Sepasang Pedang Iblis 23
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 23
pa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja untuk
mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu! Melihat hasil ini, makin kagumlah
Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun Beng bagaimana untuk
me-manfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu tangan kosong atau dengan
menggunakan senjata lain. Biarpun Suma Han sendiri tidak pernah mempe-lajari ilmu ini,
namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan
Koai-lojin, ditambah pengetahuannya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk
yang amat berharga itu.
Pada hari ke empat, ketika Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong,
menggunakan tenaga sakti se-hingga terdengar suara bercuitan sebagai akibat
menyambarnya hawa pukulannya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh
bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata,
"Dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa."
"Ha-ha-ha, tak mungkin ada lawannya lagi!" Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggot-nya,
menyesal mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun telah
mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat
menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara itu kalah
jauh kalau diban-dingkan dengan Bun Beng.
"Bu-tek Siauw-jin, sekarang aku hen-dak pergi."
Kakek itu menoleh ke kiri, meman-dang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan
berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak berani
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
624 lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang pe-nuh harapan dan gairah hidup yang
be-sar! "Ke mana kalau aku boleh bertanya" Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula.
Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau
rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka mata
batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-taihiap."
Suma Han menarik napas panjang. "Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang polos
sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebe-naran sehingga aku tertinggal
jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita itulah yang membuat aku
berterima kasih sekali, yang membuka mataku, menyadarkan aku betapa tololnya selama
belasan tahun ini aku telah me-nempuh hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera
pergi menyusul mereka."
"Lulu dan Puteri Nirahai?" kakek itu bertanya.
Suma Han mengangguk. "Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat di-pecahkan oleh
pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang ha-nya dapat melamun dan
merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang sederhana, tidak melayang-
layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi kenyataan saja yang akan dapat
menyelami dan memecahkan serta mengatasi persoalan, seperti yang diucap-kan Bun Beng
empat hari yang lalu itu. Aku hendak menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua
yang baik suka mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun
kembali bersama mereka."
Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa. "Engkau masih belum setua aku, Suma-
taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai jumpa pula. Ingin
aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping mereka yang kaucinta."
Akan tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih
tertawa-tawa dan mengang-guk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah
mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi mempedulikan dirinya
sendiri, apalagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma Han, dia tertarik sekali, merasa suka
sekali dan kagum sehingga perasaan ini membangkitkan gairah hidupnya kem-bali.
Bun Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan ber-kata,
"Ke manakah perginya Suma-taihiap tadi, Locianpwe?" Biarpun dia tadi ber-latih tekun,
namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara berkelebat-nya tubuh
pendekar itu. Dia tetap me-nyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan taihiap kepada
Suma Han, karena kedua orang ini, yang hanya menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau
dianggap guru. "Dia sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan sekali
dia, merana selama belas-an tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru tentang hidup
dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama mereka itu. Sekarang kita
pun harus pergi, Bun Beng."
"Ke mana, Locianpwe?"
"Kaubantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal itu!"
Menurutkan kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun
tidak tahu ke mana per-ginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota raja,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
625 maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak me-ngajaknya ke kota raja. Tentu saja dia
tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa Kwi Hong adalah
muridnya! Berangkatlah kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja.
Dengan bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng dapat mengimbangi
gerakan kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya.
Akan tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, kea-daan di sana sudah
sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Koksu
yang mem-berontak itu, telah melarikan diri setelah komplotan yang hendak membunuh
Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini bahkan kedua orang wanita perkasa itu
diserahi pimpinan barisan urtuk melaku-kan pengejaran dan membasmi pasukan-pasukan
pemberontak yang sudah dikum-pulkan di perbatasan utara.
Bu-tek Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelun-dup ke dalam
istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar
tahanan kalau-kalau murid-nya masih "terselip" di situ, namun sia-sia belaka karena Kwi
Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya
gadis itu. Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan me-nyelidiki tentang
Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat menerangkan ke
mana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, hampir semua
orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke istana, dan bahwa kini puteri perkasa
itu memimpin pasukan besar untuk mengejar dan membasmi pemberontak. Mendengar ini,
Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu ikut ber-sama ibunya untuk membantu. Maka dia
pun mengajak Bu-tek Siauw-jin untuk melakukan pengejaran ke utara.
"Teecu tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi
Hong juga ikut ke sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak," kata Bun
Beng. Kakek itu menggeleng kepala. "Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Olah
mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara manusia
itu kaukatakan tontonan" Benar-benar dunia sudah tua, ataukah manusianya yang tolol
semua" Hayolah!" Mereka kembali meninggalkan kota raja menuju ke utara.
Apakah yang telah terjadi dengan Milana" Dara itu, seperti telah dicerita-kan di bagian
depan, tidak ikut bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberon-tak ke utara, melainkan
ditinggalkan di kota raja. Tadinya, Puteri Nirahai me-nyuruh puterinya itu mencari Pendekar
Super Sakti untuk menyerahkan kembali Hok-mo-kiam, akan tetapi ketika dia menerima
tugas berat dari Kaisar untuk membasmi pemberontak yang dia tahu dipimpin oleh banyak
orang sakti, terpak-sa dia meminjam Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.
"Biarlah pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu,"
pesannya kepada Milana. "Engkau tunggu saja di sini, kalau berte-mu dengan ayahmu,
ceritakan semuanya dan minta bantuannya untuk menghadapi para pemberontak yang lihai.
Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun Beng lagi, suruh dia membantu kami di utara.
Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai untuk menghadapi para pimpinan
pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang sakti dari Mongol, Nepal, dan orang
Han sendiri." Setelah kini menjadi seorang panglima kembali, beru-bah sikap Nirahai. Yang
terpenting bagi-nya pada saat itu adalah tugasnya, maka sama sekali terlupalah urusan
pribadi, sehingga dia tidak malu-malu untuk memesan Milana minta bantuan Suma Han.
Semua demi tugas kerajaan, dan memang beginilah sifat seorang panglima yang baik.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
626 Akan tetapi, nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi kegembiraan
besar, bukan hanya kegem-biraan kalau dia teringet kepada Gak Bun Beng, pemuda yang
dicintanya dan yang juga mencintanya, akan tetapi juga kare-na adanya harapan yang timbul
di hatinya tentang ayah dan bundanya. Kalau mereka itu dapat bersatu kembali, alang-kah
bahagianya hidup ini, apalagi di sana ada.... Bun Beng!
Dua hari Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang diakui,
apalagi sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat dan mendapatkan
sebuah kamar yang indah di lingkungan istana, bagian puteri. Namun, darah
petualangannya sebagai seorang bekas puteri Ketua Thian-liong-pang, yang sudah biasa
bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja Milana tidak dapat tahan lama tinggal di
lingkungan tertutup itu. Segera dia telah mengena-kan pakaian ringkasnya lagi sebagai
se-orang pendekar, dan melayang keluar dari lingkungan istana bagian puteri itu untuk ke
luar dan melakukan penyelidikan kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayah-nya atau dengan
Bun Beng. Akan tetapi, bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada
sore hari itu dia menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat dibenci dan
ditakutinya. Wan Keng In! Baru saja Milana meloncat tu-run dari atas pagar tembok, tiba-tiba
tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda tampan itu berdiri dengan
senyum mengejek di depannya, dan di sebelah pemuda itu berdiri seo-rang kakek yang
amat mengerikan, kakek kurus kering seperti mayat hidup, yang matanya seperti mata
boneka tidak ber-gerak sama sekali. Kakek ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!
"Sayur di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu,
menjadi masakan yang lezat! Ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang cantik,
calon isteriku yang tercinta. Dengan penuh rindu aku datang hendak menjemputmu di dalam
istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan keluar menyambutku. Terima kasih!"
"Manusia iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk
membunuhmu!" Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh rasa
ngeri. "Hemm, sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ter-nyata adalah
Puteri Nirahai dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau menjadi isteriku,
engkau cucu Kaisar, dan aku.... calon raja di Pulau Neraka. Marilah manis." Tangan Wan
Keng In meraih hendak menangkap ping-gang ramping dara itu. Tentu saja Milana tidak sudi
membiarkan tubuhnya dipeluk, dia mencelat ke kanan sambil mengge-rakkan tangan kiri
yang tadi diam-diam sudah mempersiapkan segenggam Siang-tok-ciam (Jarum Racun
Wangi). Sinar merah menyambar ke arah dada dan pe-rut Wan Keng In dan agaknya
pemuda ini tidak tahu bahwa dirinya diserang, karena dia tidak mengelak, tidak pula
menangkis. Hal ini menggirangkan hati Milana karena dia merasa yakin bahwa tentu akan
mengenai sasaran dan mero-bohkan lawannya. Kegirangannya menjadikan kelengahan.
Dara ini menjerit ketika pemuda ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama sekali akan
jarum-jarum yang menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu pinggang
Milana telah dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi lemas karena ditotoknya!
Sambil tertawa, Wan Keng In menca-but jarum-jarum yang menancap di baju-nya, sama
sekali tidak melukai kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan dibawanya
lari bersama guru-nya yang sejak tadi diam saja tidak mengeluarkan suara.
"Haiii! Berhenti....!" Dua orang penja-ga istana, pengawal yang menjaga di luar tembok,
mendengar teriakan Milana datang berlari. Ketika mereka melihat siapa yang dipondong dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
627 dibawa lari, mereka terkejut dan marah sekali. Ada penjahat menculik cucu Kaisar yang baru
yang cantik, puteri dari Panglima Nira-hai!
Mereka berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu
memiliki ilmu kepandaian he-bat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan mengejar.
Wan Keng In dan gurunya belum lari jauh. Karena dua orang pengawal itu melihat Si Kakek
lari di sebelah belakang, otomatis mereka mengerjakan tombak mereka, menusuk ke
punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan sama sekali.
"Crot! Crot!" Dua batang tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam,
akan tetapi kakek itu tidak roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu me-luncur ke belakang seperti
anak panah, gagang tombak menembus dada dua orang pengawal itu yang roboh seketika,
berkelojotan dengan sinar mata penuh ke-heranan dan kekagetan. Mereka mati dalam
keadaan terheran-heran melihat orang yang telah mereka tusuk dan tembus punggungnya
itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri yang menjadi korban senjata masing-masing.
"Jahanam, lepaskan aku!" Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya tertawa-tawa
saja, seolah-olah dia merasa senang sekali dara itu meronta dan menggeliat dalam
pondongannya, membuat dia merasa betul bahwa yang dipondongnya adalah benar-benar
dara yang dicintanya, yang membuatnya ter-gila-gila, dara yang hidupnya dan yang
selamanya akan menjadi sisihannya, men-jadi permaisurinya di Pulau Neraka!
Beberapa orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka
segera membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia, sebagian
lagi segera melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana. Panglima itu terkejut,
terpaksa dengan gemetar melaporkan penculikan atas diri Puteri Milana ini kepada Kaisar.
Tentu saja Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali pute-rinya bersama
cucunya, dan kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi pemberontak,
cucunya diculik orang! Dengan suara keras Kaisar meme-rintahkan kepada panglimanya
untuk mengerahkan pasukannya melakukan pengejaran dan membebaskan kembali
cucunya. Akan tetapi sebagai Kaisar yang berpengalaman dia pun maklum bahwa penculik
itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya yang lihai, dan juga Lulu, pergi
memimpin pasukan, kira-nya di istana tidak ada orang yang boleh diandalkan memiliki
kepandaian tinggi menghadapi penculik itu. Maka segera ditambahkannya,
"Cari Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami,
akan kami ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!"
Panglima mundur dan sibuk melaksana-kan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin
mengejar penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng In dan
gurunya. Sia-sia saja para pasukan pengawal mencari ke sana ke mari. Juga sia-sia saja
mereka mencari Pendekar Super Sakti, karena ketika pendekar ini selesai melatih Bun Beng
dan datang ke kota raja, dia mendengar akan tugas membasmi pemberotak yang dilakukan
Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul ke utara!
Demikianlah, tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang
dirahasiakan oleh Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan
cucunya kembali dari ta-ngan para penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh Puteri
Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai ter-dengar oleh Puteri Nirahai, siapa
tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan meninggalkan tugasnya membas-mi
pemberontak. Dan ke manakah perginya Giam Kwi Hong" Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong
berhasil keluar dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin. Setelah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
628 mempelajari ilmu, terutama sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti Bumi ditambah
dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya, Kwi Hong sekarang menjadi seorang yang luar
biasa lihainya. Namun sayang sekali, pe-ngaruh tenaga sakti liar dari Pulau Nera-ka itu
mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh ini datang dari tenaga sakti itu dan
dari pedang Li-mo-kiam di tangannya, karena memang pedang itu bukanlah pedang
sembarangan, melainkan sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup
banyak darah ma-nusia tak berdosa, dan dibuatnya pun secara mujijat dan kejam!
Setelah berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan
Maharya yang lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhunya, pergi hendak mencari pamannya,
Pendekar Super Sakti. Namun usahanya tidak ber-hasil, bahkan dia mendengar akan
keri-butan di istana dan betapa Koksu ber-hasil melarikan diri keluar dari kota raja. Kwi Hong
yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar pula keluar dari kota raja dan dia berhasil
mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki Ong, pangeran Mancu yang berusaha memberontak
dibantu Koksu. Pangeran ini sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja sebelah
utara, dikawal oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada
mereka, termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal. Hati dara ini tadi belum merasa
puas. Tadinya ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan lain-lain bersama gurunya, dia
mengamuk dan merobohkan banyak perwira penga-wal kaki tangan Koksu dengan
pedang-nya. Dia merasa gembira sekali melihat darah muncrat setiap kali pedang
berke-lebat, maka dia agak menyesal dan kece-wa ketika gurunya menyuruhnya melari-kan
diri dari kepungan. Dia amat membenci Koksu dan Maharya, yang dianggap musuh-musuh
besar pamannya. Kini, selagi dia sendirian, tidak ada gurunya yang melarangnya, kebetulan
sekali dia dapat menyusul rombongan musuh ini, tentu saja dia tidak mau membuang
kesempatan baik untuk me-muaskan hati dan pedangnya!
Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan,
sungguhpun dengan tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya
karena di situ ada Koksu yang pandai menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa
pasukan mereka akan dikerahkan untuk langsung memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw
tidak putus asa. Pangeran ini telah kehilangan segala kemewahan hidup dan kemuliaan,
bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selir-nya yang muda-muda, harta bendanya yang
berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus melakukan perjalanan melarikan
diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!
Pada malam ketiganya, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan
perjalanan. Dia sudah merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa kali jatuh
pingsan saking kelelahan. Juga roda-roda kereta perlu dibetulkan karena hampir copot.
Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mung-kin juga masih jauh, dan tempat penjaga-an
pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah dekat, Koksu tidak keberatan dan
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beristirahatlah mereka di sebuah dusun. Penduduk dusun yang belum tahu akan keributan
yang terjadi di kota raja, menyambut rombongan ini penuh penghormatan. Terhibur juga hati
Pangeran Yauw dan rombongannya karena dapat melepaskan lelah malam hari itu, dan
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh
mereka lebih segar.
Akan tetapi, baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan, tiba-
tiba terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penga-wal yang menunggang kuda paling
depan, roboh dengan tubuh hampir putus menja-di dua potong terbabat kilatan pedang di
tangan seorang dara yang cantik na-mun sepak terjangnya ganas bukan main. Koksu dan
Maharya bersama para pangli-ma pembantu mereka cepat melarikan kuda ke depan dan di
sana mereka me-lihat seorang gadis dengan sebatang pedang yang berkilat sinarnya
menyilau-kan mata di tangan, berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan. Dara itu bukan
lain adalah Giam Kwi Hong! Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Mahar-ya, karena
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
629 mereka menyangka bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang
mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia
keluarkan untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin, "Siauw-jin ma-nusia rendah dan hina,
tua bangka cebol mau mampus, keluarlah jangan bersembu-nyi di belakang celana muridmu
perempuan!"
Sepasang mata Kwi Hong mengeluar-kan sinar berapi karena marahnya men-dengar
ucapan menghina yang ditujukan kepada gurunya itu.
"Maharya pendeta iblis!" pedangnya menuding ke depan dan sinar berkilat menyilaukan
mata keluar dari ujung pe-dang itu, membuat semua orang bergidik ngeri melihatnya. "Suhu
tidak berada di sini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan hawa busuk memaki
Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina Suhu, dan mem-bunuh
Koksu yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah manusia-manu-sia berakhlak
bejat, dan aku mewakili pamanku untuk membasmi kalian!"
Pangeran Yauw Ki Ong yang menje-nguk keluar dari keretanya melihat gadis itu.
Jantungnya berdebar penuh ketegang-an, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya!
Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir muda yang cantik. Kalau dia bisa mendapatkan
gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.
"Seng-jin, siapakah dia?" bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.
"Dia bernama Giam Kwi Hong, ke-ponakan Majikan Pulau Es dan kini agak-nya menjadi
murid Bu-tek Siauw-jin, setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama pedangnya, akan
tetapi harap Ong-ya tidak khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi saya untuk menundukkan
dan membunuhnya."
"Jangan dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali" Tentu
membuka kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Si-luman Majikan Pulau Es,
untuk membantu kita pula menghadapi Kaisar."
Sepasang mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang
amat baik, sesuai dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia
mengeluarkan ucapan dalam bahasa India yang ditujukan kepada paman gurunya, Maharya.
Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan melang-kah maju bersama Koksu
menghampiri Kwi Hong.
"Bagus, majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus
dengan pedangku!" Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.
"Sabarlah, Nona. Kami hendak mem-bicarakan urusan penting dengan Nona. Bersabarlah
karena sesungguhnya di antara kita tidak ada permusuhan sesua-tu." Tiba-tiba Maharya
mengeluarkan kata-kata dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu dan setiap ucapan
mengeluarkan getaran hebat dari ilmu hitamnya untuk mempengaruhi gadis itu.
Gelombang getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini,
membuatnya agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang, namun de-ngan pengerahan
sin-kangnya dia dapat berdiri tegak kembali dan memandang dengan mata penuh
kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, terdengar suara Koksu lemah
lembut, Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
630 "Nona, harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama
dengan Bu-tek Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang
kepada Pulau Neraka, me-lainkan masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami
bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman senasib dan seperjuangan dengan kami."
"Tidak perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!" Kwi Hong masih dapat
mempertahankan diri terhadap ge-taran yang terus dikerahkan oleh Ma-harya untuk
mempengaruhi dirinya dan pikirannya. "Memang aku keponakan Majikan Pulau Es, dan aku
tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin pasukan menghancurkan Pulau Es,
mem-bunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal jahat!"
"Aihhh, harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu, kami hanyalah petugas-petugas
saja dari Kaisar. Kaisar- yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar Siluman
pamanmu itu karena pamanmu pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami hanya
ditugas-kan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau bicara tentang biang keladinya,
hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa menyesal se-kali
mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim itu! Karena kelalimannya
maka kami memberontak! Kita semua telah dibikin sakit hati oleh Kaisar lalim itu, Nona.
Karena itu, apa perlunya antara kita bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar
oleh pasukan Kaisar yang dipimpin oleh Ma-jikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-
pang" Mereka menggunakan kesempatan ini untuk merangkul Kaisar, untuk
menghancurkan kita, ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar mereka!"
Kwt Hong mulai tergerak hatinya, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, namun terutama
sekali oleh gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mujijat. Dia menjadi ragu-ragu
sekali. "Hemmm.... begitukah" Paman memang tidak pernah mau dekat dengan kerajaan...."
"Tentu saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Daripada antara kita yang
senasib ini terjadi permusuhan, bukanlah jauh lebih baik kalau kita ber-satu menghadapi
Kaisar lalim dan mem-balas dendam kita bersama?"
Pengaruh ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan
Kwi Hong, dan kini dia men-dengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya
berkerut dan tangannya yang memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi.
Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata, masih agak meragu,
"Mana mungkin kita melawan pasukan pemerintah?"
"Ha-ha!" Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar. "Jangan Nona ragu-ragu,
karena kami telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami dan menyaksikan
sendiri persiapan kami dengan pasukan kami yang amat kuat. Kalau Nona membantu kami,
apalagi kalau kita bersama dapat bergabung dengan Majikan Pulau Es, apa sukarnya
menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?"
Kwi Hong teringat. Pamannya menja-di pelarian, bersembunyi dan mengasing-kan diri di
Pulau Es, bahkan kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang harus dia akui
bahwa pemerin-tah telah memusuhi pamannya dan telah melakukan hal-hal yang
menyakitkan batin.
"Baiklah," dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam. "Aku suka bekerja sama dengan kalian,
untuk menghukum Kaisar lalim!"
Pangeran Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua
tangan ke depan dada. "Kami me-rasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati sekali
mendengar keputus-an Lihiap (Pendekar Wanita) yang bijak-sana. Selamat datang dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
631 selamat berjuang bersama-sama, Lihiap. Percayalah, kami Pangeran Yauw Ki Ong yang
tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas rakyat, setelah kami berhasil
menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan jasa Lihiap yang amat berharga
ini!" Ucapan itu dikeluar-kan dengan sikap halus dan sopan, diser-tai pandang mata kagum
dan senyum menggerakkan kumis tipis pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan
hati perawan cantik perkasa itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung
rambut sekalipun tidak pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini.
Seekor kuda yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian, dara ini telah
menunggang kuda di antara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan bersama-sama
mereka lalu melanjut-kan perjalanan menujuu ke utara di mana terdapat gabungan pasukan
anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan orang-orang Mongol.
Demikianlah, tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota
raja. Dia dan Bun Beng hanya menduga bahwa karena di utara ada "keramaian" yaitu
pengejaran yang dila-kukan pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Puteri Nirahai
terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun tentu akan menonton keramaian ke
sana. Dugaan ini membuat keduanya ti-dak betah tinggal terlalu lama di kota raja dan segera
mereka pun melakukan perjalanan cepat menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan, tiada
hentinya Bun Beng memperdalam ilmunya yang baru, terutama sekali permainan Ilmu Silat
Pedang Lo-thian Kuam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan
tenaga gabungan yang dia latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin.
Rombongan yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di se-belah utara
Peking, lalu menyusuri se-panjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke timur.
Kiranya pasukan gabungan para pemberontak itu bersem-bunyi di dekat gunung-gunung
dan jurang-jurang yang amat curam. Memang tempat ini amat tersembunyi dan juga liar
sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa hari sekali saja meronda di bagian
ini. Akan tetapi pada waktu itu, semua pasukan di sekitar daerah ini yang melakukan
penjagaan di tapal batas Tembok Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang
sudah diatur sebe-lumnya. Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol
untuk menyelundup masuk melalui Tembok Besar di mana terjaga oleh kaki tangan Koksu
sendiri. Di sekitar Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok darurat
yang dijadikan markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan para jagoan yang
tadinya menan-ti di sebelah utara kota raja, di daerah sumber minyak di mana Bun Beng
pernah mengamuk, setelah usaha mereka mem-bunuh Kaisar gagal, sisa para jagoan ini
pun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu di lembah Sungai Luan ini, untuk
memperkuat pasukan pemberontak. Kekuatan mereka terdiri dari kurang lebih lima ratus
orang, dan merupakan gabungan pasukan Mongol Nepal dan pasukan pengawal Koksu
yang rata-rata merupakan perajurit-perajurit pilihan.
Pangeran Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis
terhadap nona ini. Pangeran yang sudah banyak penga-laman dengan usianya yang
mendekati empat puluh tahun itu tidak mau mela-kukan tindakan yang tergesa-gesa dan
sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa nona ini bukan bukan seorang
wanita sembarangan. Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan hanya
tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang can-tik saja, juga terutama sekali ilmu
kepandaiannya yang tinggi. Kalau dia dapat meraih dara ini menjadi selirnya yang tercinta,
maka dia sekaligus men-dapatkan seorang penghibur yang cantik jelita dan seorang
pengawal pribadi yang boleh diandalkan! Dia maklum bahwa dengan bantuan Koksu dan
Maharya, setelah dara ini dapat dibujuk menggabung, dengan mudah dia dapat
menggunakan kekerasan atau dengan pengaruh ilmu sihir Maharya, untuk menggagahi
tubuh dara ini secara paksa. Namun hal ini sama sekali tidak dikehendakinya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
632 Setelah tiba di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak
Pegunungan Merak Merah, rom-bongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya mereka
berkumpul, yaitu Pange-ran Yauw, Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi Hong, dan para
panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi pemerintah yang ingin mereka
gulingkan. Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan penjagaan ketat, juga untuk
mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk mengetahui gerak-gerik musuh di
selatan. Selesai berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak
dengan pasukan pengawal.
"Lihiap tentu belum mengenal daerah ini," katanya manis. "Di sini banyak se-kali terdapat
rusa kesturi yang mempunyai dedes yang amat harum baunya."
Kwi Hong tertarik sekali. "Pangeran, apakah dedes itu?"
Sang Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk
menimbulkan kesan lebih mendalam, dia menjawab, "Dedes adalah semacam peluh yang
keluar dari tubuh belakang rusa kesturi, dan merupakan bahan wangi-wangian yang amat
berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal keharuman-nya, dan tidak sembarang
waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh dedes ini. Peluh ini hanya keluar di waktu
se-ekor rusa kesturi datang berahinya dan keluarnya dedes yang menyiarkan bau harum itu
adalah daya penarik untuk mengundang seorang lawan kelaminnya untuk.... hemmm....
untuk bermain cinta."
Biarpun pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi
Hong menjadi merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pange-ran Yauw terpesona.
Betapa cantiknya ketika sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti itu! Andaikata dia
sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu tentulah dia akan mengeluarkan peluh dedes yang
tidak kepalang tanggung banyaknya!
"Di samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan
bahan obat kuat yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menja-ngan muda) amat mahal
dan tanduk itu dapat membuat tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi panjang. Selain
binatang-binatang itu kita manfaatkan tanduknya dan dedesnya, juga dagingnya sedap
bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di samping ini, masih terdapat
binatang-binatang lain dan ta-nam-tanaman yang belum pernah Nona saksikan sebelumnya.
Marilah kita berbu-ru, saya tanggung Nona akan merasa puas dan gembira sekali."
Dan pangeran itu memang tidak ber-bohong. Pemandangan alam di Pegunung-an Merak
Merah itu benar-benar amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan bunga-
bunga beraneka warna yang belum pernah dikenal Kwi Hong. Bermacam batang bambu
yang aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di daerah ini. Setelah berburu selama sete-ngah
hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh dua ekor rusa yang gemuk
dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini terdapat dedesnya dan dari yang
kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.
Sore hari itu, Pangeran Yauw meng-undang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan, di
dalam taman alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan arak dan
bermacam masakan daging rusa yang lezat! Dalam kegembiraannya, Kwi Hong yang
meng-anggap bahwa pangeran itu adalah seo-rang bangsawan yang sopan dan ramah,
sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum bersama pangeran itu, bahkan tertawa
memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sa-jak. Kiranya pangeran bangsa
Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan. Setelah mereka makan cukup kenyang dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
633 minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran Yauw memanggil pelayan pribadinya
dan menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak di dalam sebuah guci batu giok biru itu
ditaruh di atas meja.
"Giam-lihiap, ini adalah arak simpan-an yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar
biasa, sudah tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghor-matan kami dengan tiga
cawan arak ini!" Sambil tersenyum Pangeran Yauw me-nuangkan secawan arak dari guci
arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah kekuningan, amat harum baunya dan ke-tika
berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.
"Kami namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!"
Kwi Hong merasa sudah terlalu ba-nyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk
menolak. Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga
mengangkat cawannya. Arak itu memang enak sekali, manis dan ha-rum, akan tetapi juga
amat keras sehing-ga Kwi Hong merasa betapa hawa panas naik ke kepalanya, membuat
ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.
"Masih dua cawan lagi, Lihiap," kata Sang Pangeran gembira sambil menuang-kan lagi arak
ke dalam cawan Kwi Hong yang kosong.
"Maaf, Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi...." Kwi Hong
menundukkan mukanya dan menga-tur napas untuk menghilangkan rasa pening di
kepalanya. "Aihhh, apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?"
Pangeran itu berkata dengan suara ringan, tanda bahwa dia pun agak mabok.
"Bukan begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan tetapi
saya benar-benar telah agak pening, maka dua cawan arak ini.... biarlah saya minum
perlahan-la-han...."
Pangeran itu tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk. "Aku percaya seorang gagah
seperti Lihiap tidak akan mengecewakan hatiku...., biarlah guci arak ini kutinggalkan saja di
sini, harap Lihiap nanti suka menerima dua cawan arak kehormatan dariku lagi, bahkan
boleh menghabiskan arak ini kalau suka. Sisa-nya berikut guci araknya boleh Lihiap
kembalikan nanti, aku menanti di ka-mar.... aku mempunyai sebuah benda yang amat
berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap sebagai hadiah." Setelah berkata demikian,
pangeran itu meninggalkan Kwi Hong dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah
seorang mabok. Kwi Hong menjadi lega hatinya. Ha-rus diakuinya bahwa pangeran itu bersi-kap amat baik
kepadanya. Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi, akan tetapi
ia hanya takut kalau dua cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan menjadi mabok betul-
betul. Kalau dibiarkannya minum sendiri perlahan-lahan, kiranya tidak apa-apa. Dia
mengangkat guci arak itu dan di-pandangnya di bawah sinar lampu merah yang dipasang di
taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang amat indah. Dia tersenyum, meletakkan guci ke
atas me-ja, kemudian memandang cawan arak wangi. Cawan yang ke dua! Ketika
tangannya bergerak ke arah cawan, hendak diangkat dan diminumnya arak itu sedi-kit demi
sedikit, tiba-tiba dara itu me-naruh cawan araknya cepat ke atas meja dan gerakan cepat ini
membuat arak sedikit tumpah, sedangkan tangan kirinya menyambar benda hitam yang
meluncur ke arah dirinya. Melihat bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam kecil dan ada
sehelai kertas diikat pada batu, dia menjadi curiga dan sekali tubuhnya ber-gerak, dia telah
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meloncat ke arah da-tangnya batu tadi. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat
itu, dan ketika dia melanjutkan pencariannya keluar dari taman alam itu, dia hanya melihat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
634 lima orang tukang kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda tunggangan
pangeran dan para pembesar lainnya. Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu
kepada mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia
melihat tulisan di atas kertas itu. Hanya bebera-pa huruf yang ditulis dengan tergesa-gesa
agaknya. JANGAN DIMINUM ARAK PERANGSANG ITU!
Kwi Hong mengerutkan alisnya, mere-mas hancur kertas itu dan membuangnya sambil
memandang ke arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia merasa
penasaran karena sungguh tidak mengerti. Apa artinya arak perangsang" Jelas bukan arak
beracun, karena kalau beracun, tentu dia sudah roboh. Pula, mengapa pangeran akan
meracuninya" Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan sekutunya untuk
menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri-nya. Akan
tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini" Dan siapa orangnya" Diukur dari tenaga
lemparan batu kecil tadi, orang itu memiliki kepandaian biasa saja!
Biarpun Kwi Hong tidak mempeduli-kan isi tulisan itu dan dia pun tidak ta-kut kalau-kalau dia
diracuni, namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi minum arak. Arak yang
sudah berada di dalam cawan itu dia tuangkan kembali ke dalam guci, kemudian dia
membawa guci batu giok itu menuju pondok besar tempat peristirahatan Pangeran Yauw Ki
Ong. Setelah penjaga mempersilakan masuk seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong
memasuki pondok. Alisnya berkerut dan hatinya tidak senang sekali ketika ia melihat
pangeran itu dengan pakaian setengah telanjang roboh telen-tang di atas pembaringan dan
dikeroyok oleh dua orang wanita cantik yang meng-gosok tubuhnya dengan minyak,
sedangkan orang ke dua memijat tubuhnya.
"Ha-ha, engkau telah datang menyu-sulku, Lihiap" Harap kautaruh saja guci itu di atas meja
dan duduklah. Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini, nanti akan kuambilkan
sebuah hiasan rambut burung Hong dari batu giok yang amat indah, hendak kuhadiahkan
untuk-mu."
Karena sikap pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurang-ajaran, maka Kwi
Hong yang agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur untuk dapat
mengenal kegenitan seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya, maka setelah
meletak-kan guci itu di atas meja dia menjura dan berkata,
"Saya hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal
hadiah, saya tidak membutuh-kannya dan kalau Ong-ya hendak mem-berikan kepadaku,
besok masih banyak waktu. Selamat malam dan maafkan saya." Tanpa menanti jawaban
dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pangeran itu yang
menjadi kecewa sekali.
Pangeran Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyam-bar guci
arak, membuka tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon
korbannya itu tidak minum lagi. Biarpun secawan dari arak emas ini sudah cukup untuk
merobohkan seorang wanita yang bagaimana keras hati dan dingin sekalipun, namun
agak-nya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong! Obat perangsang itu belum
cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih, hanya membuat dara itu
bingung saja! Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh terburu nafsu, dan dia akan
mencari ke-sempatan lain untuk melampiaskan niatnya. Dia tersenyum mengusir
kekecewa-annya, kemudian merangkul dua orang pelayannya itu sebagai penghibur dan
pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia harapkan malam itu akan terjatuh ke dalam
pelukannya. Selagi Pangeran Yauw Ki Ong teng-gelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita
muda itu, dan Kwi Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak, dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
635 Koksu bersama para pembantunya yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan hati
tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak buah mereka, tampaklah dua sosok
bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti setan di dekat markas para
pemberontak ini.
Di dalam kegelapan malam muda itu memang dua sosok bayangan yang ber-kelebatan di
sekitar tempat itu amat mengerikan. Gerakan mereka cepat lak-sana gerakan iblis sendiri,
meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang terdengar suara ketawa menyeramkan. Karena
bulan belum muncul, sukar untuk menentukan bentuk dua sosok bayangan itu. Akan tetapi
setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahaya-nya yang pucat
disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehi-jauan di malam hari yang
sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan itu kelihatan agak jelas. Kiranya mereka adalah dua
orang manusia, sungguhpun tidak mungkin manusia biasa melihat cara mereka bergerak
secepat itu. Seorang di antara mereka bertubuh pendek sekali, rambut-nya panjang riap-
riapan membuat kepala-nya yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang
tertawa-tawa. Temannya tidaklah setua kakek pendek ini, melainkan seorang muda yang
kepa-lanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di punggungnya tampak buntalan
pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik pundaknya
ketika dia bersama kakek itu berlon-catan melalui jurang-jurang yang curam. Dilihat dari
jauh, oleh mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan saling berkejaran di malam
sunyi itu. Akan tetapi tak lama kemudian tam-paklah bayangan mereka. Kakek itu masih tertawa-
tawa, akan tetapi mereka membawa sekumpulan senjata yang ba-nyak sekali. Susah payah
mereka memba-wa senjata-senjata tajam yang malang-melintang itu sehingga ada yang
tercecer di jalan.
"Ha-ha-ha, betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegu-gupan mencari-cari
senjata mereka!" kata yang muda. Kakek pendek itu pun ter-tawa, akan tetapi dia lalu
menengadah dan bernyanyi,
"Senjata adalah benda sialandibenci oleh siapapun juga tidak dipergunakan para bijaksana,
Bahkan dalam kemenangan sekalipun senjata tak sedap dipandang mata karena yang
mengagungkannya hanyalah pembunuh-pembunuh kejam!
Alat pembunuhan antar manusia menimbulkan kematian terpaksa mendatangkan duka dan
air mata dan kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!"
"Locianpwe, saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab To-
tek-keng! Akan tetapi juga tidak sama...." Pemuda itu, Gak Bun Beng menegur heran.
"Ha-ha-ha, perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apapun juga seperti se-ekor burung"
Yang penting adalah me-ngerti dan melaksanakan, karena pelaksa-naan yang berdasarkan
pengertian bukanlah penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala macam senjata, hayo
kita buangkan semua senjata di dalam gudang itu!"
Dua orang itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu
melemparkan senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak dapat diukur
dalamnya sehingga ketika senjata-senjata itu sampai ke dasar ujung, tidak terdengar apa-
apa dari tempat mereka berdiri! Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera
berlarian lagi menghampiri gudang senjata milik para pemberontak untuk mengangkuti
semua senjata yang terkum-pul di situ dan dibuang ke dalam jurang. Belasan orang penjaga
gudang itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri seperti arca
karena sudah tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti
oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
636 Karena jarak antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan
jumlah senjata dalam gudang amat banyak sedangkan betapa pun sak-tinya, kedua orang
itu masing-masing hanya mempunyai sepasang tangan, sete-lah bekerja sampai pagi, belum
ada setengah isi gudang berhasil mereka buang ke dalam jurang.
Ketika untuk kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu
mereka memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu telah
dikurung oleh puluhan orang perajurit! Mereka telah ketahuan, atau lebih tepat lagi, peronda
telah melihat penjaga-penjaga yang tertotok kaku itu sehingga mereka segera mela-porkan
kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa tentu ada mata-mata musuh menyelundup
sudah memasang perangkap sehingga ketika dua orang itu datang, mereka telah terkurung!
Tentu saja kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang perajurit.
Apalagi setelah Koksu meneri-ma pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata
adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng, dia segera mengerah-kan para pembantunya
untuk mengeroyok.
"Wah, repot nih, Bun Beng!" Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat ke sana-sini di
antara serbuan para pera-jurit. "Kita membuang senjata supaya jangan ada perang, malah
diperangi!"
"Mari kita keluar, Locianpwe!" Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak mungkin
dapat menghadapi penge-royokan hebat itu dengan sikap berkela-kar dan tidak peduli
seperti kakek yang agaknya tidak bisa melihat bahaya itu. Dengan gerakan kaki tangannya,
Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam gudang senjata, akan tetapi karena
Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menendingi semua pengeroyoknya, kadang-kadang
terkekeh girang kalau meli-hat beberapa orang terjengkang roboh sendiri setelah
memukulnya, Bun Beng merasa bingung dan benar-benar men-dongkol sekali. Kakek itu
agaknya malah girang dan gembira menghadapi pengero-yokan itu, seperti seorang kanak-
kanak memperoleh sebuah permainan baru dan merasa sayang untuk meninggalkannya!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan
terjadilah kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara teriakan-
teriakan itu, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa tempat markas pemberontak itu telah
diserbu oleh pasukan pemerintah! Keadaan menjadi kacau balau. Koksu dan para
pem-bantunya segera lenyap dari situ mening-galkan Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin yang
masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu saja bagi Koksu dan teman-temannya,
berita penyerbuan pasu-kan pemerintah itu lebih penting, lebih hebat dan harus segera
ditanggulangi daripada kekacauan yang disebabkan oleh perbuatan dua orang ini.
Memang benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang
dipimpin oleh Puteri Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara mendadak.
Terjadilah perang yang amat hebat, perang mati-matian karena para pemberontak membuat
pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti datangnya bala bantuan dari barat dan
utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka harus menghadapi penyerbuan pasukan
pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka akan demikian cepat da-tangnya. Tentu saja
Koksu tidak me-nyangka bahwa Puteri Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan
ini, seorang puteri yang sudah banyak penga-lamannya dalam menghadapi pasukan
pemberontak, seorang yang tidak saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang
yang terkenal! Setelah Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata di mana Bun Beng
dan Bu-tek Siauw-jin terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu
keluar dari kepungan. Apalagi karena para perajurit yang men-dengar akan penyerbuan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
637 tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan akhirnya sisa mereka meninggalkan dua orang
itu untuk membantu teman-teman mengha-dapi pasukan pemerintah. Gudang senjata telah
mereka bobol dari belakang dan sisa senjata yang masih berada di dalam gudang telah
mereka angkut keluar untuk dipergunakan para pasukan menghadapi musuh.
"Wah, perang telah terjadi?" kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar dari dalam
gudang senjata. Terde-ngar dari situ pekik sorak mereka yang berperang, dan suara senjata
yang meng-gegap gempita.
"Mudah-mudahan saja para pemberon-tak segera dapat dihancurkan," kata Bun Beng
sambil berdiri termenung. Yang terbayang di depan matanya adalah Mi-lana. Apakah dara
itu ikut berperang membantu ibunya yang memimpin pasu-kan pemerintah itu" Teringat
betapa fihak pemberontak terdapat orang-orang pandai seperti Maharya, Koksu, dan Thian
Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu.
"Locianpwe, saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya."
"Eh, kau mau membantu siapa?"
"Membantu Puteri Nirahai dan puteri-nya."
"Mengapa" Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan teta-pi, kita sudah melihat bahwa pemberon-tak dipimpin
oleh orang-orang sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah yang
menimbulkan perang sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang, karena itu maka
merekalah yang akan saya tentang."
Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk. "Hemm, boleh kita menonton, akan teta-pi kalau
tidak perlu sekali, untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang hanya
merupakan penyem-belihan antara manusia?"
Bun Beng tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu
menyelinap di antara pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju ke tempat
di mana terjadi perang yang amat dahsyat.
Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal yang amat
mengejutkan, Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur, akan tetapi ketika
pasukan pemerintah mendesak, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan muncullah
seekor gajah yang amat besar. Binatang raksasa inilah yang mengeluarkan suara
melengking tadi dan pasukan pemerintah yang berada paling depan segera berha-dapan
dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus berkulit hitam yang menunggang gajah itu. Pendeta
Maharya sendiri me-ngeluarkan aba-aba dan gajah itu menga-muk! Dengan belalainya yang
besar, sekali sambar gajah itu menangkap dua orang perajurit musuh, membantingnya
remuk dan dengan kedua kaki depannya yang besar binatang itu menginjak ke depan,
membuat dua orang musuh lain lagi terinjak gepeng. Maharya yang ber-ada di atas gajah itu
masih menggerak-kan senjatanya tombak bulan sabit, tam-pak sinar berkelebat dan empat
orang perajurit pemerintah roboh. Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba cuaca
di tempat itu menjadi gelap, debu mengepul tinggi dan di balik kegelapan ini menyerbulah
pasukan Nepal yang di-pimpin oleh Maharya, menyerbu bagaikan pasukan setan ke depan!
Pasukan pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung,
apalagi ketika dua orang per-wira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh
amukan gajah dan me-lihat betapa cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi, mereka
makin panik. "Pasukan siluman....!" terdengar te-riakan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
638 "Pasukan siluman.... laporkan ke induk pasukan!"
Kiranya, pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang dinanti-
nanti oleh Koksu. Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya, Maharya segera
menyambutnya, menunggangi seekor gajah dan Maharya sendiri yang memimpin pasukan
istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya, dibantu oleh pasukan istimewa ini yang
menggu-nakan debu dan asap hitam untuk menga-cau musuh. Jumlah mereka sebetulnya
hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu terlatih dan mempunyai cara-cara
berperang yang aneh, mereka mam-pu mendatangkan kekacauan dan banyak di antara
pasukan pemerintah yang roboh menjadi korban, terutama sekali amukan lima ekor gajah,
seekor di antaranya yang ditunggangi Maharya sendiri.
"Locianpwe, kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!" Bun Beng
berkata, kemarahannya timbul -menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas
membunuh pasukan peme-rintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya.
"Ha-ha-ha! Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini,
siapa lagi kalau bukan aku yang dapat membuyarkannya?" Bu-tek Siauw-jin tertawa sambil
menerjang ke depan menyambut debu dan uap yang mengebul itu.
"Maharya, sejak dahulu engkau men-datangkan keributan saja!" Bun Beng membentak lalu
meloncat ke depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan ke arah
kepala. Melihat munculnya pemuda ini, Ma-harya memandang rendah. Biarpun pemu-da itu dia tahu
cukup lihai seperti yang diperlihatkannya ketika pemuda itu mem-bela Pulau Es ketika pulau
itu diserbu oleh pasukan Koksu dahulu, namun, bagi-nya, pemuda itu tidak ada artinya. Yang
membuat dia khawatir hanya ketika melihat munculnya Bu-tek Siauw-jin tadi.
Kakek pendek itulah yang perlu diperha-tikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri takkan
dapat menangkan kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia di-bantu oleh gajah-
gajahnya, oleh pasukan siluman dari Nepal, apalagi Koksu, Thian Tok Lama, dan banyak
tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda ini harus dibunuh lebih dulu.
"Mampuslah!" Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya
bergerak, gagangnya menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi,
menusuk ke arah pusar pemuda itu.
Melihat gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak mem-biarkan dirinya
disate gagang tombak.
"Haaiiittt....! Plak! Wiiirrr....!" Tangan Bun Beng menapgkis gagang tombak itu dengan
meminjam tenaga tusukan gagang tombak ini, dia membuat tubuhnya mencelat ke atas dan
membuat salto jungkir-balik, kemudian seperti seekor burung garuda terbang, dia
menyerang ke arah ubun-ubun kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia menusuk ke
arah ubun-ubun ketika tubuhnya meluncur ke bawah.
"Aehhhh!" Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan te-linga gajah.
Binatang itu mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya.
Gerakan ini tentu saja membuat tubuh Maharya terbawa ke be-lakang dan otomatis terbebas
dari se-rangan Bun Beng yang tubuhnya meluncur ke bawah itu. Dengan geram Maharya
menggerakkan tombak bulan sabitnya menyambut tubuh Bun Beng dan dibantu oleh
gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk menangkap tubuh pemu-da itu!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
639 Bun Beng tidak merasa kaget meng-hadapi kegagalannya dan melihat serang-an
berbahaya ini. Dia sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya kakek ini,
maka cepat sekali kakinya bergerak ke depan, menyambut gagang tombak di bawah bulan
sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga begitu kakinya menyentuh gagang
tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran, kemudian ketika tubuhnya turun
dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyam-but belalai dengan
tusukan dua buah jari tangannya! Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
elakkan di tengah udara.
"Plakkk!" Gajah itu mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat,
tubuhnya bergoyang-goyang penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek oleh
dua jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah. Melihat dengan mata kecilnya betapa
manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas tanah di depannya, gajah
itu lalu menghempaskan kedua kakinya hen-dak menginjak tubuh itu sampai lumat. Namun,
dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping, dan tiba-tiba dia sudah menyerang
Maharya dari samping kanan. Gerakannya cepat bukan main dan dari tangan kanannya
menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi ber-cuitan ke arah lambung Maharya.
Kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang
perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangan!
"Uuuh....!" Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke ka-nan untuk
menyambut, tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukul-an dahsyat, dan
pukulan tangan kanan pemuda itu masih terus melayang datang bersama tubuh pemuda itu
yang melayang cepat. Biarpun dia merasa kaget sekali karena tombaknya menyeleweng
terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak gugup dan dia sudah dapat menggunakan
lengannya menangkis dattangnya tamparan tangan Bun Beng ke arah lambungnya itu
"Dess....! Aihhh....!" Maharya kini ter-paksa mengeluarkan teriakan kaget sekali karena
benturan lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti lumpuh dan
tubuhnya terlempar dari atas tubuh gajahnya! Dia tidak terbanting dan masih dapat
menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada Bun Beng dengan mata terbelalak
penuh keheranan, kekagetan dan penasaran. Pemuda itu dapat memaksakannya turun dari
pung-gung gajah dan kini pemuda itu telah berdiri di depannya dengan wajah tenang dan
topi caping lebar masih di atas kepa-lanya!
"Hemm, orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?"
"Tidak salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa ter-hormat sekali
bahwa namaku dikenal oleh seorang seperti engkau!" Bun Beng men-jawab tanpa berani
menentang pandang mata pendeta itu. Biarpun dia telah memiliki kekuatan sin-kang yang
mujijat, namun dia maklum betapa hebat penga-ruh pandang mata kakek ahli sihir ini, yang
dalam ilmu itu bahkan berani me-nentang dan mengadu sihir dengan Pen-dekar Super Sakti.
Kalau sampai dia terpengaruh ilmu hitamnya yang mujijat, dia bisa celaka!
"Gak Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak
mempunyai urusan pribadi dengan dirimu" Mengapa?" Suara pendeta itu terdengar halus
menimbulkan rasa malu dan iba. Namun Bun Beng sudah menekan perasaannya dengan
tenaga dalam, dan dia menjawab, suaranya lantang,
"Sejak aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat yang kuang-gap
musuhku, Maharya. Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang gila, Tan-siucai,
mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian melihat engkau membantu Koksu menghancurkan Pulau
Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang yang patut ditentang."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
640 "Hok-mo-kiam...." Hemm, karena pe-dang itu, muridku telah tewas, dan pe-dang itu lenyap.
Memperebutkan pedang di antara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang muda."
"Bukan soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar
kemuliaan duniawi, mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu dengan
Koksu, dipergunakan oleh Koksu, mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak segan-segan
untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat dengan Thian-liong-pang, akan tetapi diam-
diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kaukira aku tidak tahu apa yang kalian
lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar dahulu itu?"
Maharya memandang tajam. "Eh" Kau tahu" Kalau begitu.... kau tahu pula tentang
kematian Tan Ki dan Thai Li Lama....?"
"Tentu saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah
kukembalikan kepada yang berhak."
Merah muka Maharya dan tombak bulan sabit di tangannya menggetar. "Ja-di.... engkaukah
orangnya yang membunuh muridku?"
"Dia mencari kematiannya sendiri...." Bun Beng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
dia harus cepat mengelak dari sambaran tombak bulan sabit yang telah meluncur ketika
Maharya menyerangnya dengan gerakan penuh kemarahan dan penuh nafsu membunuh.
Maharya sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang membunuh muridnya dan
merampas Hok-mo-kiam, dan dia pun maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian
tinggi, kalau tidak cepat dirobohkan akan berbahaya sekali.
"Robohlah! Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!"
Berkali-kali Maharya membentak dengan suara yang amat herpengaruh, namun Bun Beng
sama tidak mem-pedulikannya, juga tidak pernah menen-tang pandang mata kakek itu. Dia
hanya mengelak dengan cepatnya karena tombak bulan sabit itu bergerak seperti kilat
menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk merobohkan lawan yang tangguh
itu. Sementara itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman
bangsa Nepal, menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah.
Pasukan pemerintah yang sedang kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika tiba-
tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak ketahuan dari mana datangnya sehingga
banyak di antara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban anak panah lawan. Melihat
ini, Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua tangannya mendQrong ke depan berkali-
kali dan dia terus menerjang maju, tidak mempedulikan anak panah-anak panah yang
menyambutnya dan yang mengenai seluruh tubuhnya bagian depan. Anak panah yang
mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan, dan dari kedua telapak tangan kakek sakti ini
menyambar angin yang membuat debu dan asap itu membuyar dan tertiup membalik ke
arah para pasukan Nepal sendiri!
Mulailah pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang
kakek cebol yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para perajurit
pemerintah. Mereka berteriak-teriak menyerbu dan terjadilah perang campuh yang amat
dahsyat antara orang-orang Nepal dan orang-orang Mancu perajurit pemerintah. Bu-tek
Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan perajurit-perajurit Nepal yang baginya terlalu lemah
itu, dan dia ber-gembira menghadapi serbuan empat ekor gajah yang ditunggangi oleh
perwira-perwira Nepal. Dia menubruk kaki seekor gajah, dicobanya untuk mengangkat tubuh
binatang itu, namun terlampau berat, mendorongnya pun amat berat dan agak-nya
merupakan hal yang amat sukar untuk merobohkan binatang raksasa itu. Bu-tek Siauw-jin
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
641 menjadi penasaran, meloncat ke belakang, kemudian dia lari ke depan dengan kepala
dipasang seperti seekor kerbau mengamuk.
"Desss!" Dengan kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah
dan.... binatang raksasa itu terjengkang dan roboh! Dua orang pera-jurit Nepal yang tidak
menyangka sama sekali dan berada di dekat gajah yang mereka andalkan itu, terhimpit
perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang gajah itu, seorang perwira Nepal
yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan terbanting ping-san!
Amukan kakek cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan
istimewa Nepal itu, apalagi setelah tiga ekor di antara lima ekor gajah itu telah roboh oleh
Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta asap hitam telah membuyar. Tadinya anak buah pasukan
itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan tetapi kakek India itu sendiri se-dang bertanding
hebat dan mati-matian melawan pemuda yang amat tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal
yang melemah-kan semangat pasukan Nepal ini sebalik-nya mendatangkan semangat baru
kepada para perajurit pemerintah yang tadinya sudah merasa agak panik.
Pertandingan antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian.
Kakek India itu benar-benar amat lihai dan andaikata Bun Beng belum menerima ilmu terkhir
dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, kiranya dia pun tidak akan mudah untuk
dapat menandingi Maharya. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tentu saja Bun Beng me-miliki
dasar yang lebih murni dan lebih tinggi tingkatnya, dan juga dalam inti tenaga sakti, dia tidak
kalah kuat. Ke-kalahannya dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup oleh
keunggulannya karena ilmu silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi
tingkatnya. Akan tetapi, yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan
adalah tenaga mujijat yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya. Bun Beng
harus berhati-hati sekali, sama sekali tidak pernah berani bertemu pan-dang mata dengan
lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena merasa beta-pa ada hawa tenaga mujijat
menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh yang membuat bulu
tengkuk-nya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak yang disiksa, suara tertawa
wanita yang tidak lumrah manusia. Se-olah-olah tempat itu, atau di kanan kiri dan belakang
lawannya terdapat iblis-iblis yang tidak tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan
terasa pula sam-baran angin pukulannya!
Bun Beng melawan dengan mati-mati-an. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakek sinting
itu, biarpun kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek itu tidak pernah
melepaskan perhatiannya dan selalu mengikuti pertandingan itu, atau hanya sebentar saja
kadang-kadang dia mengalihkan perhatian. Dia selalu menjaga dan siap untuk melindungi
pemuda yang disukanya itu. Diam-diam kakek ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak
terjang Maharya dia harus mengakui bahwa dalam pertan-dingan mati-matian ini, memang
hebat sekali pendeta itu dan dia sendiri pun tidak akan mudah dapat mengalahkan Maharya.
Namun pemuda yang hanya tiga hari menjadi muridnya itu, dengan tangan kosong mampu
menandingi Mahar-ya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih, sedangkan
Maharya yang tadinya menunggang gajah bersen-jatakan tombak bulan sabit, kini sudah
kehilangan gajahnya dan agaknya tombak-nya itu pun sudah tidak danyak artinya dalam
pertempuran hebat itu. Kini Ma-harya telah melolos kalung tasbehnya yang terbuat dari
mutiara-mutiara putih yang besar-besar, memegang tombak bulan sabit di tangan kanan
tasbeh di tangan kiri. Menghadapi serangan-serangan yang ganas dan dahsyat dari dua
senjata aneh itu, Bun Beng mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya, akan tetapi
dia pun sudah menanggalkan topi capingnya dan menggunakan benda ini untuk
membantunya menangkis sambaran senjata yang bertubi-tubi.
Di bagian lain, di balik puncak Pe-gunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ hanya
terdengar suaranya yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat dan seru lagi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
642 karena pusat perang terjadi di tempat itu, antara pasukan inti yang dipimpin oleh Koksu
sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!
Dalam perang dahsyat ini, Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi
Hong tentu saja membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah yang
dianggap mu-suhnya dan musuh pamannya. Apalagi ketika dia mendapat keterangan dari
Koksu bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah Ketua Thian-liong-pang dan Ketua
Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk membantu pihak Koksu. Me-mang sudah
dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya dengan Koksu dan kaki tangannya hanya
karena Koksu melakukan tugas membasmi Pulau Es, dan sebagai petugas, tentu saja dia
tidak dapat ter-lalu menyalahkan Koksu, dan Kaisarlah yang sesungguhnya menjadi musuh
pa-mannya. Kini Kaisar mengirim pasukan, apalagi dipimpin oleh Ketua Thian-liong-pang
dan Pulau Neraka yang sejak dahu-lu memang bukan sahabat Pulau Es, bahkan ketika dia
masih kecil pernah dia diculik oleh Ketua Pulau Neraka. Maka ketika terjadi pertempuran,
Kwi Hong sudah membantu Koksu, mengamuk de-ngan pedang Li-mo-kiam di tangannya.
Para perajurit pemerintah yang berhadap-an dengan amukan dara perkasa ini men-jadi ngeri
karena pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan. Tidak ada
senjata yang mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu akan terbabat
putus berikut tubuh pemegangnya!
Betapapun juga, karena jumlah pasu-kan jauh kalah banyak, pasukan pembe-rontak
terdesak hebat. Kwi Hong sendiri, biarpun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh
dengan amukan pedangnya yang dahsyat dan membuat para perajurit musuh gentar,
terpaksa harus mengguna-kan sebagian besar perhatiannya untuk melindungi tubuhnya
karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam senjata datang bagaikan hujan
menye-rangnya. Koksu merasa girang sekali melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar
membantunya. Dia sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan
terhadap Pangeran Yauw Ki Ong, karena kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti dari
semua usaha perjuangannya. Tanpa adanya pangeran ini, tidak mung-kin dia akan
mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada pangeran ini, dan
berarti jalan masuk baginya ke Kerajaan Mancu akan tertutup. Dia pun mengerahkan seluruh
pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan mati-matian. Dia
mengharapkan agar paman gurunya Ma-harya, yang memimpin pasukan bantuan musuh,
dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang membantunya. Namun, yang ditunggu-
tunggu tak kunjung datang dan dia mendengar pelaporan anak buah-nya bahwa pasukan
siluman Nepal yang dipimpin oleh Maharya sendiri itu pun mengalami tekanan hebat dari
pihak musuh! Sama sekali Koksu tidak me-nyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan
itu adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng! Kalau dia tahu, tentu dia merasa khawatir
sekali, apalagi kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu, terutama Bu-tek Siauw-jin yang
sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan besar kepada
Kwi Hong. Betapa pun gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh
terlampau kuat dan jauh lebih besar jumlahnya. Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri
mundur untuk melakukan penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di dalam
pondok-nya, mendekam di atas pembaringannya dengan muka pucat dan dikelilingi para
pelayan wanita yang seolah-olah hendak dijadikannya sebagai perisai terakhir.
Pasukan pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncul-lah Nirahai
dan Lulu sendiri di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga oleh
Koksu, Thian Tok Lama dan para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan Koksu. Memang
Nira-hai mengajak Lulu meninggalkan pasukan mereka yang sudah mendesak dan hampir
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
643 menang itu untuk mencari-cari biang keladi pemberontak, yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan
kaki tangannya.
"Yauw Ki Ong, pemberontak laknat!" Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa
orang anggauta pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu. "Menyerahlah untuk kuseret
ke depan kaki Kaisar!"
Yauw Ki Ong adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah ketu-runan Kaisar,
berlainan ibu. Yauw Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian Nirahai,
maka mendengar suaranya, dia menjadi pucat dan tidak berani keluar dari tempat
persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat itu. Koksu dan para pem-bantunya,
terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga di situ dan kini mereka
meloncat keluar meng-hadapi Nirahai dan Lulu.
"Bhong Ji Kun, manusia rendah! Se-ekor anjing sekalipun akan ingat akan budi orang.
Engkau telah memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan India
engkau telah di-angkat menjadi Koksu negara. Akan teta-pi engkau tidak berterima kasih
malah menjadi pemberontak hina! Manusia ma-cam engkau ini tidak ada harganya untuk
hidup!" Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah menggunakan pedangnya menerjang
Bhong-koksu. Kakek botak tinggi kurus ini terkejut bukan main melihat pedang di tangan
Nirahai yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-
kiam, pedang yang dahulunya terjatuh ke dalam tangan Maharya, paman gurunya,
kemu-dian pedang itu lenyap bersama tewasnya Tan Ki, murid Maharya yang tewas
ber-sama Thai Li Lama tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang men-curi
atau merampas Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan
bekas Ketua Thian-liong-pang ini!
"Tar-tar.... singgg....!" Pecut kuda ber-bulu merah di tangan kiri dan sebatang golok besar,
golok perang di tangan ka-nan Koksu itu menyambar ganas.
"Cringgg.... trakkk!" Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan Hok-
mo-kiam, akan tetapi Nira-hai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke belakang
karena ujung cam-buk merah sudah mengancam lengannya yang memegang pedang.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba dan menerjang
ke depan dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya. Juga Thian Tok Lama
dan beberapa orang temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu. Tidak seperti
Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini menghadapi para
pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat hebat dan
menyeramkan karena begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat
yang amat halus dan tinggi tingkat-nya, serta menggunakan tenaga mujijat Toat-beng-bian-
kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun dari Pulau Neraka. Dua orang pembantu
Thian Tok Lama yang agaknya memandang rendah dan berani menyambut pukulan tangan
yang kecil-kecil itu dengan lengan mereka, mengeluarkan pekik mengerikan dan mereka
roboh terjengkang dengan seluruh lengan berwarna hitam, berkelojotan dan tewas tak lama
kemudian! Repot juga Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pan-dai itu sehingga
mereka tdak dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian Tok Lama dan
Bhong Ji Kun mengundurkan diri dari pertempuran, hanya menyerahkan kepada pasukan
pe-ngawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua sudah cepat memasuki pondok untuk
membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong!
Akan tetapi Nirahai yang berpeman-dangan tajam, dapat menduga akan ke-adaan ini.
Melihat Koksu dan Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak buah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
644 mereka, dia segera memutar Hok-mo-kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya melesat ke
atas wuwungan. "Yauw Ki Ong pemberontak hina, hendak lari ke mana engkau?" Bentaknya sambil
melayang turun membobol genteng.
Tiba-tiba dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terke-jut, maklum
bahwa ada lawan tangguh menyerangnya secara tiba-tiba menyam-butnya ketika tubuhnya
baru saja turun dari atas.
"Tranggg....!" Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan
pedang Li-mo-kiam yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti berhasil merusak
senjata lawan, kini tergetar hebat!
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Juga Nirahai kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang
pedang yang amat kuat sehingga tidak patah, apalagi ketika dia melihat seorang gadis cantik
dan gagah meme-gang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat! Kedua orang
wanita itu, yang satu dara remaja yang lain wanita setengah tua, keduanya sama cantik dan
sama keras hati, saling berhadapan dan saling pandang, pedang pusaka yang ampuh
menggila di tangan masing-masing!
Kini Nirahai tidak lagi mengenakan kerudung muka sehingga Kwi Hong dapat memandang
wajahnya yang cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita! Berdebar
jantung Kwi Hong ketika dia mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik yang dahulu bertemu
dengan pamannya, wanita cantik yang kabarnya puteri kerajaan dan menjadi isteri
pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah
isteri pamannya!
Akan tetapi, Nirahai tidak lagi me-ngenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia
bertemu dengan gadis ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan
Suma Han, ke-adaan terlampau tegang sehingga dia tidak memperhatikan orang lain
sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini. Karena dara cantik yang memegang
sebatang pedang pusaka ampuh mengeri-kan itu berada di situ dan telah menye-rangnya,
sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah lari dari
dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang di antara kaki tangan Koksu yang
tangguh, maka dia segera menyerangnya.
"Trang-trang-cringggg....!"
Kembali dua orang wanita itu ter-huyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah
sedangkan Kwi Hong terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapapun juga, dara itu
masih belum mampu me-nandingi tenaga sin-kang yang dimiliki Nirahai, sungguhpun dia
telah memper-oleh kemajuan hebat semenjak menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga api
yang muncrat ketika tiga kali berturut-turut pedang Hok-mo-kiam bertemu dengan Li-mo-
kiam menyilaukan mata.
Kedatangan Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini,
agaknya Koksu dan Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan
Pangeran Yauw Ki Ong. Ketika Kwi Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak
buah Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan pasukan pemerintah yang jauh lebih
banyak jum-lahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, perang
itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya. Ketika dia menengok dan tidak
melihat Koksu dan para pembantu-nya, yaitu Thian Tok Lama dan para jagoan yang
berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Ke manakah mereka per-gi" Dia harus
mengusulkan kepada Koksu untuk melarikan diri saja sebelum ter-lambat. Dengan pikiran
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
645 ini, Kwi Hong membuka jalan darah dengan pedangnya, keluar dari kepungan dan menuju
ke markas, yaitu ke pondok Pangeran Yauw dan sekutunya. Kedatangannya tepat se-kali.
Dia melihat Koksu dan Thian Tok Lama bersama Pangeran Yauw, siap hendak melarikan
diri. "Ahhh, keadaan musuh terlampau ba-nyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri,
Lihiap," kata Koksu begi-tu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang Li-mo-kiam yang
berlepotan darah.
"Sebaiknya begitu," jawab Kwi Hong singkat.
"Akan tetapi, ke manakah kita akan lari" Apakah Nona mempunyai usul yang baik?" Koksu
memancing, padahal di da-lam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri ke.... Pulau Es, pulau
yang sudah kosong itu karena hanya di sanalah dia akan aman dari kejaran pemerintah.
Tempat itu merupakan tempat yang su-kar didatangi, dan hanya mereka yang tahu jalan saja
yang akan dapat menjadi penunjuk jalan saja. Kalau nona ini mau tentu akan dapat
membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu bahwa tempat itu sudah kosong, dan kalau
rombongannya dapat sampai ke tempat itu lebih dulu, berarti mereka akan memperoleh
sebuah tempat pertahanan yang kuat!
"Kalian larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau Es,"
jawab Kwi Hong. Tentu saja Koksu menjadi girang sekali. Akan tetapi dia cerdik dan cepat
dia menjawab, "Akan tetapi.... apakah To-cu pulau itu sudi menerima kami" Dan penghuninya....?"
"Pulau itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal di sana. Pula, kalau paman tahu bahwa
kalian melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Pa-man sendiri pun
seorang pelarian. Cepat pergilah....!"
Pada saat itu Nirahai datang, melon-cat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu
melihat seorang wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah dia
terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya sendiri, ibu dari
Milana! Tentu saja di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak mau
bermusuhan dengan isteri pamannya ini. Akan tetapi karena dia diserang terus dan karena
dia ingin memberi kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan Pangeran Yauw,
terpaksa dia melakukan perlawanan tanpa menge-luarkan kata-kata. Dia dapat menduga
bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal ini melegakan hatinya karena
kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia adalah keponakan Pendekar Super Sakti,
tentu akan menja-di marah sekali sedangkan dia sendiri pun tidak tahu harus bersikap
bagaimana terhadap wanita ini. Jelas bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah,
dan mungkin puteri ini yang memimpin pasukan pemeritah. Melihat kedudukan itu, wanita
cantik ini patut dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa wanita ini adalah isteri
pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan mela-wannya"
Betapa pun lihai Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek Siauw-jin
dan dengan pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan de-ngan Nirahai, dia menjadi
repot juga. Apalagi Nirahai menggunakan sebatang pedang pusaka yang amat hebat pula.
Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya pedang yang sanggup menandingi Sepa-sang
Pedang Iblis yang ganas. Andaikata Nirahai tidak memegang Hok-mo-kiam, agaknya wanita
perkasa ini masih akan repot sekali harus menandingi Kwi Hong yang memegang Li-mo-
kiam. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
646 Uutung bagi Kwi Hong bahwa dia ti-dak perlu terlalu lama menahan serangan yang bertubi-
tubi dan amat dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah cepat mengirim bala
bantuan beru-pa dua puluh orang lebih pengawal priba-di pangeran yang sudah menyerbu
dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Hong
untuk mencelat ke luar dari dalam pondok, meninggalkan Nirahai yang di-kepung dan
dikeroyok oleh para pengawal. Cepat dia berlari keluar dan bergabung dengan rombongan
Pangeran Yauw, dilindungi oleh pasukan dan melarikan diri ke timur menuju pantai, melalui
pegu-nungan dan jurang-jurang.
Sementara itu, pertandingan antara Gak Bun Beng melawan Maharya yang berlangsung
amat hebat itu masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari pinggir
sambil tersenyum-senyum. Kakek cebol yang sinting ini sekarang menganggur karena
pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan pemerintah yang pulih kembali semangat
mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu lagi kakek ini membantu
sehingga kini dia dapat me-nonton dengan enaknya, menonton per-tandingan antara
Maharya dan Gak Bun Beng.
"Ha-ha-ha, Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku, ha-ha-
ha!" Bu-tek Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya untuk membanggakan
dirinya. Padahal dia hanya mengajar selama tiga hari saja, itu pun hanya menurunkan inti
tenaga saktinya yang hanya merupakan sebagian dari gabungan sin-kangnya dengan sin-
kang Pendekar Super Sakti! Kalau melawan "muridnya" saja Maharya tidak mampu menang,
apalagi melawan dia yang men-jadi gurunya"
"Siauw-jin, asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku...."
"Heh-heh-heh, siapa sudi mengeroyok-mu?" Bu-tek Siauw-jin mengejek.
Inilah yang dikehendaki Maharya. Be-tapa pun sintingnya, ucapan dari seorang kakek sakti
seperti Bu-tek Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek sinting itu sudah
merupakan janji. Boleh jadi pemuda ini lihai, akan tetapi dengan hanya bertangan kosong
dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa dia tidak akan mampu mengalahkannya" Untuk
mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan hal ini sudah diketahuinya sejak, tadi karena
pemuda itu sama sekali tidak pernah mau beradu pandang mata dan pemuda itu memiliki
sin-kang yang amat kuat. Apalagi sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di situ,
tentu saja dia tidak dapat mengandalkan ilmu hitamnya.
Sebetulnya tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang
seperti Bu-tek Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti sinting ini,
kalah menang bu-kanlah apa-apa, dan dia sudah pasti tidak akan sudi turun tangan
membantu Bun Beng biarpun pemuda itu andaikata ter-ancam bahaya maut kalau
pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan per-tempuran yang adil dan pantas.
Kalau tadi dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah karena dia khawatir kalau-kalau
pemuda itu terjebak ke dalam perangkap Maharya yang banyak akalnya. Kalau pemuda itu
dikeroyok, tentu saja dia akan membelanya, juga kalau Maharya menggunakan ilmu sihir,
tentu dia akan berusaha menghalau kekuasaan dan pe-ngaruh ilmu hitam itu. Akan tetapi
da-lam sebuah pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa diminta pun dia tidak akan
mencampurinya. Bu-tek Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama
sekali bukan tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah siapa yang
menang dalam sebuah pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia merasa tegang karena
pertan-dingan itu memang hebat sekali, dahsyat dan seimbang.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
647 "Heeaaahhh!" Tiba-tiba Maharya yang sudah menjadi marah sekali karena mera-sa
penasaran, menubruk maju, tombak bulan sabit di tangan kanannya diputar seperti kitiran
angin dan menyambar ganas, sedangkan tangan kiri yang meme-gang tasbih sudah siap
pula mengirim serangan susulan. Berbeda dengan tadi, Maharya kini agaknya hendak
memperce-pat dan mengakhiri pertandingan karena melihat betapa pasukannya sudah
mundur dan banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap hati-hati, akan tetapi sekali
ini dia mengerahkan seluruh ke-pandaiannya untuk menyerang.
"Haiitt!" Bun Beng meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran
tombak bulan sabit, akan tetapi bukan semata-mata hendak menge-lak saja karena sambil
berjungkir-balik itu tangannya mencengkeram dan dia menggunakan gerakan cepat luar
biasa ini untuk menangkap batang tombak di dekat bulan sabit yang tajam itu. Mahar-ya
terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang yang memiliki banyak pengalam-an dalam
pertandingan melawan orang-orang pandai sehingga setiap keadaan yang bagaimanapun
juga, bahkan yang kelihatannya mengerikan, dapat dia man-faatkan sebaiknya demi
keuntungannya. Karena itu, dia sengaja tidak mau me-narik tombaknya untuk merampas
kemba-li senjata yang telah dipegang lawan ini, bahkan menggunakan kesempatan selagi
tubuh lawan masih di angkasa, tasbih di tangan kirinya menyambar dada!
Bun Beng sudah siap karena me-mang dia pun sudah menduga bah-wa lawannya tidak
akan berhenti di situ saja. Maka dia pun menggerakkan caping-nya untuk menangkis.
"Trakkkk!" Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu, kedua kaki Bun Beng sudah tiba
lagi di atas tanah. Akan tetapi di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu melepaskan
tombaknya dan berbalik merampas topi capingnya. Karena gerakan Maharya ini tidak
disangka sama sekali, dan ketika memegang tom-bak lawan dia mengerahkan tenaga,
tubuhnya agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah meluncur dan melibat lehernya!
Bun Beng mengerahkan tenaga. Le-hernya tercekik dan terdengar suara la-wannya tertawa.
Bun Beng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut, maka dengan
pengerahan tenaganya, dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke arah pusar
lawan. Maharya yang memegang caping rampas-an, menangkis sodokan gagang tombak
itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng karena tiba-tiba tombaknya ditarik
kembali dan kini bagi-an yang tajam berbentuk bulan sabit itu membabat ke atas, ke arah
tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.
"Cringgg.... rrrttt!" Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu, tasbih yang
membelit leher Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang diuntai itu jatuh berserakan.
"Wuuuttt.... brakkkk!"
Pada saat tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum
bahwa dia tidak dapat me-nyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap dia
menghantamkan caping rampasannya ke arah muka Bun Beng. Kakek pendeta ini
menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja
menggunakan tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan tasbih, melihat datangnya
caping dengan kecepatan kilat. Dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, terpaksa dia
menekuk kedua lututnya, memberi kesempatan kedua tangannya untuk menggerakkan
tombak yang diang-kat melintang dan menerima hantaman caping itu. Hebat bukan main
pertemuan antara caping dan tombak. Caping pecah dan tombak patah-patah, pundak Bun
Beng masih terpukul pecahan caping de-mikian kerasnya sehingga tubuhnya ter-guling ke
atas tanah. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
648 "Mampuslah!" Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng,
akan tetapi pemuda itu dengan sigapnya berhasil mengguling-kan tubuhnya sehingga enam
tujuh kali injakan kaki Maharya ke arah kepalanya yang merupakan serangan maut itu dapat
dihindarkannya. Karena serangan kaki secara bertubi-tubi itu tidak memberinya kesempatan
untuk membalas atau meloncat bangun, ketika untuk kesekian kalinya berguling, tangannya
menyambar tanah dan sambil berguling dia melontarkan tanah ke arah muka lawan. Biarpun
melontarkannya sambil bergulingan, na-mun tenaga sambitan ini hebat dan kalau tanah itu
mengenai muka, terutama mata akan hebat akibatnya bagi Maharya. Melihat datangnya
sinar hitam ini, ter-paksa Maharya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan
oleh Bun Beng untuk meloncat bangun. Pundaknya terasa nyeri, akan tetapi dia sudah siap
sehingga ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia menyambut dengan kedua
telapak tangan didorongkan ke depan.
Maharya sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia
sudah terkepung sendiri di situ oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga Bu-tek
Siauw-jin, hanya menonton. Namun kakek ini maklum bahwa dia telah terkepung dan sukar
untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalah-kan pemuda ini dan mengalahkan Bu-tek
Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat bangun dalam keadaan terluka pundaknya,
dia sudah mengirirn serangan-nya yang paling dahsyat dengan memu-kulkan kedua telapak
tangannya yang penuh dengan tenaga sin-kang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu
hitamnya. "Bresss!"
Bukan main hebatnya pertemuan te-naga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan
akibatnya, mulut Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng
terjengkang dan bergu-lingan! Maharya terkejut, maklum bahwa dia terluka parah, maka dia
berlaku ne-kat. Dengan suara melengking seperti iblis marah, dia menubruk tubuh Bun Beng
yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa, mengajak lawan mati bersama.
Akan tetapi dia tidak tahu sama sekali bahwa pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri
dan bergulingan untuk mengambil kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang diterimanya
dari kakek Bu-tek Siauw-jin, yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu melihat kakek itu menubruk,
dengan menekan bumi Bun Beng mengirim pukulan dari bawah, de-ngan telapak tangan
kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek itu.
"Desss....!" Terdengar pekik mengeri-kan ketika tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas,
terbanting ke atas ta-nah, berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut muntah-muntah
darah segar, kemudian mengejang dan tewas.
Bun Beng cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biarpun luka-nya tidak
hebat, namun pukulan dengan caping yang pecah mengenai pundaknya tadi menggetarkan
isi dadanya dan harus cepat disembuhkan dengan pengerahan sin-kang. Bu-tek Siauw-jin
menoleh kepa-da para perajurit pemerintah yang menonton, lalu membentak ke arah
mereka. "Hayo pergi kalian! Mau apa menon-ton" Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami
terpaksa ikut berperang. Sialan!"
Para perajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini dan
pemuda yang amat gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua orang itu tadi
bertempur memban-tu mereka, maka mereka tidak berani membantah dan segera
meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang masih mengejar-ngejar pasukan
pembe-rontak. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
649 Pasukan pemberontak telah dihancur-kan, sebagian kecil yang merupakan pa-sukan
khusus, pengawal-pengawal pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melari-kan diri dan
mengawal rombongan pange-ran itu, termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang telah
kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan dalam pelarian yang tergesa-gesa itu.
Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda.
Nirahai dan Lulu merasa penasaran sekali. Biarpun pasukan-pasukan pembe-rontak dapat
dihancurkan, markas mereka dibasmi dan dibakar, namun biang keladi pemberontak dapat
melarikan diri. Ketika mereka mendengar laporan tentang dua orang sakti yang membantu
pasukan ketika pasukan siluman Nepal dengan gajah-gajah mereka mengamuk, Nirahai
segera menduga bahwa mereka itu tentu-lah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng. Maka dia
mengajak Lulu untuk menda-tangi tempat itu. Ternyata benar dugaan-nya. Gak Bun Beng
masih duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin berdiri di dekatnya, tertawa-tawa ketika melihat
Nirahai. "Wah-wah, setelah kerudungnya dibu-ka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa
cantiknya!" kata kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia bicara dengan bekas
Ketua Thian-liong-pang, bahkan puteri Kaisar yang menjadi panglima besar.
"Bu-tek Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal
yang membantu pemberon-tak dapat dihancurkan," kata Nirahai, suaranya tenang saja. Dia
bukanlah seo-rang muda yang dapat panas hatinya oleh sikap kakek sinting ini, apalagi dia
sudah tahu akan watak kakek ini yang tidak lumrah manusia.
"Ha-ha-ha, engkau sendiri pernah me-nolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mandi. Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!"
Agak merah sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek sinting ini
pernah berdiri bertelan-jang bulat begitu saja di depannya tanpa malu-malu! Dia melirik ke
arah Bun Beng dan bertanya,
"Apakah dia terluka?"
Sebelum Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan
memberi hormat. "Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit. Sukur bahwa
Locianpwe telah berhasil menghancurkan musuh....?"Aihh, dialah orangnya yang dahulu
membantu Koksu di kapal ketika menye-rang Pulau Es!" Ucapan ini keluar dari mulut Lulu
ketika dia memandang mayat Maharya
Mendengar ini, Bu-tek Siauw-jin ter-tawa, "Ha-ha-ha, dia pula yang membas-mi Pulau
Neraka akan tetapi Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan
pulaunya!"
Lulu mengerutkan alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepa-sang matanya
yang lebar dan jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada kakek cebol itu. "Siapa
engkau?" Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya,
"Muridku inilah yang telah ber-hasil membunuhnya, maka engkau harus berterima kasih
kepadanya!"
Lulu melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut. "Bukankah engkau pemuda
yang dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerin-tah?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
650 Bun Beng memberi hormat dan me-mandang penuh heran, kaget dan kagum. "Dan kalau
saya tidak salah menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang da-hulu melepas bahan-
bahan ledak, kemudi-an mengacau di kapal Koksu.".
"Hemmm, agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, di mana-mana eng-kau hadir dan
bercannpur tangan!" Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran bukan main
bagaimana seorang pemuda seperti ini dapat membunuh Maharya yang demikian lihai!
"Sungguh aku heran sekali mengapa semua orang muda kauakui sebagai mu-ridmu, Bu-tek
Siauw-jin?" Nirahai berta-nya karena sudah mendengar dari puteri-nya bahwa Kwi Hong juga
diambil murid oleh Bu-tek Siauw-jin.
Sebelum kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadap-an dengan
kakek cebol itu. "Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?" Ketika Nirahai untuk pertama
kalinya menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhati-kan karena perhatiannya lebih
tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia mendengar nama itu dan kemarahan-nya
bangkit. "Dan mana yang satu lagi" Mana dia yang disebut Cui-beng Koai-ong?"
Bu-tek Siauw-jin tertawa. "Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami" Tentu
puteramu yang manja dan jahat itu yang memberi tahu!"
"Tua bangka sialan!" Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya menjadi marah
mendengar betapa puteranya dicela oleh kakek ini. "Kaukira aku takut kepadamu" Biarpun
engkau dan Cui-beng Koai-ong disebut tokoh-tokoh iblis dari Pulau Neraka, aku tidak takut!"
"Lulu, kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!" Nirahai memper-ingatkan Lulu,
akan tetapi setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja Lulu dibikin sabar.
Dia sudah me-nerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat
mengelak, akan tetapi angin pukulan masih membuat dia terhuyung dan sambil tertawa
kakek itu menjauhkan diri ber-gulingan lalu meloncat bangun.
"Eit-eit, sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya
engkau hanya tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah pewaris
kitab-kitab Pende-kar Sakti Suling Emas yang kami kagumi dan hormati, apakah aku akan
melarang suheng menghancurkan engkau" To-cu (Majikan Pulau) yang memiliki warisan
senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan), mengapa
tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?"
Lulu terbelalak. "Kau.... kau.... tahu akan itu semua?"
"Heh-heh, sehari setelah To-cu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang
To-cu bawa, karenanya aku bersikeras melarang suheng turun tangan karena To-cu adalah
ahli waris Suling Emas."
"Lulu!" Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang
dengan penuh selidik. "Jadi engkau yang mengambil benda-benda pu-saka itu" Jadi engkau
yang membunuh Kakek Gu Toan....?"
Lulu membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang di-alaminya. Di
bagian depan cerita ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mu-lai dengan perantauannya
bersama anak-nya yang masih kecil, Wan Keng In, dia tiba di kuburan keluarga Suling
Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan oleh Kakek Gu Toan dia
disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga Suling Emas. Dia telah
mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau memperguna-kannya karena ingin
menyemb Golok Halilintar 2 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Jodoh Si Mata Keranjang 2
pa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja untuk
mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu! Melihat hasil ini, makin kagumlah
Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun Beng bagaimana untuk
me-manfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu tangan kosong atau dengan
menggunakan senjata lain. Biarpun Suma Han sendiri tidak pernah mempe-lajari ilmu ini,
namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan
Koai-lojin, ditambah pengetahuannya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk
yang amat berharga itu.
Pada hari ke empat, ketika Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong,
menggunakan tenaga sakti se-hingga terdengar suara bercuitan sebagai akibat
menyambarnya hawa pukulannya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh
bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata,
"Dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa."
"Ha-ha-ha, tak mungkin ada lawannya lagi!" Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggot-nya,
menyesal mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun telah
mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat
menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara itu kalah
jauh kalau diban-dingkan dengan Bun Beng.
"Bu-tek Siauw-jin, sekarang aku hen-dak pergi."
Kakek itu menoleh ke kiri, meman-dang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan
berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak berani
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
624 lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang pe-nuh harapan dan gairah hidup yang
be-sar! "Ke mana kalau aku boleh bertanya" Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula.
Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau
rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka mata
batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-taihiap."
Suma Han menarik napas panjang. "Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang polos
sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebe-naran sehingga aku tertinggal
jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita itulah yang membuat aku
berterima kasih sekali, yang membuka mataku, menyadarkan aku betapa tololnya selama
belasan tahun ini aku telah me-nempuh hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera
pergi menyusul mereka."
"Lulu dan Puteri Nirahai?" kakek itu bertanya.
Suma Han mengangguk. "Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat di-pecahkan oleh
pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang ha-nya dapat melamun dan
merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang sederhana, tidak melayang-
layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi kenyataan saja yang akan dapat
menyelami dan memecahkan serta mengatasi persoalan, seperti yang diucap-kan Bun Beng
empat hari yang lalu itu. Aku hendak menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua
yang baik suka mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun
kembali bersama mereka."
Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa. "Engkau masih belum setua aku, Suma-
taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai jumpa pula. Ingin
aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping mereka yang kaucinta."
Akan tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih
tertawa-tawa dan mengang-guk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah
mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi mempedulikan dirinya
sendiri, apalagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma Han, dia tertarik sekali, merasa suka
sekali dan kagum sehingga perasaan ini membangkitkan gairah hidupnya kem-bali.
Bun Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan ber-kata,
"Ke manakah perginya Suma-taihiap tadi, Locianpwe?" Biarpun dia tadi ber-latih tekun,
namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara berkelebat-nya tubuh
pendekar itu. Dia tetap me-nyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan taihiap kepada
Suma Han, karena kedua orang ini, yang hanya menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau
dianggap guru. "Dia sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan sekali
dia, merana selama belas-an tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru tentang hidup
dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama mereka itu. Sekarang kita
pun harus pergi, Bun Beng."
"Ke mana, Locianpwe?"
"Kaubantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal itu!"
Menurutkan kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun
tidak tahu ke mana per-ginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota raja,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
625 maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak me-ngajaknya ke kota raja. Tentu saja dia
tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa Kwi Hong adalah
muridnya! Berangkatlah kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja.
Dengan bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng dapat mengimbangi
gerakan kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya.
Akan tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, kea-daan di sana sudah
sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Koksu
yang mem-berontak itu, telah melarikan diri setelah komplotan yang hendak membunuh
Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini bahkan kedua orang wanita perkasa itu
diserahi pimpinan barisan urtuk melaku-kan pengejaran dan membasmi pasukan-pasukan
pemberontak yang sudah dikum-pulkan di perbatasan utara.
Bu-tek Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelun-dup ke dalam
istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar
tahanan kalau-kalau murid-nya masih "terselip" di situ, namun sia-sia belaka karena Kwi
Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya
gadis itu. Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan me-nyelidiki tentang
Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat menerangkan ke
mana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, hampir semua
orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke istana, dan bahwa kini puteri perkasa
itu memimpin pasukan besar untuk mengejar dan membasmi pemberontak. Mendengar ini,
Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu ikut ber-sama ibunya untuk membantu. Maka dia
pun mengajak Bu-tek Siauw-jin untuk melakukan pengejaran ke utara.
"Teecu tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi
Hong juga ikut ke sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak," kata Bun
Beng. Kakek itu menggeleng kepala. "Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Olah
mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara manusia
itu kaukatakan tontonan" Benar-benar dunia sudah tua, ataukah manusianya yang tolol
semua" Hayolah!" Mereka kembali meninggalkan kota raja menuju ke utara.
Apakah yang telah terjadi dengan Milana" Dara itu, seperti telah dicerita-kan di bagian
depan, tidak ikut bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberon-tak ke utara, melainkan
ditinggalkan di kota raja. Tadinya, Puteri Nirahai me-nyuruh puterinya itu mencari Pendekar
Super Sakti untuk menyerahkan kembali Hok-mo-kiam, akan tetapi ketika dia menerima
tugas berat dari Kaisar untuk membasmi pemberontak yang dia tahu dipimpin oleh banyak
orang sakti, terpak-sa dia meminjam Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.
"Biarlah pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu,"
pesannya kepada Milana. "Engkau tunggu saja di sini, kalau berte-mu dengan ayahmu,
ceritakan semuanya dan minta bantuannya untuk menghadapi para pemberontak yang lihai.
Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun Beng lagi, suruh dia membantu kami di utara.
Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai untuk menghadapi para pimpinan
pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang sakti dari Mongol, Nepal, dan orang
Han sendiri." Setelah kini menjadi seorang panglima kembali, beru-bah sikap Nirahai. Yang
terpenting bagi-nya pada saat itu adalah tugasnya, maka sama sekali terlupalah urusan
pribadi, sehingga dia tidak malu-malu untuk memesan Milana minta bantuan Suma Han.
Semua demi tugas kerajaan, dan memang beginilah sifat seorang panglima yang baik.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
626 Akan tetapi, nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi kegembiraan
besar, bukan hanya kegem-biraan kalau dia teringet kepada Gak Bun Beng, pemuda yang
dicintanya dan yang juga mencintanya, akan tetapi juga kare-na adanya harapan yang timbul
di hatinya tentang ayah dan bundanya. Kalau mereka itu dapat bersatu kembali, alang-kah
bahagianya hidup ini, apalagi di sana ada.... Bun Beng!
Dua hari Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang diakui,
apalagi sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat dan mendapatkan
sebuah kamar yang indah di lingkungan istana, bagian puteri. Namun, darah
petualangannya sebagai seorang bekas puteri Ketua Thian-liong-pang, yang sudah biasa
bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja Milana tidak dapat tahan lama tinggal di
lingkungan tertutup itu. Segera dia telah mengena-kan pakaian ringkasnya lagi sebagai
se-orang pendekar, dan melayang keluar dari lingkungan istana bagian puteri itu untuk ke
luar dan melakukan penyelidikan kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayah-nya atau dengan
Bun Beng. Akan tetapi, bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada
sore hari itu dia menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat dibenci dan
ditakutinya. Wan Keng In! Baru saja Milana meloncat tu-run dari atas pagar tembok, tiba-tiba
tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda tampan itu berdiri dengan
senyum mengejek di depannya, dan di sebelah pemuda itu berdiri seo-rang kakek yang
amat mengerikan, kakek kurus kering seperti mayat hidup, yang matanya seperti mata
boneka tidak ber-gerak sama sekali. Kakek ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!
"Sayur di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu,
menjadi masakan yang lezat! Ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang cantik,
calon isteriku yang tercinta. Dengan penuh rindu aku datang hendak menjemputmu di dalam
istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan keluar menyambutku. Terima kasih!"
"Manusia iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk
membunuhmu!" Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh rasa
ngeri. "Hemm, sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ter-nyata adalah
Puteri Nirahai dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau menjadi isteriku,
engkau cucu Kaisar, dan aku.... calon raja di Pulau Neraka. Marilah manis." Tangan Wan
Keng In meraih hendak menangkap ping-gang ramping dara itu. Tentu saja Milana tidak sudi
membiarkan tubuhnya dipeluk, dia mencelat ke kanan sambil mengge-rakkan tangan kiri
yang tadi diam-diam sudah mempersiapkan segenggam Siang-tok-ciam (Jarum Racun
Wangi). Sinar merah menyambar ke arah dada dan pe-rut Wan Keng In dan agaknya
pemuda ini tidak tahu bahwa dirinya diserang, karena dia tidak mengelak, tidak pula
menangkis. Hal ini menggirangkan hati Milana karena dia merasa yakin bahwa tentu akan
mengenai sasaran dan mero-bohkan lawannya. Kegirangannya menjadikan kelengahan.
Dara ini menjerit ketika pemuda ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama sekali akan
jarum-jarum yang menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu pinggang
Milana telah dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi lemas karena ditotoknya!
Sambil tertawa, Wan Keng In menca-but jarum-jarum yang menancap di baju-nya, sama
sekali tidak melukai kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan dibawanya
lari bersama guru-nya yang sejak tadi diam saja tidak mengeluarkan suara.
"Haiii! Berhenti....!" Dua orang penja-ga istana, pengawal yang menjaga di luar tembok,
mendengar teriakan Milana datang berlari. Ketika mereka melihat siapa yang dipondong dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
627 dibawa lari, mereka terkejut dan marah sekali. Ada penjahat menculik cucu Kaisar yang baru
yang cantik, puteri dari Panglima Nira-hai!
Mereka berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu
memiliki ilmu kepandaian he-bat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan mengejar.
Wan Keng In dan gurunya belum lari jauh. Karena dua orang pengawal itu melihat Si Kakek
lari di sebelah belakang, otomatis mereka mengerjakan tombak mereka, menusuk ke
punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan sama sekali.
"Crot! Crot!" Dua batang tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam,
akan tetapi kakek itu tidak roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu me-luncur ke belakang seperti
anak panah, gagang tombak menembus dada dua orang pengawal itu yang roboh seketika,
berkelojotan dengan sinar mata penuh ke-heranan dan kekagetan. Mereka mati dalam
keadaan terheran-heran melihat orang yang telah mereka tusuk dan tembus punggungnya
itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri yang menjadi korban senjata masing-masing.
"Jahanam, lepaskan aku!" Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya tertawa-tawa
saja, seolah-olah dia merasa senang sekali dara itu meronta dan menggeliat dalam
pondongannya, membuat dia merasa betul bahwa yang dipondongnya adalah benar-benar
dara yang dicintanya, yang membuatnya ter-gila-gila, dara yang hidupnya dan yang
selamanya akan menjadi sisihannya, men-jadi permaisurinya di Pulau Neraka!
Beberapa orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka
segera membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia, sebagian
lagi segera melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana. Panglima itu terkejut,
terpaksa dengan gemetar melaporkan penculikan atas diri Puteri Milana ini kepada Kaisar.
Tentu saja Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali pute-rinya bersama
cucunya, dan kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi pemberontak,
cucunya diculik orang! Dengan suara keras Kaisar meme-rintahkan kepada panglimanya
untuk mengerahkan pasukannya melakukan pengejaran dan membebaskan kembali
cucunya. Akan tetapi sebagai Kaisar yang berpengalaman dia pun maklum bahwa penculik
itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya yang lihai, dan juga Lulu, pergi
memimpin pasukan, kira-nya di istana tidak ada orang yang boleh diandalkan memiliki
kepandaian tinggi menghadapi penculik itu. Maka segera ditambahkannya,
"Cari Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami,
akan kami ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!"
Panglima mundur dan sibuk melaksana-kan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin
mengejar penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng In dan
gurunya. Sia-sia saja para pasukan pengawal mencari ke sana ke mari. Juga sia-sia saja
mereka mencari Pendekar Super Sakti, karena ketika pendekar ini selesai melatih Bun Beng
dan datang ke kota raja, dia mendengar akan tugas membasmi pemberotak yang dilakukan
Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul ke utara!
Demikianlah, tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang
dirahasiakan oleh Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan
cucunya kembali dari ta-ngan para penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh Puteri
Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai ter-dengar oleh Puteri Nirahai, siapa
tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan meninggalkan tugasnya membas-mi
pemberontak. Dan ke manakah perginya Giam Kwi Hong" Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong
berhasil keluar dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin. Setelah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
628 mempelajari ilmu, terutama sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti Bumi ditambah
dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya, Kwi Hong sekarang menjadi seorang yang luar
biasa lihainya. Namun sayang sekali, pe-ngaruh tenaga sakti liar dari Pulau Nera-ka itu
mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh ini datang dari tenaga sakti itu dan
dari pedang Li-mo-kiam di tangannya, karena memang pedang itu bukanlah pedang
sembarangan, melainkan sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup
banyak darah ma-nusia tak berdosa, dan dibuatnya pun secara mujijat dan kejam!
Setelah berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan
Maharya yang lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhunya, pergi hendak mencari pamannya,
Pendekar Super Sakti. Namun usahanya tidak ber-hasil, bahkan dia mendengar akan
keri-butan di istana dan betapa Koksu ber-hasil melarikan diri keluar dari kota raja. Kwi Hong
yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar pula keluar dari kota raja dan dia berhasil
mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki Ong, pangeran Mancu yang berusaha memberontak
dibantu Koksu. Pangeran ini sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja sebelah
utara, dikawal oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada
mereka, termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal. Hati dara ini tadi belum merasa
puas. Tadinya ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan lain-lain bersama gurunya, dia
mengamuk dan merobohkan banyak perwira penga-wal kaki tangan Koksu dengan
pedang-nya. Dia merasa gembira sekali melihat darah muncrat setiap kali pedang
berke-lebat, maka dia agak menyesal dan kece-wa ketika gurunya menyuruhnya melari-kan
diri dari kepungan. Dia amat membenci Koksu dan Maharya, yang dianggap musuh-musuh
besar pamannya. Kini, selagi dia sendirian, tidak ada gurunya yang melarangnya, kebetulan
sekali dia dapat menyusul rombongan musuh ini, tentu saja dia tidak mau membuang
kesempatan baik untuk me-muaskan hati dan pedangnya!
Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan,
sungguhpun dengan tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya
karena di situ ada Koksu yang pandai menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa
pasukan mereka akan dikerahkan untuk langsung memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw
tidak putus asa. Pangeran ini telah kehilangan segala kemewahan hidup dan kemuliaan,
bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selir-nya yang muda-muda, harta bendanya yang
berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus melakukan perjalanan melarikan
diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!
Pada malam ketiganya, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan
perjalanan. Dia sudah merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa kali jatuh
pingsan saking kelelahan. Juga roda-roda kereta perlu dibetulkan karena hampir copot.
Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mung-kin juga masih jauh, dan tempat penjaga-an
pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah dekat, Koksu tidak keberatan dan
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beristirahatlah mereka di sebuah dusun. Penduduk dusun yang belum tahu akan keributan
yang terjadi di kota raja, menyambut rombongan ini penuh penghormatan. Terhibur juga hati
Pangeran Yauw dan rombongannya karena dapat melepaskan lelah malam hari itu, dan
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh
mereka lebih segar.
Akan tetapi, baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan, tiba-
tiba terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penga-wal yang menunggang kuda paling
depan, roboh dengan tubuh hampir putus menja-di dua potong terbabat kilatan pedang di
tangan seorang dara yang cantik na-mun sepak terjangnya ganas bukan main. Koksu dan
Maharya bersama para pangli-ma pembantu mereka cepat melarikan kuda ke depan dan di
sana mereka me-lihat seorang gadis dengan sebatang pedang yang berkilat sinarnya
menyilau-kan mata di tangan, berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan. Dara itu bukan
lain adalah Giam Kwi Hong! Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Mahar-ya, karena
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
629 mereka menyangka bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang
mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia
keluarkan untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin, "Siauw-jin ma-nusia rendah dan hina,
tua bangka cebol mau mampus, keluarlah jangan bersembu-nyi di belakang celana muridmu
perempuan!"
Sepasang mata Kwi Hong mengeluar-kan sinar berapi karena marahnya men-dengar
ucapan menghina yang ditujukan kepada gurunya itu.
"Maharya pendeta iblis!" pedangnya menuding ke depan dan sinar berkilat menyilaukan
mata keluar dari ujung pe-dang itu, membuat semua orang bergidik ngeri melihatnya. "Suhu
tidak berada di sini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan hawa busuk memaki
Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina Suhu, dan mem-bunuh
Koksu yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah manusia-manu-sia berakhlak
bejat, dan aku mewakili pamanku untuk membasmi kalian!"
Pangeran Yauw Ki Ong yang menje-nguk keluar dari keretanya melihat gadis itu.
Jantungnya berdebar penuh ketegang-an, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya!
Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir muda yang cantik. Kalau dia bisa mendapatkan
gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.
"Seng-jin, siapakah dia?" bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.
"Dia bernama Giam Kwi Hong, ke-ponakan Majikan Pulau Es dan kini agak-nya menjadi
murid Bu-tek Siauw-jin, setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama pedangnya, akan
tetapi harap Ong-ya tidak khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi saya untuk menundukkan
dan membunuhnya."
"Jangan dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali" Tentu
membuka kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Si-luman Majikan Pulau Es,
untuk membantu kita pula menghadapi Kaisar."
Sepasang mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang
amat baik, sesuai dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia
mengeluarkan ucapan dalam bahasa India yang ditujukan kepada paman gurunya, Maharya.
Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan melang-kah maju bersama Koksu
menghampiri Kwi Hong.
"Bagus, majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus
dengan pedangku!" Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.
"Sabarlah, Nona. Kami hendak mem-bicarakan urusan penting dengan Nona. Bersabarlah
karena sesungguhnya di antara kita tidak ada permusuhan sesua-tu." Tiba-tiba Maharya
mengeluarkan kata-kata dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu dan setiap ucapan
mengeluarkan getaran hebat dari ilmu hitamnya untuk mempengaruhi gadis itu.
Gelombang getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini,
membuatnya agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang, namun de-ngan pengerahan
sin-kangnya dia dapat berdiri tegak kembali dan memandang dengan mata penuh
kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, terdengar suara Koksu lemah
lembut, Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
630 "Nona, harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama
dengan Bu-tek Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang
kepada Pulau Neraka, me-lainkan masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami
bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman senasib dan seperjuangan dengan kami."
"Tidak perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!" Kwi Hong masih dapat
mempertahankan diri terhadap ge-taran yang terus dikerahkan oleh Ma-harya untuk
mempengaruhi dirinya dan pikirannya. "Memang aku keponakan Majikan Pulau Es, dan aku
tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin pasukan menghancurkan Pulau Es,
mem-bunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal jahat!"
"Aihhh, harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu, kami hanyalah petugas-petugas
saja dari Kaisar. Kaisar- yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar Siluman
pamanmu itu karena pamanmu pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami hanya
ditugas-kan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau bicara tentang biang keladinya,
hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa menyesal se-kali
mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim itu! Karena kelalimannya
maka kami memberontak! Kita semua telah dibikin sakit hati oleh Kaisar lalim itu, Nona.
Karena itu, apa perlunya antara kita bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar
oleh pasukan Kaisar yang dipimpin oleh Ma-jikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-
pang" Mereka menggunakan kesempatan ini untuk merangkul Kaisar, untuk
menghancurkan kita, ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar mereka!"
Kwt Hong mulai tergerak hatinya, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, namun terutama
sekali oleh gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mujijat. Dia menjadi ragu-ragu
sekali. "Hemmm.... begitukah" Paman memang tidak pernah mau dekat dengan kerajaan...."
"Tentu saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Daripada antara kita yang
senasib ini terjadi permusuhan, bukanlah jauh lebih baik kalau kita ber-satu menghadapi
Kaisar lalim dan mem-balas dendam kita bersama?"
Pengaruh ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan
Kwi Hong, dan kini dia men-dengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya
berkerut dan tangannya yang memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi.
Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata, masih agak meragu,
"Mana mungkin kita melawan pasukan pemerintah?"
"Ha-ha!" Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar. "Jangan Nona ragu-ragu,
karena kami telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami dan menyaksikan
sendiri persiapan kami dengan pasukan kami yang amat kuat. Kalau Nona membantu kami,
apalagi kalau kita bersama dapat bergabung dengan Majikan Pulau Es, apa sukarnya
menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?"
Kwi Hong teringat. Pamannya menja-di pelarian, bersembunyi dan mengasing-kan diri di
Pulau Es, bahkan kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang harus dia akui
bahwa pemerin-tah telah memusuhi pamannya dan telah melakukan hal-hal yang
menyakitkan batin.
"Baiklah," dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam. "Aku suka bekerja sama dengan kalian,
untuk menghukum Kaisar lalim!"
Pangeran Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua
tangan ke depan dada. "Kami me-rasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati sekali
mendengar keputus-an Lihiap (Pendekar Wanita) yang bijak-sana. Selamat datang dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
631 selamat berjuang bersama-sama, Lihiap. Percayalah, kami Pangeran Yauw Ki Ong yang
tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas rakyat, setelah kami berhasil
menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan jasa Lihiap yang amat berharga
ini!" Ucapan itu dikeluar-kan dengan sikap halus dan sopan, diser-tai pandang mata kagum
dan senyum menggerakkan kumis tipis pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan
hati perawan cantik perkasa itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung
rambut sekalipun tidak pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini.
Seekor kuda yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian, dara ini telah
menunggang kuda di antara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan bersama-sama
mereka lalu melanjut-kan perjalanan menujuu ke utara di mana terdapat gabungan pasukan
anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan orang-orang Mongol.
Demikianlah, tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota
raja. Dia dan Bun Beng hanya menduga bahwa karena di utara ada "keramaian" yaitu
pengejaran yang dila-kukan pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Puteri Nirahai
terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun tentu akan menonton keramaian ke
sana. Dugaan ini membuat keduanya ti-dak betah tinggal terlalu lama di kota raja dan segera
mereka pun melakukan perjalanan cepat menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan, tiada
hentinya Bun Beng memperdalam ilmunya yang baru, terutama sekali permainan Ilmu Silat
Pedang Lo-thian Kuam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan
tenaga gabungan yang dia latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin.
Rombongan yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di se-belah utara
Peking, lalu menyusuri se-panjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke timur.
Kiranya pasukan gabungan para pemberontak itu bersem-bunyi di dekat gunung-gunung
dan jurang-jurang yang amat curam. Memang tempat ini amat tersembunyi dan juga liar
sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa hari sekali saja meronda di bagian
ini. Akan tetapi pada waktu itu, semua pasukan di sekitar daerah ini yang melakukan
penjagaan di tapal batas Tembok Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang
sudah diatur sebe-lumnya. Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol
untuk menyelundup masuk melalui Tembok Besar di mana terjaga oleh kaki tangan Koksu
sendiri. Di sekitar Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok darurat
yang dijadikan markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan para jagoan yang
tadinya menan-ti di sebelah utara kota raja, di daerah sumber minyak di mana Bun Beng
pernah mengamuk, setelah usaha mereka mem-bunuh Kaisar gagal, sisa para jagoan ini
pun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu di lembah Sungai Luan ini, untuk
memperkuat pasukan pemberontak. Kekuatan mereka terdiri dari kurang lebih lima ratus
orang, dan merupakan gabungan pasukan Mongol Nepal dan pasukan pengawal Koksu
yang rata-rata merupakan perajurit-perajurit pilihan.
Pangeran Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis
terhadap nona ini. Pangeran yang sudah banyak penga-laman dengan usianya yang
mendekati empat puluh tahun itu tidak mau mela-kukan tindakan yang tergesa-gesa dan
sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa nona ini bukan bukan seorang
wanita sembarangan. Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan hanya
tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang can-tik saja, juga terutama sekali ilmu
kepandaiannya yang tinggi. Kalau dia dapat meraih dara ini menjadi selirnya yang tercinta,
maka dia sekaligus men-dapatkan seorang penghibur yang cantik jelita dan seorang
pengawal pribadi yang boleh diandalkan! Dia maklum bahwa dengan bantuan Koksu dan
Maharya, setelah dara ini dapat dibujuk menggabung, dengan mudah dia dapat
menggunakan kekerasan atau dengan pengaruh ilmu sihir Maharya, untuk menggagahi
tubuh dara ini secara paksa. Namun hal ini sama sekali tidak dikehendakinya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
632 Setelah tiba di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak
Pegunungan Merak Merah, rom-bongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya mereka
berkumpul, yaitu Pange-ran Yauw, Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi Hong, dan para
panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi pemerintah yang ingin mereka
gulingkan. Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan penjagaan ketat, juga untuk
mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk mengetahui gerak-gerik musuh di
selatan. Selesai berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak
dengan pasukan pengawal.
"Lihiap tentu belum mengenal daerah ini," katanya manis. "Di sini banyak se-kali terdapat
rusa kesturi yang mempunyai dedes yang amat harum baunya."
Kwi Hong tertarik sekali. "Pangeran, apakah dedes itu?"
Sang Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk
menimbulkan kesan lebih mendalam, dia menjawab, "Dedes adalah semacam peluh yang
keluar dari tubuh belakang rusa kesturi, dan merupakan bahan wangi-wangian yang amat
berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal keharuman-nya, dan tidak sembarang
waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh dedes ini. Peluh ini hanya keluar di waktu
se-ekor rusa kesturi datang berahinya dan keluarnya dedes yang menyiarkan bau harum itu
adalah daya penarik untuk mengundang seorang lawan kelaminnya untuk.... hemmm....
untuk bermain cinta."
Biarpun pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi
Hong menjadi merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pange-ran Yauw terpesona.
Betapa cantiknya ketika sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti itu! Andaikata dia
sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu tentulah dia akan mengeluarkan peluh dedes yang
tidak kepalang tanggung banyaknya!
"Di samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan
bahan obat kuat yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menja-ngan muda) amat mahal
dan tanduk itu dapat membuat tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi panjang. Selain
binatang-binatang itu kita manfaatkan tanduknya dan dedesnya, juga dagingnya sedap
bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di samping ini, masih terdapat
binatang-binatang lain dan ta-nam-tanaman yang belum pernah Nona saksikan sebelumnya.
Marilah kita berbu-ru, saya tanggung Nona akan merasa puas dan gembira sekali."
Dan pangeran itu memang tidak ber-bohong. Pemandangan alam di Pegunung-an Merak
Merah itu benar-benar amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan bunga-
bunga beraneka warna yang belum pernah dikenal Kwi Hong. Bermacam batang bambu
yang aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di daerah ini. Setelah berburu selama sete-ngah
hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh dua ekor rusa yang gemuk
dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini terdapat dedesnya dan dari yang
kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.
Sore hari itu, Pangeran Yauw meng-undang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan, di
dalam taman alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan arak dan
bermacam masakan daging rusa yang lezat! Dalam kegembiraannya, Kwi Hong yang
meng-anggap bahwa pangeran itu adalah seo-rang bangsawan yang sopan dan ramah,
sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum bersama pangeran itu, bahkan tertawa
memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sa-jak. Kiranya pangeran bangsa
Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan. Setelah mereka makan cukup kenyang dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
633 minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran Yauw memanggil pelayan pribadinya
dan menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak di dalam sebuah guci batu giok biru itu
ditaruh di atas meja.
"Giam-lihiap, ini adalah arak simpan-an yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar
biasa, sudah tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghor-matan kami dengan tiga
cawan arak ini!" Sambil tersenyum Pangeran Yauw me-nuangkan secawan arak dari guci
arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah kekuningan, amat harum baunya dan ke-tika
berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.
"Kami namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!"
Kwi Hong merasa sudah terlalu ba-nyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk
menolak. Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga
mengangkat cawannya. Arak itu memang enak sekali, manis dan ha-rum, akan tetapi juga
amat keras sehing-ga Kwi Hong merasa betapa hawa panas naik ke kepalanya, membuat
ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.
"Masih dua cawan lagi, Lihiap," kata Sang Pangeran gembira sambil menuang-kan lagi arak
ke dalam cawan Kwi Hong yang kosong.
"Maaf, Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi...." Kwi Hong
menundukkan mukanya dan menga-tur napas untuk menghilangkan rasa pening di
kepalanya. "Aihhh, apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?"
Pangeran itu berkata dengan suara ringan, tanda bahwa dia pun agak mabok.
"Bukan begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan tetapi
saya benar-benar telah agak pening, maka dua cawan arak ini.... biarlah saya minum
perlahan-la-han...."
Pangeran itu tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk. "Aku percaya seorang gagah
seperti Lihiap tidak akan mengecewakan hatiku...., biarlah guci arak ini kutinggalkan saja di
sini, harap Lihiap nanti suka menerima dua cawan arak kehormatan dariku lagi, bahkan
boleh menghabiskan arak ini kalau suka. Sisa-nya berikut guci araknya boleh Lihiap
kembalikan nanti, aku menanti di ka-mar.... aku mempunyai sebuah benda yang amat
berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap sebagai hadiah." Setelah berkata demikian,
pangeran itu meninggalkan Kwi Hong dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah
seorang mabok. Kwi Hong menjadi lega hatinya. Ha-rus diakuinya bahwa pangeran itu bersi-kap amat baik
kepadanya. Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi, akan tetapi
ia hanya takut kalau dua cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan menjadi mabok betul-
betul. Kalau dibiarkannya minum sendiri perlahan-lahan, kiranya tidak apa-apa. Dia
mengangkat guci arak itu dan di-pandangnya di bawah sinar lampu merah yang dipasang di
taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang amat indah. Dia tersenyum, meletakkan guci ke
atas me-ja, kemudian memandang cawan arak wangi. Cawan yang ke dua! Ketika
tangannya bergerak ke arah cawan, hendak diangkat dan diminumnya arak itu sedi-kit demi
sedikit, tiba-tiba dara itu me-naruh cawan araknya cepat ke atas meja dan gerakan cepat ini
membuat arak sedikit tumpah, sedangkan tangan kirinya menyambar benda hitam yang
meluncur ke arah dirinya. Melihat bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam kecil dan ada
sehelai kertas diikat pada batu, dia menjadi curiga dan sekali tubuhnya ber-gerak, dia telah
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meloncat ke arah da-tangnya batu tadi. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat
itu, dan ketika dia melanjutkan pencariannya keluar dari taman alam itu, dia hanya melihat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
634 lima orang tukang kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda tunggangan
pangeran dan para pembesar lainnya. Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu
kepada mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia
melihat tulisan di atas kertas itu. Hanya bebera-pa huruf yang ditulis dengan tergesa-gesa
agaknya. JANGAN DIMINUM ARAK PERANGSANG ITU!
Kwi Hong mengerutkan alisnya, mere-mas hancur kertas itu dan membuangnya sambil
memandang ke arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia merasa
penasaran karena sungguh tidak mengerti. Apa artinya arak perangsang" Jelas bukan arak
beracun, karena kalau beracun, tentu dia sudah roboh. Pula, mengapa pangeran akan
meracuninya" Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan sekutunya untuk
menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk terhadap diri-nya. Akan
tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini" Dan siapa orangnya" Diukur dari tenaga
lemparan batu kecil tadi, orang itu memiliki kepandaian biasa saja!
Biarpun Kwi Hong tidak mempeduli-kan isi tulisan itu dan dia pun tidak ta-kut kalau-kalau dia
diracuni, namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi minum arak. Arak yang
sudah berada di dalam cawan itu dia tuangkan kembali ke dalam guci, kemudian dia
membawa guci batu giok itu menuju pondok besar tempat peristirahatan Pangeran Yauw Ki
Ong. Setelah penjaga mempersilakan masuk seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong
memasuki pondok. Alisnya berkerut dan hatinya tidak senang sekali ketika ia melihat
pangeran itu dengan pakaian setengah telanjang roboh telen-tang di atas pembaringan dan
dikeroyok oleh dua orang wanita cantik yang meng-gosok tubuhnya dengan minyak,
sedangkan orang ke dua memijat tubuhnya.
"Ha-ha, engkau telah datang menyu-sulku, Lihiap" Harap kautaruh saja guci itu di atas meja
dan duduklah. Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini, nanti akan kuambilkan
sebuah hiasan rambut burung Hong dari batu giok yang amat indah, hendak kuhadiahkan
untuk-mu."
Karena sikap pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurang-ajaran, maka Kwi
Hong yang agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur untuk dapat
mengenal kegenitan seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya, maka setelah
meletak-kan guci itu di atas meja dia menjura dan berkata,
"Saya hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal
hadiah, saya tidak membutuh-kannya dan kalau Ong-ya hendak mem-berikan kepadaku,
besok masih banyak waktu. Selamat malam dan maafkan saya." Tanpa menanti jawaban
dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pangeran itu yang
menjadi kecewa sekali.
Pangeran Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyam-bar guci
arak, membuka tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon
korbannya itu tidak minum lagi. Biarpun secawan dari arak emas ini sudah cukup untuk
merobohkan seorang wanita yang bagaimana keras hati dan dingin sekalipun, namun
agak-nya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong! Obat perangsang itu belum
cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih, hanya membuat dara itu
bingung saja! Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh terburu nafsu, dan dia akan
mencari ke-sempatan lain untuk melampiaskan niatnya. Dia tersenyum mengusir
kekecewa-annya, kemudian merangkul dua orang pelayannya itu sebagai penghibur dan
pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia harapkan malam itu akan terjatuh ke dalam
pelukannya. Selagi Pangeran Yauw Ki Ong teng-gelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita
muda itu, dan Kwi Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak, dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
635 Koksu bersama para pembantunya yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan hati
tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak buah mereka, tampaklah dua sosok
bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti setan di dekat markas para
pemberontak ini.
Di dalam kegelapan malam muda itu memang dua sosok bayangan yang ber-kelebatan di
sekitar tempat itu amat mengerikan. Gerakan mereka cepat lak-sana gerakan iblis sendiri,
meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang terdengar suara ketawa menyeramkan. Karena
bulan belum muncul, sukar untuk menentukan bentuk dua sosok bayangan itu. Akan tetapi
setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahaya-nya yang pucat
disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehi-jauan di malam hari yang
sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan itu kelihatan agak jelas. Kiranya mereka adalah dua
orang manusia, sungguhpun tidak mungkin manusia biasa melihat cara mereka bergerak
secepat itu. Seorang di antara mereka bertubuh pendek sekali, rambut-nya panjang riap-
riapan membuat kepala-nya yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang
tertawa-tawa. Temannya tidaklah setua kakek pendek ini, melainkan seorang muda yang
kepa-lanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di punggungnya tampak buntalan
pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik pundaknya
ketika dia bersama kakek itu berlon-catan melalui jurang-jurang yang curam. Dilihat dari
jauh, oleh mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan saling berkejaran di malam
sunyi itu. Akan tetapi tak lama kemudian tam-paklah bayangan mereka. Kakek itu masih tertawa-
tawa, akan tetapi mereka membawa sekumpulan senjata yang ba-nyak sekali. Susah payah
mereka memba-wa senjata-senjata tajam yang malang-melintang itu sehingga ada yang
tercecer di jalan.
"Ha-ha-ha, betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegu-gupan mencari-cari
senjata mereka!" kata yang muda. Kakek pendek itu pun ter-tawa, akan tetapi dia lalu
menengadah dan bernyanyi,
"Senjata adalah benda sialandibenci oleh siapapun juga tidak dipergunakan para bijaksana,
Bahkan dalam kemenangan sekalipun senjata tak sedap dipandang mata karena yang
mengagungkannya hanyalah pembunuh-pembunuh kejam!
Alat pembunuhan antar manusia menimbulkan kematian terpaksa mendatangkan duka dan
air mata dan kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!"
"Locianpwe, saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab To-
tek-keng! Akan tetapi juga tidak sama...." Pemuda itu, Gak Bun Beng menegur heran.
"Ha-ha-ha, perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apapun juga seperti se-ekor burung"
Yang penting adalah me-ngerti dan melaksanakan, karena pelaksa-naan yang berdasarkan
pengertian bukanlah penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala macam senjata, hayo
kita buangkan semua senjata di dalam gudang itu!"
Dua orang itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu
melemparkan senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak dapat diukur
dalamnya sehingga ketika senjata-senjata itu sampai ke dasar ujung, tidak terdengar apa-
apa dari tempat mereka berdiri! Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera
berlarian lagi menghampiri gudang senjata milik para pemberontak untuk mengangkuti
semua senjata yang terkum-pul di situ dan dibuang ke dalam jurang. Belasan orang penjaga
gudang itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri seperti arca
karena sudah tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti
oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
636 Karena jarak antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan
jumlah senjata dalam gudang amat banyak sedangkan betapa pun sak-tinya, kedua orang
itu masing-masing hanya mempunyai sepasang tangan, sete-lah bekerja sampai pagi, belum
ada setengah isi gudang berhasil mereka buang ke dalam jurang.
Ketika untuk kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu
mereka memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu telah
dikurung oleh puluhan orang perajurit! Mereka telah ketahuan, atau lebih tepat lagi, peronda
telah melihat penjaga-penjaga yang tertotok kaku itu sehingga mereka segera mela-porkan
kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa tentu ada mata-mata musuh menyelundup
sudah memasang perangkap sehingga ketika dua orang itu datang, mereka telah terkurung!
Tentu saja kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang perajurit.
Apalagi setelah Koksu meneri-ma pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata
adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng, dia segera mengerah-kan para pembantunya
untuk mengeroyok.
"Wah, repot nih, Bun Beng!" Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat ke sana-sini di
antara serbuan para pera-jurit. "Kita membuang senjata supaya jangan ada perang, malah
diperangi!"
"Mari kita keluar, Locianpwe!" Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak mungkin
dapat menghadapi penge-royokan hebat itu dengan sikap berkela-kar dan tidak peduli
seperti kakek yang agaknya tidak bisa melihat bahaya itu. Dengan gerakan kaki tangannya,
Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam gudang senjata, akan tetapi karena
Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menendingi semua pengeroyoknya, kadang-kadang
terkekeh girang kalau meli-hat beberapa orang terjengkang roboh sendiri setelah
memukulnya, Bun Beng merasa bingung dan benar-benar men-dongkol sekali. Kakek itu
agaknya malah girang dan gembira menghadapi pengero-yokan itu, seperti seorang kanak-
kanak memperoleh sebuah permainan baru dan merasa sayang untuk meninggalkannya!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan
terjadilah kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara teriakan-
teriakan itu, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa tempat markas pemberontak itu telah
diserbu oleh pasukan pemerintah! Keadaan menjadi kacau balau. Koksu dan para
pem-bantunya segera lenyap dari situ mening-galkan Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin yang
masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu saja bagi Koksu dan teman-temannya,
berita penyerbuan pasu-kan pemerintah itu lebih penting, lebih hebat dan harus segera
ditanggulangi daripada kekacauan yang disebabkan oleh perbuatan dua orang ini.
Memang benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang
dipimpin oleh Puteri Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara mendadak.
Terjadilah perang yang amat hebat, perang mati-matian karena para pemberontak membuat
pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti datangnya bala bantuan dari barat dan
utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka harus menghadapi penyerbuan pasukan
pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka akan demikian cepat da-tangnya. Tentu saja
Koksu tidak me-nyangka bahwa Puteri Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan
ini, seorang puteri yang sudah banyak penga-lamannya dalam menghadapi pasukan
pemberontak, seorang yang tidak saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang
yang terkenal! Setelah Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata di mana Bun Beng
dan Bu-tek Siauw-jin terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu
keluar dari kepungan. Apalagi karena para perajurit yang men-dengar akan penyerbuan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
637 tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan akhirnya sisa mereka meninggalkan dua orang
itu untuk membantu teman-teman mengha-dapi pasukan pemerintah. Gudang senjata telah
mereka bobol dari belakang dan sisa senjata yang masih berada di dalam gudang telah
mereka angkut keluar untuk dipergunakan para pasukan menghadapi musuh.
"Wah, perang telah terjadi?" kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar dari dalam
gudang senjata. Terde-ngar dari situ pekik sorak mereka yang berperang, dan suara senjata
yang meng-gegap gempita.
"Mudah-mudahan saja para pemberon-tak segera dapat dihancurkan," kata Bun Beng
sambil berdiri termenung. Yang terbayang di depan matanya adalah Mi-lana. Apakah dara
itu ikut berperang membantu ibunya yang memimpin pasu-kan pemerintah itu" Teringat
betapa fihak pemberontak terdapat orang-orang pandai seperti Maharya, Koksu, dan Thian
Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu.
"Locianpwe, saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya."
"Eh, kau mau membantu siapa?"
"Membantu Puteri Nirahai dan puteri-nya."
"Mengapa" Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan teta-pi, kita sudah melihat bahwa pemberon-tak dipimpin
oleh orang-orang sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah yang
menimbulkan perang sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang, karena itu maka
merekalah yang akan saya tentang."
Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk. "Hemm, boleh kita menonton, akan teta-pi kalau
tidak perlu sekali, untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang hanya
merupakan penyem-belihan antara manusia?"
Bun Beng tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu
menyelinap di antara pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju ke tempat
di mana terjadi perang yang amat dahsyat.
Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal yang amat
mengejutkan, Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur, akan tetapi ketika
pasukan pemerintah mendesak, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan muncullah
seekor gajah yang amat besar. Binatang raksasa inilah yang mengeluarkan suara
melengking tadi dan pasukan pemerintah yang berada paling depan segera berha-dapan
dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus berkulit hitam yang menunggang gajah itu. Pendeta
Maharya sendiri me-ngeluarkan aba-aba dan gajah itu menga-muk! Dengan belalainya yang
besar, sekali sambar gajah itu menangkap dua orang perajurit musuh, membantingnya
remuk dan dengan kedua kaki depannya yang besar binatang itu menginjak ke depan,
membuat dua orang musuh lain lagi terinjak gepeng. Maharya yang ber-ada di atas gajah itu
masih menggerak-kan senjatanya tombak bulan sabit, tam-pak sinar berkelebat dan empat
orang perajurit pemerintah roboh. Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba cuaca
di tempat itu menjadi gelap, debu mengepul tinggi dan di balik kegelapan ini menyerbulah
pasukan Nepal yang di-pimpin oleh Maharya, menyerbu bagaikan pasukan setan ke depan!
Pasukan pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung,
apalagi ketika dua orang per-wira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh
amukan gajah dan me-lihat betapa cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi, mereka
makin panik. "Pasukan siluman....!" terdengar te-riakan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
638 "Pasukan siluman.... laporkan ke induk pasukan!"
Kiranya, pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang dinanti-
nanti oleh Koksu. Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya, Maharya segera
menyambutnya, menunggangi seekor gajah dan Maharya sendiri yang memimpin pasukan
istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya, dibantu oleh pasukan istimewa ini yang
menggu-nakan debu dan asap hitam untuk menga-cau musuh. Jumlah mereka sebetulnya
hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu terlatih dan mempunyai cara-cara
berperang yang aneh, mereka mam-pu mendatangkan kekacauan dan banyak di antara
pasukan pemerintah yang roboh menjadi korban, terutama sekali amukan lima ekor gajah,
seekor di antaranya yang ditunggangi Maharya sendiri.
"Locianpwe, kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!" Bun Beng
berkata, kemarahannya timbul -menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas
membunuh pasukan peme-rintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya.
"Ha-ha-ha! Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini,
siapa lagi kalau bukan aku yang dapat membuyarkannya?" Bu-tek Siauw-jin tertawa sambil
menerjang ke depan menyambut debu dan uap yang mengebul itu.
"Maharya, sejak dahulu engkau men-datangkan keributan saja!" Bun Beng membentak lalu
meloncat ke depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan ke arah
kepala. Melihat munculnya pemuda ini, Ma-harya memandang rendah. Biarpun pemu-da itu dia tahu
cukup lihai seperti yang diperlihatkannya ketika pemuda itu mem-bela Pulau Es ketika pulau
itu diserbu oleh pasukan Koksu dahulu, namun, bagi-nya, pemuda itu tidak ada artinya. Yang
membuat dia khawatir hanya ketika melihat munculnya Bu-tek Siauw-jin tadi.
Kakek pendek itulah yang perlu diperha-tikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri takkan
dapat menangkan kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia di-bantu oleh gajah-
gajahnya, oleh pasukan siluman dari Nepal, apalagi Koksu, Thian Tok Lama, dan banyak
tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda ini harus dibunuh lebih dulu.
"Mampuslah!" Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya
bergerak, gagangnya menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi,
menusuk ke arah pusar pemuda itu.
Melihat gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak mem-biarkan dirinya
disate gagang tombak.
"Haaiiittt....! Plak! Wiiirrr....!" Tangan Bun Beng menapgkis gagang tombak itu dengan
meminjam tenaga tusukan gagang tombak ini, dia membuat tubuhnya mencelat ke atas dan
membuat salto jungkir-balik, kemudian seperti seekor burung garuda terbang, dia
menyerang ke arah ubun-ubun kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia menusuk ke
arah ubun-ubun ketika tubuhnya meluncur ke bawah.
"Aehhhh!" Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan te-linga gajah.
Binatang itu mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya.
Gerakan ini tentu saja membuat tubuh Maharya terbawa ke be-lakang dan otomatis terbebas
dari se-rangan Bun Beng yang tubuhnya meluncur ke bawah itu. Dengan geram Maharya
menggerakkan tombak bulan sabitnya menyambut tubuh Bun Beng dan dibantu oleh
gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk menangkap tubuh pemu-da itu!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
639 Bun Beng tidak merasa kaget meng-hadapi kegagalannya dan melihat serang-an
berbahaya ini. Dia sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya kakek ini,
maka cepat sekali kakinya bergerak ke depan, menyambut gagang tombak di bawah bulan
sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga begitu kakinya menyentuh gagang
tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran, kemudian ketika tubuhnya turun
dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyam-but belalai dengan
tusukan dua buah jari tangannya! Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
elakkan di tengah udara.
"Plakkk!" Gajah itu mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat,
tubuhnya bergoyang-goyang penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek oleh
dua jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah. Melihat dengan mata kecilnya betapa
manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas tanah di depannya, gajah
itu lalu menghempaskan kedua kakinya hen-dak menginjak tubuh itu sampai lumat. Namun,
dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping, dan tiba-tiba dia sudah menyerang
Maharya dari samping kanan. Gerakannya cepat bukan main dan dari tangan kanannya
menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi ber-cuitan ke arah lambung Maharya.
Kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang
perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangan!
"Uuuh....!" Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke ka-nan untuk
menyambut, tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukul-an dahsyat, dan
pukulan tangan kanan pemuda itu masih terus melayang datang bersama tubuh pemuda itu
yang melayang cepat. Biarpun dia merasa kaget sekali karena tombaknya menyeleweng
terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak gugup dan dia sudah dapat menggunakan
lengannya menangkis dattangnya tamparan tangan Bun Beng ke arah lambungnya itu
"Dess....! Aihhh....!" Maharya kini ter-paksa mengeluarkan teriakan kaget sekali karena
benturan lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti lumpuh dan
tubuhnya terlempar dari atas tubuh gajahnya! Dia tidak terbanting dan masih dapat
menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada Bun Beng dengan mata terbelalak
penuh keheranan, kekagetan dan penasaran. Pemuda itu dapat memaksakannya turun dari
pung-gung gajah dan kini pemuda itu telah berdiri di depannya dengan wajah tenang dan
topi caping lebar masih di atas kepa-lanya!
"Hemm, orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?"
"Tidak salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa ter-hormat sekali
bahwa namaku dikenal oleh seorang seperti engkau!" Bun Beng men-jawab tanpa berani
menentang pandang mata pendeta itu. Biarpun dia telah memiliki kekuatan sin-kang yang
mujijat, namun dia maklum betapa hebat penga-ruh pandang mata kakek ahli sihir ini, yang
dalam ilmu itu bahkan berani me-nentang dan mengadu sihir dengan Pen-dekar Super Sakti.
Kalau sampai dia terpengaruh ilmu hitamnya yang mujijat, dia bisa celaka!
"Gak Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak
mempunyai urusan pribadi dengan dirimu" Mengapa?" Suara pendeta itu terdengar halus
menimbulkan rasa malu dan iba. Namun Bun Beng sudah menekan perasaannya dengan
tenaga dalam, dan dia menjawab, suaranya lantang,
"Sejak aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat yang kuang-gap
musuhku, Maharya. Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang gila, Tan-siucai,
mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian melihat engkau membantu Koksu menghancurkan Pulau
Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang yang patut ditentang."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
640 "Hok-mo-kiam...." Hemm, karena pe-dang itu, muridku telah tewas, dan pe-dang itu lenyap.
Memperebutkan pedang di antara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang muda."
"Bukan soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar
kemuliaan duniawi, mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu dengan
Koksu, dipergunakan oleh Koksu, mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak segan-segan
untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat dengan Thian-liong-pang, akan tetapi diam-
diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kaukira aku tidak tahu apa yang kalian
lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar dahulu itu?"
Maharya memandang tajam. "Eh" Kau tahu" Kalau begitu.... kau tahu pula tentang
kematian Tan Ki dan Thai Li Lama....?"
"Tentu saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah
kukembalikan kepada yang berhak."
Merah muka Maharya dan tombak bulan sabit di tangannya menggetar. "Ja-di.... engkaukah
orangnya yang membunuh muridku?"
"Dia mencari kematiannya sendiri...." Bun Beng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
dia harus cepat mengelak dari sambaran tombak bulan sabit yang telah meluncur ketika
Maharya menyerangnya dengan gerakan penuh kemarahan dan penuh nafsu membunuh.
Maharya sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang membunuh muridnya dan
merampas Hok-mo-kiam, dan dia pun maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian
tinggi, kalau tidak cepat dirobohkan akan berbahaya sekali.
"Robohlah! Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!"
Berkali-kali Maharya membentak dengan suara yang amat herpengaruh, namun Bun Beng
sama tidak mem-pedulikannya, juga tidak pernah menen-tang pandang mata kakek itu. Dia
hanya mengelak dengan cepatnya karena tombak bulan sabit itu bergerak seperti kilat
menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk merobohkan lawan yang tangguh
itu. Sementara itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman
bangsa Nepal, menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah.
Pasukan pemerintah yang sedang kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika tiba-
tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak ketahuan dari mana datangnya sehingga
banyak di antara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban anak panah lawan. Melihat
ini, Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua tangannya mendQrong ke depan berkali-
kali dan dia terus menerjang maju, tidak mempedulikan anak panah-anak panah yang
menyambutnya dan yang mengenai seluruh tubuhnya bagian depan. Anak panah yang
mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan, dan dari kedua telapak tangan kakek sakti ini
menyambar angin yang membuat debu dan asap itu membuyar dan tertiup membalik ke
arah para pasukan Nepal sendiri!
Mulailah pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang
kakek cebol yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para perajurit
pemerintah. Mereka berteriak-teriak menyerbu dan terjadilah perang campuh yang amat
dahsyat antara orang-orang Nepal dan orang-orang Mancu perajurit pemerintah. Bu-tek
Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan perajurit-perajurit Nepal yang baginya terlalu lemah
itu, dan dia ber-gembira menghadapi serbuan empat ekor gajah yang ditunggangi oleh
perwira-perwira Nepal. Dia menubruk kaki seekor gajah, dicobanya untuk mengangkat tubuh
binatang itu, namun terlampau berat, mendorongnya pun amat berat dan agak-nya
merupakan hal yang amat sukar untuk merobohkan binatang raksasa itu. Bu-tek Siauw-jin
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
641 menjadi penasaran, meloncat ke belakang, kemudian dia lari ke depan dengan kepala
dipasang seperti seekor kerbau mengamuk.
"Desss!" Dengan kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah
dan.... binatang raksasa itu terjengkang dan roboh! Dua orang pera-jurit Nepal yang tidak
menyangka sama sekali dan berada di dekat gajah yang mereka andalkan itu, terhimpit
perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang gajah itu, seorang perwira Nepal
yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan terbanting ping-san!
Amukan kakek cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan
istimewa Nepal itu, apalagi setelah tiga ekor di antara lima ekor gajah itu telah roboh oleh
Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta asap hitam telah membuyar. Tadinya anak buah pasukan
itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan tetapi kakek India itu sendiri se-dang bertanding
hebat dan mati-matian melawan pemuda yang amat tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal
yang melemah-kan semangat pasukan Nepal ini sebalik-nya mendatangkan semangat baru
kepada para perajurit pemerintah yang tadinya sudah merasa agak panik.
Pertandingan antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian.
Kakek India itu benar-benar amat lihai dan andaikata Bun Beng belum menerima ilmu terkhir
dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, kiranya dia pun tidak akan mudah untuk
dapat menandingi Maharya. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tentu saja Bun Beng me-miliki
dasar yang lebih murni dan lebih tinggi tingkatnya, dan juga dalam inti tenaga sakti, dia tidak
kalah kuat. Ke-kalahannya dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup oleh
keunggulannya karena ilmu silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi
tingkatnya. Akan tetapi, yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan
adalah tenaga mujijat yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya. Bun Beng
harus berhati-hati sekali, sama sekali tidak pernah berani bertemu pan-dang mata dengan
lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena merasa beta-pa ada hawa tenaga mujijat
menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh yang membuat bulu
tengkuk-nya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak yang disiksa, suara tertawa
wanita yang tidak lumrah manusia. Se-olah-olah tempat itu, atau di kanan kiri dan belakang
lawannya terdapat iblis-iblis yang tidak tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan
terasa pula sam-baran angin pukulannya!
Bun Beng melawan dengan mati-mati-an. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakek sinting
itu, biarpun kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek itu tidak pernah
melepaskan perhatiannya dan selalu mengikuti pertandingan itu, atau hanya sebentar saja
kadang-kadang dia mengalihkan perhatian. Dia selalu menjaga dan siap untuk melindungi
pemuda yang disukanya itu. Diam-diam kakek ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak
terjang Maharya dia harus mengakui bahwa dalam pertan-dingan mati-matian ini, memang
hebat sekali pendeta itu dan dia sendiri pun tidak akan mudah dapat mengalahkan Maharya.
Namun pemuda yang hanya tiga hari menjadi muridnya itu, dengan tangan kosong mampu
menandingi Mahar-ya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih, sedangkan
Maharya yang tadinya menunggang gajah bersen-jatakan tombak bulan sabit, kini sudah
kehilangan gajahnya dan agaknya tombak-nya itu pun sudah tidak danyak artinya dalam
pertempuran hebat itu. Kini Ma-harya telah melolos kalung tasbehnya yang terbuat dari
mutiara-mutiara putih yang besar-besar, memegang tombak bulan sabit di tangan kanan
tasbeh di tangan kiri. Menghadapi serangan-serangan yang ganas dan dahsyat dari dua
senjata aneh itu, Bun Beng mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya, akan tetapi
dia pun sudah menanggalkan topi capingnya dan menggunakan benda ini untuk
membantunya menangkis sambaran senjata yang bertubi-tubi.
Di bagian lain, di balik puncak Pe-gunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ hanya
terdengar suaranya yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat dan seru lagi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
642 karena pusat perang terjadi di tempat itu, antara pasukan inti yang dipimpin oleh Koksu
sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!
Dalam perang dahsyat ini, Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi
Hong tentu saja membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah yang
dianggap mu-suhnya dan musuh pamannya. Apalagi ketika dia mendapat keterangan dari
Koksu bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah Ketua Thian-liong-pang dan Ketua
Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk membantu pihak Koksu. Me-mang sudah
dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya dengan Koksu dan kaki tangannya hanya
karena Koksu melakukan tugas membasmi Pulau Es, dan sebagai petugas, tentu saja dia
tidak dapat ter-lalu menyalahkan Koksu, dan Kaisarlah yang sesungguhnya menjadi musuh
pa-mannya. Kini Kaisar mengirim pasukan, apalagi dipimpin oleh Ketua Thian-liong-pang
dan Pulau Neraka yang sejak dahu-lu memang bukan sahabat Pulau Es, bahkan ketika dia
masih kecil pernah dia diculik oleh Ketua Pulau Neraka. Maka ketika terjadi pertempuran,
Kwi Hong sudah membantu Koksu, mengamuk de-ngan pedang Li-mo-kiam di tangannya.
Para perajurit pemerintah yang berhadap-an dengan amukan dara perkasa ini men-jadi ngeri
karena pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan. Tidak ada
senjata yang mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu akan terbabat
putus berikut tubuh pemegangnya!
Betapapun juga, karena jumlah pasu-kan jauh kalah banyak, pasukan pembe-rontak
terdesak hebat. Kwi Hong sendiri, biarpun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh
dengan amukan pedangnya yang dahsyat dan membuat para perajurit musuh gentar,
terpaksa harus mengguna-kan sebagian besar perhatiannya untuk melindungi tubuhnya
karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam senjata datang bagaikan hujan
menye-rangnya. Koksu merasa girang sekali melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar
membantunya. Dia sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan
terhadap Pangeran Yauw Ki Ong, karena kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti dari
semua usaha perjuangannya. Tanpa adanya pangeran ini, tidak mung-kin dia akan
mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada pangeran ini, dan
berarti jalan masuk baginya ke Kerajaan Mancu akan tertutup. Dia pun mengerahkan seluruh
pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan mati-matian. Dia
mengharapkan agar paman gurunya Ma-harya, yang memimpin pasukan bantuan musuh,
dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang membantunya. Namun, yang ditunggu-
tunggu tak kunjung datang dan dia mendengar pelaporan anak buah-nya bahwa pasukan
siluman Nepal yang dipimpin oleh Maharya sendiri itu pun mengalami tekanan hebat dari
pihak musuh! Sama sekali Koksu tidak me-nyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan
itu adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng! Kalau dia tahu, tentu dia merasa khawatir
sekali, apalagi kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu, terutama Bu-tek Siauw-jin yang
sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan besar kepada
Kwi Hong. Betapa pun gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh
terlampau kuat dan jauh lebih besar jumlahnya. Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri
mundur untuk melakukan penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di dalam
pondok-nya, mendekam di atas pembaringannya dengan muka pucat dan dikelilingi para
pelayan wanita yang seolah-olah hendak dijadikannya sebagai perisai terakhir.
Pasukan pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncul-lah Nirahai
dan Lulu sendiri di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga oleh
Koksu, Thian Tok Lama dan para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan Koksu. Memang
Nira-hai mengajak Lulu meninggalkan pasukan mereka yang sudah mendesak dan hampir
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
643 menang itu untuk mencari-cari biang keladi pemberontak, yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan
kaki tangannya.
"Yauw Ki Ong, pemberontak laknat!" Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa
orang anggauta pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu. "Menyerahlah untuk kuseret
ke depan kaki Kaisar!"
Yauw Ki Ong adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah ketu-runan Kaisar,
berlainan ibu. Yauw Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian Nirahai,
maka mendengar suaranya, dia menjadi pucat dan tidak berani keluar dari tempat
persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat itu. Koksu dan para pem-bantunya,
terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga di situ dan kini mereka
meloncat keluar meng-hadapi Nirahai dan Lulu.
"Bhong Ji Kun, manusia rendah! Se-ekor anjing sekalipun akan ingat akan budi orang.
Engkau telah memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan India
engkau telah di-angkat menjadi Koksu negara. Akan teta-pi engkau tidak berterima kasih
malah menjadi pemberontak hina! Manusia ma-cam engkau ini tidak ada harganya untuk
hidup!" Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah menggunakan pedangnya menerjang
Bhong-koksu. Kakek botak tinggi kurus ini terkejut bukan main melihat pedang di tangan
Nirahai yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-
kiam, pedang yang dahulunya terjatuh ke dalam tangan Maharya, paman gurunya,
kemu-dian pedang itu lenyap bersama tewasnya Tan Ki, murid Maharya yang tewas
ber-sama Thai Li Lama tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang men-curi
atau merampas Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan
bekas Ketua Thian-liong-pang ini!
"Tar-tar.... singgg....!" Pecut kuda ber-bulu merah di tangan kiri dan sebatang golok besar,
golok perang di tangan ka-nan Koksu itu menyambar ganas.
"Cringgg.... trakkk!" Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan Hok-
mo-kiam, akan tetapi Nira-hai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke belakang
karena ujung cam-buk merah sudah mengancam lengannya yang memegang pedang.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba dan menerjang
ke depan dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya. Juga Thian Tok Lama
dan beberapa orang temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu. Tidak seperti
Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini menghadapi para
pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat hebat dan
menyeramkan karena begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat
yang amat halus dan tinggi tingkat-nya, serta menggunakan tenaga mujijat Toat-beng-bian-
kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun dari Pulau Neraka. Dua orang pembantu
Thian Tok Lama yang agaknya memandang rendah dan berani menyambut pukulan tangan
yang kecil-kecil itu dengan lengan mereka, mengeluarkan pekik mengerikan dan mereka
roboh terjengkang dengan seluruh lengan berwarna hitam, berkelojotan dan tewas tak lama
kemudian! Repot juga Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pan-dai itu sehingga
mereka tdak dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian Tok Lama dan
Bhong Ji Kun mengundurkan diri dari pertempuran, hanya menyerahkan kepada pasukan
pe-ngawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua sudah cepat memasuki pondok untuk
membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong!
Akan tetapi Nirahai yang berpeman-dangan tajam, dapat menduga akan ke-adaan ini.
Melihat Koksu dan Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak buah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
644 mereka, dia segera memutar Hok-mo-kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya melesat ke
atas wuwungan. "Yauw Ki Ong pemberontak hina, hendak lari ke mana engkau?" Bentaknya sambil
melayang turun membobol genteng.
Tiba-tiba dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terke-jut, maklum
bahwa ada lawan tangguh menyerangnya secara tiba-tiba menyam-butnya ketika tubuhnya
baru saja turun dari atas.
"Tranggg....!" Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan
pedang Li-mo-kiam yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti berhasil merusak
senjata lawan, kini tergetar hebat!
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Juga Nirahai kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang
pedang yang amat kuat sehingga tidak patah, apalagi ketika dia melihat seorang gadis cantik
dan gagah meme-gang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat! Kedua orang
wanita itu, yang satu dara remaja yang lain wanita setengah tua, keduanya sama cantik dan
sama keras hati, saling berhadapan dan saling pandang, pedang pusaka yang ampuh
menggila di tangan masing-masing!
Kini Nirahai tidak lagi mengenakan kerudung muka sehingga Kwi Hong dapat memandang
wajahnya yang cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita! Berdebar
jantung Kwi Hong ketika dia mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik yang dahulu bertemu
dengan pamannya, wanita cantik yang kabarnya puteri kerajaan dan menjadi isteri
pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah
isteri pamannya!
Akan tetapi, Nirahai tidak lagi me-ngenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia
bertemu dengan gadis ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan
Suma Han, ke-adaan terlampau tegang sehingga dia tidak memperhatikan orang lain
sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini. Karena dara cantik yang memegang
sebatang pedang pusaka ampuh mengeri-kan itu berada di situ dan telah menye-rangnya,
sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah lari dari
dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang di antara kaki tangan Koksu yang
tangguh, maka dia segera menyerangnya.
"Trang-trang-cringggg....!"
Kembali dua orang wanita itu ter-huyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah
sedangkan Kwi Hong terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapapun juga, dara itu
masih belum mampu me-nandingi tenaga sin-kang yang dimiliki Nirahai, sungguhpun dia
telah memper-oleh kemajuan hebat semenjak menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga api
yang muncrat ketika tiga kali berturut-turut pedang Hok-mo-kiam bertemu dengan Li-mo-
kiam menyilaukan mata.
Kedatangan Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini,
agaknya Koksu dan Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan
Pangeran Yauw Ki Ong. Ketika Kwi Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak
buah Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan pasukan pemerintah yang jauh lebih
banyak jum-lahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, perang
itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya. Ketika dia menengok dan tidak
melihat Koksu dan para pembantu-nya, yaitu Thian Tok Lama dan para jagoan yang
berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Ke manakah mereka per-gi" Dia harus
mengusulkan kepada Koksu untuk melarikan diri saja sebelum ter-lambat. Dengan pikiran
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
645 ini, Kwi Hong membuka jalan darah dengan pedangnya, keluar dari kepungan dan menuju
ke markas, yaitu ke pondok Pangeran Yauw dan sekutunya. Kedatangannya tepat se-kali.
Dia melihat Koksu dan Thian Tok Lama bersama Pangeran Yauw, siap hendak melarikan
diri. "Ahhh, keadaan musuh terlampau ba-nyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri,
Lihiap," kata Koksu begi-tu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang Li-mo-kiam yang
berlepotan darah.
"Sebaiknya begitu," jawab Kwi Hong singkat.
"Akan tetapi, ke manakah kita akan lari" Apakah Nona mempunyai usul yang baik?" Koksu
memancing, padahal di da-lam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri ke.... Pulau Es, pulau
yang sudah kosong itu karena hanya di sanalah dia akan aman dari kejaran pemerintah.
Tempat itu merupakan tempat yang su-kar didatangi, dan hanya mereka yang tahu jalan saja
yang akan dapat menjadi penunjuk jalan saja. Kalau nona ini mau tentu akan dapat
membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu bahwa tempat itu sudah kosong, dan kalau
rombongannya dapat sampai ke tempat itu lebih dulu, berarti mereka akan memperoleh
sebuah tempat pertahanan yang kuat!
"Kalian larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau Es,"
jawab Kwi Hong. Tentu saja Koksu menjadi girang sekali. Akan tetapi dia cerdik dan cepat
dia menjawab, "Akan tetapi.... apakah To-cu pulau itu sudi menerima kami" Dan penghuninya....?"
"Pulau itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal di sana. Pula, kalau paman tahu bahwa
kalian melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Pa-man sendiri pun
seorang pelarian. Cepat pergilah....!"
Pada saat itu Nirahai datang, melon-cat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu
melihat seorang wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah dia
terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya sendiri, ibu dari
Milana! Tentu saja di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak mau
bermusuhan dengan isteri pamannya ini. Akan tetapi karena dia diserang terus dan karena
dia ingin memberi kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan Pangeran Yauw,
terpaksa dia melakukan perlawanan tanpa menge-luarkan kata-kata. Dia dapat menduga
bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal ini melegakan hatinya karena
kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia adalah keponakan Pendekar Super Sakti,
tentu akan menja-di marah sekali sedangkan dia sendiri pun tidak tahu harus bersikap
bagaimana terhadap wanita ini. Jelas bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah,
dan mungkin puteri ini yang memimpin pasukan pemeritah. Melihat kedudukan itu, wanita
cantik ini patut dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa wanita ini adalah isteri
pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan mela-wannya"
Betapa pun lihai Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek Siauw-jin
dan dengan pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan de-ngan Nirahai, dia menjadi
repot juga. Apalagi Nirahai menggunakan sebatang pedang pusaka yang amat hebat pula.
Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya pedang yang sanggup menandingi Sepa-sang
Pedang Iblis yang ganas. Andaikata Nirahai tidak memegang Hok-mo-kiam, agaknya wanita
perkasa ini masih akan repot sekali harus menandingi Kwi Hong yang memegang Li-mo-
kiam. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
646 Uutung bagi Kwi Hong bahwa dia ti-dak perlu terlalu lama menahan serangan yang bertubi-
tubi dan amat dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah cepat mengirim bala
bantuan beru-pa dua puluh orang lebih pengawal priba-di pangeran yang sudah menyerbu
dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Hong
untuk mencelat ke luar dari dalam pondok, meninggalkan Nirahai yang di-kepung dan
dikeroyok oleh para pengawal. Cepat dia berlari keluar dan bergabung dengan rombongan
Pangeran Yauw, dilindungi oleh pasukan dan melarikan diri ke timur menuju pantai, melalui
pegu-nungan dan jurang-jurang.
Sementara itu, pertandingan antara Gak Bun Beng melawan Maharya yang berlangsung
amat hebat itu masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari pinggir
sambil tersenyum-senyum. Kakek cebol yang sinting ini sekarang menganggur karena
pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan pemerintah yang pulih kembali semangat
mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu lagi kakek ini membantu
sehingga kini dia dapat me-nonton dengan enaknya, menonton per-tandingan antara
Maharya dan Gak Bun Beng.
"Ha-ha-ha, Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku, ha-ha-
ha!" Bu-tek Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya untuk membanggakan
dirinya. Padahal dia hanya mengajar selama tiga hari saja, itu pun hanya menurunkan inti
tenaga saktinya yang hanya merupakan sebagian dari gabungan sin-kangnya dengan sin-
kang Pendekar Super Sakti! Kalau melawan "muridnya" saja Maharya tidak mampu menang,
apalagi melawan dia yang men-jadi gurunya"
"Siauw-jin, asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku...."
"Heh-heh-heh, siapa sudi mengeroyok-mu?" Bu-tek Siauw-jin mengejek.
Inilah yang dikehendaki Maharya. Be-tapa pun sintingnya, ucapan dari seorang kakek sakti
seperti Bu-tek Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek sinting itu sudah
merupakan janji. Boleh jadi pemuda ini lihai, akan tetapi dengan hanya bertangan kosong
dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa dia tidak akan mampu mengalahkannya" Untuk
mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan hal ini sudah diketahuinya sejak, tadi karena
pemuda itu sama sekali tidak pernah mau beradu pandang mata dan pemuda itu memiliki
sin-kang yang amat kuat. Apalagi sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di situ,
tentu saja dia tidak dapat mengandalkan ilmu hitamnya.
Sebetulnya tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang
seperti Bu-tek Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti sinting ini,
kalah menang bu-kanlah apa-apa, dan dia sudah pasti tidak akan sudi turun tangan
membantu Bun Beng biarpun pemuda itu andaikata ter-ancam bahaya maut kalau
pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan per-tempuran yang adil dan pantas.
Kalau tadi dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah karena dia khawatir kalau-kalau
pemuda itu terjebak ke dalam perangkap Maharya yang banyak akalnya. Kalau pemuda itu
dikeroyok, tentu saja dia akan membelanya, juga kalau Maharya menggunakan ilmu sihir,
tentu dia akan berusaha menghalau kekuasaan dan pe-ngaruh ilmu hitam itu. Akan tetapi
da-lam sebuah pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa diminta pun dia tidak akan
mencampurinya. Bu-tek Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama
sekali bukan tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah siapa yang
menang dalam sebuah pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia merasa tegang karena
pertan-dingan itu memang hebat sekali, dahsyat dan seimbang.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
647 "Heeaaahhh!" Tiba-tiba Maharya yang sudah menjadi marah sekali karena mera-sa
penasaran, menubruk maju, tombak bulan sabit di tangan kanannya diputar seperti kitiran
angin dan menyambar ganas, sedangkan tangan kiri yang meme-gang tasbih sudah siap
pula mengirim serangan susulan. Berbeda dengan tadi, Maharya kini agaknya hendak
memperce-pat dan mengakhiri pertandingan karena melihat betapa pasukannya sudah
mundur dan banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap hati-hati, akan tetapi sekali
ini dia mengerahkan seluruh ke-pandaiannya untuk menyerang.
"Haiitt!" Bun Beng meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran
tombak bulan sabit, akan tetapi bukan semata-mata hendak menge-lak saja karena sambil
berjungkir-balik itu tangannya mencengkeram dan dia menggunakan gerakan cepat luar
biasa ini untuk menangkap batang tombak di dekat bulan sabit yang tajam itu. Mahar-ya
terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang yang memiliki banyak pengalam-an dalam
pertandingan melawan orang-orang pandai sehingga setiap keadaan yang bagaimanapun
juga, bahkan yang kelihatannya mengerikan, dapat dia man-faatkan sebaiknya demi
keuntungannya. Karena itu, dia sengaja tidak mau me-narik tombaknya untuk merampas
kemba-li senjata yang telah dipegang lawan ini, bahkan menggunakan kesempatan selagi
tubuh lawan masih di angkasa, tasbih di tangan kirinya menyambar dada!
Bun Beng sudah siap karena me-mang dia pun sudah menduga bah-wa lawannya tidak
akan berhenti di situ saja. Maka dia pun menggerakkan caping-nya untuk menangkis.
"Trakkkk!" Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu, kedua kaki Bun Beng sudah tiba
lagi di atas tanah. Akan tetapi di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu melepaskan
tombaknya dan berbalik merampas topi capingnya. Karena gerakan Maharya ini tidak
disangka sama sekali, dan ketika memegang tom-bak lawan dia mengerahkan tenaga,
tubuhnya agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah meluncur dan melibat lehernya!
Bun Beng mengerahkan tenaga. Le-hernya tercekik dan terdengar suara la-wannya tertawa.
Bun Beng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut, maka dengan
pengerahan tenaganya, dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke arah pusar
lawan. Maharya yang memegang caping rampas-an, menangkis sodokan gagang tombak
itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng karena tiba-tiba tombaknya ditarik
kembali dan kini bagi-an yang tajam berbentuk bulan sabit itu membabat ke atas, ke arah
tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.
"Cringgg.... rrrttt!" Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu, tasbih yang
membelit leher Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang diuntai itu jatuh berserakan.
"Wuuuttt.... brakkkk!"
Pada saat tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum
bahwa dia tidak dapat me-nyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap dia
menghantamkan caping rampasannya ke arah muka Bun Beng. Kakek pendeta ini
menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja
menggunakan tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan tasbih, melihat datangnya
caping dengan kecepatan kilat. Dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, terpaksa dia
menekuk kedua lututnya, memberi kesempatan kedua tangannya untuk menggerakkan
tombak yang diang-kat melintang dan menerima hantaman caping itu. Hebat bukan main
pertemuan antara caping dan tombak. Caping pecah dan tombak patah-patah, pundak Bun
Beng masih terpukul pecahan caping de-mikian kerasnya sehingga tubuhnya ter-guling ke
atas tanah. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
648 "Mampuslah!" Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng,
akan tetapi pemuda itu dengan sigapnya berhasil mengguling-kan tubuhnya sehingga enam
tujuh kali injakan kaki Maharya ke arah kepalanya yang merupakan serangan maut itu dapat
dihindarkannya. Karena serangan kaki secara bertubi-tubi itu tidak memberinya kesempatan
untuk membalas atau meloncat bangun, ketika untuk kesekian kalinya berguling, tangannya
menyambar tanah dan sambil berguling dia melontarkan tanah ke arah muka lawan. Biarpun
melontarkannya sambil bergulingan, na-mun tenaga sambitan ini hebat dan kalau tanah itu
mengenai muka, terutama mata akan hebat akibatnya bagi Maharya. Melihat datangnya
sinar hitam ini, ter-paksa Maharya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan
oleh Bun Beng untuk meloncat bangun. Pundaknya terasa nyeri, akan tetapi dia sudah siap
sehingga ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia menyambut dengan kedua
telapak tangan didorongkan ke depan.
Maharya sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia
sudah terkepung sendiri di situ oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga Bu-tek
Siauw-jin, hanya menonton. Namun kakek ini maklum bahwa dia telah terkepung dan sukar
untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalah-kan pemuda ini dan mengalahkan Bu-tek
Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat bangun dalam keadaan terluka pundaknya,
dia sudah mengirirn serangan-nya yang paling dahsyat dengan memu-kulkan kedua telapak
tangannya yang penuh dengan tenaga sin-kang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu
hitamnya. "Bresss!"
Bukan main hebatnya pertemuan te-naga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan
akibatnya, mulut Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng
terjengkang dan bergu-lingan! Maharya terkejut, maklum bahwa dia terluka parah, maka dia
berlaku ne-kat. Dengan suara melengking seperti iblis marah, dia menubruk tubuh Bun Beng
yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa, mengajak lawan mati bersama.
Akan tetapi dia tidak tahu sama sekali bahwa pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri
dan bergulingan untuk mengambil kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang diterimanya
dari kakek Bu-tek Siauw-jin, yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu melihat kakek itu menubruk,
dengan menekan bumi Bun Beng mengirim pukulan dari bawah, de-ngan telapak tangan
kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek itu.
"Desss....!" Terdengar pekik mengeri-kan ketika tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas,
terbanting ke atas ta-nah, berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut muntah-muntah
darah segar, kemudian mengejang dan tewas.
Bun Beng cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biarpun luka-nya tidak
hebat, namun pukulan dengan caping yang pecah mengenai pundaknya tadi menggetarkan
isi dadanya dan harus cepat disembuhkan dengan pengerahan sin-kang. Bu-tek Siauw-jin
menoleh kepa-da para perajurit pemerintah yang menonton, lalu membentak ke arah
mereka. "Hayo pergi kalian! Mau apa menon-ton" Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami
terpaksa ikut berperang. Sialan!"
Para perajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini dan
pemuda yang amat gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua orang itu tadi
bertempur memban-tu mereka, maka mereka tidak berani membantah dan segera
meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang masih mengejar-ngejar pasukan
pembe-rontak. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
649 Pasukan pemberontak telah dihancur-kan, sebagian kecil yang merupakan pa-sukan
khusus, pengawal-pengawal pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melari-kan diri dan
mengawal rombongan pange-ran itu, termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang telah
kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan dalam pelarian yang tergesa-gesa itu.
Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda.
Nirahai dan Lulu merasa penasaran sekali. Biarpun pasukan-pasukan pembe-rontak dapat
dihancurkan, markas mereka dibasmi dan dibakar, namun biang keladi pemberontak dapat
melarikan diri. Ketika mereka mendengar laporan tentang dua orang sakti yang membantu
pasukan ketika pasukan siluman Nepal dengan gajah-gajah mereka mengamuk, Nirahai
segera menduga bahwa mereka itu tentu-lah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng. Maka dia
mengajak Lulu untuk menda-tangi tempat itu. Ternyata benar dugaan-nya. Gak Bun Beng
masih duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin berdiri di dekatnya, tertawa-tawa ketika melihat
Nirahai. "Wah-wah, setelah kerudungnya dibu-ka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa
cantiknya!" kata kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia bicara dengan bekas
Ketua Thian-liong-pang, bahkan puteri Kaisar yang menjadi panglima besar.
"Bu-tek Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal
yang membantu pemberon-tak dapat dihancurkan," kata Nirahai, suaranya tenang saja. Dia
bukanlah seo-rang muda yang dapat panas hatinya oleh sikap kakek sinting ini, apalagi dia
sudah tahu akan watak kakek ini yang tidak lumrah manusia.
"Ha-ha-ha, engkau sendiri pernah me-nolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mandi. Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!"
Agak merah sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek sinting ini
pernah berdiri bertelan-jang bulat begitu saja di depannya tanpa malu-malu! Dia melirik ke
arah Bun Beng dan bertanya,
"Apakah dia terluka?"
Sebelum Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan
memberi hormat. "Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit. Sukur bahwa
Locianpwe telah berhasil menghancurkan musuh....?"Aihh, dialah orangnya yang dahulu
membantu Koksu di kapal ketika menye-rang Pulau Es!" Ucapan ini keluar dari mulut Lulu
ketika dia memandang mayat Maharya
Mendengar ini, Bu-tek Siauw-jin ter-tawa, "Ha-ha-ha, dia pula yang membas-mi Pulau
Neraka akan tetapi Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan
pulaunya!"
Lulu mengerutkan alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepa-sang matanya
yang lebar dan jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada kakek cebol itu. "Siapa
engkau?" Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya,
"Muridku inilah yang telah ber-hasil membunuhnya, maka engkau harus berterima kasih
kepadanya!"
Lulu melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut. "Bukankah engkau pemuda
yang dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerin-tah?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
650 Bun Beng memberi hormat dan me-mandang penuh heran, kaget dan kagum. "Dan kalau
saya tidak salah menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang da-hulu melepas bahan-
bahan ledak, kemudi-an mengacau di kapal Koksu.".
"Hemmm, agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, di mana-mana eng-kau hadir dan
bercannpur tangan!" Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran bukan main
bagaimana seorang pemuda seperti ini dapat membunuh Maharya yang demikian lihai!
"Sungguh aku heran sekali mengapa semua orang muda kauakui sebagai mu-ridmu, Bu-tek
Siauw-jin?" Nirahai berta-nya karena sudah mendengar dari puteri-nya bahwa Kwi Hong juga
diambil murid oleh Bu-tek Siauw-jin.
Sebelum kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadap-an dengan
kakek cebol itu. "Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?" Ketika Nirahai untuk pertama
kalinya menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhati-kan karena perhatiannya lebih
tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia mendengar nama itu dan kemarahan-nya
bangkit. "Dan mana yang satu lagi" Mana dia yang disebut Cui-beng Koai-ong?"
Bu-tek Siauw-jin tertawa. "Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami" Tentu
puteramu yang manja dan jahat itu yang memberi tahu!"
"Tua bangka sialan!" Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya menjadi marah
mendengar betapa puteranya dicela oleh kakek ini. "Kaukira aku takut kepadamu" Biarpun
engkau dan Cui-beng Koai-ong disebut tokoh-tokoh iblis dari Pulau Neraka, aku tidak takut!"
"Lulu, kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!" Nirahai memper-ingatkan Lulu,
akan tetapi setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja Lulu dibikin sabar.
Dia sudah me-nerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat
mengelak, akan tetapi angin pukulan masih membuat dia terhuyung dan sambil tertawa
kakek itu menjauhkan diri ber-gulingan lalu meloncat bangun.
"Eit-eit, sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya
engkau hanya tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah pewaris
kitab-kitab Pende-kar Sakti Suling Emas yang kami kagumi dan hormati, apakah aku akan
melarang suheng menghancurkan engkau" To-cu (Majikan Pulau) yang memiliki warisan
senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan), mengapa
tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?"
Lulu terbelalak. "Kau.... kau.... tahu akan itu semua?"
"Heh-heh, sehari setelah To-cu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang
To-cu bawa, karenanya aku bersikeras melarang suheng turun tangan karena To-cu adalah
ahli waris Suling Emas."
"Lulu!" Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang
dengan penuh selidik. "Jadi engkau yang mengambil benda-benda pu-saka itu" Jadi engkau
yang membunuh Kakek Gu Toan....?"
Lulu membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang di-alaminya. Di
bagian depan cerita ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mu-lai dengan perantauannya
bersama anak-nya yang masih kecil, Wan Keng In, dia tiba di kuburan keluarga Suling
Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan oleh Kakek Gu Toan dia
disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga Suling Emas. Dia telah
mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau memperguna-kannya karena ingin
menyemb Golok Halilintar 2 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Jodoh Si Mata Keranjang 2