Ksatria Negeri Salju 5
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Bagian 5
k hitam di Yi Chang, yang satu dikirim ke markas utama di Chon King,
masing-masing terdiri dari tiga puluh murid, yang dipimpin oleh dua orang
susiok. Memang sudah jadi kebiasaan, suatu masalah yang tidak bisa
diselesaikan oleh generasi siauw ceng, maka harus diselesaikan oleh generasi di atas siauw ceng. Karena susiok yang masih hidup hanya dua, termasuk wakil
kepala biara, maka keduanya diterjunkan semua. Siauw ceng sendiri mendapat
bagian kelompok kedua yang dikirim ke markas pusat di Chon King. Meskipun
disambut tegang, namun pimpinan pengemis sabuk hitam yang saat itu
dipegang Sin ci Lokay, meminta maaf, dan menceritakan bahwa perkumpulan
sabuk hitam sedang dilanda kemelut internal, ia berjanji akan menyelesaikan
masalah secepatnya. Keteganganpun bisa diselesaikan. Namun berbeda dengan
di pusat, utusan yang dikirim ke markas cabang di Yi Chang, tidak bisa
menghindari kekerasan. Meskipun pada akhirnya kami bisa membebaskan Kong-
san hwesio, murid biksu yang ditawan dan bisa membawa kembali dua mayat
sute, tetapi korban yang jatuh dari kedua belah pihak sangat banyak. Di pihak lawan lebih dari tiga puluh murid tewas, sedang di pihak kami ada sepuluh murid yang tewas. Sungguh jumlah korban yang sangat besar. Akibat dari peristiwa ini sungguh sangat membuat Siauw Lim merasa tidak enak, karena citra Siauw Lim
menjadi merosot tajam, seperti ada pihak-pihak yang sengaja menjelek-jelekkan nama Siauw Lim. Lebih celaka lagi pada saat banyak tokoh keluar, Siauw Lim
kemalingan. Sebuah kitab ilmu yang sangat penting yaitu Liong Jiauw Ciu dicuri maling. Akibat dari semua peristiwa ini membuat susah hat supek Thian Jin
Siansu, ciangbujin Siauw Lim saat itu, sehingga ia memutuskan untuk
mengundurkan diri, dan menunjuk suheng Bu Sim Siansu sebagai penggantinya.
Siauw Lim kemudian mencoba menutup diri, tapi siapa nyana, hanya berselang
sebulan dari peristiwa itu kembali Siauw Lim mendapat berita duka, utusan yang dikirim ke Kun-lun dipastikan telah meninggal. Berita ini datang dari laporan yang berkembang di rimba persilatan. Maka dari itu sutit mohon bantuan pada
susiok, untuk ikut membantu masalah Siauw Lim."
"Tentu saja, aku akan membantu Bu sutit, duka Siauw Lim dukaku juga, sakit
Siauw Lim sakitku pula. Lihatlah baik-baik benda ini, jika kelak ada orang yang membawanya kepadamu terimalah ia dengan baik, karena ia adalah utusanku,"
kata Ciak Kun sambil menunjukkan sebuah guci bergambar kepala harimau.
Setelah mendapat kepastian kesediaan Ciak Kun untuk membantu tiga utusan
itupun besoknya kembali ke Siauw Lim.
"Begitulah kisahnya, Tiong Gi! Dunia persilatan sekarang dalam ancaman yang
berbahaya muridku! Ada barisan orang-orang dari golongan hitam yang sedang
mengobok-obok partai-partai persilatan. Perkumpulan pengemis sabuk hitam
yang dulu terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang gagah sudah disusupi
dan dikuasai. Aku sendiri tidak tahu kabar terakhir Pek Mau Lokay, dedengkot pengemis sabuk hitam, yang segenerasi denganku, apakah masih hidup atau
sudah mati" Kabar terakhir menyatakan bahwa barisan ini sudah menguasai
lembah dua sungai besar. Dan yang sangat membahayakan, dalam barisan ini
sudah bergabung perkumpulan-perkumpulan sesat, semacam Tiat-sim heng-
kang pang maupun Hek-in Pang. Datuk-datuk besar sudah bergabung di
dalamnya, termasuk biang setan kelabang emas. Karena itulah maka besok kau
harus turun gunung, aku memberi tugas yang sebenarnya cukup berat bagimu,
bantulah Siauw Lim menyelesaikan masalahnya!"
"Nenek kelabang emas, apakah dia yang memakai rangka barongan berbentuk
kelabang raksasa taecu....taecu pernah bertemu dengannya, kepandaiannya
sungguh menggiriskan," kata Tiong Gi, sambil membayangkan peristiwa
dipenjara Kuil Kong-sim Liok-si.
"Ahh..suhu taecu ingat, taecu tahu peristiwa yang terjadi di kuil Kong-sim Liok-si, kepala kuil itu kalau memang meninggal, ia pasti dibunuh oleh kawanan
penjahat-penjahat itu," kata Tiong Gi penuh semangat.
"Eh kau tahu siapa pelakunya" Aku sendiri hanya bisa menduga-duga siapa
dibalik peristiwa ini, dan yang lebih penting lagi siapa yang menggerakkan
mereka, karena gerakan mereka bukan gerakan biasa tapi berpilin dengan
gerakan perebutan kekuasaan. Dan perlu kau ketahui pula di saati kaum
persilatan di wilayah tengah disibukkan oleh masalah pertikaian antar partai, pesilat-pesilat dari selatan lebih tergiur berebut warisan Lau Cin Shan couwsu, terakhir kudengar mereka mulai merambah Kang Lam, entah untuk apa."
"Warisan Lau Cin Shan?"" Bukankah ia nenek moyang dari guru Yung" Nenek
moyang ksatria salju, benarkah demikian, suhu?"
"Benar ia adalah nenek moyang ksatria salju, tepatnya ia adalah ayah dari Lau Shu Han, kakek dari Lau Bin Siong, kakek buyut Lau Cing San. Lau Cing San
sendiri adalah ayah dari Lau Sen Bu, besan Yung Ci. Aku adalah sahabat Lau
Cing San sehingga tahu riwayat mereka."
"Tahukah suhu kenapa mereka bermusuhan dengan kelompok tengkorak
hitam?" "Ya, panjang sekali cerita dendamnya, tapi intinya karena kelompok tengkorak hitam tidak menghendaki negeri salju menjadi daerah mandiri, mereka
menghendaki negeri itu tetap dalam genggaman mereka!"
"Apakah suhu tahu apakah warisan Lau Cin Shan, yang diperbutkan kaum
persilatan itu?" tanya Tiong Gi memancing.
"Warisan kosong!" jawab Ciak Kun pelan. Tiong Gi agak terperanjat mendengat
jawaban ini. "Apa maksud suhu?"
"Tahukan kamu apa warisan Lau Cin Shan yang lengkap?"
Mata Tiong Gi berbinar-binar mendengar percakapan mereka ini. Ia merasa
tertarik sekali pada pembicaraan gurunya. Ia hanya menggeleng ditanya balik
seperti itu. "Ilmu melukis dan membuat keramik, selain itu tidak ada yang diwariskan secara lengkap!" kata Ciak Kun menjawab sendiri pertanyaannya. "Sun Kian,
keponakanku mewarisi ilmu melukis yang sangat baik, ia tinggal di Heng Yang."
Hampir semalam suntuk mereka berbicara banyak hal, mulai keadaan dunia
persilatan sampai rahasia ilmu melukis. Barulah keesokan harinya, ketika
matahari sudah lebih dari sepenggalah, Tiong Gi dilepas berangkat menuju ke
kota Yi Chang. Dari kota inilah ia akan menyelidiki pelaku-pelaku peristiwa yang terjadi waktu itu. Tiong Gi melakukan perjalanan darat dengan berjalan kaki. Ia memang sengaja hendak mencari pengalaman di dunia persilatan.
*** Kita tinggalkan dulu Tiong Gi, seorang pemuda gagah yang masih berusia
remaja yang akan mendapati berbagai pengalaman baru yang menegangkan.
Marilah kita tengok peristiwa yang terjadi di tubuh partai pengemis sabuk hitam.
Setelah terjadi kerusuhan di kaypang cabang Yi Chang, ketua cabang waktu itu Tiong pangcu mengutus Wan Sin Hwat ke Chon King, markas pusat pengemis
sabuk hitam. Sin Hwat dibuat kagun sekali dengan keindahan kota Chon King
yang dikelilingi oleh pegunungan yang tinggi menjulang. Di luar kota terletak sebuah gedung besar yang cukup kuno, di situlah markas besar pengemis sabuk
hitam. Pelataran gedung itu sedemikian luas, kiranya bisa menampung lima ribu orang. Di markas itu setelah diuji permainan tongkatnya, Sin Hwat disambut
dengan baik oleh Ciangbujin kaypang yang berjuluk Sin ci lokay (pengemis tua berjari sakti). Sin ci lokay ini adalah murid pertama dari Pek Mau Lokay.
"Hmmm....surat dari suhumu sudah kubaca dengan baik Sin Hwat! Diakhir surat
gurumu memohon agar aku sudi mengijinkanmu menemui Pek Mau suhu. Aku
sama sekali tidak keberatan, hanya saja, perlu kau ketahui Pek Mau suhu
sekarang sudah tidak lagi tinggal di markas, beliau sudah nyepi ke suatu
perbukitan. Untuk bisa menemui beliau hanya pada muridnya yang tinggal disini yang tahu tanda untuk menghadap beliau. Aku akan mengutus salah seorang
sute membawamu ke sana!"
Selanjutnya Sin ci lokay mengutus seorang sutenya yang bergelar Sin tung lokay membawa Sin Hwat ke Pek Mau lokay. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah
perbukitan di belakang markas. Di sebuah tebing, terdapat gua yang menjadi
tempat pertapaan pengemis tua itu. Setelah mengucapkan kata-kata sandi
permohonan menghadap, terdengar suara yang berat dari dalam
mempersilahkan mereka masuk. Mereka berdua akhirnya bisa menghadap Pek
Mau lokay, sesepuh pengemis sabuk hitam yang paling dihormati. Persis seperti gelar yang disandang, pengemis ini memang sudah sangat tua, mungkin sudah
berusia lebih dari seratus tahun, dan rambutnya sudah memutih semua persis
benang-benang salju. Rambut yang masih subur itu dibiarkan terurai begitu saja.
Dan ketika ia membuka matanya, Sin Hwat dibuat terkejut dengan tatap mata
yang mencorong sedemikian tajamnya.
"Ada maksud apakah kedatanganmu Keng Ci, siapa anak yang kaubawa ini?"
ucap kakek tua itu dengan suara yang dalam dan berat, khas suara orang tua.
"Suhu, dia adalah murid Tiong Kang sute di Yi Chang, pangcu menyuruhku
menghadapkannya padamu, hanya itu maksud kedatangan taecu, kalau suhu
tidak ada keperluan untukku taecupun akan berpamit." Lalu Sin tung Lokaypun
berpamitan. "Apa maksud Tiong Kang menyuruhmu menghadapku anak muda?"
"Sucouw, suhu mengirim surat itu untuk sucouw!"
"Hmmm....mataku sudah lamur, cobalah bacakan saja surat itu untukku."
Sin Hwat menjadi terheran dengan ucapan ini. Mata yang memiliki sinar
mencorong seperti itu diakui pemiliknya sudah rabun, apakah lagi jika masih
melek dengan sempurna. Maka Sin Hwatpun membacakan surat gurunya, yang
intinya memohon agar Sin Hwat diberi petunjuk ilmu lebih lanjut supaya bisa
membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh cabang Yi Chang.
"Hmmm...aku sebenarnya sudah memutuskan untuk tidak lagi mencampuri
urusan dunia persilatan. Tapi akan sayang kalau aku harus mati meninggalkan
ilmu yang baru aku sempurnakan. Baiklah anak muda, mari coba kita lihat
sejauh mana bakatmu. Apakah aku bersedia mendidikmu atau tidak tergantung
jodoh. Mari ikutilah aku!" kata pengemis tua itu mengakhiri percakapan. Ia lalu berjalan ke belakang menyusuri lorong-lorong gua yang gelap, tapi setelah lebih dari dua puluh tombak terdapat percabangan gua yang salah satunya lebih
terang. Gua itu ternyata tembus ke sebuah tanah datar yang hijau. Tanah datar itu luasnya kira-kira hanya seratus meter persegi, dan langsung berbatasan
dengan jurang. Di lapangan inilah kemudian Pek Mau lokay menguji Sin Hwat.
Sin Hwat lulus ujian dan diterima sebagai murid terakhir dari Pek Mau Lokay. Ia kemudian belajar selama kurang lebih dua tahunan. Beruntung sekali nasib Sin Hwat karena mendapat kesempatan berguru langsung dari dedengkotnya
pengemis. Apalagi tampaknya guru baru Sin Hwat sangat mengasihi murid
terakhirnya. Dari guru yang sakti ini, ia menyempurnakan Pat sin kun ciang hoat (ilmu pukulan tapak tangan delapan jurus sakti), Hang liong tung hoat (ilmu
tongkat penakhluk naga) dan ilmu terakhir yang baru diselesaikan oleh Pak Mau Lokay yang diberi nama Koai Eng Sin kun (Silat sakti rajawali siluman). Ilmu yang terakhir ini merupakan ilmu kembangan dari Pat sin kun ciang hoat dan
ilmu yang diwariskan oleh suheng Pek Mau Lokay. Jika Pat sin kun ciang terdiri dari jurus-jurus yang bersifat keras dan kuat, penuh dengan tenaga yang
dilepas, sebaliknya Koai Eng Sin Kun terdiri dari dari hampir tiga puluh dua jurus, sifatnya lentur, gesit, dan mengandung tenaga lemas yang mengandung
kekuatan tersembunyi. Ilmu ini memang sengaja diciptakan oleh Pek Mau Lokay, setelah ia mendapat sebuah kitab dari suhengnya. Maka boleh dikatakan setelah berguru hampir tiga tahunan, Sin Hwat telah berubah menjadi rajawali sakti
yang sulit dicari tandingannya. Boleh dikatakan kini kepandaiannya setingkat dengan Sin ci lokay, bahkan dengan ilmu barunya ia memiliki kelebihan
dibandingkan dengan ketua pengemis pusat itu. Baik guru maupun murid, sama-
sama bersemangat tak kenal lelah dalam mengajar dan belajar. Bahkan Pak Mau
lokay terpaksa tidak ikut campur terhadap masalah yang dihadapi oleh kaypang.
Ia hanya berpesan kelak murid terakhirnya akan ditugaskan untuk itu. Pada
suatu pagi, di musim gugur pengemis tua, guru Sin hwat memanggilnya. Sin
Hwat pun berlulut.
"Sin Hwat, hari ini aku mencukupkan dalam membimbingmu, sudah waktunya
engkau turun gunung. Banyak tugas yang harus kau emban, aku yakin kau bisa
memikulnya dengan penuh tanggung jawab. Nasib kaypang ini ada ditanganmu,
muridku. Ada dua tugas yang harus kau selesaikan. Yang pertama adalah tugas
mencari kitab enam belas jurus merak sakti. Tugas ini sangat rahasia, karena kisah pencurian itu hanya sedikit yang tahu, dan memang menjadi rahasia
bagiku. Kitab itu ditulis oleh suhengku pendekar bukit merak. Kami dulu samasama berguru kepada seorang orang tua sakti yang hidupnya menggelandang.
Berbeda dengan jalan kita, suheng memilih jalannya sendiri. Ia tidak mau
mengikuti jalan hidup suhu sebagai pengemis. Ia lebih memilih hidup sebagai
petani. Ia tinggal di bukit merak. Karena itulah ia terkenal sebagai pendekar bukit merak. Puluhan tahun yang lalu ia datang kemari menitipkan sebuah kitab.
Ia memperbolehkan aku mempelajari kitab itu, tapi berpesan bahwa kitab itu
kelak harus kukembalikan lagi kepada keturunannya. Waktu itu aku heran
mengapa ia tidak wariskan langsung saja ke anak cucunya. Tapi belakangan
baru aku ketahui pesan itu adalah pesan wasiat, karena ternyata beberapa
tahun berselang ia meninggal, dan keturunannya dikejar-kejar oleh salah satu musuh besarnya. Aku sudah berusaha memerintahkan murid-muridku mencari
jejak keturunan terakhir dari suheng, tapi nihil. Celakanya, ketika aku sendiri turun gunung, aku kehilangan kitab itu, yang kusimpan dikamar. Tidak ada
tanda-tanda pencurian dari luar, tapi jika pelakunya murid-muridku juga sulit dipercaya mereka berani melakukan pencurian di kamar suhunya sendirian. Ada
kemungkinan penyusup masuk atau murid yang bekerja sama dengan orang
luar. Sampai sekarang aku masih belum menemukan titik terang siapa kira-kira pelakunya. Tapi aku yakin ada hubungannya dengan kerusuhan yang akhir-akhir
ini melanda kaum persilatan terutama yang sedang dihadapi oleh kaypang kita.
Oleh karena itu muridku, tugas kamu yang kedua adalah membantu
menyelesaikan masalah kaypang kita, sekarang waktunya sudah sangat genting.
Maka kau harus bergegas menyelesaikannya."
"Baik suhu, taecu akan selalu ingat pesan suhu dan akan taecu junjung tinggi untuk taecu laksanakan dengan segenap kemapuan!"
"Sudahlah Sin Hwat, aku tak perlu segala ikrar dan janjimu yang penting
sumpah dalam hati untuk melaksanakannya."
Sin Hwatpun berpamit. Tempat yang mula-mula dituju adalah markas kaypang.
Dua tahun lebih ternyata waktu yang cukup panjang untuk mengubah wajah
kaypang sabuk hitam ini, tanpa sepengetahuan Sin Hwat. Maka betapa herannya
ia ketika di sudut kota menemui pengemis yang bersikap garang, bahkan ada
sebagian yang ditemui sedang memaksa meminta sumbangan, atau dengan kata
lain adalah merampok. Ia mencoba untuk tidak turun tangan langsung. Ia ingin mengetahui dulu yang telah terjadi.
Di depan pintu gerbang markas, ia dicegat oleh dua pengemis penjaga.
"Siapa kamu dan apa keperluan!" bentak salah seorang penjaga galak.
"Lokay, aku Sin Hwat ingin menghadap kay pangcu!"
"Enak aja bilang aku pengemis tua, aku masih muda tahu!" balas penjaga tadi, sambil iseng kakinya menendang, ingin memberi pelajaran kepada pengemis
muda yang dianggap tak sopan.
"Tukk! Aduuhh!" teriak pengemis itu sambil memegang-megang kakinya. Entah
kenapa dan bagaimana caranya tiba-tiba ada kayu yang melintang di depannya.
"Ah tuan pengemis gagah kenapa di pintu gerbang ini bisa kejatuhan dahan
sebesar ini yaa.....apa jarang di bersihkan!?" tanya Sin Hwat sambil tersenyum.
Teman penjaga yang satunya lagi, menjadi ikut terheran-heran, karena pohon
yang terdekat dari mereka berjarak lebih dari tiga tombak. Ketika ia ikut
membantu kawannya, tiba-tiba pemuda yang didepannya sudah berkelebat
lenyak dari pandangan. Maka secepat kilat ia membunyikan loceng tanda
bahaya. Tiba-tiba di halaman depan itu sudah berdiri sepuluh orang pengemis tingkat
tiga. Barisan sepuluh pengemis ini segera mengepung Sin Hwat. Dengan segera
Sin Hwat berhadapan dengan barisan pengemis ini. Tapi mereka terlalu
memandang rendah Sin Hwat dengan mengajukan barisan tingkat tiga. Tak lebih
dari lima jurus, mereka semua telah roboh terkena tendangan dan pukulan Sin
Hwat. Robohnya barisan pertama, langsung disusul oleh munculnya barisan kedua.
Barisan ini terdiri dari lima pengemis tingkat dua. Barisan inipun kocar-kacir tak lebih dari sepuluh jurus. Maka gemparlah markas pengemis ini, sehingga
membuat tiga pengemis yang dulu pernah menghadapi Liu Siang muncul.
Berbeda dengan pengemis-pengemis sebelumnya, tiga pengemis ini lebih
bersikap hati-hati melihat kedatangan seorang pemuda yang tampaknya berisi.
Pengalaman menghadapi orang-orang pesilatan yang berilmu tinggi membuat
mereka lebih waspada.
"Anak muda siapakah namamu, dan dari kaypang mana" Dilihat dari pakaian
dan jurus yang kau pakai mestinya kau anggota sabuk hitam, siapakah gurumu"
Jangan sampai kami kesalahan tangan memusuhi orang sendiri!" tanya
pengemis yang paling tua berjenggot putih.
"Sam-wi lokay, aku juga anggota kaypang sabuk hitam, namaku Sin Hwat, aku
ingin menghadap kay pangcu!" jawab Sin Hwat tenang. Jawaban ini membuat
air muka ketiga pengemis tua ini berubah. Mereka memang terkejut mendengar
nama ini. Mereka telah mendengar bahwa Pek Mau Lokay beberapa tahun
terakhir mengambil murid terakhir bernama Sin Hwat.
"Ahhh kiranya kau murid Pek Mau Lokay, mestinya aku memanggilmu susiok,
baiklah siauw susiok, kami Chon King Sam Sinkay ingin meminta pelajaran
darimu, bersiaplah!" kata pengemis ini sambil memberi aba-aba ke kedua
kawannya. Dengan gerakan gesit ketiga pengemis sakti itu mengelilingi Sin Hwat. Tongkat di tangan mereka bergantian bergerak menyerang secara teratur. Dibandingkan
beberapa bulan yang lalu, ketika menghadapi Liu Siang, ketiga pengemis ini
telah banyak kemajuan, mereka lebih rajin berlatih. Maka kini Sin Hwatpun
merasakan lawan yang cukup setimpal. Setiap ia menangkis satu pukulan,
segera disusul pukulan susulan secara bertubi-tubi. Mulailah ia mempraktikkan Pat sin kun ciang. Maka serangan ketiga pengemis inipun segera mendapat
lawan yang tangguh. Bahkan dua orang terserempet pukulan itu, sehingga
memaksa mereka mengeluarkan tongkat.
Bab 14. Menyelesaikan kemelut kaypang sabuk hitam
Setelah menggunakan tongkat keroyokan mereka benar-benar menjadi lebih
berisi, sehingga Sin Hwat menjadi kerepotan. Namun ia tetap bergeming dengan tangan kosong. Kalau hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan
serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkangnya untuk berloncatan kesana ke mari, mengelak dan menangkis.
Karena jurus-jurus Pat sin kun ciang sepertinya sudah dikenal oleh mereka,
sehingga Sin Hwat seperti terus tergencet serangan-serangan tongkat mereka,
maka mulainya ia mempraktikkan ilmu barunya Koai Eng Sin Kun. Jurus-jurus ini cocok sekali menghadapi serangan tongkat yang datang bertubi-tubi seperti
kitiran. Koai Eng Sin Kun merupakan ilmu silat yang terdiri dari jurus-jurus yang dimainkan secara cepat, banyak kembangannya dan memiliki banyak tipuan.
Setelah Sin Hwat mengubah cara bersilat, sedikit demi sedikit tekanan Sam
Sinkay mengendor, beberapa kali mereka menjadi terkejut karena belum pernah
melihat jurus-jurus seperti itu sebelumnya. Setelah jurus ke sepuluh dari Koai Eng Sin Kun, satu dua pukulan Sin Hwat bersarang di tubuh mereka bertiga.
Barisan mereka menjadi berantakan, sehingga dengan mudah pada jurus
berikutnya Sin Hwat memberikan tamparan keras. Untunglah tamparan yang
hadiahkan bukan tamparan maut, dan sebelum tamparan itu mengenai tubuh
mereka, sekonyong-konyong ada hawa tangkisan yang menahan tamparan Sin
Hwat. Akibatnya pukulan itu melenceng, dan Sin Hwat masih bisa merasakan
kesiuran tenaga yang sangat kuat. Di depannya sudah berdiri seorang pengemis tua, berbaju kain sutera. Sin Hwat terperanjat demi melihat pengemis yang
dihadapannya bukan lain adalah Sin tung Lokay. Tapi heran tampilannya
berubah sekali dan tenaga tangkisan yang dirasakan benar-benar membuat Sin
Hwat meragukan kemampuannya.
"Aha kiranya Hwat sicu yang datang, mari silahkan sicu, masuklah supaya kita bisa minum secawan arak," kata Sin tung Lokay berubah ramah.
Mereka memasuki ruang tamu yang cukup luas, di salah satu meja, mereka
duduk di kursi. Seorang pelayang kemudian menghidangkan arak. Sin Hwat agak
ragu untuk memulainya.
"Mari sicu, silahkan diminum, apakah kau takut aku meracunimu?" tanya Sin
tung Lokay. Sin Hwat tersentak, "Bagaimana ia tahu pikiranku, hmm aku harus lebih berhati-hati," pikirnya.
"Baiklah Lokay, aku yakin kau tidak akan menghina yang muda," ujar Sin Hwat
sambil tangannya memegang arak. Kemudian diminumnya arak itu.
"Lokay, kemanakah Sin ci pangcu" Aku ingin menemuinya!" kata Sin Hwat
membuka percakapan.
"Sicu, ketahuilah Sin ci suheng sudah mengundurkan diri, dan murid-murid yang lain kemudian mengangkatku menjadi pimpinan kaypang,"
"Ah benarkah" Hmmm...pangcu kenapa engkau membawa kaypang ke arah
yang sesat, aku melihat beberapa pengemis melakukan hal yang memalukan,
merampok harta orang dan mengganggu orang-orang kecil."
"Sicu masih terlalu muda, kita tidak sembarangan meminta sumbangan, hanya
kepada orang-orang kaya yang pelit saja kami melakukan hal itu, dan hasil
sumbangan ini tidak kita gunakan untuk memperkaya diri, tapi untuk sebuah
perjuangan, dan untuk perjuangan itu, kita membutuhkan tenaga muda, oleh
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena itu kami memintamu untuk bergabung dengan kami sicu, jangan
khawatir, kelak kalau perjuangan kita berhasil apapun yang sicu kehendaki pasti akan teraih, apakah sicu tidak ingin menjadi seorang kongcu yang dihormati,
memiliki banyak kekasih, hidup bergelimang kesenangan?"" bujuk Sin Tung
Lokay. Sin Hwat tersentak dengan ajakan ini, tidak dia duga Sin Tung Lokay justru
mengajaknya bergabung.
"Perjuangan apakah pangcu" Lantas kenapa para pengemis dibiarkan berbuat
jahat seperti itu?"
"Sicu, setiap perjuangan butuh pengorbanan, kita sedang berjuang untuk
mengentaskan oran-orang miskin terbelakang, tahukan sicu untuk apa dibentuk
kaypang ini" Tidak lain untuk mengangkat derajat pengemis-pengemis miskin,
nah setelah para pengemis ini bisa terentaskan giliran orang-orang miskin yang akan kita perjuangkan, makanya kita meminta dukungan dari orang-orang kaya,
itu yang sedang kita lakukan sicu."
Untuk beberapa saat Sin Hwat tidak bisa bicara apa-apa. Ia masih terlalu hijau dalam berdiplomasi. Ia merasa bingung, tapi nalurinya memberi tahu kalau ada hal yang tidak beres.
"Pangcu, aku tidak paham soal segala perjuangan, yang terpenting sekarang,
tolong katakan dimana Sin ci Lokay, aku harus berbicara padanya!"
"Akupun tak tahu kemana ia sekarang. Setelah tidak menjabat pangcu, ia
kemudian meninggalkan markas. Kalau memang sicu ingin mencarinya, aku bisa
mengerahkan pengemis untuk mencari beliau, nanti kalau kami tahu kami
sampaikan ke sicu."
"Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu pangcu."
"Silahkan sicu, jangan segan-segan berkunjung ke markas. Silahkan sicu pikirkan ajakan kami!"
Sin Hwat meninggalkan markas dengan berbagai pikiran yang berkecamuk. Ia
masih terlalu muda untuk bisa memahami pergolakan yang terjadi. Karenanya ia kemudia berusaha untuk mencari Sin ci Lokay. Berminggu-minggu ia melakukan
penyelidikan, hingga akhirnya ia dapat informasi posisi Sin ci Lokay. Namun baru tiga bulan kemudian ia bisa menemukannya. Sin ci Lokay tinggal di sebuah kuil tua, jauh di pinggiran kota, bersama sekitar lima belas pengemis lainnya. Ketika bertemu, Sin Hwat berasa terharu melihat kondisi mereka. Sin ci Lokay yang
terlah berusia tujuh puluh limaan tubuhnya tambah kurus, dan agak tak terurus.
"Pangcu, apakah yang terjadi?"
"Panjang ceritanya sicu, ada kelompok pengemis yang memecah belah kaypang
kita." Selanjutnya Sin ci Lokay menceritakan peristiwa hebat yang dialami kaypang.
Pada saat Sin Hwat datang, Sin ci Lokay berembug dengan saudara-saudaranya
membahas masalah Yi Chang, akhirnya diputuskan untuk mengirim 20
pengemis, dua diantaranya sute dari Sin ci Lokay sendiri. Sayang yang dikirim adalah tetua yang beradat keras, sehingga bukannya selesai justru masalahnya makin pelik, apalagi dari kedua belah pihak ada durna yang mengipas-ngipasi
perselisihan. Pertikaian antara kaypang dengan Siauw Lim tak dapat
dihindarkan. Korbanpun berjatuhan dari kedua belah pihak. Termasuk dua tetua.
Beberapa bulan kemudian datang utusan dari Siauw Lim. Hanya tiga dari 20
pengemis yang dikirim ke Yi Chang bisa kembali ke markas. Setelah itu suasana di markas menjadi panas, ada pihak-pihak yang menganggap aku gagal,
pertentanganpun tak dapat dihindarkan, sehingga mengakibatkan aku mundur.
Gerakan mereka makin tak terbendung, sehingga lima belas pengemis harus
terusir dari markas.
"Begitulah yang terjadi Sin Hwat. Sayang suhu tidak bersedia turun tangan,"
keluh Sin ci Lokay.
"Siapakah orang-orang dibalik mereka, pangcu?"
Sin ci Lokay menarik nafas panjang. Ia merasa sedih, karena pelakunya juga
orang-orang dalam.
"Masih belum jelas siapa mereka, tapi sepertinya bukan orang luar. Paling tidak mereka masih anggota cabang."
"Kita harus temukan pimpinan mereka, pangcu!"
Selanjutnya mereka merencanakan tindakan selanjutnya. Diputuskan agar
kaypang pusat dibersihkan terlebih dahulu. Maka berangkatlah mereka bertujuh belas ke markas. Di markas mereka disambut baik, namun suasananya tegang
sekali. "Suheng syukurlah bisa datang kembali dalam keadaan sehat!" ucap Sin Tung
lokay, berbasa-basi.
"Sute tidak perlu kita berbasa-basi, kalian tentu tahu belaka kedatangan kami kemari untuk membersihkan kaypang dari tangan-tangan jahat!"
"Orang she Boh, sepertinya kau lupa, bahwa kau bukan lagi pangcu disini,
katakan saja apa yang kau kehendaki!" bentak Sin Tung Lokay langsung
memanggil nama Sin ci Lokay.
"Sute, sadarlah untuk kembali ke jalan yang benar!"
"Kalianlah para pengacau itu, aku adalah pangcu sekalian pengemis sabuk
hitam, jika kalian tidak lagi mentaati perintahku, silahkan tanggalkan sabuk kalian atau bersiaplah menerima hukuman.
"Hmm...aku tahu kau punya banyak pengikut sute, tapi kalau kau masih punya
sedikit kegagahan hayo hadapi kami secara jantan!"
Meradang rasanya hati Sin Tung Lokay mendapat tantangan seperti ini, gigi-
giginya sampai menggeretak menahan amarah yang hendak meledak.
"Aku tahu kalian membawa jago baru, baiklah sekarang kita ajukan lima jago
dari kalian dan lima jago dari kami! Dan bersiaplah tiga dari lima jago kami akan maju bersamaan. Siapa jago kalian?"
Sin ci lokay lantas berunding dengan Sin Hwat, mereka sebenarnya ingin
mengajukan komposisi pertandingan tiga lawan tiga, namun melihat situasi
sebagai pihak penantang akan sangat memalukan jika tidak berani menyambut
tantangan lawan. Maka dipilihlah lima jagoan yang akan mewakili pihak mereka yaitu sepasang pengemis tangan sakti murid dari Sin ci Lokay, kemudian sute
Sin ci Lokay yang bergelar Pek Tung Lokay karena selalu membawa tongkat
berwarna putih, memudian Sin Hwat dan Sin ci Lokay sendiri.
Pertandingan kemudian dibuka antara Chon King Sam Sinkay melawan sepasang
pengemis tangan sakti, dan Pek Tung Lokay. Pertandingan ini karena
berpasangan dianggap sebagai satu paket. Pertandingan ini sangat seru karena mereka bertanding dalam barisan. Posisi kubu Sin Hwat sebenarnya tidak
menguntungkan karena mereka bertiga bukanlah pasangan segi tiga, namun
kelemahan ini bisa ditutup oleh kepemimpinan Pek Tung lokay yang cukup hebat mengarahkan Sin ciang Siangkay. Sehingga pertarungan menjadi benar-benar
seru. Tongkat Chon King Sam Sinkay menyerang bertubi-tubi seperti gelombang
samudera, namun gempuran ini menghadapi pertahanan kokoh sepasang karang
yang bisa bergerak dengan dinamis berkat pengaturan Pek Tung Lokay. Bahkan
pada paruh waktu kedua, pihak Pek Tung Lokay berhasil mengatur sepasang
pengemis tangan sakti supaya berposisi capit udang untuk menjepit Chon King
Sam Sinkay. Ketiga pengemis sakti Chon King terlambat menyadari bahwa posisi mereka terjepit, gebukan tongkat mereka menjadi berkurang kekuatannya
karena gerakan mereka menjadi lebih sempit, sementara itu Pek Tung Lokay
yang bergerak mundur, seakan-akan terdesak menipu mereka, akibatnya
serangan tongkat sepasang pengemis tangan sakti, terlambat mereka tangkis,
lebih parah lagi ketika mereka setengah-setengah dalam menangkis pukulan
tapak tangan delapan jurus sakti, Pat sin kun ciang. Akibatnya, dua dari tiga Chon King Sam Sinkay terdorong dua tombak kebelakang, sedangkan tongkat
pengemis berjenggot putih yang menjadi orang nomor satu dari Chon King Sam
Sinkay dibuat patah oleh pukulan tongkat putih Pek Tung lokay. Akhirnya Chon King Sam Sinkay mengakui kekalahannya maka pertandingan dihentikan dan
pihak Sin ci Lokay dinyatakan sebagai pemenang.
Pertandingan kedua, dari pihak Sin ci Lokay, dia sendiri yang maju, sedang pihak lawan yang maju adalah Ciam Lun. Orang berpakaian pengemis ini agak asing
bagi Sin ci Lokay, karena sebelumnya belum pernah bertemu. Ia menduga-duga
bahwa orang ini adalah pihak luar yang mengobok-obok. Sin ci Lokaypun
berhati-hati menghadapinya. Ciam Lun memang pihak luar, namun dari mana
asalnya banyak orang yang tidak tahu. Pertarungan dua orang ini lebih seru dari pertarungan pertama, namun karena pertarungan tunggal maka tidak semeriah
sebelumnya. Kepandaian Sin ci Lokay di kaypang saat itu boleh dibilang sulit mencari tandingan. Sebagai bekas Ciangbujian kelihaiannya sudah bisa
dikatakan mumpuni. Namun lawan yang dihadapi kali ini adalah orang asing
yang tak dikenal. Maka bertandinglah keduanya dengan kecepatan tinggi, tubuh mereka lenyap tinggal bayang-bayang saja. Tetapi Sin ci Lokay terkesan kurang leluasa mengembangkan kemampuannya, ia lebih banyak bertahan. Padahal
kemampuan totokan satu jarinya sangatlah lihai. Sin ci Lokay bukan tanpa
alasan mencoba lebih banyak bertahan. Ia ingin melihat gaya silat lawan untuk bisa menebak asal-usul perguruan lawan. Namun percuma saja, bahkan sampai
ia benar-benar terdesak, tak satupun jenis pukulan yang dikenalnya. Ketika
pukulan lawan yang mengarah dadanya coba ditangkis, ia kecolongan karena
ternyata lawan menggunakan gerak tipuan yang sungguh indah, tubuhnya
meliuk seperti burung dan tangan satunya berhasil mematuk paha kanan Sin ci
Lokay. Sin ci Lokaypun terhuyung-huyung ke belakang. Meskipun tidak terluka
parah, namun kalau dilanjutkan pasti ia akan kalah. Maka pertandingan
keduapun dimenangkan pihak Sin Tung Lokay. Sin ci Lokay merasa heran, ia
tidak mengenal ilmu silat lawan, kecuali satu hal yang diyakini, jurus-jurus lawan bergaya Tibet atau Tayli.
Pertandingan ketigapun digelar, dan menjadi pertandingan penentu. Kedua
kubupun merasakan ketegangan, meskipun dari kubu Sin ci Lokay hanya
membawa 16 anak buah, namun dari pihak lawanpun sebagian masih ada yang
setia pada Sin ci Lokay, dan dalam hati mendoakan kemenangannya. Pada
pertarungan terakhir ini dari pihak lawan Sin Tung Lokay sendiri yang maju, dan akan dihadapi oleh Sin Hwat.
"Pangcu palsu, sebaiknya kamu menyerah saja, supaya Sin ci pangcu bisa
mempertimbangkan untuk memberi keringanan hukuman!" kata Sin Hwat.
Betapa marah rasa hati Sin Tung Lokay, namun sebagai orang berpengalaman ia
paham rasa marah bisa membuat gelap pikiran. Dia tidak akan membiarkan
dirinya termakan dipanas-panasi lawan.
"Hmm bocah bau bawang, jangan kau kira setelah berguru pada orang tua tak
berguna kau punya kepandaian yang bisa kau pamerkan, hayo majulah
tunjukkan kebodohanmu!" bentak Sin Tung Lokay, dan langsung melancarkan
pukulan pertama. Sin Hwat segera memapaki serangan pertama ini. Serang
demi serangpun berlangsung dengan serunya. Karena lawan bertongkal, sebagai
tongkat ketua, maka Sin Hwa juga menggunakan tongkatnya. Serangan demi
serangan dengan menggunakan ilmu yang sama membawa perbawa yang luar
biasa. Sambaran angin yang keluar dari jurus-jurus itu membuat rambut
penonton berkibar-kibar. Kecepatan gerakan membuat penonton yang
berkepandaian cukupan untuk menggertak pedagang dan penjual makanan,
merasa pusing. Kekuatan sinkang keduanya tampaknya sama, namun dari segi ginkang Sin Hwat
sedikit lebih unggul, sehingga gerakannya lebih lincah. Namun keunggulan ini belum mampu menembus kematangan gerakan Sin Tung Lokay yang sudah
berpengalaman puluhan tahun. Jurus demi jurus sudah berlalu, namun karena
jurus-jurus yang digunakan sama-sama sudah dikenal dengan baik maka
puluhan juruspun belum mampu memunculkan siapa yang lebih unggul. Ruang
pertandingan makin melebar, dan penonton makin meminggir ke tepi lapangan.
Karena lamanya pertarungan dari pertandingan yang pertama sampai yang
ketiga, tak terasa hari sudah berganti. Para pengemispun menyalakan lampion
dan lampu obor.
Tiba-tiba Sin Tung Lokay mengubah gerakan. Tongkatnya berpindah ke tangan
kiri dan bergerak melambat tapi tangan kanannya segera memainkan jurus-jurus Pat sin kun ciang. Dari tapak tangan tersebut keluar serangkum hawa panas
yang luar biasa yang menyambar-nyambar ke arah Sin Hwat. Pada awalnya Sin
Hwat terkejut mendapati perubahan ini, sehingga dalam dua jurus awal ia
terdesak dan terserempet hawa pukulan. Namun cepat ia juga menyesuaikan diri dengan menggunakan ilmu pukulan yang sama, jurus-jurusnya juga tak kalah
dasyatnya. Hingga pukulan kedelapan juga masih belum muncul siapa yang lebih unggul, meskipun tampaknya Sin Hwat agak kewalahan mengahadapi jurus-jurus lawan. Merasa masih belum mampu menundukkan lawan, Sin Tung Lokay
mengubah cara bersilat. Jari-jari tangannya dirapatkan seakan-akan berubah
berbentuk mulut atau paruh, gerakannya lebih cepat. Gerakan yang mirip
burung yang sedang mematuk-matuk ini sungguh sangat luar biasa. Kelenturan
jurus-jurusnya sudah mendekati sempurna. Sambaran-sambaran kaki yang
tinggi juga membuat gerakannya mirip sambaran burung, atau ayam jago.
Bayangan yang dibentuk dari lampu-lampu obor di pinggiran seolah-oleh terjadi pertarungan dua burung raksasa di angkasa. Semua pengemis termasuk Sin ci
Lokay dibuat perpana.
"Ilmu apa itu?" teriak sebagian pengemis. "Sute ilmu apa yang kau gunakan,
dari mana kau mempelajarinya?" bentak Sin ci Lokay.
"Ha..ha..ha....Boh Ceng! Mana pernah ada larangan pengemis sabuk hitam
mempelajari ilmu lain!" balas Sin Tung Lokay.
Sin ci Lokay terdiam, memang benar dalam perkumpulan pengemis sabuk hitam
tidak ada larangan mempelajari ilmu lain, karena kaypang ini memang bukan
partai silat yang khusus mengembangkan ilmu-ilmu khusus, namun bersifat
paguyupan pengemis dari golongan manapun.
Sin Hwat tak mau kalah dengan jurus-jurus lawan, iapun mulai memainkan ilmu
barunya Koai Eng Sin kun (Silat sakti rajawali siluman). Tampak gerakan Sin
Hwat juga mirip dengan gerakan Sin Tung Lokay. Betapa kagetnya Sin Tung
Lokay melihat kenyataan lawan masih memiliki jurus simpanan yang tak kalah
dasyatnya. Sepuluh jurus sudah berlalu. Dibandingkan dengan jurus-jurus Pat
sin kun ciang, memang jurus yang baru ini daya hawa pukulannya melemah
sehingga tidak terasa sambaran angin keluar dari jurus tersebut, namun jangan dikira daya serangnya melemah, karena jurus-jurus ini mengandung getaran dan sinkang lunak yang langsung menyerang inti kekuatan lawan. Gerakan keduanya
semakin cepat sehingga kelebatan-kelebatan bayangannya cukup membuat
pusing pengemis tingkat dua sekalipun. Gerakan tangan dan kaki keduanya
di kuti dengan gerakan Hang liong tung hoat dengan tangan kiri membuat
pertarungan sudah mencapai tingkat akhir. Dari kepala keduanya muncul uap
putih tanda mereka telah mengerahkan tenaga pada tingkatan tertinggi.
Keringat sebesar biji jagungpun mulai bercucuran keluar dari Sin Tung Lokay.
Keadaan Sin Hwat meskipun terlihat masih lebih bugar, namun bekas goresan-
goresan tapak delapan jurus sakti lawan menimbulkan luka yang mengeluarkan
darah. Tampaknya mereka sudah mulai memasuki tahap akhir, dengan pengerahan
seluruh daya dan kemampuannya, jurus-jurus tingkat tinggi yang digunakan
keduanya mampu membuat semua orang disekeliling mereka terlongong-
longong, sampai ada yang leletkan lidah. Keadaan ini jelas sangat berbahaya, karena bila benturan keras terjadi, dan keduanya dalam keadaan pengerahan
tenaga yang seimbang. Hasilnya bisa dipastikan keduanya bakal terluka berat, dan pasti butuh waktu panjang untuk memulihkannya. Tetapi, bila pengerahan
tenaga tidak seimbang, salah satunya sangat mungkin terluka parah dan bahkan jatuh binasa. Beruntung Sin Hwat mempelajari jurus-jurus yang lebih banyak
kembangannya. Koai Eng Sin kun terdiri dari tiga puluh dua jurus yang kaya
kembangan. Posisi ini jadi lebih menguntungkan Sin Hwat karena ia lebih mudah menyesuaikan diri terhadap jurus lawan. Karena seperti sudah habis upaya yang dilakukan Sin Tung Lokay menjadi nekad, jika dilanjutkanpun akhirnya ia akan kehabisan tenaga, dan kalah juga. Maka begeraklah ia melakukan serangan
terakhir yang sangat dahsat. Tubuhnya melompat tinggi menggunakan jurus
yang bernama burung merak melabrak awan. Tangan kanannya dipentang
kedepan, kakinya berposisi menendang, jurus ini akan di kuti dengan pukulan
tongkat terakhir dari tangan kiri. Sin Hwat tidak mau kepalang, ia juga
memapaki serangan akhir lawan dengan jurus yang tidak kalah berbahayanya,
jurus rajawali siluman mematuk lawan. Tangan kanannya memapaki jurus
tangan, tongkat kirinya juga bersiap menangkis serangan susulan. Pertemuan
dua jurus dan dua tenaga yang sama-sama luar biasa menimbulkan bunyi
ledakan yang luar biasa.
"Blaaarrrr.........!"
Akibatnya sungguh dasyat tubuh keduanya terlontar kebelakang. Posisi Sin Hwat masih lebih beruntung karena ia masih siap dengan jurus tangkisan, sebaliknya Sin Tung Lokay yang nekad sudah tidak memikirkan pertahanan tubuhnya.
Akibatnya dapat diduga ia menderita luka yang jauh lebih dalam. Tubuhnya
roboh terkapar dan terbanting ke tanah, dari mulutnya mengalir darah segar.
Hanya sesaat saja tubuh Sin Tung Lokay menyentuh tanah, sebuah tangan
menyambarnya. Dan langsung balik kanan hendak melarikan diri. Sementara itu
tubuh Sin Hwat seperti ditangkap sebuah tenaga yang lunak sehingga terhindar dari bantingan. Tenaga itu pula yang mengarahkan Sin Hwat untuk ditangkap
oleh Sin ci Lokay. Entah kapan datangnya tiba-tiba di tempat itu sudah muncul kakek pengemis yang bertubuh kurus berambut putih yang dibiarkan terurai.
Kiranya dialah yang membantu Sin Hwat supaya tidak terbanting ke tanah.
"Suhu...! hanya itu yang terucap dari Sin ci Lokay dan sutenya. Waktu yang
sangat singkat itu tidak memungkinkan kakek tua yang bukan lain Pek Mau lokay menanggapi ucapan murid-muridnya.
"Tunggu....! Berhenti !" serunya ketika melihat seseorang telah menyambar
tubuh Sin Tung Lokay. Karena orang yang memanggul tubuh Sin Tung Lokay
tidak mau berhenti. Pak Mau Lokaypun dengan kecepatan tinggi mengejar.
Orang itu yang bukan lain Ciam Lun. Ciam Lun melesat cepat keluar pekarangan.
Karena yang dikejar tak mau berhenti Pek Mau Lokay melancarkan pukulan jarak jauh. Pukulan yang dilancarkan bukan pukulan biasa. Meskipun Ciam Lun
berjarak lebih dari empat tombak, namun jika terkena, pasti ia akan terjatuh.
"Wusss........desss........!"
Sekonyong-konyong muncul bayangan menangkis pukulan ini, bahkan tenaga
tangkisannya sedemikian kuatnya, hingga Pek Mau Lokay terdorong satu tombak
lebih. Sementara lawan yang menangkis pukulan itu menggunakan tenaga
dorongan untuk melompat ke belakang dan hilang di balik gulita malam. Namun
gerakan yang hanya sekejab mata itu, telah mampu menyihir semua yang ada
menjadi terdiam. Karena, sosok yang membantu Ciam Lun berjubah hitam
betudung dan bertopeng tengkorak.
"Tengkorak hitam," desis Pek Mau Lokay dan Sin ci Lokay hampir bersamaan.
Para pengemispun menjadi gempar mendengar nama itu. Chon King Sam Sinkay
ingin memanfaatkan kegaduhan untuk melarikan diri namun terlambat, dengan
gesit Sin ci Lokay dan Pek Tung Lokay, mampu meringkusnya. Mereka
bertigapun ditahan dihukum sesuai peraturan yang berlaku di kaypang. Adapun
para anggota pengemis yang menjadi anak buah mereka semuanya kemudian
berlutut mohon ampun. Namun tetap mereka mendapat hukuman sesuai dengan
tingkat kesalahan. Suasana akhirnya kembali damai.
Pek Mau lokay kemudian membawa Sin Hwat ke salah satu kamar di markas,
dan berusaha mengobatinya di sana. Luka yang dideritanya tidaklah ringan,
namun untuk tidak terkena hawa racun. Ia setidaknya perlu waktu tiga hari
sampai satu minggu untuk memulihkan kondisinya. Setelah Sin Hwat mulai pulih mereka berempat kemudian berunding, membahas peristiwa yang terjadi saat
pertandingan itu.
"Aku tak menyangka tengkorak hitam berada di balik peristiwa ini. Dan aku
makin tak mengerti mengapa mereka juga mencuri kitab enam belas jurus
merak sakti," kata Pek Mau Lokay dengan suara berat, memulai perbincangan.
"Suhu siapakan tengkorak hitam itu, kami hanya pernah dengar nama kelompok
yang bagai legenda itu?" tanya Sin ci Lokay.
Bagi sebagian besar kalangan persilatan, nama tengkorak hitam bagaikan
dongeng, karena mereka hampir tidak pernah berinteraksi dengan partai
persilatan Tionggoan. Sehingga tidaklah aneh, jika Pek Mau Lokay sendiripun
tidak mengenal mereka. Tapi kini mereka terbuka matanya, bahwa memang
tengkorak hitam benar-benar ada, dan menjadi ancaman juga bagi mereka.
Singkat cerita akhirnya Sin Hwat diutus untuk membongkar peristiwa-peristiwa yang terjadi di kaypang. Ia mendapat tiga tugas, membenahi kaypang di Yi
Chang, menyampaikan surat ke Sun Ciak Kun sahabat Pek Mau Lokay, dan
menyampaikan surat ke Siauw Lim Pay.
Bab 15. Kang Lam Siaucay Ouwyang Bun
Kita tinggalkan dulu perjalanan Sin Hwat ke timur. Mari kita kembali ikuti
perjalanan Tiong Gi. Perjalanan Tiong Gi ke Yi Chang dilakukan dengan
perjalanan darat sambil menambah cakrawala pengalaman. Pada suatu siang
tibalah ia di sebuah kota kecil di seberang sungai Yang tse. Karena sudah lapar maka iapun menuju ke rumah makan. Rumah makan itu cukup terkenal rupanya
karena ramai didatangi pengunjung. Tiong Gi memilih duduk di tepi agak dalam, untuk lebih mudah melakukan pengawasan. Ia memang sudah diajari oleh guru
barunya bagaimana cara mencuri dengar pembicaraan orang-orang persilatan.
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benar saja, beberapa saat setelah ia duduk, terlihat empat orang berpakaian
orang persilatan masuk. Usia mereka antara empat puluh sampai lima puluh.
Tubuhnya semuanya tegap dan kekar. Orang tertua, yang menjadi pimpinan
mereka memulai pembicaraan. Awalnya Tiong Gi tidak begitu tertarik karena ia bisa melihat gaya mereka bukan gaya orang berisi, namun isi pembicaraannya
sungguh sangat membuatnya ingin lama-lama mendengar.
"Sialan sungguh sialan, sudah berpuluh hari kita mencari tak juga mampu
mencekik betet tua itu, padahal kalian ingat khan, kita sudah tiga kali hampir menangkap dia!" keluh si pimpinan.
"Dia memang orang lemah, tapi herannya kenapa ia selalu dikelilingi oleh
pendekar-pendekar yang tangguh," kata orang kedua.
"Tapi kali ini dia tidak akan lolos dari terkaman kita, tadi pagi mata-mata kita sudah berhasil mengintainya. Ia ada di kota ini, nanti sore kita cari dan habisi,"
kata pimpinan. "Suheng, kenapa mesti dihabisi" Orang selemah dia sebenarnya apa yang yang
perlu ditakutkan, aku dari dulu tak habis mengerti deh dengan permintaan
suhu," kata orang termuda.
"Sam-te kau memang masih kurang pengalaman, memang Ouwyang Bun tidak
mengenal silat, tapi dia adalah siaucay (sastrawan) paling terkenal di Kang Lam, kalau tidak mana mungkin ia bisa menerjemahkan isi peta suhu," jawab orang
kedua dengan berbisik.
"Dan kudengar banyak para pendekar persilatan juga pernah berguru padanya,"
kata orang ketiga.
Tiong Gi menjadi agak kaget ketika mereka menyebut-nyebut peta, "Peta
apakah itu" Aku harus kuntiti mereka,"pikirnya.
Tiong Gi kemudian menguntit terus kemanapun mereka berempat pergi, dan
benar saja. Pada suatu sore, mereka tampak sedang mengindap di sebuat
taman. Di tengah-tengah taman yang banyak ditumbuhi bunga seruni terdapat
seseorang sedang duduk membelakangi mereka memainkan sebuah yang-kim.
Sungguh indah sekali nada-nada petikannya. Setelah selesai memetik mulailah ia membacakan sebuah puisi yang indah sekali.
Dimana lihat sebaris bebek menyusuri pematang sawah"
Terkadang selulup kepalanya mencocoh cacing
Dimana kau dengar gemersik daun bambu setengah kering di musim panas"
Terkadang gemerisik angin meliukkan batangnya mencumbu air danau
Dimana kau nikmati aroma teh hijau bercampur bunga kui hwa"
Terkadang sedapnya membuat mabok para pecandu
Wahai pelancong dan pencari ketenangan
Datanglah ke wisata alam penuh pesona
Saat panen daun murbei tiba
Di Kang Lam kita berpesta
Entah tidak menyadari kalau sedang di ndap oleh empat orang atau memang
tidak peduli. Orang tua itu tetap bernyanyi meskipun sudah dikepung empat
orang. "Betet tua! Rupanya di sini kau sembunyi, hayo sekarang saatnya kau berdoa
sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu, ha..ha..ha," kata orang tertua. Dan
"si ingg"." Sebilah pedangpun sudah ditangannya. Di taman ini sebenarnya ada beberapa orang yang lalu lalang. Tapi begitu melihat pedang terhunus,
orangpun bergegas meninggalkan taman. Tiong Gi bersiap-siap, sebutir batu
sudah digenggamnya. Betapa herannya dia melihat orang yang dikepung itu
tampak tenang-tenang saja.
"Kau berkata kepada siapakah tuan" Apakah kepadaku" Ha..ha"ha kau
mengatakan sesuatu yang tak satupun mahkluk mengetahui rahasianya," jawab
orang tua yang dipanggil burung betet itu. Kemudian iapun kembali berpuisi
"Kematian"..
adakah sesuatu lebih dekat darimu
selaksa kura-kura dipelihara
kau datang tak kenal tempat tak tahu waktu
seribu bentengpun tak kuasa membendungmu
Pimpinan empat orang yang berpakaian ringkas itu sudah kehilangan kesabaran.
Namun belum sampai Tiong Gi turun tangan tiba-tiba muncul seorang gadis
mungil yang masih remaja, usianya dia taksir masih lebih muda setahun dua
tahun darinya. Wajah gadis itu dari kejauhan terlihat sangat manis, pakaiannya merah menyala cocok dengan kulitnya yang putih halus. Ingin rasanya Tiong Gi mendekati dan membantunya. Tapi perbuatannya dicoba untuk ditahan.
Gadis itu kemudian menghadapi keempat orang bertampang garang. Terlibatlah
mereka dalam suatu perselisihan dan pertempuran. Pertarungan itu berlangsung cukup seru namun keempat orang ini tampaknya bukan lawan si nona berbaju
merah itu, karena setelah belasan jurus satu per satu kemudian terdengar suara mengaduh. Keempatnya telah terkapar mendapat tendangan atau pukulan.
Yang membuat Tiong Gi tidak habis pikir adalah karena orang tua yang ditolong itu, malah kemudian ngeloyor saja sambil mengomel, "Ah orang-orang persilatan selalu saja mengandalkan ketajaman pedangnya!"
Iseng-iseng Tiong Gi mendekati orang tua yang berpakaian sastrawan namun
sudah kumal untuk menegurnya, "Pak tua, kalau ada orang-orang yang
mengandalkan senjata untuk menindas yang lemah memang hal yang patut
dicela, tapi jika itu untuk melawan keangkara murkaan bukankah sudah pada
tempatnya" Dan kenapa engkau tidak mengucapkan terima kasih pada
penolongmu?"
"Ha..ha...ha, penindasan dan perlawanan, bukankah batasnya tipis sekali, anak muda" Lagipula, apakah kalau menolong selalu ingin mendapat imbalan terima
kasih?" katanya tanpa memalingkan wajah. Tangan kanannya memegang
tongkat yang digerakkan ke kanan dan ke kiri di depan kakinya. "Ooo...rupanya pak tua ini buta" pikir Tiong Gi baru menyadari.
Akhirnya Tiong Gi mengikuti orang itu, tepatnya memandunya, sementara dari
lirikan mata ia masih melihat si nona berurusan dengan empat orang lawannya.
Yang lebih mengherankan lagi, si nona setelah meng-KO keempat orang
berwajah garang itu bukannya mengusir, tapi seperti menginterograsi mereka.
"Hmmm...nona itu, kau benar pak tua, nona itu tak membutuhkan terima
kasihmu!" Siapakah orang tua itu" Orang Kang Lam pasti mengenalnya, karena ia bergelar Kang Lam Siaucay Ouwyang Bun. Seperti yang pernah disinggung gurunya, ada
orang-orang dari selatan lebih tergiur berebut warisan Lau Cin Shan yang
mendatangi Kang Lam, untuk suatu keperluan. Keperluan menemui sastrawan
tua inilah yang menjadi penyebabnya. Ouwyang Bun tidaklah dikenal luas jika
tidak punya banyak keahlian. sebagai orang sekolahan ia juga belajar ilmu
matematika, ilmu sejarah bahkan sedikit bisa ilmu pengobatan hasil belajar dari si guci obat. dan yang membuat ia dikejar-kejar oleh orang persilatan adalah kemampuannya membaca tulisan mulai jaman dinasti Cin sampai Tang, catatan
yang ditulis lebih dari dua ratus tahun berselang. Tidak sembarang sastrawan bisa melakukannya dalam jumlah sebanyak yang diketahui Ouwyang Bun.
Karena keahliannya inilah ia lulus ujian jian-shi yang mendapat jabatan penting di kota Hang Chou. Sayang saat menjabat ia bersikap buruk, korup, pelit,
menindas, dan senang memperkaya diri. Karenanya banyak yang tidak
menyukainya. Akibatnya dia mudah sekali digeser oleh lawan-lawannya. Setelah turun sebagai pejabat mulailah dia menyesali perbuatannya, dan secara ekstrem kemudian membagi-bagikan hampir seluruh hartanya kepada kaum papa. Ia
sendiri kemudian bersumpah untuk hidup menggelandang selama sembilan
tahunan, waktu yang sama ketika ia menjadi pejabat. Orang-orang awam
kemudian sulit sekali menentukan sikap melihat keadaan Ouwyang Bun yang
sekarang, apakah merasa kasihan atau bersukur. Tapi bagai kaum pesilat,
keahlian Ouwyang Bun baik dalam sastra maupun ilmu yang lain, sangat
diharapkan, terlebih bagi pelahap tulisan kuno.
"Kenalkan nama cayhe Tiong Gi, bolehkan aku mengenal namamu, lopeh?"
"Aku dikenal orang dengan Kang Lam Siaucay, sebuah gelar kosong, kau boleh
panggil aku Ouwyang Bun."
"Benarkah?"
Guru Sun pernah menceritakan tentang sastrawan Kang Lam yang bertabiat
aneh. Dulu pernah jadi pejabat yang kaya raya, namun kemudian meninggalkan
semua itu, dan lebih memilih hidup menggelandang. Sudah lebih dari sembilan
tahun ia meninggalkan semuanya.
"Kenapa mereka mengejarmu, losiaucay?"
"Kenapa" Haiyaa....mereka memang rakus, aku sudah bantu mereka
menterjemahkan suatu puisi kuno, kenapa mereka masih mengejar-kejar aku,
huh orang persilatan memang selalu mengandalkan pedang!"
Tiong Gi sudah tidak banyak tanya lagi, meskipun ia ingin banyak mengungkap
hal yan terjadi, karena tiba-tiba di depannya sudah berdiri lima orang. Lima orang ini berbeda dengan orang yang sebelumnya. Bentuk tubuh mereka ada
yang kurus ada yang gemuk, wajahnya juga tidak semua garang. Namun
semuanya memakai gaya pakaian yang sama, gaya pendeta To. Dan jika dilihat
dari tanda di dadanya, tampaknya mereka orang-orang Kong Thong Pay. Orang
yang pertama yang menjadi juru bicara berusia sekitar empat puluh lima tahun.
Tiong Gi teringat, mereka pernah memperebutkan lukisan yang kemudian tak
sengaja terlempar ke arahnya. Mereka kemudian terlibat perselisihan dengan
Tiong Gi karena mengincar sastrawan she Ouwyang.
"Anak muda, siapapun adanya dirimu, hayo serahkan sastrawan itu pada kami,
kami hanya butuh keterangannya sebentar saja!"
"Ngo-wi totiang, aku tidak kenal siapa kalian tapi dari gerak-gerik kalian saja, aku tahu sedang berhadapan dengan gerombolan macam apa?"
"Kurang ajar, bocah kemaren sore berani banyak mulut pada kami, tosu-tosu
kenamaan dari Kong Thong Pay. Go-te hadapi dia!"
Kiranya memang banyak pihak-pihak yang mengejar sastrawan tua itu. Karena
perang mulut tidak dapat diselesaikan, maka kemudian terjadi pertarungan otot kedua belah pihak. Tapi lawan yang dihadapi orang kelima yang berbadan
gemuk itu adalah Tiong Gi, pendekar muda didikan tokoh-tokoh ternama yang
namanya bahkan bagaikan legenda. Hanya dalam dalam 5 jurus saja ia sudah
rubuh. Pimpinannya sampai terbelalak tak menyangka anak buahnya akan dapat
dipukul roboh dengan sedemikian mudahnya. Maka dengan memberi aba-aba ia
memerintahkan sute-sutenya untuk mengeroyok pemuda itu. Sungguh
pemandangan yang memalukan, tosu-tosu tingkat dua dari Kong Thong Pay
harus menghadapi seorang bocah yang baru berumur belasan tahun. Tiong Gi
menghadapi mereka dengan tenang. Gerakan-gerakannya dilakukan dengan
teratur sehingga gelombang serangan lawan semua bisa dipatahkan. Bahkan
kalau dia mau dalam sepuluh jurus saja, ia sebenarnya bisa merobohkan mereka semuanya, tapi karena ia ingin menambah pengalaman bertanding, ia melayani
mereka hingga lebih dari tiga puluh jurus. Selain itu juga ia ingin mempraktikkan ilmu yang baru saja dipelajarinya dari si guci obat Ciak Kun. Dengan tenaga
yang sudah bisa dikuasai dengan terukur ia mencoba melakukan serangan-
serangan. Akibatnya sungguh dasyat, barisan yang teratur menjadi kocar-kacir karena serangan-serangan dengan pukulan Kui Yang Sin Ciang bisa menyerang
siapa saja, bahkan orang yang sudah berlindung di belakang kawannya juga bisa terkena getaran yang berisi kekuatan yang mampu merobohkan. Tiong merasa
sangat gembira sekali melihat hasil pukulannya. Tanpa ia sadari matanya
menjadi berkilat-kilat. Orang yang melihat sorot mata seperti itu tentu akan menciut hatinya. Perlahan-lahan ditambahnya tenaga serangannya. Akibatnya
dua tosu terjerembab karena kakinya patah-patah. Hampir saja dua tosu sisanya terkena sambaran pukulan yang lebih berat, kalau saja Tiong Gi tidak
mendengar petikan yangkim Ouwyang Bun. Hebat sekali pengaruh dari petikan
ini. Meskipun pemetiknya bukannya orang persilatan yang memiliki tenaga
khikang, tapi di tangan sastrawan macam Ouwyang Bun, petikan tangannya
mampu menggetarkan dawai-dawai yangkim jauh lebih nyaring dan menyentuh
hati. Pikirannya tersentak mendengar bunyi nada-nada yang menyejukkan hati
itu. Tiong Gi akhirnya sengaja memelencengkan pukulannya. Namun begitupun
pundak kedua tosu itu menjadi retak. Setelah melihat keempatnya terkapar
Tiong Gi merasa menyesal melihat hasil perbuatannya. Mukanya kemudian
mengeras, dengan nada dingin ia kemudian berujar:
"Nah totiang, sekarang apakah masih ada yang ingin totiang sampaikan?"
"Ilmu apa itu tadi, yang kau pakai?" kata salah seorang yang masih jatuh
terduduk, sambil bersila.
"Ketuilah aku baru saja menggunakan Kui Yang Sin Ciang! Maaf totiang
sebenarnya tidak ada permusuhan pribadi antara aku dan Kong Thong Pay, jadi
selamat tinggal!"
Kelima tosu itu melihat kelebatan Tiong Gi membopong Ouwyang Bun dengan
cepat, dalam hati mereka menjadi kagum sekali. Dan sejak saat itu didunia
persilatan orang ramai membicarakan munculnya seorang pendekar muda yang
memiliki ilmu pukulan Kui Yang Sin Ciang, ilmu langka yang jarang sekali muncul di dunia persilatan.
Berbeda dengan penampilannya yang terlihat kumal, Ouwyang Bun ternyata
tinggal di penginapan yang sangat bagus di kota itu. Tiong Gi juga akhirnya
memutuskan untuk tinggal di situ. Anehnya sastrawan itu malah menawari Tiong Gi.
"Anak muda kalau kau tidak keberatan, tinggal ah sekamar denganku!"
Tiong Gi memandang heran, "Hei...bukankah kau membutuhkannya" Jangan
salah sangka aku laki-laki normal!"
Tiong Gi sebenarnya masih tidak paham maksud kata-kata terakhir dari
sastrawan itu, namun dengan tersenyum ia membalas, "Terima kasih banyak
atas tawaran, lo-siaucay. Tapi apakah aku tidak mengganggumu?"
"Ha..ha..ha, kamu memang anak terpelajar, siapakah gurumu, anak muda?"
"Aku pernah belajar pada Yung Ci Tianglo!"
"Benarkah" Haiya..jangan katakan padaku engkau pernah ke gunung salju
besar!" "Memang belum, karena guru mengajakku ke Gongga san."
"Haiyaa...sungguh sulit dipercaya, aku sudah lama tak pernah jumpa Yung Ci di dunia persilatan, apa saja yang kau pelajari dari gurumu?"
Mereka kemudian memasuki kamar. Ouwyang Bun lantas meramu teh, dan
menghidangkan untuk mereka berdua.
"Maaf aku orang tua tidak suka minum arak, jadi hanya ini yang bisa
kuhidangkan, silahkan dicicipi teh hijau campur bunga kui hwa, yang sangat
terkenal di di tempat tinggalku di Kang Lam.
Tiong Gi lantas menceritakan sedikit pengalamannya.
"Pelajaran yang tak sempurna, aku sudah berkali-kali katakan ke Yung Ci,
pelajaran ilmu silat yang dipelajari masih belum lengkap. Tapi dia selalu ketawa saja, dikiranya kalau seorang sastrawan tidak tahu ilmu silat. Eh tahukah kamu, apakah warisan Lau Cin Shan yang disampaikan dengan lengkap?"
" Setahu cayhe ilmu melukis dan membuat keramik, benarkah?"
"Ha..ha..ha..., dasar Ciak Kun cianpwe tak pernah mau kalau sama suhuku,
hanya dia yang mengira mendapatkan ilmu yang lengkap, padahal aku juga
mendapatkan ilmu sejarah yang luar biasa lengkapnya. Justru karena itu aku
tahu ilmu silat yang diwariskan ke keturunannya tidak lengkap."
"Kalau begitu, apakah ada catatan lengkapnya dan dimana?"
"Di simpan di suatu tempat!"
"Siapa yang tahu tempat penyimpanannya itu?"
"Yang tahu yang punya petanya, dan bisa membaca isinya.Tapi mereka adalah
orang-orang jahat, kau harus berhati-hati menghadapinya. Aku sudah berbaik
hati menterjemahkan sebuah puisi dengan bayaran yang belum tunai. Tapi gara-
gara aku bocorkan informasi itu, mereka membutakan mataku."
"Jadi lo-siaucay bisa membaca isi peta" Dan gara-gara itu lo-siaucay dikejarkejar oleh mereka?"
"Ya, benar memang begitu. Gara-gara aku sebarkan bahwa Boan ciangkum
dapat peta, mereka mengejar-ngejar aku. Dan mereka tidak puas mengambil
mataku kini mereka mengincar nyawaku."
"Ahhh sungguh keterlaluan. Tapi kelihatannya lo-siaucay tidak takut ke mereka."
"Hidup mati bukan di tangan mereka, kenapa mesti takut?"
"Lo-siaucay, ada satu pertanyaan, kenalkan siaucay pada orang-orang yang
bertopeng tengkorak, kenapa mereka memusuhi suhu?"
"Dua ratus tahun yang silam, tepatnya tahun 795, terjadi pertarungan hidup
mati antara Lau Cin Shan dan iblis api. Pertarungan dua kubu ini kemudian
berulang 100 tahun berikutnya, mulai dari tahun 885 dan baru berakhir tahun
895 antara cucu iblis api yang bergelar iblis tengkorak emas melawan ksatria salju. Tahun 895 adalah pertarungan terakhir mereka, pada saat itu pimpinan
ksatria salju yaitu ksatria she Toan, meninggal. Menurut kepercayaan mereka
dendam ini baru akan berakhir pada keturunan ke tujuh dari kedua belah pihak.
Dan mereka akan bertemu kembali tahun 995."
"Hah...dua tahun lagi!"
"Benar! Dan itu akan menjadi pertemuan penentuan kubu siapa yang akan
menang siapa yang akan hancur. Haiyaa.... orang persilatan memang selalu
hidup dalam kekerasan mengandalkan pedang."
"Tapi tidak semua bersikap seperti itu, lo-siaucay, benar khan?"
"Iya, kecuali sedikit saja, seperti Lau Cin Shan."
"Eh, Tiong Gi, sebagai murid Yung Ci, kau harus berhati-hati, aku punya rahasia yang tak pernah kusampaikan kepada orang lain. Selama mengembara aku
pernah disekap di perkampungan orang-orang tengkorak hitam. Konon guru
besar mereka, putra si iblis tengkorak emas, yang berpuluh tahun
menyembunyikan diri, memang sengaja memperdalam kepandaiannya. Dulu ia
pernah dikalahkan oleh keturunan ksatria salju She Kim. Karena itu ia
bersumpah untuk tidak akan muncul lagi sampai pertemuan yang terakhir dua
tahun lagi. Dan kini ia sedang memperdalam penguasaan ilmu-ilmu si iblis
tengkorak emas, melalui catatan yang ditinggalkan di tengkorak emas. Mereka
memaksaku menterjemahkannya. Aku baru tahu kalau yang kuterjemahkan
adalah ilmu silat setelah aku bertemu berdiskusi dengan Sun Ciak Kun, sayang aku sudah tidak ingat lagi isinya, tetapi ilmu itu tentang penguasaan tenaga inti api dan tenaga inti tanah. Jika dua ilmu tingkat atas itu bisa mereka kuasai dan digabungkan, kiamatlah dunia persilatan jika inkarnasi Lau Cin Shan tidak
muncul." Tiong Gi merasa tercekat mendengar cerita itu. Hampir-hampir saja ia tidak
percaya. Ia merasa sulit membayangkan kesaktian iblis itu, sedangkan
menghadapi anak buahnya yang tidak bertopeng ia merasa kerepotan.
"Ahh kasihan suhu, aku harus bantu....aku harus bantu....meskipun nyawa
taruhannya....!" bisik Tiong Gi dengan penuh penghayatan. Tangannya
mengepal. Ouwyang Bun kemudian memegang lengan itu.
"Tiong Gi, andaipun kau bukan keluarga mereka, semangatmu tak kalah dari
mereka, mereka harus bangga memiliki murid sepertimu. Entah berasal dari
mana, tetapi aku seperti punya keyakinan kaulah pewaris ilmu-ilmu Lau Cin
Shan, yang selengkapnya."
Belum selesai mereka berbicara, tiba-tiba terdengar suara desingan, dan sebuah anak panah menancap di tiang. anak panah tersebut ternyata membawa
selembar kertas bertuliskan:
Kalau ingin si baju merah selamat! Serahkan sastrawan betet tua she Ouwyang
pada kami di taman bunga seruni, malam ini juga!, atau nona kecilmu hanya
akan tinggal nama.
Tiong Gi menjadi bingung menentukan sikap. Ketika ditanya oleh sastrawan tua, ia coba berbohong bahwa yang berdesing bukan panah melainkan ada ranting
dibawa angin. Tapi mana si sastrawan tua itu bisa dibohongi, kemampuan
pendengarannya sudah sedemikian terlatih, sehingga bisa menggantikan indera
penglihatannya.
"Haiyaa...katakan saja terus terang anak muda, benda apa itu yang berdesing?"
"Ah lo-siaucay, keadaan sekarang agak genting, gerombolan orang-orang garang itu menangkap nono baju merah, dan mereka meminta agar lo-siaucay
menyerah!"
"Haiyaa....kalau begitu cepat kau selamatkan nono itu, jangan kau pikirkan aku anak muda!"
"Aku memikirkan keselamatanmu lopeh, hmm..gimana baiknya yaa," gumam
Tiong Gi sambil garuk-garuk kepala.
"Aku boleh kau tinggal di sini atau kau titipkan ke kenalanku, Ban kauwsu (guru silat she Ban)!"
"Haiyaa.. kenapa aku tidak kepikiran menitipkan paman ke tempat lain, baik
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin sebaiknya kita kesana," kata Tiong Gi.
"Atau kalau perlu sekalian saja kita ke Hui Liong Piauwkiok (perusahaan
pengantaran barang naga terbang). Aku sebenarnya memesan mereka untuk
besok pagi," potong Ouwyang Bun.
"Keduanya perlu kita hubungi, mari kita segera bergerak!"
Maka malam itu juga, dengan bergegas mereka menuju ke Hui Liong Piauwkiok
(perusahaan pengantaran barang naga terbang). sengaja Tiong Gi memakai
penutup kepala, untuk membantu penyamaran. Setelah menjempuk Ban kauwsu
mereka langsung menuju ke Hui Liong Piauwkiok, dan diterima dengan baik.
Tiong Gi bahkan menunjukkan tanda guci kemala pemberian gurunya.
"Paman, tolong jaga baik-baik lo-siaucay ini, jika biayanya masih kurang, tolong kalian minta saja ke guruku, si guci obat, Sun Ciak Kun!" kata Tiong Gi.
"Ah Sun locianpwe"Tidak perlu..tidak perlu, biaya yang sudah kami sepakati
dengan siaucay sudah cukup, bahkan aku sendiri yang besok pagi-pagi akan
mengantarkannya, biarlah malam ini dia tinggal bersama kami, tidak baik
berangkat malam-malam," kata pimpinan piauwkiok yang berjuluk Hui Liong
Piauwsu. Tenang rasanya Tiong Gi meninggalkan sastrawan tua itu, setelah kepastian ia menitipkannya ke tempat yang cukup aman. Iapun berpamitan. Ouwyang Bun
mengantarkannya sampai ke halaman depan, bahkan kemudian ia merogoh
kantung baju dan mengeluarkan dua benda, yang bertama sebuah buku kecil,
yang kedua selembar kertas agak kumal.
"Tiong Gi, salah satu benda inilah yang banyak menjadi incaran kaum persilatan, selain rahasia tentang puisi pada lukisan yang ditemukan perwira she Boan. Ini adalah buku kamus bahasa Tiongkok kuno, dan selembar kertas ini berisi ujar-ujar bagi orang buta. Semuanya kuberikan padamu, tolong jaga baik-baik
semoga bisa memberi manfaat buat kamu dan buat orang banyak, ingatlah
pesanku Tiong Gi, jadilah orang yang lebih sabar. Meskipun aku tidak bisa
melihat tapi aku bisa merasakan ada segumpal awan hitam, sebentuk watak
yang aneh, yang ada dihatimu, hanya dirimu yang tahu. Selamat jalan sahabat
mudaku, selamat berjumpa lagi ksatria!"
Tiong Gi memasukkan dua catatan penting itu, dalam sakunya, dan lantas
meninggalkan gedung Piauwkiok menuju ke taman yang dijanjikan.
Di bawah temeraman cahaya sepotong rembulan, di taman yang lumayan
lapang di pinggiran kota, Tiong Gi telah behadap-hadapan dengan tiga orang
yang mengurung nya. Ketiganya berumuran empatpuluhan berpakaian ala
nelayan. "Mana nona itu," ! kata Tiong Gi memulai pembicaraan.
"Mana si betet tua?" balas pimpinan mereka bertiga.
Mereka kemudian terlibat perselisihan dengan Tiong Gi dan kemudian terjadi
pertarungan. Keduanya merasa kecewa tidak melihat sandera masing-masing.
Pertarungan tidak terjadi lama, karena ketiganya masih tingkat rendahan.
Ketiganya tak menyangka sama sekali anak muda yang dihadapi sehebat
itu.Tiong Gi kemudian memaksa mereka menunjukkan tempat penyekapan si
nona. Setelah Tiong Gi memaksa mereka dengan totokan-totokan yang
mengarah pada saraf rasa sakit, barulah mereka mengaku. Si nona ternyata
disekap di gedung Kam tihu. Tiong Gi merasa heran, kenama gedung kantor
kabupaten (tikoan) bisa dijadikan tempat persembunyaian penjahat-penjahat
seperti itu. Malam hari di musim semi masih cukup dingin bagi orang awam. Di kedaipun
pintu-pintu dan jendela sudah ditutup rapat. Namun sesosok bayangan tampak
berkelabat cepat menuju ke gedung tikoan. Setelah beridap-indap disekitar
wuwungan bayangan itu kemudian menyelidiki keadaan gedung. Sejenak ia
terlihat mengawasi gedung itu, kemudian ketika ia melihat ada dua prajurit jaga melintas. Secepat kilat bayangan itu menyambar dan mengirimkan beberapa
totokan. Dua prajurit itupun menjadi kaku. Dibawah ancaman Tiong Gi,
merekapun bernyanyi.
Tiong Gi kemudian mengikuti petunjuk yang diberikan prajurit itu, namun ia
keliru menyangka mereka tidak mempersiapkan hal-hal seperti ini. karena
ternyata petunjuk yang diberikan justru mengarah ke sebuah ruangan yang
cukup besar, yang biasanya dipakai sebagai ruang latihan. "Celaka mereka
menipuku!" pikir Tiong Gi, namun sayang belum sempat ia beranjak, tiba-tiba
disekelilingnya sudah ada lebih dari 25 orang mengepung ruangan tersebut,
semua dalam posisi siaga. Tak lama kemudian muncul ah tiga orang dan
langsung memasuki ruangan, salah seorang diantaranya langsung ketawa.
Orang yang pertama, bertubuh tinggi besar berkulit gelap.
"Ha..ha....ha..., yang satunya kucing muda yang binal, satunya lagi anjing jantan yang bego, sungguh pemberani hua ha ha..." oceh orang yang bertubuh tinggi
itu. "Lopeh, maafkan kelncanganku, tetapi kedatanganku adalah untuk
membebaskan nona baju merah itu, kalau kau mau membebaskannya, tentu aku
akan sangat berterima kasih!" kata Tiong Gi tenang. Orang bertubuh tinggi
hitam yang bernama Can Seng itupun dibuat kagum atas ketabuahan anak
muda ini. "Ooo...itu rupanya yang kau kehendaki anak muda, minta pembebasana sandera
tanpa tebusan, sungguh bagus sekali perbuatanmu, ha..ha..ha....pasukan
pertama maju, habisi pemuda itu hidup atau mati!"
Kelompok yang disebut pasukan pertama berjumlah sepuluh orang, semua
bersenjata dengan jenis senjata yang berbeda-beda. Mereka adalah murid-murid binaan Can Seng. Berbeda dengan rombongan yang mendatangi Ouwyang Bun
pada sore, yang bertampang prajurit, rombongan ini adalah anggota Tok Nan-
hai Pang. Serangan kesepuluh orang ini tidak boleh dianggap remeh. Sebagai
murid Can Seng mereka terlatih untuk melakukan pengeroyokan. Namun yang
dihadapi adalah remaja gagah murid locianpwe kenamaan. Sehingga sudah
sepuluh jurus berlalu, tak satupun senjata mampu menyentuhnya. Bahkan
perlahan tapi pasti pukulan demi pukulan yang dilancarkan Tiong Gi mampu
membuat barisan menjadi kocar-kacir, dalam dua kali serangan balik sudah dua orang rebah dengan tulang retak. Melihat gelagat yang merugikan, Can Seng
langsung membentak anak buahnya untuk mundur dan digantikan dengan
barisan kedua. Barisan kedua berisi tiga orang yang terdiri dari sute Can Seng sendiri. Usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Wajahnya garang, namun
penampilannya lebih tenang dari barisan pertama. Barisan ini tidak boleh
diremehkan karena bahkan Can Seng sendiri kalah oleh barisan ini. Berbeda
dengan barisan pertama barisan kedua ini tidak bersenjata. Namun jangan dikira mereka tidak berbahaya, bahkan pukulan tangan mereka jauh lebih berbahaya
dibandingkan pedang. Tiong Gi berhati-hati sekali menghadapi ketiga lawannya yang cukup berat ini. Menghadpi tekanan yang bertubi-tubi dari lawan ia
memapaki dengan jurus-jurus dari pukulan badai angin salju, tangannya
berkelabat cepat ke arah lawan-lawannya, membawa hawa yang dingin luar
biasa. Sungguh seru sekali pertandingan kedua ini. Tiong Gi berkelebat-kelebat di antara kepungan tiga lawan yang melancarkan pukulan-pukulan beracun,
bagai gelombang samudera menghantam pantai. Beberapa jurus berlalu namun
posisi seakan tidak berubah. Tiba-tiba lawannya mengubah cara bersilat.
Kepungannya merenggang, gerakan bersilatnya lebih lambat namun tangan
mereka semuanya berubah keputihan penuh dengan hawa racun. Tiong Gi
merasakan sambaran-sambaran hawa berbau amis, menandakan jenis pukulan
yang sangat berbahaya. Merasakan tekanan dari pihak musuh Tiong Gi ikut
mengubah cara bersilat. Mulailah ia menggunakan jurus-jurus Kiu Yang Sin
Ciang. Gerakan tangannya juga lebih lambat, bahkan tidak mengeluarkan angin
sambaran. Tapi jangan dikira jurus ini tidak berbahaya. Pukulan-pukulan yang tak terasa sambarannya mulai dirasakan pihak pengepung. Pukulan yang
mengandung getaran yang sangat hebat. Tiong Gi mengerahkan lebih dari tiga
perempat tenaganya. Dua dari tiga lawannya oleng, namun dilain pihak Tiong Gi juga dua kali terserempet pukulan lawan. Pundaknya terasa perih dan gatal.
"Celaka, kalau begini terus aku bisa keracunan!" pikir Tiong Gi. Sekonyong-
konyong mata Tiong Gi mengeluarkan cahaya berkilat yang aneh. Gerakannya
menjadi lebih menggiriskan. Pada satu kesempatan ia nekad melontarkan
subuah pukulan ke arah lawan dengan kekuatan penuh. Ia mengabaikan
pertahanan. "Hiaatttt.......bluarrr.....dessss..........!
Pukulan Tiong Gi yang ditujukan pada salah satu lawannya, dihadang lawan
yang lain. Tapi mereka tidak tahu kehebatan Kiu Yang Sin Ciang ini yang bisa menembus hadangan lawan, sedangkan perisai besipun mampu ditembusnya.
Akibatnya seorang pengeroyoknya terlontar ke belakang menghantam salah satu
anggota Tok Nan-hai Pang, yang ikut roboh, dan memuntahkan darah segar.
Namun dilain pihak pukulan penghadang ke arah dada Tiong Gipun tak sanggup
ditangkisnya, meskipun ia masih sempat mengegos ke samping sehingga yang
terkena pukulan adalah dada bagian tepi. Untungnya Tiong Gi menggunakan
pukulan Kiu Yang Sin Ciang, yang bersifat "Yang" sehingga mampu
membendung serangan pukulan lawan yang bersifat "im". Oleh karenanya Tiong
Gi tidak roboh oleh pukulan lawan, meskipun ia merasa keracunan. Tubuhnya
serasa gatal. "Posisi jaring!" tiba-tiba Can Seng memberi komando ke anak buahnya. Tiong Gi biarpun lihai, namun kurang pengalaman. Pemuda ini terpengaruh oleh nafsu
marah dan terus mengamuk seperti harimau terluka. Kepungan lawan berubah,
mereka seperti gerakan prajurit saja berpindah mengelompok dalam satu sisi.
Dari kumpulan ini maju lima orang yang bersama-sama dan dua orang lawan
Tiong Gi yang masih tersisa pelan-pelan mendesak Tiong Gi ke arah suatu sudut.
Tiong Gi tidak tahu maksudnya, tetapi karena keadaannya sudah cukup payah ia tidak bisa banyak berkutik. Gerakan silatnya menjadi tidak teratur, ia lebih banyak mundur untuk mencari saat yang tepat guna melancarkan kembali
pukulan Kiu Yang Sin Ciang. Posisi itu baru diperoleh saat Tiong Gi sudah makin terdesak ke sudut ruangan. Dengan gerakan kilat dilancarkanlah pukulan ke
salah satu lawan. Namun kali ini Can Seng seperti sudah tahu maksud Tiong Gi sehingga buru-buru ia mendorong kawannya ke samping. Lawan yang
menghadang Tiong Gi juga ikut membendung serangannya. Akibatnya pukulan
lawan mengenai tubuh Tiong Gi dan tiba-tiba ia merasa kakinya tidak mendapat pijakan, dan tubuhnya meluncur ka bawah. Kiranya ia masuk ke dalam sebuah
jebakan. Menyadari dirinya jatuh Tiong Gi mengerahkan ginkangnya. Untunglah
dasar jebakan itu terisi jerami yang tidak keras. Begitu Tiong Gi masuk, maka tutup luarpun tertutup kembali.
Kamar tahanan itu ukurannya hanya dua kali tiga meter. Ia kemudian teringat
peristiwa di kuil ketika ia tertawan oleh kelompok Tiat-sim heng-kang. Namun kali ini sekujur tubuhnya terasa nyeri dan gatal. Untunglah ia membawa guci
kemala pemberian gurunya. Dari guci ini ia kemudian meminum air yang
berkhasiat menawarkan segala macam racun. Sungguh guci yang luar biasa, dan
memang guci ini memiliki riwayat yang sangat menarik. Guci ini dulu pernah
menjadi rebutan kalangan persilatan karena adanya isu yang menyebutkan ada
rahasia tertentu dalam guci. Mereka yang berebut termasuk iblis tengkorak
emas, Goan Kin Taisu, Kim Bu Shin dan kemudian didapatkan oleh Ciu Sian Koai Lojin (Orang tua aneh dewa arak). Belakangan Ciu Sian Koai Lojin mengambil
dua murid yaitu Pek Mau Lokay dan pendekar bukit merak. Menjelang wafat ia
kemudian mewariskan guci itu ke pendekar bukit merak. Dengan alasan yang
panjang lebar yang tidak dijelaskan dalam cerita ini, suatu ketika pendekar bukit merak menyerahkan guci itu ke sahabatnya yaitu pendekar Siauw Lim, dan oleh
pendekar Siauw Lim guci itu diberikan ke si guci obat. Semua pemegang guci itu dengan sangat sabar meneliti gerangan apakah rahasia yang terdapat pada guci kemala itu" Dan selama lebih dari seratus tahun hanya rahasia kemampuan
pengobatannya saja yang terbongkar, rahasia yang lainnya masih gelap.
Setelah meminum air dari guci itu tubuh Tiong Gi rasanya lebih nyaman. Ia
kemudian bersamadi memulihkan kesehatannya. Ia punya keyakinan jika pihak
lawan tidak membunuhnya, berarti nyawanya masih dibutuhkan.
Benar saja, pagi harinya pihak musuh mendatangi kamar tahanan Tiong Gi. Ada
tiga orang yang mengunjungi kamar tahanan itu dan Can Seng sendiri yang
memimpin. "Anak muda, kelihaianmu sungguh mengagumkan aku, entah siapa dirimu dan
dari kalangan mana, aku tidak peduli, tapi mumpung kamu masih muda,
pertimbangkan tawaran kami, bergabunglah dengan kami, kelak kalau
perjuangan kita berhasil kaupun pasti akan menjadi kongcu yang dihormati,
memiliki banyak kekasih, hidup bergelimang kesenangan?""
Tiong Gi yang sebenarnya cukup cerdas, berusaha untuk mengulur waktu
dengan bertanya, "Apa yang harus kulakukan kalau aku bergabung?"
"Tentu saja kau harus ikuti semua perintah kami, sampai perjuangan kita
berhasil!"
"Termasuk perintah untuk memusuhi Ouwyang siaucay?"
"Semua perjuangan membutuhkan pengorbanan anak muda!"
"Lopeh, aku masih kesakitan, aku belum bisa berpikir jernih, tentu saja kau tidak ingin mendapatkan jawaban yang tergesa-gesa dariku bukan", berilah aku
tangguh dua atau tiga hari."
Dua orang disamping Can Seng sebenarnya mengomel panjang pendek, tapi Can
Seng tidak gubris, dan di yakan saja olehnya.
"Baiklah anak muda, ingat aku hanya beri waktu kamu dua hari, dan pada hari
ketiga aku akan datang lagi menagih janjimu!"
Bukan satu dua kali Can Seng mampu merekrut tenaga-tenaga bantuan untuk
keperluan sesuatu yang disebut perjuangan oleh mereka. Hingga saat ini, ia
sudah berhasil menarik lima tenaga pendukung untuk bergabung dengan
mereka, termasuk Kam tihu. Kam tihu sebenarnya adalah bekas sahabat Boan
ciangkum, namun berbeda nasibnya dari Boan ciangkum, ia menjadi kepala
daerah setingkat kabupaten. Sebenarnya jabatan kepala daerah meskipun hanya
tingkat kabupaten adalah jabatan yang cukup basah, namun kalau nafsu sudah
memenuhi isi kepala, mana ada puasnya untuk mereguk kesenangan dunia,
dengan iming-iming perjuangan yang bisa mengantarkan mereka menjadi orang-
orang penting, Kam tihupun tertarik. Boan ciangkum sendiri adalah suheng luar dari Can Seng, ia adalah murid dari mendiang supeknya. Karena itulah ia yakin pemuda itupun akan mau bekerja sama. Hal yang sama ia lakukan juga
terhadap nona baju merah. Namun dasar pertimbangannya agak berbeda,
begitu ia melihat nona itu yang ditangkap oleh tiga orang yang mengeroyok
Tiong Gi, timbul perasaan tertentu dihatinya. Sebenarnya usia Can Seng saat ini sudah lebih dari lima puluh tahun, namun begitu bertemu dengan nona baju
merah itu, tiba-tiba ia merasa seperti anak muda lagi.
Tiong Gi berusaha mengumpulkan kembali tenaganya, setelah setengah hari ini
bersiulian ia merasa lebih bugar, namun ada rasa aneh di tubuhnya karena ia
merasa ada hawa liar yang bergerak-gerak diluar kendalinya, hawa yang ia
yakini bersifat "im". Ia awalnya menduga ini berasal dari racun. Oleh karenanya ia kemudian kembali memusatkan pikirannya untuk mencoba mengendalikan
hawa ini sesuai dengan cara yang diajarkan Yung Ci suhu, namun hingga sore
hari ini tetap gagal mengendalikannya. Akhirnya ia memutuskan untuk
mengubahnya dengan mencoba mengikuti cara mengendalikan seperti yang
diajarkan oleh Ciak Kun suhu. Anehnya setelah beberapa saat hawa itu ternyata mampu dikendalikan dan disimpan dengan baik di tantian. Bahkan kini ia merasa lebih bugar. Pada hari barikutnya sebenarnya ia ingin membaca catatan dari
Ouwyang siaucay, tapi sayang ruangan tahanan itu gelap, maka ia manfaatkan
untuk bersiulian. Dalam samadi ia dapat mendengar ada suara lain di kamar
sebelah kirinya. "Hmm..sepertinya ini adalah deretan kamar penjara bawah
tanah. Mungkinkah nona baju merah itu juga ditawan di deretan kamar itu"
Bagaimanakah aku bisa bebas dari kerangkeng ini?" Tiong Gi berpikir tajam. "Ah andaikan ada pengemis tua berlengan tunggal, tentu saja aku tidak merasa
kesepian. Hei ...kenapa aku teringat pada pengemis itu?"
Entah kenapa begitu teringat pada pengemis itu, terbersit akal untuk bisa
membebaskan diri. Maka malam itupun ia tidur dengan tenang. Pada pagi hari
seperti biasa, ada pelayan yang bertugas mengantarkan makanan. Pelayan itu
meletakkan sarapan pagi ke bagian bawah yang ada rongga, tapi ketiga hendak
bangkit setelah meletakkan nampan tiba-tiba ia merasa tubuhnya kaku. Ia tak
tahu Tiong Gi telah melancarkan pukulan Kiu Yang Sin Ciang bertenaga im.
Karena pelayan itu menjadi kaku, maka Tiong Gi pura-pura berteriak-teriak
penuh kekagetan.
"Penjaga.....tolong apa yang terjadi pada pelayan ini...."
Mendengar teriakan ini dua orang penjagapun menjadi terpancing, namun
begitu mendekat mereka menjerit karena merasakan hal yang sama dengan
pelayan itu. Tapi tubuh mereka juga menjadi kaku. Tiong Gi mengeluarkan
tangannya dari jeruji untuk menarik tubuh penjaga itu. Pada waktu itu ia
mendengar suara kaki yang menuruni tangga. Sepertinya jeritan penjaga itu
menarik perhatian penjaga yang lain. Dengan tergesa-gesa Tiong Gi menrogoh
kantung penjaga itu untuk mencari kunci. Beruntung nasibnya karena ia segera mendapatkan kunci itu, dan segera dipakai untuk membuka ruangan. Begitu
ruangan terbuka, dua penjaga tiba di hadapan Tiong Gi, namun apalah artinya
dia penjaga itu bagi Tiong Gi. Sayangnya sebelum Tiong Gi sempat
merobohkannya ia keburu berteriak keras.
Bab 16. Membebaskan nona baju merah
Teriakan penjaga ini mengejutkan orang-orang yang ada di atas, maka Can
Sengpun bergegas memimpin sendiri anak buahnya menuju penjara bawah
tanah. Dengan cepat Tiong Gi menggunakan kunci untuk membuka satu persatu
kamar-kamar tahanan. Sudah tiga kamar dibuka namun ia belum menemukan
nona baju merah. Dan betapa kecewanya ketika ia melongok kamar terakhir ia
masih tidak menjumpai si nona. Pada saat itu rombongan anak buah Tok Nan-
hai Pang dan prajurit tikoan sudah berada di lorong. Terjadilah bentrokan antara mereka dengan tahanan yang baru saja dibebaskan Tiong Gi. Bentrokkan itu
makin seru setelah Tiong Gi ikut terjun, dengan menggunakan Kiu Yang Sin
Ciang ia mampu merobohkan lawannya meskipun lorong penjara itu sempit.
Suasana menjadi kacau balau, kedua belah pihak merasa ruangan terlalu sempit, sehingga lawanpun mundur, dan keluar dari lorong naik ke tangga. Rupanya di
bagian ataspun ruangannya berpintu, dan lekas setelah pihak lawan keluar dari lorong penjara mereka segera menutup pintu kedua. Salah seorang dari
tawanan yang dibebaskan berkata, "Sebaiknya kita dobrak saja pintunya!"
"Tunggu!" bantah Tiong Gi. "Pintu ini dari besi, tidak mudah didobrak, kita lewat atap saja."
Dengan menggunakan pedang rampasan Tiong Gi membuat lubang di langit-
langit dan secara bergantian Tiong Gi menyunggi keempat tawanan itu agar
mudah keluar. Begitu sampai di genteng, salah seorang dari mereka berbisik ke Tiong Gi, "Sui siocia disekap di sabuah kamar, tapi kami tak tahu kamar sebelah mana."
Mereka tak perlu mencari-cari karena di halaman tengah sudah berkumpul
hampir lima puluh orang, separo diantaranya berpakaian prajurit. Di bagian
depan dari barisan Can Seng sudah berdiri sambil tangan kanannya
menodongkan senjata ke leher nona berbaju merah, sedangkan tangan kirinya
menelikung kedua tangan nona itu. Wajah nona yang dipanggil Liu siocia itu
terlihat sangat pucat.
"Heh kalian berempat, monyet keparat, kalian sudah terkepung. Tidak ada
gunanya kalian melawan, sebaiknya kalian menyerah saja. Kami masih akan
mempertimbangkan untuk mengampuni jiwa kalian jika saja kalian mau bekerja
sama!" "Genderuwo hitam, kalian tidak akan bisa memaksa kami! Hayo kalian maju,
mari bertanding satu lawan satu secara jantan!" seru salah seorang tawanan
yang paling tua. Ia sudah berumuran tiga puluh limaan.
"Ha..ha..ha..monyet dari teratai merah memang banyak bicara, anak muda baju
putih, bagaimana pendapatmu?"
Tiong Gi yang dimaksud, setelah berpikir sejenak berkata,"Lopeh, meskipun
keadaan kami terkepung tapi posisi kami sekarang ada di atas. Akan sangat
mudah bagi kami untuk bisa meloloskan diri. Dan kalau kami yang lolos, aku
tidak bisa membayangkan bagaimana nasib pengkongsian kalian. Aku punya
tawaran yang dapat kalian semua pertimbangkan, mari kita selesaikan masalah
kita secara jantan, satu lawan satu, kedua belah pihak sama-sama mengajukan
tiga jago. Dan kita jadikan nona Sui sebagai taruhan. Jika pihak kami yang
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menang, berikan seekor kuda dan bebaskan nona Sui, dan kami bertiga rela
kembali ke kamar tahanan. Jika pihak kalian yang menang, terserah apapun
tindakan kalian! Dengan demikian timbulnya korban bisa ditekan."
Can Seng terlihat terkejut dengan usul Tiong Gi, ia menjadi meragukan
kemampuan mereka untuk menangkap keempat tawanan. Namun ia kemudian
mendiskusikan usulan itu dengan anak buahnya. Tampak salah seorang dari
mereka meninggalkan halaman dan memasuki gedung. Sementara dua dari
empat orang tawanan yang lolos, seperti mencela usulan Tiong Gi, namun orang tertua dari mereka membujuk keduanya. Sepertinya dia bisa menerima usul
Tiong Gi. Awalnya Can Seng yakin akan kemampuan mereka meringkus keempat
tawanan. Namun salah seorang tamtama pengawal Kam tihu yang tiga hari yang
lalu ikut mengepung Tiong Gi meyakini bahwa ada kemungkinan mereka bisa
lolos jika dilakukan upaya pemaksaan. Dan timbulnya korban yang cukup besar
bisa dipastikan jika melihat sepak terjang tawanan. Selain itu, melihat posisi kepandaian mereka, pihak Can Seng sangat yakin akan keunggulan diri. Apalagi Tiong Gi masih tahap pemulihan akibat luka tiga hari sebelumnya, Can Seng
merasa mampu mengatasinya. Akhirnya Can Seng bisa menerima usulan. Ia
yakin tiga jagoannya bisa memenangkan pertarungan. Toch kalau kalah, belum
terlambat untuk mengambil tindakan selanjutnya. Maka dibuatlah sebuah arena
yang cukup luas. Pertandingan silat selalu menarik bagi mereka yang terbiasa terjun di dunia kang ouw, bahkan Kam tihu sendiri keluar dari gedung ikut
menonton pertandingan di halaman itu. Ia tidak menyadari ada kemungkinan
bahaya yang mengancamnya.
Dari pihak Tiong Gi, ia mengajukan dirinya sendiri, tawanan yang paling tua
yang bernama Hai Liong dan adik seperguruannya yang bernama Ang Siu Kun.
Dari pihak lawan yang jadi jagoannya adalah Can Seng dan dua lawan yang
waktu itu mengeroyok Tiong Gi.
Pertandingan pertama Ang Siu melawan salah satu pengeroyok Tiong Gi.
Pertandingan pertama ini kurang menarik, karena memang secara tingkat
kepandaian Ang Siu masih jauh dibanding lawannya, dalam belasan jurus ia
sudah roboh terkapar, muntah darah. Masih untung ia tidak nekad, sehingga
pukulan lawan tidak sampai mengancam nyawanya. Pertarungan kedua antara
Hai Liong lebih seru, kedua belah pihak tampaknya kedudukannya seimbang,
namun dari jurus-jurus awal Tiong Gi bisa mengukur Hai Liong lebih menang
kemampuan ginkang. Sambil menonton Tiong Gi mencoba mempelajari jurus-
jurus Hai Liong. Ia tidak mengenal jenis jurus tersebut, tetapi dari hasil ia belajar pada Ciak Kun, ia bisa melihat dasar ilmu dari daerah utara sungai. Pertandingan makin seru ketika keduanya mulai melancarkan pukulan-pukulan jurus
simpanan. Tiong Gi melihat pukulan Hai Liong juga mengandung unsur-unsur
keganasan. Tangannya berubah memerah dan Tiong Gi bisa melihat adanya
hawa racun dalam pukulan itu. Saling serang dan saling kelit berlangsung
beberapa jurus, hingga akhirnya keuletan dan kedisiplinan Hai Liong
menjadikannya lebih unggul tipis, sebuah adu pukulan berakhir dengan
robohnya pihak lawan, sementara Hai Liong hanya terdorong dua tombak, ia
masih bisa bertahan berdiri.
Pertandingan ketiga, berhadapan Can Seng dengan Tiong Gi. Tiong Gi bertekad
untuk tampil habis-habisan dalam pertandingan ini meski lawan yang harus
dihadapi adalah musuh terberat dari pihak lawan. Mereka bertanding dengan
tangan kosong. Tiong Gi membuka serangan dengan jurus-jurus badai salju.
Tangannya bergerak cepat membawa pukulan-pukulan berhawa dingin. Can
Seng merasa terkejut sekali merasakan sambaran angin pukulan lawan, tiga hari yang lalu pihak lawan belumlah sehebat ini. Iapun membendung serangan lawan
dengan jurus-jurus serangan khas daerah selatan, yang kuat dan ganas. Tiga
puluh jurus sudah berlalu, suasana pertarungan makin seru, jurus-jurus pukulan makin dasyat. Arena pertarungan menjadi semakin luas. Rumput-rumput
beterbangan, sebagian menjadi layu karena kena terjangan hawa yang luar
biasa dinginnya, sebagian lagi layu karena terkena pukulan beracun.
Semua penonton merasa kagum sekali melihat pertarungan yang sangat sengit
dan seru. Dari tingkat kedudukan Can Seng memiliki kelihaian yang hanya
seusap dibawah gurunya, Tok Ciang Sin Kwi (setan sakti tangan beracun),
dedengkot datuk sesat dari laut selatan. Dapat dibayangkan betapa lihainya,
namun yang dihadapi kali ini adalah pemuda tempaan ahli-ahli silat kenamaan di dunia kang ouw, sayang kepandaian Tiong Gi belum sempurna dan ia masih
tahap penyembuhan luka dalam, meskipun dampak racun sudah hilang, tapi luka
pukulan masih perlu beberapa hari untuk pemulihan. Jika saja ia sudah bisa
menyempurnakan ilmu dan mengembalikan tenaganya, maka dapat dipastikan
Can Seng tak kan mampu bertahan lebih dari lima jurus.
Pada jurus ke empat puluh Can Seng mengubah cara bersilat. Gerakannya
menjadi lebih lambat, namun dari tangannya keluar hawa pukulan beracun yang
sungguh kejih. Tangannya berubah putih, pukulan-pukulan yang dilancarkan
sangat berat dan mengandung hawa yang sungguh amis. Tiong Gi memapaki
pukulan lawan dengan mengubah cara bersilat menggunakan Kiu Yang Sin
Ciang. Secara berubah-ubah ia mengganti hawa sinkang im dan yang. Perlahan-
lahan Can Seng terlihat mulai terdesak. Ia kesulitan untuk menyesuaikan
pukulan lawan yang berselang-seling. Pada jurus ke lima puluh ia
mengeluarakan jurus pukulan salju mengepung gunung. Tubuhnya merendah
dan menyerang bagian bawah lawan. Can Seng merasa kerepotan sekali, karena
jurus-jurus pukulan tangan cocok untuk serangan atas. Beberapa kali kakinya
terserempet pukulan Tiong Gi, kedudukannya menjadi goyah. Belum selesai
kekagetan Can Seng, secara tiba-tiba Tiong Gi mengubah tangannya seperti
mematuk-matuk dari tapak tangannya mengeluarkan hawa panas luar biasa.
Can Seng yang sudah mulai kewalahan menjadi nekad, ia memapaki serangan
Tiong Gi dengan pukulan tangan terbuka.
"Bresss.......cessss.......!
Pertemuan dua tenaga pukulan membuat Tiong Gi terdorong lima langkah ke
belakang, namun lawannya terpelanting dan jatuh terduduk, dari mulutnya
keluar darah. Dengan sempoyongan Can Seng kemudia maju beberapa tindak,
kemudian ia berkata, "Anak muda, ilmumu sungguh hebat, aku kagum padamu,
hiyaat......! Tiba-tiba ketika jarak mereka tinggal tiga meteran, Can Seng melompat tinggi selangkah kedepan sambil menghamburkan segenggam pasir putih.
Wwusss......!" Pasir putih yang sebenarnya adalah racun putih tepung setan.
Bagaikan titik-titik air hujan, pasir itu mengguyur tubuh Tiong Gi. Meskipun ia sudah berusaha menangkis, namun masih ada beberapa yang mengenai kulit
lengan dan mukanya. Tiong Gi merasakan hujan yang sangat pedih, padang
matanya berkunang-kunang, iapun mundur sambil tangannya merogoh kantung
mengambil guci dan segera meminumnya. Hebat sekali pengaruh menawarkan
racun dari air yang diminum dari guci sakti itu. Hanya dalam beberapa kejap
mata, Tiong Gi sudah bisa bangkit kembali namun ia pura-pura kesakitan. Can
Seng yang melihatnya tertawa terbahak-bahak, namun akibatnya naas, secepat
kilat Tiong Gi memanfaatkan waktu kelengahan lawan untuk melakukan sebuah
pukulan terakhir, ia menggunakan jurus hujan salju menerobos awan. Tubuh
Tiong Gi seperti melayang dengan kecepatan seperti bayangan ke arah lawan,
tangan kanan dan kirinya bergerak-gerak melancarkan pukulan demi pukulan
secara bergantian. Can Seng merasakan kesiuran hawa yang sangat dingin,
buru-buru ia mencoba menangkis,akibatnya
"Bresssss.......duaaarrr.........!"
Benturan dua tenaga dengan masing-masing berkekuatan penuh tak dapat
dihindarkan, tubuh Tiong Gi limbung, namun ia masih mampu melakukan poksai
(salto) di tanah, sehingga bisa kembali bangkit, meskipun dari mulutnya
berlumuran darah, tanda ia terluka. Namun buru-buru ia meminum air dari guci saktinya. Sebaliknya, tubuh Can Seng terlontar menabrak salah satu anak
buahnya, dan keduanya roboh. Nyawa Can Seng tak dapat diselamatkan.
Akibatnya suasana menjadi gaduh, dan sekonyong-konyong Kam tihu
mengeluarkan perintah, "Tangkap keenam tawanan hidup atau mati!"
Hai Liong dan ketiga kawannya terkejut sekali mendengar perintah seperti ini, tapi cepat ia sudah dibisiki oleh Tiong Gi, "Perintahkan ketiga sutemu merebut Sui siocia, dan bantu aku menelikung tihu she Kam itu!"
Hai Liong kerepotan mendapat bisikan itu sementara ia sudah mulai diserang
oleh lawan. Namun ia tetap tidak peduli, dengan menggunakan kata-kata sandi
ia memberi perintah pada ketiga sutenya. Ia sendiri yang mendapat pedang
titipan Tiong Gi lebih mudah menghadapi lawan, bahkan masih bisa melindungi
Tiong Gi, sehingga mereka bisa leluasa mendekati Kam tihu. Kam tihu tidak tahu apa yang akan dilakukan kedua tawanan mereka, namun ia sudah waspada.
Hanya saja, ia yang sebelumnya tidak terlalu dekat melihat pertarungan Tiong Gi, tidak menyadari kelihaian pemuda itu, sehingga ketika Tiong Gi melancarkan pukulan Kui Yang Sin Ciang ia tidak mencoba untuk mengelak, karena merasa
lima sampai enam prajurit yang didepannya mampu melindunginya, tapi siapa
sangka pukulan itu bisa melewati begitu saja kelima prajurit yang
melindunginya, dan menghantam dirinya. Akibatnya tihu itu sampai terjengkang, tetapi di pihak lain Tiong Gi yang keadaannya sudah kepayahan karena
tenaganya sudah hampir habis ketika melawan Can Seng ikut roboh. Ternyata
pukulan ke Kam tihu adalah tenaga tersisa yang dilancarkan seluruhnya. Melihat tawanan roboh, prajurit-prajurit yang didekatnya langsung menyerbu, seperti
berebut untuk membacokkan senjata-senjata mereka. Hai Liong yang sudah
keburu berada di depan, hanya bisa mencelos hatinya melihat kelebatan pedang atau golok lawan. Tapi disaat yang sedemikian gentingnya, tiba-tiba saja muncul sebilah golok menangkis semua serangan dan orang yang berkerudung dan
menggunakan penutup kepala dengan gesit sudah menarik dan membopong
Tiong Gi, kemudian menerobos kepungan prajurit dan meloloskan diri. Melihat
Tiong Gi bisa diselamatkan Hai Liong bernafas lega, sehingga beberapa prajurit yang mengepungnya bisa dibereskan, hingga sampailah ia berhadapan dengan
barisan pelindung utama tihu, yang terus menerus mundur ke arah gedung,
sambil memapah Kam tihu. Hai Liong hendak merangsek barisan prajurit yang
mengelilinginya, ketika tiba-tiba Ang Siu berseru agar mereka segera melarikan diri karena nona Sui sudah dapat mereka selamatkan. Dan loloslah semua
tawanan. Betapa marah dan gusarnya Kam tihu setelah kondisi kesehatannya pulih. Ia
kehilangan lebih dari dua puluh anak buah, sedangkan anak buah Tok Nan-hai
Pang yang tewas ada belasan.
Siapakah yang menyelamatkan Tiong Gi"
Seorang tua berkerudung dengan gesit membawa Tiong Gi ke sebuah kuil di
pinggiran kota. Begitu memasuki kuil yang masih terlihat baru itu ia diterima seorang tosu, setelah berbicara sebentar ia kemudian kembali meninggalkan
tempat itu. Seorang tosu yang ternyata bisa ilmu pengobatan menjadi terkejut ketika
melihat sebuah guci yang sangat dikenalnya. Selanjutnya ketika Tiong Gi sadar pada keesokkan harinya, iapun dirawat oleh tosu yang ternyata adalah murid
dari si guci obat. Hanya sehari semalam Tiong Gi tinggal di kuil itu, ia sudah pulih kembali.
"Terima kasih banyak kuucapkan, selamanya Tiong Gi tak bisa lupakan budi
totiang." "Anak muda, namamu Tiong Gi" Darimanakah engkau mendapatkan guci ini?"
"Ini guci kuterima dari suhu Sun Ciak Kun locianpwe!"
"Ah, kalau begitu kita orang sendiri, ketahuilah namaku adalah Kiong Tojin,
suhengmu, tapi aku lebih banyak belajar ilmu pengobatan pada suhu."
"Ah benarkah" Suhu memang pernah menyinggung nama suheng. Tapi suhu
sendiri tidak tahu kalau suheng tinggal di sini."
"Benar, aku baru saja mendirikan kuil di sini, bersama dengan beberapa tosu
yang lain. Untuk sementara kamu tinggal ah di sini untuk memulihkan
keadaanmu."
"Oh ya, Kiong suheng, siapakah yang membawaku kemari?"
"Dia tidak mau kusebutkan namanya, tapi kau telah bertemu dengan beliau
beberapa malam yang lalu bersama Ouwyang siaucay."
Tiong Gi menebak-nebak siapa gerangan yang membantunya. "Hmm ternyata
masih sedemikian banyak tokoh baik di dunia ini, yang bahkan tidak mau
disebutkan namanya, meskipun telah menyelamatkan orang lain," pikir Tiong Gi.
Demikianlah selama beberapa hari Tiong Gi tinggal di kuil itu untuk memulihkan diri. Pada saat-saat kosong, ia membuka-buka catatan yang diberikan oleh
Ouwyang siaucay. Betapa terperanjatnya ia, demi melihat isi dari kitab yang
pertama. Kitab yang berjudul kamus tulisan kanji mulai jaman dinasti Cin hingga Tang, berisi huruf-huruf yang ingin ia pelajari. Itulah alasan utama dia lari dari gua. Ternyata ia mendapatkan secara kebetulan. "Hmmm pantas saja, suhu
Yung Ci sendiri banyak yang tidak tahu makna satu dua huruf yang pernah ia
tanyakan. Ternyata lukisan yang ditemukan adalah warisan Lau Cin Shan yang
dibelakangnya berisi puisi yang ditulis dengan kanji pada jaman itu. Inilah yang selama bertahun-tahun kucari. Sungguh sebuah keberuntungan yang sangat
kebetulan."
Adapun tulisan kedua yang hanya selembar kain berisi dua bait puisi.
Menari ia di panggung kehampaan
Mengalun ia di dasar samudera
Mengalir ia di lempeng yang datar
Kebijaksanaan tertinggi seperti air yang member manfaat kepada segala sesuatu mengalir ke tempat rendah
karena itu sifatnya berdekatan dengan Too
Tiong Gi mengulang-ulang mengucapkan kalimat-kalimat itu, namun meskipun ia
benturkan kepala pada tulisan di depannya tetap saja ia tidak mampu mengerti makna dari tulisan itu.
*** Kita tinggalkan dulu Tiong Gi yang masih sibuk memulihkan kesehatannya dan
mencari makna atas puisi yang didapatkan. Kita beralih sebentar ke rombongan nona baju merah she Sui, yang lengkapnya adalah Sui Souw Mei. Setelah
berhasil meloloskan diri mereka seharian penuh lari ke arah utara. Hingga
akhirnya setelah malam mereka sampai di pinggiran hutan. Dengan cara duduk
mengelilingi api unggun, mereka memanggang hewan buruan untuk santapan
malam dan tak habis-habisnya mereka membicarakan Tiong Gi. Apalagi bagi
nona Sui, gadis manis yang baru mekar, membicarakan pemuda sungguh
membuatnya tersipu-sipu. Entah kenapa, ia merasakan ada lampion di hatinya
yang berpendar-pendar. Tapi yang keluar dari mulut mungil itu justru
kekhawatiran. "Hai ko, bagaimanakah kira-kira nasib inkong (tuan penolong)?"
"Sui moy, aku tidak tahu pasti, tapi sekilas aku melihat sesosok banyangan
menangkis senjata-senjata yang mengarah padanya, dan memondongnya ke
luar arena. "Ah kasihan sekali inkong, dia masih sangat muda, tapi sudah menunjukkan
sikap yang gagah, bagaimanakah keselamatannya?"
"Tenang saja Sui moy, orang baik biasanya bernasib mujur, kita doakan saja!"
jawab orang she Ang.
"Kelak kita masih ada kesempatan untuk mencarinya, sekarang yang penting
kita kembali ke markas pusat. Kita laporkan ke suhu. Sungguh tak pernah kita duga, di kota sekecil ini mereka menempatkan orang selihai itu," gumam Hai
Liong. "Twako, apakah tidak lebih baik kita laporkan saja persekutuan mereka ke
tentara di kota raja?" tanya salah satu dari dua lelaki yang berusia paling muda.
"Tidak, kita hanya bertindak atas perintah suhu. Lagipula kegiatan seperti itu pasti dilakukan sembunyi-sembunyi, kita tidak punya bukti, kita hanya membawa berita. Dunia mata-mata sungguh kejam, jika kita tidak dipercaya oleh tentara, malah kita yang akan kena hukuman."
Begitulah, lebih dari sepenanakan nasi mereka berbicara banyak hal. Hingga
akhirnya mereka bergantian berangkat tidur berselimutkan mimpi. Dan bagi
nona Sui, mimpi apalagi yang lebih mengesankan selain mimpi bertemu dengan
seorang pangeran berwajah pemuda yang menolongnya.
Sebenarnya siapakah mereka berlima" Mereka adalah anggota kelompok teratai
merah, sebuah kelompok oposisi yang bekerja di bawah tanah. Berbeda dengan
kelompok teratai putih yang membuat partai bahkan agama tersendiri dan sering menyimpangkan arah perjuangan. Kelompok teratai merah tidak terang-terangan menggunakan simbol-simbol perjuangan tetapi lebih murni dalam
memperjuangkan keadilan dan kedamaian untuk orang-orang kecil. Mereka
memusatkan pergerakan pada pembinaan pesilat-pesilat yang diluluskan dari
bukoan yang di buka di tiap kota.
Kelompok teratai merah sebenarnya tergolong masih muda, karena baru
berumur lima puluh tahunan. Pertama-tama berdiri merespon kekacauan yang
timbul pada pertengahan tahun 950-an. Kelompok ini didirikan oleh Sui Tek Han, pendekar segenerasi dengan Sun Ciak Kun dan Pek Mau Lokay. Sui Tek Han
sendiri belajar silat dari guru-guru silat daerah utara. Kelihaiannya tidak
disebelah bawah dua pendekar tersebut, bahkan ia bersama dengan Kun Lun
Sam-lojin pernah bentrok dengan Nan-hai su kwi, pimpinan Tok Nan-hai Pang
yang menyebabkan kematian salah satu dari empat setan itu. Karenanya ia
memiliki hubungan baik dengan pesilat dan pendekar dari wilayah Mongol dan
Khitan. Sui Tek Han sudah belasan tahun meninggal. Kedudukan ketua juga
sudah berpindah beberapa kali, yaitu Sui Kong Sian, Sui Bok Yang dan Sui Bok Leng. Sui Bok Yang adalah ayah dari Sui Souw Mei, sedangkan Sui Bok Leng
adalah pamannya.
Kepemimpinan dari Sui Bok Yang tergolong sangat singkat. Baru enam tahun
memegang kepemimpinan timbul malapetaka yang melanda keluarganya,
malapetaka yang menyebabkan meninggalnya ibu Sui Souw Mei. Malapetaka itu
berawal dari kepergian mereka berdua ke Heng Yang. Mereka bersama dengan
enam orang lainnya dari teratai merah menghadiri acara pernikahan anak dari
pimpinan cabang Heng Yang. Sepulangnya dari acara itu mereka dikepung oleh
gerombolan Tok Nan-hai Pang. Dua anak buah mereka tewas, mereka kemudian
bisa ditawan oleh gerombolan ini. Beruntung mereka bisa diselamatkan oleh
Yung Lu. Namun keberuntungan ini berubah karena mereka kemudian mengikat
suatu perjanjian yang aneh. Di kemudian hari ada pihak yang merasa dikhianati sehingga terjadilah pembunuhan ibu Souw Mei. Kejadian itu sungguh menjadi
rahasia besar keluarga Sui dan Souw Mei hanya tahu bahwa pembunuh ibunya
adalah Yung Lu. Karena ibunya meninggal maka sejak kecil ia tinggal bersama
neneknya di ibu kota. Sedangkan ayahnya lebih banyak menutup diri bahkan
seperti mengalami penderitaan bathin yang dalam.
Sou Mei tumbuh menjadi gadis yang manis, manja, melankolis namun memiliki
kekerasan hati. Yang lebih menonjol dari itu semua adalah suaranya yang
lembut merdu, yang mampu membetot hati pria manapun. Pada usia dua belas
tahun, pamannya memanggil dan mendidik silat padanya.
Sebulan yang lalu, ada desas-desus kelompok teratai merah di Heng Yang akan
diserang musuh pihak Tok Nan-hai Pang. Ternyata dari hasil penyelidikan,
memang terlihat adanya gerakan kelompok Tok Nan-hai Pang, yang mengarah
pada penggalangan kekuatan. Karena itulah maka Sui Bok Leng menugaskan
dua tim, yang pertama ke kota Heng Yang, yang kedua ke kota Lok An.Tim yang
dikirim ke Lok An, sebenarnya rencananya hanya lima, namun Souw Mei
memaksa diri ikut, sehingga berangkat berenam, sayang salah seorang anggota
tewas dalam pertarungan awal dengan gerombolan Tok Nan-hai Pang, sehingga
mereka akhirnya ditawan. Demikianlah sekilas mengenai asal-usul kelompok
teratai merah. *** Sudah lama kita meninggalkan puncak Fan Cing San, tempat berawalnya cerita
ini. Bagaimanakah keadaannya sekarang"
Malam sudah sangat larut, ketika suatu kereta kuda memasuki gerbang Lu Liang Pay dan berhenti di halaman depan. Kedatangannya seperti sudah diketahui
tuan rumah, terlihat penjaga langsung mempersilahkan masuk, dan dihalaman
itu mereka segera disambut oleh pria setengah baya dan empat orang murid
Yun Liang Pay menyambutnya. Pria yang menyambut tamu, kira-kira berumuran
tiga puluh sembilan tahunan, berwajah tampan berdandan perlente. Di Yu Liang Pay, siapa lagi tokoh setengah baya yang berdandan seperlente itu selain Siong Chen.
Seorang pria bertubuh tinggi kekar turun dari kereta, disusul dibelakangnya
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang tua bertubuh pendek kurus berkumis panjang. Keduanya memiliki kulit
kehitam-hitaman. Orang yang pertama berusia sekitar lima puluh enam tahunan
namun terlihat masih gagah, kumisnya dicukur bersih, sedang jenggotnya
dibiarkan panjang. Dari gerakannya yang gesit dan wajahnya yang penuh
perbawa dengan pandangan tampak angkuh, orang akan menduga dia seorang
pejabat. Memang tidak salah dugaan seperti itu karena dia adalah Boan Tek
Ciangkum (perwira). Adapun pengawalnya juga jelas bukan orang biasa,
meskipun terlihat sudah tua, pendek dan kurus tetapi jalannya nyaris tidak
menimbulkan bunyi, seperti mengambang saja di udara.
Perwira Boan Tek adalah tentara berpangkat jenderal muda yang menguasai
pasukan harimau besi. Pasukan harimau besi sangat terkenal sebagai pasukan
pendobrak musuh dalam peperangan. Di usianya yang lima puluh tujuh memang
Perwira Boan Tek sudah harus pensiun dari ketentaraan. Hanya karena
rekomendasi dari pamannya yaitu Menteri Boan Shu ke kaisar, maka Boan Tek
masih bisa bertahan. Menurut tradisi kerajaan Song, usia pensiun untuk perwira adalah lima puluh lima tahun, hanya panglima saja yang bisa pensiun pada usia lebih dari lima puluh lima tahun. Karena desakan menteri Boan Shu yang pandai menjilat, kaisar memperpanjang jabatan kepada Boan Tek selama dua setengah
tahun. Ini adalah tahun terakhir Boan Tek menjabat, dan selama setahun ini
tidak ada prestasi yang membanggakan yang bisa diandalkan untuk loncat
menjadi pejabat sipil setingkat menteri, sedangkan pesaingnya sungguh luar
biasa banyak. Karena itu, banyak rencana yang sudah dipikirkan olehnya. Salah satu rencana yang paling berpeluang besar inilah yang akan dijalankannya.
Apakah rencana itu, marilah kita ikuti dialognya dengan ketua Yu Liang Pay.
Siong Chen dan empat murid tingkat dua mengawal Perwira Boan Tek dan
centengnya ke ruang tamu khusus di dalam gedung tempat tinggal Ketua Yu
Liang. Hanya Siong Chen saja yang menemani ketua menemui kedua tamu ini,
empat orang pengawal lain menjaga di luar. Segera ketua Yu Liang yang sudah
berumur hampir tujuh puluh tahun menyambut dengan wajah berseri.
"Ah kiranya Boan Ciangkum, tak tahu angin apakah yang menuntun Ciangkum
mengunjugi gubug kami di pegunungan ini." Liong Ping tergopoh-gopoh
menyambut Boan Tek perwira dari kota raja Kai Pong. Ketika pandangan Liong
Ping bertemu dengan pengawal Boan Tek, wajahnya berubah serius.
"Bukankah loheng ini adalah Tok Ciang Sin Kwi?"
Orang tua yang menjadi centeng Boan Tek hanya menjengek kecil "Pandangan
ketua Yu Liang ternyata masih belum lamur. Tak tahu apakah ilmu pedangnya
juga masih sehebat dulu?" Berbeda dengan bentuk tubuhnya yang kecil, suara
yang keluar dari mulut yang
Dugaan Liong Ping memang tidak salah, orang tua yang seumuran dengan Liong
Ping itu memang Tok Ciang Sin Kwi, guru Can Seng. Dia adalah susiok (paman
guru) Boan Tek. Karena seangkatan, meski lebih dari lima belas tahun tak
pernah bersua, sekali melihat bentuk tangan yang kecil dan berwarna kehijau-
hijauan maka Liong Ping tak dapat melupakannya.
"Ha..ha..ha...Sien Ping, perkumpulan ini tambah maju pesat saja sejak kau
pimpin, hemmm sekarang anak gadispun bisa menuntut ilmu di sini," ucap Boan
Tek. "Tentu saja ciangkum, kami tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan,
dan kalau ciangkum berminat, tinggal tunjuk saja kami dengan senang hati akan menghaturkan ke ciangkum he..he...heh...Oh ya ciangkum, di sini sudah tidak
ada lagi yang bernama Sien Ping, tapi Liong Ping atau Toa Pangcu.
"Oo...aku lupa, sekarang kau bukan buronan lagi ha ha ha....mujur sekali
nasibmu pangcu," jawab perwira itu dengan senyum yang hanya Liong Ping saja
yang bisa memaknai.
"Tentu saja tanpa bantuan ciangkum, mana mungkin saya bisa semujur ini,"
balas Liong Ping merendah. Ia paham sekali orang macam apa yang dihadapi.
"Ternyata kau tidak melupakan budi itu, berarti kau siap membalasnya khan?"
" Bantuan apakah yang ciangkum harapkan?"
"Sini dekatkan telingamu pangcu!"
Liong Ping terhenyak mendengar apa yang dibisikkan oleh Boan Tek. Tapi
sebagai orang yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia kang ouw,
Liong ping sudah mampu menguasai diri. Sebenarnya ia tidak terkejut dengan
permintaan Boan Tek, namun buru-buru dia merubah mimik mukanya seakan-
akan sangat terkejut.
"Ah...saya sungguh tak menyangka sama sekali permintaan ciangkum seperti ini.
Mana mungkin Yu Liang Pay terlibat dalam urusan seperti itu ciangkum?"" Yu
Liang Pay dari dulu terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah, golongan pendekar yang membela kebenaran dan keadilan."
Perwira Boan Tek hanya menyunggingkan senyuman sinis, dalam hatinya ingin
mengumpat omongon Liong Ping yang bau kentut, tapi bukan perwira yang
matang kalau tidak paham arah omongan seperti itu.
"Pangcu mana mungkin aku ingin menjerumuskan Yu Liang Pay ke sumur
kehancuran, sebaliknya malah, aku ingin memajukan Yu Liang Pay, lihat ini yang aku bawa."
Perwira Boan Tek merogoh kantung bajunya dan mengeluarkan gulungan kain
yang seger Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 4 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 23
k hitam di Yi Chang, yang satu dikirim ke markas utama di Chon King,
masing-masing terdiri dari tiga puluh murid, yang dipimpin oleh dua orang
susiok. Memang sudah jadi kebiasaan, suatu masalah yang tidak bisa
diselesaikan oleh generasi siauw ceng, maka harus diselesaikan oleh generasi di atas siauw ceng. Karena susiok yang masih hidup hanya dua, termasuk wakil
kepala biara, maka keduanya diterjunkan semua. Siauw ceng sendiri mendapat
bagian kelompok kedua yang dikirim ke markas pusat di Chon King. Meskipun
disambut tegang, namun pimpinan pengemis sabuk hitam yang saat itu
dipegang Sin ci Lokay, meminta maaf, dan menceritakan bahwa perkumpulan
sabuk hitam sedang dilanda kemelut internal, ia berjanji akan menyelesaikan
masalah secepatnya. Keteganganpun bisa diselesaikan. Namun berbeda dengan
di pusat, utusan yang dikirim ke markas cabang di Yi Chang, tidak bisa
menghindari kekerasan. Meskipun pada akhirnya kami bisa membebaskan Kong-
san hwesio, murid biksu yang ditawan dan bisa membawa kembali dua mayat
sute, tetapi korban yang jatuh dari kedua belah pihak sangat banyak. Di pihak lawan lebih dari tiga puluh murid tewas, sedang di pihak kami ada sepuluh murid yang tewas. Sungguh jumlah korban yang sangat besar. Akibat dari peristiwa ini sungguh sangat membuat Siauw Lim merasa tidak enak, karena citra Siauw Lim
menjadi merosot tajam, seperti ada pihak-pihak yang sengaja menjelek-jelekkan nama Siauw Lim. Lebih celaka lagi pada saat banyak tokoh keluar, Siauw Lim
kemalingan. Sebuah kitab ilmu yang sangat penting yaitu Liong Jiauw Ciu dicuri maling. Akibat dari semua peristiwa ini membuat susah hat supek Thian Jin
Siansu, ciangbujin Siauw Lim saat itu, sehingga ia memutuskan untuk
mengundurkan diri, dan menunjuk suheng Bu Sim Siansu sebagai penggantinya.
Siauw Lim kemudian mencoba menutup diri, tapi siapa nyana, hanya berselang
sebulan dari peristiwa itu kembali Siauw Lim mendapat berita duka, utusan yang dikirim ke Kun-lun dipastikan telah meninggal. Berita ini datang dari laporan yang berkembang di rimba persilatan. Maka dari itu sutit mohon bantuan pada
susiok, untuk ikut membantu masalah Siauw Lim."
"Tentu saja, aku akan membantu Bu sutit, duka Siauw Lim dukaku juga, sakit
Siauw Lim sakitku pula. Lihatlah baik-baik benda ini, jika kelak ada orang yang membawanya kepadamu terimalah ia dengan baik, karena ia adalah utusanku,"
kata Ciak Kun sambil menunjukkan sebuah guci bergambar kepala harimau.
Setelah mendapat kepastian kesediaan Ciak Kun untuk membantu tiga utusan
itupun besoknya kembali ke Siauw Lim.
"Begitulah kisahnya, Tiong Gi! Dunia persilatan sekarang dalam ancaman yang
berbahaya muridku! Ada barisan orang-orang dari golongan hitam yang sedang
mengobok-obok partai-partai persilatan. Perkumpulan pengemis sabuk hitam
yang dulu terkenal sebagai perkumpulan pengemis yang gagah sudah disusupi
dan dikuasai. Aku sendiri tidak tahu kabar terakhir Pek Mau Lokay, dedengkot pengemis sabuk hitam, yang segenerasi denganku, apakah masih hidup atau
sudah mati" Kabar terakhir menyatakan bahwa barisan ini sudah menguasai
lembah dua sungai besar. Dan yang sangat membahayakan, dalam barisan ini
sudah bergabung perkumpulan-perkumpulan sesat, semacam Tiat-sim heng-
kang pang maupun Hek-in Pang. Datuk-datuk besar sudah bergabung di
dalamnya, termasuk biang setan kelabang emas. Karena itulah maka besok kau
harus turun gunung, aku memberi tugas yang sebenarnya cukup berat bagimu,
bantulah Siauw Lim menyelesaikan masalahnya!"
"Nenek kelabang emas, apakah dia yang memakai rangka barongan berbentuk
kelabang raksasa taecu....taecu pernah bertemu dengannya, kepandaiannya
sungguh menggiriskan," kata Tiong Gi, sambil membayangkan peristiwa
dipenjara Kuil Kong-sim Liok-si.
"Ahh..suhu taecu ingat, taecu tahu peristiwa yang terjadi di kuil Kong-sim Liok-si, kepala kuil itu kalau memang meninggal, ia pasti dibunuh oleh kawanan
penjahat-penjahat itu," kata Tiong Gi penuh semangat.
"Eh kau tahu siapa pelakunya" Aku sendiri hanya bisa menduga-duga siapa
dibalik peristiwa ini, dan yang lebih penting lagi siapa yang menggerakkan
mereka, karena gerakan mereka bukan gerakan biasa tapi berpilin dengan
gerakan perebutan kekuasaan. Dan perlu kau ketahui pula di saati kaum
persilatan di wilayah tengah disibukkan oleh masalah pertikaian antar partai, pesilat-pesilat dari selatan lebih tergiur berebut warisan Lau Cin Shan couwsu, terakhir kudengar mereka mulai merambah Kang Lam, entah untuk apa."
"Warisan Lau Cin Shan?"" Bukankah ia nenek moyang dari guru Yung" Nenek
moyang ksatria salju, benarkah demikian, suhu?"
"Benar ia adalah nenek moyang ksatria salju, tepatnya ia adalah ayah dari Lau Shu Han, kakek dari Lau Bin Siong, kakek buyut Lau Cing San. Lau Cing San
sendiri adalah ayah dari Lau Sen Bu, besan Yung Ci. Aku adalah sahabat Lau
Cing San sehingga tahu riwayat mereka."
"Tahukah suhu kenapa mereka bermusuhan dengan kelompok tengkorak
hitam?" "Ya, panjang sekali cerita dendamnya, tapi intinya karena kelompok tengkorak hitam tidak menghendaki negeri salju menjadi daerah mandiri, mereka
menghendaki negeri itu tetap dalam genggaman mereka!"
"Apakah suhu tahu apakah warisan Lau Cin Shan, yang diperbutkan kaum
persilatan itu?" tanya Tiong Gi memancing.
"Warisan kosong!" jawab Ciak Kun pelan. Tiong Gi agak terperanjat mendengat
jawaban ini. "Apa maksud suhu?"
"Tahukan kamu apa warisan Lau Cin Shan yang lengkap?"
Mata Tiong Gi berbinar-binar mendengar percakapan mereka ini. Ia merasa
tertarik sekali pada pembicaraan gurunya. Ia hanya menggeleng ditanya balik
seperti itu. "Ilmu melukis dan membuat keramik, selain itu tidak ada yang diwariskan secara lengkap!" kata Ciak Kun menjawab sendiri pertanyaannya. "Sun Kian,
keponakanku mewarisi ilmu melukis yang sangat baik, ia tinggal di Heng Yang."
Hampir semalam suntuk mereka berbicara banyak hal, mulai keadaan dunia
persilatan sampai rahasia ilmu melukis. Barulah keesokan harinya, ketika
matahari sudah lebih dari sepenggalah, Tiong Gi dilepas berangkat menuju ke
kota Yi Chang. Dari kota inilah ia akan menyelidiki pelaku-pelaku peristiwa yang terjadi waktu itu. Tiong Gi melakukan perjalanan darat dengan berjalan kaki. Ia memang sengaja hendak mencari pengalaman di dunia persilatan.
*** Kita tinggalkan dulu Tiong Gi, seorang pemuda gagah yang masih berusia
remaja yang akan mendapati berbagai pengalaman baru yang menegangkan.
Marilah kita tengok peristiwa yang terjadi di tubuh partai pengemis sabuk hitam.
Setelah terjadi kerusuhan di kaypang cabang Yi Chang, ketua cabang waktu itu Tiong pangcu mengutus Wan Sin Hwat ke Chon King, markas pusat pengemis
sabuk hitam. Sin Hwat dibuat kagun sekali dengan keindahan kota Chon King
yang dikelilingi oleh pegunungan yang tinggi menjulang. Di luar kota terletak sebuah gedung besar yang cukup kuno, di situlah markas besar pengemis sabuk
hitam. Pelataran gedung itu sedemikian luas, kiranya bisa menampung lima ribu orang. Di markas itu setelah diuji permainan tongkatnya, Sin Hwat disambut
dengan baik oleh Ciangbujin kaypang yang berjuluk Sin ci lokay (pengemis tua berjari sakti). Sin ci lokay ini adalah murid pertama dari Pek Mau Lokay.
"Hmmm....surat dari suhumu sudah kubaca dengan baik Sin Hwat! Diakhir surat
gurumu memohon agar aku sudi mengijinkanmu menemui Pek Mau suhu. Aku
sama sekali tidak keberatan, hanya saja, perlu kau ketahui Pek Mau suhu
sekarang sudah tidak lagi tinggal di markas, beliau sudah nyepi ke suatu
perbukitan. Untuk bisa menemui beliau hanya pada muridnya yang tinggal disini yang tahu tanda untuk menghadap beliau. Aku akan mengutus salah seorang
sute membawamu ke sana!"
Selanjutnya Sin ci lokay mengutus seorang sutenya yang bergelar Sin tung lokay membawa Sin Hwat ke Pek Mau lokay. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah
perbukitan di belakang markas. Di sebuah tebing, terdapat gua yang menjadi
tempat pertapaan pengemis tua itu. Setelah mengucapkan kata-kata sandi
permohonan menghadap, terdengar suara yang berat dari dalam
mempersilahkan mereka masuk. Mereka berdua akhirnya bisa menghadap Pek
Mau lokay, sesepuh pengemis sabuk hitam yang paling dihormati. Persis seperti gelar yang disandang, pengemis ini memang sudah sangat tua, mungkin sudah
berusia lebih dari seratus tahun, dan rambutnya sudah memutih semua persis
benang-benang salju. Rambut yang masih subur itu dibiarkan terurai begitu saja.
Dan ketika ia membuka matanya, Sin Hwat dibuat terkejut dengan tatap mata
yang mencorong sedemikian tajamnya.
"Ada maksud apakah kedatanganmu Keng Ci, siapa anak yang kaubawa ini?"
ucap kakek tua itu dengan suara yang dalam dan berat, khas suara orang tua.
"Suhu, dia adalah murid Tiong Kang sute di Yi Chang, pangcu menyuruhku
menghadapkannya padamu, hanya itu maksud kedatangan taecu, kalau suhu
tidak ada keperluan untukku taecupun akan berpamit." Lalu Sin tung Lokaypun
berpamitan. "Apa maksud Tiong Kang menyuruhmu menghadapku anak muda?"
"Sucouw, suhu mengirim surat itu untuk sucouw!"
"Hmmm....mataku sudah lamur, cobalah bacakan saja surat itu untukku."
Sin Hwat menjadi terheran dengan ucapan ini. Mata yang memiliki sinar
mencorong seperti itu diakui pemiliknya sudah rabun, apakah lagi jika masih
melek dengan sempurna. Maka Sin Hwatpun membacakan surat gurunya, yang
intinya memohon agar Sin Hwat diberi petunjuk ilmu lebih lanjut supaya bisa
membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh cabang Yi Chang.
"Hmmm...aku sebenarnya sudah memutuskan untuk tidak lagi mencampuri
urusan dunia persilatan. Tapi akan sayang kalau aku harus mati meninggalkan
ilmu yang baru aku sempurnakan. Baiklah anak muda, mari coba kita lihat
sejauh mana bakatmu. Apakah aku bersedia mendidikmu atau tidak tergantung
jodoh. Mari ikutilah aku!" kata pengemis tua itu mengakhiri percakapan. Ia lalu berjalan ke belakang menyusuri lorong-lorong gua yang gelap, tapi setelah lebih dari dua puluh tombak terdapat percabangan gua yang salah satunya lebih
terang. Gua itu ternyata tembus ke sebuah tanah datar yang hijau. Tanah datar itu luasnya kira-kira hanya seratus meter persegi, dan langsung berbatasan
dengan jurang. Di lapangan inilah kemudian Pek Mau lokay menguji Sin Hwat.
Sin Hwat lulus ujian dan diterima sebagai murid terakhir dari Pek Mau Lokay. Ia kemudian belajar selama kurang lebih dua tahunan. Beruntung sekali nasib Sin Hwat karena mendapat kesempatan berguru langsung dari dedengkotnya
pengemis. Apalagi tampaknya guru baru Sin Hwat sangat mengasihi murid
terakhirnya. Dari guru yang sakti ini, ia menyempurnakan Pat sin kun ciang hoat (ilmu pukulan tapak tangan delapan jurus sakti), Hang liong tung hoat (ilmu
tongkat penakhluk naga) dan ilmu terakhir yang baru diselesaikan oleh Pak Mau Lokay yang diberi nama Koai Eng Sin kun (Silat sakti rajawali siluman). Ilmu yang terakhir ini merupakan ilmu kembangan dari Pat sin kun ciang hoat dan
ilmu yang diwariskan oleh suheng Pek Mau Lokay. Jika Pat sin kun ciang terdiri dari jurus-jurus yang bersifat keras dan kuat, penuh dengan tenaga yang
dilepas, sebaliknya Koai Eng Sin Kun terdiri dari dari hampir tiga puluh dua jurus, sifatnya lentur, gesit, dan mengandung tenaga lemas yang mengandung
kekuatan tersembunyi. Ilmu ini memang sengaja diciptakan oleh Pek Mau Lokay, setelah ia mendapat sebuah kitab dari suhengnya. Maka boleh dikatakan setelah berguru hampir tiga tahunan, Sin Hwat telah berubah menjadi rajawali sakti
yang sulit dicari tandingannya. Boleh dikatakan kini kepandaiannya setingkat dengan Sin ci lokay, bahkan dengan ilmu barunya ia memiliki kelebihan
dibandingkan dengan ketua pengemis pusat itu. Baik guru maupun murid, sama-
sama bersemangat tak kenal lelah dalam mengajar dan belajar. Bahkan Pak Mau
lokay terpaksa tidak ikut campur terhadap masalah yang dihadapi oleh kaypang.
Ia hanya berpesan kelak murid terakhirnya akan ditugaskan untuk itu. Pada
suatu pagi, di musim gugur pengemis tua, guru Sin hwat memanggilnya. Sin
Hwat pun berlulut.
"Sin Hwat, hari ini aku mencukupkan dalam membimbingmu, sudah waktunya
engkau turun gunung. Banyak tugas yang harus kau emban, aku yakin kau bisa
memikulnya dengan penuh tanggung jawab. Nasib kaypang ini ada ditanganmu,
muridku. Ada dua tugas yang harus kau selesaikan. Yang pertama adalah tugas
mencari kitab enam belas jurus merak sakti. Tugas ini sangat rahasia, karena kisah pencurian itu hanya sedikit yang tahu, dan memang menjadi rahasia
bagiku. Kitab itu ditulis oleh suhengku pendekar bukit merak. Kami dulu samasama berguru kepada seorang orang tua sakti yang hidupnya menggelandang.
Berbeda dengan jalan kita, suheng memilih jalannya sendiri. Ia tidak mau
mengikuti jalan hidup suhu sebagai pengemis. Ia lebih memilih hidup sebagai
petani. Ia tinggal di bukit merak. Karena itulah ia terkenal sebagai pendekar bukit merak. Puluhan tahun yang lalu ia datang kemari menitipkan sebuah kitab.
Ia memperbolehkan aku mempelajari kitab itu, tapi berpesan bahwa kitab itu
kelak harus kukembalikan lagi kepada keturunannya. Waktu itu aku heran
mengapa ia tidak wariskan langsung saja ke anak cucunya. Tapi belakangan
baru aku ketahui pesan itu adalah pesan wasiat, karena ternyata beberapa
tahun berselang ia meninggal, dan keturunannya dikejar-kejar oleh salah satu musuh besarnya. Aku sudah berusaha memerintahkan murid-muridku mencari
jejak keturunan terakhir dari suheng, tapi nihil. Celakanya, ketika aku sendiri turun gunung, aku kehilangan kitab itu, yang kusimpan dikamar. Tidak ada
tanda-tanda pencurian dari luar, tapi jika pelakunya murid-muridku juga sulit dipercaya mereka berani melakukan pencurian di kamar suhunya sendirian. Ada
kemungkinan penyusup masuk atau murid yang bekerja sama dengan orang
luar. Sampai sekarang aku masih belum menemukan titik terang siapa kira-kira pelakunya. Tapi aku yakin ada hubungannya dengan kerusuhan yang akhir-akhir
ini melanda kaum persilatan terutama yang sedang dihadapi oleh kaypang kita.
Oleh karena itu muridku, tugas kamu yang kedua adalah membantu
menyelesaikan masalah kaypang kita, sekarang waktunya sudah sangat genting.
Maka kau harus bergegas menyelesaikannya."
"Baik suhu, taecu akan selalu ingat pesan suhu dan akan taecu junjung tinggi untuk taecu laksanakan dengan segenap kemapuan!"
"Sudahlah Sin Hwat, aku tak perlu segala ikrar dan janjimu yang penting
sumpah dalam hati untuk melaksanakannya."
Sin Hwatpun berpamit. Tempat yang mula-mula dituju adalah markas kaypang.
Dua tahun lebih ternyata waktu yang cukup panjang untuk mengubah wajah
kaypang sabuk hitam ini, tanpa sepengetahuan Sin Hwat. Maka betapa herannya
ia ketika di sudut kota menemui pengemis yang bersikap garang, bahkan ada
sebagian yang ditemui sedang memaksa meminta sumbangan, atau dengan kata
lain adalah merampok. Ia mencoba untuk tidak turun tangan langsung. Ia ingin mengetahui dulu yang telah terjadi.
Di depan pintu gerbang markas, ia dicegat oleh dua pengemis penjaga.
"Siapa kamu dan apa keperluan!" bentak salah seorang penjaga galak.
"Lokay, aku Sin Hwat ingin menghadap kay pangcu!"
"Enak aja bilang aku pengemis tua, aku masih muda tahu!" balas penjaga tadi, sambil iseng kakinya menendang, ingin memberi pelajaran kepada pengemis
muda yang dianggap tak sopan.
"Tukk! Aduuhh!" teriak pengemis itu sambil memegang-megang kakinya. Entah
kenapa dan bagaimana caranya tiba-tiba ada kayu yang melintang di depannya.
"Ah tuan pengemis gagah kenapa di pintu gerbang ini bisa kejatuhan dahan
sebesar ini yaa.....apa jarang di bersihkan!?" tanya Sin Hwat sambil tersenyum.
Teman penjaga yang satunya lagi, menjadi ikut terheran-heran, karena pohon
yang terdekat dari mereka berjarak lebih dari tiga tombak. Ketika ia ikut
membantu kawannya, tiba-tiba pemuda yang didepannya sudah berkelebat
lenyak dari pandangan. Maka secepat kilat ia membunyikan loceng tanda
bahaya. Tiba-tiba di halaman depan itu sudah berdiri sepuluh orang pengemis tingkat
tiga. Barisan sepuluh pengemis ini segera mengepung Sin Hwat. Dengan segera
Sin Hwat berhadapan dengan barisan pengemis ini. Tapi mereka terlalu
memandang rendah Sin Hwat dengan mengajukan barisan tingkat tiga. Tak lebih
dari lima jurus, mereka semua telah roboh terkena tendangan dan pukulan Sin
Hwat. Robohnya barisan pertama, langsung disusul oleh munculnya barisan kedua.
Barisan ini terdiri dari lima pengemis tingkat dua. Barisan inipun kocar-kacir tak lebih dari sepuluh jurus. Maka gemparlah markas pengemis ini, sehingga
membuat tiga pengemis yang dulu pernah menghadapi Liu Siang muncul.
Berbeda dengan pengemis-pengemis sebelumnya, tiga pengemis ini lebih
bersikap hati-hati melihat kedatangan seorang pemuda yang tampaknya berisi.
Pengalaman menghadapi orang-orang pesilatan yang berilmu tinggi membuat
mereka lebih waspada.
"Anak muda siapakah namamu, dan dari kaypang mana" Dilihat dari pakaian
dan jurus yang kau pakai mestinya kau anggota sabuk hitam, siapakah gurumu"
Jangan sampai kami kesalahan tangan memusuhi orang sendiri!" tanya
pengemis yang paling tua berjenggot putih.
"Sam-wi lokay, aku juga anggota kaypang sabuk hitam, namaku Sin Hwat, aku
ingin menghadap kay pangcu!" jawab Sin Hwat tenang. Jawaban ini membuat
air muka ketiga pengemis tua ini berubah. Mereka memang terkejut mendengar
nama ini. Mereka telah mendengar bahwa Pek Mau Lokay beberapa tahun
terakhir mengambil murid terakhir bernama Sin Hwat.
"Ahhh kiranya kau murid Pek Mau Lokay, mestinya aku memanggilmu susiok,
baiklah siauw susiok, kami Chon King Sam Sinkay ingin meminta pelajaran
darimu, bersiaplah!" kata pengemis ini sambil memberi aba-aba ke kedua
kawannya. Dengan gerakan gesit ketiga pengemis sakti itu mengelilingi Sin Hwat. Tongkat di tangan mereka bergantian bergerak menyerang secara teratur. Dibandingkan
beberapa bulan yang lalu, ketika menghadapi Liu Siang, ketiga pengemis ini
telah banyak kemajuan, mereka lebih rajin berlatih. Maka kini Sin Hwatpun
merasakan lawan yang cukup setimpal. Setiap ia menangkis satu pukulan,
segera disusul pukulan susulan secara bertubi-tubi. Mulailah ia mempraktikkan Pat sin kun ciang. Maka serangan ketiga pengemis inipun segera mendapat
lawan yang tangguh. Bahkan dua orang terserempet pukulan itu, sehingga
memaksa mereka mengeluarkan tongkat.
Bab 14. Menyelesaikan kemelut kaypang sabuk hitam
Setelah menggunakan tongkat keroyokan mereka benar-benar menjadi lebih
berisi, sehingga Sin Hwat menjadi kerepotan. Namun ia tetap bergeming dengan tangan kosong. Kalau hanya mengandalkan senjatanya untuk menangkis hujan
serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia pun mengerahkan ginkangnya untuk berloncatan kesana ke mari, mengelak dan menangkis.
Karena jurus-jurus Pat sin kun ciang sepertinya sudah dikenal oleh mereka,
sehingga Sin Hwat seperti terus tergencet serangan-serangan tongkat mereka,
maka mulainya ia mempraktikkan ilmu barunya Koai Eng Sin Kun. Jurus-jurus ini cocok sekali menghadapi serangan tongkat yang datang bertubi-tubi seperti
kitiran. Koai Eng Sin Kun merupakan ilmu silat yang terdiri dari jurus-jurus yang dimainkan secara cepat, banyak kembangannya dan memiliki banyak tipuan.
Setelah Sin Hwat mengubah cara bersilat, sedikit demi sedikit tekanan Sam
Sinkay mengendor, beberapa kali mereka menjadi terkejut karena belum pernah
melihat jurus-jurus seperti itu sebelumnya. Setelah jurus ke sepuluh dari Koai Eng Sin Kun, satu dua pukulan Sin Hwat bersarang di tubuh mereka bertiga.
Barisan mereka menjadi berantakan, sehingga dengan mudah pada jurus
berikutnya Sin Hwat memberikan tamparan keras. Untunglah tamparan yang
hadiahkan bukan tamparan maut, dan sebelum tamparan itu mengenai tubuh
mereka, sekonyong-konyong ada hawa tangkisan yang menahan tamparan Sin
Hwat. Akibatnya pukulan itu melenceng, dan Sin Hwat masih bisa merasakan
kesiuran tenaga yang sangat kuat. Di depannya sudah berdiri seorang pengemis tua, berbaju kain sutera. Sin Hwat terperanjat demi melihat pengemis yang
dihadapannya bukan lain adalah Sin tung Lokay. Tapi heran tampilannya
berubah sekali dan tenaga tangkisan yang dirasakan benar-benar membuat Sin
Hwat meragukan kemampuannya.
"Aha kiranya Hwat sicu yang datang, mari silahkan sicu, masuklah supaya kita bisa minum secawan arak," kata Sin tung Lokay berubah ramah.
Mereka memasuki ruang tamu yang cukup luas, di salah satu meja, mereka
duduk di kursi. Seorang pelayang kemudian menghidangkan arak. Sin Hwat agak
ragu untuk memulainya.
"Mari sicu, silahkan diminum, apakah kau takut aku meracunimu?" tanya Sin
tung Lokay. Sin Hwat tersentak, "Bagaimana ia tahu pikiranku, hmm aku harus lebih berhati-hati," pikirnya.
"Baiklah Lokay, aku yakin kau tidak akan menghina yang muda," ujar Sin Hwat
sambil tangannya memegang arak. Kemudian diminumnya arak itu.
"Lokay, kemanakah Sin ci pangcu" Aku ingin menemuinya!" kata Sin Hwat
membuka percakapan.
"Sicu, ketahuilah Sin ci suheng sudah mengundurkan diri, dan murid-murid yang lain kemudian mengangkatku menjadi pimpinan kaypang,"
"Ah benarkah" Hmmm...pangcu kenapa engkau membawa kaypang ke arah
yang sesat, aku melihat beberapa pengemis melakukan hal yang memalukan,
merampok harta orang dan mengganggu orang-orang kecil."
"Sicu masih terlalu muda, kita tidak sembarangan meminta sumbangan, hanya
kepada orang-orang kaya yang pelit saja kami melakukan hal itu, dan hasil
sumbangan ini tidak kita gunakan untuk memperkaya diri, tapi untuk sebuah
perjuangan, dan untuk perjuangan itu, kita membutuhkan tenaga muda, oleh
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena itu kami memintamu untuk bergabung dengan kami sicu, jangan
khawatir, kelak kalau perjuangan kita berhasil apapun yang sicu kehendaki pasti akan teraih, apakah sicu tidak ingin menjadi seorang kongcu yang dihormati,
memiliki banyak kekasih, hidup bergelimang kesenangan?"" bujuk Sin Tung
Lokay. Sin Hwat tersentak dengan ajakan ini, tidak dia duga Sin Tung Lokay justru
mengajaknya bergabung.
"Perjuangan apakah pangcu" Lantas kenapa para pengemis dibiarkan berbuat
jahat seperti itu?"
"Sicu, setiap perjuangan butuh pengorbanan, kita sedang berjuang untuk
mengentaskan oran-orang miskin terbelakang, tahukan sicu untuk apa dibentuk
kaypang ini" Tidak lain untuk mengangkat derajat pengemis-pengemis miskin,
nah setelah para pengemis ini bisa terentaskan giliran orang-orang miskin yang akan kita perjuangkan, makanya kita meminta dukungan dari orang-orang kaya,
itu yang sedang kita lakukan sicu."
Untuk beberapa saat Sin Hwat tidak bisa bicara apa-apa. Ia masih terlalu hijau dalam berdiplomasi. Ia merasa bingung, tapi nalurinya memberi tahu kalau ada hal yang tidak beres.
"Pangcu, aku tidak paham soal segala perjuangan, yang terpenting sekarang,
tolong katakan dimana Sin ci Lokay, aku harus berbicara padanya!"
"Akupun tak tahu kemana ia sekarang. Setelah tidak menjabat pangcu, ia
kemudian meninggalkan markas. Kalau memang sicu ingin mencarinya, aku bisa
mengerahkan pengemis untuk mencari beliau, nanti kalau kami tahu kami
sampaikan ke sicu."
"Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu pangcu."
"Silahkan sicu, jangan segan-segan berkunjung ke markas. Silahkan sicu pikirkan ajakan kami!"
Sin Hwat meninggalkan markas dengan berbagai pikiran yang berkecamuk. Ia
masih terlalu muda untuk bisa memahami pergolakan yang terjadi. Karenanya ia kemudia berusaha untuk mencari Sin ci Lokay. Berminggu-minggu ia melakukan
penyelidikan, hingga akhirnya ia dapat informasi posisi Sin ci Lokay. Namun baru tiga bulan kemudian ia bisa menemukannya. Sin ci Lokay tinggal di sebuah kuil tua, jauh di pinggiran kota, bersama sekitar lima belas pengemis lainnya. Ketika bertemu, Sin Hwat berasa terharu melihat kondisi mereka. Sin ci Lokay yang
terlah berusia tujuh puluh limaan tubuhnya tambah kurus, dan agak tak terurus.
"Pangcu, apakah yang terjadi?"
"Panjang ceritanya sicu, ada kelompok pengemis yang memecah belah kaypang
kita." Selanjutnya Sin ci Lokay menceritakan peristiwa hebat yang dialami kaypang.
Pada saat Sin Hwat datang, Sin ci Lokay berembug dengan saudara-saudaranya
membahas masalah Yi Chang, akhirnya diputuskan untuk mengirim 20
pengemis, dua diantaranya sute dari Sin ci Lokay sendiri. Sayang yang dikirim adalah tetua yang beradat keras, sehingga bukannya selesai justru masalahnya makin pelik, apalagi dari kedua belah pihak ada durna yang mengipas-ngipasi
perselisihan. Pertikaian antara kaypang dengan Siauw Lim tak dapat
dihindarkan. Korbanpun berjatuhan dari kedua belah pihak. Termasuk dua tetua.
Beberapa bulan kemudian datang utusan dari Siauw Lim. Hanya tiga dari 20
pengemis yang dikirim ke Yi Chang bisa kembali ke markas. Setelah itu suasana di markas menjadi panas, ada pihak-pihak yang menganggap aku gagal,
pertentanganpun tak dapat dihindarkan, sehingga mengakibatkan aku mundur.
Gerakan mereka makin tak terbendung, sehingga lima belas pengemis harus
terusir dari markas.
"Begitulah yang terjadi Sin Hwat. Sayang suhu tidak bersedia turun tangan,"
keluh Sin ci Lokay.
"Siapakah orang-orang dibalik mereka, pangcu?"
Sin ci Lokay menarik nafas panjang. Ia merasa sedih, karena pelakunya juga
orang-orang dalam.
"Masih belum jelas siapa mereka, tapi sepertinya bukan orang luar. Paling tidak mereka masih anggota cabang."
"Kita harus temukan pimpinan mereka, pangcu!"
Selanjutnya mereka merencanakan tindakan selanjutnya. Diputuskan agar
kaypang pusat dibersihkan terlebih dahulu. Maka berangkatlah mereka bertujuh belas ke markas. Di markas mereka disambut baik, namun suasananya tegang
sekali. "Suheng syukurlah bisa datang kembali dalam keadaan sehat!" ucap Sin Tung
lokay, berbasa-basi.
"Sute tidak perlu kita berbasa-basi, kalian tentu tahu belaka kedatangan kami kemari untuk membersihkan kaypang dari tangan-tangan jahat!"
"Orang she Boh, sepertinya kau lupa, bahwa kau bukan lagi pangcu disini,
katakan saja apa yang kau kehendaki!" bentak Sin Tung Lokay langsung
memanggil nama Sin ci Lokay.
"Sute, sadarlah untuk kembali ke jalan yang benar!"
"Kalianlah para pengacau itu, aku adalah pangcu sekalian pengemis sabuk
hitam, jika kalian tidak lagi mentaati perintahku, silahkan tanggalkan sabuk kalian atau bersiaplah menerima hukuman.
"Hmm...aku tahu kau punya banyak pengikut sute, tapi kalau kau masih punya
sedikit kegagahan hayo hadapi kami secara jantan!"
Meradang rasanya hati Sin Tung Lokay mendapat tantangan seperti ini, gigi-
giginya sampai menggeretak menahan amarah yang hendak meledak.
"Aku tahu kalian membawa jago baru, baiklah sekarang kita ajukan lima jago
dari kalian dan lima jago dari kami! Dan bersiaplah tiga dari lima jago kami akan maju bersamaan. Siapa jago kalian?"
Sin ci lokay lantas berunding dengan Sin Hwat, mereka sebenarnya ingin
mengajukan komposisi pertandingan tiga lawan tiga, namun melihat situasi
sebagai pihak penantang akan sangat memalukan jika tidak berani menyambut
tantangan lawan. Maka dipilihlah lima jagoan yang akan mewakili pihak mereka yaitu sepasang pengemis tangan sakti murid dari Sin ci Lokay, kemudian sute
Sin ci Lokay yang bergelar Pek Tung Lokay karena selalu membawa tongkat
berwarna putih, memudian Sin Hwat dan Sin ci Lokay sendiri.
Pertandingan kemudian dibuka antara Chon King Sam Sinkay melawan sepasang
pengemis tangan sakti, dan Pek Tung Lokay. Pertandingan ini karena
berpasangan dianggap sebagai satu paket. Pertandingan ini sangat seru karena mereka bertanding dalam barisan. Posisi kubu Sin Hwat sebenarnya tidak
menguntungkan karena mereka bertiga bukanlah pasangan segi tiga, namun
kelemahan ini bisa ditutup oleh kepemimpinan Pek Tung lokay yang cukup hebat mengarahkan Sin ciang Siangkay. Sehingga pertarungan menjadi benar-benar
seru. Tongkat Chon King Sam Sinkay menyerang bertubi-tubi seperti gelombang
samudera, namun gempuran ini menghadapi pertahanan kokoh sepasang karang
yang bisa bergerak dengan dinamis berkat pengaturan Pek Tung Lokay. Bahkan
pada paruh waktu kedua, pihak Pek Tung Lokay berhasil mengatur sepasang
pengemis tangan sakti supaya berposisi capit udang untuk menjepit Chon King
Sam Sinkay. Ketiga pengemis sakti Chon King terlambat menyadari bahwa posisi mereka terjepit, gebukan tongkat mereka menjadi berkurang kekuatannya
karena gerakan mereka menjadi lebih sempit, sementara itu Pek Tung Lokay
yang bergerak mundur, seakan-akan terdesak menipu mereka, akibatnya
serangan tongkat sepasang pengemis tangan sakti, terlambat mereka tangkis,
lebih parah lagi ketika mereka setengah-setengah dalam menangkis pukulan
tapak tangan delapan jurus sakti, Pat sin kun ciang. Akibatnya, dua dari tiga Chon King Sam Sinkay terdorong dua tombak kebelakang, sedangkan tongkat
pengemis berjenggot putih yang menjadi orang nomor satu dari Chon King Sam
Sinkay dibuat patah oleh pukulan tongkat putih Pek Tung lokay. Akhirnya Chon King Sam Sinkay mengakui kekalahannya maka pertandingan dihentikan dan
pihak Sin ci Lokay dinyatakan sebagai pemenang.
Pertandingan kedua, dari pihak Sin ci Lokay, dia sendiri yang maju, sedang pihak lawan yang maju adalah Ciam Lun. Orang berpakaian pengemis ini agak asing
bagi Sin ci Lokay, karena sebelumnya belum pernah bertemu. Ia menduga-duga
bahwa orang ini adalah pihak luar yang mengobok-obok. Sin ci Lokaypun
berhati-hati menghadapinya. Ciam Lun memang pihak luar, namun dari mana
asalnya banyak orang yang tidak tahu. Pertarungan dua orang ini lebih seru dari pertarungan pertama, namun karena pertarungan tunggal maka tidak semeriah
sebelumnya. Kepandaian Sin ci Lokay di kaypang saat itu boleh dibilang sulit mencari tandingan. Sebagai bekas Ciangbujian kelihaiannya sudah bisa
dikatakan mumpuni. Namun lawan yang dihadapi kali ini adalah orang asing
yang tak dikenal. Maka bertandinglah keduanya dengan kecepatan tinggi, tubuh mereka lenyap tinggal bayang-bayang saja. Tetapi Sin ci Lokay terkesan kurang leluasa mengembangkan kemampuannya, ia lebih banyak bertahan. Padahal
kemampuan totokan satu jarinya sangatlah lihai. Sin ci Lokay bukan tanpa
alasan mencoba lebih banyak bertahan. Ia ingin melihat gaya silat lawan untuk bisa menebak asal-usul perguruan lawan. Namun percuma saja, bahkan sampai
ia benar-benar terdesak, tak satupun jenis pukulan yang dikenalnya. Ketika
pukulan lawan yang mengarah dadanya coba ditangkis, ia kecolongan karena
ternyata lawan menggunakan gerak tipuan yang sungguh indah, tubuhnya
meliuk seperti burung dan tangan satunya berhasil mematuk paha kanan Sin ci
Lokay. Sin ci Lokaypun terhuyung-huyung ke belakang. Meskipun tidak terluka
parah, namun kalau dilanjutkan pasti ia akan kalah. Maka pertandingan
keduapun dimenangkan pihak Sin Tung Lokay. Sin ci Lokay merasa heran, ia
tidak mengenal ilmu silat lawan, kecuali satu hal yang diyakini, jurus-jurus lawan bergaya Tibet atau Tayli.
Pertandingan ketigapun digelar, dan menjadi pertandingan penentu. Kedua
kubupun merasakan ketegangan, meskipun dari kubu Sin ci Lokay hanya
membawa 16 anak buah, namun dari pihak lawanpun sebagian masih ada yang
setia pada Sin ci Lokay, dan dalam hati mendoakan kemenangannya. Pada
pertarungan terakhir ini dari pihak lawan Sin Tung Lokay sendiri yang maju, dan akan dihadapi oleh Sin Hwat.
"Pangcu palsu, sebaiknya kamu menyerah saja, supaya Sin ci pangcu bisa
mempertimbangkan untuk memberi keringanan hukuman!" kata Sin Hwat.
Betapa marah rasa hati Sin Tung Lokay, namun sebagai orang berpengalaman ia
paham rasa marah bisa membuat gelap pikiran. Dia tidak akan membiarkan
dirinya termakan dipanas-panasi lawan.
"Hmm bocah bau bawang, jangan kau kira setelah berguru pada orang tua tak
berguna kau punya kepandaian yang bisa kau pamerkan, hayo majulah
tunjukkan kebodohanmu!" bentak Sin Tung Lokay, dan langsung melancarkan
pukulan pertama. Sin Hwat segera memapaki serangan pertama ini. Serang
demi serangpun berlangsung dengan serunya. Karena lawan bertongkal, sebagai
tongkat ketua, maka Sin Hwa juga menggunakan tongkatnya. Serangan demi
serangan dengan menggunakan ilmu yang sama membawa perbawa yang luar
biasa. Sambaran angin yang keluar dari jurus-jurus itu membuat rambut
penonton berkibar-kibar. Kecepatan gerakan membuat penonton yang
berkepandaian cukupan untuk menggertak pedagang dan penjual makanan,
merasa pusing. Kekuatan sinkang keduanya tampaknya sama, namun dari segi ginkang Sin Hwat
sedikit lebih unggul, sehingga gerakannya lebih lincah. Namun keunggulan ini belum mampu menembus kematangan gerakan Sin Tung Lokay yang sudah
berpengalaman puluhan tahun. Jurus demi jurus sudah berlalu, namun karena
jurus-jurus yang digunakan sama-sama sudah dikenal dengan baik maka
puluhan juruspun belum mampu memunculkan siapa yang lebih unggul. Ruang
pertandingan makin melebar, dan penonton makin meminggir ke tepi lapangan.
Karena lamanya pertarungan dari pertandingan yang pertama sampai yang
ketiga, tak terasa hari sudah berganti. Para pengemispun menyalakan lampion
dan lampu obor.
Tiba-tiba Sin Tung Lokay mengubah gerakan. Tongkatnya berpindah ke tangan
kiri dan bergerak melambat tapi tangan kanannya segera memainkan jurus-jurus Pat sin kun ciang. Dari tapak tangan tersebut keluar serangkum hawa panas
yang luar biasa yang menyambar-nyambar ke arah Sin Hwat. Pada awalnya Sin
Hwat terkejut mendapati perubahan ini, sehingga dalam dua jurus awal ia
terdesak dan terserempet hawa pukulan. Namun cepat ia juga menyesuaikan diri dengan menggunakan ilmu pukulan yang sama, jurus-jurusnya juga tak kalah
dasyatnya. Hingga pukulan kedelapan juga masih belum muncul siapa yang lebih unggul, meskipun tampaknya Sin Hwat agak kewalahan mengahadapi jurus-jurus lawan. Merasa masih belum mampu menundukkan lawan, Sin Tung Lokay
mengubah cara bersilat. Jari-jari tangannya dirapatkan seakan-akan berubah
berbentuk mulut atau paruh, gerakannya lebih cepat. Gerakan yang mirip
burung yang sedang mematuk-matuk ini sungguh sangat luar biasa. Kelenturan
jurus-jurusnya sudah mendekati sempurna. Sambaran-sambaran kaki yang
tinggi juga membuat gerakannya mirip sambaran burung, atau ayam jago.
Bayangan yang dibentuk dari lampu-lampu obor di pinggiran seolah-oleh terjadi pertarungan dua burung raksasa di angkasa. Semua pengemis termasuk Sin ci
Lokay dibuat perpana.
"Ilmu apa itu?" teriak sebagian pengemis. "Sute ilmu apa yang kau gunakan,
dari mana kau mempelajarinya?" bentak Sin ci Lokay.
"Ha..ha..ha....Boh Ceng! Mana pernah ada larangan pengemis sabuk hitam
mempelajari ilmu lain!" balas Sin Tung Lokay.
Sin ci Lokay terdiam, memang benar dalam perkumpulan pengemis sabuk hitam
tidak ada larangan mempelajari ilmu lain, karena kaypang ini memang bukan
partai silat yang khusus mengembangkan ilmu-ilmu khusus, namun bersifat
paguyupan pengemis dari golongan manapun.
Sin Hwat tak mau kalah dengan jurus-jurus lawan, iapun mulai memainkan ilmu
barunya Koai Eng Sin kun (Silat sakti rajawali siluman). Tampak gerakan Sin
Hwat juga mirip dengan gerakan Sin Tung Lokay. Betapa kagetnya Sin Tung
Lokay melihat kenyataan lawan masih memiliki jurus simpanan yang tak kalah
dasyatnya. Sepuluh jurus sudah berlalu. Dibandingkan dengan jurus-jurus Pat
sin kun ciang, memang jurus yang baru ini daya hawa pukulannya melemah
sehingga tidak terasa sambaran angin keluar dari jurus tersebut, namun jangan dikira daya serangnya melemah, karena jurus-jurus ini mengandung getaran dan sinkang lunak yang langsung menyerang inti kekuatan lawan. Gerakan keduanya
semakin cepat sehingga kelebatan-kelebatan bayangannya cukup membuat
pusing pengemis tingkat dua sekalipun. Gerakan tangan dan kaki keduanya
di kuti dengan gerakan Hang liong tung hoat dengan tangan kiri membuat
pertarungan sudah mencapai tingkat akhir. Dari kepala keduanya muncul uap
putih tanda mereka telah mengerahkan tenaga pada tingkatan tertinggi.
Keringat sebesar biji jagungpun mulai bercucuran keluar dari Sin Tung Lokay.
Keadaan Sin Hwat meskipun terlihat masih lebih bugar, namun bekas goresan-
goresan tapak delapan jurus sakti lawan menimbulkan luka yang mengeluarkan
darah. Tampaknya mereka sudah mulai memasuki tahap akhir, dengan pengerahan
seluruh daya dan kemampuannya, jurus-jurus tingkat tinggi yang digunakan
keduanya mampu membuat semua orang disekeliling mereka terlongong-
longong, sampai ada yang leletkan lidah. Keadaan ini jelas sangat berbahaya, karena bila benturan keras terjadi, dan keduanya dalam keadaan pengerahan
tenaga yang seimbang. Hasilnya bisa dipastikan keduanya bakal terluka berat, dan pasti butuh waktu panjang untuk memulihkannya. Tetapi, bila pengerahan
tenaga tidak seimbang, salah satunya sangat mungkin terluka parah dan bahkan jatuh binasa. Beruntung Sin Hwat mempelajari jurus-jurus yang lebih banyak
kembangannya. Koai Eng Sin kun terdiri dari tiga puluh dua jurus yang kaya
kembangan. Posisi ini jadi lebih menguntungkan Sin Hwat karena ia lebih mudah menyesuaikan diri terhadap jurus lawan. Karena seperti sudah habis upaya yang dilakukan Sin Tung Lokay menjadi nekad, jika dilanjutkanpun akhirnya ia akan kehabisan tenaga, dan kalah juga. Maka begeraklah ia melakukan serangan
terakhir yang sangat dahsat. Tubuhnya melompat tinggi menggunakan jurus
yang bernama burung merak melabrak awan. Tangan kanannya dipentang
kedepan, kakinya berposisi menendang, jurus ini akan di kuti dengan pukulan
tongkat terakhir dari tangan kiri. Sin Hwat tidak mau kepalang, ia juga
memapaki serangan akhir lawan dengan jurus yang tidak kalah berbahayanya,
jurus rajawali siluman mematuk lawan. Tangan kanannya memapaki jurus
tangan, tongkat kirinya juga bersiap menangkis serangan susulan. Pertemuan
dua jurus dan dua tenaga yang sama-sama luar biasa menimbulkan bunyi
ledakan yang luar biasa.
"Blaaarrrr.........!"
Akibatnya sungguh dasyat tubuh keduanya terlontar kebelakang. Posisi Sin Hwat masih lebih beruntung karena ia masih siap dengan jurus tangkisan, sebaliknya Sin Tung Lokay yang nekad sudah tidak memikirkan pertahanan tubuhnya.
Akibatnya dapat diduga ia menderita luka yang jauh lebih dalam. Tubuhnya
roboh terkapar dan terbanting ke tanah, dari mulutnya mengalir darah segar.
Hanya sesaat saja tubuh Sin Tung Lokay menyentuh tanah, sebuah tangan
menyambarnya. Dan langsung balik kanan hendak melarikan diri. Sementara itu
tubuh Sin Hwat seperti ditangkap sebuah tenaga yang lunak sehingga terhindar dari bantingan. Tenaga itu pula yang mengarahkan Sin Hwat untuk ditangkap
oleh Sin ci Lokay. Entah kapan datangnya tiba-tiba di tempat itu sudah muncul kakek pengemis yang bertubuh kurus berambut putih yang dibiarkan terurai.
Kiranya dialah yang membantu Sin Hwat supaya tidak terbanting ke tanah.
"Suhu...! hanya itu yang terucap dari Sin ci Lokay dan sutenya. Waktu yang
sangat singkat itu tidak memungkinkan kakek tua yang bukan lain Pek Mau lokay menanggapi ucapan murid-muridnya.
"Tunggu....! Berhenti !" serunya ketika melihat seseorang telah menyambar
tubuh Sin Tung Lokay. Karena orang yang memanggul tubuh Sin Tung Lokay
tidak mau berhenti. Pak Mau Lokaypun dengan kecepatan tinggi mengejar.
Orang itu yang bukan lain Ciam Lun. Ciam Lun melesat cepat keluar pekarangan.
Karena yang dikejar tak mau berhenti Pek Mau Lokay melancarkan pukulan jarak jauh. Pukulan yang dilancarkan bukan pukulan biasa. Meskipun Ciam Lun
berjarak lebih dari empat tombak, namun jika terkena, pasti ia akan terjatuh.
"Wusss........desss........!"
Sekonyong-konyong muncul bayangan menangkis pukulan ini, bahkan tenaga
tangkisannya sedemikian kuatnya, hingga Pek Mau Lokay terdorong satu tombak
lebih. Sementara lawan yang menangkis pukulan itu menggunakan tenaga
dorongan untuk melompat ke belakang dan hilang di balik gulita malam. Namun
gerakan yang hanya sekejab mata itu, telah mampu menyihir semua yang ada
menjadi terdiam. Karena, sosok yang membantu Ciam Lun berjubah hitam
betudung dan bertopeng tengkorak.
"Tengkorak hitam," desis Pek Mau Lokay dan Sin ci Lokay hampir bersamaan.
Para pengemispun menjadi gempar mendengar nama itu. Chon King Sam Sinkay
ingin memanfaatkan kegaduhan untuk melarikan diri namun terlambat, dengan
gesit Sin ci Lokay dan Pek Tung Lokay, mampu meringkusnya. Mereka
bertigapun ditahan dihukum sesuai peraturan yang berlaku di kaypang. Adapun
para anggota pengemis yang menjadi anak buah mereka semuanya kemudian
berlutut mohon ampun. Namun tetap mereka mendapat hukuman sesuai dengan
tingkat kesalahan. Suasana akhirnya kembali damai.
Pek Mau lokay kemudian membawa Sin Hwat ke salah satu kamar di markas,
dan berusaha mengobatinya di sana. Luka yang dideritanya tidaklah ringan,
namun untuk tidak terkena hawa racun. Ia setidaknya perlu waktu tiga hari
sampai satu minggu untuk memulihkan kondisinya. Setelah Sin Hwat mulai pulih mereka berempat kemudian berunding, membahas peristiwa yang terjadi saat
pertandingan itu.
"Aku tak menyangka tengkorak hitam berada di balik peristiwa ini. Dan aku
makin tak mengerti mengapa mereka juga mencuri kitab enam belas jurus
merak sakti," kata Pek Mau Lokay dengan suara berat, memulai perbincangan.
"Suhu siapakan tengkorak hitam itu, kami hanya pernah dengar nama kelompok
yang bagai legenda itu?" tanya Sin ci Lokay.
Bagi sebagian besar kalangan persilatan, nama tengkorak hitam bagaikan
dongeng, karena mereka hampir tidak pernah berinteraksi dengan partai
persilatan Tionggoan. Sehingga tidaklah aneh, jika Pek Mau Lokay sendiripun
tidak mengenal mereka. Tapi kini mereka terbuka matanya, bahwa memang
tengkorak hitam benar-benar ada, dan menjadi ancaman juga bagi mereka.
Singkat cerita akhirnya Sin Hwat diutus untuk membongkar peristiwa-peristiwa yang terjadi di kaypang. Ia mendapat tiga tugas, membenahi kaypang di Yi
Chang, menyampaikan surat ke Sun Ciak Kun sahabat Pek Mau Lokay, dan
menyampaikan surat ke Siauw Lim Pay.
Bab 15. Kang Lam Siaucay Ouwyang Bun
Kita tinggalkan dulu perjalanan Sin Hwat ke timur. Mari kita kembali ikuti
perjalanan Tiong Gi. Perjalanan Tiong Gi ke Yi Chang dilakukan dengan
perjalanan darat sambil menambah cakrawala pengalaman. Pada suatu siang
tibalah ia di sebuah kota kecil di seberang sungai Yang tse. Karena sudah lapar maka iapun menuju ke rumah makan. Rumah makan itu cukup terkenal rupanya
karena ramai didatangi pengunjung. Tiong Gi memilih duduk di tepi agak dalam, untuk lebih mudah melakukan pengawasan. Ia memang sudah diajari oleh guru
barunya bagaimana cara mencuri dengar pembicaraan orang-orang persilatan.
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benar saja, beberapa saat setelah ia duduk, terlihat empat orang berpakaian
orang persilatan masuk. Usia mereka antara empat puluh sampai lima puluh.
Tubuhnya semuanya tegap dan kekar. Orang tertua, yang menjadi pimpinan
mereka memulai pembicaraan. Awalnya Tiong Gi tidak begitu tertarik karena ia bisa melihat gaya mereka bukan gaya orang berisi, namun isi pembicaraannya
sungguh sangat membuatnya ingin lama-lama mendengar.
"Sialan sungguh sialan, sudah berpuluh hari kita mencari tak juga mampu
mencekik betet tua itu, padahal kalian ingat khan, kita sudah tiga kali hampir menangkap dia!" keluh si pimpinan.
"Dia memang orang lemah, tapi herannya kenapa ia selalu dikelilingi oleh
pendekar-pendekar yang tangguh," kata orang kedua.
"Tapi kali ini dia tidak akan lolos dari terkaman kita, tadi pagi mata-mata kita sudah berhasil mengintainya. Ia ada di kota ini, nanti sore kita cari dan habisi,"
kata pimpinan. "Suheng, kenapa mesti dihabisi" Orang selemah dia sebenarnya apa yang yang
perlu ditakutkan, aku dari dulu tak habis mengerti deh dengan permintaan
suhu," kata orang termuda.
"Sam-te kau memang masih kurang pengalaman, memang Ouwyang Bun tidak
mengenal silat, tapi dia adalah siaucay (sastrawan) paling terkenal di Kang Lam, kalau tidak mana mungkin ia bisa menerjemahkan isi peta suhu," jawab orang
kedua dengan berbisik.
"Dan kudengar banyak para pendekar persilatan juga pernah berguru padanya,"
kata orang ketiga.
Tiong Gi menjadi agak kaget ketika mereka menyebut-nyebut peta, "Peta
apakah itu" Aku harus kuntiti mereka,"pikirnya.
Tiong Gi kemudian menguntit terus kemanapun mereka berempat pergi, dan
benar saja. Pada suatu sore, mereka tampak sedang mengindap di sebuat
taman. Di tengah-tengah taman yang banyak ditumbuhi bunga seruni terdapat
seseorang sedang duduk membelakangi mereka memainkan sebuah yang-kim.
Sungguh indah sekali nada-nada petikannya. Setelah selesai memetik mulailah ia membacakan sebuah puisi yang indah sekali.
Dimana lihat sebaris bebek menyusuri pematang sawah"
Terkadang selulup kepalanya mencocoh cacing
Dimana kau dengar gemersik daun bambu setengah kering di musim panas"
Terkadang gemerisik angin meliukkan batangnya mencumbu air danau
Dimana kau nikmati aroma teh hijau bercampur bunga kui hwa"
Terkadang sedapnya membuat mabok para pecandu
Wahai pelancong dan pencari ketenangan
Datanglah ke wisata alam penuh pesona
Saat panen daun murbei tiba
Di Kang Lam kita berpesta
Entah tidak menyadari kalau sedang di ndap oleh empat orang atau memang
tidak peduli. Orang tua itu tetap bernyanyi meskipun sudah dikepung empat
orang. "Betet tua! Rupanya di sini kau sembunyi, hayo sekarang saatnya kau berdoa
sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu, ha..ha..ha," kata orang tertua. Dan
"si ingg"." Sebilah pedangpun sudah ditangannya. Di taman ini sebenarnya ada beberapa orang yang lalu lalang. Tapi begitu melihat pedang terhunus,
orangpun bergegas meninggalkan taman. Tiong Gi bersiap-siap, sebutir batu
sudah digenggamnya. Betapa herannya dia melihat orang yang dikepung itu
tampak tenang-tenang saja.
"Kau berkata kepada siapakah tuan" Apakah kepadaku" Ha..ha"ha kau
mengatakan sesuatu yang tak satupun mahkluk mengetahui rahasianya," jawab
orang tua yang dipanggil burung betet itu. Kemudian iapun kembali berpuisi
"Kematian"..
adakah sesuatu lebih dekat darimu
selaksa kura-kura dipelihara
kau datang tak kenal tempat tak tahu waktu
seribu bentengpun tak kuasa membendungmu
Pimpinan empat orang yang berpakaian ringkas itu sudah kehilangan kesabaran.
Namun belum sampai Tiong Gi turun tangan tiba-tiba muncul seorang gadis
mungil yang masih remaja, usianya dia taksir masih lebih muda setahun dua
tahun darinya. Wajah gadis itu dari kejauhan terlihat sangat manis, pakaiannya merah menyala cocok dengan kulitnya yang putih halus. Ingin rasanya Tiong Gi mendekati dan membantunya. Tapi perbuatannya dicoba untuk ditahan.
Gadis itu kemudian menghadapi keempat orang bertampang garang. Terlibatlah
mereka dalam suatu perselisihan dan pertempuran. Pertarungan itu berlangsung cukup seru namun keempat orang ini tampaknya bukan lawan si nona berbaju
merah itu, karena setelah belasan jurus satu per satu kemudian terdengar suara mengaduh. Keempatnya telah terkapar mendapat tendangan atau pukulan.
Yang membuat Tiong Gi tidak habis pikir adalah karena orang tua yang ditolong itu, malah kemudian ngeloyor saja sambil mengomel, "Ah orang-orang persilatan selalu saja mengandalkan ketajaman pedangnya!"
Iseng-iseng Tiong Gi mendekati orang tua yang berpakaian sastrawan namun
sudah kumal untuk menegurnya, "Pak tua, kalau ada orang-orang yang
mengandalkan senjata untuk menindas yang lemah memang hal yang patut
dicela, tapi jika itu untuk melawan keangkara murkaan bukankah sudah pada
tempatnya" Dan kenapa engkau tidak mengucapkan terima kasih pada
penolongmu?"
"Ha..ha...ha, penindasan dan perlawanan, bukankah batasnya tipis sekali, anak muda" Lagipula, apakah kalau menolong selalu ingin mendapat imbalan terima
kasih?" katanya tanpa memalingkan wajah. Tangan kanannya memegang
tongkat yang digerakkan ke kanan dan ke kiri di depan kakinya. "Ooo...rupanya pak tua ini buta" pikir Tiong Gi baru menyadari.
Akhirnya Tiong Gi mengikuti orang itu, tepatnya memandunya, sementara dari
lirikan mata ia masih melihat si nona berurusan dengan empat orang lawannya.
Yang lebih mengherankan lagi, si nona setelah meng-KO keempat orang
berwajah garang itu bukannya mengusir, tapi seperti menginterograsi mereka.
"Hmmm...nona itu, kau benar pak tua, nona itu tak membutuhkan terima
kasihmu!" Siapakah orang tua itu" Orang Kang Lam pasti mengenalnya, karena ia bergelar Kang Lam Siaucay Ouwyang Bun. Seperti yang pernah disinggung gurunya, ada
orang-orang dari selatan lebih tergiur berebut warisan Lau Cin Shan yang
mendatangi Kang Lam, untuk suatu keperluan. Keperluan menemui sastrawan
tua inilah yang menjadi penyebabnya. Ouwyang Bun tidaklah dikenal luas jika
tidak punya banyak keahlian. sebagai orang sekolahan ia juga belajar ilmu
matematika, ilmu sejarah bahkan sedikit bisa ilmu pengobatan hasil belajar dari si guci obat. dan yang membuat ia dikejar-kejar oleh orang persilatan adalah kemampuannya membaca tulisan mulai jaman dinasti Cin sampai Tang, catatan
yang ditulis lebih dari dua ratus tahun berselang. Tidak sembarang sastrawan bisa melakukannya dalam jumlah sebanyak yang diketahui Ouwyang Bun.
Karena keahliannya inilah ia lulus ujian jian-shi yang mendapat jabatan penting di kota Hang Chou. Sayang saat menjabat ia bersikap buruk, korup, pelit,
menindas, dan senang memperkaya diri. Karenanya banyak yang tidak
menyukainya. Akibatnya dia mudah sekali digeser oleh lawan-lawannya. Setelah turun sebagai pejabat mulailah dia menyesali perbuatannya, dan secara ekstrem kemudian membagi-bagikan hampir seluruh hartanya kepada kaum papa. Ia
sendiri kemudian bersumpah untuk hidup menggelandang selama sembilan
tahunan, waktu yang sama ketika ia menjadi pejabat. Orang-orang awam
kemudian sulit sekali menentukan sikap melihat keadaan Ouwyang Bun yang
sekarang, apakah merasa kasihan atau bersukur. Tapi bagai kaum pesilat,
keahlian Ouwyang Bun baik dalam sastra maupun ilmu yang lain, sangat
diharapkan, terlebih bagi pelahap tulisan kuno.
"Kenalkan nama cayhe Tiong Gi, bolehkan aku mengenal namamu, lopeh?"
"Aku dikenal orang dengan Kang Lam Siaucay, sebuah gelar kosong, kau boleh
panggil aku Ouwyang Bun."
"Benarkah?"
Guru Sun pernah menceritakan tentang sastrawan Kang Lam yang bertabiat
aneh. Dulu pernah jadi pejabat yang kaya raya, namun kemudian meninggalkan
semua itu, dan lebih memilih hidup menggelandang. Sudah lebih dari sembilan
tahun ia meninggalkan semuanya.
"Kenapa mereka mengejarmu, losiaucay?"
"Kenapa" Haiyaa....mereka memang rakus, aku sudah bantu mereka
menterjemahkan suatu puisi kuno, kenapa mereka masih mengejar-kejar aku,
huh orang persilatan memang selalu mengandalkan pedang!"
Tiong Gi sudah tidak banyak tanya lagi, meskipun ia ingin banyak mengungkap
hal yan terjadi, karena tiba-tiba di depannya sudah berdiri lima orang. Lima orang ini berbeda dengan orang yang sebelumnya. Bentuk tubuh mereka ada
yang kurus ada yang gemuk, wajahnya juga tidak semua garang. Namun
semuanya memakai gaya pakaian yang sama, gaya pendeta To. Dan jika dilihat
dari tanda di dadanya, tampaknya mereka orang-orang Kong Thong Pay. Orang
yang pertama yang menjadi juru bicara berusia sekitar empat puluh lima tahun.
Tiong Gi teringat, mereka pernah memperebutkan lukisan yang kemudian tak
sengaja terlempar ke arahnya. Mereka kemudian terlibat perselisihan dengan
Tiong Gi karena mengincar sastrawan she Ouwyang.
"Anak muda, siapapun adanya dirimu, hayo serahkan sastrawan itu pada kami,
kami hanya butuh keterangannya sebentar saja!"
"Ngo-wi totiang, aku tidak kenal siapa kalian tapi dari gerak-gerik kalian saja, aku tahu sedang berhadapan dengan gerombolan macam apa?"
"Kurang ajar, bocah kemaren sore berani banyak mulut pada kami, tosu-tosu
kenamaan dari Kong Thong Pay. Go-te hadapi dia!"
Kiranya memang banyak pihak-pihak yang mengejar sastrawan tua itu. Karena
perang mulut tidak dapat diselesaikan, maka kemudian terjadi pertarungan otot kedua belah pihak. Tapi lawan yang dihadapi orang kelima yang berbadan
gemuk itu adalah Tiong Gi, pendekar muda didikan tokoh-tokoh ternama yang
namanya bahkan bagaikan legenda. Hanya dalam dalam 5 jurus saja ia sudah
rubuh. Pimpinannya sampai terbelalak tak menyangka anak buahnya akan dapat
dipukul roboh dengan sedemikian mudahnya. Maka dengan memberi aba-aba ia
memerintahkan sute-sutenya untuk mengeroyok pemuda itu. Sungguh
pemandangan yang memalukan, tosu-tosu tingkat dua dari Kong Thong Pay
harus menghadapi seorang bocah yang baru berumur belasan tahun. Tiong Gi
menghadapi mereka dengan tenang. Gerakan-gerakannya dilakukan dengan
teratur sehingga gelombang serangan lawan semua bisa dipatahkan. Bahkan
kalau dia mau dalam sepuluh jurus saja, ia sebenarnya bisa merobohkan mereka semuanya, tapi karena ia ingin menambah pengalaman bertanding, ia melayani
mereka hingga lebih dari tiga puluh jurus. Selain itu juga ia ingin mempraktikkan ilmu yang baru saja dipelajarinya dari si guci obat Ciak Kun. Dengan tenaga
yang sudah bisa dikuasai dengan terukur ia mencoba melakukan serangan-
serangan. Akibatnya sungguh dasyat, barisan yang teratur menjadi kocar-kacir karena serangan-serangan dengan pukulan Kui Yang Sin Ciang bisa menyerang
siapa saja, bahkan orang yang sudah berlindung di belakang kawannya juga bisa terkena getaran yang berisi kekuatan yang mampu merobohkan. Tiong merasa
sangat gembira sekali melihat hasil pukulannya. Tanpa ia sadari matanya
menjadi berkilat-kilat. Orang yang melihat sorot mata seperti itu tentu akan menciut hatinya. Perlahan-lahan ditambahnya tenaga serangannya. Akibatnya
dua tosu terjerembab karena kakinya patah-patah. Hampir saja dua tosu sisanya terkena sambaran pukulan yang lebih berat, kalau saja Tiong Gi tidak
mendengar petikan yangkim Ouwyang Bun. Hebat sekali pengaruh dari petikan
ini. Meskipun pemetiknya bukannya orang persilatan yang memiliki tenaga
khikang, tapi di tangan sastrawan macam Ouwyang Bun, petikan tangannya
mampu menggetarkan dawai-dawai yangkim jauh lebih nyaring dan menyentuh
hati. Pikirannya tersentak mendengar bunyi nada-nada yang menyejukkan hati
itu. Tiong Gi akhirnya sengaja memelencengkan pukulannya. Namun begitupun
pundak kedua tosu itu menjadi retak. Setelah melihat keempatnya terkapar
Tiong Gi merasa menyesal melihat hasil perbuatannya. Mukanya kemudian
mengeras, dengan nada dingin ia kemudian berujar:
"Nah totiang, sekarang apakah masih ada yang ingin totiang sampaikan?"
"Ilmu apa itu tadi, yang kau pakai?" kata salah seorang yang masih jatuh
terduduk, sambil bersila.
"Ketuilah aku baru saja menggunakan Kui Yang Sin Ciang! Maaf totiang
sebenarnya tidak ada permusuhan pribadi antara aku dan Kong Thong Pay, jadi
selamat tinggal!"
Kelima tosu itu melihat kelebatan Tiong Gi membopong Ouwyang Bun dengan
cepat, dalam hati mereka menjadi kagum sekali. Dan sejak saat itu didunia
persilatan orang ramai membicarakan munculnya seorang pendekar muda yang
memiliki ilmu pukulan Kui Yang Sin Ciang, ilmu langka yang jarang sekali muncul di dunia persilatan.
Berbeda dengan penampilannya yang terlihat kumal, Ouwyang Bun ternyata
tinggal di penginapan yang sangat bagus di kota itu. Tiong Gi juga akhirnya
memutuskan untuk tinggal di situ. Anehnya sastrawan itu malah menawari Tiong Gi.
"Anak muda kalau kau tidak keberatan, tinggal ah sekamar denganku!"
Tiong Gi memandang heran, "Hei...bukankah kau membutuhkannya" Jangan
salah sangka aku laki-laki normal!"
Tiong Gi sebenarnya masih tidak paham maksud kata-kata terakhir dari
sastrawan itu, namun dengan tersenyum ia membalas, "Terima kasih banyak
atas tawaran, lo-siaucay. Tapi apakah aku tidak mengganggumu?"
"Ha..ha..ha, kamu memang anak terpelajar, siapakah gurumu, anak muda?"
"Aku pernah belajar pada Yung Ci Tianglo!"
"Benarkah" Haiya..jangan katakan padaku engkau pernah ke gunung salju
besar!" "Memang belum, karena guru mengajakku ke Gongga san."
"Haiyaa...sungguh sulit dipercaya, aku sudah lama tak pernah jumpa Yung Ci di dunia persilatan, apa saja yang kau pelajari dari gurumu?"
Mereka kemudian memasuki kamar. Ouwyang Bun lantas meramu teh, dan
menghidangkan untuk mereka berdua.
"Maaf aku orang tua tidak suka minum arak, jadi hanya ini yang bisa
kuhidangkan, silahkan dicicipi teh hijau campur bunga kui hwa, yang sangat
terkenal di di tempat tinggalku di Kang Lam.
Tiong Gi lantas menceritakan sedikit pengalamannya.
"Pelajaran yang tak sempurna, aku sudah berkali-kali katakan ke Yung Ci,
pelajaran ilmu silat yang dipelajari masih belum lengkap. Tapi dia selalu ketawa saja, dikiranya kalau seorang sastrawan tidak tahu ilmu silat. Eh tahukah kamu, apakah warisan Lau Cin Shan yang disampaikan dengan lengkap?"
" Setahu cayhe ilmu melukis dan membuat keramik, benarkah?"
"Ha..ha..ha..., dasar Ciak Kun cianpwe tak pernah mau kalau sama suhuku,
hanya dia yang mengira mendapatkan ilmu yang lengkap, padahal aku juga
mendapatkan ilmu sejarah yang luar biasa lengkapnya. Justru karena itu aku
tahu ilmu silat yang diwariskan ke keturunannya tidak lengkap."
"Kalau begitu, apakah ada catatan lengkapnya dan dimana?"
"Di simpan di suatu tempat!"
"Siapa yang tahu tempat penyimpanannya itu?"
"Yang tahu yang punya petanya, dan bisa membaca isinya.Tapi mereka adalah
orang-orang jahat, kau harus berhati-hati menghadapinya. Aku sudah berbaik
hati menterjemahkan sebuah puisi dengan bayaran yang belum tunai. Tapi gara-
gara aku bocorkan informasi itu, mereka membutakan mataku."
"Jadi lo-siaucay bisa membaca isi peta" Dan gara-gara itu lo-siaucay dikejarkejar oleh mereka?"
"Ya, benar memang begitu. Gara-gara aku sebarkan bahwa Boan ciangkum
dapat peta, mereka mengejar-ngejar aku. Dan mereka tidak puas mengambil
mataku kini mereka mengincar nyawaku."
"Ahhh sungguh keterlaluan. Tapi kelihatannya lo-siaucay tidak takut ke mereka."
"Hidup mati bukan di tangan mereka, kenapa mesti takut?"
"Lo-siaucay, ada satu pertanyaan, kenalkan siaucay pada orang-orang yang
bertopeng tengkorak, kenapa mereka memusuhi suhu?"
"Dua ratus tahun yang silam, tepatnya tahun 795, terjadi pertarungan hidup
mati antara Lau Cin Shan dan iblis api. Pertarungan dua kubu ini kemudian
berulang 100 tahun berikutnya, mulai dari tahun 885 dan baru berakhir tahun
895 antara cucu iblis api yang bergelar iblis tengkorak emas melawan ksatria salju. Tahun 895 adalah pertarungan terakhir mereka, pada saat itu pimpinan
ksatria salju yaitu ksatria she Toan, meninggal. Menurut kepercayaan mereka
dendam ini baru akan berakhir pada keturunan ke tujuh dari kedua belah pihak.
Dan mereka akan bertemu kembali tahun 995."
"Hah...dua tahun lagi!"
"Benar! Dan itu akan menjadi pertemuan penentuan kubu siapa yang akan
menang siapa yang akan hancur. Haiyaa.... orang persilatan memang selalu
hidup dalam kekerasan mengandalkan pedang."
"Tapi tidak semua bersikap seperti itu, lo-siaucay, benar khan?"
"Iya, kecuali sedikit saja, seperti Lau Cin Shan."
"Eh, Tiong Gi, sebagai murid Yung Ci, kau harus berhati-hati, aku punya rahasia yang tak pernah kusampaikan kepada orang lain. Selama mengembara aku
pernah disekap di perkampungan orang-orang tengkorak hitam. Konon guru
besar mereka, putra si iblis tengkorak emas, yang berpuluh tahun
menyembunyikan diri, memang sengaja memperdalam kepandaiannya. Dulu ia
pernah dikalahkan oleh keturunan ksatria salju She Kim. Karena itu ia
bersumpah untuk tidak akan muncul lagi sampai pertemuan yang terakhir dua
tahun lagi. Dan kini ia sedang memperdalam penguasaan ilmu-ilmu si iblis
tengkorak emas, melalui catatan yang ditinggalkan di tengkorak emas. Mereka
memaksaku menterjemahkannya. Aku baru tahu kalau yang kuterjemahkan
adalah ilmu silat setelah aku bertemu berdiskusi dengan Sun Ciak Kun, sayang aku sudah tidak ingat lagi isinya, tetapi ilmu itu tentang penguasaan tenaga inti api dan tenaga inti tanah. Jika dua ilmu tingkat atas itu bisa mereka kuasai dan digabungkan, kiamatlah dunia persilatan jika inkarnasi Lau Cin Shan tidak
muncul." Tiong Gi merasa tercekat mendengar cerita itu. Hampir-hampir saja ia tidak
percaya. Ia merasa sulit membayangkan kesaktian iblis itu, sedangkan
menghadapi anak buahnya yang tidak bertopeng ia merasa kerepotan.
"Ahh kasihan suhu, aku harus bantu....aku harus bantu....meskipun nyawa
taruhannya....!" bisik Tiong Gi dengan penuh penghayatan. Tangannya
mengepal. Ouwyang Bun kemudian memegang lengan itu.
"Tiong Gi, andaipun kau bukan keluarga mereka, semangatmu tak kalah dari
mereka, mereka harus bangga memiliki murid sepertimu. Entah berasal dari
mana, tetapi aku seperti punya keyakinan kaulah pewaris ilmu-ilmu Lau Cin
Shan, yang selengkapnya."
Belum selesai mereka berbicara, tiba-tiba terdengar suara desingan, dan sebuah anak panah menancap di tiang. anak panah tersebut ternyata membawa
selembar kertas bertuliskan:
Kalau ingin si baju merah selamat! Serahkan sastrawan betet tua she Ouwyang
pada kami di taman bunga seruni, malam ini juga!, atau nona kecilmu hanya
akan tinggal nama.
Tiong Gi menjadi bingung menentukan sikap. Ketika ditanya oleh sastrawan tua, ia coba berbohong bahwa yang berdesing bukan panah melainkan ada ranting
dibawa angin. Tapi mana si sastrawan tua itu bisa dibohongi, kemampuan
pendengarannya sudah sedemikian terlatih, sehingga bisa menggantikan indera
penglihatannya.
"Haiyaa...katakan saja terus terang anak muda, benda apa itu yang berdesing?"
"Ah lo-siaucay, keadaan sekarang agak genting, gerombolan orang-orang garang itu menangkap nono baju merah, dan mereka meminta agar lo-siaucay
menyerah!"
"Haiyaa....kalau begitu cepat kau selamatkan nono itu, jangan kau pikirkan aku anak muda!"
"Aku memikirkan keselamatanmu lopeh, hmm..gimana baiknya yaa," gumam
Tiong Gi sambil garuk-garuk kepala.
"Aku boleh kau tinggal di sini atau kau titipkan ke kenalanku, Ban kauwsu (guru silat she Ban)!"
"Haiyaa.. kenapa aku tidak kepikiran menitipkan paman ke tempat lain, baik
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin sebaiknya kita kesana," kata Tiong Gi.
"Atau kalau perlu sekalian saja kita ke Hui Liong Piauwkiok (perusahaan
pengantaran barang naga terbang). Aku sebenarnya memesan mereka untuk
besok pagi," potong Ouwyang Bun.
"Keduanya perlu kita hubungi, mari kita segera bergerak!"
Maka malam itu juga, dengan bergegas mereka menuju ke Hui Liong Piauwkiok
(perusahaan pengantaran barang naga terbang). sengaja Tiong Gi memakai
penutup kepala, untuk membantu penyamaran. Setelah menjempuk Ban kauwsu
mereka langsung menuju ke Hui Liong Piauwkiok, dan diterima dengan baik.
Tiong Gi bahkan menunjukkan tanda guci kemala pemberian gurunya.
"Paman, tolong jaga baik-baik lo-siaucay ini, jika biayanya masih kurang, tolong kalian minta saja ke guruku, si guci obat, Sun Ciak Kun!" kata Tiong Gi.
"Ah Sun locianpwe"Tidak perlu..tidak perlu, biaya yang sudah kami sepakati
dengan siaucay sudah cukup, bahkan aku sendiri yang besok pagi-pagi akan
mengantarkannya, biarlah malam ini dia tinggal bersama kami, tidak baik
berangkat malam-malam," kata pimpinan piauwkiok yang berjuluk Hui Liong
Piauwsu. Tenang rasanya Tiong Gi meninggalkan sastrawan tua itu, setelah kepastian ia menitipkannya ke tempat yang cukup aman. Iapun berpamitan. Ouwyang Bun
mengantarkannya sampai ke halaman depan, bahkan kemudian ia merogoh
kantung baju dan mengeluarkan dua benda, yang bertama sebuah buku kecil,
yang kedua selembar kertas agak kumal.
"Tiong Gi, salah satu benda inilah yang banyak menjadi incaran kaum persilatan, selain rahasia tentang puisi pada lukisan yang ditemukan perwira she Boan. Ini adalah buku kamus bahasa Tiongkok kuno, dan selembar kertas ini berisi ujar-ujar bagi orang buta. Semuanya kuberikan padamu, tolong jaga baik-baik
semoga bisa memberi manfaat buat kamu dan buat orang banyak, ingatlah
pesanku Tiong Gi, jadilah orang yang lebih sabar. Meskipun aku tidak bisa
melihat tapi aku bisa merasakan ada segumpal awan hitam, sebentuk watak
yang aneh, yang ada dihatimu, hanya dirimu yang tahu. Selamat jalan sahabat
mudaku, selamat berjumpa lagi ksatria!"
Tiong Gi memasukkan dua catatan penting itu, dalam sakunya, dan lantas
meninggalkan gedung Piauwkiok menuju ke taman yang dijanjikan.
Di bawah temeraman cahaya sepotong rembulan, di taman yang lumayan
lapang di pinggiran kota, Tiong Gi telah behadap-hadapan dengan tiga orang
yang mengurung nya. Ketiganya berumuran empatpuluhan berpakaian ala
nelayan. "Mana nona itu," ! kata Tiong Gi memulai pembicaraan.
"Mana si betet tua?" balas pimpinan mereka bertiga.
Mereka kemudian terlibat perselisihan dengan Tiong Gi dan kemudian terjadi
pertarungan. Keduanya merasa kecewa tidak melihat sandera masing-masing.
Pertarungan tidak terjadi lama, karena ketiganya masih tingkat rendahan.
Ketiganya tak menyangka sama sekali anak muda yang dihadapi sehebat
itu.Tiong Gi kemudian memaksa mereka menunjukkan tempat penyekapan si
nona. Setelah Tiong Gi memaksa mereka dengan totokan-totokan yang
mengarah pada saraf rasa sakit, barulah mereka mengaku. Si nona ternyata
disekap di gedung Kam tihu. Tiong Gi merasa heran, kenama gedung kantor
kabupaten (tikoan) bisa dijadikan tempat persembunyaian penjahat-penjahat
seperti itu. Malam hari di musim semi masih cukup dingin bagi orang awam. Di kedaipun
pintu-pintu dan jendela sudah ditutup rapat. Namun sesosok bayangan tampak
berkelabat cepat menuju ke gedung tikoan. Setelah beridap-indap disekitar
wuwungan bayangan itu kemudian menyelidiki keadaan gedung. Sejenak ia
terlihat mengawasi gedung itu, kemudian ketika ia melihat ada dua prajurit jaga melintas. Secepat kilat bayangan itu menyambar dan mengirimkan beberapa
totokan. Dua prajurit itupun menjadi kaku. Dibawah ancaman Tiong Gi,
merekapun bernyanyi.
Tiong Gi kemudian mengikuti petunjuk yang diberikan prajurit itu, namun ia
keliru menyangka mereka tidak mempersiapkan hal-hal seperti ini. karena
ternyata petunjuk yang diberikan justru mengarah ke sebuah ruangan yang
cukup besar, yang biasanya dipakai sebagai ruang latihan. "Celaka mereka
menipuku!" pikir Tiong Gi, namun sayang belum sempat ia beranjak, tiba-tiba
disekelilingnya sudah ada lebih dari 25 orang mengepung ruangan tersebut,
semua dalam posisi siaga. Tak lama kemudian muncul ah tiga orang dan
langsung memasuki ruangan, salah seorang diantaranya langsung ketawa.
Orang yang pertama, bertubuh tinggi besar berkulit gelap.
"Ha..ha....ha..., yang satunya kucing muda yang binal, satunya lagi anjing jantan yang bego, sungguh pemberani hua ha ha..." oceh orang yang bertubuh tinggi
itu. "Lopeh, maafkan kelncanganku, tetapi kedatanganku adalah untuk
membebaskan nona baju merah itu, kalau kau mau membebaskannya, tentu aku
akan sangat berterima kasih!" kata Tiong Gi tenang. Orang bertubuh tinggi
hitam yang bernama Can Seng itupun dibuat kagum atas ketabuahan anak
muda ini. "Ooo...itu rupanya yang kau kehendaki anak muda, minta pembebasana sandera
tanpa tebusan, sungguh bagus sekali perbuatanmu, ha..ha..ha....pasukan
pertama maju, habisi pemuda itu hidup atau mati!"
Kelompok yang disebut pasukan pertama berjumlah sepuluh orang, semua
bersenjata dengan jenis senjata yang berbeda-beda. Mereka adalah murid-murid binaan Can Seng. Berbeda dengan rombongan yang mendatangi Ouwyang Bun
pada sore, yang bertampang prajurit, rombongan ini adalah anggota Tok Nan-
hai Pang. Serangan kesepuluh orang ini tidak boleh dianggap remeh. Sebagai
murid Can Seng mereka terlatih untuk melakukan pengeroyokan. Namun yang
dihadapi adalah remaja gagah murid locianpwe kenamaan. Sehingga sudah
sepuluh jurus berlalu, tak satupun senjata mampu menyentuhnya. Bahkan
perlahan tapi pasti pukulan demi pukulan yang dilancarkan Tiong Gi mampu
membuat barisan menjadi kocar-kacir, dalam dua kali serangan balik sudah dua orang rebah dengan tulang retak. Melihat gelagat yang merugikan, Can Seng
langsung membentak anak buahnya untuk mundur dan digantikan dengan
barisan kedua. Barisan kedua berisi tiga orang yang terdiri dari sute Can Seng sendiri. Usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Wajahnya garang, namun
penampilannya lebih tenang dari barisan pertama. Barisan ini tidak boleh
diremehkan karena bahkan Can Seng sendiri kalah oleh barisan ini. Berbeda
dengan barisan pertama barisan kedua ini tidak bersenjata. Namun jangan dikira mereka tidak berbahaya, bahkan pukulan tangan mereka jauh lebih berbahaya
dibandingkan pedang. Tiong Gi berhati-hati sekali menghadapi ketiga lawannya yang cukup berat ini. Menghadpi tekanan yang bertubi-tubi dari lawan ia
memapaki dengan jurus-jurus dari pukulan badai angin salju, tangannya
berkelabat cepat ke arah lawan-lawannya, membawa hawa yang dingin luar
biasa. Sungguh seru sekali pertandingan kedua ini. Tiong Gi berkelebat-kelebat di antara kepungan tiga lawan yang melancarkan pukulan-pukulan beracun,
bagai gelombang samudera menghantam pantai. Beberapa jurus berlalu namun
posisi seakan tidak berubah. Tiba-tiba lawannya mengubah cara bersilat.
Kepungannya merenggang, gerakan bersilatnya lebih lambat namun tangan
mereka semuanya berubah keputihan penuh dengan hawa racun. Tiong Gi
merasakan sambaran-sambaran hawa berbau amis, menandakan jenis pukulan
yang sangat berbahaya. Merasakan tekanan dari pihak musuh Tiong Gi ikut
mengubah cara bersilat. Mulailah ia menggunakan jurus-jurus Kiu Yang Sin
Ciang. Gerakan tangannya juga lebih lambat, bahkan tidak mengeluarkan angin
sambaran. Tapi jangan dikira jurus ini tidak berbahaya. Pukulan-pukulan yang tak terasa sambarannya mulai dirasakan pihak pengepung. Pukulan yang
mengandung getaran yang sangat hebat. Tiong Gi mengerahkan lebih dari tiga
perempat tenaganya. Dua dari tiga lawannya oleng, namun dilain pihak Tiong Gi juga dua kali terserempet pukulan lawan. Pundaknya terasa perih dan gatal.
"Celaka, kalau begini terus aku bisa keracunan!" pikir Tiong Gi. Sekonyong-
konyong mata Tiong Gi mengeluarkan cahaya berkilat yang aneh. Gerakannya
menjadi lebih menggiriskan. Pada satu kesempatan ia nekad melontarkan
subuah pukulan ke arah lawan dengan kekuatan penuh. Ia mengabaikan
pertahanan. "Hiaatttt.......bluarrr.....dessss..........!
Pukulan Tiong Gi yang ditujukan pada salah satu lawannya, dihadang lawan
yang lain. Tapi mereka tidak tahu kehebatan Kiu Yang Sin Ciang ini yang bisa menembus hadangan lawan, sedangkan perisai besipun mampu ditembusnya.
Akibatnya seorang pengeroyoknya terlontar ke belakang menghantam salah satu
anggota Tok Nan-hai Pang, yang ikut roboh, dan memuntahkan darah segar.
Namun dilain pihak pukulan penghadang ke arah dada Tiong Gipun tak sanggup
ditangkisnya, meskipun ia masih sempat mengegos ke samping sehingga yang
terkena pukulan adalah dada bagian tepi. Untungnya Tiong Gi menggunakan
pukulan Kiu Yang Sin Ciang, yang bersifat "Yang" sehingga mampu
membendung serangan pukulan lawan yang bersifat "im". Oleh karenanya Tiong
Gi tidak roboh oleh pukulan lawan, meskipun ia merasa keracunan. Tubuhnya
serasa gatal. "Posisi jaring!" tiba-tiba Can Seng memberi komando ke anak buahnya. Tiong Gi biarpun lihai, namun kurang pengalaman. Pemuda ini terpengaruh oleh nafsu
marah dan terus mengamuk seperti harimau terluka. Kepungan lawan berubah,
mereka seperti gerakan prajurit saja berpindah mengelompok dalam satu sisi.
Dari kumpulan ini maju lima orang yang bersama-sama dan dua orang lawan
Tiong Gi yang masih tersisa pelan-pelan mendesak Tiong Gi ke arah suatu sudut.
Tiong Gi tidak tahu maksudnya, tetapi karena keadaannya sudah cukup payah ia tidak bisa banyak berkutik. Gerakan silatnya menjadi tidak teratur, ia lebih banyak mundur untuk mencari saat yang tepat guna melancarkan kembali
pukulan Kiu Yang Sin Ciang. Posisi itu baru diperoleh saat Tiong Gi sudah makin terdesak ke sudut ruangan. Dengan gerakan kilat dilancarkanlah pukulan ke
salah satu lawan. Namun kali ini Can Seng seperti sudah tahu maksud Tiong Gi sehingga buru-buru ia mendorong kawannya ke samping. Lawan yang
menghadang Tiong Gi juga ikut membendung serangannya. Akibatnya pukulan
lawan mengenai tubuh Tiong Gi dan tiba-tiba ia merasa kakinya tidak mendapat pijakan, dan tubuhnya meluncur ka bawah. Kiranya ia masuk ke dalam sebuah
jebakan. Menyadari dirinya jatuh Tiong Gi mengerahkan ginkangnya. Untunglah
dasar jebakan itu terisi jerami yang tidak keras. Begitu Tiong Gi masuk, maka tutup luarpun tertutup kembali.
Kamar tahanan itu ukurannya hanya dua kali tiga meter. Ia kemudian teringat
peristiwa di kuil ketika ia tertawan oleh kelompok Tiat-sim heng-kang. Namun kali ini sekujur tubuhnya terasa nyeri dan gatal. Untunglah ia membawa guci
kemala pemberian gurunya. Dari guci ini ia kemudian meminum air yang
berkhasiat menawarkan segala macam racun. Sungguh guci yang luar biasa, dan
memang guci ini memiliki riwayat yang sangat menarik. Guci ini dulu pernah
menjadi rebutan kalangan persilatan karena adanya isu yang menyebutkan ada
rahasia tertentu dalam guci. Mereka yang berebut termasuk iblis tengkorak
emas, Goan Kin Taisu, Kim Bu Shin dan kemudian didapatkan oleh Ciu Sian Koai Lojin (Orang tua aneh dewa arak). Belakangan Ciu Sian Koai Lojin mengambil
dua murid yaitu Pek Mau Lokay dan pendekar bukit merak. Menjelang wafat ia
kemudian mewariskan guci itu ke pendekar bukit merak. Dengan alasan yang
panjang lebar yang tidak dijelaskan dalam cerita ini, suatu ketika pendekar bukit merak menyerahkan guci itu ke sahabatnya yaitu pendekar Siauw Lim, dan oleh
pendekar Siauw Lim guci itu diberikan ke si guci obat. Semua pemegang guci itu dengan sangat sabar meneliti gerangan apakah rahasia yang terdapat pada guci kemala itu" Dan selama lebih dari seratus tahun hanya rahasia kemampuan
pengobatannya saja yang terbongkar, rahasia yang lainnya masih gelap.
Setelah meminum air dari guci itu tubuh Tiong Gi rasanya lebih nyaman. Ia
kemudian bersamadi memulihkan kesehatannya. Ia punya keyakinan jika pihak
lawan tidak membunuhnya, berarti nyawanya masih dibutuhkan.
Benar saja, pagi harinya pihak musuh mendatangi kamar tahanan Tiong Gi. Ada
tiga orang yang mengunjungi kamar tahanan itu dan Can Seng sendiri yang
memimpin. "Anak muda, kelihaianmu sungguh mengagumkan aku, entah siapa dirimu dan
dari kalangan mana, aku tidak peduli, tapi mumpung kamu masih muda,
pertimbangkan tawaran kami, bergabunglah dengan kami, kelak kalau
perjuangan kita berhasil kaupun pasti akan menjadi kongcu yang dihormati,
memiliki banyak kekasih, hidup bergelimang kesenangan?""
Tiong Gi yang sebenarnya cukup cerdas, berusaha untuk mengulur waktu
dengan bertanya, "Apa yang harus kulakukan kalau aku bergabung?"
"Tentu saja kau harus ikuti semua perintah kami, sampai perjuangan kita
berhasil!"
"Termasuk perintah untuk memusuhi Ouwyang siaucay?"
"Semua perjuangan membutuhkan pengorbanan anak muda!"
"Lopeh, aku masih kesakitan, aku belum bisa berpikir jernih, tentu saja kau tidak ingin mendapatkan jawaban yang tergesa-gesa dariku bukan", berilah aku
tangguh dua atau tiga hari."
Dua orang disamping Can Seng sebenarnya mengomel panjang pendek, tapi Can
Seng tidak gubris, dan di yakan saja olehnya.
"Baiklah anak muda, ingat aku hanya beri waktu kamu dua hari, dan pada hari
ketiga aku akan datang lagi menagih janjimu!"
Bukan satu dua kali Can Seng mampu merekrut tenaga-tenaga bantuan untuk
keperluan sesuatu yang disebut perjuangan oleh mereka. Hingga saat ini, ia
sudah berhasil menarik lima tenaga pendukung untuk bergabung dengan
mereka, termasuk Kam tihu. Kam tihu sebenarnya adalah bekas sahabat Boan
ciangkum, namun berbeda nasibnya dari Boan ciangkum, ia menjadi kepala
daerah setingkat kabupaten. Sebenarnya jabatan kepala daerah meskipun hanya
tingkat kabupaten adalah jabatan yang cukup basah, namun kalau nafsu sudah
memenuhi isi kepala, mana ada puasnya untuk mereguk kesenangan dunia,
dengan iming-iming perjuangan yang bisa mengantarkan mereka menjadi orang-
orang penting, Kam tihupun tertarik. Boan ciangkum sendiri adalah suheng luar dari Can Seng, ia adalah murid dari mendiang supeknya. Karena itulah ia yakin pemuda itupun akan mau bekerja sama. Hal yang sama ia lakukan juga
terhadap nona baju merah. Namun dasar pertimbangannya agak berbeda,
begitu ia melihat nona itu yang ditangkap oleh tiga orang yang mengeroyok
Tiong Gi, timbul perasaan tertentu dihatinya. Sebenarnya usia Can Seng saat ini sudah lebih dari lima puluh tahun, namun begitu bertemu dengan nona baju
merah itu, tiba-tiba ia merasa seperti anak muda lagi.
Tiong Gi berusaha mengumpulkan kembali tenaganya, setelah setengah hari ini
bersiulian ia merasa lebih bugar, namun ada rasa aneh di tubuhnya karena ia
merasa ada hawa liar yang bergerak-gerak diluar kendalinya, hawa yang ia
yakini bersifat "im". Ia awalnya menduga ini berasal dari racun. Oleh karenanya ia kemudian kembali memusatkan pikirannya untuk mencoba mengendalikan
hawa ini sesuai dengan cara yang diajarkan Yung Ci suhu, namun hingga sore
hari ini tetap gagal mengendalikannya. Akhirnya ia memutuskan untuk
mengubahnya dengan mencoba mengikuti cara mengendalikan seperti yang
diajarkan oleh Ciak Kun suhu. Anehnya setelah beberapa saat hawa itu ternyata mampu dikendalikan dan disimpan dengan baik di tantian. Bahkan kini ia merasa lebih bugar. Pada hari barikutnya sebenarnya ia ingin membaca catatan dari
Ouwyang siaucay, tapi sayang ruangan tahanan itu gelap, maka ia manfaatkan
untuk bersiulian. Dalam samadi ia dapat mendengar ada suara lain di kamar
sebelah kirinya. "Hmm..sepertinya ini adalah deretan kamar penjara bawah
tanah. Mungkinkah nona baju merah itu juga ditawan di deretan kamar itu"
Bagaimanakah aku bisa bebas dari kerangkeng ini?" Tiong Gi berpikir tajam. "Ah andaikan ada pengemis tua berlengan tunggal, tentu saja aku tidak merasa
kesepian. Hei ...kenapa aku teringat pada pengemis itu?"
Entah kenapa begitu teringat pada pengemis itu, terbersit akal untuk bisa
membebaskan diri. Maka malam itupun ia tidur dengan tenang. Pada pagi hari
seperti biasa, ada pelayan yang bertugas mengantarkan makanan. Pelayan itu
meletakkan sarapan pagi ke bagian bawah yang ada rongga, tapi ketiga hendak
bangkit setelah meletakkan nampan tiba-tiba ia merasa tubuhnya kaku. Ia tak
tahu Tiong Gi telah melancarkan pukulan Kiu Yang Sin Ciang bertenaga im.
Karena pelayan itu menjadi kaku, maka Tiong Gi pura-pura berteriak-teriak
penuh kekagetan.
"Penjaga.....tolong apa yang terjadi pada pelayan ini...."
Mendengar teriakan ini dua orang penjagapun menjadi terpancing, namun
begitu mendekat mereka menjerit karena merasakan hal yang sama dengan
pelayan itu. Tapi tubuh mereka juga menjadi kaku. Tiong Gi mengeluarkan
tangannya dari jeruji untuk menarik tubuh penjaga itu. Pada waktu itu ia
mendengar suara kaki yang menuruni tangga. Sepertinya jeritan penjaga itu
menarik perhatian penjaga yang lain. Dengan tergesa-gesa Tiong Gi menrogoh
kantung penjaga itu untuk mencari kunci. Beruntung nasibnya karena ia segera mendapatkan kunci itu, dan segera dipakai untuk membuka ruangan. Begitu
ruangan terbuka, dua penjaga tiba di hadapan Tiong Gi, namun apalah artinya
dia penjaga itu bagi Tiong Gi. Sayangnya sebelum Tiong Gi sempat
merobohkannya ia keburu berteriak keras.
Bab 16. Membebaskan nona baju merah
Teriakan penjaga ini mengejutkan orang-orang yang ada di atas, maka Can
Sengpun bergegas memimpin sendiri anak buahnya menuju penjara bawah
tanah. Dengan cepat Tiong Gi menggunakan kunci untuk membuka satu persatu
kamar-kamar tahanan. Sudah tiga kamar dibuka namun ia belum menemukan
nona baju merah. Dan betapa kecewanya ketika ia melongok kamar terakhir ia
masih tidak menjumpai si nona. Pada saat itu rombongan anak buah Tok Nan-
hai Pang dan prajurit tikoan sudah berada di lorong. Terjadilah bentrokan antara mereka dengan tahanan yang baru saja dibebaskan Tiong Gi. Bentrokkan itu
makin seru setelah Tiong Gi ikut terjun, dengan menggunakan Kiu Yang Sin
Ciang ia mampu merobohkan lawannya meskipun lorong penjara itu sempit.
Suasana menjadi kacau balau, kedua belah pihak merasa ruangan terlalu sempit, sehingga lawanpun mundur, dan keluar dari lorong naik ke tangga. Rupanya di
bagian ataspun ruangannya berpintu, dan lekas setelah pihak lawan keluar dari lorong penjara mereka segera menutup pintu kedua. Salah seorang dari
tawanan yang dibebaskan berkata, "Sebaiknya kita dobrak saja pintunya!"
"Tunggu!" bantah Tiong Gi. "Pintu ini dari besi, tidak mudah didobrak, kita lewat atap saja."
Dengan menggunakan pedang rampasan Tiong Gi membuat lubang di langit-
langit dan secara bergantian Tiong Gi menyunggi keempat tawanan itu agar
mudah keluar. Begitu sampai di genteng, salah seorang dari mereka berbisik ke Tiong Gi, "Sui siocia disekap di sabuah kamar, tapi kami tak tahu kamar sebelah mana."
Mereka tak perlu mencari-cari karena di halaman tengah sudah berkumpul
hampir lima puluh orang, separo diantaranya berpakaian prajurit. Di bagian
depan dari barisan Can Seng sudah berdiri sambil tangan kanannya
menodongkan senjata ke leher nona berbaju merah, sedangkan tangan kirinya
menelikung kedua tangan nona itu. Wajah nona yang dipanggil Liu siocia itu
terlihat sangat pucat.
"Heh kalian berempat, monyet keparat, kalian sudah terkepung. Tidak ada
gunanya kalian melawan, sebaiknya kalian menyerah saja. Kami masih akan
mempertimbangkan untuk mengampuni jiwa kalian jika saja kalian mau bekerja
sama!" "Genderuwo hitam, kalian tidak akan bisa memaksa kami! Hayo kalian maju,
mari bertanding satu lawan satu secara jantan!" seru salah seorang tawanan
yang paling tua. Ia sudah berumuran tiga puluh limaan.
"Ha..ha..ha..monyet dari teratai merah memang banyak bicara, anak muda baju
putih, bagaimana pendapatmu?"
Tiong Gi yang dimaksud, setelah berpikir sejenak berkata,"Lopeh, meskipun
keadaan kami terkepung tapi posisi kami sekarang ada di atas. Akan sangat
mudah bagi kami untuk bisa meloloskan diri. Dan kalau kami yang lolos, aku
tidak bisa membayangkan bagaimana nasib pengkongsian kalian. Aku punya
tawaran yang dapat kalian semua pertimbangkan, mari kita selesaikan masalah
kita secara jantan, satu lawan satu, kedua belah pihak sama-sama mengajukan
tiga jago. Dan kita jadikan nona Sui sebagai taruhan. Jika pihak kami yang
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menang, berikan seekor kuda dan bebaskan nona Sui, dan kami bertiga rela
kembali ke kamar tahanan. Jika pihak kalian yang menang, terserah apapun
tindakan kalian! Dengan demikian timbulnya korban bisa ditekan."
Can Seng terlihat terkejut dengan usul Tiong Gi, ia menjadi meragukan
kemampuan mereka untuk menangkap keempat tawanan. Namun ia kemudian
mendiskusikan usulan itu dengan anak buahnya. Tampak salah seorang dari
mereka meninggalkan halaman dan memasuki gedung. Sementara dua dari
empat orang tawanan yang lolos, seperti mencela usulan Tiong Gi, namun orang tertua dari mereka membujuk keduanya. Sepertinya dia bisa menerima usul
Tiong Gi. Awalnya Can Seng yakin akan kemampuan mereka meringkus keempat
tawanan. Namun salah seorang tamtama pengawal Kam tihu yang tiga hari yang
lalu ikut mengepung Tiong Gi meyakini bahwa ada kemungkinan mereka bisa
lolos jika dilakukan upaya pemaksaan. Dan timbulnya korban yang cukup besar
bisa dipastikan jika melihat sepak terjang tawanan. Selain itu, melihat posisi kepandaian mereka, pihak Can Seng sangat yakin akan keunggulan diri. Apalagi Tiong Gi masih tahap pemulihan akibat luka tiga hari sebelumnya, Can Seng
merasa mampu mengatasinya. Akhirnya Can Seng bisa menerima usulan. Ia
yakin tiga jagoannya bisa memenangkan pertarungan. Toch kalau kalah, belum
terlambat untuk mengambil tindakan selanjutnya. Maka dibuatlah sebuah arena
yang cukup luas. Pertandingan silat selalu menarik bagi mereka yang terbiasa terjun di dunia kang ouw, bahkan Kam tihu sendiri keluar dari gedung ikut
menonton pertandingan di halaman itu. Ia tidak menyadari ada kemungkinan
bahaya yang mengancamnya.
Dari pihak Tiong Gi, ia mengajukan dirinya sendiri, tawanan yang paling tua
yang bernama Hai Liong dan adik seperguruannya yang bernama Ang Siu Kun.
Dari pihak lawan yang jadi jagoannya adalah Can Seng dan dua lawan yang
waktu itu mengeroyok Tiong Gi.
Pertandingan pertama Ang Siu melawan salah satu pengeroyok Tiong Gi.
Pertandingan pertama ini kurang menarik, karena memang secara tingkat
kepandaian Ang Siu masih jauh dibanding lawannya, dalam belasan jurus ia
sudah roboh terkapar, muntah darah. Masih untung ia tidak nekad, sehingga
pukulan lawan tidak sampai mengancam nyawanya. Pertarungan kedua antara
Hai Liong lebih seru, kedua belah pihak tampaknya kedudukannya seimbang,
namun dari jurus-jurus awal Tiong Gi bisa mengukur Hai Liong lebih menang
kemampuan ginkang. Sambil menonton Tiong Gi mencoba mempelajari jurus-
jurus Hai Liong. Ia tidak mengenal jenis jurus tersebut, tetapi dari hasil ia belajar pada Ciak Kun, ia bisa melihat dasar ilmu dari daerah utara sungai. Pertandingan makin seru ketika keduanya mulai melancarkan pukulan-pukulan jurus
simpanan. Tiong Gi melihat pukulan Hai Liong juga mengandung unsur-unsur
keganasan. Tangannya berubah memerah dan Tiong Gi bisa melihat adanya
hawa racun dalam pukulan itu. Saling serang dan saling kelit berlangsung
beberapa jurus, hingga akhirnya keuletan dan kedisiplinan Hai Liong
menjadikannya lebih unggul tipis, sebuah adu pukulan berakhir dengan
robohnya pihak lawan, sementara Hai Liong hanya terdorong dua tombak, ia
masih bisa bertahan berdiri.
Pertandingan ketiga, berhadapan Can Seng dengan Tiong Gi. Tiong Gi bertekad
untuk tampil habis-habisan dalam pertandingan ini meski lawan yang harus
dihadapi adalah musuh terberat dari pihak lawan. Mereka bertanding dengan
tangan kosong. Tiong Gi membuka serangan dengan jurus-jurus badai salju.
Tangannya bergerak cepat membawa pukulan-pukulan berhawa dingin. Can
Seng merasa terkejut sekali merasakan sambaran angin pukulan lawan, tiga hari yang lalu pihak lawan belumlah sehebat ini. Iapun membendung serangan lawan
dengan jurus-jurus serangan khas daerah selatan, yang kuat dan ganas. Tiga
puluh jurus sudah berlalu, suasana pertarungan makin seru, jurus-jurus pukulan makin dasyat. Arena pertarungan menjadi semakin luas. Rumput-rumput
beterbangan, sebagian menjadi layu karena kena terjangan hawa yang luar
biasa dinginnya, sebagian lagi layu karena terkena pukulan beracun.
Semua penonton merasa kagum sekali melihat pertarungan yang sangat sengit
dan seru. Dari tingkat kedudukan Can Seng memiliki kelihaian yang hanya
seusap dibawah gurunya, Tok Ciang Sin Kwi (setan sakti tangan beracun),
dedengkot datuk sesat dari laut selatan. Dapat dibayangkan betapa lihainya,
namun yang dihadapi kali ini adalah pemuda tempaan ahli-ahli silat kenamaan di dunia kang ouw, sayang kepandaian Tiong Gi belum sempurna dan ia masih
tahap penyembuhan luka dalam, meskipun dampak racun sudah hilang, tapi luka
pukulan masih perlu beberapa hari untuk pemulihan. Jika saja ia sudah bisa
menyempurnakan ilmu dan mengembalikan tenaganya, maka dapat dipastikan
Can Seng tak kan mampu bertahan lebih dari lima jurus.
Pada jurus ke empat puluh Can Seng mengubah cara bersilat. Gerakannya
menjadi lebih lambat, namun dari tangannya keluar hawa pukulan beracun yang
sungguh kejih. Tangannya berubah putih, pukulan-pukulan yang dilancarkan
sangat berat dan mengandung hawa yang sungguh amis. Tiong Gi memapaki
pukulan lawan dengan mengubah cara bersilat menggunakan Kiu Yang Sin
Ciang. Secara berubah-ubah ia mengganti hawa sinkang im dan yang. Perlahan-
lahan Can Seng terlihat mulai terdesak. Ia kesulitan untuk menyesuaikan
pukulan lawan yang berselang-seling. Pada jurus ke lima puluh ia
mengeluarakan jurus pukulan salju mengepung gunung. Tubuhnya merendah
dan menyerang bagian bawah lawan. Can Seng merasa kerepotan sekali, karena
jurus-jurus pukulan tangan cocok untuk serangan atas. Beberapa kali kakinya
terserempet pukulan Tiong Gi, kedudukannya menjadi goyah. Belum selesai
kekagetan Can Seng, secara tiba-tiba Tiong Gi mengubah tangannya seperti
mematuk-matuk dari tapak tangannya mengeluarkan hawa panas luar biasa.
Can Seng yang sudah mulai kewalahan menjadi nekad, ia memapaki serangan
Tiong Gi dengan pukulan tangan terbuka.
"Bresss.......cessss.......!
Pertemuan dua tenaga pukulan membuat Tiong Gi terdorong lima langkah ke
belakang, namun lawannya terpelanting dan jatuh terduduk, dari mulutnya
keluar darah. Dengan sempoyongan Can Seng kemudia maju beberapa tindak,
kemudian ia berkata, "Anak muda, ilmumu sungguh hebat, aku kagum padamu,
hiyaat......! Tiba-tiba ketika jarak mereka tinggal tiga meteran, Can Seng melompat tinggi selangkah kedepan sambil menghamburkan segenggam pasir putih.
Wwusss......!" Pasir putih yang sebenarnya adalah racun putih tepung setan.
Bagaikan titik-titik air hujan, pasir itu mengguyur tubuh Tiong Gi. Meskipun ia sudah berusaha menangkis, namun masih ada beberapa yang mengenai kulit
lengan dan mukanya. Tiong Gi merasakan hujan yang sangat pedih, padang
matanya berkunang-kunang, iapun mundur sambil tangannya merogoh kantung
mengambil guci dan segera meminumnya. Hebat sekali pengaruh menawarkan
racun dari air yang diminum dari guci sakti itu. Hanya dalam beberapa kejap
mata, Tiong Gi sudah bisa bangkit kembali namun ia pura-pura kesakitan. Can
Seng yang melihatnya tertawa terbahak-bahak, namun akibatnya naas, secepat
kilat Tiong Gi memanfaatkan waktu kelengahan lawan untuk melakukan sebuah
pukulan terakhir, ia menggunakan jurus hujan salju menerobos awan. Tubuh
Tiong Gi seperti melayang dengan kecepatan seperti bayangan ke arah lawan,
tangan kanan dan kirinya bergerak-gerak melancarkan pukulan demi pukulan
secara bergantian. Can Seng merasakan kesiuran hawa yang sangat dingin,
buru-buru ia mencoba menangkis,akibatnya
"Bresssss.......duaaarrr.........!"
Benturan dua tenaga dengan masing-masing berkekuatan penuh tak dapat
dihindarkan, tubuh Tiong Gi limbung, namun ia masih mampu melakukan poksai
(salto) di tanah, sehingga bisa kembali bangkit, meskipun dari mulutnya
berlumuran darah, tanda ia terluka. Namun buru-buru ia meminum air dari guci saktinya. Sebaliknya, tubuh Can Seng terlontar menabrak salah satu anak
buahnya, dan keduanya roboh. Nyawa Can Seng tak dapat diselamatkan.
Akibatnya suasana menjadi gaduh, dan sekonyong-konyong Kam tihu
mengeluarkan perintah, "Tangkap keenam tawanan hidup atau mati!"
Hai Liong dan ketiga kawannya terkejut sekali mendengar perintah seperti ini, tapi cepat ia sudah dibisiki oleh Tiong Gi, "Perintahkan ketiga sutemu merebut Sui siocia, dan bantu aku menelikung tihu she Kam itu!"
Hai Liong kerepotan mendapat bisikan itu sementara ia sudah mulai diserang
oleh lawan. Namun ia tetap tidak peduli, dengan menggunakan kata-kata sandi
ia memberi perintah pada ketiga sutenya. Ia sendiri yang mendapat pedang
titipan Tiong Gi lebih mudah menghadapi lawan, bahkan masih bisa melindungi
Tiong Gi, sehingga mereka bisa leluasa mendekati Kam tihu. Kam tihu tidak tahu apa yang akan dilakukan kedua tawanan mereka, namun ia sudah waspada.
Hanya saja, ia yang sebelumnya tidak terlalu dekat melihat pertarungan Tiong Gi, tidak menyadari kelihaian pemuda itu, sehingga ketika Tiong Gi melancarkan pukulan Kui Yang Sin Ciang ia tidak mencoba untuk mengelak, karena merasa
lima sampai enam prajurit yang didepannya mampu melindunginya, tapi siapa
sangka pukulan itu bisa melewati begitu saja kelima prajurit yang
melindunginya, dan menghantam dirinya. Akibatnya tihu itu sampai terjengkang, tetapi di pihak lain Tiong Gi yang keadaannya sudah kepayahan karena
tenaganya sudah hampir habis ketika melawan Can Seng ikut roboh. Ternyata
pukulan ke Kam tihu adalah tenaga tersisa yang dilancarkan seluruhnya. Melihat tawanan roboh, prajurit-prajurit yang didekatnya langsung menyerbu, seperti
berebut untuk membacokkan senjata-senjata mereka. Hai Liong yang sudah
keburu berada di depan, hanya bisa mencelos hatinya melihat kelebatan pedang atau golok lawan. Tapi disaat yang sedemikian gentingnya, tiba-tiba saja muncul sebilah golok menangkis semua serangan dan orang yang berkerudung dan
menggunakan penutup kepala dengan gesit sudah menarik dan membopong
Tiong Gi, kemudian menerobos kepungan prajurit dan meloloskan diri. Melihat
Tiong Gi bisa diselamatkan Hai Liong bernafas lega, sehingga beberapa prajurit yang mengepungnya bisa dibereskan, hingga sampailah ia berhadapan dengan
barisan pelindung utama tihu, yang terus menerus mundur ke arah gedung,
sambil memapah Kam tihu. Hai Liong hendak merangsek barisan prajurit yang
mengelilinginya, ketika tiba-tiba Ang Siu berseru agar mereka segera melarikan diri karena nona Sui sudah dapat mereka selamatkan. Dan loloslah semua
tawanan. Betapa marah dan gusarnya Kam tihu setelah kondisi kesehatannya pulih. Ia
kehilangan lebih dari dua puluh anak buah, sedangkan anak buah Tok Nan-hai
Pang yang tewas ada belasan.
Siapakah yang menyelamatkan Tiong Gi"
Seorang tua berkerudung dengan gesit membawa Tiong Gi ke sebuah kuil di
pinggiran kota. Begitu memasuki kuil yang masih terlihat baru itu ia diterima seorang tosu, setelah berbicara sebentar ia kemudian kembali meninggalkan
tempat itu. Seorang tosu yang ternyata bisa ilmu pengobatan menjadi terkejut ketika
melihat sebuah guci yang sangat dikenalnya. Selanjutnya ketika Tiong Gi sadar pada keesokkan harinya, iapun dirawat oleh tosu yang ternyata adalah murid
dari si guci obat. Hanya sehari semalam Tiong Gi tinggal di kuil itu, ia sudah pulih kembali.
"Terima kasih banyak kuucapkan, selamanya Tiong Gi tak bisa lupakan budi
totiang." "Anak muda, namamu Tiong Gi" Darimanakah engkau mendapatkan guci ini?"
"Ini guci kuterima dari suhu Sun Ciak Kun locianpwe!"
"Ah, kalau begitu kita orang sendiri, ketahuilah namaku adalah Kiong Tojin,
suhengmu, tapi aku lebih banyak belajar ilmu pengobatan pada suhu."
"Ah benarkah" Suhu memang pernah menyinggung nama suheng. Tapi suhu
sendiri tidak tahu kalau suheng tinggal di sini."
"Benar, aku baru saja mendirikan kuil di sini, bersama dengan beberapa tosu
yang lain. Untuk sementara kamu tinggal ah di sini untuk memulihkan
keadaanmu."
"Oh ya, Kiong suheng, siapakah yang membawaku kemari?"
"Dia tidak mau kusebutkan namanya, tapi kau telah bertemu dengan beliau
beberapa malam yang lalu bersama Ouwyang siaucay."
Tiong Gi menebak-nebak siapa gerangan yang membantunya. "Hmm ternyata
masih sedemikian banyak tokoh baik di dunia ini, yang bahkan tidak mau
disebutkan namanya, meskipun telah menyelamatkan orang lain," pikir Tiong Gi.
Demikianlah selama beberapa hari Tiong Gi tinggal di kuil itu untuk memulihkan diri. Pada saat-saat kosong, ia membuka-buka catatan yang diberikan oleh
Ouwyang siaucay. Betapa terperanjatnya ia, demi melihat isi dari kitab yang
pertama. Kitab yang berjudul kamus tulisan kanji mulai jaman dinasti Cin hingga Tang, berisi huruf-huruf yang ingin ia pelajari. Itulah alasan utama dia lari dari gua. Ternyata ia mendapatkan secara kebetulan. "Hmmm pantas saja, suhu
Yung Ci sendiri banyak yang tidak tahu makna satu dua huruf yang pernah ia
tanyakan. Ternyata lukisan yang ditemukan adalah warisan Lau Cin Shan yang
dibelakangnya berisi puisi yang ditulis dengan kanji pada jaman itu. Inilah yang selama bertahun-tahun kucari. Sungguh sebuah keberuntungan yang sangat
kebetulan."
Adapun tulisan kedua yang hanya selembar kain berisi dua bait puisi.
Menari ia di panggung kehampaan
Mengalun ia di dasar samudera
Mengalir ia di lempeng yang datar
Kebijaksanaan tertinggi seperti air yang member manfaat kepada segala sesuatu mengalir ke tempat rendah
karena itu sifatnya berdekatan dengan Too
Tiong Gi mengulang-ulang mengucapkan kalimat-kalimat itu, namun meskipun ia
benturkan kepala pada tulisan di depannya tetap saja ia tidak mampu mengerti makna dari tulisan itu.
*** Kita tinggalkan dulu Tiong Gi yang masih sibuk memulihkan kesehatannya dan
mencari makna atas puisi yang didapatkan. Kita beralih sebentar ke rombongan nona baju merah she Sui, yang lengkapnya adalah Sui Souw Mei. Setelah
berhasil meloloskan diri mereka seharian penuh lari ke arah utara. Hingga
akhirnya setelah malam mereka sampai di pinggiran hutan. Dengan cara duduk
mengelilingi api unggun, mereka memanggang hewan buruan untuk santapan
malam dan tak habis-habisnya mereka membicarakan Tiong Gi. Apalagi bagi
nona Sui, gadis manis yang baru mekar, membicarakan pemuda sungguh
membuatnya tersipu-sipu. Entah kenapa, ia merasakan ada lampion di hatinya
yang berpendar-pendar. Tapi yang keluar dari mulut mungil itu justru
kekhawatiran. "Hai ko, bagaimanakah kira-kira nasib inkong (tuan penolong)?"
"Sui moy, aku tidak tahu pasti, tapi sekilas aku melihat sesosok banyangan
menangkis senjata-senjata yang mengarah padanya, dan memondongnya ke
luar arena. "Ah kasihan sekali inkong, dia masih sangat muda, tapi sudah menunjukkan
sikap yang gagah, bagaimanakah keselamatannya?"
"Tenang saja Sui moy, orang baik biasanya bernasib mujur, kita doakan saja!"
jawab orang she Ang.
"Kelak kita masih ada kesempatan untuk mencarinya, sekarang yang penting
kita kembali ke markas pusat. Kita laporkan ke suhu. Sungguh tak pernah kita duga, di kota sekecil ini mereka menempatkan orang selihai itu," gumam Hai
Liong. "Twako, apakah tidak lebih baik kita laporkan saja persekutuan mereka ke
tentara di kota raja?" tanya salah satu dari dua lelaki yang berusia paling muda.
"Tidak, kita hanya bertindak atas perintah suhu. Lagipula kegiatan seperti itu pasti dilakukan sembunyi-sembunyi, kita tidak punya bukti, kita hanya membawa berita. Dunia mata-mata sungguh kejam, jika kita tidak dipercaya oleh tentara, malah kita yang akan kena hukuman."
Begitulah, lebih dari sepenanakan nasi mereka berbicara banyak hal. Hingga
akhirnya mereka bergantian berangkat tidur berselimutkan mimpi. Dan bagi
nona Sui, mimpi apalagi yang lebih mengesankan selain mimpi bertemu dengan
seorang pangeran berwajah pemuda yang menolongnya.
Sebenarnya siapakah mereka berlima" Mereka adalah anggota kelompok teratai
merah, sebuah kelompok oposisi yang bekerja di bawah tanah. Berbeda dengan
kelompok teratai putih yang membuat partai bahkan agama tersendiri dan sering menyimpangkan arah perjuangan. Kelompok teratai merah tidak terang-terangan menggunakan simbol-simbol perjuangan tetapi lebih murni dalam
memperjuangkan keadilan dan kedamaian untuk orang-orang kecil. Mereka
memusatkan pergerakan pada pembinaan pesilat-pesilat yang diluluskan dari
bukoan yang di buka di tiap kota.
Kelompok teratai merah sebenarnya tergolong masih muda, karena baru
berumur lima puluh tahunan. Pertama-tama berdiri merespon kekacauan yang
timbul pada pertengahan tahun 950-an. Kelompok ini didirikan oleh Sui Tek Han, pendekar segenerasi dengan Sun Ciak Kun dan Pek Mau Lokay. Sui Tek Han
sendiri belajar silat dari guru-guru silat daerah utara. Kelihaiannya tidak
disebelah bawah dua pendekar tersebut, bahkan ia bersama dengan Kun Lun
Sam-lojin pernah bentrok dengan Nan-hai su kwi, pimpinan Tok Nan-hai Pang
yang menyebabkan kematian salah satu dari empat setan itu. Karenanya ia
memiliki hubungan baik dengan pesilat dan pendekar dari wilayah Mongol dan
Khitan. Sui Tek Han sudah belasan tahun meninggal. Kedudukan ketua juga
sudah berpindah beberapa kali, yaitu Sui Kong Sian, Sui Bok Yang dan Sui Bok Leng. Sui Bok Yang adalah ayah dari Sui Souw Mei, sedangkan Sui Bok Leng
adalah pamannya.
Kepemimpinan dari Sui Bok Yang tergolong sangat singkat. Baru enam tahun
memegang kepemimpinan timbul malapetaka yang melanda keluarganya,
malapetaka yang menyebabkan meninggalnya ibu Sui Souw Mei. Malapetaka itu
berawal dari kepergian mereka berdua ke Heng Yang. Mereka bersama dengan
enam orang lainnya dari teratai merah menghadiri acara pernikahan anak dari
pimpinan cabang Heng Yang. Sepulangnya dari acara itu mereka dikepung oleh
gerombolan Tok Nan-hai Pang. Dua anak buah mereka tewas, mereka kemudian
bisa ditawan oleh gerombolan ini. Beruntung mereka bisa diselamatkan oleh
Yung Lu. Namun keberuntungan ini berubah karena mereka kemudian mengikat
suatu perjanjian yang aneh. Di kemudian hari ada pihak yang merasa dikhianati sehingga terjadilah pembunuhan ibu Souw Mei. Kejadian itu sungguh menjadi
rahasia besar keluarga Sui dan Souw Mei hanya tahu bahwa pembunuh ibunya
adalah Yung Lu. Karena ibunya meninggal maka sejak kecil ia tinggal bersama
neneknya di ibu kota. Sedangkan ayahnya lebih banyak menutup diri bahkan
seperti mengalami penderitaan bathin yang dalam.
Sou Mei tumbuh menjadi gadis yang manis, manja, melankolis namun memiliki
kekerasan hati. Yang lebih menonjol dari itu semua adalah suaranya yang
lembut merdu, yang mampu membetot hati pria manapun. Pada usia dua belas
tahun, pamannya memanggil dan mendidik silat padanya.
Sebulan yang lalu, ada desas-desus kelompok teratai merah di Heng Yang akan
diserang musuh pihak Tok Nan-hai Pang. Ternyata dari hasil penyelidikan,
memang terlihat adanya gerakan kelompok Tok Nan-hai Pang, yang mengarah
pada penggalangan kekuatan. Karena itulah maka Sui Bok Leng menugaskan
dua tim, yang pertama ke kota Heng Yang, yang kedua ke kota Lok An.Tim yang
dikirim ke Lok An, sebenarnya rencananya hanya lima, namun Souw Mei
memaksa diri ikut, sehingga berangkat berenam, sayang salah seorang anggota
tewas dalam pertarungan awal dengan gerombolan Tok Nan-hai Pang, sehingga
mereka akhirnya ditawan. Demikianlah sekilas mengenai asal-usul kelompok
teratai merah. *** Sudah lama kita meninggalkan puncak Fan Cing San, tempat berawalnya cerita
ini. Bagaimanakah keadaannya sekarang"
Malam sudah sangat larut, ketika suatu kereta kuda memasuki gerbang Lu Liang Pay dan berhenti di halaman depan. Kedatangannya seperti sudah diketahui
tuan rumah, terlihat penjaga langsung mempersilahkan masuk, dan dihalaman
itu mereka segera disambut oleh pria setengah baya dan empat orang murid
Yun Liang Pay menyambutnya. Pria yang menyambut tamu, kira-kira berumuran
tiga puluh sembilan tahunan, berwajah tampan berdandan perlente. Di Yu Liang Pay, siapa lagi tokoh setengah baya yang berdandan seperlente itu selain Siong Chen.
Seorang pria bertubuh tinggi kekar turun dari kereta, disusul dibelakangnya
Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang tua bertubuh pendek kurus berkumis panjang. Keduanya memiliki kulit
kehitam-hitaman. Orang yang pertama berusia sekitar lima puluh enam tahunan
namun terlihat masih gagah, kumisnya dicukur bersih, sedang jenggotnya
dibiarkan panjang. Dari gerakannya yang gesit dan wajahnya yang penuh
perbawa dengan pandangan tampak angkuh, orang akan menduga dia seorang
pejabat. Memang tidak salah dugaan seperti itu karena dia adalah Boan Tek
Ciangkum (perwira). Adapun pengawalnya juga jelas bukan orang biasa,
meskipun terlihat sudah tua, pendek dan kurus tetapi jalannya nyaris tidak
menimbulkan bunyi, seperti mengambang saja di udara.
Perwira Boan Tek adalah tentara berpangkat jenderal muda yang menguasai
pasukan harimau besi. Pasukan harimau besi sangat terkenal sebagai pasukan
pendobrak musuh dalam peperangan. Di usianya yang lima puluh tujuh memang
Perwira Boan Tek sudah harus pensiun dari ketentaraan. Hanya karena
rekomendasi dari pamannya yaitu Menteri Boan Shu ke kaisar, maka Boan Tek
masih bisa bertahan. Menurut tradisi kerajaan Song, usia pensiun untuk perwira adalah lima puluh lima tahun, hanya panglima saja yang bisa pensiun pada usia lebih dari lima puluh lima tahun. Karena desakan menteri Boan Shu yang pandai menjilat, kaisar memperpanjang jabatan kepada Boan Tek selama dua setengah
tahun. Ini adalah tahun terakhir Boan Tek menjabat, dan selama setahun ini
tidak ada prestasi yang membanggakan yang bisa diandalkan untuk loncat
menjadi pejabat sipil setingkat menteri, sedangkan pesaingnya sungguh luar
biasa banyak. Karena itu, banyak rencana yang sudah dipikirkan olehnya. Salah satu rencana yang paling berpeluang besar inilah yang akan dijalankannya.
Apakah rencana itu, marilah kita ikuti dialognya dengan ketua Yu Liang Pay.
Siong Chen dan empat murid tingkat dua mengawal Perwira Boan Tek dan
centengnya ke ruang tamu khusus di dalam gedung tempat tinggal Ketua Yu
Liang. Hanya Siong Chen saja yang menemani ketua menemui kedua tamu ini,
empat orang pengawal lain menjaga di luar. Segera ketua Yu Liang yang sudah
berumur hampir tujuh puluh tahun menyambut dengan wajah berseri.
"Ah kiranya Boan Ciangkum, tak tahu angin apakah yang menuntun Ciangkum
mengunjugi gubug kami di pegunungan ini." Liong Ping tergopoh-gopoh
menyambut Boan Tek perwira dari kota raja Kai Pong. Ketika pandangan Liong
Ping bertemu dengan pengawal Boan Tek, wajahnya berubah serius.
"Bukankah loheng ini adalah Tok Ciang Sin Kwi?"
Orang tua yang menjadi centeng Boan Tek hanya menjengek kecil "Pandangan
ketua Yu Liang ternyata masih belum lamur. Tak tahu apakah ilmu pedangnya
juga masih sehebat dulu?" Berbeda dengan bentuk tubuhnya yang kecil, suara
yang keluar dari mulut yang
Dugaan Liong Ping memang tidak salah, orang tua yang seumuran dengan Liong
Ping itu memang Tok Ciang Sin Kwi, guru Can Seng. Dia adalah susiok (paman
guru) Boan Tek. Karena seangkatan, meski lebih dari lima belas tahun tak
pernah bersua, sekali melihat bentuk tangan yang kecil dan berwarna kehijau-
hijauan maka Liong Ping tak dapat melupakannya.
"Ha..ha..ha...Sien Ping, perkumpulan ini tambah maju pesat saja sejak kau
pimpin, hemmm sekarang anak gadispun bisa menuntut ilmu di sini," ucap Boan
Tek. "Tentu saja ciangkum, kami tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan,
dan kalau ciangkum berminat, tinggal tunjuk saja kami dengan senang hati akan menghaturkan ke ciangkum he..he...heh...Oh ya ciangkum, di sini sudah tidak
ada lagi yang bernama Sien Ping, tapi Liong Ping atau Toa Pangcu.
"Oo...aku lupa, sekarang kau bukan buronan lagi ha ha ha....mujur sekali
nasibmu pangcu," jawab perwira itu dengan senyum yang hanya Liong Ping saja
yang bisa memaknai.
"Tentu saja tanpa bantuan ciangkum, mana mungkin saya bisa semujur ini,"
balas Liong Ping merendah. Ia paham sekali orang macam apa yang dihadapi.
"Ternyata kau tidak melupakan budi itu, berarti kau siap membalasnya khan?"
" Bantuan apakah yang ciangkum harapkan?"
"Sini dekatkan telingamu pangcu!"
Liong Ping terhenyak mendengar apa yang dibisikkan oleh Boan Tek. Tapi
sebagai orang yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia kang ouw,
Liong ping sudah mampu menguasai diri. Sebenarnya ia tidak terkejut dengan
permintaan Boan Tek, namun buru-buru dia merubah mimik mukanya seakan-
akan sangat terkejut.
"Ah...saya sungguh tak menyangka sama sekali permintaan ciangkum seperti ini.
Mana mungkin Yu Liang Pay terlibat dalam urusan seperti itu ciangkum?"" Yu
Liang Pay dari dulu terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah, golongan pendekar yang membela kebenaran dan keadilan."
Perwira Boan Tek hanya menyunggingkan senyuman sinis, dalam hatinya ingin
mengumpat omongon Liong Ping yang bau kentut, tapi bukan perwira yang
matang kalau tidak paham arah omongan seperti itu.
"Pangcu mana mungkin aku ingin menjerumuskan Yu Liang Pay ke sumur
kehancuran, sebaliknya malah, aku ingin memajukan Yu Liang Pay, lihat ini yang aku bawa."
Perwira Boan Tek merogoh kantung bajunya dan mengeluarkan gulungan kain
yang seger Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 4 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 23