Pencarian

Pendekar Gila 1

Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Bagian 1


" Pendekar Gila Karya : Cao Re Bing
Terjemahan : Wang LC
Hang-ciu sebuah kota yang terletak di tepi utara hilir sungai Cian-tong, di sebelah selatannya bersandar gunung Bu Di sebelah barat menghadap See-ouw. Gunung dan airnya sudah tersohor di seluruh Tionggoan dengan pemandangan yang indah, obyek-obyek wisata dan peninggalan sejarah. 10 pemandangan terindah di See-ouw sudah ternama di seluruh dunia.
Malah "pagoda Lui-hong" dalam cerita legenda "Ular Putih" yang oleh hwesio Fat-hai dipakai untuk menggencet siluman ular itu juga berada di luar pintu Ceng-po di Hang-ciu ini.
Dari "pagoda Lui-hong" ke barat daya ada bukit Lam-kau. Vihara Ho-pok, gua Yan-sia. 9 sungai dengan 18 belokan merupakan obyek yang indah-indah.
Ke utara ada bukit Hui-lai, bukit Pak-kau, Hong-liu juga ada vihara Leng-im yang kesohor dalam sejarah dipakai oleh biksu Ci-tian untuk memotong rambut menjadi penganut Budha.
Didalam See-ouw ada bendungan Su-kong. Di selatan dari gunung Lam-peng. Utara menyatu dengan kelenteng Gak-hui. Kedua sisi bendungan penuh dengan pohon Tho dan Liu, melintang tanpa putus-putus diantara asap dan air.
Di zaman Lam-ce, ada seorang wanita tuna susila yang bernama Su Siau-siau, yang kepandaiannya melebihi wanita umumnya. Keayuannya tiada bandingannya, pernah ada sajak yang berbunyi:"Su Siau-iau dari Hang-ciu, kata orang paling genit."
Ada lagi yang berkata:"kalau mau bermesraan, carilah Su Siau-siau dari keluarga Su yang berada dalam kerindangan pohon Yang"
Dari kuburan Su Siau-siau ke barat, tidak jauh terdapat kuburan "Gak-hui", seorang panglima perang yang termashur. Di zaman dinasti Song. Yang di punggungnya di tato oleh ibunya dengan tulisan 'tulus membela negara'. Dia berhasil mengalahkan tentara Kim di kota kecamatan Cu-sian, terakhir dicelakai oleh penghianat keji Cin-kui.
0-0-0 Lembayung mulai menghilang. Kegelapan malam segera tiba, ini saatnya setiap rumah menyalakan lampu-lampu. Di jalan umum sebelah barat kota Hang-ciu, sedang berjalan seseorang yang berwajah kotor dan kusam.
Orang ini umurnya kira-kira 30-40 tahunan, dia mengenakan sebuah baju panjang yang penuh kotoran tanah Mungkin baju ini tadinya berwarna putih, dan sekarang sudah menjadi tidak putih lagi, kuning pun tidak kuning. Di bagian dadanya terdapat segumpalan warna hitam pekat
Segumpalan warna hitam pekat ini sepertinya bekas minyak atau kecap sejenisnya. Tetapi jika dilihat dengan teliti dari dekat. Ternyata itu merupakan segumpal bercak darah Mungkin karena sudah terlalu lama, dan bercampur tanah dan debu sehingga warnanya berubah menjadi hitam pekat. Orang ini berambut acak-acakan. Mengenakan sepasang sepatu dari kain butut yang sudah bolong, didepannya menjulur jari-jari kakinya dan dibelakang terlihat tumitnya.
Kedua matanya kaku dan memudar, kelopak matanya cekung, mukanya coreng moreng, pucat dan lesu sekali, begitu muram dan bimbang. Sambil berjalan dia tampak melamun entah sedang berpikir apa, juga tampak seperti sedang mengingat-ingat sesuatu...
Dari bentuk wajah orang yang dua matanya kaku dan memudar, besar kemungkinan orang ini adalah seorang yang idiot atau orang yang tertekan sehingga lupa ingatan, alias orang gila.
Entah orang ini termasuk yang disebutkan didepan atau yang dibelakang, tidak ada seorang pun yang bisa menjawab
Siapakah dia"... mengapa dia bisa terjerumus hingga menjadi begini rupa"...
Orang ini bukan orang yang sama sekali tidak dikenal, di daerah Kanglam, dia termasuk seorang tokoh yang tersohor, dia seorang pendekar besar yang ilmu silatnya amat tinggi lagi kaya raya. Orang di dunia persilatan memanggil dia Pui Se-cin atau si "Ilusi bayangan pedang"
Kalau dia adalah seorang tokoh terkenal, mengapa sekarang rupa dan keadaannya menjadi begitu"
Banyak orang di dunia persilatan yang tahu keadaannya. Tetapi mereka sebenarnya hanya tahu kulitnya saja.
0-0-0 Ini sebuah rumah makan besar bernama "Cap-ceng-lau" diambil dari nama 10 pemandangan See-ouw.
"Capceng-lau" di kota Hang-ciu termasuk rumah makan yang terbesar. Dekorasinya mewah, harga makanannya dan araknya pun mahal. Tentu saja tamu yang keluar masuk rumah makan ini selain saudagar, pejabat, pedagang lokal dan pendekar di dunia persilatan. Pedagang
kecil dan rakyat biasa sama sekali tidak mungkin mau menghamburkan uang banyak untuk masuk ke tempat ini.
Pui Se-cin si "Ilusi bayangan pedang" sedang berjalan di depan "Cap-ceng-lau" tiba-tiba dia berhenti, dengan sorot
mata yang bengong dia memandang ke dalam rumah makan itu, kemudian mengangkat kakinya berjalan masuk ke dalam rumah makan!
Dua orang pelayan yang sedang sibuk melayani tamu-tamu melihat Pui Se-cin masuk, mukanya segera terbayang sedikit kecemasan. Salah seorang pelayan dengan cepat mendekat ke meja kasir. Seorang lagi segera meminta maaf pada tamu yang sedang dilayani, secepatnya menghampiri Pui Se-cin, dengan muka dipaksa tersenyum dia membungkukkan tubuh dan berkata: "Tuan Pui, silahkan masuk."
Muka Pui Se-cin tidak berekspresi sedikitpun, dia terus berjalan menuju tangga loteng. Pelayan itu selangkah demi selangkah mengikuti terus di belakang Pui Se-cin, wajahnya seperti takut Pui Se-cin salah melangkah sehingga terjatuh.
Begitu Pui Se-cin sampai di atas loteng. Kasir yang gemuk, putih bersih yang semula duduk di depan mejanya, dengan tergopoh-gopoh segera mengikutinya naik ke atas loteng, dia maju selangkah, mukanya penuh senyum, dia membungkuk-bungkuk berkata:
"Tuan Pui, apa ke tempat biasa, biar hamba membawa jalan untukmu." Dia sambil berkata, sambil cepat-cepat menuju meja dekat jendela yang sudah ditempati oleh tamu. Dengan amat sopan dan ramah sambil membungkuk dengan suara rendah berkata:
"Maafkan, mohon Tuan-tuan bisa membantu kami untuk pindah tempat duduk, nanti kami akan menyuruh dapur menyiapkan dua macam sayur istimewa untuk mengganti kebaikan Tuan-tuan semua." Sambil berkata-kata sambil membungkuk terus-terusan.
Perkataannya amat merendah, orang yang mendengar merasa nyaman, kelakuannya yang sopan membuat orang yang mendengar, tidak tega menolak.
Akhirnya ke 5 orang yang duduk ditempat dekat jendela saling berpandangan. Mereka mengangguk dan masing-masing berdiri, salah seorang dengan suara rendah bertanya:
"Apakah dia Pui Siauhiap, Pui Se-cin?"
Kasir gemuk itu mengangguk, segera memutar tubuh dan membungkuk lagi, dengan tersenyum berkata pada Pui Se-cin:
"Tuan Pui silahkan."
Kasir berpesan pada pelayan yang mengikuti dari belakangnya:
"Kau cepat ke dapur pesan koki segera siapkan makanan kesukaan Tuan Pui!"
Pelayan yang mendengar perkataan kasir segera turun ke bawah.
Pandangan mata semua tamu tertuju pada diri Pui Se-cin. Sepertinya mimik orang-orang itu terlihat aneh dan bingung!
Dengan penampilan yang kurang sopan santun Pui Se-cin berjalan menuju tempat yang dikosongkan tadi, dia duduk dengan kaku.
Kasir gemuk menerima alat-alat makan dari tangan pelayan, dengan amat hari-hari menaruhnya di meja Pui Se-cin.
Menaruh alat-alat makan di meja tamu bukan sebuah pekerjaan yang sulit. Tetapi pekerjaan yang dilakukan oleh
kasir gemuk' itu sepertinya terasa berat sekali, dahinya sampai keluar keringat.
Apakah udara terlalu panas"
Tentu saja bukan, sekarang sedang musim peralihan, antara musim semi dengan musim panas tidak mungkin sampai berkeringat!
Tetapi, karena apa semua ini"
Semua peristiwa yang terjadi, hanya hati kasir gemuk yang mengerti! Kalau sampai tabiat Tuan Pui yang gila ini kumat, celakalah!
Mukanya tertawa, tapi dalam hatinya dia menangis, perasaan hatinya menciut sekali, dia tegang dan takut!
Tiba-tiba tampak ada seorang tamu lagi yang naik ke atas loteng, dia beralis lebar, bermata bulat, matanya menyorot tajam. Dia melihat kesana kemari, membuat orang segan dan takut padanya, dia seorang pemuda berbaju ungu dan berumur sekitar 23-24 an.
Pemuda berbaju ungu yang naik ke atas loteng, setelah matanya menyorot ke sekeliling tempat, dengan langkah besar berjalan menuju ke meja Pui Se-cin, tampaknya dia sudah mau duduk di depan Pui Se-cin,
Melihat perbuatan pemuda berbaju ungu itu, kasir gemuk amat kaget, dia lari ke depan menghadang pemuda berbaju ungu itu. Dengan muka dipaksa tersenyum sambil membungkuk dia berkata:
"Siauya, maafkan, biar kami memilihkan Siauya tempat duduk yang lebih memuaskan..."
Sorot mata pemuda berbaju ungu terpaku lalu berkata:
"Apakah tidak boleh duduk disini?"
Roman kasir gemuk itu tampak malu, dengan muka merah dia berkata:
"Bukan begitu..."
"Kalau bukan begitu kenapa?"
Kasir gemuk itu kembali tersenyum, berkata:
"Sebab yang ini... yang ini..." dia berturut-turut dua kali menyebut "yang ini" tetapi tidak menemukan jawaban yang sesuai dengan kata "yang ini" nya. Memang tidak bisa disalahkan, dia tidak berani langsung berkata, 'yang ini" tempat orang yang tidak waras. Dia takut memancing Pui Se-cin gilanya kambuh lagi. Dia tidak ingin mencari urusan, mencari penyakit sendiri!
Pemuda berbaju ungu yang melihat kekakuannya Alisnya yang berbentuk pedang berkerut
"Bagaimana dengan yang ini"'
Bola mata kasir gemuk itu berputar, sebuah alasan sudah terpikir olehnya, dengan batuk-batuk dia berkata:
"Meja ini sudah dipesan oleh Tuan ini."
"Oh!" pemuda berbaju ungu dengan acuh memandang sekali lagi pada Pui Se-cin yang sedang terduduk bingung dan bengong itu, dia bertanya:
"Siapa dia?"
"Dia langganan lama perusahaan kami, Tuan Pui."
Mata pemuda berbaju ungu tiba-tiba bersinar, dia lalu bertanya:
"Benarkah dia Pui Siauhiap, Pui Se-cin?"
Dengan tersenyum kasir gemuk menangguk lalu berkata:
"Betul, rupanya Siauya juga kenal dengan Pui Siauhiap. Kalau begitu silahkan..."
Tiba-tiba pemuda berbaju ungu itu mengangkat tangan, bertanya:
"Boleh tahu anda siapa?"
Kasir itu membungkuk berkata:
"Hamba kasir disini, harap Siauya..."
Dengan wajah datar pemuda berbaju ungu itu tersenyum dan berkata:
"Maafkan aku kurang sopan. Ternyata Tuan adalah kasir disini." Berhenti sejenak, dia mengangkat sebuah tangan menaruhnya di atas pundak kasir itu dengan tersenyum berkata:
"Aku dengan Pui Siauhiap kenal baik sejak dulu, atas perintah ayah, aku diutus kesini untuk membawa dia."
"Oh!" muka kasir itu segera terlintas perasaan yang aneh dan bertanya, "Boleh tahu Siauya siapa...?"
Pemuda berbaju ungu berkata:
"Cayhe she Hwan bernama Eng-giauw. Kau tenang saja Pui Siauhiap menjadi tanggunganku, rekeningnya juga nanti aku yang bayar, jelas?"
Tiba-tiba kasir gemuk itu merasa tangan Hwan Eng-giauw yang ditaruh di atas pundaknya mengeluarkan aliran yang aneh, langsung meresap ke dalam tulangnya, hingga tulang diseluruh tubuhnya terasa linu dan gatal sekali, aliran itu dengan cepat sekali menyebar ke seluruh tubuhnya. Dia terguncang sekali, hatinya mulai mengerti dia menggigit bibir keras-keras dan membungkuk lalu berkata:
"Ya, ya, aku mengerti."
Hwan Eng-giauw menarik kembali tangan yang ditaruh di atas pundaknya, dia mengangguk-angguk dengan datar berkata:
"Baguslah kalau sudah mengerti, silahkan teruskan pekerjaanmu!"
Kasir gemuk itu membungkuk lagi dan siap meninggalkan tempat itu.
Mata Hwan Eng-giauw tiba-tiba berkedip-kedip, katanya:
"Ow! Tunggu sebentar, aku masih ada pertanyaan!"
Kasir gemuk segera berhenti dengan tertawa berkata:
"Ada apa lagi, silahkan katakan!"
Sedikit ragu-ragu Hwan Eng-giauw berkata:
"Kabarnya kau amat perhatian pada Pui Siauhiap, benarkah?"
Kasir gemuk itu dengan tertawa tersipu-sipu berkata:
"Kalau Siauya berkata begitu hamba menjadi malu. Siauhiap Pui orangnya baik sekali. Dari dulu dia langganan kami, sudah seharusnya kita membantu dia, jika dalam keadaan sulit begini!"
"Huh!" dengan tertawa datar dia bertanya, "Bukankah kau takut dia merusak barang-barangmu?"
Dengan muka merah kasir gemuk itu berkata "Tidak, tidak, anda bergurau..."
Tiba-tiba sorot mata Hwan Eng-giauw melotat dan bertanya:
"Dia sudah datang kemari berapa kali" Maksudku setelah dia mendapat musibah, dia telah merusak berapa banyak barang-barang disini?"
Kasir itu mengosok-gosok tangannya berkata:
"Tidak seberapa, jangan dipikirkan, tidak apa-apa..."
"Jangan sungkan-sungkan, aku dengar orang-orang berkata, bahwa Pui Toako sudah beberapa kali merusak barang disini."
Ternyata orang she Hwan ini masih saudara dengan Pui Se-cin
Dalam hati kasir itu dengan cepat berpikir:
"Siapa sebenarnya pemuda she Hwan ini, mengapa sejak dulu tidak pernah mendengar ada seorang..."
Hatinya berpikir begitu, mulutnya dengan tersenyum berkata:
"Hamba bukan sungkan tetapi rumah makanku sejak dulu sering mendapat bantuan dari Pui Siauhiap. Rusak sedikit barang-barang tidak apa-apa, malah..."
Dia ingin sekali mencari tahu asal-usul Hwan Eng-giauw ini, tapi perkataan yang sudah sampai depan mulut ditelan lagi, perkataannya tidak berani diucapkan.
Kenapa" Sebab tenaga dalam yang dikerahkan tadi sewaktu lengannya ditumpangkan di atas bahunya sudah jelas terlihat Hwan Eng-giauw adalah pemuda yang berilmu tinggi.
Dia sudah pengalaman di dunia persilatan. Sepatah kata saja tidak sesuai, akan mendatangkan malapetaka yang merepotkan
Perkataan yang sampai dimulut sudah ditelan kembali olehnya. Tetapi Hwan Eng-giauw tetap menyambung:
"Malah apa" Ada apa sebutkan saja, jangan tersendat-sendat begitu, nanti ditertawakan orang!"
Kasir gemuk mendengar perkataan begitu tidak terasa mukanya menjadi merah. Dengan segan dia berkata:
"Betul kata-kata Siauya, Sebenarnya tidak ada apa-apa. Aku hanya mau menanyakan..."
Mata Hwan Eng-giauw berkedip lalu bertanya:
"Kau ingin mengetahui asal-usulku?"
Kasir gemuk dengan muka merah, tertawa-tertawa dan batuk-batuk kering berkata:
"Harap maklum."
Dengan sedikit tersenyum, Hwan Eng-giauw berkata: "Cayhe datang dari Kwan-gwa (luar perbatasan), cukup?"
Kasir gemuk segera mengangguk: "Cukup, cukup!"
Memang mulutnya berkata, 'cukup, cukup', Sebenarnya apakah betul sudah cukup" hanya dia sendiri yang mengerti.
Dengan tersenyum Hwan Eng-giauw berkata:
"Pui Siauhiap banyak merusak barang-barang di tempatmu, jika dihitung-hitung memang tidak masalah mengingat kebaikan dia dulu, kau tidak mau mempersalahkan semua ini, dari sini terlihat kau orang yang cukup baik dan bisa bergaul, aku suka berteman denganmu!"
Dengan senyum dipaksakan, kasir gemuk berkata:
"Tidak juga, jangan terlalu memuji!"
Hwan Eng-giauw mengangkat tangannya, digoyangkan sedikit dan berkata:
"Kau juga tidak perlu sungkan-sungkan."
Berhenti sejenak, sorotan matanya tiba-tiba terdiam dan bertanya:
"Maafkan, aku mau bertanya, Tuan kasir ini jago dari mana sampai terdampar di dunia perdagangan?"
Tidak terasa hati kasir gemuk berdebar-debar dia segera menarik sorotan matanya yang tajam dan kaget itu. Sengaja setengah memejamkan matanya dengan tersenyum berkata:
"Anda senang bergurau. Aku hanya seorang kasir yang dikerjakan di perusahaan ini. Mana bisa disebut orang jago?"
Dengan acuh Hwan Eng-giauw berkata:
"Kalau kau tidak mau bercerita, ya sudah. Teruskan saja pekerjaanmu."
Seperti mendapatkan ampunan besar, kasir gemuk itu membungkuk-bungkuk mengundurkan diri.
0-0-0 Hwan Eng-giauw dengan muka tenang memandang muka Pui Se-cin yang dekil. Sepertinya dia ingin mendapatkan sesuatu dari muka Pui Se-cin, juga seperti mau melihat dengan jelas tiap helai bulu muka Pui Se-cin.
Saat ini tamu-tamu rumah makan ini yang tadinya ramai menjadi terdiam, beberapa puluh pasang mata orang semua memandang Hwan Eng-giauw, wajah mereka tampak penuh rasa aneh.
Mereka dalam hatinya berpikir, 'Apakah pemuda she Hwan ini betul-betul adik sepupu Pui Se-cin...?"
"Dia datang dari Kwan-gwa" Kwan-gwa tempatnya amat luas, panjang, dan lebarnya puluhan ribu li, dia datang dari Kwan-gwa bagian yang mana?"
"Kalau betul dia adik sepupu Pui Se-cin, tentu bukan orang yang tidak dikenal. Kenapa tidak pernah terdengar di Kwan-gwa ada orang ternama she Hwan..."
Sorotan mata Hwan Eng-giauw tidak berkedip, dia melihat dengan lurus Pui Se-cin. Tetapi si "Ilusi bayangan pedang" yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan Kanglam, penampilannya masih seperti orang yang linglung dua matanya menatap satu arah, duduk seperti patung, Hwan Eng-giauw memandang padanya, tapi dia tetap seperti tidak merasakan.
Tiba-tiba sebuah suara nyaring muncul dan berkata:
"Apakah anda mengerti ilmu pengobatan?"
Tidak terasa alis Hwan Eng-giauw berkerut. Tadinya dia tidak mau melayani orang yang berbicara ini. Tetapi begitu melihat yang berkata adalah seorang pemuda yang tampan, amat santun, terpelajar, mengenakan baju berwarna hijau, dia mengangguk dan berkata:
"Aku hanya mengerti sedikit."
Orang terpelajar berbaju hijau dengan tersenyum berkata:
"Kalau begitu anda bisa memeriksa penyakit dengan cara melihat."
Hwan Eng-giauw mengangguk-angguk lalu bertanya:
"Apakah anda juga mengerti ilmu pengobatan?"
Orang terpelajar itu mengangguk sedikit dan berkata:
"Cayhe juga mengerti sedikit, tetapi aku menganjurkan pada anda jangan menghamburkan tenaga dengan percuma!"
"Kenapa?" Tanya Hwan Eng-giauw
"Keadaannya tidak ada hubungannya dengan penyakit. Juga bukan cemas karena pergantian musim, kata-kata ini apa anda mengerti?"
"Oh!" mata bulat Hwan Eng-giauw berkedip lalu berkata, "Kalau begitu, penyakit Pui Toako adalah penyakit hati yang tidak ada obatnya!"
Orang terpelajar itu berkata:
"Pepatah berkata, Penyakit hati hanya bisa disembuhkan oleh obat hati" kecuali anda bisa mendapatkan obat hati untuk Pui Siauhiap lainnya...."
"Terima kasih atas petunjuk anda," Hwan eng giauvv mengangkat tangan dan bersoja, "dia Toakoku, atas perintah ayahku jauh-jauh dari Kwan-gwa karenn hendak mengurus dia, meskipun tidak bisa disembuhkan, tapi telap harus dicoba dan diusahakan!"
Perkataan berhenti sebentar, dia memutar lagi pandangan matanya memperhatikan Pui Se-cin, dengan suara datar dan halus berkata:
"Pui Toako, kau masih ingat adikmu Eng Giauw tidak" Adikmu khusus datang kesini menengokmu!"
Tidak ada reaksi sedikitpun dari Pui Se-cin. Air muka dan mimiknya tetap bimbang dan kosong.
Hwan Eng-giauw berkata lagi:
"Pui Toako, aku adik sepupumu Hwan Eng-giauw, apa kau sedikitpun tidak ingat?"
Tiba-tiba Pui Se-cin bereaksi, seperti ada sedikit perasaan, tetapi masih kelihatan ragu-ragu. Dengan bengong dia memandang terus Hwan Eng-giauw. Mulutnya mengeluarkan perkataan seperti sedang berguman:
"Hwan Eng, Hwan Eng, kau dimana"..."
Sepasang mata Hwan Eng-giauw pelan-pelan menyorot sinar keanehan yang lain. Dalam hatinya berkata, 'Baguslah, asal kau mau membuka mulut, aku tentu punya akal...'
Dalam hatinya berkata begitu, mulutnya meneruskan perkataan Pui Se-cin berkata:
"Toako, kau memanggil kakak ipar?"
Wajah Pui Se-cin tetap bingung dan bimbang, mulutnya mengeluarkan suara-suara seperti berguman lagi:
"Hwan Eng! Hwan Eng! Kau dimana" Aku membutuhkanmu, aku butuh kau..."
Dengan suara lembut Hwan Eng-giauw berkata:
"Toako, kakak ipar Hwan Eng menunggumu di rumah, mari kau cepat ikut aku pulang ke rumah!"
Selesai dia berkata dia langsung mengulurkan tangan menangkap tangan Pui Se-cin.
Ekspresi mata Pui Se-cin yang lesu tiba-tiba menjadi bersinar, dengan amat sadar berkata:
"Benarkah Hwan Eng sedang menunggu aku di rumah?"
Sebuah tangan Hwan Eng-giauw dengan ringan telah menangkap tangan kiri Pui Se-cin yang pucat dan dekil itu. Sambil mengangguk dia berkata:
"Tentu, itu sudah pasti."
Tubuh Pui Se-cin tiba-tiba bergoncang keras, tidak tahu karena terharu, tegang, atau karena takut"
Dengan tangan kanan dia balik menangkap tangan Hwan Eng-giauw keras sekali. Dengan suara yang gemetar dia berkata:
"Kenapa kau mengetahui hwan Eng menunggu aku di rumah" Kau...kau siapa?"
Hwan Eng-giauw dengan suara halus berkata:
"Toako, aku adik sepupumu Hwan Eng-giauw. Apa kau sudah lupa semua" Cepat ikut aku pulang!"
Sambil berkata dia berdiri, diam-diam tangannya mengerahkan tenaga menarik tubuh Pui Se-cin
Dalam keadaan seperti Pui Se-cin tiba-tiba sadar, dia mengikutinya berdiri.
Sebenarnya keadaan begini hanya bisa mengelabui orang-orang biasa, tetapi tidak bisa mengelabui mata orang Han Lui.
Kasir gemuk dengan 2 orang pelayannya sedang mengantarkan makanan. Melihat keadaan begini, dia menjadi bengong dia maju selangkah dengan membungkuk dan tersenyum berkata:
"Siauya, anda..."
Hwan Eng-giauw mengoyangkan tangan berkata: "Sudah tidak perlu!"
Dari balik baju dia mengeluarkan uang dan menaruhnya di atas meja sambil berkata:
"Uang ini untuk bayar makanan, kalau ada lebih bagikan saja untuk pelayan!"
Selesai berkata, dia berbalik pada Pui Se-cin dengan ?tiara kalem berkata:
"Toako, kakak ipar Hwan Eng menunggumu di rumah, mari kita cepat pulang saja!"
Kesadaran Pui Se-cin yang tadi akan normal, sebentar saja lalu lenyap lagi. Kembali kepenampilan semula, bengong dan bingung. Dengan berguman dia bersuara:
"Pulang, pulang, aku sudah lama tidak pulang ke rumah. Sekarang harus pulang..."
Hwan Eng-giauw menggandeng tangan Pui Se-cin, pelan-pelan berjalan menuju tangga.
2 mata kasir gemuk berkedip-kedip seperti mau berkata, tetapi tidak diucapkan.
Hwan Eng-giauw setengah menggandeng setengan memapah Pui Se-cin menuruni tangga, dia segera berbalik tubuh ke belakang dengan suara rendah berkata pada kasir gemuk yang sejak tadi mengikutinya dari belakang:
"Tolong, cepat pergi mencarikan sebuah kereta." Kasir gemuk berbungkuk-bungkuk mengiyakan, dia segera memanggil seorang pelayan, dengan berbisik dia berpesan beberapa kata, pelayan itu pergi secepatnya.
Kasir gemuk maju beberapa langkah, dengan tersenyum dia berkata:
"Siauya, keretanya sebentar lagi datang. Anda d.m Tuan Pui silahkan menunggu sebentar."
Hwan Eng-giauw memandang Pui Se-cin yang sedang bingung, dia berpikir sejenak tiba-tiba dia menganjukan tangan langsung diayunkan ke Pui Se-cin menolok jalan darah tidurnya.
Pelupuk mata Pui Se-cin tampak menutup, tubuhnya sudah tertidur miring menyandar di bahu Hwan Eng-giauw.
Hwan Eng-giauw segera menggendong Pui Se-cin ke tempat duduk yang tidak jauh dari pintu keluar. Tubuh atas Pui Se-cin ditelungkupkan di atas meja. Dia berdiri di samping meja. Sebuah tangannya memegangi pundak Pui Se-cin, menjaga agar tubuhnya tidak sampai melorot ke bawah
Kira-kira seperminuman secangkir teh, terdengarlah suara sepatu kuda dan roda yang bergelinding, sebuah kereta kuda berhenti di depan rumah makan.
Sesudah kereta berhenti, dari atas kereta meloncatlah pelayan yang tadi pergi mencari kereta itu. Dia berlarian masuk ke kedai, membungkuk pada Hwan Eng-giauw:
"Siauya, keretanya sudah datang."
Hwan Eng-giauw mengangguk tersenyum berkata:
"Terima kasih."
Dia melihat ke atas kereta, melirik dua orang berbaju hitam yang duduk di atas kereta, lalu bertanya:
"Pelayan, kereta ini dari perusahaan mana?"
Pelayan itu menyahut:
"Keretanya dari perusahaan Lo-ceng-ti, kenapa, ada yang kurang beres?"
"Tidak." Dia sedikit menggeleng kepala, dan berkata, "Hanya aku merasa rada aneh saja. Biasanya sebuah kereta menggunakan seorang kusir, sedangkan kereta ini ada 2 orang kusir."
Pelayan itu berkata:
"Pemilik Lo-ceng-ti mendengar bahwa keretanya akan dipakai untuk mengantar Tuan Pui pulang kampung. Maka dia khusus menambah seorang lagi untuk membantu mengurus Tuan Pui di perjalanan."
"Oh!" Hwan Eng-giauw mengangguk, "Ternyata begitu."
Dia menggendong Pui Se-cin selangkah-selangkah keluar rumah makan naik ke kereta. Dengan suara keras berkata:
"Sesudah keluar kota berjalanlah menuju barat kita ke An-hui."
Salah satu dari 2 orang berbaju hitam itu berkata: "Bukankah rumah Pui Siauhiap di Sian-shia?" Dengan tertawa mengejek Hwan Eng-giauw berkata: "Untuk apa ke rumah Pui Siauhiap" Apa di rumahnya masih ada orang" Sudah jangan banyak bicara, jalan saja!"
Kedua orang yang berbaju hitam itu saling pandang, tidak berkata apa-apa. Mengangkat pecutnya menarik tali kekang, membawa kendaraan menuju arah barat.
Tengah malam, langit penuh dengan bintang-bintang, bulan bergantung tinggi-tinggi seperti sebelah alis.
Kereta kuda itu berlari kencang di jalan raya menuju ke barat, suara sepatu kuda dan suara roda memecah dikesunyian malam.
Tiba-tiba dari dalam kereta terdengar suara Hwan Eng-giauw yang rendah:
"Belok menuju Sian-shia."
Kedua orang berbaju hitam yang duduk di tempat kusir itu sama-sama tercengang! Mereka lalu menarik tali kekang dengan keras agar kendaraan menjadi perlahan lalu berkata:
"Siauya, bukankah kau tadi..."
Hwan Eng-giauw menyambung perkataan dari dalam kereta:
"Aku mendengar di rumah Toakoku, ada ruang rahasia tempat menyimpan emas batangan Aku mau tahu apakah Toakoku masih ingat tempat itu?"
Tidak terasa kedua mata orang yang berbaju hitam itu menjadi bersinar.
Orang yang berbaju hitam yang ikut kereta itu berkata:
"Siauya, apa kata-katamu betul?"
"Hm!" Hwan Eng-giauw berkata:
"Tentu saja betul. Kalian berdua tenang saja. Kalau bisa menemukan rahasia gua dibawah tanah, aku akan memberikan imbalan yang banyak pada kalian berdua, aku jamin tidak akan habis dimakan seumur hidup kalian berdua!"
Kedua orang yang berbaju hitam itu tidak berkata apa-apa lagi. "Pakkk!" terdengar suara pecut yang membelah udara malam. Kereta kuda membelok, lari menuju Sian-shia-leng (bukit Sien Sia).
Sian-shia-leng terletak di propinsi Sie ciat-kang, selatan kecamatan Ciang-san. Berada di tempat perbatasan 3 propinsi.
Dari Kan-san 700 li lebih terus menuju Cian-ciu, disanalah Sian-shia-leng.
Di atas puncak ada sebuah pembatas, bernama Sian-shia-koan.
0-0-0 Tadinya rumah-rumah disana berdiri sambung menyambung, merupakan perumahan yang menempati
ratusan hektar tanah. Perumahan besar ini berada di bawah Sian-shia-leng di lereng Siang-yang.
Tetapi yang terlihat sekarang adalah benteng yang sudah pecah-pecah, dinding pada rubuh. Dimana-mana berserakan hancuran genting dan sisa-sisa reruntuhan. Pemandangan yang memilukan ini membuat orang merasa pedih!
Perumahan besar ini dulu tersohor di dunia persilatan Kanglam, dengan sebutan "Sian-sia-cu-cia" (keluarga terpandang Sian Sia).
Sian-sia-cu-cia sejak ratusan tahun yang Ialn pertama membangun perumahan ini sampai sekarung sudah generasi ke-4, biarpun tiap generasinya hanya mempunyai satu turunan, tapi tiap keturunan selalu bertabiat tinggi, kecerdasaannya melebihi orang pada umumnya. Tidak saja kepandaian silatnya hebat, kepandaian dan ilmu pedangnyapun amat tinggi. Yang lebih hebat lagi tiap keturunan memiliki keberanian yang tinggi, bertabiat baik, berkemauan keras berhati lunak, loyal dan welas asih.
Sian-sia-cu-cia di dunia persilatan tidak saja termasyur dengan ilmu pedangnya. Tetapi kekayaannya yang melimpah, termasyur ke seseluruh dunia, seolah-olah kekayaanya bisa melawan kekayaan negara!
Tentu saja semua terjadi karena majikan tiap generasi Sian-sia-cu-cia ini bermata jeli melihat bawahan.
Baik terhadap orang lain, perusahaan, keuangan, kulit, barang antik dan lain-lain yang berada dimana-mana diurus oleh orang tepat, oleh karena itu kekayaannya bertambah terus tidak habis-habisnya dipakai!
Tetapi sebulan yang lalu Sian-sia-cu-cia tiba-tiba tertimpa malapetaka, perumahannya habis dilalap si jago merah.


Pendekar Gila Karya Cao Re Bing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Api terjadi di tengah malam, dalam tempo semalam saja perumahan sebesar ini ludes menjadi tumpukan puing-puing arang.
Kebakaran ini tidak saja aneh, tua muda laki perempuan ratusan penduduk perumahan ini selain Cungcu (pemilik perkampungan), si Ilusi bayangan pedang Pui Se-cin, semuanya terpanggang mati, satupun tidak ada yang lolos.
0-0-0 Jam 2 malam. Awan hitam menyelimuti udara menutupi sinar bintang dan rembulan, bumi menjadi gelap gulita, melihat keadaannya seperti mau turun hujan lebat!
Sebuah kereta kuda, pelan-pelan mendekat dan berhenti di depan perumahan yang besar yang sekarang menjadi tumpukan puing-puing genting ini.
Kereta baru saja berhenti dari dalam kereta segera terdengar suara rendah yang bertanya:
"Apakah sudah sampai?"
Salah satu dari 2 orang yang berbaju hitam menjawab:
"Sudah sampai, silahkan turun Siauya."
Tirai kereta tersingkap, turunlah pemuda yang berbaju ungu bermata bulat, beralis seperti pedang, itulah Hwan Eng-giauw yang mengaku adik sepupu dari Eusi bayangan pedang Pui Se-cin!
Sorotan mata Hwan Eng-giauw seperti listrik menyapu puing-puing itu, dalam hatinya entah terharu atau bukan, dia menghela napas panjang, dia memutar tubuh pada 2 orang yang berbaju hitam dan bertanya:
"Apa kalian berdua membawa api?"
Kedua orang berbaju hitam itu sudah turun dari tempat kusir, berdiri disisi kereta.
Kusir berbaju hitam segera menjawab:
"Ada."
Dari balik bajunya dia mengeluarkan batu api dan kertas api.
Hwan Eng-giauw berkata: "Nyalakan lampu kereta!"
Orang berbaju hitam itu menurut segera menyalakan api. Memasang lampu yang tergantung di kereta dekat tempat kusir.
Hwan Eng-giauw berkata lagi:
"Bawalah lampunya kesini mengikuti aku."
Sambil berkata dia berjalan ke tumpukan puing-puing itu.
Kusir yang berbaju hitam segera membawa lampunya mengangguk pada orang berbaju hitam temannya, bersama-sama berjalan mengikuti dari belakang Hwan Eng-giauw.
Berjalan kira-kira 20 meteran, kusir itu tiba-tiba bertanya:
"Siauya, apa anda sudah bertanya pada Pui Siauhiap tempat penyimpanan emas itu?"
Hwan Eng-giauw menggeleng kepala dan berkata:
"Belum!"
Kusir yang berbaju hitam berkata:
"Kenapa anda tidak menanyakannya lebih dulu?"
"Dalam perjalanan tadi aku sudah bertanya."
Kusir yang berbaju hitam berkata:
"Apakah dia tidak mau berkata?"
"Bukan dia tidak mau berkata, tapi karena dia linglung, bertanya pun percuma."
Kusir yang berbaju hitam berkata:
"Kalau begitu kita harus mencari sendiri tempat rahasia di bawah tanah itu!"
"Iya ,terpaksa begitu," Jawab Hwan Eng-giauw. Kedua alis kusir yang berbaju hitam itu berkerut dan berkata:
"Tempat seluas ini tidak ada petunjuk, bagaimana mencarinya?"
Hwan Eng-giauw tersenyum berkata: "Untung-untungan saja."
Dengan mata berkedip, kusir yang berbaju hitam berkata:
"Apakah Siauya tahu, sudah sebulan lebih banyak orang persilatan mengadu nasib. Karena kurang beruntung, semuanya pulang dengan kecewa!"
Hwan Eng-giauw dengan tersenyum berkata:
"Aku berharap, keberuntunganku akan lebih baik dari orang lain."
Kusir yang berbaju hitam yang dari tadi diam terus tidak bersuara tiba-tiba menyambung perkataan,:
"Siauya, aku mendengar ada orang dunia persilatan yang menderita kerugian."
Hwan Eng-giauw mengangguk:
"Aku juga mendengar itu. Malah aku masih mendengar masalah lainnya."
"Masalah apa?"
Hwan Eng-giauw berkata:
"Katanya disini banyak hantunya!"
"Banyak hantu!" dua kusir yang berbaju hitam ini berubah air mukanya!
"Hm!" Hwan Eng-giauw berkata, "Kalian berdua apakah percaya di dunia ini ada hantu?"
Kusir yang berbaju hitam menenangkan diri dengan senyum berkata:
"Anda pintar bergurau untuk menakut-nakuti orang!"
"Kau tidak percaya di dunia ini ada hantu?"
"Bukan begitu," kusir yang berbaju hitam berkata, "Yang jelas aku tidak percaya disini ada hantu!"
"Kau kira perkataanku hanya bergurau untuk menakuti kalian?" Kata Hwan Eng-giauw.
Kusir yang berbaju hitam yang lain berkata:
"Memangnya bukan?"
Hwan Eng-giauw dengan datar berkata:
"Aku selamanya tidak mau bergurau dengan siapapun!"
Kusir yang berbaju hitam Kedua matanya berkedip-kedip lalu berkata:
"Kenapa kami tidak pernah mendengar ada orang berkata begitu?"
Dengan tertawa datar Hwan Eng-giauw bertanya:
"Apakah kalian berdua pernah melihat hantu?"
Kusir yang berbaju hitam yang lain berkata: "Tidak pernah!"
"Kau takut tidak?"
Kusir yang berbaju hitam terdiam sebentar, lalu membusungkan dada berkata:
"Ada anda disini kenapa harus takut" Apalagi anda masih adik sepupu Pui Siauhiap..."
Kedua mata Hwan Eng-giauw tiba-tiba menyorot sinar yang menakutkan. Lalu bertanya:
"Dari mana kau tahu?"
Kusir yang berbaju hitam tersentak, lalu berkata:
"Pelayan yang pergi kekantor yang bercerita."
"Oh!" Hwan Eng-giauw berkata, "Ternyata dia."
Sambil ngobrol mereka sudah berjalan kira-kira 70 meteran, posisi mereka sudah berada di tengah puing-puing.
Kaki Hwan Eng-giauw tiba-tiba berhenti berjalan, dia berkata:
"Anda berdua coba lihat tempat ini, bagaimana?"
Pertanyaan itu ditanyakan dengan tiba-tiba, tidak jelas, juga tidak ada ujung pangkalnya.
Kedua kusir yang berbaju hitam ini tercengang juga.
Kusir yang berbaju hitam mengedip-ngedipkan matanya lalu bertanya:
"Kenapa dengan tempat ini?"
"Maksud perkataanku ini, apa kalian berdua tidak mengerti?" Kata Hwan Eng-giauw.
Kusir yang berbaju hitam menggeleng-gelengkan kepala berkata:
"Tidak mengerti."
Dengan acuh Hwan Eng-giauw berkata: "Maksudku agar kalian berdua bisa melihat hongsui tempat ini, bagus atau tidak?"
Kusir yang berbaju hitam itu tercengang, matanya penuh keraguan berkata: "Hongsui nya"..."
"Hm!" Hwan Eng-giauw mengangguk dan berkata, "Kalau aku tidak salah melihat, tempat ini dulunya adalah ruangan tengah yang besar. Tentu tempat yang paling baik hongsuinya. Aku mau kalian berdua berdiam disini. Apa kalian sudah mengerti?"
Perkataan ini sudah jelas sekali. Kalau orang yang mendengar tidak mengerti juga, tentu orang itu kalau bukan bodoh pasti orang itu idiot!
Waktu itu juga, dua orang yang berbaju hitam ini wajahnya berubah drastis!
Setelah berubah, kusir yang berbaju hitam itu tiba-tiba dengan tertawa berkata:
"Siauya yakin bisa meninggalkan kami berdua disini?"
Hwan Eng-giauw dengan acuh berkata: "Masalah ini sebentar lagi pasti akan tahu." Berhenti sejenak dia berkata lagi: "Sekarang aku mau bertanya beberapa pertanyan pada kalian, harap jawab dengan jujur."
Kusir yang berbaju hitam dengan suara mengejek berkata:
"Kau mau bertanya apa?" Hwan Eng-giauw berkata:
"Pertama-tama aku mau bertariya nama dan she kalian berdua."
Kusir yang berbaju hitam berkata: "Aku Goan-ti, dia Ong-ceng."
"Kau Goan-ti?"
"Betul" kusir yang berbaju hitam mengangguk.
Hwan Eng-giauw berkata lagi:
"Aku mau bertanya lagi, kalian dari golongan mana?"
Goan-ti berkata lagi:
"Golongan dunia persilatan."
Kedua alis Hwan Eng-giauw terangkat lalu berkata:
"Guan-ti, aku peringatkanmu. Jawab pertanyaanku dengan jujur, jangan bersilat lidah denganku. Kalau tidak kau akan merasakan sendiri akibatnya!"
Dengan tertawa Goan-ti berkata:
"Orang she Hwan, kami berdua bukan anak kecil bisa ditakut-takuti!"
Sinar yang menakutkan menyembur dari mata Hwan Eng-giauw dia berkata:
"Kalau begitu kau mau merasakan pil pahit dahulu?"
"Kami berdua ingin mencoba seberapa hebat kepandaianmu!"
Dengan tersenyum datar Hwan Eng-giauw berkata:
"Bagus, kalau begitu silahkan mencoba!"
Selesai berkata dia pelan-pelan mengangkat tangan. 5 jari-jari membuka langsung mencakar pundak kanan Goan-ti.
Gerakannya ini dilakukan dengan biasa-biasa saja, sedikitpun tidak aneh dan tampak lambat tapi sebenarnya menyimpan banyak perubahan dan keajaiban.
Goan-ti hanya seorang jago kelas 2, mana bisa melihat perubahan aneh yang ada di dalam serangan itu.
Melihat Hwan Eng-giauw dengan tangan ingin mencengkram pundak kanannya, dia segera memiringkan tubuh dan merendahkan pundaknya, kemudian memukul secepat kilat ke pergelangan Hwan Eng-giauw, seraya memandang rendah dan tertawa datar berkata:
"Kukira ilmu silatmu hebat sekali, ternyata hanya..."
Belum habis perkataanya tiba-tiba dia bersuara mengaduh.
Ternyata dalam waktu sekejapan mata, dia merasa banyak bayangan telapak tangan mengembang di depan matanya. Dia merasa pergelangan tangannya yang memukul tangan Hwan Eng-giauw menjadi kaku dan telah ditangkap Hwan Eng-giauw. Lampu kereta yang dipegang di tangan kirinya juga terjatuh dan padam.
Hatinya merasa terkejut bukan kepalang!
Terdengar Hwan Eng-giauw dengan mengejek berkata:
"Hanya bagaimana" Kenapa tidak diteruskan?"
Baru saru jurus, pergelangan tangannya sudah di cengkram oleh lawannya, Goan-ti langsung sadar kepandaiannya jauh berada di bawah lawannya.
Dia mana sanggup meneruskan perkataan:
"Hanya begini saja kemampuan."
Ong-ceng melihat Goan-ti terpedaya dia segera akan bertindak.
Hwan Eng-giauw segera membentak
"Jangan bergerak, atau dia akan mati!"
Perkataan ini memaksa Ong-ceng berdiri di tempatnya, tidak berani bergerak.
Setelah berkata begitu Hwan Eng-giauw melirik
Goan-ti dan berkata:
"Goan-ti kau sudah mencoba kepandaianku, apakah kau menyerah atau tidak?"
Goan-ti berkata:
"Memangnya kalau tidak menyerah bisa apa."
"Kalau kau tidak bisa menerima kekalahanmu, kau boleh mencoba lagi bersama dengan Ong-ceng. Tetapi aku beri tahu dulu. Dengan ilmu silatmu yang begini rendah, kalian berdua bekerja sama juga masih bukan lawanku, meskipun hanya satu jurus."
Diam-diam hati Goan-ti bergetar, tapi dia mempunyai maksud lain, lalu berkata:
"Aku ingin mencobanya lagi!"
"Boleh, kau boleh bergabung dengan Ong-ceng!"
"Bagus." Goan-ti mengangguk dan berkata, "Aku juga mau bertaruh denganmu!"
"Bertaruh apa?"
Kedua mata Goan-ti berkedip:
"Kau bilang kalau aku bergabung dengan Ong-ceng juga bukan lawanmu meski hanya satu jurus bukan begitu?"
Kedua mata Hwan Eng-giauw berhenti dan berkata:
"Apa kau ingin bergabung dengan Ong-ceng dengan batas satu jurus sebagai taruhan?"
"Kau berani tidak bertaruh?" Kata Goan-ti.
Sepasang alis Hwan Eng-giauw terangkat, dia berkata:
"Aku yang mengatakan, tentu saja aku berani, kau mau bertaruh apa" Katakan!" Goan-ti berkata:
"Kalau aku dan Ong-ceng bisa bertahan satu jurus, kau tidak boleh mempersulit kami!"
Hwan Eng-giauw tersenyum dan menangguk:
"Tidak masalah, kalau kalian bisa bertahan satu jurus, aku tidak akan mempersulit kalian."
Goan-ti berkata lagi:
"Selain itu kau juga harus memberi tahu kami tempat penyimpanan emas itu!"
Hwan Eng-giauw berkata:
"Ini juga tidak masalah!" Kata Hwan Eng-giauw, setelah berhenti sejenak, dia bertanya, "Kalau kalian kalah dalam satu jurus, bagaimana?"
Sepasang mata Goan-ti berkedip dan berputar lalu berkata:
"Sesukamu, kau mau bertanya apa saja, pasti kujawab."
"Apa akan dijawab dengan jujur?"
Goan-ti berkata:
"Kalau aku tahu, pasti kujawab dengan jujur!"
Hwan Eng-giauw tertawa mengangguk lalu berkata: "Bagus, bagus sekali, kalau kalian menjawab dengan jujur pertanyaanku. Aku tidak akan mempersulit kalian, malah akan kuberi kalian, satu jalan kehidupan!"
Setelah berkata begitu, dia melepaskan tangannya yang mencengkram pergelangan tangan Goan-ti dan berkata:
"Sekarang kau dan Ong-ceng bersiaplah untuk bertindak!"
Habis berkata dia berdiri dengan kedua tangannya disembunyikan di belakang punggungnya, dia mengangkat mukanya memandang langit malam yang penuh awan, tidak memandang sekejap juga pada Goan-ti dan Ong-ceng.
Goan-ti mundur dua langkah, dengan suara kecil dia berunding sejenak dengan Ong-ceng, kemudian masing-masing mengangkat paha mengeluarkan sebilah belati yang berkilauan, tiba-tiba mereka berpencar mengurung di sebelah kiri dan kanan Hwan Eng-giauw.
Bersamaan dengan waktunya, Hwan Eng-giauw sudah menarik kembali penglihatannya dari langit yang gelap.
Secepat kilat pandangannya menyapu kedua lawannya yang sudah bersenjata, dengan tertawa ringan dia berkata:
"Bagaimana, kalian mau bermain-main dengan nyawa?"
Dengan tertawa Goan-ti berkata:
"Ilmu silatmu hebat, kami tahu dengan tangan kosong tidak akan bisa melawan, terpaksa kami mencoba dengan senjata!"
Habis berkata, tiba-tiba dia berteriak, bersama-sama Ong-ceng, mereka menyerbu Hwan Eng-giauw, belati mereka yang berkilauan, menusuk dari kiri kanan menusuk urat nadi penting Hwan Eng-giauw!
Hwan Eng-giauw dengan wajah tertawa datar dia berdiri tidak bergerak, dua tangan dibelakang tubuhnya tiba-tiba dimajukan, hanya sekali mendorong dan menarik, pergelangan tangan Goan-ti dan Ong-ceng langsung terasa kaku, kedua buah belati yang berkilauan dalam sekejap semuanya sudah jatuh ke tangan Hwan Eng-giauw.
Jurus dan gaya Hwan Eng-giauw, bagaimana melakukannya" Goan-ti dan Ong-ceng berdua tidak jelas melihat.
Keadaannya sudah nyata, kepandaian Goan-ti dan Ong-ceng sangat rendah, kepandaian Hwan Eng-giauw memang jauh di atas mereka berdua.
Baru satu jurus dua belati mereka sudah terampas, ternyata mereka tidak bisa bertahan satu jurus pun. Tentu saja pertaruhan satu jurus ini yang kalah Goan-ti dan Ong-ceng.
Menurut aturan, Goan-ti harus menerima kekalahan dan menepati perjanjian menjawab dengan jujur pertanyaan Hwan Eng-giauw.
Tetapi peraturannya memang begitu, kenyataannya berbeda.
Begitu belatinya dirampas, hati Goan-ti takut sekali, tubuhnya segera mundur dengan cepat, dan kabur bersama Ong-ceng.
Kedua alis Hwan Eng-giauw tiba-tiba terangkat, dengan marah dia membentak:
"Goan-ti, perbuatan kalian berdua sangat mengecewakan seorang laki-laki dewasa!"
Sambil berkata, kedua tangannya bergerak bersama, dua buah belati itu berubah menjadi 2 berkas sinar kelebatan, satu mengejar Goan-ti, satu lagi mengejar Ong-ceng.
Terdengar teriakan yang memilukan, belati yang mengejar Goan-ti menembus belakang jantungnya, tubuhnya terjerembab ke tanah dan mati pada saat itu juga.
Ong-ceng masih beruntung dia tidak mati, belati itu hanya mengenai pahanya, belati ini menembus dari depan sampai ke belakang pahanya, darah terus bercucuran.
Dengan menjerit kesakitan, dia terhempas di tanah, meronta-ronta berusaha ingin bangun. Tapi apa boleh buat kaki yang bercucuran darah itu tidak mau menurutnya, saat itu dia tidak dapat segera berdiri.
Tubuh Hwan Eng-giauw bergerak, dia sudah berdiri di depan Ong-ceng. Dengan suara mengejek berkata:
"Ong-ceng, kau mau berkata apa lagi?"
Kaki Ong-ceng cedera berat, dia kesakitan sampai seluruh tubuhnya gemetar, dengan mengigit bibir menahan sakit dia berkata:
"Apa aku masih bisa apa lagi?"
Hwan Eng-giauw mengejek lalu berkata:
"Kau mau hidup atau mau mati."
"Pepatah berkata, semut saja tidak mau mati, tentu saja aku ingin hidup," Kata Ong-ceng
Hwan Eng-giauw berkata:
"Kalau begitu, sekarang kau tepati dulu janjimu, menjawab pertanyaanku yang pertama. Siapa yang mengutusmu bersama Goan-ti membawa kereta melayani aku dan Pui Siauhiap?"
Ong-ceng sedikit ragu dan berkata:
"Goan-ti yang bertaruh denganmu, yang harus menepati janji juga harus Goan-ti. Pertanyaan ini harus kau ditujukan pada Goan-ti."
Dengan asal Hwan Eng-giauw berkata:
"Sebenarnya aku harus bertanya pada Goan-ti, apa boleh buat nasib Goan-ti sangat jelek. Dia sekarang sudah di neraka, tidak bisa menepati janjinya untuk menjawab pertanyaanku."
Diam-diam hati Ong-ceng terguncang. Matanya memandang mayat Goan-ti yang terkapar tidak bergerak di kejauhan dan bertanya:
"Apakah Goan-ti sudah mati?"
Hwan Eng-giauw mengangguk
"Maka terpaksa aku bertanya padamu, kau mewakili dia melaksanakan perjanjian itu!"
Ong-ceng diam-diam mengambil napas dan bertanya:
"Apa kau percaya dengan jawabanku?"
"Kalau perkataan mu semuanya jujur, aku tentu percaya."
Ong-ceng mengambil napas lagi lalu bertanya:
''Apakah setelah aku menjawab pertanyaanmu, kau akan melepaskan aku?"
"Tentu!" Hwan Eng-giauw mengangguk sedikit, suara berubah menjadi galak berkata:
"Sebutkan, siapa yang mengutus kalian berdua membawa kereta membawa aku dan Pui Siauhiap?"
Setelah ragu-ragu sebentar Ong-ceng berkata:
"Pemilik perusahaan"
"Siapa namanya?"
"Ceng Yong-cun."
Dengan mata terdiam Hwan Eng-giauw berkata:
"Apa maksudnya dia mengutus kalian berdua?"
"Menjaga keselamatan Pui Siauhiap."
Tiba-tiba muka Hwan Eng-giauw menjadi seram, matanya menyorot sinar membunuh. Dia berkata:
"Kau berani berkata bohong untuk menipu aku?"
Hati Ong-ceng tersentak, cepat-cepat menjawab:
"Aku tidak berbohong, memang pemilik perusahaan berpesan begitu!"
Mendengar perkataan itu kemarahan Hwan Eng-giauw agak berkurang. Dia berkata:
"Aku mau bertanya lagi, apa Ceng Yong-cun dulu pernah berhubungan dengan Pui Siauhiap?"
Ong-ceng menggeleng kepala berkata:
"Sepertinya tidak pernah."
Hwan Eng-giauw berkata:
"Kalau tidak ada hubungan apa-apa, untuk apa dia mengutus kalian berdua, mengawal Pui Siauhiap?"
"Hal yang ini aku tidak tahu."
Tiba-tiba Hwan Eng-giauw tertawa mengejek bertanya:
"Kau pernah mendengar darah mengalir terbalik melawan arus dan jutaan semut menyusup ke hati?"
Kenapa saat ini dan di tempat ini Hwan Eng-giauw tiba-tiba mengatakan cara penyiksaan yang mengerikan ini" Ong-ceng bukan orang bodoh. Mimiknya tampak gelisah.
Dia berkata: "Aku pernah dengar."
"Apa kau ingin merasakannya?"
Air muka Ong-ceng berubah dan berkata:
"Kau..."
Hwan Eng-giauw dengan cuek menyambung: "Kalau kau tidak mau mencoba, kau jangan berkata, "tidak tahu", mengerti?"
Dengan mengangguk, Ong-ceng berkata:
"Aku mengerti, tapi kenyataannya aku memang tidak tahu. Aku harus bagaimana...?"
Kedua mata Hwan Eng-giauw menyorot dengan tajam seperti kilat. Dengan ketus memotong perkataannya: "Kau masih berani mengatakan benar-benar tidak tahu, rupanya kalau belum mencoba kau tidak akan berkata jujur!"
Sambil berkata, dia mengangkat tangannya, telunjuknya mau menotok.
Belati di paha Ong-ceng belum dicabut, jalan darahnya ditotok agar darah berhenti mengalir, tapi tetap saja masih amat sakit.
Kalau telunjuk Hwan Eng-giauw sampai ditotokan, Ong-ceng yang cedera parah begini mana sanggup lagi menahan darah balik mengalir melawan arus dan jutaan semut menyusup ke hati"
Tidak terasa perasaan Ong-ceng bergetar, dia segera berkata:
"Mohon jangan melakukannya, aku akan mengatakan yang sejujurnya."
Hwan Eng-giauw mendehem, tangannya diturunkan lagi, matanya seperti kilat menatap Ong-ceng, tidak berkata-kata.
Ong-ceng menarik napas panjang-panjang berkata: "Tujuan sebenarnya adalah mencari tahu asal usul anda dan maksud anda membawa pergi Pui Siauhiap."
"Hanya itu?" Tanya Hwan Eng-giauw.
Sedikit ragu-ragu, Ong-ceng berkata lagi: "Kalau bisa sekalian membawa anda dan Pui Siauhiap ke markas."
"Lalu bagaimana?"
"Ceng Yong-cun akan melapor pada atasannya minta petunjuk!"
Sinar mata Hwan Eng-giauw berdiam lalu bertanya:
"Minta petunjuk pada siapa?"
"Pangcu."
"Pangcu perkumpulan apa?"


Pendekar Gila Karya Cao Re Bing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bu-eng-pang"
Hwan Eng-giauw bertanya:
"Dalam Bu-eng-pang, Ceng Yong-cun menjabat sebagai apa?"
"Kepala cabang Cian-tong."
"Kalau kau, apa jabatanmu?"
"Sub cabang dari Cian-tong."
Hwan Eng-giauw merobah arah pembicaraan:
"Di Cap-ceng-lau, kasir gemuk itu juga orangmu?"
"Betul!" Ong-ceng mengangguk.
"Apakah dia juga termasuk anak buah cabang Cian-tong?"
"Bukan, dia dari kelompok pusat ke lima."
"Sebagai apa?"
"Siang-cu (kepala sub cabang perkumpulan)."
"Siapa namanya?"
"Yang Siau-kang."
Hwan Eng-giauw terdiam sejenak, dia bertanya lagi: "Pembunuhan keji yang terjadi di Sian-sia-cu-cia, apa kau mengetahuinya juga?"
"Perkumpulan kami mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran, sedang mengejar pelaku kejahatan ini."
Sorot mata Hwan Eng-giauw mengawasi: "Jadi bukan perbuatan perkumpulanmu?"
"Aku yakin bukan!" Ong-ceng berkata, "Perkumpulan kami tidak ada perselisihan dengan Pui Siauhiap, tentu tidak akan melakukan perbuatan begitu!"
Hwan Eng-giauw dengan datar menjawab: "Sukar dikatakan, di dunia persilatan banyak masalah terjadi, tapi tidak membutuhkan perselisihan dulu."
Ong-ceng berkata:
"Perkataan anda betul, tapi dari pusat telah turun perintah ke cabang-cabang, selain mengejar pelaku kejahatan juga harus dengan teliti memperhatikan perilaku Pui Siauhiap. Diam-diam menjaga dan melindungi keselamatan Pui Siauhiap. Kalau kasus ini dilakukan oleh perkumpulan kami, tentu kantor pusat tidak akan menurunkan perintah begini!"
Hwan Eng-giauw merenung sebentar lalu berkata:
"Menurut perkataanmu, kemungkinan perkumpulanmu bukan pelaku peristiwa pembunuhan ini."
Ong-ceng mengangguk dan berkata:
"Kenyatannya memang bukan!"
Alis tebal Hwan Eng-giauw berkerut, dia berkata:
"Tetapi...ada sesuatu yang aneh!"
"Aneh bagaimana?"
"Markas pusat kalian telah menurunkan perintah agar menjaga keselamatan Pui Siauhiap, kenapa markas cabang Cian-tong tetap membiarkan Pui Siauhiap berkeliaran di luar, tidak dibawa pulang ke markas cabang untuk dirawat?"
"Aku pernah mendengar masalah ini. Katanya ini kemauan Pangcu, maksudnya Pui Siauhiap dijadikan sebagai umpan memancing pelaku kejahatan menampakkan diri."
Hwan Eng-giauw mengangguk, lalu berkata:
"Ternyata begitu keinginannya."
Perkataan berhenti sejenak, dia berkata lagi:
"Kau pintar melihat keadaan, aku juga selalu menepati janji. Sekarang kau cabut saja belati di pahamu. Beri obat dan dibalut, lalu pergilah!"
Ong-ceng tidak bicara apa-apa lagi, dia mengeluarkan obat, menggigit bibirnya keras-keras menahan sakit kemudian mencabut belati dari pahanya, setelah dibubuhi obat lalu dia menyobek sepotong kain dari bajunya untuk membalut lukanya, setelah berdiri dengan terpincang-pincang meninggalkan tempat ini.
Hwan Eng-giauw tetap berdiri di tempatnya tidak bergerak Sampai bayangan punggung Ong-ceng hilang di kegelapan malam. Baru dia memutar tubuhnya pelan-pelan memandang belakang dinding roboh jauh sekitar 20 meteran. Dengan suara lantang berkata:
"Tuan tidak perlu bersembunyi lagi, silahkan keluar."
Dari belakang dinding roboh terdengar suara tertawa ringan dan perkataan:
"Tuan memiliki pendengaran yang tajam."
Sambil berkata dari belakang dinding roboh muncul seseorang berbaju abu-abu umur 40an.
Hwan Eng-giauw tampak terkejut! Dia berkata-
"Oo.. kau!"
Orang berbaju abu-abu itu juga agak tertegun:
"Kau kenal denganku?"
"Tidak kenal," Hwan Eng-giauw.
Sambil berkata orang berbaju abu-abu itu sudah melangkah dari dinding roboh berjalan dengan mantap, berhenti sekitar dua meteran di depan Hwan Eng-giauw, menatap dengan saksama bertanya:
"Kalau tidak kenal apa maksud perkataanmu itu?"
"Aku kira, seorang teman yang aku kenal, tapi ternyata bukan."
Orang berbaju abu-abu itu dengan acuh tertawa sambil berkata:
"Ternyata salah sangka," Dia bertanya lagi, "Siapa teman yang anda kenal itu"
Hwan Eng-giauw berkata:
"Aku belum lama mengenal teman itu."
Tiba-tiba pandangan matanya berhenti dan berkata:
"Boleh tanya, siapa nama Tuan?"
Orang berbaju abu-abu itu berkata:
"Cayhe Song Bun-po dari Tiang-pai."
Hwan Eng-giauw bersoja memberi hormat dan berkata:
"Ternyata Hui-in-kiam (Pedang awan terbang) Song Tayhiap dari Tiang-pai. Maafkan aku telah kurang sopan." Song Tayhiap juga membalas dengan bersoja: "Jangan sungkan-sungkan, Cayhe ada masalah ingin bertanya."
Hwan Eng-giauw berkata:
"Aku Hwan Eng-giauw datang dari Kwan-gwa."
Perkataannya berhenti sebentar, arah pembicaraan kemudian berobah:
"Apakah Song Tayhiap sudah lama berada di tempat ini?"
Song Bun-po berkata:
"Seperempat jam sebelum Hwan-heng datang."
"Kalau begitu perbicaraanku dengan Goan-ti dan
Ong-ceng sudah didengar oleh Song Tayhiap?"
"Aku sudah memdengar dengan baik."
Hwan Eng-giauw dengan mata terdiam lalu bertanya:
"Song Tayhiap datang kesini, apakah juga demi emas di bawah tanah itu?"
Song Bun-po menggelengkan kepala dan berkata: "Kabar emas di bawah tanah memang amat menarik, tetapi aku bukan orang yang gila harta. Apalagi emas bawah tanah itu hanya kabar angin dunia persilatan saja."
"Kalau begitu, apa maksud kedatangan Song Tayhiap kemari?"
"Cayhe kesini hanya ingin melihat-lihat peristiwa berdarah yang membinasakan seluruh keluarga ini, aku ingin tahu perbuatan ini dilakukan oleh siapa, mungkin ada jejak yang bisa ditelusuri!"
Tiba-tiba pandangan Hwan Eng-giauw berhenti lagi dia bertanya:
"Apakah Song Tayhiap sahabat atau teman karib Pui Siauhiap?"
Song Bun-po menggelengkan kepala dan berkata:
"Cayhe hanya mendengar nama besarnya saja, tapi tidak pernah bertemu juga tidak pernah berhubungan."
"Kalau begitu Song Tayhiap kemari hanya karena rasa setia kawan saja?"
Song Bun-po dengan tertawa datar:
"Juga ada sedikit rasa ingin tahu."
"Oo!" Hwan Eng-giauw mengedip-ngedipkan mata-nya lalu bertanya lagi, "Apa Song Tayhiap sudah menemu-kan jejak-jejak yang mencurigakan?"
"Belum!" Song Bun-po menggeleng kepala lalu berkata:
"Cayhe sudah berkeliling satu kali disini, telah meneliti dengan seksama. Tapi tidak menemukan apa-apa."
Perkataannya berhenti sejenak, dengan mata terdiam dia bertanya:
"Apakah anda betul adik sepupu Pui Siauhiap?"
Hwan Eng-giauw menggeleng kepala berkata: "Bukan."
"Kenapa berbuat begitu?"
Hwan Eng-giauw berkata:
"Supaya tidak dihalangi dan leluasa membawa Pui Siauhiap dari depan orang-orang."
"Kemana anda mau membawa Pui Siauhiap?"
"Ke Kwan-gwa."
"Apakah mau memberi perawatan dan perlindungan?"
Hwan Eng-giauw mengangguk dan berkata:
"Juga berusaha menyembuhkan penyakitnya agar syarafnya normal kembali."
Dengan sorotan mata yang penuh perhatian, dia bertanya:
"Anda berbuat begini apa dikarenakan "setia kawan" atau ada maksud..."
Hwan Eng-giauw berkata:
"Aku tidak menyangkal mempunyai maksud tertentu, tapi itu tidak penting. Kalau syaraf Pui Siauhiap sudah normal kecuali Pui Siauhiap mengizinkan aku campur tangan, aku pasti sekuat' tenagaku membantu membalaskan dendam berdarah yang membinasakan kampungnya dan keluarga ini."
Seberkas sinar aneh menyorot dari mata Song Bun-po, dia lalu berkata:
"Kebesaran hati dan rasa setia kawan anda sangat mengagumkan. Cayhe terlebih dulu mengucapkan semoga anda dapat dengan cepat menyembuhkan penyakit Pui Siauhiap."
Hwan Eng-giauw tersenyum berkata: "Terima kasih atas pujian Song Tayhiap. Juga terima kasih atas ucapan lebih dulunya. Di lain waktu, jika ada senggang, mampirlah ke
Pek-liong-tui di Kwan-ga, dengan senang hati aku menyambut kedatangan anda!"
Selesai berkata Hwan Eng-giauw bersoja memberi hormat dan pamit, tubuhnya melejit terbang ke kereta kuda dan mendarat di tempat duduk kusir, menarik tali kekang, mengayun? pecut, secepat terbang membawa pergi kereta itu.
Baru saja kereta kuda berjalan 20 tombak, di sisi lain, tepatnya 1 tombak di belakang tumpukan tanah tempat kereta tadi berhenti, berdiri seseorang.
Orang itu berbaju hijau, dia adalah orang terpelajar berbaju hijau yang pernah berbicara dengan Hwan Eng-giauw di Cap-ceng-lau.
Orang terpelajar berbaju hijau ini menggendong seseorang yang mengenakan baju hitam, ternyata dia adalah Ilusi bayangan pedang, Pui Se-cin yang telah ditotok nadi tidurnya dan digeletakan begitu saja dalam kereta kuda.
Kenapa bisa begini"
Pui Se-cin tadinya mengenakan baju putih yang kotor dan menguning. Mengapa sekarang menjadi berbaju hitam seluruhnya" Dia yang telah ditotok nadinya dan tergeletak dalam kereta kuda. Kenapa sekarang bisa lari keluar"
Tidak perlu dikatakan lagi, ini pasti permainan orang terpelajar berbaju hijau dengan cara menyulap dia menolong Pui Se-cin keluar dari kereta kuda.
Orang terpelajar berbaju hijau ini amat tampan. Seperti orang yang lemah tidak bertenaga, tapi dengan dua tangan menggendong Pui Se-cin dia sama sekali tidak tampak keberatan.
Dari sini terlihat dia bukan orang terpelajar yang lembut tidak bertenaga. Tetapi dia seorang pendekar dunia persilatan yang berilmu tinggi.
Kalau dia tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, kaki tangan yang cekatan, mana mungkin hanya dalam jarak 3 tombak dapat mengelabui Hwan Eng-giauw, masuk ke dalam kereta dan menolong Pui Se-cin"
Orang terpelajar berbaju hijau itu mengangkat Pui Se-cin dengan dua tangannya, kakinya seperti menginjak awan dan air mengalir, berjalan ke depan Song Bun-po, lalu menaruh Pui Se-cin dan berkata:
"Apa Song Toako sudah tahu asal usul dia?" Dengan membungkuk Song Bun-po menjawab: "Mendengar perkataanya, sepertinya dia anak gadis Hwan Ta-peng dari Pek-liong-tui."
Orang terpelajar berbaju hijau itu berkata: "Hwan Ta-peng orang yang bagaimana?" "Dia pemilik peternakan Peng-hui di Pek-liong-tui." "Bagaimana kelakuan orang itu?" "Berada diantara aliran lurus dan sesat, melakukan sesuatu tidak perduli benar atau salah."
Song Bun-po berhenti sejenak, sorot matanya berhenti pada tubuh Pui Se-cin yang berada di atas tanah: "Siauya sudah memeriksa denyut nadinya?" Orang terpelajar berbaju hijau mengangguk: "Denyut nadinya normal, kalau aku tidak salah memeriksa dia sama sekali tidak sakit."
Song Bun-po melamun sebentar lalu berkata: "Kalau begitu penyakit gilanya hanya berpura-pura!"
Orang terpelajar berbaju hijau berkata: "Mungkin saja!"
"Kenapa tidak dibuka saja totokannya dan tanya langsung padanya" Menurut pikiranku, tidak ada alasan bagi dia untuk berpura-pura gila padamu."
Orang terpelajar berbaju hijau berkata: "Belum tentu, bisa saja dia tetap begitu setelah melihatku."
"Pokoknya urat nadinya tetap harus dibuka. Kenapa tidak sekarang saja agar bisa ditanya?"
Orang terpelajar berbaju hijau termenung berpikir sejenak, merasa perkataan Song Bun-po ada benarnya, lalu dia menangkat tangan menepuk membuka urat nadi Pui Se-cin yang tertotok.
Tubuh Pui Se-cin tergetar dan bangun, pelan-pelan dia membuka kedua matanya, dengan bingung melihat kedua orang ini, lalu memejamkan kembali matanya. .
Orang terpelajar berbaju hijau berkata:
"Toako, adikmu ini telah memeriksa denyut nadimu, kau sama sekali tidak sakit."
Aneh! Kenapa Orang terpelajar berbaju hijau ini juga memanggil kakak sepupu pada Pui Se-cin"
Hwan Eng-giauw tadi mengaku sebagai adik sepupu gadungan. Apa Orang terpelajar berbaju hijau ini juga gadungan"
Pui Se-cin memejam mata tidak mau melayani orang terpelajar berbaju hijau, mukanya tidak berekspresi.
Orang terpelajar berbaju hijau itu berkerut alisnya. Dia berkata lagi:
"Toako, adik mengerti kau berbuat begini tentu ada maksudnya. Kau tentu amat sedih, tetapi disini sekarang tidak ada orang luar, kita masih famili dekat, kau harus mengatakan maksudmu dan bagaimana peristiwa berdarah itu terjadi, agar adikmu dapat menangani dan mencari pelaku kejahatan."
Pui Se-cin tetap memejamkan matanya, tidak melayani orang terpelajar berbaju hijau ini.
Song Bun-po tiba-tiba batuk-batuk dan berkata:
"Pui Siauhiap, Cayhe Song Bun-po dari Tiang-pai. Kali ini mendapat tugas untuk membantu segala sesuatu di samping Mo Siauya. Kalau Pui Siauhiap merasa karena aku jadi tidak leluasa, aku akan segera menghindar."
Selesai berkata, dia memutar tubuh dan membungkuk pada orang terpelajar berbaju hijau itu dan berkata:
"Mo Siauya, silahkan anda berbincang-bincang disini dengan Pui Siauhiap, aku akan menghindar dulu."
Selesai berkata, dia segera mengangkat kakinya, berjalan pergi.
Tiba-tiba Pui Se-cin membuka kedua matanya. Segera meloncat berdiri, menghalangi dengan dua tangannya berkata:
"Song Tayhiap, jangan pergi dulu!"
Song Bun-po berhenti melangkah berdiri di tempatnya tidak bergerak.
Pui Se-cin merangkapkan tangannya katanya:
"Maafkan, aku tidak tahu disini ada Song Tayhiap!"
Song Bun-po juga membalas membeli hormat, dia lalu berkata:
"Sama-sama, Pui Siauhiap tidak usah sungkan-sungkan!"
"Apa Song Tayhiap yang menolongku dari tangan
Hwan Eng-giauw?" Tanya Pui Se-cin.
Song Bun-po menggelengkan kepala berkata: "Bukan, mana aku mampu, Mo Siauya lah yang menolong."
Tidak terasa hati Pui Se-cin merasa terkejut dan aneh! dengan tercengang, dia berkata: "Ternyata adik Cun."
Orang terpelajar berbaju hijau yang bernama Mo Siu-cun mengangguk dengan tersenyum berkata:
"Saat Hwan Eng-giauw mengobrol dengan Song Tayhiap, aku naik ke atas kereta, mengganti dirimu dengan orang lain, membawa Toako turun dari kereta."
"Oo!" Pui Se-cin bertanya, "Siapa yang dipakai untuk menggantikan aku?"
"Seorang anak buah Bu-eng-pang," Kata Mo Siu-cun
"Apa Hwan Eng-giauw melihat?"
Mo Siu-cun menggelengkan kepala: "Tidak."
Pui Se-cin terdiam sebentar lalu bertanya: "Dimana sekarang Hwan Eng-giauw?"
"Sudah pergi."
"Kau tahu kemana dia pergi?"
"Membawa anak buah Bu-eng-pang pulang ke Kwan-gwa."
Pui Se-cin terdiam, tiba-tiba dia mendesah:
"Adik Cun, kau telah merusak rencanaku!"
Mo Siu-cun terkejut lalu bertanya:
"Kenapa aku merusak rencana Toako?"
"Apakah adik Cun mengetahui kenapa aku berpura-pura menjadi orang gila?" Tanya Pui Se-cin.
Mo Siu-cun termenung sebentar, katanya: "Pasti mau mencari penjahat yang membakar rumah dan membunuh orang kalian."
"Betul!" Pui Se-cin berkata, "Kalau tidak begitu, hanya berdasarkan kemampuan silat Hwan Eng-giauw mana dapat membawa aku?"
Mo Siu-cun dengan alis berkerut bertanya:
"Kalau begitu siapa pelaku yang membakar kampung dan membunuh orang" Apa kakak sepupu sudah mengetahuinya?"
Dengan tertawa kecut Pui Se-cin berkata:
"Kalau aku sudah mengetahui buat apa aku berpura-pura bodoh dan gila?"
Mo Siu-cun mengedipkan matanya dan bertanya: "Apa Toako merasa Hwan Eng-giauw merupakan salah satu petunjuk?"
"Mungkin saja."
Mo Siu-cun menggeleng kepala: "Aku merasa kemungkinan besar bukan."
Pandangan Pui Se-cin berhenti dan bertanya: "Berdasarkan apa kau berani mengatakan demikian?"
"Mendengar pembicaraan dia dengan Song Tayhiap, aku yakin dia tidak ada hubungan apa-apa dengan peristiwa berdarah itu."
"Oo!" kedua mata Pui Se-cin berkedip lalu bertanya: "Apa saja yang dibicaraan dia dengan Song Tayhiap?"
Mo Siu-cun dengan ringkas saja menceritakan pembicaraan Hwan Eng-giauw dengan Song Tayhiap.
Setelah mendengar semuanya, alis Pui Se-cin berkerut, dia berpikir sejenak, katanya:
"Kalau melihat keadaannya, sepertinya dia tidak ada hubungan dengan peristiwa ini!"
"Toako, aku merasa Bu-eng-pang yang paling mencurigakan!"
Pui Se-cin terkejut lalu berkata: "Bu-eng-pang?"
"Apakah Toako tidak tahu Bu-eng-pang?"
Pui Se-cin menggeleng kepala berkata:
"Tidak pernah mendengar," Dia berhenti sejenak, dengan mata terdiam dia bertanya:
"Darimana adik Cun mendehgar?"
Mo Siu-cun segera menceritakan kembali ringkasan percakapan Hwan Eng-giauw pada Pui Se-cin.
Pui Se-cin mendengar dengan tenang, tiba-tiba matanya berputar memandang Song Bun-po, dan bertanya:
"Apakah Song Tayhiap tahu Bu-eng-pang itu perkumpulan apa?"
Song Bun-po dengan menggelengkan kepala berkata:
"Cayhe juga baru malam ini pertama kali mendengar."
Tiba-tiba dua mata Mo Siu-cun terlihat terkejut, dengan suara rendah berkata:
"Toako ada orang datang."
Pui Se-cin tercengang, lalu bertanya:
"Masih berapa jauh?"
Mo Siu-cun berkata:
"Setengah Li, mari kita bersembunyi dulu dan melihat siapa yang datang."
Baru saja ketiga orang ini selesai bersembunyi di balik dinding roboh. Dari depan perkampungan sudah melayang dengan cepat 8 orang berbaju hitam dan bertopeng.
Delapan orang ini baru saja tubuhnya mencapai tanah, matanya sudah menyapu sekeliling tempat itu, Salah seorang bertopeng, bertubuh kekar dengan suara rendah berkata:
"Ong Siung, bukankah kau mengatakan mereka menuju arah sini" Kenapa satupun tidak nampak bayangannya?"
Ong Siung yang bertubuh kecil dan bertutup muka itu berkata:
"Ada kemungkinan mereka merubah..."
Tiba-tiba mata dia melihat lurus, mengangkat tangan menunjuk tanah di depannya, sejauh 15 tombak ada mayat Goan-ti, dia berkata:
"Tuan Han, lihat!"
Orang yang dipanggil Tuan Han orang bertutup muka bertubuh kekar itu secepat kilat melihat ke tempat yang ditunjuk Ong Siung itu, lalu bertanya:
"Kau lihat yang disana, siapa itu?"
Tubuh Ong Siung melejit kesisi mayat Goan-ti, membalikan mayat itu dengan kakinya hingga tubuh Goan-ti menjadi terlentang dengan muka menghadap ke atas.
Setelah melihat dengan jelas, hatinya terkejut, lalu berkata:
"Tuan Han, dia Goan-ti!"
"Oh" Tuan Han dengan tenang berkata:
"Coba periksa apakah dia masih bernapas?"
Ong Siung membungkuk dengan jari tangannya mencoba hawa hidung Goan-ti, lalu meluruskan tubuh berkata:
"Tubuhnya sudah dingin!"
Orang yang bertubuh kurus dan bertutup muka tiba-tiba batuk-batuk ringan berkata:
"Tuan Han, kita tidak boleh membiarkan begitu saja orang she Hwan itu membawa pergi Pui Se-cin!" Tuan Han mengangguk dan berkata: "Tenang saja, dia tidak akan kemana-mana, memang dia beruntung bisa membawa Pui Se-cin ke Pek Liong Tui, tapi aku juga bisa mengejarnya ke Pek Liong Tui dan mengambil kembali dari ayahnya!"
Orang kurus bertopeng itu berkata: "Betul kata Tuan Han. Dengan kehebatan Tuan Han di dunia persilatan, Hwan Ta-peng bagaimana pun tidak akan berani menolak!"
Tuan Han tertawa dan berkata: "Kalau dia berani menolak keinginanku, aku akan membuat peternakannya sama dengan keadaan disini!" Setelah berhenti sejenak dia berkata lagi: "Anak itu tentu belum terlalu jauh perginya, kalau kita kejar secepatnya mungkin masih keburu!"
Selesai berkata, tubuh sudah siap-siap mau berangkat pergi. "
Tiba-tiba dari balik dinding yang roboh terdengar suara nyaring katanya:
"Kalian jangan pergi dulu!"
Bersamaan dengan perkataan, Mo Siu-cun sudah menampakkan diri dari balik dinding roboh, melangkah dari balik dinding roboh, dengan santai dan tenang berjalan menuju Tuan Han dengan 7 orang kawannya.
Tuan Han dan 7 orang kawannya semua terkejut, mereka tidak menyangka, ternyata ada orang bersembunyi di belakang dinding roboh.
Ke delapan orang itu dengan sorotan mata yang tajam memandang Mo Siu-cun yang mendatangi sampai Mo Siu-cun berhenti kira-kira 3 meteran di depan Tuan Han, baru bertanya dengan suara ketus:
"Anda siapa?"
"Aku Mo Siu-cun."
"Kau ada keperluan apa?" Tanya Tuan Han.
"Aku ada perlu ingin bertanya!"
"Oo!" Tuan Han berkata, "Silahkan katakan!"
"Maafkan, aku ingin bertanya, nama anda siapa?"
"Aku Han Lie, orang-orang memanggil aku dengan sebutan "Toan-hiat-hun-ciang!" (Telapak berdarah pemutus arwah)"
Mata Mo Siu-cun melirik 7 orang lainnya bertanya:
"Kalau mereka bertujuh?"
"Mereka anak buah aku."
"Aku ingin bertanya lagi, apa Tuan Han orang Bu-eng-pang?"
Kedua mata Han Lie menyorot seperti listrik, tiba-tiba terdiam lalu bertanya:
"Darimana anda tahu?"
"Aku mendengar Goan-ti dan Ong-ceng yang mengatakan."
"Apakah Goan-ti dibunuh olehmu?"
Mo Siu-cun menggeleng kepala sambil berkata:
"Aku tidak ada perselisihan atau dendam dengannya, tidak ada alasan untuk membunuhnya. Dia juga belum pantas untuk dibunuh olehku!"
"Jadi siapa yang membunuhnya?"
Mo Siu-cun berkata dengan santai:
"Aku ingin bertanya untuk apa Tuan Han datang membawa begitu banyak orang?"
Kedua mata Han Lie berkedip-kedip lalu berkata: "Apa dilakukan oleh Hwan Eng-giauw?"
Mo Siu-cun mengangguk dan berkata: "Ternyata Tuan Han cerdas sekali."
"Aku memang orang cerdas." Berhenti sejenak dia bertanya lagi, "Dimana Hwan Eng-giauw?"
"Sudah pergi!"
"Pergi kemana?"
"Pertanyaan Tuan Han ini kurang bijaksana!"
Han Lie bingung, bertanya: "Kenapa kurang bijaksana?"
"Aku mau bertanya. Kalau Tuan Han mau pergi ke suatu tempat, apa memberitahu tempat tujuannya kepada orang yang tidak dikenal?"
Han Lie menggeleng kepala dan berkata:
"Tentu saja tidak!"


Pendekar Gila Karya Cao Re Bing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itulah." Kata Mo Siu-cun, "Pertama aku dan Hwan Eng-giauw tidak saling kenal, kedua, aku bersembunyi di belakang dinding roboh. Dia tidak menemukan aku. Aku juga tidak keluar untuk berbicara dengan dia. Tentu saja dia
tidak memberitahu aku dia mau kemana. Jadi aku mana " tahu dia kemana."
Perkataannya sangat masuk akal.
Han Lie mengedipkan kedua matanya, dia berpikir sejenak lalu berkata lagi:
"Kalau begitu, aku mau bertanya. Bagaimana keadaan Ong-ceng?"
"Dia juga sudah pergi!"
"Apakah bersama Hwan Eng-giauw?"
"Bukan." Mo Siu-cun berkata, "Mungkin dia pulang ke kantor cabang Cian-tong."
Berita ini sedikit luar dugaan, Han Lie bertanya lagi: "Hwan Eng-giauw tidak membunuhnya?"
Mo Siu-cun menggeleng kepala berkata: "Nasibnya lebih baik dari Goan-ti, dan lagi dia bisa melihat keadaan, sehingga dia dilepas oleh Hwan Eng-giauw."
"Kalau dia bisa melihat keadaan, dan sampai dilepas Hwan Eng-giauw tentu ada syarat tertentu!"
Mo Siu-cun dengan datar berkata:
"Kalau tidak, mana bisa disebut 'bisa melihat keadaan'?"
Sorotan mata Han Lie terdiam, lalu dia bertanya: "Apa syaratnya Hwan Eng-giauw?"
"Menjawab dengan jujur pertanyaannya."
"Apa saja yang ditanya Hwan Eng-giauw?"
"Semua yang dia ingin tahu, sudah dia tanyakan."
"Apakah semua telah dijawab dengan jujur oleh Ong-ceng?"
Mo Siu-cun berkata:
"Paha Ong-ceng cedera parah, dengan ancaman 'darah balik mengalir melawan arus, sejuta semut menyusup ke hati semua orang kuat yang terbuat dari baja juga tidak akan sanggup, tidak menjawab dengan jujur."
"Anda betul!" Han Lie mengangguk. Sorotan matanya terdiam lagi, dia berkata, "Setelah Goan-ti dan Ong-ceng, ada lagi seorang anak buah kelompok kami ikut kemari apa anda melihatnya?"
Mo Siu-cun mengangguk:
"Dia tergolek dalam kereta yang dibawa Hwan Eng-giauw."
"Oo!" Han Lie mengedipkan matanya: "Hal inikah yang mau anda ceritakan padaku?"
"Selain ini masih ada sebuah masalah yang lebih penting."
Han Lie dengan tenang bertanya: "Masalah apa yang lebih penting?"
Berpikir sejenak, Mo Siu-cun berkata:
"Harap Tuan Han memberitahu dulu jabatan anda di Bu-eng-pang."
"Apakah perlu?" Tanya Han Lie.
"Hm!" Mo Siu-cun menganggukan kepala.
"Apakah pantas?"
Dengan tegas Mo Siu-cun berkata:
"Aku perlu mengetahui jabatan Tuan Han karena pantas atau tidak untuk diberitahu kabar ini?"
"Oh!" mata Han Lie berkedip, setelah berpikir sejenak lalu berkata:
"Jabatanku adalah Hu-hoat utama, apakah ini cukup dengan jabatan ini?"
Sebuah sorotan heran terlihat dari mata Mo Siu-cun, dia berkata:
"Cukup!"
"Kalau begitu, katakanlah apa yang disebut kabar penting itu!"
Mo Siu-cun mengangguk dan berkata:
"Kereta kuda yang dibawa Hwan Eng-giauw hanya berbaring anak buah kelompok anda yang tadi itu, tetapi tidak ada Pui Siauhiap."
Tidak terasa mata Han Lie terdiam, lalu bertanya: "Apakah benar kata-katamu?" rri
"Aku tidak pernah berkata bohong untuk menipu orang!"
Bola mata Han Lie berputar lalu menatap:
"kalau begitu anda tahu Pui,Siauhiap sekarang ada dimana!"
Mo Siu-cun dengan asal menjawab:
"Berada di tempat yang sangat aman sekali!"
"Siapa yang menolong Pui Siauhiap?" Tanya Han Lie.
"Aku!"
"Kau?"
"Tuan Han tidak percaya?"
"Aku kurang yakin, anda seorang diri bisa menolong Pui Siauhiap?" Kata Han Lie.
"Kenapa?"
Dengan tertawa Han Lie berkata:
"Karena kepandaianmu tidak bisa melawan Hwan Eng-giauw!"
Dengan tertawa Mo Siu-cun berkata: "Apakah Tuan Han yakin?"
Han Lie menggelengkan kepala berkata: "Aku yakin pada mataku sendiri, dan tidak pernah salah melihat orang."
Wajah dan cara bicaranya memang sangat yakin. Sayang kenyataannya dia telah salah melihat orang.
Hwan Eng-giauw memang termasuk pemuda hebat. Pendekar kelas satu di dunia persilatan saat ini. Tetapi Mo Siu-cun berkepandaian aneh dan ajaib. Hwan Eng-giauw tidak akan sanggup menghadapi 3 jurus Mo Siu-cun!
Tetapi biarpun kenyataannya begitu, Mo Siu-cun tidak mau berdebat, dia hanya tersenyum biasa saja.
Sebab sebentar lagi akan terbukti kenyataannya. Sama sekali tidak perlu berdebat dengan hal yang tidak berarti.
Kedua mata Han Lie berkedip-kedip, setelah terdiam sebentar, dia bertanya:
"Apa maksud anda memberi tahu aku masalah ini?" Mo Siu-cun balik bertanya:
"Apa Tuan Han masih ingin pergi mengejar Hwan Eng-giauw?"
"Kalau Pui Siauhiap telah ditolong, aku sudah tidak perlu pergi mengejar dia lagi!"
Mo Siu-cun bertanya:
"Apa hidup dan mati anak buah kelompok anda sudah tidak dipedulikan lagi?"
"Bukan tidak peduli, tetapi sama sekali sudah tidak perlu diurus!"
"Kenapa?"
"Aku merasa Hwan Eng-giauw tidak membutuhkan nyawanya dan telah membunuhnya!"
"Apakah Tuan Han yakin dengan pendapatmu itu?" Kata Mo Siu-cun.
"hm!" Han Lie berkata, "Aku selalu tidak pernah mengatakan yang tidak yakin!"
"Apabila ada sedikit meleset bagaimana?"
Tiba-tiba mata Han Lie menyorot emosi, lalu berkata:
"Tidak apa-apa, orang kelompok kami akan membalas dendam dan akan minta tanggung jawab!" Dia berhenti sejenak, lalu berkata lagi: "Coba anda jawab pertanyaanku. Apa maksud anda sebenarnya?"
Mo Siu-cun berkata:
"Maksudku agar Tuan Han tidak membawa anak buah Tuan pergi mengejar dengan percuma!"
"Apakah tidak ada maksud yang lain?"
"Aku tidak mau menipumu, memang aku ada maksud tertentu!"
"Apa maksudmu?" Tanya Han Lie "
"Harap Tuan Han menyanggupi dulu satu permintaanku!"
"Permintaan apa?"
"Harap Tuan Han menjawab dulu beberapa pertanyaanku!"
"Apakah ini syarat?"
Mo Siu-cun mengangguk lalu bertanya:
"Apa Tuan Han setuju atau tidak?"
Sepasang mata Han Lie menyorot tajam:
"Kalau aku tidak setuju, apa anda tidak mau mengatakan maksud anda?" ?*
Dengan acuh Mo Siu-cun berkata:
"Bukan tidak mau mengatakan. Tetapi yang dikatakan itu belum tentu perkataan yang sebenarnya!"
Dengan tertawa Han Lie berkata: "Anda, aku..."
Tiba-tiba Mo Siu-cun menggoyang-goyangkan tangan yang diangkat. Dengan memotong perkataannya, berkata:
"Tuan Han, biar aku memberi saran dulu. Yang terbaik jangan berniat melakukan kekerasan padaku, itu tidak berguna dan tidak ada manfaat apa-apa bagimu!"
Perkataan Han Lie yang dipotong itu memang ada dua perkataan mengancam. Sekarang setelah terlebih dulu dipotong oleh Mo Siu-cun. Dalam hatinya dia terkejut sekali, lalu dengan tertawa kecil berkata:
"Anda orang yang hebat, pintar bicara juga cerdas!" Dengan datar Mo Siu-cun tertawa dan berkata: "Terima kasih atas pujian Tuan Han. Aku merasa tersanjung!"
Pikiran Han Lie berputar cepat, tiba-tiba dia mengangkat tangan dan digoyangkan, lalu berkata:
"Anda jangan marah. Aku menyanggupi syarat anda, tetapi aku juga punya syarat!"
"Tuan Han punya syarat apa?"
"Aku juga punya beberapa pertanyaan harap dijawab dengan jujur!"
"Oh!" mata bulat Mo Siu-cun mengedip sebentar: "Tidak masalah, kalau aku tahu pasti kujawab dengan jujur"
Han Lie menyambung dan berkata lagi:
"Aku juga punya satu permintaan harap anda menyerahkan Pui Siauhiap padaku. Biar aku yang melindunginya!"
Menurut aturan permintaan ini pasti ditolak. Tapi kenyataannya di luar dugaan. Mo Siu-cun sedikitpun tidak iagu-ragu dan mengangguk lalu berkata:
"Ini juga Kelak masalah. Asal Pui Siauhiap sendiri mau dilindungi oleh Tuan Han!"
Dia sama sekali tidak ragu mengiyakan permintaan Han Lie. Tapi perkataan "asal Pui Siauhiap sendiri yang mau" ini yang menjadi masalah besar, tampak ada maksud lain dalam perkataan itu.
Pui Siauhiap "Busi bayangan pedang" Pui Se-cin orang gila yang tidak ada ingatan sama sekali. Orang gila bagaimana bisa seperti orang normal, bisa berpikir waras dan mengatakan mau atau tidak"
Han Lie sudah puluhan tahun bergelut di dunia persilatan, pengetahuan dan pengalamannya amat luas. Sayang, kali ini dia tidak terpikirkan dan tidak berpikir dengan teliti.
Tentu saja, dia tidak menyangka, gilanya Pui Se-cin hanya gila buatan!
Sebab itu, perkataan Mo Siu-cun berhenti, dia segera tersenyum dan mengangguk:
"Terima kasih atas jawaban anda yang amat berharga ini!"
Mo Siu-cun dengan tersenyum berkata:
"Tuan Han tidak usah sungkan-sungkan lagi. Sekarang semua sudah jelas. Saatnya Tuan menjawab pertanyaanku!"
Han Lie mengangguk dan berkata: "Baiklah. Anda mau bertanya apa silahkan!"
Mata bulat Mo Siu-cun tiba-tjba terdiam bertanya: "Tuan Han, sejak kapan perkumpulan anda didirikan?"
"Tiga tahun yang lalu."
"Apa visi dan misi perkumpulan ini?"
"Untuk menjaga solidaritas dunia persilatan, mempersatukan orang jahat dunia persilatan agar mengikuti peraturan. Pelan-pelan merubah keburukan kembali ke jalan yang benar, dengan sendirinya mengurangi kejahatan!"
"Kalau begitu perkumpulan anda bertujuan berbuat kebajikan di dunia persilatan, membasmi kejahatan. Perkumpulan anda tentu akan mendapat nama besar sebagai perkumpulan menjunjung kebenaran dan keadilan dunia persilatan saat ini."
Naga Naga Kecil 3 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Manusia Yang Bisa Menghilang 3
^