Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 6
langkah lebar ia memasuki barisan.
Dalam pada itu, seorang diri menghadapi keroyokan
Kangouw-su-ok, keadaan si orang berkedok sudah seumpama
semut dalam kuali panas tinggal menuju ajal saja.
Sementara Tang-mo juga semakin terdesak dibawah angin, lama
kelamaan ciut nyalinya, bukan saja takkan menang
malah jiwa mungkin bisa melayang, akhirnya ia angkat kaki
melarikan diri mencawat ekor.
Mendapat peluang ini segera Ketua Bwe-hwa-hwe memutar tubuh
memandang kedalam barisan. Terlihat olehnya Suma Bing tengah
berjalan belak belok mengikuti petunjuk yang diberikan oleh si
orang berkedok. Setelah melewati dua lintang pohon, dia bertindak
tiga langkah kekiri dan maju selangkah, lalu memutar kekanan lima
langkah, benar juga barisan ini tiada perobahan apa. Kini
dihadapannya melintang sebuah dahan pohon besar sepelukan dua
orang, sekali tangannya diayun dahan besar itu segera
menggelundung jauh, kini tinggal dua tumpukan batu tinggi yang
merintangi dikanan kirinya, segera Suma Bing menyapunya lagi
dengan kedua tangannya... Asal sekali lagi ia memecahkan
rintangan terakhir, maka berarti pecahlah barisan ini habis-habisan.
Melihat keadaan ini Racun utara melonjak kaget dan berseru:
"Celaka, bocah itu tahu cara pemecahannya..." Wajah ketua
Bwe-hwa-hwe berkerut membesi, tangan
diulapkan segera keluar perintahnya: "Bakar!" Mendengar
perintahnya ini semua anak buahnya segera beramai2
angkat obor. Diluar barisan itu sudah penuh terpasang
bahan bakar, sekali sundut saja pasti orang dalam barisan akan
terbakar hangus menjadi abu.
Tapi Racun utara keburu berseru mencegah: "Jangan, jangan
bakar!" "Kenapa?" tanya ketua Bwe-hwa-hwe mendongkol.
"Waktu terkurung didalam barisan Racun diracun sudah
menyebar racun berbisa sam-li-hiang!"
"Sam-li-hiang (harum tiga li)?"
"Benar." "Lalu bagaimana?" "Saudara ketua boleh segera
perintahkan semua
bawahanmu secepatnya mundur sejauh tiga li, biar lohu sendiri
yang akan melepas api."
"Apa masih keburu" Bocah itu segera akan sudah mengobrak-abrik
barisan!" Sementara itu Suma Bing tengah berpaling memandangi obor2 itu,
jantungnya berdetak keras, serta merta langkahnya dihentikan.
Kalau mau dengan mudah saja dia masih ada kesempatan berlari
keluar barisan. Akan tetapi, Racun diracun pernah menanam budi
memberikan sebutir obat menolong jiwanya. Mana boleh orang
mati konyol didepan matanya disamping itu dia tidak rela
kehilangan kesempatan untuk merebut pulang Pedang berdarah
itu. Kalau Racun diracun mati itu berarti Pedang berdarahpun pasti
ikut ludas. Dalam saat genting itu pikirannya serasa kosong, entah apa yang
harus diperbuat...
Otak Racun utara berputar keras, dasar cerdas tak lama kemudian
ia berseru girang:
"Ada akal. Begitu menyulut api dengan kecepatan yang paling
cepat terus berlari kearah yang berlawanan dengan arah angin.
Kalau kepandaian tidak lemah pasti dapat keluar dari lingkungan
hawa beracun itu. Silakan saudara Ketua memberi perintah!"
Maka tangan ketua Bwe-hwa-hwe sudah diangkat tinggi, tinggal
memberi aba2...
Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar sebuah suara tawa
dingin yang mengerikan, suara yang menyedot semangat ini
bergema dan berkumandang ditengah udara, membuat orang
celingukan tidak tahu darimana suara itu datang.
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ Semua orang yang hadir merasa merinding dan berdiri bulu
kuduknya. Setelah suara tawa itu lenyap, lantas melesat secarik
sinar putih memasuki gelanggang dan menancap diatas sebatang
pohon. Jelas itulah sebuah panji kecil bersegi tiga yang
ditengahnya terukir sebuah tengkorak dan dua batang tulang
bersilang. "Pek-kut-ji!" tanpa terasa Ketua Bwe-hwa-hwe berseru ketakutan.
Nama Pek-kut-ji ini benar2 bagai geledek disiang hari bolong
mengejutkan sanubari semua hadirin, semua berobah pucat
ketakutan. Demikian juga Kangouw su-ok dan si orang berkedok
serta merta juga menghentikan pertempuran.
Meskipun kecil dan bentuknja sangat sederhana, tapi panji ini
sudah menggetarkan dunia persilatan selama ratusan tahun
lamanya. 19 CINT A TIDA K MEN GEN AL WAK TU DAN USIA Suma Bing sendiri juga merasa terperanjat. Untuk apa Pekkut
Hujin muncul disitu dan pada saat yang tepat lagi dengan
bertanda khas panji kecilnya itu. Dulu dalam memperebutkan
Pedang berdarah dengan Racun diracun, kalau bukan panji kecil
ini muncul secara mendadak dan menggebah pergi ketua
Bwe-hwa-hwe, mungkin jiwa Suma Bing sudah lama amblas
meninggalkan raganya.
Apa maksud dan tujuan Pek-kut Hujin memperlihatkan jejaknya
disini" Pek-kut Hujin pribadi atau muridnya"
Adalah Racun utara Tangbun Lu bukan saja bersifat kejam dan
keji, wataknya juga sangat licik, licin dan banyak akal muslihatnya.
Begitu melihat Pek-kut-ji muncul, segera ia mundur teratur terus
tinggal pergi mencawat ekor tanpa perdulikan orang lain.
Memandang bayangan Racun utara yang lari pontang- panting
itu, Suma Bing perdengarkan suara dingin mengejek, terus
melanjutkan masuk ketengah barisan.
Semua anggota Bwe-hwa-hwe berdiri terlongong bagai patung
ditempat masing2.
Bahwa Pek-kut-ji memperlihatkan diri lagi disaat2 situasi yang
menguntungkan pihaknya ini benar2 membuat Ketua
Bwe-hwa-hwe gusar, takut dan curiga, setelah sangsi sekian
lamanya segera ia berseru lantang kearah rimba sebelah dalam
sana: "Apakah yang datang ini adalah Pek-kut Hujin Lotjianpwe?" "
Beruntun dia bertanya tiga kali tanpa mendapat penyahutan
semestinya. Lebih besar dan dalam rasa curiga menyelubungi
hatinya. Maka segera ia berkata kepada si orang tua yang masih
ketinggalan hidup itu:
"Thio-hiangtju, kau cabutlah panji kecil itu!" Si orang tua yang
dipanggil Thio-hiangtju itu kontan pucat
pias wajahnya, tapi tak berani dia membangkang perintah
ketuanya, maka dengan suara gemetar menyahut:
"Baik, hamba terima perintah!" " mulut mengiakan namun
tubuhnya tetap berdiri tanpa bergerak.
Mulut ketua Bwe-hwa-hwe mendehem keras2 dan pandangannya
sangat mengancam. Tidak ketinggalan pandangan semua hadirin
juga tengah menatap kearah si orang tua ini.
Setelah takut2 dan ragu2 sekian lamanya, akhirnya si orang tua
nekad juga berkelebat maju terus mencabut panji diatas pohon
itu. Tapi baru saja tangannya menyentuh gagang Pek- kut-ji,
seketika ia menjerit seram terus roboh binasa.
Seakan copot nyali Ketua Bwe-hwa-hwe, segera ia berseru
nyaring: "Mundur!" " Maka bayangan berkelebatan dalam sekejap mata
saja semua orang sudah merat melarikan diri.
Setelah Suma Bing memporak-porandakan barisan perlawanan
Ngo-heng-tin ini baru terlihat Racun diracun berdiri dan angkat
tangan memberi hormat serta katanya:
"Aku harus berterima kasih kepada kau!" "Tidak perlu!" sahut
Suma Bing kaku. "Tapi kau menolong aku sehingga bebas dari
kurungan ini." "Ini sebagai imbalan budi pemberian obatmu
tempo hari, dua belah pihak tidak saling berhutang budi, kita seri satu- satu,
tentang..."
"Tentang apa?" "Lain kali kita bertemu lagi, aku sendiri tidak
akan lepaskan kau!" "Mengapa tidak sekarang saja?" "Apa tuan ingin sekarang
juga menyelesaikan perhitungan
lama itu?" "Ya, begitulah." "Dimana?" "Disini dan sekarang juga!"
"Tidak bisa" "Kenapa?" Tanpa terasa mata Suma Bing melirik
kearah Pek-kut-ji
sambil menyahut: "Aku harap kita berpindah
ketempat lain" Racun diracun tertawa ringan,
katanya: "Jadi kau takut pada pemilik panji kecil
itu?" Ucapannya ini menimbulkan rasa congkak Suma Bing, serunya
keras: "Apa yang perlu ditakuti, baiklah, disini juga kita selesaikan
urusan kita"
"Silakan kau sebutkan dulu ada berapa banyak perhitungan
lama?" "Pertama kau menggunakan Racun tanpa bayangan membinasakan
adik Siang Siau-hun dan tunangannya Li Bun- siang. Perbuatan
yang kejam telengas ini kau timpakan pada dua jiwa muda yang
tidak berdosa, perhitungan inilah yang harus dibikin beres."
"Ada sangkut paut apa kau dengan peristiwa itu?" "Semua
urusan yang kepergok ditanganku, harus kuurus." Racun
diracun mendengus dingin, jengeknya: "Suma Bing itu
merupakan salah paham. Mengapa kau
turut campur, biarkan Siang Siau-hun sendiri yang membereskan?"
"Tidak bisa!" sahut Suma Bing ketus penuh ketegangan.
"Kenapa tidak bisa?" "Bahwasanya tanpa begebrak, racun
jahatmu itu sudah
cukup menamatkan jiwa Siang Siau-hun!" "Dia kekasihmu?" "Kau
tidak perlu tahu." "Kalau dia ingin menyelesaikan sendiri dan tidak
rela kau membantu?" Sejenak Suma Bing berpikir, lalu sahutnya: "Baik
juga, yang kedua, segera tuan serahkan Pedang darah kepadaku."
"Kalau aku jawab tidak?" "Hm, mungkin kau tidak akan
mampu berbuat begitu."
"Suma Bing, kau sangat takabur, kau tahu berapa jurus kau kuat
menghadapi aku?"
"Mungkin bisa kubunuh kau!" "Kalau kau dapat menangkan
aku setengah jurus. Pedang
darah segera kupersembahkan kepadamu, atau sebaliknya jangan
kau bermimpi lagi."
"Baik sambutlah seranganku ini." seru Suma Bing gusar. Habis
ucapannya serangannya sudah menjojoh tiba didepan muka
Racun diracun. Racun diracun berlaku sangat tenang, begitu pukulan lawan
mendekat seenaknya saja sebelah tangannja dikebutkan, jangan
pandang ringan kebutannja ini, karena sekali gebrak kebutannya
ini mengincar berbagai jalan darah didepan dada Suma Bing.
Dengan serangan menghadapi serangan, maka yang menyerang
pasti harus membela diri. Demikian juga keadaan Suma Bing,
melonjak keras denyut jantungnya, terpaksa dia harus
membatalkan serangannya terlebih dahulu dia harus melindungi
jiwa sendiri. Dimana terdengar dia menggerung keras, serangannya lagi2 sudah
merangsang tiba, kali ini ia kerahkan seluruh kekuatan tenaganya,
maka perbawa pukulannya ini seumpama geledek menyambar dan
air bah melanda.
Agaknya Racun diracun juga tidak mau unjuk kelemahan tangan
diangkat ia sambut pukulan Suma Bing ini secara keras juga.
"Bum", benturan keras ini menerbitkan badai angin yang bergulung
tinggi dan mengembang deras keempat penjuru hingga pohon2
disekitarnya tergetar rontok daon dan dahan2nya. Tubuh Racun
diracun ber-goyang2, sebaliknya Suma Bing tersurut dua langkah.
Dalam gebrak permulaan ini jelas kelihatan bahwa Lwekang
Racun diracun masih setingkat lebih unggul diatas Suma Bing.
Tercekat hati Suma Bing. Bukan saja Racun diracun merajai dalam
dunia racun, malah kepandaian silatnya juga bukan olah2 lihaynya.
Dalam dunia persilatan pada masa itu yang kuat menandingi
kepandaiannya mungkin dapat dihitung dengan jari.
Pada saat itu si orang berkedok secara diam2 sudah mendekat
maju berdiri diluar lingkungan pertempuran.
Se-konyong2 Racun diracun angkat sebelah tangan sambil
berseru: "Tahan sebentar!" "Tuan ada omongan apa lekas katakan!"
desak Suma Bing
tidak sabaran. "Saat ini kau masih bukan tandinganku." "Tiada
halangannya kita coba2." "Agaknya, kita tidak perlu bertempur
mati2an." "Mengapa?" "Bukankah tujuanmu hanya hendak
merebut Pedang berdarah?" "Benar, aku harus mendapatkannya!" "Tapi Pedang
darah saat ini tidak berada ditanganku." Suma Bing melengak
tertegun. Kalau Pedang berdarah
benar2 tidak berada ditangan Racun diracun, seandainya dirinya
menang apapula gunanya" Seketika ia bungkam berpikir2.
Nada suara Racun diracun sudah berobah kalem dan tidak
sedingin semula:
"Suma Bing. Terus terang kuberitahukan, Pedang berdarah tiada
gunanya terhadapku, kalau belum mendapatkan BungaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
iblis, Pedang berdarah berarti barang rongsokan yang tidak
berguna. Lebih baik marilah kita adakan janji sejati..."
"Apa maksudmu dengan janji sejati..." "Sebenarnya Pedang
darah sudah kau rebut dari tangan
Tang-mo, dan akhirnya terebut pula olehku. Kalau kau bisa
memperoleh Bunga iblis. Pedang berdarah tanpa syarat
kupersembahkan kepadamu, bagaimana?"
Tergerak hati Suma Bing, sungguh dia tidak habis mengerti apa
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maksud tujuan sepak terjang Racun diracun. Manusia beracun
yang lebih berbisa dari Racun utara ini masa begitu gampang
diajak berkompromi. Maka setelah sangsi sekian lamanya ia
menegasi, "Benar2 kau serahkan tanpa syarat?"
"Begitulah maksudku" "Tapi aku tidak sudi terima kebaikanmu
ini." "Kenapa?" "Kau telah merebutnya dari tanganku, sudah
seharusnya aku merebutnya kembali mengandal kepandaianku." "Hehehe,
Suma Bing, sudah kukatakan kuserahkan tanpa
syarat, tak perlu kau turun tangan." "Tuan ada maksud apa
silahkan terangkan secara total?" "Tiada maksud apa2,
kuserahkan tanpa syarat." Mau tak mau Suma Bing harus berpikir
panjang, setelah
sekian lama merenung akhirnya ia berkata dengan nada berat:
"Kalau aku tidak bisa mendapatkan Bunga-iblis?" "Kau boleh
merebut kembali mengandal kepandaianmu!" "Baik, kita tentukan
begitu" "Siapa dia?" tiba2 tanya Racun diracun mengalihkan
persoalan. "Seorang
sahabatku"
"Maksudku siapa dia?" Sekilas Suma Bing mengerling kearah si
orang berkedok,
mulutnya terkancing tak tahu dia apa yang harus dikatakan.
Memang dia belum mengetahui siapa si orang berkedok
sebenarnya. Mereka bersahabat dalam pertemuan secara
kebetulan karena beberapa sebab...
Terdengar Racun diracun mendesak lagi: "Sungguh kau tidak
tahu siapa dia?" Dalam keputus asaannya Suma Bing naik pitam
dan menyahut ketus: "Agaknya hal ini tiada sangkut pautnya dengan
tuan?" "Tapi apa kau tidak ingin tahu siapa dia?" Menatap Racun
diracun, tanpa terasa si orang berkedok
mundur satu langkah. Betapa tidak Suma Bing juga ingin
mengetahui siapakah si
orang berkedok ini. Tapi terikat oleh perjanjian waktu mereka
berkenalan semula, tiada alasan lagi dia minta atau membuka
kedok penyamaran orang. Bersama itu dia juga tidak ingin Racun
diracun turut mencampuri hubungan pribadi mereka, maka sambil
menggeleng kepala dia menyahut:
"Inilah urusan antara dia dan aku, tidak perlu tuan turut campur,
silahkan tuan lanjutkan perjalananmu."
Racun diracun tertawa ejek, desisnya: "Kalau aku ingin tahu
siapa dia sebenarnya?" "Ini..." Suma Bing tergagap, entah apa
yang harus diucapkan. Sebaliknya si orang berkedok ikut bicara dengan penuh
perasaan: "Tuan apakah maksudmu
ini?" Sepasang bola mata Racun diracun yang memutih itu berputar
memancarkan sinar terang menatap tajam diwajah si orang
berkedok, seakan hendak menembus isi hatinya, lama sekali baru
dia membuka kata:
"Aku hendak menyingkap kedokmu itu." "Tuan, buat apa kau
mendesak orang sedemikian rupa.
Bagi seorang Bulim adalah jamak kalau dia mempunyai suatu
rahasia pribadi."
"Aku tidak suka melihat orang yang sembunyikan kepala unjukkan
buntut!" "Tapi, tuan, kau sendiri..." "Aku bagaimana?" "Apakah yang
tuan unjukkan sekarang ini juga wajah
aslimu?" Racun diracun tersentak kaget dan mundur satu tindak.
Adalah Suma Bing juga ikut terperanjat. Sedemikian hitam
kelam raut wajah dan seluruh kulit Racun diracun kiranya juga
adalah penyamaran, kepandaian make-up sedemikian lihay boleh
dikata jarang diketemukan diseluruh dunia persilatan ini, karena
hakekatnya sedikitpun tidak terlihat lobang kelemahan dari
penyamarannya itu.
Terdengar si orang berkedok melanjutkan kata-katanya:
"Kepandaian Hian goan tay hoat ih sek tuan benar2 hebat
sekali, kepandaian semacam ini..." "Bagaimana?" tiba2 bentak
Racun diracun bengis. Tergetar tubuh si orang berkedok, seakan2
menguatirkan sesuatu dia hentikan kata2 selanjutnya. Lebih besar rasa curiga
dan heran Suma Bing, mengenai
kepandaian Hian goan tay hoat ih sek baru sekali ini ia pernah
dengar. Entah mengapa karena bentakan Racun diracun
kontan si orang berkedok tidak berani melanjutkan kata2-nya,
maka segera ia berpaling dan bertanya:
"Heng-tai, ada apakah?" Si orang berkedok menggeleng kepala
tanpa membuka suara. Terdengar Racun diracun mendengus dingin dan
mengancam: "Orang berkedok, kau buka sendiri kedokmu atau
ingin aku yang turun tangan?" Didesak demikian rupa si orang berkedok
mundur ketakutan, sahutnya gemetar: "Apa tuan betul2 hendak berbuat
demikian?" "Selamanya aku tidak pernah bicara dua kali." "Apakah
sepak terjang tuan ini tidak keterlaluan?" "Terserah kalau kau
beranggapan demikian!" " Mulut
berkata demikian, Racun diracun sudah angkat langkah mendesak
maju kearah si orang berkedok...
Dalam situasi yang gawat ini pikiran Suma Bing berkelebat cepat.
Meskipun si orang berkedok menutupi mukanya, jelek2 masih
terhitung sahabat kentalnya, mana bisa dia mengawasi Racun
diracun mendesaknya sedemikian rupa untuk membuka
kedoknya. Setelah tetap pikirannya segera ia memburu maju
menghadang didepan si orang berkedok dan berkata:
"Tuan, kusilahkan kau segera berlalu!" Serta merta Racun
diracun menghentikan langkahnya,
serunya: "Suma Bing, berdekatan dengan seorang yang belum
terang asal-usulnya, berarti lebih berbahaya dari berkawan
dengan seekor harimau!"
Suma Bing tergetar oleh ucapan terakhir Racun diracun, tapi
selekas itu pula dia menjawab dengan angkuhnya:
"Kukira hal itu tiada sangkut pautnya dengan kau." "Apa kau
hendak merintangi aku?" "Sudah tentu!" "Kau tidak menyesal?"
"Selamanya aku belum pernah kenal akan arti menyesal." "Bagus
sekali, begitulah kuharapkan!" " Setelah
perdengarkan suara tawa lengking sekian lama, mendadak tubuh
Racun diracun melenting tinggi terus menghilang dibalik bayangan
pohon didalam hutan.
Per-lahan2 pandangan mata Suma Bing beralih kearah panji kecil
diatas pohon itu. Seketika ia menyedot hawa dingin. Kiranya orang
yang telah berani menyentuh Pek-kut-ji tadi kini hanya tinggal
tulang kerangkanya saja yang memutih bertumpuk diatas tanah,
jangan kata kulit sampai baju serta dagingnyapun sudah lenyap
tanpa bekas. Kejadian yang mengejutkan dan menciutkan nyali ini,
tidak heran kalau Ketua Bwe-hwa-hwe yang sudah tenar malang
melintang segera lari lintang-pukang!
"Saudara kecil mari kita pergi." kata si orang berkedok lesu penuh
kesedihan. Suma Bing manggut2 maka berbareng tubuh mereka melejit tinggi
berlari keluar rimba. Tapi baru beberapa langkah saja, tiba2 si
orang berkedok menghentikan langkahnya dan berkata dengan
nada berat: "Saudara kecil..." Terpaksa Suma Bing ikut berhenti,
tanyanya: "Saudara tua ada omongan apa silahkan
katakan" "Apakah perguruanmu ada hubungan erat dengan Pek-kut Hujin?"
"Setahuku tidak ada, apa maksud pertanyaan saudara ini?"
"Pek-kut-ji muncul dua kali pada saat2 kau menghadapi
bahaya, hal ini tentu bukan secara kebetulan, jelas kiranya
memang sengaja hendak menolong kau, apa kau sudah merasa
akan hal itu?"
"Hatiku masih diselimuti banyak pertanyaan!" "Sikap dan sepak
terjang Racun diracun terhadap kau
agaknya juga sangat ganjil." "Aku juga merasakan hal itu." sahut
Suma Bing penuh
tanda tanya. "Saudara kecil, apa kau sudah mulai merasa curiga
terhadap aku?" "Curiga, apa maksudmu?" "Umpamanya tingkah
lakuku..." "Tidak!" sahut Suma Bing tegas tanpa banyak pikir.
Memang terhadap tindak tanduk si orang berkedok sedikitpun dia
tidak menaruh rasa curiga. Jikalau si orang berkedok bermaksud
jahat terhadap dirinya, banyak kesempatan untuk dia turun tangan
dalam masa2 pergaulan yang telah lalu itu, tapi dia tidak,
sebaliknya berulangkali telah menolong jiwanya dari renggutan
elmaut. Kalau dia mengenakan kedok tentu ada kesukaran
pribadinya yang susah dijelaskan.
Suara si orang berkedok lirih dan gemetar: "Saudara kecil, apa
kau tidak ingin melihat wajah asliku?" "Aku tidak bermaksud
begitu" "Tapi aku sudah tidak ingin mengelabui kau lagi!" habis
berkata, per-lahan2 ia tanggalkan kedoknya. Maka terlihatlah
sebuah wajah yang cakap putih dalam usia pertengahan
umur, dagu dan jidatnya memelihara jenggot panjang yang
memutih. Dari kecakapan wajahnya itu terlintas rasa duka dan
hampa. Suma Bing terlongong mengawasi wajah orang, tak tahu dia
siapakah orang ini.
"Saudara kecil, kau tidak tahu siapa aku?" "Aku tidak kenal
kau!" "Akulah Tiang-un Suseng Poh Jiang!" Suma Bing
berjingkrak kaget seperti disengat kala.
Mimpipun ia tidak menduga bahwa si orang berkedok ini kiranya
adalah Tiang-un Suseng, musuh perguruannya yang menghilang
dan susah dicari itu. Gelap pandangan Suma Bing, otaknya pepat,
hatipun terasa mendelu. Persahabatan, budi dan dendam kesumat
campur aduk bergolak dalam benaknya... Baru sekarang dia sadar,
waktu mereka berkenalan untuk pertama kalinya, dia membawa
dirinya kedepan kuburan palsu Tiang-un Suseng itu kiranya
mempunyai arti yang dalam. Dia heran bahwa Tiang-un Suseng
Poh Jiang sudah tahu bahwa dirinya merupakan musuh besar
daripada Bu-lim-sip-yu. Mengapa dalam berbagai kesempatan yang
ada dia tidak turun tangan melenyapkan jiwanya, malah mengulur
tangan untuk bersahabat" Terhitung sebagai seorang sahabat"
Atau sebagai musuhkah orang ini"
Terbayang akan Sia-sin Kho Jiang yang dikorek matanya dan
dikutungi kedua kakinya hingga menjadi manusia tanpa daksa,
akhirnya mati secara mengenaskan setelah racun bekerja dalam
tubuhnya. Pesan gurunya sebelum ajal sekali lagi terkiang dalam
telinganya: "... menuntut balas..." Perintah guru lebih penting!
Demikianlah titik berat daripada penilaian terakhir Suma Bing
setelah berpikir panjang sekian lamanya.
Wajah Tiang-un Suseng yang ber-kerut2 mulai lamban dan
tenang kembali, nada suaranya berat dan sember: "Sumahiangte,
bagaimana kau hendak menghadapi aku?"
Suma Bing undur selangkah, sedapat mungkin ia mengekang
perasaan hatinya yang bergejolak, katanya dingin:
"Poh-heng, aku tidak akan mengingkari persahabatan kita yang
kekal, terutama budimu yang besar terhadapku. Tapi kau adalah
salah satu musuh yang ikut mencelakai suhuku kenyataan ini tidak
mungkin dihapus..."
"Aku paham, hanya katakanlah bagaimana kau hendak
menghadapi aku?"
"Harap kau suka memaafkan, perintah guru harus kulaksanakan."
"Menggunakan cara seperti membunuh Tji Khong Hwesio dulu
itu?" Suma Bing menggigit bibir, katanya: "Benar, tapi untuk
persahabatan kita kelak kalau urusanku
sudah beres, pasti aku akan memberikan pertanggungan
jawabku." Tiang-un Suseng Poh Jiang tertawa ewa, ujarnya: "Saudara
kecil, kepala saudaramu yang bodoh ini kau boleh
ambil, tapi ada beberapa kata patah hendak kujelaskan." "Silahkan
katakan!" "Peristiwa di Bu-san dulu, biang keladinya adalah
suhengmu Loh Tju-gi. Ketahuilah bahwa Bu-lim-sip-yu juga
merupakan satu pihak yang kena cedera. Loh Tju-gi membunuh
tiga diantara kita sepuluh kawan, dan menimpakan bencana ini
kepada suhumu tujuannya ialah hendak menggunakan kekuatan
Bu-lim sip-yu untuk melenyapkan gurumu, dengan demikian ia
lepas dari dosa sebagai murid yang durhaka mengkhianati guru..."
Sejenak Tiang-un Suseng merandek menekan perasaan hatinya,
lalu berkata lagi:
"Tiga diantara Bu-lim-sip-yu sudah mati ditangan Loh Tju- gi, satu
lagi mati ditanganmu. Leng Hung-seng Ciangbunjin dari
Ceng-seng-pay tewas ditangan Ketua Bwe-hwa-hwe, Tjoh Pin
Ngo-ouw Pangcu meninggal terbokong oleh suatu tutukan aneh
yang mematikan. Jenazah Lo-san-siang-kiam rebah ditengah jalan
Siang-im. Tulang belulang Goan Hi dari Siaulim terkubur diluar
kota Kay-hong. Kini Bu-lim sip-yu tinggal satu yaitu aku sendiri
saudara tuamu. Hian-te, karena peristiwa dulu itu adalah tipu
muslihat orang yang mengadu domba kita, maka aku tidak
pandang kau sebagai musuh, bahwasanya dengan perbuatanku ini
aku berusaha untuk menebus dosa kita yang telah mencelakai
suhumu dulu. Sudah ucapanku sampai sekian saja!"
Pikiran Suma Bing menjadi pepat dan gundah, demi kebenaran dan
keadilan memang dia tidak seharusnya menuntut balas kepada
Tiang-un Suseng, namun lantas bagaimana pertanggungan
jawabnya kepada gurunya dialam baka" Suasana sesaat mencekam
sanubarinya sehingga terasa seakan membeku. Akhirnya sifat2
Sia-sin Kho Jiang yang menurun dan terpendam dalam benak Suma
Bing memenangkan kesadaran dirinya sendiri. Benaknya mengambil
suatu keputusan tegas, maka sambil mengertak gigi ia berkata:
"Poh-heng, aku Suma Bing dapat membedakan antara budi dan
dendam. Karena pesan guruku aku harus turun tangan terhadap
kau, demi persahabatan kita biar kelak aku bunuh diri untuk
menebus kesalahanku ini."
"Itupun tidak perlu", ujar Tiang-un Suseng gemetar. "Sekarang
boleh kau turun tangan, aku tidak akan membalas."
Sebenarnya sanubari Suma Bing terasa sangat pedih, kalau lawan
benar2 tidak melawan, dia takkan kuat bertahan.
"Tidak, kau harus melawan, balaslah menyerang sekuat yang kau
bisa." "Melawan atau tidak hakikatnya sama saja." Pada saat itulah
se-konyong2 terdengar sebuah helaan
napas lirih yang mengandung kepedihan dan kegetiran hati. Tanpa
terasa Suma Bing mengkirik kejut, dimana pandangannya tertuju,
terlihat tiga tombak dibelakangnya sana berdiri seorang wanita
serba hitam yang rambutnya terurai panjang. Dia tak lain tak bukan
adalah Sim Giok-sia putri Lam-sia dengan Se-kui. Sekali lagi Suma
Bing tergetar bagai kesetrom aliran listrik.
Sementara itu, tubuh Tiang-un Suseng juga terhuyung mundur,
matanya terbelalak lebar. Sepasang kekasih yang menderita
segala siksaan dan rintangan, akhirnya bertemu lagi setelah
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpisah selama tiga puluh tahun lamanya, sang waktu sudah
membuat mereka menanjak pada usia ketuaan.
Per-lahan2 Sim Giok-sia menyingkap rambutnya kebelakang
kepala, wajah pucat yang berkerut dan layu penuh dibasahi air
mata, bola matanya dengan tajam menatap wajah Tiang-un
Suseng. Sinar matanya itu benar2 menyedot sukma dan semangat
orang yang dipandang.
Wajah Tiang-un Suseng juga pucat pasi, tubuhnya tergetar hebat
menahan gelora hatinya.
"Adik Sia!" "Engkoh Jiang!" Sambil berseru serta merta mereka
memburu maju dan
saling berpelukan dengan kencang. Per-lahan2 Suma Bing
membalik tubuh kearah lain,
perasaan hatinya susah dilukiskan. Musuh besar suhunya! Menjadi
kekasih sucinya! Juga menjadi sahabat kentalnya! Bagaimana dia
harus mengambil sikap" Se-konyong2 seakan dia mendapat suatu
petunjuk, mulutnya menggumam:
"Kalau suhu mengetahui dialam baka pasti dapat mengampuni aku.
Pasti dia orang tua juga rela menghapus dendam kesumatnya. Ya,
biarlah pertikaian ini habis sampai disini...
Samar2 kupingnya mendengar percakapan yang meremukkan hati...
"Adik Sia, aku tahu langit susah ditambal, laut sukar diuruk,
kukira hidupku ini akan nestapa sepanjang masa..."
"Engkoh Jiang, tiga puluh tahun, sudah membuat jiwa kita luntur,
ada apalagi yang dapat kita peroleh?"
"Adik Sia, cinta tidak mengenal waktu dan segala batas..." "Ya,
tapi sekarang kita sudah tua!" Karena mencintai Tiang-un
Suseng Poh Jiang, Sim Giok-sia
dipenjarakan selama tiga puluh tahun oleh ibunya (Setan
barat). Sekarang sepasang kekasih ini dapat bersua kembali.
Cinta mereka masih tetap murni dan abadi, tapi masa remaja
sudah lanjut takkan kembali lagi. Belum tentu mereka takkan
bahagia, namun bahagia ini rada terlambat datangnya,
pengorbanan yang harus mereka curahkan terlalu besar. 'Kita
sudah tua!' kata2 ini rasanya sudah cukup menerangkan
segala2nya. Dalam hati Suma Bing mengambil suatu keputusan drastis, dia
tidak boleh merenggut kebahagiaan sucinya yang terlambat.
Hutang darah ini, biar ditumpahkan dan dipikul oleh Suhengnya
Loh Tju-gi yang durhaka itu. Dia tidak tahu apakah keputusan itu
benar, namun secara langsung ia merasakan bahwa suhunya yang
dialam baka juga tidak akan menentang pendapatnya ini. Sekilas ia
memandang kedua kekasih yang masih berpelukan mesra, sekali
melejit bayangannya sudah menghilang dikejauhan sana.
Lama dan lama sekali baru dua kekasih yang berpelukan dan
rindu akan kemesraan itu saling pandang dan tersenyum
tawa, tapi senyum tawa mereka adalah kecut, karena mereka
sudah menelan kegetiran cinta.
Se-konyong2 Tiang-un Suseng tersadar dan berseru kejut,
serunya: "Kemana dia pergi" "Adik seperguruanku! (sute)..." "Apa, Suma
Bing adalah Sutemu?" Sim Giok-sia mengiakan. "Bagaimana
bisa terjadi..." "Suhunya itu adalah ayah kandungku!" "O, tapi
kenapa kau she Sim?" "Aku ikut she ibuku, ibuku juga menjadi
guruku!" Dengan penuh kejut dan keheranan Tiang-un Suseng
Poh Jiang bertanya: "Adik Sia, bukankah dulu kau mengatakan bahwa
kau adalah seorang bayi yang diketemukan!"
"Memang riwayat hidupku baru belum lama ini kuketahui!"
"Gurumu juga adalah ibumu, mengapa dia mengurungmu
selama tiga puluh tahun, masa tiada rasa cinta ibu kepada anak
kandungnya..."
Sim Giok-sia tertawa pahit, katanya: "Kejadian yang dia alami dulu
sangat menyakiti hatinya. Aku tidak dapat menyalahkan dia, aku
tahu dia sangat sayang kepadaku. Karena kesalahan pahamnya
dengan ayahku, maka dia sangat membenci dan mendendam
kepada seluruh laki2 didunia ini, maka..."
"Adik Sia, yang sudah lalu biarkanlah pergi, kelak..."
"Kelak bagaimana?" "Apa kau tidak ada persiapan?"
Dengan sedihnya Sim Giok-sia tertawa ewa, ujarnya. "Engkoh
Jiang, kita sudah tua, lebih baik biarlah kita cadangkan rasa kasih
mesra yang sangat berharga ini."
"Adik Sia, gemblengan dan ujian selama tiga puluh tahun, apa
yang telah kita dapatkan" Kehampaan yang kita dapat. Tapi juga
boleh dikata kita telah memperoleh terlalu banyak." "Apa?"
"Cinta murni yang abadi dan teguh kukuh tak terpisahkan oleh
masa dan usia."
"Adik Sia, apa kau rela cinta kita yang merana dan nestapa ini
tiada akhirnya?"
"Sudah terlambat" "Tidak, seseorang menggunakan seluruh
tenaga sisa hidupnya, untuk mengejar sesuatu benda, tujuan yang utama
hanyalah untuk mendapat kepuasan hati yang terakhir, meskipun
kepuasan itu hanya sekejap mata saja, atau sudah luntur, tapi itu
cukup untuk mengganti dan menambal semua pengorbanan yang
telah dia curahkan."
Mendengar penjelasan yang merasuk hati ini timbullah sinar
terang pada wajah Sim Giok-sia yang kurus kepucatan.
Se-konyong2 berobah air muka Tiang-un Suseng, katanya: "Adik
Sia, pertikaian antara Bu-lim-sip-yu dengan
ayahmu..." "Aku tahu biang keladinya yang utama adalah Loh
Tju-gi seorang. Memang keputusan ayah menyuruh Suma-sute menuntut
balas adalah tidak patut!"
Gemetar suara Tiang-un Suseng: "Adik Sia selama hayat masih
dikandung badan, aku harus mencari bajingan Loh Tju- gi itu..."
"Sudah tentu, aku Suma Bing sudah pasti harus mencarinya."
Sekali lagi mereka berpelukan dengan mesranya, bahagia yang
terlambat datang ini, akhirnya mengikat sejoli yang akan
melangkah kejenjang hidup baru.
Dalam pada itu sepanjang perjalanan pikiran Suma Bing gundah
tidak tentram. Menurut cerita Si maling bintang Si Ban-tjwan
bahwa ibunya masih hidup didunia ini. Tapi selama sepuluh tahun
lebih ini, mengapa tidak terdengar tentang kabar cerita atau
jejaknya dikalangan Kangouw. Semestinya dia sudah muncul lagi
untuk menuntut balas pada musuh2 besarnya, hal ini benar2
membuat orang tak habis mengerti!
Latar belakang apalagi yang menyebabkan Loh Tju-gi menyekap
diri selama empatbelas tahun ini setelah dia menduduki jago
nomor satu diseluruh jagad" Sudah dua kali Pek-kut Hujin
menolong jiwanya, dengan sengaja atau secara kebetulan" Kalau
sengaja, apalagi tujuannya" Lima sisa dari Bu-lim-sip-yu beruntun
mati secara misterius, siapakah yang membunuh mereka"
Racun diracun pernah mengatakan kalau dirinya sudah
mendapatkan Bunga-iblis Pedang berdarah segera diserahkan
tanpa syarat. Meskipun maksud tujuan Racun diracun ini susah
diselami, tapi bagaimanapun juga dia harus mencoba sekuat
tenaga. Sebab bukan saja hal itu merupakan pesan terakhir
suhunya sebelum ajal, juga menjadi cita2 ayahnya semasa hidup!
Kalau bibinya Ong Fong-jui mengatakan bahwa Bunga-iblis berada
ditangan seorang momok wanita, bernama Bu-siang- sin-li, pasti
hal ini boleh dipercaya. Usia Bu siang sin li sudah seabad lebih,
ilmu silatnya susah dijajaki, dia bersemayam di Bu-kong-san.
Dengan semangat me-nyala2 dan penuh harapan inilah Suma Bing
tengah langkahkan kakinya menuju ke Bu-kong-san.
Bersama itu dia juga merasa bahwa perjalanannya ini agak
membabi buta, seumpama benar2 dia dapat menemukan Busiang-
sin-li, mengandal alasan apa dia hendak minta BungaTiraik
asih Websi te http:// kangz usi.co m/ iblis yang dipandang pusaka paling berharga dimata para kaum
persilatan"
Begitulah pikiran Suma Bing me-layang2 jauh, dari sejak pertama
kali ia turun gunung melaksanakan perintah suhunya sampai
peristiwa yang baru saja dialami, semua terbayang didepan
matanya. Hari itu waktu tengah hari, setelah menangsel perut disebuah
rumah makan, setelah Suma Bing menanyakan jalan menuju ke
Bu-kong-san kepada pelayan, terus melanjutkan perjalanan. Dalam
perhitungannya dua hari lagi dirinya pasti sudah tiba diwilayah
pegunungan Bu-kong-san.
Tengah ia mengayun langkah itulah tiba2 sebuah bayangan
manusia dengan kecepatan terbang bagai bintang jatuh meluncur
cepat kearah dirinya.
20. WANITA GILA KORBAN PERMAINAN LOH TJU- GI.
Ter-sipu2 Suma Bing menggeser kesebelah kanan,
maksudnya untuk mengelak supaya orang lewat dengan leluasa.
Tapi ternyata bayangan orang itu juga berkelit kearah yang
bersamaan dengan sengaja. Kedua belah pihak meluncur dengan
kecepatan penuh, dalam detik2 hampir bertumbukan itulah.
Mendadak Suma Bing menyedot hawa dalam, sebat sekali kakinya
menjejak tanah, kontan tubuhnya melesat tinggi ketengah udara
terbang melewati atas kepala bayangan orang itu...
Maka terdengarlah suara gemerantang, terlihat bayangan manusia
itu juga menghentikan luncuran tubuhnya terus memutar balik.
Waktu Suma Bing mengawasi bayangan orang ini, tanpa terasa ia
menyedot hawa dingin karena yang dihadapinya ini
kiranya adalah seorang wanita pertengahan umur yang rambutnya
acak2an, bajunya kusut masai banyak tambalannya, kedua matanya
kuyu redup, dan yang lebih mengherankan bahwa dileher wanita itu
terikat seutas rantai panjang warna hitam yang terurai panjang
diatas tanah. Sekilas pandang Suma Bing segera bermaksud tinggal pergi.
"Kau jangan pergi!" sebuah suara kaku tanpa perasaan
menghentikan langkahnya, suara itu membuat merinding dan tak
enak perasaan Suma Bing.
Suma Bing tertegun sambil membalik tubuh lagi, tanyanya dingin:
"Siapa kau?"
Mendadak wanita itu berkakakan menggila tak henti2nya, sekian
lama dia me-liuk2 tertawa baru berhenti. Kedua matanya yang
kuyu redup mendadak memancarkan sinar kebencian yang
,me-nyala2 menakutkan orang. Wajah keropos yang pucat pias itu
menjadi bengis membeku penuh hawa membunuh, serunya sambil
mengertak gigi:
"Aku inginkan jiwamu!" "Apa kau minta jiwaku?" seru Suma
Bing berjingkrak. "Benar, hendak kukorek jantung hatimu..."
Suma Bing menjadi serba salah dan geli, katanya: "Apa kau
tahu siapa aku?" "Kau menjadi abu juga akan kukenali, bukan
saja hendak kubunuh kau. Kho-lo-sia guru setan tuamu itu akan kubunuh
juga." Suma Bing tertegun heran dan mundur selangkah. Orang sudah
tahu asal usulnya tapi sedikitpun dia tidak kenal orang, naga2nya
orang ini tengah mencari dirinya untuk menuntut balas, maka
segera katanya lagi:
"Sebenarnya siapa kau ini, ada permusuhan apa dengan aku yang
rendah?" Wanita itu mendesak maju selangkah, rantai ditubuhnya ikut
terseret berbunyi nyaring, makinya sambil menunjuk kearah Suma
Bing: "Kau bukan manusia, kau binatang, hendak kukorek hati
binatangmu itu, kau... mengapa kau demikian kejam" Oh, tidak!
Aku tidak akan bunuh kau, tidak bisa, kau masih mencintaiku
bukan?" Berkerut alis Suma Bing, baru sekarang dia sadar bahwa orang
yang dihadapinya ini kiranya adalah wanita gila, tanpa terasa dia
tertawa geli sendiri. Karena pikirannya ini segera ia jejakkan
kakinya, tubuhnya melenting jauh...
Dimana terdengar suara gemerantang se-konyong2 wanita itu
juga sudah melesat tiba dihadapannya sambil menyurung sebuah
pukulan kedepan.
Walaupun agaknya pikirannya tidak beres, tapi gerak gerik wanita
ini lihay sekali. Karena tidak bersiaga Suma Bing kena tergetar
mundur tiga langkah.
"Kau hendak pergi, hm, naga2nya hari ini aku harus membunuh
kau!" Suma Bing meng-geleng2 kepala sambil tertawa kikuk badannya
segera melesat miring kesamping sana...
Dalam waktu yang hampir bersamaan wanita itu juga melesat
ketengah udara, beruntun dia, lancarkan tiga kali pukulan yang
menerbitkan angin men-deru2.
Mengingat pikiran orang kurang waras. Suma Bing tidak mau
meladeni serangan ini, sebat sekali tubuhnya jumpalitan
menghindar. Tapi serangan wanita itu malah semakin gencar
beruntun ia lancarkan lagi serangan yang mematikan mengarah
tempat penting ditubuh Suma Bing.
Se-konyong2 sebuah pikiran berkelebat dalam otak Suma Bing.
Batinnya: kalau pikiran orang ini kurang beres bagaimana dia bisa
mengenal asal usulnya. Apa mungkin dia pura2 gila, atau ada latar
belakang apalagi yang tersembunyi" Mengapa pula lehernya diikat
rantai, dilihat dari cara ia turun tangan kepandaiannya agaknya
tidak lemah, lalu mengapa dia tidak berusaha menanggalkan rantai
dilehernya itu"
Serangan2 wanita itu semakin deras dan kejam tak mengenal
kasihan. Karena banyak berpikir. Suma Bing berlaku sedikit ayal,
dan hampir saja jalan darah Ci-tong-hiat kena tercengkram. Mau
tak mau akhirnya dia harus mengambil keputusan yang tegas,
pikirnya, terpaksa aku harus turun tangan meringkusnya dan
ditanyai secara terang. Karena ketetapannya ini beruntun dua
tangannya bergerak lincah melintang kedepan.
"Blang," sambil mengeluh kesakitan wanita itu terhuyung lima
kaki jauhnya: "Loh Tju-gi, akan kukeremus dagingmu kuminum darahmu!" sambil
memaki kalang kabut wanita itu menyerbu datang lagi dengan
serangan kalap.
Tergetar perasaan Suma Bing, sambil berkelit kian kemari,
otaknya berpikir: kiranya aku disangka Loh Tju-gi suheng yang
murtad itu. Apa wajahku mirip dengan Loh Tju-gi. Tapi tidak
mungkin, sedikitnya usia Loh Tju-gi sudah pertengahan umur, usia
kita terpaut terlalu banyak, mana bisa salah kenal! Hanya ada satu
kepastian bahwa perempuan ini pasti dulu pernah dirugikan oleh
Loh Tju-gi itu... Serta merta lantas teringat akan ibunya San-hoa-li
Ong Fang-lan, tanpa terasa bergidik dan merinding tubuhnya.
Menurut cerita si maling bintang Si Ban-tjwan bahwa ibunya dulu
pernah diperkosa oleh bangsat Loh Tju-gi itu, apa mungkin...
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali melejit ia menyingkir sejauh dua tombak dan berdiri tegak,
dia perlu menenangkan gejolak hatinya.
Pada saat itulah tiba2 sebuah tandu tengah mendatangi dengan
kecepatan bagai terbang.
"Pek-hoat-sian-nio!" tanpa terasa mulut Suma Bing berseru kejut.
Tiba2 perempuan gila itu berteriak nyaring terus berlari pergi
se-kencang2nya.
"Cegat dia!" membarengi seruan ini, sebuah bayangan melesat
datang lewat sampingnya.
Kontan Suma Bing kirim sebuah hantaman keras kearah bayangan
ini, dimana debu dan kerikil beterbangan, bayangan itu kena
tersuruk jatuh diatas tanah, dia bukan lain adalah guru daripada
Ting Hoan yaitu Pek-hoat-sian nio.
Sambil menggeram gusar Pek-hoat-sian-nio lancarkan sebuah
pukulan keras. Segera Suma Bing angkat tangan menyambuti
dengan kekerasan juga. 'Bum' ditengah dentuman menggelegar
kedua belah pihak sama2 tersurut mundur satu tindak. Dalam
mundur setindak itulah Pek-hoat- sian-nio sudah lancarkan
selentikan jarinya lagi, beruntun angin selentikan melengking saling
susul menyambar kedepan.
Terpaksa Suma Bing jumpalitan kesamping menghindar...
Menggunakan kesempatan ini, Pek-hoat-sian-nio melejit
kedepan dengan kecepatan yang susah diukur. "Kemana kau
pergi." " tubuh Suma Bing juga ikut melesat
datang, ditengah udara ia lancarkan pukulan2 lihay membuat
Pek-hoat-sian-nio terpaksa harus meluncur turun.
"Suma Bing, apa2an maksudmu ini?" "Kita selesaikan
perhitungan lama!" "Hm, tidak malu kau turun tangan kepada
seorang perempuan yang berpikiran kurang waras. Malah kau merintangi
aku pergi mengejar dia, jikalau terjadi sesuatu diluar dugaan, awas
kau harus bertanggung jawab?"
Terperanjat hati Suma Bing, jadi benar2 pikiran perempuan itu
kurang waras, untuk apakah Pek-hoat-sian-nio mengejar
perempuan gila itu" Tapi kebencian hatinya mendesak dia
melakukan langkah2 selanjutnya, maka dengan dingin ia
menantang: "Pek-hoat-sian-nio, dua kali hadiahmu yang berharga tempo hari,
biar hari ini kukembalikan."
Sinar mata Pek-hoat-sian-nio, me-nyala2 gusar, rambut putihnya
juga berdiri kaku, bentaknya keras:
"Suma Bing, kau mencari mati?" "Belum tentu mencari mati,
kita setali tiga uang." "Baiklah, biar kusempurnakan
keinginanmu itu," bentak
Pek-hoat-sian-nio sambil kirim serangan kearah Suma Bing, karena
gusar kekuatan pukulannya seumpama kilat menyambar dan
geledek menggelegar.
Sejak mendapat Kiu-tjoan-hoan-yang-tjauko dari pemberian Setan
barat. Lwekang Suma Bing bertambah berlipat ganda, sekali turun
tangan kekuatan pukulannya juga bukan olah2 hebatnya.
Terjadilah pertempuran mati2an yang susah dilerai. Keempat
gadis pemikul tandu menonton diluar gelanggang dengan muka
pucat dan hati berdebar keras.
Sekonyong2 terdengar suara pekik nyaring yang mengerikan dari
kejauhan sana, suara itu benar2 membuat mengkirik dan berdiri
bulu roma. Serta-merta Suma Bing dan Pek-hoat-sian-nio menghentikan
pertempuran. Wajah Pek-hoat-sian-nio berobah pucat, sebat sekali
tubuhnya meluncur kearah dimana suara pekik mengerikan itu
terdengar. Sejenak Suma Bing tertegun lalu membatin: apa pekik
kesakitan yang mengerikan ini keluar dari mulut perempuan gila itu"
Lantas teringat olehnya akan kata2 yang diucapkan oleh perempuan
gila itu, tanpa
terasa bergidik tubuhnya, sebat luar biasa iapun berlarian
mengejar kedepan.
Tiga li kemudian ditengah jalan raya rebah terlentang sebuah
mayat bergelimang diantara banjir darah. Kepala mayat ini sudah
hancur terpukul, wajahnya rusak berlepotan darah susah dikenal,
sungguh mengerikan dan mengenaskan keadaan ini, rantai hitam
panjang itu kini sudah tertanggal dari lehernya, separo diantaranya
terendam diantara merah darah.
Tubuh Suma Bing gemetar keras, pandangannya nanap mengawasi
mayat didepannya, sebuah pikiran yang menakutkan merangsang
hatinya, sehingga keringat dingin membasahi jidatnya, akhirnya
tercetus juga perkataannya:
"Siapakah dia?" Air mata meleleh deras dikedua pipi
Pek-hoat-sian-nio,
dengan geram ia melotot kearah Suma Bing, lalu membungkuk
memayang jenazah diatas tanah itu terus masuk kedalam tandu.
Segera keempat gadis seragam hijau berlarian pergi dengan
cepatnya. Suma Bing ter-longong2 memandangi noda darah diatas tanah
seperti orang linglung.
"Suma Siangkong!" sebuah suara nyaring merdu membuat Suma
Bing tersentak dari lamunannya.
Seorang gadis cantik rupawan yang berwajah pucat tengah
berdiri tegak dihadapannya dia bukan lain Ting Hoan adanya.
"Nona Ting!" seru Suma Bing terharu. Sejenak Ting Hoan
menatap wajah Suma Bing dengan
penuh perasaan kasih mesra tapi tak lama pula wajahnya berobah
membeku, katanya:
"Suma Siangkong, kau berkukuh hendak berkelahi dengan
suhuku, sehingga jiwa suciku menjadi korban."
"Dia adalah sucimu?" Ting Hoan mengiakan. "Dalam hal ini
kunyatakan penyesalanku, siapakah
pembunuhnya?" "Bwe-hwa-hwe-tiang!" Gigi Suma Bing gemeratak
gusar, serunya penuh
kebencian: "Mengapa ketua Bwe-hwa-hwe mau turun tangan
terhadap seorang perempuan yang berpikiran kurang waras malah turun
tangan secara keji lagi?"
"Kulihat kau bergebrak dengan suhuku, maka segera aku datang
mengejar seorang diri, sayang aku terlambat juga, waktu aku
menyusul tiba dia sudah mendapat celaka, durjana itu baru saja
tinggal pergi, sekian jauh aku mengejar tidak kecandak."
"Siapakah nama sucimu ini?" "Untuk apa kau menanyakan ini?"
"Aku hanya ingin tahu saja!" "Dia bernama Lim Siok-tien."
Suma Bing menghela napas lega, katanya lagi: "Apakah aku
boleh bertanya tentang keadaannya selama
ini?" "Dia seorang wanita yang harus dikasihani..." "Dia pernah
dipermainkan seorang lelaki?" "Darimana kau tahu?" "Dia salah
sangka aku sebagai Loh Tju-gi, maka dia nekat
hendak menempur aku."
Wajah Ting Hoan beringas katanya penuh kebencian sambil
mengertak gigi:
"Benar, Loh Tju-gi sudah mempermainkan dia, lalu meninggalkan
dia pergi. Dia melahirkan seorang anak perempuan yang
meninggal tidak lama kemudian, dia sendiripun menjadi gila..."
"Loh Tju-gi akan datang suatu hari pasti kuhancur leburkan
tubuhnya!"
"Eh, bukankah dia adalah..." "Dia murid murtad dari
perguruanku, juga musuh besar
keluargaku. Selama aku masih hidup terbang kelangit atau
menyusup kebumi pasti akan kucari dia sampai ketemu!"
Ting Hoan menghela napas panjang, ujarnya: "Mengapa tidak
siang2 kau katakan hal ini?" "Kenapa?" "Guruku juga
menyangka kau sebagai murid Loh Tju-gi itu,
maka dia turun tangan kepadamu!" "Jadi begitulah duduk
perkaranya." "Setelah pikirannya kurang beres, setiap melihat
pemuda gagah ganteng, lantas suciku anggap dia sebagai Loh Tju-gi.
Karena terpaksa maka suhu mengurungnya dengan memborgol
lehernya dengan rantai. Sungguh tak duga beberapa hari yang lalu
dia dapat terlepas, maka kita beramai datang mengejar..."
"Apa kau melihat tegas orang yang membunuh dia adalah Ketua
Bwe-hwa-hwe?"
"Sedikitpun tidak salah." "Hm, aku juga tidak akan melepas
dia! Oh ya, nona Ting
kuingat bukankah gurumu juga tengah mencari Tiang-un
Suseng..."
"Benar, kenapa?" "Belum lama berselang aku baru saja
berpisah dengan
Tiang-un Suseng, si orang berkedok yang bersama aku itulah
orangnya."
"Si orang berkedok itu adalah Tiang-un Suseng?" "Begitulah,
baru sekarang aku mengetahui kedok
sebenarnya." "Tapi sekarang kami tidak perlu lagi mencari dia."
"Mengapa?" "Tiang un Suseng Poh Jiang adalah duplikat dari
Wi-thiantjhiu yang kenamaan di Bulim. Tujuan kita dulu adalah hendak
minta dia mengobati penyakit gila suciku itu, sekarang suci sudah
menemui bencana, tidak perlu lagi mencari dia!"
Suma Bing manggut2 sambil berdiam diri. Kata Ting Hoan lagi:
"Tentang kesalah pahamanmu dengan guruku kuharap
sejak saat ini dapat dibikin terang." "Ya, tentu dapat." "Sekarang
kau hendak kemana?" "Menuju ke Bu-kong-san!" "Apa
keperluanmu kesana?" Sejenak Suma Bing berpikir dan ragu2,
akhirnya ia berkata
sebenarnya: "Aku berharap dapat menemukan Bunga-iblis..."
"Bunga-iblis?" seru Ting hoan penuh keheranan, "Apa
Bunga-iblis berada di Bu-kong-san?"
"Bukan, konon Bunga-iblis itu berada ditangan Bu-siang sin-li.
Justru tempat bersemayam Bu-siang sin-li berada di Bukong-
san..." Berobah air muka Ting Hoan, katanya: "Bu-siang-sin li,
seorang Tjian-pwe aneh didalam dongeng,
sudah lama tidak muncul di Kangouw, malah katanya ilmu silatnya
setinggi langit, seumpama kenyataan memang begitu, kukuatir..."
Suma Bing tertawa ewa, katanya: "Aku tahu tapi besar tekadku
untuk mendapatkannya". "Baik, kudoakan kau berhasil."
"Terima kasih!" "Aku harus segera kembali membantu
mengurus jenazah
suci..." "Silahkan nona Ting, aku juga harus segera berangkat!"
"Suma Siangkong..." "Nona masih ada perkataan apa?" "Aku...
aku..." "Kalau ada perkataan apa2 silahkan katakan saja." Wajah
Ting Hoan merah jengah, bibirnya sudah bergerak
hendak berkata tapi ditelannya kembali. Lalu sambil tunduk dia
bermain ujung bajunya, sikapnya kikuk dan malu2, benar2
membuat orang merasa geli dan tenggelam dalam alunan asmara.
Mendadak ia angkat kepalanya lagi seakan tiba2 bertambah besar
nyalinya, suaranya halus merdu:
"Ada sepatah kata hendak kuberitahukan kepadamu." "Coba
katakan?" "Aku teringat pada waktu kau mengobati lukaku
dulu itu..."
"Nona terluka karena aku, peristiwa itu selalu mengganjel dalam
hatiku, dalam hal ini pasti aku tidak akan melupakan..."
"Tidak!" "Mengapa tidak?" tanpa terasa berdetak keras jantung
Suma Bing, entah apa maksud dengan 'tidak' itu" "Walaupun
kaum persilatan tidak mengukuhi adanya adat
istiadat lama tapi sedikit banyak ada batas2nya. Tubuh seorang
gadis kalau sudah diraba dan dijamah oleh seorang laki2, dia... dia
harus bagaimana?"
Suma Bing tertegun, ujarnya: "Nona waktu itu aku mengobati
lukamu" "Ya, memang mengobati lukaku, tapi seorang gadis
memandang kesucian dirinya melebihi jiwa sendiri. Hakikatnya
kita sudah bersentuhan tubuh, aku berkata demikian bukan
karena ingin memohon sesuatu, aku hanya berharap supaya kau
tahu selama hidup ini badanku ini tidak akan menjadi milik laki2
lain!" Jantung Suma Bing hampir melonjak keluar, keringat membasahi
seluruh tubuh, teriaknya gugup:
"Nona Ting, ini... ini..." Kata Ting Hoan dengan kalem dan
tenangnya: "Sudah
kukatakan aku tidak memohon apa2, asal kau tahu maksud hatiku
saja. Sudah tentu aku tidak bisa paksa kau untuk mencintai aku.
Ucapanku sampai sekian saja, harap kau jaga dirimu baik2!" Habis
berkata sekali lagi ia pandang wajah Suma Bing lekat2 penuh
harap lalu tubuhnya melenting tinggi menghilang dikejauhan sana.
"Adik Hoan!" " waktu Suma Bing tersadar, dia berseru
memanggil, tapi bayangan Ting Hoan sudah hilang tanpa jejak.
Serasa ada sesuatu benda yang menindih sanubarinya, sedemikian
berat benda itu sehingga membuat dia susah bernapas. Hubungan
lelaki perempuan, antara cinta dan persahabatan tiada batas
perbedaan yang jelas, waktu kau merasa resah dan gundah susah
tentram, mungkin itulah pertanda cinta, tak perduli dalam keadaan
yang bagaimana kamu merangkap pertemuan itu. Untuk pertama
kali inilah hatinya resah karena cinta, karena cinta, telah
membelenggu dirinya tanpa dia sadar sebelumnya. Tanpa terasa
dia menghela napas dalam.
Tengah ia tenggelam dalam renungannya itulah, mendadak sebuah
bayangan manusia tengah mendatangi dengan sempoyongan
kearah dimana Suma Bing tengah berdiri. Waktu Suma Bing
tersadar kaget dan membalik tubuh, bayangan itu sudah terpaut
tiga tombak dari dirinya. Waktu melihat orang yang mendatangi ini
seketika membaralah hawa amarahnya menggeser kaki segera ia
mencegat ditengah jalan sambil menghardik keras:
"Berhenti!" Kiranya yang datang ini bukan lain Tang-mo
adanya, salah satu dari Bu-lim-su-ih yang sejajar dengan Se-kui, Pak-tok dan
Lam-sia. Tang-mo menurut kata menghentikan langkahnya. Terlihat oleh
Suma Bing pandangan kedua mata orang
begitu redup, napasnya memburu, jidatnya basah oleh keringatnya
yang meleleh deras. Diam2 terkejut hatinya batinnya apakah iblis
laknat ini terluka parah"
"Iblis timur, akhirnya kita bertemu juga disini!" "Kau... kau..."
seru Tang-mo tergagap. "Akulah Suma Bing, murid Lam-sia
Su-hay..." Tubuh Tang-mo ter-huyung2 hampir roboh agaknya
dia hampir tak kuat lagi berdiri.
Suma Bing membatin dalam hati: "Luka iblis ini tidak ringan,
entah terluka ditangan siapa
dia." Maka segera ia bertanya: "Apa kau terluka?" Iblis timur
menggigit bibir menahan sakit dan menguatkan
hatinya, serunya beringas: "Buyung, memang Lohu terluka parah,
kau mau apa?" Hawa membunuh menyelubungi raut wajah Suma
Bing desisnya dingin: "Aku ingin mencabut jiwamu!" Lagi2 tubuh
Tang-mo terhuyung mundur, geramnya:
"Buyung, kau tidak adil menggunakan kesempatan ini..."
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tutup-mulutmu, tidak peduli bagaimana kau hendak
berkata, yang terang hari ini kau harus mati!" "Ada permusuhan
apa Lohu dengan kau?" "Permusuhan! Hehehe, Tang-mo,
ketahuilah dendam
sedalam lautan setinggi gunung, tapi sebelum aku turun tangan,
harap sukalah kau berlaku terus terang, jawablah beberapa
pertanyaanku"
"Buyung, kau..." "Dengar, peristiwa pengeroyokan dipuncak
kepala harimau digunung Tiam-tjong-san dulu itu..." "Buk!" Suma Bing berjingkrak
kaget. Ternyata Tang-mo
sudah roboh binasa. Darah menyembur deras dari dadanya bagai
mata air. Saking gugup hampir saja bibir Suma Bing tergigit putus
oleh giginya sandiri, ter-sipu2 ia memburu maju membalikkan
tubuh orang dan memeriksa dengan teliti, tampak sebuah lobang
besar didepan dadanya menembus sampai dipunggungnya. Bahwa
iblis laknat ini terluka dadanya tembus sampai kepunggung masih
kuat menutup jalan darah
dan berlarian sekian jauh sampai disitu, kekuatan Lwekangnya itu
benar2 sangat mengejutkan. Tapi siapakah yang telah
melukainya"
Dengan kepandaian dan Lwekang Tang-mo yang lihay, orang yang
mampu mengalahkan atau membunuhnya kiranya hanya beberapa
tokoh lihay pada jaman itu. Bahwasanya luka Tang-mo itu bukan
karena kena pukul atau sesuatu ilmu aneh yang mengejutkan,
adalah dadanya itu tertembuskan oleh sebilah senjata tajam. Maka
dapatlah dibayangkan bahwa sipembunuh itu pasti berkepandaian
lebih tinggi dari Iblis timur sendiri.
Saking gegetun dan menyesal Suma Bing mem-banting2 kaki.
Tang-mo adalah salah seorang musuh besar yang ikut dalam
peristiwa berdarah dipuncak kepala harimau di Tiam- tjong-san.
Dari mulutnyalah dia bersiap mengejar musuh2 besar lainnya,
sungguh tidak kira sumber yang terpercaya inipun putus. Siapakah
yang telah membunuh Iblis Timur" Angkara murka hatinya beralih
kepada manusia yang membunuh Iblis timur itu, karena kematian
Iblis timur maka dia harus kehilangan sumber pengejaran kepada
musuh2 besarnya. Mengawasi jenazah musuh besarnya yang
tergolek mati ditangan orang lain ini, per-lahan2 semakin
memuncak kegusarannya tangan diangkat hendak menghantam...
"Orang mati dendam ludas, sangat keterlaluan kalau kau merusak
jenazahnya!"
Suma Bing mendengus keras sambil tarik kembali tangannya,
terlihat olehnya si orang yang bicara ini bukan lain adalah si maling
bintang Si Ban-tjwan.
"Si-tjianpwe apa baik2 saja selama berpisah?" "Hehe,
baik2 saja!" "Apakah Tjianpwe tahu Tang-mo terbunuh
oleh siapa?"
Seketika si maling bintang Si Ban-tjwan mengunjuk rasa heran
dan terkejut: "Apa kau sendiri tidak bisa melihat?" Suma Bing menggeleng
dengan hampa: "Menurut hematku dadanya tertembus oleh
senjata tajam, tentang siapa yang turun tangan belum dapat kuketahui!" "Ha,
peristiwa besar yang menggegerkan itu, masa kau
masih belum dengar?" "Peristiwa besar?" "Pada saat ini dunia
persilatan sudah menanjak pada akhir
jaman, karena dimana2 tersebar keseraman dan kekejaman
dengan bau anyir darah!"
Suma Bing berkerut alis, tanyanya: "Wanpwe minta petunjuk?"
Baru pertama kali inilah Suma Bing merendah diri mengaku
sebagai Wanpwe (angkatan rendah) kepada Si maling bintang.
Karena si maling bintang pernah memberitahukan kepadanya
bahwa ibunya San-hoa-li Ong Fang-lan masih hidup, bersama itu
dia juga menyanggupi untuk membantu mencari jejak ibunya itu,
maka Suma Bing merasa sangat berterima kasih.
Kata Si maling bintang Si Ban-tjwan serius: "Iblis timur mati
ditangan Rasul penembus dada yang
diutus oleh perkumpulan yang bernama Jeng-siong-hwe!"
"Jeng-siong-hwe?" seru Suma Bing terkejut. "Aneh benar
nama itu, belum pernah kudengar dikalangan Kangouw?" "Rasul
penembus dada muncul di Bulim baru beberapa
bulan saja, dalam jangka waktu satu bulan, kaum persilatan dari
aliran hitam atau putih yang mati tertembus dadanya oleh sebilah
cundrik tidak kurang dari lima puluh orang. Malah para
korban itu kalau bukan salah seorang pentolan daerah pasti tokoh
kosen yang kenamaan..."
"Bukankah kepandaian orang yang menampakkan diri sebagai
Rasul penembus dada itu sangat hebat dan mengejutkan?"
"Sudah tentu, Iblis laknat berkepandaian tinggi seperti Tang-mo
saja tidak mampu membela diri, maka dapatlah kau bayangkan
sendiri. Adalah yang paling mengejutkan bahwa Siau-lim-si yang
terkenal sebagai pentolan yang merajai dunia persilatan juga tidak
luput dikunjungi oleh Rasul penembus dada itu. Dibawah
penjagaan ketat beratus murid lihay dalam kelenteng itu, masih
dengan leluasa dia menembuskan senjatanya didada Liau Khong
Hwesio kepala pengawas dari Lo-han-tong dan dua muridnya."
"Benar2 ada peristiwa besar ini?" "Seluruh dunia persilatan
sudah geger dan gempar, sayang
mata kupingmu kurang jeli." "Perkumpulan macam apakah
Jeng-siong-hwe itu?" "Teka-teki!" "Siapakah pemimpinnya?"
"Tiada yang tahu!" Dingin perasaan Suma Bing, bahwa
Bwe-hwa-hwe sudah
merupakan perkumpulan rahasia dikalangan Kangouw, kini muncul
lagi sebuah Jeng-siong-hwe yang serba misterius dan
menakutkan. "Apakah tujuan Jeng-siong-hwe menimbulkan kancah pembunuhan
berdarah itu?"
"Masih merupakan teka-teki!"
"Jeng-siong-hwe membunuh Tang-mo sehingga aku kehilangan
sumber penyelidikanku untuk menuntut balas, perhitungan ini..."
"Apa kau hendak menagih pada mereka?" "Sudah tentu!"
"Buyung sudahi saja. Saat ini yang terpenting adalah
mencari jejak ibundamu, kalau ibumu masih sehat waalfiat
kupercaya takkan ada seorangpun musuh besarmu dapat lolos"
Sikap Suma Bing menjadi lesu dan bersedih: "Harapan ibu
masih hidup agaknya sangat kecil." "Mengapa?" "Kalau dia
orang tua masih hidup, selama puluhan tahun ini
mengapa tidak kelihatan jejaknya. Mungkin setelah meninggalkan
Tiam-tjong-san masih tidak luput dari tangan kejam para
musuh2..."
"Itu juga mungkin, tapi bagaimana juga harus diselidiki sampai
seterang2nya!" Kata si maling bintang, "Sudah banyak tempat
kujajaki, sampai sekarang masih belum dapat kuperoleh..."
Dengan penuh perasaan haru Suma Bing memberi hormat kepada
si maling bintang, ujarnya:
"Kebaikan Tjianpwe, selamanya akan kuingat dalam lubuk
hatiku!" "Buyung tidak perlu. Untuk menentramkan sanubari maling tua
inilah aku berbuat begitu. Dulu kalau aku tidak terluka parah dan
belum pulih lagi tenagaku, mungkin perkembangan selanjutnya
bisa berobah. Hehe, yang lalu tidak perlu diperbincangkan lagi!
Mari kekota didepan sana mencari warung dan minum arak untuk
menghilangkan kesal!" tanpa menanti jawaban Suma Bing lagi
segera ia berlari kedepan.
Sekilas Suma Bing melirik kejenazah Tang-mo terus mengikuti
dibelakangnya. Tak lama kemudian mereka sudah memasuki
sebuah kota besar yang ramai. Kedua tua muda itu bersama
memasuki sebuah rumah makan Jui-lay-ki, mereka mencari sebuah
tempat duduk disamping jendela dipojok sebelah sana, tak lama
kemudian arak dan hidangan sudah memenuhi meja dihadapan
mereka dengan lahapnya tanpa bicara mereka gegares semua
makanan yang lezat dan nikmat.
Suasana dalam rumah arak itu sangat ramai dan penuh dengan para
pengunjung rata2 mereka tengah memperbincangkan sepak terjang
Jeng-siong-hwe, wajah mereka rada2 mengunjuk rasa takut2 dan
seram. Se-konyong2 suara keributan dalam ruang makan yang gaduh itu
sirap seketika keheningan seram mencekam sanubari setiap
hadirin, sedemikian sunyi senyap seumpama jarum jatuhpun dapat
terdengar. Suara si maling bintang Si Ban-tjwan berbisik gemetar: "Sudah
datang!" Tanpa terasa tergerak dan berdetak hati Suma Bing
pandangannya menyapu seluruh ruang tampak wajah semua
hadirin pucat ketakutan matanya nanap memandang kearah
tangga loteng. Eh, diujung tangga sana berdiri tegap dengan
angkernya seorang seragam putih dengan mengenakan kedok
putih pula. Bagi kaum persilatan kalau kepandaiannya tidak sangat tinggi
diandalkan jarang ada orang yang suka mengenakan pakaian
serba putih. Sebab warna putih sangat menyolok mata disiang
maupun dimalam hari.
Jubah panjang didepan dada orang aneh ini tersulam cundrik
berwarna merah darah.
"Rasul penembus dada!" tanpa terasa Suma Bing membatin
dalam hati. Bahwa Rasul penembus dada terang2an muncul diatas rumah
makan itu benar2 diluar dugaan semua orang. Serta merta Suma
Bing merasakan ketegangan hati.
Perlahan dan pasti Rasul penembus dada melangkah mantap
diantara meja2 makan yang penuh diduduki para tamu, bagai
dewa kematian yang tengah mencari sasarannya, dimana ia lewat
orang2 itu menunduk kepala tidak berani beradu pandang. Semua
orang ber-tanya2 dalam hati elmaut kematian bakal menimpa
kepada siapa. Dua lobang bundar diatas kedok putihnya itu memancarkan sinar
mata dingin ber-kilat2 bagai tajamnya pedang yang menciutkan
nyali orang. Kedua bola mata Suma Bing membelalak bundar dan bergerak
mengikuti gerak tubuh Rasul penembus dada. Tiba2 ia merasa dua
sinar dingin dari sorot matanya itu tengah bentrok, merinding dan
berdiri bulu kuduknya. Batinnya: Apa aku yang dituju" Belum
lenyap pikirannya ini sorot mata orang sudah beralih ketempat
lain. Setiap hadirin se-olah2 tengah menanti hari kiamat yang
menakutkan. Suara derap kakinya yang seperti disengaja berkeresekan diatas
papan loteng, seakan irama kesedihan yang mengantar arwah
kematian mendetam dihati setiap hadirin. Suasana mencekam hati
serasa membeku!
Dasar sifat Suma Bing memang congkak dan angkuh, tak kuat ia
menahan suasana yang mencekam hatinya ini, bergegas ia bangkit
dari tempat duduknya, baru saja...
Ter-sipu2 si maling bintang menekan pundaknya dan
menyuruhnya duduk kembali.
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ Akhirnya suara derap langkahnya berhenti. Rasul penembus dada
berhenti disamping sebuah meja besar disebelah timur sana.
Sekeliling meja besar ini sudah padat diduduki orang, yang
berduduk ditengah adalah seorang berpakaian perlente dari kain
sutera yang mengkilap berusia lanjut, kedua sisinya duduk dua
perempuan muda yang memulas mukanya dengan pupur tebal.
Dihadapan si orang tua berduduk dua orang Tosu, dibaris
belakang mereka berdiri jajar empat laki2 yang berpakaian
sebagai centeng.
-oo0dw0oo- Jilid 6 21. SI-T IAUKHE K = EMP AT MAY AT GAN TUN G "Siapakah orang tua berpakaian perlente itu?" tercetus satu
pertanyaan dari mulut Suma Bing kepada si maling bintang.
"Dialah Ang Bong-cun, iblis cabul yang paling kenamaan
didunia persilatan." "Jadi si tua perlente inilah yang telah
dipilihnya!" Ditengah suara pekik kaget dan ketakutan, dua
perempuan dan kedua Tosu itu bergegas bangkit dan berlari mengumpat
dibelakang si tua perlente itu, wajah mereka pucat pasi. Perlahan si
tua perlente berdiri gemetar se-akan2 semangatnya tersedot hilang,
matanya termangu, mulut terbuka lebar tanpa mampu
mengeluarkan suara.
"Kau ini yang bernama Ang Bong-cun?" suara Rasul penembus
dada melengking dingin menusuk hati.
"Ya, itulah Lohu adanya, entah tuan ada petunjuk apa?" sahut
Ang Bong-cun gemetar.
Bibir Rasul penembus dada tampak ber-gerak2, agaknya ia tengah
menggunakan ilmu Gi-i-coan-seng (suara semut menimbulkan
gelombang) untuk bicara dengan orang, orang lain tidak akan
mendengar percakapan mereka ini.
Tampak wajah Ang Bong-cun semakin pucat, tubuhnya gemetar
dan terhuyung hampir roboh, keringat dingin sebesar kacang
menetes deras, bentaknya bengis:
"Siapa kau?" "Rasul penembus dada menerima perintah ketua
kami untuk melaksanakan kematianmu!" suaranya dingin bagai es
membuat semua pendengarnya bergidik seram.
Mendadak Ang Bong-cun menggerung keras, kedua tangan
disodokkan keras kedepan, langsung ia menggenjot kedada Rasul
penembus dada, naga2nya ia sudah nekad untuk gugur bersama.
Se-olah2 tidak merasakan ada serangan dahsyat ini, lincah dan
seenaknya saja Rasul penembus dada menggerakkan sebelah tangan
mengebut, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, tapi tiba2 tubuh
Ang Bong cun terpental mundur bagai diterjang kekuatan dahsyat
yang tidak terlihat pandangan mata.
Diam2 Suma Bing memuji dan mengurut dada, kepandaian Rasul
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penembus dada ini benar2 hebat dan mengejutkan.
"Ang Bong-cun,kau tidak akan menyesal menghadapi ajalmu."
Agaknya Ang Bong-cun sudah panik dan nekad, lagi2 kedua
tangannya sudah diangkat dan menyerang lagi...
Terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat dan terus mental
balik ketempat asalnya lagi. Lantas disusul terdengar suara jeritan
yang mengerikan hati. Tampak dada dan punggung Ang Bong-cun
tahu2 sudah berlobang besar, darah segar bagai air mancur
menyembur keluar dari lobang lukanya itu. 'Blang!' tubuhnya roboh
menumbuk meja. Adegan pembunuhan yang seram secara terang2an ini benar2
membuat hadirin terhenyak ketakutan ditempat duduk masing2,
tubuh mereka gemetar tak henti2nya.
Dimana terlihat bayangan putih berkelebat bagai seekor burung
bangau meluncur keluar melalui jendela terus menghilang
dikejauhan dalam sekejap mata.
Suma Bing menggerung keras terus mengejar keluar melalui
jendela itu. "Hai Suma Bing gila kau!" seru si maling bintang Si Ban- tjwan.
Belum sirap suaranya bayangan Suma Bing sudah menghilang
diluar sana. Maka buncah dan gegerlah seluruh keadaan rumah arak yang tadi
begitu sunyi senyap. Ber-ulang2 si maling bintang mem-banting2
kaki, setelah melontarkan sekeping perak dimeja segera iapun
mengejar keluar melewati jendela itu.
Sementara itu, begitu tubuh Suma Bing sampai diluar jendela,
terlihat setitik putih bagai terbang tengah berloncatan diatas atap
rumah dikejauhan sana, jaraknya tidak kurang dari ratusan
tombak. Suma Bing me-nyumpah2 dalam hati sampai keujung
langit juga akan kukejar sampai dapat! Dalam berpikir itu dengan
kecepatan anak panah ia kerahkan seluruh tenaganya
mengembangkan ilmu ringan tubuh terus mengejar kedepan
seenteng burung walet. Tiba diujung kota diluar sana adalah
sebuah hutan lebat. Titik putih itu dalam sekejap sudah
menghilang dari jarak pandangannya didalam hutan itu. Tanpa
banyak pikir lagi Suma Bing langsung terbang memasuki hutan
lebat, terasa cuaca sekelilingnya sangat gelap. Selama berlarian
sepeminuman teh itu kira2 ia sudah menempuh sejauh puluhan li,
tapi bayangan putih itu tetap menghilang tanpa meninggalkan
jejak. Akhirnya bosan juga ia ubek2kan dalam hutan, baru saja ia
berniat putar tubuh tinggal pergi. Se-konyong2 sejalur angin dingin
menghembus ditengkuknya, sungguh kejutnya bukan olah2, gesit
sekali ia menggeser tubuhnya lima kaki kesamping lalu secepat
kilat membalik tubuh, eh aneh bin ajaib, apapun tidak terlihat olehnya. Dan baru
saja ia hendak memutar tubuh, sejalur angin dingin menyerbu
datang lagi dari arah belakang. Tanpa terasa berdiri bulu kuduk
Suma Bing, batinnya: apa aku ketemu setan"
Kali ini ia tidak ter-gesa2 memutar tubuh, setelah menenangkan
hatinya per-lahan2 ia memutar tubuh, sepasang matanya yang
bersinar tajam, jeli dalam sekejap itu sudah menyapu pandang
keempat penjuru. Begitu melihat apa yang dipandang seketika
darah tersirap diatas kepalanya, tubuhnya gemetar dan merinding.
Kiranya diatas sebuah pohon berjarak setombak lebih
dibelakangnya sana tergantung sebuah mayat manusia.
Mayat itu agaknya sudah lama meninggal, tubuhnya kurus kering
tinggal kulit membungkus tulang, tubuhnya bergoyang gontai
dihembus angin lalu. Tapi keadaan ini sangat janggal dan
mengherankan. Masa didunia ini benar2 ada setan kalau tidak
sebuah mayat masa bisa menghembuskan angin"
Mendadak ia melihat kiranya mayat gantung itu bukan hanya satu
tapi semua ada empat yang tergantung diempat penjuru, keempat
mayat gantung ini serupa benar kurus kering, lehernya terikat
kencang diatas seutas tali yang tergantung didahan pohon.
Dimana dirinya berada kebetulan tepat ditengah2 diantara
keempat mayat gantung itu.
Hampir meledak jantung Suma Bing saking ketakutan kuncup
nyalinya, bulu seluruh tubuhnya berdiri tegak, keringat dingin
membasahi tubuh. Masa didunia ini bisa terjadi keanehan ini,
empat orang menggantung diri bersama.
Jantung Suma Bing berdetak keras dengan mendelong bergantian
mengawasi keempat mayat gantung itu. Benar2 bunuh diri secara
massal atau mati digantung orangkah"
Tiba2 salah sebuah mata mayat itu ber-putar2 mulutnya
mengeluarkan pekik tawa melengking menusuk telinga, dan belum
lenyap suaranya ini tiga yang lain juga berbareng
mengeluarkan lengking tawa dingin saling bersautan, suara
tawanya sedemikian mengerikan bagai tawa setan dineraka yang
mendirikan bulu roma dan menyedot semangat orang.
Akhirnya Suma Bing dibikin paham dan mengerti juga akan apa
yang tengah dihadapi, dari ngeri dan seram hatinya menjadi gusar
bukan buatan hardiknya keras:
"Tutup mulut!" Karena bentakan nyaring laksana geledek
menggelegar ini
seketika siraplah suara tawa bersahutan dari keempat setan
gantung yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang itu.
Terdengar Suma Bing melanjutkan makiannya: "Menyamar
setan menakuti orang, permainan rendah dari
aliran manakah ini?" Salah seorang aneh segera, menyahut
dingin: "Bujung, kau inikah murid Kho-lo-sia yang bernama Suma
Bing?" Diam2 terkejut hati Suma Bing, agaknya dirinya menjadi
sasaran pencarian mereka maka dengan angkuh dan dinginnya ia
mengiakan. "Apa kau sudah pernah dengar nama Si-tiau-khek?" "Si
tiau-khek" Belum pernah dengar!" "Huh, biar hari ini kau
berkenalan!" " ditengah suara
lengking tawanya berbareng Si-tiau-khek melayang turun keatas
tanah, kedudukan mereka masih tetap berpencar diempat penjuru
mengepung Suma Bing di-tengah2. Lehernya masih terhias tali
gantung itu, sikap raganya benar2 seperti mayat hidup,
pemandangan ini benar2 membuat seram dan takut orang yang
melihatnya. Segera salah seorang yang berperawakan paling tinggi
membuka kata: "Buyung, ingatlah biar betul. Jangan sesudah kau menghadap
Giam-lo-ong masih tidak mampu menyebut nama orang yang
menyempurnakan jiwamu. Toayamu ini adalah pentolan dari
Si-tiau-khek bernama Heng-si-khek." lalu berturut2 ia menunjuk
dan menyebut: Bou-bong-khek, Hui- bing-khek dan teh-tjiam-khek.
Sekilas Suma Bing menyapu pandang keempat mayat gantung itu
lalu serunya dengan nada mengejek:
"Aku juga bisa sempurnakan kalian menurut cara nama gelaran
kamu masing2. Tapi sebelum turun tangan aku ingin mengetahui
apa tujuan kedatangan kalian?"
"Buyung." jengek Heng-si-khek sinis. "Kematianmu sudah didepan
mata, tidak perlu kau membual percuma, mau tahu tujuan kita"...
kita ingin jiwamu!"
Sontak membara hawa amarah Suma Bing, serunya dengan nada
berat: "Kalian tidak mau mengatakan tujuan kamu, terpaksa aku yang
rendah berlaku kurang hormat..."
"Buyung kau masih terpaut terlalu jauh!" tukas Bou bong- khek
dengan suara melengking.
"Silahkan kau mencoba lebih dulu!" sambil membentak keras Suma
Bing lancarkan sebuah hantaman menyerang kearah
Bou-bong-khek. Dimana gelombang angin badai melanda tampak
Bou-bong-khek angkat sebuah tangannya yang kurus kering
berputar satu lingkar...
Seketika angin pukulan Suma Bing yang dahsyat itu hilang sirna
karena putaran tangan Bou-bong-khek ini. Malah bersamaan
dengan itu sejalur angin dingin menerjang tiba merangsang
dirinya, betapa hebat kekuatan hawa dingin ini benar2 susah
dibayangkan, seketika Suma Bing terbentur mundur tiga langkah.
Baru sekarang Suma Bing benar2 merasa sangat terkejut. Bahwa
Lwekang musuh kiranya lebih tinggi dan lihay dari dugaannya
semula. Salah seorang dari musuh ini saja sudah sedemikian lihay
apalagi kalau berempat bergerak serentak mengeroyok dirinya,
sudah pasti dirinya bukan tandingan mereka. Akan tetapi dasar
sifat pembawaan Suma Bing memang keras angkuh dan tak
mengenal takut. Begitu tubuhnya berdiri tegak lagi sambil
menggerung keras ia lancarkan lagi sebuah hantaman yang
menggunakan seluruh kekuatan Kiu-yang-sin-kang, gelombang
panas ber-gulung2 bagai badai ombak dan gugur gunung menerpa
kearah musuh. Agaknya Bau-bong-khek dapat melihat gelagat akan kehebatan
pukulan ini, tanpa berayal tubuhnya maju selangkah kedua kaki
sedikit ditekuk lantas kedua tangannya disurung kedepan...
Setelah suara menggelegar bagai bumi meledak, tanah pasir
bergulung dan beterbangan Suma Bing sempoyongan mundur lima
langkah, darah bergolak hampir menyembur keluar dari mulutnya.
Sebaliknya Bau-bong-khek hanya tergeliat dua kali tanpa berkisar
dari tempatnya semula. Jengeknya:
"Bagaimana bocah busuk. Satu diantara kita sudah cukup
mencabut nyawamu bukan?"
Sekarang baru Suma Bing benar2 merasa bergidik merinding, sejak
dirinya menelan Kiu-tjoan-koan-yang-tjau-ko, Lwekangnya sudah
maju berlipat ganda, sungguh diluar sangkanya bahwa dirinya
masih tidak kuat melawan satu diantara Setan gantung ini.
Lwekang Ketua Bwe-hwa-hwe agaknya lebih unggul dari
Bu-lim-su-ih, sebaliknya keempat setan gantung ini naga2-nya
masih lebih unggul sedikit lagi dari ketua Bwe hwa-hwe. Tapi untuk
tujuan apakah para setan gantung ini mencari dirinya"
Bahwa kepandaian empat setan gantung ini memang bukan olah2
hebatnya, namun sebelum ini dirinya belum pernah dengar akan
nama si-tiau-khek!
Dua kali terpental mundur tanpa terasa Suma Bing sampai
dihadapan Hui-bing-khek sejauh jangkauan sebuah tangan, tahu2
sebuah jari tangan sudah menekan jalan darah besar
Bing-bun-hiat Suma Bing, lalu disusul sebuah suara dingin
menggiriskan mengancam:
"Buyung, jangan bergerak!" Tergetar perasaan Suma Bing,
seketika membara hawa
amarahnya: "Membokong melukai orang terhitung orang gagah
macam apa?" "Bocah busuk!" semprot Heng-si-khek segera, "Waktu tidak
menunggu orang, dengan cara begini lebih gampang dan cepat,
jadi tak usah lagi kita berempat susah payah. Seumpama benar2
mau berkelahi, hehehe, sekali kita turun tangan serempak,
kutanggung tubuhmu pasti hancur lebur jadi perkedel!"
Saking murka Suma Bing mengertak gigi, desisnya penuh
kebencian: "Si-tiau-khek, ingatlah akan penghinaan begini, akan datang suatu
hari aku Suma Bing pasti membunuh kalian berempat!"
"Buyung, kudoakan kau mendapat kesempatan itu. Hanya sayang
ucapanmu ini bagai kentut yang tak berguna."
Mendadak Teh-tjiam-khek menjerit keras melengking seperti
pekikkan setan. Sebuah bayangan orang segera melesat tiba
memasuki hutan.
Segera Si-tiau-khek berseru lantang bersama: "Lapor pada
Ketua, kita sudah bekerja menurut perintah"
"Kalian berempat tak perlu banyak peradatan." Waktu Suma
Bing memandang, hampir saja dadanya
meledak saking gusar, karena bayangan yang baru muncul ini
ternyata bukan lain adalah Ketua Bwe-hwa-hwe. Sungguh diluar
tahunya bahwa Si-tiau-khek yang lihay ini kiranya adalah begundal
Bwe-hwa-hwe" Juga dia tak habis mengerti mengapa Ketua
Bwe-hwa-hwa ini sedemikian besar hasratnya hendak
melenyapkan dirinya"
Tidak lama kemudian beruntun berdatangan lagi beberapa orang
berseragam hitam dari empat penjuru, baju didepan dada mereka
bersulam sekuntum bunga Bwe besar.
Segera Heng-si-khek maju minta petundjuk: "Lapor Ketua,
bagaimana bocah ini harus kubereskan?" Tanpa ragu2 segera
Ketua Bwe-hwa-hwe menyahut:
"Gusur pulang kemarkas besar." "Wah ini agak berabe, kalau
terjadi sesuatu hal ditengah
jalan." Tapi dia orang tua ingin dia hidup, dan hendak
mengompresnya sendiri..." "Apakah Hwe-tiang masih ingat
tentang peristiwa Pek kut-ji
yang sudah muncul dua kali?" Tercekat hati Suma Bing, timbul
pertanyaan dan rasa
curiga dalam benaknya, entah siapakah 'dia orang tua' yang
dimaksud oleh Ketua Bwe-hwa-hwe ini" Naga2-nya Ketua
Bwe-hwa-hwe sendiri juga mendapat perintah lagi dari orang lain.
Terdengar Ketua Bwe-hwa-hwe berkata dengan nada berat:
"Hal itu sudah diatur dengan rapi sekali. Tutuklah jalan darah bocah
ini, begitu lebih gampang kalian menggusur pergi. Lalu silahkan
kalian berempat masing-masing
mengendarai sebuah kereta berpencar dari empat jurusan
langsung kembali kemarkas besar!"
"Kalau begitu hamba sekalian sudah paham," sahut Hengsi-
khek. "Setiap kereta memuat seorang yang berwajah sama dan
pakaian yang sama pula, berpencar dari empat penjuru."
Segera terdengar suara ringkik kuda dan roda kereta
berkeletak-keletok mendatangi, empat kereta kecil lambat2
memasuki gelanggang.
Kedua mata Suma Bing mendelik merah membara, sungguh diluar
dugaannya bahwa dirinya bakal begitu gampang terjatuh dalam
cengkeraman iblis para musuh2nya ini.
Segera ketua Bwe-hwa-hwe berkata lagi: "Pakaian kalian
berempat juga harus diganti supaya tidak
menimbulkan kecurigaan atau perhatian orang!" "Hamba terima
perintah." "Bocah ini harap Lo-toa yang mengantar?" "Baik!"
Diam2 Suma Bing tidak habis mengerti, didengar dari cara
Ketua Bwe-hwa-hwe bicara kepada Si-tiau-khek benar2 membuat
orang susah menebak atau mengambil kesimpulan apa dan betapa
tinggi kedudukan Si-tiau-khek ini didalam Bwe-hwa-hwe mereka.
Apalagi kepandaian Si-tiau-khek agaknya masih lebih unggul dari
Ketua Bwe-hwa-hwe sendiri"
"Mulai berangkat!" Seketika Suma Bing merasa seluruh tubuh
tergetar hebat,
beberapa jalan darah besar ditubuhnya beruntun ditutuk. "Buk",
kontan tubuhnya terkapar diatas tanah, seluruh tubuh terasa
lemas lunglai, mulut tak kuasa bicara, sia2 saja matanya melotot
merah gusar sisa2 tenaga untuk melawan saja tidak mampu.
Seorang laki2 segar segera maju mendekati sigap sekali orang ini
mengenakan sebuah kedok kemuka Suma Bing, lalu mengganti
juga pakaian Suma Bing dengan sebuah jubah warna hitam yang
bersulam sekuntum bunga Bwe didepan dada.
Hampir meledak dada Suma Bing, dan jatuh pingsan saking
gusar.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bersama itu Si-tiau-khek juga telah mengeluarkan kedok masing2
terus dikenakan dimukanya untuk menutupi wajahnya yang
beringas menakutkan.
Sorot mata ketua Bwe-hwa-hwe mencorong tajam dari dalam
kedoknya, sekilas ia menyapu pandang kearah Heng-si- khek dan
berkata: "Lo-toa, hati2lah sepanjang jalan!" "Hamba sudah paham."
"Kalau terjadi sesuatu hal dan terpaksa, kuberi ijin untuk
melenyapkan jiwanya. Dan juga, kalau kebentur lagi dengan
Pek-kut-ji atau Rasul penembus dada, kau harus hati2 layanilah
dengan hormat, jangan menggunakan kekerasan, inilah
perintahku!"
"Hamba terima perintah!" "Sekarang boleh berangkat, naik
kereta kedua!" Bau-bong-khek, Hui-bing-khek dan
Teh-tjiam-khek segera
melesat naik keatas kereta kesatu, kedua dan ketiga. Sedang
Heng-si-khek segera menjinjing tubuh Suma Bing langsung
menuju kekereta kedua...
Pada saat itulah mendadak kerai kereta tersingkap sebuah
bayangan putih mulus keluar dari dalam kereta melayang enteng
bagai roh halus didepan kereta. Pakaian sepan serba putih dan
mengenakan kedok putih pula, didepan dadanya bergambar
sebilah cundrik berwarna merah darah.
Seketika terdengarlah suara pekik terkejut dan ributlah suasana...
"Rasul penembus dada!" -- "Rasul penembus dada!"
Bahwa Rasul penembus dada bisa keluar dari kereta kedua ini
benar2 merupakan hal yang sangat mustahil dan susah
dibayangkan. Seketika Si-tiau-khek terhenyak kaget ditempat masing2. Tidak
ketinggalan Ketua Bwe-hwa-hwe juga terkejut mundur tiga
langkah, tubuhnya gemetar menahan perasaan hatinya.
Begitu suara ribut2 itu sirap suasana menjadi sedemikian hening
lelap menegangkan, keseraman seketika meliputi lubuk hati setiap
hadirin. Kurang lebih baru satu bulan Rasul penembus dada muncul
didunia persilatan, tapi sepak terjangnya benar2 sangat
menggemparkan kaum persilatan se-akan2 dunia persilatan sudah
mendekati masa2 akhirnya entah dia dari aliran hitam atau putih
begitu mendengar nama dan melihat ujudnya segera lari lintang
pukang menyelamatkan diri.
Sudah tahu namun Ketua Bwe-hwa-hwe sengaja mengajukan
pertanyaan: "Tuan orang kosen darimana?" "Rasul penembus dada!" "
Kata2 ini keluar dari mulut
tokoh misterius yang menakutkan ini, tekanan nada dan irama
suaranya benar2 menyedot semangat semua anggota Bwehwa-
hwe yang hadir.
Merandek sejenak lantas Ketua Bwe-hwa-hwe berkata lagi:
"Tuan datang kemari ada petunjuk apakah?" "Kau inikah
Ketua Bwe-hwa-hwe?" "Tidak salah!" "Sebutkan namamu?"
Lagi2 Ketua Bwe-hwa-hwe tergetar mundur satu langkah,
suaranya gemetar:
"Ini... maaf tak dapat kukabulkan." Rasul penembus dada
mengekeh tawa dingin, ancamnya: "Kau berani
membangkang?" Walaupun jalan darah Suma Bing tertutuk,
mulut tak dapat
bicara, namun kupingnya masih bisa mendengar. Dengan jelas ia
menyaksikan dan dengar segala perobahan yang terjadi. Hatinya
turut terkejut dan heran bahwa Rasul penembus dada bisa
mendadak muncul disitu. "Blang", tubuh Suma Bing dilontarkan
sejauh tiga tombak dan rebah tak berkutik diatas tanah.
Sebat luar biasa keempat Setan gantung itu lantas berpencar
keempat penjuru mengepung Rasul penembus dada. Dengan
pandangan dingin Rasul penembus dada mendengus hina, tanpa
melirik sekejappun kearah Keempat Setan gantung.
Suasana seram ini semakin memperuncing ketegangan lubuk hati
setiap hadirin.
Sejenak menenangkan hatinya, lantas Ketua Bwe-hwa-hwe
bertanya: "Tuan ingin mengetahui nama besarku, apakah tujuan tuan?"
"Ingin kuketahui wajah aslimu, mudah bukan?" "Apa tidak
keterlaluan keinginan tuan ini?" "Sekarang lebih baik kau
segera tanggalkan kedokmu itu!" Nada kata2nya seakan
memerintah dan tidak memberi
kelonggaran sedikitpun. Bahwasanya Bu-lim-su-ih yang
kenamaan juga tidak masuk
dalam pandangan Ketua Bwe-hwa-hwe ini. Sebaliknya
menghadapi ketemberangan Rasul penembus dada ini sikapnya agak
takut2. Tapi dihadapan sekian banyak anak buahnya, demi menjaga
gengsi tak dapat tidak ia harus memberanikan diri supaya tidak
memperlihatkan kelemahannya. Maka segera ia menyahut lantang:
"Maaf tak dapat kuturuti keinginan tuan!" "Selamanya kata2
Rasul penembus dada sekokoh gunung
tidak mengenal apa yang dinamakan 'tidak bisa'. Ketahuilah,
diseluruh kolong langit ini tidak akan kubiarkan seseorang
menyembunyikan wajahnya dihadapanku!"
"Memangnya kenapa?" "Itu bukan urusan yang harus kau
tanyakan!" "Baiklah kutandaskan sekali lagi, tidak bisa!" "Apa
kau sudah membayangkan akibatnya?" "Sebagai Ketua
selamanya aku belum pernah diancam." "Hehehehehe...
obrolan impian!" "Tuan terlalu menghina orang!" - disertai
suara bentakan menggeledek, keempat Setan gantung serempak mengirim pukulan
menyerang Rasul penembus dada. Bersamaan dengan itu Ketua
Bwe-hwa-hwe malah melejit jauh menyingkir tiga tombak diluar
gelanggang. Maka terdengarlah suara dentuman yang dahsyat memekakkan
telinga, kontan keempat Setan gantung mundur terhuyung
beberapa langkah.
Hanya gebrak pertama kali ini cukup membuat kuncup dan ciut nyali
setiap anggota Bwe-hwa-hwe yang hadir. Betapa hebat gabungan
tenaga keempat Setan gantung ternyata masih tidak kuat melawan
seorang malah terpental balik sendiri. Lwekang sedemikian hebat
benar2 sangat mengejutkan dan menggetarkan.
Pada saat keempat Setan gantung terhuyung mundur dan belum
sempat berdiri tegak itulah tiba2 terlihat sebuah bayangan putih
berkelebat secepat kilat, tahu2 Rasul penembus dada sudah melejit
tiba dihadapan Ketua Bwe-hwa- hwe sejarak uluran tangan.
Serta-merta Ketua Bwe-hwa-hwe tersurut mundur ketakutan.
"Tanggalkan kedokmu?" suara dingin Rasul penembus dada
memerintahkan! "Tidak bisa!" "Manusia sombong!" Tiba2 terdengar sebuah
lengking suara aneh, Hui-bing khek
salah satu dari keempat Setan gantung dengan kecepatan kilat
mendadak menubruk kearah Rasul penembus dada. Belum
tubuhnya tiba, rangsangan angin pukulannya sudah melanda lebih
dulu. "Kembali!" " dimana sebuah tangan Rasul penembus dada
diayun, kontan tubuh Hui bing khek terpental balik ditengah
udara. Maka pada saat yang bersamaan itu terdengar pula suara
bentakan yang riuh rendah, ketiga Setan gantung yang lain
serentak ikut merabu datang dengan pukulan2 dahsyat yang
mematikan. Rasul penembus dada menggeram gusar, topan angin pukulannya
sekokoh gunung kontan menerjang keluar memapak maju
mengiringi suara geramannya itu.
Kontan terdengar suara mendehem keras seperti hendak muntah
diselingi suara lolong maut yang mengerikan. Bau- bing-khek dan
Heng-si-khek terpental terbang delapan kaki jauhnya. Adalah
Teh-tjiam khek yang paling mengenaskan, badannya terbawa
terbang tergulung topan angin pukulan hingga jungkir balik
seperti layang2 putus benangnya, hujan darahpun terjadi ditengah
udara. Hampir dalam waktu yang sama. Ketua Bwe-hwa-hwe juga telah
lancarkan sebuah hantaman dahsyat dari seluruh kekuatannya
membokong punggung Rasul penembus dada. Pukulannya ini
bukan saja keras juga cepat laksana kilat menyambar.
Se-olah2 punggung Rasul penembus dada tumbuh mata, tanpa
berpaling lagi tiba2 tubuhnya bergerak melingkar laksana seekor
belut dan dimana kakinya menginjak tanah lagi, tahu2 tubuhnya
sudah melejit tiba dihadapan Ketua Bwe- hwa-hwe sejauh tidak
lebih dari tujuh kaki.
Melihat pukulan yang paling diandalkan ternyata mengenai tempat
kosong, tanpa terasa terbang semangat Ketua Bwe- hwa-hwe,
belum sempat lagi otaknya berpikir, tahu2 ia merasakan
pergelangan tangannya kesakitan, kiranya tangan kanannya telah
digenggam kencang oleh Rasul penembus dada.
Sementara itu, Suma Bing sudah melupakan dimana dirinya
berada, kedua matanya dengan mendelong mengawasi
gelanggang pertempuran. Bahwasanya dia sendiri sangat ingin
melihat dan mengetahui bagaimana sebenarnya wajah asli dari
Ketua Bwe hwa hwe ini, besar harapannya hendak membuka
kedok musuhnya ini yang selalu memburu dirinya dan hendak
membunuhnya malah. Teka-teki ini agaknya segera akan
terpecahkan. Buncah dan ributlah para anggota Bwe-hwa-hwe yang hadir, pucat
dan gemetar tubuh mereka melihat Ketuanya diringkus musuh,
namun mereka insaf dan tak berani menampilkan diri untuk
menolong. "Jangan lukai majikan kami!" terdengar ketiga Setan gantung itu
berteriak beringas ditengah suara pekik gusar mereka itulah
berbareng mereka menubruk maju lagi sambil menyerang kalap.
Sekali jinjing dengan enteng sekali Rasul penembus dada angkat
tubuh Ketua Bwe hwa hwe dibuat sebagai tameng untuk
menangkis pukulan tiga setan gantung yang meluncur tiba dari
tengah udara. Terpaksa ter-sipu2 ketiga Setan gantung menarik
balik serangannya kalau tidak pasti Ketua mereka sendiri bakal
mati konyol. Dengan nada hina dan muak Rasul penembus dada mengancam:
"Setan gentayangan, berdirilah yang agak jauh!" Setelah saling
berpandangan, benar2 juga tanpa berani
banyak putar bacot tiga Setan gantung itu segera mundur
beberapa langkah.
Tampak tubuh Ketua Bwe-hwa-hwe gemetar keras, mungkin baru
sekarang dia merasakan betapa nikmat sebagai orang yang
ditawan oleh musuh.
"Lekas kau turun tangan sendiri!" " suara ini se-olah2
mengandung daya perintah yang tak dapat dibantah dan
diabaikan. Maka dilain saat kedok kain muka telah ditanggalkan, terlihat
sebuah wajah cakap ganteng dari seorang pemuda yang
mengandung kebengisan, pancaran matanya buas dan dugal.
Tergetar perasaan Suma Bing sungguh diluar prasangkanya
bahwa Ketua Bwe-hwa-hwe yang menggetarkan itu ternyata
adalah seorang pemuda yang sepadan dengan dirinya. Ada
permusuhan dendam apakah pemuda ini terhadap dirinya" Ya,
benar, masih ada seorang lain dibelakang layar yang mereka
sebut sebagai 'dia orang tua' itu. Lalu siapa pula orang tua itu"
Para jagoan Bwe-hwa-hwe rata2 mengunjuk rasa terkejut
tercengang dan penuh kecurigaan, baru pertama kali ini mereka
melihat jelas wajah asli Ketua mereka selama mereka mengabdi
diri dibawah perintahnya.
"Tuan sudah puas belum?" tanya Ketua Bwe-hwa-hwe sambil
mengertak gigi.
Agaknya Rasul penembus dada juga merasa diluar dugaan,
sejenak ia tertegun lalu sahutnya: "Masih ada satu hal..."
22. RACUN DIRACUN DIPERAS OLEH RASUL PENEMBUS
DADA. "Cepat katakan!" "Siapa namamu?" "Tjhiu Thong!" Rasul
penembus dada melepas tangannya lalu mundur satu
tindak katanya: "Sampai sekian saja kalian boleh pergi!" Kata Tjhiu
Thong Ketua Bwe-hwa-hwe dengan penuh
kebencian: "Tuan harus ingat perhitungan hari ini." "Hehehehehe,
kutunggu pembalasanmu!" Segera Ketua Bwe-hwa-hwe ulapkan
tangannya kearah
tertua dari keempat Setan gantung yaitu Heng-si-khek sambil
berseru: "Bawa pergi!" Sekali berkelebat Heng-si-khek melejit
kesamping Suma Bing... "Jangan sentuh dia!" " cegah Rasul penembus dada
sambil angkat sebelah tangannya. Seketika Heng-si-khek terhenyak
ditempatnya. Gigi Ketua Bwe-hwa-hwe gemeretak menahan
amarah yang tak terkendalikan, geramnya:
"Apa maksud tuan sebenarnya?" "Tidak apa2, lekas kalian
pergi!" Ketua Bwe-hwa-hwe membanting kaki dengan gemas
dan dongkol, serunya: "Tuan gunung tetap menghijau air selalu
mengalir, kelak
kita bertemu lagi!" " habis berkata ia ulapkan tangan memberi
perintah untuk mundur. Maka bayangan orang berkelebatan suara
roda kereta berkeletokan menjauh dalam sekejap mata semua
sudah pergi bersih.
Dipihak lain Suma Bing merasa kejut2 heran dan tak habis
mengerti, masa kedatangan Rasul penembus dada ini adalah
khusus hendak menolong dirinya"
Sepasang mata Rasul penembus dada ber-kilat2 menyedot
semangat menatapi wajah Suma Bing, tiba2 jari2nya ber- gerak2
dari kejauhan beruntun ia menutuk.
Seketika bebas tutukan jalan darahnya, Suma Bing bergegas
melompat bangun terus merangkap tangan sambil berseru:
"Atas pertolongan tuan..." "Kau jangan salah sangka," tukas
Rasul penembus dada
dengan suara dingin kaku tak berperasaan. "Kedatanganku ini
bukan hendak menolong kau!"
Suma Bing tertegun, tanyanya: "Lalu apa maksud kedatangan
tuan ini?" "Mengejar jejak Ketua Bwe-hwa-hwe. Kebetulan
ketemu kau disini ini memudahkan pekerjaanku." "Jadi aku
yang rendah ini juga tengah kau cari?" "Ucapanmu
benar!" "Untuk urusan apa?"
"Kau bernama Suma Bing?" "Tidak salah!" "Murid Sia-sin Kho
Jiang?" "Benar!" Seketika berobah sorot mata Rasul penembus
dada, tahu2 Suma Bing merasa pandangannya kabur, belum sempat otaknya
berpikir, sebuah cundrik yang berkilauan berhawa dingin tahu2
sudah mengancam diulu hatinya, kecepatan gerak serangan ini
benar2 susah dibayangkan. Keruan melonjak keras jantung Suma
Bing, hanya sejenak wajah berobah pucat lalu kembali seperti
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sediakala lagi dengan sikapnya yang angkuh dan keras kepala,
katanya: "Tuan hendak berbuat apa?" "Menembusi dadamu." Bergetar
seluruh tubuh Suma Bing, tanyanya: "Sebab apa?" "Sudah tentu
harus kuberitahu kepada kau, sekarang
jawablah pertanyaanku terakhir, Loh Tju-gi itu apamu?" "Loh
Tju-gi" Dia musuh besarku!" "Musuh besar!" "Benar, musuh besar
yang harus kubeset kulitnya dan
kuhancur leburkan badannya, ialah murid durhaka yang
mencelakai gurunya sendiri."
Dimulut berkata begitu, dalam hati Suma Bing tengah membatin:
heran, mengapa pula menyangkut pada diri Loh Tju-gi"
Sejenak Rasul penembus dada merenung, lalu tanyanya pula:
"Jadi kau dengan dia adalah kakak-adik seperguruan?"
"Jadi tuan ini tengah mengompres keteranganku?"
"Boleh dikata demikian!"
"Kalau begitu maaf, selamanya aku yang rendah tidak suka
diperas!" Rasul penembus dada tertawa dingin, ancamnya: "Apa kau
tahu betapa nikmat bila dadamu kutembusi
dengan cundrikku ini?" "Ha, paling banyak mati." "Kau tidak takut
mati?" "Mengapa harus ditakuti?" "Cukup gagah" Suma Bing
menjadi gusar, semprotnya: "Tuan hendak membunuh orang pasti
ada alasannya bukan?" "Kau sudah mulai takut?" "Hm, takut, kutanyakan
alasanmu hendak membunuh aku!" "Gampang sekali sebab kau
seperguruan dengan Loh Tjugi!"
Terkenang oleh Suma Bing peristiwa yang belum lama ini
terjadi karena ada hubungan juga dengan Loh Tju-gi, maka
hampir saja jiwanya melayang ditangan Pek-hoat sian nio.
Sekarang juga karena ada hubungan dengan Loh Tju-gi maka
Rasul penembus dada mencari dirinya, entah darimana harus
diterangkan persoalan ini" Maka lantas katanya dingin:
"Aku sudah terjatuh ditangan tuan mau sembelih atau bunuh
terserah kepadamu. Tapi ada satu hal perlu kutekankan kau boleh
menggunakan alasan apa saja untuk membunuh aku, tapi jangan
menyinggung nama Loh Tju-gi lagi! Kalau tidak matipun aku
takkan meram!"
"Mengapa?"
"Murid durhaka dan sampah kaum persilatan, aku bersumpah
hendak menghancur leburkan tubuhnya."
Lama dan lama sekali Rasul penembus dada tenggelam dalam
pikirannya menerawangi apa yang harus dilakukan selanjutnya,
akhirnya suaranya mendesis:
"Suma Bing, kau pasrah nasib saja, apapun alasanmu tidak
berguna, kau sudah ditakdirkan untuk mati."
Suma Bing menyeringai seram, ujarnya: "Silahkan turun
tangan!" Pada saat itulah mendadak Rasul penembus dada
malah menarik mundur cundriknya dan berpaling kearah dalam rimba
serta berseru lantang: "Siapa itu main sembunyi seperti
pancalongok, lekas menggelundung keluar!"
Diam2 Suma Bing memuji kagum akan kepandaian Rasul
penembus dada yang lihay ini, sedikitpun dirinya tidak merasakan
apa2, sebaliknya dia malah mengetahui adanya seseorang yang
mengumpet didalam rimba, malah diketahui letak sembunyinya
lagi. Waktu Rasul penembus dada menarik cundriknya dan putar tubuh,
kesempatan ini sebenarnya dapat digunakan Suma Bing untuk
turun tangan membokong atau melejit menyingkir. Tapi dasar
sifatnya memang angkuh dan tinggi hati, tidak terpikirkan olehnya
semua itu, dengan tenang ia tetap berdiri ditempatnya.
Memang apa yang diperbuatnya ini sangat tepat, dengan
kepandaian Rasul penembus dada yang sedemikian tinggi,
bilamana benar2 dia turun tangan membokong, kematianlah yang
akan menimpa dirinya.
Begitulah bertepatan dengan habis ucapan Rasul penembus dada
seorang aneh yang berwarna serba hitam legam bagai arang
melompat keluar dari dalam rimba sana.
"Racun diracun!" dalam benak Suma Bing berseru. Bahwa
Racun diracun bisa muncul disitu pada saat itu pula
benar2 susah dibayangkan. Melihat keanehan bentuk orang yang
mendatangi ini agaknya Rasul penembus dada juga merasa heran, sejenak
tertegun lantas dia membentak:
"Kawan kosen darimanakah?" "Akulah Racun diracun!" "O,
Racun diracun" Kau tahu siapa aku ini?" "Rasul penembus
dada!" "Jadi kau sudah tahu dan sengaja melanggar?"
"Melanggar apa?" "Kau berani mengintip gerak gerik Rasul
penembus dada, apa kau sudah bosan hidup?" Racun diracun mengekeh tawa
dingin, serunya: "Mulut besar yang sombong, aku Racun diracun
tidak ingin hidup lama, tapi kau juga akan menyesal karena usiamu pendek."
"Hehehehe, kawan, kau sangka bisa menggunakan racun lantas
bisa selamanya selamat?"
"Aku tidak berpendapat begitu, biar aku bicara terus terang,
mengenai ilmu silat, mungkin aku yang rendah takkan terlepas
dari tangan kejimu. Tapi tuan belum tentu dapat lolos juga dari
racun berbisaku."
Suma Bing merasa kaget luar biasa. Kiranya kedatangan Racun
diracun adalah hendak melabrak Rasul penembus dada yang
sudah menggetarkan dunia persilatan ini.
Terdengar Rasul penembus dada tertawa dingin, ujarnya:
"Racun diracun, sebelum kau menggunakan racunmu mungkin
jiwamu sudah melayang lebih dulu."
Racun diracun membalas dengan tawa sinisnya, semprotnya.
"Mungkin sebelum tuan turun tangan membunuh aku kau sudah
terkena racun berbisa yang menamatkan jiwamu."
"Seandainya sekarang ini aku sudah terkena bisa, aku masih
mampu mencabut nyawamu."
"Sudah tentu, dengan kemampuan tuan segala racun berbisa tidak
akan dapat segera membinasakan jiwamu, tapi waktunya tidak
akan lama. Kalau tuan ingin mencoba marilah kita gugur bersama
bagaimana?"
Betapa tinggi kepandaian Rasul penembus dada tak urung berdiri
juga bulu romanya. Musuh berani menamakan diri sebagai Racun
diracun, apalagi sudah tahu betapa menakutkan nama Rasul
penembus dada toh orang masih berani datang dan menantangnya
lagi, agaknya kedatangannya ini mempunyai pegangan yang
mantap. Oleh karena pikirannya ini segera ia berkata lagi: "Jadi
kedatanganmu ini ada maksud tertentu bukan?"
"Sedikitpun tidak salah." "Coba katakan alasanmu?" "Karena
dia aku datang!" "Dia" Maksudmu Suma Bing!" "Benar!" Hal ini
bukan saja mengejutkan Rasul penembus dada, juga
Suma Bing merasa diluar dugaan. Bahwa Racun diracun meluruk
datang adalah karena dirinya boleh dikata sangat mustahil.
"Untuk dia kau datang?"
"Memangnya kenapa?" "Kuharap tuan melepaskan dia!"
"Kurasa tuan salah alamat, tidak bisa karena dosa2 Loh
Tju-gi lantas dia harus mati konyol dibawah cundrikmu itu." "Hai,
kawan, apa hubunganmu dengan dia?" "Hubunganku sangat
erat!" "Coba kau terangkan!" "Maaf, aku tidak dapat menutur!"
"Hm, kau sangka dengan obrolanmu itu lantas aku dapat
melepaskan dia begitu saja?" "Jadi tuan bersedia untuk gugur
bersama?" Lebih besar lagi rasa kejut dan heran Suma Bing,
bahwa Racun diracun adalah musuh bebuyutan tangguh tak nyana kalau
manusia paling berbisa ini rela dan iklas hendak berkorban jiwa
demi kepentingannya, hal ini benar2 mustahil dan tidak masuk
diakal. Apa mungkin dia mempunyai sesuatu maksud tertentu"
Benar, ia pernah memberi dorongan dan nasehat kepada dirinya
untuk mencari Mo hoa. Jikalau Bunga iblis sudah didapat, maka
tanpa syarat ia hendak mengembalikan Pedang darah kepada
dirinya. Bahwa Pedang darah dan Bunga iblis adalah dua benda
pusaka kaum persilatan yang di-impi2kan dan hendak
diperebutkan, siapa mendapatkan kedua benda keramat itu, pasti
kepandaiannya tiada taranya didunia ini. Apa tidak mungkin dia
hendak meminjam tenagaku untuk mencari Bunga-iblis, lalu dari
tanganku ia hendak merebutnya kembali"
Tapi ini juga tidak mungkin, kalau Pedang darah sudah berada
ditangannya, mengapa dia sendiri tidak mau mencari Bunga-iblis
itu, tentang ilmu silat dia lebih tinggi berlipat ganda dari dirinya...
Suma Bing terlongo hampa, sungguh dia tidak habis mengerti
kemana sebenarnya tujuan orang"
Kenyataan Racun diracun rela menjual jiwanya untuk dirinja juga
mimpipun dia tidak menduga.
Tengah ia menunduk menepekur itulah terdengar Rasul penembus
dada tertawa dingin dan berkata hambar: "Sobat, biar
kusempurnakan keinginanmu!" " sambil berkata kakinya
melangkah maju mendekati kearah Racun diracun. Ketegangan
semakin meruncing penuh nafsu membunuh.
Segera Suma Bing menggerung dengan beringas: "Berhenti!"
Serta merta Rasul penembus dada menghentikan langkahnya, lalu
berpaling dan menjengek:
Jodoh Rajawali 8 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Kesatria Berandalan 2
langkah lebar ia memasuki barisan.
Dalam pada itu, seorang diri menghadapi keroyokan
Kangouw-su-ok, keadaan si orang berkedok sudah seumpama
semut dalam kuali panas tinggal menuju ajal saja.
Sementara Tang-mo juga semakin terdesak dibawah angin, lama
kelamaan ciut nyalinya, bukan saja takkan menang
malah jiwa mungkin bisa melayang, akhirnya ia angkat kaki
melarikan diri mencawat ekor.
Mendapat peluang ini segera Ketua Bwe-hwa-hwe memutar tubuh
memandang kedalam barisan. Terlihat olehnya Suma Bing tengah
berjalan belak belok mengikuti petunjuk yang diberikan oleh si
orang berkedok. Setelah melewati dua lintang pohon, dia bertindak
tiga langkah kekiri dan maju selangkah, lalu memutar kekanan lima
langkah, benar juga barisan ini tiada perobahan apa. Kini
dihadapannya melintang sebuah dahan pohon besar sepelukan dua
orang, sekali tangannya diayun dahan besar itu segera
menggelundung jauh, kini tinggal dua tumpukan batu tinggi yang
merintangi dikanan kirinya, segera Suma Bing menyapunya lagi
dengan kedua tangannya... Asal sekali lagi ia memecahkan
rintangan terakhir, maka berarti pecahlah barisan ini habis-habisan.
Melihat keadaan ini Racun utara melonjak kaget dan berseru:
"Celaka, bocah itu tahu cara pemecahannya..." Wajah ketua
Bwe-hwa-hwe berkerut membesi, tangan
diulapkan segera keluar perintahnya: "Bakar!" Mendengar
perintahnya ini semua anak buahnya segera beramai2
angkat obor. Diluar barisan itu sudah penuh terpasang
bahan bakar, sekali sundut saja pasti orang dalam barisan akan
terbakar hangus menjadi abu.
Tapi Racun utara keburu berseru mencegah: "Jangan, jangan
bakar!" "Kenapa?" tanya ketua Bwe-hwa-hwe mendongkol.
"Waktu terkurung didalam barisan Racun diracun sudah
menyebar racun berbisa sam-li-hiang!"
"Sam-li-hiang (harum tiga li)?"
"Benar." "Lalu bagaimana?" "Saudara ketua boleh segera
perintahkan semua
bawahanmu secepatnya mundur sejauh tiga li, biar lohu sendiri
yang akan melepas api."
"Apa masih keburu" Bocah itu segera akan sudah mengobrak-abrik
barisan!" Sementara itu Suma Bing tengah berpaling memandangi obor2 itu,
jantungnya berdetak keras, serta merta langkahnya dihentikan.
Kalau mau dengan mudah saja dia masih ada kesempatan berlari
keluar barisan. Akan tetapi, Racun diracun pernah menanam budi
memberikan sebutir obat menolong jiwanya. Mana boleh orang
mati konyol didepan matanya disamping itu dia tidak rela
kehilangan kesempatan untuk merebut pulang Pedang berdarah
itu. Kalau Racun diracun mati itu berarti Pedang berdarahpun pasti
ikut ludas. Dalam saat genting itu pikirannya serasa kosong, entah apa yang
harus diperbuat...
Otak Racun utara berputar keras, dasar cerdas tak lama kemudian
ia berseru girang:
"Ada akal. Begitu menyulut api dengan kecepatan yang paling
cepat terus berlari kearah yang berlawanan dengan arah angin.
Kalau kepandaian tidak lemah pasti dapat keluar dari lingkungan
hawa beracun itu. Silakan saudara Ketua memberi perintah!"
Maka tangan ketua Bwe-hwa-hwe sudah diangkat tinggi, tinggal
memberi aba2...
Pada saat itulah, se-konyong2 terdengar sebuah suara tawa
dingin yang mengerikan, suara yang menyedot semangat ini
bergema dan berkumandang ditengah udara, membuat orang
celingukan tidak tahu darimana suara itu datang.
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ Semua orang yang hadir merasa merinding dan berdiri bulu
kuduknya. Setelah suara tawa itu lenyap, lantas melesat secarik
sinar putih memasuki gelanggang dan menancap diatas sebatang
pohon. Jelas itulah sebuah panji kecil bersegi tiga yang
ditengahnya terukir sebuah tengkorak dan dua batang tulang
bersilang. "Pek-kut-ji!" tanpa terasa Ketua Bwe-hwa-hwe berseru ketakutan.
Nama Pek-kut-ji ini benar2 bagai geledek disiang hari bolong
mengejutkan sanubari semua hadirin, semua berobah pucat
ketakutan. Demikian juga Kangouw su-ok dan si orang berkedok
serta merta juga menghentikan pertempuran.
Meskipun kecil dan bentuknja sangat sederhana, tapi panji ini
sudah menggetarkan dunia persilatan selama ratusan tahun
lamanya. 19 CINT A TIDA K MEN GEN AL WAK TU DAN USIA Suma Bing sendiri juga merasa terperanjat. Untuk apa Pekkut
Hujin muncul disitu dan pada saat yang tepat lagi dengan
bertanda khas panji kecilnya itu. Dulu dalam memperebutkan
Pedang berdarah dengan Racun diracun, kalau bukan panji kecil
ini muncul secara mendadak dan menggebah pergi ketua
Bwe-hwa-hwe, mungkin jiwa Suma Bing sudah lama amblas
meninggalkan raganya.
Apa maksud dan tujuan Pek-kut Hujin memperlihatkan jejaknya
disini" Pek-kut Hujin pribadi atau muridnya"
Adalah Racun utara Tangbun Lu bukan saja bersifat kejam dan
keji, wataknya juga sangat licik, licin dan banyak akal muslihatnya.
Begitu melihat Pek-kut-ji muncul, segera ia mundur teratur terus
tinggal pergi mencawat ekor tanpa perdulikan orang lain.
Memandang bayangan Racun utara yang lari pontang- panting
itu, Suma Bing perdengarkan suara dingin mengejek, terus
melanjutkan masuk ketengah barisan.
Semua anggota Bwe-hwa-hwe berdiri terlongong bagai patung
ditempat masing2.
Bahwa Pek-kut-ji memperlihatkan diri lagi disaat2 situasi yang
menguntungkan pihaknya ini benar2 membuat Ketua
Bwe-hwa-hwe gusar, takut dan curiga, setelah sangsi sekian
lamanya segera ia berseru lantang kearah rimba sebelah dalam
sana: "Apakah yang datang ini adalah Pek-kut Hujin Lotjianpwe?" "
Beruntun dia bertanya tiga kali tanpa mendapat penyahutan
semestinya. Lebih besar dan dalam rasa curiga menyelubungi
hatinya. Maka segera ia berkata kepada si orang tua yang masih
ketinggalan hidup itu:
"Thio-hiangtju, kau cabutlah panji kecil itu!" Si orang tua yang
dipanggil Thio-hiangtju itu kontan pucat
pias wajahnya, tapi tak berani dia membangkang perintah
ketuanya, maka dengan suara gemetar menyahut:
"Baik, hamba terima perintah!" " mulut mengiakan namun
tubuhnya tetap berdiri tanpa bergerak.
Mulut ketua Bwe-hwa-hwe mendehem keras2 dan pandangannya
sangat mengancam. Tidak ketinggalan pandangan semua hadirin
juga tengah menatap kearah si orang tua ini.
Setelah takut2 dan ragu2 sekian lamanya, akhirnya si orang tua
nekad juga berkelebat maju terus mencabut panji diatas pohon
itu. Tapi baru saja tangannya menyentuh gagang Pek- kut-ji,
seketika ia menjerit seram terus roboh binasa.
Seakan copot nyali Ketua Bwe-hwa-hwe, segera ia berseru
nyaring: "Mundur!" " Maka bayangan berkelebatan dalam sekejap mata
saja semua orang sudah merat melarikan diri.
Setelah Suma Bing memporak-porandakan barisan perlawanan
Ngo-heng-tin ini baru terlihat Racun diracun berdiri dan angkat
tangan memberi hormat serta katanya:
"Aku harus berterima kasih kepada kau!" "Tidak perlu!" sahut
Suma Bing kaku. "Tapi kau menolong aku sehingga bebas dari
kurungan ini." "Ini sebagai imbalan budi pemberian obatmu
tempo hari, dua belah pihak tidak saling berhutang budi, kita seri satu- satu,
tentang..."
"Tentang apa?" "Lain kali kita bertemu lagi, aku sendiri tidak
akan lepaskan kau!" "Mengapa tidak sekarang saja?" "Apa tuan ingin sekarang
juga menyelesaikan perhitungan
lama itu?" "Ya, begitulah." "Dimana?" "Disini dan sekarang juga!"
"Tidak bisa" "Kenapa?" Tanpa terasa mata Suma Bing melirik
kearah Pek-kut-ji
sambil menyahut: "Aku harap kita berpindah
ketempat lain" Racun diracun tertawa ringan,
katanya: "Jadi kau takut pada pemilik panji kecil
itu?" Ucapannya ini menimbulkan rasa congkak Suma Bing, serunya
keras: "Apa yang perlu ditakuti, baiklah, disini juga kita selesaikan
urusan kita"
"Silakan kau sebutkan dulu ada berapa banyak perhitungan
lama?" "Pertama kau menggunakan Racun tanpa bayangan membinasakan
adik Siang Siau-hun dan tunangannya Li Bun- siang. Perbuatan
yang kejam telengas ini kau timpakan pada dua jiwa muda yang
tidak berdosa, perhitungan inilah yang harus dibikin beres."
"Ada sangkut paut apa kau dengan peristiwa itu?" "Semua
urusan yang kepergok ditanganku, harus kuurus." Racun
diracun mendengus dingin, jengeknya: "Suma Bing itu
merupakan salah paham. Mengapa kau
turut campur, biarkan Siang Siau-hun sendiri yang membereskan?"
"Tidak bisa!" sahut Suma Bing ketus penuh ketegangan.
"Kenapa tidak bisa?" "Bahwasanya tanpa begebrak, racun
jahatmu itu sudah
cukup menamatkan jiwa Siang Siau-hun!" "Dia kekasihmu?" "Kau
tidak perlu tahu." "Kalau dia ingin menyelesaikan sendiri dan tidak
rela kau membantu?" Sejenak Suma Bing berpikir, lalu sahutnya: "Baik
juga, yang kedua, segera tuan serahkan Pedang darah kepadaku."
"Kalau aku jawab tidak?" "Hm, mungkin kau tidak akan
mampu berbuat begitu."
"Suma Bing, kau sangat takabur, kau tahu berapa jurus kau kuat
menghadapi aku?"
"Mungkin bisa kubunuh kau!" "Kalau kau dapat menangkan
aku setengah jurus. Pedang
darah segera kupersembahkan kepadamu, atau sebaliknya jangan
kau bermimpi lagi."
"Baik sambutlah seranganku ini." seru Suma Bing gusar. Habis
ucapannya serangannya sudah menjojoh tiba didepan muka
Racun diracun. Racun diracun berlaku sangat tenang, begitu pukulan lawan
mendekat seenaknya saja sebelah tangannja dikebutkan, jangan
pandang ringan kebutannja ini, karena sekali gebrak kebutannya
ini mengincar berbagai jalan darah didepan dada Suma Bing.
Dengan serangan menghadapi serangan, maka yang menyerang
pasti harus membela diri. Demikian juga keadaan Suma Bing,
melonjak keras denyut jantungnya, terpaksa dia harus
membatalkan serangannya terlebih dahulu dia harus melindungi
jiwa sendiri. Dimana terdengar dia menggerung keras, serangannya lagi2 sudah
merangsang tiba, kali ini ia kerahkan seluruh kekuatan tenaganya,
maka perbawa pukulannya ini seumpama geledek menyambar dan
air bah melanda.
Agaknya Racun diracun juga tidak mau unjuk kelemahan tangan
diangkat ia sambut pukulan Suma Bing ini secara keras juga.
"Bum", benturan keras ini menerbitkan badai angin yang bergulung
tinggi dan mengembang deras keempat penjuru hingga pohon2
disekitarnya tergetar rontok daon dan dahan2nya. Tubuh Racun
diracun ber-goyang2, sebaliknya Suma Bing tersurut dua langkah.
Dalam gebrak permulaan ini jelas kelihatan bahwa Lwekang
Racun diracun masih setingkat lebih unggul diatas Suma Bing.
Tercekat hati Suma Bing. Bukan saja Racun diracun merajai dalam
dunia racun, malah kepandaian silatnya juga bukan olah2 lihaynya.
Dalam dunia persilatan pada masa itu yang kuat menandingi
kepandaiannya mungkin dapat dihitung dengan jari.
Pada saat itu si orang berkedok secara diam2 sudah mendekat
maju berdiri diluar lingkungan pertempuran.
Se-konyong2 Racun diracun angkat sebelah tangan sambil
berseru: "Tahan sebentar!" "Tuan ada omongan apa lekas katakan!"
desak Suma Bing
tidak sabaran. "Saat ini kau masih bukan tandinganku." "Tiada
halangannya kita coba2." "Agaknya, kita tidak perlu bertempur
mati2an." "Mengapa?" "Bukankah tujuanmu hanya hendak
merebut Pedang berdarah?" "Benar, aku harus mendapatkannya!" "Tapi Pedang
darah saat ini tidak berada ditanganku." Suma Bing melengak
tertegun. Kalau Pedang berdarah
benar2 tidak berada ditangan Racun diracun, seandainya dirinya
menang apapula gunanya" Seketika ia bungkam berpikir2.
Nada suara Racun diracun sudah berobah kalem dan tidak
sedingin semula:
"Suma Bing. Terus terang kuberitahukan, Pedang berdarah tiada
gunanya terhadapku, kalau belum mendapatkan BungaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
iblis, Pedang berdarah berarti barang rongsokan yang tidak
berguna. Lebih baik marilah kita adakan janji sejati..."
"Apa maksudmu dengan janji sejati..." "Sebenarnya Pedang
darah sudah kau rebut dari tangan
Tang-mo, dan akhirnya terebut pula olehku. Kalau kau bisa
memperoleh Bunga iblis. Pedang berdarah tanpa syarat
kupersembahkan kepadamu, bagaimana?"
Tergerak hati Suma Bing, sungguh dia tidak habis mengerti apa
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maksud tujuan sepak terjang Racun diracun. Manusia beracun
yang lebih berbisa dari Racun utara ini masa begitu gampang
diajak berkompromi. Maka setelah sangsi sekian lamanya ia
menegasi, "Benar2 kau serahkan tanpa syarat?"
"Begitulah maksudku" "Tapi aku tidak sudi terima kebaikanmu
ini." "Kenapa?" "Kau telah merebutnya dari tanganku, sudah
seharusnya aku merebutnya kembali mengandal kepandaianku." "Hehehe,
Suma Bing, sudah kukatakan kuserahkan tanpa
syarat, tak perlu kau turun tangan." "Tuan ada maksud apa
silahkan terangkan secara total?" "Tiada maksud apa2,
kuserahkan tanpa syarat." Mau tak mau Suma Bing harus berpikir
panjang, setelah
sekian lama merenung akhirnya ia berkata dengan nada berat:
"Kalau aku tidak bisa mendapatkan Bunga-iblis?" "Kau boleh
merebut kembali mengandal kepandaianmu!" "Baik, kita tentukan
begitu" "Siapa dia?" tiba2 tanya Racun diracun mengalihkan
persoalan. "Seorang
sahabatku"
"Maksudku siapa dia?" Sekilas Suma Bing mengerling kearah si
orang berkedok,
mulutnya terkancing tak tahu dia apa yang harus dikatakan.
Memang dia belum mengetahui siapa si orang berkedok
sebenarnya. Mereka bersahabat dalam pertemuan secara
kebetulan karena beberapa sebab...
Terdengar Racun diracun mendesak lagi: "Sungguh kau tidak
tahu siapa dia?" Dalam keputus asaannya Suma Bing naik pitam
dan menyahut ketus: "Agaknya hal ini tiada sangkut pautnya dengan
tuan?" "Tapi apa kau tidak ingin tahu siapa dia?" Menatap Racun
diracun, tanpa terasa si orang berkedok
mundur satu langkah. Betapa tidak Suma Bing juga ingin
mengetahui siapakah si
orang berkedok ini. Tapi terikat oleh perjanjian waktu mereka
berkenalan semula, tiada alasan lagi dia minta atau membuka
kedok penyamaran orang. Bersama itu dia juga tidak ingin Racun
diracun turut mencampuri hubungan pribadi mereka, maka sambil
menggeleng kepala dia menyahut:
"Inilah urusan antara dia dan aku, tidak perlu tuan turut campur,
silahkan tuan lanjutkan perjalananmu."
Racun diracun tertawa ejek, desisnya: "Kalau aku ingin tahu
siapa dia sebenarnya?" "Ini..." Suma Bing tergagap, entah apa
yang harus diucapkan. Sebaliknya si orang berkedok ikut bicara dengan penuh
perasaan: "Tuan apakah maksudmu
ini?" Sepasang bola mata Racun diracun yang memutih itu berputar
memancarkan sinar terang menatap tajam diwajah si orang
berkedok, seakan hendak menembus isi hatinya, lama sekali baru
dia membuka kata:
"Aku hendak menyingkap kedokmu itu." "Tuan, buat apa kau
mendesak orang sedemikian rupa.
Bagi seorang Bulim adalah jamak kalau dia mempunyai suatu
rahasia pribadi."
"Aku tidak suka melihat orang yang sembunyikan kepala unjukkan
buntut!" "Tapi, tuan, kau sendiri..." "Aku bagaimana?" "Apakah yang
tuan unjukkan sekarang ini juga wajah
aslimu?" Racun diracun tersentak kaget dan mundur satu tindak.
Adalah Suma Bing juga ikut terperanjat. Sedemikian hitam
kelam raut wajah dan seluruh kulit Racun diracun kiranya juga
adalah penyamaran, kepandaian make-up sedemikian lihay boleh
dikata jarang diketemukan diseluruh dunia persilatan ini, karena
hakekatnya sedikitpun tidak terlihat lobang kelemahan dari
penyamarannya itu.
Terdengar si orang berkedok melanjutkan kata-katanya:
"Kepandaian Hian goan tay hoat ih sek tuan benar2 hebat
sekali, kepandaian semacam ini..." "Bagaimana?" tiba2 bentak
Racun diracun bengis. Tergetar tubuh si orang berkedok, seakan2
menguatirkan sesuatu dia hentikan kata2 selanjutnya. Lebih besar rasa curiga
dan heran Suma Bing, mengenai
kepandaian Hian goan tay hoat ih sek baru sekali ini ia pernah
dengar. Entah mengapa karena bentakan Racun diracun
kontan si orang berkedok tidak berani melanjutkan kata2-nya,
maka segera ia berpaling dan bertanya:
"Heng-tai, ada apakah?" Si orang berkedok menggeleng kepala
tanpa membuka suara. Terdengar Racun diracun mendengus dingin dan
mengancam: "Orang berkedok, kau buka sendiri kedokmu atau
ingin aku yang turun tangan?" Didesak demikian rupa si orang berkedok
mundur ketakutan, sahutnya gemetar: "Apa tuan betul2 hendak berbuat
demikian?" "Selamanya aku tidak pernah bicara dua kali." "Apakah
sepak terjang tuan ini tidak keterlaluan?" "Terserah kalau kau
beranggapan demikian!" " Mulut
berkata demikian, Racun diracun sudah angkat langkah mendesak
maju kearah si orang berkedok...
Dalam situasi yang gawat ini pikiran Suma Bing berkelebat cepat.
Meskipun si orang berkedok menutupi mukanya, jelek2 masih
terhitung sahabat kentalnya, mana bisa dia mengawasi Racun
diracun mendesaknya sedemikian rupa untuk membuka
kedoknya. Setelah tetap pikirannya segera ia memburu maju
menghadang didepan si orang berkedok dan berkata:
"Tuan, kusilahkan kau segera berlalu!" Serta merta Racun
diracun menghentikan langkahnya,
serunya: "Suma Bing, berdekatan dengan seorang yang belum
terang asal-usulnya, berarti lebih berbahaya dari berkawan
dengan seekor harimau!"
Suma Bing tergetar oleh ucapan terakhir Racun diracun, tapi
selekas itu pula dia menjawab dengan angkuhnya:
"Kukira hal itu tiada sangkut pautnya dengan kau." "Apa kau
hendak merintangi aku?" "Sudah tentu!" "Kau tidak menyesal?"
"Selamanya aku belum pernah kenal akan arti menyesal." "Bagus
sekali, begitulah kuharapkan!" " Setelah
perdengarkan suara tawa lengking sekian lama, mendadak tubuh
Racun diracun melenting tinggi terus menghilang dibalik bayangan
pohon didalam hutan.
Per-lahan2 pandangan mata Suma Bing beralih kearah panji kecil
diatas pohon itu. Seketika ia menyedot hawa dingin. Kiranya orang
yang telah berani menyentuh Pek-kut-ji tadi kini hanya tinggal
tulang kerangkanya saja yang memutih bertumpuk diatas tanah,
jangan kata kulit sampai baju serta dagingnyapun sudah lenyap
tanpa bekas. Kejadian yang mengejutkan dan menciutkan nyali ini,
tidak heran kalau Ketua Bwe-hwa-hwe yang sudah tenar malang
melintang segera lari lintang-pukang!
"Saudara kecil mari kita pergi." kata si orang berkedok lesu penuh
kesedihan. Suma Bing manggut2 maka berbareng tubuh mereka melejit tinggi
berlari keluar rimba. Tapi baru beberapa langkah saja, tiba2 si
orang berkedok menghentikan langkahnya dan berkata dengan
nada berat: "Saudara kecil..." Terpaksa Suma Bing ikut berhenti,
tanyanya: "Saudara tua ada omongan apa silahkan
katakan" "Apakah perguruanmu ada hubungan erat dengan Pek-kut Hujin?"
"Setahuku tidak ada, apa maksud pertanyaan saudara ini?"
"Pek-kut-ji muncul dua kali pada saat2 kau menghadapi
bahaya, hal ini tentu bukan secara kebetulan, jelas kiranya
memang sengaja hendak menolong kau, apa kau sudah merasa
akan hal itu?"
"Hatiku masih diselimuti banyak pertanyaan!" "Sikap dan sepak
terjang Racun diracun terhadap kau
agaknya juga sangat ganjil." "Aku juga merasakan hal itu." sahut
Suma Bing penuh
tanda tanya. "Saudara kecil, apa kau sudah mulai merasa curiga
terhadap aku?" "Curiga, apa maksudmu?" "Umpamanya tingkah
lakuku..." "Tidak!" sahut Suma Bing tegas tanpa banyak pikir.
Memang terhadap tindak tanduk si orang berkedok sedikitpun dia
tidak menaruh rasa curiga. Jikalau si orang berkedok bermaksud
jahat terhadap dirinya, banyak kesempatan untuk dia turun tangan
dalam masa2 pergaulan yang telah lalu itu, tapi dia tidak,
sebaliknya berulangkali telah menolong jiwanya dari renggutan
elmaut. Kalau dia mengenakan kedok tentu ada kesukaran
pribadinya yang susah dijelaskan.
Suara si orang berkedok lirih dan gemetar: "Saudara kecil, apa
kau tidak ingin melihat wajah asliku?" "Aku tidak bermaksud
begitu" "Tapi aku sudah tidak ingin mengelabui kau lagi!" habis
berkata, per-lahan2 ia tanggalkan kedoknya. Maka terlihatlah
sebuah wajah yang cakap putih dalam usia pertengahan
umur, dagu dan jidatnya memelihara jenggot panjang yang
memutih. Dari kecakapan wajahnya itu terlintas rasa duka dan
hampa. Suma Bing terlongong mengawasi wajah orang, tak tahu dia
siapakah orang ini.
"Saudara kecil, kau tidak tahu siapa aku?" "Aku tidak kenal
kau!" "Akulah Tiang-un Suseng Poh Jiang!" Suma Bing
berjingkrak kaget seperti disengat kala.
Mimpipun ia tidak menduga bahwa si orang berkedok ini kiranya
adalah Tiang-un Suseng, musuh perguruannya yang menghilang
dan susah dicari itu. Gelap pandangan Suma Bing, otaknya pepat,
hatipun terasa mendelu. Persahabatan, budi dan dendam kesumat
campur aduk bergolak dalam benaknya... Baru sekarang dia sadar,
waktu mereka berkenalan untuk pertama kalinya, dia membawa
dirinya kedepan kuburan palsu Tiang-un Suseng itu kiranya
mempunyai arti yang dalam. Dia heran bahwa Tiang-un Suseng
Poh Jiang sudah tahu bahwa dirinya merupakan musuh besar
daripada Bu-lim-sip-yu. Mengapa dalam berbagai kesempatan yang
ada dia tidak turun tangan melenyapkan jiwanya, malah mengulur
tangan untuk bersahabat" Terhitung sebagai seorang sahabat"
Atau sebagai musuhkah orang ini"
Terbayang akan Sia-sin Kho Jiang yang dikorek matanya dan
dikutungi kedua kakinya hingga menjadi manusia tanpa daksa,
akhirnya mati secara mengenaskan setelah racun bekerja dalam
tubuhnya. Pesan gurunya sebelum ajal sekali lagi terkiang dalam
telinganya: "... menuntut balas..." Perintah guru lebih penting!
Demikianlah titik berat daripada penilaian terakhir Suma Bing
setelah berpikir panjang sekian lamanya.
Wajah Tiang-un Suseng yang ber-kerut2 mulai lamban dan
tenang kembali, nada suaranya berat dan sember: "Sumahiangte,
bagaimana kau hendak menghadapi aku?"
Suma Bing undur selangkah, sedapat mungkin ia mengekang
perasaan hatinya yang bergejolak, katanya dingin:
"Poh-heng, aku tidak akan mengingkari persahabatan kita yang
kekal, terutama budimu yang besar terhadapku. Tapi kau adalah
salah satu musuh yang ikut mencelakai suhuku kenyataan ini tidak
mungkin dihapus..."
"Aku paham, hanya katakanlah bagaimana kau hendak
menghadapi aku?"
"Harap kau suka memaafkan, perintah guru harus kulaksanakan."
"Menggunakan cara seperti membunuh Tji Khong Hwesio dulu
itu?" Suma Bing menggigit bibir, katanya: "Benar, tapi untuk
persahabatan kita kelak kalau urusanku
sudah beres, pasti aku akan memberikan pertanggungan
jawabku." Tiang-un Suseng Poh Jiang tertawa ewa, ujarnya: "Saudara
kecil, kepala saudaramu yang bodoh ini kau boleh
ambil, tapi ada beberapa kata patah hendak kujelaskan." "Silahkan
katakan!" "Peristiwa di Bu-san dulu, biang keladinya adalah
suhengmu Loh Tju-gi. Ketahuilah bahwa Bu-lim-sip-yu juga
merupakan satu pihak yang kena cedera. Loh Tju-gi membunuh
tiga diantara kita sepuluh kawan, dan menimpakan bencana ini
kepada suhumu tujuannya ialah hendak menggunakan kekuatan
Bu-lim sip-yu untuk melenyapkan gurumu, dengan demikian ia
lepas dari dosa sebagai murid yang durhaka mengkhianati guru..."
Sejenak Tiang-un Suseng merandek menekan perasaan hatinya,
lalu berkata lagi:
"Tiga diantara Bu-lim-sip-yu sudah mati ditangan Loh Tju- gi, satu
lagi mati ditanganmu. Leng Hung-seng Ciangbunjin dari
Ceng-seng-pay tewas ditangan Ketua Bwe-hwa-hwe, Tjoh Pin
Ngo-ouw Pangcu meninggal terbokong oleh suatu tutukan aneh
yang mematikan. Jenazah Lo-san-siang-kiam rebah ditengah jalan
Siang-im. Tulang belulang Goan Hi dari Siaulim terkubur diluar
kota Kay-hong. Kini Bu-lim sip-yu tinggal satu yaitu aku sendiri
saudara tuamu. Hian-te, karena peristiwa dulu itu adalah tipu
muslihat orang yang mengadu domba kita, maka aku tidak
pandang kau sebagai musuh, bahwasanya dengan perbuatanku ini
aku berusaha untuk menebus dosa kita yang telah mencelakai
suhumu dulu. Sudah ucapanku sampai sekian saja!"
Pikiran Suma Bing menjadi pepat dan gundah, demi kebenaran dan
keadilan memang dia tidak seharusnya menuntut balas kepada
Tiang-un Suseng, namun lantas bagaimana pertanggungan
jawabnya kepada gurunya dialam baka" Suasana sesaat mencekam
sanubarinya sehingga terasa seakan membeku. Akhirnya sifat2
Sia-sin Kho Jiang yang menurun dan terpendam dalam benak Suma
Bing memenangkan kesadaran dirinya sendiri. Benaknya mengambil
suatu keputusan tegas, maka sambil mengertak gigi ia berkata:
"Poh-heng, aku Suma Bing dapat membedakan antara budi dan
dendam. Karena pesan guruku aku harus turun tangan terhadap
kau, demi persahabatan kita biar kelak aku bunuh diri untuk
menebus kesalahanku ini."
"Itupun tidak perlu", ujar Tiang-un Suseng gemetar. "Sekarang
boleh kau turun tangan, aku tidak akan membalas."
Sebenarnya sanubari Suma Bing terasa sangat pedih, kalau lawan
benar2 tidak melawan, dia takkan kuat bertahan.
"Tidak, kau harus melawan, balaslah menyerang sekuat yang kau
bisa." "Melawan atau tidak hakikatnya sama saja." Pada saat itulah
se-konyong2 terdengar sebuah helaan
napas lirih yang mengandung kepedihan dan kegetiran hati. Tanpa
terasa Suma Bing mengkirik kejut, dimana pandangannya tertuju,
terlihat tiga tombak dibelakangnya sana berdiri seorang wanita
serba hitam yang rambutnya terurai panjang. Dia tak lain tak bukan
adalah Sim Giok-sia putri Lam-sia dengan Se-kui. Sekali lagi Suma
Bing tergetar bagai kesetrom aliran listrik.
Sementara itu, tubuh Tiang-un Suseng juga terhuyung mundur,
matanya terbelalak lebar. Sepasang kekasih yang menderita
segala siksaan dan rintangan, akhirnya bertemu lagi setelah
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpisah selama tiga puluh tahun lamanya, sang waktu sudah
membuat mereka menanjak pada usia ketuaan.
Per-lahan2 Sim Giok-sia menyingkap rambutnya kebelakang
kepala, wajah pucat yang berkerut dan layu penuh dibasahi air
mata, bola matanya dengan tajam menatap wajah Tiang-un
Suseng. Sinar matanya itu benar2 menyedot sukma dan semangat
orang yang dipandang.
Wajah Tiang-un Suseng juga pucat pasi, tubuhnya tergetar hebat
menahan gelora hatinya.
"Adik Sia!" "Engkoh Jiang!" Sambil berseru serta merta mereka
memburu maju dan
saling berpelukan dengan kencang. Per-lahan2 Suma Bing
membalik tubuh kearah lain,
perasaan hatinya susah dilukiskan. Musuh besar suhunya! Menjadi
kekasih sucinya! Juga menjadi sahabat kentalnya! Bagaimana dia
harus mengambil sikap" Se-konyong2 seakan dia mendapat suatu
petunjuk, mulutnya menggumam:
"Kalau suhu mengetahui dialam baka pasti dapat mengampuni aku.
Pasti dia orang tua juga rela menghapus dendam kesumatnya. Ya,
biarlah pertikaian ini habis sampai disini...
Samar2 kupingnya mendengar percakapan yang meremukkan hati...
"Adik Sia, aku tahu langit susah ditambal, laut sukar diuruk,
kukira hidupku ini akan nestapa sepanjang masa..."
"Engkoh Jiang, tiga puluh tahun, sudah membuat jiwa kita luntur,
ada apalagi yang dapat kita peroleh?"
"Adik Sia, cinta tidak mengenal waktu dan segala batas..." "Ya,
tapi sekarang kita sudah tua!" Karena mencintai Tiang-un
Suseng Poh Jiang, Sim Giok-sia
dipenjarakan selama tiga puluh tahun oleh ibunya (Setan
barat). Sekarang sepasang kekasih ini dapat bersua kembali.
Cinta mereka masih tetap murni dan abadi, tapi masa remaja
sudah lanjut takkan kembali lagi. Belum tentu mereka takkan
bahagia, namun bahagia ini rada terlambat datangnya,
pengorbanan yang harus mereka curahkan terlalu besar. 'Kita
sudah tua!' kata2 ini rasanya sudah cukup menerangkan
segala2nya. Dalam hati Suma Bing mengambil suatu keputusan drastis, dia
tidak boleh merenggut kebahagiaan sucinya yang terlambat.
Hutang darah ini, biar ditumpahkan dan dipikul oleh Suhengnya
Loh Tju-gi yang durhaka itu. Dia tidak tahu apakah keputusan itu
benar, namun secara langsung ia merasakan bahwa suhunya yang
dialam baka juga tidak akan menentang pendapatnya ini. Sekilas ia
memandang kedua kekasih yang masih berpelukan mesra, sekali
melejit bayangannya sudah menghilang dikejauhan sana.
Lama dan lama sekali baru dua kekasih yang berpelukan dan
rindu akan kemesraan itu saling pandang dan tersenyum
tawa, tapi senyum tawa mereka adalah kecut, karena mereka
sudah menelan kegetiran cinta.
Se-konyong2 Tiang-un Suseng tersadar dan berseru kejut,
serunya: "Kemana dia pergi" "Adik seperguruanku! (sute)..." "Apa, Suma
Bing adalah Sutemu?" Sim Giok-sia mengiakan. "Bagaimana
bisa terjadi..." "Suhunya itu adalah ayah kandungku!" "O, tapi
kenapa kau she Sim?" "Aku ikut she ibuku, ibuku juga menjadi
guruku!" Dengan penuh kejut dan keheranan Tiang-un Suseng
Poh Jiang bertanya: "Adik Sia, bukankah dulu kau mengatakan bahwa
kau adalah seorang bayi yang diketemukan!"
"Memang riwayat hidupku baru belum lama ini kuketahui!"
"Gurumu juga adalah ibumu, mengapa dia mengurungmu
selama tiga puluh tahun, masa tiada rasa cinta ibu kepada anak
kandungnya..."
Sim Giok-sia tertawa pahit, katanya: "Kejadian yang dia alami dulu
sangat menyakiti hatinya. Aku tidak dapat menyalahkan dia, aku
tahu dia sangat sayang kepadaku. Karena kesalahan pahamnya
dengan ayahku, maka dia sangat membenci dan mendendam
kepada seluruh laki2 didunia ini, maka..."
"Adik Sia, yang sudah lalu biarkanlah pergi, kelak..."
"Kelak bagaimana?" "Apa kau tidak ada persiapan?"
Dengan sedihnya Sim Giok-sia tertawa ewa, ujarnya. "Engkoh
Jiang, kita sudah tua, lebih baik biarlah kita cadangkan rasa kasih
mesra yang sangat berharga ini."
"Adik Sia, gemblengan dan ujian selama tiga puluh tahun, apa
yang telah kita dapatkan" Kehampaan yang kita dapat. Tapi juga
boleh dikata kita telah memperoleh terlalu banyak." "Apa?"
"Cinta murni yang abadi dan teguh kukuh tak terpisahkan oleh
masa dan usia."
"Adik Sia, apa kau rela cinta kita yang merana dan nestapa ini
tiada akhirnya?"
"Sudah terlambat" "Tidak, seseorang menggunakan seluruh
tenaga sisa hidupnya, untuk mengejar sesuatu benda, tujuan yang utama
hanyalah untuk mendapat kepuasan hati yang terakhir, meskipun
kepuasan itu hanya sekejap mata saja, atau sudah luntur, tapi itu
cukup untuk mengganti dan menambal semua pengorbanan yang
telah dia curahkan."
Mendengar penjelasan yang merasuk hati ini timbullah sinar
terang pada wajah Sim Giok-sia yang kurus kepucatan.
Se-konyong2 berobah air muka Tiang-un Suseng, katanya: "Adik
Sia, pertikaian antara Bu-lim-sip-yu dengan
ayahmu..." "Aku tahu biang keladinya yang utama adalah Loh
Tju-gi seorang. Memang keputusan ayah menyuruh Suma-sute menuntut
balas adalah tidak patut!"
Gemetar suara Tiang-un Suseng: "Adik Sia selama hayat masih
dikandung badan, aku harus mencari bajingan Loh Tju- gi itu..."
"Sudah tentu, aku Suma Bing sudah pasti harus mencarinya."
Sekali lagi mereka berpelukan dengan mesranya, bahagia yang
terlambat datang ini, akhirnya mengikat sejoli yang akan
melangkah kejenjang hidup baru.
Dalam pada itu sepanjang perjalanan pikiran Suma Bing gundah
tidak tentram. Menurut cerita Si maling bintang Si Ban-tjwan
bahwa ibunya masih hidup didunia ini. Tapi selama sepuluh tahun
lebih ini, mengapa tidak terdengar tentang kabar cerita atau
jejaknya dikalangan Kangouw. Semestinya dia sudah muncul lagi
untuk menuntut balas pada musuh2 besarnya, hal ini benar2
membuat orang tak habis mengerti!
Latar belakang apalagi yang menyebabkan Loh Tju-gi menyekap
diri selama empatbelas tahun ini setelah dia menduduki jago
nomor satu diseluruh jagad" Sudah dua kali Pek-kut Hujin
menolong jiwanya, dengan sengaja atau secara kebetulan" Kalau
sengaja, apalagi tujuannya" Lima sisa dari Bu-lim-sip-yu beruntun
mati secara misterius, siapakah yang membunuh mereka"
Racun diracun pernah mengatakan kalau dirinya sudah
mendapatkan Bunga-iblis Pedang berdarah segera diserahkan
tanpa syarat. Meskipun maksud tujuan Racun diracun ini susah
diselami, tapi bagaimanapun juga dia harus mencoba sekuat
tenaga. Sebab bukan saja hal itu merupakan pesan terakhir
suhunya sebelum ajal, juga menjadi cita2 ayahnya semasa hidup!
Kalau bibinya Ong Fong-jui mengatakan bahwa Bunga-iblis berada
ditangan seorang momok wanita, bernama Bu-siang- sin-li, pasti
hal ini boleh dipercaya. Usia Bu siang sin li sudah seabad lebih,
ilmu silatnya susah dijajaki, dia bersemayam di Bu-kong-san.
Dengan semangat me-nyala2 dan penuh harapan inilah Suma Bing
tengah langkahkan kakinya menuju ke Bu-kong-san.
Bersama itu dia juga merasa bahwa perjalanannya ini agak
membabi buta, seumpama benar2 dia dapat menemukan Busiang-
sin-li, mengandal alasan apa dia hendak minta BungaTiraik
asih Websi te http:// kangz usi.co m/ iblis yang dipandang pusaka paling berharga dimata para kaum
persilatan"
Begitulah pikiran Suma Bing me-layang2 jauh, dari sejak pertama
kali ia turun gunung melaksanakan perintah suhunya sampai
peristiwa yang baru saja dialami, semua terbayang didepan
matanya. Hari itu waktu tengah hari, setelah menangsel perut disebuah
rumah makan, setelah Suma Bing menanyakan jalan menuju ke
Bu-kong-san kepada pelayan, terus melanjutkan perjalanan. Dalam
perhitungannya dua hari lagi dirinya pasti sudah tiba diwilayah
pegunungan Bu-kong-san.
Tengah ia mengayun langkah itulah tiba2 sebuah bayangan
manusia dengan kecepatan terbang bagai bintang jatuh meluncur
cepat kearah dirinya.
20. WANITA GILA KORBAN PERMAINAN LOH TJU- GI.
Ter-sipu2 Suma Bing menggeser kesebelah kanan,
maksudnya untuk mengelak supaya orang lewat dengan leluasa.
Tapi ternyata bayangan orang itu juga berkelit kearah yang
bersamaan dengan sengaja. Kedua belah pihak meluncur dengan
kecepatan penuh, dalam detik2 hampir bertumbukan itulah.
Mendadak Suma Bing menyedot hawa dalam, sebat sekali kakinya
menjejak tanah, kontan tubuhnya melesat tinggi ketengah udara
terbang melewati atas kepala bayangan orang itu...
Maka terdengarlah suara gemerantang, terlihat bayangan manusia
itu juga menghentikan luncuran tubuhnya terus memutar balik.
Waktu Suma Bing mengawasi bayangan orang ini, tanpa terasa ia
menyedot hawa dingin karena yang dihadapinya ini
kiranya adalah seorang wanita pertengahan umur yang rambutnya
acak2an, bajunya kusut masai banyak tambalannya, kedua matanya
kuyu redup, dan yang lebih mengherankan bahwa dileher wanita itu
terikat seutas rantai panjang warna hitam yang terurai panjang
diatas tanah. Sekilas pandang Suma Bing segera bermaksud tinggal pergi.
"Kau jangan pergi!" sebuah suara kaku tanpa perasaan
menghentikan langkahnya, suara itu membuat merinding dan tak
enak perasaan Suma Bing.
Suma Bing tertegun sambil membalik tubuh lagi, tanyanya dingin:
"Siapa kau?"
Mendadak wanita itu berkakakan menggila tak henti2nya, sekian
lama dia me-liuk2 tertawa baru berhenti. Kedua matanya yang
kuyu redup mendadak memancarkan sinar kebencian yang
,me-nyala2 menakutkan orang. Wajah keropos yang pucat pias itu
menjadi bengis membeku penuh hawa membunuh, serunya sambil
mengertak gigi:
"Aku inginkan jiwamu!" "Apa kau minta jiwaku?" seru Suma
Bing berjingkrak. "Benar, hendak kukorek jantung hatimu..."
Suma Bing menjadi serba salah dan geli, katanya: "Apa kau
tahu siapa aku?" "Kau menjadi abu juga akan kukenali, bukan
saja hendak kubunuh kau. Kho-lo-sia guru setan tuamu itu akan kubunuh
juga." Suma Bing tertegun heran dan mundur selangkah. Orang sudah
tahu asal usulnya tapi sedikitpun dia tidak kenal orang, naga2nya
orang ini tengah mencari dirinya untuk menuntut balas, maka
segera katanya lagi:
"Sebenarnya siapa kau ini, ada permusuhan apa dengan aku yang
rendah?" Wanita itu mendesak maju selangkah, rantai ditubuhnya ikut
terseret berbunyi nyaring, makinya sambil menunjuk kearah Suma
Bing: "Kau bukan manusia, kau binatang, hendak kukorek hati
binatangmu itu, kau... mengapa kau demikian kejam" Oh, tidak!
Aku tidak akan bunuh kau, tidak bisa, kau masih mencintaiku
bukan?" Berkerut alis Suma Bing, baru sekarang dia sadar bahwa orang
yang dihadapinya ini kiranya adalah wanita gila, tanpa terasa dia
tertawa geli sendiri. Karena pikirannya ini segera ia jejakkan
kakinya, tubuhnya melenting jauh...
Dimana terdengar suara gemerantang se-konyong2 wanita itu
juga sudah melesat tiba dihadapannya sambil menyurung sebuah
pukulan kedepan.
Walaupun agaknya pikirannya tidak beres, tapi gerak gerik wanita
ini lihay sekali. Karena tidak bersiaga Suma Bing kena tergetar
mundur tiga langkah.
"Kau hendak pergi, hm, naga2nya hari ini aku harus membunuh
kau!" Suma Bing meng-geleng2 kepala sambil tertawa kikuk badannya
segera melesat miring kesamping sana...
Dalam waktu yang hampir bersamaan wanita itu juga melesat
ketengah udara, beruntun dia, lancarkan tiga kali pukulan yang
menerbitkan angin men-deru2.
Mengingat pikiran orang kurang waras. Suma Bing tidak mau
meladeni serangan ini, sebat sekali tubuhnya jumpalitan
menghindar. Tapi serangan wanita itu malah semakin gencar
beruntun ia lancarkan lagi serangan yang mematikan mengarah
tempat penting ditubuh Suma Bing.
Se-konyong2 sebuah pikiran berkelebat dalam otak Suma Bing.
Batinnya: kalau pikiran orang ini kurang beres bagaimana dia bisa
mengenal asal usulnya. Apa mungkin dia pura2 gila, atau ada latar
belakang apalagi yang tersembunyi" Mengapa pula lehernya diikat
rantai, dilihat dari cara ia turun tangan kepandaiannya agaknya
tidak lemah, lalu mengapa dia tidak berusaha menanggalkan rantai
dilehernya itu"
Serangan2 wanita itu semakin deras dan kejam tak mengenal
kasihan. Karena banyak berpikir. Suma Bing berlaku sedikit ayal,
dan hampir saja jalan darah Ci-tong-hiat kena tercengkram. Mau
tak mau akhirnya dia harus mengambil keputusan yang tegas,
pikirnya, terpaksa aku harus turun tangan meringkusnya dan
ditanyai secara terang. Karena ketetapannya ini beruntun dua
tangannya bergerak lincah melintang kedepan.
"Blang," sambil mengeluh kesakitan wanita itu terhuyung lima
kaki jauhnya: "Loh Tju-gi, akan kukeremus dagingmu kuminum darahmu!" sambil
memaki kalang kabut wanita itu menyerbu datang lagi dengan
serangan kalap.
Tergetar perasaan Suma Bing, sambil berkelit kian kemari,
otaknya berpikir: kiranya aku disangka Loh Tju-gi suheng yang
murtad itu. Apa wajahku mirip dengan Loh Tju-gi. Tapi tidak
mungkin, sedikitnya usia Loh Tju-gi sudah pertengahan umur, usia
kita terpaut terlalu banyak, mana bisa salah kenal! Hanya ada satu
kepastian bahwa perempuan ini pasti dulu pernah dirugikan oleh
Loh Tju-gi itu... Serta merta lantas teringat akan ibunya San-hoa-li
Ong Fang-lan, tanpa terasa bergidik dan merinding tubuhnya.
Menurut cerita si maling bintang Si Ban-tjwan bahwa ibunya dulu
pernah diperkosa oleh bangsat Loh Tju-gi itu, apa mungkin...
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekali melejit ia menyingkir sejauh dua tombak dan berdiri tegak,
dia perlu menenangkan gejolak hatinya.
Pada saat itulah tiba2 sebuah tandu tengah mendatangi dengan
kecepatan bagai terbang.
"Pek-hoat-sian-nio!" tanpa terasa mulut Suma Bing berseru kejut.
Tiba2 perempuan gila itu berteriak nyaring terus berlari pergi
se-kencang2nya.
"Cegat dia!" membarengi seruan ini, sebuah bayangan melesat
datang lewat sampingnya.
Kontan Suma Bing kirim sebuah hantaman keras kearah bayangan
ini, dimana debu dan kerikil beterbangan, bayangan itu kena
tersuruk jatuh diatas tanah, dia bukan lain adalah guru daripada
Ting Hoan yaitu Pek-hoat-sian nio.
Sambil menggeram gusar Pek-hoat-sian-nio lancarkan sebuah
pukulan keras. Segera Suma Bing angkat tangan menyambuti
dengan kekerasan juga. 'Bum' ditengah dentuman menggelegar
kedua belah pihak sama2 tersurut mundur satu tindak. Dalam
mundur setindak itulah Pek-hoat- sian-nio sudah lancarkan
selentikan jarinya lagi, beruntun angin selentikan melengking saling
susul menyambar kedepan.
Terpaksa Suma Bing jumpalitan kesamping menghindar...
Menggunakan kesempatan ini, Pek-hoat-sian-nio melejit
kedepan dengan kecepatan yang susah diukur. "Kemana kau
pergi." " tubuh Suma Bing juga ikut melesat
datang, ditengah udara ia lancarkan pukulan2 lihay membuat
Pek-hoat-sian-nio terpaksa harus meluncur turun.
"Suma Bing, apa2an maksudmu ini?" "Kita selesaikan
perhitungan lama!" "Hm, tidak malu kau turun tangan kepada
seorang perempuan yang berpikiran kurang waras. Malah kau merintangi
aku pergi mengejar dia, jikalau terjadi sesuatu diluar dugaan, awas
kau harus bertanggung jawab?"
Terperanjat hati Suma Bing, jadi benar2 pikiran perempuan itu
kurang waras, untuk apakah Pek-hoat-sian-nio mengejar
perempuan gila itu" Tapi kebencian hatinya mendesak dia
melakukan langkah2 selanjutnya, maka dengan dingin ia
menantang: "Pek-hoat-sian-nio, dua kali hadiahmu yang berharga tempo hari,
biar hari ini kukembalikan."
Sinar mata Pek-hoat-sian-nio, me-nyala2 gusar, rambut putihnya
juga berdiri kaku, bentaknya keras:
"Suma Bing, kau mencari mati?" "Belum tentu mencari mati,
kita setali tiga uang." "Baiklah, biar kusempurnakan
keinginanmu itu," bentak
Pek-hoat-sian-nio sambil kirim serangan kearah Suma Bing, karena
gusar kekuatan pukulannya seumpama kilat menyambar dan
geledek menggelegar.
Sejak mendapat Kiu-tjoan-hoan-yang-tjauko dari pemberian Setan
barat. Lwekang Suma Bing bertambah berlipat ganda, sekali turun
tangan kekuatan pukulannya juga bukan olah2 hebatnya.
Terjadilah pertempuran mati2an yang susah dilerai. Keempat
gadis pemikul tandu menonton diluar gelanggang dengan muka
pucat dan hati berdebar keras.
Sekonyong2 terdengar suara pekik nyaring yang mengerikan dari
kejauhan sana, suara itu benar2 membuat mengkirik dan berdiri
bulu roma. Serta-merta Suma Bing dan Pek-hoat-sian-nio menghentikan
pertempuran. Wajah Pek-hoat-sian-nio berobah pucat, sebat sekali
tubuhnya meluncur kearah dimana suara pekik mengerikan itu
terdengar. Sejenak Suma Bing tertegun lalu membatin: apa pekik
kesakitan yang mengerikan ini keluar dari mulut perempuan gila itu"
Lantas teringat olehnya akan kata2 yang diucapkan oleh perempuan
gila itu, tanpa
terasa bergidik tubuhnya, sebat luar biasa iapun berlarian
mengejar kedepan.
Tiga li kemudian ditengah jalan raya rebah terlentang sebuah
mayat bergelimang diantara banjir darah. Kepala mayat ini sudah
hancur terpukul, wajahnya rusak berlepotan darah susah dikenal,
sungguh mengerikan dan mengenaskan keadaan ini, rantai hitam
panjang itu kini sudah tertanggal dari lehernya, separo diantaranya
terendam diantara merah darah.
Tubuh Suma Bing gemetar keras, pandangannya nanap mengawasi
mayat didepannya, sebuah pikiran yang menakutkan merangsang
hatinya, sehingga keringat dingin membasahi jidatnya, akhirnya
tercetus juga perkataannya:
"Siapakah dia?" Air mata meleleh deras dikedua pipi
Pek-hoat-sian-nio,
dengan geram ia melotot kearah Suma Bing, lalu membungkuk
memayang jenazah diatas tanah itu terus masuk kedalam tandu.
Segera keempat gadis seragam hijau berlarian pergi dengan
cepatnya. Suma Bing ter-longong2 memandangi noda darah diatas tanah
seperti orang linglung.
"Suma Siangkong!" sebuah suara nyaring merdu membuat Suma
Bing tersentak dari lamunannya.
Seorang gadis cantik rupawan yang berwajah pucat tengah
berdiri tegak dihadapannya dia bukan lain Ting Hoan adanya.
"Nona Ting!" seru Suma Bing terharu. Sejenak Ting Hoan
menatap wajah Suma Bing dengan
penuh perasaan kasih mesra tapi tak lama pula wajahnya berobah
membeku, katanya:
"Suma Siangkong, kau berkukuh hendak berkelahi dengan
suhuku, sehingga jiwa suciku menjadi korban."
"Dia adalah sucimu?" Ting Hoan mengiakan. "Dalam hal ini
kunyatakan penyesalanku, siapakah
pembunuhnya?" "Bwe-hwa-hwe-tiang!" Gigi Suma Bing gemeratak
gusar, serunya penuh
kebencian: "Mengapa ketua Bwe-hwa-hwe mau turun tangan
terhadap seorang perempuan yang berpikiran kurang waras malah turun
tangan secara keji lagi?"
"Kulihat kau bergebrak dengan suhuku, maka segera aku datang
mengejar seorang diri, sayang aku terlambat juga, waktu aku
menyusul tiba dia sudah mendapat celaka, durjana itu baru saja
tinggal pergi, sekian jauh aku mengejar tidak kecandak."
"Siapakah nama sucimu ini?" "Untuk apa kau menanyakan ini?"
"Aku hanya ingin tahu saja!" "Dia bernama Lim Siok-tien."
Suma Bing menghela napas lega, katanya lagi: "Apakah aku
boleh bertanya tentang keadaannya selama
ini?" "Dia seorang wanita yang harus dikasihani..." "Dia pernah
dipermainkan seorang lelaki?" "Darimana kau tahu?" "Dia salah
sangka aku sebagai Loh Tju-gi, maka dia nekat
hendak menempur aku."
Wajah Ting Hoan beringas katanya penuh kebencian sambil
mengertak gigi:
"Benar, Loh Tju-gi sudah mempermainkan dia, lalu meninggalkan
dia pergi. Dia melahirkan seorang anak perempuan yang
meninggal tidak lama kemudian, dia sendiripun menjadi gila..."
"Loh Tju-gi akan datang suatu hari pasti kuhancur leburkan
tubuhnya!"
"Eh, bukankah dia adalah..." "Dia murid murtad dari
perguruanku, juga musuh besar
keluargaku. Selama aku masih hidup terbang kelangit atau
menyusup kebumi pasti akan kucari dia sampai ketemu!"
Ting Hoan menghela napas panjang, ujarnya: "Mengapa tidak
siang2 kau katakan hal ini?" "Kenapa?" "Guruku juga
menyangka kau sebagai murid Loh Tju-gi itu,
maka dia turun tangan kepadamu!" "Jadi begitulah duduk
perkaranya." "Setelah pikirannya kurang beres, setiap melihat
pemuda gagah ganteng, lantas suciku anggap dia sebagai Loh Tju-gi.
Karena terpaksa maka suhu mengurungnya dengan memborgol
lehernya dengan rantai. Sungguh tak duga beberapa hari yang lalu
dia dapat terlepas, maka kita beramai datang mengejar..."
"Apa kau melihat tegas orang yang membunuh dia adalah Ketua
Bwe-hwa-hwe?"
"Sedikitpun tidak salah." "Hm, aku juga tidak akan melepas
dia! Oh ya, nona Ting
kuingat bukankah gurumu juga tengah mencari Tiang-un
Suseng..."
"Benar, kenapa?" "Belum lama berselang aku baru saja
berpisah dengan
Tiang-un Suseng, si orang berkedok yang bersama aku itulah
orangnya."
"Si orang berkedok itu adalah Tiang-un Suseng?" "Begitulah,
baru sekarang aku mengetahui kedok
sebenarnya." "Tapi sekarang kami tidak perlu lagi mencari dia."
"Mengapa?" "Tiang un Suseng Poh Jiang adalah duplikat dari
Wi-thiantjhiu yang kenamaan di Bulim. Tujuan kita dulu adalah hendak
minta dia mengobati penyakit gila suciku itu, sekarang suci sudah
menemui bencana, tidak perlu lagi mencari dia!"
Suma Bing manggut2 sambil berdiam diri. Kata Ting Hoan lagi:
"Tentang kesalah pahamanmu dengan guruku kuharap
sejak saat ini dapat dibikin terang." "Ya, tentu dapat." "Sekarang
kau hendak kemana?" "Menuju ke Bu-kong-san!" "Apa
keperluanmu kesana?" Sejenak Suma Bing berpikir dan ragu2,
akhirnya ia berkata
sebenarnya: "Aku berharap dapat menemukan Bunga-iblis..."
"Bunga-iblis?" seru Ting hoan penuh keheranan, "Apa
Bunga-iblis berada di Bu-kong-san?"
"Bukan, konon Bunga-iblis itu berada ditangan Bu-siang sin-li.
Justru tempat bersemayam Bu-siang sin-li berada di Bukong-
san..." Berobah air muka Ting Hoan, katanya: "Bu-siang-sin li,
seorang Tjian-pwe aneh didalam dongeng,
sudah lama tidak muncul di Kangouw, malah katanya ilmu silatnya
setinggi langit, seumpama kenyataan memang begitu, kukuatir..."
Suma Bing tertawa ewa, katanya: "Aku tahu tapi besar tekadku
untuk mendapatkannya". "Baik, kudoakan kau berhasil."
"Terima kasih!" "Aku harus segera kembali membantu
mengurus jenazah
suci..." "Silahkan nona Ting, aku juga harus segera berangkat!"
"Suma Siangkong..." "Nona masih ada perkataan apa?" "Aku...
aku..." "Kalau ada perkataan apa2 silahkan katakan saja." Wajah
Ting Hoan merah jengah, bibirnya sudah bergerak
hendak berkata tapi ditelannya kembali. Lalu sambil tunduk dia
bermain ujung bajunya, sikapnya kikuk dan malu2, benar2
membuat orang merasa geli dan tenggelam dalam alunan asmara.
Mendadak ia angkat kepalanya lagi seakan tiba2 bertambah besar
nyalinya, suaranya halus merdu:
"Ada sepatah kata hendak kuberitahukan kepadamu." "Coba
katakan?" "Aku teringat pada waktu kau mengobati lukaku
dulu itu..."
"Nona terluka karena aku, peristiwa itu selalu mengganjel dalam
hatiku, dalam hal ini pasti aku tidak akan melupakan..."
"Tidak!" "Mengapa tidak?" tanpa terasa berdetak keras jantung
Suma Bing, entah apa maksud dengan 'tidak' itu" "Walaupun
kaum persilatan tidak mengukuhi adanya adat
istiadat lama tapi sedikit banyak ada batas2nya. Tubuh seorang
gadis kalau sudah diraba dan dijamah oleh seorang laki2, dia... dia
harus bagaimana?"
Suma Bing tertegun, ujarnya: "Nona waktu itu aku mengobati
lukamu" "Ya, memang mengobati lukaku, tapi seorang gadis
memandang kesucian dirinya melebihi jiwa sendiri. Hakikatnya
kita sudah bersentuhan tubuh, aku berkata demikian bukan
karena ingin memohon sesuatu, aku hanya berharap supaya kau
tahu selama hidup ini badanku ini tidak akan menjadi milik laki2
lain!" Jantung Suma Bing hampir melonjak keluar, keringat membasahi
seluruh tubuh, teriaknya gugup:
"Nona Ting, ini... ini..." Kata Ting Hoan dengan kalem dan
tenangnya: "Sudah
kukatakan aku tidak memohon apa2, asal kau tahu maksud hatiku
saja. Sudah tentu aku tidak bisa paksa kau untuk mencintai aku.
Ucapanku sampai sekian saja, harap kau jaga dirimu baik2!" Habis
berkata sekali lagi ia pandang wajah Suma Bing lekat2 penuh
harap lalu tubuhnya melenting tinggi menghilang dikejauhan sana.
"Adik Hoan!" " waktu Suma Bing tersadar, dia berseru
memanggil, tapi bayangan Ting Hoan sudah hilang tanpa jejak.
Serasa ada sesuatu benda yang menindih sanubarinya, sedemikian
berat benda itu sehingga membuat dia susah bernapas. Hubungan
lelaki perempuan, antara cinta dan persahabatan tiada batas
perbedaan yang jelas, waktu kau merasa resah dan gundah susah
tentram, mungkin itulah pertanda cinta, tak perduli dalam keadaan
yang bagaimana kamu merangkap pertemuan itu. Untuk pertama
kali inilah hatinya resah karena cinta, karena cinta, telah
membelenggu dirinya tanpa dia sadar sebelumnya. Tanpa terasa
dia menghela napas dalam.
Tengah ia tenggelam dalam renungannya itulah, mendadak sebuah
bayangan manusia tengah mendatangi dengan sempoyongan
kearah dimana Suma Bing tengah berdiri. Waktu Suma Bing
tersadar kaget dan membalik tubuh, bayangan itu sudah terpaut
tiga tombak dari dirinya. Waktu melihat orang yang mendatangi ini
seketika membaralah hawa amarahnya menggeser kaki segera ia
mencegat ditengah jalan sambil menghardik keras:
"Berhenti!" Kiranya yang datang ini bukan lain Tang-mo
adanya, salah satu dari Bu-lim-su-ih yang sejajar dengan Se-kui, Pak-tok dan
Lam-sia. Tang-mo menurut kata menghentikan langkahnya. Terlihat oleh
Suma Bing pandangan kedua mata orang
begitu redup, napasnya memburu, jidatnya basah oleh keringatnya
yang meleleh deras. Diam2 terkejut hatinya batinnya apakah iblis
laknat ini terluka parah"
"Iblis timur, akhirnya kita bertemu juga disini!" "Kau... kau..."
seru Tang-mo tergagap. "Akulah Suma Bing, murid Lam-sia
Su-hay..." Tubuh Tang-mo ter-huyung2 hampir roboh agaknya
dia hampir tak kuat lagi berdiri.
Suma Bing membatin dalam hati: "Luka iblis ini tidak ringan,
entah terluka ditangan siapa
dia." Maka segera ia bertanya: "Apa kau terluka?" Iblis timur
menggigit bibir menahan sakit dan menguatkan
hatinya, serunya beringas: "Buyung, memang Lohu terluka parah,
kau mau apa?" Hawa membunuh menyelubungi raut wajah Suma
Bing desisnya dingin: "Aku ingin mencabut jiwamu!" Lagi2 tubuh
Tang-mo terhuyung mundur, geramnya:
"Buyung, kau tidak adil menggunakan kesempatan ini..."
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tutup-mulutmu, tidak peduli bagaimana kau hendak
berkata, yang terang hari ini kau harus mati!" "Ada permusuhan
apa Lohu dengan kau?" "Permusuhan! Hehehe, Tang-mo,
ketahuilah dendam
sedalam lautan setinggi gunung, tapi sebelum aku turun tangan,
harap sukalah kau berlaku terus terang, jawablah beberapa
pertanyaanku"
"Buyung, kau..." "Dengar, peristiwa pengeroyokan dipuncak
kepala harimau digunung Tiam-tjong-san dulu itu..." "Buk!" Suma Bing berjingkrak
kaget. Ternyata Tang-mo
sudah roboh binasa. Darah menyembur deras dari dadanya bagai
mata air. Saking gugup hampir saja bibir Suma Bing tergigit putus
oleh giginya sandiri, ter-sipu2 ia memburu maju membalikkan
tubuh orang dan memeriksa dengan teliti, tampak sebuah lobang
besar didepan dadanya menembus sampai dipunggungnya. Bahwa
iblis laknat ini terluka dadanya tembus sampai kepunggung masih
kuat menutup jalan darah
dan berlarian sekian jauh sampai disitu, kekuatan Lwekangnya itu
benar2 sangat mengejutkan. Tapi siapakah yang telah
melukainya"
Dengan kepandaian dan Lwekang Tang-mo yang lihay, orang yang
mampu mengalahkan atau membunuhnya kiranya hanya beberapa
tokoh lihay pada jaman itu. Bahwasanya luka Tang-mo itu bukan
karena kena pukul atau sesuatu ilmu aneh yang mengejutkan,
adalah dadanya itu tertembuskan oleh sebilah senjata tajam. Maka
dapatlah dibayangkan bahwa sipembunuh itu pasti berkepandaian
lebih tinggi dari Iblis timur sendiri.
Saking gegetun dan menyesal Suma Bing mem-banting2 kaki.
Tang-mo adalah salah seorang musuh besar yang ikut dalam
peristiwa berdarah dipuncak kepala harimau di Tiam- tjong-san.
Dari mulutnyalah dia bersiap mengejar musuh2 besar lainnya,
sungguh tidak kira sumber yang terpercaya inipun putus. Siapakah
yang telah membunuh Iblis Timur" Angkara murka hatinya beralih
kepada manusia yang membunuh Iblis timur itu, karena kematian
Iblis timur maka dia harus kehilangan sumber pengejaran kepada
musuh2 besarnya. Mengawasi jenazah musuh besarnya yang
tergolek mati ditangan orang lain ini, per-lahan2 semakin
memuncak kegusarannya tangan diangkat hendak menghantam...
"Orang mati dendam ludas, sangat keterlaluan kalau kau merusak
jenazahnya!"
Suma Bing mendengus keras sambil tarik kembali tangannya,
terlihat olehnya si orang yang bicara ini bukan lain adalah si maling
bintang Si Ban-tjwan.
"Si-tjianpwe apa baik2 saja selama berpisah?" "Hehe,
baik2 saja!" "Apakah Tjianpwe tahu Tang-mo terbunuh
oleh siapa?"
Seketika si maling bintang Si Ban-tjwan mengunjuk rasa heran
dan terkejut: "Apa kau sendiri tidak bisa melihat?" Suma Bing menggeleng
dengan hampa: "Menurut hematku dadanya tertembus oleh
senjata tajam, tentang siapa yang turun tangan belum dapat kuketahui!" "Ha,
peristiwa besar yang menggegerkan itu, masa kau
masih belum dengar?" "Peristiwa besar?" "Pada saat ini dunia
persilatan sudah menanjak pada akhir
jaman, karena dimana2 tersebar keseraman dan kekejaman
dengan bau anyir darah!"
Suma Bing berkerut alis, tanyanya: "Wanpwe minta petunjuk?"
Baru pertama kali inilah Suma Bing merendah diri mengaku
sebagai Wanpwe (angkatan rendah) kepada Si maling bintang.
Karena si maling bintang pernah memberitahukan kepadanya
bahwa ibunya San-hoa-li Ong Fang-lan masih hidup, bersama itu
dia juga menyanggupi untuk membantu mencari jejak ibunya itu,
maka Suma Bing merasa sangat berterima kasih.
Kata Si maling bintang Si Ban-tjwan serius: "Iblis timur mati
ditangan Rasul penembus dada yang
diutus oleh perkumpulan yang bernama Jeng-siong-hwe!"
"Jeng-siong-hwe?" seru Suma Bing terkejut. "Aneh benar
nama itu, belum pernah kudengar dikalangan Kangouw?" "Rasul
penembus dada muncul di Bulim baru beberapa
bulan saja, dalam jangka waktu satu bulan, kaum persilatan dari
aliran hitam atau putih yang mati tertembus dadanya oleh sebilah
cundrik tidak kurang dari lima puluh orang. Malah para
korban itu kalau bukan salah seorang pentolan daerah pasti tokoh
kosen yang kenamaan..."
"Bukankah kepandaian orang yang menampakkan diri sebagai
Rasul penembus dada itu sangat hebat dan mengejutkan?"
"Sudah tentu, Iblis laknat berkepandaian tinggi seperti Tang-mo
saja tidak mampu membela diri, maka dapatlah kau bayangkan
sendiri. Adalah yang paling mengejutkan bahwa Siau-lim-si yang
terkenal sebagai pentolan yang merajai dunia persilatan juga tidak
luput dikunjungi oleh Rasul penembus dada itu. Dibawah
penjagaan ketat beratus murid lihay dalam kelenteng itu, masih
dengan leluasa dia menembuskan senjatanya didada Liau Khong
Hwesio kepala pengawas dari Lo-han-tong dan dua muridnya."
"Benar2 ada peristiwa besar ini?" "Seluruh dunia persilatan
sudah geger dan gempar, sayang
mata kupingmu kurang jeli." "Perkumpulan macam apakah
Jeng-siong-hwe itu?" "Teka-teki!" "Siapakah pemimpinnya?"
"Tiada yang tahu!" Dingin perasaan Suma Bing, bahwa
Bwe-hwa-hwe sudah
merupakan perkumpulan rahasia dikalangan Kangouw, kini muncul
lagi sebuah Jeng-siong-hwe yang serba misterius dan
menakutkan. "Apakah tujuan Jeng-siong-hwe menimbulkan kancah pembunuhan
berdarah itu?"
"Masih merupakan teka-teki!"
"Jeng-siong-hwe membunuh Tang-mo sehingga aku kehilangan
sumber penyelidikanku untuk menuntut balas, perhitungan ini..."
"Apa kau hendak menagih pada mereka?" "Sudah tentu!"
"Buyung sudahi saja. Saat ini yang terpenting adalah
mencari jejak ibundamu, kalau ibumu masih sehat waalfiat
kupercaya takkan ada seorangpun musuh besarmu dapat lolos"
Sikap Suma Bing menjadi lesu dan bersedih: "Harapan ibu
masih hidup agaknya sangat kecil." "Mengapa?" "Kalau dia
orang tua masih hidup, selama puluhan tahun ini
mengapa tidak kelihatan jejaknya. Mungkin setelah meninggalkan
Tiam-tjong-san masih tidak luput dari tangan kejam para
musuh2..."
"Itu juga mungkin, tapi bagaimana juga harus diselidiki sampai
seterang2nya!" Kata si maling bintang, "Sudah banyak tempat
kujajaki, sampai sekarang masih belum dapat kuperoleh..."
Dengan penuh perasaan haru Suma Bing memberi hormat kepada
si maling bintang, ujarnya:
"Kebaikan Tjianpwe, selamanya akan kuingat dalam lubuk
hatiku!" "Buyung tidak perlu. Untuk menentramkan sanubari maling tua
inilah aku berbuat begitu. Dulu kalau aku tidak terluka parah dan
belum pulih lagi tenagaku, mungkin perkembangan selanjutnya
bisa berobah. Hehe, yang lalu tidak perlu diperbincangkan lagi!
Mari kekota didepan sana mencari warung dan minum arak untuk
menghilangkan kesal!" tanpa menanti jawaban Suma Bing lagi
segera ia berlari kedepan.
Sekilas Suma Bing melirik kejenazah Tang-mo terus mengikuti
dibelakangnya. Tak lama kemudian mereka sudah memasuki
sebuah kota besar yang ramai. Kedua tua muda itu bersama
memasuki sebuah rumah makan Jui-lay-ki, mereka mencari sebuah
tempat duduk disamping jendela dipojok sebelah sana, tak lama
kemudian arak dan hidangan sudah memenuhi meja dihadapan
mereka dengan lahapnya tanpa bicara mereka gegares semua
makanan yang lezat dan nikmat.
Suasana dalam rumah arak itu sangat ramai dan penuh dengan para
pengunjung rata2 mereka tengah memperbincangkan sepak terjang
Jeng-siong-hwe, wajah mereka rada2 mengunjuk rasa takut2 dan
seram. Se-konyong2 suara keributan dalam ruang makan yang gaduh itu
sirap seketika keheningan seram mencekam sanubari setiap
hadirin, sedemikian sunyi senyap seumpama jarum jatuhpun dapat
terdengar. Suara si maling bintang Si Ban-tjwan berbisik gemetar: "Sudah
datang!" Tanpa terasa tergerak dan berdetak hati Suma Bing
pandangannya menyapu seluruh ruang tampak wajah semua
hadirin pucat ketakutan matanya nanap memandang kearah
tangga loteng. Eh, diujung tangga sana berdiri tegap dengan
angkernya seorang seragam putih dengan mengenakan kedok
putih pula. Bagi kaum persilatan kalau kepandaiannya tidak sangat tinggi
diandalkan jarang ada orang yang suka mengenakan pakaian
serba putih. Sebab warna putih sangat menyolok mata disiang
maupun dimalam hari.
Jubah panjang didepan dada orang aneh ini tersulam cundrik
berwarna merah darah.
"Rasul penembus dada!" tanpa terasa Suma Bing membatin
dalam hati. Bahwa Rasul penembus dada terang2an muncul diatas rumah
makan itu benar2 diluar dugaan semua orang. Serta merta Suma
Bing merasakan ketegangan hati.
Perlahan dan pasti Rasul penembus dada melangkah mantap
diantara meja2 makan yang penuh diduduki para tamu, bagai
dewa kematian yang tengah mencari sasarannya, dimana ia lewat
orang2 itu menunduk kepala tidak berani beradu pandang. Semua
orang ber-tanya2 dalam hati elmaut kematian bakal menimpa
kepada siapa. Dua lobang bundar diatas kedok putihnya itu memancarkan sinar
mata dingin ber-kilat2 bagai tajamnya pedang yang menciutkan
nyali orang. Kedua bola mata Suma Bing membelalak bundar dan bergerak
mengikuti gerak tubuh Rasul penembus dada. Tiba2 ia merasa dua
sinar dingin dari sorot matanya itu tengah bentrok, merinding dan
berdiri bulu kuduknya. Batinnya: Apa aku yang dituju" Belum
lenyap pikirannya ini sorot mata orang sudah beralih ketempat
lain. Setiap hadirin se-olah2 tengah menanti hari kiamat yang
menakutkan. Suara derap kakinya yang seperti disengaja berkeresekan diatas
papan loteng, seakan irama kesedihan yang mengantar arwah
kematian mendetam dihati setiap hadirin. Suasana mencekam hati
serasa membeku!
Dasar sifat Suma Bing memang congkak dan angkuh, tak kuat ia
menahan suasana yang mencekam hatinya ini, bergegas ia bangkit
dari tempat duduknya, baru saja...
Ter-sipu2 si maling bintang menekan pundaknya dan
menyuruhnya duduk kembali.
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ Akhirnya suara derap langkahnya berhenti. Rasul penembus dada
berhenti disamping sebuah meja besar disebelah timur sana.
Sekeliling meja besar ini sudah padat diduduki orang, yang
berduduk ditengah adalah seorang berpakaian perlente dari kain
sutera yang mengkilap berusia lanjut, kedua sisinya duduk dua
perempuan muda yang memulas mukanya dengan pupur tebal.
Dihadapan si orang tua berduduk dua orang Tosu, dibaris
belakang mereka berdiri jajar empat laki2 yang berpakaian
sebagai centeng.
-oo0dw0oo- Jilid 6 21. SI-T IAUKHE K = EMP AT MAY AT GAN TUN G "Siapakah orang tua berpakaian perlente itu?" tercetus satu
pertanyaan dari mulut Suma Bing kepada si maling bintang.
"Dialah Ang Bong-cun, iblis cabul yang paling kenamaan
didunia persilatan." "Jadi si tua perlente inilah yang telah
dipilihnya!" Ditengah suara pekik kaget dan ketakutan, dua
perempuan dan kedua Tosu itu bergegas bangkit dan berlari mengumpat
dibelakang si tua perlente itu, wajah mereka pucat pasi. Perlahan si
tua perlente berdiri gemetar se-akan2 semangatnya tersedot hilang,
matanya termangu, mulut terbuka lebar tanpa mampu
mengeluarkan suara.
"Kau ini yang bernama Ang Bong-cun?" suara Rasul penembus
dada melengking dingin menusuk hati.
"Ya, itulah Lohu adanya, entah tuan ada petunjuk apa?" sahut
Ang Bong-cun gemetar.
Bibir Rasul penembus dada tampak ber-gerak2, agaknya ia tengah
menggunakan ilmu Gi-i-coan-seng (suara semut menimbulkan
gelombang) untuk bicara dengan orang, orang lain tidak akan
mendengar percakapan mereka ini.
Tampak wajah Ang Bong-cun semakin pucat, tubuhnya gemetar
dan terhuyung hampir roboh, keringat dingin sebesar kacang
menetes deras, bentaknya bengis:
"Siapa kau?" "Rasul penembus dada menerima perintah ketua
kami untuk melaksanakan kematianmu!" suaranya dingin bagai es
membuat semua pendengarnya bergidik seram.
Mendadak Ang Bong-cun menggerung keras, kedua tangan
disodokkan keras kedepan, langsung ia menggenjot kedada Rasul
penembus dada, naga2nya ia sudah nekad untuk gugur bersama.
Se-olah2 tidak merasakan ada serangan dahsyat ini, lincah dan
seenaknya saja Rasul penembus dada menggerakkan sebelah tangan
mengebut, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, tapi tiba2 tubuh
Ang Bong cun terpental mundur bagai diterjang kekuatan dahsyat
yang tidak terlihat pandangan mata.
Diam2 Suma Bing memuji dan mengurut dada, kepandaian Rasul
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penembus dada ini benar2 hebat dan mengejutkan.
"Ang Bong-cun,kau tidak akan menyesal menghadapi ajalmu."
Agaknya Ang Bong-cun sudah panik dan nekad, lagi2 kedua
tangannya sudah diangkat dan menyerang lagi...
Terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat dan terus mental
balik ketempat asalnya lagi. Lantas disusul terdengar suara jeritan
yang mengerikan hati. Tampak dada dan punggung Ang Bong-cun
tahu2 sudah berlobang besar, darah segar bagai air mancur
menyembur keluar dari lobang lukanya itu. 'Blang!' tubuhnya roboh
menumbuk meja. Adegan pembunuhan yang seram secara terang2an ini benar2
membuat hadirin terhenyak ketakutan ditempat duduk masing2,
tubuh mereka gemetar tak henti2nya.
Dimana terlihat bayangan putih berkelebat bagai seekor burung
bangau meluncur keluar melalui jendela terus menghilang
dikejauhan dalam sekejap mata.
Suma Bing menggerung keras terus mengejar keluar melalui
jendela itu. "Hai Suma Bing gila kau!" seru si maling bintang Si Ban- tjwan.
Belum sirap suaranya bayangan Suma Bing sudah menghilang
diluar sana. Maka buncah dan gegerlah seluruh keadaan rumah arak yang tadi
begitu sunyi senyap. Ber-ulang2 si maling bintang mem-banting2
kaki, setelah melontarkan sekeping perak dimeja segera iapun
mengejar keluar melewati jendela itu.
Sementara itu, begitu tubuh Suma Bing sampai diluar jendela,
terlihat setitik putih bagai terbang tengah berloncatan diatas atap
rumah dikejauhan sana, jaraknya tidak kurang dari ratusan
tombak. Suma Bing me-nyumpah2 dalam hati sampai keujung
langit juga akan kukejar sampai dapat! Dalam berpikir itu dengan
kecepatan anak panah ia kerahkan seluruh tenaganya
mengembangkan ilmu ringan tubuh terus mengejar kedepan
seenteng burung walet. Tiba diujung kota diluar sana adalah
sebuah hutan lebat. Titik putih itu dalam sekejap sudah
menghilang dari jarak pandangannya didalam hutan itu. Tanpa
banyak pikir lagi Suma Bing langsung terbang memasuki hutan
lebat, terasa cuaca sekelilingnya sangat gelap. Selama berlarian
sepeminuman teh itu kira2 ia sudah menempuh sejauh puluhan li,
tapi bayangan putih itu tetap menghilang tanpa meninggalkan
jejak. Akhirnya bosan juga ia ubek2kan dalam hutan, baru saja ia
berniat putar tubuh tinggal pergi. Se-konyong2 sejalur angin dingin
menghembus ditengkuknya, sungguh kejutnya bukan olah2, gesit
sekali ia menggeser tubuhnya lima kaki kesamping lalu secepat
kilat membalik tubuh, eh aneh bin ajaib, apapun tidak terlihat olehnya. Dan baru
saja ia hendak memutar tubuh, sejalur angin dingin menyerbu
datang lagi dari arah belakang. Tanpa terasa berdiri bulu kuduk
Suma Bing, batinnya: apa aku ketemu setan"
Kali ini ia tidak ter-gesa2 memutar tubuh, setelah menenangkan
hatinya per-lahan2 ia memutar tubuh, sepasang matanya yang
bersinar tajam, jeli dalam sekejap itu sudah menyapu pandang
keempat penjuru. Begitu melihat apa yang dipandang seketika
darah tersirap diatas kepalanya, tubuhnya gemetar dan merinding.
Kiranya diatas sebuah pohon berjarak setombak lebih
dibelakangnya sana tergantung sebuah mayat manusia.
Mayat itu agaknya sudah lama meninggal, tubuhnya kurus kering
tinggal kulit membungkus tulang, tubuhnya bergoyang gontai
dihembus angin lalu. Tapi keadaan ini sangat janggal dan
mengherankan. Masa didunia ini benar2 ada setan kalau tidak
sebuah mayat masa bisa menghembuskan angin"
Mendadak ia melihat kiranya mayat gantung itu bukan hanya satu
tapi semua ada empat yang tergantung diempat penjuru, keempat
mayat gantung ini serupa benar kurus kering, lehernya terikat
kencang diatas seutas tali yang tergantung didahan pohon.
Dimana dirinya berada kebetulan tepat ditengah2 diantara
keempat mayat gantung itu.
Hampir meledak jantung Suma Bing saking ketakutan kuncup
nyalinya, bulu seluruh tubuhnya berdiri tegak, keringat dingin
membasahi tubuh. Masa didunia ini bisa terjadi keanehan ini,
empat orang menggantung diri bersama.
Jantung Suma Bing berdetak keras dengan mendelong bergantian
mengawasi keempat mayat gantung itu. Benar2 bunuh diri secara
massal atau mati digantung orangkah"
Tiba2 salah sebuah mata mayat itu ber-putar2 mulutnya
mengeluarkan pekik tawa melengking menusuk telinga, dan belum
lenyap suaranya ini tiga yang lain juga berbareng
mengeluarkan lengking tawa dingin saling bersautan, suara
tawanya sedemikian mengerikan bagai tawa setan dineraka yang
mendirikan bulu roma dan menyedot semangat orang.
Akhirnya Suma Bing dibikin paham dan mengerti juga akan apa
yang tengah dihadapi, dari ngeri dan seram hatinya menjadi gusar
bukan buatan hardiknya keras:
"Tutup mulut!" Karena bentakan nyaring laksana geledek
menggelegar ini
seketika siraplah suara tawa bersahutan dari keempat setan
gantung yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang itu.
Terdengar Suma Bing melanjutkan makiannya: "Menyamar
setan menakuti orang, permainan rendah dari
aliran manakah ini?" Salah seorang aneh segera, menyahut
dingin: "Bujung, kau inikah murid Kho-lo-sia yang bernama Suma
Bing?" Diam2 terkejut hati Suma Bing, agaknya dirinya menjadi
sasaran pencarian mereka maka dengan angkuh dan dinginnya ia
mengiakan. "Apa kau sudah pernah dengar nama Si-tiau-khek?" "Si
tiau-khek" Belum pernah dengar!" "Huh, biar hari ini kau
berkenalan!" " ditengah suara
lengking tawanya berbareng Si-tiau-khek melayang turun keatas
tanah, kedudukan mereka masih tetap berpencar diempat penjuru
mengepung Suma Bing di-tengah2. Lehernya masih terhias tali
gantung itu, sikap raganya benar2 seperti mayat hidup,
pemandangan ini benar2 membuat seram dan takut orang yang
melihatnya. Segera salah seorang yang berperawakan paling tinggi
membuka kata: "Buyung, ingatlah biar betul. Jangan sesudah kau menghadap
Giam-lo-ong masih tidak mampu menyebut nama orang yang
menyempurnakan jiwamu. Toayamu ini adalah pentolan dari
Si-tiau-khek bernama Heng-si-khek." lalu berturut2 ia menunjuk
dan menyebut: Bou-bong-khek, Hui- bing-khek dan teh-tjiam-khek.
Sekilas Suma Bing menyapu pandang keempat mayat gantung itu
lalu serunya dengan nada mengejek:
"Aku juga bisa sempurnakan kalian menurut cara nama gelaran
kamu masing2. Tapi sebelum turun tangan aku ingin mengetahui
apa tujuan kedatangan kalian?"
"Buyung." jengek Heng-si-khek sinis. "Kematianmu sudah didepan
mata, tidak perlu kau membual percuma, mau tahu tujuan kita"...
kita ingin jiwamu!"
Sontak membara hawa amarah Suma Bing, serunya dengan nada
berat: "Kalian tidak mau mengatakan tujuan kamu, terpaksa aku yang
rendah berlaku kurang hormat..."
"Buyung kau masih terpaut terlalu jauh!" tukas Bou bong- khek
dengan suara melengking.
"Silahkan kau mencoba lebih dulu!" sambil membentak keras Suma
Bing lancarkan sebuah hantaman menyerang kearah
Bou-bong-khek. Dimana gelombang angin badai melanda tampak
Bou-bong-khek angkat sebuah tangannya yang kurus kering
berputar satu lingkar...
Seketika angin pukulan Suma Bing yang dahsyat itu hilang sirna
karena putaran tangan Bou-bong-khek ini. Malah bersamaan
dengan itu sejalur angin dingin menerjang tiba merangsang
dirinya, betapa hebat kekuatan hawa dingin ini benar2 susah
dibayangkan, seketika Suma Bing terbentur mundur tiga langkah.
Baru sekarang Suma Bing benar2 merasa sangat terkejut. Bahwa
Lwekang musuh kiranya lebih tinggi dan lihay dari dugaannya
semula. Salah seorang dari musuh ini saja sudah sedemikian lihay
apalagi kalau berempat bergerak serentak mengeroyok dirinya,
sudah pasti dirinya bukan tandingan mereka. Akan tetapi dasar
sifat pembawaan Suma Bing memang keras angkuh dan tak
mengenal takut. Begitu tubuhnya berdiri tegak lagi sambil
menggerung keras ia lancarkan lagi sebuah hantaman yang
menggunakan seluruh kekuatan Kiu-yang-sin-kang, gelombang
panas ber-gulung2 bagai badai ombak dan gugur gunung menerpa
kearah musuh. Agaknya Bau-bong-khek dapat melihat gelagat akan kehebatan
pukulan ini, tanpa berayal tubuhnya maju selangkah kedua kaki
sedikit ditekuk lantas kedua tangannya disurung kedepan...
Setelah suara menggelegar bagai bumi meledak, tanah pasir
bergulung dan beterbangan Suma Bing sempoyongan mundur lima
langkah, darah bergolak hampir menyembur keluar dari mulutnya.
Sebaliknya Bau-bong-khek hanya tergeliat dua kali tanpa berkisar
dari tempatnya semula. Jengeknya:
"Bagaimana bocah busuk. Satu diantara kita sudah cukup
mencabut nyawamu bukan?"
Sekarang baru Suma Bing benar2 merasa bergidik merinding, sejak
dirinya menelan Kiu-tjoan-koan-yang-tjau-ko, Lwekangnya sudah
maju berlipat ganda, sungguh diluar sangkanya bahwa dirinya
masih tidak kuat melawan satu diantara Setan gantung ini.
Lwekang Ketua Bwe-hwa-hwe agaknya lebih unggul dari
Bu-lim-su-ih, sebaliknya keempat setan gantung ini naga2-nya
masih lebih unggul sedikit lagi dari ketua Bwe hwa-hwe. Tapi untuk
tujuan apakah para setan gantung ini mencari dirinya"
Bahwa kepandaian empat setan gantung ini memang bukan olah2
hebatnya, namun sebelum ini dirinya belum pernah dengar akan
nama si-tiau-khek!
Dua kali terpental mundur tanpa terasa Suma Bing sampai
dihadapan Hui-bing-khek sejauh jangkauan sebuah tangan, tahu2
sebuah jari tangan sudah menekan jalan darah besar
Bing-bun-hiat Suma Bing, lalu disusul sebuah suara dingin
menggiriskan mengancam:
"Buyung, jangan bergerak!" Tergetar perasaan Suma Bing,
seketika membara hawa
amarahnya: "Membokong melukai orang terhitung orang gagah
macam apa?" "Bocah busuk!" semprot Heng-si-khek segera, "Waktu tidak
menunggu orang, dengan cara begini lebih gampang dan cepat,
jadi tak usah lagi kita berempat susah payah. Seumpama benar2
mau berkelahi, hehehe, sekali kita turun tangan serempak,
kutanggung tubuhmu pasti hancur lebur jadi perkedel!"
Saking murka Suma Bing mengertak gigi, desisnya penuh
kebencian: "Si-tiau-khek, ingatlah akan penghinaan begini, akan datang suatu
hari aku Suma Bing pasti membunuh kalian berempat!"
"Buyung, kudoakan kau mendapat kesempatan itu. Hanya sayang
ucapanmu ini bagai kentut yang tak berguna."
Mendadak Teh-tjiam-khek menjerit keras melengking seperti
pekikkan setan. Sebuah bayangan orang segera melesat tiba
memasuki hutan.
Segera Si-tiau-khek berseru lantang bersama: "Lapor pada
Ketua, kita sudah bekerja menurut perintah"
"Kalian berempat tak perlu banyak peradatan." Waktu Suma
Bing memandang, hampir saja dadanya
meledak saking gusar, karena bayangan yang baru muncul ini
ternyata bukan lain adalah Ketua Bwe-hwa-hwe. Sungguh diluar
tahunya bahwa Si-tiau-khek yang lihay ini kiranya adalah begundal
Bwe-hwa-hwe" Juga dia tak habis mengerti mengapa Ketua
Bwe-hwa-hwa ini sedemikian besar hasratnya hendak
melenyapkan dirinya"
Tidak lama kemudian beruntun berdatangan lagi beberapa orang
berseragam hitam dari empat penjuru, baju didepan dada mereka
bersulam sekuntum bunga Bwe besar.
Segera Heng-si-khek maju minta petundjuk: "Lapor Ketua,
bagaimana bocah ini harus kubereskan?" Tanpa ragu2 segera
Ketua Bwe-hwa-hwe menyahut:
"Gusur pulang kemarkas besar." "Wah ini agak berabe, kalau
terjadi sesuatu hal ditengah
jalan." Tapi dia orang tua ingin dia hidup, dan hendak
mengompresnya sendiri..." "Apakah Hwe-tiang masih ingat
tentang peristiwa Pek kut-ji
yang sudah muncul dua kali?" Tercekat hati Suma Bing, timbul
pertanyaan dan rasa
curiga dalam benaknya, entah siapakah 'dia orang tua' yang
dimaksud oleh Ketua Bwe-hwa-hwe ini" Naga2-nya Ketua
Bwe-hwa-hwe sendiri juga mendapat perintah lagi dari orang lain.
Terdengar Ketua Bwe-hwa-hwe berkata dengan nada berat:
"Hal itu sudah diatur dengan rapi sekali. Tutuklah jalan darah bocah
ini, begitu lebih gampang kalian menggusur pergi. Lalu silahkan
kalian berempat masing-masing
mengendarai sebuah kereta berpencar dari empat jurusan
langsung kembali kemarkas besar!"
"Kalau begitu hamba sekalian sudah paham," sahut Hengsi-
khek. "Setiap kereta memuat seorang yang berwajah sama dan
pakaian yang sama pula, berpencar dari empat penjuru."
Segera terdengar suara ringkik kuda dan roda kereta
berkeletak-keletok mendatangi, empat kereta kecil lambat2
memasuki gelanggang.
Kedua mata Suma Bing mendelik merah membara, sungguh diluar
dugaannya bahwa dirinya bakal begitu gampang terjatuh dalam
cengkeraman iblis para musuh2nya ini.
Segera ketua Bwe-hwa-hwe berkata lagi: "Pakaian kalian
berempat juga harus diganti supaya tidak
menimbulkan kecurigaan atau perhatian orang!" "Hamba terima
perintah." "Bocah ini harap Lo-toa yang mengantar?" "Baik!"
Diam2 Suma Bing tidak habis mengerti, didengar dari cara
Ketua Bwe-hwa-hwe bicara kepada Si-tiau-khek benar2 membuat
orang susah menebak atau mengambil kesimpulan apa dan betapa
tinggi kedudukan Si-tiau-khek ini didalam Bwe-hwa-hwe mereka.
Apalagi kepandaian Si-tiau-khek agaknya masih lebih unggul dari
Ketua Bwe-hwa-hwe sendiri"
"Mulai berangkat!" Seketika Suma Bing merasa seluruh tubuh
tergetar hebat,
beberapa jalan darah besar ditubuhnya beruntun ditutuk. "Buk",
kontan tubuhnya terkapar diatas tanah, seluruh tubuh terasa
lemas lunglai, mulut tak kuasa bicara, sia2 saja matanya melotot
merah gusar sisa2 tenaga untuk melawan saja tidak mampu.
Seorang laki2 segar segera maju mendekati sigap sekali orang ini
mengenakan sebuah kedok kemuka Suma Bing, lalu mengganti
juga pakaian Suma Bing dengan sebuah jubah warna hitam yang
bersulam sekuntum bunga Bwe didepan dada.
Hampir meledak dada Suma Bing, dan jatuh pingsan saking
gusar.
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bersama itu Si-tiau-khek juga telah mengeluarkan kedok masing2
terus dikenakan dimukanya untuk menutupi wajahnya yang
beringas menakutkan.
Sorot mata ketua Bwe-hwa-hwe mencorong tajam dari dalam
kedoknya, sekilas ia menyapu pandang kearah Heng-si- khek dan
berkata: "Lo-toa, hati2lah sepanjang jalan!" "Hamba sudah paham."
"Kalau terjadi sesuatu hal dan terpaksa, kuberi ijin untuk
melenyapkan jiwanya. Dan juga, kalau kebentur lagi dengan
Pek-kut-ji atau Rasul penembus dada, kau harus hati2 layanilah
dengan hormat, jangan menggunakan kekerasan, inilah
perintahku!"
"Hamba terima perintah!" "Sekarang boleh berangkat, naik
kereta kedua!" Bau-bong-khek, Hui-bing-khek dan
Teh-tjiam-khek segera
melesat naik keatas kereta kesatu, kedua dan ketiga. Sedang
Heng-si-khek segera menjinjing tubuh Suma Bing langsung
menuju kekereta kedua...
Pada saat itulah mendadak kerai kereta tersingkap sebuah
bayangan putih mulus keluar dari dalam kereta melayang enteng
bagai roh halus didepan kereta. Pakaian sepan serba putih dan
mengenakan kedok putih pula, didepan dadanya bergambar
sebilah cundrik berwarna merah darah.
Seketika terdengarlah suara pekik terkejut dan ributlah suasana...
"Rasul penembus dada!" -- "Rasul penembus dada!"
Bahwa Rasul penembus dada bisa keluar dari kereta kedua ini
benar2 merupakan hal yang sangat mustahil dan susah
dibayangkan. Seketika Si-tiau-khek terhenyak kaget ditempat masing2. Tidak
ketinggalan Ketua Bwe-hwa-hwe juga terkejut mundur tiga
langkah, tubuhnya gemetar menahan perasaan hatinya.
Begitu suara ribut2 itu sirap suasana menjadi sedemikian hening
lelap menegangkan, keseraman seketika meliputi lubuk hati setiap
hadirin. Kurang lebih baru satu bulan Rasul penembus dada muncul
didunia persilatan, tapi sepak terjangnya benar2 sangat
menggemparkan kaum persilatan se-akan2 dunia persilatan sudah
mendekati masa2 akhirnya entah dia dari aliran hitam atau putih
begitu mendengar nama dan melihat ujudnya segera lari lintang
pukang menyelamatkan diri.
Sudah tahu namun Ketua Bwe-hwa-hwe sengaja mengajukan
pertanyaan: "Tuan orang kosen darimana?" "Rasul penembus dada!" "
Kata2 ini keluar dari mulut
tokoh misterius yang menakutkan ini, tekanan nada dan irama
suaranya benar2 menyedot semangat semua anggota Bwehwa-
hwe yang hadir.
Merandek sejenak lantas Ketua Bwe-hwa-hwe berkata lagi:
"Tuan datang kemari ada petunjuk apakah?" "Kau inikah
Ketua Bwe-hwa-hwe?" "Tidak salah!" "Sebutkan namamu?"
Lagi2 Ketua Bwe-hwa-hwe tergetar mundur satu langkah,
suaranya gemetar:
"Ini... maaf tak dapat kukabulkan." Rasul penembus dada
mengekeh tawa dingin, ancamnya: "Kau berani
membangkang?" Walaupun jalan darah Suma Bing tertutuk,
mulut tak dapat
bicara, namun kupingnya masih bisa mendengar. Dengan jelas ia
menyaksikan dan dengar segala perobahan yang terjadi. Hatinya
turut terkejut dan heran bahwa Rasul penembus dada bisa
mendadak muncul disitu. "Blang", tubuh Suma Bing dilontarkan
sejauh tiga tombak dan rebah tak berkutik diatas tanah.
Sebat luar biasa keempat Setan gantung itu lantas berpencar
keempat penjuru mengepung Rasul penembus dada. Dengan
pandangan dingin Rasul penembus dada mendengus hina, tanpa
melirik sekejappun kearah Keempat Setan gantung.
Suasana seram ini semakin memperuncing ketegangan lubuk hati
setiap hadirin.
Sejenak menenangkan hatinya, lantas Ketua Bwe-hwa-hwe
bertanya: "Tuan ingin mengetahui nama besarku, apakah tujuan tuan?"
"Ingin kuketahui wajah aslimu, mudah bukan?" "Apa tidak
keterlaluan keinginan tuan ini?" "Sekarang lebih baik kau
segera tanggalkan kedokmu itu!" Nada kata2nya seakan
memerintah dan tidak memberi
kelonggaran sedikitpun. Bahwasanya Bu-lim-su-ih yang
kenamaan juga tidak masuk
dalam pandangan Ketua Bwe-hwa-hwe ini. Sebaliknya
menghadapi ketemberangan Rasul penembus dada ini sikapnya agak
takut2. Tapi dihadapan sekian banyak anak buahnya, demi menjaga
gengsi tak dapat tidak ia harus memberanikan diri supaya tidak
memperlihatkan kelemahannya. Maka segera ia menyahut lantang:
"Maaf tak dapat kuturuti keinginan tuan!" "Selamanya kata2
Rasul penembus dada sekokoh gunung
tidak mengenal apa yang dinamakan 'tidak bisa'. Ketahuilah,
diseluruh kolong langit ini tidak akan kubiarkan seseorang
menyembunyikan wajahnya dihadapanku!"
"Memangnya kenapa?" "Itu bukan urusan yang harus kau
tanyakan!" "Baiklah kutandaskan sekali lagi, tidak bisa!" "Apa
kau sudah membayangkan akibatnya?" "Sebagai Ketua
selamanya aku belum pernah diancam." "Hehehehehe...
obrolan impian!" "Tuan terlalu menghina orang!" - disertai
suara bentakan menggeledek, keempat Setan gantung serempak mengirim pukulan
menyerang Rasul penembus dada. Bersamaan dengan itu Ketua
Bwe-hwa-hwe malah melejit jauh menyingkir tiga tombak diluar
gelanggang. Maka terdengarlah suara dentuman yang dahsyat memekakkan
telinga, kontan keempat Setan gantung mundur terhuyung
beberapa langkah.
Hanya gebrak pertama kali ini cukup membuat kuncup dan ciut nyali
setiap anggota Bwe-hwa-hwe yang hadir. Betapa hebat gabungan
tenaga keempat Setan gantung ternyata masih tidak kuat melawan
seorang malah terpental balik sendiri. Lwekang sedemikian hebat
benar2 sangat mengejutkan dan menggetarkan.
Pada saat keempat Setan gantung terhuyung mundur dan belum
sempat berdiri tegak itulah tiba2 terlihat sebuah bayangan putih
berkelebat secepat kilat, tahu2 Rasul penembus dada sudah melejit
tiba dihadapan Ketua Bwe-hwa- hwe sejarak uluran tangan.
Serta-merta Ketua Bwe-hwa-hwe tersurut mundur ketakutan.
"Tanggalkan kedokmu?" suara dingin Rasul penembus dada
memerintahkan! "Tidak bisa!" "Manusia sombong!" Tiba2 terdengar sebuah
lengking suara aneh, Hui-bing khek
salah satu dari keempat Setan gantung dengan kecepatan kilat
mendadak menubruk kearah Rasul penembus dada. Belum
tubuhnya tiba, rangsangan angin pukulannya sudah melanda lebih
dulu. "Kembali!" " dimana sebuah tangan Rasul penembus dada
diayun, kontan tubuh Hui bing khek terpental balik ditengah
udara. Maka pada saat yang bersamaan itu terdengar pula suara
bentakan yang riuh rendah, ketiga Setan gantung yang lain
serentak ikut merabu datang dengan pukulan2 dahsyat yang
mematikan. Rasul penembus dada menggeram gusar, topan angin pukulannya
sekokoh gunung kontan menerjang keluar memapak maju
mengiringi suara geramannya itu.
Kontan terdengar suara mendehem keras seperti hendak muntah
diselingi suara lolong maut yang mengerikan. Bau- bing-khek dan
Heng-si-khek terpental terbang delapan kaki jauhnya. Adalah
Teh-tjiam khek yang paling mengenaskan, badannya terbawa
terbang tergulung topan angin pukulan hingga jungkir balik
seperti layang2 putus benangnya, hujan darahpun terjadi ditengah
udara. Hampir dalam waktu yang sama. Ketua Bwe-hwa-hwe juga telah
lancarkan sebuah hantaman dahsyat dari seluruh kekuatannya
membokong punggung Rasul penembus dada. Pukulannya ini
bukan saja keras juga cepat laksana kilat menyambar.
Se-olah2 punggung Rasul penembus dada tumbuh mata, tanpa
berpaling lagi tiba2 tubuhnya bergerak melingkar laksana seekor
belut dan dimana kakinya menginjak tanah lagi, tahu2 tubuhnya
sudah melejit tiba dihadapan Ketua Bwe- hwa-hwe sejauh tidak
lebih dari tujuh kaki.
Melihat pukulan yang paling diandalkan ternyata mengenai tempat
kosong, tanpa terasa terbang semangat Ketua Bwe- hwa-hwe,
belum sempat lagi otaknya berpikir, tahu2 ia merasakan
pergelangan tangannya kesakitan, kiranya tangan kanannya telah
digenggam kencang oleh Rasul penembus dada.
Sementara itu, Suma Bing sudah melupakan dimana dirinya
berada, kedua matanya dengan mendelong mengawasi
gelanggang pertempuran. Bahwasanya dia sendiri sangat ingin
melihat dan mengetahui bagaimana sebenarnya wajah asli dari
Ketua Bwe hwa hwe ini, besar harapannya hendak membuka
kedok musuhnya ini yang selalu memburu dirinya dan hendak
membunuhnya malah. Teka-teki ini agaknya segera akan
terpecahkan. Buncah dan ributlah para anggota Bwe-hwa-hwe yang hadir, pucat
dan gemetar tubuh mereka melihat Ketuanya diringkus musuh,
namun mereka insaf dan tak berani menampilkan diri untuk
menolong. "Jangan lukai majikan kami!" terdengar ketiga Setan gantung itu
berteriak beringas ditengah suara pekik gusar mereka itulah
berbareng mereka menubruk maju lagi sambil menyerang kalap.
Sekali jinjing dengan enteng sekali Rasul penembus dada angkat
tubuh Ketua Bwe hwa hwe dibuat sebagai tameng untuk
menangkis pukulan tiga setan gantung yang meluncur tiba dari
tengah udara. Terpaksa ter-sipu2 ketiga Setan gantung menarik
balik serangannya kalau tidak pasti Ketua mereka sendiri bakal
mati konyol. Dengan nada hina dan muak Rasul penembus dada mengancam:
"Setan gentayangan, berdirilah yang agak jauh!" Setelah saling
berpandangan, benar2 juga tanpa berani
banyak putar bacot tiga Setan gantung itu segera mundur
beberapa langkah.
Tampak tubuh Ketua Bwe-hwa-hwe gemetar keras, mungkin baru
sekarang dia merasakan betapa nikmat sebagai orang yang
ditawan oleh musuh.
"Lekas kau turun tangan sendiri!" " suara ini se-olah2
mengandung daya perintah yang tak dapat dibantah dan
diabaikan. Maka dilain saat kedok kain muka telah ditanggalkan, terlihat
sebuah wajah cakap ganteng dari seorang pemuda yang
mengandung kebengisan, pancaran matanya buas dan dugal.
Tergetar perasaan Suma Bing sungguh diluar prasangkanya
bahwa Ketua Bwe-hwa-hwe yang menggetarkan itu ternyata
adalah seorang pemuda yang sepadan dengan dirinya. Ada
permusuhan dendam apakah pemuda ini terhadap dirinya" Ya,
benar, masih ada seorang lain dibelakang layar yang mereka
sebut sebagai 'dia orang tua' itu. Lalu siapa pula orang tua itu"
Para jagoan Bwe-hwa-hwe rata2 mengunjuk rasa terkejut
tercengang dan penuh kecurigaan, baru pertama kali ini mereka
melihat jelas wajah asli Ketua mereka selama mereka mengabdi
diri dibawah perintahnya.
"Tuan sudah puas belum?" tanya Ketua Bwe-hwa-hwe sambil
mengertak gigi.
Agaknya Rasul penembus dada juga merasa diluar dugaan,
sejenak ia tertegun lalu sahutnya: "Masih ada satu hal..."
22. RACUN DIRACUN DIPERAS OLEH RASUL PENEMBUS
DADA. "Cepat katakan!" "Siapa namamu?" "Tjhiu Thong!" Rasul
penembus dada melepas tangannya lalu mundur satu
tindak katanya: "Sampai sekian saja kalian boleh pergi!" Kata Tjhiu
Thong Ketua Bwe-hwa-hwe dengan penuh
kebencian: "Tuan harus ingat perhitungan hari ini." "Hehehehehe,
kutunggu pembalasanmu!" Segera Ketua Bwe-hwa-hwe ulapkan
tangannya kearah
tertua dari keempat Setan gantung yaitu Heng-si-khek sambil
berseru: "Bawa pergi!" Sekali berkelebat Heng-si-khek melejit
kesamping Suma Bing... "Jangan sentuh dia!" " cegah Rasul penembus dada
sambil angkat sebelah tangannya. Seketika Heng-si-khek terhenyak
ditempatnya. Gigi Ketua Bwe-hwa-hwe gemeretak menahan
amarah yang tak terkendalikan, geramnya:
"Apa maksud tuan sebenarnya?" "Tidak apa2, lekas kalian
pergi!" Ketua Bwe-hwa-hwe membanting kaki dengan gemas
dan dongkol, serunya: "Tuan gunung tetap menghijau air selalu
mengalir, kelak
kita bertemu lagi!" " habis berkata ia ulapkan tangan memberi
perintah untuk mundur. Maka bayangan orang berkelebatan suara
roda kereta berkeletokan menjauh dalam sekejap mata semua
sudah pergi bersih.
Dipihak lain Suma Bing merasa kejut2 heran dan tak habis
mengerti, masa kedatangan Rasul penembus dada ini adalah
khusus hendak menolong dirinya"
Sepasang mata Rasul penembus dada ber-kilat2 menyedot
semangat menatapi wajah Suma Bing, tiba2 jari2nya ber- gerak2
dari kejauhan beruntun ia menutuk.
Seketika bebas tutukan jalan darahnya, Suma Bing bergegas
melompat bangun terus merangkap tangan sambil berseru:
"Atas pertolongan tuan..." "Kau jangan salah sangka," tukas
Rasul penembus dada
dengan suara dingin kaku tak berperasaan. "Kedatanganku ini
bukan hendak menolong kau!"
Suma Bing tertegun, tanyanya: "Lalu apa maksud kedatangan
tuan ini?" "Mengejar jejak Ketua Bwe-hwa-hwe. Kebetulan
ketemu kau disini ini memudahkan pekerjaanku." "Jadi aku
yang rendah ini juga tengah kau cari?" "Ucapanmu
benar!" "Untuk urusan apa?"
"Kau bernama Suma Bing?" "Tidak salah!" "Murid Sia-sin Kho
Jiang?" "Benar!" Seketika berobah sorot mata Rasul penembus
dada, tahu2 Suma Bing merasa pandangannya kabur, belum sempat otaknya
berpikir, sebuah cundrik yang berkilauan berhawa dingin tahu2
sudah mengancam diulu hatinya, kecepatan gerak serangan ini
benar2 susah dibayangkan. Keruan melonjak keras jantung Suma
Bing, hanya sejenak wajah berobah pucat lalu kembali seperti
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sediakala lagi dengan sikapnya yang angkuh dan keras kepala,
katanya: "Tuan hendak berbuat apa?" "Menembusi dadamu." Bergetar
seluruh tubuh Suma Bing, tanyanya: "Sebab apa?" "Sudah tentu
harus kuberitahu kepada kau, sekarang
jawablah pertanyaanku terakhir, Loh Tju-gi itu apamu?" "Loh
Tju-gi" Dia musuh besarku!" "Musuh besar!" "Benar, musuh besar
yang harus kubeset kulitnya dan
kuhancur leburkan badannya, ialah murid durhaka yang
mencelakai gurunya sendiri."
Dimulut berkata begitu, dalam hati Suma Bing tengah membatin:
heran, mengapa pula menyangkut pada diri Loh Tju-gi"
Sejenak Rasul penembus dada merenung, lalu tanyanya pula:
"Jadi kau dengan dia adalah kakak-adik seperguruan?"
"Jadi tuan ini tengah mengompres keteranganku?"
"Boleh dikata demikian!"
"Kalau begitu maaf, selamanya aku yang rendah tidak suka
diperas!" Rasul penembus dada tertawa dingin, ancamnya: "Apa kau
tahu betapa nikmat bila dadamu kutembusi
dengan cundrikku ini?" "Ha, paling banyak mati." "Kau tidak takut
mati?" "Mengapa harus ditakuti?" "Cukup gagah" Suma Bing
menjadi gusar, semprotnya: "Tuan hendak membunuh orang pasti
ada alasannya bukan?" "Kau sudah mulai takut?" "Hm, takut, kutanyakan
alasanmu hendak membunuh aku!" "Gampang sekali sebab kau
seperguruan dengan Loh Tjugi!"
Terkenang oleh Suma Bing peristiwa yang belum lama ini
terjadi karena ada hubungan juga dengan Loh Tju-gi, maka
hampir saja jiwanya melayang ditangan Pek-hoat sian nio.
Sekarang juga karena ada hubungan dengan Loh Tju-gi maka
Rasul penembus dada mencari dirinya, entah darimana harus
diterangkan persoalan ini" Maka lantas katanya dingin:
"Aku sudah terjatuh ditangan tuan mau sembelih atau bunuh
terserah kepadamu. Tapi ada satu hal perlu kutekankan kau boleh
menggunakan alasan apa saja untuk membunuh aku, tapi jangan
menyinggung nama Loh Tju-gi lagi! Kalau tidak matipun aku
takkan meram!"
"Mengapa?"
"Murid durhaka dan sampah kaum persilatan, aku bersumpah
hendak menghancur leburkan tubuhnya."
Lama dan lama sekali Rasul penembus dada tenggelam dalam
pikirannya menerawangi apa yang harus dilakukan selanjutnya,
akhirnya suaranya mendesis:
"Suma Bing, kau pasrah nasib saja, apapun alasanmu tidak
berguna, kau sudah ditakdirkan untuk mati."
Suma Bing menyeringai seram, ujarnya: "Silahkan turun
tangan!" Pada saat itulah mendadak Rasul penembus dada
malah menarik mundur cundriknya dan berpaling kearah dalam rimba
serta berseru lantang: "Siapa itu main sembunyi seperti
pancalongok, lekas menggelundung keluar!"
Diam2 Suma Bing memuji kagum akan kepandaian Rasul
penembus dada yang lihay ini, sedikitpun dirinya tidak merasakan
apa2, sebaliknya dia malah mengetahui adanya seseorang yang
mengumpet didalam rimba, malah diketahui letak sembunyinya
lagi. Waktu Rasul penembus dada menarik cundriknya dan putar tubuh,
kesempatan ini sebenarnya dapat digunakan Suma Bing untuk
turun tangan membokong atau melejit menyingkir. Tapi dasar
sifatnya memang angkuh dan tinggi hati, tidak terpikirkan olehnya
semua itu, dengan tenang ia tetap berdiri ditempatnya.
Memang apa yang diperbuatnya ini sangat tepat, dengan
kepandaian Rasul penembus dada yang sedemikian tinggi,
bilamana benar2 dia turun tangan membokong, kematianlah yang
akan menimpa dirinya.
Begitulah bertepatan dengan habis ucapan Rasul penembus dada
seorang aneh yang berwarna serba hitam legam bagai arang
melompat keluar dari dalam rimba sana.
"Racun diracun!" dalam benak Suma Bing berseru. Bahwa
Racun diracun bisa muncul disitu pada saat itu pula
benar2 susah dibayangkan. Melihat keanehan bentuk orang yang
mendatangi ini agaknya Rasul penembus dada juga merasa heran, sejenak
tertegun lantas dia membentak:
"Kawan kosen darimanakah?" "Akulah Racun diracun!" "O,
Racun diracun" Kau tahu siapa aku ini?" "Rasul penembus
dada!" "Jadi kau sudah tahu dan sengaja melanggar?"
"Melanggar apa?" "Kau berani mengintip gerak gerik Rasul
penembus dada, apa kau sudah bosan hidup?" Racun diracun mengekeh tawa
dingin, serunya: "Mulut besar yang sombong, aku Racun diracun
tidak ingin hidup lama, tapi kau juga akan menyesal karena usiamu pendek."
"Hehehehe, kawan, kau sangka bisa menggunakan racun lantas
bisa selamanya selamat?"
"Aku tidak berpendapat begitu, biar aku bicara terus terang,
mengenai ilmu silat, mungkin aku yang rendah takkan terlepas
dari tangan kejimu. Tapi tuan belum tentu dapat lolos juga dari
racun berbisaku."
Suma Bing merasa kaget luar biasa. Kiranya kedatangan Racun
diracun adalah hendak melabrak Rasul penembus dada yang
sudah menggetarkan dunia persilatan ini.
Terdengar Rasul penembus dada tertawa dingin, ujarnya:
"Racun diracun, sebelum kau menggunakan racunmu mungkin
jiwamu sudah melayang lebih dulu."
Racun diracun membalas dengan tawa sinisnya, semprotnya.
"Mungkin sebelum tuan turun tangan membunuh aku kau sudah
terkena racun berbisa yang menamatkan jiwamu."
"Seandainya sekarang ini aku sudah terkena bisa, aku masih
mampu mencabut nyawamu."
"Sudah tentu, dengan kemampuan tuan segala racun berbisa tidak
akan dapat segera membinasakan jiwamu, tapi waktunya tidak
akan lama. Kalau tuan ingin mencoba marilah kita gugur bersama
bagaimana?"
Betapa tinggi kepandaian Rasul penembus dada tak urung berdiri
juga bulu romanya. Musuh berani menamakan diri sebagai Racun
diracun, apalagi sudah tahu betapa menakutkan nama Rasul
penembus dada toh orang masih berani datang dan menantangnya
lagi, agaknya kedatangannya ini mempunyai pegangan yang
mantap. Oleh karena pikirannya ini segera ia berkata lagi: "Jadi
kedatanganmu ini ada maksud tertentu bukan?"
"Sedikitpun tidak salah." "Coba katakan alasanmu?" "Karena
dia aku datang!" "Dia" Maksudmu Suma Bing!" "Benar!" Hal ini
bukan saja mengejutkan Rasul penembus dada, juga
Suma Bing merasa diluar dugaan. Bahwa Racun diracun meluruk
datang adalah karena dirinya boleh dikata sangat mustahil.
"Untuk dia kau datang?"
"Memangnya kenapa?" "Kuharap tuan melepaskan dia!"
"Kurasa tuan salah alamat, tidak bisa karena dosa2 Loh
Tju-gi lantas dia harus mati konyol dibawah cundrikmu itu." "Hai,
kawan, apa hubunganmu dengan dia?" "Hubunganku sangat
erat!" "Coba kau terangkan!" "Maaf, aku tidak dapat menutur!"
"Hm, kau sangka dengan obrolanmu itu lantas aku dapat
melepaskan dia begitu saja?" "Jadi tuan bersedia untuk gugur
bersama?" Lebih besar lagi rasa kejut dan heran Suma Bing,
bahwa Racun diracun adalah musuh bebuyutan tangguh tak nyana kalau
manusia paling berbisa ini rela dan iklas hendak berkorban jiwa
demi kepentingannya, hal ini benar2 mustahil dan tidak masuk
diakal. Apa mungkin dia mempunyai sesuatu maksud tertentu"
Benar, ia pernah memberi dorongan dan nasehat kepada dirinya
untuk mencari Mo hoa. Jikalau Bunga iblis sudah didapat, maka
tanpa syarat ia hendak mengembalikan Pedang darah kepada
dirinya. Bahwa Pedang darah dan Bunga iblis adalah dua benda
pusaka kaum persilatan yang di-impi2kan dan hendak
diperebutkan, siapa mendapatkan kedua benda keramat itu, pasti
kepandaiannya tiada taranya didunia ini. Apa tidak mungkin dia
hendak meminjam tenagaku untuk mencari Bunga-iblis, lalu dari
tanganku ia hendak merebutnya kembali"
Tapi ini juga tidak mungkin, kalau Pedang darah sudah berada
ditangannya, mengapa dia sendiri tidak mau mencari Bunga-iblis
itu, tentang ilmu silat dia lebih tinggi berlipat ganda dari dirinya...
Suma Bing terlongo hampa, sungguh dia tidak habis mengerti
kemana sebenarnya tujuan orang"
Kenyataan Racun diracun rela menjual jiwanya untuk dirinja juga
mimpipun dia tidak menduga.
Tengah ia menunduk menepekur itulah terdengar Rasul penembus
dada tertawa dingin dan berkata hambar: "Sobat, biar
kusempurnakan keinginanmu!" " sambil berkata kakinya
melangkah maju mendekati kearah Racun diracun. Ketegangan
semakin meruncing penuh nafsu membunuh.
Segera Suma Bing menggerung dengan beringas: "Berhenti!"
Serta merta Rasul penembus dada menghentikan langkahnya, lalu
berpaling dan menjengek:
Jodoh Rajawali 8 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Kesatria Berandalan 2