Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 5
hawa dingin jahat dari pukulan musuh, sedikit banyak hawa
murninya sudah susut sebagian, "biang" untuk sekian kalinya
Suma Bing muntah darah dan terpental jauh setombak lebih.
Sementara itu sambil menggendong tangan Racun diracun
mandah menonton saja dipinggiran.
Memangnya antara Pak-tok dan Lam-sia adalah musuh bebuyutan,
besar niatnya hendak melenyapkan murid musuh besarnya ini.
Maka tanpa mengenal ampun lagi tubuhnya lagi2 sudah melejit
tiba dan sebuah pukulan keras dilancarkan pula. "Bum" sebelum
Suma Bing sempat bernapas tahu2 tubuhnya sudah sungsang
sumbel jungkir balik terbang dua tombak lebih jatuh dipinggir
hutan. Memang sifat Pak-tok kejam telengas, tubuhnya berkelebat maju
lagi... Mendadak sebuah bayangan putih berkelebat juga melayang tiba
menghadang didepan Suma Bing.
Pak-tok melengak, desisnya: "Budak kecil, minggir!" Bayangan
putih yang baru tiba ini kiranya adalah murid
Pek-hoat-sian-nio yang bernama Ting Hoan. Wajah Ting Hoan
penuh rasa ejek, semprotnya:
"Tua bangka beracun perbuatanmu sungguh kejam dan tidak tahu
malu!" "Siapa kau?" "Ting Hoan!" "Murid siapa?" "Kau tidak perlu
tahu." "Aku tidak sudi turun tangan kepada angkatan muda
kalau kau ingin hidup lekas menyingkir." "Huh, kenyataan tingkah lakumu
berbeda dengan obrolanmu itu." Selamanya Pak-tok sangat menjunjung tinggi
gengsi dan kedudukannya. Tapi setelah dikalahkan oleh Racun diracun, putra
kesayangannya juga dihantam luka parah oleh Suma Bing, dalam
gusar dan malunya ia berbuat diluar kesadarannya, tingkah lakunya
berlawanan dengan kebiasaannya, sambil menggeram murka ia
membentak: "Budak busuk, akan Lohu bikin kau mati tiada tempat liang
kubur." Melihat yang datang menghadang ini adalah Ting Hoan, Suma
Bing gugup teriaknya:
"Nona Ting, minggirlah kau..." Belum lenyap suaranya Racun
utara sudah turun tangan
menyerang kearah Ting Hoan. Serangan kali inipun bukan olah2
dahsyatnya. Sebenarnya Ting Hoan gampang saja berkelit, tapi
bila dia menyingkir berarti serangan hebat ini
pasti akan menerjang Suma Bing yang sudah luka parah itu, maka
dapatlah dibayangkan akibat dari pukulan ini. Terpaksa Ting Hoan
nekad menyambuti pukulan musuh secara keras lawan keras.
Akan tetapi dalam dunia persilatan masa itu yang kuat bertahan
terhadap pukulan hebat Hian-inkang dari Pak-tok ini mungkin
dapat dihitung dengan jari. Baru saja Ting Hoan melancarkan
pukulannya, angin dingin pukulan musuh sudah menungkrup tiba
mengurung seluruh tubuhnya, seketika tubuhnya bergidik
kedinginan, tubuhnyapun terpental jatuh duduk diatas tanah,
seakan badannya direndam dalam gudang es dan menjadi beku.
Memang tidak malu Pak-tok kenamaan karena kekejaman dan
kelicikannya, sambil menyeringai seram ia mendesak maju lagi
sambil angkat tangannya siap hendak memukul lagi.
Pada saat itulah mendadak Racun diracun melayang tiba
mencegat dihadapannya, jengeknya:
"Tuan kiranja cukup sampai sekian saja!" Wajah Pak-tok
berobah keras membesi, desisnya: "Kaupun turut campur
dalam urusan ini?" Racun diracun mendengus jijik, ujarnya:
"Dengan kedudukan tuan, turun tangan tiga jurus sudah
harus segera mengundurkan diri!" Air muka Tangbun Lu siracun
utara berobah merah padam,
sikapnya malu dan serba susah, setelah membanting kaki segera
ia memutar tubuh mengempit Tangbun Yu terus berlari pergi
bagai terbang. Terdengar Suma Bing berseru keras: "Jadah tua beracun, akan
datang suatu hari akupun akan
menghantammu muntah darah!"
Bahwa dengan gertakan saja Racun diracun dapat menggebah
pergi Racun utara benar2 membuat Suma Bing kagum dan heran.
Sementara itu wajah Ting Hoan pucat pias, matanya terpejam
rapat dan tengah menjalankan pernapasan untuk menghimpun
tenaga dan mendesak hawa beracun yang bersifat dingin itu
menguap keluar dari tubuhnya.
Racun diracun mengacungkan sebutir pil kearah Suma Bing serta
katanya: "Telanlah ini, segera tenaga kau akan pulih segar bugar!" Suma
Bing terlongo memandang Racun diracun dengan
penuh tanda tanya, dilain saat wajahnya berobah kaku dingin dan
berkata: "Aku tak sudi terima budimu ini." "Suma Bing, nona ini terluka
parah karena menolong kau,
hawa beracun sudah meresap kedalam tubuhnya, selain ilmu
Kiu-yang-sin-kangmu tak mungkin dapat mendesak keluar hawa
beracun itu dari dalam tubuhnya. Kalau tertunda terlalu lama, bila
hawa beracun itu merembes masuk jalan darah Yang-wi dan
Yang-kiau serta sendi2nya, seumpama dewapun takkan mampu
menolongnya lagi."
Bergidik seram Suma Bing hal ini benar2 membuatnya serba
susah. Tak mungkin dia tinggal diam melihat Ting Hoan menderita
terancam jiwanya karena membantu dirinya. Tapi sebaliknya dia
tidak sudi terima kebaikan yang diulurkan dari Racun diracun. Lagi
pula sepak terjang Racun diracun ini benar diluar dugaannya.
Terdengar Racun diracun telah berkata lagi: "Apa kau benar2
tega melihat gadis rupawan ini berkorban
karena menolong jiwamu?" Lagi2 melonjak
hati Suma Bing, katanya:
"Tuan mengandung muslihat apa silakan jelaskan sekalian."
Racun diracun tertawa ejek, ujarnya: "Suma Bing, untuk
merenggut jiwamu aku tidak perlu
bersusah payah, entah dengan tanganku atau menggunakan
racunku, mengapa sedemikian besar rasa curigamu?"
"Akan tetapi diantara kita masih ada hutang lama yang belum
dilunasi."
"Maksudmu tentang Pedang darah itu?" "Benar, dan juga
peristiwa peracunan Siang Siau-moay dan
Li Bun-siang termasuk pula dalam perhitungan itu." Racun diracun
tertawa sinis, ujarnya: "Suma Bing beginilah macam murid
Lam-sia yang ditakuti
itu, sikapmu sangat tercela." Suma Bing melengak, sahutnya:
"Mengapa?" "Kelak masih ada waktu panjang untuk
menyelesaikan perhitungan itu, aku tidak akan mungkir dan takkan menebus
dengan perbuatan baik budiku, kau tidak perlu takut. Saat ini
adakah minatmu untuk menolong jiwa orang?"
Kontan merah jengah selebar muka Suma Bing, ia bungkam seribu
basa. Kata Racun diracun lagi: "Sebelum kau turun tangan
menolongnya kau harus
menutuk seluruh jalan darah besar kecil diseluruh tubuhnya,
supaya hawa dingin tidak merandek ketinggalan didalam
tubuhnya. Sekarang aku pergi!"
Baru saja Suma Bing hendak mengucapkan apa2, Racun diracun
sudah berkelebat hilang. Sebetulnya dia tidak sudi terima obat
orang, namun luka Ting Hoan itu tidak bisa tidak
harus diobati. Jikalau luka tubuhnya sendiri belum tersembuhkan,
mana mungkin ia kuat mengerahkan Kiu-yang- sin-kang.
Seandainya dia kuat bertahan dan berobat dengan caranya sendiri,
tanpa menggunakan obat pemberian orang, mungkin pada saat ia
selesai berobat waktunya sudah terlambat. Dulu waktu dirinya
diringkus Pek-hoat-sian-nio, beruntung Ting Hoan diam2 membantu
hingga dia lolos dari lobang jarum. Sekarang Ting Hoan terluka
parah oleh pukulan Hian-sin-kang karena dia pula, apa aku tidak
harus menolongnya"
Sepak terjang Racun diracun yang diluar kebiasaan ini benar2
susah diselami, bahwa manusia beracun yang lebih berbisa dari
Racun utara kiranya juga dapat berbuat bajik dan mengenal
peribudi" Begitulah setelah timang dan direnungkan sekian
lamanya akhirnya ia telan juga obat pembelian Racun diracun itu.
Benar2 mustajab kenyataan seperti apa yang diucapkan oleh
Racun diracun, dalam jangka waktu yang tidak begitu lama Suma
Bing rasakan tenaganya sudah pulih seluruhnya, rasa sakit
diseluruh tubuhpun lenyap tak berbekas, entah obat dewa apakah
ini sedemikian hebat khasiatnya.
Setelah tenaga Suma Bing pulih kembali, segera yang harus
dilakukannya adalah menolong Ting Hoan mendesak hawa berbisa
dari pukulan Hian-in-kang keluar dari badannya. Tapi setelah
diingat bahwa dia harus menutuki jalan darah besar kecil diseluruh
tubuh orang, seketika ia bimbang dan ragu, bukankah itu berarti
dia harus menyentuh tubuh gadis rupawan yang masih suci bersih
itu... Namun setelah dipikirkan lagi, apa yang dilakukan ini demi
untuk menolong jiwanya tentu Ting Hoan akan maklum dan
memaafkan perbuatannya ini. Maka tanpa ragu2 lagi segera ia
turun tangan menutuk semua jalan darah ditubuh orang!
Dimana telunjuk jarinya menyentuh terasa kulit tubuh orang
sedemikian halus dan lemas seakan tidak bertulang,
suatu perasaan yang susah dilukiskan terasa meresap masuk
kedalam badan dan mengambang keseluruh tubuh. Matanya
dipejamkan tak berani menatap wajah yang ayu molek bak
bidadari, karena itu akan menambah gejolak hatinya yang tidak
tentram. Saat mana kebetulan dia menutuk sebuah jalan darah
disamping Djiu-tiong-hiat, tiba2 Ting Hoan menggeliat hingga,
jarinya dengan tepat menutuk diujung buah dadanya yang montok
lunak. Tubuh Suma Bing tergetar bagai kesetrom aliran listrik.
Untung Ting Hoan masih belum siuman dari pingsannya, kalau
tidak entah bagaimana risi dan kikuk sikapnya.
Setelah semua jalan darah tertutuk habis badan Suma Bingpun
basah kuyup oleh keringat. Bukan karena terlalu lelah atau banyak
mengeluarkan tenaga tapi adalah karena terlalu tegang dan
gugup. Ia menghela napas panjang lega lalu membalik tubuh Ting Hoan,
tangan kiri melekat dijalan darah Bing-bun-hiat, lantas kekuatan
Kiu-yang-sin-kang disalurkan melalui telapak tangannya merembes
masuk dari Bing-bun-hiat keseluruh tubuh Ting Hoan.
Kiu-yang-sin-kang memang lawan pemunah dari Hian-in- kang,
maka setengah jam kemudian per-lahan2 Ting Hoan siuman dari
pingsannya. Suma Bing segera menarik tangannya!
Ter-sipu2 Ting Hoan melompat bangun, dengan penuh haru ia
berkata pada Suma Bing:
"Terima kasih kau telah mengobati aku." "Nona terluka karena
aku," jawab Suma Bing sungguh2,
"Sudah seharusnya aku menolongmu, apalagi tempo hari nona
diam2 telah membantu aku..."
Wajah Ting Hoan berobah serius, katanya:
"Memang waktu Suhu akhirnya tahu kau belum mati, dia marah2
dan hendak menghukum aku karena membangkang pada
perintahnya. Dalam gugupku aku berbohong kukatakan bahwa kau
pandai ilmu memindah jalan darah, maka meskipun kau tertutuk
jalan darah kematianmu tapi tak dapat meninggal."
"Selamanya aku mengutamakan perbedaan budi dan dendam,
kelak aku harus membalas..."
Dengan penuh perasaan mesra dan penuh perhatian Ting Hoan
menukas ucapan Suma Bing:
"Siapa ingin kau mengucapkan perkataan itu, aku berbuat begitu,
karena... karena.."
"Karena apa?" Merah jengah selebar muka Ting Hoan, sambil
menunduk malu2 akhirnya ia berkata: "Karena aku suka kepadamu!" Serta
merta tergerak hati Suma Bing, sudah tentu ia
maklum akan maksud perkataan 'Suka' ini. Mendadak teringat
olehnya akan tujuan kedatangannya yang utama serta janjinya
kepada Setan barat. Dalam tujuh hari dia harus kembali kepulau
kecil ditengah danau itu. Karena pikirannya ini tanpa terasa
mencelos hatinya, serunya gugup:
"Nona Ting, saat ini aku ada urusan sangat penting, harap
sukalah maafkan ucapanku yang teledor tadi. Budi kebaikan nona
itu mungkin selama hidup ini tak mungkin dapat kubalas lagi. Tapi
itu hanya suatu misal saja, asal aku dapat tetap hidup tentu tidak
akan kulupakan keluhuran budi nona itu, harap kau menjaga diri
baik2." Berobah hebat wajah Ting Hoan mendengar ucapan Suma Bing
itu, serunya tergagap:
"Kau... kau... Apa katamu?"
Namun Suma Bing sudah melesat terbang jauh tak mendengar
seruannya, sebentar kemudian bayangan tubuhnya sudah hilang
dari pandangan mata.
Ting Hoan tertegun melongo ditempatnya, entah bagaimana
perasaan hatinya, dia tidak tahu mengapa Suma Bing bisa
mengucapkan perkataan demikian" Dengan penuh keperihan hati ia
menghela napas panjang lantas menggerakkan tubuh berlari keluar
rimba. Dalam pada itu Suma Bing tengah berlari cepat bagai luncuran
meteor, jarak tigapuluh li dalam sekejap mata saja telah
ditempuhnya. Samar2 bayangan tembok biara bobrok itu sudah
kelihatan dari kejauhan, denyut jantungnya berdetak semakin
cepat, dia berharap bahwa kedatangannya ini masih belum
terlambat. Sejenak ia menenangkan hati terus berkelebat
memasuki biara.
"Ah..." tidak tertahan lagi Suma Bing berseru kejut bulu kudukpun
berdiri seram saking kaget hampir saja jantung terasa hendak
melonjak keluar.
Tujuh mayat manusia yang berlepotan darah susah dikenal
malang melintang terkapar diatas tanah dipekarangan biara
bobrok itu. Dari tanda pengenal yang tersulam didepan dada para
korban dapat diketahui bahwa mereka adalah anak buah
Bwe-hwa-hwe. Siapakah yang telah turun tangan sekejam itu" Apakah Siang
Siau-hun sudah datang menepati janjinya" Apa ada sangkut paut
kematian mereka ini dengan Siang Siau-hun" Otaknya bekerja
cepat memikirkan semua pertanyaan itu. Kaki diangkat ia
melangkah masuk kedalam ruang tengah yang kotor dan jorok,
dimana ia tempo hari bertempur dengan putra Racun utara yaitu
Tangbun Yu, dan karena kelicikan Tangbun Yu lah maka dia
terkena racun dan terjadilah ikatan perjanjian sehidup semati itu.
Baru saja kakinya tiba diambang pintu sebuah bayangan punggung
seseorang tersandang dalam pandangan matanya. Sungguh girang
Suma Bing bukan
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepalang, kiranya dirinya belum terlambat, maka dengan suara
riang gembira ia berseru nyaring:
"Adik Hun!" Eh, aneh, mengapa bayangan tubuh langsing
menggiurkan itu diam saja tanpa bergerak se-olah2 tidak mendengar seruannya.
"Adik Hun, aku..." dia berseru lagi lebih keras. Wanita itu
per-lahan2 memutar tubuh. Seketika pandangan
mata Suma Bing terbelalak se-olah2 didepan matanya terpasang
sebuah lampu yang bersinar terang menyilaukan matanya serta
melihat orang dihadapannya segera ia telan kembali kelanjutan
kata2nya dan serta merta ia mundur dua langkah.
Orang itu (wanita) bukan Siang Siau-hun. Namun lebih cantik lebih
rupawan dari Siang Siau-hun, wanita ini sedemikian cantik molek,
tapi wajahnya membeku dingin dan sikapnya angkuh sekali,
membuatnya tidak berani beradu pandang.
Hati Suma Bing menjadi gundah dan risau, bahwasanya
bagaimanapun juga tentu Siang Siau-hun tidak akan ingkar janji,
namun kemana orangnya" Mayat bergelimang darah didalam biara
bobrok ini sangat mengherankan. Adalah nona cantik bak bidadari
bersikap kaku dingin ini lebih menambah hatinya tidak tentram.
Mulut mungil sigadis setengah terbuka dan berkata dingin:
"Siapa adik Hun-mu itu?" Suma Bing merasakan mukanya
panas, sahutnya kikuk: "Maaf aku salah mengenal orang!"
"Huh, salah mengenal orang, apa adik Hunmu itu berparas
seperti nonamu ini?"
"Ini... tidak..." "Lalu bagaimana kau bisa salah mengenal
orang?" Sebenarnya Suma Bing ingin memberi penjelasan,
dasar sifatnya sendiri memang angkuh dan congkak, melihat sikap kaku
dan dingin sinona dongkol hatinya tanpa banyak kata lagi segera
ia putar tubuh terus tinggal pergi.
"Kembali!" Tanpa kuasa Suma Bing menghentikan langkahnya
dan membalik tubuh, tanyanya dingin: "Nona masih ada perkataan
apa lagi?" "Kau ini yang bernama Suma Bing?" Suma Bing
melengak tidak tersangka olehnya bahwa orang
mengetahui namanya, sebaliknya dia belum kenal siapakah nona
ini, maka sambil manggut dia menjawab:
"Benar!" "Apa kau tidak ingin tahu siapa aku ini?" "Hal ini...
agaknya tidak begitu perlu!" "Huh, serba sesat!" "Apa maksud
ucapan nona ini?" semprot Suma Bing
dongkol. Gadis itu celingak-celinguk lalu berkata: "Kau datang
menepati janji seorang gadis bukan?" "Darimana nona bisa
tahu?" "Gampang sekali, kau pontang panting berlari datang,
salah mengenal orang, bukankah ini bukti yang nyata?"
"Apa nona melihat wanita sahabatku itu?" "Ya, malah
aku kenal namanya Siang Siau-hun!"
Suma Bing kegirangan serunya: "Dimana dia?" "Sudah pergi!"
"Pergi?" seru Suma Bing kejut sambil mundur setindak,
sungguh dia tidak habis mengerti mengapa setelah Siang Siau-hun
datang lantas pergi lagi, bukankah janji mereka kalau tidak
ketemu tidak akan berpisah, apa mungkin...
"Kenapai dia pergi..." "Pergi mencari kau." "Mencari aku?"
kedua mata Suma Bing membelalak
keheranan. Sikap gadis itu tetap dingin dan kaku, sahutnya: Apa
ada yang tidak beres?" "Kita berjanji hanya bertemu disini, mana
bisa..." "Mungkin dia kuatir kau terluka waktu bergebrak dengan
orang." Bertambah besar rasa kejut dan heran Suma Bing,
bagaimana bisa Siang Siau-hun mengetahui dirinya berkelahi dan
terluka oleh musuh" "Dia... mengapa dia tahu..."
"Malah dia juga tahu sekarang tubuhmu sudah kebal akan segala
racun." "Dia... tahu... apa itu benar?" "Apa kau sangka
aku bohong?" "Tapi itu tidak mungkin?"
"Terserah kau percaya tidak?" "Dapatkah nona
memberi sedikit penjelasan?" Gadis itu
merenung sebentar lantas katanya:
"Aku pernah lihat kau berkelahi dengan ayah beranak Racun utara
hingga luka parah, lantas Racun diracun memberimu sebutir obat
mustajab, supaya kau dapat selekas mungkin memberi pertolongan
kepada murid Pek-hoat-sian- nio yang bernama Ting Hoan itu.
Kebetulan waktu aku liwat disini kudengar ada suara pertempuran,
kiranya para kurcaci dari Bwe-hwa-hwe itu tengah mengeroyok
nona Siang maka kubunuh para kunyuk rendah itu. Kuberitahu
pula apa yang barusan kulihat. Secara terus terang diapun
menuturkan segalanya, dia sangat perihatin atas dirimu maka
buru2 dia pergi menyusul kau didepan sana, mungkin kalian
selisipan jalan."
"Nona jadi kaulah yang telah menolong jiwanya?" kata Suma Bing
haru. "Ah aku hanya melakukan apa yang senang kulakukan." Suma
Bing angkat kedua tangannya serta berkata: "Kalau begitu biar
ku mewakili nona Siang mengucapkan
terima kasih atas pertolongan nona itu." "Tidak perlu sungkan2"
"Bolehkah tanya nama nona yang harum?" Mendadak gadis itu
unjuk senyum tawa manis, tawanya ini
bak bunga mekar dimusim semi, sahutnya: "Aku bernama Phoa
Kin-sian." Serta merta tergerak hati Suma Bing. Terdengar Phoa
Kin-sian berkata lagi: "Apa kau tidak mau mencarinya?" Suma
Bing menggeleng kepala, sahutnya: "Kalau dia sudah tahu sejelas
itu lebih baik, akupun tidak
perlu lagi mencari dia."
"Mengapa?" "Sudah tiada waktu lagi" "Tiada waktu, apa
maksudmu?" "Karena aku masih ada janji lainnya." Agak
berobah wajah Phoa Kin-sian, katanya: "Begitu besar rasa
kasih Siang Siau-hun kepadamu, jangan
membuat dia putus harapan." Suma Bing menjadi gugup,
sahutnya: "Nona salah paham akan keteranganku..." "Lalu
siapakah orang yang kau janjikan itu?" Suma Bing tertawa
hambar, sahutnya: "Agaknya perlu kuterangkan, maaf aku minta
diri." Sekonyong2 dari luar biara sana terdengar derap langkah
riuh ramai lalu disusul seruan kaget beberapa orang, agaknya
mereka telah melihat mayat2 yang bergelimang darah itu.
Phoa Kin-sian tertawa ejek, katanya: "Yang mengantar
kematian telah datang lagi..." dengan
langkah lemah gemulai dia melangkah keluar ruangan
sembahyang, Suma Bing pun mengikuti dibelakangnya.
Ditengah pelataran berdiri lima orang laki2 dan seorang wanita.
Dua diantaranya berusia enam puluhan, dan tiga laki2 muda
bertubuh tegap gagah, sedang si wanita sudah berusia agak
lanjut, tapi sikapnya genit dan tengik. Dari seragam yang mereka
pakai jelas menunjukkan bahwa mereka juga para anak buah dari
Bwe-hwa-hwe. Kehadiran Phoa Kin-sian dan Suma Bing yang mendadak itu
menimbulkan pula seruan kaget mereka, dari memandang Phoa
Kin-sian sorot mata keenam orang itu beralih menatap Suma Bing.
Mata wanita genit itu pelerak-pelerok mengawasi
kecakapan wajah Suma Bing dengan tingkah yang sangat tengik
sekali, wajahnya mengunjuk senyum tawa, entah teringat apa
mendadak wajahnya berobah kaget serta serunya:
"He, kau inikah Suma Bing?" Begitu melihat para begundal
Bwe-hwa-hwe ini muncul lagi,
nafsu membunuh Suma Bing me-nyala2, sahutnya dengan dingin:
"Benar!" Kontan kelima laki2 itu mundur terbelalak mendengar
pengakuan Suma Bing, wajah mereka berobah pucat pias perlahan2
mereka mundur teratur dan bersiap siaga.
16. SEBUAH TRAGEDI DIDALAM RIMBA.
Dengan ilmu Tjoan-in-djip-bit Phoa Kin-sian berkata kepada
Suma Bing: "Wanita itu bernama Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng, salah
seorang pelindung Bwe-hwa-hwe, kepandaiannya hanya lebih
rendah dari Ketua mereka."
Tanpa terasa Suma Bing juga terperanjat, bahwa nama serta
kejahatan Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng, sudah lama dia pernah
dengar, terutama sifat cabulnya sangat dibenci oleh kaum
persilatan. Sungguh diluar sangka bahwa dia kini menjadi
pelindung Bwa-hwa-hwe malah.
Sambil menunjuk tujuh mayat dihadapan mereka Tok-bi-kui Ma
Siok-tjeng bertanya:
"Siapa yang membunuh mereka?" Suma Bing mengajukan diri
dan menjawab dengan nada
berat dingin: "Aku yang membunuh kau mau apa?" Sekilas Phoa Kin-sian
melirik kearah Suma Bing tanpa buka
suara, wajahnya yang kaku bersemu merah dan senyum2 malu
yang hampir tak kentara, entah apa yang tengah dipikirkan dalam
benak nona jelita ini.
Ma Siok-tjeng menjengek dingin serunya: "Bagus sekali Suma
Bing, hutang jiwa bayar jiwa, hutang
uang bayar uang..." "Ma Siok-tjeng," dengus Suma Bing menghina,
"Perhitunganku dengan Bwe-hwa-hwe kalian susah dilunasi, hanya
beberapa gelintir jiwa rendah itu terhitung apa" Ketahuilah, asal
aku ketemukan setiap anggota Bwe-hwa-hwe tentu tidak akan
kulepas tinggal hidup!"
"Huh, kau tahu pasti dapat hidup pergi dari sini?" Suma Bing
menjadi murka sekali, sambil menggeram ia
melompat maju ketengah pelataran. Ma Siok-tjeng berenam
gentar dan mundur beberapa langkah. Suasana menjadi tegang
meruncing. Dengan tangannya Ma Siok-tjeng menunjuk Phoa Kin-sian dan
bertanya: "Dia apamu?" "Kau tiada hak bertanya!" sahut Suma Bing
mendengus hidung. Wajah jelita Ma Siok-tjeng berobah beringas penuh nafsu
membunuh geramnya: "Baik biar kusempurnakan kalian menjadi
sepasang mendarin dialam baka.", habis berkata ia memberi aba2 kepada
kelima teman laki2nya.
Tiga orang laki2 bertubuh tegap itu segera melejit menubruk
kearah Phoa Kin-sian yang berdiri dibawah serambi panjang sana.
"Mampus kalian!" Mendadak Suma Bing menggembor keras sebat
luar biasa tubuhnya bergerak sambil mengirim sebuah hantaman
dahsyat, angin pukulannya bagai gelombang pasang menerpa
deras kearah tiga laki2 gagah itu, seketika tubuh mereka yang
tengah meluncur maju itu terporak poranda sungsang sumbel
jungkir balik ketempatnya semula. Pada saat Suma Bing
membentak dan melancarkan serangannya itu, Ma Siok-tjeng pun
telah turun tangan menyerang kearah Suma Bing dengan tidak
kalah sengitnya.
Jangan dipandang rendah sebuah pukulannya ini, karena
mengandung perobahan aneh menakjubkan yang susah diraba
sebelumnya. Suma Bing sendiripun tidak kepalang kejutnya
terdampar oleh angin pukulan musuh, tubuhnya tersurut mundur
selangkah. Sungguh diluar tahunya kalau Lwekang Tok-bi-kui Ma
Siok-tjeng kiranya sedemikian hebat.
Dalam pada itu, tanpa mengenal takut atau keder lagi ketiga laki2
tegap itu nekad membandel menubruk kearah Phoa Kin-sian.
Timbullah amarah Suma Bing melihat kebandelan lawannya,
dengan jurus Liu-kim-hoat-tjiok ia tetar Ma Siok-tjeng hingga
kelabakan melejit tinggi dan menghindar jauh. Mendapat peluang
ini dengan kecepatan kilat badannya berkelebat miring,
mengerahkan seluruh kekuatan Kiu-yang- sin-kang mengepruk
kearah tiga laki2 tegap itu. Gelombang panas bagai lahar gunung
meletus segera melanda memberangus ketiga laki2 tegap itu.
Seketika mereka berpekik nyaring mengerikan, setelah
menyemburkan darah dari mulutnya, tubuh mereka berobah hitam
angus dan mati terkapar.
Memang kedudukan ketiga laki2 tegap itu hanya tingkat dua saja
dalam Bwe-hwa-hwe, namun kalau dalam satu gebrak saja lantas
mati konyol oleh pukulan lawan, hal ini
benar2 membuat Ma Siok-tjeng dan kedua orang tua lainnya
melongo dan kaget luar biasa.
Wajah Phoa Kin-sian diliputi suatu rasa yang sukar ditebak.
Sikapnya tenang dan acuh tak acuh menyaksikan adegan seram
ini. Maka sambil mengertak gigi, dengan nekad Ma Siok-tjeng
menubruk kearah Suma Bing. Berbareng kedua orang tua lainnya
itupun menerjang kearah Phoa Kin-sian.
Sebagai pelindung Bwe-hwa-hwe sudah tentu bukan olah2 lihay
dan hebat Lwekang Ma Siok-tjeng, dalam tiga jurus saja Suma
Bing sudah terdesak kerepotan.
Sementara itu, kedua orang tua itupun sudah menerjang tiba
diserambi panjang sana terus menyerang kepada Phoa Kin-sian.
Kontan terdengar suara benturan keras yang menggelegar disertai
pekik dua suara ngeri. Maka dilain saat terlihat kedua kakek tua itu
sudah terkapar roboh ditanah pelataran tanpa berkutik lagi untuk
selamanya. Sungguh kejut Tok-bi-kui (bunga rose beracun) bukan olah2,
sebat luar biasa tubuhnya melejit mundur, dengan sorot mata
heran dan penuh tanda tanya matanya membeliak mengamati
Phoa Kin-sian. Dilain pihak kejut Suma Bing sendiripun tidak kalah besarnya,
bahwa sedemikian hebat dan lihay Lwekang Phoa Kin-sian ini
benar2 diluar tahunya, dalam sekali gebrak saja dengan mudah dia
telah robohkan dua gembong silat kelas satu dari Bwe-hwa-hwe.
Bagaimanapun juga Ma Siok-tjeng takkan tahu akan asal-usul si
gadis jelita yang ayu rupawan tapi berwajah kaku dingin ini.
Dengan kepandaian yang dipertunjukkan
ini pastilah dia bukan kaum keroco yang berkedudukan rendah.
Namun nama Phoa Kin-sian ini benar2 menggetarkan jiwa dan
semangatnya, meskipun baru kali ini ia dengar akan nama itu. Apa
mungkin dia salah seorang murid seorang
Tjianpwe lihay yang mengasingkan diri, dan baru kali ini berkelana
di dunia persilatan"
Setelah sadar dari kagetnya segera Suma Bing membentak keras:
"Tok-bi-kui kaupun rebahlah!" Secepat kilat ia kirim sebuah
pukulan deras mengarah
muka Ma Siok-tjeng. Terpaksa Tok-bi-kui angkat tangan
menangkis "blang" dimana kedua kekuatan saling bentur, tubuh
Tok-bi-kui bergoyang gontai, sebaliknya Suma Bing limbung
setindak. Dalam gebrak adu kekuatan tenaga dalam ini jelas
bahwa kekuatan dan latihan Lwekang Suma Bing masih kalah
seurat dari lawan. Maka terjadilah pertempuran sengit yang
mengadu jiwa ini.
Mengandalkan kesaktian Kiu-yang-sin-kang Suma Bing masih dapat
bertahan sementara waktu, namun tiga puluh jurus kemudian,
keadaannya sudah semakin keripuhan terdesak dibawah angin.
Lima puluh jurus kemudian Suma Bing sudah kehilangan inisiatif
untuk balas menyerang, terpaksa dia main bertahan mengurung
diri dengan rapat.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Se-konyong2 terdengar sebuah bentakan nyaring disusul Suma
Bing berseru tertahan, ujung mulutnya meleleh darah segar,
tubuhpun terhuyung hampir roboh.
Dalam keadaan gawat itulah, tahu2 tubuh Phoa Kin-sian sudah
berkelebat tiba ditengah gelanggang.
Suma Bing lintangkan tangan serta berkata: "Nona Phoa,
silakan mundur, aku tidak perlu bantuanmu!" Berobah wajah
Phoa Kin-sian, katanya: "Kau bukan tandingan siluman jadah
ini!" Ucapan "siluman jadah" itu membuat wajah Tok-bi-kui
berobah bengis mengancam, mulutnyapun segera memaki:
"Budak sundel, siapa yang kau maksudkan dengan siluman jadah
itu?" "Kau sangka siapa lagi yang berada disini selain kau?"
"Agaknya kau ingin segera mampus, biar aku sempurnakan
kau juga..." "Apa kau mampu?" Maju selangkah Suma Bing
menghadang dihadapan Phoa
Kin-sian serunya: "Nona Phoa, silakan mundur!" Tanpa menanti
reaksi Phoa Kin-sian segera ia menyerang
kearah Ma Siok-tjeng. Serangan ini dilancarkan dengan penuh
kebencian yang ber-limpah2 maka kekuatannyapun bagai guntur
menggeledek, kontan Tok-bi-kui kena terdesak mundur beberapa
langkah. Mendadak Phoa Kin-sian mendengus ejek sambil membanting kaki
terus melesat tinggi bayangannya menghilang diluar tembok.
T o k - b i - k u i M a S i o k - t j e n g t e r p a k s a
m e n d e l o n g s a j a m e n g a w a s i P h o a
K i n - s i a n p e r g i , t a p i d i a s e n d i r i j u g a
m a k l u m d e n g a n k e p a n d a i a n o r a n g t a k
m u n g k i n d i r i n y a k u a t m e r i n t a n g i .
A p a l a g i h a n y a S u m a B i n g s e o r a n g s a j a
c u k u p m e m b u a t d i a b e k e r j a b e r a t
m e m e r a s k e r i n g a t . J i k a l a u S u m a B i n g
d a n P h o a K i n - s i a n b e r p a d u
m e n g e r o y o k n y a , t a k m u n g k i n d i r i n y a
d a p a t m e l o l o s k a n d i r i d e n g a n s e l a m a t .
M a k a d e n g a n b e r k u r a n g n y a s e o r a n g
l a w a n l e b i h m a n t a p l a h h a t i n y a u n t u k
s e p e n u h t e n a g a m e n g h a d a p i S u m a B i n g .
Dalam sekejap duapuluh jurus telah berlalu. Tubuh Suma Bing
sudah mandi keringat keadaannya sudah payah dan berbahaya
diancam maut. Se-konyong2 Tok-bi-kui merobah permainannya,
bayangan pukulannya berkelebatan seperti kupu menari2,
beruntun dia lancarkan enambelas kali pukulan, pada pukulan
keenambelas terdengar Suma Bing berpekik
kesakitan, tubuhnya sempoyongan setombak lebih. Bagai
bayangan yang selalu mengikuti bentuknya tubuh Ma Siok- tjeng
melejit memburu tiba sekali jambak jalan darah Hoan- meh-hiat
sudah dicengkramnya keras. Suma Bing coba meronta namun sia2.
Sepasang mata Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng jelalatan menatap wajah
Suma Bing yang cakap ganteng, lama kelamaan matanya
memancarkan sinar gairah yang melemaskan hati orang, kedua
pipinyapun per-lahan2 bersemu merah.
Rasa malu gusar dan gugup bergejolak dalam benak Suma Bing,
matanya melotot besar dan merah membara.
Tiba2 Tok-bi-kui ulurkan tangan menutuk jalan darah lemas
ditubuh Suma Bing terus dikempit dibawah ketiak dan dibawa lari
kedalam hutan dibelakang biara bobrok itu.
Tak lama sesudah Tok-bi-kui mengempit tubuh Suma Bing berlalu
pergi, sebuah bayangan kecil langsing berkelebat memasuki biara
itu. Dia tak lain adalah Siang Siau-hun.
Dalam biara sekarang ketambahan lima mayat lagi, namun
bayangan kekasihnya tidak kelihatan. Keruan gugup dan cemas
hati Siang Siau-hun, dengan suara hampir berteriak ia mengeluh:
"O, engkoh Bing, dimana kau" Apa kau sudah datang" Mengapa
kau tidak tunggu aku?"
Hanya kesunyian dan keseraman suasana yang menjawab
keluhannya. "Aku harus menemukan dia." demikian keluh Siang Sian- hun,
terus belari secepat terbang keluar biara.
Kini kita ikuti jejak Si mawar beracun Ma Siok-tjeng yang
membawa lari Suma Bing kedalam hutan dibelakang biara, setelah
mendapatkan sebuah tempat yang tersembunyi dia letakkan
tubuh Suma Bing diatas tanah, lalu dengan mesranya dia duduk
berhimpit disampingnya. Kata Ma Siok-tjeng:
"Suma Bing, ketahuilah bahwa Ketua kami belum lega sebelum
dapat meringkus dirimu?"
Suma Bing menyesal karena dirinya tertutuk jalan darahnya
hingga tak dapat bergerak, dasar sifatnya memang keras matanya
melotot ber-api2 dan memaki garang:
"Aku pun belum lega sebelum dapat membunuh kurcaci itu."
"Tapi sekarang kau tiada kesempatan lagi. Untuk membereskan kau
sekarang segampang membalikkan tanganku."
"Boleh silahkan kau turun tangan." Ma Siok-tjeng malah unjuk
tertawa genit, ujarnya: "Tapi aku sayang untuk membunuh
kau!" "Lalu apa kehendakmu?" Dengan tangannya Ma
Siok-tjeng meng-elus2 wajah Suma
Bing, suaranya halus dan merayu: "Adikku yang baik, asal kau
berlaku baik, tentu cicimu akan
segera melepaskan kau" "Cis, tidak tahu malu..." Tok bi-kui malah
perdengarkan suara ngakak yang
menggiurkan, serunya: "Tidak tahu malu, sebentar lagi kalau
tidak kubikin kau menyembah2
kepadaku, kuhapus namaku si mawar beracun."
Hampir meledak dada Suma Bing saking menahan gusar
namun apa yang dapat diperbuat. Dia insaf perempuan jalang
tidak tahu malu ini pasti dapat melaksanakan apa yang telah
dikatakannya. Bagi seorang laki2 jantan seperti dirinya, masa
harus mandah saja dihina dan dipermainkan oleh sundel cabul
ini" Saat mana selebar muka Tok-bi-kui sudah merah padam
napasnya empas empis memburu cepat, kedua matanyapun
memancarkan sinar berapi, tubuhnya bergetar penuh birahi.
Tiba2 Suma Bing merasakan jalan darah Kiu-bwe-hiat kesemutan,
lalu disusul jalan darah Gi-tjiat dan Kui-lan dibawah perutnya
terasa suatu hawa hangat mengalir cepat merembes keseluruh
tubuh. Maka dalam sekejap saja sejalur hawa hangat timbul pula
dari dalam pusarnya terus meresap kesegala sendi2 dan urat
nadinya menyusuri seluruh jalan darah ditubuhnya, darah mengalir
semakin cepat, jantungnya berdetak semakin keras, napasnya juga
semakin berat. Sekuat tenaga ia bertahan dan berkutet dan
mencegah timbulnya nafsu berahi, supaya dirinya tetap dalam
keadaan sadar...
Dengan penuh harapan sepasang mata Tok-bi-kui pelerak- pelerok,
wajahnya penuh mengandung gairah menanti perkembangan
selanjutnya. Kesadaran Suma Bing semakin amblas, pandangannya mulai
remang2, suatu arus keinginan yang keras membuatnya tenggelam
dalam langkah kearah pelepas rakus yang menggila. Seluruh tubuh
panas membara, jalan darah se- olah2 hendak meledak. Saat mana
dalam tubuhnya sudah mulai dirasuki oleh setan nafsu birahi yang
sedang mengembara dalam tubuhnya. Selain keinginan liar yang
buas itu otaknya kosong melompong tanpa sepercik kesadaran.
Per-lahan2 Tok-bi-kui melepaskan baju luarnya, lalu mengendorkan
baju dalamnya terbentanglah kulitnya yang halus putih, buah
dadanya yang montok menggiurkan setengah terbuka. Pandangan
yang memincuk hati ini betapa keraspun hati manusia akan luluh
juga akhirnya bagi orang semuda Suma Bing yang mulai nanjak
usia kedewasaan, pula Ma Siok-tjeng gunakan juga cara sesat
untuk membangkitkan nafsu birahinya, keruan Suma Bing seperti
kuda liar yang lama kehausan napasnya memburu ngos2an.
"Bagaimana Suma Bing?"
"Aku... aku... ingin..." "Kau mau apa" Hahahahahihihihehehe!"
"Aku... ingin kau." "Kau mau panggil aku cici?" "Ci... ci" "Ai,
adikku yang baik!" Girang si mawar beracun Ma Siok-tjeng
bukan kepalang,
segera ia bebaskan jalan darah pelemas Suma Bing yang tertutuk
tadi. Kontan Suma Bing melompat bangun, kedua matanya merah
marong seperti serigala yang haus darah terus menubruk maju
hendak memeluk...
Pada detik yang menentukan itulah tahu2 sebuah arus hantaman
angin keras menerpa tiba menerjang kearah mereka berdua, kontan
Suma Bing terpental mundur dan jatuh duduk diatas tanah. Sedang
si mawar beracunpun terguling sungsang sumbel. Sungguh
mimpipun Ma Siok-tjeng tidak menduga pada saat2 nafsu birahinya
sudah memuncak pada titik tertinggi hingga perhatiannya peka
pada diri Suma Bing itu dirinya bakal dibokong orang tanpa siaga
sebelumnya. Tidak malu kiranya si wanita cabul ini diangkat sebagai
pelindung Bwe-hwa-hwe karena memang kenyataan kepandaiannya
tidak lemah. Reaksinya sangat cekatan setelah kena dibokong,
begitu melejit bangun dan berdiri tegak segera ia tutupi dadanya
dengan baju luar yang masih utuh terus memandang kedepan
dengan berapi2. Kiranya orang yang membokong dirinya itu adalah
Phoa Kin-sian adanya.
Suma Bing sudah hilang kesadarannya, bagai binatang binal yang
sudah kehausan darah mana dapat dia membedakan baik atau
buruk, sambil berpekik beringas ia menubruk maju.
Sambil mengertak gigi terpaksa Phoa Kin-sian menyelentikkan
sebuah jarinya.
"Buk," kontan Suma Bing kena tertutuk roboh. Bahwa rasa
nikmat yang bakal dikecapnya digagalkan oleh
orang membuat si mawar beracun Ma Siok-tjeng gusar hingga
kepalanya beruap, desisnya dingin:
"Budak busuk, kau cari mampus". Sebaliknya Phoa Kin-sian
sendiri juga bukan kepalang
geram dan malunya, sambil menuding ia memaki: "Sundel yang
tidak tahu malu, hari ini nonamu pasti akan
membunuhmu." membarengi ancamannya ia kirim sebuah sodokan
keras kearah musuhnya. Tok-bi-kui ganda mendengus gusar,
sebelah tangannya juga diangkat untuk menangkis.
"Dar..." benturan menggelegar membuat tubuh Ma Siok- tjeng
tersurut mundur tiga tindak, sungguh kejutnya bagai disengat kala
bahwa Lwekang gadis muda ini kiranya sangat tinggi diluar
perkiraannya. Saking gusar ingin rasanya Phoa Kin-sian segera menamatkan jiwa
wanita cabul ini, sekaligus ia lancarkan lagi tiga gelombang
pukulannya yang disertai himpunan seluruh kekuatannya, maka
betapa dahsyat akibat pukulannya ini dapatlah dibayangkan.
Arwah Ma Siok-tjeng seolah2 terbang dari badan kasarnya,
lenyaplah nafsu birahinya yang berapi2 tadi, tubuhnya berkelebat
sebat luar biasa menyingkir. Tapi sayang ia agak sedikit terlambat,
dua pukulan yang terdahulu memang dapat dihindari, namun
pukulan ketiga dengan telak mengenai sasarannya. Kontan si
mawar beracun berpekik ngeri sambil muntah darah, tubuhnya
terguling2 jauh.
Wajah Phoa Kin-sian semakin kelam penuh nafsu membunuh,
desisnya bengis:
"Mawar beracun, disinilah tempat liang kuburmu."
"Wut" lagi2 ia lancarkan sebuah pukulan jarak jauh. Keruan Ma
Siok-tjeng ketakutan setengah mati, sebat sekali
tubuhnya melejit menyingkir jauh, lantas dengan penuh kebencian
ia berkata: "Budak busuk, kucatat perhitungan ini. Akan tetapi ada satu hal
yang perlu kuberitahukan. Dia sudah tertutuk oleh
Hian-to-tjui-yang-tji, dalam waktu setengah jam ini, jikalau tidak...
hehehe, urat nadinya akan meledak dan hancur berkeping2.".
Habis ucapannya bayangannyapun menghilang.
Sekarang Phoa Kin-sian melongo dan tertegun ditempatnya tanpa
mampu mengeluarkan suara.
Sementara itu meskipun jalan darah Suma Bing tertutuk, namun
nafsu birahinya masih bertegang sampai puncaknya, napasnya
memburu wajahnya merah padam.
Sungguh kacau dan gelisah benar hati Phoa Kin-sian, apa yang
harus diperbuatnya. Kalau dalam setengah jam ini Suma Bing
tidak dapat melampiaskan keinginannya, urat nadinya akan pecah
dan putuslah jiwanya.
Apakah dirinya harus mengawasi orang menderita sampai mati"
Atau menolongnya! O, tak tahu dia apa yang harus diperbuatnya.
Coba pikirkan sebagai seorang gadis yang masih perawan suci
bersih bagaimana cara menolong jiwanya. Kalau menolongnya itu
berarti dia harus mengorbankan kesuciannya.
Keadaan Suma Bing sudah menunjukkan bahwa jiwanya sudah
diambang diantara mati atau hidup.
"Itu tidak mungkin!" pekik Phoa Kin-sian keras sambil memutar
tubuh hendak tinggal pergi, namun baru beberapa langkah tanpa
merasa langkahnya berhenti lagi, hatinya gundah dan berperang
dalam batinnya, dia harus mengambil kepastian yang ganjil,
menolong dia" atau membiarkan dia mati" Akhirnya luluhlah
hatinya, dia harus berkorban untuk
menolong jiwa orang, dua titik air mata meleleh membasahi
pipinya. Sebenarnya betapapun dia tidak rela berbuat begitu, tapi
tidak bisa tidak dia harus melakukannya. Suaranya tergetar
menggumam: "Suhu, kaulah yang menjerumuskan aku, demi melaksanakan
perintahmu, terpaksa aku harus mengorbankan tubuhku!"
Maka bagai perwira yang menuju kemedan bhakti dengan langkah
lebar ia mendekati kehadapan Suma Bing, katanya sambil
mengertak gigi:
"Suma Bing, sekarang aku menolong kau, kelak kalau kau
menelantarkan aku, aku pasti akan membunuhmu."
Napas Suma Bing kempas kempis, ingatan dan pandangannya
remang2 tidak dapat membedakan apa yang dilihatnya, sudah
tentu dia tidak dengar ucapan Phoa Kin-sian itu.
Lantas dikempitnya Suma Bing dibawah ketiaknya dibawa masuk
kedalam hutan yang lebih dalam dan tersembunyi, dimana ia buka
jalan darah Suma Bing yang tertutuk, maka terjadilah sebuah
tragedi yang tengah dipanggungkan dalam sebuah hutan lebat
tanpa seorang penonton jua. Kesadaran Suma Bing sudah hilang,
bagai serigala buas yang haus darah begitulah dia tengah
merangsang dengan menggila. Bagai sekuntum bunga yang
tengah mekar diterpa hujan badai, bunga yang lemah itu sedang
mengeluh kesakitan, begitulah keadaan Phoa Kin-sian...
Setelah hujan badai mereda terasalah suatu keheningan yang
mencekam sekelilingnya. Ber-angsur2 ingatan Suma Bing mulai
sadar dan ia merayap bangun, pandangan pertama yang dilihat
matanya adalah tubuh yang separo telanjang disampingnya. Suatu
perasaan terhina menjalar dalam benaknya membuat ia melonjak
bangun seperti disengat kala, sambil mengayun tangannya ia
membentak: "Kubunuh kau sundel jalang!" Mendadak matanya menatap
kearah noktah darah yang
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berceceran ditanah sekitarnya, tanpa terasa tergetar hatinya. Apa
mungkin Tok-bi-kui masih merupakan seorang gadis perawan
tingting" Waktu ia menegasi, seketika tubuhnya tergetar bagai
tersetrom aliran listrik. Hampir dia tidak percaya akan apa yang
dilihat itu adalah kenyataan. Dikucek2nya matanya dan menegasi
lagi. Ya, memang benar tidak salah, dialah Phoa Kin-sian adanya.
"Apakah yang telah terjadi" Mengapa Tok-bi-kui berobah menjadi
Phoa Kin-sian." demikian ia ber-tanya2 dalam hati.
Entah karena malu atau tersiksa terlalu berat, keadaan Phoa
Kin-sian seperti tidur nyenyak tanpa bergerak.
Suma Bing merenggut rambutnya sekuat2nya, ia mencoba
mengenang kembali dan berharap dapat menemukan sepercik
penemuan dalam pikirannya yang kabur dan mulai terang itu.
Samar-samar teringat olehnya bahwa dirinya telah tertawan oleh
Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng dan ditutuk dengan cara aneh dari aliran
sesat hingga dirinya dirasuk oleh nafsu setan birahi, dalam saat2
genting itulah ia teringat ada seseorang menyerbu tiba lantas
terdengar suara bertempur...
Ya begitulah, Phoa Kin-sian telah mengorbankan dirinya demi
menolong dirinya. Karena pikirannya ini tubuhnya terhuyung
hampir roboh. Dia insaf bahwa dirinya telah membuat suatu noda
hitam yang berdosa selama hidupnya.
Bagian tubuh Phoa Kin-sian yang masih tersingkap itu membuat
hatinya berguncang lagi, darah panas merangsang kepalanya.
Per-lahan2 ia maju mendekat dengan hati2 membetulkan bajunya
yang tak karuan itu, menutupi bagian yang membuat hatinya
bergejolak keras.
Pada saat itulah, sepasang mata Phoa Kin-sian yang bundar jeli
terbuka lebar dan mendadak bergegas bangun berdiri.
"Plak, plok" kontan Suma Bing rasakan pandangannya berkunang2,
darah meleleh dari sudut mulutnya ia tersurut dua
langkah. Dengan terbelalak heran dan kaget ia mengawasi Phoa
Kin-sian, entah mengapa dia tidak tahu mendadak Phoa Kin-sian
bisa menggampar mukanya dua kali.
Setelah persen dua kali tamparan dimuka Suma Bing, tiba2 Phoa
Kin-sian memutar tubuh memeluk sebatang pohon dan menangis
ter-gerung2. Sedungu Suma Bing juga maklum dan ikut merasakan betapa pedih
dan kecut perasaan hatinya itu. Sampai pada detik itu tidak lebih
dua jam mereka bertemu dan berkenalan, tapi demi jiwanya ia rela
mempersembahkan kesuciannya yang tak ternilai. Betapa besar
pengorbanannya itu, bagaimana pula dia takkan menangis.
Saking sesal Suma Bing terbungkam mulutnya, tak tahu dia
bagaimana dia harus mengeluarkan kata2 untuk menghiburnya.
Lama dan lama sekali baru dia tergagap membuka kata:
"Nona Phoa, sungguh menyesal aku telah berbuat salah terhadap
kau!" Phoa Kin-sian menghentikan tangisnya dan berpaling, katanya
dengan nada pedih penuh kemarahan:
"Suma Bing, menyesal berbuat salah itulah tanggung jawabmu?"
"Maksud nona..." "Kau sudah menghina dan menyiksa aku
sedemikian rupa,
akan kubunuh kau!" Berobah tegang air muka Suma
Bing, katanya: "Aku bukan sengaja hendak berbuat
begitu." "Lalu dengan minta ma'af saja lantas
beres?" "Ini... tidak, selama hayat masih dikandung badan, Suma Bing
pasti tidak akan membuatmu kecewa, tapi..."
"Bagaimana?" "Saat ini aku kurang bebas." "Bagaimana artinya
itu?" "Aku pernah dikurung oleh Setan Barat didalam barisan
jeritan setan menyedot sukma. Untuk menepati janjiku dengan
Siang Siau-hun, Setan barat meluluskan kedatanganku kemari,
tapi dalam tempo tujuh hari aku harus kembali ketempat
kediamannya itu!"
Phoa Kin-sian menunjuk rasa kejut, tanyanya: "Mengapa Setan
barat hendak mengurung kau?" Suma Bing tertawa ewa,
sahutnya: "Sampai sekarang aku masih belum jelas
persoalannya. Ada
kemungkinan mengenai suka-duka perguruanku." "Apa kau
hendak kembali?" "Tentu, seorang laki2 harus menepati
ucapannya, mana
boleh aku ingkar janji?" "Setan barat terkenal kejam dan telengas,
sepergimu ini..." "Aku tidak perduli dengan akibatnya." "Tapi
menurut apa yang aku tahu, dendam kesumat dan
sakit hatimu masih belum terbalas, mana boleh kau pandang
jiwamu semurah itu?"
"Akan tetapi, aku tidak bisa menelan ludahku lagi" O, nona
Phoa..." "Huh, nona" kau..." mendengar Suma Bing masih memanggilnya
nona wajah Phoa Kin-sian berobah gusar.
Merah wajah Suma Bing, cepat2 ia ganti mulut:
"Adik Sian, kemana Tok-bi-kui si perempuan jalang itu?" "Sudah
kugebah pergi!" "Sebenarnya apakah yang telah diperbuatnya
diatas tubuhku, bagaimana bisa..." Kontan merah jengah selebar muka
Phoa Kin-sian, berselang agak lama baru dia menyahut: "Dia menggunakan
tutukan jari dari aliran sesat yang paling
rendah. Kalau sudah tertutuk kepandaian macam itu, seumpama
dewapun takkan kuat menahan gelora hatinya, apalagi tiada jalan
lain..." sampai disini ia merandek, lalu berkata lagi:
"Aku tidak tega melihatmu meregang nyawa dalam waktu
setengah jam ini. Bersama itu aku juga menerima perintah suhu
untuk membantu kau secara diam-diam..."
Kaget dan heran Suma Bing dibuatnya, tanyanya: "Suhumu
menyuruh kau membantu aku?" Phoa Kin-sian mengiakan.
"Siapakah suhumu itu?" "Ong Fong-jui!" Sungguh kejut Suma
Bing bukan kepalang, kiranya Phoa
Kin-sian adalah murid bibinya Ong Fong-jui, ini benar2 diluar
dugaannya. "Adik Sian, kau... kau adalah murid bibi Jui?" "Bagaimana, kau
merasa diluar dugaan bukan?" Suma Bing bersorak girang,
katanya: "Benar diluar dugaan. Adik Sian, selama hidup ini
pasti kau takkan aku lupakan." "Lalu bagaimana kau hendak bertanggung
jawab terhadap Siang Siau-hun?"
Sungguh Suma Bing tidak menduga akan mendapat pertanyaan
ini, seketika merah dan merongkol otot dijidatnya, ia bungkam
seribu basa. Ya, betapa besar rasa cinta Siang Siau-hun, kejadian
mati hidup dibiara bobrok itu masa dapat terlupakan olehnya.
Phoa Kin-sian tersenyum manis, katanya: "Engkoh Bing, kau
lebih siang berkenalan dengan dia, tak
dapat aku melukai hati suci seorang gadis bersih. Hanya kau
harus ingat, aku sekarang sudah menjadi milikmu, dan aku sudah
puas." "Adik Sian, pasti aku takkan lupa" sahut Suma Bing tegas. "Apa
kau benar2 harus kembali kecengkeraman Setan
barat?" "Tidak bisa tidak aku harus kembali!" "Baik, kau
berangkatlah" "Adik Sian, aku..." "Bagaimana?" "Aku selalu akan
merasa telah berbuat salah terhadap kau." "Hal itu sudah lewat,
soalnya terletak pada masa yang akan
datang, sekarang pergilah tepati janjimu kepada Setan barat itu!"
"Adik Sian, kuharap kau baik2 menjaga dirimu, kuharap kelak kita
dapat bertemu lagi dengan selamat."
"Pasti dapat." Suma Bing maju memeluk Phoa Kin-sian dan
memberinya sebuah ciuman panjang, ciuman yang mengandung penyesalan dan
haru, bersama pula pengantar perpisahan yang berat.
Dia harus segera berangkat untuk menepati janjinya supaya tidak
terlambat dalam jangka tempo tujuh hari. Dipandangnya Phoa
Kin-sian lekat2 dan katanya:
"Adik Sian, maafkanlah aku, waktu sangat mendesak, aku hendak
berangkat!"
Phoa Kin sian manggut2, mengiring keberangkatan Suma Bing
dengan senyum pilu.
Dengan langkah berat segera Suma Bing melejit tinggi berlari keluar
rimba. Bertepatan dengan hilang bayangan Suma Bing, dua titik air
mata meleleh keluar membasahi pipi Phoa Kin-sian. Betapa dia
takkan kepincut dan memuja pemuda ganteng yang meluluhkan
hatinya ini. Akan tetapi persentuhan tubuh dalam keadaan yang
mengenaskan itu benar2 membuat hatinya hancur luluh. Memang
pengorbanannya terlalu besar. Segera ia membetulkan pakaiannya
yang tidak karuan, setelah menghela napas panjang pendek, iapun
berlari keluar rimba.
Dalam pada itu dengan rasa berat dan hampa Suma Bing tengah
berlari kencang untuk menepati janji Setan barat. Tak tahu dia
bagaimana Setan barat hendak menghadapi dirinya" Sepanjang
jalan bayangan Ting Hoan, Siang Siau hun, dan Phoa Kin-Sian
bergantian terbayang didepan matanya, membuat otaknya pepat
hampir meledak rasanya.
Tujuh hari kemudian waktu matahari hampir tenggelam diujung
barat sana akhirnya tiba juga dia dibawah bukit Te- tjui-hong.
Benar juga wanita serba hitam bernama Sim Giok- sia itu sudah
menantinya dengan sebuah sampan. Tanpa banyak cakap Suma
Bing langsung melompat naik keatas sampan. Segera Sim Giok-sia
melajukan sampannya ketengah danau dengan cepat.
Dalam kesunyian sekian lamanya, akhirnya Sim Giok-sia membuka
kata: Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ "Suma Bing, kiranya janjimu dapat dipercaya dari matahari terbit
aku menanti sampai sekarang, kusangka kau tidak akan datang
lagi?" "Sebagai seorang laki2 sejati aku pasti menepati janjiku, dan
itulah modalku."
"Apa kau tahu bagaimana suhu hendak menghadapi kau?"
"Bagaimana apa kau tahu?" "Mengurungmu seumur hidup!"
Melonjak keras hati Suma Bing. "Mengapa suhumu berbuat
begitu kejam terhadap diriku?" -oo0dw0oo
Jilid 5 17 SUM A BIN G MEN OLO NG RAC UN DI RAC UN "Sebagai pembalasan!" "Pembalasan?" "Benar, pembalasan
terhadap Kho-lo-sia, gurumu itu
sekarang sudah mati, maka kaulah yang harus menebus dosanya."
"Tapi, kenapakah sebenarnya?" "Karena benci!" seru Sim
Giok-sia berang. "Aku masih belum jelas!" "Belum jelas ya
sudah" Pada saat itulah dari kejauhan ditengah danau sana
mend atang i sebua h samp ditengah alunan ombak danau bagai seekor burung pinis melaju
dengan cepat. Sim Giok-sia berseru kejut dan menghentikan sampannya, tak
lama kemudian sampan itu sudah tiba dihadapan mereka, terlihat
diatas sampan kecil itu berduduk seorang wanita bersolek yang
berpakaian sangat mewah dengan sanggul kepalanya penuh
dihiasi mutiara.
Sejenak Suma Bing tertegun, lantas berseru kegirangan:
"Jui-ih!" Memang wanita setengah umur yang duduk dalam
sampan kecil itu adalah bibinya Ong Fong-jui. Ong Fong-jui manggut2,
lalu berkata kepada Sim Giok-sia: "Putar haluan!" Selintas Sim
Giok-sia melengak, lantas tanyanya: "Siapa kau?" "Ong Fong-jui!"
"Mengandal apa kau minta aku putar haluan!" "Atas perintah
Suhumu!" "Mengandal ucapan mulutmu itu?" semprot Sim
Giok-sia. Kata Ong Fong-jui dengan nada berat: "Setelah tiba
didaratan akan kujelaskan, sekarang putarlah
dulu haluan!" sambil berkata sebelah tangannya diayun sejalur
angin kencang berputar tiba membuat sampan yang dinaiki Sim
Giok-sia dan Suma Bing berputar arah terus melesat jauh balik
kearah Te-tjui-hong.
"Kau berani!" bentak Sim Giok-sia gusar. Beruntun kedua
tangannya memukul kepermukaan air untuk menghentikan
luncuran perahunya, namun bagaimanapun usahanya sia2,
sampannya itu tetap meluncur lempang kedepan.
Seperti permainan anak2 saja tanpa mengeluarkan tenaga besar,
kedua tangan Ong Fong-jui bergerak bergantian mendera kedua
sampan mereka. Dalam waktu singkat mereka sudah tiba dibawah
Te-tjui-hong. Tanpa perdulikan apa yang bakal terjadi Suma Bing
mendahului melompat kedarat. Segera Ong Fong-juipun mengikuti
jejaknya. Sungguh dongkol dan gusar Sim Giok-sia bukan olah2, begitu
kakinya menginjak tanah langsung ia kirim tiga kali pukulan hebat
kearah Ong Fong-jui.
Ringan dan seenaknya saja Ong Fong-jui mengebutkan lengan
bajunya, maka tiga kali serangan Sim Giok-sia itu sirna hilang
bagai tenggelam dalam lautan.
Diam2 Suma Bing melelet lidah, sungguh diluar tahunya bahwa
Lwekang bibinya ternjata sedemikian tinggi. Naga2nya masih
berada diatas Lam-sia dan Setan barat.
Saking gusar dan kewalahan Sim Giok-sia gemetar dan
menghentikan serangannya. Dia insaf bahwa kepandaian lawan
berlipat ganda lebih tinggi dari kemampuannya, akan sia2lah
tindakannya yang tanpa perhitungan. Hanya dia heran bagaimana
bisa lawan datang dari arah pulau ditengah danau sana. Lagipula
bukan saja melihat mendengar nama Ong Fong-jui saja dia belum
pernah.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandangan Ong Fong-jui menyapu dua orang didepannya lalu
berkata: "Sim Giok-sia, dihitung usia kau lebih tua dari aku. Kalau menurut
tingkatan aku lebih tinggi dari kau! Maka aku langsung memanggil
namamu. Apa kau tahu apa hubunganmu dengan Suma Bing?"
Mendengar pertanyaan terakhir ini bukan saja Sim Giok-sia
melengak heran, Suma Bing juga melonjak kaget.
"Hubungan apa?" tanya Sim Giok-sia gemetar. "Kakak beradik
seperguruan!" Saking kaget Suma Bing mundur selangkah,
pandangannya menyapu Sim Giok-sia, serunya heran dan tak mengerti: "Kakak
beradik seperguruan?" "Benar, kakak beradik seperguruan." sahut
Ong Fong-jui serius. "Bagaimana jelasnya ucapanmu ini?" tanya Sim Giok-sia
penuh haru. "Kau tahu apa hubunganmu dengan Setan barat?"
"Dia Suhuku." "Kau salah, dia adalah ibumu." Sim Giok-sia
terhuyung tiga langkah, tubuhnya menggigil,
kepala diabitkan menyingkap rambut panjang kebelakang, maka
terlihatlah wajahnya yang pucat pias setengah tua, wajah itu
penuh keheranan dan bertanya gemetar:
"Dia adalah Bundaku?" "Benar, dan Sia sin Kho Jiang adalah
ayah kandungmu!" Sim Giok-sia terkulai hampir roboh, ini
benar2 suatu berita
yang susah dipercaya dan dapat diterima olehnya. "Apakah itu
benar?" gumam Suma Bing penuh haru. "Tentu, kalau tidak
dikatakan langsung oleh Setan barat
sendiri pada sejam yang lalu, aku sendiripun tidak tahu. Hati Sim
Giok-sia terasa sangat pilu dan perih penuh haru,
dia terlongong mematung seperti orang linglung, mulutnya
menggumam: "Aku tidak mengerti!"
"Sudah tentu," ujar Ong Fong-jui menghela napas. "Inilah kisah
terpendam dalam sanubari orang, siapapun takkan tahu. Lam-sia
dan Se-kui sudah bermain asmara pada lima puluh tahun yang
lalu. Yang satu sesat sedang yang lain aneh, akhirnya mereka,
berpisah karena suatu salah paham. Sejak mereka berpisah Se-kui
lantas melahirkan seorang anak perempuan yaitu kau..." matanya
menatap Sim Giok-sia.
Tubuh Sim Giok-sia tergetar. Tutur Ong Fong-jui lagi: "Karena
patah hati Se-kui membenci seluruh lelaki
diseluruh jagad ini. Maka setelah mengetahui hubunganmu dengan
Wi-thian-tjhiu Poh Jiang dia mengurungmu, dan melarang kau
bertemu dengan dia..."
Tiba2 Suma Bing menyelak: "Wi-thian-tjhiu Poh Jiang mengapa
berganti julukan jadi
Tiang-un Suseng?" Airmuka, Sim Giok-sia semakin pucat,
sebenarnya dia menaruh dendam dan benci terhadap suhunya, sungguh diluar
tahunya bahwa suhunya ternyata adalah ibu kandungnya sendiri,
luluhlah segala kekerasan hatinya, katanya lemah.
"Aku tidak dapat salahkan dia, dia tidak sengaja hendak menyiksa
aku, adalah karena pukulan batinnya yang berat membuat jiwanya
berobah, dalam pengertiannya dia takut aku kena tipu."
"Pikiranmu ini benar, tiada seorang ibu yang tidak mencintai
anaknya, hal ini tidak dapat menyalahkan ibumu."
Baru sekarang Suma Bing jelas dan paham, sebab apa gurunya
melarang dia berkelahi lawan orang yang pandai ilmu
Pek-pian-kui-jiau.
Setelah berhenti sekian lamanya, Ong Fong-jui melanjutkan
ceritanya: "Delapanbelas tahun yang lalu, sepasang kekasih tua ini mendapat
kata sepakat dan pengertian, sayang Sia-sin Kho Djiang mengalami
bencana. Setan barat mencurigainya berobah hati. Sampai tak
lama kemudian baru dari kau..." matanya menatap Suma Bing, "...
dari mulutmu ia tahu mengapa pada delapanbelas tahun yang lalu
ayahmu ingkar janji, kiranya karena, mengalami bencana itu. Hal
ini tambah membuat hatinya hancur luluh ia bersumpah selama
hidup ini tidak akan muncul lagi didunia Kangouw!"
Kedua mata Sim Giok-sia merah dan meneteskan airmata dikedua
pipinya yang pias pucat, suaranya seperti orang mengigau:
"Semua peristiwa sudah lalu, bagai sebuah mimpi, tapi justru
meninggalkan bekas. Semua ini seperti terjadi kemaren, adalah
sekarang aku mendadak merasakan usiaku, aku sudah tua... tapi
aku masih ingin bertemu dengan Poh Jiang sekali lagi." suaranya
ini benar2 sangat berkesan dan memilukan hati.
Mendadak sinar mata Sim Giok-sia ber-kilat2 menatap wajah Suma
Bing, tanyanya:
"Sute apa kau benar2 hendak membunuh Tiang-un Suseng?"
Sejenak Suma Bing tertegun dan ragu2 lalu sahutnya hampa:
"Suci, perintah guru susah dibangkang." "Bing-tit," sela Ong
Fong-jui, "Peristiwa yang lalu kesalahan
bukan dipihak Bu-lim-sip-yu. Adalah suhengmu Loh Tju-gi itu
biangkeladinya. Betapa erat hubungan Bu-lim-sip-yu maka tiada
salahnya kalau mereka menuntut balas. Lagi pula bila suhumu
tahu hubungan sucimu dengan Tiang-un Suseng, mungkin dia
tidak akan menyuruhmu berbuat demikian."
"Ya, mungkin juga begitu," ujar Suma Bing sambil manggut2,
"Namun dia orang tua sudah dialam baka, aku sebagai muridnya
harus melaksanakan pesannya."
"Tapi subomu juga berpendapat supaya kau tidak menuntut balas
lagi kepada salah seorang dari Bu-lim-sip-yu yang masih
ketinggalan hidup itu?"
"Ini..." sesaat lamanya Suma Bing menjadi gagu tak dapat
menjawab. Ong Fong-jui berputar dan berkata kepada Sim Giok-sia:
"Sekarang kau boleh pulang, bujuklah beberapa kata patah
pada ibumu. Kelak dikalangan Kangouw kau harus mencuci bersih
nama perguruan bersama sutemu, carilah jejak Loh Tju gi."
Sim Giok-sia mengangguk tanpa membuka suara, terus naik
kesampannya langsung kembali ketengah danau.
Ong Fong-jui menghela napas dan berkata: "Seorang wanita
yang harus dikasihani, sang ibu telah
mengubur masa remajanya." "Benar," ujar Suma Bing
menyanggah, "betul2 seorang
wanita yang bernasib jelek, rasanya aku ingin berbuat sesuatu
apa untuk dia..."
"Bing-tit, walaupun suhu dan subomu berpisah karena salah
paham, namun cita2 mereka adalah sedemikian murni dan dalam,
hanya sifat jelek masing2 merintangi mereka rujuk kembali. Jikalau
kau dapat menemukan Tiang-un Suseng, mempersembahkan
kembali bahagia sucimu yang sudah terlambat, tentu kau dapat
menghibur arwah suhumu dialam baka."
Suma Bing mengiakan sembarangan, saat ini dia tidak ingin
memperbincangkan soal itu, segera ia memutar bahan
pembicaraan: "Jui-ih, bagaimana kau dapat datang kemari?" Wajah Ong
Fong-jui agak berobah, katanya: "Bing-tit, aku mendapat berita
dari Phoa Kin-sian, lantas
secepat terbang aku menyusul kemari, untung masih sempat
kutolong kau dari renggutan Setan barat."
Menyinggung nama Phoa Kin-sian, kontan merah jengah selebar
muka Suma Bing jantungnya berdetak keras, adegan didalam
rimba itu terbayang pula dalam benaknya, tak tahu dia apakah
Phoa Kin-sian telah menuturkan sejelasnya kepada suhunya ini.
Kata Ong Fong-jui lagi sungguh2: "Kin-sian sudah melapor
segala kejadian sejelasnya
kepadaku, memang kesalahan bukan dipihakmu, tapi hakekatnya
sekarang dia sudah menjadi istrimu, bagaimana rasa tanggung
jawabmu?" Sikap Suma Bing sangat kikuk dan risi, sahutnya: "Kuakui dia
sebagai istriku, aku tidak akan menelantarkan
dia." "Begitupun baik, kalau tidak akupun tidak akan
mengampuni kau." sejenak merandek lalu katanya lagi: "Subomu
minta aku memberitahu kepadamu, dikalangan Kangouw kau
jangan merendahkan derajat dan nama Sia-sin Kho Jiang?"
"Aku paham!" "O, ya, dia masih ada sebuah barang hadiah
untuk kau" Suma Bing melengak, tanyanya: "Hadiah apa?"
"Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko!"
"Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko, dia juga punya?"
"Ya, semua ada dua butir, subo dan suhumu masing2 menyimpan
sebutir..."
"Milik suhu itu sudah dicuri dan mungkin sudah ditelan oleh Loh
Tju-gi." "Hal itu aku sudah tahu, setelah menelan Kiu-tjoan-hoanyang-
tjau-ko ini dapat menambah Lwekangmu maju satu kali
lipat." "Aku... haruskah menerima?" "Pemberian dari angkatan tua
tidak boleh ditolak. Sekarang
juga boleh kau telan, biar kubantu kau membaurkan kedalam
tenaga murnimu."
Lalu dikeluarkannya sebuah peles kecil terbuat dari porselin lalu
dituangnya sebutir buah sebesar kacang yang berbau harum yang
aneh langsung diangsurkan kepada Suma Bing. Segera Suma Bing
menerima dengan kedua tangannya terus dimasukkan kedalam
mulut. "Duduklah dan mulai semedi, pusatkan pikiran dan hilangkan
segala perasaan."
Suma Bing menurut apa yang diperintahkan. Segera terasa
segulung hawa panas timbul dari pusarnya, lalu disusul sejalur
hawa panas yang kuat menembus masuk melalui jalan darah
Bing-bun-hiat, ditambah hawa murni dalam tubuhnya, tiga macam
hawa murni terbaur menjadi satu terus berputar dan mengalir
deras keseluruh tubuh. Tidak lama kemudian hilanglah segala
perasaan jasmaniah. Entah sudah berselang berapa lamanya,
mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring:
"Tarik tenaga." Sigap sekali Suma Bing melompat bangun,
terasa semangatnya me-nyala2 tenaganya bergairah padat memenuhi
seluruh tubuh, hingga terasa nyaman dan ringan sekali.
Saat mana Bintang2 dilangit sudah berkelap-kelip kiranya hari
sudah gelap. "Bing-tit, sekarang juga lebih baik kau menuju ke Bu-kong- san
mencoba keberuntunganmu..."
"Maksud Jui-ih tentang Bunga-iblis itu?" "Benar, kalau kau bisa
mendapatkan Bunga iblis, dengan
mudah Pedang darah dapat kau rebut." Rasa heran dan curiga
membuat Suma Bing nanap
mengawasi Ong Fong-jui, entah apa yang dimaksud tentang
Pedang darah yang agaknya sangat disepelekan itu" Pedang
darah sudah terjatuh ditangan Racun diracun, masa dengan
mudah dia bisa meminta kembali"
"Bing-tit, mengapa tubuhmu kebal akan racun, apa kau..."
"Dari Si-gwa-sian-jin aku diberi sebatang rumput ular serta
sebutir buahnya." "O, begitu kiranya, sungguh besar rejekimu."
"Jui-ih, ada satu berita hendak kuberitahu kepadamu."
"Coba katakan" "Menurut kata Tou-sing-to-gwat Si Ban-tjwan si
maling bintang, bahwa ibu masih hidup didunia fana ini." "Apa betul?"
seru Ong Fong-jui kaget, wajahnyapun
berobah. Lantas secara singkat Suma Bing menutur
pertemuannya dengan si maling bintang Si Ban-tjwan dan mengisahkan lagi
cerita yang didengarnya itu dengan haru.
"Bing-tit," seru Ong Fong-jui berlinang air mata girang. "Benar2
suatu hal yang tak terduga. Kalau dapat menemukan ibumu, pasti
seluruh musuh besarmu dapat dibereskan. Tapi aku masih curiga,
sudah selama puluhan tahun, mengapa tiada sesuatu reaksi
dikalangan Kangouw."
"Benar, akupun berpikir begitu. Tapi ucapan si maling bintang
pasti dapat dipercaya mungkin masih ada sesuatu sebab lain yang
belum kita ketahui!"
"Lebih baik kau segera menuju ke Bu-kong-san, meskipun
harapan itu sangat kecil belum tentu tercapai. Tapi inilah cita2
ayahmu semasa hidup, sudah seharusnya kau melaksanakan
keinginannya terakhir."
"Baiklah." "Tentang jejak ibumu, aku juga harus ikut mencari
sekuat tenaga" Sebentar Suma Bing berpikir2, lalu memberi hormat serta
katanya: "Jui-ih, baiklah Tit-ji minta diri." "Baik, kudoakan kau
berhasil, tapi semua kejadian didunia
ini tergantung jodoh, jangan kau terlalu paksakan diri, kuharap kau
selalu ingat perkataanku ini."
"Tit-ji akan selalu ingat." hilang suaranya tubuhnya sudah
berkelebat hilang.
Waktu terang tanah, Suma Bing sudah berlarian sejauh ratusan li.
Seperti kata bibinya bahwa perjalanannya ini belum tentu bisa
mendapat sukses karena harapan itu adalah sangat kecil. Coba
pikir, Bu siang-sin-li adalah tokoh aneh yang sudah berusia seabad
lebih, apakah masih hidup didunia fana ini, masih merupakan
persoalan baginya. Dan lagi sedemikian besar gunung
Bu-kong-san itu, siapa tahu dimana Bu-siang- sin-li bersemayam"
Diumpamakan saja secara kebetulan dapat diketemukan, apakah
orang mau memberikan Bunga-iblis itu yang dipandang sebagai
benda keramat dan paling berharga malah di-kejar2 oleh kaum
persilatan" Ya, meskipun sepercik harapan saja, namun dia harus
mencoba sekuat tenaganya, perintah guru dan cita2 orang tua
harus dilaksanakan dan diselesaikan secara menyeluruh.
Bahwa Pedang berdarah dan Bunga iblis mengandung rahasia ilmu
silat mujijat yang paling digdaya dan merupakan raja dari seluruh
ilmu silat adalah menjadi incaran dan impian seluruh kaum
Kangouw. Begitulah tengah Suma Bing berlangkah ringan, mendadak sebuah
suara yang sangat dikenal tengah memanggil dibelakangnya:
"Suma-hiante!" Segera Suma Bing menghentikan langkah dan
berputar tubuh, tanpa terasa ia terlongo kaget, karena orang yang berseru
memanggil dirinya kiranya adalah si orang berkedok yang telah
terjungkal kedalam jurang yang juga disangkanya sudah
meninggal itu. "Bong-bian-heng, kau... kau belum meninggal?" Si orang
berkedok maju mendekat kehadapan Suma Bing
dan tertawa gelak2, katanya: "Berkat rahmat Tuhan, aku masih
hidup didunia fana ini!" "Tidak heran aku tidak menemukan
jenazahmu dalam
jurang itu. Tapi sudah jelas bahwa kau telah terjungkal masuk
jurang oleh pukulan ketua Bwe-hwa-hwe itu..."
"Ya, memang, tapi ditengah jalan aku dapat menjangkau sebuah
batu yang menonjol keluar, terhindarlah aku dari terbanting
mampus hancur lebur didasar jurang itu."
"Heng-tai (saudara tua) dari mana?" "Sungguh sangat
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebetulan, aku tengah mencari kau." "Mencari aku?" "Ya,
begitulah!" "Ada urusan apakah?"
"Racun diracun kini terkurung dalam sebuah barisan kira2
beberapa li dari sini..."
Suma Bing melonjak kaget, serunya: "Terkurung oleh siapa
Racun diracun itu?" "Oleh Racun utara!" Suma Bing lebih kaget
dan heran tak mengerti, tanyanya: "Agaknya tidak mungkin..."
"Kenapa?" "Aku menyaksikan sendiri waktu Racun utara dan
Racun diracun beradu kepandaian minum racun. Akhirnya Racun utara
kalah berbisa dari Racun diracun, dia terluka oleh bisa
Ban-lian-tok-bo dari Racun diracun, dalam sepuluh tahun baru
dapat memunahkan seluruh racun berbisa dalam tubuhnya itu.
Mana mungkin dia mengurung..."
Tanpa menanti orang selesai bicara si orang berkedok segera
menukas: "Tapi kejadian inipun kusaksikan sendiri, malah sekarang masih
dalam kenyataan, karena Racun diracun saat ini masih terkurung
dalam barisan itu."
"Racun utara yang membentuk barisan itu?" "Bukan, ada lima
puluh jagoan silat dari Bwe-hwa-hwe
turut hadir disana, naga2nya mereka berkomplot saling bantumembantu..."
"Selamanya Racun utara paling menjaga gengsi dan tingkat
kedudukan, sungguh tak terduga akhirnya ia minta bantuan orang
lain juga."
"Benar, mungkin dia diperalat oleh Bwe-hwa-hwe khusus untuk
menghadapi Racun diracun. Bukankah kau mengatakan bahwa
Racun utara pernah dikalahkan oleh Racun diracun. Mungkin
karena tamak hendak menebus kekalahannya, dan
lagi sehari sebelum Racun diracun lenyap dari bumi ini, dia takkan
dapat merajai menggunakan racun berbisanya lagi. Sebaliknya
Bwe-hwa-hwe tengah mengincar Pedang berdarah itu. Bukankah
bakal terlaksana tujuan mereka masing- masing?"
Suma Bing manggut, katanya: "Pendapat Heng-tai memang
tepat!" Kata si orang berkedok lagi: "Tujuanku mencari kau
adalah untuk mencari kesempatan
merebut pulang Pedang darah itu." Sejenak Suma Bing merenung
dan berpikir, lalu ujarnya: "Tidak, sekali ini aku hendak menolong
Racun diracun!" "Apa kau hendak menolong Racun diracun?"
"Benar?" "Tanpa syarat?" "Ya, menolongnya tanpa syarat!"
"Mengapa?" "Aku pernah terluka parah oleh pukulan Racun utara,
untung dia memberiku sebutir obat dan merintangi Racun utara
waktu dia hendak turunkan tangan kejinya kepadaku, ini terhitung
dia ada budi kepadaku, maka akupun harus menolongnya sekali."
"Lalu bagaimana dengan Pedang darah itu?" "Seorang laki2
harus tegas membedakan antara dendam
dan budi, kelak masih ada kesempatan." "Apa boleh buat, mari
segera kita kesana!" Sebat luar biasa tubuh mereka melenting
tinggi terus menghilang dikejauhan. Tidak lama kemudian tibalah mereka
disebuah rimba raya, dimana terlihat puluhan jago2 silat BweTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hwa-hwe tengah mengepung puluhan pohon besar seluas lima
enam tombak, ditengah diantara puluhan pohon2 besar itu
ber-tumpuk2 batu2 dan dahan2 pohon yang sudah kering!
Didalam lingkungan bundaran batu dan dahan pohon itu terlihat
berduduk sila seorang berkedok serba hitam. Sedang disebelah
sana terlihat Racun utara tengah duduk diatas sebuah dahan
pohon besar. Gesit dan lincah luar biasa mereka sembunyi diantara dahan2
pohon yang lebat itu, Suma Bing bertanya heran:
"Tumpukan batu dan dahan pohon itulah barisan yang kau
katakan?" "Benar!" sahut si orang berkedok lirih! "Hanya seluas lima
tombak lantas dapat mengurung Racun
diracun?" "Justru disitulah kehebatan dan keanehan barisan itu.
Dilihat dari luar memang biasa saja, tapi sekali kau berada
didalam lain lagi keadaannya, kalau kau tidak mengetahui duduk
barisan ini, meskipun kepandaianmu setinggi langitpun mandah
saja terima binasa."
"Masa begitu lihay?" "Benar!" "Apakah Heng-tai mengenal
bentuk barisan macam apakah
itu?" "Kebetulan barisan ini adalah lawan kebalikannya dari Ngo
heng-tin (lima unsur). Asal kau dapat masuk dari lobang tengah
diantara kedua pohon itu, lantas kekiri tiga langkah dan maju
setindak, menggeser kekanan lima langkah kau sisihkan dahan
pohon yang melintang itu lalu kau pukul roboh dua gundukan batu
dihadapanmu terus maju lempang kedepan delapan langkah, kau
sapu lagi gundukan batu terbesar itu, barisan ini terhitung sudah
kau pecahkan. Asal
kau dapat menolong keluar Racun diracun, Racun utara dan para
kerabat dari Bwe-hwa-hwe itu sangat gampang digebah pergi.
Karena aku kuatir Racun utara menggunakan bisanya, maka lebih
baik kau saja yang menerjang kedalam barisan itu."
Suma Bing mengangguk paham, ujarnya: "Baik, tapi aku
hendak tempur Racun utara dulu." "Kau hendak tempur Racun
utara?" Suma Bing mengiakan sambil merogoh keluar Cincin
iblis terus dipakai dijarinya. Cincin iblis adalah benda pertanda dari
Lam-sia, dia ingin secara resmi sebagai murid Lam-sia berhadapan
dimuka Bu-lim. Pesan Setan barat yang disampaikan Ong Fong-jui
sudah meresap dalam sanubarinya, tidak boleh dia melemahkan
gengsi dan nama serta kedudukan suhunya yang ditakuti dan tenar
itu. Dia pernah menelan seluruh batang rumput ular, badannya kebal
akan segala racun, subonya memberikan sebutir Kiutjoan-
hwan-yang-tjau-ko hingga tenaga dalamnya bertambah lipat
ganda, dia ada pegangan dan mantep betul untuk menghadapi
Racun utara salah satu dari Bu-lim-su-ih yang sejajar dengan
tingkat gurunya.
Si orang berkedok mengunjuk rasa kurang tentram, ujarnya:
"Hian-te, Racun utara sejajar dengan gurumu, jangan pula kau
pandang rendah para jagoan Bwe-hwa-hwe itu..."
Suma Bing menjawab dengan angkuhnya: "Aku tahu." Begitu
bergerak tubuhnya berkelebat maju dengan langkah
lebar ia memasuki rimba lebat itu. "Siapa itu?" diiring suara
bentakan ini dua jagoan Bwe-hwahwe
memburu keluar mencegat ditengah jalan.
Waktu Suma Bing angkat kepala, dua jalur sinar matanya yang
dingin membeku bagai tajam pedang melesat menatap dua orang
dihadapannya. Tanpa kuasa kedua jagoan Bwe-hwa-hwe itu bergidik seram dan
menyedot hawa dingin, salah seorang diantaranya segera
membuka kata memaki:
"Siautju, kalau masih ingin hidup lekas menggelundung pergi!"
Acuh tak acuh Suma Bing mendengus hina, tangan kanan
per-lahan2 diangkat, selarik sinar merah tajam segera memancar
keluar dari tengah jarinya.
"Cincin iblis!" "Kau... Suma Bing murid Lam-sia?" "Benar, jiwa
kalian tidak akan penasaran dan boleh mati
meram!" Seketika kedua jagoan Bwe-hwa-hwe itu undur
ketakutan, serasa arwah mereka sudah mendahului terbang keluar badan.
Begitu putar tubuh segera mereka hendak lari...
Dimana terlihat sinar merah menyamber disusul dua jeritan ngeri
lantas darahpun berhamburan, badan kedua orang itu seketika
terbanting keras dan melayang jiwanya. Jeritan mereka yang
menyayat hati membuat gempar dan gaduh situasi dalam hutan
yang sunyi senyap itu. Kontan empat orang tua berseragam hitam
berloncatan keluar, satu diantaranya segera berseru kejut dan
ketakutan: "Dialah Suma Bing, awas lawan berat, serang!" Serentak
empat jalur angin pukulan dahsyat bergelombang
menimpa kearah Suma Bing. Terhadap setiap insan dari
Bwe-hwa-hwe boleh dikata
Suma Bing sudah membenci sampai ketulang sumsum dan tujuh
turunan. Besar niatnya hendak menumpas habis para
durjana dari serikat laknat ini. Dimana kedua tangannya terayun
gelombang panas dari angin pukulannya segera menerjang maju
memapak gabungan tenaga empat musuhnya itu. Pukulan Suma
Bing ini mengandung sepuluh bagian kekuatan Kiu-yang sin-kang.
Kontan terdengar dentuman keras bagai bom atom meledak.
Seketika orang tua seragam hitam yang menerjang tiba lebih dulu
terbang balik kedalam rimba dan menghamburkan hujan darah,
sedang dua yang lain terhuyung jatuh duduk diatas tanah, mulut
dan hidungnya bernoda darah kental.
Gerak gerik Suma Bing tidak berhenti begitu saja, tangkas luar
biasa tubuhnya berkelebat mendesak maju kearah luar barisan
dimana Racun diracun tengah terkurung.
Sampai pada detik itu baru Suma Bing melihat tegas akan situasi
sekeliling barisan ini. Dahan dan daon pohon kering tertumpuk
dimana2 ditaburi belirang dan bahan bakar lain yang gampang
terjilat api, naga2nya mereka hendak hidup2 membakar mati
Racun diracun dalam barisan. Sebaliknya Racun diracun masih
duduk sila dengan tenang, se-akan2 tidak mendengar keributan
yang terjadi diluar barisan.
Begitu melihat Suma Bing muncul disitu, kontan Racun utara
segera mengunjuk sikap mengancam gusar, serunya:
"Tuan2, silahkan mundur ketempat masing2." Benar juga para
jagoan Bwe-hwa-hwe itu segera mundur
teratur tanpa komentar. Maka terdengar Racun utara berkata
dingin: "Suma Bing, sungguh tak duga kau datang mengantar
kematian." Suma Bing tertawa sinis katanya: "Jadah tua berbisa,
ingat perkataanku beberapa waktu
yang lalu. Hari ini akan kubikin kau muntah darah juga."
Dihadapan sekian banyak orang luar dimaki sebagai jadah tua,
sungguh murka Racun utara bukan olah2, wajahnya menyeringai
bengis dan berkata:
"Tapi Lohu segera akan cabut jiwamu." "Hm, takabur benar,
mari kau coba2." ejek Suma Bing. Tidak menanti kata2 Suma
Bing habis diucapkan, Racun
utara sudah membentak menggeledek sambil kirim sebuah
hantaman, sedemikian dahsyat pukulannya ini seakan ingin sekali
pukul ia bikin hancur tubuh Suma Bing menjadi perkedel.
18 MAU MENOLONG MALAH DITOLONG
Sudah tentu Suma Bing tidak berani memandang enteng
serangan musuh ini, bercekat hatinya, serentak dikerahkan
seluruh tenaganya untuk balas menyerang.
Dentuman dahsyat memekak telinga memecah kesunyian begitu
dua angin pukulan saling tumbuk ditengah udara. Ke- dua2nya
terpelanting mundur selangkah.
Sungguh kejut Racun utara bukan kepalang, bahwa hanya terpaut
beberapa hari saja darimana datangnya Lwekang si bocah ini
sedemikian hebat" Hal ini benar2 membikin jatuh pamor dan
gengsinya, bahwa seorang angkatan muda dapat mengimbangi
kepandaian dan tenaga dalamnya. Maka lebih besar lagi tekadnya
untuk melenyapkan jiwa Suma Bing, setelah terlongo sebentar,
serangan kedua sudah dilancarkan lagi. Pukulan kali ini
mengerahkan seluruh kekuatan Hian-in- kang yang terlatih
puluhan tahun, badai angin dingin yang menyesakkan napas
membuat tiga tombak sekelilingnya terasa dingin membeku.
Sementara itu, Suma Bingpun sudah bersiap kerahkan seluruh
kekuatan Kiu yang sin kang untuk menangkis. Taufan panas
ber-gulung2 melanda kedepan dengan dahsyatnya.
Seketika Racun utara mendehem sekali, tubuhpun ber- goyang2.
Sebaliknya Suma Bing menggigil kedinginan, tubuh terasa hampir
membeku, tanpa kuasa tubuhnya terhuyung mundur selangkah.
Semua penonton termasuk para kerabat dari Bwe-hwa-hwe
berobah tegang.
Dalam pada itu, dimana kedua tangan Racun utara diulurodotkan,
ilmu Hian in kang nya lagi2 sudah merangsang tiba.
Si orang berkedok yang sembunyi diluar rimba sana berkeringat
dingin dan kuatir akan keselamatan Suma Bing. Disamping itu
diapun merasa heran dan terkejut akan Lwekang Suma Bing yang
mendadak bertambah berlipat ganda sangat lihay lagi. Apa
mungkin dia mendapat sesuatu rejeki yang aneh"
'Bum' ditengah suara dentuman ini, kedua pihak tersurut lagi
masing2 selangkah. Jelaslah bahwa Lwekang atau kekuatan
mereka berimbang. Sungguh gusar dan malu Racun utara bukan
olah2, segera ia mendesak maju dan beruntun kirim tiga kali
serangan berantai, jurus demi jurus lebih lihay dan lebih ampuh,
apalagi sekaligus dilancarkan maka bukan olah2 hebat dan dahsyat
perbawanya. Dalam gebrak terakhir ini mau tak mau Suma Bing harus
mengakui bahwa dirinya kalah latihan, seketika dia terdesak
mundur tiga tindak. Mendapat peluang yang menguntungkan ini
Racun utara tidak me-nyia2kan, gaya silat yang aneh dan lihay
beruntun diberondong keluar bagai air bah melanda, se- akan2
sekali serang dia ingin mengkeremus musuh kecilnya ini yang
dianggapnya masih berbau bawang, tapi berani unjuk gigi.
Suma Bing kertak gigi, ajaran suhunya yang paling lihay dan
ampuh juga tidak kalah perbawanya diboyong keluar untuk
berhantam secara keras lawan keras, sedikitpun dia tidak sudi
unjuk kelemahan dihadapan musuh bebuyutan perguruannya ini.
Gegap gempitalah sekitar gelanggang pertempuran, tigapuluh
jurus kemudian kebandelan Suma Bing yang bersilat secara tidak
mengenal kompromi ini kiranya membawa hasil juga, lama
kelamaan Racun utara semakin payah terdesak dibawah angin dari
menyerang terbalik diserang.
Kiranya setelah keracunan Ban-lian-tok-bo atau bisa diantara raja
bisa dari Racun diracun, meskipun Racun utara paling
membanggakan akan permainan serta kemahirannya
menggunakan racun, toh dalam waktu singkat tidak mungkin dia
mampu membersihkan atau mencuci bersih racun berbisa yang
mengeram dalam tubuhnya. Maka begitu saling hantam dan
kelewat besar menggunakan tenaga racun yang mengeram dalam
tubuhnya mulai bekerja semakin cepat mengikuti aliran jalan
darah. Maka semakin lama dia harus memeras keringat dan
terdesak terus dibawah angin. Masih untung kalau dia berlaku
tenang, tapi semakin dia gugup dan malu menjaga gengsi apa
segala semakin payah dan ricuhlah keadaannya.
Adalah sebaliknya semakin bertempur semangat Suma Bing
semakin berkobar, tenaga dalam semakin lancar dan bergairah
penuh, nyata bahwa Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko mulai
menunjukkan kemustajabannya.
Terdengar sebuah geraman keras disertai pekik nyaring kesakitan.
Kontan terlihat Racun utara Tangbun Lu tergusur tiga langkah,
menyemprot darah segar, tubuhnya lemas terkulai hampir roboh.
"Tua jadah berbisa, bagaimana?" jengek Suma Bing temberang.
Muka Racun utara merah membara, wajahnya mengunjuk rasa
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebencian yang ber-limpah2. Sungguh mimpipun dia tidak
menduga bahwa dirinya bakal terjungkal ditangan seorang
angkatan muda. Memang kekalahannya ini sangat menggenaskan.
Se-konyong2 empat orang tua berwajah pucat ke-hijau2an
bermunculan dihadapan Suma Bing. Diam2 terperanjat Suma Bing,
senjata keempat orang tua didepannya ini boleh dikata sangat
aneh jarang terlihat dikalangan Bulim. Itulah sebuah tongkat
panjang tiga kaki yang ujungnya berbentuk persis dengan jari2
tangan manusia yang tergenggam, seluruh tangkai dari ujung
penuh ditaburi duri2 kecil yang tajam berkilau ke-biru2an. Terang
kalau senjata mereka ini dilumuri racun berbisa yang
membahayakan jiwa manusia.
"Saudara kecil, hati2 kau, mereka adalah Kangouw-su-ok yang
sudah kenamaan kekejaman dan kekejiannya. Mereka adalah
pelaksana atau algojo dari seksi hukum dalam Bwe- hwa-hwe.",
itulah bisikan si orang berkedok yang telah menggeremet maju
dibelakang Suma Bing.
Suma Bing manggut2 sebagai jawaban bahwa dia sudah maklum.
Salah seorang Kangouw-su-ok (empat durjana dari Kangouw)
berpaling dan berkata kepada Racun utara:
"Biar bocah ingusan ini kita berempat yang melayani. Ada lebih
penting Tjianpwe segera membereskan Racun diracun!"
Dengan sikap rikuh dan risi Racun utara membesut noda darah
dimulutnya lalu berjalan cepat kearah barisan yang telah
diaturnya. Pada saat itulah se-konyong2 Kangouw-su-ok mendadak
perdengarkan suara tawa melengking berbareng, lalu bersamaan
pula menggerakkan senjata tongkat kepelannya yang beracun
mengurung seluruh tubuh Suma Bing. Dalam
waktu yang bersamaan, dari sebelah sana tiga lelaki seragam
hitam lainnya segera menubruk kearah si orang berkedok.
Terjadilah pertempuran sengit, bahwa kepandaian Kangouw-su-ok
sudah kenamaan ditambah gabungan senjata mereka benar2 hebat
perbawanya. Mereka bertempur seru melawan Suma Bing.
Disebelah sana agaknya kepandaian si orang berkedok berkelebihan
menghadapi tiga laki2 bertubuh kekar itu.
Sementara itu, Racun utara berdiri diluar barisan dan tengah
membentak gusar:
"Racun diracun, lekas serahkan Pedang berdarah, supaya kau
terhindar dari kematian."
Bola mata Racun diracun yang banyak putih dari hitamnya
ber-putar2, suaranya berejek dingin:
"Tua keladi, agaknya kau sedang bermimpi!" "Kau tidak
menyesal?" "Tiada yang perlu disesalkan. Adalah kau tua
keladi ini, aku
merasa hina bagi kau. Sungguh tidak malu kau menggunakan
pengaruh Bwe-hwa-hwe untuk mengurung aku disini..."
"Tutup mulutmu, sebenarnya kau ingin hidup atau mati?"
"Cerewet!" "Hehehe, asal Lohu membuka mulut, segera kau
akan terbakar hangus menjadi abu." "Silakan kau bebas buka mulut!"
"Sebenarnya kau mau tidak serahkan Pedang darah itu?" "Tidak!"
"Baik, jadi kau memang bertekad hendak mati?" "Tua keladi,
mungkin kau kenal juga akan barang yang
dinamakan Sam-li-hiang?"
Berobah tegang wajah Racun utara, serunya kaget:
"Sam-li-hiang?" Racun diracun bergelak menggila, serunya:
"Benar, 'harum tiga lie', aku sudah sebar permainanku itu
dalam barisanmu ini. Kalau kau berani melepas api, begitu
permainanku itu terjilat api segera berkembang keempat penjuru,
dalam jarak lingkungan tiga li jangan kata hanya beberapa gelintir
manusia seperti kalian ini, binatang atau burung yang bisa
terbangpun akan terbunuh mampus semua!"
"Lohu tidak gampang kena gertak!" seru Racun utara penuh
kebencian. "Kau memang kuat bertahan, tapi kau jangan lupa para kurcaci
dari Bwe-hwa hwe itu, agaknya mereka sudah suratan takdir
harus mampus."
Ucapan terakhir ini membuat para kerabat Bwe-hwa-hwe yang
mengepung diluar barisan mundur ketakutan. Ingin hidup adalah
menjadi hak semua manusia, dan itu sudah jamak, siapa yang rela
mengantar kematian secara konyol. Seumpama Racun utara
benar2 nekat memberi perintah melepas api belum tentu mereka
mau patuh akan perintahnya itu.
Sementara dalam gelanggang, mendadak terdengar suara pekik
kesakitan, kiranya dua diantara tiga lelaki kekar yang mengeroyok
si orang berkedok sudah pecah hancur kepalanya terkena bogem
mentah lawannya. Segera seorang tua dan dua orang
pertengahan umur maju menambal pengeroyokan yang tidak
seimbang dalam jumlah, satu lawan empat.
Sementara itu, meskipun lihay, Kangouw-su-okpun tidak mendapat
keuntungan melawan Suma Bing, untung permainan senjata
mereka sangat aneh, namun demikian toh mereka sudah tidak
mampu balas menyerang lagi.
Diam2 Suma Bingpun perhatikan percakapan antara Racun utara
dengan Racun diracun. Seandainya benar semua jagoan atau
semua orang yang hadir sama2 mati, tapi Racun diracun sendiri
juga tidak luput akan terbakar hangus.
Untuk ini dia harus berusaha secepat mungkin untuk menolong
Racun diracun supaya terhindar dari kematian. Satu pihak dirinya
berhutang budi, dilain pihak Pedang darah juga harus direbut
kembali. Dilain pihak, setelah merenung dan berpikir sekian lamanya,
se-konyong2 Racun utara bergelak tawa kepuasan, serunya:
"Racun diracun, akal licikmu akan sia2, Lohu akan perintahkan
mereka mundur secepatnya keluar lingkungan tiga li, lalu Lohu
sendiri yang akan melepas api, bukankah kau sendiri tidak mampu
keluar dari kurungan!"
Tindakan Racun utara ini memang sangat licik dan licin, seketika
Racun diracun terpaksa mulutnya tidak mampu mengeluarkan
suara. Se-konyong2 Suma Bing bersuit panjang, beruntun ia kirim
delapanbelas kali pukulan. Dimana bayangan pukulannya
berkelebat salah satu dari Kangouw-su-ok segera menjerit seram,
tubuhnya terbang muntah darah, sedang yang satu lagi, terpental
jauh senjatanya dan terhuyung jatuh duduk. Dua dari keempat
lawannya sudah keok, Suma Bing lebih gampang dan ringan lagi
membereskan sisa dua musuhnya. Tiga gebrak kemudian kedua
sisa musuhnya inipun lari ter- birit2 membawa luka. Sekali
menggoyang tubuh gesit sekali Suma Bing melesat menubruk
kearah barisan.
Bertepatan dengan itulah terdengar suara kesiur angin baju yang
melambai mendatangi, disusul beberapa bayangan orang melesat
tiba memasuki gelanggang.
Serta merta Suma Bing menghentikan luncuran tubuhnya. Waktu
ia menegasi berdetak keras jantungnya.
Orang terdepan dari rombongan orang2 yang mendatangi ini
mengenakan kedok berpakaian ungu, itulah Ketua Bwe- hwa-hwe
adanya. Dibelakangnya beriring mengikuti tiga laki2 dan seorang
perempuan, dan perempuan itu tak lain tak bukan adalah
pelindung Bwe-hwa-hwe si mawar beracun Ma Siok-tjeng. Tiga
laki2 lainnya agaknya juga bukan tokoh2 sembarangan.
Begitu melihat Ma Siok-tjeng si mawar beracun yang bersifat cabul
ini, sontak Suma Bing merasakan darahnya mengalir deras, wanita
jalang ini lebih dibencinya daripada Ketua Bwe-hwa-hwe itu.
Bukankah karena perbuatan cabulnya itu maka dirinya sampai
mengotori kesucian Phoa Kin-sian.
Begitu tiba segera Ketua Bwe-hwa-hwe menyapu pandang
keempat penjuru, lalu berkata kepada Racun utara:
"Tuan lebih baik istirahat sebentar. Biar aku yang membereskan
dan menguasai keadaan disini!" lalu ia berpaling kearah si mawar
beracun dan berkata lagi: "Ma- houhoat, kau ringkus si orang
berkedok itu!"
Bergegas Ma Siok-tjeng mengiakan, dengan langkahnya yang
gemulai menggiurkan ia menuju kehadapan si orang berkedok.
Kedua mata Ketua Bwe-hwa-hwe ber-kilat2 menyedot semangat
orang menatap wajah Suma Bing. Situasi dalam gelanggang
seketika menginjak kearus yang menegangkan.
Melihat musuh besarnya ini sepasang mata Suma Bing me- nyala2
geram, tak kuat lagi dia menahan gelora hatinya, wajahnya penuh
terselubung nafsu membunuh, per-lahan2 ia melangkah maju
beberapa tindak, nadanya dingin mendesis:
"Tuan Ketua, mari kita selesaikan perhitungan kita yang
tertunggak itu!"
Ketua Bwe-hwa-hwe menyeringai iblis, ejeknya:
"Suma Bing, beberapa kali kau lolos dari tanganku, terhitung
jiwamu yang besar beruntung. Tapi hari ini, kau sudah pasti mati!"
Suma Bing ganda mendengus hina. "Bocah ingusan, jangan
kau takabur, segera Pun-hwe tiang
(aku) membuktikan perkataanku tadi." "Hari ini akan kubeset
kulitmu hidup2, aku juga bisa segera
membuktikan ucapanku ini." "Baik, silahkan bocah ingusan turun
tangan?" Suma Bing menggerung gusar, serunya: "Hitung2 kau
seorang Ketua, tapi kenapa malu bertemu
orang, tentu kau bukan kaum keroco yang tidak mempunyai
nama bukan?"
"Hehehe, bocah ingusan, tidak sukar kau hendak mengetahui nama
dan asal-usul Ketua ini, nanti kalau napasmu sudah tinggal
hembusan yang terakhir, pasti akan kuberitahukan kepadamu.
Tidak akan kubuat kau mati penasaran."
Saking menahan gusar, Suma Bing merasa dadanya hampir
meledak, sambil berteriak keras dilancarkannya sebuah pukulan
dengan pengerahan seluruh tenaganya. Betapa dahsyat perbawa
pukulannya ini, rasanya dapat menggugurkan sebuah gunung.
Sambil menjengek hina, Ketua Bwe-hwa-hwe seenaknya saja
angkat sebelah tangannya menangkis. "Blang!" suara dentuman
yang menggelegar ini menggetarkan semua hadirin. Sungguh
tidak nyana bahwa Ketua mereka yang dipandang bagai malaikat
sakti ini kena tergetar mundur satu langkah oleh pukulan musuh
kecilnya itu. Bahwasanya Ketua Bwe-hwa-hwe sendiri juga bukan olah2
kejutnya, diluar persangkaannya bahwa hanya terpaut
beberapa hari saja ternyata bahwa kekuatan lawan sudah
bertambah berlipat ganda.
Disebelah sana si orang berkedok juga tengah bertempur seru dan
tegang melawan si mawar beracun Ma Siok-tjeng. Tapi jelas
kelihatan bahwa kepandaian dan Lwekang Ma Siok- tjeng agaknya
masih lebih tinggi dari si orang berkedok. Dalam beberapa gebrak
saja si orang berkedok sudah kepayahan dibawah angin.
Karena memandang ringan musuhnya, maka begitu bergebrak
kontan Ketua Bwe-hwa-hwe mendapat sedikit kerugian, sungguh
memalukan dan merendahkan derajatnya bahwa dia sampai kena
cidera ditangan musuh. Untuk mengambil muka segera ia
lancarkan tiga serangan berantai. Untuk ini Suma Bing juga
terdesak mundur tiga langkah. Hal ini menunjukkan bahwa
Lwekang Ketua Bwe-hwa-hwe memang berada diatas kemampuan
Suma Bing. Suma Bing kerahkan seluruh kekuatannya dijari tengah tangan
kanannya, cincin iblis segera memancarkan cahaya keras dingin
yang menyilaukan mata, dimana tangannya itu bergerak langsung
ia menyerang kepada musuhnya. Terbukalah pertempuran seru dari
tokoh silat kelas tinggi yang jarang terjadi didunia persilatan.
Disamping sana, keadaan si orang berkedok seumpama keledai
yang kehabisan napas menggeh2, dilihat keadaannya paling
banyak dia kuat bertahan sampai duapuluh jurus lagi. Terang
tinggal tunggu waktu saja dia bakal terjungkal ditangan si mawar
beracun. Mengandal keampuhan Cincin iblis. Suma Bing masih kuat
bertahan sementara waktu, namun cepat atau lambat diapun
pasti akan kalah.
Bahwa Racun utara Tangbun Lu bisa terjungkal ditangan Suma
Bing, mimpipun dia takkan menduga. Boleh dikata kekalahannya
itu adalah kekalahan yang paling mengenaskan
selama hidup. Saat mana, wajahnya membeku pucat, sepasang
matanya kesima mengikuti terus gerak gerik Suma Bing.
Sementara itu, Racun diracun masih duduk bersila ditengah
barisan dengan tenang dan antengnya, seakan dia tidak
mendengar dan tidak kuatir karena mempunyai pegangan untuk
menyelamatkan diri.
Terdengar suara tertahan seperti orang hampir muntah seketika si
orang berkedok meliuk sempoyongan hampir roboh. Begitu
serangannya membawa hasil si mawar beracun masih tidak tinggal
diam begitu saja, badannya terus mendesak maju, dimana
suaranya membentak keras, sebuah tangannya terayun lagi
menggenjot dada si orang berkedok. Pukulannya ini dilancarkan
secepat kilat. Terang kalau si orang berkedok sudah tidak mampu
berkelit atau menghindar lagi, jiwanya terancam...
Sungguh kejut dan gugup Suma Bing bukan kepalang, gesit sekali
tubuhnya berkelebat meninggalkan Ketua Bwe-hwa- hwe,
langsung ia menubruk kearah Ma Siok-tjeng.
"Blang, bum!" dua dentuman terdengar saling susul disertai pekik
kesakitan yang luar biasa dibarengi dua bayangan orang terpental
terbang beberapa tombak jauhnya.
Untuk menolong jiwa si orang berkedok, waktu menubruk datang
tadi Suma Bing kerahkan setaker tenaganya dikedua tangannya
terus disapukan kedepan. Si mawar beracun Ma Siok-tjeng tidak
menduga akan serangan yang mendadak ini, kontan tubuhnya
terbang jauh sungsang sumbel. Tapi tidak urung si orang
berkedok roboh juga terkena pukulan si mawar beracun Ma
Siok-tjeng. Untung serangan Suma Bing itu sedikit banyak
mengurangi kekuatan pukulan Ma Siok-tjeng, kalau tidak mungkin
saat itu si orang berkedok sudah menggeletak mampus.
Bersamaan dalam waktu dua bayangan tubuh orang terpental
terbang itu sejalur tenaga angin bagai gugur gunung juga telah
menimpa kearah Suma Bing, kira2 hanya terpaut
beberapa detik saja setelah Suma Bing lancarkan serangannya.
"Buk!" Kontan Suma Bing mendehem keras sambil muntah darah,
badannya tersuruk maju delapan langkah. Sebelum tubuhnya
berdiri tegak angin pukulan kedua sudah menerpa datang lagi
lebih dahsyat. Sambil kertak gigi, sebat sekali Suma Bing menggeser kedudukan
lima kaki, kini mereka muka berhadapan muka, jarak mereka
terpaut satu tombak.
Disebelah sana, Ma Siok-tjeng dan si orang berkedok sudah
terhuyung bangun dan berkutetan lagi tidak kalah serunya.
Pada saat itulah, se-konyong2 sebuah bayangan terbang melesat
memasuki gelanggang langsung menubruk kearah ketua
Bwe-hwa-hwe. Tanpa berjanji tiga orang tua dibelakang
Bwe-hwa-hwe-tiang segera memapak maju merintangi bayangan
yang baru datang ini.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Plak!" kontan ketiga orang tua tersurut tiga tindak, dan bayangan
itupun segera terhenti meluncur dan berdiri bergoyang gontai.
Waktu Suma Bing pentang matanya memandang, bergolaklah
darah panasnya, yang datang ini kiranya bukan lain adalah
Tang-mo atau Iblis timur, musuh besar keluarganya.
Iblis timur mengekeh tawa panjang terus menerjang kearah
Bwe-hwa-hwe-tiang ter-sipu2 Ketua Bwe-hwa-hwe bersiaga
menghadapi rangsangan lawan. Terpaksa tiga orang tua tadi
mengundurkan diri.
Mata Suma Bing bersinar buas dengan lekat ia awasi Iblis timur
yang tengah bertempur melawan ketua Bwe-hwa-hwe. Karena
kehadiran Tang-mo ini terpaksa pertentangannya dengan Ketua
Bwe-hwa-hwe harus diketengahkan dulu. Dia tengah menerawangi
situasi, apakah dia harus turun tangan...
Naga2nya kedatangan Iblis timur ini hendak menuntut balas
karena kekalahannya tempo hari waktu dia dikepung oleh
Pek-hoat-sian-nio beramai, hingga dia terluka parah akhirnya
Pedang darahpun direbut orang lain. Maka dalam kesempatan ini
segera ia lancarkan ilmu silatnya yang paling lihay, setiap
serangannya tidak mengenal kasihan sama sekali.
Adalah kepandaian ketua Bwe-hwa-hwe memang bukan tingkat
rendah, dicecar sedemikian hebat dia masih seenaknya saja
bermain silat. Digelanggang lain keadaan si orang berkedok sudah terdesak lagi
dibawah gencetan si mawar beracun yang ganas. Sekilas Suma
Bing menyapu pandang dingin, lalu maju mendekat dan berkata:
"Heng-tai, kau mundurlah!" Si orang berkedok menurut dan
segera mengundurkan diri. "Kemana kau lari!" hardik si mawar
beracun, kedua cakarnya mendadak menyelonong tiba. "Plak", "Huk" sekali turun
tangan, Suma Bing membuat si mawar
beracun terhuyung tiga langkah. Segera dengan mata genitnya si
mawar beracun pelerak pelerok menatap wajah Suma Bing. Suara
tawanya jalang dan berkata:
"Saudara kecil, turun tanganmu ini sungguh tidak kenal kasihan!"
"Perempuan jalang tidak tahu malu, hari ini..." desis Suma Bing
geram. "Aduh, kalau bicara sungkanlah sedikit, apa yang dinamakan tidak
tahu malu?"
"Hari ini akan kubunuh kau."
"Mengapa?"
"Hatimu sendiri lebih jelas!" "O, jadi kau masih teringat
peristiwa dibiara bobrok itu.
Tapi aku mencintai kau." Tanpa terasa merongkol keluar otot2
diwajah Suma Bing.
Sungguh tidak nyana bahwa orang begitu tidak tahu malu berani
mengucapkan perkataan rendah dihadapan sekian banyak orang.
Tersimpul dalam benaknya bahwa perkumpulan Bwe-hwa-hwe ini
tentu berjalan sesat dan bertujuan tidak lurus. Maka sambil
berludah hina segera ia menghardik:
"Tok-bi-kui, hari ini kau sudah pasti mati!" Sikap genit si mawar
beracun masih belum lenyap,
dengusnya aleman: "Apa kau mampu?" "Baik kau coba2."
membarengi ucapannya kontan ia kirim
tiga serangan saling susul, perbawa pukulannya ini benar2 sangat
mengejutkan. Tangkas sekali si mawar beracun melejit menyingkir, dari sini ia
balas menyerang juga dengan tiga kali pukulan pula. Mulailah
mereka keluarkan ilmu sakti masing2 dan bertempur dengan
sengitnya. Bertepatan waktu Suma Bing turun tangan, tiga orang tua itu
berbareng menerjang kearah si orang berkedok. Agaknya
kepandaian tiga orang tua ini hebat juga, dalam gebrak pertama si
orang berkedok sudah mencak2 kepayahan!
Saat mana, keadaan Tang-mo juga sudah kerepotan menghadapi
rangsakan ketua Bwe hwa hwe, sewaktu-waktu jiwanya juga
terancam elmaut.
Sebuah pekik kesakitan memecahkan kesunyian udara, selebar
muka si mawar beracun pucat pias, badannya sempoyongan dua
tombak lebih, sebagian besar rambutnya yang hitam kelam sudah
terkupas, sampai kulit kepalanya juga
terpapas mengalirkan darah oleh cincin iblis Suma Bing, darah
membasahi muka dan kedua pundaknya.
Sekali lagi Suma Bing maju mendekat sambil kirim sebuah
pukulan dahsyat.
Seakan copot dan terbang sukma Ma Siok-tjeng dari raganya
saking ketakutan, tubuhnya melenting sejauh dua tombak.
Otaknya masih jelas teringat bahwa Suma Bing terang bukan
menjadi tandingannya tempo hari. Sungguh tidak nyana terpaut
beberapa hari saja, Lwekang lawan ternyata telah maju demikian
pesat. Beruntun terdengar suara bentakan saling susul, tiga orang tua itu
tinggalkan si orang berkedok dan ganti haluan menubruk kearah
Suma Bing. Dada Suma Bing sudah dihuni oleh rasa murka dan
kebencian yang meluap2, dengan mengerahkan sepuluh bagian
tenaga Kiu-yang-sin-kang tangannya meluncur memapak maju.
Kontan terdengar suara pekik menyeramkan yang menggetarkan
suasana gelanggang pertempuran. Dua diantara tiga orang tua itu
tujuh lobang indranya mengeluarkan darah segar dan seketika
roboh mampus, seorang yang lain berwajah pucat keabu2an,
berdiri terlongong2 ditempatnya tanpa bergerak, mulutnya
terdengar menggumam:
"Kiu-yang-sin-kang." Ketua Bwe-hwa-hwe menggerung keras
bagai singa ketaton, dilancarkan tiga permainan silat yang paling hebat
sehingga Tang-mo terdesak mundur lagi sempoyongan. Begitu
melejit tubuhnya langsung menerjang kearah Suma Bing, belum
tubuhnya tiba angin pukulannya sudah menerjang tiba lebih dulu.
"Bagus!" jengek Suma Bing dingin. Dua belas bagian tenaga
Lwekangnya dikerahkan dikedua lengannya terus
disodokkan kedepan untuk menangkis secara keras lawan keras.
"Dar..." terdengar benturan menggeledek, tubuh ketua
Bwe-hwa-hwe yang meluncur tiba kena tertolak dan melorot jatuh,
sedang Suma Bing sendiri terhuyung dua langkah.
Sementara itu Kangouw-su-ok yang terluka oleh pukulan Suma
Bing tadi kini sudah berganti napas dan menyerbu datang lagi
mengeroyok si orang berkedok.
Ketegangan semakin meruncing dan mencekam hati, membuat
perasaan semua orang susah bernapas.
Dari samping Iblis timur mengaum buas sambil lancarkan
serangan mengarah Ketua Bwe-hwa-hwe. Terpaksa Bwe-hwahwe-
tiang membalik tubuh melayaninya.
Mendadak tergerak hati kecil Suma Bing secepat mengambil
keputusan, maka dilain kejap ia sudah melangkah lebar
menghampiri kearah barisan yang mengurung Racun diracun itu.
Para jagoan yang menjaga diluar barisan serentak merasa kaget
dan bersiap waspada. Segera enam batang pedang melintang
ditengah jalan. Wajah Suma Bing membeku penuh nafsu
membunuh, tanpa ragu2 kakinya melangkah terus kedepan
se-olah2 keenam orang bersenjata pedang tidak dipandang sebelah
mata olehnya. Maka dilain saat sinar pedang berkelebatan, keenam
batang pedang serentak bergerak merangsang kearah tubuhnya.
"Kalian cari mati!" sambil membentak keras itu, Suma Bing
lancarkan jurus Liu-kim-hoat-tjiok. Bahwa jurus ini adalah hasil
ciptaan Sia-sin Kho Jiang yang memakan waktu ber-tahun2 dan
sudah memeras keringatnya, berlandaskan kekuatan Kiuyang-
sin-kang lagi, maka betapa hebat kekuatannya dapatlah
dibayangkan. Suara pekik dan jerit kesakitan terdengar saling susul menembus
udara, enam batang pedang sampai terlepas dari pegangan dan
terpental terbang jauh beberapa tombak. Malah
dua yang terdepan kontan roboh tanpa bergerak lagi, sedang
empat yang lain ter-guling2 sungsang sumbel sejauh setombak
lebih. Cepat2 Racun utara mendesak maju dan berkata dingin
mengancam: "Siautju, kau juga bermimpi hendak merebut Pedang berdarah?"
Dengan rasa jijik Suma Bing mendengus hidung, jengeknya:
"Apa pedulimu." Besar dugaan Racun utara bahwa tujuan Suma
Bing hendak memasuki barisan adalah hendak merebut Pedang
berdarah dari tangan Racun diracun. Diam2 ia membantin: bocah
ini sudah mendapat didikan sempurna dari manusia sesat itu,
malah tubuhnya kebal racun lagi, lebih baik biar Racun diracun
yang menghadapi dan meringkusnya. Sekali dia sudah masuk
dalam barisan, seumpama ikan yang masuk jala, apa pula yang
harus kukuatirkan. Oleh pikirannya ini segera ia ulapkan tangan
memberi tanda dan berseru:
"Biarkan dia masuk." Para jagoan yang menghadang didepan
Suma Bing ternyata menurut segera menyingkir memberi sebuah jalan.
Sambil menyeringai dingin Suma Bing berkata: "Jadah tua berbisa,
hendak melarang juga kau takkan
mampu hitung2 kau tahu gelagat!" -- habis berkata dengan
Kisah Si Rase Terbang 12 Kuda Putih Karya Okt Kisah Sepasang Rajawali 9
hawa dingin jahat dari pukulan musuh, sedikit banyak hawa
murninya sudah susut sebagian, "biang" untuk sekian kalinya
Suma Bing muntah darah dan terpental jauh setombak lebih.
Sementara itu sambil menggendong tangan Racun diracun
mandah menonton saja dipinggiran.
Memangnya antara Pak-tok dan Lam-sia adalah musuh bebuyutan,
besar niatnya hendak melenyapkan murid musuh besarnya ini.
Maka tanpa mengenal ampun lagi tubuhnya lagi2 sudah melejit
tiba dan sebuah pukulan keras dilancarkan pula. "Bum" sebelum
Suma Bing sempat bernapas tahu2 tubuhnya sudah sungsang
sumbel jungkir balik terbang dua tombak lebih jatuh dipinggir
hutan. Memang sifat Pak-tok kejam telengas, tubuhnya berkelebat maju
lagi... Mendadak sebuah bayangan putih berkelebat juga melayang tiba
menghadang didepan Suma Bing.
Pak-tok melengak, desisnya: "Budak kecil, minggir!" Bayangan
putih yang baru tiba ini kiranya adalah murid
Pek-hoat-sian-nio yang bernama Ting Hoan. Wajah Ting Hoan
penuh rasa ejek, semprotnya:
"Tua bangka beracun perbuatanmu sungguh kejam dan tidak tahu
malu!" "Siapa kau?" "Ting Hoan!" "Murid siapa?" "Kau tidak perlu
tahu." "Aku tidak sudi turun tangan kepada angkatan muda
kalau kau ingin hidup lekas menyingkir." "Huh, kenyataan tingkah lakumu
berbeda dengan obrolanmu itu." Selamanya Pak-tok sangat menjunjung tinggi
gengsi dan kedudukannya. Tapi setelah dikalahkan oleh Racun diracun, putra
kesayangannya juga dihantam luka parah oleh Suma Bing, dalam
gusar dan malunya ia berbuat diluar kesadarannya, tingkah lakunya
berlawanan dengan kebiasaannya, sambil menggeram murka ia
membentak: "Budak busuk, akan Lohu bikin kau mati tiada tempat liang
kubur." Melihat yang datang menghadang ini adalah Ting Hoan, Suma
Bing gugup teriaknya:
"Nona Ting, minggirlah kau..." Belum lenyap suaranya Racun
utara sudah turun tangan
menyerang kearah Ting Hoan. Serangan kali inipun bukan olah2
dahsyatnya. Sebenarnya Ting Hoan gampang saja berkelit, tapi
bila dia menyingkir berarti serangan hebat ini
pasti akan menerjang Suma Bing yang sudah luka parah itu, maka
dapatlah dibayangkan akibat dari pukulan ini. Terpaksa Ting Hoan
nekad menyambuti pukulan musuh secara keras lawan keras.
Akan tetapi dalam dunia persilatan masa itu yang kuat bertahan
terhadap pukulan hebat Hian-inkang dari Pak-tok ini mungkin
dapat dihitung dengan jari. Baru saja Ting Hoan melancarkan
pukulannya, angin dingin pukulan musuh sudah menungkrup tiba
mengurung seluruh tubuhnya, seketika tubuhnya bergidik
kedinginan, tubuhnyapun terpental jatuh duduk diatas tanah,
seakan badannya direndam dalam gudang es dan menjadi beku.
Memang tidak malu Pak-tok kenamaan karena kekejaman dan
kelicikannya, sambil menyeringai seram ia mendesak maju lagi
sambil angkat tangannya siap hendak memukul lagi.
Pada saat itulah mendadak Racun diracun melayang tiba
mencegat dihadapannya, jengeknya:
"Tuan kiranja cukup sampai sekian saja!" Wajah Pak-tok
berobah keras membesi, desisnya: "Kaupun turut campur
dalam urusan ini?" Racun diracun mendengus jijik, ujarnya:
"Dengan kedudukan tuan, turun tangan tiga jurus sudah
harus segera mengundurkan diri!" Air muka Tangbun Lu siracun
utara berobah merah padam,
sikapnya malu dan serba susah, setelah membanting kaki segera
ia memutar tubuh mengempit Tangbun Yu terus berlari pergi
bagai terbang. Terdengar Suma Bing berseru keras: "Jadah tua beracun, akan
datang suatu hari akupun akan
menghantammu muntah darah!"
Bahwa dengan gertakan saja Racun diracun dapat menggebah
pergi Racun utara benar2 membuat Suma Bing kagum dan heran.
Sementara itu wajah Ting Hoan pucat pias, matanya terpejam
rapat dan tengah menjalankan pernapasan untuk menghimpun
tenaga dan mendesak hawa beracun yang bersifat dingin itu
menguap keluar dari tubuhnya.
Racun diracun mengacungkan sebutir pil kearah Suma Bing serta
katanya: "Telanlah ini, segera tenaga kau akan pulih segar bugar!" Suma
Bing terlongo memandang Racun diracun dengan
penuh tanda tanya, dilain saat wajahnya berobah kaku dingin dan
berkata: "Aku tak sudi terima budimu ini." "Suma Bing, nona ini terluka
parah karena menolong kau,
hawa beracun sudah meresap kedalam tubuhnya, selain ilmu
Kiu-yang-sin-kangmu tak mungkin dapat mendesak keluar hawa
beracun itu dari dalam tubuhnya. Kalau tertunda terlalu lama, bila
hawa beracun itu merembes masuk jalan darah Yang-wi dan
Yang-kiau serta sendi2nya, seumpama dewapun takkan mampu
menolongnya lagi."
Bergidik seram Suma Bing hal ini benar2 membuatnya serba
susah. Tak mungkin dia tinggal diam melihat Ting Hoan menderita
terancam jiwanya karena membantu dirinya. Tapi sebaliknya dia
tidak sudi terima kebaikan yang diulurkan dari Racun diracun. Lagi
pula sepak terjang Racun diracun ini benar diluar dugaannya.
Terdengar Racun diracun telah berkata lagi: "Apa kau benar2
tega melihat gadis rupawan ini berkorban
karena menolong jiwamu?" Lagi2 melonjak
hati Suma Bing, katanya:
"Tuan mengandung muslihat apa silakan jelaskan sekalian."
Racun diracun tertawa ejek, ujarnya: "Suma Bing, untuk
merenggut jiwamu aku tidak perlu
bersusah payah, entah dengan tanganku atau menggunakan
racunku, mengapa sedemikian besar rasa curigamu?"
"Akan tetapi diantara kita masih ada hutang lama yang belum
dilunasi."
"Maksudmu tentang Pedang darah itu?" "Benar, dan juga
peristiwa peracunan Siang Siau-moay dan
Li Bun-siang termasuk pula dalam perhitungan itu." Racun diracun
tertawa sinis, ujarnya: "Suma Bing beginilah macam murid
Lam-sia yang ditakuti
itu, sikapmu sangat tercela." Suma Bing melengak, sahutnya:
"Mengapa?" "Kelak masih ada waktu panjang untuk
menyelesaikan perhitungan itu, aku tidak akan mungkir dan takkan menebus
dengan perbuatan baik budiku, kau tidak perlu takut. Saat ini
adakah minatmu untuk menolong jiwa orang?"
Kontan merah jengah selebar muka Suma Bing, ia bungkam seribu
basa. Kata Racun diracun lagi: "Sebelum kau turun tangan
menolongnya kau harus
menutuk seluruh jalan darah besar kecil diseluruh tubuhnya,
supaya hawa dingin tidak merandek ketinggalan didalam
tubuhnya. Sekarang aku pergi!"
Baru saja Suma Bing hendak mengucapkan apa2, Racun diracun
sudah berkelebat hilang. Sebetulnya dia tidak sudi terima obat
orang, namun luka Ting Hoan itu tidak bisa tidak
harus diobati. Jikalau luka tubuhnya sendiri belum tersembuhkan,
mana mungkin ia kuat mengerahkan Kiu-yang- sin-kang.
Seandainya dia kuat bertahan dan berobat dengan caranya sendiri,
tanpa menggunakan obat pemberian orang, mungkin pada saat ia
selesai berobat waktunya sudah terlambat. Dulu waktu dirinya
diringkus Pek-hoat-sian-nio, beruntung Ting Hoan diam2 membantu
hingga dia lolos dari lobang jarum. Sekarang Ting Hoan terluka
parah oleh pukulan Hian-sin-kang karena dia pula, apa aku tidak
harus menolongnya"
Sepak terjang Racun diracun yang diluar kebiasaan ini benar2
susah diselami, bahwa manusia beracun yang lebih berbisa dari
Racun utara kiranya juga dapat berbuat bajik dan mengenal
peribudi" Begitulah setelah timang dan direnungkan sekian
lamanya akhirnya ia telan juga obat pembelian Racun diracun itu.
Benar2 mustajab kenyataan seperti apa yang diucapkan oleh
Racun diracun, dalam jangka waktu yang tidak begitu lama Suma
Bing rasakan tenaganya sudah pulih seluruhnya, rasa sakit
diseluruh tubuhpun lenyap tak berbekas, entah obat dewa apakah
ini sedemikian hebat khasiatnya.
Setelah tenaga Suma Bing pulih kembali, segera yang harus
dilakukannya adalah menolong Ting Hoan mendesak hawa berbisa
dari pukulan Hian-in-kang keluar dari badannya. Tapi setelah
diingat bahwa dia harus menutuki jalan darah besar kecil diseluruh
tubuh orang, seketika ia bimbang dan ragu, bukankah itu berarti
dia harus menyentuh tubuh gadis rupawan yang masih suci bersih
itu... Namun setelah dipikirkan lagi, apa yang dilakukan ini demi
untuk menolong jiwanya tentu Ting Hoan akan maklum dan
memaafkan perbuatannya ini. Maka tanpa ragu2 lagi segera ia
turun tangan menutuk semua jalan darah ditubuh orang!
Dimana telunjuk jarinya menyentuh terasa kulit tubuh orang
sedemikian halus dan lemas seakan tidak bertulang,
suatu perasaan yang susah dilukiskan terasa meresap masuk
kedalam badan dan mengambang keseluruh tubuh. Matanya
dipejamkan tak berani menatap wajah yang ayu molek bak
bidadari, karena itu akan menambah gejolak hatinya yang tidak
tentram. Saat mana kebetulan dia menutuk sebuah jalan darah
disamping Djiu-tiong-hiat, tiba2 Ting Hoan menggeliat hingga,
jarinya dengan tepat menutuk diujung buah dadanya yang montok
lunak. Tubuh Suma Bing tergetar bagai kesetrom aliran listrik.
Untung Ting Hoan masih belum siuman dari pingsannya, kalau
tidak entah bagaimana risi dan kikuk sikapnya.
Setelah semua jalan darah tertutuk habis badan Suma Bingpun
basah kuyup oleh keringat. Bukan karena terlalu lelah atau banyak
mengeluarkan tenaga tapi adalah karena terlalu tegang dan
gugup. Ia menghela napas panjang lega lalu membalik tubuh Ting Hoan,
tangan kiri melekat dijalan darah Bing-bun-hiat, lantas kekuatan
Kiu-yang-sin-kang disalurkan melalui telapak tangannya merembes
masuk dari Bing-bun-hiat keseluruh tubuh Ting Hoan.
Kiu-yang-sin-kang memang lawan pemunah dari Hian-in- kang,
maka setengah jam kemudian per-lahan2 Ting Hoan siuman dari
pingsannya. Suma Bing segera menarik tangannya!
Ter-sipu2 Ting Hoan melompat bangun, dengan penuh haru ia
berkata pada Suma Bing:
"Terima kasih kau telah mengobati aku." "Nona terluka karena
aku," jawab Suma Bing sungguh2,
"Sudah seharusnya aku menolongmu, apalagi tempo hari nona
diam2 telah membantu aku..."
Wajah Ting Hoan berobah serius, katanya:
"Memang waktu Suhu akhirnya tahu kau belum mati, dia marah2
dan hendak menghukum aku karena membangkang pada
perintahnya. Dalam gugupku aku berbohong kukatakan bahwa kau
pandai ilmu memindah jalan darah, maka meskipun kau tertutuk
jalan darah kematianmu tapi tak dapat meninggal."
"Selamanya aku mengutamakan perbedaan budi dan dendam,
kelak aku harus membalas..."
Dengan penuh perasaan mesra dan penuh perhatian Ting Hoan
menukas ucapan Suma Bing:
"Siapa ingin kau mengucapkan perkataan itu, aku berbuat begitu,
karena... karena.."
"Karena apa?" Merah jengah selebar muka Ting Hoan, sambil
menunduk malu2 akhirnya ia berkata: "Karena aku suka kepadamu!" Serta
merta tergerak hati Suma Bing, sudah tentu ia
maklum akan maksud perkataan 'Suka' ini. Mendadak teringat
olehnya akan tujuan kedatangannya yang utama serta janjinya
kepada Setan barat. Dalam tujuh hari dia harus kembali kepulau
kecil ditengah danau itu. Karena pikirannya ini tanpa terasa
mencelos hatinya, serunya gugup:
"Nona Ting, saat ini aku ada urusan sangat penting, harap
sukalah maafkan ucapanku yang teledor tadi. Budi kebaikan nona
itu mungkin selama hidup ini tak mungkin dapat kubalas lagi. Tapi
itu hanya suatu misal saja, asal aku dapat tetap hidup tentu tidak
akan kulupakan keluhuran budi nona itu, harap kau menjaga diri
baik2." Berobah hebat wajah Ting Hoan mendengar ucapan Suma Bing
itu, serunya tergagap:
"Kau... kau... Apa katamu?"
Namun Suma Bing sudah melesat terbang jauh tak mendengar
seruannya, sebentar kemudian bayangan tubuhnya sudah hilang
dari pandangan mata.
Ting Hoan tertegun melongo ditempatnya, entah bagaimana
perasaan hatinya, dia tidak tahu mengapa Suma Bing bisa
mengucapkan perkataan demikian" Dengan penuh keperihan hati ia
menghela napas panjang lantas menggerakkan tubuh berlari keluar
rimba. Dalam pada itu Suma Bing tengah berlari cepat bagai luncuran
meteor, jarak tigapuluh li dalam sekejap mata saja telah
ditempuhnya. Samar2 bayangan tembok biara bobrok itu sudah
kelihatan dari kejauhan, denyut jantungnya berdetak semakin
cepat, dia berharap bahwa kedatangannya ini masih belum
terlambat. Sejenak ia menenangkan hati terus berkelebat
memasuki biara.
"Ah..." tidak tertahan lagi Suma Bing berseru kejut bulu kudukpun
berdiri seram saking kaget hampir saja jantung terasa hendak
melonjak keluar.
Tujuh mayat manusia yang berlepotan darah susah dikenal
malang melintang terkapar diatas tanah dipekarangan biara
bobrok itu. Dari tanda pengenal yang tersulam didepan dada para
korban dapat diketahui bahwa mereka adalah anak buah
Bwe-hwa-hwe. Siapakah yang telah turun tangan sekejam itu" Apakah Siang
Siau-hun sudah datang menepati janjinya" Apa ada sangkut paut
kematian mereka ini dengan Siang Siau-hun" Otaknya bekerja
cepat memikirkan semua pertanyaan itu. Kaki diangkat ia
melangkah masuk kedalam ruang tengah yang kotor dan jorok,
dimana ia tempo hari bertempur dengan putra Racun utara yaitu
Tangbun Yu, dan karena kelicikan Tangbun Yu lah maka dia
terkena racun dan terjadilah ikatan perjanjian sehidup semati itu.
Baru saja kakinya tiba diambang pintu sebuah bayangan punggung
seseorang tersandang dalam pandangan matanya. Sungguh girang
Suma Bing bukan
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepalang, kiranya dirinya belum terlambat, maka dengan suara
riang gembira ia berseru nyaring:
"Adik Hun!" Eh, aneh, mengapa bayangan tubuh langsing
menggiurkan itu diam saja tanpa bergerak se-olah2 tidak mendengar seruannya.
"Adik Hun, aku..." dia berseru lagi lebih keras. Wanita itu
per-lahan2 memutar tubuh. Seketika pandangan
mata Suma Bing terbelalak se-olah2 didepan matanya terpasang
sebuah lampu yang bersinar terang menyilaukan matanya serta
melihat orang dihadapannya segera ia telan kembali kelanjutan
kata2nya dan serta merta ia mundur dua langkah.
Orang itu (wanita) bukan Siang Siau-hun. Namun lebih cantik lebih
rupawan dari Siang Siau-hun, wanita ini sedemikian cantik molek,
tapi wajahnya membeku dingin dan sikapnya angkuh sekali,
membuatnya tidak berani beradu pandang.
Hati Suma Bing menjadi gundah dan risau, bahwasanya
bagaimanapun juga tentu Siang Siau-hun tidak akan ingkar janji,
namun kemana orangnya" Mayat bergelimang darah didalam biara
bobrok ini sangat mengherankan. Adalah nona cantik bak bidadari
bersikap kaku dingin ini lebih menambah hatinya tidak tentram.
Mulut mungil sigadis setengah terbuka dan berkata dingin:
"Siapa adik Hun-mu itu?" Suma Bing merasakan mukanya
panas, sahutnya kikuk: "Maaf aku salah mengenal orang!"
"Huh, salah mengenal orang, apa adik Hunmu itu berparas
seperti nonamu ini?"
"Ini... tidak..." "Lalu bagaimana kau bisa salah mengenal
orang?" Sebenarnya Suma Bing ingin memberi penjelasan,
dasar sifatnya sendiri memang angkuh dan congkak, melihat sikap kaku
dan dingin sinona dongkol hatinya tanpa banyak kata lagi segera
ia putar tubuh terus tinggal pergi.
"Kembali!" Tanpa kuasa Suma Bing menghentikan langkahnya
dan membalik tubuh, tanyanya dingin: "Nona masih ada perkataan
apa lagi?" "Kau ini yang bernama Suma Bing?" Suma Bing
melengak tidak tersangka olehnya bahwa orang
mengetahui namanya, sebaliknya dia belum kenal siapakah nona
ini, maka sambil manggut dia menjawab:
"Benar!" "Apa kau tidak ingin tahu siapa aku ini?" "Hal ini...
agaknya tidak begitu perlu!" "Huh, serba sesat!" "Apa maksud
ucapan nona ini?" semprot Suma Bing
dongkol. Gadis itu celingak-celinguk lalu berkata: "Kau datang
menepati janji seorang gadis bukan?" "Darimana nona bisa
tahu?" "Gampang sekali, kau pontang panting berlari datang,
salah mengenal orang, bukankah ini bukti yang nyata?"
"Apa nona melihat wanita sahabatku itu?" "Ya, malah
aku kenal namanya Siang Siau-hun!"
Suma Bing kegirangan serunya: "Dimana dia?" "Sudah pergi!"
"Pergi?" seru Suma Bing kejut sambil mundur setindak,
sungguh dia tidak habis mengerti mengapa setelah Siang Siau-hun
datang lantas pergi lagi, bukankah janji mereka kalau tidak
ketemu tidak akan berpisah, apa mungkin...
"Kenapai dia pergi..." "Pergi mencari kau." "Mencari aku?"
kedua mata Suma Bing membelalak
keheranan. Sikap gadis itu tetap dingin dan kaku, sahutnya: Apa
ada yang tidak beres?" "Kita berjanji hanya bertemu disini, mana
bisa..." "Mungkin dia kuatir kau terluka waktu bergebrak dengan
orang." Bertambah besar rasa kejut dan heran Suma Bing,
bagaimana bisa Siang Siau-hun mengetahui dirinya berkelahi dan
terluka oleh musuh" "Dia... mengapa dia tahu..."
"Malah dia juga tahu sekarang tubuhmu sudah kebal akan segala
racun." "Dia... tahu... apa itu benar?" "Apa kau sangka
aku bohong?" "Tapi itu tidak mungkin?"
"Terserah kau percaya tidak?" "Dapatkah nona
memberi sedikit penjelasan?" Gadis itu
merenung sebentar lantas katanya:
"Aku pernah lihat kau berkelahi dengan ayah beranak Racun utara
hingga luka parah, lantas Racun diracun memberimu sebutir obat
mustajab, supaya kau dapat selekas mungkin memberi pertolongan
kepada murid Pek-hoat-sian- nio yang bernama Ting Hoan itu.
Kebetulan waktu aku liwat disini kudengar ada suara pertempuran,
kiranya para kurcaci dari Bwe-hwa-hwe itu tengah mengeroyok
nona Siang maka kubunuh para kunyuk rendah itu. Kuberitahu
pula apa yang barusan kulihat. Secara terus terang diapun
menuturkan segalanya, dia sangat perihatin atas dirimu maka
buru2 dia pergi menyusul kau didepan sana, mungkin kalian
selisipan jalan."
"Nona jadi kaulah yang telah menolong jiwanya?" kata Suma Bing
haru. "Ah aku hanya melakukan apa yang senang kulakukan." Suma
Bing angkat kedua tangannya serta berkata: "Kalau begitu biar
ku mewakili nona Siang mengucapkan
terima kasih atas pertolongan nona itu." "Tidak perlu sungkan2"
"Bolehkah tanya nama nona yang harum?" Mendadak gadis itu
unjuk senyum tawa manis, tawanya ini
bak bunga mekar dimusim semi, sahutnya: "Aku bernama Phoa
Kin-sian." Serta merta tergerak hati Suma Bing. Terdengar Phoa
Kin-sian berkata lagi: "Apa kau tidak mau mencarinya?" Suma
Bing menggeleng kepala, sahutnya: "Kalau dia sudah tahu sejelas
itu lebih baik, akupun tidak
perlu lagi mencari dia."
"Mengapa?" "Sudah tiada waktu lagi" "Tiada waktu, apa
maksudmu?" "Karena aku masih ada janji lainnya." Agak
berobah wajah Phoa Kin-sian, katanya: "Begitu besar rasa
kasih Siang Siau-hun kepadamu, jangan
membuat dia putus harapan." Suma Bing menjadi gugup,
sahutnya: "Nona salah paham akan keteranganku..." "Lalu
siapakah orang yang kau janjikan itu?" Suma Bing tertawa
hambar, sahutnya: "Agaknya perlu kuterangkan, maaf aku minta
diri." Sekonyong2 dari luar biara sana terdengar derap langkah
riuh ramai lalu disusul seruan kaget beberapa orang, agaknya
mereka telah melihat mayat2 yang bergelimang darah itu.
Phoa Kin-sian tertawa ejek, katanya: "Yang mengantar
kematian telah datang lagi..." dengan
langkah lemah gemulai dia melangkah keluar ruangan
sembahyang, Suma Bing pun mengikuti dibelakangnya.
Ditengah pelataran berdiri lima orang laki2 dan seorang wanita.
Dua diantaranya berusia enam puluhan, dan tiga laki2 muda
bertubuh tegap gagah, sedang si wanita sudah berusia agak
lanjut, tapi sikapnya genit dan tengik. Dari seragam yang mereka
pakai jelas menunjukkan bahwa mereka juga para anak buah dari
Bwe-hwa-hwe. Kehadiran Phoa Kin-sian dan Suma Bing yang mendadak itu
menimbulkan pula seruan kaget mereka, dari memandang Phoa
Kin-sian sorot mata keenam orang itu beralih menatap Suma Bing.
Mata wanita genit itu pelerak-pelerok mengawasi
kecakapan wajah Suma Bing dengan tingkah yang sangat tengik
sekali, wajahnya mengunjuk senyum tawa, entah teringat apa
mendadak wajahnya berobah kaget serta serunya:
"He, kau inikah Suma Bing?" Begitu melihat para begundal
Bwe-hwa-hwe ini muncul lagi,
nafsu membunuh Suma Bing me-nyala2, sahutnya dengan dingin:
"Benar!" Kontan kelima laki2 itu mundur terbelalak mendengar
pengakuan Suma Bing, wajah mereka berobah pucat pias perlahan2
mereka mundur teratur dan bersiap siaga.
16. SEBUAH TRAGEDI DIDALAM RIMBA.
Dengan ilmu Tjoan-in-djip-bit Phoa Kin-sian berkata kepada
Suma Bing: "Wanita itu bernama Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng, salah
seorang pelindung Bwe-hwa-hwe, kepandaiannya hanya lebih
rendah dari Ketua mereka."
Tanpa terasa Suma Bing juga terperanjat, bahwa nama serta
kejahatan Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng, sudah lama dia pernah
dengar, terutama sifat cabulnya sangat dibenci oleh kaum
persilatan. Sungguh diluar sangka bahwa dia kini menjadi
pelindung Bwa-hwa-hwe malah.
Sambil menunjuk tujuh mayat dihadapan mereka Tok-bi-kui Ma
Siok-tjeng bertanya:
"Siapa yang membunuh mereka?" Suma Bing mengajukan diri
dan menjawab dengan nada
berat dingin: "Aku yang membunuh kau mau apa?" Sekilas Phoa Kin-sian
melirik kearah Suma Bing tanpa buka
suara, wajahnya yang kaku bersemu merah dan senyum2 malu
yang hampir tak kentara, entah apa yang tengah dipikirkan dalam
benak nona jelita ini.
Ma Siok-tjeng menjengek dingin serunya: "Bagus sekali Suma
Bing, hutang jiwa bayar jiwa, hutang
uang bayar uang..." "Ma Siok-tjeng," dengus Suma Bing menghina,
"Perhitunganku dengan Bwe-hwa-hwe kalian susah dilunasi, hanya
beberapa gelintir jiwa rendah itu terhitung apa" Ketahuilah, asal
aku ketemukan setiap anggota Bwe-hwa-hwe tentu tidak akan
kulepas tinggal hidup!"
"Huh, kau tahu pasti dapat hidup pergi dari sini?" Suma Bing
menjadi murka sekali, sambil menggeram ia
melompat maju ketengah pelataran. Ma Siok-tjeng berenam
gentar dan mundur beberapa langkah. Suasana menjadi tegang
meruncing. Dengan tangannya Ma Siok-tjeng menunjuk Phoa Kin-sian dan
bertanya: "Dia apamu?" "Kau tiada hak bertanya!" sahut Suma Bing
mendengus hidung. Wajah jelita Ma Siok-tjeng berobah beringas penuh nafsu
membunuh geramnya: "Baik biar kusempurnakan kalian menjadi
sepasang mendarin dialam baka.", habis berkata ia memberi aba2 kepada
kelima teman laki2nya.
Tiga orang laki2 bertubuh tegap itu segera melejit menubruk
kearah Phoa Kin-sian yang berdiri dibawah serambi panjang sana.
"Mampus kalian!" Mendadak Suma Bing menggembor keras sebat
luar biasa tubuhnya bergerak sambil mengirim sebuah hantaman
dahsyat, angin pukulannya bagai gelombang pasang menerpa
deras kearah tiga laki2 gagah itu, seketika tubuh mereka yang
tengah meluncur maju itu terporak poranda sungsang sumbel
jungkir balik ketempatnya semula. Pada saat Suma Bing
membentak dan melancarkan serangannya itu, Ma Siok-tjeng pun
telah turun tangan menyerang kearah Suma Bing dengan tidak
kalah sengitnya.
Jangan dipandang rendah sebuah pukulannya ini, karena
mengandung perobahan aneh menakjubkan yang susah diraba
sebelumnya. Suma Bing sendiripun tidak kepalang kejutnya
terdampar oleh angin pukulan musuh, tubuhnya tersurut mundur
selangkah. Sungguh diluar tahunya kalau Lwekang Tok-bi-kui Ma
Siok-tjeng kiranya sedemikian hebat.
Dalam pada itu, tanpa mengenal takut atau keder lagi ketiga laki2
tegap itu nekad membandel menubruk kearah Phoa Kin-sian.
Timbullah amarah Suma Bing melihat kebandelan lawannya,
dengan jurus Liu-kim-hoat-tjiok ia tetar Ma Siok-tjeng hingga
kelabakan melejit tinggi dan menghindar jauh. Mendapat peluang
ini dengan kecepatan kilat badannya berkelebat miring,
mengerahkan seluruh kekuatan Kiu-yang- sin-kang mengepruk
kearah tiga laki2 tegap itu. Gelombang panas bagai lahar gunung
meletus segera melanda memberangus ketiga laki2 tegap itu.
Seketika mereka berpekik nyaring mengerikan, setelah
menyemburkan darah dari mulutnya, tubuh mereka berobah hitam
angus dan mati terkapar.
Memang kedudukan ketiga laki2 tegap itu hanya tingkat dua saja
dalam Bwe-hwa-hwe, namun kalau dalam satu gebrak saja lantas
mati konyol oleh pukulan lawan, hal ini
benar2 membuat Ma Siok-tjeng dan kedua orang tua lainnya
melongo dan kaget luar biasa.
Wajah Phoa Kin-sian diliputi suatu rasa yang sukar ditebak.
Sikapnya tenang dan acuh tak acuh menyaksikan adegan seram
ini. Maka sambil mengertak gigi, dengan nekad Ma Siok-tjeng
menubruk kearah Suma Bing. Berbareng kedua orang tua lainnya
itupun menerjang kearah Phoa Kin-sian.
Sebagai pelindung Bwe-hwa-hwe sudah tentu bukan olah2 lihay
dan hebat Lwekang Ma Siok-tjeng, dalam tiga jurus saja Suma
Bing sudah terdesak kerepotan.
Sementara itu, kedua orang tua itupun sudah menerjang tiba
diserambi panjang sana terus menyerang kepada Phoa Kin-sian.
Kontan terdengar suara benturan keras yang menggelegar disertai
pekik dua suara ngeri. Maka dilain saat terlihat kedua kakek tua itu
sudah terkapar roboh ditanah pelataran tanpa berkutik lagi untuk
selamanya. Sungguh kejut Tok-bi-kui (bunga rose beracun) bukan olah2,
sebat luar biasa tubuhnya melejit mundur, dengan sorot mata
heran dan penuh tanda tanya matanya membeliak mengamati
Phoa Kin-sian. Dilain pihak kejut Suma Bing sendiripun tidak kalah besarnya,
bahwa sedemikian hebat dan lihay Lwekang Phoa Kin-sian ini
benar2 diluar tahunya, dalam sekali gebrak saja dengan mudah dia
telah robohkan dua gembong silat kelas satu dari Bwe-hwa-hwe.
Bagaimanapun juga Ma Siok-tjeng takkan tahu akan asal-usul si
gadis jelita yang ayu rupawan tapi berwajah kaku dingin ini.
Dengan kepandaian yang dipertunjukkan
ini pastilah dia bukan kaum keroco yang berkedudukan rendah.
Namun nama Phoa Kin-sian ini benar2 menggetarkan jiwa dan
semangatnya, meskipun baru kali ini ia dengar akan nama itu. Apa
mungkin dia salah seorang murid seorang
Tjianpwe lihay yang mengasingkan diri, dan baru kali ini berkelana
di dunia persilatan"
Setelah sadar dari kagetnya segera Suma Bing membentak keras:
"Tok-bi-kui kaupun rebahlah!" Secepat kilat ia kirim sebuah
pukulan deras mengarah
muka Ma Siok-tjeng. Terpaksa Tok-bi-kui angkat tangan
menangkis "blang" dimana kedua kekuatan saling bentur, tubuh
Tok-bi-kui bergoyang gontai, sebaliknya Suma Bing limbung
setindak. Dalam gebrak adu kekuatan tenaga dalam ini jelas
bahwa kekuatan dan latihan Lwekang Suma Bing masih kalah
seurat dari lawan. Maka terjadilah pertempuran sengit yang
mengadu jiwa ini.
Mengandalkan kesaktian Kiu-yang-sin-kang Suma Bing masih dapat
bertahan sementara waktu, namun tiga puluh jurus kemudian,
keadaannya sudah semakin keripuhan terdesak dibawah angin.
Lima puluh jurus kemudian Suma Bing sudah kehilangan inisiatif
untuk balas menyerang, terpaksa dia main bertahan mengurung
diri dengan rapat.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Se-konyong2 terdengar sebuah bentakan nyaring disusul Suma
Bing berseru tertahan, ujung mulutnya meleleh darah segar,
tubuhpun terhuyung hampir roboh.
Dalam keadaan gawat itulah, tahu2 tubuh Phoa Kin-sian sudah
berkelebat tiba ditengah gelanggang.
Suma Bing lintangkan tangan serta berkata: "Nona Phoa,
silakan mundur, aku tidak perlu bantuanmu!" Berobah wajah
Phoa Kin-sian, katanya: "Kau bukan tandingan siluman jadah
ini!" Ucapan "siluman jadah" itu membuat wajah Tok-bi-kui
berobah bengis mengancam, mulutnyapun segera memaki:
"Budak sundel, siapa yang kau maksudkan dengan siluman jadah
itu?" "Kau sangka siapa lagi yang berada disini selain kau?"
"Agaknya kau ingin segera mampus, biar aku sempurnakan
kau juga..." "Apa kau mampu?" Maju selangkah Suma Bing
menghadang dihadapan Phoa
Kin-sian serunya: "Nona Phoa, silakan mundur!" Tanpa menanti
reaksi Phoa Kin-sian segera ia menyerang
kearah Ma Siok-tjeng. Serangan ini dilancarkan dengan penuh
kebencian yang ber-limpah2 maka kekuatannyapun bagai guntur
menggeledek, kontan Tok-bi-kui kena terdesak mundur beberapa
langkah. Mendadak Phoa Kin-sian mendengus ejek sambil membanting kaki
terus melesat tinggi bayangannya menghilang diluar tembok.
T o k - b i - k u i M a S i o k - t j e n g t e r p a k s a
m e n d e l o n g s a j a m e n g a w a s i P h o a
K i n - s i a n p e r g i , t a p i d i a s e n d i r i j u g a
m a k l u m d e n g a n k e p a n d a i a n o r a n g t a k
m u n g k i n d i r i n y a k u a t m e r i n t a n g i .
A p a l a g i h a n y a S u m a B i n g s e o r a n g s a j a
c u k u p m e m b u a t d i a b e k e r j a b e r a t
m e m e r a s k e r i n g a t . J i k a l a u S u m a B i n g
d a n P h o a K i n - s i a n b e r p a d u
m e n g e r o y o k n y a , t a k m u n g k i n d i r i n y a
d a p a t m e l o l o s k a n d i r i d e n g a n s e l a m a t .
M a k a d e n g a n b e r k u r a n g n y a s e o r a n g
l a w a n l e b i h m a n t a p l a h h a t i n y a u n t u k
s e p e n u h t e n a g a m e n g h a d a p i S u m a B i n g .
Dalam sekejap duapuluh jurus telah berlalu. Tubuh Suma Bing
sudah mandi keringat keadaannya sudah payah dan berbahaya
diancam maut. Se-konyong2 Tok-bi-kui merobah permainannya,
bayangan pukulannya berkelebatan seperti kupu menari2,
beruntun dia lancarkan enambelas kali pukulan, pada pukulan
keenambelas terdengar Suma Bing berpekik
kesakitan, tubuhnya sempoyongan setombak lebih. Bagai
bayangan yang selalu mengikuti bentuknya tubuh Ma Siok- tjeng
melejit memburu tiba sekali jambak jalan darah Hoan- meh-hiat
sudah dicengkramnya keras. Suma Bing coba meronta namun sia2.
Sepasang mata Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng jelalatan menatap wajah
Suma Bing yang cakap ganteng, lama kelamaan matanya
memancarkan sinar gairah yang melemaskan hati orang, kedua
pipinyapun per-lahan2 bersemu merah.
Rasa malu gusar dan gugup bergejolak dalam benak Suma Bing,
matanya melotot besar dan merah membara.
Tiba2 Tok-bi-kui ulurkan tangan menutuk jalan darah lemas
ditubuh Suma Bing terus dikempit dibawah ketiak dan dibawa lari
kedalam hutan dibelakang biara bobrok itu.
Tak lama sesudah Tok-bi-kui mengempit tubuh Suma Bing berlalu
pergi, sebuah bayangan kecil langsing berkelebat memasuki biara
itu. Dia tak lain adalah Siang Siau-hun.
Dalam biara sekarang ketambahan lima mayat lagi, namun
bayangan kekasihnya tidak kelihatan. Keruan gugup dan cemas
hati Siang Siau-hun, dengan suara hampir berteriak ia mengeluh:
"O, engkoh Bing, dimana kau" Apa kau sudah datang" Mengapa
kau tidak tunggu aku?"
Hanya kesunyian dan keseraman suasana yang menjawab
keluhannya. "Aku harus menemukan dia." demikian keluh Siang Sian- hun,
terus belari secepat terbang keluar biara.
Kini kita ikuti jejak Si mawar beracun Ma Siok-tjeng yang
membawa lari Suma Bing kedalam hutan dibelakang biara, setelah
mendapatkan sebuah tempat yang tersembunyi dia letakkan
tubuh Suma Bing diatas tanah, lalu dengan mesranya dia duduk
berhimpit disampingnya. Kata Ma Siok-tjeng:
"Suma Bing, ketahuilah bahwa Ketua kami belum lega sebelum
dapat meringkus dirimu?"
Suma Bing menyesal karena dirinya tertutuk jalan darahnya
hingga tak dapat bergerak, dasar sifatnya memang keras matanya
melotot ber-api2 dan memaki garang:
"Aku pun belum lega sebelum dapat membunuh kurcaci itu."
"Tapi sekarang kau tiada kesempatan lagi. Untuk membereskan kau
sekarang segampang membalikkan tanganku."
"Boleh silahkan kau turun tangan." Ma Siok-tjeng malah unjuk
tertawa genit, ujarnya: "Tapi aku sayang untuk membunuh
kau!" "Lalu apa kehendakmu?" Dengan tangannya Ma
Siok-tjeng meng-elus2 wajah Suma
Bing, suaranya halus dan merayu: "Adikku yang baik, asal kau
berlaku baik, tentu cicimu akan
segera melepaskan kau" "Cis, tidak tahu malu..." Tok bi-kui malah
perdengarkan suara ngakak yang
menggiurkan, serunya: "Tidak tahu malu, sebentar lagi kalau
tidak kubikin kau menyembah2
kepadaku, kuhapus namaku si mawar beracun."
Hampir meledak dada Suma Bing saking menahan gusar
namun apa yang dapat diperbuat. Dia insaf perempuan jalang
tidak tahu malu ini pasti dapat melaksanakan apa yang telah
dikatakannya. Bagi seorang laki2 jantan seperti dirinya, masa
harus mandah saja dihina dan dipermainkan oleh sundel cabul
ini" Saat mana selebar muka Tok-bi-kui sudah merah padam
napasnya empas empis memburu cepat, kedua matanyapun
memancarkan sinar berapi, tubuhnya bergetar penuh birahi.
Tiba2 Suma Bing merasakan jalan darah Kiu-bwe-hiat kesemutan,
lalu disusul jalan darah Gi-tjiat dan Kui-lan dibawah perutnya
terasa suatu hawa hangat mengalir cepat merembes keseluruh
tubuh. Maka dalam sekejap saja sejalur hawa hangat timbul pula
dari dalam pusarnya terus meresap kesegala sendi2 dan urat
nadinya menyusuri seluruh jalan darah ditubuhnya, darah mengalir
semakin cepat, jantungnya berdetak semakin keras, napasnya juga
semakin berat. Sekuat tenaga ia bertahan dan berkutet dan
mencegah timbulnya nafsu berahi, supaya dirinya tetap dalam
keadaan sadar...
Dengan penuh harapan sepasang mata Tok-bi-kui pelerak- pelerok,
wajahnya penuh mengandung gairah menanti perkembangan
selanjutnya. Kesadaran Suma Bing semakin amblas, pandangannya mulai
remang2, suatu arus keinginan yang keras membuatnya tenggelam
dalam langkah kearah pelepas rakus yang menggila. Seluruh tubuh
panas membara, jalan darah se- olah2 hendak meledak. Saat mana
dalam tubuhnya sudah mulai dirasuki oleh setan nafsu birahi yang
sedang mengembara dalam tubuhnya. Selain keinginan liar yang
buas itu otaknya kosong melompong tanpa sepercik kesadaran.
Per-lahan2 Tok-bi-kui melepaskan baju luarnya, lalu mengendorkan
baju dalamnya terbentanglah kulitnya yang halus putih, buah
dadanya yang montok menggiurkan setengah terbuka. Pandangan
yang memincuk hati ini betapa keraspun hati manusia akan luluh
juga akhirnya bagi orang semuda Suma Bing yang mulai nanjak
usia kedewasaan, pula Ma Siok-tjeng gunakan juga cara sesat
untuk membangkitkan nafsu birahinya, keruan Suma Bing seperti
kuda liar yang lama kehausan napasnya memburu ngos2an.
"Bagaimana Suma Bing?"
"Aku... aku... ingin..." "Kau mau apa" Hahahahahihihihehehe!"
"Aku... ingin kau." "Kau mau panggil aku cici?" "Ci... ci" "Ai,
adikku yang baik!" Girang si mawar beracun Ma Siok-tjeng
bukan kepalang,
segera ia bebaskan jalan darah pelemas Suma Bing yang tertutuk
tadi. Kontan Suma Bing melompat bangun, kedua matanya merah
marong seperti serigala yang haus darah terus menubruk maju
hendak memeluk...
Pada detik yang menentukan itulah tahu2 sebuah arus hantaman
angin keras menerpa tiba menerjang kearah mereka berdua, kontan
Suma Bing terpental mundur dan jatuh duduk diatas tanah. Sedang
si mawar beracunpun terguling sungsang sumbel. Sungguh
mimpipun Ma Siok-tjeng tidak menduga pada saat2 nafsu birahinya
sudah memuncak pada titik tertinggi hingga perhatiannya peka
pada diri Suma Bing itu dirinya bakal dibokong orang tanpa siaga
sebelumnya. Tidak malu kiranya si wanita cabul ini diangkat sebagai
pelindung Bwe-hwa-hwe karena memang kenyataan kepandaiannya
tidak lemah. Reaksinya sangat cekatan setelah kena dibokong,
begitu melejit bangun dan berdiri tegak segera ia tutupi dadanya
dengan baju luar yang masih utuh terus memandang kedepan
dengan berapi2. Kiranya orang yang membokong dirinya itu adalah
Phoa Kin-sian adanya.
Suma Bing sudah hilang kesadarannya, bagai binatang binal yang
sudah kehausan darah mana dapat dia membedakan baik atau
buruk, sambil berpekik beringas ia menubruk maju.
Sambil mengertak gigi terpaksa Phoa Kin-sian menyelentikkan
sebuah jarinya.
"Buk," kontan Suma Bing kena tertutuk roboh. Bahwa rasa
nikmat yang bakal dikecapnya digagalkan oleh
orang membuat si mawar beracun Ma Siok-tjeng gusar hingga
kepalanya beruap, desisnya dingin:
"Budak busuk, kau cari mampus". Sebaliknya Phoa Kin-sian
sendiri juga bukan kepalang
geram dan malunya, sambil menuding ia memaki: "Sundel yang
tidak tahu malu, hari ini nonamu pasti akan
membunuhmu." membarengi ancamannya ia kirim sebuah sodokan
keras kearah musuhnya. Tok-bi-kui ganda mendengus gusar,
sebelah tangannya juga diangkat untuk menangkis.
"Dar..." benturan menggelegar membuat tubuh Ma Siok- tjeng
tersurut mundur tiga tindak, sungguh kejutnya bagai disengat kala
bahwa Lwekang gadis muda ini kiranya sangat tinggi diluar
perkiraannya. Saking gusar ingin rasanya Phoa Kin-sian segera menamatkan jiwa
wanita cabul ini, sekaligus ia lancarkan lagi tiga gelombang
pukulannya yang disertai himpunan seluruh kekuatannya, maka
betapa dahsyat akibat pukulannya ini dapatlah dibayangkan.
Arwah Ma Siok-tjeng seolah2 terbang dari badan kasarnya,
lenyaplah nafsu birahinya yang berapi2 tadi, tubuhnya berkelebat
sebat luar biasa menyingkir. Tapi sayang ia agak sedikit terlambat,
dua pukulan yang terdahulu memang dapat dihindari, namun
pukulan ketiga dengan telak mengenai sasarannya. Kontan si
mawar beracun berpekik ngeri sambil muntah darah, tubuhnya
terguling2 jauh.
Wajah Phoa Kin-sian semakin kelam penuh nafsu membunuh,
desisnya bengis:
"Mawar beracun, disinilah tempat liang kuburmu."
"Wut" lagi2 ia lancarkan sebuah pukulan jarak jauh. Keruan Ma
Siok-tjeng ketakutan setengah mati, sebat sekali
tubuhnya melejit menyingkir jauh, lantas dengan penuh kebencian
ia berkata: "Budak busuk, kucatat perhitungan ini. Akan tetapi ada satu hal
yang perlu kuberitahukan. Dia sudah tertutuk oleh
Hian-to-tjui-yang-tji, dalam waktu setengah jam ini, jikalau tidak...
hehehe, urat nadinya akan meledak dan hancur berkeping2.".
Habis ucapannya bayangannyapun menghilang.
Sekarang Phoa Kin-sian melongo dan tertegun ditempatnya tanpa
mampu mengeluarkan suara.
Sementara itu meskipun jalan darah Suma Bing tertutuk, namun
nafsu birahinya masih bertegang sampai puncaknya, napasnya
memburu wajahnya merah padam.
Sungguh kacau dan gelisah benar hati Phoa Kin-sian, apa yang
harus diperbuatnya. Kalau dalam setengah jam ini Suma Bing
tidak dapat melampiaskan keinginannya, urat nadinya akan pecah
dan putuslah jiwanya.
Apakah dirinya harus mengawasi orang menderita sampai mati"
Atau menolongnya! O, tak tahu dia apa yang harus diperbuatnya.
Coba pikirkan sebagai seorang gadis yang masih perawan suci
bersih bagaimana cara menolong jiwanya. Kalau menolongnya itu
berarti dia harus mengorbankan kesuciannya.
Keadaan Suma Bing sudah menunjukkan bahwa jiwanya sudah
diambang diantara mati atau hidup.
"Itu tidak mungkin!" pekik Phoa Kin-sian keras sambil memutar
tubuh hendak tinggal pergi, namun baru beberapa langkah tanpa
merasa langkahnya berhenti lagi, hatinya gundah dan berperang
dalam batinnya, dia harus mengambil kepastian yang ganjil,
menolong dia" atau membiarkan dia mati" Akhirnya luluhlah
hatinya, dia harus berkorban untuk
menolong jiwa orang, dua titik air mata meleleh membasahi
pipinya. Sebenarnya betapapun dia tidak rela berbuat begitu, tapi
tidak bisa tidak dia harus melakukannya. Suaranya tergetar
menggumam: "Suhu, kaulah yang menjerumuskan aku, demi melaksanakan
perintahmu, terpaksa aku harus mengorbankan tubuhku!"
Maka bagai perwira yang menuju kemedan bhakti dengan langkah
lebar ia mendekati kehadapan Suma Bing, katanya sambil
mengertak gigi:
"Suma Bing, sekarang aku menolong kau, kelak kalau kau
menelantarkan aku, aku pasti akan membunuhmu."
Napas Suma Bing kempas kempis, ingatan dan pandangannya
remang2 tidak dapat membedakan apa yang dilihatnya, sudah
tentu dia tidak dengar ucapan Phoa Kin-sian itu.
Lantas dikempitnya Suma Bing dibawah ketiaknya dibawa masuk
kedalam hutan yang lebih dalam dan tersembunyi, dimana ia buka
jalan darah Suma Bing yang tertutuk, maka terjadilah sebuah
tragedi yang tengah dipanggungkan dalam sebuah hutan lebat
tanpa seorang penonton jua. Kesadaran Suma Bing sudah hilang,
bagai serigala buas yang haus darah begitulah dia tengah
merangsang dengan menggila. Bagai sekuntum bunga yang
tengah mekar diterpa hujan badai, bunga yang lemah itu sedang
mengeluh kesakitan, begitulah keadaan Phoa Kin-sian...
Setelah hujan badai mereda terasalah suatu keheningan yang
mencekam sekelilingnya. Ber-angsur2 ingatan Suma Bing mulai
sadar dan ia merayap bangun, pandangan pertama yang dilihat
matanya adalah tubuh yang separo telanjang disampingnya. Suatu
perasaan terhina menjalar dalam benaknya membuat ia melonjak
bangun seperti disengat kala, sambil mengayun tangannya ia
membentak: "Kubunuh kau sundel jalang!" Mendadak matanya menatap
kearah noktah darah yang
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berceceran ditanah sekitarnya, tanpa terasa tergetar hatinya. Apa
mungkin Tok-bi-kui masih merupakan seorang gadis perawan
tingting" Waktu ia menegasi, seketika tubuhnya tergetar bagai
tersetrom aliran listrik. Hampir dia tidak percaya akan apa yang
dilihat itu adalah kenyataan. Dikucek2nya matanya dan menegasi
lagi. Ya, memang benar tidak salah, dialah Phoa Kin-sian adanya.
"Apakah yang telah terjadi" Mengapa Tok-bi-kui berobah menjadi
Phoa Kin-sian." demikian ia ber-tanya2 dalam hati.
Entah karena malu atau tersiksa terlalu berat, keadaan Phoa
Kin-sian seperti tidur nyenyak tanpa bergerak.
Suma Bing merenggut rambutnya sekuat2nya, ia mencoba
mengenang kembali dan berharap dapat menemukan sepercik
penemuan dalam pikirannya yang kabur dan mulai terang itu.
Samar-samar teringat olehnya bahwa dirinya telah tertawan oleh
Tok-bi-kui Ma Siok-tjeng dan ditutuk dengan cara aneh dari aliran
sesat hingga dirinya dirasuk oleh nafsu setan birahi, dalam saat2
genting itulah ia teringat ada seseorang menyerbu tiba lantas
terdengar suara bertempur...
Ya begitulah, Phoa Kin-sian telah mengorbankan dirinya demi
menolong dirinya. Karena pikirannya ini tubuhnya terhuyung
hampir roboh. Dia insaf bahwa dirinya telah membuat suatu noda
hitam yang berdosa selama hidupnya.
Bagian tubuh Phoa Kin-sian yang masih tersingkap itu membuat
hatinya berguncang lagi, darah panas merangsang kepalanya.
Per-lahan2 ia maju mendekat dengan hati2 membetulkan bajunya
yang tak karuan itu, menutupi bagian yang membuat hatinya
bergejolak keras.
Pada saat itulah, sepasang mata Phoa Kin-sian yang bundar jeli
terbuka lebar dan mendadak bergegas bangun berdiri.
"Plak, plok" kontan Suma Bing rasakan pandangannya berkunang2,
darah meleleh dari sudut mulutnya ia tersurut dua
langkah. Dengan terbelalak heran dan kaget ia mengawasi Phoa
Kin-sian, entah mengapa dia tidak tahu mendadak Phoa Kin-sian
bisa menggampar mukanya dua kali.
Setelah persen dua kali tamparan dimuka Suma Bing, tiba2 Phoa
Kin-sian memutar tubuh memeluk sebatang pohon dan menangis
ter-gerung2. Sedungu Suma Bing juga maklum dan ikut merasakan betapa pedih
dan kecut perasaan hatinya itu. Sampai pada detik itu tidak lebih
dua jam mereka bertemu dan berkenalan, tapi demi jiwanya ia rela
mempersembahkan kesuciannya yang tak ternilai. Betapa besar
pengorbanannya itu, bagaimana pula dia takkan menangis.
Saking sesal Suma Bing terbungkam mulutnya, tak tahu dia
bagaimana dia harus mengeluarkan kata2 untuk menghiburnya.
Lama dan lama sekali baru dia tergagap membuka kata:
"Nona Phoa, sungguh menyesal aku telah berbuat salah terhadap
kau!" Phoa Kin-sian menghentikan tangisnya dan berpaling, katanya
dengan nada pedih penuh kemarahan:
"Suma Bing, menyesal berbuat salah itulah tanggung jawabmu?"
"Maksud nona..." "Kau sudah menghina dan menyiksa aku
sedemikian rupa,
akan kubunuh kau!" Berobah tegang air muka Suma
Bing, katanya: "Aku bukan sengaja hendak berbuat
begitu." "Lalu dengan minta ma'af saja lantas
beres?" "Ini... tidak, selama hayat masih dikandung badan, Suma Bing
pasti tidak akan membuatmu kecewa, tapi..."
"Bagaimana?" "Saat ini aku kurang bebas." "Bagaimana artinya
itu?" "Aku pernah dikurung oleh Setan Barat didalam barisan
jeritan setan menyedot sukma. Untuk menepati janjiku dengan
Siang Siau-hun, Setan barat meluluskan kedatanganku kemari,
tapi dalam tempo tujuh hari aku harus kembali ketempat
kediamannya itu!"
Phoa Kin-sian menunjuk rasa kejut, tanyanya: "Mengapa Setan
barat hendak mengurung kau?" Suma Bing tertawa ewa,
sahutnya: "Sampai sekarang aku masih belum jelas
persoalannya. Ada
kemungkinan mengenai suka-duka perguruanku." "Apa kau
hendak kembali?" "Tentu, seorang laki2 harus menepati
ucapannya, mana
boleh aku ingkar janji?" "Setan barat terkenal kejam dan telengas,
sepergimu ini..." "Aku tidak perduli dengan akibatnya." "Tapi
menurut apa yang aku tahu, dendam kesumat dan
sakit hatimu masih belum terbalas, mana boleh kau pandang
jiwamu semurah itu?"
"Akan tetapi, aku tidak bisa menelan ludahku lagi" O, nona
Phoa..." "Huh, nona" kau..." mendengar Suma Bing masih memanggilnya
nona wajah Phoa Kin-sian berobah gusar.
Merah wajah Suma Bing, cepat2 ia ganti mulut:
"Adik Sian, kemana Tok-bi-kui si perempuan jalang itu?" "Sudah
kugebah pergi!" "Sebenarnya apakah yang telah diperbuatnya
diatas tubuhku, bagaimana bisa..." Kontan merah jengah selebar muka
Phoa Kin-sian, berselang agak lama baru dia menyahut: "Dia menggunakan
tutukan jari dari aliran sesat yang paling
rendah. Kalau sudah tertutuk kepandaian macam itu, seumpama
dewapun takkan kuat menahan gelora hatinya, apalagi tiada jalan
lain..." sampai disini ia merandek, lalu berkata lagi:
"Aku tidak tega melihatmu meregang nyawa dalam waktu
setengah jam ini. Bersama itu aku juga menerima perintah suhu
untuk membantu kau secara diam-diam..."
Kaget dan heran Suma Bing dibuatnya, tanyanya: "Suhumu
menyuruh kau membantu aku?" Phoa Kin-sian mengiakan.
"Siapakah suhumu itu?" "Ong Fong-jui!" Sungguh kejut Suma
Bing bukan kepalang, kiranya Phoa
Kin-sian adalah murid bibinya Ong Fong-jui, ini benar2 diluar
dugaannya. "Adik Sian, kau... kau adalah murid bibi Jui?" "Bagaimana, kau
merasa diluar dugaan bukan?" Suma Bing bersorak girang,
katanya: "Benar diluar dugaan. Adik Sian, selama hidup ini
pasti kau takkan aku lupakan." "Lalu bagaimana kau hendak bertanggung
jawab terhadap Siang Siau-hun?"
Sungguh Suma Bing tidak menduga akan mendapat pertanyaan
ini, seketika merah dan merongkol otot dijidatnya, ia bungkam
seribu basa. Ya, betapa besar rasa cinta Siang Siau-hun, kejadian
mati hidup dibiara bobrok itu masa dapat terlupakan olehnya.
Phoa Kin-sian tersenyum manis, katanya: "Engkoh Bing, kau
lebih siang berkenalan dengan dia, tak
dapat aku melukai hati suci seorang gadis bersih. Hanya kau
harus ingat, aku sekarang sudah menjadi milikmu, dan aku sudah
puas." "Adik Sian, pasti aku takkan lupa" sahut Suma Bing tegas. "Apa
kau benar2 harus kembali kecengkeraman Setan
barat?" "Tidak bisa tidak aku harus kembali!" "Baik, kau
berangkatlah" "Adik Sian, aku..." "Bagaimana?" "Aku selalu akan
merasa telah berbuat salah terhadap kau." "Hal itu sudah lewat,
soalnya terletak pada masa yang akan
datang, sekarang pergilah tepati janjimu kepada Setan barat itu!"
"Adik Sian, kuharap kau baik2 menjaga dirimu, kuharap kelak kita
dapat bertemu lagi dengan selamat."
"Pasti dapat." Suma Bing maju memeluk Phoa Kin-sian dan
memberinya sebuah ciuman panjang, ciuman yang mengandung penyesalan dan
haru, bersama pula pengantar perpisahan yang berat.
Dia harus segera berangkat untuk menepati janjinya supaya tidak
terlambat dalam jangka tempo tujuh hari. Dipandangnya Phoa
Kin-sian lekat2 dan katanya:
"Adik Sian, maafkanlah aku, waktu sangat mendesak, aku hendak
berangkat!"
Phoa Kin sian manggut2, mengiring keberangkatan Suma Bing
dengan senyum pilu.
Dengan langkah berat segera Suma Bing melejit tinggi berlari keluar
rimba. Bertepatan dengan hilang bayangan Suma Bing, dua titik air
mata meleleh keluar membasahi pipi Phoa Kin-sian. Betapa dia
takkan kepincut dan memuja pemuda ganteng yang meluluhkan
hatinya ini. Akan tetapi persentuhan tubuh dalam keadaan yang
mengenaskan itu benar2 membuat hatinya hancur luluh. Memang
pengorbanannya terlalu besar. Segera ia membetulkan pakaiannya
yang tidak karuan, setelah menghela napas panjang pendek, iapun
berlari keluar rimba.
Dalam pada itu dengan rasa berat dan hampa Suma Bing tengah
berlari kencang untuk menepati janji Setan barat. Tak tahu dia
bagaimana Setan barat hendak menghadapi dirinya" Sepanjang
jalan bayangan Ting Hoan, Siang Siau hun, dan Phoa Kin-Sian
bergantian terbayang didepan matanya, membuat otaknya pepat
hampir meledak rasanya.
Tujuh hari kemudian waktu matahari hampir tenggelam diujung
barat sana akhirnya tiba juga dia dibawah bukit Te- tjui-hong.
Benar juga wanita serba hitam bernama Sim Giok- sia itu sudah
menantinya dengan sebuah sampan. Tanpa banyak cakap Suma
Bing langsung melompat naik keatas sampan. Segera Sim Giok-sia
melajukan sampannya ketengah danau dengan cepat.
Dalam kesunyian sekian lamanya, akhirnya Sim Giok-sia membuka
kata: Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ "Suma Bing, kiranya janjimu dapat dipercaya dari matahari terbit
aku menanti sampai sekarang, kusangka kau tidak akan datang
lagi?" "Sebagai seorang laki2 sejati aku pasti menepati janjiku, dan
itulah modalku."
"Apa kau tahu bagaimana suhu hendak menghadapi kau?"
"Bagaimana apa kau tahu?" "Mengurungmu seumur hidup!"
Melonjak keras hati Suma Bing. "Mengapa suhumu berbuat
begitu kejam terhadap diriku?" -oo0dw0oo
Jilid 5 17 SUM A BIN G MEN OLO NG RAC UN DI RAC UN "Sebagai pembalasan!" "Pembalasan?" "Benar, pembalasan
terhadap Kho-lo-sia, gurumu itu
sekarang sudah mati, maka kaulah yang harus menebus dosanya."
"Tapi, kenapakah sebenarnya?" "Karena benci!" seru Sim
Giok-sia berang. "Aku masih belum jelas!" "Belum jelas ya
sudah" Pada saat itulah dari kejauhan ditengah danau sana
mend atang i sebua h samp ditengah alunan ombak danau bagai seekor burung pinis melaju
dengan cepat. Sim Giok-sia berseru kejut dan menghentikan sampannya, tak
lama kemudian sampan itu sudah tiba dihadapan mereka, terlihat
diatas sampan kecil itu berduduk seorang wanita bersolek yang
berpakaian sangat mewah dengan sanggul kepalanya penuh
dihiasi mutiara.
Sejenak Suma Bing tertegun, lantas berseru kegirangan:
"Jui-ih!" Memang wanita setengah umur yang duduk dalam
sampan kecil itu adalah bibinya Ong Fong-jui. Ong Fong-jui manggut2,
lalu berkata kepada Sim Giok-sia: "Putar haluan!" Selintas Sim
Giok-sia melengak, lantas tanyanya: "Siapa kau?" "Ong Fong-jui!"
"Mengandal apa kau minta aku putar haluan!" "Atas perintah
Suhumu!" "Mengandal ucapan mulutmu itu?" semprot Sim
Giok-sia. Kata Ong Fong-jui dengan nada berat: "Setelah tiba
didaratan akan kujelaskan, sekarang putarlah
dulu haluan!" sambil berkata sebelah tangannya diayun sejalur
angin kencang berputar tiba membuat sampan yang dinaiki Sim
Giok-sia dan Suma Bing berputar arah terus melesat jauh balik
kearah Te-tjui-hong.
"Kau berani!" bentak Sim Giok-sia gusar. Beruntun kedua
tangannya memukul kepermukaan air untuk menghentikan
luncuran perahunya, namun bagaimanapun usahanya sia2,
sampannya itu tetap meluncur lempang kedepan.
Seperti permainan anak2 saja tanpa mengeluarkan tenaga besar,
kedua tangan Ong Fong-jui bergerak bergantian mendera kedua
sampan mereka. Dalam waktu singkat mereka sudah tiba dibawah
Te-tjui-hong. Tanpa perdulikan apa yang bakal terjadi Suma Bing
mendahului melompat kedarat. Segera Ong Fong-juipun mengikuti
jejaknya. Sungguh dongkol dan gusar Sim Giok-sia bukan olah2, begitu
kakinya menginjak tanah langsung ia kirim tiga kali pukulan hebat
kearah Ong Fong-jui.
Ringan dan seenaknya saja Ong Fong-jui mengebutkan lengan
bajunya, maka tiga kali serangan Sim Giok-sia itu sirna hilang
bagai tenggelam dalam lautan.
Diam2 Suma Bing melelet lidah, sungguh diluar tahunya bahwa
Lwekang bibinya ternjata sedemikian tinggi. Naga2nya masih
berada diatas Lam-sia dan Setan barat.
Saking gusar dan kewalahan Sim Giok-sia gemetar dan
menghentikan serangannya. Dia insaf bahwa kepandaian lawan
berlipat ganda lebih tinggi dari kemampuannya, akan sia2lah
tindakannya yang tanpa perhitungan. Hanya dia heran bagaimana
bisa lawan datang dari arah pulau ditengah danau sana. Lagipula
bukan saja melihat mendengar nama Ong Fong-jui saja dia belum
pernah.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandangan Ong Fong-jui menyapu dua orang didepannya lalu
berkata: "Sim Giok-sia, dihitung usia kau lebih tua dari aku. Kalau menurut
tingkatan aku lebih tinggi dari kau! Maka aku langsung memanggil
namamu. Apa kau tahu apa hubunganmu dengan Suma Bing?"
Mendengar pertanyaan terakhir ini bukan saja Sim Giok-sia
melengak heran, Suma Bing juga melonjak kaget.
"Hubungan apa?" tanya Sim Giok-sia gemetar. "Kakak beradik
seperguruan!" Saking kaget Suma Bing mundur selangkah,
pandangannya menyapu Sim Giok-sia, serunya heran dan tak mengerti: "Kakak
beradik seperguruan?" "Benar, kakak beradik seperguruan." sahut
Ong Fong-jui serius. "Bagaimana jelasnya ucapanmu ini?" tanya Sim Giok-sia
penuh haru. "Kau tahu apa hubunganmu dengan Setan barat?"
"Dia Suhuku." "Kau salah, dia adalah ibumu." Sim Giok-sia
terhuyung tiga langkah, tubuhnya menggigil,
kepala diabitkan menyingkap rambut panjang kebelakang, maka
terlihatlah wajahnya yang pucat pias setengah tua, wajah itu
penuh keheranan dan bertanya gemetar:
"Dia adalah Bundaku?" "Benar, dan Sia sin Kho Jiang adalah
ayah kandungmu!" Sim Giok-sia terkulai hampir roboh, ini
benar2 suatu berita
yang susah dipercaya dan dapat diterima olehnya. "Apakah itu
benar?" gumam Suma Bing penuh haru. "Tentu, kalau tidak
dikatakan langsung oleh Setan barat
sendiri pada sejam yang lalu, aku sendiripun tidak tahu. Hati Sim
Giok-sia terasa sangat pilu dan perih penuh haru,
dia terlongong mematung seperti orang linglung, mulutnya
menggumam: "Aku tidak mengerti!"
"Sudah tentu," ujar Ong Fong-jui menghela napas. "Inilah kisah
terpendam dalam sanubari orang, siapapun takkan tahu. Lam-sia
dan Se-kui sudah bermain asmara pada lima puluh tahun yang
lalu. Yang satu sesat sedang yang lain aneh, akhirnya mereka,
berpisah karena suatu salah paham. Sejak mereka berpisah Se-kui
lantas melahirkan seorang anak perempuan yaitu kau..." matanya
menatap Sim Giok-sia.
Tubuh Sim Giok-sia tergetar. Tutur Ong Fong-jui lagi: "Karena
patah hati Se-kui membenci seluruh lelaki
diseluruh jagad ini. Maka setelah mengetahui hubunganmu dengan
Wi-thian-tjhiu Poh Jiang dia mengurungmu, dan melarang kau
bertemu dengan dia..."
Tiba2 Suma Bing menyelak: "Wi-thian-tjhiu Poh Jiang mengapa
berganti julukan jadi
Tiang-un Suseng?" Airmuka, Sim Giok-sia semakin pucat,
sebenarnya dia menaruh dendam dan benci terhadap suhunya, sungguh diluar
tahunya bahwa suhunya ternyata adalah ibu kandungnya sendiri,
luluhlah segala kekerasan hatinya, katanya lemah.
"Aku tidak dapat salahkan dia, dia tidak sengaja hendak menyiksa
aku, adalah karena pukulan batinnya yang berat membuat jiwanya
berobah, dalam pengertiannya dia takut aku kena tipu."
"Pikiranmu ini benar, tiada seorang ibu yang tidak mencintai
anaknya, hal ini tidak dapat menyalahkan ibumu."
Baru sekarang Suma Bing jelas dan paham, sebab apa gurunya
melarang dia berkelahi lawan orang yang pandai ilmu
Pek-pian-kui-jiau.
Setelah berhenti sekian lamanya, Ong Fong-jui melanjutkan
ceritanya: "Delapanbelas tahun yang lalu, sepasang kekasih tua ini mendapat
kata sepakat dan pengertian, sayang Sia-sin Kho Djiang mengalami
bencana. Setan barat mencurigainya berobah hati. Sampai tak
lama kemudian baru dari kau..." matanya menatap Suma Bing, "...
dari mulutmu ia tahu mengapa pada delapanbelas tahun yang lalu
ayahmu ingkar janji, kiranya karena, mengalami bencana itu. Hal
ini tambah membuat hatinya hancur luluh ia bersumpah selama
hidup ini tidak akan muncul lagi didunia Kangouw!"
Kedua mata Sim Giok-sia merah dan meneteskan airmata dikedua
pipinya yang pias pucat, suaranya seperti orang mengigau:
"Semua peristiwa sudah lalu, bagai sebuah mimpi, tapi justru
meninggalkan bekas. Semua ini seperti terjadi kemaren, adalah
sekarang aku mendadak merasakan usiaku, aku sudah tua... tapi
aku masih ingin bertemu dengan Poh Jiang sekali lagi." suaranya
ini benar2 sangat berkesan dan memilukan hati.
Mendadak sinar mata Sim Giok-sia ber-kilat2 menatap wajah Suma
Bing, tanyanya:
"Sute apa kau benar2 hendak membunuh Tiang-un Suseng?"
Sejenak Suma Bing tertegun dan ragu2 lalu sahutnya hampa:
"Suci, perintah guru susah dibangkang." "Bing-tit," sela Ong
Fong-jui, "Peristiwa yang lalu kesalahan
bukan dipihak Bu-lim-sip-yu. Adalah suhengmu Loh Tju-gi itu
biangkeladinya. Betapa erat hubungan Bu-lim-sip-yu maka tiada
salahnya kalau mereka menuntut balas. Lagi pula bila suhumu
tahu hubungan sucimu dengan Tiang-un Suseng, mungkin dia
tidak akan menyuruhmu berbuat demikian."
"Ya, mungkin juga begitu," ujar Suma Bing sambil manggut2,
"Namun dia orang tua sudah dialam baka, aku sebagai muridnya
harus melaksanakan pesannya."
"Tapi subomu juga berpendapat supaya kau tidak menuntut balas
lagi kepada salah seorang dari Bu-lim-sip-yu yang masih
ketinggalan hidup itu?"
"Ini..." sesaat lamanya Suma Bing menjadi gagu tak dapat
menjawab. Ong Fong-jui berputar dan berkata kepada Sim Giok-sia:
"Sekarang kau boleh pulang, bujuklah beberapa kata patah
pada ibumu. Kelak dikalangan Kangouw kau harus mencuci bersih
nama perguruan bersama sutemu, carilah jejak Loh Tju gi."
Sim Giok-sia mengangguk tanpa membuka suara, terus naik
kesampannya langsung kembali ketengah danau.
Ong Fong-jui menghela napas dan berkata: "Seorang wanita
yang harus dikasihani, sang ibu telah
mengubur masa remajanya." "Benar," ujar Suma Bing
menyanggah, "betul2 seorang
wanita yang bernasib jelek, rasanya aku ingin berbuat sesuatu
apa untuk dia..."
"Bing-tit, walaupun suhu dan subomu berpisah karena salah
paham, namun cita2 mereka adalah sedemikian murni dan dalam,
hanya sifat jelek masing2 merintangi mereka rujuk kembali. Jikalau
kau dapat menemukan Tiang-un Suseng, mempersembahkan
kembali bahagia sucimu yang sudah terlambat, tentu kau dapat
menghibur arwah suhumu dialam baka."
Suma Bing mengiakan sembarangan, saat ini dia tidak ingin
memperbincangkan soal itu, segera ia memutar bahan
pembicaraan: "Jui-ih, bagaimana kau dapat datang kemari?" Wajah Ong
Fong-jui agak berobah, katanya: "Bing-tit, aku mendapat berita
dari Phoa Kin-sian, lantas
secepat terbang aku menyusul kemari, untung masih sempat
kutolong kau dari renggutan Setan barat."
Menyinggung nama Phoa Kin-sian, kontan merah jengah selebar
muka Suma Bing jantungnya berdetak keras, adegan didalam
rimba itu terbayang pula dalam benaknya, tak tahu dia apakah
Phoa Kin-sian telah menuturkan sejelasnya kepada suhunya ini.
Kata Ong Fong-jui lagi sungguh2: "Kin-sian sudah melapor
segala kejadian sejelasnya
kepadaku, memang kesalahan bukan dipihakmu, tapi hakekatnya
sekarang dia sudah menjadi istrimu, bagaimana rasa tanggung
jawabmu?" Sikap Suma Bing sangat kikuk dan risi, sahutnya: "Kuakui dia
sebagai istriku, aku tidak akan menelantarkan
dia." "Begitupun baik, kalau tidak akupun tidak akan
mengampuni kau." sejenak merandek lalu katanya lagi: "Subomu
minta aku memberitahu kepadamu, dikalangan Kangouw kau
jangan merendahkan derajat dan nama Sia-sin Kho Jiang?"
"Aku paham!" "O, ya, dia masih ada sebuah barang hadiah
untuk kau" Suma Bing melengak, tanyanya: "Hadiah apa?"
"Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko!"
"Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko, dia juga punya?"
"Ya, semua ada dua butir, subo dan suhumu masing2 menyimpan
sebutir..."
"Milik suhu itu sudah dicuri dan mungkin sudah ditelan oleh Loh
Tju-gi." "Hal itu aku sudah tahu, setelah menelan Kiu-tjoan-hoanyang-
tjau-ko ini dapat menambah Lwekangmu maju satu kali
lipat." "Aku... haruskah menerima?" "Pemberian dari angkatan tua
tidak boleh ditolak. Sekarang
juga boleh kau telan, biar kubantu kau membaurkan kedalam
tenaga murnimu."
Lalu dikeluarkannya sebuah peles kecil terbuat dari porselin lalu
dituangnya sebutir buah sebesar kacang yang berbau harum yang
aneh langsung diangsurkan kepada Suma Bing. Segera Suma Bing
menerima dengan kedua tangannya terus dimasukkan kedalam
mulut. "Duduklah dan mulai semedi, pusatkan pikiran dan hilangkan
segala perasaan."
Suma Bing menurut apa yang diperintahkan. Segera terasa
segulung hawa panas timbul dari pusarnya, lalu disusul sejalur
hawa panas yang kuat menembus masuk melalui jalan darah
Bing-bun-hiat, ditambah hawa murni dalam tubuhnya, tiga macam
hawa murni terbaur menjadi satu terus berputar dan mengalir
deras keseluruh tubuh. Tidak lama kemudian hilanglah segala
perasaan jasmaniah. Entah sudah berselang berapa lamanya,
mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring:
"Tarik tenaga." Sigap sekali Suma Bing melompat bangun,
terasa semangatnya me-nyala2 tenaganya bergairah padat memenuhi
seluruh tubuh, hingga terasa nyaman dan ringan sekali.
Saat mana Bintang2 dilangit sudah berkelap-kelip kiranya hari
sudah gelap. "Bing-tit, sekarang juga lebih baik kau menuju ke Bu-kong- san
mencoba keberuntunganmu..."
"Maksud Jui-ih tentang Bunga-iblis itu?" "Benar, kalau kau bisa
mendapatkan Bunga iblis, dengan
mudah Pedang darah dapat kau rebut." Rasa heran dan curiga
membuat Suma Bing nanap
mengawasi Ong Fong-jui, entah apa yang dimaksud tentang
Pedang darah yang agaknya sangat disepelekan itu" Pedang
darah sudah terjatuh ditangan Racun diracun, masa dengan
mudah dia bisa meminta kembali"
"Bing-tit, mengapa tubuhmu kebal akan racun, apa kau..."
"Dari Si-gwa-sian-jin aku diberi sebatang rumput ular serta
sebutir buahnya." "O, begitu kiranya, sungguh besar rejekimu."
"Jui-ih, ada satu berita hendak kuberitahu kepadamu."
"Coba katakan" "Menurut kata Tou-sing-to-gwat Si Ban-tjwan si
maling bintang, bahwa ibu masih hidup didunia fana ini." "Apa betul?"
seru Ong Fong-jui kaget, wajahnyapun
berobah. Lantas secara singkat Suma Bing menutur
pertemuannya dengan si maling bintang Si Ban-tjwan dan mengisahkan lagi
cerita yang didengarnya itu dengan haru.
"Bing-tit," seru Ong Fong-jui berlinang air mata girang. "Benar2
suatu hal yang tak terduga. Kalau dapat menemukan ibumu, pasti
seluruh musuh besarmu dapat dibereskan. Tapi aku masih curiga,
sudah selama puluhan tahun, mengapa tiada sesuatu reaksi
dikalangan Kangouw."
"Benar, akupun berpikir begitu. Tapi ucapan si maling bintang
pasti dapat dipercaya mungkin masih ada sesuatu sebab lain yang
belum kita ketahui!"
"Lebih baik kau segera menuju ke Bu-kong-san, meskipun
harapan itu sangat kecil belum tentu tercapai. Tapi inilah cita2
ayahmu semasa hidup, sudah seharusnya kau melaksanakan
keinginannya terakhir."
"Baiklah." "Tentang jejak ibumu, aku juga harus ikut mencari
sekuat tenaga" Sebentar Suma Bing berpikir2, lalu memberi hormat serta
katanya: "Jui-ih, baiklah Tit-ji minta diri." "Baik, kudoakan kau
berhasil, tapi semua kejadian didunia
ini tergantung jodoh, jangan kau terlalu paksakan diri, kuharap kau
selalu ingat perkataanku ini."
"Tit-ji akan selalu ingat." hilang suaranya tubuhnya sudah
berkelebat hilang.
Waktu terang tanah, Suma Bing sudah berlarian sejauh ratusan li.
Seperti kata bibinya bahwa perjalanannya ini belum tentu bisa
mendapat sukses karena harapan itu adalah sangat kecil. Coba
pikir, Bu siang-sin-li adalah tokoh aneh yang sudah berusia seabad
lebih, apakah masih hidup didunia fana ini, masih merupakan
persoalan baginya. Dan lagi sedemikian besar gunung
Bu-kong-san itu, siapa tahu dimana Bu-siang- sin-li bersemayam"
Diumpamakan saja secara kebetulan dapat diketemukan, apakah
orang mau memberikan Bunga-iblis itu yang dipandang sebagai
benda keramat dan paling berharga malah di-kejar2 oleh kaum
persilatan" Ya, meskipun sepercik harapan saja, namun dia harus
mencoba sekuat tenaganya, perintah guru dan cita2 orang tua
harus dilaksanakan dan diselesaikan secara menyeluruh.
Bahwa Pedang berdarah dan Bunga iblis mengandung rahasia ilmu
silat mujijat yang paling digdaya dan merupakan raja dari seluruh
ilmu silat adalah menjadi incaran dan impian seluruh kaum
Kangouw. Begitulah tengah Suma Bing berlangkah ringan, mendadak sebuah
suara yang sangat dikenal tengah memanggil dibelakangnya:
"Suma-hiante!" Segera Suma Bing menghentikan langkah dan
berputar tubuh, tanpa terasa ia terlongo kaget, karena orang yang berseru
memanggil dirinya kiranya adalah si orang berkedok yang telah
terjungkal kedalam jurang yang juga disangkanya sudah
meninggal itu. "Bong-bian-heng, kau... kau belum meninggal?" Si orang
berkedok maju mendekat kehadapan Suma Bing
dan tertawa gelak2, katanya: "Berkat rahmat Tuhan, aku masih
hidup didunia fana ini!" "Tidak heran aku tidak menemukan
jenazahmu dalam
jurang itu. Tapi sudah jelas bahwa kau telah terjungkal masuk
jurang oleh pukulan ketua Bwe-hwa-hwe itu..."
"Ya, memang, tapi ditengah jalan aku dapat menjangkau sebuah
batu yang menonjol keluar, terhindarlah aku dari terbanting
mampus hancur lebur didasar jurang itu."
"Heng-tai (saudara tua) dari mana?" "Sungguh sangat
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebetulan, aku tengah mencari kau." "Mencari aku?" "Ya,
begitulah!" "Ada urusan apakah?"
"Racun diracun kini terkurung dalam sebuah barisan kira2
beberapa li dari sini..."
Suma Bing melonjak kaget, serunya: "Terkurung oleh siapa
Racun diracun itu?" "Oleh Racun utara!" Suma Bing lebih kaget
dan heran tak mengerti, tanyanya: "Agaknya tidak mungkin..."
"Kenapa?" "Aku menyaksikan sendiri waktu Racun utara dan
Racun diracun beradu kepandaian minum racun. Akhirnya Racun utara
kalah berbisa dari Racun diracun, dia terluka oleh bisa
Ban-lian-tok-bo dari Racun diracun, dalam sepuluh tahun baru
dapat memunahkan seluruh racun berbisa dalam tubuhnya itu.
Mana mungkin dia mengurung..."
Tanpa menanti orang selesai bicara si orang berkedok segera
menukas: "Tapi kejadian inipun kusaksikan sendiri, malah sekarang masih
dalam kenyataan, karena Racun diracun saat ini masih terkurung
dalam barisan itu."
"Racun utara yang membentuk barisan itu?" "Bukan, ada lima
puluh jagoan silat dari Bwe-hwa-hwe
turut hadir disana, naga2nya mereka berkomplot saling bantumembantu..."
"Selamanya Racun utara paling menjaga gengsi dan tingkat
kedudukan, sungguh tak terduga akhirnya ia minta bantuan orang
lain juga."
"Benar, mungkin dia diperalat oleh Bwe-hwa-hwe khusus untuk
menghadapi Racun diracun. Bukankah kau mengatakan bahwa
Racun utara pernah dikalahkan oleh Racun diracun. Mungkin
karena tamak hendak menebus kekalahannya, dan
lagi sehari sebelum Racun diracun lenyap dari bumi ini, dia takkan
dapat merajai menggunakan racun berbisanya lagi. Sebaliknya
Bwe-hwa-hwe tengah mengincar Pedang berdarah itu. Bukankah
bakal terlaksana tujuan mereka masing- masing?"
Suma Bing manggut, katanya: "Pendapat Heng-tai memang
tepat!" Kata si orang berkedok lagi: "Tujuanku mencari kau
adalah untuk mencari kesempatan
merebut pulang Pedang darah itu." Sejenak Suma Bing merenung
dan berpikir, lalu ujarnya: "Tidak, sekali ini aku hendak menolong
Racun diracun!" "Apa kau hendak menolong Racun diracun?"
"Benar?" "Tanpa syarat?" "Ya, menolongnya tanpa syarat!"
"Mengapa?" "Aku pernah terluka parah oleh pukulan Racun utara,
untung dia memberiku sebutir obat dan merintangi Racun utara
waktu dia hendak turunkan tangan kejinya kepadaku, ini terhitung
dia ada budi kepadaku, maka akupun harus menolongnya sekali."
"Lalu bagaimana dengan Pedang darah itu?" "Seorang laki2
harus tegas membedakan antara dendam
dan budi, kelak masih ada kesempatan." "Apa boleh buat, mari
segera kita kesana!" Sebat luar biasa tubuh mereka melenting
tinggi terus menghilang dikejauhan. Tidak lama kemudian tibalah mereka
disebuah rimba raya, dimana terlihat puluhan jago2 silat BweTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hwa-hwe tengah mengepung puluhan pohon besar seluas lima
enam tombak, ditengah diantara puluhan pohon2 besar itu
ber-tumpuk2 batu2 dan dahan2 pohon yang sudah kering!
Didalam lingkungan bundaran batu dan dahan pohon itu terlihat
berduduk sila seorang berkedok serba hitam. Sedang disebelah
sana terlihat Racun utara tengah duduk diatas sebuah dahan
pohon besar. Gesit dan lincah luar biasa mereka sembunyi diantara dahan2
pohon yang lebat itu, Suma Bing bertanya heran:
"Tumpukan batu dan dahan pohon itulah barisan yang kau
katakan?" "Benar!" sahut si orang berkedok lirih! "Hanya seluas lima
tombak lantas dapat mengurung Racun
diracun?" "Justru disitulah kehebatan dan keanehan barisan itu.
Dilihat dari luar memang biasa saja, tapi sekali kau berada
didalam lain lagi keadaannya, kalau kau tidak mengetahui duduk
barisan ini, meskipun kepandaianmu setinggi langitpun mandah
saja terima binasa."
"Masa begitu lihay?" "Benar!" "Apakah Heng-tai mengenal
bentuk barisan macam apakah
itu?" "Kebetulan barisan ini adalah lawan kebalikannya dari Ngo
heng-tin (lima unsur). Asal kau dapat masuk dari lobang tengah
diantara kedua pohon itu, lantas kekiri tiga langkah dan maju
setindak, menggeser kekanan lima langkah kau sisihkan dahan
pohon yang melintang itu lalu kau pukul roboh dua gundukan batu
dihadapanmu terus maju lempang kedepan delapan langkah, kau
sapu lagi gundukan batu terbesar itu, barisan ini terhitung sudah
kau pecahkan. Asal
kau dapat menolong keluar Racun diracun, Racun utara dan para
kerabat dari Bwe-hwa-hwe itu sangat gampang digebah pergi.
Karena aku kuatir Racun utara menggunakan bisanya, maka lebih
baik kau saja yang menerjang kedalam barisan itu."
Suma Bing mengangguk paham, ujarnya: "Baik, tapi aku
hendak tempur Racun utara dulu." "Kau hendak tempur Racun
utara?" Suma Bing mengiakan sambil merogoh keluar Cincin
iblis terus dipakai dijarinya. Cincin iblis adalah benda pertanda dari
Lam-sia, dia ingin secara resmi sebagai murid Lam-sia berhadapan
dimuka Bu-lim. Pesan Setan barat yang disampaikan Ong Fong-jui
sudah meresap dalam sanubarinya, tidak boleh dia melemahkan
gengsi dan nama serta kedudukan suhunya yang ditakuti dan tenar
itu. Dia pernah menelan seluruh batang rumput ular, badannya kebal
akan segala racun, subonya memberikan sebutir Kiutjoan-
hwan-yang-tjau-ko hingga tenaga dalamnya bertambah lipat
ganda, dia ada pegangan dan mantep betul untuk menghadapi
Racun utara salah satu dari Bu-lim-su-ih yang sejajar dengan
tingkat gurunya.
Si orang berkedok mengunjuk rasa kurang tentram, ujarnya:
"Hian-te, Racun utara sejajar dengan gurumu, jangan pula kau
pandang rendah para jagoan Bwe-hwa-hwe itu..."
Suma Bing menjawab dengan angkuhnya: "Aku tahu." Begitu
bergerak tubuhnya berkelebat maju dengan langkah
lebar ia memasuki rimba lebat itu. "Siapa itu?" diiring suara
bentakan ini dua jagoan Bwe-hwahwe
memburu keluar mencegat ditengah jalan.
Waktu Suma Bing angkat kepala, dua jalur sinar matanya yang
dingin membeku bagai tajam pedang melesat menatap dua orang
dihadapannya. Tanpa kuasa kedua jagoan Bwe-hwa-hwe itu bergidik seram dan
menyedot hawa dingin, salah seorang diantaranya segera
membuka kata memaki:
"Siautju, kalau masih ingin hidup lekas menggelundung pergi!"
Acuh tak acuh Suma Bing mendengus hina, tangan kanan
per-lahan2 diangkat, selarik sinar merah tajam segera memancar
keluar dari tengah jarinya.
"Cincin iblis!" "Kau... Suma Bing murid Lam-sia?" "Benar, jiwa
kalian tidak akan penasaran dan boleh mati
meram!" Seketika kedua jagoan Bwe-hwa-hwe itu undur
ketakutan, serasa arwah mereka sudah mendahului terbang keluar badan.
Begitu putar tubuh segera mereka hendak lari...
Dimana terlihat sinar merah menyamber disusul dua jeritan ngeri
lantas darahpun berhamburan, badan kedua orang itu seketika
terbanting keras dan melayang jiwanya. Jeritan mereka yang
menyayat hati membuat gempar dan gaduh situasi dalam hutan
yang sunyi senyap itu. Kontan empat orang tua berseragam hitam
berloncatan keluar, satu diantaranya segera berseru kejut dan
ketakutan: "Dialah Suma Bing, awas lawan berat, serang!" Serentak
empat jalur angin pukulan dahsyat bergelombang
menimpa kearah Suma Bing. Terhadap setiap insan dari
Bwe-hwa-hwe boleh dikata
Suma Bing sudah membenci sampai ketulang sumsum dan tujuh
turunan. Besar niatnya hendak menumpas habis para
durjana dari serikat laknat ini. Dimana kedua tangannya terayun
gelombang panas dari angin pukulannya segera menerjang maju
memapak gabungan tenaga empat musuhnya itu. Pukulan Suma
Bing ini mengandung sepuluh bagian kekuatan Kiu-yang sin-kang.
Kontan terdengar dentuman keras bagai bom atom meledak.
Seketika orang tua seragam hitam yang menerjang tiba lebih dulu
terbang balik kedalam rimba dan menghamburkan hujan darah,
sedang dua yang lain terhuyung jatuh duduk diatas tanah, mulut
dan hidungnya bernoda darah kental.
Gerak gerik Suma Bing tidak berhenti begitu saja, tangkas luar
biasa tubuhnya berkelebat mendesak maju kearah luar barisan
dimana Racun diracun tengah terkurung.
Sampai pada detik itu baru Suma Bing melihat tegas akan situasi
sekeliling barisan ini. Dahan dan daon pohon kering tertumpuk
dimana2 ditaburi belirang dan bahan bakar lain yang gampang
terjilat api, naga2nya mereka hendak hidup2 membakar mati
Racun diracun dalam barisan. Sebaliknya Racun diracun masih
duduk sila dengan tenang, se-akan2 tidak mendengar keributan
yang terjadi diluar barisan.
Begitu melihat Suma Bing muncul disitu, kontan Racun utara
segera mengunjuk sikap mengancam gusar, serunya:
"Tuan2, silahkan mundur ketempat masing2." Benar juga para
jagoan Bwe-hwa-hwe itu segera mundur
teratur tanpa komentar. Maka terdengar Racun utara berkata
dingin: "Suma Bing, sungguh tak duga kau datang mengantar
kematian." Suma Bing tertawa sinis katanya: "Jadah tua berbisa,
ingat perkataanku beberapa waktu
yang lalu. Hari ini akan kubikin kau muntah darah juga."
Dihadapan sekian banyak orang luar dimaki sebagai jadah tua,
sungguh murka Racun utara bukan olah2, wajahnya menyeringai
bengis dan berkata:
"Tapi Lohu segera akan cabut jiwamu." "Hm, takabur benar,
mari kau coba2." ejek Suma Bing. Tidak menanti kata2 Suma
Bing habis diucapkan, Racun
utara sudah membentak menggeledek sambil kirim sebuah
hantaman, sedemikian dahsyat pukulannya ini seakan ingin sekali
pukul ia bikin hancur tubuh Suma Bing menjadi perkedel.
18 MAU MENOLONG MALAH DITOLONG
Sudah tentu Suma Bing tidak berani memandang enteng
serangan musuh ini, bercekat hatinya, serentak dikerahkan
seluruh tenaganya untuk balas menyerang.
Dentuman dahsyat memekak telinga memecah kesunyian begitu
dua angin pukulan saling tumbuk ditengah udara. Ke- dua2nya
terpelanting mundur selangkah.
Sungguh kejut Racun utara bukan kepalang, bahwa hanya terpaut
beberapa hari saja darimana datangnya Lwekang si bocah ini
sedemikian hebat" Hal ini benar2 membikin jatuh pamor dan
gengsinya, bahwa seorang angkatan muda dapat mengimbangi
kepandaian dan tenaga dalamnya. Maka lebih besar lagi tekadnya
untuk melenyapkan jiwa Suma Bing, setelah terlongo sebentar,
serangan kedua sudah dilancarkan lagi. Pukulan kali ini
mengerahkan seluruh kekuatan Hian-in- kang yang terlatih
puluhan tahun, badai angin dingin yang menyesakkan napas
membuat tiga tombak sekelilingnya terasa dingin membeku.
Sementara itu, Suma Bingpun sudah bersiap kerahkan seluruh
kekuatan Kiu yang sin kang untuk menangkis. Taufan panas
ber-gulung2 melanda kedepan dengan dahsyatnya.
Seketika Racun utara mendehem sekali, tubuhpun ber- goyang2.
Sebaliknya Suma Bing menggigil kedinginan, tubuh terasa hampir
membeku, tanpa kuasa tubuhnya terhuyung mundur selangkah.
Semua penonton termasuk para kerabat dari Bwe-hwa-hwe
berobah tegang.
Dalam pada itu, dimana kedua tangan Racun utara diulurodotkan,
ilmu Hian in kang nya lagi2 sudah merangsang tiba.
Si orang berkedok yang sembunyi diluar rimba sana berkeringat
dingin dan kuatir akan keselamatan Suma Bing. Disamping itu
diapun merasa heran dan terkejut akan Lwekang Suma Bing yang
mendadak bertambah berlipat ganda sangat lihay lagi. Apa
mungkin dia mendapat sesuatu rejeki yang aneh"
'Bum' ditengah suara dentuman ini, kedua pihak tersurut lagi
masing2 selangkah. Jelaslah bahwa Lwekang atau kekuatan
mereka berimbang. Sungguh gusar dan malu Racun utara bukan
olah2, segera ia mendesak maju dan beruntun kirim tiga kali
serangan berantai, jurus demi jurus lebih lihay dan lebih ampuh,
apalagi sekaligus dilancarkan maka bukan olah2 hebat dan dahsyat
perbawanya. Dalam gebrak terakhir ini mau tak mau Suma Bing harus
mengakui bahwa dirinya kalah latihan, seketika dia terdesak
mundur tiga tindak. Mendapat peluang yang menguntungkan ini
Racun utara tidak me-nyia2kan, gaya silat yang aneh dan lihay
beruntun diberondong keluar bagai air bah melanda, se- akan2
sekali serang dia ingin mengkeremus musuh kecilnya ini yang
dianggapnya masih berbau bawang, tapi berani unjuk gigi.
Suma Bing kertak gigi, ajaran suhunya yang paling lihay dan
ampuh juga tidak kalah perbawanya diboyong keluar untuk
berhantam secara keras lawan keras, sedikitpun dia tidak sudi
unjuk kelemahan dihadapan musuh bebuyutan perguruannya ini.
Gegap gempitalah sekitar gelanggang pertempuran, tigapuluh
jurus kemudian kebandelan Suma Bing yang bersilat secara tidak
mengenal kompromi ini kiranya membawa hasil juga, lama
kelamaan Racun utara semakin payah terdesak dibawah angin dari
menyerang terbalik diserang.
Kiranya setelah keracunan Ban-lian-tok-bo atau bisa diantara raja
bisa dari Racun diracun, meskipun Racun utara paling
membanggakan akan permainan serta kemahirannya
menggunakan racun, toh dalam waktu singkat tidak mungkin dia
mampu membersihkan atau mencuci bersih racun berbisa yang
mengeram dalam tubuhnya. Maka begitu saling hantam dan
kelewat besar menggunakan tenaga racun yang mengeram dalam
tubuhnya mulai bekerja semakin cepat mengikuti aliran jalan
darah. Maka semakin lama dia harus memeras keringat dan
terdesak terus dibawah angin. Masih untung kalau dia berlaku
tenang, tapi semakin dia gugup dan malu menjaga gengsi apa
segala semakin payah dan ricuhlah keadaannya.
Adalah sebaliknya semakin bertempur semangat Suma Bing
semakin berkobar, tenaga dalam semakin lancar dan bergairah
penuh, nyata bahwa Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko mulai
menunjukkan kemustajabannya.
Terdengar sebuah geraman keras disertai pekik nyaring kesakitan.
Kontan terlihat Racun utara Tangbun Lu tergusur tiga langkah,
menyemprot darah segar, tubuhnya lemas terkulai hampir roboh.
"Tua jadah berbisa, bagaimana?" jengek Suma Bing temberang.
Muka Racun utara merah membara, wajahnya mengunjuk rasa
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kebencian yang ber-limpah2. Sungguh mimpipun dia tidak
menduga bahwa dirinya bakal terjungkal ditangan seorang
angkatan muda. Memang kekalahannya ini sangat menggenaskan.
Se-konyong2 empat orang tua berwajah pucat ke-hijau2an
bermunculan dihadapan Suma Bing. Diam2 terperanjat Suma Bing,
senjata keempat orang tua didepannya ini boleh dikata sangat
aneh jarang terlihat dikalangan Bulim. Itulah sebuah tongkat
panjang tiga kaki yang ujungnya berbentuk persis dengan jari2
tangan manusia yang tergenggam, seluruh tangkai dari ujung
penuh ditaburi duri2 kecil yang tajam berkilau ke-biru2an. Terang
kalau senjata mereka ini dilumuri racun berbisa yang
membahayakan jiwa manusia.
"Saudara kecil, hati2 kau, mereka adalah Kangouw-su-ok yang
sudah kenamaan kekejaman dan kekejiannya. Mereka adalah
pelaksana atau algojo dari seksi hukum dalam Bwe- hwa-hwe.",
itulah bisikan si orang berkedok yang telah menggeremet maju
dibelakang Suma Bing.
Suma Bing manggut2 sebagai jawaban bahwa dia sudah maklum.
Salah seorang Kangouw-su-ok (empat durjana dari Kangouw)
berpaling dan berkata kepada Racun utara:
"Biar bocah ingusan ini kita berempat yang melayani. Ada lebih
penting Tjianpwe segera membereskan Racun diracun!"
Dengan sikap rikuh dan risi Racun utara membesut noda darah
dimulutnya lalu berjalan cepat kearah barisan yang telah
diaturnya. Pada saat itulah se-konyong2 Kangouw-su-ok mendadak
perdengarkan suara tawa melengking berbareng, lalu bersamaan
pula menggerakkan senjata tongkat kepelannya yang beracun
mengurung seluruh tubuh Suma Bing. Dalam
waktu yang bersamaan, dari sebelah sana tiga lelaki seragam
hitam lainnya segera menubruk kearah si orang berkedok.
Terjadilah pertempuran sengit, bahwa kepandaian Kangouw-su-ok
sudah kenamaan ditambah gabungan senjata mereka benar2 hebat
perbawanya. Mereka bertempur seru melawan Suma Bing.
Disebelah sana agaknya kepandaian si orang berkedok berkelebihan
menghadapi tiga laki2 bertubuh kekar itu.
Sementara itu, Racun utara berdiri diluar barisan dan tengah
membentak gusar:
"Racun diracun, lekas serahkan Pedang berdarah, supaya kau
terhindar dari kematian."
Bola mata Racun diracun yang banyak putih dari hitamnya
ber-putar2, suaranya berejek dingin:
"Tua keladi, agaknya kau sedang bermimpi!" "Kau tidak
menyesal?" "Tiada yang perlu disesalkan. Adalah kau tua
keladi ini, aku
merasa hina bagi kau. Sungguh tidak malu kau menggunakan
pengaruh Bwe-hwa-hwe untuk mengurung aku disini..."
"Tutup mulutmu, sebenarnya kau ingin hidup atau mati?"
"Cerewet!" "Hehehe, asal Lohu membuka mulut, segera kau
akan terbakar hangus menjadi abu." "Silakan kau bebas buka mulut!"
"Sebenarnya kau mau tidak serahkan Pedang darah itu?" "Tidak!"
"Baik, jadi kau memang bertekad hendak mati?" "Tua keladi,
mungkin kau kenal juga akan barang yang
dinamakan Sam-li-hiang?"
Berobah tegang wajah Racun utara, serunya kaget:
"Sam-li-hiang?" Racun diracun bergelak menggila, serunya:
"Benar, 'harum tiga lie', aku sudah sebar permainanku itu
dalam barisanmu ini. Kalau kau berani melepas api, begitu
permainanku itu terjilat api segera berkembang keempat penjuru,
dalam jarak lingkungan tiga li jangan kata hanya beberapa gelintir
manusia seperti kalian ini, binatang atau burung yang bisa
terbangpun akan terbunuh mampus semua!"
"Lohu tidak gampang kena gertak!" seru Racun utara penuh
kebencian. "Kau memang kuat bertahan, tapi kau jangan lupa para kurcaci
dari Bwe-hwa hwe itu, agaknya mereka sudah suratan takdir
harus mampus."
Ucapan terakhir ini membuat para kerabat Bwe-hwa-hwe yang
mengepung diluar barisan mundur ketakutan. Ingin hidup adalah
menjadi hak semua manusia, dan itu sudah jamak, siapa yang rela
mengantar kematian secara konyol. Seumpama Racun utara
benar2 nekat memberi perintah melepas api belum tentu mereka
mau patuh akan perintahnya itu.
Sementara dalam gelanggang, mendadak terdengar suara pekik
kesakitan, kiranya dua diantara tiga lelaki kekar yang mengeroyok
si orang berkedok sudah pecah hancur kepalanya terkena bogem
mentah lawannya. Segera seorang tua dan dua orang
pertengahan umur maju menambal pengeroyokan yang tidak
seimbang dalam jumlah, satu lawan empat.
Sementara itu, meskipun lihay, Kangouw-su-okpun tidak mendapat
keuntungan melawan Suma Bing, untung permainan senjata
mereka sangat aneh, namun demikian toh mereka sudah tidak
mampu balas menyerang lagi.
Diam2 Suma Bingpun perhatikan percakapan antara Racun utara
dengan Racun diracun. Seandainya benar semua jagoan atau
semua orang yang hadir sama2 mati, tapi Racun diracun sendiri
juga tidak luput akan terbakar hangus.
Untuk ini dia harus berusaha secepat mungkin untuk menolong
Racun diracun supaya terhindar dari kematian. Satu pihak dirinya
berhutang budi, dilain pihak Pedang darah juga harus direbut
kembali. Dilain pihak, setelah merenung dan berpikir sekian lamanya,
se-konyong2 Racun utara bergelak tawa kepuasan, serunya:
"Racun diracun, akal licikmu akan sia2, Lohu akan perintahkan
mereka mundur secepatnya keluar lingkungan tiga li, lalu Lohu
sendiri yang akan melepas api, bukankah kau sendiri tidak mampu
keluar dari kurungan!"
Tindakan Racun utara ini memang sangat licik dan licin, seketika
Racun diracun terpaksa mulutnya tidak mampu mengeluarkan
suara. Se-konyong2 Suma Bing bersuit panjang, beruntun ia kirim
delapanbelas kali pukulan. Dimana bayangan pukulannya
berkelebat salah satu dari Kangouw-su-ok segera menjerit seram,
tubuhnya terbang muntah darah, sedang yang satu lagi, terpental
jauh senjatanya dan terhuyung jatuh duduk. Dua dari keempat
lawannya sudah keok, Suma Bing lebih gampang dan ringan lagi
membereskan sisa dua musuhnya. Tiga gebrak kemudian kedua
sisa musuhnya inipun lari ter- birit2 membawa luka. Sekali
menggoyang tubuh gesit sekali Suma Bing melesat menubruk
kearah barisan.
Bertepatan dengan itulah terdengar suara kesiur angin baju yang
melambai mendatangi, disusul beberapa bayangan orang melesat
tiba memasuki gelanggang.
Serta merta Suma Bing menghentikan luncuran tubuhnya. Waktu
ia menegasi berdetak keras jantungnya.
Orang terdepan dari rombongan orang2 yang mendatangi ini
mengenakan kedok berpakaian ungu, itulah Ketua Bwe- hwa-hwe
adanya. Dibelakangnya beriring mengikuti tiga laki2 dan seorang
perempuan, dan perempuan itu tak lain tak bukan adalah
pelindung Bwe-hwa-hwe si mawar beracun Ma Siok-tjeng. Tiga
laki2 lainnya agaknya juga bukan tokoh2 sembarangan.
Begitu melihat Ma Siok-tjeng si mawar beracun yang bersifat cabul
ini, sontak Suma Bing merasakan darahnya mengalir deras, wanita
jalang ini lebih dibencinya daripada Ketua Bwe-hwa-hwe itu.
Bukankah karena perbuatan cabulnya itu maka dirinya sampai
mengotori kesucian Phoa Kin-sian.
Begitu tiba segera Ketua Bwe-hwa-hwe menyapu pandang
keempat penjuru, lalu berkata kepada Racun utara:
"Tuan lebih baik istirahat sebentar. Biar aku yang membereskan
dan menguasai keadaan disini!" lalu ia berpaling kearah si mawar
beracun dan berkata lagi: "Ma- houhoat, kau ringkus si orang
berkedok itu!"
Bergegas Ma Siok-tjeng mengiakan, dengan langkahnya yang
gemulai menggiurkan ia menuju kehadapan si orang berkedok.
Kedua mata Ketua Bwe-hwa-hwe ber-kilat2 menyedot semangat
orang menatap wajah Suma Bing. Situasi dalam gelanggang
seketika menginjak kearus yang menegangkan.
Melihat musuh besarnya ini sepasang mata Suma Bing me- nyala2
geram, tak kuat lagi dia menahan gelora hatinya, wajahnya penuh
terselubung nafsu membunuh, per-lahan2 ia melangkah maju
beberapa tindak, nadanya dingin mendesis:
"Tuan Ketua, mari kita selesaikan perhitungan kita yang
tertunggak itu!"
Ketua Bwe-hwa-hwe menyeringai iblis, ejeknya:
"Suma Bing, beberapa kali kau lolos dari tanganku, terhitung
jiwamu yang besar beruntung. Tapi hari ini, kau sudah pasti mati!"
Suma Bing ganda mendengus hina. "Bocah ingusan, jangan
kau takabur, segera Pun-hwe tiang
(aku) membuktikan perkataanku tadi." "Hari ini akan kubeset
kulitmu hidup2, aku juga bisa segera
membuktikan ucapanku ini." "Baik, silahkan bocah ingusan turun
tangan?" Suma Bing menggerung gusar, serunya: "Hitung2 kau
seorang Ketua, tapi kenapa malu bertemu
orang, tentu kau bukan kaum keroco yang tidak mempunyai
nama bukan?"
"Hehehe, bocah ingusan, tidak sukar kau hendak mengetahui nama
dan asal-usul Ketua ini, nanti kalau napasmu sudah tinggal
hembusan yang terakhir, pasti akan kuberitahukan kepadamu.
Tidak akan kubuat kau mati penasaran."
Saking menahan gusar, Suma Bing merasa dadanya hampir
meledak, sambil berteriak keras dilancarkannya sebuah pukulan
dengan pengerahan seluruh tenaganya. Betapa dahsyat perbawa
pukulannya ini, rasanya dapat menggugurkan sebuah gunung.
Sambil menjengek hina, Ketua Bwe-hwa-hwe seenaknya saja
angkat sebelah tangannya menangkis. "Blang!" suara dentuman
yang menggelegar ini menggetarkan semua hadirin. Sungguh
tidak nyana bahwa Ketua mereka yang dipandang bagai malaikat
sakti ini kena tergetar mundur satu langkah oleh pukulan musuh
kecilnya itu. Bahwasanya Ketua Bwe-hwa-hwe sendiri juga bukan olah2
kejutnya, diluar persangkaannya bahwa hanya terpaut
beberapa hari saja ternyata bahwa kekuatan lawan sudah
bertambah berlipat ganda.
Disebelah sana si orang berkedok juga tengah bertempur seru dan
tegang melawan si mawar beracun Ma Siok-tjeng. Tapi jelas
kelihatan bahwa kepandaian dan Lwekang Ma Siok- tjeng agaknya
masih lebih tinggi dari si orang berkedok. Dalam beberapa gebrak
saja si orang berkedok sudah kepayahan dibawah angin.
Karena memandang ringan musuhnya, maka begitu bergebrak
kontan Ketua Bwe-hwa-hwe mendapat sedikit kerugian, sungguh
memalukan dan merendahkan derajatnya bahwa dia sampai kena
cidera ditangan musuh. Untuk mengambil muka segera ia
lancarkan tiga serangan berantai. Untuk ini Suma Bing juga
terdesak mundur tiga langkah. Hal ini menunjukkan bahwa
Lwekang Ketua Bwe-hwa-hwe memang berada diatas kemampuan
Suma Bing. Suma Bing kerahkan seluruh kekuatannya dijari tengah tangan
kanannya, cincin iblis segera memancarkan cahaya keras dingin
yang menyilaukan mata, dimana tangannya itu bergerak langsung
ia menyerang kepada musuhnya. Terbukalah pertempuran seru dari
tokoh silat kelas tinggi yang jarang terjadi didunia persilatan.
Disamping sana, keadaan si orang berkedok seumpama keledai
yang kehabisan napas menggeh2, dilihat keadaannya paling
banyak dia kuat bertahan sampai duapuluh jurus lagi. Terang
tinggal tunggu waktu saja dia bakal terjungkal ditangan si mawar
beracun. Mengandal keampuhan Cincin iblis. Suma Bing masih kuat
bertahan sementara waktu, namun cepat atau lambat diapun
pasti akan kalah.
Bahwa Racun utara Tangbun Lu bisa terjungkal ditangan Suma
Bing, mimpipun dia takkan menduga. Boleh dikata kekalahannya
itu adalah kekalahan yang paling mengenaskan
selama hidup. Saat mana, wajahnya membeku pucat, sepasang
matanya kesima mengikuti terus gerak gerik Suma Bing.
Sementara itu, Racun diracun masih duduk bersila ditengah
barisan dengan tenang dan antengnya, seakan dia tidak
mendengar dan tidak kuatir karena mempunyai pegangan untuk
menyelamatkan diri.
Terdengar suara tertahan seperti orang hampir muntah seketika si
orang berkedok meliuk sempoyongan hampir roboh. Begitu
serangannya membawa hasil si mawar beracun masih tidak tinggal
diam begitu saja, badannya terus mendesak maju, dimana
suaranya membentak keras, sebuah tangannya terayun lagi
menggenjot dada si orang berkedok. Pukulannya ini dilancarkan
secepat kilat. Terang kalau si orang berkedok sudah tidak mampu
berkelit atau menghindar lagi, jiwanya terancam...
Sungguh kejut dan gugup Suma Bing bukan kepalang, gesit sekali
tubuhnya berkelebat meninggalkan Ketua Bwe-hwa- hwe,
langsung ia menubruk kearah Ma Siok-tjeng.
"Blang, bum!" dua dentuman terdengar saling susul disertai pekik
kesakitan yang luar biasa dibarengi dua bayangan orang terpental
terbang beberapa tombak jauhnya.
Untuk menolong jiwa si orang berkedok, waktu menubruk datang
tadi Suma Bing kerahkan setaker tenaganya dikedua tangannya
terus disapukan kedepan. Si mawar beracun Ma Siok-tjeng tidak
menduga akan serangan yang mendadak ini, kontan tubuhnya
terbang jauh sungsang sumbel. Tapi tidak urung si orang
berkedok roboh juga terkena pukulan si mawar beracun Ma
Siok-tjeng. Untung serangan Suma Bing itu sedikit banyak
mengurangi kekuatan pukulan Ma Siok-tjeng, kalau tidak mungkin
saat itu si orang berkedok sudah menggeletak mampus.
Bersamaan dalam waktu dua bayangan tubuh orang terpental
terbang itu sejalur tenaga angin bagai gugur gunung juga telah
menimpa kearah Suma Bing, kira2 hanya terpaut
beberapa detik saja setelah Suma Bing lancarkan serangannya.
"Buk!" Kontan Suma Bing mendehem keras sambil muntah darah,
badannya tersuruk maju delapan langkah. Sebelum tubuhnya
berdiri tegak angin pukulan kedua sudah menerpa datang lagi
lebih dahsyat. Sambil kertak gigi, sebat sekali Suma Bing menggeser kedudukan
lima kaki, kini mereka muka berhadapan muka, jarak mereka
terpaut satu tombak.
Disebelah sana, Ma Siok-tjeng dan si orang berkedok sudah
terhuyung bangun dan berkutetan lagi tidak kalah serunya.
Pada saat itulah, se-konyong2 sebuah bayangan terbang melesat
memasuki gelanggang langsung menubruk kearah ketua
Bwe-hwa-hwe. Tanpa berjanji tiga orang tua dibelakang
Bwe-hwa-hwe-tiang segera memapak maju merintangi bayangan
yang baru datang ini.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Plak!" kontan ketiga orang tua tersurut tiga tindak, dan bayangan
itupun segera terhenti meluncur dan berdiri bergoyang gontai.
Waktu Suma Bing pentang matanya memandang, bergolaklah
darah panasnya, yang datang ini kiranya bukan lain adalah
Tang-mo atau Iblis timur, musuh besar keluarganya.
Iblis timur mengekeh tawa panjang terus menerjang kearah
Bwe-hwa-hwe-tiang ter-sipu2 Ketua Bwe-hwa-hwe bersiaga
menghadapi rangsangan lawan. Terpaksa tiga orang tua tadi
mengundurkan diri.
Mata Suma Bing bersinar buas dengan lekat ia awasi Iblis timur
yang tengah bertempur melawan ketua Bwe-hwa-hwe. Karena
kehadiran Tang-mo ini terpaksa pertentangannya dengan Ketua
Bwe-hwa-hwe harus diketengahkan dulu. Dia tengah menerawangi
situasi, apakah dia harus turun tangan...
Naga2nya kedatangan Iblis timur ini hendak menuntut balas
karena kekalahannya tempo hari waktu dia dikepung oleh
Pek-hoat-sian-nio beramai, hingga dia terluka parah akhirnya
Pedang darahpun direbut orang lain. Maka dalam kesempatan ini
segera ia lancarkan ilmu silatnya yang paling lihay, setiap
serangannya tidak mengenal kasihan sama sekali.
Adalah kepandaian ketua Bwe-hwa-hwe memang bukan tingkat
rendah, dicecar sedemikian hebat dia masih seenaknya saja
bermain silat. Digelanggang lain keadaan si orang berkedok sudah terdesak lagi
dibawah gencetan si mawar beracun yang ganas. Sekilas Suma
Bing menyapu pandang dingin, lalu maju mendekat dan berkata:
"Heng-tai, kau mundurlah!" Si orang berkedok menurut dan
segera mengundurkan diri. "Kemana kau lari!" hardik si mawar
beracun, kedua cakarnya mendadak menyelonong tiba. "Plak", "Huk" sekali turun
tangan, Suma Bing membuat si mawar
beracun terhuyung tiga langkah. Segera dengan mata genitnya si
mawar beracun pelerak pelerok menatap wajah Suma Bing. Suara
tawanya jalang dan berkata:
"Saudara kecil, turun tanganmu ini sungguh tidak kenal kasihan!"
"Perempuan jalang tidak tahu malu, hari ini..." desis Suma Bing
geram. "Aduh, kalau bicara sungkanlah sedikit, apa yang dinamakan tidak
tahu malu?"
"Hari ini akan kubunuh kau."
"Mengapa?"
"Hatimu sendiri lebih jelas!" "O, jadi kau masih teringat
peristiwa dibiara bobrok itu.
Tapi aku mencintai kau." Tanpa terasa merongkol keluar otot2
diwajah Suma Bing.
Sungguh tidak nyana bahwa orang begitu tidak tahu malu berani
mengucapkan perkataan rendah dihadapan sekian banyak orang.
Tersimpul dalam benaknya bahwa perkumpulan Bwe-hwa-hwe ini
tentu berjalan sesat dan bertujuan tidak lurus. Maka sambil
berludah hina segera ia menghardik:
"Tok-bi-kui, hari ini kau sudah pasti mati!" Sikap genit si mawar
beracun masih belum lenyap,
dengusnya aleman: "Apa kau mampu?" "Baik kau coba2."
membarengi ucapannya kontan ia kirim
tiga serangan saling susul, perbawa pukulannya ini benar2 sangat
mengejutkan. Tangkas sekali si mawar beracun melejit menyingkir, dari sini ia
balas menyerang juga dengan tiga kali pukulan pula. Mulailah
mereka keluarkan ilmu sakti masing2 dan bertempur dengan
sengitnya. Bertepatan waktu Suma Bing turun tangan, tiga orang tua itu
berbareng menerjang kearah si orang berkedok. Agaknya
kepandaian tiga orang tua ini hebat juga, dalam gebrak pertama si
orang berkedok sudah mencak2 kepayahan!
Saat mana, keadaan Tang-mo juga sudah kerepotan menghadapi
rangsakan ketua Bwe hwa hwe, sewaktu-waktu jiwanya juga
terancam elmaut.
Sebuah pekik kesakitan memecahkan kesunyian udara, selebar
muka si mawar beracun pucat pias, badannya sempoyongan dua
tombak lebih, sebagian besar rambutnya yang hitam kelam sudah
terkupas, sampai kulit kepalanya juga
terpapas mengalirkan darah oleh cincin iblis Suma Bing, darah
membasahi muka dan kedua pundaknya.
Sekali lagi Suma Bing maju mendekat sambil kirim sebuah
pukulan dahsyat.
Seakan copot dan terbang sukma Ma Siok-tjeng dari raganya
saking ketakutan, tubuhnya melenting sejauh dua tombak.
Otaknya masih jelas teringat bahwa Suma Bing terang bukan
menjadi tandingannya tempo hari. Sungguh tidak nyana terpaut
beberapa hari saja, Lwekang lawan ternyata telah maju demikian
pesat. Beruntun terdengar suara bentakan saling susul, tiga orang tua itu
tinggalkan si orang berkedok dan ganti haluan menubruk kearah
Suma Bing. Dada Suma Bing sudah dihuni oleh rasa murka dan
kebencian yang meluap2, dengan mengerahkan sepuluh bagian
tenaga Kiu-yang-sin-kang tangannya meluncur memapak maju.
Kontan terdengar suara pekik menyeramkan yang menggetarkan
suasana gelanggang pertempuran. Dua diantara tiga orang tua itu
tujuh lobang indranya mengeluarkan darah segar dan seketika
roboh mampus, seorang yang lain berwajah pucat keabu2an,
berdiri terlongong2 ditempatnya tanpa bergerak, mulutnya
terdengar menggumam:
"Kiu-yang-sin-kang." Ketua Bwe-hwa-hwe menggerung keras
bagai singa ketaton, dilancarkan tiga permainan silat yang paling hebat
sehingga Tang-mo terdesak mundur lagi sempoyongan. Begitu
melejit tubuhnya langsung menerjang kearah Suma Bing, belum
tubuhnya tiba angin pukulannya sudah menerjang tiba lebih dulu.
"Bagus!" jengek Suma Bing dingin. Dua belas bagian tenaga
Lwekangnya dikerahkan dikedua lengannya terus
disodokkan kedepan untuk menangkis secara keras lawan keras.
"Dar..." terdengar benturan menggeledek, tubuh ketua
Bwe-hwa-hwe yang meluncur tiba kena tertolak dan melorot jatuh,
sedang Suma Bing sendiri terhuyung dua langkah.
Sementara itu Kangouw-su-ok yang terluka oleh pukulan Suma
Bing tadi kini sudah berganti napas dan menyerbu datang lagi
mengeroyok si orang berkedok.
Ketegangan semakin meruncing dan mencekam hati, membuat
perasaan semua orang susah bernapas.
Dari samping Iblis timur mengaum buas sambil lancarkan
serangan mengarah Ketua Bwe-hwa-hwe. Terpaksa Bwe-hwahwe-
tiang membalik tubuh melayaninya.
Mendadak tergerak hati kecil Suma Bing secepat mengambil
keputusan, maka dilain kejap ia sudah melangkah lebar
menghampiri kearah barisan yang mengurung Racun diracun itu.
Para jagoan yang menjaga diluar barisan serentak merasa kaget
dan bersiap waspada. Segera enam batang pedang melintang
ditengah jalan. Wajah Suma Bing membeku penuh nafsu
membunuh, tanpa ragu2 kakinya melangkah terus kedepan
se-olah2 keenam orang bersenjata pedang tidak dipandang sebelah
mata olehnya. Maka dilain saat sinar pedang berkelebatan, keenam
batang pedang serentak bergerak merangsang kearah tubuhnya.
"Kalian cari mati!" sambil membentak keras itu, Suma Bing
lancarkan jurus Liu-kim-hoat-tjiok. Bahwa jurus ini adalah hasil
ciptaan Sia-sin Kho Jiang yang memakan waktu ber-tahun2 dan
sudah memeras keringatnya, berlandaskan kekuatan Kiuyang-
sin-kang lagi, maka betapa hebat kekuatannya dapatlah
dibayangkan. Suara pekik dan jerit kesakitan terdengar saling susul menembus
udara, enam batang pedang sampai terlepas dari pegangan dan
terpental terbang jauh beberapa tombak. Malah
dua yang terdepan kontan roboh tanpa bergerak lagi, sedang
empat yang lain ter-guling2 sungsang sumbel sejauh setombak
lebih. Cepat2 Racun utara mendesak maju dan berkata dingin
mengancam: "Siautju, kau juga bermimpi hendak merebut Pedang berdarah?"
Dengan rasa jijik Suma Bing mendengus hidung, jengeknya:
"Apa pedulimu." Besar dugaan Racun utara bahwa tujuan Suma
Bing hendak memasuki barisan adalah hendak merebut Pedang
berdarah dari tangan Racun diracun. Diam2 ia membantin: bocah
ini sudah mendapat didikan sempurna dari manusia sesat itu,
malah tubuhnya kebal racun lagi, lebih baik biar Racun diracun
yang menghadapi dan meringkusnya. Sekali dia sudah masuk
dalam barisan, seumpama ikan yang masuk jala, apa pula yang
harus kukuatirkan. Oleh pikirannya ini segera ia ulapkan tangan
memberi tanda dan berseru:
"Biarkan dia masuk." Para jagoan yang menghadang didepan
Suma Bing ternyata menurut segera menyingkir memberi sebuah jalan.
Sambil menyeringai dingin Suma Bing berkata: "Jadah tua berbisa,
hendak melarang juga kau takkan
mampu hitung2 kau tahu gelagat!" -- habis berkata dengan
Kisah Si Rase Terbang 12 Kuda Putih Karya Okt Kisah Sepasang Rajawali 9