Pencarian

Sepasang Pedang Iblis 6

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


ar kepalanya di saat itu, belum tentu Suma Han akan sekaget
ketika ia melihat wajah yang putih itu. Ia menarik kembali kedua tangannya, meloncat
mundur dengan kaki tunggalnya, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan bibirnya bergerak
me-manggil. "Lulu....!" Kaki tunggalnya menggigil sehingga ia jatuh berlutut memegang tongkatnya.
"Han-koko....!" Wanita bermuka putih yang bukan lain adalah Lulu itu menu-bruk maju dan
berlutut pula. "Lulu.... Moi-moi....!" Suma Han memandang wajah cantik yang kini menjadi putih warnanya,
memandang sepasang mata bintang yang bercucuran air mata. "Lulu Adikku...."
"Aku bukan adikmu Han-koko!"
"Ohhh...." Suma Han mengeluh, mereka saling pandang kemudian saling me-meluk,
berdekapan seolah-olah hendak menumpahkan semua rasa rindu yang selama ini
menyesak dada. Akan tetapi Suma Han segera dapat menguasai hatinya dan melepaskan
pelukan, memegang kedua pundak Lulu dan memandang wa-jah itu.
"Lulu-moi-moi.... jadi engkaukah To-cu Pulau Neraka" Ahhh.... Moi-moi, mengapa
begini....?"
"Karena engkau, Koko! Karena engkau kejam, engkau tega kepadaku!"
"Lulu, jangan berkata demikian. Engkau satu-satunya orang yang kusayang di dunia ini,
sejak dahulu sampai seka-rang. Mengapa engkau melarikan diri meninggalkan suamimu"
Tahukah engkau bahwa dia menjadi sengsara dan mem-bunuh diri dengan berjuang sampai
mati" Ahhh, Lulu....!"
"Aku tahu! Dan semua itu terjadi karena engkau, Koko. Engkau kejam dan tega kepadaku,
meninggalkan aku! Kita sama dibesarkan di Pulau Es, akan teta-pi engkau tinggal di sana
melupakan aku, padahal seharusnya kita berdua yang tinggal di sana. Engkau memaksa aku
menikah dengan orang yang tidak kucinta, engkau meninggalkan aku dengan hati remuk,
juga membuat hatiku han-cur, kebahagiaanku musnah. Butakah engkau, atau pura-pura
tidak tahu bahwa semenjak dahulu, hanya engkau satu-satunya pria yang kucita?"
"Ahh.... Lulu....!"
"Dan perasaanku meyakinkan bahwa engkau pun cinta kepadaku.... Tidak! Jangan katakan
bahwa cintamu adalah cinta saudara! Engkau menipu hati sen-diri dan sebaliknya daripada
menyambung cinta kasih antara kita menjadi perjodoh-an engkau malah memaksa aku
berjodoh dengan orang lain, sedangkan engkau sendiri rela pergi dengan hati hancur!
Engkau menghancurkan kebahagiaan hati kita berdua! Pura-pura tidak tahukah eng-kau
bahwa semenjak dahulu, sampai sekarang, ya, sampai saat ini, aku ha-nya akan bahagia
kalau menjadi iste-rimu! Koko Han Han, jawablah, engkau tentu ingin menerima aku sebagai
isterimu, bukan?"
Suma Han, Pendekar Super Sakti yang telah memiliki kekuatan batin luar biasa itu, kini
hampir pingsan. Cinta merupa-kan kekuatan yang maha hebat, yang mengalahkan segala
kekuatan di dunia ini. Jantungnya seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil dan
kedua matanya basah.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
139 "Lulu.... aku.... aku telah dijodohkan oleh Subo dengan Nirahai.... dan dia.... diapun
meninggalkan aku...."
Lulu meloncat berdiri dan melangkah mundur, sejenak dadanya berombak me-nahan
kemarahan yang timbul karena cemburu. "Hemmm.... dan engkau lebih mencinta Suci
Nirahai daripada aku?"
Suma Han juga bangkit berdiri dengan kaki lemas. Dia memandang wajah Lulu kemudian
menghela napas dan menunduk, "Lulu.... aku.... aku...., ahh, bagaimana aku harus
menjawab" Semenjak dahulu aku cinta padamu, cinta lahir baiin, dengan seluruh jiwa
ragaku. Akan tetapi engkau adikku, maka aku mengalah. Ke-mudian, Subo menjodohkan
aku dengan Nirahai, dan dia.... dia mirip denganmu. Karena sudah menjadi isteriku,
bagaima-na aku tidak mencinta dia" Akan tetapi engkau.... ahhhh, aku mencinta kalian
berdua, Lulu.... sungguhpun cintaku terha-dapmu tiada bandingnya di dunia ini.... akan tetapi
engkau.... ah, engkau adalah isteri Sin Kiat dan...."
"Han-koko! Engkau masih lemah se-perti dulu! Ahhhh, pria mulia yang bo-doh! Pria gagah
perkasa yang lemah! Selalu mengalah, membiarkan diri sendiri merana, berniat
membahagiakan orang dengan pengorbanan diri akan tetapi ma-lah menimbulkan
kesengsaraan kepada semua orang! Aku mencintamu, Koko, akan tetapi aku adalah
seorang wanita! Aku tidak sudi lagi bertekuk lutut dan meminta-minta! Tidak, lebih baik mati!
Aku sudah bersumpah untuk memilih dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isteri-mu atau
menjadi musuhmu! Tidak ada pilihan lain!"
"Lulu.... Lulu....!" Suma Han menge-luh, hatinya bingung bukan main.
"Ibu....!"
"Paman....!"
Keng In dan Kwi Hong berlari-lari keluar dari istana hitam. Keng In meng-hampiri ibunya dan
Kwi Hong mengham-piri pamannya. Kehadiran kedua orang anak ini mengembalikan
kesadaran dan ketenangan Suma Han dan Lulu. Suma Han memandang keponakan atau
murid-nya itu, menegur,
"Bagus sekali perbuatanmu, ya!"
Kwi Hong berlutut di depan paman-nya dan berkata penuh rasa takut, "Pa-man.... aku
tadinya sudah akan pulang, akan tetapi ditangkap Bibi ini. Harap Paman maafkan aku dan
memberi hajar-an kepadanya!"
"Ibu, apakah dia ini To-cu Pulau Es, Pendekar Siluman" Mengapa Ibu tidak menghajarnya?"
Keng In bertanya kepa-da ibunya.
Lulu tidak menjawab, hanya meraba kepala anaknya dan pandang matanya tidak pernah
lepas dari wajah Suma Han. Suma Han menghela napas dan berkata kepada Kwi Hong.
"Berdirilah, mari kita pulang." Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi memanggil
burung ga-ruda. Tak lama kemudian, tampaklah dua ekor burung itu terbang dengan ce-pat
ke tempat itu lalu meluncur turun di depan Suma Han.
"Lulu, aku pergi...."
Lulu tidak menjawab, hanya meng-angguk, sinar matanya membuat Suma Han tidak kuat
memandang lebih lama lagi. Ia menghela napas lagi, meloncat ke punggung garuda jantan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
140 sedangkan Kwi Hong meloncat ke punggung garuda betina, kemudian dua ekor burung itu
terbang cepat meninggalkan pulau, di-ikuti pandang mata Lulu dan Keng In.
"Ibu, mengapa membiarkan mereka pergi?"
Lulu menunduk, tidak menjawab, ha-tinya tertusuk oleh pertanyaan itu. Mengapa dia
membiarkan Suma Han per-gi" Membiarkan harapan dan kebahagia-annya terbawa pergi
bersama orang yang dicintanya itu"
"Toanio, mengapa Pendekar Siluman dibiarkan pergi?" Tiba-tiba seorang di antara empat
kakek bermuka kuning bertanya. Kiranya empat orang itu kini te-lah siuman dari pingsannya
dan melihat Suma Han bersama Kwi Hong naik dua ekor burung garuda yang terbang pergi
dari tempat itu.
Lulu memandang mereka. "Dia datang seorang diri, apa baiknya kalau kita me-ngalahkan
dia dengan pengeroyokan di tempat kita sendiri" Alangkah rendah dan memalukan. Lain kali
masih banyak waktu untuk kuhancurkan dia. Dia itu musuhku! Musuhku....!" Akan tetapi Lulu
cepat membalikkan tubuh, menggandeng tangan Keng In dan berjalan memasuki istananya.
Setelah ia berada seorang diri kamarnya, Ketua Pulau Neraka ini me-lempar diri di atas
pembaringan, mene-lungkup dan menyembunyikan mukanya yang menangis itu di atas
bantal. "Koko.... ahhhh, Han-koko.... engkau masih lemah seperti dulu....! Kalau eng-kau tidak mau
berkeras memperisteri aku, biarlah aku mati di tanganmu.... kau tunggu saja....!"
Mengapa Lulu tiba-tiba menjadi ma-jikan Pulau Neraka" Agar tidak membingungkan,
sebaiknya kita mengikuti perjalanannya semenjak dia lari pergi meninggalkan suaminya,
Wan Sin Kiat atau yang terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap (Pendekar Budiman dari
Hoa-san). Semenjak Lulu melangsungkan pernikahannya dengan Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat,
kemudian ditinggal pergi oleh Suma Han, dia mengantar kepergian Su-ma Han dengan ratap
tangis dan mera-sa betapa semangatnya dan seluruh keba-hagiaan hatinya terbawa pergi
oleh ka-kak angkatnya itu (baca ceritaPende-kar Super Sakti). Semenjak itu, dia hi-dup
menderita kesengsaraan batin dan barulah ia sadar bahwa sesungguhnya hanya kakak
angkatnya itu pria yang dicintanya dan betapa dia telah melaku-kan kesalahan yang besar
dalam hidupnya dengan menerima dijodohkan dengan Wan Sin Kiat. Dia suka kepada Sin
Kiat dan kagum akan kegagahan pemuda yang menjadi suaminya ini, akan tetapi dia tidak
dapat mencintanya sebagai seorang isteri mencinta suami karena kini dia merasa yakin
bahwa dia hanya dapat mencinta Suma Han seorang yang tak mungkin diganti dengan pria
lain. Akan tetapi, karena dia sudah dinikahkan de-ngan Sin Kiat, sudah bersumpah di depan
meja sembahyang, Lulu memaksa hatinya mempergunakan kebijaksanaan dan ber-usaha
untuk mencinta suaminya, melaya-ninya sebagaimana kewajiban seorang isteri yang baik.
Namun, sampai dia me-lahirkan seorang anak, tetap saja dia tidak dapat mencinta Sin Kiat,
tidak dapat melupakan Suma Han, bahkan ma-kin berat penderitaan batinnya yang menjerit-
jerit ingin dekat dengan pria yang dicintanya itu. Suaminya juga mak-lum dan merasa akan
keadaan isterinya itu, dan akhirnya, karena tidak kuat la-gi, Lulu membawa anaknya pergi
me-ninggalkan suaminya.
Dengan niat hati hendak mencari Suma Han yang dia duga tentu kembali ke Pulau Es, dia
melakukan perjalanan yang jauh dan sukar ke utara. Akan te-tapi Lulu sekarang tidak seperti
dahulu ketika masih kanak-kanak bersama Han Han (Suma Han) melakukan perjalanan, kini
setelah menjadi murid Maya, ilmu kepandaiannya hebat dan dia dapat me-lakukan
perjalanan cepat.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
141 Betapapun juga, tidak ada orang lain yang tahu di mana letaknya Pulau Es. Maka Lulu yang
tidak bertanya kepada orang lain, hanya melanjutkan perjalanannya dengan mengira-ira
saja, sambil mengingat-ingat perjalanannya dahulu ketika meninggalkan Pulau Es bersama
Suma Han. Banyak daerah yang sudah ia lupakan, maka di luar tahunya, dia tersesat
sampai memasuki daerah Khitan! Pada suatu pagi, dia melihat se-buah tanah kuburan yang
luas, tanah ku-buran yang megah dan terawat baik. Dia tidak tahu bahwa tanah kuburan itu
adalah tanah kuburan keluarga Suling Emas! Baru dia tahu ketika melihat seorang ka-kek
bongkok yang lihai bertanding mela-wan seorang tinggi besar kurus berkulit hitam memakai
sorban. Ia teringat akan penuturan sucinya, Puteri Nirahai, tentang penjaga kuburan
keluarga Suling Emas yang lihai dan bongkok benama Gu Toan. Kini melihat kakek bongkok
itu dan keadaan tanah kuburan, ia sege-ra menduga bahwa tentu inilah kuburan keluarga
Suling Emas yang terkenal. Ia segera merasa berpihak kepada kakek bongkok. Setelah
menggendong Keng In erat-erat di punggungnya, Lulu menca-but pedangnya dan meloncat
ke gelang-gang pertempuran sambil berseru,
"Apakah Locianpwe yang bernama Gu Toan?"
Kakek bongkok itu sedang didesak he-bat oleh orang India tinggi kurus yang amat lihai,
namun dia masih sempat bertanya tanpa menoleh. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Suci Nirahai yang menceritakan. Aku adalah sumoinya, murid Subo Maya."
"Ahhh.... kebetulan sekali! Cepat kau pergi menyelamatkan pusaka-pusaka dan pergi dari
sini. Bawa pusaka-pusaka itu."
Lulu tertegun dan bingung. "Pusaka apa....?"
"Dessss!" Tubuh Gu Toan terguling--guling karena dia terkena pukulan di pundaknya oleh
tangan kakek India yang lihai. Akan tetapi ia meloncat bangun lagi dan mulutnya
menyemburkan darah segar.
Melihat ini, Lulu menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi orang India itu mendorongkan
tangan kiri ke depan dan Lulu terhuyung-huyung!
"Jangan bantu aku! Lekas kaubuka batu di belakang kuburan Suling Emas, ambil semua
pusaka dan bawa pergi. Cepat....!" Kakek Gu Toan kembali ber-kata dan menerjang orang
India itu de-ngan nekat. Kakek itu mempergunakan bahasa selatan yang dimengerti oleh
Lulu, akan tetapi agaknya tidak dime-ngerti oleh kakek India itu yang menja-di marah dan
mengamuk dengan kaki tangannya yang panjang-panjang.
Maklum bahwa menyelamatkan pusaka agaknya lebih penting daripada nya-wa kakek
bongkok itu, apalagi teringat bahwa pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas adalah pusaka
yang diperebutkan semua orang kang-ouw, Lulu cepat me-loncat dan meneliti batu nisan
kuburan satu demi satu. Akan tetapi tidak sukar dan tidak lama dia mencari karena batu
nisan kuburan Suling Emas adalah yang terbesar dan berada di tengah-tengah. Cepat dia
menyelinap di belakang nisan atau gundukan tanah kuburan dan dengan tenaga sin-kang
dia mendorong batu besar yang berada di situ. Batu tergeser dan di bawahnya terdapat
sebuah lubang. Cepat diraihnya sebuah peti kuning yang berada di situ dan dikempitnya.
Ketika ia meloncat bangun, ia melihat Si Bong-kok kembali terhuyung-huyung terkena
pukulan lawannya yang lihai. Dia ingin membantu akan tetapi Si Bongkok ber-seru.
"Lekas pergi! Lekas lari.... pusaka itu menjadi milikmu....!"
Mendengar ini dan karena kalau dia melawan dia mengkhawatirkan kesela-matan anak di
gendongannya, Lulu lalu meloncat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Beberapa
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
142 hari kemudian ketika ia membuka peti kuning, ia men-dapatkan kitab-kitab pelajaran ilmu
silat tinggi, yaitu ilmu-ilmu yang dipelajari Suling Emas dari Bu Kek Siansu dan telah ditulis
sebagai kitab oleh Suling Emas. Ilmu silat Kim-kong-sin-hoat, Hong-in-bun-hoat, Pat-sian-
kiam-hoat dan Lo-hai-san-hoat. Selain empat buah ki-tab ilmu silat tinggi ini, terdapat pula
sebuah kipas, kipas pusaka milik mendi-ang Suling Emas! Lulu teringat bahwa pusaka
Suling Emas dahulu dipinjam oleh Nirahai. Dia menjadi girang sekali dan sambil melanjutkan
perjalanannya menca-ri Pulau Es yang ternyata tersesat ke Khitan, mulailah ia mempelajari
ilmu--ilmu itu. Karena dia telah menerima gemblengan ilmu-ilmu yang tinggi dan pada
dasarnya dia memiliki sin-kang luar biasa dari latihan-latihan di Pulau Es, maka ilmu-ilmu itu
cepat dapat dikuasai-nya.
Akhirnya, setelah melakukan perjalan-an berbulan-bulan menempuh segala ma-cam
kesukaran, tibalah dia di tepi laut yang ia ingat menjadi tempat dia dan Suma Han mendarat
dahulu ketika mere-ka meninggalkan Pulau Es (Baca ceritaPendekar Super Sakti). Tempat
itu su-nyi sekali, tidak ada manusia dan tentu saja tidak tampak nelayan, maka dengan tekun
dan sabar Lulu membuat sebuah perahu dari batang pohon. Biarpun dia memiliki tenaga
yang hebat, namun se-bagai seorang wanita yang tidak pernah melakukan pekerjaan berat,
tentu saja pembuatan perahu ini memakan waktu berbulan-bulan. Dengan nekat ia lalu
me-luncurkan perahunya ke tengah lautan dan hanya mengandalkan dayung dan kedua
tangannya untuk mendayung perahu, pergi mencari Pulau Es, atau lebih te-pat lagi, pergi
mencari Suma Han, laki--laki yang dicintanya. Tekadnya, kalau tidak dapat mencari Suma
Han dan hidup di samping pria ini, lebih baik mati saja!
Dalam pelayaran dengan perahu yang tidak memenuhi syarat ini, ditambah
ke-tidakmampuan mengemudikan perahu, pelayaran ini merupakan penderitaan hebat bagi
Lulu dan anaknya, jauh lebih hebat daripada ketika dia melakukan perjalanan darat.
Beberapa kali badai dan taufan mengancam nyawa, mengombang--ambingkan perahu
hampir tenggelam. Dalam keadaan seperti itu, Lulu hanya dapat menangis, mendekap
puteranya dan menyebut-nyebut nama Suma Han, seolah-olah dia minta pertolongan dari
orang yang dicintanya itu. Sungguh ajaib sekali, kalau Tuhan belum menghendaki dia mati,
biarpun badai seperti itu, Lulu dan puteranya tetap selamat!
Karena serangan badai dan ombak Lulu menjadi bingung, tidak tahu di mana arah
tujuannya, dan tidak tahu di mana adanya Pulau Es! Jangankan itu, bahkan dia tidak tahu
lagi di mana letaknya daratan yang sudah tidak tampak lagi dari tengah lautan. Dia tidak
takut ke-laparan karena dengan kepandaiannya, mudah saja baginya untuk menangkap ikan
dan memanggang dagingnya, minuman pun tidak kurang karena kini selain air hujan, ia
dapat pula minum dari gumpal-an es yang kadang-kadang terdapat di atas permukaan air
laut. Hanya mengha-dapi amukan badai, dia benar-benar ti-dak berdaya dan hanya mampu
menangis, menyebut-nyebut nama Suma Han.
Pada suatu pagi, tiba-tiba dia mende-ngar suara melengking di atas perahu dan betapa
kagetnya ketika ia melihat seekor burung rajawali yang besar sekali beterbangan di atas
perahu sambil me-ngeluarkan suara melengking-lengking panjang. Tiba-tiba burung itu
menyam-bar ke bawah, agaknya hendak mener-kam Keng In yang berada di atas papan
perahu. "Prakkk!" Dayung di tangan Lulu han-cur, akan tetapi burung itu pun terpen-tal dan terbang
ke atas sambil meme-kik marah.
"Keparat jahanam! Burung sialan! Kupatahkan batang lehermu. Hayo turun kalau kau
berani!" Lulu marah sekali dan menantang-nantang sambil memaki--maki. Dia menyambar
Keng In, teringat akan peti terisi pusaka-pusaka, maka anak dan peti itu dia ikat kuat-kuat di
punggungnya, tangannya mencabut pe-dang, siap menghadapi burung rajawali yang
agaknya masih penasaran dan beterbangan mengelilingi atas perahu kecil.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
143 Burung rajawali itu kembali menyambar, kini menyerang Lulu yang telah menyakitinya. Lulu
mengayun pedangnya membabat ke arah kaki burung itu. Akan tetapi, sungguh tidak
disangkanya bahwa burung itu ternyata kuat dan juga pan-dai sekali bertempur, karena
kuku-kuku jari kakinya diulur seperti pisau-pisau runcing menangkis sambil mencengkeram.
"Crakkkk.... aihhh!" Lulu menjerit dan meloncat ke belakang. Kuku jari kaki kiri burung itu
patah terbabat pedang, akan tetapi cengkeraman kaki kanannya berhasil merampas pedang
dan melukai sedikit lengan tangan Lulu! Sambil ter-bang berputaran, burung itu memekik-
-mekik kesakitan dan juga saking marah-nya pedang rampasan dilepaskan dan jatuh ke
dalam laut, kemudian ia siap untuk menyerang lagi.
Biarpun marah sekali, Lulu tidak kehilangan ketenangannya dan ia berlaku cerdik.
Dilolosnya sabuk sutera dari ping-gang dan begitu burung itu menyambar turun, Lulu
menggerakkan sabuknya yang meluncur ke atas merupakan sinar putih, ujung sabuk
dengan tepat melibat leher burung dan ia meloncat ke atas menga-yun dirinya dengan sabuk
itu. Di lain sa-at, Lulu telah duduk di atas punggung rajawali, menarik sabuknya kuat-kuat
se-hingga leher burung itu tercekik!
"Menyerahlah! Kalau tidak, biar kita mati bersama. Kucekik lehermu sampai patah!" Lulu
membentak keras, tangan kirinya mencengkeram bulu leher, se-dangkan tangan kanannya
menarik ujung sabuk yang telah melibat leher burung. Burung itu meronta-ronta, berusaha
memutar kepala untuk mematuk orang yang menduduki punggungnya, namun Lulu lebih
cepat lagi menghantam kepala bu-rung itu dengan telapak tangan kiri. Se-telah burung itu


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

megap-megap hampir kehabisan napas, Lulu mengendurkan ce-kikannya dan kembali
membentak. "Hayo terbang baik-baik kalau tidak ingin mampus!"
Setelah beberapa kali dicekik dan dipukul kepalanya, binatang itu agaknya merasa bahwa
dia telah bertemu mah-luk yang lebih kuat, maka sambil menge-luh panjang ia tidak meronta
lagi, melainkan terbang dengan lurus dan cepat menuju ke utara. Lulu girang bukan main.
Kalau burung ini sudah menyerah, tentu saja lebih mudah mencari Pulau Es dengan
menunggang burung raksasa ini daripada naik perahu kecil yang sela-lu dilanda ombak!
"Eh, Tiauw-ko (Kakak Rajawali) yang baik! Kita sekarang bersahabat. Tolong-lah
terbangkan aku ke Pulau Es. Pulau Es, kau tahu?"
Akan tetapi burung bukan manusia, mana dapat diajak bicara" Kalau dia mengalami
kesukaran dan kekagetan, tempat pertama yang akan didatangi adalah sarangnya, maka
biarpun kini dia tidak berani lagi membantah atau melawan penunggangnya, otomatis dia
terbang secepatnya menuju ke sarangnya, yaitu di Pulau Neraka!
Pada waktu itu, Pulau Neraka merupakan tempat yang asing dan tidak dikenal orang. Para
penghuninya, biarpun memiliki ilmu kepandaian yang lihai namun merupakan keturunan
orang-orang buangan yang selamanya mengasingkan diri di tempat ini. Pemimpin mereka
adalah orang-orang yang memiliki kepandaian paling tinggi, dan pada waktu itu, yang
menjadi pimpinan adalah enam orang bermuka kuning yang ilmunya tinggi sekali. Seorang di
antara mereka yang paling tua menjadi pemimpin pertama sedangkan lima orang lain
menjadi pem-bantu-pembantunya. Karena hidup ter-asing, keadaan mereka lebih
menyerupai kehidupan orang-orang yang masih biadab, pakaian yang menutupi tubuh hanya
ter-buat daripada kulit-kulit binatang atau kulit pohon. Namun mereka rata-rata memiliki ilmu
silat tinggi, bahkan banyak di antara mereka yang turun-temurun mempelajari huruf-huruf
sehingga pada waktu itu mereka mengenal huruf-huruf yang kuno yang dipergunakan
ratusan ta-hun yang lalu dan yang sekarang mengalami banyak perubahan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
144 Ketika Lulu melihat burung yang di-tungganginya itu terbang di atas sebuah pulau hitam
yang kelihatan dari atas mengerikan, dia berkata, "Tiauw-ko, itu bukan Pulau Es! Pulau Es
kelihatan putih bersih, tidak seperti ini. Kau ke-liru memilih tempat!"
Akan tetapi rajawali yang tidak me-ngerti kata-kata ini, tetap saja terbang merendah dan
tiba-tiba Lulu melihat gerakan orang-orang di atas pulau, juga dia melihat bangunan-
bangunan aneh. Melihat di bawah ada orang, dia girang sekali. Mungkin sekali penghuni
pulau di bawah ini akan dapat memberi kete-rangan tentang Pulau Es, dan siapa tahu kalau-
kalau Pulau Es sudah dekat dan dia dapat minta mereka mengantar de-ngan perahu.
Menunggang rajawali yang tidak mengerti perintahnya ini pun amat berbahaya!
"Turunlah! Turun ke tempat orang--orang itu!" Lulu menepuk-nepuk leher rajawali dan
burung itu menukik turun dengan amat cepatnya sehingga Lulu cepat merangkul lehernya.
Anaknya mu-lai menangis.
"Diamlah, Nak. Diamlah, kita turun dan bertemu dengan orang-orang...." Lulu menghibur
dan menepuk-nepuk paha anaknya yang ia gendong di punggung.
Akan tetapi betapa kaget dan heran-nya ketika burung rajawali sudah ter-bang rendah, ia
melihat betapa kulit tubuh dan muka orang-orang di bawah itu bermacam-macam warnanya,
tidak lumrah manusia karena ada yang hitam, merah, hijau, biru dan kuning! Akan tetapi
karena burung itu sudah hinggap di atas tanah, ia lalu melompat turun de-ngan gerakan
ringan dan dalam keadaan siap waspada. Burung rajawali yang merasa punggungnya tidak
ditunggangi lagi, memekik girang lalu terbang ke atas membubung tinggi, masih memekik-
mekik. Orang-orang yang aneh itu mengha-dapi Lulu dan memandang penuh perha-tian. Enam
orang kakek yang bermuka kuning melangkah maju dan seorang di antara mereka yang
usianya sudah tujuh puluh tahun lebih berkata, suaranya ka-ku dan aneh, akan tetapi Lulu
masih dapat menangkap artinya.
"Toanio siapakah" Apakah seorang buangan baru dari Pulau Es?"
Kini Lulu yang terbelalak keheranan. "Orang buangan dari Pulau Es" Apa mak-sudmu" Aku
justeru mencari Pulau Es. Tahukah kalian di mana pulau itu?"
"Kami tidak tahu dan mau apa eng-kau mencari Pulau Es?"
"Aku mau mencari sahabatku di sana!"
"Sahabatnya di Pulau Es!" Orang-orang itu berteriak dan sikap mereka berubah, kini
memandang Lulu dengan geram. Hal ini mengejutkan hati Lulu. Celaka, agaknya mereka ini
adalah orang-orang yang membenci Pulau Es, entah apa se-babnya. Melihat mereka sudah
siap-siap dengan mencabut bermacam senjata, Lulu cepat bertanya,
"Kalian siapakah" Dan pulau apakah ini?"
Kakek itu menjawab, "Kami adalah keturunan orang-orang buangan dari Pu-lau Es. Pulau
ini adalah Pulau Neraka. Kami mendendam kepada Pulau Es, dan sekali waktu, pasti kami
akan menyerbu dan membasmi musuh-musuh kami di Pulau Es!"
Hati Lulu makin terkejut, akan tetapi dia mempunyai pikiran yang baik. Han Han (Suma Han)
telah bersikap kejam dan tega kepadanya. Biarpun dia me-rasa yakin bahwa kakak
angkatnya itu pun mencintainya, namun telah tega mengawinkan dia dengan orang lain!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
145 Se-karang setelah ia melarikan diri dari sua-minya, mengingat akan watak kakak ang-katnya
itu, tentu dia akan dimarahi dan belum tentu kakak angkat itu mau me-nerimanya. Akan
tetapi kalau dia dapat menguasai orang-orang ini! Dia kelak akan dapat memperlihatkan
bahwa dia pun bukan orang sembarangan, dan dia akan menginsafkan kakak angkatnya itu!
Apalagi karena sekarang dia telah menjadi pewaris pusaka-pusaka peninggal-an Suling
Emas. "Bagus!" tiba-tiba Lulu berkata kepada kakek itu. "Kalau begitu, biarlah aku akan memimpin
kalian untuk me-nyerbu Pulau Es!"
Terdengar suara ketawa di sana-sini, dan kakek itu berkata, "Engkau katakan tadi bahwa
engkau hendak mencari saha-batmu di Pulau Es?"
"Benar, akan tetapi dia telah menyakiti hatiku. Bagaimana pendapat kalian" Aku akan
memimpin kalian, mengajari ilmu dan mengatur agar kalian menjadi orang pandai dan
beradab, tidak seperti sekarang ini!"
"Perempuan muda, bicaramu tekebur sekali! Engkau anggap kami ini orang apa mudah saja
mengangkat seorang pemimpin seperti engkau" Biarpun engkau da-tang secara aneh
menunggang rajawali liar, akan tetapi tentang kepandaian, hemm.... agaknya melawan
orang tingkat terendah dari kami saja belum tentu engkau menang!"
Semenjak gadis muda, Lulu memiliki watak keras, berani dan tinggi hati. Kini mendengar
kata-kata itu, naik darahnya. "Siapa yang paling tinggi tingkatnya di sini?"
Kakek bermuka kuning itu tertawa.
"Aku!"
"Baik. Kalau begitu aku akan mengalahkan engkau, dan kalau kau kalah, apa-kah aku
cukup berharga menjadi ketua di sini?"
Kembali terdengar suara ketawa di sana sini yang memanaskan perut Lulu. Kakek itu
mengelus jenggotnya dan ber-kata, "Perempuan muda, engkau sungguh lancang. Akan
tetapi begitulah, siapa yang paling pandai di sini dia diangkat menjadi pemimpin. Aku orang
pertama di sini, kalau engkau bisa mengalahkan aku, tentu saja engkau patut menjadi
pemimpin."
"Bagus! Kalau begitu, kautunggu se-bentar!" Lulu lalu menurunkan peti dan anaknya. Keng
In, anaknya yang baru berusia setahun lebih itu menangis kare-na lapar, maka dia lalu
menyusui anak-nya, ditonton oleh semua orang yang berada di situ dengan heran.
Kebiasaan di situ, tidak ada anak yang disusui ka-rena Sang Ibu yang sudah berubah warna
kulitnya berarti telah mempunyai darah yang beracun sehingga anak-anak diberi makanan
buah-buahan sejak kecil, dan diberi bahan makanan lain.
Setelah menyusui anaknya yang lan-tas tertidur saking lelahnya, Lulu melon-cat bangun
dan menggulung lengan baju-nya, menghadapi kakek itu. Dia teringat pedangnya yang
sudah jatuh ke laut, maka dia bertanya,
"Engkau hendak bertanding dengan senjata apa?"
"Perempuan muda, senjataku adalah ranting ini, akan tetapi karena engkau tidak
bersenjata, biarlah kuhadapi eng-kau dengan tangan kosong pula. Bahkan kalau engkau
bersenjata pun, aku sang-gup menghadapimu dengan tangan ko-song!" Setelah berkata
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
146 demikian, kakek muka kuning itu lalu menancapkan ran-tingnya di atas tanah, kemudian
kakinya yang telanjang itu melangkah maju menghampiri Lulu.
"Bagus, kiranya engkau masih memiliki sikap gagah. Nah, maju dan serang-lah!" Biarpun
Lulu mempergunakan kata--kata dan sikap sombong, namun sebenarnya dia cerdik dan
diam-diam dia waspa-da karena dia dapat menduga bahwa orang-orang aneh ini tentu
memiliki kepandaian yang aneh pula.
"Perempuan muda, jaga seranganku!" Kakek itu lalu melangkah maju, tangan kirinya
menyambar. "Wuuuuttt!" Angin keras menyambar ke arah kepala Lulu sehingga dia kaget karena tepat
seperti telah diduganya, orang ini memiliki tenaga sin-kang yang hebat. Namun dia tidak
gentar dan dengan mudah ia mengelak dengan loncatan ringan kemudian dari samping
kakinya menendang ke arah lambung lawan."Plakk!" Kakek itu menangkis dan dia berseru
kaget. Sama sekali tidak di-sangkanya bahwa perempuan muda itu memiliki tendangan yang
demikian he-bat sehingga tangkisannya yang dapat mematahkan balok itu ketika mengenai
kaki, terasa nyeri sedangkan wanita itu terhuyung pun tidak! Tahulah dia bahwa wanita itu
tidak bersombong kosong, maka mulai dia menerjang bagaikan angin ribut, cepat dan kuat
setiap pukulannya. Lulu merasa girang. Tangkisan tadi sengaja dia terima dengan kaki untuk
mengukur tenaga dan biarpun kakinya juga terasa nyeri, namun dia tahu bah-wa sin-
kangnya yang dilatih di Pulau Es dahulu tidak takut menandingi tenaga ka-kek ini. Maka dia
pun kini melawan de-ngan pengerahan tenaga, bahkan dia mu-lai mainkan ilmu-ilmu silat
baru yang ia pelajari dari kitab peninggalan Suling Emas. Berkali-kali kakek itu berseru kaget
dan heran ketika mengenal ilmu si-lat yang dasarnya sama dengan ilmunya sendiri, hanya
dia tidak mengenal perubahan-perubahannya yang jauh lebih he-bat daripada
kepandaiannya. Ketika Lulu mencoba untuk mainkan Kim-kong Sin-kun, dia masih mampu
menahan, akan tetapi ketika Lulu merobah ilmunya dan mencoba mainkan Hong-in-bun-
hoat, ka-kek itu berseru kaget dan terdesak hebat.
Dia hanya melihat wanita muda itu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang
menulis huruf-huruf indah di udara, akan tetapi daya serangan kedua tangan itu luar biasa
sekali, dan kuat-nya bukan main sehingga angin pukulan-nya saja membuat dia tergetar.
Memang demikianlah sifat Hong-in-bun-hoat (Silat Sastera Angin dan Awan), yang dapat
dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan pedang. Ilmu ini mendasarkan
pergerakan dengan menulis huruf-huruf dan seperti menjadi sifat huruf-huruf itu, coretannya
sesuai dengan makna hurufnya seperti lukisan, akan tetapi kalau coretan-coretan itu
dilakukan sebagai gerakan menyerang, hebatnya bukan ma-in!
Setelah mempertahankan diri sampai seratus jurus, sebuah "coretan" tak ter-sangka-sangka
dengan jari tangan kiri Lulu berhasil memasuki pertahanan Si Kakek dan jari-jari yang lembut
itu me-ngenai pangkal lengan.
"Cusss!"
"Aduhhh....!" Kakek itu terhuyung--huyung ke belakang dan dari pangkal lengannya keluar
darah. Baju kulit hari-mau beserta kulit dan daging pangkal lengan itu terkuak oleh jari
tangan Lulu! "Toanio, tidak kusangka ilmu kepan-daianmu hebat bukan main! Akan tetapi aku belum
kalah! Hadapi rantingku ini!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan gesit sekali kakek
yang sudah terlu-ka itu menyambar rantingnya lalu me-nerjang maju.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
147 "Cuittt.... tar-tar-tar....!" Senjata yang hanya merupakan ranting kayu itu ternyata lemas
sekali seperti ujung pecut yang dapat meledak-ledak dan mengan-cam kepala Lulu dari
empat penjuru! Kalau saja Lulu tahu bahwa sekali terke-na ujung ranting itu dia akan menderita luka berbisa
yang berbahaya, tentu dia akan menjadi gugup dan mendatangkan bahaya. Untung dia tidak
tahu sehingga dia dapat bersikap tenang, mengelak ke sana sini sambil berusaha merampas
ran-ting! Akan tetapi tiba-tiba ranting itu menjadi kaku seperti baja dan langsung dipergunakan untuk
menusuk perutnya. Lulu mengelak dengan loncatan ke kiri, dan ranting itu sudah meledak
lagi ber-ubah lemas menyambarnya seperti lecut-an cambuk. Diserang secara aneh oleh
senjata yang dapat lemas dan berubah kaku ini, Lulu menjadi sibuk sekali. Un-tung bahwa
dia pernah digembleng oleh Maya dalam hal ilmu meringankan tubuh yang luar biasa
sehingga kini tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata istimewa lawan itu.
Para penghuni Pulau Neraka yang tadinya memandang rendah kepada Lulu, kini menjadi
bengong dan terbelalak kagum. Biarpun wanita itu terdesak, namun jelas tampak oleh
mereka betapa wanita itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali dan lebih tinggi
ting-katnya daripada kakek yang menjadi ke-tua mereka!
Payah juga Lulu menghindarkan diri dari desakan kakek itu. Ia menjadi pena-saran dan
marah karena sama sekali ti-dak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Tubuhnya
terus dikejar ujung ranting yang menghalangi dia melakukan serangan. Sayang dia tidak
mempunyai senjata. Tiba-tiba ia teringat. Di dalam peti kuning terdapat sebuah senjata kipas
peninggalan Suling Emas! Dan dia pun sudah mempelajari ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu
Kipas Pengacau Lautan) dari sebuah di antara kitab-kitab dan sudah pula berlatih mainkan
kipas itu, Teringat akan ini, dia berseru. "Tahan senjata!"
Kakek itu berhenti, napasnya empas-empis. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya,
namun belum pernah ujung rantingnya menyentuh tubuh lawan! Ka-rena dia menyerang
terus menerus dan belum pernah ia melakukan pertandingan selama itu, napasnya
memburu dan ham-pir putus, mukanya sebentar merah se-bentar pucat, membuat muka
yang ber-warna kuning itu sebentar tua sebentar muda warnanya.
"Apakah engkau menyerah kalah?" kakek itu menegur.
Lulu meloncat mendekati petinya, membuka dan mengambil kipas, lalu ber-diri lagi
menghadapi lawannya. "Belum ada setitik darahku keluar, bagaimana aku menyerah kalah"
Tidak, engkaulah yang sebaiknya menyerah dan menjadi pembantuku, karena kalau aku
mengguna-kan senjataku ini, engkau pasti akan kalah."
"Senjata.... kipas....?" Kakek itu mengerti kipas dari dongeng nenek moyang dan sebagian
besar penghuni di pulau itu belum pernah melihat kipas selama-nya, juga mendengar pun
belum, maka mereka memandang terheran-heran.
"Benar, inilah senjataku saat ini!"
"Toanio, engkau lihai, akan tetapi jangan main-main. Menurut dongeng nenek moyang,
kipas hanyalah dipergunakan oleh para siucai (mahasiswa) dan wanita cantik untuk
menyilirkan badan dan me-nuliskan sajak serta gambar. Bagaimana kini akan
kaupergunakan sebagai sen-jata?"
"Lopek, engkau lupa bahwa engkau sendiri mempergunakan senjata yang ti-dak
semestinya, hanya sebatang ranting. Karena itu tentu engkau mengerti bahwa makin
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
148 sederhana senjatanya, makin berbahaya. Awaslah terhadap kipas pusa-kaku ini. Ingat,
Kwan Im Pouwsat dengan kipasnya sanggup menundukkan seribu satu macam siluman!"
Kakek itu melotot marah dan sambil mengeluarkan suara melengking-lengking dia
menerjang maju. Jantung Lulu terge-tar hebat oleh suara lengkingan itu, ma-ka tahulah dia
bahwa kakek itu memper-gunakan khi-kang untuk mempengaruhi-nya. Hanya orang yang
sudah tinggi il-munya saja yang mampu mengeluarkan suara seperti itu, suara yang dimiliki
binatang-binatang besar tanpa latihan, seperti yang dimiliki singa atau harimau sehingga
sekali menggereng, jantung calon korbannya tergetar dan kakinya le-mas tak mampu lari
lagi. Lulu juga mengeluarkan suara teriakan melengking yang tinggi mengatasi suara kakek
itu dan dia cepat menggerakkan kipasnya ketika ranting itu menerjangnya. Dan ternyatalah
bahwa senjata kipas ini amat tepat untuk menghadapi senjata ranting yang kadang-kadang
menjadi pecut kadang--kadang menjadi tombak baja itu! Dengan ilmu sakti Lo-hai-san-hoat,
kipasnya da-pat dikembangkan dan dikebutkan mengha-lau ujung ranting, kemudian disusul
de-ngan totokan-totokan mengunakan ujung gagang kipas.
Kakek yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi makin repot. Kini dia-lah yang
terdesak karena rantingnya ka-lau dibuat lemas, selalu terdorong angin kebutan kipas
sehingga gerakannya ka-cau bahkan tak dapat ia kuasai lagi, se-dangkan kalau dibikin kaku,
tangkisan gagang kipas membuat kedua telapak tangannya panas dan perih.
Dengan gerengan marah kakek itu menusukkan rantingnya yang menjadi kaku. Lulu sudah
mendengar anaknya menangis lagi, agaknya sadar dari tidurnya, maka dia ingin
mempercepat keme-nangannya. Melihat ujung ranting datang, dia cepat menggerakkan
kipasnya dengan kedua gagang menggunting dengan jurus ilmu kipas yang disebut Siang-
in-toan--san (Sepasang Awan Memotong Gunung). Ujung ranting itu terjepit dan tidak da-pat
dicabut kembali! Kakek itu terkejut, menggereng dan hanya menggunakan ta-ngan kiri
memegang ranting sedangkan tangan kanannya melayang ke depan di-barengi langkah
kakinya, langsung mengi-rim pukulan ke arah dada Lulu. Pukulan yang antep sekali karena
kakek itu mengerahkan sin-kangnya!
"Hemmm!" Lulu mendengus, tangan kirinya didorongkan ke depan, telapak tangannya
menerima kepalan lawan sam-bil mengerahkan sin-kang yang dilatih di Pulau Es dan yang
ini telah men-capai tingkat tinggi.
"Desss!" Kepalan tangan kakek itu menempel di telapak tangan Lulu. Lulu mengerahkan
napas memperkuat Im-kang. Tiba-tiba kakek itu menggigil tubuhnya, menarik tangannya,
terhuyung ke belakang dan "uaaakkk!" dia muntah darah dan ro-boh terguling dalam
keadaan pingsan!
Keadaan menjadi sunyi sekali. Tak seorang pun bergerak, hanya memandang penuh takjub
seolah-olah belum dapat percaya bahwa pemimpin mereka dikalahkan wanita muda itu!
Yang terdengar ha-nya tangis Keng In. Lulu berdiri tegak. Kipas terkembang di depan dada,
tangan kiri terbuka jarinya di atas kepala, si-kapnya gagah dan menyeramkan.
"Masih adakah yang tidak mau mene-rima aku menjadi Ketua Pulau Neraka?" Suaranya
dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang sehingga menggetarkan jantung semua orang.
Para penghuni Pulau Neraka itu tidak ada yang bergerak, semua memandang kepada lima
orang kakek bermuka ku-ning yang menjadi pemimpin mereka. Akan tetapi lima orang kakek
ini juga tidak bergerak melainkan memandang kepada yang roboh pingsan. Perlahan-lahan
kakek tua itu siuman, membuka mata, bangkit duduk dan memandang ke-pada Lulu,


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian ia berlutut dan berkata,
"Mulai saat ini, Toanio adalah pe-mimpin kami!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
149 Mendengar ini, lima orang kakek mu-ka kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diikuti semua
penghuni Pulau Neraka dan terdengarlah seruan-seruan mereka.
"Toanio....!"
"To-cu....!"
Lulu tersenyum. "Baiklah, aku girang sekali bahwa kalian suka mengangkat aku menjadi
ketua. Aku berjanji akan me-mimpin kalian dan menurunkan ilmu se-hingga tidak saja kalian
akan mempero-leh kemajuan, juga akan menjadi penghu-ni Pulau Neraka yang akan
meng-gemparkan dunia! Sekarang, lebih dulu aku minta makanan untuk aku dan anak-ku."
Demikianlah, mulai saat itu Lulu menjadi ketua mereka. Dia menjalankan peraturan baru,
menghapuskan pantangan keluar pulau, bahkan dia menyebarkan pembantu-pembantunya
yang pandai un-tuk keluar pulau dan mencari bahan pa-kaian untuk mereka semua, mencari
kebutuhan-kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia-manusia beradab.
Dia menurunkan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu-ilmu dari keempat ki-tab dia simpan
sebagai kepandaian priba-dinya. Bahkan dia melatih diri dan mempelajari ilmu keturunan
penghuni Pulau Neraka sehingga dia melatih sin-kang dengan minum racun-racun tumbuh-
tum-buhan dan binatang-binatang di pulau itu sehingga setelah mencapai tingkat ter-tinggi,
dalam beberapa tahun saja wajah-nya berwarna putih kapur! Juga dia men-didik Keng In
dengan penuh kasih sayang sehingga bocah ini menjadi manja. Burung-burung rajawali juga
ia taklukkan sehingga dapat dipergunakan untuk bina-tang tunggangannya.
Kemajuan yang dicapai oleh Pulau Neraka amat hebat. Karena Lulu mengu-tus pasukan-
pasukannya keluar pulau, sebentar saja mereka terlibat dengan orang-orang kang-ouw dan
mulailah nama Pulau Neraka terkenal sebagai kekuatan yang menakutkan.
Ketika puteranya yang bertugas mengumpulkan akar dan daun obat un-tuk keperluan
penghuni menolak bahaya dari keracunan datang melapor akan munculnya seorang anak
perempuan murid Majikan Pulau Es, Lulu cepat berangkat sendiri dan menangkap Kwi
Hong. Sudah lama ia berkeinginan mengunjungi Pulau Es, akan tetapi karena merasa belum
cukup kuat, ia selalu menunda. Dari penyelidikan orang-orangnya, ia mendengar bahwa
Suma Han telah menjadi majikan Pulau Es dan bahwa di sana terdapat banyak anak
buahnya, banyak pula terda-pat wanita-wanita cantik yang gagah perkasa dan betapa Pulau
Es seolah-olah merupakan sebuah kerajaan kecil. Mende-ngar ini, makin sakit rasa hati Lulu
ka-rena dia menganggap bahwa Han Han (Suma Han) kejam dan lupa kepadanya.
Bukankah sepantasnya kalau Suma Han mencari dan mengajak dia hidup baha-gia di Pulau
Es" Dialah yang berhak tinggal di Pulau Es, di samping Suma Han!
Ketika ia memancing Suma Han se-hingga Pendekar Super Sakti itu datang berkunjung ke
Pulau Neraka, mengalah-kan semua orangnya, dia melihat betapa Suma Han masih
selemah dahulu. Jelas bahwa pria itu mencintanya, akan tetapi pria itu tidak memperlihatkan
kejantan-an, tidak memperlihatkan kekuasaannya untuk menundukkannya, bahkan seperti
juga dulu, rela pergi dengan hati menderita!
Herankah kita apabila Lulu menangis terisak-isak semalam itu dan di dalam hatinya berjanji
untuk memusuhi Suma Han yang telah merampas hatinya, ke-mudian mengecewakan
hatinya dan menghancurkan harapan serta kebahagia-annya" Apalagi ketika dia mendengar
bahwa pria idaman hatinya itu telah dijodohkan dengan Nirahai, sucinya. Dia akan
memusuhi Suma Han, dan akan mencari Nirahai. Dia tidak takut seka-rang terhadap sucinya
yang lihai itu, bahkan dia pun tidak takut terhadap Suma Han yang belum sempat diujinya
itu. Setelah dia mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, dia tidak takut terhadap siapapun juga!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
150 Rasa kemarahan yang bangkit karena cemburu ini akhirnya mengalahkan kesedihannya dan
membuat majikan Pulau Neraka yang digambarkan seperti iblis itu dapat tidur pulas dengan
bantal masih basah air mata!
*** "Siuuuutttt.... byurrrr!"
"Lihat, Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?" Seorang gadis cilik yang
berpakaian serba merah, ber-usia kurang lebih sembilan tahun, berseru sambil menunjuk ke
arah benda yang jatuh dari langit dan tampak mengapung di atas lautan.
"Hemmm, manakah" Ahhh, kau be-nar. Benda apakah itu" Hiiii, Ciangkun, suruh dekatkan
perahu dan coba kau am-bil benda itu!" kata laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang
berpakaian me-wah dan berwajah tampan itu. Mereka berada di atas sebuah perahu yang
me-wah dan indah, dengan hiasan bendera sebagai tanda bahwa penumpangnya adalah
seorang bangsawan.
Memang demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu adalah
seorang pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada waktu itu sedang
berpesiar di laut-an utara di atas perahunya, dikawal oleh pasukan Mongol yang
menumpangi tiga buah perahu lain. Adapun gadis cilik berpakaian merah yang berwajah
cantik jelita berusia sembilan tahun itu adalah keponakannya yang bernama Milana.
Atas perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping lebar seperti para
pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu yang di-tumpangi pangeran itu didayung
mende-kati benda yang terapung di laut. Sete-lah agak dekat, Milana berseru, "Sebuah
keranjang! Dan ada orangnya di dalam!"
"Hemmm, agaknya dia sudah mati....!" Pangeran Jenghan berseru melihat se-orang anak
laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak seperti tak bernyawa lagi.
Memang itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika ke- ranjangnya
dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang melun-cur dengan cepatnya,
Bun Beng pingsan. Keranjang itu jatuh ke laut dan mengapung sehingga menyelamatkan
nyawa Bun Beng. Namun kalau saja ada ke-betulan kedua, yang pertama jatuhnya
keranjang ke laut, yaitu kalau tidak ke-betulan lagi dia jatuh tidak di dekat perahu itu, tentu
keranjangnya sebentar lagi akan tenggelam dan dia tidak akan tertolong.
Kepala pengawal segera menggerak-kan tangan kanannya dan tampaklah sehe-lai tali
meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah keranjang. Dengan tepat sekali ujung
tali itu mem-belit keranjang pada saat Bun Beng siuman dari pingsannya. Anak ini terke-jut
ketika membuka matanya melihat bahwa dia berada di tengah laut. Lebih lagi kagetnya
ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya itu terangkat ke atas seperti ada yang
menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya dia telah disambar la-gi oleh burung rajawali!
"Brukkkk!" Keranjang yang diterbang-kan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh kepala
pengawal Mongol itu terban-ting ke atas papan dan tubuh Bun Beng terlempar keluar,
bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun de-ngan kepala pening, bangkit berdiri
terhu-yung-huyung. Karena pandang matanya berkunang, dia cepat berlutut dan
meme-gangi kepala dengan kedua tangan, menutupi mukanya dan memejamkan mata-nya.
"Sungguh ajaib! Eh, anak, engkau sia-pakah dan mengapa bisa jatuh dari la-ngit dalam
sebuah keranjang?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
151 Suara yang terdengar asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini membuat
Bun Beng menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka dan mem-buka mata
memandang. Dilihatnya se-orang laki-laki berpakaian indah berdiri di depannya, dan di
samping laki-laki itu berdiri seorang anak perempuan yang cantik jelita berpakaian merah. Ia
memandang ke sekeliling. Kiranya dia ber-ada di atas sebuah perahu besar dan tak jauh dari
situ kelihatan tiga buah pera-hu lain. Mengertilah dia bahwa keran-jangnya jatuh ke laut dan
bahwa dia telah ditolong oleh orang-orang ini. Ma-ka perlahan dia bangkit berdiri, kemudi-an
membungkuk dan menjawab.
"Namaku Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan dilepaskan dari atas.
Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman ketika keranjang dinaikkan ke sini. Aku
telah menerima budi pertolongan kalian, sudilah meneri-ma ucapan terima kasihku."
Sejenak semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi su-nyi. Cerita anak
ini terlalu aneh, apalagi melihat anak yang berwajah tampan, bersikap sederhana dan halus
akan teta-pi menggunakan bahasa yang sederhana pula, sama sekali tidak bersikap hormat
kepada Pangeran Jenghan! Para penga-wal sudah mengerutkan alis hendak ma-rah karena
dianggapnya sikap anak ini kurang ajar dan tidak menghormat kepada junjungannya. Akan
tetapi Pangeran itu tersenyum dan mengangkat kedua lengan ke atas.
"Ajaib....! Ajaib....! Seolah-olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para dewa untuk bertemu
dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau sampai bisa terbawa terbang dalam
keranjang oleh seekor burung raksasa" Amat aneh ceri-tamu, sukar dipercaya!"
Bun Beng berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar diperca-ya. Orang ini
telah menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua pengalamannya, semenjak
terlempar ke air berpusing sampai hidup di antara ka-wanan kera kemudian bertemu dengan
para pemuja Sun Go Kong dan bertemu dengan murid Pendekar Siluman yang bertanding
sambil menunggang garuda melawan anak iblis dari Pulau Neraka, agaknya ceritanya akan
lebih tidak di-percaya lagi. Dia tidak suka bercerita banyak tentang dirinya karena hal itu
hanya akan menimbulkan kesulitan saja, maka ia lalu mengarang cerita yang lebih masuk
akal. "Saya sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya tertidur dalam
keranjang ini. Tiba-tiba saya terkejut dan ternyata bahwa ke-ranjang yang saya tiduri telah
berada di angkasa, dicengkeram oleh seekor burung besar. Karena ketakutan, saya
meronta--ronta dan akhirnya keranjang itu dilepas-kan dan saya jatuh ke sini."
Pangeran Jenghan mengangguk-angguk, akan tetapi melihat pandang matanya yang penuh
selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya Pange-ran ini masih kurang
percaya. Akan tetapi dia berkata, "Hemm, engkau ten-tu kaget dan lelah, juga lapar.
Pakaian-mu robek-robek. Ciangkun, beri dia ma-kan dan suruh istirahat di bagian bela-kang
kapal." Bun Beng lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang amat lengkap dan
serba mahal. Kemudi-an dia diperbolehkan mengaso. Karena memang merasa lelah sekali,
tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas papan perahu di bagian belakang.
Bun Beng terbangun oleh suara nya-nyian merdu. Ia membuka mata dan me-noleh. Kiranya
yang sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian me-rah yang dilihatnya tadi.
Anak itu berdi-ri di atas papan, di pinggir perahu, me-mandang ke angkasa yang biru indah,
dan suaranya amat merdu ketika bernya-nyi. Akan tetapi, bagi Bun Beng, yang amat
mengherankan adalah nyanyian itu. Kata-kata dalam nyanyian itu bukanlah nyanyian kanak-
kanak bahkan mengan-dung makna dalam seperti sajak dalam kitab-kitab kuno. Ia
mendengarkan pe-nuh perhatian tanpa menggerakkan tu-buhnya yang masih terlentang.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
152 "Betapa ajaib alam dunia segala sesuatu bergerak sewajarnya menuju ke arah titik
sempurnamatahari memindahkan air samudra memenuhi segala kebutuhan di darat
dibantu hembusan angin yang kuat setelah melaksanakan tugas muliaair kembali ke
asalnyasemua itu digerakkan oleh cintaapa akan jadinya dengan alam semesta tanpa
cinta?" Bun Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyi-kan kata-kata
seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata--kata tanpa tahu artinya.
"Gak Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura-pura masih ti-dur?"
Bun Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan itu
bisa tahu bahwa dia su-dah terbangun" Padahal dia tidak mengeluarkan suara dan anak itu
tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak membalikkan tubuh.
"Eh, apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?" Bun Beng melom-pat berdiri dan
bertanya. Anak perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepa-sang mata yang
mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid Pendekar
Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu, tanpa disadari ia pun
meringis tersenyum.
"Apa kaukira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?"
"Kalau tidak mempunyai mata di be-lakang, bagaimana engkau bisa tahu bah-wa aku telah
bangun dari tidur?"
"Bunyi pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biarpun se-dikit, gerakan
tubuhmu terdengar oleh-ku."
Bun Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan
pandai bernyanyi dengan suara mer-du ini memiliki pendengaran yang tajam luar biasa. Ah,
ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sin-kang! Teringatlah ia akan cara
pengawal me-naikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang perahu ini merupakan
orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini bukan anak sembarangan, dapat
dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau anak laki-laki Pulau Neraka itu! Akan
tetapi, kare-na dia sendiri pun sejak kecil telah di-gembleng orang-orang pandai, Bun Beng
memandang rendah dan tidak memperli-hatkan kekagumannya, bahkan pura-pura tidak tahu
bahwa anak perempuan ini memiliki kepandaian.
"Nyanyianmu tadi sungguh ngawur!" Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak
perempuan itu memandang-nya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu mengambil
sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perde-batan agar dia dapat dikenal
sebagai seorang yang lebih pandai daripada anak itu!
Bun Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu sama
sekali tidak marah, bah-kan tersenyum manis sekali dan bertanya. "Bagian manakah yang
kau katakan nga-wur?"
"Semuanya! Maksudku, engkau bernya-nyi seperti burung, tanpa mengerti ar-tinya!
Misalnya kalimat yang mengata-kan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung
engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang cinta?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
153 Mata itu bersinar lembut ketika men-jawab, "Gak Bun Beng, ketika aku di-ajar menyanyikan
kata-kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan aku heran sekali kalau
engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah ka-sih sayang murni yang menguasai selu-ruh
alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini, kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan
mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak, seluruhnya dapat hi-dup oleh kasih sayang
ini. Cinta adalah sifat daripada Tuhan yang menguasai seluruh alam!"
Kembali Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya" Ucapan seperti itu
keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih.... ingusan! Ia penasaran dan
menyerang lagi.
"Engkau hanya meniru-niru, belum ten-tu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau benar
mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!"
Kini anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membaysngksn
perasaan kasihan! "Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu" Aih, sungguh
patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah kuasa cinta! Air laut
yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan mengaliri segala yang
mem-butuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara yang kita hisap, tanah yang kita
injak dan menghasilkan tum-buh-tumbuhan, semua itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang
mengalir di selu-ruh tubuhmu tanpa kau sengaja, perna-pasanmu yang terus bekerja tanpa
kausa-dari dalam tidurpun, semua itu digerak-kan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang
penuh kasih sayang" Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air
menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan berbunga.
Bunga tanpa bergerak mencip-takan buah, dan buahpun akan jatuh sen-diri dan bersemi
menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda-benda itu tanpa bergerak telah teratur sendiri,
bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta kasih yang dimiliki Tuhan" Dan
engkau masih bertanya akan bukti?"
Kini Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!
"Eh.... oh.... maafkan, kiranya engkau benar-benar hebat! Siapakah yang menga-jarkan
kepadamu akan semua pengetahu-an itu?" Ia berhenti sebentar lalu mene-ngok ke arah bilik
perahu besar. "Ten-tu.... laki-laki yang berpakaian mewah tadi, ya?"
Akan tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala. "Bukan dia. Yang mengajarkan semua
itu adalah Ibuku sen-diri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan tetapi tentang
cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar se-ringkali dinyanyikan Ibu, yang aku tidak
mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu menggeleng kepala tanpa menja-wab. Dan
kau tahu.... Ibu selalu mengu-curkan air matanya kalau menyanyikan itu."
Bun Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang
begitu halus! Tentu ibu-nya orang luar biasa pula. "Benarkah" Bagaimana nyanyian itu?"
"Sebetulnya tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau se-orang anak yang
aneh, yang datang tiba-tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri melalui kekuasaan
cinta kasih-nya."
"Aihh, mengapa begitu" Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam...."
"Burung rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan" Engkau lupa! Ke-kuasaan apa
yang membuat burung itu mampu terbang" Kemudian, kekuasaan apa yang membuat
engkau kebetulan di-jatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau
terto-long" Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
154 Bun Beng terdesak. "Baiklah.... baiklah...., engkau benar. Akan tetapi, orang sepandai
engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu sambil menangis. Coba
perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak menger-ti artinya, tentu aku mengerti," Bun
Beng membusungkan dadanya karena ki-ni timbul kesempatan baginya untuk membuktikan
bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa
mengarti-kannya, berarti dia menang!
Anak perempuan itu ragu-ragu seje-nak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik.
Kemudian dia menghela napas dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa engkau seorang anak
luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjan-jilah bahwa engkau takkan
menceritakan kepada siapapun juga tentang nyanyian Ibu ini, karena kalau Ibu mengetahui,
tentu Ibu akan menyesal sekali kepada-ku."
"Engkau takut dimarahi?"
"Tidak. Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sam-pai Ibu menyesal
dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku."
Keharuan meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh
anak ini! Rasa takut da-lam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah cinta kasih.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ra-sa sedih dalam hati seorang anak meli-hat ibunya berduka dan menyesal, barulah
timbul dari cinta kasih yang murni!
Dia menelan ludah, "Engkau.... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku ber-janji, aku
bersumpah tidak akan mence-ritakan kepada lain orang."
Anak perempuan itu tersenyum. "Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak akan
sia-sia. Nah, dengarlah nya-nyian istimewa Ibuku!"
"Cinta kasih menguasai alam semes-ta suci murni dan penuh mesra namun mengapa....
hatiku merana....
jiwaku dahaga akan cinta...."
aihhh.... haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan"
cinta.... cintaku....
mengapa engkau begitu tega....?"
Bun Beng berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia melihat
betapa air mata bercu-curan dari sepasang mata anak perem-puan itu yang kini terisak-isak.
"Engkau.... engkau menangis....?" ta-nyanya, suaranya serak.
Anak perempuan itu menoleh, mengu-sap air matanya dan mengangguk, "Aku.... aku
teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena tidak
mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu."
Bun Beng mengerutkan alisnya, berpi-kir. Kemudian ia berkata, "Ahh, aku mengerti! Ibumu
tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh.... maaf, tentu mencinta Ayahmu.
Di mana Ayah-mu?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
155 Anak perempuan itu bengong dan mengangguk-angguk. "Aihhh.... agaknya engkau benar,
Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku. Ibu sela-lu kelihatan berduka dan
hanya mengata-kan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah adalah seorang pendekar
besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau me-ngatakan di mana adanya Ayah dan sia-pa
namanya, hanya menyuruh aku bersa-bar karena kelak tentu akan bertemu dengan Ayah."
"Nah, benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi!
Eh, siapakah namamu?"
"Namaku Milana."
"Bagus sekali!"
"Apakah yang bagus?"
"Namamu itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?"
Milana menggeleng kepala, "Ibu melarang aku menganggap diriku keturunan bangsawan,
biarpun Paman Jenghan ada-lah seorang pangeran Mongol. Aku disu-ruh ikut di Kerajaan
Mongol untuk mem-pelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi ke mana akan tetapi sering kali,
sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menje-ngukku dan menurunkan pelajaran-
pela-jaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar ke laut ini dan mengajakku,
tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun Beng."
"Ibumu tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernya-nyi dan
mempelajari kesusasteraan, ten-tu engkau belajar ilmu silat pula."
"Benar, keluarga istana Mongol pe-nuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi
menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandai-an Ibu yang amat tinggi.
Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepan-daian Ibu, kecuali kalau dia datang dan
pergi lagi dari kamarku dengan kecepat-an seperti menghilang. Kadang-kadang aku bahkan
menduga apakah Ibu itu se-bangsa dewi, bukan manusia biasa...."
"Milana....!"
Mereka terkejut dan menengok. "Pa-man memanggilku." Anak perempuan itu berlari menuju
ke bilik perahu besar, di-ikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat ke-sibukan di perahu itu dan
semua penga-wal memegang senjata. Juga para penga-wal di tiga buah perahu kecil siap
de-ngan senjata mereka.
Pangeran Jenghan menyongsong keponakannya. "Lekas kau sembunyi di bilik kapal.
Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali-kali keluar dari bilik kalau belum aman."
"Apakah yang terjadi, Paman?" Milana bertanya.
"Kita akan diserang sekawanan bajak! Perahu-perahu mereka sudah tampak da-tang. Cepat
sembunyi!" Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan itu memasuki
bilik kapal, di-ikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bi-lik ditutup dan Pangeran itu meloncat
keluar. "Mau apakah bajak-bajak laut itu?" Di dalam bilik, Milana bertanya kepada Bun Beng.
"Hemm, namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya,
dan membunuh kita."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
156 Mata yang bening itu terbelalak, mu-ka yang manis itu menjadi agak pucat.
"Mengapa" Bukankah mereka itu juga manusia?"
Bun Beng tersenyum pahit. "Pujian-mu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau jatuh ke
tangan manusia, Milana. Tidak ada mahluk di dunia ini yang se-jahat, sekejam, dan seganas
manusia." "Ohhh....! Akan tetapi.... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia."
"Kalau begitu engkau belum berpe-ngalaman, Milana. Berhati-hatilah kalau engkau
berhadapan dengan sesama manu-sia dan simpan saja kepercayaanmu ten-tang cinta kasih
itu di dalam hati. Tu-han memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya melimpah, akan
tetapi manu-sia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu. Mengapa Pamanmu
menyem-bunyikan kita" Kalau memang ada serbu-an bajak, aku lebih suka berada di luar
dan membantu menghadapi mereka. Seri-bu kali lebih baik mati sebagai seekor harimau
yang melakukan perlawanan mati-matian di luar sana daripada mati sebagai tikus-tikus
terjepit di tempat ini!"
"Aku.... aku tidak pernah bertempur!"
"Kulihat kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?"
Milana menggeleng kepala. "Aku.... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan ilmu
silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!"
"Dan kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?"
"Lebih baik dibunuh daripada mem-bunuh."
Bun Beng membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya. "Wah-wah--wah,
bagaimana ini" Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi kepa-damu?"
"Kata Ibu untuk menjaga diri dari marabahaya."
"Nah, sekarang marabahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!"
"Tapi dengan membunuh bajak" Aku tidak mau!"
"Mari kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku yang
akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita."
"Kau.... kau berani membunuh orang?"
"Tentu saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?"
"Bun Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?"
Bun Beng tertawa. "Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal ke-kejaman
manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!" Dan memang pada saat
itu sudah terdengar teriakan-teriakan di antara berdencing-nya senjata-senjata yang beradu.
Ketika kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat betapa
empat buah perahu me-reka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak buah bajak
menyerang. Pa-mannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan gigih dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
157 karena ke-pandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi, banyak anak
buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan terlu-ka atau tewas.
Akan tetapi, jumlah anak buah bajak itu banyak sekali dan mere-ka mulai menggunakan api
untuk memba-kar empat buah perahu itu! Keadaan menjadi kacau balau dan para pengawal
kewalahan karena selain menghadapi ser-buan bajak yang amat banyak, juga me-reka
harus memadamkan api yang mulai membakar di sana-sini sambil meroboh-kan para bajak
yang membakari perahu.
"Paman Pangeran....!" Milana menjerit melihat pamannya dikeroyok enam orang bajak laut.
Melihat seorang bajak laut dengan tombak di tangan lari menyerbu dari belakang Pangeran
itu, Bun Beng meloncat dan tanpa disadarinya dia menghantam dengan jurus dari ilmu si-lat
yang dipelajari dari tiga buah kitab rahasia Sam-po-cin-keng. Kebetulan seka-li jurusnya ini
adalah jurus pukulan yang menggunakan tenaga sin-kang yang dipusatkan pada telapak
tangan. "Bukkk!" Tangannya yang kecil itu tepat sekali menghantam punggung bajak selagi tubuh
Bun Beng masih meloncat. Bajak itu memekik, tombaknya terlepas dan mulutnya muntahkan
darah segar, lalu tubuhnya terguling roboh berkelojot-an!
Melihat ini, Pangeran Jenghan terke-jut dan kagum, lalu berteriak, "Lekas kauselamatkan
Milana dengan perahu darurat di pinggir kiri itu!" Sambil ber-teriak begini, Pangeran itu
memutar pedangnya menangkis hujan senjata para bajak.
Bun Beng mengerti bahwa melihat keadaannya, perahu itu akan terbakar dan akan
celakalah mereka semua. Memang sebaiknya menyelamatkan Milana lebih dulu. Cepat ia
menyambar lengan Milana, diajaknya lari ke pinggir kiri. Di situ memang terdapat sebuah
perahu kecil yang biasanya dipergunakan untuk para pengawal mencari ikan, atau me-mang
disediakan kalau sewaktu-waktu keadaan membutuhkan. Bun Beng mele-paskan ikatan
perahu itu, menyeretnya ke pinggir, lalu ia melempar perahu ke bawah. Tanpa
menghiraukan jeritan Mi-lana yang merasa ngeri, ia menyambar tangan anak perempuan itu
dan dibawa-nya meloncat ke bawah menyusul pera-hu kecil. Untung bahwa Bun Beng
bersi-kap tenang sehingga loncatannya tepat jatuh di tengah perahu kecil. Dilepaskan-nya
dua batang dayung yang terikat di pinggir perahu dan ia mulai mendayung perahu itu
melawan ombak menjauhi perahu besar yang mulai terbakar.
"Paman....! Paman Pangeran....!" Mila-na berteriak dan menangis.
"Milana, dalam keadaan seperti ini kita harus masing-masing mencari kese-lamatan
sendiri." "Tapi.... tapi Paman Pengeran...."
"Dia seorang berilmu tinggi, tentu akan dapat menyelamatkan diri. Andai-kata kita menolong
pun tiada gunanya. Duduklah yang tenang, akan kucoba me-larikan perahu sebelum terlihat
oleh bajak-bajak itu."
Dengan sepenuh tenaganya Bun Beng mendayung perahu, sedangkan Milana memandang
ke arah asap-asap mengepul hitam yang menutupi perahu-perahu be-sar pamannya sambil
menangis. Mereka sudah berada agak jauh dari perahu--perahu yang kebakaran ketika tiba-
tiba Milana menjerit. Bun Beng memandang dan ia pun terkejut melihat dua buah tangan
manusia muncul dan air dan memegang pinggiran perahu kecil. Ketika kepala orang itu
muncul, tahulah dia bahwa orang itu adalah seorang di anta-ra para anak buah bajak laut
yang jatuh ke laut. Orang itu tidak terluka dan pandang matanya beringas menyeramkan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
158 "Lepas!" Bun Beng membentak, menggunakan dayungnya menghantam ke arah tangan
terdekat! "Aughhh....!" Orang itu berteriak ke-sakitan dan melepaskan tangan kirinya yang kena pukul
dan dari bibir perahu Bun Beng mengayun dayungnya lagi, me-mukul ke arah tangan kanan
yang masih memegangi pinggiran perahu. Gerakan--gerakan ini membuat perahu kecil
menjadi oleng. Akan tetapi sekali ini, bukan tangan itu yang terkena hantaman da-yung
bahkan dayungnya tertangkap oleh tangan kanan bajak itu, terus ditarik kuat-kuat sehingga
tubuh Bun Beng ter-seret dan jatuh ke air!
"Bun Beng....!" Milana menjerit.
Bun Beng marah sekali. Biarpun bu-kan ahli, namun dia pandai berenang, ma-ka ia
menggerakkan kedua kakinya dan mengayun dayung yang masih dipegang-nya.
"Plakkk!" Dayungnya menghantam mu-ka orang itu sehingga kembali bajak itu memekik dan
terdorong mundur. Mata-nya melotot marah penuh dengan sinar kebencian dan kalau anak
itu dapat di-terkamnya, tentu akan dibunuhnya. Bun Beng sudah dapat menangkap pinggiran
perahu lagi. Karena gugup dan hendak cepat-cepat naik ke perahu, dayungnya terlepas dan
hanyut, sedangkan bajak itu sambil memaki-maki berenang cepat se-kali mengejarnya.
Dalam hal ilmu renang tentu saja Bun Beng tidak dapat mela-wan kepandaian seorang bajak
laut! Ma-ka ia bergegas hendak naik ke perahu agar dari dalam perahu dia dapat mela-wan
orang yang masih berada di air itu.
"Heh-heh-heh!" Tiba-tiba, entah dari-mana datangnya, seorang kakek yang tertawa-tawa
meloncat ke ujung perahu. Begitu tubuhnya tiba di ujung perahu, ujung yang lain di mana
Bun Beng dan Milana berada, terangkat tinggi ke atas seolah-olah kakek itu beratnya
melebihi berat seekor gajah bengkak! Bun Beng cepat memegang lengan Milana yang
hampir terlempar ke luar, sambil dengan sebelah tangan memegangi pinggiran pe-rahu erat-
erat dan matanya memandang kakek aneh itu dengan terbelalak.
"Heh-heh-heh!" Tiba-tiba ujung di mana Bun Beng dan Milana duduk, me-luncur lagi ke
bawah dengan cepat se-kali.
"Prakkk!" Ujung perahu ini turun tepat menghantam kepala anak buah bajak sehingga pecah
berantakan dan mayatnya terapung, kepalanya sudah tidak merupa-kan kepala lagi
melainkan berubah se-onggok benda putih berlepotan darah.
"Ihhhh....!" Milana yang melihat mayat itu menutupi muka dengan kedua ta-ngan sambil
menangis. "He-he-he, takut" He-he-he!" Kakek itu tertawa-tawa seolah-olah merasa senang sekali
melihat Milana ketakutan. "Aku akan membikin kalian lebih takut lagi, ha-ha-ha!" Dan dengan
sebatang ran-ting yang berada di tangan kirinya, kakek itu mendayung perahu dan.... perahu
itu meluncur dengan kecepatan luar biasa!
Bun Beng memandang penuh perhatian. Kakek itu pakaiannya sederhana dan longgar,
kedua kakinya telanjang. Usia-nya tentu sudah tujuh puluh lebih, dengan rambut dan jenggot
putih riap-riap-an, matanya melotot lebar dan selalu tertawa-tawa. Akan tetapi yang amat
luar biasa adalah kulit tubuhnya! Dari muka, tangan dan kakinya, semua ber-kulit kuning
sekali! Bukan kuning seperti kulit orang biasa, melainkan kuning yang aneh, seperti dicat,
kuning sampai ke kukunya dan warna matanya! Maka ter-ingatlah Bun Beng akan keanehan
warna kulit orang-orang Pulau Neraka dan ia menduga bahwa kakek ini tentulah se-orang
tokoh Pulau Neraka.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
159 Dugaan Bun Beng memang tepat. Ka-kek ini adalah seorang di antara lima orang kakek
kulit kuning yang merupa-kan tokoh-tokoh tingkat tertinggi di Pulau Neraka, di bawah
ketuanya. Dan memang dia adalah seorang tokoh sakti yang diutus oleh Majikan Pulau
Neraka untuk mengadakan penyelidikan di luar pulau. Kakek ini selain sakti, juga me-miliki
watak yang amat aneh, mendekati gila sehingga sering kali melakukan hal--hal yang
menggegerkan dunia kang-ouw. Kini melihat dua orang anak dalam pe-rahu, timbul
keanehan wataknya dan dia seolah-olah hendak menakut-nakuti ke-dua orang bocah itu.
Perahu itu meluncur cepat mendekati tempat pertempuran! Bukan hanya cepat, malah
sengaja dibikin oleng ke kanan-kiri, ada kalanya ujungnya seperti akan teng-gelam, ada
kalanya ujung yang diduduki dua orang anak-anak itu terangkat ting-gi kemudian
dihempaskan ke bawah se-perti akan tenggelam! Milana menjerit--jerit dan memeluk Bun
Beng yang berpe-gang kuat-kuat pada pinggiran perahu.
"Heh-heh-heh, pemandangan indah....! Indah....!" Kakek itu terkekeh-kekeh keti-ka
perahunya meluncur cepat mengeli-lingi tempat pertempuran.
Biarpun keadaannya sendiri berbaha-ya dan perahu itu sewaktu-waktu dapat membuat
mereka terlempar ke luar, Bun Beng masih sempat memperhatikan ke-adaan pertempuran
dan melihat betapa pangeran dan para pengawal masih melakukan perlawanan mati-matian
namun perahu mereka telah terbakar sebagian.
"Kakek, apakah engkau tidak kenal takut?" Bun Beng tiba-tiba bertanya.
"Aku" Takut" Ha-ha-ha-ha! Heh-heh--heh!"
Sambil berkata demikian, perahu me-luncur cepat sekali menuju ke sebuah yang terbakar!
Milana menjerit melihat betapa perahu kecil itu akan menubruk perahu yang bernyala-nyala,
bahkan Bun Beng sendiri yang berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang, menjadi
pucat dan memandang terbelalak ke depan, melihat betapa perahu terbakar itu se-olah-olah
mulut seekor naga mengeluar-kan api hendak menelan perahu mereka.
"Celaka....!" teriak Bun Beng.
"Ha-ha-ha-heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan tiba-tiba perahu itu membelok dengan
kecepatan luar biasa sehing-ga miring dan hampir terguling, akan tetapi dapat menghindari
tabrakan de-ngan perahu terbakar.
"Ha-ha-ha! Aku takut?"
"Memang beranimu hanya menakut-nakuti anak kecil, Kakek yang nakal! Aku tidak percaya
bahwa engkau tidak kenal takut. Misalnya terhadap bajak--bajak laut yang demikian ganas,
kejam dan jumlahnya amat banyak. Aku be-rani memastikan bahwa engkau tentu takut
mengganggu mereka dan kalau engkau yang melawan mereka di atas perahu yang terbakar
itu, tentu engkau akan terkencing-kencing di celanamu, kencing kuning pula!"
Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri dan mencak-mencak. "Memang kencing-ku kuning! Kau
bilang aku takut kepada segala bajak cacing tanah itu" Kau tung-gu dan lihat saja betapa
mudah aku membasmi mereka!" Setelah berkata de-mikian, kakek itu menggerakkan kaki
dan tubuhnya sudah melesat ke arah perahu besar yang terbakar, di mana Pangeran
Jenghan bersama pengawalnya masih mati-matian melawan serbuan para bajak.
Tentu saja hati Bun Beng menjadi girang bukan main. Cepat ia menyam-bar sepotong
dayung dari banyak kayu-kayu pecahan perahu yang terapung di dekat perahunya,
kemudian secepat mungkin dia mendayung perahu kecil menjauhi pertempuran. Tanpa
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
160 menghiraukan kedua tangannya yang menjadi le-lah sekali, Bun Beng mendayung terus dan
tiba-tiba datang ombak-ombak besar yang menghanyutkan perahunya. Menda-yung lagi
tidak mungkin dan apa yang ia lakukan hanya menggunakan dayung untuk mencegah
perahunya terguling. Milana tidak menangis lagi, bahkan anak ini pun sudah menyambar
sebatang da-yung dan ia membantu Bun Beng men-dayung. Kini melihat perahu diombang--
ambingkan ombak, dia membantu Bun Beng menahan agar perahu tidak tergu-ling. Akan
tetapi dia tidak kelihatan takut, padahal keadaan mereka waktu itu tidaklah kalah berbahaya
daripada tadi. Hal ini mengherankan hati Bun Beng dan ia bertanya dengan suara keras
untuk mengatasi suara angin ribut.
"Milana, engkau tidak takut?"
Milana memandangnya, tersenyum dan menggeleng kepala.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bun Beng menjadi heran. "Kalau tadi, kenapa ketakutan dan menangis?"
Milana membuka mulut menjawab, akan tetapi suaranya lenyap ditelan angin sehingga Bun
Beng berteriak, "Bi-cara yang keras, aku tidak dengar!"
Milana tertawa, "Ribut-ribut begini kau mengajak orang mengobrol!"
Bun Beng mendongkol akan tetapi ju-ga geli hatinya. Anak ini benar-benar amat luar biasa,
"Katakanlah mengapa sekarang engkau menjadi begini tabah?"
"Tadi bukan penakut sekarang pun bukan tabah. Aku ngeri menyaksikan ke-kejaman
manusia saling bunuh. Aku percaya kepada alam yang maha kasih, an-daikata ombak-
ombak ini menelan kita pun sama sekali tidak mengandung hati benci atau marah!"
Bun Beng bengong sehingga lupa me-ngerjakan dayungnya. Perahu terputar, hampir
terguling dan mendengar Mila-na malah tertawa-tawa. Cepat ia menggerakkan dayung dan
mengomel. "Bocah ajaib dia ini!"
Setelah ombak mereda, perahu itu tiba di dekat daratan. Bun Beng menja-di girang dan
bersama Milana dia lalu mendayung perahu ke darat. Mereka berdua melompat turun dan
lari ke darat, meninggalkan perahu kecil itu dan keduanya duduk di atas pasir.
"Di mana kita ini?" Bun Beng berta-nya.
"Aku pun tidak tahu. Akan tetapi mari kita berjalan. Kalau bertemu orang tentu akan dapat
menceritakan di mana letaknya Kerajaan Mongol. Ahhh, semoga Paman Pangeran dan para
pengawal selamat."
"Jangan khawatir. Mereka itu lihai dan dengan bantuan kakek gila itu, tentu para bajak akan
terbasmi dan mereka selamat."
Tiba-tiba Milana tertawa geli.
"Eh, kenapa tertawa?"
"Kakek itu tidak gila, akan tetapi lucu sekali dan kepandaiannya hebat. Ibu tentu akan
tertarik sekali kalau kelak kuceritakan."
"Tentu saja dia lihai karena dia adalah seorang tokoh Pulau Neraka."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
161 "Ihhh....! Pulau Neraka" Aku sudah mendengar itu, penghuninya adalah manusia-manusia
aneh seperti iblis. Bagaimana kau bisa tahu dia dari Pulau Neraka?"
"Kulit tubuhnya yang berwarna itu! Aku sudah bertemu dengan orang-orang Pulau Neraka."
"Eh, betulkah" Engkau benar luar biasa, Bun Beng."
"Tidak, biasa saja. Mari kita pergi."
"Engkau hendak ke mana?"
"Eh, bagaimana lagi" Mengantar engkau sampai engkau dapat pulang, kemudian....
kemudian.... hem.... aku tidak tahu ke mana nanti."
"Eh, bagaimana ini" Apakah engkau tidak hendak pulang?"
"Pulang ke mana?"
"Ke mana lagi" Ke rumahmu tentu!"
"Aku tidak punya rumah."
Milana menghentikan langkahnya dan memandang wajah Bun Beng. "Tidak punya rumah"
Dan Ayah Bundamu....?"
"Aku tidak punya, Ayah Bundaku sudah mati semua."
"Aihhh....!" Milana memegang kedua tangan Bun Beng, wajahnya membayangkan perasaan
iba yang mendalam. "Kasihan engkau, Bun Beng. Dan tidak mempunyai saudara?"
Bun Beng merasa panas dadanya. Dia tidak ingin dikasihani orang, bahkan dia tidak
merasa kasihan kepada dirinya sendiri! "Aku tidak punya siapa-siapa, apa salahnya dengan
itu?" Dia menunjuk ke arah seekor burung camar yang terbang. "Dia itu pun tidak punya
siapa-siapa, toh dapat hidup. Dan pohon itu tidak punya siapa-siapa, tetap tumbuh segar."
"Ahhhh, burung itu tentu punya sarang dan pohon itu banyak saudara-saudaranya di
sekelilingnya. Engkau menjadi pahit karena tidak mempunyai siapa-siapa. Bun Beng, aku
mau menjadi saudaramu, dan biarlah Ibuku juga menjadi Ibumu, Pamanku menjadi
Pamanmu...."
"Sudahlah, Milana. Aku tidak ingin apa-apa. Engkau anak yang amat baik hati. Mari kita
lanjutkan perjalanan. Di sebelah kanan itu ada pegunungan, tentu di sana ada penghuninya
yang dapat memberi keterangan kepada kita dan menunjukkan jalan."
Mereka berjalan lagi dan Milana menggandeng tangannya. Bun Beng tidak menolak dan
diam-diam dia merasa suka sekali kepada anak yang amat baik hati ini. Akan tetapi setelah
mereka mendaki pegunungan itu, ternyata gunung itu penuh dengan batu-batu besar dan
tidak nampak dusun di situ.
"Begini sunyi.... tidak ada tampak rumah orang...." kata Milana, kecewa.
"Nanti dulu! Lihat di sana itu. Ada orang.... eh, malah ada orang menunggang binatang yang
besar luar biasa!" Milana menengok dan ia pun berseru girang, "Benar! Ada orang dan dia
me-nunggang seekor gajah! Sunguh luar biasa!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
162 "Gajah" Aku sudah pernah mendengar namanya. Gajahkah binatang itu?"
"Benar. Raja Mongol memelihara dua ekor, akan tetapi tidak sebesar yang ditunggangi
orang itu."
"Hebat! Binatang raksasa itu memiliki tenaga melebihi seratus ekor kuda. Mari kita lihat!"
Mereka berlari menu-runi puncak pegunungan batu kapur itu. Ketika merea sudah tiba dekat,
tiba-tiba Bun Beng berhenti dan Milana juga berhenti. Keduanya terkejut bukan main
menyaksikan pemandangan di depan itu sehingga sampai lama mereka tidak mampu
mengeluarkan suara. Akhirnya Milana berbisik dengan napas tertahan, "Lihat...., dia.... kakek
Pulau Neraka itu...."
"Sssttt....!" Bun Beng berbisik pula menyentuh pinggang Milana dari bela-kang. "Jangan
ribut..... orang berkaki tunggal itu.... dia Pendekar Siluman To-cu Pulau Es.... dan itu
muridnya....."
Memang amat mengherankan kedua orang anak itu apa yang tampak oleh mereka. Kakek
bermuka kuning yang mereka temui di tengah lautan itu kini ber-hadapan dengan seorang
kakek tua ren-ta yang bersorban dan berjenggot pan-jang, tangan kiri memegang sebuah
sen-jata yang aneh, gagangnya berduri dan ujungnya merupakan bulan sabit, menung-gang
seekor gajah yang amat besar. Akan tetapi kakek muka kuning tidak kalah anehnya.
Agaknya untuk mengim-bangi kedudukan kakek bersorban yang tinggi di atas punggung
gajah, dia kini menggunakan jangkungan atau egrang. Yaitu dua batang bambu panjang
yang di tengahnya diberi cabang untuk injak-an kaki. Dengan berdiri di cabang itu dan
menggunakan dua batang bambu se-bagai pengganti kedua kaki, dia kini sa-ma tingginya
dengan Si Kakek Bersorban! Mereka agaknya sedang bertengkar sedangkan di atas sebuah
batu berdiri Pendekar Siluman dengan sikap tenang sebagai penonton, menggandeng
tangan seorang anak perempuan yang dikenal Bun Beng sebagai anak perempuan
pe-nunggang garuda yang berkelahi dengan anak Pulau Neraka dahulu!
Kwi Hong, murid Suma Han menoleh dan melihat kedatangan Bun Beng dan Milana, akan
tetapi karena kini kedua orang kakek aneh yang berhadapan itu sudah saling serang, dia
tertarik dan menengok lagi menonton pertandingan. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Suma Han menyusul ke Pulau Nera-ka dan berhasil membawa muridnya itu. Mereka
meninggalkan Pulau Neraka me-nunggang dua ekor burung garuda dan ketika dari atas
Suma Han melihat orang menunggang gajah, hatinya tertarik ma-ka dia lalu turun di
pegunungan itu, dan bersama Kwi-Hong diam-diam menghampiri dan menonton
pertandingan yang amat menarik hatinya antara kakek penunggang gajah dan kakek muka
kuning yang gerak-geriknya lucu dan lihai!
"Heh-heh-heh!" Kakek muka kuning tertawa sambil menggerak-gerakkan ke-dua bambu
yang telah menyambung ka-kinya. "Kita sudah sama tinggi sekarang. Hayo, kau mau apa"
Lekas turun dan berikan gajah itu kepadaku, baru kau benar-benar seorang sahabat dan aku
akan mengampunimu!"
"Sadhu-sadhu-sadhu!" Kakek bersor-ban itu berkata lirih. "Berbulan-bulan da-ri negara barat
sejauh itu, belum pernah bertemu orang yang begini nekad. Sahabat, gajah tunggangan ini
adalah sahabatku yang telah berjasa besar, ma-ti hidup dia bersamaku, tidak mungkin
kuberikan kepadamu. Pergilah, sahabat, dan jangan pergunakan kepandaian yang
kaupelajari puluhan tahun itu untuk me-lakukan hal yang tidak baik."
"Heh-heh-heh! Apa tidak baik" Apa baik" Yang menguntungkan dan menye-nangkan, itu
baik! Yang merugikan dan menyusahkan itu tidak baik! Kalau eng-kau berikan gajah itu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
163 kepadaku, engkau baik. Kalau tidak kauberikan, engkau ti-dak baik dan terpaksa kurampas,
heh--heh-heh-heh!"
"Aahh, betapa dangkal dan sesat pandangan itu, sahabat. Pandanganmu terba-lik sama
sekali. Justeru yang mengun-tungkan dan menyenangkan diri pribadi itulah sumber segala
ketidakbaikan."
"Waaaah, cerewet! Aku tidak butuh engkau kuliahi dengan wejangan-wejang-anmu. Hayo
turun!" Kakek muka kuning menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba bambu pan-jang yang kanan
menyambar ke arah kepala kakek bersorban itu. Akan tetapi, kakek itu menekuk tubuh ke
depan se-hingga sambaran bambu itu luput dan lewat di atas kepalanya.
"Sadhu-sadhu-sadhu, terpaksa aku membela diri!" Kakek bersorban mengge-rakkan tangan
kanan, dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan. Angin pu-kulan yang dahsyat
menyambar dan biarpun kakek muka kuning sudah menggerakkan bambu memutar tubuh
ke kanan, tetap saja terdorong dan terhuyung--huyung, kedua bambunya bergoyang--
goyang. Karena ia memutar tubuh ke kanan inilah maka tiba-tiba dia meiihat Suma Han yang berdiri
menonton dengan te-nang. Setelah mendapat kanyataan bah-wa orang Pulau Neraka itu
hendak me-rampas binatang tunggangan orang, Suma Han merasa tidak senang. Apalagi
kalau mengingat bahwa orang itu adalah pem-bantu Lulu, dia makin penasaran. Masa Lulu
dibantu oleh orang yang berwatak perampok hina, mau merampas binatang tunggangan
seorang kakek yang datang dari jauh" Tongkatnya bergerak men-congkel batu dua kali.
"Trak! Trak!"
Kakek muka kuning berseru kaget ke-tika tiba-tiba bambu yang menyambung kedua
kakinya itu patah disambar dua buah kerikil, dan seruannya ini pun sebagian karena dia
mengenal Pendekar Siluman yang biarpun belum pernah dijumpainya, akan tetapi sudah
banyak didengarnya. Ia cepat meloncat turun se-belum terbanting jatuh karena kedua
bambunya patah, kemudian dia meloncat-loncat jauh melarikan diri tanpa menengok lagi.
Melihat itu, Kwi Hong tertawa dan bersorak. Akan tetapi tiba-tiba ia ber-henti bersorak ketika
melihat gajah be-sar itu terhuyung dan roboh ke depan, membawa tubuh kakek bersorban
ikut roboh! Tubuh Suma Han melesat ke depan bagaikan seekor burung garuda dan dia
sudah berhasil menyambar tubuh kakek bersorban itu dari bahaya terban-ting dan tertindih
tubuh gajah yang kini berkelojotan lalu diam, tak bernyawa lagi. Dan dengan kaget Suma
Han men-dapat kenyataan bahwa kakek bersorban itu ternyata lumpuh kedua kakinya!
"Ah, gajahku yang baik, engkau mendahuluiku?" Kakek itu mengeluh, kemudian berkata
kepada Suma Han. "Orang muda yang gagah perkasa, turunkanlah aku."
Suma Han menurunkan kakek itu yang kedua kakinya amat kecil dan selalu bersilang.
Kakek itu duduk di atas ta-nah, wajahnya pucat dan napasnya ter-engah, "Gajah itu.... dia
memang sudah sakit.... dia menderita karena lelah.... melakukan tugasnya sampai mati.
Akan tetapi aku.... ah, aku pun hampir mati akan tetapi tugasku jauh daripada se-lesai....!
Aku hampir kehabisan tenaga saking lelah, perjalanan ini terlalu jauh untuk orang setua aku,
dan tadi.... ter-paksa aku mengerahkan tenaga dalam yang amat kuperlukan untuk
kesehatan-ku. Aihhh, orang muda perkasa, sinar matamu membuktikan bahwa engkau
bu-kan manusia biasa. Siapakah engkau yang begini lihai?"
"Kakek yang baik, aku adalah penghuni Pulau Es...."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
164 "Hah" Pendekar Super Sakti" Pendekar Siluman To-cu dari Pulau Es" Ya Tuhan, kalau
engkau mempertemukan hamba dengan dia ini untuk melanjutkan tugas hamba, hamba
akan mati tenteram!"
Suma Han mengerutkan alisnya, "Kakek, siapakah engkau dan urusan apa yang
membuatmu susah payah melakukan perjalanan begitu jauh?"
"Aku Nayakavhira.... aku keturunan dari Mahendra pembuat Sepasang Pedang Iblis....
adikku, Maharya telah mendahu-luiku untuk mencari sepasang pedang itu. Kalau terjatuh ke
tangannya, akan gegerlah dunia dan terancamlah banyak nyawa manusia! Aku.... aku
berkewajiban untuk merampas dan memusnahkan Sepa-sang Pedang Iblis. Akan tetapi....
aku tidak sanggup lagi.... ahh, Pendekar Super Sakti, engkau tolonglah aku...."
Kembali Suma Han mengerutkan alisnya, "Bagaimana aku harus menolongmu,
Nayakayhira?"
"Senjataku ini.... terbuat dari logam yang akan menandingi dan mengalahkan Sepasang
Pedang Iblis. Akan tetapi kare-na bentuknya seperti ini, tidak akan ada orang di sini yang
dapat memainkannya. Akan kubuat menjadi pedang.... biarlah kelak kauberikan kepada
siapa yang ber-jodoh untuk menindih dan menaklukkan Sepasang Pedang Iblis....
kaubantulah aku.... buatkan pondok, perapian.... aku tidak kuat lagi, engkau tolonglah aku,
buatlah sebatang pedang dari senjataku ini...."
Suma Han mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa sepasang pedang yang dahulu
dia tanam bersama jenazah kakek dan nenek yang saling bunuh, akan mendatangkan
urusan begini hebat! "Aku suka menolongmu, akan tetapi aku tidak bisa membuat pedang."
"Aku adalah ahli membuat pedang.... seperti nenek moyangku.... aku yang akan memberi
petunjuk, engkau yang mem-buat. Tolonglah.... Taihiap.... demi.... demi perikemanusian!"
"Kakek yang baik, biarlah aku mem-bantumu!" Tiba-tiba Bun Beng meloncat maju
mendekati kakek itu. Kakek ber-sorban itu membelalakkan mata meman-dang Bun Beng
dengan heran, Suma Han menengok. Dia sudah tahu akan kehadir-an kedua orang anak itu
akan tetapi ka-rena terjadi perkara besar, dia lebih mementingkan kakek itu dan belum
me-nanya dua orang anak yang datang di tempat itu secara aneh. Kini melihat sikap anak
laki-laki itu, diam-diam ia memperhatikan dan menjadi kagum. Di lain pihak, ketika melihat
sinar mata Pen-dekar Siluman itu ditujukan kepadanya dan mereka bertemu pandang,
kuncuplah hati Bun Beng dan otomatis dia menjatuhkan diri berlutut.
"Siapakah engkau?"
"Paman, dia adalah anak laki-laki yang telah menolongku ketika aku dike-royok rajawali.
Bocah dalam keranjang!"
Suma Han makin tertarik. Kwi Hong sudah menceritakan betapa ketika Kwi Hong diserang
putera Lulu dengan raja-wali dan dikeroyok muncul seekor burung rajawali yang
mencengkeram keranjang berisi seorang anak laki-laki yang mem-bantunya dengan
memukul rajawali itu sehingga cengkeraman rajawali terlepas dan keranjang bersama anak
itu jatuh ke laut! Kini tiba-tiba anak itu muncul dan dengan suara yang mengandung
ke-sungguhan menawarkan jasa baiknya hen-dak membantu Si Kakek India membuat
pedang. Bukan main!
"Siapa namamu?" Tanyanya, dalam suaranya terkandung rasa sayang karena dia melihat
suatu yang luar biasa pada diri anak laki-laki ini.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
165 "Saya adalah anak yang dahulu dito-long oleh Taihiap dari dalam kuil tua tepi Sungai Fen-
ho di lembah Pegunung-an Tai-hang-san dan Lu-liang-san...."
Suma Han benar-benar terkejut se-hingga ia bangkit berdiri. "Kau....?"
"Benar, Taihiap. Saya adalah Gak Bun Beng."
Suma Han menarik napas panjang dan menengadah ke langit. Benar-benar amat luar biasa
pertemuan ini! "Di ma-na suhumu Siauw Lam Hwesio?"
"Suhu.... telah meninggal dunia, terbu-nuh oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok
Lama, Thai Li Lama, dan Bhe Ti Kong panglima Mancu!" Ucapan ini dikeluarkan dengan
suara sengit oleh Bun Beng.
"Sadhu-sadhu-sadhu...." Tiba-tiba kakek itu berkata, "Bhong Ji Kun ada-lah Koksu
Pemerintah Mancu.... dia.... dia itu adalah muridku...."
"Kau....!" Bun Beng meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
"Bun Beng, jangan lancang!" Tiba-tiba Suma Han membentak dan Bun Beng menjatuhkan
diri berlutut lagi. "Tai-hiap.... teecu harus membalas kematian Suhu!"
"Hemmm, sungguh tidak baik masih kanak-kanak sudah mendendam. Dendam
menimbulkan watak kejam sehingga sembarangan saja engkau akan mencelaka-kan orang
tanpa pertimbangan lagi."
Sementara itu, kakek tua itu mena-rik napas panjang. Sungguh ajaib, dapat bertemu
dengan anak ini! Muridku itu memang telah menyeleweng dan perja-lananku ini di samping
hendak mencari Sepasang Pedang Iblis juga tadinya akan kupergunakan untuk
mengingatkan dia, kalau perlu menghukumnya. Bagaimana, Taihiap, sukakah engkau
menolongku?"
Suma Han tidak menjawab, melain-kan bertanya kepada Bun Beng, "Bagaimana dengan
engkau, Bun Beng" Apakah engkau masih suka menolong Kakek ini sekarang?"
"Teecu sudah berjanji, tentu teecu penuhi!"
Suma Han tersenyum. "Baiklah. Nayakavhira, kami akan membantumu. Siapa-kah anak
perempuan itu, Bun Beng?"
Milana yang sejak tadi mendengarkan menjadi tertarik sekali akan kata-kata Suma Han. Dia
sudah menghampiri dan memandang Suma Han penuh perhatian. Tadi dia mendengar dari
Bun Beng bah-wa laki-laki gagah perkasa berkaki satu yang rambutnya putih semua dan
wajah-nya muram menimbulkan iba itu adalah Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang
amat terkenal! "Apakah engkau yang berjuluk Pende-kar Siluman yang hebat itu?" Tanyanya, suaranya
halus dan wajahnya berseri. Suma Han tersenyum, sekaligus tertarik rasa sukanya kepada
bocah yang cantik jelita itu.
"Benar, anak manis. Engkau siapa-kah?"
"Namaku Milana, aku keponakan Pangeran Jenghan dari Kerajaan Mongol. Kami sedang
berpesiar di kapal, diserbu bajak laut dan aku diselamatkan oleh Bun Beng."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
166 Hati Suma makin kagum kepada Bun Beng. Hemm, biarpun putera seorang datuk kaum
sesat seperti Kang-thouw--kwi Gak Liat dan dilahirkan karena da-tuk itu memperkosa Bhok
Kim, namun ternyata bocah ini mempunyai bakat la-hir batin yang baik. Tentu menuruni
wa-tak ibunya, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang perkasa itu
(baca ceritaPendekar Super Sakti).


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Marilah kalian ikut bersamaku mem-bantu Nayakavhira. Kwi Hong, kau ajaklah dua orang
anak ini."
Suma Han memondong tubuh kakek bersorban dan mencari tempat yang ada pohonnya. Di
situ dia lalu membangun sebuah pondok, mempersiapkan landasan dan keperluan
pembuatan pedang. Bun Beng yang sudah berjanji membantu itu ditugaskan mengumpulkan
kayu bakar karena menurut Nayakavhira pembuatan pedang itu membutuhkan banyak sekali
kayu bakar untuk membuat api yang se-panas-panasnya.
Berhari-hari lamanya Suma Han sibuk di dalam pondok membuat pedang di bawah petunjuk
kakek Nayakavhira yang lumpuh. Tiga orang anak itu sama sekali tidak boleh memasuki
pondok yang pa-nasnya luar biasa karena api besar di-nyalakan siang malam tak pernah
ber-henti. Bun Beng juga bekerja setiap hari mencari kayu bakar, sedangkan Kwi Hong
bermain-main dengan Milana yang berwa-tak halus dan sebentar saja sudah dapat menarik
rasa sayang di hati Kwi Hong yang wataknya kasar. Kedua orang anak perempuan ini jauh
berbeda wataknya. Kwi Hong yang lebih tua beberapa tahun, berwatak jenaka, riang
gembira, galak dan pandai bicara. Sebaliknya Mi-lana berwatak halus, lemah lembut dan
pendiam, hati-hati dalam bicara agar ja-ngan sampai menyingung perasaan orang lain.
Namun, berkat kehalusan budi Mila-na yang pandai mengalah, mereka berdua dapat
bersahabat dengan rukun.
Di dalam pondok itu terjadi hal yang tentu akan amat mengherankan tiga orang anak itu
kalau saja mereka dapat melihatnya. Kakek Nakavhira duduk bersila di atas tanah, seperti
arca tidak bergerak dan hawa panas di dalam pon-dok itu tak mungkin akan dapat terta-han
oleh manusia biasa. Suma Han menanggalkan baju atasnya dan sibuk membakar senjata
yang bentuknya seper-ti bulan sabit itu di dalam api. Sudah tiga hari tiga malam logam itu
dibakar, tetap saja masih utuh, tidak dapat mem-bara. Kakek itu berkali-kali minta di-tambah
api karena kurang besar sehing-ga setiap tumpukan kayu bakar yang di-kumpulkan Bun
Beng, selalu habis sehing-ga tidak ada cadangan sama sekali, membuat anak itu tidak
berani berhenti karena khawatir kehabisan kayu bakar!
Kakek Nayakavhira mengeluarkan be-berapa macam obat yang dioleskan pada logam putih
itu, namun setelah lewat lima hari tetap juga logam itu belum membara. Kakek itu menjadi
bingung dan prihatin sekali.
"Ya Tuhan, akan gagalkah usaha ham-ba?" Keluhnya berkali-kali sehingga Su-ma Han
menjadi kasihan. Juga pendekar ini merasa penasaran sekali. Sedangkan batu bintang saja
dapat dibakar sampai mencair, yaitu ketika dia masih kecil dan menjadi pelayan Kang-
thouw-kwi Gak Liat (baca ceritaPendekar Super Sakti), masa logam ini dibakar dalam api
sampai lima hari lima malam belum juga membara" Teringat akan masa ke-cilnya, ia teringat
kepada Bun Beng yang sibuk mengumpulkan kayu di luar pondok. Dahulu dia menjadi
pelayan Gak Liat, dan sekarang, secara kebetulan, putera Gak Liat itu bekerja keras
mela-yaninya! Demikianlah nasib mempermain-kan manusia!
Ia teringat akan batu bintang, ter-ingat akan latihan Hwi-yang Sin-ciang. Hwi-yang Sin-ciang!
Bukankah sin-kang yang mujijat dan yang sudah dikuasainya dengan sempurna itu
mengandung hawa panas yang mujijat" Mengapa tidak ia pergunakan untuk coba-coba" Dia
meme-gang gagang senjata kakek yang aneh itu. Senjata itu terbuat daripada baja yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
167 aneh sebagai gagang berduri, ada-pun ujungnya yang berbentuk bulan sabit berwarna putih
itulah yang akan diolah menjadi pedang. Suma Han mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang
sehingga wajahnya yang selama lima hari lima malam berdekatan dengan api tidak berubah
apa--apa, kini setelah mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang sekuatnya, muka itu berubah
merah. Dan perlahan-lahan, logam putih berbentuk bulan sabit itu menjadi merah membara!
"Kakek Nayakavhira, aku berhasil!" Teriaknya girang.
Kakek yang sudah kehabisan semangat itu membuka matanya dan seketika wajahnya
berseri! "Hebat....! Biarkan sampai merah tua seluruhnya, baru digembleng!" Teriaknya dan
semangatnya kembali. Ma-tanya bersinar-sinar.
Suma Han tidak mau bicara tentang penggunaan Hwi-yang Sin-ciang dan kini setelah logam
itu dapat membara, pa-nasnya api sudah cukup untuk membikin bara menjadi tua. Tak lama
kemudian logam itu sudah menjadi merah sekali.
"Cepat letakkan di landasan dan gembleng sampai bentuknya menjadi pan-jang
membungkus gagang senjataku."
"Membungkus gagang?" Suma Han bertanya.
"Benar. Logam putih itu hanya merupakan lapisan luar saja. Gembleng sampai lebar dan
tipis sepanjang sete-ngah kaki. Cepat!" Suara kakek itu ge-metar penuh gairah.
Otomatis Suma Han mematuhi perintah ini karena dia sendiri sama sekali tidak mempunyai
pengetahuan tentang pembuatan pedang. Biarpun dia bukan seorang pandai besi, bahkan
memegang martil dan menggembleng logam memba-ra pun baru sekali itu selama hidupnya,
namun pendekar ini memiliki tenaga yang melebihi tenaga seratus orang dengan sin-
kangnya yang hebat, maka tentu sa-ja gemblengannya juga amat kuat sehing-ga tak lama
kemudian logam yang mem-bara itu sudah menjadi lebar tipis sepan-jang tiga setengah kaki.
"Bagus! Hebat....! Untuk menggembleng itu biarpun dalam keadaan sehat, tentu baru dapat
kuselesaikan dalam waktu tiga hari. Akan tetapi engkau hanya membutuhkan waktu
beberapa jam saja. Benar-benar sukar dicari pendekar sakti seperti engkau, Suma-taihiap.
Logam itu telah mendingin, bakar lagi sampai membara dan akulah yang akan
menggemblengnya membungkus gagang."
Kembali Suma Han menurut dan sekali ini, karena logam itu sudah pernah membara,
panasnya api cukup membuat logam itu menjadi merah lagi. Akan te-tapi kakek itu
mengatakan belum cukup. "Dia harus dibakar selama satu malam sampai melunak agar
mudah digem-bleng membungkus gagang, apalagi tena-gaku sekarang banyak berkurang."
Pada keesokan harinya, ketika terdengar bunyi martil menghimpit logam di atas besi
landasan sampai berdentang--dentang, dikerjakan sendiri oleh Kakek Nayakavhira yang
dibuatkan tempat du-duk tinggi oleh Suma Han dan ditonton oleh pendekar sakti itu. Selama
menyaksikan kakek itu bekerja, diam-diam Suma Han merasa kagum dan barulah dia tahu
betapa sulitnya membuat sebatang pe-dang pusaka! Dalam menempa dan menggembleng
ini, kakek itu bekerja seperti dalam samadhi sehingga setiap tempaan merupakan gerakan
suci seperti seorang bersembahyang. Maka Suma Han menonton penuh perhatian dan
penuh hor-mat. "Bun Beng, mengasolah. Lihat, tum-pukan kayu di belakang pondok sudah cukup banyak.
Dan mendengar suara ber-dentang itu, agaknya mereka tidak mem-butuhkan terlalu banyak
kayu lagi. Lihat sepagi ini tubuhmu sudah berkeringat!" Kwi Hong menegur Bun Beng yang
bertelanjang baju dan sejak pagi buta telah menebangi kayu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
168 "Benarkah" Ah, kalau begitu aku mau beristirahat sebentar!" Bun Beng lalu du-duk di atas
batu dan menyusuti peluh-nya.
"Aku akan masak air, tunggu saja. Aku akan membuatkan minuman untuk-mu!" Kwi Hong
lalu berlari-lari kecil meninggalkan Bun Beng. Setelah bekerja keras sejak pagi, tubuhnya
lelah dan ki-ni duduk bersandar batu disiliri angin pagi, Bun Beng merasa nyaman sekali
sehingga tak terasa lagi ia memejamkan matanya. Sudah hampir setengah bulan dia berada
di situ sejak pertemuannya dengan Pendekar Siluman dan Kakek Nayakavhira, dan selama
itu setiap hari dia bekerja keras dalam usahanya mem-bantu kakek itu membuat pedang
pusaka. Kini ia merasa lelah sekali dan mengan-tuk.
Entah berapa lama ia tertidur, tiba--tiba ia merasa pundaknya diguncang tangan halus dan
terdengar suara Kwi Hong. "Ihhh, pemalas. Berhenti sebentar saja sudah tertidur pulas! Bun
Beng, mi-numlah ini. Bukan air teh akan tetapi daun ini lebih sedap dan kata Paman da-pat
memulihkan tenaga. Minumlah!"
Bun Beng merasa malas untuk bangun, akan tetapi pundaknya ditarik sehingga ia terduduk
dan ketika ia membuka se-dikit matanya, ia melihat Kwi Hong yang membangunkannya
bahkan kini anak pe-rempuan itu menempelkan secawan mi-numan ke bibirnya!
"Bun Beng, lihat betapa indahnya bunga ini.... indah harum kupetik untuk-mu...." Tiba-tiba
Milana menghentikan kata-kata dan langkah kakinya ketika melihat Kwi Hong sedang
memberi mi-num Bun Beng dengan sikap mesra. Mi-lana memandang sejenak, kemudian
memejamkan mata, membuang muka, me-lempar kembang di tangannya kemudian
membalikkan tubuh dan pergi dari situ tanpa berkata-kata. Sambil melangkah pergi dia
cepat-cepat menghapus dua butir air mata yang bergantung di bulu matanya. Anak
perempuan ini sama sekali tidak mengerti mengapa dia menjadi berduka, dan dia tidak tahu
sama sekali bahwa setan cemburu yang selalu siap menggoda hati manusia, terutama sekali
hati wanita, telah mulai menyentuh ha-tinya. Dia hanya merasa kecewa karena pagi itu dia
sengaja mencari bunga yang paling indah di dalam hutan untuk dipe-tiknya dan diberikan
kepada Bun Beng yang ia tahu tentu sedang bekerja keras. Dengan hati penuh keg
Rahasia 180 Patung Mas 3 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 2
^