Panji Sakti 2
Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 2
Saudara Se juga tidak berniat terjun ke dalam bu lim?"
"Itu pesan wasiat leluhur, maka semua keturunan dilarang terjun
ke bu lim, juga tidak boleh tahu menahu tentang urusan itu.
Tentunya aku tidak boleh melanggar pesan wasiat itu."
"Seandainya ada orang bu lim, cari gara-gara dengan Saudara,
apakah Saudara akan tinggal diam?"
"Itu sudah lain," sahut Se Pit Han.
"Saudara Se." Siau Liong tersenyum. "Aku bertanya lagi, orang
tua yang menyamar diriku, apakah teman atau masih terhitung
anggota keluarga Saudara?"
"Dia jongos tua tiga turunan keluargaku."
"Kalau begitu, orang tua itu terhitung anggota keluarga
Saudara?" Se Pit Han berotak cerdas, ia sudah tahu maksud tujuan
pertanyaan Siau Liong, maka ia pun tersenyum.
56 "Walau dia terhitung salah seorang anggota keluargaku, di luar
pesan wasiat leluhur. Oleh karena itu, dia boleh bergerak dalam bu
lim. "Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Kalau begitu,
dia menyamar diriku itu rencana Saudara?"
"Benar." Se Pit Han mengangguk. "Itu memang rencanaku."
"Saudara Se." Siau Liong menatapnya. "Kenapa engkau mau
turut campur dalam urusan itu?"
"Apakah aku tidak harus turut campur?" tanya Se Pit Han.
"Aku justru tidak mengerti, kenapa Saudara mau turut campur?"
sahut Siau Liong sambil menatapnya tajam.
"Jadi......" Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Engkau bercuriga
aku punya maksud tujuan tertentu?"
Siau Liong tertawa ringan mendadak.
"Aku sudah berkata jujur, maka Saudara jangan mencurigaiku
lagi!" ujarnya.
Se Pit Han tertegun, ia menatap Siau Liong dengan mata
terbeliak. "Apakah engkau berkata secara jujur?" Se Pit Han tampak
bingung. "Bukankah Saudara ingin tahu apa yang kupikirkan tadi'?" sahut
Siau Liong sambil tersenyum-senyum.
"Eh?" Mulut Se Pit Han ternganga lebar. "Kapan engkau
menjawab pertanyaanku tadi secara jujur?"
"Barusan."
"Barusan?" Se Pit Han bertambah bingung, ia menatap Siau
Liong dengan mata terbelalak lebar.
"Bukankah barusan Saudara sendiri telah mewakiliku menjawab
pertanyaan itu?" Siau Liong tersenyum lagi.
"Apa"!" Se Pit Han mengerutkan sepasang alisnya. "Barusan aku
mewakilimu menjawab pertanyaan itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Maksudmu".." Se Pit Han manggut-manggut, kelihatannya ia
telah menyadari suatu hal.
Pada waktu bersamaan, mendadak muncul seorang pemuda
berbaju hitam menghampiri Se Pit Han. Begitu melihat pemuda
tersebut, Se Pit Han langsung diam, sedangkan pemuda berbaju
hitam itu memberi hormat padanya.
57 "Menghadap pada Kong Cu (Tuan muda)!" ucap pemuda berbaju
hitam sambil menjura dengan badan membungkuk.
"Tidak usah berlaku hormat!" sahut Se Pit Han sambil
tersenyum. "Cepatlah engkau memberi hormat pada Tuan Muda
Hek!" Pemuda berbaju hitam segera memberi hormat pada Siau Liong.
Ia membungkukkan badannya sambil menjura.
"Se Khi memberi hormat pada Kong Cu!" ucapnya.
"Tidak usah memberi hormat. Namaku Siau Liong, cukup panggil
namaku saja," sahut Siau Liong sekaligus membalas memberi
hormat pada pemuda berbaju hitam itu.
"Se Khi!" Se Pit Han tersenyum. "Duduklah!"
"Se Khi tidak berani," ujar pemuda berbaju hitam. "Se Khi berdiri
saja." Se Pit Han mengerutkan kening, lalu tegasnya.
"Kita berada di luar, bukan di dalam rumah. Engkau harus
duduk, Tuan Muda Hek ingin mengajukan beberapa pertanyaan
padamu." "Ya." Se Khi memberi hormat lagi, kemudian duduk.
"Se Khi." Se Pit Han tersenyum. "Bagaimana dengan tugasmu
itu." "Sesuai dengan rencana Tuan Muda," jawab Se Khi hormat.
"Ceritakanlah!"
"Ya." Se Khi mengangguk. "Se Khi memancingnya keluar sampai
belasan li. Setelah tiba di tanah perkuburan, barulah Se Khi
menghadapinya. Semula Se Khi mengira dia memiliki ilmu silat
tinggi, tidak tahunya......" Se Khi tertawa dan melanjutkan,
"Kepandaiannya sangat rendah. Tidak sampai tiga jurus, Se Khi telah
menotok jalan darahnya sehingga dia terkulai."
Betapa terkejutnya Siau Liong mendengar keterangan Se Khi.
Walau ia tidak tahu berapa tinggi kepandaian Thi Sui Phoa Toan
Beng Thong, orang tersebut pernah menggetarkan kang ouw, itu
pertanda memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun justru
roboh di tangan Se Khi dalam tiga jurus. Dapat dibayangkan, betapa
tingginya kepandaian Se Khi.
"Se Khi." Se Pit Han tersenyum. "Jalan darah apa yang engkau
totok?" "Jalan darah tidur."
"Dengan jurus apa engkau menotoknya?"
58 "Dengan jurus yang biasa." Se Khi memberitahukan. "Satu jam
kemudian dia akan mendusin sendiri."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut.
Pada waktu bersamaan, mendadak Siau Liong bangkit berdiri,
lalu menjura pada Se Pit Han.
"Maaf! Aku mau mohon diri!" ujarnya.
Se Pit Han tertegun kemudian tanyanya heran.
"Saudara Hek, engkau mau ke mana?"
"Aku sudah merasa capek, ingin segera beristirahat di rumah
penginapan," jawab Siau Liong memberitahukan.
"Saudara Hek." Se Pit Han menatapnya tajam. "Benarkah engkau
ingin beristirahat di rumah penginapan?"
"Benar." Siau Liong mengangguk. "Aku sungguh sudah capek."
Walau mulut berkata demikian, Siau Liong merasa tidak enak
dalam hati dan membatin. Maaf Saudara, aku telah berdusta!
Se Pit Han juga bangkit berdiri.
"Kalau begitu, mari kita pergi cari rumah penginapan!" ujarnya
lembut sambil tersenyum.
Ini sungguh di luar dugaan Siau Liong, tidak heran kalau ia
tertegun. "Saudara ingin bersamaku pergi cari rumah penginapan?"
"Kenapa?" Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Tidak boleh ya"
Engkau sebal padaku?"
"Eeeh?" Siau Liong melongo. "Bagaimana mungkin aku sebal
padamu, saudara Se?"
"Kalau begitu, kenapa engkau tampak tidak senang kuikuti?"
tanya Se Pit Han dingin.
"Aku bukan tidak senang, melainkan..... melainkan"..." Siau
Liong tidak melanjutkan ucapannya. Karena gugup wajahnya
menjadi kemerah-merahan.
"Duduklah, saudara Hek," Se Pit Han tersenyum.
Apa boleh buat, Siau Liong terpaksa duduk kembali.
Se Pit Han menatapnya, kemudian tersenyum lagi.
"Saudara Hek, engkau mau ke mana" Jujurlah!"
Mendadak Siau Liong tersenyum getir, kemudian menarik nafas
panjang. "Saudara Se, engkau sudah tahu kok masih bertanya?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han serius. "Beritahukan padaku, mau apa
engkau pergi mencarinya?"
59 "Aku ingin bertanya padanya, siapa yang memerintah dia untuk
membunuhku."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau pikir dia akan memberitahukan padamu?"
"Dia tidak mau beritahukan juga harus beritahukan." sahut Siau
Liong yakin. "Engkau akan mengancamnya dengan nyawanya itu?" tanya Se
Pit Han sambil menatapnya dalam-dalam.
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku memang bermaksud begitu."
"Engkau pikir dia bisa diancam?"
"Kenapa tidak?"
"Engkau percaya kepandaianmu lebih tinggi dari dia?"
"Kalau bertarung, aku memang bukan lawannya." Siau Liong
memberitahukan secara jujur. "Akan tetapi, kini dia"..."
"Dia masih tertidur lantaran jalan darah tidurnya tertotok?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Maka aku akan menotok lumpuh
dirinya, barulah membuka jalan darah tidurnya, agar dia mendusin."
"Cara itu memang baik, namun"..." Se Pit Han tersenyum. "Dari
sini ke sana, saudara telah memperhitungkan waktunya?"
Siau Liong tertegun, kemudian menjura pada Se Pit Han.
"Terimakasih atas petunjuk Saudara, aku memang ceroboh,"
ujarnya dengan wajah agak kemerah-merahan.
"Oh ya!" Se Pit Han menatapnya. "Engkau masih ingin bertanya
apa padanya?"
"Tentang Bun Jiu Kiong," jawab Siau Liong jujur. "Bun Jiu Kiong
itu berada di mana?"
Sepasang mata Se Pit Han menyorot aneh, lalu tanyanya dengan
suara dalam. "Mau apa engkau menanyakan tentang Bun Jiu Kiong?"
"Aku ingin berkunjung ke sana."
"Berkunjung ke sana?" Wajah Se Pit Han langsung berubah
dingin. "Ingin berlemah lembut di Bun Jiu Kiong itu?"
Wajah Siau Liong memerah, dan cepat-cepat menggelengkan
kepala. "Jangan salah paham, Saudara Se! Aku tidak bermaksud begitu."
"Hm!" dengus Se Pit Han dingin. "Lalu bermaksud apa?"
"Kalau benar Bun Jiu Kiong itu merupakan tempat yang bukanbukan,
maka aku ingin menghancurkannya."
60 "Oooh!" Wajah Se Pit Han kembali seperti biasa. "Engkau punya
kekuatan itu?"
"Aku memang tidak punya kekuatan itu, tapi"..."
"Bukankah masih ada aku dan Se Khi" Ya, kan?"
"Saudara Se......" Siau Liong menggelengkan kepala. "Aku sama
sekali tidak berniat minta bantuan kalian berdua."
"Jadi......" Se Pit Han menatapnya dingin. "Engkau ingin pergi
seorang diri?"
"Apakah tidak boleh?"
"Aku tanya, berdasarkan apa engkau ke sana" Kepandaian atau
keberanian?"
"Tidak berdasarkan apa pun." sahut Siau Liong dan
menambahkan dengan nada tegas, "Hanya berdasarkan Bu Lim Cia
Khi (Keadilan rimba persilatan)."
Se Pit Han menatapnya kagum, namun sepasang matanya justru
menyorot dingin.
"Tidak salah. Berdasarkan keadilan rimba persilatan, tentunya
akan menggemparkan rimba persilatan pula. Tapi"..."
"Kenapa?"
"Saudara Hek, tahukah engkau siapa yang ingin menegakkan
keadilan rimba persilatan, dia harus memiliki kepandaian tinggi,
barulah dapat melaksanakannya."
"Aku mengerti itu, namun".. aku percaya diri."
Betapa angkuhnya ucapan Siau Liong, siapa yang mendengar
pasti tidak senang, bahkan mungkin akan mentertawakannya.
Akan tetapi, Se Pit Han justru tidak, sebaliknya ia malah
menatap Siau Liong dengan kagum.
"Saudara yang baik, aku memang tidak salah melihat dirimu.
Meskipun ucapanmu itu agak angkuh, aku tetap kagum padamu.
Tapi engkau tahu kepandaianmu masih rendah, seharusnya engkau
giat belajar kepandaian yang tinggi, carilah bu lim ko ciu (orang
berkepandaian tinggi rimba persilatan) untuk belajar kepandaian
yang tinggi."
Siau Liong diam, tak menyahut.
Mendadak Se Pit Han teringat sesuatu.
"Saudara Hek, aku masih belum tahu siapa suhu (guru) mu.
Bolehkah engkau memberitahukan?"
"Siaute tidak punya guru."
"Kalau begitu, kepandaianmu berasal dari keluarga?"
61 Siau Liong mengangguk.
"Tuan Muda Hek." sela Se Khi mendadak. "Bolehkah Se Khi
mengajukan satu pertanyaan?"
"Boleh. Silakan!"
"Apakah sejurus pedang itu juga berasal dari keluarga?"
Ternyata ini yang ditanyakan Se Khi.
Siau Liong menggelengkan kepala.
"Bukan, melainkan Bu Beng Lo jin yang mengajar padaku."
"Tuan Muda tidak tahu nama orang tua itu?" tanya Se Khi heran.
"Kalau aku tahu, tentunya tidak akan menyebutnya Bu Beng Lo
jin lagi."
"Emmh!" Se Khi manggut-manggut. "Oh ya, apakah nama jurus
pedang itu?"
"Sudah berkali-kali aku bertanya pada orang tua itu, tapi dia
tidak mau beritahukan, hanya bilang kelak aku akan
mengetahuinya."
"Cuma sejurus saja?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Memang cuma sejurus."
"Se Khi," tanya Se Pit Han mendadak. "Engkau kenal jurus
pedang itu?"
"Se Khi cuma mendengar," jawab Se Khi hormat. "Namun kini
belum berani memastikan."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut.
Se Khi mengarah pada Siau Liong seraya bertanya.
"Orang tua itu tidak mengajarkan ilmu lain pada Tuan Muda?"
Tergerak hati Siau Liong, namun ia menggeleng-gelengkan
kepala. "Tidak," jawabnya.
Siau Liong berdusta. Ia memang harus berdusta demi menutupi
jati dirinya. Se Khi memakai kedok kulit manusia, maka orang lain tidak
dapat melihat bagaimana air mukanya. Namun sepasang matanya
penuh diliputi keheranan, pertanda ia sedang memikirkan sesuatu.
Bagian ke 9: Pelangi Seakan Dalam Khayalan
"Tuan Muda, mohon maaf Se Khi bertanya lagi," ujar Se Khi
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah berpikir sejenak. "Kini orang tua itu berada di mana?"
62 Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. Ia sama sekali tidak
mau berterus terang, khawatir jati dirinya akan ketahuan.
"Orang tua itu tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka aku
pun tidak tahu ia berada di mana sekarang."
Se Khi diam. Melihat Se Khi diam, Se Pit Han memandang Siau Liong sambil
tersenyum. "Saudara Hek, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu
pantas atau tidak mengatakannya."
"Jangan sungkan-sungkan, Saudara Se! Silakan katakan!"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum lembut. "Apa yang akan
kukatakan, mungkin akan menusuk perasaanmu. Maka kuharap
engkau tidak akan gusar."
"Legakanlah hatimu, Saudara Se!" Siau Liong menarik nafas.
"Aku tidak akan gusar, sebab aku tahu, perkataan yang menusuk
perasaan justru sangat bermanfaat bagi si pendengar."
"Oh?" Se Pit Han tertawa kecil. "Saudara Hek, sejurus pedangmu
itu memang hebat sekali, namun gerakannya agak lamban. Itu
disebabkan ilmu tenaga dalammu masih belum begitu mencapa
tingkat tinggi."
Siau Liong diam, tapi mendengarkan dengar penuh perhatian.
"Oleh karena itu," tambah Se Pit Han. "Kalau engkau ingin
menegakkan keadilan rimba persilatan, harus terus-menerus melatih
tenaga dalammu. Urusan lain harus dikesampingkan dulu. Carilah
orang tua berkepandaian tinggi rimba persilatan untuk belajar
kepandaian. Tentang siapa atasan Toan Beng Thong itu dan kenapa
ingin membunuhmu, kelak engkau boleh menyelidikinya."
"Jadi......" Siau Liong menatapnya. "Urusan disudahi begitu
saja?" "Tentu tidak disudahi begitu saja. Meskipun kini engkau ingin
menyudahi urusan itu, Toar Beng Thong dan atasannya pasti tidak
akan melepaskan dirimu. Untuk sekarang ini, kepandaianmu masih
sangat rendah. Seandainya engkau tahu siapa yang ingin
membunuhmu, itu juga percuma sebab".. engkau tidak mampu
melawan mereka. Maka alangkah baiknya kini engkau menghindar
dan bersabar dulu."
Se Pit Han menghentikan ucapannya sejenak dan memandang
Siau Liong. 63 "Asal engkau bisa belajar kepandaian tinggi tentunya kelak tidak
sulit cari mereka. Mengena Bun Jiu Kiong itu, juga tiada masalah
lagi. Saudara Hek, bagaimana perkataanku ini" Masuk akal tidak?"
"Saudara Se"..." Siau Liong terharu. "Memang benar apa yang
kamu katakan, tapi"..."
Siau Liong menatapnya sambil tersenyum getir, itu justru
membuat wajah Se Pit Han berubah dingin.
"Jangan bicara plintat plintut! Itu bukan sikap orang jantan."
tegur Se Pit Han tidak senang. "Mau bicara apa, cetuskan!"
Siau Liong menarik nafas panjang. "Memang aku berniat belajar
kepandaian tinggi, tapi harus ke mana cari orang tua rimba
persilatan yang berilmu tinggi?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han menatapnya dengan alis berkerut.
"Engkau takut susah?"
"Aku sama sekali tidak takut susah, bahkan mampu memikul
kesusahan apa pun."
"Bagus! Bagus!" Wajah Se Pit Han berseri, kelihatannya ia ingin
memberi petunjuk pada Siau Liong.
Itu tidak terlepas dari mata Se Khi. Maka ia cepat-cepat
mengirim suara ke telinga Se Pit Han. Itu ilmu Coan Im Jip Kip
(Penyampai suara) yang hanya dapat didengar oleh orang yang
bersangkutan. "Tuan Muda Istana, budak tua mohon maaf mengingatkan, Tuan
Muda Istana harus mempertimbangkan sekali lagi, jangan ceroboh!"
Ternyata Se Pit Han tuan muda istana. Istana apa" Mungkinkah
istana lemah lembut itu"
"Se Khi," sahut Se Pit Han. Ia juga menggunakan ilmu
penyampai suara. "Bagaimana menurutmu" Dia pemuda baik kan?"
"Pandangan Tuan Muda memang tidak salah, dia memang
pemuda baik, bahkan sangat berbakat."
"Kalau begitu......" Se Pit Han tersenyum. "Itu tidak jadi
masalah." Usai berbicara dengan Se Khi, Se Pit Han segera memandang
Siau Liong dengan mata berbinar-binar.
"Siau Liong, pernahkah engkau mendengar Cai Hong To (Pulau
Pelangi)?" tanyanya dengan suara rendah.
"Cai Hong To?" Sepasang mata Siau Liong menyorot aneh. "Saya
pernah mendengar mengenai pulau misteri itu. Kenapa Saudara
mendadak menyinggung pulau itu?"
64 "Tahukah engkau, terletak di mana pulau itu?"
"Lam Hai." Siau Liong menatapnya. "Saudara tahu jelas di mana
pulau Cai Hong itu?"
"Aku"..." Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak
tahu, tapi"..."
Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya, melainkan menatap
Siau Liong dengan penuh perhatian, setelah itu barulah melanjutkan.
"Kebetulan engkau menuju ke Lam Hai, maka alangkah baiknya
engkau cari pulau itu juga. Siapa tahu engkau berjodoh dengan
pulau itu."
"Terimakasih atas petunjuk Saudara!" ucap Siau Liong hambar.
"Setibaku di Lam Hai, aku pasti mencoba mengadu nasib untuk
mencari pulau itu."
Siau Liong tampak begitu hambar, pertanda tidak begitu
berharap. Se Pit Han tertegun menyaksikannya. Siapa yang
mendengar nama Pulau Pelangi pasti akan memperlihatkan wajah
serius. Namun sebaliknya Siau Liong malah tampak begitu hambar,
sungguh di luar dugaan Se Pit Han.
"Saudara Hek, engkau tampak begitu hambar, apakah tidak
tertarik pada Pulau Pelangi ataukah tidak yakin dan tidak punya
harapan untuk mencapainya?"
"Terus terang, Pulau Pelangi boleh dikatakan merupakan
semacam dongeng dalam kang ouw, maka aku tidak begitu
berharap"..."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menatapnya tajam.
"Kalau aku yakin dan sangat berharap, bagaimana seandainya
tidak tercapai" Bukankah akan menjadi putus asa?" lanjut Siau
Liong. "Aku justru tidak menghendaki itu."
Memang benar apa yang dikatakan Siau Liong, maka Se Pit Han
diam saja. Lagi pula ia pun tidak boleh berterus terang pada Siau
Liong, hanya sekedar memberi petunjuk saja.
Hening beberapa saat lamanya, kemudian mendadak Se Pit Han
mengalihkan pembicaraannya.
"Mungkin tidak lama lagi Toan Beng Thong akan pulang, lebih
baik kita segera pergi, agar tidak terjadi keributan di sini."
Se Pit Han bangkit berdiri, kemudian mengarah pada kedua
pemuda berbaju hijau yang duduk tak jauh dari situ, setelah itu ia
memandang Siau Liong.
"Saudara Hek, mari kita pergi!" ujarnya sambil tersenyum.
65 Siau Liong tampak ragu, tetapi berselang sesaat ia manggutmanggut
sambil bangkit berdiri. Setelah Se Khi menaruh setael perak
di atas meja, mereka bertiga lalu meninggalkan rumah makan Si Hai
itu. Kedua pemuda berbaju hijau juga ikut pergi, bahkan mengikuti
mereka dari belakang. Siapa kedua pemuda berbaju hijau itu"
Kenapa mereka berdua mengikuti Se Pit Han, juga kenapa tadi Se Pit
Han mengarah pada mereka berdua"
Itu sungguh mengherankan, bahkan agak luar biasa pula.
Namun kalau dijelaskan, itu tidak akan mengherankan maupun luar
biasa lagi. Karena kedua pemuda berbaju hijau itu pengawal Se Pit
Han. Berhubung Se Pit Han ingin berkenalan dengan Siau Liong,
maka ia menyuruh mereka berdua duduk di tempat lain.
Kalau begitu, bagaimana jati diri Se Pit Han" Tentunya
berderajat sangat tinggi sebab Se Khi memanggilnya Tuan Muda
Istana. Selain Se Khi dan kedua pemuda berbaju hijau, masih ada
delapan pemuda yang berilmu tinggi, terutama ilmu pedang.
Keluar dari rumah makan Si Hai, mereka langsung menuju
Rumah penginapan Sia Ping. Begitu sampai di rumah penginapan itu
Se Pit Han pun memesan beberapa buah kamar.
Se Pit Han dan Siau Liong duduk berhadapan di dalam kamar
rumah penginapan Sia Ping tersebut. Tampak pula kedua pemuda
berbaju hijau berdiri di belakang Se Pit Han.
Kini Se Khi telah melepaskan kedoknya. Ternyata ia seorang tua
berusia tujuh puluh limaan yang rambut dan jenggotnya telah putih
semua. "Saudara Se," ujar Siau Liong. "Kita baru berkenalan, namun
Saudara sedemikian baik terhadap aku"..."
"Saudara Hek," potong Se Pit Han sambil tersenyum. "Pepatah
mengatakan empat penjuru lautan adalah saudara. Itu memang
tidak salah. Lagi pula bertemu merupakan jodoh. Kita sudah jadi
teman, maka tidak perlu sungkan-sungkan."
Siau Liong manggut-manggut.
"Mulai sekarang," tambah Se Pit Han sungguh-sungguh. "Aku
tidak mau dengar ucapanmu yang bernada sungkan lagi. Kalau
masih begitu lebih baik kita jangan menjadi teman."
"Baiklah." Siau Liong mengangguk lagi. "Aku menurut, mulai
sekarang aku tidak akan sungkan sungkan lagi."
66 "Bagus." Se Pit Han tertawa kecil. "Saudara Hek, itu sifat jantan
seorang pendekar di bu lim."
"Saudara Se, ucapanmu membuatku menjad malu hati." wajah
Siau Liong kemerah-merahan.
"Oh, ya?" Se Pit Han menatapnya. "Kalau begitu, engkau harus
dihukum." "Apa?" Siau Liong terbelalak. "Kenapa aku harus dihukum?".
"Karena".. telah menyinggung perasaanku."
"Itu"..." Siau Liong menarik nafas. "Cara bagaimana Saudara
menghukumku?"
"Aku akan menghukummu dengan cara......" Se Pit Han
tersenyum serius. "Lain kali saja aku akan menghukummu."
"Kenapa harus lain kali?"
"Karena sekarang belum waktunya."
"Baiklah." Siau Liong mengangguk sambil ter senyum. "Lain kali
aku pasti menerima hukuman itu."
Se Pit Han tertawa lebar, lalu mengarah pada Se Khi yang duduk
tak jauh dari situ.
"Se Khi! Cepat panggil Pat Kiam (Delapan Pedang) ke mari!"
ujarnya bernada perintah.
"Ya, budak tua terima perintah," sahut Se Khi hormat. Orang tua
itu segera melangkah pergi.
"Saudara Se," tanya Siau Liong heran. "Siapa Pat Kiam itu"
Apakah mereka bawahanmu?"
"Mereka ahli pedang didikan ayahku." Se Pit Han
memberitahukan.
"Kalau begitu, ilmu pedang mereka pasti tinggi sekali. Ya, kan?"
tanya Siau Liong bernada kagum.
Se Pit Han tidak menyahut, hanya manggut-manggut. Sebab
kalau ia memberitahukan tentang ilmu pedang delapan orang itu,
Siau Liong pasti tidak akan percaya. Karena Se Pit Han diam, maka
Siau Liong pun bertanya lagi.
"Saudara Se, bagaimana Pat Kiam dibandingkan dengan
Pendekar Pedang Yan San?"
Se Pit Han menatapnya, kemudian balik bertanya.
"Saudara Hek, apakah ilmu pedang Pendekar Pedang Yan San itu
sangat tinggi?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
67 "Pernahkah engkau menyaksikannya?" tanya Se Pit Han
mendadak. "Tidak pernah, hanya pernah dengar," jawab Siau Liong jujur.
"Ooh!" Se Pit Han manggut-manggut, lalu tertawa mendadak.
"Saudara Hek, engkau ingin membuka mata?"
"Maksud Saudara?"
"Dari sini ke Yan San tidak begitu jauh, mari kita ajak Pat Kiam
ke sana untuk bertanding! Nah, bukankah engkau bisa membuka
mata menyaksikannya?"
Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin."
"Kenapa?" tanya Se Pit Han.
Siau Liong menarik nafas panjang seraya menyahut.
"Dengar-dengar Pendekar Pedang Yan San telah mati."
"Oh"..?" Se Pit Han mengernyitkan kening.
Pada waktu bersamaan, di pintu kamar telah muncul Se Khi
bersama delapan pemuda yang mengenakan baju biru.
"Lapor pada Tuan Muda!" seru Se Khi hormat. "Pat Kiam sudah
datang." "Masuk!" sahut Se Pit Han serius dan berwibawa.
Se Khi melangkah duluan, delapan pemuda berbaju biru
mengikuti dari belakang menghampiri Se Pit Han.
"Pat Kiam memberi hormat pada Tuan Muda!" ucap salah
seorang pemuda berbaju biru sambil menjura hormat.
"Ngmm!" Se Pit Han manggut-manggut. "Kalian cepat beri
hormat pada Tuan Muda Hek!"
"Pat Kiam memberi hormat pada Tuan Muda Hek!" ucap pemuda
berbaju biru itu lagi, ternyata ia pemimpin Pat Kiam.
"Kalian tidak usah berlaku begitu hormat!" Siau Liong salah
tingkah. Setelah memberi hormat pada Siau Liong, Pat Kiam pun berdiri
di sisi Se Pit Han, seakan sedang menunggu perintah.
"Kalian ingin mengembangkan kepandaian masing-masing?"
tanya Se Pit Han mendadak pada Pat Kiam.
Wajah Pat Kiam tampak berseri, tapi tiada seorang pun berani
menjawab. Mereka tetap berdiri mematung di tempat.
"Kenapa kalian diam saja?" tanya Se Pit Han sambil memandang
pemimpin Pat Kiam. "Huai Hong, jawablah!"
"Huai Hong memang ingin sekali mengembangkan ilmu pedang
yang telah lama dipelajarinya, tapi".. tapi......"
68 Huai Hong tidak melanjutkan ucapannya, ia tampak ragu.
Se Pit Han malah tersenyum.
"Tapi tiada kesempatan kan?"
"Ya." Huai Hong mengangguk hormat.
"Kalau begitu, aku ingin menyampaikan kabar gembira untuk
kalian." Se Pit Han menatap mereka. "Malam ini kemungkinan kalian
punya kesempatan itu."
Bagian ke 10: Menyambut Serangan
Betapa gembiranya Pat Kiam itu. Mata mereka berbinar-binar
saking girangnya mendengar kabar tersebut. Sejak mereka lulus
belajar ilmu pedang. sama sekali tidak pernah bertarung dengan
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan, maka malam ini"...
"Tapi aku harus mengingatkan kalian." ujar Se Pit Han serius.
"Orang yang akan ke mari malam ini, kepandaiannya cukup tinggi.
Kalau tidak terpaksa, janganlah kalian sembarangan melukainya!
Mengerti kalian?"
"Kami mengerti," sahut mereka serentak dengan hormat.
"Bagus!" Se Pit Han manggut-manggut, kemudian bertanya pada
Se Khi, "Sudah waktu apa sekarang?"
"Sudah lewat jam dua malam," jawab Se Khi memberitahukan
dengan sikap hormat.
"Ng!" Se Pit Han mengangguk perlahan, lalu mengarah pada
Huai Hong. "Kalau perhitunganku tidak salah, sekitar jam empat
subuh pihak lawan akan ke mari. Sekarang masih ada waktu,
sebaiknya kalian beristirahat."
"Ya," sahut Huai Hong sambil menjura, kemudian bertanya,
"Maaf, Tuan Muda! Mohon tanya siapa lawan kita itu?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Aku pun cuma menduga, kemungkinan subuh nanti akan ada
orang ke mari cari gara-gara. Siapa orang itu, aku sendiri pun tidak
begitu jelas. Setelah orang itu datang, kalian bertanya langsung saja
padanya." Se Pit Han menjawab begitu, Huai Hong pun merasa tidak enak
untuk bertanya lagi. Ia dan saudara-saudara seperguruannya
memberi hormat pada Se Pit Han.
"Tuan Muda, kami mohon diri!" Huai Hong dan saudara-saudara
seperguruannya mengundurkan diri dari kamar itu.
69 Sementara Siau Liong terus mengerutkan alis sambil berpikir.
Setelah Pat Kiam pergi, ia pun segera bertanya.
"Saudara Se, sebetulnya ada apa?"
Pertanyaan yang tiada ujung pangkal itu membuat orang
bingung, tidak tahu apa yang ditanyakannya.
Akan tetapi, Se Pit Han berotak cerdas. Ia dapat menerka apa
yang ditanyakan Siau Liong. Namun ia berpura-pura tidak
memahami pertanyaan itu, dan malah balik bertanya.
"Memangnya ada apa?"
"Saudara yakin, subuh ini akan ada orang ke mari cari garagara?"
Siau Liong menatapnya.
"Saudara Hek." Se Pit Han tersenyum. "Engkau tidak percaya?"
"Bukan masalah tidak percaya." Siau Liong menggelenggelengkan
kepala. "Terus terang, aku merasa heran."
"Oh" Kenapa heran?"
"Saudara menerka subuh ini ada orang ke mari cari gara-gara,
tentunya telah menemukan sesuatu. Kalau tidak, bagaimana
mungkin saudara akan menerka begitu?"
Se Pit Han diam saja.
"Saudara Se, sebetulnya siapa yang akan ke mari cara garagara?"
tanya Siau Liong lagi.
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum sambil menggelenggelengkan
kepala. "Padahal sesungguhnya, aku sama sekali tidak
menemukan apa pun. Terkaanku itu berdasarkan hal-hal yang nyata
saja." "Oh?" Siau Liong tidak habis berpikir. "Saudara menerka
berdasarkan hal-hal yang nyata, kalau begitu, apa tujuan orang itu
ke mari" Tentunya Saudara tahu kan?"
"Aku memang tahu." Se Pit Han menatapnya. "Orang itu ke mari
dengan tujuan mencarimu, Saudara Hek!"
"Oh, ya?" Siau Liong menarik nafas. "Kalau begitu, orang itu
pasti Thi Sui Poa Toan Beng Thong."
"Seharusnya dia atau orang-orangnya," jawab Se Pit Han dan
menjelaskan agar Siau Liong mengerti. "Engkau orang yang harus
dibunuh atasannya, lagi pula Se Khi menyamar dirimu
memancingnya pergi, sekaligus memberinya sedikit pelajaran, maka
demi tugas dan sakit hati itu, dia pasti tidak akan melepaskanmu
begitu saja. Oleh karena itu, aku pun berkesimpulan bahwa subuh
ini, dia pasti menyuruh orang-orangnya ke mari."
70 Mendengar penjelasan yang masuk akal itu Siau Liong pun
manggut-manggut dan berpikir dalam hati.
"Tapi dia kok tahu aku berada di rumah penginapan ini?"
tanyanya. "Kota Ling Ni ini tidak besar. Asal dia menyuruh orang
menyelidikinya, pasti tahu engkau berada di sini."
"Oooh!" Siau Liong mengangguk.
"Se Khi!" Se Pit Han memandang orang tua itu. "Pat Kiam di luar
sudah cukup untuk menghadapi lawan-lawan itu, namun kita pun
harus berhati-hati, agar tidak dipermainkan pihak lawan. Kalau kita
dipermainkan, itu sungguh memalukan."
"Ya, Tuan Muda." Se Khi mengangguk.
"Sasaran mereka adalah Tuan Muda Hek," ujar Se Pit Han sambil
melirik Siau Liong. "Maka engkau harus melindunginya, urusan lain
engkau boleh tidak perduli."
"Budak tua terima perintah." Se Khi memberi hormat. "Harap
Tuan Muda berlega hati, budak tua pasti melindungi Tuan Muda
Hek, sekaligus bertanggung jawab tentang ini."
"Bagus." Se Pit Han tersenyum sambil manggut-manggut.
"Tapi"..." Se Khi menatap Se Pit Han, kelihatannya
mengkhawatirkannya. "Bagaimana dengan Tuan Muda sendiri?"
"Engkau tidak usah khawatir!" Se Pit Han tampak tenang sekali.
"Aku bisa menjaga diri sendiri."
"Tuan Muda"..." Se Khi memandangnya dengan mata
menyorotkan sinar aneh. "Apakah Tuan Muda sudah mengambil
keputusan, apabila perlu, Tuan Muda akan turun tangan sendiri?"
"Itu sudah pasti." Se Pit Han mengangguk. "Apabila perlu,
bagaimana mungkin aku cuma berpangku tangan?"
"Tapi"..." Se Khi menggelengkan kepala. "Budak tua tidak setuju
Tuan Muda turun tangan sendiri."
"Apa alasanmu, Se Khi?" tanya Se Pit Han dengan alis terangkat
tinggi. "Diri Tuan Muda bagaikan giok, tidak pantas bergebrak dengan
orang-orang kang ouw."
"Se Khi!" wajah Se Pit Han tampak serius. "Aku ingin bertanya,
untuk apa aku belajar ilmu silat" Kalau begitu, percuma aku memiliki
ilmu silat yang tinggi kan?"
71 "Tuan Muda"..." Se Khi menundukkan kepala. "Budak tua
khawatir Tuan Muda belum berpengalaman, gampang terperdaya
oleh lawan. Kalau terjadi begitu, budak tua......"
Se Pit Han tertawa kecil, ia memandang Se Khi seraya berkata,
"Tentunya Se Khi tahu bagaimana ilmu silatku, lagi pula masih
ada dua pengawal Giok Cing dan Giok Ling, apakah mereka berdua
akan membiarkan pihak lawan mendekati diriku" Pokoknya engkau
cukup menjaga Tuan Muda Hek saja, jangan sampai dia terjadi
sesuatu, itu adalah tanggungjawabmu."
Sementara Siau Liong cuma diam, dan terus mendengar
pembicaraan mereka.
"Itu tidak bisa, aku tidak mengabulkan," selanya.
Se Pit Han tertegun. Ia menatap Siau Liong dengan wajah heran.
"Kenapa tidak bisa" Dan".. engkau tidak mengabulkan apa?"
tanyanya. "Kenapa keselamatan diriku harus dipertanggungjawabkan pada
orang lain" Apakah aku tidak becus sama sekali menjaga diri
sendiri?" jawat Siau Liong dengan kening berkerut. "Perlukah diriku
dijaga dan dilindungi orang lain?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum. "Jadi maksudmu harus
menjaga dan melindungi diri sendiri?"
"Tidak salah." Siau Liong mengangguk. "Kalau diriku masih harus
dijaga dan dilindungi orang lain, apakah aku masih terhitung anak
lelaki?" "Oh?" Se Pit Han menatapnya tajam.
"Lebih baik kalian tidak usah mengurusi diriku," tandas Siau
Liong, ia tampak tidak senang.
"Saudara Hek, Se Pit Han masih menatapnya tajam. "Aku
pikir".. engkau sudah punya suatu rencana. Ya, kan?"
Siau Liong tersentak, namun tidak tersirat pada wajahnya, ia
kelihatan tenang-tenang saja.
"Saudara Se, bagaimana mungkin aku punya suatu rencana?"
sangkalnya sambil tersenyum hambar.
"Saudara Hek, engkau juga tidak perlu mengaku." Se Pit Han
tersenyum serius. "Bagaimana mungkin engkau dapat mengelabui
mataku?" "Saudara Se"..."
"Mengenai siapa atasan Toan Beng Thong," lanjut Se Pit Han.
"Dan kenapa mau membunuhmu, hingga saat ini engkau masih
72 penasaran. Maka engkau ingin bertarung dengannya, sekaligus
bertanya tentang itu. Dugaanku tidak meleset kan?"
Siau Liong terperanjat dan membatin. Sungguh lihay Se Pit Han,
apa yang kupikirkan, dia dapat menduganya dengan tepat. Siau
Liong menarik nafas, lalu manggut-manggut.
"Dugaan Saudara memang tidak salah, aku memang berpikir
begitu"..." Kemudian tambahnya, "Padahal aku menuruti nasihat
Saudara, memutuskan tidak akan mencarinya untuk menanyakan hal
itu. Tapi".. seandainya dia ke mari mencariku, tentunya aku pun
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu."
"Oh?" Se Pit Han tertawa dingin. "Saudara Hek, engkau sungguh
membuatku kecewa."
"Apa"!" Siau Liong tercengang. "Kok membuat Saudara kecewa"
Apakah aku tidak harus berpikir begitu?"
"Engkau berpikir begitu, tentu tidak bisa dikatakan tidak harus,"
Se Pit Han menatapnya dingin. "Namun berdasarkan bu kang
sekarang, masih bukan tandingan Toan Beng Thong."
"Oh?" Siau Liong mengerutkan kening. "Benarkah bu kang Toan
Beng Thong begitu tinggi, sehingga aku bukan tandingannya?"
"Se Khi pernah mengatakan kepandaiannya biasa-biasa saja.
Tapi engkau jangan beranggapan begitu, itu keliru besar."
"Maksudmu?"
"Se Khi memiliki tenaga dalam yang amat tinggi, begitu pula bu
kangnya. Maka jarang bertemu lawan yang setanding dalam bu lim.
Toan Beng Thong roboh dalam tiga jurus ditangannya, itu pertanda
Toan Beng Thong memiliki bu kang yang cukup lihay, masih di atas
tingkat Ling Ni Sam Hou. Mereka bertiga cuma mampu bertahan
sampai sepuluh jurus bertanding dengan Toan Beng Thong."
Siau Liong diam. Ia tidak percaya akan apa yang dikatakan Se Pit
Han. Tiba-tiba Se Khi berbatuk lalu mengarah pada Siau Liong
sambil tersenyum.
"Tuan Muda Hek, dalam bu lim terdapat kiu pay it pang
(sembilan partai satu perkumpulan). Menurutmu ketua partai mana
yang paling tinggi bu kangnya?"
"Siau Lim Pay disebut sebagai gudang bu kang bahkan juga
kepala dari partai lain, maka ketua Siau Lim Pay paling tinggi bu
kangnya," jawab Siau Liong tanpa ragu.
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut sambil tertawa. "Kini aku
akan omong besar. Liau Khong Taysu itu kalau bertanding denganku
73 cuma mampu bertahan sampai seratus jurus. Saudara Hek,
percayakah engkau?"
Siau Liong terbelalak, tentunya ia tidak percaya. Memang tidak
bisa menyalahkannya, sebab siapa pun tahu, betapa tingginya bu
kang Liau Khong Taysu, padri sakti itu. Maka bagaimana mungkin
Siau Liong akan percaya kata-kata Se Khi"
Se Khi mengetahui akan hal itu. Ia menatap Siau Liong tajam
seraya bertanya,
"Tuan Muda Hek, tidak percaya?"
"Aku tidak berani mengatakan tidak percaya. Namun tanpa
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, aku pun tidak berani
mengatakan percaya."
"Ooh!" Se Khi tersenyum. "Kalau begitu, sudah jelas Tuan Muda
Hek tidak percaya kan?"
Pada waktu bersamaan, mendadak terdengar suara sahutan
yang amat nyaring di luar pintu kamar.
"Ha ha ha! Aku pun tidak percaya!"
Air muka Se Khi langsung berubah.
"Siapa di luar" Sungguh berani mencuri dengar pembicaraan
kami!" bentaknya mengguntur.
"Ha ha! Aku pengemis kelaparan." terdengar suara sahutaan
lantang, kemudian berkelebat sosok bayangan dan muncullah
seorang pengemis tua berdiri di pintu. Badannya kurus pendek,
rambut awut-awutan dan berjenggot kambing. Namun sepasang
matanya bersinar tajam. Usia orang itu kira-kira tujuh puluhan.
Begitu melihat pengemis tua itu, seketika juga Se Khi tertawa
terbahak-bahak saking gembiranya.
"Kukira siapa yang memiliki bu kang begitu hebat, tidak tahunya
engkau pengemis tua!"
Ternyata Se Khi kenal pengemis tua itu, dan mereka pun tampak
begitu akrab. Sementara pengemis tua itu pun tertawa gelak. Suara tawanya
memekakkan telinga.
"Ha ha! tidak sangka kan, keparat Se?"
"Hei! Pengemis tua! Jangan kentut di sini!" tegur Se Khi. "Dirimu
sudah begitu bau"..."
"Oh, ya?" Pengemis tua tertawa, kemudian menengok ke sana
ke mari seraya bertanya, "Keparat Se, tadi engkau bilang".. majikan
muda kalian juga datang di Ting Goan?"
74 "Kalau tidak, bagaimana mungkin aku membawa Siang Wie
(Sepasang Pengawal) dan Pat Kiam jalan bersama?"
"Oh" Di mana majikan muda" Kok aku tidak melihatnya?"
pengemis tua tercengang.
"Ha ha! Pengemis bau!" Se Khi tertawa ngakak. "Jangan-jangan
sepasang matamu telah lamur!"
"Sialan!" caci pengemis tua sambil melirik kian ke mari, akhirnya
sepasang matanya memandang lekat-lekat pada Se Pit Han. "Eh"
Engkau"..."
"Pengemis bau!" Se Khi segera mengirim suaranya. "Jangan
membongkar jati dirinya!"
"Oh?" Pengemis tua menggaruk-garuk kepala.
Bagian ke 11: Tetua Perkumpulan Pengemis
Se Pit Han segera bangkit berdiri, lalu menjura memberi hormat
pada pengemis tua itu.
"Paman pengemis, aku memang Pit Han!"
"Haah"!" pengemis tua terbelalak, kemudian tertawa gelak. "Ha
ha ha! Engkau berdandan demikian, Paman tidak mengenalimu lagi!"
Apa maksudnya berdandan demikian" Tentunya mengandung
suatu arti. Pit Han mengerti, tapi Siau Liong tidak mengerti sama
sekali. Lagi pula ia tidak begitu memperhatikan pembicaraan
mereka. "Ha ha ha!" Pengemis tua masih terus tertawa. Setelah itu
mengarah pada Siau Liong, sekaligus bertanya pada Se Khi. "Keparat
Se, siapa saudara kecil itu" Kok tidak diperkenalkan padaku?"
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pengemis bau, dia Tuan Muda Hek, teman baru tuan muda." Se
Khi memberitahukan.
"Oh?" Sepasang mata pengemis tua terus berkedip-kedip
mengarah pada Se Pit Han, itu membuat Se Pit Han tersipu.
Mengherankan, kenapa Se Pit Han tersipu"
"Tuan Muda Hek!" Se Khi memperkenalkan pengemis tua itu.
"Pengemis bau itu ketua perkumpulan pengemis masa kini,
tergolong salah satu orang aneh rimba persilatan, julukannya Si
Tongkat Sakti, Ouw Yang Seng Tek namanya."
Siau Liong terkejut bukan main. Ia sama sekali tidak menyangka
pengemis tua yang kurus pendek itu salah seorang dari tujuh orang
75 aneh rimba persilatan. Maka menilai orang jangan berdasar wajah
maupun bentuk badannya.
Siau Liong segera bangkit berdiri, lalu menjura hormat pada Ouw
Yang Seng Tek, pengemis tua itu.
"Boon pwe (Saya yang muda) memberi hormat pada Cian pwe
(Orang tua tingkat tinggi)!"
"Ha ha!" Pengemis tua itu tertawa terbahak-bahak. "Saudara
kecil, jangan banyak peradatan!"
"Ya, cian pwe" Siau Liong mengangguk.
Ouw Yang Seng Tek mengarah pada Se Pit Han. Ia mengedipkan
sebelah matanya seraya bertanya,
"Siau tit (Keponakan) bermaksud mengajak saudara Hek tinggal
di Lam Hai?"
Itu merupakan pertanyaan biasa, namun sangat luar biasa bagi
Se Pit Han dan Se Khi, sebab pertanyaan itu mengandung suatu arti
yang dalam. Begitu pengemis tua mengajukan pertanyaan tersebut,
wajah Se Pit Han pun tampak kemerah-merahan. Bukankah sungguh
mengherankan"
Se Pit Han menggelengkan kepala. "Aku tidak bermaksud begitu,
melainkan dia sendiri punya urusan ke Lam Hai."
"Oh?" Kening pengemis tua berkerut-kerut, kemudian bertanya
pada Siau Liong sambil menatapnya dalam-dalam. "Saudara kecil,
mau apa engkau ke Lam Hai?"
"Mohon maaf, lo cian pwe! Boan pwe punya kesulitan untuk
memberitahukan."
"Ngmm!" Pengemis tua manggut-manggut, lalu memandang Se
Pit Han. "Keponakan, dia temanmu, maka Paman ingin berunding
denganmu."
"Oh?" Se Pit Han dapat menduga apa maunya pengemis tua itu.
Ia tertawa-tawa. "Paman menghendaki agar jadi pengemis kecil?"
"Wah!" Pengemis tua tertawa gelak. "Engkau memang pintar,
Paman memang bermaksud begitu."
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Tidak bisa. Aku tidak setuju."
Pengemis tua tertegun. Ia menatap Se Pit Han dengan mata
terbeliak lebar, lalu berkedip-kedip.
"Kenapa" Jadi pengemis kecil pun bisa makan enak, kenapa
engkau tidak setuju?"
Se Pit Han menggelengkan kepala lagi.
76 "Kalau menjadikan dia pengemis, itu sangat menghina dirinya."
"Apa?" Pengemis tua melotot, namun kemudian tertawa
terbahak-bahak. "Engkau ingin mengangkat derajat dirinya dulu?"
"Aku tidak bermaksud begitu."
"Kalau begitu"..." Pengemis tua berpikir, lalu tersenyum. "Asal
dia tidak menyia-nyiakan harapan Paman, dalam waktu sepuluh
tahun, pasti akan menjadi kepala pengemis. Bagaimana
menurutmu?"
Kepala pengemis, tentunya ketua perkumpulan pengemis, itu
merupakan janji berat bagi Ouw Yang Seng Tek.
Seharusnya Se Pit Han segera mengangguk, tapi sebaliknya ia
malah menggelengkan kepala lagi. Itu membuat pengemis tua
terbengong-bengong.
"Eh, Pit Han!" Pengemis tua menggaruk-garuk kepala. "Itu juga
tidak boleh, lalu harus bagaimana baru boleh?"
Se Pit Han tidak menyahut, melainkan mengarah pada Se Khi
seraya berkata dengan serius.
"Se Khi, beritahukanlah pada paman pengemis!"
Se Khi mengangguk, lalu memandang pengemis tua sambil
tertawa. "Jangan tertawa!" tegur Ouw Yang Seng Tek. "Cepatlah
beritahukan!"
"Pengemis bau, singkirkan saja maksud baikmu itu!" sahut Se
Khi. "Lho, kenapa?" Pengemis tua tampak penasaran sekali. "Keparat
Se, cepat jelaskan!"
"Tuan Muda akan mengaturnya." Se Khi memberitahukan.
"Ooooh!" Pengemis tua manggut-manggut mengerti akan
ucapan itu. Akan tetapi, yang bersangkutan malah tidak mengerti sama
sekali. Ia memandang Se Khi, memandang Ouw Yang Seng Tek, lalu
memandang Se Pit Han dengan penuh perhatian.
"Saudara ingin mengatur apa?" tanyanya.
Se Pit Han tidak menyahut, hanya tersenyum sekaligus balik
bertanya. "Coba engkau katakan, aku akan mengatur apa?"
"Eeh?" Siau Liong melongo. "Aku bertanya pada Saudara,
kenapa Saudara malah balik bertanya?"
77 "Aku tahu engkau bertanya padaku, namun aku harus bertanya
pada siapa?"
"Haah?" Siau Liong terbelalak. "Saudara Se, jangan membuatku
bingung!" "Aku tidak membuatmu bingung kok."
"Tapi......" Siau Liong mengerutkan kening. "Se lo jin keh
mengatakan begitu, itu berdasarkan kemauanmu kan?"
"Aku memang menyuruhnya bicara, tapi tidak menyuruh
mengatakan begitu."
"Oh?" Siau Liong tampak penasaran. "Kalau begitu, Saudara
menghendaki mengatakan apa?" Se Pit Han tersenyum.
"Saudara Hek, tanyalah langsung pada Se Khi!"
"Hm!" Tanpa sadar Siau Liong mendengus dingin, kemudian
mengarah pada Se Khi. "Lo jin keh, mohon penjelasan tentang itu!"
Pada waktu bersamaan, Se Khi telah menerima suara dari Se Pit
Han, maka ia segera tersenyum.
"Tuan Muda masih ingat kami pernah menyinggung mengenai
Pulau Pelangi itu?" Siau Liong mengangguk.
"Lo jin keh masih ingat itu."
"Oleh karena itu".." ujar Se Khi serius. "Tuan Muda kami
menghendaki Tuan Muda Hek mencari Pulau Pelangi itu, kalau Tuan
Muda Hek telah tiba di Lam Hai. Apakah itu bukan merupakan suatu
pengaturan?"
"Oh" Sungguhkah itu merupakan pengaturan?" tanya Siau Liong.
"Ha ha ha!" Mendadak Ouw Yang Seng Tek tertawa terbahakbahak
sambil menyela. "Saudara kecil, itu memang merupakan
pengaturan, bahkan aku berani menjamin, engkau pasti dapat
mencari Pulau Pelangi itu, tidak akan"..."
"Paman pengemis!" potong Se Pit Han cepat, sekaligus
menegurnya. "Kok Paman jadi banyak omong?"
"Eh" Itu..... ini".." pengemis tua tergagap. Siau Liong tergerak
hatinya. Ia menatap pengemis tua itu seraya bertanya sungguhsungguh.
"Lo cian pwe, apakah itu benar?"
"Apa yang benar?" Pengemis tua balik bertanya, kemudian
memandang Se Pit Han sambil menyengir.
"Pengemis bau!" sela Se Khi mengalihkan pembicaraan. "Kenapa
engkau datang di Kota Ling Ni ini?"
Sepasang bola mata Ouw Yang Seng Tek berputar-putar.
"Kenapa" Kalian boleh ke mari, apakah aku tidak boleh datang?"
78 "Coba omong yang sesungguhnya!" Se Khi tertawa. "Ada apa
engkau datang di Kota Ling Ni?"
"Kalian ingin tahu?"
"Tentu."
"Begini"..." Pengemis tua tampak sungguh-sungguh. "Ketika aku
kebetulan lewat di kota ini, ada laporan dari pemimpin cabang Kay
Pang (Perkumpulan Pengemis) di sini, bahwa rumah penginapan ini
telah kedatangan belasan orang bu lim yang tak jelas alirannya,
maka aku ke mari untuk melihat-lihat. Sungguh tak terduga,
ternyata majikan muda dan engkau keparat Se!"
"Oooh!" Se Khi manggut-manggut.
"Keparat Se, engkau sungguh tidak beres," tegur Ouw Yang
Seng Tek, pengemis tua mendadak.
"Eeh?" Se Khi tertegun. "Pengemis bau, apa yang tak beres pada
diriku?" "Engkau mendampingi majikan muda memasuki Tiong Goan,
kenapa engkau tidak menyuruh pimpinan Cabang Kay Pang
memberitahukan padaku" Apakah engkau khawatir aku tidak mampu
menjamu kalian semua?" sahut pengemis tua sambil menudingnya.
"Dasar keparat Se!"
"Ha ha ha!" Se Khi tertawa gelak. "Hei, pengemis bau! Memang
bukan masalah memberitahukanmu, tapi kami yang akan menjadi
susah." "Apa?" Pengemis tua melongo. "Kok kalian yang menjadi susah!
Memangnya kenapa?"
"Pengemis bau!" Se Khi menarik nafas panjang. "Aku mau tanya,
setelah engkau tahu kedatangan kami di Tiong Goan, bukankah
engkau juga akan menyampaikan kepada Ketua perkumpulan
pengemis?"
Pengemis tua manggut-manggut.
"Itu sudah pasti. Kalau cuma engkau seorang, tentunya aku
tidak akan menyampaikan. Tapi Pit Han baru pertama kali datang di
Tiong Goan, itu lain."
"Kalau begitu, aku mau bertanya lagi......" Se Khi menatapnya.
"Keparat Se! Kenapa engkau menjadi plintat-plintut" Mau
bertanya apa, tanyalah! Jangan seperti gadis pingitan!"
"Kok sewot?" Se Khi melototinya. "Kalau Kay Pang Pangcu tahu,
dia akan bagaimana?"
79 "Tidak usah bilang lagi, dia pasti memberi perintah pada
pimpinan cabang untuk menyambut kedatangan kalian di Tiong
Goan, sekaligus menjamu kalian pula."
"Oleh karena itu, tentunya sangat menyusahkan kami."
"Kenapa menyusahkan kalian?"
"Kami tidak bisa bergerak dengan bebas, bahkan tidur dan
makan pun pasti diaturnya."
"Itu sudah pasti." Pengemis tua tertawa terbahak-bahak. "Dia
memang harus menghormati kalian."
"Sebetulnya itu tidak menjadi masalah."
"Lalu apa yang menjadi masalah?"
"Itu tentunya akan diketahui orang-orang bu lim, bahkan juga
akan mencurigai jati diri kami. Oleh karena itu, kami pun menjadi
sorotan mereka. Nah, bukankah itu akan menyusahkan kami?"
Apa yang dikatakan Se Khi masuk akal dan beralasan. Lagipula
Perkumpulan Pengemis, berkedudukan tinggi dalam bu lim. Partai
Siau Lim pun tidak berani meremehkan perkumpulan tersebut.
Maka seandainya perkumpulan pengemis itu menyambut
kedatangan mereka secara istimewa dan luar biasa, bukankah akan
menggemparkan bu lim.
"Itu......" Ouw Yang Seng Tek menggeleng-gelengkan kepala
sambil tertawa. "Keparat Se, kenapa engkau semakin tua semakin
tak mempunyai nyali?"
"Pengemis bau!" Se Khi serius. "Itu bukan lantaran aku semakin
tua semakin tak mempunyai nyali, melainkan tidak ingin
menimbulkan kerepotan."
"Oh, ya?" Pengemis tua tertawa gelak. "Keparat Se, apa yang
engkau katakan itu, memang masuk akal......"
Ucapan pengemis tua terhenti, karena pada waktu bersamaan
terdengar suara bentakan di luar.
"Siapa" Ayoh berhenti! Mau apa ke mari?" Itu suara Huai Hong,
pemimpin Pat Kiam.
"Hmmm!" terdengar dengusan dingin. "Cepat menyingkir, bocah!
Aku ada urusan di sini, engkau jangan turut campur!"
Ouw Yang Seng Tek mengerutkan kening. Sepasang matanya
menyorot tajam, dan tiba-tiba badannya bergerak siap melayang ke
luar. Akan tetapi, tangan Se Khi bergerak lebih cepat menahan badan
pengemis tua itu.
80 "Pengemis bau, engkau mau berbuat apa?" tanyanya.
"Aku mau ke luar melihat-lihat, siapa yang begitu berani ke mari
cari gara-gara" Apakah mereka telah makan nyali beruang atau nyali
harimau?" "Engkau tidak perlu keluar, pengemis bau!" Se Khi
menggelengkan kepala.
"Kenapa?" pengemis tua tercengang.
"Di luar ada Pat Kiam, jangankan hanya datang lima orang,
ditambah lima orang lagi juga bukan tandingan Pat Kiam. Lebih baik
engkau duduk tenang di sini saja, biar mereka yang mengurusinya."
"Tapi"..." Pengemis tua kelihatan masih ingin ke luar.
"Pengemis bau, jangan turuti sifatmu yang tidak karuan itu!
Bersabarlah!" Se Khi menatapnya.
"Keparat Se......" Pengemis tua terpaksa duduk diam di tempat.
Se Khi tersenyum. Meskipun berada di dalam kamar, ia sudah
tahu ada berapa tamu yang tak diundang itu di luar. Dapat
dibayangkan, betapa tingginya tenaga dalam pengemis tua itu.
"Ei!" Pengemis tua penasaran. "Engkau tahu, siapa mereka itu?"
"Tidak perlu tanya!" sahut Se Khi. "Terus pasang kuping saja,
bukankah akan mengetahuinya?"
"Keparat Se"..." Wajah pengemis tua kemerah-merahan, lalu
memasang kuping untuk mendengarkan percakapan di luar.
"Bocah!" Suara orang itu bernada dingin. "Aku ke mari mencari
orang, tiada sangkut pautnya denganmu! Lebih baik engkau cepat
menyingkir! Jangan menghadang di depanku, itu cari penyakit!"
"Engkau mau cari siapa?" tanya Huai Hong nyaring, namun
bernada dingin.
"Bocah!" bentak orang itu. "Engkau tidak usah tahu aku mencari
siapa." "Kalau engkau tidak beritahukan, aku pun tidak akan beranjak
dari sini," tandas Huai Hong dengan wajah berubah dingin.
Orang itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian menuding Huai
Hong seraya membentak lagi. "Engkau ingin tahu, Bocah?"
"Sudah kukatakan dari tadi, tidak perlu bertanya lagi."
Orang itu kelihatan tidak mau berurusan dengan Huai Hong.
"Orang yang kucari bernama Hek Siau Liong." ujarnya
memberitahukan secara jujur.
81 Mendengar itu, Ouw Yang Seng Tek langsung mengarah pada
Siau Liong. Mulutnya bergerak ingin menanyakan sesuatu, namun
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keburu dicegah Se Khi.
"Jangan bertanya apa pun dulu! Terus pasang kuping saja
dengarkan percakapan di luar."
Ouw Yang Seng Tek terpaksa diam, ia mulai pasang kuping lagi
untuk mendengarkan percakapan di luar.
Terdengar suara tawa Huai Hong yang nyaring, menyusul
terdengar pula ucapannya yang dingin.
"Jadi kalian ke mari mencari Tuan Muda Hek" Ada urusan apa
kalian mencarinya?"
"Bocah! Itu urusanku! Engkau jangan turut campur!" sahut
orang itu tidak senang.
Huai Hong tertawa nyaring lagi, kemudian ujarnya sepatah demi
sepatah bernada dingin.
"Justru kami harus mencampuri urusan ini."
"Apa?" Orang itu mengerutkan kening. "Engkau dan dia adalah
teman?" "Aku dan Tuan Muda Hek bukan teman," sahut Huai Hong.
"Kalau begitu......" Orang itu menatap Huai Hong tajam. "Kenapa
engkau mencampuri urusan ini?"
"Karena......" Huai Hong menatapnya dingin. "Tuan Muda Hek
teman majikan kami, lagi pula saat ini mereka sedang bersama.
Maka kami tidak akan beranjak dari sini, bahkan juga pasti
mencampuri urusan ini. Engkau mengerti?"
"Oh?" Orang itu tertawa dingin. "Siapa tuan muda kalian itu?"
"Engkau tidak perlu tanya, percuma kami beritahukan. Sebab
engkau tidak kenal, juga engkau tidak berderajat tahu tentang itu,"
sahut Huai Hong dengan nada angkuh, sehingga membuat orang itu
naik darah. "He he he!" Ia tertawa terkekeh-kekeh. "Bocah! Engkau berani
omong angkuh di hadapanku?"
"Kenapa tidak?"
"Hm!" dengus orang itu. "Berdasarkan apa yang engkau katakan
barusan, berarti tuan muda kalian itu tergolong orang penting dalam
bu lim?" "Hmmm!" Huai Hong cuma mendengus dingin, namun tetap
menatap orang itu dengan tajam.
82 "He he he!" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh lagi. "Bocah!
Kenapa engkau diam saja tidak berani menjawab pertanyaanku?"
Bagian ke 12: Berkelebat Sinar Pedang
"Aku tidak berani menjawab?" Huai Hong tertawa nyaring. "Aku
harus menjawab apa?"
"Tuan muda kalian itu tergolong orang penting dalam bu lim?"
sahut orang itu parau.
"Jawabanku tetap seperti tadi."
"Bagaimana jawabanmu tadi, Bocah?"
"Engkau tidak berderajat untuk mengetahuinya."
"Oh?" Orang itu tertawa dingin. "Orang macam apa yang
berderajat tahu tentang diri tuan muda kalian itu" Cobalah engkau
beritahukan!"
"Percuma aku beritahukan, sebab kalau aku beritahukan,
nyalimu pasti langsung pecah!"
"Nyaliku nyali harimau, tidak akan pecah! Nah, Bocah!
Katakanlah!"
"Kalau begitu"..." Suara Huai Hong mengalun nyaring menusuk
telinga. "Baiklah, aku akan mengatakannya! Namun engkau harus
berdiri tegar dan pasang kuping. Hanya para pimpinan sembilan
partai dan ketua perkumpulan pengemis yang berderajat
mengetahui siapa tuan muda kami."
Sungguh jumawa ucapan Huai Hong, itu memang dapat
memecahkan nyali orang yang mendengarnya.
Namun siapa akan percaya" Begitu pula orang itu, sama sekali
tidak percaya akan apa yang dikatakan Huai Hong.
Bukan cuma tidak percaya, bahkan sebaliknya merasa dirinya
telah dipermainkannya, sehingga ia menjadi gusar.
"Bocah!" bentaknya sengit dengan wajah bengis. "Engkau berani
mempermainkan aku" Hm, engkau memang mau cari mampus!"
"Siapa yang mau cari mampus" Engkau atau aku?" Huai Hong
sengaja memanasi hati orang itu, agar cepat-cepat bertarung.
"Bocah"..." Mata orang itu mendelik saking gusarnya.
"Kalau engkau menganggapku mempermainkanmu, terserah."
Huai Hong tersenyum dingin.
Kegusaran orang itu telah memuncak, namun entah apa
sebabnya, mendadak ia malah jadi tenang.
83 "Bocah! Aku tidak mau berdebat denganmu! Cepatlah engkau ke
dalam dan suruh tuan mudamu menemuiku!"
"Hm!" dengus Huai Hong. "Enak saja engkau omong begitu!
Pikirlah baik-baik! Bagaimana derajat tuan muda kami, engkau tidak
berderajat bertatap muka dengannya!"
Sungguh mengherankan, orang itu masih bisa bersabar.
Kelihatannya ia memang tidak mau berurusan dengan Huai Hong.
"Apa derajat tuan mudamu?"
"Sudah kukatakan dari tadi, engkau tidak berderajat
menanyakan itu! Dasar tak tahu diri!"
"Bocah!" Sepasang mata orang itu berapi-api. Ia sudah tidak
dapat mengendalikan kegusarannya lagi. Wajahnya berubah
beringas sekaligus membentak mengguntur dan bengis. "Engkau
mau cari mampus, aku pasti mengabulkannya! Ayoh! Minggir!"
Se Pit Han dan yang lain yang berada di dalam kamar
mendengar suara 'Blang' yang amat dahsyat. Rupanya orang itu
telah melakukan serangan tangan kosong.
Tidak salah, orang itu memang telah menyerang Huai Hong
dengan tangan kosong, itu agar Huai Hong menyingkir. Akan tetapi,
Huai Hong justru membalas menyerangnya dengan tangan kosong
pula. Blam! Dua tenaga saling beradu, itu membuat masing-masing
terdorong mundur selangkah. Ternyata lwee kang (tenaga dalam)
mereka seimbang.
Meskipun begitu, air muka orang itu telah berubah hebat, dan
hatinya pun tersentak kaget.
Padahal Huai Hong baru berusia dua puluhan, sedangkan orang
itu berusia enam puluhan, bahkan tergolong orang berkepandaian
tinggi dalam lwee kang. Tapi Huai Hong mampu menangkis
serangan tangan kosongnya yang mengandung lwee kang tingkat
tinggi. Itu sungguh mengejutkan orang itu.
Masih ada empat orang berdiri di belakang orang itu. Ketika
menyaksikan kejadian itu, air muka mereka pun langsung berubah.
Empat pasang mata mengarah pada Huai Hong dengan terbelalak
lebar. Huai Hong menatap mereka dengan dingin.
84 "Sekarang kuperingatkan kalian, cepatlah kalian pergi sebelum
menemui ajal di sini! Kalau kalian tidak mau pergi, itu berarti kalian
cari mati!"
Mereka berlima memang sangat terkejut akan kehebatan lwee
kang Huai Hong. Namun karena mereka memikul tugas untuk
membunuhnya, maka sebelum berhasil, bagaimana mungkin mereka
berlima akan meninggalkan rumah penginapan itu"
"Bocah!" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh. "Tenaga pukulanmu
cukup lumayan, tapi tidak akan membuatku mundur! Sebaliknya aku
masih ingin mencoba kepandaianmu yang lain!"
Huai Hong tidak menyahut, cuma tersenyum dingin.
"Bocah! Beranikah engkau melawanku dengan senjata?" tanya
orang itu menantang dengan jumawa.
Tantangan ini tidak membuat Huai Hong gentar namun ia malah
girang karena sesuai dengan keinginan hatinya, ia ingin menjajal
ilmu pedang yang telah dipelajarinya.
"Kenapa tidak?" sahut Huai Hong dingin. "Ayoh, cepat cabut
senjatamu! Aku sudah siap melayanimu dengan senjata!"
Orang itu tertawa keras, lalu mendadak menggerakkan
tangannya. Seketika juga ia telah menggenggam sepasang gelang
baja yang bergemerlapan.
"Bocah! Kenapa engkau belum mencabut pedangmu?"
"Silakan engkau menyerang, barulah aku mencabut pedang!"
Huai Hong tampak tenang sekali.
Ia berdiri tegak, sepasang matanya menatap orang itu dengan
tajam. Kelihatan sangat angkuh, tapi sesungguhnya ia sedang
pasang kuda-kuda.
Orang itu pun menatapnya tajam, kemudian tertawa terkekehkekeh
sambil menggoyang-goyangkan sepasang gelang bajanya.
Trinnng! Terdengar suara yang amat nyaring menusuk telinga.
"Bocah! Terimalah jurusku ini!" bentaknya sambil menyerang
Huai Hong secepat kilat dengan jurus Tong Ceng Pa Kou
(Membentur lonceng memukul gendang). Serangan itu disertai
dengan tenaga dalam yang amat dahsyat.
Sepasang alis Huai Hong terangkat, ia pun tertawa nyaring. Pada
waktu bersamaan, ia pun berkelit dengan jurus Hu Tiap Hui Uh
(Kupu-kupu menari), sekaligus pula ia mencabut pedangnya.
Seketika juga tampak berkelebat sinar yang berkilauan.
85 Trang! Tring! Suara benturan pedang dengan gelang baja,
bunga api pun berpijar.
Dalam waktu sekejap, mereka sudah bertarung belasan jurus.
Sepasang gelang baja itu berputar dan melayang ke sana ke mari.
Sinar pedang pun berkelebat menyilaukan mata. Mereka masingmasing
mengeluarkan jurus-jurus ampuh untuk menjatuhkan lawan.
Sementara itu, wajah orang-orang yang berada di dalam kamar
tampak serius. Se Pit Han mengerutkan sepasang alisnya.
"Se Khi! Bukankah orang itu Toan Beng Thong?"
Se Khi menggelengkan kepala.
"Suara Toan Beng Thong agak serak, lagi pula tidak memakai
senjata itu, maka orang itu bukan Toan Beng Thong."
"Dalam bu lim sekarang, siapa saja yang mahir menggunakan
sepasang gelang baja?" tanya Se Pit Han.
Se Khi berpikir sejenak, lalu menjawab sambil menggelengkan
kepala. "Itu".. budak tua tidak begitu jelas."
Se Pit Han diam, sedangkan Se Khi mengarah pada Ouw Yang
Seng Tek seraya berkata,
"Pengemis bau, tahukah engkau tentang itu?"
"Aku memang tahu ada beberapa orang yang mahir
menggunakan sepasang gelang baja," sahut pengemis tua. "Tapi
tidak berani memastikan bahwa itu mereka."
"Paman pengemis!" Se Pit Han menatapnya. "Kira-kira siapa
mereka itu?"
"Dulu pernah muncul lima bersaudara yang punya nama busuk
dalam bu lim," jawab pengemis tua setelah berpikir sejenak. "Mereka
berlima adalah Thai Hang Ngo Sat (Lima penjahat Thai Hang),
masing-masing bersenjata sepasang gelang baja. Tapi..... sudah
lama mereka menghilang dari kang ouw, sama sekali tiada kabar
beritanya lagi."
"Kalau begitu".." sela Siau Liong mendadak. "Kita tidak perlu
menerka di dalam kamar, keluar saja biar melihatnya."
"Betul." Pengemis tua mengangguk. "Ayoh! Mari kita ke luar
melihat-lihat!"
Pengemis tua langsung bangkit berdiri. Namun ketika ia baru
mau mengayunkan kakinya, Se Pit Han berseru menahannya.
"Jangan keluar, Paman!"
86 "Eh?" Pengemis tua melongo.
Se Pit Han menatap Siau Liong tajam, kemudian menegur
dengan nada agak gusar. "Engkau juga sih! Banyak ide!"
"Aku"..." Siau Liong menarik nafas.
"Saudara Hek!" Mendadak wajah Se Pit Han berseri, bahkan
tersenyum manis, membuat Siau Liong tertegun dan tidak habis
berpikir. Heran" Kenapa saudara Se suka marah-marah, tapi"..
ketika tersenyum, wajahnya cantik sekali dan".. tampak agak
manja. Kenapa begitu"
"Keponakan!" Pengemis tua tampak tidak senang. "Kenapa aku
tidak boleh keluar?"
"Paman pengemis adalah Si Tongkat Sakti, para penjahat pasti
pecah nyalinya jika melihat Paman. Maka kalau Paman keluar,
bukankah akan mengecewakan Pat Kiam?"
"Kok mengecewakan mereka?" Pengemis tua menggaruk-garuk
kepala. "Kenapa begitu?"
"Mereka tiada kesempatan lagi mencoba ilmu pedang yang
mereka pelajari." Se Pit Han memberitahukan.
"Oooh!" Pengemis tua manggut-manggut seraya tertawa,
"Ternyata begitu!"
"Betul." Se Pit Han mengangguk.
"Baiklah. Paman tidak akan keluar, tidak boleh menampilkan diri
sama sekali." Pengemis tua menggeleng-gelengkan kepala, lalu
duduk kembali. Mendadak terdengarlah suara tawa yang nyaring di luar. Se Khi
pun manggut-manggut dan tersenyum mendengar suara itu.
"Pengemis bau! Huai Hong telah menang!"
"Ngmm!" Ouw Yang Seng Tek mengangguk.
Di luar, orang yang sedang bertarung dengan Huai Hong,
semakin lama bertarung ia pun semakin terkejut. Ternyata mereka
bertarung sudah lebih dari tiga puluh jurus.
Sementara Huai Hong semakin lama bertarung semakin
bersemangat. Mendadak ia berteriak nyaring sekaligus menyerang
orang itu dengan jurus Hoa Ih Pian Hun (Warna-Warni Bunga
Hujan), yaitu jurus pedang yang amat ampuh.
Jurus itu membuat lawannya terperanjat bukan main. Cepatcepat
ia mengembangkan jurus simpanannya, Hong Khih In Yong
87 (Angin Berhembus Awan Beterbangan) untuk menangkis serangan
Huai Hong. Meskipun itu jurus simpanannya, tetapi tidak mampu juga
menghalau jurus pedang Huai Hong yang amat dahsyat itu. Ia
merasa dadanya dingin, ternyata dadanya telah tergores pedang,
darah pun merembes ke luar. Betapa terkejutnya orang itu, ia
langsung melompat mundur sejauh kira-kira delapan langkah.
Huai Hong masih ingat akan pesan Se Pit Han, yakni
melarangnya membunuh orang. Maka jurus Hong Khih In Yong itu
cuma menggores dada orang tersebut. Padahal sesungguhnya, jurus
itu dapat membelah badan lawan.
"Bocah!" Orang itu membentak, wajahnya telah menghijau.
"Ilmu pedangmu memang lihay, aku mengaku kalah kali ini! Kita
masih bisa bertemu, engkau berhati-hatilah!"
Usai berkata begitu, orang itu pun membalikkan badannya, lalu
melangkah pergi dan diikuti keempat temannya.
"Berhenti!" Hardik Huai Hong nyaring.
Orang itu berhenti, lalu menoleh memandang Huai Hong sambil
tertawa dingin.
"Bocah! Engkau mau bicara apa?" tanyanya.
"Engkau mau pergi begitu saja?" sahut Huai Hong dingin.
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Air muka orang itu berubah, dan menatap Huai Hong sekaligus
membentak berang.
"Aku sudah mengaku kalah, engkau masih mau apa?"
"Tidak mau apa-apa! Engkau tidak perlu tegang, hanya saja"..
aku belum tahu namamu! Apakah engkau tidak mau
memberitahukan namamu?"
"Seandainya aku tidak mau beritahukan?" sahut orang itu
bernada menantang.
Huai Hong tertawa dingin, lalu mengarah pada tujuh orang
saudara seperguruannya yang berdiri di belakangnya.
"Saudara-saudara, kepung mereka! Kalau tua bangka itu tidak
mau beritahukan namanya, janganlah kalian lepaskan mereka!
Terpaksa bunuh saja!"
"Ya." sahut ketujuh orang itu serentak. Mereka segera
mengambil posisi mengepung kelima orang itu, sekaligus mencabut
pedang masing-masing.
Cring! Suara pedang yang keluar dari dalam sarungnya.
88 Kelima orang itu tersentak, wajah mereka pun berubah. Orang
yang bertarung dengan Huai Hong itu, mendadak tertawa keras.
"Bocah! Yakinkah engkau dapat menghadang kami?" tanyanya
dingin. "Yakin!" sahut Huai Hong tanpa ragu.
Orang itu mengerutkan kening, kemudian tertawa terkekehkekeh.
"Jangan omong besar, Bocah!" ujarnya menyindir. "Kami
berlima......"
"Kalau engkau tidak percaya, boleh coba bertarung lagi!
Tapi"..." Huai Hong menatapnya dingin. "Engkau jangan menyesal!"
"He he he!" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh lagi. Kelihatannya
ia telah lupa akan luka di dadanya. "Tentunya kami ingin mencoba!"
"Baiklah! Silakan!" tantang Huai Hong.
"Serang!" seru orang itu, sekaligus bergerak cepat menyerang
keempat penjuru dengan sepasang gelang bajanya.
Keempat temannya juga tidak tinggal diam. Mereka pun
menyerang serentak pada tujuh pedang yang berdiri mengepung
dengan senjata berupa sepasang gelang baja pula.
Lima pasang gelang baja meluncur cepat bagaikan kilat. Pada
waktu bersamaan, terdengarlah bentakan nyaring, sinar pedang pun
berkelebat-kelebat. Ternyata Pat Kiam telah menangkis seranganserangan
itu dengan pedang masing-masing.
Trang! Trang! Suara benturan senjata yang amat nyaring
memekakkan telinga.
Tui Hong dan Kiam Hong menangkis, kedua saudara
seperguruan Huai Hong itu mulai mengembangkan jurus-jurus
pedang yang sangat dahsyat.
Lima pasang gelang baja melayang dan meluncur secepat kilat,
namun terhalau oleh sinar pedang yang berkelebatan.
Kelima orang itu terkejut bukan main setelah bertarung belasan
jurus, sebab hawa pedang sangat menekan, membuat nafas merasa
agak sesak. Cepat-cepatlah mereka menghimpun tenaga dalam
masing-masing untuk melawan hawa pedang tersebut.
Sementara Pat Kiam bertarung dengan penuh semangat. Jurus
demi jurus mereka kembangkan secara dahsyat, sekaligus
mengerahkan lwee kang pada pedang masing-masing, sehingga
pedang-pedang itu mengeluarkan hawa yang amat menekan pihak
lawan. 89 Bagian ke 13: Di Luar Dugaan
Trannng! Suara benturan senjata yang amat nyaring.
Tui Hong mundur tiga langkah, sedangkan pihak lawan justru
terpental lima langkah, bahkan terluka pula.
"Lo si (Saudara keempat), bagaimana lukamu?" tanya lo toa
(saudara tertua) dengan cemas. Ia sudah berhenti bertarung dengan
Huai Hong. "Ti... tidak apa-apa" jawab lo si dengan nafas terengahengah.
"Hanya luka tergores."
Mendadak Huai Hong tertawa dingin, ia menatap lo toa itu
seraya berkata dengan suara nyaring.
"Bagaimana" Kini engkau pasti sudah percaya, maka lebih
baik beritahukan nama kalian! Kalau masih tidak mau beritahukan,
nyawa kalian akan melayang!"
Lo toa diam saja, sukmanya seakan telah hilang lantaran
menyaksikan kehebatan Pat Kiam. Kemudian ia pun membatin. Kok
begitu lihay ilmu pedang kedelapan pemuda itu, sebenarnya siapa
mereka" "Bocah!" ujarnya mendadak. "Beranikah engkau
memberitahukan jati diri kalian?"
"Tua bangka!" Huai Hong tertawa dingin. "Bukan karena
tidak berani, melainkan engkau tidak berderajat mengetahuinya!
Namun...."
"Kenapa?" tanya lo toa cepat.
"Kalau engkau mau tahu namaku, akan kuberitahukan!"
sahut Huai Hong.
"Bocah! Asal engkau memberitahukan namamu, aku pun akan
memberitahukan nama kami!"
"Emmh!" Huai Hong manggut-manggut. "Coba dari tadi
engkau bilang begitu, temanmu pasti tidak akan terluka"
"Beritahukanlah nama kalian!" desak lo toa dengan wajah
dingin. "Tua bangka, dengarlah baik-baik!" Huai Hong
memberitahukan. "Kami berdelapan marga Se semua. Kami juga
dipanggil Pat Kiam namaku Huai Hong! Beritahukanlah nama kalian!"
"Ngmm!" Lo toa manggut-manggut. "Kami berlima adalah
Thai Hang Ngo Sat!"
90 Dugaan pengemis tua tidak meleset, kelima orang itu
memang lima penjahat Thai Hang yang sudah sekian tahun tiada
kabar beritanya.
Setelah lo toa memberitahukan julukan mereka, Huai Hong
pun tidak ingin mempersulit mereka lagi
"Kalau begitu, kalian boleh pergi sekarang!" Huai Hong
mengibaskan tangannya.
Ketika kelima orang itu baru mau melangkah pergi, mendadak
terdengar suara bentakan yang parau.
"Bun Fang! Kalian berlima jangan pergi dulu! Aku ingin
bertanya pada kalian!"
Suara berhenti, pengemis tua itu pun telah berdiri di
hadapan Thai Hang Ngo Sat.
Betapa terkejutnya kelima orang itu. Wajah mereka langsung
berubah pucat pias. Sialan! Caci lo toa dalam hati. Kenapa pengemis
tua itu berada di sini"
Begitu melihat kemunculan Ouw Yang Seng Tek, Pengemis Tua
Tongkat Sakti itu, Bun Fang pun segera menjura hormat.
"Ternyata Ouw Yang cian pwe! Kalau kami tahu cian pwe berada
di sini, kami berlima tidak berani"..."
"Bun Fang! Engkau jangan bermuka-muka di hadapanku!"
tandas pengemis tua. "Aku ingin bertanya, engkau harus menjawab
dengan jujur!"
"Silakan cian pwe bertanya, Bun Fang pasti menjawab dengan
jujur." Lo toa itu tidak berani macam-macam di hadapan pengemis
tua, sebab kalau ia macam-macam, nyawanya pasti melayang.
"Engkau masih tahu diri." Pengemis tua manggut-manggut.
"Apakah engkau dan Hek Siau Liong punya dendam?"
"Sama sekali tidak."
"Kalau begitu, kenapa kalian ingin membunuhnya?"
"Kami cuma melaksanakan perintah."
"Oh?" Pengemis tua mengerutkan kening. "Perintah dari siapa?"
"Toan Beng Thong," jawab Bun Fang memberitahukan. "Pemilik
Rumah makan Si Hai di kota Ling Ni."
"Bun Fang!" Pengemis tua melotot, kelihatannya ia kurang
percaya. "Engkau berkata sesungguhnya?"
"Harap lo cian pwe percaya, Bun Fang sama sekali tidak
bohong," sahut Bun Fang sungguh-sungguh.
91 Tapi pengemis tua malah tertawa dingin, dan menatap Bun Fang
tajam. "Thi sui pho Toan Beng Thong itu memang tergolong orang
berkepandaian tinggi dalam bu lim, namun dibandingkan dengan
kalian berlima, dia masih kalah jauh. Nah, bagaimana mungkin
kalian berlima akan menuruti perintahnya?"
"Apa yang dikatakan lo cian pwe memang tidak salah, Toan
Beng Thong masih tidak berderajat memberi perintah pada kami
berlima. Tapi, dia cuma mewakili seseorang memberi perintah pada
kami berlima."
"Oh?" Sepasang mata pengemis tua bersinar aneh. "Kalau
begitu, di belakangnya masih ada orang lain?"
Bun Fang mengangguk.
"Memang benar."
"Siapa orang itu?"
"Itu"..." Bun Fang menggelengkan kepala. "Kami tidak
mengetahuinya."
"Hei! Bun Fang!" bentak pengemis tua. "Sungguhkah engkau
tidak mengetahuinya" Jangan bohong!"
"Lo cian pwe, Bun Fang sungguh tidak tahu." Bun Fang
menundukkan kepala.
Kening pengemis tua berkerut-kerut, ia menatap Bun Fang tajam
seraya mengancam.
"Engkau ingin mencoba merasakan jari tanganku?"
Bun Fang tersentak, karena pengemis tua itu memiliki Tiam Hoat
(ilmu totok darah) yang amat luar biasa, yakni Cai Meh Niat Hiat
(membalikkan peredaran darah), Hun Lok Coh Kut (memisahkan
tulang) dan Ban Ih Cang Sim (Ribuan semut menggerogoti hati).
Ketiga macam ilmu totok darah itu sudah tersohor dalam bu lim
siapa yang terkena totokan itu, pasti tidak dapat bertahan.
"Harap lo cian pwe percaya!" Suara Bun Fang agak bergemetar.
"Bun Fang memang tidak tahu. Kalau lo cian pwe ingin membunuh
Bun Fang, Bun Fang pun tidak bisa apa-apa."
"Bun Fang!" Pengemis tua menatapnya tajam. "Tidak pernahkah
engkau melihat orang itu?"
"Pernah." Bun Fang mengangguk. "Tapi dia memakai semacam
kedok kulit manusia, maka tidak tahu bagaimana wajah dan
berapa usianya."
92 "Oh?" Pengemis tua mengerutkan kening. "Sangat tinggikah
ilmu silatnya?"
"Tinggi sekali."
Wajah Bun Fang serius, kelihatannya tidak berdusta.
Pengemis tua manggut-manggut, kemudian tanyanya dengan
suara parau. "Bun Fang! Sudah berapa lama kalian berlima memunculkan diri
di bu lim?"
"Sudah tiga bulanan."
"Selama tiga bulan ini, kalian berlima berada di mana?"
"Berada di ruang belakang Si Hai Ciu Lau itu?"
"Oh?" Pengemis tua menatapnya dalam-dalam. "Kalian berlima
tinggal di sana?"
"Ya."
"Tidak pernah ke tempat lain?"
"Tidak pernah."
"Bun Fang!" Tiba-tiba wajah pengemis berubah. "Pernahkah
kalian dengar tentang kejadian Ciok Lau San Cung (Perkampungan
Batu Loteng) di San Si?"
"Pernah." Bun Fang mengangguk. "Lo cian pwe menanyakan
itu, apakah ingin tahu siapa pembunuh itu?"
"Ng!" Pengemis tua manggut-manggut. "Tahukah kalian siapa
yang turun tangan itu?"
"Lo cian pwe, kami tidak tahu." Bun Fang menggelengkan
kepala. "Engkau tidak bohong?"
"Bagaimana mungkin Bun Fang berani membohongi lo cian
pwe?" jawab Bun Fang dan menambahkan, "Tapi ada dua orang
mengetahuinya."
"Oh?" Sepasang mata pengemis tua menyorot tajam. "Siapa
kedua orang itu?"
"Kedua orang itu adalah Thai Nia Siang Hiong (Sepasang Orang
Buas Lereng Bukit Thai Nia)."
Pengemis tua tampak tersentak, kemudian ujarnya bernada
heran. "Bukankah mereka berdua telah mati?"
"Itu kurang jelas." Bun Fang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau mereka telah mati, berarti kami berlima telah melihat arwah
mereka." 93 Ouw Yang Seng Tek mengerutkan kening. Ia tampak terpekur,
dan berselang sesaat ia bertanya.
"Di mana kalian berlima melihat mereka?"
"Mereka berdua juga berada di rumah makan Si Hai."
"Kapan mereka berdua berada di sana?"
"Setengah bulan yang lalu."
"Oh?" Pengemis tua mengerutkan kening sambil berpikir. "Kok
kalian tahu mereka berdua tahu tentang urusan ini?"
"Itu cuma mungkin, tidak pasti mereka berdua tahu."
"Bun Fang!" Pengemis tua menatapnya tajam. "Kalian tahu Thai
Nia Siang Hiong berada di mana sekarang?"
"Tidak begitu jelas." Bun Fang menggeleng-gelengkan kepala
dan melanjutkan, "Namun kami tahu mereka berdua menuju ke
timur." "Ngm!" Pengemis tua manggut-manggut. "Kalian berlima pernah
bertemu Siang Hiong itu, apakah kalian tidak bercakap-cakap
dengan mereka?"
"Tentunya lo cian pwe tahu bagaimana sifat Siang Hiong, siapa
pun akan menjauhi mereka. Maka bagaimana mungkin kami berani,
bercakap-cakap dengan mereka" Salah sedikit, nyawa kami pasti
melayang."
Tidak salah apa yang dikatakan Bun Fang, Thai Ma Siang Hiong
sudah ternama pada lima tahun yang lampau, mereka berdua
tergolong Pat Tay Hiong Jin (delapan orang buas) yang ternama
bersama Cit Tay Khi Jin (Tujuh Orang Aneh). Mereka berdelapan
berhati kejam dan sangat jumawa. Orang-orang Hek To (golongan
hitam) tiada satupun yang mau bergaul dengan mereka, karena
salah sedikit, nyawa pasti melayang.
"Bun Fang!" Wajah pengemis tua berubah serius. "Terimakasih
atas penjelasanmu!"
"Bun Fang tidak berani menerima ucapan terimakasih dari lo cian
pwe." Bun Fang segera menjura.
"Bun Fang!" Pengemis tua menunjuk Pat Kiam. "Aku
memperingatkan kalian, majikan mereka itu orang yang
berkepandaian amat tinggi. Hek Siau Liong adalah temannya. Maka
pulanglah kalian, dan beritahukan pada Toan Beng Thong, agar dia
menyampaikan pada orang yang di belakangnya itu. Lebih baik
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepaskan Hek Siau Liong, kalau tidak"..."
94 Pengemis tua tidak melanjutkan ucapannya, melainkan
mengibaskan tangannya seraya berkata,
"Aku tidak perlu banyak bicara, kalian pergilah!"
"Terimakasih, lo cian pwe!" ucap Bun Fang, lalu mengajak
keempat saudaranya meninggalkan rumah penginapan itu.
Hek Siau Liong ingin menuju Lam Hai, kebetulan Se Pit Han mau
pulang ke Lam Hai. Tujuan mereka sama, maka Se Pit Han
mengajaknya berangkat bersama. Akan tetapi, Hek Siau Liong
menolak dengan berbagai alasan.
Se Pit Han tahu bahwa itu hanya alasan belaka, namun ia pun
tidak bisa mendesaknya agar berangkat bersama. Oleh karena itu,
Se Pit Han terpaksa berpisah dengan Siau Liong. Walau merasa
berat, namun apa boleh buat.
Ia menghadiahkan pada Siau Liong seekor kuda jempolan dan
ribuan tael perak. Semula Siau Liong menolak, tapi karena Se Pit
Han tampak marah, maka Siau Liong terpaksa menerimanya lalu
berangkat menuju Lam Hai dengan menunggang kuda pemberian Se
Pit Han itu. "Siau kiong cu (Majikan muda istana), tidak seharusnya engkau
membiarkannya berangkat seorang diri," ujar Se Khi setelah Siau
Liong berangkat.
"Dia telah mengambil keputusan itu, siapa yang dapat
menghalanginya?" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi"..." Se Khi mengerutkan kening. "Dia berangkat seorang
diri, itu sangat bahaya. Tidak sampai dua puluh li, pasti akan terkejar
oleh orang-orang suruhan Toan Beng Thong."
"Jangan khawatir!" Se Pit Han tersenyum.
"Maksud Siau kiong cu?" Se Khi menatapnya heran.
"Aku sudah memikirkan itu." Se Pit Han tersenyum lagi,
kemudian memandang Huai Hong seraya berkata, "Engkau, Huai
Hong, Tui Hong dan Kiam Hong segera merubah wajah dan harus
cepat-cepat menyusul Tuan Muda Hek untuk melindunginya sampai
di Lam Hai secara diam-diam!"
"Ya." Huai Hong memberi hormat.
"Huai Hong!" Mendadak wajah Se Pit Han berubah serius.
"Keselamatan Tuan Muda Hek berada di tangan kalian berempat,
maka kalian harus hati-hati melindunginya! Kalau terjadi sesuatu
atas dirinya"..."
95 Se Pit Han menatap mereka tajam, berselang sesaat baru
melanjutkan ucapannya dengan suara dalam.
"Kalian berempat tidak perlu menemuiku lagi."
Betapa terkejutnya Huai Hong dan ketiga saudaranya. Mereka
tumbuh besar bersama Se Pit Han, dan selama itu Se Pit Han sangat
baik dan lembut terhadap mereka, namun kali ini Se Pit Han begitu
tegas. Maka mereka pun tidak berani main-main.
Pat Kiam rata-rata berotak cerdas. Ketegasan Se Pit Han
membuat mereka menyadari satu hal.
"Harap Siau kiong cu berlega hati, Huai Hong dan ketiga saudara
pasti hati-hati melindungi Tuan Muda Hek, agar tidak terjadi sesuatu
atas dirinya," ujar Huai Hong berjanji.
"Bagus." Se Pit Han tersenyum. "Baiklah. Cepatlah kalian
merubah wajah masing-masing!"
"Ya." Huai Hong dan ketiga saudaranya langsung memberi
hormat, lalu melangkah pergi.
Sementara Ouw Yang Seng Tek cuma duduk diam dari tadi,
kemudian menarik nafas ringan seraya bergumam.
"Alangkah baiknya anak itu adalah dia"..."
Gumaman pengemis tua yang tiada ujung pangkalnya, membuat
Se Khi dan Se Pit Han tertegun.
"Paman pengemis, siapa yang dimaksud dia?" tanya Se Pit Han
heran. "Hian tit!" Pengemis tua menatapnya. "Pernahkah engkau
dengar tentang Ciok Lau San Cung di San Si?"
"Tidak pernah." Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Oh?" Pengemis tua mengerutkan kening.
"Siau tit dengar semalam, ketika Paman pengemis bertanya pada
Thai Hang Ngo Sat." Se Pit Han memberitahukan.
"Ngmm!" Pengemis tua manggut-manggut.
"Paman pengemis, Ciok Lau San Cung itu sangat ternama dalam
bu lim?" tanya Se Pit Han mendadak.
"Benar." Pengemis tua manggut-manggut lagi. "Pernahkah
engkau dengar, lima belas tahun yang lampau, muncul seorang
pendekar aneh yang berkepandaian sangat tinggi" Dia seorang diri
melawan Pat Tay Hiong Jin di lereng bukit Im San?"
"Maksud Paman pendekar aneh Pek Mang Ciu?" Sepasang mata
Se Pit Han tampak berbinar-binar.
96 "Tidak salah. Dia adalah majikan perkampungan Ciok Lau San
Cung." Pengemis tua memberitahukan.
"Oh?" Sekelebatan wajah Se Pit Han tampak berubah aneh.
Itu tidak terlepas dari mata pengemis tua. Maka pengemis tua
itu tergerak hatinya dan segera bertanya.
"Engkau kenal Pendekar Pek?"
"Hanya pernah dengar, tapi tidak pernah bertemu orangnya,"
jawab Se Pit Han dan bertanya, "Paman, apa yang terjadi di
perkampungan itu?"
"Aaaakh"..." Pengemis tua menarik nafas panjang.
"Perkampungan itu musnah, semua orang terbunuh, Pek Tayhiap
dan isterinya mati keracunan. Namun tidak tampak mayat Pek Giok
Liong, putra satu-satunya pasangan pendekar itu."
Mendengar sampai di sini, wajah Se Pit Han pun berubah hebat.
Itu sungguh mengejutkan pengemis tua.
"Hian tit kenapa engkau?"
Bagian ke 14: Tiada Jejak
Ternyata wajah Se Pit Han telah berubah pucat pias, sekujur
badan pun bergemetar seakan tidak kuat duduk. Seketika juga Giok
Cing dan Giok Ling, kedua pengawalnya memegangnya erat-erat.
Menyaksikan itu, pengemis tua terheran-heran dan bertanyatanya
dalam hati. Heran! Apa gerangan ini" Apakah Pek tayhiap
punya hubungan dengan Lam Hai" Tapi kok tidak pernah dengar
tentang itu"
"Mohon tenang, Tuan Muda!" ujar Se Khi serius.
Tak lama wajah Se Pit Han mulai kelihatan tenang, namun
sepasang matanya bersinar dingin.
"Se Khi, sudah lamakah engkau tahu tentang itu?"
"Lo nu (budak tua) juga baru tahu sekarang." jawab Se Khi.
"Siapa majikan Ciok Lau San Cung" Tentunya engkau tahu. Ya,
kan?" Se Pit Han menatapnya tajam.
Se Khi mengangguk hormat.
"Lo nu berterus terang, memang sudah lama lo nu tahu."
jawabnya dengan suara rendah.
"Oh?" Se Pit Han mendengus dingin. "Hm! Kalau begitu, kenapa
engkau tidak memberitahukan padaku?"
97 "Bukan lo nu tidak mau memberitahukan, melainkan kiong cu
(majikan istana) ada pesan pada lo nu, mohon Siau kiong cu,
memaafkan lo nu!"
"Tahukah engkau, kenapa ayah melarangmu memberitahukan
padaku?" tanya Se Pit Han dengan wajah dingin.
"Maaf!" ucap Se Khi sambil menggelengkan kepala. "Lo nu tidak
tahu tentang itu."
Sepasang alis Se Pit Han terangkat, kelihatannya ia sedang
berpikir keras.
"Kita harus bagaimana" Kini mereka telah terbunuh semua."
tanyanya kemudian.
"Ini".." jawab Se Khi agak ragu. "Menurut lo nu, kita harus
segera pulang melapor pada kiong cu.
"Bagaimana pandanganmu, apakah ayah akan turut campur?"
tanya Se Pit Han mendadak.
"Itu"..." Se Khi berpikir, lama sekali baru melanjutkan, "Menurut
lo nu, kemungkinan besar kiong cu akan turut campur."
Se Pit Han manggut-manggut, kemudian mengarah pada Yang
Hong, salah seorang Pat Kiam. "Yang Hong!"
"Ya, Siau kiong cu," sahut Yang Hong sambil memberi hormat.
"Yang Hong siap menerima perintah."
"Engkau harus segera pulang ke Lam Hai, lapor pada kiong cu
tentang semua ini!" Se Pit Han memberi perintah.
"Ya, Yang Hong terima perintah."
"Dan".." tambah Se Pit Han. "Beritahukan pada kiong cu, bahwa
sementara ini aku tidak pulang. Engkau pun harus bermohon pada
beliau agar beliau memerintahkan beberapa orang untuk
menyambut Hek kong cu. Setelah itu, engkau bergabung lagi
dengan Huai Hong. Mereka menuju ke"..."
Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya. Kemudian ia mengarah
pada Se Khi yang duduk diam itu seraya bertanya.
"Se Khi, mereka harus ke mana menemuiku?" Se Khi
mengerutkan kening. Ia tidak langsung menjawab, melainkan
menatap Se Pit Han tajam.
"Siau kiong cu, sementara ini tidak pulang, apakah berniat
menyelidiki para pembunuh itu?"
"Tidak salah." Se Pit Han manggut-manggut. "Aku harus
menyelidiki siapa pembunuh-pembunuh itu, agar bisa membalas
dendam pada mereka."
98 Se Khi tidak memperlihatkan reaksi apa pun. Namun orang tua
itu tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Siau kiong cu telah melupakan suatu persoalan yang amat
penting. Apakah Siau kiong cu memikirkan persoalan itu?" ujarnya
mengalihkan pembicaraan.
Se Pit Han tertegun. Ia menatap Se Khi dengan heran,
kelihatannya tidak tahu persoalan apa yang ditanyakan Se Khi.
"Persoalan apa yang amat penting?"
"Berkaitan dengan diri Siau kiong cu."
"Bukankah aku telah menyuruh Yang Hong pulang ke Lam Hai
untuk melapor pada ayah?"
Se Khi tersenyum, kemudian menggelengkan kepala.
"Menurut lo nu, persoalan yang amat penting sekarang ini, yakni
harus menyelidiki jati diri Hek kong cu."
Se Pit Han berpikir, lama sekali barulah ia menyadari sesuatu.
"Oh! Menurutmu, mungkinkah dia piaute (adik misan)?"
Mendengar sebutan adik misan, Ouw Yang Seng Tek, pengemis
tua itu pun mengerti.
"Sungguh di luar dugaan! Ternyata Pek tayhiap dan Lam Hai
adalah famili!" ujar pengemis tua dalam hati.
"Itu memang mungkin." Se Khi mengangguk. "Kini lo nu
membayangkan wajahnya dan sifatnya itu, memang mirip Pek
kouwya dan Hui Kouw."
"Oh?"
"Lagi pula dia menyebut dirinya marga Hek (hitam). Lawan kata
Hek adalah Pek (putih). Piauw Siau ya (tuan muda misan) bernama
Pek Giok Liong, Siau Liong mungkin nama kecilnya."
Walau itu cuma dugaan, namun sungguh masuk akal, maka
membuat pengemis tua menyela mendadak.
"Apa yang Saudara Se katakan itu memang tidak salah. Aku pun
menganggapnya memang Pek Siau Liong. Dia berangkat ke Lam Hai,
kemungkinan besar untuk mencari Pulau Pelangi. Tapi"..."
"Tapi kenapa?" tanya Se Pit Han.
"Paman tidak memahami satu hal," jawab pengemis tua sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hal apa?" Se Pit Han menatapnya.
"Dia ada hubungan famili dengan keluarga Hian tit, tapi kenapa
dia justru tidak tahu Hian tit berasal dari Lam Hai?" Kening pengemis
tua berkerut. 99 Apa yang dikatakan pengemis tua itu memang tidak salah, dia
adalah Pek Giok Liong. Bagaimana mungkin tidak tahu nama dan
marga ibunya"
"Kalau begitu"..," ujar Se Pit Han setelah berpikir sejenak. "Dia
bukan piaute."
"Menurut lo nu, dia justru Pek Giok Liong," sela Se Khi.
"Apa alasanmu?" tanya Se Pit Han. "Kenapa memastikan dia
piaute?" "Lo nu pikir kedua orang tuanya tidak mau menyinggung tentang
Lam Hai, itu demi menjaga rahasia. Maka piau Siau ya sama sekali
tidak tahu tentang itu," jawab Se Khi mengemukakan alasannya.
"Walau ini beralasan, tapi tidak masuk akal kalau kauw-kauw
(bibi) merahasiakan masalah itu terhadap anak sendiri," ujar Se Pit
Han. "Lagi pula menyangkut tempat tinggal dan marga nenek"..."
"Mungkin karena Houw kouw menganggap usia piauw Siau ya
masih kecil, khawatir tidak bisa menjaga mulut sehingga membuka
rahasia itu, maka sementara tidak memberitahukannya." Se Khi
memberi penjelasan.
Penjelasan tersebut memang masuk akal, maka Se Pit Han
manggut-manggut.
"Paman pengemis, bagaimana menurutmu?" tanyanya pada
pengemis tua. "Paman menganggap semua itu memang mungkin." Pengemis
tua tampak sungguh-sungguh dan melanjutkan, "Kalau dugaan kita
tidak meleset, maka keberangkatannya lebih membahayakan
dirinya." "Oh?" Se Pit Han menatapnya.
"Bukan Paman pengemis meremehkan Huai Hong berempat,
namun jelas mereka agak sulit melindungi keselamatannya."
Pengemis tua memberitahukan.
Apa yang dikatakan pengemis tua itu sangat mengejutkan Se Pit
Han, sebab pengemis tua tidak akan bicara sembarangan. Seketika
juga sepasang alis Se Pit Han terangkat.
Se Pit Han teringat pada Pek tayhiap dan isterinya. Meskipun ia
tidak pernah menyaksikan kepandaian Pek tayhiap, tapi Pek tayhiap
pernah seorang diri bertarung dengan Bu Lim Pat Tay Hiong Jin
(Delapan Orang Buas Rimba Persilatan). Berdasarkan itu ia dapat
membayangkan betapa tinggi kepandaian Pek tayhiap, namun tetap
100 masih juga bisa terbunuh. Lalu bagaimana dengan Huai Hong
berempat" Berpikir sampai di sini, wajah Se Pit Han langsung berubah pucat
dan tampak gugup.
"Nian Hong, engkau dan saudara-saudaramu harus segera
merubah wajah, lalu cepat-cepatlah berangkat menyusul Huai Hong.
Kalian semua harus melindungi Hek kong cu. Aku, Se Khi dan
sepasang pengawal akan menyusul kemudian."
Nian Hong menjura hormat.
"Nian Hong menerima perintah," sahutnya dan segera mengajak
saudara-saudaranya berdandan.
"Paman pengemis!" Se Pit Han memandangnya.
"Ada apa, Hian tit?" tanya pengemis tua cepat.
"Paman pengemis mempunyai rencana ke mana?"
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman ingin pergi mengejar Siang Hiong. Mereka dan Sam
Kuay (Tiga Siluman) dipukul jatuh di Ok Hun Nia (Lereng Bukit
Arwah Penjahat) oleh Pek tayhiap. Siang Hiong belum mati, maka
Sam Kuay kemungkinan masih hidup. Jangan-jangan kematian Pek
tayhiap dan isterinya itu karena perbuatan mereka sebagai
pembalasan dendam masa lalu."
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut. "Kemungkinan besar
memang begitu."
"Kalau benar itu perbuatan mereka, harap Paman pengemis
jangan bertarung dengan mereka, suruh seseorang memberitahukan
pada kami!" pesan Se Pit Han.
"Tapi"..." Pengemis tua tampak ragu.
"Paman pengemis!" Sepasang mata Se Pit Han berapi-api. "Aku
mau bersama piaute mencari mereka untuk membalas dendam
berdarah itu."
Se Khi mengerutkan kening mendengar ucapan itu, namun tidak
mengatakan apa pun. Ia memang tidak bisa mengatakan apa pun,
lebih-lebih mencegah Se Pit Han yang telah mengambil keputusan
itu. "Huaha ha ha!" Pengemis tua tertawa gelak. "Hian tit berlegalah
hati. Kalau benar itu perbuatan mereka, Paman pun tidak kuat
melawan mereka."
"Paman?""
"Itu benar." Lanjut pengemis tua. "Siang Hiong Sam Kuay
bergabung, Paman memang tidak akan kuat menghadapi mereka.
101 Namun kalau satu lawan Satu, Paman masih mampu meringkusnya.
Tapi Siang Hiong selalu sepasang, Sam Kuay pun tetap bertiga.
Mereka tidak pernah berpencar, maka Paman tidak akan bertindak
sembarangan. Seandainya Hian tit dan Hek kong cu bersatu untuk
membalas dendam berdarah itu, Paman pasti membantu."
"Terima kasih...... Paman!" ucap Se Pit Han sambil menjura.
"Hian tit tidak usah mengucapkan terima kasih." Pengemis tua
tertawa, namun kemudian menarik nafas panjang. "Sayangnya
Paman tidak kuat melawan mereka."
Memang tidak salah apa yang dikatakan pengemis tua itu. Kalau
satu lawan satu, pengemis tua itu pasti mampu meringkusnya, tapi
kalau dua lawan satu atau tiga lawan satu, pengemis tua itu pasti
tidak mampu melawan.
"Oh ya," tambah pengemis tua. "Mengenai Hek Siau Liong, Hian
tit harus menyelidikinya secara jelas. Kalau Hian tit sudah tahu jelas
jati dirinya, suruhlah seseorang memberitahukan pada Kay Pang
agar melapor pada Paman."
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Baiklah!"
"Baiklah. Paman mau mohon diri! Hian tit harus ingat, bahwa
dalam kang ouw banyak kelicikan, maka engkau harus berhati-hati,
dan jangan terlampu ceroboh."
"Terima kasih atas nasihat Paman pengemis!" ucap Se Pit Han
sambil tersenyum. "Siau tit pasti berhati-hati."
"Ngmm!" Pengemis tua manggut-manggut, lalu menjura pada Se
Khi. "Keparat Se, sudah lama engkau berkecimpung dalam kang
ouw, tentunya tahu bagaimana keadaan kang ouw. Nah, urusan apa
pun harus kau perhatikan. Aku tidak perlu banyak bicara, sampai
jumpa!" Suaranya belum hilang, namun orangnya telah hilang berkelebat
cepat bagaikan kilat meninggalkan rumah penginapan tersebut.
Dapat dibayangkan, betapa tinggi ginkang (ilmu meringankan tubuh)
orang itu. Huai Hong, Hui Hong, Tui Hong dan Kiam Hong memacu kuda
masing-masing secepat angin puyuh. Tak seberapa lama kemudian,
kuda-kuda mereka telah berlari lima puluhan li.
Akan tetapi, Huai Hong justru bercuriga dalam hati, karena
dalam lima puluhan li, sama sekali tidak tampak bayangan Hek Siau
Liong. 102 Huai Hong bercuriga dan merasa cemas. Seharusnya sudah
dapat menyusulnya, tapi kok tidak tampak bayangannya" Apakah
salah jalan ataukah"... Berpikir sampai di sini, sekujur badan Huai
Hong pun merinding dan membuatnya tidak berani berpikir lagi.
Mendadak ia mengangkat sebelah tangannya, memberi tanda
pada saudara-saudaranya agar berhenti. Mereka segera menarik tali
kendali menghentikan kuda masing-masing. Pada waktu bersamaan
Kiam Hong pun bertanya.
"Toako (kakak tertua) telah melihat sesuatu?" Huai Hong
menggelengkan kepala, sepasang alisnya terangkat.
"Kelihatannya urusan ini agak tidak beres," jawabnya dengan
suara dalam. "Bagaimana tidak beres?" Kiam Hong tampak tersentak.
Huai Hong tidak langsung menjawab, melainkan menatap Kiam
Hong dan balik bertanya.
"Pat te (adik kedelapan) tidakkah engkau merasa aneh?"
Huai Hong bertanya padanya, karena Kiam Hong berotak sangat
cerdas dan peka.
"Toako, urusan ini memang aneh." Kiam Hong manggutmanggut.
"Memang aneh sekali."
"Bagaimana menurutmu tentang ini?"
"Menurut Siaute, ini ada dua kemungkinan."
"Jelaskanlah!"
"Berpikir baiknya, mungkin kita telah salah jalan."
"Pat te!" Huai Hong menggelengkan kepala. "Kukira itu tidak
mungkin." "Toako!" Kiam Hong tersenyum. "Apakah karena di sini tiada
jalan lain?"
"Walau terdapat jalan kecil, siapa pun tidak akan melalui jalan itu
menuju selatan," sahut Huai Hong mengutarakan pendapatnya.
"Toako!" Kiam Hong tertawa-tawa. "Aku justru berpikir lain
tentang ini. Hek kong cu sangat pintar, kemungkinan besar dia
melalui jalan kecil agar tidak tersusul siapa pun."
"Pat te!" Huai Hong mengerutkan kening. "Apakah dia telah
menduga kita akan menyusulnya?"
"Itu tidak mungkin. Hek kong cu melalui jalan demi menghindari
pengejaran orang-orang suruhan Toan Beng Thong."
Masuk akal apa yang dikatakan Kiam Hong, maka Huai Hong
menjadi berpikir keras.
103 "Pat te, lalu apa kemungkinan kedua itu?" tanyanya kemudian.
Wajah Kiam Hong berubah, lama sekali barulah menjawab.
"Kemungkinan kedua itu..... yakni Toan Beng Thong telah
mendahului kita, maka"..."
"Pat te!?" Huai Hong menggelengkan kepala. "Tidak mungkin
Toan Beng Thong bisa mendahului kita."
"Itu benar," sela Huai Hong. "Bagaimana mungkin Toan Beng
Thong bisa mendahului kita?"
"Ngmm!" Huai Hong manggut-manggut. "Itu memang tidak
mungkin." "Toa ko." Kiam Hong menatapnya. "Selisih waktu berapa kita
berangkat menyusul Hek kong cu
"Kira-kira setengah jam."
"Nah, setengah jam itu merupakan waktu yang cukup."
"Pat te!"' sela Tui Hong yang diam dari tadi. "Aku mengerti
maksudmu."
"Cit ko (kakak ketujuh), aku percaya engkau mengerti itu." Kiam
Hong tersenyum.
"Maksud pat te"..." Huai Hong menyadari sesuatu.
"Kemungkinan Toan Beng Thong telah menyembunyikan orangorang
berkepandaian tinggi di semua jalan luar kota ini untuk
menunggu Hek kong cu."
"Benar." Kiam Hong mengangguk. "Aku memang berpikir
begitu." "Kalau begitu......" Kening Huai Hong terus berkerut. "Kita harus
bagaimana?"
Kiam Hong tidak menyahut, melainkan cuma menggelenggelengkan
kepala dengan wajah muram. Berselang sesaat,
mendadak Tui Hong membuka mulut.
"Apa boleh buat! Kita harus berpencar mencari Hek kong cu."
Memang tiada jalan lain, maka mereka harus berpencar untuk
mencari Hek Siau Liong.
Justru pada waktu bersamaan, terdengar suara derap kuda yang
begitu kencang. Mereka segera menoleh, tampak empat ekor kuda
berlari cepat menghampiri mereka.
Karena masih begitu jauh, Huai Hong dan saudara-saudaranya
tidak bisa melihat jelas siapa penunggang kuda-kuda itu.
"Mari kita menyingkir, lihat siapa mereka itu!" seru Huai Hong.
104 Mereka berempat segera menyingkir ke pinggir jalan. Tak lama
kuda-kuda itu telah mendekat. Begitu melihat keempat penunggang
kuda itu, seketika juga Kiam Hong terperangah.
"Toa ko, mereka jie ko (kakak kedua)?"
"Tidak salah." Huai Hong mengangguk. "Mereka memang jie ko."
Ternyata para penunggang kuda itu Nian Hong, Ie Hong, Keng
Hong dan Yang Hong berempat.
Walau mereka semua telah merubah wajah dan dandanan, pada
bagian dada baju mereka terdapat semacam tanda, itu membuat
mereka saling mengenal.
Nian Hong dan saudara-saudaranya segera menarik tali kendali
menghentikan kuda masing-masing.
"Toa ko, di mana piau Siau ya?" tanya Nian Hong cepat.
"Piau Siau ya?" Huai Hong dan lainnya melongo. "Siapa piauw
Siau ya?" "Hek kong cu adalah piau Siau ya." Nian Hong memberitahukan.
"Hah" Apa"!" Huai Hong terbelalak. "Hek kong cu adalah piau
Siau ya?" "Ya." Nian Hong mengangguk. "Paman pengemis tua
beranggapan begitu. Hek kong cu adalah Pek Giok Liong, putra
kesayangan Hui kauw-kauw (bibi Hui).
"Oh?" Huai Hong terkejut. "Jie te, kenapa kalian menyusul kami"
Apa gerangan yang telah terjadi?"
"Toa ko, kini tiada waktu untuk menjelaskan. Hek kong cu
berada di mana sekarang" Siau kiong cu akan segera menyusul."
Huai Hong menggeleng-gelengkan kepala, dan tersenyum getir.
"Jie te, kami justru tidak tahu bagaimana baiknya?"
Nian Hong terkejut.
"Bagaimana" Apakah Hek kong cu telah".." tanyanya sambil
menatap Huai Hong.
"Belum bisa dipastikan sekarang." sahut Kiam Hong. "Kami cuma
mengejar sampai di sini, namun tidak melihat jejak Hek kong cu.
Maka".. kami berhenti di sini untuk berunding."
"Toa ko." Nian Hong menatapnya. "Bagaimana rencanamu?"
"Apa boleh buat!" Huai Hong menarik nafas. "Jalan satu-satunya,
kita harus berpencar mencari Hek kong cu bagaimana menurut jie
te?" Nian Hong berpikir sejenak.
105 "Toa ko telah memutuskan begitu, maka kita harus segera
berpencar mencari Hek kong cu, agar tidak terlambat sehingga
terjadi sesuatu atas dirinya," ujarnya.
"Tapi"..." Lanjut Huai Hong. "Salah seorang di antara kita harus
ditinggal untuk menunggu Siau kiong cu."
"Benar." Nian Hong manggut-manggut.
"Dan juga......" Huai Hong mengerutkan kening. "Kita harus
berunding dulu. Seandainya menemukan sesuatu, kita harus
bagaimana dan harus berkumpul di mana?"
"Begini, kalau kita menemukan sesuatu dalam jarak lima puluhan
li, nyalakan api sebagai tanda!" usul Nian Hong.
"Ng!" Huai Hong mengangguk. "Apabila tidak menemukan suatu
apa pun, kita harus segera menuju Kota Pin Hung dan berkumpul di
sana. Mengenai salah seorang di antara kita yang harus tinggal di
sini"..."
"Bagaimana si te yang tinggal di sini?" tanya Nian Hong.
"Baiklah," jawab Huai Hong.
Setelah memutuskan itu, mereka pun berpencar dengan
menunggang kuda masing-masing untuk mencari Hek Siau Liong.
Bagian ke 15: Orang Tua Buta
Sebetulnya Hek Siau Liong ke mana" Kenapa tiada jejaknya"
Menurut dugaan Pat Kiam kemungkinan besar Hek Siau Liong
menempuh jalan lain. Dugaan tersebut memang tidak salah, Hek
Siau Liong menuju selatan tidak melalui jalan besar, juga tidak
melewati jalan kecil, melainkan menempuh jalan setapak bersama
kuda tunggangannya. Pat Kiam menduga demikian, namun tidak
menyangka Hek Siau Liong akan menempuh jalan setapak.
Tak seberapa lama kemudian, Hek Siau Liong telah memasuki
Siu Gu San (Bukit Siu Gu). Tidak gampang melewati bukit itu,
bahkan kuda tunggangannya sering terpeleset, membuatnya nyaris
jatuh dari punggung kudanya. Walau demikian, ia sama sekali tidak
mengeluh, karena memiliki tekad yang tak tergoyahkan, lagi pula
masih harus membalas dendam berdarah kedua orang tuanya.
Kalau ia mengeluh dalam perjalanan ini, bagaimana mungkin
akan tiba di Lam Hai untuk mencari Pulau Pelangi"
Hek Siau Liong tidak pernah berkelana dalam bu lim, namun
pernah mempelajari ilmu bumi. Maka ia tahu Siu Gu San ini terletak
106 di Ouw Pak. Kalau terus menuju selatan adalah Ouw Lam, Kang Si,
Kanton, lewat Kanton sudah termasuk Lam Hai.
Kini sudah lima hari Hek Siau Liong meninggalkan Kota Ling Ni.
Matahari mulai condong ke barat. Ia menghentikan kudanya di
lereng bukit lalu menengok ke sana ke mari dengan harapan ada
rumah penduduk di sekitar itu.
Akan tetapi, ia sangat kecewa. Di sekitar tempat itu tiada rumah
penduduk sama sekali. Di tempat yang begitu sepi dan merupakan
rimba, bagaimana mungkin ada rumah penduduk"
Walau kecewa, Hek Siau Liong tidak bermuram durja, masih
tampak begitu tenang.
"Tidak apa-apa, di bukit ini pasti terdapat goa." gumamnya
menghibur diri sendiri. "Cari sebuah goa untuk bermalam, tapi"..."
Hek Siau Liong menatap kudanya, kemudian menjulurkan
tangannya untuk membelainya seraya berkata lembut.
"Kuda yang baik, ikutlah aku! Hanya saja".. akan
menyusahkanmu."
Sungguh mengherankan, kuda itu seakan mengerti ucapan Hek
Siau Liong. Kepalanya manggut-manggut sambil meringkik panjang
sepertinya sedang berkata.
"Aku mengerti, aku tidak menyalahkanmu."
Sungguhkah kuda itu mengerti ucapan Hek Siau Liong" Kalau
kuda itu mengerti, tentunya itu kuda dewa atau kuda siluman.
Walau kuda itu tidak mengerti, tapi memiliki naluri. Siau Liong
membelainya, dan kuda itu tahu Siau Liong sangat menyayanginya.
Kalau tidak, bagaimana mungkin kuda itu manggut-manggut dan
meringkik begitu panjang"
"Kuda yang baik, tak disangka engkau mengerti bahasa
manusia." ujar Siau Liong sambil tersenyum.
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hi hi hi!" Mendadak terdengar suara tawa yang amat nyaring.
"Dasar bloon! Sudah sinting!"
Itu suara anak gadis. Namun sungguh mengejutkan Siau Liong.
Di sekitar tempat itu tak ada rumah, tapi ada suara gadis yang
begitu nyaring. Bukankah itu ganjil sekali!
Sepasang mata Siau Liong terbelalak lebar, mulutnya pun
ternganga berbentuk huruf O, bahkan wajahnya juga tampak
berubah dan bulu kuduknya berdiri semua.
107 Benarkah Siau Liong begitu pengecut, sama sekali tiada
nyalinya" Kalau benar begitu, bagaimana mungkin ia mampu
menegakkan keadilan dalam bu lim.
Sebetulnya Siau Liong cukup bernyali, kalau tidak, mungkinkah ia
berani berangkat ke Lam Hai seorang diri"
Tapi kenapa ia tampak begitu ketakutan" Ternyata ia sering
membaca cerita berbagai macam siluman yang menghuni dalam
hutan dan bukit. Mendadak ada suara anak gadis, maka ia
menganggap itu adalah siluman.
Perlahan-lahan ia mengarahkan pandangannya pada tempat
yang bersuara tadi. Apakah ia melihat siluman" Tentu tidak,
melainkan hanya melihat sebuah batu besar di situ.
Tiba-tiba dari balik batu itu muncul seraut wajah seorang gadis,
tapi secepatnya menyusup ke balik batu itu lagi.
Wajah itu agak kehitam-hitaman, namun sangat cantik dengan
sepasang mata yang amat bening.
Itu bagaimana mungkin siluman" Yang jelas adalah seorang
gadis berwajah hitam manis.
"Hi hi hi!" Terdengar suara tawa yang nyaring lagi, lalu muncul
seorang gadis dari balik batu itu. Rambut gadis itu panjang terurai
sampai ke bahu.
Kini Siau Liong sudah melihat jelas. Gadis itu berusia sekitar
empat belasan tahun dan berbadan langsing.
Gadis itu berdiri di hadapan Siau Liong dengan bertolak pinggang
sambil menatap Siau Liong dengan mata bersinar terang.
"Hei! Engkau dari mana?" tanyanya merdu.
Siau Liong menarik nafas dalam-dalam, kemudian memandang
gadis itu dengan penuh perhatian.
"Siau kouw nio (gadis kecil) engkau bertanya padaku?"
"Eh?" Sepasang alis gadis yang lentik itu terangkat sedikit.
"Apakah ada orang ketiga di sini?"
"Oooh"..?" Siau Liong tersenyum.
"Jangan oh! Jawablah pertanyaanku tadi!" tandasnya.
"Engkau bertanya apa tadi?" Siau Liong tampak telah lupa.
"Dasar bloon dan pelupa!" Anak gadis itu tertawa geli. "Aku
bertanya engkau dari mana?"
"Aku datang dari utara." sahut Siau Liong.
"Dari utara mau ke mana?"
"Ke selatan."
108 "Kalau begitu"..." Gadis itu menatapnya dalam-dalam. "Engkau
orang lewat?"
Siau Liong mengangguk sambil tersenyum.
"Siau kouw nio, engkau dari mana?" tanyanya lembut.
"Ei!" tegur anak gadis itu. "Jangan terus menerus memanggilku
Siau kouw nio. Itu tak sedap didengar. Aku sudah tidak kecil."
"Oh?" Siau Liong tertawa. "Jadi..... berapa usiamu?"
"Usiaku sudah hampir lima belas."
"Emmh!" Siau Liong manggut-manggut. "Kalau hampir lima
belas, itu berarti Siau kouw nio."
"Huh! Tampangmu juga tidak lebih besar dariku! Kalau engkau
memanggilku Siau kouw nio lagi, aku pun akan memanggilmu Siau
hai ji (anak kecil)."
"Engkau memang"..." Siau Liong ingin mengatakan bahwa dia
memang gadis kecil, namun mendadak teringat pada usianya sendiri
yang juga baru lima belas tahun, maka tidak dilanjutkan, melainkan
bertanya, "Jadi aku harus memanggilmu apa?"
"Panggil namaku saja!" sahut gadis itu tanpa berpikir.
"Tapi"..." Siau Liong tersenyum. "Aku belum tahu namamu."
"Ouh!" Gadis itu tertawa kecil. "Aku lupa memberitahukan.
Namaku Cing Ji, panggil saja Cing Ji!"
"Oooh! Ternyata Cing Ji kouw nio!"
"Bagaimana sih engkau" Kok begitu macam?"
"Lho, kenapa aku?" Siau Liong tertegun. "Memangnya aku ini
macam apa?"
"Cukup panggil Cing Ji saja! Kenapa harus ditambah kouw nio
segala" Itu sungguh tak sedap didengar, kupingku jadi terasa sakit."
"Baiklah." Siau Liong mengangguk. "Aku akan memanggilmu
Cing Ji." Cing Ji tertawa gembira. Siau Liong terpukau ketika melihat Cing
Ji tertawa. Sebab gadis itu bertambah cantik jelita. Gadis itu
memang cantik. Meskipun agak hitam dan agak kurus, namun
wajahnya bagaikan bunga yang baru mekar. Siau Liong membatin,
dan sekaligus memandangnya dengan mata terbeliak.
"Hei! Aku sudah beritahukan namaku, kenapa engkau malah jadi
melamun?" tanya Cing Ji menegurnya.
"Aku......" Siau Liong tergagap.
"Bagaimana sih engkau?" Cing Ji cemberut. "Kok tidak mau
beritahukan namamu?"
109 "Namaku Siau Liong."
"Oooh!" Cing Ji tersenyum. "Ternyata Siau Liong ko!"
Begitu wajar ketika memanggil 'Siau Liong ko' sama sekali tidak
merasa jengah. Itu pertanda Cing Ji gadis yang lugu.
"Cing Ji." Siau Liong menatapnya sambil tersenyum. "Engkau
belum menjawab pertanyaanku, engkau datang dari mana?"
"Siau Liong ko, cobalah terka datang dari mana!" sahut Cing Ji
merdu. Siau Liong berpikir sejenak, namun kemudian menggelenggelengkan
kepala. "Aku tidak bisa menerka, lebih baik kau beritahukan saja!"
"Ei! Siau Liong ko! Jangan terus duduk di punggung kuda, pegal
nih kepalaku harus mendongak." ujar Cing Ji. "Turunlah! Mari kita
mengobrol!"
"Cing Ji!" Siau Liong menggelengkan kepala. "Itu tidak usah."
"Kenapa?"
"Aku harus segera pergi."
"Apa!?" Cing Ji terbelalak. "Hari sudah hampir gelap, engkau
mau pergi" Mau melakukan perjalanan malam?"
"Tidak." Siau Liong memberitahukan. "Aku ingin mencari sebuah
goa untuk bermalam."
"Siau Liong ko!" Cing Ji tertawa. "Engkau telah bertemu
denganku, maka tidak usah mencemaskan soal bermalam. Ikuti saja
aku!" "Oooh!" Siau Liong mengangguk. "Aku mengerti."
"Engkau mengerti apa?" tanya Cing Ji heran.
"Engkau mau mengajakku ke tempatmu kan?" jawab Siau Liong
sambil tersenyum.
Amanat Marga 5 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Pendekar Satu Jurus 6
Saudara Se juga tidak berniat terjun ke dalam bu lim?"
"Itu pesan wasiat leluhur, maka semua keturunan dilarang terjun
ke bu lim, juga tidak boleh tahu menahu tentang urusan itu.
Tentunya aku tidak boleh melanggar pesan wasiat itu."
"Seandainya ada orang bu lim, cari gara-gara dengan Saudara,
apakah Saudara akan tinggal diam?"
"Itu sudah lain," sahut Se Pit Han.
"Saudara Se." Siau Liong tersenyum. "Aku bertanya lagi, orang
tua yang menyamar diriku, apakah teman atau masih terhitung
anggota keluarga Saudara?"
"Dia jongos tua tiga turunan keluargaku."
"Kalau begitu, orang tua itu terhitung anggota keluarga
Saudara?" Se Pit Han berotak cerdas, ia sudah tahu maksud tujuan
pertanyaan Siau Liong, maka ia pun tersenyum.
56 "Walau dia terhitung salah seorang anggota keluargaku, di luar
pesan wasiat leluhur. Oleh karena itu, dia boleh bergerak dalam bu
lim. "Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Kalau begitu,
dia menyamar diriku itu rencana Saudara?"
"Benar." Se Pit Han mengangguk. "Itu memang rencanaku."
"Saudara Se." Siau Liong menatapnya. "Kenapa engkau mau
turut campur dalam urusan itu?"
"Apakah aku tidak harus turut campur?" tanya Se Pit Han.
"Aku justru tidak mengerti, kenapa Saudara mau turut campur?"
sahut Siau Liong sambil menatapnya tajam.
"Jadi......" Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Engkau bercuriga
aku punya maksud tujuan tertentu?"
Siau Liong tertawa ringan mendadak.
"Aku sudah berkata jujur, maka Saudara jangan mencurigaiku
lagi!" ujarnya.
Se Pit Han tertegun, ia menatap Siau Liong dengan mata
terbeliak. "Apakah engkau berkata secara jujur?" Se Pit Han tampak
bingung. "Bukankah Saudara ingin tahu apa yang kupikirkan tadi'?" sahut
Siau Liong sambil tersenyum-senyum.
"Eh?" Mulut Se Pit Han ternganga lebar. "Kapan engkau
menjawab pertanyaanku tadi secara jujur?"
"Barusan."
"Barusan?" Se Pit Han bertambah bingung, ia menatap Siau
Liong dengan mata terbelalak lebar.
"Bukankah barusan Saudara sendiri telah mewakiliku menjawab
pertanyaan itu?" Siau Liong tersenyum lagi.
"Apa"!" Se Pit Han mengerutkan sepasang alisnya. "Barusan aku
mewakilimu menjawab pertanyaan itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Maksudmu".." Se Pit Han manggut-manggut, kelihatannya ia
telah menyadari suatu hal.
Pada waktu bersamaan, mendadak muncul seorang pemuda
berbaju hitam menghampiri Se Pit Han. Begitu melihat pemuda
tersebut, Se Pit Han langsung diam, sedangkan pemuda berbaju
hitam itu memberi hormat padanya.
57 "Menghadap pada Kong Cu (Tuan muda)!" ucap pemuda berbaju
hitam sambil menjura dengan badan membungkuk.
"Tidak usah berlaku hormat!" sahut Se Pit Han sambil
tersenyum. "Cepatlah engkau memberi hormat pada Tuan Muda
Hek!" Pemuda berbaju hitam segera memberi hormat pada Siau Liong.
Ia membungkukkan badannya sambil menjura.
"Se Khi memberi hormat pada Kong Cu!" ucapnya.
"Tidak usah memberi hormat. Namaku Siau Liong, cukup panggil
namaku saja," sahut Siau Liong sekaligus membalas memberi
hormat pada pemuda berbaju hitam itu.
"Se Khi!" Se Pit Han tersenyum. "Duduklah!"
"Se Khi tidak berani," ujar pemuda berbaju hitam. "Se Khi berdiri
saja." Se Pit Han mengerutkan kening, lalu tegasnya.
"Kita berada di luar, bukan di dalam rumah. Engkau harus
duduk, Tuan Muda Hek ingin mengajukan beberapa pertanyaan
padamu." "Ya." Se Khi memberi hormat lagi, kemudian duduk.
"Se Khi." Se Pit Han tersenyum. "Bagaimana dengan tugasmu
itu." "Sesuai dengan rencana Tuan Muda," jawab Se Khi hormat.
"Ceritakanlah!"
"Ya." Se Khi mengangguk. "Se Khi memancingnya keluar sampai
belasan li. Setelah tiba di tanah perkuburan, barulah Se Khi
menghadapinya. Semula Se Khi mengira dia memiliki ilmu silat
tinggi, tidak tahunya......" Se Khi tertawa dan melanjutkan,
"Kepandaiannya sangat rendah. Tidak sampai tiga jurus, Se Khi telah
menotok jalan darahnya sehingga dia terkulai."
Betapa terkejutnya Siau Liong mendengar keterangan Se Khi.
Walau ia tidak tahu berapa tinggi kepandaian Thi Sui Phoa Toan
Beng Thong, orang tersebut pernah menggetarkan kang ouw, itu
pertanda memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun justru
roboh di tangan Se Khi dalam tiga jurus. Dapat dibayangkan, betapa
tingginya kepandaian Se Khi.
"Se Khi." Se Pit Han tersenyum. "Jalan darah apa yang engkau
totok?" "Jalan darah tidur."
"Dengan jurus apa engkau menotoknya?"
58 "Dengan jurus yang biasa." Se Khi memberitahukan. "Satu jam
kemudian dia akan mendusin sendiri."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut.
Pada waktu bersamaan, mendadak Siau Liong bangkit berdiri,
lalu menjura pada Se Pit Han.
"Maaf! Aku mau mohon diri!" ujarnya.
Se Pit Han tertegun kemudian tanyanya heran.
"Saudara Hek, engkau mau ke mana?"
"Aku sudah merasa capek, ingin segera beristirahat di rumah
penginapan," jawab Siau Liong memberitahukan.
"Saudara Hek." Se Pit Han menatapnya tajam. "Benarkah engkau
ingin beristirahat di rumah penginapan?"
"Benar." Siau Liong mengangguk. "Aku sungguh sudah capek."
Walau mulut berkata demikian, Siau Liong merasa tidak enak
dalam hati dan membatin. Maaf Saudara, aku telah berdusta!
Se Pit Han juga bangkit berdiri.
"Kalau begitu, mari kita pergi cari rumah penginapan!" ujarnya
lembut sambil tersenyum.
Ini sungguh di luar dugaan Siau Liong, tidak heran kalau ia
tertegun. "Saudara ingin bersamaku pergi cari rumah penginapan?"
"Kenapa?" Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Tidak boleh ya"
Engkau sebal padaku?"
"Eeeh?" Siau Liong melongo. "Bagaimana mungkin aku sebal
padamu, saudara Se?"
"Kalau begitu, kenapa engkau tampak tidak senang kuikuti?"
tanya Se Pit Han dingin.
"Aku bukan tidak senang, melainkan..... melainkan"..." Siau
Liong tidak melanjutkan ucapannya. Karena gugup wajahnya
menjadi kemerah-merahan.
"Duduklah, saudara Hek," Se Pit Han tersenyum.
Apa boleh buat, Siau Liong terpaksa duduk kembali.
Se Pit Han menatapnya, kemudian tersenyum lagi.
"Saudara Hek, engkau mau ke mana" Jujurlah!"
Mendadak Siau Liong tersenyum getir, kemudian menarik nafas
panjang. "Saudara Se, engkau sudah tahu kok masih bertanya?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han serius. "Beritahukan padaku, mau apa
engkau pergi mencarinya?"
59 "Aku ingin bertanya padanya, siapa yang memerintah dia untuk
membunuhku."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau pikir dia akan memberitahukan padamu?"
"Dia tidak mau beritahukan juga harus beritahukan." sahut Siau
Liong yakin. "Engkau akan mengancamnya dengan nyawanya itu?" tanya Se
Pit Han sambil menatapnya dalam-dalam.
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku memang bermaksud begitu."
"Engkau pikir dia bisa diancam?"
"Kenapa tidak?"
"Engkau percaya kepandaianmu lebih tinggi dari dia?"
"Kalau bertarung, aku memang bukan lawannya." Siau Liong
memberitahukan secara jujur. "Akan tetapi, kini dia"..."
"Dia masih tertidur lantaran jalan darah tidurnya tertotok?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Maka aku akan menotok lumpuh
dirinya, barulah membuka jalan darah tidurnya, agar dia mendusin."
"Cara itu memang baik, namun"..." Se Pit Han tersenyum. "Dari
sini ke sana, saudara telah memperhitungkan waktunya?"
Siau Liong tertegun, kemudian menjura pada Se Pit Han.
"Terimakasih atas petunjuk Saudara, aku memang ceroboh,"
ujarnya dengan wajah agak kemerah-merahan.
"Oh ya!" Se Pit Han menatapnya. "Engkau masih ingin bertanya
apa padanya?"
"Tentang Bun Jiu Kiong," jawab Siau Liong jujur. "Bun Jiu Kiong
itu berada di mana?"
Sepasang mata Se Pit Han menyorot aneh, lalu tanyanya dengan
suara dalam. "Mau apa engkau menanyakan tentang Bun Jiu Kiong?"
"Aku ingin berkunjung ke sana."
"Berkunjung ke sana?" Wajah Se Pit Han langsung berubah
dingin. "Ingin berlemah lembut di Bun Jiu Kiong itu?"
Wajah Siau Liong memerah, dan cepat-cepat menggelengkan
kepala. "Jangan salah paham, Saudara Se! Aku tidak bermaksud begitu."
"Hm!" dengus Se Pit Han dingin. "Lalu bermaksud apa?"
"Kalau benar Bun Jiu Kiong itu merupakan tempat yang bukanbukan,
maka aku ingin menghancurkannya."
60 "Oooh!" Wajah Se Pit Han kembali seperti biasa. "Engkau punya
kekuatan itu?"
"Aku memang tidak punya kekuatan itu, tapi"..."
"Bukankah masih ada aku dan Se Khi" Ya, kan?"
"Saudara Se......" Siau Liong menggelengkan kepala. "Aku sama
sekali tidak berniat minta bantuan kalian berdua."
"Jadi......" Se Pit Han menatapnya dingin. "Engkau ingin pergi
seorang diri?"
"Apakah tidak boleh?"
"Aku tanya, berdasarkan apa engkau ke sana" Kepandaian atau
keberanian?"
"Tidak berdasarkan apa pun." sahut Siau Liong dan
menambahkan dengan nada tegas, "Hanya berdasarkan Bu Lim Cia
Khi (Keadilan rimba persilatan)."
Se Pit Han menatapnya kagum, namun sepasang matanya justru
menyorot dingin.
"Tidak salah. Berdasarkan keadilan rimba persilatan, tentunya
akan menggemparkan rimba persilatan pula. Tapi"..."
"Kenapa?"
"Saudara Hek, tahukah engkau siapa yang ingin menegakkan
keadilan rimba persilatan, dia harus memiliki kepandaian tinggi,
barulah dapat melaksanakannya."
"Aku mengerti itu, namun".. aku percaya diri."
Betapa angkuhnya ucapan Siau Liong, siapa yang mendengar
pasti tidak senang, bahkan mungkin akan mentertawakannya.
Akan tetapi, Se Pit Han justru tidak, sebaliknya ia malah
menatap Siau Liong dengan kagum.
"Saudara yang baik, aku memang tidak salah melihat dirimu.
Meskipun ucapanmu itu agak angkuh, aku tetap kagum padamu.
Tapi engkau tahu kepandaianmu masih rendah, seharusnya engkau
giat belajar kepandaian yang tinggi, carilah bu lim ko ciu (orang
berkepandaian tinggi rimba persilatan) untuk belajar kepandaian
yang tinggi."
Siau Liong diam, tak menyahut.
Mendadak Se Pit Han teringat sesuatu.
"Saudara Hek, aku masih belum tahu siapa suhu (guru) mu.
Bolehkah engkau memberitahukan?"
"Siaute tidak punya guru."
"Kalau begitu, kepandaianmu berasal dari keluarga?"
61 Siau Liong mengangguk.
"Tuan Muda Hek." sela Se Khi mendadak. "Bolehkah Se Khi
mengajukan satu pertanyaan?"
"Boleh. Silakan!"
"Apakah sejurus pedang itu juga berasal dari keluarga?"
Ternyata ini yang ditanyakan Se Khi.
Siau Liong menggelengkan kepala.
"Bukan, melainkan Bu Beng Lo jin yang mengajar padaku."
"Tuan Muda tidak tahu nama orang tua itu?" tanya Se Khi heran.
"Kalau aku tahu, tentunya tidak akan menyebutnya Bu Beng Lo
jin lagi."
"Emmh!" Se Khi manggut-manggut. "Oh ya, apakah nama jurus
pedang itu?"
"Sudah berkali-kali aku bertanya pada orang tua itu, tapi dia
tidak mau beritahukan, hanya bilang kelak aku akan
mengetahuinya."
"Cuma sejurus saja?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Memang cuma sejurus."
"Se Khi," tanya Se Pit Han mendadak. "Engkau kenal jurus
pedang itu?"
"Se Khi cuma mendengar," jawab Se Khi hormat. "Namun kini
belum berani memastikan."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut.
Se Khi mengarah pada Siau Liong seraya bertanya.
"Orang tua itu tidak mengajarkan ilmu lain pada Tuan Muda?"
Tergerak hati Siau Liong, namun ia menggeleng-gelengkan
kepala. "Tidak," jawabnya.
Siau Liong berdusta. Ia memang harus berdusta demi menutupi
jati dirinya. Se Khi memakai kedok kulit manusia, maka orang lain tidak
dapat melihat bagaimana air mukanya. Namun sepasang matanya
penuh diliputi keheranan, pertanda ia sedang memikirkan sesuatu.
Bagian ke 9: Pelangi Seakan Dalam Khayalan
"Tuan Muda, mohon maaf Se Khi bertanya lagi," ujar Se Khi
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah berpikir sejenak. "Kini orang tua itu berada di mana?"
62 Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. Ia sama sekali tidak
mau berterus terang, khawatir jati dirinya akan ketahuan.
"Orang tua itu tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka aku
pun tidak tahu ia berada di mana sekarang."
Se Khi diam. Melihat Se Khi diam, Se Pit Han memandang Siau Liong sambil
tersenyum. "Saudara Hek, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu
pantas atau tidak mengatakannya."
"Jangan sungkan-sungkan, Saudara Se! Silakan katakan!"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum lembut. "Apa yang akan
kukatakan, mungkin akan menusuk perasaanmu. Maka kuharap
engkau tidak akan gusar."
"Legakanlah hatimu, Saudara Se!" Siau Liong menarik nafas.
"Aku tidak akan gusar, sebab aku tahu, perkataan yang menusuk
perasaan justru sangat bermanfaat bagi si pendengar."
"Oh?" Se Pit Han tertawa kecil. "Saudara Hek, sejurus pedangmu
itu memang hebat sekali, namun gerakannya agak lamban. Itu
disebabkan ilmu tenaga dalammu masih belum begitu mencapa
tingkat tinggi."
Siau Liong diam, tapi mendengarkan dengar penuh perhatian.
"Oleh karena itu," tambah Se Pit Han. "Kalau engkau ingin
menegakkan keadilan rimba persilatan, harus terus-menerus melatih
tenaga dalammu. Urusan lain harus dikesampingkan dulu. Carilah
orang tua berkepandaian tinggi rimba persilatan untuk belajar
kepandaian. Tentang siapa atasan Toan Beng Thong itu dan kenapa
ingin membunuhmu, kelak engkau boleh menyelidikinya."
"Jadi......" Siau Liong menatapnya. "Urusan disudahi begitu
saja?" "Tentu tidak disudahi begitu saja. Meskipun kini engkau ingin
menyudahi urusan itu, Toar Beng Thong dan atasannya pasti tidak
akan melepaskan dirimu. Untuk sekarang ini, kepandaianmu masih
sangat rendah. Seandainya engkau tahu siapa yang ingin
membunuhmu, itu juga percuma sebab".. engkau tidak mampu
melawan mereka. Maka alangkah baiknya kini engkau menghindar
dan bersabar dulu."
Se Pit Han menghentikan ucapannya sejenak dan memandang
Siau Liong. 63 "Asal engkau bisa belajar kepandaian tinggi tentunya kelak tidak
sulit cari mereka. Mengena Bun Jiu Kiong itu, juga tiada masalah
lagi. Saudara Hek, bagaimana perkataanku ini" Masuk akal tidak?"
"Saudara Se"..." Siau Liong terharu. "Memang benar apa yang
kamu katakan, tapi"..."
Siau Liong menatapnya sambil tersenyum getir, itu justru
membuat wajah Se Pit Han berubah dingin.
"Jangan bicara plintat plintut! Itu bukan sikap orang jantan."
tegur Se Pit Han tidak senang. "Mau bicara apa, cetuskan!"
Siau Liong menarik nafas panjang. "Memang aku berniat belajar
kepandaian tinggi, tapi harus ke mana cari orang tua rimba
persilatan yang berilmu tinggi?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han menatapnya dengan alis berkerut.
"Engkau takut susah?"
"Aku sama sekali tidak takut susah, bahkan mampu memikul
kesusahan apa pun."
"Bagus! Bagus!" Wajah Se Pit Han berseri, kelihatannya ia ingin
memberi petunjuk pada Siau Liong.
Itu tidak terlepas dari mata Se Khi. Maka ia cepat-cepat
mengirim suara ke telinga Se Pit Han. Itu ilmu Coan Im Jip Kip
(Penyampai suara) yang hanya dapat didengar oleh orang yang
bersangkutan. "Tuan Muda Istana, budak tua mohon maaf mengingatkan, Tuan
Muda Istana harus mempertimbangkan sekali lagi, jangan ceroboh!"
Ternyata Se Pit Han tuan muda istana. Istana apa" Mungkinkah
istana lemah lembut itu"
"Se Khi," sahut Se Pit Han. Ia juga menggunakan ilmu
penyampai suara. "Bagaimana menurutmu" Dia pemuda baik kan?"
"Pandangan Tuan Muda memang tidak salah, dia memang
pemuda baik, bahkan sangat berbakat."
"Kalau begitu......" Se Pit Han tersenyum. "Itu tidak jadi
masalah." Usai berbicara dengan Se Khi, Se Pit Han segera memandang
Siau Liong dengan mata berbinar-binar.
"Siau Liong, pernahkah engkau mendengar Cai Hong To (Pulau
Pelangi)?" tanyanya dengan suara rendah.
"Cai Hong To?" Sepasang mata Siau Liong menyorot aneh. "Saya
pernah mendengar mengenai pulau misteri itu. Kenapa Saudara
mendadak menyinggung pulau itu?"
64 "Tahukah engkau, terletak di mana pulau itu?"
"Lam Hai." Siau Liong menatapnya. "Saudara tahu jelas di mana
pulau Cai Hong itu?"
"Aku"..." Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak
tahu, tapi"..."
Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya, melainkan menatap
Siau Liong dengan penuh perhatian, setelah itu barulah melanjutkan.
"Kebetulan engkau menuju ke Lam Hai, maka alangkah baiknya
engkau cari pulau itu juga. Siapa tahu engkau berjodoh dengan
pulau itu."
"Terimakasih atas petunjuk Saudara!" ucap Siau Liong hambar.
"Setibaku di Lam Hai, aku pasti mencoba mengadu nasib untuk
mencari pulau itu."
Siau Liong tampak begitu hambar, pertanda tidak begitu
berharap. Se Pit Han tertegun menyaksikannya. Siapa yang
mendengar nama Pulau Pelangi pasti akan memperlihatkan wajah
serius. Namun sebaliknya Siau Liong malah tampak begitu hambar,
sungguh di luar dugaan Se Pit Han.
"Saudara Hek, engkau tampak begitu hambar, apakah tidak
tertarik pada Pulau Pelangi ataukah tidak yakin dan tidak punya
harapan untuk mencapainya?"
"Terus terang, Pulau Pelangi boleh dikatakan merupakan
semacam dongeng dalam kang ouw, maka aku tidak begitu
berharap"..."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menatapnya tajam.
"Kalau aku yakin dan sangat berharap, bagaimana seandainya
tidak tercapai" Bukankah akan menjadi putus asa?" lanjut Siau
Liong. "Aku justru tidak menghendaki itu."
Memang benar apa yang dikatakan Siau Liong, maka Se Pit Han
diam saja. Lagi pula ia pun tidak boleh berterus terang pada Siau
Liong, hanya sekedar memberi petunjuk saja.
Hening beberapa saat lamanya, kemudian mendadak Se Pit Han
mengalihkan pembicaraannya.
"Mungkin tidak lama lagi Toan Beng Thong akan pulang, lebih
baik kita segera pergi, agar tidak terjadi keributan di sini."
Se Pit Han bangkit berdiri, kemudian mengarah pada kedua
pemuda berbaju hijau yang duduk tak jauh dari situ, setelah itu ia
memandang Siau Liong.
"Saudara Hek, mari kita pergi!" ujarnya sambil tersenyum.
65 Siau Liong tampak ragu, tetapi berselang sesaat ia manggutmanggut
sambil bangkit berdiri. Setelah Se Khi menaruh setael perak
di atas meja, mereka bertiga lalu meninggalkan rumah makan Si Hai
itu. Kedua pemuda berbaju hijau juga ikut pergi, bahkan mengikuti
mereka dari belakang. Siapa kedua pemuda berbaju hijau itu"
Kenapa mereka berdua mengikuti Se Pit Han, juga kenapa tadi Se Pit
Han mengarah pada mereka berdua"
Itu sungguh mengherankan, bahkan agak luar biasa pula.
Namun kalau dijelaskan, itu tidak akan mengherankan maupun luar
biasa lagi. Karena kedua pemuda berbaju hijau itu pengawal Se Pit
Han. Berhubung Se Pit Han ingin berkenalan dengan Siau Liong,
maka ia menyuruh mereka berdua duduk di tempat lain.
Kalau begitu, bagaimana jati diri Se Pit Han" Tentunya
berderajat sangat tinggi sebab Se Khi memanggilnya Tuan Muda
Istana. Selain Se Khi dan kedua pemuda berbaju hijau, masih ada
delapan pemuda yang berilmu tinggi, terutama ilmu pedang.
Keluar dari rumah makan Si Hai, mereka langsung menuju
Rumah penginapan Sia Ping. Begitu sampai di rumah penginapan itu
Se Pit Han pun memesan beberapa buah kamar.
Se Pit Han dan Siau Liong duduk berhadapan di dalam kamar
rumah penginapan Sia Ping tersebut. Tampak pula kedua pemuda
berbaju hijau berdiri di belakang Se Pit Han.
Kini Se Khi telah melepaskan kedoknya. Ternyata ia seorang tua
berusia tujuh puluh limaan yang rambut dan jenggotnya telah putih
semua. "Saudara Se," ujar Siau Liong. "Kita baru berkenalan, namun
Saudara sedemikian baik terhadap aku"..."
"Saudara Hek," potong Se Pit Han sambil tersenyum. "Pepatah
mengatakan empat penjuru lautan adalah saudara. Itu memang
tidak salah. Lagi pula bertemu merupakan jodoh. Kita sudah jadi
teman, maka tidak perlu sungkan-sungkan."
Siau Liong manggut-manggut.
"Mulai sekarang," tambah Se Pit Han sungguh-sungguh. "Aku
tidak mau dengar ucapanmu yang bernada sungkan lagi. Kalau
masih begitu lebih baik kita jangan menjadi teman."
"Baiklah." Siau Liong mengangguk lagi. "Aku menurut, mulai
sekarang aku tidak akan sungkan sungkan lagi."
66 "Bagus." Se Pit Han tertawa kecil. "Saudara Hek, itu sifat jantan
seorang pendekar di bu lim."
"Saudara Se, ucapanmu membuatku menjad malu hati." wajah
Siau Liong kemerah-merahan.
"Oh, ya?" Se Pit Han menatapnya. "Kalau begitu, engkau harus
dihukum." "Apa?" Siau Liong terbelalak. "Kenapa aku harus dihukum?".
"Karena".. telah menyinggung perasaanku."
"Itu"..." Siau Liong menarik nafas. "Cara bagaimana Saudara
menghukumku?"
"Aku akan menghukummu dengan cara......" Se Pit Han
tersenyum serius. "Lain kali saja aku akan menghukummu."
"Kenapa harus lain kali?"
"Karena sekarang belum waktunya."
"Baiklah." Siau Liong mengangguk sambil ter senyum. "Lain kali
aku pasti menerima hukuman itu."
Se Pit Han tertawa lebar, lalu mengarah pada Se Khi yang duduk
tak jauh dari situ.
"Se Khi! Cepat panggil Pat Kiam (Delapan Pedang) ke mari!"
ujarnya bernada perintah.
"Ya, budak tua terima perintah," sahut Se Khi hormat. Orang tua
itu segera melangkah pergi.
"Saudara Se," tanya Siau Liong heran. "Siapa Pat Kiam itu"
Apakah mereka bawahanmu?"
"Mereka ahli pedang didikan ayahku." Se Pit Han
memberitahukan.
"Kalau begitu, ilmu pedang mereka pasti tinggi sekali. Ya, kan?"
tanya Siau Liong bernada kagum.
Se Pit Han tidak menyahut, hanya manggut-manggut. Sebab
kalau ia memberitahukan tentang ilmu pedang delapan orang itu,
Siau Liong pasti tidak akan percaya. Karena Se Pit Han diam, maka
Siau Liong pun bertanya lagi.
"Saudara Se, bagaimana Pat Kiam dibandingkan dengan
Pendekar Pedang Yan San?"
Se Pit Han menatapnya, kemudian balik bertanya.
"Saudara Hek, apakah ilmu pedang Pendekar Pedang Yan San itu
sangat tinggi?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
67 "Pernahkah engkau menyaksikannya?" tanya Se Pit Han
mendadak. "Tidak pernah, hanya pernah dengar," jawab Siau Liong jujur.
"Ooh!" Se Pit Han manggut-manggut, lalu tertawa mendadak.
"Saudara Hek, engkau ingin membuka mata?"
"Maksud Saudara?"
"Dari sini ke Yan San tidak begitu jauh, mari kita ajak Pat Kiam
ke sana untuk bertanding! Nah, bukankah engkau bisa membuka
mata menyaksikannya?"
Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin."
"Kenapa?" tanya Se Pit Han.
Siau Liong menarik nafas panjang seraya menyahut.
"Dengar-dengar Pendekar Pedang Yan San telah mati."
"Oh"..?" Se Pit Han mengernyitkan kening.
Pada waktu bersamaan, di pintu kamar telah muncul Se Khi
bersama delapan pemuda yang mengenakan baju biru.
"Lapor pada Tuan Muda!" seru Se Khi hormat. "Pat Kiam sudah
datang." "Masuk!" sahut Se Pit Han serius dan berwibawa.
Se Khi melangkah duluan, delapan pemuda berbaju biru
mengikuti dari belakang menghampiri Se Pit Han.
"Pat Kiam memberi hormat pada Tuan Muda!" ucap salah
seorang pemuda berbaju biru sambil menjura hormat.
"Ngmm!" Se Pit Han manggut-manggut. "Kalian cepat beri
hormat pada Tuan Muda Hek!"
"Pat Kiam memberi hormat pada Tuan Muda Hek!" ucap pemuda
berbaju biru itu lagi, ternyata ia pemimpin Pat Kiam.
"Kalian tidak usah berlaku begitu hormat!" Siau Liong salah
tingkah. Setelah memberi hormat pada Siau Liong, Pat Kiam pun berdiri
di sisi Se Pit Han, seakan sedang menunggu perintah.
"Kalian ingin mengembangkan kepandaian masing-masing?"
tanya Se Pit Han mendadak pada Pat Kiam.
Wajah Pat Kiam tampak berseri, tapi tiada seorang pun berani
menjawab. Mereka tetap berdiri mematung di tempat.
"Kenapa kalian diam saja?" tanya Se Pit Han sambil memandang
pemimpin Pat Kiam. "Huai Hong, jawablah!"
"Huai Hong memang ingin sekali mengembangkan ilmu pedang
yang telah lama dipelajarinya, tapi".. tapi......"
68 Huai Hong tidak melanjutkan ucapannya, ia tampak ragu.
Se Pit Han malah tersenyum.
"Tapi tiada kesempatan kan?"
"Ya." Huai Hong mengangguk hormat.
"Kalau begitu, aku ingin menyampaikan kabar gembira untuk
kalian." Se Pit Han menatap mereka. "Malam ini kemungkinan kalian
punya kesempatan itu."
Bagian ke 10: Menyambut Serangan
Betapa gembiranya Pat Kiam itu. Mata mereka berbinar-binar
saking girangnya mendengar kabar tersebut. Sejak mereka lulus
belajar ilmu pedang. sama sekali tidak pernah bertarung dengan
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan, maka malam ini"...
"Tapi aku harus mengingatkan kalian." ujar Se Pit Han serius.
"Orang yang akan ke mari malam ini, kepandaiannya cukup tinggi.
Kalau tidak terpaksa, janganlah kalian sembarangan melukainya!
Mengerti kalian?"
"Kami mengerti," sahut mereka serentak dengan hormat.
"Bagus!" Se Pit Han manggut-manggut, kemudian bertanya pada
Se Khi, "Sudah waktu apa sekarang?"
"Sudah lewat jam dua malam," jawab Se Khi memberitahukan
dengan sikap hormat.
"Ng!" Se Pit Han mengangguk perlahan, lalu mengarah pada
Huai Hong. "Kalau perhitunganku tidak salah, sekitar jam empat
subuh pihak lawan akan ke mari. Sekarang masih ada waktu,
sebaiknya kalian beristirahat."
"Ya," sahut Huai Hong sambil menjura, kemudian bertanya,
"Maaf, Tuan Muda! Mohon tanya siapa lawan kita itu?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Aku pun cuma menduga, kemungkinan subuh nanti akan ada
orang ke mari cari gara-gara. Siapa orang itu, aku sendiri pun tidak
begitu jelas. Setelah orang itu datang, kalian bertanya langsung saja
padanya." Se Pit Han menjawab begitu, Huai Hong pun merasa tidak enak
untuk bertanya lagi. Ia dan saudara-saudara seperguruannya
memberi hormat pada Se Pit Han.
"Tuan Muda, kami mohon diri!" Huai Hong dan saudara-saudara
seperguruannya mengundurkan diri dari kamar itu.
69 Sementara Siau Liong terus mengerutkan alis sambil berpikir.
Setelah Pat Kiam pergi, ia pun segera bertanya.
"Saudara Se, sebetulnya ada apa?"
Pertanyaan yang tiada ujung pangkal itu membuat orang
bingung, tidak tahu apa yang ditanyakannya.
Akan tetapi, Se Pit Han berotak cerdas. Ia dapat menerka apa
yang ditanyakan Siau Liong. Namun ia berpura-pura tidak
memahami pertanyaan itu, dan malah balik bertanya.
"Memangnya ada apa?"
"Saudara yakin, subuh ini akan ada orang ke mari cari garagara?"
Siau Liong menatapnya.
"Saudara Hek." Se Pit Han tersenyum. "Engkau tidak percaya?"
"Bukan masalah tidak percaya." Siau Liong menggelenggelengkan
kepala. "Terus terang, aku merasa heran."
"Oh" Kenapa heran?"
"Saudara menerka subuh ini ada orang ke mari cari gara-gara,
tentunya telah menemukan sesuatu. Kalau tidak, bagaimana
mungkin saudara akan menerka begitu?"
Se Pit Han diam saja.
"Saudara Se, sebetulnya siapa yang akan ke mari cara garagara?"
tanya Siau Liong lagi.
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum sambil menggelenggelengkan
kepala. "Padahal sesungguhnya, aku sama sekali tidak
menemukan apa pun. Terkaanku itu berdasarkan hal-hal yang nyata
saja." "Oh?" Siau Liong tidak habis berpikir. "Saudara menerka
berdasarkan hal-hal yang nyata, kalau begitu, apa tujuan orang itu
ke mari" Tentunya Saudara tahu kan?"
"Aku memang tahu." Se Pit Han menatapnya. "Orang itu ke mari
dengan tujuan mencarimu, Saudara Hek!"
"Oh, ya?" Siau Liong menarik nafas. "Kalau begitu, orang itu
pasti Thi Sui Poa Toan Beng Thong."
"Seharusnya dia atau orang-orangnya," jawab Se Pit Han dan
menjelaskan agar Siau Liong mengerti. "Engkau orang yang harus
dibunuh atasannya, lagi pula Se Khi menyamar dirimu
memancingnya pergi, sekaligus memberinya sedikit pelajaran, maka
demi tugas dan sakit hati itu, dia pasti tidak akan melepaskanmu
begitu saja. Oleh karena itu, aku pun berkesimpulan bahwa subuh
ini, dia pasti menyuruh orang-orangnya ke mari."
70 Mendengar penjelasan yang masuk akal itu Siau Liong pun
manggut-manggut dan berpikir dalam hati.
"Tapi dia kok tahu aku berada di rumah penginapan ini?"
tanyanya. "Kota Ling Ni ini tidak besar. Asal dia menyuruh orang
menyelidikinya, pasti tahu engkau berada di sini."
"Oooh!" Siau Liong mengangguk.
"Se Khi!" Se Pit Han memandang orang tua itu. "Pat Kiam di luar
sudah cukup untuk menghadapi lawan-lawan itu, namun kita pun
harus berhati-hati, agar tidak dipermainkan pihak lawan. Kalau kita
dipermainkan, itu sungguh memalukan."
"Ya, Tuan Muda." Se Khi mengangguk.
"Sasaran mereka adalah Tuan Muda Hek," ujar Se Pit Han sambil
melirik Siau Liong. "Maka engkau harus melindunginya, urusan lain
engkau boleh tidak perduli."
"Budak tua terima perintah." Se Khi memberi hormat. "Harap
Tuan Muda berlega hati, budak tua pasti melindungi Tuan Muda
Hek, sekaligus bertanggung jawab tentang ini."
"Bagus." Se Pit Han tersenyum sambil manggut-manggut.
"Tapi"..." Se Khi menatap Se Pit Han, kelihatannya
mengkhawatirkannya. "Bagaimana dengan Tuan Muda sendiri?"
"Engkau tidak usah khawatir!" Se Pit Han tampak tenang sekali.
"Aku bisa menjaga diri sendiri."
"Tuan Muda"..." Se Khi memandangnya dengan mata
menyorotkan sinar aneh. "Apakah Tuan Muda sudah mengambil
keputusan, apabila perlu, Tuan Muda akan turun tangan sendiri?"
"Itu sudah pasti." Se Pit Han mengangguk. "Apabila perlu,
bagaimana mungkin aku cuma berpangku tangan?"
"Tapi"..." Se Khi menggelengkan kepala. "Budak tua tidak setuju
Tuan Muda turun tangan sendiri."
"Apa alasanmu, Se Khi?" tanya Se Pit Han dengan alis terangkat
tinggi. "Diri Tuan Muda bagaikan giok, tidak pantas bergebrak dengan
orang-orang kang ouw."
"Se Khi!" wajah Se Pit Han tampak serius. "Aku ingin bertanya,
untuk apa aku belajar ilmu silat" Kalau begitu, percuma aku memiliki
ilmu silat yang tinggi kan?"
71 "Tuan Muda"..." Se Khi menundukkan kepala. "Budak tua
khawatir Tuan Muda belum berpengalaman, gampang terperdaya
oleh lawan. Kalau terjadi begitu, budak tua......"
Se Pit Han tertawa kecil, ia memandang Se Khi seraya berkata,
"Tentunya Se Khi tahu bagaimana ilmu silatku, lagi pula masih
ada dua pengawal Giok Cing dan Giok Ling, apakah mereka berdua
akan membiarkan pihak lawan mendekati diriku" Pokoknya engkau
cukup menjaga Tuan Muda Hek saja, jangan sampai dia terjadi
sesuatu, itu adalah tanggungjawabmu."
Sementara Siau Liong cuma diam, dan terus mendengar
pembicaraan mereka.
"Itu tidak bisa, aku tidak mengabulkan," selanya.
Se Pit Han tertegun. Ia menatap Siau Liong dengan wajah heran.
"Kenapa tidak bisa" Dan".. engkau tidak mengabulkan apa?"
tanyanya. "Kenapa keselamatan diriku harus dipertanggungjawabkan pada
orang lain" Apakah aku tidak becus sama sekali menjaga diri
sendiri?" jawat Siau Liong dengan kening berkerut. "Perlukah diriku
dijaga dan dilindungi orang lain?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum. "Jadi maksudmu harus
menjaga dan melindungi diri sendiri?"
"Tidak salah." Siau Liong mengangguk. "Kalau diriku masih harus
dijaga dan dilindungi orang lain, apakah aku masih terhitung anak
lelaki?" "Oh?" Se Pit Han menatapnya tajam.
"Lebih baik kalian tidak usah mengurusi diriku," tandas Siau
Liong, ia tampak tidak senang.
"Saudara Hek, Se Pit Han masih menatapnya tajam. "Aku
pikir".. engkau sudah punya suatu rencana. Ya, kan?"
Siau Liong tersentak, namun tidak tersirat pada wajahnya, ia
kelihatan tenang-tenang saja.
"Saudara Se, bagaimana mungkin aku punya suatu rencana?"
sangkalnya sambil tersenyum hambar.
"Saudara Hek, engkau juga tidak perlu mengaku." Se Pit Han
tersenyum serius. "Bagaimana mungkin engkau dapat mengelabui
mataku?" "Saudara Se"..."
"Mengenai siapa atasan Toan Beng Thong," lanjut Se Pit Han.
"Dan kenapa mau membunuhmu, hingga saat ini engkau masih
72 penasaran. Maka engkau ingin bertarung dengannya, sekaligus
bertanya tentang itu. Dugaanku tidak meleset kan?"
Siau Liong terperanjat dan membatin. Sungguh lihay Se Pit Han,
apa yang kupikirkan, dia dapat menduganya dengan tepat. Siau
Liong menarik nafas, lalu manggut-manggut.
"Dugaan Saudara memang tidak salah, aku memang berpikir
begitu"..." Kemudian tambahnya, "Padahal aku menuruti nasihat
Saudara, memutuskan tidak akan mencarinya untuk menanyakan hal
itu. Tapi".. seandainya dia ke mari mencariku, tentunya aku pun
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu."
"Oh?" Se Pit Han tertawa dingin. "Saudara Hek, engkau sungguh
membuatku kecewa."
"Apa"!" Siau Liong tercengang. "Kok membuat Saudara kecewa"
Apakah aku tidak harus berpikir begitu?"
"Engkau berpikir begitu, tentu tidak bisa dikatakan tidak harus,"
Se Pit Han menatapnya dingin. "Namun berdasarkan bu kang
sekarang, masih bukan tandingan Toan Beng Thong."
"Oh?" Siau Liong mengerutkan kening. "Benarkah bu kang Toan
Beng Thong begitu tinggi, sehingga aku bukan tandingannya?"
"Se Khi pernah mengatakan kepandaiannya biasa-biasa saja.
Tapi engkau jangan beranggapan begitu, itu keliru besar."
"Maksudmu?"
"Se Khi memiliki tenaga dalam yang amat tinggi, begitu pula bu
kangnya. Maka jarang bertemu lawan yang setanding dalam bu lim.
Toan Beng Thong roboh dalam tiga jurus ditangannya, itu pertanda
Toan Beng Thong memiliki bu kang yang cukup lihay, masih di atas
tingkat Ling Ni Sam Hou. Mereka bertiga cuma mampu bertahan
sampai sepuluh jurus bertanding dengan Toan Beng Thong."
Siau Liong diam. Ia tidak percaya akan apa yang dikatakan Se Pit
Han. Tiba-tiba Se Khi berbatuk lalu mengarah pada Siau Liong
sambil tersenyum.
"Tuan Muda Hek, dalam bu lim terdapat kiu pay it pang
(sembilan partai satu perkumpulan). Menurutmu ketua partai mana
yang paling tinggi bu kangnya?"
"Siau Lim Pay disebut sebagai gudang bu kang bahkan juga
kepala dari partai lain, maka ketua Siau Lim Pay paling tinggi bu
kangnya," jawab Siau Liong tanpa ragu.
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut sambil tertawa. "Kini aku
akan omong besar. Liau Khong Taysu itu kalau bertanding denganku
73 cuma mampu bertahan sampai seratus jurus. Saudara Hek,
percayakah engkau?"
Siau Liong terbelalak, tentunya ia tidak percaya. Memang tidak
bisa menyalahkannya, sebab siapa pun tahu, betapa tingginya bu
kang Liau Khong Taysu, padri sakti itu. Maka bagaimana mungkin
Siau Liong akan percaya kata-kata Se Khi"
Se Khi mengetahui akan hal itu. Ia menatap Siau Liong tajam
seraya bertanya,
"Tuan Muda Hek, tidak percaya?"
"Aku tidak berani mengatakan tidak percaya. Namun tanpa
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, aku pun tidak berani
mengatakan percaya."
"Ooh!" Se Khi tersenyum. "Kalau begitu, sudah jelas Tuan Muda
Hek tidak percaya kan?"
Pada waktu bersamaan, mendadak terdengar suara sahutan
yang amat nyaring di luar pintu kamar.
"Ha ha ha! Aku pun tidak percaya!"
Air muka Se Khi langsung berubah.
"Siapa di luar" Sungguh berani mencuri dengar pembicaraan
kami!" bentaknya mengguntur.
"Ha ha! Aku pengemis kelaparan." terdengar suara sahutaan
lantang, kemudian berkelebat sosok bayangan dan muncullah
seorang pengemis tua berdiri di pintu. Badannya kurus pendek,
rambut awut-awutan dan berjenggot kambing. Namun sepasang
matanya bersinar tajam. Usia orang itu kira-kira tujuh puluhan.
Begitu melihat pengemis tua itu, seketika juga Se Khi tertawa
terbahak-bahak saking gembiranya.
"Kukira siapa yang memiliki bu kang begitu hebat, tidak tahunya
engkau pengemis tua!"
Ternyata Se Khi kenal pengemis tua itu, dan mereka pun tampak
begitu akrab. Sementara pengemis tua itu pun tertawa gelak. Suara tawanya
memekakkan telinga.
"Ha ha! tidak sangka kan, keparat Se?"
"Hei! Pengemis tua! Jangan kentut di sini!" tegur Se Khi. "Dirimu
sudah begitu bau"..."
"Oh, ya?" Pengemis tua tertawa, kemudian menengok ke sana
ke mari seraya bertanya, "Keparat Se, tadi engkau bilang".. majikan
muda kalian juga datang di Ting Goan?"
74 "Kalau tidak, bagaimana mungkin aku membawa Siang Wie
(Sepasang Pengawal) dan Pat Kiam jalan bersama?"
"Oh" Di mana majikan muda" Kok aku tidak melihatnya?"
pengemis tua tercengang.
"Ha ha! Pengemis bau!" Se Khi tertawa ngakak. "Jangan-jangan
sepasang matamu telah lamur!"
"Sialan!" caci pengemis tua sambil melirik kian ke mari, akhirnya
sepasang matanya memandang lekat-lekat pada Se Pit Han. "Eh"
Engkau"..."
"Pengemis bau!" Se Khi segera mengirim suaranya. "Jangan
membongkar jati dirinya!"
"Oh?" Pengemis tua menggaruk-garuk kepala.
Bagian ke 11: Tetua Perkumpulan Pengemis
Se Pit Han segera bangkit berdiri, lalu menjura memberi hormat
pada pengemis tua itu.
"Paman pengemis, aku memang Pit Han!"
"Haah"!" pengemis tua terbelalak, kemudian tertawa gelak. "Ha
ha ha! Engkau berdandan demikian, Paman tidak mengenalimu lagi!"
Apa maksudnya berdandan demikian" Tentunya mengandung
suatu arti. Pit Han mengerti, tapi Siau Liong tidak mengerti sama
sekali. Lagi pula ia tidak begitu memperhatikan pembicaraan
mereka. "Ha ha ha!" Pengemis tua masih terus tertawa. Setelah itu
mengarah pada Siau Liong, sekaligus bertanya pada Se Khi. "Keparat
Se, siapa saudara kecil itu" Kok tidak diperkenalkan padaku?"
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pengemis bau, dia Tuan Muda Hek, teman baru tuan muda." Se
Khi memberitahukan.
"Oh?" Sepasang mata pengemis tua terus berkedip-kedip
mengarah pada Se Pit Han, itu membuat Se Pit Han tersipu.
Mengherankan, kenapa Se Pit Han tersipu"
"Tuan Muda Hek!" Se Khi memperkenalkan pengemis tua itu.
"Pengemis bau itu ketua perkumpulan pengemis masa kini,
tergolong salah satu orang aneh rimba persilatan, julukannya Si
Tongkat Sakti, Ouw Yang Seng Tek namanya."
Siau Liong terkejut bukan main. Ia sama sekali tidak menyangka
pengemis tua yang kurus pendek itu salah seorang dari tujuh orang
75 aneh rimba persilatan. Maka menilai orang jangan berdasar wajah
maupun bentuk badannya.
Siau Liong segera bangkit berdiri, lalu menjura hormat pada Ouw
Yang Seng Tek, pengemis tua itu.
"Boon pwe (Saya yang muda) memberi hormat pada Cian pwe
(Orang tua tingkat tinggi)!"
"Ha ha!" Pengemis tua itu tertawa terbahak-bahak. "Saudara
kecil, jangan banyak peradatan!"
"Ya, cian pwe" Siau Liong mengangguk.
Ouw Yang Seng Tek mengarah pada Se Pit Han. Ia mengedipkan
sebelah matanya seraya bertanya,
"Siau tit (Keponakan) bermaksud mengajak saudara Hek tinggal
di Lam Hai?"
Itu merupakan pertanyaan biasa, namun sangat luar biasa bagi
Se Pit Han dan Se Khi, sebab pertanyaan itu mengandung suatu arti
yang dalam. Begitu pengemis tua mengajukan pertanyaan tersebut,
wajah Se Pit Han pun tampak kemerah-merahan. Bukankah sungguh
mengherankan"
Se Pit Han menggelengkan kepala. "Aku tidak bermaksud begitu,
melainkan dia sendiri punya urusan ke Lam Hai."
"Oh?" Kening pengemis tua berkerut-kerut, kemudian bertanya
pada Siau Liong sambil menatapnya dalam-dalam. "Saudara kecil,
mau apa engkau ke Lam Hai?"
"Mohon maaf, lo cian pwe! Boan pwe punya kesulitan untuk
memberitahukan."
"Ngmm!" Pengemis tua manggut-manggut, lalu memandang Se
Pit Han. "Keponakan, dia temanmu, maka Paman ingin berunding
denganmu."
"Oh?" Se Pit Han dapat menduga apa maunya pengemis tua itu.
Ia tertawa-tawa. "Paman menghendaki agar jadi pengemis kecil?"
"Wah!" Pengemis tua tertawa gelak. "Engkau memang pintar,
Paman memang bermaksud begitu."
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Tidak bisa. Aku tidak setuju."
Pengemis tua tertegun. Ia menatap Se Pit Han dengan mata
terbeliak lebar, lalu berkedip-kedip.
"Kenapa" Jadi pengemis kecil pun bisa makan enak, kenapa
engkau tidak setuju?"
Se Pit Han menggelengkan kepala lagi.
76 "Kalau menjadikan dia pengemis, itu sangat menghina dirinya."
"Apa?" Pengemis tua melotot, namun kemudian tertawa
terbahak-bahak. "Engkau ingin mengangkat derajat dirinya dulu?"
"Aku tidak bermaksud begitu."
"Kalau begitu"..." Pengemis tua berpikir, lalu tersenyum. "Asal
dia tidak menyia-nyiakan harapan Paman, dalam waktu sepuluh
tahun, pasti akan menjadi kepala pengemis. Bagaimana
menurutmu?"
Kepala pengemis, tentunya ketua perkumpulan pengemis, itu
merupakan janji berat bagi Ouw Yang Seng Tek.
Seharusnya Se Pit Han segera mengangguk, tapi sebaliknya ia
malah menggelengkan kepala lagi. Itu membuat pengemis tua
terbengong-bengong.
"Eh, Pit Han!" Pengemis tua menggaruk-garuk kepala. "Itu juga
tidak boleh, lalu harus bagaimana baru boleh?"
Se Pit Han tidak menyahut, melainkan mengarah pada Se Khi
seraya berkata dengan serius.
"Se Khi, beritahukanlah pada paman pengemis!"
Se Khi mengangguk, lalu memandang pengemis tua sambil
tertawa. "Jangan tertawa!" tegur Ouw Yang Seng Tek. "Cepatlah
beritahukan!"
"Pengemis bau, singkirkan saja maksud baikmu itu!" sahut Se
Khi. "Lho, kenapa?" Pengemis tua tampak penasaran sekali. "Keparat
Se, cepat jelaskan!"
"Tuan Muda akan mengaturnya." Se Khi memberitahukan.
"Ooooh!" Pengemis tua manggut-manggut mengerti akan
ucapan itu. Akan tetapi, yang bersangkutan malah tidak mengerti sama
sekali. Ia memandang Se Khi, memandang Ouw Yang Seng Tek, lalu
memandang Se Pit Han dengan penuh perhatian.
"Saudara ingin mengatur apa?" tanyanya.
Se Pit Han tidak menyahut, hanya tersenyum sekaligus balik
bertanya. "Coba engkau katakan, aku akan mengatur apa?"
"Eeh?" Siau Liong melongo. "Aku bertanya pada Saudara,
kenapa Saudara malah balik bertanya?"
77 "Aku tahu engkau bertanya padaku, namun aku harus bertanya
pada siapa?"
"Haah?" Siau Liong terbelalak. "Saudara Se, jangan membuatku
bingung!" "Aku tidak membuatmu bingung kok."
"Tapi......" Siau Liong mengerutkan kening. "Se lo jin keh
mengatakan begitu, itu berdasarkan kemauanmu kan?"
"Aku memang menyuruhnya bicara, tapi tidak menyuruh
mengatakan begitu."
"Oh?" Siau Liong tampak penasaran. "Kalau begitu, Saudara
menghendaki mengatakan apa?" Se Pit Han tersenyum.
"Saudara Hek, tanyalah langsung pada Se Khi!"
"Hm!" Tanpa sadar Siau Liong mendengus dingin, kemudian
mengarah pada Se Khi. "Lo jin keh, mohon penjelasan tentang itu!"
Pada waktu bersamaan, Se Khi telah menerima suara dari Se Pit
Han, maka ia segera tersenyum.
"Tuan Muda masih ingat kami pernah menyinggung mengenai
Pulau Pelangi itu?" Siau Liong mengangguk.
"Lo jin keh masih ingat itu."
"Oleh karena itu".." ujar Se Khi serius. "Tuan Muda kami
menghendaki Tuan Muda Hek mencari Pulau Pelangi itu, kalau Tuan
Muda Hek telah tiba di Lam Hai. Apakah itu bukan merupakan suatu
pengaturan?"
"Oh" Sungguhkah itu merupakan pengaturan?" tanya Siau Liong.
"Ha ha ha!" Mendadak Ouw Yang Seng Tek tertawa terbahakbahak
sambil menyela. "Saudara kecil, itu memang merupakan
pengaturan, bahkan aku berani menjamin, engkau pasti dapat
mencari Pulau Pelangi itu, tidak akan"..."
"Paman pengemis!" potong Se Pit Han cepat, sekaligus
menegurnya. "Kok Paman jadi banyak omong?"
"Eh" Itu..... ini".." pengemis tua tergagap. Siau Liong tergerak
hatinya. Ia menatap pengemis tua itu seraya bertanya sungguhsungguh.
"Lo cian pwe, apakah itu benar?"
"Apa yang benar?" Pengemis tua balik bertanya, kemudian
memandang Se Pit Han sambil menyengir.
"Pengemis bau!" sela Se Khi mengalihkan pembicaraan. "Kenapa
engkau datang di Kota Ling Ni ini?"
Sepasang bola mata Ouw Yang Seng Tek berputar-putar.
"Kenapa" Kalian boleh ke mari, apakah aku tidak boleh datang?"
78 "Coba omong yang sesungguhnya!" Se Khi tertawa. "Ada apa
engkau datang di Kota Ling Ni?"
"Kalian ingin tahu?"
"Tentu."
"Begini"..." Pengemis tua tampak sungguh-sungguh. "Ketika aku
kebetulan lewat di kota ini, ada laporan dari pemimpin cabang Kay
Pang (Perkumpulan Pengemis) di sini, bahwa rumah penginapan ini
telah kedatangan belasan orang bu lim yang tak jelas alirannya,
maka aku ke mari untuk melihat-lihat. Sungguh tak terduga,
ternyata majikan muda dan engkau keparat Se!"
"Oooh!" Se Khi manggut-manggut.
"Keparat Se, engkau sungguh tidak beres," tegur Ouw Yang
Seng Tek, pengemis tua mendadak.
"Eeh?" Se Khi tertegun. "Pengemis bau, apa yang tak beres pada
diriku?" "Engkau mendampingi majikan muda memasuki Tiong Goan,
kenapa engkau tidak menyuruh pimpinan Cabang Kay Pang
memberitahukan padaku" Apakah engkau khawatir aku tidak mampu
menjamu kalian semua?" sahut pengemis tua sambil menudingnya.
"Dasar keparat Se!"
"Ha ha ha!" Se Khi tertawa gelak. "Hei, pengemis bau! Memang
bukan masalah memberitahukanmu, tapi kami yang akan menjadi
susah." "Apa?" Pengemis tua melongo. "Kok kalian yang menjadi susah!
Memangnya kenapa?"
"Pengemis bau!" Se Khi menarik nafas panjang. "Aku mau tanya,
setelah engkau tahu kedatangan kami di Tiong Goan, bukankah
engkau juga akan menyampaikan kepada Ketua perkumpulan
pengemis?"
Pengemis tua manggut-manggut.
"Itu sudah pasti. Kalau cuma engkau seorang, tentunya aku
tidak akan menyampaikan. Tapi Pit Han baru pertama kali datang di
Tiong Goan, itu lain."
"Kalau begitu, aku mau bertanya lagi......" Se Khi menatapnya.
"Keparat Se! Kenapa engkau menjadi plintat-plintut" Mau
bertanya apa, tanyalah! Jangan seperti gadis pingitan!"
"Kok sewot?" Se Khi melototinya. "Kalau Kay Pang Pangcu tahu,
dia akan bagaimana?"
79 "Tidak usah bilang lagi, dia pasti memberi perintah pada
pimpinan cabang untuk menyambut kedatangan kalian di Tiong
Goan, sekaligus menjamu kalian pula."
"Oleh karena itu, tentunya sangat menyusahkan kami."
"Kenapa menyusahkan kalian?"
"Kami tidak bisa bergerak dengan bebas, bahkan tidur dan
makan pun pasti diaturnya."
"Itu sudah pasti." Pengemis tua tertawa terbahak-bahak. "Dia
memang harus menghormati kalian."
"Sebetulnya itu tidak menjadi masalah."
"Lalu apa yang menjadi masalah?"
"Itu tentunya akan diketahui orang-orang bu lim, bahkan juga
akan mencurigai jati diri kami. Oleh karena itu, kami pun menjadi
sorotan mereka. Nah, bukankah itu akan menyusahkan kami?"
Apa yang dikatakan Se Khi masuk akal dan beralasan. Lagipula
Perkumpulan Pengemis, berkedudukan tinggi dalam bu lim. Partai
Siau Lim pun tidak berani meremehkan perkumpulan tersebut.
Maka seandainya perkumpulan pengemis itu menyambut
kedatangan mereka secara istimewa dan luar biasa, bukankah akan
menggemparkan bu lim.
"Itu......" Ouw Yang Seng Tek menggeleng-gelengkan kepala
sambil tertawa. "Keparat Se, kenapa engkau semakin tua semakin
tak mempunyai nyali?"
"Pengemis bau!" Se Khi serius. "Itu bukan lantaran aku semakin
tua semakin tak mempunyai nyali, melainkan tidak ingin
menimbulkan kerepotan."
"Oh, ya?" Pengemis tua tertawa gelak. "Keparat Se, apa yang
engkau katakan itu, memang masuk akal......"
Ucapan pengemis tua terhenti, karena pada waktu bersamaan
terdengar suara bentakan di luar.
"Siapa" Ayoh berhenti! Mau apa ke mari?" Itu suara Huai Hong,
pemimpin Pat Kiam.
"Hmmm!" terdengar dengusan dingin. "Cepat menyingkir, bocah!
Aku ada urusan di sini, engkau jangan turut campur!"
Ouw Yang Seng Tek mengerutkan kening. Sepasang matanya
menyorot tajam, dan tiba-tiba badannya bergerak siap melayang ke
luar. Akan tetapi, tangan Se Khi bergerak lebih cepat menahan badan
pengemis tua itu.
80 "Pengemis bau, engkau mau berbuat apa?" tanyanya.
"Aku mau ke luar melihat-lihat, siapa yang begitu berani ke mari
cari gara-gara" Apakah mereka telah makan nyali beruang atau nyali
harimau?" "Engkau tidak perlu keluar, pengemis bau!" Se Khi
menggelengkan kepala.
"Kenapa?" pengemis tua tercengang.
"Di luar ada Pat Kiam, jangankan hanya datang lima orang,
ditambah lima orang lagi juga bukan tandingan Pat Kiam. Lebih baik
engkau duduk tenang di sini saja, biar mereka yang mengurusinya."
"Tapi"..." Pengemis tua kelihatan masih ingin ke luar.
"Pengemis bau, jangan turuti sifatmu yang tidak karuan itu!
Bersabarlah!" Se Khi menatapnya.
"Keparat Se......" Pengemis tua terpaksa duduk diam di tempat.
Se Khi tersenyum. Meskipun berada di dalam kamar, ia sudah
tahu ada berapa tamu yang tak diundang itu di luar. Dapat
dibayangkan, betapa tingginya tenaga dalam pengemis tua itu.
"Ei!" Pengemis tua penasaran. "Engkau tahu, siapa mereka itu?"
"Tidak perlu tanya!" sahut Se Khi. "Terus pasang kuping saja,
bukankah akan mengetahuinya?"
"Keparat Se"..." Wajah pengemis tua kemerah-merahan, lalu
memasang kuping untuk mendengarkan percakapan di luar.
"Bocah!" Suara orang itu bernada dingin. "Aku ke mari mencari
orang, tiada sangkut pautnya denganmu! Lebih baik engkau cepat
menyingkir! Jangan menghadang di depanku, itu cari penyakit!"
"Engkau mau cari siapa?" tanya Huai Hong nyaring, namun
bernada dingin.
"Bocah!" bentak orang itu. "Engkau tidak usah tahu aku mencari
siapa." "Kalau engkau tidak beritahukan, aku pun tidak akan beranjak
dari sini," tandas Huai Hong dengan wajah berubah dingin.
Orang itu tertawa terkekeh-kekeh, kemudian menuding Huai
Hong seraya membentak lagi. "Engkau ingin tahu, Bocah?"
"Sudah kukatakan dari tadi, tidak perlu bertanya lagi."
Orang itu kelihatan tidak mau berurusan dengan Huai Hong.
"Orang yang kucari bernama Hek Siau Liong." ujarnya
memberitahukan secara jujur.
81 Mendengar itu, Ouw Yang Seng Tek langsung mengarah pada
Siau Liong. Mulutnya bergerak ingin menanyakan sesuatu, namun
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keburu dicegah Se Khi.
"Jangan bertanya apa pun dulu! Terus pasang kuping saja
dengarkan percakapan di luar."
Ouw Yang Seng Tek terpaksa diam, ia mulai pasang kuping lagi
untuk mendengarkan percakapan di luar.
Terdengar suara tawa Huai Hong yang nyaring, menyusul
terdengar pula ucapannya yang dingin.
"Jadi kalian ke mari mencari Tuan Muda Hek" Ada urusan apa
kalian mencarinya?"
"Bocah! Itu urusanku! Engkau jangan turut campur!" sahut
orang itu tidak senang.
Huai Hong tertawa nyaring lagi, kemudian ujarnya sepatah demi
sepatah bernada dingin.
"Justru kami harus mencampuri urusan ini."
"Apa?" Orang itu mengerutkan kening. "Engkau dan dia adalah
teman?" "Aku dan Tuan Muda Hek bukan teman," sahut Huai Hong.
"Kalau begitu......" Orang itu menatap Huai Hong tajam. "Kenapa
engkau mencampuri urusan ini?"
"Karena......" Huai Hong menatapnya dingin. "Tuan Muda Hek
teman majikan kami, lagi pula saat ini mereka sedang bersama.
Maka kami tidak akan beranjak dari sini, bahkan juga pasti
mencampuri urusan ini. Engkau mengerti?"
"Oh?" Orang itu tertawa dingin. "Siapa tuan muda kalian itu?"
"Engkau tidak perlu tanya, percuma kami beritahukan. Sebab
engkau tidak kenal, juga engkau tidak berderajat tahu tentang itu,"
sahut Huai Hong dengan nada angkuh, sehingga membuat orang itu
naik darah. "He he he!" Ia tertawa terkekeh-kekeh. "Bocah! Engkau berani
omong angkuh di hadapanku?"
"Kenapa tidak?"
"Hm!" dengus orang itu. "Berdasarkan apa yang engkau katakan
barusan, berarti tuan muda kalian itu tergolong orang penting dalam
bu lim?" "Hmmm!" Huai Hong cuma mendengus dingin, namun tetap
menatap orang itu dengan tajam.
82 "He he he!" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh lagi. "Bocah!
Kenapa engkau diam saja tidak berani menjawab pertanyaanku?"
Bagian ke 12: Berkelebat Sinar Pedang
"Aku tidak berani menjawab?" Huai Hong tertawa nyaring. "Aku
harus menjawab apa?"
"Tuan muda kalian itu tergolong orang penting dalam bu lim?"
sahut orang itu parau.
"Jawabanku tetap seperti tadi."
"Bagaimana jawabanmu tadi, Bocah?"
"Engkau tidak berderajat untuk mengetahuinya."
"Oh?" Orang itu tertawa dingin. "Orang macam apa yang
berderajat tahu tentang diri tuan muda kalian itu" Cobalah engkau
beritahukan!"
"Percuma aku beritahukan, sebab kalau aku beritahukan,
nyalimu pasti langsung pecah!"
"Nyaliku nyali harimau, tidak akan pecah! Nah, Bocah!
Katakanlah!"
"Kalau begitu"..." Suara Huai Hong mengalun nyaring menusuk
telinga. "Baiklah, aku akan mengatakannya! Namun engkau harus
berdiri tegar dan pasang kuping. Hanya para pimpinan sembilan
partai dan ketua perkumpulan pengemis yang berderajat
mengetahui siapa tuan muda kami."
Sungguh jumawa ucapan Huai Hong, itu memang dapat
memecahkan nyali orang yang mendengarnya.
Namun siapa akan percaya" Begitu pula orang itu, sama sekali
tidak percaya akan apa yang dikatakan Huai Hong.
Bukan cuma tidak percaya, bahkan sebaliknya merasa dirinya
telah dipermainkannya, sehingga ia menjadi gusar.
"Bocah!" bentaknya sengit dengan wajah bengis. "Engkau berani
mempermainkan aku" Hm, engkau memang mau cari mampus!"
"Siapa yang mau cari mampus" Engkau atau aku?" Huai Hong
sengaja memanasi hati orang itu, agar cepat-cepat bertarung.
"Bocah"..." Mata orang itu mendelik saking gusarnya.
"Kalau engkau menganggapku mempermainkanmu, terserah."
Huai Hong tersenyum dingin.
Kegusaran orang itu telah memuncak, namun entah apa
sebabnya, mendadak ia malah jadi tenang.
83 "Bocah! Aku tidak mau berdebat denganmu! Cepatlah engkau ke
dalam dan suruh tuan mudamu menemuiku!"
"Hm!" dengus Huai Hong. "Enak saja engkau omong begitu!
Pikirlah baik-baik! Bagaimana derajat tuan muda kami, engkau tidak
berderajat bertatap muka dengannya!"
Sungguh mengherankan, orang itu masih bisa bersabar.
Kelihatannya ia memang tidak mau berurusan dengan Huai Hong.
"Apa derajat tuan mudamu?"
"Sudah kukatakan dari tadi, engkau tidak berderajat
menanyakan itu! Dasar tak tahu diri!"
"Bocah!" Sepasang mata orang itu berapi-api. Ia sudah tidak
dapat mengendalikan kegusarannya lagi. Wajahnya berubah
beringas sekaligus membentak mengguntur dan bengis. "Engkau
mau cari mampus, aku pasti mengabulkannya! Ayoh! Minggir!"
Se Pit Han dan yang lain yang berada di dalam kamar
mendengar suara 'Blang' yang amat dahsyat. Rupanya orang itu
telah melakukan serangan tangan kosong.
Tidak salah, orang itu memang telah menyerang Huai Hong
dengan tangan kosong, itu agar Huai Hong menyingkir. Akan tetapi,
Huai Hong justru membalas menyerangnya dengan tangan kosong
pula. Blam! Dua tenaga saling beradu, itu membuat masing-masing
terdorong mundur selangkah. Ternyata lwee kang (tenaga dalam)
mereka seimbang.
Meskipun begitu, air muka orang itu telah berubah hebat, dan
hatinya pun tersentak kaget.
Padahal Huai Hong baru berusia dua puluhan, sedangkan orang
itu berusia enam puluhan, bahkan tergolong orang berkepandaian
tinggi dalam lwee kang. Tapi Huai Hong mampu menangkis
serangan tangan kosongnya yang mengandung lwee kang tingkat
tinggi. Itu sungguh mengejutkan orang itu.
Masih ada empat orang berdiri di belakang orang itu. Ketika
menyaksikan kejadian itu, air muka mereka pun langsung berubah.
Empat pasang mata mengarah pada Huai Hong dengan terbelalak
lebar. Huai Hong menatap mereka dengan dingin.
84 "Sekarang kuperingatkan kalian, cepatlah kalian pergi sebelum
menemui ajal di sini! Kalau kalian tidak mau pergi, itu berarti kalian
cari mati!"
Mereka berlima memang sangat terkejut akan kehebatan lwee
kang Huai Hong. Namun karena mereka memikul tugas untuk
membunuhnya, maka sebelum berhasil, bagaimana mungkin mereka
berlima akan meninggalkan rumah penginapan itu"
"Bocah!" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh. "Tenaga pukulanmu
cukup lumayan, tapi tidak akan membuatku mundur! Sebaliknya aku
masih ingin mencoba kepandaianmu yang lain!"
Huai Hong tidak menyahut, cuma tersenyum dingin.
"Bocah! Beranikah engkau melawanku dengan senjata?" tanya
orang itu menantang dengan jumawa.
Tantangan ini tidak membuat Huai Hong gentar namun ia malah
girang karena sesuai dengan keinginan hatinya, ia ingin menjajal
ilmu pedang yang telah dipelajarinya.
"Kenapa tidak?" sahut Huai Hong dingin. "Ayoh, cepat cabut
senjatamu! Aku sudah siap melayanimu dengan senjata!"
Orang itu tertawa keras, lalu mendadak menggerakkan
tangannya. Seketika juga ia telah menggenggam sepasang gelang
baja yang bergemerlapan.
"Bocah! Kenapa engkau belum mencabut pedangmu?"
"Silakan engkau menyerang, barulah aku mencabut pedang!"
Huai Hong tampak tenang sekali.
Ia berdiri tegak, sepasang matanya menatap orang itu dengan
tajam. Kelihatan sangat angkuh, tapi sesungguhnya ia sedang
pasang kuda-kuda.
Orang itu pun menatapnya tajam, kemudian tertawa terkekehkekeh
sambil menggoyang-goyangkan sepasang gelang bajanya.
Trinnng! Terdengar suara yang amat nyaring menusuk telinga.
"Bocah! Terimalah jurusku ini!" bentaknya sambil menyerang
Huai Hong secepat kilat dengan jurus Tong Ceng Pa Kou
(Membentur lonceng memukul gendang). Serangan itu disertai
dengan tenaga dalam yang amat dahsyat.
Sepasang alis Huai Hong terangkat, ia pun tertawa nyaring. Pada
waktu bersamaan, ia pun berkelit dengan jurus Hu Tiap Hui Uh
(Kupu-kupu menari), sekaligus pula ia mencabut pedangnya.
Seketika juga tampak berkelebat sinar yang berkilauan.
85 Trang! Tring! Suara benturan pedang dengan gelang baja,
bunga api pun berpijar.
Dalam waktu sekejap, mereka sudah bertarung belasan jurus.
Sepasang gelang baja itu berputar dan melayang ke sana ke mari.
Sinar pedang pun berkelebat menyilaukan mata. Mereka masingmasing
mengeluarkan jurus-jurus ampuh untuk menjatuhkan lawan.
Sementara itu, wajah orang-orang yang berada di dalam kamar
tampak serius. Se Pit Han mengerutkan sepasang alisnya.
"Se Khi! Bukankah orang itu Toan Beng Thong?"
Se Khi menggelengkan kepala.
"Suara Toan Beng Thong agak serak, lagi pula tidak memakai
senjata itu, maka orang itu bukan Toan Beng Thong."
"Dalam bu lim sekarang, siapa saja yang mahir menggunakan
sepasang gelang baja?" tanya Se Pit Han.
Se Khi berpikir sejenak, lalu menjawab sambil menggelengkan
kepala. "Itu".. budak tua tidak begitu jelas."
Se Pit Han diam, sedangkan Se Khi mengarah pada Ouw Yang
Seng Tek seraya berkata,
"Pengemis bau, tahukah engkau tentang itu?"
"Aku memang tahu ada beberapa orang yang mahir
menggunakan sepasang gelang baja," sahut pengemis tua. "Tapi
tidak berani memastikan bahwa itu mereka."
"Paman pengemis!" Se Pit Han menatapnya. "Kira-kira siapa
mereka itu?"
"Dulu pernah muncul lima bersaudara yang punya nama busuk
dalam bu lim," jawab pengemis tua setelah berpikir sejenak. "Mereka
berlima adalah Thai Hang Ngo Sat (Lima penjahat Thai Hang),
masing-masing bersenjata sepasang gelang baja. Tapi..... sudah
lama mereka menghilang dari kang ouw, sama sekali tiada kabar
beritanya lagi."
"Kalau begitu".." sela Siau Liong mendadak. "Kita tidak perlu
menerka di dalam kamar, keluar saja biar melihatnya."
"Betul." Pengemis tua mengangguk. "Ayoh! Mari kita ke luar
melihat-lihat!"
Pengemis tua langsung bangkit berdiri. Namun ketika ia baru
mau mengayunkan kakinya, Se Pit Han berseru menahannya.
"Jangan keluar, Paman!"
86 "Eh?" Pengemis tua melongo.
Se Pit Han menatap Siau Liong tajam, kemudian menegur
dengan nada agak gusar. "Engkau juga sih! Banyak ide!"
"Aku"..." Siau Liong menarik nafas.
"Saudara Hek!" Mendadak wajah Se Pit Han berseri, bahkan
tersenyum manis, membuat Siau Liong tertegun dan tidak habis
berpikir. Heran" Kenapa saudara Se suka marah-marah, tapi"..
ketika tersenyum, wajahnya cantik sekali dan".. tampak agak
manja. Kenapa begitu"
"Keponakan!" Pengemis tua tampak tidak senang. "Kenapa aku
tidak boleh keluar?"
"Paman pengemis adalah Si Tongkat Sakti, para penjahat pasti
pecah nyalinya jika melihat Paman. Maka kalau Paman keluar,
bukankah akan mengecewakan Pat Kiam?"
"Kok mengecewakan mereka?" Pengemis tua menggaruk-garuk
kepala. "Kenapa begitu?"
"Mereka tiada kesempatan lagi mencoba ilmu pedang yang
mereka pelajari." Se Pit Han memberitahukan.
"Oooh!" Pengemis tua manggut-manggut seraya tertawa,
"Ternyata begitu!"
"Betul." Se Pit Han mengangguk.
"Baiklah. Paman tidak akan keluar, tidak boleh menampilkan diri
sama sekali." Pengemis tua menggeleng-gelengkan kepala, lalu
duduk kembali. Mendadak terdengarlah suara tawa yang nyaring di luar. Se Khi
pun manggut-manggut dan tersenyum mendengar suara itu.
"Pengemis bau! Huai Hong telah menang!"
"Ngmm!" Ouw Yang Seng Tek mengangguk.
Di luar, orang yang sedang bertarung dengan Huai Hong,
semakin lama bertarung ia pun semakin terkejut. Ternyata mereka
bertarung sudah lebih dari tiga puluh jurus.
Sementara Huai Hong semakin lama bertarung semakin
bersemangat. Mendadak ia berteriak nyaring sekaligus menyerang
orang itu dengan jurus Hoa Ih Pian Hun (Warna-Warni Bunga
Hujan), yaitu jurus pedang yang amat ampuh.
Jurus itu membuat lawannya terperanjat bukan main. Cepatcepat
ia mengembangkan jurus simpanannya, Hong Khih In Yong
87 (Angin Berhembus Awan Beterbangan) untuk menangkis serangan
Huai Hong. Meskipun itu jurus simpanannya, tetapi tidak mampu juga
menghalau jurus pedang Huai Hong yang amat dahsyat itu. Ia
merasa dadanya dingin, ternyata dadanya telah tergores pedang,
darah pun merembes ke luar. Betapa terkejutnya orang itu, ia
langsung melompat mundur sejauh kira-kira delapan langkah.
Huai Hong masih ingat akan pesan Se Pit Han, yakni
melarangnya membunuh orang. Maka jurus Hong Khih In Yong itu
cuma menggores dada orang tersebut. Padahal sesungguhnya, jurus
itu dapat membelah badan lawan.
"Bocah!" Orang itu membentak, wajahnya telah menghijau.
"Ilmu pedangmu memang lihay, aku mengaku kalah kali ini! Kita
masih bisa bertemu, engkau berhati-hatilah!"
Usai berkata begitu, orang itu pun membalikkan badannya, lalu
melangkah pergi dan diikuti keempat temannya.
"Berhenti!" Hardik Huai Hong nyaring.
Orang itu berhenti, lalu menoleh memandang Huai Hong sambil
tertawa dingin.
"Bocah! Engkau mau bicara apa?" tanyanya.
"Engkau mau pergi begitu saja?" sahut Huai Hong dingin.
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Air muka orang itu berubah, dan menatap Huai Hong sekaligus
membentak berang.
"Aku sudah mengaku kalah, engkau masih mau apa?"
"Tidak mau apa-apa! Engkau tidak perlu tegang, hanya saja"..
aku belum tahu namamu! Apakah engkau tidak mau
memberitahukan namamu?"
"Seandainya aku tidak mau beritahukan?" sahut orang itu
bernada menantang.
Huai Hong tertawa dingin, lalu mengarah pada tujuh orang
saudara seperguruannya yang berdiri di belakangnya.
"Saudara-saudara, kepung mereka! Kalau tua bangka itu tidak
mau beritahukan namanya, janganlah kalian lepaskan mereka!
Terpaksa bunuh saja!"
"Ya." sahut ketujuh orang itu serentak. Mereka segera
mengambil posisi mengepung kelima orang itu, sekaligus mencabut
pedang masing-masing.
Cring! Suara pedang yang keluar dari dalam sarungnya.
88 Kelima orang itu tersentak, wajah mereka pun berubah. Orang
yang bertarung dengan Huai Hong itu, mendadak tertawa keras.
"Bocah! Yakinkah engkau dapat menghadang kami?" tanyanya
dingin. "Yakin!" sahut Huai Hong tanpa ragu.
Orang itu mengerutkan kening, kemudian tertawa terkekehkekeh.
"Jangan omong besar, Bocah!" ujarnya menyindir. "Kami
berlima......"
"Kalau engkau tidak percaya, boleh coba bertarung lagi!
Tapi"..." Huai Hong menatapnya dingin. "Engkau jangan menyesal!"
"He he he!" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh lagi. Kelihatannya
ia telah lupa akan luka di dadanya. "Tentunya kami ingin mencoba!"
"Baiklah! Silakan!" tantang Huai Hong.
"Serang!" seru orang itu, sekaligus bergerak cepat menyerang
keempat penjuru dengan sepasang gelang bajanya.
Keempat temannya juga tidak tinggal diam. Mereka pun
menyerang serentak pada tujuh pedang yang berdiri mengepung
dengan senjata berupa sepasang gelang baja pula.
Lima pasang gelang baja meluncur cepat bagaikan kilat. Pada
waktu bersamaan, terdengarlah bentakan nyaring, sinar pedang pun
berkelebat-kelebat. Ternyata Pat Kiam telah menangkis seranganserangan
itu dengan pedang masing-masing.
Trang! Trang! Suara benturan senjata yang amat nyaring
memekakkan telinga.
Tui Hong dan Kiam Hong menangkis, kedua saudara
seperguruan Huai Hong itu mulai mengembangkan jurus-jurus
pedang yang sangat dahsyat.
Lima pasang gelang baja melayang dan meluncur secepat kilat,
namun terhalau oleh sinar pedang yang berkelebatan.
Kelima orang itu terkejut bukan main setelah bertarung belasan
jurus, sebab hawa pedang sangat menekan, membuat nafas merasa
agak sesak. Cepat-cepatlah mereka menghimpun tenaga dalam
masing-masing untuk melawan hawa pedang tersebut.
Sementara Pat Kiam bertarung dengan penuh semangat. Jurus
demi jurus mereka kembangkan secara dahsyat, sekaligus
mengerahkan lwee kang pada pedang masing-masing, sehingga
pedang-pedang itu mengeluarkan hawa yang amat menekan pihak
lawan. 89 Bagian ke 13: Di Luar Dugaan
Trannng! Suara benturan senjata yang amat nyaring.
Tui Hong mundur tiga langkah, sedangkan pihak lawan justru
terpental lima langkah, bahkan terluka pula.
"Lo si (Saudara keempat), bagaimana lukamu?" tanya lo toa
(saudara tertua) dengan cemas. Ia sudah berhenti bertarung dengan
Huai Hong. "Ti... tidak apa-apa" jawab lo si dengan nafas terengahengah.
"Hanya luka tergores."
Mendadak Huai Hong tertawa dingin, ia menatap lo toa itu
seraya berkata dengan suara nyaring.
"Bagaimana" Kini engkau pasti sudah percaya, maka lebih
baik beritahukan nama kalian! Kalau masih tidak mau beritahukan,
nyawa kalian akan melayang!"
Lo toa diam saja, sukmanya seakan telah hilang lantaran
menyaksikan kehebatan Pat Kiam. Kemudian ia pun membatin. Kok
begitu lihay ilmu pedang kedelapan pemuda itu, sebenarnya siapa
mereka" "Bocah!" ujarnya mendadak. "Beranikah engkau
memberitahukan jati diri kalian?"
"Tua bangka!" Huai Hong tertawa dingin. "Bukan karena
tidak berani, melainkan engkau tidak berderajat mengetahuinya!
Namun...."
"Kenapa?" tanya lo toa cepat.
"Kalau engkau mau tahu namaku, akan kuberitahukan!"
sahut Huai Hong.
"Bocah! Asal engkau memberitahukan namamu, aku pun akan
memberitahukan nama kami!"
"Emmh!" Huai Hong manggut-manggut. "Coba dari tadi
engkau bilang begitu, temanmu pasti tidak akan terluka"
"Beritahukanlah nama kalian!" desak lo toa dengan wajah
dingin. "Tua bangka, dengarlah baik-baik!" Huai Hong
memberitahukan. "Kami berdelapan marga Se semua. Kami juga
dipanggil Pat Kiam namaku Huai Hong! Beritahukanlah nama kalian!"
"Ngmm!" Lo toa manggut-manggut. "Kami berlima adalah
Thai Hang Ngo Sat!"
90 Dugaan pengemis tua tidak meleset, kelima orang itu
memang lima penjahat Thai Hang yang sudah sekian tahun tiada
kabar beritanya.
Setelah lo toa memberitahukan julukan mereka, Huai Hong
pun tidak ingin mempersulit mereka lagi
"Kalau begitu, kalian boleh pergi sekarang!" Huai Hong
mengibaskan tangannya.
Ketika kelima orang itu baru mau melangkah pergi, mendadak
terdengar suara bentakan yang parau.
"Bun Fang! Kalian berlima jangan pergi dulu! Aku ingin
bertanya pada kalian!"
Suara berhenti, pengemis tua itu pun telah berdiri di
hadapan Thai Hang Ngo Sat.
Betapa terkejutnya kelima orang itu. Wajah mereka langsung
berubah pucat pias. Sialan! Caci lo toa dalam hati. Kenapa pengemis
tua itu berada di sini"
Begitu melihat kemunculan Ouw Yang Seng Tek, Pengemis Tua
Tongkat Sakti itu, Bun Fang pun segera menjura hormat.
"Ternyata Ouw Yang cian pwe! Kalau kami tahu cian pwe berada
di sini, kami berlima tidak berani"..."
"Bun Fang! Engkau jangan bermuka-muka di hadapanku!"
tandas pengemis tua. "Aku ingin bertanya, engkau harus menjawab
dengan jujur!"
"Silakan cian pwe bertanya, Bun Fang pasti menjawab dengan
jujur." Lo toa itu tidak berani macam-macam di hadapan pengemis
tua, sebab kalau ia macam-macam, nyawanya pasti melayang.
"Engkau masih tahu diri." Pengemis tua manggut-manggut.
"Apakah engkau dan Hek Siau Liong punya dendam?"
"Sama sekali tidak."
"Kalau begitu, kenapa kalian ingin membunuhnya?"
"Kami cuma melaksanakan perintah."
"Oh?" Pengemis tua mengerutkan kening. "Perintah dari siapa?"
"Toan Beng Thong," jawab Bun Fang memberitahukan. "Pemilik
Rumah makan Si Hai di kota Ling Ni."
"Bun Fang!" Pengemis tua melotot, kelihatannya ia kurang
percaya. "Engkau berkata sesungguhnya?"
"Harap lo cian pwe percaya, Bun Fang sama sekali tidak
bohong," sahut Bun Fang sungguh-sungguh.
91 Tapi pengemis tua malah tertawa dingin, dan menatap Bun Fang
tajam. "Thi sui pho Toan Beng Thong itu memang tergolong orang
berkepandaian tinggi dalam bu lim, namun dibandingkan dengan
kalian berlima, dia masih kalah jauh. Nah, bagaimana mungkin
kalian berlima akan menuruti perintahnya?"
"Apa yang dikatakan lo cian pwe memang tidak salah, Toan
Beng Thong masih tidak berderajat memberi perintah pada kami
berlima. Tapi, dia cuma mewakili seseorang memberi perintah pada
kami berlima."
"Oh?" Sepasang mata pengemis tua bersinar aneh. "Kalau
begitu, di belakangnya masih ada orang lain?"
Bun Fang mengangguk.
"Memang benar."
"Siapa orang itu?"
"Itu"..." Bun Fang menggelengkan kepala. "Kami tidak
mengetahuinya."
"Hei! Bun Fang!" bentak pengemis tua. "Sungguhkah engkau
tidak mengetahuinya" Jangan bohong!"
"Lo cian pwe, Bun Fang sungguh tidak tahu." Bun Fang
menundukkan kepala.
Kening pengemis tua berkerut-kerut, ia menatap Bun Fang tajam
seraya mengancam.
"Engkau ingin mencoba merasakan jari tanganku?"
Bun Fang tersentak, karena pengemis tua itu memiliki Tiam Hoat
(ilmu totok darah) yang amat luar biasa, yakni Cai Meh Niat Hiat
(membalikkan peredaran darah), Hun Lok Coh Kut (memisahkan
tulang) dan Ban Ih Cang Sim (Ribuan semut menggerogoti hati).
Ketiga macam ilmu totok darah itu sudah tersohor dalam bu lim
siapa yang terkena totokan itu, pasti tidak dapat bertahan.
"Harap lo cian pwe percaya!" Suara Bun Fang agak bergemetar.
"Bun Fang memang tidak tahu. Kalau lo cian pwe ingin membunuh
Bun Fang, Bun Fang pun tidak bisa apa-apa."
"Bun Fang!" Pengemis tua menatapnya tajam. "Tidak pernahkah
engkau melihat orang itu?"
"Pernah." Bun Fang mengangguk. "Tapi dia memakai semacam
kedok kulit manusia, maka tidak tahu bagaimana wajah dan
berapa usianya."
92 "Oh?" Pengemis tua mengerutkan kening. "Sangat tinggikah
ilmu silatnya?"
"Tinggi sekali."
Wajah Bun Fang serius, kelihatannya tidak berdusta.
Pengemis tua manggut-manggut, kemudian tanyanya dengan
suara parau. "Bun Fang! Sudah berapa lama kalian berlima memunculkan diri
di bu lim?"
"Sudah tiga bulanan."
"Selama tiga bulan ini, kalian berlima berada di mana?"
"Berada di ruang belakang Si Hai Ciu Lau itu?"
"Oh?" Pengemis tua menatapnya dalam-dalam. "Kalian berlima
tinggal di sana?"
"Ya."
"Tidak pernah ke tempat lain?"
"Tidak pernah."
"Bun Fang!" Tiba-tiba wajah pengemis berubah. "Pernahkah
kalian dengar tentang kejadian Ciok Lau San Cung (Perkampungan
Batu Loteng) di San Si?"
"Pernah." Bun Fang mengangguk. "Lo cian pwe menanyakan
itu, apakah ingin tahu siapa pembunuh itu?"
"Ng!" Pengemis tua manggut-manggut. "Tahukah kalian siapa
yang turun tangan itu?"
"Lo cian pwe, kami tidak tahu." Bun Fang menggelengkan
kepala. "Engkau tidak bohong?"
"Bagaimana mungkin Bun Fang berani membohongi lo cian
pwe?" jawab Bun Fang dan menambahkan, "Tapi ada dua orang
mengetahuinya."
"Oh?" Sepasang mata pengemis tua menyorot tajam. "Siapa
kedua orang itu?"
"Kedua orang itu adalah Thai Nia Siang Hiong (Sepasang Orang
Buas Lereng Bukit Thai Nia)."
Pengemis tua tampak tersentak, kemudian ujarnya bernada
heran. "Bukankah mereka berdua telah mati?"
"Itu kurang jelas." Bun Fang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau mereka telah mati, berarti kami berlima telah melihat arwah
mereka." 93 Ouw Yang Seng Tek mengerutkan kening. Ia tampak terpekur,
dan berselang sesaat ia bertanya.
"Di mana kalian berlima melihat mereka?"
"Mereka berdua juga berada di rumah makan Si Hai."
"Kapan mereka berdua berada di sana?"
"Setengah bulan yang lalu."
"Oh?" Pengemis tua mengerutkan kening sambil berpikir. "Kok
kalian tahu mereka berdua tahu tentang urusan ini?"
"Itu cuma mungkin, tidak pasti mereka berdua tahu."
"Bun Fang!" Pengemis tua menatapnya tajam. "Kalian tahu Thai
Nia Siang Hiong berada di mana sekarang?"
"Tidak begitu jelas." Bun Fang menggeleng-gelengkan kepala
dan melanjutkan, "Namun kami tahu mereka berdua menuju ke
timur." "Ngm!" Pengemis tua manggut-manggut. "Kalian berlima pernah
bertemu Siang Hiong itu, apakah kalian tidak bercakap-cakap
dengan mereka?"
"Tentunya lo cian pwe tahu bagaimana sifat Siang Hiong, siapa
pun akan menjauhi mereka. Maka bagaimana mungkin kami berani,
bercakap-cakap dengan mereka" Salah sedikit, nyawa kami pasti
melayang."
Tidak salah apa yang dikatakan Bun Fang, Thai Ma Siang Hiong
sudah ternama pada lima tahun yang lampau, mereka berdua
tergolong Pat Tay Hiong Jin (delapan orang buas) yang ternama
bersama Cit Tay Khi Jin (Tujuh Orang Aneh). Mereka berdelapan
berhati kejam dan sangat jumawa. Orang-orang Hek To (golongan
hitam) tiada satupun yang mau bergaul dengan mereka, karena
salah sedikit, nyawa pasti melayang.
"Bun Fang!" Wajah pengemis tua berubah serius. "Terimakasih
atas penjelasanmu!"
"Bun Fang tidak berani menerima ucapan terimakasih dari lo cian
pwe." Bun Fang segera menjura.
"Bun Fang!" Pengemis tua menunjuk Pat Kiam. "Aku
memperingatkan kalian, majikan mereka itu orang yang
berkepandaian amat tinggi. Hek Siau Liong adalah temannya. Maka
pulanglah kalian, dan beritahukan pada Toan Beng Thong, agar dia
menyampaikan pada orang yang di belakangnya itu. Lebih baik
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melepaskan Hek Siau Liong, kalau tidak"..."
94 Pengemis tua tidak melanjutkan ucapannya, melainkan
mengibaskan tangannya seraya berkata,
"Aku tidak perlu banyak bicara, kalian pergilah!"
"Terimakasih, lo cian pwe!" ucap Bun Fang, lalu mengajak
keempat saudaranya meninggalkan rumah penginapan itu.
Hek Siau Liong ingin menuju Lam Hai, kebetulan Se Pit Han mau
pulang ke Lam Hai. Tujuan mereka sama, maka Se Pit Han
mengajaknya berangkat bersama. Akan tetapi, Hek Siau Liong
menolak dengan berbagai alasan.
Se Pit Han tahu bahwa itu hanya alasan belaka, namun ia pun
tidak bisa mendesaknya agar berangkat bersama. Oleh karena itu,
Se Pit Han terpaksa berpisah dengan Siau Liong. Walau merasa
berat, namun apa boleh buat.
Ia menghadiahkan pada Siau Liong seekor kuda jempolan dan
ribuan tael perak. Semula Siau Liong menolak, tapi karena Se Pit
Han tampak marah, maka Siau Liong terpaksa menerimanya lalu
berangkat menuju Lam Hai dengan menunggang kuda pemberian Se
Pit Han itu. "Siau kiong cu (Majikan muda istana), tidak seharusnya engkau
membiarkannya berangkat seorang diri," ujar Se Khi setelah Siau
Liong berangkat.
"Dia telah mengambil keputusan itu, siapa yang dapat
menghalanginya?" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi"..." Se Khi mengerutkan kening. "Dia berangkat seorang
diri, itu sangat bahaya. Tidak sampai dua puluh li, pasti akan terkejar
oleh orang-orang suruhan Toan Beng Thong."
"Jangan khawatir!" Se Pit Han tersenyum.
"Maksud Siau kiong cu?" Se Khi menatapnya heran.
"Aku sudah memikirkan itu." Se Pit Han tersenyum lagi,
kemudian memandang Huai Hong seraya berkata, "Engkau, Huai
Hong, Tui Hong dan Kiam Hong segera merubah wajah dan harus
cepat-cepat menyusul Tuan Muda Hek untuk melindunginya sampai
di Lam Hai secara diam-diam!"
"Ya." Huai Hong memberi hormat.
"Huai Hong!" Mendadak wajah Se Pit Han berubah serius.
"Keselamatan Tuan Muda Hek berada di tangan kalian berempat,
maka kalian harus hati-hati melindunginya! Kalau terjadi sesuatu
atas dirinya"..."
95 Se Pit Han menatap mereka tajam, berselang sesaat baru
melanjutkan ucapannya dengan suara dalam.
"Kalian berempat tidak perlu menemuiku lagi."
Betapa terkejutnya Huai Hong dan ketiga saudaranya. Mereka
tumbuh besar bersama Se Pit Han, dan selama itu Se Pit Han sangat
baik dan lembut terhadap mereka, namun kali ini Se Pit Han begitu
tegas. Maka mereka pun tidak berani main-main.
Pat Kiam rata-rata berotak cerdas. Ketegasan Se Pit Han
membuat mereka menyadari satu hal.
"Harap Siau kiong cu berlega hati, Huai Hong dan ketiga saudara
pasti hati-hati melindungi Tuan Muda Hek, agar tidak terjadi sesuatu
atas dirinya," ujar Huai Hong berjanji.
"Bagus." Se Pit Han tersenyum. "Baiklah. Cepatlah kalian
merubah wajah masing-masing!"
"Ya." Huai Hong dan ketiga saudaranya langsung memberi
hormat, lalu melangkah pergi.
Sementara Ouw Yang Seng Tek cuma duduk diam dari tadi,
kemudian menarik nafas ringan seraya bergumam.
"Alangkah baiknya anak itu adalah dia"..."
Gumaman pengemis tua yang tiada ujung pangkalnya, membuat
Se Khi dan Se Pit Han tertegun.
"Paman pengemis, siapa yang dimaksud dia?" tanya Se Pit Han
heran. "Hian tit!" Pengemis tua menatapnya. "Pernahkah engkau
dengar tentang Ciok Lau San Cung di San Si?"
"Tidak pernah." Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Oh?" Pengemis tua mengerutkan kening.
"Siau tit dengar semalam, ketika Paman pengemis bertanya pada
Thai Hang Ngo Sat." Se Pit Han memberitahukan.
"Ngmm!" Pengemis tua manggut-manggut.
"Paman pengemis, Ciok Lau San Cung itu sangat ternama dalam
bu lim?" tanya Se Pit Han mendadak.
"Benar." Pengemis tua manggut-manggut lagi. "Pernahkah
engkau dengar, lima belas tahun yang lampau, muncul seorang
pendekar aneh yang berkepandaian sangat tinggi" Dia seorang diri
melawan Pat Tay Hiong Jin di lereng bukit Im San?"
"Maksud Paman pendekar aneh Pek Mang Ciu?" Sepasang mata
Se Pit Han tampak berbinar-binar.
96 "Tidak salah. Dia adalah majikan perkampungan Ciok Lau San
Cung." Pengemis tua memberitahukan.
"Oh?" Sekelebatan wajah Se Pit Han tampak berubah aneh.
Itu tidak terlepas dari mata pengemis tua. Maka pengemis tua
itu tergerak hatinya dan segera bertanya.
"Engkau kenal Pendekar Pek?"
"Hanya pernah dengar, tapi tidak pernah bertemu orangnya,"
jawab Se Pit Han dan bertanya, "Paman, apa yang terjadi di
perkampungan itu?"
"Aaaakh"..." Pengemis tua menarik nafas panjang.
"Perkampungan itu musnah, semua orang terbunuh, Pek Tayhiap
dan isterinya mati keracunan. Namun tidak tampak mayat Pek Giok
Liong, putra satu-satunya pasangan pendekar itu."
Mendengar sampai di sini, wajah Se Pit Han pun berubah hebat.
Itu sungguh mengejutkan pengemis tua.
"Hian tit kenapa engkau?"
Bagian ke 14: Tiada Jejak
Ternyata wajah Se Pit Han telah berubah pucat pias, sekujur
badan pun bergemetar seakan tidak kuat duduk. Seketika juga Giok
Cing dan Giok Ling, kedua pengawalnya memegangnya erat-erat.
Menyaksikan itu, pengemis tua terheran-heran dan bertanyatanya
dalam hati. Heran! Apa gerangan ini" Apakah Pek tayhiap
punya hubungan dengan Lam Hai" Tapi kok tidak pernah dengar
tentang itu"
"Mohon tenang, Tuan Muda!" ujar Se Khi serius.
Tak lama wajah Se Pit Han mulai kelihatan tenang, namun
sepasang matanya bersinar dingin.
"Se Khi, sudah lamakah engkau tahu tentang itu?"
"Lo nu (budak tua) juga baru tahu sekarang." jawab Se Khi.
"Siapa majikan Ciok Lau San Cung" Tentunya engkau tahu. Ya,
kan?" Se Pit Han menatapnya tajam.
Se Khi mengangguk hormat.
"Lo nu berterus terang, memang sudah lama lo nu tahu."
jawabnya dengan suara rendah.
"Oh?" Se Pit Han mendengus dingin. "Hm! Kalau begitu, kenapa
engkau tidak memberitahukan padaku?"
97 "Bukan lo nu tidak mau memberitahukan, melainkan kiong cu
(majikan istana) ada pesan pada lo nu, mohon Siau kiong cu,
memaafkan lo nu!"
"Tahukah engkau, kenapa ayah melarangmu memberitahukan
padaku?" tanya Se Pit Han dengan wajah dingin.
"Maaf!" ucap Se Khi sambil menggelengkan kepala. "Lo nu tidak
tahu tentang itu."
Sepasang alis Se Pit Han terangkat, kelihatannya ia sedang
berpikir keras.
"Kita harus bagaimana" Kini mereka telah terbunuh semua."
tanyanya kemudian.
"Ini".." jawab Se Khi agak ragu. "Menurut lo nu, kita harus
segera pulang melapor pada kiong cu.
"Bagaimana pandanganmu, apakah ayah akan turut campur?"
tanya Se Pit Han mendadak.
"Itu"..." Se Khi berpikir, lama sekali baru melanjutkan, "Menurut
lo nu, kemungkinan besar kiong cu akan turut campur."
Se Pit Han manggut-manggut, kemudian mengarah pada Yang
Hong, salah seorang Pat Kiam. "Yang Hong!"
"Ya, Siau kiong cu," sahut Yang Hong sambil memberi hormat.
"Yang Hong siap menerima perintah."
"Engkau harus segera pulang ke Lam Hai, lapor pada kiong cu
tentang semua ini!" Se Pit Han memberi perintah.
"Ya, Yang Hong terima perintah."
"Dan".." tambah Se Pit Han. "Beritahukan pada kiong cu, bahwa
sementara ini aku tidak pulang. Engkau pun harus bermohon pada
beliau agar beliau memerintahkan beberapa orang untuk
menyambut Hek kong cu. Setelah itu, engkau bergabung lagi
dengan Huai Hong. Mereka menuju ke"..."
Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya. Kemudian ia mengarah
pada Se Khi yang duduk diam itu seraya bertanya.
"Se Khi, mereka harus ke mana menemuiku?" Se Khi
mengerutkan kening. Ia tidak langsung menjawab, melainkan
menatap Se Pit Han tajam.
"Siau kiong cu, sementara ini tidak pulang, apakah berniat
menyelidiki para pembunuh itu?"
"Tidak salah." Se Pit Han manggut-manggut. "Aku harus
menyelidiki siapa pembunuh-pembunuh itu, agar bisa membalas
dendam pada mereka."
98 Se Khi tidak memperlihatkan reaksi apa pun. Namun orang tua
itu tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Siau kiong cu telah melupakan suatu persoalan yang amat
penting. Apakah Siau kiong cu memikirkan persoalan itu?" ujarnya
mengalihkan pembicaraan.
Se Pit Han tertegun. Ia menatap Se Khi dengan heran,
kelihatannya tidak tahu persoalan apa yang ditanyakan Se Khi.
"Persoalan apa yang amat penting?"
"Berkaitan dengan diri Siau kiong cu."
"Bukankah aku telah menyuruh Yang Hong pulang ke Lam Hai
untuk melapor pada ayah?"
Se Khi tersenyum, kemudian menggelengkan kepala.
"Menurut lo nu, persoalan yang amat penting sekarang ini, yakni
harus menyelidiki jati diri Hek kong cu."
Se Pit Han berpikir, lama sekali barulah ia menyadari sesuatu.
"Oh! Menurutmu, mungkinkah dia piaute (adik misan)?"
Mendengar sebutan adik misan, Ouw Yang Seng Tek, pengemis
tua itu pun mengerti.
"Sungguh di luar dugaan! Ternyata Pek tayhiap dan Lam Hai
adalah famili!" ujar pengemis tua dalam hati.
"Itu memang mungkin." Se Khi mengangguk. "Kini lo nu
membayangkan wajahnya dan sifatnya itu, memang mirip Pek
kouwya dan Hui Kouw."
"Oh?"
"Lagi pula dia menyebut dirinya marga Hek (hitam). Lawan kata
Hek adalah Pek (putih). Piauw Siau ya (tuan muda misan) bernama
Pek Giok Liong, Siau Liong mungkin nama kecilnya."
Walau itu cuma dugaan, namun sungguh masuk akal, maka
membuat pengemis tua menyela mendadak.
"Apa yang Saudara Se katakan itu memang tidak salah. Aku pun
menganggapnya memang Pek Siau Liong. Dia berangkat ke Lam Hai,
kemungkinan besar untuk mencari Pulau Pelangi. Tapi"..."
"Tapi kenapa?" tanya Se Pit Han.
"Paman tidak memahami satu hal," jawab pengemis tua sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hal apa?" Se Pit Han menatapnya.
"Dia ada hubungan famili dengan keluarga Hian tit, tapi kenapa
dia justru tidak tahu Hian tit berasal dari Lam Hai?" Kening pengemis
tua berkerut. 99 Apa yang dikatakan pengemis tua itu memang tidak salah, dia
adalah Pek Giok Liong. Bagaimana mungkin tidak tahu nama dan
marga ibunya"
"Kalau begitu"..," ujar Se Pit Han setelah berpikir sejenak. "Dia
bukan piaute."
"Menurut lo nu, dia justru Pek Giok Liong," sela Se Khi.
"Apa alasanmu?" tanya Se Pit Han. "Kenapa memastikan dia
piaute?" "Lo nu pikir kedua orang tuanya tidak mau menyinggung tentang
Lam Hai, itu demi menjaga rahasia. Maka piau Siau ya sama sekali
tidak tahu tentang itu," jawab Se Khi mengemukakan alasannya.
"Walau ini beralasan, tapi tidak masuk akal kalau kauw-kauw
(bibi) merahasiakan masalah itu terhadap anak sendiri," ujar Se Pit
Han. "Lagi pula menyangkut tempat tinggal dan marga nenek"..."
"Mungkin karena Houw kouw menganggap usia piauw Siau ya
masih kecil, khawatir tidak bisa menjaga mulut sehingga membuka
rahasia itu, maka sementara tidak memberitahukannya." Se Khi
memberi penjelasan.
Penjelasan tersebut memang masuk akal, maka Se Pit Han
manggut-manggut.
"Paman pengemis, bagaimana menurutmu?" tanyanya pada
pengemis tua. "Paman menganggap semua itu memang mungkin." Pengemis
tua tampak sungguh-sungguh dan melanjutkan, "Kalau dugaan kita
tidak meleset, maka keberangkatannya lebih membahayakan
dirinya." "Oh?" Se Pit Han menatapnya.
"Bukan Paman pengemis meremehkan Huai Hong berempat,
namun jelas mereka agak sulit melindungi keselamatannya."
Pengemis tua memberitahukan.
Apa yang dikatakan pengemis tua itu sangat mengejutkan Se Pit
Han, sebab pengemis tua tidak akan bicara sembarangan. Seketika
juga sepasang alis Se Pit Han terangkat.
Se Pit Han teringat pada Pek tayhiap dan isterinya. Meskipun ia
tidak pernah menyaksikan kepandaian Pek tayhiap, tapi Pek tayhiap
pernah seorang diri bertarung dengan Bu Lim Pat Tay Hiong Jin
(Delapan Orang Buas Rimba Persilatan). Berdasarkan itu ia dapat
membayangkan betapa tinggi kepandaian Pek tayhiap, namun tetap
100 masih juga bisa terbunuh. Lalu bagaimana dengan Huai Hong
berempat" Berpikir sampai di sini, wajah Se Pit Han langsung berubah pucat
dan tampak gugup.
"Nian Hong, engkau dan saudara-saudaramu harus segera
merubah wajah, lalu cepat-cepatlah berangkat menyusul Huai Hong.
Kalian semua harus melindungi Hek kong cu. Aku, Se Khi dan
sepasang pengawal akan menyusul kemudian."
Nian Hong menjura hormat.
"Nian Hong menerima perintah," sahutnya dan segera mengajak
saudara-saudaranya berdandan.
"Paman pengemis!" Se Pit Han memandangnya.
"Ada apa, Hian tit?" tanya pengemis tua cepat.
"Paman pengemis mempunyai rencana ke mana?"
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman ingin pergi mengejar Siang Hiong. Mereka dan Sam
Kuay (Tiga Siluman) dipukul jatuh di Ok Hun Nia (Lereng Bukit
Arwah Penjahat) oleh Pek tayhiap. Siang Hiong belum mati, maka
Sam Kuay kemungkinan masih hidup. Jangan-jangan kematian Pek
tayhiap dan isterinya itu karena perbuatan mereka sebagai
pembalasan dendam masa lalu."
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut. "Kemungkinan besar
memang begitu."
"Kalau benar itu perbuatan mereka, harap Paman pengemis
jangan bertarung dengan mereka, suruh seseorang memberitahukan
pada kami!" pesan Se Pit Han.
"Tapi"..." Pengemis tua tampak ragu.
"Paman pengemis!" Sepasang mata Se Pit Han berapi-api. "Aku
mau bersama piaute mencari mereka untuk membalas dendam
berdarah itu."
Se Khi mengerutkan kening mendengar ucapan itu, namun tidak
mengatakan apa pun. Ia memang tidak bisa mengatakan apa pun,
lebih-lebih mencegah Se Pit Han yang telah mengambil keputusan
itu. "Huaha ha ha!" Pengemis tua tertawa gelak. "Hian tit berlegalah
hati. Kalau benar itu perbuatan mereka, Paman pun tidak kuat
melawan mereka."
"Paman?""
"Itu benar." Lanjut pengemis tua. "Siang Hiong Sam Kuay
bergabung, Paman memang tidak akan kuat menghadapi mereka.
101 Namun kalau satu lawan Satu, Paman masih mampu meringkusnya.
Tapi Siang Hiong selalu sepasang, Sam Kuay pun tetap bertiga.
Mereka tidak pernah berpencar, maka Paman tidak akan bertindak
sembarangan. Seandainya Hian tit dan Hek kong cu bersatu untuk
membalas dendam berdarah itu, Paman pasti membantu."
"Terima kasih...... Paman!" ucap Se Pit Han sambil menjura.
"Hian tit tidak usah mengucapkan terima kasih." Pengemis tua
tertawa, namun kemudian menarik nafas panjang. "Sayangnya
Paman tidak kuat melawan mereka."
Memang tidak salah apa yang dikatakan pengemis tua itu. Kalau
satu lawan satu, pengemis tua itu pasti mampu meringkusnya, tapi
kalau dua lawan satu atau tiga lawan satu, pengemis tua itu pasti
tidak mampu melawan.
"Oh ya," tambah pengemis tua. "Mengenai Hek Siau Liong, Hian
tit harus menyelidikinya secara jelas. Kalau Hian tit sudah tahu jelas
jati dirinya, suruhlah seseorang memberitahukan pada Kay Pang
agar melapor pada Paman."
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Baiklah!"
"Baiklah. Paman mau mohon diri! Hian tit harus ingat, bahwa
dalam kang ouw banyak kelicikan, maka engkau harus berhati-hati,
dan jangan terlampu ceroboh."
"Terima kasih atas nasihat Paman pengemis!" ucap Se Pit Han
sambil tersenyum. "Siau tit pasti berhati-hati."
"Ngmm!" Pengemis tua manggut-manggut, lalu menjura pada Se
Khi. "Keparat Se, sudah lama engkau berkecimpung dalam kang
ouw, tentunya tahu bagaimana keadaan kang ouw. Nah, urusan apa
pun harus kau perhatikan. Aku tidak perlu banyak bicara, sampai
jumpa!" Suaranya belum hilang, namun orangnya telah hilang berkelebat
cepat bagaikan kilat meninggalkan rumah penginapan tersebut.
Dapat dibayangkan, betapa tinggi ginkang (ilmu meringankan tubuh)
orang itu. Huai Hong, Hui Hong, Tui Hong dan Kiam Hong memacu kuda
masing-masing secepat angin puyuh. Tak seberapa lama kemudian,
kuda-kuda mereka telah berlari lima puluhan li.
Akan tetapi, Huai Hong justru bercuriga dalam hati, karena
dalam lima puluhan li, sama sekali tidak tampak bayangan Hek Siau
Liong. 102 Huai Hong bercuriga dan merasa cemas. Seharusnya sudah
dapat menyusulnya, tapi kok tidak tampak bayangannya" Apakah
salah jalan ataukah"... Berpikir sampai di sini, sekujur badan Huai
Hong pun merinding dan membuatnya tidak berani berpikir lagi.
Mendadak ia mengangkat sebelah tangannya, memberi tanda
pada saudara-saudaranya agar berhenti. Mereka segera menarik tali
kendali menghentikan kuda masing-masing. Pada waktu bersamaan
Kiam Hong pun bertanya.
"Toako (kakak tertua) telah melihat sesuatu?" Huai Hong
menggelengkan kepala, sepasang alisnya terangkat.
"Kelihatannya urusan ini agak tidak beres," jawabnya dengan
suara dalam. "Bagaimana tidak beres?" Kiam Hong tampak tersentak.
Huai Hong tidak langsung menjawab, melainkan menatap Kiam
Hong dan balik bertanya.
"Pat te (adik kedelapan) tidakkah engkau merasa aneh?"
Huai Hong bertanya padanya, karena Kiam Hong berotak sangat
cerdas dan peka.
"Toako, urusan ini memang aneh." Kiam Hong manggutmanggut.
"Memang aneh sekali."
"Bagaimana menurutmu tentang ini?"
"Menurut Siaute, ini ada dua kemungkinan."
"Jelaskanlah!"
"Berpikir baiknya, mungkin kita telah salah jalan."
"Pat te!" Huai Hong menggelengkan kepala. "Kukira itu tidak
mungkin." "Toako!" Kiam Hong tersenyum. "Apakah karena di sini tiada
jalan lain?"
"Walau terdapat jalan kecil, siapa pun tidak akan melalui jalan itu
menuju selatan," sahut Huai Hong mengutarakan pendapatnya.
"Toako!" Kiam Hong tertawa-tawa. "Aku justru berpikir lain
tentang ini. Hek kong cu sangat pintar, kemungkinan besar dia
melalui jalan kecil agar tidak tersusul siapa pun."
"Pat te!" Huai Hong mengerutkan kening. "Apakah dia telah
menduga kita akan menyusulnya?"
"Itu tidak mungkin. Hek kong cu melalui jalan demi menghindari
pengejaran orang-orang suruhan Toan Beng Thong."
Masuk akal apa yang dikatakan Kiam Hong, maka Huai Hong
menjadi berpikir keras.
103 "Pat te, lalu apa kemungkinan kedua itu?" tanyanya kemudian.
Wajah Kiam Hong berubah, lama sekali barulah menjawab.
"Kemungkinan kedua itu..... yakni Toan Beng Thong telah
mendahului kita, maka"..."
"Pat te!?" Huai Hong menggelengkan kepala. "Tidak mungkin
Toan Beng Thong bisa mendahului kita."
"Itu benar," sela Huai Hong. "Bagaimana mungkin Toan Beng
Thong bisa mendahului kita?"
"Ngmm!" Huai Hong manggut-manggut. "Itu memang tidak
mungkin." "Toa ko." Kiam Hong menatapnya. "Selisih waktu berapa kita
berangkat menyusul Hek kong cu
"Kira-kira setengah jam."
"Nah, setengah jam itu merupakan waktu yang cukup."
"Pat te!"' sela Tui Hong yang diam dari tadi. "Aku mengerti
maksudmu."
"Cit ko (kakak ketujuh), aku percaya engkau mengerti itu." Kiam
Hong tersenyum.
"Maksud pat te"..." Huai Hong menyadari sesuatu.
"Kemungkinan Toan Beng Thong telah menyembunyikan orangorang
berkepandaian tinggi di semua jalan luar kota ini untuk
menunggu Hek kong cu."
"Benar." Kiam Hong mengangguk. "Aku memang berpikir
begitu." "Kalau begitu......" Kening Huai Hong terus berkerut. "Kita harus
bagaimana?"
Kiam Hong tidak menyahut, melainkan cuma menggelenggelengkan
kepala dengan wajah muram. Berselang sesaat,
mendadak Tui Hong membuka mulut.
"Apa boleh buat! Kita harus berpencar mencari Hek kong cu."
Memang tiada jalan lain, maka mereka harus berpencar untuk
mencari Hek Siau Liong.
Justru pada waktu bersamaan, terdengar suara derap kuda yang
begitu kencang. Mereka segera menoleh, tampak empat ekor kuda
berlari cepat menghampiri mereka.
Karena masih begitu jauh, Huai Hong dan saudara-saudaranya
tidak bisa melihat jelas siapa penunggang kuda-kuda itu.
"Mari kita menyingkir, lihat siapa mereka itu!" seru Huai Hong.
104 Mereka berempat segera menyingkir ke pinggir jalan. Tak lama
kuda-kuda itu telah mendekat. Begitu melihat keempat penunggang
kuda itu, seketika juga Kiam Hong terperangah.
"Toa ko, mereka jie ko (kakak kedua)?"
"Tidak salah." Huai Hong mengangguk. "Mereka memang jie ko."
Ternyata para penunggang kuda itu Nian Hong, Ie Hong, Keng
Hong dan Yang Hong berempat.
Walau mereka semua telah merubah wajah dan dandanan, pada
bagian dada baju mereka terdapat semacam tanda, itu membuat
mereka saling mengenal.
Nian Hong dan saudara-saudaranya segera menarik tali kendali
menghentikan kuda masing-masing.
"Toa ko, di mana piau Siau ya?" tanya Nian Hong cepat.
"Piau Siau ya?" Huai Hong dan lainnya melongo. "Siapa piauw
Siau ya?" "Hek kong cu adalah piau Siau ya." Nian Hong memberitahukan.
"Hah" Apa"!" Huai Hong terbelalak. "Hek kong cu adalah piau
Siau ya?" "Ya." Nian Hong mengangguk. "Paman pengemis tua
beranggapan begitu. Hek kong cu adalah Pek Giok Liong, putra
kesayangan Hui kauw-kauw (bibi Hui).
"Oh?" Huai Hong terkejut. "Jie te, kenapa kalian menyusul kami"
Apa gerangan yang telah terjadi?"
"Toa ko, kini tiada waktu untuk menjelaskan. Hek kong cu
berada di mana sekarang" Siau kiong cu akan segera menyusul."
Huai Hong menggeleng-gelengkan kepala, dan tersenyum getir.
"Jie te, kami justru tidak tahu bagaimana baiknya?"
Nian Hong terkejut.
"Bagaimana" Apakah Hek kong cu telah".." tanyanya sambil
menatap Huai Hong.
"Belum bisa dipastikan sekarang." sahut Kiam Hong. "Kami cuma
mengejar sampai di sini, namun tidak melihat jejak Hek kong cu.
Maka".. kami berhenti di sini untuk berunding."
"Toa ko." Nian Hong menatapnya. "Bagaimana rencanamu?"
"Apa boleh buat!" Huai Hong menarik nafas. "Jalan satu-satunya,
kita harus berpencar mencari Hek kong cu bagaimana menurut jie
te?" Nian Hong berpikir sejenak.
105 "Toa ko telah memutuskan begitu, maka kita harus segera
berpencar mencari Hek kong cu, agar tidak terlambat sehingga
terjadi sesuatu atas dirinya," ujarnya.
"Tapi"..." Lanjut Huai Hong. "Salah seorang di antara kita harus
ditinggal untuk menunggu Siau kiong cu."
"Benar." Nian Hong manggut-manggut.
"Dan juga......" Huai Hong mengerutkan kening. "Kita harus
berunding dulu. Seandainya menemukan sesuatu, kita harus
bagaimana dan harus berkumpul di mana?"
"Begini, kalau kita menemukan sesuatu dalam jarak lima puluhan
li, nyalakan api sebagai tanda!" usul Nian Hong.
"Ng!" Huai Hong mengangguk. "Apabila tidak menemukan suatu
apa pun, kita harus segera menuju Kota Pin Hung dan berkumpul di
sana. Mengenai salah seorang di antara kita yang harus tinggal di
sini"..."
"Bagaimana si te yang tinggal di sini?" tanya Nian Hong.
"Baiklah," jawab Huai Hong.
Setelah memutuskan itu, mereka pun berpencar dengan
menunggang kuda masing-masing untuk mencari Hek Siau Liong.
Bagian ke 15: Orang Tua Buta
Sebetulnya Hek Siau Liong ke mana" Kenapa tiada jejaknya"
Menurut dugaan Pat Kiam kemungkinan besar Hek Siau Liong
menempuh jalan lain. Dugaan tersebut memang tidak salah, Hek
Siau Liong menuju selatan tidak melalui jalan besar, juga tidak
melewati jalan kecil, melainkan menempuh jalan setapak bersama
kuda tunggangannya. Pat Kiam menduga demikian, namun tidak
menyangka Hek Siau Liong akan menempuh jalan setapak.
Tak seberapa lama kemudian, Hek Siau Liong telah memasuki
Siu Gu San (Bukit Siu Gu). Tidak gampang melewati bukit itu,
bahkan kuda tunggangannya sering terpeleset, membuatnya nyaris
jatuh dari punggung kudanya. Walau demikian, ia sama sekali tidak
mengeluh, karena memiliki tekad yang tak tergoyahkan, lagi pula
masih harus membalas dendam berdarah kedua orang tuanya.
Kalau ia mengeluh dalam perjalanan ini, bagaimana mungkin
akan tiba di Lam Hai untuk mencari Pulau Pelangi"
Hek Siau Liong tidak pernah berkelana dalam bu lim, namun
pernah mempelajari ilmu bumi. Maka ia tahu Siu Gu San ini terletak
106 di Ouw Pak. Kalau terus menuju selatan adalah Ouw Lam, Kang Si,
Kanton, lewat Kanton sudah termasuk Lam Hai.
Kini sudah lima hari Hek Siau Liong meninggalkan Kota Ling Ni.
Matahari mulai condong ke barat. Ia menghentikan kudanya di
lereng bukit lalu menengok ke sana ke mari dengan harapan ada
rumah penduduk di sekitar itu.
Akan tetapi, ia sangat kecewa. Di sekitar tempat itu tiada rumah
penduduk sama sekali. Di tempat yang begitu sepi dan merupakan
rimba, bagaimana mungkin ada rumah penduduk"
Walau kecewa, Hek Siau Liong tidak bermuram durja, masih
tampak begitu tenang.
"Tidak apa-apa, di bukit ini pasti terdapat goa." gumamnya
menghibur diri sendiri. "Cari sebuah goa untuk bermalam, tapi"..."
Hek Siau Liong menatap kudanya, kemudian menjulurkan
tangannya untuk membelainya seraya berkata lembut.
"Kuda yang baik, ikutlah aku! Hanya saja".. akan
menyusahkanmu."
Sungguh mengherankan, kuda itu seakan mengerti ucapan Hek
Siau Liong. Kepalanya manggut-manggut sambil meringkik panjang
sepertinya sedang berkata.
"Aku mengerti, aku tidak menyalahkanmu."
Sungguhkah kuda itu mengerti ucapan Hek Siau Liong" Kalau
kuda itu mengerti, tentunya itu kuda dewa atau kuda siluman.
Walau kuda itu tidak mengerti, tapi memiliki naluri. Siau Liong
membelainya, dan kuda itu tahu Siau Liong sangat menyayanginya.
Kalau tidak, bagaimana mungkin kuda itu manggut-manggut dan
meringkik begitu panjang"
"Kuda yang baik, tak disangka engkau mengerti bahasa
manusia." ujar Siau Liong sambil tersenyum.
Panji Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hi hi hi!" Mendadak terdengar suara tawa yang amat nyaring.
"Dasar bloon! Sudah sinting!"
Itu suara anak gadis. Namun sungguh mengejutkan Siau Liong.
Di sekitar tempat itu tak ada rumah, tapi ada suara gadis yang
begitu nyaring. Bukankah itu ganjil sekali!
Sepasang mata Siau Liong terbelalak lebar, mulutnya pun
ternganga berbentuk huruf O, bahkan wajahnya juga tampak
berubah dan bulu kuduknya berdiri semua.
107 Benarkah Siau Liong begitu pengecut, sama sekali tiada
nyalinya" Kalau benar begitu, bagaimana mungkin ia mampu
menegakkan keadilan dalam bu lim.
Sebetulnya Siau Liong cukup bernyali, kalau tidak, mungkinkah ia
berani berangkat ke Lam Hai seorang diri"
Tapi kenapa ia tampak begitu ketakutan" Ternyata ia sering
membaca cerita berbagai macam siluman yang menghuni dalam
hutan dan bukit. Mendadak ada suara anak gadis, maka ia
menganggap itu adalah siluman.
Perlahan-lahan ia mengarahkan pandangannya pada tempat
yang bersuara tadi. Apakah ia melihat siluman" Tentu tidak,
melainkan hanya melihat sebuah batu besar di situ.
Tiba-tiba dari balik batu itu muncul seraut wajah seorang gadis,
tapi secepatnya menyusup ke balik batu itu lagi.
Wajah itu agak kehitam-hitaman, namun sangat cantik dengan
sepasang mata yang amat bening.
Itu bagaimana mungkin siluman" Yang jelas adalah seorang
gadis berwajah hitam manis.
"Hi hi hi!" Terdengar suara tawa yang nyaring lagi, lalu muncul
seorang gadis dari balik batu itu. Rambut gadis itu panjang terurai
sampai ke bahu.
Kini Siau Liong sudah melihat jelas. Gadis itu berusia sekitar
empat belasan tahun dan berbadan langsing.
Gadis itu berdiri di hadapan Siau Liong dengan bertolak pinggang
sambil menatap Siau Liong dengan mata bersinar terang.
"Hei! Engkau dari mana?" tanyanya merdu.
Siau Liong menarik nafas dalam-dalam, kemudian memandang
gadis itu dengan penuh perhatian.
"Siau kouw nio (gadis kecil) engkau bertanya padaku?"
"Eh?" Sepasang alis gadis yang lentik itu terangkat sedikit.
"Apakah ada orang ketiga di sini?"
"Oooh"..?" Siau Liong tersenyum.
"Jangan oh! Jawablah pertanyaanku tadi!" tandasnya.
"Engkau bertanya apa tadi?" Siau Liong tampak telah lupa.
"Dasar bloon dan pelupa!" Anak gadis itu tertawa geli. "Aku
bertanya engkau dari mana?"
"Aku datang dari utara." sahut Siau Liong.
"Dari utara mau ke mana?"
"Ke selatan."
108 "Kalau begitu"..." Gadis itu menatapnya dalam-dalam. "Engkau
orang lewat?"
Siau Liong mengangguk sambil tersenyum.
"Siau kouw nio, engkau dari mana?" tanyanya lembut.
"Ei!" tegur anak gadis itu. "Jangan terus menerus memanggilku
Siau kouw nio. Itu tak sedap didengar. Aku sudah tidak kecil."
"Oh?" Siau Liong tertawa. "Jadi..... berapa usiamu?"
"Usiaku sudah hampir lima belas."
"Emmh!" Siau Liong manggut-manggut. "Kalau hampir lima
belas, itu berarti Siau kouw nio."
"Huh! Tampangmu juga tidak lebih besar dariku! Kalau engkau
memanggilku Siau kouw nio lagi, aku pun akan memanggilmu Siau
hai ji (anak kecil)."
"Engkau memang"..." Siau Liong ingin mengatakan bahwa dia
memang gadis kecil, namun mendadak teringat pada usianya sendiri
yang juga baru lima belas tahun, maka tidak dilanjutkan, melainkan
bertanya, "Jadi aku harus memanggilmu apa?"
"Panggil namaku saja!" sahut gadis itu tanpa berpikir.
"Tapi"..." Siau Liong tersenyum. "Aku belum tahu namamu."
"Ouh!" Gadis itu tertawa kecil. "Aku lupa memberitahukan.
Namaku Cing Ji, panggil saja Cing Ji!"
"Oooh! Ternyata Cing Ji kouw nio!"
"Bagaimana sih engkau" Kok begitu macam?"
"Lho, kenapa aku?" Siau Liong tertegun. "Memangnya aku ini
macam apa?"
"Cukup panggil Cing Ji saja! Kenapa harus ditambah kouw nio
segala" Itu sungguh tak sedap didengar, kupingku jadi terasa sakit."
"Baiklah." Siau Liong mengangguk. "Aku akan memanggilmu
Cing Ji." Cing Ji tertawa gembira. Siau Liong terpukau ketika melihat Cing
Ji tertawa. Sebab gadis itu bertambah cantik jelita. Gadis itu
memang cantik. Meskipun agak hitam dan agak kurus, namun
wajahnya bagaikan bunga yang baru mekar. Siau Liong membatin,
dan sekaligus memandangnya dengan mata terbeliak.
"Hei! Aku sudah beritahukan namaku, kenapa engkau malah jadi
melamun?" tanya Cing Ji menegurnya.
"Aku......" Siau Liong tergagap.
"Bagaimana sih engkau?" Cing Ji cemberut. "Kok tidak mau
beritahukan namamu?"
109 "Namaku Siau Liong."
"Oooh!" Cing Ji tersenyum. "Ternyata Siau Liong ko!"
Begitu wajar ketika memanggil 'Siau Liong ko' sama sekali tidak
merasa jengah. Itu pertanda Cing Ji gadis yang lugu.
"Cing Ji." Siau Liong menatapnya sambil tersenyum. "Engkau
belum menjawab pertanyaanku, engkau datang dari mana?"
"Siau Liong ko, cobalah terka datang dari mana!" sahut Cing Ji
merdu. Siau Liong berpikir sejenak, namun kemudian menggelenggelengkan
kepala. "Aku tidak bisa menerka, lebih baik kau beritahukan saja!"
"Ei! Siau Liong ko! Jangan terus duduk di punggung kuda, pegal
nih kepalaku harus mendongak." ujar Cing Ji. "Turunlah! Mari kita
mengobrol!"
"Cing Ji!" Siau Liong menggelengkan kepala. "Itu tidak usah."
"Kenapa?"
"Aku harus segera pergi."
"Apa!?" Cing Ji terbelalak. "Hari sudah hampir gelap, engkau
mau pergi" Mau melakukan perjalanan malam?"
"Tidak." Siau Liong memberitahukan. "Aku ingin mencari sebuah
goa untuk bermalam."
"Siau Liong ko!" Cing Ji tertawa. "Engkau telah bertemu
denganku, maka tidak usah mencemaskan soal bermalam. Ikuti saja
aku!" "Oooh!" Siau Liong mengangguk. "Aku mengerti."
"Engkau mengerti apa?" tanya Cing Ji heran.
"Engkau mau mengajakku ke tempatmu kan?" jawab Siau Liong
sambil tersenyum.
Amanat Marga 5 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Pendekar Satu Jurus 6