Pencarian

Panji Wulung 7

Panji Wulung Karya Opa Bagian 7


Lo Yu Im memperdengarkan suara tertawa dingin, lalu
menggerakkan serulingnya, dari situ menghembuskan angin
dingin hingga para pengikut Cui Hui terdesak mundur.
"Apakah kalian hendak main keroyok?" tanya Lo Yu Im
marah. "Satu jiwa diganti dengan satu jiwa. Adik seperguruan
dia ketika berada di gereja Kwi-lok-si, telah membinasakan
seorang pengawalku. Hutang jiwa harus dibayar dengan
jiwa hutang jiwa adik seperguruannya, harus dibayar oleh
jiwa abang seperguruannya, itu adalah suatu hal yang
sangat adil," berkata Cui Hui dengan nada suara dingin.
Touw Liong yang selama itu diam saja, sebetulnya tidak
senang mendengar kata-kata Cui Hui yang banyak tingkah.
Beberapa kali ia ingin mendamprat, tetapi oleh karena
mengingat diri sendiri dalam keadaan sangat berbahaya,
maka sebisa-bisa ingin mengendalikan perasaannya. Kini,
oleh karena Cui Hui telah mengeluarkan kata-kata bahwa
dirinya hendak dibuat korban untuk mengganti kematian
pengawalnya, dalam hati merasa gusar. Jikalau bukan
karena ilmu kepandaiannya sendiri musnah, hari itu pasti
akan dihajarnya orang itu habis-habisan....
Ketika mendengar Cui Hui mengusik-usik nama adik
seperguruannya Kim Yan, seketika itu ia lalu naik pitam,
maka segera membentaknya:
"Keparat! Kepala tuan mudamu bukan terhitung apaapa.
Jikalau kau menghendaki, asal kau miliki cukup
kepandaian, kau boleh ambil. Tuan mudamu setapakpun
tidak akan mundur."
Kata-kata itu bukan saja menherankan Cui Hui, tapi juga
mengejutkan Lo Yu Im.
Touw Liong pelahan-lahan mengeluarkan panji kecil
warna hitam dari dalam sakunya, lalu dikibaskan di
hadapan Cui Hui seraya berkata:
"Dengan panjiku ini, kau sudah tentu tidak akan berani
mengganggu seujung rambut Tuan mudamu."
Ucapan itu membuat Cui Hui tercengang hingga berdiri
terpaku di tempatnya. Matanya terbuka lebar menatap
panji kecil di tangan Touw Liong, kemudian bertanya:
"Kenapa?"
"Tadi malam aku berani mengambil sebelas buah panji
kecil itu dan hari ini kembali dihadapan perempuan tua
yang mengaku Panji Wulung, aku telah mengambil
panjinya, bagaimana kau tidak pikir dulu, kalau Tuan
mudamu sudah berani turun tangan mengambil panji,
sudah tentu memiliki cukup kepandaian untuk mencabut
kumis harimau...."
Dengan beberapa patah kata itu benar-benar telah
membuat Cui Hui tidak berkutik. Touw Liong berkata pula
sambil tertawa dingin:
"Dengan sejujurnya aku berkata kepadamu, orang yang
tadi malam mengantarkan sebelas buah kepala manusia ke
danau Thian-tie itu, wajahnya mirip sekali dengan wajahku,
coba kau katakan siapakah dia itu?"
Cui Hui mengerutkan alisnya dan berkata:
"Siapa dia?"
"Dia juga Panji Wulung."
"Panji Wulung?"
Touw Liong mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata: "Benar! Dia bukan saja merupakan muridnya Panji
Wulung, bahkan denganku masih terhitung saudara. Dia
adalah kakak sekandungku. Jikalau tidak, mana aku berani
mengambil panji itu."
"Saudara tuamu?" bertanya Cui Hui terkejut.
Lo Yu Im mengerutkan alisnya, sementara pikirannya
bekerja, ia berkata sendiri dengan suara pelahan:
"Kalian mungkin saudara kembar, mungkin dia benarbenar
adalah saudara tuamu."
Touw Liong sebenarnya hanya mengaku-aku saja,
karena terpaksa dengan keadaannya sendiri yang harus
mengaku dirinya sebagai saudara orang yang mirip
dengannya untuk mengundurkan musuh kuat itu, siapa
sangka, bahwa kata-katanya itu telah menimbulkan
kecurigaan Lo Yu Im, dengan tiba-tiba ia tertawa kecil
dengan menuruti nada Touw Liong ia bertanya kepada Cui
Hui: "Apakah kau yakin dapat menangkan dia?" Dia yang
dimaksudkan oleh Lo Yu Im adalah saudara tua yang
disebutkan oleh Touw Liong tadi.
"Hal ini..." Cui Hui bersangsi sejenak akhirnya menarik
kembali empat pengawalnya. Lo Yu Im berkata pula
sambil tertawa dingin.
"Kalau begitu kematian salah seorang pengawalmu, kau
sudah tidak perlu menuntut balas lagi."
"Mengapa?" tanya Cui Hui agak marah.
"Tidak apa-apa, kepandaian ilmu silat Kim Yan
sekarang, sudah jauh lebih tinggi daripadamu. Dia sudah
mendapat didikan langsung dari perempuan tua yang tadi
unjuk diri di danau Thian-tie, kalau kau hendak
menghadapinya, bukankah itu berarti mencari mati sendiri"
Lagi pula hari ini jikalau kau berani mengganggu seujung
rambutnya Touw Liong saja, apa kau kira Kim Yan mau
melepaskan kau begitu saja?"
Cui Hui berpikir lama tanpa menjawab. Ia terbenam
dalam kenangannya pada masa yang telah lalu....
Tiga bulan telah berselang, di dalam kuil Kui-kok-si,
Touw Liong telah terkena racunnya dalam barisan Ngo-im
Cui-hun-tin. Kim Yan dengan menggunakan ilmunya
Thay-it Sin-jiauw telah membinasakan salah seorang
pengawalnya, ia sendiri penasaran mengejarnya, di dalam
sebuah rimba, ia berputar-putaran mengejar Kim Yan,
tetapi Kim Yan akhirnya tokh dapat menghilang dari
hadapan matanya. Kemudian ia mengejar-ngejar terus,
sehingga tiba di bawah sebuah pohon tua, di belakang
pohon itu dengan tiba-tiba tampak sebuah tangan yang
aneh, dengan mudah tangan itu mengetok kepalanya
sendiri, sehingga saat itu kepalanya puyeng dan jatuh
pingsan. Ketika ia siuman kembali, obat pemunah racun dalam
sakunya sudah hilang, kini kalau ia pikir kembali ia masih
merasa jeri. Seandainya tangan aneh itu menghendaki
jiwanya, bukankah ia sekarang sudah tidak bisa hidup lagi"
Cui Hui semakin berpikir, tengkuknya semakin bergidik
sendiri, dan sekarang kalau ia teringat pula kejadian itu,
Kim Yan benar-benar merupakan seorang yang tidak
mudah dihadapi, mau tak mau pada saat itu ia terpaksa
harus urungkan maksudnya untuk menangkap atau
menganiaya Touw Liong.
Lo Yu Im menyaksikan semua perubahan itu, dengan
tangan memegang serulingnya, ia menarik tangan Touw
Liong dan berjalan dengan langkah lebar, keluar dari rimba
itu. Berlalunya dua orang itu disaksikan oleh Cui Hui dengan
termangu-mangu, ia terpaksa membiarkan mereka berlalu
tanpa diganggu. Setelah keluar dari rimba itu, mereka
meneruskan perjalanannya tanpa berhenti. Lo Yu Im
khawatir Touw Liong tidak tahan lagi, maka ia mencari
suatu tempat untuk beristirahat, sambil daharan dan
minum. Rumah minum yang disinggahi, saat itu tamunya sedikit
sekali, kecuali seorang tua berambut putih yang duduk
sambil mengantuk sudah tak tampak lain orang lagi. Lo Yu
Im berkata kepada Touw Liong:
"Murid Kakek Seribu Muka itu adalah saudara tuamu,
apakah itu benar?"
Dengan sangat bangga Touw Liong menjawab sambil
tersenyum dan menggelengkan kepala:
"Siaote hanya bicara sekenanya saja.... Untuk
menggertak Cui Hui, harap enci jangan anggap benarbenar."
"Adik Liong! Aku mempunyai perasaan orang itu
mungkin benar-benar adalah saudara sekandungmu."
"Siaote tidak mempunyai kakak dan adik. Hal itu
tidaklah mungkin."
"Aku merasa, meskipun dia menggunakan nama julukan
Pelajar Seribu Muka, tetapi sejak aku mengenali dia,
sehingga tadi malam ia unjuk muka di danau Thian-tie, aku
telah melihat mukanya sedikitpun tidak ada perubahan apaapa.
Dengan lain perkataan, ia sedikitpun tidak
menggunakan ilmunya untuk menyamar. Di dalam dunia
ini memang tidak sedikit jumlahnya orang yang mirip
mukanya satu dengan yang lain, tetapi tidak bisa sampai
mirip demikian rupa, sehingga bentuk tubuhnya, tinggi
pendeknya, gemuk kurusnya, mirip betul satu sama lain.
Selain daripada itu, mata, telinga, mulut dan hidung, persis
denganmu. Kalian berdua jikalau bukan sepasang saudara
kembar, bagaimana bisa begitu rupa?"
Kata-kata itu menggerakkan hati Touw Liong sehingga
saat itu ia juga terbenam dalam lamunannya tidak bisa
menjawab lagi. Ia mulai memikirkan riwayat dirinya sendiri.
Tentang dirinya, ia sedikitpun tidak tahu, hanya
mendengar-dengar kata dari suhunya bahwa ia sejak masih
kecil sekali telah ditinggal oleh ayah-bundanya, dengan
seorang diri ia hidup, oleh karena suhunya dengan ayahnya
yang sudah wafat itu dahulu mempunyai hubungan akrab,
maka sejak kanak-kanak ia sudah dipungut dan dibesarkan
hingga dewasa, selain daripada itu ia sudah tidak tahu apaapa
lagi. Setelah mendengar kata-kata Lo Yu Im tadi,
mulailah ia memikirkan tentang asal-usul dirinya sendiri. Ia
teringat pada dirinya sendiri yang dliputi oleh banyak
persoalan misteri, mungkin tidak sesederhana seperti apa
yang didengarnya dahulu. Di dalamnya mungkin masih
terkandung rahasia apa-apa, mungkin juga suhunya belum
jelas benar menerangkan tentang dirinya.
Karena mengingat asal-usul dirinya, maka ketika
mendengar perkataan Lo Yu Im, hatinya lalu tergerak. Ia
teringat kepada pemuda yang wajahnya mirip benar dengan
dirinya, tetapi berhati jahat bagaikan ular berbisa, mau tak
mau timbullah perasaan sedih, karena jikalau benar pemuda
itu adalah saudara kandungnya sendiri, atas perbuatannya
yang kejam melakukan pembunuhan terhadap orang-orang
yang tidak berdosa, bukankah itu akan merupakan suatu
halangan besar baginya untuk hubungan persaudaraan di
kemudian hari"
Berpikir sampai di situ, Touw Liong mendadak angkat
muka. Sambil menatap Lo Yu Im ia berkata:
"Enci, antarlah aku ke gunung Kiu-hoa."
"Ke gunung Kiu-hoa?" bertanya Lo Yu Im pelan.
"Aku hendak pulang dan menanyakan kepada suhu.
Aku hendak menanyakan tentang riwayat diriku,
sebetulnya aku ini masih mempunyai saudara lain atau
tidak?" Lo Yu Im setuju, tetapi ia berkata sambil mengerutkan
alisnya: "Di musim dingin seperti ini barangkali kau tidak tahan
melalui perjalanan jauh dan hawa dingin itu. Aku
khawatirkan keadaan badanmu...."
"Aku kira takkan menjadi halangan. Enci, marilah kita
berangkat!" berkata Touw Liong sambil tertawa.
Dua orang itu lalu berjalan keluar dari rumah minum,
mereka mencari tandu, di bawah angin keras mereka
melanjutkan perjalanannya, dan esok hari sudah tiba di
kota Sang-ciu. Ketika mereka meninggalkan rumah minum tadi, orang
tua berambut putih yang tadi duduk sambil mengantuk,
tiba-tiba berdiri dan kucek-kucek matanya, setelah itu ia
berjalan keluar. Dengan memandang tandu yang
ditumpangi oleh Touw Liong dan Lo Yu Im dengan
perasaan heran ia bertanya-tanya kepada diri sendiri:
"Benarkah ia adalah adikku?"
Orang tua itu membeli sebatang tongkat, dari jauh
mengikuti jejak dua orang tadi.
Sambil berjalan, ia masih bertanya-tanya kepada diri
sendiri: "Dendam sakit hatiku sudah terbalas. Aku justru
perlu mencari Lo Yu Im dan mengharap supaya bisa
didapat ketentuan hidupku. Akan tetapi menurut desasdesus
di kalangan Kang-ouw, Lo Yu Im dan Touw Liong
berdua hubungannya sangat baik sekali. Aku perlu
mengadakan penyelidikan, jikalau antara mereka berdua
terjadi hubungan pribadi, bagaimana aku dapat
membiarkan mereka turun dari gunung Bu-san" Jikalau
mau dikata aku dengan bocah itu masih merupakan saudara
sekandung, dari mana asal-usulnya?"
Siapakah gerangan adanya orang tua itu"
Dia tak lain tak bukan adalah Pelajar Seribu Muka.
Dendam sakit hati apa yang ia maksudkan" Dan
siapakah musuh besarnya"
00000 Pada bulan dua cuaca di gunung Kiu-hwa seperti
sewaktu musim semi. Pemandangan di gunung itu sangat
indah. Gunung Kiu-hoa memang benar-benar seperti
taman Firdaus. Touw Liong di bawah bimbingan Lo Yu Im telah
berhasil mendaki puncak gunung Kiu-hoa. Sebelum
orangnya tiba di tengah gunung, sudah terdengar suara
hembusan pukulan telapak tangan. Touw Liong dengan
alis berdiri berkata:
"Enci, celaka! Ada orang yang mengganggu suhu. Kini
suhu sedang bertempur dengan orang itu...."
Lo Yu Im sendiri sebetulnya sudah sejak tadi mendengar
suara itu, karena ia khawatir Touw Liong merasa cemas,
maka ia tidak buka suara. Kini setelah Touw Liong berkata
demikian, ia tidak dapat berlaku pura-pura bodoh lagi.
Dengan pelahan ia menarik tangan Touw Liong dan
berkata: "Adik, mari aku bawa kau naik ke atas."
Dengan cepat ia sudah naik ke atas gunung, sehingga
sesaat kemudian sudah menghilang di dalam kabut awan.
Di belakang mereka seorang imam setengah umur


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan menggendong buli-buli arak warna merah
mengikuti mereka naik ke atas. Imam setengah tua itu
berusia sekitar empat puluh tahun, gerak badannya gesit
sekali. Suara beradunya pukulan tangan terdengar semakin
nyaring. Suara beradunya pedang juga semakin nyata.
Touw Liong kini sudah musnah kepandaian ilmu
silatnya. Walaupun demikian ia pernah merupakan salah
satu jago dalam rimba persilatan. Maka ketika mendengar
suara pertandingan itu ia segera dapat mengenali bahwa
pertandingan itu dilakukan oleh dua orang kuat yang
memiliki kepandaian sudah sempurna. Suara pedang itu
adalah suara pedang Kiu-hwa Sin-kiam dari gurunya, dan
suara pukulan tangan kosong yang sangat hebat akan tetapi
ia masih tidak dapat menduga siapakah adanya orang itu.
Dari suaranya ia dapat membedakan bahwa
pertempuran itu sudah sampai di puncak. Dalam hati
Touw Liong merasa cemas, ia minta kepada Lo Yu Im
supaya lekas-lekas tiba di tempat itu.
Tak lama kemudian, dua orang itu sudah tiba di gubuk
Kiu-hoa Lojin. Di atas tanah kosong yang terdapat di
depan rumah gubuk itu, benar saja ada dua orang tua yang
sedang melakukan pertempuran mati-matian.
Touw Liong yang menyaksikan pertempuran itu merasa
sangat cemas. Orang tua yang menggunakan pedang,
jidatnya sudah penuh keringat, gerak-geraknya mulai
kalem, napasnya mulai memburu, tampaknya dalam tiga
atau lima jurus sudah akan kalah.
Sedang lawannya yang menggunakan tangan kosong,
juga seorang tua yang wajahnya putih. Ia menggunakan
pukulan dan gerak tipu yang sangat aneh. Gerak tipu
serangan itu merupakan serangan-serangan yang jarang
disaksikan oleh Touw Liong.
Touw Liong tidak berani membuka suara, ia takut
mengalutkan pikiran gurunya. Tetapi jikalau ia tinggal
diam saja, juga tidak baik. Gurunya dalam keadaan
bahaya, maka dengan cemas ia bertanya kepada Lo Yu Im:
"Apakah Enci kenal dengan orang itu?"
Lo Yu Im menggelengkan kepala sambil mengerutkan
alis. "Enci..." berkata Touw Liong dengan suara pelahan,
tetapi ia urungkan kata-kata selanjutnya. Ia sebetulnya
ingin minta Lo Yu Im membantu gurunya, tetapi kata-kata
itu ditariknya kembali. Sebabnya, ia mendadak teringat
kedudukan gurunya. Sekalipun ia mati di tengah lapangan,
juga tidak boleh menodakan nama baik gurunya, yang perlu
minta bantuan orang lain.
Lo Yu Im yang sangat pintar, agaknya mengerti maksud
Touw Liong, maka ia memberi isyarat dengan pandangan
mata kepada Touw Liong kemudian mengangkat seruling
batu gioknya. Seruling itu lalu ditiupnya dan mengeluarkan
suara yang mengalun tinggi. Setelah ia ia lantas bergerak
dengan cepat menyerbu dua orang yang sedang bertempur
sengit itu. Sebelum orangnya tiba, suaranya sudah sampai
lebih dulu: "Harap berhenti dulu!"
Jangan pandang Lo Yu Im hanya sebagai seorang gadis
yang usianya baru sekitar dua puluh tahun. Kekuatan
tenaga dalamnya sesungguhnya dapat disejajarkan dengan
Kiu-hoa Lojin. Kini gerakannya menggunakan tenaga
penuh, ditambah tenaga dalam yang telah dikerahkan
kepada ujung seruling, maka ketika menempel di tangan
orang tua bertangan kosong yang sedang menangkis pedang
Kiu-hoa Lojin sambil menotok, jadi urunglah serangannya.
Karena jikalau ia meneruskan serangannya, meskipun Kiuhoa
Lojin akan mati di bawah tangannya, tetapi ia sendiri
juga akan terluka atau mati di ujung seruling Lo Yu Im.
Orang tua itu terpaksa menarik kembali serangannya sambil
memutar tangannya, ia mengelakkan serangan seruling Lo
Yu Im. Kiu-hoa Lojin terpaksa menurunkan pedangnya, ia
menahan hawa amarahnya, berdiri tegak tidak membuka
suara. Hanya napasnya saja yang masih terdengar
memburu. Touw Liong segera memburu dan berteriak "suhu"
kemudian ia menubruk suhunya yang masih berdiri.
Dengan tiba-tiba di medan pertempuran itu sudah
tambah seorang imam tua yang menggendong buli-buli arak
warna merah tadi. Imam tua itu pelahan-lahan
mengulurkan sebelah tangannya. Tangan itu ditempelkan
ke bagian jalan darah Beng-bun-hiat di badan Kiu-hoa
Lojin, dan memberi isyarat kepada Touw Liong supaya
menyingkir. Touw Liong undurkan diri, ia tidak habis mengerti apa
sebabnya ia merasa lega, dan membiarkan imam tua itu
menempelkan tangannya di jalan darah Beng-bun-hiat
suhunya. Setelah itu Touw Liong kembali mendekati
suhunya dan duduk bersila di tanah.
Bab 27 Tidak dikenalnya imam tua itu, tetapi imam tua itu
agaknya seperti kenal dengannya. Touw Liong
memandangnya dengan perasaan terima kasih dan imam
itu membalasnya dengan suatu senyuman. Touw Liong
lalu berpaling menatap Lo Yu Im. Lo Yu Im yang
sementara itu sedang menyambuti serangan orang tua
lawannya Kiu-hoa Lojin, saat itu nampak mulai repot. Ia
terpaksa berkelit kesana-kemari untuk menyingkirkan
serangan orang tua itu.
Orang tua itu sambil menyerang bertanya kepada Lo Yu
Im: "Bocah itu apakah murid Kiu-hoa Lojin yang bernama
Touw Liong?"
Lo Yu Im nampak sangat marah, ia tidak menghiraukan
pertanyaan orang tua itu, sebaliknya ia malah balas
menanya: "Katakan dulu, kau ini siapa?"
"Aku..." orang tua itu berkata sambil mengeluarkan dua
jari tangannya: "Aku adalah tuan rumah yang kali ini
mengadakan pertemuan besar di gunung Bu-san."
Dengan cepat Lo Yu Im menarik serangannya dan
mundur kembali, kemudian ia memberi hormat seraya
berkata: "Kiranya adalah Pek sancu! Atas kelakuanku yang
kurang ajar tadi, aku minta maaf kepada Sancu."
Sikap dan budi bahasa Lo Yu Im telah menggerakkan
hati orang tua itu. Muka merah orang tua itu tampak
sebentar pucat, sebentar merah, ia juga menarik kembali
serangannya dan memandang Lo Yu Im dengan terheranheran.
Lo Yu Im memperkenalkan dirinya sendiri:
"Siaoli bernama Lo Yu Im." Sehabis berkata ia kembali
memberi hormat.
Orang tua itu bertanya:
"Nona dengan Lo lo-enghiong dari Kun-lun-san bagian
barat masih pernah apa?"
Mata Lo Yu Im mendadak merah, kemudian ia
menjawab dengan suara sedih:
"Beliau adalah ayahku."
"Pantaslah gerak tipu Nona tadi memang mirip dengan
gerakan ayahmu, itu...!" Pek Thian Hiong menunjukkan
sikap terkejut, sambil menunjuk Lo Yu Im ia bertanya
dengan heran: "Mengapa kau menangis?"
"Ayah telah wafat, bagaimana siaoli tidak sedih...?"
berkata Lo Yu Im dengan air mata mengalir berlinanglinang.
Berkata sampai di situ ia sudah tidak dapat melanjutkan
kata-katanya karena sudah menangis demikian sedih.
Semula Lo Yu Im sebelumnya hendak menggunakan
perkataan tandas memperkenalkan dirinya untuk membuat
Pek Thian Hiong kabur, siapa sangka bahwa pertanyaan
orang tua tersebut malah berbalik telah menimbulkan
perasaan sedihnya, sehingga ia sendiri kini diliputi oleh
perasaan duka. Pek Thian Hiong agaknya merasa simpati
kepada Lo Yu Im, maka ia berkata sambil menghela napas:
"Lo loenghiong dalam seumur hidupnya pernah
mendapat nama harum, aku si orang tua merasa sangat
kagum, tak kusangka ia telah berangkat lebih dahulu,
sesungguhnya merupakan suatu kesedihan bagiku!"
Lo Yu Im mendengar kata-kata orang tua itu merasa
semakin sedih hingga ia menangis seperti anak kecil.
Pek Thian Hiong menghiburi padanya dengan suara
pelahan: "Nona, harap kau jangan terlalu sedih! Sebagai manusia
tidak luput dari kematian, sampai pada batas waktunya ia
harus pulang ke hadirat Tuhan, itu sudah menjadi kodrat
semua manusia. Dengan sejujurnya, aku si orang tua juga
turut merasa bersyukur kepada Lo Lo-enghiong yang sudah
mendapat tempat dengan baik di sisi Tuhan, sedangkan aku
sendiri masih belum tahu bagaimana nanti akhirnya!"
Lo Yu Im yang mendengar kata-kata Pek Thian Hiong
buru-buru mengalihkan pembicaraannya ke lain soal, ia
bertanya: "Dalam pertemuan besar di gunung Bu-san kali ini
siaolie tidak melihat sancu hadir. Kabarnya sancu sedang
mengejar Panji Wulung! Tidak tahu apa sebabnya sancu
bisa mengejar sehingga tiba di gunung Kiu-hoa ini dan
bertempur dengan Kiu-ho Locianpwee?"
Pek Thian Hiong pendelikkan matanya memandang
Touw Liong sejenak, kemudian berkata sambil menghela
napas: "Sungguh panjang ceritanya...." Sejenak ia berhenti, lalu
bertanya: "Di mana Nona telah bertemu dengan Touw Liong?"
"Aaa...! Kejadian itu sudah satu bulan berselang! Siaoli
yang kebetulan mendaki gunung Bu-san untuk mencari
orang, di atas bukit gunung Sin-li-hong telah ketemu Touw
Liong dalam keadaan tidak ingat diri dan rebah
menggeletak di puncak gunung."
Pek Thian Hiong dengan sikap tidak percaya bertanya
kepada Lo Yu Im sambil menuding Touw Liong:
"Bagaimana ia bisa rebah menggeletak di sana?"
"Ia telah ditotok jalan darahnya oleh Panji Wulung
dengan menggunakan ilmu tunggalnya sehingga seluruh
kepandaian ilmu silatnya dimusnahkan."
Pek Thian Hiong tercengang dan bertanya dengan heran:
"Panji Wulung yang mana?"
"Aa! Panji Wulung kini ternyata banyak sekali.
Menurut apa yang siaoli tahu, sudah ada tiga."
Pek Thian Hiong terkejut dan bertanya:
"Tiga?""
"Benar, satu adalah seorang perempuan tua yang
mengenakan kerudung muka. Kedua adalah seorang muda
berusia belum cukup dua puluh tahun yang wajahnya mirip
dengan Touw tayhiap...."
"Aaaa!!" berseru Pek Thian Hiong dengan mata terbuka
lebar, "Wajahnya mirip dengan dia" Bagaimana dalam
dunia ada orang yang mukanya mirip satu sama lain...?"
Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala dan dengan
sikap tidak percaya berkata pula:
"Tidak mungkin, ouw! Coba kau katakan lagi,
bagaimana kejadian selanjutnya?"
"Siaoli telah menolong dia membawa turun dari puncak
gunung Sin-li-hong. Oleh karena kita berdua sama-sama
mempunyai surat undangan dari sancu, maka kami berdua
lalu melanjutkan perjalanan ke gunung Bu-san untuk
menghadiri pertemuan itu."
"Malam hari sebelum pertemuan dibuka, dan pada hari
dibukanya pertemuan itu, apakah kalian ada bersamasama?"
"Sebab kepandaian ilmu silatnya sudah musnah, siaoli
khawatir akan terjadi bahaya atas dirinya, maka siaoli
setapakpun tidak berani meninggalkan dia," jawab Lo Yu
Im sambil menunjuk Touw Liong.
"Ooo...!" berseru Pek Thian Hiong sambil menengadah
mengawasi awan-awan di atas langit. Pada saat itu,
kejadian yang telah lalu telah terbayang kembali ke
hadapan matanya, dari mulutnya telah mengeluarkan katakata
yang sangat pelahan: "Sungguh suatu kejadian yang
sangat aneh...."
00000 Kiranya pada malam itu, pemuda yang mukanya mirip
dengan Touw Liong yang mengantarkan sebelas buah
kepala manusia di danau Thian-tie, setelah berlalu, pemuda
itu mengeluarkan siulan panjang yang menggema di udara.
Suara siulan itu telah mengejutkan Pek Thian Hiong yang
saat itu sedang mendaki gunung.
Sewaktu Pek Thian Hiong tiba di puncak gunung Thiantie,
ia sudah lihat di danau Thian-tie telah berbaris sebelas
buah kepala manusia. Saat itu ia lalu naik pitam, matanya
memandang keadaan di sekitarnya. Di puncak gunung
Thian-tie tertampak olehnya seorang pemuda berbaju hijau,
maka segera ditegurnya:
"Apakah orang-orang itu kau yang membunuhnya?"
"Ya, akulah yang membunuhnya," menjawab pemuda
berbaju hijau itu dengan suara lantang dan sikap sombong.
Hawa amarah Pek Thian Hiong tak dapat dikendalikan
lagi, dengan mata melotot dan kumis berdiri, ia segera
lompat dan memburu pemuda itu.
Pemuda itu melarikan diri, dan Pek Thian Hiong terus
mengejarnya sehingga keluar dari daerah gunung Bu-san.
Ia mengejar sampai melalui sungai Tiang-kang dan
memutari gunung Bu-san, barulah tiba di gunung Kiu-hoa.
Pek Thian Hiong telah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, bahwa pemuda berbaju hijau itu mendaki gunung
Kiu-hoa, maka ia mencari Kiu-hoa Lojin untuk
menanyakan diri pemuda itu. Sudah tentu Kiu-hoa lojin
yang tak tahu apa-apa terus menyangkal, dengan demikian
dua orang tua itu lalu bertempur.
Lo Yu Im dan Touw Liong yang mendengarkan cerita
Pek Thian Hiong, merasa terheran-heran, sedang imam tua
yang menggendong buli-buli arak merah itu terus tersenyum
dan tidak berbicara apa-apa.


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lo Yu Im berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala:
"Sancu ternyata sudah dipermainkan oleh orang!"
Pek Thian Hiong menarik napas panjang. Lo Yu Im
dengan tiba-tiba teringat sesuatu lalu bertanya kepada Pek
Thian Hiong: "Yang menulis di permukaan danau Thian-tie dengan
ilmu jari tangan Kim-kong-ci, apakah itu sancu sendiri?"
Pek Thian Hiong terperanjat, ia menyangkal. Katanya:
"Ada hal demikian" Siapakah yang telah main gila?"
Touw Liong yang merasa tidak senang atas kecerobohan
Pek Thian Hiong maka lalu berkata:
"Sancu sudah dipermainkan orang, ternyata tidak
diperiksa lebih dahulu, lantas mendaki gunung Kiu-hoa dan
menimbulkan onar di sini. Sekarang luka suhu tidak
ringan, tindakan sancu yang sangat gegabah ini barangkali
nanti akan merupakan suatu penyesalan."
"Maksudku hanya hendak menemukan orang itu, jikalau
urusan itu sudah jelas, sekalipun aku harus meminta maaf
atau menanggung dosa kepada suhumu, bagaimanapun
juga aku pasti akan memberi keadilan kepada suhumu,"
berkata Pek Thian Hiong. Setelah berdiam sejenak ia
bertanya kepada Touw Liong:
"Apakah Touw tayhiap tahu, siapakah orangnya yang
mempermainkan diriku itu?"
Touw Liong berpikir sejenak, akhirnya berkata sambil
angkat muka: "Jikalau dugaan boanpwe tidak keliru, sancu sudah
tertipu akal muslihat orang lain!"
"Bagaimana Touw tayhiap bisa berkata demikian?"
"Orang itu mungkin tidak menyamar diriku melainkan
kami satu sama lain memang benar mirip. Dia paham ilmu
menyamar, suhengnya dan sumoynya semua paham akan
ilmu itu. Menurut apa yang boanpwee tahu, mungkin
mereka suheng, sute, dan sumoy berempat atau berlima
semua sudah naik ke gunung Bu-san. Tokoh-tokoh yang
menjadi korban di tangan mereka itu, mungkin dibunuh
oleh mereka secara bergiliran, kemudian oleh salah seorang
diantarkan ke danau Thian-tie, dan seorang lagi unjuk diri
untuk memancing sancu supaya meninggalkan gunung Busan,
dan yang lainnya menggunakan jari tangan
meninggalkan kata-kata di permukaan danau. Orang yang
menulis di permukaan danau itu mungkin melihat gelagat
di gunung itu, sedang orang yang sancu kejar itu adalah
orang yang menyamar, mereka mungkin dari golongan satu
perguruan, dengan berganti-ganti memancing sancu
berputar-putaran sehingga tiba di gunung Bu-san dan
mendaki ke gunung Kiu-hoa, maksudnya ialah supaya
sancu datang kemari untuk diadu domba dengan suhu...."
"Ooo!!" berseru Pek Thian Hiong sambil melompat,
"Sungguh jahat orang-orang itu, baru sekarang aku
mengerti apa maksudnya mereka memancing aku datang
kemari! Kesatu, mereka ingin supaya aku dengan suhumu
saling baku hantam, sehingga kedua-duanya hancur.
Kedua, jikalau akal mereka tidak berhasil setidak-tidaknya
juga membuat kita dua golongan menanam bibit
permusuhan sehingga akan menjadi suatu bencana di
kemudian hari, dengan demikian, mereka dapat mengeduk
keuntungan dari pihak kita."
Touw Liong memuji dengan mengangguk-anggukkan
kepala: "Uraian sancu ini memang tepat, persoalannya mungkin
demikian."
Pek Thian Hiong tiba-tiba ingat kepada imam yang
berusaha menyadarkan Kiu-hoa Lojin, maka segera
bertanya kepada Touw Liong:
"Imam itu siapa?"
Touw Liong berpaling, tiba-tiba berseru, karena tiba-tiba
imam itu kini sudah tidak tampak lagi batang hidungnya,
entah sejak kapan ia berlalu dari samping suhunya, ketika ia
menengok keada gurunya, napas sang guru sudah mulai
teratur, nampaknya sudah sembuh luka-lukanya.
Touw Liong benar-benar terheran-heran. Imam itu
berbaik hati dan menanam budi terhadap dirinya sendiri,
sementara itu ia masih belum mengetahui siapakah
orangnya, terpaksa ia mengerutkan alisnya kemudian
menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala:
"Boanpwee juga tidak tahu siapa adanya imam itu!"
Pek Thian Hiong terkejut demikian pun Lo Yu Im.
Pek Thian Hiong setelah melihat keadaan di sekitarnya
sebentar, lalu memberi hormat dan berpamitan kepada
semua orang, kemudian ia turun gunung untuk mengejar
imam itu. Touw Liong yang masih terkejut dan terheran-heran,
buru-buru bertanya kepada Lo Yu Im:
"Coba enci lihat, Pek-sancu telah mengejar imam itu,
apakah dia tidak akan mendapat kesulitan?"
Lo Yu Im menjawab sambil menggeleng-gelengkan
kepala: "Legakan hatimu! Orang itu dapat mengelabui aku dan
Pek Thian Hiong, dia dapat menghilang dari depan kita
juga tanpa diketahui oleh kita semua, jika bukan Panji
Wulung yang tulen tidak mungkin dia mempunyai
kepandaian seperti itu."
Touw Liong buru-buru menghampiri suhunya. Karena
Kiu-hoa Lojin saat itu sedang mengatur pernapasannya,
maka tidak berani mengganggu, maka bersama Lo Yu Im
menjaga keselamatan orang tua itu dan tidak berani bicara
lagi. Setengah jam telah berlalu, Kiu-hoa Lojin pelahan-lahan
telah siuman kembali. Touw Liong lalu memberi hormat
dan menanyakan keselamatannya, demikian pula dengan
Lo Yu Im. Keadaan Kiu-hoa Lojin meskipun tidak menjadikan
halangan tetai karena serangan jari tangan Pek Thian Hiong
tadi, sehingga bagian dalamnya terluka parah, maka
meskipun orangnya tidak apa-apa, tetapi kesehatannya
masih lemah. Touw Liong dan Lo Yu Im lalu membimbing Kiu-hoa
Lojin masuk ke dalam gubuknya untuk beristirahat. Touw
Liong senantiasa menjaga di samping suhunya, tidak berani
meninggalkan setapakpun juga. Untuk sementara Lo Yu
Im berdiam di gubuk itu untuk melindungi Kiu-hoa Lojin
dan muridnya. Malam itu, selagi Kiu-hoa Lojin sedang melakukan
latihannya akan memulihkan tenaganya, di depan gubuk
tiba-tiba terdengar suara jatuhnya daun. Touw Liong
sedikitpun tidak dengar, tetapi Lo Yu Im yang memiliki
pendengaran sangat tajam segera lompat keluar melalui
lobang jendela.
Di pekarangan depan gubuk, berdiri seorang imam
setengah tua yang masih membawa buli-buli arak berwarna
merah. Lo Yu Im yang melihat imam itu sudah tentu
merasa heran. Ia telah mendapat kenyataan bahwa imam
itu adalah imam yang tadi siang telah menyembuhkan luka
Kiu-hoa Lojin. Maka buru-buru menegurnya:
"Totiang ada keperluan apa?"
"O... tidak! Aku ada sedikit urusan, perlu segera pulang
ke Pak..." buru-buru ia menutup mulut, seolah-olah
kesalahan omong.
Lo Yu Im membuka matanya, bibirnya bergerak-gerak,
dan kemudian bertanya:
"Totiang bukankah hendak pulang ke Pak-bong?"
Imam itu hanya tertawa menyeringai kemudian
menjawab: "Dugaan Nona tepat sekali!"
Lo Yu Im bertanya pula:
"Apakah totiang bukan merasa khawatir Pek Thian
Hiong akan menimbulkan onar?"
Imam itu menganggukkan kepala.
"Kau bukankah Pelajar Seribu Muka?"
"Aku..." imam itu nampak gelagapan.
Tangan Lo Yu Im mendadak bergerak, begitupun
serulingnya. Sambil kertak gigi ia berkata pula dengan
suara gusar: "Kau binatang yang tidak mempunyai perasaan,
kembalikan batu Khun-ngo-giok-ku!"
Imam itu mengebutkan jubahnya, dengan cepat kakinya
digeser mundur ke belakang, kemudian dengan satu
lompatan membalik, ia sudah loncat turun ke bawah
gunung. Lo Yu Im coba mengejar, ia khawatir, imam itu akan
jatuh mampus, sehingga berseru kaget....
"Ha...!" demikian dari bawah terdengar suara orang
tertawa dan kemudian disusul oleh kata-katanya yang
lantang: "Adik Im! Aku sedikitpun tidak akan melupakan
dirimu, selama setengah bulan ini aku juga selalu berada di
sampingmu...."
Suara itu kedengarannya semakin lama semakin jauh,
namun masih tegas terdengar di telinga Lo Yu Im, dari jauh
masih terdengar suara Pelajar Seribu Muka... "di dalam
terang bulan, di atas bukit Thian-tu-hong, tolong kau
antarkan Touw Liong kepadaku, aku hendak memberikan
kepadanya sebuah barang."
Lo Yu Im berdiri terpaku, dengan termangu-magu ia
memandang ke tempat di mana si Pelajar Seribu Muka tadi
menghilang, hatinya seperti diiris-iris, ia tidak mengerti
entah itu tanda girang atau tanda sedih.
Bagaimanapun juga ia kini telah mengetahui bahwa
Pelajar Seribu Muka masih mencintai dirinya. Ia
mengawasi bintang-bintang di langit, kemudian mendongak
dan bertanya kepada langit:
"Apakah aku juga masih cinta padanya?"
"Sudah tentu! Sudah tentu Nona masih cinta padanya!"
dari belakang dirinya tiba-tiba terdengar suara jawaban
yang sangat lemah.
Lo Yu Im tahu, siapakah orangnya yang berada di
belakang dirinya. Ia merasa malu sendiri, sehingga ia
menundukkan kepalanya.
Satu tangan yang penuh welas-asih telah diletakkan di
pundaknya kemudian terdengar suara Kiu-hoa Lojin:
"Kuhaturkan selamat kepada Nona. Nona sudah
menemukan orang yang kau cari!"
Lo Yu Im memutar tubuhnya dan menubruk ke dalam
pelukan Kiu-hoa Lojin, kemudian menangis tersedu-sedan.
Kiu-hoa Lojin dengan tangan membawa tongkat rotan
berjalan menuju ke sebuah batu besar di bawah pohon
cemara, lalu mempersilahkan Lo Yu Im duduk di sisinya,
kemudian bertanya padanya:
"Nona, siapakah Pelajar Seribu Muka itu?"
Lo Yu Im menundukkan kepala tidak menjawab.
Kiu-hoa Lojin berkata pula sambil tersenyum:
"Liong-jie waktu itu balik kembali ke gunung Kiu-hoa, ia
pernah menceritakan urusan batu Khun-ngo-giok merah
yang tercuri orang. Tadi dengan diam-diam aku menilik
keadaan Pelajar Seribu Muka itu, aku telah mendapat
perasaan bahwa dia adalah seorang jujur dan berhati baik,
dia mencuri barang pusaka nona barangkali karena terpaksa
oleh sebab kesulitan yang menimpa dirinya sendiri. Dalam
hal ini rasanya boleh memaafkan perbuatannya, yang
terpenting adalah cintanya terhadap nona betul dengan
sejujurnya ataukah tidak" Dan lagi tentang sifat dan
pribadinya...."
"Wajahnya mirip dengan adik Liong seperti juga pinang
dibelah dua," menjawab Lo Yu Im sambil angkat muka.
"Ouw!" berkata Kiu-hoa Lojin sambil tertawa terbahakbahak,
"Kalau begitu, arak kegirangan ini sudah pasti aku
akan menghirupnya!"
Lo Yu Im menekap mukanya dengan kedua tangan,
merasa malu mendengar ucapan orang tua itu.
Lama sekali ia baru bertanya dengan perasaan kemalumaluan:
"Locianpwee, boanpwee ada sedikit urusan, tidak tahu
apakah boleh kiranya kalau boanpwee tanyakan kepada
locianpwee?"
"Nona katakan saja!"
"Boanpwee merasa sangsi bahwa adik Liong itu
mungkin saudara kembar dengan Pelajar Seribu Muka!"
"Ooo...!!"
Muka Kiu-hoa Lojin yang kurus nampak berkeringat,
matanya menatap Lo Yu Im.
Selanjutnya Lo Yu Im lalu menceritakan apa yang
pernah disaksikannya, sehingga ia berani menduga bahwa
pemuda itu adalah saudara kembar.
Orang tua itu terbenam dalam lamunannya, sehingga
lama tidak berkata apa-apa.
Lo Yu Im bertanya pula dengan suara pelahan:
"Bolehkah locianpwee menceritakan apa yang
locianpwee ketahui tentang diri adik Liong?"
Dengan sikap serius orang tua itu berkata sambil
menggelengkan kepala:
"Touw Liong mempunyai saudara atau tidak, aku sendiri
sebenarnya tidak tahu. Sebenarnya riwayat dirinya
memang sangat mengenaskan. Dia adalah anak piatu yang
diserahkan kepadaku oleh sahabatku. Di masa hidup,
sahabatku hanya mengatakan bahwa keadaannya
menyedihkan, akan tetapi sebab musababnya, karena tidak
inginkan Touw Liong setelah dewasa nanti terlibat dalam
dendaman sakit hati balas membalas yang tidak ada
berhentinya, maka sahabatku itu tutup mulut rapat-rapat,
tidak mau memberitahukan siapa adanya musuh besar
Touw Liong. Apa mau orang yang menolong diri Touw
Liong dan membawanya kepadaku itu, setelah
mengantarkan Touw Liong di gunung Kiu-hoa, lantas tidak
ada kabar beritanya lagi sehingga sekarang!"
Lo Yu Im menghela napas mendengar keterangan orang
tua itu. Kiu-hoa Lojin berkata pula sambil menepuk
pundaknya: "Jikalau Nona mempunyai pandangan demikian,
rasanya tidaklah halangan kalau Nona pergi ke Pak-bongsan
untuk bertanya, mungkin Pelajar Seribu Muka


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui sejelas-jelasnya. Aku sendiri sesungguhnya
merasa sangsi bahwa Pelajar Seribu Muka yang mempunyai
sifat baik, rasanya tidaklah mungkin dapat melakukan
kejahatan demikian rupa. Mungkin di dalamnya masih ada
sebab musabab lain yang tak diketahui oleh orang luar,
mungkin juga orang-orang yang kali ini dibinasakan dan
kepalanya diletakkan di danau Thian-tie, adalah orangorang
yang menjadi musuh besarnya."
Lo Yu Im mengangguk-anggukkan kepalanya.
00000 Esok harinya, Lo Yu Im bersama Touw Liong pamit
kepada Kiu-hoa Lojin untuk turun gunung dan melakukan
perjalanan ke Pak-bong-san mereka dengan wajah dan
dandanan seperti aslinya, mengambil jalan yang menuju ke
kota Lok-yang. Kota itu dahulu pernah dikunjungi oleh Touw Liong,
maka dengan tanpa halangan ia tiba di kota Lok-yang,
kedua-duanya juga pernah kunjungi sungai Lok-sui, tempat
itu merupakan tempat yang tidak asing lagi bagi mereka.
Dari jauh memandang ke arah perkampungan Pak-bongsan,
di sana tampak mengepul asap. Sementara itu, air di
sungai Lok-sui masih tetap seperti sediakala. Touw Liong
menunjuk sebuah rimba yang berada di bawah kaki bukit
Pak-bong-san, dan berkata kepada Lo Yu Im:
"Itu adalah tempat terpenting bagi perkampungan Pakbong-
san!" Lo Yu Im memandang ke arah yang ditunjuk olehnya, di
antara tumbuhan menghijau tampak berdiri bangunan
tembok merah, perkampungan Pak-bong-san nampaknya
agak lain daripada yang lain.
Kedua orang itu selagi memandang ke arah situ, di
belakang mereka terdengar derap kaki kuda yang
menimbulkan debu bergulung-gulung.
Di atas kuda, seorang tua berjenggot putih dan berbaju
hijau dengan sikapnya yang gagah memandang ke arah
Perkampungan Pak-bong-san dari seberang sungai Lok-sui.
Touw Liong lalu berkata dengan suara pelahan:
"Pek Sancu!"
Lo Yu Im memberi isyarat kepada Touw Liong supaya
jangan bersuara, lalu memutar tubuh dan pura-pura
menikmati pemandangan alam sungai Lok-sui, hingga
dengan demikian tidak menghiraukan orang tua itu.
Untung, tempat mereka berdiri terpisah sejauh kira-kira
beberapa puluh tombak dengan Pek Thian Hiong.
Kuda Pek Thian Hiong tiba di tepi sungai Lok-sui, mata
orang tua itu mengawasi beberapa perahu layar yang
berlayar di permukaan sungai dengan tergesa-gesa
menambat kudanya di sebuah pohon besar, lalu menarik
napas, kemudian lompat melesat ke pertengahan sungai,
selanjutnya dengan beberapa kali loncatan sudah tiba di tepi
seberang. Touw Liong terkejut menyaksikan ilmu menginjak air
orang tua itu. Demikianpun dengan Lo Yu Im juga memandangnya
dengan mulut ternganga.
Dua orang itu telah memandang Pek Thian Hiong yang
pelahan-lahan menghilang ke jalan di dalam rimba. Lo Yu
Im menarik tangan Touw Liong dan berkata kepadanya:
"Adik Liong! Mari kita lekas mencari perahu untuk
menyeberang sungai."
Bab 28 Oleh karena saat itu air sungai sedang pasang maka tidak
mudah bagi perahu layar menyeberangi sungai itu.
Beberapa perahu yang digapai oleh Touw Liong hampir
tidak satupun yang sanggup menepi sampai tempatnya.
Touw Liong sangat cemas, sehingga harus menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
Lo Yu Im berkata sambil mengetukkan kakinya:
"Tadi seharusnya kau panggil Pek Thian Hiong supaya
bersama-sama menyeberang sungai, sekarang kalau kita
mengejar barangkali sudah tidak dapat menyaksikan
permainan-permainan seru lagi!"
Lo Yu Im mengerutkan alisnya, otaknya bekerja, ia
mendapatkan satu akal, lalu menunjuk kuda yang tertambat
di bawah pohon, dan berkata kepada Touw Liong:
"Kita masih dapat berbuat baik terhadap Pek Thian
Hiong. Marilah kita bawa sama-sama kuda Pek Thian
Hiong kesana, kau pikir baik atau tidak?"
Touw Liong tidak mengerti maksud gadis itu maka ia
memandangnya dengan pandangan mata penuh tanda
tanya. Sebetulnya Touw Liong adalah seorang cerdik, oleh
karena kepandaian ilmu silatnya sudah musnah sehingga
kecerdikannya juga banyak berkurang, untuk sesaat itu ia
tidak dapat mengerti gadis itu. Lo Yu Im memperingatkan
kepadanya seraya berkata:
"Di jaman Song dahulu, ada satu kisah tentang kudakudaan
tanah yang menyeberangkan Raja negara Song,
mengapa kau juga tidak dapat memikirkan kisah itu, coba
naik di atas kuda menyeberang sungai Lok-sui, supaya
meninggalkan suatu cerita bagi generasi di kemudian hari."
Touw Liong seolah-olah baru sadar, ia berkata sambil
menepok jidatnya sendiri.
"Ya, mengapa aku demikian bodoh! Kuda toh juga bisa
berenang di dalam air!"
Tetapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata pula: "Di dalam air tidak sama dengan di darat. Seekor kuda
tidak dapat ditumpangi dengan dua orang, lalu
bagaimana?"
Lo Yu Im memetik sebatang ranting pohon. Touw
Liong lantas sadar, ia teringat dahulu ia pernah
menggunakan ranting kayu untuk menyeberangi sungai itu,
maka keduanya lalu saling berpandangan dan tertawa.
Touw Liong membuka tali kuda dan naik di atasnya,
kuda itu dengan tangkasnya melompat ke dalam air dan
lalu menyeberang ke tepi seberang. Sedangkan Lo Yu Im
sendiri dengan menggunakan potongan ranting pohon yang
ia petik digunakan untuk menyeberang sungai. Tak lama
kemudian dua orang itu sudah menyeberang ke tepi sana.
Kasihan kuda tunggangan Touw Liong, sekujur badannya
telah basah kuyub dengan air sungai, sedangkan bagian
bawah dari pakaian Touw Liong sendiri juga basah pula.
Lo Yu Im mengulurkan tangannya dan menepuk badan
kuda, kemudian berkata:
"Marilah kita bersama-sama menaiki kuda ini masuk ke
dalam perkampungan."
Kuda itu dengan gesit sekali lalu menuju ke dalam
rimba. Dalam waktu sekejap mata saja, dua orang itu sudah tiba
di perkampungan di mana dulu Touw Liong pernah datang,
tetapi saat itu pintu gerbang telah tertutup rapat, hanya di
batu undakan depan pintu sudah berdiri seorang tua
berambut putih yang dahulu pernah Touw Liong hadapi
sebagai penjaga pintu.
Orang tua itu tampaknya sangat cemas menyongsong
kedatangan Touw Liong, kemudian berkata sambil
menggoyang-goyangkan dua tangannya:
"Siangkong, kenapa hari ini kau datang lagi" Untuk
menyaksikan keramaian?"
Touw Liong tercengang, ia memberi hormat kepada
orang tua itu seraya berkata:
"Kakek, apakah di dalam terjadi suatu kejadian yang
menggemparkan?"
Orang tua itu mendongak dan mengulurkan tangannya
menunjuk berada perkampungan Pak-bong-san, kemudian
berkata dengan suara pelahan.
"Chungcu kami hari ini telah memasang jaring hendak
menangkap pangcu dari Cit-phoa-san entah namanya siapa,
kedengarannya seperti Kao Thian Hiong!" Kao di sini
diartikan oleh orang tua penjaga pintu itu sebagai anjing
dan hiong olehnya dimaksud beruang.
Lo Yu Im yang mendengar keterangan itu merasa geli,
sedang Touw Liong merasa orang tua itu meskipun berhati
baik, tetapi terhadap dirinya terlalu berlebih-lebihan, maka
ia lantas menyoja memberi hormat seraya berkata:
"Kakek, aku sangat berterima kasih kepadamu. Aku
tahu, orang itu bernama Pek Thian Hiong."
Sehabis berkata demikian ia lalu memacu kudanya
ditujukan ke perkampungan Pak-bong-san.
"Siangkong, tunggu dulu, aku masih ada pembicaraan
sangat penting!"
Orang tua itu berlari-lari memanggil Touw Liong,
kemudian menggapai padanya dan berkata dengan suara
yang sangat pelahan sekali:
"Ada soal penting, aku ingin bicarakan padamu."
Touw Liong melompat turun dari atas kudanya, dan
mendekatkan telinganya ke mulut orang tua itu.
Orang tua itu berbisik-bisik di telinga Touw Liong.
Touw Liong yang mendengarkan hanya mengerutkan
alisnya, kemudian memberi hormat dan mengucapkan
terima kasih kepada orang tua itu, kemudian ia lompat lagi
ke atas kuda dan meneruskan lagi perjalanannya mendaki
gunung. Lo Yu Im buru-buru mengejarnya. Di sepanjang jalan
itu, Touw Liong hanya mengeluarkan beberapa patah kata:
"Golongan Cit-phoa-san dan Pak-bong-san hari ini akan
melakukan pertempuran besar di makam Raja Siang Ong di
jaman dahulu, golongan Pat-moy sudah memasang jaring
hendak memancing Pek Thian Hiong ke perangkapnya."
Lo Yu Im melihat Touw Liong hanya memberi
keterangan hanya demikian saja, sudah mengetahui bahwa
urusan itu sangat gawat. Ia juga tahu bahwa pemuda itu
tidak akan bicara lebih banyak, karena takut membocorkan
rahasia. Jalanan yang menuju ke atas gunung itu tidak rata,
setelah melalui tumpukan-tumpukan tanah bekas kuburan,
dan mengitari bekas kuburan kuno, keduanya lalu mendaki
ke tengah gunung, di situ terdapat banyak pohon cemara.
Sebuah jalanan yang kelihatannya rata, tetapi sebetulnya
sudah dipenuhi oleh tumbuhan rumput, dengan kedua
sisinya penuh dengan bangunan tiang batu, tampak
membujur di tengah-tengah rimba.
Setelah memutar tempat yang penuh tumbuhan pohon
rindang di dalamnya terdapat sebuah makam kuno yang
bentuknya aneh.
Di hadapan makam itu ada sebuah batu nisan setinggi
satu tombak lebih. Di atas batu nisan itu tertulis dengan
huruf-huruf besar yang berbunyi: MAKAM RAJA SIANG
ONG. Touw Liong tiba-tiba teringat kisah yang mengenai diri
raja jaman kuno itu. Dahulu raja itu kabarnya telah
menemui seorang bidadari di puncak gunung Sin-li-hong,
tak ia sangka bahwa raja itu yang dahulu didewa-dewakan
kini telah bersemayam di tempat ini.
Touw Liong agak terkejut, ia lalu menghentikan
kudanya, kemudian berkata sambil menunjuk nisan
kuburan: "Enci, kau lihat batu nisan ini ada sedikit aneh atau
tidak?" "Sebuah batu nisan kuno, ada apanya yang
mengherankan?" menjawab Lo Yu Im sambil tertawa geli.
Siang Ong dari kerajaan Cho sudah kira-kira 2000 tahun
lamanya wafat, coba enci pikir, batu nisan makam yang
usianya sudah 2000 tahun, apalagi setelah kehujanan
kepanasan sepanjang masa, meskipun tulisan itu masih
tetap utuh, akan tetapi tulisan huruf-huruf di atas batu nisan
tentunya sudah lama lapuk atau hancur. Tetapi tidak
demikian dengan tulisan ini, huruf-huruf di atas batu ini
nampaknya masih nyata, seolah-olah diperbarui oleh
tangan orang lagi."
Lo Yu Im berpikir sejenak, kemudian berkata:
"Benar! Batu nisan itu sudah tua umurnya, tetapi tulisan
di atas batu masih tetap baru, seolah-olah batu itu pernah
didirikan lagi oleh orang jaman sekarang."
"Dalam urusan ini tentunya ada mengandung rahasia.
Jika kita tilik dari sejarah, Negara Cho seharusnya terletak
di daerah In-bong dahulu. Setelah Siang Ong wafat,
seharusnya dikubur di daerah In-bong, tidaklah mungkin
makam Raja Siang Ong bisa lari ke daerah Tiong-goan."
Dua orang itu kini mulai waspada. Touw Liong
melompat turun dari atas kuda, berjalan dengan pelahan,
mendekati Lo Yu Im, ia berbisik-bisik di telinganya
mengucapkan beberapa patah kata. Lo Yu Im tampak
berdiri alisnya matanya memandang keadaan di sekitarnya,
tetapi kuburan tua itu tampak sunyi senyap, sedikitpun
tidak terdengar suara apa-apa.
Bukan saja demikian, anak buah golongan Pak-bong dan
Pek Thian Hiong juga tidak tampak bayangannya.
Touw Liong adalah murid dari golongan Kiu-hoa,
meskipun kepandaiannya sudah musnah, tetapi
pengalamannya sudah cukup banyak. Ia mengerti sesaat
sebelum topan tiba, sudah tentu tampak tenang-tenang.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu mendapatkan suatu akal,
tangannya menepuk pantat kudanya, hingga kuda itu mulai
mengeluarkan suaranya yang keras.
Kuda itu kemudian lompat-lompat dan lari keluar dari
tanah kuburan. Suara kuda dan derap kaki larinya telah menggema di
udara yang sunyi itu. Sesaat kemudian di belakang tiang
batu sebelah kiri muncul seorang muda berwajah tampan.
Pemuda itu begitu melihat Touw Liong lebih dulu
mengeluarkan suara jeritan kaget.
Touw Liong begitu berhadapan dengan pemuda itu,
sesaat juga tampak tercengang.
Pemuda itu seolah-olah jelmaan Touw Liong. Bentuk
dan perwakan serta rupanya mirip sekali dengannya.
Begitupun pakaiannya berwarna hijau juga sama dengan
pakaian yang dipakai oleh Touw Liong. Satu-satunya
bagian yang berbeda, ialah pada ikat kepala warna hijau
pemuda tampan itu terdapat sebuah tanda bunga Bwee


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebesar bunga yang asli. Tanda bunga itu jikalau tidak
diperhatikan dengan betul, rasanya tidak akan tertampak.
Touw Liong yang dikejutkan oleh munculnya pemuda
itu, terus memandangnya dan mengamat-amati padanya,
sedangkan pemuda itu juga menatap Touw Liong dengan
sinar matanya yang berkilauan.
Lo Yu Im begitu melihat pemuda yang baru muncul itu
semula sekujur badannya bergetar, kemudian setelah
matanya tertumbuh pada tanda bunga Bwee yang terletak di
atas kopiah pemuda itu, pelahan-lahan ia menarik napas,
perasaannya yang tegang juga mulai reda. Ia tertawa dan
berkata kepada pemuda itu:
"Harap Jie chungcu sampaikan kepada Kakek Seribu
Muka. Katakan bahwa Touw Liong dari gunung Kiu-hoasan
ingin bertemu."
Kata-katanya itu meskipun diucapkan dengan tenang,
tapi tegas. Pemuda tampan itu menunjukkan sikap keheranheranan.
Ia buru-buru memberi hormat dan balas bertanya:
"Bagaimana Nona mengetahui bahwa aku adalah Jie
chungcu" Apakah...?"
Pemuda itu lalu memandang Touw Liong dengan mulut
bungkam. "Memang benar, ilmu menyamar Jie chungcu sudah
cukup baik, hanya masih kurang sempurna. Dengan
sebetulnya, di dalam kolong langit ini Touw tayhiap hanya
satu orang saja. Chungcu boleh mengelabui mata orangorang
biasa, tetapi begitu berhadapan dengan orang yang
sebenarnya barangkali kau tidak dapat menyembunyikan
dirimu sendiri lagi."
Jie chungcu tampak marah, dengan nada suara dingin ia
membantah ucapan Lo Yu Im.
"Nona terlalu pandang tinggi diriku! Aku di mana ada
memiliki kepandaian dan kegagahan seperti Touw tayhiap,
sehingga berani menyamar sebagai dirinya" Jikalau Nona
mau percaya, Sam chungcu dari perkampungan kami
memang benar mirip sekali dengan Touw tayhiap, karena
golongan kami ini terkenal di rimba persilatan dengan ilmu
menyamar, maka di waktu biasa sedikit banyak harus
melakukan latihan, supaya di antara persaudaraan sendiri
bisa saling mengoreksi. Ini bukanlah soal yang tidak perlu
direcoki. Sungguh tak nyana hari ini telah membuat
tertawaan Nona. Baik juga, hari ini dalam golongan kami
akan mengadakan suatu pertemuan besar, banyak tokohtokoh
kuat di rimba persilatan akan datang kemari. Oleh
karena Nona sudah kenal denganku, sudah tentu juga dapat
mengenali dan membedakan siapa di antara beberapa
persaudaraan kami" Jikalau Nona ingin bertemu dengan
suheng sesungguhnya tiada sulit. Marilah ikut aku!"
Tanpa menantikan jawaban Lo Yu Im, Jie chungcu
sudah berjalan lebih dulu menuju ke jalanan kuburan, dan
setelah itu balik keluar.
Touw Liong memberi isyarat dengan pandangan mata
kepada Lo Yu Im, kemudian keduanya lantas mengikuti
pemuda itu. Jie chungcu terus berjalan ke tempat masuk ke kuburan
kuno, lalu berdiri di bawah batu kuburan, setelah itu ia
berpaling kepada orang yang mengikutinya seraya berkata:
"Aku akan berjalan lebih dahulu, harap kalian berdua
ikut di belakangku."
Sehabis berkata, tempat di mana Jie chungcu berdiri tibatiba
lantas amblas, di situ terdapat sebuah lubang dalam
selebar setombak lebih, dan Jie chungcu yang tadi berdiri di
atasnya, dalam waktu sekejap saja sudah berada di jalan
tanah di dalam lubang itu.
Lo Yu Im dan Touw Liong melongok ke dalam jalanan
ke dalam kuburan itu kira-kira sedalam tiga tombak sudah
buntu. Di lain jurusan, terdapat sebuah jalanan di bawah
tanah selebar satu tombak. Jie chungcu yang berada di situ
menggapai ke atas, kemudian meneruskan perjalanannya di
bawah tanah itu. Jalanan itu kemudian pelahan-lahan
mendaki ke atas lagi, dan lubang tadi tertutup lagi seperti
biasa. Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata kepada
Lo Yu Im: "Enci, di dalam itu sekalipun merupakan gua harimau,
hari ini kita juga harus memasuki!"
Setelah berkata demikian ia berjalan ke arah pemuda
tadi. JILID 11 Lo Yu im bersangsi sejenak, akhirnya juga mengikuti
jejak Touw Liong.
"Adik Liong! Golongan Pak-bong sudah menunjukkan
jalan rahasia ini, dapat diduga bahwa mereka agaknya
sudah yakin bahwa kuburan kuno ini merupakan sarang
mereka." Jalanan di bawah tanah itu ternyata panjang sekali,
namun di jalanan yang panjang dan gelap itu terdapat
banyak lampu obor.
Tampak oleh mereka Jiet-chungcu berdiri di jalanan situ
menyambut kedatangan dua orang kemudian berkata
dengan sombongnya:
"Ini adalah tempat pertemuan. Apabila ada urusan
penting yang harus diadakan perundingan, selamanya kami
mengadakan perundingan di tempat ini."
Dua orang itu menganggukkan kepala sambil mengikuti
Jie-chungcu berjalan ke dalam.
Jie-chungcu yang berada di depan, tiba-tiba berpaling
dan berkata kepada Touw Liong berdua:
"Dalam hati kalian berdua mungkin akan menganggap
bahwa jalanan ini menuju ke dalam kuburan kuno itu,
bukan" Sebetulnya tidaklah begitu, kami hanya
menggunakan kuburan kuno itu sebagai kedok, dan jalanan
ini menuju ke tempat ruang pertemuan."
Touw Liong tercengang; ia berpaling memandang Lo Yu
Im, tetapi Lo Yu Im diam saja, sikapnya nampak serius,
jelas bahwa apa yang dipikir dalam hatinya waktu itu tidak
dapat diduga oleh siapapun juga.
Setelah keluar dari jalanan di bawah tanah pemandangan
lantas berubah. Di sini terbentang suatu lembah yang
banyak terdapat pohon dan tanaman bunga, kecuali itu juga
terdapat banyak burung-burung yang waktu itu sedang
menyanyi dengan riang gembira.
Dalam lembah yang indah pemandangannya itu terdapat
sebuah air terjun yang turun dari atas setinggi sepuluh
tombak lebih. Touw Liong memeriksa keadaan di situ, lembah itu
seolah-olah terputus hubungannya dengan dunia luar.
Golongan Pak-bong yang memilih tempat itu sebagai
markas besarnya, boleh dikata mempunyai pandangan yang
luar biasa. Di bagian dalam lembah tersebut, terdapat beberapa
buah bangunan berupa gedung-gedung. Jie-chungcu lalu
berkata sambil menunjuk bangunan itu:
"Kami sering mengadakan pertemuan di sini, saudara
berdua silahkan masuk ke dalam!
Setelah melalui rimba dan memasuki perkampungan,
lalu berjalan menuju ke bangunan tersebut.
Bangunan itu merupakan gedung tingkat tiga,
nampaknya sangat indah dan megah. Dalam bangunan
yang megah itu terdapat delapan buah kamar, di tengahtengah
terdapat jalanan yang dialasi dengan batu hijau, di
jalanan di tengah-tengah itu terdapat kolam bunga teratai
yang menambah keindahan bangunan tersebut.
Di bagian bawah bangunan itu, kanan kirinya terdapat
dua baris kursi berlapis emas.
Di bagian timur terdapat lima buah kursi, kecuali kursi
kedua yang masih kosong, yang lainnya sudah ada
orangnya yang duduk. Kursi pertama diduduki oleh Kakek
Seribu Muka yang dahulu pernah bertemu dengan Touw
Liong di gunung Bu-san; tiga kursi yang lainnya diduduki
oleh orang-orang yang sangat aneh bentuknya. Orangorang
itu mengenakan kopiah warna hijau, sungguh heran,
orang-orang itu juga seperti Touw Liong wajahnya. Di
belakang lima orang itu ada berdiri empat pelindung hukum
golongan Pak-bong.
Di bagian barat terdapat enam buah kursi. Kursi
pertama diduduki oleh Pek Thian Hiong, selanjutnya
adalah Anak Sakti dari gunung Bu-san, di bawahnya
terdapat kursi yang kosong, dan yang terakhir adalah dua
perempuan cantik setengah umur, yang berpakaian warna
putih perak, mereka adalah Sepasang Burung Hong dari
gunung Bu-san yang dikabarkan telah menghilang.
Touw Liong dan Lo Yu Im begitu menginjak di jalanan
di dalam ruangan gedung itu, matanya lantas ditujukan
kepada pemuda tampan yang di kopiahnya terdapat sebuah
tanda bunga Bwee, ketika matanya melirik kepada pemuda
lainnya yang juga mengenakan kopiah hijau, seketika itu
nampak murung, dan orang itu juga tampak terperanjat.
Touw Liong lantas maju dan memberi hormat kepada
Pek Thian Hiong dan Anak Sakti dari gunung Bu-san,
sementara itu si Kakek Muka Seribu lantas bangkit dari
tempat duduknya dan mengangguk kepada Touw Liong,
setelah itu ia mempersilahkan Touw Liong duduk di
samping Anak Sakti dari gunung Bu-san, sedang Jiechungcu
duduk di bagian timur, Lo Yu Im juga duduk
berendeng dengan Sepasang Burung Hong dari gunung Busan.
Anak Sakti dari gunung Bu-san tampak terkejut ketika
bertemu dengan Touw Liong, terutama ketika menyaksikan
Touw Liong dalam keadaan demikian, dalam matanya
penuh tanda tanya, kemudian dia bertanya:
"Mengapa kau juga datang kemari bocah, kau benarbenar
tidak tahu bahwa tempat ini sangat berbahaya
sekali?" Dalam hati Touw Liong juga merasa heran, mengapa
Anak Sakti dari gunung Bu-san bisa berada di situ; tetapi
wajahnya tetap tenang dengan sikapnya yang luar biasa
tenangnya matanya menyapu orang-orang di sekitarnya.
Setelah orang-orang di kedua pihak pada duduk, Kakek
Seribu Muka perlahan-lahan bangkit dari tempat duduknya,
lalu memberi hormat kepada orang-orang di bagian barat,
kemudian berkata:
"Kami sesungguhnya merasa beruntung, hari ini telah
mendapat kunjungan dari beberapa tokoh kuat dari rimba
persilatan, aku si orang tua sesungguhnya merasa sangat
berterima kasih ?"
Berkata sampai di situ, ia berdiam sejenak, lalu
mengurut-urut jenggotnya yang putih panjang setelah itu ia
tertawa bergelak-gelak dan melanjutkan perkataannya:
"Ditilik dari keadaan rimba persilatan dewasa ini, tokoh
kuat yang dapat menduduki tempat terhormat
sesungguhnya jumlahnya sedikit sekali." Belum habis katakatanya,
Pek Thian Hiong sudah tertawa dingin, begitupun
Anak Sakti dari Gunung Bu-san juga memperdengarkan
suaranya dari hidung.
Kakek Seribu Muka tidak menghiraukan ejekan mereka
berdua, ia tetap melanjutkan ucapannya:
"Hari ini tokoh-tokoh kuat yang demikian banyak telah
datang berkunjung kemari. Maaf kami tidak dapat
menyediakan apa-apa untuk menyuguh kalian, hanya
sedikit arak tawar saja, harap jangan dibuat tertawaan!!"
Setelah itu ia lalu memanggil orang-orangnya untuk
menyediakan minuman.
Tak lama kemudian, dari belakang ruangan muncul
empat lai-laki bertubuh tegap, yang datang membawa
barang minuman dan hidangan.
Pihak tuan rumah dan pihak tamu masing-masing
mengambil bagian sendiri-sendiri. Touw Liong yang
barangkali sudah terlalu letih dan perutnya merasa lapar, di
bawah anjuran Kakek Seribu Muka, ia juga minum sampai
menghabiskan tiga cawan arak.
Setelah minum, Kakek Seribu Muka perlahan-lahan
bangkit dari tempat duduknya pula, sebelum membuka
mulut ia tertawa lebih dulu, selagi hendak membuka mulut
untuk mengeluarkan perkataannya, sudah didahului oleh
Pek Thian Hiong yang bertanya:
"Ketua kalian mengapa tidak mau unjuk muka?"
"Ketua kami kini sedang bertapa, sehingga tidak dapat
menyambut sendiri kedatangan tuan-tuan."
"Hmm "!!" Pek Thian Hiong perdengarkan suara
mendengus, "Tiga Garuda dari golongan Pak-bong, kiranya
hanya begitu saja menyambut kedatangan tetamu,
sesungguhnya sangat membikin malu orang."
"Tiga Garuda dari Pak-bong?" Dari golongan tetamu
selain Anak Sakti dari gunung Bu-san saling berpandangan,
karena merasa terheran-heran.
Nama Tiga Garuda dari Pak-bong itu terlalu besar!
Lima puluh tahun berselang, pernah menggemparkan
seluruh rimba persilatan, kalau dihitung waktunya mereka
terjuan di kalangan rimba persilatan, masih jauh lebih tua
daripada Tiga Dewa dari golongan pengemis. Tiga Garuda
itu jika ada yang masih hidup, usianya barangkali sudah
ada seratus tahun! Lima puluh tahun berselang, di dalam
rimba persilatan tersiar omongan bahwa golongan Pak-bong
telah berbentrok dengan golongan Bu-tong, lantaran berebut
benda pusaka. Tiga Garuda itu melakukan pertempuran
mati-matian denga tujuh jago dari Bu-tong. Akhirnya, Tiga
Garuda itu hancur lebur, sedang di pihak Bu-tong kematian
lima jagonya. Sejak hari itu, golongan Pak-bong lantas
terhapus namanya dari dalam rimba persilatan. Dan kini
lima puluh tahun kemudian, ternyata masih ada orang dari
Tiga Garuda yang masih hidup, apakah itu tidak
mengherankan"
Touw Liong tidak dapat mengendalikan perasaan
herannya, ia lalu berbangkit dan bertanya kepada Pek Thian
Hiong sambil memberi hormat:
"Menurut apa yang Pek sancu tahu, di antara tiga
locianpwee dari golongan Pak-bong siapakah di antaranya
yang masih sehat?"
Pek Thian Hiong menunjuk Kake Seribu Muka dan


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata: "Sudah tentu suhunya."
Touw Liong hanya memikir-mikir jawaban itu, tidak
menanya lagi. Kakek Seribu Muka dengan tiba-tiba menepok jidatnya
sendiri, ia diam-diam memaki dirinya seorang bodoh,
kiranya ia juga mengerti sudah terjebak oleh akal
muslihatnya Pek Thian Hiong. Ia sendiri yang agak lalai,
tanpa sadar sudah keseleo lidah, dan mengucapkan hal
ikhwal suhunya.
"Orang kata bahwa jahe itu semakin tua semakin pedas,
tampaknya sedikitpun tidak salah. Dengan akal Pek sancu
tadi, benar-benar membuatku terpedaya. Sekarang aku
hendak tanya kepada sancu, suhuku sebetulnya termasuk
orang yang keberapa di antara Tiga Garuda itu" Kakek
Seribu Muka bertanya sambil tertawa dingin.
Pertanyaan itu membuat Pek Thian Hiong bungkam,
muka nampak merah padam, saat itu ia tidak bisa
menjawab. Kakek Seribu Muka nampak sangat bangga, ia menunjuk
kepada beberapa pemuda berpakaian hijau dan berkata
dengan bangganya:
"Jangan kata suhu, sekali pun beberapa sute dan
sumoyku ini, sancu barangkali juga tidak dapat
membedakan, mana satu yang pria, mana yang wanita?"
Kata-kata itu kembali telah menyulitkan Pek Thian
Hiong, jago tua itu menggertak gigi, kemudian berkata
dengan nada suara dingin:
"Aku orang she Pek justru lantaran mereka sehingga
mau datang kemari! Hari ini aku bagaimana tidak akan
mencari keterangan yang sejelas-jelasnya" Aku hendak
menemukan siapa orangnya yang membikin onar di danau
Thian-tie?"
Touw Liong perlahan-lahan bangkit dari tempat
duduknya, ia menuoja kepada Pek Thian Hiong, kemudian
berkata: "Sancu sabar dulu, aku yang rendah akan mewakilimu."
Pek Thian Hiong terpaksa menahan hawa amarahnya, ia
perlahan-lahan kembali ke tempat duduknya. Touw Liong
menunjuk kepada orang yang berada di sebelah kiri Kakek
Seribu Muka kemudian berkata:
"Itu adalah Ngo Ko?"
Kakek Seribu Muka terkejut, semua orang lantas tujukan
pandangan matanya ke arah pemuda itu, namun tidak
dapat melihat apa perbedaan, antara orang yang disebut
Ngo Ko itu dengan tiga pemuda berpakaian hijau yang
lainnya. Ciauw Kun, salah satu dari Sepasang Burung Hong juga
menarik tangan Lo Yu Im dan bertanya dengan suara
perlahan: "Nona Lo, bagaimana Touw tayhiap dapat mengenali
bahwa orang itu adalah seorang nona lain?"
Lo Yu Im memberi isyarat dengan mulutnya, kemudian
berbisik-bisik di telinganya:
"Di atas kopiahnya terdapat sebuah tanda bunga Bwee
warna putih."
"O!" Demikianlah Sepasang Burung Hong berseru dan
mengawasi tiga pemuda berbaju hijau di sisi Kakek Seribu
Muka. Dengan beruntun Touw Liong menyebutkan pula namanama:
"Sie-kow!"
"Jie Chung-cu!"
"Sam Chung-cu! Pelajar Seribu Muka!"
Sie-kow yang disebut oleh Touw Liong tadi, di atas
kopiahnya terdapat tanda bungan warna kuning, sedangkan
Sam Chung-cu Pelajar Seribu Muka, tandanya adalah
bunga warna biru.
Bab 29 Kakek Seribu Muka dengan wajah dan nada suara dingin
berkata: "Sungguh hebat pandangan matamu! Touw tayhiap,
hari ini jikalu daku dapat menyebutkan suhuku, mana satu
dari tiga sesepuh golongan Pak-bong, maka aku si orang tua
baru merasa takluk benar-benar padamu!"
Touw Liong kali ni benar-benar merasa sulit untuk
memberi jawabannya, tetapi tidak kecewa ia menjadi murid
golongan Kiu-hwa, ia putar otak mengingat-ingat kembali
para jago dan tokoh-tokoh terkuat rimba persilatan pada
lima puluh tahun berselang, seperti apa yang diberitahukan
oleh suhunya. Pada lima puluh tahun berselang, Tiga Garuda dari
golongan Pak-bong, atau yang disebut Pak-bong Sam-eng,
Garuda Sakti atau Sin-eng yang usianya paling tinggi,
seandai orang ini masih hidup, usianya sudah tentu lebih
dari seratus tiga puluh tahun.
Tetapi umur manusia jarang yang mencapai setinggi itu,
apalagi Tiga Garuda itu sudah pernah bertempur hebat
dengan tujuh pahlawan dari golongan Bu-tong, dalam
pertempuran hebat itu kedua belah pihak sudah tentu ada
yang jatuh korba, mereka kalau tidak mati tentunya terluka
parah. Dengan usia setinggi itu jika terluka parah, rasanya
tidak mungkin kalau bisa hidup sampai hari ini.
Maka Garuda Sakti atau Sin-eng itu rasanya sudah tiada,
hal ini barangkali tidak perlu diragukan.
Orang kedua ialah Giok-eng atau Garuda Batu Giok,
Giok-eng adalah seorang wanita, jika ia masih hidup,
usianya juga sudah mencapai ratusan tahun.
Orang-orang rimba persilatan yang bisa hidup sampai
seratus tahun lebih, bukan tidak ada, tetapi soalnya ialah
Kakek Seribu Muka itu merupakan murid kepala, menurut
peraturan rimba persilatan, seorang tokoh kaum wanita, tak
mungkin menerima seorang pria sebagai murid kepala.
Oleh karena itu Giok-eng juga tidak mungkin menjadi
gurunya si Kakek Seribu Muka, juga tak mungkin tokoh
wanita itu masih hidup di dalam dunia.
Tinggal yang ketiga, orang yang ketiga itu gelarnya Huieng,
atau Garuda Terbang, hanya Hui-eng lah yang
mempunyai kemungkinan besar untuk menjadi guru Kakek
Seribu Muka. Hui-eng di dalam rimba barisan Tiga Garuda, usianya
termasuk yang paling muda, sekarang seandainya masih
hidup, umurnya belum mencapai seratus tahun. Pada lima
puluh tahun berselang, ia justru mencapai usia yang sedang
kuat-kuatnya, jika mendapat luka pada pertempuran hebat
dengan golongan Bu-tong waktu itu, juga agak mudah
merawat atau menyembuhkan luka-lukanya. Ditilik lagi
dari golongan orang-orang Pak-bong yang ada sekarang ini,
setiap orang memiliki kepandaian ilmu meringankan tubuh
yang sangat mahir, maka kemungkinan besar bahwa orang
itu yang kini masih hidup di dalam dunia.
Setelah mengadakan analisa demikian, Touw Liong lalu
dapat memastikan bahwa diri Kakek itu pastilah Hui-eng,
maka ia lalu menjawab dengan suara lantang:
"Gurumu dan yang merangkap ketua golonganmu
adalah Hui-eng locianpwee."
Wajah Kakek Seribu Muka berubah seketika, matanya
menatap Touw Liong, sedang Pek Thian Hiong pada saat
itu dengan tiba-tiba bangkit dan mendahului bertanya:
"Siapakah yang melakukan perbuatan yang bersifat
mengacau di atas danau Siauw-hian-te?"
Orang-orang dari Ji-chungcu ke bawah, dan empat
pemuda berbaju hijau semua pada bangkit dari tempat
duduknya masing-masing.
"Yang mengantar kepala manusia, inilah orangnya?"
Berkata si Kakek Seribu Muka sambil menunjuk Ngo-kow,
kemudian berkata pula sambil menunjuk Sam-chungcu:
"Dialah yang meninggalkan tulisan di atas salju."
Setelah itu ia menunjuk kepada Sie-kauw:
"Yang memancing kau meninggalkan puncak Thian-tubeng
adalah dia."
"Bagus! Bagus! Mereka berempat semua ada bagian,"
berkata Pek Thian Hiong sambil tertawa dingin. Maksud
kedatangannya mencari empat orang itu, ialah hendak
minta pertanggungan jawab mereka atas perbuatannya itu.
Sementara itu Sam-chungcu tertawa nyaring, lalu
menjura memberi hormat dan kemudian berkata:
"Orangnya akulah yang membunuh, kalau Sammenghendaki
apa-apa, carilah kepada aku seorang."
Pek Thian Hiong mengendalikan hawa amarahnya,
bertanya: "Membunuh orang, ada alasannya untuk membunuh,
kenapa kau membunuh tokoh-tokoh rimba persilatan yang
kuundang untuk menghadiri pertemuan di atas gunung
Thian-tu-hong?"
Pelajar Seribu Muka wajahnya berubah. Ia menarik
nafas panjang, sementara itu Touw Liong dan Lo Yu Im
sama-sama pasang mata untuk memperhatikan tindakan
selanjutnya. Pelajar Seribu Muka itu setelah menarik nafas panjang,
tidak menjawab pertanyaan Pek Thian Hiong, sebaliknya ia
balas menanya: "Aku numpang tanya kepada Sancu, di dalam dunia ini
permusuhan yang menyangkut soal apa yang dipandang
paling besar?"
"Musuh yang membunuh ayah atau merampas istri,"
menjawab Pek Thian Hiong dengan suara lantang.
"Sebelas orang itu semua ada tersangkut permusuhan
besar denganku, karena mereka telah membunuh ayah
bundaku. Untuk menuntut balas dendam, kalau aku
membunuh mereka, apakah itu suatu perbuatan yang tidak
lebih daripada pantas?" Berkata Pelajar Seribu Muka denga
suara yang penuh emosi.
Pek Thian Hiong mengangguk-anggukan kepala dan
mengacungkan ibu jarinya, setelah itu ia berkata:
"Harus! Itu suatu perbuatan yang patut dipuji!"
Tetapi setelah berkata demikian ia balas menanya:
"Apakah kau sudah memikirkan tempatnya untuk
membunuh orang itu?"
"Untuk menuntut balas dendam ayah bundaku, aku tak
bisa memikirkan terlalu banyak!" berkata Pelajar Seribu
Muka dengan sikap yang masih marah.
Touw Liong juga tertarik oleh penuturan Pelajar Seribu
Muka itu, diam-diam ia menggertak gigi, kalau benar
bahwa Pelajar Seribu muka itu adalah saudara kandungnya
sendiri, maka dendam sakit hati itu ia juga turut memikul
kewajiban untuk menuntut. Mungkin terdorong oleh
pikiran semacam itu, ia lantas bangkit dan berkata kepada
Pek Thian Hiong sambil menjura:
"Sebagai anak, yang menuntut balas dendam bagi orang
tuanya, ini merupakan suatu perbuatan yang sudah
seharusnya. Sekalipun dalam caranya melakukan
pembunuhan itu Sam-chungcu mungkin ada yang kurang
tepat, tetapi Sancu juga harus mengingat notifnya perbuatan
itu, sudilah kiranya memaafkan padanya."
Pek Thian Hiong sesungguhnya tidak menduga, Touw
Liong dengan tiba-tiba membela orang yang sebagai
lawannya, sesaat itu ia merasa sangat mendongkol, ia
mendelikkan mata kepada Touw Liong lalu berkata:
"Baiklah! Kalau Touw tayhiap demikian simpati
terhadapnya, silakhkan Touw tayhiap tolong menanyakan
kepadanya, sebelas buah panji hitam itu siapa yang
mengambil" Aku Pek Thian Hiong tidak mau harus
menanggung jawab dalam hal ini, asal dia mau
menyerahkan panji hitam itu, segalanya kita boleh pikirkan
lagi." Touw Liong memasukkan tangannya ke dalam sakunya,
mengeluarkan dua belas buah panji hitam, dengan sikap
serius ia berkata:
"Panji itu adalah milikku, seharusnya aku yang
mengambil kembali."
Begitu panji hitam itu muncul semua orang pada
terkejut. Wajah Pek Thian Hiong berubah seketika, katanya
dengan nada suara aneh:
"Kiranya Touw tayhiap dengan dia merupakan orang
satu golongan dan sudah bersama-sama menghadapi aku si
orang tua."
Touw Liong membantah sambil menunjuk panji hitam:
"Harap sancu jangan salah paham, panji itu adalah
Dewa Arak dari golongan pengemis yang menunjuk aku
sebagai pewarisnya, tetapi entah cara bagaimana bisa
terjatuh di tangan Sam chungcu."
Sam chungcu mengangguk-anggukkan kepala, kemudian
berkata: "Benar! Benar! Dewa Arak itu kiranya sudah salah
mengira aku sebagai Touw Tayhiap hari itu?"
Ia lalu terbenam dalam kenangannya pada kejadian di
masa yang lampau.
Hal ini terjadi pada setahun berselang, puncak gunung
Thian-tu-hong diliputi oleh salju sangat tebal, Pelajar Seribu
Muka waktu itu justru mendaki gunung untuk mencari jejak
musuhnya. Dengan tiba-tiba suara seorang tua telah
terdengar di telinganya: "Bocah!"
Pelajar Seribu Muka saat itu merasa terkejut, ia
berpaling, orang yang memanggilnya itu ternyata adalah
Dewa Arak si Taysu Gila dari golongan pengemis. Pelajar
Seribu Muka buru-buru menghampiri dan mengunjuk
hormat, dengan sangat hati-hati ia menanyakan
keselamatannya.
Dewa Arak itu tidak banyak berkata, pertama-tama ia
sudah mencetuskan kata-katanya yang mengandung sifat
sesalan: "Kau bocah ini sungguh tidak ada gunanya!"
Pelajar Seribu Muka yang dikatakan demikian, sudah
tentu tidak mengerti apa maksudnya.
Di dalam keadaan bingung, Dewa Arak menunjuk ke
salah satu tempat seraya berkata:
"Bocah, barang yang kau kehendaki sudah
kuketemukan! Dengan bakat seperti kau, kalau kau
menggunakan waktu dua bulan untuk berlatih dengan tekun


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak susah bagimu untuk mendapat kedudukan tinggi di
dalam rimba persilatan. Ingat! Jangan lupa apa yang kau
mau lakukan, juga jangan lupa bahwa mulai saat ini kau
sudah merupakan pewaris panji wulung yang tulen!"
Setelah menyerahkan panji hitamnya dan mengeluarkan
kata-kata itu, Dewa Arak lantas berlalu meninggalkan
Pelajar Seribu Muka berdiri termangu-mangu sendiri.
Pelajar Seribu Muka yang masih berdiri termenung
memikirkan tindakan Dewa Arak dan mengawasi
berlalunya orang tua itu, samara-samar terdengar suara
Dewa Arak yang berkata demikian: "Touw Liong, Touw
Liong! Kau harus berlaku baik-baik! Jikalau kau
melanggar ucapanku, Tuhan tidak akan melindungi
dirimu." Pelajar Seribu Muka saat itu mengerutkan alisnya dan
menggaruk-garuk kepalanya sendiri yang tidak gatal, ia juga
merasa geli karena melihat kelakuan Dewa Arak yang
merupakan orang gila itu.
Pelajar Seribu Muka saat itu hanya ganda tertawa saja,
perkataan Dewa Arak itu dianggapnya sebagai perkataan
seorang sinting, selanjutnya ia turun dari gunung itu.
Berjalan belum jauh, baru mendapat pikiran bahwa
tindakannya tadi keliru, sebab Dewa Arak itu meskipun
orangnya seperti orang sinting dan suka memain, tetapi
selamanya ia bicara ada batasnya, main-main tinggal mainmain,
tetapi urusan yang benar ia tidak mau dianggap
sebagai main-mainan. Lagi pula apa yang dikatakan
tentang diri Touw Liong tadi, orang itu waktu itu ada
sedikit nama baik di dalam rimba persilatan.
Semakin dipikir semakin kuat dugaannya, Pelajar Seribu
Muka buru-buru memutar balik dan mendaki lagi ke
puncak gunung Thian-tu-hong. Setelah melalui puncak
Ceng-liong-kang ia berjalan menuju ke tempat yang
tertinggi. Puncak tertinggi Ceng-liong-kang tertutup oleh lapisan
kabut, di atas meja batu dalam kupel kuno segi delapan
terdapat selembar kertas. Kertas itu terdapat tulisan tangan
yang kata-katanya sebagai sajak, tetapi bukan sajak :
"MENENGADAH MEMANDANG ANGKASA
BEBAS, MENUNDUK MELIHAT AWAN
BERGUMPALAN, HAWA BARANG WASIAT
MEMANCAR DI PUNCAK CENG-LIONG-KANG,
PANJI WULUNG MUNCUL LAGI DI DUNIA
PERSILATAN."
Pelajar Seribu Muka sebagai seorang yang sangat cerdik,
lalu memikirkan tulisan itu, diam-diam berkata kepada
dirinya sendiri: Apakah yang dimaksudkan barang wasiat
itu ada di bawah ini"
Ia lalu menengok ke bawah, benar saja, puncak Cengliong-
kang diliputi oleh awan bergumpalan. Di antara
gumpalan awan itu, tertampak puncak-puncak gunung yang
menjulang dengan jalan-jalannya yang licin dan berbahaya,
di tempat semacam itu, paling-paling hanya ada batu-batu
cadas dan tebing-tebing yang curam, mana ada tempat
untuk sembunyikan barang-barang wasiat"
Untuk membuktikan bunyi surat itu ia mencari pohon
rotan untuk merambat turun, rotan itu diikat kepada kupel
diluncurkan ke bawah sepuluh tombak lebih ia meluncur
mengikuti rotan yang diikat, benar saja menemukan sebuah
gua rahasia. Pelajar Seribu Muka memasuki gua itu,
dengan sangat mudah sekali ia mendapatkan kitab
peninggalan jago pedang kenamaan Hui-thian Giok-liong
Liu Kiam Hong, bersama sebuah sampul yang sangat tebal,
barang itu diletakkan di sebuah kotak yang berisi sebelas
panji hitam. Pelajar Seribu Muka membuka kitab yang ditulis dengan
tangan, sesaat itu ia terkejut sehingga mulutnya ternganga,
seolah-olah menemukan barang pusaka yang tidak ternilai
harganya. Kiranya kitab itu memuat ilmu-ilmu silat
simpanan dari golongan Siauw-liem-sie, ilmu silat itu terdiri
dari tiga ilmu terampuh, masing-masing adalah Thay-lo
Sin-kong Siau-kang, Thay-lo Sin-kong-ciu dan Thay-lo kimkong-
kiam. Kotak yang berisi sebelas panji hitam itu membuat ia
semakin terkejut, sedangkan sampul yang tebal itu juga
membuat ia repot, sebab di atas sampul itu jelas tertulis
dengan kata: "Ditinggalkan kepada Panji Wulung generasi ketiga."
Dari kata-kata yang ditinggalkan oleh Dewa Arak, ia
dapat mengetahui bahwa surat itu seharusnya menjadi
untuk Touw Liong.
Pelajar Seribu Muka yang masih merupakan ksatria
berjiwa besar, diam-diam telah mengambil keputusan,
dalam sampul itu tidak peduli isinya barang wasiat atau
bukan, juga akan diberikan kepada Touw Liong. Tiga rupa
barang itu lantas dimasukkan ke dalam sakunya, ia lantas
naik dengan menggunakan rotan yang diikat kepada kupel
tadi. Pada saat ia tiba di atas, kebetulan ia telah berjumpa
dengan toa-suhengnya ialah Kakek Seribu Muka, ia lalu
menceritakan semua pengalamannya, dan toa"suheng ini
yang biasanya sangat cinta kepadanya, setelah mendengar
sutenya mendapat pengalaman gaib seperti itu, benar-benar
sangat girang. Dua orang itu lalu mempelajari urusan itu,
karena puncak Thian-tu-hong itu letaknya sangat terpencil
dan jarang didatangi oleh manusia, maka sutenya itu lalu
balik lagi ke dalam gua, bersembunyi untuk melatih
ilmunya sedang si Kakek Seribu Muka, ialah toa-suhengnya
menunggu di atas untuk melindungi.
Hanya dalam waktu dua bulan saja, Pelajar Seribu Muka
sudah berhasil mempelajari ilmunya dan kebetulan lagi
ilmu itu segera dapat digunakan.
Digunakan untuk apa" Kesatu, karena musuh Pelajar
Seribu Muka terlalu kuat, dua, dapat menggunakan
kesempatan dalam pertemuan besar di danau Siao-thian-tie
di puncak gunung Lu-san untuk membangun kembali
kekuatan golongan Pak-bong.
Setelah berunding masak-masak, dua orang itu
bersemedi di atas puncak Ceng-liong-kang, sungguh
kebetulan, pada saat itu Touw Liong juga mendaki ke
puncak Thian-tu-hong, apa mau kedatangannya terlambat
semalam, hingga didahului oleh Pelajar Seribu Muka.
Kakek Seribu Muka yang takut akan terjadi hal-hal di
luar dugaannya, ia sudah ingin membinasakan Touw Liong
atau disingkirkan dari situ. Ia sengaja dengan secara misteri
memberitahukan bahwa Pelajar Seribu Muka sudah pergi
ke gunung Tiam-cong-san. Sewaktu Touw Liong
meninggalkan puncak gunung Thian-hu-tong, Anak Sakti
dari gunung Bu-san masih berkutet dengan Kakek Seribu
Muka. Kakek Seribu Muka tidak berdaya, hingga pancing
padanya ke lembah rahasia gunung Pak-bong-san dan
akhirnya ditawan di situ.
Orang selanjutnya yang turut tertawan adalah Sepasang
Burung Hong dari gunung Bu-san yang turut mengejar
Anak Sakti dari Gunung Bu-san.
Ilmu-ilmu dari golongan Siauw-lim-sie yang dipelajari
oleh Pelajar Seribu Muka, oleh karena ia sudah mempunyai
dasar yang cukup kuat, kedua, karena cara-caranya yang
tertulis dalam kitab itu, setelah dirubah lagi oleh Liu Kiam
Hiong, hingga lebih mudah daripada yang dimuat dalam
pelajaran aslinya. Ditambah lagi dengan Pelajar Seribu
Muka yang masih jejaka murni, dalam dua bulan itu ia
sudah berhasil. Dengan bekal itulah maka ia dapat
melakukan perbuatan yang menggemparkan seluruh rimba
persilatan.......
Pelajar Seribu Muka setelah menceritakan semua
pengalamannya, ia memasukkan tangannya ke dalam
sakunya, untuk mengambil sampul itu. Selagi hendak
dikeluarkan, mendadak pikirannya menjadi berubah,
hingga dimasukkan kembali.
Ia menunjuk Panji Hitam di tangan Touw Liong,
katanya, "Barangkali oleh karena wajah kita dua orang yang mirip
satu sama lain hingga Dewa Arak sudah salah anggap aku
sebagai dirimu, dan memberikan padaku sebelas buah
panji." "Oo!" demikian Touw Liong berkata sambil
mengerutkan alisnya.
Sementara itu Pek Thian Hiong sudah berkata sambil
tertawa, "Baiklah! Karena urusan ini sudah jelas duduk
perkaranya, maka aku si orang tua hanya mempunyai
sedikit permintaan kepada kalian, aku hanya tidak tahu
selagi ketua kalian tidak ada di sini, apakah kiranya Toachungcu
dapat memutuskan?"
Kakek Seribu Muka bangkit memberi hormat dan
berkata sambil tertawa,
"Aku bersedia untuk mendengarkan permintaanmu."
"Undangan untuk mengadakan pertemuan di danau
Thian-tie, adalah aku si orang tua yang membuat, tokohtokoh
rimba persilatan karena terjadinya perbuatan itu
hampir semuanya memandang diri aku si orang she Pek,
tidak peduli berapa besar permusuhan di antara mereka,
untuk sementara dapat ditangguhkan dulu. Jadi selama
pertemuan itu berlangsung, tidak akan dibicarakan.
Sedangkan kalian ternyata tidak memberi muka kepadaku,
di malam hari pertemuan besar itu telah melakukan
pembunuhan kejam, yang membunuh orang-orang dari
sepuluh golongan."
"Ucapan sancu mengenai sepuluh orang ini tidak benar,
seharusnya sebelas orang," berkata Kakek Seribu Muka
dengan sikap agak mengejek untuk membatalkan
keterangan Pek Thian Hiong.
Pek Thian Hiong agak marah, dengan mengikuti katakata
Kakek Seribu Muka, ia melanjutkan perkataannya,
"Satu orang lagi dengan golonganmu ada permusuhan
apa lagi?"
Tanpa banyak pikir, Kakek Seribu Muka menjawab,
"Orang itu hebat asal-usulnya...." dengan sangat bangga
ia tertawa kemudian melanjutkan ucapannya.
"Orang itu adalah murid kepala dari Ngo-gak Sin-kun,
sebab tua bangka itu dahulu dengan suhu mempunyai
sedikit ganjalan sakit hati, maka dengan menggunakan
kesempatan pertemuan di danau Thian-tie itu, kita
memberikan sedikit peringatan kepada Ngo-gak Sin-kun."
"Ngo-gak Sin-kun?"
"Ya."
Pek Thian Hiong dan Touw Liong sama-sama terkejut
dan hampir mengeluarkan seruan kaget. Anak Sakti dari
gunung Bu-san dan Lo Yu Im semakin menaruh perhatian,
mereka saling berpandangan dengan mata terbuka lebar.
Saat itu, Touw Liong segera teringat keterangan orangorang
rimba persilatan yang diceritakan oleh suhunya
dahulu, guru itu pernah mengatakan bahwa Ngo-gak Sinkun
orang yang terlalu membela anak muridnya, orang itu
tergolong di tengah-tengah antara golongan baik dan
golongan sesat, ia bertindak hanya menurut kesukaan
hatinya, tidak memperhitungkan baik buruknya atau
untung ruginya, lakukan dulu, bicara belakang, begitulah
sifatnya. Julukannya Ngo-gak Sin-kun itu juga didapatkan
karena orangnya sangat berangasan dan terlalu menuruti
hawa nafsunya sendiri. Seluruh daerah Ngo-gak hampir
tiada orang yang tidak kenal kebuasan orang itu, sehingga
tempat itu sangat tidak tenang. Kemudian, sahabat-sahabat
rimba persilatan lalu memberikan julukan kepadanya
sebagai Ngo-gak Sin-kun atau Malaikat dari daerah Ngogak.
Dia ingat kejadian itu kira-kira pada empat-lima puluh
tahun berselang. Sudah beberapa puluh tahun lamanya,
tidak pernah dengar nama orang tua itu masih hidup atau
sudah mati, tetapi kini dengan tiba-tiba muncul kembali,
bukankah itu sangat mengejutkan"
Ia teringat kepada kepala manusia yang tidak ada yang
mengakui di atas danau Thian-tie, dalam hatinya timbul
pertanyaan sendiri : Apakah kepala itu kepalanya murid
Ngo-gak Sin-kun" Sementara itu Kakek Seribu Muka sudah
berkata lagi, "Dalam rimba persilatan memang banyak urusan, Ngogak
Sin-kun sudah muncul lagi dan Pek Sancu juga ingin
menjagoi rimba persilatan, tetapi maksud Pek sancu yang
ingin memperbesar pengaruhnya di daerah Tionggoan
barangkali akan menggunakan banyak tenaga."
"Golongan Pak-bong-pay juga tidak akan enak-enak saja,
kalian sudah membunuh murid kepalanya," berkata Pek
Thian Hiong sambil tertawa dingin.
Kakek Seribu Muka mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, kemudian berkata,
"Itu memang benar, orang adalah kita yang membunuh,
sayang dalam rimba persilatan tiada orang yang tahu.
Orang hanya memperhatikan apa ditinggalkan di atas salju,
mereka pasti mengatakan bahwa orang itu dibunuh oleh
Panji Wulung!"
"Perbuatan seorang ksatria seharusnya sesuai dengan
namanya. Tetapi perbuatan kalian orang-orang dari
golongan Pak-bong yang demikian rendah dan tidak tahu
malu, sudah mengalihkan kesalahannya kepada orang lain,
apakah itu perbuatan seorang ksatria" Namun demikian
kau juga jangan lupa, bahwa hari ini orang-orang yang
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya ada orang dari
Cit-phoa-san, Bu-san, Kiu-hwa dan Kun-lun, kita orangorang
dari empat golongan ada satu saja yang usil mulut
sudah cukup membuat kalian mendapat banyak kesulitan."
Kakek Seribu Muka tertawa terbahak-bahak, setelah
merasa puas tertawa ia baru berkata,
"Memang sebetulnya, pada dewasa ini siapapun yang
berani mengganggu Panji Wulung atau Ngo-gak Sin-kun si
tua bangka manusia aneh itu, pasti akan mengalami
kesulitan darinya. Tetapi harap sancu jangan lupa bahwa
hari ini tuan adalah tetamu dari gedung rahasia kami ini,
seperti peribahasa kata : TETAMU HARUS MENURUT
KEHENDAK TUAN RUMAH. Tinggal atau perginya
tuan-tuan tergantung pada sikapku terhadap tamunya. Jika


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku merasa senang untuk melayani tuan lebih lama berdiam
di sini untuk beberapa hari atau beberapa tahun, bahkan ....
dengan cara bagaiamana tuan-tuan masih ada waktu untuk
menceritakan hal ini kepada orang lain."
Pek Thian Hiong dan Touw Liong sangat marah,
begitupun yang lain-lainnya. Kakek Seribu Muka berkata
pula sambil menunjuk Pelajar Seribu Muka.
"Menurut aturan, dialah yang seharusnya menjadi
pewaris yang sebenarnya dari Panji Wulung!"
Touw Liong agak mendongkol, sedangkan sancu dari
Cit-phoa-san yang mendengar ucapan itu tidak dapat lagi
kendalikan hawa amarahnya, katanya dengan suara gusar,
"Dalam dunia bagaimana ada begini banyak Panji
Wulung" Apakah kalian hendak menggunakan nama Panji
Wulung sebagai penunjang golongan Pak-bong-pay" Kalau
benar kau beranggapan demikian, anggapanmu itu keliru
sekali! Tampaknya hari ini kau memang sengaja hendak
menahan kami ada di sini."
"Pangcu seorang pintar, kalau kau hendak berkata
demikian juga boleh," berkata Kakek Seribu Muka dengan
nada suara dingin.
Pek Thian Hiong yang sudah marah sekali dengan tibatiba
mengebutkan jubahnya, papan meja di hadapannya
tiba-tiba terangkat tinggi, terus meluncur ke meja depan,
orang-orang yang berada di meja tamu agaknya sudah
mengerti maksud Pek Thian Hiong, maka masing-masing
pada bangkit untuk menyingkir.
Muka meja yang lebarnya kira-kira delapan kaki dengan
tenang meluncur, sedang arak-arak di atas meja tiada satu
yang tumpah, demikianpun barang hidangan yang berada di
dalam mangkuk, muka meja itu berputaran ke udara dan
melayang turun ke bawah.
Jikalau dibiarkan meja itu turun, sudah tentu akan
menimpa orang-orang yang duduk di meja perjamuan di
bagian tuan rumah, selain daripada itu juga akan
menghilangkan muka orang-orang dari Pak-bong-pay.
Selagi muka meja itu berputar dan melayang turun,
kakek Seribu Muka berseru dengan kata-katanya, "Ilmu
Tay-it-cin-kang yang sangat hebat." Sementara itu Pelajar
Seribu Muka dengan tiba-tiba bangkit dari tempat
duduknya, ia tidak menunggu sampai muka meja itu turun
sudah pentang lima jarinya, dengan suatu gerak menahan
turunya meja itu.
Sungguh aneh, lima jari tangan Pelajar Seribu Muka itu
terpisah dengan muka meja kira-kira lima kaki, dan muka
meja itu dengan tiba-tiba berhenti.
Keadaan demikian, muka meja itu seolah-olah tertahan
oleh kekuatan tenaga dalam Pelajar Seribu Muka yang tidak
berwujud. Setelah itu Pelajar Seribu Muka berseru, "Naik!" lima
jari tangannya mendorong ke atas dan kemudian
membentak pula, "Kembali!"
Muka meja itu seolah-olah menurut perintahnya benarbenar
berputar dan kembali ke tempat asalnya.
Perbuatan itu sesungguhnya di luar dugaan Pek Thian
Hiong, sesaat itu ia lalu berseru,
"Ilmu jari tangan Kim-kong Sian-kang benar-benar
hebat!" Setelah itu ia mengibaskan lagi jubahnya untuk
menyambut muka meja yang sedang melayang turun, tidak
ampun lagi, muka meja itu terdampar setinggi dua tombak
dan jatuh di tempat sejauh lima tombak.
Touw Liong yang mendengar disebutnya ilmu Kim-kong
Sian-kang, tertarik hatinya, tetapi ia hanya mengeluarkan
seruan tertahan, "Ooo!"
Wajah Pek Thian Hiong menunjukkan perasaan
terkejutnya, ia memandang Pelajar Seribu Muka dan
berkata kepada diri sendiri dengan suara perlahan, "Pantas
orang golongan Pak-bong-pay berani berlaku demikian
congkak, kiranya bocah ini sudah berhasil mempelajari ilmu
terampuh dari golongan Siauw-lim-si!"
Kakek Seribu Muka berkata sambil tertawa dingin.
"Suteku hanya berhasil mempelajari ilmu Tay-lo-siankang
dan Tay-lo Kim-kong-ci, tetapi suhu yang mempelajari
ilmu Sian-kangnya kini sudah berhasil seluruhnya, seratus
delapan jurus Tay-lo Kim-kong-kiam juga dipelajarinya
sudah hampir selesai. Orang she Pek, kita orang-orang
golongan Pak-bong jikalau belum seyakin-yakinnya,
bagaimana berani bermusuhan dengan Panji Wulung"
Berani bertentangan dengan Pek-sancu dan berani mengadu
ilmu dengan Ngo-gak Sin-kun tua bangka itu?"
"O! Jadi yang diandalkan oleh kalian orang-orang
golongan Pak-bong adalah ilmu simpanan dari Siauw-limpay!
He hehe! Aku si orang she Pek kalau begitu ingin
belajar kenal dengan kepandaian kalian," berkata Pek Thian
Hiong dengan gagah.
"Kalau begitu, kau Pek-sancu tentunya juga mempunyai
ilmu simpanan yang belum pernah dikeluarkan?"
"Tidak ada apa-apa, hanya tiga jilid dari kitab Thay-it
Cin-keng."
"Thay-it Cin-keng?" demikian orang banyak bertanya
kaget. "Semua ilmu simpanan dari rimba persilatan hampir
muncul pada saat yang bersamaan, benar-benar merupakan
suatu masa yang sangat besar. Kedatangan Pek-sancu hari
ini sangat kebetulan sekali, karena kebetulan suhu yang
sedang bertapa sudah hampir habis waktunya, Pek-sancu
yakin memiliki kepandaian ilmu yang tiada taranya, ini
justru dapat digunakan untuk belajar kenal dengan
kepandaian suhum siapa yang lebih kuat, apalagi ... He
he..!" Si Kakek Seribu Muka ada maksud hendak membakar
hati Pek Thian Hiong, maka ia berkata lagi sambil tertawa
mengejek. "Apa yang Pek-sancu dapatkan hanya sebagian dari ilmu
yang tidak lengkap, bagaimana dapat digunakan untuk
mengadu kepandaian dengan ilmu simpanan dari golongan
Pak-bong?"
Kata-kata itu sesungguhnya sangat menyinggung
perasaan, Pek Thian Hiong yang mendengar itu karena
sangat marahnya sehingga tertawa terbahak-bahak,
kemudian berkata,
"Siapa akan menang" Siapa akan kalah" Sebentar akan
dapat ketentuan! Aku orang she Pek kalau hari ini
mendapat kekalahan ..."
Karena tidak berhasil mengendalikan hawa amarahnya,
ia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Sementara Kakek Seribu Muka yang kandung maksud
hendak mendesak dia mengeluarkan kepandaiannya, lalu
bertanya, "Seandainya tidak beruntung sancu yang kalah,
bagaimana?"
Touw Liong yang melihat gelagat demikian, diam-diam
berkata sendiri sambil menghela napas,
"Celaka!"
BAB 30 Pek Thian Hiong mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, selanjutnya baru berkata,
"Aku akan mengasingkan diri, namaku ini akan kukubur
selama-lamanya!"
"Ucapan sancu terlalu berat! Aku si orang tua
sebaliknya mempunyai sedikit usul! Berkata Kakek Seribu
Muka sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
"Usul apa?"
"Kita harus merasa beruntung hidup di jaman ini, kita
sedang menghadapi dunia Kang-ouw yang kacau balau,
mengapa kita tidak bersama-sama melakukan pekerjaan
besar?" "Maksudmu, apakah jikalau aku Pek Thian Hiong sudah
kalah, harus mendengar perintah-perintahmu orang Pakbong-
pay?" "Tidak! Tidak! Tidak! Kita sama-sama melakukan
pekerjaan besar dengan bahu-membahu."
Pek Thian Hiong mengerutkan alisnya, katanya dengan
nada suara dingin,
"Tidak perlu banyak bicara, sebaiknya kau cari dulu
suhumu untuk bertanding dengan kita nanti kita boleh
bicarakan lagi."
Kakek Seribu Muka kembali unjukkan ketawa iblisnya,
sambil berpaling kepada Pelajar Seribu Muka ia berkata,
"Kalau sancu hendak menemui suhu itu sangat mudah,
menurut kebiasaan orang yang ingin bertemu dengan suhu,
lebih dulu harus disambut oleh kita suheng dan sute."
Pelajar Seribu Muka bangkit dan menghampiri Pek
Thian Hiong. Ia menjura memberi hormat, kemudian
berkata, "Sancu, silahkan!"
"Baik juga! Aku akan menandingi kau lebih dulu untuk
menemui tokoh-tokoh rimba persilatan dan membereskan
peristiwa berdarah di danau Siao-thian-tie, setelah itu baru
mencari gurumu untuk minta keadilan." berkata Pek Thian
Hiong sambil tertawa dingin.
Lo Yu Im mengerutkan alisnya, diam-diam mengeluh
sendiri. Sedangkan Touw Liong sikapnya semakin merasa
tidak tenang, perasaannya pada waktu itu sesungguhnya
sangat aneh, meskipun ia sudah tahu benar bahwa hari itu
kalau ingin bisa keluar dari tempat rahasia golongan Pakbong
hanya tergantung dengan kemenangan Pek Thian
Hiong dalam pertempuran itu. Tetapi sebaliknya juga
khawatirkan kalau-kalau Pelajar Seribu Muka itu kalah.
Karena hal itu menyangkut dengan beberapa persoalan
besar dengan dirinya sendiri, beberapa hal harus mendapat
jawaban dari Pelajar Seribu Muka itu. Umpama kata,
apakah benar pemuda itu adalah saudara kandungnya
sendiri" Dan dari mana panji hitam peninggalan panji
wulung itu"
Dari mana pula tiga ilmu simpanan yang semula menjadi
milik Siao-lim-pay itu.
Sementara itu Pek Thian Hiong sudah keluar dari meja
perjamuan dengan langkah lebar. Ia keluar dari
perkampungan dan lompat ke dalam sebuah rimba.
Pelajar Seribu Muka mengikuti jejaknya dengan langkah
lebar pula. Touw Liong di bawah perlindungan Lo Yu Im
ikut masuk ke dalam rimba buah tho, mereka berdua selalu
berdiri di samping Anak Sakti dari gunung Bu-san,
sedangkan orang-orang dari kedua pihak membuat
lingkaran merupakan pagar lapangan pertempuran.
Pek Thian Hiong perlahan-lahan mengulurkan jari
tangannya, ia memusatkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Hembusan angin yang keluar dari jari
tangannya dapat mencapai tujuan dua tombak lebih, dan
hembusan angin itu menyentuh sebuah pohon besar.
Sungguh aneh, bunga-bunga di atas pohon itu pada rontok
dan daun-daunnya bergoyang-goyang.
Pek Thian Hiong yang lebih dahulu menunjukkan
kehebatan ilmu tenaga dalamnya. Dia telah membuktikan
bahwa ilmunya itu benar-beanr sudah mahir sekali. Begitu
ia menunjukkan kepandaiannya, seorang berkepandaian
tinggi seperti Anak Sakti dari gunung Bu-san juga merasa
kagum. Sementara itu Touw Liong juga mengangguk-anggukkan
kepala dan berkata dengan pujiannya,
"Pek Thian Hiong benar-benar seorang yang tak boleh
dipandang ringan!"
Sementara Pelajar Seribu Muka sendiri juga memberi
pujian hebatnya ilmu Thay-it-cin-kang itu, setelah itu ia
menjura memberi hormat dan berkata,
"Coba lihat aku!"
Baru saja menutup mulut, ia memutar tubuhnya dan
mengacungkan jarinya, dari situ hembusana angin yang
meluncur keluar dari jari tangannya menyapu keluar, dan
mengenai pohon yang tadi bekas dibuat percobaan oleh Pek
Thian Hiong. Pohon yang terletak sejarak dua tombak
lebih itu juga tampak bergoyang-goyang dan kembangnya
pada rontok. Kekuatan dari kedua pihak itu tampaknya sangat
berimbang. Pek Thian Hiong setelah menyaksikan kepandaian
Pelajar Seribu Muka juga memberikan pujiannya.
Setelah itu, kedua tangannya dirangkapkan bersikap
seperti hendak menggunakan ilmu dari golongan Thay-kek,
tetapi yang dimainkan adalah ilmu tangan kosong dari
Thay-it Sin-ciang. Sementara Pek Thian Hiong mainkan
ilmunya Thay-it Sin-ciang, semua orang yang ada di situ
pada berseru riuh.
Saat itu Pelajar Seribu Muka menunjukkan sikapnya
yang serius. Kekuatan tenaga dalam dipusatkan pada
kedua tangannya, siap untuk menghadapi segala
kemungkinan. Gerakan pembukaannya sangat istimewa, telapakan
tangan kiri menunjuk ke atas, dan tangan kanan menunjuk
ke bawah. Pek Thian Hiong menyaksikan gerakan pembukaan
lawannya, juga mengerutkan alisnya yang panjang, dalam
sikap terheran-heran ia berkata,
"Nampaknya sungguh hebat ilmu Kim-kong-sinciangmu."
Gerakan pembukaan yang ditunjukkan Pelajar Seribu
Muka adalah gerakan dari ilmu Pek-pow Sin-koan atau
ilmu silat tangan kosong seratus langkah, yang termasuk
ilmu simpanan dari golongan Siao-lim-pay, kemudian
ditambah lagi empat jurus gerak tipu dari ilmu Kim-kongkiam,
dan oleh jago pedang kenamaan Liu Kiam Hiong
dipelajari lagi beberapa puluh tahun lamanya lalu menjadi
dua puluh empat jurus, ilmu-ilmu itu ditulis dalam kitab
Kim-kong-ciang.
Kim-kong-cian meskipun gerakannya sudah mengalami
banyak perubahan, tetapi gerakan pembukaannya itu tetap
tidak berubah. Touw Liong sebelum ilmu kepandaiannya dimusnahkan,
sudah termasuk orang kuat golongan kelas satu, terhadap


Panji Wulung Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala ilmu kepandaian dari berbagai golongan, sudah
banyak yang ia tahu, dengan dilanjutkannya gerakan
pembukaan dua orang itu, ia juga merasa terkejut.
Pek Thian Hiong yang membuka serangan itu baru
dilancarkannya setengah jalan, lalu menggulung memutar
jadi gerak tipu dari golongan paderi. Sesaat kemudian
kedua tangannya dari terbuka menjadi dirapatkan, di
tengah lapangan itu dalam waktu sekejap sudah merasa
tergoncang oleh hembusan kekuatan tenaga dalam yang
keluar dari putaran tangan Pek Thian Hiong tadi.
Touw Liong baru saja mengeluh, Pek Thian Hiong
sudah melancarkan serangannya yang sangat hebat.
Pelajar Seribu Muka yang sudah siap, begitu tampak
lawannya menggunakan gerak tipunya sangat ampuh, ia
tidak berani berlaku gegabah. Sepasang tangannya diputar
dengan beruntun untuk menyambut serangan lawannya.
Tidak ampun lagi, kedua kekuatan dari kedua pihak saling
beradu sehingga menimbulkan suara gemuruh, sedangkan
dua orang yang mengadu kekuatan itu, dua-duanya
terhuyung-huyung hampir jatuh.
Pek Thian Hiong mundur terhuyung-huyung dua
langkah, rambut dan kumisnya pada berdiri, buru-buru
mengempos napasnya, hingga berhasil berdiri tegak, tidak
sampai jatuh. Sedangkan pihak Pelajar Seribu Muka juga terhuyunghuyung
dan terpaksa mundur sampai beberapa langkah.
Dari mulutnya mengeluarkan suara menggumam.
Dalam pertandingan babak pertama itu, jelas bahwa
kekuatan Pek Thian Hiong masih di atas Pelajar Seribu
Muka. Lo Yu Im yang menyaksikan kejadian itu, wajahnya
berubah seketika, ia buru-buru bergerak ke samping Pelajar
Seribu Muka. Sementara itu Pelajar Seribu Muka terdengar
suara batuk-batuk dan mengeluarkan segumpal darah segar.
Namun ia tidak merintih atau mengeluh, hanya memutar
diri dan lari menuju ke goa, dengan diikuti oleh Lo Yu Im.
Pek Thian Hiong yang melihat itu lalu berkata kepada
Anak Sakti dari gunung Bu-san,
"Jangan lepaskan dia pergi! Lekas tangkap!"
Anak Sakti dari gunung Bu-san menerima baik
permintaan itu, dengan membawa tongkatnya ia mengejar
Pelajar Seribu Muka.
Baru saja ia berjalan kira-kira lima tombak, sudah
ditahan oleh serangan tongkat dari depan.
Anak Sakti dari gunung Bu-san merandek, orang yang
menahan dirinya tadi justru adalah Kakek Seribu Muka
yang pernah pancing dirinya dari puncak gunung Thian-tuhong
ke tempat itu, dan akhirnya ditawannya beberapa
bulan lamanya. Sudah tentu ia lantas menjadi marah,
tongkatnya digerakkan untuk balas menyerang.
Keduanya lalu saling gempur, pertempuran berlangsung
sengit sekali. Sepasang Burung Hong dari gunung Oey-san dan Jie
chungcu Sie-kow, Ngo-kow juga sudah mulai bertempur
menjadi dua rombongan.
Orang-orang dari kedua pihak kini tinggal Touw Liong
dan empat pelindung hukum golongan Pak-bong yang tidak
turut berkelahi, tetapi sekalipun tidak bertempur, mereka
saling berpandangan dengan mata beringas.
Touw Liong hanya dapat menyaksikan berlalunya Lo Yu
Im yang mengikuti Pelajar Seribu Muka menuju ke goa, ia
memikirkan banyak soal, hendak mengejar untuk
menanyakan penjelasannya, terutama mengenai diri Pelajar
Seribu Muka itu, betul saudara kandungnya atau bukan.
Terdorong oleh pikiran itu, Touw Liong tidak
menghiraukan lagi keadaannya, ia mempercepat
langkahnya sedapat mungkin untuk menyusul ke dalam goa
kuno. Sementara itu empat pelindung hukum golongan Pakbong,
karena tidak ada ijin dari Toa-chungcu, maka tetap
berdiri di tempatnya tidak berani meninggalkan. Dengan
demikian ia hanya dapat mengawasi berlalunya Touw
Liong dengan mata terbuka lebar.
Touw Liong yang sudah musnah kepandaian ilmu
silatnya, sudah tentu dengan susah payah ia melakukan
perjalanan itu. Untung ia masih dapat mencapai ke tempat
tujuannya. Begitu tiba di dalam goa, obornya sudah
padam, hingga keadaan dalam goa gelap gulita. Oleh
karena sudah tidak mempunyai kepandaian lagi, sudah
tentu pandangan matanya tidak beda dengan orang biasa,
berada di dalam goa yang gelap gulita seperti itu, barangbarang
yang hanya sejark satu-dua kaki saja semua tidak
Pendekar Sadis 8 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pendekar Pemetik Harpa 29
^