Pencarian

Kitab Pusaka 12

Kitab Pusaka Karya Tjan Id Bagian 12


angnya melamban, belum sempat dia
berbuat sesuatu tahu-tahu segulung angin lembut sudah
mendorong tubuhnya sahingga mundur sejauh beberapa
langkah. Dengan cepat dia mendongakkan kepalanya tahu-tahu
diatas panggung telah bertambah dengan seorang pemuda
berpakaian sastrawan.
Waktu itu, sebenarnya Yap Cui cui mengira dirinya pasti
akan tewas, siapa tahu dari tengah udara muncul seorang
bintang penolong yang telah menyelamatkan jiwanya.
Setelah rasa kagetnya hilang, dia melihat penolongnya
adalah seorang pemuda yang berwajah amat tampan, tergetar
keras pedangnya, sambil menjura katanya kemudian:
"Atas pertolongan anda, budi kebaikan ini tak akan
kulupakan untak selamanya"
Kemudian agak tersipu-sipu dia kembali kearah barak
sebelah barat....
Suma Thian yu yang berada dibawah panggungpun merasa
sangat terkejut setelah menyaksikan kemunculan pemuda
sastrawan itu, tanpa terasa gumamnya:
"Mengapa dia pun bisa muncul disini" Jangan-jangan dia
khusus datang kemari untuk mengejarku?"
Si pelayan yang mendengar gumaman ini segera
menimbrung dengan rasa tercengang:
"Kek koan, apa kau bilang" Dia mengejarmu" Apakah kau
kenal dengan dirinya?"
Suma Thian yu menggelengkan kepalanya sambil
membungkam dalam seribu bahasa, maka pelayan itupun
tidak bertanya lagi.
Ternyata orang yang berada diatas panggung sekarang
adalah Chin Siau, tampak dia berdiri disitu dengan amat
gagahnya. Dengan dandanannya sebagai seorang pelajar ditambah
pula dengan tingkah lakunya yang halus dan teratur, siapa
pun tak akan menyangka bahwa pemuda selembut ini memiliki
kepandaian silat tinggi.
Akan tetapi kenyataan telah terbentang didepan mata,
cukup dari gerakan tubuhnya saja, setiap orang sudah dibuat
kagum setengah mati.
Yaa, siapakah diantara mereka yang hadir sekarang dapat
melakukan gerakan macam ini"
It tim tojin yang menyaksikan penampilan pemuda tersebut
membuat daging gemuk yang sudah hampir berada dimulut
terlepas kembali, jadi naik darah, bagaimana mungkin dia bisa
tahan membiarkan hal semacam itu terjadi"
Dengan suara yang menyeramkan dia lantas membentak:
"Bocah muda, kau terlalu suka mencampuri urusan orang
lain, kau harus tahu, banyak mencampuri urusan orang hanya
akan menimbul kan bencana kematian bagi diri sendiri, Toaya
menasehati kepadamu lebih baik janganlah mengorbankan diri
demi seorang wanita, terlalu besar kerugian mu itu...."
Chin Siau bersikap dingin dan kaku, setelah mendengar
ucapan mana, sahutnya hambar:
"Bukankah tujuan mendirikan panggung lui tay ini untuk
saling menguji kepandaian?" Tapi bagaimanakah
kenyataannya" Totiang berusaha untuk membinasakan
lawanmu, apakah beginikah peraturan dari di dirikannya
panggung lui tay?"
"Kurang ajar, darimana kau bisa tahu jika toaya bermaksud
hendak membinasakan dia?" bentak It tim totiang dengan
gusar. Chin Siau mendengus dingin.
"Hmmm! Sudah lama kukagumi kelihayan dari ilmu pedang
aliran Mao san pay, sungguh beruntung aku bisa menyaksikan
sendiri, hal ini, apabila totiang tidak menampik, tolong berilah
sedikit petunjuk kepadaku sehingga maksud hatiku dapat
terpenuhi"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, para hadirin berbisikbisik
memperbincangkan kejadian ini.
Sang pelayan pun berkata pula sambil menghela napas:
"Mungkin sastrawan itu terkena penyakit kurang beres
pikiran nya, apa dia sudah bosan hidup sehingga pingin
mencari kematian bagi diri sendiri" Mau berguru mah boleh
saja, tapi jangan sembarangan macam dia itu"
Suma Thian yu tertawa terbahak-kahak.
"Haaah...haahh...hei pelayan, bagaimana kalau kita
bertaruh" Aku tebak pemuda itu pasti dapat menangkan
pertarungan ini"
"Boleh boleh saja, cuma aku tak ingin merebut keuntungan
dari mu kek koan, aku lihat kita tak usah bertaruh saja nanti
kalau aku menang, orang akan menuduhku membohongimu!"
Sekali lagi Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak.
"Haah... haah... haaah... asal aku senang siapa yang dapat
menghalanginya?"
Kemudian sambil memperlihatkan jari tangannya, dia
berseru: "Bagaimana kalau bertaruh lima tahil perak saja?" Kali ini
sang pelayan yang tertawa tergelak.
"Haaahh... haaahh... haaahh.... lima tahil perak" Sepuluh
kali lipat lebih pun aku berani, kek koan, bagi kalian yang
berduit, lima tahil bukan seberapa, tapi kalau ingin kalahpun
harus kalah dengan puas, jika tahu sudah pasti akan kalah
tapi tetap bertaruh, itu mah namanya..."
"Sudahlah, jangan banyak berbicara lagi, cepat kau lihat!"
Sementara itu It tim tojin sudah mengangkat pedangnya
sambil bersiap sedia melakukan serangan, wajahnya
menyeringai seram, sekulum senyuman angkuh menghiasi
bibirnya, kemudian pedang itu digerakan kedepan, nampaknya
seperti melamban tapi sesungguhnya mengandung suatu
perubahan yang luar biasa.
Sebagaimana diketahui, Chin Siau belum lama turun
gunung, sedikit sekali jago persilatan yang mengenali dirinya,
oleh karena itu baik jagoan di barak sebelah timur maupun
yang berada disebelah barat merasa kuatir juga bagi
keselamatan jiwanya.
Padahal tujuan Chin Siau sejak turun gunung adalah angkat
nama dan menggetarkan dunia perrsilatan.
Oleh sebab itu dia bersikap amat tenang meski
menyaksikan It tim tojin mengerakkan pedangnya, ia sama
sekali tak berkutik, serunya sambil tertawa dingin.
"Totiang, maaf kalau aku akan berbicara takabur, sekarang
aku hendak merebut tusuk konde mu itu"
It tim totiang membentak gusar, pergelangan tangannya
segera diputar lalu melancarkan sebuah tusukan dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat, umpatnya:
"Bocah keparat, kau kelewat kurang ajar!"
"Hmmmm...hmmmm... buktikan saja kekurang ajaran ku
ini!" jengek Chin Siau sambil tertawa sinis.
Begitu habis berkata, cahaya tajam berkelebat lewat dari
punggungnya, kemudian setelah cahaya pedang berputar
ditengah gelak tertawa nyaring Chin Siau telah mundur
kembali ke belekang.
It tim totiang hanya merasakan pangdangannya menjadi
kabur, lalu pihak lawan sudah mundur kembali. Sesudah agak
tertegun, ia lantas membentak gusar:
"Bocah keparst, kau ketakutan" Jangan kabur dulu, agar di
kemudian hari jangan suka mencampuri urusan orang lain
lagi!" Chin Siau segera mendonggakkan kepalanya lalu tertawa
terbahak-bahak.
"Haaah...haah...haaah.. totiang, kau suka bergurau, lihat
saja dulu rambutmu!"
Mendengar ucapan mana, It tim totiang segera memeriksa
ikatan rambutnya, siapa tahu begitu tersentuh, rambutnya
segera terurai berantakan....
Gelak tertawa yang sangat ramai dengan cepat meledak
dan memecahkan keheningan, sebagian diantaranya ada yang
mengumpat: "Dasar tosu bau yang tak tahu malu!"
Suma Thian yu berpaling kearah pelayan itu lalu tegurnya
pula sambil tertawa:
"Bagaimana" Mengaku kalah saja, serahkan lima tahilmu!"
Tidak bisa, menang kalah toh belum ketahuan, kejadian ini
tidak bisa masuk hitungan" seru sang pelayan mendongkol.
"Kalau begitu, mari kita saksikan kejadian selanjutnya!"
Tiba-tiba dari atas panggung terdengar suara bentakan
marah dari It tim totiang:
"Aku akan beradu jiwa denganmu!"
Pedangnya langsung dibacok kemuka secara garang, jurus
serangan dari Mao san kiam hoat turut dikembangkan pula
melancar- kan serangkaian serangan gencar.
Menghadapi kekalapan orang, kembali Chin Siau tertawa
tergelak: "Haaah...haaah... kau tahu diri, tampaknya aku harus
membuat mu malu, hati-hati dengan jubah pendetamu....!"
Bersama dengan selesainya ucapan itu, kembali cahaya
takam menyambar lewat, tahu-tahu jubah pendeta yang
dikenakan It tim tojin telah robek menjadi dua bagian.
Sorak sorai berkumandang lagi memecahkan keheningan.
It tim totiang sangat penasaran, kejadian yang
menimpanya berulang kali membuatnya semakin panas hati,
ia mulai berkaok-kaok macam anjing menyalak, kemudian
secara ganas mengayunkan pedangnya berulang kali.
"Sreet! sreet! sreet! secara beruntun dia melepaskan
serangan berantai.
Amat sayang serangan itu tak berhasil mengenai
sasarannya, bahkan menyentuh ujung rambut orang pun tak
mampu, sebaliknya justru bertambah marah lagi.
"Totiang!" sambil tertawa Chin Siau lantas bersrru,
"Bagaimanah kalau kau ganti dulu jubahmu sebelum kita
melanjutkan pertarungan ini" Kesannya aku telah menangkan
kau kalau keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung lebih
lanjut" Sejak keluar dari kandungan ibunya, belum pernah It tim
tojin mendapat hinaan seperti ini, tak heran kalau amarahnya
meledak-ledak, tubuh berikut pedangnya segera menerjang
kembali kearah Chin Siau.
Serta merta Chin Siau mengegos kesamping setelah
melihat orang itu menerkam macam anjing gila, kemudian
pedangnya diputar dan mengetuk bahu tosu itu dengan
gagang pedangnya.
Tak ampun lagi It tim totiang menjerit ke-sakitan, tubuhnya
segera roboh terjengkang dan tak sanggup berkutik lagi.
Dengan demikian Chin Siau berhasil meraih kemenangan,
suatu kemenangan yang diperoleh dengan santai, gembira
dan tidak usah mengucurkan setitik keringat pun.
Langsung saja Suma Thian yu menyodorkan tangannya
kehadapan pelayan penginapan itu sambil berseru:
"Mana uangnya, lima tahil perak persis, setengah pun tak
boleh kurang!"
Padahal gaji pelayan itu sebulan belum mencapai enam
tahil, menyaksikan Suma Thian yu menyodorkan tangannya
menagih janji, dengan bermuram durja, terpaksa merogoh
kedalam sakunya dan mengeluarkan lima tahul perak.
Sembari diserahkan ke tangan orang, dia mengeluh:
"Huuuh....dasar lagi sial, ditambah lagi tosu bau itu cuma
gentong nasi yang tak becus, huuuh.... tahu kalau dia tak
mampus, aku tak akan menjagoi dia!"
Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak, tanpa sungkan
diambilnya uang tersebut, kemudian pikirnya sambil tertawa
geli: "Inilah pelajaran baginya kalau banyak mulut, akan ku lihat
lain kali dia berani banyak bacok lagi atau tidak...."
Sementara itu, dengan robohnya It tim tojin dari atas
panggung, dari barak sebelah timur segera melompat naik
seorang nenek berambut putih.
Nenek ini berusia enam puluh tahun tua renta dengan
wajah yang peyot, pelan-pelan dia menghamniri It tim tojin
lalu membimbingnya mundur kebarak sebelah timur, setelah
itu sambil menghampiri Chin Siau katanya:
"Engkoh cilik, kepandaianmu sungguh hebat, lo nio ingin
meminta pelajaran darimu"
Chin Siau cukup berhati-hati, walaupun ia tidak melihat
nenek itu membawa senjata, namun dari sorot matanya yang
tajam bagaikan sembilu ia tahu kalau nenek tersebut
merupakan seorang jagoan yang berilmu sangat tinggi.
Terkesiap juga hatinya menghadapi tantangan itu, buru-buru
sehutnya dengan cepat:
"Permintaanmu pasti akan kuturuti, tolong tanya kau ingin
bertarung dengan pedang ataukah...."
"Tentu saja bertarung dengan pedang!"
"Tapi kau...."
"Kau tak usah kuatir seru nenek berambut putih itu sambil
tertawa. Sembari berkata, dia lantas mengambil pedang milik It tim
tojin dari atas tanah, kemudian ujarnya:
"Bukankah ini pedang?"
"Bolehkah aku tahu siapa nama mu?"
Nenek berambut putih itu tertawa terbahak-bahak.
"Haah... haah... haaa... lo nio tak punya nama, tapi aku
berdiam bukit Ci san, orang-orang menyebutku sebagai Jian
jiu lo sat (iblis wanita bertangan seribu)"
Agak tertegun Chin Siau sesudah mendengar nama
tersebut, tanpa terasa serunya:
"Oooh, rupanya kau adalah satu di antara Ci san su mo
(empat iblis dadi bukit Ci san) si iblis wanita bertangan seribu,
sudah lama kukagumi nama besarmu, sungguh beruntung kita
dapat bersua pada hari ini"
Setelah mengetahui kalau nenek berambut putih itu adalah
iblis wanita bertangan seribu Siau Bwee ci, hatinya malahan
terasa tenang, sebab gurunya pernah berkata, asal dia dapat
mengalahkan satu satu saja diantara empat iblis bukit Ci san
maka namanya akan tersohor dengan cepat.
Sementara dia masih termenung, Jin jiu lo sat Siau Bwee ci
telah berkata sambil tertawa dingin:
"Tak usah berkerut kening, selama hidup lo nio paling benci
dengan manusia yang belum apa-apa sudah minta ampun,
lebih baik kita tentukan menang kalah diujung senjata"
"Silakan!" sahut Chin Siau cepat.
Kemudian ia pejamkan matanya rapat-rapat sambil berdiri


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seenaknya sendiri, pedangnya diluruskan ke depan dan siap
menunggu serangan dari musuh.
Melihat musuhnya berdiri sambil memejam kan mata, Jian
jiu lo sat Siau Bwee ci menganggap kejadian ini sebagai sikap
memandang rendah musuh terhadap dirinya, membara
amarah didalam dadanya, dengan gusar bentaknya keraskeras:
"Lihat serangan!"
Dengan jurus Wan hong tiau yang (burung hong
menghadap matahari) dia tusuk tubuh Chin Siau.
Menghadapi datangnya ancaman tersebut, chin Siau
bersikap tenang, ia menunggu sampaipedang musuh hampir
menempelditubuhnya, kemudian baru mengegos ke samping
untuk meloloskan diri dari ancaman tersebut.
Sementara itu, pelayan penginapan yang berada dibawah
panggung jadi mendongkol sekali melihat sikap jumawa Chin
Siau, langsung umpatnya:
"Bajingan ini sungguh takabur, mana berkelahi sambil
memejamkan mata.... haah....! Mampus baru rasa..."
"Bagaimana kalau kita bertaruh lagi?" tiba-tiba kata Suma
Thian yu sambil tertawa.
"Bagus sekali!" sorak sang pelayan dengan gembira,
"bagaimanah kalau kali ini kita bertaruh sepuluh tahil?"
"Sepuluh tahil?" Suma thian yu menjulurkan lidahnya
sambil membuat muka setan, kemudian sambil tertawa getir
terusnya, "aahh, aku jadi sungkan, bila kau sampai kalah lagi
kan berabe jadinya?"
"Aaah, kalau cuma sepuluh tahil mah bukan apa-apa
bagiku" seru pelayan itu sambil mencoba meyakinkan lawan
taruhannya. Sementara itu pertarungan diatas panggung lui tay telah
berlangsung dengan sengitnya, Ci san su mo sudah lama
termashur, mereka pernah menggetarkan sungai telaga
semenjak empat puluh tahun berselang, kendatipun, pada
akhirnya dibikin keok oleh "Put Gho cu, namun kekalahan
mana tidak mempengaruhi pamor mereka dimata umat
persilatan lainnya.
Dengan mengandalkan sebilah pedang, dia betul-betul
memperlihatkan kelihayannya, dimara serangannya
dilancarkan, angin serangan segera menderu-deru.
Dengan waktu singkat seluruh panggung lui tay tersebut
telah dilapisi oleh hawa pedang yang amat tebal.
Tak selang berapa saat kemudian, yang terlihat ditengah
arena tinggal dua gulung cahaya putih yang sebentar kekiri
sebentar ke kanan, sebentar ke atas sebentar lagi ke bawah,
angin serangan yang menderu-deru membuat keadaan
sungguh menegangkan.
Terbelalak mata para hadirin yang ikut menyaksikan
jalannya pertarungan itu, saking terpesonanya mereka sampai
melongo, untuk sesaat mereka tak dapat membedakan mana
yang Jian jiu lo sat dan mana yang Chin Siau.
Diantara sekian banyak penonton, si pelayan penginapan
itu yang terhitung paling tegang, sepuluh tahil perak bukan
suatu jumlah yang kecil bagi pandangannya.
Tiba-tiba Suma Thian yu menyodorkan kembali tangannya
ke hadapan pelayan itu:
Dengan gugup sang pelayan segera berseru:
Jilid : 23 "Mau apa kau?"
"Uang, mana uangnya" Sepuluh tahil perak"
"Omong kosong" seru sang pelayan cepat, "atas dasar apa
kau menagih uang dariku" Toh Jian jiu lo sat belum kalah?"
"Atau kita lipat gandakan jumlah taruhannya menjadi dua
puluh tahil perak?"
"Boo,aaii, jangan.. Jangan!"
Baru habis si pelayan itu berkata,Chin Siau yang berada
diatas panggung telah berseru sambil tertawa panjang:
"Maaf, maaf!"
Jian jiu lo sat Siau Bwee ci dengan rambut putih yang
awut-awutan tak karuan mundur beberapa langkah dengan
langkah sempoyongan,
wajahnya hijau membesi sementara diatas lengan-nya
bertambah dengan sebuah mulut luka yang memanjang,
darah kental bercucuran keluar dengan amat derasnya.
Dengan sorot mata memancarkan sinar buas, dia berseru
kemudian sambil menggertak lagi:
"Bocah keparat, tinggalkan namamu, selama hayat masih di
kandung badan, lo nio pasti akan membalas dendam atas sakit
hati hari ini"
Chin Siau tersenyum.
"Aku she Chin bernama Siau, setiap saat akan kunantikan
petunjuk saudara"
Pelan-pelan jian jiu lo sat mengundurkan diri dari atas
panggung. Sementara Suma Thian yu yang berada di bawah panggung
segera menengok ke arah sang pelayan yang bermuram durja
sambil berkata:
"Kasihan aku melihat keadaanmu, bayar saja satu tahil
perak" "Ooh, tuan, kasihanilah hambamu, kini dalam sakuku hanya
tinggal satu tahil, masa kau tak tahu" kata sang pelayan
sambil tertawa getir.
"Mau kau bayar atau tidak terserah, aku bisa memotongnya
dari uang persen nanti"
"Betul.. betul.. memang paling baik kalau dipotong dari
persenku nanti" seru sang pelayan dengan gembira.
Mendadak ia teringat akan sesuatu, kembali tanyanya:
"Tuan mengapa kau bisa menduga hal-hal yang belum
terjadi..?"
"Karena aku pandai meramal, orang menyebutku poan sian
(setengah dewa), aku dapat melihat hal yang sudah lewat
maupun akan datang, apakah kaupun ingin meramalkan nasib
mu?" "Terima kasih banyak, aku tidak mempunyai uang untuk
berbuat begitu"
Sementara dua orang itu masih berbicara dengan asyik,
dari barak sebelah timur telah berjalan keluar seseorang.
Setelah melirik sekejap kearah wajah orang itu, sang
pelayan segera bersorak gembira:
"Hooree...akhirnya Thio Wengwee menampilkan diri"
Suma Thian yu memperhatikan sekejap wajah Thio
Wangwee, kemudian ujarnya.
"Tua bangka ini lebih-lebih tak becus lagi"
"Darimana kau bisa tahu?"
"Mau percaya atau tidak terserah kepadamu, bila kurang
puas kita boleh bertaruh lagi"
"Oooh, Poan sian ya, hamba tidak berani lagi.." seru sang
pelayan dengan wajah memelas.
Sementara itu Thio wangwee telah berjalan menuju keatas
panggung, setelah menjura dia berkata:
"Chin siauhiap memang luar biasa sekali, kesempatan baik
semacam ini jarang bisa kujumpai, lohu ingin sekali memohon
petunjukmu"
Dengan cepat Chin Siau menggeleng.
"Aku ingin sekali meminjam panggung ini untuk mengajak
seorang teman bertanding, sedang pertarungan diantara kita
lebih baik ditunda dulu, toh diantara kita tak ada dendam
kesumat ataupun perselisihan apapun jua"
"Boleh saja!" Thio wangwee tertawa sambil manggutmanggut,
"tapi siapakah yang hendak Chin siauhiap tantang
untuk bertarung?"
Dengan suara lantang Chin Siau segera berseru kearah
para hadirin: "Orang yang kutantang untuk bertarung adalah dia!"
Sembari berkata, dia lantas menuding kearah Suma Thian
yu yang duduk dibawah panggung.
Ucapan tersebut dengan cepat menimbulkan kegaduhan
yang luar biasa, serentak semua orang berpaling kearah Suma
Thian yu. "Aku?" Suma Thian yu berseru pula sambil menunjuk
keujung hidung sendiri, "ini... ini... tidak mungkin, tidak
mungkin ...masa aku harus mengorbankan selembar jiwaku
sendiri?" Dalam pada itu, suasana dalam arena pun telah terjadi
kegaduhan, sedangkan pelayan penginapan itu tertawa
terbahak-bahak pula sembari berseru:
"Haaah... haaaha.... kejadian ini benar-benar merupakan
suatu peristiwa yang lucu, dia toh tak pandai silat, masa diajak
bertanding!"
Chin Siau yang berada diatas panggung segera berseru lagi
sambil tertawa:
"Heeeh... heeh... heee... memangnya kau hendak
menunggu sampai sauya turun ke bawah menyeretmu
kemari?" Berubah hebat paras muka pelayan itu setelah mendengar
perkataan tersebut, cepat dia menarik tangan Suma Thian yu
sembari berkata:
"Bagaimana baiknya sekarang" Kau tak mampu bersilat,
kepergianmu kesitu sudah pasti akan mati, aaaai.... mengapa
sih kau membuat gara-gara dengannya?"
"Ssstt, bukankah kau pernah belajar ilmu silat selama tiga
tahun?" bisik Suma Thian yu kemudian, "bagaimana kalau kau
saja yang mewakiliku" Kuberi hadiah seratus tahil perak"
"Waaah, tidak bisa....tidak bisa. Nyawaku tak bernilai
seratus tahil perak."
Mendengar itu, Suma Thian yu menghela napas panjang.
"Aaiii... baiklah, kalau orang lagi susah memang susah
mencari teman, baiklah, aku memang lagi bernasib buruk!"
Dia lantas beranjak dan pelan-pelan mendekati panggung,
kemudian dipandangnya sekejap panggung yang tingginya
satu kaki lebih itu, kemudian serunya agak gelisah:
"Waah begitu tinggi panggung ini, bagaimana caraku untuk
naik keatas?"
Ucapan ini segera disambut gelak tertawa nyaring oleh
semua hadirin, tapi ada pula yang berkeringat dingin
menguatirkan jiwanya.
Pelayan itu segera berlari menghampirinya, kemudian
berseru: "Naiklah dengan tangga, jangan gugup, dia tak bakal
membinasakan dirimu"
Suma Thian yu menurut dan memanjat dengan anak
tangga, ini semua membuat sang pelayan jadi ketakutan,
serunya dihati:
"Oooh Thian, bisa mampus dia kali ini..."
Sementara itu Suma Thian yu sudah naik keatas panggung.
Begitu melihat musuhnya sudah naik, Chin Siau segera
tertawa dingin sambil berseru:
"Kau tak usah berlagak pilon lagi, memangnya kau anggap
caramu ini bisa menarik simpatik orang?"
Suma Thian yu tersenyum.
"Cepat amat langkah kaki saudara Chin, ternyata kau bisa
menyemarakkan pula keramaian disini, tolong tanya ada
urusan apa kau mengundangku kemari?"
"Tidak usah banyak omong!" hardik Chin Siau sambil
melotot penuh kegusaran, "cabut pedangmu dan kita tentukan
siapa diantara kita berdua lebih jagoan!"
Cepat-cepat Suma Thian yu menggelengkan kepalanya
berulang kali. "Apa salah pahammu belum juga mereda?"
Chin Siau mendengus dingin.
"Hmmm! Memperkosa anak Istri orang, membantai
keluarga petani, kau manusia jahanam sampah masyarakat,
hari ini aku orang she Chin sengaja kemari untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran bagi dunia persilatan"
Suma Thian yu tertegun setelah mendengar ucapan itu,
tanpa terasa ia bertanya:
"Saudara Chin, apa yang sebenarnya kau maksudkan?"
"Lebih baik kau berterus terang saja, kenalkah kau dengan
manusia yang bernama Kho Gi?"
"Tidak kenal!" Jawab Suma Thian yu tegas.
"Baik kalau toh kalau tidak mengenal siapa-siapa, tentunya
cukup kenal dengan pedang sauya ini bukan?"
"Yaa aku kenal sekali benda tersebut merupakan pedang
mestika milik Bu bek ceng (pendeta buta).
Chin Siau segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak tiada hentinya .
"Haaaah... haaah... kalau memang begitu kau boleh mati
dengan mata meram serta menjadi sukma yang hilang diujung
pedang kenamaan!"
"Saudara Chin kau jangan selalu memojokan posisi orang,
ketahuilah aku Suma Thian yu bukanlah seorang lelaki
pengecut yang takut menghadapi kematian, apabila kau
mendesak diriku terus menerus, jangan salahkan kalau
kesabaranku akan hilang"
"Memang inilah yang kunantikan, cabut pedangmu!"
Suma Thian yu merasa sedih sekali karena difitnah orang
tanpa bisa membantah, namun peristiwa tersebut sudah
berkembang lebih jauh, enggan bertarung pun sukar rasanya,
pelan-pelan dia meloloskan pedang Kit hong kiamnya dari
belakang punggung.
Beribu pasang mata yang berada dibawah punggung Lui
tay bersama-sama ditujukan ke tubuh mereka, apalagi disaat
Suma Thian yu meloloskan pedangnya, beribu-ribu buah
jantung berdebar dengan kerasnya, perasaan tak tenang
mencekam hati mereka.
Setelah menyaksikan Suma Thian yu meloloskan
pedangnya, Chin Siau segera berkata sambil tertawa dingin:
"Heeh...heeh...heeeh... hari ini hanya ada seorang diantara
kita yang boleh hidup, kalau bukan kau yang mampus, akulah
yang mati!"
"Buat apa sih pertarungan diantara kita mesti menjurus ke
pertarungan serius" Toh diantara kita tiada ikatan dendam
ataupun sakit hati apa pun" Bukankah tujuan Pi bu
(bertanding ilmu silat) hanya unuk menjalin persahabatan?"
Chin Siau sama sekali tidak menegubris ucapan lawan,
mendadak ia berpekik nyaring, pedangnya dengan jurus Siau
ci lam san (Sambil tertawa menuding Lam san) secepat kilat
menusuk ketubuh Suma Thian yu.
Suma Thian yu bersikap tenang sekali, ketika dilihatnya
ujung pedang sudah semakin mendekat, dia menggerakan
kepalanya mengegos ke samping, kemudian dengan


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan ilmu gerakan tubuh Luan tek luan poh dia
menghindarkan diri.
Siapa tahu tujuan Chin Siau melancarkan serangan tersebut
hanya bermaksud memancing lawan, begitu melihat Suma
Thian yu berkelit, mendadak saja pedangnya melancarkan
serangan dengan jurus To tnian huan jit (mencuri hari
berganti waktu).
Diiringi desingan angin tajam, dia membabat pinggang
pemuda kita. Agak tertegun Suma Thian yu menyaksikan kejadian ini,
sekuat tenaga dia melejit ketengah udara.
"Weeess...!" pedang Chin Siau menyambar lewat persis
dibawah kakinya, boleh dibilang ancaman itu nyaris membabat
kutung sepasang kakinya.
Lompatan Suma Thian yu ketengah udara tersebut tak
dapat disangkal lagi memberikan kesempatan kepada lawan
untuk menempati posisi yang lebih menguntungkan.
Sudah barang tentu Chin Siau tidak menyia-nyiakan
kesempatan baik tersebut dengan begitu saja, mendadak
pedangnya memainkan jurus serangan Sian tong siau hio
(Bocah dewa memasang hio) ia langsung membabat tubuh
Suma Thian yu yang masih berada ditengah udara .
Mimpi pun si pelayan rumah penginapann tersebut tak
pernah menyangka kalau Suma Thian Tu merupakan pendekar
muda yang memiliki ilmu silat sangat lihay, begitu dilihatnya
pemuda itu sanggup bertarung dengan hebatnya, ia menjadi
terbelalak dan duduk melongo seperti patung.
Waktu itu, Suma Thian yu sedang merasa amat terperanjat
setelah menyaksikan datangnya tusukan Chin Siau yang begitu
hebat, berada diudara mustahil bagi jago kita untuk berkelit,
dalam keadaan begini ia berpekik dihati:
"Habis sudah riwayatku kali ini!"
Kalau orang berada dalam ancaman bahaya maut biasanya
akan timbul suatu kekuatan tak terduga yang kadang kala
diluar pemikiran manusia sehat, keadaan tersebut bisa disebut
kekuatan indera ke enam dari manusia.
Sementara itu, pedang Chin siau sudah ditusuk ke atas
persis menyongsong datangnya tubuh Suma thian yu yang
sedang meluncur ke bawah, seandainya serangan tersebut
sampai mengenai sasarannya dengan telak, niscaya isi perut
Suma Thian yu akan berhamburan kemana-mana dan
sukmanya melayang.
Berada dalam keadaan berbahaya, tiba-tiba Suma Thian yu
menarik napas panjang, dengan mengeluarkan ilmu
meringankan tubuh Liu im ti (tangga awan berjalan) yang
merupakan semacam kepandaian sakti yang sudah lama
punah dari dunia persilatan, tiba-tiba saja dia melayang naik
ke udara dua depa lebih tinggi.
Oleh sebab perubahban ini dilakukan mendadak, otomatis
serangan Chin Siau yang nampaknya pasti akan berhasil
menembusi tubuh lawan-nya itu menjadi mengenai sasaran
kosong. 00O00 ooOoo Sama Thian yu tertawa nyaring, tubuhnya berjumpalitan
berulang kali ditengah udara lalu melayang turun ke atas
tanah, meski amat berbahaya namun keindahannya luar biasa.
Kontan saja gerakan tersebut memancing tempik sorak
yang gegap gempita dari semua hadirin dibawah panggung.
Tempik sorak dan tepuk tangan yang gegap gempita
tersebut tak disangka lagi merupakan suatu sindiran dan
ejekan bagi Chin Siau, dengan amarah yang semakin
membara, segera bentaknya:
"Anjing geladak, serahkan jiwa anjingmu!"
Diiringi bentakan nyaring, pedangnya melepaskan serangan
lagi dengan jurus Hong sau lok yap (angin berhembus daun
berguguran), secepat kilat langsung membacok ke tubuh
musuh. Setelah ada pengalaman pertama, Suma Thian yu tak
berani melambung lagi ketengah udara, pedang Kit hong
kiamnya di getarkan kesamping untuk menangkis ancaman
itu, lalu bersiap sedia mempergunakan ilmu pedang Bu beng
kiam hoat untuk meraih kemenangan.
Mendadak satu ingatan melintas dibenaknya, ia berpikir
demikian: "Bila Chin Siau kurobohkan, sudah pasti kesalahan paham
ini akan semakin mendalam, yaa, mengapa tak kumanfaatkan
kesempatan baik ini untuk kabur dari sini" Buat apa aku mesti
ngotot terus" Kalau sampai terperangkap oleh siasat musuh
kan berabe?"
Berpikir demikian hawa murni yang semula telah dihimpun
tiba-tiba di buyarkan, serunya kemudian:
"Chin heng, ilmu pedangmu sangat hebat, aku menyerah
kalah saja, bila dilain saat ada kesempatan, kita boleh berduel
kembali." Dengan cepat dia melejit ketengah udara kemudian
melayang turun dari panggung, dengan suatu gerakan yang
cekatan dia menyelinap diantara kerumunan orang banyak
dan lenyap tak berbekas.
Tentu saja Chin Siau tidak akan membiarkan dia kabur
dengan begitu saja, sambil membentak gusar dia turut melejit
keudara dan siap melakukan pengejaran.
Siapa tahu dari barak sebelah timur muncul belasan orang
lelaki kekar yang segera menghadang jalan perginya, salah
seorang diantarsnya yang berdandan pendeta membentak
dengan suara keras seperti geledek:
"Orang she Chin, tidak gampang untuk kabur, dengan
begitu saja, kau mesti tahu kota Hok seng tin bukan tempat
yang bisa di datangani dan ditinggalkan semau sendiri, kalau
ingin pergi boleh saja, tapi tinggalkan dulu beberapa jurus
kepandaian saktimu"
Ucapan tersebut semakin mengobarkan hawa amarah Chin
Siau, jauh-jauh berangkat dari bukit Ngo tay san, tujuannya
adalah untuk mengamati Suma thian yu.
Padahal tujuannya merobohkan It tim tojin dan Jian jiu lo
sat tadi bukan lain adalah untuk memancing Suma Thian yu
naik ke psnggung, kini Suma Thian yu sudah kabur, apa
gunanya dia tetap tinggal disana"
Sekarang dia dikepung oleh kawanan manusia tersebut,
kejadian ini sama artinya dangan memberitahukan kepadanya
bahwa Suma Thian yu berasal dari satu golongan dengan
mereka. Pandangan semacam ini menyebabkan dia semakin yakin
kalau Suma Thian yu adalah manusia sebangsa kawanan
sampah masyarakat tersebut.
Apa lagi penghadangan dari orang-orang itu sekarang bisa
diartikan pula sebagai pembelaan terhadap pemuda itu serta
memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri.
Ya, kesalahan paham yang terjadi didunia ini kadangkala
memang terbentuk karena suatu keadaan yang kebetulan.
Chin Siau amat membenci Suma Thian yu, maka hawa
amarahnya segera dilampiaskan pada kawanan manusia
tersebut. Tanpa sangsi lagi pedangnya segera diputar, secepat angin
puyuh dan secepat kilat menyerang hweesio tersebut.
Sebenarnya kepandaian silat yang dimiliki pendeta itu
cukup tangguh, namun serangan yang dilancarkan lawan
kelewat cepat, tidak sempat lagi baginya untuk
menghindarkan diri, tahu-tahu batok kepalanya sudah
berpisah dengan badan.
Berhasil dengan serangannya, Chin Siau me nyerang lebih
jauh seperti banteng terluka, pedangnya menari kian kemari
seperti naga sakti yang sedang bermain d udara, dimana
cahaya perak berkelebat lewat, jeritan ngeri yang menyayat
hati segera berkumandang susul menyusul.
Setelah Chin Siau berhasil membinasakan beberapa orang
jagoan tersebut, rekan-rekan lainnya dari komplotan itu mulai
jeri, serentak mereka mundur kebelakang dan berusaha untuk
menyelamatkan diri.
Setelah belasan orang itu sudah kabur semua, Chin Siau
baru berlalu dari sana, tapi tatkala dia sudah keluar dari kuil
Hut hong si, bayangan tubuh dari Suma Thian yu sudah tak
tampak lagi. Untuk beberapa saat lamanya dia berdiri termenung,
kemudian sumpahnya dihati.
"Biarpun kau akan kabur ke ujung langit, aku Chin Siau
bersumpah akan mengejarmu sampai dapat!"
Pertarungan dipanggung Lui tay yang diselenggarakan di
kota Hok Seng tin setahun se kalipun berakhir dalam suasana
yang tidak gembira, pihak Hok seng tin di barak sebelah timur
untuk kesekian kalinya menderita kembali kekalahan secara
mengenaskan. 000o000 000o000
MUSIM GUGUR sudah berlangsung, angin puyuh yang amat
kencang berhembus di daratan tinggi Tibet.
Kuil Buddha disebelah timur laut kota Lhasa berada dalam
keadaan tertutup rapi, dinding pekarangan setinggi beberapa
kaki dikelilingi pepohonan cemara yang lebat, semuanya
seolah-olah gemetar karena kedinginan.
Waktu itu senja sudah menjelang tiba, matahari senja yang
memancarkan sinar kemerah-merahan sudah mulai
menyembunyikan diri di balik daratan tinggi Tibet.
Kegelapan malam yang seram mulai menyelimuti angkasa,
angin pvyuh yang berhembus menderu-deru menggoncangkan
pohoncemara raksasa dan menggugurkan dedaunan yang
mulai layu. Kesemuanya itu mendatangkan suasana seram dan ngeri
disekitar kuil Budhala si.
Tiga kali dentingan genta bergema membelah kegelapan
yang hening....
Tampaknya para pendeta yang berdiam diri dalam kuil
tersebut sedang bersembahyang malam.
Dalam keadaan seperti inilah, dari sudut ruangan sana
muncul seseorang yang berjalan mendekati pintu kuil dengan
langkah amat lambat.
Ketika mencapai tiga langkah lagi dari depan pintu kuil,
mendadak orang itu roboh terjengkang keatas tanah.
Ketika dialamati lebih seksama, maka dapat diketahui
bahwa dia adalah seorang pemuda yang menyoren sebilah
pedang dipunggungnya dia baru berusia delapan sembilan
belas tahunan. Sungguh aneh, mengapa diwilayah Tibet yang terpencil
bisa muncul seorang pemuda semacam ini" Kemunculanuya
sendiri sudah menarik perhatian orang, apalagi muncul
didepan kuil Buddhala si, hal ini lebih mengherankan lagi.
Dengan menggunakan sepenuh tenaga yang dimilikinya
pemuda itu merangkak ke depan pintu kuil, lalu dengan
kepalanya yang lemas tak bertenaga dia mengetuk pintu kuil
beberapa kali, lalu ia roboh ke tanah dan tidak berkutik lagi.
Daun kering berguguran dari tengah udara dan menutupi
tubuh pemuda tersebut, tidak selang berapa saat kemudian
seluruh badan pemuda itu sudah tertutup oleh daun kering.
Mendadak dari tempat kejauhan sana terdengar suara
langkah kaki manusia yang berjalan mendekat, lalu tak selang
berapa saat kemudian didepan pintu kuil telah muncul
rombongan peronda.
Sebagai pemimpin dari rombongan itu adalah seorang
pendeta berjubah putih yang berusia empat puluh tahunan.
Tatkala ia menjumpai seseorang terkapar d depan pintu
kuil tertutup daun kering, dia menjerit kaget dan buru-buru
membangunkan pemuda tersebut.
Tampak paras muka pemuda itu pucat pias, napasnya amat
lirih dan keadaannya sangat lemah.
Buru-buru ia memanggil para anak buahnya untuk
menolong pemuda itu sambil membukakan pintu.
Mendadak salah seorang diantara pendeta itu berkata
kepada pemimpinnya:
"Toan suheng, asal usul orang ini tidak jelas, kita jangan
sembarangan membawanya masuk, kalau sampai hongtiang
menegur nanti bagaimana jadinya?"
Dengan wajah serius pendeta itu menjawab:
"Menolong selembar nyawa sama artinya dengan berbuat
kebajikan tujuh puluh kali, apalagi kita sebagai murid Buddha
mengutamakan welas asih, entah siapapun orangnya yang
penting kita mesti selamatkan dulu nyawanya"
Selesai berkata ia membuka pintu dan memerintahkan agar
pemuda tersebut di gotong masuk.
Pendeta itu bernama It hok taysu, dia adalah murid
angkatan ketiga dari kuil Buddhala si, sebagai seorang
pendeta senior, hatinya bajik dan penuh perasaan welas asih,
dia pun cukup memahami perasaan setiap orang yang
dihadapinya, maka ia cukup di segani orang.
It hok taysu langsung membawa pemuda itu menuju ke
ruang tamu kemudian setelah menutup pintu ia beranjak
menuju ke ruangan hongtiang.....
Tak lama sstelah kepergian It hok taysu, mendadak
pemuda itu melompat bangun dan berguman sambil tertawa
rendah: "Salah siapa kalau bertindak kurang hati-hati" Kali ini kalian
akan terkena perangkapku, Suma Thian yu"
Dengan cepat dia menyelinap kedepan pintu dan menengok
kekiri kanan, tatkala ada orang mendekati ruangan itu buruburu
dia kembali keruang dalam dan berlagak setengah mati.
Rupanya sejak meninggalkan kota Hok seng tin, siang
malam Suma Thian yu menempuh perjalanan tiada hentinya,
sehingga tiga hari berselang ia sudah tiba dikota Lhasa.
Sesampainya dikota tersebut setiap malam ia pasti
melakukan pengintaian disekitar kuil Buddhala si, namun oleh
sebab penjagaan disekitar tempat itu sangat ketat ibaratnya
sarang naga dan harimau, terpaksa ia mesti menahan diri
berulang kali. Dasar memang cerdas, akhirnya dia berhasil menemukan
siasat untuk berlagak seolah-olah setengah mati, ternyata
siasat ini termakan dan dia berhasil memasuki kuil tersebut.
Begitulah, baru saja Suma Thian yu membaringkan diri, It
hok taysu sudah berdiri di depan pintu.
Pendeta itu segera berjalan menghampiri Suma Thian yu.
mengguruti sebentar seluruh badannya dan memeriksa
dengusan napasnya, setelah itu dia baru membangunkan anak
muda tersebut. Pelan-pelan Suma Thian yu membuka matanya dan


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang sekejap ke arah It hok taysu dengan pandangan
terkejut, kemudian serunya tertahan:
"Aaah, mengapa aku bisa berada disini?"
It hok taysu tertawa ramah.
Pinceng justu ingin bertanya kepada sicu, siapakah
namamu dan ada urusan apa datang kemari?"
Suma Thian yu pura-pura mengawasi It hok taysu
beberapa saat lamanya, lalu agak sangsi dia berkata:
"Tolong tanya toa suhu, kuil manakah ini?"
"Buddhala si!"
Wajah Suma Thian yu segera berseri, serunya kegirangan:
"Terima kasih langit, terima kasih bumi, akhirnya aku
sampai juga ditempat tujuan!" Seraya berkata ia bangkit dari
pembaringan dan siap turun.
Buru-buru It hok taysu membimbingnya bangun seraya
berkata: "Sicu, kau belum sembuh dari sakitmu, lebih baik jangan
sembarangan bergerak, bila ada persoalan, dibicarakan
dengan berbaring pun tak mengapa "
Suma Thian yu segera makan siasat tersebut dengan begitu
saja, dengan duduk ditepi pembaringan ia berkata:
"Toa suhu aku tidak mengapa, terima kasih atas kebaikan
hatimu yang bersedia menolong ku, bila suatu waktu ada
kesempatan, budi kebaikanmu ini pasti akan ku balas"
It hok taysu tersenyum.
Sicu tak usah sungkan-sungkan, sudah menjadi kewajiban
seorang pendeta untuk menolong sesama manusia! apalagi
pertolongan ini tak seberapa, kau tak usah memikirkannya
dihati. Cuma sincu belum menjawab pertanyaan tadi"
"Oohh, aku she Tan bernama Thian yu, berasal dari wilayah
Shoa say" It hok taysu menggut-mangut.
"Jika kudengar dari nada pembicaraanmu serta keadaanmu
yang mengenaskan, agaknya ada sesuatu hal yang
mengganjal dihatimu, bolehkah aku mengetahuinya?"
Suma Thian yu segera menghela napas panjang, dengan
wajah memelas dia berkata:
"Aku dicelakai orang, seluruh anggota keluargaku dibunuh
orang dan tak bisa hidup aman didaratan Tionggoan, oleh
sebab itu terpaksa aku mesti kabur kemari dengan harapan
hong-tiong suka menerimaku ditempat ini. Sewaktu datang
tadi, bahkan aku dihadang dan dikejar-kejar musuh, harap
taysu sudi melindungi aku"
Sambil berkata dia bersiap sedia untuk menjatuhkan diri
berlutut... It hok taysu segera membimbingnya bangun dan
mencegah dia berlutut, ujarnya sambil menggelengkan
kepalanya berulang kali.
"Sicu tak boleh berbuat demikian, bila pinceng telah
berjumpa dengan hongtiang nanti, pasti akan kuusahakan
agar keinginanmu terkabul!"
Sembari berkata dia mengeluarkan sebuah botol Kecil dan
menuang tiga butir pil hitam yang segera diberikan kepada
Suma Thian yu, katanya:
Sekarang, harap sicu menelan ketiga butir ini lebih dulu,
beristirahatlah semalam, nanti pinceng akan mengajakmu
untuk bersua dengan hongtiang"
Sepeninggal It hok taysu, Suma Thian yu mulai merasa
tidak tenteram, perasaannya saling bertentangan dan
menderita sekali. Penampilan dari It hok taysu amat ramah
dan bijaksana, selain ramah orangnya pun saleh, padahal dia
datang dengan membawa maksud tertentu, tindakan tersebut
dirasakan olehnya sebagai tindakan yang rendah dan
memalukan. Tapi cong liong lo sinjin telah berpesan wanti-wanti bahwa
perjalanannya kali ini akan berpengaruh terhadap keamanan
dalam dunia persilttan dimasa mendatang.
Akhrnya setelah termenung beberapa saat lagi, dia
menelan ke tiga butir pil itu lalu duduk bersila sambil
mengatur pernapasan.
Entah berapa lama sudah lewat, dari luar sana terdengar
dua kali kentongan, menyusul kemudian suasana dicekam oleh
keheningan yang luar biasa.
Suma Thian yu kembali berpikir:
"Mungkin saat ini para pendeta sudah naik ke pembaringan
untuk beristirahat, inilah saat yang terbaik bagiku untuk
segera bertindak..."
Buru-buru dia bangun dari pembaringannya dan siap untuk
kebawah. Mendadak terlihat olehnya ada sesosok bayangan marusia
berkelebat lewat didepan jendelanya kemudian lenyap dari
pandangan. Suma Thian yu sangat terkejut, sebenarnya dia ingin
menyembunyikan diri ke belakang pembaringan, tapi ia
berpikir kembali, tindakkan semacam itu malah justru
gampang menimbulkan kecurigaan orang....
Akhirnya dia mengambil keputusan untuk membuka pintu
dan berjalan keluar.
Betul juga, dibelakang pohon sana berdiri seorang pendeta
yang sedang mengawasi gerak-geriknya dengan seksama.
"Ooooh, sungguh berbahaya..!" pekik Suma Thian yu dalam
hati, "seandainya aku bertindak gegabah tadi, sudah pasti
semua rahasia penyaruan ku akan terbongkar"
Berpikir demikian, dia sengaja berjalan menuju ke tempat
persembunyian pendeta itu, lalu dengan wajah ramah
tanyanya: "Taysu, bolehkah aku tahu dimana letak kakus?"
Mula-mula pendeta itu agak tertegun ketika menyaksikan
suma Thian yu berjalan mendekatinya, ia baru merasa lega
setelah mendengar pertanyaan itu.
Di sana...!" sahutnya agak tersipu-sipu.
Selesai menjawab dia pun berlalu dari situ, mungkin
merasa rikuh karena perbuatannya mengawasi gerak-gerik
orang tertangkap.
SUma Thian yu melangkah ke arah kakus, melihat pendeta
itu sudah pergi, diam-diam ia merasa gelisah sekali, kembali
pikirnya: "Mungkin sulit bagiku untuk berhasil pada malam ini, aai,
mengapa aku mesti berdiam terus disini" Seandainya
rahasiaku ketahuan, mungkin akan sulit sekali bagiku untuk
pergi meninggalkan tempat ini."
Pikir punya pikir akhirnya dia mengambil keputusen, entah
apapun yang terjadi, malam ini dia harus menemukan pagoda
tempat penyimpanan kitab.
Masalahnya sekarang tinggal bagaimana caranya
memanfaatkan kesampatan yang ada dengan sebaik-baiknya,
sehingga perjalanan kali ini tidak pulang dengan tangan
kosong. Berpikir demikian, ia menjadi nekad untuk mempertaruhkan
jiwanya. Dari kakus ia tidak kembali kekamarnya melainkan
secara diam-diam menguntil di belakang hweesio tersebut.
Untung sekali ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya
sangat sempurna, sehingga gerak-geriknya sama sekali tidak
menimbulkan sedikit suara pun.
Pendeta itupun sama sekali tidak merasa kalau dirinya
sedang dikintil, ia masih melanjutkan perjalanannya dengan
tenang. Dengan sepasang matanya yang tajam, Suma Thian yu
mencoba mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, kemudian
setelah yakin kalau disekitar sana tak ada orang, dia
melompat ke belakang pendeta itu dan segera menotok jalan
darah bisunya. Kemudian dia menyerat hwesio itu menuju ke kamarnya
dan dibaringkan diatas pembaringan lalu setelah
membebaskan jalan darah bisunya dan menekan lehernya, ia
bertanya: "Beritahu kepadaku, dimanakah tempat penyimpanan
kitab!" Pendeta itu sama sekali tidak nampak gugup atau cemas,
malah dengan tenangnya ia menuding ke luar jendela sambil
menyahut: "Diatas pagoda sana, di bawah gardu genta, persisnya
ruangan yang masih bercahaya lentera"
Kemudian setelah mengawasi tubuh Suma Thian yu dengan
seksama, ia berkata lagi:
"Namun jangan harap kau bisa memasukinya, kalau Cap
pwee lohan si dalam kuil Siau lim si termashur sebagai kuil
yang paling sukar di tembusi, maka ruang penyimpan kitab
dari kuil kami merupakan lembah kematian. Apa bila kau
sudah bosan hidup, silahkan saja mencoba, cuma, janganlah
menyesal setelah nasi menjadi bubur nanti."
Suma Thian yu mendengus dingin, ia menotok jalan darah
tidur pendeta itu, melepaskan jubahnya dan menutupi badan
hweesio itu dengan kain selimut.
Sedang dia sendiri segera mengenakan jubah pendeta
tersebut dan beranjak pergi.
Waktu itu semua cahaya lentera di dalam kuil sudah
padam, tinggal setitik cahaya lemah dari ruang penyimpan
kitab yang masih berkedip, memandang dari kejauhan, cahaya
tersebut mirip dengan sebuah bintang.
Agaknya sinar itu sengaja di dipasang untuk memancing
perhatian Suma Thian yu.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda
tersebut, tanpa mengalami kesulitan, ia sudah berada di
depan gardu genta.
Tak selang berapa saat kemudian pemuda itu sudah melejit
ke udara naik ke atap gardu genta itu seperti seekor kucing,
begitu mencapai puncaknya, dengan jurus Hee to kim kou
(kaitan emas jungkir kebawah) sepasang kakinya segera
menggaet pinggiran atap rumah dan mengintip kedalam ruang
penyimpanan kitab.
Dalam ruangan waktu itu hanya tampak seorang pendeta
tua berbaju pendeta berwarna emas sedang duduk
mengantuk di situ.
Memandang berbagai macam kitab yang memenuhi
ruangan itu, diam-diam Suma Thian yu tertawa geli, pikirnya:
"Hwesio itu kelewat membual, masa ruangan semacam
inipun di samakan dengen ruang Cap pwee lohan si dari kuil
Siau Lim si, apa tak membual selangit" Bila aku Suma Thian
yu tidak berhasil memperoleh kitab terebut, percuma saja aku
hidup didunia ini"
Berpikir demikian, diam-diam dia mengerahkan tenaga
dalamnya keujung jari kemudian melepaskan sebuah sentilan
dari kejauhan. Pendeta tua yang selang mengantuk ini seperti kena
disambar aliran listrik bertegangan tinggi, setelah tubuhnya
bergetar keras, ia segera tertidur nyenyak.
Suma Thian yu segera melepaskan kaitannya dan melayang
masuk kedalam ruang penyimpanan kitab itu.
Siapa tahu baru saja sepasang kakinya mencapai
permukaan tanah, mendadak terdengar suara tertawa digin
yang rendah dan berat bergema memecahkan keheningan.
Dengan terkejut Suma Thian yu berpaling, tampak olehnya
pendeta tua yang sudah ditotok jalan darah tidurnya tadi, kini
sedang duduk disitu sambil memandang kearahnya dengan
senyum dikulum.
Bahkan sambil tertawa pendeta tua itu menegur:
"Engkoh cilik, besar amat nyalimu, kau tadi meminjam nyali
siapa sih?"
Suma Thian yu merasakan hatinya terkesiap dan diam-diam
menarik napas dingin, jelas kalau pendeta tua tersebut sudah
ditotok jalan darah tidurnya, mengapa ia dapat membebaskan
pengaruh totokan tersebut" Mungkinkah ilmu silat yang
dimiliki pendeta tua itu sudah mencapai pada puncak
kesempurnaan. Sementara dia masih termenung dengan perasaan kaget,
terdengar pendeta tua itu membentak lagi:
"Hei, kau ini tuli" Atau bisu" Mengapa tidak mendengarkan
perkataan lolap?"
Agak terkejut juga Suma thian yu, buru-buru dia
menjawab: "Kedatangankn kemari sama sekali tidak bermaksud jahat
toa suhu...."
Pendeta tua berbaju kuning itu mendengus dingin,
tukasnya dengan cepat:
"Tidak bermaksud jahat" Menyerang orang dari belakang
pun tidak termasuk perbuatan jahat?"
"Aku kan cuma menotok jalan darah dari toa suhu, tak
berniat untuk melukaimu...."
"Haahaahahaa... berani menyelundup masuk, baik, sebagai
lelaki sejati, kuanjurkan kepada mu tidak usah beralasan
terus, berani berbuat beranilah bertanggung jawab, lolap
sebagai seorang pendeta yang mengutamakan welas kasih
boleh saja membuka sebuah jalan kehidupan kepadamu, kalau
tidak, dengan mengandalkan kepandaian silatmu itu, jangan
harap bisa meninggalkan kuil ini dengan leluasa!"
Suma Thian yu merasa sangat tidak puas, dia berseru:
"Kalau tiada kepentingan, orang tidak akan mengunjungi
Sam poo tian dengan susah payah, aku berangkat dari
daratan Tionggoan, dengan melewati jalan yang jauh dan
kesukaran yang tak sedikit sampai kemari, bila tidak
berkeyakinan bisa keluar masuk dari kuil ini dengan leluasa,
mengapa aku kemari?"
Ketika mendengar ucapan tersebut, pendeta tua itu segera
mendongakkan kepalanya dan berpekik nyaring.
Bigitu keras suara pekikan tersebut sehingga menggetarkan
lubang telinga orang, dari sini dapat disimpulkan kalau tenaga
dalam yang di miliki pendeta tua ini paling tidak sudah
mencapai seratus dua puluh tahun hasil latihan.
Dingin separuh hati Suma Thian yu setelah mendengar
suara pekikan tersebut ia tahu kalau sekarang tidak turun
tangan, mau menunggu sampai kapan lagi"
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, mendadak
terdengar suara gemuruh yang amat keras berkumandang
memecahkan keheningan, tahu-tahu dari atas ruangan muncul
sebuah terali besi yang mengurung ruangan penyimpanan
kitab tersebut secara ketat.
Selesai tertawa tergelak, pendeta tua itu membentak lagi
penuh kegusaran:
"Sicu, bila ada persoalan, debatlah besok pagi saja!"


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehabis berkata, dia mengebaskan sepasang ujung bajunya
ke muka, dua gulung angin pukulan yang sangat kuat segera
menyambar keatas tubuh Suma Thian yu.
Serta merta Suma Thian yu menghindarkan ke belakang
dan mengundurkan diri ke tepi jendela, ia tahu usahanya
malam ini menemui kegagalan total, maka dia memutuskan
untuk meninggalkan kuil tersebut lebih dulu kemudian baru
mencari kesempatan lagi di masa mendatang.
Berpikir demikian, ia pun mengundurkan diri dari jendela
dan melompat naik keatas atap.
Tapi baru saja kakinya melayang keatas atap rumah,
kembali hatinya terkesiap.
"Habis sudah nyawaku kali ini!" pekiknya dihati.
Entah sejak kapan, ternyata seluruh kuil itu sudah
bermandikan cahaya lentera, diatas atap rumah dimana ia
berada sekarang, tampak beratus-ratus orang pendeta berdiri
disitu dengan golok terhunus ditangan.
Menyaksikan pemandangan semacam itu, Suma Thian yu
sadar bahwa pertahanan musuh tangguh bagaikan dinding
baja, jangan lagi manusia, burungpun sukar untuk melewati
tempat tersebut.
Tanpa terasa ia menghela napas panjang dan melepaskan
jubah kependetaannya, lalu serunya keras keras:
"Aku menyerah kalah!"
Seorang lelaki yang pintar adalah seorang lelaki yang bisa
mengetahui keadaan, kalau ditinjau dari situasi yang
terbentang didepan mata sekarang, dapat disimpulkan kalau
pihak lawan telah mempersiapkan penjagaan secara matang
terperinci dan menurut perencanaan yang sempurna.
Berada dalam keadaan seperti ini, seandainya dia sampai
berani berbuat secara gegabah lagi, niscaya jiwanya akan
turut melayang dalam ruangan tersebut.
"Yaa, mengapa aku tidak memakai siasat untuk meloloskan
diri dari ancaman bahaya untuk kemudian mencari
kesempatan lain untuk turun tangan?" demikian ia berpikir.
Sementara dia masih berpikir, tampak dua orang pendeta
sudah menyerobot kehadapanya, Suma Thian yu mengenali
seorang diantara nya sebagai It hok taysu.
Dengan wajah diliputi amarah, It hok taysu segera
mendamprat begitu sampai didepan anak muda itu:
"Tan siahiap, pinceng sudah tahu kalau kau adalah seorang
mata-mata, besar amat nyalimu, mengapa tidak kau tanyakan
dulu kepada orang lain kuil Buddha ini adalah tempat apa! Kau
betul-betul tidak tahu diri, ketahuilah kau sudah menelan tiga
butir pil yang merupakan obat pemabuk berkadar paling
tinggi, apabila kau mengerahkan hawa murnimu maka daya
kerja obat tersebut akan menyebar ke seluruh badan yang
berakibat kau akan tertidur pulas. Hamm... sekarang kau
sudah mengerti bukan kuil Budhala si adalah tempat yang
rawan bagi manusia sebangsa kau!"
Suma Thian yu merasakan badannya sangat menderita
setelah mendegar perkataan dari pendeta itu, hingga kini dia
baru menyadari kalau pengalamannya kelewat rendah, tapi
harus bersukur karena tidak memberikan perlawanan dengan
kekerasan, kalau tidak entah bagaimana akibatnya.
Dengan suara dingin ia lantas berkata:
"Oooh, tampanya toa suhu cuma seorang manusia yang
berlagak sok alim dan mulia, kalau begitu aku telah salah
menduga orang baik..."
It hok taysu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahaahaahaa... gunakanlah cara yang sama untuk
menghadapi orang yang sama, ini menurut nasehat para
ulama dulu. Kau berniat jahat dengan mengincar kitab pusaka
milik kami, haruskah kami melayanimu dengan segala
hormat?" Bantahan ini kontan saja membungkamkan Suma Thian yu
sehingga tak mampu berkata-kata lagi, ia mengakui kesalahan
memang berada dipihaknya, orang lain berbuat demikinu pun
demi kepentingan sendiri, jadi tak dapat sembarangan
menuduh sebagai berniat tak baik kepada dirinya.
Berpikir demikian, diam-diam ia menggertak gigi dan
memejamkan matanya tanpa berkutik lagi.
It hok taysu berjalan ke sisi Suma Thian yu sambil
menggenggam lengan pemuda itu, katanya:
"Setiap keputusan hanya ditentukan oleh Hongtiang,
sedangkan pinceng tak mampu mengambil keputusan,
terpaksa Tan siauhiap harus menemani pinceng untuk
menghadap Hongtiang. Turutilah perkataan pinceng, tak usah
memberikan perlawanan, karena berbuat demikian cuma akan
menggali kuburan bagi diri sendiri"
Suma Thian yu yang menyaksikan situasinya sangat tidak
menguntungkan bagi dirinya, tentu saja tidak akan melakukan
perlawanan, bahkan boleh dibilang ingin melawanpun tak ada
gunanya, terpaksa dia mengikuti It hok taysu melayang turun
keatas permukaan tanah lalu masuk ke ruangan hongtiang.
Dibelakang mereka berdua mengikuti pula serombongan
pendeta yang berjubah kuning, merah, abu-abu dan putih,
semuanya memasuki ruangan Hongtiang dengan wajah serius.
Begitu masuk ke ruangan hongtiang, Suma Thian yu segera
menyaksikan seorang pendeta tua berjubah cerah, beralis
putih dan berwajah keren bercahaya duduk ditengah ruangan.
Pendeta tua ini tidak lain adalah ketua kuil Buddhala si di
Tibet yang disebut orang Keng sim taysu.
Suma Thian yu masuk kedalam ruangan di iringi para
pendeta, tampak kawanan padri ini segera menyebarkan diri
dan mengurung sekeliling ruangan rapat-rapat, kini cuma
Suma Thian yu seorang yang berdiri tegak ditengah ruangan.
Setelah semua pendeta itu duduk, Keng sim taysu segera
merangkap tangannya didepan dada sambil memuji
keagungan Buddha, pujian ini disambut pula oleh para
pendeta lainnya dengan hal yang sama.
Kacau balau tak karuan perasaan Suma Thian yu setelah
menyaksikan kejadian ini, dia merasa seperti seorang murid
yang mendapat hukuman, atau seorang tertuduh yang sedang
menantikan keputusan pengadilan, hatinya murung, sedih dan
menderita dan tak terlukiskan lagi dengan kata-kata.
Agaknya mereka hendak menunggu sampai datangnya
sang fajar sebelum memulai dengan pemeriksaan, Coba
bayangkan saja waktu yang begitu panjang dan lama harus
dilewati dengan perasaan apa.....
Mendadak dari depan pintu berjalan masuk seorang
pendeta tua berjubah kuning, sewaktu Suma Tnian yu
berpaling, ternyata pendeta itu tak lain adalah pendeta tua
yang ditemui dalam ruang penyimpanan kitab tadi...
Tampak pendeta itu berjalan menuju kehadapan Keng sim
taysu, kemudian lapornya:
"Omintohud, lapor hongtiang, sukhong telah mendusin, ia
sama sekali tidak cedera kecuali jalan darah tidurnya yang
tertotok" Keng sim taysu menggerakkan matanya yang lembut dan
menggangguk tersenyum.
"Keng ken taysu, kau boleh mundur dulu!"
Pelan-pelan dia mengalihkan sorot matanya kewajah Suma
Thian yu, setelah mengawasinya beberapa saat, dengan nada
serius dia mulai menegur:
"Sicu, sesungguhnya apa maksudmu memasuki kuil kami"
Kalau dilihat dari gerak-gerikmu, nampaknya bukan kemari
untuk menuntut balas, lalu apa maksud tujuanmu" Lolap tidak
habis mengerti dengan perbuatan mu ini, atau mungkin kau
berniat mencuri kitab pusaka dari kuli kami?"
"Betul!" jawab Suma thian yu, "terus terang saja, aku
memang kemari untuk mencuri kitab pusaka"
Begitu pengakuan tersebut diberikan, semua pendeta yang
berada dalam ruangan itu sama-sama menjadi terperanjat,
semenjak kuil buddhala si di dirikan, belum pernah ada orang
yang memiliki nyali sebesar ini untuk datang mencuri kitab,
bahkan berani mengakui maksud tujuannya secara berterus
terang. Mencorong sinar tajam dari balik mata Keng sim taysu
setelah mendengar perkataan itu, ditatapnya Suma thian yu
sekejap, kemudian bertanya lagi:
"Kejujuran sicu benar-benar patut dihargai, kau berani
datang kemari untuk mencuri kitab pusaka, tentu ada yang
kau andalkan bukan" Siapakah gurumu?"
Suma Thian yu mendongakkan kepalanya balas menatap
wajah Keng sim taysu, walaupun empat mata saling bertemu,
namun pemuda tersebut sama sekali tidak terpengaruh oleh
kewibawaan dan kekerenan pendeta tua itu.
Keberanian serta kegagahan semacam ini, mau tak mau
membuat Keng sim taysu merasa kagum sekali.
Pelan-pelan Suma Thian yu menjawab:
"Guruku adalah Put gho cu!"
"Put gho cu" Ehmm...sebuah nama yang sangat kukenal!"
keng sim taysu manggut-manggut, "namun lolap sudah tak
bisa menginggat kembali siapakah dia, apakah sicu datang
mencuri kitab atas perintah dari gurumu?"
"Tidak! Guruku sudah lama tidak mencampuri urusan
keduniawian lagi, aku datang kemari sebenarnya atas perintah
dari Cong liong lo sian jin!"
Begitu mendengar nama "Cong liong lo sian jin", paras
muka Keng sim taysu berubah hebat, hatinya terasa bergetar
keras, dengan cepat ia bertanya:
"Dia orang tua masih hidup didunia ini" Kau tidak
membohongi lolap...?"
"Tidak, aku tak pernah berbohong!"
Lama sekali Keng sim taysu mengamati wajah pemuda itu
tanpa berkedip, kemudian ia baru berkata:
"Cong liong locianpwee memang mempunyai hubungan
yang cukup akrab dengan kuil kami, mengapa dia tak datang
sendiri kemarih melainkan mengutusmu untuk melakukan
pencurian" Aku rasa hal ini tak mungkin terjadi. Petugas,
tangkap pencuri kecil yang berbohong ini.
Baru selesai Keng sim taysu berkata, tiga orang pendeta
tua berjubah kuning telah menggurung Suma Thian yu dalam
posisi segitiga.
"Tunggu dulu!" bentak Suma Thian yu setelah menyaksikan
kejadian ini, "kalian tak boleh memfitnah orang semaunya
sendiri tanpa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah!" Keng seng taysu beserta dua orang pendeta tua berjubah
kuning lainnya merupakan tiga orang pelindung kuil Buddhala
si, bersama Keng sim taysu terhitung saudara seperguruan.
Kalau berbicara soal urutannya, maka setelah Keng seng
taysu adalah Keng khong tayu dan paling akhir adalah Keng
ken taysu. Terdengar Keng seng taysu membentak dengan suara
sedingin salju:
"Siau sicu asal kau mampu untuk menembusi barisan dari
kami bertiga maka apapun yang kau inginkan akan segera kau
peroleh, kalau tidak, disinilah tempat tinggalmu yang
terakhir!"
Suma thian yu segera berpekik nyaring:
"Baik aku akan menuruti perintah!"
Seraya berkata, telapak tangannya segera diayunkaa
kedepan, diam-diam dia sertakan pula empat bagian tenaga
pukulan Hai po sian hong cian kearah Keng ken taysu.
Angin pukulan yang menderu segera berputar seperti angin
berpusing yang menyapu jagad, dengan membawa tenaga
angin tajam langsung menerjang tubuh Keng ken taysu.
Mungkin Sama Thian yu menganggap usia Keng ken taysu
paling muda, maka dialah yang paling gampang dihadapi.
Bagi Keng ken taysu, tindakkan tersebut boleh dibilang
merupakan suatu penghinaan, tidak jauh-jauh, cukup pukulan
yang dilancarkan ke arahnya saja paling tidak menandakan
bahwa musuh menganggapnya sebagai pihak yang terlemah.
Tampak Keng ken taysu tertawa nyaring, telapak
tangannya diayunkan pula kedepan melepaskan sebuah
pukulan untuk menyongsong datangnya serangan lawan.
Menyusul kemudian, tubuhnya ikut menerjangke depan
sambil melancarkan sebuah pukulan lagi, kali ini dia
menghantam ke ubun-ubun pemuda tersebut.
Tujuan Suma Thian yu menang untuk memancing musuh,
dia yakin dengan ilmu langkah Ghok liong loan poh cap lak
poh nya Siau yau kay, ia masih sanggup untuk menghindari
serangan ke tiga orang tersebut.
Maka gerakan tubuhnya segera berubah, kali ini dia
menyelinap ke sisi Keng khong taysu lalu membacok tubuhnya
dengan jurus Ha hou ciang liong (mengandalkan harimau
menaklukan naga).
Keng khong taysu tertawa nyaring, ia tidak menghindar
atau pun berkelit, sepasang telapak tangannya dipergunakan
berbareng satu dari atas yang lain dari bawah serentak
diayunkan kemuka melepaskan dua gulung angin pukulan
yang sangat keras.
Dengan cepat suma Thian yu melayang kembali ke
hadapan Keng ken taysu, telapak tangan kirinya melepaskan
sebuah pukulan udara kosong, kemudian sambil membalikkan
badan ia melancarkan serangan kembali kearah keng ken
taysu dengan jurus Tiau hou ji san (memancing harimau
meninggalkan bukit).
Siasat suara ditimur menghantam kebarat ini segera
mendatangkan hasil yang diharapkan.
Tiba-tiba Keng seng taysu tertegun, kemudian sambil
miringkan badan, sepasang telapak tangannya dipakai
bersama untuk melancar-kan serangan balasan.
Begitulah, Suma Thian yu seorang diri harus bertarung
melawan tiga orang sekaligus, disamping mempergunakan
ilmu langkahnya yang sakti, dia pun menandingi serangan
musuh dengan jurus-jurus yang tersembunyi.
Dalam waktu singkat, dua puluh gebrakan sudah lewat,
namun kedua belah pihak masing-masing tetap bertarung
seimbang. Keng sim taysu yang mengikuti jalannya pertandingan itu,
diam-diam hatinya merasa terperanjat, terutama sekali setelah
menyaksi-kan sang pemuda lemah yang bertarung melawan
ketiga orang pelindung hukumnya, ternyata makin bertarung
semakin gagah dan perkasa.
Mendadak terdengar suara Keng seng teysu berpekik
nyaring, sepasang lengannya diputar membentuk gerakan
melingkar ditengah udara kemudian secepat burung yang


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbang diudara menyerang ke arah Suma Thian yu.
"Sicu, hebat amat kepadaianmu, terpaksa lolap mesti
memper-gunakan ilmu silat yang lebih hebat" serunya keraskeras.
Benar juga, angin pukulan yang dilancarkan kali ini benarbenar
disertai tenaga serangan yang menggidikkan hati.
Suma Thian yu segera mengambil keputusan pula dihati,
dengan mengerahkan ilmu Hwee po sian hong ciang ajaran
Cong liong lo sian jin, dia sambut datangnya serangan lawan.
"Blaaammm... blaaammmm..."
Ledakan keras yang menggetarkan seluruh ruangan
bergema memecah keheningan, seluruh tiang dalam ruangan
hongtiang itu bergoncang keras, atap beterbangan dan angin
puyuh yang maha dashyat langsung menggulung ke tubuh
tiga orang pendeta tersebut.
Mendadak terdengar Keng sim taysu membentak keras:
"Cepat kabur!! Hui po sian hong ciang tak boleh dilawan
dengan kekerasan!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, tampak tiga sosok
bayangan manusia meluncur keudara.
Serentak semua pendeta yang berada didalam ruangan itu
kabur keluar ruangan untuk menghindarkan diri.
Suatu ledakan keras yang memekikkan telinga segera
bergema memecahkan keheningan, sebagian dinding
ruangang Hongtiang tersebut jebol sehingga muncul sebuah
lubang besar, angin puyuh itu hilang lenyap setelah berada
diluar ruangan.
Serangan yang dilancarkan Suma Thian yu kali ini telah
pergunakan tenaga dalam hasil latihannya selama sepuluh
tahun, dia baru berbuat demikian karena merasa jiwanya
terancam. Namun setelah serangan di lepaskan, mendadak ia merasa
penat sekali, semangatnya bertambah merosot, kakinya
menjadi lemas dan setelah sempoyongan akhirnya roboh
terungkal ketanah.
ooo0ooo SEBAGAIMANA di ketahui, dia sudah dicekoki tiga butir pil
oleh It hok taysu yang ternyata adalah obat pemabuk, oleh
sebab dia harus mengerahkan tenaga dalamnya, maka
sebagai akibatnya daya kerja obat itu menyebar keseluruh
tubuhnya yang menyebabkan dia roboh tak sadarkan diri.
Entah berapa jam kemudian, ketika dia membuka matanya
kembali, ternyata ia menemukan dirinya sudah berbaring
didalam kamar tidurnya semula.
Sedangkan disamping pembaringannya berdiri It hok taysu
beserta dua orang pendeta setergah umur yang mengenakan
jubah berwarna putih....
Melihat pemuda itu mendusin, It hok taysu dengan
senyuman dikulum segera berkata:
"Sicu, apakah kau sudah merasa agak enakan dengan
kesehatan tubuhmu?"
"Terima kasih banyak atas perhatian mu, aku sudah
sembuh dan tidak kekurangan sesuatu apa pun"
"Hongtiang senantiasa menantikan kedatangan sicu" ucap
It hok taysu lagi sambil tertawa.
Suma Thian yu segera berpaling kejendela seraya berseru:
"Hei, jam berapa sekarang" Apakah Hongtiang belum
beristirahat?"
It hok taysu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaahaahaaaa...... beberapa saat lagi fajar akan
menyingsing, sicu sudah tidur seharian penuh, justru karena
Hongtiang menguatirkan keselamatanmu, ia belum beristirahat
sampai sekarang!"
Cepat Suma thian yu melompat bangun dan membereskan
bajunya, lalu bersama It hok taysu menuju ruangan
Hongtiang. Kali ini dalam ruangan hanya hadir empat orang pendeta
tua, selain Keng sim taysu cuma tiga orang penting lainnya
yang hadir... Dengan perasaan berat dan masgul, Suma Thian yu
berjalan menuju kehadapan Keng sim taysu, lalu dengan
wajah serius berkata:
"Taysu, harap kau suka memaafkan kecerobohanku!"
"Sicu memang benar-benar murid Cong liong locianpwee"
ucap Keng sim taysu dengan senyum dikulum, "semalam aku
memang sengaja menitahkan ketiga orang sesepuh ini untuk
membuktikan kebenaran tersebut!"
Suma Thian yu baru memahami duduknya persoalan
setelah mendengar perkataan itu, yaa, bagaimanapun juga
semakin tua jahe akan terasa semakin pedas.
Maka dengan sikap yang menghormat dia menjawab:
"Aku tidak berniat berbohong, sesungguhnya aku kemari
karena masalahnya menyangkut suatu musibah besar yang
akan terjadi tak lama kemudian, dan musibah tersebut sangat
ber pengaruh terhadap kehidupan umat persilatan pada
umumnya. Oleh sebab keadaan yang makkn mendesak,
terpaksa aka mesti menempuh cara yang berbahaya ini.
Padahal aku tidak berniat merampok atau mencuri, maksudku
hanya ingin menyelidiki nasib dari sejilid kitab pusaka"
"Sebetulnya nasib kitab pusaka apa yang sedang sicu
selidiki?" tanya Keng sim taysu sambil tersenyum.
"Kitab pusaka Kun tun kan kun huan siu cin keng!"
Ucapan itu segera mengundang seruan kaget dari Keng sim
taysu beserta ketiga orang pelindung hukumnya.
"Kitab pusaka Kun tun kan kun huan siu cin keng?" Keng
sim taysu mengulang, "jadi sicu kemari karena kitab
tersebut?"
"Betul"
Keng sim menghela napas.
"Aaai, sia-sia saja sicu menempuh perjalanan jauh dengan
susah payah kemari, sebab kitab pusaka yang dibuat oleh toa
supek ku Ku hay sinsu sebetulnya tidak disimpan dalam kuil
kami!" "Sungguh tidak keliru perkataan Toa suhu?" Suma Thian yu
bertanya kaget, semangatnya yang semula berkobar-kobar
seketika menjadi lenyap seperti terguyur air sebaskom.
"Kitab pusaka itu sudah berada didaratan Tionggoan,
mengapa sicu tidak mencarinya di daratan Tionggoan saja"
Datang kemari cuma membuang waktu saja dengan percuma"
Segera timbul kecurigaan dihati Suma Thian yu setelah
mendengar perkataan itu, agak tercengang ia balik bertanya:
"Toa suhu, kalau toh kitab pusaka itu sudah beredar di
daratan Tianggoan, mengapa toa suhu tidak mengirim orang
untuk mencarinya kembali?"
Keng sim taysu menghela napas panjang, katanya berterus
terang: "Lebih baik jangan ditanya lagi, pulang saja ke Tionggoan,
lolap beserta segenap pendeta dari kuil ini memberi jaminan
dengan kehormatan kami bahwa kitab tersebut sudah tidak
berada dalam kuil kami lagi, soal lain maaf tak dapat
kukatakan"
"Toa suhu, tahukah kau kalau kitab tersebut terbagi
menjadi dua bagian, satu yang asli dan satu lagi yang palsu?"
desak Suma thian yu lebih lanjut.
"Tidak, kitab pusaka itu cuma sejilid saja"
"Sejilid" bukan selembar?"
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh, keng sim
taysu segera berkata:
"Apakah sicu curiga kalau lolap sedang berbohong?"
"Ooohh, tidak....tidak...! Aku tak berani menuduh demikian,
sebab kitab itu sebetulnya sudah kudapatkan, kemudian
lantaran karena kitab itu palsu, maka kuserahkan kepada Sam
yap koay mo, adapun kedatanganku kemari tidak lain adalah
untuk membuktikan kebenaran dari kitab tersebut!"
Keng sim taysu segera menanyakan lebih jauh tentang
keadaan yang sebenarnya.
Dengan berterus terang, Suma thian yu menceritakan
semua pengalaman yang dialaminya mengenai kitab pusaka
tersebut kepada Keng sim taysu.
Tiba-tiba Keng sim taysu berteriak keras:
"Aaaah, kalau begitu sicu tertipu! Kitab tersebut sebetulnya
kitab yang asli!"
"Dari mana kau bisa tahu?" agak tegang Suma Thian yu
bertanya. Keng sim taysu berpaling dan serunya kepada Keng Khong
taysu: "Keng Khong sute, ambil kemari botol air Biau heng sui!"
Setelah Keng Khong taysu berlalu untuk melaksanakan
perintah, Keng sim taysu baru berpaling ke arah Suma Thian
yu, dia berkata lebih jauh:
"Lembar kertas kulit itu halus dan licin, sedemikian licinnya
sehingga tak bisa ditulis dengan tinta bak, tapi dengan pisau
kecil, tulisan dapat diukir diatas lembaran kertas tadi, lalu
pada lapisan depannya diberi selembar kertas putih yang
diberi tulisan yang kacau dan dilapisi pula dengan lilin.
"Justru karena kekacauan-nya itu orang tidak akan melihat
sebuah tulisan pun disana, tapi jika lilinnya dibuang maka
akan terbacalah huruf-hurufnya. Mungkin karena hal itu Wu
san siang gi siu mengira kitab itu palsu, padahal kitab tersebut
adalah kitab yang asli!"
Bagaikan disambar guntur disiang hari bolong, Suma Thian
yu meraskan hatinya hilang separuh dan hampir saja jatuh
semaput, serunya tak tahan:
"Oooh, bagaimana baiknya ini" Thian, aku telah mencelakai
orang banyak...."
Tanpa terasa titik air mata jatuh berlinang membasahi
pipinya, sedang tubuhnya gontai tak menentu, nampaknya
pemuda tersebut mendapat pukulan batin yang sangat berat.
Keng seng taysu menjadi sangat terperpanjat setelah
menyaksikan kejadian ini, sambil membimbingnya ia terseru:
Jilid : 24 "SICU tak perlu kuatir, sebab segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini sudah diatur oleh takdir, sejak dulu barang mestika
hanya akan diperoleh bagi mereka yang berjodoh, sekalipun
Sam yap koai mo berhasil memperoleh kitab pusaka tersebut,
oleh karena dia tidak mengetahui rahasianya, maka benda
tersebut sama artinya dengan benda yang tak berguna,
kecuali memusnahkan-nya, tak mungkin ada cara lain yang
dapat di tempuh."
Suma Thian yu mengira ucapan itu hanya kata-kata
menghibur dari Keng ken taysu, karenanya penderitaan serta
rasa masgulnya sama sekali tidak berkurang.
Keng sim taysu yang bermata jeli dapat menebak hati
Suma Thian yu, namun dia tidak menegur atau menghiburnya,
seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apapun, ia duduk
tenang disamping.
Tak lama kemudian Keng Khong taysu sudah muncul
kembali didalam ruangan.
Dengan wajah berseri Keng sim taysu segera berkata:
"Sicu, kecurigaanmu kini sudah hilang, nah, Keng Khong,
berikan botol air Biau heng sui tersebut kepada siauhiap"
Keng khong taysu menyodorkan botol kecil itu kehadapan
Suma Thian yu, kemudian katanya:
"Harap kau suka menyimpannya baik-baik sebab air obat ini
dapat membantumu untuk memperoleh kepandaian sakti"
Seraya bertata, dia pun mengajarkan bagaimana caranya
mempergunakan air tersebut.
Air didalam botol kecil itu nampaknya saja biasa tapi bila
dibubuhkan diatas kertas, maka kertas itu akan robek
sehingga terlihat tulisan yang tertinggal didalamnya.
Suma Thian yu menerima air Biau heng sui itu dengan
perasaan terharu, sambil menjura dalam-dalam pada Keng sim
taysu, katanya:
"Terima kasih banyak toa suhu, budi kebaikan ini entah
sampai kapan baru dapat terbalas"
Setelah berhenti sejenak, mendadak ia seperti teringat
akan sesuatu, tanyanya:
"Toa suhu, bila kitab pusaka tersebut berhasil kuperoleh,
apakah harus kukembalikan kemari?"
Keng sim taysu tertawa terbahak-bahak.
"Benda mestika hanya akan diperoleh bagi mereka yang
berjodoh, lolap merasa tak punya jodoh dengan benda itu dan
tak berani memikirkannya. Apalagi toa supek lolap Ku hay
siansu pernah berpesan agar kami tidak terlibat dalam
perebutan tersebut, karena nya sicu boleh memperoleh benda
mana sebagai hadiah"
Sekali lagi Suma Thian yu menjura dalam-dalam kemudian
baru berpamitan.
Gara-gara ulahku, kuil taysu sudah kubuat tak tenang,
untuk itu mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan budi
kebaikan kalian tak pernah akan kulupakan"
Diiringi It hok taysu, berangkatlah pemuda itu
meninggalkan kuil Budhala si.
Dengan perasaan minta maaf It hok taysu berkata secara
tiba-tiba: "Tan siauhiap, apakah kau masih mendendam kepada
pinceng karena sudah memabukkan dirimu?"
Suma Thian yu merasa tidak enak hati sendiri karena sudah
berbohong selama ini cepat-cepat ujarnya:
"Lapor taysu, aku she Suma bukan she Tan, bila selama ini
sengaja kurahasiakan namaku, harap taysu sudi memaafkan"
Mendengar ucapan mana, It hok taysu segera tertawa
terbahak-bahak.
"Haa... haa... haaa... siapa yang tidak tahu dia tak
bersalah, kita tak ada yang berhutang kepada siapa.... !"
Suma Thian yu pun mendongakkan kepalanya sambil
tertawa terbahak-bahak, sambil menggenggam tangan It hok
taysu dengan terharu serunya:
"Taysu kau terlalu baik, Kebesaran jiwamu membuatku
terharu, Thian yu pasti akan berusaha mengambil kebaikanmu
demi kesejahteraan umat persilatan"
Sambil tertawa It hok taysu menggelengkan kepalanya
berulang kali, sahutnya:
"Suma siauhiap tak usah menempeli emas diwajah pinceng,
apakah perbuatanmu ini tidak akan membuatku kehilangan
muka, kemudian sambil memandang ke tempat kejauhan, dia
menghela napas sedih sembari berkata lagi:
"Sinar fajar sudah mulai menyingsing, pinceng harus segera
melakukan sembahyang pagi, biar kuhantar siauhiap sampai di
sini saja, moga-moga kau dapat menjaga diri baik-baik"


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Harap taysu baik-baik pula menjaga diri" kata Suma Thian
yu pula sementara air matanya bercucuran membasahi
seluruh wajahnya.
Cepat-cepat dia berpaling ke arah lain dan segera
berangkat meninggalkan kuil Budhala si.
Menanti bayangan punggung pemuda itu sudah lenyap dari
pandangan mata, It hok taysu baru kembali ke kuil.
Sepanjang jalan Suma Thian yu merasa hatinya girang tak
terlukiskan sebab per jalanannya kali ini tidak sia-sia, selain
memperoleh sebotol air Biau heng sui, dia pun banyak
memperoleh penjelasan tentang kitab pusaka Kun tun kan kun
huan siu cin keng.
Paling tidak ia merasa berlega hati sebab kitab tersebut di
tangan Sam yap koay mo hanya ibarat kertas tak berguna,
bayangkan saja tanpa air biau heng yok sui, bagaimana
mungkin dia dapat memperoleh isi dari kitab pusaka tersebut!
Dengan membawa perasaan yang gembira dan
mengayunkan langkah yang ringan ia berjalan keluar dari
pintu kota Lhasa.
Diluar kota Lhasa terbentang sebuah hutan yang lebat,
jalan raya disitu memang diapit oleh pepohonan yang sangat
lebat. Sambil bersiul dan menikmati keindahan alam, Suma Thian
yu menempuh perjalanan nya dengan santai.
Yaaa, saat ini perasaan Suma thian yu memang diliputi
kegembiraan yang luar biasa, terutama sekali sesudah
mengetahui kalau kulit kertas tersebut adalah sebuah kitab
pusaka yang dicari, ia semakin gembira lagi.
Menurut rencana, setibanya di daratan Tionggoan nanti, dia
akan mencari sam yap koay mo serta Coa tau jin mo
kemudian merebut kembali kitab pusaka itu. Jika kepandaian
silat yang berada di dalam kitab pusaka itu sudah berhasil
dipelajari, bukan saja dendam sakit hatinya akan terbalas,
sakit hati pamannya pun akan dilunasi.
manusia memang mahkluk yang aneh, sewaktu berangkat
dari Tionggoan menuju ke Tibet, Suma thian yu merasa
perjalanan amat jauh dan tidak sampai sampai, sebab dia
merasa tidak memiliki keyakinan dengan keberhasilan
perjalanannya, dia kehilangan rasa percayanya pada diri
sendiri serta harapan.
Berbeda sekali dalam perjalanan kembalinya dari Tibet ke
tionggoan, kali ini dia membawa pengharapan yang besar,
pulang dengan perasaan gembira, maka perjalanan pun terasa
jauh lebih cepat.
Mosha adalah nama suatu tempat terpenting yang harus
dilewati bagi orang dalam perjalanan Tibet menuju ke
Kimkhong. Suatu hari, sampailah Suma thian yu di kota Mosha.
Sewaktu memasuki pintu kota, tiba-tiba dari arah depan
sana muncul seorang pemuda.
Dengan ketajaman mata yang dimiliki Suma Thian yu,
dalam sekilas pandangan saja dapat mengenali pemuda
tersebut sebagai Chin Siau, terkesiap hatinya, buru-buru dia
membalikkan badannya dan mengurangkan niatnya masuk
kedalam kota. Siapa tahu pihak lawan telah mengetahui jejaknya, baru
saja Suma Thian yu membalikan badan, mendadak terdengar
Chin Siau membentak keras:
"Bocah keparat, jangan kabur dulu!"
Suma thian yu sama sekali tidak jeri kepadanya, melainkan
kuatir kalau kesalahan paham tersebut tak dapat dihilangkan
sehingga mengakibatkan terjadinya pembunuhan yang tak
berguna. Apalagi dia sudah terlalu banyak menanamkan bibit
permusuhan, jika dia mesti menghadapi si pendeta buta lagi,
berarti dia mesti menghadapi seorang musuh yang amat
tangguh. Bukan begitu saja, bahkan kesalahan paham orang
persilatan terhadap dirinya akan semakin sukar dihilangkan.
Oleh karena itu kecuali menyingkir rasanya tiada cara lain
yang bisa dipergunakan lagi.
Tanpa berpaling dia menelusuri jalan ke cil dan buru-buru
menjauhi tempat tersebut.
Bagaikan sepotong besi semberani saja, dengan ketat Chin
Siau mengejar tiada hentinya dibelakang pemuda itu, bahkan
sambil mengejar teriaknya berulang kali:
"Bocah keparat! Kalau kau memang bernyali jangan kabur,
saat kematianmu sudah tiba, pokoknya kau mesti membayar
nyawa sekeluarga yang telah kau bunuh itu!"
Suma Thian yu sama sekali tidak menggubris, malah kabur
semakin cepat. Begitulah, yang satu kabur yang lain mengejar, mereka
saling berkejar kejaran ba gaikan bermain petak umpat.
Lambat laun ujung jalan kecil sudah sampai, dihadapan
mereka terbentang sebuah hutan belukar yang sangat lebat.
Suma thian yu yang berlarian dimuka kelihatan agak sangsi
sejenak, namun akhirnya dia menerobos masuk ke dalam
hutan dengan kecepatan tinggi. Chin Siau yang mengejar
dibelakangnya pun seakan-akan sudah lupa atas pantangan
untuk mengejar ke dalam hutan, tanpa berpikir panjang dia
mengejar masuk. Di dalam keadaan begini, Suma Thian yu
tidak memilih arah lagi, dia hanya tahu pergi secepatnya
menjahui musuh.
Mendadak pandangan matanya menjadi terang, didepan
mereka terbentang sebuah bukit yang gundul dengan batuan
karang yang tajam, bentuknya seperti kuburan sedangkan
batuan yang mencuat ke sana ke mari bagaikan batu
nisannya. Suma thian yu berhenti sejenak untuk memperhatikan
sekeliling tempat itu, mendadak ia jumpai batu peringatan
yang terpasang disebelah kanan.
Ketika diamati, maka tampak olehnya batu peringatan
tersebut berbunyi demikian:
"Lembah lebah beracun, pendatang harap berhenti!"
Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak, dengan cepat dia
menjejakkan kakinya menerobos masuk kedalam tanah
perbukitan tersebut.
Chin Siau yang menyusul dari belakang serentak
menghentikan langkahnya di tepi hutan sambil berteriak
keras: "Hei bocah keparat! Mengapa kau lebih suka mampus
diujung sengatan lebah beracun daripada mati diujung pedang
aku orang she Chin?"
Suma Thian yu segera menghentikan langkahnya, lalu
sembari berpaling dan tertawa terbahak-bahak jengeknya:
"Saudara Chin, diantara kita belum pernah terjalin
permusuhan apapun, hari ini tanpa sebab tanpa musabab
mengapa kau mengejar diriku terus menerus" Thian yu bukan
manusia yang takut urusan, tapi aku tak ingin melakukan
pembunuhan yang tak berguna, bersediakah kau untuk
mendengarkan perkataanku?"
"Orang she Suma, kau tak usah banyak berbicara yang
bukan-bukan, jemu aku mendengarnya, bila punya
keberanian, ayo keluar dari dari sana dan kita bereskan
dengan pertarungan" bentak Chin Siau penuh kegusaran.
Suma Thian yu segera menghela napas panjang.
"Aai.....kalau toh urusan ini tak bisa diselesaikan secara
baik-baik, silahkan saudara Chin masuk kemari."
"Hmm, kau anggap lembah lebah beracun bisa membuat
aku orang she Chin menjadi takut?"
Begitu selesai berkata, dia lantas melejit ke udara dan
melompat kehadapan Suma thian yu sambil meloloskan
pedangnya. Pelan-pelan Suma Thian yu meloloskan pula pedangnya,
kemudian sambil tertawa getir ia berkata.
"Saudara Chin sampai hari ini apakah kau masih tetap
menuduh aku sebagai musuh besar pembunuh ayahmu" Kau
keliru besar, kekeliruan yang runyam, aku berani bersumpah
tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan orang
banyak, bila kau ingin berduel boleh saja, andaikata aku
sampai tewas diujung pedangmu nanti, aku harap kau suka
menyelidiki masalah ini bagiku hingga duduknya persoalan
menjadi jelas"
"Inikah pesan terakhir mu?" tanya Chin Siau dengan suara
sedingin salju.
"Betul! Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati
meninggalkan nama, bagi orang persilatan, nama adalah
masalah yang amat penting melebihi segala-galanya.
Seandainya aku adalah manusia yang benar-benar rendah
seperti apa yang kau bayangkan, buat apa aku mesti
merengek kepadamu?"
"Sebab kau takut mati, hanya jalan merengek baru bisa
membebaskan dirimu dari kematian" Chin Siau seperti
binatang berdarah dingin saja, menjawab dengan ketus.
"Ooh, kalau begitu kau menganggap aku takut kepadamu?"
seru Suma thian yu kemudian sambil tertawa nyaring.
"Kalau bukan begitu, mengapa kau harus menghindar dan
memohon pengampunan dariku?"
Tanpa terasa Suma thian yu mendongakkan kepalanya dan
tertawa nyaring, suaranya keras memekikkan telinga sehingga
seluruh angkasa mendengung keras dan menggema sampai
dimana-mana. Selesai tertawa, dengan sorot mata yang memancarkan
cahaya tajam, dia menatap wajah Chin Siau lekat-lekat,
kemudian serunya:
"Saudara Chin, silahkan kau lancarkan seranganmu, tak
usah sungkan-sungkan, silahkan menyerang seluruh bagian
mematikan tubuhku, dalam sepuluh gebrakan mendatang aku
akan membuatmu takluk...".
Chin Siau meraung gusar, pedangnya disodokkan datar
kemuka dengan jurus jit gwat cing kong (matahari rembulan
berebut cahaya), sedemikian cepatnya serangan ttersebut
bagaikan serentetan cahaya tajam yang menembusi angkasa.
Suma Thian yu merasakan pandangan matanya menjadi
kabur, tahu-tahu dia merasa cahaya pedang lawan yang
berhawa dingin sudah menyentuh pundaknya.
Dalam terkesiapnya dia mengegos kesamping lalu meluncur
ke arah luar arena.
Kepandaian silat andalan dari Chin Siau adalah ilmu pedang
Tay hap kok dan ilmu silat negeri asing, gurunya Bu bok ceng
merupakan seorang jago pedang kenamaan, dia adalah
pencipta ilmu pedang mata buta yang termasyur.
Disaat hendak melancarkan serangannya Chin Siau selalu
memejamkan matanya rapat-rapat, dia selalu mempergunakan
pen dengarannya yang tajam untuk mengawasi gerak-gerik
lawannya. Berbicara dari tenaga dalam yang dimilikinya sekarang,
entah seekor nyamuk, entah selembar daun yang lewat
disisinya, tak pernah ada yang terlepas dari pengawasan-nya.
Ilmu pedang semacam ini boleh dibilang merupakan sejenis
ilmu pedang yang maha dahsyat dan luar biasa.
Suma Thian yu sudah terlanjur mengatakan akan
menaklukan musuhnya dalam sepuluh gebrakan, dia tak
berani berayal lagi, dengan mengembangkan ilmu pedang Bu
beng kiam hoat ajaran Ciong liong lo sianjin, ia lancarkan
beberapa serangan balasan.
Cahaya tajam memancar kemana-mana, angin serangan
menderu-deru, dua lapis cahaya pedang yang menyilaukan
mata sebentar kedepan sebentar lagi kebelakang, sebentar
kekiri sebentar lagi kekanan, hanya didalam sekejap mata saja
delapan jurus serangan telah dilancarkan.
Melihat tinggal dua jurus lagi, Chin Siau segera tertewa
terbahak-bahak.
"Haa...haaa...haaa...tinggal dua jurus lagi, bocah keparat,
rupanya kaupun punya gentong nasi belaka"
Suma Thian yu tertawa nyaring, mendadak seluruh
tubuhnya melejit ketengah udara, pedangnya bergetar keras
dan mengembangkan cahaya yang amat menyilaukan mata,
bagaikan titiran hujan deras senjata tersebut mengurung
seluruh tubuh Chin Siau.
"Hanya satu jurus inipun sudah cukup untuk merenggut
nyawamu...!" seru Thian yu nyaring.
Betapa terkesiapnya Chin Siau setelah menyaksikan
datangnya ancaman tersebut, ternyata dibalik selapis cahaya
pedang terselip pula kekuatan maha dahsyat yang menekan
kearahnya. Terdesak oleh keadaan, Chin Siau segera mengeluarkan
jurus Ki hwee liau thian (mengangkat obor membakar langit),
diam-diam segenap tenaga dalamnya disalurkan keujung
pedang lalu digetarkan kearah depan.
Bentrokan nyaring bergema memecahkan keheningan,
menyusul kemudian terdengar jerit kesakitan.
Chin Siau mundur dengan sempoyongan.
Pakaian pada bahu kirinya robek besar dan muncul sebuah
mulut luka sepanjang tiga inci, darah segar mengucur keluar
tiada hentinya.
Pada saat yang bersamaan Suma Thian yu melayang turun
pula keatas tanah, katanya sambil menjura:
"Terima kasih atas kebesaran jiwa Chin heng!"
Mimpi pun Chin Siau tidak menyangka kalau Suma thian yu
memiliki ilmu pedang yang tiada tandingannya di kolong
langit, dengan kekalahannya yang begini tragis ini, maka dia
merasa tak punya muka lagi untuk hidup terus disitu.
Setelah tertawa sedih, dia menyimpan kembali pedangnya
dan kabur kearah lembah.
Menyaksikan pemuda itu bukan menuju keluar lembah,
sebaliknya malahan memasuki lembah terlarang tersebut,
dengan terkejut Suma Thian yu berseru:
Saudara Chin, jangan masuk lebih kedalam, tempat
tersebut adalah lembah lebah beracun!"
Sayang sekali keadaan sudah terlambat, karena Chin Siau
sudah tidak nampak lagi bayangan tubuhnya.
Suma Thian yu tak berani berayal, cepat dia menjejakkan
kakinya ketanah, kemudian secepat kilat meluncur masuk juga
kedasar lembah tersebut. Tatkala tiba didasar lembah, tibatiba
seluruh udara dipenuhi oleh suara dengungan
yang amat nyaring, ketika Suma Thian yu mendongakkan
kepalanya, terlihat ada sekelompok lebah beracun sedang
menerjang kearahnya dengan dahsyat.
Serentak Suma Thian yu meloloskan pedangnya,


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjumpai datangnya terjangan dari kawan lebah tersebut, ia
membentak keras, pedangnya digetarkan menciptakan selapis
cahaya tajam dan menyambar kawanan lebah tersebut.
Didalam waktu singkat puluhan ekor lebah beracun telah
berguguran ditanah.
Suma Thian yu sangat menguatirkan keselamatan jiwa Chin
Siau, memanfaatkan kesempatan tersebut dia melirik
kesamping. Tampak olehnya Chin Siau sedang maju
sempoyongan kearah lapisan hutan yang amat lebat itu,
keadaannya tidak berbeda dengan orang yang sedang mabuk
arak. Dari situ dapat diketahui bahwa dia sudah terluka oleh
sengatan lebah beracun.
Suma Thian yu segera berpekik nyaring, dia melejit
keudara sambil memutar pedangnya menciptakan selapis
kabut pedang yang berkilauan, sementara telapak tangan kiri
nya melepaskan pula segulung pukulan yang maha dahsyat.
Dalam waktu singkat serombongan besar lebah-lebah
beracun itu sudah pada mati di ujung pedangnya, ada pula
yang takut oleh tenaga pukulanya yang maha dahsyat,
serentak membubarkan diri.
Dengan cepat Suma Thian yu mengeluarkan ilmu
meringankan tubuh Pat poh kan sian (delapan langkah
mengejar comberet) nya yang lihay, cukup didalam berapa
kali lompatan saja ia sudah berhasil mengejar kehadapan Chin
Siau. Rupanya Chin Siau yang menerobos masuk kedasar lembah
bertindak kurang cermat dan terlampau gegabah sehingga tak
ampun tubuhnya tersengat lebah beracun.
Racun yang ganas dan cepat menyebar seluruh badannyn
dan menggerogoti per tahanan tubuhnya, lambat laun dia
menjadi lemah dan kehabisan tenaga.
Menyadari ancaman bahaya yang mengincar keselamatan
jiwanya, dengan sekuat tenaga Chin Siau mengerahkan sisa
kekuatan yang dimilikinya untuk meloloskan diri.
Baru saja dia bersyukur karena berhasil lolos dari
pengejaran kawanan lebah beracun itu, mendadak tampak
olehnya Suma Thian yu melayang turun tepat dihadapan
mukanya. Merasa jalan perginya terhadang, meluap hawa amarah
Chin Siau, dengan sorot mata membara dan menggertak gigi
menahan benci, umpatnya keras-keras:"Bocah keparat, kau
enggan melepaskan aku?"
Tanpa menjawab sepatah katapun jua se cepat kilat Suma
Thian yu menotok tiga buah jalan darah penting di tubuh Chin
Siau, kemudian sambil menggertak gigi lagi masuk kedalam
hutan lebat itu.
Setibanya didalam hutan, Suma Thian yu mencari suatu
tempat yang kosong dan se cepatnya membaringkan Chin
Siau ketanah, tangan kirinya cepat ditempelkan ke atas mulut
luka bekas sengatan lebah beracun, dan menghisapnya
dengan tenaga dalam.
Kalau dibicarakan memang aneh kedengarannya,
berbareng dengan hisapan tersebut, segumpal darah kental
yang membawa bau busuk yang sangat amis menyembur
keluar dari tubuh Chin Siau, tatkala menyentuh telapak tangan
kiri Suma Thian yu, segera berubah menjadi segumpal air
hitam dan meleleh ketanah.
Dengan berhati-hati sekali Suma Thian yu mengobati
lukanya itu, lebih kurang seperminum teh kemudian paras
muka Chin Siau berubah menjadi memerah kembali.
Melihat usaha pertolongan mulai berhasil, Suma Thian yu
pun membebaskan kembali pengaruh totokannya.
Ketika Chin iau mendusin, orang pertama yang terlihat
olehnya adalah Suma thian yu, mendadak dia melompat
bangun sambil berteriak gusar:
"Bocah keparat, bagus amat perbuatanmu" Kalau kau
memang jantan, bunuhlah aku!"
"Eeh...aku toh sudah menyelamatkan jiwa saudara Chin,
kenapa kau malah mengumpatku?" Suma Thian yu tersenyum.
"Bocah keparat yang tak tahu diri, kau tak usah membuat
pahala untukku, percuma aku orang she Chin tak sudi
menerima budi kebaikanmu itu!"
"Plaaak!" Suma Thian yu menampar wajah Chin Siau keraskeras,
lalu bentaknya gusar:
"Kau manusia yang tak punya liangsim, seandainya aku
berniat membunuhmu, hal ini bisa kulakukan dengan mudah
sekali bagaikan membalikan telapak tangan, buat apa jiwamu
mesti kuselamatkan" Dengarkan Perkataanku baik-baik, orang
yang membunuh ayahmu adalah orang-orang dari Hek bin
pang yang sedang merajalela dalam dunia persilatan dewasa
ini, dan kau telah dibodohi mereka untuk bermusuhan dengan
Bila kau adalah manusia yang pintar dengan pikiran yang
wajar, semestinya segala persoalan kau pikirkan tiga kali
sebelum bertindak, mengapa kau percaya dengan perkataan
orang dengan begitu saja?"
"Kau mempunyai bukti apa yang menunjukkan bahwa pihak
Hek bin pang yang melakukan pembunuhan ini?" bantah Chin
Siau. "Justru karena duduk persoalannya belum jelas, maka aku
selalu berusaha menghindarimu, sebelum masalahnya menjadi
je las aku tak ingin berbicara denganmu"
"Kalau toh demikian, bagaimana pula dengan masa ah
perkosaan yang kau lakukan terhadap perempuan-perempuan
muda dari keluarga Kang serta menghabisi seluruh anggota
keluarganya?"
"Keluarga Kang" Keluarga Yang mana?"
Chin Siau tertawa seram, "orang she Suma, kau tak usah
berlagak pilon, permainan semacam itu sudah ku kenali, buat
apa mesti kau ulangi taktik yang sama?"
Secara ringkas dia lantas menceritakan bagaimana dia
mengalami pelbagai kejadian setelah kepergian Suma Thian
yu dari bukit Ngo tay san tempo hari....
Setelah itu dia balik bertanya:
"Bagaimana kau hendak membantah?"
Dengan wajah serius Suma Thian yu meng gelengkan
kepalanya berulang kali, sahut nya sambil menghela napas:
"Aaai, nasibku benar-benar sangat buruk, dimana-mana
selalu difitnah orang, aku tak ingin membantah apapun, sebab
aku memang tak kenal dengan manusia she Kang tersebut."
Chin Siau segera bangkit berdiri, setelah melototi Suma
Thian yu sekejap, dia berseru:
"Hadiah tusukanmu pada hari ini... tidak pernah akan
kulupakan, selama gunung nan hijau, air tetap mengalir, bila
kita bersua kembali, saat itulah kematianmu akan tiba!"
Kemudian tanpa berpaling lagi dia turrun dari bukit
tersebut. Memandangi bayangan punggungnya, Suma Thian yu
kembali merasakan hatinya seakan-akan diselubungi selapis
bayangan hitam, dia lupa memanggil Chin Siau, padahal
memanggilpun percuma karena kesalah pahaman kedua belah
pihak kelewat mendalam dan tak mungkin bisa diselesaikan
dengan sepatah dua patah kata saja.
Saat ini, dia seakan-akan sudah kehilangan kegembiraan,
api harapan yang baru saja timbul seketika padam oleh
perkataan dari Chin Siau tersebut, dia merasa terbuai kembali
ketepi jurang keputus asaan.
Entah berapa lama dia termenung, dalam pandangan
matanya seolah olah muncul banyak sekali iblis berwajah
seram yang me narik, meraung dan mengejek dihapannya, dia
benci, dia amat membenci.
Akhirnya ia tak kuasa menahan diri lagi, pedang Kit hong
kiam nya segera diloloskan.
Pekikan nyaring yang menusuk pendengaran memancar
keluar dari mulutnya menyusul kemudian terdengar dia
meraung gusar: "Setan iblis, aku akan beradu jiwa dengan kalian!"
Ditengah gelak tertawa yang menyeramkan,pedangnya
diputar kencang dan membelah bayangan semu yang muncul
dihadapan mukanya.
Tapi bayangan bayangan semu yang mengelilingi
sekitarnya masih saja berteriak, menjerit sambil tertawa
seram. Kesedihan yang melampaui batas membuat kesadaran
Suma Thian yu menjadi kalut dan menghilang.
Pada mulanya bayangan semu yang menari-nari
dihadapannya hanya berapa gelintir, namun lambat laun
semakin bertambah hingga akhirnya bayangan yang muncul
dihadapannya hanyalah bayangan dari musuh-musuhnya.
Suma Thian yu mengembangkan permainan Kit hong kiam
hoatnya dengan membacok kekanan membabat ke kiri,
mencukil keutara menyayat keselatan.
Tapi semua bayangan tersebut tidak pernah membuyar,
ketika ia mendesak kemuka bayangan itu mundur ke
belakang, lambat laun dia mulai menyerbu masuk kedalam
hutan belantara.
Setiap babatan pedang Kit hong kimm di lancarkan,
sebatang bambu segera roboh ke tanah, bayangan semu yang
muncul dihadapan-nya juga turut lenyap sebuah.
Akhirnya Suma Thian yu peroleh kemenangan, disaat
semua bayangan semu dihadapan matanya lenyap,
kesadarannya pulih kembali, tetapi semua tulang belulangnya
terasa linu dan sakit, saking lelahnya dia sampai roboh
terjengkang keatas tanah.
Saat itulah dia baru menemukan dirinya telah balik kembali
kesisi lembah lebah beracun.
Selisihnya hanya sedikit sekali, asal Suma Thian yu maju
selangkah lagi dan masuk kedalam lembah maka
pemandangan yang semakin aneh akan bermunculan.
Empat sekeliling merupakan pepohonan besar yang berusia
ribuan tahun dengan bukiit karang ditengahnya, antara bukit
dan hutan merupakan sebuah selat sempit yang mungkin
dulunya berupa sebuah sungai, tapi air surgai yang mengering
membuat tempat tersebut berubah menjadi sebuah lembah.
Didalam lembah tersebut berdiam beribu ekor lebah
beracun, yang paling aneh lagi lebah-lebah beracun itu selalu
hidup didalam lembah dan tak pernah terbang ke luar hutan
atau terbang kebukit karang yang gundul.
Suma Thian yu duduk diantara perbatasan antara lembah
dengan hutan, disitu dia tak usah kuatir diserang lebah
beracun. Adakalanya seregu kecil lebah beracun melintas dihadapan
matanya, namun tak seekorpun yang menyerang pemuda itu.
Bayangkan saja, bukankah hal ini aneh sekali"
Ketika pikiran dan kesadaran Suma thian yu menjadi jernih
kembali, dia baru menemukan bahwa baru saja dia mendapat
impian yang menakutkan dan berakibat dia kehabisan tenaga
dan lemas. Serta merta pemuda itu duduk bersilah di lantai sambil
mengatur pernapasan, berapa saat kemudian kekuatan
tubuhnya baru pulih kembali sedia kala.
Ingatan demi ingatan baru mulai melintas di dalam
benaknya, dia mulai memperhatikan lebah-lebah beracun yang
terbang melintas di hadapan mukanya.
Ketika ia jumpai lebah-lebah beracun dalam lembah itu tak
pernah berani terbang melewati perbatasan lembah, dengan
wajah berseri segera guman-nya:
"OOhh, rupanya di dalam lembah ini berdiam seorang
gembong iblis, akan kulihat manusia macam apakah yang
memiliki kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dapat
mengendalikan lebah-lebah beracun tersebut....."
Dengan pedang Kit hong kiam terhumus, dia menelusuri
sisi hutan dan selangkah demi selangkah memasuki lembah
itu, tiba-tiba ia jumpai serombongan besar lebah beracun
bergerombol disitu bagaikan selapis awan hitam.
Dengan cepat Suma Thian yu menghentikan langkahnya
sambil melongok sekejap ke dalam lembah, lebih kurang dua
kaki dihadapannya ia saksikan ada seorang manusia setengah
telanjang sedang berbaring di situ.
Melihat kejadian terseeut, Suma Thian yu menjadi sangat
terkejut, timbul kembali sifat ksatrianya untuk menyelamatkan
orang tersebut dari ancaman, tanpa berpikir panjang dia
langsung menerjang kearah orang itu.
Siapa tahu baru saja dia melangkah masuk ke dalam
lembah, kawanan lebah beracun yang berada di angkasa itu
memisahkan diri menjadi dua rombongan dan disertai suara
berisik satu rombongan menyerang Suma thian yu sementara
rombongan lain melayang ketubuh kakek setengah telanjang
itu. Berpuluh ribu ekor lebah beracun bersama-sama menempel
ditubuh kakek itu sehingga tinggal sepasang matanya saja
yang nampak. Suma Thian yu ingin menolong orang itu secepatnya,
sambil berpekik panjang pedangnya diputar menciptakan
berlapis-lapis cahaya sinar yang menciptakan selapis jaring
pedang yang melindurgi seluruh badannya, kemudian dengan
suatu kecepatan luar biasa menyerang kawanan lebah
beracun itu. Ketika kawanan lebah beracun itu menyerang hingga
kehadapannya, binatang-binatang tersebut segera terhenti
diluar la pisan cahaya pedang itu.
Mengetahui bahwa kawanan lebah tersebut tak sanggup
menyerang kedalam, Suma Thian yu melejit kedepan dan
menerjang ke sisi si kakek yang sedang berbaring diatas tanah
itu sembari teriaknya:
"Jangan bergerak, akan kubantu kau untuk membebaskan
diri dari kurungan"
Pedang Kit hong kiam nya dibabat mendatar kedepan
membuat beratus-ratus ekor lebah menempel di tubuh kakek
itu rontok ketanah, menyusul kemudian sebuah pukulan angin
dingin yang menusuk tulang menerjang ke depan dada kakek
setengah telanjang tersebut...
Dalam waktu singkat kawanan lebah beracun itu tersapu
bersih oleh angin serangannya itu.
Suma Thian yu menjadi girang serengah mati, cepat dia
berjongkok disamping tubuh kakek itu berniat menariknya
bangun. Siapa tahu pada saat itulah terdengar suara tertawa itu
berasal dari sikakek setengah telanjang tersebut.
Betapa terkejutnya Suma Thian yu, dengan cepat dia


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menahan diri sambil melom pat mundur sejauh beberapa
langkah. Sambil tertawa seram kakek yang berbaring ditanah itu
melompat bangun, matanya yang hijau tajam nampak
mengamati wajah Suma thian yu tanpa berkedip.
"Manusia liar dari mana yang berani mencari gara-gara
dilembah lebah beracun?" hardiknya sambil menyeringai, "ayo
cepat berlutut untuk menerima kematian!"
Suma thian yu hanya menjerit kaget, dia menjerit bukan
lantaran ucapan si kakek setengah telanjang tersebut,
melainkan kekebalan si kakek terhadap sengatan lebah
beracun. Apakah dia tak takut lebah" Betul-betul suatu
kejadian yang sangat aneh.
Tanpa terasa dia memperhatikan sekejap kakek setengah
telanjang itu, dia berusia tujuh puluh tahunan, berwajah
penuh codet, berewok dan rambutnya kaku, bulu dadanya
tebal, potongannya selain aneh juga menyeramkan.
Mendadak kakek setengah telanjang itu merentangkan
tangannya ketengah udara, serombongan lebah beracun
segera terbang hinggap diatas telapak tangannya itu.
Menyaksikan hal mana, Suma thian yu menjadi paham,
rupanya kakek aneh tersebut tak lain adalah Raja lembah
lebah beracun. Berpikir demikian, diapun mengamati kawanan lebah
beracun tersebut dengan lebih seksama akhirnya dia berhasil
menyaksikan sesuatu kejanggalan.
Mendadak terdengar kakek setengah telanjang itu berseru
sambil tertawa seram:
"Manusia liar, ayo cepat berlutut, kau anggap masih bisa
keluar dari lembah ini dalam keadaan hidup?"
"Aku hanya secara kebetulan lewat disini" ujar Suma Thian
yu dengan wajah serius, "justru karena melihat nyawamu
terancam dan tak tega membiarkan tubuhmu disengat lebah
beracun, aku khusus kemari untuk menolongmu, siapa tahu
kau tak cuma mem balas air susu dengan air tuba, hendak
membunuhku lagi. Bayangkan sendiri, sebenarnya kau ini
manusia atau hewan?"
Kakek setengah telanjang itu tertawa seram.
"Anak jadah aku adaIah dewa yang turun dari kahyangan
untuk menguasahi lembah lebah beracun, entah manusia
entah hewan, asal berani melangkah masuk kedalam lembah
ini maka dia tak boleh dibiarkan hidup terus. Barusan kau
telah membunuh beribu ekor anak buahku, hanya dengan
jalan melumat tubuhmu dan memberikannya seba gai mangsa
lebah baru dapat melampiaskan, rasa benciku"
Suma Thian yu memperhatikan kakek itu dengan seksama,
semakin dipandang dia merasa kakek itu semakin tak mirip
dengan orang jahat, akhirnya sambil tertawa hambar dia
berkata: "Tolong tanya cianpwee, apakah kau masih punya
peraturan lain yang bisa mengampuni kesalahanku yang tak
disengaja ini?"
"Tidak ada!" kakek setengah telanjang itu menggeleng.
Suma thian yu adalah pemuda yang cerdik dan cekatan,
menghadapi manusia liar seperti ini dia hanya boleh
menghadapi dengan sikap menghormat dan mengalah,
dengan begitu dia baru lolos dari ancaman bahaya.
Maka ujarnya sambil tersenyum:
Seandainya aku bisa melakukan suatu pekerjaan untuk
menebus dosa atau menukar dosa dengan sesuatu benda
misalnya?"
"Tidak ada!"
Sikap kakek setengah telanjang itu masih tetap seperti
sedia kalah, angkuh dan kaku seakan-akan dia memang
benar-benar dewa dari kahyangan.
Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak:
"Haaa... haaa... haaa... aku benar-benar sudah
dipecundangi, tak disangka telah salah melihat orang!"
"Hei, apa yang kau tertawakan?" bentak kakek setengah
telanjang itu keheranan, "kematian sudah berada didepan
mata, apa lagi yang perlu kau tertawakan?"
"Katanya saja dewa dari kahyangan yang di tugaskan
menjadi Tay ong (Raja) di lembah lebah beracun, nyatanya
tidak bisa membuat peraturan, apakah hal ini tidak lucu?"
Mendengar perkataan tersebut, si kakek setengah telanjang
itu tertegun, kemudian setelah termenung
sejenak dia tertawa tertawa terbahak-bahak:
"Haaaa... haa... haaa... benar, sebagai tay ong memang
dapat membuat pe raturan, peraturan apa yang harus
kubuat?" Suma Thian yu semakin geli lagi setelah menyaksikan
ketololan si kakek tersebut pikirnya:
"Manusia liar ini benar-benar menggelikan sekali, baru saja
sikapnya garang dan mengerikan, tapi sekarang dia malahan
jinak dan halus.... nampaknya ucapan Khong cu memang
benar bila kita bersikap manis budi, biar manusia biadap pun
bisa di bikin takluk...."
oOoooooooooo BERPIKIR demikian, diam-diam pemuda itu membuat suatu
tekad, dia hendak manfaatkan kesempatan tersebut untuk
menjinakkan manusia liar tersebut.
"Tay ong" katanya kemudian sambil tersenyum, "kalau toh
kau sanggup memimpin begitu banyak panglima langit lebah
beracun, sudah jelas kau adalah seorang manusia yang pintar
dan hebat, sayang sekali kawanan panglima langit tersebut
hanya bisa men celakai orang dan tak bisa menolong orang,
akibatnya orang hanya akan mengumpat tay ong dan tiada
yang bersedia menghormati mu"
"Apa" Siapa yang berani mengumpat aku?"
Suma Thian yu tertegun dan diam-diam mengeluh:
"Aduh celaka, seandainya sampai menggusarkan manusia
liar ini, entah bagaimanakah akibatnya...?"
Berpikir demikian, buru-buru katanya:
"Ketika aku datang kemari, sepanjang jalan kudengar
banyak penduduk yang mengeluh dan mengomel, katanya
lebah bera cun milik Tay ong itu banyak mencelakai orang"
Ucapan itu tidak saja menggusarkan kakek setengah
telanjang itu, sebliknya dia malah tertawa terbahak-bahak:
"Haaah... haaa... haa... hahahaa... sunggahkah
perkataanmu itu" Ada orang menyebut Tay ong kepadaku"
Haa... hahah... aku harus meninggalkan tempat ini, aku
hendak menguasai mereka semua!"
Sambil berteriak dan menari-nari dia mencak-mencak
dalam lembah tersebut.
Suma Thian yu semakin gelisah setelah mendengar orang
itu hendak meninggalkan lembah tersebut, cepat teriaknya:
"Tay ong, jangan, kau jangan meninggalkan lembah ini"
Serentak si kakek setengah telanjang itu menghentikan
tariannya, sambil menunjukkan wajah gusar, bentaknya keras:
"Siapa berani membangkang perintahku harus dibunuh!"
Seraya berkata telapak tangannya dihadapkan ke langit,
seketika itu juga nampak dua rombongan lebah berkumpul
dan berterbangan disekeliling tempat itu.
Dengan pandangan gusar kakek setengah telanjang itu
berseru kembali:
"Anak jadah, asal kau dapat menjelaskan maksud dari
perkataanmu itu, aku bersedia mengampuni jiwamu, kalau
tidak, cukup sebuah komando dariku, kulit badanmu tak akan
ada yang utuh"
Muak rasa hati Suma Thian yu menyaksikan kakek aneh
yang wataknya luar biasa ini, tapi ingatan lain segera melintas
lewat dia merasa bila manusia aneh ini bisa dibawa ke jalan
yang benar, niscaya hal ini merupakan suatu kebahagiaan bagi
semua orang, maka diapun menyabarkan diri.
Maka sambil tertawa paksa dia berkata:
"Seandainya tay ong sampai meninggalkan lembah ini,
semua panglima langit mu akan kehilangan pemimpin dan
berkelana kemana-mana, bisa jadi mereka akan mengigit
orang dan merugikan masyarakat, seandainya peristiwa ini
sampai terjadi, niscaya nama besarmu akan hancur, itulah
sebabnya harap Tay ong sudi berpikir tiga kali sebelum
bertindak!"
"Tak usah banyak berbicara, ayo cepat berlutut untuk
menerima kematian!" bentak kakek setengah telanjang itu
gusar. Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, lebah-lebah
beracun yang bergerombol ditengah udara itu menukik
kebawah dengan kecepatan tinggi dan menyerang batok
kepala Suma Thian yu.
Suma Thian yu membentak keras, pedang Kit hong
kiamnya diputar menciptakan selapis bunga pedang.
Kali ini lebah-lebah beracun tersebut bersikap cukup cerdik,
seolah-olah mengetahui akan kelihayan dari ilmu pedang
musuhnya, serentak mereka menyebar keempat penjuru
kemudian membalik arah dan menyerang kembali.
Bila Suma Thian yu sampai teledor dalam keadaan seperti
ini, atau cahaya pedang nya sedikit teledor, segera
rombongan lebah beracun itu menerjang masuk.
Dengan demikian, Suma Thian yu menjadi kerepotan sekali,
disamping harus meng hadapi serbuan kawanan lebah
tersebut, ia pun harus berjaga-jaga t
Pendekar Pemetik Harpa 33 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 19
^