Sepasang Pedang Iblis 19
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
g Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
506 "Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada
sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk bicara
dengan engkau dan Maharya!" Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang,
sedikitpun tidak kelihatan gentar biarpun menghadapi pengepungan orang-orang pandai
ditambah puluhan orang pasukan pengawal.
"Heh, Pendekar Siluman! Engkau mencariku mau apa?" Maharya membentak, agaknya
marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama dan
muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar Siluman ini.
"Maharya, perlukah engkau bertanya lagi" Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira
dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"
Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini
percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung itu
tentulah tidak mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh
muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.
"Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi
tahu kehilangan pedang itu.
"Aku akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula
Suma Han. Bhong Ji Kun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali
mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang yang
berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak
menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan
keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari aku?"
"Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya
melainkan akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan
menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka" Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu,
dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"
"Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu
adalah seorang, manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang
koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah! Suma Han,
Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada
gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang pasukan yang ratusan
orang jumlahnya. Andaikata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau pun tak mungkin
dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."
"Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya
mengandalkan pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan
Ceng tidak akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah
memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan orang-
orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji Kun dan Maharya, aku
menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan, atau kita putuskan dan
selesaikan di ujung senjata!"
"Ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan
tantangan. Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!" Bhong Ji Kun berseru sambil
menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
507 Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di luar pintu
dan jendela ruangan itu.
"Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!" Suma Han berbisik
kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya. Dia bukan seorang nekat dan
maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya terhadap Bhong-koksu
dan Maharya, tak mungkin dia dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang perajurit
pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di antara para perajurit itu, maka dia
mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian
mencari jalan untuk dapat berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan
pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Jangan harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar
menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan
senjata di tangan. Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki
buntung yang menggendong gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan Suma
Han, dan biarpun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam
dongeng saja, kini melihat laki-laki berambut panjang putih dan berkaki buntung sebelah itu,
mereka memandang rendah. Apalagi pria yang tidak kelihatan menyeramkan itu hanya
bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang terluka pula!
Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.
"Rrrrtttttt!!" Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan
tampak senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang
melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak karena
mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah merobohkan enam
orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan pengawal sehingga
tertutup dan terjaga kuat.
"Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu berseru
memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah membantu kami
menangkap pemberontak!"
Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hahya karena seruan
Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman mereka
roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman mereka tadi
menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu
bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti sinar bergulung-
gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak lagi, agaknya tewas! Mereka
tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka
dengan totokan yang membuat mereka pingsan saja.
Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka
menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang panglima
yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima tinggi terdahulu,
yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima belas orang panglima
pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian
Tok Lama, dan Maharya. Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah
buntung itu tidak berguna lagi, memegang pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang
memegang senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri
dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya
daripada senjata tajam. Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biarpun mereka
mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang
cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jerih karena maklum
betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang. Maharya berdiri dengan mata
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
508 mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga tersinggung hatinya oleh
ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari
barat ini. Biarpun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan
pada tubuh, namun kain itu bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan
halus sekali. Kain pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat
kepala itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan dilengkapi
dengan sebuah bulu burung dewata yang indah! Juga sepasang kakinya "ada kemajuan"
seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua
kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat daripada emas
yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biarpun kakinya beralaskan kelom
kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun! Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi
dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan
pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula
gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan mereka rapi dan begitu
Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu
bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah
menyerang dengan senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh
Milana yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh
Milana! Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu,
memandang dengan sinar mata aneh dan.... empat orang itu menghentikan serangan
mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah mereka telah
terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku! Padahal Suma Han sama sekali tidak
pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super Sakti inilah yang dalam
sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan
melengking nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh
amat kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar!
Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan senjata di
tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti Kong dan kawan-kawannya
menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan batang senjata yang dahsyat
menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.
Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak
terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan kacau,
tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu sudah sampai ke
dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan,
kini dialah yang menyerbu barisan itu! Para panglima terkejut melihat bayangan yang
berkelebat cepat, mereka mengangkat senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring
bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar,
dan lima orang di antara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang
membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat
sin-kangnya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat
bangkit lagi dan pingsan!
"Mundur....!" Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-
temannya bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan
memimpin para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
509 Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya
dahsyat sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang
hanya berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap
sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan ilmunya
untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia menggerakkan
senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
"Dessss!" Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat
tenaga dan pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun yang
lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya. Maharya terkejut bukan
main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar Super Sakti
bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain pengaruh usia, juga karena
selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan bersenang-senang,
sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup berprihatin.
"Singggg....!" Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih
cemerlang, mengarah leher Suma Han.
"Awas....!" Milana berseru kaget. Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang
ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu
terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keadaan
dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung oleh banyak
orang pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan khawatir, Alan....!" Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di
tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan
untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga sin-kang yang memegang
pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu
merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya
di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman
gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan
ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang tangguh adalah Maharya, ke dua adalah Koksu
inilah. "Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!"
"Awas pukulah Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri sudah
merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah melukainya
biarpun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh.
Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara "kok-kok" seperti suara
katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah
musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat
seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan
kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma Han.
Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu keluar uap hitam
bergulung-gulung!
Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan
pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh dara
itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan
seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu amat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
510 tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga kali ke arah
dada kanan kiri dan pusar!
Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke
depan dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti dahsyat
sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.
Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat.
Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh gulungan uap
hitam ke dua dan ke tiga, berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong,
akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan bergumpal-gumpal itu kembali ke
arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin cepat.
Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan
terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan
mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk
menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya Hek-in-hwi-hong-ciang telah
membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada dan isi perutnya sendiri, "dipaksa"
kembali oleh dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han!
Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan
kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan
berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma Han,
sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri!
Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian
Tok Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya
tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapapun cepatnya, tidak
dapat mengenai sasarannya. Milana sampai memejamkar mata saking ngerinya. Seolah-
olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar dekat dan tahu-tahu tubuhnya
sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung rajawali dengan ayah kandungnya
ini, namun dibandingkan dengan kecepatan gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih
cepat lagi. Kalau dia tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!
Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah
turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama
yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang
kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih roboh pingsan, mengepung dan
membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba dari belakang, kanan atau
kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya
seorang diri, dan masih menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya
gerakan ayahnya menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi. Kalau sampai
ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan.... ibunya akan
celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biarpun dia sendiri
tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan
untuk memancing kedatangan ibunya" Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya,
biarpun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung menjadi satu tidak akan
mampu membebaskannya" Andaikata tidak berhasil sekalipun, yang pasti, ibunya akan
selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri sendiri saja.
"Paman.... beritahukan kepada Ibu.... mereka tadi.... berunding untuk membunuh Ibu...."
Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran. Tadi pun dia sudah
merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut
desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah" Mengapa puteri
Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
511 "Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.
"Tidak.... engkau saja pergi, Paman...." Milana berbisik pula.
Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba
Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan beberapa detik
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah loncatan dahsyat,
pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!
"Trangggg!" Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk
menangkis pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima
tinggi mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang
diinjaknya terbuka!
Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin
ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya" Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang
mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya
terlepas dan terjatuh ke bawah!
"Alan....!" Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biarpun lantai itu
terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat
dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan lubang
jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh Bhong-koksu. Akan
tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang berada di gendongannya
terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak dapat
mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat gerakan seekor burung
walet dan matanya terbelalak melihat tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan
yang lebarnya dua meter persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan....!" Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak,
berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan! Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup
kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan wajah pucat saling
pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.
"Hebat bukan main dia....!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?" Maharya
juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-
kiam. "Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis
itu. Tak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya Ketua
Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-
pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!" Tiba-tiba Bhong Ji Kun
menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih.... aihh! Mengapa aku begitu tolol" Tentu saja dia
membela gadis itu mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan
heran. Hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap Koksu suka memberitahukan kami.
Mengapa dia menolong gadis itu?"
"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah
mereka benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
512 kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk
mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."
Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok
Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam
kamarnya. "Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan diri
bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak Puteri Nirahai,
dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru
kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!" Semua yang mendengarkan mengangguk-
angguk. "Akan tetapi hal ini harus dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biarpun
puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh
kasihan mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai."
Kemudian para pendengarnya mengangguk Setelah mendengar pelaporan panglima
rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar
tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka
gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang
kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai rencana
mereka merebut kekuasan Kaisar!
Betapapun tinggi dan mahirnya tingkat gin-kang Milana, namun dengan perut dan dada
terasa nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha
kirinya robek kulitnya, kiranya dia akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jika
tidak cepat-cepat Suma Han bertindak, melayang turun dan mendahuluinya, memondongnya
sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!
Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin
gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah berhasil
membebaskan diri untuk memberitahukan ibunya. Siapa kira, ayahya itu malah menyusulnya
ke bawah! "Aihhhh.... mengapa engkau berada di sini....?" Milana menegur penuh kekecewaan dan
penyesalan. "Hemm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?" Suma Han
menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat dari batu
hitam. Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab, "Aku sengaja
melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian
memberitahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan
aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman malah
menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, tidak membebaskan diri yang kuyakin
dapat Paman lakukan setelah tidak menggendongku?"
Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu itu baik dan
cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup hebat dan akan
berbahaya kalau tidak segera diobati."
"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman.... eh, maksudku
agar Paman dapat memberi tahu Ibu...." Milana menjadi gugup karena tentu saja dia tidak
boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang "bukan
apa-apa" dengan dia! "Mengapa Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan
pula?" Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
513 "Alan yang baik dan bodoh! Biarpun menggendongmu, apa kaukira aku akan begitu mudah
mereka robohkan" Tidak, aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan diri. Akan
tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin
aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau
engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku menyusulmu karena harus mengobatimu.
Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, sehingga terusirlah kekecewaannya.
Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau ayahnya
mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak
mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini
rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak tega melihatnya terluka dan
ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan kasih sayang ayah, kini melihat sikap
ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah
kandungnya itu. Terhadap orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau
tahu dia anaknya!
"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit....!"
"Hemm, kulit dan daging terobek kaubilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu
memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan Thian Tok
Lama. Bagian mana yang terkena?"
"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."
"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat
yang terpukul untuk menentukan sampai betapa hebat lukanya. Cukup kaubuka sedikit
pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar saja."
Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biarpun dia terluka parah
dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa
hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan
mengenal watak pendekar besar ini, andaikata pendekar ini bukan ayahnya sendiri
sekalipun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya tanpa ragu-ragu. Apalagi ayahnya
sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan sedikit pun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu
membuka pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan
kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.
Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang
sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya terbuka lebar
dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya agak memburu. Diam-
diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang
mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini, salah mengenal wataknya!
"Ini.... apakah ini....?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari tangannya
menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata kalung terbuat dari
emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau.
Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang
telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan mata
keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan,
melainkan terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu hanya mata kalung, Paman."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
514 "Mata kalung ini.... burung Hong berbulu hijau.... eh.... aku.... aku pernah melihatnya.... di
dada seorang.... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh benda ini?"
Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini
mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata
ayahnya benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu.
Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan
langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir sekali. Kalung ini
adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini, menurut
penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka sekarang, tentu akan terbongkar
rahasia ibunya, rahasianya!
"Ini...." Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar
pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang
yang salah mengira. "Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh" Hendak
memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"
Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari
mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu. Dahulu ia
pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti
dada gadis ini!
"Ohhh.... maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara itu,
kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri. "Ah, untung
pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya
memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja.
Bereskan kembali bajumu."
Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han
memeriksa paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan
begitu luka itu diberi obat bubuk berwama merah, rasa nyerinya hilang dan terasa dingin
nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua telapak
tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia melakukan
pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat
panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar perut dan dadanya.
Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa nyeri di dalam dada dan perutnya
lenyap sama sekali! Tentu saja dia menjadi girang dan kagum bukan main!
"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman
tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh Koksu."
"Jangan menyesalkan hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu
cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."
Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk
menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti orang
termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan
seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi
rambut putih itu kelihatan berduka sekali.
Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini"
Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat mengobatinya!
Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini" Apakah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
515 ayahnya masih mencinta ibunya" Kalau masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-
kadang juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka saling berpisah"
"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku" Siapakah yang dahulu pernah memakai
kalung ini, Paman?"
Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah
dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara menggumam
dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung, "Hemmm...."
Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin
kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar apa yang
sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun selalu menutup mulut
kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak senang untuk bicara tentang itu.
Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga
ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In yang jahat.
"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak
nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut sehingga dia
sendiri menjadi kaget.
Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka
saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang
mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk membuka
semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini! Hanya ada seorang
saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas saudara seperguruannya
di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es.
Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan
semua rahasia hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu
timbul ketika dia bertemu pandang dengan gadis ini!
"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu
tergantung di leher.... isteriku."
"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es adalah
seorang yang tidak beristeri."
"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah di mana...."
"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya puteri-
puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai kalung seperti
ini" Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?" Milana
memancing. Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi
memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan penuh
harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata, "Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar!
Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan aku! Ohh!"
Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat
menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
516 menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja yang
diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.
"Paman.... jangan.... jangan bersedih...."
Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan
tampaklah dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu
ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!
"Kau.... kau menangis?"
Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan keharuan
yang membayang di wajahnya karena biarpun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang
matanya basah! "Aku kasihan sekali kepadamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini
baik hati" Mengapa dia begitu kejam?"
"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku.... ah, aku tidak tahu
harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan isteriku."
"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu
kepadaku."
"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana,
meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia karena dia
adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua
melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan kami berkumpul sebagai suami
isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia mengajakku pergi menghambakan diri ke
Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa,
aku merana seorang diri, kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu
menggembleng diri ketika masih muda sekali, dan menjadi To-cu di sana. Dan....
begitulah.... agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh...."
Milana mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya" Seorang
isteri seharusnya mengikuti suaminya, ke mana pun suaminya pergi!
"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia.... dia telah mempunyai seorang anak
perempuan, dia anakku.... anak kami.... dia telah mengandung ketika pergi meninggalkan
aku ke Mongolia." Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun
dan kelihatannya berduka sekali.
Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu,
segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.
"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap
amat lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia" Dan mengapa dia
mengatakan bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara
ibunya?" Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
517 Benar saja, pertanyaan ini membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan
tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang
lebih besar lagi melanda hatinya!
"Engkau sudah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu
Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan seorang
sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka
mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."
Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah
perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."
"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi To-cu Pulau Neraka yang
kabarnya ganas dan lihai seperti iblis" Dan mengapa pula puteranya memusuhimu dan
kulihat dia amat membencimu" Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi To-cu Pulau
Neraka, juga membencimu?"
Suma Han mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di
dunia ini membenciku...."
"Mengapa, Paman?"
"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar
seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum aku
bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang diculiknya.
Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia membenciku, baru kuketahui
setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan segala canggung...."
Milana memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang tiada
keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi mulia di dunia ini!"
Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata setelah gadis itu melepaskan pegangan
tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai hatinya.
"Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau
Neraka itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku
mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku, bukan
sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Dia
menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal kami saling
mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya karena
tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya pergi, Wan Sin Kiat gugur
dalam perjuangan karena dia pun tahu akan isi hati isterinya, bahwa isterinya itu
sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan
berjuang secara nekat. Lulu menyatakan bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau
sebagai.... musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan
tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."
Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang
matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara bergerak-gerak.
Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia
seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
518 tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar
kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua perasaan terharu dan
penasaran. "Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai
itu, bukan?"
"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu" Apakah Paman juga cinta kepada wanita
aneh itu?"
Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga
menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang
sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria dan wanita
yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih penasaran dan mendesak.
"Bukan cinta kakak angkat?"
"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap wanita.
Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak pernah berhenti
mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum
dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua
menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia kukawinkan dan kami saling berpisah,
barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta sebagai pria dan wanita! Aku
menemukan cintaku yang ke dua terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya
dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan Paman
sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk menghancurkan hati
Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan.
Memang demikianlah halnya."
"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah
Lulu?" Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang matanya dan kini
dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga
menempel lantai.
"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku
sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan diukur siapa
yang lebih kucinta, sungguhpun dasar yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap
Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda
kami.... heii, ada apakah, Alan?"
Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan
alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk
ke lantai dan berbisik.
"Ada suara tertawa di bawah lantai!"
Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia telah memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sin-kangnya amat kuat dan pendengarannya tentu jauh
lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
519 apa sama sekali" Suma Han menggeleng kepala dan berkata tirih, "Alan, jangan bingung
sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu
membawamu keluar dari tempat ini!"
Milana bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai ini,
Paman. Kalau tidak percaya, kaudengarlah sendiri!"
Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di lantai
itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil itulah dia
mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga! Suma Han lalu mendekatkan
kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang lantai dan.... tak salah lagi!
Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan hanya suara satu orang,
melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan
juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han
tersentak kaget ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai
ini," katanya.
Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia
mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena
begitupun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah, agar
gadis itu dapat ikut mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada
lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah yang memasuki telinganya
secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat menahan diri, tertawa cekikikan
karena merasa lucu!
"Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara
parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.
"Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita. "Dan
siapa teman itu?"
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkerik di sini. Hayo kita cari dia!"
Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri
dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu sedang
sibuk mencari jangkerik! Seperti dua orang anak kecil saja!
"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa
mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.
"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa
menggalinya?"
"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang
tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan
jangkerik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya" Tentu saja mengaliri lubangnya dengan
air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
520 "Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu" Untuk minum saja kadang-kadanng
kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman untuk
kita!" "Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja" Dan engkau betul
memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air" Bukankah kita, seperti
setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di
dalam perut?"
"Ihhh! Suhu jorok sekali!"
"Kenapa jorok" Apanya yang jorok" Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok"
Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing" Kalau aku kencingi lubang ini, masa
jangkerik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"
"Suhu, jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkerik itu mungkin kuat
bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan baunya!" Kembali
mereka tertawa-tawa.
"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya" Kalau begitu biarlah jangkerik itu mengerik di dalam
lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat sampai di mana
kemajuanmu."
Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua
Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau
keponakannya itu menyebut "suhu" kakek yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar
seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia mendengar suara
mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mujijat! Tak mungkin
Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai mengamuk, biar dia
menggunakan Li-mo-kiam sekalipun! Akan tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong"
Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan
pedang yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan
gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah, bahkan
letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han" Kita tinggalkan dulu Suma Han yang
terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang sinting itu.
*** Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan oleh Wan Keng
In, dibebaskan oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga paman guru Wan Keng In. Kemudian
guru dan murid ini menuju ke kota raja, akan tetapi Kwi Hong terpaksa harus mentaati
kehendak gurunya untuk melakukan perjalanan melalui padang pasir di utara untuk mencari
racun kelabang untuk keperluan Kwi Hong sendiri dalam menerima gemblengan ilmu mujijat
yang tinggi dari kakek sinting itu.
Mereka tiba di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia ramai dan tidak
ada seorang pun manusia di sekitar tempat itu. Kwi Hong merasa heran bagaimana gurunya
dapat menemukan tempat seperti ini. Kadang-kadang mereka melalui hutan yang penuh
pohon-pohon aneh, akan tetapi ada bagian di pegunungan itu yang gundul tidak ada
pohonnya sama sekali, bahkan rumput pun tidak dapat tumbuh di situ seolah-olah tanahnya
mengandung racun yang membunuh semua tanaman. Ada pula bagian yang penuh pasir,
akan tetapi tampak bekas-bekas pohon, hanya tinggal batangnya yang besar setinggi tiga
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
521 empat meter, tanpa daun sehelai pun dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin
mencari kelabang!
Kakek itu berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak sisa pohon mati itu,
memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Di sinilah.... hemmm sudah tercium
bau mereka dan tampak bekas mereka...."
Kwi Hong mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau
amis yang aneh olehnya.
"Awas udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan sin-kang!" kakek itu
berkata sambil tertawa-tawa. Melihat sikap kakek itu yang suka berkelakar, Kwi Hong
memandang rendah dan bernapas seperti biasa.
"Suhu.... celaka....!" Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual seperti diaduk
dari dalam. "Wah, bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk bersila, atur
pernapasanmu." Kwi Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin lalu menempelkan
telapak tangan kirinya di punggung, membantu gadis itu mengusir keluar hawa beracun dari
dalam dada. Beberapa kali Kwi Hong mengeluarkan hawa dari perut melalui mulut dan
akhirnya kepeningan kepalanya lenyap.
"Tempat ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau memakan
racun kelabang!" kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun. Kini gadis itu berhati-hati
sekali, bernapas dengan teratur dan mempergunakan hawa murni dan sin-kangnya.
"Suhu, apa yang berkilauan itu?"
Tiba-tiba Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang
sebesar kepalan tangan.
"Hemm, itu batu biasa."
"Ah, tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu mulia."
"Kau tidak percaya" Coba pegang baru kau tahu!"
Kwi Hong, membungkuk, dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba ia berteriak dan
melepaskan batu itu kembali, telapak tangannya telah menjadi hitam dan terasa panas dan
perih. Batu mengadung racun yang luar biasa!
"Ha-ha-ha! Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan berkilauan menarik akan
tetapi sebetulnya mengandung racun yang berhahaya. Biarpun sih-kangmu sudah kuat,
kalau tanganmu terkena racun ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yanng tepat, lambat
laun akan membusuk, dan hancur seperti terkena penyakit kusta!"
"Kalau sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?" Kwi Hong
menuntut. "Heh-heh-heh, kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"
"Suhu membiarkan aku keracunan" Mana ada guru seperti ini?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
522 "Ha-ha-ha! Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman. Terkena racun
begitu saja, kalau ada aku apa artinya" Biar racun yang seratus kali lebih hebat, selama aku
masih menjadi gurumu, engkau tidak akan celaka."
Bu-tek Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku bajunya,
menyambar tangan Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada tangan yang
telapaknya berubah hitam.
Dalam waktu singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu
pulih seperti biasa.
"Batu ini sebuah benda pusaka yang ampuh!" Kwi Hong tertarik sekali dan ingin
memilikinya. "Ha-ha-ha! Batu macam ini saja apa artinya" Kalau engkau sudah selesai berlatih ilmu,
tidak perlu mengandalkan batu mati seperti ini!"
Kwi Hong menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memikiki ilmu yang dapat membuat
dia kebal akan segala racun! Dia memang harus memiliki kepandaian yang tinggi agar kelak
ia dapat menandingi Wan Keng In, pemuda yang amat dibencinya itu!
"Mari kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"
"Hushh! Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang kucari
adalah kelabang bunting!"
Kwi Hong menghela napas menyabarkan hatinya. "Baiklah, kelabang bertelur, kelabang
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunting atau kelabang busung sama saja, yang perlu lekas kita menemukannya."
"Tidak begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan engkau harus
dapat menangkap hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk. Nah, pergilah cepat
sebelum malam tiba!"
"Baik, Suhu." Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.
"Awas, jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua, darahnya
sudah kurang manis!"
Di dalam hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan tetapi karena
maklum bahwa kecerewetan gurunya itu biarpun dilebih-lebihkan menurut wataknya yang
sinting, bukan tidak ada artinya, maka dia hanya mengangguk dan mengingat baik-baik
pesan itu lalu meleset pergi dengan cepat. Tak lama kemudian gadis itu telah kembali
kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan betina yang gemuk-
gemuk! "Eh. kenapa dua ekor?"
"Yang seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"
"Ha-ha-ha-ha, kau pintar sekali!" Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam, mengikat kedua
kaki ayam itu dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja berkeok-keok kesakitan akan
tetapi kakek sinting itu tidak peduli, mencabuti terus sambil berkata,
"Eh, kenapa bengong saja" Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
523 Kwi Hong memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti bulu-bulunya,
mengeluarkan isi perutnya yang diminta oleh gurunya untuk kelabang di samping ayam
hidup yang diberunduli semua bulunya. Kwi Hong membuat api membakar daging ayam,
kemudian bersama gurunya makan daging panggang sambil menanti datangnya malam
gelap. "Menurut perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang itu akan keluar
dan kalau terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau jangan kaget dan diam saja. Setelah
ayam itu diseret, barulah kita mengikuti karena para pemenang itu terus akan membawa
ayam ini kepada kelabang betina yang bunting. Yang menang tentu kelabang jantan yang
terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"
"Menurut penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."
"Memang, di waktu terjadi perkawinan. Akan tetapi setelah bunting, tidak ada lagi kelabang
jantan yang mengganggunya, dan kelabang jantan yang menyerahkan hadiah-hadiah adalah
calon-calon pengantin-pengantin dan calon bangkai karena pada waktu perkawinan mereka
pun akan mati konyol. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya hanya kawin,
membunuh pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan tetapi dia juga ngeri kalau
mengingat bahwa dia harus makan perut kelabang yang demikian menyeramkan, yang amat
beracun, sedangkan air liurnya saja sudah demikian hebatnya!
Malam tiba, kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus. "Setelah bulan
purnama muncul dan keadaan di sini cukup terang, baru api ini kita padamkan. Betapapun
lihai dan beracun, kelabang-kelabang itu takut melihat cahaya api. Kalau sekarang api kita
padamkan, mereka akan bermunculan dan tak hanya ayam dan isi perut ayam yang mereka
serang, akan tetapi juga mereka akan menyerang kita."
"Ihhhh....!" Kwi Hong mengkirik ngeri. "Kalau nanti bulan sudah muncul dan api kita
padamkan, mereka datang dan menyerang kita bagaimana?"
"Apa sukarnya" Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu
mengejar."
"Sekarang kita bisa meloncat ke sana, Suhu."
"Dasar bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan kita
menyelamatkan diri ke atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat mengikuti ke mana
mereka membawa pergi ayam yang kita umpankan itu?"
Sekarang mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang kelabang-kelabang
itu, tidak ada nafsu makan lagi padanya sehingga sisa daging ayam panggang itu diganyang
habis oleh Bu-tek Siauw-jin, bahkan agaknya dia masih belum puas karena terdengar suara
keletak-keletuk bunyi tulang-tulang sayap dan kaki ayam pecah-pecah karena gigitannya,
untuk diisap sungsumnya!
"Suhu, bulan sudah muncul. Lihat!" Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi memandang ke arah
timur, berteriak sambil menudingkan telunjuknya.
"Biarkan dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul," jawab guruya yang masih
enak-enak saja menggerogoti tulang kaki ayam.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
524 Akhirnya bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan daging berikut
tulang ayam panggang sudah habis dikunyah hancur oleh kakek sinting itu. Bu-tek Siauw-jin
lalu melemparkan ayam gundul yang diikat kakinya ke atas tanah di samping isi perut ayam
yang dipanggang tadi, kemudian memadamkan api dan mengajak muridnya meloncat ke
atas dua batang pohon mati yang berdampingan. Dengan tergesa-gesa karena ngeri, Kwi
Hong mendahului gurunya meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di atas
puncak batang pohon mati seperti seekor burung garuda sigapnya. Gurunya juga mencelat
ke atas dan hinggap di pohon ke dua. Batang pohon yang tingginya lebih dari tiga meter itu
cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atasnya sambil memandang ke bawah. Dan
tempat itu jelas kelihatan ayam gundul yang mereka pergunakan sebagai umpan karena
cahaya bulan dengan lembutnya menyinari seluruh tempat itu.
Kurang lebih dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa seperti dua
pekan bagi Kwi Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah gurunya dan melihat betapa
gurunya itu duduk melenggut di atas puncak batang pohon, tidur-tidur ayam kekenyangan
daging ayam. Beberapa kali tubuh kakek itu mendoyong ke sana-sini kelihatannya seperti
akan jatuh, akan tetapi selalu dia tersentak kaget sebelum terguling dan melenggut lagi.
Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol sekali. Orang setengah mati karena tegang, gurunya
enak-enak melenggut, bahkan kini terdengar dengkurnya perlahan.
Tiba-tiba Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan memuakkan dan
mendadak terdengar suara gurunya, "Awas, jangan berisik dan atur napasmu, lawan hawa
beracun. Mereka sudah datang!"
Kwi Hong cepat mengerahkan sin-kang, mengatur pernapasan dan melindungi paru-paru
dengan hawa murni, matanya memandang ke bawah dengan terbelalak dan sama sekali
tidak berani mengeluarkan suara. Dilihatnya ayam yang diikat itu masih bergerak-gerak,
menggerakkan leher dan berusaha melepaskan diri. Bau makin keras dan dari sebelah
kanan tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan, bergerak-gerak mendekat. Kelihatan
panjang sekali, akan tetapi setelah dekat, barulah tampak olehnya bahwa yang datang
adalah barisan kelabang yang besar-besar dan panjang-panjang! Karena binatang-binatang
itu merayap beriringan dari jauh yang tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan
kelihatan seperti sebuah benda atau ular yang panjang. Tidak kurang dari lima belas ekor
kelabang yang kulitnya merah mengkikap, panjangnya masing-masing antara dua puluh
sampai tiga puluh senti meter! Kwi Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat kelabang, akan
tetapi besarnya paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari
sepuluh senti. Belum pernah dia melihat kelabang-kelabang raksasa seperti itu!
Barisan kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa hati Kwi Hong.
Tiba-tiba ayam itu meronta dan berkeok-keok keras tanda ketakutan dan Kwi Hong
memejamkan kedua matanya melihat betapa belasan ekor kelabang itu seperti terbang
cepatnya mencelat ke depan, memperebutkan ayam yang kelabakan sebentar, lalu tak
bersuara lagi. Barulah Kwi Hong berani membuka matanya. Ayam itu telah mati, akan tetapi
kini belasan ekor kelabang itu saling serang, saling gigit dan saling terjang dengan hebat.
Mereka memperebutkan bangkai ayam seperti yang telah dituturkan oleh gurunya! Kwi Hong
melirik ke arah gurunya dan melihat kakek itu tersenyum-senyum menyeringai lebar dan
menggosok-gosok kedua tangannya kelihatan girang sekali, bahkan mulutnya bergerak-
gerak dan mengeluarkan air liur seperti sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi
Hong bergidik! Gurunya benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis seekor
ayam panggang, hanya diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat kelabang-kelabang
gemuk, sudah keluar air liurnya! Benar-benar manusia sinting, atau bukan golongan
manusia! Betapapun juga, harus dia akui bahwa gurunya amat baik kepadanya, dan ilmu-
ilmu yang diberikan kepadanya benar-benar hebat!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
525 Saking ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Sepuluh
ekor kelabang yang lebih kecil sudah menggeletak tak bergerak, mati. Empat ekor yang lebih
besar dan agaknya luka-luka tidak mempedulikan luka mereka dan dengan lahap mereka
kini merasa puas dengan isi perut ayam. Karena isi perut itu cukup banyak terutama
ususnya yang panjang, empat ekor kelabang itu memperoleh bagian yang cukup dan dari
atas mereka tampak seperti ulat-ulat sutera sedang lahap makan daun murbei!
Kwi Hong melihat bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang telah keluar
sebagai pemenang dalam perebutan tadi, kini menggondol bangkai ayam gundul dan dia
benar-bedar tercengang akan kekuatan kelabang itu! Dengan mulut menggigit leher ayam,
kelabang itu mampu membawa bangkai ayam itu dengan gerakan cepat menuju ke sebuah
di antara pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah lubang di bawah pohon dan
lenyap! "Bagus! Tempatnya di bawah pohon itu! Mari....!" Bu-tek Siauw-jin tertawa girang dan
meloncat turun diikuti oleh Kwi Hong. Ketika dara itu melayang turun, begitu kedua kakinya
menginjak tanah, ia sudah menahan jerit dan meloncat lagi melihat benda melintang di
bawah kakinya. Benda itu disangkanya kelabang, akan tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!
"Siapkan pedangmu!" Bu-tek Siauw-jin berbisik. "Aku akan mencabut pohon itu dan kalau
engkau melihat seekor kelabang yang amat besar dan gemuk, jangan ragu-ragu, kaubacok
putus bagian kepala dan ekornya, kemudian bagian tengahnya cepat kaumasukkan ke
dalam botol ini dan tutup rapat." Kakek itu menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Karena hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat
mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk. Kalau dia disuruh menghadapi lawan
manusia, biar musuhnya amat banyak dan seganas iblis, dara perkasa itu takkan merasa
gentar seujung rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi kelabang-kelabang yang
menggelikan dan menjijikkan ini, benar-benar dia merasa tegang dan semua bulu yang
tumbuh di tubuhnya berdiri tegak! Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya, dipersiapkan
di tangan kanan yang agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan pernapasan tetap
teratur agar tidak terserang hawa beracun yang amat hebatnya memenuhi tempat itu.
Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya menghampiri pohon besar di mana kelabang
raksasa yang membawa bangkai ayam tadi lenyap.
Bu-tek Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesat tubuh
manusia itu dengan kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit berdiri sambil
mengerahkan tenaga menjebol batang pohon yang tingginya tiga setengah meter itu.
Terdengar suara keras ketika akar-akar kering pohon itu patah-patah dan terjebol berikut
tanahnya, disusul suara lebih keras karena pohon itu telah dilemparkan jauh oleh kakek
sinting. Hampir Kwi Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap keluar dan
kelihatan marah sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit kepala ayam, kini seperti
hendak menyerang kaki Kwi Hong. Gadis ini melihat bahwa kelabang ini besar sekali,
perutnya menggembung dan warna kulitnya sama seperti Kelabang-kelabang yang tadi,
merah darah akan tetapi agak kehijauan dan mengeluarkan sinar mengkikap. Sekilas
pandang ia melihat bangkai ayam di dalam lubang bekas jebolan pohon dan di samping
bangkai ayam itu menggeletak pula kelabang besar yang tadi membawa bangkai, sudah
mati pula. Agaknya Sang "Ratu" kelabang yang bunting ini benar-benar amat ganas.
Disanjung dan dirayu oleh kelabang besar, dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah
dibalas dengan membunuhnya!
"Kelabang celaka!" Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali pedangnya
berkelebat. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
526 "Cres! Cress!" Dia terkejut karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot dan
keras. Andaikata bukan Li-mo-kiam yang berada di tangannya, tentu dia akan kecelik kalau
tidak mengerahkan sin-kang, karena kulit kelabang itu ternyata amat tebal. Akan tetapi Li-
mo-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuhnya menggila, maka dua kali sabetan
itu berhasil baik, tubuh kelabang terpotong menjadi tiga, leher dekat kepala dan dekat
ekornya putus! Akan tetapi bagian tengahnya yang masih panjang itu menggeliat-geliat
hidup sehingga Kwi Hong merasa jijik untuk mengambilnya.
"Bodoh, lekas masukkan botol!" Bu-tek Siauw-jin membentak. Kwi Hong menabahkan
hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang dan menggeliat itu. Hampir saja
dilepaskannya kembali karena jari-jari tangannya merasa geli dan jijik, seperti memegang
ular saja. Akan tetapi karena botol di tangan kirinya sudah siap, dia cepat memasukkan
bagian tubuh yang menggeliat-geliat itu ke dalam botol, menutupkannya rapat-rapat
kemudian hendak mengambil kembali pedangnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah
ketika tangan kanannya mengambil tubuh kelabang.
"Aihhh....!" Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena melihat betapa
seluruh tangan kanannya menjadi merah kehitaman dan mulailah terasa kaku dan lumpuh!
"Itulah racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!" Gurunya menyerahkan batu
hijau ke tangan kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis itu menerima batu hijau dan
menggenggamnya. Sebentar saja warna tangannya putih kembali, racun yang amat jahat itu
disedot habis oleh batu hijau.
"Kau simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaaruhi kulitmu. Akan tetapi
kalau engkau sudah selesai berlatih dan sudah makan perut kelabang bunting, tubuhmu
lebih kebal dari racun, lebih hebat daripada batu hijau itu!"
Kakek ini tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang berada di dalam
lubang, kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat tadi. Dapat dibayangkan betapa
jijik hati Kwi Hong ketika melihat empat ekor kelabang besar yang tadi dengan lahap makan
isi perut ayam, kini masih melingkar di tempat tadi, diam tak bergerak sama sekali dan tubuh
mereka menjadi gemuk dan menggembung seperti mau pecah. Seluruh isi perut ayam habis
bersih, dan anehnya, sepuluh ekor kelabang yang telah mati tadi pun lenyap tak tampak
bekasnya sama sekali.
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul dan kiciak
(pelahap dan segala macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai sepuluh ekor temannya sendiri
masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta besar! Engkau makan kelabang bunting, aku
mengganyang lima ekor kelabang gembul!" Sambil berkata demikian, kakek sinting itu
menggunakan kedua tangannya menangkap empat ekor kelabang itu yang sama sekali tidak
melawan atau meronta karena memang sudah tak dapat bergerak saking kenyangnya! Dia
mengumpulkan empat ekor kelabang kekenyangan itu dengan bangkai kelabang terbesar
yang mati di dalam lubang betina. Empat kali telunjuknya bergerak memukul dan empat ekor
kelabang itu mati dengan kepala pecah.
"Sebetulnya, daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan dengan cocol kecap,
hemmm.... sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada minyak, maka kita godok saja.
Dimasak kuah juga enak sekali, kuahnya sedap dan banyak vitamin! Heh-heh-heh!"
Kwi Hong merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya persaan itu dan berkata, "Suhu,
aku khawatir takkan dapat menelan kelabang ini...." Dia meletakkan botol terisi kelabang
bunting itu ke depan suhunya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
527 "Eh-eh, bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik mendapatkan ilmu
yang membuat tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat menimbulkan sin-kang yang
tiada tandingannya di dunia" Pula, apa kaukira daging kelabang tidak enak?"
"Aku jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"
"Wah-wah, picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging
kelabang?"
"Selama hidupku belum pernah!" jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk menyatakan bahwa
selama ini, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, dia hidup "bersih"!
"Itulah tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging kelabang,
bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak enak dan menjijikkan"
He, Kwi Hong, jangan engkau meniru-niru manusia-manusia yang berwatak munafik itu!"
"Hemm, urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak
munafik?" Kwi Hong terheran.
"Tentu saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena membaca kitab atau
mendengar ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan dan menyatakan sendiri, sudah
mengambil keputusan mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai ada yang
mati-matian bersumpah bahwa dia mati-matian membenci dan memusuhi segala setan dan
iblis!" "Tentu saja, Suhu!"
Kakek sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu meloncat berdiri dan
membanting-banting kedua kakinya, seperti anak kecil yang rewel dan sudah siap menangis!
"Apa" Engkau...." Muridku...." Engkau pun ikut-ikutan latah dan munafik" Jadi engkau pun
membenci dan memusuhi setan dan iblis" Coba katakan, kenapa kau membenci mereka?"
"Hemm.... karena mereka jahat, karena musuh manusia!"
"Ngawur! Apakah setan dan iblis itu ada" Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan
iblis?" Melihat suhunya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi gentar
juga. Dia menggeleng kepala dan menjawab "Tidak pernah ada, Suhu."
"Kau tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu apakah mereka itu
ada atau tidak, bagaimana engkau sudah mengambil keputusan memusuhi dan membenci
mereka, bagaimana bisa mengatakan mereka jahat dan musuhmu" Eh, bocah tolol. Coba
jawab lagi, pernahkah engkau diganggu setan atau iblis" Dicubit" Dipukul" Dimaki atau
ditipu" Hayo jawab yang jujur! Pernahkah engkau diperlakukan jahat oleh setan atau iblis"
Kalau pernah, kapan dan di mana, dan bagaimana" Ceritakan!"
Kwi Hohg melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya seperti itu, dia tidak
dapat menjawab. Tentu saja dia belum pernah bertemu, dan kalau belum pernah bertemu,
bagaimana mungkin dia bisa diganggu. Bahkan ada atau tidaknya setan iblis masih
merupakan teka-teki yang tak dapat dijawab dengan kenyataan. Kembali dia menggeleng
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala, "Belum pernah, Suhu!"
"Nah, itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk plintat-plintut mengikuti
ketahyulan manusia yang pura-pura suci saja. Jangan engkau terseret oleh kebiasaan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
528 umum yang belum tentu benar. Karena umum biasanya makan daging ayam, maka enak
saja engkau makan daging ayam. Karena umum tidak biasa makan daging kelabang,
biarpun selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah saja kau bilang tidak enak
dan menjijikkan. Munafik!"
Kwi Hong merasa bohwat (kehabisan akal), karena biarpun ucapan gurunya kasar dan
seenak perutnya sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar dibantah. "Maaflah, Suhu.
Akan tetapi benar enakkah daging kelabang?" Suaranya halus dan penuh penyesalan itu
sekaligus mengusir kemarahan Bu-tek Siauw-jin yang sudah menyeringai kembali!
"Heh-heh-heh, engkau mau tahu rasanya" Pernahkah engkau makan daging udang?"
"Pernah, bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di sebelah timur pulau
terdapat bagian laut yang dihuni banyak udang besar, sebesar lengan tangan dan sering kali
anak buah kami menangkap udang-udang besar itu."
"Pernah kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"
"Belum pernah. Bagaimana, Suhu?"
"Wah, kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang! Apalagi udang
besar seperti itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah liat basah cukup tebal sampai tidak
kelihatan kulitnya, kemudian dipanggang dan dibiarkan sampai tanah liat itu menjadi kering
sekali. Setelah tanah liat itu retak-retak dan mengeluarkan bau gurih, nah, itu tandanya
udangnya sudah matang. Kalau sudah tampak uap keluar dari bungkusan tanah yang retak-
retak, panggang udang itu boleh diangkat dari api. Tanah liat yang sudah kering itu dikupas
dan kulit udangnya tentu akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat
dan kini hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas beruap dan
sedap baunya. Rasanya" Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi lunak, sedap manis....
hemm!" Kwi Hong menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur)
mendengar penuturan itu.
"Nah, daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima ekor ini akan
kupanggang dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu harus direbus, karena kalau
dipanggang, racunnya banyak yang hilang. Direbus juga enak, coba saja nanti."
Berkuranglah rasa jijik di hati Kwi Hong, Apalagi setelah dia mencari air sungai yang
terdapat dalam bagian bukit yang subur, kemudian mereka memasak kelabang dan
memanggang yang lima ekor, gurunya tiada hentinya menceritakan kelezatan daging
kelabang yang dagingnya sejenis dengan daging udang, kepiting, belalang, jangkerik, dan
lain binatang yang kulitnya keras.
Kesibukan memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah bagi Kwi
Hong mencari air dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu malam seperti itu,
sungguhpun sinar bulan banyak membantunya. Akan tetapi, akhirnya masakan-masakan itu
selesai di waktu pagi.
"Nah, kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!" kata Bu-tek Siauw-jin.
Kwi Hong tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging panggang, dan lagi
mana ada cuci mulut sebelum makan" Akan tetapi dia tidak membantah dan bersama
suhunya, dia mengupas tanah liat yang sudah kering. Benar saja kulit kelabang itu ikut
terkupas dan tampaklah kini dagingnya yang putih kemerahan dan mengepulkan uap tipis
yang sedap. Melihat suhunya makan daging itu dengan lahapnya, Kwi Hong lalu menggigit
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
529 daging yang dipegangnya dan benar-benar gurunya tidak membohong. Rasanya enak
sekali, gurih dan enak manis, seperti daging udang!
"Jangan dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kaumakan daging
rebus." Kwi Hong tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil di mana daging
kelabang bunting itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin mengambil sebuah guci arak dan
menuangkan arak ke dalam masakan itu. Uap mengepul dan bau wangi arak merah itu
bercampur dengan bau gurih sedap namun ada pula bau yang amis dan keras.
"Makan dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan tubuhmu. Jangan
khawatir apa pun yang terasa olehmu, makan terus sampai habis. Ingat, yang kaumakan ini
bukan hanya daging yang lezat, akan tetapi terutama sekali obat untuk menyempurnakan
latihan ilmu yang kuajarkan kepadamu."
Kwi Hong mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan mulai
menggigit dan memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata karena berbeda dengan
ketika makan daging kelabang panggang tadi, kini daging kelabang yang direbus kelihatan
putih dan besar, juga agak kehitaman di sebelah dalamnya, hitam kehijauan dia tahu adalah
racun kelabang yang amat jahat! Rasanya memang ada enaknya, akan tetapi lebih banyak
tidak enaknya daripada enaknya. Memang ada bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama
sekali oleh bau amis dan keras bahkan bau arak itu pun tidak dapat melenyapkan bau amis.
Rasanya memang gurih, akan tetapi terasa pula getir dan pahit, juga ada rasa keras yang
membuat lidah terasa seperti ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat mengunyah dan
menelan. Hanya sebentar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut asal tidak terlalu
besar, lalu ditelannya!
Dia terus memejamkan mata dan biarpun terasa betapa dada dan perutnya panas sekali
ketika makanan itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah kalau dia akan mati karena ini,
pikirnya. Sudah kepalang! Makin lama hawa panas makin hebat sehingga terasa gerah
sekali. Keringatnya membasahi pakaian, seolah-olah dia merasa tubuhnya dipanggang.
Akan tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang berhati keras dan nekat. Dia terus makan
sampai akhirnya daging kelabang bunting habis ditelannya.
Kepalanya pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari tangan Bu-tek
Siauw-jin menotok punggung, rasa ingin muntah yang timbul hilang, kemudian telapak
tangan gurunya menempel di punggungnya dan dari telapak tangan itu menjalar hawa dingin
sejuk yang melawan hawa panas di tubuhnya. Akan tetapi sebentar saja tangan gurunya
ditarik kembali ketika Kwi Hong yang teringat akan Swat-im Sin-kang, mengerahkan inti
tenaga dingin untuk melawan serangan hawa panas itu. Sin-kangnya sudah amat kuat,
apalagi Im-kang yang didapatkannya ketika berlatih di Pulau Es, bahkan lebih kuat daripada
Im-kang yang disalurkan gurunya tadi. Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es
merupakan puncak latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh mereka
yang berlatih di tempat panas.
"Bagus! Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."
"Suhu, aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging...."
"Ih, jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi
cukup...."
"Aku sudah kenyang sekali."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
530 "Bodoh, kalau tidak kauisi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari tiga
malam?" "Apa maksudmu, Suhu?"
"Sudahlah, jangan banyak membantah. Makan sisa daging panggang ini dan habiskan!"
Karena maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk kepentingan latihan
itu, bukan semata-mata untuk membikin kenyang atau makan enak, Kwi Hong terpaksa
makan habis sisa daging panggang. Perutnya menjadi kenyang sekali.
"Sekarang, minum kuah dalam panci itu sampai habis."
"Wah, mana perutku kuat, Suhu" Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak sekali!" Kwi
Hong membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang, akan tetapi dia merasa jijik kalau
harus minum kuah itu. Baru dagingnya saja tadi sudah begitu memuakkan, apalagi kuahnya!
"Kwi Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting" Andaikata engkau
tidak makan dagingnya, masih tidak mengapa, akan tetapi kalau tidak minum kuahnya,
kurasa akan sia-sia semua latihanmu. Sari obat berada di dalam kuah inilah!"
Kwi Hong bergidik. Yang dimaksudkan suhunya dengan "sari obat" tentulah sari dan semua
racun yang mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa boleh buat! Sudah terlalu jauh dia
melangkah, andaikata mendaki gunung sudah hampir sampai puncaknya. Dia mengangkat
panci, membawa bibir panci menempel bibirnya, memejamkan mata, menahan napas agar
hidungnya tidak mencium bau yang memuakkan itu, membuka mulut dan menuangkan isi
panci itu sekaligus ke dalam perutnya melalui mulut! Begitu isinya habis, Kwi Hong
mengeluh, panci kosong terlepas dari pegangannya dan terguling pingsan! Bu-tek Siauw-jin
sudah siap, menerima tubuhnya dan membiarkan dara itu rebah terlentang di atas tanah
sambil menyeringai dan tersenyum-senyum puas.
"Engkau hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang dapat dilakukan
Suheng kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan mencak-mencak kalau melihat
muridnya kalah oleh muridku!"
Kalau tadi Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga malam, kiranya dia
akan pikir-pikir dulu untuk minum kuah itu! Dan hal ini sudah diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin
maka tadi kakek sinting ini setengah memaksa muridnya menghabiskan daging kelabang
panggang agar selama tiga hari tiga malam pingsan itu, muridnya tidak akan terlalu
kelaparan! Pada pagi hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan, mengeluh
perlahan dan mumbuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar sekali. Ketika melihat
gurunya duduk bersila tak jauh dari situ sambil memandangnya dan tersenyum-senyum, Kwi
Hong cepat bangkit duduk. Segera ia memejamkan kedua matanya karena begitu ia bangkit
duduk, matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut keras.
"Jangan tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari
kematian dan mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong membuka matanya kembali. "Apa yang terjadi, Suhu" Apakah aku tertidur?"
"Engkau tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam! Dan
engkau telah berhasil!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
531 Kwi Hong teringat kembali. "Aihh! Ketika minum kuah itu.... aku lalu pingsan selama tiga hari
tiga malam?"
Kwi Hong duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin dengan ilmu
yang mujijat, yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama menyembunyikan diri. Kakek itu
benar-benar amat tekun melatih muridnya, bahkan dia kini yang mencarikan makan untuk
muridnya agar Si Murid tidak usah menghentikan latihan, dan hanya berhenti kalau perlu
makan saja. Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh melatih diri. Karena memang pada
dasarnya gadis ini telah memikiki kekuatan sin-kang yang hebat berkat latihan yang ia terima
dari Pendekar Super Sakti, maka dalam waktu singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-
ilmu yang diajarkan oleh kakek sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu akan dapat
dikuasai dalam latihan bertahun-tahun! Kemudian, berdasarkan tenaga mujijat ini Bu-tek
Siauw-jin menambahkan jurus-jurus yang aneh dan dahsyat dalam ilmu pedang Kwi Hong.
Juga dara ini dilatih menggunakan pukulan-pukulan dengan telapak tangan, pukulan yang
amat hebat karena hawa pukulannya mengandung ancaman maut, mengandung hawa
beracun yang selamanya belum pernah dia pelajari. Tanpa disadarinya, Kwi Hong yang
semenjak kecil menerima gemblengan-gemblengan pamannya dengan ilmu-ilmu tinggi yang
bersih, kini telah mempelajari ilmu-ilmu golongan hitam! Memang benar bahwa segala ilmu
dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan, tergantung manusianya. Akan tetapi,
ilmu golongan sesat atau golongan hitam mengandung sifat-sifat yang ganas, kejam dan
dahsyat, sehingga sekali turun tangan dapat merampas nyawa lawan dengan mudahnya!
Demikianlah sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak oleh gurunya
melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek sinting, begitu tiba di kota raja, dia
langsung saja menuju ke gedung koksu, berdiri di depan pintu gerbang karena para penjaga
melarang kakek sinting ini masuk. Sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, kakek itu
berteriak, "Heh, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku Bu-tek Siauw-jin!
Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan muridku ini karena aku tidak pantas lagi
menjadi gurunya!"
Para penjaga yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui pintu gerbang
menjadi terkejut karena suara itu membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan mereka
tidak mampu bangkit lagi, tubuh mereka menggigil dan mereka hanya dapat memandang
dengan mata terbelalak saja ketika kakek itu bersama dara jelita di sampingnya memasuki
pintu gerbang istana koksu seenaknya!
Kwi Hong juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap selancang ini.
Mestinya, menurut pendapatnya, mereka menyelidik dan menyusup ke dalam istana koksu
di malam hari. Akan tetapi gurunya dengan terang-terangan menantang sambil berteriak-
teriak seperti itu! Mana ada seorang koksu yang berpangkat tinggi ditantang begitu saja
seperti seorang anak kecil menantang berkelahi anak kecil"
Teriakan yang disertai khi-kang kuat itu tidak saja membuat para penjaga di luar
terpelanting, akan tetapi juga mengejutkan seluruh isi istana koksu karena bangunan besar
itu seolah-olah tergetar dan akan ambruk! Berbondong-bondong keluarlah pasukan
pengawal dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka menjadi ragu-ragu ketika melihat
bahwa yang berjalan masuk dengan langkah lenggang kangkung itu hanyalah seorang
kakek tua sekali yang tubuhnya pendek, hanya setinggi pundak dara jelita yang berjalan di
sampingnya! "Manusia lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?"
Seorang perwira pengawal membentak.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
532 "Heh-heh! Memang aku sudah bosan hidup!" jawab Bu-tek Siauw-jin seenaknya saja.
"Apakah engkau ini Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"
Perwira itu merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya membacok ke arah
kepala Bu-tek Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak bergerak, juga dara cantik yang berdiri
di sebelahnya dengan wajah dingin sama sekali tidak peduli.
"Wuuuuuttt.... krekkkk!"
"Hayaa.... aduuuuhhh....!" Perwira itu berteriak dan memegangi lengan kanannya yang
patah tulangnya, seperti juga goloknya yang patah ketika bertemu dengan kepala kakek
sinting itu! Para anggauta pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan tak seorang
pun berani maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu sendiri bersama para
pembantunya juga mendengar gema suara yang mengandung khi-kang kuat itu dan kini
berbondong-bondong mereka keluar dari istana. Melihat munculnya koksu, para pasukan
lupa akan rasa ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin.
"Tahan....!" Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian berbisik kepada
koksu, "Harap Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia adalah seorang yang tidak boleh
dibuat main-main!"
"Semua pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!" Koksu berseru dan para
panglima segera membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung dan hendak
turun tangan mengeroyok. Setelah para pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan Thian
Tok Lama bersama lima orang panglima tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju menghampiri
kakek pendek dan gadis cantik
itu. Ketika mereka semua mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam mereka siap
untuk mencabut senjata. Tentu saja mereka semua mengenal Giam Kwi Hong, murid atau
keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es yang dahulu pernah mereka tawan
dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu. Tentu kedatangannya ada hubungannya
dengan penyerbuan Pulau Es, akan tetapi siapakah kakek pendek yang tertawa-tawa itu"
Bu-tek Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada Maharya. Setelah
memperhatikan pendeta India ini dari kepala sampai ke kaki naik turun beberapa kali,
akhirnya dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, bukankah engkau ini Si Maharya yang dulu
seringkali bertanding gulat melawan aku di lereng Himalaya?"
Maharya merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai penghormatan lalu
menjawab sambil tertawa pula, "Siauw-jin, engkau masih hidup" Sungguh panjang usiamu!"
"Ha-ha-ha, tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat engkau sekali lagi
meniru bunyi kambing untuk menyatakan kalah. Heh-heh, Kwi Hong muridku, pernahkah kau
mendengar permainan adu tenaga bergulat, yang kalah harus mengeluarkan bunyi seperti
kambing sebagai tanda menyerah?"
Kwi Hong semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan pandang mata
penuh kebencian, sikapnya dingin dan tangannya sudah gatal-gatal untuk segera turun
tangan menyerang dan membalas dendam.
"Belum pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk ini
mengembalikan Hok-mo-kiam kepadaku!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
533 "Ha-ha-ha, nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku seringkali bergulat
dengan Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia meniru bunyi kambing menyatakan
kalah. Wah, dia pandai benar meniru bunyi kambing, benar-benar seperti kambing tulen, ha-
ha-ha!" "Suhu, kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka menjilat telapak
kaki orang berpangkat!" Kwi Hong berkata mengejek.
Bhong Koksu segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Bu-tek Siauw-
jin yang dia dapat menduga tentu seorang yang amat sakti sehingga paman gurunya begitu
menghormat dan mengalah. "Harap maafkan kalau saya tidak mengenal Locianpwe yang
agaknya sudah mengenal baik Paman Guru Maharya. Kehormatan apakah yang akan
Locianpwe berikan kepada kami dengan kunjungan ini?" Koksu ini bersikap cerdik. Dia tahu
bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Super Sakti, mengapa kini menyebut suhu kepada
kakek pendek ini" Setelah muncul sebagai murid kakek ini, dia bersikap hati-hati dan
sengaja tidak mau menegur Kwi Hong.
"Ha-ha-ha, engkau murid keponakan Si Maharya" Koksu, kalau begitu engkau tentu murid
sahabat ahli pembuat pedang Nayakavhira!"
"Ahh! Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-ha-ha! Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini yang sejak
mudanya dahulu licik dan curang. Jadi engkau muridnya" Aku mendengar dahulu bahwa
Nayakavhira hanya mempunyai seorang murid, yaitu pemuda tukang penggembala kuda!"
Wajah Koksu merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah penggembala kuda
itu! Cepat ia menyembunyikan pecutnya, senjata yang tadinya dibawanya untuk menghadapi
musuh. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin lebih cepat lagi, tangannya bergerak dan tahu-tahu
pecut itu seperti hidup, terlepas dari tangan Koksu dan berpindah ke tangannya.
"Bagus! Engkau penggembala kuda itu" Dan sekarang menggembalakan orang-orang
termasuk paman gurunya sendiri" Ha-ha-ha!" Kakek itu mengembalikan pecutnya dan
Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu merampas pecutnya tadi saja sudah membuktikan
bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main!
"Siauw-jin, engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia rendah budi)!"
Maharya membentak marah. "Apakah kedatanganmu mau mencari permusuhan" Ataukah
engkau masih mengingat akan hubungan lama dan kini hendak mencoba kepandaianku!
Boleh kaucoba, mengenai ilmu silat, ilmu sihir atau ilmu kebatinan!"
"Maharya, kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga
engkau!" "Bocah sombong!" Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap hitam
menyambar ke arah muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan saja, akan tetapi asap
itu mengandung racun yang dapat membikin pingsan lawan. Namun Kwi Hong hanya
tersenyum, sedikit pun tidak mengelak sehingga angin pukulan berikut asap itu mengenai
mukanya. Maharya terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak terpengaruh, baik oleh angin
pukulannya maupun oleh asap beracun! Kwi Hong sudah menggerakkan jari tangan hendak
mencabut pedang, akan tetapi tiba-tiba gurunya menyentuh lengannya dan tertawa.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
534 "Ha-ha-ha, Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka engkau tidak
menarik lagi menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu kecerdikan dengan teka-teki,
engkau pun takkan menang. Dahulupun, teka-tekiku yang paling mudah sudah kuberi waktu
tiga hari tiga malam engkau masih tidak mampu memecahkannya. Apalagi sekarang! Eh,
Kwi Hong, tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat sederhana saja dia dahulu tidak
becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini, biar semua orang mendengar betapa
mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari yang hidup, berkepala dan bertubuh
lengkap, akan tetapi seluruh anggauta tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua
menjadi satu. Nah, apa itu?"
Kwi Hong termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang di situ semua kelihatan
mengerutkan alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini, termasuk para panglima dan
para pasukan yang berdiri di tempat jauh akan tetapi ikut mendengarkan kata-kata Si Kakek
Pendek. Melihat ini Maharya terkejut bukan main. Biarpun hanya berupa olok-olok dan teka-
teki yang dibuat kelakar, namun suara kakek itu ternyata telah mempengaruhi semua orang
sehingga mereka semua lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya. Ini saja sudah
membuktikan betapa kuat sin-kang kakek itu, betapa mujijat dan tidak akan menanglah dia
kalau bertanding ilmu sihir! Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak, suara
ketawa yang melengking panjang dan bergema di udara seperti guntur, juga mirip suara
kuda meringkik, dan semua orang menjadi sadar dengan penuh keheranan betapa mereka
tadi mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak untuk mencari jawaban sebuah teka-
teki, sungguh merupakan hal yang janggal sekali pada saat seperti itu!
"Hemm, Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang memandang
rendah karena dahulu telah kuberi tahu jawabannya."
"Suhu, apa sih jawabannya" Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"
"Jawabannya" Dengar baik-baik....!"
Kembali semua orang, termasuk Koksu sendiri, mendengarkan penuh perhatian. Maharya
terkejut dan pendeta ini maklum bahwa pada detik itu kalau Si Kakek Pendek mau
mempergunakan kekuatannya, bisa saja dia mempengaruhi semua orang yang berada di
situ, disuruh tidur tentu tidur, disuruh apa saja tentu menurut karena mereka semua telah
terjatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek pendek itu. Akan tetapi Bu-tek
Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya saja dan tidak mau melakukan sesuatu,
melainkan melanjutkan ucapannya yang sengaja dihentikan sebentar untuk menguasai
perhatian semua orang.
"Jawabannya adalah.... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!"
Semua orang memandang heran, termasuk Kwi Hong. "Eh, Suhu, mengapa semut
dipelintir?"
"Heh-heh, bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggauta tubuhnya menjadi satu,
sukar dibedakan mana kepala mana kaki lagi" Dan semut itu tadinya hidup, maka benda
yang berupa semut dipelintir itu tercipta dari yang hidup dan tentu saja menjadi benda mati!"
Semua orang, termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan
seperti anak kecil oleh kakek yang sinting ini.
"Bertanding kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir, engkau masih harus
berguru seratus tahun lagi. Bertanding teka-teki pun engkau tidak akan menang...."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
535 "Siauw-jin, aku menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!" tiba-tiba Maharya
berkata tegas. "Heh-heh, begitu" Boleh! Paling-pajing engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku
sudah hafal semua."
"Harus memakai taruhan!" kembali Maharya berkata. "Tentu saja kalau kau berani, kalau
tidak aku pun tidak akan memaksamu."
"Wah-wah, semenjak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis dan pandai
menggunakan akal bulus! Tahu kau akal bulus" Kalau berdepan, menyembunyikan kepala
ke dalam perut, kalau ditinggal, menggigit dari belakang! Akan tetapi jangan kira aku takut.
Nah, apa taruhannya?"
"Begini! Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat pelik dan
engkau harus dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan alasannya agar jangan
ngawur belaka. Kalau engkau mampu menjawabnya, kami akan menerimamu sebagai tamu
dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona yang menjadi muridmu ini tentu akan kami
pertimbangkan baik-baik. Akan tetapi kalau engkau tidak bisa menjawab, engkau dan
muridmu harus pergi dari sini tanpa banyak ribut lagi dan tidak boleh mencari perkara. Aku
beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau memikirkan jawabannya, engkau boleh
tinggal di dalam kamar tahanan bersama muridmu selama sebulan dengan jaminan makan
minum secukupnya. Bagaimana" Beranikah kau menerima tantanganku ini?"
"Ha-ha-ha! Cukup adil! Boleh sekali, akan tetapi ingat, kalau sampai aku bisa menjawab,
segala permintaanku harus kaupenuhi. Permitaanku tidak banyak, hanya menantang Koksu,
engkau dan dia ini.... eh, bukankah aku pernah melihat hwesio gendut ini di Tibet" Kalau
tidak salah, ada seorang lagi yang kurus kering, dua orang Lama dari Tibet...."
Thian Tok Lama merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud, ingatan
Locianpwe benar-benar tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian Tok Lama dari Tibet."
"Bagus! Dari India, dari Tibet, semua berkumpul di sini mengabdi kepada Mancu, ya" Luar
biasa. Nah, aku akan menantang kalian bertiga mengadu ilmu, sedangkan permintaan
muridku adalah.... eh, Kwi Hong, apa permintaanmu kalau aku menang bertaruh" Jangan
malu-malu, katakan saja!"
"Suhu," Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. "Mengapa urusan ini dibuat
main-main" Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"
"Wah, jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh" Jangan khawatir,
aku pasti menang. Nah, kalau aku menang, apa permintaan dan tuntutanmu?"
"Permintaanku, pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan kupotong ujung
hidungnya yang terlalu panjang karena dia telah berani membunuh Kakek Nayakavhira dan
mencuri pedang. Ke dua, Koksu yang memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus
membangun kembali pulau itu seperti dahulu dan berlutut minta ampun ke depan Pendekar
Super Sakti, menerima segala hukuman dan keputusan yan
Kisah Sepasang Rajawali 8 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Pendekar Pemetik Harpa 14
g Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
506 "Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada
sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk bicara
dengan engkau dan Maharya!" Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang,
sedikitpun tidak kelihatan gentar biarpun menghadapi pengepungan orang-orang pandai
ditambah puluhan orang pasukan pengawal.
"Heh, Pendekar Siluman! Engkau mencariku mau apa?" Maharya membentak, agaknya
marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama dan
muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar Siluman ini.
"Maharya, perlukah engkau bertanya lagi" Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira
dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"
Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini
percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung itu
tentulah tidak mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh
muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.
"Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi
tahu kehilangan pedang itu.
"Aku akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula
Suma Han. Bhong Ji Kun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali
mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang yang
berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak
menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan
keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari aku?"
"Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya
melainkan akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan
menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka" Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu,
dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"
"Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu
adalah seorang, manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang
koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah! Suma Han,
Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada
gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang pasukan yang ratusan
orang jumlahnya. Andaikata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau pun tak mungkin
dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."
"Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya
mengandalkan pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan
Ceng tidak akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah
memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan orang-
orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji Kun dan Maharya, aku
menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan, atau kita putuskan dan
selesaikan di ujung senjata!"
"Ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan
tantangan. Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!" Bhong Ji Kun berseru sambil
menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
507 Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di luar pintu
dan jendela ruangan itu.
"Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!" Suma Han berbisik
kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya. Dia bukan seorang nekat dan
maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya terhadap Bhong-koksu
dan Maharya, tak mungkin dia dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang perajurit
pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di antara para perajurit itu, maka dia
mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian
mencari jalan untuk dapat berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan
pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
"Jangan harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar
menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan
senjata di tangan. Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki
buntung yang menggendong gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan Suma
Han, dan biarpun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam
dongeng saja, kini melihat laki-laki berambut panjang putih dan berkaki buntung sebelah itu,
mereka memandang rendah. Apalagi pria yang tidak kelihatan menyeramkan itu hanya
bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang terluka pula!
Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.
"Rrrrtttttt!!" Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan
tampak senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang
melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak karena
mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah merobohkan enam
orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan pengawal sehingga
tertutup dan terjaga kuat.
"Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu berseru
memaki para pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah membantu kami
menangkap pemberontak!"
Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hahya karena seruan
Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman mereka
roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman mereka tadi
menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu
bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti sinar bergulung-
gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak lagi, agaknya tewas! Mereka
tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka
dengan totokan yang membuat mereka pingsan saja.
Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka
menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang panglima
yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima tinggi terdahulu,
yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima belas orang panglima
pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian
Tok Lama, dan Maharya. Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah
buntung itu tidak berguna lagi, memegang pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang
memegang senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri
dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya
daripada senjata tajam. Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biarpun mereka
mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang
cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jerih karena maklum
betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang. Maharya berdiri dengan mata
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
508 mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga tersinggung hatinya oleh
ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari
barat ini. Biarpun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan
pada tubuh, namun kain itu bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan
halus sekali. Kain pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat
kepala itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan dilengkapi
dengan sebuah bulu burung dewata yang indah! Juga sepasang kakinya "ada kemajuan"
seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua
kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat daripada emas
yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biarpun kakinya beralaskan kelom
kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun! Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi
dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan
pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula
gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan mereka rapi dan begitu
Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu
bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah
menyerang dengan senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh
Milana yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh
Milana! Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu,
memandang dengan sinar mata aneh dan.... empat orang itu menghentikan serangan
mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah mereka telah
terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku! Padahal Suma Han sama sekali tidak
pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super Sakti inilah yang dalam
sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan
melengking nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh
amat kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar!
Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan senjata di
tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti Kong dan kawan-kawannya
menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan batang senjata yang dahsyat
menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.
Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak
terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan kacau,
tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu sudah sampai ke
dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan,
kini dialah yang menyerbu barisan itu! Para panglima terkejut melihat bayangan yang
berkelebat cepat, mereka mengangkat senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring
bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar,
dan lima orang di antara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang
membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat
sin-kangnya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat
bangkit lagi dan pingsan!
"Mundur....!" Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-
temannya bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan
memimpin para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
509 Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya
dahsyat sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang
hanya berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap
sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan ilmunya
untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia menggerakkan
senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
"Dessss!" Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat
tenaga dan pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun yang
lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya. Maharya terkejut bukan
main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar Super Sakti
bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain pengaruh usia, juga karena
selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan bersenang-senang,
sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup berprihatin.
"Singggg....!" Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih
cemerlang, mengarah leher Suma Han.
"Awas....!" Milana berseru kaget. Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang
ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di leher, matanya yang indah bentuknya itu
terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keadaan
dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung oleh banyak
orang pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan khawatir, Alan....!" Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di
tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan
untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan bahwa tenaga sin-kang yang memegang
pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya! Ternyata bahwa Koksu itu
merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam hatinya. Agaknya
di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman
gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan
ilmu hitam yang kuat. Orang pertama yang tangguh adalah Maharya, ke dua adalah Koksu
inilah. "Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!"
"Awas pukulah Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri sudah
merasakan akibat hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah melukainya
biarpun pukulan itu dilakukan dari jarak jauh.
Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara "kok-kok" seperti suara
katak buduk yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah
musuhnya belasan tahun yang lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat
seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan
kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan mendorong tiga kali ke arah Suma Han.
Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu keluar uap hitam
bergulung-gulung!
Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan
pukulan Thian Tok Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh dara
itu sesuai dengan kehendak Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan
seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini, menghadapi musuh lama yang ia tahu amat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
510 tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul sampai tiga kali ke arah
dada kanan kiri dan pusar!
Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke
depan dengan telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti dahsyat
sekali menyambut pukulan tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.
Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat.
Seketika uap hitam pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh gulungan uap
hitam ke dua dan ke tiga, berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong,
akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah terkumpul dan bergumpal-gumpal itu kembali ke
arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin cepat.
Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan
terbuka. Wajahnya pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan
mukanya. Dia maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk
menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya Hek-in-hwi-hong-ciang telah
membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada dan isi perutnya sendiri, "dipaksa"
kembali oleh dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han!
Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan
kawan mereka, maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan
berbahaya sekali karena tombak bulan sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma Han,
sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk lambung kiri!
Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian
Tok Lama dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya
tiba-tiba mencelat ke atas sehingga serangan kedua orang itu betapapun cepatnya, tidak
dapat mengenai sasarannya. Milana sampai memejamkar mata saking ngerinya. Seolah-
olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang menyambar dekat dan tahu-tahu tubuhnya
sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung rajawali dengan ayah kandungnya
ini, namun dibandingkan dengan kecepatan gerakan burung itu, gerakan ayahnya ini lebih
cepat lagi. Kalau dia tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!
Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah
turun lagi dan kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama
yang menyerang secara bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang
kini tinggal tiga belas karena yang dua orang masih roboh pingsan, mengepung dan
membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tiba-tiba dari belakang, kanan atau
kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat banyak dan lihai, sedangkan ayahnya hanya
seorang diri, dan masih menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya
gerakan ayahnya menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi. Kalau sampai
ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan.... ibunya akan
celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biarpun dia sendiri
tertawan, dia tidak akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan
untuk memancing kedatangan ibunya" Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya,
biarpun dia tertawan apakah mereka berdua yang bergabung menjadi satu tidak akan
mampu membebaskannya" Andaikata tidak berhasil sekalipun, yang pasti, ibunya akan
selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri sendiri saja.
"Paman.... beritahukan kepada Ibu.... mereka tadi.... berunding untuk membunuh Ibu...."
Milana berbisik di dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran. Tadi pun dia sudah
merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah menurut
desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah" Mengapa puteri
Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
511 "Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.
"Tidak.... engkau saja pergi, Paman...." Milana berbisik pula.
Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba
Maharya menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan beberapa detik
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian, Bhong Koksu menerjang dari belakang dengan sebuah loncatan dahsyat,
pedangnya membacok dari atas ke bawah mengarah kepala Milana!
"Trangggg!" Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk
menangkis pedang yang menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima
tinggi mendekat meja kecil bundar dan memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang
diinjaknya terbuka!
Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin
ayahnya dapat melepaskan diri dari bahaya" Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang
mengempit pinggang dan kedua lengannya yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya
terlepas dan terjatuh ke bawah!
"Alan....!" Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biarpun lantai itu
terbuka ke bawah, namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat
dipergunakan untuk membuat tubuhnya mencelat ke kanan, selain menghindarkan lubang
jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang dibacokkan oleh Bhong-koksu. Akan
tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang berada di gendongannya
terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak dapat
mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat gerakan seekor burung
walet dan matanya terbelalak melihat tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan
yang lebarnya dua meter persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan....!" Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak,
berkelebat memasuki lubang itu, menyusul Alan! Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup
kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya dengan wajah pucat saling
pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.
"Hebat bukan main dia....!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?" Maharya
juga berkata, namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-
kiam. "Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis
itu. Tak mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya Ketua
Thian-liong-pang. Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-
pang, ha-ha-ha, bereslah urusan kita dan pasti akan berhasil!" Tiba-tiba Bhong Ji Kun
menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih.... aihh! Mengapa aku begitu tolol" Tentu saja dia
membela gadis itu mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan
heran. Hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap Koksu suka memberitahukan kami.
Mengapa dia menolong gadis itu?"
"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah
mereka benar-benar telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
512 kamar-kamar tahanan di bawah tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk
mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu mati-matian."
Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok
Lama, Bhe Ti Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam
kamarnya. "Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan diri
bersama Suma Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak Puteri Nirahai,
dan melihat betapa Pendekar Super Sakti membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru
kiranya dugaanku bahwa dia adalah ayahnya!" Semua yang mendengarkan mengangguk-
angguk. "Akan tetapi hal ini harus dirahasiakan, karena kalau Kaisar mendengarnya, biarpun
puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan tergerak hatinya dan menaruh
kasihan mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari Puteri Nirahai."
Kemudian para pendengarnya mengangguk Setelah mendengar pelaporan panglima
rendahan yang memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar
tahanan yang kokoh kuat dan bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka
gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang
kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan perundingan mengenai rencana
mereka merebut kekuasan Kaisar!
Betapapun tinggi dan mahirnya tingkat gin-kang Milana, namun dengan perut dan dada
terasa nyeri karena terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha
kirinya robek kulitnya, kiranya dia akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jika
tidak cepat-cepat Suma Han bertindak, melayang turun dan mendahuluinya, memondongnya
sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!
Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin
gelisah dan terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah berhasil
membebaskan diri untuk memberitahukan ibunya. Siapa kira, ayahya itu malah menyusulnya
ke bawah! "Aihhhh.... mengapa engkau berada di sini....?" Milana menegur penuh kekecewaan dan
penyesalan. "Hemm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?" Suma Han
menegur setelah menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat dari batu
hitam. Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab, "Aku sengaja
melepaskan diri agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian
memberitahukan Ibu, sehingga Paman dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan
aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman malah
menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, tidak membebaskan diri yang kuyakin
dapat Paman lakukan setelah tidak menggendongku?"
Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu itu baik dan
cerdik, akan tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup hebat dan akan
berbahaya kalau tidak segera diobati."
"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman.... eh, maksudku
agar Paman dapat memberi tahu Ibu...." Milana menjadi gugup karena tentu saja dia tidak
boleh menyatakan kecemasannya akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang "bukan
apa-apa" dengan dia! "Mengapa Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan
pula?" Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
513 "Alan yang baik dan bodoh! Biarpun menggendongmu, apa kaukira aku akan begitu mudah
mereka robohkan" Tidak, aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan diri. Akan
tetapi engkau terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin
aku membiarkan engkau yang terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau
engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku menyusulmu karena harus mengobatimu.
Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, sehingga terusirlah kekecewaannya.
Ayahnya ini benar-benar seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau ayahnya
mengenal dia sebagai anak kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak
mengenalnya, bahkan dia adalah puteri musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini
rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena tidak tega melihatnya terluka dan
ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan kasih sayang ayah, kini melihat sikap
ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah
kandungnya itu. Terhadap orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau
tahu dia anaknya!
"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit....!"
"Hemm, kulit dan daging terobek kaubilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu
memang tidak berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan Thian Tok
Lama. Bagian mana yang terkena?"
"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."
"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat
yang terpukul untuk menentukan sampai betapa hebat lukanya. Cukup kaubuka sedikit
pakaianmu, memperlihatkan ulu hatimu dan perut di atas pusar, sebentar saja."
Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biarpun dia terluka parah
dan hendak diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa
hari melakukan perjalanan dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan
mengenal watak pendekar besar ini, andaikata pendekar ini bukan ayahnya sendiri
sekalipun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya tanpa ragu-ragu. Apalagi ayahnya
sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan sedikit pun tidak kelihatan malu-malu, dara itu lalu
membuka pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di kanan
kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.
Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang
sudah berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya terbuka lebar
dan jelas sekali tampak dadanya terguncang turun naik, napasnya agak memburu. Diam-
diam Milana terkejut bukan main, seperti kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang
mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini, salah mengenal wataknya!
"Ini.... apakah ini....?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari tangannya
menyentuh belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata kalung terbuat dari
emas berhiaskan batu kemala berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau.
Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang
telah secara keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan mata
keranjang. Kiranya ayahnya bukan terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan,
melainkan terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu hanya mata kalung, Paman."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
514 "Mata kalung ini.... burung Hong berbulu hijau.... eh.... aku.... aku pernah melihatnya.... di
dada seorang.... aih, Alan, dari mana engkau memperoleh benda ini?"
Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini
mengkirik. Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata
ayahnya benar-benar bukan seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu.
Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung pedang tajamnya, yang menusuk dan
langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi khawatir sekali. Kalung ini
adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini, menurut
penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka sekarang, tentu akan terbongkar
rahasia ibunya, rahasianya!
"Ini...." Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar
pusaka istana Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang
yang salah mengira. "Eh, Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh" Hendak
memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa kalung?"
Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari
mata kalung itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu. Dahulu ia
pernah mengagumi mata kalung itu di dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti
dada gadis ini!
"Ohhh.... maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara itu,
kemudian meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri. "Ah, untung
pendeta Tibet itu tidak menggunakan seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya
memang dia tidak berniat membunuhmu. Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja.
Bereskan kembali bajumu."
Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han
memeriksa paha yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan
begitu luka itu diberi obat bubuk berwama merah, rasa nyerinya hilang dan terasa dingin
nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang dara itu, menempelkan kedua telapak
tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja dia melakukan
pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat
panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar perut dan dadanya.
Setelah pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa nyeri di dalam dada dan perutnya
lenyap sama sekali! Tentu saja dia menjadi girang dan kagum bukan main!
"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman
tertawan di sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh Koksu."
"Jangan menyesalkan hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu
cepat pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."
Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk
menekuk kaki tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti orang
termenung, sama sekali tidak mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan
seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi
rambut putih itu kelihatan berduka sekali.
Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini"
Mustahil! Ayahnya sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat mengobatinya!
Ah, tentu karena mata kalung tadi! Tentu teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini" Apakah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
515 ayahnya masih mencinta ibunya" Kalau masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-
kadang juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka saling berpisah"
"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku" Siapakah yang dahulu pernah memakai
kalung ini, Paman?"
Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah
dia tidak melihat wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara menggumam
dari bibirnya yang tetap tertutup, melalui hidung, "Hemmm...."
Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin
kasihan. Jelas, tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar apa yang
sesungguhnya telah terjadi antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun selalu menutup mulut
kalau ditanya mengenai hal ini, seakan-akan merasa tidak senang untuk bicara tentang itu.
Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara ayahnya dan Pulau Neraka sehingga
ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In yang jahat.
"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak
nyaring karena suara ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut sehingga dia
sendiri menjadi kaget.
Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka
saling berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang
mengharukan dan mesra di hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk membuka
semua isi hatinya, untuk membuka semua rahasianya terhadap dara ini! Hanya ada seorang
saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas saudara seperguruannya
di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es.
Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan
semua rahasia hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu
timbul ketika dia bertemu pandang dengan gadis ini!
"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu
tergantung di leher.... isteriku."
"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es adalah
seorang yang tidak beristeri."
"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah di mana...."
"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya puteri-
puteri Kaisar saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai kalung seperti
ini" Apakah Paman juga mencuri dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?" Milana
memancing. Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi
memandang wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan penuh
harapan mendengar ceritanya dia lalu berkata, "Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar!
Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia telah meninggalkan aku! Ohh!"
Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat
menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
516 menekan hatinya agar jangan menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja yang
diangkat menyentuh lengan pendekar itu, suaranya agak tergetar.
"Paman.... jangan.... jangan bersedih...."
Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan
tampaklah dua titik air mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu
ketika melihat betapa gadis itu mencucurkan air mata!
"Kau.... kau menangis?"
Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan keharuan
yang membayang di wajahnya karena biarpun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang
matanya basah! "Aku kasihan sekali kepadamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini
baik hati" Mengapa dia begitu kejam?"
"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku.... ah, aku tidak tahu
harus berbuat apa. Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan isteriku."
"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu
kepadaku."
"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana,
meninggalkan Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia karena dia
adalah seorang panglima tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua
melarikan diri sebagai orang-orang buruan kerajaan, dan kami berkumpul sebagai suami
isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia mengajakku pergi menghambakan diri ke
Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri, meninggalkan aku. Hidupku menjadi hampa,
aku merana seorang diri, kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku dahulu
menggembleng diri ketika masih muda sekali, dan menjadi To-cu di sana. Dan....
begitulah.... agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh...."
Milana mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tindakan ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya" Seorang
isteri seharusnya mengikuti suaminya, ke mana pun suaminya pergi!
"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia.... dia telah mempunyai seorang anak
perempuan, dia anakku.... anak kami.... dia telah mengandung ketika pergi meninggalkan
aku ke Mongolia." Suma Han tak dapat melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun
dan kelihatannya berduka sekali.
Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu,
segera mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.
"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap
amat lunak. Ada hubungan apakah kiranya Paman dengan dia" Dan mengapa dia
mengatakan bahwa Paman telah merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara
ibunya?" Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
517 Benar saja, pertanyaan ini membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan
tetapi, perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang
lebih besar lagi melanda hatinya!
"Engkau sudah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu
Keng In bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan seorang
sahabatku bernama Wan Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka
mempunyai seorang putera, yaitu Wan Keng In."
Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah
perkasa, bahkan dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."
"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi To-cu Pulau Neraka yang
kabarnya ganas dan lihai seperti iblis" Dan mengapa pula puteranya memusuhimu dan
kulihat dia amat membencimu" Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi To-cu Pulau
Neraka, juga membencimu?"
Suma Han mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di
dunia ini membenciku...."
"Mengapa, Paman?"
"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar
seluruhnya. Aku pun tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum aku
bertemu dengan dia di Pulau Neraka, ketika aku membebaskan Kwi Hong yang diculiknya.
Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu bahwa dia membenciku, baru kuketahui
setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan segala canggung...."
Milana memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang tiada
keduanya di dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi mulia di dunia ini!"
Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata setelah gadis itu melepaskan pegangan
tangannya dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai hatinya.
"Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau
Neraka itu bukan lain adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku
mendengar pengakuannya yang luar biasa, bahwa dia semenjak dahulu mencintaku, bukan
sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Dia
menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal kami saling
mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya karena
tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya pergi, Wan Sin Kiat gugur
dalam perjuangan karena dia pun tahu akan isi hati isterinya, bahwa isterinya itu
sesungguhnya mencinta aku, maka Wan Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan
berjuang secara nekat. Lulu menyatakan bahwa dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau
sebagai.... musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai yang katanya mencintaku akan
tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."
Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang
matanya bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara bergerak-gerak.
Hatinya tertarik sekali, terbayang dalam pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia
seolah-olah ikut pula hidup dalam pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
518 tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar
kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua perasaan terharu dan
penasaran. "Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai
itu, bukan?"
"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu" Apakah Paman juga cinta kepada wanita
aneh itu?"
Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga
menanyakan hal yang sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang
sudah lebih matang oleh usia dan lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria dan wanita
yang mengandung banyak keanehan, gadis itu masih penasaran dan mendesak.
"Bukan cinta kakak angkat?"
"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap wanita.
Bahkan semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak pernah berhenti
mencintanya. Antara kami terdapat api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum
dewasa, akan tetapi karena hubungan kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua
menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia kukawinkan dan kami saling berpisah,
barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta sebagai pria dan wanita! Aku
menemukan cintaku yang ke dua terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya
dia adalah putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan Paman
sendiri. Tentu Paman tidak sampai hati untuk mencelakainya, untuk menghancurkan hati
Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan.
Memang demikianlah halnya."
"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah
Lulu?" Milana bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang matanya dan kini
dia tidak mengangkat muka, melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga
menempel lantai.
"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku
sendiri pun belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan diukur siapa
yang lebih kucinta, sungguhpun dasar yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap
Nirahai didorong oleh anak kami itu, sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda
kami.... heii, ada apakah, Alan?"
Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan
alisnya berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk
ke lantai dan berbisik.
"Ada suara tertawa di bawah lantai!"
Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia telah memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi dari gadis itu, sin-kangnya amat kuat dan pendengarannya tentu jauh
lebih tajam. Kalau gadis itu dapat mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
519 apa sama sekali" Suma Han menggeleng kepala dan berkata tirih, "Alan, jangan bingung
sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan. Percayalah, aku akan mampu
membawamu keluar dari tempat ini!"
Milana bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai ini,
Paman. Kalau tidak percaya, kaudengarlah sendiri!"
Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di lantai
itu, di mana tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil itulah dia
mendengar suara dari bawah. Kalau begitu mungkin juga! Suma Han lalu mendekatkan
kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di dekat lubang lantai dan.... tak salah lagi!
Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan hanya suara satu orang,
melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang dibicarakan
juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han
tersentak kaget ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai
ini," katanya.
Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia
mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena
begitupun sudah cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah, agar
gadis itu dapat ikut mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada
lubang kecil itu dan begitu dia mendengar percakapan di bawah yang memasuki telinganya
secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia tak dapat menahan diri, tertawa cekikikan
karena merasa lucu!
"Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara
parau yang tertawa-tawa dan lucu itu berseru.
"Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita. "Dan
siapa teman itu?"
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkerik di sini. Hayo kita cari dia!"
Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri
dengar itu untuk menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu sedang
sibuk mencari jangkerik! Seperti dua orang anak kecil saja!
"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa
mengeluarkan dia?" terdengar pula suara parau.
"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa
menggalinya?"
"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang
tergali akan tetapi juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan
jangkerik dari lubangnya tanpa bahaya melukainya" Tentu saja mengaliri lubangnya dengan
air. Kalau dia terendam air di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
520 "Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu" Untuk minum saja kadang-kadanng
kurang! Si bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman untuk
kita!" "Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja" Dan engkau betul
memalukan sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air" Bukankah kita, seperti
setiap orang manusia di dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di
dalam perut?"
"Ihhh! Suhu jorok sekali!"
"Kenapa jorok" Apanya yang jorok" Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok"
Siapa sih orangnya yang tidak mengenal air kencing" Kalau aku kencingi lubang ini, masa
jangkerik itu tidak akan cepat-cepat keluar?"
"Suhu, jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkerik itu mungkin kuat
bertahan di dalam lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan baunya!" Kembali
mereka tertawa-tawa.
"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya" Kalau begitu biarlah jangkerik itu mengerik di dalam
lubangnya, akan tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat sampai di mana
kemajuanmu."
Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua
Thian-liong-pang itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau
keponakannya itu menyebut "suhu" kakek yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar
seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika tiba-tiba ia mendengar suara
mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mujijat! Tak mungkin
Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai mengamuk, biar dia
menggunakan Li-mo-kiam sekalipun! Akan tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong"
Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan
pedang yang dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan
gurunya yang sinting itu bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah, bahkan
letaknya di bawah kamar tahanan Suma Han" Kita tinggalkan dulu Suma Han yang
terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama gurunya yang sinting itu.
*** Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan oleh Wan Keng
In, dibebaskan oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga paman guru Wan Keng In. Kemudian
guru dan murid ini menuju ke kota raja, akan tetapi Kwi Hong terpaksa harus mentaati
kehendak gurunya untuk melakukan perjalanan melalui padang pasir di utara untuk mencari
racun kelabang untuk keperluan Kwi Hong sendiri dalam menerima gemblengan ilmu mujijat
yang tinggi dari kakek sinting itu.
Mereka tiba di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia ramai dan tidak
ada seorang pun manusia di sekitar tempat itu. Kwi Hong merasa heran bagaimana gurunya
dapat menemukan tempat seperti ini. Kadang-kadang mereka melalui hutan yang penuh
pohon-pohon aneh, akan tetapi ada bagian di pegunungan itu yang gundul tidak ada
pohonnya sama sekali, bahkan rumput pun tidak dapat tumbuh di situ seolah-olah tanahnya
mengandung racun yang membunuh semua tanaman. Ada pula bagian yang penuh pasir,
akan tetapi tampak bekas-bekas pohon, hanya tinggal batangnya yang besar setinggi tiga
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
521 empat meter, tanpa daun sehelai pun dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin
mencari kelabang!
Kakek itu berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak sisa pohon mati itu,
memandang ke kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Di sinilah.... hemmm sudah tercium
bau mereka dan tampak bekas mereka...."
Kwi Hong mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau
amis yang aneh olehnya.
"Awas udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan sin-kang!" kakek itu
berkata sambil tertawa-tawa. Melihat sikap kakek itu yang suka berkelakar, Kwi Hong
memandang rendah dan bernapas seperti biasa.
"Suhu.... celaka....!" Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual seperti diaduk
dari dalam. "Wah, bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk bersila, atur
pernapasanmu." Kwi Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin lalu menempelkan
telapak tangan kirinya di punggung, membantu gadis itu mengusir keluar hawa beracun dari
dalam dada. Beberapa kali Kwi Hong mengeluarkan hawa dari perut melalui mulut dan
akhirnya kepeningan kepalanya lenyap.
"Tempat ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau memakan
racun kelabang!" kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun. Kini gadis itu berhati-hati
sekali, bernapas dengan teratur dan mempergunakan hawa murni dan sin-kangnya.
"Suhu, apa yang berkilauan itu?"
Tiba-tiba Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang
sebesar kepalan tangan.
"Hemm, itu batu biasa."
"Ah, tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu mulia."
"Kau tidak percaya" Coba pegang baru kau tahu!"
Kwi Hong, membungkuk, dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba ia berteriak dan
melepaskan batu itu kembali, telapak tangannya telah menjadi hitam dan terasa panas dan
perih. Batu mengadung racun yang luar biasa!
"Ha-ha-ha! Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan berkilauan menarik akan
tetapi sebetulnya mengandung racun yang berhahaya. Biarpun sih-kangmu sudah kuat,
kalau tanganmu terkena racun ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yanng tepat, lambat
laun akan membusuk, dan hancur seperti terkena penyakit kusta!"
"Kalau sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?" Kwi Hong
menuntut. "Heh-heh-heh, kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"
"Suhu membiarkan aku keracunan" Mana ada guru seperti ini?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
522 "Ha-ha-ha! Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman. Terkena racun
begitu saja, kalau ada aku apa artinya" Biar racun yang seratus kali lebih hebat, selama aku
masih menjadi gurumu, engkau tidak akan celaka."
Bu-tek Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku bajunya,
menyambar tangan Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada tangan yang
telapaknya berubah hitam.
Dalam waktu singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu
pulih seperti biasa.
"Batu ini sebuah benda pusaka yang ampuh!" Kwi Hong tertarik sekali dan ingin
memilikinya. "Ha-ha-ha! Batu macam ini saja apa artinya" Kalau engkau sudah selesai berlatih ilmu,
tidak perlu mengandalkan batu mati seperti ini!"
Kwi Hong menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memikiki ilmu yang dapat membuat
dia kebal akan segala racun! Dia memang harus memiliki kepandaian yang tinggi agar kelak
ia dapat menandingi Wan Keng In, pemuda yang amat dibencinya itu!
"Mari kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"
"Hushh! Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang kucari
adalah kelabang bunting!"
Kwi Hong menghela napas menyabarkan hatinya. "Baiklah, kelabang bertelur, kelabang
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunting atau kelabang busung sama saja, yang perlu lekas kita menemukannya."
"Tidak begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan engkau harus
dapat menangkap hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk. Nah, pergilah cepat
sebelum malam tiba!"
"Baik, Suhu." Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.
"Awas, jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua, darahnya
sudah kurang manis!"
Di dalam hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan tetapi karena
maklum bahwa kecerewetan gurunya itu biarpun dilebih-lebihkan menurut wataknya yang
sinting, bukan tidak ada artinya, maka dia hanya mengangguk dan mengingat baik-baik
pesan itu lalu meleset pergi dengan cepat. Tak lama kemudian gadis itu telah kembali
kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan betina yang gemuk-
gemuk! "Eh. kenapa dua ekor?"
"Yang seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"
"Ha-ha-ha-ha, kau pintar sekali!" Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam, mengikat kedua
kaki ayam itu dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja berkeok-keok kesakitan akan
tetapi kakek sinting itu tidak peduli, mencabuti terus sambil berkata,
"Eh, kenapa bengong saja" Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
523 Kwi Hong memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti bulu-bulunya,
mengeluarkan isi perutnya yang diminta oleh gurunya untuk kelabang di samping ayam
hidup yang diberunduli semua bulunya. Kwi Hong membuat api membakar daging ayam,
kemudian bersama gurunya makan daging panggang sambil menanti datangnya malam
gelap. "Menurut perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang itu akan keluar
dan kalau terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau jangan kaget dan diam saja. Setelah
ayam itu diseret, barulah kita mengikuti karena para pemenang itu terus akan membawa
ayam ini kepada kelabang betina yang bunting. Yang menang tentu kelabang jantan yang
terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"
"Menurut penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."
"Memang, di waktu terjadi perkawinan. Akan tetapi setelah bunting, tidak ada lagi kelabang
jantan yang mengganggunya, dan kelabang jantan yang menyerahkan hadiah-hadiah adalah
calon-calon pengantin-pengantin dan calon bangkai karena pada waktu perkawinan mereka
pun akan mati konyol. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya hanya kawin,
membunuh pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan tetapi dia juga ngeri kalau
mengingat bahwa dia harus makan perut kelabang yang demikian menyeramkan, yang amat
beracun, sedangkan air liurnya saja sudah demikian hebatnya!
Malam tiba, kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus. "Setelah bulan
purnama muncul dan keadaan di sini cukup terang, baru api ini kita padamkan. Betapapun
lihai dan beracun, kelabang-kelabang itu takut melihat cahaya api. Kalau sekarang api kita
padamkan, mereka akan bermunculan dan tak hanya ayam dan isi perut ayam yang mereka
serang, akan tetapi juga mereka akan menyerang kita."
"Ihhhh....!" Kwi Hong mengkirik ngeri. "Kalau nanti bulan sudah muncul dan api kita
padamkan, mereka datang dan menyerang kita bagaimana?"
"Apa sukarnya" Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu
mengejar."
"Sekarang kita bisa meloncat ke sana, Suhu."
"Dasar bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan kita
menyelamatkan diri ke atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat mengikuti ke mana
mereka membawa pergi ayam yang kita umpankan itu?"
Sekarang mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang kelabang-kelabang
itu, tidak ada nafsu makan lagi padanya sehingga sisa daging ayam panggang itu diganyang
habis oleh Bu-tek Siauw-jin, bahkan agaknya dia masih belum puas karena terdengar suara
keletak-keletuk bunyi tulang-tulang sayap dan kaki ayam pecah-pecah karena gigitannya,
untuk diisap sungsumnya!
"Suhu, bulan sudah muncul. Lihat!" Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi memandang ke arah
timur, berteriak sambil menudingkan telunjuknya.
"Biarkan dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul," jawab guruya yang masih
enak-enak saja menggerogoti tulang kaki ayam.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
524 Akhirnya bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan daging berikut
tulang ayam panggang sudah habis dikunyah hancur oleh kakek sinting itu. Bu-tek Siauw-jin
lalu melemparkan ayam gundul yang diikat kakinya ke atas tanah di samping isi perut ayam
yang dipanggang tadi, kemudian memadamkan api dan mengajak muridnya meloncat ke
atas dua batang pohon mati yang berdampingan. Dengan tergesa-gesa karena ngeri, Kwi
Hong mendahului gurunya meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan hinggap di atas
puncak batang pohon mati seperti seekor burung garuda sigapnya. Gurunya juga mencelat
ke atas dan hinggap di pohon ke dua. Batang pohon yang tingginya lebih dari tiga meter itu
cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atasnya sambil memandang ke bawah. Dan
tempat itu jelas kelihatan ayam gundul yang mereka pergunakan sebagai umpan karena
cahaya bulan dengan lembutnya menyinari seluruh tempat itu.
Kurang lebih dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa seperti dua
pekan bagi Kwi Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah gurunya dan melihat betapa
gurunya itu duduk melenggut di atas puncak batang pohon, tidur-tidur ayam kekenyangan
daging ayam. Beberapa kali tubuh kakek itu mendoyong ke sana-sini kelihatannya seperti
akan jatuh, akan tetapi selalu dia tersentak kaget sebelum terguling dan melenggut lagi.
Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol sekali. Orang setengah mati karena tegang, gurunya
enak-enak melenggut, bahkan kini terdengar dengkurnya perlahan.
Tiba-tiba Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan memuakkan dan
mendadak terdengar suara gurunya, "Awas, jangan berisik dan atur napasmu, lawan hawa
beracun. Mereka sudah datang!"
Kwi Hong cepat mengerahkan sin-kang, mengatur pernapasan dan melindungi paru-paru
dengan hawa murni, matanya memandang ke bawah dengan terbelalak dan sama sekali
tidak berani mengeluarkan suara. Dilihatnya ayam yang diikat itu masih bergerak-gerak,
menggerakkan leher dan berusaha melepaskan diri. Bau makin keras dan dari sebelah
kanan tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan, bergerak-gerak mendekat. Kelihatan
panjang sekali, akan tetapi setelah dekat, barulah tampak olehnya bahwa yang datang
adalah barisan kelabang yang besar-besar dan panjang-panjang! Karena binatang-binatang
itu merayap beriringan dari jauh yang tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan
kelihatan seperti sebuah benda atau ular yang panjang. Tidak kurang dari lima belas ekor
kelabang yang kulitnya merah mengkikap, panjangnya masing-masing antara dua puluh
sampai tiga puluh senti meter! Kwi Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat kelabang, akan
tetapi besarnya paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari
sepuluh senti. Belum pernah dia melihat kelabang-kelabang raksasa seperti itu!
Barisan kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa hati Kwi Hong.
Tiba-tiba ayam itu meronta dan berkeok-keok keras tanda ketakutan dan Kwi Hong
memejamkan kedua matanya melihat betapa belasan ekor kelabang itu seperti terbang
cepatnya mencelat ke depan, memperebutkan ayam yang kelabakan sebentar, lalu tak
bersuara lagi. Barulah Kwi Hong berani membuka matanya. Ayam itu telah mati, akan tetapi
kini belasan ekor kelabang itu saling serang, saling gigit dan saling terjang dengan hebat.
Mereka memperebutkan bangkai ayam seperti yang telah dituturkan oleh gurunya! Kwi Hong
melirik ke arah gurunya dan melihat kakek itu tersenyum-senyum menyeringai lebar dan
menggosok-gosok kedua tangannya kelihatan girang sekali, bahkan mulutnya bergerak-
gerak dan mengeluarkan air liur seperti sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi
Hong bergidik! Gurunya benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis seekor
ayam panggang, hanya diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat kelabang-kelabang
gemuk, sudah keluar air liurnya! Benar-benar manusia sinting, atau bukan golongan
manusia! Betapapun juga, harus dia akui bahwa gurunya amat baik kepadanya, dan ilmu-
ilmu yang diberikan kepadanya benar-benar hebat!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
525 Saking ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Sepuluh
ekor kelabang yang lebih kecil sudah menggeletak tak bergerak, mati. Empat ekor yang lebih
besar dan agaknya luka-luka tidak mempedulikan luka mereka dan dengan lahap mereka
kini merasa puas dengan isi perut ayam. Karena isi perut itu cukup banyak terutama
ususnya yang panjang, empat ekor kelabang itu memperoleh bagian yang cukup dan dari
atas mereka tampak seperti ulat-ulat sutera sedang lahap makan daun murbei!
Kwi Hong melihat bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang telah keluar
sebagai pemenang dalam perebutan tadi, kini menggondol bangkai ayam gundul dan dia
benar-bedar tercengang akan kekuatan kelabang itu! Dengan mulut menggigit leher ayam,
kelabang itu mampu membawa bangkai ayam itu dengan gerakan cepat menuju ke sebuah
di antara pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah lubang di bawah pohon dan
lenyap! "Bagus! Tempatnya di bawah pohon itu! Mari....!" Bu-tek Siauw-jin tertawa girang dan
meloncat turun diikuti oleh Kwi Hong. Ketika dara itu melayang turun, begitu kedua kakinya
menginjak tanah, ia sudah menahan jerit dan meloncat lagi melihat benda melintang di
bawah kakinya. Benda itu disangkanya kelabang, akan tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!
"Siapkan pedangmu!" Bu-tek Siauw-jin berbisik. "Aku akan mencabut pohon itu dan kalau
engkau melihat seekor kelabang yang amat besar dan gemuk, jangan ragu-ragu, kaubacok
putus bagian kepala dan ekornya, kemudian bagian tengahnya cepat kaumasukkan ke
dalam botol ini dan tutup rapat." Kakek itu menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Karena hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat
mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk. Kalau dia disuruh menghadapi lawan
manusia, biar musuhnya amat banyak dan seganas iblis, dara perkasa itu takkan merasa
gentar seujung rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi kelabang-kelabang yang
menggelikan dan menjijikkan ini, benar-benar dia merasa tegang dan semua bulu yang
tumbuh di tubuhnya berdiri tegak! Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya, dipersiapkan
di tangan kanan yang agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan pernapasan tetap
teratur agar tidak terserang hawa beracun yang amat hebatnya memenuhi tempat itu.
Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya menghampiri pohon besar di mana kelabang
raksasa yang membawa bangkai ayam tadi lenyap.
Bu-tek Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesat tubuh
manusia itu dengan kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit berdiri sambil
mengerahkan tenaga menjebol batang pohon yang tingginya tiga setengah meter itu.
Terdengar suara keras ketika akar-akar kering pohon itu patah-patah dan terjebol berikut
tanahnya, disusul suara lebih keras karena pohon itu telah dilemparkan jauh oleh kakek
sinting. Hampir Kwi Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap keluar dan
kelihatan marah sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit kepala ayam, kini seperti
hendak menyerang kaki Kwi Hong. Gadis ini melihat bahwa kelabang ini besar sekali,
perutnya menggembung dan warna kulitnya sama seperti Kelabang-kelabang yang tadi,
merah darah akan tetapi agak kehijauan dan mengeluarkan sinar mengkikap. Sekilas
pandang ia melihat bangkai ayam di dalam lubang bekas jebolan pohon dan di samping
bangkai ayam itu menggeletak pula kelabang besar yang tadi membawa bangkai, sudah
mati pula. Agaknya Sang "Ratu" kelabang yang bunting ini benar-benar amat ganas.
Disanjung dan dirayu oleh kelabang besar, dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah
dibalas dengan membunuhnya!
"Kelabang celaka!" Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali pedangnya
berkelebat. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
526 "Cres! Cress!" Dia terkejut karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot dan
keras. Andaikata bukan Li-mo-kiam yang berada di tangannya, tentu dia akan kecelik kalau
tidak mengerahkan sin-kang, karena kulit kelabang itu ternyata amat tebal. Akan tetapi Li-
mo-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuhnya menggila, maka dua kali sabetan
itu berhasil baik, tubuh kelabang terpotong menjadi tiga, leher dekat kepala dan dekat
ekornya putus! Akan tetapi bagian tengahnya yang masih panjang itu menggeliat-geliat
hidup sehingga Kwi Hong merasa jijik untuk mengambilnya.
"Bodoh, lekas masukkan botol!" Bu-tek Siauw-jin membentak. Kwi Hong menabahkan
hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang dan menggeliat itu. Hampir saja
dilepaskannya kembali karena jari-jari tangannya merasa geli dan jijik, seperti memegang
ular saja. Akan tetapi karena botol di tangan kirinya sudah siap, dia cepat memasukkan
bagian tubuh yang menggeliat-geliat itu ke dalam botol, menutupkannya rapat-rapat
kemudian hendak mengambil kembali pedangnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah
ketika tangan kanannya mengambil tubuh kelabang.
"Aihhh....!" Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena melihat betapa
seluruh tangan kanannya menjadi merah kehitaman dan mulailah terasa kaku dan lumpuh!
"Itulah racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!" Gurunya menyerahkan batu
hijau ke tangan kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis itu menerima batu hijau dan
menggenggamnya. Sebentar saja warna tangannya putih kembali, racun yang amat jahat itu
disedot habis oleh batu hijau.
"Kau simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaaruhi kulitmu. Akan tetapi
kalau engkau sudah selesai berlatih dan sudah makan perut kelabang bunting, tubuhmu
lebih kebal dari racun, lebih hebat daripada batu hijau itu!"
Kakek ini tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang berada di dalam
lubang, kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat tadi. Dapat dibayangkan betapa
jijik hati Kwi Hong ketika melihat empat ekor kelabang besar yang tadi dengan lahap makan
isi perut ayam, kini masih melingkar di tempat tadi, diam tak bergerak sama sekali dan tubuh
mereka menjadi gemuk dan menggembung seperti mau pecah. Seluruh isi perut ayam habis
bersih, dan anehnya, sepuluh ekor kelabang yang telah mati tadi pun lenyap tak tampak
bekasnya sama sekali.
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul dan kiciak
(pelahap dan segala macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai sepuluh ekor temannya sendiri
masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta besar! Engkau makan kelabang bunting, aku
mengganyang lima ekor kelabang gembul!" Sambil berkata demikian, kakek sinting itu
menggunakan kedua tangannya menangkap empat ekor kelabang itu yang sama sekali tidak
melawan atau meronta karena memang sudah tak dapat bergerak saking kenyangnya! Dia
mengumpulkan empat ekor kelabang kekenyangan itu dengan bangkai kelabang terbesar
yang mati di dalam lubang betina. Empat kali telunjuknya bergerak memukul dan empat ekor
kelabang itu mati dengan kepala pecah.
"Sebetulnya, daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan dengan cocol kecap,
hemmm.... sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada minyak, maka kita godok saja.
Dimasak kuah juga enak sekali, kuahnya sedap dan banyak vitamin! Heh-heh-heh!"
Kwi Hong merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya persaan itu dan berkata, "Suhu,
aku khawatir takkan dapat menelan kelabang ini...." Dia meletakkan botol terisi kelabang
bunting itu ke depan suhunya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
527 "Eh-eh, bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik mendapatkan ilmu
yang membuat tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat menimbulkan sin-kang yang
tiada tandingannya di dunia" Pula, apa kaukira daging kelabang tidak enak?"
"Aku jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"
"Wah-wah, picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging
kelabang?"
"Selama hidupku belum pernah!" jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk menyatakan bahwa
selama ini, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, dia hidup "bersih"!
"Itulah tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging kelabang,
bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak enak dan menjijikkan"
He, Kwi Hong, jangan engkau meniru-niru manusia-manusia yang berwatak munafik itu!"
"Hemm, urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak
munafik?" Kwi Hong terheran.
"Tentu saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena membaca kitab atau
mendengar ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan dan menyatakan sendiri, sudah
mengambil keputusan mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai ada yang
mati-matian bersumpah bahwa dia mati-matian membenci dan memusuhi segala setan dan
iblis!" "Tentu saja, Suhu!"
Kakek sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu meloncat berdiri dan
membanting-banting kedua kakinya, seperti anak kecil yang rewel dan sudah siap menangis!
"Apa" Engkau...." Muridku...." Engkau pun ikut-ikutan latah dan munafik" Jadi engkau pun
membenci dan memusuhi setan dan iblis" Coba katakan, kenapa kau membenci mereka?"
"Hemm.... karena mereka jahat, karena musuh manusia!"
"Ngawur! Apakah setan dan iblis itu ada" Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan
iblis?" Melihat suhunya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi gentar
juga. Dia menggeleng kepala dan menjawab "Tidak pernah ada, Suhu."
"Kau tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu apakah mereka itu
ada atau tidak, bagaimana engkau sudah mengambil keputusan memusuhi dan membenci
mereka, bagaimana bisa mengatakan mereka jahat dan musuhmu" Eh, bocah tolol. Coba
jawab lagi, pernahkah engkau diganggu setan atau iblis" Dicubit" Dipukul" Dimaki atau
ditipu" Hayo jawab yang jujur! Pernahkah engkau diperlakukan jahat oleh setan atau iblis"
Kalau pernah, kapan dan di mana, dan bagaimana" Ceritakan!"
Kwi Hohg melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya seperti itu, dia tidak
dapat menjawab. Tentu saja dia belum pernah bertemu, dan kalau belum pernah bertemu,
bagaimana mungkin dia bisa diganggu. Bahkan ada atau tidaknya setan iblis masih
merupakan teka-teki yang tak dapat dijawab dengan kenyataan. Kembali dia menggeleng
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala, "Belum pernah, Suhu!"
"Nah, itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk plintat-plintut mengikuti
ketahyulan manusia yang pura-pura suci saja. Jangan engkau terseret oleh kebiasaan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
528 umum yang belum tentu benar. Karena umum biasanya makan daging ayam, maka enak
saja engkau makan daging ayam. Karena umum tidak biasa makan daging kelabang,
biarpun selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah saja kau bilang tidak enak
dan menjijikkan. Munafik!"
Kwi Hong merasa bohwat (kehabisan akal), karena biarpun ucapan gurunya kasar dan
seenak perutnya sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar dibantah. "Maaflah, Suhu.
Akan tetapi benar enakkah daging kelabang?" Suaranya halus dan penuh penyesalan itu
sekaligus mengusir kemarahan Bu-tek Siauw-jin yang sudah menyeringai kembali!
"Heh-heh-heh, engkau mau tahu rasanya" Pernahkah engkau makan daging udang?"
"Pernah, bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di sebelah timur pulau
terdapat bagian laut yang dihuni banyak udang besar, sebesar lengan tangan dan sering kali
anak buah kami menangkap udang-udang besar itu."
"Pernah kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"
"Belum pernah. Bagaimana, Suhu?"
"Wah, kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang! Apalagi udang
besar seperti itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah liat basah cukup tebal sampai tidak
kelihatan kulitnya, kemudian dipanggang dan dibiarkan sampai tanah liat itu menjadi kering
sekali. Setelah tanah liat itu retak-retak dan mengeluarkan bau gurih, nah, itu tandanya
udangnya sudah matang. Kalau sudah tampak uap keluar dari bungkusan tanah yang retak-
retak, panggang udang itu boleh diangkat dari api. Tanah liat yang sudah kering itu dikupas
dan kulit udangnya tentu akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat
dan kini hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas beruap dan
sedap baunya. Rasanya" Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi lunak, sedap manis....
hemm!" Kwi Hong menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur)
mendengar penuturan itu.
"Nah, daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima ekor ini akan
kupanggang dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu harus direbus, karena kalau
dipanggang, racunnya banyak yang hilang. Direbus juga enak, coba saja nanti."
Berkuranglah rasa jijik di hati Kwi Hong, Apalagi setelah dia mencari air sungai yang
terdapat dalam bagian bukit yang subur, kemudian mereka memasak kelabang dan
memanggang yang lima ekor, gurunya tiada hentinya menceritakan kelezatan daging
kelabang yang dagingnya sejenis dengan daging udang, kepiting, belalang, jangkerik, dan
lain binatang yang kulitnya keras.
Kesibukan memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah bagi Kwi
Hong mencari air dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu malam seperti itu,
sungguhpun sinar bulan banyak membantunya. Akan tetapi, akhirnya masakan-masakan itu
selesai di waktu pagi.
"Nah, kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!" kata Bu-tek Siauw-jin.
Kwi Hong tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging panggang, dan lagi
mana ada cuci mulut sebelum makan" Akan tetapi dia tidak membantah dan bersama
suhunya, dia mengupas tanah liat yang sudah kering. Benar saja kulit kelabang itu ikut
terkupas dan tampaklah kini dagingnya yang putih kemerahan dan mengepulkan uap tipis
yang sedap. Melihat suhunya makan daging itu dengan lahapnya, Kwi Hong lalu menggigit
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
529 daging yang dipegangnya dan benar-benar gurunya tidak membohong. Rasanya enak
sekali, gurih dan enak manis, seperti daging udang!
"Jangan dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kaumakan daging
rebus." Kwi Hong tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil di mana daging
kelabang bunting itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin mengambil sebuah guci arak dan
menuangkan arak ke dalam masakan itu. Uap mengepul dan bau wangi arak merah itu
bercampur dengan bau gurih sedap namun ada pula bau yang amis dan keras.
"Makan dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan tubuhmu. Jangan
khawatir apa pun yang terasa olehmu, makan terus sampai habis. Ingat, yang kaumakan ini
bukan hanya daging yang lezat, akan tetapi terutama sekali obat untuk menyempurnakan
latihan ilmu yang kuajarkan kepadamu."
Kwi Hong mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan mulai
menggigit dan memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata karena berbeda dengan
ketika makan daging kelabang panggang tadi, kini daging kelabang yang direbus kelihatan
putih dan besar, juga agak kehitaman di sebelah dalamnya, hitam kehijauan dia tahu adalah
racun kelabang yang amat jahat! Rasanya memang ada enaknya, akan tetapi lebih banyak
tidak enaknya daripada enaknya. Memang ada bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama
sekali oleh bau amis dan keras bahkan bau arak itu pun tidak dapat melenyapkan bau amis.
Rasanya memang gurih, akan tetapi terasa pula getir dan pahit, juga ada rasa keras yang
membuat lidah terasa seperti ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat mengunyah dan
menelan. Hanya sebentar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut asal tidak terlalu
besar, lalu ditelannya!
Dia terus memejamkan mata dan biarpun terasa betapa dada dan perutnya panas sekali
ketika makanan itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah kalau dia akan mati karena ini,
pikirnya. Sudah kepalang! Makin lama hawa panas makin hebat sehingga terasa gerah
sekali. Keringatnya membasahi pakaian, seolah-olah dia merasa tubuhnya dipanggang.
Akan tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang berhati keras dan nekat. Dia terus makan
sampai akhirnya daging kelabang bunting habis ditelannya.
Kepalanya pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari tangan Bu-tek
Siauw-jin menotok punggung, rasa ingin muntah yang timbul hilang, kemudian telapak
tangan gurunya menempel di punggungnya dan dari telapak tangan itu menjalar hawa dingin
sejuk yang melawan hawa panas di tubuhnya. Akan tetapi sebentar saja tangan gurunya
ditarik kembali ketika Kwi Hong yang teringat akan Swat-im Sin-kang, mengerahkan inti
tenaga dingin untuk melawan serangan hawa panas itu. Sin-kangnya sudah amat kuat,
apalagi Im-kang yang didapatkannya ketika berlatih di Pulau Es, bahkan lebih kuat daripada
Im-kang yang disalurkan gurunya tadi. Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es
merupakan puncak latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh mereka
yang berlatih di tempat panas.
"Bagus! Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."
"Suhu, aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging...."
"Ih, jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi
cukup...."
"Aku sudah kenyang sekali."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
530 "Bodoh, kalau tidak kauisi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari tiga
malam?" "Apa maksudmu, Suhu?"
"Sudahlah, jangan banyak membantah. Makan sisa daging panggang ini dan habiskan!"
Karena maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk kepentingan latihan
itu, bukan semata-mata untuk membikin kenyang atau makan enak, Kwi Hong terpaksa
makan habis sisa daging panggang. Perutnya menjadi kenyang sekali.
"Sekarang, minum kuah dalam panci itu sampai habis."
"Wah, mana perutku kuat, Suhu" Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak sekali!" Kwi
Hong membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang, akan tetapi dia merasa jijik kalau
harus minum kuah itu. Baru dagingnya saja tadi sudah begitu memuakkan, apalagi kuahnya!
"Kwi Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting" Andaikata engkau
tidak makan dagingnya, masih tidak mengapa, akan tetapi kalau tidak minum kuahnya,
kurasa akan sia-sia semua latihanmu. Sari obat berada di dalam kuah inilah!"
Kwi Hong bergidik. Yang dimaksudkan suhunya dengan "sari obat" tentulah sari dan semua
racun yang mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa boleh buat! Sudah terlalu jauh dia
melangkah, andaikata mendaki gunung sudah hampir sampai puncaknya. Dia mengangkat
panci, membawa bibir panci menempel bibirnya, memejamkan mata, menahan napas agar
hidungnya tidak mencium bau yang memuakkan itu, membuka mulut dan menuangkan isi
panci itu sekaligus ke dalam perutnya melalui mulut! Begitu isinya habis, Kwi Hong
mengeluh, panci kosong terlepas dari pegangannya dan terguling pingsan! Bu-tek Siauw-jin
sudah siap, menerima tubuhnya dan membiarkan dara itu rebah terlentang di atas tanah
sambil menyeringai dan tersenyum-senyum puas.
"Engkau hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang dapat dilakukan
Suheng kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan mencak-mencak kalau melihat
muridnya kalah oleh muridku!"
Kalau tadi Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga malam, kiranya dia
akan pikir-pikir dulu untuk minum kuah itu! Dan hal ini sudah diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin
maka tadi kakek sinting ini setengah memaksa muridnya menghabiskan daging kelabang
panggang agar selama tiga hari tiga malam pingsan itu, muridnya tidak akan terlalu
kelaparan! Pada pagi hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan, mengeluh
perlahan dan mumbuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar sekali. Ketika melihat
gurunya duduk bersila tak jauh dari situ sambil memandangnya dan tersenyum-senyum, Kwi
Hong cepat bangkit duduk. Segera ia memejamkan kedua matanya karena begitu ia bangkit
duduk, matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut keras.
"Jangan tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari
kematian dan mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong membuka matanya kembali. "Apa yang terjadi, Suhu" Apakah aku tertidur?"
"Engkau tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam! Dan
engkau telah berhasil!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
531 Kwi Hong teringat kembali. "Aihh! Ketika minum kuah itu.... aku lalu pingsan selama tiga hari
tiga malam?"
Kwi Hong duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin dengan ilmu
yang mujijat, yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama menyembunyikan diri. Kakek itu
benar-benar amat tekun melatih muridnya, bahkan dia kini yang mencarikan makan untuk
muridnya agar Si Murid tidak usah menghentikan latihan, dan hanya berhenti kalau perlu
makan saja. Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh melatih diri. Karena memang pada
dasarnya gadis ini telah memikiki kekuatan sin-kang yang hebat berkat latihan yang ia terima
dari Pendekar Super Sakti, maka dalam waktu singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-
ilmu yang diajarkan oleh kakek sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu akan dapat
dikuasai dalam latihan bertahun-tahun! Kemudian, berdasarkan tenaga mujijat ini Bu-tek
Siauw-jin menambahkan jurus-jurus yang aneh dan dahsyat dalam ilmu pedang Kwi Hong.
Juga dara ini dilatih menggunakan pukulan-pukulan dengan telapak tangan, pukulan yang
amat hebat karena hawa pukulannya mengandung ancaman maut, mengandung hawa
beracun yang selamanya belum pernah dia pelajari. Tanpa disadarinya, Kwi Hong yang
semenjak kecil menerima gemblengan-gemblengan pamannya dengan ilmu-ilmu tinggi yang
bersih, kini telah mempelajari ilmu-ilmu golongan hitam! Memang benar bahwa segala ilmu
dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan, tergantung manusianya. Akan tetapi,
ilmu golongan sesat atau golongan hitam mengandung sifat-sifat yang ganas, kejam dan
dahsyat, sehingga sekali turun tangan dapat merampas nyawa lawan dengan mudahnya!
Demikianlah sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak oleh gurunya
melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek sinting, begitu tiba di kota raja, dia
langsung saja menuju ke gedung koksu, berdiri di depan pintu gerbang karena para penjaga
melarang kakek sinting ini masuk. Sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, kakek itu
berteriak, "Heh, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku Bu-tek Siauw-jin!
Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan muridku ini karena aku tidak pantas lagi
menjadi gurunya!"
Para penjaga yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui pintu gerbang
menjadi terkejut karena suara itu membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan mereka
tidak mampu bangkit lagi, tubuh mereka menggigil dan mereka hanya dapat memandang
dengan mata terbelalak saja ketika kakek itu bersama dara jelita di sampingnya memasuki
pintu gerbang istana koksu seenaknya!
Kwi Hong juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap selancang ini.
Mestinya, menurut pendapatnya, mereka menyelidik dan menyusup ke dalam istana koksu
di malam hari. Akan tetapi gurunya dengan terang-terangan menantang sambil berteriak-
teriak seperti itu! Mana ada seorang koksu yang berpangkat tinggi ditantang begitu saja
seperti seorang anak kecil menantang berkelahi anak kecil"
Teriakan yang disertai khi-kang kuat itu tidak saja membuat para penjaga di luar
terpelanting, akan tetapi juga mengejutkan seluruh isi istana koksu karena bangunan besar
itu seolah-olah tergetar dan akan ambruk! Berbondong-bondong keluarlah pasukan
pengawal dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka menjadi ragu-ragu ketika melihat
bahwa yang berjalan masuk dengan langkah lenggang kangkung itu hanyalah seorang
kakek tua sekali yang tubuhnya pendek, hanya setinggi pundak dara jelita yang berjalan di
sampingnya! "Manusia lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?"
Seorang perwira pengawal membentak.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
532 "Heh-heh! Memang aku sudah bosan hidup!" jawab Bu-tek Siauw-jin seenaknya saja.
"Apakah engkau ini Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"
Perwira itu merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya membacok ke arah
kepala Bu-tek Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak bergerak, juga dara cantik yang berdiri
di sebelahnya dengan wajah dingin sama sekali tidak peduli.
"Wuuuuuttt.... krekkkk!"
"Hayaa.... aduuuuhhh....!" Perwira itu berteriak dan memegangi lengan kanannya yang
patah tulangnya, seperti juga goloknya yang patah ketika bertemu dengan kepala kakek
sinting itu! Para anggauta pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan tak seorang
pun berani maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu sendiri bersama para
pembantunya juga mendengar gema suara yang mengandung khi-kang kuat itu dan kini
berbondong-bondong mereka keluar dari istana. Melihat munculnya koksu, para pasukan
lupa akan rasa ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin.
"Tahan....!" Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian berbisik kepada
koksu, "Harap Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia adalah seorang yang tidak boleh
dibuat main-main!"
"Semua pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!" Koksu berseru dan para
panglima segera membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung dan hendak
turun tangan mengeroyok. Setelah para pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan Thian
Tok Lama bersama lima orang panglima tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju menghampiri
kakek pendek dan gadis cantik
itu. Ketika mereka semua mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam mereka siap
untuk mencabut senjata. Tentu saja mereka semua mengenal Giam Kwi Hong, murid atau
keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es yang dahulu pernah mereka tawan
dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu. Tentu kedatangannya ada hubungannya
dengan penyerbuan Pulau Es, akan tetapi siapakah kakek pendek yang tertawa-tawa itu"
Bu-tek Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada Maharya. Setelah
memperhatikan pendeta India ini dari kepala sampai ke kaki naik turun beberapa kali,
akhirnya dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, bukankah engkau ini Si Maharya yang dulu
seringkali bertanding gulat melawan aku di lereng Himalaya?"
Maharya merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai penghormatan lalu
menjawab sambil tertawa pula, "Siauw-jin, engkau masih hidup" Sungguh panjang usiamu!"
"Ha-ha-ha, tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat engkau sekali lagi
meniru bunyi kambing untuk menyatakan kalah. Heh-heh, Kwi Hong muridku, pernahkah kau
mendengar permainan adu tenaga bergulat, yang kalah harus mengeluarkan bunyi seperti
kambing sebagai tanda menyerah?"
Kwi Hong semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan pandang mata
penuh kebencian, sikapnya dingin dan tangannya sudah gatal-gatal untuk segera turun
tangan menyerang dan membalas dendam.
"Belum pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk ini
mengembalikan Hok-mo-kiam kepadaku!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
533 "Ha-ha-ha, nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku seringkali bergulat
dengan Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia meniru bunyi kambing menyatakan
kalah. Wah, dia pandai benar meniru bunyi kambing, benar-benar seperti kambing tulen, ha-
ha-ha!" "Suhu, kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka menjilat telapak
kaki orang berpangkat!" Kwi Hong berkata mengejek.
Bhong Koksu segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Bu-tek Siauw-
jin yang dia dapat menduga tentu seorang yang amat sakti sehingga paman gurunya begitu
menghormat dan mengalah. "Harap maafkan kalau saya tidak mengenal Locianpwe yang
agaknya sudah mengenal baik Paman Guru Maharya. Kehormatan apakah yang akan
Locianpwe berikan kepada kami dengan kunjungan ini?" Koksu ini bersikap cerdik. Dia tahu
bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Super Sakti, mengapa kini menyebut suhu kepada
kakek pendek ini" Setelah muncul sebagai murid kakek ini, dia bersikap hati-hati dan
sengaja tidak mau menegur Kwi Hong.
"Ha-ha-ha, engkau murid keponakan Si Maharya" Koksu, kalau begitu engkau tentu murid
sahabat ahli pembuat pedang Nayakavhira!"
"Ahh! Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-ha-ha! Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini yang sejak
mudanya dahulu licik dan curang. Jadi engkau muridnya" Aku mendengar dahulu bahwa
Nayakavhira hanya mempunyai seorang murid, yaitu pemuda tukang penggembala kuda!"
Wajah Koksu merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah penggembala kuda
itu! Cepat ia menyembunyikan pecutnya, senjata yang tadinya dibawanya untuk menghadapi
musuh. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin lebih cepat lagi, tangannya bergerak dan tahu-tahu
pecut itu seperti hidup, terlepas dari tangan Koksu dan berpindah ke tangannya.
"Bagus! Engkau penggembala kuda itu" Dan sekarang menggembalakan orang-orang
termasuk paman gurunya sendiri" Ha-ha-ha!" Kakek itu mengembalikan pecutnya dan
Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu merampas pecutnya tadi saja sudah membuktikan
bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main!
"Siauw-jin, engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia rendah budi)!"
Maharya membentak marah. "Apakah kedatanganmu mau mencari permusuhan" Ataukah
engkau masih mengingat akan hubungan lama dan kini hendak mencoba kepandaianku!
Boleh kaucoba, mengenai ilmu silat, ilmu sihir atau ilmu kebatinan!"
"Maharya, kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga
engkau!" "Bocah sombong!" Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap hitam
menyambar ke arah muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan saja, akan tetapi asap
itu mengandung racun yang dapat membikin pingsan lawan. Namun Kwi Hong hanya
tersenyum, sedikit pun tidak mengelak sehingga angin pukulan berikut asap itu mengenai
mukanya. Maharya terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak terpengaruh, baik oleh angin
pukulannya maupun oleh asap beracun! Kwi Hong sudah menggerakkan jari tangan hendak
mencabut pedang, akan tetapi tiba-tiba gurunya menyentuh lengannya dan tertawa.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
534 "Ha-ha-ha, Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka engkau tidak
menarik lagi menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu kecerdikan dengan teka-teki,
engkau pun takkan menang. Dahulupun, teka-tekiku yang paling mudah sudah kuberi waktu
tiga hari tiga malam engkau masih tidak mampu memecahkannya. Apalagi sekarang! Eh,
Kwi Hong, tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat sederhana saja dia dahulu tidak
becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini, biar semua orang mendengar betapa
mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari yang hidup, berkepala dan bertubuh
lengkap, akan tetapi seluruh anggauta tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua
menjadi satu. Nah, apa itu?"
Kwi Hong termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang di situ semua kelihatan
mengerutkan alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini, termasuk para panglima dan
para pasukan yang berdiri di tempat jauh akan tetapi ikut mendengarkan kata-kata Si Kakek
Pendek. Melihat ini Maharya terkejut bukan main. Biarpun hanya berupa olok-olok dan teka-
teki yang dibuat kelakar, namun suara kakek itu ternyata telah mempengaruhi semua orang
sehingga mereka semua lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya. Ini saja sudah
membuktikan betapa kuat sin-kang kakek itu, betapa mujijat dan tidak akan menanglah dia
kalau bertanding ilmu sihir! Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak, suara
ketawa yang melengking panjang dan bergema di udara seperti guntur, juga mirip suara
kuda meringkik, dan semua orang menjadi sadar dengan penuh keheranan betapa mereka
tadi mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak untuk mencari jawaban sebuah teka-
teki, sungguh merupakan hal yang janggal sekali pada saat seperti itu!
"Hemm, Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang memandang
rendah karena dahulu telah kuberi tahu jawabannya."
"Suhu, apa sih jawabannya" Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"
"Jawabannya" Dengar baik-baik....!"
Kembali semua orang, termasuk Koksu sendiri, mendengarkan penuh perhatian. Maharya
terkejut dan pendeta ini maklum bahwa pada detik itu kalau Si Kakek Pendek mau
mempergunakan kekuatannya, bisa saja dia mempengaruhi semua orang yang berada di
situ, disuruh tidur tentu tidur, disuruh apa saja tentu menurut karena mereka semua telah
terjatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek pendek itu. Akan tetapi Bu-tek
Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya saja dan tidak mau melakukan sesuatu,
melainkan melanjutkan ucapannya yang sengaja dihentikan sebentar untuk menguasai
perhatian semua orang.
"Jawabannya adalah.... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!"
Semua orang memandang heran, termasuk Kwi Hong. "Eh, Suhu, mengapa semut
dipelintir?"
"Heh-heh, bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggauta tubuhnya menjadi satu,
sukar dibedakan mana kepala mana kaki lagi" Dan semut itu tadinya hidup, maka benda
yang berupa semut dipelintir itu tercipta dari yang hidup dan tentu saja menjadi benda mati!"
Semua orang, termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan
seperti anak kecil oleh kakek yang sinting ini.
"Bertanding kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir, engkau masih harus
berguru seratus tahun lagi. Bertanding teka-teki pun engkau tidak akan menang...."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
535 "Siauw-jin, aku menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!" tiba-tiba Maharya
berkata tegas. "Heh-heh, begitu" Boleh! Paling-pajing engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku
sudah hafal semua."
"Harus memakai taruhan!" kembali Maharya berkata. "Tentu saja kalau kau berani, kalau
tidak aku pun tidak akan memaksamu."
"Wah-wah, semenjak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis dan pandai
menggunakan akal bulus! Tahu kau akal bulus" Kalau berdepan, menyembunyikan kepala
ke dalam perut, kalau ditinggal, menggigit dari belakang! Akan tetapi jangan kira aku takut.
Nah, apa taruhannya?"
"Begini! Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat pelik dan
engkau harus dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan alasannya agar jangan
ngawur belaka. Kalau engkau mampu menjawabnya, kami akan menerimamu sebagai tamu
dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona yang menjadi muridmu ini tentu akan kami
pertimbangkan baik-baik. Akan tetapi kalau engkau tidak bisa menjawab, engkau dan
muridmu harus pergi dari sini tanpa banyak ribut lagi dan tidak boleh mencari perkara. Aku
beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau memikirkan jawabannya, engkau boleh
tinggal di dalam kamar tahanan bersama muridmu selama sebulan dengan jaminan makan
minum secukupnya. Bagaimana" Beranikah kau menerima tantanganku ini?"
"Ha-ha-ha! Cukup adil! Boleh sekali, akan tetapi ingat, kalau sampai aku bisa menjawab,
segala permintaanku harus kaupenuhi. Permitaanku tidak banyak, hanya menantang Koksu,
engkau dan dia ini.... eh, bukankah aku pernah melihat hwesio gendut ini di Tibet" Kalau
tidak salah, ada seorang lagi yang kurus kering, dua orang Lama dari Tibet...."
Thian Tok Lama merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud, ingatan
Locianpwe benar-benar tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian Tok Lama dari Tibet."
"Bagus! Dari India, dari Tibet, semua berkumpul di sini mengabdi kepada Mancu, ya" Luar
biasa. Nah, aku akan menantang kalian bertiga mengadu ilmu, sedangkan permintaan
muridku adalah.... eh, Kwi Hong, apa permintaanmu kalau aku menang bertaruh" Jangan
malu-malu, katakan saja!"
"Suhu," Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang. "Mengapa urusan ini dibuat
main-main" Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"
"Wah, jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh" Jangan khawatir,
aku pasti menang. Nah, kalau aku menang, apa permintaan dan tuntutanmu?"
"Permintaanku, pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan kupotong ujung
hidungnya yang terlalu panjang karena dia telah berani membunuh Kakek Nayakavhira dan
mencuri pedang. Ke dua, Koksu yang memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus
membangun kembali pulau itu seperti dahulu dan berlutut minta ampun ke depan Pendekar
Super Sakti, menerima segala hukuman dan keputusan yan
Kisah Sepasang Rajawali 8 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Pendekar Pemetik Harpa 14