Pedang Ular Mas 10
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 10
petahkan latihannya.
Untuk ini Sin Tjie pakai tempo sepuluh hari, setelah Lip Djie ingat semua, dia dipesan
untuk berlatih nanti, setelah lukanya sembuh.
Pelajaran ini beda daripada yang umum, karena Sin Tjie wariskan dari dalam kitab Kim
Tjoa Pit Kip. Maka itu, walaupun ia tercelaka, Lip Djie girang tak kepalang, karena ia sangat
bahagia memperoleh ilmu golok yang liehay itu.
Sin Tjie sudah lantas siapkan belasan kereta sewaan, untuk angkut hartanya ke kota raja.
Untuk keberangkatannya itu, Kong Lee adakan satu perjamuan meriah sekali yang dihadiri
oleh gadisnya dan sekalian muridnya. Di pihak lain, Sin Tjie minta tolong supaya gedung
Kokkong-hoe itu dikembalikan kepada Bin Tjoe Hoa, sedang Tiang Pek Sam Eng
diserahkan kepada pembesar negeri.
Selagi cuaca musim rontok menyenangi hati, Sin Tjie berangkat bersama-sama Tjeng
Tjeng, A Pa dan Ang Seng Hay, mengiringi belasan kereta harta karun itu, menuju ke
Utara, Kong Lee dan gadisnya serta murid-muridnya mengantari sampai di seberang
sungai Tiang Kang, sampai jauhnya tiga-puluh lie lebih.
Daerah sebelah utara sungai ada daerah pengaruh Kim Liong Pang, dari itu siang-siang
Kong Lee telah atur warta berita kepada pelbagai pelabuhan atau pos partainya, supaya di
setiap tempat, rombongan Sin Tjie disambut dengan baik dan dilindungi di sepanjang
jalan. Selang lebih dari sepuluh hari, sampailah rombongan ini di batas propinsi Shoatang.
"Tuan Wan, sejak ini, daerah bukan daerah pengaruh Kim Liong Pang lagi," menerangkan
Ang Seng Hay, "karenanya, mulai hari ini, harus kita berlaku sedikit lebih hati-hati."
"Apa" Apa ada orang berani main gila terhadap kita?" tanya Tjeng Tjeng.
"Itulah tak dapat dibilang, "sahut Seng Hay. "Sekarang ini jalanan tidak aman, terutama di
Shoatang, orang jahat terlebih banyak daripada tempat lainnya. Di daerah ini ada dua
partai yang liehay."
"Kau toh dari partai Poet Hay Pay?" Tjeng Tjeng tegasi.
Seng Hay tertawa.
"Poet Hay Pay berkuasa di lautan," kata dia, "maka juga kalau di darat, umpama emas dan
permata kedapatan di tengah jalan, menjemputnya pun kami tidak lakukan!"
"Siapa itu dua partai di Shoatang?" Sin Tjie tanya.
"Yang pertama ada rombongan Tie Hong Lioe Tie Toaya di Tjhongtjioe," jawab Seng Hay.
Sin Tjie manggut.
"Ya, aku pernah dengar guruku omong tentang Tie Toaya itu," kata ia. "Dia kesohor untuk
tangan-pasir-besinya Tiat-seetjiang dan ilmu silat toya Thay-tjouw-koen."
"Itulah benar. Partai yang satu lagi adalah yang berkedudukan di ok-houw-kauw," Seng
Hay terangkan lebih jauh. "Partai ini mempunyai enam pemimpin yang semuanya liehay."
Sin Tjie manggut pula.
"Baiklah, kita harus berhati-hati," katanya. "Setiap malam baik kita bergiliran menjaga."
Perjalanan dilanjuti. Selang dua hari, mereka berpapasan dengan dua penunggang kuda,
yang kudanya dikaburan, sehingga suara kelenengannya terdengar dari jauh-jauh.
"Inilah dia!" kata Seng Hay setelah dua penunggang kuda itu lewat di samping mereka.
Sebagai orang kang-ouw ulung, Seng Hay luas pengetahuannya. Ia tidak kuatir, karena ia
tahu Sin Tjie liehay dan ia sendiri pun tak dapat dipandang ringan.
Selang satu jam, dua penunggang kuda tadi telah kembali dan lantas melewatkan pula.
Tjeng Tjeng tertawa dingin.
"Tidak sampai sempuluh lie, bakal ada yang pegat kita," Seng Hay kasih tahu.
Akan tetapi sangkaan ini keliru. Lebih dari sepuluh lie dilewatkan, mereka tidak kurang
suatu apa, hingga mereka singgah di Siang-tjio-hoe.
"Heran! Mungkin mataku lamur?" kata Seng Hay.
Besoknya pagi, jalan belum lima lie, di sebelah belakang mereka, empat penunggang kuda
menguntit dari kejauhan.
"Aku mengerti," kata Seng Hay. "Kemarin mereka belum siap, hari ini tentu mereka akan
bekerja." Tengah hari, sehabis singgah, lagi dua penunggang kuda menyusul rombongan ini.
"Aneh!" kata Seng Hay. "Kenapa begini banyak orang?"
Dan menambah keheranannya ini, beberapa jam kemudian, dua penunggang kuda lain
lewatkan mereka.
Sin Tjie masih hijau di kalangan kang-ouw, ia tidak merasakan apa-apa, tapi juga Tjeng
Tjeng, pengalamannya masih kurang, tidak demikian dengan Seng Hay.
"Aku mengerti sekarang," kata dia. "Wan Siangkong, malam ini kita mesti singgah di
tempat yang besar."
"Kenapa begitu?" Sin Tjie tanya.
"Sebab yang kuntit kita bukannya orang-orang dari satu partai saja."
"Begitu" Berapa partai kiranya?" tanya Tjeng Tjeng.
"Jikalau setiap partai kirim dua orang, itu berarti, di depan dan belakang, sudah tujuh...."
Tjeng Tjeng tertawa.
"Kalau begitu, bakal ramai!" katanya.
"Tetapi siotjia, satu orang tak dapat lawan orang yang banyak," Seng Hay peringati. "Kita
sendiri boleh tak takut tetapi bagaimana kita dapat bela barang-barang kita" Ini sulit..."
"Kau benar juga," Sin Tjie manggut. "Malam ini kita singgah di Tjio-liauw-tin saja."
Benar-benar mereka singgah di Tjio-liauw-tin dimana mereka pilih sebuah hotel besar,
malah Sin Tjie peirntah turunkan semua peti, untuk ditumpuk di dalam kamarnya dimana
ia hendak tidur berdua si empeh gagu.
Baru Sin Tjie selesai mengangkut, dua orang dengan tubuh besar datang ke hotel itu.
Lebih dulu mereka awasi anak muda kita, lantas mereka nyatakan pada kuasa hotel bahwa
mereka berniat bermalam. Karena ini, satu jongos diperintah antar mereka masuk, untuk
ambil kamar. Sin Tjie manggut-manggut dengan diam-diam, ia tahu apa yang harus diperbuat. Habis
bersantap ia perintah semua orang masuk ke dalam kamar, untuk beristirahat.
Kira tengah malam, pemuda kita dengar suara berkelidik di atas genteng, bukan dia lantas
bersiap, dia malah bangun untuk nyalakan lilin secara terang-terang, kemudian ia buka
sebuah petinya, untuk keluarkan seraup mutiara dan batu permata lainnya, yang ia letaki
di atas meja, antaranya ada yang ia pandangi pulang-pergi, hingga di antara sinar api,
semua permata itu terang-gemilang berkilauan.
Di luar jendela, entah berapa banyak pasang mata yang kesilauan juga.
Seng Hay pun dengar apa-apa, hatinya jadi tidak tenang, maka ia keluar dari kamarnya
akan menghampiri Sin Tjie. Di luar, ia lihat belasan tubuh berebut umpetkan diri, maka ia
bersenyum ewa. Ia ketok kamarnya si anak muda.
"Masuk!" terdengar suara Sin Tjie.
Seng Hay tolak daun pintu yang menjeblak. Nyata pintu tak dikunci.
Begitu melangkah di pintu dan lihat barang-barang permata itu, orang she Ang ini
melengak, saking heran, karena matanya silau. Belum pernah ia lihat barang permata
demikian banyak, banyak rupanya dan bear-besar juga. Ia heran ia tak tahu dari mana si
anak muda perolehnya. Kemudian lekas-lekas ia dekati anak muda itu.
"Wan Siangkong, apa boleh aku bantui kau simpan barang permata ini?" kata dia,
suaranya sangat pelahan. "Di luar kamar banyak orang sedang intai kita...."
"Aku justeru hendak bikin mereka buka mata mereka," sahut si anak muda, dengan
pelahan juga. Ia lantas angkat serenceng mutiara, lalu ia tanya: "Kalau kita bawa mutiara
ini ke kota raja, berapa kau taksir harga penjualannya?"
"Aku tidak tahu," sahut pengiring itu.
"Sebutirnya tiga-ratus tail perak, tak kurang lagi," si anak muda bersenyum. Dan
rencengan ini terdiri dari dua-puluh empat butir."
"Jadi harganya sepuluh ribu tail...." Seng Hay bilang.
"Eh, kenapa jadi sepuluh ribu?" tegasi Sin Tjie heran.
"Sebab sukar akan cari mutiara sebesar ini, begitu bundar, begini jernih cahayanya, malah
semuanya, sama besarnya!" kata pengikut ini.
Pembicaraan ini terdengar sampai keluar jendela, orang-orang jahat yang lagi mengintai
jadi merah matanya, hati mereka jadi gatal, hampir mereka tak sanggup mengatasi diri
sendiri. Tapi mereka ditugaskan untuk mengintai saja, buat lekas pulang dengan laporan,
supaya ketua mereka bisa berdamai dulu, agar dia orang tak bentrok satu dengan lain.
Begitulah, lekas-lekas mereka berlalu dengan berpencaran.
Kapan Sin Tjie telah duga orang sudah pergi semua, ia goyang-goyang tangan kepada
Seng Hay, untuk menitahkan orang itu tidur, ia sendiri tertawa, ia naik ke pembaringan
tanpa benahkan lagi mutiara itu.
Besoknya pagi, perjalanan dilanjuti, terus sampai dua hari, mereka tidak tampak rintangan
suatu apa. Ketika itu mereka sudah lewati batas wilayah kota Tjeelam. Sementara itu Sin
Tjie dapat kenyataan, orang-orang jahat yang arah dia jadi semakin banyak, hingga Seng
Hay, yang tadinya tenang, jadi tak tenteram juga hatinya. Ia ini pun bingung, kenapa orang
masih belum mau turun tangan. Maka akhirnya, ia usulkan si anak muda akan tukar jalan
darat dengan jalan air.
"Di air aku mempunyai banyak sahabat," ia mendesak. "Kita naik perahu sampai di Thiantjin,
di sana kita mendarat, untuk melanjuti sampai di Pakkhia. Dengan begini benar kita
ambil jalan mutar dan memakan tempo jauh lebih banyak akan tetapi keselamatan kita
lebih terjamin."
Sin Tjie tertawa atas usul itu.
"Aku justeru hendak serahkan harta ini kepada orang-orang gagah kita dan pencintapencinta
Negara!" katanya. "Umpama harta ini habis tersebar, masih tidak apa! Bukankah
harta ada benda sampiran belaka" Untuk kita, kewajiban membela Negara adalah yang
utama!" Mendengar itu, Ang Seng Hay lantas tidak banyak omong lagi.
Itu hari sampailah mereka di Ie-shia, dimana mereka cari hotel.
Tjeng Tjeng tidak betah berdiam saja, seorang diri ia pergi pesiar di sekeliling kota. Tidak
demikian Sin Tjie, yang insyaf entah berapa banyak mata yang incar harta-karunnya itu,
dari itu bersama-sama A Pa, ia tak mau meninggalkan hotelnya.
Berselang kira-kira satu jam, Tjeng Tjeng pulang dengan wajah berseri-seri, tangannya
menenteng dua bumbung bambu kecil dalam mana masing-masing terdapat seekor
jangkrik, yang masing-masing sedang mengasi dengar suara ngeringnya tak sudahnya.
Yang seekor ia terus serahkan pada Sin Tjie seraya bilang: "Aku beli dua-puluh tjhie
seekornya. Sebentar malam kau gantung di kelambumu, pasti suaranya enak
didengarnya..."
Sin Tjie tertawa, dia menyambutinya. Tapi segera ia tertawa pula.
"Eh, adik Tjeng, tadi ditengah jalan kau ketemu siapa?" tanyanya.
Tjeng Tjeng agaknya tercengang.
"Tidak....." jawabnya.
"Bebokongmu orang telah berikan tanda," Sin Tjie kasih tahu.
Tidak tempo lagi, Tjeng Tjeng lari kedalam kamarnya, untuk buka bajunya, guna periksa
tanda yang dihunjuki itu. Ia telah lihat satu bundaran kapur. Mungkin tanda itu diberikan
selagi tadi ia membeli jangkrik, saking gembira, ia sampai tidak merasakannya. Maka itu,
ia puji kelicinannya orang yang memberikan tanda itu tapi ia pun mendongkol.
"Tolong kau bantu aku cekuk orang itu, untuk hajar dia!" Kata ia pada Sin Tjie setelah ia
ketemui pula si anak muda.
"Kemana aku mesti cari dia?" tanya Sin Tjie sambil tertawa.
Tjeng Tjeng berpikir, tapi segera ia dapat jalan.
"Pergilah kau pesiar sendirian, berlagaklah sebagai orang tolol," ia kata kemudian.
"Jadi aku mesti pesiar seperti kau tadi, supaya orang pun datang untuk beri tanda di
bebokongku?" Sin Tjie tegaskan sambil tertawa.
"Benar!" si nona pun tertawa. "Lekaslah pergi!"
Anak muda ini tak tega untuk menampik, maka ia pergis etelah pesan nona ini bersama
Seng Hay untuk waspada menjaga harta mereka.
Ie-shia ada sebuah kota yang ramai, walaupun sudah mendekati malam, orang-orang
banyak yang berdagang dan berbelanja, pelbagai kereta dan kuli-kuli masih saja berjuang
untuk masing-masing kehidupannya atau pekerjaannya.
Sin Tjie berjalan dengan sewajarnya sebagai seorang asing, akan tetapi dengan diamdiam,
ia telah memasang mata, karenanya tak nanti orang curigai dia kendatipun ia sering
celingukan. Demikian ia dapat tahu ada seorang menguntit ia sejak ia mulai keluar dari
pekarangan hotel.
"Bagus, kau jadi makin kurang ajar!" kata ia dalam hatinya. "Tidak saja hartaku, diriku pun
kau awasi! Kau beri tanda dibelakangnya adik Tjeng, apakah artinya itu! Tidakkah dengan
begitu kau seperti keprak rumput hingga ular mabur, hingga aku jadi dapat ketika untuk
berjaga-jaga?"
Tidak usah pemuda ini berpikir lama, untuk ambil kesimpulan.
"Rupanya ada rombongan yang ingin temahai sendiri hartaku ini," pikir ia. "Mereka telah
beri tanda supaya lain orang melihatnya dan lain orang tak berani mengganggu."
Sin Tjie jalan terus, dengan sikapnya seperti tak ada perhatian, tapi sekarang ia telah ambil
putusan akan bertindak bagaimana. Ia tetap masih dibayangi, ia menuju ke sebuah
bengkel besi akan tonton tukang-tukang sedang bikin golok. Ia berdiri diam bagaikan
orang kesengsam, tapi ia tahu, si penguntit dekati padanya. Mendadakan saja ia berpaling
seraya tangannya menyambar tangan orang itu di bagian nadi.
Orang itu kaget, apapula segera ia merasakan sebelah tangannya seperti mati, maka
tempo pemuda kita tarik tangannya, untuk dituntun dengan perlahan-lahan, ia mengikuti
tanpa buka suara, seperti ia sudah tak dapat kuasai diri sendiri. Ia dituntun sampai di
sebuah gang kecil dan sepi.
"Kau orang siapa?" tanya Sin Tjie.
Orang itu ketakutan dan kesakitan, sampai ia mandi keringat.
"Tolong lepaskan tanganku, tuan, nanti tanganku patah," dia memohon.
"Jiaklau kau tidak mau bicara, batang lehermu pun aku nanti potes!" Sin Tjie bilang.
"Aku nanti bicara, aku nanti bicara, tuan," sahut orang itu ketakutan. "Aku adalah orang
sebawahan See TJeetjoe dari Ok Houw Kauw."
"Bukankah kau hendak memberi tanda bundaran di bebokongku" Apakah artinya itu?"
"See Tjeetjoe titahkan aku berbuat demikian, apa maksudnya, aku tidak tahu."
"Dimana adanya sekarang See Tjeetjoemu itu?"
Orang itu celingukan, agaknya ia jeri untuk mengasih tahu.
Sin Tjie gunai tenaganya, hingga orang itu meringis, ia takut bukan main.
"See Tjeetjoe pesan aku untuk malam ini pergi ke kuil Sam Kong Sie di luar kota untuk
menemui dia," ia buka rahasia.
"Baik, hayo kau antar aku kesana."
Benar-benar orang ini takut, ia mengantarinya, terus sampai di kuil.
Ketika itu, di rumah berhala masih sepi, belum ada seorang lain. Itulah sebuah kuil tua
sekali dan sudah rusak, tidak ada penghuninya. Sin Tjie periksa semua ruangan, juga
depan dan belakang, akhirnya ia totok urat gagu dari bajingan itu tubuh siapa ia lantas
lemparkan ke dalam kotak patung. Kemudian lagi ia tak usah menunggu terlalu lama, akan
dengar suara banyak orang lagi mendatangi. Maka segera ia sembunyikan diri diantara
patung sang Buddha yang besar.
Yang datang itu ada beberapa puluh orang, mereka duduk berkerumun di ruang pendopo.
Segeralah terdengar suaranya seorang perempuan:
"Giam Loo-sie, Loo-ngo, pergi kamu berdua saudara membawa empat saudara, untuk
menjaga di empat penjuru, di atas genteng juga!" demikian satu titah.
Dua orang yang dipanggil dua saudara she Giam yang keempat dan kelima sudah lantas
bertindak keluar, untuk jalankan titah itu, maka di lain saat, Sin Tjie pun dengar suara di
atas genteng. "Kamu boleh cerdik tapi sekarang aku sudah ada di sini!" ia tertawa dalam hatinya.
Sebentar lagi datang pula serombongan orang, suara mereka berisik ketika suara mereka
saling menegur, saling berbahasa saudara satu dengan lain.
Turut apa yang Sin Tjie dengar, mereka adalah dari delapan rombongan atau delapan
gunung dari wilayah Shoatang, karenanya dia tak berani berlaku sembarangan.
"Tentang barang-barang yang diangkut telah didapatkan penjelasan," terdengar suara
perempuan yang bermula tadi. "Barang-barang itu adalah permata-permata yang tak dapat
ditaksir harganya, pengiringnya ada dua anak muda yang tak tahu apa-apa tetapi
pembelanya adalah Ang Seng Hay, satu anggota dari Poet Hay Pay. Dia ini tak ada
kecelanya tapi sepasang tangan mana sanggup layani dua pasang" Hanya, memandang
muka sesama kaum, jangan kita ganggu jiwanya."
"Untuk merampas harta itu, tak usah See Tjeetjoe pusing memikirkannya," kata satu
suara. "Apa yang penting adalah cara pembagiannya. Kita perlu mengatur terlebih dahulu,
supaya kita tak usah merusak persahabatan."
"Aku adalah yang pertama mengetahui harta itu," kata satu suara keras dan kasar," maka
menurut aku, setelah barang itu berada di tangan kita, di dalam sepuluh, Ok Houw Kauw
dapat dua bagian, Sat Pa Kong juga dapat dua bagian, lalu yang lainnya masing-masing
satu bagian."
"Bagus benar!" pikir Sin Tjie. "Kamu telah pandang barangku seperti milikmu sendiri dan
sekarang asyik mengatur pembagiannya, untuk dipesta-pora!"
Lalu terdengar satu suara lagi: "Kenapa kau masing-masing menghendaki dua bagian"
Menurut aku, baik kita bagi rata saja, seorang satu bagian."
Sampai di sini, suara jadi ramai, masing-masing memberi usulnya.
"Dibagi sepuluh bagian tidak adil, dibagi delapan tidak adil juga," kemudian kata satu
suara tua tetapi keren. "Ok Houw Kauw terdiri dari beberapa ribu jiwa saudara, tapi Sat Pa
Kong dan Loan Sek Tjay cuma terdiri dari tiga-ratus orang. Apakah mereka mesti
mendapat bagian rata" Maka usulku adalah Ok Houw Kauw ambil dua bagian, yang lainlain
masing-masing satu bagian. Aku minta See Tjeetjoe yang atur cara bekerja kita."
Kebanyakan orang anggap usul ini pantas, mereka suka menerimanya, karena itu, sisa
yang lainnya lantas menurut saja.
"Sekarang sudah ada kecocokan, maka baik ditetapkan, besok kita turun tangan," berkata
orang yang dipanggil See Tjeetjoe, ketua she Tjee. "Aku memikir desa Thio-tjhung, dari itu
baiklah masing-masing rombongan berkumpul di sana."
Usul ini dapat persetujuan, dari itu tak ayal lagi, mereka saling pamitan dan lantas
bubaran, hingga sebentar kemudian, kuil tua itu jadi sunyi senyap pula.
Sin Tjie muncul dari tempat sembunyinya, tanpa perdulikan pula bandit atau orangnya See
Tjeetjoe, ia langsung menuju hotelnya, kepada Tjeng Tjeng ia tuturkan hasil "pesiarnya"
itu.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tjeng Tjeng bengong berpikir.
"Jumlah mereka besar sekali, pasti mereka tak dapat dipukul rubuh semua, tak bisa
dibunuh habis," katanya. "Bagaimana pikiranmu?"
"Jikalau nanti mereka pegat kita, kita bersikap tenang-tenang saja," Sin Tjie bilang. "Kita
mesti cari tahu, siapa kepalanya di antara mereka, lantas paling dulu kita cekuk padanya.
Aku percaya rombongan mereka tidak berani turun tangan terus."
Tjeng Tjeng tepuk-tepuk tangan, ia tertawa.
"Inilah pikiran bagus!" ia memuji.
Besoknya pagi mereka berangkat pagi-pagi. Segera ternyata, mereka telah dikuntit dengan
berani, seperti juga Sin Tjie semua tidak ada lagi di mata mereka. Seng Hay lihat itu, dia
sangat berduka.
"Kelihatannya, Wan Siangkong, hari ini tak dapat dilewatkan lagi," kata dia secara diamKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
diam kepada Sin Tjie.
"Kau jangan kuatir," pesan si anak muda. "Tugasmu adalah jaga semua kereta, supaya
keledai-keledai jangan kaget dan kabur. Untuk layani orang-orang jahat, serahkan itu
kepada kita bertiga."
Seng Hay menurut, ia coba menenteramkan diri.
Sin Tjie lantas bicara dengan si empeh gagu, dengan gerak-gerakan tangannya. Ia pesan,
kalau ia sudah turun tangan, A Pa Barulah bekerja, dan yang bakal dibekuk adalah
kepalanya penjahat.
A Pa manggut, tandanya ia mengerti.
Di waktu lohor jam tiga atau empat, rombongan kereta keledai yang angkut harta karun
sampai di desa Thio-tjhung. Di muka itu ada segumpal pepohonan lebat. Segera terdengar
suara anak panah mengaung dan muncul beberapa ratus orang yang pada ikat kepala
dengan pelangi hijau, pakaian mereka serbat hitam, senjata mereka pelbagai macam,
semuanya mengkilap tajam. Tapi mereka tidak menerbitkan suara berisik, mereka cuma
menghadang di tengah jalan.
Tukang-tukang kereta lihat gelagat tidak baik, dengan lantas mereka hentikan keretakereta
mereka, habis itu mereka berjongkok sambil tutupi kepala mereka. Inilah aturan
mereka, sebab asal mereka tidak lari serabutan, orang jahat tidak bakal ganggu mereka.
Adalah setelah itu lalu terdengar suara suitan beruntun-runtun, menyusul mana beberapa
puluh penunggang kuda muncul dari dalam rimba, menuju ke belakang rombongan kereta,
untuk menjaga jalan mundur orang.
Selama di dalam kuil Sam Kong Sie, Sin Tjie tidak lihat nyata roman orang, sekarang
Barulah ia melihat tegas tujuh orang yang berbaris di paling muka, orangnya tinggi dan
kate, satu di antaranya, yang berumur tiga-puluh lebih, maju pula kesebelah depan sekali.
Dia ini tidak menyekal senjata, dia cuma menggoyang kipas dengan secara tenang.
"Wan Siangkong!" ia menegur, suaranya halus.
Sin Tjie kenali suaranya See Tjeetjoe dari Ok Houw Kauw, ia lihat orang itu sikapnya
tenang, dan tindakan kakinya tetap, maka ia mengerti kepala berandal ini pasti seorang
yang liehay. Ia pun tidak sangka, dalam kalangan Tjauw-bong, Hutan Rumput, ada orang
semacam tjeetjoe ini. Ia lekas memberi hormat.
"See Tjeetjoe!" katanya.
Kepala berandal itu heran, inilah ternyata dari romannya.
"Eh, mengapa dia kenal aku?" pikirnya.
"Wan Siangkong telah bikin perjalanan jauh, banyak cape, tentu," katanya kemudian.
Sin Tjie awasi muka lawan, ia tahu tjeetjoe itu heran bahwa ia ketahui namanya, maka itu ia
memikir untuk bikin orang lebih heran.
"Perjalanan jauh tidak melelahkan aku," demikian jawabnya, "aku hanya sebal sebab
barang-barang bawaanku ini terlalu banyak, terlalu berat....."
See Tjeetjoe tertawa.
"Apakah siangkong hendak pergi ke ke kota raja untuk turut dalam ujian ilmu surat?"
tanyanya. "Oh, bukan, tjeetjoe," sahut Sin TJie. "Ayahku titahkan aku pergi ke kota raja untuk
menyerahkan uang, guna mendapatkan pangkat."
Kembali kepala berandal itu tertawa.
"Siangkong seorang jujur, tak miripnya kau dengan anak sekolahan yang kebanyakan,"
katanya. Sin Tjie pun tertawa. Kemudian ia kata:
"Tadi malam satu sahabatku datang memberi tahu padaku, katanya hari ini satu See
Tjeetjoe bakal menantikan aku di tengah jalan. Ia pesan aku untuk waspada, maka itu, aku
tidak berani berlaku alpa, kuatir aku nanti tak dapat bertemu sama See Tjeetjoe. Sungguh,
benar-benar disini kita bertemu! Melihat dandanan tjeetjoe, apakah tjeetjoe juga hendak
menuju ke kota raja" Bagaimana jikalau kita jalan sama?"
See Tjeetjoe itu tertawa geli di dalam hatinya.
"Kiranya dia satu pitik yang tak tahu apa-apa!" pikirnya. Ia tertawa pula. Ia kata: "Apakah
tidak baik siangkong hidup senang di dalam rumah" Untuk apa siangkong melakukan satu
perjalanan begini jauh" Siangkong harus ketahui, diluaran banyak kejahatan...."
Dengan sikap wajar, Sin TJie menyahut: "Selama di rumah, pernah aku dengar orangorang
tua omong tentang penipu dan bunga raya, siapa tahu sesudah aku jalan seribu lie,
aku tidak menemui apa juga, dari itu aku beranggapan, omongan itu kebanyakan hanya
omongan untuk mendustai orang saja."
Ketujuh tjeetjoe lainnya tak sabaran mendengar bicaranya si anak muda, mereka awasi
See Tjeetjoe, mereka kedip-kedipi mata, untuk menganjuri akan turun tangan dengan
segera. See Tjeetjoe rupanya berpikir sama seperti sekalian rekannya itu, mendadakan lenyap
wajah berseri-serinya, sebagai gantinya, dia berseru nyaring dan panjang, lantas ia
kibaskan, buka kipasnya, hingga pada daun kipas itu tertampak lukisan putih dari sebuah
tengkorak dengan mulutnya tengkorak lagi menggigit sebatang golok, hingga romannya
jadi sangat menakuti, menggiriskan.
Tjeng Tjeng yang berandalan terkejut juga dalam hatinya, malah Sin Tjie sendiri
merasakan hebatnya gambaran tengkorak itu, akan tetapi pemuda ini tetap tenang.
Habis itu, See Tjeetjoe perdengarkan lagi suara tertawa, yang aneh, Baru suaranya
berhenti, atau tangannya yang memegang kipas digeraki atas mana, beberapa ratus
berandal lantas saja bergerak, untuk maju menyerang.
Sin Tjie mengerti saatnya untuk bertindak, akan tetapi di saat ia hendak berlompat, guna
bekuk See Tjeetjoe, dengan tiba-tiba terdengar suara suitan yang nyaring dan tajam dari
dalam rimba, hingga tjeetjoe she Tjee itu menjadi kaget, segera kibaskan pula kipasnya,
melihat mana, semua berandal berhenti beraksi, semua lantas berdiri diam.
Segera muncul dua penunggang kuda dari dalam rimba itu. Penunggang kuda yang
pertama adalah seorang tua dengan rambut, alis dan kumis-jenggotnya telah putih semua,
sedang yang belakangan adalah satu nona dengan baju hijau, tangganya menyekal suitan.
Mereka ini majukan kuda mereka di antara See Tjeetjoe dan Sin TJie, Baru mereka
berhenti. "Inilah perbatasan Shoatang," kata See Tjeetjoe.
"Memang. Siapa yang bilang bukan?" sahut orang tua itu.
"Apa yang telah diputuskan ketika dulu kita membuat pertemuan di gunung Tay San?" See
Tjeetjoe tanya pula.
"Itu waktu telah ditetapkan, kami dari pihak Tjeng Tiok Pay tidak akan memasuki daerah
Shoatang untuk bekerja, dan kamu tidak dapat bekerja di Hoopak," si orang tua menjawab
pula. "Bagus!" kata See Tjeetjoe. "Habis angin apakah sudah tiup Thia Loo-ya-tjoe datang
kemari?" Orang tua itu menyahuti dengan tenang: "Aku dengar kabar suatu barang-barang bakal
dibawa masuk ke Hoopak, katanya tak sedikit terdiri dari barang baik, karenanya kita
datang dulu untuk melihat."
Wajahnya See Tjeetjoe berubah.
"Jikalau ditunggu sampai barang sudah sampai di daerah Hoopak, Baru dilihat, toh masih
belum terlambat?" dia tanya.
Si orang tua tertawa berkakakan.
"Bagaimana tidak terlambat?" katanya. "Jikalau barang sudah terjatuh ke dalam tangan
pihakmu, gilirannya untuk melihat saja sudah tidak ada!"
Sin Tjie bertiga Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay saling memandang di dalam hati mereka,
mereka berpendapat bagaimana cepatnya orang-orang Hoopak dengar kabar hal angkutan
harta karun itu, hingga mereka sudah lantas datang untuk mendahulukan turun tanagan,
atau untuk mendapati sebagian saja. Mereka pun pikir, baik mereka "tonton" sepak-terjang
lebih jauh dari mereka itu.
Di pihak Shoatang, orang lantas bicara dengan seru, umumnya meeka katakan si orang
tua bersikap tak tahu aturan. Menurut suara mereka, orang tua ini rupanya bernama Thia
Tjeng Tiok. "He, apa yang kamu bicarakan demikian berisik?" si orang tua tanya rombongan Shoatang
itu. "Aku sudah tua, kupingku tak dengar nyata...."
See Tjeetjoe kibas-kibaskan kipasnya, untuk cegah rombongannya.
"Kita telah membuat perjanjian, Thia Loo-ya-tjoe, mengapa kau tidak hendak menepati
janji?" See Tjeetjoe tanya pula. "Ia tak dapat dipercaya, apakah dia tak bakal ditertawai
orang-orang gagah kaum kang-ouw?"
Ditegur secara demikian, si orang tua tidak menjawab, ia hanya menoleh kepada si nona di
sampingnya, akan tanya: "Eh, A Kioe, ketika masih di rumah, apakah kataku kepadamu?"
Si nona jawab: "Kau bilang, mari kita pergi ke Shoatang untuk lihat barang-barang
berharga."
Tjeng Tjeng ada satu nona akan tetapi ia kagum mendengar suaranya nona ini. Itulah
suara yang halus, jernih, sedap didengarnya. Maka ia menoleh kepada nona itu, yang ia
awasi, hingga ia tampak lebih jelas wajah orang, muka yang bersemu dadu, segar dan
manis. Dia adalah satu nona muda yang eilok dan menarik.
"Apakah kita pernah omong bahwa kita hendak ulur tangan kita untuk ambil barang itu?"
Thia Tjeng Tiok tanya pula, sambil tertawa.
"Tidak," sahut si A Kioe itu. "Sekarang pun kita tidak bicara sebagai itu."
Baru sekarang si orang she Thia berpaling pada See Tjeetjoe.
"Lauwtee, kau dengar atau tidak?" ia tanya. "Kapan aku pernah bilang hendak bekerja
dalam daerah Shoatang?"
See Tjeetjoe berubah wajahnya, ia bersenyum.
"Bagus, itu Barulah namanya sahabat!" dia bilang. "Thia Loo-ya-tjoe datang dari tempat
jauh, sebentar kau akan dapat satu bagian!"
Orang she Thia itu tak ambil mumet akan kata-katanya tjeetjoe ini, ia hanya berpaling pula
kepada si nona.
"Eh, A kioe, apa saja yang kita katakan pula di rumah?" tanya ia.
"Kau bilang, barang permata itu tak sedikit, jangan kita biarkan lain orang mengambilnya,"
sahut orang yang ditanya.
"Hm!" bersuara Thia Tjeng Tiok. "Umpama orang hendak mengambilnya?"
"Kalau sampai terjadi demikian, kami harus turun tangan untuk melindunginya," sahut
pula si nona. Tjeng Tiok tertawa.
"Bagus, ingatannya anak muda tak jelek!" serunya. "Ya, aku ingat telah mengucapkan
demikian." Lalu ia menoleh kepada si See Tjeetjoe, dan kata: "Apa kau sekarang telah
mengerti, lauwtee! Kami tak dapat bekerja di Shoatang, itu benar, akan tetapi kami hendak
melindunginya! Tidakkah untuk ini tidak ada perjanjiannya?"
Mukanya tjeetjoe she See ini menjadi pias-padam.
"Sekarang kau larang kita turun tangan!" katanya dengan sengit, "akan tetapi nanti,
setelah barang sampai di dalam daerah Hoopak, disana kaulah yang nanti lonjorkan
tanganmu, bukan?"
"Benar," aku Thia Tjeng Tion. "Bukankah ini tidak merusak persahabatan" Bukankah ini
tidak melanggar perjanjian kita di Tay San?"
Semua berandal itu menjadi sangat gusar. Itulah alasan yang dipaksakan, yang dicari-cari.
Dari murka, mereka jadi niat menyerang ayah dan gadisnya itu. Bukankah mereka Cuma
berdua saja"
Selagi orang berdiam, A KIoe bawa dua lembar daun bambu ke dalam mulutnya, untuk tiup
itu. Itulah suitan istimewa, yang memberikan pertandaan rahasia.
Menyusul bunyinya suitan, dari dalam rimba muncul beberapa ratus orang yang
pakaiannya tak berseragam, kecuali di kopiah mereka, masing-masing mereka
menyelipkan selembar daun bambu yang hijau.
See Tjeetjoe terkejut dalam hati.
"Ah, kiranya dia telah bikin persiapan....." pikirnya. "Nyatalah saudara-saudara kita yang
ditugaskan sebagai mata-mata, buta matanya! Kenapa mereka tidak ketahui orang datang
dalam jumlah begini besar?"
Tidak ayal lagi, See Tjeetjoe memberikan isyaratnya, maka lantas semua tujuh tjeetjoe
lainnya serta Tam Hoe Tjeetjoe, ketua muda dari Ok Houw Kauw, lantas atur barisan
mereka masing-masing.
Tak gentar hatinya Thia Tjeng Tiok menampak persiapan pihak delapan tjeetjoe itu, inilah
disebabkan ia percaya orang-orangnya sendiri, yang ia rasa telah ia atur dengan
sempurna. Sin Tjie tarik tangannya Tjeng Tjeng, si nona berpaling kepadanya, keduanya lantas
bersenyum. "Barang masih belum didapatkan, mereka sudah berkeras di antara kawan sendiri,
sungguh lucu!" kata si nona dengan perlahan. Ia pun tidak jeri.
"Biar saja!" kata Sin Tjie. "Kita jadi si nelayan yang peroleh hasil! Tak jelek, bukan?"
Walaupun mereka bersiap untuk bertempur, kawanan begal Shoatang itu masih sempat
pisahkan sejumlah kecil, ialah beberapa puluh orangnya, untuk jaga kereta-kereta barang,
rupanya mereka kuatir, selagi mereka adu jiwa, kereta-kereta nanti kabur.
Sin Tjie lambaikan Seng Hay.
"Tjeng Tiok Pay itu golongan apa?" tanya ia pada pengikut itu.
"Di wilayah Hoopak, Tjeng Tiok Pay berpengaruh sendiri," Seng Hay terangkan. "Orang
tua itu, Thia Tjeng Tiok, adalah ketuanya. Jangan kita lihat dia dari kurus tubuhnya dan tua
usianya, ilmu silatnya liehay sekali!"
"Dan itu anak kecil?" Tjeng Tjeng tanya. "Dia cucunya atau gadisnya?"
"Turut apa yang aku dengar, tabeatnya Thia Tjeng Tiok aneh sekali," sahut Seng Hay.
"Seumur hidupnya, dia tidak pernah menikah, dari itu tak mungkin nona itu ada cucu atau
anaknya. Mungkin dia kemenakan atau anak pungut...."
Tjeng Tjeng manggut-manggut.
Nona A Kioe itu bersikap tenang sekali, tak sedikit jua kentara ia berkuatir, maka Tjeng
Tjeng sangka dia liehay boegeenya. Ia terus mengawasi kawanan begal itu.
Di pihak Tjeng Tiok Pay, berulang-ulang terdengar suitan., lalu jumlah mereka yang terdiri
dari beberapa ratus jiwa lantas pusatkan diri dalam empat pasukan, sesudah mana, Tjeng
Tiok dan A Kioe tempatkan diri di muka barisannya itu. Mereka masing-masing
menunggang kuda. Mereka hendak bertempur akan tetapi mereka tidak menyekal senjata.
Dimana kedua pihak sudah siap, pertempuran akan meletus sembarang waktu, selagi
begitu, di arah selatan, terdengar suara kelenengan nyaring, lalu tertampak tiga
penunggang kuda mendatangi dengan cepat sekali, kemudian satu diantaranya, yang
maju paling depan berseru: "Sama-sama sahabat sendiri, tolong kamu pandang mukaku!"
"Hei, heran!" pikir Sin Tjie. "Mengapa muncul pula satu tukang mendamaikan"...." Ia lantas
mengawasi. Sebentar saja, ketiga penunggang kuda itu telah datang dekat. Orang yang pertama
berumur lima-puluh lebih, roman mereka mirip dengan seorang hartawan bekas pembesar
negeri, sebab ia pakai baju panjang tersulam dan tangannya menyekal sebatang
hoentjwee besar. Dua yang lain, yang tubuhnya jangkung dan kate, sangat sederhana
dandanannya. Begitu lekas sudah tempatkan diri diantara kedua pihak rombongan yang hendak adu
tenaga itu, orang itu angkat hoentjweenya, ia tertawa, lalu dengan nyaring, ia kata: "Kita
ada diantara saudara-saudara sendiri, omongan apa yang tak dapat diucapkan" Kenapa
kita mesti angkat senjata" Apakah kamu tak kuatir nanti ditertawai kaum kang-ouw
umumnya?" "Thie Tjhungtjoe, bagus kau telah datang!" berkata See Tjeetjoe. "Tolong kau berikan
pemandanganmu, untuk ketahui siapa benar dan siapa keliru...."
Tjeetjoe ini lantas bentangkan sikapnya Thia Tjeng Tiok.
Orang she Thia itu tidak perdulikan apa yang orang bilang, ia cuma tertawa saja dengan
dingin. Selagi orang bicara, Ang Seng Hay kata pada Sin Tjie: "Wan Siangkong, See Tjeetjoe itu
bernama See Thian Kong, gelarannya Im-yangsie, si Kipas Imyang. Bersama-sama Thie
Tjhungtjoe itu, yang bernama Tie Hong Lioe, mereka menjadi dua cabang atas didalam
propinsi Shoatang."
"Jadi mereka inilah yang dulu kau sebut-sebut?" kata Tjeng Tjeng.
"Dan kenapa dia dipanggil tjhungtjoe?" tanya Sin Tjie.
Tjhungtjoe adalah hartawan atau pemilik sebuah kampung dimana dia berpengaruh
seorang diri. ("Tjhung" dari tjhungtjoe baca mirip "tjeng" dari "cengkeram").
"Bedanya ialah," menerangkan Ang Seng Hay, "kalau See Tjeetjoe berkedudukan di atas
gunung dengan pesanggrahannya, Tie Hong Lioe hidup sebagai satu wan-gwee, hartawan
yang berumah-tangga dalam sebuah kampung, sebab di depan dan belakang kampung itu
ditanami ribuan pohon yanglioe merah, kampungnya itu diberi nama Tjian-lioe-tjhung. Tapi
sebenarnya dia adalah begal tunggal, dia bisa membegal atau merampas sendirian, kalau
dia "bekerja", dia cuma ajak dua atau tiga pembantunya."
Dalam hatinya, Tjeng Tjeng bilang: "Dia jadinya mirip dengan cara hidupnya beberapa
yayaku dari Tjio Liang Pay..."
Segera terdengar suaranya Tie Hong Lioe: "Thia Toako, di dalam hal ini, toakolah yang
kurang tepat. Ketika dahulu dibikin rapat besar di gunung Tay San, dengan kebaikannya
semua saudara, yang masih memandang mata kepadaku, aku telah diundang hadir, itu
waktu telah ditetapkan bahwa kita masing-masing tak dapat bekerja di luar batas wilayah
pengaruh sendiri!"
"Itulah benar, Tie Tjhungtjoe," shaut Thia Tjeng Tiok dengan tenang, "tapi sekarang aku
bukannya hendak bekerja, aku hanya bermaksud baik, niat melindungi rombongan kereta
barang-barang ini. Tie Lauwko, kupingmu terang sekali, di mana saja kau dengar ada 'airminyak',
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantas kesana kau sodorkan hoentjweemu!...."
Orang she Tie itu tertawa terbahak-bahak, terus ia tunjuk dua orang yang iringi padanya:
"Kedua tuan ini adalah Hoey-im Siang Kiat, Goe Hoa Seng dan Thio Hin. Mereka yang
sengaja bergegas-gegas datang ke kampungku akan memberitahukan bahwa mereka
mempunyai satu bahagian harta kegirangan untuk dipersembahkan kepadaku. Tubuhku
telah jadi begini gemuk, aku malas untuk bekerja pula, akan tetapi mereka dua saudara
demikian sungguh-sungguh, terpaksa aku tak dapat tampik kecintaan mereka, terpaksa
aku keluar, untuk melihat, aku tidak sangka disini aku bertemu dengan saudara beramai.
Sungguh, inilah ramai sekali!"
Sin Tjie pandang Tjeng Tjeng, dalam hatinya, ia kata: "Bagus, sekarang tambah tiga ekor
kucing!" See Thian Kong sebaliknya pikir: "Orang she Tie ini liehay, baik aku rombak aturan
pembagian, aku bagi dia satu bagian, supaya kita bisa bekerja sama-sama untuk hadapkan
Tjeng Tiok Pay." Karena ini, dia kata kepada tjhungtjoe itu: "Tie Tjhungtjoe adalah orang
dari wilayah Shoatang, umpamanya Tie Tjhungtjoe kehendaki satu bahagian, kami tidak
bisa bilang satu apa, tetapi jikalau orang dari lain wilayah masuk kemari, lalu kita
mengalah, habis dari mana kita punyakan nasi untuk didahar?"
Tie Hong Lioe tidak bilang suatu apa kepada orang she See itu, dia hanya pandang Thia
Tjeng Tiok untuk tanya: "Nah, Thia Toako, apa katamu?"
"Urusan hari ini terang tak dapat diselesaikan secara baik," sahut orang she Thia itu.
"Baiklah, mari kita bicara secara terbuka, kita cari kemenangan atau kekalahan di ujung
golok dan tumbak saja!"
Nyata ketua dari Tjeng Tiok Pay ini bernyali sangat besar, tidak perduli dia lagi hadapi
musuh demikian banyak.
"Dan kau, See Lauwtee, bagaimana dengan kau?" Tie Hong Lioe menoleh pada See Thian
Kong yang menjawab dengan lantas: "Kami orang laki-laki dari Shoatang, tak dapat kami
mengalah untuk diperhina orang lain daerah yang datang cari rumah kita!"
Dengan jawabannya itu, terang See Thian Kong sudah tarik Tie Hong Lioe kepada
pihaknya. Thia Tjeng Tiok mengulet, ia pun menguap.
"Sekarang bagaimana, kita maju semua berbareng atau satu demi satu?" tanya dia dengan
tantangannya. "Silahkan See Tjeetjoe mengaturnya, pihakku yang rendah bersedia untuk
turut segala titahmu."
See Thian Kong goyang-goyang kipas Im-yang-sienya, ia pun berulang-ulang
perdengarkan suara menghina: "Hm! Hm!"
"Dan kau, Tie Toako, bagaimana pikiranmu?" dia tanya.
Ketika pertama kali Tie Hong Lioe terima laporan Hoay-im Siang Kiat, sepasang jago dari
Hoa-im, dia telah memikir untuk telan sendiri harta karun itu, maka ia sudah berangkat
dengan cepat, ia tidak sangka, dia telah datang terlambat, dari itu, dia memikir boleh
jugalah ia mendapat hanya satu bagian. Tapi ia juga insyaf di pihak Tjeng Tiok Pay ada
banyak orang liehay.Thia Pangtjoe sendiri telah kesohor untuk banyak tahun, dia itu
bukan orang sembarangan, tak dapat dia cari gara-gara dengan orang she Thia itu. Maka
setelah berpikir sebentar, ia utarakan pikirannya.
"Jikalau begini duduknya hal, sulit untuk mencari pemecahan, satu pertempuran tak dapat
dielakkan lagi," katanya. "Kalau kita bertempur secara merabuh, mesti banyak orang
terluka dan terbinasa. Kenapa kita mesti minta banyak korban, hingga persahabatan jadi
terganggu hebat" Bagaimana jikalau aku majukan satu usul?"
"Silakan kau mengutarakannya, Tie Tjhungtjoe," kata Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong
hampir berbareng.
Dengan hoentjweenya, Tie Hong Lioe menunjuk kepada sepuluh buah kereta-kereta harta
karun. Dia kata: "Disana ada sepuluh peti besi, maka itu, kita baik majukan saja sepuluh
orang masing-masing, dengan begitu, pertempuran pun berarti sepuluh kali juga, batasnya
yaitu sampai saling towel saja, jangan kita meminta jiwa. Siapa menang satu kali, dia dapat
satu peti. Tidakkah ini paling adil" Anggap saja kita sedang sempat, hitung-hitung kita
berlatih di sini, untuk menambah pengetahuan, siapa dapati barang permata, dia dapat
hadiah kepala. Siapa tidak peroleh pahala, jangan dia berkecil hati, karena toh asalnya
bukan kepunyaan kita sendiri! Bagaimana djiewie pikir?"
Mendengar usul itu, Thia Tjeng Tiok paling dulu nyatakan akur.
See Thian Kong juga nyatakan akur, karena ia pikir: "Biar aku antap setiap rombongan
majukan orang-orangnya, umpama mereka masing-masing menang, itu pun memang hak
mereka, tapi umpama mereka kalah, kekalahan mereka tidak ada ruginya untuk aku.
Jikalau dari pihakku, aku sendiri yang keluar bersama Tam Loo-djie, pasti kita tidak akan
kalah, tentu kita bakal dapat dua buah peti."
Sampai di situ, kedua pihak lantas balik kedalam masing-masing barisannya, yang pun
berbareng mereka tarik pulang, setelah mana, mereka mulai pilih orang-orang sendiri yang
bakal dimajukan dalam pertandingan.
Tie Hong Lioe sendiri lantas perintah orang beri tanda dengan coretan huruf-huruf kepada
sepuluh peti itu, alat pencoretnya adalah tanah lempung kuning.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng antap saja orang cumprang-compreng peti mereka.
Thia Tjeng Tiok lihat dua anak muda itu tenang-tenang saja, sedikit juga tidak tertampak
mereka berkuatir, ia heran, karenanya, beberapa kali ia melirik ke arah mereka itu.
Kemudian kawanan berandal itu berkerumun mengurung Tie Hong Lioe, yang menjadi
seperti saksi atau wasit.
Mulanya pihak Shoatang majukan jagonya, disusul sama jago pihak Hoopak; mereka ini
bertubuh besar dan kasar, terang mereka bertenaga besar, maka itu, perkelahian mereka
seru. Pihak Hoopak kurang waspada, satu kali kakinya kena direngkas, dia jatuh, rubuh
terbanting. Dia hendak bangun, untuk berkelahi pula. Tapi Tie Hong Lioe, sang wasit,
goyangi tangan padanya dan tulisan huruf "Lou" (Shoatang) pada peti pertama yang
bertanda huruf "Kak", itu berarti pihak Shoatang yang rebut kemenangan pertama.
Pertandingan ini disambut dengan tampik-surak.
Sebagai jagonya yang kedua, pihak Hoopak majukan seorang yang See Thian Kong kenal
sebagai ahli tangan-pasir Tiat-see-tjiang, maka itu, ia suruh ketua mudanya, Tam Tjeetjoe,
untuk layani musuh itu.
Kedua jago tak berbeda banyak kepandaiannya, tapi Tam Hoe-tjeetjoe lebih terlatih, selang
beberapa puluh jurus, dia berhasil hajar lengan lawan hingga lengannya jago Hoopak itu
tak dapat diangkat. Maka untuk kedua kalinya, pihak Shoatang yang menang.
Bukan main girangnya pihak Shoatang. Tapi di babak ketiga, keempat, kelima dan keenam,
mereka kalah dengan beruntun, hati mereka juga goncang.
Kapan sampai waktunya babak ketujuh, kedua jago yang maju masing-masing bekal
senjata. Di pihak Shoatang maju tjeetjoe dari Sat Pa Kong, bukit Sembelih Macan Tutul, yang
bergegaman golok besar Poat-hong Kioe-hoan-too. Dia ini gagah, dia berhasil membacok
sebelah bahu lawannya.
Melihat sampai di situ, Tie Hong Lioe berpikir. Peti tinggal tiga buah, apabila ia tidak lantas
turun tangan, dia bisa kehabisan, dia bakal dapat tangan kosong, maka ia ingin majukan
orangnya sendiri guna layani pihak Tjeng Tiok Pay. Dia anggap cukup asal ia dapatkan
satu peti saja....
"See Lauwtee," kata dia pada See Thian Kong, sesudah dia berdehem-dehem, "pihak sana
itu, makin lama jadi makin hebta, maka itu kali ini, biarlah aku yang sambut padanya."
See Thian Kong mengerti, wasit ini tak boleh pulang dengan tangan kosong, ia suka
mengalah. "Aku harap bantuan Tie Tjhungtjoe untuk lindungi nama baik kita," katanya.
Tapi kapan telah sampai waktunya pihak Tjeng Tiok Pay majukan jagonya, tjhungtjoe dari
Tjian-lioe-tjhung jadi melongo, ia berdiri tercengang. Karena yang maju itu adalah A Kioe,
si nona muda, yang umurnya tidak lebih dari lima-belas atau enam-belas tahun! Dan
tangannya pun tidak menyekal senjata tajam, melainkan dua batang bambu yang kecil.
"Aku adalah satu jago Rimba Persilatan, mana dapat aku perhina diri dengan layani satu
nona cilik?" pikir dia. Dia sudah maju beberapa tindak, atau mendadakan dia merandek,
lantas dia kembali.
"Lauwtee, kau majukan lain orang saja," katanya pada See Thian Kong. "Aku nanti maju di
babak lainnya...."
See Tjeetjoe tahu, tjhungtjoe itu tidak mau lawan satu nona, maka ia serukan orangorangnya:
"Saudara yang mana yang mempunyai kegembiraan hati akan temani nona kecil
itu memain?"
Segera maju satu orang yang tubuhnya tinggi dan romannya gagah, mukanya putih,
senjatanya sepasang poan-koan-pit, gegaman mirip pit peranti menotok jalan darah.
Dialah Tjin Tong, tjeetjoe dari Oey Sek Po, dia gemar pelesiran, dari itu dia ketarik sama si
nona Thia, yang romannya cantik manis dan menggiurkan. Dia maju sambil menyahuti
seruannya See Thian Kong.
Melihat orang yang maju itu, See Tjeetjoe bersenyum.
"Memang, di antara kita, lauwtee adalah yang paling cocok!" katanya.
Tjin Tong hendak banggakan kepandaiannya, dia berlompat ke depan si nona. Dia benarbenar
bertubuh enteng, gesit sekali gerakannya. Diapun telah pikir untuk bicara dengan
nona itu, untuk membikin senang hati si nona. Tapi, Baru saja ia menaruh kaki, atau
tangannya A Kioe telah bergerak, bambu di tangan kanannya sudah sambut ia dengan
satu tusukan, yang arah dadanya. Dia satu ahli menotok jalan darah, sudah wajarnya dia
gesit, akan tetapi sekjarang, dipapaki secara demikian, dia terkejut sekali, tidak ayal lagi,
dia menangkis dengan poankoanpit kiri. Tapi menyusul tangan kanannya itu, tangan kiri si
nona menusuk secara cepat luar biasa sampai, saking sibuk, tjeetjoe ini mesti tolong diri
dengan jatuhkan tubuhnya untuk terus bergulingan di tanah, hingga kepalanya penuh
debu, hingga dia keluarkan keringat dingin.
Semua berandal dari Shoatang terperanjat, mereka tak menyangka nona itu begitu muda
tapi demikian liehay, malah Sin Tjie dan Tjeng Tjeng turut merasa heran juga, hingga
kedua pemuda dan pemudi ini saling melirik.
Tjin Tong sudah berlompat bangun, akan layani pula A Kioe, dengan begitu, keduanya
sudah mulai bertempur, hingga tertampak lebih jauh, nona Thia telah gunakan dua batang
bambunya bagaikan tumbak, gegamannya itu lemas tetapi bisa dibikin kaku.
Dalam tempo yang pendek, Tjin Tong telah kena dibikin berpikir keras, sebab kadangkadang
ujung bambunya si nona juga mencari jalan darahnya. Dia pun pikirkan apabila dia
tak sanggup rubuhkan si nona, bagaimana dengan nama besarnya di Shoatang sebagai
seorang tjeetjoe yang kesohor" Maka dalam sibuknya, dia bikin perlawanan dengan
sungguh-sungguh.
A Kioe berkelahi secara luar biasa. Satu kali ia renggang dari lawan, dengan bambu kiri dia
menekan tanah, lalu tubuhnya mencelat naik, berlompat ke arah musuh, bambu kanannya,
dari atas, menyerang turun; kapan serangannya ini gagal, bambu kanan itu diteruskan
dibikin mengenai tanah, hingga di lain saat, tubuhnya mencelat naik pula, hingga sekarang
ia bisa menyerang pula dengan tangan kiri.
Tak tahu Tjin Tong, bagaimana dia harus layani penyerangan macam ini, karena sibuk, dia
terpaksa main menangkis saja sambil saban-saban mundur. Tetapi A Kioe terus desak dia,
hingga dia jadi repot sekali dan berkuatir dia tak dapat ketika, untuk balas menyerang.
Dalam repotnya, tahu-tahu ujung bambu telah mengenai bahu kirinya, di bagian jalan
darah "kin-tjeng-hiat", maka tak ampun lagi, lengan kirinya jadi kaku, poankoanpitnya
terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah, berbareng dengan itu, mukanya jadi bersemu
merah! Mau atau tidak, dia mesti mengaku kalah, dia mundur sambil tunduki kepala....
A Kioe antapkan lawan itu mundur, dia berniat undurkan diri, tapi segera ia tampak Tie
Hong Lioe bertindak menghampiri padanya sambil jago dari Tjian-lioe-tjhung itu terus
berkata: "Nona, tunggu dulu! Nona sungguh liehay, benar-benar, di bawahannya satu
jenderal perang ternama, tidak ada serdadu yang lemah! Umpama kata nona masih belum
letih, aku suka main-main denganmu beberapa jurus. Bagaimana?"
A Kioe tertawa gembira.
"Sebenarnya aku belum memain!" sahutnya. "Jikalau Tie Pehhoe hendak berikan
pengajaran kepadaku, itulah baik sekali. Pehhoe hendak gunai senjata apa?"
Tie Hong Lioe tertawa.
"Orang tua layani anak kecil memain, mustahil aku mesti pakai gegaman?" katanya. "Aku
akan bertangan kosong!"
Hong Lioe telah saksikan orang bertempur, ia terperanjat akan dapatkan nona muda itu
demikian liehay, hingga ia percaya, disebelah si nona, dipihaknya nona ini, mesti ada lainlain
orang yang tak kurang liehaynya, maka itu, dari sungkan turun tangan, dia pikir baik ia
mendahului maju, akan rintangi nona ini, asal dia telah dapati sebuah peti, urusan lainnya
boleh lihat belakangan....
Di pihak Tjeng Tiok Pay, tiga orang hendak majukan diri, karena mereka kuatir si nona
menjadi terlalu lelah, akan tetapi A Kioe besar nyalinya, dia beri tanda kepada tiga kawan
itu sambil berkata: "Aku telah beri kata-kataku kepada Tie Pehhoe!" Maka itu, tiga orang
itu terpaksa mundur pula.
Tie Hong Lioe bertindak dengan perlahan menghampirkan si nona di tengah-tengah
kalangan, sembari bertindak, dia telah kerahkan semangatnya, tenaga khie-kang, maka di
lain saat, mukanya yang tadinya putih lantas saja berubah menjadi bersemu dadu.
Tjeng Tiok saksikan perubahan muka itu, dia gapekan puterinya, atas mana, sambil
berlompat, A Kioe hampiri sang ayah.
Segera Tjeng Tiok bisiki gadisnya, siapa manggut-manggut, sesudah itu, si nona kembali
ke dalam kalangan, di depan Hong Lioe, dia membungkuk, untuk memberi hormat, habis
itu, ia putar sepasang tumbak bambunya itu, untuk mengurung diri. Ia tidak segera
menyerang. Dengan tindakan ayal sekali, Hong Lioe dekati si nona, lalu dengan sekonyong-konyong,
ia menyerang. A Kioe menangkis dengan pentang kedua tumbaknya, apabila ia sudah menarik pulang,
lantas ia mulai dengan serangannya membalas, dimulai dengan tangan kanan, disusul
sama tangan kiri, kemudian kedua batang bambu itu diteruskan, dipakai menyerang saling
susul tak hentinya, ia mendesak bagaikan serangan badai.
Di pihak Tjeng Tiok Pay orang bertampik-surak melihat cara berkelahinya pahlawan
mereka. Tie Hong Lioe berlaku tenang walaupun ia telah dicecar secara demikian, di lain bagian,
mukanya jadi semakin merah dan semakin merah, hingga sinar merah itu sampai kepada
batang lehernya, Ia masih main maju saja, kedua tangannya bergerak-gerak menghalau
sesuatu tusukan. Ia bertubuh besar dan tangguh, hatinya mantap, disebelah ia ada satu
nona muda, yang tubuhnya kecil-langsing, yang sedang hunjuk kegesitannya.
Sin Tjie tonton pertempuran itu.
"Dia tua-bangka tetapi dia sudi layani satu nona-remaja," kemudian ia kata kepada Tjeng
Tjeng, kawannya. "Kau lihat, dia berniat turunkan tangan jahat."
"Nanti aku tolong nona itu!" sahut Tjeng Tjeng.
Sin Tjie tertawa.
"Dua-dua mereka hendak rampas harta kita, untuk apa tolongi dia?" ia tanya.
"Tapi nona itu manis, dia sangat simpatik!" kata Tjeng Tjeng. "Baik kita tolong dia , urusan
di belakang, ada lain. Toako, pergi kau yang turun tangan!"
Sin Tjie tertawa pula, ia manggut-manggut.
Pertempuran masih berjalan, mukanya Hong Lioe tetap merah, tapi cahaya merah itu
sudah melulahan ke seluruh lengannya.
"Kalau sebentar cahaya merah itu sampai di tangannya, celakalah si nona," kata Sin Tjie
pada kawannya. Dia berlaku tenang, dia telah pikir bagaimana harus bertindak.
A Kioe telah berhasil menotok atau menusuk Hong Lioe, sampai beberapa kali, akan tetapi
ia tidak peroleh hasil sebagaimana tadi ia lawan Tjin Tong. Hong Lioe tidak perdulikan
serangan itu, ia tetap berlaku tenang, ia maju dengan perlahan, Cuma setiap herakannya
jadi makin berat dan makin berat. Di samping dia, pada A Kioe pun terjadi perubahan
karena ia ini sibuk sendirinya melihat serangan-serangannya yang tidak memberi hasil,
walaupun ia bisa menusuk dengan tepat, hingga di lain saat, kegesitannya mulai
berkurang, napasnya pun mulai memburu.
Thia Tjeng Tiok pun telah perhatikan jalannya pertempuran.
"A Kioe, kembali!" ia teriaki gadisnya. "Tie Pehhoe telah menang!"
Nona itu dengar kata, ia lantas putar tubuhnya, untuk mundur.
Tetapi Tie Hong Lioe desak ia.
"Setelah kau tusuk aku berulang-ulang, kau masih berniat menyingkir?" dia membentak.
Dia tetap bergerak ayal akan tetapi A Kioe toh seperti kena dikurung, ia tak dapat terus
mundur. Tangannya jago she Tie ini pun mulai merah sekarang.
Tjeng Tiok ambil sebatang bamboo dari tangannya satu orangnya, dia serukan: "Semua
berhenti!"
Justeru itu, See Thian Kong yang geraki kipasnya, maju, untuk serang ketua Tjeng Tiok
Pay ini, malah dia arah jalan darah, hingga mau atau tidak, Tjeng Tiok mesti tangkis
serangan mendadak ini. Malah ia mesti melayani terus, hingga ia tak bisa pecah tubuh,
untuk tolongi puterinya. Ia tahu, orang she See ini liehay, ia mesti waspada.
Di pihak sana, A Kioe sudah mandi keringat, bertetes-tetes, air keringat jatuh dari
kepalanya, sedang kedua tangannya sangat repot membela diri dari desakannya Hong
Lioe. Sekonyong-konyong saja Sin Tjie menjerit-jerit bagaikan orang edan-tolol: "Ayo! Tolong!
Tolong!" Dan kudanya kabur ke tengah kalangan, kea rah Thia Tjeng Tiok dan See Thian
Kong, hingga mereka ini, mau atau tidak, mesti pisahkan diri.
Sin Tjie bercokol di atas kuda dengan tubuh limbung, kedua tangannya dipakai memeluki
leher kuda, agaknya ia seperti mau jatuh, akan tetapi, sesudah miring dan merosot ke
bawah perut kuda, ia berhasil perbaiki diri, duduk pula di atas bebokong kudanya. Kuda itu
sendiri terus berlarian, seperti lagi kalap. Kemudian binatang itu lari ke arah A Kioe dan
Hong Lioe, hingga sekejab saja, dia telah pisahkan kedua orang yang lagi bertempur seru
itu, malah sekarang, dia mau berhenti berlari-lari, berdiri di antara kedua musuh itu.
Sin Tjie lekas-lekas merosot turun dari kudanya.
"Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!" ia ngoceh sendirinya. "Inilah yang dibilang
lolos dari kematian...Eh, binatang, apakah benar kau maui jiwanya majikanmu?"
Sementara itu, dengan jengah, A Kioe telah gunai kesempatan, untuk kembali ke dalam
barisannya. Dalam keadaan seperti itu, Hong Lioe tidak dapat kejar dia.
Tapi Thia Tjeng Tiok sendiri tidak mau berhenti sampai di situ.
"See Tjeetjoe, aku masih ingin belajar kenal dengan Im-yang Poo-sie!" ia tantang pula See
Thian Kong.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, ini pun untuk pertandingan peti terakhir!" sahut orang she See itu.
Maka tak tempo lagi, keduanya bertempur pula. Tadi mereka bertempur sampai beberapa
puluh jurus tanpa ada keputusannya, sekarang ini mereka cari keputusan itu. Maka
keduanya bertarung dengan hebat sekali.
Sepasang toya bamboo dari Thia Tjeng Tiok ada panjang, permainan silatnya pun liehya,
ia mmembuat lawannya dengan senjata kipasnya tak mampu dekati padanya.
Tatkala itu matahari yang merah sudah mulai doyong ke barat, beberapa rombongan gaok,
dengan suaranya yang berisik, mulai terbang pulang ke hutan.
Setelah berjalan lagi beberapa puluh jurus, See Thian Kong mulai keteter, gerak-gerakan
kakinya telah menjadi kacau.
Tie Hong Lioe lihat keadaan itu, ia lantas berseru: "Kedua pihak sama tangguhnya,
keputusan menang dan kalah sukar diambil, maka itu peti ini baiklah dibagi dua saja
dengan rata!"
Justeru itu, Thia Tjeng Tiok telah perdengarkan suara tawa yang panjang membarengi
sapuan senjatanya yang istimewa itu.
Atas serangan ke bawah itu, See Thian Kong apungi diri untuk berlompat menyingkir,
akan tetapi Tjeng Tiok berlaku sangat sebat, setelah gagal sapuan yang pertama, ia ulangi
itu selagi lawannya belum sempat injak tanah, dari itu tak ampun lagi, sebelah kakinya
lawan itu kena tersapu, tubuhnya menjadi limbung, lantas saja dia rubuh.
Sesudah sang lawan jatuh, Thia Tjeng Tiok tidak menyerang lebih jauh, dia malah tarik
pulang senjatanya. Tapi See Thian Kong telah kertak gigi saking malu dan mendongkol,
sambil rebah ia tekan pesawat rahasia pada kipasnya itu, yang ia tujukan ke bebokongnya
si orang she Thia, yang telah memutar tubuh, maka lima batang paku rahasia lantas
menyerang ketua dari Tjeng Tiok Pay itu tanpa dia ini ketahui atau sempat berkelit, hingga
semua lima-limanya paku nancap di bebokongnya itu.
Tjeng Tiok kaget, apapula kapan ia rasai bebokongnya lantas ngilu dan baal, insyaf pada
bahaya, ia segera menahan napas, ia tak mau bicara, kemudian dengan satu lompatan, ia
dekati lawannya itu yang curang, untuk totok dia dua kali dengan ujung galanya. Ia arah
perut lawan, ia telah gunai sisa tenaganya, atas mana, See Thian Kong semaput seketika
itu juga. Sejumlah berandal dari Shoatang hunus senjata mereka, mereka maju untuk tolongi ketua
mereka, akan tetapi belum sampai mereka datang dekat, Thian Tjeng Tiok sudah tak kuat
pertahankan diri, dia rubuh celentang. Hebat adalah kesudahan dari itu, sebab lima batang
paku rahasia di bebokongnya mengenai tanah, hingga dia jadi tertumblas lebih dalam.
A Kioe lompat kepada ayahnya, untuk mengasih bangun.
Melihat tubuhnya ketua mereka, yang tak ketahuan masih hidup atau sudah terbinasa,
orang-orang Tjeng Tiok Pay jadi kalap, tidak ayal lagi, mereka maju menyerang
rombongan berandak dari Shoatang itu, hingga mereka jadi bertempur secara hebat dan
kalut. "Lekas suruh saudara-saudara itu berhenti bertempur!" serukan Tie Hong Lioe kepada
hoe-tjeetjoe dari Ok Houw Kauw, yang lengannya ia sambar.
Tam Hoo-tjeetjoe menurut, ia perdengarkan terompetnya.
Titah ini ditaati kawan-kawan, sekejab saja semua berandal dari Shoatang undurkan diri.
Pihak Tjeng Tiok Pay juga bunyikan pertandaan mereka, yang membikin anggautaanggauta
mereka mundur juga.
Itulah A Kioe, yang beirkan tandanya, karena itu waktu, ia dapatkan ayahnya sudah sadar,
hingga ia anggap, satu pertarungan kacau balau tidak ada faedahnya, sedang juga pihak
sana sudah bunyikan terompet.
Tie Hong Lioe lantas majukan diri, akan berdiri di tengah-tengah kedua pihak.
"Baiklah kedua pihak jangan merusak perdamaian!" dia berseru. "Mari kita mulai membagi
bagian! Tentang perselisihan, kita akan damaikan secara perlahan-lahan!"
Tam Hoo-tjeetjoe segera perdengarkan suaranya: "Peti terakhir ini ada bagian kami!"
"Muka tebal!" berseru pihak Tjeng Tiok Pay. "Sudah kalah bertempur, masih berlaku
curang! Apakah ini namanya satu enghiong?"
Kedua pihak lantas saling damprat, lalu akhirnya mereka hunus pula senjata masingmasing.
"Baiklah, peti itu dibuka, isinya dibagi rata!" lagi-lagi Tie Hong Lioe berseru.
Ata situ, orang-orang kedua pihak hendak maju berbareng.
"Tunggu dulu!" A Kioe berseru. "Peti yang kedelapan akulah yang menangkan akan tetapi
aku tak inginkan itu, aku hendak hadiahkan kepada itu tuan tetamu! Aku larang siapa juga
raba peti itu!"
"Eh, kenapa begitu?" tanya Tie Hong Lioe.
"Apabila kudanya dia itu tidak binal, pasti aku telah rubuh di tangan kau, Tie Pehhoe,"
sahut si nona. "Maka hendak aku menghadiahkannya kepadanya!"
Tie Hong Lioe tertawa.
"Nyata kau kenal budi-kebaikan!" kata dia. "Baik, kau ambillah itu! Ingat, semua peti sudah
ada tandanya, jangan salah ambil!"
Selagi orang hendak angkut peti-peti, mendadak Sin Tjie berseru: "Hai, tuan-tuan, kamu
hendak perbuat apa?" demikian suaranya.
A Kioe tertawa cekikikan.
"Eh, kau masih belum tahu?" katanya. "Kita hendak angkut peti-peti itu!"
"Oh, begitu?" kata Sin Tjie. "Tak sanggup aku terima budi-kebaikan itu! Kamu lihat sendiri,
aku telah sewa kereta yang besar untuk mengangkutnya!..."
"Tetapi kita bukannya hendak tolongi kau mengangkutnya!" kata A Kioe, yang tertawa
pula. "Kita hendak mengangkut untuk kita sendiri!..."
"Hei, inilah aneh!" seru Sin Tjie. "Peti ini toh kepunyaanku?"
Lalu terdengar ejekannya seorang Shoatang: "Ini anak muda bangsawan cuma kenal
gegares, buat apa dia banyak omong?" Dan dia maju, untuk angkat peti yang menjadi
bagiannya. "Eh, tunggu dulu!" Sin Tjie mencegah. "Tak dapat kau ambil ini!"
Ia terus loncat naik ke atas peti itu, ketika sebelah kakinya digeraki, orang itu, yang
tubuhnya besar, terpelanting rubuh! Ia pun lantas menjerit-jerit: "Tolong! Tolong!"
Tubuhnya sendiri limbung, seperti yang hendak terpelanting dari atas peti.
A Kioe sangka orang ini semberono, dia lompat maju untuk sambar tangan orang, guna
ditarik, dan cegah dia itu jatuh, separuh mengomeli, dia kata: "Ah, kau sangat
semberono!...."
Kawanan berandal menyangka pemuda ini benar-benar semberono, bahwa tendangannya
tadi bukan disengaja, dari itu, mereka hendak maju pula, guna ambil peti bagian mereka
masing-masing. "Sabar, sabar!" Sin Tjie berseru pula, seraya ia ulap-ulapkan kedua tangannya. "Tuan-tuan
hendak ambil semua petiku ini, hendak diangkut kemanakah?"
"Kami hendak bawa pulang masing-masing!" jawab A Kioe.
"Habis, bagaimana dengan aku?" tanya Sin Tjie pula, dengan sikapnya tolol-tololan.
"Hai, mengapa kau begini bodoh?" kata si nona sambil tertawa. "Baiklah kau lekas
berangkat pulang, jangan kau mencoba antari jiwamu di sini...."
"Kau benar juga," jawab Sin Tjie seraya manggut. "Baiklah, aku nanti bawa pulang
sepuluh petiku ini...."
Tapi sikapnya ini membuat gusar orang yang tadi ia kena tendang.
"Kau pergilah!" dia membentak seraya dia tolak pundaknya si pemuda.
Tapi, belum dia tutup mulutnya, atau tahu-tahu bebokongnya telah kena dijambak Sin Tjie,
dengan satu semparan saja, tubuhnya terlempar ke atas sebuah pohon, hingga dia mesti
rangkul cabang-cabang pohon itu apabila ia tak ingin terjatuh. Saking ketakutan, dia lantas
menjerit-jerit.
Baru sekarang semua penjahat melongo, karena nyatanya, pemuda tolol itu
berkepandaian tinggi.
Ketika itu, Thia Tjeng Tiok telah sadar benar-benar, ia insyaf lukanya hebat, maka ia sudah
pikir untuk angkat kaki dengan bawa peti-peti bahagian pihaknya sendiri, akan tetapi
kapan ia saksikan liehaynya si anak muda, ia terperanjat.
"Mari!" ia panggil A Kioe, gadisnya, kepada siapa ia terus berbisik. "Jangan pandang
enteng pada dia itu, kau waspadalah."
A Kioe manggut. Ia pun memang merasa heran.
Segera setelah itu, terdengar suaranya si anak muda: "Kamu kedua pihak sudah berkelahi
setengah harian! Kamu perebuti petiku, di atas itu kamu tuliskan tanda huruf-huruf, maka
sekarang hendak aku hapuskan semua tanda itu!"
Sambil tertawa besar, pemuda ini sambar satu orang yang berdiri paling dekat dengan dia,
dia tekan jalan darah orang hingga orang itu menjadi mati kutunya, dari itu dengan
gampang ia angkat melintang tubuhnya, buat dibawa jalan mengitari semua petinya, buat
pakai tubuh atau bajunya untuk menghilangkan semua coretan huruf-huruf di atas peti,
kemudian dengan kedua tangannya, ia lemparkan tubuh itu ke atas pohon!
Kawanan dari Shoatang menjadi gusar, mereka maju, akan serang anak muda ini, akan
tetapi si anak muda dengan sabar layani mereka, tidak peduli ia bertangan kosong, tujuh
atau delapan penyerangnya dengan gampang kena dibikin terpelanting rubuh. Setelah ini,
semua penyerang mundur sendirinya. Sebab dua-dua See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok
terluka parah, mereka lantas hadapi Tie Hong Lioe.
"Kiranya tuan satu ahli silat!" kata ketua dari Tjian-lioe-tjhung akhirnya. "Apakah tuan sudi
beritahukan aku she dan namamu dan kau murid siapa?"
"Aku she Wan dan guruku Ong Lie Soe Ong Loo-soehoe," sahut Sin Tjie. "Guruku itu ahli
urusan kitab-kitab dan ia paling faham kedua kitab Lee Kie dan Tjoe Tjioe. Ada lagi satu
guruku ialah Lie Loosoehoe yang biasa ajarkan aku ilmu karang-mengarang...."
"Cukup!" memotong Tie Hong Lioe. "Sekarang ini bukan waktunya bicara tentang pelbagai
kitab dan ilmu mengarang! Sekarang sebutkan saja tentang gurumu, supaya kalau kita
mempunyai hubungan satu sama lain, kita mesti hormati persahabatan...."
"Itulah bagus sekali!" kata Sin Tjie dengan cepat. "Sekarang sudah tidak siang lagi,
silakan, silakan! Kami hendak berangkat...."
Hauw Tjeetjoe dari Sat Pa Kong tidak sabaran, mendengar ocehan si anak muda, ia ayun
goloknya yang besar, dipakai menabas anak muda ini. Ia telah menyerang dengan "Hong
sauw pay yap" atau "angin menyapu daun rusak".
Sin Tjie berkelit untuk serangan itu, golok lewat di sampingnya dimana Tie Hong Lioe
berdiri, hingga ketua dari Tjian-lioe-tjhung ini yang terbabat, akan tetapi orang she Tie ini
liehay, dengan gunai dua jari tangannya, telunjuk dan tengah, dia jepit bebokong golok,
dia menahan, lantas bacokan itu berhenti sendirinya.
Mukanya Hauw Tjeetjoe menjadi merah, tetapi si orang she Tie ini cuma bersenyum, terus
saja dia menoleh kepada Sin Tjie dan kata: "Dengan kepandaianku ini, bukankah ada
harganya untuk aku mendapati salah satu petimu?"
"Apakah namanya kepandaianmu ini?" tanya Sin Tjie.
"Inilah ilmu silat Kepiting Menjepit," sahut Hong Lioe. "Jikalau kau pun mengerti ilmu silat
ini, Baru aku takluk kepadamu...."
"Apa sih cepit kepiting, cepit kura-kura" Belum pernah aku lihat!" ujar si anak muda.
Tie Hong Lioe jadi gusar.
"Bukankah aku telah jepit golok yang lagi menyambar?" tanyanya. "Apakah kau buta
melek?" "Oh, begitu?" jawab Sin Tjie dengan tenang. "Tapi kamu berdua bersekongkol, apa
anehnya" Adik Tjeng, mari! Mari kita main-main sebentar!"
Tjeng Tjeng tertawa geli, ia jumput sebatang golok, yang terletak di tanah, lalu ia
mengancam hendak membacok si anak muda, ketika golok dikasi turun, ia sengaja
turunkan ayal-ayalan, hingga secara gampang saja, Sin Tjie bisa tanggapi itu, atas mana
kawan itu berpura-pura kerahkan tenaga, untuk berontak, buat loloskan golok dari jepitan,
tapi walaupun sampai ia berjingkrakan, golok masih tak dapat diloloskan.
A Kioe tertawa melihat dua orang itu permainkan Tie Hong Lioe, ia anggap pemandangan
itu lucu. Malah kedua pihak berandal turut tertawa juga, suara mereka riuh-rendah!
Bukan kepalang mendongkolnya Tie Hong Lioe yang dua anak muda berani permainkan ia
secara demikian - ia juga dibuat bahan lelucon - maka dengan tiba-tiba ia sambar golok
besar di tangannya Hauw Tjeetjoe dari Sat Pa Kong, untuk angsurkan itu kepada si anak
muda sambil terus menantang: "Nah, kau cobalah bacok aku, pasti kali ini aku tidak
berkongkol!"
"Baik, aku nanti bacok kau!" Sin Tjie jawab. "Tapi ingat, apabila aku bunuh orang sampai
mati, tak usah aku ganti jiwa!"
"Baik! Hati-hatilah, golok datang!" berseru Sin Tjie, yang terus saja putar tangannya untuk
membabat dengan tiba-tiba.
Hong Lioe bertambah gusar, ia lupa segala apa.
"Siapa juga yang terbinasa, dia tak usah diganti jiwanya," ia berikan perkataannya.
Tie Hong Lioe kaget bukan main, ia tak mengira golok bisa dipakai menyerang secara
demikian, walau ia sangat awas dan gesit dan bisa berkelit, tidak urung ia masih kalah
sebat, hanya untung bagi ia, yang terbabat kutung adalah kopiahnya saja.
Oleh karena anggap pemandangan itu lucu, semua berandal tertawa berkakakan.
Sin Tjie pun tertawa.
"Mana cepit kura-kuramu - eh, cingkong kepiting"..."
Pemuda ini tidak cuma tertawa, tapi juga menanya, hanya belum sampai dia menutup
mulutnya atau dia telah menyerang pula, kali ini bacokannya dari atas turun ke bawah.
Hong Lioe berkelit sambil berlompat, tapi ia masih kurang gesit, karena sesampainya di
bawah, goloknya disimpangkan sedikit, hingga sebagai kesudahan, sol sepatunya kena
terpapas kutung, hingga karenanya, ia kaget berbareng gusar.
"Aku mengerti sekarang!" berseru Sin Tjie. "Terlalu tinggi salah, terlalu rendah salah juga,
dan terlalu cepat pun kau gagal! Baiklah, aku akan menyerang di sama tengah, dengan
perlahan...."
Dan benar-benar ia membacok pula, dengan perlahan, seperti Tjeng Tjeng tadi.
Hong Lioe sodorkan tangannya yang kiri, untuk jepit golok itu, selagi berbuat demikian,
dia memikir akan gunai tangan kanannya, untuk membarengi menyerang dengan cepat,
supaya ia bisa ajar adat kepada anak muda ini. Akan tetapi dia berpikir demikian, orang
lain juga berpikir lain. Di saat goloknya hampir dijepit, dengan mendadak saja Sin Tjie
balik goloknya bagian yang tajam lalu ia menarik, maka tidak ampun lagi, dua jari
tangannya orang she Tie ini kena tergurat, darahnya lantas mengucur, coba dia tidak
cepat menarik pulang, dua jarinya itu tentulah bakal sapat kutung!
"Bagus!" A Kioe berseru sambil tepuk tangan.
"Tikus!" membentak Hong Lioe saking gusar. "Kau berani main-main denganku!"
Sin Tjie tidak menjawab, hanya dia lemparkan golok di tangannya itu. Tapi dia melempar
kea rah pohon dimana tadi dia lemparkan orang, orang itu lagi pegangi satu cabang, untuk
meroyot turun, tepat sekali, golok itu mengenai cabang tersebut, hingga cabang itu
kutung, hingga karenanya, orang itu jadi jatuh terguling!
Semua orang kaget dan kagum, suara mereka berisik.
Selagi begitu, Sin Tjie hampirkan petinya, untuk dilemparkan, satu persatu dan disusun,
maka di lain saat, semua peti telah merupakan satu tumpukan tinggi beberapa tumbak.
"Aku suka main-main denganmu tetapi hatiku tidak tenteram," katanya kepada Tie Hong
Lioe. "Kamu semua bangsa bangsat, aku hendak cegah kamu selagi aku berkelahi, nanti
kamu rampas peti ini!" Lantas saja ia lompat naik ke atas susunan peti itu, dari mana
sambil memandang ke bawah, ia menantang: "Mari naik, di sini kita main-main!"
(Bersambung bab ke 15)Tie Hong Lioe kaget disusun kaget. Mulanya ia lihat orang lemparlemparkan
peti-peti yang berat, ia heran untuk tenaga besar dari si anak muda. Habis itu ia
saksikan cara berlompatnya Sin Tjie, yang demikian enteng dan pesat, ia kagum tak
terkira. Dia tidak tahu anak muda itu, yang lihat dirinya menghadapi terlalu banyak lawan,
sengaja pertontonkan ilmu entengkan tubuhnya yang sempurna yang ia peroleh dari Bhok
Siang Toodjin. Itulah dia ilmu "Pek pian kwie eng" atau "bajangan iblis berubah seratus
macam". "Jikalau kau berani, kau turunlah!" Hong Lioe tantang pemuda itu. Ia berbuat begini
karena ia insyaf ia tak sanggup lawan ilmu entengkan tubuh orang yang sempurna itu.
"Jikalau kau berani, kau naiklah!" Sin Tjie balas menantang.
Hong Lioe bertindak menghampirkan peti-peti besi itu, ia lantas memeluk, untuk digoyang,
dengan pengharapan peti-peti itu bergoyang-goyang, supaya si anak muda limbung dan
jatuh karenanya.
Benar-benar tubuhnya anak muda itu menjadi limbung, lantas saja dia terjatuh, akan tetapi
begitu lekas kakinya injak tanah, ia menyambar Hong Lioe dengan gerakan "Tjhong eng
kim touw" atau "Garuda terkam kelinci". Ia gunai tangannya yang kiri.
Hong Lioe tangkis serangan itu, dia pakai tangan kanan. Tapi justeru tangan kanannya
diulur, Sin Tjie sambar itu, dicekal di bagian nadinya, lalu sebelum dia tahu apa-apa,
tubuhnya telah terangkat naik, dari mulut si anak muda pun terdengar seruan: "Bangun!"
Dia sebenarnya bertubuh besar, tubuhnya itu berat sekali, akan tetapi dia jadi seperti
dengar kata, tubuhnya terangkat naik, terlempar ke atas susunan peti-peti di atas mana
lantas saja ia berdiri dengan limbung, sebab peti pun bergoyang-goyang....
Kawanan penjahat kaget berbareng merasa lucu, hingga akhirnya mereka pada tertawa,
sedang si orang she Tie sendiri nampaknya sangat bingung dan kuatir, dengan susah
payah dia mencoba akan mengatasi diri, supaya ia bisa berdiri tetap.
"Jikalau kau berani, kau turunlah!" Tjeng Tjeng menggoda.
A Kioe ingat, itu adalah kata-katanya Hong Lioe tadi. Ia bersenyum.
Melihat semua itu, See Thian Kong lantas berseru: "Tam Hiantee, kurunglah itu bocah! -
lebih dahulu, singkirkan dia!"
Hoe-tjeetjoe itu kena disadarkan seruan orang she See ini, tidak lambat lagi, ia tiup
terompetnya, maka semua berandal dari Shoatang hunus senjata mereka masing-masing,
semua maju ke arah Sin Tjie, untuk kepung anak muda ini.
Menampak ancaman itu, A Pa bersama-sama Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay dekati si anak
muda, maka itu ketika kawanan berandal mulai menyerang, mereka bisa lantas menangkis.
Seng Hay bersenjatakan golok, Tjeng Tjeng bergegaman pedang, tetapi A Pa, si empeh
gagu, bertangan kosong, dan yang belakangan ini main cekuk sesuatu penyerangnya,
untuk lempar-lemparkan tubuh mereka satu demi satu, hingga semua berandal jadi heran,
hingga mereka jeri untuk mendekatinya. Mereka pun takut serang Sin Tjie, yang berkelahi
seperti si empeh gagu itu - dengan tangan kosong juga!
Sambil berkelahi, Sin Tjie berlompat, hingga ia dapati See Thian Kong, siapa sedang rebah
di tanah dengan dua orang jagai padanya. Dua orang ini lihat musuh datang, yang satu
menyambut dengan goloknya, yang satu lagi segera gendong ketuanya, untuk diajak
menyingkir. Atas serangan golok, Sin Tjie berkelit sambil mendak, kakinya bertindak terus, setelah
molos dari serangan, ia sampai kepada penjahat yang satunya, yang gendong Thian Kong,
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu lekas ia jambret pundak orang, penjahat itu menjerit kesakitan, hingga lantas saja
dia lepaskan ketuanya, maka dengan leluasa, pemuda kita tanggapi si orang she See,
tubuh siapa ia kempit, untuk dibawa lari ke kereta besar, ke atas mana dia lompat
bersama. "Hai, kamu sayangi atau tidak jiwanya dia ini?" dia berseru pada semua berandal.
Semua berandal itu menjadi melongo, tidak ada satu juga yang berani bergerak.
Sin Tjie memberi tanda kepada A Pa, lantas si empeh gagu menyerbu ke kalangan Tjeng
Tiok Pay. Orang-orang Tjeng Tiok Pay berdiam sedari tadi, menampak datangnya orang ini, mereka
angkat senjata mereka, untuk meirntangi, akan tetapi A Pa telah dapatkan pelajarannya
Bok Djin Tjeng, dia tak takuti alat-senjata orang banyak itu, dia maju terus hingga ia dapat
dekati Thia Tjeng Tiok.
Dari tempatnya yang tinggi, Sin Tjie awasi A Pa, yang segera bakal berhasil, ia merasa
girang, akan tetapi tiba-tiba, ia tampak A Kioe, yang peluki tubuh ayahnya, numprah di
tanah sambil menangis menggerung-gerung, hingga ia berbalik menjadi kaget. Ia insyaf,
apabila si ketua menutup mata, sulit untuk ia urus anggauta-anggauta Tjeng Tiok Pay itu.
Maka ia lantas berseru: "Seng Hay! Lekas panggil pulang saudara A Pa!"
Seng Hay menurut, segera ia tinggalkan musuh-musuhnya, akan hampirkan si empeh
gagu, di depannya dia ini, dia pun buat main kedua tangannya, atas maa A Pa segera
menoleh kepada si anak muda.
Sin Tjie geraki tangannya dengan cepat.
Melihat tanda itu, A Pa lantas kembali, akan hampirkan si anak muda.
"Pegang dia ini!" kata Sin Tjie, yang serahkan See Thian Kong yang keadaannya seperti
setengah hidup dan setengah mati.
A Pa sambuti itu orang tawanan.
Sin Tjie terus lari kepada A Kioe.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Soehoe mati!...." jawab si nona sambil menangis.
Sin Tjie periksa hidung orang, yang telah tidak bernapas, akan tetapi kapan ia pegang
dadanya ia rasai jantung yang masih memukul perlahan-lahan.
"Jangan kuatir, aku nanti tolong dia!" ia bilang.
Sin Tjie baliki tubuhnya Thia Tjeng Tiok, hingga ia bisa lihat lima batang paku yang nancap
di bebokongnya, ialah sebab utama dari kecelakaannya jago itu tak perduli dia sebenarnya
liehay dan tangguh. Untungnya darah sudah tidak keluar lagi.
Tidak ayal lagi Sin Tjie totok jalan darah thian-hoe-hiat dan yong-tjoan-hiat orang,
menyusul mana darahnya jago itu lantas mulai jalan pula, maka selang sedikit lama, ia
mulai sadar, kedua matanya bisa dibuka.
Bukan kepalang girangnya A Kioe.
"Soehoe! Soehoe!" ia memanggil, berulang-ulang.
Tjeng Tiok dengar itu, ia ingat akan dirinya, ia manggut-manggut.
"Jadi dialah gurumu?" tanya Sin Tjie. "Aku sangka dia adalah ayahmu."
Si nona manggut.
"Terima kasih untuk pertolongan kau," ia mengucapkan.
Sementara itu, A Pa dengan diikuti Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay dengan pondong
tubuhnya See Thian Kong, sudah campuri diri dalam rombongan Tjeng Tiok Pay.
Kawanan berandal Shoatang yang lihat pemimpinnya kena ditawan, sudah lantas maju
untuk menolongi, akan tetapi percobaan mereka dirintangi oleh pihak Tjeng Tiok Pay,
hingga karenanya, mereka kedua pihak jadi bertempur dengan hebat, hingga dalam tempo
pendek telah ada korban-korban jiwa dan terluka.
"Jikalau pertempuran ini berlanjut lagi sekian lama, mesti rubuh lebih banyak korban,"
kata Tjeng Tjeng kepada Sin Tjie.
Si anak muda tidak menyahuti, dia Cuma bersenyum.
Sedang asyiknya pertempuran berlangsung, Tie Hong Lioe yang masih berada di atas
susunan peti besi telah terdengar seruannya: "Celaka! Tentara negeri mendatangi! Ribuan
jumlah mereka! Lekas mundur! Oh, puluhan ribu jumlah mereka! Mundur, lekas mundur!
Lekas!" Tjhungtjoe dari Tjian-lioe-tjhung ini berada di tempat tinggi, tidak heran apabila dialah
yang dapat melihat paling dulu.
Semua orang kaget, dengan sendirinya berhentilah mereka berkelahi, semua mengawasi
dengan bengong ke arah dari mana katanya tentara negeri mendatangi.
Dari jurusan tersebut segera tertampak mendatangnya tiga penunggang kuda, kemudian
ternyata, mereka ini terdiri dua dari pihak berandal Shoatang, yang satu dari Tjeng Tiok
Pay. Hampir berbareng, bertiga mereka perdengarkan seruan: "Tentara negeri
mendatangi!"
Tie Hong Lioe jadi nekat, dengan beranikan diri, dia lompat turun dari susunan peti besi,
sesampainya ia di tanah, ia rubuh hingga ia bergulingan tiga kali, Baru ia dapat bangkit
berdiri, dengan merasai sakit sekali kepada kedua kakinya, tetapi tanpa perdulikan itu, ia
sambar seekor kuda untuk dinaiki, untuk segera ajak kawan-kawannya angkat kaki dari
situ. Sin Tjie sambar tubuhnya See Thian Kong, untuk dilemparkan kepada kawan-kawannya,
maka kawanan berandal itu tolongi pemimpinnya, untuk dikasih naik di atas bebokong
kuda, buat segera dibawa kabur ke dalam rimba.
Pihak Tjeng Tiok Pay juga perdengarkan suitan berulang-ulang, habis itu mereka tolongi
kawan-kawan mereka yang terluka, lalu tetap dalam empat barisan, mereka undurkan diri
dengan lekas. Maka di lain saat, sunyi-senyaplah medan pertempuran itu dimana
ketinggalan saja Sin Tjie serta rombongannya.
Lantas si anak muda berlaku sebat. Ia lompat naik ke atas susunan peti, untuk lempar itu
turun satu demi satu, di bawah, A Pa menyambutinya, untuk dimuatkan ke kereta mereka.
Tjeng Tjeng tertawa atas kesudahannya kekalutan itu.
"Banyak orang telah menjadi korban, tetapi uang kita, satu tjhie pun tidak lenyap!" katanya
dengan gembira dan puas.
Tidak antara lama terdengarlah suara terompet disusul berisiknya banyak kuda, kemudian
terlihat satu pasukan tentara lagi mendatangi.
"Di sana ada tentara negeri, kawanan berandal tentu tak berani muncul pula," kata Sin Tjie.
"Mari kita lanjuti perjalanan kita!"
Walaupun ia mengucapkan demikian, pemuda ini toh mesti periksa dulu rombongannya,
yang tidak kurang suatu apa, dari itu sebelum mereka sempat berangkat, pasukan negeri
mendahului sampai di antara mereka.
"Kamu bikin apa?" tanya satu perwira yang bersenjatakan golok panjang. Dia ini pimpin
dua ratus serdadu, yang terpecah dalam dua barisan.
"Kami penduduk baik-baik yang sedang bikin perjalanan," sahut Sin Tjie.
"Kenapa di sini ada tanda-tanda darah, dan pelbagai alat-senjata?" tanya pula perwira itu.
"Barusan ada penjahat pegat kita, lantaran datangnya tentara negeri, mereka kabur
sendirinya," sahut Sin Tjie pula.
Sementara itu, muncul satu pasukan tentara lain, yang lantas menyerbu ke dalam rimba,
untuk kejar kawanan berandal.
Perwira tadi melirik kedalam kereta dimana mereka lihat peti-peti besar.
"Barang-barang apakah itu?" tanyanya dengan tawar.
"Itulah barang-barang keperluan kami sehari-hari."
"Coba buka, aku hendak lihat!"
"Semuanya pakaian, tidak ada lainnya."
"Aku perintah buka, kau mesti buka! Perlu apa banyak mulut?"
"Kami tak bawa barang-barang haram, untuk apa dilihat?" Tjeng Tjeng campur bicara.
"Hei, bocah, kau kurang ajar!" bentak perwira itu. Dan cambuknya melayang.
Tjeng Tjeng berkelit untuk sabetan itu.
Perwira itu percaya, isinya peti mesti barang-barang berharga, dalam sedetik itu
muncullah hatinya yang temaha.
"Hei, bocah, kau berani melawan?" dia bentak pula, untuk gunai ketikanya. "Hayo,
saudara-saudara, sita barang-barang itu!"
Untuk rampas milik rakyat jelata, tentara itu biasanya tidak berayal, maka itu begitu dengar
titah "mensita", segera mereka meluruk ke arah kereta.
Si perwira tak berhenti sampai di situ, karena ia tahu, ada kemungkinan Sin Tjie beramai
nanti majukan pengaduan kepada pembesar terlebih atas, maka kembali dia berseru:
"Kawanan berandal ini berani lawan tentara negeri, bunuh mereka semua!"
Lalu ia mendahului angkat goloknya, untuk dipakai menyerang.
Sin Tjie jadi gusar.
"Coba kita bangsa lemah, apa kita tidak bercelaka?" dia pikir sambil kelit dari bacokan,
setelah mana ia membarengi lompat untuk hajar bebokong orang.
Perwira itu hanya satu orang peperangan biasa saja, dalam kesebatan ia kalah jauh dari si
anak muda, maka itu, dengan gampang ia kena dihajar, hingga tubuhnya lantas rubuh
terjungkal dari atas kudanya, malah jiwanya pun melayang dalam sekejab!
Menampak itu, semua serdadu menjadi kaget, lantas mereka berteriak-teriak: "Penyamun
merampas angkutan! Penyamun rampas angkutan!"
Sementara itu Tjeng Tjeng bersama A Pa dan Seng Hay telah labrak buyar barisan serdadu
itu, yang lari serabutan ke empat penjuru, akan tetapi di belakang mereka itu ada lagi satu
pasukan besar, maka Sin Tjie, yang rampas goloknya si perwira, maju untuk mencoba
menahan, sedang Tjeng Tjeng bertiga ia perintah lindungi kereta-kereta mereka untuk
berlindung masuk ke dalam rimba.
Di dalam rimba sendiri, sementara itu, telah terjadi pertempuran di antara tentara negeri
dan kawanan penyamun dari Shoatang yang bersatu dengan rombongan Tjeng Tiok Pay,
akan tetapi belum terlalu lama, pihak negeri bisa mendesak, hingga musuh-musuhnya
terpaksa mundur.
Sambil bereskan kereta-keretanya Sin Tjie saksikan pihaknya See Thian Kong dan Thia
Tjeng Tiok lagi terancam bahaya, terutama disebabkan kedua pemimpin itu sendiri tidak
berdaya. "Bagaimana?" tanya Tjeng Tjeng.
"Kita bantu berandal! Kita basmi tentara negeri!" Sin Tjie menjawab dengan cepat.
"Benar!" berseru si nona dalam penyamaran.
"Tetapi kau berdiam di sini, untuk lindungi harta kita," Sin Tjie bilang.
Tjeng Tjeng menjadi dengar kata.
"Baik!" ia manggut.
Maka bertiga bersama A Pa dan Ang Seng Hay, ia kitari kereta-kereta mereka, untuk
dilindungi, tatkala tentara negeri datang menyerbu, mereka pukul mundur, hingga
kesudahannya, tentara negeri itu jadi jeri, mereka tak berani merangsek pula.
Sin Tjie panjat pohon, akan mengawasi ke arah kawanan berandal, dengan begitu ia bisa
saksikan A Kioe serta beberapa tauwbak dari Tjeng Tiok Pay sedang terkurung hebat oleh
tentara negeri, maka untuk tolong mereka, ia loncat turun dari pohon, ia menyerbu ke
dalam medan pergulatan, sampai ia berhasil mendekati si nona, malah ia datang disaat
yang tepat, selagi dua batang tumbak menikam nona itu, dari itu dengan sebat ia
menalangi menangkis.
"Lekas mundur ke bukit sebelah barat!" ia teriaki.
A Kioe melengak atas datangnya bantuan ini, hingga ia tak tahu satu perwira bacok ia
secara hebat. Kembali Sin Tjie tolong si nona. Dia rampas golok musuh, untuk dipatahkan, si perwira
sendiri ia tonjok dadanya hingga dia muntah darah, tubuhnya rubuh seketika.
A Kioe sadar, segera ia tiup suitannya, kemudian ia beri tanda untuk kawan-kawannya
mundur ke arah barat, seperti ditunjuki Sin Tjie. Si anak muda sendiri mondar-mandir
dengan bengis, untuk tahan tentara negeri yang mencoba mendesak.
Kawanan penyamun dari Shoatang juga turut mundur ke barat, setiap kali ada diantaranya
yang dirintangi tentara negeri, Sin Tjie maju menolongi, dengan begitu, mereka bertempur
sambil mundur, hingga mereka sanggup mendaki bukit.
Kemudian, dibantu oleh sejumlah berandal, Sin Tjie pergi sambut Tjeng Tjeng bertiga serta
kereta mereka, untuk menyingkir ke bukit barat itu, hingga mereka ketiga pihak, jadi
bersatu. Tentara negeri cuma bisa kurung mereka dari bawah bukit, mengurung sambil
berteriak-teriak saja.
Sin Tjie mengatur terlebih jauh. Ia pasang barisan panah di sebelah depan. Kawanan
berandal, dengan sendirinya, suka taati segala titahnya. Maka itu, ketika tentara negeri
mencoba mendaki gunung, mereka dipukul mundur dengan hujan anak panah, hingga
selanjutnya mereka tidak berani mencoba naik pula.
Dengan titahnya Sin Tjie, Hoe-tjeetjoe Tam Boen Lie bersama-sama Tie Hong Lioe dan A
Kioe pergi bantui Seng Hay beramai membikin penjagaan. Semua berandal telah dipecah
dalam dua rombongan, hingga ada sebagian yang dapat beristirahat, untuk sekalian
tolongi mereka yang terluka.
Sin Tjie lantas tolongi Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong, dengan bergantian, ia uruti
mereka itu hingga mereka tertolong dari ancaman bahaya maut, darah mereka jalan pula
seperti biasa begitupun napas mereka, yang tadinya sudah sesak. Karena ini, berdua
mereka dapat rebahkan diri dan tidur dengan nyenyak.
Kedua pihak berandal jadi bersyukur kepada anak muda ini, yang tolongi pemimpinpemimpin
mereka. "Jumlah tentara negeri terlalu besar untuk kita, tak dapat mereka dilayani dengan tenaga,
mesti dengan daya-upaya," kemudian Sin Tjie bilang kepada Tjeng Tjeng.
"Benar!" sahut si nona. "Habis kau hendak gunai daya apa?"
Sin Tjie tidak menyahuti, dia hanya berpikir, akan akhirnya dia panggil satu penyamun
yang kenal baik keletakan tempat mereka ini; sembari tanya ini dan itu, iapun senantiasa
mengawasi ke arah tentara negeri. Maka kesudahannya ia dapat lihat, di arah belakang
dari tentara negeri itu, ada sejumlah besar kereta-kereta yang rupanya bermuatan berat.
Tiba-tiba saja ia ingat suatu apa, lantas ia lompat kepada Tjeng Tjeng.
"Bukankah tadi tentara negeri itu sebut-sebut angkutan?" ia tanya.
Sebelum si nona menjawab, Tie Hong Lioe sudah mendahului. Dia ini Baru saja datang
untuk beristirahat.
"Itulah artinya angkutan uang untuk ke Pakkhia," demikian jawabannya. "Sungguh tidak
beruntung bagi kita, di sini kita bertemu mereka itu..."
"Mengapa angkutan uang Negara memerlukan tentara pengiring demikian besar?" tanya
Sin Tjie. Sekarang ini keamanan sedang sangat terganggu, di pelbagai gunung ada saja
penyamunnya, maka itu, untuk angkutan yang selamat, iring-iringannya mesti besar,"
Hong Lioe terangkan lebih jauh. "Sekarang pemerintah sangat memerlukan uang dan
rangsum dari Kanglam, terutama sebab Kaisar Tjong Tjeng mesti hadapi musuh bangsa
Boan di Liauw-tong dan pemberontakannya Giam Ong dan lainnya. Maka juga angkutan
uang ini adalah jiwanya...."
"Jikalau begini, barisan serdadu iring-iringan ini terlalu usil," Sin Tjie bilang. "Tugas
mereka berat, mengapa mereka masih ambil kesempatan untuk ganggu kita"...."
"Mestinya mereka anggap kita gampang dikalahkan," Hong Lioe bilang. "Jikalau mereka
bisa labrak kita atau menawan beberapa di antara kita, bukankah itu artinya jasa besar?"
Sin Tjie manggut-manggut.
"Di barat-utara sana ada satu mulut selat," kata ia kemudian, "mari kita nerobos keluar dari
sana." Tie Hong Lioe bersedia untuk turut usul itu.
"Silahkan Wan Siangkong menitahkannya," katanya.
Sin Tjie mencorat-coret di tanah, ia berpikir, habis itu, ia lantas berikan titah-titahnya buat
bersiap untuk sebentar malam.
Tepat pada jam yang telah ditetapkan, dibarengi teriakan mereka riuh-rendah, kawanan
berandal bergerak untuk turun bukit, buat menerjang turun. Sebagai pembuka jalan adalah
Sin Tjie berdua A Pa, si empeh gagu.
Tentara negeri sudah lelah, kapan mereka lihat serbuan, mereka coba merintangi, tetapi
sebentar saja, barisan mereka sudah dapat ditobloskan, dengan begitu, rombongannya
Sin Tjie semua bisa molos. Masih mereka mencoba mengejar, atau segera mereka dilawan
oleh barisan belakang penyamun. Nyata ini adalah siasat saja, untuk mencegah tentara
negeri itu, sebab apabila semua rombongan sudah memasuki selat, sejumlah penyamun
itu lari kabur, akan susul rombongan mereka.
Tentara negeri menguber sampai di mulut selat, lantas mereka tidak berani mengejar terus
akan masuk terlebih dalam, sebab orang yang menjadi pemimpinnya dapatkan, kedua
belah selat tinggi dan berbahaya, hingga mereka jadi kuatirkan tentara sembunyi musuh.
Selagi tentara negeri berkumpul dan mengawasi ke dalam selat, tiba-tiba sebuah peti
besar jatuh dari sisi lamping bukit, jatuhnya dengan terbuka tutupnya, maka isinya lantas
saja terlempar berantakan. Yang membuat kaget dan herannya tentara negeri adalah isi itu
yang banyak sekali barang permata, yang berkilauan di antara cahaya obor.
Pemimpin tentara negeri itu adalah satu tjongpeng atau brigade-jenderal, dia pun kaget
tetapi kaget berbareng girang.
"Lekas maju!" ia titahkan. "Rampas semua peti itu!"
Perwira ini timbul keserakahannya hingga ia lupakan bahaya.
Tentara negeri itu lantas maju, bukan untuk mengejar, hanya untuk berebutan memunguti
pelbagai barang permata dan uang, hingga barisan mereka menjadi kalut tanpa
pemimpinnya dapat kendalikan pula mereka.
Sin Tjie sendiri, yang ambil jalan di atas lamping, telah menuju ke arah belakang pasukan
Negara, hingga ia bisa datang dekat kepada rombongan kereta-kereta angkutan yang
berlerot. Semua kereta dikerudungi tutup kain kuning tebal, samara-samar kelihatan
tulisan huruf-huruf yang menandakan itu adalah angkutan barang pemerintah dari
Kanglam. Mengawasi lerotan kereta itu, Sin Tjie girang berbareng ragu-ragu. Ia girang sebab jumlah
yang besar itu, yang pasti akan berguna besar untuk pergerakan Giam Ong. Ia ragu-ragu
kapan ia ingat jumlah besar dari tentara negeri yang menjadi barisan pengiring angkutan
itu. Dengan hati-hati pemuda ini maju lebih jauh. Karena ia sembunyikan diri di antara
pepohonan, tidak satu serdadu juga yang dapat pergoki padanya. Ia datang begitu dekat
hingga kecuali bisa melihat tegas, ia juga bisa dengar pembicaraan mereka. Kemudian ia
dengar suara lebih jelas dari kereta-kereta terbelakang, maka ia percaya, muatan keretakereta
itu bukannya uang seperti kereta-kereta terdepan. Kapan ia telah perhatikan lebih
jauh, ia dapat kenyataan itulah kereta orang-orang tawanan, dan si orang-orang tawanan
sendiri, dengan kedua tangan mereka masing-masing tertelikung ke belakang, lagi duduk
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dalam kereta kerangkeng mereka. Di atas setiap kereta nampak selembar bendera putih
yang muat tulisan yang menyebutkan nama-nama si orang perantaian, yang telah dapat
hukuman mati. Pun dibelakang setiap nama dijelaskan perantaian itu penyamun atau
pemberontak atau pengkhianat.
"Mereka harus ditolongi...." Pikir Sin Tjie. "Bagaimana aku dapat menolonginya?"
Selagi ia berpikir, ia lihat sebuah kereta kerangkeng di mana pada benderanya ada tulisan
yang memuat nama Tjouw Tiong Sioe, hingga Sin Tjie jadi kaget tidak terkira. Ia pun lantas
lihat orang yang bernama Tjouw Tiong Sioe itu ialah seorang umur lima-puluh lebih,
dandanannya sebagai sasterawan, rambutnya telah ubanan. Dia itu adalah bekas
ponggawa ayahnya almarhum, yang telah bergerak dan berkedudukan di Lauw Ya San. Di
belakang dia ini, di dalam beberapa kereta lainnya, ia tampak Nie Ho, Tjoe An Kok dan Lo
Tay Kan bertiga. Eng Siong tidak ada di antara mereka itu.
Selagi Sin Tjie mengawasi, kereta-kereta pesakitan itu sudah lewati dia, maka sebagai
orang Baru sadar dengan tiba-tiba, dia lari mengejar, hingga sekarang ia terlihat oleh
serdadu-serdadu pengiring. Di antara sedadu-serdadu itu sudah lantas ada yang
memanah. Dengan kesebatannya, Sin Tjie selamatkan diri dari pelbagai anak panah itu, ia maju terus,
sampai ia dekati satu perwira yang bersenjatakan golok, yang berjalan paling belakang.
"Baik aku bekuk perwira ini untuk bikin kacau barisannya," pikir anak muda kita. "Dengan
menawan dia aku akan bisa tolongi Tjouw Siokhoe beramai..."
Belum sempat Sin Tjie bertindak, atau ia lihat debu mengepul di sebelah belakangnya dan
kupingnya dengar suara berisik dari berlari-larinya beberapa ekor kuda, karena mana, ia
lantas mengawasi, hingga ia tampak lima penunggang kuda sedang mendatangi.
"Kiranya barisan ini ada barisan penolongnya...." Pikir ia.
Dari lima penunggang kuda itu, yang kabur di muka adalah seorang perempuan. Karena
mereka datang dengan cepat, selagi dia itu lewat di sampingnya, Sin Tjie kenali Hoei-thianmo-
lie Soen Tiong Koen serta Kwie Sin Sie suami-isteri bersama Bwee Kiam Hoo dan
Lauw Pwee Seng. Ia jadi girang.
"Djie-soeko!" ia memanggil sambil lompat ke depan kudanya suami-isteri itu.
Kwie djie-nio lihat si anak muda, ia tertawa dingin.
"Oh, kau?" katanya. "Kau bikin apa di sini?"
Soen Tiong Koen dengar soebonya bicara, ia tahan kudanya dan menoleh ke belakang.
"Ada urusan penting untuk mana aku hendak mohon bantuan soeko dan soeso," sahut
Sin Tjie tanpa perhatikan sikap mengejek dari si ipar perempuan itu.
"Kami juga mempunyai urusan sangat penting, kami tak sempat!" kata nyonya Kwie
seraya terus keprak kudanya, untuk dikasih lari pula, melewati si anak muda.
"Soe-siok!" memanggil Bwee Kiam Hoo sambil beri hormat kepada paman-guru yang
muda itu, lantas ia ikuti itu guru lelaki dan perempuan.
Beda dari Kiam Hoo, Pwee Seng loncat turun dari kudanya.
"Soehoe dan soebo lagi hadapi urusan sangat penting," ia memberi tahu. "Soesiok ada
urusan apa" Baik tunggu sampai soehoe dan soebo sudah selesai, nanti aku bantui
soesiok..."
"Kalau begitu, tidak apa," jawab Sin Tjie. "Aku ingin pinjam saja kudamu, Lauw Toako."
"Silakan, soesiok," menyahut Pwee Seng dengan hormat, sambil tarik kudanya. Ia terus
berdiri di pinggiran.
"Kita naik berdua, untuk susul tentara negeri itu," Sin Tjie bilang seraya terus lompat naik
ke punggung kuda, diturut oleh Pwee Seng. Maka sebentar saja, mereka sudah kabur ke
depan. "Ada urusan apa soesiok kejar tentara negeri?" Pwee Seng tanya.
"Untuk tolong orang!" Sin Tjie jawab.
"Bagus! Kami juga hendak hajar tentara itu!" berkata Pwee Seng.
Sin Tjie kaburkan kudanya sampai ia dapat candak dan lombai Soen Tiong Koen dan lihat
tentara negeri yang iringi kereta-kereta kerangkeng, masih ia jepit perut kudanya, untuk
menyusul tentara itu.
Perwira yang pimpin barisannya dengar tindakan kaki kuda di arah belakang, dia lantas
menoleh. Akan tetapi dia menoleh sesudah terlambat, karena tahu-tahu satu bajangan
menyambar ke arahnya. Dalam gugupnya, dia membabat dengan goloknya yang besar,
harapannya adalah bisa menabas kutung tubuh orang, siapa tahu Sin Tjie telah ulur
tangan kanannya, akan sambut gagang golok bagian ujung, tubuhnya sendiri mencelat
naik di bebokong kudanya si opsir, siapa ia totok dengan tangan kirinya sambil ia pun
membentak: "Kau sayangi jiwamu atau tidak?"
Opsir itu rasai ia kehabisan tenaga dalam sekejab, hingga tak dapat ia membikin
perlawanan lebih jauh.
"Kau mau hidup atau mati?" Sin Tjie ulangi bentakannya.
"Ampun, tay-ong...." Memohon si opsir.
"Kalau begitu, lekas titahkan supaya semua kereta pesakitan itu berhenti!" Sin Tjie
titahkan. Opsir itu menurut, selagi ia berikan titahnya, rombongannya Kwie Sin Sie pun sampai,
malah mereka ini berlima sudah lantas serang tentara negeri, hingga barisannya menjadi
kalut. Kejadian ini membuat Sin Tjie menyesal, sebab tadinya ia tidak niat gunai kekerasan
terhadap pasukan tentara itu. Sekarang terpaksa ia rampas dua buah kampak besar,
dengan bawa itu, ia memburu ke kereta kerangkeng dari Tjouw Tiong Sioe, untuk kampaki
pintunya hingga menjeblak.
"Tjouw Siokhoe, aku Sin Tjie!" pemuda ini perkenalkan diri.
Tiong Sioe seperti sedang bermimpi, hingga ia berdiam diri.
Sin Tjie lantas tolongi juga Tjoe An Kok dan Nie Hoo, hingga mereka ini dapat tolongi yang
lain-lain, dan yang lain-lain lagi berebut tolongi semua perantaian lainnya, yang berjumlah
seratus orang lebih, diantara siapa lebih dari tiga-puluh orang ada anggauta-anggauta
golongan San Tjong, bekas orang-orang sebawahannya almarhum Wan Tjong Hoan.
Mereka ini girang bukan main kapan mereka dapat tahu orang yang tolongi mereka adalah
putera pemimpin mereka, maka dengan sengit mereka labrak tentara negeri, yang tadinya
iringi mereka. Maka kesudahannya, tentara negeri itu kena dipukul buyar.
Di sebelah depan, jalanan telah dirintangi dengan batu-batu besar, sukar untuk tentara
negeri lolos dari sana. Sin Tjie ketahui ini. Ia juga tahu, biar bagaimana, jumlah tentara
negeri lebih besar daripada jumlah rombongan mereka sendiri, seandai-kata tentara itu
nekat, dia orang bisa berkelahi mati-matian dan ini berarti ancaman hebat bagi mereka
sendiri, dari itu ia lantas pikir jalan pemecahan.
Sin Tjie lemparkan kampaknya, ia loncat ke atas lerotan kereta, ia berlari-lari di atasnya,
untuk maju ke depan. Ia telah lari sekira satu lie ketika ia lihat satu ponggawa, ialah
tjongpeng yang tadi, di atas kudanya sedang pimpin perlawanan. Ia cepat maju ke arah
pembesar militer itu. Dua serdadu rintangi ia tapi ia cekuk mereka, yang ia terus
lemparkan ke jurang. Kemudian, dengan kegesitannya, ia loncat ke bokong kudanya
tjongpeng itu. Ponggawa itu tampak orang menyerbu, ia membacok, tapi sambil berkelit, anak muda kita
coba rampas goloknya.
Tjongpeng ini liehay, ia jatuhkan dirinya ke tanah, dengan begitu, goloknya tidak kena
dirampas. "Aku tidak sangka dia liehay," kata Sintjie dalam hati. Tapi untuk tidak perlambat tempo, ia
segera menyerang dengan tiga butir biji caturnya.
Tjongpeng itu benar-benar liehay, dengan goloknya ia berhasil menyampok jatuh tiga biji
catur itu, hingga ia terlolos dari ancaman bahaya.
"Kau benar liehay! Mari coba lagi!" pikir Sin Tjie. Dan sekali ini ia menyerang pula, dengan
dua tangannya saling-susul. Kedua tangannya menggenggam tiga kali sembilan biji,
hingga tjongpeng itu diserang terus-terusan dengan dua-puluh tujuh biji. Pasti sekali ia
menjadi sibuk, mulanya ia masih bisa menangkis, lantas goloknya terlepas, segera
pahanya, pinggangnya, bebokongnya, sambungan kakinya, kena tertimpuk, hingga
kesudahannya, ia rubuh dengan lutut tertekuk!
"Tak usah pakai banyak adapt-peradatan!" Sin Tjie menggoda sambil tertawa. Ia maju,
untuk sambar bahu kiri orang, tapi dengan kepalan kanannya, tjongpeng itu menyerang
kea rah dada. "Biarlah kau hajar aku satu kali, untuk puasi hatimu!" tertawa si anak muda. Dan ia
antapkan dadanya ditoyor.
Serangan itu tepat, akan tetapi tjongpeng itu merasakan ia lagi toyor kapas, dan ketika Sin
Tjie empos semangatnya, tenaga berbaliknya membikin tubuhnya terpental sendirinya,
terapung tinggi!
Banyak serdadu menjerit melihat keadaannya pembesar itu.
Sang tjongpeng sendiri anggap dia bakal terbinasa sendirinya, ia sudah lantas tutup rapat
kedua matanya, akan tetapi segera ia merasa ada orang cekal kedua belah bahunya,
apabila ia buka matanya, ia lihat lawannya adalah satu mahasiswa muda. Ia lantas insyaf
bahwa ia telah rubuh di tangannya seorang liehay. Ia jadi putus asa.
"Kau perintahkan semua serdadu letaki senjata, kau akan dikasih ampun!" kata Sin Tjie.
Tjongpeng ini tahu, dengan angkutannya lenyap, hukuman mati ada bagiannya, karena ini,
ia jadi nekat. Ia berseru: "Jikalau kau hendak bunuh, bunuhlah aku, tak usah kau banyak
omong!" Sin Tjie tertawa, ia kerahkan pula tenaganya. Lagi satu kali, tubuhnya tjongpeng itu
terpental tinggi, di waktu jatuh, si anak muda tanggapi seperti tadi. Dan ia ulangi sampai
tiga kali melempar tubuh opsir itu, hingga kesudahannya, opsir ini pusing kepalanya,
berkunang-kunang matanya, sampai tak tahu ia, dirinya berada di mana....
"Jikalau kau tidak berikan titahmu, kau bakal mampus!" Sin Tjie beri ingat. "Dengan
begitu, tentaramu juga tidak bakal turut hidup! Maka baiklah kau menakluk kepada kami!"
Dalam keadaan sulit seperti itu, tjongpeng ini menyerah. Ia manggut.
"Ini dia yang dibilang orang yang kenal selatan!" bilang Sin Tjie.
Tjongpeng itu lantas teriaki tiga sebawahannya, untuk beritahukan mereka niatnya untuk
menakluk. Tiga sebawahan itu kaget, muka mereka pucat.
"Kau makan gaji Negara, kau poet-tiong, poet-hauw!" satu di antaranya berseru saking
gusar. Tapi ia tak sempat bicara banyak, Sin Tjie sambar lengannya, terus dia dibanting hingga
dia rebah dengan pingsan!
Melihat demikian, dua sebawahan itu menyatakan suka menurut.
"Nah, perintahkanlah hentikan pertempuran!" si tjongpeng memerintahkan.
Sin Tjie juga lantas kasih tanda supaya kawanan penyamun berhenti berkelahi.
"Titahkan mereka letaki senjata mereka!" kemudian Sin Tjie perintah si tjongpeng.
Dengan terpaksa, tjongpeng itu menurut, maka itu, selainnya pertempuran berakhir,
semua serdadu juga letaki senjata mereka.
Menyusul itu, lima orang menerjang kalang-kabutan, mereka serbu pelbagai peti, untuk
dibuka dengan paksa, apabila mereka dapati isinya uang belaka, mereka lemparkan itu ke
samping, mereka menggeratak terus. Tidak ada satu serdadu juga yang berani rintangi
mereka. Lima orang itu adalah Kwie Sin Sie suami-isteri serta tiga muridnya.
"Djie-soeheng, kau cari apa?" Sin Tjie tanya selahi orang dekati dia. "Nanti aku perintah
mereka kasi keluar!"
Kwie Sin Sie angkat kepalanya, ia lantas tampak tiga opsir berdiri di antara Sin Tjie, ia
lompat ke arah mereka, dengan tiga loncatan, ia sudah datang dekat, lalu dengan tiba-tiba,
ia jambak si tjongpeng.
Pembesar militer ini kaget, apapula kapan ternyata, tak sanggup ia lepaskan diri dari
jambakan itu, hingga ia mengerti, kembali ia hadapi seorang liehay.
"Dimana adanya upeti hok-leng dan hoo-sioe-ouw dari Ma Tok-boe?" tanya Kwie Sin Sie
dengan bengis. "Karena anggap jalan kita ayal, Ma Tok-boe telah perintah lain orang bawa itu terlebih
dahulu ke kota raja," sahut tjongpeng itu.
"Apakah kau tidak mendusta?" tanya Kwie Sin Sie.
"Jiwaku ada di tangan kau, untuk apa aku mendusta?" sang tjongpeng menjawab.
Sin Sie percaya orang omong benar, tapi toh ia masih banting tjongpeng itu.
"Jikalau kemudian ternyata kau main gila, aku nanti kembali untuk ambil jiwamu!" dia
mengancam. Kemudian ia berpaling kepada isterinya: "Mari lekas kita susul!"
Habis mengucapkan demikian, Sin Sie segeral berlari pergi.
Nyonya Kwie empo anaknya, dia susul suaminya, selagi berlari, dia hajar beberapa sedadu
yang melintang di depannya.
Soen Tiong Koen bertiga pun segera susul gurunya itu.
Sin Tjie tahu orang sedang berpikiran kalut, ia antapkan saja soeko itu beramai berlalu.
Kemudian Baru ia tanya si tjongpeng tentang obat yang dicari soehengnya yang kedua itu.
"Itulah hok-leng dan hoo-sioe-ouw," sahut perwira itu. "Hok-leng itu besar sekali dan
didapatinya belum lama ini di dalam sebuah gunung di propinsi An-hoei diduga usianya
telah dua-ribu tahun. Dan hoo-sioe-ouw itu, yang telah berpeta manusia, yang umurnya
pun tua sekali, dapat digali di suatu tempat di Tjiatkang timur. Maka itu adalah dua macam
obat yang dipandang sebagai mustika. Ketika Tjongtok Ma Soe Eng dari Hong-yang
dengar hal kedua obat itu, dia perintah wakilnya pergi beli secara separuh paksa,
kemudian ia perintahkan satu ahli obat bikin itu menjadi dua-puluh butir obat pulung,
katanya campuran obat lainnya adalah jinsom, mutiara dan lainnya obat mahal, hingga
ongkos pembuatannya sama sekali tiga-puluh ribu tail perak. Tentang obat ini sudah
menggemparkan seluruh wilayah Kanglam, hingga banyak orang yang mengetahuinya.
"Untuk penyakit apa obat itu?" Sin Tjie tanya pula.
"Aku sendiri tidak ketahui jelas, melainkan orang bilang mustajab sekali hingga bisa
hidupkan kembali orang yang sudah mati. Juga dikatakan, siapa bertubuh lemah, asal
makan sebutir saja dari obat itu, tubuhnya akan lantas jadi sehat dan kuat."
"Inilah dia!" pikir Sin Tjie. "Anaknya djie-soeko sakit sudah lama dan belum dapat obat
yang manjur, pantaslah dia ingin dapatkan obat ini....." Lalu ia tanya pula: "Jadi obat itu
hendak dijadikan upeti oleh Ma Tjongtok?"
"Benar. Mulanya akulah yang ditugaskan bawa itu, tetapi kemudian karena aku jalan
lambat dan aku mesti antar banyak pesakitan, dia titahkan lain orang ialah Tang Piauwsoe
dari Eng Seng Piauw Kiok dari Kimleng. Itulah upeti untuk Sri Baginda."
Mendengar itu, Sin Tjie harap-harap soekonya berhasil mendapati obat itu untuk obati
puteranya yang sakitan itu.
"Sudah berapa hari sejak berangkatnya piauwsoe itu?"
"Kita berangkat bersamaan, tapi rombongan mereka Cuma belasan, mereka bisa jalan jauh
terlebih cepat. Mungkin mereka telah dului kita delapan atau sembilan hari."
Itu waktu Tjouw Tiong Sioe bersama Tjoe An Kok, Nie Hoo dan Lo Tay Kan serta orangorang
mereka telah datang berkumpul, girang mereka bukan kepalang, apapula akan
saksikan ahli warisnya Wan Tjong Hoan demikian cakap dan gagah.
Sin Tjie lantas tanyakan mereka itu tentang tertawannya mereka.
Menurut Tiong Sioe, ketika mereka dibokong di Lauw Ya San, sudah banyak orang mereka
yang bubaran, mereka sendiri bisa lolos, kecuali Eng Siong, yang mendapat kebinasaan.
Rajawali Hitam 9 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Tiga Mutiara Mustika 3
petahkan latihannya.
Untuk ini Sin Tjie pakai tempo sepuluh hari, setelah Lip Djie ingat semua, dia dipesan
untuk berlatih nanti, setelah lukanya sembuh.
Pelajaran ini beda daripada yang umum, karena Sin Tjie wariskan dari dalam kitab Kim
Tjoa Pit Kip. Maka itu, walaupun ia tercelaka, Lip Djie girang tak kepalang, karena ia sangat
bahagia memperoleh ilmu golok yang liehay itu.
Sin Tjie sudah lantas siapkan belasan kereta sewaan, untuk angkut hartanya ke kota raja.
Untuk keberangkatannya itu, Kong Lee adakan satu perjamuan meriah sekali yang dihadiri
oleh gadisnya dan sekalian muridnya. Di pihak lain, Sin Tjie minta tolong supaya gedung
Kokkong-hoe itu dikembalikan kepada Bin Tjoe Hoa, sedang Tiang Pek Sam Eng
diserahkan kepada pembesar negeri.
Selagi cuaca musim rontok menyenangi hati, Sin Tjie berangkat bersama-sama Tjeng
Tjeng, A Pa dan Ang Seng Hay, mengiringi belasan kereta harta karun itu, menuju ke
Utara, Kong Lee dan gadisnya serta murid-muridnya mengantari sampai di seberang
sungai Tiang Kang, sampai jauhnya tiga-puluh lie lebih.
Daerah sebelah utara sungai ada daerah pengaruh Kim Liong Pang, dari itu siang-siang
Kong Lee telah atur warta berita kepada pelbagai pelabuhan atau pos partainya, supaya di
setiap tempat, rombongan Sin Tjie disambut dengan baik dan dilindungi di sepanjang
jalan. Selang lebih dari sepuluh hari, sampailah rombongan ini di batas propinsi Shoatang.
"Tuan Wan, sejak ini, daerah bukan daerah pengaruh Kim Liong Pang lagi," menerangkan
Ang Seng Hay, "karenanya, mulai hari ini, harus kita berlaku sedikit lebih hati-hati."
"Apa" Apa ada orang berani main gila terhadap kita?" tanya Tjeng Tjeng.
"Itulah tak dapat dibilang, "sahut Seng Hay. "Sekarang ini jalanan tidak aman, terutama di
Shoatang, orang jahat terlebih banyak daripada tempat lainnya. Di daerah ini ada dua
partai yang liehay."
"Kau toh dari partai Poet Hay Pay?" Tjeng Tjeng tegasi.
Seng Hay tertawa.
"Poet Hay Pay berkuasa di lautan," kata dia, "maka juga kalau di darat, umpama emas dan
permata kedapatan di tengah jalan, menjemputnya pun kami tidak lakukan!"
"Siapa itu dua partai di Shoatang?" Sin Tjie tanya.
"Yang pertama ada rombongan Tie Hong Lioe Tie Toaya di Tjhongtjioe," jawab Seng Hay.
Sin Tjie manggut.
"Ya, aku pernah dengar guruku omong tentang Tie Toaya itu," kata ia. "Dia kesohor untuk
tangan-pasir-besinya Tiat-seetjiang dan ilmu silat toya Thay-tjouw-koen."
"Itulah benar. Partai yang satu lagi adalah yang berkedudukan di ok-houw-kauw," Seng
Hay terangkan lebih jauh. "Partai ini mempunyai enam pemimpin yang semuanya liehay."
Sin Tjie manggut pula.
"Baiklah, kita harus berhati-hati," katanya. "Setiap malam baik kita bergiliran menjaga."
Perjalanan dilanjuti. Selang dua hari, mereka berpapasan dengan dua penunggang kuda,
yang kudanya dikaburan, sehingga suara kelenengannya terdengar dari jauh-jauh.
"Inilah dia!" kata Seng Hay setelah dua penunggang kuda itu lewat di samping mereka.
Sebagai orang kang-ouw ulung, Seng Hay luas pengetahuannya. Ia tidak kuatir, karena ia
tahu Sin Tjie liehay dan ia sendiri pun tak dapat dipandang ringan.
Selang satu jam, dua penunggang kuda tadi telah kembali dan lantas melewatkan pula.
Tjeng Tjeng tertawa dingin.
"Tidak sampai sempuluh lie, bakal ada yang pegat kita," Seng Hay kasih tahu.
Akan tetapi sangkaan ini keliru. Lebih dari sepuluh lie dilewatkan, mereka tidak kurang
suatu apa, hingga mereka singgah di Siang-tjio-hoe.
"Heran! Mungkin mataku lamur?" kata Seng Hay.
Besoknya pagi, jalan belum lima lie, di sebelah belakang mereka, empat penunggang kuda
menguntit dari kejauhan.
"Aku mengerti," kata Seng Hay. "Kemarin mereka belum siap, hari ini tentu mereka akan
bekerja." Tengah hari, sehabis singgah, lagi dua penunggang kuda menyusul rombongan ini.
"Aneh!" kata Seng Hay. "Kenapa begini banyak orang?"
Dan menambah keheranannya ini, beberapa jam kemudian, dua penunggang kuda lain
lewatkan mereka.
Sin Tjie masih hijau di kalangan kang-ouw, ia tidak merasakan apa-apa, tapi juga Tjeng
Tjeng, pengalamannya masih kurang, tidak demikian dengan Seng Hay.
"Aku mengerti sekarang," kata dia. "Wan Siangkong, malam ini kita mesti singgah di
tempat yang besar."
"Kenapa begitu?" Sin Tjie tanya.
"Sebab yang kuntit kita bukannya orang-orang dari satu partai saja."
"Begitu" Berapa partai kiranya?" tanya Tjeng Tjeng.
"Jikalau setiap partai kirim dua orang, itu berarti, di depan dan belakang, sudah tujuh...."
Tjeng Tjeng tertawa.
"Kalau begitu, bakal ramai!" katanya.
"Tetapi siotjia, satu orang tak dapat lawan orang yang banyak," Seng Hay peringati. "Kita
sendiri boleh tak takut tetapi bagaimana kita dapat bela barang-barang kita" Ini sulit..."
"Kau benar juga," Sin Tjie manggut. "Malam ini kita singgah di Tjio-liauw-tin saja."
Benar-benar mereka singgah di Tjio-liauw-tin dimana mereka pilih sebuah hotel besar,
malah Sin Tjie peirntah turunkan semua peti, untuk ditumpuk di dalam kamarnya dimana
ia hendak tidur berdua si empeh gagu.
Baru Sin Tjie selesai mengangkut, dua orang dengan tubuh besar datang ke hotel itu.
Lebih dulu mereka awasi anak muda kita, lantas mereka nyatakan pada kuasa hotel bahwa
mereka berniat bermalam. Karena ini, satu jongos diperintah antar mereka masuk, untuk
ambil kamar. Sin Tjie manggut-manggut dengan diam-diam, ia tahu apa yang harus diperbuat. Habis
bersantap ia perintah semua orang masuk ke dalam kamar, untuk beristirahat.
Kira tengah malam, pemuda kita dengar suara berkelidik di atas genteng, bukan dia lantas
bersiap, dia malah bangun untuk nyalakan lilin secara terang-terang, kemudian ia buka
sebuah petinya, untuk keluarkan seraup mutiara dan batu permata lainnya, yang ia letaki
di atas meja, antaranya ada yang ia pandangi pulang-pergi, hingga di antara sinar api,
semua permata itu terang-gemilang berkilauan.
Di luar jendela, entah berapa banyak pasang mata yang kesilauan juga.
Seng Hay pun dengar apa-apa, hatinya jadi tidak tenang, maka ia keluar dari kamarnya
akan menghampiri Sin Tjie. Di luar, ia lihat belasan tubuh berebut umpetkan diri, maka ia
bersenyum ewa. Ia ketok kamarnya si anak muda.
"Masuk!" terdengar suara Sin Tjie.
Seng Hay tolak daun pintu yang menjeblak. Nyata pintu tak dikunci.
Begitu melangkah di pintu dan lihat barang-barang permata itu, orang she Ang ini
melengak, saking heran, karena matanya silau. Belum pernah ia lihat barang permata
demikian banyak, banyak rupanya dan bear-besar juga. Ia heran ia tak tahu dari mana si
anak muda perolehnya. Kemudian lekas-lekas ia dekati anak muda itu.
"Wan Siangkong, apa boleh aku bantui kau simpan barang permata ini?" kata dia,
suaranya sangat pelahan. "Di luar kamar banyak orang sedang intai kita...."
"Aku justeru hendak bikin mereka buka mata mereka," sahut si anak muda, dengan
pelahan juga. Ia lantas angkat serenceng mutiara, lalu ia tanya: "Kalau kita bawa mutiara
ini ke kota raja, berapa kau taksir harga penjualannya?"
"Aku tidak tahu," sahut pengiring itu.
"Sebutirnya tiga-ratus tail perak, tak kurang lagi," si anak muda bersenyum. Dan
rencengan ini terdiri dari dua-puluh empat butir."
"Jadi harganya sepuluh ribu tail...." Seng Hay bilang.
"Eh, kenapa jadi sepuluh ribu?" tegasi Sin Tjie heran.
"Sebab sukar akan cari mutiara sebesar ini, begitu bundar, begini jernih cahayanya, malah
semuanya, sama besarnya!" kata pengikut ini.
Pembicaraan ini terdengar sampai keluar jendela, orang-orang jahat yang lagi mengintai
jadi merah matanya, hati mereka jadi gatal, hampir mereka tak sanggup mengatasi diri
sendiri. Tapi mereka ditugaskan untuk mengintai saja, buat lekas pulang dengan laporan,
supaya ketua mereka bisa berdamai dulu, agar dia orang tak bentrok satu dengan lain.
Begitulah, lekas-lekas mereka berlalu dengan berpencaran.
Kapan Sin Tjie telah duga orang sudah pergi semua, ia goyang-goyang tangan kepada
Seng Hay, untuk menitahkan orang itu tidur, ia sendiri tertawa, ia naik ke pembaringan
tanpa benahkan lagi mutiara itu.
Besoknya pagi, perjalanan dilanjuti, terus sampai dua hari, mereka tidak tampak rintangan
suatu apa. Ketika itu mereka sudah lewati batas wilayah kota Tjeelam. Sementara itu Sin
Tjie dapat kenyataan, orang-orang jahat yang arah dia jadi semakin banyak, hingga Seng
Hay, yang tadinya tenang, jadi tak tenteram juga hatinya. Ia ini pun bingung, kenapa orang
masih belum mau turun tangan. Maka akhirnya, ia usulkan si anak muda akan tukar jalan
darat dengan jalan air.
"Di air aku mempunyai banyak sahabat," ia mendesak. "Kita naik perahu sampai di Thiantjin,
di sana kita mendarat, untuk melanjuti sampai di Pakkhia. Dengan begini benar kita
ambil jalan mutar dan memakan tempo jauh lebih banyak akan tetapi keselamatan kita
lebih terjamin."
Sin Tjie tertawa atas usul itu.
"Aku justeru hendak serahkan harta ini kepada orang-orang gagah kita dan pencintapencinta
Negara!" katanya. "Umpama harta ini habis tersebar, masih tidak apa! Bukankah
harta ada benda sampiran belaka" Untuk kita, kewajiban membela Negara adalah yang
utama!" Mendengar itu, Ang Seng Hay lantas tidak banyak omong lagi.
Itu hari sampailah mereka di Ie-shia, dimana mereka cari hotel.
Tjeng Tjeng tidak betah berdiam saja, seorang diri ia pergi pesiar di sekeliling kota. Tidak
demikian Sin Tjie, yang insyaf entah berapa banyak mata yang incar harta-karunnya itu,
dari itu bersama-sama A Pa, ia tak mau meninggalkan hotelnya.
Berselang kira-kira satu jam, Tjeng Tjeng pulang dengan wajah berseri-seri, tangannya
menenteng dua bumbung bambu kecil dalam mana masing-masing terdapat seekor
jangkrik, yang masing-masing sedang mengasi dengar suara ngeringnya tak sudahnya.
Yang seekor ia terus serahkan pada Sin Tjie seraya bilang: "Aku beli dua-puluh tjhie
seekornya. Sebentar malam kau gantung di kelambumu, pasti suaranya enak
didengarnya..."
Sin Tjie tertawa, dia menyambutinya. Tapi segera ia tertawa pula.
"Eh, adik Tjeng, tadi ditengah jalan kau ketemu siapa?" tanyanya.
Tjeng Tjeng agaknya tercengang.
"Tidak....." jawabnya.
"Bebokongmu orang telah berikan tanda," Sin Tjie kasih tahu.
Tidak tempo lagi, Tjeng Tjeng lari kedalam kamarnya, untuk buka bajunya, guna periksa
tanda yang dihunjuki itu. Ia telah lihat satu bundaran kapur. Mungkin tanda itu diberikan
selagi tadi ia membeli jangkrik, saking gembira, ia sampai tidak merasakannya. Maka itu,
ia puji kelicinannya orang yang memberikan tanda itu tapi ia pun mendongkol.
"Tolong kau bantu aku cekuk orang itu, untuk hajar dia!" Kata ia pada Sin Tjie setelah ia
ketemui pula si anak muda.
"Kemana aku mesti cari dia?" tanya Sin Tjie sambil tertawa.
Tjeng Tjeng berpikir, tapi segera ia dapat jalan.
"Pergilah kau pesiar sendirian, berlagaklah sebagai orang tolol," ia kata kemudian.
"Jadi aku mesti pesiar seperti kau tadi, supaya orang pun datang untuk beri tanda di
bebokongku?" Sin Tjie tegaskan sambil tertawa.
"Benar!" si nona pun tertawa. "Lekaslah pergi!"
Anak muda ini tak tega untuk menampik, maka ia pergis etelah pesan nona ini bersama
Seng Hay untuk waspada menjaga harta mereka.
Ie-shia ada sebuah kota yang ramai, walaupun sudah mendekati malam, orang-orang
banyak yang berdagang dan berbelanja, pelbagai kereta dan kuli-kuli masih saja berjuang
untuk masing-masing kehidupannya atau pekerjaannya.
Sin Tjie berjalan dengan sewajarnya sebagai seorang asing, akan tetapi dengan diamdiam,
ia telah memasang mata, karenanya tak nanti orang curigai dia kendatipun ia sering
celingukan. Demikian ia dapat tahu ada seorang menguntit ia sejak ia mulai keluar dari
pekarangan hotel.
"Bagus, kau jadi makin kurang ajar!" kata ia dalam hatinya. "Tidak saja hartaku, diriku pun
kau awasi! Kau beri tanda dibelakangnya adik Tjeng, apakah artinya itu! Tidakkah dengan
begitu kau seperti keprak rumput hingga ular mabur, hingga aku jadi dapat ketika untuk
berjaga-jaga?"
Tidak usah pemuda ini berpikir lama, untuk ambil kesimpulan.
"Rupanya ada rombongan yang ingin temahai sendiri hartaku ini," pikir ia. "Mereka telah
beri tanda supaya lain orang melihatnya dan lain orang tak berani mengganggu."
Sin Tjie jalan terus, dengan sikapnya seperti tak ada perhatian, tapi sekarang ia telah ambil
putusan akan bertindak bagaimana. Ia tetap masih dibayangi, ia menuju ke sebuah
bengkel besi akan tonton tukang-tukang sedang bikin golok. Ia berdiri diam bagaikan
orang kesengsam, tapi ia tahu, si penguntit dekati padanya. Mendadakan saja ia berpaling
seraya tangannya menyambar tangan orang itu di bagian nadi.
Orang itu kaget, apapula segera ia merasakan sebelah tangannya seperti mati, maka
tempo pemuda kita tarik tangannya, untuk dituntun dengan perlahan-lahan, ia mengikuti
tanpa buka suara, seperti ia sudah tak dapat kuasai diri sendiri. Ia dituntun sampai di
sebuah gang kecil dan sepi.
"Kau orang siapa?" tanya Sin Tjie.
Orang itu ketakutan dan kesakitan, sampai ia mandi keringat.
"Tolong lepaskan tanganku, tuan, nanti tanganku patah," dia memohon.
"Jiaklau kau tidak mau bicara, batang lehermu pun aku nanti potes!" Sin Tjie bilang.
"Aku nanti bicara, aku nanti bicara, tuan," sahut orang itu ketakutan. "Aku adalah orang
sebawahan See TJeetjoe dari Ok Houw Kauw."
"Bukankah kau hendak memberi tanda bundaran di bebokongku" Apakah artinya itu?"
"See Tjeetjoe titahkan aku berbuat demikian, apa maksudnya, aku tidak tahu."
"Dimana adanya sekarang See Tjeetjoemu itu?"
Orang itu celingukan, agaknya ia jeri untuk mengasih tahu.
Sin Tjie gunai tenaganya, hingga orang itu meringis, ia takut bukan main.
"See Tjeetjoe pesan aku untuk malam ini pergi ke kuil Sam Kong Sie di luar kota untuk
menemui dia," ia buka rahasia.
"Baik, hayo kau antar aku kesana."
Benar-benar orang ini takut, ia mengantarinya, terus sampai di kuil.
Ketika itu, di rumah berhala masih sepi, belum ada seorang lain. Itulah sebuah kuil tua
sekali dan sudah rusak, tidak ada penghuninya. Sin Tjie periksa semua ruangan, juga
depan dan belakang, akhirnya ia totok urat gagu dari bajingan itu tubuh siapa ia lantas
lemparkan ke dalam kotak patung. Kemudian lagi ia tak usah menunggu terlalu lama, akan
dengar suara banyak orang lagi mendatangi. Maka segera ia sembunyikan diri diantara
patung sang Buddha yang besar.
Yang datang itu ada beberapa puluh orang, mereka duduk berkerumun di ruang pendopo.
Segeralah terdengar suaranya seorang perempuan:
"Giam Loo-sie, Loo-ngo, pergi kamu berdua saudara membawa empat saudara, untuk
menjaga di empat penjuru, di atas genteng juga!" demikian satu titah.
Dua orang yang dipanggil dua saudara she Giam yang keempat dan kelima sudah lantas
bertindak keluar, untuk jalankan titah itu, maka di lain saat, Sin Tjie pun dengar suara di
atas genteng. "Kamu boleh cerdik tapi sekarang aku sudah ada di sini!" ia tertawa dalam hatinya.
Sebentar lagi datang pula serombongan orang, suara mereka berisik ketika suara mereka
saling menegur, saling berbahasa saudara satu dengan lain.
Turut apa yang Sin Tjie dengar, mereka adalah dari delapan rombongan atau delapan
gunung dari wilayah Shoatang, karenanya dia tak berani berlaku sembarangan.
"Tentang barang-barang yang diangkut telah didapatkan penjelasan," terdengar suara
perempuan yang bermula tadi. "Barang-barang itu adalah permata-permata yang tak dapat
ditaksir harganya, pengiringnya ada dua anak muda yang tak tahu apa-apa tetapi
pembelanya adalah Ang Seng Hay, satu anggota dari Poet Hay Pay. Dia ini tak ada
kecelanya tapi sepasang tangan mana sanggup layani dua pasang" Hanya, memandang
muka sesama kaum, jangan kita ganggu jiwanya."
"Untuk merampas harta itu, tak usah See Tjeetjoe pusing memikirkannya," kata satu
suara. "Apa yang penting adalah cara pembagiannya. Kita perlu mengatur terlebih dahulu,
supaya kita tak usah merusak persahabatan."
"Aku adalah yang pertama mengetahui harta itu," kata satu suara keras dan kasar," maka
menurut aku, setelah barang itu berada di tangan kita, di dalam sepuluh, Ok Houw Kauw
dapat dua bagian, Sat Pa Kong juga dapat dua bagian, lalu yang lainnya masing-masing
satu bagian."
"Bagus benar!" pikir Sin Tjie. "Kamu telah pandang barangku seperti milikmu sendiri dan
sekarang asyik mengatur pembagiannya, untuk dipesta-pora!"
Lalu terdengar satu suara lagi: "Kenapa kau masing-masing menghendaki dua bagian"
Menurut aku, baik kita bagi rata saja, seorang satu bagian."
Sampai di sini, suara jadi ramai, masing-masing memberi usulnya.
"Dibagi sepuluh bagian tidak adil, dibagi delapan tidak adil juga," kemudian kata satu
suara tua tetapi keren. "Ok Houw Kauw terdiri dari beberapa ribu jiwa saudara, tapi Sat Pa
Kong dan Loan Sek Tjay cuma terdiri dari tiga-ratus orang. Apakah mereka mesti
mendapat bagian rata" Maka usulku adalah Ok Houw Kauw ambil dua bagian, yang lainlain
masing-masing satu bagian. Aku minta See Tjeetjoe yang atur cara bekerja kita."
Kebanyakan orang anggap usul ini pantas, mereka suka menerimanya, karena itu, sisa
yang lainnya lantas menurut saja.
"Sekarang sudah ada kecocokan, maka baik ditetapkan, besok kita turun tangan," berkata
orang yang dipanggil See Tjeetjoe, ketua she Tjee. "Aku memikir desa Thio-tjhung, dari itu
baiklah masing-masing rombongan berkumpul di sana."
Usul ini dapat persetujuan, dari itu tak ayal lagi, mereka saling pamitan dan lantas
bubaran, hingga sebentar kemudian, kuil tua itu jadi sunyi senyap pula.
Sin Tjie muncul dari tempat sembunyinya, tanpa perdulikan pula bandit atau orangnya See
Tjeetjoe, ia langsung menuju hotelnya, kepada Tjeng Tjeng ia tuturkan hasil "pesiarnya"
itu.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tjeng Tjeng bengong berpikir.
"Jumlah mereka besar sekali, pasti mereka tak dapat dipukul rubuh semua, tak bisa
dibunuh habis," katanya. "Bagaimana pikiranmu?"
"Jikalau nanti mereka pegat kita, kita bersikap tenang-tenang saja," Sin Tjie bilang. "Kita
mesti cari tahu, siapa kepalanya di antara mereka, lantas paling dulu kita cekuk padanya.
Aku percaya rombongan mereka tidak berani turun tangan terus."
Tjeng Tjeng tepuk-tepuk tangan, ia tertawa.
"Inilah pikiran bagus!" ia memuji.
Besoknya pagi mereka berangkat pagi-pagi. Segera ternyata, mereka telah dikuntit dengan
berani, seperti juga Sin Tjie semua tidak ada lagi di mata mereka. Seng Hay lihat itu, dia
sangat berduka.
"Kelihatannya, Wan Siangkong, hari ini tak dapat dilewatkan lagi," kata dia secara diamKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
diam kepada Sin Tjie.
"Kau jangan kuatir," pesan si anak muda. "Tugasmu adalah jaga semua kereta, supaya
keledai-keledai jangan kaget dan kabur. Untuk layani orang-orang jahat, serahkan itu
kepada kita bertiga."
Seng Hay menurut, ia coba menenteramkan diri.
Sin Tjie lantas bicara dengan si empeh gagu, dengan gerak-gerakan tangannya. Ia pesan,
kalau ia sudah turun tangan, A Pa Barulah bekerja, dan yang bakal dibekuk adalah
kepalanya penjahat.
A Pa manggut, tandanya ia mengerti.
Di waktu lohor jam tiga atau empat, rombongan kereta keledai yang angkut harta karun
sampai di desa Thio-tjhung. Di muka itu ada segumpal pepohonan lebat. Segera terdengar
suara anak panah mengaung dan muncul beberapa ratus orang yang pada ikat kepala
dengan pelangi hijau, pakaian mereka serbat hitam, senjata mereka pelbagai macam,
semuanya mengkilap tajam. Tapi mereka tidak menerbitkan suara berisik, mereka cuma
menghadang di tengah jalan.
Tukang-tukang kereta lihat gelagat tidak baik, dengan lantas mereka hentikan keretakereta
mereka, habis itu mereka berjongkok sambil tutupi kepala mereka. Inilah aturan
mereka, sebab asal mereka tidak lari serabutan, orang jahat tidak bakal ganggu mereka.
Adalah setelah itu lalu terdengar suara suitan beruntun-runtun, menyusul mana beberapa
puluh penunggang kuda muncul dari dalam rimba, menuju ke belakang rombongan kereta,
untuk menjaga jalan mundur orang.
Selama di dalam kuil Sam Kong Sie, Sin Tjie tidak lihat nyata roman orang, sekarang
Barulah ia melihat tegas tujuh orang yang berbaris di paling muka, orangnya tinggi dan
kate, satu di antaranya, yang berumur tiga-puluh lebih, maju pula kesebelah depan sekali.
Dia ini tidak menyekal senjata, dia cuma menggoyang kipas dengan secara tenang.
"Wan Siangkong!" ia menegur, suaranya halus.
Sin Tjie kenali suaranya See Tjeetjoe dari Ok Houw Kauw, ia lihat orang itu sikapnya
tenang, dan tindakan kakinya tetap, maka ia mengerti kepala berandal ini pasti seorang
yang liehay. Ia pun tidak sangka, dalam kalangan Tjauw-bong, Hutan Rumput, ada orang
semacam tjeetjoe ini. Ia lekas memberi hormat.
"See Tjeetjoe!" katanya.
Kepala berandal itu heran, inilah ternyata dari romannya.
"Eh, mengapa dia kenal aku?" pikirnya.
"Wan Siangkong telah bikin perjalanan jauh, banyak cape, tentu," katanya kemudian.
Sin Tjie awasi muka lawan, ia tahu tjeetjoe itu heran bahwa ia ketahui namanya, maka itu ia
memikir untuk bikin orang lebih heran.
"Perjalanan jauh tidak melelahkan aku," demikian jawabnya, "aku hanya sebal sebab
barang-barang bawaanku ini terlalu banyak, terlalu berat....."
See Tjeetjoe tertawa.
"Apakah siangkong hendak pergi ke ke kota raja untuk turut dalam ujian ilmu surat?"
tanyanya. "Oh, bukan, tjeetjoe," sahut Sin TJie. "Ayahku titahkan aku pergi ke kota raja untuk
menyerahkan uang, guna mendapatkan pangkat."
Kembali kepala berandal itu tertawa.
"Siangkong seorang jujur, tak miripnya kau dengan anak sekolahan yang kebanyakan,"
katanya. Sin Tjie pun tertawa. Kemudian ia kata:
"Tadi malam satu sahabatku datang memberi tahu padaku, katanya hari ini satu See
Tjeetjoe bakal menantikan aku di tengah jalan. Ia pesan aku untuk waspada, maka itu, aku
tidak berani berlaku alpa, kuatir aku nanti tak dapat bertemu sama See Tjeetjoe. Sungguh,
benar-benar disini kita bertemu! Melihat dandanan tjeetjoe, apakah tjeetjoe juga hendak
menuju ke kota raja" Bagaimana jikalau kita jalan sama?"
See Tjeetjoe itu tertawa geli di dalam hatinya.
"Kiranya dia satu pitik yang tak tahu apa-apa!" pikirnya. Ia tertawa pula. Ia kata: "Apakah
tidak baik siangkong hidup senang di dalam rumah" Untuk apa siangkong melakukan satu
perjalanan begini jauh" Siangkong harus ketahui, diluaran banyak kejahatan...."
Dengan sikap wajar, Sin TJie menyahut: "Selama di rumah, pernah aku dengar orangorang
tua omong tentang penipu dan bunga raya, siapa tahu sesudah aku jalan seribu lie,
aku tidak menemui apa juga, dari itu aku beranggapan, omongan itu kebanyakan hanya
omongan untuk mendustai orang saja."
Ketujuh tjeetjoe lainnya tak sabaran mendengar bicaranya si anak muda, mereka awasi
See Tjeetjoe, mereka kedip-kedipi mata, untuk menganjuri akan turun tangan dengan
segera. See Tjeetjoe rupanya berpikir sama seperti sekalian rekannya itu, mendadakan lenyap
wajah berseri-serinya, sebagai gantinya, dia berseru nyaring dan panjang, lantas ia
kibaskan, buka kipasnya, hingga pada daun kipas itu tertampak lukisan putih dari sebuah
tengkorak dengan mulutnya tengkorak lagi menggigit sebatang golok, hingga romannya
jadi sangat menakuti, menggiriskan.
Tjeng Tjeng yang berandalan terkejut juga dalam hatinya, malah Sin Tjie sendiri
merasakan hebatnya gambaran tengkorak itu, akan tetapi pemuda ini tetap tenang.
Habis itu, See Tjeetjoe perdengarkan lagi suara tertawa, yang aneh, Baru suaranya
berhenti, atau tangannya yang memegang kipas digeraki atas mana, beberapa ratus
berandal lantas saja bergerak, untuk maju menyerang.
Sin Tjie mengerti saatnya untuk bertindak, akan tetapi di saat ia hendak berlompat, guna
bekuk See Tjeetjoe, dengan tiba-tiba terdengar suara suitan yang nyaring dan tajam dari
dalam rimba, hingga tjeetjoe she Tjee itu menjadi kaget, segera kibaskan pula kipasnya,
melihat mana, semua berandal berhenti beraksi, semua lantas berdiri diam.
Segera muncul dua penunggang kuda dari dalam rimba itu. Penunggang kuda yang
pertama adalah seorang tua dengan rambut, alis dan kumis-jenggotnya telah putih semua,
sedang yang belakangan adalah satu nona dengan baju hijau, tangganya menyekal suitan.
Mereka ini majukan kuda mereka di antara See Tjeetjoe dan Sin TJie, Baru mereka
berhenti. "Inilah perbatasan Shoatang," kata See Tjeetjoe.
"Memang. Siapa yang bilang bukan?" sahut orang tua itu.
"Apa yang telah diputuskan ketika dulu kita membuat pertemuan di gunung Tay San?" See
Tjeetjoe tanya pula.
"Itu waktu telah ditetapkan, kami dari pihak Tjeng Tiok Pay tidak akan memasuki daerah
Shoatang untuk bekerja, dan kamu tidak dapat bekerja di Hoopak," si orang tua menjawab
pula. "Bagus!" kata See Tjeetjoe. "Habis angin apakah sudah tiup Thia Loo-ya-tjoe datang
kemari?" Orang tua itu menyahuti dengan tenang: "Aku dengar kabar suatu barang-barang bakal
dibawa masuk ke Hoopak, katanya tak sedikit terdiri dari barang baik, karenanya kita
datang dulu untuk melihat."
Wajahnya See Tjeetjoe berubah.
"Jikalau ditunggu sampai barang sudah sampai di daerah Hoopak, Baru dilihat, toh masih
belum terlambat?" dia tanya.
Si orang tua tertawa berkakakan.
"Bagaimana tidak terlambat?" katanya. "Jikalau barang sudah terjatuh ke dalam tangan
pihakmu, gilirannya untuk melihat saja sudah tidak ada!"
Sin Tjie bertiga Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay saling memandang di dalam hati mereka,
mereka berpendapat bagaimana cepatnya orang-orang Hoopak dengar kabar hal angkutan
harta karun itu, hingga mereka sudah lantas datang untuk mendahulukan turun tanagan,
atau untuk mendapati sebagian saja. Mereka pun pikir, baik mereka "tonton" sepak-terjang
lebih jauh dari mereka itu.
Di pihak Shoatang, orang lantas bicara dengan seru, umumnya meeka katakan si orang
tua bersikap tak tahu aturan. Menurut suara mereka, orang tua ini rupanya bernama Thia
Tjeng Tiok. "He, apa yang kamu bicarakan demikian berisik?" si orang tua tanya rombongan Shoatang
itu. "Aku sudah tua, kupingku tak dengar nyata...."
See Tjeetjoe kibas-kibaskan kipasnya, untuk cegah rombongannya.
"Kita telah membuat perjanjian, Thia Loo-ya-tjoe, mengapa kau tidak hendak menepati
janji?" See Tjeetjoe tanya pula. "Ia tak dapat dipercaya, apakah dia tak bakal ditertawai
orang-orang gagah kaum kang-ouw?"
Ditegur secara demikian, si orang tua tidak menjawab, ia hanya menoleh kepada si nona di
sampingnya, akan tanya: "Eh, A Kioe, ketika masih di rumah, apakah kataku kepadamu?"
Si nona jawab: "Kau bilang, mari kita pergi ke Shoatang untuk lihat barang-barang
berharga."
Tjeng Tjeng ada satu nona akan tetapi ia kagum mendengar suaranya nona ini. Itulah
suara yang halus, jernih, sedap didengarnya. Maka ia menoleh kepada nona itu, yang ia
awasi, hingga ia tampak lebih jelas wajah orang, muka yang bersemu dadu, segar dan
manis. Dia adalah satu nona muda yang eilok dan menarik.
"Apakah kita pernah omong bahwa kita hendak ulur tangan kita untuk ambil barang itu?"
Thia Tjeng Tiok tanya pula, sambil tertawa.
"Tidak," sahut si A Kioe itu. "Sekarang pun kita tidak bicara sebagai itu."
Baru sekarang si orang she Thia berpaling pada See Tjeetjoe.
"Lauwtee, kau dengar atau tidak?" ia tanya. "Kapan aku pernah bilang hendak bekerja
dalam daerah Shoatang?"
See Tjeetjoe berubah wajahnya, ia bersenyum.
"Bagus, itu Barulah namanya sahabat!" dia bilang. "Thia Loo-ya-tjoe datang dari tempat
jauh, sebentar kau akan dapat satu bagian!"
Orang she Thia itu tak ambil mumet akan kata-katanya tjeetjoe ini, ia hanya berpaling pula
kepada si nona.
"Eh, A kioe, apa saja yang kita katakan pula di rumah?" tanya ia.
"Kau bilang, barang permata itu tak sedikit, jangan kita biarkan lain orang mengambilnya,"
sahut orang yang ditanya.
"Hm!" bersuara Thia Tjeng Tiok. "Umpama orang hendak mengambilnya?"
"Kalau sampai terjadi demikian, kami harus turun tangan untuk melindunginya," sahut
pula si nona. Tjeng Tiok tertawa.
"Bagus, ingatannya anak muda tak jelek!" serunya. "Ya, aku ingat telah mengucapkan
demikian." Lalu ia menoleh kepada si See Tjeetjoe, dan kata: "Apa kau sekarang telah
mengerti, lauwtee! Kami tak dapat bekerja di Shoatang, itu benar, akan tetapi kami hendak
melindunginya! Tidakkah untuk ini tidak ada perjanjiannya?"
Mukanya tjeetjoe she See ini menjadi pias-padam.
"Sekarang kau larang kita turun tangan!" katanya dengan sengit, "akan tetapi nanti,
setelah barang sampai di dalam daerah Hoopak, disana kaulah yang nanti lonjorkan
tanganmu, bukan?"
"Benar," aku Thia Tjeng Tion. "Bukankah ini tidak merusak persahabatan" Bukankah ini
tidak melanggar perjanjian kita di Tay San?"
Semua berandal itu menjadi sangat gusar. Itulah alasan yang dipaksakan, yang dicari-cari.
Dari murka, mereka jadi niat menyerang ayah dan gadisnya itu. Bukankah mereka Cuma
berdua saja"
Selagi orang berdiam, A KIoe bawa dua lembar daun bambu ke dalam mulutnya, untuk tiup
itu. Itulah suitan istimewa, yang memberikan pertandaan rahasia.
Menyusul bunyinya suitan, dari dalam rimba muncul beberapa ratus orang yang
pakaiannya tak berseragam, kecuali di kopiah mereka, masing-masing mereka
menyelipkan selembar daun bambu yang hijau.
See Tjeetjoe terkejut dalam hati.
"Ah, kiranya dia telah bikin persiapan....." pikirnya. "Nyatalah saudara-saudara kita yang
ditugaskan sebagai mata-mata, buta matanya! Kenapa mereka tidak ketahui orang datang
dalam jumlah begini besar?"
Tidak ayal lagi, See Tjeetjoe memberikan isyaratnya, maka lantas semua tujuh tjeetjoe
lainnya serta Tam Hoe Tjeetjoe, ketua muda dari Ok Houw Kauw, lantas atur barisan
mereka masing-masing.
Tak gentar hatinya Thia Tjeng Tiok menampak persiapan pihak delapan tjeetjoe itu, inilah
disebabkan ia percaya orang-orangnya sendiri, yang ia rasa telah ia atur dengan
sempurna. Sin Tjie tarik tangannya Tjeng Tjeng, si nona berpaling kepadanya, keduanya lantas
bersenyum. "Barang masih belum didapatkan, mereka sudah berkeras di antara kawan sendiri,
sungguh lucu!" kata si nona dengan perlahan. Ia pun tidak jeri.
"Biar saja!" kata Sin Tjie. "Kita jadi si nelayan yang peroleh hasil! Tak jelek, bukan?"
Walaupun mereka bersiap untuk bertempur, kawanan begal Shoatang itu masih sempat
pisahkan sejumlah kecil, ialah beberapa puluh orangnya, untuk jaga kereta-kereta barang,
rupanya mereka kuatir, selagi mereka adu jiwa, kereta-kereta nanti kabur.
Sin Tjie lambaikan Seng Hay.
"Tjeng Tiok Pay itu golongan apa?" tanya ia pada pengikut itu.
"Di wilayah Hoopak, Tjeng Tiok Pay berpengaruh sendiri," Seng Hay terangkan. "Orang
tua itu, Thia Tjeng Tiok, adalah ketuanya. Jangan kita lihat dia dari kurus tubuhnya dan tua
usianya, ilmu silatnya liehay sekali!"
"Dan itu anak kecil?" Tjeng Tjeng tanya. "Dia cucunya atau gadisnya?"
"Turut apa yang aku dengar, tabeatnya Thia Tjeng Tiok aneh sekali," sahut Seng Hay.
"Seumur hidupnya, dia tidak pernah menikah, dari itu tak mungkin nona itu ada cucu atau
anaknya. Mungkin dia kemenakan atau anak pungut...."
Tjeng Tjeng manggut-manggut.
Nona A Kioe itu bersikap tenang sekali, tak sedikit jua kentara ia berkuatir, maka Tjeng
Tjeng sangka dia liehay boegeenya. Ia terus mengawasi kawanan begal itu.
Di pihak Tjeng Tiok Pay, berulang-ulang terdengar suitan., lalu jumlah mereka yang terdiri
dari beberapa ratus jiwa lantas pusatkan diri dalam empat pasukan, sesudah mana, Tjeng
Tiok dan A Kioe tempatkan diri di muka barisannya itu. Mereka masing-masing
menunggang kuda. Mereka hendak bertempur akan tetapi mereka tidak menyekal senjata.
Dimana kedua pihak sudah siap, pertempuran akan meletus sembarang waktu, selagi
begitu, di arah selatan, terdengar suara kelenengan nyaring, lalu tertampak tiga
penunggang kuda mendatangi dengan cepat sekali, kemudian satu diantaranya, yang
maju paling depan berseru: "Sama-sama sahabat sendiri, tolong kamu pandang mukaku!"
"Hei, heran!" pikir Sin Tjie. "Mengapa muncul pula satu tukang mendamaikan"...." Ia lantas
mengawasi. Sebentar saja, ketiga penunggang kuda itu telah datang dekat. Orang yang pertama
berumur lima-puluh lebih, roman mereka mirip dengan seorang hartawan bekas pembesar
negeri, sebab ia pakai baju panjang tersulam dan tangannya menyekal sebatang
hoentjwee besar. Dua yang lain, yang tubuhnya jangkung dan kate, sangat sederhana
dandanannya. Begitu lekas sudah tempatkan diri diantara kedua pihak rombongan yang hendak adu
tenaga itu, orang itu angkat hoentjweenya, ia tertawa, lalu dengan nyaring, ia kata: "Kita
ada diantara saudara-saudara sendiri, omongan apa yang tak dapat diucapkan" Kenapa
kita mesti angkat senjata" Apakah kamu tak kuatir nanti ditertawai kaum kang-ouw
umumnya?" "Thie Tjhungtjoe, bagus kau telah datang!" berkata See Tjeetjoe. "Tolong kau berikan
pemandanganmu, untuk ketahui siapa benar dan siapa keliru...."
Tjeetjoe ini lantas bentangkan sikapnya Thia Tjeng Tiok.
Orang she Thia itu tidak perdulikan apa yang orang bilang, ia cuma tertawa saja dengan
dingin. Selagi orang bicara, Ang Seng Hay kata pada Sin Tjie: "Wan Siangkong, See Tjeetjoe itu
bernama See Thian Kong, gelarannya Im-yangsie, si Kipas Imyang. Bersama-sama Thie
Tjhungtjoe itu, yang bernama Tie Hong Lioe, mereka menjadi dua cabang atas didalam
propinsi Shoatang."
"Jadi mereka inilah yang dulu kau sebut-sebut?" kata Tjeng Tjeng.
"Dan kenapa dia dipanggil tjhungtjoe?" tanya Sin Tjie.
Tjhungtjoe adalah hartawan atau pemilik sebuah kampung dimana dia berpengaruh
seorang diri. ("Tjhung" dari tjhungtjoe baca mirip "tjeng" dari "cengkeram").
"Bedanya ialah," menerangkan Ang Seng Hay, "kalau See Tjeetjoe berkedudukan di atas
gunung dengan pesanggrahannya, Tie Hong Lioe hidup sebagai satu wan-gwee, hartawan
yang berumah-tangga dalam sebuah kampung, sebab di depan dan belakang kampung itu
ditanami ribuan pohon yanglioe merah, kampungnya itu diberi nama Tjian-lioe-tjhung. Tapi
sebenarnya dia adalah begal tunggal, dia bisa membegal atau merampas sendirian, kalau
dia "bekerja", dia cuma ajak dua atau tiga pembantunya."
Dalam hatinya, Tjeng Tjeng bilang: "Dia jadinya mirip dengan cara hidupnya beberapa
yayaku dari Tjio Liang Pay..."
Segera terdengar suaranya Tie Hong Lioe: "Thia Toako, di dalam hal ini, toakolah yang
kurang tepat. Ketika dahulu dibikin rapat besar di gunung Tay San, dengan kebaikannya
semua saudara, yang masih memandang mata kepadaku, aku telah diundang hadir, itu
waktu telah ditetapkan bahwa kita masing-masing tak dapat bekerja di luar batas wilayah
pengaruh sendiri!"
"Itulah benar, Tie Tjhungtjoe," shaut Thia Tjeng Tiok dengan tenang, "tapi sekarang aku
bukannya hendak bekerja, aku hanya bermaksud baik, niat melindungi rombongan kereta
barang-barang ini. Tie Lauwko, kupingmu terang sekali, di mana saja kau dengar ada 'airminyak',
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantas kesana kau sodorkan hoentjweemu!...."
Orang she Tie itu tertawa terbahak-bahak, terus ia tunjuk dua orang yang iringi padanya:
"Kedua tuan ini adalah Hoey-im Siang Kiat, Goe Hoa Seng dan Thio Hin. Mereka yang
sengaja bergegas-gegas datang ke kampungku akan memberitahukan bahwa mereka
mempunyai satu bahagian harta kegirangan untuk dipersembahkan kepadaku. Tubuhku
telah jadi begini gemuk, aku malas untuk bekerja pula, akan tetapi mereka dua saudara
demikian sungguh-sungguh, terpaksa aku tak dapat tampik kecintaan mereka, terpaksa
aku keluar, untuk melihat, aku tidak sangka disini aku bertemu dengan saudara beramai.
Sungguh, inilah ramai sekali!"
Sin Tjie pandang Tjeng Tjeng, dalam hatinya, ia kata: "Bagus, sekarang tambah tiga ekor
kucing!" See Thian Kong sebaliknya pikir: "Orang she Tie ini liehay, baik aku rombak aturan
pembagian, aku bagi dia satu bagian, supaya kita bisa bekerja sama-sama untuk hadapkan
Tjeng Tiok Pay." Karena ini, dia kata kepada tjhungtjoe itu: "Tie Tjhungtjoe adalah orang
dari wilayah Shoatang, umpamanya Tie Tjhungtjoe kehendaki satu bahagian, kami tidak
bisa bilang satu apa, tetapi jikalau orang dari lain wilayah masuk kemari, lalu kita
mengalah, habis dari mana kita punyakan nasi untuk didahar?"
Tie Hong Lioe tidak bilang suatu apa kepada orang she See itu, dia hanya pandang Thia
Tjeng Tiok untuk tanya: "Nah, Thia Toako, apa katamu?"
"Urusan hari ini terang tak dapat diselesaikan secara baik," sahut orang she Thia itu.
"Baiklah, mari kita bicara secara terbuka, kita cari kemenangan atau kekalahan di ujung
golok dan tumbak saja!"
Nyata ketua dari Tjeng Tiok Pay ini bernyali sangat besar, tidak perduli dia lagi hadapi
musuh demikian banyak.
"Dan kau, See Lauwtee, bagaimana dengan kau?" Tie Hong Lioe menoleh pada See Thian
Kong yang menjawab dengan lantas: "Kami orang laki-laki dari Shoatang, tak dapat kami
mengalah untuk diperhina orang lain daerah yang datang cari rumah kita!"
Dengan jawabannya itu, terang See Thian Kong sudah tarik Tie Hong Lioe kepada
pihaknya. Thia Tjeng Tiok mengulet, ia pun menguap.
"Sekarang bagaimana, kita maju semua berbareng atau satu demi satu?" tanya dia dengan
tantangannya. "Silahkan See Tjeetjoe mengaturnya, pihakku yang rendah bersedia untuk
turut segala titahmu."
See Thian Kong goyang-goyang kipas Im-yang-sienya, ia pun berulang-ulang
perdengarkan suara menghina: "Hm! Hm!"
"Dan kau, Tie Toako, bagaimana pikiranmu?" dia tanya.
Ketika pertama kali Tie Hong Lioe terima laporan Hoay-im Siang Kiat, sepasang jago dari
Hoa-im, dia telah memikir untuk telan sendiri harta karun itu, maka ia sudah berangkat
dengan cepat, ia tidak sangka, dia telah datang terlambat, dari itu, dia memikir boleh
jugalah ia mendapat hanya satu bagian. Tapi ia juga insyaf di pihak Tjeng Tiok Pay ada
banyak orang liehay.Thia Pangtjoe sendiri telah kesohor untuk banyak tahun, dia itu
bukan orang sembarangan, tak dapat dia cari gara-gara dengan orang she Thia itu. Maka
setelah berpikir sebentar, ia utarakan pikirannya.
"Jikalau begini duduknya hal, sulit untuk mencari pemecahan, satu pertempuran tak dapat
dielakkan lagi," katanya. "Kalau kita bertempur secara merabuh, mesti banyak orang
terluka dan terbinasa. Kenapa kita mesti minta banyak korban, hingga persahabatan jadi
terganggu hebat" Bagaimana jikalau aku majukan satu usul?"
"Silakan kau mengutarakannya, Tie Tjhungtjoe," kata Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong
hampir berbareng.
Dengan hoentjweenya, Tie Hong Lioe menunjuk kepada sepuluh buah kereta-kereta harta
karun. Dia kata: "Disana ada sepuluh peti besi, maka itu, kita baik majukan saja sepuluh
orang masing-masing, dengan begitu, pertempuran pun berarti sepuluh kali juga, batasnya
yaitu sampai saling towel saja, jangan kita meminta jiwa. Siapa menang satu kali, dia dapat
satu peti. Tidakkah ini paling adil" Anggap saja kita sedang sempat, hitung-hitung kita
berlatih di sini, untuk menambah pengetahuan, siapa dapati barang permata, dia dapat
hadiah kepala. Siapa tidak peroleh pahala, jangan dia berkecil hati, karena toh asalnya
bukan kepunyaan kita sendiri! Bagaimana djiewie pikir?"
Mendengar usul itu, Thia Tjeng Tiok paling dulu nyatakan akur.
See Thian Kong juga nyatakan akur, karena ia pikir: "Biar aku antap setiap rombongan
majukan orang-orangnya, umpama mereka masing-masing menang, itu pun memang hak
mereka, tapi umpama mereka kalah, kekalahan mereka tidak ada ruginya untuk aku.
Jikalau dari pihakku, aku sendiri yang keluar bersama Tam Loo-djie, pasti kita tidak akan
kalah, tentu kita bakal dapat dua buah peti."
Sampai di situ, kedua pihak lantas balik kedalam masing-masing barisannya, yang pun
berbareng mereka tarik pulang, setelah mana, mereka mulai pilih orang-orang sendiri yang
bakal dimajukan dalam pertandingan.
Tie Hong Lioe sendiri lantas perintah orang beri tanda dengan coretan huruf-huruf kepada
sepuluh peti itu, alat pencoretnya adalah tanah lempung kuning.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng antap saja orang cumprang-compreng peti mereka.
Thia Tjeng Tiok lihat dua anak muda itu tenang-tenang saja, sedikit juga tidak tertampak
mereka berkuatir, ia heran, karenanya, beberapa kali ia melirik ke arah mereka itu.
Kemudian kawanan berandal itu berkerumun mengurung Tie Hong Lioe, yang menjadi
seperti saksi atau wasit.
Mulanya pihak Shoatang majukan jagonya, disusul sama jago pihak Hoopak; mereka ini
bertubuh besar dan kasar, terang mereka bertenaga besar, maka itu, perkelahian mereka
seru. Pihak Hoopak kurang waspada, satu kali kakinya kena direngkas, dia jatuh, rubuh
terbanting. Dia hendak bangun, untuk berkelahi pula. Tapi Tie Hong Lioe, sang wasit,
goyangi tangan padanya dan tulisan huruf "Lou" (Shoatang) pada peti pertama yang
bertanda huruf "Kak", itu berarti pihak Shoatang yang rebut kemenangan pertama.
Pertandingan ini disambut dengan tampik-surak.
Sebagai jagonya yang kedua, pihak Hoopak majukan seorang yang See Thian Kong kenal
sebagai ahli tangan-pasir Tiat-see-tjiang, maka itu, ia suruh ketua mudanya, Tam Tjeetjoe,
untuk layani musuh itu.
Kedua jago tak berbeda banyak kepandaiannya, tapi Tam Hoe-tjeetjoe lebih terlatih, selang
beberapa puluh jurus, dia berhasil hajar lengan lawan hingga lengannya jago Hoopak itu
tak dapat diangkat. Maka untuk kedua kalinya, pihak Shoatang yang menang.
Bukan main girangnya pihak Shoatang. Tapi di babak ketiga, keempat, kelima dan keenam,
mereka kalah dengan beruntun, hati mereka juga goncang.
Kapan sampai waktunya babak ketujuh, kedua jago yang maju masing-masing bekal
senjata. Di pihak Shoatang maju tjeetjoe dari Sat Pa Kong, bukit Sembelih Macan Tutul, yang
bergegaman golok besar Poat-hong Kioe-hoan-too. Dia ini gagah, dia berhasil membacok
sebelah bahu lawannya.
Melihat sampai di situ, Tie Hong Lioe berpikir. Peti tinggal tiga buah, apabila ia tidak lantas
turun tangan, dia bisa kehabisan, dia bakal dapat tangan kosong, maka ia ingin majukan
orangnya sendiri guna layani pihak Tjeng Tiok Pay. Dia anggap cukup asal ia dapatkan
satu peti saja....
"See Lauwtee," kata dia pada See Thian Kong, sesudah dia berdehem-dehem, "pihak sana
itu, makin lama jadi makin hebta, maka itu kali ini, biarlah aku yang sambut padanya."
See Thian Kong mengerti, wasit ini tak boleh pulang dengan tangan kosong, ia suka
mengalah. "Aku harap bantuan Tie Tjhungtjoe untuk lindungi nama baik kita," katanya.
Tapi kapan telah sampai waktunya pihak Tjeng Tiok Pay majukan jagonya, tjhungtjoe dari
Tjian-lioe-tjhung jadi melongo, ia berdiri tercengang. Karena yang maju itu adalah A Kioe,
si nona muda, yang umurnya tidak lebih dari lima-belas atau enam-belas tahun! Dan
tangannya pun tidak menyekal senjata tajam, melainkan dua batang bambu yang kecil.
"Aku adalah satu jago Rimba Persilatan, mana dapat aku perhina diri dengan layani satu
nona cilik?" pikir dia. Dia sudah maju beberapa tindak, atau mendadakan dia merandek,
lantas dia kembali.
"Lauwtee, kau majukan lain orang saja," katanya pada See Thian Kong. "Aku nanti maju di
babak lainnya...."
See Tjeetjoe tahu, tjhungtjoe itu tidak mau lawan satu nona, maka ia serukan orangorangnya:
"Saudara yang mana yang mempunyai kegembiraan hati akan temani nona kecil
itu memain?"
Segera maju satu orang yang tubuhnya tinggi dan romannya gagah, mukanya putih,
senjatanya sepasang poan-koan-pit, gegaman mirip pit peranti menotok jalan darah.
Dialah Tjin Tong, tjeetjoe dari Oey Sek Po, dia gemar pelesiran, dari itu dia ketarik sama si
nona Thia, yang romannya cantik manis dan menggiurkan. Dia maju sambil menyahuti
seruannya See Thian Kong.
Melihat orang yang maju itu, See Tjeetjoe bersenyum.
"Memang, di antara kita, lauwtee adalah yang paling cocok!" katanya.
Tjin Tong hendak banggakan kepandaiannya, dia berlompat ke depan si nona. Dia benarbenar
bertubuh enteng, gesit sekali gerakannya. Diapun telah pikir untuk bicara dengan
nona itu, untuk membikin senang hati si nona. Tapi, Baru saja ia menaruh kaki, atau
tangannya A Kioe telah bergerak, bambu di tangan kanannya sudah sambut ia dengan
satu tusukan, yang arah dadanya. Dia satu ahli menotok jalan darah, sudah wajarnya dia
gesit, akan tetapi sekjarang, dipapaki secara demikian, dia terkejut sekali, tidak ayal lagi,
dia menangkis dengan poankoanpit kiri. Tapi menyusul tangan kanannya itu, tangan kiri si
nona menusuk secara cepat luar biasa sampai, saking sibuk, tjeetjoe ini mesti tolong diri
dengan jatuhkan tubuhnya untuk terus bergulingan di tanah, hingga kepalanya penuh
debu, hingga dia keluarkan keringat dingin.
Semua berandal dari Shoatang terperanjat, mereka tak menyangka nona itu begitu muda
tapi demikian liehay, malah Sin Tjie dan Tjeng Tjeng turut merasa heran juga, hingga
kedua pemuda dan pemudi ini saling melirik.
Tjin Tong sudah berlompat bangun, akan layani pula A Kioe, dengan begitu, keduanya
sudah mulai bertempur, hingga tertampak lebih jauh, nona Thia telah gunakan dua batang
bambunya bagaikan tumbak, gegamannya itu lemas tetapi bisa dibikin kaku.
Dalam tempo yang pendek, Tjin Tong telah kena dibikin berpikir keras, sebab kadangkadang
ujung bambunya si nona juga mencari jalan darahnya. Dia pun pikirkan apabila dia
tak sanggup rubuhkan si nona, bagaimana dengan nama besarnya di Shoatang sebagai
seorang tjeetjoe yang kesohor" Maka dalam sibuknya, dia bikin perlawanan dengan
sungguh-sungguh.
A Kioe berkelahi secara luar biasa. Satu kali ia renggang dari lawan, dengan bambu kiri dia
menekan tanah, lalu tubuhnya mencelat naik, berlompat ke arah musuh, bambu kanannya,
dari atas, menyerang turun; kapan serangannya ini gagal, bambu kanan itu diteruskan
dibikin mengenai tanah, hingga di lain saat, tubuhnya mencelat naik pula, hingga sekarang
ia bisa menyerang pula dengan tangan kiri.
Tak tahu Tjin Tong, bagaimana dia harus layani penyerangan macam ini, karena sibuk, dia
terpaksa main menangkis saja sambil saban-saban mundur. Tetapi A Kioe terus desak dia,
hingga dia jadi repot sekali dan berkuatir dia tak dapat ketika, untuk balas menyerang.
Dalam repotnya, tahu-tahu ujung bambu telah mengenai bahu kirinya, di bagian jalan
darah "kin-tjeng-hiat", maka tak ampun lagi, lengan kirinya jadi kaku, poankoanpitnya
terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah, berbareng dengan itu, mukanya jadi bersemu
merah! Mau atau tidak, dia mesti mengaku kalah, dia mundur sambil tunduki kepala....
A Kioe antapkan lawan itu mundur, dia berniat undurkan diri, tapi segera ia tampak Tie
Hong Lioe bertindak menghampiri padanya sambil jago dari Tjian-lioe-tjhung itu terus
berkata: "Nona, tunggu dulu! Nona sungguh liehay, benar-benar, di bawahannya satu
jenderal perang ternama, tidak ada serdadu yang lemah! Umpama kata nona masih belum
letih, aku suka main-main denganmu beberapa jurus. Bagaimana?"
A Kioe tertawa gembira.
"Sebenarnya aku belum memain!" sahutnya. "Jikalau Tie Pehhoe hendak berikan
pengajaran kepadaku, itulah baik sekali. Pehhoe hendak gunai senjata apa?"
Tie Hong Lioe tertawa.
"Orang tua layani anak kecil memain, mustahil aku mesti pakai gegaman?" katanya. "Aku
akan bertangan kosong!"
Hong Lioe telah saksikan orang bertempur, ia terperanjat akan dapatkan nona muda itu
demikian liehay, hingga ia percaya, disebelah si nona, dipihaknya nona ini, mesti ada lainlain
orang yang tak kurang liehaynya, maka itu, dari sungkan turun tangan, dia pikir baik ia
mendahului maju, akan rintangi nona ini, asal dia telah dapati sebuah peti, urusan lainnya
boleh lihat belakangan....
Di pihak Tjeng Tiok Pay, tiga orang hendak majukan diri, karena mereka kuatir si nona
menjadi terlalu lelah, akan tetapi A Kioe besar nyalinya, dia beri tanda kepada tiga kawan
itu sambil berkata: "Aku telah beri kata-kataku kepada Tie Pehhoe!" Maka itu, tiga orang
itu terpaksa mundur pula.
Tie Hong Lioe bertindak dengan perlahan menghampirkan si nona di tengah-tengah
kalangan, sembari bertindak, dia telah kerahkan semangatnya, tenaga khie-kang, maka di
lain saat, mukanya yang tadinya putih lantas saja berubah menjadi bersemu dadu.
Tjeng Tiok saksikan perubahan muka itu, dia gapekan puterinya, atas mana, sambil
berlompat, A Kioe hampiri sang ayah.
Segera Tjeng Tiok bisiki gadisnya, siapa manggut-manggut, sesudah itu, si nona kembali
ke dalam kalangan, di depan Hong Lioe, dia membungkuk, untuk memberi hormat, habis
itu, ia putar sepasang tumbak bambunya itu, untuk mengurung diri. Ia tidak segera
menyerang. Dengan tindakan ayal sekali, Hong Lioe dekati si nona, lalu dengan sekonyong-konyong,
ia menyerang. A Kioe menangkis dengan pentang kedua tumbaknya, apabila ia sudah menarik pulang,
lantas ia mulai dengan serangannya membalas, dimulai dengan tangan kanan, disusul
sama tangan kiri, kemudian kedua batang bambu itu diteruskan, dipakai menyerang saling
susul tak hentinya, ia mendesak bagaikan serangan badai.
Di pihak Tjeng Tiok Pay orang bertampik-surak melihat cara berkelahinya pahlawan
mereka. Tie Hong Lioe berlaku tenang walaupun ia telah dicecar secara demikian, di lain bagian,
mukanya jadi semakin merah dan semakin merah, hingga sinar merah itu sampai kepada
batang lehernya, Ia masih main maju saja, kedua tangannya bergerak-gerak menghalau
sesuatu tusukan. Ia bertubuh besar dan tangguh, hatinya mantap, disebelah ia ada satu
nona muda, yang tubuhnya kecil-langsing, yang sedang hunjuk kegesitannya.
Sin Tjie tonton pertempuran itu.
"Dia tua-bangka tetapi dia sudi layani satu nona-remaja," kemudian ia kata kepada Tjeng
Tjeng, kawannya. "Kau lihat, dia berniat turunkan tangan jahat."
"Nanti aku tolong nona itu!" sahut Tjeng Tjeng.
Sin Tjie tertawa.
"Dua-dua mereka hendak rampas harta kita, untuk apa tolongi dia?" ia tanya.
"Tapi nona itu manis, dia sangat simpatik!" kata Tjeng Tjeng. "Baik kita tolong dia , urusan
di belakang, ada lain. Toako, pergi kau yang turun tangan!"
Sin Tjie tertawa pula, ia manggut-manggut.
Pertempuran masih berjalan, mukanya Hong Lioe tetap merah, tapi cahaya merah itu
sudah melulahan ke seluruh lengannya.
"Kalau sebentar cahaya merah itu sampai di tangannya, celakalah si nona," kata Sin Tjie
pada kawannya. Dia berlaku tenang, dia telah pikir bagaimana harus bertindak.
A Kioe telah berhasil menotok atau menusuk Hong Lioe, sampai beberapa kali, akan tetapi
ia tidak peroleh hasil sebagaimana tadi ia lawan Tjin Tong. Hong Lioe tidak perdulikan
serangan itu, ia tetap berlaku tenang, ia maju dengan perlahan, Cuma setiap herakannya
jadi makin berat dan makin berat. Di samping dia, pada A Kioe pun terjadi perubahan
karena ia ini sibuk sendirinya melihat serangan-serangannya yang tidak memberi hasil,
walaupun ia bisa menusuk dengan tepat, hingga di lain saat, kegesitannya mulai
berkurang, napasnya pun mulai memburu.
Thia Tjeng Tiok pun telah perhatikan jalannya pertempuran.
"A Kioe, kembali!" ia teriaki gadisnya. "Tie Pehhoe telah menang!"
Nona itu dengar kata, ia lantas putar tubuhnya, untuk mundur.
Tetapi Tie Hong Lioe desak ia.
"Setelah kau tusuk aku berulang-ulang, kau masih berniat menyingkir?" dia membentak.
Dia tetap bergerak ayal akan tetapi A Kioe toh seperti kena dikurung, ia tak dapat terus
mundur. Tangannya jago she Tie ini pun mulai merah sekarang.
Tjeng Tiok ambil sebatang bamboo dari tangannya satu orangnya, dia serukan: "Semua
berhenti!"
Justeru itu, See Thian Kong yang geraki kipasnya, maju, untuk serang ketua Tjeng Tiok
Pay ini, malah dia arah jalan darah, hingga mau atau tidak, Tjeng Tiok mesti tangkis
serangan mendadak ini. Malah ia mesti melayani terus, hingga ia tak bisa pecah tubuh,
untuk tolongi puterinya. Ia tahu, orang she See ini liehay, ia mesti waspada.
Di pihak sana, A Kioe sudah mandi keringat, bertetes-tetes, air keringat jatuh dari
kepalanya, sedang kedua tangannya sangat repot membela diri dari desakannya Hong
Lioe. Sekonyong-konyong saja Sin Tjie menjerit-jerit bagaikan orang edan-tolol: "Ayo! Tolong!
Tolong!" Dan kudanya kabur ke tengah kalangan, kea rah Thia Tjeng Tiok dan See Thian
Kong, hingga mereka ini, mau atau tidak, mesti pisahkan diri.
Sin Tjie bercokol di atas kuda dengan tubuh limbung, kedua tangannya dipakai memeluki
leher kuda, agaknya ia seperti mau jatuh, akan tetapi, sesudah miring dan merosot ke
bawah perut kuda, ia berhasil perbaiki diri, duduk pula di atas bebokong kudanya. Kuda itu
sendiri terus berlarian, seperti lagi kalap. Kemudian binatang itu lari ke arah A Kioe dan
Hong Lioe, hingga sekejab saja, dia telah pisahkan kedua orang yang lagi bertempur seru
itu, malah sekarang, dia mau berhenti berlari-lari, berdiri di antara kedua musuh itu.
Sin Tjie lekas-lekas merosot turun dari kudanya.
"Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya!" ia ngoceh sendirinya. "Inilah yang dibilang
lolos dari kematian...Eh, binatang, apakah benar kau maui jiwanya majikanmu?"
Sementara itu, dengan jengah, A Kioe telah gunai kesempatan, untuk kembali ke dalam
barisannya. Dalam keadaan seperti itu, Hong Lioe tidak dapat kejar dia.
Tapi Thia Tjeng Tiok sendiri tidak mau berhenti sampai di situ.
"See Tjeetjoe, aku masih ingin belajar kenal dengan Im-yang Poo-sie!" ia tantang pula See
Thian Kong.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, ini pun untuk pertandingan peti terakhir!" sahut orang she See itu.
Maka tak tempo lagi, keduanya bertempur pula. Tadi mereka bertempur sampai beberapa
puluh jurus tanpa ada keputusannya, sekarang ini mereka cari keputusan itu. Maka
keduanya bertarung dengan hebat sekali.
Sepasang toya bamboo dari Thia Tjeng Tiok ada panjang, permainan silatnya pun liehya,
ia mmembuat lawannya dengan senjata kipasnya tak mampu dekati padanya.
Tatkala itu matahari yang merah sudah mulai doyong ke barat, beberapa rombongan gaok,
dengan suaranya yang berisik, mulai terbang pulang ke hutan.
Setelah berjalan lagi beberapa puluh jurus, See Thian Kong mulai keteter, gerak-gerakan
kakinya telah menjadi kacau.
Tie Hong Lioe lihat keadaan itu, ia lantas berseru: "Kedua pihak sama tangguhnya,
keputusan menang dan kalah sukar diambil, maka itu peti ini baiklah dibagi dua saja
dengan rata!"
Justeru itu, Thia Tjeng Tiok telah perdengarkan suara tawa yang panjang membarengi
sapuan senjatanya yang istimewa itu.
Atas serangan ke bawah itu, See Thian Kong apungi diri untuk berlompat menyingkir,
akan tetapi Tjeng Tiok berlaku sangat sebat, setelah gagal sapuan yang pertama, ia ulangi
itu selagi lawannya belum sempat injak tanah, dari itu tak ampun lagi, sebelah kakinya
lawan itu kena tersapu, tubuhnya menjadi limbung, lantas saja dia rubuh.
Sesudah sang lawan jatuh, Thia Tjeng Tiok tidak menyerang lebih jauh, dia malah tarik
pulang senjatanya. Tapi See Thian Kong telah kertak gigi saking malu dan mendongkol,
sambil rebah ia tekan pesawat rahasia pada kipasnya itu, yang ia tujukan ke bebokongnya
si orang she Thia, yang telah memutar tubuh, maka lima batang paku rahasia lantas
menyerang ketua dari Tjeng Tiok Pay itu tanpa dia ini ketahui atau sempat berkelit, hingga
semua lima-limanya paku nancap di bebokongnya itu.
Tjeng Tiok kaget, apapula kapan ia rasai bebokongnya lantas ngilu dan baal, insyaf pada
bahaya, ia segera menahan napas, ia tak mau bicara, kemudian dengan satu lompatan, ia
dekati lawannya itu yang curang, untuk totok dia dua kali dengan ujung galanya. Ia arah
perut lawan, ia telah gunai sisa tenaganya, atas mana, See Thian Kong semaput seketika
itu juga. Sejumlah berandal dari Shoatang hunus senjata mereka, mereka maju untuk tolongi ketua
mereka, akan tetapi belum sampai mereka datang dekat, Thian Tjeng Tiok sudah tak kuat
pertahankan diri, dia rubuh celentang. Hebat adalah kesudahan dari itu, sebab lima batang
paku rahasia di bebokongnya mengenai tanah, hingga dia jadi tertumblas lebih dalam.
A Kioe lompat kepada ayahnya, untuk mengasih bangun.
Melihat tubuhnya ketua mereka, yang tak ketahuan masih hidup atau sudah terbinasa,
orang-orang Tjeng Tiok Pay jadi kalap, tidak ayal lagi, mereka maju menyerang
rombongan berandak dari Shoatang itu, hingga mereka jadi bertempur secara hebat dan
kalut. "Lekas suruh saudara-saudara itu berhenti bertempur!" serukan Tie Hong Lioe kepada
hoe-tjeetjoe dari Ok Houw Kauw, yang lengannya ia sambar.
Tam Hoo-tjeetjoe menurut, ia perdengarkan terompetnya.
Titah ini ditaati kawan-kawan, sekejab saja semua berandal dari Shoatang undurkan diri.
Pihak Tjeng Tiok Pay juga bunyikan pertandaan mereka, yang membikin anggautaanggauta
mereka mundur juga.
Itulah A Kioe, yang beirkan tandanya, karena itu waktu, ia dapatkan ayahnya sudah sadar,
hingga ia anggap, satu pertarungan kacau balau tidak ada faedahnya, sedang juga pihak
sana sudah bunyikan terompet.
Tie Hong Lioe lantas majukan diri, akan berdiri di tengah-tengah kedua pihak.
"Baiklah kedua pihak jangan merusak perdamaian!" dia berseru. "Mari kita mulai membagi
bagian! Tentang perselisihan, kita akan damaikan secara perlahan-lahan!"
Tam Hoo-tjeetjoe segera perdengarkan suaranya: "Peti terakhir ini ada bagian kami!"
"Muka tebal!" berseru pihak Tjeng Tiok Pay. "Sudah kalah bertempur, masih berlaku
curang! Apakah ini namanya satu enghiong?"
Kedua pihak lantas saling damprat, lalu akhirnya mereka hunus pula senjata masingmasing.
"Baiklah, peti itu dibuka, isinya dibagi rata!" lagi-lagi Tie Hong Lioe berseru.
Ata situ, orang-orang kedua pihak hendak maju berbareng.
"Tunggu dulu!" A Kioe berseru. "Peti yang kedelapan akulah yang menangkan akan tetapi
aku tak inginkan itu, aku hendak hadiahkan kepada itu tuan tetamu! Aku larang siapa juga
raba peti itu!"
"Eh, kenapa begitu?" tanya Tie Hong Lioe.
"Apabila kudanya dia itu tidak binal, pasti aku telah rubuh di tangan kau, Tie Pehhoe,"
sahut si nona. "Maka hendak aku menghadiahkannya kepadanya!"
Tie Hong Lioe tertawa.
"Nyata kau kenal budi-kebaikan!" kata dia. "Baik, kau ambillah itu! Ingat, semua peti sudah
ada tandanya, jangan salah ambil!"
Selagi orang hendak angkut peti-peti, mendadak Sin Tjie berseru: "Hai, tuan-tuan, kamu
hendak perbuat apa?" demikian suaranya.
A Kioe tertawa cekikikan.
"Eh, kau masih belum tahu?" katanya. "Kita hendak angkut peti-peti itu!"
"Oh, begitu?" kata Sin Tjie. "Tak sanggup aku terima budi-kebaikan itu! Kamu lihat sendiri,
aku telah sewa kereta yang besar untuk mengangkutnya!..."
"Tetapi kita bukannya hendak tolongi kau mengangkutnya!" kata A Kioe, yang tertawa
pula. "Kita hendak mengangkut untuk kita sendiri!..."
"Hei, inilah aneh!" seru Sin Tjie. "Peti ini toh kepunyaanku?"
Lalu terdengar ejekannya seorang Shoatang: "Ini anak muda bangsawan cuma kenal
gegares, buat apa dia banyak omong?" Dan dia maju, untuk angkat peti yang menjadi
bagiannya. "Eh, tunggu dulu!" Sin Tjie mencegah. "Tak dapat kau ambil ini!"
Ia terus loncat naik ke atas peti itu, ketika sebelah kakinya digeraki, orang itu, yang
tubuhnya besar, terpelanting rubuh! Ia pun lantas menjerit-jerit: "Tolong! Tolong!"
Tubuhnya sendiri limbung, seperti yang hendak terpelanting dari atas peti.
A Kioe sangka orang ini semberono, dia lompat maju untuk sambar tangan orang, guna
ditarik, dan cegah dia itu jatuh, separuh mengomeli, dia kata: "Ah, kau sangat
semberono!...."
Kawanan berandal menyangka pemuda ini benar-benar semberono, bahwa tendangannya
tadi bukan disengaja, dari itu, mereka hendak maju pula, guna ambil peti bagian mereka
masing-masing. "Sabar, sabar!" Sin Tjie berseru pula, seraya ia ulap-ulapkan kedua tangannya. "Tuan-tuan
hendak ambil semua petiku ini, hendak diangkut kemanakah?"
"Kami hendak bawa pulang masing-masing!" jawab A Kioe.
"Habis, bagaimana dengan aku?" tanya Sin Tjie pula, dengan sikapnya tolol-tololan.
"Hai, mengapa kau begini bodoh?" kata si nona sambil tertawa. "Baiklah kau lekas
berangkat pulang, jangan kau mencoba antari jiwamu di sini...."
"Kau benar juga," jawab Sin Tjie seraya manggut. "Baiklah, aku nanti bawa pulang
sepuluh petiku ini...."
Tapi sikapnya ini membuat gusar orang yang tadi ia kena tendang.
"Kau pergilah!" dia membentak seraya dia tolak pundaknya si pemuda.
Tapi, belum dia tutup mulutnya, atau tahu-tahu bebokongnya telah kena dijambak Sin Tjie,
dengan satu semparan saja, tubuhnya terlempar ke atas sebuah pohon, hingga dia mesti
rangkul cabang-cabang pohon itu apabila ia tak ingin terjatuh. Saking ketakutan, dia lantas
menjerit-jerit.
Baru sekarang semua penjahat melongo, karena nyatanya, pemuda tolol itu
berkepandaian tinggi.
Ketika itu, Thia Tjeng Tiok telah sadar benar-benar, ia insyaf lukanya hebat, maka ia sudah
pikir untuk angkat kaki dengan bawa peti-peti bahagian pihaknya sendiri, akan tetapi
kapan ia saksikan liehaynya si anak muda, ia terperanjat.
"Mari!" ia panggil A Kioe, gadisnya, kepada siapa ia terus berbisik. "Jangan pandang
enteng pada dia itu, kau waspadalah."
A Kioe manggut. Ia pun memang merasa heran.
Segera setelah itu, terdengar suaranya si anak muda: "Kamu kedua pihak sudah berkelahi
setengah harian! Kamu perebuti petiku, di atas itu kamu tuliskan tanda huruf-huruf, maka
sekarang hendak aku hapuskan semua tanda itu!"
Sambil tertawa besar, pemuda ini sambar satu orang yang berdiri paling dekat dengan dia,
dia tekan jalan darah orang hingga orang itu menjadi mati kutunya, dari itu dengan
gampang ia angkat melintang tubuhnya, buat dibawa jalan mengitari semua petinya, buat
pakai tubuh atau bajunya untuk menghilangkan semua coretan huruf-huruf di atas peti,
kemudian dengan kedua tangannya, ia lemparkan tubuh itu ke atas pohon!
Kawanan dari Shoatang menjadi gusar, mereka maju, akan serang anak muda ini, akan
tetapi si anak muda dengan sabar layani mereka, tidak peduli ia bertangan kosong, tujuh
atau delapan penyerangnya dengan gampang kena dibikin terpelanting rubuh. Setelah ini,
semua penyerang mundur sendirinya. Sebab dua-dua See Thian Kong dan Thia Tjeng Tiok
terluka parah, mereka lantas hadapi Tie Hong Lioe.
"Kiranya tuan satu ahli silat!" kata ketua dari Tjian-lioe-tjhung akhirnya. "Apakah tuan sudi
beritahukan aku she dan namamu dan kau murid siapa?"
"Aku she Wan dan guruku Ong Lie Soe Ong Loo-soehoe," sahut Sin Tjie. "Guruku itu ahli
urusan kitab-kitab dan ia paling faham kedua kitab Lee Kie dan Tjoe Tjioe. Ada lagi satu
guruku ialah Lie Loosoehoe yang biasa ajarkan aku ilmu karang-mengarang...."
"Cukup!" memotong Tie Hong Lioe. "Sekarang ini bukan waktunya bicara tentang pelbagai
kitab dan ilmu mengarang! Sekarang sebutkan saja tentang gurumu, supaya kalau kita
mempunyai hubungan satu sama lain, kita mesti hormati persahabatan...."
"Itulah bagus sekali!" kata Sin Tjie dengan cepat. "Sekarang sudah tidak siang lagi,
silakan, silakan! Kami hendak berangkat...."
Hauw Tjeetjoe dari Sat Pa Kong tidak sabaran, mendengar ocehan si anak muda, ia ayun
goloknya yang besar, dipakai menabas anak muda ini. Ia telah menyerang dengan "Hong
sauw pay yap" atau "angin menyapu daun rusak".
Sin Tjie berkelit untuk serangan itu, golok lewat di sampingnya dimana Tie Hong Lioe
berdiri, hingga ketua dari Tjian-lioe-tjhung ini yang terbabat, akan tetapi orang she Tie ini
liehay, dengan gunai dua jari tangannya, telunjuk dan tengah, dia jepit bebokong golok,
dia menahan, lantas bacokan itu berhenti sendirinya.
Mukanya Hauw Tjeetjoe menjadi merah, tetapi si orang she Tie ini cuma bersenyum, terus
saja dia menoleh kepada Sin Tjie dan kata: "Dengan kepandaianku ini, bukankah ada
harganya untuk aku mendapati salah satu petimu?"
"Apakah namanya kepandaianmu ini?" tanya Sin Tjie.
"Inilah ilmu silat Kepiting Menjepit," sahut Hong Lioe. "Jikalau kau pun mengerti ilmu silat
ini, Baru aku takluk kepadamu...."
"Apa sih cepit kepiting, cepit kura-kura" Belum pernah aku lihat!" ujar si anak muda.
Tie Hong Lioe jadi gusar.
"Bukankah aku telah jepit golok yang lagi menyambar?" tanyanya. "Apakah kau buta
melek?" "Oh, begitu?" jawab Sin Tjie dengan tenang. "Tapi kamu berdua bersekongkol, apa
anehnya" Adik Tjeng, mari! Mari kita main-main sebentar!"
Tjeng Tjeng tertawa geli, ia jumput sebatang golok, yang terletak di tanah, lalu ia
mengancam hendak membacok si anak muda, ketika golok dikasi turun, ia sengaja
turunkan ayal-ayalan, hingga secara gampang saja, Sin Tjie bisa tanggapi itu, atas mana
kawan itu berpura-pura kerahkan tenaga, untuk berontak, buat loloskan golok dari jepitan,
tapi walaupun sampai ia berjingkrakan, golok masih tak dapat diloloskan.
A Kioe tertawa melihat dua orang itu permainkan Tie Hong Lioe, ia anggap pemandangan
itu lucu. Malah kedua pihak berandal turut tertawa juga, suara mereka riuh-rendah!
Bukan kepalang mendongkolnya Tie Hong Lioe yang dua anak muda berani permainkan ia
secara demikian - ia juga dibuat bahan lelucon - maka dengan tiba-tiba ia sambar golok
besar di tangannya Hauw Tjeetjoe dari Sat Pa Kong, untuk angsurkan itu kepada si anak
muda sambil terus menantang: "Nah, kau cobalah bacok aku, pasti kali ini aku tidak
berkongkol!"
"Baik, aku nanti bacok kau!" Sin Tjie jawab. "Tapi ingat, apabila aku bunuh orang sampai
mati, tak usah aku ganti jiwa!"
"Baik! Hati-hatilah, golok datang!" berseru Sin Tjie, yang terus saja putar tangannya untuk
membabat dengan tiba-tiba.
Hong Lioe bertambah gusar, ia lupa segala apa.
"Siapa juga yang terbinasa, dia tak usah diganti jiwanya," ia berikan perkataannya.
Tie Hong Lioe kaget bukan main, ia tak mengira golok bisa dipakai menyerang secara
demikian, walau ia sangat awas dan gesit dan bisa berkelit, tidak urung ia masih kalah
sebat, hanya untung bagi ia, yang terbabat kutung adalah kopiahnya saja.
Oleh karena anggap pemandangan itu lucu, semua berandal tertawa berkakakan.
Sin Tjie pun tertawa.
"Mana cepit kura-kuramu - eh, cingkong kepiting"..."
Pemuda ini tidak cuma tertawa, tapi juga menanya, hanya belum sampai dia menutup
mulutnya atau dia telah menyerang pula, kali ini bacokannya dari atas turun ke bawah.
Hong Lioe berkelit sambil berlompat, tapi ia masih kurang gesit, karena sesampainya di
bawah, goloknya disimpangkan sedikit, hingga sebagai kesudahan, sol sepatunya kena
terpapas kutung, hingga karenanya, ia kaget berbareng gusar.
"Aku mengerti sekarang!" berseru Sin Tjie. "Terlalu tinggi salah, terlalu rendah salah juga,
dan terlalu cepat pun kau gagal! Baiklah, aku akan menyerang di sama tengah, dengan
perlahan...."
Dan benar-benar ia membacok pula, dengan perlahan, seperti Tjeng Tjeng tadi.
Hong Lioe sodorkan tangannya yang kiri, untuk jepit golok itu, selagi berbuat demikian,
dia memikir akan gunai tangan kanannya, untuk membarengi menyerang dengan cepat,
supaya ia bisa ajar adat kepada anak muda ini. Akan tetapi dia berpikir demikian, orang
lain juga berpikir lain. Di saat goloknya hampir dijepit, dengan mendadak saja Sin Tjie
balik goloknya bagian yang tajam lalu ia menarik, maka tidak ampun lagi, dua jari
tangannya orang she Tie ini kena tergurat, darahnya lantas mengucur, coba dia tidak
cepat menarik pulang, dua jarinya itu tentulah bakal sapat kutung!
"Bagus!" A Kioe berseru sambil tepuk tangan.
"Tikus!" membentak Hong Lioe saking gusar. "Kau berani main-main denganku!"
Sin Tjie tidak menjawab, hanya dia lemparkan golok di tangannya itu. Tapi dia melempar
kea rah pohon dimana tadi dia lemparkan orang, orang itu lagi pegangi satu cabang, untuk
meroyot turun, tepat sekali, golok itu mengenai cabang tersebut, hingga cabang itu
kutung, hingga karenanya, orang itu jadi jatuh terguling!
Semua orang kaget dan kagum, suara mereka berisik.
Selagi begitu, Sin Tjie hampirkan petinya, untuk dilemparkan, satu persatu dan disusun,
maka di lain saat, semua peti telah merupakan satu tumpukan tinggi beberapa tumbak.
"Aku suka main-main denganmu tetapi hatiku tidak tenteram," katanya kepada Tie Hong
Lioe. "Kamu semua bangsa bangsat, aku hendak cegah kamu selagi aku berkelahi, nanti
kamu rampas peti ini!" Lantas saja ia lompat naik ke atas susunan peti itu, dari mana
sambil memandang ke bawah, ia menantang: "Mari naik, di sini kita main-main!"
(Bersambung bab ke 15)Tie Hong Lioe kaget disusun kaget. Mulanya ia lihat orang lemparlemparkan
peti-peti yang berat, ia heran untuk tenaga besar dari si anak muda. Habis itu ia
saksikan cara berlompatnya Sin Tjie, yang demikian enteng dan pesat, ia kagum tak
terkira. Dia tidak tahu anak muda itu, yang lihat dirinya menghadapi terlalu banyak lawan,
sengaja pertontonkan ilmu entengkan tubuhnya yang sempurna yang ia peroleh dari Bhok
Siang Toodjin. Itulah dia ilmu "Pek pian kwie eng" atau "bajangan iblis berubah seratus
macam". "Jikalau kau berani, kau turunlah!" Hong Lioe tantang pemuda itu. Ia berbuat begini
karena ia insyaf ia tak sanggup lawan ilmu entengkan tubuh orang yang sempurna itu.
"Jikalau kau berani, kau naiklah!" Sin Tjie balas menantang.
Hong Lioe bertindak menghampirkan peti-peti besi itu, ia lantas memeluk, untuk digoyang,
dengan pengharapan peti-peti itu bergoyang-goyang, supaya si anak muda limbung dan
jatuh karenanya.
Benar-benar tubuhnya anak muda itu menjadi limbung, lantas saja dia terjatuh, akan tetapi
begitu lekas kakinya injak tanah, ia menyambar Hong Lioe dengan gerakan "Tjhong eng
kim touw" atau "Garuda terkam kelinci". Ia gunai tangannya yang kiri.
Hong Lioe tangkis serangan itu, dia pakai tangan kanan. Tapi justeru tangan kanannya
diulur, Sin Tjie sambar itu, dicekal di bagian nadinya, lalu sebelum dia tahu apa-apa,
tubuhnya telah terangkat naik, dari mulut si anak muda pun terdengar seruan: "Bangun!"
Dia sebenarnya bertubuh besar, tubuhnya itu berat sekali, akan tetapi dia jadi seperti
dengar kata, tubuhnya terangkat naik, terlempar ke atas susunan peti-peti di atas mana
lantas saja ia berdiri dengan limbung, sebab peti pun bergoyang-goyang....
Kawanan penjahat kaget berbareng merasa lucu, hingga akhirnya mereka pada tertawa,
sedang si orang she Tie sendiri nampaknya sangat bingung dan kuatir, dengan susah
payah dia mencoba akan mengatasi diri, supaya ia bisa berdiri tetap.
"Jikalau kau berani, kau turunlah!" Tjeng Tjeng menggoda.
A Kioe ingat, itu adalah kata-katanya Hong Lioe tadi. Ia bersenyum.
Melihat semua itu, See Thian Kong lantas berseru: "Tam Hiantee, kurunglah itu bocah! -
lebih dahulu, singkirkan dia!"
Hoe-tjeetjoe itu kena disadarkan seruan orang she See ini, tidak lambat lagi, ia tiup
terompetnya, maka semua berandal dari Shoatang hunus senjata mereka masing-masing,
semua maju ke arah Sin Tjie, untuk kepung anak muda ini.
Menampak ancaman itu, A Pa bersama-sama Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay dekati si anak
muda, maka itu ketika kawanan berandal mulai menyerang, mereka bisa lantas menangkis.
Seng Hay bersenjatakan golok, Tjeng Tjeng bergegaman pedang, tetapi A Pa, si empeh
gagu, bertangan kosong, dan yang belakangan ini main cekuk sesuatu penyerangnya,
untuk lempar-lemparkan tubuh mereka satu demi satu, hingga semua berandal jadi heran,
hingga mereka jeri untuk mendekatinya. Mereka pun takut serang Sin Tjie, yang berkelahi
seperti si empeh gagu itu - dengan tangan kosong juga!
Sambil berkelahi, Sin Tjie berlompat, hingga ia dapati See Thian Kong, siapa sedang rebah
di tanah dengan dua orang jagai padanya. Dua orang ini lihat musuh datang, yang satu
menyambut dengan goloknya, yang satu lagi segera gendong ketuanya, untuk diajak
menyingkir. Atas serangan golok, Sin Tjie berkelit sambil mendak, kakinya bertindak terus, setelah
molos dari serangan, ia sampai kepada penjahat yang satunya, yang gendong Thian Kong,
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu lekas ia jambret pundak orang, penjahat itu menjerit kesakitan, hingga lantas saja
dia lepaskan ketuanya, maka dengan leluasa, pemuda kita tanggapi si orang she See,
tubuh siapa ia kempit, untuk dibawa lari ke kereta besar, ke atas mana dia lompat
bersama. "Hai, kamu sayangi atau tidak jiwanya dia ini?" dia berseru pada semua berandal.
Semua berandal itu menjadi melongo, tidak ada satu juga yang berani bergerak.
Sin Tjie memberi tanda kepada A Pa, lantas si empeh gagu menyerbu ke kalangan Tjeng
Tiok Pay. Orang-orang Tjeng Tiok Pay berdiam sedari tadi, menampak datangnya orang ini, mereka
angkat senjata mereka, untuk meirntangi, akan tetapi A Pa telah dapatkan pelajarannya
Bok Djin Tjeng, dia tak takuti alat-senjata orang banyak itu, dia maju terus hingga ia dapat
dekati Thia Tjeng Tiok.
Dari tempatnya yang tinggi, Sin Tjie awasi A Pa, yang segera bakal berhasil, ia merasa
girang, akan tetapi tiba-tiba, ia tampak A Kioe, yang peluki tubuh ayahnya, numprah di
tanah sambil menangis menggerung-gerung, hingga ia berbalik menjadi kaget. Ia insyaf,
apabila si ketua menutup mata, sulit untuk ia urus anggauta-anggauta Tjeng Tiok Pay itu.
Maka ia lantas berseru: "Seng Hay! Lekas panggil pulang saudara A Pa!"
Seng Hay menurut, segera ia tinggalkan musuh-musuhnya, akan hampirkan si empeh
gagu, di depannya dia ini, dia pun buat main kedua tangannya, atas maa A Pa segera
menoleh kepada si anak muda.
Sin Tjie geraki tangannya dengan cepat.
Melihat tanda itu, A Pa lantas kembali, akan hampirkan si anak muda.
"Pegang dia ini!" kata Sin Tjie, yang serahkan See Thian Kong yang keadaannya seperti
setengah hidup dan setengah mati.
A Pa sambuti itu orang tawanan.
Sin Tjie terus lari kepada A Kioe.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Soehoe mati!...." jawab si nona sambil menangis.
Sin Tjie periksa hidung orang, yang telah tidak bernapas, akan tetapi kapan ia pegang
dadanya ia rasai jantung yang masih memukul perlahan-lahan.
"Jangan kuatir, aku nanti tolong dia!" ia bilang.
Sin Tjie baliki tubuhnya Thia Tjeng Tiok, hingga ia bisa lihat lima batang paku yang nancap
di bebokongnya, ialah sebab utama dari kecelakaannya jago itu tak perduli dia sebenarnya
liehay dan tangguh. Untungnya darah sudah tidak keluar lagi.
Tidak ayal lagi Sin Tjie totok jalan darah thian-hoe-hiat dan yong-tjoan-hiat orang,
menyusul mana darahnya jago itu lantas mulai jalan pula, maka selang sedikit lama, ia
mulai sadar, kedua matanya bisa dibuka.
Bukan kepalang girangnya A Kioe.
"Soehoe! Soehoe!" ia memanggil, berulang-ulang.
Tjeng Tiok dengar itu, ia ingat akan dirinya, ia manggut-manggut.
"Jadi dialah gurumu?" tanya Sin Tjie. "Aku sangka dia adalah ayahmu."
Si nona manggut.
"Terima kasih untuk pertolongan kau," ia mengucapkan.
Sementara itu, A Pa dengan diikuti Tjeng Tjeng dan Ang Seng Hay dengan pondong
tubuhnya See Thian Kong, sudah campuri diri dalam rombongan Tjeng Tiok Pay.
Kawanan berandal Shoatang yang lihat pemimpinnya kena ditawan, sudah lantas maju
untuk menolongi, akan tetapi percobaan mereka dirintangi oleh pihak Tjeng Tiok Pay,
hingga karenanya, mereka kedua pihak jadi bertempur dengan hebat, hingga dalam tempo
pendek telah ada korban-korban jiwa dan terluka.
"Jikalau pertempuran ini berlanjut lagi sekian lama, mesti rubuh lebih banyak korban,"
kata Tjeng Tjeng kepada Sin Tjie.
Si anak muda tidak menyahuti, dia Cuma bersenyum.
Sedang asyiknya pertempuran berlangsung, Tie Hong Lioe yang masih berada di atas
susunan peti besi telah terdengar seruannya: "Celaka! Tentara negeri mendatangi! Ribuan
jumlah mereka! Lekas mundur! Oh, puluhan ribu jumlah mereka! Mundur, lekas mundur!
Lekas!" Tjhungtjoe dari Tjian-lioe-tjhung ini berada di tempat tinggi, tidak heran apabila dialah
yang dapat melihat paling dulu.
Semua orang kaget, dengan sendirinya berhentilah mereka berkelahi, semua mengawasi
dengan bengong ke arah dari mana katanya tentara negeri mendatangi.
Dari jurusan tersebut segera tertampak mendatangnya tiga penunggang kuda, kemudian
ternyata, mereka ini terdiri dua dari pihak berandal Shoatang, yang satu dari Tjeng Tiok
Pay. Hampir berbareng, bertiga mereka perdengarkan seruan: "Tentara negeri
mendatangi!"
Tie Hong Lioe jadi nekat, dengan beranikan diri, dia lompat turun dari susunan peti besi,
sesampainya ia di tanah, ia rubuh hingga ia bergulingan tiga kali, Baru ia dapat bangkit
berdiri, dengan merasai sakit sekali kepada kedua kakinya, tetapi tanpa perdulikan itu, ia
sambar seekor kuda untuk dinaiki, untuk segera ajak kawan-kawannya angkat kaki dari
situ. Sin Tjie sambar tubuhnya See Thian Kong, untuk dilemparkan kepada kawan-kawannya,
maka kawanan berandal itu tolongi pemimpinnya, untuk dikasih naik di atas bebokong
kuda, buat segera dibawa kabur ke dalam rimba.
Pihak Tjeng Tiok Pay juga perdengarkan suitan berulang-ulang, habis itu mereka tolongi
kawan-kawan mereka yang terluka, lalu tetap dalam empat barisan, mereka undurkan diri
dengan lekas. Maka di lain saat, sunyi-senyaplah medan pertempuran itu dimana
ketinggalan saja Sin Tjie serta rombongannya.
Lantas si anak muda berlaku sebat. Ia lompat naik ke atas susunan peti, untuk lempar itu
turun satu demi satu, di bawah, A Pa menyambutinya, untuk dimuatkan ke kereta mereka.
Tjeng Tjeng tertawa atas kesudahannya kekalutan itu.
"Banyak orang telah menjadi korban, tetapi uang kita, satu tjhie pun tidak lenyap!" katanya
dengan gembira dan puas.
Tidak antara lama terdengarlah suara terompet disusul berisiknya banyak kuda, kemudian
terlihat satu pasukan tentara lagi mendatangi.
"Di sana ada tentara negeri, kawanan berandal tentu tak berani muncul pula," kata Sin Tjie.
"Mari kita lanjuti perjalanan kita!"
Walaupun ia mengucapkan demikian, pemuda ini toh mesti periksa dulu rombongannya,
yang tidak kurang suatu apa, dari itu sebelum mereka sempat berangkat, pasukan negeri
mendahului sampai di antara mereka.
"Kamu bikin apa?" tanya satu perwira yang bersenjatakan golok panjang. Dia ini pimpin
dua ratus serdadu, yang terpecah dalam dua barisan.
"Kami penduduk baik-baik yang sedang bikin perjalanan," sahut Sin Tjie.
"Kenapa di sini ada tanda-tanda darah, dan pelbagai alat-senjata?" tanya pula perwira itu.
"Barusan ada penjahat pegat kita, lantaran datangnya tentara negeri, mereka kabur
sendirinya," sahut Sin Tjie pula.
Sementara itu, muncul satu pasukan tentara lain, yang lantas menyerbu ke dalam rimba,
untuk kejar kawanan berandal.
Perwira tadi melirik kedalam kereta dimana mereka lihat peti-peti besar.
"Barang-barang apakah itu?" tanyanya dengan tawar.
"Itulah barang-barang keperluan kami sehari-hari."
"Coba buka, aku hendak lihat!"
"Semuanya pakaian, tidak ada lainnya."
"Aku perintah buka, kau mesti buka! Perlu apa banyak mulut?"
"Kami tak bawa barang-barang haram, untuk apa dilihat?" Tjeng Tjeng campur bicara.
"Hei, bocah, kau kurang ajar!" bentak perwira itu. Dan cambuknya melayang.
Tjeng Tjeng berkelit untuk sabetan itu.
Perwira itu percaya, isinya peti mesti barang-barang berharga, dalam sedetik itu
muncullah hatinya yang temaha.
"Hei, bocah, kau berani melawan?" dia bentak pula, untuk gunai ketikanya. "Hayo,
saudara-saudara, sita barang-barang itu!"
Untuk rampas milik rakyat jelata, tentara itu biasanya tidak berayal, maka itu begitu dengar
titah "mensita", segera mereka meluruk ke arah kereta.
Si perwira tak berhenti sampai di situ, karena ia tahu, ada kemungkinan Sin Tjie beramai
nanti majukan pengaduan kepada pembesar terlebih atas, maka kembali dia berseru:
"Kawanan berandal ini berani lawan tentara negeri, bunuh mereka semua!"
Lalu ia mendahului angkat goloknya, untuk dipakai menyerang.
Sin Tjie jadi gusar.
"Coba kita bangsa lemah, apa kita tidak bercelaka?" dia pikir sambil kelit dari bacokan,
setelah mana ia membarengi lompat untuk hajar bebokong orang.
Perwira itu hanya satu orang peperangan biasa saja, dalam kesebatan ia kalah jauh dari si
anak muda, maka itu, dengan gampang ia kena dihajar, hingga tubuhnya lantas rubuh
terjungkal dari atas kudanya, malah jiwanya pun melayang dalam sekejab!
Menampak itu, semua serdadu menjadi kaget, lantas mereka berteriak-teriak: "Penyamun
merampas angkutan! Penyamun rampas angkutan!"
Sementara itu Tjeng Tjeng bersama A Pa dan Seng Hay telah labrak buyar barisan serdadu
itu, yang lari serabutan ke empat penjuru, akan tetapi di belakang mereka itu ada lagi satu
pasukan besar, maka Sin Tjie, yang rampas goloknya si perwira, maju untuk mencoba
menahan, sedang Tjeng Tjeng bertiga ia perintah lindungi kereta-kereta mereka untuk
berlindung masuk ke dalam rimba.
Di dalam rimba sendiri, sementara itu, telah terjadi pertempuran di antara tentara negeri
dan kawanan penyamun dari Shoatang yang bersatu dengan rombongan Tjeng Tiok Pay,
akan tetapi belum terlalu lama, pihak negeri bisa mendesak, hingga musuh-musuhnya
terpaksa mundur.
Sambil bereskan kereta-keretanya Sin Tjie saksikan pihaknya See Thian Kong dan Thia
Tjeng Tiok lagi terancam bahaya, terutama disebabkan kedua pemimpin itu sendiri tidak
berdaya. "Bagaimana?" tanya Tjeng Tjeng.
"Kita bantu berandal! Kita basmi tentara negeri!" Sin Tjie menjawab dengan cepat.
"Benar!" berseru si nona dalam penyamaran.
"Tetapi kau berdiam di sini, untuk lindungi harta kita," Sin Tjie bilang.
Tjeng Tjeng menjadi dengar kata.
"Baik!" ia manggut.
Maka bertiga bersama A Pa dan Ang Seng Hay, ia kitari kereta-kereta mereka, untuk
dilindungi, tatkala tentara negeri datang menyerbu, mereka pukul mundur, hingga
kesudahannya, tentara negeri itu jadi jeri, mereka tak berani merangsek pula.
Sin Tjie panjat pohon, akan mengawasi ke arah kawanan berandal, dengan begitu ia bisa
saksikan A Kioe serta beberapa tauwbak dari Tjeng Tiok Pay sedang terkurung hebat oleh
tentara negeri, maka untuk tolong mereka, ia loncat turun dari pohon, ia menyerbu ke
dalam medan pergulatan, sampai ia berhasil mendekati si nona, malah ia datang disaat
yang tepat, selagi dua batang tumbak menikam nona itu, dari itu dengan sebat ia
menalangi menangkis.
"Lekas mundur ke bukit sebelah barat!" ia teriaki.
A Kioe melengak atas datangnya bantuan ini, hingga ia tak tahu satu perwira bacok ia
secara hebat. Kembali Sin Tjie tolong si nona. Dia rampas golok musuh, untuk dipatahkan, si perwira
sendiri ia tonjok dadanya hingga dia muntah darah, tubuhnya rubuh seketika.
A Kioe sadar, segera ia tiup suitannya, kemudian ia beri tanda untuk kawan-kawannya
mundur ke arah barat, seperti ditunjuki Sin Tjie. Si anak muda sendiri mondar-mandir
dengan bengis, untuk tahan tentara negeri yang mencoba mendesak.
Kawanan penyamun dari Shoatang juga turut mundur ke barat, setiap kali ada diantaranya
yang dirintangi tentara negeri, Sin Tjie maju menolongi, dengan begitu, mereka bertempur
sambil mundur, hingga mereka sanggup mendaki bukit.
Kemudian, dibantu oleh sejumlah berandal, Sin Tjie pergi sambut Tjeng Tjeng bertiga serta
kereta mereka, untuk menyingkir ke bukit barat itu, hingga mereka ketiga pihak, jadi
bersatu. Tentara negeri cuma bisa kurung mereka dari bawah bukit, mengurung sambil
berteriak-teriak saja.
Sin Tjie mengatur terlebih jauh. Ia pasang barisan panah di sebelah depan. Kawanan
berandal, dengan sendirinya, suka taati segala titahnya. Maka itu, ketika tentara negeri
mencoba mendaki gunung, mereka dipukul mundur dengan hujan anak panah, hingga
selanjutnya mereka tidak berani mencoba naik pula.
Dengan titahnya Sin Tjie, Hoe-tjeetjoe Tam Boen Lie bersama-sama Tie Hong Lioe dan A
Kioe pergi bantui Seng Hay beramai membikin penjagaan. Semua berandal telah dipecah
dalam dua rombongan, hingga ada sebagian yang dapat beristirahat, untuk sekalian
tolongi mereka yang terluka.
Sin Tjie lantas tolongi Thia Tjeng Tiok dan See Thian Kong, dengan bergantian, ia uruti
mereka itu hingga mereka tertolong dari ancaman bahaya maut, darah mereka jalan pula
seperti biasa begitupun napas mereka, yang tadinya sudah sesak. Karena ini, berdua
mereka dapat rebahkan diri dan tidur dengan nyenyak.
Kedua pihak berandal jadi bersyukur kepada anak muda ini, yang tolongi pemimpinpemimpin
mereka. "Jumlah tentara negeri terlalu besar untuk kita, tak dapat mereka dilayani dengan tenaga,
mesti dengan daya-upaya," kemudian Sin Tjie bilang kepada Tjeng Tjeng.
"Benar!" sahut si nona. "Habis kau hendak gunai daya apa?"
Sin Tjie tidak menyahuti, dia hanya berpikir, akan akhirnya dia panggil satu penyamun
yang kenal baik keletakan tempat mereka ini; sembari tanya ini dan itu, iapun senantiasa
mengawasi ke arah tentara negeri. Maka kesudahannya ia dapat lihat, di arah belakang
dari tentara negeri itu, ada sejumlah besar kereta-kereta yang rupanya bermuatan berat.
Tiba-tiba saja ia ingat suatu apa, lantas ia lompat kepada Tjeng Tjeng.
"Bukankah tadi tentara negeri itu sebut-sebut angkutan?" ia tanya.
Sebelum si nona menjawab, Tie Hong Lioe sudah mendahului. Dia ini Baru saja datang
untuk beristirahat.
"Itulah artinya angkutan uang untuk ke Pakkhia," demikian jawabannya. "Sungguh tidak
beruntung bagi kita, di sini kita bertemu mereka itu..."
"Mengapa angkutan uang Negara memerlukan tentara pengiring demikian besar?" tanya
Sin Tjie. Sekarang ini keamanan sedang sangat terganggu, di pelbagai gunung ada saja
penyamunnya, maka itu, untuk angkutan yang selamat, iring-iringannya mesti besar,"
Hong Lioe terangkan lebih jauh. "Sekarang pemerintah sangat memerlukan uang dan
rangsum dari Kanglam, terutama sebab Kaisar Tjong Tjeng mesti hadapi musuh bangsa
Boan di Liauw-tong dan pemberontakannya Giam Ong dan lainnya. Maka juga angkutan
uang ini adalah jiwanya...."
"Jikalau begini, barisan serdadu iring-iringan ini terlalu usil," Sin Tjie bilang. "Tugas
mereka berat, mengapa mereka masih ambil kesempatan untuk ganggu kita"...."
"Mestinya mereka anggap kita gampang dikalahkan," Hong Lioe bilang. "Jikalau mereka
bisa labrak kita atau menawan beberapa di antara kita, bukankah itu artinya jasa besar?"
Sin Tjie manggut-manggut.
"Di barat-utara sana ada satu mulut selat," kata ia kemudian, "mari kita nerobos keluar dari
sana." Tie Hong Lioe bersedia untuk turut usul itu.
"Silahkan Wan Siangkong menitahkannya," katanya.
Sin Tjie mencorat-coret di tanah, ia berpikir, habis itu, ia lantas berikan titah-titahnya buat
bersiap untuk sebentar malam.
Tepat pada jam yang telah ditetapkan, dibarengi teriakan mereka riuh-rendah, kawanan
berandal bergerak untuk turun bukit, buat menerjang turun. Sebagai pembuka jalan adalah
Sin Tjie berdua A Pa, si empeh gagu.
Tentara negeri sudah lelah, kapan mereka lihat serbuan, mereka coba merintangi, tetapi
sebentar saja, barisan mereka sudah dapat ditobloskan, dengan begitu, rombongannya
Sin Tjie semua bisa molos. Masih mereka mencoba mengejar, atau segera mereka dilawan
oleh barisan belakang penyamun. Nyata ini adalah siasat saja, untuk mencegah tentara
negeri itu, sebab apabila semua rombongan sudah memasuki selat, sejumlah penyamun
itu lari kabur, akan susul rombongan mereka.
Tentara negeri menguber sampai di mulut selat, lantas mereka tidak berani mengejar terus
akan masuk terlebih dalam, sebab orang yang menjadi pemimpinnya dapatkan, kedua
belah selat tinggi dan berbahaya, hingga mereka jadi kuatirkan tentara sembunyi musuh.
Selagi tentara negeri berkumpul dan mengawasi ke dalam selat, tiba-tiba sebuah peti
besar jatuh dari sisi lamping bukit, jatuhnya dengan terbuka tutupnya, maka isinya lantas
saja terlempar berantakan. Yang membuat kaget dan herannya tentara negeri adalah isi itu
yang banyak sekali barang permata, yang berkilauan di antara cahaya obor.
Pemimpin tentara negeri itu adalah satu tjongpeng atau brigade-jenderal, dia pun kaget
tetapi kaget berbareng girang.
"Lekas maju!" ia titahkan. "Rampas semua peti itu!"
Perwira ini timbul keserakahannya hingga ia lupakan bahaya.
Tentara negeri itu lantas maju, bukan untuk mengejar, hanya untuk berebutan memunguti
pelbagai barang permata dan uang, hingga barisan mereka menjadi kalut tanpa
pemimpinnya dapat kendalikan pula mereka.
Sin Tjie sendiri, yang ambil jalan di atas lamping, telah menuju ke arah belakang pasukan
Negara, hingga ia bisa datang dekat kepada rombongan kereta-kereta angkutan yang
berlerot. Semua kereta dikerudungi tutup kain kuning tebal, samara-samar kelihatan
tulisan huruf-huruf yang menandakan itu adalah angkutan barang pemerintah dari
Kanglam. Mengawasi lerotan kereta itu, Sin Tjie girang berbareng ragu-ragu. Ia girang sebab jumlah
yang besar itu, yang pasti akan berguna besar untuk pergerakan Giam Ong. Ia ragu-ragu
kapan ia ingat jumlah besar dari tentara negeri yang menjadi barisan pengiring angkutan
itu. Dengan hati-hati pemuda ini maju lebih jauh. Karena ia sembunyikan diri di antara
pepohonan, tidak satu serdadu juga yang dapat pergoki padanya. Ia datang begitu dekat
hingga kecuali bisa melihat tegas, ia juga bisa dengar pembicaraan mereka. Kemudian ia
dengar suara lebih jelas dari kereta-kereta terbelakang, maka ia percaya, muatan keretakereta
itu bukannya uang seperti kereta-kereta terdepan. Kapan ia telah perhatikan lebih
jauh, ia dapat kenyataan itulah kereta orang-orang tawanan, dan si orang-orang tawanan
sendiri, dengan kedua tangan mereka masing-masing tertelikung ke belakang, lagi duduk
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dalam kereta kerangkeng mereka. Di atas setiap kereta nampak selembar bendera putih
yang muat tulisan yang menyebutkan nama-nama si orang perantaian, yang telah dapat
hukuman mati. Pun dibelakang setiap nama dijelaskan perantaian itu penyamun atau
pemberontak atau pengkhianat.
"Mereka harus ditolongi...." Pikir Sin Tjie. "Bagaimana aku dapat menolonginya?"
Selagi ia berpikir, ia lihat sebuah kereta kerangkeng di mana pada benderanya ada tulisan
yang memuat nama Tjouw Tiong Sioe, hingga Sin Tjie jadi kaget tidak terkira. Ia pun lantas
lihat orang yang bernama Tjouw Tiong Sioe itu ialah seorang umur lima-puluh lebih,
dandanannya sebagai sasterawan, rambutnya telah ubanan. Dia itu adalah bekas
ponggawa ayahnya almarhum, yang telah bergerak dan berkedudukan di Lauw Ya San. Di
belakang dia ini, di dalam beberapa kereta lainnya, ia tampak Nie Ho, Tjoe An Kok dan Lo
Tay Kan bertiga. Eng Siong tidak ada di antara mereka itu.
Selagi Sin Tjie mengawasi, kereta-kereta pesakitan itu sudah lewati dia, maka sebagai
orang Baru sadar dengan tiba-tiba, dia lari mengejar, hingga sekarang ia terlihat oleh
serdadu-serdadu pengiring. Di antara sedadu-serdadu itu sudah lantas ada yang
memanah. Dengan kesebatannya, Sin Tjie selamatkan diri dari pelbagai anak panah itu, ia maju terus,
sampai ia dekati satu perwira yang bersenjatakan golok, yang berjalan paling belakang.
"Baik aku bekuk perwira ini untuk bikin kacau barisannya," pikir anak muda kita. "Dengan
menawan dia aku akan bisa tolongi Tjouw Siokhoe beramai..."
Belum sempat Sin Tjie bertindak, atau ia lihat debu mengepul di sebelah belakangnya dan
kupingnya dengar suara berisik dari berlari-larinya beberapa ekor kuda, karena mana, ia
lantas mengawasi, hingga ia tampak lima penunggang kuda sedang mendatangi.
"Kiranya barisan ini ada barisan penolongnya...." Pikir ia.
Dari lima penunggang kuda itu, yang kabur di muka adalah seorang perempuan. Karena
mereka datang dengan cepat, selagi dia itu lewat di sampingnya, Sin Tjie kenali Hoei-thianmo-
lie Soen Tiong Koen serta Kwie Sin Sie suami-isteri bersama Bwee Kiam Hoo dan
Lauw Pwee Seng. Ia jadi girang.
"Djie-soeko!" ia memanggil sambil lompat ke depan kudanya suami-isteri itu.
Kwie djie-nio lihat si anak muda, ia tertawa dingin.
"Oh, kau?" katanya. "Kau bikin apa di sini?"
Soen Tiong Koen dengar soebonya bicara, ia tahan kudanya dan menoleh ke belakang.
"Ada urusan penting untuk mana aku hendak mohon bantuan soeko dan soeso," sahut
Sin Tjie tanpa perhatikan sikap mengejek dari si ipar perempuan itu.
"Kami juga mempunyai urusan sangat penting, kami tak sempat!" kata nyonya Kwie
seraya terus keprak kudanya, untuk dikasih lari pula, melewati si anak muda.
"Soe-siok!" memanggil Bwee Kiam Hoo sambil beri hormat kepada paman-guru yang
muda itu, lantas ia ikuti itu guru lelaki dan perempuan.
Beda dari Kiam Hoo, Pwee Seng loncat turun dari kudanya.
"Soehoe dan soebo lagi hadapi urusan sangat penting," ia memberi tahu. "Soesiok ada
urusan apa" Baik tunggu sampai soehoe dan soebo sudah selesai, nanti aku bantui
soesiok..."
"Kalau begitu, tidak apa," jawab Sin Tjie. "Aku ingin pinjam saja kudamu, Lauw Toako."
"Silakan, soesiok," menyahut Pwee Seng dengan hormat, sambil tarik kudanya. Ia terus
berdiri di pinggiran.
"Kita naik berdua, untuk susul tentara negeri itu," Sin Tjie bilang seraya terus lompat naik
ke punggung kuda, diturut oleh Pwee Seng. Maka sebentar saja, mereka sudah kabur ke
depan. "Ada urusan apa soesiok kejar tentara negeri?" Pwee Seng tanya.
"Untuk tolong orang!" Sin Tjie jawab.
"Bagus! Kami juga hendak hajar tentara itu!" berkata Pwee Seng.
Sin Tjie kaburkan kudanya sampai ia dapat candak dan lombai Soen Tiong Koen dan lihat
tentara negeri yang iringi kereta-kereta kerangkeng, masih ia jepit perut kudanya, untuk
menyusul tentara itu.
Perwira yang pimpin barisannya dengar tindakan kaki kuda di arah belakang, dia lantas
menoleh. Akan tetapi dia menoleh sesudah terlambat, karena tahu-tahu satu bajangan
menyambar ke arahnya. Dalam gugupnya, dia membabat dengan goloknya yang besar,
harapannya adalah bisa menabas kutung tubuh orang, siapa tahu Sin Tjie telah ulur
tangan kanannya, akan sambut gagang golok bagian ujung, tubuhnya sendiri mencelat
naik di bebokong kudanya si opsir, siapa ia totok dengan tangan kirinya sambil ia pun
membentak: "Kau sayangi jiwamu atau tidak?"
Opsir itu rasai ia kehabisan tenaga dalam sekejab, hingga tak dapat ia membikin
perlawanan lebih jauh.
"Kau mau hidup atau mati?" Sin Tjie ulangi bentakannya.
"Ampun, tay-ong...." Memohon si opsir.
"Kalau begitu, lekas titahkan supaya semua kereta pesakitan itu berhenti!" Sin Tjie
titahkan. Opsir itu menurut, selagi ia berikan titahnya, rombongannya Kwie Sin Sie pun sampai,
malah mereka ini berlima sudah lantas serang tentara negeri, hingga barisannya menjadi
kalut. Kejadian ini membuat Sin Tjie menyesal, sebab tadinya ia tidak niat gunai kekerasan
terhadap pasukan tentara itu. Sekarang terpaksa ia rampas dua buah kampak besar,
dengan bawa itu, ia memburu ke kereta kerangkeng dari Tjouw Tiong Sioe, untuk kampaki
pintunya hingga menjeblak.
"Tjouw Siokhoe, aku Sin Tjie!" pemuda ini perkenalkan diri.
Tiong Sioe seperti sedang bermimpi, hingga ia berdiam diri.
Sin Tjie lantas tolongi juga Tjoe An Kok dan Nie Hoo, hingga mereka ini dapat tolongi yang
lain-lain, dan yang lain-lain lagi berebut tolongi semua perantaian lainnya, yang berjumlah
seratus orang lebih, diantara siapa lebih dari tiga-puluh orang ada anggauta-anggauta
golongan San Tjong, bekas orang-orang sebawahannya almarhum Wan Tjong Hoan.
Mereka ini girang bukan main kapan mereka dapat tahu orang yang tolongi mereka adalah
putera pemimpin mereka, maka dengan sengit mereka labrak tentara negeri, yang tadinya
iringi mereka. Maka kesudahannya, tentara negeri itu kena dipukul buyar.
Di sebelah depan, jalanan telah dirintangi dengan batu-batu besar, sukar untuk tentara
negeri lolos dari sana. Sin Tjie ketahui ini. Ia juga tahu, biar bagaimana, jumlah tentara
negeri lebih besar daripada jumlah rombongan mereka sendiri, seandai-kata tentara itu
nekat, dia orang bisa berkelahi mati-matian dan ini berarti ancaman hebat bagi mereka
sendiri, dari itu ia lantas pikir jalan pemecahan.
Sin Tjie lemparkan kampaknya, ia loncat ke atas lerotan kereta, ia berlari-lari di atasnya,
untuk maju ke depan. Ia telah lari sekira satu lie ketika ia lihat satu ponggawa, ialah
tjongpeng yang tadi, di atas kudanya sedang pimpin perlawanan. Ia cepat maju ke arah
pembesar militer itu. Dua serdadu rintangi ia tapi ia cekuk mereka, yang ia terus
lemparkan ke jurang. Kemudian, dengan kegesitannya, ia loncat ke bokong kudanya
tjongpeng itu. Ponggawa itu tampak orang menyerbu, ia membacok, tapi sambil berkelit, anak muda kita
coba rampas goloknya.
Tjongpeng ini liehay, ia jatuhkan dirinya ke tanah, dengan begitu, goloknya tidak kena
dirampas. "Aku tidak sangka dia liehay," kata Sintjie dalam hati. Tapi untuk tidak perlambat tempo, ia
segera menyerang dengan tiga butir biji caturnya.
Tjongpeng itu benar-benar liehay, dengan goloknya ia berhasil menyampok jatuh tiga biji
catur itu, hingga ia terlolos dari ancaman bahaya.
"Kau benar liehay! Mari coba lagi!" pikir Sin Tjie. Dan sekali ini ia menyerang pula, dengan
dua tangannya saling-susul. Kedua tangannya menggenggam tiga kali sembilan biji,
hingga tjongpeng itu diserang terus-terusan dengan dua-puluh tujuh biji. Pasti sekali ia
menjadi sibuk, mulanya ia masih bisa menangkis, lantas goloknya terlepas, segera
pahanya, pinggangnya, bebokongnya, sambungan kakinya, kena tertimpuk, hingga
kesudahannya, ia rubuh dengan lutut tertekuk!
"Tak usah pakai banyak adapt-peradatan!" Sin Tjie menggoda sambil tertawa. Ia maju,
untuk sambar bahu kiri orang, tapi dengan kepalan kanannya, tjongpeng itu menyerang
kea rah dada. "Biarlah kau hajar aku satu kali, untuk puasi hatimu!" tertawa si anak muda. Dan ia
antapkan dadanya ditoyor.
Serangan itu tepat, akan tetapi tjongpeng itu merasakan ia lagi toyor kapas, dan ketika Sin
Tjie empos semangatnya, tenaga berbaliknya membikin tubuhnya terpental sendirinya,
terapung tinggi!
Banyak serdadu menjerit melihat keadaannya pembesar itu.
Sang tjongpeng sendiri anggap dia bakal terbinasa sendirinya, ia sudah lantas tutup rapat
kedua matanya, akan tetapi segera ia merasa ada orang cekal kedua belah bahunya,
apabila ia buka matanya, ia lihat lawannya adalah satu mahasiswa muda. Ia lantas insyaf
bahwa ia telah rubuh di tangannya seorang liehay. Ia jadi putus asa.
"Kau perintahkan semua serdadu letaki senjata, kau akan dikasih ampun!" kata Sin Tjie.
Tjongpeng ini tahu, dengan angkutannya lenyap, hukuman mati ada bagiannya, karena ini,
ia jadi nekat. Ia berseru: "Jikalau kau hendak bunuh, bunuhlah aku, tak usah kau banyak
omong!" Sin Tjie tertawa, ia kerahkan pula tenaganya. Lagi satu kali, tubuhnya tjongpeng itu
terpental tinggi, di waktu jatuh, si anak muda tanggapi seperti tadi. Dan ia ulangi sampai
tiga kali melempar tubuh opsir itu, hingga kesudahannya, opsir ini pusing kepalanya,
berkunang-kunang matanya, sampai tak tahu ia, dirinya berada di mana....
"Jikalau kau tidak berikan titahmu, kau bakal mampus!" Sin Tjie beri ingat. "Dengan
begitu, tentaramu juga tidak bakal turut hidup! Maka baiklah kau menakluk kepada kami!"
Dalam keadaan sulit seperti itu, tjongpeng ini menyerah. Ia manggut.
"Ini dia yang dibilang orang yang kenal selatan!" bilang Sin Tjie.
Tjongpeng itu lantas teriaki tiga sebawahannya, untuk beritahukan mereka niatnya untuk
menakluk. Tiga sebawahan itu kaget, muka mereka pucat.
"Kau makan gaji Negara, kau poet-tiong, poet-hauw!" satu di antaranya berseru saking
gusar. Tapi ia tak sempat bicara banyak, Sin Tjie sambar lengannya, terus dia dibanting hingga
dia rebah dengan pingsan!
Melihat demikian, dua sebawahan itu menyatakan suka menurut.
"Nah, perintahkanlah hentikan pertempuran!" si tjongpeng memerintahkan.
Sin Tjie juga lantas kasih tanda supaya kawanan penyamun berhenti berkelahi.
"Titahkan mereka letaki senjata mereka!" kemudian Sin Tjie perintah si tjongpeng.
Dengan terpaksa, tjongpeng itu menurut, maka itu, selainnya pertempuran berakhir,
semua serdadu juga letaki senjata mereka.
Menyusul itu, lima orang menerjang kalang-kabutan, mereka serbu pelbagai peti, untuk
dibuka dengan paksa, apabila mereka dapati isinya uang belaka, mereka lemparkan itu ke
samping, mereka menggeratak terus. Tidak ada satu serdadu juga yang berani rintangi
mereka. Lima orang itu adalah Kwie Sin Sie suami-isteri serta tiga muridnya.
"Djie-soeheng, kau cari apa?" Sin Tjie tanya selahi orang dekati dia. "Nanti aku perintah
mereka kasi keluar!"
Kwie Sin Sie angkat kepalanya, ia lantas tampak tiga opsir berdiri di antara Sin Tjie, ia
lompat ke arah mereka, dengan tiga loncatan, ia sudah datang dekat, lalu dengan tiba-tiba,
ia jambak si tjongpeng.
Pembesar militer ini kaget, apapula kapan ternyata, tak sanggup ia lepaskan diri dari
jambakan itu, hingga ia mengerti, kembali ia hadapi seorang liehay.
"Dimana adanya upeti hok-leng dan hoo-sioe-ouw dari Ma Tok-boe?" tanya Kwie Sin Sie
dengan bengis. "Karena anggap jalan kita ayal, Ma Tok-boe telah perintah lain orang bawa itu terlebih
dahulu ke kota raja," sahut tjongpeng itu.
"Apakah kau tidak mendusta?" tanya Kwie Sin Sie.
"Jiwaku ada di tangan kau, untuk apa aku mendusta?" sang tjongpeng menjawab.
Sin Sie percaya orang omong benar, tapi toh ia masih banting tjongpeng itu.
"Jikalau kemudian ternyata kau main gila, aku nanti kembali untuk ambil jiwamu!" dia
mengancam. Kemudian ia berpaling kepada isterinya: "Mari lekas kita susul!"
Habis mengucapkan demikian, Sin Sie segeral berlari pergi.
Nyonya Kwie empo anaknya, dia susul suaminya, selagi berlari, dia hajar beberapa sedadu
yang melintang di depannya.
Soen Tiong Koen bertiga pun segera susul gurunya itu.
Sin Tjie tahu orang sedang berpikiran kalut, ia antapkan saja soeko itu beramai berlalu.
Kemudian Baru ia tanya si tjongpeng tentang obat yang dicari soehengnya yang kedua itu.
"Itulah hok-leng dan hoo-sioe-ouw," sahut perwira itu. "Hok-leng itu besar sekali dan
didapatinya belum lama ini di dalam sebuah gunung di propinsi An-hoei diduga usianya
telah dua-ribu tahun. Dan hoo-sioe-ouw itu, yang telah berpeta manusia, yang umurnya
pun tua sekali, dapat digali di suatu tempat di Tjiatkang timur. Maka itu adalah dua macam
obat yang dipandang sebagai mustika. Ketika Tjongtok Ma Soe Eng dari Hong-yang
dengar hal kedua obat itu, dia perintah wakilnya pergi beli secara separuh paksa,
kemudian ia perintahkan satu ahli obat bikin itu menjadi dua-puluh butir obat pulung,
katanya campuran obat lainnya adalah jinsom, mutiara dan lainnya obat mahal, hingga
ongkos pembuatannya sama sekali tiga-puluh ribu tail perak. Tentang obat ini sudah
menggemparkan seluruh wilayah Kanglam, hingga banyak orang yang mengetahuinya.
"Untuk penyakit apa obat itu?" Sin Tjie tanya pula.
"Aku sendiri tidak ketahui jelas, melainkan orang bilang mustajab sekali hingga bisa
hidupkan kembali orang yang sudah mati. Juga dikatakan, siapa bertubuh lemah, asal
makan sebutir saja dari obat itu, tubuhnya akan lantas jadi sehat dan kuat."
"Inilah dia!" pikir Sin Tjie. "Anaknya djie-soeko sakit sudah lama dan belum dapat obat
yang manjur, pantaslah dia ingin dapatkan obat ini....." Lalu ia tanya pula: "Jadi obat itu
hendak dijadikan upeti oleh Ma Tjongtok?"
"Benar. Mulanya akulah yang ditugaskan bawa itu, tetapi kemudian karena aku jalan
lambat dan aku mesti antar banyak pesakitan, dia titahkan lain orang ialah Tang Piauwsoe
dari Eng Seng Piauw Kiok dari Kimleng. Itulah upeti untuk Sri Baginda."
Mendengar itu, Sin Tjie harap-harap soekonya berhasil mendapati obat itu untuk obati
puteranya yang sakitan itu.
"Sudah berapa hari sejak berangkatnya piauwsoe itu?"
"Kita berangkat bersamaan, tapi rombongan mereka Cuma belasan, mereka bisa jalan jauh
terlebih cepat. Mungkin mereka telah dului kita delapan atau sembilan hari."
Itu waktu Tjouw Tiong Sioe bersama Tjoe An Kok, Nie Hoo dan Lo Tay Kan serta orangorang
mereka telah datang berkumpul, girang mereka bukan kepalang, apapula akan
saksikan ahli warisnya Wan Tjong Hoan demikian cakap dan gagah.
Sin Tjie lantas tanyakan mereka itu tentang tertawannya mereka.
Menurut Tiong Sioe, ketika mereka dibokong di Lauw Ya San, sudah banyak orang mereka
yang bubaran, mereka sendiri bisa lolos, kecuali Eng Siong, yang mendapat kebinasaan.
Rajawali Hitam 9 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Tiga Mutiara Mustika 3