Pencarian

Pedang Dan Kitab Suci 6

Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Bagian 6


Kembali Hi Tong angguk-angguk.
"Ai, seorang baik-baik begini, kenapa bisa tersesat begitu jauh," ujar Ciauw Cong sambil menghela napas. "Pernah apakah Bun Thay Lay dengan kau" Kenapa kau ingin me
nolongnya tanpa pikirkan jiwanya?"
Hi Tong pejamkan mata tak menyawab. Lewat sejenak, barulah ia berkata: "Dan
achirnya ia dapat kutolong juga, kini matipun aku rela."
"Hm," jengek Ciauw Cong mendadak, "dibawah tanganku kau pikir bisa menolong orang
sesukamu?"
Terkejut Hi Tong oleh jawaban itu. "Jadi ia tidak berhasil larikan diri?" ia menegas.
"Ia bisa larikan diri" Ha, jangan kau mimpi!" sahut Ciauw Cong. Lalu ia berusaha
menanya terus, tapi Hi Tong telah pejamkan matanya lagi tak menggubrisnya pula,
bahkan tidak antara lama pemuda itu terdengar mendengkur.
Ciauw Cong tersenyum kewalahan. "Sungguh satu pemuda yang keras kepala,"
katanya. Lalu iapun pergi."
Setiba dikamar sebelah, Ciauw Cong ajak Swi Tay Lim, Gian Pek Kian, Seng Hing dan
beberapa siwi dari Pakkhia a.l. Cu Co Im, sama-sama berunding. Setelah memberi
perintah seperlunya, masing-masing disuruh mengasoh.
Sehabis makan malam, kembali mereka pura-pura memeriksa Bun Thay Lay, yang
dibawanya kesuatu ruangan. Ruangan itu diterangi dengan lilin-lilin yang besar dan
terang Cahajanya. Kemaren malam, sebenarnya Ciauw Cong akan melakukan
peperiksaan sungguh-sungguh pada Bun Thay Lay, tapi telah di-aduk 2 oleh Hi Tong.
Malam ini, dia akan melakukan peperiksaan pura-pura, dan sebelum itu, dia telah
siapkan bayhok (barisan pendam) lengkap dengan anak panahnya. Begitu orang-orang
Hong Hwa Hwe datang menolong, mereka tentu disambut dengan hangat. Tapi se
malam 2an itu, tak ada suatu bayanganpun yang kelihatan datang.
Pada hari ke 2 pagi 2 sekali, seorang serdadu melaporkan bahwa Hoangho (Sungai'
Kuning) telah banyir. Air meluap 2 sampai tinggi. Ciauw Cong segera titahkan anak
buahnya supaya lekas berangkat. Bun Thay Lay dan Hi Tong dimasukkan kedalam 2
buah kereta besar.
Tapi baru saja rombongan akan berangkat, datanglah Go Kok Tong, Ci Ceng Lun, Han
Bun Tiong dan rombongannya. Atas pertanyaan Ciauw Cong, Go Kok Tong dengan
geramnya menuturkan apa yang telah dialami dari orang-orang Hong Hwa Hwe
"Giam liokya bugenya lihai, bagaimana bisa terbinasa dalam tangan seorang gadis.
Sungguh mengherankan," kata Ciauw Cong.
Mendapat laporan dari Go Kok Tong bahwa buge dari setiap orang Hong Hwa Hwe itu
lihai-lihai, tambahkan pula mendapat bantuan dari rombongan orang Wi, maka ber-pikir 2lah Ciauw Cong. Achirnya dia minta bantuan pada Congpeng (pembesar militer) dari
KengCiu sebanyak-banyak 400 orang tentara pilihan guna memperkuat pengawalan
orang tangkapan yang penting itu. Congpeng Buru-buru siapkan jumlah tersebut. Dia
perintahkan hu-Ciang Co Ling dan somCiang Peng Bong Sian untuk memimpin barisan
pilihan itu. Sampai dikota Song-keng, mereka mengasoh. Keesokan harinya setelah meninggalkan
kota sekira 2 atau tiga puluh li, mereka melihat ada 2 orang lelaki yang buka baju sedang duduk mengasoh dibawah pohon. Didekat mereka tertambat pada dahan
puhun, ada 2 ekor kuda yang bagus. Dua orang serdadu Ceng rupanya menjadi ketarik,
maka mereka lantas Cari 2 perkara dan menghampiri seraja membentak: "He, kuda 2 ini
asal Curian dari mana?"
"Kami adalah rahajat yang taat pada undang 2, mana kami mau menCuri," jawab salah
seorang dari mereka yang bermuka, tampan seraja tertawa.
"Kita sangat Cape, pinyamilah kudamu itu," kata salah seorang tentara, Ceng tersebut.
"Tentu takkan membikin Celaka kudamu, jangan kuatir," temannya menambahi.
"Baik, kalau Cong-ya suka menunggangnya, tentu saja boleh," sahut orang tadi.
Lalu mereka melepaskan tambatan kuda dan berkata pula: "Cong-ya, hati-hatilah,
jangan sampai dilempar jatuh !"
"Masa naik kuda saja bisa jatuh, jangan bicara sem barangan," kata serdadu yang
satunya. Dengan langkah lebar ke 2 serdadu itu menghampiri untuk pegang tali les. Tapi
sekonyong 2 pantat salah seorang serdadu itu ditendang orang, sedang muka
kawannya pun ditampar orang. Dan pada lain saat ke 2 serdadu itu dilontarkan
kejalanan. Maka gaduhlah kalangan tentara Ceng itu.
Ke 2 orang aneh itu menCemplak kudanya terus menghampiri kearah kereta besar.
Malah salah seorang diantara nya yang bermuka Codet pakai sebelah tangan untuk me
nyingkap tenda kereta, terus dipotongnya dengan goloknya sambil berseru: "Apakah
Suko ada didalam?"
"Ah, Cap-ji-long !" demikian sahutan dari dalam kereta
"Suko, kami pergi dulu, kau jangan kuatir, Kawan-kawan kita sudah sampai disini,"
demikian seru orang itu pula.
Suara sahutan dari dalam kereta itu sudah diputus dengan suara beradunya senjata
diluar kereta. Orang yang barusan berkata itu diserang oleh 2 musuh yaitu Seng Hing dan Co Leng dan pasukan Ceng pun menyerbu datang. Tapi setelah dapat menangkis
mundur, ke 2 orang itu terus keprak kudanya melarikan diri.
Malam itu rombongan Ciauw Cong bermalam di Kengsui. Keesokan harinya, pagi 2
sekali tiba-tiba terjadi kegaduhan dalam rombongan tentara itu. Pemimpinnya, Co Ling dan Peng Bong Sian Buru-buru keluar memeriksa. Dan betapakah terkejutnya demi
melihat ada sepuluhan lebih serdadu yang berlumuran darah menjadi majat ditempat
tidurnya. Entah siapa yang membunuhnya.
Begitulah dengan berlaku hati-hati sekali, mereka meneruskan lagi perjalanannya,, dan malamnya bermalam di HengCiok, sebuah kota besar. Tiga buah hotel disewanya,
masih belum Cukup dan meminyam lagi beberapa rumah penduduk. Tengah malam
tiba-tiba timbul kebakaran. Ciauw Cong perintahkan semua si-wi supaya tetap menyaga
ke 2 orang tawanannya, jangan sampai tertipu musuh. Api itu makin besar dan tiba-tiba datanglah Co Leng melapor.
"Ada kawanan perampok, anak buah kita sudah bertempur dengan mereka !"
Tapi dengan tenang Ciauwj Cong minta supaya ia (Co Ling) saja yang keluar memimpin
perlawanan, karena semua si-wi tetap menyaga orang tawanan. Hanya disuruhnya Swi
Tay Lim dan Cu Co Im ber 2 supaya menyaga diatas rumah itu. Setelah berselang
beberapa lama, hiruk pikuk itu, menjadi sirap lagi.
Co Ling melapor bahwa kawanan rampok itu memakai tutup muka. Mereka tidak
merampas uang, tapi hanya mau membunuh anak buah saja, dan memang
kesudahannya ada enam atau tujuh puluh serdadu luka-luka dan meninggal. Dengan
adanya gangguan itu, Ciauw Cong tunda keberang katannya sampai besok.
Dalam penyalanan pada besok paginya, pemandangan alam sepanyang yang dilaluinya,
sangat indah. Ternyata jalanan itu berada di-tengah-tengah 2 buah bukit dan jalanan dimuka me-lingkar 2 seperti ular yang panyang .
Tiba-tiba dari atas bukit disebelah muka, kelihatan ada seorang penunggang kuda
membalap turun dan ketika hampir dekat dia bertereak 2.
"He dengarlah ! Jangan lanyutkan perjalananmu, disi ni ada siluman jahat. Ayo, balik saja, biar selamat !"
Orang itu berpakaian baju kain kasar, pinggangnya dilihat dengan tali rumput, mukanya kuning, alisnya berdiri. Sungguh wajah yang menyeramkan pandangan mata. Sehabis
bertereak begitu, dia turun bukit, terus menyelinap disisih rombongan tentara negeri.
Ketika orang itu sudah pergi, tiba-tiba dibarisan belakang, ada seorang serdadu Ceng yang menyerit dengan keras, roboh ditanah terus mati. Rombongan pasukan itu, terke
jut dan sama mengerumuninya, tapi ternyata sikorban tersebut. tak mendapat luka
suatu apa. Karuan saja, mereka ketakutan setengah mati.
Setelah berjalan kembali, lagi-lagi sipenunggang kuda tadi munCul, dan bertereak pula dengan keras :
"He, dengarkan Kawan-kawan , kau orang bakal berhadapan dengan siluman jahat,
mengapa tak mau kembali saja " Percayalah nyawamu semua pasti diCabut."
Seruan ini betul-betul membawa pengaruh. Terutama bagi serdadu 2 yang sama
terkejut, mengapa orang itu kembali munCul dari arah muka, sedang tadi sudah pergi
kebela kang. Bukit disitu, tak ada lain jalanannya, tambahan pula mengapa begitu
Cepat-cepat dia sudah berada disebelah muka lagi.
Ketika orang itu turun bukit lagi, serdadu 2 sama me nyingkir jauh-jauh. Tidak demikian dengan Cu Co Im, sang pemimpin. Begitu orang itu berada dekat, dia segera
hadangkan goloknya untuk menCegat :
"Sahabat, berhentilah !"
Orang itu seperti tak menghiraukan. Dengan enak saja dia ajunkan tangannya kanan
untuk menggaplok pundak Co Im. Cepat-cepat Co Im tangkiskan goloknya, tapi seperti
terbentur dengan benda keras, goloknya itu terpental jatuh. Dan orang itu seperti tak terjadi apa-apa, terus larikan kudanya. Ketika orang itu sudah melalui rombongan
tentara negeri, maka kembali ada seorang serdadu yang menyerit hebat dan roboh
binasa. Sekarang betul-betul keadaan rombongan serdadu itu menjadi panik. Ciauw Cong
perintah sekalian si-wi untuk menyaga kereta tawanan, dan dia sendiri lalu pergi me
meriksanya. "Thio taijin, orang itu manusia atau setan?" tanya Co Im sembari me-mijat 2 luka
dipundaknya. Melihat wajah Co Im menjadi puCat, Ciauw Cong lantas menyuruhnya buka baju,
ternyata pada pundaknya terdapat luka sebesar telur itik. Ciauw Cong kerutkan ji
datnya, diambilnya sebungkus obat lalu disuruhnya minum. Dia perintah seorang
serdadu untuk memeriksa tubuh ka wannya yang binasa itu, betul juga pada badannya
terdapat luka sebesar telur itik. Nyatalah itu bekas sidik dari kelima jari.
Ciauw Cong suruh mengubur majat 2 sikorban itu, tetapi tak seorangpun yang berani.
Apa boleh buat dia perintahkan semua pasukan untuk bantu ramai 2 menguburnya.
"Thio taijin, manusia itu betul-betul mengherankan. Dia menuju kemuka, tapi begitu
Cepat-cepat dia sudah berada dibe lakang lagi" sampai 2 Swi Tay Lim utarakan
kekuatirannya. Ciauw Cong juga tak bisa menyawab apa-apa. Setelah berpikir sejenak, barulah dia
dapat berkata :
"Sdr. Cu, ke 2 orang serdadu itu terang terbinasa oleh pukulan 'hek-soa-Ciang' (pukulan pasir hitam). Orang-orang kan-gouw yang achli dalam ilmu pukulan itu, sedikit sekali jum lahnya, masa aku tak kenal?"
"Berbicara tentang 'hek-soa-Ciang' kiranya hanyalah Hui Lo tojin yang paling menyagoi.
Tapi dia kini sudah menutup mata. Apakah tadi itu roch tojin tersebut ?" tanya Swi Tay Lim.
"Ah, betul ah !" seru Ciauw Cong dengan tepuk 2 paha-nya. "Dialah murid Hui Lo tojin itu. Orang biasa gelarkan mereka Hek Bu Siang dan Pek Bu Siang. Jadi ke 2 sau dara
kembar itulah yang menyaru sebagai setan pengganggu."
Semua si-wi yang mendengar disebutnya ke 2 persaudaraan tersebut., atau yang kita
kenal sebagai SeeChwan Sianghiap, menjadi keder hatinya. Tapi untuk jangan
mengunyuk kan kelemahan, mereka pura-pura berlaku tenang.
Ketika malam itu mereka bermalam di Hek-siong-poh, Co Ling litahkan supaya diadakan
penyagaan ronda yang kuat. Tapi keesokan harinya, para peronda itu, tidak kelihatan
munCul. Ketika disuruh periksa, ternyata peronda 2 itu sudah sama menggeletak tak
bernyawa lagi. Pada setiap tubuh si korban, ditempeli selembar uang- kertas
sembayangan. Kini peCahlah semangat pasukan negeri itu Malah ada sepuluh orang lebih serdadu
yang diam-diam melarikan diri.
Hari itu rombongan Ciauw Cong sampai kepunCak Oh-kiaonia. Inilah punCak bukit yang
kesohor paling berbahaja didaerah Kam Keng. Waktu itu justeru bulan sembilan, maka
udarapun mulai turun salju. Ketika melintasi bukit tersebut, terpaksa serdadu 2 itu harus berjalan dengan saling tarik tangan, karena kuatir tergelinCir jatuh kedalam ju rang yang sangat Curam.
Justeru selagi orang tengah memusatkan perhatiannya untuk berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba dari arah muka terdengar suara Cuwat-Cuwit, dan dilain saat lalu berobah
menjadi suitan yang nyaring dan panyang , berkumandang jauh di-lembah 2 dan bikin
bulu roma orang berdiri. Men-dengar itu sekalian serdadu sama merandek.
"Ayo, kemarilah kalau mau bertemu dengan malaekat elmaut. Kalau mau hidup
kembalilah!" demikian ber-ulang 2 terdengar suara teriakan orang.
Peng Bong Sian segera pimpin beberapa orang, untuk maju menerdyang dengan
berjalan kaki. Baru saja mem biluk disebuah tikungan, sebuah anak panah telah
menancap didada seorang serdadu, siapa segera menyerit dan terjungkal kedalam
jurang. Peng Bong Sian gemas, untuk membikin besar hati anak buahnya, dia maju
kedepan. Tapi bukan dia, hanya tiga orang anak buahnya yang kembali "termakan" oleh
anak panah. Ketika pasukan itu merandek, munCul ah satu orang dari lamping bukit, dengan
suaranya yang menyeramkan orang itu berteriak :
"Yang maju akan bertemu dengan elmaut, yang mundur akan selamat !"
Tidak tunggu lagi, berlarilah sekalian serdadu itu berebut duluan. Peng Bong Sian
murka, terus menyabet roboh seorang anak buahnya sendiri. Dengan begitu, suasana
dapat diatasi lagi. Tapi yang sudah ketlanyur melarikan diri, kira-kira enam tujuh puluh orang itu, sudah tak nampak bayangantija lagi.
"Kau orang jagalah kereta tawanan itu, biar kutemui ke 2 persaudaraan Siang itu," kata Ciauw Cong pada Swi Tay Lim.
"Apakah disitu Siang-si Sianghiap" Disini aku Thio Ciaw Cong memberi hormat," kata
Ciauw Cong setelah maju kemuka.
"Wah, harini rupanya Siang-kui (setan kembar) akan bertemu dengan Poan-koan
(gelaran Ciauw Cong)!" sahut orang itu dengan tertawa dingin.
Dan dengan ucapan itu, tangan kanan orang telab me nyambar. Karena keadaan
tempat itu sempit sekali, tak ada jalan untuk Ciauw Cong berkelit. Terpaksa dia
kerahkan lwekang untuk menyambut dengan tangan kiri. Dan berbareng itu, tangannya
kanan menyulur kemuka untuk menampar.
Orang itupun tak tinggal diam, tangannya kiri diulurkan untuk menangkis. Jadi kini 2
pasang tangan saling ber bentur. Tapi Ciauw Cong dapat berlaku sebat. Dia robah
gerakannya dengan Cepat-cepat untuk menyapu paha kiri lawannya.
Karena tak keburu menghindar, orang itu berlaku nekad. Dia rangkapkan ke 2
tangannya untuk ditotokkan ke 2 belah jalan darah "thay-yang-hiat." Dengan miringkan tubuh Ciauw Cong maju 2 tindak. Dan orang itupun juga miringkan tubuhnya maju
menyerang. Demikian ke 2nya saling menerdyang . Malah saking dahsyatnya, begitu
kepelan berbentur, ke 2nya sama terpental beberapa kaki kebela kang. Hanya kini
kedudukannya berobah. Ciauw Cong beralih kesebelah timur, sedang orang itu berada
disebelah barat.
Selagi begitu, tiba-tiba Peng Bong Sian pentang busurnya ke-arah orang itu. Tapi dia ternyata lihai sekali. Tangan kirinya menangkis serangan Ciauw Cong, tangannya kanan men jumput ujung panah gelap itu. Dan menggunakan kesempatan kosong itu dia
Cepat-cepat -' berpaling kebelakang untuk menimpuk kembali panah itu. Peng Bong
Sian dapat menghindari dengan tundukkan kepalanya, tapi seorang serdadu
dibelakangnya telah menyerit roboh.
"Siang-si Siang-hiap, betul-betul tak bernama kosong," memu ji Ciauw Cong.
Belum lama ucapan itu dikeluarkan, Ciauw Cong rasakan ada angin menyambar dari
arah belakang. Dan ketika dikelit, ternyata munCul pula seorang kurus berparas kuning, yang mirip dengan orang satunya tadi. Serangannya pun tak kalah serunya. Kini Ciauw
Cong dikerojok 2, dari muka dan belakang.
Ngeri orang melihat ketiga orang itu bertempur. Karena pada jalanan yang sesempit itu, sekali salah gerakannya, pasti akan terpelanting jatuh kcdalam jurang yang sangat
tebing itu. Sekalipun Seng Hing dan Co Im membawa 2 ratusan serdadu, tapi mereka
tak dapat memberi bantuan apa-apa pada Ciauw Cong. Paling banyak-banyak serdadu 2
itu hanya dikerahkan untuk ber-sorak 2 membantu keangkeran.
Setelah berpuluh jurus liwat, sekonyong-konyong salah seorang lawan miringkan
bahunya untuk bentur Ciauw Cong, siapa Cepat-cepat mundur selangkah. Melihat itu
orang yang satunya Cepat-cepat menghantamnya. Dan berbareng itu, yang lainnya pun
mengirim tendangan. Jadi yang satu mendorong yang lain menendang, maka Ciauw
Cong teranCam terpental kedalam jurang.
Untuk menghindari tendangan, Ciauw Cong mundur selangkah, dengan begitu kakinya
yang sebelah sudah tak menginyak batu karang lagi dan tergantung diatas jurang.
Sekalian serdadu sudah sama menyerit ketakutan.
Dalam pada itu, lawan yang seorang tadi, pukulannya sudah menyamber datang. Bagi
Ciauw Cong kini tak ada jalan lolos lagi. Dalam keadaan terdesak, sering orang timbul dayanya. Demikian pula Ciauw Cong. Dengan gunakan "kin-na-hoat," ilmu menangkap
senjata musuh dengan tangan kosong, dia Cepat-cepat menyawut pergelangan tangan
mu suhnya, terus diangkatnya.
Orang itu berusaha untuk pegang pergelangan tangan Ciauw Cong, tapi karena
tubuhnya mengapung diudara, maka kekuatannya berkurang, dan dapatlah dia
dilemparkan oleh Ciauw Cong kedalam jurang. Melihat itu, gemuruhlah sorak sorai
sekalian serdadu.
Orang itu, yang ternyata adalah Siang He Ci, tidak menjadi gugup. Ditengah udara dia tendangkan kakinya keatas untuk berjumpalitan. Dan dalam pada itu, dia segera
keluarkan alatnya "hui-Cao" dikibaskan keatas. Hui-Cao, atau Cakar terbang, adalah
semaCam Cengkeram panyang bertali dan gunanya untuk mengait.
Begitu saudaranya mengeluarkan hui-Cao, Siang Pek Ci-pun segera mengeluarkan juga,
lalu dibandringkan kebawah. Dan begitu ke 2 hui-Cao berkaitan, maka dengan Cepat-
cepat Siang Pek Ci menariknya keatas. Dengan demikian tak sampailah Siang He Ci
jatuh kedalam jurang yang Curam itu.
,,Hwe-jiu-poan-koan memang benar 2 lihai, sungguh aku merasa kagumi!" kata Siang
Pek Ci seraja merangkap ke 2 tangannya. memberi hormat. Dan tanpa menunggu
penyahutan orang, dia segera mengajak kandanya untuk berlalu.
Semua serdadu sama berisik membicarakan pertempuran yang seru itu. Ada yang
memuji kelihaian Ciauw Cong, ada yang menyayang kan mengapa tak lemparkan saja
orang sho Siang itu kejurang.
"Buge Thio taijin sungguh hebat sekali," seru Swi Tay Lim seraja menghampiri. "Apakah taijin tak terluka?"
Ciauw Cong tak menyahut dan Coba mengatur napasnya dulu. Dan baru berselang
beberapa saat, dia berkata: "Tidak apa-apa."
Tapi ketika memeriksa pergelangan tangannya dia menjadi terkejut. Disitu terdapat
bekas Cap lima jari yang ke-merah 2an seperti terbakar kelihatannya.
Begitulah setelah melalui pegunungan Oh-kiao-nia, mereka a,kan masuk wilayah Bun-
lan. Kuatir dengan rintangan 2 musuh, Ciauw Cong tak mau ambil jalan besar, tapi
berputar melalui jalan kecil. Sebenarnya Co Ling sudah mempunyai renCana bagaimana
untuk menghadapi kawanan penggang gunya, tapi karena Ciauw Cong sudah
memutuskan renCana begitu, apaboleh buat dia menurut saja.
Ketika mendeka,ti tepi sungai Hong-ho, dari jauh sudah terdengar suara ombak yang
gemuruh, setelah agak lama pula, barulah tiba sampai di Angsia, suatu tempat penyebe rangan. Tatkala itu hari sudah petang, hari sudah remang-remang, hanya air sungai
yang mengalir santar ketimur itu bergemuruh men-dampar 2 tepi, air sungai yang butek itu bagai air mendidih yang bergulung-gulung gemulung.
"Malam ini juga kita harus menyeberang, melihat keadaan sungai yang berbahaja,
sedikit tertahan mungkin bisa runyam," demikian kata Thio Ciau Cong pada
pengiringnya. Lalu ia perintahkan perajuritnya pergi menCari kapal tambangan, tapi sudah diCari
setengah harian tiada suatu pun yang didapatkan, sementara itu hari sudah gelap.
Selagi Ciau Cong merasa gopoh, tiba-tiba dari hulu sungai sana bagai panah Cepat-
cepat nya sedang melunCur datang 2 perahu. Tentu saja Ciau Cong- menjadi girang,
segera perajurit-'nya ber-teriak 2 dan ke 2 perahu itupun pelahan 2 mentepi.
"Hai, tukang perahu, lekas kau menyeberangkan kami, nanti dihadiahi banyak-banyak
2," segera Peng Bong Sian berteriak dulu.
Maka terlihatlah dari bagian belakang salah satu perahu itu berdiri seorang laki 2 kekar sambil memberi tanda dengan tangannya.
"Eh, apa kau bisu?" tanya Peng Bong Sian mendongkol.
"Tiunama, mau naik lekas naik, tak mau naik bilang tak naik, peduli apa kau banyak-
banyak bicara," demikian terdengar orang itu menyahut.
Ternyata orang itu telah memaki dengan "Tiunama" dan kata-kata Kongfu lain yang
susah dimengarti, agaknya tukang perahu itu adalah orang Kongfu.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, Bong Sian tak mengurusnya lagi, ia minta Ciau Cong dan para Si-wi
mengiringi 2 kereta besar itu naik keatas kapal dulu.
Tapi ketika Ciau Cong mengamat-amati situkang perahu itu, ia lihat kepala orang gundul botak tiada seberapa rambutnya, urat daging lengannya kentyang kuat dengan spir-nya
yang menonyol, suatu tanda tenaganya pasti besar luar biasa, malahan penggajuh yang
dipegangnya itu tertampak hitam antap seperti bukan terbuat dari kaju. Seketika
pikirannya tergerak, ia sendiri tak bisa berenang, hal ini ia harus hati-hati jangan sampai terpedaya.
Sebab itu, maka katanya kemudian pada Bong Sian : "Peng-taijin, silahkan kau saja naik dulu dengan 20 pe-rajuritmu."
Bong Sian mengia, terus naik keatas perahu yang sudah menunggu. Begitu pula perahu
yang lain juga ditumpangi beberapa puluh perajurit, tukang perahu sebelah sana
menutupi separoh wajahnya dengan sebuah Caping, maka tak jelas air mukanya.
Ketika ke 2 perahu itu sudah bergerak, saking santarnya air sungai, perahu 2 itu
didajung dulu kehulu sungai, setelah belasan tombak baru kemudian ganti haluan
ketengah sungai.
Ternyata ke 2 tukang perahu itu sangat mahir, dengan selamat beberapa puluh
perajurit itu sudah mereka seberangkan dan kembali datang buat menyeberangkan
yang lain. Sekali ini adalah gilirannya Cho Ling yang pimpin pera juritnya naik keatas perahu. Tapi baru saja perahu 2 itu berpisah dari gili 2, tiba-tiba dari belakang sana terdengar suara suitan panyang , lalu sahut-menyahut disana sini.
Lekas-lekas Thio Ciau Cong memerintahkan perajuritnya tersebar dan mengitari kereta
besar di-tengah-tengah, busur panah mereka siapkan untuk menyaga segala
kemungkinan. Tatkala itu bulan baru mulai menongol, maka terlihatlah dari arah 2 timur, barat dan utara munCul belasan penunggang kuda secara terpenCar.
"Ada apa" segera Ciau Cong kaprak kudanya memapak sambil membentak.
Pendatang 2 itu lantas berjajar lurus dan pelahan 2 mendekat, seorang diantaranya lalu tampil kemuka, pada tangannya tidak terdapat senjata, hanya sebuah kipas lempit putih kelihatan dikibasnya pelahan 2. "Apakah yang berhadapan inilah Hwe-Chiu-poan-koan
Thio Ciau Cong?" ta nyanya segera.
"Ja, betul Cayhe (aku yang rendah) adanya," sahut Ciau Cong. "Dan tuan siapa ?"
"Haha, Suko kami berkat penghantaran kalian sampai di sini, kini tak berani bikin sibuk lebih lama lagi, maka se ngaja datang buat menyambutnya," demikian kata orang itu
tanpa menyawab.
"O, kalian adalah orang Hong Hwa Hwe?" tanya Ciau Cong pula.
"Dikalangan kangouw orang bilang ilmu silat Hwe-Chiu-poan-koan tiada taranya, siapa
tahu pandai juga menduga sesuatu seperti dewa," sahut orang itu tertawa. "Ja,
memang kami orang Hong Hwa Hwe !"
Habis berkata, tiba-tiba orang itu bersuit panyang dengan keras sekali, karena tak
menduga-duga hingga Ciau Cong pun dibikin kaget. Dan karena suitan itu, segera
terdengar tukang 2 perahu tadipun membalasnya dengan sekali suitan.
Cho Ling yang berduduk didalam perahu itu, ketika melihat ditepi sana kedatangan
musuh, memangnya hatinya lagi kebat-kebit tak . tenteram, tiba-tiba didengarnya pula situ kang perahu bersuit panyang , karuan wajahnya semakin puCat bagai majat.
Mendadak tukang perahu itu palangkan penggajuhnya hingga lajunya perahu tertahan,
lalu katanya dalam bahasa Kongfu : "Nah, saudara-saudara yang baik, aku kira paling
selamat lekasan masuk air saja."
Sudah tentu Cho Ling tak paham akan bahasa Kwitang orang, hanya matanya
terpentang lebar 2 sambil ter-nganga.
Sementara itu didengarnya pula suara nyanyian nyaring merdu dari situkang perahu
yang sana, begini lagunya :
Sejak kecil Thayouw tempat beta dibesarkan, bunuh orang berapa banyak-banyak
selamamja tak sungkan; Golok membaCok pembesar korup pasti terbasmi, perahu
terguling perajurit Cing masuk sungai!
Mendengar nyanyian itu, karuan hati Cho Ling semakin ketakutan.
Apabila kemudian suara nyanyian itu berhenti, segera terdengar situkang perahu itu
berseru : "Capsahte, Ayolah turun tangan !"
Lalu situkang perahu yang ditumpanginya ini memberi sahutan sekali dalam basa
Kongfu. Meski dalam ketakutan, namun Cho Ling masih Coba angkat tombaknya terus
menyerang situkang perahu lebih dulu. Namun Cepat-cepat sekali tukang perahu itu
sudah melompat kedalam sungai, begitu pula tukang perahu sebelah sa napun
melompat kedalam air, hingga karena kehilangan sipengemudi, ke 2 perahu itu terus
ber-putar 2 ditengah sungai. Karuan Cho Ling dan perajurit 2 Cing itu ber-teriak 2
ketakutan. Disebelah sana hamba 2 negeri yang berada didaratan itu ada yang lagi ber-jaga 2 atas serbuan musuh, ada pula yang tak tahan menyaksikan suara teriakan didalam perahu
yang ter-dampar 2 ditengah sungai yang keras arusnya itu, ke 2 perahu itu kelihatan
bergontyang beberapa kali lagi, lalu mendadak terbalik, dalam keadaan panik dengan
suara je ritan penumpang 2nya itu, tiada ampun lagi pembesar dan perajurit 2 itu sudah terCemplung semua dan terhanyut arus sungai.
Sebaliknya ke 2 tukang perahu tadi ternyata sangat mahir berenang, tiada seberapa
lama mereka sudah berada ditepi sungai lagi. Tapi karena santarnya arus air, ketika
mendarat ke 2 tukang perahu itu sudah berada dijarak ratusan tombak dibawah hulu
sungai sana, segera perajurit 2 Cing didaratan itu menghamburkan panah, tapi karena
jaraknya sudah jauh, pula dimalam gelap gelita, sasaran tak terang, tentu saja tiada yang kena.
Namun aneh juga, ke 2 tukang perahu itu bukannya larikan diri, tapi malah memapak
menuju kepasukan tentara Cing itu.
Dalam pada itu diam-diam Thio Cian Cong lagi berSyukur, tadi kalau bukan dirinya
berlaku waspada, pasti sekarang sudah menjadi setan didalam sungai. Lekas-lekas ia
tenangkan diri, lalu dengan suara keras ia membentak orang tadi : "Ha, kalian
sepundyang jalan terus membunuh perajurit 2 dan pembesar negeri, dosamu itu sekali
2 tak bisa diampuni, kini kedatanganmu malah kebetulan. Nah, katakan dulu, siapakah
kau dalam Hong Hwa Hwe ?"
"Tak perlu kau tanya padaku," sahut orang itu tertawa, "bila kau kenal senjataku,
dengan sendirinya kau tahu siapa aku." " Habis berkata, enteng sekali ia telah
melompat turun dari kudanya, lalu serunya : "Sim Hi, mana, ambilkan kesini !"
Segera Sim Hi membuka buntalannya dan menyodorkan 2 maCam senjata ketangan
ketua umum Hong Hwa Hwe, yaitu Tan Keh Lok.
Thio Ciau Cong segerapun melompat turun dari kudanya sambil lolos pedangnya, ia
mendekati orang beberapa tindak dan selagi ingin menegasi wajah lawan itu, tiba-tiba dari be-lakangnya menyerobot maju satu orang.
"Thio-taijin, biar aku saja yang membereskan dia," de mikian kata orang itu.
Ternyata orang itu adalah jago pengawal Cu Co Im. Kebetulan, pikir Ciau Cong, biar
orang dipakai perCobaan dulu baru kemudian ia maju sendiri. Maka ia lantas mun dur
lagi sambil berkata : "Baiklah, Cuma harus ber-hati-hati."
Segera pula Cu Co Im itu maju lebih dekat terus membentak : "Hai, kawanan berandal,
besar amat nyalimu berani merampas tawann kerajaan, terimalah golokku ini !" "
Berbareng itu goloknya lantas membaCok keatas kepala Keh Lok.
Dengan sendirinya Keh Lok angkat senjata ditangan ki-rinya untuk menangkas.
Dibawah sinar bulan, Cu Co Im dapat melihat bentuk senjata yang dipakai lawannya
sangat aneh, jakni sebuah tameng, tapi diatas tameng itu tumbuh sembilan buah paku
berkait tajam, asal goloknya kebentur tameng itu, pasti akan terkait tak terlepas. Karena itu, ia menjadi kaget, lekas-lekas ia tarik kembali goloknya.
Namun tameng yang digunakan Tan Keh Lok itu dapat digunakan untuk menangkis
serta untuk menyerang, ketika orang tarik kembali senjatanya, sekalian ia membarengi menekan kebawah.
Cepat-cepat Cu Co Im ajun goloknya kesamping buat memotong bahu kiri lawan.
Namun Keh Lok telah baliki tameng nya lagi buat mengkait terus menyojoh kedepan.
Karena itu terpaksa Cu Co Im mundur 2 tindak.
Tak terduga, mendadak tangan kanan Keh Lok mengajun, tahu-tahu lima utas tali telah
menyamber kedepan, disetiap ujung tali itu terikat sebuah bola baja yang kusus
digunakan peranti menutuk tiga enam jalan darah utama ditubuh orang.
Terkejut luar biasa Cu Co Im melihat senjata hebat itu, ia, kenal bahaja apa yang
menganCam, lekasan saja ia meloncat pergi, siapa duga ujung tali orang seperti
bermata saja, tahu-tahu pungg'ungnya terasa pegal, jalan darah "Ci-tong-hiat"
dipunggungnya ternyata sudah kena tertutuk, diam-diam Cu Im mengeluh, namun
sudah terlambat, ke 2 kakinya sudah tergubet oleh tali orang.
Apabila Keh Lok menarik talinya terus diangkat dan dilepaskan pula, maka. tak ampun
lagi tubuh Cu Co Im seperti didorong saja terus membentur kesebuah batu Cadas dan
tampaknya segera bakal kepala peCah dan otak berantakan.
Melihat gerakan musuh diwaktu melompat turun dari kuda tadi, Thio Ciau Cong sudah
tahu sebelumnya bahwa Cu Co Im jauh bukan tandingan lawannya, ia saksikan
pertarungan yang hanya makan waktu 2-tiga jurus itu lantas Co Im terlempar akan
membentur batu, maka tanpa pikir lagi ia melesat maju terus menghadang didepan
batu Cadas itu, sekali ia ulur tangan, Cepat-cepat kunCir Cu Co Im kena ditariknya terus diangkat, lalu ia tepuk "tan-tian-hiat" dadanya buat melepaskan tutukan musuh tadi.
"Saudara Cu, baiknya kau mengaso saja dulu," demikian kata Ciau Cong kemudian.
Namun saking ketakutan dan sudah peCah nyalinya, maka' Cu Co Im hanya terCengang
tak sanggup menyawab.
Sementara itu sambil menghunus pedang pusakanya 'ih pek-kiam' lantas Thio Ciau Cong
melompat kehadapan Tan Keh Lok. "Usiamu semudah ini, tapi sudah memiliki
kepandaian bagus. Hai, anak muda, siapakah gurumu?" segera ia menegur.
"Huh, mentang 2 lebih tua, tanya orang semaunya!" tiba-tiba Sim Hi menyela sebelum
Keh Lok menyawab. "Dan kau sendiri, siapa gurumu?"
Tentu saja Ciau Cong menjadi gusar. "Anak benal kurangajar, berani kau ngaCo-belo,"
damperatnya kontan.
"Ah, tentunya kau marah karena kau tak kenal senjata KonCu kami bukan?" ejek Sim Hi
tiba-tiba . "Baiklah, asal kau menyura tiga kali padaku, segera juga aku beritahu-kan padamu."
Namun Ciau Cong tak menggubrisnya lagi, sekali pe dangnya bergerak, Cepat-cepat
sekali ia menusuk kebahu kanan Tan Keh Lok.
Tetapi tali ditangan kanan Keh Lok tiba-tiba diajun keatas terus melilit dibatang pedang musuh, berbareng tameng ditangan kiri didorong kedepan buat menghantam muka Thio
Ciau Cong. Dan begitulah segera Ciau Cong keluarkan "Ju-hun-kiam-hoat" yang hebat dari
penguruannya untuk menempur senjata-nyata aneh Tan Keh Lok dengan sengit.
Sementara itu ke 2 tukang perahu tadi sudah berlari sampai didepari perajurit 2 Cing, segera hamba 2 negeri itupun menghamburkan anak panah lagi, namun dapat disam
pok jatuh oleh ke 2 orang itu. Kiranya mereka bukan lain jalah 'Tang-thau-gok-hi' Cio Su Kin, sibuaja berkepala tembaga, dan dibelakangnya itu yang telah menCopot Caping
serta mantelnya hingga kelihatan pakaian renangnya yang hitam mulus, ke 2 tangannya
mengunus sepasang golok, nyata ialah 'Wan-yang-to' Lou Ping, sigolok kembar
Tatkala itu Cio Su Kin telah putar penggajuh besinya menyerbu kedalam pasukan
musuh, 2 perajurit paling depan telah kena dikeperuk olehnya hingga batok kepalanya peCah berantakan, karuan yang lain-lain sama ketakutan hingga lari menyingkir.
Dengan Cepat-cepat pula Lou Ping mengikut dibelakang ka wannya terus menerdyang
sampai disamping kereta besar.
Seng Hing yang berjaga tidak jauh disitu, dengan senjata tojanya "Ce-bi-kun" segera
menghadang maju dan menempur Cio Su Kin. Sebaliknya Lou Ping telah berlari
kesebuah kereta besar itu terus menarik tirai penutupnya sambil berteriak menanya :
"Toako, apakah kau berada didalam ?"
Tak terduga yang berada didalam kereta itu adalah Ie Hi Tong yang luka parah itu,
ketika dalam keadaan sadar-tak-sadar pemuda itu mendengar suaranya Lou Ping, ia me
nyang ka dirinya sedang berada dalam mimpi, tapi mengira pula dirinya sudah mati dan berjumpa dengan Lou Ping diacherat, maka dengan girang ia menyawab : "Ah, kau pun
sudah datang?"
Sebaliknya dalam keadaan Buru-buru Lou Ping mendengar bukan suara sang suami,
meski suara orang itu Cukup dikenalnya, namun tak sempat dipikir pula, Cepat-cepat ia berlari mendekati kereta yang ke 2.
Dan selagi ia hendak menyingkap tirai kereta buat meli hatnya, sekonyong-konyong
sebuah senjata "Ku-gi-to," sejenis golok yang bergigi seperti gergaji, telah
membabatnya. Namun Lou Ping sempat menangkis dengan golok kanan, berbareng
golok ditangan kiri kontan balas menyerang 2 kali susul-menyusul kepundak kanan dan paha kiri musuh.
To-hoat atau ilmu golok Lou Ping ini menurut Cerita di turun dari Han Se Tiong, itu
panglima terkenal dijamannya Gak Hui diahala Song, diwaktu Han Se Tiong
menggempur tentara Kim, ia gunakan senjata golok panyang ditangan kanan yang
bernama "Toa-Che" atau sihijau tua, dan golok pendek ditangan kiri yang bernama "Sio-Che" atau sihijau muda, dengan sepasang golok itu entah berapa, ba nyak tentara Kim
yang tewas ditangannya.
Dan Lou Ping ternyata kidal, jakni tangan kiri lebih bebas dari tangan kanan, maka
ayahnya Sin-to, sigolok sakti, Lou Goan-thong telah tyang kok ilmu golok itu dan
diajarkan pada puterinya yang tunggal ini, maka golok ditangan kanan Lou Ping hanya
memainkan jurus-jurus ilmu golok yang biasa saja, tapi golok pendek ditangan kiri
dapat berubah tiada habis-habisnya hingga merupakan suatu keahlian tersendiri didunia persilatan.
Dalam pada itu dibawah sinar bulan bila Lou Ping mengenali musuhnya itu adalah satu
diantara delapan jago pengawal yang pernah mengembut dan menangkap suami nya di
LanCiu tempo hari, tak tertahan lagi ia menjadi murka hingga serangan-'nya bertambah gencar.
Kiranya penyerang dengan "Ku-gi-to" itu ialah Swi Tay Lim, ia sudah kenal betapa
lihainya 'hui-to' atau pisau terbang sinyonya jelita ini, maka ia putar senjatanya
sedemikian Cepat-cepat nya agar Lou Ping tak sempat melepaskan senjata rasianya itu.
Tak lama pula, ada 2 jago pengawal lain telah memburu datang membantu, begitu pula
pasukan tentara itupun lantas merubung maju hingga Cio Su Kin dan Lou Ping
terkepung rapat.
Sekonyong 2 terdengar suitan, dan dari arah timur serta utara menyerbulah sekawanan
penunggang kuda kearah itu. Yang dimuka sendiri adalah Wi Jun Hwa, lalu dibelakang
nya Ciang Bongkok, Nyo Seng Hiap dan Ciu Ki. Dibawah hujan panah dari tentara Ceng,
Jun Hwa tampak memutar sepasang siangkao (gaetan) untuk melindungi Kawan-kawan
nya. Tapi sebatang anak panah telah menyusup tepat dileher kudanya hingga seketika
binatang itu binal dan menendang se orang serdadu. Dengan sebat, Jun Hwa loncat
turun terus menerdyang .
"Aduh, aduh " demikian suara jeritan ber-ulang 2.
Dua orang serdadu menyerit dan roboh. Habis itu, Jun Hwa langsung meny erang Swi
Taij Lim, siapa terpaksa tarik serangannya pada Lou Ping dan terus menangkis
lawannya yang baru itu. Dalam pada itu si Bongkok, ,Seng Hiap dan Ciu Ki telah amuk
habis-habisan rombongan tentara itu hingga lari pontang panting.
Pertempuran dalam gegap gempita itu, tiba-tiba tampak sebuah tongkat 'Ce-bi-kun'
melayang ke udara. Itulah senjata nya Seng Hing, salah seorang si-wi yang ditugaskan membantu Ciauw Cong. Karena ingin menyudahi pertempurannya de-ngan si-wi
tersebut, Cio Su Kin telah menangkis sekuat-kuatnya, dan kesudahannya senjata
pahlawan istana itu terlempar keudara, sedang orangnya pun terus angkat langkah
panyang ! Si-wi yang menjadi lawan Lou Ping pun telah mendapat 2 luka, darah membasahi
seluruh tubuhnya, namun dia tetap berkelahi. Tiba-' dia rasakan ada angin menyambar
dari belakang. Ketika dia berputar kebelakang, tahu-tahu sebatang kong-pian sudah
meng-anCam mukanya. Buru-buru dia menangkis dengan goloknya, tapi gempuran
kong-pian begitu dahsyatnya hingga goloknya terlempar lepas dari tangannya. Dengan
sebat, dia lemparkan tubuh untuk bergelundungan ditanah, tapi tak urung punggungnya
kena didupak kaki lawannya.
Begitu bebas, Lou Ping kembali menyerbu kearah kereta yang nomor 2, terus disingkap tendanya dan melongok kedalam.
"Siapa?" tanya suara dari dalam kereta itu.
Sungguh suara itu terasa begitu merdu merasuk kedalam kalbu Lou Ping.
Dengan serta merta ia loncat masuk dan mendekap orang didalam itu yang memang
nyata adalah Bun Thay Lay. Nyonya muda yang gagah itu, menangis tersedu-sedu
karena girang dan terharu. Bun Thay Lay pun terharu kegirangan, hanya karena tangan
dan kakinya diborgol dia tak dapat berbuat apa-apa.
Di-tengah-tengah pertempuran berdarah itu, sepasang suami isteri itu tak
menghiraukan apa-apa keCuali hanya menumpahkan perasaan masing-masing.
"Suko, kita antar kau pulang!" tiba-tiba berbareng dengan gontyang nya kereta, Ciang Bongkok melompat kedalam dan terus duduk ditempat kusir. Dan kereta segera akan
dilarikan kejurusan utara.
Beberapa si-wi dengan nekad Coba akan menyerbunya, tapi dihadang oleh Seng Hiap,
Jun Hwa, Su Kin dan, Ciu Ki berempat. Apa boleh buat, kawanan si-wi itu mundur, lalu perintahkan barisan serdadu untuk melepas panah.
Karena malam gelap, sebatang anak panah berhasil me nanCap dipundak Seng Hiap
yang segera menyerit kesakitan.
"Pat-ko, kau bagaimana?" tanya Jun Hwa.
Dengan digigit pakai gigi, panah itu telah diCabutnya sendiri. Lalu Su Kin menggerung keras-keras:
"Akan kubasmi kawanan budak itu !"
Tanpa hiraukan lukanya, dia terdyang kawanan serdadu itu. Jun Hwa pun ikut 2an
mengamuk, hingga dalam beberapa saat ada tujuh delapna serdadu yang roboh. Lain-
lainnya terus melarikan diri, dikejar oleh ke 2 orang Hong Hwa Hwe tersebut. Sedang
dari arah sana, Beng Kian Hiong dan An Kian Kong sudah siap menyambutnya. Sekali
lepas pelurunya, Kian Hiong telah berhasil merobohkan beberapa orang, ada yang
matanya luka, hidungnya bengkok dan lain-lain. Keadaan makin gaduh tak karuan.
Su Kin dan Ciu Ki melindungi kereta, sedang Ciang Bongkok menghentikan kereta itu
pada sebuah tanyakan untuk melihat pertempuran antara ketuanya dengan pemimpin
kawanan kuku garuda.
"Bagaimana pertempuran itu?" tanya Thay Lay.
"Congthocu sedang tempur Ciauw Cong," sahut Lou Ping.
"Apa, Congthocu?" menegasi suaminya.
"Kau tak tahu, bahwa siaothocu sekarang sudah menjadi Congthocu kita," sahut sang
isteri. "Bagus kalau begitu. Manusia Thio Ciauw Cong itu sangat lihai, jangan sampai
Congthocu kena apa-apa dengan dia," kata pula Thay Lay dengan, kuatir.
Lou Ping melongok keluar dari tenda untuk melihat ja lannya pertempuran.
"Apa thocu sanggup melajaninya?" kembali Bun Thay Lay utarakan kekuatirannya.
"Senjata dari Cong-thocu1 lihai sekali. Tangan kiri memegang tun-Pai (perisai atau
tameng), dan yang kanan lima utas tali yang berujung bola baja. Coba dengarlah
bagaimana bola itu Menderu-deru suara samberannya."
"Apa, ujungnya di kat dengan bola baja" Jadi dia bisa pakai tali untuk menotok jala.n darah?" menegasi Bun Thay Lay.
"Ha, Ciauw Cong kini dikepung oleh kelima tali Congthocu!" seru Lou Ping.
"Apakah tenaga thocu Cukup kuat?" tanya suaminya. "Rupanya samberan talinya sudah
mulai pelahan."
Lou Ping tak menyahut, tiba-tiba ia berjingkrak dan berseru keras: "Bagus, pedang
Ciauw Cong terkait oleh tun-Pai, bagus, bagus, sabetan tali kali ini tentu berhasil. Aja, Celaka !"
"Bagaimana?" sela Thay Lay.
"Pedang orang itu ternyata sebuah pokiam. Dua buah gaetan dari tun-Pai itu telah
terpapas kutung. Ah, Celaka talipun tersabet kutung bagus, hai, serangan itu luput.
Celaka, gaetan kembali putus, kini Cong-thocu pakai tangan kosong untuk melajaninya, wah, manusia itu kejam sekali. Bagus, kini Bu Tim totiang maju. Cong-thocu mundur."
Mendengar itu legahlah hati Bun Thay Lay. Dia tahu bahwa tojin itu ilmu pedangnya
lihai sekali. Selama mendengari keterangan jalannya pertempuran itu tadi, Bun Thay
Lay sampai mengeluarkan keringat dingin karena menguatirkan keselamatan
pemimpinnya. Pada lain saat terdengarlah suara tereakan yang mengagetkan dari orang banyak-


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak, maka bertanyalah Bun Thay Lay pada isterinya.
"Totiang mengeluarkan ilmu permainannya Tui-hun to-beng-kiam, santernya bukan
main, Ciauw Cong selalu main mundur-mundur saja," kata Lou Ping.
"Coba lihatlah,, apakah kakinya itu masih menginyak pada langkah pat-kwa?"
"Ah, dia melangkah ke kian-wi, kini ke kian-kiong lalu menginyak Cin-wi, benarlah,
bagaimana kau bisa menge tahuinya?" tanya Lou Ping dengan heran.
"Manusia itu bugenya tangguh sekali, kujakin dia tentu bukan mundur sewajarnya.
Dalam salah satu jurus ilmu pedang kaum Bu Tong Pai ada yang di gunakan untuk
melelahkan tenaga musuh dengan main mundur-mundur setelah itu baru balas
menyerang. Sekarang dia tentu akan menginyak kelangkah pat-kwa, sayang , sayang !"
"Sayang apa?" tanya sang isteri.
"Sayang aku tak dapat menyaksikan. Orang yang bisa men jalankan ilmu pedang itu,
tentu sempurna sekali kepandaian nya. Dmu itu baru dikeluarkan bila betul-betul
bertanding dengan musuh yang tangguh. Pertempuran seperti itu, jarang sekali kita bisa menyaksikannya."
"Totiang kini gunakan ilmu tendangan lian-hoan-bi-jong-thui yang lihai tak tertara,
koko!" tiba-tiba Lou Ping berseru.
"Ja, karena dia kekurangan sebelah tangan, maka dia jakinkan kakinya dengan
sempurna untuk menutup kekurangan itu. Kuingat, ketika bertempur dengan kaum
Ceng Ki Pang, diapun gunakan ilmu tendangan itu untuk menga lahkannya," kata Bun
Thay Lay. Kiranya semasa mudanya Bu Tim Tojin telah penuh berkeCimpung dalam pertempuran.
Banyak-banyaklah sudah dia melakukan gerakan besar. Bugenya lihai, ambeknya tinggi.
Kawanan pembesar betul-betul tobat terhadapnya. Tetapi ketika pada suatu hari dia
berjumpa dengan seorang gadis dari keluarga seorang pembesar, entah apa sebabnya,
dia telah jatuh hati. Gadis itu sebenarnya tak mau membalas Cinta nya, tapi karena
mendapat anyuran ayahnya, ia pura-pura mau menerima kunyungan Bu Tim pada suatu
malam. "Kau sebenarnya tak sungguh-sungguh menyintai aku," demikian gadis itu mainkan
aksinya. DiCengkeram oleh asmara yang ber-kobar 2, Bu Tim bersumpah kerak-keruk. Gadis itu
tetap tertawa :
"Kaum lelaki itu, memang mudah saja mengucapkan sumpah. Kalau kau betul-betul
Cinta padaku, kau kutungilah sebelah tanganmu."
Tanpa berpikir panyang , pemuda yang dimabuk asmara itu, segera menCabut pedang
dan menabas kutung lengan kirinya. Berbareng pada saat itu, keluarlah barisan bayhok kawanan polisi, untuk merejengnya. Karena sakitnya, Boe Tim pingsan tak sadarkan
diri, dan dengan mudah dapatlah dia ditawan.' Boe Tim di jatuhi hukuman panggal
kepala. Ketika saudara seperguruannya mengetahui, mereka ber sarekat dengan orang-orang
gagah untuk merampok penyara dan menolongnya. Juga sigadis sekeluarga ditawan
untuk menunggu putusan Bu Tim. Orang menduga Bu Tim tentu akan bunuh mati
mereka atau tetap akan memperisterikan gadis tersebut. Tapi ternyata tidak demikian.
Melihat wajah gadis yang diCintainya itu, hati Boe Tim luluh. Disuruhnya melepaskan
gadis dan keluarganya semua, dan dia dengan diam-diam pergi dari kota kediamannya
itu, ia mengasingkan diri dan tirakat menjadi imam.
Sekalipun sudah menyuCikan diri, namun adatnya masih belum berobah. Karena itu dia
diminta menjadi pembantu dari Ie Ban Thing yang waktu itu mulai mendirikan Hong
Hwa Hwe Pada suatu ketika Hong Hwa Hwe telah bentrok dengan Ceng Ki Pang. Dan ke 2 fihak
sama-sama setuju menCari penye lesaian dengan adu silat. Kaum Ceng Ki Pang
mengejek Bu Tim hanya bertangan satu. Karena marahnya, Bu Tim sumbar minta
dikerojok. Dan benar, malah dengan mengikat tangannya yang tinggal satu itu dengan
tali dia gunakan ilmu tendangan 'lian-hoan-bi-jong-tui' yang lihai itu untuk merobohkan beberapa jago fihak musuhnya. Melihat itu fihak Ceng Ki Pang merasa kagum dan
menyatakan menggabung dalam Hong Hwa Hwe Thiat-tha Nyoo Seng Hiap sebenarnya
dulu adalah orang Ceng Ki Pang. Di Hong Hwa Hwe kini dia menduduki kursi no.
delapan. Baiklah hal itu kita tinggalkan dulu dan menenengok keadaan Lou Ping yang menjadi
juru bicara untuk suami nya mengenai jalannya pertempuran itu. Katanya :
"Tindakan kaki Ciauw Cong kini agak kalut melajani tendangan totiang. Sekarang dia
sudah menginyak jalan pat-kwa".
"Bagus, dia belum pernah bertemu dengan tandingannya.
Kali ini tentu Ciauw Cong mengetahui sampai dimana-mana kelihaian orang-orang Hong
Hwa Hwe kita." kata Thay Lay.
Tapi pujian itu telah dijawab dengan tefeakan : "Celaka" dari Lou Ping, sudah tentu Bun Thay Lay kaget dan Buru-buru menanyakannya.
"Totiang telah sibuk berkelit kesana sini, orang itu entah sedang melepas senjata
rahasia apa, rupanya sangat kecil sekali!" sahut sang isteri.
Bun Thay Lay pusatkan perhatiannya untuk mendengarkah dan ternyata suara yang
bersiutan itu lemah sekali kedengarannya.
"Ah, itulah jarum hu-yong-Ciam dari Bu Tong Pai yang paling lihai !" tiba-tiba serunya.
Dalam pada itu, karena berhenti ditanyakan, maka kereta itu mundur beberapa tombak
kebelakang. Kemudian lagi-lagi Lou Ping berkata :
"Totiang telah memutar pedangnya bagaikan kitiran Ce-patnya. Jarum 2 itu satupun tak ada yang mengenai. Kini ke 2nya bertempur lagi, dan kembali totiang menang angin.
Tapi Ciauw Cong sangat kuat dalam pemaelaan."
Bun Thay Lay segera minta isterinya membuka tali ikatan kaki dan tangannya. Karena
itu barulah Lou Ping ingat, lekas-lekas ia melakukan apa yang diminta. Tiba-tiba diluar terdengar suara gemerentyang yang keras sekali, maka Buru-buru Lou Ping melongok
keluar. "Wah, Celaka, pedang totiang telah dipatahkan. Orang she Thio itu betul-betul lihai. Eh, koko, aku telah memperoleh seekor kuda bagus untukmu," dalam suasana yang
mendesak itu tiba-tiba ia teringat akan kuda putihnya.
"Ah, salah, mengapa harus ter-Buru-buru . Coba kau lihat lagi totiang", kata Bun Thay Lay dengan tersenyum.
"Kali ini totiang berhasil menendang paha lawan, dan orang itu mundur beberapa tindak dan kini Tio samko yang melajani".
"Totiang sekalipun sudah menjadi orang beribadat, tapi adatnya masih suka umbar
kemarahan dengan memaki-maki. Kau tuntun aku keluar, kuduga Tio samko tentu akan
adu senjata rahasia dengan Ciauw Cong".
Lou Ping sedianya akan menuntunnya tapi terjata luka dipaha dan lengan suaminya itu
begitu hebat, hingga dia sampai menyerit ketika akan berbangkit. Lou Ping minta
suaminya supaya mengasoh didalam kereta itu saja, biar ia yang menyampaikan
tentang jalannya pertempuran itu.
Bun Thay Lay pernah mejakinkan "am ki thing hong sut", mendengarkan samberan
angin dari senjata rahasia. Maka begitu ada semaCam bunyi menderu lantas dia
mengatakan bahwa itulah "siu-Cian" (panah kecil) dan lain saat ia berseru : "Ah, itulah hui-hong-Ciok (batu belalang terbang)."
"Bukan, tadi dia menyambuti semua senjata rahasia yang dilepaskan oleh Tio samko,
dan kini dia mengemba likannya. Ah, samko betul-betul mempunyai seribu tangan,
bagaimana dalam sekejap saja dia bisa sambitkan sekean banyak-banyak senjata
rahasia. Ha, betul-betul seperti hujan, kasihan, lebih baik orang she Thio lari sembunyi saja," demikian Lou Ping.
Selama memberi komentar itu, Bun Thay Lay menampak bagaimana aju dan menarik
wajah isterinya itu, dan tanpa terasa hatinya bergontyang keras. Sampai 2 dia terlunCur untuk memanggilnya. Dengan bersenyum manis, Lou Ping berpaling kearah suaminya.
Sedang pada saat itu, Tio Pan San telah mengeluarkan senjata simpanannya, jakni yang satu disebut "hui-liong-pik" dan yang lain "hui-yan-gin." Dia arah lawannya dengan
mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Tio Pan San adalah orang UnCiu dari wilayah Ciatkang. Semasa kecilnya dia pernah ikut ayahnya untuk berdagang ke Lam Yang, Didaerah Lam Yang itu dia merasa ketarik
dengan semaCam senjata karet dari penduduk peribumi yang kalau dilemparkan bisa
kembali sendiri. Pan San adalah murid dari Thay Kek Bun, keistimewaannya terletak
dalam soal senjata rahasia.
Kesan dari senjata penduduk Lam Yang itu, telah mendorongnya untuk menCiptakan
semaCam senjata yang disebutnya "hui-liong-pik" atau naga melilit. Dan "hui-yan-gin"
atau burung walet perak itu, adalah juga dari hasil pejakinannya yang mendalam.
Jilid 11 CIAUW CONG pindahkan pedangnya ketangan kiri, tangan itu dia gunakan untuk
menyampok pergi datang semua senjata rahasia yang kecil 2. Sedang tangannya kanan
tak putus-putus menyang gapi kemudian mengembalikan senjata-nyata rahasia yang
agak besaran. Tiba-tiba dia kaget menampak ada semaCam senjata yang berlegat-legot melunCur dari
udara akan menyambar mu kanya. Kuatir senjata itu beraCun, Ciauw Cong tak berani
memegang kepalanya tapi menyemput ekornya. Dia tak mengira kalau "naga" itu
bagaikan naga hidup saja. Begitu tangan Ciauw Cong menyawut, benda itu berputar
kembali terus melayang balik kepada tuannya, siapa segera menyam-butinya lagi dan
lalu menyambitkannya pula.
Bukan main terkejutnya Ciauw Cong. Kini dia tak mau" menyang gapi dan hanya akan
memakai pedangnya untuk menyampok. Tapi tiba-tiba dari arah kanan dan kiri, 2 buah
"hui-yan-gin" menyambarnya. Buru-buru Ciauw Cong enyot kaki loncat tinggi-tinggi
sehingga ke 2 senjata itu menemui tempat kosong. Tapi diluar dugaan, begitu
mengenai tanah, hui-yan-gin itu membal keatas menyambar pada Ciauw Cong. Karena
tak keburu berkelit, Ciauw Cong kerahkan lwekangnya dan berhasil menyambutinya
yang sebuah. Tapi yang sebuah lagi, tak keburu dihindarinya dan menyusup kedalam
pahanya. Melihat lawannya terluka Tio Pan San memburu untuk menikamnya lagi. Untuk itu,
Ciauw Cong gunakan pedangnya. Karena tahu bahwa dia berhadapan dengan pokiam,
Pan San mengegoskan tubuh, hingga pedangnya menempel disisih pedang musuh. Dia
gunakan ilmu "menyedot" dari Thay Kek Kiam, hingga pedang Ciauw Cong tertarik
kesamping. Atas gerakan itu, tersentaklah hati Ciauw Cong. Semula dia akan gunakan
kepandaiannya yang menggetarkan setiap orang itu untuk menundukkan lawan, tak
tahunya malah pahanya terluka senjata musuhnya. Melihat gelagat jelek, dia tak mau
melanyutkan pertempuran lebih lama lagi. Dia menatap kearah Kawan-kawan nya, tapi
ternyata rombongan si-wi sudah ter-birit 2 lari. Begitu pula kereta tawanan, pun sudah direbut musuh.
Karena gelisah, dia desak musuh dengan tiga kali serangan. Begitu orang mundur, dia
Cabut senjata rahasia yang me nanCap dipahanya, terus ditimpukkan pada lawan. Pan
San tundukkan kepalanya untuk menghindar, tapi saat itu telah digunakan oleh Ciauw
Cong untuk memburu kearah kereta tawanan. Sewaktu melihat Ciauw Cong terluka, Lou
Ping me-nari 2 karena riangnya.
"Sipsu-tee Hi Tong bagaimana" Dia terluka berat apa tidak?" tanya Bun Thay Lay.
"Siapa" Sipsu-tee, dia terluka?" sahut sang isteri.
Belum ucapannya itu habis, Ciauw Cong menyerbu kedalam kereta. Dan berbareng
dengan itu, Lou Ping menyerit kaget, karena sepasang goloknya terpental disampok
Ciauw Cong, jatuh dimuka kereta. Rombongan orang-orang HONG HWA HWE segera
mengepung kereta itu. Ciu Tiong Ing lantas menyeli nap kemuka dan tegakkan
goloknya besar untuk menghadang.
"Bagus, manusia semaCam kau berani datang ke Thiat-kee-Chung untuk mengambil
orang. Betul-betul kau tak pandang mata pada lohu ini. Tidakkah kau mengerti akan
aturan kangouw atau bu-lim?" teriak orang tua itu segera.
Melihat yang berdiri dihadapannya seorang tua yang berjenggot putih dan gagah
sikapnya, tahulah Ciauw Cong bahwa dialah tentu ketua dari kaum persilatan daerah
barat laut si Thiat-tan Ciu Tiong Ing. Dia tak mau berlaku ajal lagi terus menikamnya.
Tiong Ing Cepat-cepat balikkan goloknya, untuk menangkis serangan musuh dengan
gigir golok. Gerakan pedang Ciauw Cong linCah dan keras. Begitu dia tarik ujung
pedang, gigir golok musuh telah tergurat beberapa dim dalamnya.
Berbareng pada saat itu, Ciu Ki, Ciang Bongkok, Ji Thian Hong dan ke 2 persaudaraan
Siang dengan menghunus senjatanya masing-masing telah berbareng menyerbu pada
Ciauw Cong. Dengan gerakan "hun-heng Cin-nia," mega menghalang punCak gunung Cin-nia, Ciauw
Cong putar pedangnya ling-bik-kiam hingga merupakan suatu lingkaran. Karena jerih
dengan pokiamnya, orang-orang HONG HWA HWE itu sama menarik senjatanya.
Ciauw Cong memilih lawan yang terlemah, jakni menyerbu pada Ciu Ki. Nona ini Buru-
buru angkat goloknya untuk menabas kepala orang, tapi gerakan Ciauw Cong lebih
sebat. Tangannya kiri memegang pergelangan tangan sinona dan dilain saat golok
sinona sudah dapat direbut.
Melihat itu, tak terkira terkejutnya Tiong Ing. SeCepat-cepat itu juga, ke 2 thiat-tannya telah susul menyusul menghantam punggung Ciauw Cong. Dan berbareng pada saat itu
juga, Tan Keh Lok telah melepas tiga butir biji Catur kearah "jwan-ma," "Kwan-gwan"
dan "Ciok-ti" tiga jalan darah yang berbahaja.
Sampai disini kederlah hati Ciauw Cong. Dia tergetar melihat bagaimana dalam gelap
itu, musuh dapat menyambit kearah jalan- darah, maka Cepat-cepat dia putar leng-bik-
kiam-nya untuk menyampok ketiga biji Catur itu.
Tapi pada detik itu, gembolan Tiong Ing sudah menyambar datang. Cepat-cepat dia
putar tubuhnya untuk menyang gapi gembolan yang datang pertama. Tapi tidak
tahunya gembolan ke 2 yang datang belakangan malah menimpah tepat di dadanya.
Tiong Ing dapat meng'angkat nama karena mengandel dengan thiat-tannya itu. Dia
mempunyai suatu gerakan yang istimewa. Yaitu gembolan yang dihantamkan lebih dulu
gerakannya pelan, dan menyusul belakangan malah lebih keras dan Cepat-cepat .
Karena itulah kebanyak-banyakan, musuh tak mengira sama sekali. Begitu pun Ciauw
Cong, seketika dia rasakan dadanya sesak dan sakit sekali sampai tubuhnyapun menjadi tergetar. Dengan menahan napas, dia kibaskan ke 2 tangannya untuk menolak Ciang
Bongkok dan Ji Thian Hong, dan dari situ terus lari kearah kereta.
Lou Ping hendak menyambut dengan golok panyang . Tapi sekali tangkis, goloknya itu
telah terpapas kutung oleh poo-kiam Ciauw Cong, siapa meneruskan gerakannya loncat
keatas dan menCengkeram pundak Lou Ping. Dengan Ceng keraman baja itu, Lou Ping
tak kuasa menggerakkan goloknya pendek lagi. Namun ia masih dapat tamparkan
tangannya kiri untuk menyotos muka lawannya.
Orang-orang HONG HWA HWE kaget dan kuatir, mereka berbareng datang menolong.
Tapi seCepat-cepat itu, Ciauw Cong telah lemparkan Lou Ping kearah ke 2 saudara
Siang dan Tiong Ing. Sudah tentu mereka dengan gugup menyang gapinya, karena
kuatir jangan 2 Lou Ping sampai terluka.
Tiba-tiba Ciauw Cong kedengaran menggerung. Punggung nya kena dihantam Bun Thay
Lay sekali. Syukur bugenya sempurna, dan Bun Thay Lay masih dalam keadaan sakit,
jadi tenaganya sangat berkurang, kalau tidak tentu remuklah sudah jerohan orang she
Thio itu. Sekalipun begitu, sakitnya bukan kepalang. Dan justeru hantaman ke 2 dari
Bun Thay Lay menyambar datang lagi, karena tak keburu berkelit, Ciauw Cong Buru-
buru tarik selimut yang dipakai orang untuk membungkus kepala Bun Thay Lay, dengan
itu dia pakai untuk merangkum tangan Bun Thay Lay. Menyusul tangannya diulur untuk
notok jalan darah tawanannya yang seketika itu segera pingsan tak dapat berkutik.
Dengan menyeret Bun Thay Lay kemuka kereta, berserulah Ciauw Cong :
"Bun Thay Lay berada dalam tanganku, siapa yang berani maju, tentu lebih dulu
kubunuh saudaramu ini !"
Untuk membuktikan anCamannya, Ciauw Cong tandaskan pokiamnya kebatang leher
tawanannya. "Koko!" Lou Ping menyerit seraja menubruk maju, tapi keburu ditarik oleh Hwi Ching.
Sedang ketika habis mengucap itu, Ciauw Cong rasakan mulutnya terasa anyir, dan
sekali batuk, dia muntahkan darah segar.
"Ciauw Cong, kau masih kenal aku apa tidak?" demikian seru Hwi Ching tiba-tiba sambil tampil kemuka.
Ciauw Cong sudah lama berpisah dengan suhengnya itu, apa lagi malam itu gelap, jadi
tak dapat dia segera me ngenalnya: Hwi Ching Cabut pek-liongkiamnya," ujungnya
ditekuk sampai mengenai tangkainya, kemudian dilepaskan
HALAMAN YG HILANG
"Wi kiuko, Ciang sipsamko, Beng toako, An toako, kau serbulah kawanan serdadu-itu!"
tiba-tiba Tan Keh Lok mem beri perintah segera juga Wi Jun Hwa dan lain-lain. lakukan pe rintah itu.
Berbareng pada saat itu, seorang pemuda tiba-tiba tampil dari belakang Hwi Ching dan berseru : "Aku juga ikut !"
Dan tanpa menunggu sahutan, ia terus mengikuti rom bongan penyerbu itu. Tan Keh
Lok tampak mengangkat alis dan bersenyum. Kiranya dialah Li Wan Ci, murid Hwi
Ching, yang menyaru sebagai lelaki itu.
Ketika Hwi Ching tinggal dibelakang untuk menyaga kemungkinan pembalasan dari Go
Kok Tong cs, dia telah berjumpa dengan muridnya. Karena beberapa hari itu ia saksikan pertempuran yang menarik, maka setengah me maksa Wan Ci minta ikut suhunya. Apa
boleh buat, Hwi Ching lebih dulu menyuruhnya berjanyi takkan bertindak sembarangan
sebelum mendapat ijin dari suhunya, baru setelah itu diajaknyalah ia.
Begitulah Wan Ci tinggalkan sepuCuk surat kepada Li thay-thay, menerangkan bahwa ia
akan berangkat ke Hang-Ciu lebih dulu, untuk menemui ayahnya. Dan ketika suhu dan
murid ber 2 ini tiba justeru pertempuran antara orang HONG HWA HWE dan Ciauw
Cong sedang berlangsung. Hwi Cing melarangnya ikutsan, sudah barang tentu gadis itu
menjadi kurang senang. Maka begitu Wi Jun Hwa dipe rintahkan menyerbu, tanpa
menghiraukan apa-apa, ia terus ikut saja.
Sementara itu Keh Lok memberi beberapa pesanan pula pada kawan^nya, mereka
sama mengiakannya. Segera Tio Pan San melompat maju, sekali tangan mengibas, 2
buah pa nah telah menancap pada sepasang mata keledai yang menarik kereta Ciauw
Cong. Dengan bebenger keras, binatang itu binal dan me-lonyak 2 keatas.
Ciang. Bongkok berlari maju menuju kebelakang kereta. Dengan sekuat-kuatnya dia
tarik kereta itu hingga tak dapat berjalan lebih lanyut. Siang He Ci dan Siang Pek Ci ber 2 berada disebelah kanan dan kiri kereta. Mereka menyerang Ciauw Cong dengan
senjatanya. Dan ketika Ciauw Cong menangkis, Seng Hiap membarengi loncat kedalam
kereta untuk merampas Bun Thay Lay.
Cepat-cepat Ciauw Cong menghantamnya, tapi Seng Hiap telah miringkan tubuh,
gunakan pundaknya untuk menerima pu kulan lawan, lalu dengan nekad dia
membopong Bun Thay Lay. Untuk melindungi Seng Hiap dari hajaran Ciauw Cong lebih
jauh, maka Bu Tim dan Thian Hong menobros masuk dari belakang dan terus
menyerang pung gung Ciauw Cong. Sedang Tan Keh Lok ajak Sim Hi loncat keatas
kereta, dari situ mereka membungkukkan badan untuk menghantam kebawah. Jadi kini
Ciauw Cong diserang dari semua jurusan, kanan kiri, muka belakang dan atas.
Melihat Seng Hiap dapat menerima pukulannya dengan tak merasa apa-apa, terkejutlah
Ciauw Cong. Dia duga anak muda itu punya ilmu thiat-po-san. Ketika Seng Hiap nekad
merampas Bun Thay Lay, Ciauw Cong jambak punggung bajunya dengan tangan kiri,
sedang tangannya kanan dia pakai untuk menangkis serangan ke 2 persaudaraan Siang.
Sehabis itu, dia empos semangatnya untuk melemparkan tubuh Seng Hiap yang besar
itu keluar kereta.
Hwe-Chiu-poan-koan Thio Ciauw Cong seakan-akan ber mata enam, bertelinga delapan.
Dalam keadaan yang genting itu, tetap dia masih dapat mendengar samberan senjata
dari atas pajon dan dari belakang kereta.
SeCepat-cepat dia Condongkan tubuh kemuka sembari men dongak, tangan kirinya


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah menyemput serangkum 'hu-yong-Ciam'. Dan dengan miringkan tubuh, dia segera
tawur kan jarum 2 itu kepajon dan belakang kereta.
Tan Keh Lok yang mengerti bahwa musuh tentu melepaskan senjata rahasia, Buru-buru
hadangkan tun-Painya kemuka. Tidak demikian dengan Sim Hi yang terus menyerit dan
melorot turun ketanah. Buru-buru Tan Keh Lok loncat kebawah untuk memeriksanya.
Sehabis itu, Ciauw Cong ganti mengarah kebelakang kereta. Tapi dengan sebat luar
biasa, Bu Tim telah buang dirinya keluar untuk mendahului samberan hu-yong-Ciam.
Karena tak .sesebat itu, Thian Hong Coba gunakan selimut untuk melindungi diri. Tapi ternyata jarum 2 itu dapat menyusup terus, masuk kedalam, pundaknya. Rasa sakit ke
semutan menyerang dengan hebatnya dan karena tak tahan, terpelantinglah dia
kebawah. Untung Ciang Bongkok keburu menyang gapinya.
"Chit-ko, bagaimana kau?" tanya saudara angkat itu.
Tapi baru saja bertanya begitu, dia sendiri rasakan pundaknya sakit bukan main.
Ternyata sebatang anak panah telah memakannya.
"Saudara-saudara sekalian hendaklah berkumpul rapat 2," seru Keh Lok.
Dalam pada itu panah sudah menghambur dari belakang. Sambil sebelah tangannya
memegang pundak Bu Tim, Ciang Bongkok berusaha menangkis hujan panah itu
dengan tangan kanannya.
Bu Tim larang si Bongkok bergerak, lalu menCabut batang panah yang menancap
dipundaknya itu, kemudian dibalutnya dengan robekan ujung bajunya.
Pada saat itu, jelaslah kini untuk fihak manakah bala bantuan itu datang. Bagaikan arus gelombang, ribuan barisan tentara Ceng telah menghampiri datang.
Kini semua anggauta HONG HWA HWE sudah bertempur dengan berkumpul, maka
bertanyalah Tan Keh Lok :
"Siapa diantara 2 orang dari saudara-saudara yang sedia menyerbu?"
Bu Tim dan Wi Jun Hwa serentak menyatakan kesediaan nya.
"Baiklah, kini kita harus lekas-lekas berpenCar, untuk mundur kebelakang bukit
disebelah sana." Dan setelah memberi perintah itu, kembali Tan Keh Lok berseru: "Tio samko, Siang ngo-ko dan liok-ko, kita serang lagi kereta itu !"
Begitulah Bu Tim dan Wi Jun Hwa menobros hujan panah itu. Dengan tangan kosong,
Bu Tim dapat merampas sebatang pedang, dengan senjata itu dia ikut Jun Hwa untuk
membuka jalan darah. Dalam sekejab saja, ke 2 nya telah menyusup jauh kedalam
barisan musuh. Tapi biar bagaimana gagahnya ke 2 jago itu, mereka tak kuasa
membendung arus tentara Ceng yang membanyir itu.
Sebaliknya Ciauw Cong girang dan bangun lagi semangat nya. Tapi diapun insyap
bahwa lukanya berat, dan justeru seperti yang dikuatirkan, benar 2 Tan Keh Lok dan
Kawan-kawan nya kembali menyerang lagi. Ciauw Cong tak berani berlaku ajal, terus
angkat tubuh Bun Thay Lay keatas, untuk di bolang-balingkan. Sedang ketika itu
berpuluh 2 barisan kuda telah menerdyang Tan Keh Lok dengan goloknya. Apaboleh
buat, Keh Lok berempat segera mundur kebelakang bukit.
Disitu sudah berkumpul lengkap semua orang HONG HWA HWE Hanya Bu Tim dan Jun
Hwa yang masih belum datang. Dan juga lain rombongan yang terdiri dari Thian Hong,
Ciu Ki, Wan Ci, Ciu Tiong Ing dan Beng Kian Hiong.
Ketika Tan Keh Lok menanyakan mereka, maka Ciang Bongkok yang masih rebahan
ditanah, Cepat-cepat menyahut: "Chit-ko (Thian Hong) terluka, apakah ia belum
kembali" biarlah kususumja."
Tanpa menghiraukan luka dipundaknya yang masih belum baik itu, si Bongkok
berbangkit, menyembat sepasang kam paknya terus akan lari. Tapi ternyata masih
sempojongaci jalannya. Melihat itu Buru-buru Ciok Siang Ing menCegahnya dengan
mengatakan dia saja yang pergi. Cio Su Kin se rentak menyatakan mau ikut.
"Cio sipsamte, kau bersama suso supaya menyerang ketepi sungai, dan sediakanlah
perahu 2'." demikian Keh Lok me la.rang Su Kin ikut Siang Ing menCari Thian Hong.
Hati Lou Ping terasa kosong dan bingung, tanpa berkata apa-apa ia ikut Su Kin kesana.
Sedang Ciok Siang Ing dengan membekal golok, terus naik kuda untuk berangkat.
Kini daerah pertempuran itu se-olah 2 penuh terisi. dengan tentara Ceng, hingga
sukarlah bagi Siang Ing, dimanakah Thian Hong itu kini sedang berada. Apaboleh buat, dia terpaksa membuka kepungan musuh untuk menCarinya.
Tetapi belum lagi berapa lama Siang Ing pergi, Ciu Tiong Ing dan Beng Kian Hiong
sudah tampak datang kebelakang bukit itu. Buru-buru Keh Lok menanyakan kepada
Tiong Ing, kemanakah puterinya. Tiong Ing kaget dan Cemas, dia hanya meng-geleng
2kan kepalanya. Tiba-tiba Hwi Ching pun sibuk sambil membanting 2 kaki, katanya:
"Muridku itupun hilang, biar kumenCarinya."
An Kian Kong menyatakan ikut, Tan Keh Lok minta Tio Pan San, Siang-si Siang-hiap,
Nyo Seng Hiap dan Beng Kian Hiong berlima untuk menyaga tempat itu, sedang Sim Hi
dan si Bongkok yang terluka disuruhnya mengaso. Habis itu pemimpin HONG HWA HWE
tersebut loncat keatas kudanya terus me nyerbu kedalam barisan pemanah musuh.
Sekali memban dring, bola bajanya telah dapat merobohkan 2 orang serdadu pemanah.
Dan seCepat-cepat itu, dia rampas ke 2 busur mereka.
Dengan bertereak 2 barisan Ceng menyerbu dengan tombak nya. Tapi mereka segera
dihajar dengan tiga buah bola baja dari Tan Keh Lok yang menghantam kian kemari.
Pada setiap hantaman, terdengarlah rintihan dari mereka yang roboh atau terpental
busurnya. Sekejab saja, pemimpin muda itu telah dapat merampas delapan busur, terus
melarikan kudanya mundur.
Tiba-tiba keadaan dibelakang kawanan barisan kuda itu men jadi kaCau. Dan pada lain
saat, tampaklah beberapa penunggang kuda mengamuk. Yang dimuka, ternyata adalah
Bu Tim tojin, yang gunakan ilmu pedang 'Cui-hun-to-beng-kiam.' Mengikut
dibelakangnya adalah An Kian Kong dan Wi Jun Hwa, Hanya saja yang tersebut.
belakangan ini, badan nya telah berlumuran darah.
Tan Keh Lok kaget tak terkira, terus maju mengham piri. Melihat bagaimana keempat
orang itu mengamuk seperti banteng ketaton, pasukan Ceng jerih dan terpaksa
membuka jalan untuk kasih mereka lari kebelakang bukit.
Setelah menerimakan busur 2 rampasan tadi kepada Tio Pan San, Tan Keh Lok Buru-
buru menengok Jun Hwa.
"Karena kehabisan tenaga, kiu-te (Jun Hwa) menggigau tak ingat orang," menerangkan
Bu Tim. Dan betul juga Jun Hwa masih melantur ber-kaok 2 akan membunuh semua tentara
musuh itu. Kembali Tan Keh Lok menanyakan tentang Thian Hong cs. Tanpa men
jawab, Bu Tim berbangkit akan pergi lagi. Tan Keh Lok menambahi keterangannya,
bahwa Ciu Ki dan murid dari Liok Hwi Ching juga belum diketahui berada dimana.
Ketika nampak Bu Tim munCul lagi, seorang Cian-Cong (pemimpin barisan kuda) maju
menombaknya. Tapi dengan sekali gebrak saja, sambil berkelit dan menabas, Bu Tim
telah dapat membikin roboh Cian-Cong itu. Melihat sang pemimpin binasa, bujarlah
sekalian anak buahnya. Kembali Bu Tim meneruskan menCari Kawan-kawan nya.
Tiba-tiba ia melihat segundukan tentara tengah ber-tereak 2 dengan gemparnya.
Rupanya mereka sedang mengepung se seorang. Cepat-cepat Bu Tim jejak perut
kudanya untuk meng hampiri. Kembali ada seorang Cian-Cong menghadang. Tapi
belum sempat membuka mulutnya menegur, tahu-tahu sinar putih berkelebat dan
lehernya telah tersabet pedang.
"Cap-ji-long (Ciok Siang Ing), jangan takut, ji-komu sudah disini," demikian seru Bu Tim.
Cok Siang Ing sedang melajani tiga orang perwira musuh, sedang tentara 2 itupun
membantu untuk menombakinya. Siang Ing betul-betul ripuh sekali, untuk sekean lama
masih dapat ia bertahan, tapi lama-lama habislah tenaganya. Tapi ketika mendengar
seruan Bu Tim. seketika kembalilah seluruh semangatnya.
"Sudah dapat menemukan Chitko (Thian Hong) belum ?" tanyanya dengan gembira.
"Kau serbu saja kemuka, jangan hiraukan yang belakang," sebaliknya Bu Tim
kedengaran memberi peringatan padanya.
Siang Ing betul-betul menyalankan seruan ji-konya itu. Se lagi ia dapat maju kemuka, tiba-tiba dari arah belakang ter dengar jeritan yang menyeramkan. Siang Ing berpaling kebelakang, dan nampak ketiga perwira tadi sudah terhampar binasa. Diam-diam dia
tunduk akan kelihaian ji-konya itu.
Tadi hampir setengah harian, ia tempur ketiga perwira itu, tapi belum dapat keputusan.
Tidak disangka, bahwa Cu kup dengan beberapa gebrak saja, Bu Tim telah dapat
membereskan mereka.
Begitulah dengan selamat, ke 2nya bisa datang kebelakang bukit. Namun Thian Hong,
Ciu Ki dan Wan Ci tetap belum kelihatan disitu. Sementara itu fihak tentara sudah dapat mengetahui bukit tempat persembunyian orang-orang HONG HWA HWE itu. Seorang
pat-Cong (perwira) dengan membawa ber-puluh 2 anak buah, segera melakukan
sergapan. Tio Pan San, Siang-si Siang-hiap dan Beng Kian Hiong adalah achli pelepas senjata
rahasia. Begitu busur dijam bret, maka belasan serdadu itu segera roboh. Melihat itu, Kawan-kawan nya sama mundur, hanya menyaga ditempat yang agak jauh.
Lalu Keh Lok tuntun kudanya mendaki keatas bukit dan minta agar Kian Hiong suka
bantu memegang les binatang itu, lalu ia berdiri diatasnya untuk memandang
kesekeliling nya. Diketahuinya bahwa rombongan besar tentara negeri telah berangkat
menuju kebarat, dan hanya meninggalkan beberapa ratus anak buahnya untuk
mengepung bukit itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi terompet, dan sebuah rerotan yang mirip dengan sisik naga
kelihatan bergerak datang. Dari Cahaja obor yang dibawa oleh rombongan tentara itu,
tam paklah sebuah bendera yang tertuliskan huruf besar 2: "Ceng-se-tay-Ciangkun
Yauw Hui." Barisan ini sama me nunggang kuda teji yang besar 2. Mereka sama
menghunus sangkur dan tombak. Dan gemerinCingnya gerakannya itu, menandakan
bahwa pasukan itu diperlengkapi dengan baju baja.
Bu Tim makin gelisah, terus akan keluar lagi untuk men Cari Thian Hong cs. Siang He Ci Coba menCegahnya, namun tojin itu tetap tak menghiraukan dan terus keprak kudanya.
Kawanan tentara itu Cukup kenal akan kelihaian sitojin yang selama pertempuran tadi
telah berhasil membinasakan seorang" som-Ciang, seorang yu-kip dan seorang Cian-
Cong. Maka serentak mereka menghujani anak panah.
Bu Tim tarik les kudanya, lalu memotong kebawah dari samping bukit. Dan sebelum
kawanan barisan pemanah sempat menarik busurnya, tahu-tahu telah diterdyang oleh
tojin itu. Buru-buru mereka menyerang dengan senjatanya.
Bu Tim membolang-balingkan pedangnya, dan disana sini terdengar jeritan bebrapa
serdadu yang kena terbabat. Se telah dapat menyisihkan barisan pengepung itu, Bu Tim iarikan kudanya kesana sini memutari daerah pertempuran itu, namun tak juga Thian
Hong kelihatan.
Tiba-tiba sebatang panah menyusup kearah perut kudanya, dan berbareng dengan
robohnia binatansr itu, Bu Timpun terlempar jatuh. Seorang Cian-Cong Cepat-cepat
membarengi dengan tabasan golok, tapi Bu Tim keburu tendangkan kaki keudara untuk
loncat kebelakang pelana penyerang nya. Sekali sodok, terlemparlah Cian-Cong itu
ketanah. Kini balik kita tengok' pada rombongan orang-orang HONG HWA HWE yang masih
berada dibelakang bukit. Mereka gelisah me mikirkan Thian Hong. Sekalipun tak
dinyatakan, tapi hati masing-masing sama kuatir jangan 2 Thian Hong binasa dalam
kanCah pertempuran yang gaduh itu. Sekonyong-konyong terdengar derap kuda berlari
datang. Yang per-tama 2 munCul ke-bukit itu, jalah Cio Su Kin, siapa kedengaran ber-
kaok 2 dengan kerasnya: "Lekas mundur, lekas, thiat-ka-kun (barisan baju besi) sedang menyerbu kemari!"
Kiranya Ceng-se tayCiangkum Yauw Hui menerima firman kaisar Kian Liong untuk
memimpin tentaranya kedae rah Hwe. Agar supaya suku bangsa Hwe itu jangan sam
pai keburu menimbulkan huru-hara, maka 'thiat-ka-kun' itu berjalan siang-malam. Hari itu kebetulan mereka telah sampai ketempat ini.
Ketika pasukan perintisnya melapor, bahwa dimuka ada kawanan berandal yang
menghadang. Sekalipun jumlahnya kecil, tapi agaknya berandal itu lihai, hingga telah dapat membinasakan seorang perwira som-Ciang dan yu-ki.
Yauw Hui titahkan lekas-lekas mernburu kesana, ia lebih dulu kirim hu-Ciang, wakilnya Ong Pun Liang untuk memberesi "perampok" itu. Dengan membawa 500 pasukan
berbaju baja, Ong Pun Liang msmimpin penyerbuan. Mengetahui kelihaian barisan itu,
Cio Su Kin yang telah dititahkan untuk menyaga tepi sungai, Buru-buru lari kebukit.
Tan Keh Lok bertindak tegas. Dia perintahkan untuk me lakukan penyergapan ketepi
sungai. Semuanya pun telah siap. Hanya Ciu Tiong Ing kiranya yang masih memikiri
puterinya. Namun apaboleh buat, dalam suasana pertempuran semaCam itu, kiranya
tak ada waktu luang untuk menCarinya.
Beng Kian Hiong, An Kian Kong, Ciok Siang Ing bergan tian mendorong Wi Jun Hwa
keatas kuda. Pada saat orang-orang HONG HWA HWE sudah siap diatas kudanya,
pasukan baju baja sudah munCul. Untuk menghindari diri dari barisan itu, Siang-si
Siang-hiap dan Kawan-kawan nya| ambil jalan dari sebelah kanan bukit.
"Thiat-ka-kun menggunakan sin-kiong (panah sakti) yang dahsyat sekali tenaganya.
Lebih baik kita tobros kawanan tentara Ceng itu," demikian ajak ke 2 saudara Siang.
Dan mereka ber 2 segera menjadi pembuka jalan untuk menerdyang .
Ke 2 saudara Siang itu kini berganti senjata dengan sebatang golok dan yang satunya
memakai tombak. Begitulah mereka mulai membuka jalan darah, menuju ketepi sungai.
Melihat orang-orang HONG HWA HWE itu menyelinap kedalam rombongan tentara
Ceng, barisan 'thiat-ka-kun' itu tak berani melepas panah, karena kuatir akan melukai kawannya sendiri. Apaboleh buat terpaksa mereka mundur. Dengan begitu kini tepi
sungai Hoangho itu, penuh dengan tentara Ceng, barisan 'thiat-ka-kun' dan menyusul
orang-orang HONG HWA HWE
Cio Su Kin terus terjun kedalam sungai, untuk men Cari perahu. Sedang Lou Ping Buru-
buru menambatkan beberapa buah perahu pada sebuah tempat tambatan. Lebih dulu
dia angkut si Bongkok dan yang luka-luka masuk kedalam perahu. "Ayo, kita lekas-lekas naik perahu! Totiang, Tio samko, Ciu-loenghiong, mari kita berempat", demikian seru
nyonya muda itu.
Tapi belum dia sempat menghabisi perintahnya, sebatang sin-kiong (panah kuat) telah
menyambar. "Celaka!" seru Bu Tim ketika tampak 'thiat-ka-kun' itu telah tiba dan menyerang.
Keempat tokoh itu, segera membalik badan untuk tempur barisan istimewa itu. Bu Tim
ajunkan pedang mengarah tenggorokan seorang serdadu 'thiat-ka-kun.' Tapi untuk ke
kagetannya, pedang Bu Tim itu tak dapat menusuk masuk. Kiranya mata pedang tojin
itu sudah agak mandul, apalagi memang baju serdadu itu terbuat dari baja murni. Dan
sebagai pembalasan tombak 2 dari barisan 'thiat-ka-kun' itu telah melayang bagaikan
hujan kerasnya.
Bu Tim lempar pedang dan gunakan tangannya untuk menyampok sebuah tombak,
hingga terpental keatas udara. Sedang Ciu Tiong Ing pun memburu untuk menghantam
roboh beberapa musuh. Tio Pan San yang masih punya be lasan tang-Chi (uang
tembaga) dan thi-lian-Ci, Cepat-cepat me nimpukkan .pada mereka. Namun bagaikan
tak kena apa-apa, barisan baju baja itu tetap menyerbu.
Bu Tim yang pada saat itu telah dapat merebut sebatang tombak, terus menusukkannya
kearah muka seorang dari mereka, yang seketika itu segera terjungkel. Ternyata hanya bagian badan tentara itu saja yang ditutup dengan basja, sedang mukanya terdapat
lubang 2 untuk mata dan hidung. Oleh karenanya, Pan San kini mengarahkan senya
tanya ke-bagian 2 tersebut.
Beberapa orang serdadu thiat-ka-kun sama menyerit dan menutupi mukanya. Mata
mereka telah kena tertimpuk buta. Sedang orang-orang HONG HWA HWE, selain Tan
Keh Lok berempat, se muanya sudah naik keatas perahu.
Thiat-ka-kun, selain mempunyai perlengkapan yang istimewa, pun telah mendapat
gemblengan istimewa. Betapapun ganasnya musuh, namun jago-jago HONG HWA HWE
hanya berjumlah se-dikit, maka serdadu 2 'thiat-ka-kun' itu tetap maju menyer gap.
Tampak oleh Tan Keh Lok seorang perwira yang tengah memberikan perintah diatas
kudanya, dengan gerakan "bu rung walet menyelundup keair" Tan Keh Lok berloncatan
menghampiri. Perwira itu, adalah hu-Ciangkun Ong Pun Liang. Begitu melihat ada sinar putih berkelebat datang, daripada membuang tempo untuk mengawasinya, dia lebih
suka mengajunkan golok untuk menabasnya. Tapi tabasan nya mengenai tempat
kosong, sedang pergelangan tangannya dirasakan sakit sekali. Malah untuk
kekagetannya, goloknya telah dirampas dan tahu-tahu dia telah dikaet dan dilemparkan ketepi sungai.
"Tio samko, sambutilah ini!" teriak Keh Lok.
Cepat-cepat juga Tio Pan San menyang gapi tubuh si huCiang kun itu, Bu Tim dan Ciu
Tiong Ing tahu akan maksud Keh Lok Cepat-cepat mereka lari ketepi sungai dan segera
Pan San lemparkan tubuh tawanan itu kepada Bu Tim dan Bu Tim meneruskan kepada
Ciu Tiong Ing. Yang belakangan ini, setelah me-lempar 2kan tubuh orang beberapa kali keatas, lalu melemparkan kedalam sungai didekat perahu. Su Kin tertawa gelak 2
menyaksikan kesemuanya itu, dia mem bungkuk untuk menyambret rambut Ong Pun
Liang lalu diangkatnya naik kedalam perahu.
Di-tengah-tengah gegap gempita tereakan serdadu 2 Ceng, Tan Keh Lok dan Kawan-
kawan nya enyot kakinya melayang kedalam perahu, yang terus dikajuh ketengah oleh
Su Kien dan Lou Ping.
Tentara Ceng segera ber-teriak 2 terus menghujani panah, tapi dapat dipunahkan oleh
orang-orang dalam perahu itu. Dibawa oleh arus sungai Hoangho yang sedang naik
airnya itu, sekejap saja 2 perahu yang memuat orang-orang HONG HWA HWE itu
sudah hampir hilang dari pemandangan. Karena tak berdaya, pasukan Ceng itu terpaksa
pulang dengan tangan kosong.
Diantara yang terli ka senjata rahasia, ternyata si Bongkok yang paling berat sendiri.
Sedang Sim Hi yang terkena jarum, dasar boCah, me-ngiang 2 tak berhentinya. Sebagai
acini senjata rahasia, Pan San pun achli juga dalam me ngobatinya. Kawan-kawan nya
yang terluka itu telah ditolong se periunya. Selama dalam perjalanan "itu, Lou Ping
seperti orang kehilangan semangat. Dia pikiri suaminya yang masih diCengkeram dalam
kuku garuda, disamping itu Thian Hong, Ciu Ki, Hwi Ching dan muridnya serta Hi Tong, belum di ketahui dimana rimbanya.
Suasana dalam perahu itupun, tampak bermurani sedih. Tan Keh Lok totok jalan darah
Ong Pun Liang supaya tersedar, lalu ditanyainya tentang tujuan pasukan 'thiat-ka-kun'
itu. Karena masih gelagapan, Pun Liang tak dapat menyawab, hal mana telah
menimbulkah kemarahan Seng Hiap yang memberi persen sekali gaplokan.
"Ayo, kau bilang lekas," bentak sipegoda besi itu.
"Ja, ja, aku bilang ja, bilang apa ?" sahut pembesar sial itu gelagapan.
"Untuk apa pasukanmu berjalan siang dan malam itu ?" bentak Keh Lok.
"Ceng-se tayCiangkun Yauw Hui menerima firman untuk selekasnya menggempur
daerah Hwe, karena kuatirkan orang Hwe keburu mengendus berita dan terus
mengadakan persiapan, maka kami harus berjalan Cepat-cepat ," pembesar itu
mengaku. "Rakjat Hwe selama ini patuh 2 saja, mengapa akan di serang ?" tanya Keh Lok pula.
"Entahlah, ini aku tak mengetahui," kata Ong Pun Liang.
Karena itu Keh Lok mengadakan analisa dari jumlah pa-sukan 'thiat-ka-kun,' jalan yang ditempuhnya dan maksud gerakan itu. Dan Ong Pun Liang memberi keterangan dari
apa yang diketahuinya.
" Perahu, menepi !" tiba-tiba Keh Tok berseru keras-keras.
Begitu perahu rapat pada tepi, rombongan orang HONG HWA HWE loncat kedarat. Pada
saat itu aruspun makin menghebat. Keh Lok perintah Seng Hiap mengawal Pun Liang,
lalu ka tanya kepada Siang-si Siang-hiap :
. "Ngo-ko dan liok-ko, harap kalian kembali kesana lagi. Awasilah keadaan Bun-suko dan Carilah Chit-ko dan Ciu-sioCia serta Liok-locianpwe dan muridnya. Dan kalau sam pai
mereka ada yang kena apa-apa, ah, rupanya itupun sudah takdir."
Ke 2 persaudaraan Siang itu mengiakan serta berangkat kearah barat.
"Capji-ko, aku akan minta tolong padamu," kata Keh Lok pada Ciok Siang Ing seraja
terus menulis sepuCuk su rat. "Tolong serahkan surat ini kepada Bok To Lun loeng
hiong dari suku Wi itu. Sekalipun baru berkenalan, tapi tak boleh kita biarkan mereka teranCam bahaja. " Suso, pinyamilah kudamu itu pada Capji-ko."


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lou Ping menuju kehaluan perahu untuk menuntun kudanya. Kalau semua orang HONG
HWA HWE telah sama meninggal kan kudanya, adalah Lou Ping yang tetap tak mau
berpisah dengan kuda yang disayang inya itu. Demikian dalam 2 hari saja, sampailah
Siang Ing kedaerah Wi. Setelah men dengar kisikan pimpinan HONG HWA HWE itu, Bok
To Lun tak berani berlaku ajal dan mempersiapkan penyagaan seperlunya.
Rombongan HONG HWA HWE itu meneruskan pelajarannya lagi hingga 20 lie jauhnya.
Setelah sampai ditepian sana, Keh Lok ajak semua saudara-saudaranya mendarat, tapi
lebih dulu di suruhnya Su Kin ikat erat 2 huCiangkun Ong Pun Liang di dalam perahu,
perahu mana didorongnya supaya berlajar terus ditengah sungai.
Kini kita tengok keadaan Ciu Ki yang telah ketinggalan dari rombongannya itu. Ia tetap bertempur dengan gagah nya, Beberapa serdadu telah dirobohkan. Tapi tentara Ceng
itu makin lama makin bertambah jumlahnya. Karena gu gup, nona tersebut. segera
keprak kudanya untuk loloskan diri. Tapi baru berselang tak berapa jauh, kembali dia berpa pasan dengan serombongan tentara. Ia tak mau menempur nya, dan memutar
balik lagi. Dalam kegelapan malam itu, entah terkena benda apa, tiba- kuda itu
tersrimpet jatuh. Sedang nona itu sendiri, karena sudah Cape dan gelisah, tak kuasa
untuk menahan diri lagi, terus ngerusuk terlem par kebawah. Kepalanya terbentur tanah keras-kerasdan ping sanlah ia. Syukur karena gelap, serdadu 2 Ceng tak dapat
mengetahuinya. Entah sudah berselang berapa lama, ketika membuka mata, ia rasakan mukanya sejuk
sekali terkena tetesan air yang menurun dari kepalanya. Kiranya malam itu turun hu
jan. Dengan serentak dia loncat bangun, tapi seCepat-cepat itu ia melihat ada seorang didekatnya, tanpa pikir golok disam bernya terus hendak ditabaskannya. Tapi serentak, ke 2nya sama menyerit kaget. Kiranya orang tersebut. bukan lain ialah Bu-Cu-kat Ji
Thian Hong. "Nona Ciu, mengapa kau disini ?" tanya pemuda itu.
Sekalipun biasanya ia sangat membenCi, tapi dalam keadaan seperti waktu itu, girang
jugalah Ciu Ki. Sampai 2 ia menguCurkan air mata.
"Ayahku dimana ?" tanyanya kemudian.
Tiba-tiba Thian Hong memberi isjarat supaya menelungkup ketanah karena ada musuh
mendatangi. Begitulah dengan merajap, ke 2 orang itu bersembunyi dibalik segundukan
tan ah. Ketika itu sudah hampir fajar, jadi mereka dapat melihat jelas pemandangan disekitar situ. Dilihatnya berpuluh 2 serdadu Ceng tengah menggali lobang untuk mengubur
Kawan-kawan nya yang telah meninggal itu sambil tak putus-putusnya penyumpahi dan
me-maki-maki. Selesai dengan itu, seorang kepalanya berseru : "Tio Tek Piauw, Ong Seng, Coba kau
lihat disekitar sana masih ada majat kawan kita atau tidak ?"
Ke 2 serdadu itu berdiri diatas tempat yang agak tinggi. Mereka melihat Thian Hong dan Ciu Ki ber 2 tertelung kup di tanah.
"Masih ada 2 lagi disana '." seru ke 2 serdadu itu.
Dianggap majat, Ciu Ki marah sekali, terus akan loncat bangun. Tapi Buru-buru Thian
Hong menCegah untuk me nunggu sampai mereka menghampiri. Ke 2 serdadu itu
datang dengan membawa sekop. Ciu Ki dan Thian Hong terus pura-pura seperti orang
mati. Begitu ke 2 musuhnya sudah dekat, dengan sebat ditusuknya dengan golok.
Tanpa berkaok lagi, putuslah jiwa ke 2 serdadu yang malang itu.
Karena sudah sekean lama tak kembali, maka pat-Cong (perwira) itu sambil memaki
melarikan kudanya menyusul.
"Kau jangan bersuara, akan kurampas kudanya," bisik Thian Hong.
Ketika melihat ke 2 serdadunya binasa, terkejutlah pat Cong itu. Dia akan bertereak, tapi Thian Hong sudah me lesat dan menabasnya. Karena tak sempat melolos senjata,
pat-Cong itu pakai tali lesnya untuk menangkis. Tapi seperti batang pisang, les dan
kepala pat-Cong itu segera meng gelinding ketanah.
Cepat-cepat Thian Hong teraki Ciu Ki untuk loncat keatas pelana kuda, sedang ia sendiri membuntuti dari belakang dengan ber-laris.
Sementara itu, rombongan serdadupun sudah mengetahui dan mengejarnya. Lari belum
berapa jauh, pundak Thian Hong yang terkena jarum dari Ciauw Cong itu makin te rasa
menghebat sakitnya. Karena tak tertahan, dia jatuh pingsan. Bum 2 Ciu Ki menghampiri batik. Dia loncat tu run, lalu diangkatnya tubuh Thian Hong keatas kuda terus dilarikan se-kentyang 2nya. Rombongan serdadu Ceng itu ber-tereak 2 mengejarnya, tapi sudah
ketinggalan jauh.
Setelah jauh, barulah Ciu Ki kendorkan larinya. Dilihatnya muka Thian Hong puCat
seperti kertas dan napasnya sangat lemah. Apaboleh buat, ia terpaksa merangkul ping
gang orang yang dibenCinya itu supaya jangan jatuh, dan terus melarikan kudanya
kesebuah jalanan kecil.
Tiba-tiba didepan membentang sebuah hutan, kesitulah nona itu menyusup. Ia turun
sedang Thian Hong ditaruhnya diatas pelana kuda yang dituntunnya pelan-pelan buat
menCari kesebuah tempat untuk mengaso.
Ia lihat Thian Hong masih belum sadar, setelah berpikir sejenak, tak dapat lagi ia
sungkan tentang prija dan wa nita, terpaksa ia pondong pemuda itu dan diletakkan
pada suatu tanah rumput, ia sendiripun berduduk buat mengaso dan membiarkan
kudanya makan rumput.
Seorang nona yang berusia belum ada 20 tahun, tapi kini seorang diri berduduk
dirimba sunyi, orang didepannya ini mati atau hidup masih belum bisa diketahui, karena tak berdayanya itu, tanpa tertahan Ciu Ki menjadi berduka terus menangis tersedu-sedu, air matanya setetes 2 membasahi mukanya Thian Hong.
Sesudah dibaringkan ditanah sejenak, lambat laun Thian Hong telah siuman, mula 2 ia
menyang ka hari hujan lagi, tapi ketika matanya pelahan dibuka, tiba-tiba dilihatnya sebuah wajah yang manis dengan sepasang mata bendo merah tepat berhadapan
dengan dia, air mata orang masih terus menetes kemukanya.
Thian Hong merengek karena pundak kirinya terasa sakit pula, ia menyerit aduh.
Mei hat orang telah mendusin, Ciu Ki menjadi girang, tiba-tiba ia lihat air matanya
sendiri berketesan pula dipipi orang, lekas-lekas ia keluarkan saputangan untuk
membersih kannya. Tapi baru saja tangannya diulur, mendadak ia ter sadar dan ditarik kembali lagi.
"Kenapa kau jadi merebah didepanku sini, mestinya se dikit kesana," demikian ia malah salahkan orang.
Thian Hong tak menyawabnya, tapi merengek pula dan meronta hendak bangun.
"Sudahlah, bolehlah kau merebah disini," kata sigadis pula. "Dan bagaimana kita
sekarang " Kau adalah 'Bu-Cu-kat,' ayah selalu bilang kau banyak-banyak tipu akal, nah, sekarang kau berusahalah !"
"Pundakku lagi sakit tidak kepalang, apapun aku takbisa berpikir lagi. Nona, Cobalah, tolong kau memeriksanya," kata Thian Hong.
"Aku tak mau," sigadis. Namun demikian, toh tidak urung ia berjongkok buat
memeriksanya, Setelah dilihatnya sejenak, lalu katanya pula: "Ah, baik-baik saja tiada apa-apa, pula tak berdarah."
Thian Hong bangun berduduk, dengan ujung golok dita ngan kanan ia sobek sebagian
kain baju dipundaknya, lalu ia sendiri melirik untuk memeriksanya. "Rupanya disini
terkena tiga buah jarum emas hingga sampai meresap ketu langku."
"Lantas bagaimana baiknya ?" tanya Ciu Ki. "Marilah kita kekota untuk menCari tabib."
"Jangan," sahut Thian Hong. "Semalam sudah terjadi ribut 2, siapa lagi penduduk kota yang tak tahu, dengan dan danan kita ini, pula menCari tabib buat mengobati luka,
apakah ini bukan 'ular menCari gebuk' " Sebenarnya jarum ini harus dikeluarkan dengan batu penyedot (besi semberani), tapi kemanakah harus menCari benda ini. Sudahlah,
silahkan kau pakai golokmu untuk membelih daging pun dakku dan menCabutnya
keluar." Meski sudah bertempur sengit semalaman dan tidak sedi-kit musuh yang dibunuhnya,
tapi kini bila Ciu Ki diharus kan membelih daging dipundaknya Thian Hong, hal ini malah bikin sigadis menjadi ragu 2.
"Aku sanggup bertahan, lakukanlah nanti dulu," kata Thian Hong lalu menyeberet
beberapa potong kain bajunya dan diserahkan pada sigadis dan menanya : "Apakah kau
membawa geretan?"
Ciu Ki Coba merogoh kantong senjata rasianya, lalu jawabnya: "Ada, buat apakah?"
"Kau kumpulkan sedikit rumput atau daun kering untuk dijadikan abu, sebentar bila
jarumnya sudah diCabut, abu itu untuk memoles lukanya, lalu dibalut dengan potongan
kain," kata sipemuda.
Ciu Ki kerjakan apa yang dipinta itu, ia kumpulkan ba nyak rumput dan daun kering
hingga menghasilkan setum pukan besar abu.
"Sudah Cukup, abu sebanyak-banyak itu Cukup untuk seratus luka rasanya," ujar Thian
Hong tertawa. Siapa tahu sigadis mendadak ngambek. "Ja, ja, memangnya aku sibudak tolol, baiknya
kau lakukan sendiri saja!" demikian omelnya.
"Ja, sudah, anggaplah aku salah omong, jangan kau marah, nona," sahut Thian Hong
tertawa. "Hm, kaupun bisa mengaku salah?" jengek sigadis. Ha bis itu, dengan tangan kanan ia
angkat goloknya dan tangan kirinya Coba me-raba 2 pundak orang untuk menCari dima
na tempat jarum itu menancap.
Tapi dasar anak gadis, baru pertama kali inilah tangan bersentuhan dengan tubuh lelaki, maka begitu 'kontak' seketika juga ia tarik kembali lagi, saking malunya hingga seluruh wajahnya merah.
Melihat orang mendadak malua, Thian Hong menjadi heran. "Eh, apa yang kau takuti?"
tanyanya. "Apa yang kutakuti" Kau sendirilah yang takut. Berpa ling kesana, jangan memandang
kemari!" sentak gadis itu.
Betul juga Thian Hong berpaling kearah lain. Lalu Ciu Ki penCet keras-kerasdaging
pundak orang dimana jarum menancap, ujung goloknya ia tusukkan dan pelahan 2 diko
rek sedikit, segera juga darah segar mengalir.
Dengan kertak gigi Thian Hong bungkam dalam seribu basa untuk menahan sakit,
keringat ber-butir-butir bagai kede lai besarnya memenuhi jidatnya.
Setelah Ciu Ki korek sedikit daging pundak, ekor jarum itupun lantas kelihatan, ia Cepit dengan 2 jarinya terus dengan Cepat-cepat diCabut keluar sebuah.
Wajah Thian Hong puCat lesi bagai kertas, tapi ia masih Coba berkelakar. Katanya:
"Sayang jarum ini tak ber mata dan tak bisa disusupi benang, kalau tidak, ha, kebe
tulan dapat dihadiahkan pada nona untuk menyulam."
"Huh, aku justru tak bisa menyulam," sahut Ciu Ki. "Tahun lalu mak (ibu) pernah suruh aku belajar, tapi baru sekali- 2 tisikan aku sudah patahkan jarum, bahkan su teranya pun tersobek. Mak mengomeli daku, aku bilang : ,Mak, aku tak bisa, ajarkanlah daku'.
" Dan tahukan kau apa dia bilang, Coba kau terka?"
"Tentu saja ia bilang : ,Mari sini, aku ajarkan kau'," kata Thian Hong.
"Mana bisa, ia justru bilang: ,Aku tiada tempo'. Bela kangan baru kuketahui bahwa ia sendiri ternyata juga tidak bisa menyulam," demikian sigadis menerangkan.
Thian Hong ter-bahak 2 geli, dan tengah mereka berCa kap, kembali sebuah jarum
dapat diCabut lagi.
"Kemudian aku berkeras minta ibu mengajarkan pada ku," tutur Ciu Ki lebih lanyut,
"dan karena sudah kewa lahan, achirnya ibu berkata: 'Awas, jika berani rewel lagi, biar aku bilangkan ayahmu menghajar kau'. Iapun bilang:
'Kau tak bisa menyulan, hm, lihat saja kelak sampai disini tiba-tiba sigadis tak
meneruskan lagi.
Kiranya waktu itu ibunya berkata: lihat saja kelak kau tak mendapatkan ibu mertua." "
Tentu saja kata-kata begitu tak enak diketahui Thian Hong, maka mendadak ia tak
melanyutkan. Siapa duga Thian Hong justru masih ingin tahu, maka ia mendesak: "Lalu, ia bilang
'lihat saja kelak' apa lagi?"
"Ah, jangan tanya sudah, aku tak suka banyak-banyak Cerita pula," sahut sigadis.
Dan sembari berCakap, tanpa berhenti ber-turut 2 Ciu Ki sudah menCabut keluar semua
ketiga jarum itu, ia poles luka itu dengan abu yang tersedia dan dibalut pula dengan kain.
Apabila dilihatnya pemuda itu meski terluka dan menderita sakit tidak kepalang, tapi masih sanggup berkelakar tanpa merintih sedikitpun, mau-tak-mau diam-diam Ciu Ki
pun menga guminya. "Sungguh tidak nyana meski tubuhnya pendek, tapi ternyata
seorang ksatria benar 2. Coba kalau aku, bila ada orang mengkorek dagingku, mungkin
sejak tadi 2 aku sudah berteriak memanggil ibu!" demikian ia membantin.
Dan bila teringat pada ayah-bundanya, tiba-tiba ia menjadi berduka.
Tatkala itu tangannya berlepotan darah, maka katanya pada Thian Hong: "Kau merebah
lagi sementara disini jangan bergerak, biar aku pergl menCari sedikit air minum."
Setelah dipandangnya keadaan tempat itu, lalu gadis itu berlari keluar rimba, tak jauh dapat diketemukannya sebuah sungai kecil, oleh karena habis hujan lebat, maka air
sungai mengalir dengan derasnya.
Ia menCuCi bersih noda darah ditangannya kedalam sungai, ketika ia berjongkok ditepi sungai hingga wajahnya mendadak terCermin didalam air, ia lihat rabutnya serabutan,
bajunya basah lagi kumal, mukanya pun penuh darah dan kotor, hakibatnya tak berupa
wajah manusia lagi, maka pikirnya: "Celaka, wajah seperti setan ini telah dapat
dilihatnya semua."
Lekas-lekas ia CuCi bersih air mukanya dan menggunakan air sungai sebagai Cermin,
jarinya digunakan sebagai sisir dan rambutnya lalu dipintalnya menjadi kunCiran, ia
raup air sungai pula untuk diminumnya. Dalam hati ia pikir tentu Thian Hong sangat
hausnya, namun tiada alat wadah air, apa daya"
Setelah bingung sejenak, tiba-tiba pikirannya tergerak, ia keluarkan satu bajunya dari buntalannya dan diCuCi bersih, ia rendam baju itu hingga basah benar 2, dengan ini ia pikir dibawa kembali untuk diperas airnya buat minum Thian Hong.
Sementara itu, Thian Hong yang ditinggalkan, bila tadi ia masih bisa berkelakar dengan sigadis untuk menahan diri, tapi kini sesudah sendirian, rasa sakit dipundaknya tak
tertahan lagi. Bila kemudian Ciu Ki telah kembali, sementara ia sudah kesakitan hampir 2 pingsan.
Melihat wajah pemuda itu meski di-bikin 2 seperti sama sekali tak merasakan apa-apa, tapi dapat Ciu Ki menduga pasti tidak enak sekali, karena itu, rasa kasih sayang
seketikapun timbul. Ia suruh Thian Hong mengap, lalu air bajunya yang basah itu
diperasnya kedalam mulut orang, habis itu dengan lirih ia menanya: "Apakah sangat
sakit?" Belum pernah Ciu Ki bersuara begitu halus terhadap Thian Hong, karena itu untuk
sesaat pemuda itu terkesima.
Sejak berumur 2belas-1tiga tahun, Thian Hong sudah luntang-lantung di kangouw,
segala maCam penderitaan, sifat ma nusia yang dingin dan kehidupan manusia yang tak
adil telah dirasakan semuanya. Dan karena godokkan pengalaman 2 itu, dari benCinya
kepada semua ketidak-adilan itu, tak terasa ia menjadi umbar diri denyg-an, tindak-
tanduknya, yang bebas. Dasar pembawaannya Cerdlk pandai, maka menghadapi segala
apa selalu ia mendahului mengatasi orang, apa yang diaturnya boleh dikata selalu jjtu dan perhitungannya selalu tepat, oleh sebab itulah ia mendapatkan julukan "Bu-Cu-kat"
atau si Khong Beng. I
Sering sudah dikalangan lkangouw disaksikannya banyak-banyak tokoh- pahlawan
banyak-banyak yang l tergoda _oleh paras elok hingga berachir dengan berantakan,
Weperti saudara angkatnya yang ke 2, yaitu Bu Tim Tojin yang pernah gagal juga
dalam perCintaan, kesemuanya itu selalu dibuat Cermin olehnya dan menjadi pantangan
pula baginya. Oleh sebab itu, meski usianya sudah dikata mendekati masa "jejaka tua,"
namun bila kebentur wanita, selalu ia berusaha menghindarinya se jauh mungkin.
Dalam hal Ciu Ki yang sepanyang jalan senantiasa setori dengan dia seperti anak kecil, ia justru sengaja juga gunakan sedikit akalnya untuk menggodanya dan setiap kali
selalu ia diatas angin, tentu saja Ciu Ki digodanya semakin mengkal dan mendongkol.
Untuk itu selalu ia pandang Ciu Ki sebagai lawan pengadu keCerdasan saja, dalam hati tak pernah ia pikirkan tentang hubungan lakia dan perempuan: siapa duga karena
lukanya, justru "lawan keras" dari ka wannya inilah yang telah menolong dan
merawatnya, karena itu, perasaannya benCi dan jemu tadinya itu kini seketika lenyap
seluruhnya. Begitulah, maka demi nampak Thian Hong hanya ter menungs tak menyawab, Ciu Ki
sangka orang kembali kurang waras pikiran lagi, maka Cepat-cepat ia menanya pula:
"Kenapa, kenapakah kau?"
"Sudah banyak-banyak baik," sahut Thian Hong kemudian tertawa sesudah tenangkan
diri. "Terima kasih banyak-banyak 2 padamu."
"Hm, aku tak inginkan terima kasihmu," sahut sigadis tiba-tiba .
Kembali Thian Hong tertegun, tapi segera iapun berkata: "Tempat ini bukanlah
semestinya, marilah kita pergi menCari rumah orang untuk membeli sedikit makanan,
apakah kau membawa uang?"
"Tidak bawa, uangku berada pada ayah semua," sahut Ciu Ki. "Dan kau?"
"Buntalanku pun hilang dalam pertempuran," kata Thian Hong mengkerut kening.
"Sudahlah, kita jangan pergi ke kota, tapi menCari rumah penduduk yang sepi dan
bilang saja kita ber 2 adalah kaka beradik"
"Kakai beradik?" Ciu Ki menegas. "Dan aku harus me manggil kau koko (kakak)?"
"Ja, tapi kalau kau merasa usiaku jauh lebih tua, boleh juga kau panggil saja enCek
(paman)," ujar Thian Hong.
"Fui, kau sesuai?" semprot sigadis. "Baiklah, biar aku panggil kau koko saja, tapi hanya terbatas dihadapan orang, bila tiada orang aku tak mau panggil."
"Sudah tentu," kata Thian Hong. "Dan panggilan apakah padaku bila tiada orang lain?"
Karena pertanyaan itu, Ciu Ki menjadi bingung, ia pikir, selama ini memang ia tak
pernah memanggil sesuatu yang benar padanya, bila bertemu saja mereka sudah lan
tas bertengkar mulut. Maka jawabnya: "Panggil apa" Hm, aku justru takmau panggil
sama sekali."
"Baik, baik, takmau panggil ja sudah, " sahut Thian Hong tertawa. Lalu pesannya: "Dan nanti kita harus kata kan pada orang bahwa ditengah jalan kita telah kepergok pasukan tentara dan bekal kita telah dirampas seluruhnya, bahkan kita telah dihajar dan didakwa sebagai penyahat."
Begitulah, setelah mereka berunding baik, lalu Ciu Ki memayang bangun sipemuda.
"Kau tunggang kuda saja, kakiku tak luka, untuk berjalan tiada halangan," demikian
kata Thian Hong.
"Terus terang saja, tak perlu pura-pura, lekas kau yang me nunggung, kau pandang
rendah wanita bukan?" sahut sigadis.
Thian Hong tertawa, tanpa menyawab lagi ia Cemplak keatas kuda, ke 2nya lantas
keluar dari rimba itu dan me nuju kearah timur melalui suatu jalan kecil.
Tanah didaerah barat-laut kebanyak-banyakan adalah hutan alas, tidak seperti daerah
selatan yang banyak-banyak terdapat pedesaan, di-mana 2 terdapat penduduk. Maka
sesudah ke 2 orang berjalan lebih satu jam, sudah lapar lagi lelah, achirnya dengan
susah payah barulah melihat mengepulnya asap dari Cerubung suatu rumah penduduk.
Dengan Cepat-cepat mereka menuju kesana, Thian Hong turun dari kudanya untuk
mengetok pintu, sejenak kemudian, keluarkan seorang nenek 2 tua, ketika melihat
dandanan ke 2 orang yang aneh, wanita tua itu rada heran dan tiada hentinya
mengamat-amati.
Segera Thian Hong Ceritakan apa yang sudah dikarang nya tadi, lalu minta sedikit
makanan pada nenek itu untuk tangsel perut.
"Ai, memang pasukan tentara negeri bukannya membela rakjat, tapi justru penyakit
bagi rakjat," demikian nenek itu sambil menghela napas. "Tuan tamu she apakah?"
"She Ciu," sahut Thian Hong.
Ciu Ki melirik pemuda itu sekejap, tapi tak buka suara, ia heran kenapa Thian Hong
tidak bilang she Ji.
Nenek itu menyilahkan mereka masuk dan memberikan nya beberapa biji makanan
kuwe yang entah apa namanya, meski barang makanan itu hitam lagi kelihatannya
kotor, namun sudah terlalu lapar, rasanya mereka seperti sedang makan makanan yang
paling lezat. Nenek itu mengaku she Tong, karena puteranya tak mampu membajar sewa tanah
hingga telah dihajar oleh tuan tanah, pulangnya dari sedih ditambah luka pukulan, tidak lama, lantas meninggal. Dan menantu perempuannya yang masih muda karena pendek
pikiran, pada malamnya pun menggantung diri menyusul sang suami, tinggal sinenek
yang kini hidup sebatangkara.
Begitulah nenek itu sambil menutur sembari menguCur kan air mata.
Karuan Ciu Ki menjadi gusar oleh Cerita itu, segera ia tanya siapa nama tuan tanah itu dan tinggal dimana.
"Keparat itupun she Tong, dihadapannya orang menyebut nya Tong-lakya dan Tong-
siuCay, tapi dibelakangnya orang menyebutnya 'Tong-li-pi-siang' (warangan didalam
gula), nama sesungguhnya akupun tak tahu," demikian sinenek menerangkan. "Ia
tinggal dikota, gedungnya, adalah yang paling besar dikota itu."
"Kota apa" Dimana jalannya?" tanya Ciu Ki.
"Kota itu, dari sini kira-kira lima li keutara, sesudah menye berang jalan besar, lalu 20 li lagi ketimur, dan disitulah rumahnya,' kota itu bernama Bun-kong-tin," kata sinenek
lebih lanyut. Tanpa pikir lagi segera Ciu Ki berbangkit terus samber goloknya dan berkata pada Thian Hong: "Hai, ko?" koko, aku pergi sebentar, kau mengaso dulu disini."
Melihat sikap gadis itu,. Thian Hong tahu pasti ia akan pergi membunuh manusia she
Tong yang dijuluki "Tong-li-pi-siang" atau warangan didalam gula itu.
Karena itu Cepat-cepat ia menCegah, katanya: "Jangan kesusu, ingin makan gula 2,
paling enak kalau malam !"
Ciu Ki terCengang mendengar kata-kata tak karuan jen trungannya itu, tapi segera


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iapun paham maksud orang, maka ia angguk-angguk dan duduk kembali.
"Nenek," kata Thian Hong kemudian, "aku terluka, jalan tidak leluasa, maka ingin minta mondok semalam ditempat mu sini."
"Untuk tinggal sin tiada halangan, Cuma tempat pedu sunan tiada makanan enak, itulah tuan tamu jangan menyesal," sahut nenek itu.
"Ah, kalau nenek mau terima kami, hal itu sudah be-ribu 2 terima kasih," kata Thian
Hong pula. "Cuma baju adik perempuanku itu basah kujup, kalau nenek ada baju lawas,
sudilah memberi pinyam sepasang untuk salinnya."
"Menentu perempuanku ada tinggalkan pakaian, jika nona tak menCela, boleh diCoba
dulu, mungkin masih Co Cok," kata sinenek.
Lantas pergilah Ciu Ki menukar pakaian. Ketika ia keluar, ia lihat Thian Hong sudah
tertidur di-bale 2 dibekas kamar putera nenek itu.
Sampai hari sudah petang, tiba-tiba Thian Hong mengigau tak karuan, Ciu Ki Coba
pegang jidat orang, ternyata panasnya luar biasa, mungkin luka pemuda itu telah
menyalar menjadi inpeksi.
Jilid 1 2 MESKI masih hijau, tapi Ciu Ki insaf juga dalam ke adaan demikian,' Cukup berbahaja, tapi sama sekali ia tak berdaya dan tak tahu apa yang harus dilakukannya, saking
gugupnya, entah gusar pada Thian Hong atau marah! pada diri sendiri, tanpa tujuan ia angka.t goloknya mem-baCok 2 lantai, sampai achirnya ia mendekap diatas meja dan
me nangis tersedu-sedan.
Melihat keadaan itu, sinenek merasa kasihan juga takut-takut, maka tak berani maju
menghiburnya. Setelah menangis sebentar, tiba-tiba Ciu Ki menanya sinenek: "Apakah dikota ada
tabib?" "Ada, ada," sahut orang tua itu Cepat-cepat , "kepandaian tabib Cho Su Ping paling
hebat, Cuma......... Cuma lagaknya sangat besar, selamanya tak sudi diundang
kepedusunan seperti ini. Waktu - puteraku sakit, aku bersama menantuku entah
menyura berpuluh kali padanya, tapi sedengkal iapun tak mau dating."
Mendengar itu, tanpa menunggu selesai orang menutur, Cepat-cepat gadis itu usap air
matanya terus; berbangkit. "Sekarang juga aku pergi meng'undangnya," demikian
katanya. "Cuma ko" engkoku itu tinggal disini mohon kau suka menyaganya baik-baik ."
"Jangan kuatir, nona," sahut sinenek. "Tapi, ai sudah terang tabib itu takkan datang."
Namun Ciu Ki tak mengurusnya lagi, ia selipkan goloknya disamping pelana terus
Cemplak kudanya menuju ke Bun-kong-tin dengan Cepat-cepat .
Tanpa berhenti ia larikan kudanya sampai dikota tuju annya itu, sementara hari sudah gelap. Waktu melalui suatu rumah makan, sajup 2 terCiumlah oleh sigadis bau arak
yang wangi dan masakan yang lezat, tak tertahan air liur mengalir, memangnya gadis
ini tukang minum, karuan pe rutnya semakin berkeronCongan. Tapi lantas pikirnya :
"Ah, biarlah aku undang tabib untuk sembuhkan sakithja dulu, soal arak, masa kelak
aku tak bisa minum se-puas 2nya ?"
Selagi ia Coba menghibur diri sendiri, tiba-tiba dilihatnya dari depan mendatangi
seorang anak tanggung, Ciu Ki tanya dimana rumah kediaman tabib Cho Su Ping, habis
itu terus ia menuju kearah yang ditunyuk.
Sampai dirumah orang she Cho itu, nyata itu adalah suatu gedung Cukup mentereng,
temboknya dikapur putih ber sih, pintunya diCat hitam mengkilat, diatas daun pintu
besar itu sepasang gelangan tembaga digosok begitu bersih hingga bersinar.
Setelah Ciu Ki menggemberong pintu hampir setengah harian, barulah ada seorang
Centeng keluar membuka pintu, segera pula Centeng itu menegur dengan lagak tuan
besar : "He, ada apa, malam 2 gedor pintu, apakah rumah mu kematian orang ?"
Alangkah gusarnya Ciu Ki mendengar kata-kata Centeng yang kurang ajar itu, baiknya
badis ini untuk sekali ini bisa me nahan diri, ia pikir datangnya untuk meminta
pertolongan orang, tidaklah enak untuk umbar amarahnya, maka dengan menahan
perasaan ia menyawab: "Aku hendak mengundang tabib Cho untuk melihat orang
sakit." Kisah Pedang Bersatu Padu 15 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 15
^