Pencarian

Pedang Darah Bunga Iblis 9

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 9


ulurkan sebuah tangan melancarkan pukulan, empat gelombang
angin pukulan dingin segera memapak kedatangan Suma Bing,
kontan tubuh Suma Bing terpental balik ketempatnya.
Terdengar Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong menyeringai iblis:
"Suma Bing, menyerah saja, seumpama kepandaianmu setinggi
langit juga percuma."
"Chiu Thong," teriak Suma Bing gusar, "Kau hendak berbuat apa
kepada diriku?"
"Tidak lama lagi kau akan tahu sendiri!" Seorang wanita ayu
molek bak bidadari muncul dengan
langkah lenggang lenggok dari belakang Chiu Thong. Serta merta
berdetak jantung Suma Bing, kecantikan
wanita setengah umur ini benar2 baru kali ini dilihatnya selama
hidup. Chiu Thong dan anak buahnya, segera menyingkir kesamping terus
membungkuk memberi hormat dan berseru menyapa: "Menghadap
hormat kepada ibu guru."
"Jangan banyak peradatan!" Lagi2 tergetar perasaan Suma
Bing, kiranya wanita ayu
setengah umur ini adalah ibu guru dari Ketua Bwe hwa hwe Chiu
Thong. Lalu siapakah gurunya" Benar, tentu yang pernah
dikatakan oleh Ketua Bwe hwa hwe sendiri sebagai 'dia orang tua'
itulah... "Mohon ibu guru memberi petunjuk?"
"Bawa kembali kemarkas, biar suhumu sendiri yang
menyelesaikannya!"
"Terima perintah!" seru Chiu Thong, lalu ia berpaling kepada Si
tiau khek dan berkata lagi: "Harap kalian berempat turun tangan
meringkusnya!"
Sikap dan tingkah laku Si tiau khek agaknya takut2 menghadapi
wanita setengah umur itu, berbareng mereka mengiakan. Lalu dari
jurusan yang berlainan serempak menubruk kearah Suma Bing,
delapan cakar kurus kering bagai kilat mencengkram datang.
Sekali berkelebat secara menakjupkan Suma Bing lolos dari
kurungan cengkraman bayangan cakar musuh2nya.
Gerak gerik Suma Bing yang hebat ini membuat Ketua Bwe hwa
hwe dan Ma Siok ceng berobah airmukanya.
Demikian juga wanita ayu setengah umur itu menegakkan alisnya
dan berdiri kesima.
Begitu menubruk tempat kosong gesit sekali Si tiau khek melompat
mundur lalu menerjang kembali. Ber-ulang2 Suma Bing unjuk
kegesitan tubuhnya, sambil berkelit kedua tangannya tidak tinggal
diam diayun ber-ulang2, maka Cincin iblis yang dikenakan tengah
jarinya itu segera memancarkan sinar berkilauan, ditengah seruan
kejut dan ketakutan, tali panjang dileher Bau bong khek sudah
terpapas jatuh, keruan semangatnya serasa terbang ke-awang2.
"Mundur semua!" suara perintah dengan nada yang nyaring merdu
mengandung kewibawaan yang menciutkan nyali. Bergegas Si tiau
khek melompat mundur sambil membungkuk tubuh dengan tubuh
gemetar. Wanita ayu setengah umur maju dua langkah, dua bola matanya
yang bening indah menjalari seluruh tubuh Suma Bing.
Entah karena wanita setengah umur ini terlalu cantik rupawan,
atau kedua matanya itu mengandung kekuatan sihir. Suma Bing
yang biasanya bersikap dingin keras kepala itu kini ternyata
ter-longong2 semangatnya se-akan2 me-layang2, tanpa terasa ia
menundukkan kepala tak berani beradu pandang dengan orang.
Tiba2 Suma Bing merasa pandangannya kabur, tahu2 sebuah jari
yang putih halus dari wanita cantik itu sudah menyelonong hendak
mencengkram dadanya, dalam kagetnya serta merta timbul
reaksinya, sebat sekali kakinja menggeser lima kaki jauhnya.
Gerak tubuh kedua belah pihak sedemikian tjepat benar2 hebat
dan mengagumkan.
Dimana terlihat bayangan berkelebat, untuk kedua kalinya wanita
ayu setengah umur lancarkan serangannya kearah Suma Bing,
cara turun tangannya ini aneh dan ganas sekali jarang terlihat ilmu
semacam ini dikalangan Kangouw. Dingin perasaan Suma Bing
menghadapi serangan yang menakjupkan ini, untuk
mengandalkan gerak kelit dari Bu siang sin hoat yang sangat
ampuh itu dia selalu lolos dari marabahaya, kalau tidak diukur dari
kepandaiannya tentu dirinya takkan mampu bertahan satu jurus
saja. Tanpa terasa wanita ayu setengah umur berseru memuji: "Ringan
tubuh yang hebat!"
Sambil berseru itu, tahu2 pergelangan tangannya digentakkan,
sebuah selendang warna merah sepanjang dua tombak tahu2
sudah dicekal ditangannya.
Melihat wanita ayu setengah umur ini mengeluarkan selendang
senjatanya segera Ketua Bwe hwa hwe dan anak buahnya
bergegas mundur sejauh tiga tombak.
Hati Suma Bing kebat kebit kurang tentram, naga2nya wanita
setengah umur ini hendak mengunjuk kepandaian aslinya.
Baru saja pikiran ini terlihat dalam otaknya, bayangan merah
berkelebat didepan matanya bagai seekor naga hidup langsung
menyapu kearah tubuhnya, tiga tombak sekitar tubuhnya
terkekang oleh kekuatan tenaga sapuan selendang merah ini.
Ciut dan merinding tubuh Suma Bing, beruntun dua kali dia berkelit
sejauh tiga tombak, kini dirinya sudah melampaui beberapa batang
pohon bunga Bwe. Se-konyong2 dia kehilangan bayangan musuh,
pada saat dia melengak heran, secarik angin dingin melesat tiba
dari arah belakangnya. Baru saja dia hendak berkelit agaknya
sudah terlambat tahu2 pinggangnya terasa linu serta merta
tubuhnya menjadi limbung dan pada saat itulah dia merasakan
pergelangan tangannya sudah dipegang oleh musuh. Terasa pula
tubuhnya tergetar lantas hilanglah seluruh tenaganya.
Wanita ayu setengah umur itu pandang wajah Suma Bing lekat2,
timbul sebuah mimik aneh pada wajahnya yang rupawan itu,
namun hanya sekejap saja lantas lenyap.
" B a w a k e m b a l i k e m a r k a s ! " S i t i a u k h e k
s e r e m p a k m e n g i a k a n , H e n g s i k h e k
s e g e r a tampil kedepan menutuk beberapa jalan darah Suma Bing, terus
dijinjing dan dikempit dibawah ketiaknya. Mereka mengintil
dibelakang wanita setengah umur itu terus memasuki hutan lebat
sebelah sana. Pada saat itu juga Suma Bing kehilangan kesadarannya. Waktu
Suma Bing siuman kembali, ia merasakan dirinya
berbaring didalam sebuah kamar yang dihias sedemikian mewah.
Ditengah ruang besar terdapat meja kursi besar yang terukir indah
terbuat dari kayu cendana, diatas kursi besar inilah duduk dua
orang laki2 dan perempuan. Laki2 itu berumur empatpuluhan,
berpakaian sebagai sastrawan berwajah cakap gagah. Sedang
wanita itu adalah wanita
setengah umur yang dipanggil sebagai ibu guru oleh ketua Bwe
hwa hwe itu. "Suma Bing, bangunlah dan jawab pertanyaan!" Bergegas Suma
Bing bangkit berdiri, matanya nanap
memandang laki2 setengah umur. Seringai laki2 pertengahan
umur itu mengandung kelicikan,
lalu tanyanya: "Kau inikah murid Sia sin Kho Jiang?" "Benar!"
"Apa benar Kho lo sia sudah mati?" Suma Bing menjawab dengan
mendengus hidung. "Jadi kau sudah diangkat sebagai ahli
warisnya?" "Tidak salah!" "Selain kau apakah Kho lo sia
mempunyai murid lainnya?" Timbul rasa curiga dalam benak
Suma Bing siapakah laki2
ini" Untuk apa dia menyelidiki keadaannya sampai serumit itu"
Berulangkali Bwe hwa hwe mengejar2 dan hendak membunuh
dirinya, tentu semua itu keluar dari kehendaknya, tapi untuk
apakah" Karena pikirannya ini, segera ia balas bertanya: "Siapakah tuan
ini?" "Nanti kau akan dapat tahu, sekarang kau jawab dulu
pertanyaanku!"
"Aku menolak!" "Jawablah pertanyaanku!" "Untuk apa tuan
menanyakan semua itu?" "Hehehe, Suma Bing, kuharap kau
tahu diri, apa sebelum
ajal kau hendak merasakan siksaan jasmaniah yang mengerikan
itu." Mendengar ancaman ini, berkobar darah Suma Bing matanya
menyala ber-api2, semprotnya bengis: "Siapa kau sebetulnya?"
Timbul seringai sadis pada wajah laki2 pertengahan umur,
se-olah2 tak terjadi apa2 dia berkata: "Sudah kukatakan nanti
sebentar kau akan tahu. Coba katakan pada duapuluh tahun yang
lalu selain kau seorang apakah Kho lo sia menerima murid
lainnya?" Suma Bing semakin naik pitam, sambil menggeram gusar
tangannya diangkat terus menyerang.
"Hehehehehe..." Kedua bola mata Suma Bing melotot besar
hampir mencelat keluar, pelan2 tangannya menjulai turun tanpa
bertenaga lagi, baru sekarang dia sadar bahwa ilmu silatnya
kiranya sudah lenyap sama sekali.
Kata laki2 pertengahan umur lagi: "Kau mau katakan tidak?"
"Tidak!" "Baik, tidak kau katakan ya sudah, sekarang biar kau
melihat tegas kepandaianku", sembari berkata per-lahan2 ia
bangkit dari tempat duduknya, dimana tangan diayun lantas
memancarlah secarik sinar merah marong melesat keluar kearah
pintu ruangan besar.
Kontan Suma Bing rasakan arus hawa panas merangsang lewat
dari samping tubuhnya. Maka terdengarlah sebuah dentuman yang
dahsyat disusul hidungnya dirangsang bau sesuatu yang hangus
terbakar, kiranya sepasang pintu besi ruangan itu sudah hangus
terbakar dalam sekejap mata tinggal setumpukan abu.
Dalam kagetnya Suma Bing berteriak: "Kiu yang sin kang."
Saking puas dan bangga laki2 pertengahan umur itu mendongak
dan tertawa gelak2: "Benar, begitulah batas kedahsyatan dari Kiu
yang sin kang. Suma Bing, untuk melatih sampai tingkatanku ini,
seumpama Kho lo sia sendiri juga harus melatihnya sampai seratus
tahun lamanya. Tentang kau" hahahahaha!"
"Siapakah kau sebenarnya?" bentak Suma Bing. "Aku" Hitung2
masih termasuk Suhengmu!" "Kau... kau... kau ini Loh Cu gi?"
"Benar, akulah Loh Cu gi!" Suma Bing terhuyung tujuh delapan
langkah, seluruh
tubuhnya berkelojotan, raut wajahnya berkerut2 kekejangan.
Tidak kuat lagi, mulutnya mengoak lebar menyemburkan darah
segar. Sebenarnya usia Loh Cu gi sudah mencapai enam puluhan, tapi
raut wajahnya masih menunjukkan kecakapan sebagai laki2
berusia empatpuluhan yang ganteng. Dari sini dapatlah diukur
bahwa latihan Lwekangnya agaknya sudah mencapai titik
kesempurnaannya.
Kepala Suma Bing terasa men-dengung2, matanya beringas
menatap musuh besarnya ini. Dendam kesumat dan rasa
kebencian yang menyala2 merangsang dalam aliran darahnya,
ingin rasanya saat itu juga ia melimpahkan seluruh rasa
kebenciannya ini, namun tenaganya hilang, tubuhnya gemetar dan
basah kuyup oleh keringat dingin.
Loh Cu gi musuh besar yang setiap saat setiap detik selalu
terbayang dalam ingatannya ternyata adalah orang yang
memegang peranan penting dibelakang layar dari orang2 Bwe hwa
hwe ini. Bergantian terbayang keadaan suhunya yang merana dengan
badan cacat dan akhirnya meninggal dengan mengenaskan.
Keadaan ibunya yang hampir menggila setelah
diperkosa dan harus kehilangan seorang putranya. Akhirnya
terbayang juga kematian ayahnya dibawah kepungan beratus
manusia2 kejam yang mengeroyoknya... lantas tercetus ucapan
dari mulutnya: "Loh Cu gi, binatang jalang, hendak kurobek dan
kupotong2 seluruh tubuhmu, kubakar tulang2mu dan kusebarkan
kemana2." Loh Cu gi ganda bergelak tawa seram, serunya: "Jadi kau hendak
menuntut balas bagi Kho lo sia gurumu itu?"
"Benar, suhu meninggalkan pesan untuk mencacah jiwamu."
"Apa kau mampu?" "Jangan ter-gesa2. Kukira kau tidak
melupakan peristiwa
diatas puncak kepala harimau pada delapan belas tahun yang lalu
bukan?" Berobah hebat wajah Loh Cu gi, tubuhnya melenting bangun dan
serunya gemetar: "Siapa kau?"
Sahut Suma Bing sambil mengertak gigi: "Akulah anak tunggal
Suma Hong, orok kecil yang kau sapu masuk jurang. Kau tidak
menyangka bukan?"
Lagi2 berobah air muka Loh Cu gi, mulutnya mengekeh tawa
ke-gila2an, nada tawanya mengandung nafsu kekejaman sadistis
yang menyeramkan.
Adalah si wanita ayu pertengahan umur itu mengunjuk rasa
heran dan penuh pertanyaan.
Suma Bing sudah angkat kedua tangannya hendak menyerang,
namun sedetik itu ia urungkan tindakannya, saat mana tenaganya
sudah lenyap, keadaannya seperti ayam jago yang tinggal tunggu
saat untuk disembeleh saja.
Sinar matanya menyapu kearah wanita ayu setengah umur itu.
Kalau bukan terjebak didalam barisan, mengandal ilmu Bu
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ siang sin hoat, cukup berkelebihan untuk menyelamatkan diri,
tentu tak mudah wanita ayu ini dapat meringkus dirinya.
"Kalau aku tidak mati pasti akan kubunuh kau juga." demikian
dalam hati Suma Bing berjanji pada dirinya sendiri.
Setelah menghentikan tawanya, Loh Cu gi berkata menyeringai:
"Suma Bing, inilah yang dikatakan Tuhan Yang Maha Kuasa selalu
mengabulkan keinginan pemujanya, kau pasrah nasib saja!"
Bayangan kematian merangsang dan melingkupi perasaan Suma
Bing. Dia insaf setelah dirinya terjatuh kedalam cengkraman Loh
Cu gi tentu tiada harapan lagi untuk hidup. Maka teriaknya penuh
kebencian: "Loh Cu gi, kau binatang jalang ini, menjadi setan juga
aku tidak mengampunimu."
30. AJAL TIAN G UN SUSE NG

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

YAN G MEN GEN ASK AN. "Anak keparat, kedua belah pintu itu menjadi contohmu,
tinggal mengangkat tangan saja, segera kau tinggal setumpukan
abu." Tak kuat Suma Bing menahan rangsang kegusaran yang
menerjang hatinya, lagi2 mulutnya mengoak menyemburkan
darah segar. Loh Cu gi menyeringai sadistis, per-lahan2 kedua tangan
diangkat... Bola mata Suma Bing bagai butir kelereng yang hampir mencelat
keluar, per-lahan2 ujung matanya melelehkan air darah.
Pada saat2 menghadapi kematian ini perasaan Suma Bing
ber-angsur2 menjadi tenang malah, berkelebatan dalam
pandangannya beberapa wajah gadis pemujanya, terakhir
tatapannya terhenti pada bayangan seorang gadis ayu bak
bidadari, dia bukan lain adalah istrinya Phoa Kin sian, serta merta
terunjuk senyum getir pada wajahnya, teringat olehnya bahwa
Phoa Kin sian sekarang sudah mengandung keturunannya.
Timbullah sepercik api pada detik2 keputus asaannya ini, tak kuatir
kelak takkan ada orang yang menuntutkan balas baginya.
Rona wajah Loh Cu gi berobah tak menentu, sesaat tengah dia
ragu2 mengerahkan tenaganya kearah kedua tangannya yang
sudah terangkat tinggi itu.
Se-konyong2 wanita ayu setengah umur itu berseru: "Apa kau
benar2 hendak membunuh dia?"
Raut wajah Loh Cu gi berobah mengeras, matanya memandang
liar, sahutnya: "Sudah tentu, apa kau hendak meninggalkan bibit
bencana dikelak kemudian hari?"
"Tapi apa kau sudah mempertimbangkan secara masak?"
"Apanya yang perlu dipertimbangkan?" "Tokoh2 lihay
dibelakangnya itu." Daging diwajah Loh Cu gi gemetar
sebentar, lalu katanya:
"Tokoh2 lihay apa maksudmu?" "Dia sudah terpukul masuk
kedalam jurang lembah
kematian, namun kenyataan dia masih hidup, ilmu gerak tubuh
dari Bu siang sin hoat yang dipertunjukkan itu, dan munculnya
Panji tulang putih, kau harus memikirkan akan sebab musabab
semua ini..."
"Tapi tidak bisa tidak aku harus bunuh dia?" "Kalau kau benar2
bunuh dia akibatnya..." "Akibat apa?" "Mungkin membawa
bencana dan kenaasan bagi Bwe hwa
hwe kita!" "Apa
mungkin...?"
"Kurung dia sementara waktu. Mungkin dengan jiwanya masih
hidup, nilainya akan lebih berharga dari kematiannya!"
"Nilai apa?" per-lahan2 kedua tangan Loh Cu gi yang terangkat itu
diturunkan lagi, agaknya 'nilai' kata ini membawa pengaruh sangat
besar dan memincut hatinya.
Dorna bejat yang telah dianugerahi sebagai tokoh silat nomor satu
diseluruh jagat ini, agaknya masih belum puas dengan apa yang
telah dicapainya pada saat itu. Cita2nya yang terakhir adalah
hendak bersimaha raja dan memerintah diseluruh kolong langit.
Oleh karena itu, ucapan wanita ayu setengah umur ini benar2
tepat mengenai lubuk hatinya.
Memang benar, kalau dibelakang punggung Suma Bing ada Bu
siang sin li, Pek kut Hujin dll, gembong2 silat lihay sebagai
andalannya. Dinilai kekuatan dan kemampuan dari Bwe hwa hwe
pada saat itu, sedikit salah tindak memang mungkin bisa
membawa bencana bagi pihaknya sendiri. Sebaliknya kalau
mengurung Suma Bing, dalam saat2 yang menentukan mungkin
bisa digunakan sebagai sandera, memang nilai dari akal licik ini
tidak akan terhitungkan.
' P l a k , p l o k ! ' s e s u d a h t e r d e n g a r d u a
s u a r a k e p l o k a n i n i , t e r l i h a t H e n g s i
k h e k t e r t u a d a r i S i t i a u k h e k
t e r - s i p u 2 m e l a n g k a h m a s u k
r u a n g a n .
"Cujin, entah ada perintah apakah?" "Gusur anak jadah ini,
masukkan kedalam penjara dibawah
tanah!" Heng si khek segera mengiakan dengan hormat. Sekali
jinjing ia kempit Suma Bing dibawah ketiaknya terus berjalan
keluar dari ruangan besar itu, tak lama kemudian dia memasuki
hutan bunga Bwe yang penuh jebakan dan barisan itu, tak lama
kemudian tibalah dia didepan sebuah gunung2an palsu, segera
Heng si khek membentak keras: "Buka pintu!"
Dari tengah2 gunung2an palsu itu segera per-lahan2 terbuka
sebuah lobang yang gelap gulita. Dua orang laki2 yang berwajah
bengis menakutkan berseragam hitam sigap sekali melompat
keluar dari lobang gelap itu, mereka berdiri tegak dan hormat
dikanan kiri terus membungkuk memberi hormat kepada Heng si
khek. Kata Heng si khek penuh lagak: "Keadaan nomor tujuh
bagaimana?"
Salah seorang seragam hitam membungkuk tubuh serta
menjawab dengan hormat: "Tiada kesukaran apa2"
"Sekarang anak jadah ini menjadi nomor delapan?" Kedua
penjaga bengis seragam hitam itu segera
mengiakan. "Nomor tujuh dan delapan ini bukan sembarang
tahanan, kalian harus menjaga lebih ketat dan waspada, jangan se-kali2
kalian lalai menjalankan tugas!"
"Baik!" "Unjukkan jalan." Kedua laki2 seragam hitam itu segera
mengiakan dan memutar tubuh terus memasuki lorong gelap itu. Heng si khek
mengikuti dibelakang mereka.
Selama ini Suma Bing tidak mengeluarkan suara barang
sekejappun juga. Karena kehilangan tenaga, terpaksa dia pasrah
nasib dan membiarkan saja apa yang hendak diperbuat atas
dirinya. Lorong gelap itu agaknya sangat panjang dan dalam, semakin
lama hawa terasa dingin basah dan berbau apek. Setelah
membelok satu tikungan, terlihat diatas dinding diatas undakan
batu yang menurun tergantung sebuah pelita minyak yang
menyinarkan cahaya redup.
Kira2 sepeminuman teh kemudian baru mereka tiba disebuah
ruangan batu yang besar dari cahaya pelita yang remang2 dapat
terlihat beberapa pintu2 besi berjajaran. Agaknya tempat inilah
yang mereka namakan sebagai penjara bawah tanah.
Salah seorang seragam hitam itu maju membuka sebuah pintu
besi nomor empat dari deretan sebelah kiri, enteng sekali Heng si
khek membuang tubuh Suma Bing kedalam ruang gelap dibawah
sana. 'Bum!' pintu besi yang tebal dan berat itu kembali ditutupkan.
Mulai saat itu Suma Bing merasakan hidup dalam dunia gelap yang
menyerupai neraka.
Suma Bing pejamkan kedua matanya dan rebah diatas tanah yang
lembab dan berbau apek. Saat mana terasa hatinya kosong
melompong, tak terpikirkan apapun juga dalam benaknya,
perasaannya se-akan2 sudah membeku, hanyalah keputus asaan
dan khayalan saja yang merangsang sanubarinya.
Entah sudah berselang berapa lama, terdengar suara ketokan
yang berirama panjang menyadarkan dirinya dari lamunan dan
khayalannya. Sedemikian gelap pekat keadaan penjara itu sampai lima jari
sendiri juga tidak terlihat. Tenaga dalam Suma Bing sudah lenyap,
keadaannya tidak lebih seperti orang biasa. Dengan keadaannya
saat itu tak mungkin ia dapat melihat tegas keadaan sekeliling
dirinya. Tapi suara ketokan itu terus bergema, lama kelamaan
menimbulkan rasa heran dan menarik hatinya.
Maka pelan2 dia bangkit berdiri dan mulai meraba2 dan
menggeremet maju, kiranya kamar penjara itu lebarnya tidak
lebih dari dua tombak, dimana tangannya menyentuh dinding
terasa dingin dan licin penuh lumut. Dipojokan dinding sebelah
dalam terdapat sebuah dipan, diatas dipan terdapat sebuah bantal
dan kemol. Demikianlah dengan penuh semangat dia me-raba2 dan
memperhatikan dimana letak asal suara ketokan itu. Akhirnya
diketemukan juga ternyata suara itu datang dari sebuah celah2
batu diatas dinding dimana terletak dipan itu. Didekapkan
kupingnya dicelah2 batu itu, maka terdengar sebuah suara lemah
tengah berkata: "Pesakitan nomor delapan, pesakitan nomor
delapan. Apa kau dengar suaraku?"
Tanpa terasa berdetak jantung Suma Bing. Apa suara ini itu
adalah pesakitan nomor tujuh yang dipesankan wanti2 oleh Heng
si khek kepada penjaga2 itu" Entah orang macam apakah
pesakitan nomor tujuh ini. Karena rasa heran dan ketarik
tangannya juga mengetuk2 dinding dua kali, sambil mendekatkan
mulutnya dicelah2 dinding batu lalu berseru: "Sudah dengar,
siapakah tuan ini?"
"Siapa kau?" "Aku!" sejenak Suma Bing ragu, lalu serunya:
"Aku yang rendah Suma Bing". "Apa, coba katakan sekali lagi." - Suara itu
terdengar gemetar penuh keheranan. Tergerak hati Suma Bing, apa
mungkin orang disebelah itu
mengenal dirinya, maka katanya lagi: "Aku yang rendah Suma
Bing!" "Suma Bing." "Benar." "Kau murid Sia sin Kho Jiang?" "Tidak
salah!" Suara itu kini berobah mengeluh bagai berputus asa:
"Kau... bagaimana bisa terjatuh ditangan Bwe Hwa hwe?"
"Siapakah tuan ini?" "Oh, aku... aku... saudara kecil, aku adalah
Poh Jiang." Tergetar seluruh tubuh Suma Bing kejutnya luar
biasa bagai mendengar guntur ditengah hari bolong. Bahwa Tiang un
Suseng Poh Jiang ternyata juga dikurung didalam penjara
dibawah tanah, mimpi juga dia tidak menduga sama sekali.
Persahabatannya dengan Tiang un Suseng sedemikian erat bagai
saudara kandung sendiri. Karena hubungannya dengan Sucinya
Sim Giok sia, maka dia hapus seluruh permusuhan gurunya
dengan Bu lim sip yu.
Wi thian chiu Poh Jiang karena patah hati lantas dia mengganti
nama julukannya menjadi Tiang un Suseng. Demikian juga Sim
Giok sia karena mencintainya, lantas dikurung oleh ibunya yaitu
Setan barat selama tigapuluh tahun. Sepasang kekasih yang
mengalami penuh derita ini akhirnya bertemu kembali setelah
tigapuluh tahun kemudian, terkabullah cita2 mereka bersama,
meski masa remaja mereka sudah silam, namun kebahagiaan yang
terlambat datang ini, masih tetap berharga, sungguh tidak duga...
Suma Bing tidak membayangkan terlebih jauh, "Engkoh Poh!"
suaranya lirih dan serak.
"Saudara kecil, peristiwa apa yang telah kau alami?" Suma
Bing mengertak gigi, desisnya: "Tidak beruntung aku
terjatuh ditangan Loh Cu gi..." "Loh Cu gi?" "Benar!" "Eh
bagaimana penjelasannya, bukankah ini tempat
penjara dibawah tanah dari Bwe hwa hwe?". "Justru Loh Cu gi
adalah orang yang pegang peranan
dibelakang layar dalam Bwe hwa hwe?"
"Oh." "Engkoh Poh, kau..." "Ada orang datang, nanti kita
bicarakan lagi, kau rebahlah,
pura2 tidak terjadi sesuatu apa!" Suma Bing menurut dan rebah
diatas dipan. Terdengar
derap langkah kaki berhenti didepan pintu penjara, lalu terbukalah
sebuah lobang persegi diatas pintu besi itu.
"Suma Bing, terimalah makananmu." Untuk dapat bicara lagi
dengan Tiang un Suseng, terpaksa
Suma Bing tekan gelora amarah hatinya, ogah2an ia sambuti
makanan itu. 'Brak.' lobang persegi itu tertutup lagi.
Tidak lama kemudian suara ketokan itu terdengar lagi.
Bergegas Suma Bing kembali berdiri dicelah2 dinding batu
itu, ujarnya: "Kakak Poh, bagaimanakah pengalamanmu?"
"Kurang lebih satu bulan kemudian sejak berpisah dengan
kau, kami kena teringkus oleh Su tiau khek. Kalau menurut
katamu tadi bahwa Loh Cu gi adalah dalang dibelakang layar dari
semua peristiwa ini, maka aku tidak perlu heran, aku paham
mengapa mereka hendak menawan kamu. Naga2nya diantara
kawan2 dari Bu lim sip yu yang meninggal secara aneh itu pasti
perbuatan dari Bwe hwa hwe".
"Kenapa mereka tidak segera membunuh kau malah
mengurungmu disini."
"Kau harus ingat sebutan nama julukanku dulu?" "Wi thian
chiu?" "Benar, Bwe hwa hwe menghargai kepandaian ilmu
ketabibanku. Mereka hendak memaksa aku menyerah dan
mengabdi diri kepada Bwe hwa hwe!"
"Apa kau sudi?"
"Saudara kecil, apa kau anggap aku Poh Jiang orang semacam
itu?" "Poh heng, lalu bagaimana Suci Sim Giok sia..." "Dia..."
Perasaan tak enak segera merangsang hati Suma Bing,
tanyanya menegas dengan suara gemetar: "Bagaimana dia
sebenarnya?"
Tiang un suseng menggeram dan mengertak gigi, sahutnya: "Dia
sudah mati."
"Sudah mati?" "Benar dia sudah mati!" Tubuh Suma Bing
bergetar dan mengejang, pandangannya
menjadi gelap dan bumi dimana dia berpijak terasa berputar2,
hampir2 dia tidak kuat menunjang tubuhnya sendiri. Budi yang
diterimanya dari Sia sin Kho Jiang suhunya terlalu besar. Maka
besar hasratnya hendak membalas kebaikan budi suhunya atas
tubuh sucinya Sim Giok sia ini, sungguh tidak kira ternyata dia
sudah meninggal.
"Cara bagaimana kematiannya itu?" "Mati disampingku!"
"Disampingmu?" "Benar, dia juga tertawan bersama aku dan
terkurung dalam penjara ini!" "Yang kutanyakan adalah cara kematiannya?"
"Bunuh diri." "Apa! Bunuh diri" Apa kau diam saja melihat dia
bunuh diri?" "Waktu kita tertawan masing2 terluka berat, malah tenaga
dalam kita kena mereka lenyapkan terus dikurung dikamar
batu ini. Karena terlalu gusar dan darah merangsang jantung
sehingga aku jatuh pingsan, karena kurang teliti dia menyangka aku
sudah mati, maka..." bercerita sampai disini Tiang un Suseng sudah
sesenggukkan tak dapat mengeluarkan suara lagi.
Darah Suma Bing terasa berjalan semakin cepat, dadanya terasa
rada2 sakit, giginya gemeratak, suaranya geram penuh
kemurkaan: "Maka bagaimana?"


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia... mati menumbukkan kepalanya didinding batu!" Dua
butir airmata pelan2 meleleh dikedua pipi Suma Bing.
Terdengar Tiang un Suseng bicara lagi: "Saudara kecil,
dapatlah kau bayangkan betapa sedih keadaanku saat itu, aku
ingin mengejar kepergiannya, tapi sebelum sakit hati ini terbalas,
mana aku bisa mati meram. Maka terpaksa aku harus hidup.
Sekarang, saudara kecil, untung Tuhan mengaturmu sampai tiba
ditempat ini. Dapatlah terkabul keinginanku..."
"Keinginan apa?" "Karena aku Sim Giok sia menderita dan
hidup sengsara selama tigapuluh tahun dalam penjara, kita sudah mengorbankan
masa remaja kita untuk cinta kita itu. Sekarang dia telah mati,
bagaimana aku bisa meninggalkan dia, saudara kecil, pembalasan
dendam ini, kuwakilkan kepada kau!"
Lagi2 timbul rasa kejang dan merinding seluruh tubuh Suma Bing,
perasaan dingin pelan2 merangsang hati kecilnya.
"Engkoh Poh, kau..." "Selama hidup ini aku tidak akan
meninggalkan kamar
penjara ini lagi." "Kau... tindakanmu ini..." "Saudara kecil,
mengenai dirimu terhadap diriku merupakan
keajaiban, kalau orang berharap hidup diambang kematiannya.
Sebaliknya aku berdoa supaya dapat mati
ditempat ini juga. Saudara kecil, kalau kau tidak sampai
dipenjarakan dipenjara bawah tanah ini, kematianku ini pasti akan
sia2." "Poh heng, apa kau beranggapan aku bisa lolos keluar dengan
masih hidup?"
"Sudah tentu!" Jawaban tegas ini membuat Suma Bing
tertegun, tanyanya
tak mengerti: "Mengapa bisa pasti?" "Karena aku sudah
merencanakan cara melarikan diri!" "Rencana?" "Benar!" "Kenapa
kau sendiri tidak mau lolos keluar menurut
rencanamu itu?" "Rencanaku ini adalah untuk orang lain, dan
bukan untukku sendiri!" "Mengapa?" "Sudah kukatakan selama hidup ini aku tidak
akan meninggalkan kamar penjara ini. Aku ingin pergi menyusul Sim
Giok sia ditempat yang sama ini."
"Poh heng kata2mu ini keterlaluan!" "Saudara kecil, inilah
keajaiban yang susah kuharapkan
sebelumnya, kau tak perlu banyak kata lagi. Sekarang biar
kujelaskan tentang rencanaku itu. Satu jam kemudian kau akan
dapat melihat matahari..."
"Tidak mungkin!" "Kau belum dengar habis ucapanku,
darimana kau tahu
tidak mungkin?" "Sebab Lwekangku sudah amblas
sama sekali..." "Aku sudah tahu!"
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Suma Bing heran. "Sudah
merupakan tradisi bagi mereka bahwa semua
pesakitan yang dikurung dalam penjara bawah tanah ini pasti
dilenyapkan tenaganya. Tapi, saudara kecil, ingat nama Wi Thian
chiu tidak kuperoleh secara sembarangan kepandaian cara
menutuk nadi dan menyumbat tenaga bagi aku bukan hal yang
menyukarkan hanya sekali angkat tangan saja segera bisa
kupulihkan tenagamu."
Keterangannya ini hampir susah dimengerti dan dipercaya.
Sejenak Tiang un Suseng berhenti, lalu melanjutkan
keterangannya: "Aku sendiri juga mengalami kena tertutuk jalan
darahku sehingga hilang tenagaku. Tapi tidak sampai setengah
jam aku sudah dapat membebaskan diri dan kembali seperti sedia
kala. Kalau tidak, mana bisa aku menyelesaikan rencanaku."
"Rencana apa?" "Landasan kamar batu ini tidak dalam, satu
kaki kemudian sudah menembus tanah, menggunakan waktu selama sebulan aku
bekerja keras dan dapat kugali sebuah jalan tanah yang terus
menembus keluar dari barisan pohon bunga Bwe itu, untuk
meloloskan diri sudah segampang seperti membalikkan tangan."
Suma Bing hampir tidak percaya akan pendengarannya, karena
keterangan seperti dongeng ini benar2 susah dipercaya, maka
tercetus seruan herannya: "Apa betul?"
"Saudaraku, saat apakah ini masa aku masih main berkelakar?"
"Menurut katamu rencanamu itu bukan untuk kau sendiri?" "Ya,
begitulah!" "Jadi kau sebelumnya sudah tahu bahwa aku bakal
terkurung disini?"
"Tidak. Aku hanya mengharap dapat menolong seorang kawan,
tujuanku yang utama waktu itu ialah supaya dapat memberi kabar
kepada kau. Maka secara diam2 telah kubuat sebuah pintu rahasia
diantara dinding kamar kita ini. Dicelah2 batu inilah letaknya,
sungguh tak terduga setelah rencanaku selesai, orang pertama
yang terkurung dikamar sebelah ini ternyata adalah kau.
Bukankah ini suatu keajaiban?"
Suma Bing berdiri ter-longong2, hatinya terharu darahnya
mengalir semakin cepat. Mimpi juga tidak terkira olehnya akan
mendapat rejeki nomplok ini, satu jam kemudian dirinya bakal
melihat matahari lagi, dendam kesumat dan sakit hati bakal dapat
diselesaikan. Dengan adanya harapan yang bakal tiba ini, timbul
juga perasaan bencinya yang menyala2 kepada para musuhnya.
"Saudaraku, sekarang kau kemarilah." "Aku..." Celah2 batu
yang semula berlobang kecil itu lama2 semakin
melebar dan akhirnya berlobang sebesar dua kaki persegi, sebuah
tangan terulur keluar dari kamar sebelah.
Sambil berjingkrak girang Suma Bing genggam tangan itu erat,
jantungnya serasa hendak melompat keluar. Tanpa mengeluarkan
banyak tenaga pada lain saat dia telah tiba dikamar penjara nomor
tujuh. Serta merta mereka berpelukan sedemikian kencang penuh
haru. Secepat kilat tiba2 Tiang un Suseng beruntun menutuk jalan
darah Suma Bing yang terbagi tujuh jalan darah besar dan dua
belas jalan darah kecil.
Seketika Suma Bing rasakan sendi2 tulangnya berkeretekan, urat2
nadi dan jalan darahnya bergetar, lantas terasa hawa murninya
menjalar lebar keseluruh tubuh dalam sekejap mata pulihlah seluruh
kekuatannya. Kata Tiang un Suseng sambil menunjuk kebawah dipan: "Pintu
rahasia jalan tanah itu dibawah dipan itulah."
"Poh heng, mari kita pergi bersama!" demikian ajak Suma Bing,
suaranya tergetar.
"Tidak!" "Mengapa kau sedemikian kukuh?" "Ini bukan kukuh
adikku, pengorbanan Sucimu Sim Giok sia
terlalu besar bagi aku sebaliknya apa yang telah kuberikan kepada
dia" Masa aku masih begitu melit untuk hidup merana?"
Tiba2 terdengar langkah2 berat semakin mendatangi. Tiang un
Suseng menjadi gugup, sambil mendorong Suma
Bing katanya: "Lekas berangkat!" "Tidak, kalau mau pergi, mari
kita bersama!" "Adikku aku mohon kau suka mengabulkan
permintaanku ini!" "Segalanya kita rundingkan lagi setelah kita bebas!" "Sedikit
lagi terlambat, segalanya akan gagal total?" "Poh heng,
bagaimana juga aku tidak tega meninggalkan
kau didalam kamar neraka ini!" Saat mana suara derap langkah
itu sudah mendekat sampai
diluar pintu penjara. Tiang un Suseng Poh Jiang menekan
suaranya, katanya
gemetar: "Suma Bing, kebandelanmu ini akan mengakibatkan kita
berdua melayang jiwa secara sia2. Kalau tiada aku yang
melindungi dan membendung serbuan mereka, kau takkan dapat
keluar bebas dari jalan tanah ini. Suma Bing, jadi setan juga aku
akan membencimu!"
'Brak!' terdengar jendela kecil diatas pintu besi terbuka lalu
disusul terdengar seruan kaget: "Hai, dimana tawanan nomor
delapan?" Tuiiiiiiiiit... sebuah suitan panjang bagai lengking setan membuat
suasana diluar kamar menjadi gaduh, terdengar langkah kaki
serabutan dan seruan para petugas yang menjadi gugup dan
ribut. Desis Suma Bing sambil kertak gigi: "Kubunuh dulu para anjing..."
"Kau sudah gila. Seumpama kau dapat keluar dari penjara bawah
tanah ini, apa kau mampu keluar dari kurungan barisan pohon
Bunga Bwe itu. Lekas berangkat, kalau tidak terpaksa kubunuh
kau?" Terdengar pintu kamar sebelah atau kamar nomor delapan sudah
terbuka, disusul sebuah seruan: "Kamar nomor tujuh, sudah
merat melubangi dinding!" sebuah kepala manusia tiba2 menongol
keluar dari lobang dinding itu. Dan orang2 lain sudah memburu
tiba diluar pintu besi kamar nomor tujuh...
Suasana tegang mencekik leher ini semakin meruncing dengan
adanya keributan mulut2 yang ber-kaok2 gugup.
Dimana terlihat sebuah tangan Suma Bing melayang segera
terdengar sebuah jeritan ngeri disusul hujan darah ber-derai2.
Ternyata kepala yang nongol keluar itu kini sudah hancur berkeping2,
darah kental dan otaknya berhamburan, kontan tubuhnya
yang tanpa kepala lagi itu terbanting keras diatas tanah.
Mendadak Tiang un Suseng kerahkan tenaganya menekan dan
mendorong tubuh Suma Bing kearah kolong dipan. Sambil
berseru: "Suma Bing, kalau kau menggagalkan rencanaku,
menjadi setan juga aku tidak akan ampuni kau!"
Dalam keadaan yang terpaksa itu akhirnya Suma Bing kertak gigi
terus menyusup masuk kedalam lobang yang telah
digali oleh Tiang un Suseng itu, lobang itu sangat kecil tapi cukup
untuk seorang merambat didalamnya.
Dalam pada itu, pintu besi kamar nomor tujuh sudah terbuka.
Beberapa orang laki2 bertubuh tegap dan bermuka bengis
menerjang masuk. Satu diantaranya yang terdepan segera
membentak sambil menuding Tiang un Suseng: "Mana orangnya?"
"Orang siapa?" "Tawanan nomor delapan!" "Mana aku tahu?"
"Keparat agaknya kau sudah bosan hidup". "Benar, tapi kalian
harus menjadi imbalan, jiwaku." "Ong Sun, segera laporkan
kepada markas besar." Setelah memberikan perintahnya,
orang ini segera ulurkan
cakar tangannya hendak mencengkram dada Tiang un Suseng.
Begitu miringkan tubuh, secepat kilat Tiang un Suseng gerakan
sebelah tangannya maka terdengar jeritan ngeri yang panjang,
kontan orang terdepan itu roboh terkapar dengan batok kepalanya
hancur luluh. "Tenaganya sudah pulih kembali." " dibarengi dengan seruan2
yang gegap gempita beberapa orang itu serempak mengirim
serangan mengurung Tiang un Suseng.
Tiang un Suseng sudah bertekad untuk mati, sedikitpun tidak
takut2 lagi akan keselamatan jiwa sendiri. Sambil membentak
bagai guntur kedua tangannya bergerak dengan pukulan dahsyat
terus menyapu kedepan, seketika itu ada dua orang didepannya
kena tersapu roboh terguling.
Begitu dapat merobohkan dua musuh segera Tiang un Suseng
mundur mepet dinding, kedua tangannya masih
bergantian bergerak menyerang musuh yang berani mendekat.
Maka akhirnya tiga orang laki2 tegap yang masih ketinggalan hidup
lari terbirit2 keluar kamar tahanan. 'Blang', pintu kamar tahanan itu
tertutup dan dikunci pula dari luar.
Baru sekarang Tiang un Suseng dapat menghela napas lega,
wajahnya mengunjukkan senyum kecut yang menyedihkan, cepat2
dia menutup lobang dibawah dipan, setelah semuanya diatur rapi,
dalam waktu dekat pasti tidak mudah dapat diketemukan tempat
rahasia ini. Lalu terdengar ia menggumam sedih: "Adik Sia, aku
menyusulmu!" " Begitu mengerahkan tenaga dengan mudah saja
jarinya sendiri amblas kedalam jalan darah Tay yang hiat
dipelipisnya. Demikianlah akhir riwayat hidup Tiang un Suseng, salah seorang
dari Bu lim sip yu yang masih ketinggalan hidup.
Sepasang kekasih yang telah tergembleng dan kenyang merasakan
penderitaan pahit getir percintaan akhirnya meskipun telah
memperoleh buah percintaan yang mereka angan2kan, tapi itu
hanya sekejap saja bagai asap seperti khayalan belaka.
Sementara itu, dengan penuh, kemarahan yang me-luap2 Suma
Bing terus merangkak se-cepat2nya menggunakan kaki dan
tangannya, sekuat tenaga dia bekerja mati2an mengejar waktu
untuk secepatnya keluar dari lorong bawah tanah itu. Kira2nya
sepeminuman teh kemudian, selarik sinar cahaya menyorot masuk
kedalam lorong bawah tanah itu. Melihat mulut gua sudah
diambang pintu semangat Suma Bing semakin berkobar,
merangkaknya juga makin dipercepat, tak lama kemudian tibalah
dia diluar lorong kecil itu. Setelah lolos dari renggutan elmaut
terasa lega dan bebaslah dirinya, ia menghela napas panjang.
Jiwa hidupnya ini telah diganti dengan kematian Tiang un Suseng.
Setelah menghela napas lega, matanya liar menyapu
kesekelilingnya. Kiranya mulut lorong kecil itu memang benar
berada diluar barisan pohon bunga Bwe, letak mulut gua kecil itu
tersembunyi dibalik gundukan tanah yang teralingi oleh jajaran
bunga Bwe yang tumbuh sangat lebat itu.
Terdengar Suma Bing mengertak gigi dan bicara seorang diri:
"Akan datang suatu hari aku pasti menyapu bersih seluruh Bwe
hwa hwe!" Pada saat itulah mendadak terlihat berpuluh bayangan orang
berkelebatan mendatang.
Seketika timbul nafsu yang bergelora dalam benak Suma Bing "
Bunuh! Dia lupa bahwa dirinya baru saja lolos dari belenggu musuh,
dilupakan pula bahwa tempat dia berada sekarang masih
merupakan lingkungan kekuasaan Bwe hwa hwe.
"Ha, itulah dia disana!" "Benar, segera kirim kabar!" Ditengah
suara bentakan yang riuh rendah puluhan orang2
itu serabutan berlari mendekat terus mengepung Suma Bing.
Terdengar suara suitan yang saling bersahutan semakin
jauh dan jauh sekali. Agaknya pihak Bwe hwa hwe sudah
mengetahui akan lolosnya Suma Bing, maka segera memberi
pertanda kepada semua anak buahnya dan pos2 penjagaan
supaya waspada dan mencegat atau mengejar Suma Bing.
Rasa kebencian Suma Bing kepada musuh2nya sudah berlimpah2,
saat mana sudah tidak teringat olehnya untuk tinggal
pergi menyelamatkan diri, juga tidak terpikirkan bahwa
kemampuannya sekarang masih bukan tandingan pihak Bwe hwa
hwe. Yang terpikirkan dalam otaknya hanya hendak melampiaskan
rasa benci dan dendam, yaitu " membunuh!
Sinar matanya mencorong buas dan memandang liar meneliti para
musuh2nya yang mengelilingi sekitarnya. Serta merta para jagoan
Bwe hwa hwe itu mundur ketakutan berpadu pandang dengan
sinar mata Suma Bing.
Akhirnya terdengar suara bentakan Suma Bing yang menggeledek,
maka terlihat ia lancarkan jurus Liu kim hoat ciok, salah satu jurus
paling dahsyat dari ilmunya Kiu yang sin kang.
Dimana gelombang panas mendampar kontan terdengar suara


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekikan dan jeritan saling susul, lima orang dihadapannya
sungsang sumbel dan mati seketika dengan tujuh lobang panca
indra meleleh darah segar.
Sisa kawan2nya yang masih ketinggalan hidup semua mundur
ketakutan serasa semangat mereka sudah terbang ke- awang2.
Setelah jurus pertama dilancarkan, dimana terlihat tangannya
ber-gerak2 dikerahkannya tenaganya menuju keujung jari, seketika
Cincin iblis dijari tengahnya memancarkan sinar kemilau. Melihat
gelagat yang membahayakan ini, para anak buah Bwe hwa hwe itu
segera putar tubuh hendak melarikan diri.
Namun kecepatan gerak sinar kemilau itu lebih cepat, dimana sinar
itu menyambar dan menyapu, lantas terjadilah hujan darah dan
pekik kesakitan yang menggiriskan saling susul memecahkan
kesunyian. Dua diantaranya terbang terpenggal batok kepalanya
dua yang lain terputus menjadi dua sebatas pinggang, dan yang
lain2 banyak yang kehilangan kaki tangan, sedang yang tidak
terluka juga berdiri kesima tak bergerak, kaki dan tangan terasa
lemas tak bertenaga.
"Suma Bing, kejam benar perbuatan ini!" disusul seruan nyaring
ini terlihat sebuah bayangan langsing melesat keluar dari rimbun
pohon bunga Bwe sana.
Bayangan orang yang mendatangi ini bukan lain adalah Ma Siok
ceng, salah satu pelindung dari Bwe hwa hwe.
Melihat kedatangan Ma Siok ceng ini lebih tebal lagi nafsu
membunuh Suma Bing bentaknya dingin: "Ma Siok ceng, wanita
jalang yang tidak tahu malu, sangat kebetulan kedatanganmu ini!"
M e m a n g M a S i o k c e n g t e r k e n a l a k a n
k e c a b u l a n n y a , t e r h a d a p p e m u d a c a k a p
g a n t e n g d i h a d a p a n n y a i n i s a m p a i m a t i j u g a
d i a t i d a k b a k a l m e l u p a k a n n y a , r a s a
p e l a m p i a s a n n a f s u y a n g b e r - k o b a r 2
m e n g h i l a n g k a n r a s a t a k u t n y a t e r h a d a p
k e p a n d a i a n o r a n g y a n g l i h a y l u a r b i a s a ,
s a m b i l p e l e r a k p e l e r o k d e n g a n g e n i t n y a i a
b e r k a t a : " S u m a B i n g , s e p u l u h l i d i s e k i t a r
m a r k a s b e s a r i n i s u d a h t e r b e n t a n g j a r i n g 2
j e b a k a n y a n g t e r a t u r r a p i b a g a i g e l a g a s i ,
s e u m p a m a k a u t u m b u h s a y a p j u g a j a n g a n
h a r a p d a p a t t e r b a n g k e l u a r , k a l a u k a u t i d a k
i n g i n m a t i , a k u d a p a t m e n o l o n g k a u , t a p i . . . "
"Tutup mulut, dengar kataku, hari ini kau pasti mati!" Berobah
membeku wajah Ma Siok ceng, dampratnya:
"Jangan kau tidak tahu kebaikan." "Serahkan jiwamu!" ditengah
bentakannya ini tubuhnya
berkelebat mengirim serangan. Ma Siok ceng sudah pernah
merasakan kelihayan gerak
tubuh Suma Bing yang hebat, maka begitu mendengar Suma Bing
membentak cepat luar biasa tubuhnya melejit mundur dua
tombak jauhnya, adalah sangat untung sekali dia dapat
menghindari serangan gebrak pertama ini, tapi tidak urung
wajahnya sudah berobah pucat ketakutan.
Begitu serangan pertama menemui kegagalan. Suma Bing
mendengus keras, serunya: "Ma Siok ceng, dapat kau menghindari
dua kali seranganku lagi, biar hari ini kuampuni jiwa kotormu itu!"
Baru saja suaranya lenyap tubuhnya sudah berkelebat lagi bagai
gerakan malaikat... 'Blum!' dimana jerit kesakitan terdengar,
terlihat Ma Siok ceng terhuyung delapan langkah, mulut mungilnya
terpentang terus menyemburkan darah segar, tubuhnya juga
limbung hampir roboh.
31. PERTEMPURAN ADU JIWA
Bu siang sin hoat dikombinasikan dengan Kiu yang sin
kang, bisa dihitung dengan jari para tokoh2 silat pada jaman itu
yang kuat bertahan dari serangan kilat ini. Apalagi Suma Bing
bertekad bulat hendak melenyapkan jiwa musuhnya ini untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya selama ini.
"Sambutlah jurus kedua ini." Jeritan panjang yang mendirikan
bulu roma memecah
kesunyian. Tampak tubuh Ma Siok ceng terbang tiga tombak
jauhnya terus terbanting keras diatas tanah tanpa bisa bergerak
lagi. Lama dan lama kemudian baru terlihat wajahnya yang
terbenam ditanah itu per-lahan2 terangkat tinggi dan kaku
suaranya lemah tapi mengandung kebencian yang tak terperikan:
"Su...ma Bing. Kau... kejam benar..."
Wajah yang penuh noda darah dan kotoran tanah itu terkulai lagi
menghadap tanah tak bergerak lagi, melayanglah jiwanya.
"Bocah keparat seratus kali kematianmu juga belum dapat melunasi
dosamu ini!" menyusul bentakan ini terdengar kesiur angin dari
lambaian pakaian orang. Tak tertahankan lagi berderak keras
jantung Suma Bing, dimana matanya memandang terlihat beberapa
bayangan manusia berkelebatan ber-bondong2 mendatangi dari
berbagai penjuru. Yang tiba terlebih dahulu adalah Si tiau khek dan
dua pemuda, kepandaian dua pemuda ini tidak dibawah Si tiau khek.
Dalam sekejap itu Suma Bing sudah terkurung dalam berlapis
pagar manusia, perbawa kepungan musuh2nya ini benar2
menciutkan nyali orang.
Heng si khek ter-kekeh2 sekian lamanya, lantas berkata
menyeringai: "Bocah keparat hebat benar ya kau, dapat lolos dari
penjara bawah tanah. Tapi, hehehe, tetap kau takkan dapat
lolos!" Cahaya mata Suma Bing bersinar tajam menyapu keempat penjuru,
mulutnya terkancing rapat, dengan penuh kewaspadaan dia
bersiaga menunggu sergapan musuhnya.
Si tiau khek dan kedua pemuda itu masing2 mengambil
kedudukan dienam penjuru angin, mata mereka menatap tajam,
kearah Suma Bing.
Sebenarnya mengandal gerak aneh dari Bu siang sin hoat, dengan
mudah saja Suma Bing dapat meloloskan diri dari kepungan
musuh2 ini. Tapi hakikatnya dia tiada niat hendak tinggal pergi
begitu saja. Omongan ibu gurunya " Setan barat, yang disampaikan oleh
bibinya Ong Fong jui, terkiang lagi dikupingnya: "...jangan kau
melemahkan nama kebesaran dan ketenaran Lam sia!"
Apalagi setelah diketahui bahwa Loh Cu gi ternyata adalah
sesepuh dari Bwe hwa hwe, terhadap setiap anggota Bwe hwa
hwe lantas timbullah rasa permusuhannya yang mendalam.
Pada saat ketegangan semakin memuncak dan hendak terjadi
penyabungan nyawa itulah mendadak terdengar sebuah tertawa
dingin yang menusuk telinga. Suara tawa ini begitu mengerikan
bagai tangisan setan ditengah malam, hembusan angin juga terasa
dingin. Walaupun disiang hari bolong tapi suasana seram masih
melingkupi sanubari setiap
orang. Memang suara tawa panjang ini membuat seluruh hadirin
terkejut melongo dan kesima.
Suara tawa itu semakin mendekat dan nyaring, semua orang
termasuk Suma Bing sendiri merasakan darahnya mengalir
semakin cepat, malah yang Lwekangnya masih cetek seketika
tergetar pucat pias, tubuhnya ber-goyang2 hampir roboh.
Tiba2 suara tawa itu berhenti dan hilang lenyap, lantas terlihat
diatas puncak dahan pohon bunga Bwe terpaut lima tombak sana
samar2 terlihat bayangan seorang yang mengenakan pakaian serba
hitam, rambutnya terurai panjang, tubuhnya ramping tinggi tinggal
kulit pembungkus tulang seperti jerangkong.
"Pek kut Hujin!" tercetus seruan kaget dari mulut Heng si khek.
Nama Pek kut Hujin ini menambah ketakutan semua hadirin.
Pek kut Hujin adalah tokoh yang paling ditakuti pada seabad yang
lampau, sudah puluhan tahun lamanya tidak pernah muncul lagi
dikalangan Kangouw. Sudah dipermaklumkan sejak dulu bahwa Pek
kut ji (panji tulang putih) merupakan pertanda khas dari Pek kut
Hujin. Mengenai bentuk dan wajah sesungguhnya dari Pek kut Hujin
ini, mungkin hanya beberapa gelintir tokoh2 lihay saja yang pernah
melihatnya. Sekarang tokoh menakutkan pada jaman yang lalu ternyata bisa
muncul secara mendadak disini, hal ini benar2 susah dibayangkan
sebelumnya. Dalam kejutnya lantas terlintas dalam ingatan Suma Bing akan
ucapan Hui kong Taysu dari Siau lim si dulu yang mengatakan
bahwa Racun diracun sebetulnya adalah sealiran dengan Pek kut
Hujin. Munculnya Pek kut ji dan sepak terjang Racun diracun serta
sikapnya, ditambah munculnya Pek kut Hujin pada saat itu,
agaknya bukan terjadi secara kebetulan, tapi kenapa semua itu
bisa terjadi"
Secepat itu bayangan Pek kut Hujin muncul secepat itu pula
menghilang dari pandangan semua hadirin, bagi yang berkepandaian
rendah malah menyangka bahwa pandangannya sendiri yang telah
kabur. Sebuah suara kecil lirih terkiang dikuping Suma Bing: "Suma Bing,
tidak segera pergi masih tunggu apalagi?"
Tergetar perasaan Suma Bing, suara itu sudah sangat dikenalnya.
Sekarang teringat dan terbuktikan olehnya. Waktu di Siau lim si
orang yang menyebut dirinya sebagai 'ada bayangan tiada bentuk'
lantas menggebah mundur Hui kong Taysu tokoh tertinggi dari
Siau lim si itu tidak terduga kiranya adalah Pek kut Hujin ini.
Kalau begitu semua sepak terjang Racun diracun pasti mempunyai
latar belakang yang susah diduga. Jadi jelas juga sudah beberapa
kali Pek kut Hujin menolong dan melindungi jiwanya semua itu
juga bukan secara kebetulan belaka.
Tapi, kenapakah semua itu terjadi, dia tak kuasa menjawab.
Terdengar suara itu berkata lagi: "Suma Bing, jangan kau
berlagak sebagai kesatria yang maha sakti tak terkalahkan, kelak
kau menyesal pun sudah terlambat. Kalau Pedang darah sudah
kau peroleh, mengapa tidak segera kau mohon Bunga iblis.
Berpikirlah panjang dan menitikberatkan pada tugasmu yang
mulia, jangan membawa suara hatimu sendiri. Sekarang juga kau
harus pergi!"
Suma Bing tergetar dan bagai tersadar dari lamunannya, sekali
berkelebat tubuhnya melesat keluar dari kepungan musuh2nya.
Per-tama2 Si tiau khek dan dua pemuda ringkas itulah yang
terjaga, serempak mereka berseru: "Cegat dia" " sambil berseru
berbareng mereka memburu mengejar.
Seketika suasana menjadi gempar, be-ramai2 mereka berlompatan
hendak mencegat dan merintangi gerak gerik Suma Bing. Tapi Bu
siang sin hoat merupakan ilmu sakti mandraguna yang
menakjubkan, hanya sekejap mata saja, bayangan Suma Bing
sudah menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Dalam pada itu menggunakan kelihayan gerak tubuh Bu siang sin
hoat Suma Bing lolos dari kepungan para musuhnya, sepanjang
jalan dia kerahkan seluruh tenaganya untuk berlarian, sekejap saja
sepuluh li telah dicapainya.
Perbuatan Pek kut Hujin sekali ini juga membuat dia ter- heran2
dan tak habis mengerti. Pikirnya, mungkin selain suhunya Sia sin
Khong Jiang atau ayah-bundanya pernah ada sedikit hubungan
dengan Pek kut Hujin ini, tiada keterangan lain dapat
membenarkan sepak terjang tokoh misterius itu. Jikalau mau
dikatakan Racun diracun adalah murid Pek kut Hujin. Sudah
berulangkali mereka guru dan murid selalu muncul pada waktu
yang tepat menolong jiwanya dari renggutan elmaut, semua ini
pasti ada latar belakang tertentu, mengenai latar belakang apa, hal
ini susah ditebak dengan kesimpulan yang kurang matang ini.
Tengah ia berlari2 kencang itulah tiba2 terdengar sebuah
panggilan: "Nak, berhenti sebentar!"
Cepat2 Suma Bing hentikan langkahnya, begitu melihat siapa yang
memanggilnya, kontan ia berjingkrak girang, serunya: "Bibi Jui,
Adik Sian!"
Kedua orang yang mendatangi itu memang bukan lain adalah Ong
Fong jui dan muridnya Phoa Kin sian.
"Nak kuucapkan selamat kau telah lolos dari bahaya!"
"Lho, darimana Bibi Jui bisa tahu?" "Kudengar seorang diri kau
meluruk ke Bwe hwa hwe maka
jauh2 aku dan Sian ji menyusul datang!" "O, terima kasih akan
perhatian Bibi Jui!" Sambil ber-kata2 serta merta sorot matanya
menyapu pandang keperut Phoa Kin sian yang sudah mulai membesar itu,
susahlah dilukiskan rasa girang hatinya, sebab tidak lama lagi dia
bakal menjadi seorang ayah.
Agaknya Phoa Kin sian juga merasa akan lirikan itu, wajahnya
yang semula pucat memutih itu menjadi merah jengah, matanya
melerok kearah Suma Bing.
Kata Ong Fong jui penuh perhatian: "Anak Bing, bagaimanakah
pengalamanmu?"
Suma Bing hendak mengatakan bahwa tokoh dibelakang layar yang
mengendalikan Bwe hwa hwe adalah musuh besarnya Loh Cu gi,
tapi setelah dipikirkan lagi, adalah lebih baik hal itu dirahasiakan
dulu sementara. Hutang jiwa ini hendak ditagihnya sendiri kepada
orang yang harus membayar, tidak ingin dia mendapat bantuan
orang yang tidak berkepentingan secara langsung dengan tugas
sucinya itu. Karena pikirannya ini pengalamannya didalam ruangan besar dan
berhadapan langsung dengan musuh besarnya tidak ia ceritakan,
hanya bagaimana ia terjebak dalam barisan dan kena ditawan
terus dimasukkan kedalam penjara dibawah tanah, dimana bersua
dengan Tiang un Suseng dan ternyata sucinya Sim Giok sia telah
bunuh diri. Semua pengalaman suka dukanya ia ceritakan jelas
dan ringkas. Berobah wajah Ong Fong jui setelah mendengar cerita Suma Bing,
katanya: "Begitukah Poh Jiang dan Sim Giok sia mengakhiri
hidupnya?"
"Bibi Jui." kata Suma Bing geram, "Hutang darah ini, aku dapat
menagih untuk mereka berdua!"
"Sungguh tak duga Pelajar duka nestapa (Tiang un Suseng)
akhirnya benar2 duka sepanjang masa."
"Apakah kabar duka ini harus kuberitahukan kepada ibu guru?"
"Jangan, dia tidak akan kuat mendengar pukulan batin ini,
memang dia adalah seorang yang pernah putus harapan dan
patah hati dalam gelanggang asmara"
Suma Bing mengiakan. "Anak Bing, apa kau sudah tahu bahwa
Kin sian sudah mengandung?" Merah jengah selebar muka Suma Bing, sikapnya
kikuk sambil mengangguk kepala: "Aku tahu!" Betapa malu Phoa Kin
sian kepalanya ditundukan semakin
dalam, namun hati kecilnya girang luar biasa. Kata Ong Fong jui
dengan sikap sungguh2: "Anak Bing,
menurut adat istiadat kuno mau tak mau kau harus segera
menikah secara resmi dengan Kin sian?"
Sekilas Suma Bing melirik kearah Phoa Kin sian serta sahutnya:
"Benar, setelah bertemu dengan ibunda dan dendam kesumat
sudah terbalas..."
"Tidak bisa begitu!" "Menurut maksud Bibi Jui..." "Kau harus


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menikah dengannya sebelum anak dalam
kandungannya itu lahir." "Tapi sekarang ini jejak ibu tidak
menentu, mana bisa..." "Anak Bing aku dan ibumu adalah saudara
kandung, apa aku boleh mewakili dia?"
"Ini... sudah tentu!" "Kalau begitu dengarlah. Yang
kumaksudkan dengan
menikah tidak perlu menggunakan upacara apa segala. Kaum
persilatan tidak perlu mementingkan adat istiadat kuno, asal kedua
belah pihak sepaham dan sehaluan sudah cukup. Sekarang aku
sebagai wali upacara, langit sebagai saksi dan bumi sebagai bukti,
disini dan sekarang juga kalian kuresmikan menjadi suami istri. Kau
berkelana di Kangouw jejak tidak menentu, kalau sudah menikah
secara resmi kelak kalau orok sudah lahir baru dapat mengikuti she
dari leluhur keluarganya."
Sekian lama Suma Bing ragu2 dan bimbang, baru akhirnya
menjawab: "Terserah kepada kebijaksanaan Bibi Jui"
Ong Fong jui mengangguk kepala lalu berpaling kearah Phoa Kin
sian, katanya: "Kin sian, apa kau tidak menampik keputusan
suhumu ini bukan?"
Phoa Kin sian mengangguk tanpa bersuara. Maka Suma Bing
dan Phoa Kin sian segera berlutut
menyembah kepada bumi dan langit, lalu menyembah pula kepada
arwah ayahbunda yang sudah dialam baka, bersumpah untuk setia
dan hidup rukun sampai tua. Setelah itu mereka menyembah juga
kepada wali upacara begitulah secara resmi mereka sudah menjadi
suami istri meskipun upacara pernikahan ini diadakan sederhana
saja. Maka sejak itu Phoa Kin sian sudah resmi menjadi istri Suma Bing,
anak dalam kandungannya itu juga menjadi milik keluarga Suma.
Setelah memberi selamat kepada sepasang mempelai ini, Ong
Fong jui berkata: "Anak Bing, Pedang darah sudah kau peroleh,
harus segera kau minta Bunga iblis, supaya dapat melatih ilmu
digdaya tiada bandingannya, dengan bekal ini pasti kau dapat
menuntut balas sakit hati keluarga dan perguruan!"
"Benar, Bibi Jui." "Kau boleh segera pergi, bersama Kin sian
aku masih ada urusan yang perlu diselesaikan." Suma Bing manggut2 matanya
menatap Phoa Kin sian, rasa
berat dan segan berpisah, katanya: "Adik Sian, jagalah dirimu
baik2" Phoa Kin sian tertawa malu2, matanya balas pandang Suma Bing
dengan penuh kasih mesra.
Dengan penuh perhatian dan kasih sayang Ong Fong jui menatap
wajah Suma Bing lalu berpaling kepada Phoa Kin sian dan
berkata: "Mari kita berangkat!"
"Engkoh Bing selamat bertemu!" "Selamat bertemu. Bibi Jui
selamat bertemu!" "Selamat bertemu!" Suma Bing mengantar
kepergian Ong Fong jui berdua
dengan penuh perasaan duka timbullah rasa kehampaan dalam
benaknya. Se-olah2 terasakan dia tengah mimpi dalam pengalaman yang
aneh2, lama dan lama sekali dia masih belum kuasa
menggerakkan kakinya...
Se-konyong2 sebuah suara dingin mengejek berkata
dibelakangnya: "Suma Bing, selamat berjumpa!"
Kejut Suma Bing bukan kepalang, tidak nyana orang sudah
sedemikian dekat dibelakangnya masih tidak diketahuinya,
tubuhnya berkelebat melenting maju setombak lantas secepat kilat
membalik tubuh, waktu melihat siapa orang dihadapannya tanpa
terasa merinding bulu kuduknya. Seorang berpakaian serba putih
dengan mengenakan kerudung kepala putih juga, baju didepan
dadanya bergambar sebuah cundrik merah darah, kedua mata
orang ini mencorong tajam mengawasi dirinya.
Orang yang mendadak muncul ini bukan lain adalah Rasul
penembus dada, itu tokoh yang paling ditakuti oleh kaum
persilatan. Munculnya Rasul penembus dada ditempat ini benar2 diluar
dugaan Suma Bing. Setelah menenangkan hatinya, Suma Bing
berkata dingin: "Ada pengajaran apa?"
"Ada beberapa patah kata hendak kutanya kau, ujar Rasul
penembus dada. "Kuharap kau suka menjawab secara jujur"
"Coba katakan!" "Apa kau benar2 murid Lam sia?" "Apa perlu
kutegaskan lagi!" "Lalu ilmu Bu siang sin hoat itu kau pelajari
darimana, itu bukan kepandaian yang kau peroleh dari Sia sin Kho Jiang?"
Jawab Suma Bing dengan angkuhnya: "Tiada perlunya aku
beritahukan kepada kau." "Kau akan menyesal?" "Selamanya aku
tidak kenal akan arti menyesal." "Hm, Suma Bing, kau congkak
benar, tapi benar2 kuharap
k a u b i c a r a t e r u s t e r a n g . " " U n t u k a p a k a u
m e n a n y a k a n h a l i t u " " " S u d a h t e n t u a d a
m a k s u d t e r t e n t u ! " " D a p a t k a h a k u m e n g e t a h u i
m a k s u d m u i t u " " R a s u l p e n e m b u s d a d a
m e r a n d e k s e j e n a k , l a l u b e r k a t a :
"Maksudku ingin mengetahui apakah kau ada hubungan erat
dengan Bu siang sin li?"
"Kalau ada bagaimana, kalau tidak kau mau apa?"
"Ada tidaknya menyangkut nasib jiwamu!"
Berkobar amarah Suma Bing dengusnya dingin: "Tiada
seorangpun dapat menentukan nasibku."
"Persoalan itu sementara kita tunda dulu. Sekarang kau katakan,
apa sangkut pautmu dengan aliran Bu siang sin li?"
Otak Suma Bing berputar cepat, teringat olehnya akan pesan Giok
li Lo Ci yang wanti2 menekankan supaya dirinya tidak menguarkan
keadaan Lembah kematian kepada orang luar, sudah tentu sebagai
seorang laki2 ia harus menepati sumpahnya. Apalagi tindakan dan
maksud tujuan Rasul penembus dada sukar diraba, sepak
terjangnya yang angkuh dan tinggi hati sangat menyebalkan, masa
seorang laki2 sejati harus tunduk kepada seorang wanita. Maka
sahutnya dingin: "Tak mungkin kujelaskan."
Rasul penembus dada menyeringas sinis, serunya: "Suma Bing, Bu
siang sin hoat takkan dapat melindungimu dari kematian!"
Diam2 berdetak hati Suma Bing. Kepandaian Rasul penembus dada
luar biasa lihay apakah dirinya dapat lolos dari tangan jahatnya
benar2 susah diraba. Akan tetapi sifat kepala batu dan
keangkuhannya sudah ketularan dari kesesatan sifat2 gurunya,
membuat teguh dan kokoh pendiriannya. Dampratnya gusar:
"Rasul penembus dada, kau terlalu congkak dan memandang
rendah orang lain!"
"Lantas kau mau apa?" "Aku Suma Bing sebal dan tidak puas
akan tingkahmu ini" "Baik biar kubikin kau puas!" "Sebenarnya
apakah maksud tujuanmu?" "Sebelum kau menjawab
pertanyaanku, belum dapat
maksud tujuanku kuutarakan." Suma Bing berjingkrak gusar,
semprotnya: "Kalau aku juga
menolak untuk menjawab pertanyaanmu?"
Agaknya Rasul penembus dada juga kewalahan menghadapi
kebandelan Suma Bing, lama dia merenung tanpa suara lagi, namun
sepasang matanya bagai tajam pedang memandang liar meneliti
seluruh tubuh Suma Bing.
Mendadak Rasul penembus dada menggertak keras, serunya:
"Suma Bing, benda apa yang kau simpan dibalik bajumu itu?"
Suma Bing berjingkrak mundur, bukan kepalang kejutnya,
terbayang dalam ingatannya pada waktu Pedang darah palsu
Racun diracun yang direbut itu. Memang Rasul penembus dada
membekal suatu kepandaian yang menyebabkan matanya sangat
jeli dan sedemikian tajam sampai dapat melihat benda dibalik
persembunyian yang rapat. Benda dibalik bajunya adalah Pedang
darah asli yang baru saja diperoleh dari Racun diracun. Justru
Pedang darah ini juga benda berharga yang tengah di-kejar2 oleh
lawan. Maka dengan wajah berobah tegang dia menjawab: "Perduli
benda apa!"
Rasul penembus dada menjengek, katanya dingin: "Suma Bing,
Pedang darah benar tidak!"
"Kau tidak perlu tahu." sahut Suma Bing gemetar. "Justru tuan
besarmu ini ingin campur tahu." "Kalau begitu silahkan kau
campur tangan." Memang Rasul penembus dada sudah
bertekad bulat hendak merebut Pedang darah, mendengar tantangan terang2an
ini, tanpa bicara lagi segera sebelah tangannya menyelonong maju
mencengkram kearah baju didepan dada Suma Bing. Cara
cengkramannya bukan saja aneh dan lihay juga cepat luar biasa.
Suma Bing juga tidak berani ayal2an, begitu kembangkan Bu
siang sin hoat, cepat2 ia menghindar, tapi meskipun gerakgeriknya
sudah begitu cepat, terpaut serambut saja dadanya
pasti sudah bolong oleh cengkraman musuh. Saking kaget
bergidik tubuh Suma Bing, keringat dingin membanjir keluar.
Baru saja ia menghindar dan belum berdiri tegak, serangan kedua
Rasul penembus dada sudah menyosor tiba pula.
Lagi2 Suma Bing berkelebat menyingkir dengan susah payah.
Begitulah beruntun terjadi beberapa kali, saking payah dan tegang
napas Suma Bing sampai megap2 tubuhnya basah kuyup oleh
keringat sendiri.
Bahwasanya gerak Bu siang sin hoat adalah ilmu digdaya yang
paling ampuh sejak jaman dulu kala. Tapi kepandaian dan
kehebatan serangan Rasul penembus dada juga bukan olah2 lihay
boleh dikata tiada keduanya didunia ini. Oleh karena itu Suma
Bing harus mencurahkan seluruh perhatian dan konsentrasi untuk
berkelit menghindari ancaman maut dari serangan2 musuh ini,
sebab setiap gebrak setiap jurus adalah serangan2 yang
mematikan. Se-konyong2 Rasul penembus dada menghentikan serangan dan
berdiri tegak serta katanya sungguh: "Suma Bing, lebih baik kau
serahkan saja Pedang darah itu."
"Tidak mungkin!" "Suma Bing, biar aku bicara terus terang.
Tugasku yang utama berkelana dikalangan Kangouw adalah mencari jejak Pedang
darah itu. Boleh dikata bahwa aku harus mendapatkannya!"
"Jadi kau mendapat perintah dari Ketua Jeng siong hwe kalian?"
"Sedikitpun tidak salah." "Kalau kau mampu silahkan kau rebut,
sebaliknya bila
minta aku menyerahkan secara mentah2 itulah tidak mungkin!"
"Suma Bing, kalau bukan karena Bu siang sin hoat itu, sudah
sejak tadi aku tidak main sungkan lagi kepadamu"
Diam2 tergerak hati Suma Bing. Apa mungkin antara Jeng siong
hwe dengan Lembah kematian ada hubungan atau ikatan. Kalau
tidak tak mungkin Rasul penembus dada bisa mengatakan
demikian. Akan tetapi hakikatnya dirinya tiada hubungan atau
ikatan apa2 dengan Lembah kematian. Adalah karena memandang
muka suhunya Sia sin Kho Jiang maka Giok li Lo Ci mau
menurunkan llmunya kepadanya. Malah dia juga sudah melulusi
memberikan Bunga iblis asal dirinya membekal Pedang darah.
Karena pikirannya ini, lantas dengan sikap kaku ia berkata:
"Seumpama kau tidak bermain sungkan?"
"Siang2 sudah kucabut jiwamu." "Hm, belum tentu kau
mampu?" Rasul penembus dada membentak keras, suaranya
gemetar: "Suma Bing, jadi kau memaksa aku membunuh orang?"
Ancaman yang mengandung nafsu membunuh yang serius ini
benar sangat menggiriskan.
Ucapan ini malah membangkitkan kepala batu Suma Bing, timbul
juga amarahnya, sambil mengertak gigi desisnya: "Rasul
penembus dada, coba tunjukkan kegaranganmu!"
"Baik, aku tidak akan pedulikan segalanya untuk mencabut
jiwamu!" "Dengar, kalau hari ini kau tidak mampu membunuh aku, adalah
aku yang akan membunuh kau, silahkan kau turun tangan!"
"Adalah kau sendiri yang minta?"
"Tidak perlu banyak bacot lagi!"
Sinar terang berkelebat didepan matanya, tahu2 Rasul penembus
dada sudah menggenggam sebilah cundrik yang tajam mengkilap.
Entah sudah berapa banyak jiwa kaum persilatan yang sudah
melayang dibawah cundrik ini.
Tanpa terasa tubuh Suma Bing merinding sendirinya. Namun
rasa takut ini hanya selintas saja berkelebat dalam
benaknya, rasa angkuhnya malah timbul dan berkobar semakin
besar. Hawa murni pelan2 dikerahkan dan dihimpun diujung jari
dimana Cincin iblis lantas memancarkan cahaya terang yang
menyilaukan mata sejauh dua tombak lebih.
Kata Rasul penembus dada dengan nada rendah dan berat:
"Benar2 kita harus menyabung nyawa?"
"Benar, sampai mati baru berhenti, kalau bukan kau yang mati
biarlah aku yang gugur."
Suasana semakin tegang melingkupi sanubari dua lawan yang
tengah berhadapan hendak menyabung nyawa. Inilah
pertempuran yang menentukan mati atau hidup.
"Suma Bing, turun tanganlah!" bentak Rasul penembus dada
suaranya parau.
"Kau adalah wanita," sahut Suma Bing bersikap tenang, "sudah
seharusnya kaulah yang turun tangan dulu!"
"Keparat, jangan kau main lagak dan main takabur." Ditengah
suara bentakannya ini. Rasul penembus dada
sudah menggerakkan cundriknya secepat kilat menusuk kedada
Suma Bing. Bagai bayangan setan Suma Bing berkelebat menghilang secepat
kilat, begitu menggeser kedudukan cahaya sinar Cincin iblisnya
juga turut disapukan.
'Tjreng!' cahaya sinar Cincin iblis bentrok dengan cundrik Rasul
penembus dada sehingga mengeluarkan suara nyaring.
Kontan Suma Bing rasakan tangannya kesemutan, serta merta
tubuhnya limbung dan terhuyung dua langkah. Ini membuktikan
bahwa latihan Lwekang Rasul penembus dada masih lebih unggul
dari kemampuannya.
Sekali mengayun tangan, cundrik ditangan Rasul penembus dada
terbang bagai meteor menerjang kearah Suma Bing.
Ber-ulang2 sebelah tangan Suma Bing bergerak membuat
lingkaran2 besar kecil, maka semakin kuatlah pancaran sinar
Cincin iblis dijarinya itu, seketika timbullah berlapis gulungan
bunga berkilau laksana bentuk gunung.
Sebenarnya dipangkal pegangan cundrik Rasul penembus dada ada
terikat benang sutra halus dan kecil yang menggubat
dipergelangan tangan Rasul penembus dada, maka itu cundrik ini
bisa ditarik ulurkan sesuka si pemakai. Sinar tajam yang dingin dari
cundrik ini juga tidak kalah seram dan menyilaukan mata dari
cahaya senjata lawan, dimana dua sinar cahaya saling bentrok
terdengar pula suara 'Crang'. 'Creng' berulang sampai beberapa
kali. Kira2 sepeminuman teh kemudian, lambat laun tenaga murni
Suma Bing semakin kewalahan menghadapi keuletan musuhnya.
Malah pisau terbang musuh semakin lincah dan ganas mengancam


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setiap lobang kelemahannya.
Tiba2 terdengar sebuah bentakan nyaring, disertai angin pukulan
yang dahsyat, cundrik terbang Rasul penembus dada lagi2 melesat
tiba pula mengarah ulu hatinya. Bahna besar tenaga pukulan
tangan Rasul penembus dada, Suma Bing kena terdesak dibawah
angin, tubuhnya sempoyongan beberapa tindak, cahaya sinar
Cincin iblis juga semakin guram.
Sambil perdengarkan lengking tawanya, Rasul penembus dada
melejit menubruk maju.
Tidak kalah cepatnya Suma Bing bergerak menyingkir. Dalam
gebrak yang susah diikuti oleh pandangan mata ini, lagi2 cundrik
terbang Rasul penembus dada sudah terbang
ber-putar2, dua tombak sekelilingnya terkekang oleh angin puyuh
yang membumbung tinggi keangkasa.
Tipu serangan ini boleh dikata lihay dan sangat ajaib, betapapun
menakjupkan gerakan Bu siang sin hoat agaknya kali ini susah
dapat lolos keluar dari kurungan angin puyuh yang bergelombang
tinggi ini. 'Sret!' disusul keluhan tertahan mulut Suma Bing, tahu2
punggungnya sudah tergores luka mengeluarkan darah sepanjang
setengah kaki, darah kental segera membasahi tubuhnya.
Rasul penembus dada menarik kembali serangannya, dan
menegaskan: "Suma Bing, pertanyaanku yang terakhir, apa
hubunganmu dengan aliran Bu siang sin li?"
Mata Suma Bing melotot membara dan buas bagai mata binatang,
bentaknya beringas: "Apa pedulimu!"
Sambil membentak lagi2 ia kembangkan gerak Bu siang sin hoat,
gerakan kelit dipertunjukkan sedemikian hebat sekuat
kemampuannya, begitu cepat ia bergerak mengitari Rasul
penembus dada, lalu dalam suatu kesempatan ia kerahkan seluruh
kekuatannya dikedua tangannya dan beruntun lancarkan tiga kali
serangan berantai, setiap serangan pukulannya mengandung
kekuatan Kiu yang sin kang.
'Blang!' sambil menguak seperti orang hampir muntah kelihatan
Rasul penembus dada terhuyung beberapa tindak, kedok putih
dimukanya seketika berobah merah darah.
Sejak Suma Bing menarik napas panjang terus bergerak lagi
menubruk kearah musuh. Hampir dalam waktu yang sama, Rasul
penembus dada juga berkelebat maju menyerang. Gerak gerik
kedua belah pihak boleh dikata hampir sama cepatnya. Kontan
terdengar dua kali pekik tertahan. Tampak Rasul penembus dada
terpental satu tombak lebih. Sedang lengan kanan Suma Bing lagi2
tergores luka panjang, darah memancur bagai air ledeng, tubuhnya juga
limbung hampir roboh.
Inilah pertempuran antara mati atau hidup yang jarang terjadi
sehingga menciutkan nyali dan menyedot semangat orang.
Begitu mendapat peluang untuk mengatur napas dan jalan
darahnya, segera Rasul penembus dada meng-ayun2 cundriknya
dan setindak demi setindak mendesak mendekati Suma Bing. Derap
langkahnya yang berat dan tenang seumpama irama pengantar
kematian yang menyeramkan dan menakutkan.
Berulangkali Suma Bing mengalami luka berat, ditambah Cincin
iblisnya menguras tenaganya terlalu besar, maka keadaannya saat
itu sudah bagai pelita yang sudah hampir kehabisan minyak tinggal
tunggu waktu saja. Melihat Rasul penembus dada yang setindak
demi setindak semakin dekat, hati kecilnya semakin tenggelam
dalam bayangan kematian. Sekali lagi dia menghadapi kematian...
Sesaat sebelum Suma Bing ajal ditembusi cundrik musuhnya. Tiba2
sebuah bayangan manusia melesat mendatangi dengan kecepatan
seperti bintang jatuh dari arah rimba sebelah samping sana.
"Siapa kau?" reaksi Rasul penembus dada sangat cepat, baru saja
bayangan itu berkelebat dia sudah membentak keras.
Akan tetapi bayangan itu bergerak sedemikian cepat, sampai
waktu untuk orang berpikir juga tidak sempat lagi tahu2 arus
gelombang puyuh sudah melingkupi seluruh tubuh Rasul
penembus dada, sedemikian hebat dan besar kekuatan angin ini
melanda benar2 sangat mengejutkan.
Rasul penembus dada insaf dengan tubuhnya sendiri yang sudah
terluka beberapa kali takkan kuat bertahan dari serangan angin
puyuh ini, secepat kilat ia berkelit menyingkir
jauh. Bertepatan dengan itu, begitu menyentuh tanah bayangan itu
lantas melenting lagi dan tahu2 sudah menghilang. Bahwasanya
Rasul penembus dada adalah tokoh kosen yang jarang dicari
tandingannya, tapi toh dia sendiri tidak melihat tegas apakah
bayangan itu adalah seorang laki2 atau seorang wanita.
Tahu2 bayangan Suma Bing sudah menghilang dari tengah
gelanggang. Bayangan itu dapat menggondol pergi Suma Bing sedemikian
gampang dari hadapan Rasul penembus dada. Betapa tinggi
kepandaian ini benar2 susah dibayangkan.
Sekali membanting kaki tubuh Rasul penembus dada melejit tinggi
terus mengejar.
Sementara itu, Suma Bing hanya merasa tiba2 pandangannya
kabur, dan belum ia paham apa yang telah terjadi tubuhnya sudah
terangkat tinggi terus dibawa terbang, disusul jalan darahnya
tertutuk hilanglah kesadarannya.
Entah sudah berselang berapa lamanya, waktu siuman ia dapatkan
dirinya rebah diatas sebuah ranjang yang empuk dengan seprei
yang tersulam indah, kamar ini sedemikian mewah, megah dan
indah se-olah2 dirinya berada di istana raja. Keruan kejutnya luar
biasa, bergegas ia melompat bangun.
Dimana pandangannya menjelajah, hampir2 dia tidak percaya akan
apa yang telah dilihatnya, ber-kali2 ia kucek2 matanya, namun
pandangan dihadapannya tidak berobah. Saking heran dan kesima
mulutnya melompong dan tak tahu ia apa yang harus diperbuat.
Ditengah sana dibelakang sebuah meja yang membujur panjang
duduk seorang tua yang jenggotnya sudah putih menjulai sampai
diperutnya, kepalanya mengenakan mahkota kebesaran, wajahnya
kereng berwibawa.
Dikiri kanan dipinggir meja panjang diatas kursi yang berlapiskan
kulit harimau masing2 duduk seorang tua berjubah indah berikat
kepala, tangan mereka masing2 mencekal sebuah lencana panjang
terbuat dari gading gajah. Ber-turut2 dibawahnya duduk atau
berdiri tidak menentu beberapa orang tua muda puluhan orang
banyaknya. Pelan2 pandangan matanya teralihkan keatas tubuh sendiri, lagi2
bergetar hatinya. Kiranya pakaian yang dikenakan kini sudah
berganti baru dan serba mewah. Terang ia masih ingat dirinya
tergores luka dua tempat oleh cundrik Rasul penembus dada,
lukanya itu sangat berat, namun pada saat itu sedikitpun ia tidak
merasakan lagi kesakitan.
Apakah ini bukan mimpi atau khayalan" Tidak. Dia masih ingat
tiba2 dirinya disamber oleh sebuah
bayangan. Di-timang2 agaknya dirinya sudah tiba disebuah istana,
dan orang tua yang berduduk ditengah itu terang adalah seorang
Raja. Tapi, apakah semua ini mungkin" Ruang istana ini cukup
besar, meskipun ada puluhan orang
turut hadir, tapi suasana sedemikian hening lelap bagai berada
ditengah alas pegunungan. Sinar lampu terang benderang bagai di
siang hari, sekali lagi ia angkat kepala menyapu pandang orang2
dalam ruang istana itu.
32 TE PO = PERKAMPUNGAN BUMI.
Tiba2 orang tua yang duduk sebelah kanan berdiri lalu
membungkuk hormat kepada orang tua ditengah sebagai raja itu
dan berkata: "Orangnya sudah siuman, apakah yang mulia
hendak mengajukan pertanyaan?"
Kata2 'Yang mulia' ini membuat berdebar keras hati Suma Bing,
batinnya apakah aku berhadapan langsung dengan Raja.
Terdengar raja junjungan itu berkata suaranya keras lantang: "Hu
pit (nama pangkat; penasehat raja) berdua tinggal, yang lain
bubar!" "Terima perintah!" Orang tua yang memegang lencana itu
memutar tubuh sambil mengulapkan tangan: "Sidang selesai!" Maka orang2 yang
berdiri dikedua pinggiran itu beramairamai
membungkuk hormat tanpa bersuara mereka beriring
keluar meninggalkan ruang istana besar itu.
Sekejap saja semua orang sudah mengundurkan diri, tinggal dua
orang tua yang memegang lencana masih tetap berdiri didua
pinggiran, agaknya kedua orang tua inilah Coh yu Hut pit atau Coh
hu dan Yu pit (penasehat dikiri dan kanan).
Terdengar Yu pit bertanya dengan nada berat: "Suma Bing,
majulah menghadap Te kun (raja bumi)."
Nama Te kun ini lagi2 membuat hati Suma Bing berdetak.
Terhitung sebutan apakah ini. Dengan penuh keheranan dan tak
mengerti matanya menatap kedepan, kakinya tidak bergeser dari
tempatnya. Dari sinar mata orang yang tajam berkilat dapatlah
diketahui bahwa mereka2 ini juga kaum persilatan, tapi keadaan
dan jubah2 kebesaran...
Yu pit berseru lagi: "Suma Bing, maju menghadap!" Kaki Suma
Bing bergeser sedikit tapi tidak maju melangkah,
hatinya bimbang dan penuh tanda tanya. Segera Coh hu ikut
berkata: "Yang mulia adalah junjungan
resmi dari Giok te (raja kahyangan), kau seorang rakyat jelata,
berani kau menghadap tanpa berlutut".
Seketika Suma Bing mengucurkan keringat dingin, kiranya mereka
ini adalah malaikat dan bukan manusia biasa. Jadi
sebenarnya dirinya ini masih hidup sebagai manusia atau tinggal
arwah halusnya saja"
Tanpa terasa lemah kedua kakinya per-lahan2 ditekuk terus
berlutut, mulutnya berkemik lirih: "Menghadap..."
Menghadap apa dia tidak kuasa meneruskan, entah dia harus
menyebut apa kepada raja junjungan dihadapannya ini.
Te kun (raja bumi) angkat sebuah tangan serta berseru: "Silahkan
duduk!" Coh hu segera melangkah maju menarik Suma Bing sambil
menunjuk sebuah tempat dibawah sebelah kiri.
Hati Suma Bing kosong hampa dan tidak tentram, meski tempat
duduknya itu empuk tapi dalam perasaannya dia tengah duduk
diatas permadani yang penuh bertaburkan jarum.
"Suma Bing, laporkan keterangan leluhurmu!" "Ayah almarhum
Suma Hong..." "Sudah cukup, dari perguruan mana?" Sejenak
Suma Bing melengak, lalu sahutnya: "Murid dari
perguruan Sia sin Kho Jiang!" "Apakah kau pernah berguru pada
perguruan lain?" "Tidak!" "Lalu kepandaian Bu siang sin kang itu
kau pelajari dari
siapa?" Menyinggung Bu siang sin hoat, timbul kecurigaan dalam
benak Suma Bing, dia berani pastikan bahwa orang2 dihadapannya
ini juga dari kaum persilatan, dan bukan malaikat apa segala.
Tentang mengapa menyamar malaikat dan memboyong dirinya
ketempat itu sampai saat itu dia, masih tak mengerti dan tak dapat
membayangkan sebab musababnya.
"Memang Bu siang sin hoat bukan kupelajari dari mendiang
guruku, kupelajari dari seorang Cianpwe..."
"Siapa?" "Aku yang rendah pernah bersumpah untuk tidak
menyebut2 namanya dihadapan orang lain" Mendadak dia
merobah sebutan dirinya dengan aku yang
rendah sehingga Te kun serta Coh hu dan Yu pit berobah air
mukanya. "Apakah Bu siang sin li?" "Maaf aku tidak berani menjawab!"
Air muka Te kun sedikit berobah, matanya melirik kekanan
kiri dan berkata kepada dua orang penasehatnya: "Urusan
selanjutnya biar kalian selesaikan sendiri!"
"Terima perintah!" Bergegas Raja bumi bangkit terus
menghilang dibalik pintu
angin sebelah samping. Setelah membungkuk tubuh mengantar
Rajanya mengundurkan diri. Coh hu dan Yu pit duduk kembali ditempat
duduk masing2. Sekian lama mereka meng-amat2i Suma Bing, lalu Coh hu
berkata: "Suma Bing, apa kau tahu mengapa kau diundang masuk
kedalam istana?"
"Aku yang rendah tidak mengerti?" "Kau berjodoh dengan
Kiongcu, maka kau diundang masuk
istana diangkat sebagai Hu ma (menantu raja)!" Diam2 Suma
Bing memaki omong kosong dan ngaco belo
belaka. Sudah terang aku digondol kemari secara paksa, indah
benar kalian menggunakan istilah mengundang menghadap raja.
Karena batinnya ini segera ia menyahut dingin: "Untuk hal ini aku
tidak mau terima!"
"Kau salah!" "Dimana letak kesalahan aku yang rendah?" "Ini
merupakan perintah dari Raja bumi!" "Tapi aku bukan
punggawa dari Raja bumi kalian, maka
tidak perlu aku harus tunduk akan perintahnya." "Jodoh telah
mengikat dan sudah terdaftar diatas batu
kelahiran. Kau tidak boleh menolak atau membangkang lagi!"
"Urusan perjodohan bukan main2, mana bisa menggunakan
paksaan?" "Hahahahaha, Suma Bing, marilah kau ikut aku!"
Dengan penuh keheranan Suma Bing mengintil dibelakang
Coh hu, mereka memutar kesamping pintu terus memasuki
sebuah ruang lain yang lebih kecil. Dengan tangan kiri Coh hu
menunjuk sebuah bola kaca yang terporot melesak kedalam
dinding, katanya: "Kau lihatlah sendiri!"
Dengan hati kebat-kebit Suma Bing maju mendekati bola kaca itu,
begitu matanya mendekat dan melihat pemandangan didalamnya,
seketika ia menjerit keras tubuhnya terhuyung hampir roboh.
Kiranya pemandangan dalam bola kaca itu menunjukkan sebuah
hutan dimana tempat dia berkelahi melawan Rasul penembus
dada, diatas tanah rebah sesosok mayat yang berlepotan darah
susah dikenali dan tidak perlu disangsikan bahwa mayat itu adalah
dirinya sendiri.
Jengek Coh hu dingin: "Sudah jelas belum?" Otak Suma Bing
serasa buntu pepat bekerja, semangatnya
lesu, sahutnya lirih: "Apa benar aku sudah mati." "Benar, kau
sudah mati!" "Jadi aku ini adalah arwah halus, bukan manusia
lagi?" "Ditempat perjodohan yang sembabat ini, kau sekarang
adalah malaikat!"
Begitulah mereka berdua kembali lagi keruang besar tadi, Suma
Bing terlena duduk ditempat asalnya, kenyataan menumbangkan
keraguan hatinya bahwa orang2 yang dia hadapi ini ternyata
adalah malaikat dan bukan manusia.
Tapi cara bagaimanakah kematian dirinya" Kecurigaan hatinya
masih belum lenyap. Tapi kenyataan
membuktikan mau tak mau dia harus mengakui bahwa dirinya
memang benar2 sudah mati, malah mayatnya terlantar dalam
rimba tanpa liang kubur yang layak. Terpikir olehnya dendam
kesumat dan sakit hatinya semasa masih hidup, tanpa terasa dia
mengeluh dan berteriak panjang: "Aku tidak boleh mati, aku tidak


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rela mati."
Yu pit menjengek dengan suara dingin: "Tapi sekarang kau
sudah mati!"
"Aku... tidak boleh mati!" "Apa ada angan2mu yang belum
terlaksana?" "Dendam perguruan, sakit hati orang tua, budi
para sahabat aku harus menyelesaikan semua itu satu persatu."
"Tentang itu gampang dilaksanakan!" "Benar, setelah
melangsungkan pernikahanmu dengan
Kiongcu, sudah secara resmi kau sebagai Huma, keluar masuk
istana terserah sesuka hatimu tiada orang yang berani melarang.
Sampai pada saat itu, bolehlah kau melegakan hatimu untuk
menuntut segala sakit hati dan dendam sesuka hatimu."
"Apakah omonganmu benar?" tanya Suma Bing gemetar.
"Sudah tentu benar!" "Tapi..." "Tapi apa?"
Mendadak teringat olehnya akan Phoa Kin sian istrinya yang sudah
mengandung itu, hati terasa seperti di-iris2 dengan pisau hampir2
saja airmata meleleh keluar. Sungguh tak kira belum lama mereka
berpisah, ternyata harus bercabang jalan untuk tidak akan bertemu
lagi se-lama2nya. Tidak ketinggalan terbayang juga wajah Siang
Siau hun gadis rupawan yang mati2an mencintai dirinya, Ting Hoan
gadis simpatik yang juga telah terang2an menyatakan isi hatinya
kepadanya, semua ini kini sudah menjadi bayangan belaka dan
akan menjadi kenangan sepanjang masa.
Seumpama dia melulusi untuk menjadi Hu ma, atau calon
menantu raja, apakah tindakannya ini tidak terlalu kejam terhadap
istrinya Phoa Kin sian yang merana itu" Karena pikirannya ini
tercetus seruan dari mulutnya: "Tidak, aku tidak seharusnya
begitu." Alis Coh hu berkerut dalam, tanyanya: "Apanya yang tak boleh?"
"Aku tidak boleh menyia2kan cinta..." "Suma Bing, jalan terang
dan gelap harus dapat kau
bedakan, malaikat dengan rakyat jelata mana boleh bercampur
baur, jangan kau menyiksa dirimu sendiri, perjodohanmu ini sudah
merupakan takdir ilahi, kau tidak boleh menolak, kalau tidak... kau
akan mendapat hukuman Tuhan."
Suma Bing menjadi nekad, sahutnya: "Aku yang rendah rela
mendapat hukuman itu."
"Keputusan tidak terletak ditanganmu" Segera Yu pit mengetok
meja dengan sebuah mistar dan
bertembang lantang: "Harap Te kun segera membuka sidang!"
Disusul lonceng dibelakang istana sana berdentang ramai,
orang2 yang tadi mengundurkan diri kini be-ramai2 memasuki
pula ruangan istana itu secara teratur dan rapi.
Otak Suma Bing terasa pepat, hatinya kosong matanya mendelong
mengawasi segala perobahan dihadapannya, ingatan yang selalu
mengganjel dalam benaknya adalah 'Aku sudah mati!' bayangan ini
bagai gigitan seekor ular yang selalu menggerogoti sanubarinya.
Betapapun dia tak rela mati begitu saja. Akan tetapi, kenyataan dia
sudah mati. Gambaran yang terlihat dalam bola kaca itu
merupakan kenyataan.
Begitu Te kun menempati tempat duduknya, be-ramai2 para
hadirin memberi hormat.
Coh hu tampil kedepan dan angkat bicara: "Dipersilahkan
junjungan yang mulia memberikan restu dalam pernikahan ini."
"Silahkan Kiongcu menghadap!" Diluar pintu ruangan sana
terdengar seruan yang sama. "Silakan Kiongcu menghadap!"
Dalam sekejap tampak serombongan dayang2 istana
membimbing seorang putri yang berpakaian mewah dan
mengenakan banyak perhiasan berderap memasuki istana.
"Menghadap Baginda raja." "Duduklah disebelah!" "Ayah
baginda memanggil anak, entah ada keperluan
apakah?" "Untuk menyelesaikan perjodohanmu yang sudah
tersurat oleh takdir." Serta merta Suma Bing melirik kearah Kiongcu,
tergerak hatinya. Kiongcu ini sedemikian cantik rupawan bak bidadari.
Kebetulan sinar mata sang Kiongcu juga tengah melerok
kearahnya, begitu sinar mata mereka bentrok, kontan merah
jengah wajah mereka. Tapi Kiongcu malah unjuk senyumnya yang
menggiurkan. Cepat2 Suma Bing tundukan kepala, hatinya berdetak keras, darah
terasa mengalir deras tanpa terkendali.
"Apapun juga yang bakal terjadi, aku tidak akan menyia2kan cinta
Phoa Kin sian kepadaku." demikian dalam hati ia berdoa dan ambil
ketetapan. Wajah tua Raja bumi kelihatan berseri girang suaranya lantang:
"Segera perintahkan upacara pernikahan segera dimulai."
Begitu perintah ini disampaikan, suasana menjadi ramai musik
mulai mengalun merdu. Dua orang protokol yang mengenakan
jubah panjang warna merah segera tampil kedepan dan berdiri
dikanan kiri. Ingin rasanya Suma Bing menolak, tapi dalam keadaan yang
penuh kewibawaan ini tak kuasa dia mengeluarkan kata2, sebab
sekarang dia bukan lagi manusia yang masih hidup, ingatan atau
pikiran ini selalu merangsang dan mengganggu ketenangannya.
Dengan kesima mematung dia menurut saja dituntun berdiri jajar
dengan Kiongcu, lalu berlutut menghadap raja dan sembahyang
janji setia kepada langit dan bumi. Setelah semua upacara selesai
lalu mereka diantar masuk kamar penganten.
Cara mengatur dan hiasan kamar penganten ini juga sedemikian
mewah dan anehnya tidak menyerupai cara2 dan adat2 kebiasaan
dari manusia jelata umumnya.
Menghadapi istri yang cantik rupawan ini pikiran Suma Bing
malah semakin kabur dan me-layang2.
"Siangkong!" dengan malu2 Kiongcu memanggilnya.
Bergetar sanubari Suma Bing, sahutnya: "Kiongcu..."
"Siangkong, aku bernama Pit Yau ang!" "O!"
"Biarlah aku panggil kau engkoh Bing, kau panggil aku adik Ang
saja." Suaranya sedemikian halus merdu, apalagi dalam suasana malam
penganten yang mempesonakan ini lebih menambah kemesraan
ikatan batin mereka.
"Adik Ang!" "Engkoh Bing!" Mereka tersenjum berpandangan,
lalu berpelukan dan
berciuman. Lama kelamaan yang terdengar hanyalah suara tawa
halus kegelian dan helaan napas yang memburu, alam sekelilingnya
menjadi sunyi senyap.
Entah sudah berselang berapa lamanya. Pelan2 Suma Bing mulai
siuman, pelan2 dia bangkit dari tempat tidur, sekilas
dipandangnya Pit Yau ang yang masih tidur nyenyak dialam
mimpinya, dengan penuh kasih sayang diciumnya keningnya.
Sambil mengenakan pakaiannya dia turun dari tempat tidur dan
duduk diatas sebuah kursi, mulailah dia mengenangkan segala
apa yang telah dialaminya...
Per-tama2 yang masuk dalam ingatannya, ialah sesaat sebelum
dirinya terhujam oleh cundrik Rasul penembus dada, terang
dirinya ditolong dan dibawa lari oleh seseorang, malah dia juga
merasakan jalan darahnya linu kesemutan, lantas dia lupa
se-gala2nya, bagaimana dirinya bisa mati?"
Sebenarnya istana apakah ini dan dimana letaknya" Te kun
atau raja bumi itu mengapa menanyakan riwayat
dan leluhur serta perguruannya, terutama malah menekankan
dalam bertanya tentang Bu siang sin hoat" Kalau dirinya benar2
sudah mati, mengapa dirinya tidak merasakan adanya hal2 yang
janggal sebagai setan atau malaikat, semua2 ini dirasakan wajar
dalam kenyataan sebagai badan kasar manusia umumnya, dan
yang terpenting... berpikir sampai
disini matanya melirik kearah ranjang gading dengan kelambu
sutranya yang tersulam indah masih menjulai panjang.
"Janggal!" tiba2 tercetus pekik keras dari mulutnya. "Engkoh
Bing, apanya yang janggal?" "Aku adalah manusia, aku belum
mati!" Sambil mengenakan pakaiannya pelan2 Pit Yau ang
turun dari atas ranjang, Suma Bing tidak berani beradu pandang dengan
sinar mata bening tajam bak bintang kejora, cepat2 ia tundukan
kepala. "Engkoh Bing!" Terpaksa Suma Bing angkat kepalanya,
suaranya gemetar:
"Kita sudah menjadi suami istri?" Pit Yau ang tertawa
menggiurkan, ujarnya: "Siapa bilang
bukan?" "Tapi..." "Tapi bagaimana?" "Aku tidak percaya dan
meragukan apa yang tengah
kualami ini!" "Tapi kenyataan sudah kau alami!" "Aku merasa
bahwa aku masih belum mati?" Pit Yau ang tertawa penuh arti,
katanya: "Mengapa kau
pikirkan hal2 yang tidak genah itu?" Berobah serius wajah Suma
Bing, katanya: "Bagaimana kau
bisa mengatakan hal ini urusan tidak genah?" "Kita sudah menjadi
suami istri, kita sudah bersumpah
untuk seia sekata dan hidup rukun sampai tua, apakah ini belum
cukup." Berobah hebat air muka Suma Bing, bergegas dia bangkit dari
tempat duduknya, serunya berjingkrak gusar: "Sebetulnya tempat
apakah ini?"
Sekilas berobah juga air muka Pit Yau ang, tapi pada lain saat
berobah pula dengan senyuman yang menggiurkan, katanya
lemah lembut: "Engkoh Bing, duduklah kita bicarakan hal ini
pelan2, mengapa mesti marah2?"
Tapi darah Suma Bing malah terasa mengalir semakin cepat,
wajahnya merah padam bentaknya murka: "Sebetulnya
dimanakah sekarang aku berada?"
Sahut Pit Yau ang dengan suara lirih lembut: "Perkampungan bumi,
salah satu tempat kramat bertuah dari dunia persilatan."
"Perkampungan bumi!" teriak Suma Bing gemetar, tubuhnya
terhuyung menggigil.
Mimpi juga tidak menyangka bahwa dirinya bakal terjatuh kedalam
cengkraman Te po, salah satu dari tiga tempat keramat yang
paling ditakuti dalam dunia persilatan.
Pura2 menjadi malaikat menyamar setan untuk memincut dan
menipu dirinya supaya menikah dengan Pit Yau ang. Suatu
perasaan kena tipu membuat darahnya mendidih, gusarnya bukan
alang kepalang.
'Plok!' sebelah pipi Pit Yau ang yang putih halus itu seketika
berpeta merah bekas lima jari yang jelas sekali, air darah kontan
meleleh keluar dari ujung bibirnya. Dalam murkanya tamparan
Suma Bing ini ternyata bukan olah2 kerasnya.
Air muka Pit Yau ang berobah pucat dan merah bergantian,
tubuhnya yang semampai itu menggigil terhuyung, bentaknya
bengis: "Suma Bing, kau berani turun tangan memukul orang?"
Suma Bing menggigit bibir, teriaknya: "Kuhajar wanita tidak tahu
malu seperti kau ini, mau apa?"
Malu dan gusar merangsang gejolak hati Pit Yau ang, matanya
merah hampir menangis, bergegas dia bangkit dari tempat
duduknya, serunya gemetar: "Dimana aku tidak tahu malu?"
"Menipu aku untuk menikah dengan kau!" "Aku menikah
menurut kehendak orang tua, bagaimana
dikatakan menipu?" "Pura2 menjadi malaikat menyamar setan,
dengan obrolan membujuk dan setengah ancaman bukankah ini menipu?" "Kau
dengarlah dulu penjelasanku..." "Tidak perlu penjelasan." pekik
Suma Bing sambil ulapkan
tangan. Berobah membesi wajah Pit Yau ang, timbul nafsu
membunuh pada air mukanya, suaranya gemetar dingin: "Kau
tidak mau dengar penjelasanku?"
"Tidak perlu!" "Lalu kau hendak apa?" "Kubunuh kau!" "Apa
kau mampu melakukan?" "Mari kucoba." "Kiongcu, ada terjadi
apakah didalam?" para dayang yang
menjaga diluar kamar menjadi gugup dan bertanya gelisah. "Tidak
ada urusan kalian, kamu pergi semua." "Baik." Air mata Pit Yau
ang akhirnya meleleh juga membasahi
pipi, ujarnya penuh haru dan sesenggukan: "Suma Bing,
seumpama menipu kau, juga tidak mengandung maksud jahat,
mana boleh kau tidak membedakan antara kebaikan dan
kejahatan?"
"Masa tindakan kalian ini bermaksud baik?" "Boleh dikata
demikian." "Cis." Suma Bing berludah. "Suma Bing, kau
pandang aku Pit Yau ang sebagai orang
apa?" "Perempuan tidak tahu malu!" "Berani kau katakan sekali
lagi?" "Tidak tahu..." Belum kata2 'malu' keluar dari mulutnya, Pit
Yau ang sudah mencengkram jalan darah pergelangan tangan Suma Bing, cara
geraknya yang cepat dan aneh benar2 sangat menakjupkan,
sedikitpun Suma Bing tidak sempat berkelit.
"Suma Bing, berani kau menghina aku?" "Menghina kau mau
apa, perbuatan ini sangat rendah dan
hina, sungguh tidak kira nama Te po yang dikumandangkan
ternyata..."
"Tutup mulut, Suma Bing, kalau aku tidak segera turun tangan,
siang2 kau sudah mati konyol dibawah cundrik Rasul penembus
dada!" Tertegun Suma Bing mendengar kata2 orang, ternyata bayangan
misterius itu adalah dia (Pit Yau ang), dengan mudah dan
seenaknya saja dia dapat menggondol pergi seseorang, betapa
tinggi kepandaian dan Lwekangnya ini benar susah dibayangkan.
Tapi begitu teringat akan maksud dari latar belakang semua itu,
tanpa terasa ia mendengus dingin: "Maksudnya semula memang
sudah hina dina, aku Suma Bing tidak terima budimu ini."
Pit Yau ang kertak gigi, katanya: "Suma Bing, keterlaluan kau
menghina aku!"
"Hm."
Sebelah tangan Pit Yau ang dibalik menekan jalan darah Thian
leng hiat di-embun2 kepalanya, ancamnya serius: "Baik biar
kulenyapkan kau."
Tanpa kuasa bergidik badan Suma Bing, namun dasar sifatnya
angkuh dan keras kepala kematian tidak akan melumerkan sifat
pembawaannya ini, serunya penuh kebencian: "Boleh silahkan kau
turun tangan"
Airmata mengalir semakin deras, Pit Yau ang kewalahan tangan
dilepaskan katanya sedih memilukan: "Engkoh Bing, mengapa kau
berbuat demikian, terhadap aku?"
"Lalu kau mau apa?" "Jelek2 kita sudah menjadi suami istri!"
"Aku tidak mengakui!" "Apa, kau... kau tidak mengakui?"
"Semua ini adalah tipuan belaka!" "Suma Bing, badanku yang
suci bersih ini sudah
kupersembahkan kepadamu, ternyata kau..." berkata sampai
disini, tangisnya semakin keras.
Tanpa terasa Suma Bing melirik keatas ranjang, benar juga
terlihat noktah2 darah berlepotan diatas seprei, badannya gemetar


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti ayam kedinginan, memang betul badan Pit Yau ang yang
masih perawan suci sudah diserahkan untuk dirinya, malah
samar2 masih teringat dalam otaknya upacara pernikahan itu.
Kecantikan Pit Yau ang bak bidadari, lain dari yang lain, kepandaian
silatnya juga luar biasa, malah putri dari majikan Te po yang
kenamaan itu, mengapa tidak memperdulikan nama dan gengsi
sendiri, melakukan tindakan2 yang memalukan ini"
Kalau perkampungan bumi hendak mencari menantu, bisa secara
terang2an dan bebas memilih diantara sekian banyak
manusia umumnya, mengapa pura2 menjadi malaikat menyamar
setan untuk menipu dan menakuti orang" Terutama gambaran
yang terlihat dalam bola kaca bundar itu susah dimengerti, apakah
itu ilmu sihir"
Waktu teringat akan istrinya Phoa Kin sian yang sudah
mengandung, terasa pilu dan seperti di-sayat2 hatinya, kelak
bagaimana dirinya harus berhadapan dengan bibinya Ong Fong
jui, bagaimana pula dia memberikan pertanggungan jawabnya
kepada istri tercinta" Karena pikirannya ini giginya gemertak,
tanyanya: "Pit Yau ang, kalian ayah beranak sebenarnya
mengandung maksud apa?"
Pada saat itulah tiba2 diluar pintu terdengar seruan seorang
dayang berkata: "Ada perintah dari Te kun, diminta Kiongcu dan
Hu ma segera menghadap beliau diistana belakang!"
"Baik, sudah tahu!" segera sahut Pit Yau ang. Suma Bing
mendengus keras, serunya: "Kebetulan hendak
kutanyakan kepada ayahmu, apakah maksudnya semua perbuatan
ini..." Berobah pucat wajah Pit Yau ang, suaranya ketakutan, "Jangan!"
"Mengapa jangan?" "Kalau kau berlaku kurang ajar terhadap
ayah, adalah kau
cari mati sendiri!" Lebih memuncak kemurkaan Suma Bing,
matanya mendelik
bagai kelereng: "Aku Suma Bing sudah terjatuh dalam cengkraman
kalian ayah beranak, aku tidak peduli akan mati hidup."
"Kau... jangan!" Suma Bing
mendengus ejek. "Aku mohon
kepadamu!"
"Kau Pit Yau ang memohon kepadaku" Sungguh menggelikan kau
salah menilai aku, Suma Bing ini bukan budak hina dina yang lemah
tulang..."
"Engkoh Bing, sedikitpun tiada rasa cinta kasihmu terhadap
pernikahan kita."
Tergerak sanubari Suma Bing wajahnya membeku, tanyanya:
"Apakah maksudmu ini?"
"Engkoh Bing, sehari menjadi suami istri akan terkenang sepanjang
masa, meski kau buang aku bagai barang rongsokan yang tidak
berguna lagi, tapi masa aku tega melihat kau..."
"Beberapa kata ini enak didengar dan dapat meluluhkan hati. Tapi
sayang aku Suma Bing bukan manusia lemah semacam itu."
"Engkoh Bing, kuminta kepadamu bila berhadapan dengan ayah,
haraplah kau berlaku sabar!" sejenak ia merandek, lalu katanya
lagi sambil menggigit bibir: "Tidak peduli syarat apapun yang kau
ajukan, biar aku lulusi semua."
Sikap Suma Bing tetap dingin membeku: "Ucapanmu dapat
dipercaya?"
"Sudah tentu!" "Baik, kululusi permintaanmu!" "Mari ganti
pakaian segera kita keistana belakang." Istana belakang juga
tidak kalah besar dan megahnya,
suasana disini lebih hening lelap, sinar lampu memancarkan
cahayanya yang redup. Terlihat Raja bumi mengenakan pakaian
preman tengah duduk penuh wibawa diatas kursi kebesaran.
Suma Bing mengiringi Pit Yau ang memasuki ruang istana, begitu
dekat segera Pit Yau ang mendahului berlutut dan bersembah:
"Anak menghadap ayah baginda!" Sebaliknya
Suma Bing berdiri mematung tanpa bergerak, diam2 Pit Yau ang
menarik ujung celananya, sinar matanya memancarkan
permohonan yang harus dikasihani. Bentrok dengan sorot mata ini
luluh dan lemah hati Suma Bing, terpaksa dia berlutut juga.
Sedikit mengerut kening Raja bumi angkat sebelah tangan seraya
berkata: "Bangun, duduk dipinggiran!"
"Terima kasih ayah!" Berdua mereka duduk diatas kursi yang
terletak disebelah
samping. Sorot mata Suma Bing menatap lurus kedepan, air
mukanya yang dingin membeku membuat gentar dan takut orang
yang melihatnya.
Terdengar Raja bumi membuka kata dengan nada kalem dan
berat: "Menantuku yang bagus, menurut undang2 tradisi dari
kakek moyang kita, dari sejak sekarang juga, kau sudah
merupakan ahli waris dari perkampungan bumi kita ini."
Keruan bergetar perasaan Suma Bing, cara bagaimanakah
penjelasannya ini. Bagaimana mungkin dirinya menjadi ahli waris
dari perkampungan bumi ini, malah menurut undang2 tradisi
kakek moyang mereka lagi. Ini benar2 kejadian yang aneh bin
ajaib dikolong langit. Maka segera sahutnya dingin: "Ini, sukar aku
dapat menerima!"
Berobah pucat air muka Pit Yau ang, diam2 ia me-narik2 lengan
baju Suma Bing.
Wajah Raja bumi berobah membesi dan gusar: "Ini merupakan
undang2 besi selamanya tidak dapat diganggu gugat!"
Dasar sifat Suma Bing memang angkuh dan keras kepala,
terlupakan sudah akan janjinya kepada Pit Yau ang, bantahnya:
"Mengenai urusan besar begini harus tergantung kepada orang
yang berkepentingan rela menerima atau tidak,
mana bisa main paksa apa segala?"
Wajah Te kun berobah lagi lebih seram tak enak dipandang, kedua
matanya memancarkan sinar hijau yang menakutkan, geramnya:
"Keputusan tidak terletak pada dirimu?"
"Aku yang rendah..." "Apa, terhadap aku kau sebut aku yang
rendah?" bentak
sang raja. Tubuh Pit Yau ang gemetar semakin keras, wajahnya
pucat pasi, ber-ulang2 matanya ber-kedip2 memberi isyarat tapi
sedikitpun Suma Bing tidak hiraukan se-akan2 tidak melihat.
"Dengan kedudukan Te kun dan nama kebesarannya, semestinya
tidak seharusnya berbuat..."
"Bedebah, tutup mulutmu. Berani kau membangkang perintah
raja." "Aku yang rendah seorang yang telah mempunyai istri!" "Apa"
Kau sudah mempunyai istri?" Badan Pit Yau ang gemetar
semakin keras, dengan lengan
baju ia tutup mukanya. "Benar!" seru Suma Bing dengan tidak
kalah gusarnya. "Sebelum ini kenapa tidak kau jelaskan?" "Adalah
kalian yang memaksa dan mengatur keadaan ini,
sehingga aku yang rendah tiada kesempatan untuk membela
diri!" Agaknya Te kun sendiri juga merasa tegang dan murka luar biasa,
wajahnya berkerut2 menahan perasaan hatinya. 'Pak, Plok' dua
kali tangannya bertepuk, segera muncul dua laki2 yang
mengenakan pakaian Busu sambil menghadap dengan hormatnya
diambang pintu.
"Panggil menghadap Komisaris luar!" "Terima perintah!" kedua
busu itu membungkuk tubuh
terus mengundurkan diri. Suma Bing tetap duduk ditempatnya
dengan sikap dingin
kaku, dengan tenang ia nantikan perkembangan selanjutnya.
Tidak lama kemudian, seorang tua yang bertubuh tinggi
tegap dan bersikap garang bergegas memasuki ruang istana,
segera kedua lutut ditekuk sambil sembahnya: "Komisaris luar
Teng Tiong cwan menghadap Baginda raja!"
"Bangun dan jawab pertanyaan!" "Terima kasih baginda!"
"Siapa orang yang bertugas menyelidiki asal usul ahli waris
kali ini?" "Sim tongcu dan Bu tongcu dua tongcu bawahan hamba
langsung bertugas dikalangan Kangouw!" Terdengar Te kun
mendengus gusar, serunya: "Bawa Sim
dan Bu Tongcu keluar penggal kepalanya!" Tanpa terasa berdetak
keras jantung Suma Bing. Saking kaget komisaris luar Teng Tiong
cwan mundur selangkah, tubuhnya membungkuk sambil memberi hormat,
ujarnya: "Harap baginda suka memberi ampun, ketahuilah bahwa
kedua Tongcu ini sudah pernah mendapat empat kali pahala
utama!" "Penggal kepalanya!" "Hamba memberanikan diri bertanya,
apakah kesalahan
mereka?" "Bekerja secara ceroboh, merusak gengsi dan nama
kebesaran Te po!" "Harap diberikan
data2 yang jelas?"
-oo0dw0oo- Jilid 9 33. DARAH PUSAKA NAGA BUMI.
"Hu ma Suma Bing ternyata sudah mempunyai istri. Ini
menandakan bahwa cara bekerja kedua Tongcu itu teledor dan
kurang teliti!"
"Sebelumnya terima kasih akan budi luhur dan kebajikan hati
Pendekar Riang 7 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Pendekar Laknat 12
^