Pencarian

Seruling Perak Sepasang Walet 1

Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Bagian 1


" SERULING PERAK SEPASANG WALET
(GIN TIE SUANG YEN)
Karya: Khulung Jilid 01 PENDAHULUAN Bum! Bum! Bum! Itulah suara gelombang yang amat dahsyat.
Gelombang yang amat dahsyat itu menghantam dinding tebing,
menimbulkan buih-buih yang menyerupai bunga. Di bawah
sinar bintang-bintang yang bertaburan di langit, tampak
cahaya bergemerlapan di permukaan laut. Bukan main
indahnya panorama itu! Kalau seorang pelukis ada di sana,
pasti akan melukisnya. Itu adalah tebing Giok Li Hong.
Tergeletak tujuh delapan sosok mayat di atas tebing
tersebut. Darah membanjiri tebing itu. Mayat-mayat itu sudah
tidak utuh. Terlihat beberapa kepala berserakan di sana. Begitu
pula anggota badan.
Perut tersobek oleh senjata tajam. Bahkan sebuah kepala
tampak terbelah dua. Dan.... Sungguh mengerikan
pemandangan itu! Tiada sesosok mayat pun yang utuh. Di
antara mayat-mayat itu, tampak seorang wanita sedang
memeluk erat-erat seorang anak berusiatiga tahunan. Hanya
badan wanita itu yang masih utuh, namun sekujur badannya
berlumuran darah. Menyeramkan. Di bawah sinar rembulan,
sungguh mengerikan pemandangan itu!
Serangkum demi serangkum bau dapatir menyebar
terhembus angin.... Mendadak wanita itu mendongakkan
kepala, lalu menengok ke sekelilingnya. Dia bangkit berdiri,
sambil memeluk anak itu erat-erat. Ternyata wanita itu belum
mati. Disaat bersamaan terdengar pula suara tawa yang
menyeramkan. Suara tawa seram itu berasal dari balik sebuah
batu. Kemudian muncul seorang suseng (Pelajar) berusia
pertengahan, dengan wajah bengis berjalan mendekati wanita
tersebut. Begitu melihat suseng itu, wanita tersebut langsung
menyingkir ke samping. Suseng itu berhenti, kemudian berkata
dengan suara yang amat lembut sekali, "Cen Soat Ngo, kau
tidak akan bisa kabur!"
"Chiu Tiong Thau, aku bersumpah akan melawanmu!" sahut
wanita itu gusar. Chiu Tiong Thau tertawa terkekeh-kekeh.
"Sudah dua puluh tahun lebih, aku terus menunggumu. Hari
ini...." Dia tertawa terkekeh-kekeh lagi, lalu melesat ke arah
wanita itu. Dalam waktu bersamaan itu tampak sosok bayangan
berkelebat dan lenyap seketika. Di atas tebing itu kembali
sunyi, menyeramkan dan menakutkan! Di bawah tebing, masih
terdengar suara gelombang bergemuruh, seakan turut berduka
cita atas kematian orang-orang yang berada di atas tebing itu.
Sang waktu terus berlalu. Mayat-mayat di atas tebing Giok Li
Hong semuanya telah membusuk. Kini yang ada hanya tinggal
tulang-belulang. Tiada seorang pun menguburkannya. Juga
tiada seorang pun yang datang ke tempat itu. Karena tempat
itu amat menyeramkan, lagi pula amat berbahaya, siapa yang
akan datang ke tempat itu" Dan siapa pula yang akan
berziarah ke sana" Sebab itu, tulang belulang tersebut tetap
berserakan di atas tebing itu, selamanya berserakan.
Di sini ----- Juga merupakan tempat yang menyeramkan
selama-lamanya. Bunga-bunga salju beterbangan. Angin terus
berhembus kencang. Terdengar suara 'Huuh! Huuuh!' Membuat
merinding sekujur badan orang yang mendengarnya. Malam
semakin larut. Angin terus berhembus kencang dan dingin
sangat mencekam. Bunga-bunga salju beterbangan tak hentihentinya.
Alam semesta amat hening seperti berkabung.
Di sekitar Gunung Tay Pah San, berdiri sebuah rumah yang
amat besar. Karena hawa udara amat dingin, para penghuni
rumah telah tidur lelap. Karena itu, suasana di sekitar rumah
besar itu terasa sepi menyeramkan. Di atas pintu rumah besar
tersebut, tergantung sebuah papan bertulisan Tong Keh Cuang
(Rumah perkampungan Tong). Tampak kamar yang berderet,
dibangun dengan bahan kayu mahal, sungguh merupakan
bangunan mewah.
Di belakang rumah itu terdapat sebuah taman. Banyak
tanaman hias bunga-bungaan di dalam taman itu. Namun
karena saat itu musim salju, maka dedaunan dan bunga-bunga
di taman itu semuanya rontok. Akan tetapi, di sekitar sebuah
bangsal istana, terdapat belasan bunga bwee yang memekar
segar, sebagian tertutup bunga-bunga salju, sehingga
kelihatan indah sekali. Saat itu sudah lewat tengah malam,
mendadak sosok bayangan hitam berkelebat memasuki
bangsal, lalu menaruh barang yang dibawanya di atas meja
batu. Sungguh di luar dugaan, barang yang dibawa orang itu
ternyata seorang gadis cantik berusia lima belasan. Orang yang
membawa gadis itu adalah seorang pemuda berusia tujuh
belasan. Wajah pemuda itu tampan, hanya saja sepasang
matanya menyorotkan sinar kelicikan, bibirnya menyungging
senyuman puas. Sedangkan gadis yang dibaringkan di atas
meja batu itu sepasang matanya menyorotkan sinar yang
diliputi ketakutan. Pemuda itu menatapnya.
"Adik Ping, kau tidak usah takut, toako (Kakak) tidak akan
mencelakaimu," katanya dengan ringan, sambil menjulurkan
tangannya ingin menanggalkan baju gadis itu. Sepasang
tangan dan kaki gadis itu tidak bisa bergerak, namun mulutnya
dapat mengeluarkan suara 'Aah!'
"Aku Bwee Han Ping memang menumpang di rumahmu. Tapi
kau tidak bisa berbuat semaumu terhadapku...", kata gadis itu.
Akan tetapi pemuda tersebut tetap menanggalkan baju gadis
itu. "Adik Ping, kalau kau mengabulkan permintaanku, kita akan
baik selama-lamanya," katanya. Baju bagian atas gadis itu
telah terbuka, sehingga tampak sepasang payudara yang amat
montok dan indah. Sepasang mata pemuda itu membara penuh
nafsu birahi, seakan ingin menelannya bulat-bulat. Sedangkan
Bwee Han Ping saking gugup dan panik, akhirnya mengucurkan
air mata. Dia menggigit bibir.
"Tong Eng Kang, kau adalah binatang...!" teriaknya
memilukan Pemuda itu tidak membiarkannya terus berteriak. Maka
ditotoknya jalan darah gagu gadis itu. Setelah itu, dia tertawa
dingin. "Bween Han Ping, kau kira teriakanmu akan mengundang
orang kemari menyelamatkanmu" Terus terang. kalaupun ada
orang kemari, orang itu tidak akan bisa berbuat apa-apa
terhadap siauw ya (Tuan Muda)!" Sepasang mata Tong Eng
Kang semakin membara, kelihatan nafsu birahinya telah
memuncak. Bwee Han Ping tidak bisa bergerak, bahkan juga
tidak bisa bersuara. hanya air mata yang bercucuran,
menunggu badai menerpa dirinya....
Tong Eng Kang mulai menanggalkan baju bagian bawah gadis
itu. Kelihatannya dia sudah siap memangsa anak domba yang
berada di hadapannya. Akan tetapi, tiba-tiba di luar bangsal itu
tampak sesosok bayangan kecil. Lantaran agak berat
langkahnya, maka terdengar suara. "Serrt! Serrrt!" Setelah
diperhatikan, ternyata seorang anak lelaki berusia tiga
belasan. Ketika menyaksikan pemandangan di dalam bangsal,
sepasang matanya langsung terbelalak.
"Tong Eng Kang, bagus sekali perbuatanmu!" bentaknya
keras. Anak lelaki itu segera menerjang ke dalam bangsal.
Mendengar bentakan itu, Tong Eng Kang cepat-cepat
membalikkan badannya. Sepasang matanya tampak bersinar
bengis, kemudian tersenyum licik.
"Anak jahanam, kau makan, pakaian dan tidur dariku! Justru
sekarang kau berani mencampuri urusanku! Kau memang ingin
cari mampus!" Tangan Tong Eng Kang bergerak cepat
mencengkeram lengan anak itu, sekaligus mengayunkan
kakinya menendang, membuat anak itu terpental keluar.
Terdengar suara jeritan anak itu. Ternyata dia roboh pingsan
seperti mati seketika. Bayangkan! Anak itu berusia lima
belasan sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Kalaupun
mengerti, dia tidak akan tahan terkena tendangan
tersebut. Tong Eng Kang berjalan ke luar mendekati anak yang
pingsan itu, kemudian menambah sebuah tendangan lagi. Anak
yang pingsan itu terpental. Sedangkan Tong Eng Kang
berkertak gigi.
"Siauw ya akan menghabiskanmu dulu!" katanya.
Selangkah demi selangkah Tong Eng Kang menghampirinya,
lalu menyambar anak itu seperti menyambar seekor anak
ayam. Badannya melesat ke luar melalui tembok, ternyata Tong Eng
Kang membawa anak itu ke atas gunung. Bukan main cepatnya
gerakan Tong Eng Kang! Hanya sekejap dia sudah berada di
puncak gunung. Terdengar suara tawa puas, menyusul
terdengar pula Tong Eng Kang berkata dengan sinis.
"Anak jahanam, pergilah mengurusi urusanmu!" Tangan Tong
Eng Kang bergerak, ternyata dia melemparkan anak itu ke
dalam sebuah lembah. Terdengar suara hembusan angin yang
menderu, kedengarannya seperti meratapi nasib anak yang
malang itu. Tong Eng Kang memandang ke bawah lembah itu
sejenak, setelah itu barulah dia melesat pergi menuju kaki
gunung. Pemuda tersebut kembali ke halaman belakang
rumahnya. Namun tak disangka, di dalam bangsal itu tidak tampak
seorang pun. Kening Tong Eng Kang berkerut, lalu dia melesat
ke arah sebuah loteng. Dalam sekejap bayangannya sudah
tidak kelihatan.
Ternyata ketika Tong Eng Kang melesat turun dari gunung,
terlihat pula sosok bayangan kecil, melesat ringan menuju ke
atas gunung melalui sebuah rimba yang lebat dengan pohon
besar. Sosok bayangan kecil itu, tidak lain adalah seorang
gadis berusia tiga belasan. Begitu sampai di puncak gunung,
sepasang matanya mencari kesana kemari, lalu dia melesat ke
bawah lembah. Samar-samar dia melihat ada sedikit bekas di
sana. Gadis itu segera meloncat ke atas sebuah batu, lalu
memandang ke arah bekas itu dengan hati berdebardebar.
Batu besar itu lebih tinggi maka gadis itu dapat melihat
tempat yang terdapat suatu bekas. Mendadak dia melihat ada
sesuatu di tempat itu. Karena agak jauh, dia hanya dapat
melihat samar-samar. Gadis itu langsung melesat ke arah
tempat itu. Gerakannya laksana kilat. Sampai di tempat itu,
tanpa sadar dia mengeluarkan seruan.
"Haah...!"
Tanpa ayal lagi gadis itu cepat-cepat membungkukkan
badannya, lalu berseru dengan suara ringan.
"Adik Yin! Adik Yin!"
Ternyata di atas permukaan salju, terdapat seorang anak lakilaki,
tidak lain adalah anak laki-laki yang dilempar ke bawah
lembah oleh Tong Eng Kang. Walaupun gadis itu berseru
berulang kali, namun anak itu tidak menyahut sama
sekali. Gadis itu cepat-cepat meraba dadanya, masih terasa
hangat dan jantung anak laki-laki itu masih berdetak. Oleh
karena itu, gadis tersebut menarik nafas lega, lalu berseru lagi
memanggil anak itu. Anak gadis itu, kelihatan amat
memperhatikan anak laki-laki tersebut. Di saat berseru, air
matanya pun terus berderai. Berselang beberapa saat
kemudian, anak laki-laki itu siuman perlahan-lahan. Mulutnya
mengeluarkan suara rintihan. Betapa girangnya gadis itu!
"Adik Yin, bagaimana keadaan dan rasmau sekarang?"
serunya. Anak laki-laki itu menatapnya dengan mata sayu, kemudian
meledaklah isak tangisnya.
"Adik Yin, bangunlah! Kita harus cepat-cepat meninggalkan
tempat ini," kata anak gadis itu, lalu memapahnya bangun dan
memeluknya erat-erat. Anak laki-laki itu menahan rasa sedih
dalam hatinya. Dia menatap anak gadis itu dengan penuh rasa
terimakasih. "Banyak-banyak terimakasih, Kakak Wen!" ucapnya.
Mendadak terdengar suara bentakan bengis dari kejauhan,
sepertinya terjadi di Tong Keh Cuang. Air muka anak gadis itu
langsung berubah dan dia cepat-cepat mengambil tusuk
rambutnya. "Adik Yin, kau tidak bisa lagi tinggal di rumah kami, lebih baik
cepat pergi! Bawalah tusuk rambutku ini! Tusuk rambut ini bisa
ditukarkan dengan uang perak, di saat kau membutuhkannya,"
katanya sambil memberikan tusuk rambutnya kepada anak
laki-laki itu. Saat itu di tempat nan jauh masih terdengar suara-suara
bentakan bengis, bahkan tampak pula cahaya api. Anak gadis
itu kelihatan amat gugup dan gelisah. Dia menatap anak lelaki
itu sejenak, lalu melesat pergi. Ketika sampai di Tong Keh
Cuang, tampak perkampungan itu telah berubah menjadi
lautan api. Bayangan-bayangan orang berkelebatan. Terdengar
pula suara-suara bentakan dan suara yang hiruk pikuk
memekakkan telinga. Bukan main terkejutnya anak gadis itu!
Dia langsung melesat ke halaman rumah Tong Keh Cuang
itu.... Sementara anak laki-laki itu memandang kepergian anak
gadis tersebut dengan air mata bercucuran.
"Aku harus pergi ke mana?" gumamnya. Dia melihat
tangannya, ternyata tangannya menggenggam sebuah tusuk
rambut pemberian anak gadis tadi.
"Kenapa Kakak Wen memberiku benda ini?" katanya seorang
diri dengan air mata berderai. Dia kelihatan agak membenci.
Tangannya diangkat sepertinya ingin membuang tusuk rambut
itu. Akan tetapi, tangannya diturunkan lagi, kemudian
disimpannya tusuk rambut itu di dalam bajunya. Tiba-tiba
wajahnya berubah menjadi keras.
"Setahun lebih, sudah cukup aku menerima siksaan, aku
harus pergi mencari kakek tua berjenggot putih!" katanya
sambil menyusut air matanya. Kemudian dengan menahan rasa
sakit dia berjalan perlahan-lahan ke dalam lembah itu. Di
dalam benaknya, teringat kembali kejadian yang lalu. Dia
pernah mendengar dari kakek tua berjenggot putih, bahwa
namanya adalah Ciok Giok Yin. Dia ikut kakek tua tersebut
belajar membaca, menulis dan ilmu pengobatan. Tiga tahun
yang lalu, dia dibawa oleh kakek tua berjenggot putih itu ke
perkampungan Tong Keh Cuang.
Setelah berada di perkampungan itu, dia berkenalan dengan


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwee Han Ping. Sejak kecil Bwee Han Ping tidak punya orang
tua, maka keluarga Tong memeliharanya. Dia pernah
mendengar dari Bwee Han Ping, bahwa gadis itu masih punya
hubungan famili dengan keluarga Tong. Tapi bagaimana
hubungan famili itu, dia sama sekali tidak bertanya. Majikan
Tong Keh Cuang di dunia persilatan amat terkenal. Dia
bernama Tong Lip Ceng, julukannya adalah Pah San Hui Pa
(Macan Tutul Terbang Gunung Pahsan), mempunyai seorang
anak laki-laki dan seorang anak perempuan, bernama Tong
Eng Kang dan Tong Wen Wen.
Mereka berdua telah mewarisi kepandaian ayahnya, namun
Tong Eng Kang amat licik terhadap orang, bahkan juga selalu
berlaku sewenang-wenang. Sudah lama dia berniat jahat
terhadap Bwee Han Ping. Akan tetapi, Bwee Han Ping tinggal
bersama Tong Wen Wen, maka membuat Tong Eng Kang
belum berhasil menodai gadis tersebut. Lagi pula Tong Eng
Kang takut pada ayahnya, karena itu niat jahatnya tersebut
belum tercapai. Selain itu, Tong Eng Kang pun amat segan
terhadap kakek tua berjenggot putih.
Setahun yang lalu, kakek tua berjenggot putih berpesan pada
Ciok Giok Yin harus rajin belajar membaca dan menulis, karena
kakek tua itu akan pergi jalan-jalan ke dunia persilatan, dan
entah kapan baru akan kembali. Sejak kakek tua berjenggot
putih pergi, Tong Eng Kang mulai berlaku semena-mena
terhadap Ciok Giok Yin, bahkan mengancamnya apabila berani
memberitahukan kepada orang lain, maka Ciok Giok Yin akan
dibunuhnya. Mengenai Tong Wen Wen, juga pernah
menghinanya, mengatainya sebagai anak yang tidak
mempunyai orang tua.
Memang kebetulan sekali segala urusan itu. Tiga hari yang
lalu, Pah San Hui Pa Tong Lip Ceng diajak pergi oleh teman
akrabnya, maka tidak heran Tong Eng Kang semakin jadi
bertindak sewenang-wenang. Malam ini, Tong Eng Kang
memanfaatkan kesempatan ketika adiknya tidak berada di
dalam kamar. Dia menculik Bwee Han Ping ke halaman
belakang, maksudnya ingin menodai gadis itu. Justru sungguh
di luar dugaan! Di saat bersamaan Ciok Giok Yin tidak bisa
tidur, maka dia jalan-jalan ke halaman belakang itu. Tanpa
sengaja, dia mendengar suara orang di dalam bangsal.
Dia kenal benar akan suara itu, tidak lain adalah suara Kakak
Ping. Segeralah dia ke sana dan menyaksikan.... Akan tetapi,
Tong Eng Kang memang sangat kejam. Dia langsung
menendangnya tanpa ampun, lalu membawanya ke atas
gunung dan melemparnya ke bawah lembah. Yang tak terduga
sama sekali yakni kemunculan Tong Wen Wen. Padahal anak
gadis itu pernah menghinanya, namun kini sebaliknya malah
menolongnya. Ciok Giok Yin teringat lagi pada kakek tua
berjenggot putih. Sebetulnya siapa kakek tua itu dan pergi ke
mana dia" Masih ada Kakak Ping, apakah dia akan ternoda oleh
Tong Eng Kang" Selanjutnya dia akan bagaimana" Kini dia
tidak boleh kembali ke perkampungan Tong Keh Cuang. Lagi
pula dia tidak bisa ilmu silat, maka pasti tidak mampu melawan
Tong Eng Kang. Bagaimana mungkin membantu Kakak Ping"
Mengenai Tong Lip Ceng adalah orang macam apa" Dia orang
baik atau orang jahat" Kelihatannya dia tidak terkesan baik
terhadap Ciok Giok Yin, namun memandang muka kakek tua
berjenggot putih, dia masih tidak berbuat apa-apa. Akan tetapi,
sejak kakek tua berjenggot putih pergi, setiap kali melihat Ciok
Giok Yin, maka Tong Lip Ceng pasti tampak dingin, tak pernah
berseri sama sekali.
Mendadak terlintas suatu pikiran dalam benak Ciok Giok Yin,
yaitu apabila ada kesempatan, harus belajar ilmu silat, paling
rendah harus setingkat dengan Tong Eng Kang, agar mampu
melawannya, maka bisa melindungi Kakak Ping. Kecuali begitu,
sama sekali tiada akal lain. Berbagai macam pikiran
berkecamuk di dalam benak Ciok Giok Yin, akhirnya dia
bergumam. "Aku harus belajar ilmu silat! Aku harus belajar ilmu silat!"
Karena pikiran Ciok Giok Yin sedang menerawang,
membuatnya kurang berhati-hati. Kakinya kesandung sebuah
batu kecil, menyebabkannya jatuh terguling-guling. Mendadak
dia merasa dirinya berada di udara, sepertinya terangkat oleh
sebuah jala besar. Dia terangkat ke atas hampir empat
depa. Secara reflek dia meronta, justrudia meronta, justru
terdengar suara Ting! Ting! Ting! yang amat nyaring.
"Berhasil menangkap satu! Cepat!" terdengar orang berkata.
Terdengar pula suara langkah yang tergesa-gesa.
Saat itu hari sudah mulai terang. Ciok Giok Yin yang berada di
dalam jala. Dia memandang ke bawah, tampak tiga lelaki
bergegas-gegas menuju ke arahnya. Tangan mereka membawa
senjata bercagak tiga, yaitu senjata berburu. Setelah
mendekat, salah seorang dari mereka langsung mengangkat
senjatanya, lalu ditusukkan ke arah jala. Ciok Giok Yin melihat
itu, segera berteriak sekeras-kerasnya.
"Aduuuh! Ibu...!" Lelaki itu cepat-cepat menarik kembali
senjatanya, sekaligus meloncat ke belakang. Dua orang
temannya pun meloncat ke belakang, bahkan air muka mereka
tampak ketakutan. Setelah saling memandang, mereka bertiga
lalu memandang ke arah jala. Karena hari baru mulai terang,
maka mereka bertiga tidak dapat melihat dengan jelas apa
yang berada di dalam jala besar itu.
"Apakah... adalah orang?" kata salah seorang diantara ketiga
lelaki itu. Sedangkan Ciok Giok Yin yang berada di dalam jala
besar itu amat terkejut dan ketakutan. Sekujur badannya
menggigil. "Paman! Tolong turunkan aku!" sahutnya ketika mendengar
perkataan orang itu.
"Kau adalah orang?"
"Ya!"
"Siapa namamu?"
"Ciok Giok Yin!"
Lelaki yang berbicara itu mendekati seutas tali, kemudian
ditariknya tali itu. Buuk! Jala besar itu jatuh ke bawah.
Terdengar pula suara jeritan Ciok Giok Yin yang amat keras.
"Aduuuuh!" Dia merasa semua tulangnya seakan patah.
Bukan main sakitnya sehingga membuatnya nyaris pingsan.
Ketiga lelaki itu maju serentak, melihat seorang anak kecil
berusia sekitar tiga belasan. Salah seorang dari mereka
melotot. Dia membungkukkan badannya dan mendadak
mengayunkan tangannya menampar Ciok Giok Yin seraya
mencaci. "Anak sundel! Kami menahan haus, lapar dan dingin menjaga
semalaman di sini untuk menangkap hewan! Tidak pergi
bermain ke tempat lain, justru malah kemari! Dasar anak
nakal!" Saking gusarnya, dua kali lagi lelaki itu menampar
muka Ciok Giok Yin.
Tamparan-tamparan itu membuat mata Ciok Giok Yin
berkunang-kunang dan dari bibirnya keluar darah.
"Paman, aku tidak sengaja, aku..." katanya dengan suara
lemah dan gemetar.
Plak! Lelaki itu menampar lagi.
"Apakah aku yang menghalangi jalanmu?" ben- taknya
kemudian mengayunkan kakinya menendang Ciok Giok
Yin. Sungguh kasihan anak kecil itu! Semalam dia ditendang
dan dilempar ke dalam lembah. Kalau tidak diselamatkan Tong
Wen Wen, mungkin nyawanya telah melayang. Kali ini dirinya
terperangkap ke dalam jala besar, kemudian ditampar
beberapa kali dan ditendang lagi. Itu membuatnya menderita
sekali, sehingga men- jerit-jerit.
"Aduuuh! Sakit sekali!" Mata Ciok Giok Yin jadi gelap,
akhirnya dia jatuh pingsan. Di saat bersamaan, lelaki itu
mengangkat sebelah kaki, lalu membentak sengit.
"Dasar anak sundel! Kami terganggu olehmu, sehingga kami
tidak mendapat hasil apa-apa! Sebaliknya harus mengalami
kedinginan di sini! Kau memang harus mampus!" Lelaki itu
menendang lagi, menyebabkan Ciok Giok Yin terguling-guling
dan membentur batu, sehingga mukanya lecet-lecet dan
berdarah. Ketiga lelaki itu melototi Ciok Giok Yin. Mereka tidak perduli
anak itu mati atau masih hidup, segera memasang jala besar
itu lagi, siap menangkap hewan yang melalui tempat
itu. Mendadak salah seorang lelaki itu melihat di permukaan
salju terdapat suatu benda yang bergemerlapan. Dia cepatcepat
memungut benda itu, tidak lain adalah sebuah tusuk
rambut. Betapa girangnya lelaki itu!
"Ini tusuk rambut emas!" serunya dengan wajah
berseri. Kedua temannya tidak menghiraukannya. "Omong
kosong! Bagaimana mungkin di tempat ini terdapat tusuk
rambut emas?"
"Lihatlah kalian!" kata lelaki itu. Kedua temannya menoleh ke
arahnya. Mereka melihat tangan lelaki itu memegang sebuah
benda kekuning-kuningan.
"Tusuk rambut emas!" seru mereka berdua serentak.
"Tidak salah kan?"
Bukan main girangnya ketiga lelaki itu! Mereka bertiga
tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...." Berselang sesaat, salah seorang lelaki itu
berkata. "Apakah milik anak sundel itu jatuh?" "Geledah!" sahut yang
lain. Mereka bertiga segera menggeledah badan Ciok Giok Yin,
akan tetapi, mereka tidak menemukan apa-apa. Salah seorang
lelaki itu menendangnya saking gusar, membuat Ciok Giok Yin
terguling-guling.
"Jangan-jangan anak sundel ini yang mencurinya?" kata lelaki
itu sengit. "Dilihat dari pakaiannya, pasti dia bukan berasal dari keluarga
kaya. Tentunya dia boleh mencuri," sahut temannya. Di saat
mereka bertiga sedang bercakap-cakap, haripun semakin
terang. Mereka bertiga sependapat, bahwa kalau anak itu yang
mencuri tusuk rambut emas tersebut, pasti ada orang
mengejarnya. Apabila tidak cepat-cepat pergi,
mungkin.... Mereka bertiga saling memberi isyarat, lalu segera
memberesi jala besar itu. Kemudian mereka bertiga bergegas
meninggalkan tempat itu.
Kini di dalam lembah itu hanya tinggal Ciok Giok Yin seorang
diri. Dia dalam keadaan tergeletak. Sudah mati atau masih
hidupkah dia" Tiada seorang pun yang tahu. Lagi pula hawa
udara amat dingin menusuk tulang. Siapa yang begitu iseng
datang di tempat itu" Sudah pasti tidak!
Sementara sang waktu terus berlalu, tak terasa hari sudah
mulai sore. Hembusan angin menerbangkan bunga-bunga
salju, sehingga terdengar suara menderu-deru. Bunga-bunga
salju itu kemudian berjatuhan di muka Ciok Giok Yin,
membuatnya merinding.
Perlahan-lahan kesadarannya mulai pulih, namun
pandangannya masih agak kabur.
"Paman, aku bukan sengaja..." gumamnya dengan suara
rendah. Gumaman berikutnya, tidak terdengar begitu jelas. Berselang
beberapa saat kemudian dia menghela nafas panjang, barulah
betul-betul siuman. Dia merasa tulang-tulangnya seakan telah
remuk. Matanya terbuka perlahan-lahan. Kemudian dia
menengok kesana kemari, tapi tidak tampak seorang pun
berada di sekitarnya.
Dasar, dia masih kecil, setelah mengalami berbagai macam
kejadian yang menyiksa dirinya, tak tertahan lagi akhirnya dia
menangis tersedu-sedu. Lalu di tempat yang amat sepi itu,
siapa yang akan menghiburnya" Dia tidak punya orang tua,
yatim piatu. Tiada seorang pun yang dekat padanya.
Sedangkan kakek tua berjenggot putih, justru tidak ketahuan
jejaknya. Saat ini, yang bisa menghiburnya hanyalah
hembusan angin dingin dan bunga-bunga salju yang
beterbangan. Akan tetapi, hembusan angin dingin dan bungabunga
salju itu sama sekali tidak mempunyai perasaan,
menyebabkan Ciok Giok Yin amat menderita.
"Huuuh! Huuuh...."
Hembusan angin terus menderu-deru. Itu membuat Ciok Giok
Yin merasa kedinginan, terutama bagian dadanya. Dia
mengangkat sebelah tangannya perlahan- lahan, meraba
bagian dadanya. Ternyata baju bagian dadanya terbuka. Ciok
Giok Yin berkertak gigi, bangun duduk lalu menutup bajunya.
Sesudah itu, barulah terasa agak hangat.
Bagi manusia, baik masih kecil atau sudah besar, tentu
memiliki daya untuk terus hidup. Begitu pula Ciok Giok Yin
yang masih kecil itu. Dia tidak mau duduk di situ menunggu
kematiannya. Asal masih terdapat setitik kehidupan, pasti
harus ditempuhnya.
Sejak kecil dia telah terbiasa hidup menderita dan tersiksa,
maka terciptalah sifat keras pada pribadinya. Oleh karena itu,
dia segera menyusut menghapus air matanya, kemudian
bangkit berdiri. Namun sekujur badannya telah terluka, maka
ketika dia bangkit berdiri, sekujur badannya terasa sakit
sekali. Disebabkan itu, akhirnya dia terkulai lagi. Kendatipun
demikian, dia terus berupaya bangkit berdiri.
"Aku harus meninggalkan tempat ini, dan harus berhasil
menemukan kakek tua berjenggot putih! Kalau aku berhasil
mencarinya siapa pun tidak akan berani menghinaku lagi!"
gumamnya. Ciok Giok Yin berusaha bangkit berdiri, akhirnya
dia berhasil, barulah berjalan terseok-seok meninggalkan
lembah itu. Dia terus berjalan ?" Tak terasa haripun sudah malam. Dia
beristirahat di bawah sebuah pohon, mengisi perutnya dengan
daun-daun muda. Setelah hari mulai terang, dia mulai
melanjutkan perjalanan lagi. Ketika hari mulai petang, dia
sudah sampai di sebuah kota kecil. Sepasang kakinya terasa
ngilu tak bertenaga, nyaris tak kuat berjalan lagi. Sampai di
sebuah jalan, dari sebuah rumah makan kecil, tercium aroma
arak dan masakan, membuat air liurnya nyaris mengalir. Ciok
Giok Yin berdiri termenung di depan rumah makan itu. Rasa
haus dan lapar membuatnya tak tahan. Teringat olehnya di
dalam bajunya terdapat sebuah tusuk rambut emas, maka dia
melangkah memasuki rumah makan itu. Seorang pelayan
membawanya ke sebuah meja di dekat jendela.
Dia tidak tahu harus memesan masakan apa, cuma berpesan
semangkok nasi dan semangkok sup sampi. Tak seberapa
lama, pelayan rumah makan sudah rnenyajikan apa yang
dipesannya. Tanpa membuang waktu, dia langsung bersantap dengan
lahap sekali. Sedangkan pelayan itu terus berdiri di dekat meja,
mengawasi gerak geriknya.


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Usai bersantap, Ciok Giok Yin sudah siap mengeluarkan tusuk
rambut emas dari dalam bajunya, agar bisa ditukar dengan
uang perak. Namun tak disangka ketika tangannya merogoh ke
dalam bajunya, justru tidak dapat dikeluarkannya lagi.
Ternyata tusuk rambut emas tersebut telah hilang entah
dimana. Bukan main terkejutnya! Seketika keringat dinginnya
mengucur deras membasahi sekujur badannya. Dia bertanya
dalam hati. 'Kemana tusuk rambut emas pemberian Kakak
Wen" Ini harus bagaimana"'
Gugup dan panik hati Ciok Giok Yin. Dia melirik pelayan itu.
Tampak pelayan itu menatapnya dengan sinis dan sambil
tersenyum menghina. Keringat dingin sudah mulai merembes
keluar dari kening Ciok Giok Yin. Dia tidak berani bangkit
berdiri, cuma duduk termenung di tempat duduknya. Dia tahu,
apabila tidak dapat mengeluarkan uang, pasti akan digebuk
bagaikan seekor anjing, bahkan mungkin juga dirinya akan
dibawa ke pengadilan. Semakin dipikirkan, hatinya semakin
takut, sehingga wajahnya yang semula merah padam, kini
telah berubah menjadi pucat pias.
Pelayan itu memang berpengalaman. Begitu melihat sikap
Ciok Giok Yin, dia sudah mengerti apa yang telah terjadi. Oleh
karena itu, dia terus menatap Ciok Giok Yin dengan mata tak
berkedip. Sementara hampir separuh tamu yang bersantap di rumah
makan itu sudah pergi. Tiba-tiba pelayan itu tertawa sinis
sambil mendekati Ciok Giok Yin.
"Apakah perlu tambah sedikit makanan lagi?" Ciok Giok Yin
segera bangkit berdiri.
"Ti... tidak usah," sahutnya tersendat-sendat.
"Semuanya berjumlah dua keping perak," kata pelayan itu
lalu melotot. Ciok Giok Yin menelan ludah, kemudian memberanikan diri
berkata, "Paman! Aku... aku tidak membawa...."
Pelayan itu langsung mencaci. "Anak sundel! masih kecil tapi
sudah bernyali besar! Cepat keluarkan perakmu, tidak boleh
kurang sama sekali!" Saat itu para tamu yang sedang
bersantap semuanya memandang ke arah Ciok Giok Yin.
"Masih berbau susu, sudah belajar makan gratis!" kata salah
seorang tamu. "Harus diberi sedikit pelajaran, agar dia tahu diri!" sambung
seorang tamu yang lain. Para tamu itu terus memanasi
suasana, dan itu mmembuat pelayan tersebut bertambah
berani. Dia langsung menyambak leher baju Ciok Giok Yin,
sekaligus mengayunkan tangannya. Plak! Pelayan itu
menamparnya seraya membentak sengit.
"Anak sundel! Kalau kau tidak bayar, jangan harap bisa pergi
dengan badan utuh!" Pelayan itu menjinjing Ciok Giok Yin,
kemudian membantinya ke bawah.
"Aduuuh! Paman, aku... aku akan cari akal!" jerit Ciok Giok
Yin kesakitan. "Cepat bayar!" bentak pelayan.
"Paman, aku... aku sungguh tidak punya uang!" kata Ciok
Giok Yin terputus-putus.
Mendadak seorang pelayan lain berseru, "Tanggalkan
pakaiannya!"
Udara di musim rontoh amat dingin. Kalau pakaiannya
ditanggalkan, tentu Ciok Giok Yin akan mati kedinginan. Oleh
karena itu, Ciok Giok Yin memeluk erat-erat dadanya sendiri
seraya bermohon, "Paman! Jangan...."
Belum lenyap suaranya, sudah tampak dua pelayan
menyambaruya. Salah seorang menamparnya, yang satu lagi
mulai menanggalkan pakaiannya. Justru di saat ini, mendadak
dari luar masuk seorang wanita berusia pertengahan.
"Pelayan, berapa banyak anak itu makan, hitung ke dalam
rekeningku saja! Kalian harus melepaskannya!" katanya
dengan lantang. Kedua pelayan itu menoleh samba menaruh
Ciok Giok Yin ke bawah.
"Tidak begitu banyak, terimakasih!" sahutnya dengan wajah
berseri-seri. Akan tetapi pelayan yang satu lagi masih
mengayunkan kakinya, menendang Ciok Giok Yin hingga anak
itu terpental sampai di luar rumah makan.
"Aaaaakh...!" jeritnya memilukan. Di saat Ciok Giok Yin
terpental ke luar, wanita berusia pertengahan itu sampai di
dalam sekaligus mengayunkan tangannya. Plak! Ternyata
wanita berusia pertengahan itu menampar pelayan yang
menendang Ciok Giok Yin.
"Dasar budak buta! berapa banyak yang dimakannya, pasti
kubayar, tapi kau justru masih menendangnya!" bentaknya.
Pelayan yang kena tampar itu, mulutnya mengeluarkan
darah. Jelas keras sekali tamparan itu. Pelayan yang satu lagi
segera menggeram.
"Wanita busuk, kau berani pukul orang!" Pelayan itu langsung
mengayunkan tinjunya ke arah wanita tersebut, justru
mengarah pada bagian dadanya. Wanita itu tertawa dingin.
"Mau cari mampus?" katanya. Wanita berusia pertengahan itu
berkelit ke samping kiri, sekaligus menepuk bahu pelayan itu,
sehingga membuat pelayan itu terpental jatuh.
"Aduh! Mak!" teriaknya Ternyata hidung pelayan itu telah
mencium lantai. Darah segar langsung mengucur, bahkan dua
buah giginya juga rontok. Pelayan yang satunya ketika
menyaksikan rekannya terpental, cepat-cepat menendang
wanita itu, tepatnya di bagian terlarangnya. Dalam dunia
persilatan jika lelaki bertarung dengan wanita, justru pantang
menyerang bagian dada dan tempat terlarang. Oleh karena itu,
dapat dibayangkan betapa gusarnya wanita berusia
pertengahan itu. Wanita tersebut tidak bergerak, melainkan
menjulurkan tangannya menangkap kaki pelayan itu.
"Kaupun harus tahu bagaimana rasanya terlempar keluar!"
katanya. Disaat bersamaan, badan pelayan itu tampak
melayang ke luar, kemudian jatuh gedebuk di tanah.
"Aduuuh!" jeritnya. Ternyata muka pelayan itu membentur
tanah, sehingga memar. Sementara para tamu yang berada di
dalam rumah makan itu mulai bangkit berdiri. Mereka menatap
wanita berusia pertengahan itu dengan mata berapi-api,
kelihatannya mereka gusar sekali. Menyaksikan itu, wajah
wanita tersebut langsung berubah dingin.
"Kalian mau apa?" tanya sepatah-sepatah.
"Pukul mati wanita busuk itu!" Terdengar sahutan serentak.
Kemudian dengan tiba-tiba salah seorang tamu menerjang ke
arah wanita tersebut. Berdasarkan gerakan tamu itu, wanita
tersebut tahu bahwa dia tidak mahir ilmu silat. Wanita itu tidak
bergerak sama sekali, hanya mengerahkan tenaga murninya,
lalu berisul panjang. Suara siulannya bagaikan hallilintar
menggelegar memekakkan telinga para tamu. Sedangkan tamu
yang menerjang itu, sekujur badannya sudah bergemetar,
bahkan sudah terkencing-kencing. Di saat suara siulan wanita
itu mulai lenyap, mendadak terdengar pula suara bentakanbentakan
sengit di tempat jauh. Air muka wanita itu langsung
berubah. Dia segera mengeluarkan setael uang perak lalu
dilemparkannya ke atas meja.
"Uang ini untuk membayar makanan anak kecil itu. Kalau
kalian masih berani menghinanya, hati-hati batok kepala
kalian!" katanya. Badan wanita itu bergerak, tahu-tahu sudah
berkelebat pergi bagaikan sosok arwah!
Saat itu Ciok Giok Yin menahan rasa sakit sambil bangkit
berdiri. Dia ingin pergi mengucapkan terimakasih pada wanita
itu. Namun, dia justru melihat wanita itu berkelebat pergi
laksana kilat. Dalam waktu sekejap, wanita berusia
pertengahan itu sudah tidak kelihatan bayangannya. Walaupun
cuma memandang sekilas, namun wajah wanita itu sudah
terukur dalam benak Ciok Giok Yin. Dia pernah mengikuti
kakek tua berjenggot putih belajar membaca dan menulis.
Bahkan dia juga pernah belajar ilmu pengobatan, maka dia
tahu dalam hal tata krama, dan bagaimana cara jadi orang.
Dia pun masih ingat akan perkataan kakek tua, bahwa budi
seseorang harus dibalas dengan budi. Oleh sebab itu, Ciok Giok
Yin mengambil keputusan, bahwa kelak dirinya harus
membalas budi kebaikan wanita itu. Ciok Giok Yin tidak berani
lama-lama berada di tempat itu. Maka dengan menahan rasa
sakit, dia segera beranjak pergi. Akan tetapi dunia sedemikian
luas. Kemanakah dia harus pergi mencari kakek tua berjenggot
putih itu" Seandainya kakek tua itu mempunyai nama, tentu
dia akan bertanya pada orang. Namun dia justru tidak tahu
nama kakek tua tersebut, bagaimana bertanya pada orang" Itu
sungguh membingungkan Ciok Giok Yin. Sudah barang tentu
pikirannya pun jadi kacau balau. Tapi kalau dia tidak mencari
kakek tua berjenggot putih, lalu harus pergi mencari
siapa" Sebab di dunia ini, selain kakek tua yang dekat
dengannya, sudah tiada orang lain lagi. Sedangkan mengenai
perkampungan Tong Keh Cuang, kini dia sudah tidak bisa
kembali ke sana.
Ciok Giok Yin berjalan terseok-seok, menimbulkan suara
'Sert! Sert!' Dia mendongakkan kepala memandang ke depan,
yang dilihatnya hanya salju putih menutupi alam
semesta. Tiada jejak manusia, juga tidak tampak hewan lain,
semuanya berada di dalam sarang masing-masing. Ciok Giok
Yin kedinginan, maka wajahnya berubah menjadi kebirubiruan.
Sementara haripun mulai gelap. Hembusan angin dingin yang
tak berperasaan, terus menerus menderu-deru. Bunga-bunga
salju, tak henti-hentinya beterbangan terhembus angin. Angin
dan bunga-bunga salju itu sepertinya sengaja menyiksa anak
yatim piatu yang tak punya tempat tinggal itu. Ciok Giok Yin
menghentikan langkahnya, memandang ke depan lalu
memandang ke belakang.
Di depan hanya tampak salju putih bagaikan
kapas. Sedangkan di belakang, samar-samar masih terlihat
kota kecil itu, hanya tertutup oleh bunga-bunga salju. Dia
berdiri bimbang tidak tahu harus kembali ke kota kecil itu,
ataukah terus berjalan ke depan. Namun Ciok Giok Yin masih
ingin hidup. Kalau dia terus berjalan ke depan, pasti akan mati
kedinginan. Jalan satu-satunya yang harus ditempuhnya, tidak lain harus
kembali ke kota kecil itu mencari tempat berteduh. Sebab itu,
dia mengambil keputusan untuk kembali ke kota kecil tersebut.
Ketika tiba di kota itu, semua penduduk sudah menutup
pintu, karena tidak tahan akan udara dingin di luar. Mereka
duduk menghadap parapian untuk menghangatkan badan. Ciok
Giok Yin menghampiri sebuah rumah, lalu mengangkat sebelah
tangannya untuk mengetuk pintu. Akan tetapi, mendadak
tangannya ditariknya kembali. Karena sehari semalam itu dia
telah mengalami tiga kali siksaan, bagaimana mungkin masih
berani.... Oleh sebab itu, dia melangkah pergi dengan mata bersimbah
air, tidak berani mengetuk pintu rumah itu Di saat itulah dia
melihat tumpukan-tumpukan rumput. Setelah menyusut air
matanya, barulah dia mendekati tumpukan-tumpukan rumput
itu. Udara memang dingin sekali, membuat sepasang tangan
Ciok Giok Yin berkesemutan dan terasa kaku. Rasa dingin yang
menusuk tulang itu membuatnya merasa tidak tahan, akhirnya
dia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya untuk mengusir
rasa dingin. Akan tetapi, lama kelamaan dia merasa lelah,
maka terpaksa meringkuk di tumpukan rumput itu.
Sedangkan malam semakin larut. Udara pun bertambah
dingin. Ciok Giok Yin sama sekali tidak tidur. Bukan karena
matanya tidak mengantuk, melainkan karena kedinginan,
sehingga membuatnya tidak dapat memejamkan mata. Dia
harus membuka mulut menghembuskan hawa hangatnya ke
arah tangannya, star tidak terlampau dingin. Mendadak tampak
sepercik cahaya muncul di lat yang tak begitu jauh, ternyata di
sana ada seseorang membakar kertas.
Ciok Giok Yin tercengang. Dia tak habis pikir mengapa di
tengah malam ada orang membakar kerta" Dia berharap orang
itu cepat-cepat pergi, agar dia bisa mendekati api itu untuk
menghangatkan badan. Kalau sudah melewati malam yang
amat dingin ini, setelah siang dia sudah tidak merasa takut
lagi. Apa yang diharapkan Ciok Giok Yin tercapai, karena
sebelum kertas-kertas itu habis terbakar, orang itu sudah
bangkit berdiri lalu kembali ke dalam rumahnya.
Ciok Giok Yin tidak berlaku ayal lagi, segera bangkit berdiri
sekaligus menyambar segenggam rumput, cepat-cepat berlari
ke arah api. Namun tak disangka, sebelum dia sampai di
tempat itu, tiba-tiba berhembus angin yang amat kencang,
rnenerbangkan kertas-kertas yang belum terbakar. Sungguh
keterlaluan, kertas-kertas yang masih menyala itu terbang ke
arah tumpukan-tumpukan rumput dan seketika menyala pula
rumput itu. Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin. Dia khawatir api itu
akan membesar, maka segera mengambil sebatang kayu,
kemudian dipukulkannya pada rumput yang terbakar itu. Akan
tetapi, malah membuat api itu semakin membesar. Ciok Giok
Yin amat gugup dan panik.
"Tolong! Tolong padamkan api!" teriaknya sambil terus
memukul rumput-rumput yang terbakar itu. Saat itu di dalam
kota kecil tersebut sudah terdengar suara kentungan yang
amat nyaring. "Tong! Tong! Tong!" Disusul pula suara teriakan-teriakan
orang. "Tolong! Tolong! Ada kebakaran!"
Seketika muncul belasan orang membawa tong yang berisi
air, mereka menyiram ke arah api itu. Akhirnya berhasil juga
mereka memadamkan api itu. Namun tumpukan-tumpukan
rumput itu telah terbakar separuh. Salah seorang berkata
dengan heran, "Aneh! Mengapa tumpukan-tumpukan rumput
ini bisa terbakar" Padahal udara sedemikian dingin! Apakah
ada orang sengaja membakarnya" Sebetulnya perbuatan siapa
itu?" Yang lain manggut-manggut. Belasan mata langsung
menengok ke sana kemari. Salah seorang di antara mereka,
tentunya orang membakar kertas tadi.
Ciok Giok Yin berdiri di samping. Dia ingin tahu bagaimana
cara mereka menyelesaikan masalah itu. Apabila perlu, dia
akan tampil sebagai saksi menceritakan hal yang
sebenarnya. Tanpa sengaja dia justru melihat salah seorang
pelayan rumah makan. Pelayan itu mencaci maki.
"Siapa orang yang sialan itu, berani membakar tumpukantumpukan
rumputku! Kalau aku tahu, pasti kubeset kulit orang
itu!" Usai mencaci, wajahnya tampak gusar sekali. Sepasang
matanya yang berbentuk segi tiga mengerling kian kemari
memandang orang-orang di sekitarnya. Sedangkan yang lain
juga saling memandang, seakan tidak tahu siapa yang
membakar rumput itu.


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba, pelayan rumah makan itu menggeram, 'Sudah
ketemu!" Dia langsung menerjang ke arah Ciok Giok Yin.
Ditatapnya anak itu dengan gusar, 'Anak sundel! Ternyata kau
yang membakar tumpukan rumput itu!" bentaknya. Tangan
pelayan itu bergerak, dia mencengkeram Ciok Giok Yin. Begitu
melihat wajah pelayan itu sedemikian Ciok Giok Yin ketakutan
setengah mati, sehingga tak mampu bersuara. Sementara
orang-orang itu pun menatap Ciok Giok Yin.
"Mampusi dia! Mampusi dia!" serunya serentak. Pelayan
rumah makan itu amat sakit hati, karena siang tadi dia
ditampar oleh wanita berusia pertengahan dan rasa sakit
hatinya itu belum hilang. Kini setelah mencengkeram Ciok Giok
Yin, langsung saja membantingnya ke tanah, disusul pula
dengan tendangan keras, membuat anak kecil itu terpental.
"Aduuuh...!" jeritnya kesakitan.
Sedangkan pelayan rumah makan itu masih terus mencaci,
sekaligus menudingnya dengan sengit.
"Kau memang anak sundel! Tadi siang kau makan tak punya
uang, aku menamparmu beberapa kali, tak disangka malam ini
kau malah membakar rumputku!" Pelayan rumah makan itu
mulai menendang Ciok Giok Yin lagi, sehingga anak kecil itu
menjerit-jerit.
"Bukan aku! Melainkan...." Belum usai berkata, Ciok Giok Yin
sudah jatuh pingsan. Coba bayangkan! Bagaimana mungkin
anak kecil yang lemah itu dapat menahan tendangantendangan
yang amat keras" Lagi pula dia dalam keadaan
kedinginan. Sekonyong-konyong salah seorang berkata, "Jangan pukul dia
lagi, kita akan celaka kalau anak kecil itu mati!"
Pelayan rumah makan itu telah mengangkat tangannya, siap
memukul Ciok Giok Yin. Tapi ketika dia mendengar perkataan
itu, tangannya langsung diturunkan. Memang benar apa yang
dikatakan orang itu, apabila anak kecil itu mati di tangannya,
bukankah pihak pengadilan akan menghukumnya" Oleh karena
itu, dengan sengit dia menendang pantat Ciok Giok Yin. Setelah
menendang, barulah dia tahu bahwa anak kecil itu telah
pingsan. Hati pelayan rumah makan itu tersentak. Wajahnya yang
penuh kegusaran pun langsung sirna.
"Aku ampuni anak sundel ini!" katanya. Sesungguhnya dia
takut ada orang melapor pada pejabat setempat. Maka dia
sengaja berkata begitu, agar mengurangi dosa perbuatannya,
sebab banyak saksi mata bahwa dia tidak memukul anak kecil
itu hingga mati.
Setelah berkata demikian, pelayan rumah makan itu berjalan
pergi sambil menjinjing teng air. Sudah barang tentu yang lain
pun tidak mau banyak urusan, karena mereka takut urusan
akan menimpanya, oleh karena itu, mereka pun segera
meninggalkan tempat tersebut. Di atas tanah yang penuh
bunga-bunga salju, anak kecil yang nafasnya amat lemah itu
terus terhembus oleh angin dingin. Saat itu dia telah
kehilangan rasa, tidak tahu sakit maupun dingin, karena dalam
keadaan setengah mati.
Entah berapa lama kemudian, Ciok Giok Yin mulai siuman.
Perlahan-lahan anak kecil itu membuka sepasang matanya. Dia
mendapatkan dirinya berada di atas bunga-bunga
salju. Semula dia sama sekali tidak ingat lagi apa yang telah
menimpa dirinya.
"Bagaimana aku berada di atas bunga-bunga salju?"
gumamnya perlahan-lahan. Dia ingin bangkit berdiri, namun
sekujur badannya terasa sakit sekali, seakan semua tulangnya
telah patah. Mendadak dia teringat akan apa yang telah
menimpa dirinya. Sungguh penasaran, dirinya difitnah
melepaskan api! Sedangkan pelayan rumah makan itu, tidak
bertanya lagi langsung memukulnya tanpa ampun. Karena
sekujur badannya terasa amat sakit, akhirnya Ciok Giok Yin
menangis tersedu-sedu.
Mendadak api kebencian menerjang ke rongga dadanya.
Seketika dia berhenti menangis, lalu berkertak gigi menahan
sakit sambil duduk. Dalam hati kecilnya penuh diliputi dendam
dan kebencian. Asal masih bisa hidup, dia pasti akan mencari orang-orang
yang pernah menghina dirinya. Namun persoalan di depan
matanya, justru harus berusaha cepat-cepat meninggalkan
tempat itu. Kalau esok hari sudah terang, pelayan rumah
makan itu kemari lagi, bukankah dirinya....
Berpikir sampai di situ, dia teringat bahwa kakek tua
berjenggot putih pernah menghadiahkan sebutir pil Ciak Kim
Tan (Pil Emas Ungu) kepadanya, juga berpesan agar baik-baik
menyinipan pil tersebut, kelak dapat dipergunakan untuk
menolong orang. Teringat akan itu, Ciok Giok Yin segera
mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam bajunya.
Kemudian dibukanya kotak kecil itu. Tampak sebutir pil
berwarna ungu di dalamnya. Diambilnya pil tersebut lalu
dimasukkan ke mulutnya. Setelah menelan pil itu, tak lama
rasa sakit di sekujur badannya mulai sirna. Bukan main
girangnya! Dia tidak berani membuang waktu lagi, maka cepatcepat
bangkit berdiri.
Selangkah demi selangkah dia berjalan meninggalkan tempat
itu. Walau jalan yang dilaluinya penuh batu-batu runcing, dia
tetap terus berjalan, tidak berani berhenti sama sekali. Ciok
Giok Yin menuju sebuah lembah. Sementara itu hari sudah
mulai terang, tapi udara masih tetap terasa dingin menusuk
tulang. Karena kedinginan, wajah Ciok Giok Yin telah berubah
menjadi kebiru-biruan. Nafasnya tersengal- sengal karena
terlampau lelah. Akhirnya dia beristirahat di bawah sebuah
pohon. Dia mengedarkan pandangannya. Tampak berderet
pegunungan, puncak-puncak gunung menjulang tinggi,
diselimuti kabut yang amat tebal. Ciok Giok Yin menundukkan
kepala memandang pakaiannya. Ternyata pakaiannya telah
tersobek sana sini tidak karuan. Dalam keadaan seperti itu,
entah harus bagaimana hidupnya. Bukan hanya itu persoalan
yang dihadapinya. Ternyata dalam benaknya masih terdapat
persoalan lain, yaitu dia harus ke mana" Di mana kakek tua
berjenggot putih berada" Persoalan itu merupakan persoalan
yang amat berat dan penting bagi Ciok Giok Yin. Justru karena
persoalan tersebut, dia pun jadi berkeluh dalam hati, cemas
tidak akan berhasil mencari kakek tua itu. Kalau tidak berhasil,
selanjutnya dia harus bagaimana" Oleh karena itu, tanpa
terasa air matanya bercucuran lagi.
Hembusan angin menerpa wajahnya, sehingga wajahnya yang
sudah murung itu bertambah murung. Di saat bersamaan
terdengar suara helaan nafas panjang tak jauh dari
tempatnya. Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin,
menyebabkan sekujur badannya gemetar. Dalam suasana yang
begitu sepi dan udara yang amat dingin, justru ada orang di
dalam lembah" Apakah orang itu juga patut dikasihani seperti
dirinya" Namun dia berpikir sejenak, rasanya tidak benar.
Bagaimana mungkin ada orang bernasib malang seperti
dirinya" Mungkin seekor binatang liar, karena tidak
memperoleh makanan, maka mengeluarkan suara helaan
nafas. Berpikir sampai di situ, rasa takutnya semakin
mencekam. Dia cepat-cepat bangkit berdiri. Namun ketika baru
siap.... Karena terlalu terburu-buru, dia malah terjatuh. Di saat
itulah terdengar suara yang amat dingin.
"Siapa?"
Ciok Giok Yin memandang ke arah suara itu. Ternyata di balik
sebuah batu besar, duduk seorang pengemis tua. Setelah
melihat pengemis tua itu, legalah hati Ciok Giok Yin.
"Paman pengemis, aku!" katanya sambil memberi hormat.
Pengemis tua itu menatap Ciok Giok Yin dengan mata
melotot. "Bocah, mau apa kau kemari?" katanya sejenak kemudian.
"Aku mau mencari kakek tua berjenggot putih!" sahut Ciok
Giok Yin sungguh-sungguh. Pengemis tua itu tercengang.
"Siapa kakek tua berjenggot putih itu?" katanya.
Mulut Ciok Giok Yin ternganga lebar, tidak tahu harus
bagaimana menjawabnya.
Mendadak pengemis tua itu membuka mulutnya, terdengar
suara.... "Uaaakh !" Ternyata pengemis tua itu memuntahkan darah
segar. Ciok Giok Yin terperanjat.
"Paman pengemis sakit ya?" katanya cepat. Pengemis tua itu
mengangguk sambil memejamkan matanya.
"Ya! Aku terluka parah!" sahutnya perlahan-lahan. Ciok Giok
Yin terbelalak.
"Terluka parah?" katanya dengan suara rendah.
"Ng!"
"Terluka karena dipukul orang?" Hati Ciok Giok Yin berdebardebar.
Ternyata dia teringat akan apa yang telah menimpa
dirinya. Bukankah kemarin malam dan malam ini dia juga
dipukul orang hingga terluka" Justru tidak menyangka,
pengemis tua itu pun terluka dipukul orang. Oleh karena itu, di
dalam hati kecil timbul suatu kebencian. Dia berharap dirinya
punya kesempatan untuk belajar ilmu silat, agar kelak dapat
menuntut balas pada orang jahat, jadi orang baik bisa melewati
hari yang tenang. Berselang sesaat, barulah pengemis tua itu
menyahut. "Tidak salah. Aku dilukai oleh Iblis Sang Yen Hwee
(Perkumpulan Sepasang Walet)."
Ciok Giok Yin tercengang.
"Sang Yen Hwee?"
Pengemis tua itu manggut-manggut, tapi tidak bersuara sama
sekali. "Paman pengemis, apakah Sang Yen Hwee itu jahat?" tanya
Ciok Giok Yin lagi.
"Untuk apa kau menanyakan itu?"
Mendadak mata Ciok Giok Yin melotot. "Kelak setelah aku
dewasa, harus memiliki kepandaian tinggi, aku ingin
membunuh mereka semua!" sahutnya sambil membusungkan
dada. Usai berkata begitu, dia berdiri dengan gagah, seakan
ada orang Sang Yen Hwee berada di hadapannya. Sikapnya
bukan main, begitu pula air mukanya, tampak seperti telah
menguasai kungfu yang amat tinggi.
Mendadak pengemis tua itu menatapnya dengan tajam,
seolah-olah ingin menembus ke dalam hatinya. Itu membuat
Ciok Giok Yin merasa merinding, kemudian berkata dalam hati.
'Sepasang matanya seperti mata kakek tua berjenggot putih,
amat tajam dan lihay.' Setelah menatap Ciok Giok Yin sejenak,
pengemis tua itu memuntahkan darah segar lagi.
"Uaaakh!" Badan pengemis tua itu bergoyang-goyang seakan
mau jatuh. Ciok Giok Yin cepat-cepat memijit-mijit
punggungnya. "Paman pengemis, lukamu amat parah dipukul penjahat!"
katanya. Di saat bersamaan, terdengar suara langkah menuju
lembah itu. Sesungguhnya Ciok Giok Yin ingin bangkit berdiri
untuk melihat siapa yang datang, namun sekujur badannya
merasa sakit sekali, membuatnya tidak mampu bangkit berdiri.
Berselang beberapa saat, tampak empat lelaki memasuki
lembah. Begitu melihat Ciok Giok Yin, seketika mereka
mengeluarkan suara "Ih!" Salah seorang dari mereka segera
melesat ke hadapan Ciok Giok Yin, kemudian membentak
sengit, "Dasar anak sialan! Kau telah menyusahkan kami!" Ternyata
keempat lelaki itu adalah orang-orang Tong Keh Cuang. Ciok
Giok Yin menyurut mundur dua langkah.
"Paman... cari aku?" katanya gemetar.
"Kalau tidak cari kau, cari siapa?"
Tanpa sadar Ciok Giok Yin mundur selangkah lagi.
"Ada urusan apa Paman cari aku?" katanya lagi dengan takuttakut.
Saat ini ketiga lelaki itu juga telah mendekati Ciok Giok
Yin, mengambil posisi mengepungnya. Lelaki yang pertama kali
mendengus dingin, lalu berkata.
"Anak sialan! Kau masih kecil tapi hatimu tidak kecil lho!
Kalau aku tidak mengulitimu, tentu kau tidak tahu
kelihaianku!" Usai berkata, dia pun melangkah maju. Sekujur
badan Ciok Giok Yin gemetar.
"Paman.... Paman...," katanya terputus-putus. Lelaki itu
membentak keras.
"Siapa pamanmu" Dasar anak tak tahu diri! Keluarga Tong
amat baik terhadapmu, budi kebaikan mereka boleh dikatakan
setinggi gunung! Tapi kau malah melepaskan api di halaman
belakang, lalu kabur! Apa maksudmu itu?"
"Buat apa banyak bicara dengan anak sialan itu" Cepat habisi
dia saja!" selak lelaki lain. Lelaki itu menjulurkan tangannya,
wajahnya tampak penuh hawa membunuh. Ciok Giok Yin tidak
bisa berbuat apa-apa, sama sekali tidak mampu melawan,
cuma bisa bermohon sambil terisak-isak.
"Paman, aku... aku tidak melepaskan api. Yang melepaskan
api adalah...." Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, tangan kiri
lelaki itu telah mencengkeram lengannya, sedangkan tangan
kanannya telah diayunkan ke arah Thian Ling Hiat anak kecil
itu. Apabila pukulan itu mendarat di jalan darah tersebut,
jangankan Ciok Giok Yin yang tidak mahir kungfu, sedangkan
yang mahir kungfu pun pasti akan mati seketika.
"Haaah...!" jerit Ciok Giok Yin ketakutan.
Ketika telapak tangan lelaki itu hampir berhasil memukul
Thian Ling Hiat Ciok Giok Yin, mendadak terdengar suara
bentakan keras,
"Kau berani!" Ternyata yang membentak itu pengemis tua.
Dia mengibaskan sebelah tangannya ke arah dada lelaki
itu. Terdengar suara menderu-deru, bahkan terasa amat dingin
pula. Demi keselamatan dirinya, lelaki itu terpaksa harus
berkelit. Sudah barang tentu tidak jadi memukul Ciok Giok Yin.
"Pengemis, siapa kau?" bentaknya.
"Kau masih tidak berderajat menanyakan namaku!"
Bukan main gusarnya lelaki itu! Dia memberi isyarat pada
ketiga temannya. Setelah itu, mereka berempat langsung
menerjang pengemis tua. Pengemis tua telah terluka dalam.
Dia menarik nafas panjang untuk menghadapi mereka. Namun
salah seorang di antara mereka berempat, mendadak
mendekati Ciok Giok Yin. Ternyata dia menggunakan
kesempatan ketiga temannya menerjang pengemis tua, dia
ingin menghabisi anak kecil itu. Dia mengerahkan
lweekangnya, lalu mengangkat tangannya perlahan-lahan siap
memukul Ciok Giok Yin.
Perbuatan lelaki itu tidak terlepas dari mata pengemis tua.


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menggeram, mengelak terjangan ketiga lelaki itu,
kemudian mendadak melancarkan sebuah pukulan ke arah
lelaki yang siap memukul Ciok Giok Yin. Plak! Lelaki itu
terpental ke udara, kemudian terdengar lagi suara.
Duuuuk!" Ternyata lelaki itu jatuh menimpa sebuah batu,
hingga kepalanya pecah dan mati seketika. Menyaksikan
kejadian itu, ketiga lelaki lainnya gusar bukan main.
"Pengemis tua! Kau berani membunuh orang?" bentaknya
dengan mata berapi-api. Sesungguhnya pengemis tua itu
masih merasa amat gusar terhadap orang-orang Sang Yen
Hwee yang telah melukainya, maka rasa kegusarannya
dilampiaskan pada lelaki itu, lantaran lelaki itu ingin
membunuh Ciok Giok Yin yang amat lugu.
Oleh karena itu, kemarahan pengemis tua menjadi semakin
memuncak. Sepasang tangannya terus bergerak, melancarkan
pukulan-pukulan yang amat dahsyat. Sebab itu, terdengar lagi
tiga kali suara jeritan yang amat menyayat hati, kemudian
ketiga lelaki itu roboh tak berkutik lagi. Pengemis tua menarik
nafas dalam-dalam, lalu duduk kembali.
Tadi Ciok Giok Yin pingsan saking takutnya. Maka apa yang
terjadi barusan, dia sama sekali tidak mengetahuinya. Kini dia
telah siuman. Ketika melihat darah berceceran, dan kematian
keempat lelaki yang amat mengenaskan, dia terbelalak dengan
wajah pucat pias. Selama ini, dia sama sekali tidak pernah
menyaksikan orang mati. Maka ketika melihat di hadapannya
ada empat sosok mayat, dia sangat ketakutan. Dia tidak berani
lama-lama di situ, segera bangkit berdiri dan meninggalkan
tempat itu. Namun ketika dia baru mau mengayunkan kakinya, tiba-tiba
terdengar suara nafas memburu, ternyata suara nafas
pengemis tua. Wajahnya pengemis itu pucat pias bagaikan
kertas, kelihatannya sudah sulit untuk ditolong. Ciok Giok Yin
tahu jelas bahwa keadaan pengemis tua menjadi seperti itu
karena demi menyelamatkan dirinya, sehingga harus menguras
tenaga untuk membunuh keempat tukang pukul keluarga Tong.
Kini pengemis itu sudah sekarat, tapi anak kecil itu justru
ingin pergi. Bukankah itu merupakan sikap orang tak
berbudi" Setelah berpikir demikian, Ciok Giok Yin tak jadi
pergi. Dia cepat-cepat meraba dada pengemis tua, ternyata
nafas pengemis itu sudah semakin lemah. Ciok Giok Yin pernah
belajar ilmu pengobatan dari kakek tua berjenggot putih.
Walau dia belum berpengalaman, namun sudah cukup mahir,
maka dia tahu bahwa keadaan pengemis itu sudah payah
sekali. Karena itu dia segera memeriksa nadi pengemis tua. Justru
mendadak nadi pengemis itu berdenyut normal. Namun itu
bukan pertanda kesembuhan, melainkan pertanda ajalnya telah
dekat. Kecuali terjadi suatu kemujizatan! Kalau tidak, nyawa
pengemis tua itu sudah sulit ditolong. Akan tetapi, Ciok Giok
Yin belum berani memastikan, bahwa pengemis itu akan
mati. Lagipula dia tidak bisa melihat pengemis tua mati begitu
saja, sebab pengemis itulah yang telah menyelamatkan
nyawanya. Bahkan dia pun tahu bahwa pengemis itu
berkepandaian amat tinggi. Apabila bisa menyelamatkan
nyawanya, bukankah boleh berguru padanya"
Ciok Giok Yin terus berpikir, akhirnya dia mengeluarkan
sebutir pil Ciak Kim Tan (Pil Emas Ungu) pemberian kakek tua
berjenggot putih, lalu dimasukkan ke mulut pengemis tua.
"Paman pengemis boleh mengerahkan lwee kang untuk
melumerkan obat Ciak Kim Tan...."
Belum usai Ciok Giok Yin berkata, mendadak sepasang mata
pengemis tua terbuka lebar-lebar, dan tampak berbinar-binar.
"Ciak Kim Tan" Kau peroleh dari mana?" katanya heran.
"Kakek tua berjenggot putih yang berikan padaku" sahut Ciok
Giok Yin. Pengemis tua tampak tercengang.
"Kakek tua berjenggot putih?"
"Ng!"
"Kau tahu namanya?"
Ciok Giok Yin menggeleng-gelengkan kepala. "Orang tua itu
tidak pernah memberitahukan namanya padaku."
Pengemis tua menghela nafas panjang, kemudian duduk
bersamedi untuk menghimpun hawa murninya.
"Kalau dugaanku tidak keliru, yang kau maksudkan kakek tua
berjenggot putih itu adalah Tiong Cu Sin Ie (Tabib Sakti Tiong
Ciu) yang amat terkenal di dunia persilatan!" katanya setelah
bersemedi. Ciok Giok Yin memandang pengemis tua dengan
bodoh, karena kurang mengerti akan perkataan pengemis tua
itu. Mendadak pengemis itu menggeleng-gelengkan kepala seraya
berkata, "Aku dikeroyok oleh beberapa iblis dari perkumpulan Sang
Yen Hwee, terkena ilmu pukulan beracun mereka. Kalau obat
Ciak Kim Tan ini milik Tiong Ciu Sin le, pasti bisa
memperpanjang nyawaku beberapa hari, itu pun sudah cukup
bagiku." Usai berkata, pengemis itu berusaha bangkit
berdiri. Ciok Giok Yin cepat-cepat memapahnya.
"Bocah! Papah aku ke tempat yang sepi!" kata pengemis tua.
Ciok Giok Yin mengangguk, lalu memapah pengemis itu
memasuki lembah tersebut. Tak lama kemudian, bukan cuma
Ciok Giok Yin yang berkeringatan, bahkan pengemis tua itu pun
mulai memburu nafasnya. Dapat diketahui betapa beratnya
luka yang diderita pengemis itu. Setelah melewati jalan berlikuliku,
akhirnya mereka berdua sampai di depan sebuah goa batu
alami, dan mereka berdua segera memasuki goa itu. Pengemis
tua duduk, memandang Ciok Giok Yin.
"Bocah, kita beristirahat di sini. Aku ingin bicara denganmu."
Dia memejamkan matanya, kelihatannya ingin beristirahat
sejenak. Dua kali Ciok Giok Yin dipanggil 'Bocah', membuat
hatinya merasa kurang enak. Namun melihat keadaan
pengemis tua, dia tidak mempermasalahkannya. Beberapa saat
kemudian barulah pengemis tua membuka matanya,
memandang Ciok Giok Yin dengan lembut sekali.
"Anak ini...," gumamnya terputus. Kelihatannya pengemis itu
sedang memikirkan sesuatu.
"Bocah, itu tergantung pada peruntunganmu! Menurutku Ciak
Kim Tan memang berasal dari Tiong Ciu Sin le. Ilmu
pengobatan orang itu amat luar biasa. Apabila kau berhasil
mencarinya, kau pasti akan berhasil mempelajari ilmu tinggi,"
katanya sesaat kemudian.
"Maksud Paman pengemis adalah kakek tua berjenggot
putih?" "Tidak salah."
"Betulkah beliau adalah Tiong Ciu Sin Ie?"
"Menurut dugaanku pasti dia."
"Aku justru ingin pergi mencarinya, namun tidak tahu, beliau
berada dimana."
"Kau boleh mencarinya ke Tionggoan," kata pengemis tua.
Mendengar saran pengemis itu, bukan main girangnya Ciok
Giok Yin, itu berarti dia punya harapan lagi. Seandainya dia
berhasil mencari kakek tua berjenggot putih, dia pasti akan
belajar kungfu tinggi, agar dapat menuntut balas pada orangorang
yang pernah menghinanya. Badan pengemis tua
menggigil sejenak.
"Bocah, kalau nyawaku dapat dipertahankan, aku pasti
membantumu mencarinya. Kini, berkat khasiat obat Ciak Kim
Tan, aku akan pergi menemui seseorang untuk mengobati
lukaku," katanya perlahan-lahan. Usai berkata, pengemis tua
itu bangkit berdiri. Begitu melihat pengemis tua itu akan pergi,
guguplah hati Ciok Giok Yin.
"Paman pengemis mau pergi?" katanya. Pengemis itu
mengangguk. "Ya. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Sebab kalau aku tidak
bisa menemukan orang itu, diriku pasti celaka."
Dia menatap Ciok Giok Yin, "Kalau aku tidak mati, sebulan
kemudian, kita akan bertemu di sebelah timur kota Lok Yang,
di Kuil Kwan Kong." Badan pengemis itu bergerak, ternyata dia
telah melesat pergi.
Kini di tempat itu tinggal Ciok Giok Yin seorang diri. Dia
berdiri termangu-mangu di tempat. Lama sekali barulah Ciok
Giok Yin mendongakkan kepala memandang langit, ternyata
hari sudah menjelang sore.
Lembah itu amat sunyi, hawa udaranya pun amat dingin. Ciok
Giok Yin cuma mengenakan pakaian tipis, maka rasa dingin itu
betul-betul menusuk ke dalam tulangnya. Dia harus segera
meninggalkan lembah itu, kalau tidak, pasti akan mati
kelaparan. Di saat bersamaan, perutnya pun mulai berbunyi
keroncongan, pertanda minta segera diisi. Akan tetapi di depan
matanya cuma ada salju putih, bagaimana mungkin mencari
makanan di tempat tersebut" Karena sudah lapar, maka dia
berjalan tertatih-tatih meninggalkan lembah itu. Setelah
berjalan beberapa saat, sekujur badan Ciok Giok Yin terasa
semakin lemah, bahkan pandangannya pun mulai kabur. Perlu
diketahui, perutnya cuma diisi satu kali, lalu melakukan
perjalanan malam, bahkan juga dipukul orang, sehingga
membuat perutnya semakin kosong.
Langkahnya makin lamban, namun lembah itu sepertinya
tiada ujungnya, sulit sekali melewatinya.
Di depan matanya cuma tampak batu curam, dan harus
melewati batu-batu itu, sebab tiada jalan lain. Demi perutnya
yang harus segera diisi, dia terus berjalan meskipun badannya
sudah semakin lemah, tidak menghiraukan bahaya yang ada di
tempat itu. Namun berselang sesaat, sepasang kakinya sudah
tak bertenaga, akhirnya dia terkulai tak mampu bangkit berdiri
lagi. Sungguh kasihan sekali anak kecil itu! Dia masih kecil
sudah mengalami penderitaan yang tiada tara.
Sementara sang waktu terus berlalu, tak terasa hari sudah
mulai senja. Bunga-bunga salju mulai turun dari
langit. Sedangkan Ciok Giok Yin tergeletak di tanah, tak
mampu bergerak. Tampak sepasang matanya mengucurkan air
mata, mengucur dan terus mengucur.... Namun dia masih
teringat ketika bersama si Kakek berjenggot putih, kemudian
teringat pula ketika berada di keluarga Tong.... Semua itu terus
terbayang di depan matanya. Saat ini dia tidak mengharapkan
apa-apa, cuma berharap ada sedikit makanan untuk mengisi
perutnya. Oleh karena itu, justru membuat perutnya semakin
terasa lapar....
Dia menengok kesana kemari, yang tampak hanya bungabunga
salju beterbangan dihembus angin. Betapa takutnya
anak kecil itu, sehingga sulit diuraikan dengan katakata.
Apabila malam ini dia tidak berhasil meninggalkan
lembah itu, tentunya dia akan terkubur di sana, atau mungkin
juga akan menjadi mangsa binatang buas. Ciok Giok Yin
berkertak gigi, memaksa diri untuk bangkit berdiri. Dia
berhasil, tapi baru berjalan beberapa langkah, dia sudah
terkulai dan matanya gelap, akhirnya pingsan.
Sesungguhnya kalau cuma satu hari tidak makan, Ciok Giok
Yin tidak akan merasa lapar hingga seperti itu. Namun dia
dipukul orang beberapa kali, bahkan juga harus melakukan
perjalanan dalam keadaan cuaca buruk dan dingin, itulah yang
membuat kondisi badannya semakin lemah dan tak dapat
bertahan lagi. Entah berapa lama kemudian, barulah dia
siuman. Dia membuka matanya lalu menengok ke sekeliling,
ternyata hari sudah gelap. Air matanya berderai-derai lagi
membasahi pipinya, bahkan sekujur badannya menggigil.
Di saat itulah dia berpikir, sebetulnya dia orang dari mana" Di
mana kedua orang tuanya" Kakek tua berjenggot putih pernah
memberitahukannya, bahwa beliau menemukannya di sebuah
lembah. Pada waktu itu usianya baru tiga tahun. Di bajunya bersulam
tiga huruf yaitu Ciok Giok Yin. Itu pasti namanya, tidak akan
salah. Kalau begitu, siapa ayahnya dan mengapa dia dibuang di
dalam lembah itu" Apakah kedua orang tuanya dibunuh oleh
penjahat" Akan tetapi, kalau kedua orang tuanya dibunuh oleh penjahat,
mengapa dirinya tidak turut dibunuh" Bukankah membabat
rumput harus pula mencabut akarnya" Bagaimana mungkin
dirinya dibiarkan hidup" Dia berpikir lagi, seandainya kedua
orang tuanya dibunuh penjahat, bagaimana mungkin sempat
membuangnya ke lembah itu" Sesungguhnya Ciok Giok Yin
berharap akan berhasil mencari kakek tua berjenggot putih,
lalu bermohon padanya diajarkan ilmu silat. Kalau sudah
memiliki ilmu silat tinggi, dia bukan cuma bisa membalas
dendam, bahkan juga bisa pergi mencari kedua orang
tuanya. Namun kini segalanya telah kandas. Semuanya itu
hanya merupakan suatu mimpi belaka, karena dia akan mati
kelaparan di tempat ini.
Kini Ciok Giok Yin sudah tidak merasa takut lagi. Di saat
orang sedang menunggu ajalnya, justru akan berubah
tenang. Usia Ciok Giok Yin masih kecil, namun dia sering
mengalami berbagai macam penderitaan, maka pikirannya jauh
melebihi anak-anak seusia itu. Sementara bunga-bunga salju
terus menari-nari di angkasa. Angin terus berhembus tanpa
mengenal belas kasihan, menimbulkan suara menderuderu.
Mendadak angin dingin berhembus, membawa suatu
aroma yang amat harum menerobos ke dalam hidung Ciok
Giok Yin. Seketika semangatnya terbangkit. Sedangkan aroma harum
itu, makin lama makin menebal. Ciok Giok Yin pernah
mendengar dari kakek tua berjenggot putih, bahwa di rimba
liar kadang-kadang terdapat semacam buah langka.
Seandainya nyawanya tidak akan berakhir di sana,
kemungkinan besar dia akan memperoleh buah langka yang
dimaksud Memang menakjubkan, setelah mencium aroma
harum itu, tanpa sadar sekujur badannya terasa agak
bertenaga. Dia langsung bangkit berdiri, memandang ke arah
datangnya aroma harum itu. Akan tetapi hari amat gelap,
maka dia tidak melihat apapun.
Namun berdasarkan aroma harum itu, dia berjalan perlahanlahan
menuju ke sana. Kira-kira dua depa kemudian, tiba-tiba
aroma harum itu hilang. Dia terpaksa membalikkan badannya
untuk berendus-endus lagi.
Tak lama terendus lagi aroma harum itu. Dia cepat-cepat
berjalan ke sana. Tampak sebuah tumbuhan melekat di dinding
tebing. Tumbuhan itu cuma berdaun empat helai agak
bergemerlapan. Di pucuk tumbuhan itu terlihat dua biji
buah. Ketika melihat buah itu, Ciok Giok Yin nyaris bersorak,
kemudian sekujur badannya tergetar.
"Ginseng Daging! Ginseng Daging!" gumamnya perlahan.
Ginseng Daging merupakan buah yang amat langka dan


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkhasiat luar biasa sekali. Bagi orang mahir kungfu, apabila
makan buah Ginseng Daging itu, bukan cuma akan menambah
tiga puluh tahun latihan lwee kang, bahkan juga akan
membuatnya awet muda. Bagaimana Ciok Giok Yin tahu
tentang hal itu" Ternyata kakek tua berjenggot putih pernah
memberitahukannya mengenai berbagai macam buah langka
berikut khasiatnya. Dia pun ingat akan pesan kakek tua
berjenggot putih, bahwa siapa yang dapat menemukan buah
Ginseng Daging, dia betul-betul beruntung sekali. Sebab
khasiat Ginseng Daging dapat menghidupkan orang yang baru
mati. Teringat akan pesan itu, maka Ciok Giok Yin menjulurkan
tangannya perlahan lahan dan berhatihati sekali memetik
kedua biji buah Ginseng Daging itu. Namun tumbuhan itu
malah tercabut semua berikut akarnya.
Saking laparnya, Ciok Giok Yin menyantap satu biji buah
Ginseng Daging itu, bahkan berikut daun, batang dan
akarnya. Ketika dia baru mau menyantap buah Ginseng Daging
yang satu lagi, mendadak teringat akan kakek tua berjenggot
putih. Orang tua itu telah banyak berbudi padanya, mengapa
Ginseng Daging yang satu ini tidak disimpan untuk
beliau" Karena berpikir begitu, dia segera menyimpan Ginseng
Daging itu ke dalam kotak Ciak Kim Tan. Setelah makan
Ginseng Daging itu, Ciok Giok Yin sudah tidak merasa lapar
maupun dingin lagi. Dapat dibayangkan betapa girangnya hati
Ciok Giok Yin! Dia langsung berjalan pergi meninggalkan
lembah itu. Jilid 02 Ketika Ciok Giok Yin berjalan beberapa langkah, tiba dia
merasa Tantian (Bagian Pusar)nya mengalir hawa panas,
kemudian menjalar keseluruh tubuhnya. Itu membuatnya
merasa tidak tahan, akhirnya dia roboh berguling-guling di
tanah. Saking panasnya hawa itu di dalam tubuhnya,
menyebabkannya menjadi pingsan.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah dia siuman. Dia
merasa badannya kembali segar, tidak merasa lapar dan
bersemangat. Tapi masih terasa hawa panas di bagian
Tantiannya, hanya tidak mengganggu dirinya. Ciok Giok Yin
pernah belajar ilmu pengobatan, maka dia tidak begitu
memperdulikan itu. Dia girang bukan main lantaran badannya
telah regar, maka langsung meloncat bangun. Namun tiba-tiba
dia terbelalak, ternyata badannya berubah menjadi agak tinggi.
Itu sungguh mengherankannya! Dia tidak menyangka bahwa
Ginseng Daging itu berkhasiat begitu luar biasa.
Kini pakaiannya berubah agak pendek, sepatunya juga agak
sempit, sehingga membuatnya tertawa geli. Saat ini, dia
kelihatan seperti telah berusia sembilan belas tahun, padahal
usianya baru menginjak enam belas. Ciok Giok Yin terus
berjalan meninggalkan lembah itu. Justru sungguh di luar
dugaan, langkah kakinya terasa amat ringan. Walau berjalan
perlahan, tapi seperti terbang. Betapa girangnya Ciok Giok Yin,
sungguh sulit dilukiskan! Oleh karena itu, dia berjalan sambil
bersenandung dengan riang gembira.
Dalam rimba tampak asap tipis, gunung dingin menyimpan
kedukaan orang, senja hari memasuki loteng, ada orang
bermuram durja di loteng. Suara nydapatiannya amat merdu,
bergema-gema dan berkumandang ke mana-mana. Dia terus
berjalan, sesekali kakinya menendang bunga salju, bahkan
juga berloncat-loncatan.
Ciok Giok Yin terus berjalan. Mendadak dia melihat di depan
ada sosok bayangan hitam duduk di atas sebuah batu
besar. Ciok Giok Yin tersentak, langsung berhenti, tidak berani
berjalan lagi. Dia tidak dapat melihat dengan jelas, sosok
bayangan itu sebenarnya orang hidup atau mayat. Kalau itu
orang hidup, mengapa dia duduk di situ di malam hari yang
amat dingin" Bagaimana orang itu tahan duduk diam di
situ" Apakah dia tidak merasa dingin"
Karena itu, Ciok Giok Yin tidak berani maju lagi. Sampai lama
sekali Ciok Giok Yin tidak melihat orang itu bergerak, maka
timbullah rasa keberani- annya dan dia mulai maju perlahanlahan.
Setelah dekat, barulah Ciok Giok Yin melihat jetas, orang itu
sudah tua, duduk dengan mata terpejam kelihatannya sedang
bersemadi menghimpun hawa murninya. Ciok Giok Yin cepatKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
cepat memberi hormat. Justru di saat itulah dia melihat jenggot
orang tua itu bernonda darah, dan nafasnya agak
memburu. Ciok Giok Yin memperhatikannya. Kelihatannya
orang tua itu seperti terluka parah. Dia merasa iba dan simpati
pada orang tua itu. Maka, setelah memberi hormat, diapun
bertanya. "Mohon tanya pada lo cianpwee, apakah lo cianpwee terluka?"
Orang tua itu membuka matanya, menatap Ciok Giok Yin
sejenak, lalu dipejamkan lagi tanpa menghiraukannya. Ciok
Giok Yin bertanya lagi, tapi orang tua itu tetap tidak
menyahut. Karena itu, dia menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian berjalan pergi.
Ketika dia baru berjalan belasan depa, mendadak terdengar
suara bentakan di belakangnya.
"Berhenti!"
Ciok Giok Yin segera menoleh ke belakang. Seketika juga
wajahnya berubah menjadi pucat pias, dan sekujur badannya
tampak gemetar. Ternyata Tong Eng Kang dan tiga lelaki
berdiri di belakangnya, Ciok Giok Yin berkertak gigi, dan
sepasang matanya membara. Namun dia tahu dirinya tidak
mengerti ilmu silat, maka terpaksa menekan hawa
kegusarannya. Sedangkan Tong Eng Kang, begitu melihat Ciok
Giok Yin, seketika juga tertegun, karena dalam waktu satu
malam, Ciok Giok Yin telah bertambah besar, dan kelihatan
seperti berusia sembilan belas tahun. Tong Eng Kang tidak
habis pikir, bagaimana seseorang bisa tumbuh besar dalam
waktu satu malam" Ketiga lelaki itu juga tampak tertegun.
Mereka menatap Ciok Giok Yin dengan mata terbelalak.
Begitulah. Mereka saling menatap. Berselang sesaat, Tong Eng
Kang berusaha tersenyum ramah dan lembut.
"Adik Ciok, beberapa malam yang lalu aku telah bersalah
padamu, mohon dimaafkan! Untung adik Ciok tidak terjadi apaapa.
Kemarin pagi ayah tidak melihatmu, maka aku dipukul
oleh ayah! Adik Ciok, silakan ikut aku pulang, jangan
berkeliaran di luar lagi!" Begitu mendengar perkataan Tong Eng
Kang, kemarahan Ciok Giok Yin semakin memuncak.
"Terimakasih atas kebaikanmu. Namun kalaupun aku harus
mati kelaparan di luar, aku tetap tidak mau pulang ke sana,
tiada hubungan apa-apa dengan kalian!" sahutnya dengan
ketus. Usai menyahut, Ciok Giok Yin lalu membalikkan
badannya berjalan pergi. Wajah Tong Eng Kang tampak
tersenyum. "Adik Ciok, dengarlah dulu! Kau mau pulang atau tidak itu
terserah." Dia memandang ketiga lelaki itu, dan seketika ketiga
lelaki itu meloncat ke arah Ciok Giok Yin, mengurungnya di
tengah-tengah. Sedangkan Tong Eng Kang juga maju beberapa
langkah. "Adik Ciok, pakaianmu sudah begitu pendek, tidak bisa
dipakai lagi. Untung ketika aku mau kemari, tidak lupa
membawa dua stel pakaian untukmu." Dia mengambil sebuah
bungkusan yang tergantung di punggungnya, kemudian
dibukanya. Ternyata bungkusan itu berisi dua stel pakaian dan
sepatu. "Cepatlah pakai, lalu ikut aku pulang!" Dia
menyerahkan pakaian dan sepatu itu pada Ciok Giok Yin.
Sesungguhnya itu adalah pakaian Tong Eng Kang. Semula Ciok
Giok Yin tidak mau menerimanya, namun mengingat pakaian
dan sepatunya yang dipakainya sudah tidak karuan, maka
terpaksa diterimanya pakaian itu, lalu dipakainya.
"Terimakasih!" ucapnya sambil memandang Tong Eng Kang.
Pakaian dan sepatu itu memang amat pas dengan badannya.
Ketika Ciok Giok Yin sedang mengenakan pakaian itu, Tong Eng
Kang maju dua langkah lagi, sehingga amat dekat dengan Ciok
Giok Yin. Tong Eng Kang adalah pemuda yang licik dan banyak
akal busuk. Dia tersenyum-senyum seraya berkata.
"Adik Ciok, sebetulnya apa gerangan yang telah terjadi atas
dirimu" Bagaimana dalam waktu satu malam, kau bisa tumbuh
lebih tinggi dan besar?" Berhubung Tong Eng Kang belum tahu
jelas apa yang telah terjadi atas diri Ciok Giok Yin, maka tidak
berani sembarangan turun tangan. Karena Tong Eng Kang
bersikap begitu baik, maka Ciok Giok Yin menyahut dengan
jujur. "Aku telah makan Ginseng Daging."
"Ginseng Daging?"
"Ng" Wajah Tong Eng Kang langsung berubah, sepasang biji
matanya berputar dan kemudian berkata.
"Adik Ciok, dalam waktu satu malam kau sudah tumbuh
besar. Kalau kau hidup sampai lima enam puluh tahun
kemudian, bukankah kau akan tinggi sekali" Aku pernah
dengar dari orang, setelah makan Ginseng Daging, harus pula
menggunakan Ping Ko (Buah Es) untuk mencairkan Ginseng
Daging itu. Kalau tidak...."
Hati Ciok Giok Yin berdebar-debar mendengar ucapan Tong
Eng Kang itu. "Bagaimana?"
Tong Eng Kang tertawa licik.
"Setiap hari kau akan bertambah tinggi, cobalah bayangkan!"
Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin. Dia langsung bertanya
dengan suara bergemetar.
"Kakak Tong, aku harus bagaimana?"
"Asal kau ikut aku pulang, ayah pasti dapat membantumu,"
sahut Tong Eng Kang sungguh-sungguh. Walau Ciok Giok Yin
pernah ikut kakek tua berjenggot putih belajar ilmu
pengobatan, namun tidak pernah mendengar Ginseng Daging
masih mengandung khasiat seperti itu. Maka tidak
mengherankan kalau dia jadi ragu.
Tong Eng Kang terus menatapnya. Dalam hatinya dia merasa
girang, karena merasa telah berhasil mendustai anak itu. Maka
dia maju setengah langkah lagi dan langsung mencengkeram
lengan Ciok Giok Yin. Sementara itu, orang tua yang duduk di
atas batu, mendengar jelas pembicaraan mereka, tapi dia tetap
diam. Sedangkan Tong Eng Kang, setelah berhasil
mencengkeram lengan Ciok Giok Yin, wajahnya berubah
menjadi bengis. Ciok Giok Yin ingin meronta, tapi sebelah
tangan Tong Eng Kang bergerak cepat mencengkeram
lengannya lagi.
"Ciok Giok Yin! Apa yang kutanyakan harus kau jawab dengan
jujur!" "Mau bertanya apa?"
"Siapa yang membunuh keempat orangku di dalam lembah
itu?" Ciok Giok Yin teringat pada keempat lelaki yang ingin
membunuhnya, untung pengemis tua menyelamatkannya. Kini
Tong Eng Kang muncul di tempat ini, tentunya akan membuat
perhitungan dengannya.
Oleh karena itu dia menyahut, "Aku tidak tahu,"
Tong Eng Kang tertawa dingin.
"Tidak tahu?" katanya. Dia mengeraskan cengkeramannya.
Sebetulnya Ciok Giok Yin ingin meronta, namun merasa tak
bertenaga sama sekali, lagipula lengannya terasa mau patah
sehingga keringat dinginnya mulai mengucur. Saat ini Ciok
Giok Yin baru sadar, ternyata tadi Tong Eng Kang cuma berkata
bohong belaka. "Cepat katakan! Siapa yang membunuh mereka?" desak Tong
Eng Kang. Ciok Giok Yin tidak menyahut, cuma mendengus.
"Hmmm!" Walau merasa amat sakit, tapi dia tidak mengeluh
sama sekali, sebab sudah terbiasa menderita dan disiksa. Oleh
karena itu, dia menutup mulutnya rapat-rapat sambil berkertak
gigi. Dengan cara kekerasan tidak memperoleh hasil, maka
Tong Eng Kang ingin menggunakan cara lunak Dia
mengendurkan cengkeramannya, lalu berkata dengan lembut.
"Adik Ciok, maafkan aku karena terlampau emosi sehingga
menyakitkan lenganmu. Adik Ciok, beritahukanlah, siapa yang
membunuh mereka! Apakah kau tega membiarkan mereka
mati penasaran?"
Ciok Giok Yin tetap diam. Namun dalam hatinya berkata. 'Aku
yakin Tong Eng Kang juga tidak akan melepaskan diriku. Aku
telah makan Ginseng Daging, langkah kakiku amat ringan,
mengapa aku tidak kabur"' Ketika dia baru mau membalikkan
badan ingin kabur, mendadak ketiga lelaki itu telah
melancarkan tiga buah pukulan ke arahnya. Di saat
bersamaan, Tong Eng Kang tertawa dingin seraya berkata.
"Anak jahanam, kau masih ingin melarikan diri" Kalau kau
tidak mau mengatakan secara jujur, aku pasti menyiksamu
sampai menderita sekali, tidak bisa hidup dan tidak bisa mati!"
Wajahnya berubah menjadi bengis, penuh hawa
membunuh. Sedangkan Ciok Giok Yin tahu bahwa dirinya
sudah tidak bisa lolos dari maut. Maka, dari pada mati konyol,
lebih baik melawan. Karena itu, mendadak dia menerjang ke
arah Tong Eng Kang sambil berkertak gigi. Dia tidak mengerti
ilmu silat, maka pukulannya agak ngawur tidak karuan.
Akan tetapi, Tong Eng Kang langsung mengayunkan kakinya
menendang Ciok Giok Yin, sehingga anak itu terpental
beberapa depa lalu roboh. Tong Eng Kang tidak berhenti
sampai di situ. Dia meloncat ke arah Ciok Giok Yin yang masih
terlentang di tanah, lalu menginjak dadanya.
"Aaaakh...!" jerit anak itu. Mulutnya menyemburkan darah
segar. Akan tetapi, entah muncul dari mana Ciok Giok Yin
memperoleh kekuatan. Dia menyambar sebuah batu. lalu
disambitkan ke arah kepala Tong Eng Kang. Jaraknya amat
dekat, lagipula Tong Eng Kang tidak menduga kalau Ciok Giok
Yin akan menyambitnya. Maka tidak ampun lagi batu itu
mendarat di keningnya. Bukan main gusarnya Tong Eng Kang!
"Anak sundel! Aku akan menghabisimu!" bentaknya sengit.
Tong Eng Kang mengeluarkan sebilah belati yang
bergemerlapan, tampak tajam sekali. Dia menatap Ciok Giok
Yin dengan bengis, lalu menusuk dadanya dengan belati itu.
Kelihatannya anak yang yatim piatu yang selalu hidup
menderita itu akan mati tertusuk. Namun mendadak terdengar
suara bentakan keras.
"Berhenti!" Tampak sosok bayangan bagaikan setan
gentayangan berkelebat, dan terdengar pula suara menderuderu.
Seketika terdengar suara jeritan.
"Aaaakh...!" Tampak seseorang terpental tiga depa, dan
kemudian jatuh gedebuk di tanah. Ternyata Tong Eng
Kang. Begitu melihat tuan mudanya terpental, ketiga lelaki itu


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat-cepat mendekatinya, kemudian salah seorang dari
mereka memapahnya bangun. Sedangkan dua orang lainnya
membentak keras.
"Tua bangka! Cari mampus!" Mendadak mereka menyerang
orang tua tersebut. Sepasang mata orang tua itu menyorot
tajam. Begitu tangannya bergerak, terdengar lagi dua kali
jeritan. Ternyata kedua lelaki itu pun terpental lalu jatuh di
tanah. Tong Eng Kang yang telah dipapah bangun,
menyaksikan kepandaian orang tua tersebut. Dia tahu dirinya
bukan lawan orang tua itu, maka tanpa bicara lagi dia langsung
mengajak ketiga lelaki itu Ciok Giok Yin yang telah
memejamkan matanya menunggu mati, tidak menyangka
bahwa orang tua yang duduk diam di atas batu itu, melesat
cepat menyelamatkan nyawanya. Dia segera memberi hormat
kepadanya. "Terimakasih atas kebaikan to cianpwee telah menyelamatkan
nyawaku!" ucapnya. Orang tua itu menatapnya dengan penuh
perhatian. "Bocah, siapa namamu?"
"Ciok Giok Yin."
"Kau telah makan buah Ginseng Daging?"
"Ya."
"Pernahkah kau belajar kungfu?"
"Tidak pernah."
Orang tua itu manggut-manggut.
"Sungguh merupakan sebuah mustika yang belum digosok!"
gumamnya. Ciok Giok Yin tidak mengerti apa yang dikatakan
orang tua itu. "Lo cianpwee bilang apa?"
Orang tua itu tidak menyahut, melainkan malah balik
bertanya. "Bocah, berapa usiamu sekarang?"
"Enam belas."
Mendadak terlintas suatu pikiran dalam benak Ciok Giok Yin,
orang tua itu berkepandaian tinggi, mengapa aku tidak berguru
padanya untuk belajar kungfu tinggi" Setelah aku berhasil
menguasai kungfu tinggi, bukankah aku bisa balas dendam
kelak" Karena berpikir begitu, Ciok Giok Yin segera menjatuhkan diri
berlutut di hadapan orang tua itu.
"Lo cianpwee, mohon lo cianpwee sudi menerimaku..."
katanya. Sebelum Ciok Giok Yin usai berkata, orang tua itu sudah
tertawa terbahak-bahak dan menyergahnya.
"Aku Phing Phiaw Khek, seumur hidup bagaikan daun yang
terapung kesana kemari, tiada tempat tinggal yang tetap.
Lagipula kini aku menderita luka parah, nyawa pun tidak akan
panjang. Bukan aku tidak mau menjadi suhumu, melainkan
tidak pantas. Ayo, bangunlah! Aku akan
menyempurnakanmu." Ciok Giok Yin segera bangkit
berdiri. Phing Phiauw Khek terbatuk-batuk beberapa kali,
kemudian memuntah darah segar, dan badannya pun menjadi
sempoyongan seakan mau roboh. Ciok Giok Yin segera
menahannya agar tidak roboh.
"Lo cianpwee terluka parah ya?"
Mendadak sepasang mata Phing Phiauw Khek menyorot
dingin. "Tidak salah. Aku dilukai oleh para iblis Sang Yen Hwee."
"Sang Yen Hwee?"
"Eh" Bagaimana kau tahu?"
Ciok Giok Yin segera menceritakan tentang pengemis tua,
kemudian menambahkan,
"Paman pengemis itu pergi mencari seseorang untuk
mengobati lukanya."
Phing Phiauw Khek duduk, menatap Ciok Giok Yin seraya
berkata. "Lukamu juga tidak ringan, duduklah!" Ciok Giok Yin duduk di
hadapannya. "Bocah. Sungguhkah kau ingin belajar kungfu?"
"Ya!"
"Aku pasti mengabulkannya, namun setelah kau berhasil
menguasai semua ilmu silatku, kau harus membasmi
perkumpulan Sang Yen Hwee, dan juga harus mencari sebuah
Gin Tie (Seruling Perak) untukku!"
"Seruling Perak?"
"Ng!"
"Setelah berhasil mencari Seruling Perak, lalu bagaimana?"
"Setelah kau berhasil mencari Seruling Perak itu, kau pun
masih harus mencari keturunan Hai Thian Tayhiap-Ciok Khie
Goan. Serahkan Seruling Perak itu padanya!"
"Siapa keturunan Hai Thian Tayhiap-Ciok Khie Goan itu?"
"Tentang itu, kau boleh selidiki sendiri, sebab aku pun tidak
begitu jelas."
"Lo cianpwee, di mana tempat tinggalnya?"
"Itu pun harus kau yang menyelidikinya."
Mencari seseorang yang tiada nama dan tiada alamat jelas,
sungguh merupakan suatu urusan yang amat sulit. Tapi orang
tua itu bilang, mengenai Seruling Perak, tentunya amat penting
terhadap keluarga Ciok itu. Sedangkan Ciok Giok Yin memang
ingin sekali belajar kungfu, maka dia langsung
menyanggupinya.
"Aku pasti melaksanakan tugas itu dengan baik."
Phing Phiauw Khek manggut-manggut.
"Baik. Dalam waktu tiga hari, kau harus tiba di tebing Tong
Eng Kang. Di sana terdapat goa Toan Teng Tong. Carilah
seorang wanita bernama Ho Hong Hoa di sana, dia pasti akan
mewariskan kungfu yang amat tinggi padamu!"
Mendengar itu, Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Jarak dari sini ke gunung Tong Pek San ribuan mil, mungkin
dalam waktu sepuluh hari pun sulit untuk tiba di sana. Itu
bagaimana?"
"Biar bagaimanapun, dalam waktu tiga hari kau harus sampai
di sana. Kalau terlambat, bukan cuma akan mempengaruhi
rimba persilatan, bahkan juga akan menimbulkan hal lain."
"Apakah wanita itu amat penting bagi rimba persilatan?"
"Sesungguhnya bukan orangnya, melainkan dia memiliki
suatu benda pusaka."
Ciok Giok Yin tertegun.
"Apakah ada orang ingin merebut benda pusakanya
"Berdasarkan. informasi yang kuterima, Bu Lim Sam Siu (Tiga
Manusia Aneh Rimba Persilatan) telah berangkat ke sana."
Tiba-tiba, Phing Phiauw Khek membentak keras bagaikan
suara geledek menggelegar, memekakkan telinga Ciok Giok Yin
dan badannya pun gemetar. Di saat bersamaan, orang tua itu
menotok jalan darah Ciok Giok Yin agar anak itu pingsan,
setelah itu, menotok lagi jalan darah Pek Hwee Hiatnya.
Entah berapa lama kemudian. Satu jam, dua jam.... Satu
hari, dua hari.... Ciok Giok Yin mulai siuman. Dia membuka
matanya, melihat bintang-bintang bertaburan di langit. Dia
mendapatkan dirinya berada di malam yang amat dingin,
sedangkan di sisinya tergeletak Phing Phiauw Khek, tak
bergerak dan tak bernafas.
Hati Ciok Giok Yin tersentak. Dia masih ingat ketika Phing
Phiauw Khek membentak, lalu dia pun pingsan tak tahu apaapa
lagi. Ciok Giok Yin segera memeriksa pernafasan Phing
Phiauw Khek, ternyata nafas orang tua itu telah putus. Dia
tidak habis pikir, sebenarnya apa gerangan yang telah
terjadi" Melihat mayat orang tua itu, hati Ciok Giok Yin amat
berduka. Kini di tempat itu hanya Ciok Giok Yin seorang diri,
maka dia mencari suatu tempat untuk mengubur mayat Phing
Phiauw Khek. Di saat mengubur mayat orang tua itu, dia merasa heran,
mengapa tenaganya begitu kuat" Dia mudah mengangkat
mayat itu, dan juga mudah mengangkat batu-batu. Mayat
orang tua dan batu-batu itu amat berat, namun dengan mudah
dia mengangkatnya. Dia tidak mengerti sama sekali, kemudian
tidak mau memikirkannya.
Seusai mengubur mayat orang tua itu, barulah Ciok Giok Yin
teringat akan pesannya, bahwa dalam waktu tiga hari, dia
harus tiba di Goa Toan Teng Tong, di gunung Tong Pek
San. Bagaimana mungkin" Kalaupun melakukan perjalanan
siang malam tanpa beristirahat, juga tidak akan tiba di sana
dalam waktu tiga hari.
Namun dalam tubuhnya terdapat suatu kekuatan, terus
mendorongnya, agar bisa tiba di sana tepat pada waktunya,
sehingga tidak mengecewakan apa yang dipesankan orang tua
itu. Oleh karena itu, mulailah dia melakukan perjalanan dengan
langkah lebar. Justru sungguh di luar dugaannya, begitu dia
melangkah, badannya terasa amat ringan. Satu kali melangkah
dapat mencapai satu depa lebih. Itu membuatnya segera
berlari. Bukan main! Dia berlari bagaikan terbang. Anehnya dia
tidak meninggalkan bekas kaki di permukaan salju.
Kini barulah Ciok Giok Yin tersadar, bahwa Phing Phiauw Khek
telah menyalurkan hawa murninya ke dalarn tubuhnya, tapi
membuat orang tua itu kehilangan nyawanya sendiri. Budi
kebaikan yang begitu tinggi, harus bagaimana membalasnya"
Ciok Giok Yin bersumpah dalam hati, harus berhasil memenuhi
harapan orang tua tersebut. Saking terharunya, tanpa sadar air
matanya berderai-derai membasahi pipinya.
Pada hari ketiga, Ciok Giok Yin sudah tiba di Gunung Tong Pek
San. Akan tetapi, Gunung Tong Pek San begitu luas, harus ke
mana mencari Goa Toan Teng Tong" Dia menyesal karena tidak
bertanya pada Phing Phiauw Khek. Dan kalau terus mencari,
bukankah akan menyita waktunya" Sejak Ciok Giok Yin makan
buah Ginseng Daging, kecerdasannya pun bertambah. Dia
berpikir sejenak, kemudian mengambil keputusan untuk naik
ke puncak gunung itu. Oleh karena itu dia langsung melesat ke
puncak gunung tersebut.
Namun ketika sedang melesat ke atas, mendadak terdengar
suara pembicaraan di belakangnya. Ciok Giok Yin langsung
berhenti. Di saat bersamaan, dia merasa pandangannya kabur,
ternyata ada tiga sosok bayangan berkelebat di
depannya. Walau cuma sekelebatan, namun Ciok Giok Yin
dapat melihat jelas ketiga orang itu. Mereka bertiga berdandan
seperti sastrawan, berusia sekitar lima puluhan. Mereka bertiga
melesat ke depan bagaikan terbang, membuktikan ginkang
mereka bertiga amat tinggi.
Ketika melewati Ciok Giok Yin, ketiga orang itu masih sempat
melirik ke arahnya, namun tetap melesat ke depan. Begitu
melihat ketiga orang tua itu, hati Ciok Giok Yin tergerak,
kemudian melesati mengikuti mereka. Berselang sesaat, Ciok
Giok Yin bertanya dalam hati.
"Apakah mereka bertiga itu Bu Lim Sam Siu?" Ciok Giok Yin
mulai mengerahkan tenaganya untuk mengejar mereka
bertiga. Dia tidak boleh membiarkan ketiga orang itu tiba lebih
dulu di Goa Toan Teng Tong. Maka dia harus berusaha
mendahului mereka tiba di sana, lalu memberitahukan pada Ho
Hong Hoa agar bersiap-siap terhadap datangnya tiga orang
itu. Bu Lim Sam Siu amat terkenal di dunia persilatan,
bagaimana mungkin mereka bertiga membiarkan Ciok Giok Yin
mendahului mereka" Meskipun Ciok Giok Yin telah berusaha
sekuat tenaga, tapi tetap berada jauh di belakang mereka.
Sementara nafas Ciok Giok Yin mulai tersengal-sengal, tapi
demi pesan Phing Phiauw Khek, dia tetap terus mengejar Bu
Lim Sam Siu. Berselang beberapa saat kemudian, mendadak
Bu Lim Sam Siu berhenti, dan salah satu di antara mereka
menoleh ke belakang.
"Bocah! Ada urusan apa kau terus mengejar kami?" katanya
dengan dingin. Ciok Giok Yin juga berhenti, lalu menarik nafas
dalam-dalam agar nafasnya tidak tersengal-sengal.
"Apakah hanya kalian yang boleh lewat di gunung ini?" sahut
seorang. Orang tua yang bertanya itu tertegun.
"Kalau begitu, kau mau ke mana?"
"Toan Teng Tong."
"Toan Teng Tong?"
"Tidak salah!"
"Mau apa kau ke sana?"
"Tidak dapat kukatakan!"
Orang tua itu terbelalak.
"Aku lihat usiamu masih muda, lebih baik kau pulang saja.
Toan Teng Tong bukan merupakan tempat pesiar. Tempat itu
amat bahaya, jangan dibuat main nyawamu," katanya lembut.
"Terimakasih atas maksud baik Paman, tapi ini adalah
urusanku, harap Paman tidak usah mencemaskan diriku!"
sahut Ciok Giok Yin. Bu Lim Sam Siu sating memandang,
kemudian tertawa gelak.
"Bocah! Kau tahu di mana Goa Toan Teng Tong?" tanya salah
seorang dari mereka. Ciok Giok Yin tertegun ditanya demikian.
"Di tebing Toan Teng," sahutnya hambar.
"Di mana tebing Toan Teng?"
"Aku akan mencari perlahan-lahan."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Ternyata kau belum tahu letak tebing Toan Teng." Dia
menunjuk ke depan. "Tempat itulah yang disebut tebing Toan
Teng." Ciok Giok Yin memandang ke arah yang ditunjuk orang tua
itu. Di sana tampak sebuah pelataran batu, namun di sekitar
pelataran batu itu terdapat batu-batu terjal yang amat
dalam. Orang tua itu tertawa sinis, tidak menghiraukan Ciok
Giok Yin. Mereka bertiga melesat ke arah pelataran batu itu,
Ciok Giok Yin tidak mau ketinggalan, dia pun ikut melesat ke
sana. Tak seberapa lama, mereka berempat sudah tiba di
pelataran batu tersebut. Bu Lim Sam Siu sama sekali tidak
memperdulikan keberadaan Ciok Giok Yin. Mereka bertiga
berjalan mendekati dinding tebing.
Ternyata pada dinding tebing itu terdapat sebuah goa. Ciok
Giok Yin juga telah melihat goa tersebut. Di atas goa itu terukir
beberapa huruf 'Goa Toan Teng Tong' Bu Lim Sam Siu segera
melangkah ke dalam. Ciok Giok Yin amat gugup.
"Berhenti!" bentaknya.
Bu Lim Sam Siu berhenti, lalu serentak menoleh ke belakang.
"Bocah! Kau tidak usah main gelap-gelapan lagi, sebetulnya
mau apa kau kemari" Kalau kedatanganmu beralasan, aku
tidak akan menyulitkanmu, dan membiarkanmu masuk ke
dalam," kata salah seorang dari mereka.
"Kalau begitu, untuk apa kalian kemari?"
"Berdasarkan nadamu, kedengarannya kita sehaluan."
"Tidak salah."
"Baik, apabila kau punya kepandaian, silakan masuk!" Orang


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua itu segera menyingkir ke samping, seakan mempersiapkan
Ciok Giok Yin masuk Ciok Giok Yin memang pemberani.
Tampak badannya bergerak, dia sudah melesat ke dalam goa
itu. Di dalam goa itu terdapat lorong yang amat panjang. Ciok
Giok Yin berjalan ke dalam dengan bergegas-gegas. Dia
berharap segera bertemu Ho Hong Hoa untuk memberitahukan
semua itu, agar wanita itu berjaga-jaga terhadap Bu Lim Sam
Siu yang ingin merebut benda pusaka.
Setelah melewati beberapa tikungan, Ciok Giok Yin berhenti
termangu-mangu. Ternyata tiada seorang pun berada di dalam
goa itu. Lagi pula di sana banyak sarang laba-laba,
kelihatannya sudah lama tiada penghuninya. Di saat
bersamaan, Bu Lim Sam Siu juga sudah sampai di dalam.
"Bocah! Kalau kau merasa tertarik, ikutlah kami ke dalam!"
kata mereka serentak. Salah seorang dari mereka mendorong
sebuah kursi, dan setelah kursi itu tergeser, tampaklah sebuah
lubang. Bu Lim Sam Siu langsung meloncat ke dalam lobang
itu. Ciok Giok Yin tertegun, tidak menyangka akan mengetahui
rahasia itu. Sudah barang tentu pengalaman anak itu menjadi
bertambah. Kemudian dia ikut meloncat ke dalam lubang
tersebut. Sungguh di luar dugaan, ternyata di dalam lubang itu
terdapat undakan tangga.
Berselang beberapa saat kemudian, di depan mata tampak
sebuah ruang batu yang cukup besar. Namun ruang batu itu
kosong melompong, tidak terdapat satu barangpun di sana.
Hanya di dekat dinding ruangan, terdapat sebuah peti mati
berwarna merah. Hati Ciok Giok Yin, tersentak, kemudian dia
berkata dalam hati. 'Apakah wanita itu....'
Sebelum usai Ciok Giok Yin berkata dalam hati, mendadak
peti mati itu berputar tak henti-hentinya. Seketika sekujur
badan Ciok Giok Yin menjadi merinding. Sedangkan Bu Lim
Sam Siu malah tertawa nyaring.
"Berlakulah sebagaimana mestinya, tidak usah berbuat yang
macam-macam! Kami adalah Bu Lim Sam Siu, Cu Cing Khuang,
Siangkoan Yun San dan Kwee Sih Cun! Selama ini tidak pernah
dipermainkan orang!" kata salah seorang dari mereka. Mata Bu
Lim Sam Siu menyorot dingin, terus menatap peti mati merah.
Salah seorang dari mereka bertiga yang paling tidak sabaran
adalah Siangkoan Yu San. Dia langsung melancarkan sebuah
pukulan ke arah peti mati tersebut. Bum! Peti mati itu langsung
berhenti berputar. Di saat bersamaan, terdengar pula suara
yang amat dingin dari dalam peti mati itu.
"Kalian tidak usah menyebutkan julukan kalian, nona sudah
tahu kalian bertiga adalah Bu Lim Sam Siu! Kini aku beri kalian
waktu, cepat enyah dari sini!"
Siangkoan Yun San tertawa gelak.
"Gampang sekali kami enyah dari sini, namun kau harus
menyerahkan peta Si Kauw Hap Liok Touw pada kami, maka
kami akan segera meninggalkan goa ini!"
Ketika Ciok Giok Yin mendengar ada suara di dalam peti mati
itu, bahkan suara seorang nona, hatinya menjadi lega, dan
keberaniannya pun bertambah. Dia langsung maju beberapa
langkah mendekati peti mati itu. Di saat bersamaan terdengar
sahutan dari dalam peti merah.
"Nona tidak akan menyerahkan pada kalian!"
"Kalau begitu, kau tidak boleh dibiarkan!"
"Mau bagaimana?"
"Aku akan menghabisimu!" sahut Siangkoan Yun San dingin.
Dia maju beberapa langkah, sepasang matanya menyorot
dingin, siap melancarkan pukulannya ke arah peti merah. Cu
Cing Khuang adalah saudara tertua Bu Lim Sam Siu, tentunya
jauh lebih berwibawa dari yang lain. Cepat-cepat dia mencegah
Siangkoan Yu San sambil memberi isyarat.
"Lo Ji (Saudara Kedua), jangan terburu-buru!" Sepasang
matanya langsung diarahkan pada peti mati merah. "Ho Hong
Hoa, kau harus mengerti. Berdasarkan sedikit kepandaianmu
itu, apakah kau ingin...." Belum juga selesai dia berkata, tibatiba
terdengar suara tawa cekikikan di dalam peti mati merah,
kemudian berkata.
"Nona bilang kalian bertiga tak ubahnya seperti tiga ekor
anjing, hidung kalian masih kurang tajam. Kalian tidak tahu
siapa nona, tapi masih berani membicarakan peta Si Kauw Hap
Liok Touw!"
Dapat dibayangkan, betapa gusarnya Cu Cing Khuang!
Sepasang matanya tampak berapi-api, lalu membentak keras.
"Siapa kau?"
"Siapa aku, perduli amat kau siapa aku?"
"Cepat katakan! Ada hubungan apa kau dengan Ho Hong
Hoa?" Tiada sahutan dari dalam peti mati merah, sepertinya sedang
mempertimbangkan, apakah harus menjawab atau
tidak! Beberapa saat kemudian barulah terdengar suara yang
amat dingin dari dalam peti mati tersebut.
"Ho Hong Hoa adalah ibuku, nona adalah putrinya bernama
Ho Siu Kouw! Anjing tua, kalian mau apa, cepat
lakukan!" Bersamaan itu, peti mati merah mulai berputar
lagi. Kali ini peti mati itu berputar jauh lebih cepat, sehingga
menimbulkan angin yang menderu-deru. Sementara itu
walaupun Ciok Giok Yin berdiri dua tiga depa dari peti mati
merah, namun angin yang menderu-deru itu membuatnya
merasa tak tahan. Maka, dia terpaksa harus mundur beberapa
langkah dengan hati berdebar-debar tegang.
"Bocah cepat mundur! Apakah kau sudah tidak mau nyawamu
lagi?" seru Cu Cing Kuang. Ciok Giok Yin tidak memperdulikan
peringatannya, karena Phing Phiauw Khek telah berpesan
padanya, harus menemui wanita ini, maka dia tidak mau
mendengar perkataan orang tua itu. Siangkoan Yun San paling
tidak sabaran. Dia langsung menerjang ke arah peti mati
merah sambil melancarkan sebuah pukulan. Dia memiliki lwee
kang yang tinggi, maka tidak heran kalau pukulannya itu amat
dahsyat! Jangankan cuma sebuah peti mati, kalaupun sebuah
batu juga akan hancur terkena pukulannya. Bum!
Terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga, tampak
badan Siangkoan Yun San terdorong ke belakang dengan wajah
pucat pias, pertanda dia telah terluka dalam. Di saat orang itu
terdorong ke belakang, terlihat pula asap tipis mengepul
menutupi peti mati merah, yang makin lama makin
tebal. Terdengar pula suara tawa cekikikan dari dalam kepulan
asap itu, yang kemudian disusul oleh suara bentakan yang
amat nyaring. "Anjing tua Siangkoan! Bagaimana rasanya" Enak sekali
kan?" Sepasang mata Siangkoan Yun San melotot, dan dia
menggeram. "Aku akan menghabisimu!" Mendadak dia menjulurkan kelima
jari tangannya, menyerang ke arah kepulan asap. Seketika
terdengar suara jeritan di dalam kepulan asap tebal itu. Pada
waktu bersamaan, Siangkoan Yun San juga mengeluarkan
suara jeritan, dan terhuyung-huyung tiga langkah ke
belakang. Pada waktu bersamaan pula, dia menggunakan
tangan kirinya untuk memutuskan tangan kanannya, maka,
darah segarnya pun langsung mengucur menodai pakaiannya.
Ciok Giok Yin yang berdiri tak jauh, ketika menyaksikan
kejadian tersebut, wajahnya langsung berubah menjadi pucat
pias, matanya terbeliak dan mulutnya juga ternganga
lebar. Sedangkan Kwee Sih Cun yang diam dari tadi, kini
tampak marah besar. Dia menggeram, lalu menerjang ke arah
kepulan asap sambil melancarkan pukulan. Angin pukulannya
menderu-deru, membuat kepulan asap itu agak buyar.
Kebetulan Ciok Giok Yin memandang ke sana, maka dia
melihat seorang gadis yang amat cantik duduk di dalam peti
mati merah. Ternyata tutup peti mati itu telah dihancurkan
oleh Siangkoan Yun San tadi. Gadis cantik itu, pasti Ho Siu
Kouw. Ketika melihat Bu Lim Sam Siu yang berusia lima
puluhan menyerang seorang anak gadis, Ciok Giok Yin menjadi
gusar sekali. Dia mendekati Kwee Sih Cun sambil mengepalkan
tinjunya. "Kalian orang tua menghina yang muda, apakah masih
terhitung orang gagah dalam rimba persilatan'?" bentaknya
keras. Jangan dilihat Ciok Giok Yin tidak mengerti kungfu.
Karena dia telah makan buah Ginseng Daging, dan ditambah
Phing Phiauw Khek menyalurkan lwee kangnya yang telah
dilatih puluhan tahun ke dalam tubuhnya, maka Ciok Giok Yin
telah memiliki lweekang yang amat tinggi. Tidak heran kalau
pukulannya yang di arahkan pada Kwee Sih Cun itu kelihatan
amat dahsyat. Akan tetapi, dia tidak pernah belajar kungfu, maka dia
melancarkan pukulannya tidak karuan. Meskipun begitu,
pukulannya cukup mengejutkan Kwee Sih Cun. Bagaimana
pukulan anak muda itu begitu kuat bertenaga" Hanya saja cara
memukulkannya tampak tidak karuan, jelas anak muda itu
tidak pernah belajar kungfu. Kwee Sih Cun mendengus dingin.
"Hmm! Masih berbau susu, sudah sok ingin membela orang
lain!" Dia mengibaskan tangannya ke arah Ciok Giok Yin, maka
terasa serangkum angin yang amat kuat menerjang ke arah
anak muda itu. Ciok Giok Yin yang tersambar angin kibasan itu,
seketika terhuyung-huyung ke belakang delapan langkah.
Kebetulan dia terhuyung-huyung ke arah peti mati merah.
Kalau tidak tertahan oleh peti mati itu, mungkin dia akan
roboh. Mendadak telinga Ciok Giok Yin menangkap suara yang
amat lirih. "Adik kecil, kau bukan lawan mereka, tetaplah kau berdiri di
sampingku, jangan menimbulkan sifat liar mereka, sebab kita
berdua dalam bahaya!"
Sejak makan buah Ginseng Daging, pikiran Ciok Giok Yin
bertambah cerdas, bahkan badannya pun bertambah agak
tinggi dan besar. Ketika mendengar suara lirih itu, dia tahu
suara tersebut berasal dari nona yang duduk di dalam peti mati
merah. Jarak mereka hampir setengah depa, tapi suara yang
amat lirih itu dapat didengarnya dengan jelas. Sungguh aneh
sekali! Berdasarkan itu, dapat dipastikan bahwa nona itu
berkepandaian amat tinggi. Namun wanita yang harus dicari
oleh Ciok Giok Yin, apakah gadis ini" Dia berharap Bu Lim Sam
Siu cepat-cepat meninggalkan tempat itu, agar dia dapat
bertanya pada gadis tersebut. Ho Siu Kouw melirik Ciok Giok
Yin sejenak. Seketika wajahnya berubah menjadi kemerahmerahan.
Kemudian dia memandang Bu Lim Sam Siu seraya
membentak. "Kalian bertiga harus segera enyah! Kalau tidak, nona...."
Ucapan Ho Siu Kouw terputus karena Cu Cing Khuang telah
memotongnya. "Kami bertiga memang gampang enyah dari sini! Asal kau
menyerahkan peta Si Kauw Hap Liok Touw, kami bertiga pasti
meninggalkan tempat ini, tidak akan menyusahkanmu!"
Kemudian, Bu Lim Sam Siu mengepung peti mati merah,
kelihatannya akan menyerang Ho Siu Kouw dengan serentak.
Saat ini Siangkoan Yu San telah menotok jalan datang di
lengannya, maka lengannya yang putus itu tidak mengucurkan
darah lagi. Dia menatap Ho Siu Kouw dengan bengis, lalu
berkata dengan dingin sekali.
"Walau aku sudah terkena Hong Bwe Tok Mang (Racun Ekor
Tawon)mu, tapi tidak apa-apa! Sedangkan kau sulit untuk
hidup tiga bulan lagi!"
Ho Siu Kouw tertawa cekikikan.
"Kau tidak usah mencemaskan diriku! Mati atau hidup tiada
masalah sama sekali! Namun, sejak ini kau akan menjadi orang
cacat!" Cu Cing Khuang melotot,
Pendekar Sadis 12 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pukulan Naga Sakti 7
^