Pencarian

Pedang Ular Mas 4

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 4


Ngo-heng-koen dipakai secara keras, untuk menyerang hebat.
Lantas pertempuran berlanjut, sebagai kesudahan dari mana, ketua Liong Yoe Pang itu
jadi semakin heran. Tak dapat dia desak, untuk mendekati tubuh pemuda itu, hingga
akhirnya, dia menjadi sibuk sendirinya.
"Teranglah orang ini mengalah terhadapku..." pikir dia. "Kalau terus berlangsung begini,
tentu Oen Tjeng bakal perhina kembali padaku..."
Inilah yang membuat ia sibuk dan kuatir. Maka kembali ia mencoba menyerang, ia berlaku
sungguh-sungguh ketika ia keluarkan jurus Eng-djiauw-kong. Ia berlaku cepat, semua
sasarannya ada tempat-tempat berbahaya.
"Eng-djiauw-kangnya ada begini rupa, inilah bukannya hasil dari satu hari satu malam,"
pikir dia. "Aku harus berikan muka padanya, jikalau aku tidak mengalah, Oen Tjeng tentu
bakal buka pula bacotnya..."
Oleh karena memikir begini satu kali Sin Tjie sengaja berlaku ayal.
Eng Tjay girang sebab ia bakal dapat lowongan, tetapi ia juga tidak berniat mencelakai
pemuda itu, ia ingin robek saja baju orang, karena ini juga sudah berarti kemenangan.
Demikian ia telah jambak pundak lawan. Ia telah mengenai sasarannya, akan tetapi segera
ia menjadi heran luar biasa. Ia kena pegang sepotong daging yang menjadi keras dan licin
dengan tiba-tiba, hingga ia mirip dengan nelayan yang menangkap ikan tapi lolos pula
saking licinnya sang ikan. Hal ini membuat ia heran dan terkejut.
Sin Tjie berkelit untuk segera lompat mundur dua tindak. "Aku menyerah," kata dia.
"Kau sengaja mengalah!" kata Eng Tjay sambil memberi hormat.
Tapi Oen Tjeng segera nyelah, katanya : "Dia benar-benar mengalah kepadamu, kau tahu
tidak" Jikalau kau tahu, ja sudah!"
Padam wajahnya jago Liong Yoe Pang itu. Ia merasa tersinggung. Disaat ia hendak buka
mulut, mendadak ada terlihat cahaya obor terang-terang didarat, beberapa puluh orang
nampak sedang mendatangi, diantaranya ada yang ber-teriak-teriak: "Eng Loo-ya-tjoe, apa
bocah itu sudah kena dibekuk" Kami hendak iris-iris dia, untuk balaskan sakit hati See
Loo Toa!" Oen Tjeng lihat orang datang dalam jumlah besar sekali, mau atau tidak, hatinya ciut juga.
"Saudara-saudara Lauw, kamu berdua kemari!" ada jawaban pangtjoe dari Liong Yoe
Pang. Segera rombongan itu telah sampai ditepian, akan tetapi perahu berlabuh jauh dari
mereka, maka dua diantaranya segera terjun keair, akan selulup dan berenang
menghampirkan perahu, cepatnya seperti ikan berenang. Begitu lekas mereka raba tepi
kendaraan air, keduanya sudah loncat naik.
"Bungkusan berharga itu sudah dibuang bocah ini kedalam sungai, pergi kamu engko dan
adik selulup dan cari!" Eng Tjay kasi keterangan. Ia menunjuk kearah mana tadi Oen Tjeng
lemparkan bungkusannya.
Dua saudara Lauw itu lantas terjun pula kesungai, dalam sejenak, mereka sudah lenyap
dari permukaan air.
Oen Tjeng masih ada dibelakang Sin Tjie, ia betot tangan baju orang.
"Tolong aku, mereka hendak bunuh padaku..." ia memohon sambil berbisik.
Pemuda kita menoleh, ia lihat roman yang berduka, hingga ia jadi merasa kasihan, tanpa
berayal, ia manggut.
"Kau tarik jangkar," Oen Tjeng minta pula.
Belum Sin Tjie menyahuti atau ia telah merasai lemasnya tangan Oen Tjeng, tangan yang
halus dan lemah seperti tak ada tulang-tulangnya....
Eng Tjay lihat anak muda itu berbisik kepada si orang she Wan, ia lantas memasang mata,
akan tetapi, dia masih kalah sebat.
Dengan sekonyong-konyong Oen Tjeng sambar meja, dengan itu ia menimpuk kepada
ketiga musuhnya.
Si orang tubuh besar dan nyonya tidak menyangka, tak ampun lagi, keduanya rubuh
kecebur ke air. Eng Tjay masih sempat sambuti meja, ia telah menyambarnya sambil
lompat berkelit. Ia menyekal meja demikian keras, hingga kaki meja itu perdengarkan
suara patah berkerekekan. Ia luput dari bahaya tetapi ia bingung terhadap dua kawannya
yang kecebur itu, karena ia tahu, mereka tak bisa berenang, sedang dua saudara Lauw -
itu waktu - sudah berenang ketengah untuk selulupi bungkusan emas. Ia lempar meja
kesungai, supaya dua kawannya pakai untuk pepegangan. Tapi ia gusar sekali, lantas saja
ia serang si anak muda.
Oen Tjeng masih cekali dua potong kaki meja, ia tangkis serangan dengan gunai sepasang
kaki meja itu sebagai senjata. Ia terutama lindungi mukanya.
"Lekas!" ia teriaki Sin Tjie.
Cepat luar biasa, pemuda kita sambar rantai jangkar, ia menarik dengan kaget dan keras,
hingga dilain saat, jangkar itu terangkat dari gili-gili, melayang pulang keperahu.
Melihat demikian, Eng Tjay kaget, tapi segera ia lompat menyingkir.
Oen Tjeng pun kaget dan turut menyingkir juga dari sambaran jangkar itu, dengan begini,
ia jadi terpisah dari jago tua itu.
Akan tetapi Sin Tjie sendiri berlaku tenang, ia sambuti jangkar, untuk diletaki perlahanlahan
dikepala perahu.
Justru karena jangkar diangkat, perahu itu segera saja hanyut dibawa air deras, dengan
lekas orang-orang didarat ditinggalkan kendaraan air ini.
Selagi ia kagumi si pemuda, Eng Tjay pun kaget melihat jalannya perahu, tanpa berani
banyak omong pula, ia menjejak perahu, untuk loncat kearah darat.
Sin Tjie tahu maksudnya, ia tahu juga, tak nanti orang tua itu sampai ditepi, lekas-lekas ia
angkat papan jembatan perahu, ia lempar itu ke air disebelah depan si djago tua.
Eng Tjay sedang bingung, dia merasa pasti yang dia bakal kecebur keair, maka bagaimana
lega hatinya, akan tampak selembar papan jatuh didepannya, ngambang dimuka air, maka
segera dia injak itu, untuk dipakai menjejak pula, akan berlompat terus, dengan begitu,
bisalah ia sampai dipinggiran sungai, kakinya menginjak daratan. Berbareng berhati lega
dan girang, ia pun jadi bersyukur kepada si pemuda, yang telah menunjukkan kebaikan
hati kepadanya. Ia juga kagumi liehaynya pemuda ini.
"Ah!" Oen Tjeng berseru, dengan lesu. "Kembali kau berbuat baik terhadap
dia!....Sebenarnya kau bantui aku atau dia itu" Apakah bukan lebih baik akan antap dia
kecebur" Dia toh tidak bakal kelelap mampus..."
Sin Tjie tahu orang beradat aneh, ia tidak mau melayani bicara, ia hanya bertindak
kedalam perahu, akan rebahkan diri, buat tidur.
Oen Tjeng kecele, dengan masgul, ia pun masuk.
Perahunya sendiri hanyut terus... Dihari kedua, tengah hari, perahu sampai di Kie-tjioe. Sin
Tjie menghaturkan terima kasih pada Liong Tek Lin, ia kasih persen sepotong perak pada
tukang perahu. "Jangan, biar aku yang berikan sekalian," Tek Lin mencegah. Saudagar ini insyaf, si
pemuda adalah yang hindarkan bahaya, karenanya, ia berterima kasih kepadanya.
Sin Tjie tidak hendak memaksa, ia membilang terima kasih pula, lalu ia pamitan.
"Aku tahu, kau juga tak nanti ijinkan aku bayar uang sewa perahu tapi aku tak sudi kau
yang bayarkan," berkata Oen Tjeng, yang lantas rogoh buntalannya, akan keluarkan
sepotong perak beratnya kira-kira sepuluh tail.
"Ini untuk kau!" katanya pada tukang perahu kepada siapa ia lempar uang perak itu.
Tukang perahu itu tercengang.
"Aku tak punya uang kecil...."katanya.
"Siapa ingin kau mengembalikannya?" jawab si anak muda. "Itu semua untukmu!"
Tukang perahu itu sangsi.
"Tak usah demikian banyak...."katanya.
"He, banyak bacot!" bentak Oen Tjeng. "Berapa aku suka kasih, aku kasih, buat apa kau
ngoceh saja! Nanti aku bolongi perahumu sehingga tenggelam, Baru kau tahu!"
"Terima kasih, terima kasih, tuan," kata tukang perahu itu kemudian. Ia tahu orang
telengas, ia tak berani membantah pula. Ia jumput uang itu.
Oen Tjeng lantas buka bungkusannya, sehingga berkilauan cahaya kuning-emas dari kirakira
tiga-ratus potong emas yang tiap potong terdiri dari kira-kira sepuluh tail.
Dengan tangan kanannya, si anak muda pecah uang itu jadi dua tumpukan, yang
setumpuk diantap diatas meja, yang setumpuk lagi, ia bungkus pula, bungkusannya terus
ia gendol dibelakangnya. Dengan kedua tangan, ia tolak tumpukan yang satu itu kedepan
Sin Tjie. "Untuk kau!" katanya.
"Apa?" tanya Sin Tjie. Ia tidak mengerti.
Oen Tjeng tertawa dengan manis.
"Apakah kau sangka benar-benar aku buang harta ini kedalam kali?" tanyanya. "Itulah
tolol! Biar mereka selulup timbul, untuk mencarinya, jikalau mereka berhasil, tentu mereka
akan pungut sebungkusan batu saja!"
Lalu ia tertawa geli sekali.
Sin Tjie menghela napas. Anak muda ini lebih muda daripada ia, toh satu tua-bangka
sebagai Eng Tjay masih kena diperdayakan! "Aku tidak membutuhkan ini, kau ambil
sendiri," ia menampik. "Aku bantui kau bukan karena uang."
"Tetapi inilah pemberianku kepadamu," si anak muda mendesak. "Uang ini bukannya kau
yang ambil sendiri! Kenapa berpura-pura jadi koentjoe palsu?"
Sin Tjie menggeleng kepala.
Tek Lin ada satu saudagar yang banyak hartanya, tetapi menghadapi dua orang itu, ia
heran sekali. "Yang satu tak menghargai uang, yang lain tak memandangnya. Yang satu
mendesak mengasih, yang lain keras menolak."
"Tidak peduli kau suka atau tidak, aku mesti berikan padamu!" kata si anak muda
akhirnya, suaranya keras, tandanya ia gusar. Lalu dengan sekonyong-konyong ia lompat
kedarat! Sin Tjie tercengang, tapi segera ia mendusin, ia pun lompat, untuk menyusul.
Oen Tjeng bisa lari keras, akan tetapi sejenak saja, ia dapat didahului.
"Tunggu!" Sin Tjie kata sambil ia pentang kedua tangannya, untuk menghalangi. "Kau
bawa emasmu itu!"
Anak muda itu coba nerobos, kekiri dan kanan, sia-sia saja, tak mampu ia lewati si
pemuda, dalam sengitnya, mendadakan ia serang mukanya pemuda itu.
Sin Tjie tangkis serangan itu, ia menolak dengan tangan kiri. Sebenarnya ia tidak gunai
tenaga, akan tetapi si anak muda mundur tiga tindak.
Menampak bahwa ia tak sanggup tobloskan cegatan, mendadak Oen Tjeng jatuhkan diri,
untuk duduk ditanah, dengan tiba-tiba juga ia menangis sesenggukan.
"Kau sakit?" tanya Sin Tjie, jang heran dan kuatir. Ia sangka tangkisannya membuat anak
muda itu merasai sakit pada lengannya.
"Foei!" berseru Oen Tjeng, yang lompat bangun dengan tiba-tiba, terus ia loncat lagi,
untuk menyingkir.
Sin Tjie melongo ia awasi Oen Tjeng lenyap dari pandangan matanya.
(Bersambung bab ke 6)
"Benar-benar koekoay!" kata ia sambil ngeloyor balik ke perahu. Ia kagumi kepandaian
anak muda itu, tetapi ia heran tabeat yang mendelukan tapi juga menggelikan. Terpaksa ia
bungkus tumpukan uang itu, untuk dibawa pergi, dari Tek Lin, ia ambil selamat berpisah.
Ia pergi kekota, akan cari sebuah hotel.
"Tak lega hatiku jikalau uang ini aku tidak dapat kembalikan kepada si anak muda," ia
berpikir selagi ia duduk terpekur dalam kamarnya. "Aku kasihan padanya, sebab itu aku
bantu dia,maka jikalau aku terima pemberiannya itu, tidakkah namaku jadi jelek" Dia
bilang dia ada orang Tjioliang, kenapa aku tidak susul dia dirumahnya" Jikalau dia tetap
menolak, aku nanti letaki uang di rumahnya itu dan tinggal pergi!...."
Karena ini besokannya, setelah cari keterangan tentang jalanan ke Tjio-liang, Sin Tjie
gendol bungkusannya, ia menuju ketempat itu, jang terpisahnya dari kota Kietjioe cuma
dua-puluh lie, hingga tak ada setengah jam, ia sudah sampai.
Tjio-liang ada satu dusun kecil, yang berdampingan sama bukit Lan Ko San. Nama dusun
itu, dan bukitnya juga, mempunyai cerita dongeng sebagai berikut : Di jaman purbakala
ada satu tukang kayu yang pergi ke bukit itu mencari kayu bakar. Dia ketemu dua dewa
asyik main catur. Dia menonton. Ketika satu babak berakhir dan ia menoleh pada
kampaknya, kampak itu "bonyok" sendirinya. Dan ketika ia pulang, rumahnya, orangnya
semua, sudah berubah, karena ternyata, dia telah pergi untuk lamanya beberapa puluh
tahun. "Lan Ko" berarti "kampak bonyok", demikianlah, gunung itu ada dua puncak yang
tersambung satu pada lain dengan satu batu besar dan panjang, yang merupakan
penglari. Itu pasti bukan batu buatan manusia dan terpalangnya disitu bukan pekerjaan
manusia juga, maka orang-orang tua anggap itu ada buah-kesaktian dewa. Maka itu,
tempat itu dipanggil "Tjio-liang" yang berarti "penglari".
Selagi berjalan untuk cari rumah orang she Oen, Sin Tjie berpapasan dengan seorang tani
perempuan. "Enso, numpang tanya, disini dimana tinggalnya keluarga Oen?" tanyanya.
Orang perempuan itu terkejut nampaknya.
"Tidak tahu!" sahutnya. Dan air mukanya berubah tak senang, dia pun lantas berjalan
pergi dengan cepat.
Sin Tjie heran, akan tetapi ia jalan terus. Ia sampai pada sebuah toko.
"Numpang tanya disini dimana tinggalnya keluarga Oen?" ia tanya pemilik toko.
"Ada apa saudara tanya keluarga Oen?" balik tanya si tuan toko dengan tawar.
"Aku hendak kembalikan serupa barang," Sin Tjie terangkan.
"Kalau begitu, kau ada sahabatnya si orang she Oen! Habis, untuk apa kau
menanyakannya kepadaku?" kata tuan toko itu.
Sin Tjie heran berbareng jengah.
"Kenapa seorang dagang begini kasar kelakuannya?" tanya ia kepada diri sendiri.
Ia ngeloyor, lalu ia hampirkan dua bocah yang lagi memain diujung jalanan. Ia keluarkan
sepuluh uang tangtjhie, ia sesapkan itu dalam tangannya satu bocah.
"Saudara kecil, mari antar aku kerumah keluarga Oen!" minta dia.
Bocah itu sudah genggam uang yang diberikan padanya, atau ia segera kembalikan.
"Rumah keluarga Oen" Itu dia yang besar!" jawabnya. "Aku tak sudi pergi kerumah itu!"
Kembali Sin Tjie menjadi heran, akan tetapi segera ia mengerti, rupanya keluarga Oen itu
tak disukai sesama penduduk sehingga tak ada orang yang ingin bergaul dengannya. Ia
hanya tidak tahu, apa yang menyebabkan kesungkanan itu. Ia segera bertindak kearah
rumah besar yang ditunjuk si bocah.
Dari jauh-jauh sudah terdengar suara riuh dari banyak orang, yang datang dari arah rumah
keluarga Oen itu, dimana pun berkerumun puluhan orang tani yang pada bawa pacul dan
garu. Selagi mendekati, Sin Tjie dengar nyata teriakan mereka : "Kamu telah aniaya tiga
orang, apa boleh dengan begitu saja" Orang she Oen, lekas keluar, ganti jiwa!"
Diantara mereka itu ada tujuh atau delapan orang perempuan dengan rambut riap-riapan
yang sambil duduk ditanah, menangis menggerung-gerung, dan menjerit-jerit.
"Saudara, kau sedang bikin apa?" tanya Sin Tjie pada satu orang.
"Siangkong ada orang asing, kau tentu tidak tahu kejadian ini," sahut orang yang ditanya
itu. "Keluarga Oen ini ada cabang atas disini, mereka menjagoi. Kemarin mereka pergi
menagih sewa tanah kekampung. Empeh Thia minta tempo, buat beberapa hari saja, tapi
si empeh dijoroki, dia rubuh, kepalanya, kena batu, terus dia binasa. Anak dan keponakan
empeh Thia gusar, mereka membelai, tetapi mereka kena dilabrak hingga luka-luka. Coba
pikir, siangkong, apa tuan tanah begitu tidak kejam?"
Selagi petani itu memberi keterangan kepada pemuda kita, suara riuh bertambah-tambah,
ada orang tani yang gunai garunya menyerang pintu, ada yang jumput batu-batu untuk
dipakai menimpuk kedalam pekarangan.
Sekonyong-konyong pintu pekarangan terbuka lebar, satu bajangan melesat keluar,
sebelum orang melihat tegas, sudah ada tujuh atau delapan petani yang terpelanting,
rubuh jauhnya dua-tiga tumbak, sehingga kepala mereka mengeluarkan darah! "Dia gesit
sekali," pikir Sin Tjie. Ia lantas mengawasi.
Bajangan itu ada seorang dengan tubuh kurus dan jangkung, kulit mukanya semu kuning
tetapi sepasang alisnya berdiri. Kelihatan nyata, dia mestinya pandai silat.
"Hai, kamu, mahluk-mahluk seperti anjing dan babi!" membentak orang itu. "Kenapa kamu
datang mengacau kemari?"
Orang ini menanya demikian, akan tetapi, belum sempat orang jawab dia, dia sudah
menyerang pula, hingga lagi beberapa orang terjatuh sungsang-sumbal.
Sin Tjie lihat orang bertenaga besar, dia melempar-lempari orang seperti sedang
melempar-lemparkan ikatan-ikatan jerami.
"Entah terkena apa dia dengan Oen Tjeng"..." pikirnya. "Coba itu malam dia ada beserta
Oen Tjeng, tentu leluasalah mereka melayani Eng Tjay, sehingga tak perlu aku berikan
bantuanku..."
Itu waktu seorang tani dari usia pertengahan dan dua orang muda majukan diri.
"Kamu telah bunuh orang, apa itu dapat disudahi secara begini saja?" tanya mereka.
"Memang benar kami ada orang-orang melarat akan tetapi sekalipun melarat, kami
mempunyai jiwa!"
Si jangkung-kurus itu tertawa dingin.
"Hm! Hm! Jikalau belum aku mampusi lagi beberapa jiwa, tentu kamu belum tahu rasa!"
berseru dia. Mendadak tubuhnya mencelat maju, lantas si orang usia pertengahan kena
dicekuk pada bebokongnya, kapan tubuhnya telah diangkat, tubuh itu segera terlempar ke
ujung tembok timur! Kedua petani muda menjadi sangat gusar, dengan berbareng mereka
menyerang dengan pacul mereka.
Si kurus menangkis dengan tangannya yang kiri, sekejab saja kedua batang pacul kena
tersampok lepas dan terpental, menyusul mana, tubuhnya dua petani itu disambar
seorang dengan sebelah tangan, lantas diangkat untuk dilemparkan keatas batu besar
yang menjadi tunggul tiang bendera dimuka pintu pekarangan.
Sebegitu jauh dia menyaksikan, hati Sin Tjie panas, tetapi ia masih dapat berlaku sabar. Ia
pikir tak boleh ia lancang mencampuri urusan yang ia belum tahu duduknya.
"Baik aku tunggu sebentar, nati aku minta bertemu dengan Oen Tjeng, untuk kembalikan
uangnya, lantas aku pergi pula," pikirnya. Siapa tahu setelah lihat nasibnya si orang usia
pertengahan, ia pun tampak bencana yang mengancam kedua pemuda tani itu, dengan
mendadak saja ia ubah pikirannya. Lupa ia segala apa. Mendadak ia berlompat, dengan
sangat sebat ia sambuti tubuhnya kedua petani muda itu hingga tak usahlah mereka jatuh
terbanting! Kemudian dengan pelahan-lahan, ia turunkan tubuh mereka itu.
Gerak sebat dan luar biasa itu ada "Gak Ong Sin Tjiang", atau "Panah gaib dari Gak Hoei",
ialah salah satu pelajaran yang Sin Tjie peroleh dari Bhok Siang Toodjin. Sebenarnya dia
tak pikir untuk pertontonkan kepandaian yang istimewa itu, tetapi untuk tolong kedua
pemuda tani, ia tak dapat berbuat lain. Ia pun sudah pikir setelah ketahui rumah si orang


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

she Oeng, baik sebentar malam saja ia datang pula, untuk kembalikan emasnya Oen
Tjeng. Ia pun tahu, si jangkung-kurus akan jadi tidak senang, maka untuk singkirkan
kerewelan, lantas ia memutar tubuh, akan bertindak pergi.
Kedua petani muda, yang ketolongan, berdiri bengong bahna kaget dan heran.
Si jangkung kurus tak terkecuali, ia heran dan kagumi kegesitan dan tenaga besar dari
pemuda tak dikenal ini. Tapi kapan ia lihat orang hendak pergi, ia memburu.
"Sahabat, tunggu dulu!" menegur dia sambil tepuk pundaknya pemuda kita. Ia menepak
bukan menepak belaka, berbareng ia telah gunai ilmu mengerahkan tenaga "Tjian kin lat" -
"Tenaga seribu kati".
Sin Tjie tidak berkelit, cuma dengan turunkan sedikit pundaknya, ia sudah bebas dari
tepakan yang akan merupakan bandulan seribu kati itu. Iapun tidak lakukan serangan
membalas, Ia cuma memutar tubuh.
Kembali si jangkung-kurus terkejut.
"Apakah tuan ada undangan mereka itu untuk mempersulit aku?" tanya dia.
Ditanya begitu, Sin Tjie lekas memberi hormat.
"Maafkan aku," ia mohon. "Aku kuatir nanti terbit perkara jiwa, yang bisa membuat banyak
berabe, maka dengan lancang aku tolongi mereka. Lauwhia mempunyai kepandaian begini
rupa, kenapa kau berpandangan sama seperti orang-orang dusun ini?"
Melihat sikap menghormat dan perkataan itu halus, sedang kepandaian orang pun ia puji,
si jangkung-kurus ini surut separuh hawa-amarahnya.
"Kau she apa , tuan" Ada urusan apa kau datang ketempat kami ini?" ia tanya.
"Aku she Wan," Sin Tjie sahuti. "Ada satu sahabatku yang she Oen, apa dia tinggal
disini?" "Aku pun orang she Oen. Siapa itu yang tuan cari?"
"Sahabat itu berumur delapan atau sembilan belas tahun, romannya cakap sekali, ia
dandan sebagai mahasiswa," Sin Tjie terangkan.
Si jangkung-kurus manggut-manggut. Lantas ia hadapi beberapa puluh orang tani itu,
yang masih belum bubaran.
"Apakah kamu cari mampus" Buat apa kamu masih berdiam disini?" ia tanya mereka,
suaranya, sikapnya, bengis sekali.
Melihat orang asing itu bicara bagaikan sahabat dengan si orang she Oen itu, sedang
keduanya mereka ini berilmu silat tinggi, orang banyak itu lantas saja ngeloyor pergi.
"Silakan masuk, tuan. Mari minum teh!" si jangkung-kurus lantas undang tetamu asing itu.
Sin Tjie terima baik undangan itu, ia turut masuk, maka ia dapati sebuah rumah jang besar,
dengan thia jang lebar, dibagian tengah ia lihat pian dengan empat huruf besar : "Sie Tek
Bian Tiang". Itu adalah pujian untuk kebijaksanaan kekal-abadi bagi keluarga itu.
Perabotan lainnya menunjukkan bahwa keluarga Oen ada satu keluarga besar dan
berharta. Tuan rumah undang tetamunya duduk dan orangnya segera suguhi mereka air teh,
kemudian ia tanya siapa gurunya tetamu ini, menanya secara berulang-ulang.
Sin Tjie merasa, walau sikapnya ramah-tamah, tuan rumah itu masih kandung perasaan
tak puas terhadapnya, dari itu, ia berlaku hati-hati.
"Tolong minta Oen Tjeng Siangkong keluar, aku hendak serahkan serupa barang
kepadanya," ia minta tanpa jawab pertanyaan orang.
"Oen Tjeng itu ada adikku," sahut si jangkung-kurus. "Aku sendiri ada Oen Tjheng. Adikku
sedang pergi keluar, baik saudara tunggu sebentar."
Sebenarnya tak ingin Sin Tjie bergaul dengan tuan rumah ini, yang ia duga ada bangsa
cabang atas yang galak dan jahat, tetapi karena Oen Tjeng tidak ada, terpaksa ia
menunggu juga. Sampai tengah-hari, Oen Tjeng masih belum kembali. Tak suka Sin Tjie serahkan emas
ditangan orang lain, terpaksa ia menunggu terus. Selama itu, Oen Tjheng telah perintah
siapkan barang hidangan yang lezat, terdiri dari masakan daging, ayam, ikan dan sayur,
hingga mau atau tidak, tetamu ini mesti turut dahar.
Sampai mulai lohor, selagi matahari mulai doyong ke Barat, masih Oen Tjeng belum
pulang. Sampai itu waktu, habis sudah kesabaran Sin Tjie. Ia lantas letaki bungkusannya
diatas meja. Sekarang ia pikir, karena itu ada rumahnya Oen Tjeng, tak perlu ia bersangsi
pula. "Inilah barang adikmu itu, tolong saudara sampaikan kepadanya," ia bilang. "Ijinkan aku
pamitan...."
Justru itu, dari luar rumah terdengar suara tertawa riuh, suaranya orang-orang
perempuan. Sin Tjie kenali, diantaranya ada suara tertawanya Oen Tjeng.
"Nah, itu adikku pulang!" berkata Oen Tjheng, yang segera berbangkit, untuk pergi keluar.
Sin Tjie putar tubuhja, untuk turut, tetapi tuan rumah mencegah.
"Harap saudara Wan duduk saja dulu," ia minta.
Sin Tjie heran, akan tetapi ia batal ikut keluar. Aneh, ia menunggu sekian lama, tidak juga
Oen Tjeng muncul. Oen Tjheng adalah yang kembali sendirian.
"Adikku hendak salin pakaian, sebentar ia keluar," kata tuan rumah ini.
Masih pemuda ini menantikan sekian lama, Baru kelihatan Oen Tjeng muncul, dengan
wajah berseri-seri.
"Saudara Wan, aku sangat bersyukur dengan kunjunganmu ini!" katanya.
"Kau lupai barang ini, saudara Oen, aku bawakan," bilang Sin Tjie. Ia tunjuk bungkusan
emas diatas meja.
"Kau tak lihat mata padaku, bukan?" Oen Tjeng tanya, tampangnya berubah.
"Tidak, itulah aku tak berani," sahut Sin Tjie. "Aku hendak pergi sekarang."
Ia memberi hormat kepada dua saudara itu.
Oen Tjeng tidak membalas hormat, ia hanya cekal tangan baju orang.
"Aku larang kau pergi!" katanya.
Pemuda itu melengak.
Oen Tjheng nampaknya heran, wajahnya pun berubah.
"Ada satu hal aku hendak tanyakan kepada kau, Wan Toako," Oen Tjeng, menambahkan.
"Maka aku harap hari ini kau berdiam sama kami disini."
"Aku mempunyai urusan penting di kota Kie-tjioe, lain hari saja aku mampir pula kemari,"
Sin Tjie menampik.
"Ah, tidak," Oen Tjeng mencegah, dengan memaksa.
"Kalau Wan toako mempunyai urusan penting, tak dapat kita halangi dia," Oen Tjheng
turut bicara. "Jangan kita menghambat dia."
"Baik!" kata Oen Tjeng akhirnya. "Jikalau kau tetap hendak pergi, bawalah ini bungkusan
bersamamu! Kau tak sudi berdiam di rumahku, terang kau tak pandang mata kepadaku!"
Sin Tjie berdiam.
"Kau baik sekali, saudara Oen,baiklah," sahut ia akhir-akhirnya.
Dengan tiba-tiba, Oen Tjeng jadi sangat girang.
"Lekas siapkan kue!" ia menitah kepada bujang.
Oen Tjheng nampaknya tak senang, tetapi ia tidak meninggalkan mereka, ia terus duduk
menemani, hanya selama itu, ia bicara kadang-kadang saja.
Oen Tjeng ajak tetamunya bicara tentang pelbagai kitab. Mengenai ilmu syair, Sin Tjie
merasa asing, tapi mengenai ilmu perang, itu adalah keyakinannya sejak masih kecil. Tuan
rumah bisa imbangi kegemaran tetamunya, ia lantas omong banyak tentang peperangan.
"Heran," pikir Sin Tjie. "Dia bertabeat aneh akan tetapi pembacaannya luas."
Dipihak lain, Oen Tjheng beda dari adiknya itu. Dia mengerti ilmu silat dengan baik akan
tetapi budek atau buta mengenai ilmu surat. Nampaknya ia sebal mendengari orang bicara
hal sastera tetapi toh ia tidak hendak undurkan diri... Karena merasa tak enak hati
sendirinya, Sin Tjie ajak si jangkung-kurus itu bicara tentang ilmu silat, suka dia melayani,
akan tetapi belum mereka bicara banyak, Oen Tjeng sudah lantas menyelak dan geser
pembicaraan ke lain soal.
Dimata Sin Tjie, dua saudara itu beda satu dari lain. Dan juga, walaupun Oen Tjheng ada
sang kakak, nampaknya dia jeri terhadap adiknya, sama sekali dia sungkan bentrok. Malah
kalau kena disenggapi, kakak ini tertawa....
Sementara itu juga kelihatan nyata, Oen Tjeng bermaksud baik, kecuali sangat ramahtamah,
dia senantiasa berseri-seri, dia gembira sekali.
Kapan sang sore tiba, orang menghadapi pula barang hidangan, kali ini, semua-semua ada
lebih hebat daripada yang disuguhkan tadi tengah hari.
"Aku merasa lelah, ingin aku tidur siang-siang," kata Sin Tjie sehabis bersantap.
"Tempat kediamanku ini ada satu tempat kecil, maka adalah sukar untuk mendapat
kunjungan tetamu sebagai kau ini, saudara Wan," berkata Oen Tjeng. "Sebenarnya aku
ingin sekali kita menghadapi lampu untuk pasang omong tentang pelbagai soal, tetapi
sebab kau lelah dan ngantuk, baiklah, besok saja kita bicara lebih jauh."
"Saudara Wan, mari tidur dikamarku," berkata Oen Tjheng.
"Dikamarmu mana bisa ketempatan tetamu?" kata Oen Tjeng. "Tentu saja kamarku!"
Wajah Oen Tjheng, sang kanda, berubah.
"Apa?" tegasi dia.
"Ada apa sih jeleknya?" Oen Tjeng tanya. "Aku sendiri akan tidur sama ibu!"
Bukan kepalang tak senangnya Oen Tjheng, tetapi tanpa bilang suatu apa, malah tanpa
permisi lagi dari Sin Tjie, dia ngeloyor pergi.
"Hm, tak tahu aturan!" Oen Tjeng , sang adik, ngoceh sendirian. "Dia tak kuatir orang nanti
tertawai!"
Tak enak hatinya Sin Tjie karena engko dan adik itu bentrok karena urusannya.
"Sudah biasa bagi aku akan tinggal ditempat sunyi, untukku tak usah saudara terlalu
memusinginya," kata dia.
Oen Tjeng lantas saja bersenyum.
"Baik, aku tak akan terlalu memusingi!" katanya. Tapi toh ia sembat tjiaktay, ia bawa itu :
"Mari turut aku!"
Sin Tjie mengikuti. Mereka melewati dua pekarangan dalam, sampai diruangan ketiga
dimana dari arah timur mereka mendaki tangga lauwteng. Dimuka kamar, tuan rumah
menolak daun pintunya.
Sekelebatan, mata Sin Tjie kesilauan. Hidungnya pun segera terserang serupa bau harum.
Kamar itu diterangi sebatang lilin besar, yang apinya terang. Kelambu terbuat dari kain
mahal, sedang sprei tersulam burung hong warna kuning. Ditembok ada gambar seorang
wanita lukisannya Tong In. Didepan pembaringan ada satu meja yang lengkap dengan
bakhie, kertas dan lainnya perabot-tulis, malah pitnya sampai enam-tujuh batang. Diujung
meja sebelah barat ada satu pot bunga soei-sian, sedang diatas para-para ada seekor
burung nuri putih.
Dia datang dari gunung, tak heran Sin Tjie kagum dengan kamar ini, hingga ia tercengang.
"Inilah kamarku," Oen Tjeng beritahu. Ia tertawa. "Baik saudara beristirahat disini satu
malam ini."
Tanpa tunggu tetamunya menyahuti, Oen Tjeng singkap moeilie, akan berlalu pergi.
Sin Tjie periksa seluruh ruangan, sampai ia tak dapatkan sesuatu apa jang mencurigai,
Baru ia tutup pintu. Selagi ia hendak buka baju, untuk naik tidur, tiba-tiba ia dengar
ketokan pada pintu, ketokan yang pelahan sekali.
"Siapa?" tanya ia.
Pertanyaan itu dijawab sama tertolaknya daun pintu dan muncullah satu bujang
perempuan umur enam atau tujuh belas tahun, romannya cantik dan cerdik, ditangannya
ada sebuah nampan.
"Wan siauwya, silakan dahar tiat-sim," ia mengundang. Ia letaki nampan diatas meja.
Itu adalah semangkok yan-oh.
Pemuda ini ada puteranya satu kepala perang, akan tetapi sejak masih kecil sekali, ia telah
tinggal didalam desa, diatas gunung jang sunyi, maka itu, belum pernah ia tampak
minuman istimewa itu, tidak heran, ia tak tahu apa itu yan-oh. Ia pun Baru pernah kali ini
bicara dengan orang perempuan remaja, ia likat sendirinya, wajahnya menjadi bersemu
dadu. "Namaku Goat Hoa, Wan Siauwya," kata si kacung sembari tertawa manis. "Siauwya yang
tugaskan aku melayani kepadamu. Jika Siauwya perlu apa-apa, perintah saja aku, nanti
aku kerjakan."
"Tidak apa-apa lagi," bilang Sin Tjie dengan ringkas. Ia pun memang tak tahu apa lagi
yang ia butuhkan.
Goat Hoa undurkan diri pelahan-lahan.
"Itulah buatan siauwya sendiri istimewa untuk Wan Siauwya!" kata dia.
Sin Tjie melengak, tak tahu apa ia mesti bilang.
Goat Hoa bertindak keluar sembari tertawa, dengan pelahan ia tarik rapat daun pintu.
Sin Tjie buka bajunya, ia singkap selimut dan naik keatas pembaringan. Itu adalah satu
pembaringan yang harum sekali sehingga bisa bikin orang tak sadar akan dirinya....
Tanpa curiga, Sin Tjie jatuh pulas. Akan tetapi tengah malam, ia sadar karena ia dengar
suara tertawa pelahan diarah jendela - tertawa cekikikan. Ia memang waspada dan getap.
Tiba-tiba terdengar ketokan pelahan pada jendela, dua kali, yang segera disusul dengan
suara tertawa empuk dan kata-kata: "Rembulan bercahaya, angin sejuk, malam
indah....Saudara Wan, tak kuatirkah kau akan mensia-siakan waktu yang begitu bagus?"
Sin Tjie kenali suaranya Oen Tjeng. Ia menoleh kearah jendela. Diantara kelambu, ia
tampak sinar rembulan yang permai. Ia pun lihat bajangan orang bergelantungan didepan
jendela, kaki diatas kepala dibawah. Orang itu sedang mengintai kedalam kamar.
"Baik, aku nanti pakai baju dan keluar," pemuda ini menyahuti.
Tertarik rasa heran Sin Tjie, ia jadi sangat ingin tahu kelakuannya tuan rumah yang luar
biasa itu. Hendak ia ketahui, sebenarnya tuan rumah itu ada orang macam apa. Setelah
pakai baju, ia selipkan pisau belati di pinggangnya. Begitu pentang daun jendela, bau
wangi menyerang hidungnya.
Nyatalah kamar itu mempunyai jendela yang menghadap taman bunga.
Oen Tjeng sendiri sudah mendahului loncat turun dari payon rumah dimana ia barusan
bergelantungan.
"Mari turut aku!" ia mengundang sambil terus bertindak lebih dahulu. Ditangannya, ia
menenteng sebuah naya.
Tanpa bilang suatu apa, Sin Tjie mengikuti.
Tuan rumah itu keluar dari dalam taman dengan jalan loncati tembok pekarangan,
sesampainya diluar, ia berlari-lari dengan cepat menuju kebukit dan lalu mendakinya.
Sin Tjie terus mengikuti sambil berlari-lari juga.
Hampir sampai dipuncak, Oen Tjeng menikung, sampai dua kali, lantas mereka sampai
disatu tempat dimana angin halus mendesir-desir, bau harum datang dari empat penjuru
dimana terdapat pohon-pohon bunga. Sinar rembulan ada indah sekali, mirip dengan salju
putih, hingga tertampak nyata bunga-bunga mawar putih dan kuning.
"Mirip dengan tempat pertapaan!" Sin Tjie memuji saking kagum.
"Semua pohon bunga ini adalah hasil tanamanku sendiri," Oen Tjeng kasi keterangan.
"Kecuali ibu dan bujang-bujang perempuan, lain orang, siapapun dilarang datang kemari!"
Dengan tenteng terus nayanya, Oen Tjeng jalan didepan, pelahan-lahan.
Sin Tjie mengikuti terus, dengan perasaan seperti melayang-layang. Tanpa merasa,
sekarang hilanglah sikap berhati-hatinya.
Mereka sampai disebuah paseban kecil mungil.
"Silakan duduk," Oen Tjeng mempersilakan seraya ia turunkan nayanya, untuk buka itu,
akan keluarkan satu poci arak berikut dua cangkirnya, cangkir-cangkir mana terus ia
tuangi penuh arak dari potji tersebut.
"Disini orang dilarang dahar barang berjiwa," kata pemuda she Oen ini. Dan ia keluarkan
beberapa rupa sayur.
Sin Tjie dapatkan semua itu adalah terbuat dari jamur, bokdjie dan lainnya.
Masih Oen Tjeng keluarkan serupa barang dari dalam nayanya itu, ialah sebatang seruling
kuningan. "Aku nanti tiup serupa lagu untuk kau dengar," kata dia.
Sin Tjie manggut.
Segera anak muda itu tiup alat musiknya itu, suaranya pelahan.
Sin Tjie asing dengan alat-alat tetabuhan akan tetapi waktu itu ia rasai dirinya bagaikan
terapung-apung diawang-awang, ia seperti merasa berada diwilayah dewa-dewa, bukan
lagi didalam dunia... Oen Tjeng meniup habis satu lagu, ia tertawa.
"Kau gemar lagu apa?" tanyanya. "Nanti aku mainkan untukmu..."
"Ah, kau tahu banyak sekali?" kata Sin Tjie. "Mengapa kau begini cerdas?"
Pemuda itu angkat dahinya, ia tertawa.
"Apa benar?" katanya.
Ia angkat pula serulingnya, ia tiup lagi sebuah lagu, yang tekukannya terlebih halus dan
merdu. Sejak dia dilahirkan, belum pernah Sin Tjie mengalami suasana sebagai ini.
"Apakah lagu ini enak didengarnya?" tanya pula Oen Tjeng sehabis meniup.
"Didalam dunia ada lagu begini merdu, mimpi pun aku tak pernah," sahut pemuda she
Wan ini. Kedua mata Oen Tjeng memain, ia bersenyum.
Mereka duduk dekat satu dengan lain, hidungnya Sin Tjie dapat tangkap bau harum,
kecuali harumnya bunga mawar juga sedikit wangi yantjie dan pupur, hingga kembali ia
merasa, anak muda disampingnya ini benar-benar tak punyakan sifat keperwiraan... "Kau
suka dengar atau tidak aku meniup seruling?" Oen Tjeng tanya selagi orang berpikir.
Sin Tjie manggut.
Kembali Oen Tjeng bawa seruling kepinggir mulutnya, akan mulai meniup pula.
Kembali Sin Tjie mendengari dengan pikiran turut melayang-layang pula.Sedangnya
begitu, mendadak suara seruling berhenti, disusul sama suara patahnya alat musik tiup
itu. Pemuda kita terkejut.
"Eh, eh, kenapa" Kenapa?" tanyanya. "Bukankah kau...kau meniupnya dengan baik-baik."
Oen Tjeng tunduk.
"Biasanya tak pernah aku tiup seruling untuk lain orang dengari..." sahutnya dengan
pelahan. "Mereka semua cuma gemar geraki golok, mainkan pedang. Mereka tak suka
dengar lagu..."
"Tapi aku tidak dustakan kau, sesungguhnya aku suka mendengari," Sin Tjie bilang.
"Toh besok kau bakal pergi! Begitu kau pergi, kau tidak bakal kembali. Untuk apa aku tiup
pula serulingku?"
Dalam herannya, Sin Tjie mengawasi.
Oen Tjeng berhenti sebentar, lalu ia menambahkan : "Aku insyaf tabeatku buruk, akan
tetapi tak dapat aku atasi diriku... Aku tahu kau sebal terhadapku, didalam hatimu, kau tak
melihat mata padaku..."


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Heran dan bingung adalah si anak muda, hingga ia diam saja.
"Itulah sebabnya mengapa kau selanjutnya tak bakal datang pula," kata lagi Oen Tjeng.
"Ini adalah untuk pertama kali aku berkelana," berkata Sin Tjie kemudian. "Tak bisa aku
mendusta. Kau bilang, didalam hatiku, aku tak memandang mata kepadamu, bahwa aku
sebal terhadapmu. Bicara hal yang benar, tadinya benar aku beranggapan demikian, akan
tetapi sekarang adalah lain."
"Apa?" tanya Oen Tjeng, dengan pelahan.
"Ya. Aku lihat, tentu ada apa-apa yang mendukakanmu, maka juga tabeatmu jadi luar biasa
begini. Apakah itu" Apa bisa kau tuturkan itu kepadaku?"
Sahabat itu berdiam, sampai sekian lama, sampai mendadak ia angkat kepalanya.
"Suka aku memberitahukan kepadamu, namun aku kuatir kau nanti tak memandang mata
kepadaku," kata dia.
"Itulah tak akan terjadi!" Sin Tjie memastikannya.
Oen Tjeng kertak giginya.
"Baiklah!" katanya kemudian. "Aku nanti beri keterangan padamu!"
Sin Tjie mengawasi, ia mendengari.
"Ketika dahulu ibuku masih muda remaja, ia telah kena diperhina oleh satu manusia
busuk, karenanya, terlahirlah aku," demikian pemuda itu menerangkan. "Celakanya,
engkong luarku, yang hendak labrak orang busuk itu, sudah tidak sanggup lakukan itu,
karena ia tak dapat memenangkannya. Baru belakangan engkong dapat kumpul lebih dari
sepuluh kawan yang liehay, bersama-sama mereka barulah manusia busuk itu dapat
dibikin kabur. Begitulah maka aku tidak punyakan ayah...."
Bicara sampai disitu, Oen Tjeng berhenti, air matanya lantas mengalir.
"Kalau begitu, tak dapat kau dipersalahkan, tak dapat juga ibumu disesalkan," kata Sin
Tjie, yang menghibur. "Jang salah adalah manusia busuk itu."
"Akan tetapi lain orang tak sependapat sebagai kau," kata Oen Tjeng. "Di depan, mereka
tak berani bilang suatu apa, dibelakang, diam-diam mereka caci aku, mereka pun caci
ibu..." "Hm, siapa si manusianya yang demikian hina-dina?" seru Sin Tjie. "Baik, aku janji
padamu, aku nanti bantu kau menghajar manusia jahil mulut itu! Sekarang tak lagi aku
jemu terhadapmu, umpama kau suka anggap aku sebagai sahabat, pasti aku akan datang
pula kepadamu!"
Oen Tjeng girang hingga ia loncat berjingkrak.
Melihat tingkah orang itu, Sin Tjie tertawa.
"Aku janji untuk kembali, kau girang bukan?" tanyanya, tertawa.
"Kau toh bilang, kau bakal datang kembali."
"Memang tidak nanti aku memperdayakan kau."
Sekonyong-konyong ada suara berkeresek dibelakang mereka. Sin Tjie menduga ada
orang, ia segera berbangkit sambil putar tubuh. Ia pun segera dengar suara yang dingin
sekali. Katanya : "Tengah malam buta-rata kasak-kusuk disini, kamu bikin apa, he?"
Orang itu jangkung dan kurus. Dia adalah Oen Tjheng. Wajahnya suram-guram karena
hawa amarah yang meluap-luap. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dipinggang.
Oen Tjeng pun kaget, akan tetapi kapan ia kenali Oen Tjheng, sang kakak, ia gusar.
"Perlu apa kau datang kemari?" dia menegur.
"Tanyalah dirimu sendiri!" Oen Tjheng membalas.
"Aku sedang gadangi rembulan bersama saudara Wan ini! Siapa undang kau?" sang adik
menegur pula. "Siapa juga dilarang datang kemari, kecuali ibuku! Samyaya bilang ini! Kau
berani melanggarnya?"
Oen Tjheng tunjuk Sin Tjie.
"Dia ini" Kenapa dia datang kemari?" ia balik tanya.
"Aku undang dia! Kau tak berhak mencampurinya!"
Tak enak hatinya Sin Tjie karena engko dan adik itu bentrok karena dia.
"Sudah cukup kita gadangi rembulan, mari kita pulang," katanya.
"Aku tidak sudi pulang!" kata Oen Tjeng. "Kau duduk!"
Sin Tjie duduk pula.
Oen Tjheng berdiri diam, tapi hatinya terang tak tenteram.
"Semua bunga ini adalah tanaman tanganku sendiri, aku larang kau melihatnya!" kata Oen
Tjeng dengan gusar kepada kandanya itu.
"Aku telah lihat semuanya, sekarang aku hendak cium baunya," Oen Tjheng jawab.
Benar-benar ia dekati beberapa tangkai bunga, untuk dicium berulang-ulang.
Meluap hawa-amarahnya Oen Tjeng, dia berloncat bangun, dia sambar pohon bunga, dia
cabuti itu dengan kedua tangannya, setiap kali ia mencabut, ia terus lemparkan. Ia berbuat
itu sambil menangis.
"Baik, baik, kau menghina aku, kau menghina aku!" dia berteriak-terial. "Sekarang aku
cabut pohon-pohon mawar ini, siapa pun tak bisa melihatnya lagi! Sekarang tentu Barulah
kau puas!"
Lebih daripada dua-puluh pohon mawar telah menjadi korban.
Oen Tjheng tetap sangat gusar, akan tetapi dia bungkam, ia putar tubuhnya dan bertindak
dengan mengarungi penasaran. Baru beberapa tindak, ia toh menoleh dan berkata : "Aku
berlaku baik terhadapmu, begini rupa kau perlakukan aku. Coba pikir sendiri olehmu, kau
punyai liangsim atau tidak?"
Oen Tjeng menangis.
"Siapa kesudian kau berlaku baik kepadaku?" kata dia. "Jikalau kau tidak suka lihat
padaku, pergi kau minta semua yaya usir aku dari sini! Aku akan berdiam disini bersama
saudara Wan ini! Pergi kau mengadu kepada yaya semua, aku tak takut!"
Oen Tjheng menghela napas, lantas ia ngeloyor pergi. Ia tunduk, nampaknya ia berduka
sekali. Oen Tjeng kembali kedalam paseban dan duduk.
"Kenapa kau bersikap begini kepada kandamu?" tanya Sin Tjie.
"Dia bukannya engko kandungku!" sahut Oen Tjeng. "Ibuku ada dari keluarga Oen, dan
disini ada rumahnya engkong luarku. Dia adalah anaknya engko tjintong ibu. Maka
benarnya dia adalah kakak misanku. Coba aku punyakan ayah, pasti kami punyakan
rumah sendiri, tak usah kami tinggal dirumah lain orang dimana kita jadi terima
penghinaan."
Ia menangis pula.
Sin Tjie tetap heran, terutama atas perangainya yang aneh ini.
"Aku lihat dia bersikap baik terhadapmu, adalah kau, kau yang berlaku galak
terhadapnya..." katanya.
Oen Tjeng angkat kepalanya, tiba-tiba ia tertawa.
"Jikalau aku tidak galaki dia, dia bakal lakukan segala apa yang bukan-bukan!" jawabnya.
Walaupun ia merasa aneh atas kelakuan lucu tapi aneh ini, sebentar nangis, sebentar
tertawa, kapan Sin Tjie ingat dirinya, yang juga sebatang kara, ia jadi bersimpati terhadap
pemuda ini. "Juga ayahku orang telah aniaya hingga binasa," katanya. "Ketika itu aku Baru berumur
tujuh tahun. Ibuku pun meninggal dalam tahun itu..."
"Apakah kau telah menuntut balas?" tanya Oen Tjeng.
"Malu aku menerangkan, aku tak beruntung..."
"Jikalau kau hendak menuntut balas, aku nanti bantu padamu!" menyatakan Oen Tjeng.
"Tidak perduli musuhmu itu bagaimana liehay, aku pasti bantu kau!"
Sin Tjie sangat bersyukur, hingga ia cekal keras tangan orang.
"Terima kasih," kata dia.
Oen Tjeng tarik tangannya akan tetapi toh kena dicekal juga. Ia antapkan.
"Dalam hal boegee kau terlebih pandai sepuluh lipat daripadaku," kata pemuda she Oen.
"Akan tetapi mengenai penghidupan dalam kalangan sungai telaga, kau rupanya masih
asing sekali, maka itu dibelakang hari, aku nanti bantu kau dengan pikiran."
"Kau baik sekali. Aku tak punya kawan yang usianya berimbang, Baru sekarang aku
menemui kau..."
"Melainkan adatku jelek," mengakui Oen Tjeng sambil tunduk. "Aku kuatir nanti datang
suatu hari yang aku berbuat salah terhadapmu..."
"Aku pandang kau sebagai sahabat, aku tahu tabeatmu ini, umpama kau kejadian berbuat
salah, aku tak akan buat perhatian," Sin Tjie bilang.
Oen Tjeng jadi sangat girang, ia menghela napas lega.
"Adalah didalam hal ini yang hatiku tak tenang," ia bilang.
Sin Tjie lihat perubahan sikap orang. Sekarang Oen Tjeng jadi sangat lemah-lembut,
lenyap ketelengasannya waktu ditengah sungai.
"Aku hendak bicara sama kau, saudara Oen, entah kau suka dengar atau tidak..." katanya.
"Didalam dunia ini, cuma tiga orang jang aku dengar perkataannya," sahut anak muda itu.
"Yang pertama adalah yayaku, yang kedua ibuku, dan yang ketiga...kau!"
Hatinya Sin Tjie tergerak.
"Nyata kau hargai aku," katanya. "Sebenarnya, perkataan siapa juga, asal yang pantas,
harus kita dengar."
"Hm, tak mau aku sembarang dengar! Siapa perlakukan baik padaku, asal aku...aku suka
padanya, tidak perduli kata-katanya pantas atau tidak, aku suka dengar dia. Jikalau
manusia yang aku jemu, biar dia omong pantas, tidak nanti aku dengar!"
Sin Tjie tertawa.
"Kau bertabeat bocah! Berapa usiamu sekarang?"
"Delapan belas tahun. Kau?"
"Aku lebih tua dua tahun."
Oen Tjeng tunduk, mendadak wajahnya berubah merah.
"Aku tidak punya engko, apa tidak baik jikalau kita angkat saudara?" ia bicara dengan
pelahan, masih ia tunduk.
Sin Tjie ada terlalu teliti untuk segera terima baik tawaran itu. Ia masih belum ketahui jelas
pemuda ini sekalipun orang sendirinya telah mempercayainya.
Oen Tjeng tidak dapat jawaban, ia bangun berdiri, mendadak ia lari.
Sin Tjie terkejut, ia memburu. Ia lihat orang lari keatas puncak.
"Ia beradat keras sekali. Tak dapat dia disinggung, tak boleh dia tak terkabul
keinginannya..."
Ia jadi kuatir pemuda itu nampak bencana, maka ia memburu dengan cepat, kali ini ia
gunai ilmu entengi tubuh, atau ilmu lari keras, ajaran Bhok Siang Toodjin. Maka dalam
beberapa rintasan saja, sudah dapat ia menyandak, malah ia segera mendahului, akan
menghalang disebelah depan.
"Adik Oen, kau gusar kepadaku?" tanyanya.
Mendengar ia dipanggil "adik", Oen Tjeng girang dengan tiba-tiba. Ia berhenti lari, lantas ia
duduk. "Kau tidak lihat mata padaku, kenapa kau panggil aku adik?" tanya dia.
"Kapan aku tak lihat mata padamu?" balas tanya Sin Tjie. "Mari, mari, mari, disini saja kita
angkat saudara!"
Benar-benar keduanya berdiri berendeng, lalu mereka paykoei dengan berbareng,
menghadap si Puteri Malam, akan angkat sumpah sebagai saudara, untuk hidup senang
dan susah ber-sama-sama. Kemudian mereka berbangkit. Lantas kepada Sin Tjie, Oen
Tjeng memberi hormat sambil menjura seraya memanggil: "Toako!" Suaranya pelahan.
Sin Tjie balas hormat itu.
"Baik aku panggil kau djie-tee," ia bilang. Djie-tee adalah adik. "Sekarang sudah jauh
malam, mari kita pulang dan tidur."
Oen Tjeng menurut lantas mereka balik ke paseban, untuk benahkan naya, lalu dengan
bergandengan tangan, mereka lari pulang.
"Jangan kau banguni ibu, kita tidur disini saja," kata Sin Tjie sesampainya mereka didalam
kamar. Mukanya Oen Tjeng merah mendadak, tangannya menolak.
"Kau....kau...." katanya yang terus tertawa. "Sampai besok..."
Dia lari keluar kamar, hingga anak muda kita menjadi melengak.
"Aneh!" pikirnya.
Besoknya pagi-pagi, Sin Tjie sudah bangun seperti biasa, terus ia bercokol diatas
pembaringan, untuk bersamedi, tapi ketika Goat Hoa muncul dengan tiamsim dan air, ia
loncat turun. "Terima kasih," kata ia kepada kacung itu.
Kemudian, selagi anak muda ini dahar tiamsim, Oen Tjeng muncul didalam kamarnya.
"Toako, di luar ada datang satu nona, "katanya sambil tertawa. "Katanya dia datang untuk
menagih emas. Mari kita lihat."
"Baik," sahut Sin Tjie.
Maka keduanya lantas pergi keluar, ke thia besar. Disini mereka saksikan satu
pertempuran dahsyat : Oen Tjheng sedang layani satu nona. Dikedua pinggiran dua orang
tua asyik menonton sambil duduk. Orang tua yang satu menyekal sebatang tongkat, yang
lain bertangan kosong.
Oen Tjeng hampirkan orang tua yang memegang tongkat dikuping siapa ia terus berbisik,
atas mana orang tua itu menoleh kepada Sin Tjie, untuk dipandang dengan perhatian,
sesudah mana, dia manggut-manggut.
Sin Tjie lihat wanita yang lagi bertanding itu, yang ia taksir umurnya delapan atau
sembilan-belas tahun, kedua belah pipinya bersemu merah, parasnya cantik sekali. Ia
menduga-duga, siapa nona itu.
Pertempuran itu berlangsung sepuluh jurus lebih, dua-dua tetap tangguh nampaknya.
Sekonyong-konyong hati Sin Tjie tergerak, ia bersangsi.
Nona itu tiba-tiba merangsek, ujung pedangnya menyambar kearah pundak Oen Tjheng.
Mereka memang berkelahi dengan gunai senjata tajam. Gegaman Oen Tjheng adalah tantoo,
golok sebatang. Tusukan itu hebat sekali, tapi yang ditusuk segera menangkis.
Jikalau pedang kena tertangkis, mestinya terpental. Tapi si nona gesit dan liehay, tak
tunggu pedangnya disampok, dia telah putar itu, untuk dikelitkan akan diteruskan
menusuk leher! Oen Tjheng kaget, ia mencelat mundur tiga tindak.
Masih si nona tak mau berhenti, dia juga loncat akan menyusul, akan menusuk pula, buat
menabas beberapa kali ketika tusukannya lolos dan beberapa tabasannya tidak memberi
hasil. Desakannya itu ada sangat membahayakan.
Sekarang Sin Tjie sudah lihat nyata gerak-gerakan tubuh orang, kaki dan tangan. Nona itu
bukan murid dari Hoa San Pay akan tetapi sedikitnya dia mesti pernah terima didikan dari
salah satu murid Hoa San Pay itu, kalau tidak, tidak nanti dia sanggup layani terus pada
Oen Tjheng. Tidak perduli dia garang, pedangnya liehay, akan tetapi didalam hal latihan
dan ketenangan, dia bukan tandingannya pemuda she Oen ini, yang hatinya mantap.
Oen Tjeng pun lihat si nona bukan lawannya itu kakak misan, maka sambil bersenyum
tawar, dia kata seorang diri : "Hm, dengan kepandaian seperti ini berani datang untuk
menagih emas!..."
Memang, setelah gagalnya desakannya itu, si nona mulai kendor gerakannya, tetapi
didepan ia, Oen Tjheng tetap seperti biasa, malah sekarang, pemuda ini mulai mendesak,
satu bacokan demi satu bacokan yang mengancam sekali.
Sin Tjie lihat keadaan telah sampai disaat paling genting, mendadakan ia lompat maju
kedalam kalangan, menyelak diantara kedua orang yang lagi bertempur itu. Ia menempuh
bahaya, karena justru itu, pedang dan golok lagi saling sambar, hingga dia mesti menjadi
talenan. Oen Tjeng kaget hingga ia menjerit.
Kedua orang tua juga loncat bangun dari kursi mereka, akan tetapi mereka masih tak
sempat memburu untuk mencegah perbuatan berbahaya itu.
Akan tetapi Sin Tjie tak tampak bencana walaupun golok dan pedang sambar ia. Dengan
tangan kanan, dengan pelahan, ia tolak lengannya Oen Tjheng. Dengan tangan kiri,
dengan pelahan juga, ia sambuti lengannya si nona. Ia bebas dari serangan sebab segera
ia mendak diantara mereka, cuma kedua tangannya membujur keatas.
Dengan tangkisan semacam ini, tidak ampun lagi, kedua tangan dari dua-dua penyerang
kena tertolak mundur, dengan begitu, dengan sendirinya juga, pedang dan golok mereka
tak dapat meminta korban.
Coba ia inginkan itu, dengan leluasa Sin Tjie bisa teruskan merampas pedang dan golok
orang itu, tapi ia sudah tidak berbuat demikian, ia kuatir Oen Tjheng mendapat malu dan
menjadi tak senang. Juga dengan cara ini, ia telah membuat kaget dua orang yang adu
jiwa itu, sebab tidak saja tangan mereka tertolak, tubuh mereka juga mesti mundur
beberapa tindak, supaja mereka tak usah rubuh terbalik. Tanpa merasa, tangkisan Sin Tjie
telah menggempur juga kuda-kuda mereka itu. Maka mereka menjadi kaget dan heran,
mereka menjadi gusar juga.
Oen Tjheng gusar berhubung dengan kejadian semalam dipuncak dimana ia tak dapat
muka dari adik misannya ia malu sendirinya terhadap pemuda tetamunya itu.
Si nona tak dikenal menjadi gusar karena ia menyangka Sin Tjie, yang keluar dari dalam,
adalah konconya lawan itu. Akan tetapi ia insyaf kegagahan orang itu, ia tahu ia tak bakal
berhasil, dari itu bukannya ia menegur atau menyerang, ia hanya loncat pula, mundur,
untuk angkat kaki.
"Nona, tunggu dulu!" Sin Tjie mencegah apabila ia lihat sikap orang. "Aku hendak bicara!"
"Tak dapat aku lawan kamu!" berseru nona itu dalam murkanya. "Bakal ada lain orang
yang terlebih pandai dariku, yang akan datang pula akan menagih emas! Kau ingin apa?"
Sin Tjie menjura kepada nona itu.
"Jangan gusar, nona," berkata dia. "Aku ingin ketahui she dan namamu yang terhormat..."
"Foei!" si nona berludah. "Siapa sudi ngobrol denganmu!"
Dengan satu loncatan, nona ini mencelat keluar pintu.
Sin Tjie menjejak dengan kaki kirinya, tubuhnya mencelat hingga ia dapat lewati nona itu,
didepan siapa ia menghalang.
"Jangan pergi dulu!" kata dia. "Aku bantu padamu!"
Nona itu melengak, ia mengawasi.
"Kau siapa?" tanya dia.
"Aku orang she Wan," jawab Sin Tjie.
Nona itu berdiam, ia mengawasi dengan matanya mencilak.
"Apakah kau kenal An Toa-nio?" tanya si nona.
Sin Tjie rasai tubuhnya seperti menggigil, telapakan tangannya panas.
"Aku Sin Tjie!" ia memperkenalkan diri. "Kau toh Siauw Hoei?"
Mendadak si nona kegirangan hingga ia lupa akan dirinya. Ia sambar tangannya si anak
muda dan tarik itu.
"Benar, benar!" serunya. "Kau benar-benar Wan Toako!"
Tapi segera si nona lepas pula cekalannya, mukanya menjadi merah. Ia jengah.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oen Tjeng saksikan itu semua, ia menjadi tak leluasa sendirinya.
Oen Tjheng sebaliknya lantas berseru : "Aku kira kau siapa, saudara Wan, kau kiranya ada
mata-matanya Lie Tjoe Seng yang dikirim kepada kami disini!"
Sin Tjie tertjengang. Ia benar-benar tak mengerti.
"Aku kenal Giam Ong, itulah benar," kata dia. "Tapi itu tak dapat diartikan aku adalah
mata-mata dia. Nona ini ada sahabat lamaku, sudah lebih dari sepuluh tahun kami
berpisah dan tak pernah bertemu satu dengan lain. Kenapa kamu berdua bentrok"
Bagaimana jikalau aku beranikan diri untuk damaikan kamu kedua pihak."
"Jikalau dia keluarkan emas yang aku minta, baru urusan dapat diselesaikan," kata Siauw
Hoei. "Apakah demikian gampang?" kata Oen Tjheng dengan mengejek.
"Saudara, mari aku ajar kenal," berkata Sin Tjie. "Nona ini ada nona An Siauw Hoei. Ketika
kami masih kecil, kami tinggal bersama. Sampai sekarang ini, sudah sepuluh tahun kami
tak pernah saling bertemu."
Dengan dingin Oen Tjheng awasi si nona, ia tidak memberi hormat, ia pun diam saja.
Tak enak hatinya Sin Tjie karena sikap orang itu.
"Bagaimana kau kenali aku?" pemuda ini lalu tanya si nona An.
"Itulah tanda diatas jidatmu!" jawab Siauw Hoei. "Bagaimana aku bisa lupakan itu" Ketika
kita masih kecil, ada datang orang hendak culik aku, dengan mati-matian kau tolong
padaku dan kau kena dilukai. Apakah kau telah lupa?"
Memang dijidatnya Sin Tjie ada sedikit tanda luka.
Anak muda ini tertawa, dia kata: "Pada hari itu kita sedang main masak-masakan dengan
pakai mangkok dan kwali kecil!"
Wajahnya Oen Tjeng menjadi berubah.
"Pergilah kamu pasang omong, aku hendak masuk kedalam..." kata dia. Terang dia tidak
puas. "Tunggu sebentar!" Sin Tjie mencegah. Ia kaget untuk sikapnya pemuda itu. "Siauw Hoei,
bagaimana duduknya maka kau jadi bentrok dengan Oen Toako ini?"
"Aku bersama...bersama Tjoei Soeheng..." kata Siauw Hoei. Tapi segera ia dipegat.
"Tjoei Soeheng?" demikian Sin Tjie. "Apa bukannya Siokhoe Tjoei Tjioe San?"
"Dia ada cucu keponakannya Siokhoe Tjoei Tjioe San," Siauw Hoei terangkan. "Kami
mengantari sejumlah uangnya Giam Ong untuk propinsi Tjiatkang. Dia ini orang busuk,
ditengah jalan dia merampasnya!..." Dia tuding Oen Tjeng.
Baru sekarang Sin Tjie ketahui, emasnya Oen Tjeng itu ada hartanya Giam Ong. Jangan
kata Giam Ong pernah sambut ia secara terhormat, dan gurunya - Tjoei Tjioe San - sedang
bantui Giam Ong itu, walaupun hanya karena Tjoei Tjio San, An Toa-nio dan Siauw Hoei
bertiga saja, pasti dia bantui pihaknya Siauw Hoei ini. Lain dari itu, emas itu Giam Ong
kirim jauh dari Siamsay ke Tjiatkang, mestinya itu ada penting sekali. Bukankah Giam Ong
lagi bergerak untuk tolong rakyat" Bagaimana ia bisa tak berikan bantuannya" Maka
lantas ia ambil putusannya, ia kata kepada Oen Tjeng : "Saudara, tolong kau lihat aku, baik
kau kembalikan emasnya itu."
"Hm!" Oen Tjeng jawab. "Kau ketemui dulu kedua yayaku ini, Baru kita bicara."
Mendengar kedua orang tua itu adalah yayanya Oen Tjeng (engkong), Sin Tjie pikir, harus
ia beri hormatnya, sebab ia toh telah angkat saudara dengan cucu mereka itu. Tidak ayal
lagi, ia hampirkan mereka didepan siapa ia paykoei.
Si orang tua, yang memegang tongkat, berseru : "Ah, mana aku sanggup terima
kehormatan ini" Saudara Wan, silakan bangun!"
Dimulut orang tua ini mengucap demikian, akan tetapi dengan kedua tangannya - setelah
ia senderkan tongkatnya dipinggiran kursi - ia pegang kedua ujung bahu si anak muda,
untuk dikasih bangun, untuk mana ia telah kerahkan tenaga khie-kangnya.
Sin tjie terkejut kapan ia rasai cekalan yang keras, yang membikin tubuhnya seperti
hendak terangkat, apabila ia diam saja, tentu tubuhnya bakal terapung tinggi. Maka untuk
mencegah, ia lekas-lekas kerahkan juga tenaganya. Secara begini, tanpa terganggu, ia
bisa manggut terus sampai empat kali.
Oran tua itu kaget dalam hatinya.
"Liehay khiekangnya anak ini," berpikir ia. "Dengan latihanku dari puluhan tahun masih
aku tidak sanggup angkat tubuhnya..." Maka ia lantas saja tertawa berkakakan dan terus
kata: "Tjeng-djie bilang saudara Wan mempunyai boegee liehay, itulah benar!" Artinya
Tjeng-djie adalah "anak Tjeng" atau "si Tjeng".
"Inilah sam-yaya, "Oen Tjeng terangkan. Kemudian ia menunjuk kepada orang tua yang
bertangan kosong. "Ini adalah Ngo-yaya," ia tambahkan.
"Rupanya mereka ini adalah dua diantara Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay," pikir Sin Tjie.
"Tjouw" berarti ketua atau leluhur kaum. Maka itu, ia pun memanggil : "Yaya".
Sam-yaya itu, "engkong" ketiga, ada Oen Beng San, dan Ngo-yaya, ada Oen Beng Go.
Mereka tidak senang dipanggil "yaya", maka itu mereka diam saja.
Sin Tjie heran atas kelakuan itu, ia pun jadi tak senang.
"Ayahku ialah panglima pahlawan penentang musuh, jenderal di Liauwtong, dengan aku
angkat saudara dengan cucu kamu, itu toh tak merendahkan derajatmu?" kata dia dalam
hatinya. Tapi segera ia menoleh kepada Oen Tjeng: "Aku minta saudaraku, kau
kembalikanlah emasnya nona ini."
"Kau senantiasa menyebut nona, nona saja, tetapi lain orang, tak kau perhatikan!"
membalas Oen Tjeng.
"Saudara, kita yang meyakinkan ilmu silat, kita harus hargakan kehormatan," berkata pula
Sin Tjie. "Emas itu ada kepunyaan Giam Ong, waktu kau rampas, kau tidak ketahui,
karenanya, itu tak menjadi soal. Sekarang kita telah mengetahuinya, apabila kita tidak
mengembalikannya, itu artinya kita tak me-mandang-mandang."
Oen Beng San dan Oen Beng Go juga tidak tahu suatu apa mengenai emas itu, mereka
sangka itu ada satu kepunyaan suatu saudagar besar, Baru sekarang mereka ketahui dari
keterangan Siauw Hoei dan Sin Tjie, dengan sendirinya mereka pun merasa tak
enak.Memang mereka tahu pengaruhnya Giam Ong , yang ditunjang oleh banyak sekali
orang-orang kang-ouw kenamaan. Mereka mengerti, apabila mereka tetap tidak
mengembalikannya, dibelakang hari mesti tak henti-hentinya datang orang-orang yang
akan menagihnya. Dan inilah berbahaya untuk keselamatan mereka.
Oen Beng San lantas tertawa. Dia berkata kepada Sin Tjie : "Dengan memandang kepada
saudara Wan, pulangilah!"
Kata-kata ini ditujukan kepada Oen Tjeng.
"Tidak, Sam-yaya, itu tak bisa jadi!" kata cucu ini.
"Kau telah berikan separuh kepadaku, yang separuh itu aku akan kembalikan lebih dahulu,
"kata Sin Tjie pada adik angkat ini.
"Jikalau kau sendiri yang inginkan itu, aku punya yang separuh lagi pun aku akan
serahkan padamu," jawab Oen Tjeng. "Siapa sih yang sudi berpandangan cupat" Siapa
sudi anggap emas beberapa ribu tail itu sebagai mustika" Tapi kalau dia yang inginkan,
tak suka aku menyerahkannya!" Dan dia tunjuk Siauw Hoei.
Nona An maju setindak. Ia jadi sangat gusar.
"Habis kau ingin bagaimana untuk kembalikan itu?" tanya dia dengan bengis. "Kau
sebutkan saja!"
Oen Tjeng tidak jawab nona itu, ia hanya pandang Sin Tjie.
"Sebenarnya, kau hendak bantu dia atau aku?" dia tegaskan toako itu.
Sin Tjie bersangsi tapi ia menjawab : "Aku tidak bantu siapa juga, aku cuma hendak turut
perkataan guruku..."
"Gurumu" Siapa itu gurumu?" Oen Tjeng tanya.
"Guruku ada orang penting dalam angkatan perangnya Giam Ong."
"Hm!" Oen Tjeng perdengarkan ejekannya. "Pulang pergi, kau toh bantui dia! Baik emas
itu ada disini! Dengan akal aku telah curi itu, maka juga, kau pun mesti gunai akal untuk
mencuri kembali! Aku kasi tempo tiga hari! Jikalau kau mempunyai kepandaian, kau
ambillah! Jikalau lewat tiga hari, aku tak akan sungkan-sungkan lagi!"
Sin Tjie segera tarik tangan baju Oen Tjeng.
"Adikku, mari!" berkata dia, jang terus mengajak orang ke satu pojok. "Tadi malam kau
bilang kau dengar perkataanku, kenapa sekarang, belum selang setengah harian, kau
sudah berubah?"
"Jikalau kau perlakukan aku baik, aku pasti dengar kata-katamu," sahut Oen Tjeng.
"Kenapa aku tak perlakukan baik padamu?" tanya Sin Tjie. "Apa benar tak dapat aku ambil
emas itu?"
Kedua matanya pemuda Oen itu menjadi merah.
"Kau bertemu sama sahabat lama, lantas kau tidak pandang ornag lagi," dia kata." Bisa
apa jikalau aku kangkangi harta Giam Ong" Paling juga orang bunuh aku! Ya, memang
dalam hidupku ini, tak ada orang mengasihani aku..."
Hampir airmatanya pemuda ini keluar meleleh.
Sin Tjie berkasihan tapi ia tidak puas.
"Kau adalah saudara angkatku, dia adalah anaknya sahabatku," kata dia dengan
penjelasannya. "Dua-dua aku pandang sama, tidak ada yang aku bedakan lebih tebal atau
lebih tipis, kenapa kau jadi begini rupa?"
"Sudahlah, jangan banyak omong, dalam tempo tiga hari, kau datanglah curi emas itu!"
Oen Tjeng pegat.
Masih Sin Tjie hendak tarik tangan orang akan tetapi kali ini Oen Tjeng halau tangannya
dan lantas lari kedalam.
Oleh karena perdamaian gagal, terpaksa Sin Tjie ajak Siauw Hoei berlalu dari rumah
keluarga Oen itu, bersama-sama mereka pergi kerumahnya seorang tani untuk
menumpang nginap. Disini Sin Tjie tanya duduknya emas itu. Siauw Hoei ceritakan dia
antar bertiga, entah bagaimana, ditengah jalan mereka terpisah, hingga akhirnya emas
didapati Oen Tjeng.
Siauw Hoei cerita tidak terlalu jelas, agaknya dia ragu-ragu maka Sin Tjie tidak tanya melitmelit.
Pada malam hari itu, kira-kira jam dua, Sin Tjie ajak nona An pergi kerumah keluarga Oen.
Begitu ia lompat naik keatas genteng, ia dapatkan api dipasang terang-terang diseluruh
thia yang lebar. Oen Beng San dan Oen Beng Go, dua saudara, duduk makan-minum
bersama, Oen Tjheng dan Oen Tjeng dampingi mereka. Ia tidak tahu emas disimpan
dimana, ia mencoba pasang kuping, supaya ia bisa peroleh sedikit penghunjukkan.
Tiba-tiba Oen Tjeng, dengan tertawa dingin, kata seorang diri : "Emas ada disini! Siapa
punyakan kepandaian, dia boleh ambil!"
Siauw Hoei betot Sin Tjie yang berada disebelah depannya.
"Rupanya dia tahu kita sudah berada disini," ia berbisik.
Sin Tjie manggut akan tetapi matanya terus mengawasi kearah thia. Maka ia bisa lihat Oen
Tjeng keluarkan dua bungkusan, untuk diletaki diatas meja, buat segera dibuka, dibeber,
hingga diantara sinar api bergemirlapanlah cahaya emas berkilau-kilau. Sesudah beber
emas itu, Oen Tjeng duduk, dituruti oleh Oen Tjheng, kakaknya. Mereka juga letaki golok
dan pedang mereka, untuk gantikan itu dengan cawan arak, buat mereka turut minum dan
makan. "Begini rupa mereka bikin penjagaan, tanpa kekerasan, cara bagaimana emas itu bisa
dapat dirampas?" pikir Sin Tjie.
Siauw Hoei pun terdiam.
Lebih dari setengah jam mereka sudah menantikan, orang-orang dibawah itu masih tidak
hendak berlalu, maka akhirnya Sin Tjie tarik tangannya Siauw Hoei , untuk diajak pulang
kerumah penginapan mereka. Ia tahu, malam itu mereka tidak berdaya... Dihari kedua,
paginya, Siauw Hoei pasang omong dengan Sin Tjie. Ia beritahukan bahwa ibunya ada
sehat walafiat dan ibu itu sering ingat si anak muda.
Sin Tjie rogoh sakunya, akan keluarkan sepotong gelang emas yang kecil.
"Inilah pemberian ibumu kepadaku," kata dia. "Kau lihat, dulu lenganku ada sebesar
gelang ini tetapi sekarang"...."
Siauw Hoei tertawa. Ia awasi lengan orang.
"Engko Sin Tjie, selama ini kau kerjakan apa saja?" tanya dia.
"Setiap hari aku belajar silat, lain kerjaan tak ada," Sin Tjie sahuti.
"Pantas ilmu silatmu liehay sekali!" si nona memuji. "Ketika kemarin kau tolak aku, kudakudaku
turut gempur..."
"Tapi, kenapa kau pun gunai ilmu pedang Hoa San Pay?" Sin Tjie tanya. "Siapa ajarkan itu
padamu?" Matanya si nona merah dengan tiba-tiba, ia berpaling kelain arah.
"Tjoei Soeko yang ajari..."sahut ia selang sesaat. "Dia ada dari Hoa San Pay."
"Apakah dia mendapat luka?" Sin Tjie tanya. "Mengapa kau berduka?"
"Mana dia mendapat luka?" balik si nona. "Dia tidak perdulikan orang, dia pisahkan diri
ditengah jalan..."
Malamnya, kedua anak muda ini berangkat pula kerumah keluarga Oen. Di thia besar tetap
ada menanti empat orang, melainkan si orang-orang tua telah bertukar orang-orangnya.
Mestinya mereka ini berdua ada yang lain-lainnya dari Ngo-tjouw, kelima tetuanya
keluarga itu. Dan tentunya, tiga yang lain lagi sembunyi.
"Ada orang-orang liehay bersembunyi disini, kita mesti waspada," Sin Tjie kisiki Siauw
Hoei. Si nona manggut, alisnya mengkerut. Tiba-tiba ia dapat pikir sesuatu, lantas saja ia loncat
turun. Sin Tjie berkuatir untuk nona ini, ia segera menyusul, mengikuti.
Siauw Hoei pergi kebelakang dapur. Disini ia nyalakan api, lantas ia sulut setumpuk kayu
bakar, maka tak berselang lama, api itu lantas berkobar-kobar, menjilat-jilat keatas.
Sekejab saja keluarga Oen menjadi kacau. Sejumlah tjhungteng, dengan membawa air dan
gala, lari kearah dapur, untuk padamkan api.
Siauw Hoei lari balik kedepan, Sin Tjie bersama dia. Pemuda ini ketahui akalnya si pemudi.
Di dalam thia, api lilin terus menyala terang, tetapi empat penjaganya telah tidak ada.
Siauw Hoei girang tak kepalang.
"Mereka pergi padamkan api!" berseru dia.
Dengan bergelantungan dipayon, nona ini loncat turun kebawah, dari antara jendela, ia
loncat masuk kedalam thia.
Sin Tjie telad contohnya nona ini.
Sebentar saja mereka berdua sudah sampai dipinggir meja. Siauw Hoei maju lagi setindak,
tangannya berbareng diulur, untuk jumput emas.
Sin Tjie kaget ketika ia menaruh kakinya, ia rasai menginjak tempat yang tak berdasar
kuat. Segera ia insyaf kepada lobang jebakan. Ia menyambar dengan tangan kanannya,
untuk tolong Siauw Hoei, sembari menyambar, ia pun berloncat. Tapi ia sudah terlambat,
sambarannya gagal. Ia sendiri telah sampai di tiang tengah, dengan tangan kiri, ia sambar
tiang itu, kaki kirinya diletaki didasarnya tiang.
Sedetik saja, papan jebakan telah membalik diri, dengan Siauw Hoei telah kejeblos
kedalam, lenyap dari muka lantai.
Kaget dan berkuatir, Sin Tjie loncat ke jendela. Adalah niatan dia untuk cari pesawat
rahasianya jebakan itu, untuk tolongi Siauw Hoei. Ia Baru sampai diluar jendela atau ada
angin sambar ia. Ia mengerti, ada orang bokong padanya. Dengan sebat ia menangkis
dengan tangan kanan, hingga tangannya itu bentrok dengan tangan si penyerang, yang
belum dikenal siapa. Penyerang itu agaknya mencoba membetot tapi, penyerangnya itu,
yang tersempar, rubuh tubuhnya, hanya saking gesit, dia ini bisa berlompat bangun
dengan cepat, malah dia segera lompat naik ke genteng juga, untuk menyusul.
Begitu lekas ia ada diatas genteng dan memandang kesekitarnya, Sin Tjie bergidik tanpa
kedinginan. Nyata ia telah dikurung oleh sejumlah orang, yang tubuhnya kate dan
jangkung tidak merata. Iapun lihat, orang yang barusan ia kena sempar rubuh Oen Tjheng
adanya. Ia insyaf bahwa ia sedang terancam melainkan ia belum tahu, bagaimana sikap
keluarga Oen itu. Maka dengan berdiam diri, ia awasi mereka itu - ia berlaku tenang dan
waspada. Dari lima tertua pemuda kita sudah kenal dua, ialah Sam-tjouw Oen Beng San dan Ngotjouw
Oen Beng Go. Dari tiga yang lian, ia lihat satu yang bertubuh kekar luar biasa, siapa
sekarang berdiri ditengah-tengah. Dia ini jauh lebih tinggi-besar dari empat lainnya. Ketika
dia tertawa dengan mendadak, suaranya pun nyaring sekali.
"Kami berlima saudara tinggal didusun yang sepi tetapi sekarang ada orang sebawahan
yang liehay dari Giam Ong berkunjung kepada kami, inilah ada satu kehormatan yang
besar sekali!" demikian suaranya, yang tak kalah nyaringnya, bagaikan suara lonceng
saja. Segera Sin Tjie maju setindak, untuk beri hormat sambil menjura kepada orang tua itu.
"Aku yang muda menghadap tjianpwee," kata dia. Ia tidak mau berlutut, karena ia kuatir
nanti ada yang bokong. Ia memberi hormat supaya orang tidak katakan dia tidak kenal
adat sopan-santun.
Oen Tjeng berada diantara pihak pengurung, ia majukan diri.
"Ini Toa-yaya!" kata dia, dengan suaranya yang cempreng. "Ini djie-yaya. Dan ini Soeyaya."
Sin Tjie menjura kepada sesuatu yaya yang disebutkan.
Yang tertua dari Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay ialah Oen Beng Tat, yang kedua Oen Beng
Gie, dan yang keempat Oen Beng Sie. Mereka ini, bersama Sam-yaya dan Ngo-yaya balas
hormat itu. Walaupun begitu, mereka mengawasi dengan tajam.
Diantara kelima Ngo-tjouw, Oen Beng Gie yang kedua, adalah yang paling keras
perangainya. Begitulah dia ini menegur: "Kau masih muda sekali tapi nyalimu nyata tak
kecil, kau berani melepas api membakar rumahku!"
"Itulah perbuatan sembrono dari kawanku," mengaku Sin Tjie dengan sikapnya yang
menghormat. "Aku merasa sangat menyesal. Syukur api tak membahayakan hebat. Biarlah
besok aku yang muda datang pula kemari untuk minta maaf. "Dengan sebenarnya, api
telah lantas dapat dibikin padam, tak menjalar lebih jauh.
Oen Beng Sie, tertua yang keempat, bertubuh jangkung dan kurus, dia adalah engkongnya
Oen Tjheng, potongan tubuhnya romannya, mirip benar dengan cucunya itu. Dia ini
menyambungi saudaranya bicara.
"Kami tinggal disini sudah beberapa puluh tahun," demikian katanya. "Selama sekian lama
itu, cuma ada orang-orang yang datang kemari untuk menghunjuk hormat, belum pernah
ada satu bocah yang berani berlaku kurang ajar! Siapa itu gurumu" Kenapa kau begini tak
tahu aturan?"
"Guruku sekarang berada dalam pasukan perangnya Giam Ong," Sin Tjie jawab, tetap
dengan hormat, tak perduli orang tegur ia secara bengis. "Aku mohon tjianpwee beramai
sudi kembalikan emasnya Giam Ong itu. Aku janji lain hari akan minta guruku menulis
surat kepada tjianpwee untuk haturkan terima kasihnya."
Pemuda ini tidak hendak sebutkan nama gurunya.
"Siapa itu gurumu?" tanya Oen Beng Tat, tertua yang pertama.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Guruku itu jarang sekali berkelana dalam dunia Kang-ouw, karena itu tak berani aku yang
muda menyebutkan namanya," Sin Tjie jawab dengan hormatnya tak pernah ketinggalan.
"Hm!" berseru Oen Beng Gie, tertua yang kedua. "Dengan kau tidak sudi menyebutkannya,
mustahil kami tak mendapat tahu" Lam Yang, coba kau main-main dengan bocah ini!"
Dari antara rombongan itu keluar satu orang umur empat-puluh lebih, mukanya
berewokan. Dia adalah putera kedua dari Djie-yaya Oen Beng Gie ini. Dalam angkatan
kedua dari Tjio Liang Pay, dia ternama. Dia sudah lantas lompat kedepan Sin Tjie, untuk
terus kirim tonjokannya kearah muka.
Sin Tjie berkelit, atas mana menyusullah kepalan kiri orang she Oen itu.
Pemuda kita lantas berpikir: "Mereka berjumlah banyak, jikalau mereka maju satu persatu,
aku bisa celaka karena lelah. Jikalau aku tidak berlaku cepat, sulit untuk aku loloskan diri."
Maka itu, ketika kepalan kiri lawan sampai, mendadak Sin Tjie angkat tangan kanannya,
untuk menangkis sambil teruskan menyekal kepalan itu, setelah mana, ia menyempar
kebelakang sambil tubuhnya sendiri menyamping.
Lam Yang tidak sempat lepaskan kepalannya itu, belum sampai ia menancap kaki,
tubuhnya sudah terbetot kedepan, nyelonong, ketika kakinya injak genteng, genteng itu
pecah dan ia terjeblos dan rubuh. Sukur untuk dia, Beng Go, sang paman yang kelima,
masih keburu lompat untuk menarik dia, kalau tidak, tidak ampun lagi, dia pasti ngusruk
kebawah genteng. Mukanya menjadi merah bahna malu dan gusar, tidak ayal lagi, ia maju
menyerang pula. Ia menjadi sangat penasaran.
Sin Tjie sudah bersiap. Tak bergeming dia ketika lawan mengancam. Hanya ketika
serangan datang, ia putar tubuhnya, ia melengak, sambil berbuat mana, kakinya yang kiri
berbareng terangkat! Segera, Oen Lam Yang rubuh tengkurap! Menyusul sontekan kaki
kirinya itu, Sin Tjie pun ulur tangan kanannya, selagi kaki kirinya ditarik pulang, tangan
kanannya sudah sambar baju dibelakang penyerangnya itu, ia menjambak, ia mengangkat.
Maka tak sampailah mukanya Lam Yang beradu dengan genteng, malah dia terangkat
hingga dia dapat berdiri pula.
Bukan main mendongkolnya orang she Oen ini, tetapi tak dapat ia berkelahi lebih jauh,
maka setelah awasi si anak muda dengan mata melotot, ia mundur sendirinya.
"Ha, bocah ini benar-benar liehay!" berseru Beng Gie dalam gusarnya. "Biarlah loohoe
mencoba-coba main-main dengan muridnya seorang liehay!"
Djie-yaya ini segera juga geraki kedua tangannya, untuk mulai maju.
Dengan tiba-tiba, Oen Tjeng lompat kesamping orang tua itu, untuk berbisik : "Djie-yaya,
dia telah angkat saudara denganku, jangan kau lukai dia...."
"Setan cilik!" orang tua itu kata dengan sengit.
Masih Oen Tjeng cekal tangannya Beng Gie.
"Kau toh mengabulkan, Djie-yaya?" katanya.
"Kau lihat saja!" kata si orang tua dengan keras seraya tangannya menyempar, atas mana
pemuda itu terpelanting beberapa tindak, hampir saja dia rubuh tegruling.
Oen Beng Gie maju dua tindak kearah pemuda kita.
"Kau maju!" ia membentak.
"Aku tak berani," sahut Sin Tjie seraya ia rangkap kedua tangannya.
"Kau tak hendak menyebutkan nama gurumu, maka kau seranglah aku tiga jurus," Beng
Gie kata. "Nanti aku lihat, bisa atau tidak aku kenali siapa gurumu itu."
Panas juga hatinya Sin Tjie melihat kejumawaan orang tua ini.
"Jikalau begitu, biarlah aku berlaku kurang ajar," kata dia akhirnya. "Apa jang aku bisa ada
sangat berbatas, karena itu, aku minta tjianpwee menaruh belas kasihan terhadapku..."
"Lekas mulai!" membentak pula Oen Beng Gie. "Siapa kesudian ngobrol denganmu!"
Sin Tjie segera menjura hingga dalam, sampai tangan bajunya mengenai genteng,
kemudian setelah ia mulai berbangkit, dengan tiba-tiba tangan bajunya itu menyambar
kearah si orang tua agung-agungan itu. Serangan itu mendatangkan siuran angin keras.
Beng Gie terperanjat. Inilah ia tidak sangka. Segera ia ulur tangannya, akan sambar tangan
baju itu. Sin Tjie menyambar dengan tangan kiri, ketika ia disambar, ia berjingkrak, tangan kirinya
itu ditarik pulang, akan tetapi sebagai gantinya, tangan bajunya yang kanan menyambar
pula dengan tak kalah sebatnya, mengarah kemuka! Kembali Beng Gie terperanjat.
Kembali satu serangan sebat diluar dugaan. Tak sempat dia menangkis. Sedang dia
mempunyai latihan dari beberapa puluh tahun, selama separuh umurnya, ia hidup diantara
"gunung golok dan rimba tumbak," pengalamannya ada banyak sekali. Terpaksa ia
ngelengak kebelakang untuk luputkan diri dari sambaran itu.
Sin Tjie tidak mau kasih ketika untuk orang balas serang dia, segera dia memutar tubuh.
Oen Beng Gie sudah berdiri pula dengan tetap, ia lihat gerakan orang ia duga anak muda
ini hendak angkat langkah panjang, maka ia memikir untuk menghajar supaya pemuda itu
tak dapat lolos. Belum sampai tangan kanannya dikeluarkan, mendadak ia rasai pula
sambaran angin, kali ini ia tampak, kedua tangan Sin Tjie bergerak dengan berbareng,
mirip dengan sambaran ular, kedua tangan itu nyelusup kearah dua iganya! "Itulah tangan
baju belaka, apa artinya umpama kena terserang?" pikir jago tua ini. Maka ia ulur kedua
tangannya, dengan niat sambar tangan baju orang itu, untuk digentak.
Cepat luar biasa, kedua ujung tangan baju dari Sin Tjie sudah sampai pada sasarannya,
mengenai dengan jitu kepada atasan pinggang Djie-yaya dari Oen Tjeng. Dua kali telah
terdengar siara nyaring karena sambaran jitu itu.
Berbareng dengan kaget, Oen Beng Gie rasai ia sesemutan. Dilain pihak, lawannya sudah
loncat mundur. Setelah putar tubuhnya, anak muda ini mengawasi sambil berdiri tegak.
Oen Tjeng telah saksikan gerakan tubuh yang sangat gesit dan luar biasa itu, ia heran
hingga hampir ia berseru.
Oen Beng Gie malu dan mendongkol sekali. Tidak perduli ia adalah seorang dengan
banyak pengalaman, ia masih tidak bisa kenali, ilmu silat apa itu yang digunai si anak
muda, yang main ujung baju... Sebenarnya, pada pertama kali, Sin Tjie sudah gunai ilmu
silat Hok-houw-tjiang dari Bok Djin Tjeng, yang kedua kali , itulah ilmu mengentengkan
tubuh pengajaran Bhok Siang Toodjin, dan yang ketiga kali adalah buah-hasil peryakinan
dari "Kim Coa Pit Kip" peninggalan Kim Coa Long-koen. Ini ada ilmu pukulan "Siang Coa
Coan ek" atau "Sepasang ular nyelusup ke ketiak", sedang kedua tangannya sengaja
diumpati didalam ujung tangan baju. Tentu sekali Oen Beng Gie bingung karenanya,
sedang pertempuran mereka ada seperti sejurus demi sejurus dan tak ambil tempo lama.
Juga Oen Beng Tat dan tiga saudara lainnya berdiri bengong, mereka saling mengawasi,
hati mereka penuh dengan keheranan.
Dalam murkanya, Oen Beng Gie menyerang pula secara sangat mendadak. Wajah masih
merah-padam, alis dan kumisnya bagaikan bangun berdiri. Tangannya menyambar seraya
perdengarkan angin berkesiur.
Dibawah sinar si Puteri Malam, Sin Tjie lihat kepala musuh seperti mengebulkan uap,
suatu tanda jago tua itu dikrumuni hawa-amarah meluap-luap, dan gerakan kakinya ayal
akan tetapi mantap, menunjuki lweekang yang telah mentjapai puncak kesempurnaan.
Melihat demikian, tak berani ia untuk permainkan pula orang tua itu.
Atas serangan hebat itu, pemuda ini berkelit sambil mendak kate. Dua kali ia bebaskan diri
secara demikian ketika serangan lain menyusul dengan tangan yang sebelahnya. Ia pun
secara diam-diam sudah lantas gulung tangan bajunya. Selanjutnya ia melayani dengan
Hok-houw-tjiang, ilmu pukulan "Menakluki harimau".
Setelah penyerangannya yang pertama dan kedua itu, serangan-serangan Oen Beng Gie
tak lagi sesebat sebagai semula, akan tetapi setiap pukulannya hebat, berat, saban-saban
ada angin yang mengikutinya atau mendahului.
Sin Tjie terperanjat apabila satu kali ia tampak tegas telapakan tangannya. Tangan itu
bersinarkan cahaya merah bagaikan darah.
"Ha, kiranya dia ahli tangan jahat!..." katanya dalam hati. Itulah "Tjoe-see-tjiang" (tangan
Tjoe-see) atau "Ang-see tjhioe" (tangan Pasir Merah). Ia ingat keterangan gurunya perihal
liehaynya ilmu pukulan itu, yang tak boleh mengenai sasaran atau orang akan bercelaka.
Karena ini, lantas ia ubah sikapnya. Ia berkelahi dengan kedua tangannya digeraki pergi
dan pulang dengan pesat sekali, dengan tak ada putusnya, untuk cegah desakan
berulang-ulang lawannya.
Selagi pertempuran berjalan sangat seru, mendadak Oen Beng Gie rasai sakit pada lengan
kanannya, tidak tempo lagi ia mencelat jauh, akan pisahkan diri, setelah mana, ia lihat
bagian tangannya yang sakit itu. Lengan itu merah dan bengkak! Ia mengerti bahwa ia
telah kena dibentur, tapi ia pun segera mengerti, orang telah berlaku baik kepadanya,
kalau tidak, tangan itu bisa bercelaka. Walaupun begini, ia mendongkol, cuma sekarang
tak lagi ia hendak lanjuti pertempuran itu.
Selagi pertempuran tertunda itu, Oen Beng San, Sam-yaya, maju hampirkan anak muda
kita. "Wan Lian-hia," katanya dengan tenang, "begini muda usia kaum boegeemu liehay sekali.
Marilah, loohoe ingin sekali belajar kenal dengan menggunai alat-senjata!"
Lekas-lekas Sin Tjie berikan jawabannya.
"Tak berani aku yang muda datang kesini dengan membekal senjata," ia menampik.
Sam-yaya itu tertawa besar.
"Kau kenal baik adat istiadat," katanya. "Tentang kau bisalah dibilang, karena boegee
liehay, nyalimu jadi besar. Tidak apa. Mari kita pergi ke lian-boe-thia!"
Lain-boe-thia itu adalah thia atau ruangan untuk belajar silat.
Sembari mengundang, Oen Beng San loncat turun kebawah genteng. Tindakan ini diturut
oleh semua rombongannya.
Sin Tjie loncat turun , ia ikut masuk kedalam rumah.
Selagi mereka itu berjalan, Oen Tjeng dekati si anak muda, akan kisiki dia : "Didalam
tongkat ada senjata rahasianya!"
Bercekat hatinya Sin Tjie.
Tidak lama sampailah mereka di lian-boe-thia. Sin Tjie tampak tiga thia yang besar
ditengah-tengah mana ada satu pekarangan yang lebar. Kesitu pun lantas berkumpul lainlain
anggauta dari keluarga Oen yang besar itu, karena keluarga ini punyakan anggotaanggota,
lelaki dan perempuan, yang semua gemar ilmu silat. Semua mereka hendak
nonton pertandingan. Malah diantara mereka kedapatan bocah-bocah umur tujuh atau
delapan tahun. Orang-orang yang muncul paling belakang ada satu nyonya umur kurang-lebih empatpuluh
tahun, dia didampingi Goat Hoa, itu kacung perempuan yang ditugaskan melayani si
tetamu anak muda.
"Ibu!" Oen Tjeng memanggil seraya maju menghampirkan apabila ia lihat nyonya itu.
Njonya itu mempunyai wajah yang eilok tetapi ia nampaknya berduka, ia tidak sahuti Oen
Tjeng, ia cuma melirik, kelihatannya ia tidak gembira.
"Kau hendak gunai senjata apa, kau boleh pilih sendiri!" berkata Oen Beng San setelah
mereka sudah berkumpul. Ia menunjuk kesekitarnya dimana ada terdapat para-para serta
pelbagai gegaman.
Sin Tjie mengerti, urusan ada sangat sulit untuk diselesaikan, tetapi disebelah itu, tak
ingin ia melukai orang. Ini adalah pengalamannya yang pertama, baru mulai berkelana
sudah menghadapi kesulitan. Ia berpikir bagaimana ia harus ambil putusan.
Oen Tjeng lihat kesangsian Sin Tjie, ia kata : "Sam yayaku ini paling suka anak-anak muda,
tidak nanti dia lukai padamu..."
Tapi dia disenggapi ibunya : "Tjeng Tjeng, jangan banyak mulut!"
Kelihatan ibu itu gusar.
Oen Beng San menoleh kepada Oen Tjeng, dia kata : "Kita lihat saja masing-masing punya
untung!" Lalu ia tambahan pada Sin Tjie : "Saudara Wan, kau gunai pedang atau golok?"
Sin Tjie terdesak, ia mesti berikan jawabannya. Ia melihat ke sekitarnya. Tiba-tiba ia
tampak satu bocah lelaki umur enam atau tujuh tahun, yang sedang dituntun oleh Goat
Hoa. Mestinya bocah itu ada anggauta keluarga yang termuda. Anak itu lagi pegangi
sebatang pedang kayu jang dicat beraneka warna. Pasti itu ada pedang yang menjadi alat
permainan bocah itu. Lantas saja ia hampirkan bocah itu.
"Saudara cilik, mari kasi aku pinjam pakai pedangmu, sebentar saja," ia minta.
Bocah itu berani, ia tertawa, ia serahkan pedang-pedangannya itu. Setelah sambuti itu
pedang kayu, Sin Tjie hampirkan Oen Beng San.
"Tidak berani aku yang muda menghadapi lootjianpwee dengan golok atau tumbak tulen,
dari itu aku pinjam pakai ini pedang kayu, untuk kita berlatih beberapa jurus saja." Berkata
dia. Pemuda ini bicara merendah dan halus, tetapi ia nampaknya sabar dan tenang.
(Bersambung bab ke 7)
Oen Beng San murka sampai hampir dia tak sanggup kendalikan diri lagi, maka sebagai
pelabi, dia tertawa ter-bahak-bahak.
"Sudah beberapa puluh tahun loohoe berkelana didunia kang-ouw, belum pernah loohoe
ketemui siapa juga yang berani memandang enteng tongkatku Liong-tauw Koay-thung!"
kata dia. "Baiklah! Apabila kau benar punyakan kepandaian, hayo dengan pedang kau, kau
tabas kutung tongkatku ini!"
Liong-tauw Koay-thung ada tongkat berkepala naga-nagaan. Berbareng dengan
berhentinya kata-kata jumawa itu, tongkat tersebut dipakai membabat kepinggang Sin Tjie.
Sambaran itu diiringi dengan sambarannya angin juga, yang bersuara nyaring.
Oen Tjeng menjerit ketika ia lihat serangan yaya-nya itu. Ia tampak tubuh Sin Tjie seperti
terbawa tongkat yang liehay itu. Akan tetapi belum sampai tubuhnya anak muda ini
terlempar, atau tahu-tahu pedang kayunya sudah menyambar lempang kemuka si
penyerang. Oen Beng San mundur seraya tarik pulang tongkatnya, tetapi ia tidak cuma menarik saja,
sebaliknya, ia segera dapat juga maju pula, untuk totok ulu-hati orang! "Ha, kiranya
tongkat ini dapat juga dipakai sebagai alat penotok jalan darah!" pikir Sin Tjie sambil ia
berkelit. "Aku mesti waspada!"
Sambil berkelit, pemuda ini lantas membabat dengan pedang-pedangannya itu.
Kalau itu ada pedang benar dan mengenai dengan tepat, tangan lawan yang menyekal
tongkat mesti sapat semua jarinya. Akan tetapi Oen Beng San bukannya lawan lemah. Dia
tahu baik sekali, sekalipun hanya pedang-pedangan, kalau ia terbacok, ia bakal terluka
juga. Maka segera ia lepaskan tangannya yang kanan, hingga ujung tongkat jatuh ketanah
dan tinggal pangkalnya yang lain jang tercekal di tangan kiri, lalu dengan dibantu lagi
tangan kanan, ia ulangi serangan susulannya yang tidak kalah berbahayanya.
Ditangan orang liehay, tongkat itu jadi seperti bertambah-tambah beratnya, maka siapa
lacur kena terserang, celakalah dia.
Sin Tjie kagum melihat kegesitan dan keliehayan lawan itu, karenanya, ia jadi bertanding
dengan terlebih hati-hati.
Setiap serangan Oen Beng San menerbitkan sambaran angin keras, malah kalau kebetulan
ia mengemplang tempat kosong, batu lantai hancur terlabrak dan muncrat meletik
berhamburan. Coba itu mengenai tubuh manusia, bagaimana hebatnya.
Sin Tjie tidak perdulikan liehaynya tongkat, dia melayani dengan tubuhnya yang enteng,
dengan gerakannya yang cepat dan pesat, sehingga ia bagaikan kupu-kupu yang terbang
molos sana molos sini. Disebelah itu, pedangnya pun saban-saban mencari bagian-bagian
yang lowong dari anggauta-anggauta lawannya, untuk membalas.
Tanpa merasa, saking cepatnya, pertempuran telah melalui banyak jurus, sesudah mana,
Oen Beng San menjadi kelabakan sendirinya. Ia sudah buka mulut besar tetapi buktinya,
belum dapat ia rubuhkan lawan ini. Ia jadi ingat bagaimana tongkatnya ini yang dia buat
andalan, sudah angkat namanya di Kanglam, belum pernah dia menemui tandingan, tetapi
sekarang, ia seperti dilece-lece bocah cilik. Apakah nama baiknya tak akan runtuh
karenanya" Oleh karena memikir begini, dalam penasarannya, Beng San ubah caranya
berkelahi. Ia jadi berlaku sangat gesit, hingga ia seperti libat lawannya ini dengan
tongkatnya itu.
Semua penonton mundur sedikit, mereka merasai sambaran angin tak hentinya. Ada
diantaranya yang nyender pada tembok thia, supaya tidak sampai kena kelanggar....
Setelah perubahan sikapnya jago tua itu, Sin Tjie merasa inilah musuh pertama yang
paling tangguh yang ia pernah ketemukan. Tak dapat ia dekati lawan, sedang dengan
pedang kayunya, tak bisa ia tabas tongkat itu.
"Tidak bisa lain, mesti aku gunai ajaran soehoe," pikir dia akhirnya. Dan lantas ia mulai
dengan perubahannya, hingga sekarang ia tampaknya bergerak lambat atau ayal.
Sebagai ahli, Oen Beng San bisa lihat kelambatan bergerak dari lawannya yang muda ini.
Ia jadi sangat girang. Ia tidak hendak mensia-siakan ketika lagi. Begitu terbuka ketikanya,
ia menyapu dengan hebat.
Nampaknya Sin Tjie sudah lelah, ayal segala gerak-geriknya, akan tetapi ketika
pinggangnya disapu, mendadak ia sambar ujung tongkat. Ia menggunai tangan kiri, ia
menyekal dengan keras, ia menarik dengan kaget sambil menekan, berbareng dengan
mana tangannya yang kanan, yang menyekal pedang-pedangan, menyambar langsung
kedepan. "Bret!" demikian satu suara nyaring, dari pecahnya cita.
Dan bajunya Oen Beng San, tertua ketiga dari Tjio Liang Pay, robek karenanya! Masih Sin
Tjie berlaku murah hati, jikalau tidak, ujung pedang pasti sudah menyambar terus kedada!
Oen Beng San kaget berbareng ia rasai telapakan tangannya sakit disebabkan gentakan
Sin Tjie, karena ia berbelit, ia terpaksa lepaskan tongkatnya jang tercekal keras lawannya
itu. Sin Tjie ada berhati mulia, tak mau ia bikin malu jago tua itu, selagi menarik pulang
pedangnya, ia sodorkan tangan kirinya, berikut tongkat ditangannya, akan kembalikan
tongkat itu. Kejadian ini dilakukan dengan cepat luar biasa, kecuali ahli silat, jarang ada
yang bisa lihat pertukaran tongkat itu.
Sam-yaya itu mendongkol sangat, begitu ia sambuti tongkatnya, begitu ia menyerang pula!
Sin Tjie terkejut, ia heran. Orang sudah kalah, kenapa orang masih berlaku begini tidak
berkepantasan" Tetapi tidak sempat ia berpikir. Dengan sebat ia egos tubuh kebelakang,
dengan lompat mundur sedikit untuk bebeaskan diri dari serangan seumpama bokongan
itu. Masih jago tua itu tidak mau mengerti, ia tarik tongkatnya untuk lagi sekali dipakai
menyerang pula. Tapi sekarang berbareng terdengar suara "Ser!" tiga kali, dari mulut
naga2an dari tongkat itu melesatlah tiga batang paku baja, menherang kearah tiga
penjuru: atas, tengah dan bawah! Djarak diantara kedua orang itu ada dekat, karena
serangan senjata rahasia itu membarengi totokan tongkat.
Oen Tjeng kaget, sampai ia berseru diluar keinginannya, hampir ia berlompat kalau tidak
ibunya tarik tangannya.
Sin Tjie terkejut, inilah ia tidak sangka. Tapi ia tidak menjadi gugup.
Ia lantas menyampok, beruntun tiga kali. Ia telah menggunai tipu silat "Kong tjiak kay
peng" atau "Burung merak buka sajap". Dengan tangkisannya ini semua tiga paku jatuh


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketanah. Inilah salah satu kepandaian istimewa dari Hoa San Pay. Setelah itu, ia tidak diam
saja, sambil maju setindak, ia tekan ujung tongkat dengan pedang-pedangannya.
Dengan tiba-tiba Oen Beng San merasai tenaga menekan yang berat sekali, sedang itu
waktu, ia belum sempat tarik pulang tongkatnya. Rupanya tadi ia percaya ia pasti akan
berhasil dengan serangan senjata rahasia itu. Ia mundur, akan tancap kaki, untuk pasang
kuda-kuda, guna pertahankan diri.
Sin Tjie menekan terus, sampai ujung tongkat mengenai tanah, sesudah mana, mendadak
ia angkat sebelah kakinya yang kiri, akan injak ujung tongkat.
Jago tua itu kerahkan tenaganya, untuk tarik pulang tongkatnya.
Sin Tjie tidak menginjak lama, dengan sekonyong-konyong ia angkat kakinya, sambil terus
mencelat mundur, maka itu, dengan gampang sekarang Beng San bisa angkat dan tarik
tongkatnya itu. Akan tetapi pada lantai, yang terbuat dari batu hijau, ada lobang bekas
kepala tongkat itu! Semua hadirin terperanjat; mereka saling mengawasi dengan
tercengang. Oen Beng San kena dipecundangi, ia mendongkol bukan buatan. Dengan kedua
tangannya, ia lemparkan tongkatnya keatas wuwungan dari thia itu, hingga dilain saat
terdengarlah satu suara nyaring yang dahsyat, sebab tongkat itu membuat satu lobang
dan nembus keluar wuwungan! "Alat ini kena dikalahkan pedang kayumu, buat apa
dipakai lagi!" kata jago tua itu.
Sin Tjie tampak orang murka besar, didalam hatinya dia berkata: "Sebenarnya kau yang
kalah dari aku, bukannya tongkatmu yang kalah dari pedang-pedanganku!"
Memang tak ada faedahnya akan jago tua itu ngambul secara demikian.
Diantara Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay, yang paling liehay dengan senjata rahasianya
adalah Soe-yaya Oen Beng Sie. Jago tua jang keempat ini mempunyai dua puluh empat
batang hoei-too, golok terbang, dalam hal menggunai senjata mana, tak pernah ia gagal.
"Seratus kali lepas, seratus kali kena." Demikian istilahnya.
Setiap hoei-too itu beratnya setengah kati saja, semuanya disimpan dalam satu kantong
kulit yang digendol dibelakang. Lain orang gunai senjata rahasia secara menggelap atau
diam-diam, tetapi hoei-too dari Soe-yaya ini menyambar sambil berusara mengaung, mirip
dengan rayuan seruling. Jadi suara itu seperti merupakan pemberian ingat terdahulu
untuk lawan, sedang sebenarnya, suara itu justru untuk membikin lawan menjadi bingung
dan gugup. Oen Beng Sie lihat kakaknya itu gagal, tanpa bicara lagi, ia lompat kedalam kalangan.
"Saudara Wan, permainan senjatamu untuk memunahkan senjata rahasia bagus sekali,"
berkata dia. "Bagaimana kalau sekarang kau sambut juga golok terbangku?"
Habis mengucap demikian, jago tua ini lolosi kantong kulitnya, jang dicantel
dipinggangnya, untuk dipindahkan kebebokongnya.
Sin Tjie mengerti bahwa akan percuma saja ia mengalah, dari itu, ia manggut.
"Harap saja lootjianpwee berlaku murah hati," jawabnya. Lantas ia hampirkan bocah tadi,
untuk kembalikan pedang kayu, setelah mana, ia kembali ketengah lian-boe-thia.
Semua penonton undurkan diri, antaranya ada yang menyingkir ke pintu. Suasana ada
tegang. Orang menginsafi liehaynya golok dari Soe-yaya itu, yang tak pernah gagal.
Umpama kata Sin Tjie sanggup menanggapinya, soal ada lain, akan tetapi apabila dia
mencoba berkelit selalu, dia mesti terancam malapetaka... "Lihat golok!" mendadak
terdengar seruan Oen Beng Sie.
Karena dua pihak sudah lantas siap, jago tua ini tak sia-siakan ketika lagi.
Golok menyambar sambil berkelebatan dan bersuara juga: "Swing!"
Selama itu Sin Tjie sudah pikir , golok terbang dari jago tua itu mestinya istimewa.
"Jikalau aku tanggapi, tak akan terlihat kepandaianku," demikian ia pikir. "Dengan jalan
itu, tak bisa aku takluki dia. Dia mesti dibikin menyerah dengan begitu rupa Barulah dia
nanti suka lepaskan Siauw Hoei dan kembalikan emas itu."
Karena ini, diam-diam ia telah keluarkan dua butir biji caturnya. Ketika golok menyambar,
ia kagumi ketangkasannya si jago tua. Ia tak berayal, untuk gunai biji caturnya. Tangan
kirinya lantas menimpuk, disusul dengan tangan kanan.
Segera sebutir biji catur tangan kiri itu mengenai golok dengan terbitkan suara pelahan,
berhentilah suara mengaung nyaring tadi dari golok tersebut. Sebab biji ini tepat nancap
dilobang kecil diujung golok. Segera setelah itu, terdengar suara nyaring lain. Ini kali ada
suara dihajarnya golok dengan biji catur dari tangan kanan, menyusul mana, hoei-too itu
terhalang menyambarnya dan terus jatuh kelantai.
Golok terbang berat setengah kati dan biji catur kecil dan enteng sekali, toh golok itu
kalah tenaga, maka ini telah menyatakan, bentrokan diantara dua senjata itu berbareng
juga membuktikan tenaga dari kedua orang yang lagi adu kepandaian itu. Tenaga Sin Tjie
ternyata berlipat lebih besar daripada tenaga Oen Beng Sie.
Wajah Soe-yaya dari Oen Tjeng ini berubah dengan sekejab, tetapi berbareng dengan ini,
dua batang goloknya sudah melayang pula, dengan berbareng.
Sin Tjie sudah siap pula dengan biji-biji caturnya, karena ia telah duga sikap lawan, maka
ketika ia diserang lagi, dengan dua golok, dengan cepat ia menimpuk dengan empat biji
catur, dengan berturut-turut. Maka dengan saling-susul, kedua golok pun jatuh seperti
yang pertama. "Hm!" berseru Beng Sie. "Liehay! Liehay!"
Dimulut Soe-yaya itu perdengarkan pujiannya, tangannya sebaliknya dikerjakan terus,
malah kali ini enam batang golok dikasih menyambar. Dia pun sengaja sebar golok-golok
terbangnya itu kesegala penjuru. Ia insyaf, disatu arah saja, akan sia-sia penyerangannya
itu. Selagi menyerang, didalam hatinya, ia kata: "Apa mungkin kau sanggup pukul jatuh
pula sesuatu dari golokku ini?"
Oleh karena enam batang hoei-too yang terbang berhamburan, suara swingnya pun ramai
sekali. Akan tetapi suara itu berhenti dalam sekejab. Karena dua belas biji catur dari Sin
Tjie sudah bekerja pula, untuk memukul rubuh.
"Bagus!" Oen Beng Sie berseru pula, tapi dengan hati mendongkol sangat, dengan
penasaran. Dan kedua tangannya digeraki dengan hampir berbareng, menyambarkan
enam batang golok pula masing-masing. Maka itu, Baru enam hoei-too serang si anak
muda, atau enam yang lain sudah menyusul dengan segera. Serangan ini juga dilakukan
dengan tenaga penuh dan semangat bernyala-nyala.
Oen Beng Tat ada seorang yang berpengalaman, ia segera dapay kenyataan, anak muda
didepan mereka itu mesti ada muridnya seorang yang liehay sekali, maka itu ia kaget tak
terkira apabila ia saksikan saudaranya yang keempat menyerang secara demikian.
"Soetee, jangan celakai dia!" dia berseru, untuk mencegah.
Tapi cegahan ini sia-sia saja, karena hoeitoo sudah saling susul menyerang si anak muda.
Sin Tjie tidak menjadi bingung karena serangan hoeitoo yang seperti berantai itu, ia
berlompat sambil kerahkan kedua tangannya secara sangat cepat, ia bukannya menangkis
dan berkelit, ia hanya tanggapi setiap golok. Maka dilain saat, dua-belas batang golok
terbang itu telah bersarang diantara kedua tangannya kiri dan kanan, enam buah disetiap
tangan! Akan tetapi anak muda ini tidak cuma tangkap semua golok yang menyerang dia,
dia tidak pegang itu lama-lama, dengan lantas dia melempar-lemparkannya, dengan kedua
tangannya, hingga dalam beberapa kali saja, kedua tangannya sudah kosong pula. Dilain
pihak, semua hadirin menjerit bahna heran dan lalu melengak karenanya. Sebab
keduabelas golok itu menyambar kearah para-para senjata dan disana sejumlah tumbaktumbak
biasa dan tumbak cagak - pada terputus ujungnya terkena sambaran hoeitoohoeitoo
itu! Menyusul ini, semua lima Ngo Tjouw matanya bernyala-nyala, saking
mendongkolnya. "Apakah kau dikirim oleh si Kim Coa Kan-tjat?" berseru mereka dengan suara jang sangat
bengis. "Kim Coa Kan-tjat" berarti "Kim Coa si bangsat". Lima jago itu menegur secara demikian
karena mereka saksikan caranya Sin Tjie menanggapi golok-golok terbang itu.
Dengan sebenarnya, Sin Tjie sudah lakukan perlawanan dengan keluarkan ilmu silat yang
ia peroleh dari Kim Coa Pit Kip, kitab warisan Kim Coa Long-koen.
Tatkala dulu Kim Coa Long-koen Hee Soat Gie layani jago-jago Tjio Liang Pay itu, selagi
Oen Beng Sie serang dia dengan dua belas Hoeitoo, dia telah menyambuti semua golok
dengan tangan kosong, gerakannya mirip dengan gerakan Sin Tjie ini. Maka itu, mereka ini
jadi ingat kepada Kim Coa Long-koen itu, si Ular Emas.
Sin Tjie masih belum tahu, ada sangkutan apa diantara Kim Coa Long-koen dan jago-jago
Tjio Liang Pay ini, dari itu, ia tidak lantas keluarkan kepandaiannya menurut ajaran si Ular
Emas, adalah barusan, karena terancam bahaya, ia gunai itu diluar keinginannya. Itu
adalah ilmu silat yang dinamai "Tjian Tjhioe Koan Im Sioe-Ban po", atau "Koan Im Tangan
Seribu Menyambut selaksa Mustika".
Sebenarnya, atas pertanyaan itu, pemuda ini hendak berikan jawaban, akan tetapi sebelum
ia buka mulut, ia lihat dari luar paseban bertindak masuk tiga orang, diantara siapa ada
Siauw Hoei, yang ternyata telah ditelikung oleh dua orangnya Tjio Liang Pay. Teranglah si
nona Baru saja dikeluarkan dari lobang jebakan, untuk dihadapi kepada ketua mereka.
Melihat nona itu, tidak ayal lagi, Sin Tjie lompat jauh, akan pergi keluar paseban, guna
papaki nona itu. Ia berlompat dengan gerakan "It hong tjiong thian", atau "Burung hoo
terjang langit".
Menampak demikian, dengan masing-masing hunus senjatanya, Oen Beng Tat dan Oen
Beng Gie lari mengejar.
Sin Tjie tidak perdulikan orang susul ia, ia memburu terus kearah Siauw Hoei, Baru ia
datang dekat, ia sudah lantas disambut oleh dua orang yang iringi si nona, mereka ini
masing-masing gunai golok dan pedangnya.
Segeralah terdengar suara nyaring dua kali beruntun, golok dan pedangnya dua
penyerang itu terlepas dari cekalan mereka, terpental keras, sehingga mereka jadi
tercengang dan kaget. Sebab senjata mereka sudah bentrok dengan senjata toalooya dan
djilooya mereka! "Tolol!" kedua ketua itu mendamprat.
Sin Tjie sudah berlaku cerdik, ketika ia dipapaki serangan, ia bukan tangkis serangan itu,
ia hanya nelusup kebawah, justru itu Beng Tat dan Beng Gie sampai, mereka ini sudah
lantas serang si anak muda, hingga tak dapat dicegah lagi, senjata mereka berempat
bentrok satu dengan lain.
Lolos dari serangan, Sin Tjie sudah lantas sambar Siauw Hoei, akan bikin putus tambang
belenggu nona ini.
"Engko Sin Tjie!" Nona An berseru saking girang.
"Sambut ini!" kata Sin Tjie, yang lemparkan pedang si nona yang pun terikat tambang,
yang ia sudah lantas loloskan.
Siauw Hoei ulur tangannya, akan sambuti senjata itu.
Baru si nona pegang senjatanya, atau dua tumbak pendek dari Oen Beng Tat telah sambar
dia, hingga ia jadi kaget.
"Aduh!Aduh!...." demikian dua teriakan menyusul, teriakan dari kehebatan.
Dalam ancaman bahaya itu, mendadak didepannya Siauw Hoei menghalang dua tubuh
manusia, hingga tidak ampun lagi, mereka ini kena disapu Beng Gie, hingga keduanya
rubuh dengan berteriak kesakitan.
Mereka nyata ada dua orang yang barusan iringi Siauw Hoei, mereka melintang karena
dijoroki Sin Tjie. Beruntung mereka, ketuanya keburu urungi serangan tumbaknya dan
cuma dupak mereka.
Dua-dua Siauw Hoei dan Sin Tjie mundur, akan tetapi Beng Tat tidak mau sudah. Toa looya
ini melanjuti menyerang lebih jauh dengan tumbaknya. Tiba-tiba tumbaknya kena terlibat
tambang, hingga ia terkejut. Untuk melepaskan diri, terutama untuk cegah orang tarik dia,
ia barengi maju,akan menikam terus! Sin Tjie masih belum lepaskan tambang bekas
membelenggu Siauw Hoei ketika si nona terancam bahaya, ia gunai itu untuk sambar dan
lilit senjata Toa-yaya. Sebenarnya ia niat membetot tapi ia telah didahului Beng Tat, maka
menggunai ketikanya itu, ia kendorkan cekalannya hingga tambang jadi terlepas dari
tangannya, karena mana, Beng Tat ngusruk sendirinya, sukur setelah dua tindak, jago tua
ini bisa pertahankan diri.
Selagi orang terjerunuk, Sin Tjie tarik tangan Siauw Hoei, untuk ajak si nona lari kedalam
paseban dimana, bukannya ia menyerang atau menyingkir lebih jauh, ia hanya berdiri
diam. Oen Beng Tat telah jadi sangat gusar, karena ia merasa sudah dipermainkan orang, ia
memburu kedalam paseban dengan diturut saudaranya.
Semua orang keluarga Oen juga telah berkumpul jadi satu. Mereka berdiri dibelakang Ngo
Tjouw mereka. Beng Tat dan Beng Gie persatukan diri kepada tiga saudara mereka apabila
mereka lihat si anak muda tidak lari menjingkir.
"Dimana adanya Kim Coa Kan-tjat?" Beng Tat tanya sambil menuding dengan tangan
kanan, karena tangan kirinya dipakai memegang tumbak pendeknya. "Lekas bilang!"
"Jikalau ada bicara, lootjianpwee, mari kita omong secara baik, tak usah kau bergusar."
Sahut Sin Tjie dengan sabar.
"Pernah apa kau dengan Kim Coa Long-koen Hee Soat Gie?" tanya Beng Gie, dengan
suara menyatakan kemurkaannya. "Dia ada dimana sekarang" Apakah dia yang perintah
kau datang kemari?"
"Seumurku, belum pernah aku lihat mukanya Kim Coa Long-koen," jawab Sin Tjie, dengan
tetap tenang, "maka cara bagaimana dia bisa perintah-perintah aku?"
"Apakah katamu ini?" Beng San, sam-yaya , tegaskan.
"Apa gunanya aku dustakan kamu?" sahut anak muda itu. "Secara kebetulan saja aku
bertemu sama ini saudara Oen Tjeng diatas sebuah perahu, berterima kasih atas
kebaikannya, kita berdua lantas ikat tali persahabatan. Ada hubungan apa kamu dengan
Kim Coa Long-koen?"
Ngo Tjouw nampaknya jadi lebih tenang, akan tetapi kecurigaannya masih belum lenyap.
"Apabila kau tidak sebutkan tempat sembunyinya Kim Coa Long-koen, hari ini jangan kau
harap bisa keluar dari Tjio-liang!" Beng Tat mengancam. Ia tidak jawab pertanyaan orang.
"Dengan andali kepandaian kamu ini kamu hendak menahan aku?" si anak muda tegasi.
"Aku kuatir kau tak nanti mampu berbuat demikian..." Masih Sin Tjie berlaku sabar sekali,
sikapnya menghormat. Lalu ia menambahkan : "Dengan Kim Coa Long-koen itu, aku tidak
bersanak tidak berkadang, sama sekali kita berdua belum pernah bertemu muka. Cuma,
untuk bicara terus-terang, dimana adanya dia sekarang, aku tahu, melainkan aku kuatir
disini tak ada seorangpun yang berani pergi menemukan dia...?"
Dengan mendadak, kumat pula kemurkaan Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay itu.
"Siapa bilang kami tidak berani?" seru Beng Tat, si Toa-yaya. "Selama sepuluh tahun ini,
tidak ada satu hari yang kami tidak cari dia! Kami berlima saudara, satu persatu jiwa kami,
suka kami antarkan ketangannya dia itu! Biar dia ada diujung langit, pasti kami akan cari
padanya! Dimana dia ada?"
Sin Tjie tertawa dengan tawar.
"Apa benar-benar kamu hendak pergi ketemui dia?" ia tanya.
Beng Tat maju setindak.
"Tidak salah!" jawabnya.
"Ada apa faedahnya akan bertemu dengannya?" tanyanya.
Pendekar Naga Mas 7 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Rahasia Peti Wasiat 5
^