Kisah Si Rase Terbang 13
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 13
si tua. Wan Cie Ie tertawa. "Seorang gagah tulen Sudan jadi
seorang gagah sedari masih bayi," kata pula Wan Cie Ie.
"Dalam dunia terdapat manusia-ma-nusia, yang walaupun
tinggi ilrnu silatnya, tetap rendah jiwanya. Ciu Loosu, harap
kau jangan ma-rah. Aku bukan maksudkan kau."
Terhadap Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat, Wan Cie Ie
masih mempunyai rasa menghormat. Entah mengapa, ia sebal
sungguh melihat muka Ciu Tiat Ciauw yang parasnya agungagungan
dan oleh karenanya, ia terus mengejek tanpa
sungkan-sung-kan lagi.
Si tua yang belum pernah dihina begitu rupa, tentu saja
gusar bukan main, tapi, sebagai seorang yang tenang sifatnya,
ia hanya mengeluarkan suara di hidung dan tak mau balas
mencaci. Mendadak terdengar teriakan Ong Tiat Gok: "Budak
cilik! Berlakulah sedikit sopan kalau bicara dengan Toasukoku."
Si nona tidak meladeni karena tahu dia seorang polos. Ia
berpaling kepada Tiat Ciauw seraya berkata: "Keluarkanlah!"
"Keluarkan apa?" menegas si tua.
"Tong-eng Tiat-gan-pay," jawabnya.
Mendengar kata-kata "Tong-eng Tiat-gan-pay" (Pay Elang
tembaga Burung gan besi), walaupun tenang, Ciu Tiat Ciauw
tak bisa mempertahankan ketenangannya lagi. "Ah!" teriaknya
dengan kaget. "Bagaimana kau tahu urusan dalam partaiku?"
Ia mencopot sebuah kantong sulam yang digantung di
pinggangnya dan lalu menaruhnya di atas meja. "Tong-eng
Tiat-gan-pay berada di sini," katanya dengan suara
menyeramkan. "Ambil dulu jiwaku, baru kau boleh merampas
pay itu." "Coba keluarkan, aku mau lihat apa tulen atau palsu," kata
pula si nona. Dengan tangan bergemetaran Tiat Ciauw mem-buka
kantong itu dan mengeluarkan sebuah Kim-pay (papan yang
terbuat dari pada emas) yang panjangnya empat cun dan
lebarnya dua cun. Di atas pay itu terukir seekor elang
tembaga yang sedang membuka cakar dan seekor burung gan
(semacam belibis) yang terbang miring. Pay tersebut bukan
lain dari pada semacam cap kekuasaan Ciang-bunjin dari
partai Eng-jiauw-gan-heng-bun. Semua murid partai
memandang pay itu seperti juga Ciang-bunjin sendiri. Harus
diketahui, bahwa Eng-jiauw-gan-heng-bun adalah sebuah
partai besar dan dalam beberapa turunan mempunyai
Ciangbunjin yang berkepandaian sangat tinggi. Tapi begitu
sampai di jaman Ciu Tiat Ciauw, murid-murid Eng-jiauw-ganheng-
bun yang terutama pada menekuk lutut ke-pada
pemerintahan Boan dan menjadi kaki-tangan Kaisar Ceng.
Mereka hidup mewah dan ketulanui cara-cara kota Pakkhia
yang hanya memburu ke-senangan, sehingga tidaklah heran,
jika ilmu silat mereka berbeda jauh dengan para tetuanya di
jaman yang lampau. Belakangan, pada jaman Kaisar Keekeng,
barulah dalam partai itu muncul beberapa orang benarbenar
tinggi ilmunya dan sudah ber-hasil mengangkat naik
nama harumnya Eng-jiauw-gan-heng-bun. Tapi hal itu tiada
sangkut pautnya dengan cerita ini.
Sesudah mengawasi pay itu beberapa lama, barulah Wan
Cie le berkata: "Dilihat luarnya, memang pay tulen. Tapi aku
belum bisa memastikan."
Cara-cara si nona dalam mengejek dan meng-ganggu Ciu
Tiat Ciauw mempunyai sebab tertentu. Dalam melawan Ong
Kiam Eng, biarpun pada akhir-nya ia memperoleh
kemenangan, ia merasa sangat lelah dan Lweekangnya pun
berkurang banyak. Maka itu, ia sengaja mengeluarkan ejekanejekan,
pertama untuk membangkitkan kegusaran si tua dan
kedua untuk mengaso.
Ciu Tiat Ciauw adalah seorang yang berpengalaman luas
dan ia lantas saja bisa menebak maksud Wan Cie le. Maka itu,
seraya mengebas tangannya ia membentak: "Wan Kouwnio,
sudahlah! Jika kau benar-benar berani memberi pelajaran
padaku, marilah kita main-main di atas pendopo ini." Ham-pir
berbareng, ia mengenjot tubuh dan badannya lantas saja
melesat ke atas.
Harus diketahui, bahwa partai Eng-jiauw-gan-heng-bun
mengutamakan dua rupa kepandaian, yaitu Eng-jiauw Kin-na
(Menangkan dan menyeng-keram dengan menggunakan
tangan yang menyeru-pai cakar garuda) dan Gan-heng GinTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kang (Ilmu mengentengkan badan seperti seekor burung
belibis yang sedang terbang). Waktu melompat ke atas
genteng, Ciu Tiat Ciauw telah mengambil keputus-an untuk
membinasakan si nona dengan menggunakan kedua ilmu itu.
Menurut perhitungannya, dengan bertempur di atas atap yang
tinggi, bukan saja Wan Cie le tak akan dapat menggunakan
akal bulus. tapi Ouw Hui pun tak akan bisa membantunya.
Orang yang sebenarnya disegani si tua, bukan Wan Cie le, tapi
Ouw Hui yang selalu siap sedia untuk memberi bantuannya.
Tapi apa lacur, perhitungan Ciu Tiat Ciauw meleset jauh.
Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa Kin-na dan Gin-kang
justru merupakan ilmu terlihay dari nona Wan. Jika ia pernah
menyaksikan pertempuran di puncak tiang layar perahu antara
si nona dan Ya Kit, ia tentu tak akan mengajukan tantangan
itu. Melihat loncatan Ciu Tiat Ciauw, yang biarpun lincah dan
gesit tapi masih kalah jauh dari pada Wan Cie le, Ouw Hui
merasa lega. Mereka saling melirik
dan tersenyum. Untuk membesarkan hati lawan, si nona
sengaja tak mau memperlihatkan kepandaian-nya yang
istimewa. Dengan lompatan biasa, ia hing-gap di atas
genteng. "Sambutlah!" bentaknya seraya menyerang dengan
sepuluh jarinya yang menye-rupai cakar garuda.
Dalam Rimba Persilatan terdapat tiga rupa Jiauw-hoat (ilmu
yang menyerupai cakar atau kuku binatang), yaitu Liong-jiauw
(Kuku naga), Houw-jiauw (Kuku harimau) dan Eng-jiauw
(Cakar garuda). Dengan Liong-jiauw, empat jari dirapatkan
dan ditekuk ke dalam, sedang jempol dipentang dan juga
ditekuk ke dalam. Dengan Houw-jiauw, lima jari dipentang
dan agak ditekuk ke dalam. Dengan Eng-jiauw, empat jari
dirapatkan, jempol dipentang, jari kedua dan ketiga agak
ditekuk ke dalam. Dalam tiga rupa Jiauw-hoat itu, Liongjiauwlah
yang paling sukar dipelajari.
Melihat lawannya menyerang dengan ilmu silat Eng-jiauwgan-
heng-bun, Ciu Tiat Ciauw jadi gi-rang. "Jika kau
menggunakan ilmu yang aneh-aneh, mungkin aku agak jeri,
tapi kalau kau menggunakan ilmu Eng-jiauw-gan-heng-bun,
seperti juga kau cari mampus sendiri," katanya di dalam hati.
Memikir begitu, dengan hati girang ia segera menerjang Wan
Cie le dengan pukulan-pukulan Eng-jiauw-gan-heng-bun yang
paling hebat. Semua orang mendongak dan menonton per-tandingan itu
dengan hati berdebar-debar. Antara pertandinganpertandingan
yang sudah dilakukan pada malam itu,
pertandingan inilah yang paling menarik hati. Bagaikan dua
ekor burung raksasa, tubuh mereka berkelebat-kelebat di atas
genteng. Sesudah bertempur beberapa lama, hampir ber-bareng
dengan bentakan Wan Cie le, sambil ber-teriak keras Ciu Tiat
Ciauw melayang jatuh ke bawah.
Karena gerakan mereka cepat luar biasa, di antara
penonton hanya Ouw Hui dan Can Tiat Yo yang dapat melihat
sebab-sebab dari jatuhnya Tiat Ciauw. Ternyata, Wan Cie le
kembali menggunakan Hun-kin co-kut-chiu dan mencopotkan
tulang kedua betis lawannya dari sambungan di lutut. Maka
itu, kecuali Ouw Hui dan Can Tiat Yo, yang lainnya merasa
heran sebab begitu jatuh, Ciu Tiat Ciauw tak bisa bangun lagi.
Mereka heran karena atap pendopo tidak seberapa tinggi dan
si tua pun memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat
lihay, sehingga biarpun kalah, tak bisa jadi dia roboh untuk tak
bangun lagi. Ong Tiat Gok yang sangat mencintai Toasu-hengnya jadi
kaget bukan main. "Suko!" teriaknya sambil memburu dan
membangunkannya. Tapi ten-tu saja sang kakak tak bisa
berdiri tegak, begitu dibangunkan, begitu dia roboh kembali.
"Tolol!" Can Tiat Yo mencaci Suteenya seraya lari
menghampiri. Ia adalah seorang tokoh terke-muka dalam Engjiauw-
gan-heng-bun, tapi ia tak mengerti ilmu Ciap-kut
(Menyambung tulang). Maka itu, buru-buru ia mendukung
kakak seperguruannya dan lalu memutar badan untuk
meninggalkan taman itu.
"Ambil dulu Eng-gan-pay!" bentak Tiat Ciauw.
Can Tiat Yo tersadar, buru-buru ia kembali ke pendopo dan
mengangsurkan tangannya untuk meng-ambil Kim-pay yang
terletak di atas meja. Tapi, pada
sebelum menyentuh papan emas itu, mendadak ia
merasakan kesiuran angin dan berbareng dengan
berkelebatnya bayangan manusia, seorang lain su-dah
mendului menjemput Kim-pay itu. "Tak tahu malu!" bentak
orang itu yang bukan lain dari pada Wan Cie Ie. "Sesudah
kalah, apa kau mau melanggar janji?"
Can Tiat Yo kaget bereampur gusar. Ia tak tahu tindakan
apa yang harus diambilnya. Apa ia harus segera bertempur
dengan Wan Cie Ie" Apa ia harus lebih dulu mencari orang
untuk memulihkan tulang suhengnya yang telah copot"
Selagi ia kebingungan, Ouw Hui menghampiri seraya
berkata dengan suara ramah tamah: "Tulang kedua betis Ciuheng
telah copot dan jika tidak segera dipulihkan, aku
khawatir urat-uratnya akan menjadi rusak." Sehabis berkata
begitu, tanpa menunggu jawaban, ia segera mencekal betis
kiri Ciu Tiat Ciauw dengan kedua tangannya dan dengan sekali
membetot dan mendorong, tulang itu pulih ke tempatnya. Di
lain saat, ia pun sudah memulihkan tulang betis kanan.
Sesudah itu, ia mengurut-urut jalanan darah di pinggang Ciu
Tiat Ciauw, sehingga rasa sakitnya lantas saja berkurang
banyak. Sesudah menolong si tua, sambil tertawa Ouw Hui
mengangsurkan tangannya ke arah Wan Cie Ie. "Wan
Kouwnio," katanya. "Tong-eng Tiat-gan-pay bukan barang
mainan yang menarik hati. Menurut pendapatku, lebih baik
kau membayarnya kepada Ciu Toako."
Mendengar kata-kata "bukan barang mainan yang menarik
hati", si nona tertawa dan lalu men-truh Kim-pay itu di
telapakan tangan Ouw Hui.
Dengan kedua tangan dan dengan sikap meng-hormat,
Ouw Hui mengangsurkan Tong-eng Tiat-gan-pay kepada Ciu
Tiat Ciauw yang lalu men-jemputnya seraya berkata:
"Sebegitu lama aku si orang she Ciu masih mempunyai napas,
satu hari aku tentu akan membalas kebaikan Jie-wie."
Sesudah melirik Wan Cie Ie dan Ouw Hui, dengan dipayang
oleh Can Tiat Yo, ia segera meninggalkan gedung itu. Waktu
melirik si nona, sorot matanya penuh dengan rasa sakit hati,
tapi selagi melirik Ouw Hui, sorot mata itu mengunjuk rasa
terima kasih. Wan Cie Ie tidak menghiraukannya dan sesudah menjebik,
ia lalu berkata kepada Tie Hong: "Tie Toaya, kau mempunyai
kedudukan sebagai separuh Ciangbunjin. Bagaimana" Apa kau
mau menjajal kepandaianku?"
Sesudah menyaksikan kelihayan si nona, Tie Hong ternyata
cukup tahu diri. Sambil merangkap kedua tangannya, ia
menjawab: "Partaiku Lui-tian-bun berada di bawah pimpinan
suhu. Seorang yang berkepandaian seperti aku, mana berani
mengang-gap diri sebagai Ciangbunjin. Jika Kouwnio ingin
memberi pelajaran, paling baik Kouwnio datang berkunjung ke
Say-pak dan guruku pasti akan menerimanya dengan girang
hati." Wan Cie Ie tertawa dan tidak mendesak ter-lebih jauh. Di
lain saat ia mengebas tangan kirinya seraya menanya: "Siapa
lagi yang ingin memberi pelajaran kepadaku?"
Tantangan itu tidak mendapat sambutan. Dengan rasa
mendongkol, malu dan heran, karena tak tahu dari mana
datangnya si nona galak, In Tiong
Shiang dan yang Iain-lain lalu memberi hormat kepada
Ouw Hui dan meminta diri. Dengan manis budi pemuda itu
lalu mengantarkan semua tamunya sampai di pintu depan.
Ketika ia kembali di taman bunga, sekonyong-konyong
terdengar menggelegarnya geledek. Ia men-dongak dan
melihat awan hitam yang berterbangan dan menutupi bulan.
"Jie-moay," katanya seraya berpaling kepada Thia Leng So.
"Mari kita be-rangkat sekarang."
"Ke mana kalian mau pergi di tengah malam buta ini?"
tanya Cie Ie. "Sebentar lagi pasti akan turun hujan." Baru saja
ia berkata begitu, butiran-butiran hujan sudah mulai turun.
"Ditimpa hujan banyak lebih baik dari pada meneduh di
bawah rumahnya satu penjahat besar," kata Ouw Hui dengan
suara gusar. Sehabis berkata begitu, tanpa memperdulikan
Wan Cie Ie, ia lalu berjalan ke luar dengan diikuti oleh Leng
So. Wan Cie Ie mengejar. "Bangsat Hong Jin Eng memang
lebih dari pantas dibunuh mati," katanya. "Aku menyesal
belum bisa membacoknya beberapa kali dengan tanganku
sendiri." Ouw Hui menghentikan tindakannya dan sam-bil
menengok, ia membentak: "Huh! Tak malukah kau
mengeluarkan perkataan itu?"
"Sakit hatiku terhadap Hong Jin Eng lebih hebat seratus kali
dari pada kau!" kata si nona. Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata pula seraya mengertak gigi: "Kau membenci
dia baru beberapa bulan saja. Tapi aku! Aku sakit hati seumur
hidup!" Kata-kata yang belakangan itu diucapkannya dengan
suara parau. Ouw Hui jadi heran tak kepalang. "Kalau begitu, mengapa
kau berulang kali sudah menolong jiwanya?" tanyanya.
"Sudah tiga kali," kata si nona. "Tak akan ke-empat kali."
"Benar, sudah tiga kali," kata Ouw Hui. "Tapi, aku sungguh
tak mengerti."
Selagi mereka bicara, hujan sudah turun seperti dituangtuang
sehingga pakaian mereka basah semua. "Apakah kau
ingin mendengar ceritaku yang panjang-lebar di bawah
hujan?" tanya Cie Ie. "Kau sendiri memang tak takut hujan,
tapi apa kau kira badan wanita yang lemah juga seperti
badanmu?" "Baiklah," kata Ouw Hui. "Mari kita balik."
Mereka lalu masuk ke kamar buku dan kacung yang
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertugas segera menyalakan lilin dan mem-bawa teh. Kamar
itu yang terawat baik, dengan perabotannya yang mahal dan
pajangannya yang indah, menimbulkan suasana yang sangat
menye-nangkan. Di tembok sebelah timur terdapat sebuah rak
buku dengan buku-bukunya yang berharga mahal, sedang dari
tirai jendela di sebelah barat, ter-lihat bayangan pohon
bambu, dari mana berkesiur masuk wanginya bunga Kuihoa.
Di tembok sebelah selatan tergantung sebuah lukisan dan
sepasang tuilian dengan huruf-hurufnya yang sangat indah.
Tapi Ouw Hui yang sedang memikirkan kata-kata Wan Cie
Ie yang aneh, tidak memperdulikan keindahan itu. Untuk
sementara, mereka duduk termenung-menung sambil
mendengarkan jatuhnya hujan di daun bambu dan di atas
genteng. Semenjak kecil Ouw Hui berkelana di dunia Kangouw
dan inilah untuk pertama kali ia duduk dalam sebuah
kamar yang sangat indah, dengan dikawani oleh dua gadis
cantik jelita. Sesudah lewat beberapa lama, sambil meng-awasi tetesan
hujan di luar jendela, Wan Cie Ie berkata dengan suara
perlahan: "Pada sembilan belas tahun berselang, pada malam
itu, di propinsi Kwitang, kota Hud-san-tin, juga turun hujan.
Seorang wanita muda, yang mendukung bayi perem-puan,
berlari-lari di tengah jalan tanpa memper-dulikan hujan besar.
la tak tahu harus menuju ke mana, ia telah didesak orang
sampai di jalanan buntu. Orang-orang yang dicintainya telah
dibunuh. Ia sendiri telah mendapat hinaan yang hebat,
sehingga jika tak ingat bayi yang sedang didukungnya, ia
tentu sudah membunuh diri dengan melompat ke dalam
sungai." "Wanita muda itu seorang she Wan, namanya Gin Hoa.
Nama itu adalah nama seorang desa, karena ia memang
seorang perempuan desa. Walau-pun mukanya agak kehitamhitaman,
ia cantik sekali, sehingga pemuda-pemuda Hud-santin
men-julukinya sebagai 'Hek-bo-tan' (bunga Bo-tan hi-tam).
Keluarganya adalah keluarga nelayan. Setiap pagi, dari desa ia
memikul ikan ke pasar ikan di Hud-san-tin."
"Pada suatu hari, seorang hartawan di Hud-san-tin, Hong
Jin Eng namanya, mengadakan pesta. Ia membawa sepikul
ikan ke gedung keluarga Hong untuk dijualnya. Orang kata,
angin dan awan bisa muncul mendadak di langit,
keberuntungan atau kecelakaan bisa datang tiba-tiba kepada
manusia. Demikianlah, karena gara-gara mencari sesuap nasi,
nona itu secara kebetulan telah dilihat Hong Jin Eng."
"Manusia she Hong sudah banyak istri dan selirnya. Tapi
dia tak pernah merasa cukup. Tanpa ampun lagi, ia melanggar
kehormatan si nona pen-jual ikan. Gin Hoa ketakutan
setengah mati dan tanpa mengambil uang penjualan ikan, ia
lari pulang."
"Di luar dugaan, karena perbuatan manusia kejam itu, Gin
Hoa jadi hamil. Ayahnya tentu saja marah besar dan sesudah
tahu duduknya persoalan, ia segera pergi ke gedung keluarga
Hong untuk herurusan. Tapi dalam menghadapi seorang yang
tidak berdaya, Hong Looya kembali memperlihat-kan
kekejamannya. Ia perintah kaki tangannya menghajar orang
tua itu dengan mengatakan, bah-wa si nelayan telah menuduh
secara membabi buta. Dapatlah dibayangkan bagaimana besar
kedukaan dan penasarannya orang tua itu. Ia sakit mereras
dan beberapa bulan berselang, ia meninggal dunia dengan
penuh penderitaan."
"Paman-paman Gin Hoa lalu menumplek segala kesalahan
di atas kepala wanita yang malang itu. Ia dikatakan menjadi
gara-gara dari kebinasaan ayahnya. Ia dilarang berkabung dan
dilarang bersem-bahyang di depan peti mati ayahnya. Pamanpaman
itu malahan mengancam akan memasukkannya ke
dalam selongsong babi dan melemparkannya ke dalam
sungai." "Malam-malam Gin Hoa lari ke Hud-san-tin dan sesudah
hidup menderita beberapa bulan, ia melahirkan satu bayi
perempuan. Karena tiada lain jalan, ia terpaksa mengemis
untuk melewati hari. Orang-orang yang tahu riwayat ibu dan
anak itu, merasa kasihan dan banyak juga yang memberi uang,
beras atau makanan. Mereka kasak-kusuk membicarakan
kekejaman si orang she Hong, tapi sebab tidak bertenaga, tak
satu pun yang berani tampil ke muka untuk menuntut
keadilan."
"Pada waktu itu, di pasar ikan terdapat seorang pegawai
yang mengenal Gin Hoa dan yang diam-diam semenjak lama
sudah mencintainya. la lalu minta seorang sahabat untuk
bicara dengan Gin Hoa. Jika nyonya itu setuju, ia ingin
mengambilnya sebagai istri dan bersedia untuk mengakui anak
itu sebagai anaknya sendiri. Gin Hoa jadi girang dan tak lama
kemudian, mereka merayakan pernikahan mereka."
"Tapi lain bencana kembali datang. Kaki tangan si orang
she Hong yang tahu hal itu, segera melaporkan kepada
majikan mereka. Hong Looya jadi gusar karena menganggap
si pegawai pasar ikan kurang ajar sekali, sudah berani
mengambil wanita bekas korbannya sebagai istri. Ia segera
memerintahkan belasan muridnya mengacau di pesta
pernikahan. Tetamu yang sedang minum arak digebuk dan
diusir, semua perabotan pengantin dihancur-kan, sedang
pengantin lelaki diusir ke luar dan tidak diperbolehkan masuk
lagi ke wilayah Hud-san-tin....M
"Brak!" Ouw Hui menepuk meja sehingga api lilin
bergoyang-goyang. "Binatang! Sungguh jahat manusia she
Hong itu!" teriaknya bagaikan kalap.
Wan Cie Ie menunduk dan kemudian meman-dang ke luar
jendela, mengawasi sang hujan yang masih terus turun
dengan derasnya. Sesudah ter-menung-menung beberapa
saat, ia menghela napas dan berkata pula: "Sesudah
meloloskan pakaian pengantin, sambil mendukung anaknya,
Gin Hoa lalu melarikan diri dari Hud-san-tin. Malam itu turun
hujan besar seperti malam ini. Ia jatuh bangun di jalanan
yang licin, tapi dengan kuatkan hati, ia lari terus... lari terus....
Tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh yang menggeletak di
pinggir jalan. Ia men-duga, bahwa orang itu adalah seorang
pemabukan dan buru-buru ia menghampiri untuk
membangun-kannya. Tapi begitu ia membungkuk, kagetnya
seperti disambar halilintar. Orang itu yang berlumur-an darah
dan sudah mati, adalah suaminya sendiri, si pegawai pasar
ikan. Ia sudah dicegat dan di-binasakan oleh kaki tangan Hong
Looya yang menunggu di luar Hud-san-tin."
"Kedukaan Gin Hoa pada waktu itu tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata lagi. Dengan meng-gunakan sisa tenaganya,
ia menggali tanah dengan tangannya dan lalu mengubur sang
suami yang ber-nasib malang itu. Ketika itu ia sudah nekat,
hampir-hampir ia membuang diri ke dalam sungai. Hanyalah si
bayi yang menangis karena kedinginan, yang sudah
mengurungkan niatan nekatnya itu. Sesudah memikir bolakbalik,
sambil menggigit bibir, ia ber-jalan lagi dengan memeluk
erat-erat bayinya itu."
Mendengar sampai di situ, air mata Leng So mengalir turun
di kedua pipinya. "Wan Ciecie." katanya dengan suara terharu.
"Habis bagaimana?"
Wan Cie Ie menyusut air matanya dengan sapu tangan dan
kemudian berkata sambil tersenyum: "Kau memanggil aku
Ciecie" Kalau begitu, sebagai adik, kau harus memberi obat
pemunah!" Muka Leng So yang tadinya pucat lantas saja berubah
merah. "Kau sudah tahu?" katanya dengan suara perlahan. la
mengambil secangkir teh dan kemudian dari kukunya ia
mementil sedikit bubuk warna kuning ke dalam air teh.
"Thia Moay-moay, hatimu cukup baik," kata Cie Ie. "Kau
sudah menyediakan obat pemunah di kuku-mu dan ingin
memberikannya tanpa diketahui aku." Ia mengangkat cangkir
itu dan lalu meminumnya.
"Racun yang digunakan bukan racun yang membinasakan,"
menerangkan Leng So. "Tanpa obat pemunah,
Ciecie hanya akan mendapat sakit untuk beberapa bulan.
Dengan memberi racun itu, aku hanya ingin mencegah
pertolonganmu terhadap Hong Jin Eng."
Wan Cie Ie tertawa tawar. "Siang-siang aku sudah tahu,
bahwa aku kena racun," katanya. "Aku hanya tak tahu
bagaimana kau melepaskannya. Sedan masuk ke sini, belum
pernah kuminum atau makan apa pun juga."
"Selagi kau dan Ouw Toako bertempur di luar tembok,
bukankah aku telah melemparkan seba-tang golok kepada
Ouw Toako?" tanya Leng So. "Di golok itu terdapat sedikit
bubuk racun, sehingga pecut dan tanganmu juga terkena
racun. Golok dan Joan-pian itu harus dicuci sampai bersih."
Mendengar keterangan itu, Cie Ie dan Ouw Hui saling
mengawasi dengan perasaan kagum. Racun yang dilepaskan
cara begitu, pasti tak akan dielak-kan oleh siapa pun juga.
"Kalau begitu," kata Ouw Hui. "Hong Jin Eng adalah...
adalah..."
"Benar," jawabnya. "Gin Hoa adalah ibuku, Hong Jin Eng
ayahku. Biarpun dia kejam luar biasa dan telah mencelakakan
kami, ibu dan anak, guruku pernah mengatakan, bahwa 'tanpa
ayah dan ibu, seorang manusia tentu tak akan jadi manusia.'
Wak-tu aku berpamitan dengan Suhu untuk menjelajah ke
wilayah Tionggoan, beliau memesan begini: 'Ayahmu telah
melakukan banyak sekali kejahatan dan dia pasti akan
mendapat nasib yang hebat. Kau boleh menolong jiwanya tiga
kali untuk menunaikan tugas sebagai anak. Sesudah itu, kau
boleh meng-ambil jalananmu dan dia mengambil jalanannya
sendiri. Mulai waktu itu, kau dan dia sudah tiada sangkut
pautnya lagi.' Ouw Toako, di Hud-san-tin, di kuil Pak-tee-bio,
aku menolong dia untuk per-tama kali. Malam itu, di dalam bio
rusak, aku kembali menolong jiwanya. Dan malam ini, aku
menolongnya untuk ketiga kali. Di lain kali, jika aku bertemu
dengannya, akulah yang akan turun tangan untuk membalas
sakit hati ibu." Sesudah berkata begitu, ia mengawasi ke luar
jendela dengan paras muka pucat dan mata berkilat-kilat.
"Apakah ibumu masih hidup?" tanya Leng So.
"Dari Hud-san-tin ibu menuju ke utara sambil mengemis di
sepanjang jalan," kata Cie Ie. "Tujuan-nya adalah
menyingkirkan diri dari kota itu sejauh mungkin dan jangan
bertemu muka lagi dengan Hong looya. Beberapa bulan ia
berkeliaran di sepanjang jalan sampai akhirnya ia tiba di kota
Lam-ciang, propinsi Kangsay. Di kota itu ia menjadi bujang di
rumah seorang she Tong...."
"Ah!" Ouw Hui memutus perkataannya. "K-eluarga Tong di
kota Lameiang" Apa keluarga itu masih terkena famili dengan
Kam-lim-hui-cit-seng (Hujan besar memberkahi tujuh propinsi)
Tong Tayhiap?"
Mendengar pertanyaan Ouw Hui, bibir si nona kelihatan
bergemetar. "Ibuku telah meninggal dunia di gedung... Tong
Tayhiap," jawabnya. "Tiga hari sesudah ibu meninggal dunia,
Suhu membawaku ke Huikiang dan delapan belas tahun
kemudian, baru-lah aku memasuki lagi wilayah Tionggoan."
"Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama yang
mulia dari gurumu?" tanya Ouw Hui. "Kau mahir segala rupa
ilmu dan gurumu pastilah seorang luar biasa pada jaman ini.
Walaupun Biauw Tayhiap yang bergelar Tah-pian Thian-hee
Bu-tek-chiu, belum tentu mempunyai kepandaian yang begitu
tinggi." "Aku harap Toako sudi memaafkan," jawab si nona. "Aku
tak berani memberitahukan she dan nama Suhu karena beliau
belum mengijinkannya. Nama 'Cie Ie' juga bukan namaku
yang asli. Di kemudian hari, Ouw Toako dan Thia Moay-moay
tentu akan tahu namaku yang sebenarnya. Nama Biauw
Tayhiap yang cemerlang juga telah didengar kami di Huikiang.
Bu-tim Tootiang dari Ang-hoa-hwee pernah ingin datang ke
Tiong-goan untuk menjajal kepandaian Biauw Tayhiap. Tapi
Tio Poan San Samsiok...." Berkata sampai di situ, ia berhenti
sejenak dan melirik Ouw Hui sambil tersenyum. karena dalam
hal ini, Ouw Hui kembali berada di pihak menang.
(Sebagaimana diketahui, Ouw Hui mengangkat saudara
dengan Tio Poan San, sedang Wan Cie Ie memanggil "paman"
pada pendekar itu, sehingga kedudukan Ouw Hui lebih tinggi
setingkat dari pada si nona). Sehabis tersenyum, ia lalu
melanjutkan penuturannya: "Tio Poan San (ia tidak
menggunakan istilah "Samsiok" lagi) mengatakan, bahwa
dalam hal ini tentu mesti ada latar belakang-nya. Sepanjang
keterangan, Biauw Tayhiap meng-gunakan gelaran itu bukan
karena ingin menga-gulkan diri, tapi sebab ingin membalas
sakit hati ayahnya. Dengan gelaran itu, ia ingin memancing
seorang ahli silat yang menyembunyikan diri di Liaotong.
Belakangan dalam kalangan Kang-ouw tersiar warta, bahwa
Biauw Tayhiap sudah berhasil membalas sakit hati ayahnya
dan bahwa di hadapan umum beberapa kali ia pernah
mengumumkan, bahwa ia tak berani menggunakan gelaran itu
lagi. Gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu sungguh
memalukan', demikian ia katanya pernah mengata-kan 'Ilmu
silat Tayhiap Ouw It To banyak lebih tinggi dari padaku'."
Mendengar disebutkannya nama "Ouw It To", jantung Ouw
Hui lantas saja memukul keras. "Apa benar Biauw Tayhiap
pernah mengucapkan kata-kata itu?" menegasnya.
"Tentu saja aku tidak mendengar dengan ku-ping sendiri,"
jawabnya. "Ceritera itu dituturkan oleh Tio... Tio Poan San.
Bu-tim Tootiang yang darahnya panas, lantas saja ingin
mencari Ouw Tayhiap untuk menjajal kepandaian. Tapi
belakangan, karena tak tahu di mana tempatnya, ia terpaksa
mengurungkan niatannya, ia telah bertemu dengan-mu.
Sekembalinya di Huikiang, ia memuji kau setinggi langit.
Waktu itu aku masih kecil dan tidak mengerti apa yang
dibicarakan mereka. Kali ini, waktu siauwmoay mau berangkat
ke timur, Bun Sie-ie (Bibi Bun) telah memerintahkan aku
menunggang kuda putihnya. Ia memesan, bahwa jika aku
bertemu dengan pemuda gagah she Ouw itu, biarlah aku
menyerahkan kuda putih itu sebagai hadiah."
"Siapa itu Bun Sie-ie?" tanya Ouw Hui dengan heran. "Ia
belum pernah mengenalkan. Mengapa ia memberi hadiah
yang begitu besar harganya?"
"Bun Sie-ie adalah seorang yang mempunyai nama besar
dalam Rimba Persilatan," jawabnya. "Ia adalah isteri Pun-luichiu
(si Tangan geledek) Bun Tay Lay Siesiok. Ia she Lok
bernama Peng dan bergelar Wan-yo-to. Mendengar penuturan
Tio Poan San tentang sepak terjangmu di Siang-kee-po dan
tentang rasa kagummu terhadap kuda putih itu, ia lantas saja
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata: 'Samsiok, mengapa kau tidak menghadiahkan kuda
itu kepadanya. Apa kau rasa Tio Samsiok bisa bersahabat
dengan pemuda itu, aku tak bisa"'"
Sekarang Ouw Hui baru mengerti, mengapa pada hari itu,
di rumah penginapan, Wan Cie le telah meninggalkan si putih
dengan tulisan "kuda kembali kepada majikannya". Ia merasa
berterima kasih dan kagum bukan main terhadap nyonya
gagah itu, yang tanpa mengenal dirinya dan hanya
berdasarkan cerita orang, sudah menghadiahkan seekor kuda
mustika yang tak dapat dibeli dengan laksaan tahil emas.
"Sesudah urusan di sini beres, aku ingin sekali pergi ke
Huikiang untuk menemui Tio Samko dan Iain-lain Cianpwee,"
katanya. "Tak usah, mereka sendiri mau datang ke mari," kata si
nona. Ouw Hui girang tak kepalang, ia bangun berdiri sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Leng So yang mengenal adat kakaknya, lantas
saja berkata: "Tunggu, aku ambil arak." la keluar dan
memerintahkan si kacung mengambil tujuh-delapan gendul
arak. Tanpa sungkan-sungkan lagi Ouw Hui lalu menenggak
habis dua gendul arak. "Kapan Tio Samko dan yang Iain-lain
datang ke mari?" tanyanya.
Paras muka Wan Cie Ie lantas saja berubah sungguhsungguh.
"Ouw Toako," katanya. "Empat hari lagi hari raya
Tiongchiu dan had pembukaan perhimpunan para Ciangbunjin.
Perhimpunan itu dipanggil oleh Hok Thayswee. la adalah
seorang yang berkedudukan sangat tinggi, seorang Thay-cu
Thay-po merangkap Peng-po Siang-sie yang meme-gang
kekuasaan atas bala tentara. Tapi mengapa ia rela bergaul
dengan orang-orang dari Kang-ouw?"
"Aku pun sudah memikir persoalan itu," kata Ouw Hui.
"Menurut pendapatku, tujuannya yang terutama adalah
mengumpulkan orang-orang gagah di seluruh negara supaya
bisa dijadikan kaki tangan bangsa Boan. Tindakannya itu tidak
berbeda dengan ujian untuk para sasterawan."
"Benar," kata si nona. "Dulu pada jaman ke-rajaan Tong,
waktu kaisar Tong-thay-cong meng-adakan ujian ilmu surat,
bagaikan kawanan ikan para sasterawan berduyun-duyun
datang di kota raja. Menurut sejarah, kaisar itu pernah
mengata-kan: 'Aha! Orang-orang pandai di seluruh negara
sekarang sudah masuk ke dalam tanganku'. Dihim-punkannya
pertemuan para Ciangbunjin memang bertujuan untuk
mengumpulkan orang-orang gagah di seluruh Tiongkok. Akan
tetapi, dalam pada itu bersembunyi juga lain latar belakang,
yang dike-tahui oleh orang luar. Dulu, Hok Thayswee pernah
dibekuk oleh Tio Poan San, Bun Siesiok, Bu-tim Tootiang dan
yang Iain-lain, sehingga sakit hatinya masih didendam sampai
sekarang. Apa kau pernah mendengar peristiwa itu?"
Ouw Hui jadi terlebih girang lagi dan dengan beruntun ia
menghirup dua cawan arak.
"Bagus! Bagus!" teriaknya. "Belum, aku belum pernah
mendengar cerita itu. Bu-tim Tootiang, Bun Sie-ya dan yang
Iain-lain sungguh luar biasa. Benar-benar mengagumkan!"
Wan Cie Ie tersenyum seraya berkata: "Orang dulu minum
arak sambil membaca kitab, tapi kau minum sambil
membicarakan orang-orang gagah. Jika mendengar cerita
sepak terjang Bun Sie-ya dan kawan-kawannya, biarpun kau
bisa minum seribu cawan, pada akhirnya kau akan mabuk tiga
hari dan tiga malam."
"Hayolah!" kata Ouw Hui seraya menghirup secawan arak.
"Hayolah ceritakan."
"Cerita itu sangat panjang, tak mungkin selesai dalam
tempo pendek," kata si nona. "Ringkasnya adalah begini: Bun
Siesiok dan para Cianpwee mengetahui, bahwa Hok Thayswee
sangat disayang oleh Kaisar Kian-liong. Maka mereka sudah
mem-bekuk Hok Kong An dan berhasil mendesak kaisar untuk
mendirikan lagi kuil Siauw-lim-sie yang di-bakar dan berjanji
akan tidak mencelakakan orang-orang gagah kawan-kawan
Sie-ya yang tersebar di berbagai tempat. Sesudah kaisar
memberi janji, barulah mereka melepaskan Hok Thayswee."
(Menurut ceritera, Hok Kong An adalah puteranya Kaisar Kianliong).
Ouw Hui menepuk kedua lututnya. "Kalau begitu, Hok Kong
An mengumpulkan orang-orang gagah untuk menyeterukan
Bun Sie-ya dan kawan-kawannya," katanya.
"Benar, kau sudah menebak jitu sebagian besar dari
persoalan ini," kata Wan Cie le. "Hok Kong An sudah
menduga, bahwa Bun Siesiokdan Iain-lain Cian-pwee akan
datang berkunjung ke Pakkhia. Sesudah mendapat pelajaran
getir pada sepuluh tahun berselang, ia insyaf, bahwa
tentaranya yang berjumlah laksaan jiwa, sedikit pun tak
berguna dalam menghadapi orang-orang gagah Rimba
Persilatan."
Ouw Hui tertawa terbahak-bahaksambil mene-puk-nepuk
tangan. "Sekarang baru terang bagiku," katanya. "Kau
merebut kedudukan Ciangbunjin untuk mematahkan semangat
musuh." "Guruku dan Bun Siesiok mempunyai perhu-hungan yang
sangat erat," menerangkan si nona. Tapi kunjunganku ke
Tionggoan adalah untuk urusan pribadi. Lebih dulu aku datang
di Hud-san-tin untuk melihat cecongor Hong Jin Eng. Secara
kebetulan, di kota itu aku sudah mendapat kesem-patan untuk
menolong jiwanya dan mendengar juga berita tentang
perhimpunan para Ciangbunjin. Oleh karena urusanku masih
belum selesai, tak dapat aku kembali ke Hui-kiang untuk
menyampaikan warta. Maka itu, tanpa perduli akan ditertawai
Ouw Toako, dari selatan aku terus menguntit sampai di utara
dan di sepanjang jalan, aku menggunakan setiap kesempatan
untuk mengacau rencana Hok Kong An, supaya pembesar itu
insyaf, bahwa cita-citanya tak gampang-gampang bisa
terwujud."
Mendengar penuturan itu, dalam otak Ouw Hui berkelebat
satu pendapat. Mungkin sekali, sebab Tio Poan San
memujinya terlalu tinggi, Wan Cie le jadi penasaran dan telah
menjajal-jajal kepandaian-nya. Mengingat begitu, sambil
tersenyum ia berkata: "Di samping itu, supaya Tio Poan San
dan yang Iain-lain tahu, bahwa pemuda she Ouw itu belum
tentu mempunyai kepandaian berarti."
Mendengar sindiran halus, Wan Cie le tertawa terpingkalpingkal.
"Dari Kwitang kita telah meng-adu ilmu sampai di
Pakkhia dan belum pernah aku berada di atas angin," katanya.
"Ouw Toako, apa kau tahu apa yang akan kukatakan jika aku
bertemu lagi dengan Tio Poan San?"
Ouw Hui menggelengkan kepala. "Tak tahu," jawabnya.
Si nona tersenyum. "Aku akan bilang begini: 'Tio Samsiok,
adik angkatmu benar-benar enghiong tulen!"'
Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. Ia tak
menduga, bahwa si jelita yang saban-saban menyukarkannya,
tiba-tiba memuji dirinya. Dalam perjalanan ribuan li, dari
Kwitang sampai di Pakkhia, paras si nona selalu terbayangbayang
di depan matanya. Tapi karena si nona telah menggagalkan
usahanya untuk membinasakan Hong Jin Eng, maka
dalam hatinya terdapat juga rasa men-dongkol. Tapi malam
ini, sesudah tahu latar be-lakang dari sepak terjangnya Wan
Cie le, semua ganjelan lantas saja hilang seperti tertiup angin.
Demikianlah, dalam keadaan setengah mabuk karena
pengaruh arak, ia juga setengah mabuk karena pengaruh
kecantikan. Ketika itu, hujan sudah berhenti dan lilin pun sudah hampir
terbakar habis. Sesudah menghirup lagi semangkok arak, Ouw
Hui berkata: "Wan Kouwnio, tadi kau mengatakan, bahwa kau
masih mempunyai sedikit urusan pribadi yang belum dibereskan.
Apakah aku bisa memberi bantuan?"
"Terima kasih," jawabnya. "Dalam hal itu, aku merasa tak
perlu merepotkan kau." Melihat paras Ouw Hui yang
mengunjuk rasa kecewa, buru-buru ia menambahkan: "Jika
aku tak dapat menyelesai-kan sendiri, aku pasti akan meminta
pertolonganmu dan Thia Moay-moay. Ouw Toako, empat hari
lagi bakal dibuka pertemuan para Ciangbunjin. Bukan-kah
menggembirakan sekali, jika kita bertiga mengacau balau
pertemuan itu" Sam-eng Lo-Pakkhia. (Tiga jago mengacau
Pakkhia). Sungguh bagus!"
Semangat Ouw Hui lantas saja terbangun. "Bagus! Bagus!"
teriaknya. "Jika kita tak mampu mengacau pertemuan itu,
guna apa Tio Samko, Bun Sie-ya dan Bun Sie-nay-nay
bersahabat denganku, si bocah cilik?"
Sampai di situ, Leng So yang sedari tadi tak pernah
membuka suara, lantas saja menyeletuk: "Kurasa Song-eng
Lo-Pakkhia (Dua jago mengacau Pakkhia) sudah lebih dari
pada cukup. Perlu apa menyeret-nyeretku, seorang yang tak
punya guna?" Wan Cie le merangkul pundak Leng So dan
berkata seraya tertawa: "Thia Moay-moay, jangan kau berkata
begitu. Kepandaianmu adalah sepuluh kali lipat lebih tinggi
dari pada aku."
Leng So tidak menjawab, tapi lalu merogoh saku dan
mengeluarkan Giok-Hiong. "Wan Ciecie," katanya. "Salah
mengerti antara kau dan Toakoku sudah menjadi beres,
sehingga Giok-hong ini lebih baik dipegang olehmu. Jika tak
begitu, mungkin sekali dua ekor Hong- hong semuanya
diberikan kepada Toakoku."
Wan Cie le terkejut. "Jika tak begitu, mungkin sekali dua
ekor Hong-hong semuanya diberikan kepada Toakoku," ia
mengulangi dengan suara per-lahan.
Dalam mengatakan kata-katanya yang paling belakang,
Leng So sebenarnya tak menggenggam maksud tertentu.
Secara jujur ia mengakui, bahwa baik dalam kecantikan
maupun kepandaian, Wan Cie le termasuk golongan kelas
satu. Di sepanjang jalan, dari Ouw Hui ia telah mendengar
banyak cerita mengenai nona itu dan sebelum bertemu muka,
ia sudah merasa kagum. Hanyalah karena sepak terjangnya
Wan Cie le yang beberapa kali merintangi usaha Ouw Hui,
maka dalam kekaguman itu, ia juga merasa sedikit
mendongkol. Tapi seka-rang, sesudah segala apa menjadi
terang, ada apa lagi yang dapat menghalangi perhubungan
mereka" Tapi begitu mendengar Wan Cie le mengulangi
perkataannya, ia lantas saja mendusin, bahwa kata-katanya
yang barusan pada hakekatnya menggenggam dua artian.
Kata-kata "dua ekor Hong-hong diberikan kepada Toakoku,"
seolah-olah berarti "dua orang wanita menikah dengan satu
suami". Kedua pipi Leng So lantas saja bersemu dadu. "Tidak...
tidak... aku bukan maksudkan begitu," katanya dengan gugup.
"Bukan dimaksudkan begitu?" menegas Cie le.
Leng So tak dapat memberi penjelasan, ia jadi semakin
kemalu-maluan, sehingga air matanya ham-pir-hampir
mengalir ke luar.
"Thia Moay-moay," kata nona Wan. "Mengapa tadi kau
tidak menaruh racun yang membinasakan di golokmu?"
Dengan air mata berlinang-linang, Leng So menjawab:
"Biarpun aku murid Tok-chiu Yo-ong, selama hidupku belum
pernah aku mengambil jiwa manusia. Apakah aku boleh
sembarangan mengambil jiwamu" Apa pula kau adalah
kecintaan Toako. Setiap hari, kecuali pada waktu makan dan
tidur, ia tak pernah melupakan kau. Bagaimana kubisa mencelakakan
kau?" Sehabis berkata begitu, air mata-nya
mengalir turun di kedua pipinya.
Wan Cie Ie kaget. Ia berdiri sambil melirik Ouw Hui yang
kelihatan jengah sekali. Perkataan Leng So telah membuka
rahasia hatinya dan ia tak men-duga, bahwa sang adik akan
mengatakan begitu. Tapi biarpun hatinya jengah, sorot
matanya mem-perlihatkan rasa cinta yang sangat besar.
Nona Wan menggigit bibir dan berkata dengan suara lemah
lembut: "Thia Moay-moay, legakanlah hatimu. Dua Hong-hong
tak mungkin diberikan kepadanya!" Mendadak ia mengebas
dengan ta-ngannya, sehingga api lilin lantas saja padam.
Ham-pir berbareng ia melompat ke luar jendela dan
menghilang di antara kegelapan.
Ouw Hui dan Leng So kaget bukan main. Mereka melompat
ke jendela, tapi yang terlihat ha-nyalah sinar rembuian laksana
perak, sedang Wan Cie Ie sendir sudah tak kelihatan bayangbayang-
nya lagi. Mereka menjadi bingung, masing-masing
coba menaksirkan maksud perkataan Wan Cie Ie yang
mengatakan: "Legakanlah hatimu. Dan Hong-hong tak
mungkin diberikan kepadanya!"
Untuk sekian lama, dengan berendeng pundak mereka
berdiri di depan jendela. Sekonyong-ko-nyong di atas genteng
terdengar bunyi tindakan manusia. Ouw Hui menjadi girang, ia
menduga, bahwa Wan Cie Ie sudah kembali lagi. Tapi sebelum
ia sempat membuka mulut, di atas genteng terdengar suara
seorang lelaki: "OuwToaya, harap kau suka keluar untuk
bicara sedikit denganku." Ouw Hui lantas saja mengenali,
bahwa suara itu adalah suara si orang she Liap yang
menyayang pedangnya seperti juga menyayang jiwa sendiri.
"Liap-heng, turunlah," kata Ouw Hui. "Selain adikku di sini
tidak terdapat orang lain."
Sedari pedangnya tidak dirusak Ouw Hui, si orang she Liap,
seorang perwira dan bernama Wat, selalu merasa berterima
kasih terhadap pemuda itu. Karena melihat Ouw Hui berpihak
kepada Wan Cie Ie, maka pada waktu si nona bertempur
dengan Cin Nay Cie, Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw ia tidak
mau mencampuri. Kenyataan ini merupakan bukti, bahwa Liap
Wat adalah seorang yang mempunyai pribudi.
Mendengar perkataan Ouw Hui, ia segera melompat turun
seraya berkata: "Ouw Toako, seorang sahabat lama telah
memerintahkan Siauwtee datang ke mari untuk mengundang
kau." "Sahabat lama" Siapa?" tanyanya.
"Siauwtee telah mendapat pesanan untuk tidak
membocorkan rahasia, harap Toako sudi memaaf-kan,"
jawabnya. "Begitu bertemu, Toako akan segera mendapat
tahu." Ouw Hui menengok kepada Leng So dan berkata: "Jiemoay,
kau tunggulah sebentaran di sini.
Sebelum terang tanah, aku tentu sudah kembali."
Si nona mengambil goloknya. "Apa Toako mau membekal
senjata?" tanyanya.
Melihat Liap Wat tidak membawa pedang, Ouw Hui segera
menyahut: "Tak usah. Untuk menemui sahabat lama, kurasa
tak perlu membawa senjata."
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di depan pintu sudah menunggu sebuah kereta yang ditarik
dua ekor kuda. Dengan dicat emas dan dengan tirai-tirai
sutera, kereta itu sangat indah kelihatannya. "Apa Hong Jin
Eng yang coba-coba main gila lagi?" tanya Ouw Hui dalam
hatinya. "Jika bertemu, kedua tanganku sudah cukup untuk
mem-binasakan dia."
Begitu lekas mereka duduk dalam kereta, si kusir lantas
saja mencambuk kuda dan di tengah malam yang sunyi, suara
kaki kuda kedengaran keras sekali di jalan raya Pakkhia yang
ditutup dengan batu-batu hijau. Menurut peraturan, di wak-tu
malam orang tidak boleh mengendarai kereta di dalam kota
itu. Akan tetapi, begitu melihat dua tengloleng merah, tanpa
surat, yang tergantung di depan kereta, serdadu-serdadu yang
meronda lantas saja minggir dan membiarkannya.
Selang kira-kira setengah jam, kereta itu ber-henti di depan
tembok yang putih. Liap Wat melompat turun dan lalu
mengajak tamunya masuk di sebuah pintu yang kecil. Dengan
melalui jalanan kecil yang ditutup dengan batu-batu sebesar
telur itik, mereka menuju ke satu taman bunga. Taman itu
besar sekali dengan pohon-pohon bunga yang beraneka
warna, pendopo-pendopo, gunung-gu nungan dan empangempang
yang semuanya sangat indah dan terawat baik.
"Hong Jin Eng benar lihay," kata Ouw Hui dalam hatinya.
"Taman ini belum tentu bisa dibeli dengan seratus atau dua
ratus laksa tahil perak." Tapi di lain saat, ia mendapat lain
pikiran: "Rasanya tak mungkin si orang she Hong. Biarpun
jagoan, dia hanya menjagoi di Kwitang. Mana bisa dia
memerintah seorang perwira seperti Liap Wat?"
Selagi memikir begitu, Liap Wat sudah mengajak ia
membelok di satu gunung-gunungan dan sesudah melalui
sebuah jembatan kayu, tibalah mereka di sebuah rangon di
atas air. Dalam rangon itu dipasang dua batang lilin, sedang di
atas meja diatur sebuah poci teh, cangkir-cangkir dan
beberapa ma-cam kue-kue. "Sahabat Toako akan segera
datang dan aku akan menunggu di luar kamar," kata Liap
Wat. Sehabis berkata begitu, ia segera berjalan ke luar.
Dengan rasa kagum Ouw Hui mengawasi pe-rabotan dan
perhiasan dalam rangon itu. Gedung di luar pintu Soan-bu-bun
sudah boleh dikatakan indah dan mewah, tapi dibandingkan
dengan rangon ini, gedung itu masih kalah jauh. Di samping
kursi meja dan Iain-lain perabotan yang berharga mahal, di
empat penjuru tembok digantung lukisan-lukisan dan tulisantulisan
dari para pelukis dan penulis yang kenamaan, di
antaranya terdapat tulisan "Swee-kiam" (Membicarakan hal
pedang) gubahan Cong-cu, ditulis oleh Seng-cin-ong, putera
Kaisar Kian-liong sendiri.
Selagi menikmati lukisan dan tulisan itu, tiba-tiba ia
mendengar suara tindakan kaki dan hidung-nya mengandung
bebauan yang sangat harum. Ia memutar badan dan ia
berhadapan dengan seorang wanita cantik yang mengenakan
pakaian warna hi-jau muda dan yang berdiri sambil
tersenyum. Wanita itu adalah Ma It Hong.
Sekarang ia sadar, bahwa ia berada dalam ge-dung Hok
Kong An. Ma It Hong memberi hormat dan berkata sambil tertawa:
"Saudara Ouw, takdinyana kita bertemu lagi di kota raja.
Duduk, duduklah." Ia menuang teh dan dari sebuah rantang
mengeluarkan beberapa macam kue, yang lalu ditaruh di
depan Ouw Hui dengan sikap hormat. "Mendengar Saudara
tiba di Pakkhia, hatiku seperti dibetot-betot dan ingin sekali
berjumpa secepat mungkin, untuk menghatur-kan terima
kasih atas budimu," katanya.
Ouw Hui melirik dan melihat sekuntum bunga putih yang
terselip di konde nyonya itu, sebagai semacam tanda
berkabung untuk mendiang suami-nya (Cie Ceng). Tapi dari
pakaiannya yang mewah dan parasnya yang berseri-seri, ia
rupanya sudah tak ingat lagi suaminya yang binasa secara
begitu menyedihkan.
"Pada waktu itu, Siauwteelah yang terlalu mau mencampuri
urusan orang," kata Ouw Hui dengan suara tawar. "Jika aku
tahu, bahwa Hok Thayswee yang sudah mengirim orang untuk
menyambut Cie Toaso, aku pasti tak akan menimbulkan
banyak keributan."
Mendengar pemuda itu masih tetap mengguna-kan istilah
"Cie Toaso", muka si nyonya lantas saja berubah merah. "Biar
bagaimanapun juga, budi saudara Ouw adalah sangat besar
dan aku tetap merasa sangat berhutang budi," katanya pula.
"Nai-ma (pengasuh), coba bawa Kong-cu-ya (panggilan yang
digunakan untuk puteranya seorang pembesar ting-gi) ke
mari." Di pintu sebelah timur lantas saja terdengar suara
mengiakan, disusul dengan masuknya dua orang wanita yang
menuntun dua bocah cilik. Begitu masuk, kedua anak itu
segera mendekati Ma It Hong dan lalu menggelendot di
pangkuan ibunya. Kedua anak itu yang romannya bersamaan
satu sama lain, mempunyai paras yang sangat menarik dan
gerak-geriknya mungil.
"Apa kau tak kenali Ouw Siok-siok?" tanya sang ibu sambil
tertawa. "Ouw Siok-siok pernah memberi banyak bantuan
kepada kita. Lekas berlutut!"
Kedua bocah itu lantas saja menekuk kedua lututnya seraya
berkata: "Ouw Siok-siok!"
Ouw Hui buru-buru membangunkan mereka. "Hm! Hari ini
kau memanggil Siok-siok (paman), tapi tak lama lagi, sesudah
tahu kedudukanmu sebagai anggota keluarga kaisar, mana
kau kenal seorang gelandangan seperti aku ini?" katanya di
dalam hati. "Saudara Ouw," kata pula Ma It Hong. "Aku ingin
mengajukan suatu permintaan kepadamu. Apa kau sudi
meluluskan?"
"Toaso," kata Ouw Hui. "Dulu, waktu Siauwtee dihajar oleh
Siang Po Cin di Siang-kee-po, Toaso telah coba menolong dan
budi itu aku tak dapat melupakan. Maka itulah, pada waktu
kita berada di rumah batu, dengan mati-matian Siauwtee
berusaha untuk memukul mundur penyerang-penyerangyang
diduga perampok. Biarpun kejadian itu sangat menggelikan,
tapi dalam hatiku, perbuatanku itu adalah usaha untuk
membalas budi di tempo hari.
Tadi, jika kutahu, bahwa orang yang memanggil adalah
Toaso, aku tentu tak akan datang ke mari. Mulai dari
sekarang, di antara kita terdapat per-bedaan antara mulia dan
hina, sehingga oleh ka-renanya, kita sudah tak punya sangkut
paut lagi."
Dengan berkata begitu, Ouw Hui menyatakan rasa tidak
puasnya terhadap nyonya muda itu.
Ma It Hong menghela napas dan berkata dengan suara
perlahan: "Saudara Ouw, walaupun Ma It Hong bukan orang
baik, tapi aku sedikitnya bukan manusia yang kemaruk akan
kekayaan dan kekuasa-an. Kau tentu mengerti apa artinya
'jatuh cinta pada pertemuan pertama'. Rupanya aku dan dia
sudah mempunyai ikatan semenjak penitisan yang dulu....*
Semakin lama perkataannya jadi semakin perlahan, sehingga
hampir tak dapat ditangkap lagi.
Mendengar kata-kata 'jatuh cinta pada pertemuan
pertama', jantung Ouw Hui memukul keras, karena kata-kata
itu mengena tepat pada hatinya. Sesaat itu juga, rasa
mendongkolnya lantas ber-kurang banyak.
"Baiklah," katanya. "Bantuan apa yang Toaso ingin minta"
Sebenarnya permintaan Toaso sangat mengherankan. Soal
apa yang masih tak dapat di-urus oleh seorang seperti Hok
Thayswee?"
"Aku ingin meminta pertolonganmu untuk kedua anak ini,"
jawabnya. "Aku harap kau suka menerima mereka sebagai
muridmu dan ajarkan mereka sedikit ilmu silat."
Ouw Hui tertawa berkakakan. "Kedua Kongcu adalah orang
yang sangat mulia, perlu apa mereka belajar silat?" katanya.
"Tapi aku rasa, belajar silat banyak baiknya
untuk menguatkan dan menyehatkan badan," kata It Hong.
Sesaat itu, di luar rangon tiba-tiba terdengar seruan
seorang lelaki: "Hong-moay! Kau masih be-lum tidur?"
Paras muka si nyonya agak berubah dan sambil menengok
kepada Ouw Hui, ia menunjuk sebuah sekosol di dekat pintu.
Ouw Hui lantas saja melompat dan menyembunyikan diri di
belakang sekosol itu.
Beberapa saat kemudian terdengar suara tin-dakan sepatu
dan seorang lelaki masuk ke dalam.
"Mengapa kau sendiri belum tidur?" tanya It Hong. "Perlu
apa kau datang ke mari?"
Orang itu mencekal tangan It Hong dan berkata seraya
tersenyum: "Hongsiang (kaisar) telah memanggil aku untuk
merundingkan soal ketentaraan. Pembicaraan itu baru saja
selesai. Apa kau jengkel karena aku datang terlalu malam?"
Ouw Hui segera mengetahui, bahwa orang itu bukan lain
daripada Hok Kong An. Hatinya lantas saja berdebar-debar,
karena dengan berdiam di situ, ia tak bisa tak mendengar
omongan pereintaan dari kedua orang itu. Di samping itu, jika
ketahuan, namanya pasti akan menjadi rusak. Memikir begitu,
ia segera mengasah otak untuk coba meloloskan diri.
Ia kaget bukan main karena mendadak Ma It Hong
berkata: "Kong-ko, aku ingin mempertemu-kan kau dengan
satu orang. Sebenarnya kau sudah pernah bertemu dengan
orang itu, hanya mungkin sekali kau sudah lupa." Sehabis
berkata begitu, ia berseru: "Saudara Ouw! Mari menemui Hok
Thay-swee."
Ouw Hui segera menghampiri dan memberi hormat.
Hok Kong An kaget bukan main. la sama sekali tak pernah
mimpi, bahwa di belakang sekosol ber-sembunyi seorang
lelaki. "Ini... ini..." katanya de-ngan suara terputus-putus.
"Saudara ini she Ouw bernama Hui," kata It Hong sambil
tertawa. "Biarpun usianya muda, ke-pandaiannya sangat tinggi
dan di antara busu-busu-mu, tak seorang pun yang dapat
menandinginya. Pada waktu kau mengirim orang untuk
menyambut aku, Saudara Ouw telah memberi banyak sekali
pertolongan. Maka itu, aku telah mengundangnya untuk
menghaturkan terima kasih dan kau harus memberi hadiah
kepadanya."
Paras muka Hok Kong An pucat pias. Sesudah gundiknya
memberi keterangan, barulah hatinya agak lega. "Hm!
Memang, memang harus menghaturkan terima kasih,"
katanya. la mengebas ta-ngan kirinya ke arah Ouw Hui dan
berkata pula: "Kau pergi saja dulu. Beberapa hari lagi aku
akan memanggil kau." Suaranya sangat mendongkol dan jika
tidak memandang muka Ma It Hong, ia tentu sudah mencaci
sebab Ouw Hui dianggap sangat kurang ajar, pertama berani
masuk ke gedungnya dan bersembunyi di belakang sekosol
dan kedua, tidak memberi hormat dengan menekuk lutut.
Dengan menahan amarah, Ouw Hui berjalan ke luar.
"Benar sial, tengah malam buta dihina orang." katanya di
dalam hati. Begitu bertemu dengan pemuda itu, Liap Wat yang
menunggu di luar segera menanya dengan suara gemetar:
"Barusan Hok Thayswee masuk, apa ia bertemu dengan kau?"
"Ma Kouwnio telah memperkenalkannya ke-padaku dan
minta supaya Hok Thayswee memberi hadiah kepadaku,"
jawabnya. "Bagus!" kata Liap Wat dengan suara girang, "Sepatah kata
saja dari Ma Kouwnio sudah cukup untuk mengangkat Toako.
Di hari kemudian aku sendiri akan mengikut di belakang Toako
dan kita bisa bergaul terlebih rapat. Aku sungguh-sungguh
merasa girang." Liap Wat menghargai Ouw Hui bukan saja
karena ilmu silatnya yang sangat tinggi, tapi juga sebab
wataknya yang mulia dan semua perkataannya itu diucapkan
dengan setulus hati.
Mereka segera balik dengan menggunakan ja-lanan yang
tadi. Waktu tiba di satu empang teratai, sekonyong-konyong
terdengar suara tindakan kaki yang ramai dan beberapa orang
mengejar mereka. "Ouw Toaya! berhenti dulu!" teriak satu
antaranya. Ouw Hui dan Liap Wat segera menghentikan tindakan dan
memutar badan. Yang menyusul ialah empat orang perwira
dan orang yang berjalan paling dulu mencekal sebuah kotak
sulam dalam tangannya. "Ma Kouwnio mengirim sedikit hadiah
untuk Ouw Toaya," katanya. "Harap Toaya suka
menerimanya."
"Aku tak punya pahala apa pun juga," kata Ouw Hui
dengan suara mendongkol. "Tak berani aku menerima hadiah
itu." "Inilah sekedar tanda mata dari Ma Kouwnio, harap Toaya
jangan begitu sungkan," kata pula perwira itu.
Tapi Ouw Hui tetap menolak. "Tolong beri-tahukan Ma
Kouwnio, bahwa di dalam hati aku sudah menerima hadiahnya
yang berharga itu," katanya sambil memutar badan dan lalu
berjalan pergi.
Dengan paras muka bingung, si perwira lantas saja
menyusul. "Ouw Toaya," katanya dengan suara gemetar. "Jika
kau tetap menolak, Ma Kouwnio tentu akan gusari aku. Liap
Toako, kau... cobalah kau membujuk Ouw Toaya...."
Ouw Hui mengawasi orang itu dengan sorot mata
memandang rendah. "Dilihat dari gerakan-gerakannya, ia
boleh dikatakan seorang ahli yang lumayan dalam Rimba
Persilatan," katanya di dalam hati. "Hanya sayang, untuk
nama dan pangkat, ia rela menjadi budaknya orang."
Sebab merasa tak tega melihat kawannya yang meringisringis,
Liap Wat menyambuti kotak itu yang diangsurkan
kepadanya. Ia merasa kotak itu sangat berat dan menduga,
bahwa di dalamnya berisi barang yang sangat berharga. "Ouw
Toako," katanya sambil tertawa. "Perkataan Saudara ini
memang sebenar-benarnya. Jika sampai dimarahi Ma
Kouwnio, hari depannya akan menjadi rusak. Kau te-rimalah
saja, supaya ia bisa memberi laporan yang memuaskan."
Karena malu hati terhadap Liap Wat dan juga sebab
mengingat, bahwa dengan barang berharga itu, ia bisa
menolong orang-orang miskin, Ouw Hui segera menyambuti
dan lalu membuka tutupnya. Ternyata dalam kotak itu berisi
semacam benda yang berbentuk persegi dan yang dibungkus
dengan sutera merah, sedang keempat ujung sutera itu diikat
menjadi dua ikatan. "Barang apa ini?" tanya-nya sambil
mengerutkan alis.
"Aku tak tahu," jawab si perwira.
Dengan hati heran, Ouw Hui lalu membuka ikatan sutera
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Baru saja ia membuka satu ikatan, mendadak - sangat
mendadak - berbareng dengan suara menjepret, tutup kotak
menutup sendirinya dan menggencet erat-erat kedua
pergelangan ta-ngan Ouw Hui!
Hampir berbareng, ia merasakan kesakitan yang hebat luar
biasa, kesakitan yang meresap ke tulang-tulang. Ia merasa
pergelangan tangannya dikacip dengan kacip logam yang
bertenaga sangat besar. Ternyata, di dalam kotak itu, yang
terbuat dari baja murni, terisi alat-alat rahasia, yang jika
tersentuh, bisa menutup sendiri tutupan kotak.
Semakin lama, tutupan kotak menggencet semakin hebat
dan buru-buru Ouw Hui mengerahkan Lweekang untuk
melawan. Sungguh untung, ia memiliki tenaga dalam yang
boleh dikatakan sudah mencapai puncaknya kesempurnaan.
Kurang sedi-kit saja, tulang-tulang kedua pergelangan
tangannya tentu sudah tergencet patah. Untuk menjaga
patahnya tulang, ia harus terus menerus memusa-tkan tenaga
dalamnya di pergelangan tangan.
Sementara itu, begitu lekas Ouw Hui terjebak, keempat
perwira itu, dua di depan dan dua di belakang, segera
menghunus pisau dan menempel-kan ujungsenjata-senjata
merekakedadadanpung-gung Ouw Hui.
Kagetnya Liap Wat bagaikan disambar hali-lintar. Ia
mengawasi dengan mata membelalak. Sejcnak kemudian,
barulah ia bisa berkata dengan .suara putus-putus. "E... eh!
Mengapa... mengapa begitu?"
"Hok Thayswee telah memerintahkan kami untuk
membekuk penjahat Ouw Hui!" kata perwira yang menjadi
pemimpin dengan suara nyaring.
"Tapi... tapi Ouw Toaya adalah tamu diundang Ma
Kouwnio," kata Liap Wat. "Mengapa jadi begini?"
Perwira itu tertawa dingin.
"Liap Toako," katanya. "Kau tanyakan saja Hok Thayswee.
Kami hanya menerima perintah."
"Ouw Toako, kau jangan takut," kata Liap Wat dengan
suara keras. "Dalam hal ini pasti terselip salah mengerti. Aku
akan segera menemui Ma Kouwnio dan ia pasti akan
melepaskan kau."
"Jangan bergerak!" bentak perwira itu. "Hok Thayswee
telah mengeluarkan perintah rahasia, bahwa hal ini tak boleh
dibocorkan kepada Ma Kouwnio. Kau punya berapa biji
kepala?" Liap Wat jadi bingung bukan main, dari kepala dan
mukanya ke luar keringat dingin. "Celaka! Kotak itu telah
diserahkan olehku kepada Ouw Toako," ia mengeluh. "Seolaholah,
akulah yang mencelakakan padanya. Tapi... tapi...
bagaimana aku dapat melawan perintah Hok Thayswee?"
Perwira yang berdiri di belakang Ouw Hui menyodok
dengan pisaunya, sehingga kulit punggung pemuda itu
tergores dan mengeluarkan darah. "Ja-lan!" bentaknya dengan
angker. Kotak itu adalah senjata rahasia Hok Kong An yang dibuat
oleh seorang ahli mesin Barat. Di dalam bungkusan sutera
merah terdapat alat rahasia dan di kedua pinggir mulut kotak,
yang juga dilapisi sutera, disembunyikan dua batang pisau.
Begitu lekas kotak itu tertutup, pisaunya lantas bekerja.
Dengan mulut ternganga dan mata membe-lalak, Liap Wat
melihat darah yang mulai mengalir keluar dari pergelangan
tangan Ouw Hui dan mata pisau semakin lama menggigit
semakin dalam. "Biar-pun Ouw Toako mempunyai kedosaan
sebesar la-ngit, tak boleh ia dicelakakan dengan tipu yang
sangat busuk ini," pikirnya. Semenjak bertemu, ia selalu
mengagumi Ouw Hui dan sekarang, meng-ingat bahwa
kecelakaan pemuda itu adalah lantaran gara-garanya, ia jadi
nekat. Sekonyong-konyong, bagaikan kilat tangan kirinya
menyambar dan men-cekal kotak itu, sedang dua jari tangan
kanannya dimasukkan ke dalam lubang kotak. Sambil
mengerahkan Lweekang, ia mengorek alat rahasia dalam
kotak itu. Secara kebetulan, jari-jarinya mengorek yang tepat
dan mendadak, tutup kotak men-jeblak dan terbuka lebar,
sehingga kedua pergelangan tangan Ouw Hui lantas saja
bebas. Pada detik itulah, perwira yang menjadi pemimpin menikam
Liap Wat dengan pisaunya. Ilmu silat Liap Wat sebenarnya
lebih tinggi daripada pembesar militer itu, tapi dalam tekadnya
untuk menolong Ouw Hui, ia sudah tidak memperhatikan
keselamatan diri sendiri, sehingga pisau itu amblas di dadanya
dan sambil mengeluarkan teriakan "aduh!" ia roboh tanpa
bernyawa lagi. Di saat yang sependek itu, Ouw Hui menarik napas dan
dada serta punggungnya mengkeret be-berapa dim. Hampir
berbareng, dengan sekali men-jejak kaki, badannya melesat
ke atas. Tiga batang pisau menikam dengan berbareng. Dua
pisau meleset, tapi pisau yang ketiga membuat goresan panjang
di lutut kanannya.
Selagi tubuhnya masih berada di tengah udara, Ouw Hui
sudah menendang dengan kedua kakinya. Sesaat itu adalah
saat mati hidup dan ia tak sungkan-sungkan lagi. Dua
tendangannya itu dengan jitu mengenakan sasarannya dan
dua perwira roboh tanpa berkutik lagi. Sebelum kedua kakinya
hing-gap di tanah, perwira yang barusan membinasakan Liap
Wat sudah mengirim tikaman ke kempungan Ouw Hui dengan
pukulan Keng-ko-hian-touw (Keng Ko mempersembahkan
gambar). Ouw Hui yang sudah mata gelap, melompat sambil
berteriak keras dan mengirim tendangan geledek ke dada
orang. "Duk!" badan perwira itu melayang dan jatuh di
empang teratai. Belasan tulang dadanya patah serentak dan
menurut perhitungan, ia tak bisa hidup lagi.
Perwira yang keempat jadi ketakutan setengah mati.
Seraya berteriak, ia memutar badan dan terus kabur sekeraskerasnya.
Dengan beberapa lompat-an saja, Ouw Hui sudah
menyusul. Dengan tangan kiri mencengkeram pakaian orang,
ia mengangkat tangan kanannya untuk menghantam kepala
perwira itu. Tapi sebelum tangannya turun, di bawah sinar
rembulan, ia melihat paras muka orang itu yang ketakutan
dan mohon diampuni. Hatinya lan-tas saja lemas. "Dia dan
aku tak punya permusuhan dan dia hanya diperintah oleh Hok
Kong An," katanya di dalam hati. "Perlu apa aku mengambil
jiwanya?" Ia segera menenteng tawanannya ke belakang gununggunungan
dan membentak dengan suara perlahan: "Mengapa
Hok Kong An mau menangkap aku?"
"Aku... aku... tak tahu," jawabnya.
"Di mana dia sekarang" tanyanya pula.
"Hok Thayswee... Hok Thayswee keluar dari... dari tempat
Ma Kouwnio, memerintahkan kami... dan kemudian masuk
lagi..." jawabnya.
Ouw Hui segera menotok jalan darah gagunya seraya
mengancam: "Kau berdiam di sini untuk sementara waktu,
besok pagi kau tentu akan dimer-dekakan. Kalau orang tanya,
kau harus mengatakan, bahwa Liap Wat telah dibunuh olehku.
Jika rahasia ini bocor dan keluarga Liap sampai jadi celaka,
kau kabur ke mana pun juga, aku akan ambil kepalamu!"
Perwira itu yang tidak bisa bicara lagi itu, buru-buru
manggutkan kepalanya.
Dengan ?ikap menghorrnat Ouw Hui lain men-dukung
mayat Liap Wat yang lalu ditaruhnya dalam sebuah gua di
gunung-gunungan batu dan kemudian, ia berlutut empat kali
sebagai penghormatan terakhir. Sesudah menendang mayat
kedua perwira ke dalam gerombolan rumput tinggi, ia lalu
merobek ujung baju dan membalut luka di kedua pergelangan
tangannya. Luka di lutut hanya luka di kulit, tapi goresannya
panjang sekali. Sesudah itu, dengan darah bergolak, ia
mengambil sebilah pisau dan lalu menuju ke rangon Ma It
Hong dengan tindakan lebar.
Karena tahu, bahwa gedung Hok Kong An dijaga oleh
banyak Sie-wie (pengawal), sedikit pun ia tak berani berlaku
ceroboh. Sebelum maju, ia selalu mengintip lebih dulu dari
belakang pohon atau gunung-gunungan. Baru saja tiba di
dekat jembatan, di sebelah depan sekonyong-konyong muncul
dua sinar tengloleng dan beberapa saat kemudian ia
melihat bahwa orang yang mendatangi adalah Hok Kong An
sendiri, yang diking oleh delapan Wie-su. Untung juga, dalam
taman itu terdapat banyak sekali perhiasan taman yang dapat
digunakan sebagai tempat menyembunyikan diri. Dengan
cepat ia melompat ke belakang sebuah batu yang berbentuk
seperti rebung.
"Kau pergi periksa penjahat she Ouw itu," kata Hok Kong
An kepada salah seorang pengawalnya. "Tanyakan seterangterangnya,
bagaimana ia bisa mengenal Ma Kouwnio dan ada
hubungan apa antara mereka berdua. Tanyakan juga, perlu
apa dia datang ke gedungku di tengah malam buta. Rahasia
ini tidak boleh dibocorkan kepada Ma Kouwnio. Sesudah kau
memeriksa lekas-lekas lapor kepadaku. Mengenai penjahat
itu... hm... kau harus ambil jiwanya malam ini juga."
Seorang Wie-su lantas saja mengiyakan. "Jika Ma Kouwnio
tanya, katakan saja, aku sudah menghadiahkan tiga ribu tahil
perak kepada-nya dan memerintahkan supaya dia pulang ke
kam-pungnya sendiri," kata pula Hok Kong An. "Baik, baik,"
jawab Wie-su itu. Bukan main gusarnya Ouw Hui. Sekarang
baru ia tahu, bahwa sebab menduga gundiknya mempu-nyai
hubungan rahasia dengan dirinya, tanpa menyelidiki lebih
dulu, Hok Kong An sudah turunkan tangan jahat. Ia marah
bereampur duka, sebab mengingat Liap Wat yang sudah mesti
mengor-bankan jiwa dengan cuma-cuma.
Jika mau, waktu itu juga ia bisa mengambil jiwa Hok Kong
An. Tapi, karena baru datang di kota raja dan belum tahu
seluk beluknya hal dan juga karena mengingat, bahwa
pembesar itu memegang kekuasaan sangat penting atas
ketentaraan, maka ia tidak berani bertindak secara sembrono.
Ia bersembunyi terus di belakang batu itu dan sesudah Hok
Kong An dan pengiringnya lewat, barulah ia menyusul Wie-su
yang diperintah untuk memeriksa dirinya. Wie-su itu yang
berjalan sambil bersiul-siul, sedikit pun tidak merasa, bahwa
dirinya sedang dikejar orang. Tahu-tahu jalan darahnya sudah
tertotok dan ia roboh tanpa berteriak.
Sesudah merobohkan pengawal itu, Ouw Hui lalu menguntit
rombongan Hok Kong An dari sebelah kejauhan. "Ada urusan
apa Loo-tay-tay memanggil aku di tengah malam buta?"
demikian ter-dengar suara Hok Kong An. "Siapakah yang
berada sama-sama Loo-tay-tay?" (Loo-tay-tay berarti nyo-nya
besar). "Hari ini Kongcu (Puteri) masuk ke keraton dan
sekembalinya dari keraton, ia terus menemani Loo-tay-tay,"
jawab seorang. Hok Kong An mengeluarkan suara "hm" dan tidak menanya
lagi. Sesudah melewati lorong-lorong yang indah buatannya,
tibalah mereka di depan sebuah gedung yang dikurung
dengan pohon-pohon bambu. Hok Kong An lalu masuk ke
gedung itu dan para pengawalnya menjaga di luar.
Dengan memutari pohon-pohon bambu, Ouw Hui pergi ke
belakang gedung, dari mana ia melihat sinar api di jendela
sebelah utara. Indap-indap ia mendekati jendela itu dan lalu
mengintip. Dalam sebuah ruangan kelihatan duduk dua orang
wanita yang beroman agung dan yang berusia kira-kira tiga
puluh tahun. Di dekat mereka terdapat seorang wanita tua
yang berusia lima puluh tahun lebih dan di samping kiri wanita
tua itu, berduduk dua wanita lain. Kelima wanita tersebut
semuanya mengenakan pakaian yang sangat indah dan
perhiasan dengan batu-batu permata yang berharga mahal.
Begitu masuk, Hok Kong An lebih dulu mem-beri hormat
kepada dua wanita yang berusia tiga puluhan dan kemudian
barulah ia memberi hormat kepada si wanita tua dengan
memanggil "ibu". Dua wanita yang lain sudah bangun berdiri
berbareng dengan masuknya ke dalam ruangan itu. Siapa
sebenarnya Hok Kong An" Ayah pangeran itu, Po Heng
namanya, adalah adik lelaki dan permaisuri Kian-liong. Isteri
Po Heng terkenal sebagai wanita Boan yang tereantik. Waktu
nyonya Po Heng masuk ke keraton, Kian-liong merasa tertarik.
Mereka mengadakan perhu-bungan rahasia dan mendapat
seorang putera, yaitu Hok Kong An. Dengan mendapat
pengaruh dari kakak perempuannya, isterinya dan puteranya,
Po Heng sangat disayang oleh Kian-liong yang be-lakangan
mengangkatnya sebagai perdana menteri. Dua puluh tiga
tahun lamanya ia menjabat pangkat yang tinggi itu dan waktu
cerita ini terjadi, ia sudah meninggal dunia.
Ia mempunyai empat orang putera. Putera su-lung, Hok
Leng An, menikah dengan seorang puteri Kian-liong dan
diangkat sebagai To-lo Hu-ma. Be-lakangan, karena membuat
pahala dalam pepe-rangan di Huikiang, ia dianugerahi pangkat
Hui-touw-tong (wakil pemimpin) dari Pasukan Bendera Putih.
Putera kedua, Hok Liong An, menikah dengan Puteri dan
diangkat sebagai Ho-sek Hu-ma. Berkat kepandaiannya, ia
akhirnya diangkat menjadi Kong-po Siang-sie (menteri urusan
pekerjaan umum).
Hok Kong An sendiri adalah putera ketiga. Banyak orang
merasa heran, mengapa sedang kedua kakaknya menikah
dengan puteri kaisar, ia sendiri yang paling dicintai oleh Kianliong,
tidak diambil sebagai menantu" Tentu saja orang-orang
itu tak tahu, bahwa Hok Kong An sebenarnya adalah putera
kaisar itu sendiri. Di ini waktu, ia menjabat pangkat Peng-po
Siang-sie (menteri pertahanan), merangkap Thaycu Thaypo
(pelindung putera mah-kota).
Putera keempat menjabat pangkat Houw-po Siang-sie dan
belakangan diangkat sebagai raja muda. Dengan demikian,
pada jaman itu, seluruh keluarga Hok Kong An menduduki
tempat yang sangat tinggi dan memegang peranan penting
dalam pemerintahan (Houw-po Siang-sie = Menteri Keuangan).
Kedua wanita yang beroman agung, duduk di tengahtengah,
adalah puteri-puteri kaisar yang menjadi 'nso (isteri
kakak lelaki) Hok Kong An. Ho-kee Kongcu adalah seorang
wanita yang cerdas, pandai dan bisa mengambil hati, sehingga
sangat dicintai Kian-liong, yang sering sekali memanggil-nya
ke istana untuk diajak beromong-omong. Wa-laupun kedua
puteri itu sanak yang sangat dekat, akan tetapi secara resmi
hubungan antara mereka dan Hok Kong An adalah hubungan
antara raja dan menteri, maka menurut adat istiadat,
pembesar itu harus memberi hormat terlebih dulu. Dua wanita
lainnya, yang satu Hailan-sie, isteri Hok Kong An sendiri,
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang yang lain isteri Hok Tiang An.
Sesudah duduk di kursi sebelah timur, Hok Kong An
bertanya: "Mengapa Jie-wie Kongcu dan ibu belum tidur?"
"Mendengar kau sudah punya anak, Jie-wie Kongcu merasa
sangat girang dan ingin bertemu dengan mereka," jawab sang
ibu. Hok Kong An tersenyum sambil melirik isteri-nya. "Wanita
itu orang Han," ia menerangkan. "Dia belum paham akan adat
istiadat, maka aku belum berani mengajaknya menemui
Kongcu dan ibu."
"Wanita yang dipenuju Kong-loo-sam sudah pasti bukan
wanita sembarangan," kata Ho-kee Kongcu sembari tertawa.
"Kami bukan ingin menemui perempuan itu. Maksud kami
ialah ingin melihat kedua puteramu. Pergilah panggil. Hu-hong
pun ingin sekali melihat mereka." (Hu-hong = ayahanda
Kaisar). Hok Kong An jadi girang sekali. Ia merasa pasti, bahwa
Kian-liong akan senang melihat kedua puteranya yang cakap
dan mungil. Ia segera menyuruh seorang budak untuk
menyampaikan perintahnya kepada pengawal supaya kedua
puteranya dibawa ke situ.
Ho-kee Kongcu tertawa pula. "Hari ini, waktu berada di
keraton, Bu-houw mengatakan, bahwa Kong-loo-sam pandai
sungguh menutup rahasia," katanya. "Selama beberapa tahun,
kami semua kena dikelabui. Mengapa kau tidak lekas-lekas
mengam-bil mereka" Awas! Hu-hong akan keset kulitmu."
"Soal kedua anak itu baru diketahui olehku pada bulan
yang lalu," menerangkan Hok Kong An.
Berkata sampai di situ, dua babu susu sudah datang
membawa kedua puteranya. Hok Kong An lantas saja
memerintahkan mereka memberi hormat kepada kelima
wanita itu. Mereka ternyata sangat dengar kata dan meskipun
matanya mengantuk, mereka lantas saja memberi hormat
dengan berlutut di hadapan lima nyonya besar itu.
Melihat kedua bocah yang sangat cakap itu, mereka jadi
girang sekali. "Kong-loo-sam," kata pula Ho-kee Kongcu.
"Muka mereka sangat mirip de-nganmu. Andaikata kau mau
menyangkal, kau tak akan dapat menyangkal."
Sebenarnya Hai-lan-sie merasa agak mendong-kol, tapi
sesudah melihat mungilnya kedua bocah itu, ia turut bergirang
dan lalu memeluknya erat-erat. Mereka semua sudah
menyediakan hadiah yang lantas saja diberikan kepada kedua
anak itu. "Hm! Sedari kecil sudah pandai menjilat-jilat," kata Ouw
Hui di dalam hati. "Kalau besar, mereka tak bisa jadi manusia
baik." Loo hu-jin menggapai seorang budak perempuan yang
berdiri di belakang. "Kau pergi kepada Ma Kouwnio dan
beritahukan, bahwa malam ini mereka tidur di tempatku dan
Ma Kouwnio tak usah tunggui mereka," katanya. Budak itu
lantas saja mengiakan dan berjalan ke luar untuk menjalankan
perintah itu. Sesudah itu, Loo-hu-jin berpaling kepada seorang
budak lain dan berkata pula: "Kau bawa semangkok somthung
(godokan yo-som) kepada Ma Kouwnio. Beritahukanlah,
bahwa aku akan menjaga kedua anak itu baik-baik dan dia tak
usah memikirkannya." (Loo-hu-jin = Nyonya tua, ibu Hok
Kong An). Mendengar perkataan itu, tangan Hok Kong An yang
sedang mencekal cangkir teh, jadi ber-gemetaran, sehingga
air teh tumpah ke pakaiannya. Paras mukanya berubah pucat
dan mulutnya ter-nganga. Budak itu segera menaruh mangkok
som-thung ke dalam sebuah rantang yang dicat air emas dan
lalu berjalan ke luar dari ruangan itu.
Kedua Kongcu, Hai-lan-sie dan isteri Hok Tiang An saling
melirik dan kemudian meninggal-kan ruangan itu. Kedua
bocah itu menangis keras dan memanggil-manggil ibunya.
"Anak baik, jangan menangis," kata Loo-hu-jin. "Ikutlah Nainai
(babu susu). Mereka akan memberikan kembang gula
kepadamu." la rriengebas tangannya supaya kedua babu susu
itu membawa mereka ke luar $c*uctah itu, ia memberi lsyarat
kepada semua budak yanji lantas saja mengundurkan diri,
sehingga yang ber-ada dalam ruangan itu hanyalah si nenek
dan Hok Kong An sendiri. Untuk beberapa lama ruangan itu
sunyi senyap. Loo-hu-jin mengawasi puteranya, tapi Hok Kong
An melengos. Sesudah selang beberapa lama, Hok Kong An menghela
napas panjang. "Ibu, mengapa kau tidak bisa berlaku sedikit
murah hati terhadapnya?" tanyanya.
"Apa perlu kau menanyakan itu?" sang ibu balas tanya.
"Dia seorang Han, hatinya sukar ditebak. Apalagi dia berasal
dari kalangan piauw-hang. Dia pandai bersilat dan biasa
menggunakan senjata. Dalam gedung ini terdapat dua Kongcu
dan mereka tentu saja tidak 1)isa tinggal bersama-sama
dengan perempuan semacam itu. Pada sepuluh tahun berselang,
Hong-siang pernah berada dalam bahaya besar karena
gara-gara seorang wanita asing. Apa kau lupa" Manakala
perempuan yang seperti ular berbisa itu berdiam terus
bersama-sama kami, kami semua tidak akan enak makan dan
enak tidur lagi."
"Apa yang dikatakan ibu memang tak salah," kata Hok
Kong An. "Anak pun sebenar-benarnya bukan sengaja
menyambut dia datang ke mari. Anak hanya menyuruh orang
menengoknya dan memberikan sedikit uang kepadanya. Di
luar dugaan, dia telah melahirkan dua putera yang menjadi
darah dagingku."
Sang ibu mengangguk seraya berkata: "Usiamu sudah
mendekati empat puluh tahun dan kau belum punya anak.
Dilahirkannya anak itu tentu saja merupakan kejadian yang
sangat menggirangkan. Kami akan memeliharanya dan
mendidiknya baik-baik, supaya di hari kemudian mereka bisa
mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, hati ibu^
nya pun bisa terhibur."
Hok Kong An menunduk dan untuk beberapa saat, ia tidak
mengeluarkan sepatah kata. "Tadinya anak ingin mengirim
perempuan itu ke tempat yang jauh supaya dia tidak bisa
bertemu muka lagi de-nganku dan dengan kedua anaknya,"
katanya dengan suara perlahan. "Tak dinyana ibu...."
Paras muka nyonya tua itu lantas saja berubah gusar.
"Sungguh pereuma kau memegang pangkat tinggi, kalau soal
ini saja masih belum dimengerti olehmu!" bentaknya dengan
suara keras. "Apa kau kira, sedang kedua puteranya berada di
sini, dia rela menerima nasib dengan begitu saja" Ingatlah!
Dia perempuan Kang-ouw yang bisa melakukan per-buatan
apa pun jua!"
Mendengar perkataan ibunya, Hok Kong An hanya
manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah berdiam sejenak, nyonya tua itu ber-kata pula:
"Kau perintah orang menguburkannya dengan upacara besar
itu sudah cukup untuk menyatakan kecintaanmu...."
Si anak kembali manggutkan kepala.
Bukan main kagetnya Ouw Hui yang men-dengarkan di luar
jendela. Semula ia tidak begitu mengerti pembicaraan antara
ibu-anak itu dan sesudah mendengar kata-kata
"menguburkannya dengan upacara besar", barulah ia
terkesiap. Sekarang ia tahu, bahwa nyonya tua yang kejam itu
ingin merampas anaknya dengan membunuh ibunya. Ia yakin,
bahwa untuk menolong jiwa Ma It Hong, ia tidak boleh berayal
lagi. la segera meninggalkan gedung itu dan dengan
menggunakan ilmu meng-entengkan badan, ia berlari-lari ke
rangon di atas air. Untung juga waktu itu sudah jauh malam
dan di dalam taman tidak terdapat satu manusia pun, sedang
pembunuhan yang terjadi tadi juga belum diketahui orang.
Sembari lari, Ouw Hui bimbang. "Ma Kouwnio sangat
mencintai Hok Kong An," pikirnya. "Apa dia pereaya
keteranganku" Apa dia suka mengikut aku untuk melarikan
diri" Hai! Ba-gaimana baiknya?"
Begitu tiba, ia lihat empat orang pengawal di luar rangon.
"Hm! Mereka sudah menyediakan orang untuk menjaga
kaburnya Ma Kouwnio," katanya di dalam hati. Karena tak
mau mengagetkan orang-orang itu, ia lalu pergi ke belakang
rangon dengan mengambil jalan memutar. Dengan sekali
meng-enjot badan, ia sudah melompati empang dan kemudian,
dengan indap-indap ia menghampiri jen-dela.
Mendadak, hatinya mencelos dan mengawasi ke dalam dari
celah-celah jendela dengan mata membelalak. Apa yang
dilihatnya" Ma It Hong rebah di atas lantai sambil memegang
perut dan merintih, sedang paras mukanya pucat pasi! Dalam
ruangan itu tidak terdapat lain manusia.
"Celaka! Aku terlambat," ia mengeluh sambil mendorong
jendela dan melompat masuk. Napas nyonya itu tersengalsengal,
mukanya bersorot hijau dan kedua matanya merah,
seperti mau mengeluar-kan darah.
Melihat Ouw Hui, ia berkata dengan suara terputus-putus:
"Perut... perutku sakit.... Saudara Ouw... kau...." Suaranya
semakin lemah dan sesudah mengatakan, "kau", ia tak dapat
bicara lagi. "Kau makan apa tadi?" tanya Ouw Hui.
It Hong tidak menjawab, hanya matanya mengawasi
sebuah mangkok dengan lukisan bunga emas yang terletak di
atas meja. Ouw Hui kenali, bahwa mangkok itu adalah
mangkok somthung. "Nenek itu sungguh jahat," pikirnya.
"Sebelum mengirim somthung, lebih dulu ia memanggil kedua
bocah itu. Rupanya ia khawatir Ma Kouwnio akan membagi
makanan mahal itu kepada puteranya.... Ya, sekarang aku
ingat. Waktu ibunya menyuruh budak membawa somthung
itu, paras muka Hok Kong An berubah dan tangannya
bergemetar, sehingga air teh tumpah di pakaiannya. Ia tentu
sudah tahu, bahwa dalam somthung itu ditaruh racun. Tapi
dia tidak coba mencegah atau menolong. Biarpun bu-kan dia
yang meracuni, tapi did turut berdosa. Hm! Sungguh kejam!"
Sesudah mengumpulkan tenaga, Ma It Hong berkata pula
dengan suara lemah. "Kau... beri-tahukan Hok Kongcu...
minta... panggil tabib...."
Ouw Hui tidak menjawab, tapi mendengar per-kataan si
nyonya, ia segera ingat, bahwa orang satu-satunya yang
dapat menolong adalah adik ang-katnya, Leng So.
Memikir begitu, ia segera mengambil kain alas kursi dan
membungkus mangkok somthung itu yang lalu dimasukkan ke
dalam sakunya. Ia mendengar-kan sejenak dan sesudah
melihat di luar rangon tidak terdengar sesuatu yang luar biasa,
ia lalu memanggul tubuh It Hong dan melompat ke luar dari
jendela. Nyonya itu kaget dan berteriak dengan suara perlahan:
"Ouw...."
Ouw Hui menekap mulut It Hong dengan tangannya.
"Jangan ribut, aku mau bawa kau kepada tabib," bisiknya.
"Anakku..." kata pula nyonya itu.
Ouw Hui tidak meladeni. Dengan tergesa-gesa ia
menggenjot tubuh dan raelompati empang yang memisahkan
rangon itu dari taman bunga. Tapi baru saja ia mau kabur,
sudah terdengar suara tindakan dua oiang yang mengejar dari
belakang. "Siapa?" bentak saiah seorang itu.
Ouw Hui tidak menjawab dan terus lari dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sesudah kabur
puluhan tombak, tiba-tiba ia menghentikan tindakan dan
begitu lekas kedua pengejarnya da-tang dekat, ia melompat
tinggi saivj-i'i menendang dengan kedua kakinya yang tepal di
jalan darah Sinlong-hiat, di punggung kedua orang itu. Tanpa
bersuara mereka terguling. Dilihat dari pakaiannya, mereka
adalah Wie-su yang menjaga di luar rangon.
Sesudah merubuhkan kedua pengawal itu, dengan cepat
Ouw Hui mencari jalan ke luar. Sekonyong-konyong dari
beberapa sudut gedung, ter-dengar suara teriakan dan
bentakan: "Tangkap! Tangkap pembunuh!"
Untung juga, waktu baru datang, ia memper-hatikan
jalanan, sehingga sekarangtanparagu-ragu, ia segera
mengambil jalan semula yang menerus ke sebuah pintu kecil.
Setibanya di depan pintu, ia segera melompati tembok dan
dengan girang ia mendapat kenyataan, bahwa kereta yang
ditum-panginya tadi, masih menunggu di situ. Buru-buru ia
memasukkan Ma It Hong ke dalam kereta seraya berkata:
"Pulang!"
Mendengar suara ribut-ribut di dalam gedung dan melihat
paras muka Ouw Hui yang luar biasa, si kusir membuka mulut
menanyakan keterangan. Tapi sebelum ia sempat bicara,
tangan pemuda itu sudah melayang dan ia rubuh di tanah.
Sesaat itu, dari dalam gedung sudah muncul empat-lima
Wie-su yang mengejar sambil berteriak-teriak. Ouw Hui segera
mencekal les dan menga-burkan kudanya sekeras-kerasnya.
Sesudah mengejar belasan tombak, pengejar-pengejar itu
kembali ke gedung sembari berteriak-teriak: "Kuda! Lekas
siapkan kuda!"
Dengan hati berdebar-debar Ouw Hui terus membedal
kuda. Sesudah lari kira-kira satu lie, mendfidak terdengar
teriakan-teriakan dan dua pu-luh lebih Wie-su yang
menunggang kuda mengejar dari belakang. Kuda-kuda itu
adalah binatang pilihan, sehingga semakin lama mereka
datang semakin dekat.
Ouw Hui jadi bingung. "Aku berada di kota raja yang tidak
boleh dipersamakan dengan kota-kota lain," pikirnya. "Dengan
adanya suara ribut-ribut, tentara peronda kotabisasegera turut
turun tangan dan aku sukar meloloskan diri lagi."
Ia menengok ke belakang dan lihat semua pe-ngejar itu
membawa obor. Ia melirik kepada Ma It Hong dan hatinya jadi
semakin berkhawatir. Tadi nyonya itu masih merintih, tapi
sekarang suara rintihannya sudah tidak terdengar lagi. "Ma
Kouw-nio," ia memanggil. "Perutmu sakit?" Ia memanggil
beberapa kali, tapi It Hong tetap tidak menjawab.
Ia menengok lagi dan melihat pengejar-pengejar sudah
datang terlebih dekat. Tiba-tiba sebulir batu Hui-hong-sek
menyambar punggungnya. Dengan cepat ia menangkapnya
dan balas menim-puk. Sambil mengeluarkan teriakan keras,
orang itu jatuh terguling.
Hasil itu menyadarkan Ouw Hui. Jalan paling baik untuk
mengundurkan musuh adalah meng-gunakan senjata rahasia,
hanya sayang ia tidak mem-bekalnya. Sesudah mendapat
pelajaran pahit, para .Wie-su tidak berani menyerang lagi
dengan senjata rahasia.
Ouw Hui jadi semakin bingung. Perjalanan ke Soan-bu-bun
masih jauh, sedang teriakan-teriakan orang-orang itu sudah
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti akan menarik perhatian serdadu peronda. Dalam
bingungnya ia ingat mangkok yang berada dalam sakunya. Ia
segera meremas mangkok itu - hanya pantat mangkok yang
tidak dihancurkan - dan mencekal kepingan-kepingan persolen
dalam tangannya. Dengan sekali meng-ayun tangan kiri, lima
Wie-su rubuh disambar ke-pingan mangkok pada jalan
darahnya, sedang tiga Wie-su lainnya yang berkepandaian
lebih tinggi, dapat menyampok "senjata rahasia" itu dengan
go-lok mereka. Beberapa orang lantas saja melompat turun
dari tunggangannya untuk menolong kawan-kawannya yang
rubuh, sedang yang lainnya tidak berani datang terlalu dekat
lagi. Ouw Hui bernapas lebih lega. la girang ketika mendapat
kenyataan, bahwa Ma It Hong masih bernapas dan kadangkadang
mengeluarkan rintih-an perlahan. Sementara itu, ia
sudah hampir tiba di gedungnya. Waktu tiba di jalan
bereabang, ia mem-belokkan kereta ke jurusan barat, sedang
gedungnya berada di sebelah timur. Sesudah membelok lagi di
sebuah tikungan, sambil mendukung It Hong, ia mencambuk
kuda beberapa kali, sedang ia sendiri melompat ke atas
sebuah rumah. Kereta itu kabur terus ke arah barat dengan
dikejar oleh para Wie-su.
Sesudah para pengejar pergi jauh, barulah Ouw Hui
kembali ke gedungnya dengan mengambil jalan dari atas atap
rumah-rumah penduduk. Baru ia melompati tembok
gedungnya, sudah terdengar suara Leng So: "Toako, kau
kembali! Kau dikejar orang?"
"Ma Kouwnio kena racun hebat, coba periksa," kata sang
kakak. Sambil mendukung It Hong, Ouw Hui masuk ke
ruangan tengah dan Leng so menyulut lilin. Sambil
menggelengkan kepala, si nona mengawasi muka nyonya itu
yang bersorot abu-abu. Ia memijit jari-jari tangan It Hong,
ternyata da-gingnya tetap melesak, tidak membal ke atas lagi.
"Kena racun apa?" tanyanya.
Dari dalam sakunya Ouw Hui mengeluarkan pantat
mangkok, "Kena racun yang ditaruh di dalam somthung,"
jawabnya. "Inilah pantat mangkok som-thung itu."
Leng So mencium pantat mangkok itu. Sebagai ahli urusan
racun, ia lantas saja berkata dengan suara kaget: "Hebat!
Inilah racun Ho-teng-hong."
"Masih bisa ditolong?" tanya Ouw Hui.
Sebelum menyahut, Leng so memegang dada It Hong.
"Kalau bukan orang kaya raya, tak nanti mempunyai racun
yang mahal itu," katanya.
"Benar," kata Ouw Hui dengan suara gusar, "Yang menaruh
racun adalah nyonya Siang-kok (perdana menteri), ibunya
Peng-po Siang-sie."
Leng So mengangguk, kedua matanya mengawasi It Hong
dengan penuh perhatian. Melihat paras muka adiknya yang
tidak memperlihatkan sinar putus harapan, hati Ouw Hui agak
lega. Sesudah mengawasi beberapa saat, Leng So membuka
kelopak mata It Hong. Mendadak ia mengeluarkan seruan
tertahan: "Aha!"
Ouw Hui terkesiap. "Mengapa?" tanyanya.
"Di samping Ho-teng-hong, terdapat juga Hoan-bok-pie,"
jawabnya. Ouw Hui tidak berani menanya, "Bisa ditolong atau tidak?"
Sambil mengawasi adiknya, ia bertanya: "Bagaimana
menolongnya?"
Alis si nona berkerut: "Dengan adanya dua macam racun
itu, kita jadi lebih berabe," jawabnya. Ia masuk ke kamar dan
mengambil dua butir yo-wan putih. Sambil memasukkan obat
itu ke dalam mulut It Hong, ia berkata: "Kita harus
menaruhnya di dalam sebuah kamar yang sunyi, menusuk tiga
belas jalanan darahnya dengan jarum emas dan kemudian
memasukkan obat ke dalam tubuhnya dari jalan darah.
Sebenarnya, dengan menggunakan jarum, kita dapat
menolongnya dengan segera, akan tetapi, selama dua belas
jam ia tidak boleh bergerak sedikit pun jua."
"Kita tidak dapat menggunakan jarum di sini, karena Wiesu
Hok Kong An akan segera datang," kata Ouw Hui. "Kita
harus cari sebuah rumah di kampung yang sepi."
"Kalau begitu kita harus berangkat sekarang juga," kata
Leng So. "Dua butir yo-wan itu dapat mempertahankan
jiwanya selama satu jam." la menghela napas dan berkata
pula: "Walaupun ke-jam, pengetahuan tentang racun dari
nyonya Siang-kok itu masih sangat rendah. Dengan
mencampur dua macam racun dan menaruhnya di dalam somthung,
tenaga racun itu menjadi lemah. Kalau bukan begitu,
jiwa Ma Kouwnio tentu sudah melayang."
Cepat-cepat Ouw Hui berkemas. "Pada jaman ini, siapakah
yang dapat menandingi ilmunya Tok-chiu Yo-ong?" katanya.
Leng So tersenyum. Selagi ia mau menjawab, tiba-tiba
terdengar suara kaki kuda yang menda-tangi dari sebelah
kejauhan. Ouw Hui menghunus golok dan berkata: "Kita
terpaksa mesti bertempur." Ia bingungdan berkata pula:
"Semakin lama jumlah musuh tentu semakin banyak. Kalau
bahaya terlalu besar, paling banyak aku bisa menolong Jiemoay.
Bagaimana kita dapat menolong Ma Kouwnio?"
"Dalam kota raja, tak dapat kita menggunakan kekerasan,"
kata si adik. "Toako, coba kau menyusun kursi meja sampai
merupakan sebuah ra-ngon tinggi."
Ouw Hui tak mengerti maksudnya, tapi karena tahu
kepintarannya si adik, tanpa menanya lagi, ia lalu menyusun
semua meja dan kursi yang berada dalam ruangan itu.
Sambil menuding satu pohon besar yang tum-buh di luar
jendela, Leng so berkata: "Bersama Ma Kouwnio, kau
bersembunyi dalam pohon itu."
Ouw Hui segera memasukkan goloknya ke dalam sarung
dan buru-buru mendukung Ma It Hong. Dengan sekali
mengenjot badan, ia hinggap di atas satu dahan dan lalu
menyembunyikan nyonya itu di antara daun-daun yang
rindang. Sementara itu, dengan melompati tembok, be-berapa Wiesu
sudah masuk ke dalam pekarangan gedung dan dengan
membentak-bentak, ia mena-nyakan keterangan dari
pengurus rumah.
Leng So meniup lilin dan dari sakunya ia mengeluarkan
sebatang lilin lain yang lalu disulutnya dan ditancapkan di
sebuah ciak-tay. Sesudah menutup jendela dan pintu, barulah
ia melompat naik ke pohon itu dan berdiri di samping
kakaknya. "Semuanya ada tujuh orang," bisik Ouw Hui.
"Tenaga obat lebih dari cukup!" jawab si adik.
Sekarang Ouw Hui mengetahui, bahwa lilin yang dipasang
oleh adiknya adalah lilin racun.
Para Wie-su itu sudah mulai menggeledah. Di antara suara
mereka, Ouw Hui kenali, bahwa salah seorang adalah In Tiong
Shiang. Karena jeri terhadap Ouw Hui dan juga sebab Wan Cie Ie
masih berada dalam gedung itu, mereka tidak berani berlaku
sembrono dan tidak berani menggeledah dengan berpencaran.
Sambil menyerahkan sebutir batu ke dalam tangan Ouw
Hui, Leng So berbisik: "Toako, ru-buhkan sebuah kursi dengan
batu ini!"
"Bagus!" kata sang kakak sambil tertawa dan lalu
menimpuk. Batu itu mengena tepat pada kursi yang di tengahtengah
dan dengan satu suara ge-debrukan, beberapa kursi
meja yang berada di atas-nya terguling di lantai.
"Di sini! Di sini!" teriak para Wie-su. Beramai-ramai mereka
meluruk ke ruangan itu. Tapi, kecuali kursi meja yang jatuh
berhamburan, dalam ruangan itu tak terdapat bayangan
manusia. Mendadak mereka merasa puyeng dan tak ampun
lagi ambruk di lantai.
Dengan cepat Leng So melompat masuk lagi ke dalam
ruangan itu, meniup lilin yang lalu dimasuk-kan ke dalam
sakunya. "Ayo berangkat!" katanya seraya menggapai Ouw
Hui. Ouw Hui lantas saja mendukung Ma It Hong dan bersama
adiknya, ia melompati tembok. Belum jalan beberapa jauh, ia
mengeluh, karena di sebelah depan terlihat barisan tentara
yang sedang melang-kah melakukan penggeledahan dengan
membawa obor dan tengloleng.
Buru-buru mereka membelok ke selatan, tapi belum
setengah li, mereka sudah bertemu pula dengan sepasukan
tentara yang meronda.
"Pembunuhan dalam gedung Hok Thayswee rupanya sudah
diketahui," kata Ouw Hui di dalam hati. "Bagaimana baiknya"
Tak mudah untuk meloloskan diri ke luar kota." Sekonyongkonyong
ia dengar suara ribut-ribut di belakangnya dan
sepasukan tentara kelihatan mendatangi dari sebelah
belakang. Ouw Hui bingung, musuh mendatangi dari depan
dan dari belakang. Sambil memberi isyarat kepada Leng so, ia
melompati tembok pe-karangan sebuah gedung, diturut oleh
adiknya. Mereka hinggap di atas rumput yang empuk dari sebuah
taman. Tiba-tiba mereka terkesiap, karena taman itu terangbenderang
dan tak jauh dari tempat mereka berdiri, kelihatan
berkumpul banyak orang. Hampir berbareng, di luar tembok
terdengar suara ramai, sebagai tanda, bahwa kedua pasukan
tadi yang datang dari depan dan dari belakang, sudah
bertemu satu sama lain, sehingga mereka tak akan dapat
melarikan diri lagi dari jalanan itu. Untung juga, Ouw Hui lihat
sebuah gunung-gunungan yang teraling dengan pohon-po-hon
bunga. Dengan cepat ia melompat ke belakang gununggunungan
itu untuk menyembunyikan diri.
Mendadak, sehelai sinar putih berkelebat dan sebatang
golok menyambar dada. Ouw Hui kaget bukan main, sedikit
pun ia tidak menduga, bahwa di belakang gunung-gunungan
itu bersembunyi musuh. Mau tidak mau, ia melepaskan Ma It
Hong yang menengkurap di punggungnya, tangan kirinya
menyanggah sikut orang itu, tangan kanannya balas
menyerang. Orang itu pun tak kurang lihaynya. Ia mengegos
dan goloknya kembali menyambar, sedang tangan kirinya
coba menangkap pergelangan tangan Ouw Hui dengan ilmu
Kin-na Chiu-hoat. Apa yang luar biasa, dia memakai topeng
kain kuning dan menyerang tanpa bersuara. "Bagus juga dia
menutup mulut, pikir Ouw Hui. "Sekali dia berteriak, tentara
yang berada di luar tembok pasti akan segera meluruk."
Mereka lantas saja bertempur dengan hebat-nya.
Kepandaian orang itu tidak berada di sebelah bawah Cin Nay
Cie dan dengan bersenjata, ia menarik banyak keuntungan
atas Ouw Hui yang ber-kelahi dengan tangan kosong. Pada
jurus ke sem-bilan, barulah Ouw Hui berhasil menotok jalan
darah Kiu-bwee-hiat, di dada orang itu. Tapi dia ternyata
gagah sekali. Biarpun sudah kena ditotok, ia masih dapat menendang.
Sesudah Ouw Hui menotok jalan darah Tiong-touw-hiat, di
tumit kakinya, barulah ia rubuh.
Sesudah musuh rubuh, Leng So menyentuh pundak
kakaknya dan sambil menuding ke tempat yang banyak
lampunya, ia berbisik: "Toako, ke-lihatannya bakal ada
pertunjukan wayang."
Ouw Hui mendongak dan melihat sebuah panggung
wayang yang berdiri di dalam pekarangan yang luas, sedang
di depan panggung berderet-deret kur-si yang sudah penuh
dengan penonton, tapi pertunjukan belum dimulai. Jaman itu
adalah jaman Kaisar Kian-liong yang sangat makmur dan di
kota raja, setiap kali pembesar negeri atau hartawan
mengadakan pesta, mereka tentu memanggil wayang yang
main sampai beberapa had, siang malam tiada putusnya.
Sambil mengangguk, Ouw Hui membungkuk dan
mencopotkan kain kuning yang menutupi muka lawan yang
sudah rubuh itu.
Remang-renang, ia lihat muka yang kasar dari seorang
berusia kira-kira empat puluh tahun. "Mungkin dia pencuri,"
katanya dengan suara perlahan.
"Kurasa bukan buaya kecil," kata Leng So.
Ouw Hui tertawa. "Siapa tahu" Dalam kota raja, penjahat
kecil pun bisa memiliki kepandaian tinggi," katanya. Tapi di
dalam hati, ia mengakui, bahwa dilihat dari kepandaiannya tak
mungkin orang itu penjahat biasa.
"Apa tidak baik kita cari sebuah kamar yang terpencil dan
sepi dalam gedung yang besar ini, untuk bersembunyi dua
belas jam lamanya?" bisik si nona.
"Ya, itu memang jalan satu-satunya," jawab sang kakak.
"Dengan berkumpulnya begitu banyak orang, kita pasti tak
bisa keluar tanpa diketahui orang.
Baru saja ia berkata begitu, tirai di atas panggung
mendadak terbuka dan muncul seseorang yang mengenakan
ma-kwa linen. Ia memberi hormat dan segera berkata dengan
suara nyaring: "Para Supeh, Susiok dan saudara-saudara
seperguruan!"
Mendengar kata-kata pembukaan itu, Ouw Hui mengerti,
bahwa panggung tersebut bukan panggung wayang.
Orang itu melanjutkan pembicaraannya: "Seka-rang fajar
sudah menyingsing dan tiga hari lagi, kita akan menghadapi
pertemuan besar antara para Ciangbunjin. Tapi sampai pada
detik ini, See-gak Hoa-kun-bun belum mempunyai
Ciangbunjin. Urusan ini tidak dapat ditunda-tunda lagi dan
bagai-mana harus diselesaikannya, aku menyerahkan ke-pada
para Cianpwee dari berbagai pay." (pay = partai)
Seorang tua yang mengenakan ma-kwa hitam, yang duduk
di bawah panggung, lantas saja bangun berdiri. Ia batukbatuk
beberapa kali, dan lalu berkata: "Hoa-kun Su-sip-pat,
Gee-seng-heng-thian-hee. Sedari tiga abad yang lalu, See-gak
Hoa-kun-bun terpecah menjadi lima partai, yaitu Partai Gee,
Seng, Heng, Thian dan Hee. Semenjak tiga abad, memang
kita tidak pernah mempunyai Cong ciang-bun (pemimpin
besar). Kelima partai itu telah maju dengan makmurnya. Akan
tetapi, semua saudara-saudara hanya memperhatikan partai
masing-ma-sing. Setiap orang mengatakan: "Aku dari Gee-ciepay
(partai huruf Gee), aku dari Seng-cie-pay (partai huruf
Seng) dan sebagainya. Mereka tidak ingat, bahwa di mata
orang luar mereka semua dianggap sebagai anggota See-gak
Hoa-kun-bun. Anggota partai kita sangat besar jumlahnya dan ilmu yang
diturunkan oleh Loo-couw (kakek guru) juga bukan ilmu
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sembarangan, akan tetapi, kita tak bisa menandingi Siauw-lim,
Bu-tong, Thay-kek, Pat-kwa dan Iain-lain partai. Mengapa"
Karena kita terpecah-pecah dan karena perpecahan itu, kita
jadi lemah. Ya! Apa mau dikata?" la batuk-batuk beberapa kali,
menghela napas dan kemudian berkata pula: "Kalau bukan
Hok Thayswee mengadakan pertemu-an para Ciangbunjin,
entah sampai kapan See-gak Hoa-kun-bun baru punya
Ciangbunjin. Untung juga terjadi kejadian begini, sehingga
mau tak mau, kita mesti juga mengangkat seorang CiongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ciang-bun. Hari ini, aku si tua, ingin mengutarakan pendapatku:
Ciangbunjin yang akan dipilih oleh kita sekrang, bukan
saja harus membikin terang muka See-gak Hoa-kun-bun
dalam pertemuan itu, tapi juga harus membereskan urusan di
dalam partai, supaya kelima cabang itu, kembali kepada
asalnya yang semula, agar kita beramai-ramai, dengan
bersatu padu, da-pat menonjolkan nama See Gak-kun-bun
dalam Rimba Persilatan."
Pembicaraan orang tua itu disambut dengan sorak-sorai
dan tepuk tangan oleh para hadirin.
Sekarang Ouw Hui baru mengerti maksud ber-kumpulnya
orang-orang itu. la memandang ke em-pat penjuru dengan
niatan mencari tempat yang agak sepi untuk menyingkirkan
diri. Tapi semua jalanan berada di bawah sinar lampu dan
dalam taman itu berkumpul kira-kira dua ratus orang,
sehingga begitu keluar dari tempat bersembunyi, mereka pasti
dilihat orang, Ouw Hui jadi bingung. la hanya berdoa, supaya
pemilihan Ciangbunjin itu bisa selesai secepat mungkin.
"Perkataan Coa Supeh merupakan nasehat yang sangat
berharga," kata orang yang berdiri di atas panggung. "Sebagai
pemimpin Gee-cie-pay, dengan memberanikan hati boanpwee
mewakili para sau-dara separtai, memilih Ciangbunjin, maka
kami semua dengan satu hati, akan menutut segala perintah
Ciangbunjin tersebut. Apa yang dikatakan oleh pemimpin kita
itu, tak akan dibantah oleh orang-orang Gee-cie-pay."
"Bagus!" teriak seorang dengan suara nyaring.
Pemimpin Gee-cie-pay itu tersenyum dan berkata:
"Bagaimana pendapat Iain-lain pay?"
Salah seorang yang berada di bawah panggung bangun
berdiri dan menjawab dengan suara nyaring: "Kami dari SengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
cie-pay juga tak akan menentang segala perintahnya
Ciangbunjin baru."
Dengan beruntun-runtun, beberapa orang bangun berdiri.
"Perintah dari Ciangbunjin kita akan diturut seanteronya
oleh Heng-cie-pay."
"Hee-cie-pay adalah partai yang paling bungsu, kalau kakak
jalan, adik tak bisa tidak menurut."
"Bagus!" kata orang yang berdiri di atas panggung. "Semua
golongan bersatu padu dan kita tidak bisa mengharapkan
yang lebih baik daripada ini. Sekarang para tetua dari berbagai
partai, para Supeh dan Susiok sudah berada di sini dan yang
masih belum tiba hanyalah Kie Supeh dari Thian-cie-pay.
Orang tua itu telah mengirim sepucuk surat yang
memberitahukan, bahwa ia telah mengirimkan pu-teranya,
yaitu Kie Suheng, untuk mewakilinya da-lam pertemuan kita
ini. Tapi ditunggu sampai sekarang, Kie Suheng belum juga
muncul. Kudengar Suheng ini agak luar biasa dan di antara
kita, siapa pun juga belum pernah bertemu dengannya. Mungkin
sekali ia sudah berada di sini dan menyem-bunyikan diri,
entah di mana...."
Berkata sampai di situ, ia disambut dengan gelak tertawa.
"Apakah kau she Kie?" Ouw Hui tanya pecun-dangnya.
Orang itu mengangguk, ia kelihatan bingung ka-rena tak
tahu siapa adanya Ouw Hui dan Leng So.
"Sesudah menunggu hampir semalam suntuk dan Kie
Suheng belum juga datang, kita sekarang tidak dapat
menunggu lebih lama lagi," kata pula orang yang berdiri di
atas panggung. Di belakang hari, Kie Supeh tentu tak bisa
marahi kita. Kini aku memohon petunjuk para Cianpwee,
Supeh, Susiok, cara bagaimana kita harus memilih
Ciangbunjin."
Mendengar perkataan itu, semua orang yang sudah
menunggu lama dengan tidak sabar, lantas saja jadi
bersemangat dan mereka berlomba-lomba mengajukan usul.
"Adu ilmu silat!"
"Memang! Kalau bukan adu silat, mau adu apa?"
"Kita harus gunakan senjata tulen!"
Di antara teriakan-teriakan itu, si orang she Coa kembali
bangun berdiri dan batuk-batuk bebe-rapa kali. "Sebenarnya,
dalam memilih Ciangbunjin, kita harus lebih mengutamakan
pribudi daripada kepandaian silat," katanya. "Anak-anak muda
sekarang, betapapun tinggi ilmu silatnya, tak akan dapat
menandingi para Cianpwee yang pribudinya luhur dan
dihormati orang." Ia berdiam sejenak dan kedua matanya
yang tajam menyapu para hadirin. "Tapi kita sekarang tengah
menghadapi keadaan luar biasa," katanya pula. "Pertemuan
para Ciangbunjin yang bakal diadakan merupakan pertemuan
para orang gagah dan secara wajar, mereka masing-masing
akan mengeluarkan kepandaian. Andaikata See-gak Hoa-kunbun
memilih seorang tua bangka yang luhur pribudinya, dalam
pertemuan tersebut, belum tentu orang dapat menghargai
pribudi tua bangka itu...."
Para hadirin tertawa berkakakan, sedang Leng so cekikikan
sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan.
Sesudah gelak tertawa mereda, si tua berkata pula: "Hoakun
Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee. Hanya sayang,
selama beberapa ratus tahun, tak pernah ada seorang pun
dapat memahami seluruh ilmu silat Hoa-kun-bun yang
mempunyai em-pat puluh delapan jalan. Di hari ini, siapa yang
memiliki kepandaian paling tinggi, dialah yang akan menjadi
Ciangbunjin kita."
Pembicaraan si tua disambut dengan sorak sorai.
Tiba-tiba pintu depan digedor keras. Semua orang terkejut.
"Apa Kie Suheng?" tanya seorang. Beberapa orang lantas
membuka pintu dan begitu pintu ter-buka, segera menerobos
masuk sejumlah serdadu yang membawa obor dan tengloleng.
Dengan tangan kanan mencekal golok, tangan kiri Ouw Hui
memegang tangan Leng So dan mereka saling mengawasi
sambil tersenyum. Dalam menghadapi bahaya, hati kedua
orang muda itu lebih bersatu padu. Tapi di lain saat, si nona
menunduk dan paras mukanya berubah duka.
Perwira yang memimpin rombongan serdadu itu, segera
menanyakan keterangan dari beberapa orang. Begitu
mengetahui, bahwa orang-orang itu berkumpul untuk memilih
Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun, sikapnya lantas saja
berubah hormat, tapi dengan menggunakan obor dan
tengloleng, ia dan tentaranya lantas saja menyuluhi muka
setiap orang dan menyelidiki di seputar taman itu.
Ouw Hui dan Leng So siap sedia. Jika tentara itu
menyatroni sampai di belakang gunung-gunung-an, tiada lain
jalan daripada menyerang.
Tiba-tiba, selagi sinar obor mendekati gunung-gunungan,
orang yang berdiri di atas panggung sudah berkata pula:
"Siapa yang ilmu silatnya paling tinggi, dialah yang menjadi
Ciangbunjin. Hal ini sudah didengar dan disetujui oleh kita
semua. Maka itu, para Supeh, Susiok, Suheng-tee dan Sucimoay
boleh segera naik ke sini untuk memperlihatkan
kepandaian yang paling istimewa."
Undangan itu disusul dengan melompat naik seorang
wanita muda yang mengenakan baju warna dadu. "Ko In,
murid Heng-cie-pay, meminta pelajar-an dari para Supeh,
Susiok dan saudara-saudara," katanya dengan suara merdu.
Melihat ilmu mengentengkan badan nona itu yang sangat
bagus, ditambah dengan pakaiannya yang indah dan parasnya
yang cantik, para hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan
dan sorakan. Serdadu-serdadu yang tengah menghampiri,
gunung-gunungan itu jadi kagum bukan main dan habislah
kegembiraan mereka untuk melanjutkan penggele-dahan.
Baru habis si nona memperkenalkan diri, seorang pemuda
sudah melompat ke atas. "Thio Hok Liong, murid Gee-cie-pay,
ingin meminta pelajaran dari Ko Suci," katanya seraya
memberi hormat. "Thio Suheng tak usah berlaku sungkan,"
kata nona Ko. Ia menekuk sedikit betis kanan, melonjorkan
betis kiri, melintangkan telapak tangan kanan dan
membengkokkan tangan kiri. Itulah pukulan per-tama dari
Hoa-kun, Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan (pukulan
menunggang harimau). Thio Hok Liong mengangkat lututnya
dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya dalam
gerakan San-yang Teng-kie Kak-tok-hian (Kambing hinggap di
dahan pohon, kakinya menggelantung). Mereka lantas saja
bertempur dengan hebatnya, dengan masing-ma-sing
menggunakan ilmu silat Hoa-kun-bun. Sesudah lewat kira-kira
dua puluh jurus, bagaikan kilat, nona Ko menyerang dengan
pukulan Hui-tauw Bong-goat Hong-tian-cie (Mernutar kepala
melihat rem-bulan, burung Hong membuka sayap), kakinya
melompat, tangannya menyambar, sehingga tak ampun lagi,
Thio Hok Liong rubuh ke bawah panggung.
"Bagus!" teriak si perwira, "Sungguh lihay nona itu."
Di lain saat, seorang lelaki yang bertubuh kasar sudah
melompat ke atas panggung dan sehabis mengucapkan katakata
merendahkan diri, mereka lantas saja bertempur. Kali ini,
Ko In-lah yang rubuh ke bawah, karena kakinya terpeleset.
"Sayang! Sayang sungguh!" seru si perwira. Sesudah nona
itu rubuh, ia tidak mempunyai kegem-biraan untuk menonton
terus dan sambil mengajak anak buahnya, ia segera
meninggalkan gedung itu, untuk menjalankan tugas di tempat
lain. Melihat rombongan serdadu sudah berlalu, hati Leng So
jadi agak lega. Tapi sesudah beberapa lama, hatinya jadi
jengkel dan tidak sabar, karena pertem-puran berlangsung
terus tak henti-hentinya, yang satu turun, yang lain naik dan
begitu seterusnya. Sampai kapan baru mereka berhasil
memilih Ciang-bunjin" Ia melirik Ouw Hui yang ternyata
sedang memperhatikan jalan pertandingan dengan sepe-nuh
perhatian. Si nona heran dan berkata dalam hatinya: "Biarpun
kepandaian mereka tidak dapat dikatakan rendah, tapi mereka
bukan ahli silat kelas satu. Mengapa Toako memperhatikan
sampai ter-longong-longong?" Ia menyentuh tangan kakaknya
dan berbisik: "Toako, sekarang sudah lewat lebih dari
setengah jam. Kita harus berdaya untuk menolong Ma
Kouwnio secepat mungkin. Kalau ter-lambat, mungkin jiwanya
melayang." Ouw Hui ha-nya menyahut dengan suara "hm",
tapi matanya tetap mengawasi panggung.
Beberapa saat kemudian, salah seorang jatuh, disusul
dengan naiknya seorang lain yang lantas saja mulai
bertanding dengan orang yang menang.
Dalam pertandingan itu, meskipun mereka orang sekaum,
akan tetapi yang bertempur adalah murid-murid dari partai
yang berlainan. Kalah menang mereka mengenakan langsung
kepada nama partai masing-masing, sehingga dengan
demikian, mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dilihat
dari jalan pertandingan, pentolan-pentolan kelima partai Hoakun-
bun belum ada yang muncul dan hal itu lebih-lebih
menjengkelkan Leng So, karena tak dapat diramalkan lagi,
sampai kapan pertandingan bisa selesai.
Melihat kakaknya memperhatikan pertempur-an itu seperti
orang kehilangan semangat, si nona berkata dalam hatinya:
"Hm! Toako adalah seorang yang tergila-gila dengan ilmu
silat. Begitu lihat orang pie-bu, ia melupakan segala apa."
Sambil menepuk pundak Ouw Hui, ia berkata dengan suara
perlahan: "Kita sudah tak mempunyai banyak tempo lagi.
Paling benar kita coba keluar dari sini. Menurut pendapatku,
sebagai orang-orang gagah dari Rimba Persilatan, belum tentu
mereka mencelakakan kita dengan melaporkan kepada
pembesar ne-geri."
Ouw Hui menggelengkan kepala. "Urusan lain masih tidak
apa, tapi dalam urusan yang mengenakan Hok Thayswee,
mana bisa mereka tinggal diam saja?" katanya. "Dengan
mencelakakan kita, mereka mendapat kesempatan untuk
memperoleh pahala.
"Kalau begitu, untung-untungan di sini saja kita niengobati
Ma Kouwnio," kata pula Leng So. "Tapi celakanya, di siang
hari, bersembunyinya kita di tempat ini pasti diketahui orang."
Waktu meng-ucapkan kata-kata itu, nadanya bingung sekali.
Dalam keadaan terdesak, nona Thia yang cerdas dan tenang
jadi putus asa.
Tapi Ouw Hui hanya menyahut dengan "hm", sedang kedua
matanya tetap mengawasi kedua ang-gota Hoa-kun-bun yang
sedang bertanding di atas panggung. Leng So men
Kisah Sepasang Rajawali 30 Pendekar Kembar Karya Gan K L Kisah Para Pendekar Pulau Es 22
si tua. Wan Cie Ie tertawa. "Seorang gagah tulen Sudan jadi
seorang gagah sedari masih bayi," kata pula Wan Cie Ie.
"Dalam dunia terdapat manusia-ma-nusia, yang walaupun
tinggi ilrnu silatnya, tetap rendah jiwanya. Ciu Loosu, harap
kau jangan ma-rah. Aku bukan maksudkan kau."
Terhadap Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat, Wan Cie Ie
masih mempunyai rasa menghormat. Entah mengapa, ia sebal
sungguh melihat muka Ciu Tiat Ciauw yang parasnya agungagungan
dan oleh karenanya, ia terus mengejek tanpa
sungkan-sung-kan lagi.
Si tua yang belum pernah dihina begitu rupa, tentu saja
gusar bukan main, tapi, sebagai seorang yang tenang sifatnya,
ia hanya mengeluarkan suara di hidung dan tak mau balas
mencaci. Mendadak terdengar teriakan Ong Tiat Gok: "Budak
cilik! Berlakulah sedikit sopan kalau bicara dengan Toasukoku."
Si nona tidak meladeni karena tahu dia seorang polos. Ia
berpaling kepada Tiat Ciauw seraya berkata: "Keluarkanlah!"
"Keluarkan apa?" menegas si tua.
"Tong-eng Tiat-gan-pay," jawabnya.
Mendengar kata-kata "Tong-eng Tiat-gan-pay" (Pay Elang
tembaga Burung gan besi), walaupun tenang, Ciu Tiat Ciauw
tak bisa mempertahankan ketenangannya lagi. "Ah!" teriaknya
dengan kaget. "Bagaimana kau tahu urusan dalam partaiku?"
Ia mencopot sebuah kantong sulam yang digantung di
pinggangnya dan lalu menaruhnya di atas meja. "Tong-eng
Tiat-gan-pay berada di sini," katanya dengan suara
menyeramkan. "Ambil dulu jiwaku, baru kau boleh merampas
pay itu." "Coba keluarkan, aku mau lihat apa tulen atau palsu," kata
pula si nona. Dengan tangan bergemetaran Tiat Ciauw mem-buka
kantong itu dan mengeluarkan sebuah Kim-pay (papan yang
terbuat dari pada emas) yang panjangnya empat cun dan
lebarnya dua cun. Di atas pay itu terukir seekor elang
tembaga yang sedang membuka cakar dan seekor burung gan
(semacam belibis) yang terbang miring. Pay tersebut bukan
lain dari pada semacam cap kekuasaan Ciang-bunjin dari
partai Eng-jiauw-gan-heng-bun. Semua murid partai
memandang pay itu seperti juga Ciang-bunjin sendiri. Harus
diketahui, bahwa Eng-jiauw-gan-heng-bun adalah sebuah
partai besar dan dalam beberapa turunan mempunyai
Ciangbunjin yang berkepandaian sangat tinggi. Tapi begitu
sampai di jaman Ciu Tiat Ciauw, murid-murid Eng-jiauw-ganheng-
bun yang terutama pada menekuk lutut ke-pada
pemerintahan Boan dan menjadi kaki-tangan Kaisar Ceng.
Mereka hidup mewah dan ketulanui cara-cara kota Pakkhia
yang hanya memburu ke-senangan, sehingga tidaklah heran,
jika ilmu silat mereka berbeda jauh dengan para tetuanya di
jaman yang lampau. Belakangan, pada jaman Kaisar Keekeng,
barulah dalam partai itu muncul beberapa orang benarbenar
tinggi ilmunya dan sudah ber-hasil mengangkat naik
nama harumnya Eng-jiauw-gan-heng-bun. Tapi hal itu tiada
sangkut pautnya dengan cerita ini.
Sesudah mengawasi pay itu beberapa lama, barulah Wan
Cie le berkata: "Dilihat luarnya, memang pay tulen. Tapi aku
belum bisa memastikan."
Cara-cara si nona dalam mengejek dan meng-ganggu Ciu
Tiat Ciauw mempunyai sebab tertentu. Dalam melawan Ong
Kiam Eng, biarpun pada akhir-nya ia memperoleh
kemenangan, ia merasa sangat lelah dan Lweekangnya pun
berkurang banyak. Maka itu, ia sengaja mengeluarkan ejekanejekan,
pertama untuk membangkitkan kegusaran si tua dan
kedua untuk mengaso.
Ciu Tiat Ciauw adalah seorang yang berpengalaman luas
dan ia lantas saja bisa menebak maksud Wan Cie le. Maka itu,
seraya mengebas tangannya ia membentak: "Wan Kouwnio,
sudahlah! Jika kau benar-benar berani memberi pelajaran
padaku, marilah kita main-main di atas pendopo ini." Ham-pir
berbareng, ia mengenjot tubuh dan badannya lantas saja
melesat ke atas.
Harus diketahui, bahwa partai Eng-jiauw-gan-heng-bun
mengutamakan dua rupa kepandaian, yaitu Eng-jiauw Kin-na
(Menangkan dan menyeng-keram dengan menggunakan
tangan yang menyeru-pai cakar garuda) dan Gan-heng GinTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kang (Ilmu mengentengkan badan seperti seekor burung
belibis yang sedang terbang). Waktu melompat ke atas
genteng, Ciu Tiat Ciauw telah mengambil keputus-an untuk
membinasakan si nona dengan menggunakan kedua ilmu itu.
Menurut perhitungannya, dengan bertempur di atas atap yang
tinggi, bukan saja Wan Cie le tak akan dapat menggunakan
akal bulus. tapi Ouw Hui pun tak akan bisa membantunya.
Orang yang sebenarnya disegani si tua, bukan Wan Cie le, tapi
Ouw Hui yang selalu siap sedia untuk memberi bantuannya.
Tapi apa lacur, perhitungan Ciu Tiat Ciauw meleset jauh.
Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa Kin-na dan Gin-kang
justru merupakan ilmu terlihay dari nona Wan. Jika ia pernah
menyaksikan pertempuran di puncak tiang layar perahu antara
si nona dan Ya Kit, ia tentu tak akan mengajukan tantangan
itu. Melihat loncatan Ciu Tiat Ciauw, yang biarpun lincah dan
gesit tapi masih kalah jauh dari pada Wan Cie le, Ouw Hui
merasa lega. Mereka saling melirik
dan tersenyum. Untuk membesarkan hati lawan, si nona
sengaja tak mau memperlihatkan kepandaian-nya yang
istimewa. Dengan lompatan biasa, ia hing-gap di atas
genteng. "Sambutlah!" bentaknya seraya menyerang dengan
sepuluh jarinya yang menye-rupai cakar garuda.
Dalam Rimba Persilatan terdapat tiga rupa Jiauw-hoat (ilmu
yang menyerupai cakar atau kuku binatang), yaitu Liong-jiauw
(Kuku naga), Houw-jiauw (Kuku harimau) dan Eng-jiauw
(Cakar garuda). Dengan Liong-jiauw, empat jari dirapatkan
dan ditekuk ke dalam, sedang jempol dipentang dan juga
ditekuk ke dalam. Dengan Houw-jiauw, lima jari dipentang
dan agak ditekuk ke dalam. Dengan Eng-jiauw, empat jari
dirapatkan, jempol dipentang, jari kedua dan ketiga agak
ditekuk ke dalam. Dalam tiga rupa Jiauw-hoat itu, Liongjiauwlah
yang paling sukar dipelajari.
Melihat lawannya menyerang dengan ilmu silat Eng-jiauwgan-
heng-bun, Ciu Tiat Ciauw jadi gi-rang. "Jika kau
menggunakan ilmu yang aneh-aneh, mungkin aku agak jeri,
tapi kalau kau menggunakan ilmu Eng-jiauw-gan-heng-bun,
seperti juga kau cari mampus sendiri," katanya di dalam hati.
Memikir begitu, dengan hati girang ia segera menerjang Wan
Cie le dengan pukulan-pukulan Eng-jiauw-gan-heng-bun yang
paling hebat. Semua orang mendongak dan menonton per-tandingan itu
dengan hati berdebar-debar. Antara pertandinganpertandingan
yang sudah dilakukan pada malam itu,
pertandingan inilah yang paling menarik hati. Bagaikan dua
ekor burung raksasa, tubuh mereka berkelebat-kelebat di atas
genteng. Sesudah bertempur beberapa lama, hampir ber-bareng
dengan bentakan Wan Cie le, sambil ber-teriak keras Ciu Tiat
Ciauw melayang jatuh ke bawah.
Karena gerakan mereka cepat luar biasa, di antara
penonton hanya Ouw Hui dan Can Tiat Yo yang dapat melihat
sebab-sebab dari jatuhnya Tiat Ciauw. Ternyata, Wan Cie le
kembali menggunakan Hun-kin co-kut-chiu dan mencopotkan
tulang kedua betis lawannya dari sambungan di lutut. Maka
itu, kecuali Ouw Hui dan Can Tiat Yo, yang lainnya merasa
heran sebab begitu jatuh, Ciu Tiat Ciauw tak bisa bangun lagi.
Mereka heran karena atap pendopo tidak seberapa tinggi dan
si tua pun memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat
lihay, sehingga biarpun kalah, tak bisa jadi dia roboh untuk tak
bangun lagi. Ong Tiat Gok yang sangat mencintai Toasu-hengnya jadi
kaget bukan main. "Suko!" teriaknya sambil memburu dan
membangunkannya. Tapi ten-tu saja sang kakak tak bisa
berdiri tegak, begitu dibangunkan, begitu dia roboh kembali.
"Tolol!" Can Tiat Yo mencaci Suteenya seraya lari
menghampiri. Ia adalah seorang tokoh terke-muka dalam Engjiauw-
gan-heng-bun, tapi ia tak mengerti ilmu Ciap-kut
(Menyambung tulang). Maka itu, buru-buru ia mendukung
kakak seperguruannya dan lalu memutar badan untuk
meninggalkan taman itu.
"Ambil dulu Eng-gan-pay!" bentak Tiat Ciauw.
Can Tiat Yo tersadar, buru-buru ia kembali ke pendopo dan
mengangsurkan tangannya untuk meng-ambil Kim-pay yang
terletak di atas meja. Tapi, pada
sebelum menyentuh papan emas itu, mendadak ia
merasakan kesiuran angin dan berbareng dengan
berkelebatnya bayangan manusia, seorang lain su-dah
mendului menjemput Kim-pay itu. "Tak tahu malu!" bentak
orang itu yang bukan lain dari pada Wan Cie Ie. "Sesudah
kalah, apa kau mau melanggar janji?"
Can Tiat Yo kaget bereampur gusar. Ia tak tahu tindakan
apa yang harus diambilnya. Apa ia harus segera bertempur
dengan Wan Cie Ie" Apa ia harus lebih dulu mencari orang
untuk memulihkan tulang suhengnya yang telah copot"
Selagi ia kebingungan, Ouw Hui menghampiri seraya
berkata dengan suara ramah tamah: "Tulang kedua betis Ciuheng
telah copot dan jika tidak segera dipulihkan, aku
khawatir urat-uratnya akan menjadi rusak." Sehabis berkata
begitu, tanpa menunggu jawaban, ia segera mencekal betis
kiri Ciu Tiat Ciauw dengan kedua tangannya dan dengan sekali
membetot dan mendorong, tulang itu pulih ke tempatnya. Di
lain saat, ia pun sudah memulihkan tulang betis kanan.
Sesudah itu, ia mengurut-urut jalanan darah di pinggang Ciu
Tiat Ciauw, sehingga rasa sakitnya lantas saja berkurang
banyak. Sesudah menolong si tua, sambil tertawa Ouw Hui
mengangsurkan tangannya ke arah Wan Cie Ie. "Wan
Kouwnio," katanya. "Tong-eng Tiat-gan-pay bukan barang
mainan yang menarik hati. Menurut pendapatku, lebih baik
kau membayarnya kepada Ciu Toako."
Mendengar kata-kata "bukan barang mainan yang menarik
hati", si nona tertawa dan lalu men-truh Kim-pay itu di
telapakan tangan Ouw Hui.
Dengan kedua tangan dan dengan sikap meng-hormat,
Ouw Hui mengangsurkan Tong-eng Tiat-gan-pay kepada Ciu
Tiat Ciauw yang lalu men-jemputnya seraya berkata:
"Sebegitu lama aku si orang she Ciu masih mempunyai napas,
satu hari aku tentu akan membalas kebaikan Jie-wie."
Sesudah melirik Wan Cie Ie dan Ouw Hui, dengan dipayang
oleh Can Tiat Yo, ia segera meninggalkan gedung itu. Waktu
melirik si nona, sorot matanya penuh dengan rasa sakit hati,
tapi selagi melirik Ouw Hui, sorot mata itu mengunjuk rasa
terima kasih. Wan Cie Ie tidak menghiraukannya dan sesudah menjebik,
ia lalu berkata kepada Tie Hong: "Tie Toaya, kau mempunyai
kedudukan sebagai separuh Ciangbunjin. Bagaimana" Apa kau
mau menjajal kepandaianku?"
Sesudah menyaksikan kelihayan si nona, Tie Hong ternyata
cukup tahu diri. Sambil merangkap kedua tangannya, ia
menjawab: "Partaiku Lui-tian-bun berada di bawah pimpinan
suhu. Seorang yang berkepandaian seperti aku, mana berani
mengang-gap diri sebagai Ciangbunjin. Jika Kouwnio ingin
memberi pelajaran, paling baik Kouwnio datang berkunjung ke
Say-pak dan guruku pasti akan menerimanya dengan girang
hati." Wan Cie Ie tertawa dan tidak mendesak ter-lebih jauh. Di
lain saat ia mengebas tangan kirinya seraya menanya: "Siapa
lagi yang ingin memberi pelajaran kepadaku?"
Tantangan itu tidak mendapat sambutan. Dengan rasa
mendongkol, malu dan heran, karena tak tahu dari mana
datangnya si nona galak, In Tiong
Shiang dan yang Iain-lain lalu memberi hormat kepada
Ouw Hui dan meminta diri. Dengan manis budi pemuda itu
lalu mengantarkan semua tamunya sampai di pintu depan.
Ketika ia kembali di taman bunga, sekonyong-konyong
terdengar menggelegarnya geledek. Ia men-dongak dan
melihat awan hitam yang berterbangan dan menutupi bulan.
"Jie-moay," katanya seraya berpaling kepada Thia Leng So.
"Mari kita be-rangkat sekarang."
"Ke mana kalian mau pergi di tengah malam buta ini?"
tanya Cie Ie. "Sebentar lagi pasti akan turun hujan." Baru saja
ia berkata begitu, butiran-butiran hujan sudah mulai turun.
"Ditimpa hujan banyak lebih baik dari pada meneduh di
bawah rumahnya satu penjahat besar," kata Ouw Hui dengan
suara gusar. Sehabis berkata begitu, tanpa memperdulikan
Wan Cie Ie, ia lalu berjalan ke luar dengan diikuti oleh Leng
So. Wan Cie Ie mengejar. "Bangsat Hong Jin Eng memang
lebih dari pantas dibunuh mati," katanya. "Aku menyesal
belum bisa membacoknya beberapa kali dengan tanganku
sendiri." Ouw Hui menghentikan tindakannya dan sam-bil
menengok, ia membentak: "Huh! Tak malukah kau
mengeluarkan perkataan itu?"
"Sakit hatiku terhadap Hong Jin Eng lebih hebat seratus kali
dari pada kau!" kata si nona. Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata pula seraya mengertak gigi: "Kau membenci
dia baru beberapa bulan saja. Tapi aku! Aku sakit hati seumur
hidup!" Kata-kata yang belakangan itu diucapkannya dengan
suara parau. Ouw Hui jadi heran tak kepalang. "Kalau begitu, mengapa
kau berulang kali sudah menolong jiwanya?" tanyanya.
"Sudah tiga kali," kata si nona. "Tak akan ke-empat kali."
"Benar, sudah tiga kali," kata Ouw Hui. "Tapi, aku sungguh
tak mengerti."
Selagi mereka bicara, hujan sudah turun seperti dituangtuang
sehingga pakaian mereka basah semua. "Apakah kau
ingin mendengar ceritaku yang panjang-lebar di bawah
hujan?" tanya Cie Ie. "Kau sendiri memang tak takut hujan,
tapi apa kau kira badan wanita yang lemah juga seperti
badanmu?" "Baiklah," kata Ouw Hui. "Mari kita balik."
Mereka lalu masuk ke kamar buku dan kacung yang
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertugas segera menyalakan lilin dan mem-bawa teh. Kamar
itu yang terawat baik, dengan perabotannya yang mahal dan
pajangannya yang indah, menimbulkan suasana yang sangat
menye-nangkan. Di tembok sebelah timur terdapat sebuah rak
buku dengan buku-bukunya yang berharga mahal, sedang dari
tirai jendela di sebelah barat, ter-lihat bayangan pohon
bambu, dari mana berkesiur masuk wanginya bunga Kuihoa.
Di tembok sebelah selatan tergantung sebuah lukisan dan
sepasang tuilian dengan huruf-hurufnya yang sangat indah.
Tapi Ouw Hui yang sedang memikirkan kata-kata Wan Cie
Ie yang aneh, tidak memperdulikan keindahan itu. Untuk
sementara, mereka duduk termenung-menung sambil
mendengarkan jatuhnya hujan di daun bambu dan di atas
genteng. Semenjak kecil Ouw Hui berkelana di dunia Kangouw
dan inilah untuk pertama kali ia duduk dalam sebuah
kamar yang sangat indah, dengan dikawani oleh dua gadis
cantik jelita. Sesudah lewat beberapa lama, sambil meng-awasi tetesan
hujan di luar jendela, Wan Cie Ie berkata dengan suara
perlahan: "Pada sembilan belas tahun berselang, pada malam
itu, di propinsi Kwitang, kota Hud-san-tin, juga turun hujan.
Seorang wanita muda, yang mendukung bayi perem-puan,
berlari-lari di tengah jalan tanpa memper-dulikan hujan besar.
la tak tahu harus menuju ke mana, ia telah didesak orang
sampai di jalanan buntu. Orang-orang yang dicintainya telah
dibunuh. Ia sendiri telah mendapat hinaan yang hebat,
sehingga jika tak ingat bayi yang sedang didukungnya, ia
tentu sudah membunuh diri dengan melompat ke dalam
sungai." "Wanita muda itu seorang she Wan, namanya Gin Hoa.
Nama itu adalah nama seorang desa, karena ia memang
seorang perempuan desa. Walau-pun mukanya agak kehitamhitaman,
ia cantik sekali, sehingga pemuda-pemuda Hud-santin
men-julukinya sebagai 'Hek-bo-tan' (bunga Bo-tan hi-tam).
Keluarganya adalah keluarga nelayan. Setiap pagi, dari desa ia
memikul ikan ke pasar ikan di Hud-san-tin."
"Pada suatu hari, seorang hartawan di Hud-san-tin, Hong
Jin Eng namanya, mengadakan pesta. Ia membawa sepikul
ikan ke gedung keluarga Hong untuk dijualnya. Orang kata,
angin dan awan bisa muncul mendadak di langit,
keberuntungan atau kecelakaan bisa datang tiba-tiba kepada
manusia. Demikianlah, karena gara-gara mencari sesuap nasi,
nona itu secara kebetulan telah dilihat Hong Jin Eng."
"Manusia she Hong sudah banyak istri dan selirnya. Tapi
dia tak pernah merasa cukup. Tanpa ampun lagi, ia melanggar
kehormatan si nona pen-jual ikan. Gin Hoa ketakutan
setengah mati dan tanpa mengambil uang penjualan ikan, ia
lari pulang."
"Di luar dugaan, karena perbuatan manusia kejam itu, Gin
Hoa jadi hamil. Ayahnya tentu saja marah besar dan sesudah
tahu duduknya persoalan, ia segera pergi ke gedung keluarga
Hong untuk herurusan. Tapi dalam menghadapi seorang yang
tidak berdaya, Hong Looya kembali memperlihat-kan
kekejamannya. Ia perintah kaki tangannya menghajar orang
tua itu dengan mengatakan, bah-wa si nelayan telah menuduh
secara membabi buta. Dapatlah dibayangkan bagaimana besar
kedukaan dan penasarannya orang tua itu. Ia sakit mereras
dan beberapa bulan berselang, ia meninggal dunia dengan
penuh penderitaan."
"Paman-paman Gin Hoa lalu menumplek segala kesalahan
di atas kepala wanita yang malang itu. Ia dikatakan menjadi
gara-gara dari kebinasaan ayahnya. Ia dilarang berkabung dan
dilarang bersem-bahyang di depan peti mati ayahnya. Pamanpaman
itu malahan mengancam akan memasukkannya ke
dalam selongsong babi dan melemparkannya ke dalam
sungai." "Malam-malam Gin Hoa lari ke Hud-san-tin dan sesudah
hidup menderita beberapa bulan, ia melahirkan satu bayi
perempuan. Karena tiada lain jalan, ia terpaksa mengemis
untuk melewati hari. Orang-orang yang tahu riwayat ibu dan
anak itu, merasa kasihan dan banyak juga yang memberi uang,
beras atau makanan. Mereka kasak-kusuk membicarakan
kekejaman si orang she Hong, tapi sebab tidak bertenaga, tak
satu pun yang berani tampil ke muka untuk menuntut
keadilan."
"Pada waktu itu, di pasar ikan terdapat seorang pegawai
yang mengenal Gin Hoa dan yang diam-diam semenjak lama
sudah mencintainya. la lalu minta seorang sahabat untuk
bicara dengan Gin Hoa. Jika nyonya itu setuju, ia ingin
mengambilnya sebagai istri dan bersedia untuk mengakui anak
itu sebagai anaknya sendiri. Gin Hoa jadi girang dan tak lama
kemudian, mereka merayakan pernikahan mereka."
"Tapi lain bencana kembali datang. Kaki tangan si orang
she Hong yang tahu hal itu, segera melaporkan kepada
majikan mereka. Hong Looya jadi gusar karena menganggap
si pegawai pasar ikan kurang ajar sekali, sudah berani
mengambil wanita bekas korbannya sebagai istri. Ia segera
memerintahkan belasan muridnya mengacau di pesta
pernikahan. Tetamu yang sedang minum arak digebuk dan
diusir, semua perabotan pengantin dihancur-kan, sedang
pengantin lelaki diusir ke luar dan tidak diperbolehkan masuk
lagi ke wilayah Hud-san-tin....M
"Brak!" Ouw Hui menepuk meja sehingga api lilin
bergoyang-goyang. "Binatang! Sungguh jahat manusia she
Hong itu!" teriaknya bagaikan kalap.
Wan Cie Ie menunduk dan kemudian meman-dang ke luar
jendela, mengawasi sang hujan yang masih terus turun
dengan derasnya. Sesudah ter-menung-menung beberapa
saat, ia menghela napas dan berkata pula: "Sesudah
meloloskan pakaian pengantin, sambil mendukung anaknya,
Gin Hoa lalu melarikan diri dari Hud-san-tin. Malam itu turun
hujan besar seperti malam ini. Ia jatuh bangun di jalanan
yang licin, tapi dengan kuatkan hati, ia lari terus... lari terus....
Tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh yang menggeletak di
pinggir jalan. Ia men-duga, bahwa orang itu adalah seorang
pemabukan dan buru-buru ia menghampiri untuk
membangun-kannya. Tapi begitu ia membungkuk, kagetnya
seperti disambar halilintar. Orang itu yang berlumur-an darah
dan sudah mati, adalah suaminya sendiri, si pegawai pasar
ikan. Ia sudah dicegat dan di-binasakan oleh kaki tangan Hong
Looya yang menunggu di luar Hud-san-tin."
"Kedukaan Gin Hoa pada waktu itu tak dapat dilukiskan
dengan kata-kata lagi. Dengan meng-gunakan sisa tenaganya,
ia menggali tanah dengan tangannya dan lalu mengubur sang
suami yang ber-nasib malang itu. Ketika itu ia sudah nekat,
hampir-hampir ia membuang diri ke dalam sungai. Hanyalah si
bayi yang menangis karena kedinginan, yang sudah
mengurungkan niatan nekatnya itu. Sesudah memikir bolakbalik,
sambil menggigit bibir, ia ber-jalan lagi dengan memeluk
erat-erat bayinya itu."
Mendengar sampai di situ, air mata Leng So mengalir turun
di kedua pipinya. "Wan Ciecie." katanya dengan suara terharu.
"Habis bagaimana?"
Wan Cie Ie menyusut air matanya dengan sapu tangan dan
kemudian berkata sambil tersenyum: "Kau memanggil aku
Ciecie" Kalau begitu, sebagai adik, kau harus memberi obat
pemunah!" Muka Leng So yang tadinya pucat lantas saja berubah
merah. "Kau sudah tahu?" katanya dengan suara perlahan. la
mengambil secangkir teh dan kemudian dari kukunya ia
mementil sedikit bubuk warna kuning ke dalam air teh.
"Thia Moay-moay, hatimu cukup baik," kata Cie Ie. "Kau
sudah menyediakan obat pemunah di kuku-mu dan ingin
memberikannya tanpa diketahui aku." Ia mengangkat cangkir
itu dan lalu meminumnya.
"Racun yang digunakan bukan racun yang membinasakan,"
menerangkan Leng So. "Tanpa obat pemunah,
Ciecie hanya akan mendapat sakit untuk beberapa bulan.
Dengan memberi racun itu, aku hanya ingin mencegah
pertolonganmu terhadap Hong Jin Eng."
Wan Cie Ie tertawa tawar. "Siang-siang aku sudah tahu,
bahwa aku kena racun," katanya. "Aku hanya tak tahu
bagaimana kau melepaskannya. Sedan masuk ke sini, belum
pernah kuminum atau makan apa pun juga."
"Selagi kau dan Ouw Toako bertempur di luar tembok,
bukankah aku telah melemparkan seba-tang golok kepada
Ouw Toako?" tanya Leng So. "Di golok itu terdapat sedikit
bubuk racun, sehingga pecut dan tanganmu juga terkena
racun. Golok dan Joan-pian itu harus dicuci sampai bersih."
Mendengar keterangan itu, Cie Ie dan Ouw Hui saling
mengawasi dengan perasaan kagum. Racun yang dilepaskan
cara begitu, pasti tak akan dielak-kan oleh siapa pun juga.
"Kalau begitu," kata Ouw Hui. "Hong Jin Eng adalah...
adalah..."
"Benar," jawabnya. "Gin Hoa adalah ibuku, Hong Jin Eng
ayahku. Biarpun dia kejam luar biasa dan telah mencelakakan
kami, ibu dan anak, guruku pernah mengatakan, bahwa 'tanpa
ayah dan ibu, seorang manusia tentu tak akan jadi manusia.'
Wak-tu aku berpamitan dengan Suhu untuk menjelajah ke
wilayah Tionggoan, beliau memesan begini: 'Ayahmu telah
melakukan banyak sekali kejahatan dan dia pasti akan
mendapat nasib yang hebat. Kau boleh menolong jiwanya tiga
kali untuk menunaikan tugas sebagai anak. Sesudah itu, kau
boleh meng-ambil jalananmu dan dia mengambil jalanannya
sendiri. Mulai waktu itu, kau dan dia sudah tiada sangkut
pautnya lagi.' Ouw Toako, di Hud-san-tin, di kuil Pak-tee-bio,
aku menolong dia untuk per-tama kali. Malam itu, di dalam bio
rusak, aku kembali menolong jiwanya. Dan malam ini, aku
menolongnya untuk ketiga kali. Di lain kali, jika aku bertemu
dengannya, akulah yang akan turun tangan untuk membalas
sakit hati ibu." Sesudah berkata begitu, ia mengawasi ke luar
jendela dengan paras muka pucat dan mata berkilat-kilat.
"Apakah ibumu masih hidup?" tanya Leng So.
"Dari Hud-san-tin ibu menuju ke utara sambil mengemis di
sepanjang jalan," kata Cie Ie. "Tujuan-nya adalah
menyingkirkan diri dari kota itu sejauh mungkin dan jangan
bertemu muka lagi dengan Hong looya. Beberapa bulan ia
berkeliaran di sepanjang jalan sampai akhirnya ia tiba di kota
Lam-ciang, propinsi Kangsay. Di kota itu ia menjadi bujang di
rumah seorang she Tong...."
"Ah!" Ouw Hui memutus perkataannya. "K-eluarga Tong di
kota Lameiang" Apa keluarga itu masih terkena famili dengan
Kam-lim-hui-cit-seng (Hujan besar memberkahi tujuh propinsi)
Tong Tayhiap?"
Mendengar pertanyaan Ouw Hui, bibir si nona kelihatan
bergemetar. "Ibuku telah meninggal dunia di gedung... Tong
Tayhiap," jawabnya. "Tiga hari sesudah ibu meninggal dunia,
Suhu membawaku ke Huikiang dan delapan belas tahun
kemudian, baru-lah aku memasuki lagi wilayah Tionggoan."
"Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama yang
mulia dari gurumu?" tanya Ouw Hui. "Kau mahir segala rupa
ilmu dan gurumu pastilah seorang luar biasa pada jaman ini.
Walaupun Biauw Tayhiap yang bergelar Tah-pian Thian-hee
Bu-tek-chiu, belum tentu mempunyai kepandaian yang begitu
tinggi." "Aku harap Toako sudi memaafkan," jawab si nona. "Aku
tak berani memberitahukan she dan nama Suhu karena beliau
belum mengijinkannya. Nama 'Cie Ie' juga bukan namaku
yang asli. Di kemudian hari, Ouw Toako dan Thia Moay-moay
tentu akan tahu namaku yang sebenarnya. Nama Biauw
Tayhiap yang cemerlang juga telah didengar kami di Huikiang.
Bu-tim Tootiang dari Ang-hoa-hwee pernah ingin datang ke
Tiong-goan untuk menjajal kepandaian Biauw Tayhiap. Tapi
Tio Poan San Samsiok...." Berkata sampai di situ, ia berhenti
sejenak dan melirik Ouw Hui sambil tersenyum. karena dalam
hal ini, Ouw Hui kembali berada di pihak menang.
(Sebagaimana diketahui, Ouw Hui mengangkat saudara
dengan Tio Poan San, sedang Wan Cie Ie memanggil "paman"
pada pendekar itu, sehingga kedudukan Ouw Hui lebih tinggi
setingkat dari pada si nona). Sehabis tersenyum, ia lalu
melanjutkan penuturannya: "Tio Poan San (ia tidak
menggunakan istilah "Samsiok" lagi) mengatakan, bahwa
dalam hal ini tentu mesti ada latar belakang-nya. Sepanjang
keterangan, Biauw Tayhiap meng-gunakan gelaran itu bukan
karena ingin menga-gulkan diri, tapi sebab ingin membalas
sakit hati ayahnya. Dengan gelaran itu, ia ingin memancing
seorang ahli silat yang menyembunyikan diri di Liaotong.
Belakangan dalam kalangan Kang-ouw tersiar warta, bahwa
Biauw Tayhiap sudah berhasil membalas sakit hati ayahnya
dan bahwa di hadapan umum beberapa kali ia pernah
mengumumkan, bahwa ia tak berani menggunakan gelaran itu
lagi. Gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu sungguh
memalukan', demikian ia katanya pernah mengata-kan 'Ilmu
silat Tayhiap Ouw It To banyak lebih tinggi dari padaku'."
Mendengar disebutkannya nama "Ouw It To", jantung Ouw
Hui lantas saja memukul keras. "Apa benar Biauw Tayhiap
pernah mengucapkan kata-kata itu?" menegasnya.
"Tentu saja aku tidak mendengar dengan ku-ping sendiri,"
jawabnya. "Ceritera itu dituturkan oleh Tio... Tio Poan San.
Bu-tim Tootiang yang darahnya panas, lantas saja ingin
mencari Ouw Tayhiap untuk menjajal kepandaian. Tapi
belakangan, karena tak tahu di mana tempatnya, ia terpaksa
mengurungkan niatannya, ia telah bertemu dengan-mu.
Sekembalinya di Huikiang, ia memuji kau setinggi langit.
Waktu itu aku masih kecil dan tidak mengerti apa yang
dibicarakan mereka. Kali ini, waktu siauwmoay mau berangkat
ke timur, Bun Sie-ie (Bibi Bun) telah memerintahkan aku
menunggang kuda putihnya. Ia memesan, bahwa jika aku
bertemu dengan pemuda gagah she Ouw itu, biarlah aku
menyerahkan kuda putih itu sebagai hadiah."
"Siapa itu Bun Sie-ie?" tanya Ouw Hui dengan heran. "Ia
belum pernah mengenalkan. Mengapa ia memberi hadiah
yang begitu besar harganya?"
"Bun Sie-ie adalah seorang yang mempunyai nama besar
dalam Rimba Persilatan," jawabnya. "Ia adalah isteri Pun-luichiu
(si Tangan geledek) Bun Tay Lay Siesiok. Ia she Lok
bernama Peng dan bergelar Wan-yo-to. Mendengar penuturan
Tio Poan San tentang sepak terjangmu di Siang-kee-po dan
tentang rasa kagummu terhadap kuda putih itu, ia lantas saja
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata: 'Samsiok, mengapa kau tidak menghadiahkan kuda
itu kepadanya. Apa kau rasa Tio Samsiok bisa bersahabat
dengan pemuda itu, aku tak bisa"'"
Sekarang Ouw Hui baru mengerti, mengapa pada hari itu,
di rumah penginapan, Wan Cie le telah meninggalkan si putih
dengan tulisan "kuda kembali kepada majikannya". Ia merasa
berterima kasih dan kagum bukan main terhadap nyonya
gagah itu, yang tanpa mengenal dirinya dan hanya
berdasarkan cerita orang, sudah menghadiahkan seekor kuda
mustika yang tak dapat dibeli dengan laksaan tahil emas.
"Sesudah urusan di sini beres, aku ingin sekali pergi ke
Huikiang untuk menemui Tio Samko dan Iain-lain Cianpwee,"
katanya. "Tak usah, mereka sendiri mau datang ke mari," kata si
nona. Ouw Hui girang tak kepalang, ia bangun berdiri sambil
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Leng So yang mengenal adat kakaknya, lantas
saja berkata: "Tunggu, aku ambil arak." la keluar dan
memerintahkan si kacung mengambil tujuh-delapan gendul
arak. Tanpa sungkan-sungkan lagi Ouw Hui lalu menenggak
habis dua gendul arak. "Kapan Tio Samko dan yang Iain-lain
datang ke mari?" tanyanya.
Paras muka Wan Cie Ie lantas saja berubah sungguhsungguh.
"Ouw Toako," katanya. "Empat hari lagi hari raya
Tiongchiu dan had pembukaan perhimpunan para Ciangbunjin.
Perhimpunan itu dipanggil oleh Hok Thayswee. la adalah
seorang yang berkedudukan sangat tinggi, seorang Thay-cu
Thay-po merangkap Peng-po Siang-sie yang meme-gang
kekuasaan atas bala tentara. Tapi mengapa ia rela bergaul
dengan orang-orang dari Kang-ouw?"
"Aku pun sudah memikir persoalan itu," kata Ouw Hui.
"Menurut pendapatku, tujuannya yang terutama adalah
mengumpulkan orang-orang gagah di seluruh negara supaya
bisa dijadikan kaki tangan bangsa Boan. Tindakannya itu tidak
berbeda dengan ujian untuk para sasterawan."
"Benar," kata si nona. "Dulu pada jaman ke-rajaan Tong,
waktu kaisar Tong-thay-cong meng-adakan ujian ilmu surat,
bagaikan kawanan ikan para sasterawan berduyun-duyun
datang di kota raja. Menurut sejarah, kaisar itu pernah
mengata-kan: 'Aha! Orang-orang pandai di seluruh negara
sekarang sudah masuk ke dalam tanganku'. Dihim-punkannya
pertemuan para Ciangbunjin memang bertujuan untuk
mengumpulkan orang-orang gagah di seluruh Tiongkok. Akan
tetapi, dalam pada itu bersembunyi juga lain latar belakang,
yang dike-tahui oleh orang luar. Dulu, Hok Thayswee pernah
dibekuk oleh Tio Poan San, Bun Siesiok, Bu-tim Tootiang dan
yang Iain-lain, sehingga sakit hatinya masih didendam sampai
sekarang. Apa kau pernah mendengar peristiwa itu?"
Ouw Hui jadi terlebih girang lagi dan dengan beruntun ia
menghirup dua cawan arak.
"Bagus! Bagus!" teriaknya. "Belum, aku belum pernah
mendengar cerita itu. Bu-tim Tootiang, Bun Sie-ya dan yang
Iain-lain sungguh luar biasa. Benar-benar mengagumkan!"
Wan Cie Ie tersenyum seraya berkata: "Orang dulu minum
arak sambil membaca kitab, tapi kau minum sambil
membicarakan orang-orang gagah. Jika mendengar cerita
sepak terjang Bun Sie-ya dan kawan-kawannya, biarpun kau
bisa minum seribu cawan, pada akhirnya kau akan mabuk tiga
hari dan tiga malam."
"Hayolah!" kata Ouw Hui seraya menghirup secawan arak.
"Hayolah ceritakan."
"Cerita itu sangat panjang, tak mungkin selesai dalam
tempo pendek," kata si nona. "Ringkasnya adalah begini: Bun
Siesiok dan para Cianpwee mengetahui, bahwa Hok Thayswee
sangat disayang oleh Kaisar Kian-liong. Maka mereka sudah
mem-bekuk Hok Kong An dan berhasil mendesak kaisar untuk
mendirikan lagi kuil Siauw-lim-sie yang di-bakar dan berjanji
akan tidak mencelakakan orang-orang gagah kawan-kawan
Sie-ya yang tersebar di berbagai tempat. Sesudah kaisar
memberi janji, barulah mereka melepaskan Hok Thayswee."
(Menurut ceritera, Hok Kong An adalah puteranya Kaisar Kianliong).
Ouw Hui menepuk kedua lututnya. "Kalau begitu, Hok Kong
An mengumpulkan orang-orang gagah untuk menyeterukan
Bun Sie-ya dan kawan-kawannya," katanya.
"Benar, kau sudah menebak jitu sebagian besar dari
persoalan ini," kata Wan Cie le. "Hok Kong An sudah
menduga, bahwa Bun Siesiokdan Iain-lain Cian-pwee akan
datang berkunjung ke Pakkhia. Sesudah mendapat pelajaran
getir pada sepuluh tahun berselang, ia insyaf, bahwa
tentaranya yang berjumlah laksaan jiwa, sedikit pun tak
berguna dalam menghadapi orang-orang gagah Rimba
Persilatan."
Ouw Hui tertawa terbahak-bahaksambil mene-puk-nepuk
tangan. "Sekarang baru terang bagiku," katanya. "Kau
merebut kedudukan Ciangbunjin untuk mematahkan semangat
musuh." "Guruku dan Bun Siesiok mempunyai perhu-hungan yang
sangat erat," menerangkan si nona. Tapi kunjunganku ke
Tionggoan adalah untuk urusan pribadi. Lebih dulu aku datang
di Hud-san-tin untuk melihat cecongor Hong Jin Eng. Secara
kebetulan, di kota itu aku sudah mendapat kesem-patan untuk
menolong jiwanya dan mendengar juga berita tentang
perhimpunan para Ciangbunjin. Oleh karena urusanku masih
belum selesai, tak dapat aku kembali ke Hui-kiang untuk
menyampaikan warta. Maka itu, tanpa perduli akan ditertawai
Ouw Toako, dari selatan aku terus menguntit sampai di utara
dan di sepanjang jalan, aku menggunakan setiap kesempatan
untuk mengacau rencana Hok Kong An, supaya pembesar itu
insyaf, bahwa cita-citanya tak gampang-gampang bisa
terwujud."
Mendengar penuturan itu, dalam otak Ouw Hui berkelebat
satu pendapat. Mungkin sekali, sebab Tio Poan San
memujinya terlalu tinggi, Wan Cie le jadi penasaran dan telah
menjajal-jajal kepandaian-nya. Mengingat begitu, sambil
tersenyum ia berkata: "Di samping itu, supaya Tio Poan San
dan yang Iain-lain tahu, bahwa pemuda she Ouw itu belum
tentu mempunyai kepandaian berarti."
Mendengar sindiran halus, Wan Cie le tertawa terpingkalpingkal.
"Dari Kwitang kita telah meng-adu ilmu sampai di
Pakkhia dan belum pernah aku berada di atas angin," katanya.
"Ouw Toako, apa kau tahu apa yang akan kukatakan jika aku
bertemu lagi dengan Tio Poan San?"
Ouw Hui menggelengkan kepala. "Tak tahu," jawabnya.
Si nona tersenyum. "Aku akan bilang begini: 'Tio Samsiok,
adik angkatmu benar-benar enghiong tulen!"'
Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. Ia tak
menduga, bahwa si jelita yang saban-saban menyukarkannya,
tiba-tiba memuji dirinya. Dalam perjalanan ribuan li, dari
Kwitang sampai di Pakkhia, paras si nona selalu terbayangbayang
di depan matanya. Tapi karena si nona telah menggagalkan
usahanya untuk membinasakan Hong Jin Eng, maka
dalam hatinya terdapat juga rasa men-dongkol. Tapi malam
ini, sesudah tahu latar be-lakang dari sepak terjangnya Wan
Cie le, semua ganjelan lantas saja hilang seperti tertiup angin.
Demikianlah, dalam keadaan setengah mabuk karena
pengaruh arak, ia juga setengah mabuk karena pengaruh
kecantikan. Ketika itu, hujan sudah berhenti dan lilin pun sudah hampir
terbakar habis. Sesudah menghirup lagi semangkok arak, Ouw
Hui berkata: "Wan Kouwnio, tadi kau mengatakan, bahwa kau
masih mempunyai sedikit urusan pribadi yang belum dibereskan.
Apakah aku bisa memberi bantuan?"
"Terima kasih," jawabnya. "Dalam hal itu, aku merasa tak
perlu merepotkan kau." Melihat paras Ouw Hui yang
mengunjuk rasa kecewa, buru-buru ia menambahkan: "Jika
aku tak dapat menyelesai-kan sendiri, aku pasti akan meminta
pertolonganmu dan Thia Moay-moay. Ouw Toako, empat hari
lagi bakal dibuka pertemuan para Ciangbunjin. Bukan-kah
menggembirakan sekali, jika kita bertiga mengacau balau
pertemuan itu" Sam-eng Lo-Pakkhia. (Tiga jago mengacau
Pakkhia). Sungguh bagus!"
Semangat Ouw Hui lantas saja terbangun. "Bagus! Bagus!"
teriaknya. "Jika kita tak mampu mengacau pertemuan itu,
guna apa Tio Samko, Bun Sie-ya dan Bun Sie-nay-nay
bersahabat denganku, si bocah cilik?"
Sampai di situ, Leng So yang sedari tadi tak pernah
membuka suara, lantas saja menyeletuk: "Kurasa Song-eng
Lo-Pakkhia (Dua jago mengacau Pakkhia) sudah lebih dari
pada cukup. Perlu apa menyeret-nyeretku, seorang yang tak
punya guna?" Wan Cie le merangkul pundak Leng So dan
berkata seraya tertawa: "Thia Moay-moay, jangan kau berkata
begitu. Kepandaianmu adalah sepuluh kali lipat lebih tinggi
dari pada aku."
Leng So tidak menjawab, tapi lalu merogoh saku dan
mengeluarkan Giok-Hiong. "Wan Ciecie," katanya. "Salah
mengerti antara kau dan Toakoku sudah menjadi beres,
sehingga Giok-hong ini lebih baik dipegang olehmu. Jika tak
begitu, mungkin sekali dua ekor Hong- hong semuanya
diberikan kepada Toakoku."
Wan Cie le terkejut. "Jika tak begitu, mungkin sekali dua
ekor Hong-hong semuanya diberikan kepada Toakoku," ia
mengulangi dengan suara per-lahan.
Dalam mengatakan kata-katanya yang paling belakang,
Leng So sebenarnya tak menggenggam maksud tertentu.
Secara jujur ia mengakui, bahwa baik dalam kecantikan
maupun kepandaian, Wan Cie le termasuk golongan kelas
satu. Di sepanjang jalan, dari Ouw Hui ia telah mendengar
banyak cerita mengenai nona itu dan sebelum bertemu muka,
ia sudah merasa kagum. Hanyalah karena sepak terjangnya
Wan Cie le yang beberapa kali merintangi usaha Ouw Hui,
maka dalam kekaguman itu, ia juga merasa sedikit
mendongkol. Tapi seka-rang, sesudah segala apa menjadi
terang, ada apa lagi yang dapat menghalangi perhubungan
mereka" Tapi begitu mendengar Wan Cie le mengulangi
perkataannya, ia lantas saja mendusin, bahwa kata-katanya
yang barusan pada hakekatnya menggenggam dua artian.
Kata-kata "dua ekor Hong-hong diberikan kepada Toakoku,"
seolah-olah berarti "dua orang wanita menikah dengan satu
suami". Kedua pipi Leng So lantas saja bersemu dadu. "Tidak...
tidak... aku bukan maksudkan begitu," katanya dengan gugup.
"Bukan dimaksudkan begitu?" menegas Cie le.
Leng So tak dapat memberi penjelasan, ia jadi semakin
kemalu-maluan, sehingga air matanya ham-pir-hampir
mengalir ke luar.
"Thia Moay-moay," kata nona Wan. "Mengapa tadi kau
tidak menaruh racun yang membinasakan di golokmu?"
Dengan air mata berlinang-linang, Leng So menjawab:
"Biarpun aku murid Tok-chiu Yo-ong, selama hidupku belum
pernah aku mengambil jiwa manusia. Apakah aku boleh
sembarangan mengambil jiwamu" Apa pula kau adalah
kecintaan Toako. Setiap hari, kecuali pada waktu makan dan
tidur, ia tak pernah melupakan kau. Bagaimana kubisa mencelakakan
kau?" Sehabis berkata begitu, air mata-nya
mengalir turun di kedua pipinya.
Wan Cie Ie kaget. Ia berdiri sambil melirik Ouw Hui yang
kelihatan jengah sekali. Perkataan Leng So telah membuka
rahasia hatinya dan ia tak men-duga, bahwa sang adik akan
mengatakan begitu. Tapi biarpun hatinya jengah, sorot
matanya mem-perlihatkan rasa cinta yang sangat besar.
Nona Wan menggigit bibir dan berkata dengan suara lemah
lembut: "Thia Moay-moay, legakanlah hatimu. Dua Hong-hong
tak mungkin diberikan kepadanya!" Mendadak ia mengebas
dengan ta-ngannya, sehingga api lilin lantas saja padam.
Ham-pir berbareng ia melompat ke luar jendela dan
menghilang di antara kegelapan.
Ouw Hui dan Leng So kaget bukan main. Mereka melompat
ke jendela, tapi yang terlihat ha-nyalah sinar rembuian laksana
perak, sedang Wan Cie Ie sendir sudah tak kelihatan bayangbayang-
nya lagi. Mereka menjadi bingung, masing-masing
coba menaksirkan maksud perkataan Wan Cie Ie yang
mengatakan: "Legakanlah hatimu. Dan Hong-hong tak
mungkin diberikan kepadanya!"
Untuk sekian lama, dengan berendeng pundak mereka
berdiri di depan jendela. Sekonyong-ko-nyong di atas genteng
terdengar bunyi tindakan manusia. Ouw Hui menjadi girang, ia
menduga, bahwa Wan Cie Ie sudah kembali lagi. Tapi sebelum
ia sempat membuka mulut, di atas genteng terdengar suara
seorang lelaki: "OuwToaya, harap kau suka keluar untuk
bicara sedikit denganku." Ouw Hui lantas saja mengenali,
bahwa suara itu adalah suara si orang she Liap yang
menyayang pedangnya seperti juga menyayang jiwa sendiri.
"Liap-heng, turunlah," kata Ouw Hui. "Selain adikku di sini
tidak terdapat orang lain."
Sedari pedangnya tidak dirusak Ouw Hui, si orang she Liap,
seorang perwira dan bernama Wat, selalu merasa berterima
kasih terhadap pemuda itu. Karena melihat Ouw Hui berpihak
kepada Wan Cie Ie, maka pada waktu si nona bertempur
dengan Cin Nay Cie, Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw ia tidak
mau mencampuri. Kenyataan ini merupakan bukti, bahwa Liap
Wat adalah seorang yang mempunyai pribudi.
Mendengar perkataan Ouw Hui, ia segera melompat turun
seraya berkata: "Ouw Toako, seorang sahabat lama telah
memerintahkan Siauwtee datang ke mari untuk mengundang
kau." "Sahabat lama" Siapa?" tanyanya.
"Siauwtee telah mendapat pesanan untuk tidak
membocorkan rahasia, harap Toako sudi memaaf-kan,"
jawabnya. "Begitu bertemu, Toako akan segera mendapat
tahu." Ouw Hui menengok kepada Leng So dan berkata: "Jiemoay,
kau tunggulah sebentaran di sini.
Sebelum terang tanah, aku tentu sudah kembali."
Si nona mengambil goloknya. "Apa Toako mau membekal
senjata?" tanyanya.
Melihat Liap Wat tidak membawa pedang, Ouw Hui segera
menyahut: "Tak usah. Untuk menemui sahabat lama, kurasa
tak perlu membawa senjata."
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di depan pintu sudah menunggu sebuah kereta yang ditarik
dua ekor kuda. Dengan dicat emas dan dengan tirai-tirai
sutera, kereta itu sangat indah kelihatannya. "Apa Hong Jin
Eng yang coba-coba main gila lagi?" tanya Ouw Hui dalam
hatinya. "Jika bertemu, kedua tanganku sudah cukup untuk
mem-binasakan dia."
Begitu lekas mereka duduk dalam kereta, si kusir lantas
saja mencambuk kuda dan di tengah malam yang sunyi, suara
kaki kuda kedengaran keras sekali di jalan raya Pakkhia yang
ditutup dengan batu-batu hijau. Menurut peraturan, di wak-tu
malam orang tidak boleh mengendarai kereta di dalam kota
itu. Akan tetapi, begitu melihat dua tengloleng merah, tanpa
surat, yang tergantung di depan kereta, serdadu-serdadu yang
meronda lantas saja minggir dan membiarkannya.
Selang kira-kira setengah jam, kereta itu ber-henti di depan
tembok yang putih. Liap Wat melompat turun dan lalu
mengajak tamunya masuk di sebuah pintu yang kecil. Dengan
melalui jalanan kecil yang ditutup dengan batu-batu sebesar
telur itik, mereka menuju ke satu taman bunga. Taman itu
besar sekali dengan pohon-pohon bunga yang beraneka
warna, pendopo-pendopo, gunung-gu nungan dan empangempang
yang semuanya sangat indah dan terawat baik.
"Hong Jin Eng benar lihay," kata Ouw Hui dalam hatinya.
"Taman ini belum tentu bisa dibeli dengan seratus atau dua
ratus laksa tahil perak." Tapi di lain saat, ia mendapat lain
pikiran: "Rasanya tak mungkin si orang she Hong. Biarpun
jagoan, dia hanya menjagoi di Kwitang. Mana bisa dia
memerintah seorang perwira seperti Liap Wat?"
Selagi memikir begitu, Liap Wat sudah mengajak ia
membelok di satu gunung-gunungan dan sesudah melalui
sebuah jembatan kayu, tibalah mereka di sebuah rangon di
atas air. Dalam rangon itu dipasang dua batang lilin, sedang di
atas meja diatur sebuah poci teh, cangkir-cangkir dan
beberapa ma-cam kue-kue. "Sahabat Toako akan segera
datang dan aku akan menunggu di luar kamar," kata Liap
Wat. Sehabis berkata begitu, ia segera berjalan ke luar.
Dengan rasa kagum Ouw Hui mengawasi pe-rabotan dan
perhiasan dalam rangon itu. Gedung di luar pintu Soan-bu-bun
sudah boleh dikatakan indah dan mewah, tapi dibandingkan
dengan rangon ini, gedung itu masih kalah jauh. Di samping
kursi meja dan Iain-lain perabotan yang berharga mahal, di
empat penjuru tembok digantung lukisan-lukisan dan tulisantulisan
dari para pelukis dan penulis yang kenamaan, di
antaranya terdapat tulisan "Swee-kiam" (Membicarakan hal
pedang) gubahan Cong-cu, ditulis oleh Seng-cin-ong, putera
Kaisar Kian-liong sendiri.
Selagi menikmati lukisan dan tulisan itu, tiba-tiba ia
mendengar suara tindakan kaki dan hidung-nya mengandung
bebauan yang sangat harum. Ia memutar badan dan ia
berhadapan dengan seorang wanita cantik yang mengenakan
pakaian warna hi-jau muda dan yang berdiri sambil
tersenyum. Wanita itu adalah Ma It Hong.
Sekarang ia sadar, bahwa ia berada dalam ge-dung Hok
Kong An. Ma It Hong memberi hormat dan berkata sambil tertawa:
"Saudara Ouw, takdinyana kita bertemu lagi di kota raja.
Duduk, duduklah." Ia menuang teh dan dari sebuah rantang
mengeluarkan beberapa macam kue, yang lalu ditaruh di
depan Ouw Hui dengan sikap hormat. "Mendengar Saudara
tiba di Pakkhia, hatiku seperti dibetot-betot dan ingin sekali
berjumpa secepat mungkin, untuk menghatur-kan terima
kasih atas budimu," katanya.
Ouw Hui melirik dan melihat sekuntum bunga putih yang
terselip di konde nyonya itu, sebagai semacam tanda
berkabung untuk mendiang suami-nya (Cie Ceng). Tapi dari
pakaiannya yang mewah dan parasnya yang berseri-seri, ia
rupanya sudah tak ingat lagi suaminya yang binasa secara
begitu menyedihkan.
"Pada waktu itu, Siauwteelah yang terlalu mau mencampuri
urusan orang," kata Ouw Hui dengan suara tawar. "Jika aku
tahu, bahwa Hok Thayswee yang sudah mengirim orang untuk
menyambut Cie Toaso, aku pasti tak akan menimbulkan
banyak keributan."
Mendengar pemuda itu masih tetap mengguna-kan istilah
"Cie Toaso", muka si nyonya lantas saja berubah merah. "Biar
bagaimanapun juga, budi saudara Ouw adalah sangat besar
dan aku tetap merasa sangat berhutang budi," katanya pula.
"Nai-ma (pengasuh), coba bawa Kong-cu-ya (panggilan yang
digunakan untuk puteranya seorang pembesar ting-gi) ke
mari." Di pintu sebelah timur lantas saja terdengar suara
mengiakan, disusul dengan masuknya dua orang wanita yang
menuntun dua bocah cilik. Begitu masuk, kedua anak itu
segera mendekati Ma It Hong dan lalu menggelendot di
pangkuan ibunya. Kedua anak itu yang romannya bersamaan
satu sama lain, mempunyai paras yang sangat menarik dan
gerak-geriknya mungil.
"Apa kau tak kenali Ouw Siok-siok?" tanya sang ibu sambil
tertawa. "Ouw Siok-siok pernah memberi banyak bantuan
kepada kita. Lekas berlutut!"
Kedua bocah itu lantas saja menekuk kedua lututnya seraya
berkata: "Ouw Siok-siok!"
Ouw Hui buru-buru membangunkan mereka. "Hm! Hari ini
kau memanggil Siok-siok (paman), tapi tak lama lagi, sesudah
tahu kedudukanmu sebagai anggota keluarga kaisar, mana
kau kenal seorang gelandangan seperti aku ini?" katanya di
dalam hati. "Saudara Ouw," kata pula Ma It Hong. "Aku ingin
mengajukan suatu permintaan kepadamu. Apa kau sudi
meluluskan?"
"Toaso," kata Ouw Hui. "Dulu, waktu Siauwtee dihajar oleh
Siang Po Cin di Siang-kee-po, Toaso telah coba menolong dan
budi itu aku tak dapat melupakan. Maka itulah, pada waktu
kita berada di rumah batu, dengan mati-matian Siauwtee
berusaha untuk memukul mundur penyerang-penyerangyang
diduga perampok. Biarpun kejadian itu sangat menggelikan,
tapi dalam hatiku, perbuatanku itu adalah usaha untuk
membalas budi di tempo hari.
Tadi, jika kutahu, bahwa orang yang memanggil adalah
Toaso, aku tentu tak akan datang ke mari. Mulai dari
sekarang, di antara kita terdapat per-bedaan antara mulia dan
hina, sehingga oleh ka-renanya, kita sudah tak punya sangkut
paut lagi."
Dengan berkata begitu, Ouw Hui menyatakan rasa tidak
puasnya terhadap nyonya muda itu.
Ma It Hong menghela napas dan berkata dengan suara
perlahan: "Saudara Ouw, walaupun Ma It Hong bukan orang
baik, tapi aku sedikitnya bukan manusia yang kemaruk akan
kekayaan dan kekuasa-an. Kau tentu mengerti apa artinya
'jatuh cinta pada pertemuan pertama'. Rupanya aku dan dia
sudah mempunyai ikatan semenjak penitisan yang dulu....*
Semakin lama perkataannya jadi semakin perlahan, sehingga
hampir tak dapat ditangkap lagi.
Mendengar kata-kata 'jatuh cinta pada pertemuan
pertama', jantung Ouw Hui memukul keras, karena kata-kata
itu mengena tepat pada hatinya. Sesaat itu juga, rasa
mendongkolnya lantas ber-kurang banyak.
"Baiklah," katanya. "Bantuan apa yang Toaso ingin minta"
Sebenarnya permintaan Toaso sangat mengherankan. Soal
apa yang masih tak dapat di-urus oleh seorang seperti Hok
Thayswee?"
"Aku ingin meminta pertolonganmu untuk kedua anak ini,"
jawabnya. "Aku harap kau suka menerima mereka sebagai
muridmu dan ajarkan mereka sedikit ilmu silat."
Ouw Hui tertawa berkakakan. "Kedua Kongcu adalah orang
yang sangat mulia, perlu apa mereka belajar silat?" katanya.
"Tapi aku rasa, belajar silat banyak baiknya
untuk menguatkan dan menyehatkan badan," kata It Hong.
Sesaat itu, di luar rangon tiba-tiba terdengar seruan
seorang lelaki: "Hong-moay! Kau masih be-lum tidur?"
Paras muka si nyonya agak berubah dan sambil menengok
kepada Ouw Hui, ia menunjuk sebuah sekosol di dekat pintu.
Ouw Hui lantas saja melompat dan menyembunyikan diri di
belakang sekosol itu.
Beberapa saat kemudian terdengar suara tin-dakan sepatu
dan seorang lelaki masuk ke dalam.
"Mengapa kau sendiri belum tidur?" tanya It Hong. "Perlu
apa kau datang ke mari?"
Orang itu mencekal tangan It Hong dan berkata seraya
tersenyum: "Hongsiang (kaisar) telah memanggil aku untuk
merundingkan soal ketentaraan. Pembicaraan itu baru saja
selesai. Apa kau jengkel karena aku datang terlalu malam?"
Ouw Hui segera mengetahui, bahwa orang itu bukan lain
daripada Hok Kong An. Hatinya lantas saja berdebar-debar,
karena dengan berdiam di situ, ia tak bisa tak mendengar
omongan pereintaan dari kedua orang itu. Di samping itu, jika
ketahuan, namanya pasti akan menjadi rusak. Memikir begitu,
ia segera mengasah otak untuk coba meloloskan diri.
Ia kaget bukan main karena mendadak Ma It Hong
berkata: "Kong-ko, aku ingin mempertemu-kan kau dengan
satu orang. Sebenarnya kau sudah pernah bertemu dengan
orang itu, hanya mungkin sekali kau sudah lupa." Sehabis
berkata begitu, ia berseru: "Saudara Ouw! Mari menemui Hok
Thay-swee."
Ouw Hui segera menghampiri dan memberi hormat.
Hok Kong An kaget bukan main. la sama sekali tak pernah
mimpi, bahwa di belakang sekosol ber-sembunyi seorang
lelaki. "Ini... ini..." katanya de-ngan suara terputus-putus.
"Saudara ini she Ouw bernama Hui," kata It Hong sambil
tertawa. "Biarpun usianya muda, ke-pandaiannya sangat tinggi
dan di antara busu-busu-mu, tak seorang pun yang dapat
menandinginya. Pada waktu kau mengirim orang untuk
menyambut aku, Saudara Ouw telah memberi banyak sekali
pertolongan. Maka itu, aku telah mengundangnya untuk
menghaturkan terima kasih dan kau harus memberi hadiah
kepadanya."
Paras muka Hok Kong An pucat pias. Sesudah gundiknya
memberi keterangan, barulah hatinya agak lega. "Hm!
Memang, memang harus menghaturkan terima kasih,"
katanya. la mengebas ta-ngan kirinya ke arah Ouw Hui dan
berkata pula: "Kau pergi saja dulu. Beberapa hari lagi aku
akan memanggil kau." Suaranya sangat mendongkol dan jika
tidak memandang muka Ma It Hong, ia tentu sudah mencaci
sebab Ouw Hui dianggap sangat kurang ajar, pertama berani
masuk ke gedungnya dan bersembunyi di belakang sekosol
dan kedua, tidak memberi hormat dengan menekuk lutut.
Dengan menahan amarah, Ouw Hui berjalan ke luar.
"Benar sial, tengah malam buta dihina orang." katanya di
dalam hati. Begitu bertemu dengan pemuda itu, Liap Wat yang
menunggu di luar segera menanya dengan suara gemetar:
"Barusan Hok Thayswee masuk, apa ia bertemu dengan kau?"
"Ma Kouwnio telah memperkenalkannya ke-padaku dan
minta supaya Hok Thayswee memberi hadiah kepadaku,"
jawabnya. "Bagus!" kata Liap Wat dengan suara girang, "Sepatah kata
saja dari Ma Kouwnio sudah cukup untuk mengangkat Toako.
Di hari kemudian aku sendiri akan mengikut di belakang Toako
dan kita bisa bergaul terlebih rapat. Aku sungguh-sungguh
merasa girang." Liap Wat menghargai Ouw Hui bukan saja
karena ilmu silatnya yang sangat tinggi, tapi juga sebab
wataknya yang mulia dan semua perkataannya itu diucapkan
dengan setulus hati.
Mereka segera balik dengan menggunakan ja-lanan yang
tadi. Waktu tiba di satu empang teratai, sekonyong-konyong
terdengar suara tindakan kaki yang ramai dan beberapa orang
mengejar mereka. "Ouw Toaya! berhenti dulu!" teriak satu
antaranya. Ouw Hui dan Liap Wat segera menghentikan tindakan dan
memutar badan. Yang menyusul ialah empat orang perwira
dan orang yang berjalan paling dulu mencekal sebuah kotak
sulam dalam tangannya. "Ma Kouwnio mengirim sedikit hadiah
untuk Ouw Toaya," katanya. "Harap Toaya suka
menerimanya."
"Aku tak punya pahala apa pun juga," kata Ouw Hui
dengan suara mendongkol. "Tak berani aku menerima hadiah
itu." "Inilah sekedar tanda mata dari Ma Kouwnio, harap Toaya
jangan begitu sungkan," kata pula perwira itu.
Tapi Ouw Hui tetap menolak. "Tolong beri-tahukan Ma
Kouwnio, bahwa di dalam hati aku sudah menerima hadiahnya
yang berharga itu," katanya sambil memutar badan dan lalu
berjalan pergi.
Dengan paras muka bingung, si perwira lantas saja
menyusul. "Ouw Toaya," katanya dengan suara gemetar. "Jika
kau tetap menolak, Ma Kouwnio tentu akan gusari aku. Liap
Toako, kau... cobalah kau membujuk Ouw Toaya...."
Ouw Hui mengawasi orang itu dengan sorot mata
memandang rendah. "Dilihat dari gerakan-gerakannya, ia
boleh dikatakan seorang ahli yang lumayan dalam Rimba
Persilatan," katanya di dalam hati. "Hanya sayang, untuk
nama dan pangkat, ia rela menjadi budaknya orang."
Sebab merasa tak tega melihat kawannya yang meringisringis,
Liap Wat menyambuti kotak itu yang diangsurkan
kepadanya. Ia merasa kotak itu sangat berat dan menduga,
bahwa di dalamnya berisi barang yang sangat berharga. "Ouw
Toako," katanya sambil tertawa. "Perkataan Saudara ini
memang sebenar-benarnya. Jika sampai dimarahi Ma
Kouwnio, hari depannya akan menjadi rusak. Kau te-rimalah
saja, supaya ia bisa memberi laporan yang memuaskan."
Karena malu hati terhadap Liap Wat dan juga sebab
mengingat, bahwa dengan barang berharga itu, ia bisa
menolong orang-orang miskin, Ouw Hui segera menyambuti
dan lalu membuka tutupnya. Ternyata dalam kotak itu berisi
semacam benda yang berbentuk persegi dan yang dibungkus
dengan sutera merah, sedang keempat ujung sutera itu diikat
menjadi dua ikatan. "Barang apa ini?" tanya-nya sambil
mengerutkan alis.
"Aku tak tahu," jawab si perwira.
Dengan hati heran, Ouw Hui lalu membuka ikatan sutera
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Baru saja ia membuka satu ikatan, mendadak - sangat
mendadak - berbareng dengan suara menjepret, tutup kotak
menutup sendirinya dan menggencet erat-erat kedua
pergelangan ta-ngan Ouw Hui!
Hampir berbareng, ia merasakan kesakitan yang hebat luar
biasa, kesakitan yang meresap ke tulang-tulang. Ia merasa
pergelangan tangannya dikacip dengan kacip logam yang
bertenaga sangat besar. Ternyata, di dalam kotak itu, yang
terbuat dari baja murni, terisi alat-alat rahasia, yang jika
tersentuh, bisa menutup sendiri tutupan kotak.
Semakin lama, tutupan kotak menggencet semakin hebat
dan buru-buru Ouw Hui mengerahkan Lweekang untuk
melawan. Sungguh untung, ia memiliki tenaga dalam yang
boleh dikatakan sudah mencapai puncaknya kesempurnaan.
Kurang sedi-kit saja, tulang-tulang kedua pergelangan
tangannya tentu sudah tergencet patah. Untuk menjaga
patahnya tulang, ia harus terus menerus memusa-tkan tenaga
dalamnya di pergelangan tangan.
Sementara itu, begitu lekas Ouw Hui terjebak, keempat
perwira itu, dua di depan dan dua di belakang, segera
menghunus pisau dan menempel-kan ujungsenjata-senjata
merekakedadadanpung-gung Ouw Hui.
Kagetnya Liap Wat bagaikan disambar hali-lintar. Ia
mengawasi dengan mata membelalak. Sejcnak kemudian,
barulah ia bisa berkata dengan .suara putus-putus. "E... eh!
Mengapa... mengapa begitu?"
"Hok Thayswee telah memerintahkan kami untuk
membekuk penjahat Ouw Hui!" kata perwira yang menjadi
pemimpin dengan suara nyaring.
"Tapi... tapi Ouw Toaya adalah tamu diundang Ma
Kouwnio," kata Liap Wat. "Mengapa jadi begini?"
Perwira itu tertawa dingin.
"Liap Toako," katanya. "Kau tanyakan saja Hok Thayswee.
Kami hanya menerima perintah."
"Ouw Toako, kau jangan takut," kata Liap Wat dengan
suara keras. "Dalam hal ini pasti terselip salah mengerti. Aku
akan segera menemui Ma Kouwnio dan ia pasti akan
melepaskan kau."
"Jangan bergerak!" bentak perwira itu. "Hok Thayswee
telah mengeluarkan perintah rahasia, bahwa hal ini tak boleh
dibocorkan kepada Ma Kouwnio. Kau punya berapa biji
kepala?" Liap Wat jadi bingung bukan main, dari kepala dan
mukanya ke luar keringat dingin. "Celaka! Kotak itu telah
diserahkan olehku kepada Ouw Toako," ia mengeluh. "Seolaholah,
akulah yang mencelakakan padanya. Tapi... tapi...
bagaimana aku dapat melawan perintah Hok Thayswee?"
Perwira yang berdiri di belakang Ouw Hui menyodok
dengan pisaunya, sehingga kulit punggung pemuda itu
tergores dan mengeluarkan darah. "Ja-lan!" bentaknya dengan
angker. Kotak itu adalah senjata rahasia Hok Kong An yang dibuat
oleh seorang ahli mesin Barat. Di dalam bungkusan sutera
merah terdapat alat rahasia dan di kedua pinggir mulut kotak,
yang juga dilapisi sutera, disembunyikan dua batang pisau.
Begitu lekas kotak itu tertutup, pisaunya lantas bekerja.
Dengan mulut ternganga dan mata membe-lalak, Liap Wat
melihat darah yang mulai mengalir keluar dari pergelangan
tangan Ouw Hui dan mata pisau semakin lama menggigit
semakin dalam. "Biar-pun Ouw Toako mempunyai kedosaan
sebesar la-ngit, tak boleh ia dicelakakan dengan tipu yang
sangat busuk ini," pikirnya. Semenjak bertemu, ia selalu
mengagumi Ouw Hui dan sekarang, meng-ingat bahwa
kecelakaan pemuda itu adalah lantaran gara-garanya, ia jadi
nekat. Sekonyong-konyong, bagaikan kilat tangan kirinya
menyambar dan men-cekal kotak itu, sedang dua jari tangan
kanannya dimasukkan ke dalam lubang kotak. Sambil
mengerahkan Lweekang, ia mengorek alat rahasia dalam
kotak itu. Secara kebetulan, jari-jarinya mengorek yang tepat
dan mendadak, tutup kotak men-jeblak dan terbuka lebar,
sehingga kedua pergelangan tangan Ouw Hui lantas saja
bebas. Pada detik itulah, perwira yang menjadi pemimpin menikam
Liap Wat dengan pisaunya. Ilmu silat Liap Wat sebenarnya
lebih tinggi daripada pembesar militer itu, tapi dalam tekadnya
untuk menolong Ouw Hui, ia sudah tidak memperhatikan
keselamatan diri sendiri, sehingga pisau itu amblas di dadanya
dan sambil mengeluarkan teriakan "aduh!" ia roboh tanpa
bernyawa lagi. Di saat yang sependek itu, Ouw Hui menarik napas dan
dada serta punggungnya mengkeret be-berapa dim. Hampir
berbareng, dengan sekali men-jejak kaki, badannya melesat
ke atas. Tiga batang pisau menikam dengan berbareng. Dua
pisau meleset, tapi pisau yang ketiga membuat goresan panjang
di lutut kanannya.
Selagi tubuhnya masih berada di tengah udara, Ouw Hui
sudah menendang dengan kedua kakinya. Sesaat itu adalah
saat mati hidup dan ia tak sungkan-sungkan lagi. Dua
tendangannya itu dengan jitu mengenakan sasarannya dan
dua perwira roboh tanpa berkutik lagi. Sebelum kedua kakinya
hing-gap di tanah, perwira yang barusan membinasakan Liap
Wat sudah mengirim tikaman ke kempungan Ouw Hui dengan
pukulan Keng-ko-hian-touw (Keng Ko mempersembahkan
gambar). Ouw Hui yang sudah mata gelap, melompat sambil
berteriak keras dan mengirim tendangan geledek ke dada
orang. "Duk!" badan perwira itu melayang dan jatuh di
empang teratai. Belasan tulang dadanya patah serentak dan
menurut perhitungan, ia tak bisa hidup lagi.
Perwira yang keempat jadi ketakutan setengah mati.
Seraya berteriak, ia memutar badan dan terus kabur sekeraskerasnya.
Dengan beberapa lompat-an saja, Ouw Hui sudah
menyusul. Dengan tangan kiri mencengkeram pakaian orang,
ia mengangkat tangan kanannya untuk menghantam kepala
perwira itu. Tapi sebelum tangannya turun, di bawah sinar
rembulan, ia melihat paras muka orang itu yang ketakutan
dan mohon diampuni. Hatinya lan-tas saja lemas. "Dia dan
aku tak punya permusuhan dan dia hanya diperintah oleh Hok
Kong An," katanya di dalam hati. "Perlu apa aku mengambil
jiwanya?" Ia segera menenteng tawanannya ke belakang gununggunungan
dan membentak dengan suara perlahan: "Mengapa
Hok Kong An mau menangkap aku?"
"Aku... aku... tak tahu," jawabnya.
"Di mana dia sekarang" tanyanya pula.
"Hok Thayswee... Hok Thayswee keluar dari... dari tempat
Ma Kouwnio, memerintahkan kami... dan kemudian masuk
lagi..." jawabnya.
Ouw Hui segera menotok jalan darah gagunya seraya
mengancam: "Kau berdiam di sini untuk sementara waktu,
besok pagi kau tentu akan dimer-dekakan. Kalau orang tanya,
kau harus mengatakan, bahwa Liap Wat telah dibunuh olehku.
Jika rahasia ini bocor dan keluarga Liap sampai jadi celaka,
kau kabur ke mana pun juga, aku akan ambil kepalamu!"
Perwira itu yang tidak bisa bicara lagi itu, buru-buru
manggutkan kepalanya.
Dengan ?ikap menghorrnat Ouw Hui lain men-dukung
mayat Liap Wat yang lalu ditaruhnya dalam sebuah gua di
gunung-gunungan batu dan kemudian, ia berlutut empat kali
sebagai penghormatan terakhir. Sesudah menendang mayat
kedua perwira ke dalam gerombolan rumput tinggi, ia lalu
merobek ujung baju dan membalut luka di kedua pergelangan
tangannya. Luka di lutut hanya luka di kulit, tapi goresannya
panjang sekali. Sesudah itu, dengan darah bergolak, ia
mengambil sebilah pisau dan lalu menuju ke rangon Ma It
Hong dengan tindakan lebar.
Karena tahu, bahwa gedung Hok Kong An dijaga oleh
banyak Sie-wie (pengawal), sedikit pun ia tak berani berlaku
ceroboh. Sebelum maju, ia selalu mengintip lebih dulu dari
belakang pohon atau gunung-gunungan. Baru saja tiba di
dekat jembatan, di sebelah depan sekonyong-konyong muncul
dua sinar tengloleng dan beberapa saat kemudian ia
melihat bahwa orang yang mendatangi adalah Hok Kong An
sendiri, yang diking oleh delapan Wie-su. Untung juga, dalam
taman itu terdapat banyak sekali perhiasan taman yang dapat
digunakan sebagai tempat menyembunyikan diri. Dengan
cepat ia melompat ke belakang sebuah batu yang berbentuk
seperti rebung.
"Kau pergi periksa penjahat she Ouw itu," kata Hok Kong
An kepada salah seorang pengawalnya. "Tanyakan seterangterangnya,
bagaimana ia bisa mengenal Ma Kouwnio dan ada
hubungan apa antara mereka berdua. Tanyakan juga, perlu
apa dia datang ke gedungku di tengah malam buta. Rahasia
ini tidak boleh dibocorkan kepada Ma Kouwnio. Sesudah kau
memeriksa lekas-lekas lapor kepadaku. Mengenai penjahat
itu... hm... kau harus ambil jiwanya malam ini juga."
Seorang Wie-su lantas saja mengiyakan. "Jika Ma Kouwnio
tanya, katakan saja, aku sudah menghadiahkan tiga ribu tahil
perak kepada-nya dan memerintahkan supaya dia pulang ke
kam-pungnya sendiri," kata pula Hok Kong An. "Baik, baik,"
jawab Wie-su itu. Bukan main gusarnya Ouw Hui. Sekarang
baru ia tahu, bahwa sebab menduga gundiknya mempu-nyai
hubungan rahasia dengan dirinya, tanpa menyelidiki lebih
dulu, Hok Kong An sudah turunkan tangan jahat. Ia marah
bereampur duka, sebab mengingat Liap Wat yang sudah mesti
mengor-bankan jiwa dengan cuma-cuma.
Jika mau, waktu itu juga ia bisa mengambil jiwa Hok Kong
An. Tapi, karena baru datang di kota raja dan belum tahu
seluk beluknya hal dan juga karena mengingat, bahwa
pembesar itu memegang kekuasaan sangat penting atas
ketentaraan, maka ia tidak berani bertindak secara sembrono.
Ia bersembunyi terus di belakang batu itu dan sesudah Hok
Kong An dan pengiringnya lewat, barulah ia menyusul Wie-su
yang diperintah untuk memeriksa dirinya. Wie-su itu yang
berjalan sambil bersiul-siul, sedikit pun tidak merasa, bahwa
dirinya sedang dikejar orang. Tahu-tahu jalan darahnya sudah
tertotok dan ia roboh tanpa berteriak.
Sesudah merobohkan pengawal itu, Ouw Hui lalu menguntit
rombongan Hok Kong An dari sebelah kejauhan. "Ada urusan
apa Loo-tay-tay memanggil aku di tengah malam buta?"
demikian ter-dengar suara Hok Kong An. "Siapakah yang
berada sama-sama Loo-tay-tay?" (Loo-tay-tay berarti nyo-nya
besar). "Hari ini Kongcu (Puteri) masuk ke keraton dan
sekembalinya dari keraton, ia terus menemani Loo-tay-tay,"
jawab seorang. Hok Kong An mengeluarkan suara "hm" dan tidak menanya
lagi. Sesudah melewati lorong-lorong yang indah buatannya,
tibalah mereka di depan sebuah gedung yang dikurung
dengan pohon-pohon bambu. Hok Kong An lalu masuk ke
gedung itu dan para pengawalnya menjaga di luar.
Dengan memutari pohon-pohon bambu, Ouw Hui pergi ke
belakang gedung, dari mana ia melihat sinar api di jendela
sebelah utara. Indap-indap ia mendekati jendela itu dan lalu
mengintip. Dalam sebuah ruangan kelihatan duduk dua orang
wanita yang beroman agung dan yang berusia kira-kira tiga
puluh tahun. Di dekat mereka terdapat seorang wanita tua
yang berusia lima puluh tahun lebih dan di samping kiri wanita
tua itu, berduduk dua wanita lain. Kelima wanita tersebut
semuanya mengenakan pakaian yang sangat indah dan
perhiasan dengan batu-batu permata yang berharga mahal.
Begitu masuk, Hok Kong An lebih dulu mem-beri hormat
kepada dua wanita yang berusia tiga puluhan dan kemudian
barulah ia memberi hormat kepada si wanita tua dengan
memanggil "ibu". Dua wanita yang lain sudah bangun berdiri
berbareng dengan masuknya ke dalam ruangan itu. Siapa
sebenarnya Hok Kong An" Ayah pangeran itu, Po Heng
namanya, adalah adik lelaki dan permaisuri Kian-liong. Isteri
Po Heng terkenal sebagai wanita Boan yang tereantik. Waktu
nyonya Po Heng masuk ke keraton, Kian-liong merasa tertarik.
Mereka mengadakan perhu-bungan rahasia dan mendapat
seorang putera, yaitu Hok Kong An. Dengan mendapat
pengaruh dari kakak perempuannya, isterinya dan puteranya,
Po Heng sangat disayang oleh Kian-liong yang be-lakangan
mengangkatnya sebagai perdana menteri. Dua puluh tiga
tahun lamanya ia menjabat pangkat yang tinggi itu dan waktu
cerita ini terjadi, ia sudah meninggal dunia.
Ia mempunyai empat orang putera. Putera su-lung, Hok
Leng An, menikah dengan seorang puteri Kian-liong dan
diangkat sebagai To-lo Hu-ma. Be-lakangan, karena membuat
pahala dalam pepe-rangan di Huikiang, ia dianugerahi pangkat
Hui-touw-tong (wakil pemimpin) dari Pasukan Bendera Putih.
Putera kedua, Hok Liong An, menikah dengan Puteri dan
diangkat sebagai Ho-sek Hu-ma. Berkat kepandaiannya, ia
akhirnya diangkat menjadi Kong-po Siang-sie (menteri urusan
pekerjaan umum).
Hok Kong An sendiri adalah putera ketiga. Banyak orang
merasa heran, mengapa sedang kedua kakaknya menikah
dengan puteri kaisar, ia sendiri yang paling dicintai oleh Kianliong,
tidak diambil sebagai menantu" Tentu saja orang-orang
itu tak tahu, bahwa Hok Kong An sebenarnya adalah putera
kaisar itu sendiri. Di ini waktu, ia menjabat pangkat Peng-po
Siang-sie (menteri pertahanan), merangkap Thaycu Thaypo
(pelindung putera mah-kota).
Putera keempat menjabat pangkat Houw-po Siang-sie dan
belakangan diangkat sebagai raja muda. Dengan demikian,
pada jaman itu, seluruh keluarga Hok Kong An menduduki
tempat yang sangat tinggi dan memegang peranan penting
dalam pemerintahan (Houw-po Siang-sie = Menteri Keuangan).
Kedua wanita yang beroman agung, duduk di tengahtengah,
adalah puteri-puteri kaisar yang menjadi 'nso (isteri
kakak lelaki) Hok Kong An. Ho-kee Kongcu adalah seorang
wanita yang cerdas, pandai dan bisa mengambil hati, sehingga
sangat dicintai Kian-liong, yang sering sekali memanggil-nya
ke istana untuk diajak beromong-omong. Wa-laupun kedua
puteri itu sanak yang sangat dekat, akan tetapi secara resmi
hubungan antara mereka dan Hok Kong An adalah hubungan
antara raja dan menteri, maka menurut adat istiadat,
pembesar itu harus memberi hormat terlebih dulu. Dua wanita
lainnya, yang satu Hailan-sie, isteri Hok Kong An sendiri,
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang yang lain isteri Hok Tiang An.
Sesudah duduk di kursi sebelah timur, Hok Kong An
bertanya: "Mengapa Jie-wie Kongcu dan ibu belum tidur?"
"Mendengar kau sudah punya anak, Jie-wie Kongcu merasa
sangat girang dan ingin bertemu dengan mereka," jawab sang
ibu. Hok Kong An tersenyum sambil melirik isteri-nya. "Wanita
itu orang Han," ia menerangkan. "Dia belum paham akan adat
istiadat, maka aku belum berani mengajaknya menemui
Kongcu dan ibu."
"Wanita yang dipenuju Kong-loo-sam sudah pasti bukan
wanita sembarangan," kata Ho-kee Kongcu sembari tertawa.
"Kami bukan ingin menemui perempuan itu. Maksud kami
ialah ingin melihat kedua puteramu. Pergilah panggil. Hu-hong
pun ingin sekali melihat mereka." (Hu-hong = ayahanda
Kaisar). Hok Kong An jadi girang sekali. Ia merasa pasti, bahwa
Kian-liong akan senang melihat kedua puteranya yang cakap
dan mungil. Ia segera menyuruh seorang budak untuk
menyampaikan perintahnya kepada pengawal supaya kedua
puteranya dibawa ke situ.
Ho-kee Kongcu tertawa pula. "Hari ini, waktu berada di
keraton, Bu-houw mengatakan, bahwa Kong-loo-sam pandai
sungguh menutup rahasia," katanya. "Selama beberapa tahun,
kami semua kena dikelabui. Mengapa kau tidak lekas-lekas
mengam-bil mereka" Awas! Hu-hong akan keset kulitmu."
"Soal kedua anak itu baru diketahui olehku pada bulan
yang lalu," menerangkan Hok Kong An.
Berkata sampai di situ, dua babu susu sudah datang
membawa kedua puteranya. Hok Kong An lantas saja
memerintahkan mereka memberi hormat kepada kelima
wanita itu. Mereka ternyata sangat dengar kata dan meskipun
matanya mengantuk, mereka lantas saja memberi hormat
dengan berlutut di hadapan lima nyonya besar itu.
Melihat kedua bocah yang sangat cakap itu, mereka jadi
girang sekali. "Kong-loo-sam," kata pula Ho-kee Kongcu.
"Muka mereka sangat mirip de-nganmu. Andaikata kau mau
menyangkal, kau tak akan dapat menyangkal."
Sebenarnya Hai-lan-sie merasa agak mendong-kol, tapi
sesudah melihat mungilnya kedua bocah itu, ia turut bergirang
dan lalu memeluknya erat-erat. Mereka semua sudah
menyediakan hadiah yang lantas saja diberikan kepada kedua
anak itu. "Hm! Sedari kecil sudah pandai menjilat-jilat," kata Ouw
Hui di dalam hati. "Kalau besar, mereka tak bisa jadi manusia
baik." Loo hu-jin menggapai seorang budak perempuan yang
berdiri di belakang. "Kau pergi kepada Ma Kouwnio dan
beritahukan, bahwa malam ini mereka tidur di tempatku dan
Ma Kouwnio tak usah tunggui mereka," katanya. Budak itu
lantas saja mengiakan dan berjalan ke luar untuk menjalankan
perintah itu. Sesudah itu, Loo-hu-jin berpaling kepada seorang
budak lain dan berkata pula: "Kau bawa semangkok somthung
(godokan yo-som) kepada Ma Kouwnio. Beritahukanlah,
bahwa aku akan menjaga kedua anak itu baik-baik dan dia tak
usah memikirkannya." (Loo-hu-jin = Nyonya tua, ibu Hok
Kong An). Mendengar perkataan itu, tangan Hok Kong An yang
sedang mencekal cangkir teh, jadi ber-gemetaran, sehingga
air teh tumpah ke pakaiannya. Paras mukanya berubah pucat
dan mulutnya ter-nganga. Budak itu segera menaruh mangkok
som-thung ke dalam sebuah rantang yang dicat air emas dan
lalu berjalan ke luar dari ruangan itu.
Kedua Kongcu, Hai-lan-sie dan isteri Hok Tiang An saling
melirik dan kemudian meninggal-kan ruangan itu. Kedua
bocah itu menangis keras dan memanggil-manggil ibunya.
"Anak baik, jangan menangis," kata Loo-hu-jin. "Ikutlah Nainai
(babu susu). Mereka akan memberikan kembang gula
kepadamu." la rriengebas tangannya supaya kedua babu susu
itu membawa mereka ke luar $c*uctah itu, ia memberi lsyarat
kepada semua budak yanji lantas saja mengundurkan diri,
sehingga yang ber-ada dalam ruangan itu hanyalah si nenek
dan Hok Kong An sendiri. Untuk beberapa lama ruangan itu
sunyi senyap. Loo-hu-jin mengawasi puteranya, tapi Hok Kong
An melengos. Sesudah selang beberapa lama, Hok Kong An menghela
napas panjang. "Ibu, mengapa kau tidak bisa berlaku sedikit
murah hati terhadapnya?" tanyanya.
"Apa perlu kau menanyakan itu?" sang ibu balas tanya.
"Dia seorang Han, hatinya sukar ditebak. Apalagi dia berasal
dari kalangan piauw-hang. Dia pandai bersilat dan biasa
menggunakan senjata. Dalam gedung ini terdapat dua Kongcu
dan mereka tentu saja tidak 1)isa tinggal bersama-sama
dengan perempuan semacam itu. Pada sepuluh tahun berselang,
Hong-siang pernah berada dalam bahaya besar karena
gara-gara seorang wanita asing. Apa kau lupa" Manakala
perempuan yang seperti ular berbisa itu berdiam terus
bersama-sama kami, kami semua tidak akan enak makan dan
enak tidur lagi."
"Apa yang dikatakan ibu memang tak salah," kata Hok
Kong An. "Anak pun sebenar-benarnya bukan sengaja
menyambut dia datang ke mari. Anak hanya menyuruh orang
menengoknya dan memberikan sedikit uang kepadanya. Di
luar dugaan, dia telah melahirkan dua putera yang menjadi
darah dagingku."
Sang ibu mengangguk seraya berkata: "Usiamu sudah
mendekati empat puluh tahun dan kau belum punya anak.
Dilahirkannya anak itu tentu saja merupakan kejadian yang
sangat menggirangkan. Kami akan memeliharanya dan
mendidiknya baik-baik, supaya di hari kemudian mereka bisa
mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, hati ibu^
nya pun bisa terhibur."
Hok Kong An menunduk dan untuk beberapa saat, ia tidak
mengeluarkan sepatah kata. "Tadinya anak ingin mengirim
perempuan itu ke tempat yang jauh supaya dia tidak bisa
bertemu muka lagi de-nganku dan dengan kedua anaknya,"
katanya dengan suara perlahan. "Tak dinyana ibu...."
Paras muka nyonya tua itu lantas saja berubah gusar.
"Sungguh pereuma kau memegang pangkat tinggi, kalau soal
ini saja masih belum dimengerti olehmu!" bentaknya dengan
suara keras. "Apa kau kira, sedang kedua puteranya berada di
sini, dia rela menerima nasib dengan begitu saja" Ingatlah!
Dia perempuan Kang-ouw yang bisa melakukan per-buatan
apa pun jua!"
Mendengar perkataan ibunya, Hok Kong An hanya
manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah berdiam sejenak, nyonya tua itu ber-kata pula:
"Kau perintah orang menguburkannya dengan upacara besar
itu sudah cukup untuk menyatakan kecintaanmu...."
Si anak kembali manggutkan kepala.
Bukan main kagetnya Ouw Hui yang men-dengarkan di luar
jendela. Semula ia tidak begitu mengerti pembicaraan antara
ibu-anak itu dan sesudah mendengar kata-kata
"menguburkannya dengan upacara besar", barulah ia
terkesiap. Sekarang ia tahu, bahwa nyonya tua yang kejam itu
ingin merampas anaknya dengan membunuh ibunya. Ia yakin,
bahwa untuk menolong jiwa Ma It Hong, ia tidak boleh berayal
lagi. la segera meninggalkan gedung itu dan dengan
menggunakan ilmu meng-entengkan badan, ia berlari-lari ke
rangon di atas air. Untung juga waktu itu sudah jauh malam
dan di dalam taman tidak terdapat satu manusia pun, sedang
pembunuhan yang terjadi tadi juga belum diketahui orang.
Sembari lari, Ouw Hui bimbang. "Ma Kouwnio sangat
mencintai Hok Kong An," pikirnya. "Apa dia pereaya
keteranganku" Apa dia suka mengikut aku untuk melarikan
diri" Hai! Ba-gaimana baiknya?"
Begitu tiba, ia lihat empat orang pengawal di luar rangon.
"Hm! Mereka sudah menyediakan orang untuk menjaga
kaburnya Ma Kouwnio," katanya di dalam hati. Karena tak
mau mengagetkan orang-orang itu, ia lalu pergi ke belakang
rangon dengan mengambil jalan memutar. Dengan sekali
meng-enjot badan, ia sudah melompati empang dan kemudian,
dengan indap-indap ia menghampiri jen-dela.
Mendadak, hatinya mencelos dan mengawasi ke dalam dari
celah-celah jendela dengan mata membelalak. Apa yang
dilihatnya" Ma It Hong rebah di atas lantai sambil memegang
perut dan merintih, sedang paras mukanya pucat pasi! Dalam
ruangan itu tidak terdapat lain manusia.
"Celaka! Aku terlambat," ia mengeluh sambil mendorong
jendela dan melompat masuk. Napas nyonya itu tersengalsengal,
mukanya bersorot hijau dan kedua matanya merah,
seperti mau mengeluar-kan darah.
Melihat Ouw Hui, ia berkata dengan suara terputus-putus:
"Perut... perutku sakit.... Saudara Ouw... kau...." Suaranya
semakin lemah dan sesudah mengatakan, "kau", ia tak dapat
bicara lagi. "Kau makan apa tadi?" tanya Ouw Hui.
It Hong tidak menjawab, hanya matanya mengawasi
sebuah mangkok dengan lukisan bunga emas yang terletak di
atas meja. Ouw Hui kenali, bahwa mangkok itu adalah
mangkok somthung. "Nenek itu sungguh jahat," pikirnya.
"Sebelum mengirim somthung, lebih dulu ia memanggil kedua
bocah itu. Rupanya ia khawatir Ma Kouwnio akan membagi
makanan mahal itu kepada puteranya.... Ya, sekarang aku
ingat. Waktu ibunya menyuruh budak membawa somthung
itu, paras muka Hok Kong An berubah dan tangannya
bergemetar, sehingga air teh tumpah di pakaiannya. Ia tentu
sudah tahu, bahwa dalam somthung itu ditaruh racun. Tapi
dia tidak coba mencegah atau menolong. Biarpun bu-kan dia
yang meracuni, tapi did turut berdosa. Hm! Sungguh kejam!"
Sesudah mengumpulkan tenaga, Ma It Hong berkata pula
dengan suara lemah. "Kau... beri-tahukan Hok Kongcu...
minta... panggil tabib...."
Ouw Hui tidak menjawab, tapi mendengar per-kataan si
nyonya, ia segera ingat, bahwa orang satu-satunya yang
dapat menolong adalah adik ang-katnya, Leng So.
Memikir begitu, ia segera mengambil kain alas kursi dan
membungkus mangkok somthung itu yang lalu dimasukkan ke
dalam sakunya. Ia mendengar-kan sejenak dan sesudah
melihat di luar rangon tidak terdengar sesuatu yang luar biasa,
ia lalu memanggul tubuh It Hong dan melompat ke luar dari
jendela. Nyonya itu kaget dan berteriak dengan suara perlahan:
"Ouw...."
Ouw Hui menekap mulut It Hong dengan tangannya.
"Jangan ribut, aku mau bawa kau kepada tabib," bisiknya.
"Anakku..." kata pula nyonya itu.
Ouw Hui tidak meladeni. Dengan tergesa-gesa ia
menggenjot tubuh dan raelompati empang yang memisahkan
rangon itu dari taman bunga. Tapi baru saja ia mau kabur,
sudah terdengar suara tindakan dua oiang yang mengejar dari
belakang. "Siapa?" bentak saiah seorang itu.
Ouw Hui tidak menjawab dan terus lari dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sesudah kabur
puluhan tombak, tiba-tiba ia menghentikan tindakan dan
begitu lekas kedua pengejarnya da-tang dekat, ia melompat
tinggi saivj-i'i menendang dengan kedua kakinya yang tepal di
jalan darah Sinlong-hiat, di punggung kedua orang itu. Tanpa
bersuara mereka terguling. Dilihat dari pakaiannya, mereka
adalah Wie-su yang menjaga di luar rangon.
Sesudah merubuhkan kedua pengawal itu, dengan cepat
Ouw Hui mencari jalan ke luar. Sekonyong-konyong dari
beberapa sudut gedung, ter-dengar suara teriakan dan
bentakan: "Tangkap! Tangkap pembunuh!"
Untung juga, waktu baru datang, ia memper-hatikan
jalanan, sehingga sekarangtanparagu-ragu, ia segera
mengambil jalan semula yang menerus ke sebuah pintu kecil.
Setibanya di depan pintu, ia segera melompati tembok dan
dengan girang ia mendapat kenyataan, bahwa kereta yang
ditum-panginya tadi, masih menunggu di situ. Buru-buru ia
memasukkan Ma It Hong ke dalam kereta seraya berkata:
"Pulang!"
Mendengar suara ribut-ribut di dalam gedung dan melihat
paras muka Ouw Hui yang luar biasa, si kusir membuka mulut
menanyakan keterangan. Tapi sebelum ia sempat bicara,
tangan pemuda itu sudah melayang dan ia rubuh di tanah.
Sesaat itu, dari dalam gedung sudah muncul empat-lima
Wie-su yang mengejar sambil berteriak-teriak. Ouw Hui segera
mencekal les dan menga-burkan kudanya sekeras-kerasnya.
Sesudah mengejar belasan tombak, pengejar-pengejar itu
kembali ke gedung sembari berteriak-teriak: "Kuda! Lekas
siapkan kuda!"
Dengan hati berdebar-debar Ouw Hui terus membedal
kuda. Sesudah lari kira-kira satu lie, mendfidak terdengar
teriakan-teriakan dan dua pu-luh lebih Wie-su yang
menunggang kuda mengejar dari belakang. Kuda-kuda itu
adalah binatang pilihan, sehingga semakin lama mereka
datang semakin dekat.
Ouw Hui jadi bingung. "Aku berada di kota raja yang tidak
boleh dipersamakan dengan kota-kota lain," pikirnya. "Dengan
adanya suara ribut-ribut, tentara peronda kotabisasegera turut
turun tangan dan aku sukar meloloskan diri lagi."
Ia menengok ke belakang dan lihat semua pe-ngejar itu
membawa obor. Ia melirik kepada Ma It Hong dan hatinya jadi
semakin berkhawatir. Tadi nyonya itu masih merintih, tapi
sekarang suara rintihannya sudah tidak terdengar lagi. "Ma
Kouw-nio," ia memanggil. "Perutmu sakit?" Ia memanggil
beberapa kali, tapi It Hong tetap tidak menjawab.
Ia menengok lagi dan melihat pengejar-pengejar sudah
datang terlebih dekat. Tiba-tiba sebulir batu Hui-hong-sek
menyambar punggungnya. Dengan cepat ia menangkapnya
dan balas menim-puk. Sambil mengeluarkan teriakan keras,
orang itu jatuh terguling.
Hasil itu menyadarkan Ouw Hui. Jalan paling baik untuk
mengundurkan musuh adalah meng-gunakan senjata rahasia,
hanya sayang ia tidak mem-bekalnya. Sesudah mendapat
pelajaran pahit, para .Wie-su tidak berani menyerang lagi
dengan senjata rahasia.
Ouw Hui jadi semakin bingung. Perjalanan ke Soan-bu-bun
masih jauh, sedang teriakan-teriakan orang-orang itu sudah
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasti akan menarik perhatian serdadu peronda. Dalam
bingungnya ia ingat mangkok yang berada dalam sakunya. Ia
segera meremas mangkok itu - hanya pantat mangkok yang
tidak dihancurkan - dan mencekal kepingan-kepingan persolen
dalam tangannya. Dengan sekali meng-ayun tangan kiri, lima
Wie-su rubuh disambar ke-pingan mangkok pada jalan
darahnya, sedang tiga Wie-su lainnya yang berkepandaian
lebih tinggi, dapat menyampok "senjata rahasia" itu dengan
go-lok mereka. Beberapa orang lantas saja melompat turun
dari tunggangannya untuk menolong kawan-kawannya yang
rubuh, sedang yang lainnya tidak berani datang terlalu dekat
lagi. Ouw Hui bernapas lebih lega. la girang ketika mendapat
kenyataan, bahwa Ma It Hong masih bernapas dan kadangkadang
mengeluarkan rintih-an perlahan. Sementara itu, ia
sudah hampir tiba di gedungnya. Waktu tiba di jalan
bereabang, ia mem-belokkan kereta ke jurusan barat, sedang
gedungnya berada di sebelah timur. Sesudah membelok lagi di
sebuah tikungan, sambil mendukung It Hong, ia mencambuk
kuda beberapa kali, sedang ia sendiri melompat ke atas
sebuah rumah. Kereta itu kabur terus ke arah barat dengan
dikejar oleh para Wie-su.
Sesudah para pengejar pergi jauh, barulah Ouw Hui
kembali ke gedungnya dengan mengambil jalan dari atas atap
rumah-rumah penduduk. Baru ia melompati tembok
gedungnya, sudah terdengar suara Leng So: "Toako, kau
kembali! Kau dikejar orang?"
"Ma Kouwnio kena racun hebat, coba periksa," kata sang
kakak. Sambil mendukung It Hong, Ouw Hui masuk ke
ruangan tengah dan Leng so menyulut lilin. Sambil
menggelengkan kepala, si nona mengawasi muka nyonya itu
yang bersorot abu-abu. Ia memijit jari-jari tangan It Hong,
ternyata da-gingnya tetap melesak, tidak membal ke atas lagi.
"Kena racun apa?" tanyanya.
Dari dalam sakunya Ouw Hui mengeluarkan pantat
mangkok, "Kena racun yang ditaruh di dalam somthung,"
jawabnya. "Inilah pantat mangkok som-thung itu."
Leng So mencium pantat mangkok itu. Sebagai ahli urusan
racun, ia lantas saja berkata dengan suara kaget: "Hebat!
Inilah racun Ho-teng-hong."
"Masih bisa ditolong?" tanya Ouw Hui.
Sebelum menyahut, Leng so memegang dada It Hong.
"Kalau bukan orang kaya raya, tak nanti mempunyai racun
yang mahal itu," katanya.
"Benar," kata Ouw Hui dengan suara gusar, "Yang menaruh
racun adalah nyonya Siang-kok (perdana menteri), ibunya
Peng-po Siang-sie."
Leng So mengangguk, kedua matanya mengawasi It Hong
dengan penuh perhatian. Melihat paras muka adiknya yang
tidak memperlihatkan sinar putus harapan, hati Ouw Hui agak
lega. Sesudah mengawasi beberapa saat, Leng So membuka
kelopak mata It Hong. Mendadak ia mengeluarkan seruan
tertahan: "Aha!"
Ouw Hui terkesiap. "Mengapa?" tanyanya.
"Di samping Ho-teng-hong, terdapat juga Hoan-bok-pie,"
jawabnya. Ouw Hui tidak berani menanya, "Bisa ditolong atau tidak?"
Sambil mengawasi adiknya, ia bertanya: "Bagaimana
menolongnya?"
Alis si nona berkerut: "Dengan adanya dua macam racun
itu, kita jadi lebih berabe," jawabnya. Ia masuk ke kamar dan
mengambil dua butir yo-wan putih. Sambil memasukkan obat
itu ke dalam mulut It Hong, ia berkata: "Kita harus
menaruhnya di dalam sebuah kamar yang sunyi, menusuk tiga
belas jalanan darahnya dengan jarum emas dan kemudian
memasukkan obat ke dalam tubuhnya dari jalan darah.
Sebenarnya, dengan menggunakan jarum, kita dapat
menolongnya dengan segera, akan tetapi, selama dua belas
jam ia tidak boleh bergerak sedikit pun jua."
"Kita tidak dapat menggunakan jarum di sini, karena Wiesu
Hok Kong An akan segera datang," kata Ouw Hui. "Kita
harus cari sebuah rumah di kampung yang sepi."
"Kalau begitu kita harus berangkat sekarang juga," kata
Leng So. "Dua butir yo-wan itu dapat mempertahankan
jiwanya selama satu jam." la menghela napas dan berkata
pula: "Walaupun ke-jam, pengetahuan tentang racun dari
nyonya Siang-kok itu masih sangat rendah. Dengan
mencampur dua macam racun dan menaruhnya di dalam somthung,
tenaga racun itu menjadi lemah. Kalau bukan begitu,
jiwa Ma Kouwnio tentu sudah melayang."
Cepat-cepat Ouw Hui berkemas. "Pada jaman ini, siapakah
yang dapat menandingi ilmunya Tok-chiu Yo-ong?" katanya.
Leng So tersenyum. Selagi ia mau menjawab, tiba-tiba
terdengar suara kaki kuda yang menda-tangi dari sebelah
kejauhan. Ouw Hui menghunus golok dan berkata: "Kita
terpaksa mesti bertempur." Ia bingungdan berkata pula:
"Semakin lama jumlah musuh tentu semakin banyak. Kalau
bahaya terlalu besar, paling banyak aku bisa menolong Jiemoay.
Bagaimana kita dapat menolong Ma Kouwnio?"
"Dalam kota raja, tak dapat kita menggunakan kekerasan,"
kata si adik. "Toako, coba kau menyusun kursi meja sampai
merupakan sebuah ra-ngon tinggi."
Ouw Hui tak mengerti maksudnya, tapi karena tahu
kepintarannya si adik, tanpa menanya lagi, ia lalu menyusun
semua meja dan kursi yang berada dalam ruangan itu.
Sambil menuding satu pohon besar yang tum-buh di luar
jendela, Leng so berkata: "Bersama Ma Kouwnio, kau
bersembunyi dalam pohon itu."
Ouw Hui segera memasukkan goloknya ke dalam sarung
dan buru-buru mendukung Ma It Hong. Dengan sekali
mengenjot badan, ia hinggap di atas satu dahan dan lalu
menyembunyikan nyonya itu di antara daun-daun yang
rindang. Sementara itu, dengan melompati tembok, be-berapa Wiesu
sudah masuk ke dalam pekarangan gedung dan dengan
membentak-bentak, ia mena-nyakan keterangan dari
pengurus rumah.
Leng So meniup lilin dan dari sakunya ia mengeluarkan
sebatang lilin lain yang lalu disulutnya dan ditancapkan di
sebuah ciak-tay. Sesudah menutup jendela dan pintu, barulah
ia melompat naik ke pohon itu dan berdiri di samping
kakaknya. "Semuanya ada tujuh orang," bisik Ouw Hui.
"Tenaga obat lebih dari cukup!" jawab si adik.
Sekarang Ouw Hui mengetahui, bahwa lilin yang dipasang
oleh adiknya adalah lilin racun.
Para Wie-su itu sudah mulai menggeledah. Di antara suara
mereka, Ouw Hui kenali, bahwa salah seorang adalah In Tiong
Shiang. Karena jeri terhadap Ouw Hui dan juga sebab Wan Cie Ie
masih berada dalam gedung itu, mereka tidak berani berlaku
sembrono dan tidak berani menggeledah dengan berpencaran.
Sambil menyerahkan sebutir batu ke dalam tangan Ouw
Hui, Leng So berbisik: "Toako, ru-buhkan sebuah kursi dengan
batu ini!"
"Bagus!" kata sang kakak sambil tertawa dan lalu
menimpuk. Batu itu mengena tepat pada kursi yang di tengahtengah
dan dengan satu suara ge-debrukan, beberapa kursi
meja yang berada di atas-nya terguling di lantai.
"Di sini! Di sini!" teriak para Wie-su. Beramai-ramai mereka
meluruk ke ruangan itu. Tapi, kecuali kursi meja yang jatuh
berhamburan, dalam ruangan itu tak terdapat bayangan
manusia. Mendadak mereka merasa puyeng dan tak ampun
lagi ambruk di lantai.
Dengan cepat Leng So melompat masuk lagi ke dalam
ruangan itu, meniup lilin yang lalu dimasuk-kan ke dalam
sakunya. "Ayo berangkat!" katanya seraya menggapai Ouw
Hui. Ouw Hui lantas saja mendukung Ma It Hong dan bersama
adiknya, ia melompati tembok. Belum jalan beberapa jauh, ia
mengeluh, karena di sebelah depan terlihat barisan tentara
yang sedang melang-kah melakukan penggeledahan dengan
membawa obor dan tengloleng.
Buru-buru mereka membelok ke selatan, tapi belum
setengah li, mereka sudah bertemu pula dengan sepasukan
tentara yang meronda.
"Pembunuhan dalam gedung Hok Thayswee rupanya sudah
diketahui," kata Ouw Hui di dalam hati. "Bagaimana baiknya"
Tak mudah untuk meloloskan diri ke luar kota." Sekonyongkonyong
ia dengar suara ribut-ribut di belakangnya dan
sepasukan tentara kelihatan mendatangi dari sebelah
belakang. Ouw Hui bingung, musuh mendatangi dari depan
dan dari belakang. Sambil memberi isyarat kepada Leng so, ia
melompati tembok pe-karangan sebuah gedung, diturut oleh
adiknya. Mereka hinggap di atas rumput yang empuk dari sebuah
taman. Tiba-tiba mereka terkesiap, karena taman itu terangbenderang
dan tak jauh dari tempat mereka berdiri, kelihatan
berkumpul banyak orang. Hampir berbareng, di luar tembok
terdengar suara ramai, sebagai tanda, bahwa kedua pasukan
tadi yang datang dari depan dan dari belakang, sudah
bertemu satu sama lain, sehingga mereka tak akan dapat
melarikan diri lagi dari jalanan itu. Untung juga, Ouw Hui lihat
sebuah gunung-gunungan yang teraling dengan pohon-po-hon
bunga. Dengan cepat ia melompat ke belakang gununggunungan
itu untuk menyembunyikan diri.
Mendadak, sehelai sinar putih berkelebat dan sebatang
golok menyambar dada. Ouw Hui kaget bukan main, sedikit
pun ia tidak menduga, bahwa di belakang gunung-gunungan
itu bersembunyi musuh. Mau tidak mau, ia melepaskan Ma It
Hong yang menengkurap di punggungnya, tangan kirinya
menyanggah sikut orang itu, tangan kanannya balas
menyerang. Orang itu pun tak kurang lihaynya. Ia mengegos
dan goloknya kembali menyambar, sedang tangan kirinya
coba menangkap pergelangan tangan Ouw Hui dengan ilmu
Kin-na Chiu-hoat. Apa yang luar biasa, dia memakai topeng
kain kuning dan menyerang tanpa bersuara. "Bagus juga dia
menutup mulut, pikir Ouw Hui. "Sekali dia berteriak, tentara
yang berada di luar tembok pasti akan segera meluruk."
Mereka lantas saja bertempur dengan hebat-nya.
Kepandaian orang itu tidak berada di sebelah bawah Cin Nay
Cie dan dengan bersenjata, ia menarik banyak keuntungan
atas Ouw Hui yang ber-kelahi dengan tangan kosong. Pada
jurus ke sem-bilan, barulah Ouw Hui berhasil menotok jalan
darah Kiu-bwee-hiat, di dada orang itu. Tapi dia ternyata
gagah sekali. Biarpun sudah kena ditotok, ia masih dapat menendang.
Sesudah Ouw Hui menotok jalan darah Tiong-touw-hiat, di
tumit kakinya, barulah ia rubuh.
Sesudah musuh rubuh, Leng So menyentuh pundak
kakaknya dan sambil menuding ke tempat yang banyak
lampunya, ia berbisik: "Toako, ke-lihatannya bakal ada
pertunjukan wayang."
Ouw Hui mendongak dan melihat sebuah panggung
wayang yang berdiri di dalam pekarangan yang luas, sedang
di depan panggung berderet-deret kur-si yang sudah penuh
dengan penonton, tapi pertunjukan belum dimulai. Jaman itu
adalah jaman Kaisar Kian-liong yang sangat makmur dan di
kota raja, setiap kali pembesar negeri atau hartawan
mengadakan pesta, mereka tentu memanggil wayang yang
main sampai beberapa had, siang malam tiada putusnya.
Sambil mengangguk, Ouw Hui membungkuk dan
mencopotkan kain kuning yang menutupi muka lawan yang
sudah rubuh itu.
Remang-renang, ia lihat muka yang kasar dari seorang
berusia kira-kira empat puluh tahun. "Mungkin dia pencuri,"
katanya dengan suara perlahan.
"Kurasa bukan buaya kecil," kata Leng So.
Ouw Hui tertawa. "Siapa tahu" Dalam kota raja, penjahat
kecil pun bisa memiliki kepandaian tinggi," katanya. Tapi di
dalam hati, ia mengakui, bahwa dilihat dari kepandaiannya tak
mungkin orang itu penjahat biasa.
"Apa tidak baik kita cari sebuah kamar yang terpencil dan
sepi dalam gedung yang besar ini, untuk bersembunyi dua
belas jam lamanya?" bisik si nona.
"Ya, itu memang jalan satu-satunya," jawab sang kakak.
"Dengan berkumpulnya begitu banyak orang, kita pasti tak
bisa keluar tanpa diketahui orang.
Baru saja ia berkata begitu, tirai di atas panggung
mendadak terbuka dan muncul seseorang yang mengenakan
ma-kwa linen. Ia memberi hormat dan segera berkata dengan
suara nyaring: "Para Supeh, Susiok dan saudara-saudara
seperguruan!"
Mendengar kata-kata pembukaan itu, Ouw Hui mengerti,
bahwa panggung tersebut bukan panggung wayang.
Orang itu melanjutkan pembicaraannya: "Seka-rang fajar
sudah menyingsing dan tiga hari lagi, kita akan menghadapi
pertemuan besar antara para Ciangbunjin. Tapi sampai pada
detik ini, See-gak Hoa-kun-bun belum mempunyai
Ciangbunjin. Urusan ini tidak dapat ditunda-tunda lagi dan
bagai-mana harus diselesaikannya, aku menyerahkan ke-pada
para Cianpwee dari berbagai pay." (pay = partai)
Seorang tua yang mengenakan ma-kwa hitam, yang duduk
di bawah panggung, lantas saja bangun berdiri. Ia batukbatuk
beberapa kali, dan lalu berkata: "Hoa-kun Su-sip-pat,
Gee-seng-heng-thian-hee. Sedari tiga abad yang lalu, See-gak
Hoa-kun-bun terpecah menjadi lima partai, yaitu Partai Gee,
Seng, Heng, Thian dan Hee. Semenjak tiga abad, memang
kita tidak pernah mempunyai Cong ciang-bun (pemimpin
besar). Kelima partai itu telah maju dengan makmurnya. Akan
tetapi, semua saudara-saudara hanya memperhatikan partai
masing-ma-sing. Setiap orang mengatakan: "Aku dari Gee-ciepay
(partai huruf Gee), aku dari Seng-cie-pay (partai huruf
Seng) dan sebagainya. Mereka tidak ingat, bahwa di mata
orang luar mereka semua dianggap sebagai anggota See-gak
Hoa-kun-bun. Anggota partai kita sangat besar jumlahnya dan ilmu yang
diturunkan oleh Loo-couw (kakek guru) juga bukan ilmu
Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sembarangan, akan tetapi, kita tak bisa menandingi Siauw-lim,
Bu-tong, Thay-kek, Pat-kwa dan Iain-lain partai. Mengapa"
Karena kita terpecah-pecah dan karena perpecahan itu, kita
jadi lemah. Ya! Apa mau dikata?" la batuk-batuk beberapa kali,
menghela napas dan kemudian berkata pula: "Kalau bukan
Hok Thayswee mengadakan pertemu-an para Ciangbunjin,
entah sampai kapan See-gak Hoa-kun-bun baru punya
Ciangbunjin. Untung juga terjadi kejadian begini, sehingga
mau tak mau, kita mesti juga mengangkat seorang CiongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ciang-bun. Hari ini, aku si tua, ingin mengutarakan pendapatku:
Ciangbunjin yang akan dipilih oleh kita sekrang, bukan
saja harus membikin terang muka See-gak Hoa-kun-bun
dalam pertemuan itu, tapi juga harus membereskan urusan di
dalam partai, supaya kelima cabang itu, kembali kepada
asalnya yang semula, agar kita beramai-ramai, dengan
bersatu padu, da-pat menonjolkan nama See Gak-kun-bun
dalam Rimba Persilatan."
Pembicaraan orang tua itu disambut dengan sorak-sorai
dan tepuk tangan oleh para hadirin.
Sekarang Ouw Hui baru mengerti maksud ber-kumpulnya
orang-orang itu. la memandang ke em-pat penjuru dengan
niatan mencari tempat yang agak sepi untuk menyingkirkan
diri. Tapi semua jalanan berada di bawah sinar lampu dan
dalam taman itu berkumpul kira-kira dua ratus orang,
sehingga begitu keluar dari tempat bersembunyi, mereka pasti
dilihat orang, Ouw Hui jadi bingung. la hanya berdoa, supaya
pemilihan Ciangbunjin itu bisa selesai secepat mungkin.
"Perkataan Coa Supeh merupakan nasehat yang sangat
berharga," kata orang yang berdiri di atas panggung. "Sebagai
pemimpin Gee-cie-pay, dengan memberanikan hati boanpwee
mewakili para sau-dara separtai, memilih Ciangbunjin, maka
kami semua dengan satu hati, akan menutut segala perintah
Ciangbunjin tersebut. Apa yang dikatakan oleh pemimpin kita
itu, tak akan dibantah oleh orang-orang Gee-cie-pay."
"Bagus!" teriak seorang dengan suara nyaring.
Pemimpin Gee-cie-pay itu tersenyum dan berkata:
"Bagaimana pendapat Iain-lain pay?"
Salah seorang yang berada di bawah panggung bangun
berdiri dan menjawab dengan suara nyaring: "Kami dari SengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
cie-pay juga tak akan menentang segala perintahnya
Ciangbunjin baru."
Dengan beruntun-runtun, beberapa orang bangun berdiri.
"Perintah dari Ciangbunjin kita akan diturut seanteronya
oleh Heng-cie-pay."
"Hee-cie-pay adalah partai yang paling bungsu, kalau kakak
jalan, adik tak bisa tidak menurut."
"Bagus!" kata orang yang berdiri di atas panggung. "Semua
golongan bersatu padu dan kita tidak bisa mengharapkan
yang lebih baik daripada ini. Sekarang para tetua dari berbagai
partai, para Supeh dan Susiok sudah berada di sini dan yang
masih belum tiba hanyalah Kie Supeh dari Thian-cie-pay.
Orang tua itu telah mengirim sepucuk surat yang
memberitahukan, bahwa ia telah mengirimkan pu-teranya,
yaitu Kie Suheng, untuk mewakilinya da-lam pertemuan kita
ini. Tapi ditunggu sampai sekarang, Kie Suheng belum juga
muncul. Kudengar Suheng ini agak luar biasa dan di antara
kita, siapa pun juga belum pernah bertemu dengannya. Mungkin
sekali ia sudah berada di sini dan menyem-bunyikan diri,
entah di mana...."
Berkata sampai di situ, ia disambut dengan gelak tertawa.
"Apakah kau she Kie?" Ouw Hui tanya pecun-dangnya.
Orang itu mengangguk, ia kelihatan bingung ka-rena tak
tahu siapa adanya Ouw Hui dan Leng So.
"Sesudah menunggu hampir semalam suntuk dan Kie
Suheng belum juga datang, kita sekarang tidak dapat
menunggu lebih lama lagi," kata pula orang yang berdiri di
atas panggung. Di belakang hari, Kie Supeh tentu tak bisa
marahi kita. Kini aku memohon petunjuk para Cianpwee,
Supeh, Susiok, cara bagaimana kita harus memilih
Ciangbunjin."
Mendengar perkataan itu, semua orang yang sudah
menunggu lama dengan tidak sabar, lantas saja jadi
bersemangat dan mereka berlomba-lomba mengajukan usul.
"Adu ilmu silat!"
"Memang! Kalau bukan adu silat, mau adu apa?"
"Kita harus gunakan senjata tulen!"
Di antara teriakan-teriakan itu, si orang she Coa kembali
bangun berdiri dan batuk-batuk bebe-rapa kali. "Sebenarnya,
dalam memilih Ciangbunjin, kita harus lebih mengutamakan
pribudi daripada kepandaian silat," katanya. "Anak-anak muda
sekarang, betapapun tinggi ilmu silatnya, tak akan dapat
menandingi para Cianpwee yang pribudinya luhur dan
dihormati orang." Ia berdiam sejenak dan kedua matanya
yang tajam menyapu para hadirin. "Tapi kita sekarang tengah
menghadapi keadaan luar biasa," katanya pula. "Pertemuan
para Ciangbunjin yang bakal diadakan merupakan pertemuan
para orang gagah dan secara wajar, mereka masing-masing
akan mengeluarkan kepandaian. Andaikata See-gak Hoa-kunbun
memilih seorang tua bangka yang luhur pribudinya, dalam
pertemuan tersebut, belum tentu orang dapat menghargai
pribudi tua bangka itu...."
Para hadirin tertawa berkakakan, sedang Leng so cekikikan
sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan.
Sesudah gelak tertawa mereda, si tua berkata pula: "Hoakun
Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee. Hanya sayang,
selama beberapa ratus tahun, tak pernah ada seorang pun
dapat memahami seluruh ilmu silat Hoa-kun-bun yang
mempunyai em-pat puluh delapan jalan. Di hari ini, siapa yang
memiliki kepandaian paling tinggi, dialah yang akan menjadi
Ciangbunjin kita."
Pembicaraan si tua disambut dengan sorak sorai.
Tiba-tiba pintu depan digedor keras. Semua orang terkejut.
"Apa Kie Suheng?" tanya seorang. Beberapa orang lantas
membuka pintu dan begitu pintu ter-buka, segera menerobos
masuk sejumlah serdadu yang membawa obor dan tengloleng.
Dengan tangan kanan mencekal golok, tangan kiri Ouw Hui
memegang tangan Leng So dan mereka saling mengawasi
sambil tersenyum. Dalam menghadapi bahaya, hati kedua
orang muda itu lebih bersatu padu. Tapi di lain saat, si nona
menunduk dan paras mukanya berubah duka.
Perwira yang memimpin rombongan serdadu itu, segera
menanyakan keterangan dari beberapa orang. Begitu
mengetahui, bahwa orang-orang itu berkumpul untuk memilih
Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun, sikapnya lantas saja
berubah hormat, tapi dengan menggunakan obor dan
tengloleng, ia dan tentaranya lantas saja menyuluhi muka
setiap orang dan menyelidiki di seputar taman itu.
Ouw Hui dan Leng So siap sedia. Jika tentara itu
menyatroni sampai di belakang gunung-gunung-an, tiada lain
jalan daripada menyerang.
Tiba-tiba, selagi sinar obor mendekati gunung-gunungan,
orang yang berdiri di atas panggung sudah berkata pula:
"Siapa yang ilmu silatnya paling tinggi, dialah yang menjadi
Ciangbunjin. Hal ini sudah didengar dan disetujui oleh kita
semua. Maka itu, para Supeh, Susiok, Suheng-tee dan Sucimoay
boleh segera naik ke sini untuk memperlihatkan
kepandaian yang paling istimewa."
Undangan itu disusul dengan melompat naik seorang
wanita muda yang mengenakan baju warna dadu. "Ko In,
murid Heng-cie-pay, meminta pelajar-an dari para Supeh,
Susiok dan saudara-saudara," katanya dengan suara merdu.
Melihat ilmu mengentengkan badan nona itu yang sangat
bagus, ditambah dengan pakaiannya yang indah dan parasnya
yang cantik, para hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan
dan sorakan. Serdadu-serdadu yang tengah menghampiri,
gunung-gunungan itu jadi kagum bukan main dan habislah
kegembiraan mereka untuk melanjutkan penggele-dahan.
Baru habis si nona memperkenalkan diri, seorang pemuda
sudah melompat ke atas. "Thio Hok Liong, murid Gee-cie-pay,
ingin meminta pelajaran dari Ko Suci," katanya seraya
memberi hormat. "Thio Suheng tak usah berlaku sungkan,"
kata nona Ko. Ia menekuk sedikit betis kanan, melonjorkan
betis kiri, melintangkan telapak tangan kanan dan
membengkokkan tangan kiri. Itulah pukulan per-tama dari
Hoa-kun, Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan (pukulan
menunggang harimau). Thio Hok Liong mengangkat lututnya
dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya dalam
gerakan San-yang Teng-kie Kak-tok-hian (Kambing hinggap di
dahan pohon, kakinya menggelantung). Mereka lantas saja
bertempur dengan hebatnya, dengan masing-ma-sing
menggunakan ilmu silat Hoa-kun-bun. Sesudah lewat kira-kira
dua puluh jurus, bagaikan kilat, nona Ko menyerang dengan
pukulan Hui-tauw Bong-goat Hong-tian-cie (Mernutar kepala
melihat rem-bulan, burung Hong membuka sayap), kakinya
melompat, tangannya menyambar, sehingga tak ampun lagi,
Thio Hok Liong rubuh ke bawah panggung.
"Bagus!" teriak si perwira, "Sungguh lihay nona itu."
Di lain saat, seorang lelaki yang bertubuh kasar sudah
melompat ke atas panggung dan sehabis mengucapkan katakata
merendahkan diri, mereka lantas saja bertempur. Kali ini,
Ko In-lah yang rubuh ke bawah, karena kakinya terpeleset.
"Sayang! Sayang sungguh!" seru si perwira. Sesudah nona
itu rubuh, ia tidak mempunyai kegem-biraan untuk menonton
terus dan sambil mengajak anak buahnya, ia segera
meninggalkan gedung itu, untuk menjalankan tugas di tempat
lain. Melihat rombongan serdadu sudah berlalu, hati Leng So
jadi agak lega. Tapi sesudah beberapa lama, hatinya jadi
jengkel dan tidak sabar, karena pertem-puran berlangsung
terus tak henti-hentinya, yang satu turun, yang lain naik dan
begitu seterusnya. Sampai kapan baru mereka berhasil
memilih Ciang-bunjin" Ia melirik Ouw Hui yang ternyata
sedang memperhatikan jalan pertandingan dengan sepe-nuh
perhatian. Si nona heran dan berkata dalam hatinya: "Biarpun
kepandaian mereka tidak dapat dikatakan rendah, tapi mereka
bukan ahli silat kelas satu. Mengapa Toako memperhatikan
sampai ter-longong-longong?" Ia menyentuh tangan kakaknya
dan berbisik: "Toako, sekarang sudah lewat lebih dari
setengah jam. Kita harus berdaya untuk menolong Ma
Kouwnio secepat mungkin. Kalau ter-lambat, mungkin jiwanya
melayang." Ouw Hui ha-nya menyahut dengan suara "hm",
tapi matanya tetap mengawasi panggung.
Beberapa saat kemudian, salah seorang jatuh, disusul
dengan naiknya seorang lain yang lantas saja mulai
bertanding dengan orang yang menang.
Dalam pertandingan itu, meskipun mereka orang sekaum,
akan tetapi yang bertempur adalah murid-murid dari partai
yang berlainan. Kalah menang mereka mengenakan langsung
kepada nama partai masing-masing, sehingga dengan
demikian, mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dilihat
dari jalan pertandingan, pentolan-pentolan kelima partai Hoakun-
bun belum ada yang muncul dan hal itu lebih-lebih
menjengkelkan Leng So, karena tak dapat diramalkan lagi,
sampai kapan pertandingan bisa selesai.
Melihat kakaknya memperhatikan pertempur-an itu seperti
orang kehilangan semangat, si nona berkata dalam hatinya:
"Hm! Toako adalah seorang yang tergila-gila dengan ilmu
silat. Begitu lihat orang pie-bu, ia melupakan segala apa."
Sambil menepuk pundak Ouw Hui, ia berkata dengan suara
perlahan: "Kita sudah tak mempunyai banyak tempo lagi.
Paling benar kita coba keluar dari sini. Menurut pendapatku,
sebagai orang-orang gagah dari Rimba Persilatan, belum tentu
mereka mencelakakan kita dengan melaporkan kepada
pembesar ne-geri."
Ouw Hui menggelengkan kepala. "Urusan lain masih tidak
apa, tapi dalam urusan yang mengenakan Hok Thayswee,
mana bisa mereka tinggal diam saja?" katanya. "Dengan
mencelakakan kita, mereka mendapat kesempatan untuk
memperoleh pahala.
"Kalau begitu, untung-untungan di sini saja kita niengobati
Ma Kouwnio," kata pula Leng So. "Tapi celakanya, di siang
hari, bersembunyinya kita di tempat ini pasti diketahui orang."
Waktu meng-ucapkan kata-kata itu, nadanya bingung sekali.
Dalam keadaan terdesak, nona Thia yang cerdas dan tenang
jadi putus asa.
Tapi Ouw Hui hanya menyahut dengan "hm", sedang kedua
matanya tetap mengawasi kedua ang-gota Hoa-kun-bun yang
sedang bertanding di atas panggung. Leng So men
Kisah Sepasang Rajawali 30 Pendekar Kembar Karya Gan K L Kisah Para Pendekar Pulau Es 22