Pencarian

Pedang Dan Kitab Suci 15

Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Bagian 15


Dengar orang bicara dengan lidah Kanglam, dan suara nya terputus-putus, Hi Tong
duga tentu orang itu tengah menderita sakit payah. Siwanita kedengaran menelan
ludah, tangannya lalu memetik snaar pi-peh, namun tak menyanyi.
"Setelah kumeninggal, baik kau kembali ke HangCiu lagi ......... mohon sama kiu-
ya ......... supaya dia merawatmu," demikian suara silelaki.
Siwanita tak menyahut. Tiba-tiba malah kedengaran menyanyi. Kali ini suaranya
sember, sehingga Hi Tong tak dapat dengar jelas. Hanya sehabis itu, wanita itu ter-isak 2 mengibakan hati.
Hi Tong menduga mereka tentulah suami isteri, suaminya tengah terserang penyakit
berat sang isteri nyanyi untuk menghiburnya. Dia teringat masih membawa kantong
uang. Ketika disuluhi dengan lilin, isinya uang emas semua. Itulah Wan Ci yang
memberinya. Hi Tong timbul bermaksud akan menyerahkan beberapa biji uang emas
tersebut. untuk menolong mereka.
"Ah, aku dapat menolong orang, tapi siapakah yang dapat menolong diriku?" Hi Tong
mengelah napas sambil menuju kekamar sebelah dan mengetuk pintunya.
"Maaf, mengganggu kau orang tua, ja, aku tak nyanyi lagi," sahut suara didalam.
"Harap bukai pintu, aku ada sedikit omongan," kata Hi Tong.
(Page cut) jangan mengembara lagi. Nah, selamat malam," kata Hi Tong terus akan bertindak
keluar. "Siangkong (tuan muda), harap tunggu," wanita itu tibas berseru.
Hi Tong hentikan langkahnya.
"Mohon tanya nama siangkong yang mulia."
"Ah, uang yang tak berarti ini, tak perlu kau berterima kasih. Turut tekukan lidahmu, agaknya orang Kanglam. Mengapa bisa berada di TiongCiu sini?"
Wanita itu berpaling kepada silelaki. Nampak keadaannya makin payah, menangislah ia, katanya: "Sebenarnya aku tak berani mengatakan. Tapi menilik dia tak ada harapan
lagi, akupun tak ingin hidup juga. Setelah kututurkan, biarlah orang mengetahui
boroknya bangsa pembesar."
"Yadi kau ber 2 ini juga menjadi korban pembesar negeri?" tanya Hi Tong.
"Dia orang she Ciao. Kami asal HangCiu, masih pernah saudara misan. Sejak kecil kami sudah ditundangkan Tahun yang lalu. dia ditangkap pembesar, dituduh membangkang
dalam wajib dinas militer. Karena miskin, kami tak mampu memberi uang sogok, jadi
dia terus ditahannya............"
Menutur sampai disini, wanita itu berCuCuran air mata. Sejurus kemudian, baru ia dapat melanjutkan pula: "Aku lemah tak berdaya, terpaksa menjadi penyanyi. Orang biasa
memanggil aku 'Giok-ju-ih'."
Kiranya wanita ini ialah Giok-ju-ih yang pernah diperalat oleh jago-jago HONG HWA
HWE untuk menyebak kaisar Kian Liong itu.
Dahulu sewaktu ia dibawa orang-orang HONG HWA HWE untuk menyanyi dihadapan
baginda Kian Liong ditelaga Se-ouw itu, Hi Tong tak ikut disitu. Setelah mendapat luka dia beristirahat ke Thian Bok San. Jadi soal pemilihan ratu keCantikan, siasat menyebak kaisar, sedikitpun dia tak mengetahuinya.
"Belakangan aku bertemu dengan seorang Liok-kongcu, disuruh bantu urusannya.
Sebagai upah, dia berikan seribu tail perak padaku," demikian Giok-jwih menutur pula.
"Betul-betul royal sekali dia", seru Hi Tong memutus pembi Caraan orang.
"Kubermaksud menghadap Ciangkun dalam tentara Ceng, akan menebusnya. Orang
menasehati berbahaya kalau seorang wanita mengadakan perjalanan dengan membawa
uang sedemikian banyak sekalinya. Tapi ternyata bukan bangsa begal penjamun yang
kujumpahkan, melainkan kawanan hamba negeri. Tidak saja uangku dirampas habis,
mereka bahkan akan menyerahkan diriku pada Tihu (residen) untuk di jadikan selir."
"Bangsat!" Hi Tong gebrak meja saking gusarnya. "Kawanan hamba negeri mana itu"
Ayo, lekas bilang!"
"Ah, tak perlu kukatakan. Dimana 2 sama saja. Malamnya aku melarikan diri, sehingga
jatuh kemari. Kebetulan, dia yang dipaksa diangkut untuk berperang kedaerah Hwe,
karena kelaparan, juga melarikan diri. Kita beruntung dapat berkumpul. Tapi, ah, hanya untuk berpisah se-lama-lamanya lagi. Dia terlalu payah keadaanya akibat penyiksaan
yang hebat..."
Hi Tong merasa kasihan, lalu bertanya kepada orang laki 2 itu apakah kekurangan
ransum dari tentara Tiau Hui itu hebat sekali.
Tapi orang itu sudah tak dapat mendengar pertanyaannya hanya menuding kearah
Giok-ji-ih, dia berkata tersengal-sengal :
"Aku......... aku akan pergi......... moay......... baikkah kau menjaga diri.........
nyanyikanlah sebuah lagu lagi............".
"Baik, engko," kata Giok-ji-ih dengan suara sember. Di petiknya senar pipeh, namun
tenggorokan rasanya terkan Cing. Tampak kepala orang itu menteklok dan
napasnyapun berhenti.
Giok-ju-ih letakkan pipehnya. Kini ia tak menangis lagi. Dari bawah bantal diambilnya sebuah bungkusan, lalu dibe rikannya kepada Hi Tong, katanya: "Benda yang didalam
ini, katanya amat berharga sekali, tapi akupun tak mengerti. Siangkong adalah seorang pelajar, harap suka meneri manya".
Dengan heran Hi Tong menyambutinya. Menyusul Giok-ju-ih segera benturkan
kepalanya ke ujung pembaringan. Hi Tong Coba i ieuCeg'alinya, tapi terlambat. Seorang wanita muda yang Cantik, kini pecah sebagai ratna.
Hi Tong buka bungkusan itu, ternyata isinya tiga gulung lukisan. Buru-buru dia tulis sepuCuk surat, tinggalkan 2 buah uang emas, suruh sipengurus hotel mengurus majata
itu, lalu berlalu dari situ.
Tujuan Hi Tong jalah untuk menCari Wan Ci Masih mendenging berkumandang rasanya
kata-kata yang tersimpul dalam nyanyian Giok-ju-ih tadi:
(Page cut) Teringat dia betapa penyanyi yang Cantik itu, sekejab saja sudah kembali pada asalnya: segumpal tanah kuning. Lou Ping, Wan Ci dan lain-lain. wanita Cantik pun akan
mengalami nasib serupa. Kelak mereka pun hanya merupakan kumpulan tengkorak dan
tulang belulang. Memikir sampai disini, hati nya menjadi tawar akan kesenangan dunia.
Pada sebuah pohon yang rindang daunnya, dia berhenti mengasoh. Karena beberapa
hari kurang tidur, maka sekejab saja tertidurlah dia.
Hampir pagi, baru dia tersadar. Kini semangatnya dirasakan pulih kembali. Dengan
pelan-pelan dia lanjutkan perjala nannya lagi untuk mendaki ke atas sebuah bukit.
Disana dia tiba pada sebuah gereja, jakni Po Siang Si.
Masuk kedalam ruangan besar, diatas situ terdapat sebuah patung Budha dengan
tangan terkulai dan kepala memandang kebawah. Seakan-akan merasa kasihan atas
penderitaan insani dunia. Pada sekitar dindingnya, tampak lukisan dari sang Buddha
sedang menolong burung 2 dan mengunjuk kan kasih sayang nya kepada binatang 2.
Hati Hi Tong tergerak karenanya, lalu masuk kedalam ruangan belakang.
"Kisu (tuan) datang kemari, hendak mempunyai hajat apa?" tanya seorang Hweshio tua
yang muncul menyambutnya.
"Cayhe hanya pesiar saja. Lama sudah keangkeran Po Sat disini, Cayhe ingin kunjungi.
Apakah kiranya tak mengganggu?" sahut Hi Tong.
Dengan mengucap beberapa patah kata penerimaan, Hweshio silakan Hi Tong masuk
kedalam kamar tamu. Seorang Hweshio lain, segera menyuguhkan teh dan kuwih 2.
Saking lelahnya, sehabis dahar, Hi Tong tertidur. Kira-kira 2 jam kemudian, dia
terbangun. Waktu itu sudah tengah hari. Diruangan tengah kedengaran suara bokhi
(alat tok-tok kaum paderi) ditabuh oleh para Hweshio yang tengah liam-keng atau
bersembayang dan membaCa kitab. Cepat-cepat dia berbangkit untuk melanjutkan
perjalanannya menCari Wan Ci. Lantas dia tertarik dengan bungkusan pemberian (Page
cut) Bungkusan pertama, adalah tulisan dari penyair Auwyang Siu. Bungkusan ke 2, 2 buah
sajak dari Li Gi San. Tapi setelah membuka bungkusan yang ketiga, agak terkejutlah
dia. Karena itulah lukisan kertas panjang dari Cerita bergambar delapan orang imam
dari kerajaan Song. Diatas ujung kertas, tertera stempel "koleksi barang 2 berharga dari Kian Liong."
Lukisan itu menCeritakan, kisah pengembaraan dari delapan tosu. Salah seorang tosu
karena mendengarkan lagu nyanyian disebuah Ciu-lauw, telah mendapat penerangan
batin. Ingin Hi Tong mengetahui nyanyian apakah yang membuka hati tosu, lalu
dibukanya lembaran yang ke 2.
"Karena kau tak ada hati, biarlah kuberhenti." Demikian lagu itu. Tanpa merasa Hi Tong membaCanya keras-keras. Dia terlongong-longong beberapa saat. Berulang-ulang dia m
ngulangi sjair itu. Sampai akhirnya, terbukalah hatinya.
Sehari itu, dia tak mau makan dan minum. Beberapa kali Hweshio menengokinya karena
mengiranya ia sakit. Selama berbaring ditempat tidurnya, dia rasakan angin seperti
Menderu-deru , pepuhunan bagaikan lautan. Hatinyapun bergontjangan tak tenteram.
Sampai jauh malam tak dapat dia tidur.
Apa yang telah dialaminya selama 2tiga tahun yang lalu, seperti ter-bayang 2 kembali: mendapat gelar SiuCay, membunuh musuh, mengembara dikangouw, dan beberapa kali
menempuh bahaya. Dia merasa, selama itu hanya kekeCewaan dan penderitaan saja
yang diperolehnya. Ada sekilas kegem biraannya, ketika api asmara berkobar terhadap
Lou Ping. Namun karena sang pujaan itu tak mau meladeni, dia tak mau sudah. "Ya,
karena kau tak berhati, biarlah kuberhenti," akhir 2nya Hi Tong berkata dalam hatinya.
Masih tak dapat tidur, dia duduk lagi dan nyalakan lilin. Tiba-tiba dia melihat diatas meja terdapat sebuah kitab kuno memuat 24 Cerita pada jaman Thian Tiok (baheula).
Pada salah sebuah Cerita, Hi Tong membaCa bagaimana Dewa telah menganugerahi
seorang bidadari yang Cantik kepada Buddha.
"Sesosok kulit terbungkus tulang 2, untuk apa bagiku?" sabda Buddha.
MembaCa sampai disini, kepala Hi Tong berkunang-kunang tak ingat diri. Sampai lama
dia baru tersedar lagi, pikirnya:
"Ah, memang tepat sabda Buddha, wanita Cantik hanyalah rangka tulang 2 yang
terbungkus kulit. Mengapa hatiku terikat?"
Tanpa berpikir lama-lama, dia segera mendapatkan ketua Hweshio untuk minta
digunduli rambutnya. Sang Hweshio minta dia timbang masak 2 niatannya itu. Tapi Hi
Tong tetap ber keras.
Pada hari ke 2, diadakan sidang Hweshio. Dihadapan patung Buddha, Tong diCukur
rambutnya dan mengucap janji kesetiaannya. Sejak itu dia mendapat gelar Gong Yan
Hweshio. Tiap hari dia rajin 2 liamkeng (membaCa kitab) dan menghafalkan pelajaran 2
Buddha. Pada suatuJ pagi, tengah dia asjik liam-keng, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang ber-Cakap 2 dalam bahasa kangouw, katanya: "Seluruh kota BengCin
sudah kita Cari, tapi tak ada. Heran kemana dia sembunyi?"
Hi Tong terkejut. Suara itu telah dikenalnya.
"Taruh kata harus membongkar BengCin, kita tetap akan menCarinya;" kedengaran lain
suara menggeram.
Hi Tong kertek giginya. Tahu dia orang inginkan dirinya. Ternyata orang-orang itu ialah It Lui dan Pek Kian cs. Saat itu mereka berada dibelakang Hi Tong. Hi Tong diam saja.
Kiranya Haphaptai sedang berbantah dengan Kim Piauw. Haphaptai anggap lebih baik
berangkat saja kedaerah Hwe untuk lakukan pembalasan pada Hwe Ceng Tong. Tapi
Kim Piauw membandel. Biar bagaimana dia akan Cari Hi Tong dulu. Kemudian Pek Kian
tanya ketua gereja situ, apakah ada seorang SiuCay bermuka buruk yang datang.
Hweshio yang ditanya melengak. Nampak hal itu, Pek Kian Curiga, terus menobros
kedalam untuk menggeledah. Benar juga disebuah kamar, dia ketemukan jubah hitam
kepunya an Wan Ci yang dipakai Hi Tong. Pek Kian dengan bengis tanyakan si Hweshio
kepala. "SiuCay itu sudah tak ada lagi. Kalian bakal tak dapat menemukan se-lama-lamanya,"
jawab paderi itu.
Dengan mungkur Hi Tong tampak berbangkit. Dengan mengetuk 2 bok-hi, dia masuk
keruangan dalam.
Pek Kian timbul keCurigaannya. Dia memberi isyarat kepada muridnya Thian Po, siapa
segera mengikutinya masuk.
"He, hweshio, tunggu! Aku mau bicara," tegur Thian Po.
Tapi Hi Tong tak menghiraukan, malah perCepat-cepat tindak annya. Thian Po
memburu, tangannya kiri akan menyam bret punggung Hi Tong. Terpaksa Hi Tong
berkelit, dia gunakan lengan jubahnya untuk menyampok muka penyerang nya. Karena
mukanya seperti dikeruduki, Thian Po Cepat-cepat mundur. Namun segera ia rasakan
pipinya sakit sekali sampai mendumprah kelantai. Itulah karena dihantam bok-hi oleh Hi Tong.
"O-mi-to-hud! SianCay, SianCay (amin, amin)!" demikian dengan me-mukul 2 bok-hi, Hi
Tong terus berjalan kebela kang.
Mendengar suara bok-hi makin jauh, sedang Thian Po tak kelihatan muncul, Pek Kian
dorong sihweshio tadi ke samping, lalu beramai menobros masuk. Disana didapatinya
Thian Po duduk dilantai, sambil meng-usap 2 pipinya.
;,Apa-apaan kau duduk saja. Mana Hweshio tadi?" tanya Pek Kian segera.
Thian Po tak dapat bicara. Kepalanya basah dengan keringat. Dia menuding
kebelakang: Sam Jun dan Kim Piauw memburu masuk. Tapi disitu, selain hanya ada
seorang tukang masak, tak ada lain orang lagi. Pek Kian angkat bangun muridnya dan
memeriksa lukanya. Sebuah benyolan biru kehitam-hitaman terdapat dipipinya. Luka itu Cukup berat.
"Hweshio itukah yang melukaimu?" tanya Pek Kian.
Thian Po mengangguk.
"Bagaimana romannya?"
Thian Po membuka muiut, tapi tak dapat mengatakan. Sebabnya, dia memang tak
sempat mengawasi wajah sihweshio tadi.
Dilain fihak, It Lui terus menyeret masuk sihweshio kepala. Lihat tangan dan kaki orang menjadi lemas tahulah It Lui hweshio itu tak bisa silat. Bentaknya: "Kemana larinya
Hweshio tadi?"
Sihweshio kepala menerangkan, hweshio baru itu dari lain tempat, tak diketahui asal
usulnya. Karena berulang-ulang dita nyai tetap tak dapat memberi lain keterangan, It Lui lepaskan dia. Pek Kian anCam mau bakar gereja itu, tapi Hweshio tetap pada
keterangannya. It Lui lalu ajak rombongan-nya berlalu.
"Gereja itu agak mencurigakan, nanti malam kita selidiki!" kata It Lui.
Seperginya dari situ, mereka menCari makanan didesa dekat situ. Malamnya mereka
datang menyelidiki gereja tersebut., tapi tak mendapat hasil apa-apa. Hari ke 2,
Haphaptai ulangi pernyataannya supaya lekas pergi kedaerah Hwe saja. Namun Kim
Piauw tetap berkeras.
"Kalau malam nanti tetap tak menemukan Hweshio bangsat itu, besok paginya kita
berangkat kedaerah Hwe," katanya.
Begitulah maka ketika malam 2 dalam perjalanan mereka kegereja tersebut. Bun Thay
Lay menampak beberapa ba jangan hitam, itulah It Lui dan Kawan-kawan nya. Sedang
apa yang membuat Bun Thay Lay kaget setengah mati ketika Hweshio itu bangkit dan
berpaling, ialah karena muka si Hweshio luar biasa buruknya. Ja; itulah Sipsute Kim-tiok SiuCay Ie Hi Tong yang sedang diCarinya.
Heran Bun Thay Lay dibuatnya. Dia sembunyikan diri di sebuah sudut, untuk nantikan
kejadian selanjutnya. Ternyata setelah memberi hormat pada Buddha, Hi Tong menu ju
kebelakang arCa terus tak muncul lagi.
Tiba-tiba pada saat itu, terdengar suara gedebukan keras. Pintu ruangan besar didorong orang. Tujuh atau delapan orang menobros masuk.
Hanya satu yang dikenal Bun Thay Lay, jakni Pek Kian. Orang itulah yang
menangkapnya di Thiat-tan-Hung dulu. Juga di KengCiu dia telah menghinanya.
"Po Sat maha adil, kini menyuruh dia jatuh ketanganku!" diam-diam Bun Thay Lay
menggeram. Sewaktu masuk tadi, It Lui cs. terang melihat ada ba jangan orang. Tapi kini ternyata hanya lilin-lilin saja yang ber nyala terang, tanpa ada orangnya. It Lui Coba angkat lonCeng gereja yang luar biasa besarnya. Disitu pun takada apa-apanya. Kim Piauw
mendongkol dia maki-maki kalang kabut.
Habis memaki, dia hantamkan 'lak-houw-jat'-nya ketubuh patung. "Dung" .........!
terdengar suara benturan.
"Dalam patung ini ada sesuatu yang mencurigakan", seru It Lui sambil loncat
menghampiri. Loncat keatas meja, diapun pakai 'tok-ka-tang-jin'-nya, menghantam pundak kiri patung itu. Tak terkira dahsyatnya hantaman itu, pecah tubuh patung itu. Sekonyong 2 sesosok tubuh melesat keluar dari lubang pundak patung itu. Itulah dianya, orang yang diCari.
Tapi begitu kakinya menginyak meja, dia " Hi Tong " lalu loncat kebawah. Kedelapan
orang rombongan It Lui, terus bersiap mengepung. Tapi Hi Tong ternyata tidak lari;
hanya berlutut dimuka patung tadi. Sedikitpun tak hiraukan musuh 2nya. Dengan
merangkap ke 2 tangannya, dia meng uCap doa:
"TeCu (murid) berdosa besar, telah menyebabkan penya-hat 2 dari lain golongan masuk
kemari dan membikin rusak tubuh Buddha. Harap diberi ampun".
Heran kedelapan orang itu mendengarnya. Pek Kian tak sabar lagi. Dia jambret lengan
kanan Hi Tong, lalu membentak: "Ha, membikin rusak setan apa, lekas jalan!"
Adalah ketika nampak kedatangan rombongan It Lui yang sama membekal senjata itut
Hweshio 2 dalam gereja itu, sama menyembunyikan diri. Hi Tong mandah saja dan ikut
Pek Kian. Thian Seng lari kemuka, membuka pintu ruangan besar.
Ketika pintu terbuka, tahu-tahu ada seorang tegak berdiri disitu. Karena terkejut, orang-orang itu melangkah mundur. Dia si penghadang itu " berpakaian warna kelabu,
dengan memakai ikat pinggang. Sepasang matanya bundar besar seperti mata harimau.
Sikapnya keren dan gagah.
Paling bergoncang adalah hati Pek Kian. Karena sampai saat itu, dia masih belum tahu kalau Bun Thay Lay sudah dibebaskan.
"Kau ......... Pan-lui ........." Tak dapat dia lampiaskan pertanyaannya, karena tangan Bun Thay Lay sudah menotok pergelangan tangannya, begitu sebat gerakan itu
sehingga Pek Kian tak sempat menangkis atau berkelit. Terpaksa dia kendorkan
pegangannya. Sebelum dia merasa apa-apa, Hi Tong sudah dijambret oleh Bun Thay
Lay. Pek Kian Cepat-cepat loncat kesamping. Baru habis itu, dia rasakan
pergelangannya sakit sekali.
It Lui dan lain-lainnya, belum kenai Bun Thay Lay. Tapi demi melihat gerakan yang
sedemikian sebatnya, mereka ter Cekat kaget. It Lui anggap se-tidak 2nya Pek Kian
adalah ahliwaris dari suatu Cabang persilatan. Tak dia sangka, hanya sekali gebrak saja, orang sudah dapat merampas tawanan yang berada dalam tangannya. Karena hal yang
tak terduga itu, It Lui tak sempat menolongnya. Tapi diapun terus bertindak Cepat-
cepat . Dengan menghunus senjata orang-orang an berkaki satu," dia menghadang
diambang pintu. Perhitung annya, fihaknya berjumlah delapan orang, yang 5 adalah
jago-jago Kangouw yang tergolong lihai. Jadi sukarlah rasanya, musuh bisa
mengalahkan. Setelah menarik Hi Tong, Bun Thay Lay melesat keu jung kiri dari ruangan besar itu.
"Apakah kau terluka?" tanyanya kemudian. "Tidak," sahut Hi Tong.
"Bagus, kita ber 2 dapat melabrak mereka se-puas 2nya!" kata Thay Lay.
Hendak Hi Tong mengatakan sesuatu, tapi Thian Po dan Thian Seng dengan
menghunus senjata, sudah menerjang maju. Dari gerakannya, tahulah segera Bun Thay
Lay, bahwa ke 2 penyerangnya ini adalah murid 2 Cabang Gian-keh-kun dari TinCiu.
Benci kepada sang suhu, Bun Thay Lay tumpahkan kemarahannya pada sang murid.
Sekali enjot tubuhnya; dia sudah melesat dibelakang ke 2 penyerangnya. Ke 2 orang
muda itu Cepat-cepat akan menarik kembali serang annya, tapi tengkuk mereka tahu-
tahu sudah disambar tangan musuh.
Sam Jun berada paling dekat. Dengan gerak "naga be raCun keluar dari gua," dia
sabetkan 'sam-Cat-kun'-nya kepunggung Bun Thay Lay. Dengan masih menCengkeram
ke 2 anak muda tadi, sebat sekali Bun Thay Lay berputar kebelakang. Diangkatinya ke 2
orang muda itu, lalu dibolang-balingkan berputaran. Dia menggerung keras, seperti
guntur bergemuruh diudara.
Sam Jun seperti terbang semangatnya. BergemerinCingan 'sam-Ciat-kun'-nya jatuh
kelantai. Sekali pula Bun Thay Lay menggerung keras, dengan sekuat-kuatnya dia
benturkan kepala ke 2 anak muda itu satu sama lain. Prukk! Ke 2 batok kepala murid 2
Pek Kian itu hanCur berantakan.
Tak berhenti begitu saja, Bun Thay Lay lalu lemparkan tubuh ke 2 korbannya itu kearah rombongan musuh. Karuan saja Kim Piauw cs loncat menghindar. Hanya Pek Kian
mengingat hubungan guru dan murid menyang gapi tubuh Thian Sing.
Kejadian itu berlangsung secara Cepat-cepat sekali, sehingga Kim Piauw menjadi


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemekmek. Dia tak pungut lagi sen jatanya, ataupun berusaha untuk lari. Menyublek
seperti patung saja.
Maju selangkah, Bun Thay Lay menggaplokkan sebelah tangannya pula. Sam Jun
berusaha menangkis. Krekk......... tulang lengannya patah. Bun Thay Lay menyambret
dada Sam Jun. Tapi Sam Jun tidak mandah, dengan ilmu tendangan 'wan-yang-liang-
goan-thui' atau ilmu tendangan sepasang kaki secara susul-menyusul, dia tendang dada mu suhnya.
Nyata Sam Jun tak kenal siapa Pan Lui Hiu, si Tangan Bledek itu. Bagaikan kilat Cepatcepat nya tangan kanan Bun Thay Lay menyawut sebelah kaki Sam Jun terus diangkat
keatas, hingga kini kepala Sam Jun terjungkir balik.
Kim Piauw dan Pek Kian Cepat-cepat akan menolongnya. Tapi sekali lagi Bun Thay Lay
menggerung, dia sabetkan tubuh Sam Jun pada batu marmer diruangan situ. Sudah
tentu hanCur batok kepala Sam Jun.
Gerakan Bun Thay Lay tadi hanya dalam beberapa kejab saja. Karena mestinya
tendangan Sam Jun tadi adalah 'lian-goan-thui', menendang berturut-turut dengan
sepasang kaki. Tapi siapa tahu. baru sebelah kaki menendang, musuh sudah menyawut
dan membantingnya dengan ganas.
Bun Thay Lay umbar kemarahannya, maka dalam sebentar waktu saja dia sudah
binasakan tiga orang. Kini dia diserang dari kanan-kiri oleh Kim Piauw dan Pek Kian.
Tahu dia, kalau ke 2 orang ini jauh lebih tangguh dari ketiga korbannya tadi. Mundur kebelakang, dia angkat sebuah hiolouw (tempat dupa) dari marmer terus dilontarkan
kepada Kim Piauw.
Hiolouw marmer itu tak kurang dari delapan0 kati beratnya, apalagi dilempar sekuat-
kuatnya. Sudah tentu, Kim Piauw tersipu 2 berkelit kesamping. Celaka adalah It Lui.
Dari tadi dia ketutupan tubuh Kim Piauw, jadi tak tahu apa yang melayang . Maka
begitu Kim Piau menghindar, tahu-tahu hiolouw sudah didepan mata.
"Lo Toa; awas!" seru Haphaptai.
Karena tak sempat menyingkir, It Lui hantamkan 'tok-kak-tong-jin'-nya. Berbareng
dengan suara deburan yang dahsyat, hiolouw itu pecah berantakan.
Saat itu Pek Kian sudah bertempur dengan Bun Thay Lay. Hi Tong tak mau tinggal
diam. Dia sembat gada pemukul bedug dan berdiri dibelakang Bun Thay Lay untuk
melindunginya. Muka It Lui dan Kim Piauw luka kena pe Cahan hiolouw tadi, karena itu Kim Piauw terus akan menyerang dengan 'lak-houw-jahnya. Tapi gerakan Bun Thay Lay
sebat sekali. Menyerang muka Pek Kian, tiba-tiba dia melesat kesamping Haphaptai.
Memang sudah diperhitungkan Bun Thay Lay, masih ada 5 orang musuh yang tangguh.
Untuk merebut kemenangan, dia harus merobohkan lagi beberapa musuhnya.
Dilihatnya Haphaptai dan Han Bun Tiong berdiri agak jauh. Maka dia melesat kesana
dengan tiba-tiba, terus akan menghantam punggung Haphaptai.
Haphaptai mendekkan tubuh, kasih lewat serangan itu. Lalu secepat-cepat kilat, dia ulur tangannya menangkap lengan orang. Melihat gerakan orang Mongol itu gesit sekali, Bun Thay Lay turunkan tangannya tadi kesamping, menyerang leher orang.
Tapi lagi-lagi Haphaptai tundukkan kepalanya, ulur tangannya menangkap lengan
penyerangnya. Tahu Bun Thay Lay kalau setiap gerakan musuh itu adalah "kim-na-Hiu,"
ilmu menangkap dengan tangan kosong. Tapi anehnya, gerakan itu berbeda dengan
jurus-jurus ilmu "eng-jiao-kang," Cakar garuda.
Memang Haphaptai bermula mendapat pelajaran gumul dari bangsa Mongol. Ilmu itu
dia gabung dengan ilmu silat Thong-pi-kun. Dua kali Haphaptai keluarkan ilmunya itu
untuk menangkap lengan Bun Thay Lay. Biasanya belum pernah dia gagal. Maka saat
itu, karena mengalami kegagalan, dia agak terkejut. Dan ini menyebabkan dia ajal.
Tahu-tahu sebuah pukulan musuh menghantam pundaknya.
Juga tak kalah heran adalah Bun Thay Lay. Tangan sakti yang menyebabkan dia
memperoleh julukan Pan Lui Hiu " si Tangan Halilintar " itu, ternyata tak dapat
merobohkan musuh itu. Kiranya meskipun sudah ber-tahun 2 Haphaptai mengembara
didaerah Liauwtang (Tiongkok timur-laut), Haphaptai tetap tak mau tinggalkan adat
orang Mongol. Dia selalu mengenakan baju kaos terbuat dari kulit kerbau.
Tapi Bun Thay Lay mengira kalau Haphaptai mempunyai ilmu istimewa. Tak ia ketahui
kalau lawan itu merasa sakit sampai keulu hati. Tiba-tiba orang Mongol itu duduk
ditanah, sepasang tangannya menyikap pinggang lawan. Bun Thay Lay tarik tangannya,
untuk ditamparkan kekening orang, siapa pun tak mau mandah saja. Sambil egoskan
kepala, tangannya menyikap pinggang orang terus diangkat keatas. Itulah salah suatu
jurus ilmu bergumul bangsa Mongol yang paling berbahaya.
Ketika Gengis Khan menaklukkan daerah barat sampai ke Eropah, tak pernah dia
terkalahkan. Dia taklukkan berpuluh negara besar dan kecil, hanCurkan beratus ribu
tentara sekutu dari negara 2 di Eropah itu. Begitu patah nyali serdadu 2 bangsa kulit putih itu, sehingga mereka sudah gemetar kalau mendengar kedatangan tentara Mongol
Gengis Khan itu.
Memang kekuatan tentara Raja Diraja dari Mongol itu, terletak pada kesempurnaan
organisasi mereka, ilmu memanah dan kepandaian naik kuda. Selain itu, ilmu
bergumulnya yang has juga sangat dimalui lawan. Ilmu itu memang merupakan ilmu
warisan orang Mongol turun temurun.
Haphaptai telah dapat mewarisi ilmu itu dengan sempurna. Begitu lawan dapat
diangkatnya, terus akan dibantingnya ketanah. Tapi sekonyong-konyong tangannya
dirasakan kesemutan, begitupun tubuhnya lemas tak bertenaga.
Saat itu, melihat Bun Thay Lay terancam bahaya, Hi Tong terus akan maju
menolongnya. Tapi segera ia nampak pemandangan yang aneh. Bun Thay Lay
melayang jatuh dengan mengempit Haphaptai, kiranya tadi dia telah totok jalan darah
orang Mongol itu, tubuh siapa terus dia kempit.
"Suko, dia seorang sahabat!" Hi Tong berseru dengan Cemas.
Tapi sudah terlanyur. Karena saat itu, Haphaptai sudah dilempar kemuka. Dengan
kepala berada disebelah depan, tubuhnya melayang kearah lonCeng besar. It Lui dan
Kim Piauw yang berada dimuka pintu, pun sudah merasa tak sempat untuk
menolongnya. Mereka hanya mengawasi dengan kesima.
Mendengar teriakan Hi Tong tadi, Bun Thay Lay terkejut. Segera dia enjot tubuh
memburu kemuka. Ternyata dia lebih Cepat-cepat dari melayang nya tubuh Haphaptai.
Dalam saat-saat yang berbahaya, dia keburu menyambar ujung sepatu Haphaptai, terus
ditariknya kebelakang. Tangannya kiri pun di kerjakan untuk menotok jalan darah
penyedar dipundak orang, dan serunya: "Ah, kiranya seorang sahabat, maaf !"
Tertolong dari maut, Haphaptai terlongong-longong. Juga It Lui dan Kim Piauw yang
sudah akan memburu maju untuk menolong Sutenya itu, batal bergerak. It Lui pimpin
Haphaptai kepinggir.
"Awas belakang!" tiba-tiba kedengaran Han Bun Tiong berseru.
Memang Bun Thay Lay rasakan ada angin menyambar dari belakang. Secepat-cepat
kilat dia berbalik sembari menyapu dengan kakinya. Pembokongnya, ialah Gian Pek
Kian, siapa dengan sepasang 'thiat-hwan' (gelang besi) loncat menghantam bebokong
Bun Thay Lay. Tapi karena gerakan lawan demikian sebatnya itu, dia tarik kembali
serangannya, akan tetapi thiat-hwan ditangannya kanan sudah terlanyur menyorok
kemuka. Sambil menggerung Bun Thay Lay ulurkan tangannya untuk merebut.
Agaknya ke 2 orang itu merupakan seteru yang saling membenci. Saat itu mereka akan
mengadu jiwa betul-betul.
Ruangan yang diterangi dengan Cahaja lilin yang sinarnya samar 2, dengan arCa yang
telah rompang sebelah lengannya itu, kini menyaksikan pertempuran mati-hidup dari 2
musuh kebujutan.
Hi Tong bersandar dipinggir patung. It Lui, Kim Piauw, Haphaptai dan Bun Tiong berdiri dimuka pintu. Didalam ruangan situ terhampar tiga tubuh yang kepalanya pecah.
Melihat It Lui dan ke 2 Sutenya hanya mengawasi dan tak mau membantunya, Pek Kian
marah sekali. Dia mainkan senjatanya luar biasa hebatnya.
Pek Kian adalah ahliwaris dari Cabang Gian-keh-kun. Cabang itupun mempunyai ilmu
silat istimewa. Terutama dalam permainan 'thiat-hwan' itu, Pek Kian telah meyakin kan berpuluh tahun. Hal mana pun diakui oleh Bun Thay Lay, betapa lihai permainan
lawannya itu. Karenanya, dia segera merobah permainan silatnya.
Kini rombongan It Lui itu segera menyaksikan bagaimana pada setiap serangannya, Bun
Thay Lay tentu menggerung keras. Suatu waktu menggerung dulu, baru menyerang.
Atau menyerang dulu lalu menggerung. Malah ada juga yang menyerang berbareng
menggerung. Pokoknya, gerungan itu se-olah 2 merupakan pelengkap serangan kepada
lawan. Makin seru serangannya, makin dahsyat pula dia menggerung. Pecahlah nyali
musuh dibuatnya, siapa makin lama makin terdesak.
Jilid 27 KIRANYA ilmu itu adalah keistimewaan dari Bun Thay Lay, disebut "Pi-lik-Ciang",
pukulan hali-lintar. Baik pukulan maupun gerungannya, bagaikan deru angin dan
halilintar menyamber. Pek Kian tahu gelagat dia mengakui bukan tandingan lawannya.
Sepasang gelang-besi dirangkapnya menjadi satu, lalu mundur selangkah. Tahu dia
bahwa musuh tentu maju menyerangnya. Dan dugaan ini tak meleset.
Ketika tangan musuh menyerang, dia segera kaCipkan sepasang thiat-hwannya dengan
tipu "pek-yan-kiam-wi" seriti putih menggunting ekor. Dengan gerakan ini ia menduga
lengan Bun Thay Lay pasti terkaCip kutung.
Tak dia sangka kalau gerakan tangan orang she Bun itu, luar biasa sebatnya. Sudah
terlanyur diulur kemuka, Bun Thay Lay teruskan menotok dada lawan. Pek Kian
terkesiap. Dia ketahui bagaimana hebat tenaga lawan. Sekali kena di totok, pasti
Celaka. Buru-buru di pakai thiat-hwan kirinya untuk melindungi dadanya sedang thiat-
hwan satunya dia hantamkan kepundak lawannya.
Bun Thay Lay menggerung keras. Begitu dia katupkan kelima jarinya, segera dapat
manangkap senjata musuh sambil menggeser diri kebelakang lawan. Pek Kian terke jut,
tahu-tahu thiat-hwan ditangan kanannya kembali kena dipegang musuh siapa terus
menariknya kemuka. Jadi ke 2 tangan Pek Kian seperti ditelikung kebelakang.
Kalau dia berkukuh pegangi thiat-hwannya, terang ke 2 tangannya akan patah. Apa
boleh buat, dia lepas tangan dan terus lon Cat kemuka tiga tindak, baru berbalik badan.
Kini sepasang thiat-hwan itu sudah berada ditangan Bun Thay Lay.
"Kembali padamu!" teriak Bun Thay Lay.
Sepasang thiat-hwan menyambar Pek Kian, kerasnya bukan buatan. Pek Kian tak berani
menyang gapi dan hanya Ce pat menghindar kesamping. Berbareng dengan
terdengarnya bunyi berkerontangan yang nyaring memekakkan telinga, sepasang thiat-
hwan itu nanCap masuk kedalam lonCeng raksasa yang berada diruangan itu. It Lui,
Kim Piauw dan lain-lainnya sama berseru kagum.
Pada saat itu, tiba-tiba sepasang mata. Pek Kian kelihatan membalik keatas. Ke 2
lengannya lurus menyulur kemuka. Tubuhnya kaku bagaikan majat; berloncatan maju
kemuka. Gerakannya tak ubah seperti majat hidup. Itulah salah satu ilmu kepandaian
dari Gian-keh-kun, yang dia gabung dengan ilmu hypnotis dari seorang ahli sihir TinCiu, bernama Cu Yu Kho.
Matanya ber-sinar 2 seperti kilat menatap musuh. Ke 2 tangannya ber-gerak-gerak
memukul, sedang kakinya yang kaku itu, berloncatan dengan linCahnya.
Ketika mata Bun Thay Lay bentrok dengan sinar mata lawan, dia rasakan hatinya
berguncang keras. Buru-buru dia me nyingkir, terus keluarkan pukulan "pi-lik-Ciang"nya.
Kembali orang menyaksikan pertempuran aneh dan menarik. ,;Pi-lik-Ciang" tempur
"Kiang-si-kun," ilmu silat majat hi
dup, suatu ilmu silat yang jarang terdapat didunia persilatan.
Kira-kira sepuluh jurus kemudian, tiba-tiba Bun Thay Lay menggerung dan loncat
kesamping. Tampak sepasang mata Pek Kian seperti orang yang mabuk arak, ber-kilat 2
mengeluarkan sinar tajam. Tapi pada lain saat, tiba-tiba dia mengeluarkan air mata.
Belum lenyap, keheranan orang, atau dia segera menguak keras. Darah segar
menyembur dari mulutnya. Tubuhnya tegak kaku, tak ber-gerak-gerak lagi.
Meskipun It Lui cs. adalah orang kangouw yang berpengalaman tapi tak urung tegak
juga bulu roma mereka melihat keadaan Pek Kian saat itu. Kini Bun Thay Lay pun tak
mau lanjutkari penyerangannya lagi.
^Beruntung atau Celaka, adalah diri sendiri yang mem buatnya. Nah, pergilah!" seru Hi Tong.
Tapi mata Pek Kian tak terkesiap, terus memandang kemuka saja. Tetap ia berdiri kaku.
"Gian-toako, mari kita berlalu," seru Bun Tiong.
Karena masih menyublek saja, Bun Tiong tarik tangan Pek Kian. Tapi begitu ditarik, dia terjungkal roboh. Ketika dirabah ternyata tubuhnya sudah dingin, jiwanya sudah
melayang beberapa saat yang lalu. Kiranya, dia telah mendapat pukulan ,,pi-lik-Ciang,"
dipunggung dan didadanya.
Bun Tiong mengelah napas, katanya sembari hormat pada Bun Thay Lay: "Bukankah
Su-tiangkeh dari HONG HWA HWE, Pan-lui-Hiu Bun-suya?"
Bun Thay Lay mengangguk.
"Aku adalah Han Bun Tiong."
Tahu kalau orang itu dari Tin Wan piauwkiok, kembali Bun Thay Lay hanya
mengangguk. Dulu yang menyergapnya di Thiat tan-Hung adalah Tong Siu Ho dari Tin
Wan piauwkiok. Tapi ketika tempur Thio Ciauw Cong di Pak-kao-nia, orang-orang
piauwkiok itu berserikat dengan HONG HWA HWE Jadi bagi Bun Thay Lay. Han Bun
Tiong itu adalah lawan dan kawan.
Bun Tiong perkenalkan It Lui bertiga. Mereka hanya saling anggukkan kepala, tak bicara apa-apa.
"Mereka bertiga dulunya salah paham terhadap HONG HWA HWE Sekarang telah kuberi
penyelasan," ujar Bun Tiong.
Tetapi Bun Thay Lay bersikap tawar. Tahu bahwa orang masih penasaran kepada Tin
Wan piauwkiok, Buru-buru Bun Tiong minta diri. Setelah memberi hormat, dia terus
putar tubuhnya berlalu. Hanya Kim Piauw yang masih mendendam pada Hi Tong. Tapi
ketika lihat anak muda itu telah gunduli rambutnya masuk hweshio, apalagi melihat
kelihaian Bun Thay Lay tadi, dia agak jeri. Ketiga Kwantong Liok Mo itupun juga segera keluar dari ruangan tersebut.
Tiba-tiba Bun Thay Lay melihat dipunggung Kim Piauw terselip kim-tiok Hi Tong, Buru-
buru dia maju selangkah seraya berseru: "Ku-laoko, harap tinggalkan seruling
saudaraku itu!"
Kim Piauw merandek dan berbalik tubuh, serunya dengan aseran: "Baik, kalau dia
mampu, supaya mengambilnya sendiri."
Kepandaian Kim Piauw memang tak boleh dibuat permainan. Malang melintang
didaerah Liauwtang, dia belum pernah ketemu tandingannya. KeCuali pada Toakonya, It
Lui, dia tak pandang mata pada semua orang. Apalagi memang dia masih penasaran
pada Hi Tong. Dia kibaskan 'lak-houw-jah-nya, siap menyambut musuh.
Bun Thay Lay gusar, ia maju terus akan merangsang senjata orang.
Tiba-tiba Hi Tong melesat di-tengah-tengah, seraya berkata: ,Suko, siaote sudah
suCikan diri, tak perlu dengan barang itu. Biarkan dibawa pergi Ku-toako!"
Bun Thay Lay melengak. Dengan keluarkan suara hidung, dia menyingkir kesamping.
Kim Piauw pun simpan senjata-nya, terus loncat keluar ruangan.
"Orang she Bun itu garang amat. Apa kau kira kita takut padamu! Biar kutunyukkan
kelihaian kita agar matamu terbuka."
Berpikir demikian, It Lui sudah berada diluar ruangan. Ditengah situ tegak berdiri
patung besar. Dimukanya ada lampu. Pada ke 2 sampingnya, ada 4 patung Tay Kim
Kong yang besar. Ada yang tengah bersilat, ada yang pegang pa jung, ada yang
memetik pi-peh dan ada yang pegang ular.
It Lui loncat keatas altar patung tersebut, dengan kerahkan tenaganya, dia goyang
2kan patung 2 malaekat itu.
"Ayo, kita lekas berlalu !" katanya kemudian.
Saat itu Bun Thay Lay dan Hi Tong mendengar diruangan luar ada suara berkretekan
dengan gemuruh sekali. Buru-buru mereka memburu keluar. Tampaklah kelima patung
itu seperti hidup lagi ber-gerak-gerak maju.
"Celaka!" seru JBun Thay Lay.
Untuk lari masuk keruangan dalam, terang tak keburu. Cepat-cepat dia tarik tangan Hi Tong, sekali enjot, mereka loncat keluar pintu. Baru saja kaki mereka akan mengin jak ketanah, atau segera terdengar suara yang dahsyat sekali dari benda yang roboh.
Ternyata kelima patung yang besar dan berat itu, roboh hanCur.
Bun Thay Lay marah sekali. Hendak dia mengejar It Lui berempat. Tapi diCegah Hi
Tong. "Suko, malam ini kau sudah membunuh 4 orang, Cukuplah!"
"Sipsute, mengapa kau menjadi hweshio," tanya Bun Thay Lay dengan keheranan.
Setelah merobohkan patung 2 itu, It Lui ajak saudara-saudara nya lari turun gunung.
Tiba-tiba- Kim Piauw merabah ping-gangnya belakang.
"Astaga!" serunya dengan terkejut. Karena kim-tiok dari Hi Tong sudah lenyap.
"Ada apa?" tegur It Lui.
"Bangsat she Bun itu sudah Curi kim-tiok itu !"
Heran dan jeri orang-orang itu dibuatnya. Terang tadi Bun Thay Lay dan sianak muda
terpisah jauh, masa masih bisa menggerayang i seruling dipunggung Kim Piauw.
"Lo Ji, sudahlah. Masih hanya' seruling yang diambilnya. Kalau tadi dia hajar
punggungmu, mana kau masih bisa bernapas," kata Haphaptai.
Begitulah berempat orang itu bersepakat akan pergi ke daerah Hwe untuk menCari
balas pada Hwe Ceng Tong. Hanya Bun Tong yang menolak. Sampai dikota BengCiu,
mereka berpisah. Bun Tiong kembali ke Lokyang mengasingkan diri dari kangouw untuk
hidup dalam ketenteraman.
Balik pada pertanyaan Bun Thay Lay tadi, Hi Tong me ngelah napas panjang , katanya:
"Suko, maukah kau maafkan diriku?"
"Kita seperti saudara sendiri, tentu kita dapat saling memaafkan."
"Kalau begitu legalah salah suatu hal yang mengganyel dalam hatiku."
Dibawah Cahaja rembulan, Bun Thay Lay dapat melihat tegas bagaimana Sipsutenya itu
mengenakan jubah hweshio dan merangkapkan ke 2 tangannya. Jauh bedanya dengan
si Kim-tiok SiuCay yang berparas Cakap dan gagah dahulu. Bun Thay Lay merasa iba.
"Sipsute, kita sudah berjanji akan sehidup semati. Silah kan kau katakan."
Sejak ke 2 orang tuanya meninggal diCelakai orang, Hi Tong berkelana dikangouw dan
kemudian masuk dalam HONG HWA HWE, belum pernah ada orang yang begitu
menyayang inya seperti Sukonya itu. Hampir dia tergerak hatinya. Tapi mengingat kini dia sudah suCikan diri, segala hubungan rasa harus ditiadakan.
Dia kuatkan perasaannya, katanya dengan tawar: "Suko, harap kau pulang. Kelak belum
tentu kita dapat berjumpa lagi. Kini namaku ialah Gong Yan, jangan sebut aku Sipsute lagi."
Habis berkata, dia putar tubuhnya terus masuk kedalam gereja. Sampai beberapa saat
Bun Thay Lay termangu-mangu. Menilik sikapnya, sukar untuk menasehati Sipsute itu.
Ia ambil putusan pulang dan memberitahukan pada Congthocu dan Thian Hong.
Melihat ruangan dalam kalang-kabut, patung 2 berantakan, majat 2 bergelimpangan, Hi
Tong bersujut dihadapan patung mohon ampun. Tiba-tiba didengarnya ada suara
berkelotekan, ketika dilihatnya, ternyata kimtioknya terletak dihadapannya. Hi Tong
terkejut dan Buru-buru berpaling kebelakang. Astaga ! H Wan Ci, Malah kini ia
mengenakan pakaian perempuan Cantik sekali nampaknya. Hanya wajahnya kelihatan
saju. Hi Tong rangkapkan ke 2 tangannya dan menjura, tapi tak berkata apa-apa. Melihat
orang berhati begitu dingin, Wan Ci pun batal untuk berkata, ia numprah kelantai, dan menangis tersedu 2.
Setiba Thay Lay dihotel, Lou Ping ternyata sudah siap akan menyusul. Ia sesali
suaminya mengapa malam 2 keluar sendirian.
,"Aku berhasil jumpahkan Sipsute. Dia sudah jadi Hweshio!"
Lou Ping terkesiap, tanpa terasa air matanya berCuCuran.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bun Thay Lay mengajaknya lapor pada Tan Keh Lok dan lain-lain saudaranya. Kepada
mereka dituturkannya kejadian tadi. Yang paling tak tahan adalah Ciang Cin. Dia loncat berjingkrak. Saat itu juga mereka ramai 2 menuju kege reja Po Siang Si.
Tapi tak ada barang seorang hweshio pun yang berada dalam gereja itu. Mereka siang
2 sudah sembunyikan diri demi melihat rombongan HONG HWA HWE datang. Lou Ping
paling jeli penglihatannya. Ia melihat diatas meja sembahjangan ada sepuCuk surat
yang ternyata dari Hi Tong. Buru-buru dibe rikannya kepada Keh Lok.
Surat itu berbunyi bahwa dia (Hi Tong) sudah suCikan diri dan kini mulai keluar
mengembara Cari derma, entah kapan kembali. Dia harap agar sekalian saudaranya
terus berjoang dalam Cita 2nya yang luhur itu, tak usah hiraukan dirinya (Hi Tong).
Yang penting, kini Kwantong Liok Mo sedang menuju ke daerah Hwe menCari balas
pada Hwe Ceng Tong supaya hati-hati.
Surat itu membuat terharu sekalian orang, lebih 2 Lou Ping.
"Huh, apa-apaan dia. Bakar saja gereja ini Coba dia bisa jadi hweshio apa tidak?" Ciang Cin menggeram.
Dan segera dia akan wujudkan perkataannya, tapi diCe gah Lou Ping.
"Kulihat Sipsute masih belum dapat bebaskan dirinya, ra sanya dia tak mungkin jadi
hweshio," kata Thian Hong. "Mengapa?" tanya Bun Thay Lay.
"Pertama, dia masih ingat akan tujuan kita yang besar itu. Ke 2, dia mau pungut derma untuk memperbaiki kerusakan gereja ini. Dia orangnya berhati tinggi, tidak mau minta pertolongan orang. Jadi tentu gagal. Rasanya dia tentu gunakan Cara lama 'mengambil'
harta benda hartawan jahat."
Orang-orang ketawa mendengar uraian Thian Hong itu.
"Ah, macam hweshio apa itu." kata Keh Lok dengan tertawa.
"Sampai diri Hiu-ih-wi-sam Hwe Ceng Tong dia masih pikirkan. Sukar rasanya dia
menjadi orang suCi."
Semua orang sependapat dengan kata-kata Thian Hong ini.
"Kwantong Liok Mo Cukup lihai. Entah dia taruh permusuhan apa dengan Hiu-ih-wi-sam
itu?" tanya Bun Thay Lay.
"Ketika nona Ceng Tong tempur Giam Se Ciang (salah seorang Anggota Liok Mo), kita
sama menyaksikannya, bagaimana nona gagah itu telah merobohkan lawannya. Tapi
andaikan Congthocu tidak keburu turun tangan, mungkin nona itu akan Celaka ditangan
orang she Giam itu," menerangkan Thian Hong.
"Ya, Liok Mo pertama, Thing It Lui itu luar biasa tena ganya dan lihai sekali," kata Bun Thay Lay.
"Kalau begitu kita harus lekas-lekas berangkat kedaerah Hwe. Paling baik kita dapat
susul mereka, setidaknya, kita dapat memperingatkan pada nona Ceng Tong. Setelah
urusan kita beres, kita temui Sipsute lagi", usul Thian Hong.
Semua orang setuju.
"Ingin aku akan mohon bantuan Siangkwan-toako untuk sesuatu hal", kata Keh Lok
kepada Siangkwan Ie San. "Silakan Tan-tangkeh mengatakan".
"Kumohon Siangkwan-toako suka memberi tiga 000 tail perak pada gereja ini, untuk
beaja perbaikan. Kelak Siaote kembalikan uang itu."
Siangkwan Ie San sanggupi permintaan itu. Setelah itu, Tan Keh Lok ajak
rombongannya balik kekota BengCin.
"Kwantong Liok Mo sudah berangkat. Baik kita minta seorang saudara dengan menaik
kuda putih Suso, menyusul mereka. Karena dikuatirkan urusan menjadi runyam. Se
dangnya Bok To Lun loenghiong sibuk menghadapi serangan pasukan Ceng, jangan-
jangan nanti nona Ceng Tong kena di Celakai ketiga musuhnya itu," kata Thian Hong.
Tan Keh Lok membenarkan dan tampak berpikir.
"Biar aku yang pergi dulu," Ciang Cin ajukan diri.
"Adatmu gegabah, jangan-jangan membikin onar dijalan," ujar Thian Hong.
"Tidak, aku berjanji."
Lou Ping mengerti maksud Thian Hong, katanya: "Kau tidak mengerti bahasa Hwe, tidak
leluasa. Kini disana sedang dalam suasana peperangan, bisa terbitkan keCurigaan
orang." Diantara mereka hanya Tan Keh Lok dan Sim Hi yang pernah tinggal sepuluh tahun
didaerah Hwe. Mereka menguasai bahasa Hwe. Terang, tadi Lou Ping menunyuk pada
Cong-thocu itu. Tapi yang ditunyuk itu tetap diam saja.
"Siaoya, baik aku saja yang pergi," tiba-tiba Sim Hi menyetuk.
"Lebih baik kau saja yang pergi, Congthocu. Kau mengerti bahasa Hwe, lagi berilmu
tinggi. Kwantong Liok Mo belum mengenalmu. Disana apabila Tiau Hwi belum hentikan
penyerangannya, kaupun dapat membantu pihak Bok To Lun loenghiong," kata Thian
Hong. Tan Keh Lok terhening sampai beberapa saat, baru dia menyetujui. Habis dahar dia
Cemplak kuda putih Lou Ping, ambil selamat berpisah terus berangkat.
Yang menjadi pikiran Tan Keh Lok adalah diri Ceng Tong. Dia kuatirkan nasib nona itu jika berhadapan dengan Kwantong Liok Mo. Selama menempuh perjalanan digurun
pasir itu dia selalu terbayang diri nona Hwe yang jelita itu. Namun kalau ingat betapa mesra perhubungan sinona dengan "pemuda" she Li itu, dia menjadi tawar. Jangan-jangan hanya seperti orang menepuk dengan sebelah tangan atau tegasnya memikir
orang yang tidak mau balas memikirkan dia. Ingin dia melupakannya, namun tak dapat.
Kuda putih itu luar biasa Cepat-cepat nya. Bukit 2 dan pohon 2 bagaikan terbang saja lalu disampingnya. Sampai dia kuatir jangan-jangan kuda itu melanggar orang atau
terperosok keda lam lubang. Tapi ternyata binatang itu adalah seekor kuda sakti. Begitu pesat larinya, tapi begitu aman dia menCari jalan. Melihat itu legalah hati Keh Lok.
Lari setengah harian, lebih dari 400 li telah ditempuhnya. Karena itu, Kwantong Liok Mo jauh ketinggalan dibela kang. Malamnya dia menginap disebuah hotel. Kini betul-betul dia merasa lega, karena tak nanti Kwantong Liok Mo akan dapat menyusulnya.
Besoknya dia tiba di SouwCiu. Naik kepos tapal batas di Ka-ko-kwan, dia saksikan
bagaimana angker dan megahnya Ban Li Tiang Shia (Tembok Panjang ) me-lingkar 2
diantara padang sahara. Ketika melanjutkan perjalanannya lagi, tampak olehnya diluar perbatasan sana asap dan debu ber terbangan, sehingga Cahaja matahari tampak
suram. Tan Keh Lok tahan lesnya. Dengan pe-lahan 2 dia kasih lari kudanya, sambil menikmati pemandangan alam didaerah Kwan Gwa (luar perbatasan) situ.
Tengah dia tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba pada seekor onta terdengar
seseorang menyanyi: "Siapa yang melalui Ka-ko-kwan, tentu tak putus-putusnya
mengeluarkan air mata. Disebelah muka karang, disebelah belakang padang pasir."
Tan Keh Lok tersenyum. Lesnya dikendorkan, terus men Congklang lagi. Melalui Giok
Bun, kemudian An-se dan gurun pasir makin menguning warnanya. Tahulah dia, bahwa
kini dia sudah mendekati tapal batas dari pegunungan karang. Makin dekat, makin
kelihatan bagaimana pegunungan itu punCaknya terbungkus mega yang tebal. Disitu
ada sebuah jalan jakni satu 2nya lalu-lintas antara propinsi Kam-siok dengan daerah
Hwe di Sinkiang yang dikenal sebagai selat Sing Sing.
Selat itu ber-liku 2. Ke 2 tepiannya batu-batu karang men-julang dengan runCingnya,
se-olah 2 disisir dengan pisau. Melalui selat itu, Keh Lok menginap disebuah pondok
kecil. Keesokannya, dia mulai menanyak pegunungan, Disitu ter nyata merupakan tanah
datar yang luas. Sunyi lelap keadaan nya, hanya ada dia seorang. Dalam keadaan
begitu, walaupun dia mempunyai kepandaian yang tinggi, tak urung merasa gentar
juga. Dalam kebesaran alam dihadapannya itu, dia rasakan betapa kecil dirinya itu.
Sampai dikota Hami, dia terpaksa jalan memutar, karena pe&jagaan disitu terhadap orang-orang yang baru datang, keras sekali. Dia bermalam dipos benteng ke 2, kota Ji-poh.
Resoknya, pagi 2 sekali dia sudah bangun. Hendak diCarinya seorang Hwe, agar dia bisa dibawa ketempat kediaman Ceng Tong. Supaya jangan menimbulkan keCurigaan, dia
ganti mengenakan pakaian orang Hwe.
Anehnya, selama melanjutkan perjalanannya itu, tak pernah dia berjumpa dengan
seorang Hwe pun juga. Kira nya, dusun mereka kini sudah rata dibakar tentara Ceng
dibawah pimpinan panglima Tiau Hwi itu. Jadi orang-orang Hwe itu tentu lari kedaerah padang pasir.
Keh Lok agak resah hatinya. Digurun sahara yang luas bebas itu, tentu sukar untuk
menCari tempat kediaman Ceng Tong. Tiba-tiba dia alihkan arah jalannya. Tidak melalui lautan pasir, tapi putar menujU kearah selatan. Tiga hari kemudian, ramsumnya habis.
Syukur dia dapat menangkap seekor kambing. Bolehlah, untuk penangsel perut.
Berjalan lagi sekira 2 hari, dia bertemu dengan beberapa penggembala. Tapi ternyata mereka itu dari suku Kasak. Mereka hanya dapat memberi keterangan, bahwa karena
pasukan besar pemerintah. Ceng datang, rakyat Hwe mengungsi kesebelah barat.
Kemana saja perginya, tak mereka ketahui jelas.
Karena tak berdaya menyumpai warga kelompok dari Bok To Lun, Keh Lok berganti
menuju kebarat. Tiap hari dia berjalan tujuh ratusan li. Tapi sampai tiga hari, belum juga dia berhasil menemukan jejak mereka.
Hari itu hawa udara luar biasa panasnya. Memang iklim didaerah situ panas dingin silih berganti. Kalau tadinya air perbekalannya sudah akan membeku, kini menjadi Cair pula bahkan berobah makin panas. Karena tak tahan, Keh Lok hendak menCari tempat
beristirahat yang teduh. Tapi disekeliling tempat situ, sejauh mata memandang, hanya bukit pasir yang tampak. Dia menuju kebalik bukit dan mengaso. Dari kantong airnya,
dia minum tiga teguk, lalu kuda-nya pun diberinya serupa. Dia harus hemat, kalau tidak mau mati kehausan.
Setelah mengaso sekian lama, kembali dia lanjutkan penyelayahannya. Tak lama
kiranya, segera mereka orang dan kuda " sudah tampak kepayahan. Tiba-tiba kuda
putih tampak dongakkan kepalanya dan meringkik dengan keras nya. Habis itu,
berputar diri terus mencongklang kearah selatan.
Tan Keh Lok antepkan kemana saja kuda luar biasa itu akan membawa dirinya. Benar
juga, pada lain saat ditengah bukit 2 gurun itu tampak tumbuh 2an rumput. Makin
kemuka, pasir makin berkurang, sebaliknya, rumput makin lebat. Girang hati Keh Lok
tak terkira. Dia tahu kalau disebelah muka sana tentu terdapat sumber air.
Kuda makin pesat larinya. Sesaat kemudian, terdengar bunyi air mengalir. Sebuah anak sungat kecil terbentang dimuka. Airnya jernih sekali. Berhenti ditepinya, kuda itu tak mau terus julurkan mulutnya keair.
"Bagus, kiranya kau dapat menghormat tuanmu. Ayo, kita bersama-sama minum," kata
Keh Lok seraya menepuk kepala kuda itu.
Air itu ternyata sejuk sekali menyamankan perasaan. Selain sejuk juga harum baunya.
Tentu berasal dari sumber yang bagus. Kuda itu meringkik dan berjingkrak-jingkrak,
rasanya diapun merasa nyaman dan segar. Keh Lok CuCi muka dan kak;nya, begitu pula
dia kasih mandi kuda itu. Tiba-tiba tampak olehnya, ada beberapa kuntum bunga turut
mengalir. Tan Keh Lok girang, tentu dibagian udik sana, ada orangnya. Cepat-cepat dia naiki kudanya lagi, menyusur kealiran sebelah atas.
Makin keudik, aliran anak sungai itu makin lebar dan besar. Memang demikianlah
keadaan sungai digurun pasir. Mak'n kehulu makin mengeCil, karena air banyak sekali
di sap pasir. Pada ke 2 tepiannya, banyak sekali tumbuh pohon 2an. Anak sungai
berbiluk melingkari sebuah dataran tinggi, disitulah asalnya, sebuah air terjun yang berperCikan terCurah dari atas laksana mutiara bertebaran.
Kagum dan heran akan pemandangan itu, Keh Lok tuntun kudanya untuk mendaki
keatas, akan menyaksikan sebelah atas dari air terjun itu. Setelah menempuh jalan
yang berliku 2, kembali dia kesima dengan pemandangan yang disaksikannya.
Sebuah telaga yang dikelilingi dengan pagar pohon siong. Pada ujung sebelah
selatannya, kembali terdapat sebuah air terjun yang muntahkan airnya kebawah dengan
indahnya. Sekeliling tepi telaga itu, penuh ditumbuhi bunga-bungaan bagaikan saling
berkaCa kepermukaan air telaga. Suatu panorama yang sukar dilukiskan keindahannya.
Jauh disebelah sana, adalah sebuah stepa (padang rum put) yang luas, dimana terdapat beberapa ratus ekor kambing tengah berkeliaran. Diujung barat, tegak menjulang
sebuah gunung yang punCaknya tertutup awan putih.
Tan Keh Lok kesima dengan pemandangan yang seperti terdapat dalam lukisan itu.
Suara burung berkiCau, desir air terjun gemerCik dan riak air telaga mengalun,
merupakan sebuah komposisi musik alam yang merdu. Tengah dia terlongong-longong
mengawasi ketengah telaga, tiba-tiba ada sebuah lengan manusia yang putih metetak
tersembul dari dalam air, disusul dengan sebuah kepala yang basah kujup. Tapi demi
melihat Tan Keh Lok, orang itu menjerit kaget terus silam lagi.
Itulah seorang wanita yang luar biasa Cantiknya. Hati Keh Lok memukul keras. Pikirnya:
"Apakah bangsa siluman atau jin itu memang ada?"
Dia siapkan tiga butir biji Catur, untuk menghadapi ke-mungkinan yang tak diharap.
Air telaga beriak kearah timur. Tiba-tiba diatara serumpun bunga, kelihatan tersingkap, sebuah wajah muncul. Sepasang matanya yang laksana bintang kejora itu, menatap kearah Tan Keh Lok.
Masih anak muda itu mengira, kalau kini dia sedang berhadapan dengan seorang jin.
Karena kalau manusia, mustahil begitu luar biasa Cantiknya.
"Kau siapa" Mau apa kemari?" tiba-tiba terdengar suara merdu sijelita.
Bahasanya bahasa Ui. Jelas Keh Lok mendengarnya, tapi dia seperti orang yang tak
mengerti bahasa orang, tetap diam terkesiap.
"Pergilah lekas, aku akan berpakaian!" kembali si Cantik bersuara.
Merah selebar muka Keh Lok. Cepat-cepat setelah membalik tubuhnya, dia gunakan
ilmu berjalan Cepat-cepat "pat-poh-kam-sian", menyelinap kedalam belukar.
"Ah, kiranya dia hanya seorang gadis Hwe. Ia sedang mandi, aku tak pantas berada
disitu", katanya sendiri seraya duduk.
Malu akan perbuatannya tadi, dia hendak segera berlalu. Tapi karena gugup tadi, dia
lupa membawa kudanya kesitu. Dia bersuit keras, untuk memanggilnya. Kuda itu
kedengaran bebenger menyawab, tapi tak mau menghampiri. Heran Keh Lok dibuatnya,
karena tak biasa kuda itu membandel begitu.
Selagi Tan Keh Lok tak tahu apa yang akan dilakukannya, tiba-tiba kedengaran siCantik menyanyi dengan suaranya yang merdu:
"Toako yang lalu ditempai ini tadi, kemarilah, Hendak kusampaikan beberapa patah
perkataan padamu, Orang sedang mandi masa kau lancang melihat, D jawablah, ajo!
Pantas tidak perbuatan itu?"
Nyanyian itu berlagu gembira, tentunya sipenyanyi itu ber nyanyi dengan tertawa.
Mendengar orang hanya memper-olok 2, dan karena kudanya masih tak mau datang,
terpaksa Keh Lok menghampiri pelan-pelan ketepi telaga.
Maka tertampaklah seorang gadis yang mengenakan pakaian serba putih, kelihatan
duduk dibawah sebuah pohon. Tangannya tengah memegang sebuah sisir, menyisir
ram butnya yang terurai diatas bahunya itu. Dari mukanya yang masih tampak ditaburi
dengan butir-butir air itu, menandakan ia baru habis mandi. Nampak wajah yang aju
itu, kembali hati Tan Keh Lok memukul keras, pikirnya: "Masa didunia ada wanita yang sedemikian Cantiknya?"
Wajar saja "bidadari" itu duduk ditepi telaga. Pakaian nya menyulur kearah air. Seumur hidup haru pertama kali itu Keh Lok merasa kikuk betul-betul. Gadis itu tersenyum, melambaikan tangannya agar anak muda itu menghampiri lebih dekat.
"Karena akan menCari air untuk pelepas dahaga, maka tanpa sengaja kudatang kemari.
Sungguh tak kuduga telah mengganggu kesenangan nona tadi. Harap maafkan!" kata
Keh Lok dalam bahasa Ui. Habis mengucap, dia menjura.
Gadis itu tertawa girang, kembali menyanyi:
"Toako ini berasal dari mana"
Berapa banyak sekalikah gurun dan bukit yang kaulalui" Apakah kau pengembala
dipadang rumput" Atau pedagang yang menaik onta.
Orang Hwe memang gemar berpantun kalau ber-Cakap 2. Walaupun ber-tahun 2 Tan
Keh Lok tinggal didaerah gurun, tapi karena dia Curahkan perhatiannya untuk
meyakinkan ilmu silat, jadi tak dapat dia belajar Cara mereka ber-Cakap 2 dengan
bahasa pantun itu. Entah dari kelompok mana gadis itu, maka tak mau dia kasih tahu
siapa sebenarnya dirinya itu.
"Aku dari sebelah timur, berdagang onta kedaerah pedalaman sana. Aku sedang
menCari seseorang, sukakah nona menunyukkannya?" sahutnya kemudian.
Melihat orang tak bisa berpantun, gadis itu tersenyum. Kini dia mulai bertanya dengan Cara biasa: "Siapakah namamu?"
"Hamid!" Sengaja Keh Lok memakai nama Islam itu, karena itu lazim dipakai oleh kaum
lelaki dari suku Uigor. "Bagus! Dan namaku Asihan!"
Juga nama yang disebut gadis itu, banyak sekali digunakan oleh kaum wanita Ui.
"Kau Cari siapa?" tanyanya pula. "Bok To Lun loenghiong!"
"Kau kenal dia" Ada urusan apa dengannya?" tanya gadis itu agak terkejut.
"Ya, aku sudah kenal padanya!" "Benarkah itu?"
"Mengapa tidak" Bahkan akupun sudah kenal pada pu teranya yang bernama Hwe A-in
dan nona Hwe Ceng Tong!"
"Dimana kau pernah berjumpa dengan mereka?"
"Ketika mereka merampas pulang kitab SuCi di Kamsiok, kebetulan kita bertemu."
"Bagus, duduklah. Akan kuambilkan daharan untukmu," ujar sigadis.
Dengan kaki telanjang , gadis itu lari kedalam semak 2 pohon. Tak lama ia keluar
dengan membawa sebuah semangka dan semangkuk arak dan susu kuda. Tan Keh Lok
menghaturkan terima kasih. Arak itu enak sekali rasanya. Juga semangka itu segar
sekali. "Bilanglah. sejujurnya, mengapa kau Cari Bok-loyaCu itu?" tanya gadis itu.
Dari sebutan yang digunakan, tahulah Keh Lok bahwa gadis itu menghormat sekali pada
Bok To Lun. "Apakah nona sekaum dengan Bok-loenghiong?" Gadis itu mengangguk.
"Karena dalam perebutan kitab itu, fihak Bok-loenghicng telah binasakan beberapa
piauwsu, maka Kawan-kawan mereka akan menCari balas. Untuk anCaman itulah maka
aku Buru-buru akan menemui Bok-loenghiong agar bisa mengadakan persiapan," tutur
Keh Lok. Gadis itu menaruh perhatian tampaknya, Cepat-cepat ia bertanya: "Apakah mereka itu
lihai" Banyak sekalikah jumlahnya?"
"Jumlahnya sih tak seberapa, tapi kabarnya mereka itu lihai sekali. Asal sudah tahu dan bersiap, rasanya tak perlu was-was!" kata Keh Lok.
"Ah, mari kuantar kesana. Tapi masih perjalanan beberapa hari lagi baru sampai," kata gadis itu dengan lega. Sembari menyisir kunCirnya, kedengaran ia berkata pula: "Kaki tangan bangsa Boan tanpa sebab telah menyerang bangsa kami. Semua orang lelaki
sama berperang, tinggal aku dan CiCiku menggembala ternak disini. Karena hari amat
panas, tadi kuberbenam ditelaga. Siapa kira, Kalau masih ada kau, seorang lelaki,
bersembunyi sini!"
Mendengar sigadis berbicara secara bebas wajar, Tan Keh Lok makin termangu 2.
Sesaat kemudian, gadis itu meniup terompet tanduk. Beberapa wanita Hwe yang
menunggang kuda, lari mendatangi. Gadis itu ber-kata-kata sebentar pada mereka.
Wanita 2 itu mengawasi kepada Keh Lok dengan herannya.
Gadis itu menuju keperkemahannya. Dari situ ia mengambil bekal ransum kering dan
menuntun keluar seekor kuda. Kuda itu seluruhnya berbulu merah. Seekor kuda yang
tegap dan pasti hebat larinya.
Keh Lok pun lalu menghampiri kudanya. Kiranya kuda itu ditambat pada sebatang
puhun, makanya tadi tak mau dipanggil datang.
"Kudamu itu bagus amat, ajo, kita berangkat!" Sambil berkata, gadis itu loncat
kepunggung kudanya. Ia berlaku sebagai penunyuk jalan. Menyusur tepi sungai es,
langsung menuju kearah selatan.
"Didaerah Tiongkok, apakah orang Han perlakukan kau baik-baik ?" tanya sigadis.
"Ada yang baik, ada yang jahat. Cuma umumnya banyak sekali yang baik", sahut Keh
Lok. Hendak Keh Lok mengatakan bahwa dirinya itu sebetulnya orang Han. Tapi melihat
sikap gadis yang tak menaruh Cu riga apa-apa, tak dapat dia membuka mulut. Dengan
girang Keh Lok menyawab pertanyaan gadis perihal penghidupan orang Han. Ia tertarik
mendengarnya. .
Menjelang petang hari, ke 2nya sampai dilereng sebuah gunung besar. Mendongak
keatas, sekonyong 2 gadis itu ber tcreak keras. Ketika Tan Keh Lok juga memandang
keatas, ternyata pada sebuah karang dilamping gunung itu kelihatan 2 tangkai bunga
sebesar mangkuk. Bunga itu aneh bentuk nya. Kelopaknya berwarna biru ke-hijau 2an,
penuh bertabur kan salju putih yang karena ditimpah sinar matahari terbenam, Cantik
sekali kelihatannya!
"Inilah bunga Swat-tiong-lian (terate salju) yang jarang terdapat. Coba bauilah
harumnya yang sangat semerbak itu!" kata sigadis.
Jarak karang dengan tanah kira-kira ada 2puluhan tombak, namun harum bunga itu
terasa menusuk hidung. Gadis itu menyublek mengawasi saja, rupanya ia berat untuk
me-ninggalkan. "Inginkah kau akan bunga itu?" tanya Keh Lok.
Gadis itu mengelah napas, katanya: "Ah, kita jalan lagi saja. PerCumalah mengharapkan barang yang tak mungkin diCapai."
Tiba-tiba Keh Lok loncat turun dari tunggangannya, terus melompat keatas batu karang.
"He, apa-apaan kau ini!" seru sigadis dengan terkejut.
Keh Lok tumpahkan perhatiannya Cari jalan menanyak keatas. Tak dia dengarkan
seruan sigadis. Thian-ti-koayhiap termasjhur sekali akan ilmunya mengen.engi tubuh.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sedang Sim Hi saja yang hanya belajar sedikit "kulit" dari ilmu tersebut, telah berhasil mengoCok kawanan si-wi pertempuran ditelaga Se-Ouw tempo hari.
Tan Keh Lok adalah satu 2nya ahliwaris Thian-ti-koayhiap.
Sudah tentu berpuluh kali lebih lihai dari Sim Hi. Dengan gunakan ilmu "pik-houw-kang"
(CeCak merajap), sekejab saja dia sudah merajap belasan tombak, Tapi disebelah atas, bukit karang tertutup salju. Beberapa kali sudah hampir dia terpeleset. Kira-kira jarak satu tombak dari tempat bunga swat-lian itu, ada sebuah gundukan karang menonyol.
Risiko gagal dan jatuh tergelinCir, besar sekali.
Tiba-tiba dia mendapat akal. Dikeluarkannya "Cu-soh," ban dringan mutiaranya,
dilontarkan untuk menggaet tonyolan itu. Dengan tangan menarik tali bandringan, dia
enjot tubuhnya keatas, tepat disebelah bunga itu.
Bunga itu ternyata menyiarkan bau yang luar biasa harum nya. Dengan hati-hati sekali dipetiknya sepasang swat-lian itu. Sewaktu turun, dia menggelinCir saja, ada kalanya kalau terlalu Cepat-cepat , dia tusukkan pedangnya kesalju untuk menahan. Kira-kira
sudah hampir tujuh tombak dari tanah, ia melambung bagaikan burung melayang ,
tahu-tahu orangnya sudah berdiri tegak dimuka kuda sigadis.
Serta-merta gadis itu segera ulurkan sepasang tangannya yang putih halus. Saat itu,
Keh Lok sempat memandang muka sijelita, dan tahu pula bahwa gadis itu menguCurkan
air mata. Heran anak muda itu melihatnya, namun dia tak mau bertanya dan terus naik
kudanya. Mereka berjalan lagi. Diam-diam Keh Lok merasa heran mengapa, tanpa sadar, dia
lakukan permintaan gadis itu. Berpaling kearah batu karang tadi, dia menjadi bergidik sendiri.
Menjelang petang, mereka mengaso dibawah sebuah batu besar di tepi sungai es.
Sigadis nyalakan api, membakar daging kambing kering. Selama makan, ke 2nya tetap
tak ber-kata-kata. Sambil mengawasi sianak muda, gadis itu mejinyingkir jauh kesana
untuk menjalankan kewajibannya sembahyang . Selang beberapa saat, ia berbangkit
dan menghampiri sianak muda: "Kau tidak takut tergelinCir tadi?"
"Yang kutakutkan bukan tergelinCir, tapi kalau sampai tidak bisa dapatkan bunga yang kau inginkan itu," sahut Keh Lok.
Gadis itu tersenyum, Diambilnya setangkai swat-lian, laju diberikan kepada Keh Lok,
siapa terpaksa tak dapat meno laknya. Kata-kata yang halus dari sijelita, menggenggam suatu perintah yang tak dapat dibantah.
"Kalau sekalian saudara-saudara Hong Hwa Hwe tahu bagaimana aku, seorang
Congthocu, menurut saja perintah seorang anak perempuan, entah bagaimana
pandangan mereka," pikir ketua Hong Hwa Hwe itu.
Gadis itu menanyakan adakah sianak muda mengerti ilmu silat. Dengan merendah
dijawabnya tidak bisa dan hanya karena andalkan keberaniannya saja.
"Dipadang rumput sini banyak sekali tumbuh beraneka bunga. Aku lebih suka tidak
makan daging kambing asal makan kembang," sinona berkata.
"Apa, makan bunga?" Keh Lok heran.
"Ya, sejak kecil aku biasa memakannya. Bermula ayah dan kakak melarang, tapi kutetap memakannya sewaktu menggembala, akhirnya beliau membiarkan!"
Hendak Keh Lok mengatakan: "Ah, makanya kau seCantik bunga." Tapi mulutnya serasa
terkanCing. Duduk didamping sinona, ia merasakan bebauan yang harum. Terang tadi
nona itu habis mandi dan tak pakai minyak wangi apa-apa. Sekalipun minyak wangi,
rasanya tak ada yang begitu harumnya.
Keh Lok terbenam dalarri lamunan yang indah. Tiba-tiba dia tersedar akan batas 2
perhubungan wanita dan pria, dia me nyingkir agak kesana.
"Mungkin karena suka makan bunga, tubuhku mengeluarkan bau harum. Tidakkah kau
menyukainya?"
Ditanya begitu, merah padam selebar muka Keh Lok. Seketika tak dapat dia
menyawabnya. Pikirnya, nona itu begitu wajar ke-kanak-kanakan, baik dan tak sungkan
2. Maka diapun merobahkan sikapnya, tidak lagi likat 2, tapi ramah sekali.
Sejak tinggalkan rumah, Keh Lok hanya kenal dengan nama berbagai senjata.
Permainannya, hanya permainan ilmu silat. Mendengar mulut sinona itu menCeritakan
tentang segala sesuatu permainan kanak-kanak, terkenanglah pula dia akari masa
kanak-kanaknya. Suatu masa dari dunia yang penuh dengan tawa-gembira.
Malam hari, hawa terasa dingin. Keh Lok kumpulkan rumput dan kulit kayu kering.
Dibuatnya api yang besar. Dengan berselimutkan permadani ke 2 anak muda itu tidur.
Keesokan harinya, mereka lanjutkan perjalanannya. Empat hari menempuh kearah
barat, tibalah ia ketepi sungai Tarim. Sorenya dari sebelah selatan gunung, muncul 2
serdadu berkuda suku Ui. Nona itu berbicara dengan mereka, siapa setelah memberi
hormat terus berlalu.
"Tentara Ceng sudah menduduki Aksu dan sekitarnya, Bok To Lun loenghiong sudah
undurkan diri ke Yarkand. Kira-kira seperjalanan sepuluh hari lagi dari sini," nona Ui itu memberi keterangan seraya menghampiri.
Keh Lok gelisah atas kemenangan pasukan Ceng itu.
"Tentara Ceng berjumlah besar, terpaksa tentara kita mesti mundur kebarat. Agar
pengiriman ransum musuh itu kurang lancar."
Sebenarnya masih saja ketua Hong Hwa Hwe itu kuatirkan nasib nona Ceng Tong. Tapi
kini dengan mundurnya seluruh pasukan Hwe kedaerah barat itu, dia lega. Untuk
sementara waktu, pasti pasukan Ceng tak dapat mengejarnya. Begitu firman Kian Liong
datang pertempuran tentu segera selesai.
Hwe Ceng Tong berada dijarak ribuan li dari daerah Tiongkok, dilindungi oleh seluruh tentaranya. Rasanya sukar rombongan It Lui itu akan dapat menCarinya. Diam-diam
hati Keh Lok terhibur, maka mereka melanjutkan perjalanan dengan Cepat-cepat .
Suatu senya ketika matahari akan terbenam tiba-tiba terdengar bunyi berkeresek dari
suatu semak belukar. Menyusul, seekor anak rusa lompat keluar. Gadis Ui itu
berjingkrak karena terkejut, kemudian tertawa riang, serunya: "Hola, seekor anak rusa!"
Anak rusa itu rupanya baru beberapa waktu dilahirkan. Kecil dan mungil sekali. Sambil berbunyi, binatang itu lompat masuk kedalam belukar lagi. Gadis itu menguntitnya, tapi sekonyong-konyong ia lari kembali, katanya: "Ada orang!"
Ketika Tan Keh Lok membuktikan sendiri, benar juga disana ada 5 orang serdadu Ceng.
Mereka sedang ramai 2 memotongi daging rusa. Anak rusa tadi berputaran diseke liling induknya itu, sambil tak putus-putusnya mengembik-embik memilukan.
"Setan, rupanya kaupun minta dimakan!" salah seorang serdadu itu memaki. Sambil
mengeluarkan busur dan anak panah, dia membidik kearah sianak rusa.
Anak rusa itu seperti tak mengetahui akan bahaya yang menganCamnya. Makin lama
malah makin mendekati. Gadis Ui menjerit dan loncat menghadang dimuka anak rusa
itu. "Yangan, jangan dipanah!" demikian teriaknya.
Bukan terhingga kagetnya serdadu itu. Dia membuka ma tanya lebar 2, mengawasi
insan yang dihadapinya itu. Seorang gadis yang luar biasa Cantiknya. Wajahnya yang
gilang gemilang itu, menyebabkan mata siserdadu silau, hingga sampai mundur
selangkah. Keempat kawannya tadi pun serentak berdiri.
Berbareng itu, Keh Lok-pun sudah siap disisi sinona, siapa segera membawa anak rusa
itu dan di-usap 2 kepalanya.
"Indukmu sudah dibinasakan manusia kejam! Ah, sungguh kasihan!" katanya sambil
menCiumi anak rusa itu dengan mesranya. Setelah itu, ia delikkan mata kepada serdadu 2 Ceng, lalu keluar dari semak 2 tersebut.
Tampak kelima serdadu itu saling berunding. Tiba-tiba mereka berteriak keras, dan
dengan menghunus golok, mereka mengejar. Nona itupun mulai Cepat-cepat kan
langkah nya. Pikirnya, sekali dapat berada diatas pelana kudanya, tak nanti serdadu 2
itu mampu mengejarnya.
Tapi ternyata kelima serdadu itu adalah serdadu pilihan yang menjadi pengawal
Ciangkun. Tiau Hwi. Salah seorang pat-Hong memberi aba 2. Kelima serdadu itu berpen
Caran untuk mengejar.
"Yangan kuatir, biar kubasmi mereka, untuk pemuas hatimu," kata Keh Lok sambil
pegangi tangan si nona.
Benar tadi ia telah saksikan kepandaian sianak muda yang luar biasa. Tapi untuk
berhadapan dengan 5 orang serdadu, gadis itu masih sangsi kalau pemuda itu bisa
menang. Namun dengan masih membawa anak rusa, nona itu mau juga berada disisi
Tan Keh Lok. "Lekas berikan binatang itu!" bentak seorang serdadu dalam bahasa Ui yang kaku dan
lucu. Sinona memandang Keh Lok, siapa memberi senyuman, dan iapun balas bersenyum.
"Rampaslah lekas-lekas!" seru pat-Hong tadi dengan marah.
Keempat serdadu itu lempar senjatanya, terus menyerbu kemuka. Biasanya kawanan
serdadu itu paling gemar meng-ganggu wanita. Tapi anehnya, menghadapi sinona,
mereka seperti kena pengaruh tenaga gaib. Tak berani mengarah sigadis, mereka serbu
sipemuda. Sigadis menjerit. Tapi belum sirap jeritannya, tiba-tiba disusul dengan suara gedebukan yang keras. Empat serdadu itu terpental jauh-jauh dan jatuh terhampar tak bisa
bangun. Kiranya mereka kena ditutuk Keh Lok.
Melihat gelagat jelek, si pat-Hong lari tunggang langgang.
"He, mari kembali dulu!" seru Keh Lok.
Cepat-cepat Cu-soh (rantai mutiara) melayang , dan leher si pat-Hong terkait, terus
terhujung 2 kembali, karena ditarik Tan Keh Lok. Gadis itu tertawa geli sambil bertepuk tangan. Keh Lok tarik tangan sinona, diajak duduk disebuah batu besar.
"He, mengapa kamu kemari?" tanya Keh Lok kemudian pada tawanannya itu.
Karena lehernya terjerat, terpaksa si pat-Hong ikut merajap keatas batu. Melihat
keempat anak buahnya masih tak berkutik, dia insaf kalau kini sedang berhadapan
dengan seorang yang lihai.
Maka Cepat-cepat jawabnya: "Kita adalah anak buah Tiau Hwi Ciangkun yang bertugas
mengurus ransum. Karena atasan suruh kami kemari, kitapun menurut saja".
"Yawab terus terang! Hendak kemana kamu sebenarnya! Ingat, kalau kau bohong,
kamu berlima akan kubiarkan mati kehausan digurun sini!"
Mendengar itu, si pat-Hong bergemetar, sahutnya tersipu 2: "Sungguh aku tak
membohong. Pembesar utus kami berlima keselat Sing Sing untuk menyambut
kedatangan seseorang".
Karena pat-Hong agak sukar menggunakan bahasa Ui, Keh Lok ganti pakai bahasa Han
untuk menanyakan siapa orang itu.
"Seorang Thongleng dari barisan Gi-lim-kun!" sahut si pat-Hong dengan bahasa Han
pula. "Siapa namanya" Mari berikan suratnya itu padaku!"
Pat-Hong kelihatan gelisah dan bersangsi.
"Kalau keberatan, biarlah. Kita akan lanjutkan perja lanan lagi", kata Keh Lok sambil berbangkit.
Wajah pat-Hong itu berobah puCat kuatir ditinggal pergi. Buru-buru dikeluarkannya
sepuCuk sampul. Demi mem baCa alamat diatas sampul itu, terperanyatlah Keh Lok.
Tulisan itu ternyata berbunyi demikian: "Dihaturkan kepada yang mulia Thio Ciauw
Cong Thongleng-tay-jin."
"Toh sejak pertempuran dibukit Pak Kao Nia, dia diajak pulang oleh Suhengnya, Ma Cin, kegunung. Mengapa kini dia datang kembali kedaerah Hwe sini?" pikir Keh Lok.
Sampul terus dirobeknya. Melihat itu si pat-Hong Buru-buru akan mencegahnya, tapi tak dihiraukan. Surat itu menyata kan kegembiraan Tiau Hwi atas kedatangan Thio Ciauw
Cong kedaerah Hwe karena mendapat firman kaisar. Karena urusan ketentaraan tak
dapat ditinggal, terpaksa tak dapat menyambutnya sendiri dan hanya mengutus orang
bawahan nya saja.
"Mungkin firman yang dibawa Ciauw Cong itu, perintah untuk tarik mundur pasukan
Ceng. Baik, tak kuhalanginya," pikir Keh Lok. Surat diberikannya kembali, keempat
serdadu itu ditiam lagi supaya sadar, dan diapun ajak sinona lanjutkan perjalanannya, lagi.
"Kau gagah sekali. Tentunya namamu kesohor, mengapa tak pernah kudengarnya?"
tanya gadis itu.
Keh Lok tersenyum, katanya: "Anak rusa itu tentu lapar, berilah makan."
"Ya, ja, benar!" kata sinona.
Segera dari botol dituangnya susu kuda kedalam telapak tangannya, lalu disuruhnia
sianak rusa mendi latnya. Tangan sinona itu putih kemerah-merahan, bening laksana
warna mutiara. Begitulah enam hari sudah ke 2nya membuat perjalanan. Pada hari ketujuh kira-kira
baru berjalan sejam lamanya, tiba-tiba dari kejauhan tampak gulungan asap
membubung tebal.
"Ah, mungkin ada taufan!" kata Keh Lok. "Itu bukan mendung, tapi debu dari bawah,"
kata sigadis. "Mengapa sebanyak sekali itu?" "Entahlah, mari kita lihat!"
Ke 2 kuda dilarikan kencang . Benarkah kiranya, itulah debu tebal yang membubung
keatas. Dan berbareng itu, kedengaran juga genderang dipukul riuh sekali. Keh Lok ter kejut. Kuda ditahan Cepat-cepat .
"Pasukan tentara! Itu genderang perang dibunyikan!" seru Keh Lok. "Baik kita
menghindari, ke 2 fihak sedang siapkan pasukannya."
Kuda dilarikan kearah timur. Tapi tak berapa lama, dilihat nya dari sebelah muka ada sepasukan berkuda mendatangi. GemerinCing thiat-ka (baju besi) jelas terdengar.
Sebuah bendera besar tampak diantara kepulan debu. Bendera itu bertuliskan sebuah
huruf "Tiau."
Ketika dipenyeberangan sungai Hoangho, pernah Keh Lok terancam bahaya dengan
'thiat-ka-kun' (pasukan baju besi) itu. Betapa lihainya, tak perlu dijelaskan lagi. Buru-buru dia memberi isyarat, agar sinona memutar haluan keselatan lagi. Syukur ke 2 ekor kuda itu bukan kuda sembarangan. Se kejab saja mereka sudah jauh dari 'thiat-ka-kun'
itu. "Tentara Ceng ganas sekali. Entah tentara kita dapat melawannya tidak," kata sinona.
Belum sempat Keh Lok menyawab, tiba-tiba dari sebelah muka kedengaran suara
terompet. Menyusul, tampak kelompok 2 serdadu berjalan. Genderangpun makin
gencar, se-olah 2 menggetarkan bumi. Derap berpuluh ribu kaki kuda, memenuhi
suasana padang dan gunung.
Lekas Keh Lok tarik sinona, terus dipindahkan keatas kudanya. Dengan menghunus
pedang untuk melindungi si juwita, berbisiklah anak muda itu: "Yangan takut!"
Dekat dengan sinona Keh Lok rasakan dirinya me-layang-layangdibuai bau yang
semerbak. Sekalipun saat itu berada ditengah kepungan musuh, hatinya tak merasa
gentar sedikitpun jua.
Dari' empat penyuru, yang tiga penuh dengan serdadu musuh. Hanya tinggal penyuru
barat yang kosong. Kesanalah ke 2 orang muda itu keprak kudanya. Belum lagi jauh
mereka berjalan, kembali disebelah depan ada gerakan rombongan serdadu yang
tengah menyusun barisan. Jadi kini, empat penyuru tertutuplah.
Diam-diam ketua Hong Hwa Hwe itu mengeluh dalam hati. Dilarikan kudanya menanyak
sebuah tanyakan, untuk menCari lubang kalau 2 bisa meloloskan diri. Tapi dia segera
menjadi ter longong 2. Empat penyuru terkepung rapat dengan pasukan Ceng yang ber-
lapis 2 jumlahnya. Pada ke 2 sayap barisan, adalah pasukan berkuda.
Jauh dimuka pasukan Ceng itu, tampak barisan suku Uigor dengan pakaian seragam
yang ber-garis 2 itu. Mereka pun merupakan formasi baru sedang mengatur pasukan
dan belum mulai bertempur.
Keh Lok berada didaerah kedudukan pasukan Ceng. Pe-mimpin pasukan Ceng, tampak
hilir mudik memberi perintah, seluruh anak pasukan itu hening mendengari.
Rupanya beradanya Tan Keh Lok disitu, telah diketahui. Enam serdadu menerima
perintah untuk menanyainya.
"Ah, sial benar. Mengapa berada didalam barisan Ceng. Mungkin jiwaku melayang
disini," diam-diam Keh Lok mengeluh.
Namun dia tak mau tunggu nasib. Dengan tangan kanan memutar Cu-soh (bandringan
mutiara), dia peCut kudanya keras-kerasdan membentak: "Lari!"
Bagaikan anak panah, kuda putih itu melesat lewat disisi keenam serdadu yang akan
datang memeriksa, tapi belum sempat membuka mulutnya itu.
Girang bukan kepalang hati Keh Lok, sayang hanya sebentar. Karena saat itu, kudanya
berhenti. Kiranya disebelah muka, barisan Thiat-ka-kun berbaris dengan rapat sekali.
Tak mungkin diterobos.
Dengan tabahkan hatinya, Tan Keh Lok putar kudanya, jalan memutar disamping
barisan Thiat-ka-kun itu. Ter nyata disitu, semua busur sudah siap terisi anak panah, tombak 2 sudah sama diaCungKan keatas. Banyak sekalinya laksana pagar rapat yang
tak terhitung jumlahnya.
Tan Keh Lok insyap, sekali mulut sipemimpin barisan memberi perintah, dia dan si nona akan berubah menjadi landak oleh anak panah. Ja, betapa tinggi kepandaiannya, tak
nanti dapat keluar dengan selamat.
Dihentikan lari kudanya lalu dijalankannya pe-lahan 2. Matanya diarahkan kemuka, tak mau memandany barisan tentara Ceng. Dengan tenang dan tetap, dia berjalan ke
muka. Betul-betul dia pertaruhkan jiwanya diujung rambut!
Saat itu matahari tengah Menjelang keluar. Ke 2 orang muda itu menghadap matahari,
berjalan kearah timur. Je las bagaimana seluruh tubuh sigadis Ui itu, tertimpah sinar matahari. Berpuluh-puluh 2 pasang mata dari serdadu dan opsir tentara Ceng
memandangnya terpesona. Hati mereka ber guncang keras menyaksikan pemandangan
yang luar biasa itu. Mereka merasa seperti melihat seorang bidadari turun mandi diliari pagi.
Kalau tadinya hawa membunuh memenuhi suasana barisan itu, kini mereka seperti kena
sihir, termangu-mangu dan terpesona. Malah lebih gila lagi, segera terdengar
gemerinCing suara tombak dan anak panah dilempar ketanah, susul me nyusul satu
demi satu. Perwira 2 pun lupa mencegahnya. Mereka hanya terus memandang ke 2
anak muda tersebut., yang makin lama makin jauh.
Saat itu jenderal Tiau Hwi keluar melakukan inspeksi. Demi dilihatnya pemandangan
aneh dari anak pasukannya itu, dia kaget sekali. Cepat-cepat dia akan keluarkan
perintah menyerbu, tapi tiba-tiba dari arah barisan musuh, terdengar genderang
penghentian perang dibunyikan.
Sebetulnya jenderal itu masih sempat memandang ba jangan tubuh gadis serba putih
itu. Dia seor:ng militer, biasanya kasar. Tapi entah apa sebabnya, hatinya terasa lemas, tak ada hasrat sedikitpun untuk mengganggu gadis itu. Juga ketika berpaling
kebelakang, dilihatnya para Cong peng, HuCiang (perwira 2 tinggi) dan pengawal yang
me nyertainya, sama menyimpan senjatanya masing-masing.
"Tarik barisan pulang keperkemahan!" Tiau Hwi memberi aba-aba.
Berpuluh-puluh 2 ribu serdadu, pasukan infanteri maupun pasukan berkuda, segera
mundur berpuluh li disebelah belakang. Mereka mendirikan perkemahan ditepi sungai
Tarim. Lolos dari bahaya besar, Tan Keh Lok mengelah napas panjang . Seluruh tubuhnya
basah mandi keringat. Tapi un tuk keheranannya, nona itu tak berubah apa-apa
wajahnya. Seperti tak mengetahui bagaimana runCingnya suasana tadi. Dengan
tersenyum 2, gadis itu loncat turun dari kuda Keh Lok, terus Cemplak kuda merah
tunggangannya sendiri tadi.
"Disebelah depan ada sepasukan berkuda datang menyam but. Demi melihat sigadis,
mereka berseru girang dan loncat turun memberi hormat. Gadis itu berkata bebeberapa
patah, dan serdadu bangsa Ui itu kelihatan menghampiri Tan Keh Lok, lalu memberi
hormat. "Hengte tentu lelah. Moga 2 Al ah memberkahimu," demikian sambut mereka.
Ketika Tan Keh Lok sedang membalas hormat, gadis Ui tadi terus larikan kudanya
masuk kedalam barisan Ui. Ru panya ia mempunyai pengaruh besar dikalangan rakyat
Uigor itu. Kemana kuda merah tiba, tentu disitu terdengar sambutan gempar.
Tan Keh Lok dipersilakan mengaso disebuah kamar dalam kubu 2 barisan Ui. Ketua
Hong Hwa Hwe menerangkan kalau dia hendak berjumpa dengan kepala mereka, Bok
To Lin. "Kepala sedang melakukan peperiksaan tentara kita. Se lekasnya beliau pulang, tentu
akan kami beritahukan," kata seorang pemimpin serdadu berkuda tadi.
Karena sangat Cape, apalagi tadi telah mengalami gon tjangan hati, sebentar pula
pulaslah sudah ketua Hong Hwa Hwe itu. Berselang beberapa lama kemudian, perwira
tadi muncul melapor bahwa kepala suku mereka, malam nanti baru pulang. Dalam
kesempatan itu, Keh Lok menanyakan siapakah gadis yang berpakaian serba putih,
kawan perjalanannya tadi itu.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tertawalah perwira itu menyahut: "Selain dia, siapa lagi yang Cantik luar biasa" Nanti malam, kita akan adakan perjamuan besar. Hengte, kaupun harus datang. Tentu disitu
kau bisa berjumpa dengan siutiang (kepala suku)".
Keh Lok kurang puas oleh jawaban yang tak jelas itu, hatinya masgul. Namun dia
sungkan untuk menanyakan lebih jauh.
Malamnya, tampak kesibukan dalam kalangan orang-orang Ui itu. Mereka berhias diri
dengan pakaian yang indah 2. Berbareng dengan nampaknya rembulan-sisir, genderang
dan tetabuhan ramai dibunyikan. Perwira itu datang menyemput Tan Keh Lok.
Disebuah tanah lapang, dinyalakan api unggun besar. Dari empat penyuru, pemuda-
muda militer berbondong-bondong mengerumuni.
Disitu sudah ada orang memanggang daging sapi dan kambing, menanak nasi dan
memetik rebab. Begitu terompet dibunyikan, serombongan orang keluar dari kubu 2
besar. Ber jalan dimuka sendiri, adalah Bok To Lun. Puteranya, Hwe A-in, berdiri
disampingnya. Tan Keh Lok hendak menantikan sampai upaCara selesai, baru akan menemui kepala
suku itu. Maka dibalikkan ba junya keatas, untuk menutupi separoh mukanya.
Bok To Lun kibaskan tangannya, dan orang-orang segera berlutut untuk sembahyang
kepada Al ah. Tan Keh Lok ikut serta.
"Para pejoang yang sudah beristeri, harap mengalah se-dikit, menjaga diluar. Biarkan malam ini sdr 2mu yang muda-muda ber-senang 2," seru Bok To Lun. Terompet
kembali berbunyi. Tiga regu barisan berjalan keluar, lengkap dengan senjata dan
kudanya. Hwe A-in
loncat keatas kuda dan berseru kepada para pemudanya:
"Dengan berkah Al ah, semoga malam ini sdr 2 puas ber-senang 2!"
"Moga 2 Al ah melindungi juga kalian yang bertugas menjaga," seru sekalian pejoang 2
muda itu. Dengan menghunus golok besar, A-in pimpin ketiga regu itu keluar. Diam-diam Keh Lok
memuji kerapian disiplin ten tara itu. Saat itu, suara tetabuhan berganti lagu, agak moderat. Pintu kubu 2 terbuka, regu demi regu penari 2 yang terdiri dari muda-mudi,
berjalan keluar. Mereka mengenakan pakaian warna-warni dan memakai kopiah benang
emas yang Cemerlang. Dengan menyanyi sambil menari, mereka menghampiri api
unggun. Tiba-tiba hati Keh Lok tersentak, ketika terlihat 2 orang gadis " yang satu berpakaian warna kuning, dan yang lain warna putih " berjalan kesisi Bok To Lun. Yang berpakaian putih, adalah sinona Cantik kawan perjalanannya itu. Sipakaian kuning, kepalan ja
berhias sebatang Hui-ih (bulu burung), adalah Hwe Ceng Tong. Dalam beberapa bulan
ini tak bertemu, kini tampaknya nona itu makin elok. Ke 2nya duduk dike 2 sisi Bok To Lun.
"Apakah gadis itu adik perempuan Ceng Tong" Ah, ma kanya kurasa seperti sudah
pernah mengenalnya. Kiranya lukisan pada vaas giok itu, dialah orangnya! Ternyata
orang nya, lebih Cantik dari gambarnya," tiba-tiba Keh Lok seperti disadarkan.
Memikir begitu, mukanya merah, hatinya terguncang . Dia mengaku, sejak berjumpa
dengan Ceng Tong, hatinya resah. Bibit asmara mulai tumbuh. Tapi mengingat betapa
mesra perhubungan sinona dengan 'pemuda' Cakap murid Liok Hwi Hing itu, dia
menyang ka nona itu sudah punya pasangan. Dia berusaha keras untuk menindas
perasaan as maranya itu.
Pada beberapa hari yang lalu., ketika berjumpa dengan seorang "bidadari," imannya
berguncang . Dendam asmaranya kini berganti dialihkan kepada sinona serba putih itu.
Namun sesaat itu, menampak sepasang wanita Cantik itu, hatinya gojah tak keruan.
Sewaktu tetabuhan berhenti, maka berdirilah Bok To Lun. Serunya keras: "Dalam
Qur'an ajat ke 2 fasal 1sembilan0, nabi Muhammad bersabda demikian: "Untuk
membela agamamu, berjoanglah melawan musuh 2mu." " Ajat 2 2 fasal tiga sembilan
ber bunyi: "Fihak yang diserang, direlakan membela. Al ah akan memberkahinya." "
"Kita diserang musuh, Al ah tentu membantu kita."
Gemuruh sorak sorai semua orang Uigor itu.
"Saudara-saudara sekalian, Ayo sekarang ber-senang 2lah sepu asnya!" seru Bok To
Lun pula. Kembali suasana lapangan itu bergema dengan nyanyian dan gelak ketawa. Dalam pada
itu, hidangan pun mulai diedarkan. Lezat juga kiranya masakan orang Ui itu. Pera jaan berjalan makin gembira, gadis 2 sama menari dengan pemuda pilihannya.
Diasuh dalam keluarga yang keras dalam peraturan, belum pernah Tan Keh Lok
menghadiri perajaan dan perja-muan dialam terbuka semacam itu. Tanpa merasa,
diapun mengumbar kegembiraannya. Beberapa Cawan arak susu kuda membasahi
kerongkongannya. Mukanya mulai merah, hatinya lepas sekali.
Tiba-tiba musik berhenti, lalu berbunyi pula dengan gencar nya. Pasangan 2 muda-mudi itu segera bubar. Semua hadirin merasa heran, memandang kearah Bok To Uun dan
rom bongannya. Pun Tan Keh Lok ikut memandangnya.
Tampak sinona baju putih itu, bangkit dan berjalan turun. Segera terdengar sana sini orang-orang sama berbisik.
Berkata perwira yang menyemput Tan Keh Lok tadi: "Puteri kepala suku kita, Hiang
Hiang KiongCu, juga pu nya pilihan. Ha, siapakah gerangan yang beruntung menjadi
pasangannya?"
Jilid 28 KEHADIRAN puteri kesayangan Bok To Lun pada perajaan itu, sungguh diluar dugaan.
Apalagi iapun ikut serta meng unyukkan pemuda pilihannya. Saking girang, rakyat Ui di situ sama terharu. Mereka menantikan dengan penuh perhatian. Juga Hwe Ceng Tong
yang tak mengetahui adik-nya sudah punya pilihan, menjadi kaget dan girang..
Sebenarnya adik Ceng Tong, sigadis baju putih itu, bernama Asri. Usianya baru
1delapan tahun. Karena keCantikannya tak ada ke 2nya diempat penyuru, dan pula
tubuhnya me nyiarkan bau harum, maka rakyat menyebutnya "Hiang Hiang KiongCu"
atau Puteri Harum.
Pemuda-muda suku Ui taruh perindahan besar pada puteri itu. Justeru karena itu, tak
ada seorangpun yang berani me-numpahkan perasaannya. Kalau saat itu, Hiang Hiang
turun menari, itulah suatu peristiwa yang luar biasa.
Lemah gemulai Hiang Hiang KiongCu memutar beberapa kali, kemudian pelan-pelan
mengitari kalangan itu. Mulutnya me nyanyi pe-lahan 2:
"Siapa dia yang memetikkah swat-tiong-lian untukku, silakan tampil kemari! Siapa yang menolong ji va anak rusa-ku, kaulah aku tengah menanti."
Mendengar itu, telinga Keh Lok terasa me-ngiang 2. Sesaat semangatnya terasa me-
layang 2. Sekonyong-konyong sebuah tangan yang lunak bagai beludru, menempel
dibahunya. Dan sesosok tubuh membungkuk, menarik tangannya. Seperti boneka tak
bernyawa, Tan Keh Lok menurut saja untuk berdiri.
Gegap gempita para hadirin bersorak-sorai. Dengan me nyanyi nyaring, sekalian muda-
mudi itu segera mengerumuni, menghaturkan selamat. Walaupun dalam pernikahan,
siorang tua yang berhak memutuskan, tapi orang Uigor agak longgar dalam memilih
jodoh sendiri, kalau dibanding dengan adat istiadat, bangsa Han yang keliwat kolot
malah. Pesta malam itu menurut kebiasaan suku Uigor adalah pesta bebas. Konon menurut
dongeng, adalah tempat dimana muda-mudi boleh menumpahkan perasaannya. Maka
demi dilihatnya Hiang Hiang KiongCu menggandeng tangan Tan Keh Lok keluar, mereka
segera merubungnya.
Masih Bok To Lun dan Hwe Ceng Tong mengira, pilihan Hiang Hiang itu adalah seorang
pemuda Ui kebanyak sekalian. Maklumlah, mereka belum sempat melihat roman Tan
Keh Lok dengan jelas. Hendak ke 2nya menghampiri menyam butnya, tapi tiba-tiba
terdengar terompet berbunyi tiga kali. Itulah tanda bahaya. Karenanya, semua orang
segera duduk kembali ditempat masing-masing.
Bok To Lun dan Ceng Tong batal menyambut, lalu duduk kembali ditempatnya semula.
Masih memegang tangan Tan Keh Lok, Hiang Hiang KiongCu mengajaknya duduk dibe
lakang rombongan orang-orang itu. Karena tubuh sinona agak merapat kedadanya,
segera hidung Keh Lok membau bebauan yang semerbak. Tak tahu dia bagaimana
sebenarnya, sedang mengimpi atau sadar.
Suasana pesta itu berobah. Semua orang menunggu dengan berdebar 2 apa yang akan
terjadi. Kaum mudanya sama menghunus goloknya, siap maju perang. Sesaat
kemudian, 2 penunggang kuda lari kehadapan Bok To Lun.
"Ciangkun Tiau Hwi dari tentara Ceng, mengirim utusan untuk menghadap," demikian
lapornya. "Bawa mereka kemari," sahut Bok To Lun.
Setelah berlalu, tak berapa lama, datang pula ke 2 pe-nunggang kuda itu.
Dibelakangnya mengikut 5 orang asing. Hampir dekat, mereka turun dari kuda lalu
berjalan masuk kedalam lapangan. Kelima orang asing itu, adalah rombongan utusan
fihak Ceng. Siutusan sendiri bertubuh kekar, gerak annya gesit. Sementara yang empat, adalah pengawalnya.
Perawakan mereka berempat itu sangat mengejutkan orang. Rata-rata lebih 2 meter
tingginya, tubuhnya kokoh berisi. Betul-betul "raksasa" yang jarang terdapat. Entah dari mana Tiau Hwi mendapatkannya.
Dihadapan Bok To Lun, utusan itu memberi hormat.
"Adakah kau ini kepala suku?" tanyanya dengan Cong-kak.
Tanpa sebab menyerang daerah Hwe, membunuh dan mem-bakar, semua itu
menyebabkan kebencian yang meluap suku Ui terhadap bangsa Boan. Maka dengan
keCongkakan si utusan itu, beberapa pemuda Ui serentak menCabut goloknya.
Tapi utusan itu tak menghiraukan, katanya pula: "Aku membawa titah dari Tiau-
tayCiangkun, untuk menyampai kan surat permakluman perang. Kalau kau tahu selatan,
menyerah, Tiau-tayCiangkun mau mengampuni jiwamu. Tapi kalau tidak, nanti dalam
pertempuran, kalau orang-orang mu sampai habis binasa, jangan kau sesalkan!"
Utusan itu berbahasa. Uigor, maka semua orang Ui serentak berjingkrak. Bok To Lun
Buru-buru lambaikan tangannya untuk menenangkan rakyatnya itu.
Setelah suasana reda, baru dia berkata: "Tanpa suatu alasan, fihakmu menyerang dan
merampas harta benda kami. Al ah yang berada di atas, tentu akan menghukum
perbuatan yang terkutuk itu. Berperang, kamipun siap. Kami takkan menyerah sampai
titik darah yang penghabisan".
"Ya, kalau menghendaki perang, kltapun sedia. Kita takkan menyerah sampai titik darah yang penghabisan", orang-orang Ui sama aCungkan goloknya, mengulang pernyataan
kepala suku. Ditimpa Cahaja rembulan, golok 2 itu tampak ber-kilat. Setiap orang
bersikap keren sekali. Tahu mereka, bahwa pasukan Ceng berjumlah besar sekali.
Kebanyak sekalian tentu tak bisa menang. Namun turun temurun orang Ui itu memeluk
agama Islam, mereka Cinta pada kebebasan tak mau diperbudak.
Siutusan jebikan bibirnya, katanya: "Baik, biar lusa kau orang akan menjadi majat!"
Dan untuk mengunjuk kesungguhan kata-kata itu, siutusan itu meludah. Hal itu suatu
penghinaan besar. Kontan tiga orang pemuda Ui loncat kemuka, serunya: "Hari ini kita hormati dirimu sebagai utusan. Pulanglah! Tapi kalau lusa kita berjumpa dimedan
perang, tak hendak kita berlaku sungkan 2 lagi".
Utusan itu jebikan bibir. Keempat pengawal raksasa itu maju, terus mendorong
kawanan pemuda itu, kemudian ber-baris melingkar untuk lindungi pemimpinnya.
"Pui, orang-orang semacam kamu yang tak berguna. Kali ini biar kamu lihat lihainya
orang Boan!" seru si utusan dengan jumawa. Habis itu dia menepuk tangan, memberi
isyarat pada pengawalnya itu.
Salah seorang 'raksasa' itu memandang Celingukan. Dili hatnya seekor onta tertambat
pada sebuah pohon yang. Menghampiri puhun itu, dia segera memeluk batang pohon
itu. "Terangkatlah!" serunya keras-kerasseraya menggoyang 2kannya. Pohon yang tua itu,
roboh terangkat keakarnya.
Semua orang sama terkejut. Sungguh hebat kekuatan 'raksasa' itu. Sekali tarik, tali
pengikat onta itu putus, me nyusul sebelah kaki si raksasa mendupak bebokong si onta Biasanya onta adalah binatang yang lambat jalannya, tapi kali ini karena kesakitan, dia mencongklang seperti kuda pesatnya.
Ada kira-kira belasan tombak jauhnya, seorang raksasa yang lain tiba-tiba maju
memburu. Orang itu badannya besar, tapi gerakannya luar biasa tangkasnya. Sekejab
saja, dia sudah dapat menyusul terus menarik keempat kaki binatang itu, terus diangkat naik. Dengan memanggul onta yang beratnya beratus kati, raksasa itu lari balik.
Diletakkan onta itu ke pinggir api unggun. Dan dia tegak leher dengan angkuhnya.
"Hm," raksasa ketiga perdengarkan suara dari hidung. Begitu melangkah setindak, dia
hantam kepala si onta dengan tinyunya yang besar. Binatang yang besar itu, terhuyung-huyung terus roboh.
Menyusul raksasa yang keempat itu menangkap ke 2 kaki si onta, diangkat tinggi-tinggi, ber-putar 2 beberapa kali, dengan berseru keras terus dilontarkan sampai tujuh delapan tombak jauhnya.
Kiranya keempat raksasa itu adalah bersudara yang bernama Holun Toa Houw, Ho-lun
Ji Houw, Ho-lun Sam Houw dan Holun Si Houw. Asalnya dari Lingko-tha wilayah Liauw-
tang. Ayahnya seorang pemburu. Sejak kecil keempat saudara itu ikut berburu harimau
digunung Tiang-pek-san. Tu buhnya tinggi besar, tenaganya luar biasa. Sayang nya
mereka itu agak tolol. Makannya pun luar biasa juga. Maka dengan berburu saja, tak
Cukup dimakan. Pada suatu hari Tiau Hwie berburu digunung Tiang-pek-san. Melihat bagaimana luar
biasanya keempat saudara itu, lalu diterimanya menjadi pengawal peribadi. Kali ini, Tiau Hwi kirim mereka berempat menyertai utusannya untuk me-mamerkan "gertakan" pada
fihak Ui, agar mereka jeri dan menakluk.
Memang orang-orang Ui itu menjadi terkesiap demi menyaksi kan "pameran kekuatan"
yang belum pernah dilihatnya. Na-mun mereka tak mau unyuk kelemahan. Beberapa
orang kuat dari suku Ui serentak berdiri dan berseru: "Seekor onta tak berdosa apa-apa, masa kau - bunuh. Apa kau tak ke-nal peri-kemanusiaan?"
Utusan itu tertawa dingin dan Cebikan bibir. Orang-orang Ui makin marah. Sana sini
sama berisik. Suasana makin tegang. Rupanya orang-orang Ui itu akan menyerang.
Melihat itu siutusan menjadi kuatir.
"Kamu banyak sekali, akan menindas yang lemah. Adakah itu pantas?" jengeknya
segera. Lekas-lekas Bok To Lun Cegah orang-orang nya, katanya: Kau ada-lah seorang utusan,
mengapa se-wenang 2 membunuh ternak kami" Sungguh tak kenal adat. Andaikata kau
bukan seorang utusan, hm, tahu sendiri. Nah, pergilah."
"Kau kira kami bangsa Boan takut segala macam an Caman" Kalau kau ada surat
balasan, berikan saja padaku. Kupercaya, tak nanti ada seorang dari fihakmu yang
berani menghadap Tiau-Ciangkun," kata si utusan.
Ucapan itu kembali menerbitkan kegaduhan orang-orang Ui, saking marahnya. Tiba-tiba
nona Ceng Tong bangkit.
"Kau katakan fihak kami tiada yang berani menemui panglimamu itu. Hm, ngaCo! Setiap
orang kami berani. Ja ngan kata yang lelaki, wanita pun berani!"
Si utusan melengak, tapi pada lain saat dia tertawa keras, serunya: "Perempuan"
Melihat barisan saja, kaum lemah itu tentu sudah kaku!"
"NgaCo! D jangan keliwat menghina. Kami segera kirim orang pergi bersama kau. Orang
semacam itu, disini sampai ber-lebih. 2. Kau pilih sendiri yang mana orangnya, agar
terbuka matamu bagaimana sikap seorang murid Nabi Muhammad itu!"
Pernyataan itu mendapat sambutan hangat dari semua orang. Kawanan muda mudi
ber-teriak 2: "Ayo, tunyuklah! Siapa saja tentu sedia pergi!"
"Baik!" sahut si utusan dengan gemas.
Hendak diCa'rinya seorang wanita yang terCantik yang paling lemah tubuhnya. Biar
nantinya menangis ketakutan, sehingga orang-orang Ui itu mendapat 'hidung-panjang '.
Matanya jelilatan mengitari rombongan muda mudi. Tiba-tiba matanya berCahaja, lalu
menghampiri Hiang Hiang KiongCu.
"Inilah dianya yang pergi!" katanya segera.
Hiang Hiang Kiongiju memandang tajam kearah si utusan, sembari berbangkit dengan
tenang, katanya: "Untuk kepentingan sdr. 2 dari bangsaku, kemanapun aku tak jerih.
Al ah tentu menyertai daku."
Si utusan terkesiap. Gadis yang tadi kelihatannya lemah dan pemaluan, kini tegak
berdiri dengan sikap yang agung gagah. Tanpa merasa si utusan tundukkan kepala.
Diam-diam dia menyesel.
Melihat peristiwa itu, Bok To Lun dan Ceng Tong terke jut. Mereka kuatirkan
keselamatan puterinya itu. Lebih 2 Ceng Tong yang sangat menyayang adiknya, sebab.
Hiang Hiang tak mengerti ilmu silat sama sekali. Jika masuk ke dalam sarang macan,
terang akan menghadapi bahaya.
"Dia adikku, biar aku yang mewakilinya!" kata Ceng Tong segera.
"Memang kutahu, lidah perempuan itu tak dapat diperCa ja. Bilang saja 'takut', habis perkara! Perang atau menak luk, biar kubawa saja surat-balasannya," ejek si utusan.
"Kau keliwat kurang ajar! Kelak dalam pertempuran kalau kita berjumpa, jangan kau
lari. Buktikan sendiri, wanita itu kaum yang lemah bukan!" Ceng Tong mendam prat.
"Berhadapan dengan wanita Cantik seperti kau ini, sudah tentu tanganku berat
mengangkat senjata!" demikian dengan keliCinan lidah si utusan, hanya makin
meluapkan ke bencian orang-orang Ui itu saja.
"CiCi, lepaskan aku pergi, aku tak gentar," meminta Hiang Hiang pada enCinya.
Sembari berkata begitu, ia membungkuk untuk mengangkat bangun tangan Tan Keh
Lok. "Dialah yang akan menyer taiku!" katanya pula dengan bangga.
Demi melihat jelas Tan Keh Lok, tersiraplah darah di dada Ceng Tong. Sampai beberapa saat, tak dapat "Ia berkata apa-apa.
Keh Lok bersenyum dan memberi isyarat supaya nona itu pura-pura jangan
mengenalnya. Kemudian dia berputar menghadapi utusan tadi, katanya: "Kaum kita
paling mengutamakan rasa setia kawan, maka akan kukawani nona ini menghadapi
Tiau-Ciangkun-mu! Sebenarnya keempat penga walmu inipun tak punya guna apa-apa."
"Hee, onta dapat mengangkut ribuan kati, sedang orang hanya dapat mengangkat
ratusan kati. Namun anehnya, orang yang pantas naik onta atau onta yang naik orang?"
tertawa Hiang Hiang KiongCu.
Semua orangpun sama riuh bergelak-tawa geli.
"Mereka menertawai apa?" tanya Tay Houw pada si utusan.
"Menertawai kalian berempat. Meskipun bertubuh tinggi besar, bertenaga kuat, tapi tak berguna apa-apa!" utusan itu menerangkan.
Tay Houw menggeram karena gusarnya. Teriaknya nya-ring 2: "Siapa yang berani
bertanding dengan aku?"
"Dan apa kegunaanmu, he, orang muda," kata si utusan pada Tan Keh Lok. "Sepuluh
orang macam kau, mungkin masih tak mampu tandingi kekuatan mereka seorang."
Keh Lok tahu apa yang harus dilakukan. Kalau nyali rom-bongan utusan itu tidak
dipatahkan, mungkin nanti diper kemahan jenderal Boan itu, Hiang Hiang KiongCu akan
mengalami gangguan. Maka dia maju kemuka.
"Aku adalah orang Ui yang paling tak punya guna sendiri.
Tapi masih lebih berguna daripada bangsa Boan semacam kamu orang ini. Mari,
suruhlah keempat 'tonggak bernya wa' itu maju," tantangnya segera.
Pada saat itu Bok To Lun pun sudah mengetahui kehadiran ketua Hong Hwa Hwe itu.
Kaget terCampur girang, dia berseru kepada puterinya yang sulung: "Ceng-ji, lihatlah siapa itu!"
Namun Ceng Tong tak kedengaran menyahut. Ketika Bok To Lun berpaling, dilihatnya
mata puterinya itu mengem beng air mata, bibirnya gemetar. Teringat orang tua itu
akan sesuatu. Tiba-tiba liatinya berduka: "Ke 2 gadis itu, adalah puteri yang sangat disayang inya. Mengapa justeru sama menCintai anak muda itu. Dan bagaimana dia
bisa berkenalan dengan puterinya yang bungsu itu?"
Lama nian kepala suku itu tak dapat menCari pemeCa-han soal yang memusingkan itu.
Dan kini, tampak Keh Lok mau bertanding dengan keempat raksasa itu, makin
gundahlah pikirannya.
Untuk pertama kali, rakyat Uigor dapat menyaksikan pemuda pilihan puteri kepala suku mereka. Perawakannya nampak lemah, wajahnya seperti sebuah lukisan. Berdiri
disamping si utusan, dia hanya sampai pundak tingginya. Apalagi dibanding dengan
keempat raksasa itu, nyata benar bedanya seperti anak kecil dengan orang dewasa.
Orang Ui kagum akan keberanian anak muda itu, namun kuatir mereka, kalau dia bukan
tandingan raksasa 2 itu.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang Ui itu timbul sympathinya. Ada beberapa orang kuat segera tampil kemuka
mau mewakili Tan Keh Lok. Tapi ditolaknya. Kat*nya: "Tak usah saudara-saudara Cape
2, biar aku yang menCobanya dulu!"
Tan Keh Lok keliwat memandang rendah sekawanan raksasa itu. Ketika si utusan
menerangkannya, keempat raksasa itu terus melangkah maju menerkam dengan
bernapsu sekali. Namun Keh Lok tampaknya tenang 2 saja. Malah pada saat itu, si
utusan Buru-buru mencegahnya.
"Karena anak muda itu berkeras maju, maka kalau sampai nanti terluka, jangan
sesalkan orang. Dan lagi Caranya pi-bu (bertanding) harus satu lawan satu, lain orang tak boleh membantu," kata si utusan pada Bok To Lun.
Kiranya si utusan itu keliwat yakin akan menang. Untuk menjaga jangan sampai terjadi pengerojokan apabila sampai sianak muda tewas, utusan tersebut mengikat janji dulu.
Belum lagi Bok To Lun membuka mulut, Tan Keh Lok sudah mendahuluinya: "Seorang
lawan seorang kurang ramai. Suruhlah keempat 'tonggak berjiwa' itu maju serentak."
"Dan fihakmu keluar berapa orang?" tanya si utusan pula. "Berapa orang" Sudah tentu
hanya aku seorang saja!" sahut Keh Lok.
Semua orang menjadi gelisah. Mereka anggap sianak muda itu hanya turuti darah
panas saja. "Hm, orang Ui betul lihai, ja" Tay Houw, kau maju dulu!" kata utusan itu. Tay Houw
maju dengan segera.
"Kau mau secara kasaran atau bertanding secara habisan?" tanya si utusan.
"Apa maksudmu?" balas tanya Keh Lok.
"Kalau halusan, jakni: kau pukul sekali, dia pun balas pukul sekali. Orang tak
diperbolehkan menangkis atau menghindar. Siapa yang roboh, dianggap kalah. Sedang
yang dimaksud dengan secara kasaran jalah berkelahi secara bebas."
"Ah, kalau hanya memukul seorang, rasanya tak Cukup. Biar empat orang sekali,
kupukulnya," kata Tan Keh Lok.
"Kalau menilik sikapnya, terang dia bukan orang gila. Tentu dia punya siasat lain," diam-diam kata si utusan dalam hatinya.
"Asal kau dapat menangkan seorang, mereka berempat tentu akan maju menyerang.
Seorang saja rasanya kau tentu 'kenyang '. Jangan terburu napsu!" katanya kemudian.
Keh Lok tertawa, sahutnya. "Baiklah, secara bun atau bu (halusan atau kasaran)
kuserahkan!"
"Bertanding kuat 2an saja. Bu bisa merusak perhubungan, baik bun saja." Dibalik kata-katanya yang sungkan ini, sebenar nya utusan itu punya maksud tertentu. Ditilik dari perawak annya, tentu sianak muda gesit sekali gerakannya. Karena itu, dia memilih
Cara bun atau halusan saja.
"Pakai Cara Bun, rasanya dia takkan lolos," pikir si utusan.
Juga Tay Houw segera lolos bajunya bersiap. Tubuhnya yang kokoh kekar itu, penuh
dilingkari otot 2 yang kuat. Laksana sebatang pohon besar. Tinyunya sebesar mangkok, seberat palu besi. Kalau seekor onta yang begitu besar telah tak kuat menerima
pukulannya, bagaimana jadinya dengan seorang anak muda yang bertubuh lemah itu.
Bok To Lun dan Ceng Tong maju menghampiri lebih dekat. Ceng Tong mencuri lihat
wajah adiknya, siapa tam paknya tenang 2 saja memandang Keh Lok dengan sorot
mata yang penuh kasih. Sedikit pun nona itu tak kelihatan kuatir.
Ceng Tong mengelah napas, mengira kalau sang adik tak mengerti apa artinya bahaya
yang bakal menganCam. Tapi ketika Ceng Tong berpaling kearah Keh Lok, juga sianak
muda itu tenang 2 saja nampaknya.
"Mari kita undi, siapa yang memukul dulu," kedengaran si utusan berkata.
"Kau adalah tetamu, silakan suruh dia memukul dulu," sahut Keh Lok.
Ceng Tong kaget dan Buru-buru menumpangi: "Yangan sungkan 2, baik diundi saja."
Ceng Tong tahu bahwa dengan kepandaian Keh Lok yang lihai itu, kalau secara bu-pi,
pasti takkan kalah. Tapi dengan Cara tukar menukar pukulan secara itu, dia kuatir kalau sianak muda tak sanggup menahannya. Maka mau ia melihat, agar sianak muda itu
yang menerima kesempatan dulu, mungkin bisa menang.
Tan Keh Lok bersenyum terima kasih kepada Ceng Tong. Namun kakinya tetap
melangkah maju seraya membusungkan dadanya.
"Pukul ah!" katanya.
Pendekar Sadis 4 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Bentrok Rimba Persilatan 15
^