjin, bukankah sepasang
ruyungmu ini diperantikan menghajar bangsa orang gagah"
Hari ini kau memberi pengajaran kepadaku, aku jadi sangat
girang dan bersyukur sekali terhadapmu!"
Itulah melulu kata-kata untuk memperolok-olok. Sembari
bergurau itu, si nona tapinya tidak beralpa. Dengan liehay ia
menggunai pedangnya.
Muka Cin Siang menjadi merah sendirinya. Orang telah
menyindir kepadanya. Ia pun mendongkol karena hampir saja
iganya kena tertikam ketika si nona merabuh ke kiri dan kanan,
untuk mempermainkannya.
"Bangsat licik!" ia berteriak saking mendongkol. Ia
menyerang dengan pukulan "Heng-in Toan-hong," atau "Awan
melintang memutus puncak". Ia menggunai sepasang
ruyungnya. Ia sampai melupai sang lawan ialah seorang wanita
- seorang nona!
Nona itu cerdik. Ia tahu bahaya, ia tidak mau menangkis. Ia
berkelit. Kembali ia melawan dengan menggunai kelincahannya.
Sia-sia belaka Cin Siang berlaku keras. Ia tetap tidak berhasil
menghajar si nona. Hanya, disamping itu, walaupun ia gesit, si
nona sebaliknya tak dapat merapatkan lawan yang tangguh itu.
Inilah sebab ilmu pedangnya itu belum mencapai puncak
kemahiran, dia masih belum sempurna latihannya. Demikian
mereka nampak sama unggul.
Ketika Cin Siang kabur dari Hoan-yang, dia lebih banyak
mengambil jalan sawah atau belukar, yang sukar dilaLuinya,
sekarang dia berkelahi begini keras, tenaganya keluar banyak
sekali. Lama-lama dia merasa letih juga. Disebabkan
penjagaannya yang rapat, si nona belum dapat menggunai
kesempatannya guna balik mendesak.
Tengah mereka itu berkutat, dari kejauhan terdengar riuh
suara kaki kuda berlari-lari dan berisiknya suara
kelenengannya. Cin Siang dapat mendengar suara itu, ia
mengambil kesempatan buat menoleh sebentar. Lantas- saja ia
mengeluh di dalam hatinya. Di sana mendatangi rombongan
tentara berandal, ialah rombongan yang tadi dilabrak!
Ong Liong Kek, yang menunggang kuda, tertawa lebar.
"Orang she Cin!" teriaknya. "Apa aku bilang" Tak dapat kau
lolos! Sekarang kau tak dapat membilang apa-apa lagi, bukan"
Ha, ha, ha!"
Lalu sambil mengangkat sepasang poan-koan-pitnya, ia
berseru, "Adik Yan, inilah bukan saat orang bertanding
mengadu kepandaian! Buat apa kau mensia-siakan tempo
Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melawannya" Ah, buat apakah gaetan kamu itu" Hayo, lekas
kamu bantui nona kamu! Lekas kamu bekuk musuh!"
Kata-kata yang belakangan itu ditujukan kepada barisan
wanita. Memang nona itu adiknya Ong Liong Kek, yaitu Nona
Ong Yan Lie. Barisan wanita itu tidak berani bergerak tanpa ada perintah
nonanya, tetapi sekarang si majikan muda, tak berani mereka
tidak menurut. Maka dengan lantas semuanya bekerja.
Begitulah mereka maju dengan belasan gaetan mereka,
mengarah kakinya si Touw-ut. Ong Liong Kek sendiri sudah
lantas tiba, maka ia menyerbu guna membantui adiknya.
Barisan wanita itu sudah terdidik baik, hebat mereka
menyerang dengan gaetan mereka, senjata yang panjang dan
bercagak itu. Mereka mengurung dari jauh dan menyerang
setiap lowongan, semua serangannya dengan beraturan.
Cin Siang mendongkol dan penasaran. Ia lantas menyerang
dengan tendangan beranta
Pendekar Bayangan Setan 11 Pendekar Cacad Karya Gu Long Bentrok Rimba Persilatan 1