Pencarian

Pendekar Bodoh 2

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


kolam lumpur itu dan dapat menggunakan bajunya yang masih bersih, yakni yang berada di bagian belakang tubuhnya, untuk membersihkan lumpur dari hidung, mulut dan matanya.
Biarpun mata kirinya masih terasa pedas dan lamur, tetapi dengan mata kanan ia dapat memandang ke depan. Tampaklah olehnya sebuah lorong kecil di depan dan tanpa membuang waktu ia segera lari mengejar.
Fajar telah menyingsing ketika dari jauh Tan Hok dapat melihat berkelebatnya tubuh Cin Hai di depan. Guru silat ini mengeluarkan seruan girang, karena ia sebentar lagi pasti akan dapat memuaskan hati membalas dendam kepada setan cilik itu! Ia memperkuat larinya dan sebentar saja jarak antara ia dan Cin Hai yang berlari sekuatnya itu tinggal beberapa tombak saja lagi!
"Bocah tolol! Sekarang kau hendak lari ke mana" Bersiaplah untuk mampus di tanganku!"
teriak Tan Hok dengan girang sekali dan ia sudah siap mengulurkan tangan untuk menangkap.
Cin Hai yang sudah putus asa tidak mau menerima nasib. Ia bahkan berlari sekerasnya dan ia sudah mengambil keputusan tetap bahwa bilamana ia tertangkap, sebelum mati ia hendak melawan dulu sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan dan giginya untuk melawan. Ia ingat bunyi sebuah ujar-ujar kuno yang berkata bahwa lebih baik mati sebagai harimau daripada mati sebagai babi!
Tetapi pada saat itu, ketika ia sudah mendengar suara kaki dan napas Tan-kauwsu dekat sekali di belakangnya, tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang berdiri di depannya! Dan tahu-tahu tubuh Cin Hai melayang ke atas lalu terduduk di atas lengan seorang tua yang pendek. Cin Hai menjadi terkejut, heran dan bingung sekali. Mengapa tahu-tahu ada seorang tua pendek di depannya dan bagaimana maka ia tahu-tahu sudah melayang ke atas dan duduk di atas lengan kanan orang tua itu yang bertubuh pendek, dan mulutnya selalu menyeringai, memakai jubah hitam dan kopiah hitam pula. Maka teringatlah dia bahwa orang ini bukan lain ialah seorang di antara tiga orang yang belum lama ini bertempur melawan hwesio gundul pemelihara ular di depan Kelenteng Ban-hok-tong!
Sementara itu, Tan Hok ketika melihat betapa seorang tosu pendek tahu-tahu menangkap Cin Hai dan berdiri di depannya, menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu itu yang bukan lain ialah Giok Keng Cu, orang ke tiga dari Kang-lam Sam-lojin (Tiga Orang Tua dari Kanglam) tidak kurang terkejutnya melihat Cin Hai dan Tan Hok. Ia tidak mengenal anak itu karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian lumpur yang telah mulai mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang juga penuh dengan lumpur pada seluruh tubuh bagian depan.
Ia hanya memandang sambil menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi.
Tan-kauwsu ketika melihat bahwa tosu pendek itu hanya orang biasa saja yang berpakaian sebagai seorang pendeta menyangka bahwa tosu itu kebetulan saja berada di situ, maka ia lalu membentak keras karena hatinya masih panas penuh kemarahan,
"Totiang, kauberikan anak tolol itu kepadaku!"
Mendengar kata-kata ini, Giok Keng Cu lalu bertanya.
"Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah anak ini?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
31 "Siapa sudi menjadi ayah anak haram ini" Dia ini... adalah bujang dari keluarga Kwee yang melarikan diri dan aku mendapat tugas menangkapnya! Lekas lepaskan dia!"
"Sabar dulu, Sicu, sabar dan tenanglah! Aku ingin sekali tahu, mengapa anak ini bertelanjang bulat dan penuh lumpur dan mengapa pula kau juga agaknya mandi lumpur" Kalian ini orang-orang Tiang-an agaknya suka benar dengan lumpur."
Tiba-tiba Cin Hai tertawa geli. Ia menganggap tosu ini lucu dan ia merasa senang mendengar betapa Tan Hok dipermainkan. Ia pun maklum bahwa tosu pendek ini lihai sekali, maka hatinya menjadi tabah dan keberaniannya timbul.
"Totiang, kau harus menonton ketika kerbau hitam ini kujerumuskan ke dalam lumpur!
Kerbau ini adalah kerbau gila, Totiang, ia mengejarku dari malam tadi dengan maksud membunuhku, tetapi sayang aku terlalu cepat baginya."
"Bangsat kecil!", Tan Hok meloncat maju dan hendak menerkam Cin Hai serta merampasnya dari tangan tosu itu tetapi dengan sekali menggerakkan lengan saja tubuh Cin Hai dapat dilempar ke atas hingga terhindar dari serangan Tan Hok, lalu ketika tubuh kecil itu turun, diterima lagi dengan lengannya!
"Sabar dulu, Sicu. Biar pinto dengar dulu penuturan bocah ini. Hai, anak bodoh, coba, kau ceritakan padaku hal yang sebenarnya telah terjadi." Diam-diam tosu ini suka sekali melihat keberanian Cin Hai, hanya ia masih heran mengapa bocah kecil yang membawa-bawa suling ini bertelanjang bulat dan tubuhnya penuh lumpur.
Dengan singkat Cin Hai lalu menuturkan betapa ia melarikan diri dari gedung keluarga Kwee karena ia dibenci. Ia sama gekali tidak mau menceritakan tentang sebab-sebab yang sebenarnya dari kepergiannya itu. Ia menceritakan bahwa ia sengaja meninggalkan
pakaiannya karena tidak mau pergi membawa sepotong barang dari gedung itu, takut kalau-kalau disangka mencuri, dan betapa di tengah jalan ia dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya memang benci padanya.
"Betul demikiankah, Sicu?" tanya Giok Keng Cu dengan tetap menyeringai.
"Sudahlah, kau orang tua jangan ikut campur urusan ini. Ketahuilah, anak ini ikut dengan keluarga Kwee-ciangkun dan aku adalah guru silat di gedung itu. Jangan kau mencari penyakit!" Tan Hok membentak marah.
Giok Keng Cu berpaling kepada Cin Hai yang masih duduk di atas lengannya lalu bertanya sambil tertawa, "Anak gundul, apakah kau sering dipukul oleh Kauwsu ini?"
"Bukan sering lagi, kalau ia diberi kesempatan tentu akan dibunuhnya!" jawab Cin Hai terus terang.
"Apakah kau berani melawannya kalau diberi kesempatan?"
"Kalau aku mempunyai kepandaian seperti Totiang, tentu kerbau hitam ini akan kuhajar kepalanya sampai benjut!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
32 "Anjing kecil, kau turunlah!" Tan Hok menantang.
"Nah, kalau kau berani, kau lawanlah dia sambil duduk di atas lenganku!" kata Giok Keng Cu sambil tertawa.
Cin Hai belum mengerti benar maksud tosu itu, ia yakin bahwa tosu ini bermaksud
membantunya, maka ia mengangguk-angguk dan berkata, "Baik, baik, akan kupukul
kepalanya sampai benjol dan benjut."
"Pukullah!" kata Giok Keng Cu sambil mengulurkan lengan yang diduduki Cin Hai ke dekat Tan Hok dan benar-benar Cin Hai mengayun kepalan tangannya arah kepala guru silat itu.
Mana Tan Hok mandah saja dirinya dipukul, ia mengangkat tangan kiri menangkis dan tangan kanannya memukul ke arah muka Cin Hai, maksudnya hendak sekali pukul menjatuhkan anak itu dari atas lengan Si tosu. Tetapi Giok Keng Cu menggerakkan lengannya dan tahu-tahu Cin Hai sudah pindah ke lengan kiri!
"Guru silat, kalau kau bisa menjatuhkan anak ini dari lenganku, boleh kau bawa dia!" Giok Keng Cu mengejek. Tan Hok marah sekali dan ia lalu menyerang, tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan tosu itu dengan cepat menghindari setiap serangannya, bahkan tangan anak itu balas menghantam!
Tan Hok dengan geram dan marah lalu maju dan menyerang dengan gerak tipu Cin-jip-houw-hiat (Terjang Masuk Gua Harimau), sebuah serangan yang hebat sekali karena
dilakukan dengan dua tangan. Kalau kepala Cin Hai yang gundul terkena pukulan ini, pasti otaknya akan berceceran keluar dari batok kepalanya yang pecah! Tetapi dengan enak dan tenang Giok Keng Cu meloncat ke pinggir dan menggerakkan lengannya dengan cepat sekali.
Tahu-tahu Cin Hai merasa dirinya terlempar ke atas melalui kepala Tan Hok, maka cepat anak itu menggunakan kakinya menyepak ke arah kepala itu! Tan Hok yang kena sepak kepalanya menjadi marah sekali dan menggunakan tangan hendak menerkam tubuh yang masih berada di atasnya itu, tetapi tangan Giok Keng Cu lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga tubuh Cin Hai dan dibawa turun lagi.
Demikianlah, dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat melebihi angin, Cin Hai dapat dibawa oleh lengan Giok Keng Cu mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali kepalan Cin Hai yang kecil dapat memukul muka, kepala dan dada guru silat itu sekerasnya, tetapi akibatnya ia sendiri yang mengeluh dan mengaduh karena anggauta tubuh guru silat yang terlatih itu keras dan, kuat, sedangkan kepalan tangannya lemah tak terlatih.
"Totiang, tanganku sakit." Cin Hai berbisik.
"Anak tolol, kaupukul daun telinganya!" Giok Keng Cu balas berbisik.
Benar saja, semenjak saat itu, Cin Hai menujukan pukulannya kepada dua daun telinga Tan Hok hingga guru silat itu menjadi makin gemas, marah dan mendongkol. Ia rasakan daun telinganya pedas dan sakit, tetapi hatinya lebih perih dan sakit lagi. Bagian-bagian tubuh lain memang terlatih, tetapi daun telinganya tak dapat dilatih dan terasa sekali hingga biarpun pukulan seorang anak kecil juga mendatangkan rasa sakit dan bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam telinganya! Cin Hai merasa gembira sekali karena ia mendapat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
33 kesempatan untuk membalas dendam. Kini ia tidak hanya memukul, tetapi menjewer,
mencengkeram, menusuk lubang telinga dengan sulingnya dan lain-lain serangan yang membuat Tan Hok merasa mata gelap dan kepala berputaran karena marah, gemas dan tak berdaya!
Tan Hok sudah mendapat hajaran hebat ketika guru silat itu menyerang lagi, Giok Keng Cu sengaja menangkis dengan tangan kirinya sambil membentak,
"Masih belum cukupkah?"
Tangkisan itu membuat Tan Hok hampir menjerit kesakitan. Seluruh lengan kanannya, dari ujung jari sampai ke pundak, terasa seakan-akan dibakar api dan sakit sekali, hingga sambil meringis-ringis ia melangkah mundur, lalu berkata,
"Aku sudah menerima pengajaran dari orang pandai. Tidak tahu siapakah Totiang dan apa hubungannya dengan anak tolol ini hingga Totiang membantunya serta tak segan-segan memberi pukulan kepada siauwte."
Pada saat itu, matahati telah mulai bersinar hingga wajah Cin Hai dengan kepalanya yang gundul pelontos tampak nyata. Ketika mendengar ucapan guru silat itu, Giok Keng Cu lalu memandang muka anak kecil yang ditolongnya.
"Eh, kau?" tanyanya dan Cin Hai tersenyum mengangguk sambil berkata,
"Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua Totiang yang lain?" tanyanya. Giok Keng Cu lalu berdongak dan tertawa keras, hingga suara ketawanya menggetarkan daun-daun pohon.
"Dengarlah, guru silat buruk adat! Kau berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau kalau nama ini tidak kaukenal, boleh juga kau ketahui bahwa pinto adalah orang termuda dari Kanglam Sam-lojin. Adapun tentang anak ini, dia ini adalah in-jin (penolong) kami!"
Bukan main kagetnya Tan Hok mendengar bahwa ia berhadapan dengan seorang daripada Kanglam Sam-lojin yang sangat tenar namanya dan yang sudah menggemparkan dunia kangouw dengan kelihaian dan kehebatan mereka. Tetapi lebih heran lagi ketika mendengar pengakuan orang tua itu bahwa Cin Hai dianggap sebagai in-jin mereka! Sungguh aneh dan gila! Cepat ia mundur dan menjura dalam-dalam sambil berkata,
"Maaf, siauwte yang tak mengenal Gunung Thai-san menghalang di depan mata (Orang Gagah berdiri di depan mata) dan berani berlancang tangan. Biarlah siauwte memberi laporan kepada Kwee-ciangkun bahwa anak tolol... (ia menahan makiannya) anak ini telah ikut dengan Locianpwe."
Tetapi Giok Keng Cu yang kegirangan lagi bertemu dengan "tuan penolong" itu, tak mempedulikan lagi guru silat dan sekali berkelebat, ia telah lenyap dari pandang mata Tan Hok, sedangkan Cin Hai juga dibawanya pergi bersama. Tan Hok menghela napas berulang-ulang dan hatinya penasaran, malu dan gemas. Berturut-turut dalam dua hari ia mengalami nasib sialan! Kemarin bertemu dengan Biauw Suthai dan mendapat hajaran yang memalukan dan menjatuhkan namanya, malam tadi dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil, sedangkan sekarang tiba-tiba saja berhadapan dengan seorang dari Kang-lam Sam-lojin yang lihai!
Semua ini gara-gara Cin Hai si setan kecil. Kemudian ia pergi ke gedung Kwee-ciangkun Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
34 untuk memberi laporan bahwa Cin Hai pergi bersama seorang tua jahat yang mungkin mengambilnya sebagai murid. Ia tentu saja tidak mau menceritakan pengalamannya
memalukan itu, hanya bercerita bahwa orang tua yang membawa Cin Hai itu agak miring otaknya, sedangkan Cin Hai sendiri ketika ikut orang tua itu bertelanjang bulat seperti anak gila.
Kwee In Liang tidak sangat memperdulikan peristiwa ini, tetapi Loan Nio lalu lari ke kamarnya dan setelah memeriksa kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa anak itu pergi tanpa membawa sedikit pun barang atau sepotong pun pakaian, ia menangis tersedu-sedu dengan hati merasa terharu dan iba sekali.
Giok Keng Cu yang lari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuhnya karena angin besar menderu-deru di kedua telinganya hingga ia menutup matanya, membawa Cin Hai ke sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari situ.
Baru saja tiba di pekarangan kuil, ia telah berteriak ke dalam.
"Twa-suheng (Kakak Seperguruan tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua)! Coba keluar dan lihat siapa yang kubawa ini!"
Baru saja ucapan itu habis dikatakan dari dalam kuil rusak itu berkelebat dua bayangan orang dan tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus, dan Giok Yang Cu si tinggi besar brewokan.
Untuk sesaat mereka tak dapat mengenali anak kecil berlumpur itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul itu, maka cepat ia berkata girang.
"In-kongcu (tuan penolong muda)!"
Cin Hai segera turun dari pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada ketiga tosu itu dengan muka bodoh. "Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa menyebut aku
penolong" Apakah memang cara-cara pendeta memutar balikkan kenyataan" Sebenarnya aku telah ditolong, tapi sebaliknya malah disebut penolong, bagaimanakah ini?"
Ketiga tosu ini saling pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa bergelak.
"Kau tidak tahu, anak baik. Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong Hosiang di depan Kelenteng Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh ular-ularnya yang berbahaya dan lihai. Nah, ketika itu kalau tidak ada kau penolong kami yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan ular-ular itu, tentu sekarang sudah tidak ada lagi Kanglam Sam-lojin! Kepada Hai Kong si hwesio itu kami tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!"
Barulah Cin Hai mengerti ia disebut tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa dan berkata.
"Sungguh aku girang sekali telah dapat menolong Sam-wi Totiang, tetapi sungguh mati ketika itu aku tidak sengaja menolong, hanya karena mendengar suara melengking dari Hai Kong Hosiang, aku merasa telingaku sakit dan kugunakan suling untuk melawan suara itu.
Tidak tahunya suara itu dapat menolong Sam-wi, maka Sam-wi tak perlu berterima kasih Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
35 kepadaku seharusnya kepada suling ini!" Ia lalu mengangkat dan mengangkat dan
mengacung-acungkan suling barunya.
"Anak baik, kata-katamu betul juga," kata Giok Im Cu, tosu tertua yang tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini menyanyikan sebuah syair dengan suara tinggi nyaring,
"Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!"
Syair ini bukan sembarangan syair, tetapi adalah syair dari kitab To-tek-keng yang merupakan kitab pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabi para penganut agama To-kauw, yang mempunyai arti seperti berikut,
Berlakulah sopan jujur seperti balok, Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam, Dan bersikaplah seperti air keruh!
Cin Hai semenjak kecil telah dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan lain-lain kitab kuno lagi. Di kala mempelajari segala ujar itu, ia hanya hafal seperti burung beo saja, dapat mengucap tanpa mengerti isi dan maksudnya. Jangankan baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai,
sedangkan orang-orang dewasa pun takkan mudah begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biarpun singkat jika dipecahkan dan direnungkan panjang tiada habisnya dan makin dalam. Oleh karena hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik dari buku dan kitab ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab To-tek-keng, maka cepat dan otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar sambungan atau lanjutan daripada ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.
"Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa bisa bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku sabar, lambat laun memetik buahnya)"
Maka terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin Hai. Harus diketahui bahwa Giok Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sangat tekun mempelajari ujar- ujar Lo Cu, maka tentu saja ia sangat pandai dan hafal akan segala macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujar-ujar itu disambung dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia menjadi kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia menyebut,
"Siancai, siancai (damai, damai,) anak baik, anak baik!"
Setelah cukup memuji-muji Cin Hai ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya, "Anak baik, sebenarnya siapakah namamu dan kau she apa" Kau pernah apakah dengan pembesar she Kwee itu?"
Cin Hai bermuka sedih ketika menjawab, "Teecu (murid) she Sie bernama Cin Hai. Kedua orang tua teecu telah terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya. Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh penghuni gedung itu kecuali Ie-ie tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan pergi saja!" Juga kepada ketiga tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan menceritakan sebenarnya tentang keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah terjadi baru-baru ini.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
36 "Tidak apa, tidak apa, Cin Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong kami, sudah selayaknya kalau kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang pandai" Bagaimana kau menjadi murid kami bertiga?"
Girang sekali Cin Hai mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali belajar silat, hanya sayang tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang berilmu tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu hendak mengangkat dia sebagai murid, tentu saja hal ini
menggembirakan sekali. Kedua matanya telah bersinar dan mukanya berseri, tetapi tiba-tiba ia teringat akan janjinya kepada seorang jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhunya, yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura dan berkata,
"Besar sekali rasa terima kasih dan kebanggaan teecu menerima budi kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi terpaksa teecu tidak berani menjadi murid Sam-wi."
"Eh, mengapa?" Giok Yang Cu yang tinggi besar memelototkan matanya karena heran. Tosu tinggi besar ini adatnya kaku dan jujur. "Apa kau anggap kami bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?"
"Bukan demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang guru. Dan seorang saja sudah cukuplah!"
"Siapa" Siapa suhunya itu?" ketiga tosu itu serentak bertanya.
Cin Hai menundukkan kepala, karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku. Tetapi
keangkuhannya yang menentang segala rasa rendah itu bangkit membuat ia mengangkat mukanya dan berkata gagah, "Guruku itu adalah seorang jembel tua yang tidak berkepandaian apa-apa!"
Di luar dugaannya, biarpun ia tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu tiba-tiba menjadi pucat dan Giok Keng Cu si pendek kecil bahkan memandang ke kanan kiri seakan-akan ada yang ditakutinya.
"Gurumu adalah Bu Pun Su Sianjin" Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh orang tua aneh itu!"' kata Giok Im Cu menyesal.
"Jadi, Samwi Totiang sudah kenal kepada suhuku. Di mana dia sekarang?" tanya Cin Hai dengan girang, tetapi ketiga tosu itu menggeleng-geleng kepala menyatakan bahwa mereka pun tidak tahu. Kemudian, karena agaknya mereka ini tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin Hai pun tidak mau bertanya lebih jauh.
"Dan sekarang, kalau kau tidak bisa menjadi murid kami, cobalah kau ajukan sebuah permintaan, akan kami penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada seorang di antara kami hingga jumlahnya tiga macam permintaan, ini adalah untuk pembalas jasamu yang telah menolong kami."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
37 "Tetapi teecu tidak minta dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa pertolongan yang dilakukan sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan namanya, tetapi ialah utang-piutang! Dan teecu tidak suka menjadi tukang kredit!"
Kembali Giok Im Cu kagum dan pada dugaannya tentu anak ini memang telah paham akan ilmu batin, padahal sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal belaka dan ia selalu menggunakan ujar-ujar hafalannya itu untuk diucapkan pada saat yang tepat dengan maksud dipakai sebagai pembela diri!
"Biarpun kau tidak merasa menghutangkan kepada kami bertiga, namun kami akan selalu merasa mempunyai utang jika kau belum minta apa-apa dari kami," jawab Giok Yang Cu.
Karena didesak-desak akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga permintaan.
"Pertama," katanya, "teecu sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore kemarin!"
Ketiga tosu tertawa bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk mengambil kue kering dan sepotong daging yang telah digarami. Tanpa seji (sungkan) lagi Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan karena lupa bahwa ia tidak berpakaian ia menggunakan lengan tangan menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak setelah makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.
"Permintaan teecu yang ke dua ialah minta diberi seperangkat pakaian karena teecu semenjak malam kemarin bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali."
Sekali lagi ketiga orang tosu itu saling pandang dan sinar mata mereka berubah ragu-ragu karena ternyata anak ini mengajukan permintaan remeh dan menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus. Benar-benar tolol dan bodoh anak ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta atau senjata pusaka atau ilmu kesaktian" Tetapi karena permintaan Cin Hai yang ke dua sudah diucapkan, terpaksa mereka mencarikan pakaian. Kini giliran Giok Keng Cu yang mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal pakaian, maka Giok Keng Cu lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan membawa seperangkat pakaian warna putih.
Ketika dengan girang Cin Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik celana maupun jubahnya terlalu besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta hwesio yang besar sekali hingga tubuh Cin Hai yang kecil itu lenyap di dalam lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu. Sambil tertawa-tawa ketiga tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu longgar. Akhirnya pakaian itu dapat juga dipakai, walaupun potongannya sangat kebesaran dan lengan bajunya melompong terbuka hingga terpaksa dibelit-belitkan pada lengannya!
Betapapun juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Giok Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah kelenteng yang berdekatan karena hendak membeli, beli di mana"
Setelah merasa tubuhnya hangat perutnya kenyang hingga matanya menjadi mengantuk sekali, akhirnya Cin Hai mengemukakan permintaannya ke tiga,
"Permintaan teecu yang ketiga, jika Sam-wi Totiang tidak keberatan teecu mohon
diperbolehkan ikut dan belajar silat dari Sam-wi!"
Sekali ini ketiga tosu itu tertawa girang dan mereka merasa puas karena ternyata akhirnya bahwa anak ini bukannya gendeng dan tolol.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
38 "KALAU begitu, sekarang juga kau lekas berlutut mengangkat guru kepada kami!" kata Giok Keng Cu.
Tetapi ketiga orang tua itu kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala. Kemudian anak itu berlutut tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata,
"Sam-wi Totiang, tadi sudah teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat lain guru.
Teecu hanya ingin ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin mengangkat guru!"
"He?" Mana bisa" Ini tak mungkin!" kata Giok Yang Cu.
Cin Hai mengangkat muka memandang, "Bukankah tadi teecu sudah mengatakan bahwa
teecu tidak ingin minta balasan dan tidak ingin apa-apa" Mengapa Sam-wi Totiang
mendesak" Sekarang permintaan teecu yang ke tiga ternyata tidak dapat dikabulkan, padahal tak berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar ujar-ujar yang berkata bahwa satu kali orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor kuda pun takkan mampu mengejar, iya" Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu kali seorang budiman berludah, takkan ia jilat kembali?"
"Ha-ha-ha! Anak baik, anak baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah kami mengaku kalah. Semenjak sekarang, kau boleh ikut kami ke gua kami dan belajar silat sampai kau menjadi bosan dan melepaskan diri sendiri!"
Tapi pada saat itu Cin Hai sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam suntuk ia tidak tidur dan berlari-larian hingga ia sangat lelah dan mengantuk. Kini menghadapi tiga tosu yang mengajak ia berbantahan saja itu, membuat ia makin lelah dan makin mengantuk. Setelah mendengar betapa permintaannya yang ke tiga lulus juga, ia menjadi begitu girang dan lega hingga tiba-tiba saja kedua matanya dimeramkan dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!
"Kasihan, anak yang baik!" kata Giok Im Cu, "Ji-sute, kaupondonglah dia dan mari kita berangkat."
Sambil mengomel, "Anak yang tolol!" Giok Yang Cu yang tinggi besar segera memondong tubuh Cin Hai yang telah mendengkur itu, kemudian ketiga tosu itu lalu meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut mereka. Karena tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka seakan-akan tidak menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang terbang saja.
Karena tidur nyenyak dalam pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan kuat, Cin Hai tidak tahu bahwa ia telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Ketika ia sadar dan membuka matanya, ia merasa kepalanya yang gundul dingin sekali dan karena kepalanya berada di dekat dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia lalu menyusupkan kepalanya ke dalam jubah orang! Tetapi tiba-tiba ia merasa betapa dirinya tidak dibawa lari lagi. Cepat ia mengeluarkan kepalanya yang gundul dari balik jubah pendeta itu dan memandang keluar.
Ternyata mereka telah tiba di sebuah padang rumput di lereng gunung yang tinggi. Tak heran bahwa hawa demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai merasa heran ialah ketiga Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
39 tosu itu berdiri diam dan memandang ke satu tempat dengan muka tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak olehnya dua orang sedang bertempur seru!
Karena kesukaannya melihat orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai melorot turun dari pondongan Giok Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat, tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.
"Jangan mendekat!" Tosu tinggi kurus itu berbisik dengan suara menyatakan bahwa
larangannya itu sungguh-sungguh.
Cin Hai merasa heran akan tetapi ia tidak berani banyak ribut melihat sikap ketiga tosu demikian tegang, maka ia lalu duduk di atas rumput dan menonton orang yang sedang bertempur.
Ternyata yang bertempur adalah seorang wanita dengan seorang laki-laki. Yang wanita berbaju hijau bercelana putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak dan kejam sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu beriap-riapan ke belakang memenuhi punggungnya. Usianya paling banyak tiga puluh tahun tetapi karena ia memang cantik, orang yang baru melihat pertama kali dan tidak mengetahui keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia belasan tahun. Ilmu silatnya hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan lincah bagaikan seekor burung kepinis. Laki-laki yang menjadi lawannya juga aneh, karena pakaiannya seperti seorang siucai (pelajar sastra) dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun dari mukanya putih agak kepucat-pucatan.
Kedua orang itu bersilat dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang hebat daripada kalau orang bertempur bersenjata tajam. Buktinya serangan-serangan mereka hebat sekali dan setiap pukulan atau tendangan selalu merupakan serangan maut yang berbahaya sekali.
Kepandaian mereka berimbang dan tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan kedua kakinya lalu bergerak seperti kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa tendangan bertubi-tubi dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian bergerak menendang saling susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan atau ditangkis!
"Celaka, Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu kena tendang!" dengan gembira tetapi cemas Cin Hai berkata sambil memegang tangan Giok Im Cu, "Mengapa tidak kautolong dia?"
Tetapi Giok Im Cu menekan tangannya dan menjawab perlahan, "Sst! Jangan berisik, kaulihat saja!"
Memang tadinya wanita baju hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia tentu akan tertendang roboh. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring dan merdu, bernada menyeramkan karena setengah merupakan jerit tangis mengharukan.
"Hi-hi! Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa mengeluarkan
tendanganmu yang terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh Bintang) yang kausohorkan itu" Hi-hi, orang she Kang, keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!" Sambil menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari dengan gerakan yang aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi tiap gerakannya selalu berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
40 Tiba-tiba wanita itu balas menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari, tetapi kalau tadi kedua lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang lemas sekali sambil mengelit serangan lawan, kini dia menggerakkan kedua tangannya ke depan dan belakang, jari-jari tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi sebenarnya ini merupakan serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya dapat digerakkan untuk menotok jalan darah lawan.
Akhirnya laki-laki yang dipanggil Kang Ek Sian itu tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.
"Pengecut, rebahlah kau!" Tiba-tiba wanita itu berseru dan benar saja, pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biarpun kelihatannya dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu roboh! Wanita yang rambutnya riap-riapan itu lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa ha-ha-hi-hi, mukanya tampak manis tetapi suara ketawanya menyeramkan perasaan. Tiba-tiba perempuan aneh itu menengok dan
memandang ketiga tosu yang masih berdiri tak bergerak. Ia memandang dengan matanya yang bening dan bersinar tajam, lalu mengembangkan hidung dan mengedikkan kepalanya.
"Baiknya tidak ada yang lancang tangan, kalau tidak demikian, tentu aku terpaksa merobohkan beberapa orang lagi!" Wanita itu berkata seakan-akan kepada diri sendiri, tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Giok Im Cu dan kedua kawannya.
Giok Im Cu menjura ke arah wanita itu dan berkata perlahan, juga seperti kepada diri sendiri,
"Kami Sam-lojin (Tiga Orang Tua) bukanlah orang-orang usilan."
Maka tertawalah wanita itu dan kini suara tawanya seperti mengejek. Lalu pergilah ia turun gunung dengan cepat sekali sehingga bajunya yang hijau itu berkibar-kibar ke belakang di bawah rambutnya yang hitam dan juga berkibar-kibar tertiup angin di belakangnya.
Dipandang dari jauh, ia seperti seekor kupu-kupu besar melayang-layang. Suara ketawanya lambat laun lenyap dari pendengaran.
Giok Im Cu menghela napas. "Mengapa iblis wanita itu bisa berada di sini?" katanya perlahan seakan-akan kepergian wanita itu membuat dadanya merasa lega.
"Totiang, siapakah perempuan yang pandai menari itu?"
Giok Yang Cu tertawa mendengar kata-kata ini. "Dasar kau tolol! Sehari penuh tidur terus, dan kini setelah bangun bicara tidak karuan. Kauanggap dia itu menari-nari" Ha-ha-ha!"
Giok Im Cu berkata sambil menghela napas lagi. "Mana kau tahu" Tarian itu justru kepandaiannya yang membuat ia ditakuti orang dan sukar sekali dilawan. Itulah ilmu silat yang disebut Tari Biang Iblis! Oleh karena kepandaian ini maka dia disebut Giok-gan Kuibo (Biang Iblis Bermata Intan) dan namanya menggemparkan seluruh permukaan bumi."
"Tetapi mengapa Sam-wi takut kepada iblis itu?" tanya Cin Hai penasaran.
"Takut sih tidak," jawab Giok Keng Cu yang semenjak tadi diam saja, "hanya saja, kita tidak tahu seluk-beluk urusan mereka, mengapa harus ikut campur dengannya?"
Tetapi pernyataan Cin Hai ini membuat ketiga tosu itu ingat akan laki-laki yang masih rebah di atas tanah, maka buru-buru mereka lalu menghampiri. Laki- laki yang rebah terlentang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
41 dengan wajahnya yang telah pucat itu kini makin kuning dan kedua matanya meram. Ketika Giok Im Cu perlahan meraba pundak orang itu, tahulah ia bahwa orang itu telah mendapat luka dalam yang cukup hebat, walaupun tidak dapat dikatakan membahayakan jiwanya. Maka Giok Im Cu lalu menggunakan kepandaiannya menotok dan mengurut pundak yang terluka oleh tangan Giok-gan Kuibo yang halus putih tetapi ganas lihai itu!
Laki-laki itu siuman dan membuka matanya. Ia tersenyum pahit ketika melihat tiga orang tosu itu.
"Kanglam Sam-lojin?" tanyanya perlahan.
Giok Im Cu mengangguk. "Sicu siapakah dan mengapa sampai bertempur dengan dia?"
Laki-laki itu kembali tersenyum lalu duduk. "Siauwte Kang Ek Sian sungguh tak mengukur kepandaian sendiri dan telah berani menempur Giok-gan Kouwnio (Nona Bermata Intan), sungguh tak tahu diri!" jawaban ini merupakan tangkisan terhadap pertanyaan Giok Im Cu, maka orang tua itu maklum bahwa orang tak suka menceritakan sebab pertempurannya.
"Untung bagimu ia masih berlaku murah hati dan tidak menjatuhkan maut," ia berkata singkat lalu mengajak kedua kawannya dan Cin Hai untuk meninggalkan tempat itu.
"Totiang, sebenarnya sampai di manakah kelihaian iblis wanita itu" Kulihat ia hanya seorang perempuan cantik yang lemah lembut, galak dan aneh sikapnya," kata Cin Hai yang sungguh-sungguh tidak mengerti mengapa seorang perempuan seperti itu ditakuti oleh tokoh-tokoh yang berilmu tinggi ini.
"Ha-ha-ha, anak tolol, dengarlah!" kata Giok Yang Cu dan Cin Hai segera berjalan mendekatinya. Ia memang gemas dan mendongkol sekali disebut tolol dan bodoh oleh tosu tinggi besar ini tetapi sebaliknya ia senang karena Giok Yang Cu selalu berterus terang kepadanya.
"Perempuan yang kauanggap lemah-lembut itu, yang disebut orang-orang kang-ouw sebagai Biang Iblis Bermata Intan, dengan kedua tangan kosong dan seorang diri saja telah naik ke Cin-liong-san dan mengobrak-abrik sarang berandal The Kok, membinasakan lebih dari dua puluh tauwbak dan kepala berandal dan membasmi lebih dari tiga puluh liauwlo (anak buah perampok), dan yang seorang diri saja telah mendatangi hampir seluruh jagoan di daerah selatan untuk dicoba kepandaiannya. Dan tahukah kau, bahwa selama itu hanya baru beberapa kali saja ia tidak dapat merobohkan orang" Pendeknya, jarang ada orang yang dapat mengalahkan dan karena tangannya yang terkenal ganas, banyak orang merasa segan untuk berurusan dengan dia!"
"Dan lagi," sambung Giok Keng Cu si Tosu Pendek, "coba kaulihat yang seorang lagi. Lebih hebat lagi!" Dan tiba-tiba Si Pendek itu memperlihatkan muka jerih.
"Yang satu lagi siapakah itu?" tanya Cin Hai dengan ingin sekali tahu.
Kini Giok Yang Cu yang melanjutkan kata-kata sutenya. "Yang dimaksudkan oleh Sute tadi ialah seorang wanita lain yang sifatnya sangat berlainan dengan Piok-gan Kuibo. Wanita ini Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
42 adalah Sumoinya (Adik Perempuan Seperguruan) yang berjuluk Ang I Niocu (Si Nona Baju Merah) dan yang selalu berpakaian merah. Nona ini masih muda dan kepandaiannya mungkin masih berada di atas kepandaian Sucinya (Kakak Perempuan Seperguruannya) itu! Ang I Niocu pernah seorang diri naik ke Bu-tong-san dan menantang adu tenaga dengan semua tokoh Bu-tong-san dan ternyata ilmu pedangnya belum pernah dikalahkan orang!"
Mendengar kelihaian-kelihaian demikian hebatnya itu, Cin Hai meleletkan lidah saking kagumnya. "Hebat sekali!" serunya kagum.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan Cin Hai yang digandeng tangannya oleh Gak Im Cu, merasa tubuhnya tergantung dan tak menginjak tanah, tetapi ia maju cepat sekali, hingga angin dingin berkesiur di kanan-kiri kepalanya. Jurang-jurang yang tidak berapa besar dilompati begitu saja oleh ketiga tosu itu hingga berkali-kali Cin Hai terpaksa meramkan mata karena ngeri memandang ke bawah. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak sekali orang pandai yang luar biasa. Baru ketiga tosu ini saja kepandaiannya sudah demikian hebatnya, apalagi tadi ia mendengar betapa mereka ini masih memuji-muji kepandaian orang lain, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian orang-orang yang mereka puji itu!
Maka timbullah keinginan di dalam hatinya untuk belajar keras agar ia pun bisa memiliki kepandaian itu sehingga kelak tiada lagi orang di dunia ini yang berani memaki dan menghinanya.
Di sepanjang jalan, orang-orang yang melihat Cin Hai tertawa geli karena di dalam pakaian yang besar dan longgar itu, Cin Hai yang gundul memang nampak lucu dan aneh sekali.
"Mungkin anak gila," terdengar orang berkata.
"Mungkin karena tololnya maka memakai pakaian demikian besarnya," kata orang lain.
Ketiga tosu merasa kasihan dan berkata kepada Cin Hai untuk membiarkan pakaiannya diubah, dikecilkan dan dijahit pula. Tetapi dengan keras hati dan bersungut-sungut Cin Hai menjawab.
"Tidak, biarkan sajalah! Biarkan anjing-anjing itu menggonggong, mereka tidak akan menggigit! Biarkanlah, teecu tidak merasa sakit dengan gonggongan mereka!" Tiga orang tosu itu saling pandang dan mereka kagum akan kekerasan dan ketabahan hati anak ini. Dan untuk memperlihatkan bahwa ia benar-benar tidak peduli kepada semua orang yang
mentertawakannya itu, Cin Hai mengeluarkan suling bambunya dan sambil berjalan dengan para tosu itu, ia meniup sulingnya memainkan beberapa lagu merdu!
Tiga hari kemudian sampailah mereka di daerah Kanglam.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, Kanglam Sam-lojin itu membawa Cin Hai ke dalam sebuah hutan yang sangat liar dan luas. Di tengah-tengah hutan itu, berbeda dengan tempat yang penuh alang-alang, rumput dan pohon-pohon tua dan liar, terdapat sebuah lapangan rumput bersih dan indah permai. Dan di tengah-tengahnya terdapat sebuah gunung kecil kecil yang ditumbuhi pohon-pohon liu, sedangkan bunga-bunga berwarna tumbuh di kaki gunung itu. Di sebelah kiri terdapat mulut gua yang lebar dan gelap. Inilah tempat tinggal Kanglam Sam-lojin. Benar-benar tempat yang indah menyenangkan. Di dekat guha terdapat sumber air Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
43 yang memancar keluar dan mengalir merupakan beberapa anak sungai kecil yang airnya berdendang tiada hentinya, bermain-main dengan batu-batu yang hitam dan halus. Burung-burung memenuhi pohon-pohon dan tiada hentinya berkicau.
Cin Hai merasa senang sekali berada di tempat itu. Biarpun mulut gua itu tampak gelap, tetapi setelah masuk ke dalam, terdapat penerangan matahari yang masuk melalui beberapa lubang di kanan kiri yang menembus atas gunung.
Semenjak hari itu, Cin Hai mulai menerima latihan silat tingkat permulaan dari ketiga tosu itu dengan bergantian. Sering sekali ketiga pendeta itu keluar dari situ dan pergi untuk berbulan-bulan lamanya, kadang-kadang hanya seorang yang pergi, kadang-kadang berdua, ada kalanya bertiga dan Cin Hai ditinggal seorang diri.
Kanglam Sam-lojin, tiga orang tua dari Kanglam itu adalah saudara-saudara seperguruan, maka kepandaian mereka berasal dari satu cabang persilatan yakni cabang persilatan Liong-san-pai. Hanya saja ketiganya mempunyai keistimewaan khusus, yakni seperti telah diketahui pada permulaan cerita ketika mereka bertempur menghadapi Hai Kong Hosiang pendeta pemelihara ular itu. Giok Im Cu yang tinggi kurus adalah ahli lweekeh (tenaga dalam) yang telah mencap tingkat tinggi hingga pada waktu bertempur, segala macam benda jika terjatuh di dalam tangannya berubah menjadi senjata ampuh, hingga karena mengandalkan tenaga lweekangnya, Giok Im Cu tak pernah memegang senjata. Dulupun di waktu menghadapi Hai Kong Hosiang ia cukup menggunakan sebatang ranting kayu. Sebaliknya daripada suhengnya Giok Yang Cu adalah seorang tosu tinggi besar yang memiliki tenaga luar (gwakang) yang luar biasa dan kulitnya telah dilatih sedemikian rupa sehingga menjadi kebal dan keras. Di samping itu, ia mahir sekali memainkan pedang yang digerakkan olehnya secara luar biasa cepat dan kerasnya. Tentu saja ilmu pedangnya adalah Liong-san-kiam-hoat yang memang terkenal mempunyai gerakan-gerakan yang cukup lihai.
Tosu ke tiga kalau dipandang begitu memang dapat menimbulkan pandangan rendah karena tubuhnya yang kecil itu kelihatan tak bertenaga. Tetapi janganlah orang memandang rendah padanya, karena tosu kate ini kepandaiannya tidak kalah oleh kedua suhengnya!
Keistimewaannya ialah melepas piauw (senjata rahasia) yang bersayap di kanan kiri sehingga disebut hui-piauw atau piauw terbang! Selain ini, ia memiliki ginkang yang paling sempurna di antara kedua suhengnya sehingga gerakannya lincah, cepat dan ringan sekali.
Biarpun Cin Hai bukan termasuk anak luar biasa yang mempunyai kecerdasan hebat, namun ia pun tidak sangat tumpul otaknya, dan baiknya ia memiliki ketekunan kepada sesuatu yang disukainya. Justeru ia suka ilmu silat dan semenjak dulu ia ingin sekali mempelajarinya.
Apalagi ketika ia sering menerima pukulan dan hinaan, keinginannya untuk belajar silat lebih bernafsu lagi. Kini sekaligus ia mendapat didikan dari tiga orang lihai tentu saja ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Tanpa mengenal lelah ia menerima pelajaran dan berlatih siang malam hingga kadang-kadang lupa makan lupa tidur.
Karena ketiga tosu itu memang bukan ahli mendidik dan pula karena mereka memberi pelajaran kepada Cin Hai hanya semata-mata karena merasa berhutang budi dan hendak membalasnya bukan berdasarkan kasih sayang seorang guru terhadap murid, maka mereka memberi pelajaran tanpa mengenal waktu dan tanpa memakai peraturan lagi! Mereka
berganti-ganti memberi pelajaran silat Liong-san-kun-hoat dengan cepat sekali, padahal Ilmu Silat Liong-san-pai ini mempunyai seratus delapan jurus dan setiap jurus mempunyai pecahan-pecahan sedikitnya tiga macam, hingga seorang anak-anak seperti Cin Hai yang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
44 menerima pelajaran ini secara bertubi-tubi mana dapat mengingatnya" Selain itu, Ilmu Silat Liong-san-pai bukanlah ilmu silat sembarangan yang dapat digerakkan oleh sembarang orang.
Untuk mempelajari satu jurus dengan masak dan sempurna saja membutuhkan latihan-latihan keras berhari-hari. Memang ketiga tosu itu karena penolakan Cin Hai yang tidak mau mengangkat mereka sebagai guru, membuat mereka menjadi kurang perhatian dan kurang mengacuhkan anak itu lagi. Mereka pikir bahwa jika anak itu diberi kepandaian aseli sampai sempurna, padahal ia bukan anak murid Liong-san-pai maka jika kelak menodai nama Liong-san-pai mereka tak berhak melarangnya, karena ia bukan anak murid Liong-san-pai.
Oleh karena tindakan ketiga tosu ini Cin Hai menjadi bingung sekali dan ia tidak dapat berlatih dengan baik. Baru saja ia mempelajari beberapa jurus dan sama sekali belum sempurna, lain tosu telah memberi pelajaran pula jurus-jurus berikutnya! Dengan demikian, maka jurus-jurus pertama yang belum dihafalnya benar-benar telah terlupa lagi!
Biarpun masih kecil, tetapi ternyata berkat ujar-ujar para cendekiawan dan ahli filsafat yang dipelajarinya dulu, ia menjadi perasa sekali dan sikap ketiga tosu itu dapat juga ditangkap dan dirasainya. Ia lalu memutar otaknya dan segera melakukan hal yang cerdik juga. Dengan diam-diam ia menggunakan kepandaiannya menulis dan menggambar untuk mengumpulkan semua jurus-jurus yang dipelajarinya itu di atas kertas! Tiap kali menerima pelajaran jurus baru, ia segera mengingat baik-baik dan malamnya ketika berada seorang diri dalam kamarnya di gua itu, ia segera mencatat semua gerak tipu dan menggambar gerakan-gerakan yang dilakukan oleh tosu yang mengajarnya tadi!
Demikianlah dua tahun telah lewat dan dari seratus delapan jurus Ilmu Silat Liong-san-pai itu telah dapat ditulis dan dilukis sampai lebih dari delapan puluh jurus oleh Cin Hai. Tetapi, sebenarnya kalau disuruh berlatih silat, paling banyak ia hanya bisa mainkan dua puluh jurus dengan agak baik, belum sempurna betul. Ketiga tosu melihat ketololan anak itu, diam-diam merasa girang karena mereka tak perlu khawatir lagi, tetapi di luar mereka memperlihatkan muka tak senang dan sering memaki-maki Cin Hai yang dikatakan tolol dan bodoh.
Kelambatan ini sebetulnya bukan karena Cin Hai terlalu tolol tetapi adalah karena waktunya banyak ia pergunakan untuk memperbaiki catatan dan lukisannya yang disimpannya baik-baik secara rahasia.
Seperti semua anak-anak di dunia ini, seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai masih haus akan permainan dan kesenangan. Anak-anak lain tentu akan mencari kawan-kawan untuk bermain-main atau mencari segala macam barang permainan untuk menyenangkan hati, tetapi bagi Cin Hai semua itu tak mungkin. Ia berdiam di dalam gua dan kalau ia keluar dari gua, yang ada hanya hutan betantara yang penuh pohon-pohon besar dan binatang-binatang buas.
Pernah terjadi ketika ia pada beberapa bulan yang latu pergi agak jauh dari gua dan memasuki hutan yang agak gelap tiba-tiba seekor harimau yang besar menghadang jalan pulangnya! Cin Hai terkejut sekali dan kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar-debar.
Tetapi anak itu dapat menetapkan hatinya dan berlaku waspada. Sambil mengeluarkan gerengan hebat, harimau itu loncat menerkam. Pada waktu itu Cin Hai telah mempelajari jurus Ilmu Silat Liong-san-pai. Melihat datangnya terkaman harimau otomatis kakinya bergerak dengan tipuan Lo-wan-tong-ki atau Monyet Tua Meloncati Cabang hingga ia terhindar dari terkaman harimau. Setelah berhasil berkelit, Cin Hai segera lari hendak pergi dari situ, tetapi terdengar auman keras dan harimau itu menubruk dari belakang!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
45 Biarpun matanya tidak melihat, namun ternyata latihan-latihan silat yang dipelajarinya telah membuat telinganya dapat menangkap angin sambaran tubuh harimau itu. Cepat ia berkelit sambil meloncat ke samping, dan dengan gerakan membalik, ketika harimau itu lewat di sampingnya, ia memukul dengan telapak tangan terbuka ke arah lambung harimau!
Tetapi apakah arti pukulan tangan seorang kanak-kanak yang baru saja berlatih silat kurang dari dua tahun" Harimau itu sedikit pun tidak merasa sakit dan begitu keempat kakinya menginjak tanah, cepat tubuhnya berbalik dan meloncat menubruk lagi! Cin Hai benar-benar terdesak dan ia hanya menggunakan segala kepandaian yang dipelajarinya untuk bergerak ke sana-sini. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa biarpun baru mempelajari beberapa belas jurus dari Liong-san-kun-hoat, ia telah dapat bertahan dari seekor harimau besar sampai beberapa lama! Kalau ia tidak memiliki kepandaian silat itu, tentu sekali tubruk saja ia sudah menjadi mangsa binatang itu.
Tiba-tiba Cin Hai teringat akan pelajaran meloncat yang didapatnya dari Giok Keng Cu. Tosu kate itu adalah seorang yang suka dipuji-puji dan tahu pula akan adatnya, maka Cin Hai sengaja memuji-mujinya sehingga tosu itu lalu menurunkan semacam kepandaian loncat tinggi kepadanya! Ilmu loncat ini adalah pecahan dari ilmu lari loncat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang-hu yang jika sudah dipelajari secara sempurna dapat digunakan untuk meloncat jauh sambil mempergunakan kedua tangan sebagai imbangan badan sehingga
tampaknya seperti melayang! Tetapi tosu kate itu hanya memberi pelajaran di bagian loncat tinggi saja yakni tipu gerakan Cian-tiong-seng-thian (Naga Naik ke Langit).
Demikianlah, setelah teringat akan pelajaran meloncat ini, Cin Hai perlahan-lahan lalu menggeser kakinya dan tiap kali berkelit ia sengaja meloncat mendekati sebatang pohon yang mempunyai cabang rendah dan berada di atas kepalanya. Ketika harimau itu meloncat lagi menubruknya untuk kesekian kalinya, Cin Hai menerobos ke bawah tubuh harimau yang menyambar itu dan secepatnya ia lalu meloncat ke atas cabang pohon di atasnya dengan gerakan Cian-liong-seng-thian yang sudah dipelajarinya itu! Ia berhasil dan tubuhnya melayang ke atas cabang, lalu cepat ia menggunakan tenaga kaki mengenjot diri pula dari cabang itu ke cabang yang lebih tinggi. Untung sekali ia berbuat demikian, karena baru saja ia meninggalkan cabang terendah itu, tiba-tiba si harimau yang tahu maksud calon mangsanya yang hendak lari, segera meloncat pula ke atas cabang itu yang segera patah sambil mengeluarkan bunyi keras! Tubuhnya segera jatuh lagi ke atas tanah dan harimau itu lalu berdongak memandang ke arah Cin Hai yang telah berada di cabang tinggi dengan aman.
Anak itu dengan geli dan senang mentertawakan harimau itu, memaki-makinya, meludahinya dan melemparinya dengan cabang-cabang kering yang ia dapatkan di atas pohon-pohon!
Harimau itu mengaum-ngaum dan meraung-raung keras sekali untuk melampiaskan hatinya yang marah dan kecewa.
Untuk beberapa lamanya binatang itu mendekam di bawah pohon, menanti calon mangsanya itu sambil kadang-kadang mendongakkan kepalanya memandang ke atas dengan hidung
kembang-kempis. Tetapi Cin Hai tetap memaki-maki bahkan anak itu lalu membuang air kencing di atas kepala harimau itu! Entah karena jengkel dan kesal menanti, atau karena tersiram air kencing itu, si harimau segera berdiri dan setelah berdongak sambil mengaum keras dan panjang sekali lagi, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan tindakan perlahan.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
46 Cin Hai tidak berani segera turun karena takut kalau-kalau harimau itu masih bersembunyi di dekat situ. Ia menanti lagi sampai hampir setengah hari, barulah ia berani turun dan lari pulang ke gua. Semenjak pengalamannya itu, Cin Hai tahu akan kegunaan kepandaiannya maka ia mempergiat latihannya dan ia tidak berani lagi meninggalkan gua terlalu jauh.
Pada suatu hari, ia ditinggalkan oleh ketiga tosu itu. Seperti biasa, jika merasa kesepian, Cin Hai lalu bermain-main dengan sulingnya. Ia berdiri di mulut gua lalu meniup sulingnya dengan asyik. Anak itu memang mempunyai bakat bermain suling. Selama berdiam di gua itu sampai dua tahun, kepalanya selalu digundul karena penyakit kudis itu selalu timbul tiap kali rambutnya tumbuh agak panjang. Juga pakaiannya masih yang dulu, yakni jubah hwesio yang terlalu besar itu!
Ketika ia tengah asyik meniup suling, dari jauh datanglah setitik bayangan merah yang makin lama makin membesar. Tahu-tahu bayangan itu setelah dekat merupakan seorang wanita berpakaian serba merah. Ia berdiri di depan gua, tak jauh dari tempat Cin Hai berdiri, dan memandang dengan mata tak berkedip dan tubuh tak bergerak. Cin Hai juga melihat
kedatangan orang itu, tetapi ia tetap saja menyuling tanpa ambil peduli sama sekali, karena yang datang adalah seorang. wanita asing. Wanita itu adalah seorang gadis yang masih muda, paling banyak berusia delapan belas tahun. Wajahnya luar biasa cantik jelitanya dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar dan mulut yang manis dengan sepasang bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah. Pakaiannya merah dan bersih sekali, juga sepatunya berkembang indah. Di punggungnya tampak gagang pedang.
Dara baju merah itu agaknya tertarik sekali oleh tiupan suling Cin Hai dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Memang Cin Hai pandai meniup suling dan ia tahu banyak akan lagu-lagu klasik karena gurunya yang mengajar dulu, yaitu, Kui-sianseng, memang ahli menyuling dan dengan mendengar gurunya itu bersuling, dapatlah Cin Hai meniru lagunya.
Makin lama makin merdu dan merayu suara suling Cin Hai sehingga Dara Baju Merah itu tanpa terasa pula lalu berjalan mendekati dan duduk di atas sebuah batu karang hitam. Melihat gadis itu duduk di dekatnya dan melihat pula pedang di punggung gadis itu, Cin Hai menjadi tertarik sekali dan menghentikan tiupan sulingnya.
Dara muda itu kecewa dan berkata, "Hwesio cilik! Tiupan sulingmu bagus sekali,
mainkanlah lagi beberapa lagu untukku, nanti kuberi hadiah uang perak." Suaranya halus dan merdu dan ketika bicara kedua matanya bergerak-gerak indah.
Cin Hai merengut ketika disebut "hwesio cilik". Ia menjawab tak senang. "Kira-kira dong kalau memanggil orang! Aku bukan hwesio kecil."
Melihat anak itu marah, Dara Baju Merah itu tersenyum geli. Ia memang merasa aneh dan ganjil bertemu dengan seorang anak kecil berpakaian hwesio dan kepalanya gundul berada di tengah-tengah hutan seorang diri, dan anak ini pandai bersuling pula! Kini melihat lagak Cin Hai ia makin tertarik.
"Saudara kecil, kalau kau bukan seorang hwesio mengapa kepalamu gundul dan pakaianmu jubah hwesio?"
Baru kali ini Cin Hai merasa tidak senang ada orang menyebutnya gundul dan mencela pakaiannya. "Aku gundul kepalaku sendiri, apa hubungannya dengan kau" Kau cantik juga cantikmu sendiri, perlu apa kau mencela keburukan orang?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
47 Biarpun kata-kata Cin Hai itu kasar, tetapi karena anak itu menyebutnya cantik, Dara Baju Merah itu tidak marah, bahkan memperlihatkan senyum yang agaknya akan membuat hati Cin Hai jungkir balik kalau saja ia sudah dewasa. Tetapi senyum nona itu hanya membuat Cin Hai merasa senang saja, karena ia menganggap nona itu berhati sabar dan tidak mudah marah.
"Engko cilik, kalau aku berkata salah, kau maafkanlah. Sekarang aku mohon padamu, tiuplah lagi sulingmu, aku suka sekali mendengarnya."
"Boleh, asal saja kau suka menari menurut lagu sulingku."


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan bertanya dengan suara kaget, "Dari mana kautahu bahwa aku pandai menari?" Pertanyaan ini mengandung ancaman agar Cin Hai mengaku.
Cin Hai merasa heran dan menjawab, "Siapa yang tahu kalau kau pandai menari" Hanya menurut pendapatku, seorang wanita yang cantik jelita seharusnya pandai menari."
Maka tertawalah Gadis Baju Merah itu. "Baiklah, kautiup sulingmu dan aku menari
untukmu." Cin Hai girang sekali. Ia berdiri di tengah-tengah mulut gua yang gelap sehingga pakaiannya yang putih dan kepalanya yang gundul nampak nyata di depan latar belakang gua hitam gelap itu. Ia mulai meniup suling sebaik-baiknya. Gadis Baju merah yang cantik itu melolos pedangnya dan mulai menari pedang.
Cin Hai sambil menyuling memandang gadis itu dan ia bagaikan kena pesona. Bukan main indah tarian itu. Gerakannya halus, lemah gemulai dan seakan-akan tarian seorang bidadari!
Pedang di tangannya itu menambah keindahan tarian dan membuatnya nampak cantik dan gagah sekali!
Dara Baju Merah itu memulai tariannya dengan perlahan dan halus gerakannya, dengan gerakan-gerakan leher yang lemas, diikuti gerakan tubuhnya yang indah menggairahkan.
Tetapi makin lama gerakannya makin cepat menuruti irama suling yang ditiup Cin Hai dan Cin Hai meniup sulingnya dalam lagu perang, maka tubuh Dara Baju Merah itu lenyap dan yang tampak hanyalah gundukan sinar pedang yang putih dengan sinar merah dari bajunya!
Cin Hai kagum sekali dan setelah merasa betapa lehernya kaku karena tiada hentinya meniup suling, baru ia berhenti dan Dara Baju Merah itu pun menghentikan tariannya yang luar biasa dan indah itu.
"Hebat sekali permainan sulingmu!" dengan senyum manis sekali gadis itu memuji.
"Lebih hebat adalah tarianmu!" Cin Hai memuji sambil memandang dengan matanya yang lebar.
"Kau menyukai tarianku?" tanya gadis itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
48 "Suka sekali, jauh lebih daripada sukamu kepada suara sulingku" kata Cin Hai cepat-cepat dan sejujurnya.
Gadis itu tersenyum. "Engko kecil, siapakah namamu?"
Cin Hai menjawab sambil tersenyum juga, "Namaku Cin Hai, tetapi orang tua itu lebih suka menyebutku Tolol atau Bodoh!"
Gadis itu untuk beberapa lama menatap wajahnya memandang kepalanya yang gundul dan besar lalu ke arah pakaiannya yang terlalu besar itu. Setelah memandang, ia lalu menganggukkan kepalanya dan berkata pasti,
"Memang kau kelihatan tolol dan bodoh!"
Cin Hai mengangguk-angkuk dan berkata seperti lagak seorang tua, "Memang aku tolol dan bodoh, pula buruk rupa, sedangkan kau pandai dan cantik. Tetapi harus diingat, bodoh itu dasar kepintaran dan buruk itu tempat akhir kecantikan."
Si Nona mengerutkan alisnya yang kecil memanjang. "Apa maksudmu" Aku tidak mengerti."
"Bukankah sebelum pintar harus bodoh dulu" Nah, karena itulah maka pintar itu berdasar pada bodoh. Dan kecantikan macam apakah yang takkan lenyap dan berakhir dengan
keburukan" Lihat saja cahaya matahari berganti malam gelap lagi buruk. Lihat saja kembang segar indah yang menjadi layu dan membusuk, lihat saja wajah nenek-nenek keriput ompong padahal tadinya mereka itu nona-nona cantik jelita."
"Stop segala omongan ini!" Nona Baju Merah itu berseru ngeri mendengar tentang nona cantik yang berubah menjadi nenek keriput ompong, "kau anak kecil bicara seperti pendeta, dari siapakah kau mempelajari semua ini?"
Cin Hai tertawa. "Dari ujar-ujar para nabi dan orang cerdik pandai."
"Jadi kau ini benar-benar murid pendeta yang tak makan daging?"
Cin Hai cepat-cepat menggeleng kepalanya, "Aku bukan pendeta, dan tentang pakaian?" ia menundukkan kepalanya dan memandang pakaiannya, "apa daya, hanya satu yang terpaksa kupakai."
Dara Baju Merah itu tertawa geli, sepasang matanya yang seperti bintang pagi itu berseri-seri, karena ia suka sekali kepada anak yang gundul, lucu dan pandai bersuling ini.
"Engko gundul, kau sebenarnya tinggal dengan siapakah di tempat liar ini?"
"Aku dibawa oleh orang tua yang berjuluk Kang-lam Sam-lojin."
"Ahh" Jadi mereka itu suhu-suhumu?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
49 Cin Hai cepat menggeleng kepalanya, "Bukan, bukan guru, hanya kenalan saja. Dan kau ini siapakah" Aku pernah mendengar tentang wanita berbaju merah yang disebut Ang I Niocu?"
Nona itu meloncat dengan kaget. "Siapa yang memberi tahu engkau tentang Ang I Niocu?"
Cin Hai menghela napas. "Semua orang agaknya takut kepada Ang I Niocu, dia itu orang macam apakah" Bahkan kau sendiri juga takut agaknya. Aku mendengar tosu-tosu itu bercerita."
Gadis itu tersenyum pula. "Kau betul-betul suka akan tarianku tadi?"
Cin Hai mengangguk.
"Kalau begitu, mari kita tukar saja. Kau kuberi pelajaran menari dan aku ingin sekali belajar menyuling."
Cin Hai mengangkat mukanya dan memandang wajah yang berkulit halus putih kemerah-merahan itu. Sungguh wajah yang luar biasa cantiknya. Maka anak itu berseri-seri karena mendengar bahwa orang hendak memberi pelajaran menari padanya. "Boleh, boleh!" katanya.
"Tetapi siapakah namamu, Nona?"
Sambil tersenyum gadis itu menjawab, "Akulah Ang I Niocu."
Kini Cin Hai lah yang terkejut dan mukanya berubah. Tetapi sambil tertawa geli gadis itu berkata, "Mengapa" Takutkah juga kau kepada Ang I Niocu" Apakah mukaku begitu
menyeramkan?"
"Tidak, tidak!" Cin Hai cepat-cepat menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Mukamu halus dan cantik. Aku tidak takut kepadamu."
"Dan tidak takut kepada Ang I Niocu?" dara itu menegaskan.
"Dan tidak takut kepada Ang I Niocu!" Cin Hai berkata tetap.
"Kalau begitu, lekas kaukumpulkan barang-barangmu. Sekarang juga kita pergi."
Cin Hai memandang kepada wajah yang halus cantik dan mata yang bening bersinar tajam itu. Ia memandang dengan muka bodoh dan berkata,
"Barang-barangku?" Ia memandang ke arah suling yang dipegangnya dan pakaian hwesio yang dipakainya. "Barangku hanya suling dan pakaian ini."
Pandangan mata Ang I Niocu mengandung iba. "Jadi kau tidak berbohong ketika tadi berkata bahwa kau tidak mempunyai lain pakaian?"
"Membohongi orang lain berarti membohongi diri sendiri," jawab Cin Hai meniru bunyi sebuah ujar-ujar, "dan aku tidak mau membohongi diriku sendiri." Ia lalu mengosok-gosok kepalanya yang gundul.
"Kalau begitu mari kita berangkat!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
50 Cin Hai mengangguk.
Tetapi pada saat itu, dari bawah gunung melayang naik tiga bayangan orang. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga sebentar saja, sebelum Cin Hai dan Dara Baju Merah pergi jauh, tiga bayangan itu telah tiba di situ. Mereka ini bukan lain ialah Kang-lam Sam-lojin yang baru pulang dari perantauan mereka.Melihat bahwa Cin Hai berjalan pergi dengan seorang gadis, mereka segera memanggil dengan suara keras. Tetapi Cin Hai hanya menoleh sambil tertawa lalu melambaikan tangan sebagai salam berpisah! Tentu saja Kang-lam Sam-lojin merasa penasaran dan segera mengejar. Karena Ang I Niocu dan Cin Hai hanya berjalan biasa saja, dengan beberapa loncatan mereka telah dapat menyusul.
"Hai, Tolol, kau hendak minggat ke mana?" tegur Giok Yang Cu yang brewok dan tinggi besar dengan suara mengguntur.
"Ji-totiang, teecu hendak pergi belajar menari!"
"Apa" Belajar menari" Kepada siapa dan di mana?" tanya Giok Keng Cu si pendek dengan heran.
"Belajar kepada Nona ini, dia pandai sekali menari dan belajar di mana saja, di sepanjang jalan, bukankah begitu, Nona?" Ang I Niocu hanya tersenyum manis dan mengangguk-anggukkan kepala. Ketiga tosu itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan penuh perhatian.
Tiba-tiba ketiganya saling berbisik dan Giok Im Cu lalu berkata dengan hati-hati.
"Kami bertiga pernah mendengar nama Ang I Niocu, apakah sekarang kami berhadapan dengan Nona yang gagah itu?"
"Sam-wi Totiang, kalian memang mempunyai pandangan yang tajam. Aku betul Ang I
Niocu." Kalau dilihat sungguh mengherankan, karena tiga tokoh kang-ouw yang telah berusia lanjut ini begitu mendengar nama Ang I Niocu lalu nyata sekali tampak terkejut dan mereka dari jauh mengangkat tangan memberi hormat.
"Sungguh pinto merasa terhormat sekali mendapat kunjungan Lihiap. Tidak tahu keperluan apakah yang membawa Lihiap sampai datang di tempat kami yang sunyi ini?"
Ang I Niocu tersenyum dan wajahnya yang jelita menjadi makin manis ketika sepasang lesung pipit menghias sepasang pipinya yang kemerahan. Ia lalu bersyair sambil memandang ke langit.
Berkawan sebatang pedang, Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati. Kau masih bertanya maksud keperluan" Tanyalah kepada burung di puncak pohon, Terbang ke sini berkehendak apa"
"Bagus, bagus sekali!" Cin Hai bersorak girang. "Niocu, syairmu ini bagus sekali, biar aku nanti buatkan lagunya yang merdu!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
51 Ang I Niocu mengangguk-angguk sambil tersenyum manis kepada Cin Hai lalu menjawab kepada tiga tosu itu,
"Totiang, seperti kukatakan dalam syairku tadi, aku hanya kebetulan lewat saja di sini dan bertemu dengan engko cilik ini. Kami telah bermufakat untuk saling menukar kepandaian tari dan permainan suling!"
Kang-lam Sam-lojin tidak senang mendengar keterangan ini, karena betapapun juga, mereka telah menganggap Cin Hai sebagai murid yang tentu saja tidak boleh diambil orang lain sedemikian mudahnya yang berarti akan merendahkan derajat mereka. Akan tetapi terhadap Ang I Niocu yang mempunyai nama besar, mereka masih ragu-ragu untuk menggunakan
kekerasan. Akan tetapi, Giok Keng Cu si pendek gesit yang memang agak berwatak sombong, melihat bahwa Ang I Niocu tak lain hanyalah seorang dara muda cantik jelita yang berkulit halus dan bersikap lemah lembut lalu memandang rendah sekali.
"Eh, Ang I Niocu! Banyak orang bilang bahwa kau adalah seorang tokoh dunia kang-ouw yang gagah dan namamu telah menggemparkan empat penjuru. Tidak tahunya hanyalah
seorang anak muda yang masih hijau dan tidak tahu aturan kang-ouw! Ataukah kau sengaja tidak memandang mata kepada kami tiga orang tua dan berbuat kurang ajar?"
Sungguhpun Ang I Niocu tampaknya baru berusia tujuh belas atau delapan belas tahun saja, tetapi sebenarnya ia telah berusia dua puluh tahun dan selama lima tahun lebih namanya telah menggegerkan dunia kang-ouw karena selain kepandaiannya yang luar biasa, juga ia terkenal sebagai seorang dara yang berani dan dapat menyimpan perasaannya. Kini mendengar betapa orang memandang rendah kepadanya, ia hanya tersenyum manis, karena biarpun Giok Keng Cu memandang rendah, namun persangkaan kakek pendek itu bahwa ia masih sangat muda merupakan pujian baginya! Wanita mana di dunia ini yang tak ingin disebut muda dan ditaksir jauh lebih muda dari usianya yang sebetulnya.
Karena inilah maka Ang I Niocu dengan suara tetap merdu dan sabar bertanya,
"Totiang, bicaramu agak berlebihan. Mengapa kauanggap aku tidak memandang kalian orang tua dan berbuat kurang ajar?"
"Anak tolol itu adalah murid kami, mengapa kau tanpa minta ijin hendak menculiknya begitu saja" Bukankah itu melanggar aturan namanya?" berkata Giok Ken Cu dengan marah.
Sebelum Ang I Niocu menjawab, Ci Hai mendahuluinya dengan suaranya yang nyaring.
"Eh, eh, sejak kapan Totiang memungut teecu sebagai murid" Harap Totiang ingat bahwa teecu bukanlah murid Totiang, maka tidak baik membohong kepada Niocu!"
Sementara itu, Ang I Niocu yang tadinya menyangka bahwa Cin Hai yang tadi
membohonginya, kini melihat betapa anak gundul itu berani berkata sedemikian rupa terhadap tosu itu, menjadi lega karena menganggap bahwa anak ini benar-benar berhati tabah dan jujur. Maka ia tertawa girang sambil memandang muka Giok Keng Cu yang menjadi Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
52 kemerah-merahan karena malu dan untuk beberapa lama tidak dapat menjawab kata-kata Cin Hai.
Melihat keadaan sutenya yang terdesak, Giok Yang Cu yang tinggi besar berkata keras,
"Ang I Niocu! Betapapun juga, tidak boleh kau membawa anak itu begitu saja. Biarpun dia bukan murid kami, tetapi dia telah ikut kami dan tidak boleh diambil oleh orang lain tanpa ijin kami!"
Giok Yang Cu sengaja berkata keras karena ia hendak menghilangkan rasa malu yang diderita oleh sutenya, apa lagi memang ia tidak puas melihat sikap Ang I Niocu dan Cin Hai yang sama sekali tidak mengindahkan mereka bertiga!
"Kalian ini orang-orang tua jangan bicara seenaknya saja," kata Ang I Niocu yang mulai merasa sebal. "Siapa yang menculik anak ini" Ia hendak ikut aku dengan suka rela dan aku pun tidak keberatan, habis kalian mau apa?"
Kini Giok Im Cu yang menjawab setelah mengeluarkan suara melalui lubang hidungnya seperti biasa dikeluarkan orang yang hendak menghina lawan.
"Hm, Ang I Niocu, melihat sikapmu maka benarlah kata para sahabat di dunia kang-ouw bahwa kau adalah seorang yang tinggi hati dan sombong. Kalau kau berkeras hendak membawa anak ini, biarlah kami bertiga menerima dulu petunjuk-petunjuk darimu!" Ini adalah kata-kata yang maksudnya menantang atau mengajak pibu (mengadu kepandaian).
"Begini lebih bagus, tak membuang kata-kata dan obrolan kosong!" kata Ang I Niocu dengan senyum manis dan wajahnya berseri gembira ketika ia mencabut pedang dari pinggangnya.
Ketiga pendeta tua itu pun lalu mencabut senjata masing-masing. Giok Im Cu memungut sebatang ranting kayu bawah pohon, Giok Yang Cu mencabut pedangnya dan Giok Keng Cu meloloskan goloknya. Melihat mereka hendak bertempur, Cin Hai yang memang paling doyan melihat pertandingan silat, lalu duduk di bawah pohon besar. Ketika melihat betapa ketiga tosu semua mencabut senjata, ia segera berkata,
"He, Sam-wi Totiang, apakah kalian bertiga hendak maju bersama dan mengeroyok seorang gadis muda seperti Ang I Niocu" Aneh, sungguh aneh!"
Ang I Niocu sambil tertawa berkata, "Hai-ji (Anak Hai), biarlah mereka maju bertiga sekaligus agar gembira kau menonton!"
Sebetulnya ketiga tosu tadi merasa ragu-ragu. Untuk maju seorang saja, mereka takut kalau-kalau tidak kuat melawan Nona Baju Merah yang sudah tersohor kelihaiannya ini, tetapi maju mengeroyok pun mereka merasa sungkan sekali. Kini mendengar kata-kata Cin Hai, mereka otomatis tidak berani maju bersama. Akan tetapi setelah mendengar kata-kata Ang I Niocu, kegembiraan mereka timbul karena jelas bahwa gadis itu sendiri yang menantang mereka untuk maju bersama, hingga mereka tak perlu sungkan-sungkan lagi!
Akan tetapi, Giok Im Cu tetap berlaku sungkan dan berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
53 "Ang I Niocu, benar-benarkah kau menantang kami untuk maju bertiga" Apakah kau nanti tidak akan mengatakan kami keterlaluan, tiga orang tua mengeroyok seorang muda?"
"Totiang, kau majulah saja bertiga, untuk apa berlaku seji-seji (sungkan) segala?" kata Ang I Niocu sambil memalangkan pedang di dada.
Kini marahlah ketiga tosu itu dan mereka maju bersama mengeroyok dengan serangan-serangan mereka yang sangat berbahaya! Tetapi begitu pedangnya bergerak, sekaligus tiga senjata lawan dapat tertangkis oleh Ang I Niocu. Melihat gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya ini, ketiga orang tosu itu terkejut sekali. Mereka lalu memainkan senjata mereka dengan hati-hati sekali sambil mengerahkan ilmu silat mereka dari cabang Liong-san-pai. Mereka sengaja mengurung nona itu dari tiga jurusan, merupakan kepungan segi tiga yang sebentar-sebentar berubah gerakannya, karena mereka bertiga selalu berpindah-pindah tempat! Inilah keistimewaan Kang-lam Sam-lojin yang dapat maju bersama dengan secara kompak sekali.
Akan tetapi, dengan tenang dan senyum manisnya tak pernah meninggalkan bibir, Ang I Niocu menghadapi mereka dengan pedangnya yang luar biasa sekali gerakannya. Gadis ini seakan-akan tidak sedang menghadapi tiga orang yang mengeroyoknya dari tiga penjuru, karena ia tak pernah mengubah kedudukan tubuhnya yang menghadap ke utara, tetapi ujung pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga tiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis.
Bahkan ia masih sempat mengirim tusukan dan serangan-serangan pembalasan yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai Yang melihat jalannya pertempuran itu, menahan napas saking kagumnya. Ia melihat betapa tiga orang tosu itu berputar-putar dan tubuh mereka tak tampak lagi merupakan tiga bayangan orang yang berkelebat menjadi putaran cepat sekali. Tetapi di tengah lingkaran itu ia melihat Ang I Niocu bergerak-gerak dengan tenang dan dengan gerakan indah, bahkan dalam pandangannya gadis cantik itu tidak seperti orang sedang bertempur, karena ternyata bahwa Nona Baju Merah itu sedang menari-nari! Tarian yang indah dengan gaya yang lemas dan sedap dipandang.
Ia tidak tahu bahwa itulah limu Pedang Tarian Bidadari yang tidak ada keduanya di dunia ini!
Tarian pedang ini dilakukan dengan gerakan halus dan tampaknya lambat karena memang kecepatannya hanya terdapat dari tenaga dan, kecepatan lawan saja hingga Ang I Niocu sendiri tak perlu mengeluarkan tenaga dan kecepatan.
Tiap kali serangan lawan yang datang dengan gerakan cepat sekali, cukup ia sentuh sedikit dengan ujung pedang dan senjata lawan itu tentu menyeleweng arahnya, sedangkan dengan pinjaman tenaga kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat dipentalkan dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balisan! Juga ia melakukan tarian luar biasa ini dengan tenaga lweekang yang tinggi hingga tiap kali ujung pedangnya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa tangan mereka tergetar!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
54 Cin Hai menonton dengan mata terebelalak kagum dan mulut ternganga. Karena asyiknya menonton pertempuran luar biasa itu, ia tidak merasa betapa seekor lalat beterbangan menyambari mukanya.
Pikiran anak ini terlalu senang dan gembira karena ia mendapat kenyataan bahwa gadis baju merah yang berlaku manis kepadanya itu ternyata memiliki kepandaian yang lebih hebat dan lihai dari pada Hai Kong Hosiang, hwesio gundul yang memelihara ular itu.
Ketika Kong Hosiang dulu dikeroyok oleh tiga tosu ini di depan Ban-hok-tong, hwesio itu tidak kuat melawan mereka sehingga akhirnya terpaksa melepaskan ular-ularnya.
Tetapi kini, biarpun dikeroyok dengan hebat, ternyata Ang I Niocu masih sempat menari-nari dengan bibir tersenyum. Tiba-tiba lalat yang beterbangan dan menyambar-nyambar hidung Cin Hai itu tersesat dan salah masuk ke dalam mulut Cin Hai yang ternganga! Anak itu baru sadar dan dengan marah ia menyumpah-nyumpah dan meludah-ludah serta memaki-maki lalat itu. Lalu ia ingat akan sesuatu. Tarian yang dilihatnya ketika gadis itu menari di depan gua.
Sayang kalau tarian seindah ini tidak dihiasi dan diiringi nyanyian suling.
Maka ia lalu meniup sulingnya meniup lagu yang merdu dan bernada tinggi.
Benar saja, ketika mendengar suara suling, Ang I Niocu tertawa senang dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah makin hebat! Apalagi ketika Cin Hai meniup sulingnya dengan nada meninggi dan irama cepat, maka gadis itu bersilat makin cepat lagi hingga sebentar saja orang dan pedang lenyap terganti gundukan sinar putih dan di tengah-tengah gundukan sinar itu tampak warna merah pakaiannya!
Tentu saja perubahan ini membuat ketiga tosu itu terkejut sekali. Hampir saja ujung pedang gadis itu berhasil melukai mereka dengan cepat dan tak terduga serta dalam waktu yang bersamaan hingga ketiganya meloncat mundur!
"Ang I Niocu, kau memang lihai sekali! Kini kami mengakui bahwa ilmu pedangmu benarbenar lihai," kata Giok Yang Cu dengan jujur.
"Kau memang cukup pantas menjadi guru anak tolol ini, Nona," kata Giok Keng Cu dengan suara mengandung ejekan.
"Hem, Cin Hai, kalau kau baik-baik belajar silat dari Ang I Niocu, kau tentu akan mencapai kemajuan hebat," kata Giok Im Cu.
Tetapi Cin Hai tidak mempedulikan semua omongan itu karena hatinya sangat gembira melihat betapa Nona Baju Merah itu ternyata benar-benar lihai dan berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada tiga tosu itu digabung menjadi satu!
Sementara itu, Ang I Niocu mendengar kata-kata ketiga pendeta, lalu berkata sambil tetap tersenyum,
"Sam-wi Totiang, aku bukan guru engko cilik ini dan juga tidak akan menjadi gurunya."
Mendengar kata-kata ini, Cin Hai mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan
berkata cepat, "Betul, betul! Ada nyanyian kuno menyatakan bahwa guru yang terpandai Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
55 berada di dalam diri sendiri! Nona perkasa ini belajar menyuling dari aku, dan aku sendiri belajar menari darinya, siapakah yang disebut guru dan siapa murid?" Ang I Niocu tertawa manis mendengar ucapan ini dan keduanya lalu menjura ke arah tiga tosu yang
memandangnya dengan bengong, lalu keduanya berjalan dengan perlahan meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa bulan lamanya mengikuti Ang I Niocu, maka mengertilah Cin Hai bahwa ketika dara baju merah itu dulu bersyair di depan Kang-lam Sam-lojin, maka itu adalah syair yang memang menggambarkan keadaan hidupnya. Gadis itu tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkelana, merantau bagaikan seekor burung, terbang ke sana ke mari, tanpa maksud atau tujuan tertentu dan pergi ke mana saja mengandalkan kaki dan hati!
Akan tetapi, karena Cin Hai juga sebatangkara dan tidak mempunyai tujuan hidup tertentu, maka perantauan ini tidak menyusahkan hatinya. Bahkan ia merasa bahagia sekali karena Ang I Niocu benar-benar baik sekali kepadanya. Wanita muda itu selain pandai sekali menari, juga pandai bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Setiap waktu bila mereka singgah di tempat yang baik dan menyenangkan, Ang I Niocu lalu meminjam suling Cin Hai dan mulai belajar meniupnya dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk anak gundul itu. Sebaliknya dengan gembira Cin Hai mulai mempelajari tari yang sebenarnya bukan lain adalah ilmu silat luar biasa yang disebut Sianli-kun-hwat atau Ilmu Silat Bidadari. Tetapi mula-mula ia mengalami kesukaran karena betapapun juga, ia adalah seorang anak laki-laki dan tubuhnya tidak selemas tubuh perempuan, padahal Sianli-kun-hwat membutuhkan tubuh yang lemas dan gaya yang lemah lembut. Akan tetapi dengan sabar dan telaten Ang I Niocu melatih lweekang kepada Cin Hai hingga tenaga anak gundul ini bertambah cepat sekali, apalagi juga memberi latihan Ilmu Jui-kut-kang yaitu ilmu untuk melemaskan badan hingga Cin Hai dapat juga memainkan Sianli-kun-hwat, biarpun masih agak kaku. Sementara itu Cin Hai tidak lupa untuk mempelajari Ilmu Silat Liong-san-kun-hwat yang telah dicatat dan dilukis sebanyak depalan puluh jurus itu!
Melihat bahwa Cin Hai mempelajari Liong-san-kun-hwat, Ang I Niocu hanya tersenyum dan berkata,
"Jangankan baru kaupelajari delapan puluh jurus, biarpun kau mempelajari sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini takkan mampu mengalahkan Sianli-kun-hwat."
Cin Hai juga tersenyum. Ia maklum bahwa Ang I Niocu takkan melarangnya karena memang dara itu tak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san-kun-hwat sampai hafal semua delapan puluh jurus yang telah dicatatnya.
Telah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan selalu bertemu dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat ia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki. Akan tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga ia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka biarpun ia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tetapi ia dengan sungguh hati hendak menurunkan Sianli-kun-hwat yang morupakan tarian indah dan sangat digemari oleh Cin Hai Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
56 itu. Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, ia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar.
Apalagi nyanyian To-tik-khing sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat daripada kitab peninggalan Nabi Locu yang bijaksana itu.
Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandangan matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan ia akan Loan Nio, Ie-ienya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya. Akan tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga ia maklum bahwa rasa suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatangkara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.
Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya. Ia teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka ia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu tentang kenakalan-kenakalan Kwee Tiong dan adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.
Akan tetapi ketika Cin Hai bertanya tentang riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.
"Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, kau berlatih meniup suling, sedangkan aku berlatih menari."
Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia memandang Cin Hai dengan rasa terima kasih terkandung dalam sinar matanya, lalu ia mengambil suling itu dan mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai bergerak menari! Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai. Biarpun pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun ia baru saja dapat memainkan beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat! Maka dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sianli-kunhwat itu.
JUGA karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga kalau orang kurang latihan tentu takkan sanggup menarikannya sampai lama.
Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
57 "Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan. Tetapi selebihnya, dari jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup karena gerakan-gerakan jari itu menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa ditungganggi Bidadari, maka semua gerakannya mengandung arti dan maksud tertentu.
Jari-jari kita dalam gerakan ini merupakan ujung-ujung sayap yang harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini sangat penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa sepuluh jari tangan kita dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?"
Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa sulit dan lihainya limu Silat Sianli-kun-hwat itu, karena satu jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!
Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang I Niocu menuturkan tentang tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!
"Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong Hosiang.
Ketahuilah, hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, biarpun ia bukanlah seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi karena telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh kakek yang mengaku bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya kakek itu" Dia adalah Su- siok-couwku (Kakek Paman Guru) sendiri!"
Terkejutlah Cin Hai mendengar ini. "Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-couwmu" Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya menjadi cucu muridnya" Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat sekali?"
Ang I Niocu mengangguk-angguk. "Memang beliau adalah Susiok-couwku, karena
mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ah, sukar untuk diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kang-lam Sam-lojin, atau beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!" "Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?"
Cin Hai bertanya heran.
"Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan oleh beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di sebelah kuil kuno di dekat Tiang-an ternyata hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan Yang segera berusaha merampasnya. Tetapi hal ini sudah lama diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia kepada Pemerintah Han sehingga mereka cepat mengambil harta itu dan berusaha
mengungsikannya ke utara untuk digunakan bilamana saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar, para patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang kang-ouw seperti Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
58 pun mempunyai telinga yang tajam hingga mendengar pula tentang harta karun itu dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan Kang-lam Sam-lojin bertemu di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagaimana yang kaulihat itu.
Sedangkan semua orang kang-ouw yang hendak merampas emas, semua takut dan lari ketika melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk membantu para patriot mengungsikan emas itu. Secara kebetutan sekali, kau dapat ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?"
"Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?"
Ang I Niocu tersenyum. "Mana kau tahu" Susiok-couw adalah orang yang adatnya sangat kukoai (ganjil) dan selama hidupnya belum pernah mempunyai seorang murid pun. Menurut kata Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali kepada orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu hanya mendatangkan malapetaka belaka! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang tiba-tiba saja ia mengangkat engkau sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?"
"Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!" tiba-tiba Cin Hai berkata. "He, mengapa?" Ang I Niocu bertanya.
"Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih suka belajar darimu daripada harus belajar dari kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku harus berpisah darimu?"
Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang anak-anak, tetapi Ang I Niocu mendengarkan dengan hati terharu sekali.
"Berjanjilah, Niocu, kau takkan meninggalkan aku!" Cin Hai mendesak.
Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih, "Jangan kuatir, aku takkan
meninggalkan kau."
Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan
"Niocu" yang biarpun artinya "nona" namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami atau seorang kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya "niocu" begitu saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak peduli akan sebutan ini.
Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kang-lam Sam-lojin tentang Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang berpakaian sasterawan, mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu. Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab,
"Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah ciciku, yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena ia adalah murid Ayahku." Tetapi Cin Hai juga tidak mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan menjadi sedih. Dari Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
59 pandangan matanya yang tajam, anak yang berusia paling banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!
Demikanlah Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas.
Ketika mereka memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun telah berlalu semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau. Anak ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut, karena setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala.
Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.
"Kau bukan seorang hwesio, mengapa harus mencukur rambutmu?" tanya dara baju merah itu.
"Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang" Aku pun tidak suka menjadi hwesio kecil, tetapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!"
Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, "Coba kaupelihara rambutmu baik-baik, kaucuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!"
Dan benar saja, setelah mendapat rawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam.
Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah mengenakan baju biru dan memelihara rambutnya, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekati, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh!
Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai telah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun lebih.
Hubungannya dengan Ang I Niocu makin mesra dan di dalam hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang seorang ibu dan anak atau kakak beradik.
Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu.
"Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!"
Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki, berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang sasterawan.
Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap nona itu. "Eh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?" tanyanya.
"Hai-ji, tidak salahkah kau" Benar-benarkah orang yang berpakaian sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suciku?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
60 "Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?"
Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan, "Suci memang
Hikmah Pedang Hijau 6 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Bentrok Rimba Persilatan 11
^