Pencarian

Pendekar Kidal 19

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 19


adi lebih ka le m: "Dika la me mbuat lorong
tembus ke pusar bumi itu pula Lohwecu mene mukan suatu sumber
racun, air yang mengalir dari sumber itu beracun, bukan saja kental,
warnanya juga hitam gelap, manusia mati seketika bila tersentuh
meski hanya satu tetes saja "
"Getah beracun!" seru Kun-gi tanpa terasa.
"Betul," ujar Yong King-tiong manggut2, "akhirnya kita na makan air itu getah beracun. Kemudian lohwecu me mbuat sebuah perigi
kecil, getah beracun itu dialirkan ke dala m perigi itu, dari situlah
timbulnya la ma Hek-liong-tam."
Setelah sekian lamanya mendengar kisah orang dengan sabar,
tapi orang tetap belum menyinggung soal ayahnya, diam2 Kun-gi
resah dan gelisah.
Yong King-t iong malah menghirup secangkir teh pula baru
me lanjutkan ceritanya: "Dalam usia setengah baya itu, Lohwecu
tetap belum dikurniai putera, padahal waktu itu kebetulan sedang
musim ke marau panjang, di-mana2 geger kelaparan, rakyat hidup
tertindas. Pada suatu ketika Lohwecu turun gunung, pulangnya
me mbawa seorang orok pere mpuan dan diangkat sebagai puterinya
dan dina makan Ji-giok, Thi-hujin me mandang orok pere mpuan ini
sebagai anak kandungnya sendiri, amat kasih sayang. Tak nyana
dua tahun kemudian, Thi-lohujin malah me lahirkan sendiri seorang
puteri dan diberi nama Ji-hoa. Sekejap mata 20 tahun telah lalu,
sepasang kakak beradik inipun tumbuh dewasa laksana ke mbang
me kar, Lohwecu tidak pernah membeda kan kedua puterinya ini,
setiap ada waktu senggang, dia ajarkan ilmu silat kepada kedua
nona ini . . . . "
Mendengar sampai di sini, lapat2 Kun-gi sudah dapat meraba dan
mengerti, di antara sepasang kakak beradik ini pasti satu di
antaranya adalah ibundanya dan seorang lagi pastilah Thay-siang
dari Pek-hoa-pang.
Terdengar Yong King-tiong melanjutkan ceritanya: "Waktu itu
tuan puteri mulai bergerak di daerah Kangla m, dia sendiri yang
me mimpin gerakan2 di sana, partai2 besar persilatan memang tida k
kelihatan turut campur, tapi secara diam2 mereka me mbantu
dengan segala daya upaya, malah para muridnya dianjurkan untuk
me mbantu sekuat tenaga dengan menyaru kaum persilatan
umumnya dan ikut me mbentuk barisan2 penentang kerajaan lalim
yang berkuasa. Musim semi tahun itu, Siau-lim Hongtiang Kay-to
Taysu me mperkenalkan seorang pemuda kepada Lohwecu untuk
menjadi anggota Hek-liong-hwe, pemuda ini she Ling berna ma
Tiang-hong, murid Kay-te Taysu satu2nya dari golongan pre man."
"Apakah dia ini ayahku a lmarhum?" tanya Kun-gi, "Padahal
ibunda me mberi tahu pada ku bahwa ayah berna ma Swi-toh."
"Kongcu masih muda, bahwa ibumu tida k menceritakan kiaah
masa lalu ini, sudah tentu diapun tak akan me mberitahukan na ma
terang ayahmu," sambil mengawasi reaksi Ling Kun-gi sejenak, lalu
dia mena mbahkan, "wa ktu itu ayahmu juga baru berusia likuran
tahun, berwajah cakap dan gagah, masih segar dalam ingatan Losiu
tatkala dia baru t iba di He k-liong-hwe, Lohwecu me mberi jabatan
kepala barisan ronda, kalau tidak sa lah ayahmu kepala dari
kelompok ke21, Losiu dari kelompok ke 22, sering kami bertugas
bersama, satu lama lain saling me mbantu, oleh karena itu
hubunganku cukup akrab dengan ayahmu."
Kun-gi segera berdiri tegak khidmat dan bersoja, katanya:
"Ternyata paman adalah sahabat karib ayah almarhum, maaf akan
kekurangajaran Siaut it barusan."
"Kongcu tak usah banyak adat," ucap Yong King- tiong, "Losiu
hanya seorang hamba dari ayahmu, mana berani dijajarkan sebagai
kawan karibnya segala?"
"Ayahmu masih muda tapi sudah punya cita2 luhur, matang
dalam penga la man dan sempurna dala m tata kehidupan, tindak
tanduknya tegas dalam menja lankan tugas, dalam waktu tiga tahun,
dari seorang kepala ronda sekaligus dia sudah berhasil menanjak ke
atas karena jasa2nya dan diangkat menjadi Hwi-liong-tong Tongcu,
dia merupakan orang kepercayaan yang selalu menda mpingi
Lohwecu, bukan saja Hwecu sudah ada ma ksud untuk mengawinkan
puteri sulungnya padanya, malah kelak ke mungkinan akan
mewaria kan jabatan Hwecu He k-liong-hwe . . .. . . . '
Sampa i di sini, kemba li dia menghirup secangkir teh, setelah
kerongkongan basah baru dia bercerita pula: "Tiga tahun sejak
ayahmu berada di Hek liong-hwe, pada musim rontok tahun itu
Lohwecu lantas mengawinkan puteri sulungnya Ji-giok dengan
ayahmu, tapi pada mala m pengantin ayah bundamu itulah, nona Ji-
hoa mendadak menghilang, minggat entah ke mana . . . . . . "
agaknya masih panjang lebar ceritanya, tapi seperti rada hal2 yang
sengaja hendak dia se mbunyikan, ma ka cerita ini dia putus sa mpa i
di sini. Sudah tentu Kun-gi dapat menangkap arti pembicaraan orang,
ceritera Yong King-tiong pada bagian terakhir ini agak kabur, secara
tidak langsung dia mau bilang bahwa minggatrya nona Ji-hoa
lantaran ada sangkut pautnya dengan pernikahan ayah bundanya.
Tapi sebagai seorang anak, sudah tentu tak enak Kun-gi mendesak
ceritera orang akan kejadian masa lalu ayah bundanya, maka dia
hanya mendengarkan tanpa bersuara dan tidak me mberi reaksi
apa2. "Lohwecu sudah berusia lanjut, bahwa puteri tunggalnya
mendadak minggat, sudah tentu Lohwecu sua mi iateri sangat
bersedih, terutama Lohujin, saking kangen dan menguatirkan
keselamatan puterinya itu, akhirnya dia jatuh sakit dan rebah
diranjang tak bisa bangun lagi. Pada waktu itulah pihak kerajaan
juga mendapat berita bahwa Hek-liong-hwe sedang siap2 hendak
bangkit dan berontak, ma ka jago2 keraton yang berkepandaian
tinggi diutus untuk me ncari jejak dan menggeledah seluruh pelosok
pegunungan Kunlunsan. Tapi piha k kita juga sudah mendapat
kabar, apalagi markas pusat Hek-liong-hwe berada di perut gunung,
sudah tentu kawanan alap2 kerajaan itupun tak berhasil
menuna ikan tugasnya."
Tak tertahan akhirnya Kun-gi menyeletuk: "Me mangnya Hek-
liong-hwe berpeluk tangan me mbiarkan kawanan ca kar alap2 itu
bertingkah di depan pintu markasnya?"
"Di sinilah letak keberhasilan Lohwecu dala m bertindak dan
berkeputusan, maklumlah kekuatan kerajaan pada waktu itu sedang
mencapai kejayaannya, pahlawan2 bangsa yang tersebar di
berbagai tempat sudah tidak sedikit yang menjadi korban de mi
me mpertahankan kekuatan, maka Hwecu berkeputusan t idak ma u
sembarang bertinda k."
Sampa i di sini mendada k dia menghela napas, katanya pula:
"Tapi sungguh t idak pernah terduga bahwa, di antara para Siwi
(jago pengawal raja ada seorang muridnya Sinswi-cu. Perlu
diketahui bahwa seluruh peralatan rahasia yang terpasang di
lorong2 gua da la m markas kita ini diciptakan oleb Sinswi-cu, sudah
tentu muridnya juga paha m akan ilmu ciptaan gurunya, maka di
bawah petunjuknya jago2 keraton segera menyerbu masuk lewat
Ui-liong-tong. Karena rahasia sudah terbongkar, terpaksa Lohwecu
bertindak cepat dan tegas, kalau satu saja dari cakar alap2 musuh
lolos, buntut peristiwa ini tentu amat panjang, maka ma la m itu
seluruh kekuatan kita dikerahkan, untunglah delapan belas jago
kerajaan akhirnya berhasil ditumpas seluruhnya. Lohwecu sendiri
dalam pertempuran sengit itu berhasil me mbinasakan lima jago
alap2, tapi beliaupun terluka oleh senjata rahasia beracun salah
seorang musuh yang terbunuh . . . . . . . "
"Leliong-cu dapat menawarkan segala ma ca m racun di dunia ini,
apakah Lohwecu . . .. . ."
"Betul, Leliong cu me mang dapat menawarkan segala maca m
racun di dunia ini, tapi Lohwecu terluka oleh jarum beracun yang
ditiupkan oleh orang Biau, jarum tiup itu le mbut seperti bulu kerbau,
orang yang terkena jarum itu sendiripun tidak merasakan apa2,
padahal Lohwecu sendiri dengan penuh se mangat telah menumpas
musuh2nya, hakikatnya beliau tidak tahu kalau dia kena dibokong
orang. setelah musuh tertumpas seluruhnya dan kembali ke ruang
pendopo, racunpun sudah merangsang jantung, mendadak beliau
jatuh pingsan. Waktu itu belum ada orang yang tahu Hwecu terkena
jarum berbisa, orang banyak mengira beliau kehabisan tenaga
dalam usianya yang sudah lanjut setelah me mbunuh para
musuhnya, tapi setelah tabib berusaha memberi pertolongan dan
dia tetap dalam keadaan pingsan, saat itu barulah diadakan
pemeriksaan dan berhasil mene mukan setitik hita m di punda k kiri
Hwecu, seorang ahli me mastikan bahwa titik hitam itu adalah bekas
tusukan jarum le mbut yang a mat beracun, lekas Leliong-cu
dikeluarkan untuk menawarkan racunnya, namun sayang sudah
terlambat, sebelum fajar menyingsing beliaupun wafat, sepatah
katapun tak se mpat dia meninggalkan pesannya.
"Selanjutnya bagaimana?" kata Kun-gi.
"Suatu organiaasi tak boleh tanpa pimpinan, ma ka dihadapan
layon Lohwecu, kami mengadakan rapat dan secara mutla k
mengangkat ayahmu untuk mengisi jabatan Hwecu yang kosong
itu." "Dan cara bagaima na pula ayah almarhum di ce lakai orang?"
tanya Kun-gi. Tiba2 Yong King-t iong menghela napas panjang, katanya
ke mudian: "Waktu itu ayahmu baru berusia likuran tahun, baru
empat tahunan berada dalam Hek-liong-hwe, berkat bimbingan
Lohwecu-lah dia me mperoleh ke majuan pesat, dari seorang kepala
ronda terus menanjak menjadi Tongcu dari Hwi-liong-tong, sebelum
Lohwecu wafat beliau me mang sudah sering me mperbincangkan
tentang ahli warisnya dengan orang banyak, maka pengangkatan
ayahmu sebagai Hwecu menggantikan Lohwecu mendapat
dukungan mutlak. Tapi He k-liong-hwe sudah berdiri sejak tiga puluh
tahun yang lulu, meski ayah-mu me miliki kecerdikan dan
kepandaian yang tinggi, betapapun dia masih terlalu muda dan
cetek pengalaman, sukar dia me mikul beban berat dan menunaikan
cita2 dan harapan orang banyak ........"
"Itu berarti ada sementara orang merasa sirik dan kurang senang
akan pengangkatan ayah?"
"Bukan begitu soalnya," ucap Yong King-tiong, "se mula beberapa Tianglo (tertua) yang dahulu ikut Lohwecu mendirikan Hek-liong-hwe me mang merasa ayahmu terlalu muda, sukar me mikul tugas
berat, tapi setelelah Lohwecu mangkat, selama setahun Hek-liong-
hwe di bawah pimpinan ayahmu, ketenaran Hek-liong-hwe justeru
lebih menjulang tinggi di ka langan Kangouw, kebesaran Hek-liong-
hwe boleh dikatakan belum pernah terjadi sejak sejarah berdirinya
selama tiga puluh tahun, akhirnya beberapa Tianglo itu baru betul2
merasa bahwa pilihan Lohwecu atas ayahmu me mang tepat dan
bijaksana, maka dengan sekuat tenaga mereka menyokong dan
bantu kerja keras, sampa ipun Ceng-liong-tong Tong-cu Han Janto
yang selamanya bertentangan pendapat dengan ayahmupun
berubah pendirian dan mendukung sepenuhnya kepe mimpinan
ayahmu, tahun itu boleh dikatakan masa jaya2nya Hek-liong-hwe."
"Jadi siapakah biang keladi yang mencelaka i ayah?" tanya Kun-gi
bingung. Rawan sikap Yong King-tiong, katanya setelah menghela napas:
"Bahwa delapan belas jago ko-sen kerajaan tiada satupun yang
ke mbali dala m menuna ikan tugas, sudah tentu pihak kerajaan tidak
berpeluk tangan. Setelah diselidiki, akhirnya diketahui bahwa ke18
jago kosen dari keraton itu seluruhnya terbinasa di tangan orang2
Hek-liong-hwe, sudah tentu kaisar sangat murka me mperoleh
laporan ini, ma ka gubernur Soa-tang diperintahkan untuk
menghancur leburkan kaum pe mberontak."
Ling Kun-gi berjingkat, serunya:
"Pihak kerajaan hendak
menumpas dengan pasukan besar?"
"Menghadapi pasukan besarpun Hek-liong-hwe tak pernah
gentar, umpa ma berlaksa bala tentara sekaligus menyerbu
pegunungan Kunlunsan juga takkan me mbawa hasil yang
diharapkan, yang mengge maskan justeru di da la m Hek-liong-hwe
kita sendiri ternyata ada manusia gila yang lupa akan ajaran leluhur
dan terima menjadi antek musuh dan menjual bangsa.".
Bergetar hati Kun-gi. "Siapa?"b, teriaknya terd-beliak.
"Yaitu Hek-liong-hwe Hwecu yang sekarang, Han Janto,"
Rasa geram bergejolak dala m rongga dada Kun-gi, tanyanya:
"Cara bagaimana dia berhasil menjual Hek liong-hwe kepada
musuh?" "Gubernur Soa-tang Kok Thay adalah antek perdana menteri
Hokun yang berkuasa di istana, semula Kok Thay adalah bajingan
yang sering mengisap darah rakyat dengan penindasan kejam,
waktu dia me mperoleh perintah dari istana, bukan saja ketakutan
juga kebingungan sa mpa i ter-kencing2. . . dia punya seorang
penasihat yang bernama Ci Kunjin, bergelar Im-su-boan koan
(hakim a khirat), kabarnya orang ini dulu adalah tabib kelilingan di
Kangouw, entah bagaimana akhirnya bisa me mperoleh pangkat dan
kedudukan dikalangan pemerintahan dan menjadi orang
kepercayaan Kok Thay, dari nasihat dan petunjuk Ci Kunjin inilah
kejahatan Kok Thay se makin merajalela, de mikian juga da la m ha l
ini, dia pula yang mencari akal muslihat keji, dia bilang bahwa
pasukan besar pasti takkan berhasil, ma ka dia menulis beberapa
huruf di telapak tangannya sebagai usulnya."
"Tipu muslihat apa yang dia tulis di telapak tanganya?" tanya
Kun-gi. "Me mberantas pe mberontak dengan pe mberontak."
"Me mberantas pe mberontak dengan pe mberontak?"
"Betul, muslihatnya ini boleh dikatakan a mat keji, tujuannya
adalah me mecah be lah, dia me mancing dengan harta benda serta
pangkat, jika bukan manusia gila yang durhaka, mana mungkin
berhasil mengaduk di da la m Hek liong-hwe kita?"
Setelah menarik napas panjang, akhirnya Yong King-tiong
meneruskan: "Mungkin juga lantaran sudah ditakdirkan, kebetulan
Han Janto si keparat itu berselisih paha m dengan ayahmu, akhirnya
ma lah ayahmu yang mendapatkan jabatan Hwecu, lahirnya me mang
kelihatan dia ikut mendukung, tapi denda m hatinya ternyata
semakin mendala m.
"Perlu diketahui bahwa Han Janto adalah putera adik angkat
Hwecu sendiri, ayahnya gugur di medan laga de mi me mbela panji
kebesaran Hek-liong-hwe, sela ma ini Lohwecu me mandangnya
sebagai keponakan, malah kedudukannyapun terus menanjak dan
akhirnya diangkat sebagai Ceng-liong-tong Tongcu, jika tiada
ayahmu, me mang mungkin dialah yang akan mewarisi jabatan
Hwecu kelak."
Cerita ini kedengarannya cukup jelas, tapi siapapun pasti akan
merasa bahwa dibalik cerita ini ada sesuatu yang sengaja
ditinggalkan sehingga orang sehingga rangkaian cerita ini
hakikatnya tidak se mpurna.
Kun-gi berkata: "Umpa ma betul dia berselisih dengan ayah,
itukan persoalan pribadi, tidak seharusnya dia menjual Hek-liong-
hwe." "Itulah yang dikatakan mabuk harta dan gila pangkat, dia lupa
bahwa bapaknyapun gugur di tangan musuh, soalnya pihak
kerajaan berjanji bila dia berhasil dengan usahanya, bukan saja
tidak menjatukan hukuman padanya sebagai pemberontak, malah
dia akan diangkat menjadi pe mbesar, ada hadiahnya lagi, oleh
karena janji muluk2 inilah sehingga dia rela menjual kawan de mi
mencari keuntungan pribadi, sekaligus untuk ber-muka2 dan
me mba las denda m, secara suka rela dia menyerahkan peta rahasia


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari seluruh markas pusat ini sebagai usahanya. pertama mendarma
baktikan diri pada kerajaan . . . . . ... '.
Pucat wajah Kun-gi, katanya: "Di bawah gerebegan ketat jago2
kosen pihak kerajaan, Hek-liong-hwe masih tetap jaya malah
berkembang se makin besar, semua itu berkat lorong2 rahasia di
dalam gunung ini, orang luar tiada yang tahu rahasianya, bahwa dia
rela menyerahkan peta rahasia markas pusat, itu berarti telah
menyerahkan seluruh kekuat-an He k-liong-hwe kepada musuh.
Terkepal kencang kedua tangan Yong King-tiong, katanya
dengan geregetan: "Memangnya tiga puluh tahun lebih Lohwecu
mendirikan Hek-liong-hwe,betapa jerih payah Sinswi-cu
menciptakan alat2 rahasia itu, sejak itu se mua terjatuh ke tangan
musuh." "Bagaimana kejadiannya, harap paman suka menceritakan," pinta
Kun-gi. Jelek sekali air muka Yong King-tiong, sorot matanya setajam
pisau, katanya sambil mengertak gigi: "Penegak Hek liong-hwe,
kecuali Lohwecu masih ada sembilan Tianglo lagi, mereka sehidup
semati dala m perjuangan sebagai saudara angkat, waktu Lohwecu
meninggal masih ada lima Tianglo saja yang hidup, usia mereka
waktu itu juga sudah lebih setengah abad, keparat she Han yang
durhaka itu bukan saja menyerahkan peta rahasia kita, ternyata
diapun tega berlaku keja m, di bawah hasutan dan petunjuk cakar
alap2 musuh, secara diam2 ia telah menaruh racun, beruntun
kelima Tianglo kita dibunuhnya . . . . . . . "
"Apakah tiada orang yang me mbongkar muslihatnya ini?" tanya
Kun-gi. "Tida k, kerja keparat itu a mat cermat, cerdik dan licik lagi,
apalagi racun yang dia gunakan pemberian dari istana raja, para
korban tidak meninggalkan bekas keracunan, dala m waktu satu
bulan ke lima Tianglo kita itu beruntun meninggal satu per-atu,
sudah tentu peristiwa ini menimbulkan kecurigaan, tapi para Tianglo
itu kelihatan mati dengan wajar, tidak ada gejala2 aneh sedikitpun,
meski dala m hati se mua orang menaruh curiga, tapi tiada yang bisa
berbuat apa2 . . . . . . ",
Alis Kun-gi menegak, desisnya geram: "Bangsat keparat itu
me mang pantas dicacah lebur ber-keping2."
"Dua puluh tahun yang lalu, pada mala m Toanngo (Pek-cun),
hampir dua bulan sejak Tianglo terakhir meningga l dunia, selama itu
tak pernah terjadi apa2 dalam Hek-liong-hwe kita, ma ka
kewaspadaan kita menjadi kendor, Toanngo adalah hari raya besar,
setiap tahun seperti lazimnya Hwecu pasti mengumplkan ketiga
Tongcu dan tiga puluh enam panglima untuk berpesta pora di ruang
pendopo, demikian pula para kepala ronda dari masing2 seksi juga
diundang . . . . . . . . ."
"Ke mbali dia
menggunakan racun?" tak
tertahan Kuangi
bertanya. Yong King-tiong t idak rnenjawab langsung, katanya: "Dika la
hadirin ma kan minum dengan riang ge mbira, seorang she Sim,
kepala ronda dari Ceng-liong-tong, tiba2 berlari masuk dengan ter-
buru2, langsung dia ber-bisik2 ditelinga Han Janto" tampak Han
Janto mengunjuk wajah berseri, segera dia bangkit dan berkata
dengan suara lantang: "Hadirin sekalian, hari ini adalah hari raya
Toanyang, kebetulan para saudara hadir di sini, ada beberapa patah
kata ingin kusampaikan. Hek-liong-hwe kita sudah berdiri sejak 30
tahun yang lalu, tujuan semula adalah me mbangkitkan ke mbali
kerajaan Beng, tapi selama 30 tahun ini pernerintahan Boan sudah
amat kukuh dan sudah berkuasa di seluruh negeri, harapan untuk
me mbangkitkan kerajaan Beng sudah nihil, dengan kekuatan kita
yang hanya beberapa gelintir manusia ini jelas takkan ma mpu
me lawan kekuasaan raksasa kerajaan seka-rang, bak telur
me mbentur batu belaka, daripada ber-tahun2 kita tetap hidup di
perut gunung, jarang sekali me lihat sinar matahari, apalagi selama
30 tahun ini tiada kemajuan yang kita capai, orang kuno juga bilang
adalah bijaksana kalau kita tunduk pada firman Thian, sebaliknya
menentang takdir pasti a kan hancur lebur, maka menurut he matku,
lebih baik kita menyerah kepada kerajaan Boan saja, kita terima
pengampunan dan anugerahnya, masa depan kita masih terbentang
luas di depan mata. Kira2 begitulah pidatonya waktu itu. Ai,
sungguh me ma lukan bahwa dia berani bicara serendah itu."
"Bagaimana reaksi ayah pada waktu itu?" tanya Kun-gi.
"Waktu itu hadirin mengira dia terlalu banyak menenggak arak,
maka kata2nya ngelantur, tapi hal itupun sudah merupaka
pelanggaran serius yang tidak boleh didia mkan, sudah tentu hwecu
tidak berpeluk tangan, segera dia membantak: `Hantongcu, gila
kau, berani kau omong sekotor itu, menurut aturan kita, kau pantas
dihukum pancung dan dipreteli anggota badanmu.'
"Han Janto ma lah terbahak mendongak, serunya: 'Ling Tiang-
hong, jangan kau pa mer kewibawaanmu sebagai Hwecu dihadapan
tuan Hanmu ini, coba pentang lebar matamu, kalian kaum
pemberontak ini, jangan harap satupun bisa lolos.'
Mendadak ia me mbanting cangkir arak di tangannya.
Me mbanting cangkir adalah isyarat, maka dala m sekejap dari
delapan pintu rahasia yang ada di ruang pendopo se kaligus
me mberondang keluar puluhan jago2 kosen kerajaan."
"Kekuatan inti Hek-liong-hwe berada se mua di ruang pendopo,
kecuali mereka mengguna kan senjata rahasia yang amat jahat,
masa puluhan cakar alap2 musuh tak ma mpu mereka
me mberantasnya?" tanya Kun-gi.
Berkerut gigi Yong King-tiong, katanya pedih dengan suara berat:
"Cakar alap2 itu tiada yang menggunakan senjata rahasia, tiada
pertempuran yang terjadi di ruang pendopo karena tiada
perlawanan sedikitpun dari kita, dengan mata mendelong se muanya
di telikung dan dibelenggu tanpa bisa berkutik."
Mencelos hati Kun-gi, serunya: "Se muanya terkena racun"!"
Guram sorot mata Yong King-tiong, katanya: "Di dala m arak Han
Janto telah mencampurkan bubuk pele mas tulang, semua orang
kehilangan daya tahannya, apalagi untuk melawan ........."
"Bagaimana ayah?" tanya Kun-gi gugup.
Berlinang air mata Yong King-tiong, katanya: "Waktu itu Losiu
sudah menjabat Hek liong-hwe Congkoan, karena tugas maka aku
tidak hadir dala m perjamuan itu, kejadian ini akhirnya kudengar dari
cerita orang. Melihat gelagat tidak me nguntungkan. Hwecu
menggigit lidah dan bunuh diri, dia gugur sebagai pahlawan bangsa
dalam tugasnya.".
Bercucuran air mata Kun-gi, tiba2 dia menjatuhkan diri dan
berlutut, ratapnya: "Yah, anak berjanji pasti akan membunuh
bangsat she Han itu dengan tanganku sendiri untuk me mbalas sa-kit
hatimu." Sambil menyeka air mata Yong King-tiong berkata: "Kongcu tak
usah sedih, setelah kembali dari Hek-liong-tam, pasti dengan mudah
kau dapat menuntut ba las, me mangnya bangsat she Han itu dapat
lari ke mana?"
Kun-gi bangkit berdiri, mendadak dia tanya dengan prihatin:
"Lopek (pa man), cara bagaimana ibu dapat melarikan diri wa ktu
ilu?" "Mungkin sudah suratan takdir, ibumu waktu itu sudah bunting,
karena sering muntah2, maka dia tidak hadir dala m perjamuan,
kawanan cakar alap2 itu sedang sibuk menerima tugas dan berebut
kedudukan, apalagi di-mana2 masih ada perlawanan, maka ibumu
mendapat kese mpatan lari setelah mendengar perubahan situasi,
ketika mere ka sadar, namun ibumu sudah lolos lewat jalan
rahasia.."
"Bangsat she Han itu sudah menjual Hek-liong-hwe, cara
bagaimana dia bisa menjadi Hwecu Hek-liong-hwe pula?"
"Dengan menjual Hek-liong-hwe berarti dia telah berjasa besar
bagi kerajaan, kini dia sudah menjadi pe mimpin komandan pasukan
bayangkari keraton, di sa mping kedudukan sa mpingannya sebagai
Hek liong-hwe Hwecu, dan semua ini merupa kan suatu rencana keji
yang mengandung banyak muslihat."
"Me mangnya ada muslihat keji apa pula?" tanya Kun-gi heran.
Yong King-tiong menengga k secangkir teh, katanya kemudian:
"Se mua ini ada sangkut pautnya dengan Losiu, demikian pula erat
hubungannya dengan Kongcu sendiri."
"O," Kun-gi me longo keheranan.
"Dua puluh tahun yang la lu, kelompok2 penentang kerajaan Boan
dan pembangkit kerajaan Beng tersebar luas di selatan dan utara
sungai besar, semuanya berada di bawah komando Tuan Puteri,
sebagiantertumpasolehmusuh,banyakpu-layang
menye mbunyikan diri dan sejak itu tiada gerakan2 lagi, hanya Hek-
liong-hwe karena me mpunyai kedudukan strategis, maka dia tetap
berdiri jaya dan menjulang di kalangan Kangouw, boleh dikatakan
Hek-liong-hwe merupakan kelompok terakhir yang masih aktip.
Bahwa pihak kerajaan sekarang masih tetap me mpertahankan He k-
liong-hwe tujuanya adalah untuk menggaruk sisa gerakan ra kyat
yang terpendam, maksud uta ma mereka adalah menumpas habis ke
akar2nya kaum patriot yang hendak me mbangkitkan kerajaan Beng
. . . ' "Me mangnya ini ada sangkut paut apa dengan dia dan a ku?"
dia m2 Kun-gi me mbatin dala m hati..
"Kecuali itu masih ada sebab la innya pula," sa mbung Yong King-
tiong, "ini ada hubungannya dengan Hek-liong-ta m . . . . "
Mendengar orang ke mbali menyinggung Hek-liong-ta m, padahal
tadi dikatakan bahwa pihak kerajaan menyerahkan kekuasaan
pimpinan Hek-liong-hwe kepada keparat she Han itu ada sangkut
pautnya dengan diriku, kini dikatakan pula ada hubungan dengan
"kola m naga hitam", maka dapatlah disimpulkan bahwa di kola m
naga hitam itu tentu tersembunyi sesuatu yang ada sangkut
pautnya dengan dirinya.
Sebelum Kun-gi me ndesak, Yong King-tiong telah melanjutkan
kisahnya. "Kemudian Losiu di-tawan, karena dia anggap paling
akrab dengan ayahmu, sela ma setahun lebih a ku disekap dala m
penjara, belakangan Losiu me ndapat tahu bahwa ibumu berhasil
lolos dengan me mbawa lari Leliong-cu dan musuh tak berhasil
mene mukan jejaknya, maka Losiu pikir harus bertahan hidup, malah
aku berusaha untuk tetap memegang jabatan Congkoan dalam He k-
liong-hwe, karena dala m me mangku jabatan itulah baru aku punya
harapan untuk menunggu kedatangan Kongcu, maka terpaksa aku
merendahkan diri terima diperintah dan dihina, malah sengaja
kubocorkan juga sesuatu rahasia besar yang cukup penting sebagai
penebus hukumanku . . . . . . ."
Mendengar sampai di sini tak tertahan Kun-gi bertanya: "'Entah
rahasia penting apa yang Lopek bocorkan kepada mereka?"
"Kecuali ibumu hanya Losiu seorang saja yang tahu akan rahasia
ini," ujar Yong King-tiong ter-tawa, "yaitu sebuah kamar gua yang
terletak di dasar Hek-liong-tam yang dulu dite mukan Lohwecu di
waktu me mbuat lorong rahasia, di dalam ka mar gua itulah ada
peninggalan ga mbar yang terukir di dinding tentang ilmu pedang
maha sakti dari peninggalan Tiong-yang Cinjin. Waktu Tuan Puteri
mengadakan inspe ksi ke Hwe kita, beliupun berpendapat bahwa
letak kamar gua itu a mat strategis dan rahasia, maka daftar nama
dan tokoh2 dari berbagai aliran besar yang ikut menjadi anggota
Thay-yang-kau (agama me muja matahari) disimpannya juga di
sana, mengingat betapa penting beratnya tugas serta tanggung
jawab ini, ma ka Lohwecu minta kepada Sinswi-cu untuk
menciptakan suatu alat rahasia, dari gua sebelah atas mengalirkan
getah beracun ke dala m ka mar gua itu, sehingga terciptalah kola m
naga hita m itu."
"Lopek me mbocorkan rahasia ini kepada musuh, bukankah
berarti menjual se luruh anggota Thay-yang-kau yang didirikan oleh
Tuan Puteri?"
"Teguran Kongcu kuterima dengan lapang hati, soalnya kalau
Losiu tida k me mbocorkan rahasia ini, tak mungkin a ku me mperoleh
kepercayaan mereka, itu berarti tak mungkin a ku menjabat Cong-
koan di Hek-liong-hwe, mana mungkin pula sela ma dua puluh tahun
ini aku me nunggu tibanya Kongcu?"
"Yang terang Lope k telah mengorbankan jiwa, para anggota
Thay-yang-kau, me mangnya apa pula gunanya meski telah berhasil
menunggu kedatanganku. ."
"Terus terang Losiu juga pernah bersumpah berat di hadapan
ma laikat Matahari, masa aku berani menjual sesa ma saudara
anggota" Apalagi soal ini menyangkut la ksaan jiwa para anggota
yang lain umpawa daftar itu betul2 terjatuh ke tangan musuh, itu
berarti Losiu menjadi manusia yang paling berdosa di dunia ini,
seribu ka li ke matiankupun be lum mengimpasi dosa2ku"
"Bukankah Lopek bilang sudah me mbocorkan rahasia ini kepada
mereka?" "Tadi Losiu bilang, oleh Lohwecu Sinswi-cu diminta me mbuat
suatu saluran getah beracun sehingga hakikatnya ka mar gua itu
berada di dasar kolam naga hita m, jelasnya kamar gua itu terletak
dua puluhan tombak di dasar kolam, setetes getal saja dapat
me layangkan jiwa manusia, apalagi getah sedalam dua puluhan
tombak, umpa ma dewa atau mala ikatpun takkan mungkin se lulup
ke dasarnya."
"O," sampa i di sini baru Kun-gi paha m, "aku mengerti!'
Mengerti soal apa" Yaitu kenapa piha k Hek-liong-hwe dan Pek-
hoa-pang sama berlomba berusaha mencari obat penawar getah
beracun. Kini jelas tujuan He k-liong-hwe adalah untuk menga mbil daftar
nama anggota Thay-yang-kau. Demikian pula Thay-siang dari Pek-
hoa-pang, tujuannya tentu pada ajaran ilmu pedang yang tertera di
dinding gua peninggalan Tiong-yang Cinjin.
Kini persoalannya se makin je las lagi bahwa Thay-siang Pek-hoa-
pang itu adalah puteri tunggal Lohwecu yang minggat, yaitu nona
Ji-hoa. Dengan mengelus jenggot Yong King-tiong bertanya: "Kongcu
mengerti soal apa?"
"Bahwa He k-liong-hwe sengaja menculik Tong-losianseng dari
Sujwan, Unlocengcu dari Ling-la m, Lok-san Taysu dari Siau-lim-s i
serta Cu-cengcu pemilik Liong-binsanceng, mereka ditekan dan
diperas untuk menciptakan obat penawar getah beracun, tujuannya
terang adalah daftar anggota yang berada di dasar kola m."
"Betul," Yong King-tiong mengangguk, "tapi ada satu hal yang
mereka lupa kan, yaitu kenapa ibumu me mbawa lari pula Leliong-
cu." "Leliong-cu, apakah dapat menawarkan getah beracun dala m
kola m?" "Agaknya ibumu tidak menjelaskan seluruh persoalan ini kepada
Kongcu, tak heran kau kebingungan."
"Me mangnya masih ada rahasia lainnya?" tanya Kun-gi terbeliak.
"Leliong-cu me mang dapat menawarkan segala maca m racun2
aneh di dunia ini, tapi mut iara itu masih punya khasiat lainnya pula,
yaitu masuk air tida k basah, ma ka iapun dina ma kan juga Huncui-
cu," sampai di sini dia menatap Kun-gi, katanya pula. "sekarang
tentu Kongcu ma klum kenapa Losiu rela hidup terhina sela ma dua
puluh tahun ini, karena dengan penuh harapan menunggu
kedatangan Kongcu."
"Jadi Lopek ingin Siautit terjun ke dasar kolam masuk ke ka mar


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gua itu?" Mendadak sikap Yong King-tiong tampa k serius, katanya: "Betul,
kini Kongcu me mikul dua tugas berat yang amat penting artinya.
Pertama untuk menuntut balas ke matian ayahmu kau harus pelajari
seluruh ilmu pedang peningga lan Tiong-yang Cinjin secara lengkap,
karena sejak kecil Han Janto dibimbing dan diasuh oleh Lohwecu,
Lohwecu telah mengajarkan segala ke ma mpuannya tanpa batas
kepadanya, apa yang ibumu ajarkan pada mu, tentu diapun bisa,
bicara soal Hwi-liong-sa m-kia m, dalam hal Lwekang jelas dia lebih
kuat daripada kau, maka hanya bila kau berhasil me mpelajari
seluruh ilmu pedang itu secara lengkap baru kau akan bisa
menga lahkan dia."
Ling Kun-gi tertunduk sa mbil me ngiakan.
"Kedua, daftar anggota Thay-yang-kau yang tersimpan dala m
kamar gua itu harus segera kau hancur leburkan."
"Lho, kenapa dihancurkan malah?"
"Daftar itu dibuat pada puluhan tahun yang lalu, waktu itu Tuan
Puteri ada kontak dengan semua aliran dan golongan patriot hendak
bergerak dan penguasa sekarang, tapi hal itu ber-larut2 sampai
sekarang, padahal kerajaan Boan kini sudah bercokol kukuh dan
kuat berkuasa, di samping kelompok2 anggota Thay-yang-kau yang
tersebar luas di-mana2 banyak yang sudah bubar atau tida aktif
lagi, maka daftar anggota itu sudah tidak berarti pula, tapi bila
daftar ini terjatuh ke tangan pihak kerajaan, entah betapa banyak
jiwa yang akan menjadi korban, daripada menimbulkan bencana
bukankah lebih baik dihancurkan saja"
Kun-gi berdiri, katanya: "Siautit perhatikan pesan ini, lalu
bagaimana cara untuk pergi ke Hek-liong-ta m?"
"Silakan duduk Kongcu, Hek-liong-ta m dibangun oleh Sinswi-cu
secara cermat dan mengagumkan sekali, umpa ma sudah me miliki
Leliong-cu, kalau tidak tahu cara mengatasi dan tidak punya kunci
rahasia pembukanya juga sia2 belaka. Setelah meningga lkan ka mar
ini kita takkan boleh berbicara lagi, maka di sini Losiu perlu
menje laskan semua rahasia yang ada di dalamnya kepadamu,"
sembari bicara dari lengan bajunya dia merogoh keluar segulung
kertas yang terbuat dari kulit domba, terus dibeber di atas meja.
Dia menuding gambar2 yang tertera diatas kertas, katanya:
"Luas kola m ini dua puluh e mpat tombak: pada dinding cura m
sebelah utara terdapat sebuah patung batu berbentuk kepala naga,
pancuran getah beracun keluar dari mulut kepala naga ini, getah
beracun terus mengalir tidak pernah putus, dengan Pia-houkang
(ilmu cica k merayap) kau harus melorot turun ke bawah sa mpa i
dasar kola m, untung Leliong-cu dapat me mberi penerangan, di
bawah kau bisa melihat sebuah gelang baja yang kuning mengkilap,
dengan tenaga Tay-lat-kim-kong-jiu-hoat dari Siau-lim-s i, tariklah
sekuat tenagamu, maka aliran getah dari mulut naga akan berhenti,
sementara getah di dalam ko-la m a kan mengalir keluar me lalui
delapan lubang ke je mbangan yang tersembunyi di dasar lain,
volume air akan cepat menurun, di dasar kola m terdapat sebuah
batu karang yang menonjol keluar ke permukaan, setelah itu baru
kau lepaskan gelang baja itu dan me lompat ke atas batu karang,
ke mbali dengan Tay-lat-kiwi-kong-jiu kau harus menggeser sebuah
batu bundar raksasa di atas batu ka-rang itu, di bawah batu itulah
ada jalan rahasia menuju ke ka mar gua . . . . "
"Kalau a ir berhenti mengalir dari mulut naga. air kola m akan
menurun, apakah orang-orang Hek-liong-hwe tidak akan tahu?"
tanya Kun-gi. "Pertanyaan bagus," ujar Yong King-tiong, "bagian dalam di
antara himpitan tebing curam da-ri Hek-liong-tam itu setiap waktu
tertentu pasti menimbulkan kabut tebal, terutama pada kentongan
keempat dan kelima, begitu tebal kabut di sana sampa i berdiri
berhadapanpun takkan bisa melihat wajah lawan, kabut akan pudar
dan sirna setelah fajar menyingsing, para penjaga di luar le mbah
dilakukan secara bergiliran, maka tak perlu kuatir akan di ketahui
orang, sekarang kau harus perhatikan lukisan ini serta mengingat
letaknya di luar kepa la."
"Baiklah, Siaut it sudah mengingatnya."
"Bagus sekali," ujar Yong King-tiong, dia je mput kertas kulit
kambing itu lalu mere masnya serta di-gosok2 di antara kedua
telapak tangannya, kertas kulit ka mbing itu seketika hancur luluh
dan berhamburan di lantai.
"Lopek,"seruLing
Kun-gi kaget, "kenapa kau menghancurkannya?"
Yong King-tiong menghela napas, katanya: "Kondcu sudah
datang, gambar ini tidak perlu disimpan lagi, lebih baik dihancurkan
saja." Lalu dari kantong bajunya dia keluarkan sebuah benda kuning
emas yang berbentuk ikan emas sepanjang dua dim, dengan hati2
dan serius dia serahkan mainan ikan e mas itu, kepada Kun-gi, ka-
tanya: "Inilah salah satu dari benda Hek-liong-hwe yang paling
rahasia dan a mat penting serta besar artinya. Leliong cu dikuasai
oleh Hwecu sendiri, sementara ikan e mas ini diserahkan kepada
Cong-koan untuk menyimpannya, di dalam perut ikan ada tersimpan
kunci untuk me mbuka ka mar gua di dasar kola m, beruntung hal ini
hanya diketahui oleh Hwecu dan Hek-liong-hwe Congkoan saja,
sudah dua puluh tahun lebih Losiu menyimpannya, aku sendiri
belum pernah me lihatnya tentang cara me mbukanya, hanya Hwecu
sendiri yang tahu, setelah berada dilorong menuju ke ka mar gua itu
boleh kau bekerja menurut keadaan, untuk ini lo-siu tak bisa
me mberi petunjuk apa2 lagi."
Kun-gi terima mainan ikan e mas itu, terasa bobotnya amat
enteng, badan dan ekor ikan dapat bergerak, sisiknya mengkilap,
mirip sekali dengan ikan asli, bagus sekali pe mbuatannya."
Yong King tiong berdiri, katanya: "Baiklah, sekarang hampir
kentongan kee mpat, marilah kita berangkat."
Kun-gi ikut berdiri. Sekali kebut Yong King-tiong pada mkan api
lilin dan mengha mpiri dipan batu dan didorongnya pelan2. Melihat
caranya mendorong, jelas dipan batu itu a mat berat, ma ka
terdengarlah suara geseran gemuruh dari dasar lantai.
Akhirnya Yong King-tiong berpaling, katanya: "Inilah a lat rahasia
yang kutiru dari ciptaan Sinswi-cu, maka tiada orang kedua yang
tahu akan pintu rahasia ini, me mang terla mpau berat tapi yakin
takkan konangan oleh siapapun . . . . . . . ." waktu bicara dipan batu
sudah terdorong mundur lima kaki, tapi dia masih terus
mendorongnya. Dari bawah lantai ta mpak mulai t imbul gerakan
seiring dengan dorongan dipan batu itu, maka tampaklah sebuah
lubang persegi di bawahnya.
"Apakah se mua ini bikinan Lopek sendiri?" tanya Kun-gi.
Yong King-t iong sudah berhenti mendorong, katanya tertawa:
"'Sudah tentu, Losiu me mpunyai dua be las ahli pedang sebagai bna k
buah, tapi kecuali Siau-tao tadi, tiada bseorangpun yang menjadi
orang kepercayaanku, untuk me mbuat pinto rahasia ini, aku sudah
menghabiskan waktu 10 tahun."
Setiap mala m sela ma 10 tahun, tanpa tidur dan mengenal lelah
me mbuat jalan rahasia di bawah tanah, betapa besar semangat dan
ketekunan kerjanya sungguh harus dipuji.
Dari dala m kantongnya Yong King-tiong mengeluarkan sebuah
bumbung te mbaga, kiranya sebuah obor, langsung dia menerobos
turun lebih dulu ke dala m lubang di bawah tanah, katanya: "Biarlah
Losiu me nuujukkan jalannya:."
"Creet" di bawah dia menyalakan obor terus melangkah turun
me lalui unda kan batu.
Kun-gi mengikuti langkahnya, kira2 puluhan undakan ke mudian
baru jalan terasa datar dan lebar. Yong King-tiong serahkan
bumbung obor kepada Kun-gi. lalu me mba lik, ternyata diatas
dinding ada terasang roda besi, dengan kedua tangan dia pegang
roda besi terus diputarnya pelan2. Kelihatan dia mengerahkan
tenaga dan memutarnya dengan kuat. Setelah roda besi bergerak,
dari dalam dinding lantas berkumandang suara gemuruh, papan
batu di atas kepalanya mulai bergerak terus menutup seperti
asalnya. Ternyata Yong King-bong tidak berhenti, ia masih terus me mutar
roda, Kun-gi tahu orang sedang menga lihkan dipan batu ke te mpat
asalnya. Kira2 tiga puluhan putaran ke mudian pelan2, Yong King-tiong
menghentikan kerjanya, katanya dengan tertawa: "Alat rahasia ini
teramat berat, kalau dibandingkan ciptaan Sinswi-cu, bedanya bagai
langit dan bumi, tapi Losiu sudah merasa puas. Seorang yang asing
dalam ilmu peralatan rahasia seperti ini ternyata dapat juga
menciptakan alat2, rahasia seberat ini dengan kedua tangan
sendiri." "Bagi seseorang yang teguh iman dan penuh kerja yang tak
kenal putus asa pasti akan mencapai cita2nya, bahwa Lopek
seorang diri dapat me mbuat lorong rahasia ini, sungguh harus
dipuji." "Siang mala m yang kuharapkan hanya satu, yaitu semoga
Kongcu dapat masuk ke dasar kola m dengan sela mat,
menghancurkan daftar anggota Thay-yang-kau dan mempelajari
ilmu pedang peninggalan Tiong-yang Cinjin dengan se mpurna,
sehingga semua aliran dan golongan di kalangan Kangouw bisa
bertahan hidup sejahtera, demikian purla anak cucu para pe mbesar
kerajaan yang terdahulu yang tersebar di mana2 bisa
me mpertahankan kehidupan keluarganya, asal bibit2 Thay-yang-kau
masih ada dan bersemi dala m sanubari mereka, pasti akan datang
suatu ketika kekuatan perlawanan terhadap pemerintahan kerajaan
yang lalim, sehingga bangsa dan tanah air dapat bebas dari jajahan
musuh, itulah cita2 Losiu.
Di sa mping itu akan kubantu Kongcu sekuat tenaga
me mberantas para penjahat dan keparat jahanam itu untuk
menuntut ba las sakit hati Hwecu, Losiu terhina sela ma dua puluh
tahun ini, umpa ma kedua cita2 ini berhasil dengan baik, matipun
aku bisa mera m," sa mpai di sini, mendadak dia bersuara lirih:
"Awas, Kongcu, di depan ada sebuah pengalang batu raksasa,
jangan kau me mbenturnya."
Maklumlah lorong ini dibuka oleh Yong King-tiong seorang diri
dengan kedua tangannya, sudah tentu bentuknya tidak selebar dan
serata lorong gua lainnya. Bukan saja terasa naik turun, demikian
pula langit2 gua juga banyak terdapat batu2 padas yang menongol
keluar, maka mereka harus jalan setengah merunduk, sudah tentu
Ling Kun-gi bisa berjalan hati2 karena matanya bisa melihat di
tempat gelap apalagi ada penerangan obor.
Begitulah kira2 semasakan air akhirnya mereka tiba di ujung
lorong, di mana terdapat sebuah dinding pengalang. Yong King-
tiong berdiri tegak, ke mbali dia serahkan bumbung obor kepada
Ling Kun-gi, di bawah penerangan ta mpak di dinding terdapat pula
sebuah roda besi sebesar mulut mangkuk besar. Dengan kedua
tangan Yong King-t iong pegang roda besi itu serta mendorongnya
pelan2, katanya: "Turun dari sini, kira2 lima tombak tingginya baru
akan sa mpai di tanah datar dan letaknya tepat di sebelah kiri He k-
liong-ta m, apa yang Losiu uraikan tadi apa kau sudah ingat betul?"
"Siautit mengingatnya dengan baik," sahut Kun-gi.
Begitu didorong se kuat tenaga oleh Yong King-tiong, sebuah batu
besar bentuk bulat pelan2 lantas terdorong keluar, maka terbukalah
sebuah mulut bundar di dinding, tak ubahnya seperti jendela sebuah
gedung. Di roda ternyata ada sebuah rantai besi sebesar lengan
tangan, maka batu besar bulat yang terdorong keluar itu tidak
sampai jatuh ke bawah.
"Baiklah kau boleh turun," ucap Yong King-tiong, "ingat, sebelum fajar kau sudah harus naik ke mari, itu berarti kau hanya punya
waktu satu kentongan (kira2 satu ja m) berada di ka mar gua di
dasar kola m, nanti Losiu akan me mbantumu dari pinggir kola m."
"Siautit akan perhatikan pesan Lopek," sahut Kun-gi, lalu dia
menerobos ke luar dari lubang bulat itu, tampak di luar gua sudah
diliputi kabut tebal yang ber-gulung2, pemandangan serba
remang2, tiada sesuatu apapun yang bisa dilihatnya. Maka pelan2
dia menarik napas dan mengerahkan tenaga, sekali enjot tubuh
terus terjun ke bawah.
Didengarnya suara lirih, tapi jelas dari sebelah atas: "Be kerja
hati2 Kongcu, Losiu doakan kau berhasil."
"Dari peta tadi Kun-gi sudah tahu jelas letak Hek-liong-ta m, kalau
tidak melompat turun ke te mpat yang gelap gulita begini pasti
selangkah pun takkan ma mpu beranjak. Karena tempat dia berpija k
itu adalah balok batu yang letaknya per-sis di pinggir kola m,
selangkah saja lebih maju, kaki akan me nginja k tempat kosong dan
terjerumus ke He k-liong-tam.
Sebetulnya dia me mbawa Leliong-cu, di te mpat gelap sinar
mut iara dapat mencapai setombak jauhnya, tapi kabut tebal di sini
laksana awan hita m yang pekat, maka Le liong-cu hanya bagai sinar
kunang2 be laka, paling hanya ma mpu menyinari dua ka ki.
Hakikatnya Kun-gi juga tidak perlu me lihat, karena dalam
benaknya sudah terlukis ga mbaran akan letak kola m naga hitam di
bawahnya, sejenak dia berdiri menenangkan hati, lalu menggere met
menyusur dinding gunung terus maju ke arah kanan.
Kabut me mang a mat pekat, pancuran air yang gemericik dari
mulut kepala naga di sebelah depan sana masih terdengar jelas,
dengan cermat Kun-gi me mperkirakan jaraknya tinggal delapan
tombak lagi, maka langkahnya se makin ber-hati2.
Tengah berjalan, tiba2 terasa sebelah kakinya menginjak te mpat
kosong, ternyata balok batu yang dibuat jalanan sudah berakhir.
Untung dia selalu waspada, karena punggung mene mpel dinding,
meski kaki menginjak te mpat kosong tubuhnya tidak segera jatuh
ke bawah, segera dia kerahkan ilmu pek-houkang, dengan cara
mera mbat seperti cicak dia terus menggeremet maju.
Tak la ma ke mudian dia sudah mera mbat tiba di bawah kepa la
naga, sudah tentu iapun tidak bisa melihat kepala naga, cuma suara
pancuran saja yang dia dengar di atas kepalanya dan jatuh ke
bawah. "Di sinilah te mpatnya," demikian pikir Kun-gi, sementara
badannya sudah mulai melorot turun dengan cepat. Sekejap saja
dia, sudah melorot tujuh tombak, suara pancuran dalam kolom
terdengar semakin keras. Kiranya dia sudah ha mpir t iba
dipermukaan air, selepas matanya memandang kabut hita m tetap
tebal, hakikatnya dia tida k bisa melihat keadaan seke lilingnya.
Untung badannya tidak keciprat setetes airpun, maka dia lantas
kerahkan Jiankintui, badannya terus melorot lebih turun lagi
sehingga sepuluhan tomba k telah dicapainya, sungguh aneh bin
ajaib, ternyata badannya tidak menjadi basah oleh air kola m.
Sementara suara pancuran terdengar ber-ada di sebelah atas, jelas
bahwa dirinya kini sudah tenggelam di dala m air kola m. Dia m2 dia
me mbatin: "Leliong-cu me ma ng mestika aneh di dunia ini, masuk a ir
tidak menjadikan badanku basah sedikitpun."
Mengingat waktu amat berharga, maka dia tidak ayal lagi, dia
terus meluncur ke bawah, betapa cepat gerakan badannya, tahu2
kakinya sudah menginjak dasar kola m. Setelah berdiri tegak, kabut
sudah tiada lagi, tapi sekelilingnya seperti di-bungkus kegelapan
me lulu, berada dala m a ir, mes-ki badan dan pakaian tidak basah,
tapi tekanan gelombang a ir terasa berat juga sehingga badan ikut


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terombang-a mbing.
Di te mpat nan gelap pada dasar kola m ini, Leliong-cu
me mancarkan cahayanya yang gemilang, setombak jauhnya dapat
disinarinya. Kun-gi tidak banyak pikir, dengan seksama dia periksa
sekelilingnya, betul juga dilihatnya delapan tombak ditengah sana,
terdapat sebuah benda bundar warna hita m, ternyata itulah gelang
baja yang dicarinya itu. Dengan girang cepat dia mengha mpiri, aneh
sekali menghadapi kenyataan di depan matanya, setiap kali dia
bergerak maju, air di sekitar badannya seakan2 tersibak ke pinggir
me mberi peluang dia berjalan maju, sedikit gerakan inipun ternyata
menimbulkan reaksi cukup besar sehingga a ir kola m bergolak keras.
Setelah dekat dia lebih perhatikan lagi, benda bundar itu
me mang betul ada lah gelang baja sebesar mulut mangkuk. Tanpa
ayal dia mula i mengerahkan Tay-lik-kim-kong-sim-hoat, dengan
kedua tangan pegang gelang baja, pelan2 dia mulai menariknya ke
atas. Jangan dikira gelang ini benda kecil, ternyata waktu ditarik
beratnya ribuan kati, umpa ma Kun-gi tida k pernah meyakinkan Kim-
kong-sim-hoat ja-ngan harap dia ma mpu menariknya bergerak.
Mendadak tergerak pikiran Kun-gi: "Waktu Suhu mengajarkan
Kim-kong-sim-hoat beliau pernah bilang : 'Jangan kau kira pelajaran
semadi sela ma tiga tahun ini merupakan ajaran berat, kelak juga
pasti me mperoleh manfaatnya.' Memangnya Suhu sudah tahu
bahwa hari ini aku bakal menggunakan ilmu ini dala m He k-liong-ta m
ini?" "Ayah juga murid didik Siau-lim, malah murid Ciangbun Hong-
tiang Kay-to Taysu dan belakangan diperkenalkan kepada kakek
luar, waktu beliau diutus ke Hek-liong-hwe mungkin sebelumnya
sudah direncanakan untuk mewariskan jabatan hwecu kepada ayah,
karena kalau bukan murid Siau-lim dan tidak pernah meyakinkan
Kim-kong-sim hoat, siapapun takkan ma mpu menarik ge lang baja ini
. . . .. . "
Selagi berpikir itulah, sekeliling dasar kola m terdengar suara
gemuruh, air menga lir ge merojok, air dala m kola m laksana diaduk
mulai berkisar dan bergolak dengan hebat. Dari suaranya yang
gemu-ruh, sedikitnya ada delapan tutup pintu air yang terbuka
sehingga air mengalir ke luar. Sudah tentu dengan menyurutnya air,
tekanan air dengan gejo-laknya yang semakin besar terasa amat
berat. Tapi Kun-gi tetap kerahkan ilmu Kim-kong-s im-hoat, kedua
tangan dengan kencang berpegang pada gelang baja, meski air
dalam kola m berpusar dengan hebat, laksana batu karang yang
kukuh dia tetap berdiri di te mpatnya tanpa bergeming.
Kira2 setanakan nasi ke mudian, ge muruh air yang me mbanjir
keluar itu se makin reda, pusaran airpun mengecil dan tekananpun
sirna, keadaan dalam kola m ke mbali menjadi tenang. Tahu sudah
tiba saatnya, pelan2 Kun-gi lepaskan gelang baja yang dipegangnya
terus maju lurus ke depan. Dia masih ingat batu karang yang
terlukis dala m ga mbar kulit ka mbing, letaknya tepat di tengah dasar
Herk-liong-ta m.
Luas Hek-liong-ta m hanya dua puluh empat tombak, dari arah
manapun kau maju jaraknya tetap sama sekitar dua belas tombak,
asal dirinya maju dua belas tombak, pasti akan mencapai batu
karang.. Karena berada di dala m air, sudah tentu tidak bisa maju cepat2,
tapi setiap langkahnya dia perhitungkan dengan ba ik, kira2
sepuluhan tomba k, lapat2 dilihatnya sebelah depan terdapat banyak
batu2 karang yang berserakan, di bagian tengahnya mirip gugusan
sebuah bukit yang tegak menjulang di tengah kola m. Tanpa banyak
pikir Kun-gi me lompat maju, kakinya hanya menutul tepi karang dan
cepat sekali badannya sudah me ncapai puncak karang.
Puncak karang itu sudah di luar permukaan air, keadaan
sekelilingnya terasa gelap gulita pula ter-bungkus kabut tebal.
Puncak karang ini ternyata meruncing kecil ke atas, tempat untuk
berpijak pa ling hanya beberapa kaki lebarnya, cepat sekali Kun-gi
sudah mene mukan batu raksasa yang bundar itu.
Batu ini mirip bola tepat bertengger di pucuk karang, besarnya
kira2 dua-tiga ka ki, mendekati batu bulat itu Kun-gi langsung
kerahkan Kim-kong-sim-hoat, kedua tangan me meluk batu bulat
terus pelan2 mengangkatnya ke atas. Batu ini hakikatnya rata dan
tiada tempat untuk berpegang, apalagi sudah sekian puluh tahun
terendam dalam air, bagian luarnya terbungkus lumut yang amat
licin, tapi dengan mengerahkan tenaga kesepuluh jarinya Kun-gi
dapat meme luk batu bulat itu dengan kencang, sekuatnya dia
angkat pula sehingga batu itu mulai berge ming.
Ternyata batu ini me mang benar2 bulat mirip bola, cuma separo
di antaranya sudah terendam dalam lumpur dan merekat dengan
batu karang seperti berakar layaknya, waktu diangkat dari bawah
seakan ada daya tarik yang amat kuat memperta-hankannya. Tapi
setelah batu bola itu terangkat naik setinggi satu kaki, daya tarik ke
bawah itu ternyata sirna, malah batu bulat itu berputar dan pe lan2
bergerak ke atas.
Waktu Kun-gi menunduk, ternyata tepat di bawah batu bulat
tersambung sebatang besi bulat sebesar lengan, kini dia t idak perlu
me mbuang tenaga lagi, besi penyanggah itu telah mengangkat batu
bulat itu semakin tinggi. Maka muncul ah sebuah lubang bundar di
bawah batu bulat, lubang di bawahnya tampak gelap tak kelihatan
dasarnya. Kun-gi segera melangkah masuk dan turun ke dala m lubang
bundar itu, lapat2 dilihatnya ada undakan batu yang menjurus turun
diapit dinding yang sempit. Lorong berundakan ini hanya cukup
untuk jalan satu orang, maka seseorang yang berjalan turun tak
mungkin menga mati keadaan sekelilingnya, ter-paksa kedua kakinya
saja yang menggeremet maju. Kira2 lima puluhan unda kan batu
ke mudian, mendadak lorong se mpit ini belok miring, terasa oleh
Kun-gi bahwa lorong undakan ini dari lurus me nurun menjadi
berputar melingkar, ma lah lingkaran ini agaknya amat besar.
Menurut perhitungannya, seolah2 dia berjalan melingkari sebuah
kamar batu bulat yang besar sekali, paling tidak ada puluhan
tombak luasnya.
Tak la ma ke mudian, undakan batupun berakhir waktu Kun-gi
angkat kepala, kiranya kini dirinya berdiri diserambi yang cukup
lebar, serambi ini ternyata me mang me mbundar. Rekaannya
ternyata tidak salah, serambi yang me mbundar ini melingkari
sebuah ka mar batu yang berbentuk bulat.
Kamar batu ini terdapat sebuah pintu besar warna merah darah.
Sudah tentu pintu batu ini ter-tutup rapat. Beberapa langkah Kun-gi
beranjak maju, didapatinya ka mar ini ada beberapa pintu, malah
bentuk se muanya sama dan bercat merah pula.
Karena kamar ini bulat, jarak pintu2 itu sama, lalu pada pintu
manakah dirinya harus masuk"
Maka dia teringat akan perkataan Yong King-tiong: `Hek-liong-
hwe Congkoan hanya dikuasai ikan emas ini, sementara Hwecu
menyimpan Leliong-cu, kecuali Hwecu tiada orang lain yang tahu
bagaimana me mbukanya." Bahwasanya Yong King-tiong belum
pernah datang kemari, sudah tentu sebelumnya juga tidak terpikir
dibawah sini terdapat pintu sebanyak ini sehingga me mbingungkan.
Maju lebih lanjut, dilihatnya pintu bercat merah di sini juga
tertutup rapat dan kukuh tak bergeming, tiada lubang kunci lagi,
me mangnya ikan e mas yang di terima dari Yong King-t iong ini untuk
apa" Serta merta dia mengeluarkan ikan emas itu, dengan seksama
dia perhatikan dan dibolak-ba lik sekian la manya.
Ikan e mas ini terang bukan terbuat dari emas atau perak, bukan
tembaga juga bukan dari besi, kalau ditaruh di telapak tangan,
kepala dan ekornya bisa bergerak seperti ikan hidup sungguhan,
tapi kecuali pe mbuatannya yang elok dan bagus, sungguh sukar
diraba di mana letak ke istimewaannya" Yong King-t iong bilang
diperut ikan ada tersimpan kunci rahasia untuk me mbuka pintu di
sini, lalu bagaimana harus mengeluarkannya" Dengan seksa ma dia
bolak-balik ikan e mas itu sekian la manya, sungguh dia tidak habis
mengerti cara bagaimana me mbuka perut ikan dan mengeluarkan
kunci dari dala mnya.
Kedua tangan coba pegang ekor ikan, tatkala dia perhatikan sisik
ikan yang ke milau itu serta me mikirkan di sisik mana kah kiranya
letak rahasianya untuk me mbuka perutnya" Tak terduga wa ktu
tangan kanannya pegang kepala ikan, tanpa sengaja jarinya
menyentuh mata ikan sebelah kanan, segera terdengar suara "klik"
yang lirih, tertampak mulut ikan yang semula terkatup kini
terpentang, dari mulutnya ini menjulur ke luar sepotong bumbung
kecil halus warna kuning e mas. .
Penemuan yang tidak terpikir sebelumnya ini sudah tentu a mat
menggirangkan, dengan hati2 dia lolos bumbung halus itu, panjang
bumbung kuning ini hanya setengah dim, enteng sekali, belum lagi
dia se mpat perhatikan lebih lanjut, bumbung halus kecil itu tahu2
sudah merekah dengan sendirinya, di tengahnya tersimpan
segulung kertas tipis.
Hati2 Kun-gi me mbeber gulungan kertas tipis itu, lebarnya juga
hanya setengah dim, begitu tipis dan halus sekali kertas ini, entah
terbuat dari bahan apa, di atas kertas tipis ada gambar sebuah Pat-
kwa. Pada setiap segi dari pintu2 itu terdapat kata penjelasannya,
tulisannya kecil pula, tapi tulisannya a mat rapi jelas. Menurut
penjelasan itu, pada delapan pintu itu tiga di antaranya merupa kan
jalan penyelamat, sementara lima yang lain bisa menyesatkan dan
me mbahayakan, keluar masuk dari setiap pintu juga ada
ketentuannya, sekali salah langkah fatal akibatnya.
Dengan seksa ma Kun-gi menghitung dengan penuh perhatian,
letak dari ja lan penyela mat berada di barat laut dan timur laut,
maka dia ingat2 letak dari kedua pintu ini, la lu dia gulung pula ker-
tas itu serta dimasukkan ke da la m bumbung, dengan jarinya dia
sentuh mata kiri ikan sehingga mulut ikan terpentang, dia masukkan
pula bumbung kuning itu ke dala m mulut ikan, lekas jarinya menarik
balik letak mata ikan, "klik", mulut ikan ke mba li terkatup rapat.
Setelah menyimpan ikan e mas itu ke da la m saku, Kun-gi beranja k
menuju ke pintu sesuai petunjuk tadi.
Delapan pintu dari ka mar bundar ini bentuknya serupa tanpa
tanda2 tertentu, orang jadi sukar me mbedakan mana ja lan
penyelamat dan mana yang menyesatkan. Apalagi berada di dasar
bumi ini sukar me mbedakan arah. Tapi Kun-gi menga mbil patokan
gambar di mana ujung undakan batu berada, ujung undakan batu
terletak di selatan maka bila diurutkan dari selatan menuju ke timur
diteruskan ke utara, maka akhirnya dia akan tiba pintu penyela mat
yang terletak di barat laut.
Dala m hati dia sudah perhitungkan pintu penyelamat adalah
pintu keena m dari selatan, kini dia sudah berada di depan pintu
keenam menurut perhitungannya, maka tanpa ragu lagi segera dia
mendorongnya. Kedua daun pintu warna merah itu ternyata dengan mudah
terbuka. Kun-gi langsung masuk berkat cahaya mutiara, dengan
seksama dia a mat2i keadaan kamar, itulah sebuah lorong panjang
selebar satu tombak, kedua sisi dindingnya terbikin dari marmer
hijau, demikian pula lantainya dile m-bari marmer warna-warni yang
indah sekali. Kecuali itu tiada sesuatu benda apapun yang menarik
per-hatiannya. Lorong ini kira2 sedala m lima tombak, di ujung lorong diadang
dinding batu pualam, dinding war-na hijau ini terdapat sebuah pintu
warna hijau pupus, belum lagi dia beranjak lebih lanjut daun pintu
warna hijau itu pelan2 terbuka sendiri. Tanpa ayal Kun-gi masuk ke
situ, setelah dia berada di balik pintu, daun pintu itupun menutup
sendirinya. Sudah tentu Kun-gi t idak peduli, karena setelah dirinya masuk dia
sudah merancang rencana untuk ke luar lewat jalan lain. Tapi
setelah dia berada di belakang pintu seketika dia me lenggong.
Karena menurut rekaannya, kamar di belakang pintu hijau ini
pasti adalah ka mar batu di mana ilmu pedang peninggalan Tiong-
yang Cinjin terukir di dinding. Ta k nyana yang terpampang di
hadapannya sekarang tak lebih hanyalah sebuah kamar batu bentuk
bulat seluas dua tomba k, kecuali seke liling tetap ada delapan pintu
yang terpencar, tepat di tengah ka mar terdapat sebuah Hiolo besar
terbuat dari tembaga setinggi manusia, selain itu tiada benda
lainnya lagi. Dia m2 Kun-gi menggerutu dala m hati, batinnya: "Tempat ini
hakikatnya tidak sesuai dengan ka mar batu yang diceritakan Yong
King Tiong, me mangnya aku sa lah masuk dari pintu yang keliru?"
Karena merasa bimbang, serta merta langkahnyapun berhenti.
Pada saat dia melongo itulah tiba2 dilihatnya Hiolo tembaga yang
tinggi itu pe lan2 bergerak me mutar.
Sebetulnya Kun-gi juga maklum bahwa ka mar2 disini adalah
buah karya Sinswi-cu, setiap pintu me miliki alat rahasia yang
berbeda, kalau tidak, setelah dirinya me masuki pintu tadi pintu hijau
batu puala m itu takkan mungkin bisa menutup sendirinya. Dari sini
dapatlah disimpulkan, sejak dirinya mula i me masuki pintu dari barat
laut tadi, alat2 rahasia di sini sudah mula i bergerak seluruhnya,
maka berputarnya Hiolo raksasa inipun tak perlu dibuat heran.
Setelah direnungkan dengan kepala dingin, akhirnya dia
berkeputusan untuk berdiri tegak tak bergerak saja, akan dia
saksikan perubahan yang terjadi selanjutnya.
Setelah Hiolo tembaga itu berputar satu lingkaran, tiba2 malah
ambles turun ke bawah lantai, maka terunjuklah sebuah lubang
bundar di lantai marmer.
Tergerak pikiran Kun-gi, pikirnya: "Mungkinkah ka mar batu yang
dimaksud berada di bawah lubang itu?"
Baru sekarang kakinya hendak bergerak, mendadak iapun
berpikir pula: "Ta k mungkin, kalau aku turun, cara bagaimana pula
kunaik ke mari, padahal ka mar bulat ini terdapat delapan pintu yang
mirip satu sama yang lain dan sukar dibedakan, bagaimana aku bisa
me mbedakan pintu yang ma-na merupakan ja lan hidup untuk
keluar" Bila kesasar, akibatnya tentu fatal."
Karena itu diam2 ia me mperhitungkan, kini dia berdiri ke arah
sana, pintu di belakangnya adalah jalan hidup masuk ke ka mar ini,
untuk ke luar harus lewat ka mar kedua dari sebelah kiri.
Maka dia menge luarkan tiga batang duri runcing, satu dia taruh
di lantai sebagai tanda tempatnya berpijak, lalu dia menuju lubang
di tengah ka mar itu.
Setiba di pinggir lubang dia me longak ke bawah, lubang di bawah
ini kosong melompong t iada undakan batu segala, keadaannyapun
gelap gulita. Ling Kun-gi tida k berani bertidak gegabah, Leliong-cu
dia keluarkan, di bawah penerangan cahaya mu-tiara baru dia bisa
me lihat bahwa di bawah adalah sebuah ka mar batu yang besar dan
luasnya mirip ka mar atas di mana sekarang dia berada. Hiolo
tembaga tadipun ta mpak tegak di tengah ka mar bawah, tinggi
lubang kira2 ada dua tombak.
Dengan hati2 Kun-gi julurkan dulu kedua kakinya terus
menerobos turun, sebelumnya dengan tepat sudah dia
perhitungkan, begitu tubuhnya me layang turun dan sebelum
menyentuh Hiolo dengan tangkas ia jumpalitan sekali sehingga
badannya anjlok tepat di sebelah Hiolo.
Setelah berdiri tegak dia angkat tinggi Leliong-cu sa mbil
mengawasi keadaan ka mar, ternyata bentuk kamar di bawah ini
bulat telur, pada dinding di depan kanan-kiri me ma ng terdapat
gambar ukiran yang taja m, tepat di bawah dinding di depannya
terdapat sebuah meja sempit panjang yang terbuat dari batu hijau,


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di atas meja sempit ini tertaruh sebuab kotak kecil dari kayu
cendana, agaknya dalam kotak cendana itulah daftar anggota Thay-
yang-kau disimpan, di samping itu terdapat sebuah tatakan lilin
dengan sisa lilin yang tinggal separo.
Hiolo te mbaga terletak tak jauh di depan meja, kecuali semua ini
tiada benda lainnya lagi, pada dinding pua la m di depannya
sebetulnya terdapat sebuah pintu, tapi kini sudah tersumbat oleh
batu hijau. Sedikit menerawang, mengingat wa ktunya amat mendesak, ma ka
kerja pertama yang harus segera dia lakukan adalah
menghancurkan daftar anggota Thay-yang-kau, sisa waktunya
untuk me mpelajari lebih mendala m ilmu pedang yang terukir di
dinding, berapa banyak berhasil dia pelajari bergantung dari waktu
dan kecerdasannya. Setelah berkeputusan, segera dia mendekat
meja se mpit, dike luarkan ketikan api serta menyulut lilin.
Lalu kotak cendana dia angkat kesa mping, ge mbok te mbaga dia
tabas putus dengan Seng-ka-kia m serta me mbuka tutupnya,
ternyata kotak cendana setinggi dua kaki ini terbagi dua susun,
susun atas dibatasi kayu yang amat cetek sekali, di mana terdapat
buku tulisan tangan, pada sampul buku tertera huruf2 yang
berbunyi "Thay-yang-yam-sim-hoat"
Tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Mungkin ini buku catatan Tuan
Puteri dari hasil ciptaannya."
Ia coba me mba lik le mbaran pertama, tampa k le mbar perta ma
me muat ilmu pelajaran Thay-yang-sinkang, disusul lagi adalah
Thay-yang-cay, Thay-yang-hu-hoat-pat sek, buku setebal sepuluh
le mbar ini ternyata penuh tulisan hurup2 bergaya indah, dipinggir
tulisan terdapat pula ga mbar dan keterangannya.
"Inilah ilmu ciptaan Tuan Puteri, sudah tentu tak boleh
dihancurkan," de mikian batin Kun-gi, dengan hati2 dan le mpit buku
tipis ini la lu disimpan ke dala m sakunya.
Di lapisan bawah kotak terdapat tiga buku tebal yang penuh
tertulia nama dan ala mat tokoh2 silat dari berbagai aliran, pada
sampul buku pertama terdapat judul yang berbunyi "daftar anggota
Thay-yang-kau, pahlawan pejuang kerajaan Beng pada jaman Ting-
bin." Secara iseng Kun-gi me mbalik beberapa halaman, dilihatnya
nama tokoh2 kena maan dari Siau-lim, Hoa-san, Bu-tong, Liok-hap
bun, Pat-kwa-bun dan lain2 aliran, ada pula orang2 Thianli kau,
Toa-to hwe, Kay-pang, Tong-thing-pang dan banyak Pang atau Hwe
lainnya, ada pula ke luarga dari marga Ban di Ui-san, demikian pula
orang2 dari ke luaga Tong dari Sujwan serta keluarga besar
persilatan lainnya yang kena maan di Kangouw.
Dia m2 Kun-gi menghela napas, bahwa untuk me mbangkitkan lagi
kerajaan leluhurnya betapa berat dan susah payah Tuan Puteri telah
berkelana di Kangouw, daftar nama tokoh2 persilatan yang kesohor
serta gembong2 dari golongan hita m dan aliran putih ini sebagai
bukti nyata bahwa dengan dukungan kaum patriot bangsa dari
kaum persilatan, usaha Tuan Puteri masih mengala mi kegagalan, ini
hanya boleh dikatakan takdir me ma ng sudah me nghendaki
demikian. Apa yang dikatakan Yong King-tiong da la m hal ini me ma ng tidak
salah, bila ketiga buku daftar ini terjatuh ke tangan pihak kerajaan
yang berkuasa sekarang, meski banyak tokoh2 yang namanya
tercantum dala m daftar ini sudah almarhum, tapi anak cucu mereka
akan tetap ditangkap dan dipancung kepalanya, kalau hal ini betul2
terjadi betapa luas rentetan penangkapan besar2an ini, sungguh
akan banyak sekali korban jiwa manusia yang tidak berdosa. Maka
dia tidak banyak lihat lagi, ketiga buku dia tumpuk di atas meja, ia
mengerahkan Lwe kang pada kedua tangannya pelan2 dia mene kan
tumpukan buku itu.
Kira2 sepemasakan air ke mudian baru dia menarik tangannya,
sekenanya dia menepuk sekali, maka tumpukan tiga buku itu
seketika berha mburan me njadi bubuk le mbut tercecer di lantai.
Dua tugas sudah dia laksanakan satu, kini tiba saatnya dia mulai
me mpe lajari dan menyela mi ajaran ilmu pedang peningga lan Tiong-
yang Cinjin di dinding. Maka dia melewati meja se mpit mende kati
dinding serta me mandang dengan cermat.
Dinding puala m se luas satu tombak ini terukir seorang kakek
berdandan sebagai Tosu (ima m) duduk bersimpuh, gayanya duduk
bersimpuh ini ta mpak bayangan perubahan dari tiga gaya lanjut-an,
gaya yang satu dengan yang lain agak aneh dan berbeda,
perubahan gaya si ima m mirip seorang yang lagi melangkah di
tengah awan, tam-pak hidup dan mengagumkan seka li.
Di sa mping ukiran si ima m tua bersimpuh di-beri keterangan
sebagai petunjuk latihan terdiri da-ri e mpat baris tulisan. Sambil
berdiri me matung me musatkan daya pikirnya, Kun-gi terpesona
sekian la manya, tapi kemudian ia seperti berhasil menyela mi
sesuatu, terasa bahwa ilmu yang ter-ukir di dinding ini adalah ilmu
latihan pernapasan tingkat tinggi dari aliran To (Tau). Setelah yakin
apal benar akan ga mbar ini baru Kun-gi pindah ke dinding kiri.
Dinding di sini berbentuk agak panjang, dari kanan ke kiri
seluruhnya ada enam ga mbar ukir-an, seorang yang sedang
bermain pedang, ada yang sedang me lompat, menusuk dan
menabas, gayanya indah dan mengagumkan.
Tiga ukiran dibagian terdepan adalah Hwi-liong-sa m-kia m, cuma
tiada huruf keterangan di dinding, juga tiada nama gaya dan
gerakannya, kini jelas bahwa nama2 Sinliong jut hun, Liong-janih-ya
dan jurus lainnya adalah nama2 pemberian Lohwecu (kakek luar)
sendiri. Dari gambar pertama ber-turut2 dia
pelajari sampai gambar
keenam, setiap gambar dia perhatikan
dengan segenap daya
pikirnya, setiap gerak jurus dan variasinya
dia ikuti dengan cermat,
di samping jari2 tangan bergerak seperti
pedang menirukan gaya
permainan ga mbar ukiran.
Me mang Kun-gi seorang yang cerdik, apalagi ilmu pedang terlatih
selama sepuluhan tahun, ma ka taraf ilmu pedangnya boleh
dikatakan cukup se mpurna, terutama Hwi-liong-sa m-kia m warisan
keluarganya sudah teramat apal sekali, ga mbar di dinding sa mbung
bersambung dari satu ke lain ga mbar diawali pula dengan Hwi-liong-
sam-kia m, ma ka dengan mudah dan lancar dapatlah dia sela mi
dengan baik. Habis me mpelajari keena m ga mbar ini, lalu dia pindah ke dinding
sebelah kanan. Seperti dinding sebelah kiri, pada dinding sebelah
kanan ini juga terukir enam ga mbar orang bermain pedang, tapi
gambar di sini ada sedikit berbeda, yaitu gambar ketujuh sampai
kesembilan masih merupakan ke lanjutan dari perma inan pedang
yang harus dilancarkan melompat sa mbil menusuk dan me mbabat,
tapi mulai ga mbar kesepuluh sampa i kedua belas, hanyalah
seseorang berdiri me me luk pedang dan bersimpuh seperti orang
semadi, malah gaya ketiga ga mbar ini mirip satu dengan yang lain,
sukar diraba dan dibedakan di mana letak keanehan dan
ke mujijatannya".
Secara singkat Kun-gi menga mati dulu keena m ga mbar ini, lalu
diulangi pula dari ga mbar ketujuh, satu persatu dia pelajari dan
selami dengan hati2 sa mpa i ga mbar kese mbilan. Karena pelajaran
enam ga mbar terdepan sudah merasuk da la m benaknya, ma ka
ketiga jurus ilmu pedang sambungan ini dengan sendirinya dapat
dipaha minya dengan cepat dan mudah. Tapi mulai jurus kesepuluh
sampai kedua belas dia benar2 harus me meras otak, dia mat2i kian
ke mari, tetap kebingungan dan tak tahu ke mana juntrungan ajaran
gambar orang me meluk pedang ini serta letak intisari dari gaya
yang sederhana ini" Cukup la ma Kun-gi me mperhatikan ketiga
gambar terakhir ini, tapi tetap tak berhasil me nyelaminya, terpaksa
dia tinggalkan dulu, sembilan jurus ilmu pedang di bagian depan
ke mbali dia ulangi dan dilatih dengan lancar, dengan pedangnya dia
ma inkan se mbilan jurus ilmu pedang itu.
Sudah tentu tiga jurus di bagian depan yang diyakinkan sejak
kecil dia mainkan dengan bagus sekali, tapi mulai jurus kee mpat
sampai kesembilan, setiap jurusnya ditambah perubahan dan variasi
yang me mbingungkan, untung dia sendiri me mang sudah punya
dasar yang kuat, kecuali latihan permulaan yang terasa masih kaku,
setelah dia ulangi beberapa kali, meski be lum dapat bergerak bebas
dan wajar, tapi sembilan puluh persen gaya permainan ilmu pedang
ini sudah dapat dikuasai dengan baik.
Untuk melancarkan keenam jurus ilmu pedang ini kira2
menghabiskan wa ktu setengah kentongan (setengah jam),
mengingat waktu amat mendesak, apalagi untuk sekaligus
mengapalkan seluruhnya jelas a mat sulit. Terhadap ketiga ga mbar
terakhir dia masih belum berhasil, terasa bahwa ketiga gambar ini
pasti mengandang arti yang luas, setelah keluar dari sini takkan
mungkin ke mbali lagi, maka kese mpatan ini betapapun tak boleh di-
sia2kan. Maka dia simpan pedangnya dan ke mbali dia berdiri di depan
dinding, me musatkan dan menjernihkan pikiran, dengan lebih telit i
dia bedakan ketiga ga mbar ini. Tapi sudah berulang kali dengan
cara yang berbeda dia coba menyambung kese mbilan jurus ilmu
pedang bagian depan dengan gaya memeluk pedang ini, betapapun
dia tetap mengala mi kegagalan, rasanya ketiga gaya me meluk
pedang ini seperti petilan tersendiri dari sembilan jurus di depannya.
Tapi hal ini bagi Ling Kun-gi justeru dirasakan adanya keanehan
yaang tersembunyi pada ketiga jurus terakhir ini, sayang
pengetahuan sendiri teramat cetek sehingga sesingkat ini tak
berhasil me maha minya.
Akhirnya Kun-gi a mbil keputusan, pikirnya "Umpa ma tak berhasil
kusela mi, kenapa ketiga gaya bersimpuh ini tidak kucatat saja
perubahan satu dengan yang lain, kelak bila ketemu Suhu, akan
kutanya dan mohon petunjuknya saja." Maka dengan tekun dia
berusaha mereka m ketiga ga mbar terakhir ini da la m benaknya.
Tak terduga dalam penelitiannya terakhir ini baru disadarinya
bahwa ukiran pada bagian ga mbar perta ma ada goresan pada
le mpitan baju yang agak cetek, tapi gambar kedua goresannya lebih
dalam dan lebar, malah pada gambar ketiga kedua mata orang
tampak sedikit me micing, seperti menatap tajam ke ujung pedang
yang dipeluknya. Jadi ketiga gambar ini hanya ada sekian kecil
perbedaannya, kalau tidak diperhatikan betul2 tentu sukar
me mbedakan satu dengan yang lainnya. Kini setelah dia reka m
dengan baik ke dala m benaknya, ma ka tak perlu tingga l la ma2 lagi
di sini. Setelah me mbetulkan paka iannya, dengan laku hormat dia
berlutut dan menyembah ke arah meja sempit, dala m hati dia
berdoa supaya Tiong-yang Cinjin me mberkati kesuksesan pada
dirinya yang menuna ikan tugas berat ini, serta menyatakan
bersyukur bahwa dia telah berhasil me mpe lajari ilrnu pedang
peninggalannya. Lalu dia berdiri, meniup pada m lilin, sekali tutul
kaki, badannya seketika melejit keluar dari lubang bundar.
Berada di ka mar sebelah atas, dia mengambil ke mbali duri
bengkok yang dia taruh tadi sebagai tanda, langsung dia melangkah
ke arah pintu kedua di sebelah kiri. Kira2 t iga langkah sebelum dia
sampai mendorong pintu, daun pintu tahu2 terbuka sendiri,
didengarnya suara gemuruh di bawah lantai.
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Sejak tadi a ku sedang keheranan,
kenapa Hiolo te mbaga itu belum juga muncul ke mbali ke tempat
asalnya" Ternyata setelah aku keluar melalui pintu tertentu ini dan
setelah pintu terbuka, itu berarti setelah orang yang berada di
kamar sudah keluar baru suara ge muruh itu terdengar, suatu tanda
bahwa Hiolo besar itu sedang bergebrak naik ke tempat asalnya,
Sinswi cu itu me mang seorang ahli yang je mpolan."
Hati me mbatin langkah tetap beranjak, tanpa menoleh langsung
dia me langkah ke luar pintu, baru beberapa langkah, "blang", pintu di belakangnya kemba li menutup sendiri, Kini dia ke mbali me lewati
lorong panjang yang diapit dinding marmer, bentuk dan keadaan di
sini mirip lorong waktu dia masuk tadi. Jalan yang dite mpuhnya ini
me mang yang pa-ling a man sesuai petunjuk tadi, maka dengan
leluasa dan lancar dia terus berjalan ke depan tanpa mengala mi
rintangan apapun. .
Setiba di ujung lorong se mpit dia dorong pintu terus keluar, kini
dia berada di serambi bundar dan menyusuri jalan datangnya
semula ke mbali ke arah selatan, di ujung sera mbi adalah batu
undakan. Kedua tugas berat berhasil dia capai dengan ba ik, sudah tentu
perasaannya lega, maka langkahnya terasa ringan dan cepat sekali
dia sudah tiba di ujung undakan.
Tampak pada tempat keluar ada sebatang besi tegak ke atas,
bagian atas bergantungan sepuluh bo-la batu, sementara ujung
yang di bawah terikat pada sebuah batu raksasa, jadi seperti
setengah menyanggah batu bulat itu, sehingga sulit bagi orang di
luar untuk me mbukanya.
Waktu masuk tadi Kun-gi menghabiskan tenaga untuk menarik
bola batu itu ke atas dan di sanggah lebih lanjut oleh batang besi
itu, kini untuk keluar, sudah tentu dia harus menyanggah pula bola
batu itu. Maka dia kerahkan tenaga pada kedua lengannya, pelan2
mendorongnya ke atas.
Tak terduga meski mendorongnya sampai mata mendelik bola
batu itu tetap tak bergeming. Keruan ia heran dan bingung. Sejak
masuk Ui-liong-tong pengala mannya cukup banyak, dia tahu bila
pintu rahasianya terpasang oleh alat rahasia pasti tak mung-kin
dibuka oleh tenaga manusia melulu. Bahwa bola batu tak kuasa
diangkatnya, maka dia yakin pasti ada alat rahasianya untuk
me mbuka. Maka dia perhatikan dinding di kanan-kirinya.. Tampak di atas
dinding sebelah kanan bergantung sebuah roda besi sebesar mulut
mangkuk, hatinya menjadi girang, pikirnya: "Mungkin di sinilah letak
rahasianya." Segera ia pegang roda itu terus menariknya. Maka
didengarnya suara gemerujuk a ir yang mengalir seperti dituang.
"Waktu aku masuk tadi," demikian batin Kun-gi, "air kola m sudah menurun sedalam lima tombak saja, mungkin setelah bola batu ini
ke mbali ke tempat asalnya, airpun mengalir balik setinggi keadaan
semula, kini ka lau aku hendak ke luar dari sini sudah tentu air kola m
harus diturunkan sehingga pucuk karang menongol di luar
permukaan baru aku bisa me mbuka bola batu ini, kalau tidak air
akan mengalir masuk ke dala m sini."
Dengan sabar dia menunggu, sementara suata gemerujuk air
masih terus terdengar, kira2 setanakan nasi kemudian, suara
gemuruh mulai sirna, tiba2 batang besi penyangga bola berputar
naik sendiri, maka terbukalah sebuah lubang bundar. Tanpa ayal
Kun-gi segera menerobos ke luar dari lubang itu.
-ooo0dewikz0ooo-
Luas Hek-liong-ta m dua puluh empat tombak, dikelilingi tebing
yang curam. Kentongan keempat sudah berselang dan menjelang
kentongan kelima, waktu sebelum fajar menyingsing adalah saat2
yang paling gelap.
Kola m naga hita m dilingkupi kabut hitam yang tebal lagi, walau
lima jari tangan sendiripun tidak terlihat, apalagi berhadanan,
bayanganpun tidak ta mpak.
Di ujung sebelah selatan kola m terdapat sebuah jalan ber-liku2
warna hitam, jalan melingkar naik ini terus mene mbus ke arah selat
le mbah yang di apit dua gunung. Itulah satu2nya jalan keluar dari


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kola m naga hita m ini. Tatkala itu, tampak sesosok bayangan orang
tengah lari berlompatan bagai terbang me luncur ke arah le mbah
yang menuju ke Hek-liong-ta m.
Tiba2 terdengar kumandang hardikan seorang: "Siapa?"
berbareng muncul dua bayangan orang di mulut le mbah, dari kanan
kiri kedua orang ini merintangi orang tadi.
Suasana sedemikian pekat sehingga wajah oraag pun sukar
terlihat meski dala m jarak yang dekat, yang kelihatan hanya dua
bayangan hitam yang samar2 belaka. Jelas bahwa kedua orang ini
mengenakan pakaian serba hitam pula, sampaipun pedang di
tangan merekapun berwarna hitam.
Tapi pendatang itu juga mengenakan seraga m hitam, malah
pakai kedok kepala segala, yang kelihatan juga hanya sosok hitam
belaka. Baru saja kedua bayangan hita m itu menghardik dan be lum lagi
gema suara mereka lenyap, bayangan hitam yang datang itu tahu2
sudah berada di depannya, tanpa bersuara kontan ia ayun tangan,
tiba2 selarik sinar pedang menyambar keluar seiring gerakan
tangannya, sekali berkelebat sinar pedangnya tiba2 berpencar
mengincar tenggorokan kedua orang yang mengadang di depannya.
Samberan pedang si baju hitam ini bukan saja cepat laksana kilat
juga ganas sekali, sehingga lawan yang diserang menjadi kelaba kan
dan tak ma mpu menangkis atau berkelit. Tapi kedua lawan inipun
bukan kaum le mah, sigap sekali mereka menyingkir ke samping,
berbareng pedang mereka serempak juga bergerak, bayangan dua
batang pedang dari kirikanan seka ligus menyamber si baju hitam.
Si baju hitam menyeringai, pedang berputar, selarik sinar kemba li
me mbabat miring kedua la-wannya, bukan saja gaya silatnya indah,
serangan yang dilancarkan inipun aneh, lihay dan banyak
perubahannya, sungguh ilmu pedang yang tak mudah dilawan.
Baru saja orang di sebelah kiri bergerak maju, belum se mpat
menarik pedangnya untuk menangkis, sinar pedang lawan tahu2
sudah menabas tiba, terdengar jeritan ngeri, pinggangnya terbabat
putus, darahpun muncrat, tubuhnya menge linding ke bawah jurang.
Melihat kawannya binasa, sudah tentu orang di sebelah kanan
serasa terbang sukmanya, saking kaget dia melompat mundur
sambil putar pedang melindungi badan, sementara tangan kirinya
sudah merogoh kantong mengeluarkan sebuah sempritan perak dan
hendak dijejalkan ke mulut.
Padahal gaya tebasan pedang si baju hitam baru saja
me mbinasakan seorang musuh, untuk di tarik balik dan menyerang
lawan yang lain jelas tidak sempat lagi, terpaksa dia ayun sebelah
tangannya, segulung tenaga raksasa seketika menerjang ke depan.
Lwekang si baju hita m ternyata hebat luar biasa, belum lagi
orang di sebelah kanan itu sempat meniup peluitnya, pukulan lawan
sudah menerpa dadanya, seperti bola yang kena pukulan telak,
badan orang ini tiba2 mence lat jungkir balik sa m-bil
mengha mburkan darah, badannya terguling dan akhirnya tak
berkutik lagi. Kuatir musuh yang satu ini belum binasa dan sempat meniup
peluitnya, si baju hitam segera melejit maju, sekali pedang terayun,
dada orangpun ditambah se kali tusukan pula. Pada saat itulah,
mendadak ia seperti merasakan sesuatu, dengan sigap segera ia
me mba lik se mbari me mbentak: "Siapa?"
Dingin dan singkat hardikan suara ini, tapi nadanya yang nyaring
jelas keluar dari mulut seorang perempuan. Memang tidak keliru
perasaannya, tampak sesosok bayangan orang tengah melejit
rnendatangi dari celah2 ngarai yang cura m di seberang sana. Sorot
mata si baju hitam seterang la mpu mene mbus cadar mengawasi
pendatang itu. Aneh pendatang inipun berpakaian serba hitam, iapun
mengenakan cadar hitam pula, di punda knya menongol ke luar ujung
gagang pedang. Dalam sekejap orang itu sudah melayang tiba,
teriaknya kejut2 girang: "Kaukah dik?" Suaranya juga seorang
perempuan. Setajam pisau sorot mata si baju hitam yang datang lebih dulu,
sikapnya tampak me lengak ka-get dan bingung, jawabnya dengan
suara dingin: "Siapa kau?"
"Bukankah kau adik Ji-hoa?", tanya pendatang baru.
Hanya sekian saja perubahan sikap si baju hitam yang datang
duluan, suaranya kedengaran ketus dan kasar: "Bukan!"
Pendatang baru tiba2 menghe la napas rawan, ucapnya: "Ai,
meski sudah dua puluh tahun kita tida k berte mu, tapi suara mu tetap
kukenal dengan ba ik."
"Me mangnya kenapa kalau kau kenal suaraku?" jengek si baju
hitam yang datang duluan.
"Dik," haru dan pilu suara pendatang baru, "betapapun kita
tumbuh dewasa bersama sejak kecil, hubungan kita bagai saubdara
kandung bedla ka, setelah aadik pergi, selabma dua puluh tahun ini,
sebagai kakakmu setiap saat senantiasa kukenang dan merindukan
dikau . .. .. . ."
"Tutup mulut," bentak si baju hitam yang datang duluan.
"Siapakah adikmu itu?"
Agaknya pendatang baru itu sudah menyangka orang akan
bertanya demikian, suaranya tetap sabar dan lembut: "Adik tida k
mengakui aku sebagai ka kak, ini tidak jadi soal, betapapun aku
dibesarkan dan diasuh oleh ayah, aku dipandang sebagai puteri
sendiri, betapa besar budi kebaikannya terhadapku tak bisa tidak
aku harus tetap me mandangmu sebagai adik."
"Sudah selesai ocehanmu?", jenpek si baju hitam yang datang
duluan. "Kudengar adik mendirikan Pek-hoa-pang, kini sudah menjadi
Thay-siang-pangcunya pula," ujar pendatang baru.
Ternyata si baju hitam yang datang duluan adalah Thay-siang
dari Pek-hoa-pang, tak heran me miliki Lwe kang dan kepandaian
setinggi itu, hanya sekali ayun pedangnya seka ligus telah
me mbunuh dua ahli pedang yang bertugas jaga di Hek-liong-ta m.
"Betul," jawab si baju hita m yang datang duluan atau Thay-siang
"Sebagai Thay-siang dari Pek-hoa-pang, adik sudah mengerahkan
segenap kekuatan Pek-hoa-pang meluruk ke mari, seharusnya kau
tumpas dan menuntut balas dulu pada pengkhianat bangsa yang
sekarang mengangkangi Hek-liong-hwe, kenapa adik justeru hanya
ma in gertak dengan tiga barisan anak buahmu se mentara kau
sendiri secara dia m2 lari ke mari malah?"
"Kenapa aku harus menuntut balas kepada keparat yang menjual
bangsa dan Hek-liong-hwe" Han Janto kan tidak me mbunuh
suamiku, kenapa a ku harus menuntut balas bagi orang lain?"
Bergetar tubuh pendatang baru, jelas hatinya tengah bergejolak
dan sedang menekan perasaannya, sesaat kemudian baru dia
berkata pula: "Me mangnya adik sendiri bukan orang Hek-liong-
hwe?" "Sejak la ma aku bukan orang Hek-liong-hwe lagi," jawab si baju
hitam yang datang duluan.
"Me mangnya kau tega dan rela Hek-liong-hwe yang didirikan
susah payah oleh beliau jatuh ketangan musuh" Tanpa terusik
sedikitpun perasaanmu?"
"Ayah sudah meninggal, setelah orangnya mati segala urusan
impas, Hek-liong-hwe direbut orang dari tangan orang she Ling, ini
bukti bahwa dia tidak becus. Me mang jerih payah ayah selama tiga
puluhan tahun harus dibuat sayang, tapi setelah berada
ditangannya justeru beralih ke tangan bangsa lain, itu berarti dia
orang yang paling berdosa dalam Hek-liong-hwe, inipun
me mbuktikan pandangan ayah sudah kabur, salah menilai orang
yang tidak setimpal menerima warisannya, apa pula sangkut-
pautnya soal ini dengan diriku?"
Saking dongkol ge metar sekujur badan pendatang baru, tapi dia
tetap bersabar, katanya sambil menghela napas: "Sudah dua puluh
tahun beliau meninggal, kau masih me mbencinya begini rupa?"
"Kaulah yang kubenci," teriak si baju hita m yang duluan,
suaranya sengit.
"Jangan kau salahkan aku dik," ujar pendatang baru, "ayah
sendiri yang a mbil keputusan."
"Maka akupun tidak peduli kepada beliau, seolah dia bukan ayah
kandungku," desis si baju hita m yang datang duluan.
"Dik, betapapun ayah tetap ayah, tiada orang di dunia ini yang
tidak mengakui ayah kandungnya sendiri, jangan kau berbicara
demikian."
"Kenapa tidak boleh kukatakan de mikian" Justru karena usianya
sudah terlalu lanjut, kalau dia tidak loyo me mangnya Hek-liong-hwe
bisa direbut musuh secepat itu . . . . "
Orang yang datang belekangan agaknya naik pita m, katanya
keras: "Kularang kau bilang begini."
"Berdasar apa kau larang aku bicara" Aku justru ingin blak2an,
dulu kalau yang dikawinkan dia adalah aku, tentu aku akan
me mbantu dia mengurus Hek-liong-hwe dengan baik, teratur dan
beres, mungkin sa mpa i hari ini Hek-liong-hwe tetap Hek-liong-hwe
yang jaya dulu, takkan jatuh ke tangan bangsa lain, usianya saat ini
sebetulnya baru empat puluh lima, kenapa dia harus mati pada usia
dua puluh lima."
Agaknya sengaja dia hendak menusuk perasaan si pendatang
baru, maka tanpa menunggu reaksi orang dia sudah mena mbahkan
lebih pedas: "Coba kau lihat, dengan kedua tanganku yang kosong
ini, bukankah kuberhasil me ndirikan Pe k-hoa-pang, kekuatan dan
kebesaran Pek- hoa-pang tidak lebih asor dibandingkan Hek-liong
hwe." Setiap patah katanya setajam ujung pisau meng-anca m ulu hati
pendatang baru itu, tanpa terasa dua jalur air mata tiba2
bercucuran dari balik kedoknya katanya mengangguk : "Ucapanmu
me mang benar dik. Me mang salah ayah, aku sendiri juga terlalu
tidak becus, seharusnya aku hanya pantas berjodohkan seorang
kampungan, menjadi isteri alim dan mendidik putera puteri belaka,
me mang aku tidak setimpa l berjodohkan dia, apalagi dia seorang
pahlawan yang me mikul tanggung jawab besar, me mang akulah
yang bikin cela ka dia . . . ." akhirnya dia menangia ter-guguk2.
Si baju hita m yang datang duluan menyeringai puas, katanya:
"Sayang kau insap setelah terla mbat." Tanpa melirik lagi segera dia me mba lik badan terus berlari kecelah2 mulut le mbah sana.
Pendatang baru itu terketuk perasaaannya dia lagi tenggela m
dalam kepiluan sehingga air mata bercucuran, serta mendengar
orang me langkah pergi cepat dia me nyeka air mata: "Dik, lekas
berhenti. !"
Si baju hita m yang duluan menjadi tidak sabar, teriaknya juga:
"Aku tida k punya waktu mendengarkan obrolanmu."
"Untuk apa adik pergi ke Hek-liong-ta m?", tanya si pendatang
baru. "Kenapa aku harus beritahukan pada mu?"
"Kau ke mari untuk me mpelajari ilmu pedang peninggalan Tiong-
yang Cinjin di dasar gua itu bukan?"
"Me mangnya aku tidak boleh turun ke sana?"
"Dik, kau kan tahu, air kolam itu teramat beracun, kecuali
Leliong-cu, tiada obat penawar la in di dunia ini."
"Kau bawa Leliong-cu itu?"
"Aku tida k pernah me miliki Leliong-cu."
Lama si baju hita m yang datang duluan menatapnya lekat2,
tanyanya dingin: "La lu untuk apa pula kau ke mari?"
"Aku sengaja ke mari untuk me mbujuk dan mencegah kau
menyerempet bahaya."
"Urusanku sendiri, tak perlu kau ikut ca mpur," jengek si baju
hitim yang datang duluan, mendadak dia me langkah pergi lebih
cepat, tahu2 dia sudah menyelinap keluar celah2 lembah, menyusuri
jalan kecil berliku terus me nuju ke bawah.
Pendatang baru tak bersuara lagi, secara diam2 iapun mengikut
di bela kang orang. Tiba2 si baju hita m yang duluan me mba lik
badan, tangannya memegang sebatang pedang ke milau, ujung
pedangnya menuding dan sorot matanya me mancar dingin,
hardiknya: "Setapak lagi kau mengikuti aku, jangan menyesal ka lau
pedang ditanganku tak kena l kasihan."
Terhenti langkah pendatang baru, katanya dengan rawan:
"Mungkin adik berhasil, me mbuat semaca m obat penawar getah
beracun itu, tapi kolam ini sedala m dua puluh tombak, kadar
racunnya juga teramat besar, kecuali Leliong-cu, apapun tak bisa . .
. . . . .."
"Urusanku tak perlu kau tahu," bentak si baju hitam yang duluan.
"kalau kau t idak me nyingkir, jangan salahkan aku bertindak keji
padamu." Tanpa hiraukan orang segera dia berkelebat ke depan, larinya
bagai terbang meski berjalan di jalan gunung yang licin dan
berlumut. Di antara le mbah yang diapit gunung, kabut sudah mula i
ber-gulung2 tiba, luncuran tubuhnya laksana meteor, dalam sekejap
saja ia sudah lenyap ditelan kabut.
Pendatang baru menarik napas, dia dia m saja tidak mengikuti
orang lagi, tapi me mba lik ke arah timur terus menyusuri sebuah
jalanan kecil yang berlumut tebal, jalan di sini tak pernah di njak
manusia. Kabut masih tebal di Hek-liong-tam, lima jari sendiri tak
kelihatan, Si baju hitam yang datang duluan itu me mang Thay-siang
Pek-hoa-pang, sejak kecil dia dibesarkan di He k-liong-hwe, ma ka
jalan dan liku2, di dasar perut gunung ini dia sudah apal di luar
kepala. Walau kabut teramat tebal, tapi tak me mbawa pengaruh
apapun bagi gerakannya, langkahnya tidak menjadi kendur
karenanya, badannya meluncur bagai terbang langsung menuju ke
kola m. Setiba di pinggir la in, langkahnya tampak lebih hati2, sedikitpun
tak berani lena, mengitari dinding sebelah timur, terus maju dan
mulai inja k pagar batu. Tujuannya jelas ke arah utara di mana
kepala naga itu berada, tapi tatkala kakinya mula i beranjak di pagar
batu itu, jantungnya tiba2 berdetak keras.
Ternyata didapati di tengah kabut di depat sana ada orang,
jaraknya tinggal setombak saja. Sudah tentu ketika dia melihat
orang di depannya, orang di depan yang me miliki kepandaian tida k
rendah juga segera melihat kedatangannya. Betul juga di tengah
kabut itu lantas berkumandang sebuah hardikan: "Siapa?"
Sudah tentu Thay-siang tidak pandang sebelah mata para
penjaga Hek-liong-ta m ini meski dia seorang ahli pedang, dengan
tegas ia menyahut: "Aku!"
Belum lenyap suara "aku" tiba2 bayangannya me lejit maju,
pedangnya menusuk cepat ke ulu hati lawan.
Tapi Kungfu orang itu ternyata juga amat tinggi, ketika dilihatnya
sinar dingin berkelebat tiba, ia kaget juga, cepat ia me mbentak:
"Kau bukan orang kita"!"
Pedang yang semula melintang di depan dada segera
didorongnya ke depan, gerakannya tidak kencang, tapi laras pedang
seluruhnya dilandasi ke kuatan dala m, jelas ilmu pedangnya sudah
mencapai taraf yang sempurna. Maka terdengarlah suara "trang",
serangan Thay-siang laksana kilat itu kena dipatahkan oleh lawan.
Bahwa serangan yang disiapkan lebih dulu dengan landasan
kekuatan hebat dapat dipatahkan lawan, keruan terkesiap hati
Thay-siang, jengeknya: "Sudah tentu aku ini bukan orang Hek-liong-
hwe." Belum lagi pedangnya ditarik, tangan kirinya sudah melancarkan
pukulan yang dahsyat. Lwekangnya amat tangguh maka pukulan


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dilontarkan lihay sekali, baru saja suara benturan kedua
senjata bergema, pukulan telapak tanganpun melandai tiba.
"Serangan bagus," teriak orang itu dengan gusar. Tanpa ayal
iapun gerakkan telapak tangan kiri, sekuatnya dia menepuk sekali
me mapak serangan lawan. Lwekang yang diyakinkan orang ini
agaknya tidak lebih asor daripada Thay-siang, maka tepukan tangan
yang dilancarkan dengan gusar ini sungguh kuat sekali.
"Plak", begitu kedua tenaga saling bentur, terdengarlah suara
keras, hawa bagai bergolak di sekitar tubuh mereka sehingga
menimbulkan angin kencang, pakaian kedua orang mela mba i2.
Thay-siang betul2 kaget, pikirnya: "Kepandaian orang ini begini
tinggi, waktuku a mat terbatas, aku harus cepat me mbereskan dia."
Mendadak dia lancarkan pula serangan aneh dan ganas, di mana
pedangnya terayun, memancarkan cahaya terang melingkar bagai
samberan kilat sehingga kabutpun tersa mpuk buyar.
Karena pancaran sinar ini, tertampaklah di depannya berdiri
seorang laki2 berjubah hijau berperawakan tinggi kekar, air
mukanya mengunjuk rasa kaget, pedang hitam ditangannya
berputar cepat, mendadak ia berteriak gugup: " Harap berhenti!"
Betapa sengit dan cepat gerakan pedang kedua belah pihak,
belum lagi teriaknya lenyap, terdengarlah suara "trang-trang"
benturan yang keras. Dalam sekejap itu, senjata kedua orang saling
beradu belasan kali, padahal mereka hanya bergebrak satu jurus
belaka. Setelah sinar pedang sirna, Thay-siang masih tetap berdiri di
tempatnya, sementara laki2 jubah hijau menyurut mundur tiga
langkah. Karena rasa me mbunuh sudah me mbakar, maka Thay-
siang mendesis pula: "Bagus, nah sambutlah sejurus lagi."
"Tahan sebentar, tahan sebentar!" teriak si jubah hijau. "Berhenti dulu, coba dengarkan sepatah kataku."
Terpaksa Thay-siang berhenti, namun pedangnya tetap siaga,
serunya; "Mau omong apa, lekas katakan!"
"Losiu mohon tanya, bukankah jurus pedang yang Hujin
lancarkan barusan adalah Sinliong-jut-hun?"
Seperti diketahui Sinliong-jut hun dari Hwi-liong-sa m-kia m harus
dilancarkan dengan tubuh terapung di udara, tapi Thay-siang sudah
meyakinkan jurus ini sela ma dua puluhan tahun dan sudah kelewat
sempurna, ma ka cukup dengan mengayun tangan saja tanpa
mengapungkan badan, gerakannya malah dapat berubah sesuka
hatinya, apalagi dilandasi ke kuatan Lwekangnya, sinar pedang yang
tajam itu dapat diulur untuk melukai musuh, maka tanpa melejit ke
udara ia tetap bisa me lontarkan jurus serangan lihay ini.
Kalau si jubah hijau tidak me miliki ilmu pedang tingkat tinggi
mana dia ma mpu me matahkan serangan yang begitu hebat,
pengetahuan dan pengala mannya yang luas menjadikan dia kena l
betul jurus pedang yang dilancarkan lawan meski gerak dan
gayanya berbeda.
Sinar mata Thay-siang berkilat hijau, katanya sambil
menyeringai: "Kau dapat mengena li ilmu pedangku, menanda kan
kau cukup lihay . . . . "
Belum habis bicara, tiba2 laki2 jubah hijau berjingkrak girang
sembari berkeplok, lalu menjura dengan gugup, katanya: "Kiranya
Ling-hujin adanya, Losiu . . . . "
Thay-siang segera menukas: "Aku bukan Ling-hujin."
Laki2 jubah hijau tertegun, katanya: "Barusan Hujin melancarkan
Sin liong-jut-bun, kalau engkau bukan Ling hujin, habis siapa?"
"Me mangnya hanya Ji-giok yang ma mpu melancarkan jurus
pedang itu?" jengek Thay-siang.
Bergetar badan laki2 jubah hijau, sekejap dia melenggong
mengawasi Thay-siang, mendadak dia menjura dan berkata: "Ah,
kiranya engkau ada lah Jikohnio, maaf Losiu berla ku kurang adat."
Jikohnio alias nona kedua. Yaitu seperti telah diceritakan, Thay-
siang adalah puteri kandung Lo-hwecu Thi Tiong- hong, namanya
Thi Ji-hoa. Sikap Thay siang tampak kikuh, katanya tegas: "Sekarang aku
adalah Thay-siang dari Pek-hoa-pang.
Cepat si jubah hijau mbengiakan: "Ya, ya, Cay-he menghadap
Thay-siang."
"Darimana kau tahu a kan diriku?" tanya Thay-siang.
Laki2 jubah hijau menjura pula, katanya: "Cayhe Yong King-
tiong, cukup la ma me ngikuti Lohwecu, sudah tentu kukenal baik
nona." "Apa jabatanmu sekarang dala m Hek-liong-hwe?" tanya Thay-
siang. "Sungguh me ma lukan, Cayhe pernah mendapat budi pertolongan
Lohwecu, atas kebijaksanaannya Cayhe diangkat sebagai Congkoan
Hek-liong-hwe, sela ma dua puluh tahun ini a ku selalu berdoa dan
mengharap akan datang suatu ketika dapat bebas merde ka, kini
beruntung Jikohnio telah ke mari, Ling kongcu tadipun telah ke mari,
syukurlah bahwa penantianku se la ma ini t idak sia2."
"Ling-kongcu juga ke mari", kata2 ini me mbuat Thay-siang
tertegun heran, tanyanya: "Apa katamu" Siapa itu Ling-kongcu?"
"Ternyata Jikohnio belum tahu, Ling-kongcu adaalah putera Ling-
hwecu, Thian me mang maha adil, Ling-kongcu dilahirkan setelah
ayahnya meninggal."
Tergerak hati Thay-siang, batinnya: "Tak heran Ji-giok juga
muncul di sini, kiranya ibu beranak itupun telah ke mari." La lu dia
bertanya dengan menatap tajam: "Kau sudah melihat puteranya
Ling Tiang-hong, siapa na manya?"
"Dia berna ma Ling Kun-gi." sahut Yong King-tiong.
"Ling Kun-gi?"
Hal ini benar2 diluar dugaan, Sorot matanya dibalik cadar tampak
semakin dingin, dengusnya: "Kiranya dia, masa dia tidak ma mpus!"
Mendadak dia mendelik pada Yong King-t iong, tanyanya gelisah: "Di
mana se karang dia?"
Yong King-t iong adalah jago kawakan Kangouw sudah tentu dia
merasa ganjil akan nada pertanyaan Thay-siang, naga2nya
mengandung ma ksud kurang baik.
Me mang sejak kecil dulu ketika Lohwecu masih hidup, nona
kedua yang kini menjadi Thay-siang Pek-hoa-pang ini sangat
dimanjakan dan terlalu binal, sifatnya rada eksentrik, diam2 dia
menyesal barusan telah kelepabsan omong, le kas dia unjuk tawa,
katanya: "Ling-kongcu tadi me mang muncul di sini, sayang Cayhe
tidak ma mpu menahannya, kini dia sudah pergi."
Thay-siang mendengus: "Ke mana dia, masa kau t idak tahu?"
"Ling-kongcu t idak mau menerangkan, tak enak Cayhe tanya
padanya," sahut Yong King-tiong.
Tatkala itu fajar telah menyingsing, walau kabut pagi masih
tebal, tapi cuaca sudah remang2, dalam jarak tertentu sudah bisa
terlihat jelas bayangan orang. - -
Setajam pisau tatapan Thay-siang, tanyanya: "Lalu untuk apa dia
datang kemari?"
"Bahwasanya Ling-kongcu tidak kenal Cayhe, mana mungkin dia
mencariku" Soa lnya tadi akupun me lihat dia melancarkan Hwi-liong-
sam-kia m, ma ka kutanya dia she apa, baru kuketahui dia putera
Ling-hwecu."
"Meluruk ke Hek-liong-ta m, sudah tentu mengincar ilmu silat
peninggalan Tiong-yang Cinjin di gua itu. Hm, dengan susah payah
aku mengerahkan pasukan besar, me mangnya dia yang me mungut
hasilnya," sampa i di sini mendadak suaranya berubah aseran:
"Yong-congkoan berulang kali bilang ayahku almarhum berbudi
padamu, dan kau masih tetap setia terhadan beliau, maka ingin
kuminta kau bantu menyelesaikan sesuatu, tentu kau tidak
keberatan bukan?"
Dia m2 Yong King-tiong mengumpat: "Perempuan ini me mang
lihay, tapi aku sudah telanjur omong, tiada jalan lain kecuali
menerima permintaannya saja." Sembari menjura dia lantas
menjawab: "Kalau ada tugas, silahkan Jikohnio perintahkan saja,
Cayhe tidak akan menola k."
"Bagus, karma kau adalah Hek-liong-hwe Cong-koan, segera
perintahkan agar perkeras penjagaan dan suruh para penjaga
me larang siapapun datang kemari, barang siapa melanggar harus
dibunuh dan habis perkara."
Yong King-tiong mengunjuk sikap serba salah, katanya: "Terus
terang Jikohnio, Cayhe memang punya dua belas anak buah ahli
pedang, tapi Hek-liong-hwe sekarang sudah dikendalikan oleh piha k
penguasa, banyak orang baru masuk jadi anggota, tujuannya adalah
untuk mengejar pangkat dan kedudukan be laka, mereka
kebanyakan adalah cakar alap2 yang a mat setia kepada kerajaan,
siapapun takkan mau tunduk pada perintahku."
"Kalau mereka tidak mau ya sudahlah, untung jalan te mbus ke
dalam kola m ini hanya satu, maka tugas menjaga pintu masuk ini
kuserahkan pada mu."
"Jikohnio," seru Yong King-t iong ragu2, "apa yang hendak
kaulakukan?"
"Jangan kau banyak bertanya."
"Masih ada pesan la in Jikohnio?" tanya Yong King-tiong -pula.
Thay-siang mengena kan mantel kulit berbulu yang lebar dan
panjang, pelan2 dia lepaskan tali sutera dari mantelnya di depan
dada, kiranya Thay-siang mengenakan pakaian ketat, di balik
mantel tergantung dua buah kantong kulit. Menuding pada kantong
kulit ini dia berkata: "Coba kau tuang air obat di kantong kulit ini ke dalam kola m, lalu jagalah pinto di mulut le mbah, siapapun dilarang
ke mari." Semakin curiga Yong King-bong dibuatnya, tanyanya: "Apa ini
kedua kantong ini Jikohnio?"
"Obat penawar racun," sahut Thay-siang.
Bimbang sekejap Yong King-tiong, kemudian bertanya: "Jadi
Jikohnio ma u turun ke dasar kola m" Getah beracun ini hanya dapat
ditawarkan oleh Le liong-cu . .. . . . . '
"Sudahlah, jangan banyak bicara, lekas tuangkan seluruhnya."
Terpaksa Yong King-tiong buka ikatan mulut kantong serta
menuang kedua isi kantong ke da la m kola m.
Waktu itu hari sudah terang tanah, kabut dipermukaan Hek-
liong-ta m juga sudah se makin tipis, setelah air obat dala m kantong
tertuang habis, lekas Thay-siang me longok ke bawah.
Air obat kedua kantong kulit itu adalah obat penawar getah
beracun yang dibikin Ling Kun-gi waktu masih berada di Pe k-hoa-
pang tempo hari. Waktu diadakan percobaan tempo hari, setetes air
obat ini cukup untuk menawarkan segayung getah beracun menjadi
air jernih, maka kalau diperhitungkan, dua kantong air obat
penawar ini tentu berkelebihan untuk menawarkan getah beracun
sekola m ini. Seyogianya bila obat penawar dituangkan, air kolam seharusnya
bergolak dan timbul perubahan, tapi air kola m yang hitam kental itu
kini sedikitpun tidak t imbul perubahan apa2 Tanpa berkedip Thay-
siang awasi permukaan air kola m, ternyata obat penawar yang dia
bawa sudah hilang khasiatnya, sorot matanya dari balik cadar
tampak mencorong dingin setaja m pisau, terdengar mulutnya
menggera m ge mas, desisnya sambil mengertak gigi: "Binatang kecil
menggagalkan usahaku."
Melihat cuaca sudah terang benderang, sementara dalam kola m
tetap tidak tampak reaksi apa2, keruan hati Yong King-t iong gelisah
setengah mati, gua di dasar kolam itu diciptakan oleh Sin swi-cu
setelah diadakan perhitungan dan percobaan yang seksama, setiap
langkah mengandung mara bahaya, kesalahan serambut saja bisa
mendatangkan elmaut bagi orang yang masuk ke da la m. Padahal
dia sendiri tak pernah masuk ke sana, entah bagaimana. keadaan di
dalam" Ling-kongcu sudah satu ja m lebih berada di dala m,
me mangnya dia terjebak dan tertimpa malang"
Dika la dia merasa kuatir dan was2 inilah Thay-siang masih tetap
mengawasi permukaan air kola m, sorot matanya tampak putus asa,
tiba2 ia berteriak beringas: "Anak keparat, kau tidak a kan
kulepaskan." Mendadak dia me mba lik badan, jengeknya:
"Yong-congkoan, kau tahu kejurusan mana Ling Kun-gi pergi?"
"Hanya ada satu jalan keluar di Hek-liong ta m, Ling-kongcu . . . .
" belum selesai Yong King-tiong bicara, tepat di pusar kolam tiba2
terdengar suara gemuruh, air kola m yang semula tenang mendada k
berpusar semakin kencang pada delapan tempat. Air beracun yang
menga lir dari kepala naga di dinding utarapun seketika berhent i
menga lir. Cepat sekali a ir kola m yang berpusar itu menyusut
rendah. Sorot mata Thay-siang yang tajam tengah menatap Yong King-
tiong, ia mendengus sekali lalu berkata: "Sudah ada orang masuk ke
dasar kola m. Katakan, bocah she Ling itu bukan?"
Tahu bahwa Kun-gi sudah berhasil menunaikan tugasnya, diam2
hati Yong King-tiong sangat senang, tapi barusan sudah merasakan
lihaynya ilmu pedang J ikohnio, dari nadanya kini agaknya dia
teramat benci dan denda m terhadap Ling-kongcu, maka hatinyapun
menjadi ge lisah dan kuatir pula bagi kesela matan Ling Kun-gi.
Walau rasa senang lebih merasuk hati, tapi mimik mukanya
sedikitpun tidak kentara, ia menyurut selangkah dan menjawab:
"Cayhe betul2 tidak tahu."
"Masih bilang tidak tahu," jengek Thay-siang, "sejak tadi kau berjaga di sini, pasti kau yang membantu dia turun ke bawah dan
akan bantu dia naik ke atas pula?"
Urusan sudah telanjur sejauh ini, terpaksa Yong King-tiong
berubah sikap, katanya dengan sungguh: "Jikohnio, engkau seorang
cerdik, bahwa Lohwecu mendirikan Hek-liong-hwe ada lah untuk
menya mbut seruan Tuan Puteri, tujuannya merebut kemba li tanah
air yang terjajah, waktu itu tidak sedikit kelompok patriot kita yang
beruntun ditumpas oleh kerajaan, maka buku daftar anggota
seluruh pahlawan bangsa di Kangouw oleh Tuan Puteri secara
dia m2 di simpan di markas pusat Hek-liong hwe kita, buku itu
merupakan dokume n paling pent ing dan rahasia, ma ka Lohwecu
me merlukan me mbangun He k-liong-tam ini, tak tersangka Hek-
liong-hwe telah dijual kepada musuh oleh sekomplotan manusia
yang tamak harta dan gila pangkat, pihak kerajaanpun amat getol
untuk merebut buku daftar itu, bila mana sa mpai terjatuh di tangan
mereka, entah berlaksa jiwa akan tere mbet dan menjadi korban
tanpa dosa, betapa pula banyak aliran per-silatan di Bu-lim a kan
ditumpasnya, bahwa selama dua puluh tahun ini Cayhe terima hidup
terhina, yang kutunggu adalah hari ini."
"Katakan, yang turun ke bawah bocah she Ling itu bukan?" Thay-
siang menegas. "Betul, me mang Ling-kongcu yang turun ke bawah, dia akan
menghancurkan buku daftar itu, Cayhe berjaga di sini untuk
me mbantu dari segala ke mungkinan, kini dia sudah a kan keluar.
Jikohnio adalah angkatan tua Ling-kongcu, kekuatan inti Pe k-hoa-
pangpun telah kau kerahkan ke mari, kalian adalah sanak kadang
sendiri, seharusnya saling bantu berdampingan me mberantas
musuh, bantulah Ling-kongcu untuk mengge mpur Hek-liong-hwe,
karena Hek-liong-hwe yang didirikan ayahmu kini terjatuh ke tangan
musuh, Lohwecu . . . . . . '
"Tutup mu Kisah Para Pendekar Pulau Es 24 Kuda Putih Karya Okt Durjana Dan Ksatria 1
^