Suling Emas Dan Naga Siluman 7
Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
mparkandunia persilatan dengan julukan Ang-siocia! Para pembaca kisahJODOH SEPASANG RAJAWALItentu masih mengenal wanitalihai ini. Yu Hwi adalah cucu dari Sai-cuKai-ong Yu Kong Tek yang semenjakkecildiculikdandiambilmuridolehHek-sin Touw-ong, raja maling yang luarbiasa lihainya itu.
Seperti telah diceritakan dalam kisahSepasang JodohRajawali, dara cantik lincah Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia dansuka mengenakan pakaian merah muda ini, melarikan diri dari depan kakeknya ketika dia diberitahu dan diperkenalkan kepada tunangannya sejak kecil yang bukanlain adalah Kam Hong! Dia merasa malu,dan juga cinta kasihnya terhadap Pendekar Siluman Kecil membuat dia merasakecewa, sungguhpun harus diakuinya bahwa Kam Hong tidak kalah tampan dangagahdibandingkandenganPendekarSiluman Kecil. Dara yang keras hati inimelarikan diri dan tidak pernah kembalilagi. Seperti telah diceritakan di bagiandepan dari cerita ini, perbuatannya itumembuatKam Hong, calonsuaminyayang telah dijodohkan dengan dia sejakmereka berdua masih kecil, merana danpendekar ini rnencari-carinya selama limatahun tanpa hasil!
DanmemangdugaandanharapanKamHongitutidakkosongbelaka.Ramai-ramai orang kang-ouw yang me nuju ke Himalaya memang menarik juga hati Yu Hwi. Yu Hwi adalah seorangdara murid Si Raja Maling, dan dalamhal permalingan memang dia lihai bukanmain, maka mendengar bahwa ada orangmencuri pedang pusaka dari istana danmembawanya lari ke Himalaya, hatinyaamat tertarik dan dia pun ikut pula melakukan pengejaran dan pencarian. Ingindia melihat siapa malingnya yang demikianberanidanlihai,dan ingin diamenguji sampai di mana kepandaian maling itu! Juga, dia tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang menggegerkanduniakang-ouwdanyangtelahmenarikhatisemuaorangkang-ouw untuk ikut-ikutan memperebutkannya itu.
Akhirnya,dalamperantauannyakeHimalaya di mana dia tidak pernah berjumpa dengan orang-orang yang mencarinya, yaitu tunangannya, Kam Hong, dankakeknya, Sai-cu Kai-ong, dia malah tibadi perbatasan Lembah Suling Emas itu tanpa disengaja dia memasuki daerahtempat tinggal Cui-beng Sian-li TangCun Ciu di kaki gunung, di bawah lembah itu!
Di tempat inilah bertemulah Yu Hwidengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Ketika mendengar bahwa dara cilik ituadalah muridHek-sin Touw-ong yanghendak mencari pencuri pedang pusaka,Cui-beng Sian-li tertarik dan menguji kepandaiannya. Yu Hwi tekejut bukanmain, dan juga kagum karena ternyatakepandaian pencuri ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri,bahkan masih lebih tinggi daripada ilmukepandaian gurunya, Si Raja Maling! Makatunduklah hati dara yang keras ini dandia pun mengangkat guru kepada CuibengSian-liyangjugamerasasukakepada Yu Hwi.
Demikianlah sedikit riwayat dari YuHwi yang kini bertemu sutenya, karenakeduanya adalah para murid-murid daripara tokoh Lembah Suling Emas dandalam kesempatan itu, Yu Hwi sengajamenguji kepandaian sutenya yang dilihatoleh Ci Sian sehingga gadis cilik initurun tangan hendak membantu Hong Bu.
Kini Yu Hwi yang berdiri di sampingHong Bu memandang kepada Ci Sian dankepada See-thian Coa-ong dengan alis berkerut. "Sute, engkau kenal mereka"tanyanya tanpa menoleh kepada Hong Bu.
"Aku tidak mengenal kakek itu, Suci,dan Nona ini pernah kujumpai di pegunungan salju."
Lega rasa hati Yu Hwi. Kiranya duaorang yang datang ini bukan keluargaatau sahabat sutenya. Maka setelah memandang penuh perhatian, dia dapat menduga bahwa kakek gundul botak yangdatang bersama gadis cilik itu tentulahseorang yang memiliki ilmu kepandaiantinggi.Makadiapunmenghadapikakek itu dan berkata dengan suara tegas.
"Kalian berdua telah memasuki daerahkami yang terlarang. Kalau hal itu kalianlakukan tanpa sengaja, harap kalian segera pergi lagi secepatnya meninggalkantempat ini. Kalau disengaja,harap katakan apa keperluan kalian datang ke sinidan siapa adanya kalian berdua!"
See-thian Coa-ong tersenyum ramah."Memang kami sengaja mendatangi tempat ini. Aku adalah See-thian Coa-ong,hendak berjumpa dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu."
Terkejutlah Yu Hwi mendengar inidan dia menjadi semakin curiga. "Sute,harap kau pulang dulu, tidak baik kalau sampai Subo melihatmu di sini."
Hong Bu mengangguk. "Baiklah, akupergi dulu, Suci." Dan dia pun lalu menoleh kepada Ci Sian. Sejenak merekaberpandangan. Kedua orang muda remajaini semenjak bertemu memang merasasaling suka, bahkan begitu berjumpa mereka telah bekerja sama menghadapi Su-bi Mo-li, maka rasanya sekarang tidakenak dalam hati Hong Bu bahwa merekabertemu lagi dalam waktu sesingkat itu,tanpa ada kesempatan untuk bicara panjang lebar.
"Nona, kuharap keadaanmu akan baikselalu." akhirnya Hong Bu berkata.
"Terima kasih, kuharap engkau punbegitu pula." jawab Ci Sian.
"Sute, pergilah...."desakYuHwi,mengingat akan pentingnya urusan yangdihadapinya. Kakek ini jelas bukan orangHan, melainkan seorang Nepal atau India, maka kini datang mencari subonya, tentuada urusan yang amat gawat. Apalagimelihat keadaan kakek itu yang menunjukkan tanda-tanda seorang yang berilmutinggi.
Hong Bu mengangguk dan membalikkan tubuhnya, akan tetapi teringat bahwadia belum berkenalan dengan gadis cilikitu. Maka dia membalik lagi dan berkatacepat, "Namaku Sim Hong Bu."
Ci Sian tersenyum. "Dan namaku BuCi Sian."
Kini Hong Bu membalikkan tubuhnya."Sampai jumpa!" katanya dan dia punberlaricepatmeninggalkantempatitu,menghilangdibalik batu-batu besar.Dia harus melalui jalan rahasia untuk kembalike daerah Lembah Suling Emas di atassana, jalan rahasia terowongan yang ha nya diketahui oleh para penghuni LembahSuling Emas saja. Sementara itu, Yu Hwilalu berkata kepada See-thian Coa-ong.
"Gurumu tidak begitu mudah ditemui, dan dia tidak suka diganggu."
"Aih, Nona, agaknya Nona belum berada di sini tiga tahun yang lalu makatidak mengenalku. Aku dan Gurumu sudah berjanji untuk sewaktu-waktu bertemu di sini, maka harap kauberitahukankepada Cui-beng Sian-li bahwa aku See-thian Coa-ong datang untuk memenuhijanji dan untuk menebak teka-tekinya."
Tentu saja Yu Hwi yang belum pernah mendengar dari subonya tentang halitu merasa heran sekali. "Menebak teka-teki...."
Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengarsuara bisikan halus terbawa angin memasuki telinga, "Yu Hwi, antarkan tamu-tamu itu ke dalam taman, aku menantidi sini!"
"Baik, Subo." kata Yu Hwi dan diapun terkejut sendiri karena maklum bahwa suara gurunya itu dikirim melaluiilmu mengirim suara dari jauh dan yangmendengar bisikan itu adalah dia seorang. Namun suara itu sedemikian jelasnya sehingga seolah-olah gurunya ituberada di sampingnya dan bicara kepadanya!Demikian hebat kekuatankhi-kang dari subonya itu. Karena merasamalu bicara seperti kepada diri sendiriatau kepada bayanganyang tidak nampak, Yu Hwi cepat berkata kepada kakekitu, "Subo minta kepada kalian untukmenghadap kepadanya di taman. Silakan!"Dan Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnyatanpa menanti jawaban, lalu melangkahpergi.
"HebatmemangIlmuCoan-im-jip-bit dari Cui-beng Sian-li." kata kakek itudan kembali Yu Hwi terkejut dan menduga-duga apakah kakek itu juga dapatmendengarbisikanSubonya"Agaknyatidak mungkin karena sepanjang pengetahuannya, ilmu itu kalau dipergunakanhanyadapatdidengar olehorangyang ditujunya.Diamenolehdanmelihatkakekitubersama gadistanggungmengikutinya.
YangdimaksudkantamanolehCui-bengSian-lidanmuridnyaituadalahsebuah tempatterbukayangmemang indah sekali. Di situ penuh dengan pohonakan tetapi karena ketika itu musimdingin sedang hebat-hebatnya, maka semua pohon kehilangan daunnya yang tinggal hanya batang dan cabang berikutrantingnyayangkinipenuh dengansalju dan es yang menggantikan tempat daun dan bunga. Dan di sana-sini nampak batu-batu terselaputes yang aneh-aneh bentuknya. Semua itu berkilauandanmemantulkan cahayayangberaneka warna sehingga memang benar-benar merupakan taman yang luar biasaaneh dan indahnya. Di tengah taman ituterdapat sebuah kupel, yaitu bangunantak berdinding, di mana terdapat sebuahmeja batu berikut bangku-bangkunya yangmengelilingi meja itu, juga terbuat daribatu-batu dan jumlahnya ada delapanbuah, cocok dengan meja yang bentuknyasegi delapan itu. Dan diatassebuahdiantara bangku-bangku itu nampak dudukseorang wanita cantik yang bukan lainadalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.
"Subo, teecu sudah mengantar tamu-tamu datang," kata Yu Hwi yang laluberdiri di belakang subonya.
Wanita cantik itu memutar tubuh danmemandang kepada See-thian Coa-ong,lalu memandang kepada Ci Sian. Wajahyang cantik itu nampak suram seolah-olah dibayangi kedukaan atau kepahitanhidup. Akan tetapi dia tersenyum ketikabertemu pandang dengan See-thian Coa-ong.
"Duduklah, See-thian Coa-ong." katanya lembut.
"Terima kasih, Cui-beng Sian-li." jawab kakek itu yang segera duduk menghadapi nyonya rumah, terhalangmeja. CiSian yang tidak dipersilakan duduk tidakmau duduk dan hanya berdiri di belakangkakek itu, seperti yang dilakukan olehYu Hwi. Gadis cilik ini memperhatikan nyonya itu dengan kagum. Tak disangkanyabahwadi tempat sunyi sepertiini, tempat yang terpencil dari keramaian dunia, dia dapat bertemu dengan duaorang wanita cantik seperti guru dan murid ini. Dan sama sekali dia tidakpernahmengirabahwayangmenjadimusuh kakek itu, yang namanya begitumenyeramkan, ternyata adalah seorangwanita yang cantik jelita! Padahal tadinya dia membayangkan bahwa nama itutentu dimiliki seorang wanita yang amatmenyeramkan.
"Engkau sungguh merupakan seorangkakek yang keras hati, Coa-ong. Takkusangka bahwa kekalahanmu dahulu itubenar -benar kautebus dengan mengasingkan diri sampai sekarang dalam guha itu.Tiga tahun lamanya! Bukan main!"
"Hemm, Sian-li. Seandainya ketika ituengkau yang kalah, apakah engkau jugatidak akan menjalani hukuman sepertiyang kita pertaruhkan bersama"
Wanitaitu tersenyumpahit. "Akuragu-ragu apakah aku akan setekun engkau memegang janji yang kita buat dalam keadaan marah itu, Coa-ong. Sudahlah, buktinya engkau kalah dan engkaubaru tiga tahun bertapa di dalam guha itu. Masih kurang dua tahun lagi. Kenapaengkau sudah keluar dan mencariku"
"Karena sekarang aku sudah mendapatjawaban teka-tekimu!"
"Ah, benarkah" Hemm.... tidak mungkin!"
"Cobadengarlah,Cui-bengSian-li.Akan tetapi apakah janji pertaruhan itumasih berlaku"
"Tentu saja."
"Jadi, kalau jawabanku keliru, akuharus melanjutkan bertapa di dalam guhaitu dua tahun lagi, dan kalaubenarengkau tidak boleh keluar dari tempat ini selama dua tahun."
"Ya,begitulah,karenayanglimatahun itu telah lewat tiga tahun."
Kakek itu tertawa. "Ha-ha, menyenangkan sekali! Sekali tersesat di daerah Lembah Suling Emas, aku mengalami hal-hal yang amat menarik. Nah, dengarlah.Teka-tekimu dahulu itu merupakan pertanyaan begini :Apakah perbedaan pokokantara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita" Bukankah begitu pertanyaanmu"
"Tepat sekali. Nah, kalau memangengkau tahu jawabannya, jawablah." Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menantang.
"Cui-beng Sian-li, perbedaannya adalah begini. Pria adalah Yang dan wanitaadalah Im. Pria adalah kasar dan kuat,wanita adalah lembut dan lemah. Cinta seorang pria bersifat ingin mencinta,ingin menyenangkan, ingin memanjakan,ingin memiliki! Sebaliknya cinta wanitabersifat ingin dicinta, ingin dimanjakan,ingin disenangkan, ingin dimiliki! Yang lembut mengalahkan yang keras, yanglemah menundukkan yang kuat. Bukankahbegitu jawabannya"
Wajah yang cantik itu tiba-tiba menjadi merah, lalu menjadi pucat, kemudiantiba-tibasajadiamenutupimukanyadengan kedua tangan dan menangis! Melihat gurunya menangis demikian sedihnya, YuHwi terkejut dan marah. Cepatdia melompat dan menyerang kakek itusambil membentak. "Kakek iblis, beraniengkau membikin susah Guruku"
Serangan Yu Hwi tentu saja hebatbukan main. Biarpun baru beberapa bulandia menjadi murid Cui-beng Sian-li danbaru menerima sedikit petunjuk, akantetapi oleh karena sebelumnya memangkepandaiannya sudah tinggi, maka begitudia menggerakkan Ilmu Kiam-toSin-ciang,terdengar suara bercuitan danangin yang amat tajam menyambar kearah kakek tinggi kurus hitam itu!
See-thian Coa-ong maklum akan kelihaian dara itu, maka dia pun sudahmencelat mundur dari bangkunya danbegitu Yu Hwi melancarkan pukulan mautbertubi-tubidankedua lengannya ituseperti berubah menjadi pedang tajamyangmenyambar-nyambar,kakekinihanya mengelak dan kadang-kadang sajamenangkis dengan lengannya yang hitampanjang.
"Hemm, beginikah sikap orang yangkalah taruhan" See-thian Coa-ong mendengus dantiba-tiba terdengar suaramelengking keluar dari dada melalui kerongkongannya dan tak lama kemudianterdengar suara mendesis-desis dan datanglahratusanekorularketempatitudari segenap jurusan!
Yu Hwi merasa terkejut sekali akantetapi tentu saja dia tidak takut. Sebelum dia turun tangan membunuh ular-ular itu, terdengar gurunya membentak."Yu Hwi, jangan lancang kau. Mundurlah."
Yu Hwi tidak berani membangkangdan dia menghentikan gerakannya, lalumeloncat ke belakang gurunya. Cun Ciusudah menghapus air matanya dengansaputangan sutera, kemudian berkata kepadakakek itu. "Coa-ong, maafkanlah muridku.Simpankembaliular-ularmuyang menjijikkan itu."
See-thian Coa-ong tertawa dan ratusan ekor ular itu tiba-tiba membalik danmerayap pergi dari situ. Sebentar saja tempat itu menjadi bersih dan hening,tidak terdengar suara mendesis sepertitadi dan bau amis dari ular-ular beracuntelah lenyap pula.
"Ha-ha, aku sudah terlalu tua untukmenggunakan kekerasan, maka terpaksaminta bantuan ular-ular yang menjadi sahabatku itu untuk menakut-nakuti." katakakek itu.
"Hemm, siapa takut kepada ular-ularmu, Coa-ong" Dan kalau engkau melawan dengan ilmu silatmu, mana mungkin muridku mampu bertahan terhadapmu"Sudahlah, engkaudatang bukan untukmengadu ilmu silat, melainkan untuk menebakteka-tekidan ternyata engkaumenang.Jawabanmubenar, Coa-ong.Akan tetapi, engkau seorang pria yangselalu tidak pernah berhubungan denganwanita, bagaimana engkau mampu menjawab dengan begitu tepat" tanya Cui-beng Sian-li sambil mengusap kedua matanya yang agak merah.
"Ha-ha, sungguhmati aku tadinyasama sekali tidak mampu menjawab danjangankan harus bertapa dua tahun lagi,biar dua puluh tahun lagi aku pasti takkan mampu menjawab kalau tidak bertemu dengan muridku ini. Muridku ini, BuCi Sian, yang telah membantuku menjawab teka-tekimu."
Tang Cun Ciu memandang tajam kepada gadis cilik itu yang juga menatapnyadenganpandangmata tidakkalah tajamnya. "Hemm, Coa-ong,muridmuitusebenarnya masihterlalukeciluntukdapatmenyelamiperasaanwanitajatuhcinta.Akantetapidiamemiliki kecerdasan hebat."
"Aku bukan murid See-thian Coa-ong!"tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring. TangCun Ciu memandang dengan heran sekali.Dia melihat Ci Sian berdiri tegak dengansepasang mata berapi dan tiba-tiba diaseperti melihat seorang lain dalam dirigadis cilik itu.
"Kau.... kau she Bu" Ah, tidak salah lagi, engkau tentu anaknya!" Cui-bengSian-li berkata lirih dan sepasang mataya terbelalak. "Engkau.... engkau tentuputeri Bu-taihiap!" Tiba-tiba dia meloncat ke depan, mukanya pucat sekali."Engkau.... serupa benar dengan Ibumudan karena itu engkau harus mampus!"
"Wuuuuttt....!"Hebatbukanmain tamparan yang dilakukan oleh Cui-bengSian-li Tang Cun Ciu ke arah kepala CiSian itu. Angin pukulan yang dahsyatmenyambar dan agaknya nyawa gadiscilik itu takkan dapat tertolong lagi dariancaman maut.
"Syuuuut.... dessss!" Kedua orang saktiitu terhuyung ke belakang danSee-thianCoa-ong tersenyum pahit sambil berkata."Cui-beng Sian-li, apakah kita harus mulai mengadu kepandaian lagi seperti tigatahun yang lalu" Apakah engkau hendakmenodai namaLembahSulingEmasdenganmembunuhseoranganak-anakyang tidak berdosa apa pun kepadamu"
Ucapan itu membuat Cui-beng Sian-li tersadar dan dia punmenarik napaspanjang, lengan tangannya masih tergetarhebat oleh tangkisan kakek itu tadi,"Ahhh.... aku telah lupa diri....! Ah, akumenyesal, Coa-ong, dan sebagai hukumanku, aku akan menceritakan kepadamusegala peristiwa yang menimpa dirikudan mengapa aku bersedih mendengarjawaban teka-tekimu dan mengapa akuhendak membunuh Nona cilik ini."
Tanpamempedulikanbahwayang mendengar ceritanya bukan hanya kakekitu seorang, melainkan juga Yu Hwi danCi Sian, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciulalumenceritakanriwayatnyayangseharusnyamerupakanrahasia bagi seorangwanita, akan tetapi kini dia ceritakankepada orang lain tanpa malu-malu,seolah-olahhendakmembukarahasiakebusukannya sendiri! Memang aneh-anehwatak dari orang-orang dunia persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi itu!
Tang Cun Ciu adalah seorang wanita cantik yang sejak kecil telah memilikiilmu kepandaian silat yang tinggi karenadia berguru kepada para pertapa di sepanjang perbatasan Tibet. Bahkan akhirnya di dalam usia tujuh belas tahun danmerupakan seorang gadis yang cantik danlihai becjumpa dengan Cu San Bu, seorang pendekar dan tokoh besar darikeluargaCupenghuni Lembah SulingEmas. Cu San Bu seketika jatuh cintakepada dara yang cantik manis ini dan akhirnya mereka menikah. Kalau Cu San Bu tergila-gila karena kecantikan Cun Ciu, sebaliknya Tang Cun Ciu tertariksekali kepada Cu San Bu karena kelihaian pendekar ini yang merupakan saudaratertua dari keluarga Cu. Padahal, usia mereka berselisih lima belas tahun! Kalau Tang Cun Ciu merupakan seorangdara remaja berusia tujuh belas tahun,adalah suaminya itu telah berusia tiga puluh dua tahun! Setelah menjadi isteriCu San Bu, Tang Cun Ciu yang amatsuka mempelajari ilmu silat itu memper olehkemajuanhebat.Suaminya yang. amat mencinta itu mengajarkan ilmunya kepadaisterinyasehinggadalamwaktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Tang Cun Ciu sudah sedemikianhebatnya sehingga tidak berselisih jauhsekali dari para kakak beradik Cuitusehingga dia diterima sebagai seorangtokoh Lembah Suling Emas pula.
Akan tetapi, mungkin karena perbedaan usia yang terlalu banyak, atau karenamemang watak mereka pun berbeda, CuSan Bu adalah seorang pendekar yanglebih bayak menahan nafsu-nafsunya danlebih banyak bersamadhi, sebaliknya TangCun Ciu adalah seorang wanita yangberdarahpanas,makadalamperni kahan itu Tang Cun Ciu merasa kecewadan banyak menderita tekanan batin!
Suamiituterlalu"dingin" baginya sehinggaseringkalidiamerasatersiksaolehgairahnafsunyasendiriyangtidakterpuaskankarenasuaminya hanya amatjarang mau menggaulinya. Dan karenaketidakserasian ini agaknya maka biarpunsudahmenikah bertahun-tahun merekaberdua tidak mendapatkan keturunan.
Makin dewasa usia TangCun Ciu,makin tersiksalah dia karena suaminyamenjadi semakin tua dan semakin dingindalam hubungan jasmani. Ketika dia berusia sekitar dua puluh tujuh tahun danbagaikan bunga sedang mekar-mekarnyadan sedang panas-panasnya gejolak berahinya,suaminyayang baruberusiaempat puluh dua tahun itu sudah jarangmau mendekatinya!
Keadaan seperti ini agaknya tidakakan menimbulkan apa-apa dan lambatlaun Tang Cun Ciu tentu akan terbiasadan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kalau saja tidak muncul sepasangsuami isteri pendekar yang datang bertamu di Lembah Suling Emas. Mereka iniadalah sepasang pendekar yang berusiasekitar tiga puluhan tahun. Pendekar itudikenal sebagai Bu-taihiap, dan isterinyaseorang wanita yang cantik dan jugamemiliki ilmu kepandaian tinggi. Bu-taihiap sudah mengenal Cu San Bu, kakaktertua di antara saudara-saudara Cu ituyangmemang merupakan satu-satunyaorang yang sering kali keluar dari Lembah Suling Emas dan banyak merantau.
Mereka, suami isteri itu, diterimasebagai seorang sahabat, bahkan merekaditahan untuk tinggal di lembah itu selama mereka belum menemukan tempatyang baik untuk bertapa. Memang suamiisteri itu datang ke Pegunungan Himalaya untuk bertapa dan mempelajari ilmuyang baru saja mereka dapatkan. Danpada waktu itulah terjadi godaan yangamat hebatmenggerogotihati TangCun Ciu yang selalu kehausan cinta asmara itu! Wajah Bu-taihiap yang tampan,tubuhnya yang gagah, amat menarik hatinya dan mulailah terdapat sinar-sinarcinta asmara berkilatan dari pandangmata dan dari senyumnya terhadap sahabat suaminya itu! Dan Bu-taihiap biar pundiamerupakanseorang pendekarsaktiyangselain berilmutinggijugaberbatinkuat,tetapsajamasihseorangmanusiabiasa,seorangmanusialaki-lakiyangmasihmudadanakhirnyadiapuntidak kuat menghadapi godaan sinar-sinarcinta asmara yang dikobarkan oleh TangCun Ciu yang kehausan kasih sayang dan mendambakan belaian pria itu. Apa yang tak dapat dihindarkan lagi pun terjadilah.Terjadilah hubungan yang biasanya dinamakan perjinaan antara Tang Cun Ciudan Bu-taihiap!
Setelah menderita tekanan batin selama bertahun-tahun di samping suaminyayang kurang memenuhi kebutuhan jasmani dan perasaannya, dan kini bertemudengan seorang pria muda yang berdarahpanas dan tidak kalah besar gelora berahinya dibandingkan dengan dirinya sendiri, tentu saja Tang Cun Ciu bagaikanseorang yang telah lama kehausan bertemu dengan sumber air yang segar. Takpuas-puasnya dia meneguk air menyegarkan itu, tak peduli lagi bahwa yang diminumnya adalah air terlarang, Lupa diabahwa dia menjadi isteri pria lain danbahwa pria yang dipeluknya penuh kobaran api cinta asmara yang menggeloradan panas itu adalah suami dari seorangwanita lain!
Dan tidak aneh pula kalau pada suatu hari mereka tertangkap basah! Semuaorang di tempat itu, termasuk suamiTang Cun Ciu dan isteri Bu-taihiap, ada lah orang-orang lihai yang berkepandaian tinggi, maka tentu tidak mudahdikela buhidanakhirnyaperbuatanmereka berdua itu ketahuan!Namun, sebagaiseorang pendekar besar yang tidak lagidimabokberahidan mudahdikuasai amarah, Cu San Bu tidak menimbulkankeributan. Bu-taihiap merasa malu sendiri.Kalauseandainyasuamiwanitaitumarah -marahdanmenyerangnya, dia tidak akan merasa demikian terpukuldan malu seperti sekarang ini. Sikap Cu San Bu yang diam seperti orang tidakmarah itu lebih menyakitkan hati bagiBu-taihiap, karena membuat dia kelihatan semakin rendah saja! Maka dia pun berpamit dan pergi meninggalkan LembahSulingEmasbersamaisterinya dansemenjakitutidakpernahnampaklagi atauterdengarberitanya.
Berceritasampaidisini,TangCunCiumemejamkankeduamatanyadandiam sampai beberapalama.Ketikadiamembukalagimatanya,keduamatayangjernih tajam itu agak basah. Dia menariknapaspanjang.Dadanyayangmasihmembusung penuh itu naik turun.
"Sampai sekarang pun aku tak pernahdapatmelupakandia!Akumencintamendiang suamiku, hatiku mencinta suamikuyangamat baik kepadaku,akantetapi tubuhku rindu kepada Bu-taihiap."
Diam-diam muridnya sendiri, Yu Hwi,menjadi merah mukanya mendengarcerita subonya dan mendengarpengakuanitu. Pengakuan yang terang-terangan danyangmenurutpendapat danpandanganumum merupakan pengakuan tidak tahumalu dari seorang isteri!
Wanitaitumelanjutkanceritanya.Biarpun pada lahirnya Cu San Bu diam saja seolah-olah perbuatan isterinya yangberjina dengan tamunya itu tidak melukaihatinya, namun sesungguhnya dia merasatertikambatinnya.Dia amat mencintaisterinya, akan tetapi cintanya tidak terlalu condong kepada nafsuberahi. Diatidak menyesal karena merasa dirugikan,hanya merasa menyesal mengapa isterinyamelakukanperbuatanyangbegiturendah dan memalukan. Yang lebih memberatkanperasaanbatinpendekar ini adalah sikapadik-adiknya.Cu San Buadalah seorang anakangkat dari ayahketiga orangsaudara Cu. Biarpun diasudah dianggap anak sendiri dan memakaishe Cu, namun tiga orang adiknya itutahu bahwa dia bukanlahdarah dagingkeluarga Cu. Biasanya memang sikap CuHan Bu, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bukepadanya biasa saja, tetap menganggapnya sebagai kakak sendiri, kakak terbesaryang selain paling lihai ilmunya,jugadapat mereka hormati karena sikap danperbuatan Cu San Bu yang gagah perkasadan baik, yang selalu menjunjung tingginama keluarga Cu. Akan tetapi, setelah peristiwa perjinaan antara Tang Cun Ciudan Bu-taihiap, sikap tiga orang pendekaritu berubah sama sekali!
Tiga orangkakak beradik Cu itu diam-diam merasa terhina dan marah sekali oleh perbuatan twaso mereka. Menurut pendapat mereka, dosa twaso merekaitu terlampau besar dan biarpun twakomerekatidakmenganggapnyasebagaidosa, akan tetapi mereka berpendapatbahwa twaso mereka itu telah menodai nama dan kehormatan keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas! Maka, sikaptwako mereka yang mendiamkannya sajaperbuatan hina dan rendah itu, membuatmereka diam-diam merasa penasaran danmembenci twako mereka!
Inilah yang membuat Cu San Bu menderita tekanan batin dan akhirnya pendekar ini jatuh sakit! Penyakit yang sukar diobati karena bersumber dari batinyang tertekan. Akhirnya, pendekar inimeninggal dunia dalam usia baru empatpuluh tahun lebih! Dan sebelum mati, diasempat meninggalkan pesan atau permintaan terakhir kepada tiga orang adiknyaitu agar mereka suka memaafkan TangCun Ciu dan agar wanita itu tetap diperlakukan sebagai twaso mereka, sebagai keluarga mereka. Permintaan yang amat berat bagi Cu Han Bu dan duaorang adiknya, akan tetapi karena merupakan pesan terakhir, mereka tidak tegauntuk menentang atau menolaknya.
"Merekabertigamenerimapesansuamiku, dengan syarat bahwa aku harustinggal di luar Lembah Suling Emas, dandemikianlah, aku memilih tempat ini, dikaki gunung dan di sebelah bawah darilembah itu." Tang Cun Ciu mengakhiriceritanya yang amat menarik perhatiantiga orang pendengarnya.
Akan tetapi kakek berkulit hitam itu,yang biarpun selama hidupnya belum pernah terjerat oleh perangkap-perangkapcinta asmara namun pandangannya sudahsedemikian waspada sehingga cerita yangdidengarnya itu tidak menggerakkan hatinya karena dianggapnya wajar dan tidakaneh, lalu bertanya, nadanya penasaran,"Hemm, ceritamu mungkin menyedihkan,Cui-beng Sian-li, akan tetapi apa hubungannya itu dengan teka-tekimu"
"Tiga tahun yang lalu, aku mendapattugasuntukmenghadapimu,dan karena dalamilmusilatkitaseimbangdan sukaruntukmenentukan siapakalahsiapame nang,makatimbulniatkuuntukmembukaperasaanhatiku yangpenasaranterhadapadik-adiksuamiku itumelaluiteka-tekiini.Nah, itulahsebabnyamakaaku mengajukanteka -tekikepadamu,dengan harapanselainengkautidakakanmampu menebaknya,jugatigaorang adiksuamikuituagar memikirkanpulatentangsifat-sifatcinta priadanwanita.Sebagaiisterimendiangsuamikuyangsungguhkucinta karenakebaikannya,sebagaiseorangwanita,akumembutuhkankasihsayangyangdiperlihatkan,butuh dimanjakan,butuhdicintadenganmesra,denganlembut,butuhdisenangkandan dipuja.Akantetapi sikapsuamikuyang dingin itumendatangkan perasaankepadakuseolah-olah aku tidakdibutuhkannyalagi,tidakdicintalagi. Seorangwanita, dariyangmuda sampaiyangtua sekalipun,barupercayaakancintakasih seorang priakalaupriaitumemperlihatkannyadengan bukti dalam sikapnya.Danwanitayangdilimpahikemesraanbaruakanpercayabahwa diamemangdicintai,makaanehkahkalauakumenyerahkansegala-galanya.Suamikubersikap dingin,dansebaliknya,Bu-taihiapbersikapmesrasekalikepadaku,makaanehkahkalauakumenyerahkandirikepadanyauntukmemuaskankehausanku"
Makinlama makinmerahdan jengahrasahatiYuHwimendengarkankata-katagurunyaitu.Sebagaiseorangwanita dewasa, tentusaja diamengertisemuayangdibicarakan.Sedangkan CiSianhanyamendengarkan dengan bengong,biarpundiamerasakasihan,akantetapidiatidakbegitumengertitentangurusancinta-mencintaitu.
"Akantetapi,apahubungannyaorangshe Buitudenganaku"Tiba-tibaCiSianbertanya,suaranyalantangdan mengejutkanCui-bengSian-liyang tidak menyangka-nyangka akan datangpertanyaandari bocahitu.Diamemandang wajahCiSian danalisnyaberkerut,pandangannyamenjaditajamdantidakse nang.
"MukamusamabenardenganisteriBu-taihiap! DanengkausheBu pula,makaakumendugabahwaengkautentulah puteri mereka!"
Ci Sian adalah seorang yang cerdik.Dia tahu bahwa dugaan itu mungkin sajabenar karena bukankah ayah bundanya juga berada di Himalaya seperti yang di ceritakan oleh kakeknya, dan bahwa ayahbundanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi" Akan tetapi, karena tidakada bukti dan semua itu hanya dugaansaja, lebih baik kalau dia tidak mengakuihal itu, karena mengakuinya berarti hanya akan menimbulkan permusuhan dariwanita yang lihai ini.
"Hemm, biarpun aku she Bu, akantetapi tidak ada bukti yang menyatakanbahwa aku adalah puteri mereka, karenaitu,janganengkau sembarangansajamenduga-duga dan secara sewenang-wenang hendak membunuhku." kata Ci Sian,suaranya bernada teguran sehingga TangCun Ciu merasa terpukul dan malu.
Untuk menutupi rasa malunya diteguroleh anak-anak, dia lalu berkata kepada See-thian Coa-ong. "Eh, Coa-ong, engkausekarang mempunyai seorang murid yangagaknya akan menjadi orang yang lihai,biarpun sekarang yang lihai hanya barumulutnya saja! Pertandingan antara kitasudah selesai, maka marilah kita pertandingkan murid-murid kita dalam waktu lima tahun lagi. Engkau boleh menggembleng muridmu she Bu ini, dan aku akanmembimbing muridku Yu Hwi, dan kitapertandingkan mereka...."
"Yu Hwi...."'Tiba-tiba CiSian berseru dan dia kini mencurahkan perhatiannya kepada murid Cui-beng Sian-li itu,memandang tajam karena baru sekarangdia tertarik sedangkan sejak tadi perhatiannyadicurahkanseluruhnya kepadaCui-beng Sian-li. Dia mulai melangkahmaju mendekati Yu Hwi yang juga memandangnya penuh perhatian, diam-diamCi Sian harus mengakui bahwa Yu Hwimemiliki wajah yang manis sekali, bentuk tubuh yang ramping padat, kulit yangputih kuning halus mulus. Pendeknya, wanita itu amat cantik menarik dan memang pantas sekali kalau menjadi isteriPendekar Suling Emas Kam Hong.
"Ada apakah dengan engkau" Yu Hwimembentak ketika melihat Ci Sian memandangnya sedemikian rupa setelah tadimengucapkan namanya.
"YuHwi...."Mengapa engkau meninggalkan KamHong...."Karena tiba-tibatimbul rasa iba kepada pendekar itu dan teringat akan cerita Kam Hong bahwaisteri pendekar itu yang bernama Yu Hwitelahlarimeninggalkannya, maka kiniCi Sian mengucapkan kata-kata itu dengan nada suara menegur dan mencela.
Mendengar ucapan ini, wajah Yu Hwi seketika berubah pucat dan matanya terbelalak memandang Ci Sian. Sejenak dia tidak mampu berkata-kata, kemudian setelah dia menekan perasaannya yang terguncang, dia berkata, suaranya terdengar seperti membentak marah. Apa.... maksudmu...."
"Bukankah engkau yang bernama Yu Hwi, isteri yang telah meninggalkan suamimu yang bernama Kam Hong"
Kini wajah Yu Hwi berobah merah sekali. "Bocah setan bermulut lancang! Aku tidak pernah menikah dengan siapa pun juga! Pula, kau peduli apa dengan urusanku"
"Hemm, aku tidak tahu engkau sudah menikah atau belum. Akan tetapi agaknya engkau tentulah Yu Hwi yang dicari-cari oleh Paman Kam Hong. Tentu saja aku peduli karena Paman Kam Hong menderita sengsara karena mencari-carimu. Kiranya engkau menjadi murid Bibi Cui-beng Sian-li. Wah, memang cocok. Gurunya seorang wanita yang telah mengkhianati suami, sedangkan muridnya seorang wanita yang telah minggat dari suaminya. Keduanya telah menghancurkan hati dan kehidupan pria-pria yang mencintai mereka."
"Keparat!"
"Jahanam bermulut lancang!"
Guru dan murid itu bergerak cepat, akan tetapi See-thian Coa-ong yang lebih dekat dengan Ci Sian sudah menyambar tubuh anak perempuan itu dan meloncat jauh dari tempat itu.
"Cui-beng Sian-li, di antara kita sudah tidak terdapat urusan lagi, biarkan kami pergi dari sini!" teriak kakek itu tanpa menghentikan loncatan-loncatannya dan ternyata wanita itu bersama muridnya pun tidak melakukan pengejaran.
Setelah kakek itu pergi jauh, Cui-beng Sian-li memandang kepada muridnya dan dengan pandang mata tajam dia bertanya. "Yu Hwi, benarkah engkau minggat dari suamimu"
"Tidak Subo, bocah itu bicara yang bukan-bukan. Yang benar, aku melarikan diri karena hendak dijodohkan dengan seorang pemuda yang bukan pilihanku sendiri."
"Dan pemuda itu bernama Hong"
Yu Hwi mengangguk, lalu dia menceritakan persoalannya dengan Kam Hong. Dia menceritakan dengan singkat akan tetapi juga terus terang, mengingat bahwa gurunya tadi pun telah bercerita dengan terus terang tanpa menyembunyikan perbuatan dan perasaan hatinya sendiri.
"Sebetulnya, teecu jatuh cinta kepada seorang pendekar yang amat teecu kagumi, akan tetapi pendekar itu tidak membalas cinta teecu agaknya. Dan tanpa teecu ketahui, ternyata sejak kecil teecu telah ditunangkan dengan seorang pemuda lain. Setelah teecu memberitahu tentang pertunangan itu. Maka ketika dipertemukan dengan tunangan itu yang juga telah teecu kenal sebelumnya, teecu merasa malu, dan juga kecewa dan teecu pergi melarikan diri sampai sekarang. Sudah lima tahun lebih lamanya, dan siapa kira, pemuda itu ternyata masih mencari-cari teecu seperti yang dikatakan oleh bocah setan tadi."
Hening sejenak setelah Yu Hwi menceritakan riwayatnya secara singkat. Kemudian, Cun Ciu menarik napas panjang. "Yaah, demikianlah nasib kita kaum wanita. Tidak suka dijodohkan dengan pria pilihan orang-orang tua, disalahkan. Lari untuk menentukan nasib sendiri pun disalahkan. Disia-siakan cintanya sehingga kehausan dan mencari hiburan pelepas dahaga dengan pria lain pun disalahkan. Coba yang melakukan semua itu kaum pria, tentu tidak akan ada yang menyalahkan karena hal itu sudah dianggap biasa saja. Betapa tidak adilnya dunia ini terhadap kaum wanita!"
"Akan tetapi, sungguh Kam Hong itu tidak tahu diri!" Yu Hwi berkata. "Teecu tidak menyangka bahwa dia masih terus mencari teecu. Mau apa dia" Apakah hendak memaksa teecu menjadi isterinya berdasarkan ikatan jodoh yang dilakukan oleh orang-orang tua kami itu" Teecu harus pergi menemuinya dan menjelaskan bahwa teecu tidak suka menjadi isterinya!"
"Ingat, Yu hwi. Gurumu ini telah kalah bertaruh dengan See-thian Coa-ong. Dia sendiri telah mengorbankan waktunya sampai tiga tahun bertapa dalam guha. Dan setelah dia dapat menebak teka-teki sehingga aku kalah, sudah sepantasnya kalau aku pun memenuhi janji. Aku harus tinggal di sini dua tahun dan sama sekali tidak boleh keluar meninggalkan tempat ini sebelum dua tahun. Dan engkau baru saja menjadi muridku. Engkau harus pula belajar menemaniku di sini sampai sedikitnya dua tahun."
Yu Hwi tidak berani membantah dan dia pun lalu mengikuti subonya kembali ke pondok kecil mungil yang dlbangun oleh keluarga Cu di tempat itu untuk twaso mereka. Biarpun Tang Cun Ciu tidak diperbolehkan lagi tinggal di Lembah Suling Emas, akan tetapi dia tetap diaku sebagai keluarga dan setiap waktu boleh saja mengunjungi lembah melalui jalan rahasia terowongan yang hanya dikenal oleh keluarga mereka.
Kita tinggalkan dulu Yu Hwi yang tekun belajar di bawah bimbingan Cui-beng Sian-li yang lihai, dan membiarkan dulu Bu Ci Sian yang ikut bersama See-thian Coa-ong untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi pula. Marilah kita beralih ke bagian lain dari daratan Tiongkok, meninggalkan daerah Pegunungan Himalaya dan pergi ke sebelah timur meninggalkan daratan, menyeberang laut untuk melihat keadaan di sebuah pulau kecil yang hanya beberapa mil jauhnya dari daratan. Dengan mempergunakan sebuah perahu layar, kalau angin baik, dalam waktu seperempat jam saja orang sudah akan dapat sampai ke pulau itu. Pulau ini disebut Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) karena menurut kabar di pulau kecil ini terdapat sejenis ular yang berwarna kuning keemasan dan sangat berbahaya karena gigitannya mengandung bisa yang mematikan.
Akan tetapi bukan ular-ular kecil berwarna kuning emas inilah yang membuat para nelayan dan pelancong tidak berani mengunjungi Pulau Kim-coa-to itu. Pulau itu sudah belasan tahun terkenal sebagai pulau yang berbahaya karena pulau itu ditinggali oleh seorang wanita yang hidup sebagai seorang ratu di atas pulau kosong itu. Di atas pulau itu dibangun sebuah bangunan seperti istana kecil dan karena wanita yang hidup seperti ratu itu selain memiliki kecantikan luar biasa juga memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat, maka tidak ada orang berani lancang mendekati pulau itu, kecuali kalau hendak berkunjung dengan keperluan yang penting.
Pemilik pulau itu, wanita yang hidup seperti ratu, terkenal sekali dengan julukannya, yaitu Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan) dan semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Bu-eng-kwi ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu gin-kang yang amat luar biasa, tidak pernah ada yang mampu menandinginya. Karena ilmu gin-kangnya yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, tentu saja dia merupakan lawan yang amat berbahaya. Bu-eng-kwi bernama Ouw Yan Hui, seorang wanita yang sesungguhnya sudah berusia empat puluh enam tahun atau lebih. Akan tetapi kalau orang bertemu dengan dia, tak mungkin mau percaya bahwa wanita cantik itu sudah berusia mendekati setengah abad! Wajahnya masih cantik manis, kulit mukanya masih halus tanpa keriput sedikit pun, pinggangnya masih ramping dan tubuhnya masih padat. Orang akan menaksir usianya tidak akan lebih dari tiga puluh dua tahun saja!"
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang janda. Karena suaminya menyeleweng, maka dibunuhnya suaminya itu dan semenjak itu hatinya patah dan dia menjadi seorang wanita pembenci pria, atau setidaknya dia mempunyai kesan yang amat buruk terhadap pria di dalam hatinya. Dia tidak pernah menikah lagi dan bahkan tidak pernah lagi mendekati pria yang amat dibencinya. Hatinya menjadi keras dan kejam terhadap pria. Akan tetapi sebagai seorang manusia yang terbuat daripada darah daging dan memiliki hawa nafsu, maka tentu saja dia kadang-kadang terserang oleh gairah nafsu. Hal ini membuat dia mulai mendekati sesama kelamin dan mencari pelepasan nafsu berahinya dengan wanita lain! Dan untuk mencari teman atau lawan dalam kebutuhan ini, mudah saja baginya karena selain cantik, dia pun amat kaya raya sehingga mudah saja dia memilih di antara para pelayannya yang muda-muda dan cantik-cantik yang bertugas menemani dan melayani kebutuhan jasmaninya itu di waktu malam. Demikianlah, dari seorang wanita yang memiliki gairah berahi yang normal, karena patah hati dan benci kepada pria yang pernah menyakitkan hatinya, Ouw Yan Hui berobah menjadi seorang wanita yang suka bermain cinta dengan wanita lain, atau yang kita biasa namakan wanita lesbian.
Karena sikapnya yang benci kepada pria inilah yang membuat para pria tidak berani mendekatinya, biarpun dia, dalam usia tuanya, masih cantik menarik. Dan Pulau Ular Emas itu pun dijauhi orang karena dunia kang-ouw sudah tahu bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yang Hwi adalah, seorang wanita pembenci pria yang amat berbahaya. Akan tetapi, semenjak kurang lebih lima tahun terakhir ini Pulau Kim-coa-to menjadi bahan percakapan orang dan mulailah orang-orang kang-ouw mendekatinya. Di situ terdapat suatu daya tarik yang amat luar biasa, yang terdapat dalam diri seorang dara yang luar biasa cantik jelita! Dara ini menjadi murid Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sejak enam tahun yang lalu, biarpun Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui merupakan seorang wanita yang amat cantik, namun dibandingkan dengan muridnya ini, dia seolah-olah merupakan sebuah bintang yang mulai pudar karena jauhnya dibandingkan dengan bulan purnama yang gilang-gemilang!
Memang kekuasaan Tuhan telah demikian bermurah hati kepada dara ini sehingga dia dikarunia kecantikan yang sukar dicari bandingnya di seluruh jagat! Wajahnya gemilang, rambutnya hitam gemuk dan panjang berombak, digelung seperti model sanggul puteri istana, dihias taburan permata yang berkilauan, semerbak harum oleh sari kembang. Sepasang matanya yang lebar itu amat jernih dan tajam, seolah-olah dapat mengeluarkan ribuan sinar yang menyaingi permata di atas kepalanya, berkeredepan amat indahnya, dihias bulu mata yang panjang lentik dan lebat sehingga bulu mata itu membentuk garis hitam melingkari matanya, seperti dilukis saja. Sepasang alisnya yang aseli itu seperti lukisan pula, demikian indah, panjang melengkung dan kecil hitam, rambut alisnya halus dan rebah teratur dengan rapinya sehingga setiap helai bulu alis itu seperti memiliki kemanisannya sendiri. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya tipis dan bentuknya patut, sesuai dengan mulutnya yang kecil namun dengan bibir yang penuh dan selalu kemerahan, merah aseli karena sehat, merah basah dan bentuknya seperti gendewa terpentang. Dagunya meruncing menambah manis.
Luar biasa memang dara yang cantik jelita ini. Usianya sudah ada dua puluh enam tahun, akan tetapi dia lebih pantas dinamakan dara remaja berusia delapan belas tahun! Hanya sikapnya, caranya memandang dan caranya bicara, menghadapi orang, menunjukkan kematangannya sebagai seorang wanita yang telah dewasa. Demikian cantik jelita, demikian manis, anggun dan agung seperti seorang puteri istana! Dan memang sesungguhnyalah, murid dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang puteri aseli, seorang puteri kerajaan. Dia adalah Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan!
Di dalam ceritaKISAH SEPASANG RAJAWALI danJODOH RAJAWALIsudah diceritakan dengan jelas tentang Puteri Bhutan ini. Sang Puteri ini mempunyai pertalian cinta kasih yang amat mendalam dengan pendekar muda perkasa yang berjuluk Si Jari Maut, yaitu Ang Tek Hoat atau lebih tepat kalau disebut Wan Tek Hoat karena pendekar ini adalah keturunan dari Wan Keng In, putera kandung dari Lulu yang kini menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es. Cinta kasih antara mereka berdua mengalami lika-liku yang amat rumit dan perjodohan antara mereka berdua mengalami halangan-halangan yang amat hebat sehingga sampai beberapa kali mereka berdua itu saling terpisah. Sudah bertahun-tahun lamanya Sang Puteri ini mengalami kehidupan yang penuh bahaya dan sengsara demi kekasihnya, ketika dia mencari kekasihnya dan merantau di dunia yang penuh kekejaman ini seorang diri saja.
Pada pertemuan antara mereka yang terakhir kalinya, kembali hati Sang Puteri ini tertusuk oleh sikap kekasihnya yang mencurigainya, yang menuduhnya sebagai seorang anak yang hendak memberontak dan berkhianat terhadap ayahnya sendiri, yaitu Sang Raja Bhutan. Padahal, yang melakukan perbuatan itu adalah seorang wanita lain yang dipergunakan oleh kaum pemberontak untuk menyamar sebagai dirinya. Perlakuan yang diperlihatkan Tek Hoat ini begitu menyakitkan hatinya, sehingga dia meninggalkan pemuda kekasihnya itu dan mengambil keputusan untuk membiarkan Tek Hoat merana dan sengsara, dan dia tidak akan mau kembali kepada pemuda itu sebelum Tek Hoat datang mencarinya dan minta ampun kepadanya! Semua ini diceritakan di dalam ceritaJODOH RAJAWALI .
Puteri Syanti Dewi melarikan diri ke tempat tinggal subonya, atau gurunya, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Tentu saja, sebagai seorang wanita lesbian, yang selera seksuilnya sudah berubah seperti selera seorang pria, Ouw Yan Hui seperti tergila-gila melihat kecantikan Syanti Dewi dan keindahan lekuk-lengkung tubuhnya. Namun, Syanti Dewi adalah seorang wanita seratus prosen, oleh karena itu, dia tidak sudi melakukan permainan cinta yang tidak wajar itu. Bahkan ketika seorang nenek yang masih cantik, guru dari Ouw Yan Hui dalam hal awet muda yang bernama Maya Dewi, seorang wanita India, hendak mendekap dan membelainya, mengajak bermain cinta, Syanti Dewi melarikan diri dari pulau itu!
Karena Ouw Yan Hui benar-benar amat mencinta Syanti Dewi, maka setelah Syanti Dewi mau kembali ke Kim-coa-to, dia berjanji bahwa dia tidak akan lagi mengganggu muridnya itu. Hanya dengan janji inilah Syanti Dewi mau kembali dan tinggal di pulau itu setelah dia melarikan diri dari Ang Tek Hoat. Pada waktu itu, Maya Dewi telah meninggalkan pulau itu untuk kembali ke negaranya sendiri, meninggalkan Ilmu yang membuat Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi seolah-olah kebal terhadap usia tua dan menjadi tetap awet muda! Sampai bertahun-tahun Syanti Dewi tinggal bersama gurunya di pulau itu, mempelajari ilmu gin-kang yang amat tinggi dari Bueng-kwi Ouw Yan Hui sehingga kini Syanti Dewi merupakan seorang wanita ke dua yang memiliki gin-kang amat hebatnya, Ouw Yan Hui amat bangga dengan muridnya yang dikasihinya seperti anak atau adik sendiri ini, dan mereka hidup rukun dan saling menyayang di pulau itu seperti seorang ratu dan seorang puteri.
Akan tetapi, semenjak nama Syanti Dewi dikenal, pulau itu seringkali menerima kunjungan tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal atau bangsawan-bangsawan tinggi, atau hartawan-hartawan yang semua ingin mempersembahkan milik mereka demi untuk menundukkan hati Syanti Dewi, puteri yang seperti bidadari cantiknya itu! Nama Syanti Dewi menjadi buah bibir setiap orang pria dan setiap orang yang pernah melihat senyumnya, tak mungkin dapat melupakannya lagi, bahkan senyum manis itu selalu membayang di depan mata, wajah jelita itu selalu menjadi kembang mimpi dan banyaklah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan, dan hartawan-hartawan besar yang tergila-gila kepada Syanti Dewi.
Syanti Dewi walaupun karena kegagalan cintanya dengan Ang Tek Hoat berubah menjadi agak keras hati terhadap pria, namun dia bukanlah pembenci pria seperti gurunya. Oleh karena itu, dia tidak menolak perkenalan dengan para pria tingkat atas itu, bahkan menyambut mereka sebagai sahabat-sahabat dengan sikap manis. Akan tetapi, setiap pernyataan cinta, setiap sanjungan, setiap pujaan, setiap pinangan, selalu ditolaknya dengan halus sehingga tidak menyinggung yang ditolaknya, bahkan membuat mereka semakin tergila-gila! Pendeknya, semenjak beberapa tahun ini, nama Syanti Dewi terkenal sekali di sepanjang pantai timur, bahkan sampai jauh ke pedalaman dan akhirnya nama itu terdengar pula sampai ke istana kaisar!
Tentu saja Ouw Yan Hui sendiri tidak sudi menemui para pria itu, akan tetapi dia juga tidak tega untuk melarang muridnya menerima kunjungan para pria tingkat atas itu, dan kalau Syanti Dewi dikelilingi pria-pria muda yang rupawan dan seolah-olah berebut untuk menundukkan hati puteri juita ini, Ouw Yan Hui yang merasa sebal lalu mencurahkan semua ketidaksenangan hatinya dengan hiburan yang biasa dilakukannya, yaitu dia lari ke dalam pelukan lembut wanita-wanita pelayan yang biasa menjadi kekasihnya!
Pulau Ular Emas kini seolah-olah menjadi ramai dengan kunjungan perahu-perahu besar yang mewah dan indah. Para pemuda yang tergila-gila itu ada yang mendatangkan ahli-ahli bermain musik, penari dan penyanyi-penyanyi yang kenamaan untuk mengadakan hiburan di tempat itu, yang tentu saja kesemuanya ditujukan untuk menarik hati Syanti Dewi. Juga di dalam gudang-gudang istana Ouw Yang Hui bertumpuk banyak barang-barang hadiah yang berharga, yang seolah-olah dilimpahkan tanpa mengenal hitungan oleh para pemuda itu di depan kaki Syanti Dewi. Namun sang puteri itu hanya membalas dengan senyum manis, senyum yang demikian gemilangnya sehingga untuk sebuah senyum kiranya setiap orang pemuda rela untuk bertekuk lutut!
Saking terkenalnya nama Syanti Dewi, sampai-sampai para sastrawan tertarik untuk mengunjungi pulau itu dan di antara mereka terdapat seorang sastrawan ahli lukis dan ahli sajak yang bernama Pouw Toan. Sastrawan ini sudah berusia lima puluh tahun, dan ketika perahu kecilnya mendarat di Kim-coa-to, para penjaga memandangnya penuh curiga. Biasanya, yang melakukan pendaratan dan kunjungan di pulau itu hanyalah pemuda-pemuda yang rupawan dan gagah perkasa, yang datang membawa kesan yang nampak dari sikap mereka yang gagah perkasa dari seorang ahli silat, atau dari perahu mereka yang mewah dan pakaian mereka yang indah dari seorang hartawan, atau dari pengawal-pengawal dan sikap angkuh seorang bangsawan. Akan tetapi kakek ini berperahu kecil, berpakaian sederhana, dan sudah tua lagi. Apa yang diharapkan dari seorang kakek seperti itu" Maka, seorang di antara para penjaga yang diadakan oleh Syantti Dewi setelah tempat itu sering dikunjungi orang, cepat menghampiri dan menegur.
"Lopek, mau apakah engkau mendaratkan perahumu di sini" Dilarang untuk mencari ikan ditepi pulau ini!"
Kakek Pouw Toan tersenyum. Harus diakui bahwa kakek berusia lima puluh tahun ini pernah menjadi seorang pria yang tampan sekali, dan hal ini nampak ketika dia tersenyum.
"Sahabat,seperti juga para pendatang lain, aku ingin sekali berjumpa dengan Nona Syanti Dewi."
Beberapa orang penjaga sudah mendekati tempat itu dan mereka tertawa mendengar kata-kata ini. Biarpun pria ini tampan, akan tetapi dia sudah tua dan miskin! Mau apa hendak bertemu dengan Siocia, pikir mereka.
"Eh, orang tua. Siocia kami tidak pernah menerima kunjungan orang-orang tua! Yang menjadi tamu-tamunya hanyalah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan atau pemuda-pemuda hartawan. Lebih baik engkau lekas pergi dari sini, kalau sampai Toanio majikan pulau ini mendengar tentang kedatanganmu, tentu dia akan marah dan nyawamu tidak akan tertolong lagi. Yang dimaksudkan oleh para penjaga dengan toanio itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Kalau Syanti Dewi yang mereka sebut siocia itu merupakan seorang yang amat mereka sayang dan hormati karena sikapnya yang ramah-tamah dan lemah lembut terhadap semua orang, sebaliknya Ouw Yan Hui amat mereka takuti karena memang wanita ini selalu bersikap dingin dan galak terhadap para pria, termasuk para penjaga itu.
Kakek itu tertawa. "Ha-ha, dunia memang penuh kepalsuan. Penghargaan terhadap manusia dinilai dari lahirnya, bukan batinnya. Sahabat, kalian bermaksud baik, maka aku berterima kasih atas nasihat kalian. Akan tetapi, aku mempunyai suatu hal yang perlu kusampaikan kepada Nona Syanti Dewi. Maukah engkau menyampaikan hal ini kepadanya" Tanpa menanti jawaban, kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kipas yang permukaannya terbuat daripada kertas putih bersih. Lalu dia mengeluarkan alat tulis dan dengan gerakan yang cekatan sekali dia mencorat-coret di atas kipas itu.
Para penjaga memandang dan melongo penuh kekaguman ketika melihat betapa corat-coret itu merupakan tulisan huruf-huruf yang amat indah dan dilihat dari jauh merupakan sebuah petak rumput dengan bunga-bunganya mencuat di sana-sini. Dan bukan hanya huruf-hurufnya yang indah, akan tetapi bahkan huruf-huruf itu tersusun merupakan sebuah sajak yang rapi pula!
"Nah, inilah pesanku itu, harap kalian suka menyampaikan kepada Siocia kalian."
Seorang di antara para penjaga itu, yang berkumis lebat, mengerutkan alisnya dan menghampiri sambil bertolak pinggang, lalu membentak, "Eh, engkau ini tua bangka tidak tahu diri! Bercerminlah dulu sebelum engkau berani menulis surat cinta kepada Siocia! Lagakmu seperti seorang pemuda saja, pakai hendak mengirim surat cinta kepada Siocia!" Bentakan ini disambut suara ketawa penjaga lainnya.
Kakek itu juga tersenyum, kemudian dengan alat tulisnya dia mencorat-coret di atas ujung perahunya. Semua orang memandang dan kembali mereka terbelalak memandang corat-coret yang agaknya dilakukan secara sembarangan itu ternyata telah membentuk wajah penjaga berkumis lebat itu, mirip sekali sehingga sekali pandang saja semua orang mengenal wajah Si Kumis Lebat, lengkap dengan kumisnya yang pada gambar di atas papan perahu itu bahkan nampak lebih menyeramkan daripada aselinya.
Sastrawan tua itu tersenyum ketika dia mengangkat muka memandang kepada penjaga berkumis yang menegurnya tadi, sambil berkata, "Nah, sudah kucatat baik-baik gambar wajahmu agar mudah kulaporkan kelak kepada penghuni pulau ini siapa di antara para penjaga yang bersikap kasar terhadap seorang tamu."
Mendengar ini, tiba-tiba wajah penjaga berkumis tebal itu berobah ketakutan. Memang siapakah yang tidak takut membayangkan bahwa jangan-jangan sastrawan sederhana ini adalah seorang kenalan baik Toanio dan kalau betul demikian dan kakek ini melaporkan kepada Toanio, dia tentu akan celaka! Maka cepat Si Kumis Tebal itu menjura kepada sastrawan itu sambil berkata, "Harap Tuan sudi memaafkan kelakar kami tadi.... dan kalau Tuan menghendaki, biarlah saya menyampaikan pesan Tuan kepada Siocia...."
"Nah, itu baru seorang petugas yang baik, seorang penjaga yang gagah perkasa seperti harimau!" kata sastrawan itu dan kembali dengan alat tulisnya dia mencorat-coret ke arah lukisan wajah penjaga itu dan semua orang memandang kagum karena kini lukisan itu berobah menjadi kepala seekor harimau yang bagus sekali!
Penjaga berkumis lebat itu tidak berani main-main lagi, cepat diterimanya kipas yang sudah ditulisi itu dengan hormat sambil berkata. "Saya akan menyampaikan kipas ini kepada Siocia."
"Dan aku akan menanti balasan di di sini." kata sastrawan itu sambil mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci arak, kemudian duduklah dia di kepala perahunya sambil makan roti, minum arak dan bersenandung kecil, kelihatannya riang dan gembira sekali.
Pada pagi hari itu, Syanti Dewi sedang duduk di dalam taman bunga bersama gurunya yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, menghadapi sarapan pagi di dalam taman yang indah itu, dilayani oleh para pelayan yang cantik muda dan berpakaian bersih rapi. Taman itu memang indah sekali, dibangun oleh Syanti Dewi sendiri yang mendatangkan berbagai macam bunga dari daratan untuk ditanam di pulau itu. Mereka duduk di bangunan kecil di tepi danau buatan yang penuh dengan ikan-ikan emas beraneka macam dan warna, yang nampak berenang ke sana kemari di dalam air yang amat jernih itu. Jembatan-jembatan kecil dicat indah dan nyeni menambah semarak pemandangan di taman dan batang-batang pohon yang-liu yang lentik itu menari-nari tertiup angin pagi yang lembut.
"Dewi." kata Ouw Yan Hui dengan halus. Dia selalu menyebut Dewi kepada muridnya itu, dan tak pernah dia bosan untuk memandang wajah yang jelita itu.
Ouw Yan Hui biasanya bersikap dingin dan kasar angkuh kepada orang lain, akan tetapi terhadap Syanti Dewi dia bersikap lembut dan manis budi. "Kabarnya hari ini pangeran akan datang mengunjungi pulau kita, benarkah"
"Benar, Enci Hui." Syanti Dewi biasa menyebut gurunya itu Enci dan hubungan mereka memang lebih mirip kakak dan adik daripada guru dan murid. "Kemarin seorang pengawalnya telah menyampaikan berita itu."
"Dewi, sahabatmu itu adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menjadi kaisar! Dan kulihat hubungan antara kalian demikian akrab. Hemm, daripada engkau dikelilingi begitu banyak pria muda, apakah tidak lebih baik kalau menentukan pilihanmu sekarang juga" Dan kurasa, paling tepatlah kalau engkau memilih pangeran itu. Bayangkan saja kelak engkau menjadi permaisuri dan...."
"Enci Hui, harap jangan sebut-sebut tentang hal itu!" Syanti Dewi memotong dengan alis agak berkerut, sungguhpun wajahnya masih tetap berseri dan senyumnya masih membayang di bibirnya yang merah basah dan sudah begitu segar nampaknya di pagi hari itu.
Kini Ouw Yan Hui yang memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sinar matanya serius. "Dewi, marilah kita bicara dari hati ke hati secara terbuka saja karena yang kita akan bicarakan ini menyangkut masa depan kehidupanmu. Tak perlu kusebutkan lagi karena engkau sudah mengenalku, bahwa aku pribadi tidak sudi berdekatan dengan pria, apalagi menjadi isteri. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau menentang sikap hidupku dan engkau mengatakan bahwa sekali waktu engkau tentu akan menjadi isteri seorang pria. Nah, usiamu sudah dua puluh enam tahun dan selagi sekarang terbuka kesempatan yang amat baik ini, mengapa engkau masih hendak bertahan" Kalau memang engkau suka hidup sebagai isteri orang, sekaranglah saatnya dan pangeran mahkota itulah orangnya yang patut menjadi suamimu. Bayangkan, kelak engkau menjadi permaisuri. Hemm, bahkan aku sendiri pun yang tidak suka kepada pria akan ikut merasa bangga disebut seorang kakak angkat dari permaisuri!"
"Enci, lupakah kau bahwa aku selalu menganggap perjodohan itu hanya mungkin apabila terdapat cinta kasih di situ" Apakah kaukira aku akan serendah itu, menikah dengan seorang pria hanya berdasarkan kedudukan belaka" Ingat, di Bhutan aku adalah seorang puteri tunggal Raja Bhutan!"
"Hemm, apa artinya kedudukanmu di Bhutan kalau dibandingkan dengan menjadi permaisuri kaisar" Dewi, apa artinya cinta kasih" Apa kaukira ada cinta kasih dalam hati seorang pria" Huh, aku tidak percaya itu! Pria hanya mempunyai nafsu berahi, nafsu binatang, dan selalu hanya ingin memuaskan nafsunya terhadap wanita, ingin mempermainkan wanita sampai akhirnya dia menjadi bosan dan mencari wanita baru yang lain! Kalau engkau dapat menjadi permaisuri dari sebuah pernikahan, tidak peduli Kaisar yang menjadi suamimu itu kelak mengumpulkan seribu orang selir, tetap saja engkau sudah memperoleh kedudukan dan kekuasaan tertinggi bagi seorang wanita, dan...."
"Cukup, Enci. Aku tidak mau lagi bicara tentang itu! Kau tahu, Pangeran Kian Liong hanya menjadi sahabat baikku, kami saling cocok dan saling suka, saling menghormat, sama sekali tidak ada perasaan yang kaumaksudkan itu...."
"Hi-hi-hik, kaukira aku ini anak kecil, Dewi" Aku melihat jelas betapa pada sinar matanya terdapat kekaguman dan gairah berahi...."
"Usianya baru delapan belas tahun, aku jauh lebih tua...."
"Apa salahnya" Melihat wajahmu, engkau lebih pantas dikatakan baru berusia delapan belas tahun! Dan perbedaan usia itu akan membuat engkau lebih mudah mengatasinya."
"Sudahlah, kau tahu, Enci. Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga, betapapun kaya raya dan berkuasanya pria itu, kecuali dengan pria yang kucinta."
"Tek Hoat itu lagi, ya" Betapa bodohnya engkau...."
"Tidak! Dia sudah kuhapus dari dalam lubuk hatiku. Setelah bertahun-tahun ini dia tidak muncul, aku mulai percaya bahwa dia memang berhati palsu!"
Ouw Yan Hui tertawa lagi. "Bukan hanya dia, semua laki-laki di dunia berhati palsu! Oleh karena itu, aku lebih suka berdekatan dengan sesama wanita yang memiliki kelembutan, baik jasmani maupun rohaninya. Dunia ini seharusnya dikuasai wanita dan semua pria sebaiknya dibinasakan saja!"
Pada saat mereka berdua tertawa santai terbebas dari percakapan tentang hal yang mendatangkan kenangan tidak menyenangkan dalam hati Syanti Dewi itu, muncullah penjaga berkumis lebat. Melihat bahwa Siocia berada di dalam taman bersama Toanio, wajahnya menjadi pucat dan cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut ketika Ouw Yan Hui menoleh dan memandang kepadanya.
"Harap Toanio sudi mengampuni saya yang berani lancang masuk ke sini, karena saya tidak tahu bahwa Toanio di sini."
Syanti Dewi yang maklum akan tabiat gurunya yang membenci kaum pria dan mudah menjatuhkan tangan kejam terhadap pria yang bersalah sedikit saja, cepat berdiri menghampiri pria penjaga itu dan bertanya dengan sikap ramah, mendahului Ouw Yan Hui yang sudah memandang dengan alis berkerut kepada pria berkumis lebat itu.
"Ada keperluan apakah engkau datang ke sini"
"Maaf, Siocia. Di pantai pulau ada seorang sastrawan berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermaksud berjumpa dengan Siocia...."
"Siapa dia" Apa keperluannya" tanya Syanti Dewi.
"Usir dia pergi!" bentak Ouw Yan Hui suaranya melengking marah sehingga mengejutkan Si Penjaga berkumis tebal yang masih berlutut.
"Saya.... sudah berusaha mengusirnya.... akan tetapi dia menuliskan sesuatu di atas kipas ini dan minta untuk disampaikan kepada Siocia...." Cepat-cepat dia mengeluarkan kipas itu dari saku bajunya.
"Keparat berani kau...."
Penjaga itu terkejut bukan main karena yang nampak hanya berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu dia merasa kepalanya seperti disambar petir dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia merangkak bangkit duduk, dengan kedua tangan dia cepat memegangi kepalanya untuk melihat apakah kepalanya tidak copot dan masih menempel di lehernya! Ternyata tadi dalam kemarahannya, Ouw Yan Hui telah menendangnya, dan dengan sama cepatnya Syanti Dewi telah mengambil kipas itu dan selanjutnya nona yang jelita ini menyabarkan gurunya.
"Enci, dia hanya petugas, harap ampuni dia." kata Syanti Dewi yang segera membuka kipas itu dan membacanya. Sepasang mata yang indah itu bersinarsinar, mulut yang manis sekali itu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia membaca sajak yang ditulis dengan huruf-huruf biasa yang amat indahnya itu.
Kembang indah jelita nan cantikmenarik datangnya kumbang-kumbangbeterbanganmembuat banyak tangan ingin memetikbanyak pria berlumbabersaing!
Aku, sastrawan tuapengagum segala nan indahhanya ingin menikmatidengan pandangan matasebelum kembang jelitadilayukan usia!Kasihan kumbang, belum kenyang madutertusuk duri!Kalian kembang, habis madulayu sendiri!
"Di mana dia sekarang" Syanti Dewi bertanya kepada penjaga yang masih berlutut dan mandi keringat karena ketakutan itu. Kumisnya nampak miring dan sama sekali tidak membayangkan kegalakan lagi. "Dia.... menanti.... di dalam perahunya, Siocia." jawabnya dengan lirih dan matanya mengerling ketakutan ke arah Ouw Yan Hui.
"Kaupersilakan dia menanti di ruangan tamu, aku akan menemuinya." kata Syanti Dewi dengan halus. "Nah, pergilah!"
Penjaga itu merasa lega sekali. Cepat dia bangkit dan memberi hormat, kemudian dengan penuh kehormatan dia menjura ke arah Ouw Yan Hui. "Terima kasih atas pengampunan Toanio...." Dan pergilah dia dengan cepat-cepat meninggalkan taman indah dan yang baginya seperti neraka menakutkan itu.
"Enci, dia itu hanya seorang sastrawan tua yang tulisannya indah syairnya bagus sekali. Aku mau menemuinya."
Ouw Yan Hui bangkit berdiri, sejenak memandang kepada puteri itu, lalu membuang muka dan mendengus. "Huhh! Segala tua bangka menjemukan....!" Dan dia pun pergi meninggalkan Syanti Dewi dengan wajah cemberut. Syanti Dewi yang sudah mengenal watak gurunya itu hanya tersenyum saja. Gurunya itu memang tidak suka kepada pria, akan tetapi dia tahu bahwa wanita itu amat sayang kepadanya dan tidak akan merintangi kehendaknya. Maka dia pun cepat-cepat pergi meninggalkan taman untuk memasuki bangunan seperti istana itu.
"Siapa namamu" begitu bertemu dengan sastrawan tua yang masih menanti di perahu itu, penjaga berkumis membentak. Dia masih merasa marah karena telah dihadiahi tendangan oleh toanio dan karena hal ini adalah gara-gara munculnya sastrawan ini maka dia menjadi marah kepada sastrawan itu.
Sastrawan tua itu tersenyum dan membungkuk. "Namaku Pouw Toan, seorang sastrawan perantau. Bagaimana, apakah Nonamu telah menerima pesanku dalam kipas"
"Dengar, orang she Pouw!" kata penjaga itu dengan mata merah, dan telunjuknya menuding ke arah hidung sastrawan itu. "Kalau engkau tidak menceritakan yang baik-baik tentang aku di depan Siocia agar aku mendapat hadiah, ingat, kalau engkau kembali tentu akan kubikin lukisan di mukamu dengan kedua kepalan tanganku ini!" Dia mengamangkan tinjunya yang besar kepada sastrawan itu.
"Gara-gara kedatanganmu aku telah kena marah oleh Toanio!"
Sastrawan itu tersenyum, "Ah, kiranya aku telah menyusahkanmu, sobat. Jangan khawatir, setelah aku berhasil bertemu dengan Siociamu, kalau pulang aku tentu akan memberi hadiah kepadamu. Nah, sekarang antarkan aku kepada Siociamu."
Penjaga itu lalu mengantarkan Pouw Toan menuju ke ruangan tamu di samping istana yang megah itu. "Kautunggu di sini, demikian pesan Siocia tadi." Kata Si Penjaga lalu meninggalkan Pouw Toan seorang diri di dalam ruangan tamu yang luas itu.
Pouw Toan memeriksa keadaan kamar tamu yang cukup luas itu dengan hati tertarik. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja dia kagum sekali melihat ruangan tamu yang dihias dengan amat menyenangkan itu, dengan warna-warna sejuk pada dinding yang digantungi lukisan-lukisan indah. Akan tetapi dia tertarik sekali akan serangkaian indah di sudut ruangan, dan dia berdiri seperti patung di depan tulisan ini, dengan alis berkerut dan dia masih berdiri seperti itu ketika Syanti Dewi muncul dari dalam pintu yang tertutup tirai hijau muda. Melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun berdiri di depan tulisan itu dengan alis berkerut dan agaknya tertarik sekali sehingga tidak melihat dia muncul, Syanti Dewi tersenyum. Dia tertarik melihat pria yang tidak seperti para pengunjungnya yang lain itu. Biasanya, di kamar tamu ini dia menerima kunjungan orang-orang muda yang menarik dan dengan pakaian serba indah seolah-olah bergaya dan bersaing. Akan tetapi pria ini sudah setengah tua, dan pakaiannya sederhana saja, seperti pakaian orang yang miskin.
"Pamankah yang ingin bertemu dengan aku" Syanti Dewi akhirnya menegur karena pria itu seperti terpesona oleh tulisan-tulisan di dinding.
Pouw Toan menengok dan sejenak dia terbelalak memandang dara yang berdiri tak jauh di depannya. Sudah banyak dia mendengar nama puteri yang berada di Kim-coa-to ini, sehingga menarik hatinya dan membuatnya datang singgah di pulau itu untuk menyaksikan sendiri seperti apa puteri yang dikabarkan orang seperti bidadari dari sorga itu. Dan setelah kini dia berhadapan, dia terpesona dan tercengang karena dia seolah-olah melihat Kwan Im Pouwsat sendiri berdiri di depannya. Kecantikan dara ini sungguh jauh melampaui apa yang didengarnya dalam berita angin itu. Kecantikan yang luar biasa sekali! Sepasang matanya seperti orang dahaga bertemu dengan air jernih, menghirup dan meneguk keindahan depannya itu sepuasnya!
"Nona, yang dikabarkan sebagai bidadari Kim-coa-to dan bernama Syanti Dewi itu"
Syanti Dewi mengangguk dan tersenyum. Dia merasa aneh sekali. Sudah biasa dia disanjung dan dipuji oleh bibir-bibir para pria muda, bahkan dengan katakata sanjungan yang berlebihan, akan tetapi anehnya, ucapan yang keluar dari mulut kakek ini membuat dia merasa senang, bangga dan jantungnya berdebar. Mengapa" Mungkin karena kata-kata dan sikap pria ini begitu jujur, bukan seperti sanjungan para muda yang penuh dengan lagak dan jelas membayangkan pamrih bersembunyi di balik sanjungan itu. Akan tetapi pria ini tidak demikian.
"Ah, Paman, berita itu hanya isapan jempol belaka. Mana mungkin seorang manusia biasa seperti aku dibandingkan dengan seorang bidadari"
Kakek itu menarik napas panjang, masih terpesona. "Kau keliru! Engkau malah melebihi yang dibayangkan orang, engkau lebih dari seorang bidadari! Kau tahu, seorang bidadari hanya suatu gambaran yang tanpa cacat, sebaliknya engkau adalah seorang manusia berikut cacat-cacatnya, karena itu jauh lebih mempesona daripada sekedar gambaran kosong belaka!"
Heran sekali, ucapan ini jelas mengandung pujian yang disertai celaan akan kecantikannya, akan tetapi Syanti Dewi malah merasa girang! Dia merasa kembali menjadi manusia biasa bertemu dengan kakek ini.
"Silakan duduk, Paman dan katakanlah apa cacat-cacatku" Engkau tentu tahu bahwa sebagai manusia biasa, aku pun tidak pandai melihat cacat-cacat sendiri sungguhpun aku pandai melihat cacat-cacat lain orang."
Kakek itu duduk dan mengangguk-angguk. "Hemm, selain kecantikan engkau memiliki kebijaksanaan pula, Nona. Cacat-cacatmu adalah bahwa di balik kecantikanmu itu engkau mengandung kedukaan yang mendalam yang kaucoba sembunyikan di balik senyum manis dan sinar mata yang seindah bintang. Dan selain kedukaan, juga engkau menaruh dendam besar, hal itulah yang merusak kecantikanmu. Akan tetapi cacat-cacat itu malah menghidupkanmu, bukan sekedar gambar bidadari, melainkan seorang manusia berikut kelebihan dan kekurangannya. Sayang cacat-cacatmu itulah yang menciptakan kepedihan dalam hidupmu, Nona."
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan memandang tajam penuh selidik, karena merasa tepatnya ucapan itu. "Engkau seorang ahli peramal"
"Ha-ha-ha!" Melihat kakek itu tertawa, Syanti Dewi merasa makin tertarik karena ketawa itu begitu wajar sehingga dia pun ikut tertawa dan bergembira, seperti sinar matahari memasuki ruangan itu yang biasanya lembab oleh sikap Ouw Yan Hui yang selalu muram dan dingin. "Nona, segala peramal itu hanya omong kosong belaka. Aku dapat membaca keadaan batinmu dari wajahmu, bukankah wajah adalah cermin dari keadaan hati seseorang"
"Paman, siapakah engkau"
"Namaku Pouw Toan, aku seorang sastrawan tua yang tidak tinggal di tempat tertentu, selalu merantau untuk menikmati keindahan alam semesta."
"Paman Pouw, ketika aku memasuki ruangan ini, kulihat engkau amat memperhatikan tulisan di dinding itu. Mengapa" Syanti Dewi memandang karena tulisan di dinding itu sebetulnya adalah buatannya sendiri! "Apakah tulisan itu buruk"
Pouw Toan menoleh ke arah tulisan itu. "Buruk" Tidak, tulisan wanita itu cukup halus dan indah, akan tetapi bunyi tulisannya itulah yang palsu dan buruk!"
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan penasaran. Ah, aku menganggap tulisan itu benar dan baik, mengapa kaukatakan palsu dan buruk" Kurasa engkau bukan termasuk orang yang hanya pandai mencela tanpa dapat mengemukakan alasannya."
"Tentu saja! Coba kubaca tulisan itu!" Dia lalu bangkit berdiri, menghadapi tulisan itu lalu membaca dengan suara latang dan iramanya bagus seperti bernyanyi.
"Cinta membutakan matamenulikan telingapedih perih nyerimerobek-robek hatiAkan tetapi mengapaseluruh raga dan jiwaselalu mendambakan cinta"
Pouw Toan lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Syanti Dewi yang diam-diam merasa terharu mendengar cara kakek itu membacakan sajaknya, demikian indah terdengarnya dan belum pernah selamanya dia mendengar ada orang mampu membaca sajaknya dengan irama sedemikian cocok, tepat dan indahnya. Hatinya seperti merasa tersentuh dan keharuan membuat kedua matanya terasa panas dan basah air mata karena mendengar suara kakek itu hatinya terasa seperti terobek-robek mengenangkan nasib dirinya dalam cinta yang gagal.
"Isi sajak ini buruk dan palsu, harus dirobah sama sekali karena hanya akan mendatangkan duka dan keharuan, dan sama sekali mengandung gambaran yang sama sekali salah tentang cinta kasih!" kakek itu berkata-kata, nada suaranya penuh rasa penasaran. Perasaannya ini seperti yang dirasakan oleh seorang pelukis melihat lukisannya yang buruk, atau seorang ahli musik mendengarkan musik yang sumbang.
Syanti Dewi sudah dapat menguasai perasaannya lagi yang kini menjadi penasaran. Kakek itu dapat membaca sajaknya sedemikian indah penuh perasaan, akan tetapi mengapa malah mencela habis-habisan" Timbul keinginan tahunya.
"Paman Pouw, kalau begitu, cobalah kaurobah sajak itu bagaimana baiknya."
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Kaukira aku ini orang macam apa Nona. Aku tidak berani selancang itu. Merobahnya tanpa ijin berarti menghina penulisnya!"
Syanti Dewi tersenyum. "Jangan khawatir, Paman, aku telah memberi ijin dan akulah penulisnya."
"Ahh....!" Kakek itu nampak tercengang akan tetapi tidak minta maaf! Dan hal ini makin menarik hati Syanti Dewi karena kakek itu ternyata selain jujur, juga tidak bersifat penjilat seperti semua pemuda yang pernah mengunjunginya.
"Di atas meja di sudut sana itu ada kotak terisi alat-alat tulis, harap kau suka berbaik hati untuk membetulkan dan merobahnya, Paman."
Akan tetapi Pouw Toan sudah mengeluarkan alat tulisnya sendiri dari saku bajunya yang besar. "Seorang pendekar tak pernah terpisah dari pedangnya, dan seorang sastrawan tak pernah berpisah dari alat tulisnya. Kalau Nona sudah mengijinkan, nah, biar kurobah tulisan ini!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggosok bak dan mendekati kain yang terisi tulisan indah dari Syanti Dewi, kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia menggerakkan alat tulisnya di atas kain putih itu. Mula-mula dia mencoret huruf-huruf itu dengan coretan dari atas ke bawah, coretan kasar namun tarikannya mengandung tenaga yang halus sehingga coretan itu nampak "hidup", sama sekali tidak membuat buruk tulisan itu, bahkan seperti menjadi bayangan yang menghiasinya! Kemudian, ditempat yang masih kosong dia menuliskan beberapa buah huruf, dilakukan dengan cepat akan tetapi huruf-huruf yang tercipta di situ sungguh amat indah dan hidup membuat Syanti Dewi terbelalak memandang penuh kagum. Sajak baru yang dibuat di samping sajak lama yang dihias coretan itu singkat-singkat sekali, setiap baris hanya terdiri dari satu huruf saja!
Api...." Asap....!
Abu....! Cinta...."
Kepuasan....! Kesenangan....!
Akhirnya...."
Kecewa....! Sengsara....! Benci....! Aku adaCinta tiada!
Setelah selesai menuliskan sajak yang terdiri dari huruf-huruf singkat itu, Pouw Toan menyimpan kembali alat tulisnya, sedangkan Syanti Dewi masih menatap tulisan itu dan membacanya berkali-kali. Hanya sebuah huruf setiap baris, namun huruf-huruf itu demikian jelas menusuk perasaannya, mendatangkan kesan mendalam dan menimbulkan pengertian yang lengkap. Namun dia masih penasaran!
"Akan tetapi, Paman Pouw. Mengapa orang mencinta tidak boleh mengharapkan kepuasan dan kesenangan" Bukankah kita mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan tertentu"
Mereka sudah duduk kembali saling berhadapan, menghadapi poci dan cawan teh harum yang dihidangkan oleh pelayan yang sudah disuruh pergi lagi oleh Syanti Dewi.
Pouw Toan menghirup teh harum kental itu, lalu menjawab. "Mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan merupakan cinta yang hanya ingin menyenangkan diri sendiri. Dasarnya adalah irngin menyenangkan diri sendiri melalui sesuatu yang menarik dan dianggap kebaikan itu. Kebaikan itu boleh saja merupakan wajah tampan menarik, atau harta berlimpah-limpah, atau kedudukan tinggi, dan semua itu dianggap menarik dan menyenangkan...."
"Tetapi bisa saja kebaikan itu berupa sifat-sifat baik dari orang yang dicinta, kegagahan misalnya, kebijaksanaan atau sifat-sifat budiman...." bantah Syanti Dewi.
"Tiada bedanya. Sifat-sifat yang dianggap baik dan akan mendatangkan kesenangan, kebanggaan dan sebagainya. Akan tetapi kita lupa bahwa setiap orang manusia itu kalau sudah dinilai, sudah pasti mengandung dua sifat bertentangan, ada baik tentu ada buruknya. Mencinta dengan dasar ketampanan, padahal ketampanan itu dapat pudar, dapat lenyap dan dapat berkurang menurut suasana hati yang m,emandangnya. Kalau ketampanannya pudar, lalu ke mana perginya cinta" Dengan dasar kekayaan, kedudukan, kejantanan atau apa saja pun sama pula, begitu yang menjadi pendorong cinta itu pudar atau lenyap maka cintanya turut lenyap. Dan harus diingat lagi bahwa hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan itu hanya dianggap demikian karena belum tercapai oleh kita, akan tetapi apabila sudah berada di tangan kita, biasanya muncul penyakit bosan dan segala keindahan itu sudah tidak nampak sebaik sebelum terdapat!"
Syanti Dewi memejamkan mata. Di dalam kepala yang berbentuk indah itu, otaknya sedang bekerja keras sekali.
Nampaklah olehnya betapa kadang-kadang dia menjadi benci sekali kepada Tek Hoat kalau dia mengingat akan sikap-sikap Tek Hoat yang tidak menyenangkan hatinya, cintanya berobah benci! Nampak jelas olehnya betapa kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya baik dan menyenangkan, cintanya berkobar-kobar, akan tetapi sebaliknya kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya buruk dan tidak menyenangkan, cintanya melayu dan muncullah kebencian. Dia membuka mata dengan penuh kengerian di dalam hatinya. Seperti itukah cintanya terhadap Tek Hoat" Hanya berdasarkan menyenangkan dirinya sendiri" Dia bergidik!
"Paman Pouw....Paman.... katakanlah, kalau begitu.... apa dan bagaimana cinta kasih itu" Suaranya lirih seperti memohon, pandang matanya sayu.
Sejenak sastrawan itu terpesona. Belum pernah dia melihat kelembutan dan kecantikan seperti ini. "Nona.... eh.... aku memohon padamu.... bolehkah aku melukis wajahmu...." Dia pun berbisik.
Sikap kakek ini membuat Syanti Dewi tersenyum dan keharuannya pun membuyar. Sikap dan bisikan kakek itu hampir sama dengan sikap para muda, hanya perbedaannya yang teramat besar, kalau pemuda-pemuda itu membujuknya untuk dilayani atau dibalas cinta mereka, kakek ini sebaliknya membujuk untuk diperbolehkan melukis wajahnya!
"Tentu saja, Paman, Akan tetapi lebih dulu aku minta Paman menjawab pertanyaanku tadi."
"Apa dan bagaimana cinta kasih itu" Ahh, Nona, mana mungkin manusia biasa macam kita dapat menggambarkan bagaimana adanya cinta kasih itu" Sama dengan harus menggambarkan bagaimana adanya Tuhan itu! Yang penting bagi kita, Nona, adalah kita tahu apa sesungguhnya yang bukan cinta itu! Selama ada si aku yang ingin disenangkan melalui orang yang kita cinta, maka mana mungkin ada cinta kasih" Yang ada tentulah hanya kekecewaan, kedukaan, kebencian dan permusuhan belaka!"
Syanti Dewi tidak berani bicara lagi tentang cinta. Kini baru terbuka matanya, betapa sesungguhnya cinta kasih merupakan hal yang amat agung dan pelik, yang tidak mudah dibicarakan dan dipikirkan begitu saja. Yang biasa kita pikirkan dan bayangkan adalah cinta yang sesungguhnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri kita dengan menggunakan sampul yang kita namakan cinta!
Senang sekali Syanti Dewi bercakap-cakap dengan sastrawan itu. Setiap kata-katanya mengandung makna mendalam. Maka mulailah dia dilukis. Dia diminta duduk dan bercakap-cakap seperti biasa saja, dan kakek itu setelah menerima sehelai kain putih yang bersih dan kuat, lalu mulai melukisnya, sambil omong-omong pula! Maka Syanti Dewi tidak lelah dan hanya duduk santai saja seperti biasa kalau dia bercakap-cakap.
Banyak hal yang dibicarakan. Syanti Dewi teringat akan pengakuan kakek itu yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu dan seorang perantau yang menikmati keindahan alam semesta.
"Kau tentu miskin sekali, Paman"
Kakek itu terbelalak memandang Sang Puteri lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, justeru sebaliknya, Nona. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaya di dunia ini! Segala keindahan dunia ini adalah untukku! Aku dapat menikmati alam semesta di manapun juga, tanpa memilikinya. Sekali orang memiliki sesuatu, maka berarti bahwa dia sesungguhnya telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya itu!"
"Eh, apa pula maksudmu, Paman"
"Jelas sekali. Begitu kita memiliki sesuatu, yang kita miliki itu akan kehilangan keindahannya karena kita telah terjangkit penyakit tamak, ingin memiliki yang lebih dari yang telah kita punyai. Memiliki hanya menimbulkan sengketa, persaingan, perebutan, iri hati. Dan siapa yang memiliki, dialah yang akan kehilangan dan agar jangan sampai kehilangan itu, kalau perlu dia menjaganya dengan taruhan segala kebahagiaan, bahkan nyawanya. Bukankah demikian"
"Jadi, kau tidak memiliki apa-apa, Paman"
"Ha-ha-ha, justeru karena aku tidak memiliki apa-apa, maka segala sesuatu ini adalah untukku belaka!"
Syanti Dewi masih belum mengerti betul akan inti dari semua kata-kata sastrawan itu. Tiba-tiba timbul pikirannya bahwa orang aneh seperti Pouw Toan ini tentu banyak pengalamannya di dunia kang-ouw dan mengenal banyak orang sakti.
"Paman Pouw, apakah Paman mengenal seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng dan isterinya yang bernama Puteri Milana" Dia memancing.
"Ah, tentu saja! Kami adalah sahabat-sahabat baik dan sungguh menggembirakan kalau bicara dengan Gak-taihiap dan keluarganya! Dia tinggal di Puncak Telaga Warna yang indah di Pegunungan Beng-san."
"Tentu Paman mengenal pula keluarga Majikan Pulau Es, kalau begitu"
Kakek itu menarik napas panjang. "Memang aku tahu, akan tetapi seorang sastrawan macam aku ini mana mungkin bisa berdekatan dengan mereka" Terlalu jauh.... terlalu tinggi, dan aku tidak mampu membawa perahu mencapai Pulau Es. Tentu pendekar sakti itu, Suma Han Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, kini telah tua dan tidak pernah kudengar beritanya di dunia kang-ouw. Bahkan putera-puteranya pun tidak terdengar beritanya. Agaknya kini semua pendekar sedang menikmati ketenangan hidup di tempat masing-masing, sungguhpun belum lama ini terjadi geger di dunia kang-ouw karena lenyapnya Pedang Pusaka Naga Siluman dari istana kaisar." Dengan singkat namun jelas sastrawan itu lalu bercerita sekedarnya tentang pedang pusaka yang kabarnya dilarikan maling sakti ke Pegunungan Himalaya itu dan betapa banyak orang kang-ouw melakukan pengejaran ke sana untuk memperebutkan pedang pusaka keramat itu.
"Akan tetapi, kurasa pendekar-pendekar sakti seperti keluarga istana Pulau Es itu tidak akan merendahkan diri memperebutkan pedang pusaka itu." tambahnya.
Syanti Deewi mendengarkan dengan hati tertarik. Kemudian, pertanyaan inti yang sejak tadi berada di ujung lidahnya, diajukan dengan suara yang dibikin setenang mungkin, "Paman Pouw, pernahkan Paman mendengar atau bertemu dengan seorang tokoh Kang-ouw yang berjuluk Si Jari Maut"
Sastrawan itu mengerutkan alisnya, kemudian menggeleng kepalanya. "Aku belum pernah bertemu muka, akan tetapi aku sudah banyak mendengar tentang tokoh muda itu. Akan tetapi menurut berita terakhir, pendekar muda yang terkenal dan bahkan kabarnya masih anak keluarga penghuni Istana Pulau Es itu kini menjadi gila...."
"Ehh...." Syanti Dewi hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangan.
"Atau menurut kabar, keadaannya seperti orang kehilangan ingatan, pakaiannya seperti pengemis, rambut dan brewoknya tak terpelihara dan dia seringkali tertawa dan menangis. Memang aneh sekali tokoh itu.... heei, kenapa...." Sastrawan itu terkejut melihat Syanti Dewi tiba-tiba menutup muka dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu!
Sejenak sastrawan itu termangu, akan tetapi dia lalu mengangguk-angguk maklum. Dihubungkannya bunyi sajak tulisan puteri itu dan sikapnya sekarang ketika mendengar tentang pendekar muda berjuluk Si Jari Maut itu, dan mengertilah dia bahwa tentu ada hubungan cinta yang gagal atau patah antara dara ini dan Si Jari Maut itu. Sebagai seorang yang bijaksana dia tidak mengganggu, membiarkan dara itu menangis melampiaskan duka yang agaknya sudah terlalu lama ditahan-tahannya itu dan dia enak-enak saja melanjutkan dan menyelesaikan lukisannya.
Memang lapanglah rasa dada Syanti Dewi setelah menangis, sungguhpun kini dia merasa seluruh tubuhnya lemah dan hatinya penuh dengan haru dan iba terhadap kekasihnya yang dikabarkan menjadi berobah ingatan itu! Dia mengusap air matanya dan memandang kepada sastrawan itu dengan mata merah.
"Maafkan sikapku, Paman. Akan tetapi aku ingin beristirahat dan tidak dapat menemanimu lebih lama lagi...."
"Tidak mengapa, Nona. Lukisan ini sudah rampung dan terimalah ini sebagai persembahan dan terima kasihku bahwa Nona telah sudi menerimaku dan memberi kesempatan kepadaku untuk menikmati kecantikanmu dan sungguh pertemuan ini takkan terlupakan selama hidupku." Dia menyerahkan lukisan itu kepada Syanti Dewi.
Syanti Dewi menerima lukisan itu dan dia terkejut dan kagum. Lukisan itu tidaklah dapat dibilang indah, dalam arti kata indah menurut keinginannya dilukis secantik mungkin, akan tetapi beberapa goresan-goresan itu amat kuatnya mencerminkan segala bentuk dan sifat-sifat, bukan hanya lahiriah akan tetapi juga batiniah. Melihat lukisan itu dia merasa seolah-olah melihat dirinya sendiri dibalik cermin dalam keadaan yang sewajarnya tanpa ditutup hiasan apa pun, wajahnya "telanjang" sama sekali dalam lukisan itu dan nampaklah bayangan-bayangan duka yang mendalam! Tiba-tiba dia teringat kepada Tek Hoat dan dengan jari-jari gemetar dia mengembalikan lukisan itu.
Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman Pouw, terima kasih atas pemberianmu. Akan tetapi, kuharap engkau.... kalau kebetulan bertemu dengan dia.... sudilah kau memberikan lukisan ini kepadanya, siapa tahu.... dapat menolongnya...." Suaranya gemetar dan makin lirih.
Tanpa disebut namanya pun kakek yang bijaksana itu sudah tahu siapa yang dimaksudkan, maka dia menerima lukisan itu, digulungnya dan dia bangkit berdiri. "Baiklah, mudah-mudahan saja aku dapat berjumpa dengan dia. Nah, selamat tinggal, Nona dan terima kasih atas keramahanmu telah sudi menyambut aku sebagai seorang tamu."
"Aku merasa girang sekali dapat berkenalan dengan seorang seperti engkau, Paman Pouw. Selamat jalan.... mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu lagi."
Pouw Toan lalu meninggalkan ruangan tamu itu, tiba-tiba dia teringat akan penjaga berkumis, maka dia berhenti, menoleh sambil tersenyum dan berkata,
"Nona, penjaga berkumis tebal itu menerima pukulan gara-gara kedatanganku, harap kau suka ingat kepadanya."
Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Maka pergilah Pouw Toan. Benar saja, baru dia tiba di luar istana, dia sudah disambut oleh penjaga itu yang memandangnya dengan penuh perhatian dan sinar matanya mengandung pertanyaan.
"Siociamu tentu akan memperhatikan nasibmu." kata Pouw Toan dan giranglah penjaga itu. Dengan ramah dia lalu mengantar Pouw Toan kembali ke perahunya dan tak lama kemudian perahu yang didayung perlahan-lahan oleh sastrawan itu pun meninggalkan Kim-coa-to.
Sementara itu, Syanti Dewi memanggil penjaga dan memesan bahwa hari itu dia tidak mau menerima tamu lagi.
"Tapi, Siocia! Ouw-kongcu dan Ang-kongcu sudah sejak tadi menunggu!" penjaga itu berkata. Dia yang sudah sering kali menerima hadiah dari dua orang pemuda itu tentu saja mencoba untuk membujuk nona majikannya untuk mau menerima dua orang pemuda itu. Pemuda she Ouw adalah pemuda hartawan yang kaya-raya, sedangkan pemuda she Ang adalah sahabatnya, putera seorang pembesar. Pemuda hartawan dan bangsawan itu datang dari seberang, dari daratan, menggunakan sebuah perahu besar yang mewah milik Ouw-kongcu.
"Biar siapapun juga yang datang, aku tidak akan menemui mereka. Katakan bahwa aku sedang tidak enak badan dan tidak dapat menemui tamu." Setelah berkata demikian, Syanti Dewi pergi ke kamarnya, mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, kedua matanya menatap langit-langit dan membayangkan keadaan Tek Hoat yang menyedihkan. Timbul keinginan besar di dalam hatinya untuk pergi sendiri, meninggalkan pulau dan mencari Ang Tek Hoat, menghiburnya, mengobatinya. Akan tetapi, dia membayangkan pengalamannya yang lalu dan dia mengeraskan hati. Dia harus melihat sikap Tek Hoat lebih dulu, harus melihat pemuda itu datang ke pulau ini, baru dia akan mengambil keputusan apakah dia menganggap baik untuk melanjutkan hubungan cinta mereka yang telah putus. Dia tidak mau menderita lagi, tidak mau bertepuk tangan sebelah. Dia hanya mendengar keadaan pemuda itu yang menyedihkan, akan tetapi dia belum melihat sendiri bagaimana sikap Tek Hoat sekarang terhadap dirinya.
Dua orang pemuda yang menerima kabar bahwa Syanti Dewi tidak dapat menerima mereka karena dia tidak enak badan, tidak menjadi marah sungguhpun mereka kecewa sekali. Mereka tidak putus asa dan mereka juga tidak mau pulang, hanya menanti di perahu itu sampai Syanti Dewi sembuh. Bahkan mereka mengirim buah-buah dan makanan-makanan lain yang mereka bawa dari daratan, mereka berikan kepada Sang Puteri yang katanya sedang sakit itu melalui para pelayan yang tentu saja mau menyampaikan semua itu karena menerima hadiah-hadiah!
Syanti Dewi membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan dan makin diingat, makin beratlah duka menindih hatinya. Dia merasa amat sengsara dan tidak bahagia dalam cintanya, namun dia pun merasa pula betapa cintanya terhadap Tek Hoat selama ini tidak pernah mati, sungguhpun dia mencoba dengan segala daya upaya untuk menyatakan kepada diri sendiri bahwa hubungan cinta mereka telah putus! Maka, teringat akan semua itu, tak tertahankan lagi puteri ini menangis seorang diri di dalam kamarnya, menangis sesenggukan dan menyembunyikan mukanya dalam himpitan bantal yang telah menjadi basah oleh air matanya.
Betapa menyedihkan melihat kehidupan begini penuh dengan duka dan penderitaan, kekecewaan dan penyesalan, kesengsaraan dan hanya kadang saja diseling sedikit sekali suka yang hanya kadang-kadang muncul seperti berkelebatnya kilat sejenak saja di antara awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan dari mana timbulnya"
Jelaslah bahwa duka pun bukan merupakan hal di luar diri kita. Duka tidak terpisah dari kita sendiri dan kita sendirilah pencipta duka! Kita merasa berduka karena iba diri, dan iba diri timbul kalau si aku merasa kecewa karena dirampas apa yang menjadi sumber kesenangannya. Karena merasa di jauhkan dari kesenangan yang mendatangkan nikmat lahir maupun batin, maka si aku merasa iba kepada dirinya sendiri. Pikiran, tumpukan ingatan dan kenangan, gudang dari pengalaman-pengalaman masa lalu, mengenangkan semua hal-hal yang menimpa diri dan memperdalam perasaan iba diri itu. Pikiran seperti berubah menjadi tangan iblis yang meremas-remas perasaan hati, maka terlahirlah duka! Tanpa adanya pikiran yang mengenang-ngenang segala hal yang menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada duka. Biasanya, kalau duka timbul, kita lalu melarikan diri pada hiburan dan sebagainya untuk melupakannya. Akan tetapi, hal ini biasanya hanya berhasil untuk sementara saja, karena si duka itu masih ada. Sekali waktu kalau pikiran mengenang-ngenang, akan datang lagi duka itu. Sebaliknya, kalau kita waspada menghadapi perasaan yang kita namakan duka itu, mempelajarinya, tidak lari darinya melainkan mengamatinya tanpa ingin melenyapkannya, maka duka itu sendiri akan lenyap seperti awan tertiup angin. Justeru usaha-usaha dan keinginan untuk menghilangkan duka itulah yang menjadi kekuatan si duka untuk terus menegakkan dirinya!
Bicara tentang duka tidaklah lengkap kalau kita tidak bicara tentang suka atau kesenangan, karena kesenangan tak terpisahkan dari kesusahan, ada suka tentu ada duka! Justeru pengejaran kesenangan inilah yang merupakan sebab utama dari lahirnya duka! Sekali mengenal dan mengejar kesenangan, berarti kita berkenalan dengan duka, karena duka muncul kalau kesenangan dijauhkan dari kita! Kesenangan mendatangkan pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri dengan kesenangan, maka sekali yang menyenangkan itu dicabut dari kita, akan menyakitkan dan menimbulkan duka. Kesenanganlah yang membius kita sehingga kita mati-matian mengejarnya, dan dalam pengejaran inilah timbulnya segala macam perbuatan yang kita namakan jahat. Dan kesenangan ini pun merupakan hasil karya dari pikiran, yaitu si aku yang mengenang dan mengingat-ingat. Pikiran mengunyah dan mengingat-ingat, membayangkan segala pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, maka timbullah keinginan untuk mengejar bayangan itu! Kita tak pernah waspada sehingga seperti tidak melihat bahwa yang kita kejar-kejar itu, bayangan yang nampaknya amat nikmat dan menyenangkan itu, setelah tercapai ternyata tidaklah seindah atau senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran sudah mengejar kesenangan lain yang lebih hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi! Maka terperosoklah kita ke dalam lingkaran setan dari pengejaran kesenangan yang tiada habisnya. Kita tidak mau melihat bahwa di akhir sana terdapat dua kemungkinan, yaitu kecewa dan duka kalau gagal, dan bosan yang membawa duka lagi kalau berhasil, dan rasa takut kalau kehilangan.
Dalam duka baru kita ingat kepada Tuhan, minta ampun, minta bantuan dan sebagainya dan semua ini wajar, timbul dari rasa iba diri. Dalam bersenang-senang kita lupa kepada Tuhan, karena pementingan diri yang berlebihan, mengejar kenikmatan diri sendiri.
Semua ini bukanlah berarti bahwa kita harus menjauhi atau menolak kenikmatan hidup. Sama sekali tidak! Kita berhak menikmati hidup, berhak sepenuhnya! Akan tetapi, PENGEJARAN terhadap kesenangan itulah yang menyesatkan! Ini merupakan kenyataan, bukan teori atau pendapat kosong belaka. Kita harus waspada dan sadar akan kenyataan ini, karena kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan diri sendiri akan mendatangkan tindakan langsung tersendiri yang akan melenyapkan semua itu!
Seperti telah tercatat dalam sejarah, Kaisar Kang Hsi (1663-1722) sebagai kaisar dari Dinasti Ceng atau bangsa Mancu yang besar telah berhasil mengembangkan kekuasaan kerajaan itu sehingga terkenal sampai di luar negeri. Akan tetapi semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Yung Ceng, kekuasaan atau pengaruh itu mulai menyuram. Kaisar Yung Ceng telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Ceng, namun dia tidak dapat mencapai keadaan seperti ketika kekuasaan berada di tangan Kaisar Kang Hsi.
Hal ini adalah karena banyaknya terjadi pertentangan di dalam keluarga kaisar sendiri semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya pemberontakan di tempat-tempat yang jauh dari kota raja sehingga tentu saja peristiwa-peristiwa ini melemahkan keadaan Kerajaan Ceng diwaktu itu.
Pemberontakan terjadi di mana-mana, pemberontakan kecil-kecilan yang cukup merongrong kewibawaan pemerintah. Terutama sekali karena di sebelah dalam istana sendiri terdapat pertentangan yang digolakkan oleh seorang selir dari Kang Shi yang disebut Sam-thai-houw, yaitu Ibu Suri ke Tiga. Sam-thaihouw ini tentu saja masih mempunyai pengaruh yang besar, dan terutama sekali karena di antara pembesar militer banyak yang membantu atau mendukungnya.Tentu saja pembesar-pembesar itu adalah mereka yang selain masih terhitung keluarga dengan Ibu Suri ke Tiga ini, juga yang pernah banyak menerima budi dari ibu suri ini, bahkan yang memperoleh kedudukan tinggi karena jasa ibu suri. Kaisar sendiri tahu akan sepak terjang Ibu suri yang kadang-kadang bertindak sewenang-wenang terhadap para pembesar yang menentangnya dan dianggap musuhnya. Akan tetapi Kaisar Yung Ceng memiliki kelemahan, yaitu tidak berani banyak bertindak terhadap keluarga angkatan tua. Dia terlalu "berbakti" terhadap angkatan tua, hal yang sesungguhnya hanya menunjukkan kelemahannya.
Bahkan pada akhir-akhir ini, secara terang-terangan Sam-thaihouw yang merasa sakit hati dan menaruh dendam kepada keluarga puteri Nirahai yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti di Istana Pulau Es, memusuhi keluarga itu dan mengumpulkan orang-orang kang-ouw yang pandai dan sakti dalam usahanya untuk membalas dendam kepada keluarga itu dan juga kepada para pembesar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang dianggap memusuhinya. Maka sering kali terjadi pembunuhan yang aneh dan keji di malam hari terhadap "musuh" Sam-thaihouw, pembunuhan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Hal ini selain menggegerkan kota raja, juga menggegerkan dunia kang-ouw dan nama Sam-thaihouw sebentar saja disebut-sebut dan terkenal di antara orang-orang kang-ouw sebagai seorang yang amat berbahaya dan ditakuti.
Kegawatan memuncak dan kemerosotan pengaruh Kerajaan Ceng terasa paling rendah ketika terjadi pencurian pedang pusaka keramat dari gudang pusaka keraton! Sungguh hal ini merupakan tamparan bagi istana. Gudang pusaka merupakan tempat yang terjaga dengan amat ketat, namun ada sebatang pedang pusaka yang berada di dalamnya dicuri orang tanpa ada yang mengetahuinyal Peristiwa ini disimpulkan oleh para golongan yang menentang pemerintah sebagai bukti-bukti kelemahan, maka semakin beranilah mereka memperlihatkan sikap menentang!
Para pembesar mulai gelisah melihat kelemahan pemerintah. Banyak pembesar setia yang menasihati kaisar untuk mengambil tindakan dan bertangan besi, bukan hanya terhadap pemberontak, akan tetapi juga terhadap keluarga istana sendiri. Namun, Kaisar tetap tidak berani sembarangan bertindak terhadap Samthaihouw, maka hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pembesar. Mereka mulai memasang mata mencari-cari orang yang kiranya dapat mereka harapkan untuk dapat menolong kerajaan. Dan orang itu bukan lain hanyalah Pangeran Kian Liong! Pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, pandai dalam ilmu sastra dan sering kali pangeran ini menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyelidiki kehidupan rakyat, mendengarkan keluh-kesah mereka, kritik-kritik dan usul-usul mereka untuk kemudian dia lanjutkan dengan tindakan-tindakan yang tepat untuk merubah keadaan yang memberatkan rakyat jelata. Karena ini, mana Pangeran Kian Liong segera terkenal sebagai seorang pangeran muda yang budiman dan juga kalau perlu dapat bertangan besi terhadap pembesar-pembesar yang korup dan menindas rakyat.
Sam-thaihouw tidak suka kepada pangeran ini, akan tetapi dia dan kaki tangannya tidak berani sembarangan bertindak terhadapnya, karena selain pangeran ini merupakan pangeran yang mempunyai harapan menggantikan kaisar, juga diam-diam pangeran ini selalu dilindungi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi! Memang luar biasa sekali! Banyak tokoh-tokoh besar dan partai-partai persilatan, tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan berilmu, bekerja sama melakukan penjagaan dan pengamatan siang malam atas diri pangeran ini sehingga ke mana pun pangeran ini pergi, selalu pasti ada tokoh-tokoh sakti yang mengawasi dan menjaganya, melindunginya tanpa diketahui oleh Si Pangeran itu sendiri!
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para pembesar yang setia kini menujukan pandang mata mereka kepada Pangeran Kian Liong dengan penuh harapan, sungguhpun pangeran itu sendiri tidak, memperlihatkan ambisi apa-apa kecuali sebagai seorang pangeran yang selalu bersikap melindungi rakyat yang tertindas.
Empat lima tahun telah lewat semenjak terjadi keributan di Pegunungan Himalaya karena orang-orang kang-ouw memperebutkan Pedang Pusaka Naga Siluman. Dan pada waktu itu, berhubung dengan kelemahan kaisar di kota raja, di bagian barat mulai lagi timbul keributankeributan , yaitu di negara bagian Tibet yang pernah ditundukkan dan dikuasai oleh pasukan pemerintah Ceng ketika masih berada di bawah pimpinan mendiang Kaisar Kang Hsi. Ada kabar bahwa mulai berdatangan mata-mata dan berkelompok-kelompok pasukan kecil dari luar Tibet yang memasuki daerah itu, dan kabarnya pasukan-pasukan Tibet kewalahan menghadapi gangguan-gangguan kecil ini. Pasukan-pasukan itu datang dari arah barat dan selatan, dari arah Negara Nepal dan mungkin juga dari India.
Pada suatu pagi yang cerah, dengan sinar matahari mulai nampak di bagian yang dingin dari dunia itu, yaitu di kaki Pegunungan Himalaya yang berada di bagian paling timur dan utara, nampak seorang dara remaja menuruni lereng dengan sikap yang gembira dan lenggang seenaknya. Dara ini bertubuh ramping padat, caranya melangkahkan kaki seperti seekor rusa, demikian ringannya namun di balik pakaiannya yang sederhana itu nampak tubuh yang padat berisi dan mengandung tenaga yang kuat. Wajahnya manis sekali, wajah yang amat cerah, secerah matahari pagi. Sepasang mata dan mulutnya membayangkan kesegaran, sesegar embun yang bergantung pada pucuk-pucuk daun, dan kulitnya yang nampak pada muka, leher dan tangannya mulus halus putih, seputih salju yang masih tersisa di puncak gunung yang nampak dari kejauhan.
Dara cantik manis ini baru berusia kurang lebih enam belas tahun, seorang dara remaja yang baru menanjak dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar. Kedua pipinya yang halus itu kemerahan seperti buah tomat mulai masak, dan bibirnya yang menyungging senyum dikulum itu nampak merah delima dan membayangkan kesegaran tubuh yang sehat. Biarpun pakaiannya terbuat daripada kain kasar saja dan potongannya pun sederhana dan kasar, namun tidak mengurangi kecantikan dara itu, bahkan kesederhanaan pakaian itu lebih menonjolkan kejelitaannya yang wajar dan aseli. Dara itu sama sekali tidak memakai perhiasan, akan tetapi dari jauh dia nampak seperti memakai sebuah gelang emas yang cukup besar, sebesar jari tangannya, gelang emas berbentuk seekor ular yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Akan tetapi, kalau didekati, orang akan melihat bahwa "gelang emas" itu bergerak-gerak, dari mulut ular itu keluar lidah hitam menjilat-jilat keluar masuk dan baru orang akan tahu bahwa gelang itu adalah seekor ular aseli, seekor ular hidup! Dan memang sesungguhnyalah. Ular itu seekor ular hidup yang memiliki sisik indah sekali, kuning keemasan, dengan mata, kecil merah dan lidah yang hitam!
Melihat seorang dara remaja dengan pakaian biasa yang tipis, bukan pakaian bulu yang melindungi tubuh dari dingin, melakukan perjalanan seorang diri seenaknya saja menuruni lereng Pegunungan Himalaya yang terkenal dingin sekali itu, sungguh sudah merupakan hal yang aneh. Apalagi melihat gelang ular emas hidup itu! Melihat dua hal ini saja, mudah diduga bahwa di balik kelembutan seorang dara remaja yang cantik manis ini tentu terdapat kekuatan yang hebat, membayangkan seoran
Cinta Bernoda Darah 14 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas 14
mparkandunia persilatan dengan julukan Ang-siocia! Para pembaca kisahJODOH SEPASANG RAJAWALItentu masih mengenal wanitalihai ini. Yu Hwi adalah cucu dari Sai-cuKai-ong Yu Kong Tek yang semenjakkecildiculikdandiambilmuridolehHek-sin Touw-ong, raja maling yang luarbiasa lihainya itu.
Seperti telah diceritakan dalam kisahSepasang JodohRajawali, dara cantik lincah Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia dansuka mengenakan pakaian merah muda ini, melarikan diri dari depan kakeknya ketika dia diberitahu dan diperkenalkan kepada tunangannya sejak kecil yang bukanlain adalah Kam Hong! Dia merasa malu,dan juga cinta kasihnya terhadap Pendekar Siluman Kecil membuat dia merasakecewa, sungguhpun harus diakuinya bahwa Kam Hong tidak kalah tampan dangagahdibandingkandenganPendekarSiluman Kecil. Dara yang keras hati inimelarikan diri dan tidak pernah kembalilagi. Seperti telah diceritakan di bagiandepan dari cerita ini, perbuatannya itumembuatKam Hong, calonsuaminyayang telah dijodohkan dengan dia sejakmereka berdua masih kecil, merana danpendekar ini rnencari-carinya selama limatahun tanpa hasil!
DanmemangdugaandanharapanKamHongitutidakkosongbelaka.Ramai-ramai orang kang-ouw yang me nuju ke Himalaya memang menarik juga hati Yu Hwi. Yu Hwi adalah seorangdara murid Si Raja Maling, dan dalamhal permalingan memang dia lihai bukanmain, maka mendengar bahwa ada orangmencuri pedang pusaka dari istana danmembawanya lari ke Himalaya, hatinyaamat tertarik dan dia pun ikut pula melakukan pengejaran dan pencarian. Ingindia melihat siapa malingnya yang demikianberanidanlihai,dan ingin diamenguji sampai di mana kepandaian maling itu! Juga, dia tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang menggegerkanduniakang-ouwdanyangtelahmenarikhatisemuaorangkang-ouw untuk ikut-ikutan memperebutkannya itu.
Akhirnya,dalamperantauannyakeHimalaya di mana dia tidak pernah berjumpa dengan orang-orang yang mencarinya, yaitu tunangannya, Kam Hong, dankakeknya, Sai-cu Kai-ong, dia malah tibadi perbatasan Lembah Suling Emas itu tanpa disengaja dia memasuki daerahtempat tinggal Cui-beng Sian-li TangCun Ciu di kaki gunung, di bawah lembah itu!
Di tempat inilah bertemulah Yu Hwidengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Ketika mendengar bahwa dara cilik ituadalah muridHek-sin Touw-ong yanghendak mencari pencuri pedang pusaka,Cui-beng Sian-li tertarik dan menguji kepandaiannya. Yu Hwi tekejut bukanmain, dan juga kagum karena ternyatakepandaian pencuri ini jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri,bahkan masih lebih tinggi daripada ilmukepandaian gurunya, Si Raja Maling! Makatunduklah hati dara yang keras ini dandia pun mengangkat guru kepada CuibengSian-liyangjugamerasasukakepada Yu Hwi.
Demikianlah sedikit riwayat dari YuHwi yang kini bertemu sutenya, karenakeduanya adalah para murid-murid daripara tokoh Lembah Suling Emas dandalam kesempatan itu, Yu Hwi sengajamenguji kepandaian sutenya yang dilihatoleh Ci Sian sehingga gadis cilik initurun tangan hendak membantu Hong Bu.
Kini Yu Hwi yang berdiri di sampingHong Bu memandang kepada Ci Sian dankepada See-thian Coa-ong dengan alis berkerut. "Sute, engkau kenal mereka"tanyanya tanpa menoleh kepada Hong Bu.
"Aku tidak mengenal kakek itu, Suci,dan Nona ini pernah kujumpai di pegunungan salju."
Lega rasa hati Yu Hwi. Kiranya duaorang yang datang ini bukan keluargaatau sahabat sutenya. Maka setelah memandang penuh perhatian, dia dapat menduga bahwa kakek gundul botak yangdatang bersama gadis cilik itu tentulahseorang yang memiliki ilmu kepandaiantinggi.Makadiapunmenghadapikakek itu dan berkata dengan suara tegas.
"Kalian berdua telah memasuki daerahkami yang terlarang. Kalau hal itu kalianlakukan tanpa sengaja, harap kalian segera pergi lagi secepatnya meninggalkantempat ini. Kalau disengaja,harap katakan apa keperluan kalian datang ke sinidan siapa adanya kalian berdua!"
See-thian Coa-ong tersenyum ramah."Memang kami sengaja mendatangi tempat ini. Aku adalah See-thian Coa-ong,hendak berjumpa dengan Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu."
Terkejutlah Yu Hwi mendengar inidan dia menjadi semakin curiga. "Sute,harap kau pulang dulu, tidak baik kalau sampai Subo melihatmu di sini."
Hong Bu mengangguk. "Baiklah, akupergi dulu, Suci." Dan dia pun lalu menoleh kepada Ci Sian. Sejenak merekaberpandangan. Kedua orang muda remajaini semenjak bertemu memang merasasaling suka, bahkan begitu berjumpa mereka telah bekerja sama menghadapi Su-bi Mo-li, maka rasanya sekarang tidakenak dalam hati Hong Bu bahwa merekabertemu lagi dalam waktu sesingkat itu,tanpa ada kesempatan untuk bicara panjang lebar.
"Nona, kuharap keadaanmu akan baikselalu." akhirnya Hong Bu berkata.
"Terima kasih, kuharap engkau punbegitu pula." jawab Ci Sian.
"Sute, pergilah...."desakYuHwi,mengingat akan pentingnya urusan yangdihadapinya. Kakek ini jelas bukan orangHan, melainkan seorang Nepal atau India, maka kini datang mencari subonya, tentuada urusan yang amat gawat. Apalagimelihat keadaan kakek itu yang menunjukkan tanda-tanda seorang yang berilmutinggi.
Hong Bu mengangguk dan membalikkan tubuhnya, akan tetapi teringat bahwadia belum berkenalan dengan gadis cilikitu. Maka dia membalik lagi dan berkatacepat, "Namaku Sim Hong Bu."
Ci Sian tersenyum. "Dan namaku BuCi Sian."
Kini Hong Bu membalikkan tubuhnya."Sampai jumpa!" katanya dan dia punberlaricepatmeninggalkantempatitu,menghilangdibalik batu-batu besar.Dia harus melalui jalan rahasia untuk kembalike daerah Lembah Suling Emas di atassana, jalan rahasia terowongan yang ha nya diketahui oleh para penghuni LembahSuling Emas saja. Sementara itu, Yu Hwilalu berkata kepada See-thian Coa-ong.
"Gurumu tidak begitu mudah ditemui, dan dia tidak suka diganggu."
"Aih, Nona, agaknya Nona belum berada di sini tiga tahun yang lalu makatidak mengenalku. Aku dan Gurumu sudah berjanji untuk sewaktu-waktu bertemu di sini, maka harap kauberitahukankepada Cui-beng Sian-li bahwa aku See-thian Coa-ong datang untuk memenuhijanji dan untuk menebak teka-tekinya."
Tentu saja Yu Hwi yang belum pernah mendengar dari subonya tentang halitu merasa heran sekali. "Menebak teka-teki...."
Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengarsuara bisikan halus terbawa angin memasuki telinga, "Yu Hwi, antarkan tamu-tamu itu ke dalam taman, aku menantidi sini!"
"Baik, Subo." kata Yu Hwi dan diapun terkejut sendiri karena maklum bahwa suara gurunya itu dikirim melaluiilmu mengirim suara dari jauh dan yangmendengar bisikan itu adalah dia seorang. Namun suara itu sedemikian jelasnya sehingga seolah-olah gurunya ituberada di sampingnya dan bicara kepadanya!Demikian hebat kekuatankhi-kang dari subonya itu. Karena merasamalu bicara seperti kepada diri sendiriatau kepada bayanganyang tidak nampak, Yu Hwi cepat berkata kepada kakekitu, "Subo minta kepada kalian untukmenghadap kepadanya di taman. Silakan!"Dan Yu Hwi lalu membalikkan tubuhnyatanpa menanti jawaban, lalu melangkahpergi.
"HebatmemangIlmuCoan-im-jip-bit dari Cui-beng Sian-li." kata kakek itudan kembali Yu Hwi terkejut dan menduga-duga apakah kakek itu juga dapatmendengarbisikanSubonya"Agaknyatidak mungkin karena sepanjang pengetahuannya, ilmu itu kalau dipergunakanhanyadapatdidengar olehorangyang ditujunya.Diamenolehdanmelihatkakekitubersama gadistanggungmengikutinya.
YangdimaksudkantamanolehCui-bengSian-lidanmuridnyaituadalahsebuah tempatterbukayangmemang indah sekali. Di situ penuh dengan pohonakan tetapi karena ketika itu musimdingin sedang hebat-hebatnya, maka semua pohon kehilangan daunnya yang tinggal hanya batang dan cabang berikutrantingnyayangkinipenuh dengansalju dan es yang menggantikan tempat daun dan bunga. Dan di sana-sini nampak batu-batu terselaputes yang aneh-aneh bentuknya. Semua itu berkilauandanmemantulkan cahayayangberaneka warna sehingga memang benar-benar merupakan taman yang luar biasaaneh dan indahnya. Di tengah taman ituterdapat sebuah kupel, yaitu bangunantak berdinding, di mana terdapat sebuahmeja batu berikut bangku-bangkunya yangmengelilingi meja itu, juga terbuat daribatu-batu dan jumlahnya ada delapanbuah, cocok dengan meja yang bentuknyasegi delapan itu. Dan diatassebuahdiantara bangku-bangku itu nampak dudukseorang wanita cantik yang bukan lainadalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu.
"Subo, teecu sudah mengantar tamu-tamu datang," kata Yu Hwi yang laluberdiri di belakang subonya.
Wanita cantik itu memutar tubuh danmemandang kepada See-thian Coa-ong,lalu memandang kepada Ci Sian. Wajahyang cantik itu nampak suram seolah-olah dibayangi kedukaan atau kepahitanhidup. Akan tetapi dia tersenyum ketikabertemu pandang dengan See-thian Coa-ong.
"Duduklah, See-thian Coa-ong." katanya lembut.
"Terima kasih, Cui-beng Sian-li." jawab kakek itu yang segera duduk menghadapi nyonya rumah, terhalangmeja. CiSian yang tidak dipersilakan duduk tidakmau duduk dan hanya berdiri di belakangkakek itu, seperti yang dilakukan olehYu Hwi. Gadis cilik ini memperhatikan nyonya itu dengan kagum. Tak disangkanyabahwadi tempat sunyi sepertiini, tempat yang terpencil dari keramaian dunia, dia dapat bertemu dengan duaorang wanita cantik seperti guru dan murid ini. Dan sama sekali dia tidakpernahmengirabahwayangmenjadimusuh kakek itu, yang namanya begitumenyeramkan, ternyata adalah seorangwanita yang cantik jelita! Padahal tadinya dia membayangkan bahwa nama itutentu dimiliki seorang wanita yang amatmenyeramkan.
"Engkau sungguh merupakan seorangkakek yang keras hati, Coa-ong. Takkusangka bahwa kekalahanmu dahulu itubenar -benar kautebus dengan mengasingkan diri sampai sekarang dalam guha itu.Tiga tahun lamanya! Bukan main!"
"Hemm, Sian-li. Seandainya ketika ituengkau yang kalah, apakah engkau jugatidak akan menjalani hukuman sepertiyang kita pertaruhkan bersama"
Wanitaitu tersenyumpahit. "Akuragu-ragu apakah aku akan setekun engkau memegang janji yang kita buat dalam keadaan marah itu, Coa-ong. Sudahlah, buktinya engkau kalah dan engkaubaru tiga tahun bertapa di dalam guha itu. Masih kurang dua tahun lagi. Kenapaengkau sudah keluar dan mencariku"
"Karena sekarang aku sudah mendapatjawaban teka-tekimu!"
"Ah, benarkah" Hemm.... tidak mungkin!"
"Cobadengarlah,Cui-bengSian-li.Akan tetapi apakah janji pertaruhan itumasih berlaku"
"Tentu saja."
"Jadi, kalau jawabanku keliru, akuharus melanjutkan bertapa di dalam guhaitu dua tahun lagi, dan kalaubenarengkau tidak boleh keluar dari tempat ini selama dua tahun."
"Ya,begitulah,karenayanglimatahun itu telah lewat tiga tahun."
Kakek itu tertawa. "Ha-ha, menyenangkan sekali! Sekali tersesat di daerah Lembah Suling Emas, aku mengalami hal-hal yang amat menarik. Nah, dengarlah.Teka-tekimu dahulu itu merupakan pertanyaan begini :Apakah perbedaan pokokantara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita" Bukankah begitu pertanyaanmu"
"Tepat sekali. Nah, kalau memangengkau tahu jawabannya, jawablah." Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menantang.
"Cui-beng Sian-li, perbedaannya adalah begini. Pria adalah Yang dan wanitaadalah Im. Pria adalah kasar dan kuat,wanita adalah lembut dan lemah. Cinta seorang pria bersifat ingin mencinta,ingin menyenangkan, ingin memanjakan,ingin memiliki! Sebaliknya cinta wanitabersifat ingin dicinta, ingin dimanjakan,ingin disenangkan, ingin dimiliki! Yang lembut mengalahkan yang keras, yanglemah menundukkan yang kuat. Bukankahbegitu jawabannya"
Wajah yang cantik itu tiba-tiba menjadi merah, lalu menjadi pucat, kemudiantiba-tibasajadiamenutupimukanyadengan kedua tangan dan menangis! Melihat gurunya menangis demikian sedihnya, YuHwi terkejut dan marah. Cepatdia melompat dan menyerang kakek itusambil membentak. "Kakek iblis, beraniengkau membikin susah Guruku"
Serangan Yu Hwi tentu saja hebatbukan main. Biarpun baru beberapa bulandia menjadi murid Cui-beng Sian-li danbaru menerima sedikit petunjuk, akantetapi oleh karena sebelumnya memangkepandaiannya sudah tinggi, maka begitudia menggerakkan Ilmu Kiam-toSin-ciang,terdengar suara bercuitan danangin yang amat tajam menyambar kearah kakek tinggi kurus hitam itu!
See-thian Coa-ong maklum akan kelihaian dara itu, maka dia pun sudahmencelat mundur dari bangkunya danbegitu Yu Hwi melancarkan pukulan mautbertubi-tubidankedua lengannya ituseperti berubah menjadi pedang tajamyangmenyambar-nyambar,kakekinihanya mengelak dan kadang-kadang sajamenangkis dengan lengannya yang hitampanjang.
"Hemm, beginikah sikap orang yangkalah taruhan" See-thian Coa-ong mendengus dantiba-tiba terdengar suaramelengking keluar dari dada melalui kerongkongannya dan tak lama kemudianterdengar suara mendesis-desis dan datanglahratusanekorularketempatitudari segenap jurusan!
Yu Hwi merasa terkejut sekali akantetapi tentu saja dia tidak takut. Sebelum dia turun tangan membunuh ular-ular itu, terdengar gurunya membentak."Yu Hwi, jangan lancang kau. Mundurlah."
Yu Hwi tidak berani membangkangdan dia menghentikan gerakannya, lalumeloncat ke belakang gurunya. Cun Ciusudah menghapus air matanya dengansaputangan sutera, kemudian berkata kepadakakek itu. "Coa-ong, maafkanlah muridku.Simpankembaliular-ularmuyang menjijikkan itu."
See-thian Coa-ong tertawa dan ratusan ekor ular itu tiba-tiba membalik danmerayap pergi dari situ. Sebentar saja tempat itu menjadi bersih dan hening,tidak terdengar suara mendesis sepertitadi dan bau amis dari ular-ular beracuntelah lenyap pula.
"Ha-ha, aku sudah terlalu tua untukmenggunakan kekerasan, maka terpaksaminta bantuan ular-ular yang menjadi sahabatku itu untuk menakut-nakuti." katakakek itu.
"Hemm, siapa takut kepada ular-ularmu, Coa-ong" Dan kalau engkau melawan dengan ilmu silatmu, mana mungkin muridku mampu bertahan terhadapmu"Sudahlah, engkaudatang bukan untukmengadu ilmu silat, melainkan untuk menebakteka-tekidan ternyata engkaumenang.Jawabanmubenar, Coa-ong.Akan tetapi, engkau seorang pria yangselalu tidak pernah berhubungan denganwanita, bagaimana engkau mampu menjawab dengan begitu tepat" tanya Cui-beng Sian-li sambil mengusap kedua matanya yang agak merah.
"Ha-ha, sungguhmati aku tadinyasama sekali tidak mampu menjawab danjangankan harus bertapa dua tahun lagi,biar dua puluh tahun lagi aku pasti takkan mampu menjawab kalau tidak bertemu dengan muridku ini. Muridku ini, BuCi Sian, yang telah membantuku menjawab teka-tekimu."
Tang Cun Ciu memandang tajam kepada gadis cilik itu yang juga menatapnyadenganpandangmata tidakkalah tajamnya. "Hemm, Coa-ong,muridmuitusebenarnya masihterlalukeciluntukdapatmenyelamiperasaanwanitajatuhcinta.Akantetapidiamemiliki kecerdasan hebat."
"Aku bukan murid See-thian Coa-ong!"tiba-tiba Ci Sian berseru nyaring. TangCun Ciu memandang dengan heran sekali.Dia melihat Ci Sian berdiri tegak dengansepasang mata berapi dan tiba-tiba diaseperti melihat seorang lain dalam dirigadis cilik itu.
"Kau.... kau she Bu" Ah, tidak salah lagi, engkau tentu anaknya!" Cui-bengSian-li berkata lirih dan sepasang mataya terbelalak. "Engkau.... engkau tentuputeri Bu-taihiap!" Tiba-tiba dia meloncat ke depan, mukanya pucat sekali."Engkau.... serupa benar dengan Ibumudan karena itu engkau harus mampus!"
"Wuuuuttt....!"Hebatbukanmain tamparan yang dilakukan oleh Cui-bengSian-li Tang Cun Ciu ke arah kepala CiSian itu. Angin pukulan yang dahsyatmenyambar dan agaknya nyawa gadiscilik itu takkan dapat tertolong lagi dariancaman maut.
"Syuuuut.... dessss!" Kedua orang saktiitu terhuyung ke belakang danSee-thianCoa-ong tersenyum pahit sambil berkata."Cui-beng Sian-li, apakah kita harus mulai mengadu kepandaian lagi seperti tigatahun yang lalu" Apakah engkau hendakmenodai namaLembahSulingEmasdenganmembunuhseoranganak-anakyang tidak berdosa apa pun kepadamu"
Ucapan itu membuat Cui-beng Sian-li tersadar dan dia punmenarik napaspanjang, lengan tangannya masih tergetarhebat oleh tangkisan kakek itu tadi,"Ahhh.... aku telah lupa diri....! Ah, akumenyesal, Coa-ong, dan sebagai hukumanku, aku akan menceritakan kepadamusegala peristiwa yang menimpa dirikudan mengapa aku bersedih mendengarjawaban teka-tekimu dan mengapa akuhendak membunuh Nona cilik ini."
Tanpamempedulikanbahwayang mendengar ceritanya bukan hanya kakekitu seorang, melainkan juga Yu Hwi danCi Sian, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciulalumenceritakanriwayatnyayangseharusnyamerupakanrahasia bagi seorangwanita, akan tetapi kini dia ceritakankepada orang lain tanpa malu-malu,seolah-olahhendakmembukarahasiakebusukannya sendiri! Memang aneh-anehwatak dari orang-orang dunia persilatan yang telah mencapai tingkat tinggi itu!
Tang Cun Ciu adalah seorang wanita cantik yang sejak kecil telah memilikiilmu kepandaian silat yang tinggi karenadia berguru kepada para pertapa di sepanjang perbatasan Tibet. Bahkan akhirnya di dalam usia tujuh belas tahun danmerupakan seorang gadis yang cantik danlihai becjumpa dengan Cu San Bu, seorang pendekar dan tokoh besar darikeluargaCupenghuni Lembah SulingEmas. Cu San Bu seketika jatuh cintakepada dara yang cantik manis ini dan akhirnya mereka menikah. Kalau Cu San Bu tergila-gila karena kecantikan Cun Ciu, sebaliknya Tang Cun Ciu tertariksekali kepada Cu San Bu karena kelihaian pendekar ini yang merupakan saudaratertua dari keluarga Cu. Padahal, usia mereka berselisih lima belas tahun! Kalau Tang Cun Ciu merupakan seorangdara remaja berusia tujuh belas tahun,adalah suaminya itu telah berusia tiga puluh dua tahun! Setelah menjadi isteriCu San Bu, Tang Cun Ciu yang amatsuka mempelajari ilmu silat itu memper olehkemajuanhebat.Suaminya yang. amat mencinta itu mengajarkan ilmunya kepadaisterinyasehinggadalamwaktu beberapa tahun saja ilmu kepandaian Tang Cun Ciu sudah sedemikianhebatnya sehingga tidak berselisih jauhsekali dari para kakak beradik Cuitusehingga dia diterima sebagai seorangtokoh Lembah Suling Emas pula.
Akan tetapi, mungkin karena perbedaan usia yang terlalu banyak, atau karenamemang watak mereka pun berbeda, CuSan Bu adalah seorang pendekar yanglebih bayak menahan nafsu-nafsunya danlebih banyak bersamadhi, sebaliknya TangCun Ciu adalah seorang wanita yangberdarahpanas,makadalamperni kahan itu Tang Cun Ciu merasa kecewadan banyak menderita tekanan batin!
Suamiituterlalu"dingin" baginya sehinggaseringkalidiamerasatersiksaolehgairahnafsunyasendiriyangtidakterpuaskankarenasuaminya hanya amatjarang mau menggaulinya. Dan karenaketidakserasian ini agaknya maka biarpunsudahmenikah bertahun-tahun merekaberdua tidak mendapatkan keturunan.
Makin dewasa usia TangCun Ciu,makin tersiksalah dia karena suaminyamenjadi semakin tua dan semakin dingindalam hubungan jasmani. Ketika dia berusia sekitar dua puluh tujuh tahun danbagaikan bunga sedang mekar-mekarnyadan sedang panas-panasnya gejolak berahinya,suaminyayang baruberusiaempat puluh dua tahun itu sudah jarangmau mendekatinya!
Keadaan seperti ini agaknya tidakakan menimbulkan apa-apa dan lambatlaun Tang Cun Ciu tentu akan terbiasadan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan kalau saja tidak muncul sepasangsuami isteri pendekar yang datang bertamu di Lembah Suling Emas. Mereka iniadalah sepasang pendekar yang berusiasekitar tiga puluhan tahun. Pendekar itudikenal sebagai Bu-taihiap, dan isterinyaseorang wanita yang cantik dan jugamemiliki ilmu kepandaian tinggi. Bu-taihiap sudah mengenal Cu San Bu, kakaktertua di antara saudara-saudara Cu ituyangmemang merupakan satu-satunyaorang yang sering kali keluar dari Lembah Suling Emas dan banyak merantau.
Mereka, suami isteri itu, diterimasebagai seorang sahabat, bahkan merekaditahan untuk tinggal di lembah itu selama mereka belum menemukan tempatyang baik untuk bertapa. Memang suamiisteri itu datang ke Pegunungan Himalaya untuk bertapa dan mempelajari ilmuyang baru saja mereka dapatkan. Danpada waktu itulah terjadi godaan yangamat hebatmenggerogotihati TangCun Ciu yang selalu kehausan cinta asmara itu! Wajah Bu-taihiap yang tampan,tubuhnya yang gagah, amat menarik hatinya dan mulailah terdapat sinar-sinarcinta asmara berkilatan dari pandangmata dan dari senyumnya terhadap sahabat suaminya itu! Dan Bu-taihiap biar pundiamerupakanseorang pendekarsaktiyangselain berilmutinggijugaberbatinkuat,tetapsajamasihseorangmanusiabiasa,seorangmanusialaki-lakiyangmasihmudadanakhirnyadiapuntidak kuat menghadapi godaan sinar-sinarcinta asmara yang dikobarkan oleh TangCun Ciu yang kehausan kasih sayang dan mendambakan belaian pria itu. Apa yang tak dapat dihindarkan lagi pun terjadilah.Terjadilah hubungan yang biasanya dinamakan perjinaan antara Tang Cun Ciudan Bu-taihiap!
Setelah menderita tekanan batin selama bertahun-tahun di samping suaminyayang kurang memenuhi kebutuhan jasmani dan perasaannya, dan kini bertemudengan seorang pria muda yang berdarahpanas dan tidak kalah besar gelora berahinya dibandingkan dengan dirinya sendiri, tentu saja Tang Cun Ciu bagaikanseorang yang telah lama kehausan bertemu dengan sumber air yang segar. Takpuas-puasnya dia meneguk air menyegarkan itu, tak peduli lagi bahwa yang diminumnya adalah air terlarang, Lupa diabahwa dia menjadi isteri pria lain danbahwa pria yang dipeluknya penuh kobaran api cinta asmara yang menggeloradan panas itu adalah suami dari seorangwanita lain!
Dan tidak aneh pula kalau pada suatu hari mereka tertangkap basah! Semuaorang di tempat itu, termasuk suamiTang Cun Ciu dan isteri Bu-taihiap, ada lah orang-orang lihai yang berkepandaian tinggi, maka tentu tidak mudahdikela buhidanakhirnyaperbuatanmereka berdua itu ketahuan!Namun, sebagaiseorang pendekar besar yang tidak lagidimabokberahidan mudahdikuasai amarah, Cu San Bu tidak menimbulkankeributan. Bu-taihiap merasa malu sendiri.Kalauseandainyasuamiwanitaitumarah -marahdanmenyerangnya, dia tidak akan merasa demikian terpukuldan malu seperti sekarang ini. Sikap Cu San Bu yang diam seperti orang tidakmarah itu lebih menyakitkan hati bagiBu-taihiap, karena membuat dia kelihatan semakin rendah saja! Maka dia pun berpamit dan pergi meninggalkan LembahSulingEmasbersamaisterinya dansemenjakitutidakpernahnampaklagi atauterdengarberitanya.
Berceritasampaidisini,TangCunCiumemejamkankeduamatanyadandiam sampai beberapalama.Ketikadiamembukalagimatanya,keduamatayangjernih tajam itu agak basah. Dia menariknapaspanjang.Dadanyayangmasihmembusung penuh itu naik turun.
"Sampai sekarang pun aku tak pernahdapatmelupakandia!Akumencintamendiang suamiku, hatiku mencinta suamikuyangamat baik kepadaku,akantetapi tubuhku rindu kepada Bu-taihiap."
Diam-diam muridnya sendiri, Yu Hwi,menjadi merah mukanya mendengarcerita subonya dan mendengarpengakuanitu. Pengakuan yang terang-terangan danyangmenurutpendapat danpandanganumum merupakan pengakuan tidak tahumalu dari seorang isteri!
Wanitaitumelanjutkanceritanya.Biarpun pada lahirnya Cu San Bu diam saja seolah-olah perbuatan isterinya yangberjina dengan tamunya itu tidak melukaihatinya, namun sesungguhnya dia merasatertikambatinnya.Dia amat mencintaisterinya, akan tetapi cintanya tidak terlalu condong kepada nafsuberahi. Diatidak menyesal karena merasa dirugikan,hanya merasa menyesal mengapa isterinyamelakukanperbuatanyangbegiturendah dan memalukan. Yang lebih memberatkanperasaanbatinpendekar ini adalah sikapadik-adiknya.Cu San Buadalah seorang anakangkat dari ayahketiga orangsaudara Cu. Biarpun diasudah dianggap anak sendiri dan memakaishe Cu, namun tiga orang adiknya itutahu bahwa dia bukanlahdarah dagingkeluarga Cu. Biasanya memang sikap CuHan Bu, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bukepadanya biasa saja, tetap menganggapnya sebagai kakak sendiri, kakak terbesaryang selain paling lihai ilmunya,jugadapat mereka hormati karena sikap danperbuatan Cu San Bu yang gagah perkasadan baik, yang selalu menjunjung tingginama keluarga Cu. Akan tetapi, setelah peristiwa perjinaan antara Tang Cun Ciudan Bu-taihiap, sikap tiga orang pendekaritu berubah sama sekali!
Tiga orangkakak beradik Cu itu diam-diam merasa terhina dan marah sekali oleh perbuatan twaso mereka. Menurut pendapat mereka, dosa twaso merekaitu terlampau besar dan biarpun twakomerekatidakmenganggapnyasebagaidosa, akan tetapi mereka berpendapatbahwa twaso mereka itu telah menodai nama dan kehormatan keluarga Cu penghuni Lembah Suling Emas! Maka, sikaptwako mereka yang mendiamkannya sajaperbuatan hina dan rendah itu, membuatmereka diam-diam merasa penasaran danmembenci twako mereka!
Inilah yang membuat Cu San Bu menderita tekanan batin dan akhirnya pendekar ini jatuh sakit! Penyakit yang sukar diobati karena bersumber dari batinyang tertekan. Akhirnya, pendekar inimeninggal dunia dalam usia baru empatpuluh tahun lebih! Dan sebelum mati, diasempat meninggalkan pesan atau permintaan terakhir kepada tiga orang adiknyaitu agar mereka suka memaafkan TangCun Ciu dan agar wanita itu tetap diperlakukan sebagai twaso mereka, sebagai keluarga mereka. Permintaan yang amat berat bagi Cu Han Bu dan duaorang adiknya, akan tetapi karena merupakan pesan terakhir, mereka tidak tegauntuk menentang atau menolaknya.
"Merekabertigamenerimapesansuamiku, dengan syarat bahwa aku harustinggal di luar Lembah Suling Emas, dandemikianlah, aku memilih tempat ini, dikaki gunung dan di sebelah bawah darilembah itu." Tang Cun Ciu mengakhiriceritanya yang amat menarik perhatiantiga orang pendengarnya.
Akan tetapi kakek berkulit hitam itu,yang biarpun selama hidupnya belum pernah terjerat oleh perangkap-perangkapcinta asmara namun pandangannya sudahsedemikian waspada sehingga cerita yangdidengarnya itu tidak menggerakkan hatinya karena dianggapnya wajar dan tidakaneh, lalu bertanya, nadanya penasaran,"Hemm, ceritamu mungkin menyedihkan,Cui-beng Sian-li, akan tetapi apa hubungannya itu dengan teka-tekimu"
"Tiga tahun yang lalu, aku mendapattugasuntukmenghadapimu,dan karena dalamilmusilatkitaseimbangdan sukaruntukmenentukan siapakalahsiapame nang,makatimbulniatkuuntukmembukaperasaanhatiku yangpenasaranterhadapadik-adiksuamiku itumelaluiteka-tekiini.Nah, itulahsebabnyamakaaku mengajukanteka -tekikepadamu,dengan harapanselainengkautidakakanmampu menebaknya,jugatigaorang adiksuamikuituagar memikirkanpulatentangsifat-sifatcinta priadanwanita.Sebagaiisterimendiangsuamikuyangsungguhkucinta karenakebaikannya,sebagaiseorangwanita,akumembutuhkankasihsayangyangdiperlihatkan,butuh dimanjakan,butuhdicintadenganmesra,denganlembut,butuhdisenangkandan dipuja.Akantetapi sikapsuamikuyang dingin itumendatangkan perasaankepadakuseolah-olah aku tidakdibutuhkannyalagi,tidakdicintalagi. Seorangwanita, dariyangmuda sampaiyangtua sekalipun,barupercayaakancintakasih seorang priakalaupriaitumemperlihatkannyadengan bukti dalam sikapnya.Danwanitayangdilimpahikemesraanbaruakanpercayabahwa diamemangdicintai,makaanehkahkalauakumenyerahkansegala-galanya.Suamikubersikap dingin,dansebaliknya,Bu-taihiapbersikapmesrasekalikepadaku,makaanehkahkalauakumenyerahkandirikepadanyauntukmemuaskankehausanku"
Makinlama makinmerahdan jengahrasahatiYuHwimendengarkankata-katagurunyaitu.Sebagaiseorangwanita dewasa, tentusaja diamengertisemuayangdibicarakan.Sedangkan CiSianhanyamendengarkan dengan bengong,biarpundiamerasakasihan,akantetapidiatidakbegitumengertitentangurusancinta-mencintaitu.
"Akantetapi,apahubungannyaorangshe Buitudenganaku"Tiba-tibaCiSianbertanya,suaranyalantangdan mengejutkanCui-bengSian-liyang tidak menyangka-nyangka akan datangpertanyaandari bocahitu.Diamemandang wajahCiSian danalisnyaberkerut,pandangannyamenjaditajamdantidakse nang.
"MukamusamabenardenganisteriBu-taihiap! DanengkausheBu pula,makaakumendugabahwaengkautentulah puteri mereka!"
Ci Sian adalah seorang yang cerdik.Dia tahu bahwa dugaan itu mungkin sajabenar karena bukankah ayah bundanya juga berada di Himalaya seperti yang di ceritakan oleh kakeknya, dan bahwa ayahbundanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi" Akan tetapi, karena tidakada bukti dan semua itu hanya dugaansaja, lebih baik kalau dia tidak mengakuihal itu, karena mengakuinya berarti hanya akan menimbulkan permusuhan dariwanita yang lihai ini.
"Hemm, biarpun aku she Bu, akantetapi tidak ada bukti yang menyatakanbahwa aku adalah puteri mereka, karenaitu,janganengkau sembarangansajamenduga-duga dan secara sewenang-wenang hendak membunuhku." kata Ci Sian,suaranya bernada teguran sehingga TangCun Ciu merasa terpukul dan malu.
Untuk menutupi rasa malunya diteguroleh anak-anak, dia lalu berkata kepada See-thian Coa-ong. "Eh, Coa-ong, engkausekarang mempunyai seorang murid yangagaknya akan menjadi orang yang lihai,biarpun sekarang yang lihai hanya barumulutnya saja! Pertandingan antara kitasudah selesai, maka marilah kita pertandingkan murid-murid kita dalam waktu lima tahun lagi. Engkau boleh menggembleng muridmu she Bu ini, dan aku akanmembimbing muridku Yu Hwi, dan kitapertandingkan mereka...."
"Yu Hwi...."'Tiba-tiba CiSian berseru dan dia kini mencurahkan perhatiannya kepada murid Cui-beng Sian-li itu,memandang tajam karena baru sekarangdia tertarik sedangkan sejak tadi perhatiannyadicurahkanseluruhnya kepadaCui-beng Sian-li. Dia mulai melangkahmaju mendekati Yu Hwi yang juga memandangnya penuh perhatian, diam-diamCi Sian harus mengakui bahwa Yu Hwimemiliki wajah yang manis sekali, bentuk tubuh yang ramping padat, kulit yangputih kuning halus mulus. Pendeknya, wanita itu amat cantik menarik dan memang pantas sekali kalau menjadi isteriPendekar Suling Emas Kam Hong.
"Ada apakah dengan engkau" Yu Hwimembentak ketika melihat Ci Sian memandangnya sedemikian rupa setelah tadimengucapkan namanya.
"YuHwi...."Mengapa engkau meninggalkan KamHong...."Karena tiba-tibatimbul rasa iba kepada pendekar itu dan teringat akan cerita Kam Hong bahwaisteri pendekar itu yang bernama Yu Hwitelahlarimeninggalkannya, maka kiniCi Sian mengucapkan kata-kata itu dengan nada suara menegur dan mencela.
Mendengar ucapan ini, wajah Yu Hwi seketika berubah pucat dan matanya terbelalak memandang Ci Sian. Sejenak dia tidak mampu berkata-kata, kemudian setelah dia menekan perasaannya yang terguncang, dia berkata, suaranya terdengar seperti membentak marah. Apa.... maksudmu...."
"Bukankah engkau yang bernama Yu Hwi, isteri yang telah meninggalkan suamimu yang bernama Kam Hong"
Kini wajah Yu Hwi berobah merah sekali. "Bocah setan bermulut lancang! Aku tidak pernah menikah dengan siapa pun juga! Pula, kau peduli apa dengan urusanku"
"Hemm, aku tidak tahu engkau sudah menikah atau belum. Akan tetapi agaknya engkau tentulah Yu Hwi yang dicari-cari oleh Paman Kam Hong. Tentu saja aku peduli karena Paman Kam Hong menderita sengsara karena mencari-carimu. Kiranya engkau menjadi murid Bibi Cui-beng Sian-li. Wah, memang cocok. Gurunya seorang wanita yang telah mengkhianati suami, sedangkan muridnya seorang wanita yang telah minggat dari suaminya. Keduanya telah menghancurkan hati dan kehidupan pria-pria yang mencintai mereka."
"Keparat!"
"Jahanam bermulut lancang!"
Guru dan murid itu bergerak cepat, akan tetapi See-thian Coa-ong yang lebih dekat dengan Ci Sian sudah menyambar tubuh anak perempuan itu dan meloncat jauh dari tempat itu.
"Cui-beng Sian-li, di antara kita sudah tidak terdapat urusan lagi, biarkan kami pergi dari sini!" teriak kakek itu tanpa menghentikan loncatan-loncatannya dan ternyata wanita itu bersama muridnya pun tidak melakukan pengejaran.
Setelah kakek itu pergi jauh, Cui-beng Sian-li memandang kepada muridnya dan dengan pandang mata tajam dia bertanya. "Yu Hwi, benarkah engkau minggat dari suamimu"
"Tidak Subo, bocah itu bicara yang bukan-bukan. Yang benar, aku melarikan diri karena hendak dijodohkan dengan seorang pemuda yang bukan pilihanku sendiri."
"Dan pemuda itu bernama Hong"
Yu Hwi mengangguk, lalu dia menceritakan persoalannya dengan Kam Hong. Dia menceritakan dengan singkat akan tetapi juga terus terang, mengingat bahwa gurunya tadi pun telah bercerita dengan terus terang tanpa menyembunyikan perbuatan dan perasaan hatinya sendiri.
"Sebetulnya, teecu jatuh cinta kepada seorang pendekar yang amat teecu kagumi, akan tetapi pendekar itu tidak membalas cinta teecu agaknya. Dan tanpa teecu ketahui, ternyata sejak kecil teecu telah ditunangkan dengan seorang pemuda lain. Setelah teecu memberitahu tentang pertunangan itu. Maka ketika dipertemukan dengan tunangan itu yang juga telah teecu kenal sebelumnya, teecu merasa malu, dan juga kecewa dan teecu pergi melarikan diri sampai sekarang. Sudah lima tahun lebih lamanya, dan siapa kira, pemuda itu ternyata masih mencari-cari teecu seperti yang dikatakan oleh bocah setan tadi."
Hening sejenak setelah Yu Hwi menceritakan riwayatnya secara singkat. Kemudian, Cun Ciu menarik napas panjang. "Yaah, demikianlah nasib kita kaum wanita. Tidak suka dijodohkan dengan pria pilihan orang-orang tua, disalahkan. Lari untuk menentukan nasib sendiri pun disalahkan. Disia-siakan cintanya sehingga kehausan dan mencari hiburan pelepas dahaga dengan pria lain pun disalahkan. Coba yang melakukan semua itu kaum pria, tentu tidak akan ada yang menyalahkan karena hal itu sudah dianggap biasa saja. Betapa tidak adilnya dunia ini terhadap kaum wanita!"
"Akan tetapi, sungguh Kam Hong itu tidak tahu diri!" Yu Hwi berkata. "Teecu tidak menyangka bahwa dia masih terus mencari teecu. Mau apa dia" Apakah hendak memaksa teecu menjadi isterinya berdasarkan ikatan jodoh yang dilakukan oleh orang-orang tua kami itu" Teecu harus pergi menemuinya dan menjelaskan bahwa teecu tidak suka menjadi isterinya!"
"Ingat, Yu hwi. Gurumu ini telah kalah bertaruh dengan See-thian Coa-ong. Dia sendiri telah mengorbankan waktunya sampai tiga tahun bertapa dalam guha. Dan setelah dia dapat menebak teka-teki sehingga aku kalah, sudah sepantasnya kalau aku pun memenuhi janji. Aku harus tinggal di sini dua tahun dan sama sekali tidak boleh keluar meninggalkan tempat ini sebelum dua tahun. Dan engkau baru saja menjadi muridku. Engkau harus pula belajar menemaniku di sini sampai sedikitnya dua tahun."
Yu Hwi tidak berani membantah dan dia pun lalu mengikuti subonya kembali ke pondok kecil mungil yang dlbangun oleh keluarga Cu di tempat itu untuk twaso mereka. Biarpun Tang Cun Ciu tidak diperbolehkan lagi tinggal di Lembah Suling Emas, akan tetapi dia tetap diaku sebagai keluarga dan setiap waktu boleh saja mengunjungi lembah melalui jalan rahasia terowongan yang hanya dikenal oleh keluarga mereka.
Kita tinggalkan dulu Yu Hwi yang tekun belajar di bawah bimbingan Cui-beng Sian-li yang lihai, dan membiarkan dulu Bu Ci Sian yang ikut bersama See-thian Coa-ong untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi pula. Marilah kita beralih ke bagian lain dari daratan Tiongkok, meninggalkan daerah Pegunungan Himalaya dan pergi ke sebelah timur meninggalkan daratan, menyeberang laut untuk melihat keadaan di sebuah pulau kecil yang hanya beberapa mil jauhnya dari daratan. Dengan mempergunakan sebuah perahu layar, kalau angin baik, dalam waktu seperempat jam saja orang sudah akan dapat sampai ke pulau itu. Pulau ini disebut Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) karena menurut kabar di pulau kecil ini terdapat sejenis ular yang berwarna kuning keemasan dan sangat berbahaya karena gigitannya mengandung bisa yang mematikan.
Akan tetapi bukan ular-ular kecil berwarna kuning emas inilah yang membuat para nelayan dan pelancong tidak berani mengunjungi Pulau Kim-coa-to itu. Pulau itu sudah belasan tahun terkenal sebagai pulau yang berbahaya karena pulau itu ditinggali oleh seorang wanita yang hidup sebagai seorang ratu di atas pulau kosong itu. Di atas pulau itu dibangun sebuah bangunan seperti istana kecil dan karena wanita yang hidup seperti ratu itu selain memiliki kecantikan luar biasa juga memiliki ilmu kepandaian silat yang hebat, maka tidak ada orang berani lancang mendekati pulau itu, kecuali kalau hendak berkunjung dengan keperluan yang penting.
Pemilik pulau itu, wanita yang hidup seperti ratu, terkenal sekali dengan julukannya, yaitu Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan) dan semua orang kang-ouw tahu belaka bahwa Bu-eng-kwi ini adalah seorang wanita yang memiliki ilmu gin-kang yang amat luar biasa, tidak pernah ada yang mampu menandinginya. Karena ilmu gin-kangnya yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, tentu saja dia merupakan lawan yang amat berbahaya. Bu-eng-kwi bernama Ouw Yan Hui, seorang wanita yang sesungguhnya sudah berusia empat puluh enam tahun atau lebih. Akan tetapi kalau orang bertemu dengan dia, tak mungkin mau percaya bahwa wanita cantik itu sudah berusia mendekati setengah abad! Wajahnya masih cantik manis, kulit mukanya masih halus tanpa keriput sedikit pun, pinggangnya masih ramping dan tubuhnya masih padat. Orang akan menaksir usianya tidak akan lebih dari tiga puluh dua tahun saja!"
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang janda. Karena suaminya menyeleweng, maka dibunuhnya suaminya itu dan semenjak itu hatinya patah dan dia menjadi seorang wanita pembenci pria, atau setidaknya dia mempunyai kesan yang amat buruk terhadap pria di dalam hatinya. Dia tidak pernah menikah lagi dan bahkan tidak pernah lagi mendekati pria yang amat dibencinya. Hatinya menjadi keras dan kejam terhadap pria. Akan tetapi sebagai seorang manusia yang terbuat daripada darah daging dan memiliki hawa nafsu, maka tentu saja dia kadang-kadang terserang oleh gairah nafsu. Hal ini membuat dia mulai mendekati sesama kelamin dan mencari pelepasan nafsu berahinya dengan wanita lain! Dan untuk mencari teman atau lawan dalam kebutuhan ini, mudah saja baginya karena selain cantik, dia pun amat kaya raya sehingga mudah saja dia memilih di antara para pelayannya yang muda-muda dan cantik-cantik yang bertugas menemani dan melayani kebutuhan jasmaninya itu di waktu malam. Demikianlah, dari seorang wanita yang memiliki gairah berahi yang normal, karena patah hati dan benci kepada pria yang pernah menyakitkan hatinya, Ouw Yan Hui berobah menjadi seorang wanita yang suka bermain cinta dengan wanita lain, atau yang kita biasa namakan wanita lesbian.
Karena sikapnya yang benci kepada pria inilah yang membuat para pria tidak berani mendekatinya, biarpun dia, dalam usia tuanya, masih cantik menarik. Dan Pulau Ular Emas itu pun dijauhi orang karena dunia kang-ouw sudah tahu bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yang Hwi adalah, seorang wanita pembenci pria yang amat berbahaya. Akan tetapi, semenjak kurang lebih lima tahun terakhir ini Pulau Kim-coa-to menjadi bahan percakapan orang dan mulailah orang-orang kang-ouw mendekatinya. Di situ terdapat suatu daya tarik yang amat luar biasa, yang terdapat dalam diri seorang dara yang luar biasa cantik jelita! Dara ini menjadi murid Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sejak enam tahun yang lalu, biarpun Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui merupakan seorang wanita yang amat cantik, namun dibandingkan dengan muridnya ini, dia seolah-olah merupakan sebuah bintang yang mulai pudar karena jauhnya dibandingkan dengan bulan purnama yang gilang-gemilang!
Memang kekuasaan Tuhan telah demikian bermurah hati kepada dara ini sehingga dia dikarunia kecantikan yang sukar dicari bandingnya di seluruh jagat! Wajahnya gemilang, rambutnya hitam gemuk dan panjang berombak, digelung seperti model sanggul puteri istana, dihias taburan permata yang berkilauan, semerbak harum oleh sari kembang. Sepasang matanya yang lebar itu amat jernih dan tajam, seolah-olah dapat mengeluarkan ribuan sinar yang menyaingi permata di atas kepalanya, berkeredepan amat indahnya, dihias bulu mata yang panjang lentik dan lebat sehingga bulu mata itu membentuk garis hitam melingkari matanya, seperti dilukis saja. Sepasang alisnya yang aseli itu seperti lukisan pula, demikian indah, panjang melengkung dan kecil hitam, rambut alisnya halus dan rebah teratur dengan rapinya sehingga setiap helai bulu alis itu seperti memiliki kemanisannya sendiri. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya tipis dan bentuknya patut, sesuai dengan mulutnya yang kecil namun dengan bibir yang penuh dan selalu kemerahan, merah aseli karena sehat, merah basah dan bentuknya seperti gendewa terpentang. Dagunya meruncing menambah manis.
Luar biasa memang dara yang cantik jelita ini. Usianya sudah ada dua puluh enam tahun, akan tetapi dia lebih pantas dinamakan dara remaja berusia delapan belas tahun! Hanya sikapnya, caranya memandang dan caranya bicara, menghadapi orang, menunjukkan kematangannya sebagai seorang wanita yang telah dewasa. Demikian cantik jelita, demikian manis, anggun dan agung seperti seorang puteri istana! Dan memang sesungguhnyalah, murid dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui ini adalah seorang puteri aseli, seorang puteri kerajaan. Dia adalah Syanti Dewi, puteri Kerajaan Bhutan!
Di dalam ceritaKISAH SEPASANG RAJAWALI danJODOH RAJAWALIsudah diceritakan dengan jelas tentang Puteri Bhutan ini. Sang Puteri ini mempunyai pertalian cinta kasih yang amat mendalam dengan pendekar muda perkasa yang berjuluk Si Jari Maut, yaitu Ang Tek Hoat atau lebih tepat kalau disebut Wan Tek Hoat karena pendekar ini adalah keturunan dari Wan Keng In, putera kandung dari Lulu yang kini menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es. Cinta kasih antara mereka berdua mengalami lika-liku yang amat rumit dan perjodohan antara mereka berdua mengalami halangan-halangan yang amat hebat sehingga sampai beberapa kali mereka berdua itu saling terpisah. Sudah bertahun-tahun lamanya Sang Puteri ini mengalami kehidupan yang penuh bahaya dan sengsara demi kekasihnya, ketika dia mencari kekasihnya dan merantau di dunia yang penuh kekejaman ini seorang diri saja.
Pada pertemuan antara mereka yang terakhir kalinya, kembali hati Sang Puteri ini tertusuk oleh sikap kekasihnya yang mencurigainya, yang menuduhnya sebagai seorang anak yang hendak memberontak dan berkhianat terhadap ayahnya sendiri, yaitu Sang Raja Bhutan. Padahal, yang melakukan perbuatan itu adalah seorang wanita lain yang dipergunakan oleh kaum pemberontak untuk menyamar sebagai dirinya. Perlakuan yang diperlihatkan Tek Hoat ini begitu menyakitkan hatinya, sehingga dia meninggalkan pemuda kekasihnya itu dan mengambil keputusan untuk membiarkan Tek Hoat merana dan sengsara, dan dia tidak akan mau kembali kepada pemuda itu sebelum Tek Hoat datang mencarinya dan minta ampun kepadanya! Semua ini diceritakan di dalam ceritaJODOH RAJAWALI .
Puteri Syanti Dewi melarikan diri ke tempat tinggal subonya, atau gurunya, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Tentu saja, sebagai seorang wanita lesbian, yang selera seksuilnya sudah berubah seperti selera seorang pria, Ouw Yan Hui seperti tergila-gila melihat kecantikan Syanti Dewi dan keindahan lekuk-lengkung tubuhnya. Namun, Syanti Dewi adalah seorang wanita seratus prosen, oleh karena itu, dia tidak sudi melakukan permainan cinta yang tidak wajar itu. Bahkan ketika seorang nenek yang masih cantik, guru dari Ouw Yan Hui dalam hal awet muda yang bernama Maya Dewi, seorang wanita India, hendak mendekap dan membelainya, mengajak bermain cinta, Syanti Dewi melarikan diri dari pulau itu!
Karena Ouw Yan Hui benar-benar amat mencinta Syanti Dewi, maka setelah Syanti Dewi mau kembali ke Kim-coa-to, dia berjanji bahwa dia tidak akan lagi mengganggu muridnya itu. Hanya dengan janji inilah Syanti Dewi mau kembali dan tinggal di pulau itu setelah dia melarikan diri dari Ang Tek Hoat. Pada waktu itu, Maya Dewi telah meninggalkan pulau itu untuk kembali ke negaranya sendiri, meninggalkan Ilmu yang membuat Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi seolah-olah kebal terhadap usia tua dan menjadi tetap awet muda! Sampai bertahun-tahun Syanti Dewi tinggal bersama gurunya di pulau itu, mempelajari ilmu gin-kang yang amat tinggi dari Bueng-kwi Ouw Yan Hui sehingga kini Syanti Dewi merupakan seorang wanita ke dua yang memiliki gin-kang amat hebatnya, Ouw Yan Hui amat bangga dengan muridnya yang dikasihinya seperti anak atau adik sendiri ini, dan mereka hidup rukun dan saling menyayang di pulau itu seperti seorang ratu dan seorang puteri.
Akan tetapi, semenjak nama Syanti Dewi dikenal, pulau itu seringkali menerima kunjungan tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal atau bangsawan-bangsawan tinggi, atau hartawan-hartawan yang semua ingin mempersembahkan milik mereka demi untuk menundukkan hati Syanti Dewi, puteri yang seperti bidadari cantiknya itu! Nama Syanti Dewi menjadi buah bibir setiap orang pria dan setiap orang yang pernah melihat senyumnya, tak mungkin dapat melupakannya lagi, bahkan senyum manis itu selalu membayang di depan mata, wajah jelita itu selalu menjadi kembang mimpi dan banyaklah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan, dan hartawan-hartawan besar yang tergila-gila kepada Syanti Dewi.
Syanti Dewi walaupun karena kegagalan cintanya dengan Ang Tek Hoat berubah menjadi agak keras hati terhadap pria, namun dia bukanlah pembenci pria seperti gurunya. Oleh karena itu, dia tidak menolak perkenalan dengan para pria tingkat atas itu, bahkan menyambut mereka sebagai sahabat-sahabat dengan sikap manis. Akan tetapi, setiap pernyataan cinta, setiap sanjungan, setiap pujaan, setiap pinangan, selalu ditolaknya dengan halus sehingga tidak menyinggung yang ditolaknya, bahkan membuat mereka semakin tergila-gila! Pendeknya, semenjak beberapa tahun ini, nama Syanti Dewi terkenal sekali di sepanjang pantai timur, bahkan sampai jauh ke pedalaman dan akhirnya nama itu terdengar pula sampai ke istana kaisar!
Tentu saja Ouw Yan Hui sendiri tidak sudi menemui para pria itu, akan tetapi dia juga tidak tega untuk melarang muridnya menerima kunjungan para pria tingkat atas itu, dan kalau Syanti Dewi dikelilingi pria-pria muda yang rupawan dan seolah-olah berebut untuk menundukkan hati puteri juita ini, Ouw Yan Hui yang merasa sebal lalu mencurahkan semua ketidaksenangan hatinya dengan hiburan yang biasa dilakukannya, yaitu dia lari ke dalam pelukan lembut wanita-wanita pelayan yang biasa menjadi kekasihnya!
Pulau Ular Emas kini seolah-olah menjadi ramai dengan kunjungan perahu-perahu besar yang mewah dan indah. Para pemuda yang tergila-gila itu ada yang mendatangkan ahli-ahli bermain musik, penari dan penyanyi-penyanyi yang kenamaan untuk mengadakan hiburan di tempat itu, yang tentu saja kesemuanya ditujukan untuk menarik hati Syanti Dewi. Juga di dalam gudang-gudang istana Ouw Yang Hui bertumpuk banyak barang-barang hadiah yang berharga, yang seolah-olah dilimpahkan tanpa mengenal hitungan oleh para pemuda itu di depan kaki Syanti Dewi. Namun sang puteri itu hanya membalas dengan senyum manis, senyum yang demikian gemilangnya sehingga untuk sebuah senyum kiranya setiap orang pemuda rela untuk bertekuk lutut!
Saking terkenalnya nama Syanti Dewi, sampai-sampai para sastrawan tertarik untuk mengunjungi pulau itu dan di antara mereka terdapat seorang sastrawan ahli lukis dan ahli sajak yang bernama Pouw Toan. Sastrawan ini sudah berusia lima puluh tahun, dan ketika perahu kecilnya mendarat di Kim-coa-to, para penjaga memandangnya penuh curiga. Biasanya, yang melakukan pendaratan dan kunjungan di pulau itu hanyalah pemuda-pemuda yang rupawan dan gagah perkasa, yang datang membawa kesan yang nampak dari sikap mereka yang gagah perkasa dari seorang ahli silat, atau dari perahu mereka yang mewah dan pakaian mereka yang indah dari seorang hartawan, atau dari pengawal-pengawal dan sikap angkuh seorang bangsawan. Akan tetapi kakek ini berperahu kecil, berpakaian sederhana, dan sudah tua lagi. Apa yang diharapkan dari seorang kakek seperti itu" Maka, seorang di antara para penjaga yang diadakan oleh Syantti Dewi setelah tempat itu sering dikunjungi orang, cepat menghampiri dan menegur.
"Lopek, mau apakah engkau mendaratkan perahumu di sini" Dilarang untuk mencari ikan ditepi pulau ini!"
Kakek Pouw Toan tersenyum. Harus diakui bahwa kakek berusia lima puluh tahun ini pernah menjadi seorang pria yang tampan sekali, dan hal ini nampak ketika dia tersenyum.
"Sahabat,seperti juga para pendatang lain, aku ingin sekali berjumpa dengan Nona Syanti Dewi."
Beberapa orang penjaga sudah mendekati tempat itu dan mereka tertawa mendengar kata-kata ini. Biarpun pria ini tampan, akan tetapi dia sudah tua dan miskin! Mau apa hendak bertemu dengan Siocia, pikir mereka.
"Eh, orang tua. Siocia kami tidak pernah menerima kunjungan orang-orang tua! Yang menjadi tamu-tamunya hanyalah pemuda-pemuda perkasa, pemuda-pemuda bangsawan atau pemuda-pemuda hartawan. Lebih baik engkau lekas pergi dari sini, kalau sampai Toanio majikan pulau ini mendengar tentang kedatanganmu, tentu dia akan marah dan nyawamu tidak akan tertolong lagi. Yang dimaksudkan oleh para penjaga dengan toanio itu bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui. Kalau Syanti Dewi yang mereka sebut siocia itu merupakan seorang yang amat mereka sayang dan hormati karena sikapnya yang ramah-tamah dan lemah lembut terhadap semua orang, sebaliknya Ouw Yan Hui amat mereka takuti karena memang wanita ini selalu bersikap dingin dan galak terhadap para pria, termasuk para penjaga itu.
Kakek itu tertawa. "Ha-ha, dunia memang penuh kepalsuan. Penghargaan terhadap manusia dinilai dari lahirnya, bukan batinnya. Sahabat, kalian bermaksud baik, maka aku berterima kasih atas nasihat kalian. Akan tetapi, aku mempunyai suatu hal yang perlu kusampaikan kepada Nona Syanti Dewi. Maukah engkau menyampaikan hal ini kepadanya" Tanpa menanti jawaban, kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kipas yang permukaannya terbuat daripada kertas putih bersih. Lalu dia mengeluarkan alat tulis dan dengan gerakan yang cekatan sekali dia mencorat-coret di atas kipas itu.
Para penjaga memandang dan melongo penuh kekaguman ketika melihat betapa corat-coret itu merupakan tulisan huruf-huruf yang amat indah dan dilihat dari jauh merupakan sebuah petak rumput dengan bunga-bunganya mencuat di sana-sini. Dan bukan hanya huruf-hurufnya yang indah, akan tetapi bahkan huruf-huruf itu tersusun merupakan sebuah sajak yang rapi pula!
"Nah, inilah pesanku itu, harap kalian suka menyampaikan kepada Siocia kalian."
Seorang di antara para penjaga itu, yang berkumis lebat, mengerutkan alisnya dan menghampiri sambil bertolak pinggang, lalu membentak, "Eh, engkau ini tua bangka tidak tahu diri! Bercerminlah dulu sebelum engkau berani menulis surat cinta kepada Siocia! Lagakmu seperti seorang pemuda saja, pakai hendak mengirim surat cinta kepada Siocia!" Bentakan ini disambut suara ketawa penjaga lainnya.
Kakek itu juga tersenyum, kemudian dengan alat tulisnya dia mencorat-coret di atas ujung perahunya. Semua orang memandang dan kembali mereka terbelalak memandang corat-coret yang agaknya dilakukan secara sembarangan itu ternyata telah membentuk wajah penjaga berkumis lebat itu, mirip sekali sehingga sekali pandang saja semua orang mengenal wajah Si Kumis Lebat, lengkap dengan kumisnya yang pada gambar di atas papan perahu itu bahkan nampak lebih menyeramkan daripada aselinya.
Sastrawan tua itu tersenyum ketika dia mengangkat muka memandang kepada penjaga berkumis yang menegurnya tadi, sambil berkata, "Nah, sudah kucatat baik-baik gambar wajahmu agar mudah kulaporkan kelak kepada penghuni pulau ini siapa di antara para penjaga yang bersikap kasar terhadap seorang tamu."
Mendengar ini, tiba-tiba wajah penjaga berkumis tebal itu berobah ketakutan. Memang siapakah yang tidak takut membayangkan bahwa jangan-jangan sastrawan sederhana ini adalah seorang kenalan baik Toanio dan kalau betul demikian dan kakek ini melaporkan kepada Toanio, dia tentu akan celaka! Maka cepat Si Kumis Tebal itu menjura kepada sastrawan itu sambil berkata, "Harap Tuan sudi memaafkan kelakar kami tadi.... dan kalau Tuan menghendaki, biarlah saya menyampaikan pesan Tuan kepada Siocia...."
"Nah, itu baru seorang petugas yang baik, seorang penjaga yang gagah perkasa seperti harimau!" kata sastrawan itu dan kembali dengan alat tulisnya dia mencorat-coret ke arah lukisan wajah penjaga itu dan semua orang memandang kagum karena kini lukisan itu berobah menjadi kepala seekor harimau yang bagus sekali!
Penjaga berkumis lebat itu tidak berani main-main lagi, cepat diterimanya kipas yang sudah ditulisi itu dengan hormat sambil berkata. "Saya akan menyampaikan kipas ini kepada Siocia."
"Dan aku akan menanti balasan di di sini." kata sastrawan itu sambil mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci arak, kemudian duduklah dia di kepala perahunya sambil makan roti, minum arak dan bersenandung kecil, kelihatannya riang dan gembira sekali.
Pada pagi hari itu, Syanti Dewi sedang duduk di dalam taman bunga bersama gurunya yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, menghadapi sarapan pagi di dalam taman yang indah itu, dilayani oleh para pelayan yang cantik muda dan berpakaian bersih rapi. Taman itu memang indah sekali, dibangun oleh Syanti Dewi sendiri yang mendatangkan berbagai macam bunga dari daratan untuk ditanam di pulau itu. Mereka duduk di bangunan kecil di tepi danau buatan yang penuh dengan ikan-ikan emas beraneka macam dan warna, yang nampak berenang ke sana kemari di dalam air yang amat jernih itu. Jembatan-jembatan kecil dicat indah dan nyeni menambah semarak pemandangan di taman dan batang-batang pohon yang-liu yang lentik itu menari-nari tertiup angin pagi yang lembut.
"Dewi." kata Ouw Yan Hui dengan halus. Dia selalu menyebut Dewi kepada muridnya itu, dan tak pernah dia bosan untuk memandang wajah yang jelita itu.
Ouw Yan Hui biasanya bersikap dingin dan kasar angkuh kepada orang lain, akan tetapi terhadap Syanti Dewi dia bersikap lembut dan manis budi. "Kabarnya hari ini pangeran akan datang mengunjungi pulau kita, benarkah"
"Benar, Enci Hui." Syanti Dewi biasa menyebut gurunya itu Enci dan hubungan mereka memang lebih mirip kakak dan adik daripada guru dan murid. "Kemarin seorang pengawalnya telah menyampaikan berita itu."
"Dewi, sahabatmu itu adalah seorang pangeran mahkota yang kelak akan menjadi kaisar! Dan kulihat hubungan antara kalian demikian akrab. Hemm, daripada engkau dikelilingi begitu banyak pria muda, apakah tidak lebih baik kalau menentukan pilihanmu sekarang juga" Dan kurasa, paling tepatlah kalau engkau memilih pangeran itu. Bayangkan saja kelak engkau menjadi permaisuri dan...."
"Enci Hui, harap jangan sebut-sebut tentang hal itu!" Syanti Dewi memotong dengan alis agak berkerut, sungguhpun wajahnya masih tetap berseri dan senyumnya masih membayang di bibirnya yang merah basah dan sudah begitu segar nampaknya di pagi hari itu.
Kini Ouw Yan Hui yang memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sinar matanya serius. "Dewi, marilah kita bicara dari hati ke hati secara terbuka saja karena yang kita akan bicarakan ini menyangkut masa depan kehidupanmu. Tak perlu kusebutkan lagi karena engkau sudah mengenalku, bahwa aku pribadi tidak sudi berdekatan dengan pria, apalagi menjadi isteri. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau menentang sikap hidupku dan engkau mengatakan bahwa sekali waktu engkau tentu akan menjadi isteri seorang pria. Nah, usiamu sudah dua puluh enam tahun dan selagi sekarang terbuka kesempatan yang amat baik ini, mengapa engkau masih hendak bertahan" Kalau memang engkau suka hidup sebagai isteri orang, sekaranglah saatnya dan pangeran mahkota itulah orangnya yang patut menjadi suamimu. Bayangkan, kelak engkau menjadi permaisuri. Hemm, bahkan aku sendiri pun yang tidak suka kepada pria akan ikut merasa bangga disebut seorang kakak angkat dari permaisuri!"
"Enci, lupakah kau bahwa aku selalu menganggap perjodohan itu hanya mungkin apabila terdapat cinta kasih di situ" Apakah kaukira aku akan serendah itu, menikah dengan seorang pria hanya berdasarkan kedudukan belaka" Ingat, di Bhutan aku adalah seorang puteri tunggal Raja Bhutan!"
"Hemm, apa artinya kedudukanmu di Bhutan kalau dibandingkan dengan menjadi permaisuri kaisar" Dewi, apa artinya cinta kasih" Apa kaukira ada cinta kasih dalam hati seorang pria" Huh, aku tidak percaya itu! Pria hanya mempunyai nafsu berahi, nafsu binatang, dan selalu hanya ingin memuaskan nafsunya terhadap wanita, ingin mempermainkan wanita sampai akhirnya dia menjadi bosan dan mencari wanita baru yang lain! Kalau engkau dapat menjadi permaisuri dari sebuah pernikahan, tidak peduli Kaisar yang menjadi suamimu itu kelak mengumpulkan seribu orang selir, tetap saja engkau sudah memperoleh kedudukan dan kekuasaan tertinggi bagi seorang wanita, dan...."
"Cukup, Enci. Aku tidak mau lagi bicara tentang itu! Kau tahu, Pangeran Kian Liong hanya menjadi sahabat baikku, kami saling cocok dan saling suka, saling menghormat, sama sekali tidak ada perasaan yang kaumaksudkan itu...."
"Hi-hi-hik, kaukira aku ini anak kecil, Dewi" Aku melihat jelas betapa pada sinar matanya terdapat kekaguman dan gairah berahi...."
"Usianya baru delapan belas tahun, aku jauh lebih tua...."
"Apa salahnya" Melihat wajahmu, engkau lebih pantas dikatakan baru berusia delapan belas tahun! Dan perbedaan usia itu akan membuat engkau lebih mudah mengatasinya."
"Sudahlah, kau tahu, Enci. Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga, betapapun kaya raya dan berkuasanya pria itu, kecuali dengan pria yang kucinta."
"Tek Hoat itu lagi, ya" Betapa bodohnya engkau...."
"Tidak! Dia sudah kuhapus dari dalam lubuk hatiku. Setelah bertahun-tahun ini dia tidak muncul, aku mulai percaya bahwa dia memang berhati palsu!"
Ouw Yan Hui tertawa lagi. "Bukan hanya dia, semua laki-laki di dunia berhati palsu! Oleh karena itu, aku lebih suka berdekatan dengan sesama wanita yang memiliki kelembutan, baik jasmani maupun rohaninya. Dunia ini seharusnya dikuasai wanita dan semua pria sebaiknya dibinasakan saja!"
Pada saat mereka berdua tertawa santai terbebas dari percakapan tentang hal yang mendatangkan kenangan tidak menyenangkan dalam hati Syanti Dewi itu, muncullah penjaga berkumis lebat. Melihat bahwa Siocia berada di dalam taman bersama Toanio, wajahnya menjadi pucat dan cepat-cepat dia menjatuhkan diri berlutut ketika Ouw Yan Hui menoleh dan memandang kepadanya.
"Harap Toanio sudi mengampuni saya yang berani lancang masuk ke sini, karena saya tidak tahu bahwa Toanio di sini."
Syanti Dewi yang maklum akan tabiat gurunya yang membenci kaum pria dan mudah menjatuhkan tangan kejam terhadap pria yang bersalah sedikit saja, cepat berdiri menghampiri pria penjaga itu dan bertanya dengan sikap ramah, mendahului Ouw Yan Hui yang sudah memandang dengan alis berkerut kepada pria berkumis lebat itu.
"Ada keperluan apakah engkau datang ke sini"
"Maaf, Siocia. Di pantai pulau ada seorang sastrawan berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bermaksud berjumpa dengan Siocia...."
"Siapa dia" Apa keperluannya" tanya Syanti Dewi.
"Usir dia pergi!" bentak Ouw Yan Hui suaranya melengking marah sehingga mengejutkan Si Penjaga berkumis tebal yang masih berlutut.
"Saya.... sudah berusaha mengusirnya.... akan tetapi dia menuliskan sesuatu di atas kipas ini dan minta untuk disampaikan kepada Siocia...." Cepat-cepat dia mengeluarkan kipas itu dari saku bajunya.
"Keparat berani kau...."
Penjaga itu terkejut bukan main karena yang nampak hanya berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu dia merasa kepalanya seperti disambar petir dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia merangkak bangkit duduk, dengan kedua tangan dia cepat memegangi kepalanya untuk melihat apakah kepalanya tidak copot dan masih menempel di lehernya! Ternyata tadi dalam kemarahannya, Ouw Yan Hui telah menendangnya, dan dengan sama cepatnya Syanti Dewi telah mengambil kipas itu dan selanjutnya nona yang jelita ini menyabarkan gurunya.
"Enci, dia hanya petugas, harap ampuni dia." kata Syanti Dewi yang segera membuka kipas itu dan membacanya. Sepasang mata yang indah itu bersinarsinar, mulut yang manis sekali itu tersenyum dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia membaca sajak yang ditulis dengan huruf-huruf biasa yang amat indahnya itu.
Kembang indah jelita nan cantikmenarik datangnya kumbang-kumbangbeterbanganmembuat banyak tangan ingin memetikbanyak pria berlumbabersaing!
Aku, sastrawan tuapengagum segala nan indahhanya ingin menikmatidengan pandangan matasebelum kembang jelitadilayukan usia!Kasihan kumbang, belum kenyang madutertusuk duri!Kalian kembang, habis madulayu sendiri!
"Di mana dia sekarang" Syanti Dewi bertanya kepada penjaga yang masih berlutut dan mandi keringat karena ketakutan itu. Kumisnya nampak miring dan sama sekali tidak membayangkan kegalakan lagi. "Dia.... menanti.... di dalam perahunya, Siocia." jawabnya dengan lirih dan matanya mengerling ketakutan ke arah Ouw Yan Hui.
"Kaupersilakan dia menanti di ruangan tamu, aku akan menemuinya." kata Syanti Dewi dengan halus. "Nah, pergilah!"
Penjaga itu merasa lega sekali. Cepat dia bangkit dan memberi hormat, kemudian dengan penuh kehormatan dia menjura ke arah Ouw Yan Hui. "Terima kasih atas pengampunan Toanio...." Dan pergilah dia dengan cepat-cepat meninggalkan taman indah dan yang baginya seperti neraka menakutkan itu.
"Enci, dia itu hanya seorang sastrawan tua yang tulisannya indah syairnya bagus sekali. Aku mau menemuinya."
Ouw Yan Hui bangkit berdiri, sejenak memandang kepada puteri itu, lalu membuang muka dan mendengus. "Huhh! Segala tua bangka menjemukan....!" Dan dia pun pergi meninggalkan Syanti Dewi dengan wajah cemberut. Syanti Dewi yang sudah mengenal watak gurunya itu hanya tersenyum saja. Gurunya itu memang tidak suka kepada pria, akan tetapi dia tahu bahwa wanita itu amat sayang kepadanya dan tidak akan merintangi kehendaknya. Maka dia pun cepat-cepat pergi meninggalkan taman untuk memasuki bangunan seperti istana itu.
"Siapa namamu" begitu bertemu dengan sastrawan tua yang masih menanti di perahu itu, penjaga berkumis membentak. Dia masih merasa marah karena telah dihadiahi tendangan oleh toanio dan karena hal ini adalah gara-gara munculnya sastrawan ini maka dia menjadi marah kepada sastrawan itu.
Sastrawan tua itu tersenyum dan membungkuk. "Namaku Pouw Toan, seorang sastrawan perantau. Bagaimana, apakah Nonamu telah menerima pesanku dalam kipas"
"Dengar, orang she Pouw!" kata penjaga itu dengan mata merah, dan telunjuknya menuding ke arah hidung sastrawan itu. "Kalau engkau tidak menceritakan yang baik-baik tentang aku di depan Siocia agar aku mendapat hadiah, ingat, kalau engkau kembali tentu akan kubikin lukisan di mukamu dengan kedua kepalan tanganku ini!" Dia mengamangkan tinjunya yang besar kepada sastrawan itu.
"Gara-gara kedatanganmu aku telah kena marah oleh Toanio!"
Sastrawan itu tersenyum, "Ah, kiranya aku telah menyusahkanmu, sobat. Jangan khawatir, setelah aku berhasil bertemu dengan Siociamu, kalau pulang aku tentu akan memberi hadiah kepadamu. Nah, sekarang antarkan aku kepada Siociamu."
Penjaga itu lalu mengantarkan Pouw Toan menuju ke ruangan tamu di samping istana yang megah itu. "Kautunggu di sini, demikian pesan Siocia tadi." Kata Si Penjaga lalu meninggalkan Pouw Toan seorang diri di dalam ruangan tamu yang luas itu.
Pouw Toan memeriksa keadaan kamar tamu yang cukup luas itu dengan hati tertarik. Sebagai seorang sastrawan, tentu saja dia kagum sekali melihat ruangan tamu yang dihias dengan amat menyenangkan itu, dengan warna-warna sejuk pada dinding yang digantungi lukisan-lukisan indah. Akan tetapi dia tertarik sekali akan serangkaian indah di sudut ruangan, dan dia berdiri seperti patung di depan tulisan ini, dengan alis berkerut dan dia masih berdiri seperti itu ketika Syanti Dewi muncul dari dalam pintu yang tertutup tirai hijau muda. Melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun berdiri di depan tulisan itu dengan alis berkerut dan agaknya tertarik sekali sehingga tidak melihat dia muncul, Syanti Dewi tersenyum. Dia tertarik melihat pria yang tidak seperti para pengunjungnya yang lain itu. Biasanya, di kamar tamu ini dia menerima kunjungan orang-orang muda yang menarik dan dengan pakaian serba indah seolah-olah bergaya dan bersaing. Akan tetapi pria ini sudah setengah tua, dan pakaiannya sederhana saja, seperti pakaian orang yang miskin.
"Pamankah yang ingin bertemu dengan aku" Syanti Dewi akhirnya menegur karena pria itu seperti terpesona oleh tulisan-tulisan di dinding.
Pouw Toan menengok dan sejenak dia terbelalak memandang dara yang berdiri tak jauh di depannya. Sudah banyak dia mendengar nama puteri yang berada di Kim-coa-to ini, sehingga menarik hatinya dan membuatnya datang singgah di pulau itu untuk menyaksikan sendiri seperti apa puteri yang dikabarkan orang seperti bidadari dari sorga itu. Dan setelah kini dia berhadapan, dia terpesona dan tercengang karena dia seolah-olah melihat Kwan Im Pouwsat sendiri berdiri di depannya. Kecantikan dara ini sungguh jauh melampaui apa yang didengarnya dalam berita angin itu. Kecantikan yang luar biasa sekali! Sepasang matanya seperti orang dahaga bertemu dengan air jernih, menghirup dan meneguk keindahan depannya itu sepuasnya!
"Nona, yang dikabarkan sebagai bidadari Kim-coa-to dan bernama Syanti Dewi itu"
Syanti Dewi mengangguk dan tersenyum. Dia merasa aneh sekali. Sudah biasa dia disanjung dan dipuji oleh bibir-bibir para pria muda, bahkan dengan katakata sanjungan yang berlebihan, akan tetapi anehnya, ucapan yang keluar dari mulut kakek ini membuat dia merasa senang, bangga dan jantungnya berdebar. Mengapa" Mungkin karena kata-kata dan sikap pria ini begitu jujur, bukan seperti sanjungan para muda yang penuh dengan lagak dan jelas membayangkan pamrih bersembunyi di balik sanjungan itu. Akan tetapi pria ini tidak demikian.
"Ah, Paman, berita itu hanya isapan jempol belaka. Mana mungkin seorang manusia biasa seperti aku dibandingkan dengan seorang bidadari"
Kakek itu menarik napas panjang, masih terpesona. "Kau keliru! Engkau malah melebihi yang dibayangkan orang, engkau lebih dari seorang bidadari! Kau tahu, seorang bidadari hanya suatu gambaran yang tanpa cacat, sebaliknya engkau adalah seorang manusia berikut cacat-cacatnya, karena itu jauh lebih mempesona daripada sekedar gambaran kosong belaka!"
Heran sekali, ucapan ini jelas mengandung pujian yang disertai celaan akan kecantikannya, akan tetapi Syanti Dewi malah merasa girang! Dia merasa kembali menjadi manusia biasa bertemu dengan kakek ini.
"Silakan duduk, Paman dan katakanlah apa cacat-cacatku" Engkau tentu tahu bahwa sebagai manusia biasa, aku pun tidak pandai melihat cacat-cacat sendiri sungguhpun aku pandai melihat cacat-cacat lain orang."
Kakek itu duduk dan mengangguk-angguk. "Hemm, selain kecantikan engkau memiliki kebijaksanaan pula, Nona. Cacat-cacatmu adalah bahwa di balik kecantikanmu itu engkau mengandung kedukaan yang mendalam yang kaucoba sembunyikan di balik senyum manis dan sinar mata yang seindah bintang. Dan selain kedukaan, juga engkau menaruh dendam besar, hal itulah yang merusak kecantikanmu. Akan tetapi cacat-cacat itu malah menghidupkanmu, bukan sekedar gambar bidadari, melainkan seorang manusia berikut kelebihan dan kekurangannya. Sayang cacat-cacatmu itulah yang menciptakan kepedihan dalam hidupmu, Nona."
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan memandang tajam penuh selidik, karena merasa tepatnya ucapan itu. "Engkau seorang ahli peramal"
"Ha-ha-ha!" Melihat kakek itu tertawa, Syanti Dewi merasa makin tertarik karena ketawa itu begitu wajar sehingga dia pun ikut tertawa dan bergembira, seperti sinar matahari memasuki ruangan itu yang biasanya lembab oleh sikap Ouw Yan Hui yang selalu muram dan dingin. "Nona, segala peramal itu hanya omong kosong belaka. Aku dapat membaca keadaan batinmu dari wajahmu, bukankah wajah adalah cermin dari keadaan hati seseorang"
"Paman, siapakah engkau"
"Namaku Pouw Toan, aku seorang sastrawan tua yang tidak tinggal di tempat tertentu, selalu merantau untuk menikmati keindahan alam semesta."
"Paman Pouw, ketika aku memasuki ruangan ini, kulihat engkau amat memperhatikan tulisan di dinding itu. Mengapa" Syanti Dewi memandang karena tulisan di dinding itu sebetulnya adalah buatannya sendiri! "Apakah tulisan itu buruk"
Pouw Toan menoleh ke arah tulisan itu. "Buruk" Tidak, tulisan wanita itu cukup halus dan indah, akan tetapi bunyi tulisannya itulah yang palsu dan buruk!"
Diam-diam Syanti Dewi terkejut dan penasaran. Ah, aku menganggap tulisan itu benar dan baik, mengapa kaukatakan palsu dan buruk" Kurasa engkau bukan termasuk orang yang hanya pandai mencela tanpa dapat mengemukakan alasannya."
"Tentu saja! Coba kubaca tulisan itu!" Dia lalu bangkit berdiri, menghadapi tulisan itu lalu membaca dengan suara latang dan iramanya bagus seperti bernyanyi.
"Cinta membutakan matamenulikan telingapedih perih nyerimerobek-robek hatiAkan tetapi mengapaseluruh raga dan jiwaselalu mendambakan cinta"
Pouw Toan lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Syanti Dewi yang diam-diam merasa terharu mendengar cara kakek itu membacakan sajaknya, demikian indah terdengarnya dan belum pernah selamanya dia mendengar ada orang mampu membaca sajaknya dengan irama sedemikian cocok, tepat dan indahnya. Hatinya seperti merasa tersentuh dan keharuan membuat kedua matanya terasa panas dan basah air mata karena mendengar suara kakek itu hatinya terasa seperti terobek-robek mengenangkan nasib dirinya dalam cinta yang gagal.
"Isi sajak ini buruk dan palsu, harus dirobah sama sekali karena hanya akan mendatangkan duka dan keharuan, dan sama sekali mengandung gambaran yang sama sekali salah tentang cinta kasih!" kakek itu berkata-kata, nada suaranya penuh rasa penasaran. Perasaannya ini seperti yang dirasakan oleh seorang pelukis melihat lukisannya yang buruk, atau seorang ahli musik mendengarkan musik yang sumbang.
Syanti Dewi sudah dapat menguasai perasaannya lagi yang kini menjadi penasaran. Kakek itu dapat membaca sajaknya sedemikian indah penuh perasaan, akan tetapi mengapa malah mencela habis-habisan" Timbul keinginan tahunya.
"Paman Pouw, kalau begitu, cobalah kaurobah sajak itu bagaimana baiknya."
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Kaukira aku ini orang macam apa Nona. Aku tidak berani selancang itu. Merobahnya tanpa ijin berarti menghina penulisnya!"
Syanti Dewi tersenyum. "Jangan khawatir, Paman, aku telah memberi ijin dan akulah penulisnya."
"Ahh....!" Kakek itu nampak tercengang akan tetapi tidak minta maaf! Dan hal ini makin menarik hati Syanti Dewi karena kakek itu ternyata selain jujur, juga tidak bersifat penjilat seperti semua pemuda yang pernah mengunjunginya.
"Di atas meja di sudut sana itu ada kotak terisi alat-alat tulis, harap kau suka berbaik hati untuk membetulkan dan merobahnya, Paman."
Akan tetapi Pouw Toan sudah mengeluarkan alat tulisnya sendiri dari saku bajunya yang besar. "Seorang pendekar tak pernah terpisah dari pedangnya, dan seorang sastrawan tak pernah berpisah dari alat tulisnya. Kalau Nona sudah mengijinkan, nah, biar kurobah tulisan ini!" Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggosok bak dan mendekati kain yang terisi tulisan indah dari Syanti Dewi, kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia menggerakkan alat tulisnya di atas kain putih itu. Mula-mula dia mencoret huruf-huruf itu dengan coretan dari atas ke bawah, coretan kasar namun tarikannya mengandung tenaga yang halus sehingga coretan itu nampak "hidup", sama sekali tidak membuat buruk tulisan itu, bahkan seperti menjadi bayangan yang menghiasinya! Kemudian, ditempat yang masih kosong dia menuliskan beberapa buah huruf, dilakukan dengan cepat akan tetapi huruf-huruf yang tercipta di situ sungguh amat indah dan hidup membuat Syanti Dewi terbelalak memandang penuh kagum. Sajak baru yang dibuat di samping sajak lama yang dihias coretan itu singkat-singkat sekali, setiap baris hanya terdiri dari satu huruf saja!
Api...." Asap....!
Abu....! Cinta...."
Kepuasan....! Kesenangan....!
Akhirnya...."
Kecewa....! Sengsara....! Benci....! Aku adaCinta tiada!
Setelah selesai menuliskan sajak yang terdiri dari huruf-huruf singkat itu, Pouw Toan menyimpan kembali alat tulisnya, sedangkan Syanti Dewi masih menatap tulisan itu dan membacanya berkali-kali. Hanya sebuah huruf setiap baris, namun huruf-huruf itu demikian jelas menusuk perasaannya, mendatangkan kesan mendalam dan menimbulkan pengertian yang lengkap. Namun dia masih penasaran!
"Akan tetapi, Paman Pouw. Mengapa orang mencinta tidak boleh mengharapkan kepuasan dan kesenangan" Bukankah kita mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan tertentu"
Mereka sudah duduk kembali saling berhadapan, menghadapi poci dan cawan teh harum yang dihidangkan oleh pelayan yang sudah disuruh pergi lagi oleh Syanti Dewi.
Pouw Toan menghirup teh harum kental itu, lalu menjawab. "Mencinta karena tertarik oleh suatu kebaikan merupakan cinta yang hanya ingin menyenangkan diri sendiri. Dasarnya adalah irngin menyenangkan diri sendiri melalui sesuatu yang menarik dan dianggap kebaikan itu. Kebaikan itu boleh saja merupakan wajah tampan menarik, atau harta berlimpah-limpah, atau kedudukan tinggi, dan semua itu dianggap menarik dan menyenangkan...."
"Tetapi bisa saja kebaikan itu berupa sifat-sifat baik dari orang yang dicinta, kegagahan misalnya, kebijaksanaan atau sifat-sifat budiman...." bantah Syanti Dewi.
"Tiada bedanya. Sifat-sifat yang dianggap baik dan akan mendatangkan kesenangan, kebanggaan dan sebagainya. Akan tetapi kita lupa bahwa setiap orang manusia itu kalau sudah dinilai, sudah pasti mengandung dua sifat bertentangan, ada baik tentu ada buruknya. Mencinta dengan dasar ketampanan, padahal ketampanan itu dapat pudar, dapat lenyap dan dapat berkurang menurut suasana hati yang m,emandangnya. Kalau ketampanannya pudar, lalu ke mana perginya cinta" Dengan dasar kekayaan, kedudukan, kejantanan atau apa saja pun sama pula, begitu yang menjadi pendorong cinta itu pudar atau lenyap maka cintanya turut lenyap. Dan harus diingat lagi bahwa hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan itu hanya dianggap demikian karena belum tercapai oleh kita, akan tetapi apabila sudah berada di tangan kita, biasanya muncul penyakit bosan dan segala keindahan itu sudah tidak nampak sebaik sebelum terdapat!"
Syanti Dewi memejamkan mata. Di dalam kepala yang berbentuk indah itu, otaknya sedang bekerja keras sekali.
Nampaklah olehnya betapa kadang-kadang dia menjadi benci sekali kepada Tek Hoat kalau dia mengingat akan sikap-sikap Tek Hoat yang tidak menyenangkan hatinya, cintanya berobah benci! Nampak jelas olehnya betapa kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya baik dan menyenangkan, cintanya berkobar-kobar, akan tetapi sebaliknya kalau Tek Hoat melakukan hal-hal yang dianggapnya buruk dan tidak menyenangkan, cintanya melayu dan muncullah kebencian. Dia membuka mata dengan penuh kengerian di dalam hatinya. Seperti itukah cintanya terhadap Tek Hoat" Hanya berdasarkan menyenangkan dirinya sendiri" Dia bergidik!
"Paman Pouw....Paman.... katakanlah, kalau begitu.... apa dan bagaimana cinta kasih itu" Suaranya lirih seperti memohon, pandang matanya sayu.
Sejenak sastrawan itu terpesona. Belum pernah dia melihat kelembutan dan kecantikan seperti ini. "Nona.... eh.... aku memohon padamu.... bolehkah aku melukis wajahmu...." Dia pun berbisik.
Sikap kakek ini membuat Syanti Dewi tersenyum dan keharuannya pun membuyar. Sikap dan bisikan kakek itu hampir sama dengan sikap para muda, hanya perbedaannya yang teramat besar, kalau pemuda-pemuda itu membujuknya untuk dilayani atau dibalas cinta mereka, kakek ini sebaliknya membujuk untuk diperbolehkan melukis wajahnya!
"Tentu saja, Paman, Akan tetapi lebih dulu aku minta Paman menjawab pertanyaanku tadi."
"Apa dan bagaimana cinta kasih itu" Ahh, Nona, mana mungkin manusia biasa macam kita dapat menggambarkan bagaimana adanya cinta kasih itu" Sama dengan harus menggambarkan bagaimana adanya Tuhan itu! Yang penting bagi kita, Nona, adalah kita tahu apa sesungguhnya yang bukan cinta itu! Selama ada si aku yang ingin disenangkan melalui orang yang kita cinta, maka mana mungkin ada cinta kasih" Yang ada tentulah hanya kekecewaan, kedukaan, kebencian dan permusuhan belaka!"
Syanti Dewi tidak berani bicara lagi tentang cinta. Kini baru terbuka matanya, betapa sesungguhnya cinta kasih merupakan hal yang amat agung dan pelik, yang tidak mudah dibicarakan dan dipikirkan begitu saja. Yang biasa kita pikirkan dan bayangkan adalah cinta yang sesungguhnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri kita dengan menggunakan sampul yang kita namakan cinta!
Senang sekali Syanti Dewi bercakap-cakap dengan sastrawan itu. Setiap kata-katanya mengandung makna mendalam. Maka mulailah dia dilukis. Dia diminta duduk dan bercakap-cakap seperti biasa saja, dan kakek itu setelah menerima sehelai kain putih yang bersih dan kuat, lalu mulai melukisnya, sambil omong-omong pula! Maka Syanti Dewi tidak lelah dan hanya duduk santai saja seperti biasa kalau dia bercakap-cakap.
Banyak hal yang dibicarakan. Syanti Dewi teringat akan pengakuan kakek itu yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu dan seorang perantau yang menikmati keindahan alam semesta.
"Kau tentu miskin sekali, Paman"
Kakek itu terbelalak memandang Sang Puteri lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, justeru sebaliknya, Nona. Aku merasa bahwa aku adalah orang yang paling kaya di dunia ini! Segala keindahan dunia ini adalah untukku! Aku dapat menikmati alam semesta di manapun juga, tanpa memilikinya. Sekali orang memiliki sesuatu, maka berarti bahwa dia sesungguhnya telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya itu!"
"Eh, apa pula maksudmu, Paman"
"Jelas sekali. Begitu kita memiliki sesuatu, yang kita miliki itu akan kehilangan keindahannya karena kita telah terjangkit penyakit tamak, ingin memiliki yang lebih dari yang telah kita punyai. Memiliki hanya menimbulkan sengketa, persaingan, perebutan, iri hati. Dan siapa yang memiliki, dialah yang akan kehilangan dan agar jangan sampai kehilangan itu, kalau perlu dia menjaganya dengan taruhan segala kebahagiaan, bahkan nyawanya. Bukankah demikian"
"Jadi, kau tidak memiliki apa-apa, Paman"
"Ha-ha-ha, justeru karena aku tidak memiliki apa-apa, maka segala sesuatu ini adalah untukku belaka!"
Syanti Dewi masih belum mengerti betul akan inti dari semua kata-kata sastrawan itu. Tiba-tiba timbul pikirannya bahwa orang aneh seperti Pouw Toan ini tentu banyak pengalamannya di dunia kang-ouw dan mengenal banyak orang sakti.
"Paman Pouw, apakah Paman mengenal seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng dan isterinya yang bernama Puteri Milana" Dia memancing.
"Ah, tentu saja! Kami adalah sahabat-sahabat baik dan sungguh menggembirakan kalau bicara dengan Gak-taihiap dan keluarganya! Dia tinggal di Puncak Telaga Warna yang indah di Pegunungan Beng-san."
"Tentu Paman mengenal pula keluarga Majikan Pulau Es, kalau begitu"
Kakek itu menarik napas panjang. "Memang aku tahu, akan tetapi seorang sastrawan macam aku ini mana mungkin bisa berdekatan dengan mereka" Terlalu jauh.... terlalu tinggi, dan aku tidak mampu membawa perahu mencapai Pulau Es. Tentu pendekar sakti itu, Suma Han Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, kini telah tua dan tidak pernah kudengar beritanya di dunia kang-ouw. Bahkan putera-puteranya pun tidak terdengar beritanya. Agaknya kini semua pendekar sedang menikmati ketenangan hidup di tempat masing-masing, sungguhpun belum lama ini terjadi geger di dunia kang-ouw karena lenyapnya Pedang Pusaka Naga Siluman dari istana kaisar." Dengan singkat namun jelas sastrawan itu lalu bercerita sekedarnya tentang pedang pusaka yang kabarnya dilarikan maling sakti ke Pegunungan Himalaya itu dan betapa banyak orang kang-ouw melakukan pengejaran ke sana untuk memperebutkan pedang pusaka keramat itu.
"Akan tetapi, kurasa pendekar-pendekar sakti seperti keluarga istana Pulau Es itu tidak akan merendahkan diri memperebutkan pedang pusaka itu." tambahnya.
Syanti Deewi mendengarkan dengan hati tertarik. Kemudian, pertanyaan inti yang sejak tadi berada di ujung lidahnya, diajukan dengan suara yang dibikin setenang mungkin, "Paman Pouw, pernahkan Paman mendengar atau bertemu dengan seorang tokoh Kang-ouw yang berjuluk Si Jari Maut"
Sastrawan itu mengerutkan alisnya, kemudian menggeleng kepalanya. "Aku belum pernah bertemu muka, akan tetapi aku sudah banyak mendengar tentang tokoh muda itu. Akan tetapi menurut berita terakhir, pendekar muda yang terkenal dan bahkan kabarnya masih anak keluarga penghuni Istana Pulau Es itu kini menjadi gila...."
"Ehh...." Syanti Dewi hampir menjerit dan menutup mulut dengan tangan.
"Atau menurut kabar, keadaannya seperti orang kehilangan ingatan, pakaiannya seperti pengemis, rambut dan brewoknya tak terpelihara dan dia seringkali tertawa dan menangis. Memang aneh sekali tokoh itu.... heei, kenapa...." Sastrawan itu terkejut melihat Syanti Dewi tiba-tiba menutup muka dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu!
Sejenak sastrawan itu termangu, akan tetapi dia lalu mengangguk-angguk maklum. Dihubungkannya bunyi sajak tulisan puteri itu dan sikapnya sekarang ketika mendengar tentang pendekar muda berjuluk Si Jari Maut itu, dan mengertilah dia bahwa tentu ada hubungan cinta yang gagal atau patah antara dara ini dan Si Jari Maut itu. Sebagai seorang yang bijaksana dia tidak mengganggu, membiarkan dara itu menangis melampiaskan duka yang agaknya sudah terlalu lama ditahan-tahannya itu dan dia enak-enak saja melanjutkan dan menyelesaikan lukisannya.
Memang lapanglah rasa dada Syanti Dewi setelah menangis, sungguhpun kini dia merasa seluruh tubuhnya lemah dan hatinya penuh dengan haru dan iba terhadap kekasihnya yang dikabarkan menjadi berobah ingatan itu! Dia mengusap air matanya dan memandang kepada sastrawan itu dengan mata merah.
"Maafkan sikapku, Paman. Akan tetapi aku ingin beristirahat dan tidak dapat menemanimu lebih lama lagi...."
"Tidak mengapa, Nona. Lukisan ini sudah rampung dan terimalah ini sebagai persembahan dan terima kasihku bahwa Nona telah sudi menerimaku dan memberi kesempatan kepadaku untuk menikmati kecantikanmu dan sungguh pertemuan ini takkan terlupakan selama hidupku." Dia menyerahkan lukisan itu kepada Syanti Dewi.
Syanti Dewi menerima lukisan itu dan dia terkejut dan kagum. Lukisan itu tidaklah dapat dibilang indah, dalam arti kata indah menurut keinginannya dilukis secantik mungkin, akan tetapi beberapa goresan-goresan itu amat kuatnya mencerminkan segala bentuk dan sifat-sifat, bukan hanya lahiriah akan tetapi juga batiniah. Melihat lukisan itu dia merasa seolah-olah melihat dirinya sendiri dibalik cermin dalam keadaan yang sewajarnya tanpa ditutup hiasan apa pun, wajahnya "telanjang" sama sekali dalam lukisan itu dan nampaklah bayangan-bayangan duka yang mendalam! Tiba-tiba dia teringat kepada Tek Hoat dan dengan jari-jari gemetar dia mengembalikan lukisan itu.
Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman Pouw, terima kasih atas pemberianmu. Akan tetapi, kuharap engkau.... kalau kebetulan bertemu dengan dia.... sudilah kau memberikan lukisan ini kepadanya, siapa tahu.... dapat menolongnya...." Suaranya gemetar dan makin lirih.
Tanpa disebut namanya pun kakek yang bijaksana itu sudah tahu siapa yang dimaksudkan, maka dia menerima lukisan itu, digulungnya dan dia bangkit berdiri. "Baiklah, mudah-mudahan saja aku dapat berjumpa dengan dia. Nah, selamat tinggal, Nona dan terima kasih atas keramahanmu telah sudi menyambut aku sebagai seorang tamu."
"Aku merasa girang sekali dapat berkenalan dengan seorang seperti engkau, Paman Pouw. Selamat jalan.... mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu lagi."
Pouw Toan lalu meninggalkan ruangan tamu itu, tiba-tiba dia teringat akan penjaga berkumis, maka dia berhenti, menoleh sambil tersenyum dan berkata,
"Nona, penjaga berkumis tebal itu menerima pukulan gara-gara kedatanganku, harap kau suka ingat kepadanya."
Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Maka pergilah Pouw Toan. Benar saja, baru dia tiba di luar istana, dia sudah disambut oleh penjaga itu yang memandangnya dengan penuh perhatian dan sinar matanya mengandung pertanyaan.
"Siociamu tentu akan memperhatikan nasibmu." kata Pouw Toan dan giranglah penjaga itu. Dengan ramah dia lalu mengantar Pouw Toan kembali ke perahunya dan tak lama kemudian perahu yang didayung perlahan-lahan oleh sastrawan itu pun meninggalkan Kim-coa-to.
Sementara itu, Syanti Dewi memanggil penjaga dan memesan bahwa hari itu dia tidak mau menerima tamu lagi.
"Tapi, Siocia! Ouw-kongcu dan Ang-kongcu sudah sejak tadi menunggu!" penjaga itu berkata. Dia yang sudah sering kali menerima hadiah dari dua orang pemuda itu tentu saja mencoba untuk membujuk nona majikannya untuk mau menerima dua orang pemuda itu. Pemuda she Ouw adalah pemuda hartawan yang kaya-raya, sedangkan pemuda she Ang adalah sahabatnya, putera seorang pembesar. Pemuda hartawan dan bangsawan itu datang dari seberang, dari daratan, menggunakan sebuah perahu besar yang mewah milik Ouw-kongcu.
"Biar siapapun juga yang datang, aku tidak akan menemui mereka. Katakan bahwa aku sedang tidak enak badan dan tidak dapat menemui tamu." Setelah berkata demikian, Syanti Dewi pergi ke kamarnya, mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan, kedua matanya menatap langit-langit dan membayangkan keadaan Tek Hoat yang menyedihkan. Timbul keinginan besar di dalam hatinya untuk pergi sendiri, meninggalkan pulau dan mencari Ang Tek Hoat, menghiburnya, mengobatinya. Akan tetapi, dia membayangkan pengalamannya yang lalu dan dia mengeraskan hati. Dia harus melihat sikap Tek Hoat lebih dulu, harus melihat pemuda itu datang ke pulau ini, baru dia akan mengambil keputusan apakah dia menganggap baik untuk melanjutkan hubungan cinta mereka yang telah putus. Dia tidak mau menderita lagi, tidak mau bertepuk tangan sebelah. Dia hanya mendengar keadaan pemuda itu yang menyedihkan, akan tetapi dia belum melihat sendiri bagaimana sikap Tek Hoat sekarang terhadap dirinya.
Dua orang pemuda yang menerima kabar bahwa Syanti Dewi tidak dapat menerima mereka karena dia tidak enak badan, tidak menjadi marah sungguhpun mereka kecewa sekali. Mereka tidak putus asa dan mereka juga tidak mau pulang, hanya menanti di perahu itu sampai Syanti Dewi sembuh. Bahkan mereka mengirim buah-buah dan makanan-makanan lain yang mereka bawa dari daratan, mereka berikan kepada Sang Puteri yang katanya sedang sakit itu melalui para pelayan yang tentu saja mau menyampaikan semua itu karena menerima hadiah-hadiah!
Syanti Dewi membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan dan makin diingat, makin beratlah duka menindih hatinya. Dia merasa amat sengsara dan tidak bahagia dalam cintanya, namun dia pun merasa pula betapa cintanya terhadap Tek Hoat selama ini tidak pernah mati, sungguhpun dia mencoba dengan segala daya upaya untuk menyatakan kepada diri sendiri bahwa hubungan cinta mereka telah putus! Maka, teringat akan semua itu, tak tertahankan lagi puteri ini menangis seorang diri di dalam kamarnya, menangis sesenggukan dan menyembunyikan mukanya dalam himpitan bantal yang telah menjadi basah oleh air matanya.
Betapa menyedihkan melihat kehidupan begini penuh dengan duka dan penderitaan, kekecewaan dan penyesalan, kesengsaraan dan hanya kadang saja diseling sedikit sekali suka yang hanya kadang-kadang muncul seperti berkelebatnya kilat sejenak saja di antara awan gelap kedukaan. Apakah duka itu dan dari mana timbulnya"
Jelaslah bahwa duka pun bukan merupakan hal di luar diri kita. Duka tidak terpisah dari kita sendiri dan kita sendirilah pencipta duka! Kita merasa berduka karena iba diri, dan iba diri timbul kalau si aku merasa kecewa karena dirampas apa yang menjadi sumber kesenangannya. Karena merasa di jauhkan dari kesenangan yang mendatangkan nikmat lahir maupun batin, maka si aku merasa iba kepada dirinya sendiri. Pikiran, tumpukan ingatan dan kenangan, gudang dari pengalaman-pengalaman masa lalu, mengenangkan semua hal-hal yang menimpa diri dan memperdalam perasaan iba diri itu. Pikiran seperti berubah menjadi tangan iblis yang meremas-remas perasaan hati, maka terlahirlah duka! Tanpa adanya pikiran yang mengenang-ngenang segala hal yang menimbulkan iba diri, maka tidak akan ada duka. Biasanya, kalau duka timbul, kita lalu melarikan diri pada hiburan dan sebagainya untuk melupakannya. Akan tetapi, hal ini biasanya hanya berhasil untuk sementara saja, karena si duka itu masih ada. Sekali waktu kalau pikiran mengenang-ngenang, akan datang lagi duka itu. Sebaliknya, kalau kita waspada menghadapi perasaan yang kita namakan duka itu, mempelajarinya, tidak lari darinya melainkan mengamatinya tanpa ingin melenyapkannya, maka duka itu sendiri akan lenyap seperti awan tertiup angin. Justeru usaha-usaha dan keinginan untuk menghilangkan duka itulah yang menjadi kekuatan si duka untuk terus menegakkan dirinya!
Bicara tentang duka tidaklah lengkap kalau kita tidak bicara tentang suka atau kesenangan, karena kesenangan tak terpisahkan dari kesusahan, ada suka tentu ada duka! Justeru pengejaran kesenangan inilah yang merupakan sebab utama dari lahirnya duka! Sekali mengenal dan mengejar kesenangan, berarti kita berkenalan dengan duka, karena duka muncul kalau kesenangan dijauhkan dari kita! Kesenangan mendatangkan pengikatan. Kita ingin mengikatkan diri dengan kesenangan, maka sekali yang menyenangkan itu dicabut dari kita, akan menyakitkan dan menimbulkan duka. Kesenanganlah yang membius kita sehingga kita mati-matian mengejarnya, dan dalam pengejaran inilah timbulnya segala macam perbuatan yang kita namakan jahat. Dan kesenangan ini pun merupakan hasil karya dari pikiran, yaitu si aku yang mengenang dan mengingat-ingat. Pikiran mengunyah dan mengingat-ingat, membayangkan segala pengalaman yang mendatangkan kenikmatan, maka timbullah keinginan untuk mengejar bayangan itu! Kita tak pernah waspada sehingga seperti tidak melihat bahwa yang kita kejar-kejar itu, bayangan yang nampaknya amat nikmat dan menyenangkan itu, setelah tercapai ternyata tidaklah seindah atau senikmat ketika dibayangkan, dan pikiran sudah mengejar kesenangan lain yang lebih hebat atau kita anggap lebih nikmat lagi! Maka terperosoklah kita ke dalam lingkaran setan dari pengejaran kesenangan yang tiada habisnya. Kita tidak mau melihat bahwa di akhir sana terdapat dua kemungkinan, yaitu kecewa dan duka kalau gagal, dan bosan yang membawa duka lagi kalau berhasil, dan rasa takut kalau kehilangan.
Dalam duka baru kita ingat kepada Tuhan, minta ampun, minta bantuan dan sebagainya dan semua ini wajar, timbul dari rasa iba diri. Dalam bersenang-senang kita lupa kepada Tuhan, karena pementingan diri yang berlebihan, mengejar kenikmatan diri sendiri.
Semua ini bukanlah berarti bahwa kita harus menjauhi atau menolak kenikmatan hidup. Sama sekali tidak! Kita berhak menikmati hidup, berhak sepenuhnya! Akan tetapi, PENGEJARAN terhadap kesenangan itulah yang menyesatkan! Ini merupakan kenyataan, bukan teori atau pendapat kosong belaka. Kita harus waspada dan sadar akan kenyataan ini, karena kewaspadaan dan kesadaran dalam pengamatan diri sendiri akan mendatangkan tindakan langsung tersendiri yang akan melenyapkan semua itu!
Seperti telah tercatat dalam sejarah, Kaisar Kang Hsi (1663-1722) sebagai kaisar dari Dinasti Ceng atau bangsa Mancu yang besar telah berhasil mengembangkan kekuasaan kerajaan itu sehingga terkenal sampai di luar negeri. Akan tetapi semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dan pemerintahan dipegang oleh Kaisar Yung Ceng, kekuasaan atau pengaruh itu mulai menyuram. Kaisar Yung Ceng telah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Ceng, namun dia tidak dapat mencapai keadaan seperti ketika kekuasaan berada di tangan Kaisar Kang Hsi.
Hal ini adalah karena banyaknya terjadi pertentangan di dalam keluarga kaisar sendiri semenjak Kaisar Kang Hsi meninggal dunia, ditambah lagi dengan adanya pemberontakan di tempat-tempat yang jauh dari kota raja sehingga tentu saja peristiwa-peristiwa ini melemahkan keadaan Kerajaan Ceng diwaktu itu.
Pemberontakan terjadi di mana-mana, pemberontakan kecil-kecilan yang cukup merongrong kewibawaan pemerintah. Terutama sekali karena di sebelah dalam istana sendiri terdapat pertentangan yang digolakkan oleh seorang selir dari Kang Shi yang disebut Sam-thai-houw, yaitu Ibu Suri ke Tiga. Sam-thaihouw ini tentu saja masih mempunyai pengaruh yang besar, dan terutama sekali karena di antara pembesar militer banyak yang membantu atau mendukungnya.Tentu saja pembesar-pembesar itu adalah mereka yang selain masih terhitung keluarga dengan Ibu Suri ke Tiga ini, juga yang pernah banyak menerima budi dari ibu suri ini, bahkan yang memperoleh kedudukan tinggi karena jasa ibu suri. Kaisar sendiri tahu akan sepak terjang Ibu suri yang kadang-kadang bertindak sewenang-wenang terhadap para pembesar yang menentangnya dan dianggap musuhnya. Akan tetapi Kaisar Yung Ceng memiliki kelemahan, yaitu tidak berani banyak bertindak terhadap keluarga angkatan tua. Dia terlalu "berbakti" terhadap angkatan tua, hal yang sesungguhnya hanya menunjukkan kelemahannya.
Bahkan pada akhir-akhir ini, secara terang-terangan Sam-thaihouw yang merasa sakit hati dan menaruh dendam kepada keluarga puteri Nirahai yang kini menjadi isteri dari Pendekar Super Sakti di Istana Pulau Es, memusuhi keluarga itu dan mengumpulkan orang-orang kang-ouw yang pandai dan sakti dalam usahanya untuk membalas dendam kepada keluarga itu dan juga kepada para pembesar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang dianggap memusuhinya. Maka sering kali terjadi pembunuhan yang aneh dan keji di malam hari terhadap "musuh" Sam-thaihouw, pembunuhan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Hal ini selain menggegerkan kota raja, juga menggegerkan dunia kang-ouw dan nama Sam-thaihouw sebentar saja disebut-sebut dan terkenal di antara orang-orang kang-ouw sebagai seorang yang amat berbahaya dan ditakuti.
Kegawatan memuncak dan kemerosotan pengaruh Kerajaan Ceng terasa paling rendah ketika terjadi pencurian pedang pusaka keramat dari gudang pusaka keraton! Sungguh hal ini merupakan tamparan bagi istana. Gudang pusaka merupakan tempat yang terjaga dengan amat ketat, namun ada sebatang pedang pusaka yang berada di dalamnya dicuri orang tanpa ada yang mengetahuinyal Peristiwa ini disimpulkan oleh para golongan yang menentang pemerintah sebagai bukti-bukti kelemahan, maka semakin beranilah mereka memperlihatkan sikap menentang!
Para pembesar mulai gelisah melihat kelemahan pemerintah. Banyak pembesar setia yang menasihati kaisar untuk mengambil tindakan dan bertangan besi, bukan hanya terhadap pemberontak, akan tetapi juga terhadap keluarga istana sendiri. Namun, Kaisar tetap tidak berani sembarangan bertindak terhadap Samthaihouw, maka hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan pembesar. Mereka mulai memasang mata mencari-cari orang yang kiranya dapat mereka harapkan untuk dapat menolong kerajaan. Dan orang itu bukan lain hanyalah Pangeran Kian Liong! Pangeran ini terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, pandai dalam ilmu sastra dan sering kali pangeran ini menyamar sebagai rakyat biasa untuk menyelidiki kehidupan rakyat, mendengarkan keluh-kesah mereka, kritik-kritik dan usul-usul mereka untuk kemudian dia lanjutkan dengan tindakan-tindakan yang tepat untuk merubah keadaan yang memberatkan rakyat jelata. Karena ini, mana Pangeran Kian Liong segera terkenal sebagai seorang pangeran muda yang budiman dan juga kalau perlu dapat bertangan besi terhadap pembesar-pembesar yang korup dan menindas rakyat.
Sam-thaihouw tidak suka kepada pangeran ini, akan tetapi dia dan kaki tangannya tidak berani sembarangan bertindak terhadapnya, karena selain pangeran ini merupakan pangeran yang mempunyai harapan menggantikan kaisar, juga diam-diam pangeran ini selalu dilindungi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi! Memang luar biasa sekali! Banyak tokoh-tokoh besar dan partai-partai persilatan, tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan berilmu, bekerja sama melakukan penjagaan dan pengamatan siang malam atas diri pangeran ini sehingga ke mana pun pangeran ini pergi, selalu pasti ada tokoh-tokoh sakti yang mengawasi dan menjaganya, melindunginya tanpa diketahui oleh Si Pangeran itu sendiri!
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau para pembesar yang setia kini menujukan pandang mata mereka kepada Pangeran Kian Liong dengan penuh harapan, sungguhpun pangeran itu sendiri tidak, memperlihatkan ambisi apa-apa kecuali sebagai seorang pangeran yang selalu bersikap melindungi rakyat yang tertindas.
Empat lima tahun telah lewat semenjak terjadi keributan di Pegunungan Himalaya karena orang-orang kang-ouw memperebutkan Pedang Pusaka Naga Siluman. Dan pada waktu itu, berhubung dengan kelemahan kaisar di kota raja, di bagian barat mulai lagi timbul keributankeributan , yaitu di negara bagian Tibet yang pernah ditundukkan dan dikuasai oleh pasukan pemerintah Ceng ketika masih berada di bawah pimpinan mendiang Kaisar Kang Hsi. Ada kabar bahwa mulai berdatangan mata-mata dan berkelompok-kelompok pasukan kecil dari luar Tibet yang memasuki daerah itu, dan kabarnya pasukan-pasukan Tibet kewalahan menghadapi gangguan-gangguan kecil ini. Pasukan-pasukan itu datang dari arah barat dan selatan, dari arah Negara Nepal dan mungkin juga dari India.
Pada suatu pagi yang cerah, dengan sinar matahari mulai nampak di bagian yang dingin dari dunia itu, yaitu di kaki Pegunungan Himalaya yang berada di bagian paling timur dan utara, nampak seorang dara remaja menuruni lereng dengan sikap yang gembira dan lenggang seenaknya. Dara ini bertubuh ramping padat, caranya melangkahkan kaki seperti seekor rusa, demikian ringannya namun di balik pakaiannya yang sederhana itu nampak tubuh yang padat berisi dan mengandung tenaga yang kuat. Wajahnya manis sekali, wajah yang amat cerah, secerah matahari pagi. Sepasang mata dan mulutnya membayangkan kesegaran, sesegar embun yang bergantung pada pucuk-pucuk daun, dan kulitnya yang nampak pada muka, leher dan tangannya mulus halus putih, seputih salju yang masih tersisa di puncak gunung yang nampak dari kejauhan.
Dara cantik manis ini baru berusia kurang lebih enam belas tahun, seorang dara remaja yang baru menanjak dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar. Kedua pipinya yang halus itu kemerahan seperti buah tomat mulai masak, dan bibirnya yang menyungging senyum dikulum itu nampak merah delima dan membayangkan kesegaran tubuh yang sehat. Biarpun pakaiannya terbuat daripada kain kasar saja dan potongannya pun sederhana dan kasar, namun tidak mengurangi kecantikan dara itu, bahkan kesederhanaan pakaian itu lebih menonjolkan kejelitaannya yang wajar dan aseli. Dara itu sama sekali tidak memakai perhiasan, akan tetapi dari jauh dia nampak seperti memakai sebuah gelang emas yang cukup besar, sebesar jari tangannya, gelang emas berbentuk seekor ular yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Akan tetapi, kalau didekati, orang akan melihat bahwa "gelang emas" itu bergerak-gerak, dari mulut ular itu keluar lidah hitam menjilat-jilat keluar masuk dan baru orang akan tahu bahwa gelang itu adalah seekor ular aseli, seekor ular hidup! Dan memang sesungguhnyalah. Ular itu seekor ular hidup yang memiliki sisik indah sekali, kuning keemasan, dengan mata, kecil merah dan lidah yang hitam!
Melihat seorang dara remaja dengan pakaian biasa yang tipis, bukan pakaian bulu yang melindungi tubuh dari dingin, melakukan perjalanan seorang diri seenaknya saja menuruni lereng Pegunungan Himalaya yang terkenal dingin sekali itu, sungguh sudah merupakan hal yang aneh. Apalagi melihat gelang ular emas hidup itu! Melihat dua hal ini saja, mudah diduga bahwa di balik kelembutan seorang dara remaja yang cantik manis ini tentu terdapat kekuatan yang hebat, membayangkan seoran
Cinta Bernoda Darah 14 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas 14