Pencarian

Pendekar Bodoh 11

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah puncak lain yang ditumbuhi banyak bunga-bunga indah. Tiba-tiba Lin Lin berseru,
"Ada gua di sini!" Ketika semua orang menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi terdapat pintu gua yang cukup besar dan tinggi. Gua itu tadinya gelap oleh karena terhalang oleh alang-alang, akan tetapi segera setelah Yousuf menggunakan pedangnya untuk membabat alang-alang itu, di dalam gua menjadi terang oleh karena kebetulan sekali gua menghadap ke barat dan matahari yang sudah condong ke barat itu menyinarkan cahayanya ke dalam gua.
Dengan didahului Yousuf dan Nelayan Cengeng, keempat orang itu memasuki gua dengan perlahan dan hati-hati, dan tak lupa mereka menyiapkan senjata di tangan masing-masing menghadapi bahaya yang mungkin timbul. Gua itu ternyata memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya kira-kira tiga tombak saja dan di dalamnya kosong tidak menampakkan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba Lin Lin menjerit perlahan dan melompat seakan-akan diserang oleh sesuatu yang mengerikan dari bawah tanah! Semua orang terkejut dan bertanya, "Ada apakah?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
312 Lin Lin dengan tangan menggigil menunjuk ke bawah dan ternyata bahwa kaki gadis itu tadi telah tersangkut oleh sebuah tulang tangan orang yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup pasir itu! Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja, sedangkan tulang rangka selebihnya terpendam di bawah pasir! Tentu saja melihat lima buah jari tangan yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan menimbulkan hati takut dan ngeri.
"Tentu ada apa-apanya di bawah ini," berkata lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai menggali pasir yang menimbun tangan rangka itu. Setelah digali, maka tampaklah rangka manusia yang lengkap terpendam di pasir dan disebelah rangka itu terdapat sebatang pedang yang telah habis dimakan karat dan pedang itu hanya tinggal sisanya sepanjang paling banyak satu kaki saja lagi. Sisa ini pun telah merupakan besi berkarat dan gagangnya sudah tinggal sepotong kayu lapuk.
Sambil memegang pedang bobrok itu dan mengamat-amatinya dengan penuh perhatian,
Nelayan Cengeng berkata sambil menghela napas.
"Ah, kalau saja pedang bobrok ini dapat bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang ini yang tentu indah menarik sekali. Apalagi tubuh manusia sedangkan pedang yang aku percaya tadinya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, kini hanya tinggal sisanya yang sudah tidak berharga lagi saja!" Sambil berkata demikian, Nelayan Cengeng lalu menaruh kembali pedang yang tinggal sepotong dan karatan itu di dekat rangka itu.
"Kita harus tanam kembali rangka ini dengan pasir," katanya penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan sesuatu di situ.
"Nanti dulu, Locianpwe!" tiba-tiba Lin Lin berkata. "Agaknya tidak percuma tangan rangka ini tadi menowel kakiku dan karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan sisa pedang ini sebagai kenang-kenangan kunjunganku ke pulau ini."
Nelayan Cengeng tertawa. "Kau ini memang aneh! Untuk apakah sisa pedang bobrok itu?"
Akan tetapi semua orang tidak melarang ketika Lin Lin dengan hati-hati mengambil pedang bobrok itu dan membungkusnya dengan baik-baik di dalam saputangannya, lalu
menyelipkannya di ikat pinggang.
Setelah mengubur kembali rangka itu dengan baik-baik, mereka lalu mengambil keputusan untuk bermalam di gua ini yang merupakan tempat baik sekali untuk berlindung dari serangan angin atau binatang buas yang mungkin menyerang di waktu malam.
Berhari-hari keempat orang itu tinggal di Pulau Kim-san-to dan setiap hari Yousuf keluar melakukan pemeriksaan dan mencari-cari harta yang disangkanya berada di pulau itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal dan sia-sia, karena yang didapatnya di pulau itu hanyalah batu-batu karang yang tidak berharga. Sedangkan Nelayan Cengeng dan kedua orang gadis itu yang tidak sangat bernafsu untuk mencari harta terpendam, jarang ikut dan hanya berjalan-jalan menikmati pemandangan di pulau itu.
Pada hari ke tiga, tiba-tiba terdengar jeritan Yousuf dari dekat. Ketiga orang kawannya menjadi kaget sekali dan cepat memburu ke arah suara jeritannya. Mereka kaget melihat Yousuf sedang mencekik seekor ular yang besarnya hanya selengan tangan orang, akan tetapi wajah orang Turki itu telah menjadi pucat sekali. Lin Lin memburu dengan pedang di tangan dan sekali bacok saja tubuh ular itu telah terpotong menjadi dua.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
313 Yousuf melepaskan leher ular yang sedang dicekiknya itu ke atas tanah, akan tetapi semua orang terkejut sekali melihat bahwa bagian yang seharusnya menjadi ekor ular itu, ternyata merupakan kepala pula dan yang telah menggigit pundak Yousuf dan kini masih menempel di situ.
Ternyata bahwa ular itu adalah seekor ular kepala dua. Ketika Yousuf sedang memeriksa dan mencari-cari sambil menyingkap rumput alang-alang, tiba-tiba ular tadi menyambar dan hendak menggigitnya, Yousuf tidak keburu berkelit, maka cepat mengulur tangan menangkap leher ular yang menyambarnya itu dan terus menggunakan kekuatannya mencekik leher ular yang tak dapat melepaskan diri lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Yousuf merasa pundaknya sakit sekali dan alangkah kaget dan herannya ketika melihat bahwa ekor ular itu dapat menggigit pundaknya. Dia tidak menyangka bahwa ekor ular itupun merupakan kepala kedua sehingga ia tidak sempat mengelak dan kena tergigit pundaknya.
Yousuf merasa tubuhnya menjadi panas dan pundaknya sakit sekali, maka tanpa terasa pula ia menjerit hingga kawan-kawannya datang menolong.
Setelah melepaskan kepala ular yang dicekiknya, Yousuf lalu roboh pingsan dengan muka merah sekali. Ketika Nelayan Cengeng meraba jidatnya, ternyata tubuh orang Turki itu panas sekali. Kong Hwat Lojin lalu mencabut kepala ular yang masih menggigit pundak walaupun telah mati dan melemparkannya jauh-jauh, kemudian ia memondong tubuh Yousuf ke dalam gua tempat mereka bermalam.
Lin Lin yang biarpun sedikit pernah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya yaitu Biauw Suthai lalu memeriksa luka di pundak Yousuf. Ia terkejut sekali melihat betapa pundak itu telah menjadi matang biru dan maklum bahwa ular yang menggigit Yousuf itu adalah ular beracun yang berbahaya sekali.
Selagi mereka bertiga kebingungan tiba-tiba di luar gua terdengar suara aneh. Mereka memburu keluar dan melihat seekor burung merak yang berbulu biru bercampur kuning keemas-emasan hingga dari jauh nampak seperti hijau. Merak ini indah sekali dan juga besarnya melebihi merak biasa. Mereka terkejut karena teringat akan cerita Yousuf tentang merak sakti yang amat lihai. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah siap dengan senjata mereka untuk menyerbu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru,
"Jangan ganggu dia! Lihat, dia membawa buah Pek-kim-ko (Buah Emas Putih). Buah inilah yang kubutuhkan pada saat ini untuk menolong jiwa Yo sian seng."
Merak itu seakan-akan mengerti bicara Lin Lin, karena ia berhenti dan berdiri di depan Lin Lin sambil memandang ke arah gadis itu dengan kedua matanya yang merah dan indah. Lin Lin lalu melangkah maju tanpa kelihatan jerih sedikit pun, karena dalam hatinya ia menganggap tak mungkin seekor burung yang begini indahnya dapat mempunyai watak jahat.
Setelah dekat Lin Lin tidak berani mengambil buah itu dari mulut merak karena menganggap hal itu kurang patut dan tidak menghargai burung itu, maka ia lalu mengulurkan tangan kanan seperti orang minta-minta. Dan benar saja, merak ajaib itu lalu mengulurkan lehernya ke depan dan menjatuhkan buah yang berwarna putih itu ke dalam telapak tangan Lin Lin. Lin Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
314 Lin menerima buah itu dan ketika melihat bahwa itu benar-benar buah Pek-kim-ko seperti yang ia duga, ia menjadi girang sekali dan tak terasa pula ia mengangguk kepada burung merak itu dan berkata,
"Sin-kong-ciak-ko (Saudara Merak Sakti), terima kasih banyak!" Lalu gadis ini berlari masuk ke dalam gua diikuti oleh Nelayan Cengeng dan Ma Hoa yang memandang terheran-heran.
Lin Lin segera menghampiri Yousuf yang masih rebah di pembaringan tanpa dapat berkutik lagi dan mukanya makin menjadi merah serta tubuhnya penas sekali bagaikan dibakar.
Tanpa banyak membuang waktu dan banyak bicara lagi, Lin Lin lalu mencabut pedangnya dan menggunakan ujung pedang itu untuk digoreskan ke pundak Yousuf yang telah dibuka bajunya, yaitu di bagian yang bengkak dan matang biru, bekas gigitan ular tadi. Kulit pundak dan daging di situ terbuka dengan mudah oleh ujung pedang yang tajam dan runcing itu, kemudian setelah menyimpan pedangnya, Lin Lin lalu memasukkan buah Pek-kim-ko itu ke mulutnya terus dikunyah dan dimakan. Rasa buah itu pahit sekali dan di dalamnya
mengandung getah yang melekat di seluruh lidah, gigi, dan kulit dalam mulut. Lin Lin lalu menempelkan bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu ke arah luka bekas goresan pedang di pundak Yousuf lalu dihisapnya! Setelah menghisap, ia lalu meludahkan darah hitam yang dapat disedot dari luka itu. Berkali-kali ia menghisap dan meludah sambil kadang-kadang berhenti untuk mengurut jalan darah di sekitar pundak yang tergigit ular itu. Akhirnya, habislah bisa ular yang meracuni darah Yousuf dan lenyaplah warna merah di mukanya dan warna matang biru di pundaknya, sedangkan panasnya juga otomatis menurun.
Ternyata bahwa khasiat buah Emas Putih itu ialah untuk menjaga mulut dan tenggorokan Lin Lin, agar jangan sampai terpengaruh bisa yang jahat itu. Tanpa buah Pek-kim-ko, Lin Lin takkan berani melakukan penghisapan bisa dengan mulutnya itu, karena hal ini berbahaya sekali, dan dapat menewaskannya.
Setelah jiwa Yousuf tertolong dari ancaman bisa ular, Lin Lin lalu keluar dari gua untuk mencari air dan mencuci mulutnya sampai bersih. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa saling pandang dan rasa haru yang mendalam terasa oleh hati kedua orang ini melihat ketinggian budi Lin Lin. Mereka memuji kemuliaan hati gadis itu.
Ketika Lin Lin sedang mencuci mulut dan tangannya di sebuah sumber air kecil di puncak gunung itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara geraman hebat di belakangnya dan ketika ia menoleh, terlihat olehnya seekor harimau yang besar sekali! Yang aneh adalah bahwa di tengah-tengah jidat harimau itu tumbuh sebuah tanduk yang melengkung ke atas bagaikan tanduk seekor badak. Lin Lin cepat berdiri dan melompat ke tempat yang lebih lega dan rata, karena maklum bahwa binatang ini tentulah harimau jahat dan lihai yang pernah diceritakan oleh Yousuf di atas perahu dulu.
Memang benar bahwa harimau inilah yang dulu menyerang Yousuf dan kawan-kawannya
dan binatang ini lihai dan kuat. Akan tetapi melihat Lin Lin, harimau ini agaknya ragu-ragu untuk menyerang, hanya memandang dan menggeram beberapa kali, lalu mengaum kecil seakan-akan menyatakan keraguannya apakah ia harus menyerang gadis ini atau tidak.
Tiba-tiba terdengar suara pukulan sayap dari atas dan Lin Lin merasa datangnya angin menyambar kepalanya dari atas. Cepat gadis ini mengelak dengan tepat oleh karena tanpa Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
315 peringatan lagi, dari atas telah manyambar turun seekor Rajawali Emas yang besar! Kalau Lin Lin tadi tidak mengelak dengan tepat, tentu kepalanya telah kena dipatuk oleh burung yang gelak itu! Lin Lin makin terkejut oleh karena ia telah mendengar akan kelihaian burung ini dan kini setelah dua macam binatang lihai ini barada di depannya, apakah yang dapat ia lakukan" Sedangkan Yousuf yang begitu gagah dan dibantu oleh dua orang kawannya pun masih tak kuat melawan dua ekor binatang ini, apalagi dia berada seorang diri dan tidak memegang senjata pula" Namun gadis ini memang mempunyai hati yang tabah dan pada mukanya tidak terlihat rasa takut sedikit pun. Bahkan ketika itu ia memandang kepada harimau dan rajawali sakti itu dengan pandangan mata kagum dan senang. Rajawali itu setelah menyambar turun, lalu berdiri di dekat harimau bertanduk dan ternyata bahwa tubuh rajawali itu jauh lebih tinggi daripada tubuh harimau itu! Kedua ekor binatang ini memandang kepada Lin Lin dan agaknya mereka keduanya merasa ragu-ragu melihat seorang manusia cantik yang tidak mengambil sikap bermusuhan dengan mereka, bahkan tidak mengeluarkan senjata untuk melukai mereka.
Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring dari atas dan ketika Lin Lin memandang, ternyata merak yang luar biasa tadi telah melayang turun dan berdiri di atas tanah di depan kedua binatang itu. Harimau bertanduk lalu menggoyang-goyangkan ekornya dan menundukkan kepala
sedangkan Rajawali Emas itu lalu mengebut-ngebutkan sepasang sayapnya sambil bertunduk pula, seakan-akan keduanya memberi hormat kepada merak ini. Merak Sakti itu mengangkat dadanya dengan bangga lalu memutar menghadapi Lin Lin dan gadis ini girang sekali oleh karena ternyata bahwa merak ini berdiri hanya dengan sebelah kakinya dan kakinya sebelah lagi mencengkeram serumpun daun Coa-tok-te, yaitu semacam daun yang merupakan obat khusus untuk menyembuhkan luka akibat gigitan ular beracun. Lin Lin dengan girang melangkah maju dan sambil tersenyum manis gadis itu berkata,
"Ah, Saudara Merak Sakti. Sungguh kau benar-benar baik hati dan pandai." Sambil berkata demikian Lin Lin mengeluarkan tangan menerima rumput atau daun-daun penjang itu dari kaki merak. Kemudian dengan mesra Lin Lin mengelus-elus bulu merak yang indah sekali dan halus serta bersih itu. Merak itu menggunakan lehernya yang panjang untuk dibelai-belaikan kepada lengan tangan gadis yang mengelus-elusnya itu, seakan-akan ia merasa gembira sekali. Sikapnya seperti seekor binatang peliharaan yang amat jinak. Sedangkan harimau bertanduk dan Rajawali Emas itu pun melangkah maju perlahan-lahan dengan mata mengeluarkan pandangan mengiri. Lin Lin tertawa dan dengan tabahnya ia pun lalu
menghampiri kedua binatang buas itu dan mengelus-elus punggung mereka. Si Harimau bertanduk menggoyang-goyangkan ekornya dan mengeluarkan keluhan perlahan seperti seekor kucing yang merasa senang dan manja, sedangkan Rajawali Emas itupun lalu
mengembangkan sayapnya dan merendahkan diri sambil membuka paruhnya seperti seekor burung murai yang dibelai oleh pemiliknya dengan kasih sayang.
Tiba-tiba harimau itu mencium-cium ke arah pinggang Lin Lin dan tiba-tiba ia menggeram keras sehingga gadis itu terkejut, juga Rajawali Emas dan Merak Sakti nampak kaget. Lin Lin teringat akan pedang karatan yang berada di pinggangnya dan otomatis ia mencabut pedang itu, dan aneh. Ketika melihat pedang karatan itu, ketiga binatang itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan sedih dan ketiganya lalu mendekam di hadapan Lin Lin seakan-akan berlutut.
Lin Lin adalah seorang gadis yang cerdik dan dapat mengerjakan otaknya cepat sekali. Ia dapat menduga tepat bahwa ketiga binatang sakti ini tentulah murid-murid atau binatang-binatang peliharaan orang sakti yang telah meninggal dunia di dalam gua dan kini ketiga ekor Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
316 binatang ini mengenal pedang pusaka orang sakti itu! Maka Lin Lin lalu berlutut pula dan mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, seakan-akan hendak memperlihatkan kepada ketiga binatang itu bahwa dia juga menjunjung tinggi dan menghormat pemilik pedang itu.
Kemudian ia berdiri dan memasukkan pedang bobrok itu ke dalam ikat pinggang lagi. Kini ketiga binatang nampak girang sekali dan mereka menjadi begitu jinak seperti tiga ekor anjing yang amat menurut.
Pada saat itu terdengar seruan heran dan ketika Lin Lin memandang, ternyata bahwa Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah berdiri mengintai dari balik pohon dengan mata terbelalak heran.
Lin Lin tersenyum lalu berkata kepada binatang itu dengan suara keras tapi halus,
"Sin-kong-ciak (Merak Sakti), Sin-Kim-tiauw (Rajawali Emas Sakti), dan kau It-kak-houw (Harimau Tanduk Satu). Lihatlah baik-baik kepada dua orang itu. Mereka adalah sahabat-sahabat baikku dan janganlah kalian mengganggunya. Juga kawan yang sedang terluka oleh ular berbisa itu adalah kawan baikku!"
Ketiga ekor binatang sakti itu mengangguk-angukkan kepala seakan-akan mereka dapat mengerti ucapan Lin Lin hingga Nelayan Cengeng dan Ma Hoa menjadi terheran dan girang sekali. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi dan melangkah maju serta mengelus-elus pundak ketiga binatang itu yang menjadi heran sekali. Terutama Ma Hoa, gadis ini merasa suka benar kepada Sin-kong-ciak dan mengagumi bulu merak itu tiada habisnya. Kemudian mereka lalu kembali ke gua, diikuti oleh tiga ekor binatang itu. Ternyata bahwa tadi Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar suara binatang-binatang itu hingga mereka lalu memburu keluar karena kuatir kalau-kalau Lin Lin berada dalam bahaya, akan tetapi mereka berdiri tercengang dan mengintai dari balik pohon ketika melihat peristiwa yang aneh dan menakjubkan yang terjadi antara Lin Lin dan ketiga binatang itu.
Lin Lin lalu meremas-remas daun Racun Ular dan obat ini digunakan untuk mengobati luka Yousuf, dibalurkan di tempat bekas gigitan dan sebagian airnya diminumkan.
Tak lama kemudian Yousuf siuman kembali dan keadaannya baik sekali. Ketika melihat betapa Lin Lin merawatnya dengan telaten dan open, tak terasa pula air mata mengalir turun dari kedua matanya. Apalagi ketika Ma Hoa menceritakan betapa Lin Lin menyedot keluar semua racun yang berada di tubuhnya dengan menggunakan mulutnya, Orang Turki ini tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia menangis terisak-isak di atas pembaringannya. Ia tak dapat mengucapkan kata-kata, hanya memandang kepada Lin Lin dengan pandangan penuh mengandung pernyataan terima kasih yang besar.
Lin Lin tersenyum dengan muka merah.
"Enci Ma Hoa,", katanya kepada gadis itu, "mengapa kauceritakan hal itu" Kau hanya melelebih-lebihkan hal yang tidak ada artinya." Kemudian kepada Yousuf ia berkata,
"Yo-sianseng, kita adalah sahabat-sahabat baik yang berada di tempat asing dan berbahaya.
Kalau kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa hidup" Aku yakin bahwa kau pun tentu takkan ragu-ragu lagi melakukan hal ini apabila aku yang mendapat kecelakaan."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
317 Yousuf hanya mengangguk-anggukkan kepala, akan tetapi ia masih belum dapat
mengeluarkan kata-kata oleh karena hatinya merasa terharu sekali dan penyesalan besar membuat ia tak kuasa membuka mulut. Ia ingin sekali membenturkan kepalanya pada dinding gua karena menyesal kepada diri sendiri dan diam-diam ia memaki pada diri sendiri. "Ah, Yousuf! Kau manusia tersesat dan gila! Mengapa kaubiarkan setan menguasai hati dan pikiranmu hingga kau pernah tergila-gila dan mempunyai pikiran buruk terhadap seorang gadis yang demikian mulia hatinya" Kalau kau mempunyai seorang anak perempuan pun belum tentu ia akan semulia dan sebakti gadis ini!"
Demikianlah Yousuf menyesali diri oleh karena memang ia pernah mengandung maksud untuk mengambil Lin Lin sebagai permaisurinya kalau tercapai cita-citanya. Semenjak saat itu rasa cintanya kepada Lin Lin sama sekali berubah dari cinta seorang laki-laki kepada seorang wanita menjadi cinta kasih seorang ayah terhadap seorang anak perempuannya!
"Lin Lin," katanya ketika gadis itu menyiapkan obat untuknya dan mereka berada berdua saja, karena Ma Hoa dan Nelayan Cengeng dengan ditemani oleh harimau bertanduk dan Rajawali Emas sedang keluar mencari buah-buahan yang enak dimakan. "Setelah apa yang kaulakukan untuk membelaku, sudilah kiranya kau menyebut Ayah kepadaku" Kau kuanggap anakku sendiri, Lin Lin, dan oleh karena kau tak berayah ibu lagi, biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu. Sukakah kau, Nak?"
Mendengar suara yang diucapkan dengan menggetar dan melihat betapa wajah Yousuf
memandangnya dengan penuh harapan, Lin Lin menjadi terharu dan teringat kepada ayahnya.
Maka ia lalu berlutut di depan pembaringan Yousuf dan tanpa ragu lagi ia menyebut, "Ayah!"
sambil menangis.
Yousuf yang sudah kuat kembali tubuhnya lalu bangun dan duduk. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kepala gadis itu dan berkata,
"Lin Lin, semenjak saat ini kau adalah anakku dan aku akan membelamu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, semoga Dewata Yang Agung memberkahimu."
Ketika Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar tentang pemungutan anak ini, mereka
berdua juga merasa girang sekali. Nelayan Cengeng telah percaya penuh akan ketulusikhlasan dan kejujuran hati orang Turki itu, maka ia pun tidak merasa keberatan apa-apa, sedangkan Ma Hoa yang juga telah kehilangan ayahnya, lalu menangis dengan terharu sekali sambil memeluk leher Lin Lin.
Nelayan Cengeng menghela napas, "Ma Hoa, aku tahu apa yang menjadikan kau merasa sedih, akan tetapi kauingatlah, Ma Hoa, bahwa semenjak saat kau merantau denganku, aku Kong Hwat Lojin sudah menjadi guru dan ayahmu sendiri! Biarpun kau menyebut Suhu kepadaku, namun kau kuanggap anak sendiri dan hal ini pun kaumaklumi, maka janganlah kau bersedih, Anakku."
Ma Hoa menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya dan berkata,
"Terima kasih, Suhu, dan demi Tuhan, sedikit pun tak pernah teecu meragukan kemuliaan hati Suhu."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
318 Setelah Yousuf sembuh kembali, mereka melanjutkan pemeriksaan dan mencari harta di pulau itu, akan tetapi kalau dulu Yousuf mencari dengan cita-cita hendak mengangkat diri menjadi kaisar dan mengawini Lin Lin, kini cita-citanya itu diubah sedikit. Ia masih ingin menjadi kaisar dan memiliki harta besar itu, akan tetapi semua itu demi kemuliaan Lin Lin yang akan dijadikan seorang puteri kerajaan yang agung. Akan tetapi ternyata setelah bebeapa hari tinggal di pulau itu belum juga didapatkan tanda-tanda bahwa pulau itu benar-benar mengandung banyak emas seperti yang tadinya disangka.
Dan pada suatu hari, ketika Yousuf dan kawan-kawannya sedang memeriksa di puncak bukit, mereka melihat banyak sekali pendeta-pendeta Sakia Buddha anak buah Pangeran Vayami naik di pulau itu dan melakukan pemeriksaan pula. Yousuf dan kawan-kawannya lalu cepat mempergunakan alang-alang dan pohon-pohon kecil untuk dipakai menutupi gua mereka sehingga tidak mungkin akan terlihat oleh orang lain dan diam-diam mereka mengintai pendeta-pendeta itu untuk melihat apa yang mereka kerjakan. Ketika Nelayan Cengeng mengusulkan untuk menyerang Pendeta-pendeta Jubah Merah itu, Yousuf mencegahnya dan berkata,
"Aku tahu, mereka ini adalah kaki tangan Vayami, Pangeran dari Mongol dan agaknya mereka sudah tahu di mana letak harta terpendam. Baiknya kita menanti sampai mereka mendapatkannya baru kita turun tangan. Sementara itu, biarlah kita mengintai saja dan melihat apa yang mereka lakukan."
Lin Lin lalu memerintahkan kepada ketiga binatang sakti untuk berdiam diri dan jangan menyerang orang-orang itu. Selama tiga hari pendeta-pendeta itu bekerja, akan tetapi sebagaimana hasil kerja Yousuf, mereka juga tidak mendapatkan apa-apa.
Kemudian, dengan terkejut sekali Yousuf dan kawan-kawannya melihat datangnya perahu-perahu barisan Turki yang disusul dan dikejar oleh perahu-perahu barisan kerajaan. Yousuf tahu bahwa barisan bangsanya telah tiba dan hendak menguasai pulau itu sebagaimana direncanakannya dan tahu pula bahwa kalau mereka melihatnya, tentu ia akan ditangkap oleh karena selama itu ia tidak memberi kabar tentang hasil penyelidikannya dan ia dapat dituduh sebagai pengkhianat yang hendak mengambil sendiri harta itu. Kemudian mereka melihat pertempuran besar yang terjadi antara barisan Turki dan barisan Tiongkok, dan ketika Yousuf menyelidiki keadaan Pendeta Sakia Buddha itu, ia menjadi terkejut sekali oleh karena pendeta-pendeta itu lalu menyalakan api dan membakar danau minyak yang berkobar hebat menjadi lautan api.
"Celaka! Danau itu dibakar dan mungkin akan meledak. Hayo, cepat kita harus pergi dari pulau neraka ini!' katanya. Kawannya menjadi panik dan Nelayan Cengeng segera memanggil Lin Lin dan Ma Hoa yang masih mengintai dan menonton pertempuran hebat dari jauh.
Kedua orang gadis itupun terkejut sekali mendengar berita ini dan Lin Lin lalu memberi tanda suitan memanggil ketiga binatang sakti itu. Mereka lalu lari cepat ke perahu mereka yang disembunyikan di balik alang-alang, diikuti oleh ketiga binatang itu. Akan tetapi, ketika mereka telah naik ke atas perahu, tiba-tiba ketiga binatang itu memekik keras dan ketiganya lalu membalikkan diri dan kembali ke pulau.
Lin Lin berteriak-teriak memanggil sambil mengejar dan ketika ia memasuki gua, ternyata ketiga ekor binatang sakti itu mendekam dan berlutut di depan makam rangka yang mereka Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
319 tanam dulu. Lin Lin membetot-betot mereka, akan tetapi ketiganya tidak mau pindah dari tempat mereka, seakan-akan bersiap untuk mati di depan kuburan tuannya. Lin Lin menjadi bingung dan memeluk leher Merak Sakti, ia berkata sambil menangis,
"Saudara Merak Sakti, bagaimana aku dapat tega meninggalkan kau" Kau adalah seperti saudaraku sendiri, dan pulau ini akan terbakar habis. Marilah kauikut padaku. Tegakah kau membiarkan aku merasa sedih seumur hidupku?"
Merak Sakti itu mengeluarkan keluhan panjang dan dari kedua matanya yang indah itu mengalir keluar dua butir air mata. Dari jauh terdengar suara Yousuf memanggil-manggil namanya, dan Lin Lin terpaksa keluar dari gua sambil menangis. Beberapa kali ia menengok memandang ketiga kawannya yang aneh ini. Dan ketika ia berlari ke perahu dengan tubuh lemas dan hati berduka, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kepalanya dan ternyata bahwa Merak Sakti itu telah menyusulnya. Lin Lin menjadi girang sekali dan segera lari ke perahu diikuti oleh Merak Sakti yang agaknya tidak tega untuk melepas Lin Lin pergi seorang diri dan ikut menyusul.
Baru saja Lin Lin naik ke perahu, tiba-tiba serombongan Pendeta Baju Merah itu melihat mereka. Sambil berteriak-teriak buas mereka menyerbu dan Nelayan Cengeng serta kawan-kawannya segera menyambut serangan mereka dan terjadilah pertempuran sengit.
"Lekas, kalian bertiga jalankan perahu, biar aku sendiri yang menahan serbuan anjing-anjing merah ini!" kata Nelayan Cengeng. Yousuf yang melihat betapa api berkobar makin hebat, lalu cepat menjalankan perahu, akan tetapi Ma Hoa berteriak,
"Suhu jangan melawan mereka seorang diri, teecu akan membantumu!"
"Jangan!" teriak Si Nelayan Cengeng dengan suara tetap dan keras. "Kau harus ikut pergi lebih dulu! Aku tidak takut segala anjing ini, dan biarpun tanpa perahu, aku mudah saja menyeberang ke daratan Tiongkok!" jawab suhunya yang gagah perkasa sambil memutar-mutar dayungnya mengamuk hebat.
Lin Lin mendapatkan akal. Ia lalu menghampiri Merak Sakti dan berkata, "Saudaraku yang baik. Kaubantulah Nelayan Cengeng dan cakarlah habis-habis pendeta busuk itu!"
Sin-kong-ciak mengeluarkan pekik keras, tanda bahwa ia girang sekali menerima tugas ini dan sebentar saja tubuhnya melesat dan melayang ke atas. Setelah Merak Sakti ini menyerbu, maka terdengarlah jerit dan tangis yang ribut sekali di kalangan para Pendeta Sakia Buddha ini dan Nelayan Cengeng menjadi gembira sekali.
"Bagus Kong-ciak-ko, bagus! Hayo, kita hantam bersama!"
Perahu yang ditumpangi oleh Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa, telah pergi jauh dan Pendeta-pendeta Baju Merah itu merasa tidak kuat menghadapi Nelayan Cengeng yang tangguh dan yang dibantu oleh Merak Sakti yang aneh itu. Maka sambil berteriak-teriak ketakutan mereka lalu melarikan diri ke arah perahu-perahu kecil mereka di lain bagian. Dengan cepat mereka lalu melarikan diri dengan perahu-perahu itu dari pulau yang telah mulai berkobar hebat itu.
Nelayan Cengeng juga tidak membuang waktu lagi, ia berkata kepada Merak Sakti,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
320 "Kong-ciak-ko, sekarang kauterbanglah menyusul perahu Lin Lin dan aku akan berenang.
Hayo kita berlumba, kau terbang dan aku berenang. Siapa yang lebih cepat menyusul perahu, dia menang!"
Merak Sakti agaknya mengerti omongan ini dan sambil mengeluarkan teriakan panjang dan girang, ia lalu terbang melayang ke atas dan mencari-cari perahu Lin Lin yang telah berlayar jauh sekali.
Sementara itu, Nelayan Cengeng juga segera menceburkan diri ke dalam laut dan
mempergunakan kepandaian tenaganya yang luar biasa untuk berenang ke daratan pantai Tiongkok. Akan tetapi ia telah tertinggal jauh dan ia harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk mengejar perahu itu hingga ia berenang cepat sekali bagaikan seekor ikan besar. Air tidak kelihatan terpercik ke atas, namun tubuhnya bergerak maju pesat sekali.
Akan tetapi, tiba-tiba setelah ia dapat melihat bayangan perahu itu dalam gelap, terdengar letusan hebat dari pulau yang terbakar itu hingga Kong Hwat Lojin terlempar jauh, terbawa ombak yang datang setinggi gunung dan yang melemparkannya ke arah lain, jauh dari kapal itu, dan di lain jurusan!
Ilmu kepandaian di dalam air yang dimiliki oleh Nelayan Cengeng memang hebat sekali, maka ketika melihat betapa dirinya menjadi permainan ombak, ia lalu menahan napas dan menyelam ke dalam. Tekanan air makin ke bawah makin kuat, akan tetapi tidak
bergelombang sehebat di permukaan air itu. Dengan demikian, Nelayan Cengeng dapat berenang terus, dekat di atas dasar laut itu dan ia menuju ke pantai. Akan tetapi oleh karena gelombang yang hebat itupun membuat perahu yang ditumpangi oleh Yousuf dan kedua gadis itu terbawa ombak dan tidak tentu arahnya, ketika Nelayan Cengeng sudah muncul di darat, ia berada jauh sekali dari perahu itu, dan sedikit pun tidak tahu dirinya berada di mana!
Dan pada saat ia melompat ke darat, datanglah Hek Pek Mo-ko, dan Pek Mo-ko lalu
menyerangnya hingga terjadi pertempuran sengit yang kemudian disusul oleh datangnya Biauw Suthai dan Pek I Toanio dan yang mengeroyok Hek Pek Mo-ko. Sebagaimana telah diketahui, akhirnya karena Kwee An ikut mencampuri pertempuran itu, Hek Mo-ko
bertempur sendiri melawan Pek Mo-ko yang mengakibatkan tewasnya kedua orang Iblis Hitam dan Putih itu!
Kwee An dan Cin Hai merasa senang sekali mendengar bahwa Lin Lin dan Ma Hoa berada di bawah perlindungan Yousuf yang baik hati. Biarpun mereka tidak tahu ke mana perginya ketiga orang itu, namun mereka percaya bahwa kedua gadis itu tentu berada dalam keadaan selamat.
Sementara itu, Pulau Kim-san-to masih saja berkobar sampai dua hari dua malam! Cin Hai berkeras tidak mau meninggalkan pantai sebelum keadaan aman kembali dan ia berniat hendak menggunakan perahu mencari Ang I Niocu! Semua orang tahu akan isi hati dan kehancuran kalbu pemuda ini, maka oleh karena mereka semua pun merasa kagum dan
kasihan kepada Ang I Niocu, mereka juga menunggu di pantai sambil melihat ke arah pulau yang musnah dimakan api itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
321 Pada hari ke tiga, padamlah api yang membakar seluruh Pulau Kim-san-to dan lenyaplah gelombang-gelombang besar yang diakibatkan oleh peristiwa mengerikan itu. Laut menjadi tenang kembali dan semua orang memandang ke arah pulau itu, hati mereka tertegun dan untuk beberapa lama tak seorang pun di antara mereka dapat mengeluarkan kata-kata.
Ternyata bahwa pulau yang tadinya menjulang dari permukaan laut dan pada malam hari nampak bagaikan sorga itu, kini telah lenyap sama sekali, bagaikan sepotong kue besar yang habis ditelan oleh mulut raksasa. Sedikit pun tak nampak bekas-bekasnya lagi.
Semua orang lalu mulai dengan usaha mereka mencari-cari, akan tetapi ke manakah mereka harus mencari Ang Niocu" Cin Hai sendiri lalu mempergunakan perahu kecil bersama Kwee An dan mendayung perahu itu ke tempat di mana tadinya terdapat pulau itu. Mereka melihat banyak barang mengambang permukaan air laut, orang besar kecil yang merupakan benda-benda hitam memenuhi air laut itu. Ketika mereka telah berputar-putar sehari lamanya dan orang-orang lain telah kembali ke pantai oleh karena telah berputus asa, tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu mengambang di air dan ia lalu menjerit dengan suara mengandung isak tangis.
"Niocu!" Kemudian pemuda ini lalu melompat ke dalam air. Kwee An terkejut sekali dan mendayung perahunya mengejar Cin Hai yang berenang cepat ke depan. Ia melihat Cin Hai mengambil sesuatu dari permukaan air laut itu dan ketika dilihatnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh Cin Hai adalah selembar kain berwarna merah. Cin Hai sambil menangis berenang lagi ke perahu dan naik ke dalam perahu sambil memegang potongan kain merah itu erat-erat, lalu ia terduduk menangis dan menyembunyikan mukanya di dalam kain itu sambil mengeluh tiada hentinya.
"Niocu... Niocu..."
Kwee An teringat bahwa kain ini sama benar dengan kain pakaian yang biasa dipakao olen Ang I Niocu, maka ia menjadi amat terharu dan tak dapat berkata-kata apa kecuali menggunakan tangannya menepuk-nepuk Cin Hai.
"Kuatkanlah hatimu, Cin Hai... dan bolehkah aku mendayung perahu kembali ke pantai?"
Cin Hai tak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk dengan muka masih
tersembunyi ke dalam sobekan kain merah itu. Agaknya Ang I Niocu telah hancur tubuhnya karena ledakan dahsyat itu dan secara ajaib sekali sepotong pakaiannya telah terlempar dan terbawa hawa ledakan hingga jatuh di air dan tidak ikut terbakar. Tentu saja Cin Hai menjadi sedih sekali oleh karena sobekan pakaian ini menjadi bukti nyata bahwa Gadis Baju Merah itu telah tewas dan hanya meninggalkan sesobek kain dari pakaiannya.
Nelayan Cengeng yang hampir sehari penuh berenang kian-kemari mencari-cari, juga tidak menemukan sesuatu dan sekarang telah berada di pantai dengan orang-orang lain. Ketika mereka melihat kain merah yang ditemukan Cin Hai, mereka hanya dapat menghela napas saja, bahkan Pek I Toanio tak dapat menahan keharuan hatinya lalu berkata kepada Cin Hai.
"Jangan kau terus bersedih hati, karena itu tidak ada gunanya. Ang I Niocu agaknya telah tewas akan tetapi ia tewas sebagai seorang pendekar gagah perkasa dan boleh dibanggakan maka tak perlu kita terlalu menyedihi kematiannya. Bukankah kita semua ini kelak pun akan pergi ke tempat di mana dia mendahului kita" Lebih baik sekarang kita berusaha mencari di mana adanya Lin Lin dan Ma Hoa."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
322 Nelayan Cengeng yang diam-diam juga mengalirkan air mata tanda menangis itu lalu menggunakan ujung lengan bajunya yang basah karena air untuk mengusap pipinya sambil mengangguk-angguk. "Benar ucapan Biauw Suthai. Marilah kita sekarang menyusul dan mencari ke mana mendaratnya perahu Yousuf itu."
Kata-kata ini memperingatkan Cin Hai bahwa Lin Lin masih hidup dan hal ini merupakan hiburan yang besar sekali. Ia lalu mempertahankan dan menguatkan hatinya, lalu memandang kepada mereka.
"Maafkanlah kelemahanku dan terima kasih kuucapkan kepada Cuwi sekalian yang telah begitu baik hati untuk ikut bersusah payah."
Setelah mengadakan perundingan, maka diputuskan bahwa mereka akan terpecah menjadi tiga rombongan dalam usaha mereka mencari dua gadis itu. Kwee An hendak pergi bersama Cin Hai, Pek Toanio bersama gurunya dan Nelayan Cengeng pergi seorang diri. Tempat dimana perahu orang Turki itu mendarat belum diketahui maka mereka segera berpencar dan mulai mencari dan menyusul Lin Lin, Ma Hoa, dan Yousuf.
Berkat kecerdikannya dan kepandaian supeknya yang gagu, Hai Kong Hosiang berhasil melarikan diri dari Pulau Kim-san-to dan karenanya ia terhindar dari bahaya maut. Ketika perahunya mendarat, ia pun dapat melihat pertempuran yang terjadi antara Nalayan Cengeng yang dibantu Biauw Suthai dan Toanio melawan Hek Pek Mo-ko, akan tetapi oleh karena melihat bahwa yang bertanding itu adalah tokoh-tokoh ternama yang berkepandaian tinggi sekali terutama Hek Pek Mo-ko yang telah ia ketahui memiliki ilmu kepandaian luar biasa, Hai Kong Hosiang lalu mengajak supeknya yang gagu untuk terus berlari dan jangan mencampuri urusan mereka.
Hatinya merasa mendongkol dan marah sekali oleh karena kembali ia telah mengalami kesialan. Pertama, ia telah kena dibujuk oleh Pangeran Vayami, kedua ia telah bertemu dengan Balutin dan bertempur tanpa bisa merobohkan pendeta asing itu, dan ketiganya ia hampir saja mendapat celaka besar di pulau yang terbakar dan meledak.
Di sepanjang jalan Hai Kong Hosiang menyumpah-nyumpah Cin Hai. Ia merasa menyesal sekali mengapa dulu ketika Cin Hai terjatuh ke dalam tangan Pangeran Vayami, ia tidak lekas-lekas membunuh anak muda itu. Sekarang, anak muda itu tentu masih hidup dan selanjutnya akan merupakan halangan besar baginya oleh karena bahwa Cin Hai bersama beberapa orang kawannya tentu takkan tinggal diam saja dan akan mengejar-ngejarnya untuk membalas dendam atas kematian keluarga Kwee! Sedangkan kepandaiannya sendiri yang tadinya dibangga-banggakan itu baru menghadapi Balutin saja belum mampu
mengalahkannya!
Maka lalu mengajak supeknya, yakni Kiam Ki Sianjin yang sudah pikun dan gagu untuk bersembunyi di atas sebuah gunung yang sunyi, lalu ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah pimpinan Kim Ki Sianjin yang lihai! Dengan bujukan-bujukan dan pujian-pujian, ia berhasil mengeduk semua ilmu yang dimiliki Kim Ki Sianjin yang lihai, sehingga kepandaian Hai Kong Hosiang sudah meningkat tinggi sekali, bahkan ia dengan giatnya meyakinkan ilmu lweekang yang berdasarkan ilmu yoga dari barat.
Lweekang ini melatihnya secara terbalik, yaitu mengatur pernapasan dan pergerakan tenaga Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
323 dalam secara jungkir balik, kepala di bawah dan kedua kaki di atas. Berkat latihan ini, maka Hai Kong Hosiang memiliki ilmu silat yang diajarkan oleh supeknya, yakni Ilmu Silat Kalajengking yang amat lihai. Ilmu silat ini bukan digerakkan dengan tubuh dalam keadaah biasa, akan tetapi dalam keadaan kaki di atas dan kepala di bawah! Dengan kepala di atas tanah, kedua kaki Hai Kong Hosiang dapat bergerak secara lihai sekali, mengirim serangan-serangan maut yang tak terduga datangnya dan oleh karena tenaga kaki memang lebih besar daripada tenaga tangan, maka kedua kaki yang menendang-nendang dan menyerang hebat itu sukar ditahan oleh lawan. Ini masih belum hebat, akan tetapi kedua tangannya pun tidak tinggal diam dan melancarkan serangan-serangan dari bawah dengan secara tiba-tiba dan sukar dilawan. Kalau lawan sampai kena terpegang kakinya oleh tangan Hai Kong Hosiang yang berada di bawah, maka celakalah dia!
Ilmu kepandaian Kiam Ki Sianjin lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Hek Pek Mo-ko, sedangkan dalam usia yang sangat tua saja ia sudah amat lihai, maka kini setelah Hai Kong Hosiang dapat mewarisi seluruh kepandaiannya dapat dibayangkan betapa hebatnya kelihaian Hai Kong Hosiang yang masih kuat dan bertenaga besar itu! Selain Ilmu Silat Kalajengking yang lihai ini, juga Hai Kong Hosiang mempelajari Ilmu Kebal Kim-ciong-ko yang membuat kulit dan dagingnya dapat menahan serangan senjata tajam. Kim-ciong-ko yang bisa dipelajari oleh Hai Kong Hosiang ini bukanlah Kim-ciong-ko yang biasa dipelajari dalam dunia persilatan, oleh karena didasarkan khikang yang dilatih secara jungkir balik hingga ia bisa menyalurkan tenaga dalamnya disertai hawa dalam badan yang membuat kulitnya dapat melembung dan mengempis seperti karet dan jangankan pedang biasa, bahkan pedang pusaka yang tajam pun apabila digunakan oleh orang yang memiliki tenaga biasa takkan dapat melukainya!
Setelah merasa bahwa kepandaiannya telah sempurna betul, Hai Kong Hosiang turun dari gunung dan bersama supeknya lalu pergi ke kota raja. Di situ ia mendengar tentang terbunuhnya Boan Sip. Maka kebencian dan kemarahannya terhadap Cin Hai dan kawan-kawannya makin meluap dan bersumpah hendak membunuh mereka ini semua! Nama-nama
Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Nelayan Cengeng, Ma Hoa, Biauw Suthai, dan Pek I Toanio termasuk dalam daftarnya dan ia hendak mencari orang-orang ini untuk dibinasakan! Tentu nama Bu Pun Su juga tak pernah terlupa olehnya walaupun ia masih merasa jerih dan ragu-ragu apakah ia akan dapat menghadapi kakek jembel yang amat kosen itu!
Pada suatu hari, Hai Kong Hosiang dalam perantauannya tiba di sebuah dusun kecil dan oleh karena di dusun itu tidak ada penginapan, ia lalu memilih sebuah rumah yang terdekat dan masuk saja tanpa permisi kepada tuan rumah.
Seorang petani tua yang mendiami rumah itu menjadi marah sekali melihat seorang gundul memasuki rumahnya begitu saja, maka ia lalu membentak,
"Eh, eh, hwesio dari manakah dan perlu apa memasuki rumahku tanpa permisi."
Hai Kong Hosiang memandang kepada petani tua itu dengan mendelik dan sekali ia
mengulurkan tangan, pundak petani itu telah kena ia pegang dan ia lalu melemparkan tuan rumah itu keluar jendela. Tubuh petani itu jatuh berdebuk di luar rumah dan bergulingan beberapa kali. Untung sekali Hai Kong Hosiang tidak berniat membunuhnya dan ia terbanting di atas rumput tebal, kalau tidak tentu ia akan tewas seketika itu juga. Petani ini menjadi marah sekali dan ia lalu memaki-maki sambil berlari ke dalam kampung memberitahukan kepada semua tetangga. Beberapa orang laki-laki yang mendengar kekurangajaran ini, segera Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
324 membawa senjata hendak mengusir Hai Kong Hosiang, akan tetapi baru saja mereka tiba di muka rumah kecil itu, Hai Kong Hosiang telah melompat keluar dengan bertolak pinggang.
"Kalian ini orang-orang dusun mau apakah?" tanyanya dengan muka bengis.
"Hwesio kurang ajar! Mengapa kau merampas rumah orang begitu saja?"
"Siapa merampas rumah" Aku hendak meminjamnya sebentar untuk beristirahat. Kalian ini orang-orang kampung sungguh tidak tahu aturan. Sepatutnya kalian segera menghidangkan makanan dan minuman untukku sebagaimana layaknya tuan rumah menghormati tamunya."
"Mana ada aturan macam itu?" berkata seorang petani lain yang menjadi marah melihat sikap dan mendengar perkataan yang keterlaluan ini. "Kau bukanlah seorang tamu, akan tetapi kau masuk rumah orang seperti perampok, bahkan telah berani melempar tuan rumah yang mempunyai rumah ini."
"Sudahlah jangan banyak cakap. Kalian mau memberi hidangan cepat keluarkan dan jangan banyak mengobrol karena aku menjadi tidak sabar lagi."
"Hweso jahat!" teriak orang-orang kampung itu lalu menyerbu hendak memukul dan
mengusir Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, orang-orang kampung yang lemah dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini mana dapat menghadapi seorang kosen seperti Hai Kong Hosiang yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika berbagai senjata menyambar ke arah tubuhnya, Hai Kong Hosiang lalu menggunakan lengan kirinya untuk menangkis senjata-senjata itu, sedangkan tangan kanannya tetap bertolak pinggang. Semua petani berteriak kesakitan ketika senjata-senjata mereka beradu dengan lengan tangan Hai Kong Hosiang, karena senjata-senjata itu terpental dan terlepas dari pegangan, sedangkan telapak tangan mereka menjadi perih dan sakit.
Beberapa orang yang berhati tabah masih merasa penasaran dan maju memukul, akan tetapi ketika kepalan tangan mereka mengenai dada Hai Kong Hosiang yang bidang, mereka
kembali menjerit-jerit kesakitan dan tangan mereka menjadi bengkak-bengkak.
"Ha-ha-ha! Cacing tanah busuk! Hayo kalian lekas ambil pergi semua makanan yang enak untukku kalau tidak, semua orang kampung ini akan kubikin mampus semua!" Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang bergerak cepat dan melempar-lemparkan orang-orang yang terdekat dengannya bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja.
Orang-orang kampung berteriak-teriak kesakitan. Mereka merasa terkejut sekali dan juga takut menghadapi hwesio yang jahat seperti setan dan yang memiliki ilmu kepandaian mujijat yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya. Maka sambil berteriak-teriak mereka lalu melarikan diri dan sekali lagi Hai Kong Hosiang membentak,
"Tidak lekas kau sediakan makanan enak dan arak yang baik" Atau kalian menunggu sampai aku membikin dusun ini hancur lebur?"
Takutlah orang-orang kampung itu mendengar ancaman ini oleh karena mereka percaya bahwa hwesio jahat ini pasti sanggup membuktikan ancamannya itu. Maka mereka lalu cepat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
325 mengeluarkan semua hidangan yang ada pada mereka dan menyuguhkan kepada Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, demi melihat suguhan-suguhan yang terdiri dari sayuran-sayuran dah hanya sedikit terdapat daging, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan sekali ia menggerakkan kakinya, semua hidangan melayang dan hancur berantakan di atas tanah. Orang-orang kampung mundur ketakutan dan hwesio jahat itu lalu membentak,
"Bawa ke sini seekor babi. Hayo cepat!"
"Kami...kami orang sedusun tidak mempunyai babi seekor pun," jawab seorang petani mewakili kawan-kawannya.
"Tidak ada babi" Awas, jangan kau membohong! Kalau kau membohong, kau sendirilah yang kujadikan babi dan kupanggang tubuhmu!"
"Benar-benar kami tidak mempunyai babi, Losuhu," kata seorang petani lain. Hai Kong Hosiang baru mau percayai keterangan mereka.
"Kalau begitu, bawa seekor kerbau ke sini!"
Orang-orang kampung itu menjadi pucat. "Kami hanya mempunyai beberapa ekor kerbau yang kami pekerjakan sebagai penggarap sawah ladang. Kalau Losuhu mengambilnya,
bagaimana nasib kami?"
"Tutup mulut dan lekas bawa seekor kerbau yang paling gemuk! Awas, aku sudah lapar sekali dan kalau aku habis sabar, mungkin kau yang akan kumakan!"
Tentu saja semua orang terkejut dan ngeri mendengar ancaman ini dan mereka terpaksa lalu menuntun kerbau tergemuk di kampung itu ke hadapan Hai Kong Hosiang. Hwesio itu
memandang tubuh kerbau yang gemuk ini dan mulutnya tersenyum lebar.
"Nah, ini pun boleh!" Secepat kilat ia merampas sebatang golok dari tangan seorang petani dan sekali saja tangannya bergerak, leher kerbau itu telah putus. Darah menyembur-nyembur keluar dari dalam perut binatang itu melalui lehernya yang berlubang dan kedua mata binatang itu masih terbuka lebar. Keempat kakinya berkelojotan lalu terdiam.
Terdengar pekik seorang kanak-kanak dan tiba-tiba dari rombongan para petani yang memandang penyembelihan kerbau secara istimewa ini dengan wajah pucat dan mata
terbelalak, keluar berlari seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun lebih. Anak ini segera menubruk tubuh kerbau yang telah mati itu sambil menangis keras,
"He, siapakah anjing kecil ini?" tanya Hai Kong Hosiang kepada seorang wanita yang menarik-narik anak itu sambil mengeluarkan kata-kata hiburan.
"Dia... dia ini adalah anakku dan kerbau itu adalah kerbau kesayangannya. Semenjak kecil ia bersama-sama kerbau ini, maka ia menjadi sayang sekali. Maafkan dia Losuhu, karena dia tidak tega melihat kawan bermainnya itu terbunuh."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
326 "Ha-ha-ha! Anak goblok! Anak bodoh! Dia belum tahu bagaimana rasanya daging
sahabatnya itu. Kalau sudah tahu, ha-ha-ha! Tentu ia akan senang melihat sahabatnya disembelih! Hayo anak kau ikut aku pesta dan menikmati daging sahabatmu ini!" Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang memegang tangan anak itu dan menariknya ke dalam rumah. Ketika ibunya hendak mengejar, Hai Kong Hosiang membentak,
"Aku hendak mengajak anakmu makan besar, apa salahnya! Kalau kau mengganggu, aku akan bunuh kamu berdua!" Terpaksa ibu ini melangkah mundur dengan muka pucat,
kemudian ia menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis. Seorang tetangganya lalu menariknya pergi dari situ oleh karena kuatir kalau hwesio jahat itu akan marah dan benarbenar melakukan pembunuhan.
"Hayo lekas masak daging ini!" Hai Kong Hosiang memerintah sambil minum arak yang disuguhkan di atas meja dalam rumah itu. Anak yang tadi ditariknya kini didudukkan di depannya dan sambil memandang anak itu, Hai Kong Hosiang tiada hentinya minum arak sambil tertawa-tawa. Anak itu duduk dengan muka pucat dan tubuh menggigil, tetapi ia tidak berani berteriak!
Setelah masakan daging kerbau telah matang dan disuguhkan di atas meja depan Hai Kong Hosiang dan anak itu, Hai Kong Hosiang lalu mulai makan dengan enaknya.
"Hayo kaumakan daging kawanmu ini. Enak dan lezat sekali rasanya!" kata Hai Kong Hosiang kepada anak itu. Akan tetapi sambil menggigit bibirnya dan menahan runtuhnya air mata yang mengembeng di bulu matanya, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hayo makan!" teriak Hai Kong Hosiang dengan suara yang menggeledek bagaikan guntur hingga semua orang tani yang berada di luar rumah itu menjadi terkejut dan kuatir sekali.
Akan tetapi, sekali lagi anak itu menggelengkan kepala karena jangankan harus makan daging kerbaunya yang dikasihinya itu, baru melihat saja betapa daging kawan baiknya kini telah dimasak dan dimakan oleh hwesio itu, hatinya telah terasa perih dan hancur sekali.
Melihat kekerasan anak ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan penasaran. Ia lalu mengambil sepotong daging dengan tangannya dan begitu mengulur tangan, maka tangan kirinya telah menangkap mulut anak itu hingga dipaksa menyelangap dan lalu memasukkan daging itu ke dalam mulut anak tadi! Anak itu membelalakkan matanya dan ketika merasa betapa daging itu dimasukkan ke dalam mulutnya, tiba-tiba ia muntah-muntah!
Bukah main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini. Ingin ia memukul mati anak di depannya ini, akan tetapi baru saja ia mengangkat tangannya untuk memukul, ia teringat bahwa jika membunuh anak ini, maka setidaknya tentu terjadi heboh dan ribut yang hanya akan mengganggu istirahatnya saja. Maka ia tidak jadi memukul, akan tetapi memegang batang leher anak itu dan sekali ia menggerakkan tangan, anak itu menjerit karena tubuhnya terlempar keluar pintu!
Baiknya di luar pintu, orang-orang tani sedang duduk berkumpul dengan hati berdebar penuh kekuatiran, maka tubuh anak kecil itu jatuh menimpa mereka hingga tidak mengalami luka hebat. Anak itu jatuh pingsan karena sedih, ngeri dan takutnya dan orang-orang kampung itu lalu menggotongnya pulang sambil menghela napas, bahkan ada yang mengucurkan air mata karena merasa sedih, dan tak berdaya!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
327 Hai Kong Hosiang melanjutkan makan-minumnya seakan-akan tak pernah ada gangguan
apa-apa. Nafsu makannya besar sekali dan sebentar saja hidangan yang disuguhkan di atas meja itu habis bersih! Memang hwesio ini mempunyai sifat aneh. Ia dapat bertahan tidak makan sampai tiga hari tiga malam, dan sekali ia makan, agaknya ia hendak menebus hutangnya kepada perutnya itu dan takaran makan yang tiga hari disekalikan! Setelah hidangan itu habis semua, ia lalu merebahkan dirinya di atas sebuah balai-balai reyot di dalam rumah petani itu dan sebentar lagi terdengar suaranya mendengkur keras, seakan-akan kerbau yang dagingnya telah memasuki perutnya itu tiba-tiba bangkit kembali di dalam perut dan menguak-uak!
Semalam suntuk Hai Kong Hosiang tertidur tanpa berkutik dari tempatnya. Telah beberapa pekan ia meninggalkan kota raja dan supeknya ditinggal di kota raja, oleh karena supeknya yang sudah tua itu menyatakan lelah dan bosan merantau, hingga Hai Kong Hosiang pergi seorang diri.
Pada keesokan harinya, kebetulan sekali Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang pergi mencari jejak Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf tiba di dusun itu. Kedua orang ini merasa heran melihat kelesuan muka orang-orang kampung itu ketika pada pagi hari itu mereka memanggul cangkul pergi ke ladang.
Pek I Toanio lalu bertanya kepada seorang petani tua yang bertemu di jalan,
"Lopeh (Uwa), agaknya kalian penduduk desa ini berduka dan bingung. Malapetaka apakah gerangan yang menimpa desamu?"
Tadinya si petani tidak berani banyak bicara, akan tetapi ketika melihat gagang pedang yang tergantung di punggung Pek I Toanio timbul kepercayaannya, bahkan ia lalu mengharap kalau-kalau kedua wanita yang nampak gagah ini akan dapat menolong desanya.
"Ketahuilah, Toanio. Desa kami kedatangan seorang hwesio jahat sekali yang mengganggu kami dan bahkan merampok kami. Itu masih belum seberapa, bahkan ia berani memukul dan melukai orang."
Bangkitlah semangat pendekar dalam dada Pek I Toanio ketika mendengar penuturan ini, sedangkan Biauw Suthai yang lebih sabar lalu minta kepada petani tua itu untuk menuturkan sejelasnya. Petani itu lalu menceritakan tentang kejahatan Hai Kong Hosiang dan Biauw Suthai menjadi marah sekali, apalagi ketika mendengar betapa hwesio jahat itu memaksa anak kecil itu makan daging kerbaunya sendiri dan kemudian melempar tubuh anak itu keluar ketika dia tidak mau makan daging kerbau kesayangannya.
"Hwesio bangsat kurang ajar! Hendak kulihat siapakah dia yang begitu jahat tak mengenal kemanusiaan itu."
Setelah berkata demikian, Biauw Suthai dengan tindakan kaki lebar dan diikuti oleh muridnya, lalu pergi menuju ke rumah yang diceritakan oleh petani tadi. Sementara itu, petani tua itu lalu menceritakan kepada kawan-kawannya, sebentar saja semua orang tahu bahwa ada dua orang wanita gagah yang hendak mengusir dan menghukum hwesio jahat yang
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
328 mengganggu mereka. Semua orang lalu meninggalkan pekerjaan mereka dan beramai-ramai menuju ke rumah itu. Akan tetapi mereka tidak datang dekat, hanya memandang dari jauh dengan perasaan tegang.
Ketika melihat bahwa pintu rumah itu masih tertutup, Biauw Suthai dan Pek I Toanio lalu melompat ke atas genteng dan membuka dua genteng dan mengintai ke dalam. Dan mereka melihat pemandangan yang aneh. Seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan, sedang berdiri dengan kepala di tanah dan kedua kaki di atas. Hwesio ini menaruh kedua tangannya di belakang kepala dan saat itu sedang memutar-mutar tubuhnya sedemikian rupa hingga kelihatan dari atas seperti sebuah gangsingan atau semacam barang permainan yang terputar-putar. Di dekatnya kelihatan menggeletak sebuah topi bambu yang lebar. Ketika Biauw Suthai dan muridnya memandang dengan penuh perhatian, mereka terkejut sekali karena mengenal hwesio itu yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang.
Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang sedang melatih lweekangnya yang hebat dan aneh.
Kepalanya dapat berloncat-loncat dan berpindah-pindah dengan cepat tanpa mengeluarkan suara, sedang sepasang kakinya bergerak-gerak hingga di dalam kamar itu berkesiur angin yang kuat. Tiba-tiba terdengar Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan tahu-tahu kedua kakinya ditendangkan ke atas. Angin hebat menyerang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio sedang mengintai.
"Awas!" seru Biauw Suthai dan untung ia masih keburu membetot lengan muridnya, oleh karena tiba-tiba genteng di mana mereka tadi berdiri tiba-tiba pecah dan terpental ke atas tinggi sekali sebagai akibat pukulan angin tendangan Hai Kong Hosiang yang dahsyat.
"Hai Kong pendeta bangsat!" Biauw Suthai memaki keras dan tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang sudah berada di luar dan berdiri sambil tertawa berkakakan dan memandang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio masih berdiri.
Biauw Suthai menjadi marah sekali dan sambil mencabut senjata yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu merah, ia lalu melayang turun dari genteng diikuti oleh Pek I Toanio yang juga telah mencabut keluar pedangnya.
"Ha, ha, ha, tokouw mata satu yang buruk! Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau. Dan agaknya engkaulah orang pertama yang akan mampus di tanganku, mendahului anjing-anjing lain yang hendak kubasmi semua. Dan muridmu yang cantik ini pun takkan ketinggalan dan mengiringkan kau! Ha, ha, ha!"
"Hai Kong Hwesio keparat yang pantas mampus. Memang sudah lama pinni hendak
menyingkirkan kau dari muka bumi ini oleh karena kedosaanmu telah melewati takaran.
Bersedialah untuk mati!" Sambil berkata demikian, Biauw Suthai menggerak-gerakkan hudtimnya yang lihai.
Kalau dulu sebelum memperdalam ilmu silatnya, jika ia harus berhadapan dengan Biauw Suthai, tentu Hai Kong Hosiang akan merasa jerih oleh karena ia telah maklum akan ketangguhan tokouw mata satu ini, dan karena ia maklum akan kelihaian para musuh-musuhnya, maka ia lalu mengajak supeknya untuk menemaninya dalam perantauan. Akan tetapi, sekarang setelah mempelajari banyak macam ilmu silat yang lihai-lihai dari Kiam Ki Sianjin, ia memandang rendah kepada musuh-musuhnya, dan melakukan perjalanan seorang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
329 diri tanpa dikawani supeknya. Memang Hai Kong Hosiang mempunyai dasar watak yang sombong dan tinggi hati serta memandang rendah kepandaian orang lain, akan tetapi harus diakui bahwa ia memang mempunyai dasar atau bakat yang baik sekali. Jarang ada orang yang dapat mempelajari ilmu silat sebaik dan secepat dia. Ilmu Silat Kalajengking yang aneh gerakannya dan dilakukan secara berjungkir balik itu telah dapat dimainkan dengan sempurna dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan saja. Juga selain ilmu silat ini, ia telah meyakinkan ilmu-ilmu silat lain dan bahkan telah mendapat kemajuan ilmu lweekang yang berdasarkan yoga dari Barat.
Kini melihat betapa Biauw Suthai telah menggerak-gerakkan ujung kebutan yang lihai hingga bulu-bulu halus kebutan itu mulai menggetar dan seakan-akan menjadi hidup oleh karena tenaga dalam tokouw itu telah disalurkan ke dalam senjatanya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh ini, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak lagi dan tiba-tiba ia menyerang dengan tangan kosong. Serangan ini berarti penghinaan dan memandang rendah kepada Biauw Suthai yang memegang kebutan, maka tokouw ini menjadi marah sekali.
Benar-benarkah hwesio ini mengangap ia begitu ringan hingga tak perlu dilawan dengan senjata" Ia berseru keras dan menggerakkan kebutannya dalam tipu gerakan Angin Badai Memutar Ombak. Terdengar angin bersuitan ketika hudtim berkelebat merupakan sinar merah dan dalam segebrakan saja ujung hudtimnya menyambar-nyambar ke tiga tempat, pertama ke arah pelipis kepala Hai Kong Hosiang lalu ke dua meluncur terus ke arah jalan darah di leher untuk melakukan totokan maut dan terus disambung lagi dengan serangan ke tiga yaitu mengebut ke arah uluhati hwesio itu.
Akan tetapi Hai Kong Hosiang memang lihai sekali. Melihat gerakan serangan yang sekali serang mengancam tiga tempat yang berbahaya dan yang membawa hawa maut ini, ia tidak menjadi gugup. Ia gunakan kedua tangannya yang dibuka untuk digerak-gerakkan ke arah ujung kebutan dan ternyata tenaga khikang yang kuat sekali itu berhasil memukul buyar ujung hudtim sebelum senjata itu mengenai tubuhnya.
Biauw Suthai terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hai Kong Hosiang telah maju sedemikian hebatnya dan diam-diam ia maklum bahwa tenaga dalam hwesio ini telah maju pesat dan telah berada di tingkat yang lebih tinggi daripada tenaga dalamnya sendiri. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang terlampau memandang rendah Biauw Suthai. Ia tidak tahu bahwa Tokouw ini adalah tokoh persilatan yang boleh dibilang "kawakan" atau jago tua yang telah malang melintang dalam dunia kang-ouw sampai puluhan tahun lamanya dan jarang menemui tandingan. Biauw Suthai telah terlalu sering menghadapi orang-orang pandai dan lawan-lawan tangguh, hingga ia tidak menjadi jerih menghadapi Hai Kong Hosiang, biarpun ia maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi sekali. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang terlihai dan kini kebutannya bergerak bagaikan seekor naga mengamuk dan semua serangannya ditujukan ke arah urat-urat kematian Hai Kong Hosiang untuk mempertahankan nyawanya lagi.
Setelah bertempur dengan hebat sampai lima puluh jurus lebih, Hai Kong Hosiang terpaksa mengakui keunggulan permainan silat Biauw Suthai dalam lima puluh jurus lebih itu, telah beberapa kali ia mengeluarkan keringat dingin dan menjadi pucat karena hampir saja ia menjadi korban senjata hudtim lawannya. Maka ia segera berseru keras,
"Biauw Suthai, rasakan kerasnya senjataku!" dan ia lalu mencabut keluar tongkat ularnya yang terkenal ganas dan ampuh.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
330 "Hai Kong manusia sombong! Hayo kau keluarkan semua kesaktianmu, dan jangan kira aku takut kepadamu!"
"Ha, ha, ha! Biauw Suthai, kematian sudah di depan mata tapi kau masih berani berlagak.
Sungguh-sungguh tua bangka tak tahu diri. Muridmu yang cantik itu telah menjadi pucat dan tak berani bergerak, maka jagalah dirimu!" Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang menubruk maju sambil menggerakkan tongkatnya yang istimewa hingga Biauw Suthai harus berlaku hati-hati karena maklum akan berbahayanya tongkat ini.
Sementara itu, Pek I Toanio mendengar hinaan Hai Kong Hosiang yang mengatakan bahwa ia pucat dan takut bergerak menjadi marah sekali. Sambil melompat maju ia menyerang dengan pedangnya dan membentak, "Hwesio gundul keparat! Aku Pek I Toanio tidak takut iblis macam kau!"
"Jangan maju!" teriak Biauw Suthai memperingatkan muridnya, akan tetapi terlambat. Ketika pedang Pek I Toanio merusak dada Hai Kong Hosiang, pendeta gundul ini sama sekali tidak menangkis karena maklum bahwa tenaga Pek I Toanio tak perlu ia takuti maka sengaja ia pasang dadanya untuk menerima tusukan itu. Terdengar bunyi kain terobek pedang akan tetapi Pek I Toanio terkejut sekali karena di balik pakaian itu, ujung pedangnya membentur kulit dan daging yang keras dan dapat membuat pedangnya terpental kembali seakan-akan ia menusuk sebuah benda yang keras dan licin. Sebelum hilang kagetnya, ujung tongkat Hai Kong Hosiang yang sebenarnya adalah seekor ular kering dan berbisa itu telah menyambar dan tepat mengenai lehernya. Pek I Toanio memekik perlahan sambil memegangi lehernya, tubuhnya terhuyung dan kemudian roboh dan tewas dengan muka dan leher berubah menjadi hitam karena pengaruh bisa yang keluar dari tongkat itu.
"Ha, ha, Biauw Suthai, lihatlah! Muridmu yang cantik telah berubah buruk seperti mukamu!"
Bukan main marah dan sedihnya hati Biauw Suthai melihat hal ini. Ia berubah menjadi buas dan liar karena marahnya.
"Hai Kong, kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang tewas saat ini!" Lalu hudtimnya diputar hebat dan ia menyerang dengan mati-matian! Belum pernah selama hidupnya Biauw Suthai marah seperti ini dan tentu saja serangannya menjadi ganas dan berlipat ganda lebih hebat daripada biasa. Hai Kong Hosiang terkejut dan diam-diam ia mengakui bahwa ilmu kepandaian Biauw Suthai benar-benar hebat. Ia memainkan tongkatnya dengan hati-hati dan tidak berani berlaku sembrono, karena maklum bahwa serangan-serangan tokoh yang disertai kemarahan hebat dan penuh dendam ini bukanlah hal yang boleh dipandang ringan!
Setelah mereka bertempur seratus jurus lebih dengan ramai dan hebat sekali hingga orang-orang kampung yang tadinya menonton dari jauh dan takut melihat betapa Pek I Toanio tewas, kini tidak berani bergerak atau mengeluarkan suara melihat pertempuran luar ramainya itu, tiba-tiba Biauw Suthai lalu merubah gerakannya dan kini ia menujukan perhatian serta mencurahkan tenaganya untuk merampas tongkat Hai Kong Hosiang yang lihai. Pada suatu saat ujung kebutan Biauw Suthai berhasil membelit ujung tongkat ular itu dengan erat sekali.
Hai Kong Hosiang mengerahkan tenaganya untuk menarik kembali tongkatnya, akan tetapi tidak berhasil.


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
331 Tiba-tiba Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan aneh dan menyeramkan dan tahu-tahu tubuhnya berjungkir balik, kepalanya di atas tanah dan pada saat itu juga, kedua kaki dan tangannya bergerak menyerang Biauw Suthai!
Gerakan ini sungguh-sungguh diluar dugaan Biauw Suthai. Tadi setelah ujung hudtimnya berhasil membelit, Hai Kong Hosiang berusaha membetot tongkatnya, maka ia mengerahkan lweekangnya untuk menahan dan ketika tiba-tiba Hai Kong Hosiang melepaskan pegangan, tongkat itu tertarik oleh hudtim dan melayang kepadanya, maka cepat-cepat Biauw Suthai mengelak. Akan tetapi ia tidak menyangka sama sekali bahwa Hai Kong Hosiang setelah melepaskan tongkatnya, lalu berjungkir balik dan menyerangnya dalam keadaan yang aneh hingga ia jadi bingung. Sebagaimana sudah jadi watak wanita, paling takut ia diserang dari bawah, maka Biauw Suthai terlalu mencurahkan perhatian kepada kedua tangan Hai Kong Hosiang yang bergerak menyerang dari bawah! Ia menggerakkan hudtimnya untuk menyapu ke bawah dan menangkis pukulan-pukulan itu, akan tetapi tahu-tahu sepasang kaki Hai Kong Hosiang bergerak bagaikan dua batang cangkul ke arah pundaknya di kanan kiri dengan tenaga yang hebat sekali!
Biauw Suthai terkejut hingga mengeluarkan seruan kaget serta cepat miringkan tubuh. Ia berhasil mengelak dari serangan pada pundak kanannya, akan tetapi pundak kirinya dengan telak telah kena terpukul oleh ujung sepatu dari kaki Hai Kong Hosiang. Terdengar jerit perlahan dan tubuh Biauw Suthai terhuyung-huyung ke belakang. Tokouw bermata satu ini telah menderita pukulan maut yang hebat sekali dan kalau lain orang yang terkena pukulan ini, pasti di saat itu juga telah roboh tak bernyawa! Biauw Suthai yang telah menderita luka dalam yang hebat oleh karena totokan keras di pundak ini tidak saja membuat tulang punggungnya remuk, akan tetapi hawa pukulan juga menyerang jantungnya, masih kuat melayangkan kebutannya dengan gerakan terakhir yang hebat ke arah tubuh Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, biarpun keadaannya berjungkir dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas, namun gerakan pendeta gundul ini tidak kalah cepatnya. Kepalanya membuat gerakan dan tubuhnya tiba-tiba rebah di atas tanah, hingga sambitan hudtim itu tidak mengenai sasaran. Hudtim itu melayang cepat dan menghantam sebuah batu besar di belakang Hai Kong Hosiang. Terdengar suara keras dan sebagian besar batu itu hancur terpukul hudtim! Dapat dibayangkan bahwa jika hudtim itu mengenai tubuh manusia maka tentu akan hancur lebur. Demikianlah hebatnya tenaga sambitan yang dilakukan dengan tenaga terakhir itu.
Setelah menyambit dengan hudtimnya, Biauw Suthai lalu roboh dan ternyata ia telah menghembuskan napas terakhir. Tubuhnya menggeletak di samping tubuh Pek I Toanio.
Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak, akan tetapi setelah melakukan pembunuhan hebat ini ia merasa lebih aman untuk segera meninggalkan tempat itu, oleh karena siapa tahu kalau-kalau kawan-kawan tokouw itu berada di dekat tempat itu. Bukan karena ia takut kepada mereka, akan tetapi oleh karena dalam pertempuran dengan Biauw Suthai tadi ia telah mengerahkan banyak sekali tenaga dan telah menjadi lelah, maka kalau sekarang harus menghadapi musuh tangguh yang lain lagi, hal ini akan berbahaya. Maka ia segera angkat kaki dan meninggalkan tempat itu.
Setelah melihat bahwa hwesio jahat itu betul-betul telah pergi meninggalkan kampung mereka, para petani baru berani beramai-ramai menghampiri kedua mayat yang menggeletak Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
332 di situ. Mereka merasa terharu sekali oleh karena kedua wanita itu binasa dalam tugas membela mereka sekampung. Maka kedua jenazah Biauw Suthai dan muridnya lalu diurus baik-baik, ditangisi dan dikabungi, lalu dikebumikan dengan penuh penghormatan. Bahkan petani tua yang rumahnya dirampas oleh Hai Kong Hosiang, lalu menyimpan hudtim Biauw Suthai dan pedang Pek I Toanio yang dipasangnya di dinding rumahnya sebagai perhormatan dan setiap orang kampung apabila melihat kedua senjata ini, mereka menundukkan kepala kepada dua senjata itu untuk memberi hormat. Perahu yang ditumpangi Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa bergerak maju dengan cepat meninggalkan pulau yang telah berkobar dan dimakan api. Tak lama kemudian, terdengar suara burung merak sakti dan Lin Lin menjadi girang sekali melihat merak sakti melayang turun dan berdiri di atas perahu. Akan tetapi ia merasa kuatir karena tidak melihat Nelayan Cengeng. Juga Ma Hoa semenjak tadi melihat ke arah air oleh karena maklum bahwa suhunya tentu akan menyusul dengan berenang.
"Kong-ciak-ko, di mana Kong Hwat Lojin?" Lin Lin bertanya sambil memegang leher merak sakti. Binatang itu hanya mengeluarkan suara perlahan dan memandang ke arah pulau, seakan-akan hendak mengatakan bahwa tadi mereka berpisah di pantai Pulau Kim-san-to. Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gelisah sekali, demikian pun Yousuf. Mereka bertiga lalu berdiri di pinggir perahu sambil memandang ke air. Tiba-tiba, di bawah cahaya api yang berkobar besar, mereka melihat bayangan hitam bergerak di permukaan air.
"Itu tentu Suhu!" kata Ma Hoa dengan girang sekali dan ia yakin bahwa yang begerak-gerak itu tentu suhunya yang berenang cepat laksana seekor ikan. Mendengar seruan ini, Lin Lin dan Yousuf juga ikut bergirang hati.
Tiba-tiba terdengar letusan hebat dari pulau itu dan ketiganya terhuyung dan jatuh di dalam perahu. Bukan main terkejut hati mereka dan sebelum mereka sempat melihat di mana adanya Nelayan Cengeng, tiba-tiba datang gelombang sebesar gunung yang membawa perahu mereka terlempar jauh sekali. Yousuf dengan dibantu kedua orang gadis itu, mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk mencegah perahu mereka terbalik dan dalam keadaan tak berdaya mereka terpaksa mengikuti kemana ombak besar membawa perahu mereka. Kalau perahu itu kecil, mungkin mereka masih sanggup menguasainya di antara permainan ombak, akan tetapi perahu mereka besar dan berat hingga mereka benar-benar tak berdaya.
Ombak demi ombak datang menyerbu dan membawa perahu mereka makin jauh dari tempat yang mereka tuju. Perahu itu terus terbawa menuju ke utara. Sampai satu malam penuh mereka terbawa makin jauh dan pada keesokan harinya barulah ombak menjadi lemah hingga mereka dapat mendayung perahu itu ke arah pantai. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka telah terdampar jauh sekali dari pantai yang hendak mereka tuju.
Ketika mereka telah mendarat dan beristirahat oleh karena lelah sekali, tiba-tiba datang barisan besar ke tempat itu. Kagetlah Yousuf ketika mendapat kenyataan bahwa barisan ini adalah tentara Turki yang sengaja datang menyusul rombongan pertama. Melihat Yousuf, pemimpin barisan itu lalu berseru,
"Tangkap pengkhianat itu!"
Banyak anggota tentara menyerbu hendak menangkap Yousuf, akan tetapi beberapa orang di antara mereka jatuh tunggang langgang karena dihantam dengan sengit oleh Lin Lin dan Ma Hoa.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
333 Pemimpin barisan merasa kaget dan heran sekali, mengapa Yousuf dibela oleh dua orang gadis Han yang cantik jelita, maka ia lalu tertawa menghina dan memaki,
"Bagus sekali, Yousuf! Kau tidak saja pandai mengkhianati kerajaan dan menipu kami, akan tetapi juga pandai membujuk dua orang gadis Han yang cantik untuk menjadi bini muda dan pembela. Ha-ha-ha...!"
"Bangsat anjing bermulut jahat!" Lin Lin memaki sengit karena gadis ini sedikit-sedikit telah mempelajari bahasa Turki dari Yousuf maka ia dapat mengerti ucapan pemimpin itu. Dalam kemarahannya, Lin Lin mencabut pedang dan menyerang pemimpin barisan itu. Akan tetapi, puluhan tentara Turki lalu maju mengeroyok karena agaknya mereka ini suka sekali untuk menghadapi dua orang gadis cantik itu. Mereka berniat mempermainkan kedua dara jelita ini, tidak tahunya, begitu Lin Lin bergerak diikuti oleh Ma Hoa, beberapa orang serdadu terguling mandi darah.
Kini mereka baru tahu bahwa kedua orang gadis itu adalah pendekar pedang yang luar biasa, maka sambil berteriak-teriak marah, Lin Lin dan Ma Hoa dikeroyok oleh puluhan orang, sedangkan ratusan tentara berteriak-teriak di belakang mereka yang mengeroyok. Yousuf marah sekali dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menangkap dua orang tentara yang diputar-putar di sekelilingnya dan digunakan sebagai senjata.
Tentara Turki terkejut sekali dan mereka menjadi jerih karena telah tahu bahwa Yousuf adalah seorang jagoan terkenal di negeri mereka, maka dengan amukan Yousuf ini, kepungan mengendur dan pengeroyok-pengeroyok berkelahi dengan hati-hati. Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari atas dan tahu-tahu seekor burung merak yang indah dan besar, menyambar-nyambar turun dan tiap kali sayapnya menyampok, seorang Turki terpukul roboh tanpa dapat bangun kembali. Amukan burung merak ini ternyata lebih hebat daripada amukan Yousuf.
Menghadapi empat lawan yang tangguh luar biasa ini pengeroyokan tentara Turki menjadi kacau balau dan Yousuf yang tidak saja segan untuk melawan dan mengamuk bangsa sendiri akan tetapi juga berpikir bahwa tak mungkin mereka harus menghadapi jumlah lawan yang sedikitnya ada lima ratus orang itu, lalu berseru,
"Mari kita pergi!"
Lin Lin dan Ma Hoa mengerti pula bahwa jumlah musuh terlalu banyak, maka tanpa
membantah, mereka lalu ikut melompat pergi, melalui kepala pengeroyok dan menggulingkan tiap penghalang. Juga Sin-kong-ciak memekik nyaring dan mengikuti ketiga orang itu.
Sebenarnya burung merak ini merasa kecewa karena baru enak-enak membabat lawan-
lawannya yang empuk itu, kini diperintahkan untuk pergi.
Ilmu berlari cepat dari ketiga orang itu cukup tinggi untuk memungkinkan mereka lari segera meninggalkan mereka yang mengejar sambil berteriak-teriak, dan tak lama kemudian mereka bertiga tak mendengar lagi suara teriakan barisan Turki yang mengejar itu. Merak sakti tetap terbang di atas mereka dan ketika Yousuf berhenti, merak itu pun melayang turun dan membelai-belai tangan Lin Lin dengan leher dan kepalanya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
334 "Lin Lin dan Ma Hoa," kata Yousuf yang kini juga menyebut nama Ma Hoa biasa saja oleh karena orang tua ini sudah menganggap dia sebagai keluarga sendiri. "Kalian tahu bahwa aku dikejar-kejar dan dimusuhi, oleh karena dianggap menipu dan mengkhianati mereka." Ia menghela napas panjang. "Maka, demi keselamatan kalian berdua, kalian kembalilah ke pedalaman Tiongkok untuk mencari kawan-kawanmu, dan untuk mencari Nelayan Cengeng.
Biarkan aku melarikan diri dan bersembunyi di gunung sebelah utara itu. Kalau kalian bersama dengan aku maka kalian hanya akan menghadapi bahaya saja."
"Ayah, jangan kau berkata begitu," bantah Lin Lin. "Bagiku, kau adalah ayahku sendiri, dan ke mana kau pergi, aku sudah sewajarnya ikut."
"Yo-peh-peh," kata Ma Hoa yang kini menyebut peh-peh atau uwa kepada Yousuf, "benar seperti yang dikatakan Lin Lin. Semenjak berlayar kita telah bersama-sama dan aku pun menganggap kau sebagai orang tua sendiri, maka mengapakah sedikit bahaya saja membuat kita harus berpisah" Marilah Peh-peh bersama aku dan Adik Lin Lin kembali ke selatan dan mencari Suhu dan kawan-kawan lain. Adapun tentang segala bahaya yang menyerang dirimu, akan kita hadapi bertiga, bahkan berempat dengan Sin-kong-ciak."
Yousuf merasa terharu sekali. Ia menggunakan kedua tangannya untuk memegang tangan Lin Lin dan Ma Hoa. "Kalian memang anak-anak baik dan berhati mulia. Aku semenjak dulu hidup sebatang kara, setelah bertemu dengan kalian, seakan-akan mendapat kurnia besar sekali. Takkan ada di dunia ini perkara yang lebih kusukai daripada hidup di dekat kalian dan sahabat-sahabat baik seperti Kong Hwat Lojin, akan tetapi kalian anak-anak muda harus tahu bahwa aku adalah seorang Turki. Mungkinkah aku harus melawan dan membunuh tentara bangsaku sendiri" Ah, tak mungkin. Lebih baik untuk sementara waktu aku bersembunyi di tempat sunyi dan kelak apabila tentara Turki sudah kembali ke negeriku dan keadaan sudah aman kembali, barulah aku menyusul ke selatan dan mencari kalian."
Namun Lin Lin merasa tidak tega untuk meninggalkan Yousuf dalam keadaan dikejar-kejar itu. Bagaimana kalau ia diketemukan dan akhirnya sampai mati"
"Tidak, Ayah. Biarlah aku ikut kau bersembunyi untuk sementara waktu, dan apabila keadaan telah aman kembali, kita bersama menuju ke selatan mencari kawan-kawan."
Ma Hoa yang berpikir bahwa keadaan itu takkan berlangsung lama, karena setelah ternyata bahwa Pulau Kim-san-to terbakar habis, tentu tentara Turki itu tidak mau lama-lama tinggal di tempat yang bukan menjadi daerah mereka ini, maka ia segera berkata,
"Memang demikian sebaiknya, Yo-peh-peh. Lin Lin dan aku akan ikut kau bersembunyi untuk beberapa pekan, atau beberapa bulan kalau memang keadaan menghendaki."
Yousuf merasa girang sekali dan wajahnya yang agak kecoklat-coklatan itu berseri bergembira. "Bagus, anak-anakku, kalian benar-benar membuat aku merasa berbahagia sekali.
Jangan kalian kuatir, di lereng bukit dekat tapal batas Tiongkok, aku dulu telah meninggalkan sebuah rumah yang mungil dan indah. Marilah kita pergi ke sana dan untuk sementara waktu kita tinggal di tempat itu, di mana pemandangan indah dan hawanya sejuk. Tentang biaya, jangan kuatir!" Sambil berkata demikian, Yousuf mengeluarkan sekantung emas yang disimpan di dalam saku dalam bajunya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
335 Demikianlah, ketiganya, berempat dengan Merak Sakti, lalu cepat menuju ke bukit yang dimaksudkan oleh Yousuf. Benar saja sebagaimana kata Yousuf, keadaan di situ
menyenangkan sekali. Tamasya alam indah mengagumkan, hawa pegunungan segar dan
menyehatkan. Orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu adalah orang-orang petani yang ramah tamah dan hidup sederhana. Rumah Yousuf masih ada dan bagus, hanya agak kotor karena tidak terawat. Ketiganya lalu bekerja keras membereskan rumah itu. Lin Lin dan Ma Hoa lalu mengatur taman di sekitar rumah, oleh karena di bukit itu terdapat banyak kembang-kembang yang indah. Beberapa hari kemudian, para petani yang lewat di depan rumah itu, tidak habisnya mengagumi keindahan tempat itu dan mereka merasa seakan-akan tempat ini berubah semenjak rombongan ini tiba. Memang, siapa yang tidak kagum" Rumah itu kecil tapi indah bentuknya, dikelilingi oleh kembang-kembang tanaman kedua gadis itu, dan rumah ini ditinggali oleh seorang bangsa Turki yang bersikap halus dan ramah tamah, bersama dua orang gadis yang cantik jelita bagaikan dua orang bidadari dari kahyangan, ditambah lagi dengan adanya seekor merak yang berbulu bagus sekali!
Yousuf dengan hati sungguh-sungguh lalu melatih ilmu silat kepada Lin Lin dan Ma Hoa dan oleh karena ilmu silat Turki jauh berbeda dalam gaya dan variasi jika dibandingkan dengan ilmu silat Tiongkok walaupun pada dasarnya tak berbeda jauh, maka Lin Lin dan Ma Hoa merasa suka sekali mempelajari ilmu silat ini. Tingkat kepandaian Yousuf memang lebih tinggi dari tingkat mereka dan berkat latihan-latihan ini, kepandaian kedua orang gadis ini maju pesat. Oleh karena tiap hari belajar ilmu silat, ketiga orang itu tidak merasa sunyi dan bahkan merasa betah dan senang tinggal di tempat itu. Hanya, kadang-kadang saja, Lin Lin dan Ma Hoa terkenang kepada pujaan hati masing-masing yang membuat mereka termenung, akan tetap pikiran ini segera terhibur apabila mereka mengingat bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali.
Sementara itu, Merak Sakti yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tiap hari hanya berjalan-jalan di dalam taman atau kadang-kadang terbang tinggi sekali berputar-putar hingga mengagumkan orang-orang yang melihatnya. Merak ini agaknya pun senang sekali tinggal di situ dan bulunya makin indah mengkilap.
Pada suatu pagi yang cerah, di kala matahari dengan sinarnya yang nakal mengusiri awan dan halimun pagi dari udara dan muka bumi dan burung-burung menyambut kedatangan Raja Siang itu dengan nyanyian dan pujian yang merdu dan sedap didengar, Lin Lin dan Ma Hoa telah berada di taman bunga mereka dan mencabuti rumput-rumput liar yang hendak
mengganggu keindahan bunga. Mereka bekerja sambil bersendau gurau karena memang hawa pagi itu membuat dan memaksa orang untuk bergembira.
"Lin Lin," kata Ma Hoa sambil tersenyum manis. "Alangkah senangnya hatimu kalau pada saat yang indah ini Saudara Cin Hai berada di sini!"
Menghadapi serangan godaan ini, Lin Lin yang pandai bicara dan lincah itu juga tersenyum dan memandang tajam lalu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab, "Memang betul, tentu saja hatimu akan senang sekali, akan tetapi kau bersabariah, kawan! Tak lama lagi tentu kau akan dapat bertemu kembali dengan dia itu!"
Ma Hoa melengak dan tidak mengerti. "Ih, eh, apa maksudmu" Siapa yang kaumaksudkan dengan dia itu?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
336 Lin Lin berpura-pura memandang heran. "Siapa lagi, bukankah kau tadi maksudkan Engko Kwee An?"
"Eh, anak bengal! Apakah telingamu sudah menjadi tuli" Kau dengar aku bilang apakah tadi?"
Lin Lin memandang kepada Ma Hoa dengan wajah berseri. "Enci Hoa, bukankah kau tadi berkata begini. Alangkah senang hatiku kalau pada saat yang indah ini Kanda Kwee An berada di sini?"
Ma Hoa memandang gemas dan mengulurkan tangan hendak mencubit Lin Lin, akan tetapi gadis itu segera mengelak.
"Lin Lin, jangan kau bicara tak karuan! Aku tak pernah mengeluarkan ucapan itu dari mulutku."
"Tapi siapakah yang mendengar ucapan mulutmu" Aku tadi mendengar suara yang keluar dari hatimu hingga aku tidak mendengar jelas suara yang keluar dari mulutmu! Bukankah hatimu tadi berkata seperti yang kuulangi tadi?"
Ma Hoa mengerling tajam dengan bibir menyatakan kegemasan hatinya. Memang biarpun mulutnya menyatakan dan menyebut-nyebutnya, nama Cin Hai, namun, tepat sebagaimana godaan Lin Lin, hatinya memaksudkan Kwee An! Maka karena malu dan gemas, Ma Hoa lalu mengejar Lin Lin hendak dicubitnya, akan tetapi Lin Lin berlari mengitari bunga-bunga sambil tertawa-tawa dan berkata,
"Awas, Enci Hoa, kalau engkau mencubit aku, nanti aku akan minta Engko An untuk
membalasnya."
Ma Hoa makin gemas dan sambil tertawa, mereka berkejaran di dalam taman bunga itu, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang cantik dan indah.
Tiba-tiba keduanya berhenti tertawa, bahkan lalu berdiri diam sambil memasang telinga dengan penuh perhatian. Di antara kicau burung yang bermacam-macam itu, terdengar Merak Sakti yang memekik-mekik aneh sekali karena mereka belum pernah mendengar suara merak itu memekik seperti ini hingga mereka tidak tahu apakah merak itu sedang marah atau sedang bergirang. Biasanya kedua orang gadis ini telah hafal akan tanda-tanda yang dikeluarkan oleh suara Merak Sakti, akan tetapi kali ini mereka saling pandang dengan heran dan terkejut.
Kemudian, serentak mereka lalu melompat dan berlari cepat ke arah suara tadi.
Ketika mereka tiba di sebuah lereng yang penuh rumput hijau, mereka menyaksikan
pemandangan yang membuat mereka tertegun dan berhenti dengan tiba-tiba. Di atas rumput yang tebal itu, Sin-kong-ciak mendekam seperti berlutut dan mengangangguk-anggukkan kepalanya ke bawah sambil mengeluarkan pekik yang aneh itu, sedangkan seorang kakek yang tua sekali dan yang memakai pakaian penuh tambalan dan butut, sedang membelai-belai leher dan kepala merak itu. Yang membuat Lin Lin dan Ma Hoa terheran sekali adalah sikap merak itu. Kedua orang gadis ini cukup kenal adat Merak Sakti yang angkuh dan tidak mau Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
337 tunduk kepada siapapun juga, maka melihat betapa merak itu kini berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala, mereka menjadi heran sekali.
Tiba-tiba kakek itu lalu memegang kedua kaki Merak Sakti, melemparkannya ke atas sambil tertawa-tawa, dan ketika merak yang menurut saja dan membiarkan dirinya dilemparkan tanpa mengembangkan sayap untuk terbang itu jatuh kembali, lalu diterima oleh tangan kiri pada dua kakinya, dilempar lagi ke atas berulang-ulang. Permainan ini dilakukan oleh kakek itu sambil tertawa-tawa girang, sedangkan Merak Sakti juga mengeluarkan suara yang dikenal oleh orang gadis itu sebagai pernyataan hatinya yang senang dan gembira.
Biarpun mendengar suara gembira dari merak itu namun Lin Lin menjadi marah sekali dan menyangka bahwa kakek ini tentu menggunakan kepandaiannya yang membuat Merak Sakti tak berdaya kemudian mempermainkan burung itu. Gadis ini melompat maju dan membentak,
"Kakek jahat, lepaskan burung merakku!"
Akan tetapi, jangankan mentaati perintah Lin Lin bahkan kakek itu menengokpun tidak, terus melempar-lemparkan tubuh burung itu ke atas sambil tertawa dan kemudian bertanya kepada Merak Sakti,
"Kong-ciak, apakah kau sudah puas?"
Lin Lin marah sekali lalu maju menyerang dan memukul dengan tangan kanan ke arah dada kakek itu untuk mendorongnya roboh. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia merasa betapa kepalan tangannya seakan-akan memukul kapas hingga tenaga pukulannya menjadi lenyap sendiri, sedangkan kakek tua itu sama sekali tidak memandangnya seakan-akan Lin Lin tidak ada di situ.
Ma Hoa yang melihat Lin Lin mulai menyerang kakek itu, lalu membantu dan kedua orang gadis ini lalu menyerang berbareng kepada si kakek tua itu. Sementara itu, Merak Sakti yang agaknya telah merasa puas dengan permainannya lalu mengembangkan sayapnya dan terbang ke atas cabang pohon, bertengger di situ sambil menonton pertempuran.
Sebetulnya ucapan ini saja sudah cukup bagi kedua gadis itu untuk menyadari bahwa kakek tua ini tidak bermaksud jahat akan tetapi karena Lin Lin dan Ma Hoa merasa marah dan penasaran maka mereka lalu maju berbareng dan menyerang dengan hebat. Akan tetapi, biarpun kakek tua itu agaknya tidak berpindah dari tempatnya, namun pukulan kedua orang dara muda itu satu kalipun tak pernah berhasil mengenai tubuhnya. Lin Lin merasa penasaran sekali, demikianpun Ma Hoa karena mengira bahwa kakek ini tentu mempergunakan ilmu sihir. Makin besar dugaan mereka ketika mereka merasa telah hampir mengenai tubuh orang tua itu, tiba-tiba saja tangan mereka melesat ke samping seakan-akan didorong oleh tangan kuat yang tidak kelihatan.
Mereka ini keduanya sama sekali tidak tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan tokoh persilatan tertinggi yang bukan lain orang adalah Bu Pun Su sendiri. Sebenarnya, Bu Pun Su tidak mempergunakan ilmu sihir, hanya mengerahkan tenaga khikangnya yang telah
sempurna itu hingga hawa yang keluar dari kedua tangannya cukup kuat untuk menangkis tiap pukulan Lin Lin dan Ma Hoa.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
338 Pada saat kedua orang gadis itu menjadi sibuk dan makin terheran dan marah tiba-tiba terdengar bentakan orang,
"Kakek tua! Jangan kau mengganggu kedua anakku!"
Ternyata yang datang ini adalah Yousuf sendiri. Lin Lin dan Ma Hoa merasa girang sekali dan Lin Lin segera berteriak,
"Ayah, kauusir kakek yang pandai sihir ini!"
Juga Ma Hoa berkata, "Dia telah menyihir dan mempermainkan Sin-kong-ciak!"
Yousuf menjadi marah sekali, lalu membentak kedua gadis itu, "Kalian minggirlah, biarkan aku menghadapinya! Kemudian ia meloncat ke depan Bu Pun Su dan membentak,
"Kakek tua! Memalukan sekali untuk mengganggu seekor burung merak dan dua orang anak masih bodoh. Marilah kita tua lawan tua!"
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh hingga ia cepat-cepat mempergunakan tenaga dalamnya untuk menolak tenaga yang keluar dari suara ketawa ini.
"Hi-hi-hi, kau orang Turki ini sungguh-sungguh berbeda dengan yang lain! Kau benar-benar lain daripada yang lain. Bagus, bagus! Kau lucu sekali! Usiamu paling banyak hanya setengah umurku, tapi kau bilang tua lawan tua! Eh, kakek-kakek tua bangka, mari kita main-main sebentar,"
Ucapan Bu Pun Su ini mendapat sambutan suara Merak Sakti yang mengeluarkan suara terkekeh-kekeh pula, suara yang dikenal oleh Lin Lin dan Ma Hoa apabila merak itu merasa gembira. Sungguh aneh. Lin Lin masih menyangka bahwa merak itu masih terkena sihir, maka ia segera menghampiri di bawah pohon di mana merak itu bertengger dan memanggil,
"Kong-ciak-ko, kauturunlah ke sini!"
Akan tetapi Merak Sakti itu sama sekali tidak mau turun. Hal ini makin mempertebal dugaan Lin Lin dan Ma Hoa bahwa kakek luar biasa itu tentu telah menyihir Merak Sakti, karena biasanya merak itu sangat taat terhadap perintah Lin Lin.
"Ha, ha, ha! Nona, jangan kau heran, kong-ciak itu bukannya bersifat palsu dan karena mendapat kawan baru lalu melupakan kawan lama. Akan tetapi adalah bertemu majikan lama melupakan majikan baru."
"Kakek tua, majulah dan hendak kulihat sampai di mana kesaktianmu!" teriak Yousuf melihat betapa kakek itu memandang ringan kepada mereka semua. Sambil berkata demikian, Yousuf lalu menyerang dengan kedua tangannya dengan ilmu silat Turki yang paling lihai.
Kedua tangannya ini yang kanan memukul, yang kiri mencengkeram ke arah lambung lawan, dan kaki kirinya juga menendang ke depan dengan cepat.
"Ha, ha, ha! Bagus, aku mendapat kesempatan menyaksikan ilmu silat Turki yang lihai!" kata kakek itu yang masih tertawa haha-hihi sambil mengelak perlahan. Aneh sekali, agaknya Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
339 kakek itu telah tahu bahwa di antara ketiga serangan ini, yang sungguh-sungguh adalah serangan kaki, oleh karena kedua tangan yang menyerang hanya untuk menarik dan
mengalihkan perhatian lawan saja. Bu Pun Su sama sekali tidak mengelak dari serangan kedua tangan, hanya mengelak dari tendangan kaki Yousuf. Tendangan ini ketika tidak mengenai sasaran, tidak ditarik mundur sebagaimana biasa tendangan dalam ilmu silat Tiongkok, akan tetapi diteruskan dan dibanting ke pinggir terus memutar ke belakang hingga tubuh Yousuf terputar di atas sebelah kaki dan sekali putaran ia lalu mengayun lagi kaki itu menendang, dibarengi dengan serangan kedua tangan lagi! Ini adalah gerak tipu yang luar biasa dan tak terduga dan biasanya dengan gerakan ini, Yousuf dapat menjatuhkan lawannya.
Akan tetapi, kali ini benar-benar kecele, karena Bu Pun Su agaknya sudah tahu akan maksud dan gerakannya hingga dapat mengelak di waktu yang tepat. Bahkan ketika kakek jembel ini membalas menyerangnya, Yousuf melengak karena Bu Pun Su menggunakan serangan yang persis seperti yang dilakukannya tadi. Bahkan gerakan kakek jembel ini lebih cepat dan lebih hebat daripada gerakannnya sendiri. Yousuf penasaran sekali lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi, makin lama ia makin heran hingga ia bertempur dengan mata terbelalak dan mulut menyelangap oleh karena makin banyak ia mengeluarkan
kepandaiannya, makin banyak pula gerakan-gerakannya ditiru dengan tepat oleh Bu Pun Su!
Juga Lin Lin dan Ma Hoa ketika melihat betapa kakek itu melawan Yousuf dengan ilmu silat Turki yang sama, tak terasa pula saling pandang dengan terheran-heran.
"Ayah, ia tentu menggunakan ilmu sihir!" Lin Lin memberi peringatan kepada ayah
angkatnya. Yousuf teringat dan timbul persangkaan demikian pula, maka tiba-tiba orang Turki ini mengheningkan cipta, mengumpulkan tenaga di dalam pusar dan setelah
mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke mulut, ia membentak sambil menunjuk ke arah dada kakek jembel itu dan kedua matanya yang amat tajam dan hitam itu menatap mata kakek itu,
"Kau berlututlah!"
Ini adalah semacam ilmu sihir yang didasarkan tenaga batin untuk mempengaruhi semangat dan kemauan lawan yang disebut Ilmu Penakluk Semangat. Bahkan Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak diserang langsung oleh ilmu ini, akan tetapi karena mereka memperhatikan dan mendengar bentakan yang memerintah dan berpengaruh itu, tak terasa pula mendapat desakan hebat dan tiba-tiba tanpa disadarinya lagi mereka lalu menjatuhkan diri berlutut!
Akan tetapi setelah mengeluarkan bentakan bukan kakek jembel itu yang berlutut, bahkan Yousuf sendiri yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel!
"Ha, ha, ha! Aku tua bangka jembel tak layak menerima penghormatan ini!" kata Bu Pun Su sambil tertawa bergelak dan suara ketawanya ini agaknya membuyarkan ilmu sihir Yousuf hingga ketiga orang itu sadar bahwa mereka sedang berlutut di depan Si Kakek jembel!
Yousuf terkejut sekali oleh karena yang dapat melawan ilmunya ini adalah gurunya sendiri, seorang pertapa tua yang sakti di Turki dan ia ingat gurunya pernah menerangkan bahwa apabila Ilmu Penakluk Semangat ini digunakan untuk menyerang orang yang mempunyai ilmu batin lebih tinggi dan kuat, maka akibatnya dapat terbalik karena tenaga itu terpental dan memukul dirinya sendiri! Yousuf lalu melompat bangun dengan muka merah, sedangkan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
340 kedua orang gadis itu pun dengan malu lalu mencabut pedang mereka. Yousuf juga mencabut pedangnya dan ketiga orang ini lalu menyerbu dan menyerang Bu Pun Su!
Tiba-tiba terdengar pekik marah dari atas dan Merak Sakti lalu sambil mengibaskan sayapnya menangkis pedang ketiga orang itu! Karena Merak Sakti itu pun memiliki tenaga besar, maka ia berhasil menangkis senjata Yousuf dan Lin Lin, bahkan pedang di tangan Lin Lin terpental jauh sekali! Akan tetapi, ternyata bahwa Merak Sakti itu tidak berniat jahat dan hanya ingin mencegah ketiga orang itu menyerang Bu Pun Su dengan senjata tajam dan setelah menangkis satu kali, merak itu lalu terbang lagi ke cabang tadi!
"Ha, ha, ha, bagus, Kong-ciak! Tak percuma aku memeliharamu semenjak kecil!" kata kakek jembel itu sambil tertawa girang.
Yousuf dan Ma Hoa tercengang mendengar ini akan tetapi Lin Lin yang merasa marah sekali karena pedangnya dibikin terpental oleh Merak Sakti, lalu tak terasa lagi mencabut keluar pedang karatan yang dulu ia ambil dari gua di pulau Kim-san-to. Dengan pedang buntung yang bobrok ini ia maju lagi menyerang.
Tiba-tiba wajah Bu Pun Su berubah ketika ia melihat pedang itu dan cepat sekali tangannya bergerak ke depan. Lin Lin tidak tahu bagaimana kakek itu bergerak karena tahu-tahu pedangnya telah pindah tangan.
"Han Le... betul-betulkah kau telah mendahului aku?" kata Bu Pun Su sambil memandang pedang itu dengan muka berduka dan kepalanya yang putih tiada hentinya menggeleng-geleng. "Han Le Sute... mengapa kau mendahului Suhengmu" Ah, aku Bu Pun Su benarbenar telah tua sekali dan sudah cukup lama hidup di dunia ini..." setelah berkata demikian, ia menghela napas panjang.
Bukan main terkejutnya Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf, mendengar bahwa kakek luar biasa ini adalah Bu Pun Su, guru dari Cin Hai. Yousuf pernah diceritakan oleh Lin Lin tentang kehebatan kepandaian Cin Hai, dan menceritakan pula bahwa suhu pemuda itu bernama Bu Pan Su, tokoh yang telah terkenal namanya di seluruh penjuru.
Lin I Lin dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su, sedangkan Yousuf segera membungkuk dalam-dalam hingga jidatnya hampir menyentuh tanah, satu cara
penghormatan yang paling besar dari bangsa Turki. "Locianpwe, mohon beribu ampun bahwa teecu telah berani berlaku kurang ajar," kata Lin Lin dengan hormat.
Bu Pun Su menghela napas. "Sudahlah, aku orang tua tak tahu diri yang harus minta maaf.
Ketahuilah, kadang-kadang aku mempunyai keinginan untuk menjadi anak-anak kembali dan ingin mempermainkan orang. Agaknya aku telah pikun dan telah terlalu tua..." Kemudian ia berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Aku tahu siapa kalian ini. Kau tentu Lin Lin tunangan muridku Cin Hai. Syukur bahwa kau terlepas dari cengkeraman Boan Sip si jahat itu. Dan kau ini tentu Ma Hoa murid Nelayan Cengeng. Hm, kepandaianmu yang
kaukeluarkan tadi jelas menunjukkan bahwa kau adalah murid Si Cengeng itu. Dan kau, Sahabat, kau tentulah Yo Su Pu yang terkenal." Memang, nama Yousuf kalau diucapkan oleh lidah orang Han akan berubah, ada yang menyebut Yo Suhu, Yo Se Fei, Yo Su Pu dan lain-lain.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
341 Yousuf kembali menjura, "Saya yang bodoh dan rendah mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan Lo-suhu yang sakti?"
Bu Pun Su lalu berkata lagi, "Apakah artinya kesaktian dan kepandaian" Hanya sepintas lalu saja. Siapa mau belajar dia tentu akan menjadi pandai. Tidak dengan sengaja aku bertemu dengan Kong-ciak di tempat ini, maka aku merasa ingin tahu siapa yang membawa Kong-ciak ke sini" Dan melihat pedang ini di tangan Lin Lin, tahulah aku bahwa kalian tentu telah mengunjungi pulau itu. Dan pedang yang menceritakan padaku bahwa Suteku yang tinggal di pulau itu telah meninggal dunia, karena ini adalah pedangnya! Coba kaututurkan
pengalamanmu mendapatkan pedang dan burung merak ini," perintahnya kepada Lin Lin.
Sementara itu, Merak Sakti telah terbang turun dan dan hinggap di atas pundak Bu Pun Su.
Lin Lin dengan singkat menuturkan pengalaman mereka di Pulau Kim-san-to dan ketika ia menceritakan betapa pulau itu terbakar musnah, Bu Pun Su mengangguk-angguk. "Ya, ya, ya.
Aku kemarin telah melihat dari pantai bahwa pulau itu telah lenyap dari permukaan laut. Dan harimau bertanduk serta rajawali emas tentu telah tewas pula." Kakek ini menghela napas dan ketika mendengar disebutnya kedua binatang itu, Si Merak Sakti lalu mengeluarkan keluhan panjang dan dua butir air mata runtuh dari sepasang matanya yang indah. Kemudian merak ini terbang ke atas dan berputar di udara.
"Hm, kong-ciak itu memang perasa sekali. Tentu ia bersedih mendengar nasib kedua kawannya. Ketahuilah, merak itu dan dua binatang lain di atas pulau yang musnah adalah binatang-binatang peliharaanku. Terutama merak ini semenjak kecil telah ikut aku di pulau itu. Setelah aku meninggalkan pulau, maka suteku yang bernasib malang itu tinggal di pulau dan bertapa di sana. Tidak tahunya sekarang ia telah menjadi rangka dan pedangnya pun telah tinggal sepotong. Hm, demikianlah nasib manusia. Kepandaiannya yang luar biasa pun turut lenyap tak berbekas. Manusia... manusia... kau calon rangka dan debu ini, masih mau mengagulkan apamukah...?"
Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu sambil memandang ke atas dan Yousuf merasa terkena sekali hatinya hingga ia menundukkan muka dengan penuh khidmat.
"Lin Lin," kata Bu Pun Su, "Kau memang berjodoh dengan pedang ini maka Suteku sengaja memilih kau untuk memilikinya. Ketahuilah, pedang ini bukan pedang sembarangan dan yang tinggal sepotong ini adalah sari pedang itu. Tadi kulihat ketika kau memegang pedang pendek ini, agaknya kau lebih pandai mempergunakan pedang pendek, maka biarlah pedang potong ini kubuat menjadi pedang pendek untukmu."
Lin Lin merasa girang sekali dan ia lalu menghaturkan terima kasih pada Bu Pun Su. Kakek tua itu lalu tinggal di atas bukit itu selama tiga pekan untuk menggembleng dan membuat pedang pendek dari sisa pedang berkarat itu. Kemudian ia berikan pedang yang menjadi sebatang belati panjang kepada Lin Lin sambil berkata,
"Terimalah pedang pendek ini yang kuberi nama Han-le-kiam untuk memperingati nama Suteku Han Le. Dan untuk memperlengkapi kehendak Suteku, yang memberi pedang ini kepadamu, kau berhak menerima pelajaran ilmu silat dari persilatan kami."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
342 Bukan main girangnya hati Lin Lin yang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek sakti itu.
"Akan tetapi bukan aku si tua bangka yang hendak menurunkan kepandaian ini kepadamu.
Aku telah satu kali menerima murid dan itu sudah lebih dari cukup. Cin Hai atau calon suamimu itulah yang akan bertugas menurunkan kepandaian kepadamu. Jangan menganggap aku main-main, akan tetapi tanpa perkenanku, nanti dia tidak berani menurunkan ilmu kepandaian yang dipelajarinya dariku, biar kepada isterinya sekalipun."
Lin Lin segera bertanya dengan berani, "Akan tetapi, Locianpwe, teecu masih belum tahu di mana adanya... dia!" Ma Hoa dan Yousuf diam-diam tersenyum dan Bu Pun Su tertawa bergelak,
"Seperti juga tidak ada persatuan yang tidak berakhir, demikian pun tidak ada perceraian yang kekal. Kelak tentu tiba saatnya kau bertemu kembali dengan Cin Hai dan Ma Hoa dengan Kwee An. Dan kalau kau sudah bertemu calon suamimu itu, sampaikanlah pesanku supaya kau diberi pelajaran pokok yang telah kuajarkan kepadanya, kemudian memberi pelajaran ilmu pedang yang baru diciptakannya kepadamu."
Kemudian sambil memandang kepada Yousuf, Bu Pun Su berkata pula,
"Kau tidak salah memilih Saudara Yo Su Pu ini sebagai ayah angkatmu karena memang dia ini orang baik dan berhati mulia. Saudara Yo, akan lebih baik lagi kalau mimpi buruk yang mengganggu hatimu itu dapat dilenyapkan sama sekali."
Yousuf terkejut sekali, oleh karena mendengar ucapan ini ia dapat mengetahui bahwa kakek sakti ini ternyata telah dapat membaca isi hatinya yang bercita-cita menjadi kaisar di negerinya. Ia lalu tersenyum dan menjura sambil berkata,
"Lo-suhu, terima kasih atas nasihatmu ini. Memang, semenjak bertemu dengan anakku ini, cita-cita gila itu telah kubuang jauh-jauh."
"Bagus sekali, itu hanya menambah tebal keyakinanku bahwa kau memang memiliki
kebijaksanaan besar yang jarang dimiliki oleh sembarangan orang." Kemudian Bu Pun Su pergi dari tempat itu setelah membelai leher dan kepala Merak Sakti yang nampak sedih ditinggalkan oleh majikan lamanya ini.
Oleh karena menyangka kalau-kalau Lin Lin dan Ma Hoa telah mendahului pulang ke
kampung Lin Lin, maka Kwee An dan Cin Hai lalu menuju ke selatan untuk kembali ke daerah Tiang-an.
Ketika mereka langsung menuju ke rumah Kwee An, ternyata bahwa rumah itu masih
tertutup dan ketika mereka bertanya kepada orang di kampung itu yang menyambut
kedatangan Kwee An dengan girang, mereka mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah kembali ke situ, dan bahwa Kwee Tiong masih tetap tinggal di kelenteng Ban-hok-tong di Tiang-an, dan bahwa Kwee Tiong kini bahkan telah mencukur rambutnya dan masuk menjadi hwesio!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
343 Hal ini mengejutkan hati Kwee An, maka ia lalu mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya itu di Kelenteng Ban-hok-tong di kota Tiang-an. Ketika mereka tiba di kelenteng Ban-hok-tong yang mengingatkan Cin Hai akan pengalamannya ketika masih kecil dan belajar ilmu kesusastraan dari Kwi-sianseng guru sasterawan yang kurus kering itu, mereka disambut oleh seorang hwesio tua yang bertubuh tegap dan sikapnya masih gagah. Hwesio ini adalah Tong Kak Hosiang, hwesio perantau yang mengajar silat pada putera-putera Kwee Ciangkun, seorang pendeta yang selain memiliki ilmu silat cukup tinggi dari cabang Kun-lun-pai, juga mempunyai pengertian yang dalam tentang Agama Buddha serta menjalankan ibadat dengan sungguh-sungguh.
Ketika Tong Kak Hosiang mendengar pengakuan Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera termuda dari Kwee In Liang, ia menyambut dengan girang sekali.
"Ah, kiranya Kwee-kongcu! Silakan masuk!" Hwesio ini memandang kepada Kwee An
dengan mata kagum oleh karena Kwee Tiong seringkali menceritakan tentang kegagahan dan ketinggian ilmu silat adiknya ini.
"Lo-suhu, teecu mohon bertemu dengan kakakku Kwee Tiong."
Tong Kak Hosiang tersenyum, "Baik, baik, tentu saja, Kwee-kongcu," Tiong Yu memang sudah lama merindukan kau. O ya, hampir lupa pinceng memberitahukan bahwa kakakmu kini bernama Tiong Yu Hwesio."
Ketika hwesio tua itu mengantar mereka masuk ke ruang dalam, mereka mendengar suara Kwee Tiong yang lantang membaca liamkeng (kitab suci yang dibaca sambil berdoa) dan suara kayu dipukul-pukulkan untuk mengikuti irama doa dan untuk menghalau segala gangguan yang memasuki pikiran di waktu membaca liamkeng.
"Tiong-ko!" Kwee An memanggil dengan suara di kerongkongan.
Suara liamkeng berhenti dan Kwee Tiong berpaling. Alangkah bedanya wajah pemuda ini dibandingkan dengan dulu dan hal ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai. Pada wajah yang cakap itu kini terbayang kesabaran dan ketenangan yang besar hingga diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan juga girang melihat perubahan besar.
Ketika melihat Kwee An, Kwee Tiong lalu bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya lalu berpelukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra ini
keduanya telah mencurahkan keharuan hati masing-masing. Ketika Kwee Tiong melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Kwee An sambil memandang wajah adiknya, ia
melihat dua butir air mata membasahi mata Kwee An. Kwee Tiong lalu tersenyum
membesarkan hati adiknya sambil mengguncang-guncangkan pundak adiknya dan berkata lantang,
"An-te, kau kelihatan makin gagah dan tampan saja!" Sambil berkata demikian, Kwee Tiong cepat menggunakan ujung lengan bajunya menghapus dua tetes air mata yang telah menetes di atas pipi adiknya.
"Tiong-ko, kau..."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
344 Akan tetapi Kwee Tiong tidak memberi kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan kata-katanya dan untuk melampiaskan keharuan hatinya, maka ia lalu menarik tangan adiknya itu ke ruang tamu dengah muka girang, sedangkan gerakan kakinya masih menunjukkan
kegagahan dan kejantanannya seperti yang dulu.
Cin Hai yang menunggu di ruang tamu ketika melihat Kwee Tiong, lalu menjura dengan hormat.
"Eh, eh, Pendekar Bodoh ikut datang pula! Kau memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada habisnya aku mengagumi kau." Ucapan ini keluar dari hatinya yang tulus hingga Cin Hai merasa girang dan terharu, maka ia lalu angkat kedua tangan memberi hormat lagi.
"Tiong Yu Hwesio saudaraku yang baik. Kebijaksanaanmu yang telah mengambil jalan suci ini membuat aku yang bodoh dan kasar menjadi malu saja."
Kwee Tiong menghampiri Cin Hai dan menepuk-nepuk pundaknya. "Aah, jangan begitu, Cin Hai! Aku masih Kwee Tiong bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini telah terbuka kedua mataku dan aku benar-benar girang bertemu dengan kau. O ya, di mana Lin Lin adikku yang manis?" Matanya mencari-cari dan mengharapkan munculnya Lin Lin di situ.
Setelah duduk menghadapi meja, Kwee An lalu menceritakan pengalamannya dan bahwa kini mereka berdua sedang mencari Lin Lin. Ketika mendengar tentang pembalasan sakit hati yang hampir selesai dan tinggal Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee Tiong tidak nampak kegirangan sebagaimana yang diduga semula, bahkan pemuda yang menjadi hwesio itu menghela napas dan merangkapkan kedua tangan, lalu berkata,
"Aah, inilah yang membuat aku mengambil keputusan untuk menjadi seorang yang
beribadat. Tadinya aku selalu merasa takut kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua dan saudara-saudara, penasaran karena ingin membalas dendam. Tapi apakah artinya semua perasaan yang hanya mengganggu batin itu" Setelah aku mendapat petunjuk dari Tong Kak Suhu dan masuk menjadi hwesio, baru terbukalah mataku. Aku sekarang merasa berbahagia dan tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam hatiku memang tidak ada perasaan bermusuh kepada siapapun juga. Tentang pembalasan sakit hati itu, Adikku, biarlah kau yang berkepandaian tinggi dan yang merasa sakit hati, kauperjuangkan sebagai sebuah tugas suci berdasarkan kebaktian. Sedangkan aku, yang tiada berkepandaian ini, biarlah aku setiap saat berdoa untuk keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan keselamatan kawan-kawan baik semua."
Cin Hai yang mendengar ucapan ini, mengangguk-angguk dan ia maklum sepenuhnya bahwa memang jalan yang diambil oleh Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali.
Setelah menuturkan pengalaman masing-masing dan melepaskan kerinduan dengan
mengobrol semalam penuh, pada keesokan harinya Kwee An dan Cin Hai meninggalkan
Kelenteng Ban-hok-tong.
"Kwee An marilah kita mampir sebentar di Tiang-an, karena sudah lama aku tidak pernah menginjakkan kaki di kota itu. Seringkali aku terkenang kepada kota di mana aku tinggal ketika kita masih kecil."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
345 Juga Kwee An ingin melihat kota kelahirannya maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan keduanya lalu memasuki kota Tiang-an yang berada di dekat Kelenteng Ban-hok-tong itu.
Mereka lalu berjalan-jalan di dalam kota itu sampai sore. Dan ketika mereka berjalan sampai di ujung timur, tiba-tiba mereka mendengar suara yang lantang dari dalam sebuah rumah.
Mendengar suara ini, Cin Hai menyentuh tangan Kwee An dan berbisik,
"Coba, kaudengarkan itu, apakah kau masih mengenalnya?"
Kwee An memasang telinga dengan penuh perhatian dan dari jendela rumah itu terdengar suara yang jelas sekali.
"Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-yaaaa..."
Kwee An hampir tertawa bergelak, tapi cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk menutup mulutnya dan menahan ketawanya. "Itulah Kwi Sianseng!" katanya.
Cin Hai tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi yang dapat mengucapkan ujar-ujar itu demikian bagusnya" Tahukah kau berapa kali ia dulu pernah memukul dan mengetok kepalaku yang dulu gundul?"
Kwee An hampir tertawa keras-keras dan ia membelalakkan kepada Cin Hai sambil
tersenyum lebar. "Kau juga?""
Cin Hai bertanya heran, "Apa maksudmu?"
"Kau juga menjadi korban kesukaannya memukul kepala murid-muridnya" Ha, ha,
jangankan kau yang dulu memang banyak orang membenci, sedangkan aku sendiri pun entah sudah berapa kali merasai ketokan di kepalaku."
Lambang Naga Panji Naga Sakti 9 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Hati Budha Tangan Berbisa 9
^