Suling Emas Dan Naga Siluman 3
Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
lang di balik tumpukan salju yang membukit. Akan tetapi, gerakannya ini dapat dilihat oleh wanita baju hijau dan dia cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan lari mengejar.
"Iblis cilik, mau lari ke mana kau"
Lauw Sek terkejut dan hendak mengejar untuk melindungi Siauw Goat, akan tetapi hal ini membuat dia lengah dan sambaran ujung pedang wanita baju kuning mengenal pundaknya, membuat pundak itu terluka parah dan sebuah tendangan menyusul, mengenai pinggangnya dan robohlah Lauw-piauwsu! Teman-temannya masih nekat melawan, akan tetapi seorang demi seorang robohlah para piauwsu itu, semua tewas kecuali Lauw Sek yang memang agaknya tidak dibunuh oleh para wanita itu!
Lauw Sek membuka mata dan pertempuran itu ternyata telah berhenti. Dia siuman dari pingsannya, melihat bahwa di situ kini hanya tinggal wanita baju kuning, sedangkan tiga orang wanita lain telah pergi, agaknya mereka semua mengejar Siauw Goat!
"Kami membiarkan engkau hidup agar engkau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat permainan oleh serombongan piauwsu yang lancang!" kata wanita baju kuning itu.
"Siapa.... siapa kalian...." Lauw Sek bertanya lemah, hatinya penuh duka melihat bahwa sebelas orang anak buahnya ternyata telah tewas semua dalam keadaan menyedihkan sekali. Dia bangkit duduk dan pundak kirinya terasa nyeri, akan tetapi darah sudah berhenti mengucur, agaknya membeku di luar karena hawa dingin dan salju yang turun ke atas luka besar itu.
Wanita baju kuning itu tersenyum. Manis sekali memang, akan tetapi bagi Lauw Sek di saat itu, senyum ini seperti senyum iblis dari neraka! "Memang kami sengaja membiarkan kamu hidup agar mengenal siapa kami. Kami adalah utusan dari Sam-thaihouw! Nah, ingatlah baik-baik!" Wanita baju kuning itu menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menendang dan tepat mengenai dada Lauw Sek membuat piauwsu ini terjengkang dan roboh pingsan lagi! Sambil tersenyum wanita baju kuning itu lalu melompat dan lari dari situ untuk menyusul teman-temannya, sedangkan enam belas orang penggotong tandu itu duduk seenaknya saja sejak tadi menonton pertempuran-pertempuran di dekat tandu-tandu kosong mereka, seolah-olah mereka sedang menjadi penonton pertunjukan yang menarik!
Sementara itu, Siauw Goat lari pontang-panting di antara hujan salju. Dia melarikan diri secepatnya tanpa arah tertentu dan dia memasuki daerah bersalju yang turun naik. Dia melihat adanya tiga orang yang mengejarnya. Untung baginya bahwa hujan salju makin deras sehingga pandang mata menjadi kabur dan para pengejarnya kadang-kadang kehilangan bayangannya. Juga jejak-jejak kakinya segera tertutup oleh salju sehingga tiga orang wanita itu seperti orang meraba-raba ketika mengejar dan mencarinya. Dia mendengar lengkingan panjang di sebelah belakang, yang segera disambut oleh lengkingan lain yang lebih dekat di sebelah belakangnya. Dia tidak tahu bahwa lengking pertama itu adalah suara wanita pertama yang dijawab oleh wanita ke empat sehingga tak lama kemudian wanita pertama itu sudah bergabung dengan tiga orang temannya dan kini mereka berempat semua mencari-carinya.
Beberapa kali Siauw Goat roboh terguling dan napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya terasa lemah dan hawa dingin yang luar biasa membuat dia semakin menderita. Jubah bulu tebal itu dikerudungkan tubuh dan kepalanya, kedua tepinya dipeganginya erat-erat dan dia melanjutkan larinya biarpun napasnya seperti akan putus rasanya. Dia memaksa diri mendaki bukit kecil di depan, bukit yang terbuat dari tumpukan salju dan setelah tiba di puncaknya, tiba-tiba salju yang diinjaknya itu runtuh ke bawah dan tubuhnya bergulingan ke bawah. Kiranya "bukit" itu adalah sebatang pohon yang tertutup salju sehingga bergunduk menjadi semacam bukit. Tentu saja ketika kena injak, salju yang menutupi pohon itu menjadi runtuh.
Perutnya terasa lapar bukan main, akan tetapi terutama sekali yang amat menyiksa adalah hawa dingin, kelelahan dan pernapasannya yang makin terengah, Akhlrnya tubuh yang berguling-guling itu berhenti, akan tetapi tidak bangun kembali karena Siauw Goat merasa malas untuk bangun! Terasa nikmat sekali rebah miring di atas salju, dan biarpun hawa amat dinginnya, akan tetapi tubuh yang lelah, napas yang sesak, dan perut yang lapar itu seperti tidak terasa lagi, yang terasa hanya, dingin dan ingin tidur!
Akan tetapi dia teringat akan nasihat-nasihat Lauw-piauwsu bahwa amat berbahaya kalau sampai orang tertidur di atas salju. Percakapan ini terjadi ketika mereka habis berjumpa dengan pengemis muda lihai yang tidur di atas salju dengan pakaian tipis.
"Pengemis itu tentu seorang kang-ouw yang sakti." demikian kata piauwsu itu, "padahal, tidur di atas salju amatlah berbahaya. Bagi orang biasa, kadang-kadang kelelahan dan hawa dingin membuat dia ingin sekali untuk tidur, rasa kantuk menyerang dan kalau sampai orang itu tertidur di atas salju,. Itu merupakan tanda bahwa dia tidak akan bangun kembali karena tentu dia terus mati dalam keadaan membeku darahnya!"
Siauw Goat bergidik. Mati! Mati tanpa dirasakannya! Dan dia masih muda! Dan dia masih harus membalas kematian kakeknya, dan dia harus bertemu dengan orang tuanya. Tidak, dia tidak boleh mati! Maka dengan sisa tenaga seadanya dia lalu bangkit lagi, merangkak bangun dan melihat betapa kaki tangannya lecet-lecet, agaknya terjadi ketika dia jatuh bergulingan tadi. Dipaksanya badan yang sudah hampir mogok itu untuk bangun berdiri dan dia lalu melangkah lagi, bermaksud hendak lari. Akan tetapi baru saja melangkah beberapa belas tindak, dia mengeluh, terguling dan pingsan! Akan tetapi, sebelum pingsan dia melihat bayangan dua orang, bukan wanita-wanita yang mengejarnya, melainkan bayangan dua orang pria. Bayangan inilah yang menghabiskan semangatnya untuk pantang menyerah kepada kelelahannya. Ada orang, tentu dia akan tertolong, demikian jalan pikirannya yang terakhir sebelum dia membiarkan dirinya hanyut ke dalam ketidak-sadaran.
Dua orang itu pun melihat Siauw Goat. Tadinya mereka memandang heran sekali melihat seorang gadis cilik berlarilari seorang diri di tempat yang amat sunyi dan liar itu, dan terkejutlah mereka ketika melihat gadis itu bergulingguling di atas onggokan salju, bangkit lari lagi dan berguling lagi, kini diam tak bergerak di atas salju.
"Ah, mungkin dia sesat jalan dan sakit, mari kita menolongnya, Paman!" Seorang di antara mereka berkata dan terus lari menghampiri tempat Siauw Goat terguling. Orang ke dua tidak menjawab akan tetapi ikut berlari.
Mereka adalah dua orang laki-lakl yang memegang busur dan membawa banyak anak panah, sikap mereka gagah perkasa dan gerakan mereka tangkas, dengan pakaian seperti biasa dipakai para pemburu. Yang bicara tadi masih remaja, kurang lebih lima belas tahun usianya, namun wajahnya membayangkan kegagahan, kejujuran dan ketabahan sedangkan sepasang matanya tajam dan membayangkan kecerdasan. Pria ke dua berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di balik wajahnya yang gagah membayang kesabaran.
Memang mereka itu adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Mereka adalah keluarga pemburu turun-temurun menjadi pemburu binatang buas yang ahli dan berpengalaman. Mereka berasal dari Lok-yang di mana sekeluarga mereka bekerja sebagai pemburu-pemburu, dan kini mereka berada di Pegunungan Himalaya juga untuk berburu, dan terutama sekali sebagai pemburu-pemburu ahli mereka itu tertarik akan berita tentang mahluk yang dinamakan manusia salju atau Yeti. Sebagai pemburu-permburu berpengalaman tentu saja berita ini amat menarik dan mereka ingin sekali dapat menangkap mahluk itu yang menurut pendapat mereka tentulah semacam binatang liar yang belum pernah dilihat manusia. Akan tetapi biarpun mereka sudah sering kali menemukan jejak Yeti, mereka sampai sekarang belum juga berhasil berjumpa dengan mahluk itu sendiri.
Pemuda remaja yang sudah memiliki bentuk tubuh seorang dewasa karena semenjak kecilnya sudah sering ikut berburu dan menghadapi kekerasan dan kesukaran itu bernama Sim Hong Bu. Ada pun pamannya yang bertubuh sedang dan sikapnya agak terlalu halus untuk seorang pemburu itu bernama Sim Tek, adik dari ayah Hong Bu. Dahulu mereka semua ada empat orang, yaitu ayah Hong Bu yang bernama Sim Hoat, kemudian adik-adiknya Sim Tek dan Sim Kun, dan Hong Bu sendiri. Akan tetapi, tiga tahun yang lalu, ketika Sim Hoat dan Sim Kun sedang berburu biruang di utara, mereka berdua diserang oleh dua ular yang sangat beracun dan nyawa mereka tidak tertolong lagi. Maka tinggallah mereka berdua saja, Sim Hong Bu dan Sim Tek pamannya, dan untuk sekedar menghibur hati Sim Hong Bu yang penuh duka, Sim Tek yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai anak isteri itu lalu mengajaknya merantau ke daerah-daerah liar untuk berburu. Akhirnya, dua bulan yang lalu mereka sampai di Pegunungan Himalaya karena tertarik oleh cerita tentang Yeti.
Di dalam kisahJODOH SEPASANG RAJAWALI ada diceritakan tentang Sim Hong Bu ini. Para pembaca kisah tersebut tentu masih ingat akan anak laki-laki pemburu yang pernah menyelamatkan Phang Chui Lan, dayang dari Gubernur Ho-nan yang dikejar-kejar pasukan, kemudian bersama keluarga Sim dan kawan-kawan pemburu yang lain, mereka beramai-ramai menyelamatkan pendekar Suma Kian Lee.
Sim Hong Bu dan Sim Tek kini berlutut di dekat tubuh Siauw Goat, dan Sim Tek segera memeriksa gadis cilik itu. "Hemm, dia pingsan dan tidak terluka, tidak pula sakit. Agaknya kedinginan dan kelaparan." kata Sim Tek. "Hong Bu, lekas kauambil arak dan obat penghangat perut dan juga pel penambah darah itu"
Sim Hong Bu cepat membuka buntalan bekal mereka dan melaksanakan perintah pamannya. Setelah diberi makan obat dan minum arak, digosok-gosok pula kaki dan tangannya dengan obat pemanas kulit, akhirnya Siauw Goat siuman. Begitu siuman, dia meloncat berdiri, terhuyung, akan tetapi dengan nekat dia siap untuk melawan.
"Siapa kalian...." bentaknya dan Hong Bu tersenyum, memandang kagum kepada gadis cilik itu. Sungguh seorang gadis yang gagah dan samasekali tidak cengeng, pikirnya, dan melihat gerakan gadis ltu ketika meloncat dan mengepal kedua tangannya, dia dapat menduga bahwa gadis itu pernah mempelajari ilmu silat.
"Nona, kami menemukan engkau rebah pingsan di sini, dan kami hanya menolong dan menyadarkanmu. Kami adalah pemburu-pemburu...."
"Ahh, maaf....!" Tiba-tiba sikap dara itu berubah. "Dan terima kasih atas kebaikan kalian. Mana.... mana mereka itu"
"Mereka siapa" tanya Hong Bu.
"Mereka yang mengejarku! Empat orang Iblis betina itu....!" Siauw Goat lalu memandang ke sekeliling dengan sikap khawatir karena dia teringat akan keadaan Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang terdesak dan bahkan banyak yang sudah roboh.
"Tidak ada siapa-siapa di sini selain kita bertiga." kata Sim Tek heran.
"Jangan khawatir, Nona. Kalau ada yang hendak mengganggumu, tentu akan kuhajar dengan anak panah dan busurku ini!" Sim Hong Bu berkata menghibur sambil mengangkat busurnya yang besar ke atas kepala.
Pada saat itu terdengar suara melengking susul-menyusul, suara yang mendatangkan gema dan getaran panjang. "Itu mereka....!" Siauw Goat berkata dengan wajah berubah agak pucat. "Pinjamkan pedangmu, aku harus melawan mereka mati-matian!" katanya.
Hong Bu dan pamannya bangkit berdiri. Hong Bu mencabut pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Siauw Goat sambil berkata, "Jangan khawatir, aku dan Paman akan menjagamu dan menghadapi mereka!" Belum nampak adanya orang lain di situ dan suara melengking tadi agaknya dikeluarkan dari tempat jauh.
"Siapakah mereka, Nona" Dan mengapa mereka mengejar-ngejarmu" Sim Tek yang lebih berhati-hati itu bertanya kepada Siauw Goat. Dia maklum bahwa orang-orang yang dapat mengeluarkan suara melengking panjang menggetarkan seperti tadi pasti bukan orang sembarangan. Juga dia bersikap hati-hati, tidak seperti keponakannya yang begitu mudahnya menjanjikan bantuan kepada gadis cilik ini tanpa lebih dulu mengetahui apa yang menjadi persoalannya maka gadis tu dikejar-kejar orang. Bagaimana kalau gadis ini yang berada di fihak salah" Bukan tidak mungkin itu!
"Aku tidak tahu siapa iblis-iblis betina itu! Akan tetapi mereka.... mereka membunuhi para piauwsu yang mengawalku dan mengejar-ngejarku untuk dibunuh!"
"Jahat mereka itu!" Hong Bu berseru marah.
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan empat orang wanita itu kini telah muncul dari balik bukit salju dan gerakan mereka amat cepatnya ketika mereka lari menghampiri. Akan tetapi Sim Tek dan Sim Hong Bu telah berdiri dengan tegak melindungi Siauw Goat. Sim Tek memegang sebatang pedang dan Hong Bu siap dengan busur dan anak panahnya. Juga Siauw Goat sudah memegang pedang yang diterimanya dari Hong Bu tadi.
Melihat betapa gadis cilik yang mereka kejar-kejar itu kini dilindungi dua orang pria yang kelihatan gagah, empat orang wanita cantik itu berhenti dan Si Baju Hijau yang merasa paling marah dan sakit hati terhadap Siauw Goat, melangkah maju sambil berkata kepada teman-temannya. "Biar kuhadapi anjing-anjing ini!"
Mendengar ucapan itu, diam-diam Sim Tek menjadi tidak senang. Wanita-wanita ini benar amat sombong sekali, pikirnya dan kalau dipikir, tidak mungkin seorang gadis cilik seperti anak yang pingsan tadi berada di fihak salah.
"Harap Nona sabar sedikit." katanya sambil melangkah maju. "Tidak baik menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis cilik, kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan dengan tenang."
"Heh, pemburu babi yang busuk, jangan engkau mencampuri urusan orang lain! Pergilah sebelum terpaksa kubunuh engkau!" bentak wanita baju hijau yang oleh temannya disebut A-ciu itu.
"Paman, Nona cilik ini benar, mereka adalah iblis-iblis betina jahat, biar kuhajar mereka!" Tiba-tiba Sim Hong Bu berteriak marah dan dengan gerakan cepat sekali pemuda remaja ini telah menggerakkan tali busurnya empat kali. Terdengar suara menjepret empat kali dan berturut-turut, empat batang anak panah menyambar seperti kilat ke arah empat orang wanita cantik itu! Akan tetapi, anak-anak panah itu semua menyambar ke arah betis kaki, maka jelaslah bahwa Hong Bu bukan bermaksud membunuh, hanya ingin melukai empat orang yang dianggapnya jahat itu.
Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati Hong Bu dan Sim Tek ketika mereka berdua melihat empat orang wanita itu mengangkat kaki, dengan enak dan mudah saja mereka menendang ke arah anak panah yang menyambar itu dan.... anak-anak panah itu semua meluncur kembali ke arah Sim Hong Bu! Tentu saja pemuda remaja ini menjadi sibuk mengelak ke sana-sini. Dia selamat akan tetapi hampir saja menjadi korban anak panahnya sendiri, maka dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian dengan suara menggeram seperti seekor singa muda dia menyerang ke depan, menggerakkan busurnya yang dihantamkan ke arah kepala A-ciu.
"Plak!" Tubuh Hong Bu terhuyung ke belakang ketika busurnya ditangkis oleh lengan tangan A-ciu. Melihat Sim Tek sudah menyerang pula dengan pedangnya, juga Siauw Goat sudah menggerakkan pedangnya dan maju menerjang dengan nekat. A-ciu dikeroyok tiga, akan tetapi wanita cantik baju hijau ini hanya tersenyum dan mendengus dengan sikap mengejek, mengelak dengan mudah dari sambaran-sambaran senjata tiga orang pengeroyoknya, dan dua kali kakinya menendang, merobohkan Hong Bu dan Siauw Goat! Akan tetapi, dua orang anak tanggung ini meloncat bangun dan menyerang lagi.
"Plakk! Aughh....!" Sim Tek mengeluh dan terdorong ke belakang. Pundak kirinya kena disambar jari tangan wanita itu dan dia merasa seolah-olah pundaknya lumpuh, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Mukanya menjadi pucat, akan tetapi dia sudah siap untuk menerjang lagi.
Kembali wanita itu menggerakkan kaki dan untuk kedua kalinya tubuh Siauw Goat dan Hong Bu terlempar, kini lebih jauh lagi.
"Huh, kalau aku menghendaki, apa kalian kira sekarang ini kalian masih bernapas" Tadi aku hanya hendak menguji, dan kiranya kalian adalah orang-orang tak berguna sama sekali. Hayo menggelinding pergi dan serahkan setan cilik itu kepadaku!" A-ciu membentak dengan sikap angkuh, berdiri tegak dan bertolak pinggang.
"Kami adalah laki-laki sejati, tidak mungkin membiarkan seorang anak perempuan terancam tanpa melindunginya!" kata Sim Tek dengan sikap yang gagah. Pemburu yang sudah biasa menghadapi bahaya ini tidak takut mati, apalagi dia tahu bahwa empat orang wanita ini amat kejam dan agaknya akan membunuh anak perempuan itu, maka dia sebagai seorang gagah tentu saja tidak mungkin tinggal diam.
"Lebih baik mati daripada membiarkan dia kalian bunuh!" Hong Bu juga membentak dan dengan nekat anak ini sudah menyerang lagi dengan busurnya. Sim Tek juga sudah menyerang lagi dengan pedangnya, menahan rasa nyeri di pundaknya.
"Hemm, kalian benar-benar bosan hidup!" A-ciu membentak dan kini dia menyambut serangan itu dengan terjangan ke depan. Dua kali tangannya bergerak, dengan tepat dia menampar ke arah lengan tangan dua orang penyerangnya itu. Hong Bu dan Sim Tek berteriak kaget dan senjata busur dan pedang mereka terlempar.
"Mampuslah!" A-ciu membentak dan menerjang tubuh dua orang yang sudah terhuyung itu.
"Hemm, sungguh ganas!" Bentakan halus ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan tiba-tiba tubuh A-ciu terdorong ke belakang. Wanita baju hijau ini terkejut dan memandang orang yang baru datang dan yang menangkis serangannya yang ditujukan kepada dua orang pemburu itu.
"Ah, kiranya engkau lagi!" bentaknya dengan marah bukan main ketika mengenal penangkis itu ternyata adalah pemuda sastrawan yang tampan, yang pernah melindungi anak perempuan bengal itu di depan restoran tempo hari!
"Sayang, aku terpaksa meninggalkan kalian karena tertarik jejak Yeti, kalau tidak, tak mungkin engkau sampai membunuhi para piauwsu itu," Kam Hong menarik napas panjang dan suaranya yang tenang itu terdengar bercampur nada marah. "Kalian ini empat orang wanita sungguh kejam seperti iblis!"
"Apa" Siauw Goat menjerit. "Kalian iblis-iblis betina telah membunuh semua Paman piauwsu" Anak perempuan ini menjadi marah sekali dan dengan nekat dia lalu meloncat ke depan. Pedang pinjaman tadi telah terlempar dan kini dia menyerang A-ciu dengan kedua tangan kosong saja, dengan penuh kenekatan karena sakit hati dan marah mendengar betapa semua piauwsu telah tewas oleh empat orang wanita ini.
Melihat dia diserang oleh Siauw Goat, tentu saja A-ciu juga marah. "Huh, engkau setan cilik menjadi gara-gara! Mampuslah!" bentaknya dan dia memapaki serangan Siauw Goat ini dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Kalau tamparan ini mengenai tubuh Siauw Goat, tentu anak perempuan ini akan tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.
"Huhh...." Dia terkejut karena tiba-tiba saja tangannya yang menampar itu terhenti di tengah-tengah, tak dapat digerakkan lagi!
"Plakk!" Tangan Siauw Goat yang menamparnya telah tiba dan tamparan itu dengan kerasnya mengenai pipi kiri A-ciu! Melihat tamparannya berhasil, Siauw Goat menjadi girang. Kiranya "tidak seberapa" wanita iblis ini, pikirnya dan dia pun menyerang terus dengan pukulan kepalan tangannya ke arah perut orang. Melihat ini, A-ciu yang masih terkejut merasakan keanehan tadi, cepat menggerakkan kaki untuk mengelak dan dilanjutkan dengan tendangan. Akan tetapi kembali dia terpekik karena tiba-tiba saja kakinya tak dapat digerakkan, sedangkan pukulan Siauw Goat telah tiba.
"Ngekk!" perutnya kena dihantam dan biarpun tidak membahayakan, namun cukup membuat perutnya mulas karena ketika dia hendak mengerahkan tenaga sin-kang menyambut pukulan, ternyata seperti juga kaki tangannya, tiba-tiba saja dia tidak mampu! Seolah-olah pusat penggerak tenaga di dalam tubuhnya telah dilumpuhkan orang.
Siauw Goat makin bersemangat, memukul, menendang, menampar sampai tubuh A-ciu terhuyung-huyung dihujani pukulan oleh dara cilik itu. Tiga orang perempuan lain yang melihat ini terbelalak, akan tetapi mereka segera tahu mengapa terjadi hal demikian anehnya ketika mereka melihat Kam Hong yang berdiri tegak itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah A-ciu. Kiranya pemuda sastrawan itulah yang mempergunakan ilmu aneh, agaknya dengan kekuatan sin-kang jarak jauh yang amat dahsyat, membuat A-ciu tidak berdaya dan menjadi bulan-bulan penyerangan Siauw Goat!
"Desss!!" Sebuah pukulan Siauw Goat tepat mengenai mulut A-ciu, merobek bibir sehingga bibir itu berdarah, akan tetapi Siauw Goat juga menyeringai kesakitan karena punggung tangannya bertemu dengan gigi A-ciu yang menjadi goyang, akan tetapi sedikit melukai kulit ini akan tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.
"Cukuplah, Siauw Goat." kata Kam Hong sambil melangkah maju dan menarik dengan gadis cilik itu.
Pada saat itu, tiga orang wanita lainnya sudah berloncatan mendekat. Wanita baju kuning, yang tertua dan tercantik, dan yang agaknya menjadi pimpinan mereka, sudah mencabut pedangnya, diikuti oleh dua orang temannya dan juga oleh A-ciu yang mukanya menjadi merah sekali, bukan hanya merah karena marah akan tetapi juga merah karena bekas pukulan-pukulan Siauw Goat tadi.
"A-kiauw, engkau di sebelah kanannya!" perintahnya dan wanita baju merah sekali meloncat sudah berada di sebelah kanan Kam Hong.
"A-bwee, engkau di sebelah kirinya!" perintahnya lagi dan wanita baju biru meloncat ke sebelah kiri Kam Hong.
"A-ciu, engkau di belakangnya! Kita membentuk Barisan Segiempat, kalian tahu apa yang harus dimainkan!" bentak lagi A-hui, wanita baju kuning yang menjadi pimpinan itu.
Kam Hong hanya berdiri dengan tenang, tidak bergerak, agak menunduk dan lebih menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mengikuti gerak-gerik mereka daripada menggunakan matanya. Suasana menjadi menegangkan sekali. Sim Tek dan Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, juga Siauw Goat amat tertarik. Anak ini mulai dapat menduga bahwa kalau tadi dia berhasil memukuli wanita baju hijau seenaknya dan semau hatinya, hal itu tentu karena bantuan sastrawan itu! Dia adalah anak yang semenjak kecil mempelajari ilmu silat, maka dia dapat mengerti akan hal itu dan kini dia memandang penuh harap kepada Kam Hong karena dia dapat menduga bahwa empat orang wanita itu memang lihai sekali. Apalagi kalau diingat betapa semua piauwsu telah tewas oleh mereka ini, hatinya menjadi sakit bukan main.
Tiba-tiba terdengar lengking dahsyat dan A-ciu telah menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah punggung Kam Hong, disusul lengkingan-lengkingan lain berturut-turut karena A-hui, A-kiauw, dan A-bwee juga sudah menggerakkan pedang mereka melakukan serangan kilat.
Hebatnya, serangan mereka itu berbeda-beda sifat dan sasarannya. A-hui memutar pedang menyerang dari depan seperti gelombang mengamuk, A-kiauw menyerang dengan loncatan ke atas seperti petir menyambar-nyambar, A-bwee menyerang dari bawah seperti serangan ular sakti, dan A-ciu menyerang dengan gerakan lurus dan bertubi-tubi ke arah tubuh bagian tengah.
Tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali dengan tangan kirinya walaupun seluruh tubuh masih nampak tenang sekali, Kam Hong telah mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Ketika tangan kirinya bergerak, seperti bermain sulap saja nampak sinar putih yang lebar berkelebat dan sinar ini digerakkan oleh tangan kirinya ke belakang, kiri, kanan dan depan. Dan gerakan-gerakan itu ternyata dapat menangkis semua serangan empat pedang lawan! Ketika empat orang wanita itu merasa betapa pedang mereka membalik oleh tenaga yang amat kuat, mereka melangkah mundur untuk mengatur posisi sambil memandang. Kiranya sinar putih lebar tadi adalah gerakan sebuah kipas putih yang kini dipegang oleh tangan kiri Kam Hong dan dibeberkan lalu dipakai untuk mengipasi lehernya seolah-olah pemuda sastrawan ini merasa kegerahan! Padahal, berdiri tegak dengan kipas terpentang lalu dikipas-kipaskan di leher itu merupakan pasangan pembukaan dari ilmu silat kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan)! Ilmu ini merupakan satu di antara ilmuilmu warisan keluarga Suling Emas, satu di antara ilmu-ilmu yang amat diandalkan dan yang dahulu pernah mengangkat tinggi nama Pendekar Sakti Suling Emas! Ketika sejenak kipas itu berhenti mengebut, empat orang wanita yang kini bergerak melangkah perlahan mengelilinginya itu dapat membaca huruf-huruf indah yang tertuliS di permukaan kipas putih itu.
Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluaphanya yang lembut mampu menerobos yang kasarYang merasa cukup adalah yang sesungguhnyakaya raya!
Huruf-huruf indah yang membentuk kata-kata itu ditulis oleh Kam Hong dan kalimat-kalimat itu adalah kalimat yang sering dipergunakan oleh gurunya, yaitu Sai-cu Kai-ong, keturunan dari para tokoh Khong-sim Kai-pang -(Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Isinya membayangkan sifat dari perkumpulan pengemis itu dan mengandung pelajaran atau pesan bahwa untuk dapat belajar dan menerima pengertian-pengertian baru hati dan pikiran haruslah kosong. Mata dan telinga yang memandang atau mendengar secara kosong, yaitu tanpa adanya pendapat yang muncul dari pengetahuan-pengetahuan yang bertumpuk dalam pikiran, dapat melakukan penelitian dan penyelidikan, dapat waspada dan mempelajari sampai sedalam-dalamnya segala persoalan yang dihadapinya. Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan dan kepintaran adalah seperti katak dalam tempurung, seperti gentong kosong yang hanya nyaring suaranya saja. Demikian pula, kekasaran dan ketakutan mudah bertemu lawan, mudah patah dan menimbulkan kekerasan, sebaliknya kelembutan mampu menerobos segala sesuatu. Kalimat terakhir menggambarkan keadaan pengemis Khong-sim Kai-pang. Biarpun dinamakan pengemis, orang yang semiskin-miskinnya di antara semua tingkat kehidupan, namun karena tidak pernah mengeluh, tidak pernah membandingkan, tidak pernah merasa kurang maka tidak menimbulkan iri hati dan karena merasa cukup itulah maka dia tidak menginginkan apa-apa lagi dan orang beginilah yang patut disebut kaya raya. Sebaliknya, betapa pun kaya-rayanya seseorang, kalau dia itu masih selalu merasa tidak cukup, maka dia akan berusaha memperbesar kekayaannya itu tanpa mempedulikan jalan kotor apa yang ditempuhnya!
A-hui mengeluarkan bentakan nyaring secara tiba-tiba dan empat orang wanita yang tadinya berjalan mengelilingi Kam Hong itu tiba-tiba melakukan penyerangan. Serangan mereka cukup dahsyat dan teratur rapi, karena memang mereka mempergunakan Barisan Segiempat yang amat teratur. Pedang mereka gemerlapan dan menyambar-nyambar seperti halilintar, mengeluarkan suara berdesing dan angin serangan yang membuat rambut dan ujung pita rambut Kam Hong dan ujung kuncir Kam Hong berkibar itu membuktikan betapa kuatnya sin-kang dari empat orang wanita itu.
Namun Kam Hong menghadapi mereka dengan tenang. Tubuhnya tidak banyak berloncatan, hanya berputaran ke sana-sini dengan langkah-langkah kaki yang amat tegap, kipasnya bergerak cepat, kadang-kadang menjadi sinar yang membentuk perisai atau benteng melindungi tubuhnya sehingga semua serangan pedang itu gagal tertangkis dan membalik. Kadang-kadang kipas itu tertutup dan dipergunakan untuk membalas serangan lawan, dengan totokan-totokan ujung kipas ke arah jalan darah yang penting, kadang-kadang dibuka dan dalam keadaan terbuka ini pun dapat dipergunakan untuk mengebut ke arah muka lawan sehingga beberapa kali empat orang wanita itu gelagapan sukar bernapas karena tiupan angin keras dari kipas itu ke arah muka mereka!
Pertempuran itu berlangsung dengan amat serunya dan gerakan empat orang wanita itu makin lama makin cepat, mereka bertukar-tukar tempat dan posisi sehingga seolah-olah mereka itu beterbangan mengelilingi Kam Hong yang masih bergerak dengan tenang. Menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini, berkali-kali Sim Tek menarik napas panjang saking kagumnya.
"Paman, sastrawan itu hebat sekali, ya"
Pamannya mengangguk tanpa melepaskan pandang matanya dari pertarungan itu. "Bukan main lihainya, hanya dengan kipas.... dan empat orang wanita itu amat tangguhnya...."
"Mana lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil, Paman"
Pamannya menggeleng-geleng kepala. "Tidak tahu.... tidak tahu...." katanya penuh kagum karena kini gerakan kipas makin menghebat dan membuat empat orang wanita itu terdesak dan gerakan mereka terpaksa makin melebar.
"Siapa Siluman Kecil itu" Apa sih kehebatannya" Tiba-tiba Siauw Goat yang berdiri tidak jauh dari Hong Bu, bertanya sambil mendekat, akan tetapi seperti yang lain, dia juga masih terus menonton pertempuran itu.
Sejenak Hong Bu menoleh kepada Siauw Goat, alisnya berkerut seperti orang marah mendengar betapa Siluman Kecil, pendekar yang dijunjung tinggi dan dikaguminya sejak kecil itu kini dipandang rendah orang. Pendekar Siluman Kecil adalah pendekar nomor satu di kolong langit, kepandaiannya tidak ada yang mampu melawannya!" demikian dia berkata dan kembali dia memandang ke arah pertempuran yang menjadi semakin seru itu.
"Tidak mungkin!" Siauw Goat membantah. "Pendekar nomor satu di kolong langit adalah mendiang Kong-kongku, kemudian nomor dua adalah dia itu!" Dia menunjuk kepada bayangan Kam Hong, kemudian tiba-tiba dia mendapatkan suatu pikiran yang dianggapnya amat baik dan berteriaklah gadis cilik itu, "Heii, Paman Kam, lekas selesaikan pertandingan itu agar engkau dapat diadu dengan Pendekar Siluman Kecil!"
Bukan hanya Kam Hong yang terkejut sekali mendengar kata-kata dan disebutnya nama Pendekar Siluman Kecil itu, bahkan empat orang lawannya yang sudah terdesak juga amat terkejut dan mereka itu berloncatan mundur.
"Tahan!" seru A-hui sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, demikian pula dengan tiga orang temannya. Kam Hong berhenti bergerak dan pemuda sastrawan ini tidak kelihatan lelah sama sekali. "Pernah apakah engkau dengan Pendekar Siluman Kecil"
Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. "Bukan apa-apa."
"Tapi setan cilik itu tadi hendak mengadumu dengan Siluman Kecil. Apakah engkau musuhnya"
"Hemm, perempuan kejam, jangan kau bicara sembarangan! Pendekar Siluman Kecil adalah seorang pendekar kenamaan yang budiman, mana mungkin aku memusuhinya" Sudahlah, kalian lekas pergi dan jangan mengganggu siapa pun. Kalau tidak, mengingat bahwa engkau telah membunuh banyak orang dalam rombongan piauwsu itu, kalian harus dihukum...."
"Paman Kam, bunuh saja mereka iblis-iblis betina itu!" Siauw Goat berteriak lagi. Empat orang wanita itu menjadi marah dan serentak mereka menyerang lagi.
"Katakan siapa engkau baru kami mau sudah!" teriak A-hui sambil menggerakkan pedang diikuti oleh tiga orang temannya.
"Pergilah....!" Tiba-tiba Kam Hong membentak dan nampak sinar kuning keemasan yang berkeredepan menyilaukan mata, disusul bunyi nyaring empat kali dan empat orang wanita itu terjengkang ke belakang, pedang mereka terlepas dan terjatuh ke atas salju! Mereka terbelalak memandang kepada pemuda sastrawan itu yang kini berdiri dengan gagahnya, tangan kiri masih memegang sebatang kipas yang dikembangkan, dan tangan kanan tahu-tahu telah memegang sebatang suling terbuat daripada emas yang berkilauan.
"Suling Emas...." A-hui merangkak bangun dan memandang kepada suling di tangan sastrawan muda itu dengan mata terbelalak. Nama Pendekar Suling Emas pada waktu itu hanya sebagai dongeng pahlawan kuno belaka, dan biarpun pernah dihebohkan oleh dunia kang-ouw bahwa Pendekar Suling Emas meninggalkan pusaka-pusaka, namun karena tidak ada yang berhasil mencarinya maka lambat laun berita itu lenyap ditelan waktu. Dan kini muncul seorang sastrawan muda yang bersenjata suling dan kipas secara lihai sekali, mirip dengan tokoh pendekar kuno itu! Empat orang wanita itu kini sudah bangkit, menyeringai kesakitan dan mengambll pedang masing-masing, tidak berani banyak lagak lagi dan A-hui lalu menjura ke arah Kam Hong.
"Kepandaian Tai-hiap sungguh hebat, kami mengaku kalah. Kami adalah utusan-utusan dari Sam-thai-houw, kami dikenal sebagai Su Bi Mo-li (Empat Iblis Cantik). Agar kami dapat menyampaikan pelaporan kami kepada Sam-thai-houw (Ibu Suri ke Tiga), maka harap Tai-hiap sudi memberitahukan nama dan...."
"Kalian sudah melihat suling emas, nah, cukup dan pergilah!" kata Kam Hong dan sekali menggerakkan kedua tangannya, suling emas dan kipas sudah lenyap di balik bajunya.
"Suling Emas...." Kembali A-hui tergagap dan dia lalu memberi isarat, mengajak teman-temannya pergi dari situ setelah menjura ke arah Kam Hong.
"Enaknya pergi begitu saja!" Siauw Goat berteriak dan dia sudah mengepal salju dan dilontarkannya bola salju itu ke arah A-hui. A-hui menoleh, kebetulan dia bertemu pandang mata dengan Kam Hong dan dia tidak berani mengelak.
"Plokk!" Bola salju mengenai mukanya sehingga berlepotan salju. Dia hanya mengusap salju itu dan membalikkan tubuh, pergi bersama teman-temannya dengan muka menunduk.
"Paman, kenapa engkau tidak membunuh mereka" Siauw Goat menegur Kam Hong.
Akan tetapi Kam Hong tidak menjawab, melainkan balas bertanya, "Apa maksudmu dengan menyebut-nyebut Pendekar Siluman Kecil tadi"
"Aku tidak mengenalnya! Dia itulah yang menyombong, mengatakan bahwa di dunia ini Pendekar Siluman Kecil merupakan jagoan nomor satu! Panas perutku mendengarnya maka aku menantang Pendekar Siluman Kecil untuk diadu denganmu!"
Kam Hong memandang kepada Sim Hong Bu, pemuda cilik yang bermata tajam dan bertubuh kekar kuat itu. Melihat sinar mata yang demikian tajam penuh kejujuran dan keterbukaan, diam-diam Kam Hong merasa kagum dan suka. "Saudara cilik, apakah engkau mengenal Pendekar Siluman Kecil"
Sim Hong Bu mengangguk bangga. "Dia adalah bintang penolong kami semua di daerah perbatasan Ho-nam."
Sim Tek yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar besar, lalu melangkah maju dan memberi hormat. "Harap Tai-hiap sudi memaafkan kami. Saya adalah Sim Tek dan ini keponakan saya Sim Hong Bu. Kalau dia memuji-muji Pendekar Siluman Kecil, bukan maksudnya untuk merendahkan Tai-hiap. Kalau tidak ada Tai-hiap datang menolong, tentu kami dan Nona cilik ini sudah mati di tangan mereka, oleh karena itu, terimalah hormat dan terima kasih kami, Tai-hiap."
Kam Hong menggerakkan tangan seperti menangkis sesuatu, seolah-olah pernyataan terima kasih orang membuat dia merasa terpukul dan tidak enak sekali, "Sudahlah! Siauw Goat, mari kita memeriksa para piauwsu itu."
Mendengar ini, Siauw Goat teringat akan nasib para piauwsu, maka dia lalu mengangguk dan cepat Kam Hong menyambar dan memondongnya karena Siauw Goat sudah merasa lelah sekali dan sukar untuk menggerakkan tubuh saking lelah dan dingin dan juga laparnya. Dengan beberapa lompatan saja lenyaplah Kam Hong dari depan kedua orang pemburu itu yang memandang dengan melongo penuh kagum.
"Paman, dia itu lihai sekali. Entah siapa lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil." kata pula Sim Hong Bu penuh kagum.
Pamannya menghela napas panjang. "Hong Bu, lain kali harap jangan engkau lancang menyebutkan nama Pendekar Siluman Kecil. Untung bahwa pendekar sastrawan itu agaknya mengenal baik Pendekar Siluman Kecil. Kalau kita bertemu dengan seorang di antara musuh-musuhnya, tentu kita akan mendapatkan kesusahan."
Akan tetapi Hong Bu yang selalu merasa kagum kepada orang-orang yang berilmu tinggi, seperti tidak mendengar teguran pamannya, dan dia berkata dengan pandang mata melamun, "Sayang kita tidak mengetahui nama dan julukannya."
"Melihat senjata suling yang luar biasa itu, sepatutnya dia dikenal dengan julukan Suling Emas. Buktinya wanita-wanita lihai itu pun terkejut melihat suling emas dari tangannya, sungguhpun kipasnya itu juga luar biasa sekali. Sudahlah, mari kita pergi dari tempat berbahaya ini. Kita pergi untuk menyelidiki tentang Yeti, bukan untuk mencari permusuhan dengan siapa pun."
Keduanya lalu pergi, melangkah lebar-lebar dan meninggalkan tapak kaki di atas tanah yang tertutup salju tebal. Sementara itu, Siauw Goat berdiri memandang dengan wajah pucat kepada mayat-mayat yang berserakan di tempat itu. Mayat-mayat para piauwsu. Akan tetapi dia dan Kam Hong tidak dapat menemukan mayat Lauw Sek sehingga mereka merasa heran sekali.
"Ke mana perginya Lauw-pek" Siauw Goat bertanya dengan suara khawatir.
"Aneh sekali.... tak mungkin dia dapat terhindar dari tangan maut iblis-iblis betina itu. Akan tetapi, jelas dia tidak terdapat di antara mayat-mayat ini. Biar kukubur mereka ini...." Kam Hong lalu menggali lubang dan mengubur semua mayat itu dalam beberapa buah lubang yang dibuatnya di tempat itu. Setelah selesai, hari pun sudah menjelang senja dan dia mengajak Siauw Goat pergi dari situ.
"Ke mana kita hendak pergi, Paman Kam"
"Hemm, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tertentu dan engkau.... ke manakah rombongan piauwsu itu hendak membawamu"
"Menurut kata Lauw-pek, aku akan diantarkannya ke puncak Ginung Kongmaa La...."
"Hemm, ada keperluan apa pergi ke gunung itu"
Gadis cilik itu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. "Lauw-pek tadinya memesan kepadaku agar tidak membicarakan hal ini kepada siapapun juga, akan tetapi aku percaya kepadamu, Paman. Aku hendak diajaknya ke sana untuk mencari orang tuaku, sesuai dengan pesanan mendiang Kong-kong kepada Lauw-piauwsu."
Diam-diam Kam Hong terkejut. Sungguh mengherankan mendengar bahwa orang tua gadis cilik ini berada di tempat seperti itu, di sebuah gunung yang amat sunyi dan berbahaya! Dan sikap mendiang Kakek Kun sungguh penuh rahasia.
"Siapakah nama orang tuamu, Siauw Goat"
Kembali sepasang mata yang bening itu menatap tajam, seperti orang yang meragu, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga. "Engkau sudah menceritakan nama dan rahasiamu kepadaku, Paman, biarlah aku menceritakan rahasiaku juga. Akan tetapi yang kuketahui hanya sedikit. Agaknya Lauw-piauwsu lebih tahu dari pada aku karena dialah yang menerima pesanan terakhir dari mendiang Kakekku. Semenjak aku dapat ingat, aku sudah hidup bersama Kong-kong, aku tidak ingat lagi bagaimana rupanya Ayah Bundaku. Kong-kong dan aku hidup di sebuah dusun kecil di Pegunungan Kao-li-kung-san sebagai petani. Kong-kong melatih ilmu baca tulis dan silat kepadaku. Pada suatu hari, datang dua orang kakek aneh yang kemudian berkelahi dengan kong-kong. Kong-kong berhasil mengusir mereka, akan tetapi ternyata Kong-kong menderita luka dalam yang hebat. Dengan tergesa-gesa Kong-kong pada hari itu juga mengajakku pergi, katanya hendak mencari orang tuaku di Gunung Kongmaa La di daerah Himalaya Aku tahu bahwa dia masih menderita luka hebat dan akhirnya...." Gadis cilik itu berhenti, menunduk dan mengerutkan alisnya. Dua butir air mata berlinang turun, akan tetapi dia tidak terisak atau menangis sama sekali.
Kam Hong juga mengerti, maka dia tidak mau bertanya lagi tentang kakek itu. "Jangan khawatir, Siauw Goat. Karena engkau sekarang sebatang kara, juga aku melakukan perjalanan sendirian saja, biarlah aku yang menggantikan Lauw-piauwsu mengantarmu sampai di Kongmaa La mencari orang tuamu. Akan tetapi siapakah nama orang tuamu"
Gadis cilik itu menggeleng kepala. "Kong-kong tidak memberitahukan kepadaku. Kalau aku mendesaknya, dia hanya bilang bahwa kalau aku sudah bertemu dengan mereka aku akan mengerti dan mendengar semua itu. Aku hanya tahu bahwa Ayahku seorang she Bu...." Gadis cilik itu memejamkan mata dan nampak berduka karena betapapun juga hatinya merasa perih bahwa dia tidak mengenal orang tuanya, baik nama lengkapnya maupun wajahnya.
"Hemm, kalau begitu engkau she Bu"
"Ya, namaku sebenarnya adalah Bu Ci Sian! Aku disebut Goat oleh Kong-kong hanya untuk menggunakan nama sebutan palsu saja, kata Kong-kong wajahku mengingatkan dia akan bulan purnama, maka aku disebutnya Goat (Bulan)...."
"Ah, Kong-kongmu sungguh seorang yang amat aneh, dan engkau.... memang wajahmu seperti bulan purnama.... akan tetapi Kakekmu menyebut dirinya Kakek Kun, siapakah namanya yang lengkap"
"Namanya.... biarlah kulanggar pantangannya karena dia sudah meninggal adalah Bu Thai Kun...."
"Ahhh! Kaumaksudkan Kiu-bwe Sin-eng (Garuda Sakti Ekor Sembilan) Bu Thai Kun" Kam Hong bertanya dengan kaget karena dia pernah mendengar nama besar ini yang pernah menggemparkan dunia selatan.
"Hemm, kau mengenal Kakekku!"
Siauw Goat atau lebih tepat mulai sekarang kita sebut nama aselinya saja, Ci Sian, berseru girang dan bangga.
"Hanya mengenal nama julukannya saja, pantas dia lihai."
"Ayahku lebih lihai! Begitu kata mendiang Kong-kong. Biarpun dia tidak memberitahukan kepadaku, akan tetapi melihat betapa Kong-kong terluka oleh dua orang kakek aneh itu lalu mengajakku mencari Ayah Ibu, tentu agaknya Kong-kong hendak minta orang tuaku turun tangan menghajar dua orang kakek aneh itu."
Kam Hong teringat bahwa kakek itu pernah mengatakan kepadanya bahwa dia hendak pergi mencari musuhnya! Dia tidak dapat menduga siapa gerangan ayah dari anak ini, dan karena Ci Sian sendiri pun tidak tahu, maka dia bertanya apakah Ci Sian mengenal nama dua orang kakek aneh yang melukai kong-kongnya.
"Namanya" Aku tidak diberitahu oleh Kong-kong, akan tetapi ketika Kong-kong bertengkar dengan mereka, kudengar Kong-kong menyebut mereka itu Sam-ok dan Ngo-ok."
Bukan main kagetnya hati Kam Hong mendengar ini. Tentu saja dia tahu siapa itu Sam-ok dan Ngo-ok, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akhirat), lima orang yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat yang amat tinggi ilmu kepandaiannya! Kini dia dapat menduga bahwa tentu dua orang kakek jahat itu sengaja melukai kakek gadis cilik ini dan setelah dia merasa yakin bahwa Kiu-bwe Sin-eng telah menderita luka parah, mereka sengaja meninggalkannya agar kelak kakek itu pergi memanggil putera dan mantunya yang agaknya bersembunyi di Pegunungan Himalaya itu! Ah, dia mulai dapat mengerti. Karena dia sendiri sudah melihat tingkat kepandaian Kiu-bwe Sin-eng dan agaknya kalau dibandingkan dengan Sam-ok dan Ngo-ok, apalagi kalau harus dikeroyok dua, betapa pun lihainya, Bu Thai Kun masih belum dapat menandingi mereka! Kalau dua orang datuk sesat itu menghendaki, tentu mereka dapat membunuhnya, tidak perlu pergi seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, yaitu terusir oleh kakeknya biarpun kakeknya menderita luka parah. Memang sudah pasti ada rahasia terselubung di balik semua ini yang tidak diketahui oleh Ci Sian. Akan tetapi, mendengar bahwa keluarga anak ini dimusuhi oleh Sam-ok dan Ngo-ok saja sudah cukup bagi Kam Hong untuk berfihak kepadanya dan melindunginya.
"Baiklah, Siauw.... eh, Ci Sian. Setelah kita saling mengenal keadaan masing-masing, marilah engkau kuantar mencari orang tuamu, aku juga ingin mencari jejak isteriku, kalau-kalau dapat kutemukan di daerah ini. Sekarang malam hampir tiba, kita sebaiknya beristirahat dan makan. Engkau nampak lelah dan lapar."
Ci Sian menurut saja dan mereka lalu menemukan sebuah guha di mana mereka melewatkan malam dan Ci Sian bersama Kam Hong makan roti kering yang mereka kumpulkan dari bekal para piauwsu yang banyak terdapat di tempat perkelahian itu dan yang mereka bawa sekadarnya untuk bekal.
Sudah tiga hari tiga malam Kam Hong dan, Ci Sian melakukan perjalanan yang amat sukar, menempuh bukit-bukit salju dan jurang-jurang yang amat curam. Malam itu mereka telah tiba di dekat Kongmaa La, di Lembah Arun yang luas.
Mereka melewatkan malam di dataran tinggi dan malam demikian indahnya sehingga Kam Hong terpesona, meninggalkan guha di mana dia membuat api unggun, keluar dan duduk di dataran tinggi sambil meniup suling. Suara suling emas itu menembus kesunyian malam, melengking naik turun namun sama sekali tidak mengganggu keheningan. Bahkan sebaliknya, suara suling beralun naik turun itu bahkan membuat keheningan menjadi semakin syahdu, semakin terasa keheningan itu, semakin indah dan penuh rahasia.
Setelah berhenti menyuling, Kam Hong menoleh. Dia sudah mendengar langkah kaki ringan dari Ci Sian. Gadis cilik ini sudah semakin akrab dengannya. Selama dalam perjalanan, Kam Hong merasakan benar kehadiran gadis cilik itu dan mengertilah dia mengapa Kakek Bu Thai Kun menyebutnya Bulan! Memang dara cilik seperti bulan purnama selain cantik jelita juga mendatangkan kegembiraan dalam hati siapa pun karena dia lincah, gembira dan berseri-seri.
"Paman Kam, suara sulingmu indah sekali...." Ci Sian berkata sambil duduk di dekat Kam Hong, di atas rumput.
"Ah, hanya untuk iseng saja, Ci Sian." kata Kam Hong sederhana, akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut gadis cilik ini dapat membuat hatinya terasa begitu enak dan nyaman!
"Mainkan lagi, Paman...." Ci Sian meminta dan gadis itu duduknya mendekat, bahkan bersandar ke bahu Kam Hong. Memang sudah biasa dia bersikap kadang-kadang manja seperti itu, dan tidak jarang pula Kam Hong menggandengnya kalau melewati tempat sukar, bahkan memondongnya kalau harus berloncatan lewat jurang-jurang yang curam. Oleh karena itu, gadis cilik ini seperti menganggap Kam Hong pamannya sendiri, dan dia tidak ragu-ragu untuk merangkul atau memegang lengan pemuda itu.
"Baik, kumainkan lagu yang paling kusukai, dengarlah baik-baik." kata Kam Hong dan pemuda itu lalu meniup lagi sulingnya. Ci Sian lalu merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kam Hong yang duduk bersila. Suasana kembali menjadi penuh pesona yang mujijat dalam keheningan yang terisi suara suling yang merdu itu. Setelah Kam Hong akhirnya menghentikan tiupan sulingnya, seolah-olah suara suling itu masih bergema dan mengalun di udara.
"Paman, engkau pantas benar berjuluk Suling Emas, tidak hanya sulingmu merupakan senjata ampuh, akan tetapi juga dapat mengeluarkan bunyi yang demikian indahnya."
Kam Hong tidak menjawab, jantungnya berdebar tidak karuan, seluruh tubuhnya seperti kemasukan kilat yang membuatnya gemetar. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, terdapat dorongan aneh yang membuat dia ingin merangkul gadis cilik itu, ingin memeluk dan mendekapnya, akan tetapi kesadarannya melawan dan menolak.
"Paman.... kau.... kau kenapa...." Ci Sian bangkit duduk dan memandang wajah yang matanya dipejamkan itu. Di bawah sinar bulan remang-remang wajah itu nampak putih pucat.
Kam Hong sadar kembali, lalu memegang tangan Ci Sian dan menariknya bangkit berdiri. "Tidak apa-apa, hayo kita mengaso, kembali ke guha."
Malam itu Kam Hong gelisah dan tidak dapat memejamkan mata. Alisnya berkerut dan berkali-kali bibirnya bergerak memanggil nama yang selalu menjadi kenangannya, "Hwi-moi.... Hwi-moi...."
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka kini mulai mendaki lereng Kongmaa La. Salju turun dengan cukup deras, membuat tanah penuh dengan salju tebal sehingga langkah-langkah kaki mereka amat berat dan meninggalkan tapak yang dalam. Tiba-tiba Kam Hong memegang tangan Ci Sian dan berhenti. Gadis cilik itu memandang dan bergidik. Di depan mereka terdapat mayat seorang laki-laki dalam keadaan mengerikan. Kaki tangannya terpisah, dan tubuh itu seperti dicabik-cabik. Darah berceceran di atas salju yang putih.
"Bukankah itu korban Yeti lagi, Paman...." Ci Sian bertanya dengan suara lirih dan agak gemetar.
Tiba-tiba, seperti menjawab pertanyaan itu, dari atas sana, dari puncak yang bersalju itu terdengar lengkingan yang dahsyat sekali. Lengkingan itu seperti menggetarkan seluruh lembah. Kam Hong menarik tangan Ci Sian untuk melanjutkan perjalanan. Gadis cilik itu merasa semakin dingin karena kengerian. Kedua tangannya yang sudah memakai sarung tangan tebal itu menutupkan kain bulu tebal untuk melindungi mukanya. Jalan semakin sukar dan tiba-tiba Kam Hong memondongnya. Pendekar ini lalu berloncatan ke depan, mendaki gunung itu dengan cepat sekali.
Setelah melewati sebuah puncak kecil dan jalan agak menurun, kembali mereka berhenti dan kini Ci Sian memeluk pinggang Kam Hong, menggigil ketakutan. Apa yang mereka lihat memang amat mengerikan. Dataran puncak yang putih bersih itu dibasahi oleh genangan darah merah yang berceceran dari belasan mayat-mayat yang sudah tidak karuan lagi macamnya. Bukan hanya bagian tubuh yang putus-putus dan robek-robek, juga usus-usus berhamburan keluar, seperti habis dikoyak-koyak!
Kam Hong melihat di antara hujan salju itu sesosok bayangan berkelebatan di sebelah depan. Dia lalu menggandeng tangan Ci Sian dan melangkah maju terus dengan hati-hati. Angin semakin kencang dan salju beterbangan dan berhamburan memukul muka mereka, membuat mereka agak sukar bernapas.
Tiba-tiba terdengar jeritan yang menyayat hati disertai geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang mereka injak. Di sebelah depan nampak belasan orang berlari-lari turun dari puncak di depan. Belasan orang itu tentu orang-orang pandai, hal ini dapat dilihat dari gerakan mereka yang lincah dan ringan, akan tetapi ketika berpapasan dengan Kam Hong, jelas kelihatan mereka itu sedang dilanda ketakutan yang amat hebat. Mereka itu lari tunggang langgang dan agaknya kepanikan membuat mereka sama sekali tidak peduli atau mungkin juga tidak melihat kepada Kam Hong dan Ci Sian. Ada di antara mereka yang luka-luka dan pakaian mereka itu merah oleh darah mereka.
Kam Hong bersikap waspada. Dengan hati-hati dia menggandeng tangan Ci Sian, terus melangkah maju di antara pohon-pohon yang sudah tidak berdaun lagi, yang sudah menjadi pohon putih karena tertutup salju. Tiba-tiba terdengar lengkingan dahsyat seperti tadi dan ada angin menyambar, salju berhamburan dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seekor mahluk yang amat menakutkan, Ci Sian menjerit dan gadis cilik yang biasanya tidak pernah mengenal takut itu sekali ini terhuyung ke belakang dan akhirnya dia menumbuk sebatang pohon, setengah lumpuh dia memeluk pohon itu sambil menengok dan memandang kepada mahluk itu dengan muka pucat ketakutan.
Namun Kam Hong menghadapi mahluk itu dengan sikap tenang dan penuh perhatian. Dia melihat bahwa mahluk itu tinggi besar, tingginya tentu dua meter lebih, kedua lengan tangannya yang tertutup bulu itu besar-besar dan nampak amat kuatnya. Bulu-bulu yang menutupi tubuh itu pendek kasar, berwarna merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Rambut di kedua pundak paling tebal dan panjang. Mukanya tidak berambut seperti muka monyet atau muka biruang atau juga mirip muka manusia, hidungnya pesek, mulutnya lebar dengan gigi besar-besar. Kepalanya seperti kerucut agak meruncing ke atas. Kedua lengan yang amat kuat dan besar itu panjang sampai ke lutut. Dan mahluk ini tidak berekor. Anehnya, pada paha kanannya nampak sebatang pedang yang menancap dan menembus, pedang yang berkilauan.
Mahluk itu juga memandang Kam Hong dengan sepasang matanya yang mencorong. Mulutnya bergerak sedikit dan dari kerongkongannya keluarlah suara geraman yang dahsyat. Kedua tangannya bergerak-gerak, jari-jari tangan yang besar dengan kuku panjang kuat dan agak melengkung seperti kuku harimau itu juga bergerak-gerak seperti hendak mencengkeram.
Kam Hong mengukur dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa mahluk ini tentu memiliki kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Buktinya banyak sudah orang yang dibunuhnya dengan ganas, dicabik-cabik, dan bahkan orang-orang yang melarikan diri tadi dia lihat rata-rata memiliki gin-kang yang cukup tinggi, namun mereka itu lari ketakutan, tanda bahwa mereka tidak kuat menanggulangi amukan mahluk ini. Mahluk ini ganas sekali, lebih baik mendahuluinya daripada harus mempertahankan diri diserang oleh mahluk buas ini. Dia tahu bahwa serangan-serangan seorang ahli silat adalah teratur dan karenanya dapat dihadapinya dengan baik karena dia memiliki dasar ilmu silat tinggi, akan tetapi serangan mahluk buas seperti ini tentu ganas dan tidak teratur, mengandalkan kekuatan yang luar biasa dan naluri yang amat peka. Aku harus mendahuluinya, pikirnya dan tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dengan cepatnya. Baju bulunya yang lebar itu berkibar dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada mahluk itu, dengan pengerahan tenaganya.
"Dukkk!" Pukulan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh mahluk itu tergetar dan terdorong ke belakang, akan tetapi anehnya, mahluk itu tidak roboh terjengkang, sebaliknya Kam Hong merasa betapa pukulannya itu seperti bertemu dengan gunung baja yang amat kuat!
Mahluk itu mengeluarkan gerengan dahsyat dan secepat kilat tangan kirinya menyambar ke arah muka Kam Hong! Pemuda ini sejenak tadi tertegun, akan tetapi tidak kehilangan kecepatannya yntuk menarik tubuh ke belakang sehingga tamparan kuku-kuku tajam itu hanya mengenai angin belaka. Diam-diam Kam Hong merasa terheran-heran. Kalau mahluk ini merupakan seekor binatang buas, tentu hanya memiliki tenaga otot kasar saja. Akan tetapi bagaimana mungkin dapat menahan pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang amat kuat yang akan membobolkan semua pertahanan tenaga kasar" Hanya lawan yang memiliki tenaga sin-kang kuat saja yang akan mampu bertahan. Apakah mahluk ini memiliki tenaga sakti pula"
Akan tetapi lawannya tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk banyak memikirkan hal aneh itu karena kini dengan gerengan-gerengan buas, agaknya marah, mahluk itu sudah menerjang lagi. Dan kembali Kam Hong yang berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan kuku-kuku tajam itu terkejut dan heran. Mahluk itu mampu bergerak dengan luar biasa ringannya! Ini hanya gerakan dari ilmu gin-kang yang sudah masak, pikirnya. Mungkinkah mahluk yang seperti binatang ini selain memiliki sin-kang yang kuat juga memiliki ilmu meringankan diri" Bergidik rasa hati Kam Hong saking ngerinya. Apakah dia bertemu siluman" Ataukah semacam mahluk sakti seperti Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong itu raja kera di dalam dongeng See-yu" Jangan-jangan mahluk ini, seperti Sun Go Kong, dapat menghilang pula, pikirnya ngeri.
Akan tetapi, hampir saja dadanya kena dicengkeram ketika Kam Hong dalam lamunannya menjadi agak kurang cepat mengelak. "Brettt!" Sedikit bajunya robek oleh cengkeraman itu! Cepat Kam Hong mencabut suling emasnya! Dia tidak mau mempergunakan kipasnya. Mahluk itu terlalu kuat untuk dihadapi dengan kipasnya, dan dia khawatir selain tidak ada gunanya juga kipasnya akan rusak. Maka kini dia membalas dengan totokan-totokan yang dilakukan dengan sulingnya.
Akan tetapi mahluk itu pandai sekali mengelak. Nalurinya sedemikian tajamnya sehingga mengatasi semua kesigapan gerak seorang ahli silat mana pun. Setiap totokan suling itu dapat dielakkan, dan kalau sekali dua kali suling itu mengenai sasaran, maka kenanya itu meleset karena gerakan mahluk itu terlalu cepat, dan agaknya mahluk itu memiliki kekebalan luar biasa sehingga tusukan suling yang dapat menghancurkan batu karang itu baginya seperti tubuh yang dipijit tangan dengan jari halus saja! Sedikit pun tidak terasa agaknya!
Kam Hong merasa penasaran. Dikerahkan seluruh tenaganya, dan dia mengeluarkan gerakan-gerakan yang terhebat dari ilmu-ilmu simpanannya. Bahkan ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek moyangnya, keluarga Suling Emas, dimainkannya untuk menundukkan mahluk ini. Akan tetapi, mahluk itu benar-benar selain kebal kulitnya, juga memiliki tenaga dahsyat dan kecepatan yang membingungkan pendekar ini. Kaki mahluk itu sudah tertancap pedang, namun gerakan-gerakannya masih secepat itu.
Suling di tangan Kam Hong sampai mengeluarkan suara seperti ditiup saja ketika dia mainkan dengan cepatnya, dan mahluk itu agaknya menjadi semakin marah, "Singgg....!" Suling Kam Hong bergerak meluncur ke arah mata mahluk itu. Mahluk yang dinamakan Yeti itu menundukkan kepala sehingga meluncur di atas kepalanya.
"Wuuuttt.... dessss!" Tangan kiri Kam Hong dengan miring dan amat kerasnya memenggal ke arah leher. Akan tetapi tangan itu meleset dan mengenai pundak, dan mahluk itu hanya bergoyang sedikit saja! Bahkan tangan kanannya meraih ke depan dan ketika Kam Hong menangkisnya dengan suling, dia terjengkang karena dorongan tenaga yang amat kuat! Kakinya menginjak salju yang longsor dan jatuhlah pemuda itu terjengkang di atas salju. Sambil menggereng mahluk itu menubruk dengan seluruh bobot tubuhnya yang berat, kedua tangan dan kedua kakinya ditekuk mencengkeram, agaknya hendak langsung mencengkeram dan merobek-robek tubuh lawan itu. Akan tetapi Kam Hong sudah menggulingkan tubuhnya cepat sekali ke kiri dan sulingnya bergerak ke depan, menusuk mata. Mahluk itu luput menubruk, akan tetapi masih dapat menggunakan lengannya yang panjang menyampok suling. Kam Hong meloncat dengan cepat sekali sebelum mahluk itu sempat bangun dan sulingnya diayun sekuat tenaga.
"Takkkk!!" Suling itu menghantam kepala akan tetapi.... ternyata kepala itu pun terlindung kekebalan dan suling itu membalik seperti mengenai kepala baja, terpental dan Kam Hong merasakan telapak tangannya panas.
Akan tetapi senjata suling emas itu adalah sebuah senjata pusaka yang ampuh, maka biarpun di luarnya tidak nampak bahwa pukulan itu mendatangkan akibat yang hebat bagi Yeti, namun ternyata mahluk itu terhuyung juga ke belakang. Hal ini agaknya membuat Yeti menjadi marah dan setelah dia dapat mengatur lagi keseimbangan tubuhnya, dia memandang Kam Hong dengan mata merah, kemudian dari mulutnya terdengar teriakan yang menggetarkan jantung, kemudian dia pun bergerak maju lebih cepat dan lebih dahsyat lagi, daripada tadi!
Kam Hong menjadi semakin repot. Bukan hanya kecepatan dan kekuatan mahluk itu yang membuatnya kewalahan, akan tetapi juga hujan salju yang mendatangkan rasa dingin dan menghalangi pandangan matanya dan juga pernapasannya. Akan tetapi sebaliknya, mahluk itu nampaknya sama sekali tidak terganggu oleh salju, bahkan makin deras salju turun, membuat dia agaknya menjadi semakin lincah!
Terjangan dahsyat dari Yeti itu kini bukan merupakan cengkeraman seperti tadi akan tetapi merupakan hantaman dengan kedua tangannya yang besar dan lengan yang panjang itu menghantam seperti tongkat besar, menyambar dari kanan kiri. Bukan seperti gerakan silat akan tetapi karena didorong oleh tenaga yang amat besar maka berbahaya bukan main!
Kam Hong meloncat ke belakang, akan tetapi Yeti menubruk lebih cepat lagi dan tangan kanannya menyambar dari sebelah kiri Kam Hong, sedangkan tangan kiri mahluk itu mencengkeram ke arah perut! Kam Hong tidak sempat mengelak lagi, maka dia lalu menangkis dengan sulingnya ke arah tangan kiri yang mencengkeram, sedangkan hantaman tangan kanan Yeti itu ditangkisnya dengan lengan kirinya yang diangkat ke atas.
"Dess! Dukkk!" Akibat dari adu tenaga ini, tubuh Yeti terhuyung kembali ke belakang akan tetapi tubuh Kam Hong terpental dan terguling-guling! Ini saja sudah menjadi bukti bahwa Kam Hong benar-benar kalah kuat dalam hal tenaga. Celakanya, pada saat itu, kembali kaki Kam Hong menginjak tumpukan salju yang lunak sehingga dia tergelincir dan bergulingan jatuh dari lereng salju. Yeti itu menggeram dan meloncat begitu saja dari atas untuk mengejar Kam Hong yang masih bergulingan! Melihat ini, Ci Sian menjerit penuh kengerian dan dia pun menjadi nekat, berlari dan meloncat turun pula untuk mengejar Kam Hong dan kalau perlu membela pemuda itu! Akan tetapi, karena tempat itu tinggi sekali, maka dia tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan gadis cilik ini pun jatuh dan terguling-guling di sepanjang lereng salju, seperti Kam Hong!
Yeti itu telah tiba lebih dulu dan cepat sekali dia menubruk dan tahu-tahu dia telah menggunakan kedua tangannya yang kuat untuk memegang kedua lengan Kam Hong! Pendekar ini merasa betapa pergelangan tangannya seperti dijepit oleh baja-baja yang amat kuat, dan betapa pun dia berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia belaka. Sulingnya terlepas dan dia sudah hampir putus harapan. Dengan tenaganya yang dahsyat tentu Yeti itu akan mencabik-cabik tubuhnya pula. Kekalahan dan putus asa membuat Kam Hong tidak melawan lagi, hanya dia mengerahkan tenaga untuk menahan jika mahluk itu hendak menarik putus kedua lengannya.
Tiba-tiba pada saat yang amat genting dan berbahaya bagi nyawa Kam Hong itu, angin bertiup kencang sekali dan terdengarlah suara bergemuruh dari atas. Tanah bersalju yang berada di bawah kaki Kam Hong itu tergetar dan bergoyang-goyang. Yeti dan Kam Hong menoleh dan melihat ke arah Suara gemuruh itu. Tiba-tiba Yeti mengeluarkan suara melengking dahsyat dan dia melemparkan Kam Hong ke samping, kemudian dengan sikap amat ketakutan dia meloncat ke kanan, terus berloncatan dengan kecepatan seperti terbang meninggalkan tempat itu!
Kam Hong terpelanting, akan tetapi dia tidak mempedulikan hal ini karena dia terus memandang ke arah puncak gunung penuh salju itu. Suara makin bergemuruh dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa sebagian dari puncak itu longsor dan kini salju menimpa turun seperti air bah, diikuti batu-batu es yang amat besar menggelundung ke bawah, ke arah tempat itu!
"Ci Sian....!" teriaknya dan dia melihat gadis cilik itu merangkak-rangkak karena Ci Sian juga baru saja dapat mengatasi kepeningannya karena bergulingan dari atas tadi. Dengan jantung berdebar tegang dan tubuh agak gemetar karena cemas Kam Hong meloncat, menghampiri Ci Sian, menyambar tubuh gadis cilik itu, dipondongnya dan dia pun cepat meloncat ke kanan karena untuk lari sudah kekurangan waktu. Kedua kakinya berhasil mencapai lereng bukit, akan tetapi ketika kedua kakinya menginjak salju, yang diinjaknya runtuh ke bawah dan ternyata bukit itu pun ikut bergerak longsor terbawa dari atas! Kam Hong tak dapat menguasai dirinya. Dengan Ci Sian masih dipondongnya dia melayang turun bersama salju dan potongan-potongan es, merasa tubuhnya terpukul dari sana sini, dan dia masih mencoba untuk melindungi Ci Sian yang menjerit-jerit ketakutan itu dengan kedua lengan dan badannya. Mereka terbanting dan Kam Hong tidak ingat apa-apa lagi!
*** Runtuhnya sebagian dari tumpukan es dan salju di puncak gunung itu selain mendatangkan suara gemuruh yang hiruk-pikuk seolah-olah dunia hendak kiamat, juga menimbulkan debu salju yang mengebul sampai tinggi dan turun seperti embun. Banyak batu-batu dan pohon-pohon gundul yang tertutup salju dilanda arus salju dan batu-batu es ke bawah kemudian memasuki dan memenuhi jurang-jurang yang curam di bawah kaki gunung.
Mati hidup manusia merupakan hal yang wajar. Dan seperti segala sesuatu di alam maya pada ini, di dalam kewajaran terkandung rahasia-rahasia kegaiban yang amat luar biasa dan mentakjubkan. Kegaiban yang sama sekali tak terselami oleh pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam alam raya ini, dari beraraknya awan, berputaran dunia, tumbuhnya pohon-pohon, kehidupan segala mahluk, semua adalah berjalan dengaan wajar dan karenanya mengandung ketertiban yang amat indah. Di dalam segala kewajaran yang penuh kegaiban itu termasuk juga kehidupan dan kematian. Wajar, karenanya gaib.
Menurut jalan pikiran, orang yang sudah terlanda berton-ton salju dan es yang runtuh ke bawah, seperti yang dialami oleh Kam Hong dan Ci Sian, tentu tidak mungkin dapat terluput dari kematian. Namun kenyataannya tidaklah demikian! Secara "kebetulan" mereka itu berada di lereng, bukan di dasar kaki gunung, sehingga salju yang longsor itu hanya lewat saja di atas mereka. Dan "kebetulan" pula Kam Hong dan Ci Sian lebih dulu teruruk oleh bukit kecil yang runtuh sehingga mereka seperti terlindung dan biarpun keduanya pingsan karena dilalui oleh longsoran salju dan balokbalok es sebesar itu, namun mereka tidak sampai tewas. Lebih "kebetulan" lagi bahwa kepala mereka tidak sampai terpendam salju, karena kalau hal ini terjadi, dalam keadaan pingsan itu tentu mereka takkan bernapas dan akan tewas juga.
Lama setelah salju yang longsor itu sudah lewat dan keadaan menjadi sunyi kembali, angin yang tadi bertiup kencang itu agaknya sudah lewat dan tidak ada sedikit pun angin bergerak, Kam Hong siuman dari pingsannya. Dia mendapatkan dirinya rebah miring, dari pinggang ke bawah terpendam salju. Ada bongkahanbongkahan es sebesar kerbau bunting di sekitar tempat itu, dan dia merasa heran mengapa dia masih dapat hidup, padahal tertimpa satu saja di antara batu-batu es besar itu, tentu tubuhnya akan remuk. Kepalanya masih pening dan ketika dia membuka matanya, dia melihat sekelilingnya seperti berputaran. Akan tetapi dia dapat melihat Ci Sian menggeletak di dekatnya, telentang dan juga dalam keadaan pingsan. Muka yang manis itu kelihatan pucat, matanya terpejam dan kulit di antara kedua alisnya masih berkerut tanda bahwa dara itu mengalami ketakutan hebat.
Kam Hong melihat pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya luka-luka ringan, akan tetapi yang jelas, dia masih hidup! Hawanya dingin sekali. Mereka berdua terbujur di antara batu-batu es yang bening dan berkilauan amat aneh dan indahnya, memantulkan cahaya matahari tertutup halimun. Kalau dia membayangkan betapa dia telah hampir dikoyak-koyak Yeti, kemudian dijatuhi puncak yang longsor seperti itu dan kini masih hidup, juga Ci Sian masih hidup, sungguh hampir tak dapat dia mempercayainya. Sejenak seluruh perasaannya membubung ke atas atau ke mana saja di mana Tuhan berada dan batinnya membisikkan puji syukur yang mendalam. Kemudian ia membuka matanya dan menoleh ke arah Ci Sian. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan anak itu telah mati. Pikiran ini mendatangkan tenaga di tubuhnya yang terasa lemah dan dia menarik kedua kakinya dari urukan salju. Akan tetapi ketika dia bangkit, dia berteriak kesakitan dan terduduk kembali, tangannya memegangi paha kirinya. Dia memandang dan melihat celana kirinya robek, penuh darah. Ternyata kaki kirinya, di dekat pergelangan, telah patah tulangnya!
Agaknya teriakan kesakitan dari Kam Hong tadi membantu Ci Sian memperoleh kembali kesadarannya. Gadis cilik ini membuka mata dan dia mengeluh kagum melihat betapa dunia di sekelilingnya sedemikian indahnya. Seperti dalam mimpi! Dia terpesona dan terheran-heran, mengucek kedua matanya dengan punggung tangannya di mana sarung tangannya robek. Pandang matanya silau oleh kilatan balok-balok es di sekitar tempat itu. Sudah matikah aku" Inikah alam baka" Demikian hatinya berbisik karena dia teringat akan dongeng tentang alam baka. Memang melihat sekitarnya dikelilingi benda-benda yang berkilauan itu dia merasa seperti berada di alam lain.
Akan tetapi suara keluhan membuat dia menengok dan barulah dia sadar ketika dia melihat Kam Hong duduk sambil memegangi kaki kirinya, wajahnya menyeringai kesakitan. Dia merangkak bangkit dan ternyata gadis cilik ini tidak terluka apa-apa, kecuali pakaiannya yang robek di sana-sini dan kulit tubuhnya ada yang lecet-lecet sedikit. Dia terhuyung menghampiri Kam Hong dan.... tiba-tiba dia menjerit, mukanya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar.
Kam Hong terkejut, sedetik lupa akan rasa nyeri di kakinya. "Eh, ada apakah, Ci Sian" tanyanya khawatir.
Gadis cilik itu tidak menjawab, mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya telunjuk kanannya yang menuding, telunjuk yang menggigil. Kam Hong menoleh ke arah kirinya dan baru sekarang dia memandang ke kiri karena tadi Ci Sian berada di sebelah kanannya sehingga semua perhatiannya tertuju ke sebelah kanannya. Ketika dia menoleh dan melihat apa yang ditunjuk oleh gadis cilik itu, hampir saja dia pun menjerit seperti Ci Sian. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Tak jauh di sebelah kirinya, agak ke belakangnya di mana terdapat sebuah batu es, sebongkah balok es yang besarnya seperti gajah. Ternyata di sebelah dalam bongkahan batu es yang amat bening ini terdapat sesosok tubuh manusia yang masih utuh, lengkap dengan pakaiannya, nampaknya seperti sedang tidur saja di dalam bongkahan es itu, terbungkus es bening yang seolah-olah menjadi petinya!
"Jangan takut, dia.... dia.... hanya sepotong jenazah...." kata Kam Hong, namun biar mulutnya menghibur seperti itu, suaranya sendiri gemetar, setengah karena rasa nyeri di kakinya, setengah lagi karena memang dia sendiri merasa serem!
Ci Sian menghampiri peti es itu. Dengan mata terbelalak dia memperhatikan tubuh manusia dalam es itu. Sungguh mengerikan. Wajah laki-laki setengah tua itu seperti masih hidup saja. Matanya setengah terbuka, bola matanya masih berkilau karena dilapisi es yang berkilauan. Mukanya masih agak kemerahan. Muka yang tampan dan gagah, akan tetapi mulutnya itu ditarik seperti orang yang merasa berduka. Pakaiannya aneh, dan Ci Sian teringat akan gambar-gambar manusia jaman dahulu. Pakaian yang amat kuno sekali, mungkin sudah ribuan tahun usianya! Akan tetapi pakaian itu, seperti juga tubuh itu, masih utuh dan sama sekali tidak kelihatan lapuk atau rusak.
Yang menarik hati Ci Sian adalah ketika dia melihat kedua tangan mayat itu yang dirangkap di depan dada dan kedua tangan itu dengan jari-jari tangan yang kelihatannya memegang dengan hati-hati dan erat-erat, memegang sebuah boneka kecil, yang kurang lebih dua puluh senti panjangnya. Boneka itu telanjang, dan di tubuh boneka yang putih itu nampak guratan-guratan dan huruf-huruf kecil yang terukir secara aneh.
Karena tertariknya dan keadaan mayat dalam es ini, Ci Sian seperti melupakan Kam Hong. Baru setelah dia mendengar pemuda itu mengeluh, dia menengok dan melihat Kam Hong merobek celana kirinya dan membuka kaki yang berdarah itu, dia terkejut dan cepat menghampiri.
"Eh, kakimu kenapa, Paman" tanyanya sambil berlutut dan memandang khawatir.
"Agaknya tulangnya patah, Ci Sian. Biar kubersihkan darahnya.... auhhh...." Pemuda itu menggigit bibir menahan nyeri.
"Biar aku yang membersihkannya, Paman. Engkau canggung benar dan kedua tanganmu takkan mencapai kakimu yang dilonjorkan." Ci Sian lalu membersihkan luka itu, mempergunakan saputangannya. Darahnya sudah membeku, dan dengan hati ngeri dia melihat bahwa di atas pergelangan kaki kiri itu kulitnya pecah dan melihat bentuk kaki itu mudah diduga bahwa memang tulangnya patah. "Ah, agaknya memang patah tulangnya. Habis bagaimana baiknya, Paman"
Kam Hong mengeluarkan buntalan dari balik jubahnya yang robek-robek, membuka buntalan dan mengeluarkan sebuah botol kecil terisi obat bubuk hijau. "Ci Sian, aku sendiri tidak mungkin menarik kakiku, maka kaubantulah aku menarik kakiku agar tulangnya yang patah itu dapat bertemu kembali. Lalu kaupergunakan obat penyambung tulang ini, campur dengan salju dan paramkan di sekitar kaki yang patah, kemudian balut dengan kuat-kuat."
"Baik, Paman."
Ci Sian, atas petunjuk Kam Hong, lalu mencari enam batang kayu, sepanang lima belas senti, kayu dari ranting yang cukup kuat, kemudian dia mencampur isi botol itu dengan salju cair dan dia membuat balut dari lapisan baju bulunya yang tebal, kain pembalut yang cukup panjang.
"Sekarang kau duduklah di depan kakiku, pegang kakiku dengan kedua tangan dan kerahkan tenagamu untuk menarik sekuatnya. Jangan lepaskan sebelum aku beri tanda, dan kalau aku sudah memberi tanda, engkau lepaskan perlahan-lahan agar tulang itu dapat bertemu kembali dengan bagian atas. Mengerti"
Ci Sian merasa ngeri, maklum bahwa sastrawan itu sedang menderita nyeri yang amat hebat, maka dia mengangguk dengan yakin sambil menelan ludah. Lalu dia duduk di depan kaki kiri yang patah tulangnya itu, menggunakan kedua tumit kakinya untulk mencari tempat menahan tubuhnya, kemudian dia memegang kaki sastrawan itu di bawah pergelangan kaki.
"Nah, mulai tarik!" kata Kam Hong yang sudah mengerahkan tenaga untuk menahan kakinya.
Ci Sian menarik sekuatnya, sedikit demi sedikit. Dia melakukan ini sambil memandang kaki itu, kemudian dia mengangkat muka memandang wajah Kam Hong. Hampir dia melepaskan kaki itu ketika melihat betapa wajah sastrawan itu jelas memperlihatkan penderitaan hebat! Sastrawan itu menggigit bibirnya, kedua tangan memegangi paha kaki kiri bertahan, matanya setengah terpejam dan di dahinya timbul keringat, padahal hawanya demikian dingin! Ci Sian mengerahkan tenaga menarik terus sampai terasa olehnya pergelangan kaki yang ditariknya itu mengeluarkan bunyi krek-krek!
"Le.... pas.... perlahan.... lahan...." terdengar Kam Hong berkata dengan terengah-engah. Ci Sian mengendurkan tenaganya sedikit demi sedikit dan tulang yang patah itu pun dapat bertemu kembali.
"Lekas, beri obat itu.... dan pasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan balut!"
Ci Sian melakukan semua itu dengan cekatan, terdorong oleh rasa khawatirnya dan rasa kasihan kepada sastrawan ini. Semua obat bubuk hijau yang sudah dicampur dengan salju cair itu diparamkan di seputar luka, kemudian dia memasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan mulai membalut. Atas petunjuk Kam Hong, dia membalut dengan pengerahan tenaga sehingga kaki itu terjepit dan tidak akan berobah lagi letak tulangnya. Setelah selesai, Kam Hong menarik napas lega dan mengusap keringat di dahi dengan ujung jubahnya.
"Terima kasih.... Ci Sian.... kaki itu akan tersambung kembali tulangnya dalam waktu beberapa hari saja."
Ci Sian memandang wajah itu. Mereka saling pandang dan Ci Sian melihat wajah itu agak pucat, akan tetapi tersenyum! Baru sekarang dia melihat sastrawan yang biasanya muram itu tersenyum, senyum yang bebas dan wajar, tidak seperti biasanya kalau sastrawan itu tersenyum maka senyumnya itu senyum masam!
"Paman Kam, kalau mau bicara tentang terima kasih, akulah yang harus berterima kasih kepadamu! Engkau telah menumpuk budi, dan kalau tidak ada engkau, agaknya sudah berkali-kali aku mati!"
"Mana mungkin orang mati berkali-kali" Dia itu sekali mati sampai seribu tahun tak dapat bangun lagi untuk mati kembali!" Kam Hong menuding kepada mayat dalam es itu.
Ci Sian cepat menoleh. Baru dia teringat akan mayat yang aneh itu sekarang setelah Kam Hong bicara tentang itu. Segera dia mendekatinya lagi dan memeriksa dengan teliti dari segala jurusan.
"Dia seperti masih hidup saja, Paman!" teriaknya penuh gairah dan kegembiraan. "Sungguh ajaib! Bagaimana mendadak di tempat seperti ini muncul mayat yang kuno ini dalam balok es" Dan boneka di tangannya itu.... sungguh indah sekali....!"
Kam Hong menjadi tertarik sekali melihat sikap Ci Sian. Dengan menggunakan kekuatan kedua tangannya bertopang pada batu menonjol tertutup salju, dia bangkit berdiri di atas satu kaki. Kebetulan dia berdiri di tempat yang agak tinggi dan sebelum dia menghampiri Ci Sian, tanpa disengajanya dia melihat ke sekeliling tempat itu. Matanya terbelalak dan dia mengeluarkan seruan kaget yang membuat Ci Sian melompat dan menghampirinya, karena gadis ini mengira tentu pendekar itu melihat hal yang lebih aneh lagi daripada mayat dalam balok es itu.
"Ada apakah, Paman" tanyanya dengan cemas dan dia sudah memegang lengan Kam Hong sambil melihat pula ke sekeliling. Dan dia pun melihat apa yang membuat pendekar sakti itu terkejut, dan dia sendiri terbelalak.
"Wah, tempat ini dikelilingi jurang....!" Dan gadis tanggung itu lalu melepaskan lengan Kam Hong, berlari-lari untuk memeriksa sekeliling tempat mereka itu.
"Hati-hati, Ci Sian, jangan sampai jatuh. Awas salju longsor!" Kam Hong memperingatkan dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki saja dia pun mengejar untuk melindungi dara itu.
Mereka memeriksa sekeliling tempat itu dan memang tempat itu kini merupakan tempat yang terpencil. Akibat longsor hebat itu, tempat ini menjadi terkurung oleh jurang-jurang yang amat curam dan agaknya tidak mungkin dapat dituruni, apalagi dengan sebelah kaki patah tulangnya seperti Kam Hong. Mereka terjebak dalam tempat yang agaknya tidak ada jalan keluarnya!
"Wah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan, Paman"
"Tenanglah, Ci Sian. Andaikata tempat ini tidak terkurung, tetap saja kita tidak dapat melanjutkan perjalanan sebelum tulang kakiku tersambung dan sembuh kembali. Sebaiknya kita mencari tempat untuk tinggal selama beberapa hari ini di sekitar sini."
"Aku mau melihat mayat aneh itu dan bonekanya!" kata Ci Sian yang dalam waktu singkat sudah dapat melupakan kembali kecemasan dan berlari-larian dia kembali ke tempat di mana mereka menemukan jenazah itu. Mau tidak mau Kam Hong tersenyum. Melakukan perjalanan dengan seorang anak perempuan yang tidak cengeng seperti Ci Sian memang menyenangkan. Anak itu tabah dan tidak mudah putus asa, berbakat untuk menjadi seorang pendekar wanita. Maka dia pun segera mengejarnya, karena dia pun tertarik sekali untuk menyelidiki keadaan mayat yang memakai pakaian kuno sekali itu.
Baru teringat dia akan suling emasnya. Hatinya gelisah sekali dan dia tidak jadi menghampiri Ci Sian, melainkan mencari-cari sambil berloncatan. Tentu sulingnya itu terlepas ketika dia tertimpa salju dan es-es balokan besar yang longsor dari atas. Tiba-tiba dia melihat sinar menyilaukan di tepi jurang. Cepat dia berloncatan ke sana dan giranglah hatinya karena sinar itu ternyata adalah ujung sulingnya yang tersembul keluar dari timbunan salju! Cepat diambilnya pusaka itu, diperiksanya dan ternyata tidak rusak sama sekali. Dengan hati lapang dan girang diselipkannya suling itu ditempat semula, yaitu di balik jubahnya, di ikat pinggang dekat kipasnya. Baru dia menghampiri Ci Sian yang agaknya sedang terpesona oleh jenazah dalam bongkahan es besar itu.
Memang jenazah itu aneh sekali. Wajah jenazah itu seperti wajah orang hidup saja, pakaiannya yang masih rapi dan seperti baru. Juga boneka yang dipegang oleh jenazah itu merupakan boneka anak kecil yang montok dan sehat, tersenyum lebar seperti muka yang ramah dan suci dari arca Ji-lai-hud. Melihat jenazah seperti terlantar seperti itu, dan melihat keadaan pakaiannya, model pakaian itu, Kam Hong menaksir bahwa jenazah itu tentu sudah terlantar dan terbungkus es selama sedikitnya seribu tahun, timbul rasa kasihan dalam hati Kam Hong.
"Kita harus mengubur jenazah itu dengan baik, Ci Sian. Kasihan dia dibiar, kan terlantar seperti itu."
Akan tetapi Ci Sian seolah-olah tidak mendengar ucapan Kam Hong itu. Begitu asyiknya dia mengamati boneka di tangan mayat itu sehingga dia mendekatkan mukanya sampai hidungnya yang mancung kecil itu menyentuh balok es yang menjadi peti mayat itu. Tiba-tiba dia berseru dan matanya dilebar-lebarkan untuk dapat memandang lebih jelas lagi, "Paman, lihat....! Ada tulisannya pada dahi boneka itu!"
"Ah, benarkah" Kam Hong bertanya dan dia pun mendekat, lalu memandang dengan cermat ke arah boneka. Akhirnya dia berkata, "Benar, itu tentu huruf-huruf yang ditulis, akan tetapi terlampau kecil untuk dapat dibaca melalui es ini. Es membuat huruf-huruf itu kabur tak dapat dibaca dari luar."
"Kalau begitu, apakah Paman tidak dapat memecahkan balok es ini"
"Ah, untuk apa, Ci Sian" Kita tidak boleh mengganggu jenazah manusia!"
"Untuk dapat membaca tulisan itu, Paman. Siapa tahu tulisan itu merupakan pesan untuk kita atau siapa saja yang menemukan jenazah ini!"
Kam Hong tertarik. Bukan tidak mungkin apa yang diucapkan gadis cilik itu. Kalau tidak mengandung maksud tertentu, mengapa dahi boneka diberi tulisan huruf-huruf amat kecilnya" Dia memandang lagi wajah dan pakaian mayat itu, kemudian dia seperti memperoleh firasat bahwa mayat itu adalah jenazah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maka dia lalu berkata kepada jenazah itu, "Locianpwe, harap maafkan teecu yang berani lancang memecahkan balok es. Teecu berjanji akan mengubur jenazah Locianpwe baik-baik."
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Kam Hong menaruh telapak tangannya pada balok es itu, mula-mula di atas kedua kaki jenazah. Dia mengerahkan sin-kangnya menekan. Terdengar suara "krek, krek" dan balok itu pun pecah di bagian bawah! Ci Sian hampir bersorak.
"Engkau hebat sekali, Paman!"
Siauw Hong atau Kam Hong hanya tersenyum, lalu memecah balok es di bagian atas. Terdengar suara agak keras dan balok es itu kini terbelah menjadi dua dan mayat itu pun nampak! Sungguh aneh, tidak ada bau busuk keluar dari mayat itu! Kalau mayat itu tidak sampai rusak selama ribuan atau ratusan tahun, hal itu tidaklah aneh karena mayat itu terbungkus es dan selalu terbenam dalam tempat yang suhunya teramat dinginnya. Akan tetapi kalau kulit itu sama sekali tidak rusak dan tidak mengeluarkan bau busuk, hal ini adalah suatu keanehan dan tentu ada rahasia tertentu tersembunyi di balik kenyataan ini, pikir Kam Hong. Dia menduga bahwa tentu sesudah mati mayat ini diberi semacam obat yang luar biasa, yang membuat selain mayat itu tidak rusak selamanya, juga tidak mengeluarkan bau busuk.
Setelah peti es itu terbuka dan kini mayat tidak lagi tertutup es, tulisan huruf-huruf kecil di atas dahi boneka itu dapat dibaca, sungguhpun untuk itu Kam Hong dan Ci Sian terpaksa harus mendekatkan mata mereka kepada boneka itu. Tulisan itu bergaya kuno, baik coretannya maupun susunan kalimatnya, akan tetapi agaknya Ci Sian terdidik baik sekali dalam hal sastra, karena ternyata dia mampu juga membaca dan mengerti artinya, membuat Kam Hong merasa kagum juga.
"Aku mohon agar boneka ini dibakar agar pusaka keramat yang mengandung pelajaran dahsyat ini tidak terjatuh ke dalam tangan orang jahat."
"Aihh, sungguh sayang sekali kalau boneka ini dibakar!" Ci Sian berseru dan memandang kepada wajah jenazah itu seolah-olah jenazah itu seorang yang masih hidup. "Kenapa engkau meninggalkan pesan yang demikian aneh dan gila" Kalau memang ingin melenyapkan boneka indah ini, kenapa tidak dulu-dulu kaubakar sendiri"
Biarpun ucapan Ci Sian itu keluar dari sifatnya yang keras, bengal dan tidak mau tunduk kepada, siapapun juga, akan tetapi Kam Hong seperti disadarkan akan sesuatu yang memang aneh sekali. Memang ucapan Ci Sian itu benar belaka. Mengapa bersusah payah menulis huruf-huruf kecil di dahi boneka itu kalau memang hendak melenyapkan boneka itu" Kenapa tidak langsung saja dibakar daripada menanti sampai ribuan tahun agar ditemukan orang dan dibakar oleh orang itu" Bukankah langsung saja dibakar jauh lebih mudah daripada membuat tulisaan huruf kecil-kecil itu" Tentu ada rahasianya di balik semua ini.
"Ci Sian, siapa pun adanya Locianpwe ini, beliau tidak minta kita menemukannya. Biarpun kita juga tidak sengaja mencarinya, akan tetapi kita toh bertemu dengan beliau. Maka ini namanya jodoh. Dan pesanan orang yang sudah mati merupakan perintah keramat yang harus dipenuhi, apalagi Locianpwe ini sampai memohon dan permintaannya itu pun tidak sukar. Mari kita bakar boneka ini seperti yang dipesankan."
Ci Sian mengerutkan alisnya. "Terlalu! Itu namanya mempermainkan perasaan orang! Kenapa boneka yang indah ini dibawa mati, dibiarkan terlihat orang" Membiarkan orang merasa suka lalu menyuruh orang itu membakarnya, sungguh merupakan perbuatan yang kejam sekali. Wah, jenazah orang ini dahulu diwaktu hidupnya tentu membuat banyak dosa, Paman. Sampai sudah ribuan tahun menjadi mayat pun masih melakukan perbuatan kejam! Jangan dibakar saja, Paman, aku ingin melihat dia bisa apa!"
"Hemm, tidak boleh begitu, Ci Sian. Pesan Locianpwe ini tentu mengandung maksud amat penting. Siapa tahu boneka ini yang disebutnya benda keramat benar-benar mengandung pelajaran yang mujijat dan kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah dunia ini akan menjadi semakin kacau"
"Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau bukanlah orang jahat, Paman! Mungkin aku masih layak disebut orang jahat, akan tetapi engkau sama sekali bukan orang jahat! Engkau seorang pendekar yang budiman. Kalau memang boneka ini mengandung pelajaran tinggi, bukankah akan berguna sekali kalau dipelajari olehmu" Memang orang ini mempermainkan dan memperolok orang saja! Pantas dia tersiksa, sampai sudah mati pun tidak dapat sempurna."
"Hushh, sudahlah Ci Sian. Engkau tidak tahu. Seorang Locianpwe melakukan hal-hal yang aneh bukan tidak mengandung maksud yang tersembunyi. Siapa tahu ilmu yang terkandung dalam boneka itu mempunyai pengaruh dan daya yang aneh sehingga siapa pun yang mempelajarinya akan berobah menjadi tersesat dan jahat. Biarkan aku membakarnya."
"Sesukamulah!" kata Ci Sian agak marah. "Kau bakarlah boneka tak berguna itu. Aku sendiri lebih senang membakar sesuatu yang lebih berguna bagi perutku yang lapar ini." Setelah berkata demikian, gadis cilik ini meninggalkan Kam Hong karena dia melihat banyak sekali burung-burung yang berbulu putih dengan kepala hitam beterbangan dan ada yang hinggap di tepi jurang dari tempat yang kini seolah-olah menjadi semacam pulau kecil itu. Pulau yang dikelilingi jurang curam, bukan dikelilingi laut.
Matahari telah condong ke barat ketika Kam Hong akhirnya berhasil membuat api. Tidak mudah membuat api di tempat dingin itu. Akan tetapi pendekar ini memang menyimpan batu api, bahan bakar dan dengan mengumpulkan kayu-kayu ranting yang terbawa longsor dan membersihkannya, akhirnya dengan susah payah dapat juga dia membuat api dan membakar boneka itu. Selagi dia membakar boneka itu, Ci Sian datang membawa dua ekor burung yang gemuk. Burung itu bentuknya seperti bebek, besarnya mirip ayam dan setelah dibubuti semua bulunya, tiada bedanya dengan bebek.
"Seorang seekor, Paman. Paman tentu lapar, bukan" katanya sambil memandang ke arah boneka yang dibakar itu dengan mulut cemberut. "Bukankah lebih berguna membakar bebek-bebek ini"
Kam Hong tersenyum. "Engkau pandai sekali, Ci Sian. Di tempat seperti ini engkau bisa mencari makanan."
Kam Hong membakar boneka dan Ci Sian membakar dua ekor burung. Daging burung sudah matang, akan tetapi boneka itu tidak juga hancur! Hanya gosong saja! Padahal pakaian yang dipakai boneka itu sudah hancur sama sekali. Boneka kecil itu kini telanjang, akan tetapi tubuhnya masih utuh!
"Sungguh ajaib. Boneka apa ini, dibakar tidak rusak" Ci Sian menjadi tertarik dan sambil makan daging burung mereka lalu menambah kayu bakar memperbesar api untuk terus membakar boneka itu sampai hancur.
Sinar api menciptakan pemandangan yang mentakjubkan. Sinar api itu terpantul oleh bongkahan es yang besar-besar itu, dan timbullah beraneka warna gemilang seperti pelangi di mana-mana. Mereka merasa aneh, seolah-olah mereka berada di dalam dunia lain, atau dalam dunia mimpi anak-anak yang amat luar biasa. Seperti berada di dalam ruangan penuh dengan cermin. Bayangan mereka berdua nampak di mana-mana, akan tetapi bayangan-bayangan itu menjadi aneh bentuknya seperti ada ratusan buah cermin palsu mengelilingi mereka, ada yang membuat mereka menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang membuat mereka menjadi tinggi kurus dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua ekor burung panggang sudah mereka makan habis, akan tetapi boneka itu masih tetap utuh!
"Hentikan saja, Paman. Engkau sudah membakarnya sejak tadi. Kakek itu memang agaknya sengaja mempermainkan kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi akan gelap. Tadi aku melihat di sebelah sana terdapat sebuah guha yang cukup besar untuk kita berlindung dari angin dan beritirahat."
Kam Hong mengerutkan alisnya. Walaupun nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan tetapi dia tidak percaya bahwa orang seperti locianpwe itu sengaja mempermainkan orang dengan bonekanya. "Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu di sana. Aku akan melanjutkan membakar boneka ini."
Dengan marah Ci Siang bangkit berdiri, lalu dia menuding-nuding ke arah mayat yang rebah di atas tanah tertutup salju itu sambil berkata. "Awas kau, kalau kau yang menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak memberi sesuatu kepadanya sebagai balasan, engkau tentu akan kukutuk habis-habisan!"
"Ci Sian....!" Kam Hong mencela, akan tetapi gadis cilik itu sudah meloncat dan lari meninggalkannya.
Kam Hong merasa penasaran sekali dan menghabiskan kayu yang disediakannya tadi untuk membakar boneka itu. Akan tetapi sampai api padam kehabisan bahan bakar, boneka itu tetap utuh saja sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.
"Maaf, Locianpwe. Bukan maksud teecu tidak mau mentaati perintah Locianpwe, akan tetapi agaknya boneka ini memang tidak dapat terbakar." katanya. Dia mengambil boneka yang sudah telanjang karena pakaiannya sudah hancur menjadi abu itu, dan yang gosong kehitaman, meletakkannya kembali ke dalam tangan jenazah yang masih rebah telentang, kemudian sambil berloncatan dengan satu kaki Kam Hong pergi menyusul Ci Sian. Dia harus bersama gadis cilik itu untuk melindungi dan menjaganya.
Dia mendapatkan Ci Sian meringkuk di dalam guha, agaknya kedinginan. Melihat bayangan yang dipantulkan oleh sinar terakhir dari matahari yang mulai bersembunyi di balik bukit salju, bayangan Kam Hong berdiri di depan guha. Ci Sian segera menyambutnya dengan pertanyaan. "Sudah hancurkah dia"
"Belum, sampai apinya padam boneka itu masih tetap utuh."
"Huh! Lalu kauapakan dia"
Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kukembalikan kepada Locianpwe itu."
"Sudah kukatakan, Paman. Jenazah itu adalah mayat seorang badut dulunya, atau seorang yang memang jahat dan suka mempermainkan orang."
"Biar besok akan kubakar kembali jenazah itu bersama bonekanya."
Tidak ada jawaban, akan tetapi Kam Hong mendengar suara Ci Sian kedinginan. Dia lalu memasuki guha dan duduk di dekat gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik kaki tangannya dan agak menggigil.
"Kau merasa kedinginan"
"Tentu saja.... uhhh.... Paman, bagaimana kalau kita tidak dapat keluar dari sini" Kalau begini terus aku akan menjadi seperti badut itu!" Ci Sian menggigil. "Sayang aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik untuk meninggalkan permainan seperti dia untuk mempermainkan orang!"
"Hushh, jangan bicara seperti itu, Ci Sian. Nah, duduklah bersila, aku akan membuat tubuhmu hangat. Dan mulai sekarang engkau harus menurut petunjukku, aku akan mengajarmu bagaimana untuk mengerahkan hawa murni di dalam tubuh agar dapat melawan dingin."
Ci Sian menjadi girang sekali dan dengan taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati menggerakkan kakinya yang patah tulangnya, kemudian dia menempelkan telapak tangan kanannya di atas punggung gadis cilik itu. "Dengarkan baik-baik." bisiknya, "engkau sudah diajari mendiang Kakekmu tentang jalan darah, nah, kalau aku menyebutkan jalan darah tertentu, engkau harus mencoba untuk membuka jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga dari hawa murni dalam tubuhmu. Aku akan mendorongnya dengan tenagaku...."
Tak lama kemudian Ci Sian merasa ada hawa yang amat kuat dan hangat masuk melalui punggungnya. Dia menjadi girang sekali dan dengan tekun dia mempelajari ilmu ini, mendengarkan petunjuk-petunjuk dari Kam Hong dan akhirnya dia dapat membuat tubuhnya menjadi hangat, sama sekali tidak lagi menderita oleh serangan hawa dingin dari luar tubuhnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Sian sudah keluar dari guha. Kam Hong masih duduk bersamadhi setengah tidur. Pendekar itu tidak tahu berapa lama Ci Sian pergi, akan tetapi ketika dia sudah bangun, dia melihat Ci Sian sudah membuat api unggun dan dara itu sedang membakar atau memanggang sesuatu yang sedap baunya. Kiranya Ci Sian sudah pandai membuat api dengan batu api dan bahan bakarnya, dan ketika Kam Hong mendekat, ternyata gadis cilik itu sedang memanggang daging, entah daging apa!
"Heii, darimana engkau memperoleh daging itu" Daging apakah itu"
Ci Sian tertawa dan mengangkat kulit yang berbulu putih ke atas. "Entah binatang apa, macamnya seperti kelinci, gemuk sekali, Paman dan baunya sedap, ya"
Melihat kulit berbulu putih itu, Kam Hong menahan ketawanya dan tidak mau memberitahu kepada Ci Sian bahwa yang sedang dipanggangnya itu adalah daging tikus salju! Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, daging tikus pun baik saja untuk pengisi perut, daripada kelaparan.
"Paman, aneh sekali. Ketika tadi aku lewat di dekat jenazah itu dan melihat boneka hangus itu, ternyata pada tubuh boneka itu pun ada huruf-hurufnya."
"Eh...." Apa bunyinya"
"Entah aku tidak membacanya. Aku tahu pasti huruf-huruf itu merupakan siasat baru dari badut itu untuk mempermainkan kita. Aku lebih tertarik mengejar kelinci ini daripada membaca tulisan tiada gunanya itu."
Malam tadi Kam Hong memang sudah amat tertarik untuk mencari tahu rahasia dari jenazah itu. Dia tidak percaya akan kelakar Ci Sian bahwa jenazah itu dahulunya adalah seorang badut yang sengaja hendak meninggalkan lelucon untuk mempermainkan orang lain. Tentu ada rahasia yang tersembunyi, terkandung dalam semua pesan yang ditinggalkan oleh jenazah itu. Apakah dia yang keliru mengartikan pesan itu" Ah, tidak mungkin. Kalimat-kalimat pada dahi boneka itu tidak bisa diartikan lain. Mungkin orang lain akan merasa sayang kepada boneka itu. Ci Sian tidak rela boneka itu dibakar, akan tetapi anak perempuan itu hanya menyayangkan keindahan boneka itu saja, merasa sayang bahwa benda mainan yang demikian bagusnya dibakar! Akan tetapi orang lain, terutama orang-orang kang-ouw, setelah melihat tulisan itu yang menyebutkan bahwa boneka itu merupakan benda keramat yang mengandung pelajaran dahsyat, pasti akan menyimpannya dan berusaha untuk mencari rahasia pelajaran dahsyat itu. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal seperti itu. Dia adalah keturunan Suling Emas, dan dia sendiri sudah memiliki kepandaian peninggalan nenek moyangnya yang tinggi dan hebat, perlu apa dia menginginkan kepandaian lain" Juga, dia tidak sudi melanggar pesan orang yang sudah mati.
Kini, mendengar bahwa boneka yang dibakar sekian lamanya tetap utuh itu ada huruf-hurufnya, Kam Hong menjadi tertarik sekali. Tanpa berkata apa pun dia lalu meninggalkan Ci Sian yang masih sibuk memanggang daging "kelinci" sambil mengomel karena di situ tidak terdapat bumbu masak, dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki, Kam Hong menuju ke tempat jenazah itu. Dia melihat jenazah itu masih rebah telentang seperti malam tadi, boneka itu masih terletak di atas dadanya, di antara tangannya seperti yang dia letakkan semalam, lalu dia mengamati boneka yang gosong itu.
Benar! Ada huruf-huruf pada tubuh boneka itu! Agaknya huruf-huruf itu timbul setelah boneka itu terbakar! Sungguh aneh akan tetapi nyata! Dia tahu benar bahwa ketika dia membakar boneka itu, tidak terdapat huruf apa pun pada tubuh boneka, kecuali pada dahinya itu. Cepat dia mengambil boneka gosong itu dan membersihkan angus dari tubuh boneka yang masih utuh. Bukan main girang hatinya ketika dia melihat bahwa huruf-huruf yang timbul setelah boneka dibakar itu merupakan kalimat yang urut dan dapat dibaca dengan mudah. Dia membersihkan seluruh tubuh boneka, kemudian mulai membaca dengan jantung berdebar tegang dan tertarik sekali. Makin lama, sepasang matanya makin terbelalak, mukanya pucat dan tangan yang memegang boneka itu menggigil. Lalu dia menggoyang-goyang kepala dan mengejap-ngejapkan kedua matanya seolah-olah tidak percaya akan apa yang dibacanya, lalu dibacanya lagi huruf-huruf yang tersusun rapi dari atas ke bawah di tubuh boneka itu.
"Mau membakar boneka pertanda jujur dan tidak tamak akan pusaka orang lain. Berarti berjodoh untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Fa Sian sendiri pun tidak berhasil membujukku menyerahkan ilmu ini, kecuali hanya suling emas buatanku. Akan tetapi suling itu tanpa ilmu sejati, apa artinya" Muridku, rendamlah boneka itu dalam air, dan pergunakan airnya untuk memandikan jenazahku. Kemudian, pelajari semua ilmu yang ada padaku dengan hati yang besih. Tunggui aku selama tiga hari tiga malam, baru boleh engkau menguburku. Mulai saat ini engkaulah muridku dan ahli warisku."
SULING EMAS Dapat dibayangkan mengapa Kam Hong menjadi terbelalak lalu bengong seperti orang kehilangan ingatan saking bengong, heran dan kagetnya. Jenazah yang meninggalkan pesan itu menamakan dirinya sendiri Suling Emas! Padahal, bukankah Suling Emas itu adalah Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song yang merupakan nenek moyangnya" Apakah.... apakah jenazah ini jenazah nenek moyangnya itu, jenazah Suling Emas Kam Bu Song" Ah, tidak bisa jadi! Nenek moyangnya itu meninggal dunia di utara, bukan di Pegunungan Himalaya. Dan pula, tulisan itu menyebutkan bahwa penulisnya yang bernama Suling Emas itu hidup di jaman Pendeta Fa Sian yang amat sakti itu hidup pada jaman sesudah Dinasti Cin atau pada kurang lebih tahun empat ratus, jadi sudah seribu empat ratus tahun kurang lebih. Sedangkan nenek moyangnya itu, Pendekar Suling Emas Kam Bu Song hidup dalam tahun sembilan ratus lebih. Jadi ada selislh lima ratus tahunan antara penulis surat ini dan nenek moyangnya yang berjuluk Suling Emas itu. Penulis atau jenazah ini jauh lebih tua.
Akan tetapi, jenazah ini menyebut-nyebut tentang suling emas. Suling emas yang dikatakan buatannya itu diberikan kepada Pendeta Fa Sian yang masyhur itu, pendeta yang amat sakti dan yang terkenal menjelajah sampai jauh ke luar Cina. Pendeta Fa Sian ini terkenal di seluruh dunia karena dia telah mencatat semua perjalanannya sehingga catatannya itu merupakan catatan sejarah yang amat penting. Ada, hubungan apakah antara jenazah ini dengan nenek moyangnya, Kam Bu Song" Dan ada hubungan apakah antara suling emas buatan jenazah ini yang diberikan kepada Pendeta Fa Sian itu dengan suling emas peninggalan nenek moyangnya yang kini terselip di ikat pinggangnya"
Sampai bagaimanapun juga, Kam Hong tidak mungkin dapat menyelidiki pesoalan itu tanpa bahan-bahan. Tidak ada hal yang lebih ajaib daripada hal yang telah terjadi secara "kebetulan". Dia tidak tahu bahwa memang suling emas yang berada di pinggangnya itu adalah buatan jenazah inilah! Kurang lebih seribu empat ratus tahun yang lalu! Dan memang pencipta ilmu-ilmu suling emas yang sejati adalah kakek yang kini membujur di depannya sebagai jenazah ini. Entah sudah berpindah tangan berapa puluh kali ketika suling emas itu terjatuh ke dalam tangan pendekar Kam Bu Song. Seperti dapat dibaca dalam ceritaSULING EMAS , pendekar Kam Bu Song memperoleh suling itu di Pulau Pek-coa-to, dari tangan sastrawan terkenal Ciu Bun dan juga memperoleh kitab terisi sajak-sajak yang menjadi pelengkap suling emas itu dari tangan sastrawan besar Ciu Gwan Liong adik sastrawan Ciu Bun itu. Dan kedua orang sastrawan besar she Ciu ini menerima kitab sajak dan suling emas itu dari seorang tokoh manusia sakti yang dianggap dewa, yaitu Bu Kek Siansu! Mungkin saja Bu Kek Siansu menerima suling emas itu dari orang lain, ataukah dari Pendeta Fa Sian sendiri" Tidak ada yang mengetahui karena memang apa pun boleh saja dan mungkin saja terjadi pada dua orang tokoh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu, yaitu Pendeta Fa Sian dan Bu Kek Siansu! Kakek pembuat suling emas itu telah lenyap dari dunia selama seribu empat ratus tahun, dan kini secara kebetulan yang amat aneh sekali, kakek itu, dengan jasad yang masih utuh, telah berhadapan dengan ahli waris suling emas buatannya itu, ahli waris yang terakhir dan yang memegang suling emas itu!
Bagaikan orang yang kehilangan ingatan Kam Hong masih memegangi boneka itu dan entah sudah berapa kall dia membaca tulisan itu, ketika Ci Sian datang membawa panggang daging, "kelinci"nya dengan wajah berseri.
"Paman, sarapan dulu! Eh, mengapa engkau melamun" Lelucon apa lagi yang ditulis oleh badut kuno itu"
Suara bening merdu ini menyeret Kam Hong kembali ke alam kenyataan. Dia menoleh, tersenyum dan menaruh kembali boneka gosong itu ke atas dada jenazah, lalu menghampiri Ci Sian sambil berkata. "Ada perintah baru dari Locianpwe ini. Baiklah kita sarapan, dan akan kuceritakan kepadamu suatu keanehan yang benar-benar ajaib sekali, Ci Sian."
Mereka lalu makan panggang daging tikus salju itu yang terasa sedap karena memang di situ tidak ada apa-apa lagi untuk dijadikan perbandingan. Setelah makan dan minum air cairan es, dan mencuci tangan, barulah Kam Hong menceritakan tentang tulisan pada boneka gosong it
Petualang Asmara 3 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Bentrok Rimba Persilatan 10
lang di balik tumpukan salju yang membukit. Akan tetapi, gerakannya ini dapat dilihat oleh wanita baju hijau dan dia cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan lari mengejar.
"Iblis cilik, mau lari ke mana kau"
Lauw Sek terkejut dan hendak mengejar untuk melindungi Siauw Goat, akan tetapi hal ini membuat dia lengah dan sambaran ujung pedang wanita baju kuning mengenal pundaknya, membuat pundak itu terluka parah dan sebuah tendangan menyusul, mengenai pinggangnya dan robohlah Lauw-piauwsu! Teman-temannya masih nekat melawan, akan tetapi seorang demi seorang robohlah para piauwsu itu, semua tewas kecuali Lauw Sek yang memang agaknya tidak dibunuh oleh para wanita itu!
Lauw Sek membuka mata dan pertempuran itu ternyata telah berhenti. Dia siuman dari pingsannya, melihat bahwa di situ kini hanya tinggal wanita baju kuning, sedangkan tiga orang wanita lain telah pergi, agaknya mereka semua mengejar Siauw Goat!
"Kami membiarkan engkau hidup agar engkau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat permainan oleh serombongan piauwsu yang lancang!" kata wanita baju kuning itu.
"Siapa.... siapa kalian...." Lauw Sek bertanya lemah, hatinya penuh duka melihat bahwa sebelas orang anak buahnya ternyata telah tewas semua dalam keadaan menyedihkan sekali. Dia bangkit duduk dan pundak kirinya terasa nyeri, akan tetapi darah sudah berhenti mengucur, agaknya membeku di luar karena hawa dingin dan salju yang turun ke atas luka besar itu.
Wanita baju kuning itu tersenyum. Manis sekali memang, akan tetapi bagi Lauw Sek di saat itu, senyum ini seperti senyum iblis dari neraka! "Memang kami sengaja membiarkan kamu hidup agar mengenal siapa kami. Kami adalah utusan dari Sam-thaihouw! Nah, ingatlah baik-baik!" Wanita baju kuning itu menggerakkan kakinya. Ujung sepatunya menendang dan tepat mengenai dada Lauw Sek membuat piauwsu ini terjengkang dan roboh pingsan lagi! Sambil tersenyum wanita baju kuning itu lalu melompat dan lari dari situ untuk menyusul teman-temannya, sedangkan enam belas orang penggotong tandu itu duduk seenaknya saja sejak tadi menonton pertempuran-pertempuran di dekat tandu-tandu kosong mereka, seolah-olah mereka sedang menjadi penonton pertunjukan yang menarik!
Sementara itu, Siauw Goat lari pontang-panting di antara hujan salju. Dia melarikan diri secepatnya tanpa arah tertentu dan dia memasuki daerah bersalju yang turun naik. Dia melihat adanya tiga orang yang mengejarnya. Untung baginya bahwa hujan salju makin deras sehingga pandang mata menjadi kabur dan para pengejarnya kadang-kadang kehilangan bayangannya. Juga jejak-jejak kakinya segera tertutup oleh salju sehingga tiga orang wanita itu seperti orang meraba-raba ketika mengejar dan mencarinya. Dia mendengar lengkingan panjang di sebelah belakang, yang segera disambut oleh lengkingan lain yang lebih dekat di sebelah belakangnya. Dia tidak tahu bahwa lengking pertama itu adalah suara wanita pertama yang dijawab oleh wanita ke empat sehingga tak lama kemudian wanita pertama itu sudah bergabung dengan tiga orang temannya dan kini mereka berempat semua mencari-carinya.
Beberapa kali Siauw Goat roboh terguling dan napasnya terengah-engah, seluruh tubuhnya terasa lemah dan hawa dingin yang luar biasa membuat dia semakin menderita. Jubah bulu tebal itu dikerudungkan tubuh dan kepalanya, kedua tepinya dipeganginya erat-erat dan dia melanjutkan larinya biarpun napasnya seperti akan putus rasanya. Dia memaksa diri mendaki bukit kecil di depan, bukit yang terbuat dari tumpukan salju dan setelah tiba di puncaknya, tiba-tiba salju yang diinjaknya itu runtuh ke bawah dan tubuhnya bergulingan ke bawah. Kiranya "bukit" itu adalah sebatang pohon yang tertutup salju sehingga bergunduk menjadi semacam bukit. Tentu saja ketika kena injak, salju yang menutupi pohon itu menjadi runtuh.
Perutnya terasa lapar bukan main, akan tetapi terutama sekali yang amat menyiksa adalah hawa dingin, kelelahan dan pernapasannya yang makin terengah, Akhlrnya tubuh yang berguling-guling itu berhenti, akan tetapi tidak bangun kembali karena Siauw Goat merasa malas untuk bangun! Terasa nikmat sekali rebah miring di atas salju, dan biarpun hawa amat dinginnya, akan tetapi tubuh yang lelah, napas yang sesak, dan perut yang lapar itu seperti tidak terasa lagi, yang terasa hanya, dingin dan ingin tidur!
Akan tetapi dia teringat akan nasihat-nasihat Lauw-piauwsu bahwa amat berbahaya kalau sampai orang tertidur di atas salju. Percakapan ini terjadi ketika mereka habis berjumpa dengan pengemis muda lihai yang tidur di atas salju dengan pakaian tipis.
"Pengemis itu tentu seorang kang-ouw yang sakti." demikian kata piauwsu itu, "padahal, tidur di atas salju amatlah berbahaya. Bagi orang biasa, kadang-kadang kelelahan dan hawa dingin membuat dia ingin sekali untuk tidur, rasa kantuk menyerang dan kalau sampai orang itu tertidur di atas salju,. Itu merupakan tanda bahwa dia tidak akan bangun kembali karena tentu dia terus mati dalam keadaan membeku darahnya!"
Siauw Goat bergidik. Mati! Mati tanpa dirasakannya! Dan dia masih muda! Dan dia masih harus membalas kematian kakeknya, dan dia harus bertemu dengan orang tuanya. Tidak, dia tidak boleh mati! Maka dengan sisa tenaga seadanya dia lalu bangkit lagi, merangkak bangun dan melihat betapa kaki tangannya lecet-lecet, agaknya terjadi ketika dia jatuh bergulingan tadi. Dipaksanya badan yang sudah hampir mogok itu untuk bangun berdiri dan dia lalu melangkah lagi, bermaksud hendak lari. Akan tetapi baru saja melangkah beberapa belas tindak, dia mengeluh, terguling dan pingsan! Akan tetapi, sebelum pingsan dia melihat bayangan dua orang, bukan wanita-wanita yang mengejarnya, melainkan bayangan dua orang pria. Bayangan inilah yang menghabiskan semangatnya untuk pantang menyerah kepada kelelahannya. Ada orang, tentu dia akan tertolong, demikian jalan pikirannya yang terakhir sebelum dia membiarkan dirinya hanyut ke dalam ketidak-sadaran.
Dua orang itu pun melihat Siauw Goat. Tadinya mereka memandang heran sekali melihat seorang gadis cilik berlarilari seorang diri di tempat yang amat sunyi dan liar itu, dan terkejutlah mereka ketika melihat gadis itu bergulingguling di atas onggokan salju, bangkit lari lagi dan berguling lagi, kini diam tak bergerak di atas salju.
"Ah, mungkin dia sesat jalan dan sakit, mari kita menolongnya, Paman!" Seorang di antara mereka berkata dan terus lari menghampiri tempat Siauw Goat terguling. Orang ke dua tidak menjawab akan tetapi ikut berlari.
Mereka adalah dua orang laki-lakl yang memegang busur dan membawa banyak anak panah, sikap mereka gagah perkasa dan gerakan mereka tangkas, dengan pakaian seperti biasa dipakai para pemburu. Yang bicara tadi masih remaja, kurang lebih lima belas tahun usianya, namun wajahnya membayangkan kegagahan, kejujuran dan ketabahan sedangkan sepasang matanya tajam dan membayangkan kecerdasan. Pria ke dua berusia sekitar tiga puluh lima tahun, di balik wajahnya yang gagah membayang kesabaran.
Memang mereka itu adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman. Mereka adalah keluarga pemburu turun-temurun menjadi pemburu binatang buas yang ahli dan berpengalaman. Mereka berasal dari Lok-yang di mana sekeluarga mereka bekerja sebagai pemburu-pemburu, dan kini mereka berada di Pegunungan Himalaya juga untuk berburu, dan terutama sekali sebagai pemburu-pemburu ahli mereka itu tertarik akan berita tentang mahluk yang dinamakan manusia salju atau Yeti. Sebagai pemburu-permburu berpengalaman tentu saja berita ini amat menarik dan mereka ingin sekali dapat menangkap mahluk itu yang menurut pendapat mereka tentulah semacam binatang liar yang belum pernah dilihat manusia. Akan tetapi biarpun mereka sudah sering kali menemukan jejak Yeti, mereka sampai sekarang belum juga berhasil berjumpa dengan mahluk itu sendiri.
Pemuda remaja yang sudah memiliki bentuk tubuh seorang dewasa karena semenjak kecilnya sudah sering ikut berburu dan menghadapi kekerasan dan kesukaran itu bernama Sim Hong Bu. Ada pun pamannya yang bertubuh sedang dan sikapnya agak terlalu halus untuk seorang pemburu itu bernama Sim Tek, adik dari ayah Hong Bu. Dahulu mereka semua ada empat orang, yaitu ayah Hong Bu yang bernama Sim Hoat, kemudian adik-adiknya Sim Tek dan Sim Kun, dan Hong Bu sendiri. Akan tetapi, tiga tahun yang lalu, ketika Sim Hoat dan Sim Kun sedang berburu biruang di utara, mereka berdua diserang oleh dua ular yang sangat beracun dan nyawa mereka tidak tertolong lagi. Maka tinggallah mereka berdua saja, Sim Hong Bu dan Sim Tek pamannya, dan untuk sekedar menghibur hati Sim Hong Bu yang penuh duka, Sim Tek yang hidup sebatang kara, tidak mempunyai anak isteri itu lalu mengajaknya merantau ke daerah-daerah liar untuk berburu. Akhirnya, dua bulan yang lalu mereka sampai di Pegunungan Himalaya karena tertarik oleh cerita tentang Yeti.
Di dalam kisahJODOH SEPASANG RAJAWALI ada diceritakan tentang Sim Hong Bu ini. Para pembaca kisah tersebut tentu masih ingat akan anak laki-laki pemburu yang pernah menyelamatkan Phang Chui Lan, dayang dari Gubernur Ho-nan yang dikejar-kejar pasukan, kemudian bersama keluarga Sim dan kawan-kawan pemburu yang lain, mereka beramai-ramai menyelamatkan pendekar Suma Kian Lee.
Sim Hong Bu dan Sim Tek kini berlutut di dekat tubuh Siauw Goat, dan Sim Tek segera memeriksa gadis cilik itu. "Hemm, dia pingsan dan tidak terluka, tidak pula sakit. Agaknya kedinginan dan kelaparan." kata Sim Tek. "Hong Bu, lekas kauambil arak dan obat penghangat perut dan juga pel penambah darah itu"
Sim Hong Bu cepat membuka buntalan bekal mereka dan melaksanakan perintah pamannya. Setelah diberi makan obat dan minum arak, digosok-gosok pula kaki dan tangannya dengan obat pemanas kulit, akhirnya Siauw Goat siuman. Begitu siuman, dia meloncat berdiri, terhuyung, akan tetapi dengan nekat dia siap untuk melawan.
"Siapa kalian...." bentaknya dan Hong Bu tersenyum, memandang kagum kepada gadis cilik itu. Sungguh seorang gadis yang gagah dan samasekali tidak cengeng, pikirnya, dan melihat gerakan gadis ltu ketika meloncat dan mengepal kedua tangannya, dia dapat menduga bahwa gadis itu pernah mempelajari ilmu silat.
"Nona, kami menemukan engkau rebah pingsan di sini, dan kami hanya menolong dan menyadarkanmu. Kami adalah pemburu-pemburu...."
"Ahh, maaf....!" Tiba-tiba sikap dara itu berubah. "Dan terima kasih atas kebaikan kalian. Mana.... mana mereka itu"
"Mereka siapa" tanya Hong Bu.
"Mereka yang mengejarku! Empat orang Iblis betina itu....!" Siauw Goat lalu memandang ke sekeliling dengan sikap khawatir karena dia teringat akan keadaan Lauw-piauwsu dan anak buahnya yang terdesak dan bahkan banyak yang sudah roboh.
"Tidak ada siapa-siapa di sini selain kita bertiga." kata Sim Tek heran.
"Jangan khawatir, Nona. Kalau ada yang hendak mengganggumu, tentu akan kuhajar dengan anak panah dan busurku ini!" Sim Hong Bu berkata menghibur sambil mengangkat busurnya yang besar ke atas kepala.
Pada saat itu terdengar suara melengking susul-menyusul, suara yang mendatangkan gema dan getaran panjang. "Itu mereka....!" Siauw Goat berkata dengan wajah berubah agak pucat. "Pinjamkan pedangmu, aku harus melawan mereka mati-matian!" katanya.
Hong Bu dan pamannya bangkit berdiri. Hong Bu mencabut pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Siauw Goat sambil berkata, "Jangan khawatir, aku dan Paman akan menjagamu dan menghadapi mereka!" Belum nampak adanya orang lain di situ dan suara melengking tadi agaknya dikeluarkan dari tempat jauh.
"Siapakah mereka, Nona" Dan mengapa mereka mengejar-ngejarmu" Sim Tek yang lebih berhati-hati itu bertanya kepada Siauw Goat. Dia maklum bahwa orang-orang yang dapat mengeluarkan suara melengking panjang menggetarkan seperti tadi pasti bukan orang sembarangan. Juga dia bersikap hati-hati, tidak seperti keponakannya yang begitu mudahnya menjanjikan bantuan kepada gadis cilik ini tanpa lebih dulu mengetahui apa yang menjadi persoalannya maka gadis tu dikejar-kejar orang. Bagaimana kalau gadis ini yang berada di fihak salah" Bukan tidak mungkin itu!
"Aku tidak tahu siapa iblis-iblis betina itu! Akan tetapi mereka.... mereka membunuhi para piauwsu yang mengawalku dan mengejar-ngejarku untuk dibunuh!"
"Jahat mereka itu!" Hong Bu berseru marah.
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan empat orang wanita itu kini telah muncul dari balik bukit salju dan gerakan mereka amat cepatnya ketika mereka lari menghampiri. Akan tetapi Sim Tek dan Sim Hong Bu telah berdiri dengan tegak melindungi Siauw Goat. Sim Tek memegang sebatang pedang dan Hong Bu siap dengan busur dan anak panahnya. Juga Siauw Goat sudah memegang pedang yang diterimanya dari Hong Bu tadi.
Melihat betapa gadis cilik yang mereka kejar-kejar itu kini dilindungi dua orang pria yang kelihatan gagah, empat orang wanita cantik itu berhenti dan Si Baju Hijau yang merasa paling marah dan sakit hati terhadap Siauw Goat, melangkah maju sambil berkata kepada teman-temannya. "Biar kuhadapi anjing-anjing ini!"
Mendengar ucapan itu, diam-diam Sim Tek menjadi tidak senang. Wanita-wanita ini benar amat sombong sekali, pikirnya dan kalau dipikir, tidak mungkin seorang gadis cilik seperti anak yang pingsan tadi berada di fihak salah.
"Harap Nona sabar sedikit." katanya sambil melangkah maju. "Tidak baik menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis cilik, kalau ada urusan sebaiknya dibicarakan dengan tenang."
"Heh, pemburu babi yang busuk, jangan engkau mencampuri urusan orang lain! Pergilah sebelum terpaksa kubunuh engkau!" bentak wanita baju hijau yang oleh temannya disebut A-ciu itu.
"Paman, Nona cilik ini benar, mereka adalah iblis-iblis betina jahat, biar kuhajar mereka!" Tiba-tiba Sim Hong Bu berteriak marah dan dengan gerakan cepat sekali pemuda remaja ini telah menggerakkan tali busurnya empat kali. Terdengar suara menjepret empat kali dan berturut-turut, empat batang anak panah menyambar seperti kilat ke arah empat orang wanita cantik itu! Akan tetapi, anak-anak panah itu semua menyambar ke arah betis kaki, maka jelaslah bahwa Hong Bu bukan bermaksud membunuh, hanya ingin melukai empat orang yang dianggapnya jahat itu.
Akan tetapi, betapa terkejut rasa hati Hong Bu dan Sim Tek ketika mereka berdua melihat empat orang wanita itu mengangkat kaki, dengan enak dan mudah saja mereka menendang ke arah anak panah yang menyambar itu dan.... anak-anak panah itu semua meluncur kembali ke arah Sim Hong Bu! Tentu saja pemuda remaja ini menjadi sibuk mengelak ke sana-sini. Dia selamat akan tetapi hampir saja menjadi korban anak panahnya sendiri, maka dia memandang dengan mata terbelalak, kemudian dengan suara menggeram seperti seekor singa muda dia menyerang ke depan, menggerakkan busurnya yang dihantamkan ke arah kepala A-ciu.
"Plak!" Tubuh Hong Bu terhuyung ke belakang ketika busurnya ditangkis oleh lengan tangan A-ciu. Melihat Sim Tek sudah menyerang pula dengan pedangnya, juga Siauw Goat sudah menggerakkan pedangnya dan maju menerjang dengan nekat. A-ciu dikeroyok tiga, akan tetapi wanita cantik baju hijau ini hanya tersenyum dan mendengus dengan sikap mengejek, mengelak dengan mudah dari sambaran-sambaran senjata tiga orang pengeroyoknya, dan dua kali kakinya menendang, merobohkan Hong Bu dan Siauw Goat! Akan tetapi, dua orang anak tanggung ini meloncat bangun dan menyerang lagi.
"Plakk! Aughh....!" Sim Tek mengeluh dan terdorong ke belakang. Pundak kirinya kena disambar jari tangan wanita itu dan dia merasa seolah-olah pundaknya lumpuh, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Mukanya menjadi pucat, akan tetapi dia sudah siap untuk menerjang lagi.
Kembali wanita itu menggerakkan kaki dan untuk kedua kalinya tubuh Siauw Goat dan Hong Bu terlempar, kini lebih jauh lagi.
"Huh, kalau aku menghendaki, apa kalian kira sekarang ini kalian masih bernapas" Tadi aku hanya hendak menguji, dan kiranya kalian adalah orang-orang tak berguna sama sekali. Hayo menggelinding pergi dan serahkan setan cilik itu kepadaku!" A-ciu membentak dengan sikap angkuh, berdiri tegak dan bertolak pinggang.
"Kami adalah laki-laki sejati, tidak mungkin membiarkan seorang anak perempuan terancam tanpa melindunginya!" kata Sim Tek dengan sikap yang gagah. Pemburu yang sudah biasa menghadapi bahaya ini tidak takut mati, apalagi dia tahu bahwa empat orang wanita ini amat kejam dan agaknya akan membunuh anak perempuan itu, maka dia sebagai seorang gagah tentu saja tidak mungkin tinggal diam.
"Lebih baik mati daripada membiarkan dia kalian bunuh!" Hong Bu juga membentak dan dengan nekat anak ini sudah menyerang lagi dengan busurnya. Sim Tek juga sudah menyerang lagi dengan pedangnya, menahan rasa nyeri di pundaknya.
"Hemm, kalian benar-benar bosan hidup!" A-ciu membentak dan kini dia menyambut serangan itu dengan terjangan ke depan. Dua kali tangannya bergerak, dengan tepat dia menampar ke arah lengan tangan dua orang penyerangnya itu. Hong Bu dan Sim Tek berteriak kaget dan senjata busur dan pedang mereka terlempar.
"Mampuslah!" A-ciu membentak dan menerjang tubuh dua orang yang sudah terhuyung itu.
"Hemm, sungguh ganas!" Bentakan halus ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan tiba-tiba tubuh A-ciu terdorong ke belakang. Wanita baju hijau ini terkejut dan memandang orang yang baru datang dan yang menangkis serangannya yang ditujukan kepada dua orang pemburu itu.
"Ah, kiranya engkau lagi!" bentaknya dengan marah bukan main ketika mengenal penangkis itu ternyata adalah pemuda sastrawan yang tampan, yang pernah melindungi anak perempuan bengal itu di depan restoran tempo hari!
"Sayang, aku terpaksa meninggalkan kalian karena tertarik jejak Yeti, kalau tidak, tak mungkin engkau sampai membunuhi para piauwsu itu," Kam Hong menarik napas panjang dan suaranya yang tenang itu terdengar bercampur nada marah. "Kalian ini empat orang wanita sungguh kejam seperti iblis!"
"Apa" Siauw Goat menjerit. "Kalian iblis-iblis betina telah membunuh semua Paman piauwsu" Anak perempuan ini menjadi marah sekali dan dengan nekat dia lalu meloncat ke depan. Pedang pinjaman tadi telah terlempar dan kini dia menyerang A-ciu dengan kedua tangan kosong saja, dengan penuh kenekatan karena sakit hati dan marah mendengar betapa semua piauwsu telah tewas oleh empat orang wanita ini.
Melihat dia diserang oleh Siauw Goat, tentu saja A-ciu juga marah. "Huh, engkau setan cilik menjadi gara-gara! Mampuslah!" bentaknya dan dia memapaki serangan Siauw Goat ini dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Kalau tamparan ini mengenai tubuh Siauw Goat, tentu anak perempuan ini akan tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.
"Huhh...." Dia terkejut karena tiba-tiba saja tangannya yang menampar itu terhenti di tengah-tengah, tak dapat digerakkan lagi!
"Plakk!" Tangan Siauw Goat yang menamparnya telah tiba dan tamparan itu dengan kerasnya mengenai pipi kiri A-ciu! Melihat tamparannya berhasil, Siauw Goat menjadi girang. Kiranya "tidak seberapa" wanita iblis ini, pikirnya dan dia pun menyerang terus dengan pukulan kepalan tangannya ke arah perut orang. Melihat ini, A-ciu yang masih terkejut merasakan keanehan tadi, cepat menggerakkan kaki untuk mengelak dan dilanjutkan dengan tendangan. Akan tetapi kembali dia terpekik karena tiba-tiba saja kakinya tak dapat digerakkan, sedangkan pukulan Siauw Goat telah tiba.
"Ngekk!" perutnya kena dihantam dan biarpun tidak membahayakan, namun cukup membuat perutnya mulas karena ketika dia hendak mengerahkan tenaga sin-kang menyambut pukulan, ternyata seperti juga kaki tangannya, tiba-tiba saja dia tidak mampu! Seolah-olah pusat penggerak tenaga di dalam tubuhnya telah dilumpuhkan orang.
Siauw Goat makin bersemangat, memukul, menendang, menampar sampai tubuh A-ciu terhuyung-huyung dihujani pukulan oleh dara cilik itu. Tiga orang perempuan lain yang melihat ini terbelalak, akan tetapi mereka segera tahu mengapa terjadi hal demikian anehnya ketika mereka melihat Kam Hong yang berdiri tegak itu menggerak-gerakkan tangannya ke arah A-ciu. Kiranya pemuda sastrawan itulah yang mempergunakan ilmu aneh, agaknya dengan kekuatan sin-kang jarak jauh yang amat dahsyat, membuat A-ciu tidak berdaya dan menjadi bulan-bulan penyerangan Siauw Goat!
"Desss!!" Sebuah pukulan Siauw Goat tepat mengenai mulut A-ciu, merobek bibir sehingga bibir itu berdarah, akan tetapi Siauw Goat juga menyeringai kesakitan karena punggung tangannya bertemu dengan gigi A-ciu yang menjadi goyang, akan tetapi sedikit melukai kulit ini akan tewas seketika. Akan tetapi tiba-tiba A-ciu terbelalak.
"Cukuplah, Siauw Goat." kata Kam Hong sambil melangkah maju dan menarik dengan gadis cilik itu.
Pada saat itu, tiga orang wanita lainnya sudah berloncatan mendekat. Wanita baju kuning, yang tertua dan tercantik, dan yang agaknya menjadi pimpinan mereka, sudah mencabut pedangnya, diikuti oleh dua orang temannya dan juga oleh A-ciu yang mukanya menjadi merah sekali, bukan hanya merah karena marah akan tetapi juga merah karena bekas pukulan-pukulan Siauw Goat tadi.
"A-kiauw, engkau di sebelah kanannya!" perintahnya dan wanita baju merah sekali meloncat sudah berada di sebelah kanan Kam Hong.
"A-bwee, engkau di sebelah kirinya!" perintahnya lagi dan wanita baju biru meloncat ke sebelah kiri Kam Hong.
"A-ciu, engkau di belakangnya! Kita membentuk Barisan Segiempat, kalian tahu apa yang harus dimainkan!" bentak lagi A-hui, wanita baju kuning yang menjadi pimpinan itu.
Kam Hong hanya berdiri dengan tenang, tidak bergerak, agak menunduk dan lebih menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mengikuti gerak-gerik mereka daripada menggunakan matanya. Suasana menjadi menegangkan sekali. Sim Tek dan Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, juga Siauw Goat amat tertarik. Anak ini mulai dapat menduga bahwa kalau tadi dia berhasil memukuli wanita baju hijau seenaknya dan semau hatinya, hal itu tentu karena bantuan sastrawan itu! Dia adalah anak yang semenjak kecil mempelajari ilmu silat, maka dia dapat mengerti akan hal itu dan kini dia memandang penuh harap kepada Kam Hong karena dia dapat menduga bahwa empat orang wanita itu memang lihai sekali. Apalagi kalau diingat betapa semua piauwsu telah tewas oleh mereka ini, hatinya menjadi sakit bukan main.
Tiba-tiba terdengar lengking dahsyat dan A-ciu telah menyerang dengan tusukan pedangnya ke arah punggung Kam Hong, disusul lengkingan-lengkingan lain berturut-turut karena A-hui, A-kiauw, dan A-bwee juga sudah menggerakkan pedang mereka melakukan serangan kilat.
Hebatnya, serangan mereka itu berbeda-beda sifat dan sasarannya. A-hui memutar pedang menyerang dari depan seperti gelombang mengamuk, A-kiauw menyerang dengan loncatan ke atas seperti petir menyambar-nyambar, A-bwee menyerang dari bawah seperti serangan ular sakti, dan A-ciu menyerang dengan gerakan lurus dan bertubi-tubi ke arah tubuh bagian tengah.
Tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali dengan tangan kirinya walaupun seluruh tubuh masih nampak tenang sekali, Kam Hong telah mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Ketika tangan kirinya bergerak, seperti bermain sulap saja nampak sinar putih yang lebar berkelebat dan sinar ini digerakkan oleh tangan kirinya ke belakang, kiri, kanan dan depan. Dan gerakan-gerakan itu ternyata dapat menangkis semua serangan empat pedang lawan! Ketika empat orang wanita itu merasa betapa pedang mereka membalik oleh tenaga yang amat kuat, mereka melangkah mundur untuk mengatur posisi sambil memandang. Kiranya sinar putih lebar tadi adalah gerakan sebuah kipas putih yang kini dipegang oleh tangan kiri Kam Hong dan dibeberkan lalu dipakai untuk mengipasi lehernya seolah-olah pemuda sastrawan ini merasa kegerahan! Padahal, berdiri tegak dengan kipas terpentang lalu dikipas-kipaskan di leher itu merupakan pasangan pembukaan dari ilmu silat kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan)! Ilmu ini merupakan satu di antara ilmuilmu warisan keluarga Suling Emas, satu di antara ilmu-ilmu yang amat diandalkan dan yang dahulu pernah mengangkat tinggi nama Pendekar Sakti Suling Emas! Ketika sejenak kipas itu berhenti mengebut, empat orang wanita yang kini bergerak melangkah perlahan mengelilinginya itu dapat membaca huruf-huruf indah yang tertuliS di permukaan kipas putih itu.
Hanya yang kosong dapat menerima tanpa meluaphanya yang lembut mampu menerobos yang kasarYang merasa cukup adalah yang sesungguhnyakaya raya!
Huruf-huruf indah yang membentuk kata-kata itu ditulis oleh Kam Hong dan kalimat-kalimat itu adalah kalimat yang sering dipergunakan oleh gurunya, yaitu Sai-cu Kai-ong, keturunan dari para tokoh Khong-sim Kai-pang -(Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Isinya membayangkan sifat dari perkumpulan pengemis itu dan mengandung pelajaran atau pesan bahwa untuk dapat belajar dan menerima pengertian-pengertian baru hati dan pikiran haruslah kosong. Mata dan telinga yang memandang atau mendengar secara kosong, yaitu tanpa adanya pendapat yang muncul dari pengetahuan-pengetahuan yang bertumpuk dalam pikiran, dapat melakukan penelitian dan penyelidikan, dapat waspada dan mempelajari sampai sedalam-dalamnya segala persoalan yang dihadapinya. Orang yang merasa dirinya penuh dengan pengetahuan dan kepintaran adalah seperti katak dalam tempurung, seperti gentong kosong yang hanya nyaring suaranya saja. Demikian pula, kekasaran dan ketakutan mudah bertemu lawan, mudah patah dan menimbulkan kekerasan, sebaliknya kelembutan mampu menerobos segala sesuatu. Kalimat terakhir menggambarkan keadaan pengemis Khong-sim Kai-pang. Biarpun dinamakan pengemis, orang yang semiskin-miskinnya di antara semua tingkat kehidupan, namun karena tidak pernah mengeluh, tidak pernah membandingkan, tidak pernah merasa kurang maka tidak menimbulkan iri hati dan karena merasa cukup itulah maka dia tidak menginginkan apa-apa lagi dan orang beginilah yang patut disebut kaya raya. Sebaliknya, betapa pun kaya-rayanya seseorang, kalau dia itu masih selalu merasa tidak cukup, maka dia akan berusaha memperbesar kekayaannya itu tanpa mempedulikan jalan kotor apa yang ditempuhnya!
A-hui mengeluarkan bentakan nyaring secara tiba-tiba dan empat orang wanita yang tadinya berjalan mengelilingi Kam Hong itu tiba-tiba melakukan penyerangan. Serangan mereka cukup dahsyat dan teratur rapi, karena memang mereka mempergunakan Barisan Segiempat yang amat teratur. Pedang mereka gemerlapan dan menyambar-nyambar seperti halilintar, mengeluarkan suara berdesing dan angin serangan yang membuat rambut dan ujung pita rambut Kam Hong dan ujung kuncir Kam Hong berkibar itu membuktikan betapa kuatnya sin-kang dari empat orang wanita itu.
Namun Kam Hong menghadapi mereka dengan tenang. Tubuhnya tidak banyak berloncatan, hanya berputaran ke sana-sini dengan langkah-langkah kaki yang amat tegap, kipasnya bergerak cepat, kadang-kadang menjadi sinar yang membentuk perisai atau benteng melindungi tubuhnya sehingga semua serangan pedang itu gagal tertangkis dan membalik. Kadang-kadang kipas itu tertutup dan dipergunakan untuk membalas serangan lawan, dengan totokan-totokan ujung kipas ke arah jalan darah yang penting, kadang-kadang dibuka dan dalam keadaan terbuka ini pun dapat dipergunakan untuk mengebut ke arah muka lawan sehingga beberapa kali empat orang wanita itu gelagapan sukar bernapas karena tiupan angin keras dari kipas itu ke arah muka mereka!
Pertempuran itu berlangsung dengan amat serunya dan gerakan empat orang wanita itu makin lama makin cepat, mereka bertukar-tukar tempat dan posisi sehingga seolah-olah mereka itu beterbangan mengelilingi Kam Hong yang masih bergerak dengan tenang. Menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini, berkali-kali Sim Tek menarik napas panjang saking kagumnya.
"Paman, sastrawan itu hebat sekali, ya"
Pamannya mengangguk tanpa melepaskan pandang matanya dari pertarungan itu. "Bukan main lihainya, hanya dengan kipas.... dan empat orang wanita itu amat tangguhnya...."
"Mana lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil, Paman"
Pamannya menggeleng-geleng kepala. "Tidak tahu.... tidak tahu...." katanya penuh kagum karena kini gerakan kipas makin menghebat dan membuat empat orang wanita itu terdesak dan gerakan mereka terpaksa makin melebar.
"Siapa Siluman Kecil itu" Apa sih kehebatannya" Tiba-tiba Siauw Goat yang berdiri tidak jauh dari Hong Bu, bertanya sambil mendekat, akan tetapi seperti yang lain, dia juga masih terus menonton pertempuran itu.
Sejenak Hong Bu menoleh kepada Siauw Goat, alisnya berkerut seperti orang marah mendengar betapa Siluman Kecil, pendekar yang dijunjung tinggi dan dikaguminya sejak kecil itu kini dipandang rendah orang. Pendekar Siluman Kecil adalah pendekar nomor satu di kolong langit, kepandaiannya tidak ada yang mampu melawannya!" demikian dia berkata dan kembali dia memandang ke arah pertempuran yang menjadi semakin seru itu.
"Tidak mungkin!" Siauw Goat membantah. "Pendekar nomor satu di kolong langit adalah mendiang Kong-kongku, kemudian nomor dua adalah dia itu!" Dia menunjuk kepada bayangan Kam Hong, kemudian tiba-tiba dia mendapatkan suatu pikiran yang dianggapnya amat baik dan berteriaklah gadis cilik itu, "Heii, Paman Kam, lekas selesaikan pertandingan itu agar engkau dapat diadu dengan Pendekar Siluman Kecil!"
Bukan hanya Kam Hong yang terkejut sekali mendengar kata-kata dan disebutnya nama Pendekar Siluman Kecil itu, bahkan empat orang lawannya yang sudah terdesak juga amat terkejut dan mereka itu berloncatan mundur.
"Tahan!" seru A-hui sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, demikian pula dengan tiga orang temannya. Kam Hong berhenti bergerak dan pemuda sastrawan ini tidak kelihatan lelah sama sekali. "Pernah apakah engkau dengan Pendekar Siluman Kecil"
Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. "Bukan apa-apa."
"Tapi setan cilik itu tadi hendak mengadumu dengan Siluman Kecil. Apakah engkau musuhnya"
"Hemm, perempuan kejam, jangan kau bicara sembarangan! Pendekar Siluman Kecil adalah seorang pendekar kenamaan yang budiman, mana mungkin aku memusuhinya" Sudahlah, kalian lekas pergi dan jangan mengganggu siapa pun. Kalau tidak, mengingat bahwa engkau telah membunuh banyak orang dalam rombongan piauwsu itu, kalian harus dihukum...."
"Paman Kam, bunuh saja mereka iblis-iblis betina itu!" Siauw Goat berteriak lagi. Empat orang wanita itu menjadi marah dan serentak mereka menyerang lagi.
"Katakan siapa engkau baru kami mau sudah!" teriak A-hui sambil menggerakkan pedang diikuti oleh tiga orang temannya.
"Pergilah....!" Tiba-tiba Kam Hong membentak dan nampak sinar kuning keemasan yang berkeredepan menyilaukan mata, disusul bunyi nyaring empat kali dan empat orang wanita itu terjengkang ke belakang, pedang mereka terlepas dan terjatuh ke atas salju! Mereka terbelalak memandang kepada pemuda sastrawan itu yang kini berdiri dengan gagahnya, tangan kiri masih memegang sebatang kipas yang dikembangkan, dan tangan kanan tahu-tahu telah memegang sebatang suling terbuat daripada emas yang berkilauan.
"Suling Emas...." A-hui merangkak bangun dan memandang kepada suling di tangan sastrawan muda itu dengan mata terbelalak. Nama Pendekar Suling Emas pada waktu itu hanya sebagai dongeng pahlawan kuno belaka, dan biarpun pernah dihebohkan oleh dunia kang-ouw bahwa Pendekar Suling Emas meninggalkan pusaka-pusaka, namun karena tidak ada yang berhasil mencarinya maka lambat laun berita itu lenyap ditelan waktu. Dan kini muncul seorang sastrawan muda yang bersenjata suling dan kipas secara lihai sekali, mirip dengan tokoh pendekar kuno itu! Empat orang wanita itu kini sudah bangkit, menyeringai kesakitan dan mengambll pedang masing-masing, tidak berani banyak lagak lagi dan A-hui lalu menjura ke arah Kam Hong.
"Kepandaian Tai-hiap sungguh hebat, kami mengaku kalah. Kami adalah utusan-utusan dari Sam-thai-houw, kami dikenal sebagai Su Bi Mo-li (Empat Iblis Cantik). Agar kami dapat menyampaikan pelaporan kami kepada Sam-thai-houw (Ibu Suri ke Tiga), maka harap Tai-hiap sudi memberitahukan nama dan...."
"Kalian sudah melihat suling emas, nah, cukup dan pergilah!" kata Kam Hong dan sekali menggerakkan kedua tangannya, suling emas dan kipas sudah lenyap di balik bajunya.
"Suling Emas...." Kembali A-hui tergagap dan dia lalu memberi isarat, mengajak teman-temannya pergi dari situ setelah menjura ke arah Kam Hong.
"Enaknya pergi begitu saja!" Siauw Goat berteriak dan dia sudah mengepal salju dan dilontarkannya bola salju itu ke arah A-hui. A-hui menoleh, kebetulan dia bertemu pandang mata dengan Kam Hong dan dia tidak berani mengelak.
"Plokk!" Bola salju mengenai mukanya sehingga berlepotan salju. Dia hanya mengusap salju itu dan membalikkan tubuh, pergi bersama teman-temannya dengan muka menunduk.
"Paman, kenapa engkau tidak membunuh mereka" Siauw Goat menegur Kam Hong.
Akan tetapi Kam Hong tidak menjawab, melainkan balas bertanya, "Apa maksudmu dengan menyebut-nyebut Pendekar Siluman Kecil tadi"
"Aku tidak mengenalnya! Dia itulah yang menyombong, mengatakan bahwa di dunia ini Pendekar Siluman Kecil merupakan jagoan nomor satu! Panas perutku mendengarnya maka aku menantang Pendekar Siluman Kecil untuk diadu denganmu!"
Kam Hong memandang kepada Sim Hong Bu, pemuda cilik yang bermata tajam dan bertubuh kekar kuat itu. Melihat sinar mata yang demikian tajam penuh kejujuran dan keterbukaan, diam-diam Kam Hong merasa kagum dan suka. "Saudara cilik, apakah engkau mengenal Pendekar Siluman Kecil"
Sim Hong Bu mengangguk bangga. "Dia adalah bintang penolong kami semua di daerah perbatasan Ho-nam."
Sim Tek yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar besar, lalu melangkah maju dan memberi hormat. "Harap Tai-hiap sudi memaafkan kami. Saya adalah Sim Tek dan ini keponakan saya Sim Hong Bu. Kalau dia memuji-muji Pendekar Siluman Kecil, bukan maksudnya untuk merendahkan Tai-hiap. Kalau tidak ada Tai-hiap datang menolong, tentu kami dan Nona cilik ini sudah mati di tangan mereka, oleh karena itu, terimalah hormat dan terima kasih kami, Tai-hiap."
Kam Hong menggerakkan tangan seperti menangkis sesuatu, seolah-olah pernyataan terima kasih orang membuat dia merasa terpukul dan tidak enak sekali, "Sudahlah! Siauw Goat, mari kita memeriksa para piauwsu itu."
Mendengar ini, Siauw Goat teringat akan nasib para piauwsu, maka dia lalu mengangguk dan cepat Kam Hong menyambar dan memondongnya karena Siauw Goat sudah merasa lelah sekali dan sukar untuk menggerakkan tubuh saking lelah dan dingin dan juga laparnya. Dengan beberapa lompatan saja lenyaplah Kam Hong dari depan kedua orang pemburu itu yang memandang dengan melongo penuh kagum.
"Paman, dia itu lihai sekali. Entah siapa lebih lihai antara dia dan Pendekar Siluman Kecil." kata pula Sim Hong Bu penuh kagum.
Pamannya menghela napas panjang. "Hong Bu, lain kali harap jangan engkau lancang menyebutkan nama Pendekar Siluman Kecil. Untung bahwa pendekar sastrawan itu agaknya mengenal baik Pendekar Siluman Kecil. Kalau kita bertemu dengan seorang di antara musuh-musuhnya, tentu kita akan mendapatkan kesusahan."
Akan tetapi Hong Bu yang selalu merasa kagum kepada orang-orang yang berilmu tinggi, seperti tidak mendengar teguran pamannya, dan dia berkata dengan pandang mata melamun, "Sayang kita tidak mengetahui nama dan julukannya."
"Melihat senjata suling yang luar biasa itu, sepatutnya dia dikenal dengan julukan Suling Emas. Buktinya wanita-wanita lihai itu pun terkejut melihat suling emas dari tangannya, sungguhpun kipasnya itu juga luar biasa sekali. Sudahlah, mari kita pergi dari tempat berbahaya ini. Kita pergi untuk menyelidiki tentang Yeti, bukan untuk mencari permusuhan dengan siapa pun."
Keduanya lalu pergi, melangkah lebar-lebar dan meninggalkan tapak kaki di atas tanah yang tertutup salju tebal. Sementara itu, Siauw Goat berdiri memandang dengan wajah pucat kepada mayat-mayat yang berserakan di tempat itu. Mayat-mayat para piauwsu. Akan tetapi dia dan Kam Hong tidak dapat menemukan mayat Lauw Sek sehingga mereka merasa heran sekali.
"Ke mana perginya Lauw-pek" Siauw Goat bertanya dengan suara khawatir.
"Aneh sekali.... tak mungkin dia dapat terhindar dari tangan maut iblis-iblis betina itu. Akan tetapi, jelas dia tidak terdapat di antara mayat-mayat ini. Biar kukubur mereka ini...." Kam Hong lalu menggali lubang dan mengubur semua mayat itu dalam beberapa buah lubang yang dibuatnya di tempat itu. Setelah selesai, hari pun sudah menjelang senja dan dia mengajak Siauw Goat pergi dari situ.
"Ke mana kita hendak pergi, Paman Kam"
"Hemm, aku sendiri tidak tahu. Aku pergi tanpa tujuan tertentu dan engkau.... ke manakah rombongan piauwsu itu hendak membawamu"
"Menurut kata Lauw-pek, aku akan diantarkannya ke puncak Ginung Kongmaa La...."
"Hemm, ada keperluan apa pergi ke gunung itu"
Gadis cilik itu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. "Lauw-pek tadinya memesan kepadaku agar tidak membicarakan hal ini kepada siapapun juga, akan tetapi aku percaya kepadamu, Paman. Aku hendak diajaknya ke sana untuk mencari orang tuaku, sesuai dengan pesanan mendiang Kong-kong kepada Lauw-piauwsu."
Diam-diam Kam Hong terkejut. Sungguh mengherankan mendengar bahwa orang tua gadis cilik ini berada di tempat seperti itu, di sebuah gunung yang amat sunyi dan berbahaya! Dan sikap mendiang Kakek Kun sungguh penuh rahasia.
"Siapakah nama orang tuamu, Siauw Goat"
Kembali sepasang mata yang bening itu menatap tajam, seperti orang yang meragu, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga. "Engkau sudah menceritakan nama dan rahasiamu kepadaku, Paman, biarlah aku menceritakan rahasiaku juga. Akan tetapi yang kuketahui hanya sedikit. Agaknya Lauw-piauwsu lebih tahu dari pada aku karena dialah yang menerima pesanan terakhir dari mendiang Kakekku. Semenjak aku dapat ingat, aku sudah hidup bersama Kong-kong, aku tidak ingat lagi bagaimana rupanya Ayah Bundaku. Kong-kong dan aku hidup di sebuah dusun kecil di Pegunungan Kao-li-kung-san sebagai petani. Kong-kong melatih ilmu baca tulis dan silat kepadaku. Pada suatu hari, datang dua orang kakek aneh yang kemudian berkelahi dengan kong-kong. Kong-kong berhasil mengusir mereka, akan tetapi ternyata Kong-kong menderita luka dalam yang hebat. Dengan tergesa-gesa Kong-kong pada hari itu juga mengajakku pergi, katanya hendak mencari orang tuaku di Gunung Kongmaa La di daerah Himalaya Aku tahu bahwa dia masih menderita luka hebat dan akhirnya...." Gadis cilik itu berhenti, menunduk dan mengerutkan alisnya. Dua butir air mata berlinang turun, akan tetapi dia tidak terisak atau menangis sama sekali.
Kam Hong juga mengerti, maka dia tidak mau bertanya lagi tentang kakek itu. "Jangan khawatir, Siauw Goat. Karena engkau sekarang sebatang kara, juga aku melakukan perjalanan sendirian saja, biarlah aku yang menggantikan Lauw-piauwsu mengantarmu sampai di Kongmaa La mencari orang tuamu. Akan tetapi siapakah nama orang tuamu"
Gadis cilik itu menggeleng kepala. "Kong-kong tidak memberitahukan kepadaku. Kalau aku mendesaknya, dia hanya bilang bahwa kalau aku sudah bertemu dengan mereka aku akan mengerti dan mendengar semua itu. Aku hanya tahu bahwa Ayahku seorang she Bu...." Gadis cilik itu memejamkan mata dan nampak berduka karena betapapun juga hatinya merasa perih bahwa dia tidak mengenal orang tuanya, baik nama lengkapnya maupun wajahnya.
"Hemm, kalau begitu engkau she Bu"
"Ya, namaku sebenarnya adalah Bu Ci Sian! Aku disebut Goat oleh Kong-kong hanya untuk menggunakan nama sebutan palsu saja, kata Kong-kong wajahku mengingatkan dia akan bulan purnama, maka aku disebutnya Goat (Bulan)...."
"Ah, Kong-kongmu sungguh seorang yang amat aneh, dan engkau.... memang wajahmu seperti bulan purnama.... akan tetapi Kakekmu menyebut dirinya Kakek Kun, siapakah namanya yang lengkap"
"Namanya.... biarlah kulanggar pantangannya karena dia sudah meninggal adalah Bu Thai Kun...."
"Ahhh! Kaumaksudkan Kiu-bwe Sin-eng (Garuda Sakti Ekor Sembilan) Bu Thai Kun" Kam Hong bertanya dengan kaget karena dia pernah mendengar nama besar ini yang pernah menggemparkan dunia selatan.
"Hemm, kau mengenal Kakekku!"
Siauw Goat atau lebih tepat mulai sekarang kita sebut nama aselinya saja, Ci Sian, berseru girang dan bangga.
"Hanya mengenal nama julukannya saja, pantas dia lihai."
"Ayahku lebih lihai! Begitu kata mendiang Kong-kong. Biarpun dia tidak memberitahukan kepadaku, akan tetapi melihat betapa Kong-kong terluka oleh dua orang kakek aneh itu lalu mengajakku mencari Ayah Ibu, tentu agaknya Kong-kong hendak minta orang tuaku turun tangan menghajar dua orang kakek aneh itu."
Kam Hong teringat bahwa kakek itu pernah mengatakan kepadanya bahwa dia hendak pergi mencari musuhnya! Dia tidak dapat menduga siapa gerangan ayah dari anak ini, dan karena Ci Sian sendiri pun tidak tahu, maka dia bertanya apakah Ci Sian mengenal nama dua orang kakek aneh yang melukai kong-kongnya.
"Namanya" Aku tidak diberitahu oleh Kong-kong, akan tetapi ketika Kong-kong bertengkar dengan mereka, kudengar Kong-kong menyebut mereka itu Sam-ok dan Ngo-ok."
Bukan main kagetnya hati Kam Hong mendengar ini. Tentu saja dia tahu siapa itu Sam-ok dan Ngo-ok, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat Dari Akhirat), lima orang yang terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat yang amat tinggi ilmu kepandaiannya! Kini dia dapat menduga bahwa tentu dua orang kakek jahat itu sengaja melukai kakek gadis cilik ini dan setelah dia merasa yakin bahwa Kiu-bwe Sin-eng telah menderita luka parah, mereka sengaja meninggalkannya agar kelak kakek itu pergi memanggil putera dan mantunya yang agaknya bersembunyi di Pegunungan Himalaya itu! Ah, dia mulai dapat mengerti. Karena dia sendiri sudah melihat tingkat kepandaian Kiu-bwe Sin-eng dan agaknya kalau dibandingkan dengan Sam-ok dan Ngo-ok, apalagi kalau harus dikeroyok dua, betapa pun lihainya, Bu Thai Kun masih belum dapat menandingi mereka! Kalau dua orang datuk sesat itu menghendaki, tentu mereka dapat membunuhnya, tidak perlu pergi seperti yang dikatakan oleh Ci Sian tadi, yaitu terusir oleh kakeknya biarpun kakeknya menderita luka parah. Memang sudah pasti ada rahasia terselubung di balik semua ini yang tidak diketahui oleh Ci Sian. Akan tetapi, mendengar bahwa keluarga anak ini dimusuhi oleh Sam-ok dan Ngo-ok saja sudah cukup bagi Kam Hong untuk berfihak kepadanya dan melindunginya.
"Baiklah, Siauw.... eh, Ci Sian. Setelah kita saling mengenal keadaan masing-masing, marilah engkau kuantar mencari orang tuamu, aku juga ingin mencari jejak isteriku, kalau-kalau dapat kutemukan di daerah ini. Sekarang malam hampir tiba, kita sebaiknya beristirahat dan makan. Engkau nampak lelah dan lapar."
Ci Sian menurut saja dan mereka lalu menemukan sebuah guha di mana mereka melewatkan malam dan Ci Sian bersama Kam Hong makan roti kering yang mereka kumpulkan dari bekal para piauwsu yang banyak terdapat di tempat perkelahian itu dan yang mereka bawa sekadarnya untuk bekal.
Sudah tiga hari tiga malam Kam Hong dan, Ci Sian melakukan perjalanan yang amat sukar, menempuh bukit-bukit salju dan jurang-jurang yang amat curam. Malam itu mereka telah tiba di dekat Kongmaa La, di Lembah Arun yang luas.
Mereka melewatkan malam di dataran tinggi dan malam demikian indahnya sehingga Kam Hong terpesona, meninggalkan guha di mana dia membuat api unggun, keluar dan duduk di dataran tinggi sambil meniup suling. Suara suling emas itu menembus kesunyian malam, melengking naik turun namun sama sekali tidak mengganggu keheningan. Bahkan sebaliknya, suara suling beralun naik turun itu bahkan membuat keheningan menjadi semakin syahdu, semakin terasa keheningan itu, semakin indah dan penuh rahasia.
Setelah berhenti menyuling, Kam Hong menoleh. Dia sudah mendengar langkah kaki ringan dari Ci Sian. Gadis cilik ini sudah semakin akrab dengannya. Selama dalam perjalanan, Kam Hong merasakan benar kehadiran gadis cilik itu dan mengertilah dia mengapa Kakek Bu Thai Kun menyebutnya Bulan! Memang dara cilik seperti bulan purnama selain cantik jelita juga mendatangkan kegembiraan dalam hati siapa pun karena dia lincah, gembira dan berseri-seri.
"Paman Kam, suara sulingmu indah sekali...." Ci Sian berkata sambil duduk di dekat Kam Hong, di atas rumput.
"Ah, hanya untuk iseng saja, Ci Sian." kata Kam Hong sederhana, akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut gadis cilik ini dapat membuat hatinya terasa begitu enak dan nyaman!
"Mainkan lagi, Paman...." Ci Sian meminta dan gadis itu duduknya mendekat, bahkan bersandar ke bahu Kam Hong. Memang sudah biasa dia bersikap kadang-kadang manja seperti itu, dan tidak jarang pula Kam Hong menggandengnya kalau melewati tempat sukar, bahkan memondongnya kalau harus berloncatan lewat jurang-jurang yang curam. Oleh karena itu, gadis cilik ini seperti menganggap Kam Hong pamannya sendiri, dan dia tidak ragu-ragu untuk merangkul atau memegang lengan pemuda itu.
"Baik, kumainkan lagu yang paling kusukai, dengarlah baik-baik." kata Kam Hong dan pemuda itu lalu meniup lagi sulingnya. Ci Sian lalu merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kam Hong yang duduk bersila. Suasana kembali menjadi penuh pesona yang mujijat dalam keheningan yang terisi suara suling yang merdu itu. Setelah Kam Hong akhirnya menghentikan tiupan sulingnya, seolah-olah suara suling itu masih bergema dan mengalun di udara.
"Paman, engkau pantas benar berjuluk Suling Emas, tidak hanya sulingmu merupakan senjata ampuh, akan tetapi juga dapat mengeluarkan bunyi yang demikian indahnya."
Kam Hong tidak menjawab, jantungnya berdebar tidak karuan, seluruh tubuhnya seperti kemasukan kilat yang membuatnya gemetar. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, terdapat dorongan aneh yang membuat dia ingin merangkul gadis cilik itu, ingin memeluk dan mendekapnya, akan tetapi kesadarannya melawan dan menolak.
"Paman.... kau.... kau kenapa...." Ci Sian bangkit duduk dan memandang wajah yang matanya dipejamkan itu. Di bawah sinar bulan remang-remang wajah itu nampak putih pucat.
Kam Hong sadar kembali, lalu memegang tangan Ci Sian dan menariknya bangkit berdiri. "Tidak apa-apa, hayo kita mengaso, kembali ke guha."
Malam itu Kam Hong gelisah dan tidak dapat memejamkan mata. Alisnya berkerut dan berkali-kali bibirnya bergerak memanggil nama yang selalu menjadi kenangannya, "Hwi-moi.... Hwi-moi...."
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka kini mulai mendaki lereng Kongmaa La. Salju turun dengan cukup deras, membuat tanah penuh dengan salju tebal sehingga langkah-langkah kaki mereka amat berat dan meninggalkan tapak yang dalam. Tiba-tiba Kam Hong memegang tangan Ci Sian dan berhenti. Gadis cilik itu memandang dan bergidik. Di depan mereka terdapat mayat seorang laki-laki dalam keadaan mengerikan. Kaki tangannya terpisah, dan tubuh itu seperti dicabik-cabik. Darah berceceran di atas salju yang putih.
"Bukankah itu korban Yeti lagi, Paman...." Ci Sian bertanya dengan suara lirih dan agak gemetar.
Tiba-tiba, seperti menjawab pertanyaan itu, dari atas sana, dari puncak yang bersalju itu terdengar lengkingan yang dahsyat sekali. Lengkingan itu seperti menggetarkan seluruh lembah. Kam Hong menarik tangan Ci Sian untuk melanjutkan perjalanan. Gadis cilik itu merasa semakin dingin karena kengerian. Kedua tangannya yang sudah memakai sarung tangan tebal itu menutupkan kain bulu tebal untuk melindungi mukanya. Jalan semakin sukar dan tiba-tiba Kam Hong memondongnya. Pendekar ini lalu berloncatan ke depan, mendaki gunung itu dengan cepat sekali.
Setelah melewati sebuah puncak kecil dan jalan agak menurun, kembali mereka berhenti dan kini Ci Sian memeluk pinggang Kam Hong, menggigil ketakutan. Apa yang mereka lihat memang amat mengerikan. Dataran puncak yang putih bersih itu dibasahi oleh genangan darah merah yang berceceran dari belasan mayat-mayat yang sudah tidak karuan lagi macamnya. Bukan hanya bagian tubuh yang putus-putus dan robek-robek, juga usus-usus berhamburan keluar, seperti habis dikoyak-koyak!
Kam Hong melihat di antara hujan salju itu sesosok bayangan berkelebatan di sebelah depan. Dia lalu menggandeng tangan Ci Sian dan melangkah maju terus dengan hati-hati. Angin semakin kencang dan salju beterbangan dan berhamburan memukul muka mereka, membuat mereka agak sukar bernapas.
Tiba-tiba terdengar jeritan yang menyayat hati disertai geraman-geraman yang menggetarkan tanah yang mereka injak. Di sebelah depan nampak belasan orang berlari-lari turun dari puncak di depan. Belasan orang itu tentu orang-orang pandai, hal ini dapat dilihat dari gerakan mereka yang lincah dan ringan, akan tetapi ketika berpapasan dengan Kam Hong, jelas kelihatan mereka itu sedang dilanda ketakutan yang amat hebat. Mereka itu lari tunggang langgang dan agaknya kepanikan membuat mereka sama sekali tidak peduli atau mungkin juga tidak melihat kepada Kam Hong dan Ci Sian. Ada di antara mereka yang luka-luka dan pakaian mereka itu merah oleh darah mereka.
Kam Hong bersikap waspada. Dengan hati-hati dia menggandeng tangan Ci Sian, terus melangkah maju di antara pohon-pohon yang sudah tidak berdaun lagi, yang sudah menjadi pohon putih karena tertutup salju. Tiba-tiba terdengar lengkingan dahsyat seperti tadi dan ada angin menyambar, salju berhamburan dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seekor mahluk yang amat menakutkan, Ci Sian menjerit dan gadis cilik yang biasanya tidak pernah mengenal takut itu sekali ini terhuyung ke belakang dan akhirnya dia menumbuk sebatang pohon, setengah lumpuh dia memeluk pohon itu sambil menengok dan memandang kepada mahluk itu dengan muka pucat ketakutan.
Namun Kam Hong menghadapi mahluk itu dengan sikap tenang dan penuh perhatian. Dia melihat bahwa mahluk itu tinggi besar, tingginya tentu dua meter lebih, kedua lengan tangannya yang tertutup bulu itu besar-besar dan nampak amat kuatnya. Bulu-bulu yang menutupi tubuh itu pendek kasar, berwarna merah coklat kehitaman, dengan totol-totol putih di bagian dada. Rambut di kedua pundak paling tebal dan panjang. Mukanya tidak berambut seperti muka monyet atau muka biruang atau juga mirip muka manusia, hidungnya pesek, mulutnya lebar dengan gigi besar-besar. Kepalanya seperti kerucut agak meruncing ke atas. Kedua lengan yang amat kuat dan besar itu panjang sampai ke lutut. Dan mahluk ini tidak berekor. Anehnya, pada paha kanannya nampak sebatang pedang yang menancap dan menembus, pedang yang berkilauan.
Mahluk itu juga memandang Kam Hong dengan sepasang matanya yang mencorong. Mulutnya bergerak sedikit dan dari kerongkongannya keluarlah suara geraman yang dahsyat. Kedua tangannya bergerak-gerak, jari-jari tangan yang besar dengan kuku panjang kuat dan agak melengkung seperti kuku harimau itu juga bergerak-gerak seperti hendak mencengkeram.
Kam Hong mengukur dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa mahluk ini tentu memiliki kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Buktinya banyak sudah orang yang dibunuhnya dengan ganas, dicabik-cabik, dan bahkan orang-orang yang melarikan diri tadi dia lihat rata-rata memiliki gin-kang yang cukup tinggi, namun mereka itu lari ketakutan, tanda bahwa mereka tidak kuat menanggulangi amukan mahluk ini. Mahluk ini ganas sekali, lebih baik mendahuluinya daripada harus mempertahankan diri diserang oleh mahluk buas ini. Dia tahu bahwa serangan-serangan seorang ahli silat adalah teratur dan karenanya dapat dihadapinya dengan baik karena dia memiliki dasar ilmu silat tinggi, akan tetapi serangan mahluk buas seperti ini tentu ganas dan tidak teratur, mengandalkan kekuatan yang luar biasa dan naluri yang amat peka. Aku harus mendahuluinya, pikirnya dan tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dengan cepatnya. Baju bulunya yang lebar itu berkibar dan dia sudah mengirim pukulan ke arah dada mahluk itu, dengan pengerahan tenaganya.
"Dukkk!" Pukulan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh mahluk itu tergetar dan terdorong ke belakang, akan tetapi anehnya, mahluk itu tidak roboh terjengkang, sebaliknya Kam Hong merasa betapa pukulannya itu seperti bertemu dengan gunung baja yang amat kuat!
Mahluk itu mengeluarkan gerengan dahsyat dan secepat kilat tangan kirinya menyambar ke arah muka Kam Hong! Pemuda ini sejenak tadi tertegun, akan tetapi tidak kehilangan kecepatannya yntuk menarik tubuh ke belakang sehingga tamparan kuku-kuku tajam itu hanya mengenai angin belaka. Diam-diam Kam Hong merasa terheran-heran. Kalau mahluk ini merupakan seekor binatang buas, tentu hanya memiliki tenaga otot kasar saja. Akan tetapi bagaimana mungkin dapat menahan pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan sin-kang amat kuat yang akan membobolkan semua pertahanan tenaga kasar" Hanya lawan yang memiliki tenaga sin-kang kuat saja yang akan mampu bertahan. Apakah mahluk ini memiliki tenaga sakti pula"
Akan tetapi lawannya tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk banyak memikirkan hal aneh itu karena kini dengan gerengan-gerengan buas, agaknya marah, mahluk itu sudah menerjang lagi. Dan kembali Kam Hong yang berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan kuku-kuku tajam itu terkejut dan heran. Mahluk itu mampu bergerak dengan luar biasa ringannya! Ini hanya gerakan dari ilmu gin-kang yang sudah masak, pikirnya. Mungkinkah mahluk yang seperti binatang ini selain memiliki sin-kang yang kuat juga memiliki ilmu meringankan diri" Bergidik rasa hati Kam Hong saking ngerinya. Apakah dia bertemu siluman" Ataukah semacam mahluk sakti seperti Kauw Cee Thian atau Sun Go Kong itu raja kera di dalam dongeng See-yu" Jangan-jangan mahluk ini, seperti Sun Go Kong, dapat menghilang pula, pikirnya ngeri.
Akan tetapi, hampir saja dadanya kena dicengkeram ketika Kam Hong dalam lamunannya menjadi agak kurang cepat mengelak. "Brettt!" Sedikit bajunya robek oleh cengkeraman itu! Cepat Kam Hong mencabut suling emasnya! Dia tidak mau mempergunakan kipasnya. Mahluk itu terlalu kuat untuk dihadapi dengan kipasnya, dan dia khawatir selain tidak ada gunanya juga kipasnya akan rusak. Maka kini dia membalas dengan totokan-totokan yang dilakukan dengan sulingnya.
Akan tetapi mahluk itu pandai sekali mengelak. Nalurinya sedemikian tajamnya sehingga mengatasi semua kesigapan gerak seorang ahli silat mana pun. Setiap totokan suling itu dapat dielakkan, dan kalau sekali dua kali suling itu mengenai sasaran, maka kenanya itu meleset karena gerakan mahluk itu terlalu cepat, dan agaknya mahluk itu memiliki kekebalan luar biasa sehingga tusukan suling yang dapat menghancurkan batu karang itu baginya seperti tubuh yang dipijit tangan dengan jari halus saja! Sedikit pun tidak terasa agaknya!
Kam Hong merasa penasaran. Dikerahkan seluruh tenaganya, dan dia mengeluarkan gerakan-gerakan yang terhebat dari ilmu-ilmu simpanannya. Bahkan ilmu-ilmu yang diwarisinya dari nenek moyangnya, keluarga Suling Emas, dimainkannya untuk menundukkan mahluk ini. Akan tetapi, mahluk itu benar-benar selain kebal kulitnya, juga memiliki tenaga dahsyat dan kecepatan yang membingungkan pendekar ini. Kaki mahluk itu sudah tertancap pedang, namun gerakan-gerakannya masih secepat itu.
Suling di tangan Kam Hong sampai mengeluarkan suara seperti ditiup saja ketika dia mainkan dengan cepatnya, dan mahluk itu agaknya menjadi semakin marah, "Singgg....!" Suling Kam Hong bergerak meluncur ke arah mata mahluk itu. Mahluk yang dinamakan Yeti itu menundukkan kepala sehingga meluncur di atas kepalanya.
"Wuuuttt.... dessss!" Tangan kiri Kam Hong dengan miring dan amat kerasnya memenggal ke arah leher. Akan tetapi tangan itu meleset dan mengenai pundak, dan mahluk itu hanya bergoyang sedikit saja! Bahkan tangan kanannya meraih ke depan dan ketika Kam Hong menangkisnya dengan suling, dia terjengkang karena dorongan tenaga yang amat kuat! Kakinya menginjak salju yang longsor dan jatuhlah pemuda itu terjengkang di atas salju. Sambil menggereng mahluk itu menubruk dengan seluruh bobot tubuhnya yang berat, kedua tangan dan kedua kakinya ditekuk mencengkeram, agaknya hendak langsung mencengkeram dan merobek-robek tubuh lawan itu. Akan tetapi Kam Hong sudah menggulingkan tubuhnya cepat sekali ke kiri dan sulingnya bergerak ke depan, menusuk mata. Mahluk itu luput menubruk, akan tetapi masih dapat menggunakan lengannya yang panjang menyampok suling. Kam Hong meloncat dengan cepat sekali sebelum mahluk itu sempat bangun dan sulingnya diayun sekuat tenaga.
"Takkkk!!" Suling itu menghantam kepala akan tetapi.... ternyata kepala itu pun terlindung kekebalan dan suling itu membalik seperti mengenai kepala baja, terpental dan Kam Hong merasakan telapak tangannya panas.
Akan tetapi senjata suling emas itu adalah sebuah senjata pusaka yang ampuh, maka biarpun di luarnya tidak nampak bahwa pukulan itu mendatangkan akibat yang hebat bagi Yeti, namun ternyata mahluk itu terhuyung juga ke belakang. Hal ini agaknya membuat Yeti menjadi marah dan setelah dia dapat mengatur lagi keseimbangan tubuhnya, dia memandang Kam Hong dengan mata merah, kemudian dari mulutnya terdengar teriakan yang menggetarkan jantung, kemudian dia pun bergerak maju lebih cepat dan lebih dahsyat lagi, daripada tadi!
Kam Hong menjadi semakin repot. Bukan hanya kecepatan dan kekuatan mahluk itu yang membuatnya kewalahan, akan tetapi juga hujan salju yang mendatangkan rasa dingin dan menghalangi pandangan matanya dan juga pernapasannya. Akan tetapi sebaliknya, mahluk itu nampaknya sama sekali tidak terganggu oleh salju, bahkan makin deras salju turun, membuat dia agaknya menjadi semakin lincah!
Terjangan dahsyat dari Yeti itu kini bukan merupakan cengkeraman seperti tadi akan tetapi merupakan hantaman dengan kedua tangannya yang besar dan lengan yang panjang itu menghantam seperti tongkat besar, menyambar dari kanan kiri. Bukan seperti gerakan silat akan tetapi karena didorong oleh tenaga yang amat besar maka berbahaya bukan main!
Kam Hong meloncat ke belakang, akan tetapi Yeti menubruk lebih cepat lagi dan tangan kanannya menyambar dari sebelah kiri Kam Hong, sedangkan tangan kiri mahluk itu mencengkeram ke arah perut! Kam Hong tidak sempat mengelak lagi, maka dia lalu menangkis dengan sulingnya ke arah tangan kiri yang mencengkeram, sedangkan hantaman tangan kanan Yeti itu ditangkisnya dengan lengan kirinya yang diangkat ke atas.
"Dess! Dukkk!" Akibat dari adu tenaga ini, tubuh Yeti terhuyung kembali ke belakang akan tetapi tubuh Kam Hong terpental dan terguling-guling! Ini saja sudah menjadi bukti bahwa Kam Hong benar-benar kalah kuat dalam hal tenaga. Celakanya, pada saat itu, kembali kaki Kam Hong menginjak tumpukan salju yang lunak sehingga dia tergelincir dan bergulingan jatuh dari lereng salju. Yeti itu menggeram dan meloncat begitu saja dari atas untuk mengejar Kam Hong yang masih bergulingan! Melihat ini, Ci Sian menjerit penuh kengerian dan dia pun menjadi nekat, berlari dan meloncat turun pula untuk mengejar Kam Hong dan kalau perlu membela pemuda itu! Akan tetapi, karena tempat itu tinggi sekali, maka dia tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan gadis cilik ini pun jatuh dan terguling-guling di sepanjang lereng salju, seperti Kam Hong!
Yeti itu telah tiba lebih dulu dan cepat sekali dia menubruk dan tahu-tahu dia telah menggunakan kedua tangannya yang kuat untuk memegang kedua lengan Kam Hong! Pendekar ini merasa betapa pergelangan tangannya seperti dijepit oleh baja-baja yang amat kuat, dan betapa pun dia berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia belaka. Sulingnya terlepas dan dia sudah hampir putus harapan. Dengan tenaganya yang dahsyat tentu Yeti itu akan mencabik-cabik tubuhnya pula. Kekalahan dan putus asa membuat Kam Hong tidak melawan lagi, hanya dia mengerahkan tenaga untuk menahan jika mahluk itu hendak menarik putus kedua lengannya.
Tiba-tiba pada saat yang amat genting dan berbahaya bagi nyawa Kam Hong itu, angin bertiup kencang sekali dan terdengarlah suara bergemuruh dari atas. Tanah bersalju yang berada di bawah kaki Kam Hong itu tergetar dan bergoyang-goyang. Yeti dan Kam Hong menoleh dan melihat ke arah Suara gemuruh itu. Tiba-tiba Yeti mengeluarkan suara melengking dahsyat dan dia melemparkan Kam Hong ke samping, kemudian dengan sikap amat ketakutan dia meloncat ke kanan, terus berloncatan dengan kecepatan seperti terbang meninggalkan tempat itu!
Kam Hong terpelanting, akan tetapi dia tidak mempedulikan hal ini karena dia terus memandang ke arah puncak gunung penuh salju itu. Suara makin bergemuruh dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa sebagian dari puncak itu longsor dan kini salju menimpa turun seperti air bah, diikuti batu-batu es yang amat besar menggelundung ke bawah, ke arah tempat itu!
"Ci Sian....!" teriaknya dan dia melihat gadis cilik itu merangkak-rangkak karena Ci Sian juga baru saja dapat mengatasi kepeningannya karena bergulingan dari atas tadi. Dengan jantung berdebar tegang dan tubuh agak gemetar karena cemas Kam Hong meloncat, menghampiri Ci Sian, menyambar tubuh gadis cilik itu, dipondongnya dan dia pun cepat meloncat ke kanan karena untuk lari sudah kekurangan waktu. Kedua kakinya berhasil mencapai lereng bukit, akan tetapi ketika kedua kakinya menginjak salju, yang diinjaknya runtuh ke bawah dan ternyata bukit itu pun ikut bergerak longsor terbawa dari atas! Kam Hong tak dapat menguasai dirinya. Dengan Ci Sian masih dipondongnya dia melayang turun bersama salju dan potongan-potongan es, merasa tubuhnya terpukul dari sana sini, dan dia masih mencoba untuk melindungi Ci Sian yang menjerit-jerit ketakutan itu dengan kedua lengan dan badannya. Mereka terbanting dan Kam Hong tidak ingat apa-apa lagi!
*** Runtuhnya sebagian dari tumpukan es dan salju di puncak gunung itu selain mendatangkan suara gemuruh yang hiruk-pikuk seolah-olah dunia hendak kiamat, juga menimbulkan debu salju yang mengebul sampai tinggi dan turun seperti embun. Banyak batu-batu dan pohon-pohon gundul yang tertutup salju dilanda arus salju dan batu-batu es ke bawah kemudian memasuki dan memenuhi jurang-jurang yang curam di bawah kaki gunung.
Mati hidup manusia merupakan hal yang wajar. Dan seperti segala sesuatu di alam maya pada ini, di dalam kewajaran terkandung rahasia-rahasia kegaiban yang amat luar biasa dan mentakjubkan. Kegaiban yang sama sekali tak terselami oleh pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam alam raya ini, dari beraraknya awan, berputaran dunia, tumbuhnya pohon-pohon, kehidupan segala mahluk, semua adalah berjalan dengaan wajar dan karenanya mengandung ketertiban yang amat indah. Di dalam segala kewajaran yang penuh kegaiban itu termasuk juga kehidupan dan kematian. Wajar, karenanya gaib.
Menurut jalan pikiran, orang yang sudah terlanda berton-ton salju dan es yang runtuh ke bawah, seperti yang dialami oleh Kam Hong dan Ci Sian, tentu tidak mungkin dapat terluput dari kematian. Namun kenyataannya tidaklah demikian! Secara "kebetulan" mereka itu berada di lereng, bukan di dasar kaki gunung, sehingga salju yang longsor itu hanya lewat saja di atas mereka. Dan "kebetulan" pula Kam Hong dan Ci Sian lebih dulu teruruk oleh bukit kecil yang runtuh sehingga mereka seperti terlindung dan biarpun keduanya pingsan karena dilalui oleh longsoran salju dan balokbalok es sebesar itu, namun mereka tidak sampai tewas. Lebih "kebetulan" lagi bahwa kepala mereka tidak sampai terpendam salju, karena kalau hal ini terjadi, dalam keadaan pingsan itu tentu mereka takkan bernapas dan akan tewas juga.
Lama setelah salju yang longsor itu sudah lewat dan keadaan menjadi sunyi kembali, angin yang tadi bertiup kencang itu agaknya sudah lewat dan tidak ada sedikit pun angin bergerak, Kam Hong siuman dari pingsannya. Dia mendapatkan dirinya rebah miring, dari pinggang ke bawah terpendam salju. Ada bongkahanbongkahan es sebesar kerbau bunting di sekitar tempat itu, dan dia merasa heran mengapa dia masih dapat hidup, padahal tertimpa satu saja di antara batu-batu es besar itu, tentu tubuhnya akan remuk. Kepalanya masih pening dan ketika dia membuka matanya, dia melihat sekelilingnya seperti berputaran. Akan tetapi dia dapat melihat Ci Sian menggeletak di dekatnya, telentang dan juga dalam keadaan pingsan. Muka yang manis itu kelihatan pucat, matanya terpejam dan kulit di antara kedua alisnya masih berkerut tanda bahwa dara itu mengalami ketakutan hebat.
Kam Hong melihat pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya luka-luka ringan, akan tetapi yang jelas, dia masih hidup! Hawanya dingin sekali. Mereka berdua terbujur di antara batu-batu es yang bening dan berkilauan amat aneh dan indahnya, memantulkan cahaya matahari tertutup halimun. Kalau dia membayangkan betapa dia telah hampir dikoyak-koyak Yeti, kemudian dijatuhi puncak yang longsor seperti itu dan kini masih hidup, juga Ci Sian masih hidup, sungguh hampir tak dapat dia mempercayainya. Sejenak seluruh perasaannya membubung ke atas atau ke mana saja di mana Tuhan berada dan batinnya membisikkan puji syukur yang mendalam. Kemudian ia membuka matanya dan menoleh ke arah Ci Sian. Timbul kekhawatirannya. Jangan-jangan anak itu telah mati. Pikiran ini mendatangkan tenaga di tubuhnya yang terasa lemah dan dia menarik kedua kakinya dari urukan salju. Akan tetapi ketika dia bangkit, dia berteriak kesakitan dan terduduk kembali, tangannya memegangi paha kirinya. Dia memandang dan melihat celana kirinya robek, penuh darah. Ternyata kaki kirinya, di dekat pergelangan, telah patah tulangnya!
Agaknya teriakan kesakitan dari Kam Hong tadi membantu Ci Sian memperoleh kembali kesadarannya. Gadis cilik ini membuka mata dan dia mengeluh kagum melihat betapa dunia di sekelilingnya sedemikian indahnya. Seperti dalam mimpi! Dia terpesona dan terheran-heran, mengucek kedua matanya dengan punggung tangannya di mana sarung tangannya robek. Pandang matanya silau oleh kilatan balok-balok es di sekitar tempat itu. Sudah matikah aku" Inikah alam baka" Demikian hatinya berbisik karena dia teringat akan dongeng tentang alam baka. Memang melihat sekitarnya dikelilingi benda-benda yang berkilauan itu dia merasa seperti berada di alam lain.
Akan tetapi suara keluhan membuat dia menengok dan barulah dia sadar ketika dia melihat Kam Hong duduk sambil memegangi kaki kirinya, wajahnya menyeringai kesakitan. Dia merangkak bangkit dan ternyata gadis cilik ini tidak terluka apa-apa, kecuali pakaiannya yang robek di sana-sini dan kulit tubuhnya ada yang lecet-lecet sedikit. Dia terhuyung menghampiri Kam Hong dan.... tiba-tiba dia menjerit, mukanya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak lebar.
Kam Hong terkejut, sedetik lupa akan rasa nyeri di kakinya. "Eh, ada apakah, Ci Sian" tanyanya khawatir.
Gadis cilik itu tidak menjawab, mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, hanya telunjuk kanannya yang menuding, telunjuk yang menggigil. Kam Hong menoleh ke arah kirinya dan baru sekarang dia memandang ke kiri karena tadi Ci Sian berada di sebelah kanannya sehingga semua perhatiannya tertuju ke sebelah kanannya. Ketika dia menoleh dan melihat apa yang ditunjuk oleh gadis cilik itu, hampir saja dia pun menjerit seperti Ci Sian. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Tak jauh di sebelah kirinya, agak ke belakangnya di mana terdapat sebuah batu es, sebongkah balok es yang besarnya seperti gajah. Ternyata di sebelah dalam bongkahan batu es yang amat bening ini terdapat sesosok tubuh manusia yang masih utuh, lengkap dengan pakaiannya, nampaknya seperti sedang tidur saja di dalam bongkahan es itu, terbungkus es bening yang seolah-olah menjadi petinya!
"Jangan takut, dia.... dia.... hanya sepotong jenazah...." kata Kam Hong, namun biar mulutnya menghibur seperti itu, suaranya sendiri gemetar, setengah karena rasa nyeri di kakinya, setengah lagi karena memang dia sendiri merasa serem!
Ci Sian menghampiri peti es itu. Dengan mata terbelalak dia memperhatikan tubuh manusia dalam es itu. Sungguh mengerikan. Wajah laki-laki setengah tua itu seperti masih hidup saja. Matanya setengah terbuka, bola matanya masih berkilau karena dilapisi es yang berkilauan. Mukanya masih agak kemerahan. Muka yang tampan dan gagah, akan tetapi mulutnya itu ditarik seperti orang yang merasa berduka. Pakaiannya aneh, dan Ci Sian teringat akan gambar-gambar manusia jaman dahulu. Pakaian yang amat kuno sekali, mungkin sudah ribuan tahun usianya! Akan tetapi pakaian itu, seperti juga tubuh itu, masih utuh dan sama sekali tidak kelihatan lapuk atau rusak.
Yang menarik hati Ci Sian adalah ketika dia melihat kedua tangan mayat itu yang dirangkap di depan dada dan kedua tangan itu dengan jari-jari tangan yang kelihatannya memegang dengan hati-hati dan erat-erat, memegang sebuah boneka kecil, yang kurang lebih dua puluh senti panjangnya. Boneka itu telanjang, dan di tubuh boneka yang putih itu nampak guratan-guratan dan huruf-huruf kecil yang terukir secara aneh.
Karena tertariknya dan keadaan mayat dalam es ini, Ci Sian seperti melupakan Kam Hong. Baru setelah dia mendengar pemuda itu mengeluh, dia menengok dan melihat Kam Hong merobek celana kirinya dan membuka kaki yang berdarah itu, dia terkejut dan cepat menghampiri.
"Eh, kakimu kenapa, Paman" tanyanya sambil berlutut dan memandang khawatir.
"Agaknya tulangnya patah, Ci Sian. Biar kubersihkan darahnya.... auhhh...." Pemuda itu menggigit bibir menahan nyeri.
"Biar aku yang membersihkannya, Paman. Engkau canggung benar dan kedua tanganmu takkan mencapai kakimu yang dilonjorkan." Ci Sian lalu membersihkan luka itu, mempergunakan saputangannya. Darahnya sudah membeku, dan dengan hati ngeri dia melihat bahwa di atas pergelangan kaki kiri itu kulitnya pecah dan melihat bentuk kaki itu mudah diduga bahwa memang tulangnya patah. "Ah, agaknya memang patah tulangnya. Habis bagaimana baiknya, Paman"
Kam Hong mengeluarkan buntalan dari balik jubahnya yang robek-robek, membuka buntalan dan mengeluarkan sebuah botol kecil terisi obat bubuk hijau. "Ci Sian, aku sendiri tidak mungkin menarik kakiku, maka kaubantulah aku menarik kakiku agar tulangnya yang patah itu dapat bertemu kembali. Lalu kaupergunakan obat penyambung tulang ini, campur dengan salju dan paramkan di sekitar kaki yang patah, kemudian balut dengan kuat-kuat."
"Baik, Paman."
Ci Sian, atas petunjuk Kam Hong, lalu mencari enam batang kayu, sepanang lima belas senti, kayu dari ranting yang cukup kuat, kemudian dia mencampur isi botol itu dengan salju cair dan dia membuat balut dari lapisan baju bulunya yang tebal, kain pembalut yang cukup panjang.
"Sekarang kau duduklah di depan kakiku, pegang kakiku dengan kedua tangan dan kerahkan tenagamu untuk menarik sekuatnya. Jangan lepaskan sebelum aku beri tanda, dan kalau aku sudah memberi tanda, engkau lepaskan perlahan-lahan agar tulang itu dapat bertemu kembali dengan bagian atas. Mengerti"
Ci Sian merasa ngeri, maklum bahwa sastrawan itu sedang menderita nyeri yang amat hebat, maka dia mengangguk dengan yakin sambil menelan ludah. Lalu dia duduk di depan kaki kiri yang patah tulangnya itu, menggunakan kedua tumit kakinya untulk mencari tempat menahan tubuhnya, kemudian dia memegang kaki sastrawan itu di bawah pergelangan kaki.
"Nah, mulai tarik!" kata Kam Hong yang sudah mengerahkan tenaga untuk menahan kakinya.
Ci Sian menarik sekuatnya, sedikit demi sedikit. Dia melakukan ini sambil memandang kaki itu, kemudian dia mengangkat muka memandang wajah Kam Hong. Hampir dia melepaskan kaki itu ketika melihat betapa wajah sastrawan itu jelas memperlihatkan penderitaan hebat! Sastrawan itu menggigit bibirnya, kedua tangan memegangi paha kaki kiri bertahan, matanya setengah terpejam dan di dahinya timbul keringat, padahal hawanya demikian dingin! Ci Sian mengerahkan tenaga menarik terus sampai terasa olehnya pergelangan kaki yang ditariknya itu mengeluarkan bunyi krek-krek!
"Le.... pas.... perlahan.... lahan...." terdengar Kam Hong berkata dengan terengah-engah. Ci Sian mengendurkan tenaganya sedikit demi sedikit dan tulang yang patah itu pun dapat bertemu kembali.
"Lekas, beri obat itu.... dan pasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan balut!"
Ci Sian melakukan semua itu dengan cekatan, terdorong oleh rasa khawatirnya dan rasa kasihan kepada sastrawan ini. Semua obat bubuk hijau yang sudah dicampur dengan salju cair itu diparamkan di seputar luka, kemudian dia memasang kayu-kayu itu di seputar kaki dan mulai membalut. Atas petunjuk Kam Hong, dia membalut dengan pengerahan tenaga sehingga kaki itu terjepit dan tidak akan berobah lagi letak tulangnya. Setelah selesai, Kam Hong menarik napas lega dan mengusap keringat di dahi dengan ujung jubahnya.
"Terima kasih.... Ci Sian.... kaki itu akan tersambung kembali tulangnya dalam waktu beberapa hari saja."
Ci Sian memandang wajah itu. Mereka saling pandang dan Ci Sian melihat wajah itu agak pucat, akan tetapi tersenyum! Baru sekarang dia melihat sastrawan yang biasanya muram itu tersenyum, senyum yang bebas dan wajar, tidak seperti biasanya kalau sastrawan itu tersenyum maka senyumnya itu senyum masam!
"Paman Kam, kalau mau bicara tentang terima kasih, akulah yang harus berterima kasih kepadamu! Engkau telah menumpuk budi, dan kalau tidak ada engkau, agaknya sudah berkali-kali aku mati!"
"Mana mungkin orang mati berkali-kali" Dia itu sekali mati sampai seribu tahun tak dapat bangun lagi untuk mati kembali!" Kam Hong menuding kepada mayat dalam es itu.
Ci Sian cepat menoleh. Baru dia teringat akan mayat yang aneh itu sekarang setelah Kam Hong bicara tentang itu. Segera dia mendekatinya lagi dan memeriksa dengan teliti dari segala jurusan.
"Dia seperti masih hidup saja, Paman!" teriaknya penuh gairah dan kegembiraan. "Sungguh ajaib! Bagaimana mendadak di tempat seperti ini muncul mayat yang kuno ini dalam balok es" Dan boneka di tangannya itu.... sungguh indah sekali....!"
Kam Hong menjadi tertarik sekali melihat sikap Ci Sian. Dengan menggunakan kekuatan kedua tangannya bertopang pada batu menonjol tertutup salju, dia bangkit berdiri di atas satu kaki. Kebetulan dia berdiri di tempat yang agak tinggi dan sebelum dia menghampiri Ci Sian, tanpa disengajanya dia melihat ke sekeliling tempat itu. Matanya terbelalak dan dia mengeluarkan seruan kaget yang membuat Ci Sian melompat dan menghampirinya, karena gadis ini mengira tentu pendekar itu melihat hal yang lebih aneh lagi daripada mayat dalam balok es itu.
"Ada apakah, Paman" tanyanya dengan cemas dan dia sudah memegang lengan Kam Hong sambil melihat pula ke sekeliling. Dan dia pun melihat apa yang membuat pendekar sakti itu terkejut, dan dia sendiri terbelalak.
"Wah, tempat ini dikelilingi jurang....!" Dan gadis tanggung itu lalu melepaskan lengan Kam Hong, berlari-lari untuk memeriksa sekeliling tempat mereka itu.
"Hati-hati, Ci Sian, jangan sampai jatuh. Awas salju longsor!" Kam Hong memperingatkan dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki saja dia pun mengejar untuk melindungi dara itu.
Mereka memeriksa sekeliling tempat itu dan memang tempat itu kini merupakan tempat yang terpencil. Akibat longsor hebat itu, tempat ini menjadi terkurung oleh jurang-jurang yang amat curam dan agaknya tidak mungkin dapat dituruni, apalagi dengan sebelah kaki patah tulangnya seperti Kam Hong. Mereka terjebak dalam tempat yang agaknya tidak ada jalan keluarnya!
"Wah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan, Paman"
"Tenanglah, Ci Sian. Andaikata tempat ini tidak terkurung, tetap saja kita tidak dapat melanjutkan perjalanan sebelum tulang kakiku tersambung dan sembuh kembali. Sebaiknya kita mencari tempat untuk tinggal selama beberapa hari ini di sekitar sini."
"Aku mau melihat mayat aneh itu dan bonekanya!" kata Ci Sian yang dalam waktu singkat sudah dapat melupakan kembali kecemasan dan berlari-larian dia kembali ke tempat di mana mereka menemukan jenazah itu. Mau tidak mau Kam Hong tersenyum. Melakukan perjalanan dengan seorang anak perempuan yang tidak cengeng seperti Ci Sian memang menyenangkan. Anak itu tabah dan tidak mudah putus asa, berbakat untuk menjadi seorang pendekar wanita. Maka dia pun segera mengejarnya, karena dia pun tertarik sekali untuk menyelidiki keadaan mayat yang memakai pakaian kuno sekali itu.
Baru teringat dia akan suling emasnya. Hatinya gelisah sekali dan dia tidak jadi menghampiri Ci Sian, melainkan mencari-cari sambil berloncatan. Tentu sulingnya itu terlepas ketika dia tertimpa salju dan es-es balokan besar yang longsor dari atas. Tiba-tiba dia melihat sinar menyilaukan di tepi jurang. Cepat dia berloncatan ke sana dan giranglah hatinya karena sinar itu ternyata adalah ujung sulingnya yang tersembul keluar dari timbunan salju! Cepat diambilnya pusaka itu, diperiksanya dan ternyata tidak rusak sama sekali. Dengan hati lapang dan girang diselipkannya suling itu ditempat semula, yaitu di balik jubahnya, di ikat pinggang dekat kipasnya. Baru dia menghampiri Ci Sian yang agaknya sedang terpesona oleh jenazah dalam bongkahan es besar itu.
Memang jenazah itu aneh sekali. Wajah jenazah itu seperti wajah orang hidup saja, pakaiannya yang masih rapi dan seperti baru. Juga boneka yang dipegang oleh jenazah itu merupakan boneka anak kecil yang montok dan sehat, tersenyum lebar seperti muka yang ramah dan suci dari arca Ji-lai-hud. Melihat jenazah seperti terlantar seperti itu, dan melihat keadaan pakaiannya, model pakaian itu, Kam Hong menaksir bahwa jenazah itu tentu sudah terlantar dan terbungkus es selama sedikitnya seribu tahun, timbul rasa kasihan dalam hati Kam Hong.
"Kita harus mengubur jenazah itu dengan baik, Ci Sian. Kasihan dia dibiar, kan terlantar seperti itu."
Akan tetapi Ci Sian seolah-olah tidak mendengar ucapan Kam Hong itu. Begitu asyiknya dia mengamati boneka di tangan mayat itu sehingga dia mendekatkan mukanya sampai hidungnya yang mancung kecil itu menyentuh balok es yang menjadi peti mayat itu. Tiba-tiba dia berseru dan matanya dilebar-lebarkan untuk dapat memandang lebih jelas lagi, "Paman, lihat....! Ada tulisannya pada dahi boneka itu!"
"Ah, benarkah" Kam Hong bertanya dan dia pun mendekat, lalu memandang dengan cermat ke arah boneka. Akhirnya dia berkata, "Benar, itu tentu huruf-huruf yang ditulis, akan tetapi terlampau kecil untuk dapat dibaca melalui es ini. Es membuat huruf-huruf itu kabur tak dapat dibaca dari luar."
"Kalau begitu, apakah Paman tidak dapat memecahkan balok es ini"
"Ah, untuk apa, Ci Sian" Kita tidak boleh mengganggu jenazah manusia!"
"Untuk dapat membaca tulisan itu, Paman. Siapa tahu tulisan itu merupakan pesan untuk kita atau siapa saja yang menemukan jenazah ini!"
Kam Hong tertarik. Bukan tidak mungkin apa yang diucapkan gadis cilik itu. Kalau tidak mengandung maksud tertentu, mengapa dahi boneka diberi tulisan huruf-huruf amat kecilnya" Dia memandang lagi wajah dan pakaian mayat itu, kemudian dia seperti memperoleh firasat bahwa mayat itu adalah jenazah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maka dia lalu berkata kepada jenazah itu, "Locianpwe, harap maafkan teecu yang berani lancang memecahkan balok es. Teecu berjanji akan mengubur jenazah Locianpwe baik-baik."
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Kam Hong menaruh telapak tangannya pada balok es itu, mula-mula di atas kedua kaki jenazah. Dia mengerahkan sin-kangnya menekan. Terdengar suara "krek, krek" dan balok itu pun pecah di bagian bawah! Ci Sian hampir bersorak.
"Engkau hebat sekali, Paman!"
Siauw Hong atau Kam Hong hanya tersenyum, lalu memecah balok es di bagian atas. Terdengar suara agak keras dan balok es itu kini terbelah menjadi dua dan mayat itu pun nampak! Sungguh aneh, tidak ada bau busuk keluar dari mayat itu! Kalau mayat itu tidak sampai rusak selama ribuan atau ratusan tahun, hal itu tidaklah aneh karena mayat itu terbungkus es dan selalu terbenam dalam tempat yang suhunya teramat dinginnya. Akan tetapi kalau kulit itu sama sekali tidak rusak dan tidak mengeluarkan bau busuk, hal ini adalah suatu keanehan dan tentu ada rahasia tertentu tersembunyi di balik kenyataan ini, pikir Kam Hong. Dia menduga bahwa tentu sesudah mati mayat ini diberi semacam obat yang luar biasa, yang membuat selain mayat itu tidak rusak selamanya, juga tidak mengeluarkan bau busuk.
Setelah peti es itu terbuka dan kini mayat tidak lagi tertutup es, tulisan huruf-huruf kecil di atas dahi boneka itu dapat dibaca, sungguhpun untuk itu Kam Hong dan Ci Sian terpaksa harus mendekatkan mata mereka kepada boneka itu. Tulisan itu bergaya kuno, baik coretannya maupun susunan kalimatnya, akan tetapi agaknya Ci Sian terdidik baik sekali dalam hal sastra, karena ternyata dia mampu juga membaca dan mengerti artinya, membuat Kam Hong merasa kagum juga.
"Aku mohon agar boneka ini dibakar agar pusaka keramat yang mengandung pelajaran dahsyat ini tidak terjatuh ke dalam tangan orang jahat."
"Aihh, sungguh sayang sekali kalau boneka ini dibakar!" Ci Sian berseru dan memandang kepada wajah jenazah itu seolah-olah jenazah itu seorang yang masih hidup. "Kenapa engkau meninggalkan pesan yang demikian aneh dan gila" Kalau memang ingin melenyapkan boneka indah ini, kenapa tidak dulu-dulu kaubakar sendiri"
Biarpun ucapan Ci Sian itu keluar dari sifatnya yang keras, bengal dan tidak mau tunduk kepada, siapapun juga, akan tetapi Kam Hong seperti disadarkan akan sesuatu yang memang aneh sekali. Memang ucapan Ci Sian itu benar belaka. Mengapa bersusah payah menulis huruf-huruf kecil di dahi boneka itu kalau memang hendak melenyapkan boneka itu" Kenapa tidak langsung saja dibakar daripada menanti sampai ribuan tahun agar ditemukan orang dan dibakar oleh orang itu" Bukankah langsung saja dibakar jauh lebih mudah daripada membuat tulisaan huruf kecil-kecil itu" Tentu ada rahasianya di balik semua ini.
"Ci Sian, siapa pun adanya Locianpwe ini, beliau tidak minta kita menemukannya. Biarpun kita juga tidak sengaja mencarinya, akan tetapi kita toh bertemu dengan beliau. Maka ini namanya jodoh. Dan pesanan orang yang sudah mati merupakan perintah keramat yang harus dipenuhi, apalagi Locianpwe ini sampai memohon dan permintaannya itu pun tidak sukar. Mari kita bakar boneka ini seperti yang dipesankan."
Ci Sian mengerutkan alisnya. "Terlalu! Itu namanya mempermainkan perasaan orang! Kenapa boneka yang indah ini dibawa mati, dibiarkan terlihat orang" Membiarkan orang merasa suka lalu menyuruh orang itu membakarnya, sungguh merupakan perbuatan yang kejam sekali. Wah, jenazah orang ini dahulu diwaktu hidupnya tentu membuat banyak dosa, Paman. Sampai sudah ribuan tahun menjadi mayat pun masih melakukan perbuatan kejam! Jangan dibakar saja, Paman, aku ingin melihat dia bisa apa!"
"Hemm, tidak boleh begitu, Ci Sian. Pesan Locianpwe ini tentu mengandung maksud amat penting. Siapa tahu boneka ini yang disebutnya benda keramat benar-benar mengandung pelajaran yang mujijat dan kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah dunia ini akan menjadi semakin kacau"
"Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau bukanlah orang jahat, Paman! Mungkin aku masih layak disebut orang jahat, akan tetapi engkau sama sekali bukan orang jahat! Engkau seorang pendekar yang budiman. Kalau memang boneka ini mengandung pelajaran tinggi, bukankah akan berguna sekali kalau dipelajari olehmu" Memang orang ini mempermainkan dan memperolok orang saja! Pantas dia tersiksa, sampai sudah mati pun tidak dapat sempurna."
"Hushh, sudahlah Ci Sian. Engkau tidak tahu. Seorang Locianpwe melakukan hal-hal yang aneh bukan tidak mengandung maksud yang tersembunyi. Siapa tahu ilmu yang terkandung dalam boneka itu mempunyai pengaruh dan daya yang aneh sehingga siapa pun yang mempelajarinya akan berobah menjadi tersesat dan jahat. Biarkan aku membakarnya."
"Sesukamulah!" kata Ci Sian agak marah. "Kau bakarlah boneka tak berguna itu. Aku sendiri lebih senang membakar sesuatu yang lebih berguna bagi perutku yang lapar ini." Setelah berkata demikian, gadis cilik ini meninggalkan Kam Hong karena dia melihat banyak sekali burung-burung yang berbulu putih dengan kepala hitam beterbangan dan ada yang hinggap di tepi jurang dari tempat yang kini seolah-olah menjadi semacam pulau kecil itu. Pulau yang dikelilingi jurang curam, bukan dikelilingi laut.
Matahari telah condong ke barat ketika Kam Hong akhirnya berhasil membuat api. Tidak mudah membuat api di tempat dingin itu. Akan tetapi pendekar ini memang menyimpan batu api, bahan bakar dan dengan mengumpulkan kayu-kayu ranting yang terbawa longsor dan membersihkannya, akhirnya dengan susah payah dapat juga dia membuat api dan membakar boneka itu. Selagi dia membakar boneka itu, Ci Sian datang membawa dua ekor burung yang gemuk. Burung itu bentuknya seperti bebek, besarnya mirip ayam dan setelah dibubuti semua bulunya, tiada bedanya dengan bebek.
"Seorang seekor, Paman. Paman tentu lapar, bukan" katanya sambil memandang ke arah boneka yang dibakar itu dengan mulut cemberut. "Bukankah lebih berguna membakar bebek-bebek ini"
Kam Hong tersenyum. "Engkau pandai sekali, Ci Sian. Di tempat seperti ini engkau bisa mencari makanan."
Kam Hong membakar boneka dan Ci Sian membakar dua ekor burung. Daging burung sudah matang, akan tetapi boneka itu tidak juga hancur! Hanya gosong saja! Padahal pakaian yang dipakai boneka itu sudah hancur sama sekali. Boneka kecil itu kini telanjang, akan tetapi tubuhnya masih utuh!
"Sungguh ajaib. Boneka apa ini, dibakar tidak rusak" Ci Sian menjadi tertarik dan sambil makan daging burung mereka lalu menambah kayu bakar memperbesar api untuk terus membakar boneka itu sampai hancur.
Sinar api menciptakan pemandangan yang mentakjubkan. Sinar api itu terpantul oleh bongkahan es yang besar-besar itu, dan timbullah beraneka warna gemilang seperti pelangi di mana-mana. Mereka merasa aneh, seolah-olah mereka berada di dalam dunia lain, atau dalam dunia mimpi anak-anak yang amat luar biasa. Seperti berada di dalam ruangan penuh dengan cermin. Bayangan mereka berdua nampak di mana-mana, akan tetapi bayangan-bayangan itu menjadi aneh bentuknya seperti ada ratusan buah cermin palsu mengelilingi mereka, ada yang membuat mereka menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang membuat mereka menjadi tinggi kurus dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua ekor burung panggang sudah mereka makan habis, akan tetapi boneka itu masih tetap utuh!
"Hentikan saja, Paman. Engkau sudah membakarnya sejak tadi. Kakek itu memang agaknya sengaja mempermainkan kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi akan gelap. Tadi aku melihat di sebelah sana terdapat sebuah guha yang cukup besar untuk kita berlindung dari angin dan beritirahat."
Kam Hong mengerutkan alisnya. Walaupun nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan tetapi dia tidak percaya bahwa orang seperti locianpwe itu sengaja mempermainkan orang dengan bonekanya. "Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu di sana. Aku akan melanjutkan membakar boneka ini."
Dengan marah Ci Siang bangkit berdiri, lalu dia menuding-nuding ke arah mayat yang rebah di atas tanah tertutup salju itu sambil berkata. "Awas kau, kalau kau yang menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak memberi sesuatu kepadanya sebagai balasan, engkau tentu akan kukutuk habis-habisan!"
"Ci Sian....!" Kam Hong mencela, akan tetapi gadis cilik itu sudah meloncat dan lari meninggalkannya.
Kam Hong merasa penasaran sekali dan menghabiskan kayu yang disediakannya tadi untuk membakar boneka itu. Akan tetapi sampai api padam kehabisan bahan bakar, boneka itu tetap utuh saja sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.
"Maaf, Locianpwe. Bukan maksud teecu tidak mau mentaati perintah Locianpwe, akan tetapi agaknya boneka ini memang tidak dapat terbakar." katanya. Dia mengambil boneka yang sudah telanjang karena pakaiannya sudah hancur menjadi abu itu, dan yang gosong kehitaman, meletakkannya kembali ke dalam tangan jenazah yang masih rebah telentang, kemudian sambil berloncatan dengan satu kaki Kam Hong pergi menyusul Ci Sian. Dia harus bersama gadis cilik itu untuk melindungi dan menjaganya.
Dia mendapatkan Ci Sian meringkuk di dalam guha, agaknya kedinginan. Melihat bayangan yang dipantulkan oleh sinar terakhir dari matahari yang mulai bersembunyi di balik bukit salju, bayangan Kam Hong berdiri di depan guha. Ci Sian segera menyambutnya dengan pertanyaan. "Sudah hancurkah dia"
"Belum, sampai apinya padam boneka itu masih tetap utuh."
"Huh! Lalu kauapakan dia"
Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kukembalikan kepada Locianpwe itu."
"Sudah kukatakan, Paman. Jenazah itu adalah mayat seorang badut dulunya, atau seorang yang memang jahat dan suka mempermainkan orang."
"Biar besok akan kubakar kembali jenazah itu bersama bonekanya."
Tidak ada jawaban, akan tetapi Kam Hong mendengar suara Ci Sian kedinginan. Dia lalu memasuki guha dan duduk di dekat gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik kaki tangannya dan agak menggigil.
"Kau merasa kedinginan"
"Tentu saja.... uhhh.... Paman, bagaimana kalau kita tidak dapat keluar dari sini" Kalau begini terus aku akan menjadi seperti badut itu!" Ci Sian menggigil. "Sayang aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik untuk meninggalkan permainan seperti dia untuk mempermainkan orang!"
"Hushh, jangan bicara seperti itu, Ci Sian. Nah, duduklah bersila, aku akan membuat tubuhmu hangat. Dan mulai sekarang engkau harus menurut petunjukku, aku akan mengajarmu bagaimana untuk mengerahkan hawa murni di dalam tubuh agar dapat melawan dingin."
Ci Sian menjadi girang sekali dan dengan taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati menggerakkan kakinya yang patah tulangnya, kemudian dia menempelkan telapak tangan kanannya di atas punggung gadis cilik itu. "Dengarkan baik-baik." bisiknya, "engkau sudah diajari mendiang Kakekmu tentang jalan darah, nah, kalau aku menyebutkan jalan darah tertentu, engkau harus mencoba untuk membuka jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga dari hawa murni dalam tubuhmu. Aku akan mendorongnya dengan tenagaku...."
Tak lama kemudian Ci Sian merasa ada hawa yang amat kuat dan hangat masuk melalui punggungnya. Dia menjadi girang sekali dan dengan tekun dia mempelajari ilmu ini, mendengarkan petunjuk-petunjuk dari Kam Hong dan akhirnya dia dapat membuat tubuhnya menjadi hangat, sama sekali tidak lagi menderita oleh serangan hawa dingin dari luar tubuhnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Sian sudah keluar dari guha. Kam Hong masih duduk bersamadhi setengah tidur. Pendekar itu tidak tahu berapa lama Ci Sian pergi, akan tetapi ketika dia sudah bangun, dia melihat Ci Sian sudah membuat api unggun dan dara itu sedang membakar atau memanggang sesuatu yang sedap baunya. Kiranya Ci Sian sudah pandai membuat api dengan batu api dan bahan bakarnya, dan ketika Kam Hong mendekat, ternyata gadis cilik itu sedang memanggang daging, entah daging apa!
"Heii, darimana engkau memperoleh daging itu" Daging apakah itu"
Ci Sian tertawa dan mengangkat kulit yang berbulu putih ke atas. "Entah binatang apa, macamnya seperti kelinci, gemuk sekali, Paman dan baunya sedap, ya"
Melihat kulit berbulu putih itu, Kam Hong menahan ketawanya dan tidak mau memberitahu kepada Ci Sian bahwa yang sedang dipanggangnya itu adalah daging tikus salju! Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, daging tikus pun baik saja untuk pengisi perut, daripada kelaparan.
"Paman, aneh sekali. Ketika tadi aku lewat di dekat jenazah itu dan melihat boneka hangus itu, ternyata pada tubuh boneka itu pun ada huruf-hurufnya."
"Eh...." Apa bunyinya"
"Entah aku tidak membacanya. Aku tahu pasti huruf-huruf itu merupakan siasat baru dari badut itu untuk mempermainkan kita. Aku lebih tertarik mengejar kelinci ini daripada membaca tulisan tiada gunanya itu."
Malam tadi Kam Hong memang sudah amat tertarik untuk mencari tahu rahasia dari jenazah itu. Dia tidak percaya akan kelakar Ci Sian bahwa jenazah itu dahulunya adalah seorang badut yang sengaja hendak meninggalkan lelucon untuk mempermainkan orang lain. Tentu ada rahasia yang tersembunyi, terkandung dalam semua pesan yang ditinggalkan oleh jenazah itu. Apakah dia yang keliru mengartikan pesan itu" Ah, tidak mungkin. Kalimat-kalimat pada dahi boneka itu tidak bisa diartikan lain. Mungkin orang lain akan merasa sayang kepada boneka itu. Ci Sian tidak rela boneka itu dibakar, akan tetapi anak perempuan itu hanya menyayangkan keindahan boneka itu saja, merasa sayang bahwa benda mainan yang demikian bagusnya dibakar! Akan tetapi orang lain, terutama orang-orang kang-ouw, setelah melihat tulisan itu yang menyebutkan bahwa boneka itu merupakan benda keramat yang mengandung pelajaran dahsyat, pasti akan menyimpannya dan berusaha untuk mencari rahasia pelajaran dahsyat itu. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal seperti itu. Dia adalah keturunan Suling Emas, dan dia sendiri sudah memiliki kepandaian peninggalan nenek moyangnya yang tinggi dan hebat, perlu apa dia menginginkan kepandaian lain" Juga, dia tidak sudi melanggar pesan orang yang sudah mati.
Kini, mendengar bahwa boneka yang dibakar sekian lamanya tetap utuh itu ada huruf-hurufnya, Kam Hong menjadi tertarik sekali. Tanpa berkata apa pun dia lalu meninggalkan Ci Sian yang masih sibuk memanggang daging "kelinci" sambil mengomel karena di situ tidak terdapat bumbu masak, dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki, Kam Hong menuju ke tempat jenazah itu. Dia melihat jenazah itu masih rebah telentang seperti malam tadi, boneka itu masih terletak di atas dadanya, di antara tangannya seperti yang dia letakkan semalam, lalu dia mengamati boneka yang gosong itu.
Benar! Ada huruf-huruf pada tubuh boneka itu! Agaknya huruf-huruf itu timbul setelah boneka itu terbakar! Sungguh aneh akan tetapi nyata! Dia tahu benar bahwa ketika dia membakar boneka itu, tidak terdapat huruf apa pun pada tubuh boneka, kecuali pada dahinya itu. Cepat dia mengambil boneka gosong itu dan membersihkan angus dari tubuh boneka yang masih utuh. Bukan main girang hatinya ketika dia melihat bahwa huruf-huruf yang timbul setelah boneka dibakar itu merupakan kalimat yang urut dan dapat dibaca dengan mudah. Dia membersihkan seluruh tubuh boneka, kemudian mulai membaca dengan jantung berdebar tegang dan tertarik sekali. Makin lama, sepasang matanya makin terbelalak, mukanya pucat dan tangan yang memegang boneka itu menggigil. Lalu dia menggoyang-goyang kepala dan mengejap-ngejapkan kedua matanya seolah-olah tidak percaya akan apa yang dibacanya, lalu dibacanya lagi huruf-huruf yang tersusun rapi dari atas ke bawah di tubuh boneka itu.
"Mau membakar boneka pertanda jujur dan tidak tamak akan pusaka orang lain. Berarti berjodoh untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Fa Sian sendiri pun tidak berhasil membujukku menyerahkan ilmu ini, kecuali hanya suling emas buatanku. Akan tetapi suling itu tanpa ilmu sejati, apa artinya" Muridku, rendamlah boneka itu dalam air, dan pergunakan airnya untuk memandikan jenazahku. Kemudian, pelajari semua ilmu yang ada padaku dengan hati yang besih. Tunggui aku selama tiga hari tiga malam, baru boleh engkau menguburku. Mulai saat ini engkaulah muridku dan ahli warisku."
SULING EMAS Dapat dibayangkan mengapa Kam Hong menjadi terbelalak lalu bengong seperti orang kehilangan ingatan saking bengong, heran dan kagetnya. Jenazah yang meninggalkan pesan itu menamakan dirinya sendiri Suling Emas! Padahal, bukankah Suling Emas itu adalah Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song yang merupakan nenek moyangnya" Apakah.... apakah jenazah ini jenazah nenek moyangnya itu, jenazah Suling Emas Kam Bu Song" Ah, tidak bisa jadi! Nenek moyangnya itu meninggal dunia di utara, bukan di Pegunungan Himalaya. Dan pula, tulisan itu menyebutkan bahwa penulisnya yang bernama Suling Emas itu hidup di jaman Pendeta Fa Sian yang amat sakti itu hidup pada jaman sesudah Dinasti Cin atau pada kurang lebih tahun empat ratus, jadi sudah seribu empat ratus tahun kurang lebih. Sedangkan nenek moyangnya itu, Pendekar Suling Emas Kam Bu Song hidup dalam tahun sembilan ratus lebih. Jadi ada selislh lima ratus tahunan antara penulis surat ini dan nenek moyangnya yang berjuluk Suling Emas itu. Penulis atau jenazah ini jauh lebih tua.
Akan tetapi, jenazah ini menyebut-nyebut tentang suling emas. Suling emas yang dikatakan buatannya itu diberikan kepada Pendeta Fa Sian yang masyhur itu, pendeta yang amat sakti dan yang terkenal menjelajah sampai jauh ke luar Cina. Pendeta Fa Sian ini terkenal di seluruh dunia karena dia telah mencatat semua perjalanannya sehingga catatannya itu merupakan catatan sejarah yang amat penting. Ada, hubungan apakah antara jenazah ini dengan nenek moyangnya, Kam Bu Song" Dan ada hubungan apakah antara suling emas buatan jenazah ini yang diberikan kepada Pendeta Fa Sian itu dengan suling emas peninggalan nenek moyangnya yang kini terselip di ikat pinggangnya"
Sampai bagaimanapun juga, Kam Hong tidak mungkin dapat menyelidiki pesoalan itu tanpa bahan-bahan. Tidak ada hal yang lebih ajaib daripada hal yang telah terjadi secara "kebetulan". Dia tidak tahu bahwa memang suling emas yang berada di pinggangnya itu adalah buatan jenazah inilah! Kurang lebih seribu empat ratus tahun yang lalu! Dan memang pencipta ilmu-ilmu suling emas yang sejati adalah kakek yang kini membujur di depannya sebagai jenazah ini. Entah sudah berpindah tangan berapa puluh kali ketika suling emas itu terjatuh ke dalam tangan pendekar Kam Bu Song. Seperti dapat dibaca dalam ceritaSULING EMAS , pendekar Kam Bu Song memperoleh suling itu di Pulau Pek-coa-to, dari tangan sastrawan terkenal Ciu Bun dan juga memperoleh kitab terisi sajak-sajak yang menjadi pelengkap suling emas itu dari tangan sastrawan besar Ciu Gwan Liong adik sastrawan Ciu Bun itu. Dan kedua orang sastrawan besar she Ciu ini menerima kitab sajak dan suling emas itu dari seorang tokoh manusia sakti yang dianggap dewa, yaitu Bu Kek Siansu! Mungkin saja Bu Kek Siansu menerima suling emas itu dari orang lain, ataukah dari Pendeta Fa Sian sendiri" Tidak ada yang mengetahui karena memang apa pun boleh saja dan mungkin saja terjadi pada dua orang tokoh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu, yaitu Pendeta Fa Sian dan Bu Kek Siansu! Kakek pembuat suling emas itu telah lenyap dari dunia selama seribu empat ratus tahun, dan kini secara kebetulan yang amat aneh sekali, kakek itu, dengan jasad yang masih utuh, telah berhadapan dengan ahli waris suling emas buatannya itu, ahli waris yang terakhir dan yang memegang suling emas itu!
Bagaikan orang yang kehilangan ingatan Kam Hong masih memegangi boneka itu dan entah sudah berapa kall dia membaca tulisan itu, ketika Ci Sian datang membawa panggang daging, "kelinci"nya dengan wajah berseri.
"Paman, sarapan dulu! Eh, mengapa engkau melamun" Lelucon apa lagi yang ditulis oleh badut kuno itu"
Suara bening merdu ini menyeret Kam Hong kembali ke alam kenyataan. Dia menoleh, tersenyum dan menaruh kembali boneka gosong itu ke atas dada jenazah, lalu menghampiri Ci Sian sambil berkata. "Ada perintah baru dari Locianpwe ini. Baiklah kita sarapan, dan akan kuceritakan kepadamu suatu keanehan yang benar-benar ajaib sekali, Ci Sian."
Mereka lalu makan panggang daging tikus salju itu yang terasa sedap karena memang di situ tidak ada apa-apa lagi untuk dijadikan perbandingan. Setelah makan dan minum air cairan es, dan mencuci tangan, barulah Kam Hong menceritakan tentang tulisan pada boneka gosong it
Petualang Asmara 3 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Bentrok Rimba Persilatan 10