Pendekar Bodoh 16
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Memang kata-kata itu benar," kata Ceng Tek Hosiang, "akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti. Kalau Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!" Sambil berkata demikian, Si Gendut mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih mengkilap, nampaknya tajam dan baru.
"Nah, lihatlah baik-baik. Pisau ini akah kutusukkan kepadanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh mata pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!" Setelah berkata demikian, ia menghampiri Ceng To Tosu yang masih saja duduk dengan mewek. Benar saja, hwesio itu menusuk leher tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin Hai merasa terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu sampai ke gagangnya! Ketika Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja tidak nampak darah sedikitpun pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak!
Semua orang memandang dengan mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tak
percaya kepada kedua matanya sendiri. Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian anehnya" Ilmu kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit, bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang dipergunakan oleh kedua orang ini"
Ceng To Tosu lalu membuka bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup itu, lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan itu walaupun dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun setelah dicabut kembali, tosu itu sama sekali tidak terluka sedikit pun. Kemudian hwesio gendut itu lalu melempar pisau itu ke arah sebatang pohon dan pisau itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.
"Nah, Cuwi lihat, bahkan batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau pinceng ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Suhengku ini, pinceng tidak berdaya."
"Lihai sekali..." semua orang berseru.
Hwesio gendut itu lalu menjura dan berkata, "Pertunjukkan kami selesai sampai di sini saja, kalau ada jodoh kita saling bertemu lagi!" Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya mereka membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
486 Cin Hai yang menyaksikan itu semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah menyaksikan kepandaian kedua pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biarpun lihai, namun tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang baru diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat kagum dan tidak mengerti.
Maka setelah semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.
"Jiwi-suhu apakah baik-baik saja?"
Ketika hwesio dan tosu itu melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.
"Ah, ah, kiranya Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh!" kata Ceng To Tosu. "Bagaimana bisa sampai di sini, Taihiap?"
Sementara itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai. "Dulu ketika kau dan Ang I Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa pergi lebih dulu."
Cin Hai terseyum. "Tidak apa, hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai di sini?"
"Thian melindungi orang-orang baik," kata hwesio gendut itu, "maka kami terdampar ombak besar dan dilempar ke tepi laut dengan selamat."
"Dan sekarang jiwi-suhu berada di darat ini sedang apakah?"
"Taihiap sudah menyaksikan sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,"
jawab Ceng To Tosu.
Cin Hai mengangguk-angguk dan keterangan ini memang masuk di akal. "Kepandaianmu tadi benar-benar lihai sekali, Ceng To Totiang," katanya memuji akan tetapi dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata, "Dengan pisau yang sengaja kami buat khusus untuk keperluan ini, apakah yang lihai?"
Cin Hai memegang pisau belati itu dan berkata, "Pisau ini pisau biasa dan tadipun dapat menancap di pohon, apanya yang aneh" Mungkin kalian telah mempergunakan ilmu sihir!"
Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa, akan tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan! "Ah, ah, kami benar-benar merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tidak ada artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami merasa puas dan bangga!"
Ceng To Tosu juga berkata, "Sie-taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kaulihat besi kecil hitam pada gagangnya itu" Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka, pisau ini adalah pisau biasa yang akan melukai orang.Akan tetapi, coba kautekan besi kecil itu, dan kau akan melihat keanehannya!" Cin Hai melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan ketika ia menekan, ternyata pisau itu apabila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya yang panjang hingga tidak kelihatan lagi ujungnya! Demikian akal yang
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
487 digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan pisaunya pada tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!
Hampir saja Cin Hai tertawa bergelak karena geli. Ia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa senang bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini saja dapat membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan kepadanya.
"Taihiap, sesungguhnya kami berdua sedang melakukan tugas!" kemudian Ceng Tek
Hosiang berbisik.
"Tugas" Tugas apa dan dari siapa?"
"Dari siapa lagi kalau bukan dari pemerintah kita. Kami berdua kini telah membantu kerajaan. Panglima besar yang sekarang, Kam-ciangkun, adalah seorang gagah yang budiman, maka kami berdua membantunya dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk semacam tugas!"
Cin Hai mengangguk. "Aku telah mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah kalau memang demikian halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan untuk mengganti panglima-panglima dengan orang-orang yang benar-benar gagah dan budiman."
"Memang kata-katamu ini benar sekali Taihiap, apalagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang dalam bahaya besar."
Cin Hai terkejut. "Apa maksudmu?"
Dengan suara berbisik Ceng To Tosu berkata, "Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak mengadakan serangan ke daerah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-san-to dulu itu. Dan sikap orang-orang Mongol juga amat mencurigakan hingga kita seakan-akan terancam dari dua pihak. Oleh karena inilah maka Kam-ciangkun lalu
mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan sebagian pula ke daerah barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kan-su dan selain kami berdua, masih banyak pula perwira-perwira yang menyamar dan menjadi penyelidik, bahkan kabarnya Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah ini oleh karena agaknya pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah ini."
Cin Hai mengangguk-angguk maklum dan berkata, "Terima kasih atas kepercayaanmu
kepadaku, Totiang, akan tetapi harap kau berdua suka berhati-hati dan jangan sembarangan bicara dengan orang lain mengenai hal ini."
Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak. "Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan rahasia."
Kedua orang pendeta aneh itu lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai.
Setelah berpisah dengan Ceng Tek Hosiang, dan Ceng To Tosu, Cin Hai lalu berjalan-jalan di luar kota dan pergi ke tepi Sungai Huangho yang airnya kuning. Keadaan di situ sunyi, penuh Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
488 dengan sawah ladang dan rumput di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan.
Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang sekali. Memang, semenjak pertemuannya
dengan Lin Lin, ia merasa amat gembira dan kini setelah gadis itu pergi dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan aman. Sedikit ganjalan hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan Kwee An, ia hibur dengan dugaan bahwa kedua orang itu pasti masih hidup oleh karena mayat mereka tak dapat diketemukan, juga pertemuannya dengan kakek gagu di gua yang berada di bawah tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh, juga surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti dulu itu, mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih hidup.
Cin Hai duduk di tepi sungai dan ia teringat akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main dengan ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh suling kakek itu, kemudian tanpa terasa ia lalu mencabut keluar sulingnya terus ditiup meniru lagu kakek tadi!
Dia memang pandai sekali meniup suling dan ingatannya kuat hingga biarpun kurang sempurna namun ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik! Makin ditiup makin terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan sulingnya.
Tak disangka sama sekali, bahwa suara sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang tinggal dalam sebuah lubang di tepi sungai itu. Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan kedua ekor ular itu yang datang berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara.
Tahu-tahu dua ular itu telah berada di depannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar sambil lehernya yang menggembung itu bergerak-gerak ke kanan kiri!
Bukan main terkejut dan ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia menghentikan tiupan sulingnya dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu nampak marah dan bingung, lalu dari mulut mereka keluarlah suara mendesis yang keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput itu dengan cepat sekali!
Cin Hai berseru keras dan menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu dapat membuat seekor ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar! Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa ular itu pun mengejar dengan cepat! Cin Hai lalu melompat berdiri dan ia mulai menjadi marah. Ia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini telah merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya. Ia tak usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya. Akan tetapi Cin Hai telah marah karena tadi benar-benar ia dikejutkan oleh kedua binatang itu. Ia tidak mau mengotorkan sulingnya, maka ia lalu menyimpan suling itu dan mencabut sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ.
Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan tenaga lweekangnya.
Akan tetapi ular itu benar-benar gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari sabatan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini! Ketika ia hendak menyabat kembali tiba-tiba terdengar seruan orang,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
489 "Jangan bunuh mereka!"
Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika ia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam dan berambut putih karena sudah tua berlari mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit dan larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.
"Menawan ular bukan seharusnya dipukul dengan senjata," katanya pula, lalu ia
menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya! Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit! Kakek Turki itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan seperti seekor ular juga,dan ketika kepala ular itu sudah datang dekat, tiba-tiba jari-jari tangan kanannya dibuka seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya dan meronta-ronta akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.
Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat. Akan tetapi, kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dengan lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling kepada Cin Hai sambil tersenyum.
"Sepasang ular sendok jantan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah
dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini.
Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi."
Cin Hai memandang kagum. "Kau hebat sekali, Lopek," katanya karena selain ia merasa kagum akan kelihaian kakek ini, juga ia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali bicara dalam bahasa Han, bahkan tidak kalah fasihnya daripada Yousuf sendiri. "Kau tentu seorang ahli penangkap ular."
Kakek Turki itu menggeleng-gelengken kepalanya. "Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula."
"Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!"
"Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana kalau kita tidak memiliki sedikit tenaga, pasti sukar untuk hidup terus."
Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Ia teringat akan cerita kedua pendeta yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok" Ia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
490 "Anak muda, harap kau jangan menduga yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar
Bodoh, bukan" Aku bukanlah anggauta orang-orang Turki yang menyerang negerimu!"
Hampir saja Cin Hai melompat tinggi karena kaget dan herannya.
"Eh, Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau bisa membaca apa yang sedang kupikirkan?"
Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu bagaikan seorang menggulung sehelai tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan eratnya. Ular ke dua pun diperlakukan demikian hingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih seringkali menjulur-julur keluar. Kemudian ia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.
"Taihiap, aku dapat menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, karena selain gerakanmu yang lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain suling seperti kau itu" Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?"
Cin Hai mengangguk cepat. "Di mana dia" Bagaimana keadaannya?" tanyanya.
"Dia telah diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari ia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?"
Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf. "Lin Lin telah tertolong dan kini berada dengan suhunya memperdalam ilmu silatnya,"katanya dan kemudian disambungnya, "Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yo-pekhu?"
"Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim."
Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka ia cepat berdiri dan menjura dengan hormat sekali. "Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku Locianpwe."
Ibrahim melambai-lambaikan tangannya. "Jangan terlalu banyak sungkan anak muda, aku lebih menyukai kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!"
Mendengar ucapan ini, Cin Hai teringat akan suhunya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan kesopanan, dan hidup dengan sederhana sekali. Maka ia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. "Locianpwe, aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang kudengar itu?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
491 Kakek berambut putih itu menarik napas panjang. "Memang betul, dan inilah yang
menggelisahkan hatiku. Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki terjadi perpecahan, yaitu di antara para pengikut pangeran muda yang mempunyai kehendak untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini.
Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut pangeran tua, maka kami
dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka itu telah berhasil membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun tangan!"
Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu.
Ketika Cin Hai bertanya tentang pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu berkata,
"Memang semenjak dahulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain. Mereka ini agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan Turki ketika orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari emas, hingga kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa di daerah ini banyak
terdapat orang-orang Turki. Ah, memang dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf.
Kami tinggal di luar kota sebelah barat dan apabila kau keluar dari tembok kota dan bertanya kepada orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku."
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura kepeda Cin Hai dan sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huangho!
Cin Hai diam-diam merasa kagum sekali dan pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini makin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu di daerah Kan-su. Diam-diam berdebar tegang hatinya kalau mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kan-su terdapat empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan
bertemu dan merupakan permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran tua dan pangeran muda dari Turki!
Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil melihat mengalirnya air sungai Huangho. Ia melihat perahu-perahu nelayan pulang dengan perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi oleh karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan suara nyanyian itu terdengar merdu! Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdentang hingga hati pemuda itu menjadi gembira sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan itu!
Mendengar bunyi suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara
nyanyian mereka terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
492 ketika perahu mereka lewat di depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba Cin Hai yang masih meniup sulignya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup! Ketika ia memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya! Laki-laki itu ternyata hanya duduk di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu, agaknya ia seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan di situ. Setelah lagu yang dimainkan habis, orang itu tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata, "Anak muda, suara tiupan sulingmu bagus sekali!"
"Masih lebih bagus suara rebabmu itu!" kata Cin Hai sambil tertawa juga, wajah orang yang tampan itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. "Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari kita main bersama," kata Cin Hai lagi.
"Anak muda, aku hanya menyukai suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!" jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa orang ini tiba-tiba menyatakan tidak suka kepadanya" Ia menjadi penasaran sekali karena jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.
"Ah, sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!" jawabnya.
Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!
Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan dari logat bicaranya, dapat diketahui bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan. Yang mengherankan hatinya ialah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk dan hati yang kejam. Kalau saja bukan dia yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya! Dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu ia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang tuanya! Dan ia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia.
Melihat betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jerih dengan tangkisan hebat itu!
Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tidak jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!
Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, ia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
493 ini melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di kota Ling-sia, ia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ. Pada keesokan harinya pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta kalau mungkin, mencari Cin Hai juga.
Dia telah mengambil jalan sebelah selatan hingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai, sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, maka Cin Hai yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tak dapat bertemu pula dengan rombongan ini.
Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada di dalam kamarnya!
Hanya seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu bahkan orang segera
mengikuti dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.
Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan cepat, tidak tahu sama sekali bahwa diam-diam ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi senja. Para penggembala sedang menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang, hingga di tempat itu ramai suara lembu menguak dan domba mengembik.
Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera menghadang di tengah jalan sambil memandang kepada Ang I Niocu dengan tajam.
Pendeta-pendeta itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol! Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam ia menjadi terkejut.
Ia tidak mempedulikan mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu lalu berkata kepada suhengnya,
"Inilah seorang di antara mereka." kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang jalan gadis itu, ia membentak,
"Mata-mata kerajaan, kau hendak lari ke mana?" Sambil berkata demikian pendeta pendek ini lalu mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di bagian leher, dada dan lambung!
Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat ia lalu mengenjot tubuhnya ke atas hingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah itu meluncur cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai! Para penggembala menjadi terkejut sekali, mereka mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang berlari-larian itu!
Ang I Niocu menjadi marah sekali. "Pendeta pengecut! Kaukira aku takut kepadamu"
Rasakan pembalasan Ang I Niocu!" Secepat kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
494 Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan maju menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu lalu mengangkat gendewanya dan mereka segera bertempur dengan seru! Sebagai jago nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang telah berada di tingkat yang tinggi hingga Ang I Niocu mengerahkan kepandaiannya. Ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiamhwat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli-utauw yang lihai dan indah.
"Bagus, bagus sekali!' Thai Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu pedang yang amat indah gerakannya itu. Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai.
Maka sambil berseru keras ia lalu maju menerjang dan membantu sutenya.
Terkejutiah hati Ang I Niocu melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam ia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek Losu saja ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apa lagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar biasa dan yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu. Ia menggigit bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga. Pedang Cian-hong-kiam berkelebat cepat merupakan segulung sinar berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung rapat. Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga beberapa kali pedangnya kena disampok hingga lengannya terasa kesemutan.
Pada saat itu terdengar bentakan orang, "Pendeta-pendeta jahat jangan kalian berani mengganggu kawan baikku!" Dan ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan
senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain ialah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu. Betapapun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, namun bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima kasih dan bernapas lega. Ia lalu memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai, sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.
Para penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi karena semua ternak telah dihalau dengar buru-buru oleh para penggembala hingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang kedua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai.
Sementara itu, menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat dengan rantai. Begitu senjata itu menyambar, Ang I Niocu telah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri. Sebentar saja permainan pedangnya menjadi kalut dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal inipun mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika ia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
495 kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar biasa.
Seperti halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal ini seakan-akan seperti ia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah senjata sehebat ini. Seorang yang sedang mainkan senjata, apalagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan perhatian harus dicurahkan seluruhnya terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna. Maka, setelah perhatiannya sebagian besar dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu, maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan ia banyak membuat kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu makin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama itu!
Pada saat keadaan Ang I Niocu amat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut pula terancam, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng! Ketika melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek mau menangis dan seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru, "Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini" Dari mana Jiwi tiba-tiba datang?"
Akan tetapi sambil berseru demikian, Ang I Niocu tetap mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.
"Ha, ha, ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu di sini!" Ceng Tek Hosiang menjawab. "Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!"
Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lalu membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!
Biarpun ia dapat mendesak Ang I Niocu akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa ia tidak dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya dapat melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja, maka kini melihat datangnya seorang hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.
Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata "Eh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore berani mengganggu kawan-kawan pinceng" Belum kenalkah kalian akan kesaktianku" Lihat ini!" Sambil berkata demikian, hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.
Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu siap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena mereka menyangka bahwa pisau itu tentu akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa hwesio itu tentulah seorang ahli hui-to (golok terbang). Akan tetapi alangkah heran mereka ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
496 gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka! Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan
"Pisau wasiatnya" ke dalam perut hingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!
"Cobalah kautiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!" kata Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu.
Dengan mudah Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya dan karena ia merasa penasaran, ia lalu memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu dengan hwesio ini. Ketika ia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru ia menjura sambil berkata,
"Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!" Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar, akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang mukanya
seperti Jai-lai-hud dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali!
Ang I Niocu sendiri berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa saja. Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi perintah kepada mereka dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi dan wakilnya! Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya, hingga kedua orang pendeta itu segera menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.
"Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?" kata Ceng To Tosu sambil mewek. "Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula."
Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biarpun Bu Pun Su sendiri belum tentu akan sanggup melakukannya!
Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah mendapat perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, lalu meninggalkan mereka tanpa banyak cakap lagi.
"Mereka itu orang-orang aneh," kata Ang I Niocu.
"Memang, orang-orang sakti memang bersikap aneh," kata Sie Ban Leng sambil maju
mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang memikat.
Sebenarnya yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat ia menganggap mereka aneh itu adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dulu ia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu" Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa ia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat ia menjura sambil berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
497 "Sie-enghiong telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!"
Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum, "Ah, Niocu terlalu merendah dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan-sungkan"
Kalau kita tidak saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah" Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak pergi ke Lan-couw," jawab Ang I Niocu sejujurnya.
"Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu kota itu. Kalau tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah ini memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita."
Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak atau menyatakan keberatan"
"Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar bangsa apapun juga!" jawabnya sambil memandang tajam. "Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama."
Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan oleh karena Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong dan kurang ajar, bahkan ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik.
Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di barat dan pergi ke Kan-su, Ban Leng menarik napas panjang dan menjawab,
"Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan kepada orang lain." Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut "Niocu" maka Ban Leng lalu mengubah sebutan menjadi "Lihiap".
"Ah, kalau memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku," jawab Ang I Niocu.
"Kepadamu aku tidak mempunyai rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku di daerah ini pun atas perintah kerajaan."
Ang I Niocu tercengang. "Ah, kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?"
"Bukan, aku bukan seorang perwira akan tetapi aku hanya diminta membantu saja, mewakili pekerjaan Kam-ciangin yang kini menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan
kedudukan Beng Kong Hosiang yang telah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kan-su ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka. Bahkan kedua orang yang dulu menolong Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
498 kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami
bekerja dengan diam-diam dan sebelum mendapat bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah Kam-ciangkun."
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. "Sebetulnya, apakah yang dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol itu di daerah ini?"
"Inilah yang sedang kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat menarik hati di samping maksud-maksud serombongen orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kan-su selain menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk mencari dan mendapatkannya."
Ang I Niocu merasa tertarik sekali, tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak jelas sikap Ban Leng yang seringkali memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini "jatuh hati" kepadanya. Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walaupun ada juga sedikit perasaan iba di dalam hatinya. Entah bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng
menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya kerja cepat dan wataknya cerdik.
Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu dan tiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu berhenti sebentar, bahkan kadang-kadang bermalam untuk mengenal tempat itu lebih baik. Penghidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya macam suku-suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.
Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka.
Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika mendengar pembicaraan mereka
dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu akan tetapi ketika ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia
membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.
Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menanti sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu. Wai Sauw Pu mengetuk pintunya dan ketika pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk. Cin Hai melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka ia lalu melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
499 Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan. Kemudian agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri ia memegang leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Kemudian tangan kanannya menampar hingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula.
Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya, akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh
melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,
"Orang-orang kejam jangan menyiksa orang tua yang lemah!"
Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar. Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai, maka dengan golok di tangan mereka maju
menerjang pemuda asing ini. Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawann Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang golok telah dapat dirampas dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping dan kakek bersorban ini terus melompat melalui jendela dan lari! Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya. Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih itu.
"In-kong (Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih..." katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah. Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.
"Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?"
"Mereka adalah pengikut-pengikut"Pangeran muda... kejam dan ganas..." akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, "akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekalipun..." Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya." In kong... aku sudah tua, lukaku berat, tiada gunanya kautolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia... tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya..."
Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanya, "Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
500 Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali. "Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku...
kau...kaujagalah benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!"
"Baiklah, Lopek. Kau tidak memilih keliru, karena terus terang saja, aku ialah seorang sahabat baik dari Yousuf." Wajah kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata, "Pergilah, lekas pergi!"
Ketika melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek itu berkata lagi, "Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri sendiri...!"
Terpaksa Cin Hai lalu melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!
Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apa gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat daripada perak! Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak beberapa banyak! Ia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran. Tutup cawan itu kecil saja, terbuat daripada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan" Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapapun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Ketika ia melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura
kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.
"Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami."
"Apa maktudmu?" Cin Hai membentak marah. "Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu
dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!"
Wai Sauw Pu tersenyum akan tetapi matanya memandang tajam. "Sicu, harap kaumaafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
501 Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu."
"Memang barang itu ada padaku akan tetapi aku telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!"
"Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?"
"Maling tua itu, kalau benar-benar ia maling, tidak lebih jahat dari pada kau dan kaki tanganmu!" bentak Cin Hai yang marah ketika teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.
Mendengar ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat ia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing. Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu!
Ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh. Apalagi sekarang ia tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong, paling
banyak dengan sulingnya!
"Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, sedangkan di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu"
Kalau kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!" kata pula Wai Sauw Pu membujuk.
"Eh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?" tanya Cin Hai. "Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku sudah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini benar-benar aneh!
Mengapa untuk sebuah tutup cawan dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?"
"Sicu, ini adalah urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu," kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.
"Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biarpun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah serang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki.
Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang sudah menjadi tanah jajahan Turki" Ha, ha, ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, akan tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?"
"Bangsat bermulut lancang!" Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan marah. "Jangan banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
502 "Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan," jawab Cin Hai dengan tenang, "Aku tak pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih berharga daripada jiwa, tahukah kau?"
"Keparat!" Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan manyerang ke arah Cin Hai!
Pemuda ini dengan sigapnya mengelak, akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu telah
melompat turun dan menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang
bertangan kosong! Cin Hai terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian orang lihai dengan bertangan kosong adalah amat berbahaya. Walaupun sulingnya hanya terbuat daripada bambu tipis, akan tetapi oleh karena ia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan darah semua lawannya hingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!
Akan tetapi, tasbeh dari Wai Sauw Pu dan senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar
berbahaya dan tiap kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa ia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!
Sebetulnya kalau Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi ilmu silat mereka masih jauh di bawah tingkatnya. Akan tetapi ia pikir bahwa sesungguhnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Ia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoatsut hingga dua orang pengeroyok dapat ia robohkan tanpa menderita luka hebat, kemudian ia lalu lompat keluar dari kurungan mereka berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!
Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda, akan tetapi mereka tak dapat mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh!
Akan tetapi musuh-musuhnya itu tidak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan
semenjak saat itu, Cin Hai selalu merasa bahwa ia diikuti orang! Ke mana juga ia pergi, bahkan ketika ia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam. Ia menjadi jengkel sekali dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Ia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul dan mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Maka ia menjadi gelisah juga, karena sedikitnya, walaupun ia tak pernah merasa takut, hal ini mengganggu tidurnya dan ia tidak dapat menikmati perjalanannya, karena ia selalu harus berlaku waspada dan hati-hati.
Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-couw, ibu kota Kan-su. Ketika ia tiba di luar tembok kota, ia melihat sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya ia hendak melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan segera melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika ia tiba di dekat jendela pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara. Pada saat itu ia mengalami dua macam hal yang amat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya menjadi pucat.
Yang pertama ialah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya dua Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
503
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu! Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat
kenyataan bahwa umah itu berikut dirinya, telah terkurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dikepalai oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga kelihatan bayangannya!
Akan tetapi hal ke dua ini tidak ia pedulikan, yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu. Ia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu, "Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!"
"Lihiap... tidak kasihankah kau kepadaku" Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa dayaku" Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosaku, akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini ada orang yang mencintaimu seperti aku!" terdengar suara seorang laki-laki berkata.
"Cukup tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja kalau aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan tidak ingat bahwa kau mengingatkan daku akan seorang yang amat
kuhargai, tentu sekarang juga sudah kucabut pedangku untuk menabas batang lehermu!"
"Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tak sampai hati mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!"
Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!
"Niocu...!" Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!
Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai. "Hai-Ji..." serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela.
Mereka berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
"Niocu... Niocu... benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi..." Sambil berkata demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.
Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai. "Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-bun-to."
Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan, "Hai-ji, kau benar-benar telah dewasa sekarang. Bahkan kau telah nampak masak. Di mana Lin Lin?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
504 "Dia ikut belajar silat dengan Suhu."
Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat bayangan Ban Leng yang segera mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit cepat dan sekarang barulah ia mengenal laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huangho.
"Eh, eh, tunggu dulu, kawan!" teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,
"Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun tangan!"
Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang dulu mengkhianati ayah bundanya"
Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba ia bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu. Wai Sauw Pu
menggerakkan tasbehnya dan berkata dengan marah,
"Tangkap tiga tikus ini!" Maka majulah semua orang Turki mengeroyok, hingga Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya dan Cin Hai juga menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok di dekat Ang I Niocu.
Tak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar, bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat antara orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.
"Niocu, sebenarnya mereka ini datang untuk menangkap aku!" kata Cin Hai sambil
menangkis serangan lawan yang kini tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.
"Mengapa?" tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.
"Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!" jawab Cin Hai sambil tertawa. Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.
"Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?" tanyanya.
"Betul," jawab Cin Hai sambil memandang heran. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur, kita boleh bekerja cepat!"
Biarpun tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat lalu mengikuti Ang I Niocu yang telah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari cepat memasuki kota Lan-couw.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
505 Ternyata Ang I Niocu membawanya menuju ke Gua Tun-huang yang beratus-ratus
banyaknya itu. "Coba kaukeluarkan tutup cawan itu, Hai-ji," kata Ang I Niocu dan ketika Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga
mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,
"Gua ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!"
Sambil berlari-lari mencari gua ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang rahasia cawan dan tutupnya.
"Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam gua-gua ini."
Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata, "Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya berada di dalam gua-gua di Tun-huang ini."
"Nah, itulah," kata Ang I Niocu girang. "Dan selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar biasa banyaknya!"
Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di gua ke tiga puluh enam itu dan segera mereka masuk ke dalam gua yang besar itu. "Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan!" kata Ang I Niocu. Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding gua yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan tetapi tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan. Mereka mendorong-dorong dinding, membersihkan lantai, memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya nihil. Cin Hai lalu tidak sabar dan ia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.
"Niocu, untuk apakah tergesa-gesa" Marilah kita duduk bercakap-cakap dulu dan
kauceritakan pengalamanmu semua. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak berpisah."
"Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka ini. Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan datang menyerbu,"
kata Ang I Niocu sambil masih memeriksa kanan kiri. "Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa."
"Apa?"" Cin Hai melompat memegang lengannya. Kau telah bertemu dengan mereka" Masih hidupkah mereka?"
Ang I Niocu tersenyum manis sambil memandangnya. "Kalau mereka sudah meninggal,
bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
506 Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta ini. "Aduh, alangkah mulia dan besarnya hari ini!" ia berkata memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung. "Melihat Niocu masih hidup, mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat" tiba-tiba ia melompat bangun dan berkata,
"Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa kita lupakan di atas?"
"Apa maksudmu?" tanya Ang I Niocu heran.
"Langit-langit itu," kata Cin Hai sambil menuding ke atas, "Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang kita cari?"
Ang I Niocu berseri dan pada wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka lalu memeriksa lagi dengan teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala ukiran. Setelah memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, akhirnya mereka mendapatkan sebuah lukisan pada tutup cawan itu yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.
"Ah, aku tadi pernah melihat lukisan ini!" kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari lagi dan memeriksa seluruh ukiran yang berada di dinding dan di langit-langit.
"Itulah dia!" kata Ang I Niocu sambil menunjuk ke atas. Benar saja, di ujung kiri dari langit-langit gua ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa benar dengan ukiran pada kepala cawan itu, yaitu sebuah patung Buddha yang duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh karena masih belum tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini. Biarpun ukiran itu campur aduk, akan tetapi apabila diteliti melihatnya, ternyata setangkai bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka lalu mencari tangkai bunga ini di dinding gua dan akhirnya mereka dapat menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.
"Jangan-jangan inilah rahasianya!" kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, ternyata biarpun tidak berapa besar, akan tetapi patung itu berat sekali.
"Niocu, mari kita pindahkan patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu rahasia!" Ang I Niocu lalu membantu dan dengan persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.
"Awas!!" tiba-tiba Ang I Niocu berseru. Mereka segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas tiba-tiba terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini, dipasangi tali baja yang menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di langit-langit gua. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuna untuk menutupi rahasia ini.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum dan biarpun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi mereka masih berdebar-debar dan untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.
"Niocu, hayo kita buka peti itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
507 "Jangan-jangan terisi binatang beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?" kata Ang I Niocu sambil tertawa. Keduanya lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali. Ketika tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan gemilang keluar dari peti itu dan ketika mereka telah membiasakan mata mereka yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu terisi dua batang pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!
"Ah, inilah Liong-cu-kiam!" kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.
"Agaknya benar juga, inilah pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!"
Otomatis mereka lalu mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil pedang yang sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil pedang yang lebih panjang dan yang pada gagangnya selain tertulis nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam, juga terdapat huruf
"jantan", sedangkan pedang yang terambil oleh Ang I Niocu terdapat huruf "betina"!
"Bagaimana Niocu" Harus kita apakan pedang ini?"
"Eh, anak bodoh!" kata Ang I Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama ia rindu akan sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu. "Tentu saja pedang ini kita serahkan kepada Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa pedang ini seorang satu."
"Niocu, lubang di atas itu besar dan gelap, mungkin di situlah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu." Keduanya lalu berdiri dan memandang ka atas akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.
"Marilah kita periksa ke atas, biarkan aku memasukinya," kata Cin Hai akan tetapi pada saat itu di luar terdengar banyak suara kaki orang.
"Hai-ji, lekas kita kembalikan patung itu!" Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula dan aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas!
Cin Hai hendak berlari keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya, "Jangan keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!"
Keduanya lalu bersembunyi sambil mengintai dari dalam gua dan setelah rombongan orang yang terdengar bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai lalu melompat keluar dari dalam gua dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan. Setelah tiba di luar gua, keduanya memandang kepada pedang masing-masing dengan amat kagum oleh karena setelah berada di tempat terang kedua pedang ini mengeluarkan cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna pada sinar pedang itu hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang sekali. "Lebih baik kita simpan pedang ini, kalau terlihat orang akan menimbulkan keheranan," kata Ang I Niocu dan keduanya lalu menyimpan pedang itu di dalam baju masing-masing.
"Sekarang tiba waktunya bagimu untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin mendengarkannya," kata Cin Hai sambil duduk di atas sebuah batu yang besar. Ang I Niocu duduk di dekatnya dan mulailah bercerita tentang segala hal yang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
508 dialaminya. Akan tetapi ia masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong Sian. Ketika ia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,
"Dia itu adalah pamanku sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku."
Terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ucapan ini. "Ah, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan mukamu. Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!"
Cin Hai juga menceritakan semua pengalamannya, dan ketika pemuda itu bercerita tentang pertandingannya melawan Song Kun, Ang I Niocu tanpa terasa ia berseru,
"Ah, Song Kun itu adalah Sutemu yang jahat!"
"Sute siapa?" tanya Cin Hai terheran.
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu menjadi merah.
"Sute dia" eh, penolongku itu, Lie Kong Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik seperguruan Susiok-couw!"
Akhirnya, mengertilah Cin Hai dan ia berkata,
"Menurut Suhu Bu Pun Su pedang yang dapat menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah pedang Liong-cu-kiam ini. Sekarang pedang ini telah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi dia!"
"Jangan kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biarpun kepandaianku jauh berada di bawah tingkat kepandaianmu!"
"Ah, jangan kau terlampau merendahkan diri, Niocu."
Kemudian, Ang I Niocu lalu minta kepada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu pedang yang dulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati, Cin Hai lalu mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam dan mulai bersilat hingga Ang I Niocu menjadi kagum sekali.
"Ah, kepandaianmu makin maju saja," katanya. "Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan mendapat kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa. Ia sungguh lihai sekali dan permainannya bambu runcing benarbenar mengagumkan,"
"Tak disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi sungguh nasib orang tidak tentu. Akan tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini ia mendapat gemblengan dari Suhu." Ketika membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
509 "Hai-ji demikian besar kasih sayangmu kepada Lin Lin," kata Ang I Niocu sambil
tersenyum, "dan aku percaya bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali melihat kau bahagia, Hai-ji."
Cin Hai merasa terharu sekali karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-san-to demi kebahagiaannya dan Lin Lin.
Dengan mesra dan suara penuh harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata,
"Niocu, memang kau mulia sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikurniai kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik,
sebagaimana diharapkan pula oleh Suhu."
Merahlah seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu.
Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau Nona Baju Merah itu marah mendengar kata-katanya yang lancang itu, maka ia buru-buru melanjutkan bicaranya. "Maaf, Niocu, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu..."
Ang I Niocu mengerling kepadanya dan tersenyum manis. "Mengapa minta maaf" Aku tidak marah dan ucapanmu itu memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke gua itu. Mereka telah pergi dan sekarang kita ada kesempatan untuk mencari harta terpendam yang menurut keterangan harus ada di tempat itu."
Cin Hai merasa girang sekali mendengar ucapan Ang I Niocu dan diam-diam ia
mengharapkan perubahan perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju Merah itu. Mendengar ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta
terpendam, sungguhpun ia sendiri tidak ingin mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi ia lalu bangun berdiri dan mengikuti nona itu kembali ke dalam gua di mana mereka tadi mendapatkan Liong-cu-kiam.
"Niocu, lubang di atas itu kecil dan takkan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang masuk dan kau menjaga di luar gua, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihat kita dan mengetahui rahasia tempat ini."
"Baik, akan tetapi kau berhati-hatilah karena bukan tak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh terdapat hal-hal yang aneh dan berbahaya pula, dan kabarnya pendeta-pendeta yang dulu menyimpan benda-benda ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi."
Cin Hai menjadi tertarik sekali.
"Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh, terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta terpendam itu karena tak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya."
Ang I Niocu dapat mengerti perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka ia lalu duduk di atas sebuah batu dalam gua itu dan berkata, "Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan tetapi aku sendiri pun hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya samar-samar saja," Nona Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat harta terpendam di dalam gua itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
510 Menurut pendengarannya, diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, ketika pendeta-pendeta Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah timur, mereka
mendapat tantangan keras dari orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka hingga tidak jarang terjadi pertempuran hebat yang mengorbankan banyak jiwa orang. Pada masa itu, di dekat perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang tangguh dan kuat, akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak ini tidak hentinya menyerang ke pedalaman dan melakukan perampokan-perampokan yang ganas,
mengumpulkan barang-barang berharga hingga mereka memiliki banyak sekali emas dan permata hasil perampokan itu.
Hal ini membuat kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar membaiki para pendeta Buddha dan dapat mempergunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu. Akan tetapi, setelah para pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok dan merampas kembali barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan mengerahkan tentara untuk mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu. Para pendeta itu karena tidak pernah menyangka-nyangka, dapat terpukul hingga cerai-berai dan sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke gua-gua Tun-huang dan menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan ditewaskan hingga tak seorang pun tahu di mana tempat harta pusaka itu disimpan. Hanya seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.
"Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, benar tidaknya entahlah,"
kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.
"Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, kita pergunakan untuk apakah?" tanyanya dengan muka memandang bodoh.
Ang I Nicu tersenyum. "Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tidak tahu harus mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dulu dan kalau sudah berhasil, kita bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kaulakukan."
"Tapi, kau sendiri, Niocu" Untuk apakah harta benda itu bagimu?"
"Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan barang-barang itu!"
"Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?"
"Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apabila harta benda yang besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan malapetaka belaka!"
Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata, "Benar, benar, sekarang aku teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apabila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!" Ang I Niocu tertawa "Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
511 guru sastera di dalam gua ini!" Cin Hai Juga tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka pintu di atas guha. Setelah lubang di langit-langit gua itu terbuka, Cin Hai lalu melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanan untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian ia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu. "Ah, gelap sekali, Niocu!" katanya.
"Biasakan dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam gua ini agar cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang," kata Ang I Niocu yang segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar gua. Tiba-tiba ketika ia sedang
mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira. Cepat ia masuk ke dalam gua dan berkata kepada Cin Hai, "Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!" Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari gua. Ia mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah dekat hingga perwira itu melihatnya, ia lalu membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut. Perwira itu merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka ia segera mengejar dan berseru, "Nona, tunggu dulu!"
Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari gua di mana Cin Hai sedang mencari harta pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang. Perwira itu cepat sekali larinya dan setelah berhadapan muka, ia memandang kepada Ang I Niocu dengan heran dan kagum. Tadinya ia mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, seorang perempuan suku bangsa Hui, akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Ia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya. Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah ia bahwa perwira ini bukanlah orang sembarang. Ia lalu memandang penuh perhatian. Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, sedangkan rambutnya yang panjang dan hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang dan nampak kuat, sedangkan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh. Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang menjadi panglima nomor satu di kerajaan! Ia datang menyusul anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di barat amat genting hingga perlu turun tangan sendiri. Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. "Perwira gadungan!" Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan perjalanannya dan melihat Cin Hai,
"Mengapa kau mengejarku?"
Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab, "Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan diri dariku" Kau adalah seorang Han, apa kerjamu di daerah ini?"
"Kau peduli apa" Pergi!" Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu roboh dan lari ketakutan. Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia mempergunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut yang kelihaiannya luar biasa dan tak mungkin ditangkis oteh orang sembarangan saja. Akan tetapi bukan main terkejutnya ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil mengelak dengan gerakan cepat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
512 sekali! Juga perwira itu terkejut melihat serangan yang demikian hebat dan mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!
"Eh, eh, siapakah kau yang lihai ini?" teriaknya, akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak,
"Peduli apakah kau siapa adanya aku?"
Kini perwira tertinggi di kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tak boleh dibuat gegabah. Ang I Niocu merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang dapat menghadapi ilmu silatnya Pek-in-hoatsut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang tak kurang hebatnya! Ilmu ginkang dari perwira muda itu benarbenar membuat Ang I Niocu tertegun karena gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung saja hingga setiap serangan dari Pek-in-hoatsut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari perwira itu pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.
Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat betapa serangan-serangannya tak
mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah ia mencabut Liong-cu-kiam yang
tersembunyi di dalam jubahnya.
"Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!"
Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.
"Ah, ah, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang telah menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap."
"Ciangkun siapakah?" tanya Ang I Niocu heran.
"Siauwte adalah Kam Hong Sin."
Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.
"Ah, kiranya Kam-ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di tempat asing dan sunyi ini?"
Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian kepada pedang Ang I Niocu hingga ia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas dengan sebuah pertanyaan pula,
"Lihiap, bukankah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?"
"Ciangkun, di dunia kang-ouw terdapat peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain orang."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
513 Kam Hong Sin tersenyum, lalu berkata dengan suara tenang, "Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai seorang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, siauwte masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat
kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang bertugas mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?"
Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.
"Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?"
"Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada siapapun juga," jawab Ang I Niocu setengah marah.
Kam Hong Sin tertawa dan berkata, "Biarpun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu kaudapatkan di sebuah di antara gua-gua Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan dan yang berhak mempunyai dan menyimpannya adalah
kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar."
Ang I Niocu tersenyum sindir. "Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan akulah yang berhak! Selain aku, orang-orang Turki dan Mongol juga mencarinya dan kalau pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?"
Kam Hong Sin memandang tajam, "Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai
seorang pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu, sebagai seorang panglima yang setia terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!"
Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah. "Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan kekerasan!"
"Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!" kata Kam Hong Sin dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata, "Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di mana pula tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang di tangan!"
"Siapa takut padamu?" bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cu-kiam. Kam Hong Sin lalu berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan ginkangnya yang luar biasa membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar menyambar.
Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi hingga ia melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam yang bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
514 mendesak terus hingga Kam Hong Sin benar-benar merasa kagum dan terkejut. Sudah lama ia mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan sudah lama ia ingin bertemu dan kalau mungkin mencoba kepandaian pendekar wanita itu. Kini keinginannya terkabul karena bukan saja ia berkesempatan mencoba ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian. Terpaksa ia mengandalkan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu.
Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga ia dapat merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu pedang ini, namun ketika menciptakan ilmu pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus terlihai yang masih teringat olehnya dan kini ia mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu.
Melihat hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke atas sambil berputar. Ginkangnya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali.
Dengan gerakan itu, ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari serangan maut yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan! Ang I Niocu cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun!
Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan baru ia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak ada gunanya. Dengan tali panjang itu, maka pedang dapat disambitkan dan dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya di waktu menyambit. Agaknya ia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh ini sampai mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat. Mereka bertempur lagi dengan seru dan kali ini karena mengandalkan pedangnya yang seringkali diluncurkan untuk menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu. Ia merasa seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau pedang terbang yang sering ia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.
Namun, biarpun Ang I Niocu terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya benar-benar tinggi itu, ia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, tak pernah ada rasa takut menghadapi lawan di dalam hatinya. Ia melawan dengan gerakan-Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
515 gerakan tenang dan cukup kuat hingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk
merobohkan lawan luar biasa ini. Diam-diam perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya, maka ia tentu akan lebih yakin akan berhasilnya tugas yang dijalankannya.
Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tak lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,
"Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun pula?"
Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin menunda senjata masing-masing dan melompat mundur.
"Ang I Niocu!" seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis "Mengapa Lihiap bertempur melawan Kam-ciangkun?"
Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin dan berkata, "Kam-
ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah, bukan musuh kita!"
Kam Hong Sin tersenyum. "Aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat itu, dan tidak mau memberitahukan kepadaku."
"Apa...?" Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidakpercayaan.
"Lihat saja, ia telah mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, dan juga ia tidak mau
mengembalikan pedang itu kepadaku."
Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.
"Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini harta pusaka dan pedang itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti kau akan mendapat bencana."
"Aku tidak hendak menyerahkan pedang ini, habis kalian mau apa?" bentak Ang I Niocu dengan garang.
"Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula," cela Sie Ban Leng dengan gemas.
Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki.
"Sie Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tidak mau melihat mukamu sendiri! Seorang yang telah mengkhianati kakaknya, yang telah membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi" Tak tahu malu!!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
516 Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai tentang kejahatan Sie Ban Leng yang telah menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, maka hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.
Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat.
"Bangsat wanita, jangan kau bicara yang bukan-bukan!" katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang I Niocu.
"Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!" teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan menyerang dengan hebat. Pedang Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban Leng. Terdengar suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat daripada kawat baja itu putus.
Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali, maka ia lalu menyerang kalang-kabut.
Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan
bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.
"Ang I Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam itu!"
Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat, biarpun ia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan merasa gentar sungguhpun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga sebentar saja ia telah terkurung dan terdesak hebat! Ia mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan kiam-hwat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang bagaikan air hujan itu! Ia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikitpun juga.
Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit gua, setelah membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba. Tiba-tiba ia melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan, karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka terpaksa harus menghadapinya dalam keadaan merangkak!
Berbahaya sekali keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apalagi kalau binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, dua benda seperti mata yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak dari tempatnya sungguhpun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup. Apakah gerangan benda itu"
Cin Hai untuk beberapa lama mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau binatang itu terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh jadi binatang itu telah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
517 sekali tak pernah bergerak" Namun ia masih ragu-ragu karena memang ada binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular.
Setelah lama menanti, timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali ia bergerak maju lagi dengan pedang siap disodorkan ke depan!
Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya, ia telah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya. "Ting!"
Ujung pedangnya berbunyi dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda-benda itu adalah dua potong batu yang ketika dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali. Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian daripada harta pusaka itu. Ia maju terus, dan makin banyak batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk amat banyaknya di suatu tempat, membuat terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.
Cin Hai merasa girang sekali. Tak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari. Ia membawa dua buah batu permata yang terbesar, tak kurang dari sebutir telur ayam besarnya, lalu ia merayap keluar lagi. Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun. Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya amat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai harganya, apalagi yang bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asal hingga lubang di langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.
Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas gua dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, Ang I Niocu sedang dikeroyok oleh empat orang dan berada dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau saja ia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesa-gesa, tentu ia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika ia keluar dari gua itu!
Ketika tiba di tempat pertempuran, Cin Hai berseru, "Niocu, jangan kuatir, aku
membantumu!" Dan pedang Liong-cu-kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu pedang sehebat itu.
"Hai-ji, mereka hendak merampas pedang kita!" teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya pemuda itu.
Kisah Bangsa Petualang 9 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Hati Budha Tangan Berbisa 4
"Memang kata-kata itu benar," kata Ceng Tek Hosiang, "akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti. Kalau Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!" Sambil berkata demikian, Si Gendut mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih mengkilap, nampaknya tajam dan baru.
"Nah, lihatlah baik-baik. Pisau ini akah kutusukkan kepadanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh mata pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!" Setelah berkata demikian, ia menghampiri Ceng To Tosu yang masih saja duduk dengan mewek. Benar saja, hwesio itu menusuk leher tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin Hai merasa terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu sampai ke gagangnya! Ketika Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja tidak nampak darah sedikitpun pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak!
Semua orang memandang dengan mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tak
percaya kepada kedua matanya sendiri. Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian anehnya" Ilmu kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit, bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang dipergunakan oleh kedua orang ini"
Ceng To Tosu lalu membuka bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup itu, lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan itu walaupun dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun setelah dicabut kembali, tosu itu sama sekali tidak terluka sedikit pun. Kemudian hwesio gendut itu lalu melempar pisau itu ke arah sebatang pohon dan pisau itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.
"Nah, Cuwi lihat, bahkan batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau pinceng ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Suhengku ini, pinceng tidak berdaya."
"Lihai sekali..." semua orang berseru.
Hwesio gendut itu lalu menjura dan berkata, "Pertunjukkan kami selesai sampai di sini saja, kalau ada jodoh kita saling bertemu lagi!" Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya mereka membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
486 Cin Hai yang menyaksikan itu semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah menyaksikan kepandaian kedua pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biarpun lihai, namun tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang baru diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat kagum dan tidak mengerti.
Maka setelah semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.
"Jiwi-suhu apakah baik-baik saja?"
Ketika hwesio dan tosu itu melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.
"Ah, ah, kiranya Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh!" kata Ceng To Tosu. "Bagaimana bisa sampai di sini, Taihiap?"
Sementara itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai. "Dulu ketika kau dan Ang I Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa pergi lebih dulu."
Cin Hai terseyum. "Tidak apa, hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai di sini?"
"Thian melindungi orang-orang baik," kata hwesio gendut itu, "maka kami terdampar ombak besar dan dilempar ke tepi laut dengan selamat."
"Dan sekarang jiwi-suhu berada di darat ini sedang apakah?"
"Taihiap sudah menyaksikan sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,"
jawab Ceng To Tosu.
Cin Hai mengangguk-angguk dan keterangan ini memang masuk di akal. "Kepandaianmu tadi benar-benar lihai sekali, Ceng To Totiang," katanya memuji akan tetapi dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata, "Dengan pisau yang sengaja kami buat khusus untuk keperluan ini, apakah yang lihai?"
Cin Hai memegang pisau belati itu dan berkata, "Pisau ini pisau biasa dan tadipun dapat menancap di pohon, apanya yang aneh" Mungkin kalian telah mempergunakan ilmu sihir!"
Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa, akan tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan! "Ah, ah, kami benar-benar merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tidak ada artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami merasa puas dan bangga!"
Ceng To Tosu juga berkata, "Sie-taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kaulihat besi kecil hitam pada gagangnya itu" Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka, pisau ini adalah pisau biasa yang akan melukai orang.Akan tetapi, coba kautekan besi kecil itu, dan kau akan melihat keanehannya!" Cin Hai melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan ketika ia menekan, ternyata pisau itu apabila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya yang panjang hingga tidak kelihatan lagi ujungnya! Demikian akal yang
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
487 digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan pisaunya pada tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!
Hampir saja Cin Hai tertawa bergelak karena geli. Ia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa senang bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini saja dapat membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan kepadanya.
"Taihiap, sesungguhnya kami berdua sedang melakukan tugas!" kemudian Ceng Tek
Hosiang berbisik.
"Tugas" Tugas apa dan dari siapa?"
"Dari siapa lagi kalau bukan dari pemerintah kita. Kami berdua kini telah membantu kerajaan. Panglima besar yang sekarang, Kam-ciangkun, adalah seorang gagah yang budiman, maka kami berdua membantunya dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk semacam tugas!"
Cin Hai mengangguk. "Aku telah mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah kalau memang demikian halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan untuk mengganti panglima-panglima dengan orang-orang yang benar-benar gagah dan budiman."
"Memang kata-katamu ini benar sekali Taihiap, apalagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang dalam bahaya besar."
Cin Hai terkejut. "Apa maksudmu?"
Dengan suara berbisik Ceng To Tosu berkata, "Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak mengadakan serangan ke daerah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-san-to dulu itu. Dan sikap orang-orang Mongol juga amat mencurigakan hingga kita seakan-akan terancam dari dua pihak. Oleh karena inilah maka Kam-ciangkun lalu
mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan sebagian pula ke daerah barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kan-su dan selain kami berdua, masih banyak pula perwira-perwira yang menyamar dan menjadi penyelidik, bahkan kabarnya Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah ini oleh karena agaknya pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah ini."
Cin Hai mengangguk-angguk maklum dan berkata, "Terima kasih atas kepercayaanmu
kepadaku, Totiang, akan tetapi harap kau berdua suka berhati-hati dan jangan sembarangan bicara dengan orang lain mengenai hal ini."
Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak. "Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan rahasia."
Kedua orang pendeta aneh itu lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai.
Setelah berpisah dengan Ceng Tek Hosiang, dan Ceng To Tosu, Cin Hai lalu berjalan-jalan di luar kota dan pergi ke tepi Sungai Huangho yang airnya kuning. Keadaan di situ sunyi, penuh Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
488 dengan sawah ladang dan rumput di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan.
Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang sekali. Memang, semenjak pertemuannya
dengan Lin Lin, ia merasa amat gembira dan kini setelah gadis itu pergi dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan aman. Sedikit ganjalan hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan Kwee An, ia hibur dengan dugaan bahwa kedua orang itu pasti masih hidup oleh karena mayat mereka tak dapat diketemukan, juga pertemuannya dengan kakek gagu di gua yang berada di bawah tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh, juga surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti dulu itu, mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih hidup.
Cin Hai duduk di tepi sungai dan ia teringat akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main dengan ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh suling kakek itu, kemudian tanpa terasa ia lalu mencabut keluar sulingnya terus ditiup meniru lagu kakek tadi!
Dia memang pandai sekali meniup suling dan ingatannya kuat hingga biarpun kurang sempurna namun ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik! Makin ditiup makin terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan sulingnya.
Tak disangka sama sekali, bahwa suara sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang tinggal dalam sebuah lubang di tepi sungai itu. Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan kedua ekor ular itu yang datang berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara.
Tahu-tahu dua ular itu telah berada di depannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar sambil lehernya yang menggembung itu bergerak-gerak ke kanan kiri!
Bukan main terkejut dan ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia menghentikan tiupan sulingnya dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu nampak marah dan bingung, lalu dari mulut mereka keluarlah suara mendesis yang keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput itu dengan cepat sekali!
Cin Hai berseru keras dan menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu dapat membuat seekor ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar! Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa ular itu pun mengejar dengan cepat! Cin Hai lalu melompat berdiri dan ia mulai menjadi marah. Ia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini telah merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya. Ia tak usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya. Akan tetapi Cin Hai telah marah karena tadi benar-benar ia dikejutkan oleh kedua binatang itu. Ia tidak mau mengotorkan sulingnya, maka ia lalu menyimpan suling itu dan mencabut sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ.
Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan tenaga lweekangnya.
Akan tetapi ular itu benar-benar gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari sabatan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini! Ketika ia hendak menyabat kembali tiba-tiba terdengar seruan orang,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
489 "Jangan bunuh mereka!"
Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika ia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam dan berambut putih karena sudah tua berlari mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit dan larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.
"Menawan ular bukan seharusnya dipukul dengan senjata," katanya pula, lalu ia
menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya! Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit! Kakek Turki itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan seperti seekor ular juga,dan ketika kepala ular itu sudah datang dekat, tiba-tiba jari-jari tangan kanannya dibuka seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya dan meronta-ronta akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.
Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat. Akan tetapi, kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dengan lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling kepada Cin Hai sambil tersenyum.
"Sepasang ular sendok jantan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah
dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini.
Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi."
Cin Hai memandang kagum. "Kau hebat sekali, Lopek," katanya karena selain ia merasa kagum akan kelihaian kakek ini, juga ia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali bicara dalam bahasa Han, bahkan tidak kalah fasihnya daripada Yousuf sendiri. "Kau tentu seorang ahli penangkap ular."
Kakek Turki itu menggeleng-gelengken kepalanya. "Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula."
"Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!"
"Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana kalau kita tidak memiliki sedikit tenaga, pasti sukar untuk hidup terus."
Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Ia teringat akan cerita kedua pendeta yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok" Ia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
490 "Anak muda, harap kau jangan menduga yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar
Bodoh, bukan" Aku bukanlah anggauta orang-orang Turki yang menyerang negerimu!"
Hampir saja Cin Hai melompat tinggi karena kaget dan herannya.
"Eh, Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau bisa membaca apa yang sedang kupikirkan?"
Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu bagaikan seorang menggulung sehelai tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan eratnya. Ular ke dua pun diperlakukan demikian hingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih seringkali menjulur-julur keluar. Kemudian ia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.
"Taihiap, aku dapat menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, karena selain gerakanmu yang lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain suling seperti kau itu" Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?"
Cin Hai mengangguk cepat. "Di mana dia" Bagaimana keadaannya?" tanyanya.
"Dia telah diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari ia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?"
Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf. "Lin Lin telah tertolong dan kini berada dengan suhunya memperdalam ilmu silatnya,"katanya dan kemudian disambungnya, "Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yo-pekhu?"
"Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim."
Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka ia cepat berdiri dan menjura dengan hormat sekali. "Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku Locianpwe."
Ibrahim melambai-lambaikan tangannya. "Jangan terlalu banyak sungkan anak muda, aku lebih menyukai kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!"
Mendengar ucapan ini, Cin Hai teringat akan suhunya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan kesopanan, dan hidup dengan sederhana sekali. Maka ia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. "Locianpwe, aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang kudengar itu?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
491 Kakek berambut putih itu menarik napas panjang. "Memang betul, dan inilah yang
menggelisahkan hatiku. Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki terjadi perpecahan, yaitu di antara para pengikut pangeran muda yang mempunyai kehendak untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini.
Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut pangeran tua, maka kami
dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka itu telah berhasil membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun tangan!"
Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu.
Ketika Cin Hai bertanya tentang pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu berkata,
"Memang semenjak dahulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain. Mereka ini agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan Turki ketika orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari emas, hingga kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa di daerah ini banyak
terdapat orang-orang Turki. Ah, memang dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf.
Kami tinggal di luar kota sebelah barat dan apabila kau keluar dari tembok kota dan bertanya kepada orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku."
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura kepeda Cin Hai dan sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huangho!
Cin Hai diam-diam merasa kagum sekali dan pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini makin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu di daerah Kan-su. Diam-diam berdebar tegang hatinya kalau mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kan-su terdapat empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan
bertemu dan merupakan permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran tua dan pangeran muda dari Turki!
Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil melihat mengalirnya air sungai Huangho. Ia melihat perahu-perahu nelayan pulang dengan perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi oleh karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan suara nyanyian itu terdengar merdu! Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdentang hingga hati pemuda itu menjadi gembira sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan itu!
Mendengar bunyi suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara
nyanyian mereka terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
492 ketika perahu mereka lewat di depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba Cin Hai yang masih meniup sulignya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup! Ketika ia memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya! Laki-laki itu ternyata hanya duduk di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu, agaknya ia seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan di situ. Setelah lagu yang dimainkan habis, orang itu tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata, "Anak muda, suara tiupan sulingmu bagus sekali!"
"Masih lebih bagus suara rebabmu itu!" kata Cin Hai sambil tertawa juga, wajah orang yang tampan itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. "Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari kita main bersama," kata Cin Hai lagi.
"Anak muda, aku hanya menyukai suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!" jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa orang ini tiba-tiba menyatakan tidak suka kepadanya" Ia menjadi penasaran sekali karena jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.
"Ah, sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!" jawabnya.
Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!
Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan dari logat bicaranya, dapat diketahui bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan. Yang mengherankan hatinya ialah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk dan hati yang kejam. Kalau saja bukan dia yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya! Dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu ia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang tuanya! Dan ia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia.
Melihat betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jerih dengan tangkisan hebat itu!
Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tidak jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!
Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, ia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
493 ini melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di kota Ling-sia, ia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ. Pada keesokan harinya pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta kalau mungkin, mencari Cin Hai juga.
Dia telah mengambil jalan sebelah selatan hingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai, sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, maka Cin Hai yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tak dapat bertemu pula dengan rombongan ini.
Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada di dalam kamarnya!
Hanya seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu bahkan orang segera
mengikuti dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.
Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan cepat, tidak tahu sama sekali bahwa diam-diam ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi senja. Para penggembala sedang menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang, hingga di tempat itu ramai suara lembu menguak dan domba mengembik.
Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera menghadang di tengah jalan sambil memandang kepada Ang I Niocu dengan tajam.
Pendeta-pendeta itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol! Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam ia menjadi terkejut.
Ia tidak mempedulikan mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu lalu berkata kepada suhengnya,
"Inilah seorang di antara mereka." kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang jalan gadis itu, ia membentak,
"Mata-mata kerajaan, kau hendak lari ke mana?" Sambil berkata demikian pendeta pendek ini lalu mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di bagian leher, dada dan lambung!
Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat ia lalu mengenjot tubuhnya ke atas hingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah itu meluncur cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai! Para penggembala menjadi terkejut sekali, mereka mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang berlari-larian itu!
Ang I Niocu menjadi marah sekali. "Pendeta pengecut! Kaukira aku takut kepadamu"
Rasakan pembalasan Ang I Niocu!" Secepat kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
494 Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan maju menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu lalu mengangkat gendewanya dan mereka segera bertempur dengan seru! Sebagai jago nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang telah berada di tingkat yang tinggi hingga Ang I Niocu mengerahkan kepandaiannya. Ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiamhwat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli-utauw yang lihai dan indah.
"Bagus, bagus sekali!' Thai Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu pedang yang amat indah gerakannya itu. Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai.
Maka sambil berseru keras ia lalu maju menerjang dan membantu sutenya.
Terkejutiah hati Ang I Niocu melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam ia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek Losu saja ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apa lagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar biasa dan yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu. Ia menggigit bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga. Pedang Cian-hong-kiam berkelebat cepat merupakan segulung sinar berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung rapat. Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga beberapa kali pedangnya kena disampok hingga lengannya terasa kesemutan.
Pada saat itu terdengar bentakan orang, "Pendeta-pendeta jahat jangan kalian berani mengganggu kawan baikku!" Dan ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan
senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain ialah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu. Betapapun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, namun bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima kasih dan bernapas lega. Ia lalu memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai, sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.
Para penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi karena semua ternak telah dihalau dengar buru-buru oleh para penggembala hingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang kedua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai.
Sementara itu, menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat dengan rantai. Begitu senjata itu menyambar, Ang I Niocu telah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri. Sebentar saja permainan pedangnya menjadi kalut dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal inipun mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika ia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
495 kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar biasa.
Seperti halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal ini seakan-akan seperti ia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah senjata sehebat ini. Seorang yang sedang mainkan senjata, apalagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan perhatian harus dicurahkan seluruhnya terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna. Maka, setelah perhatiannya sebagian besar dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu, maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan ia banyak membuat kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu makin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama itu!
Pada saat keadaan Ang I Niocu amat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut pula terancam, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng! Ketika melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek mau menangis dan seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru, "Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini" Dari mana Jiwi tiba-tiba datang?"
Akan tetapi sambil berseru demikian, Ang I Niocu tetap mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.
"Ha, ha, ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu di sini!" Ceng Tek Hosiang menjawab. "Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!"
Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lalu membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!
Biarpun ia dapat mendesak Ang I Niocu akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa ia tidak dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya dapat melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja, maka kini melihat datangnya seorang hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.
Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata "Eh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore berani mengganggu kawan-kawan pinceng" Belum kenalkah kalian akan kesaktianku" Lihat ini!" Sambil berkata demikian, hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.
Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu siap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena mereka menyangka bahwa pisau itu tentu akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa hwesio itu tentulah seorang ahli hui-to (golok terbang). Akan tetapi alangkah heran mereka ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
496 gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka! Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan
"Pisau wasiatnya" ke dalam perut hingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!
"Cobalah kautiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!" kata Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu.
Dengan mudah Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya dan karena ia merasa penasaran, ia lalu memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu dengan hwesio ini. Ketika ia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru ia menjura sambil berkata,
"Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!" Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar, akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang mukanya
seperti Jai-lai-hud dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali!
Ang I Niocu sendiri berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa saja. Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi perintah kepada mereka dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi dan wakilnya! Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya, hingga kedua orang pendeta itu segera menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.
"Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?" kata Ceng To Tosu sambil mewek. "Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula."
Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biarpun Bu Pun Su sendiri belum tentu akan sanggup melakukannya!
Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah mendapat perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, lalu meninggalkan mereka tanpa banyak cakap lagi.
"Mereka itu orang-orang aneh," kata Ang I Niocu.
"Memang, orang-orang sakti memang bersikap aneh," kata Sie Ban Leng sambil maju
mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang memikat.
Sebenarnya yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat ia menganggap mereka aneh itu adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dulu ia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu" Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa ia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat ia menjura sambil berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
497 "Sie-enghiong telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!"
Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum, "Ah, Niocu terlalu merendah dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan-sungkan"
Kalau kita tidak saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah" Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak pergi ke Lan-couw," jawab Ang I Niocu sejujurnya.
"Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu kota itu. Kalau tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah ini memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita."
Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak atau menyatakan keberatan"
"Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar bangsa apapun juga!" jawabnya sambil memandang tajam. "Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama."
Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan oleh karena Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong dan kurang ajar, bahkan ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik.
Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di barat dan pergi ke Kan-su, Ban Leng menarik napas panjang dan menjawab,
"Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan kepada orang lain." Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut "Niocu" maka Ban Leng lalu mengubah sebutan menjadi "Lihiap".
"Ah, kalau memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku," jawab Ang I Niocu.
"Kepadamu aku tidak mempunyai rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku di daerah ini pun atas perintah kerajaan."
Ang I Niocu tercengang. "Ah, kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?"
"Bukan, aku bukan seorang perwira akan tetapi aku hanya diminta membantu saja, mewakili pekerjaan Kam-ciangin yang kini menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan
kedudukan Beng Kong Hosiang yang telah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kan-su ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka. Bahkan kedua orang yang dulu menolong Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
498 kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami
bekerja dengan diam-diam dan sebelum mendapat bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah Kam-ciangkun."
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. "Sebetulnya, apakah yang dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol itu di daerah ini?"
"Inilah yang sedang kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat menarik hati di samping maksud-maksud serombongen orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kan-su selain menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk mencari dan mendapatkannya."
Ang I Niocu merasa tertarik sekali, tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak jelas sikap Ban Leng yang seringkali memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini "jatuh hati" kepadanya. Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walaupun ada juga sedikit perasaan iba di dalam hatinya. Entah bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng
menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya kerja cepat dan wataknya cerdik.
Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu dan tiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu berhenti sebentar, bahkan kadang-kadang bermalam untuk mengenal tempat itu lebih baik. Penghidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya macam suku-suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.
Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka.
Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika mendengar pembicaraan mereka
dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu akan tetapi ketika ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia
membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.
Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menanti sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu. Wai Sauw Pu mengetuk pintunya dan ketika pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk. Cin Hai melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka ia lalu melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
499 Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan. Kemudian agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri ia memegang leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Kemudian tangan kanannya menampar hingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula.
Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya, akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh
melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,
"Orang-orang kejam jangan menyiksa orang tua yang lemah!"
Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar. Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai, maka dengan golok di tangan mereka maju
menerjang pemuda asing ini. Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawann Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang golok telah dapat dirampas dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping dan kakek bersorban ini terus melompat melalui jendela dan lari! Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya. Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih itu.
"In-kong (Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih..." katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah. Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.
"Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?"
"Mereka adalah pengikut-pengikut"Pangeran muda... kejam dan ganas..." akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, "akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekalipun..." Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya." In kong... aku sudah tua, lukaku berat, tiada gunanya kautolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia... tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya..."
Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanya, "Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
500 Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali. "Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku...
kau...kaujagalah benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!"
"Baiklah, Lopek. Kau tidak memilih keliru, karena terus terang saja, aku ialah seorang sahabat baik dari Yousuf." Wajah kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata, "Pergilah, lekas pergi!"
Ketika melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek itu berkata lagi, "Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri sendiri...!"
Terpaksa Cin Hai lalu melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!
Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apa gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat daripada perak! Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak beberapa banyak! Ia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran. Tutup cawan itu kecil saja, terbuat daripada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan" Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapapun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Ketika ia melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura
kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.
"Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami."
"Apa maktudmu?" Cin Hai membentak marah. "Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu
dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!"
Wai Sauw Pu tersenyum akan tetapi matanya memandang tajam. "Sicu, harap kaumaafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
501 Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu."
"Memang barang itu ada padaku akan tetapi aku telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!"
"Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?"
"Maling tua itu, kalau benar-benar ia maling, tidak lebih jahat dari pada kau dan kaki tanganmu!" bentak Cin Hai yang marah ketika teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.
Mendengar ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat ia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing. Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu!
Ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh. Apalagi sekarang ia tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong, paling
banyak dengan sulingnya!
"Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, sedangkan di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu"
Kalau kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!" kata pula Wai Sauw Pu membujuk.
"Eh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?" tanya Cin Hai. "Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku sudah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini benar-benar aneh!
Mengapa untuk sebuah tutup cawan dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?"
"Sicu, ini adalah urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu," kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.
"Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biarpun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah serang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki.
Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang sudah menjadi tanah jajahan Turki" Ha, ha, ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, akan tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?"
"Bangsat bermulut lancang!" Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan marah. "Jangan banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
502 "Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan," jawab Cin Hai dengan tenang, "Aku tak pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih berharga daripada jiwa, tahukah kau?"
"Keparat!" Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan manyerang ke arah Cin Hai!
Pemuda ini dengan sigapnya mengelak, akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu telah
melompat turun dan menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang
bertangan kosong! Cin Hai terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian orang lihai dengan bertangan kosong adalah amat berbahaya. Walaupun sulingnya hanya terbuat daripada bambu tipis, akan tetapi oleh karena ia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan darah semua lawannya hingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!
Akan tetapi, tasbeh dari Wai Sauw Pu dan senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar
berbahaya dan tiap kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa ia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!
Sebetulnya kalau Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi ilmu silat mereka masih jauh di bawah tingkatnya. Akan tetapi ia pikir bahwa sesungguhnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Ia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoatsut hingga dua orang pengeroyok dapat ia robohkan tanpa menderita luka hebat, kemudian ia lalu lompat keluar dari kurungan mereka berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!
Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda, akan tetapi mereka tak dapat mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh!
Akan tetapi musuh-musuhnya itu tidak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan
semenjak saat itu, Cin Hai selalu merasa bahwa ia diikuti orang! Ke mana juga ia pergi, bahkan ketika ia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam. Ia menjadi jengkel sekali dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Ia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul dan mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Maka ia menjadi gelisah juga, karena sedikitnya, walaupun ia tak pernah merasa takut, hal ini mengganggu tidurnya dan ia tidak dapat menikmati perjalanannya, karena ia selalu harus berlaku waspada dan hati-hati.
Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-couw, ibu kota Kan-su. Ketika ia tiba di luar tembok kota, ia melihat sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya ia hendak melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan segera melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika ia tiba di dekat jendela pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara. Pada saat itu ia mengalami dua macam hal yang amat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya menjadi pucat.
Yang pertama ialah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya dua Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
503
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu! Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat
kenyataan bahwa umah itu berikut dirinya, telah terkurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dikepalai oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga kelihatan bayangannya!
Akan tetapi hal ke dua ini tidak ia pedulikan, yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu. Ia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu, "Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!"
"Lihiap... tidak kasihankah kau kepadaku" Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa dayaku" Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosaku, akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini ada orang yang mencintaimu seperti aku!" terdengar suara seorang laki-laki berkata.
"Cukup tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja kalau aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan tidak ingat bahwa kau mengingatkan daku akan seorang yang amat
kuhargai, tentu sekarang juga sudah kucabut pedangku untuk menabas batang lehermu!"
"Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tak sampai hati mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!"
Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!
"Niocu...!" Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!
Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai. "Hai-Ji..." serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela.
Mereka berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
"Niocu... Niocu... benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi..." Sambil berkata demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.
Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai. "Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-bun-to."
Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan, "Hai-ji, kau benar-benar telah dewasa sekarang. Bahkan kau telah nampak masak. Di mana Lin Lin?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
504 "Dia ikut belajar silat dengan Suhu."
Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat bayangan Ban Leng yang segera mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit cepat dan sekarang barulah ia mengenal laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huangho.
"Eh, eh, tunggu dulu, kawan!" teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,
"Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun tangan!"
Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang dulu mengkhianati ayah bundanya"
Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba ia bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu. Wai Sauw Pu
menggerakkan tasbehnya dan berkata dengan marah,
"Tangkap tiga tikus ini!" Maka majulah semua orang Turki mengeroyok, hingga Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya dan Cin Hai juga menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok di dekat Ang I Niocu.
Tak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar, bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat antara orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.
"Niocu, sebenarnya mereka ini datang untuk menangkap aku!" kata Cin Hai sambil
menangkis serangan lawan yang kini tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.
"Mengapa?" tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.
"Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!" jawab Cin Hai sambil tertawa. Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.
"Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?" tanyanya.
"Betul," jawab Cin Hai sambil memandang heran. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur, kita boleh bekerja cepat!"
Biarpun tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat lalu mengikuti Ang I Niocu yang telah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari cepat memasuki kota Lan-couw.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
505 Ternyata Ang I Niocu membawanya menuju ke Gua Tun-huang yang beratus-ratus
banyaknya itu. "Coba kaukeluarkan tutup cawan itu, Hai-ji," kata Ang I Niocu dan ketika Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga
mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,
"Gua ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!"
Sambil berlari-lari mencari gua ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang rahasia cawan dan tutupnya.
"Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam gua-gua ini."
Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata, "Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya berada di dalam gua-gua di Tun-huang ini."
"Nah, itulah," kata Ang I Niocu girang. "Dan selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar biasa banyaknya!"
Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di gua ke tiga puluh enam itu dan segera mereka masuk ke dalam gua yang besar itu. "Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan!" kata Ang I Niocu. Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding gua yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan tetapi tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan. Mereka mendorong-dorong dinding, membersihkan lantai, memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya nihil. Cin Hai lalu tidak sabar dan ia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.
"Niocu, untuk apakah tergesa-gesa" Marilah kita duduk bercakap-cakap dulu dan
kauceritakan pengalamanmu semua. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak berpisah."
"Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka ini. Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan datang menyerbu,"
kata Ang I Niocu sambil masih memeriksa kanan kiri. "Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa."
"Apa?"" Cin Hai melompat memegang lengannya. Kau telah bertemu dengan mereka" Masih hidupkah mereka?"
Ang I Niocu tersenyum manis sambil memandangnya. "Kalau mereka sudah meninggal,
bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
506 Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta ini. "Aduh, alangkah mulia dan besarnya hari ini!" ia berkata memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung. "Melihat Niocu masih hidup, mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat" tiba-tiba ia melompat bangun dan berkata,
"Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa kita lupakan di atas?"
"Apa maksudmu?" tanya Ang I Niocu heran.
"Langit-langit itu," kata Cin Hai sambil menuding ke atas, "Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang kita cari?"
Ang I Niocu berseri dan pada wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka lalu memeriksa lagi dengan teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala ukiran. Setelah memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, akhirnya mereka mendapatkan sebuah lukisan pada tutup cawan itu yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.
"Ah, aku tadi pernah melihat lukisan ini!" kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari lagi dan memeriksa seluruh ukiran yang berada di dinding dan di langit-langit.
"Itulah dia!" kata Ang I Niocu sambil menunjuk ke atas. Benar saja, di ujung kiri dari langit-langit gua ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa benar dengan ukiran pada kepala cawan itu, yaitu sebuah patung Buddha yang duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh karena masih belum tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini. Biarpun ukiran itu campur aduk, akan tetapi apabila diteliti melihatnya, ternyata setangkai bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka lalu mencari tangkai bunga ini di dinding gua dan akhirnya mereka dapat menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.
"Jangan-jangan inilah rahasianya!" kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, ternyata biarpun tidak berapa besar, akan tetapi patung itu berat sekali.
"Niocu, mari kita pindahkan patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu rahasia!" Ang I Niocu lalu membantu dan dengan persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.
"Awas!!" tiba-tiba Ang I Niocu berseru. Mereka segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas tiba-tiba terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini, dipasangi tali baja yang menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di langit-langit gua. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuna untuk menutupi rahasia ini.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum dan biarpun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi mereka masih berdebar-debar dan untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.
"Niocu, hayo kita buka peti itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
507 "Jangan-jangan terisi binatang beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?" kata Ang I Niocu sambil tertawa. Keduanya lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali. Ketika tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan gemilang keluar dari peti itu dan ketika mereka telah membiasakan mata mereka yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu terisi dua batang pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!
"Ah, inilah Liong-cu-kiam!" kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.
"Agaknya benar juga, inilah pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!"
Otomatis mereka lalu mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil pedang yang sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil pedang yang lebih panjang dan yang pada gagangnya selain tertulis nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam, juga terdapat huruf
"jantan", sedangkan pedang yang terambil oleh Ang I Niocu terdapat huruf "betina"!
"Bagaimana Niocu" Harus kita apakan pedang ini?"
"Eh, anak bodoh!" kata Ang I Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama ia rindu akan sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu. "Tentu saja pedang ini kita serahkan kepada Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa pedang ini seorang satu."
"Niocu, lubang di atas itu besar dan gelap, mungkin di situlah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu." Keduanya lalu berdiri dan memandang ka atas akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.
"Marilah kita periksa ke atas, biarkan aku memasukinya," kata Cin Hai akan tetapi pada saat itu di luar terdengar banyak suara kaki orang.
"Hai-ji, lekas kita kembalikan patung itu!" Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula dan aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas!
Cin Hai hendak berlari keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya, "Jangan keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!"
Keduanya lalu bersembunyi sambil mengintai dari dalam gua dan setelah rombongan orang yang terdengar bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai lalu melompat keluar dari dalam gua dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan. Setelah tiba di luar gua, keduanya memandang kepada pedang masing-masing dengan amat kagum oleh karena setelah berada di tempat terang kedua pedang ini mengeluarkan cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna pada sinar pedang itu hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang sekali. "Lebih baik kita simpan pedang ini, kalau terlihat orang akan menimbulkan keheranan," kata Ang I Niocu dan keduanya lalu menyimpan pedang itu di dalam baju masing-masing.
"Sekarang tiba waktunya bagimu untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin mendengarkannya," kata Cin Hai sambil duduk di atas sebuah batu yang besar. Ang I Niocu duduk di dekatnya dan mulailah bercerita tentang segala hal yang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
508 dialaminya. Akan tetapi ia masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong Sian. Ketika ia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,
"Dia itu adalah pamanku sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku."
Terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ucapan ini. "Ah, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan mukamu. Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!"
Cin Hai juga menceritakan semua pengalamannya, dan ketika pemuda itu bercerita tentang pertandingannya melawan Song Kun, Ang I Niocu tanpa terasa ia berseru,
"Ah, Song Kun itu adalah Sutemu yang jahat!"
"Sute siapa?" tanya Cin Hai terheran.
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu menjadi merah.
"Sute dia" eh, penolongku itu, Lie Kong Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik seperguruan Susiok-couw!"
Akhirnya, mengertilah Cin Hai dan ia berkata,
"Menurut Suhu Bu Pun Su pedang yang dapat menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah pedang Liong-cu-kiam ini. Sekarang pedang ini telah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi dia!"
"Jangan kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biarpun kepandaianku jauh berada di bawah tingkat kepandaianmu!"
"Ah, jangan kau terlampau merendahkan diri, Niocu."
Kemudian, Ang I Niocu lalu minta kepada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu pedang yang dulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati, Cin Hai lalu mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam dan mulai bersilat hingga Ang I Niocu menjadi kagum sekali.
"Ah, kepandaianmu makin maju saja," katanya. "Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan mendapat kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa. Ia sungguh lihai sekali dan permainannya bambu runcing benarbenar mengagumkan,"
"Tak disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi sungguh nasib orang tidak tentu. Akan tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini ia mendapat gemblengan dari Suhu." Ketika membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
509 "Hai-ji demikian besar kasih sayangmu kepada Lin Lin," kata Ang I Niocu sambil
tersenyum, "dan aku percaya bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali melihat kau bahagia, Hai-ji."
Cin Hai merasa terharu sekali karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-san-to demi kebahagiaannya dan Lin Lin.
Dengan mesra dan suara penuh harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata,
"Niocu, memang kau mulia sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikurniai kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik,
sebagaimana diharapkan pula oleh Suhu."
Merahlah seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu.
Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau Nona Baju Merah itu marah mendengar kata-katanya yang lancang itu, maka ia buru-buru melanjutkan bicaranya. "Maaf, Niocu, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu..."
Ang I Niocu mengerling kepadanya dan tersenyum manis. "Mengapa minta maaf" Aku tidak marah dan ucapanmu itu memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke gua itu. Mereka telah pergi dan sekarang kita ada kesempatan untuk mencari harta terpendam yang menurut keterangan harus ada di tempat itu."
Cin Hai merasa girang sekali mendengar ucapan Ang I Niocu dan diam-diam ia
mengharapkan perubahan perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju Merah itu. Mendengar ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta
terpendam, sungguhpun ia sendiri tidak ingin mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi ia lalu bangun berdiri dan mengikuti nona itu kembali ke dalam gua di mana mereka tadi mendapatkan Liong-cu-kiam.
"Niocu, lubang di atas itu kecil dan takkan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang masuk dan kau menjaga di luar gua, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihat kita dan mengetahui rahasia tempat ini."
"Baik, akan tetapi kau berhati-hatilah karena bukan tak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh terdapat hal-hal yang aneh dan berbahaya pula, dan kabarnya pendeta-pendeta yang dulu menyimpan benda-benda ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi."
Cin Hai menjadi tertarik sekali.
"Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh, terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta terpendam itu karena tak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya."
Ang I Niocu dapat mengerti perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka ia lalu duduk di atas sebuah batu dalam gua itu dan berkata, "Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan tetapi aku sendiri pun hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya samar-samar saja," Nona Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat harta terpendam di dalam gua itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
510 Menurut pendengarannya, diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, ketika pendeta-pendeta Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah timur, mereka
mendapat tantangan keras dari orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka hingga tidak jarang terjadi pertempuran hebat yang mengorbankan banyak jiwa orang. Pada masa itu, di dekat perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang tangguh dan kuat, akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak ini tidak hentinya menyerang ke pedalaman dan melakukan perampokan-perampokan yang ganas,
mengumpulkan barang-barang berharga hingga mereka memiliki banyak sekali emas dan permata hasil perampokan itu.
Hal ini membuat kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar membaiki para pendeta Buddha dan dapat mempergunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu. Akan tetapi, setelah para pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok dan merampas kembali barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan mengerahkan tentara untuk mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu. Para pendeta itu karena tidak pernah menyangka-nyangka, dapat terpukul hingga cerai-berai dan sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke gua-gua Tun-huang dan menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan ditewaskan hingga tak seorang pun tahu di mana tempat harta pusaka itu disimpan. Hanya seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.
"Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, benar tidaknya entahlah,"
kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.
"Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, kita pergunakan untuk apakah?" tanyanya dengan muka memandang bodoh.
Ang I Nicu tersenyum. "Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tidak tahu harus mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dulu dan kalau sudah berhasil, kita bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kaulakukan."
"Tapi, kau sendiri, Niocu" Untuk apakah harta benda itu bagimu?"
"Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan barang-barang itu!"
"Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?"
"Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apabila harta benda yang besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan malapetaka belaka!"
Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata, "Benar, benar, sekarang aku teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apabila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!" Ang I Niocu tertawa "Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
511 guru sastera di dalam gua ini!" Cin Hai Juga tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka pintu di atas guha. Setelah lubang di langit-langit gua itu terbuka, Cin Hai lalu melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanan untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian ia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu. "Ah, gelap sekali, Niocu!" katanya.
"Biasakan dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam gua ini agar cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang," kata Ang I Niocu yang segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar gua. Tiba-tiba ketika ia sedang
mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira. Cepat ia masuk ke dalam gua dan berkata kepada Cin Hai, "Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!" Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari gua. Ia mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah dekat hingga perwira itu melihatnya, ia lalu membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut. Perwira itu merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka ia segera mengejar dan berseru, "Nona, tunggu dulu!"
Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari gua di mana Cin Hai sedang mencari harta pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang. Perwira itu cepat sekali larinya dan setelah berhadapan muka, ia memandang kepada Ang I Niocu dengan heran dan kagum. Tadinya ia mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, seorang perempuan suku bangsa Hui, akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Ia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya. Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah ia bahwa perwira ini bukanlah orang sembarang. Ia lalu memandang penuh perhatian. Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, sedangkan rambutnya yang panjang dan hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang dan nampak kuat, sedangkan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh. Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang menjadi panglima nomor satu di kerajaan! Ia datang menyusul anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di barat amat genting hingga perlu turun tangan sendiri. Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. "Perwira gadungan!" Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan perjalanannya dan melihat Cin Hai,
"Mengapa kau mengejarku?"
Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab, "Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan diri dariku" Kau adalah seorang Han, apa kerjamu di daerah ini?"
"Kau peduli apa" Pergi!" Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu roboh dan lari ketakutan. Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia mempergunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut yang kelihaiannya luar biasa dan tak mungkin ditangkis oteh orang sembarangan saja. Akan tetapi bukan main terkejutnya ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil mengelak dengan gerakan cepat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
512 sekali! Juga perwira itu terkejut melihat serangan yang demikian hebat dan mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!
"Eh, eh, siapakah kau yang lihai ini?" teriaknya, akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak,
"Peduli apakah kau siapa adanya aku?"
Kini perwira tertinggi di kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tak boleh dibuat gegabah. Ang I Niocu merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang dapat menghadapi ilmu silatnya Pek-in-hoatsut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang tak kurang hebatnya! Ilmu ginkang dari perwira muda itu benarbenar membuat Ang I Niocu tertegun karena gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung saja hingga setiap serangan dari Pek-in-hoatsut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari perwira itu pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.
Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat betapa serangan-serangannya tak
mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah ia mencabut Liong-cu-kiam yang
tersembunyi di dalam jubahnya.
"Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!"
Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.
"Ah, ah, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang telah menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap."
"Ciangkun siapakah?" tanya Ang I Niocu heran.
"Siauwte adalah Kam Hong Sin."
Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.
"Ah, kiranya Kam-ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di tempat asing dan sunyi ini?"
Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian kepada pedang Ang I Niocu hingga ia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas dengan sebuah pertanyaan pula,
"Lihiap, bukankah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?"
"Ciangkun, di dunia kang-ouw terdapat peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain orang."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
513 Kam Hong Sin tersenyum, lalu berkata dengan suara tenang, "Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai seorang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, siauwte masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat
kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang bertugas mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?"
Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.
"Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?"
"Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada siapapun juga," jawab Ang I Niocu setengah marah.
Kam Hong Sin tertawa dan berkata, "Biarpun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu kaudapatkan di sebuah di antara gua-gua Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan dan yang berhak mempunyai dan menyimpannya adalah
kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar."
Ang I Niocu tersenyum sindir. "Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan akulah yang berhak! Selain aku, orang-orang Turki dan Mongol juga mencarinya dan kalau pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?"
Kam Hong Sin memandang tajam, "Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai
seorang pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu, sebagai seorang panglima yang setia terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!"
Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah. "Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan kekerasan!"
"Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!" kata Kam Hong Sin dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata, "Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di mana pula tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang di tangan!"
"Siapa takut padamu?" bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cu-kiam. Kam Hong Sin lalu berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan ginkangnya yang luar biasa membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar menyambar.
Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi hingga ia melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam yang bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
514 mendesak terus hingga Kam Hong Sin benar-benar merasa kagum dan terkejut. Sudah lama ia mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan sudah lama ia ingin bertemu dan kalau mungkin mencoba kepandaian pendekar wanita itu. Kini keinginannya terkabul karena bukan saja ia berkesempatan mencoba ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian. Terpaksa ia mengandalkan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu.
Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga ia dapat merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu pedang ini, namun ketika menciptakan ilmu pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus terlihai yang masih teringat olehnya dan kini ia mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu.
Melihat hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke atas sambil berputar. Ginkangnya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali.
Dengan gerakan itu, ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari serangan maut yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan! Ang I Niocu cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun!
Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan baru ia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak ada gunanya. Dengan tali panjang itu, maka pedang dapat disambitkan dan dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya di waktu menyambit. Agaknya ia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh ini sampai mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat. Mereka bertempur lagi dengan seru dan kali ini karena mengandalkan pedangnya yang seringkali diluncurkan untuk menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu. Ia merasa seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau pedang terbang yang sering ia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.
Namun, biarpun Ang I Niocu terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya benar-benar tinggi itu, ia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, tak pernah ada rasa takut menghadapi lawan di dalam hatinya. Ia melawan dengan gerakan-Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
515 gerakan tenang dan cukup kuat hingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk
merobohkan lawan luar biasa ini. Diam-diam perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya, maka ia tentu akan lebih yakin akan berhasilnya tugas yang dijalankannya.
Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tak lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,
"Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun pula?"
Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin menunda senjata masing-masing dan melompat mundur.
"Ang I Niocu!" seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis "Mengapa Lihiap bertempur melawan Kam-ciangkun?"
Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin dan berkata, "Kam-
ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah, bukan musuh kita!"
Kam Hong Sin tersenyum. "Aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat itu, dan tidak mau memberitahukan kepadaku."
"Apa...?" Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidakpercayaan.
"Lihat saja, ia telah mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, dan juga ia tidak mau
mengembalikan pedang itu kepadaku."
Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.
"Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini harta pusaka dan pedang itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti kau akan mendapat bencana."
"Aku tidak hendak menyerahkan pedang ini, habis kalian mau apa?" bentak Ang I Niocu dengan garang.
"Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula," cela Sie Ban Leng dengan gemas.
Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki.
"Sie Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tidak mau melihat mukamu sendiri! Seorang yang telah mengkhianati kakaknya, yang telah membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi" Tak tahu malu!!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
516 Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai tentang kejahatan Sie Ban Leng yang telah menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, maka hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.
Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat.
"Bangsat wanita, jangan kau bicara yang bukan-bukan!" katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang I Niocu.
"Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!" teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan menyerang dengan hebat. Pedang Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban Leng. Terdengar suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat daripada kawat baja itu putus.
Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali, maka ia lalu menyerang kalang-kabut.
Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan
bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.
"Ang I Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam itu!"
Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat, biarpun ia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan merasa gentar sungguhpun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga sebentar saja ia telah terkurung dan terdesak hebat! Ia mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan kiam-hwat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang bagaikan air hujan itu! Ia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikitpun juga.
Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit gua, setelah membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba. Tiba-tiba ia melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan, karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka terpaksa harus menghadapinya dalam keadaan merangkak!
Berbahaya sekali keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apalagi kalau binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, dua benda seperti mata yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak dari tempatnya sungguhpun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup. Apakah gerangan benda itu"
Cin Hai untuk beberapa lama mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau binatang itu terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh jadi binatang itu telah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
517 sekali tak pernah bergerak" Namun ia masih ragu-ragu karena memang ada binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular.
Setelah lama menanti, timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali ia bergerak maju lagi dengan pedang siap disodorkan ke depan!
Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya, ia telah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya. "Ting!"
Ujung pedangnya berbunyi dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda-benda itu adalah dua potong batu yang ketika dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali. Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian daripada harta pusaka itu. Ia maju terus, dan makin banyak batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk amat banyaknya di suatu tempat, membuat terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.
Cin Hai merasa girang sekali. Tak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari. Ia membawa dua buah batu permata yang terbesar, tak kurang dari sebutir telur ayam besarnya, lalu ia merayap keluar lagi. Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun. Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya amat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai harganya, apalagi yang bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asal hingga lubang di langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.
Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas gua dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, Ang I Niocu sedang dikeroyok oleh empat orang dan berada dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau saja ia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesa-gesa, tentu ia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika ia keluar dari gua itu!
Ketika tiba di tempat pertempuran, Cin Hai berseru, "Niocu, jangan kuatir, aku
membantumu!" Dan pedang Liong-cu-kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu pedang sehebat itu.
"Hai-ji, mereka hendak merampas pedang kita!" teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya pemuda itu.
Kisah Bangsa Petualang 9 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Hati Budha Tangan Berbisa 4