Pencarian

Pendekar Jembel 1

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 1


"Pendekar Jembel
Hiat Kut Tan Sin
Karya : Liang Ie Shen
Sunyi-senyap suasana pegunungan, hanya suara pekik kera
yang terkadang menyelinap di antara suara kicauan burung
memecah kesunyian itu. Di tengah suasana sunyi itulah ada
seorang pemuda sedang mengayunkan langkahnya di lembah
pegunungan. Dia adalah murid terkecil Lui Tjin-tju, ketua Butong-
pay, namanya Tjin Goan-ko. Tatkala itu ia lagi menyusuri
jalanan terjal di lereng gunung Tji-lay-san.
Tji-lay-san adalah sebuah gunung ternama di barat-daya
propinsi Soatang, yaitu terletak di selatan kabupaten Thay-an.
Jadi menjulang berhadapan dengan gunung Thay (Altai) yang
terletak di utara Thay-an,
Tji-lay-san itu tidak terlalu tinggi, tapi lantaran tiada
sesuatu hasil bumi apapun, juga tidak banyak binatang liar,
maka penduduknya pun sangat jarang. Lantaran itulah
sepanjang jalan menuju pegunungan Tji-lay-san yang dilalui
Tjin Goan-ko, belum pernah ditemuinya seorang pun.
Walaupun berjalan seorang diri dan kesepian, tapi di dalam
hati Tjin Goan-ko justru terasa sangat hangat. Suara kicauan
burung pegunungan itu seakan-akan paduan suara yang
mengingatkan dia pada ujar orang kuno bahwa suara burung
itu seperti sedang mencari sahabat. Dan perjalanannya ke
Tong-peng-koan kali ini justru adalah kesempatan bagus
baginya untuk berkawan dengan ksatria-ksatria sejagad yang
berkumpul di sana.
Di tengah suasana kesepian itu Tjin Goan-ko sudah
membayangkan betapa ramainya pesta yang akan dihadirinya
itu. Pikirnya, "Hari ini adalah tanggal sepuluh bulan delapan,
setelah melintasi Tji-lay-san, dalam waktu dua hari aku sudah
dapat sampai di rumah keluarga Kang. Hari pestanya adalah
Pek-gwe Tjap-go (tanggal 15 bulan delapan), jadi aku datang
lebih dulu tiga hari sebelumnya, entah di sana sudah ada tamu
lain atau tidak. Kalau tidak ada, wah tentu aku akan merasa
rikuh, tapi Kang-tayhiap terkenal sangat simpatik, tentu beliau
takkan mencela kedatanganku yang kurang layak itu."
Kiranya tanggal 15 bulan delapan adalah hari perkawinan
putri kesayangan Kang Hay-thian yang termashur itu.
Putrinya, yaitu Kang Hiau-hu akan menikah dengan Ubun
Hiong, murid Kang Hay-thian sendiri yang menjadi ahliwarisnya
pula. Hari bahagia itu telah ditetapkan pada hari raya
Tiong-tjhiu yang baik itu. Sebagai tokoh terkemuka dari dunia
persilatan, ketika diketahui akan berita baik itu, dengan
sendirinya tokoh-tokoh dari aliran lain akan hadir atau
mengirim utusan untuk mengucapkan selamat kepadanya.
Dan Tjin Goan-ko adalah utusan Bu-tong-pay.
Sebenarnya jago-jago Bu-tong-pay tidaklah sedikit, bahkan
kalau mengingat kedudukan Kang Hay-thian sebagai jago
nomor satu pada zaman ini, untuk menghadiri pesta
pernikahan putrinya itu sepantasnya Bu-tong-pay mesti
mengirim seorang wakil dari angkatan yang setingkat sebagai
tanda penghormatannya kepada Kang Hay-thian, tapi Tjin
Goan-ko meski cuma murid Lui Tjin-tju yang buncit, namun
dia mempunyai bakat yang bagus, tinggi ilmu silatnya
malahan di atas segenap Suheng-suhengnya, maka Lui Tjintju
paling sayang padanya dan bermaksud memupuk anak
muda ini. Sebab itulah pada saat Tjin Goan-ko tamat belajar
dan untuk pertama kalinya keluar lantas diberi tugas sebagai
wakil pribadinya untuk menyampaikan ucapan selamat kepada
Kang Hay-thian.
Lui Tjin-tju tahu Kang Hay-thian paling suka kepada ksatria
muda, jika murid kesayangannya ini yang diutus ke rumah
Kang Hay-thian, ia yakin Kang Hay-thian pasti akan menaruh
perhatian khusus dan akan merasa senang malah, tak nanti
Kang Hay-thian akan merasa direndahkan karena ketidak
hadiran Lui Tjin-tju sendiri.
Tapi lantaran Tjin Goan-ko baru untuk pertama kali
berkelana, orang keluarga Kang juga tidak kenal padanya,
maka Lui Tjin-tju sengaja menulis sepucuk surat perkenalan
dan dibawakan pada Tjin Goan-ko, berikut kartu undangan
yang diterima dari Kang Hay-thian itu.
Maka pada saat itulah Tjin Goan-ko sedang membayangkan
secara muluk-muluk perkenalannya dengan para jago
terkemuka di seluruh dunia.
Selagi Tjin Goan-ko merasa gembira sekali di antara
hembusan angin, tiba-tiba terendus olehnya bau wangi bunga
Kui yang harum semerbak. Waktu Goan-ko menoleh,
dilihatnya di lereng bukit sana ada sebuah rumah yang
dibangun membelakangi bukit dan cukup megah dengan
gentingnya yang berwarna hijau dan dinding tembok dilabur
kemerah-merahan. Terang itu bukan rumah kaum pemburu,
tapi pasti rumah keluarga orang berduit. Rupanya di taman
bunga situ tertanam banyak pohon Kui yang sedang mekar
bunganya, maka bau wangi sayup-sayup terbawa angin
hingga terendus oleh Tjin Goan-ko.
Tatkala itu sudah mendekati senja dengan
pemandangannya yang indah. Diam-diam Tjin Goan-ko
menimang-nimang, "Hari sudah hampir malam, keluar dari Tjilay-
san ini belum tentu akan mendapatkan tempat bermalam,
ada baiknya bila aku mohon menumpang kepada tuan rumah
itu." Tapi lantas terpikir pula olehnya, "Entah orang macam
apakah pemilik rumah itu" Suhu telah berpesan agar berhatihati
dalam perjalanannya. Tampaknya memang luar biasa
keluarga yang hidup terpencil di pegunungan sunyi ini, mana
boleh aku sembarangan minta bermalam di sana. Aku sudah
terbiasa tidur di tempat terbuka di atas gunung, jika tidak
menemukan tempat menginap juga tidak menjadi halangan
bagiku." Cuma Tjin Goan-ko sesungguhnya sudah amat lelah selama
beberapa hari dalam perjalanan. Ia menghirup napas dalamdalam,
hawa sejuk dan bau harum membuat semangatnya
menjadi segar. Setelah mengulet kemalas-malasan, kemudian
Goan-ko duduk mengaso di tepi jalan.
Tiba-tiba terdengar di dalam taman bunga rumah itu ada
suara seorang pemuda sedang berkata, "Asap mengepul lurus
di gurun luas!"
Lalu ada suara seorang perempuan muda menanggapi
pula, "Bola matahari tenggelam di balik sungai panjang!"
Selain belajar silat, Tjin Goan-ko juga diberi pelajaran
kesusastraan oleh Lui Tjin-tju, maka sedikit banyak ia pun bisa
bersyair. Setelah mendengar ucapan kedua muda-mudi di
dalam taman itu, Goan-ko menjadi heran mengapa mereka
tidak bersyair di kamar baca, sebaliknya bersanjak di taman
bunga, pula syair yang diucapkan mereka itu tidak lengkap,
melainkan cuma satu dua bait saja.
Letak rumah orang itu berada di bawah, sedangkan Goanko
duduk di bagian tanjakan yang lebih tinggi sehingga
pandangannya dapat mencapai keadaan di dalam taman
bunga itu. Bukan maksudnya hendak mengintip, tapi lantaran
ingin tahu, tanpa terasa ia memandang ke jurusan datangnya
suara itu. Tadinya kedua muda-mudi itu tertutup oleh semak-semak
bunga, tapi kini sudah berada di suatu tempat terbuka di
dalam taman itu.
Kelihatan tangan masing-masing memegang sebatang
pedang. Terdengar si pemuda sedang berkata pula, "Jurus
'Asap mengepul lurus di gurun luas' yang kau mainkan sudah
betul, hanya tenaganya saja masih kurang kuat. Sebaliknya
jurus 'Bola matahari tenggelam di balik sungai' itu yang
kurang tepat mainnya, kau harus berlatih lagi. Coba lihat
caraku ini!"
Habis berkata, pedangnya bergerak, ia menggores suatu
lingkaran sehingga menimbulkan cahaya pedang yang gemiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lapan, tubuh pemuda itu seakan-akan terbungkus di dalam
lingkaran sinar pedang.
Segera si nona menirukan gerakan pedang si pemuda, akan
tetapi selalu kurang tepat, lingkarannya kurang bulat. Si nona
menjadi uring-uringan dan ngambek tak mau main lagi.
"Jangan putus asa, jurus ini aku sendiri hampir sebulan
baru dapat memainkannya dengan baik, kau baru berlatih tiga
hari sudah tentu belum apa-apa," kata si pemuda.
"Baiklah, jurus ini boleh kulatih besok pagi, sekarang kau
perlihatkan jurus 'Asap mengepul lurus di gurun luas' tadi, aku
ingin tahu sebab apa tenagaku selalu tidak cukup," pinta si
nona Si pemuda menurut, pedangnya lantas menusuk ke depan
dengan lurus seperti sambaran panah. Begitu hebat
kekuatannya sampai kelopak-kelopak bunga Kui di atas pohon
sama rontok bertebaran.
Walaupun Tjin Goan-ko tidak berada di dalam taman, tapi
melihat rontoknya daun-daun bunga itu ia pun seperti
merasakan betapa hebat menderunya angin senjata. Diamdiam
ia terkejut, pikirnya, "Ilmu pedang yang dimainkan
pemuda ini memang ilmu pedang kelas tinggi, kekuatannya
juga hebat. Entah berasal dari aliran manakah dia?"
Dan baru sekarang Goan-ko mengetahui bahwa kedua
muda-mudi itu sebenarnya sedang berlatih ilmu pedang,
beberapa bait syair kuno yang mereka ucapkan tadi adalah
nama-nama jurus ilmu pedang yang mereka mainkan itu.
Terdengar si pemuda sedang memberi petunjuk, "Waktu
pedang ditusukkan ke depan, siku sedikit melengkung, tenaga
terhimpun di dalam perut dan siap dikerahkan, dengan
demikian kekuatan tusukan tentu akan cukup hebat."
Beberapa kali si nona mengulangi jurus ilmu pedangnya
dan lambat-laun dapat juga membikin rontok sedikit daun
bunga. Dengan tertawa si pemuda memuji, "Bagus, bakatmu
memang lebih tinggi daripada diriku, jurus ini sudah boleh
bagimu." "Marilah kita coba-coba bergebrak beberapa jurus," ajak si
nona. "Nah awas, mulai!"
Berbareng pedangnya terus menusuk dengan cepat sambi!
mengucapkan satu bait syair.
"Bagus," seru si pemuda. "Awas serangan balasanku!"
Begitulah seketika sinar pedang berhamburan, setiap jurus
serangan muda-mudi itu selalu menyesuaikan keadaan
dengan arti suaru bait syair kuno. Begitu cepat putaran
pedang mereka sehingga Tjin Goan-ko merasa silau. Pikirnya,
"Pantas Suhu sering memberi pesan bahwa di dunia Kangouw
teramat banyak tokoh-tokoh kosen tersembunyi, di mana pun
terdapat orang pandai. Ilmu pdang pemuda ini entah dari
golongan mana, tapi jelas ilmu pedangnya tidak di bawah ilmu
pedang Bu-tong-pay kami."
Berpikir demikian, timbul hasratnya untuk berkenalan
dengan pemuda itu.
Selagi Tjin Goan-ko termenung, terdengar di sebelah sana
si pemuda itu berseru, "Awas serangan!"
Berbareng pedangnya lantas menusuk, tapi si nona sempat
menangkis dan balas menyerang satu kali, pedangnya
memotong miring ke depan, akan tetapi rupanya dia kalah
kuat tenaganya, ketika pedang si pemuda menyampuk ke
bawah, "Trang", benturan itu membikin pedang si nona
terpental jatuh.
Melihat begitu bagus ilmu pedang si pemuda, hampir saja
Tjin Goan-ko bersorak memuji. Syukur dia masih bisa
menahan diri, sebelum suaranya tercetus sempat ditelan
kembali mentah-mentah.
Nampak si pemuda itu menjemputkan pedang si nona,
katanya dengan mengiring tertawa, "Maaf, aku tak sempat
menahan tenagaku sehingga memukul jatuh pedangmu.
Marilah kita coba-coba lagi."
"Sudahlah, aku emoh lagi," sahut si nona ngambek.
"Eh, kita kan cuma latihan saja, mengapa engkau anggap
sungguh-sungguh?" ujar si pemuda.
"Kalau cuma latihan saja, mengapa kau pukul jatuh
pedangku?" kata si nona.
"Mengapa tidak," sahut si pemuda. "Mataku memandang
empat penjuru, telingaku mendengar delapan arah. Jika betul
ada orang lain yang menyaksikan, hm, lihat saja aku akan
menyeret dia keluar ke sini."
Mendengar kata-kata yang seakan-akan ditujukan
kepadanya, tanpa terasa Tjin Goan-ko mengkeret dan
menyembunyikan dirinya lebih rapat.
Sebenarnya ada hasrat Goan-ko untuk berkenalan dengan
muda-mudi itu. Kini setelah mendengar pembicaraan mereka
itu baru dia sadar bahwa dirinya memang tidak pantas muncul
begitu saja. Maklumlah, orang persilatan umumnya sekali-kali
tidak ingin orang luar menyaksikan di kala mereka sedang
berlatih ilmu silat perguruannya sendiri. Sebab itu adalah
suatu pantangan besar untuk mengintip orang berlatih.
Diam-diam Goan-ko membatin, "Untung mereka tidak
memergoki diriku, jika tidak, tentu akan terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Nanti kalau sudah sampai di rumah Kangtayhiap
akan kutanya asal-usul keluarga ini, setelah jelas
rasanya masih belum terlambat aku mengikat persahabatan
dengan mereka."
Mestinya Goan-ko ingin menyingkir pergi, tapi kedua mudamudi
itu masih di dalam taman, jika Goan-ko bergerak tentu
akan ketahuan. Sebab itulah walaupun Goan-ko tiada niat
mengintip mereka berlatih, sekarang terpaksa ia harus
mengintip terus.
Terdengar si pemuda sedang berkata, "Adik Siang, kita kan
cuma saling belajar saja, memang ilmu pedang ini aku lebih
mahir daripada kau, tapi kalau bicara tentang menggunakan
senjata rahasia, akulah yang harus belajar padamu. Ehm,
betul, kita tidak berlatih pedang lagi, marilah berlatih senjata
rahasia saja. Katanya kau punya Bwe-hoa-tjiam (jarum
berbentuk bunga Bwe) sangat lihai, coba perlihatkan satu
jurus sekedar menambah pengalamanku."
Dengan dipuji dan diumpak begitu, dari uring-uringan si
nona berubah menjadi senang, katanya, "Kau tidak perlu
memuji diriku. Kata ayahku, kakekmu adalah jago nomor satu
di dunia ini, masakah iimu senjata rahasiamu kalah daripada
aku" Barangkali kau sengaja hendak membikin malu lagi
padaku." Goan-ko terkesiap mendengar ucapan nona itu, pikirnya,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jago nomor satu di dunia ini, bukankah dia adalah Kang-tayhiap
yang termashur itu" Dari mana bisa muncul seorang jago
nomor satu lagi" Jika kakek pemuda ini adalah Kang-tayhiap,
rasanya tidak mungkin, sebab umur Kang-tayhiap baru 40-an
lebih, putrinya juga baru akan dikawinkan, darimana dia bisa
mempunyai seorang cucu keponakan, selamanya juga tidak
pernah terdengar beliau punya saudara dari sanak famili lain."
Dalam pada itu terdengar si pemuda menjawab dengan
tertawa, "Soal ilmu silat memang masing-masing mempunyai
keistimewaannya sendiri-sendiri. Seperti ilmu Tiam-hiat dan
senjata rahasia keluargamu, biasanya juga sangat dikagumi
oleh kakekku. Kau jangan rendah hati, kita harus saling
belajar." Semula Tjin Goan-ko mengira kedua muda-mudi itu adalah
saudara perguruan yang sedang berlatih, baru sekarang
diketahui bahwa dugaannya ternyata salah.
"Baiklah, jika kau berkeras ingin melihat sedikit kepandaianku,
tapi kau jangan menertawakan, dan terpaksa aku
main sebisanya," kata si nona. Habis itu ia lantas meraup
keluar se-genggam Bwe-hoa-tjiam dan berkata pula seperti
menggumam sendirian, "Cara bagaimana melatihnya" Ya,
biarlah aku menjatuhkan kawanan tawon yang menjemukan
itu." Di atas pohon Kui di depan si nona kebetulan ada
segerombolan tawon madu yang sedang mengisap sari bunga.
Mendadak si nona angkat tangannya, terlihat sinar emas
gemilapan, sebagian besar kawanan tawon itu lantas jatuh
berhamburan. "Bagus, kepandaian bagus!" sorak si pemuda. "Setiap ekor
tawon yang jatuh itu terkena sebuah jarummu. Kepandaian ini
benar-benar luar biasa."
"Ah, kau terlalu memuji saja," sahut si nona dengan
tertawa. "Sekarang kau coba!"
Melihat kepandaian nona itu, diam-diam Goan-ko terkesiap
juga, hanya saja ia anggap cara si nona rada-rada kejam.
Dalam pada itu terdengar si pemuda berkata, "Baiklah, kau
ingin tahu kepandaianku yang tak berarti, terpaksa aku
menurut saja"
Habis berkata, mendadak ia berpaling dan tangannya terus
diacungkan ke depan.
"He, sasaran apa yang kau arah?" tanya si nona. Pada saat
itulah Tjin Goan-ko lantas merasa mendesirnya angin, senjata
rahasia orang tahu-tahu telah menyambar ke arahnya. Kiranya
si pemuda menggunakan Goan-ko sebagai sasaran senjata
rahasianya. Karena tidak menyangka, hampir saja Tjin Goan-ko
termakan. Syukurlah pada detik yang menentukan itu ia
sempat menggunakan tenaga jari yang hebat untuk
menyelentik tiga kali, "criug-cring-cring", tiga buah Tau-kutting,
paku penembus tulang, kena diselentik jatuh terpental.
Namun jari Goan-ko terasa kesakitan juga, padahal jaraknya
dengan pemuda tadi ada beberapa puluh meter jauhnya, tapi
tenaga lemparan senjata rahasia pemuda itu ternyata
sedemikian kuat, hal ini benar-benar membuat Tjin Goan-ko
sangat terperanjat.
Setelah menyambitkan senjata rahasia paku tadi,
berbareng si pemuda lantas membentak, "Bocah darimana itu
berani mengintip latihan kami" Lekas keluar kemari!"
"Eh, kepandaian bocah ini tampaknya boleh juga," ujar si
nona dengan tertawa.
Memangnya Goan-ko ada maksud untuk berkenalan
dengan mereka, cuma kuatir melanggar pantangan peraturan
Kang-ouw, yaitu mengintip orang yang sedang berlatih, maka
sejak tadi ia tak berani keluar. Sekarang sesudah konangan
mau tak mau ia keluar juga dari tempat persembunyiannya.
Segera ia melompat lewat pagar dan memberi salam kepada si
pemuda, sapanya, "Sianto adalah Tjin Goan-ko, murid Butong-
pay yang kebetulan lewat di sini dan sekali-kali tiada niat
sengaja mengintip latihan kalian. Harap saudara sudi
memaafkan."
Dengan memperkenalkan nama perguruannya, Goan-ko
telah mentaati peraturan Kangouw serta sebagai tanda hormat
kepada pihak tuan rumah dan terutama untuk menghindarkan
salah paham. Maklum, Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah
dua aliran terkemuka di dunia persilatan yang umumnya
sangat disegani.
Tak terduga pemuda itu ternyata dingin-dingin saja
menerima salam Tjin Goan-ko tadi, jawabnya dengan ketus,
"Peduli apa kau murid Bu-tong-pay apa bukan. Yang jelas kau
mengintip orang lain yang sedang berlatih, inilah tidak
pantas." Betapa pun Tjin Goan-ko juga seorang pemuda yang masih
berdarah panas dan tahu akan harga diri, terhadap sikap
pemuda yang congkak itu, ia pun merasa dongkol maka
dengan kaku ia pun menjawab, "Ilmu pedang saudara
memang hebat, tapi anak murid Bu-tong-pay rasanya masih
tidak sampai mencuri belajar ilmu pedang dari golongan lain."
"Hm, kalau anak murid Bu-tong-pay lantas mau apa?" jengek
pemuda itu. "Baik, biar kucoba-coba ilmu pedang Butong-
pay kalian."
Habis berkata, pedangnya secepat kilat terus menyambar
ke depan. Hanya sekali tusuk saja tiga tempat Hiat-to di badan
Tjin Goan-ko diarahnya.
Sudah tentu Goan-ko tidak tinggal diam, pikirnya, "Ah,
tidak boleh memalukan nama baik perguruan sendiri."
Segera ia pun melolos pedang untuk melayani serangan
lawan. "Adik Siang, harap kau menyaksikan secara teliti!" seru si
pemuda. "Sret" mendadak ia menusuk dengan jurus 'Asap
mengepul lurus di gurun luas1, dengan cepat ujung
pedangnya menusuk ke muka Tjin Goan-ko, yang diincar
adalah matanya.
Terkejut dan gusar pula Tjin Goan-ko, gerutunya di dalam
hati, "Sekali pun benar aku telah mengintip latihanmu juga
tidak seharusnya kau menyerang sekejam ini."
Terpaksa Goan-ko mengeluarkan kepandaian andalannya,
dengan jurus 'Hong-in-toan-hong' atau memutus awan
memotong puncak, pedangnya menangkis dengan cepat
berbareng terus dipuntir. Maka terdengarlah suara mendering
nyaring, pedang si pemuda tadi tertangkis pergi, bahkan
menyelonong tiga langkah ke samping.
Tiba-tiba si nona tertawa, serunya, "Ya, aku sudah
menyaksikan dengan baik. Kiranya jurus seranganmu 'Asap
mengepul lurus di gurun luas' itu dapat dipatahkan dengan
cara demikian!"
Sebenarnya maksud si pemuda ingin pamer ilmu
pedangnya di hadapan si nona, tak terduga serangannya luput
mengenai lawan, sebaliknya ia sendiri malah terdesak mundur.
Keruan ia menjadi malu dan dari malu menjadi kalap.
Bentaknya, "Baik, biar kau rasakan kelihaianku!"
Berbareng pula pedangnya bergerak, dalam sekejap saja
Tjin Goan-ko telah terkurung di tengah sinar pedangnya.
Nyata pemuda itu menggunakan jurus serangan 'Bola
matahari tenggelam di balik sungai1. Jika serangannya
berhasil, tentu tubuh Tjin Goan-ko akan terpotong menjadi
dua. Melihat serangan lawan makin lama semakin keji, Goan-ko
menjadi naik darah juga, pikirnya, "Kalau aku tidak memberi
sedikit rasa padanya, tentu dia akan menyangka aku takut
padanya." Segera ia pun balas menyerang, ujung pedangnya
menembus lingkaran sinar pedang lawan, dengan jurus
'Menyapu melintang enam kali', terdengarlah suara mendering
yang nyaring, seketika sinar pedang lawan menjadi buyar.
Nyata serangan si pemuda tadi kena dipatahkan pula.
"Bagaimana, cukup belum?" tanya Goan-ko.
Namun pemuda itu menjawab dengan teriakan kalap,
"Menang atau kalah belum pasti, mengapa bilang cukup?"
Berbareng itu berturut-turut ia menyerang tiga kali secara
gencar dan lihai.
Untung sebelumnya Tjin Goan-ko sudah mengikuti latihan
kedua muda-mudi itu dan sudah paham jalan permainan
pedangnya itu sehingga tidak sampai terdesak dan kelabakan.
"Kalau menerima tanpa membalas rasanya kurang hormat!"
seru Goan-ko. "Maaf, aku pun akan melancarkan serangan!"
Cepat pedangnya bergerak ke kanan dan ke kiri beberapa
kali, menyusul menusuk ke depan beberapa kali, sekaligus ia
menyerang tujuh kali secepat kilat dan tiap jurus serangannya
berbeda. Si nona sampai kesima menyaksikan serangan kilat itu,
tanpa terasa ia berseru, "He, Bun-toako, ilmu pedangnya
tampaknya lebih cepat daripada permainanmu!"
Keruan wajah pemuda itu semakin masam, di bawah
serangan Tjin Goan-ko yang gencar ia tidak sempat menjawab
kata-kata si nona. Mendadak ia meloncat ke atas, pedangnya
berputar, menyusu terdengar pula suara mendering berulangulang.
Nyata serangan berantai Tjin Goan-ko tadi kena
ditangkis juga olehnya. Melihat ilmu pedang pemuda itu
sedemikian hebat, diam-diam Goan-ko merasa kagum juga.
"Bagus!" puji Goan-ko. Habis ini maksudnya ia hendak
mengakhiri pertandingan itu.
Tak terduga si pemuda kembali menyerang pula sambil
mendengus, "Hm, bagus atau jelek ilmu pedangku tidak perlu
penilaianmu. Memangnya Bu-tong-pay kalian paling jempol,
toh jurus 'Lian-goan-toat-beng-kiam-hoat' (ilmu pedang
berantai pencabut nyawa) masih tak mampu merenggut
nyawaku." Begitulah pemuda itu lantas melancarkan serangan pula
secara gencar. Keruan Goan-ko sangat mendongkol, ia anggap
orang benar-benar tidak tahu diri, terpaksa ia harus
melabraknya sekuat tenaga.
Maka terjadilah pertarungan sengit, begitu kencang pedang
mereka sehingga akhirnya mereka seakan-akan terbungkus
oleh sinar pedang masing-masing.
Menyaksikan itu, akhirnya si nona menjadi kuatir juga,
pikirnya, "Dua harimau bertempur akhirnya tentu ada yang
terluka. Jika Bun-toako tercidera tentu tidak enak, kalau
pemuda she Tjin itu dilukai, ini pun tidak baik. Dia hanya
kebetulan melihat kami sedang berlatih, betapa pun tidak
perlu dilukai. Apalagi dia adalah murid Bu-tong-pay, jika
terjadi apa-apa tentu akan menimbulkan persengketaan. Akan
tetapi untuk memisahkan mereka aku sendiri pun tidak
sanggup, lantas bagaimana baiknya ini?"
Selagi si nona merasa bingung, sekonyong-konyong
terdengar "creng" yang nyaring, sinar pedang yang
berpancaran tadi mendadak buyar. Kiranya kedua pedang
mereka pada suatu jurus telah saling beradu dan sekarang
mereka sedang mengadu tenaga-
Ketika kedua pedang beradu, segera pemuda she Bun itu
menekan sekuatnya. Mestinya Tjin Goan-ko bermaksud
menarik pedangnya dengan cepat. Tapi tiba-tiba terasa suatu
tenaga kuat menerjang ke atas pedangnya. Sebagai pemuda
yang juga berdarah panas, Goan-ko tidak mau kalah, jika
pedang tetap ditarik kembali jangan-jangan dirinya akan
disangka takut. Maka timbul niatnya untuk menjajal Lwekang
lawan. Begitulah segera ia pun menyalurkan tenaga dalam untuk
balas menyerang. Ketika tenaga dalam kedua belah pihak
sudah saling hantam melalui senjata masing-masing, maka
sukarlah bagi salah satu pihak untuk menyudahi pertandingan
Lwekang demikian.
Hanya sekejap saja kedua pemuda itu sudah sama mandi
keringat. Cuma Tjin Goan-ko masih lebih tenang, sebaliknya
pemuda she Bun itu tampaknya lebih berabe, hal ini terlihat
dari otot-otot hijau yang menonjol di bagian jidatnya.
Pertandingan Lwekang tidak dapat disamakan dengan
pertandingan silat cara lain, sedikit lebih lemah saja tentu
akan membahayakan jiwanya. Kini si pemuda she Bun itu baru
merasa menyesal dan gelisah, pikirnya, "Jika tahu bocah ini
memiliki Lwekang sekuat ini tentu lebih baik aku bertanding
pedang saja dengan dia. Sekarang keadaan sudah telanjur,
jalan satu-satunya untuk memperoleh kemenangan adalah
minta bantuan kepada adik Stan."
Saat itu Goan-ko sudah di atas angin, cuma dia harus
mencurahkan segenap pikiran dan tenaga untuk melayani
pemuda she Bun itu, maka kalau saat itu ada seorang yang
memiliki sedikit kepandaian saja sudah cukup menjatuhkan dia
dari belakang. Pemuda she Bun itu sudah biasa membual dan sok
sombong di hadapan si nona. Sekarang ia menjadi serba rikuh
untuk meminta bantuannya. Diam-diam hatinya gelisah dan
mendongkol pula. Ia menyesalkan si nona yang sudah melihat
keadaannya runyam mengapa masih tinggal diam saja. Karena
tiada jalan lain lagi, terpaksa ia memberi kedipan mata kepada
si nona. Meski si nona bukan seorang ahli silat kelas tinggi, tapi
menang atau kalah dari suatu pertandingan dapatlah
dilihatnya juga. Cuma ia menjadi ragu-ragu, jika dia memberi
bantuan dan menyerang Tjin Goan-ko dari belakang,
akibatnya Goan-ko pasti akan dibunuh oleh Bun-toakonya.
Padahal hanya urusan kecil saja seorang murid Bu-tong-pay
harus terbunuh, betapa pun hal ini terasa tidak sampai hati.
Sebaliknya kalau dia tidak memberi bantuan, jangan-jangan
Bun-toako yang akan terluka atau terbunuh. Begitulah dengan
pedang terhunus ia berdiri terpaku karena ragu-ragu.
Goan-ko tidak tahu sikap si gadis yang berdiri di
belakangnya itu, tapi ia melihat isyarat yang diberikan kepada
si nona tadi. Ia pikir dirinya tiada punya permusuhan apa-apa
dengan mereka, dari kegelisahan pemuda lawannya itu dapat
diketahui keadaannya tentu sudah payah sehingga terpaksa
ingin bantuan si nona, maka biarlah aku menyudahi saja
pertarungan sengit ini.
Padahal dengan menyudahi pertarungan secara mendadak
itu, Goan-ko sendiri harus menanggung resiko yang tidak
kecil, sebab saat itu mereka sedang mengadu tenaga dalam,
jika mendadak ia menarik kembali tenaganya itu dan pihak
lawan terus menyerangnya secara dahsyat, maka Goan-ko
sendiri pasti akan celaka. Namun Goan-ko mengukur jiwa
rendah lawannya dengan jiwa besar seorang ksatria, ia
anggap ilmu silat pemuda itu-pun cukup hebat, betapapun


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentu orang akan tahu maksud baiknya menyudahi
pertandingan itu dan rasanya takkan menyerangnya pada
waktu dia menarik kembali tenaganya.
Tapi nyatanya Tjin Goan-ko salah menduga, sebab apa
yang dilakukan si pemuda benar-benar terlalu pengecut.
Memangnya pemuda she Bun itu sudah merasa dendam
lantaran Goan-ko ternyata lebih unggul, sehingga
membuatnya malu di hadapan si nona. Kedua, biar pun si
nona sudah melolos pedang, tapi sebegitu jauh masih tidak
maju membantunya, hal ini makin menambah gusarnya. Maka
ketika Goan-ko mendadak menarik kembali pedangnya, tanpa
pikir lagi kesempatan itu digunakan untuk menusuk secepat
kilat ke depan.
Keruan Goan-ko terkejut, tapi dia adalah murid Bu-tongpay
yang berbakat, pada detik berbahaya itulah dia
memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa. Dengan
menggeser langkah, segera ia pun balas menyerang -dengan
jurus 'Wan-kiong-sia-tiau' atau menarik busur memanah elang.
Menurut teori, jurus serangannya ini akan memaksa lawan
mau tak mau harus membatalkan serangan untuk
menyelamatkan diri lebih dulu. Tak terduga pemuda she Bun
itu agaknya sudah nekat. Waktu menyerang dia menggunakan
segenap tenaganya tanpa memikirkan segala akibatnya, maka
tampaknya kedua pihak tentu akan sama-sama kena serangan
masing-masing. Si nona menjadi kuatir, teriaknya, "Ayah!
Tolong lekas!" Pada saat itulah terdengar suara, 'cring-cring'
dua kali, pada waktu ujung pedang masing-masing hampir
mengenai sasarannya, sekonyong-konyong sesosok bayangan
orang melayang tiba, secepat kilat kedua batang pedang kena
diselentik sehingga sama-sama terlepas dari cekalan.
Sekarang yang amat terkejut adalah Tjin Goan-ko. Betapa
hebat tenaga dalam orang yang mampu menyelentik pedang
mereka hingga terpental itu" Tenaga sehebat ini Goan-ko
yakin gurunya masih mampu melakukannya, tapi paman
gurunya seperti Siong-tjiok Todjin dan lain-lain toh rasanya
masih belum sanggup. Jika pendatang yang belum jelas siapa
ini bermaksud membuat celaka padanya, maka sukarlah
dibayangkan akibatnya. Tapi kalau melihat pedang si pemuda
she Bun juga ikut diselentik mencelat, agaknya orang kosen ini
hanya ingin memisah pertarungan mereka itu dan tiada
bermaksud jahat padanya.
Waktu Goan-ko berpaling, kiranya orang itu adalah seorang
laki-laki setengah umur berdandan sebagai Susing (kaum
pelajar). Tingkah-lakunya sangat lemah lembut Selagi Goan-ko
melongo heran, Susing setengah umur itu sudah memberi
salam padanya dan menyapa, "Saudara cilik ini tentu terkejut.
Maafkan anakku yang tidak tahu diri itu, aku ingin mintakan
maaf baginya."
Dengan muka merah padam si pemuda she Bun tadi masih
ingin membela diri, "Ayah, dia.....dia....."
Namun Susing setengah tua itu sudah lantas
mendampratnya, "Diam! Bagaimana aku mengajarkan
padamu, masakah kau boleh berbuat sekasar ini kepada
tamu" Hayo, lekas minta maaf kepada tuan tamu."
Goan-ko menjadi rikuh sendiri, lekas ia memberi hormat
kepada Susing setengah tua itu dan berkata, "Harap tuan
jangan menyalahkan putramu, sebab memang akulah yang
salah." "Ya, dia telah mengintip latihan kami, lantaran itulah aku
bergebrak dengan dia," timbrung si pemuda she Bun.
Tapi Susing setengah umur itu menggeleng-geleng kepala
dan mendengus, "Hm, aneh. Orang adalah murid Bu-tong-pay
yang ternama, hanya beberapa gerakan cakar kucing
macammu ini masakah ada nilainya untuk diintip orang?"
Melihat orang itu mengomeli putranya, rasa dongkol Tjin
Goan-ko lantas lenyap, bahkan timbul perasaan yang tidak
enak. Cepat ia menyala, "Ah, ilmu pedang putra tuan sungguh
sangat hebat, Tjayhe sangat kagum. Memang salahku karena
tanpa sengaja telah mengintip, bahkan menerobos masuk
kemari, perkenankan Tjayhe mohon maaf kepada tuan
rumah." Mendadak Susing setengah umur itu bergelak tertawa.
Goan-ko melengak karena tidak tahu apa sebabnya orang
tertawa. Tiba-tiba Susing setengah umur itu menuding ke
belakang dan berkata, "Hong-toako inilah tuan rumah di sini,
aku sendiri juga menjadi tamunya."
Waktu Goan-ko memandang ke arah yang ditunjuk,
dilihatnya seorang laki-laki berumur 50-an tahun dan
berjenggot panjang tampak sedang keluar dari pintu bulat
sebelah sana Segera si nona tadi berlari memapak orang tua
itu dan menyapa, "Ayah, mengapa baru sekarang engkau
datang. Ai, tadi, tadi hampir saja....."
"Aku sudah tahu, anak Siang," kata orang she Hong itu.
"Sungguh beruntung kita kedatangan tamu dari golongan Butong-
pay, benar-benar tamu yang susah di undang. Maaf bila
aku terlambat menyambut."
Lekas Goan-ko memberi hormat kepada tuan rumah, lalu
mohon tanya nama mereka. Maka barulah diketahui bahwa
tuan rumahnya she Hong bernama Hong Tju-tjiau, putrinya itu
bernama Hong Biau-siang. Susing setengah umur itu adalah
Bun To-tjeng dan putranya bernama Bun Seng-tiong.
"Kedatangan Tjin-siauhiap sungguh sangat
menggembirakan kami," kata Hong Tju-tjiau kemudian.
"Melihat ilmu pedang Tjin-siauhiap yang hebat tadi, agaknya
adalah ajaran sendiri Lui-iotjianpwe dari peguruan kalian?"
Baru sekarang Tjin Goan-ko sadar bahwa waktu dirinya
bertarung dengan Bun Seng-Tiong tadi, sebenarnya mereka
sudah mengintip di balik tembok sana. Kaum angkatan tua
mengintip latihan kaum muda bukanlah sesuatu yang tidak
sopan. Maka Goan-ko lantas menjawab dengan hormat, "Ya,
beliau adalah guruku."
"Aha, itulah lebih hebat lagi," seru Hong Tju-tjiau dengan
tertawa. "Gurumu adalah bintang kejora di dunia persilatan
yang sudah lama dikagumi. Syukur sekarang Tjin-siauhiap
berkunjung kemari, harap sudi menerima suguhan secawan
dua cawan arak gunung sekadar memenuhi kewajibanku
sebagai tuan rumah."
"Banyak terima kasih," sahut Goan-ko. "Wanpwe tak berani
menerimanya."
"Hari pun sudah gelap, pegunungan ini jau\ dari
perkampungan, bila Tjin-siauhiap tidak menolak, biarlah aku
menawarkan tempat bermalam bagimu," kata Hong Tju-tjiau
pula. "Ah, jangan-jangan Tjin-siauhiap masih mendongkol
lantaran kekurangajaran anakku itu," timbrung Bun To-tjeng
dengan tertawa. "Tiong-dji, lekas meminta maaf kepada Tjinsiauhiap."
Habis berkata, diam-diam ia mengedipi putranya itu. Bun
Seng-tiong sebenarnya adalah pemuda yang sombong dan
tidak nanti sudi minta maaf kepada orang lain, tapi sekarang
ia seperti paham sesuatu, segera ia melangkah maju dan
memberi hormat kepada Tjin Goan-ko, katanya, "Harap Tjinheng
sudi memaafkan kekasaranku tadi. Betapapun harap
engkau sudi tinggal barang dua tiga hari di sini agar Siaute
sempat minta belajar kepada Tjin-heng."
Memangnya sejak mula Tjin Goan-ko ada hasrat buat
bersahabat dengan mereka, apalagi ia memang memerlukan
suatu tempat untuk bermalam, jika terus menolak rasanya
juga kurang baik, apalagi 'sandiwara' ayah dan anak she Bun
itu membuatnya merasa serba salah, maka cepat ia
menjawab, "Bun-heng tidak menarik panjang dosaku yang
telah menerobos kemari secara sembrono, hal ini saja sudah
membuat Siaute berterima kasih, apalagi tuan rumah sudi pula
menerima diriku untuk bermalam di sini, jika aku masih
menolak tentu akan berarti tidak menghormati tuan rumah.
Ilmu pedang Bun-heng sendiri sangat hebat, ucapan minta
belajar tadi sungguh Siaute sekali-kali tidak berani
menerimanya."
"Hahaha, bagus, bagus!" Hong Tju-tjiau bergelak tertawa.
"Kalian boleh dikata tidak berkelahi tidak menjadi kenal.
Tjin-Niauhiap memang harus tinggal beberapa hari di sini agar
putriku yang bodoh itu pun sempat belajar lebih banyak
darimu." "Ah, kepandaian kedua Lotjianpwe berpuluh kali lebih tinggi
dariku, masakah Wanpwe berani terima penilaian setinggi ini?"
sahut Goan-ko dengan muka merah. "Kali ini Wanpwe ada
urusan harus menuju ke Tong-peng-koan, setelah
mengganggu semalam, besok juga Wanpwe harus berangkat
ke sana. Biarlah nunti pulangnya saja Wanpwe datang lagi
untuk minta petunjuk kepada Lotjianpwe."
"Baik, jika demikian aku pun tidak enak untuk menahan
engkau," kata Tju-tjiau. "Marilah silakan masuk, sudah
waktunya bersantap, harap Tjin-siauhiap jangan sungkansungkan."
Begitulah mereka lantas menyambut Tjin Goan-ko ke
ruangan dalam. Ternyata di situ sudah tersedia meja
perjamuan. Agaknya sebelumnya Hong Tju-tjiau sudah
menyiapkan untuk menjamu tamunya.
Melihat keramahan tuan rumah, Goan-ko menjadi sangsi,
lapi kemudian ia menjawab kesangsian sendiri, ia pikir orang
tentu bukan sungkan padanya, tapi adalah sebagai
penghormatan kepada gurunya sebagai tokoh Bu-tong-pay
yang umumnya memang disegani di dunia Kangouw.
Setelah menyanding meja perjamuan itu, Hong Tju-tjiau
dan Bun To-tjeng melayani Tjin Goan-ko dengan sangat baik,
berulang-ulang mereka mengajak minum. Mestinya Goan-ko
sanggup minum beberapa cawan arak, tapi tiba-tiba teringat
kepada peringatan gurunya bahwa pergaulan di luaran harus
berlaku hati-hati, lebih-lebih jangan suka banyak minum,
terutama kalau bertemu orang yang belum dikenal asalusulnya
Karena itu ia lantas menolak suguhan arak itu dengan
alasan besok pagi-pagi masih harus meneruskan perjalanan
jauh. "Arak ini tidak keras," demikian Hong Tju-tjiau membujuk
dengan tertawa. "Biar minum beberapa cawan juga takkan
mabuk. Bolehlah kuminum dulu sebagai penghormatan, harap
Tjin siauhiap sudi mengiringi nanti."
Habis berkata secawan arak yang dipegangnya itu lantas
ditenggak habis.
Walaupun Tjin Goan-ko kurang luas pengetahuannya
tentang peraturan Kangouw, tapi ia pun tahu arti minum lebih
dulu pihak tuan rumah itu ialah untuk menunjukkan bahwa di
dalam arak itu tiada sesuatu yang membahayakan dan dengan
demikian untuk menghilangkan rasa curiga Tjin Goan-ko.
Apalagi Goan-ko juga cukup mengetahui kepandaian Bun
To-tjeng tadi, kepandaian tuan rumah belum diketahui, namun
dengan kepandaian Bun To-tjeng saja sudah cukup untuk
membunuhnya, bila mereka bermaksud jahat kepadanya
rasanya juga tidak perlu memasang perangkap dengan arak
berbisa. Karena pikiran demikian, Goan-ko anggap bila dirinya masih
sangsi lagi, hal ini tentu akan membikin kurang senang pihak
tuan rumah. Maka setelah mengucapkan terima kasih,
akhirnya ia pun minum habis secawan arak yang disuguhkan
itu. Rasa arak itu memang betul tiada sesuatu yang luar biasa,
malahan terasa harum segar di dalam perut. "Bagus, arak
bagus!" demikian Goan-ko memuji.
"Eh, tadi Tjin-siauhiap bilang tidak sanggup minum arak,
tak tahunya adalah seorang ahli arak malah," kata Bun Totjeng
dengan tertawa. "Baiklah, biar aku pun menghormati
Tjin-siauhiap dengan satu cawan."
Lantaran dirinya sudah mengadu cawan dengan Hong Tjutjiau,
terpaksa Goan-ko juga minum secawan bersama-sama
Bun To-tjeng. Menyusul Seng-tiong juga tampil untuk mengajak
menghabiskan secawan, katanya, "Ucapan Hong-lopek tadi
memang betul, kalau tidak berkelahi kita takkan kenal. Biarlah
secawan ini anggaplah untuk memberi selamat kepada
persahabatan kita."
Diam-diam Goan-ko memperhitungkan, biar minum lagi
beberapa cawan rasanya arak itu masih takkan
memabukkannya, maka tanpa pikir ia pun minum lagi secawan
bersama Bun Seng tiong.
Tiba-tiba Hong Biau-siang berkata, "Arak apakah ini, ayah,
sungguh wangi sekali. Biasanya jarang kulihat engkau minum
arak ini" Biar aku pun ikut minum secawan."
"Hus, anak perempuan tidak boleh minum arak!" sahut
Hong Tju-tjiau dengan menarik muka.
Selamanya Hong Biau-siang tidak pernah diomeli sang
ayah, apalagi di depan para tamu, keruan mukanya menjadi
merah dan tertegun.
Dengan tertawa Bun To-tjeng lantas berkata, "Ah, Hongtoako
juga terlalu keras terhadap gadisnya. Sudahlah, ayahmu
melarang kau minum, boleh kau menyuguhkan secawan saja
kepada Tjin-siauhiap."
"Tidak boleh minum ya sudah, memangnya kepingin?"
demikian Hong Biau-siang menjadi ngambek, ia tidak jadi
minum dan juga tidak menyuguh kepada Goan-ko.
Goan-ko menjadi rikuh sendiri, katanya, "Wanpwe tidak
sanggup minum terlalu banyak, tiga cawan tadi sudah
melebihi lakaranku. Suguhan nona Hong biarlah anggap sudah
kuterima saja."
"Lantaran sejak kecil sudah ditinggalkan ibunya sehingga
aku rada memanjakan dia, harap Tjin-siauhiap jangan
menertawakannya," kata Hong Tju-tjiau.
"Sudahlah, marilah kita bicara soal lain saja," sela Bun Totjeng.
"Eh, Tjin-siauhiap tadi seperti bilang hendak menuju ke
Long-peng-koan bukan?"
Goan-ko mengiakan.
"Kang-tayhiap, Kang Hay-thian juga tinggal di sana,
kaharnya pada tanggal 15 bulan ini akan mengawinkan
putrinya, apakah Tjin-siauhiap mengetahui hal ini?" tanya Bun
To-tjeng. "Wanpwe justru ditugaskan oleh guruku untuk
menyampaikan ucapan selamat kepada Kang-tayhiap," jawab
Goan-ko. "Ya, aku memang sudah menduga demikian," ujar Hong
Tju-tjiau. "Mengingat hubungan baik Bu-tong-pay kalian
dengan Kang-tayhiap, jika Lui-taytjiangbun tidak dapat hadir
tentu juga akan mengirim murid kesayangannya untuk
mewakilinya."


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, Hong-tjianpwe terlalu memuji saja," sahut Goan-ko.
"Di dalam Bu-tong-pay kami, Tjayhe cuma seorang murid
yang masih hijau, maka guruku sengaja menugaskan Tjayhe
agar bisa menambah pengalaman."
"Ai, Tjin-siauhiap terlalu rendah hati, sungguh sedikit orang
muda yang mau merendah hati seperti kau, terimalah satu
cawan sebagai penghormatanku," kata Hong Tju-tjiau.
"Terima kasih, Wanpwe sesungguhnya tidak sanggup
minum lagi," sahut Goan-ko.
Aneh juga, arak yang dirasakan tawar oleh Goan-ko dan
rasanya takkan membikin mabuk itu, kini tiba-tiba kepalanya
terasa rada berat, kakinya terasa lemas dan enteng, nyata ia
telah tujuh atau delapan bagian terpengaruh minuman keras
itu. Dalam keadaan rada sinting itu, tiba-tiba teringat sesuatu
oleh Goan-ko, tanyanya, "Apakah kedua Lotjianpwe juga
menerima undangan keluarga Kang."
Tji-lay-san hanya ratusan li jauhnya dari Tong-peng-koan,
karena melihat kedua orang itu adalah tokoh-tokoh persilatan,
maka Goan-ko mengira tentu pula kenalan Kang Hay-thian
sehingga dia mengajukan pertanyaan demikian.
Namun Hong Tju-tjiau menjawab dengan tertawa, "Aku
tinggal menyepi di sini dan jarang bergaul dengan orang luar,
meski nama Kang-tayhiap amat termashur, tapi aku tak
pernah berkunjung padanya. Rasanya Kang-tayhiap juga
takkan tahu orang gunung seperti diriku ini, darimana dia
dapat mengirim undangan padaku?"
"Ya, lebih-lebih aku hanya seorang Bu-beng-siau-tjut
(prajurit tak bernama, maksudnya keroco) saja, tidak nanti
ada undangan keluarga Kang kepadaku," sambung Bun Totjeng.
"Ah, kedua Lotjianpwe adalah orang kosen yang hidup
bebas, sungguh harus dihormati. Marilah kusuguhi kedua
Lotjianpwe secawan," kata Goan-ko. Padahal tadi dia
mengatakan tidak sanggup minum lagi, tapi sekarang ia justru
mengajak minum pula.
Melihat wajah Goan-ko merah membara, Biau-siang lantas
berkata, "Tampaknya Tjin-siauhiap telah mabuk benar-benar,
seluriknya jangan minum lagi."
Hong Tju-tjiau melototi putrinya itu dan berkata, "Anak
Siung, mengapa kau tak tahu aturan, ayahmu hanya
mengajak minum tamu, mana ada orang mencegah tamu
yang ingin minum?"
"Hahaha, aku tidak mabuk, siapa bilang aku mabuk," seru
tioan-ko tertawa. "Eh, nona Hong, marilah kita habiskan
secawan!" Sembari bicara ia terus berbangku dengan memegangi
cawan araknya, tapi baru jalan dua langkah dengan
sempoyongan, mendadak ia jatuh terkulai dan tak sadarkan
diri lagi. "Ayah, dia sudah mabuk begitu dan kau masih ajak dia
minum," ujar Biau-siang.
"Anak Siang, sekarang kau tentu mengetahui mengapa tadi
dku melarang kau ikut minum," seru Hong Tju-tjiau dengan
tertawa. "Arak ini bernama Djian-tjhit-tjui (mabuk seribu hari).
Orang muda seperti kau, sekali pun mengulum obat penawar
juga akan mabuk walau pun hanya minum secawan saja."
Menyusul Hong Tju-tjiau lantas berpaling kepada Bun Toi|
cng, katanya, "Namanya Djian-tjhit-tjui, tapi sebenarnya
terlalu dibesarkan khasiatnya. Setelah minum tiga cawan tadi
bocah ini sedikitnya juga takkan sadar selama tujuh hari tujuh
malam. Dan cara bagaimana kita perlakukan dia, kuserahkan
saja kepadamu."
"Bun-sioksiok, ayah, untuk apa kalian sengaja membuatnya
mabuk?" tanya Hong Biau-siang bingung.
Hong Tju-tjiau menjadi mendongkol, omelnya, "Orang tua
edang bicara, kau jangan ikut-ikutan omong!"
"Urusan ini toh tak dapat membohongi dia," ujar Bun Totjeng
tertawa, "Malahan mungkin dia diperlukan untuk ikut
meramaikan pekerjaan kita, maka tiada halangannya dia
diberitahu."
"Baiklah, akan kukatakan padamu," kata Tju-tjiau kepada
putrinya. "Bun-sioksiokmu mempunyai permusuhan turuntemurun
dengan Kang Hay-thian, pada kesempatan Kang Haythian
mengawinkan putrinya, Bun-sioksiokmu bermaksud
membikin geger ke sana. Kebetulan bocah ini kesasar ke
tempat kita ini, padanya terdapat kartu undangan Kang Haythian
yang dapat kita pergunakan. Rasanya bocah ini terpaksa
harus dibikin susah untuk sementara."
"Jika orang menyebut Tayhiap (pendekar besar) kepada
Kang Hay-thian, rasanya dia tentu seorang baik," kata Biausiang.
"Bun-siok-siok, cara bagaimana kau sampai
bermusuhan dengan dia?"
Pertanyaan Hong Biau-siang ini membikin Bun To-tjeng
menjadi serba susah.
Bun To-tjeng ini tak lain tak bukan adalah keponakan Bun
Ting-bik, itu tokoh yang sangat disegani di pulau Bu-beng-to
(pulau tak bernama di lautan timur).
Bun Ting-bik adalah seorang guru besar ilmu silat, ia sendiri
tidak punya anak, maka keponakannya itu telah dipungut
sebagai putranya sendiri dan diajarkan segenap ilmu silatnya.
Lebih 20 tahun yang lalu mereka berdua juga pernah
menjelajahi daerah Tionggoan. Dengan ilmu 'Sam-siang-sinTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kang" yang ampuh itu Bun Ting-bik pernah malang melintang
di dunia Kang-ouw. Tapi kemudian ia terbentur Kim Si-ih dan
berulang-ulang kena dikalahkan.
Memangnya Bun Ting-bik bukan manusia baik-baik, setelah
mengalami kekalahan, dia kena dipelet dan menjadi cakar
alap-alap (kaki tangan) kerajaan Boan-djing. Pada
pertempuran terakhir di atas Bin-san, ilmu silatnya kena
dipunahkan oleh Kim Si-ih, tapi tidak ditamatkan jiwanya.
Selama ikut berkelana di Tionggoan, Bun To-tjeng juga ikut
menjadi cakar alap-alap kerajaan Boan, kalau pamannya
mengikat permusuhan dengan Kim Sih-ih, maka ia sendiri pun
mengikat permusuhan mendalam dengan murid Kim Si-ih,
yaitu Kang Hay-thian. Soalnya disebabkan dia ingin
memperistrikan Auwyang Wan, putri Auwyang Tiong-ho,
tatkala mana Auw-lyang Wan sendiri diam-diam jatuh hati
kepada Kang Hay-thian dan tidak sudi kawin dengan Bun Totjeng,
pada saat upacara pernikahan hendak dilangsungkan
dia melarikan diri, kebetulan waktu itu Kang Hay-thian
mendatangi rumah Auwyang Tiong-ho sehingga terjadi
pertarungan dimana Bun To-tjeng terpukul hingga luka dalam.
Kejadian itu sudah lewat lebih dari 20 tahun, Kang Haythian
dan Auwyang Wan sama-sama sudah kawin dengan
orang lain. Bun To-tjeng juga sudah pulang ke Bu-beng-to dan
telah kawin serta punya anak. Namun dendam lama itu
selama ini belum pernah dilupakannya (Peristiwa ini ada dalam
Geger Dunia Persilatan).
Setelah tekun berlatih selama 20 tahun di pulau terpencil
itu, akhirnya Bun To-tjeng juga telah berhasil meyakinkan
Sam-siang-sin-kang. Meski hidup paman dan keponakan ini
jauh berada di pulau sunyi itu, tapi terhadap keadaan dunia
persilatan di Tionggoan, mereka pun sering mendapat berita
dan diketahui bahwa suami istri Kim Si-ih sudah lama
mengasingkan diri entah kemana. Bahwa ketua Thian-sanpay,
Teng Hiau-lan, ketua Siau-Iim-pay Thong-sian Siangdjin,
tokoh Go-bi-pay Kim-kong Siangdjin, tokoh-tokoh kelas wahid
angkatan tua itu berturut-turut wafat. Setelah mengetahui
kabar itu, timbul kembali ambisi Bun To-tjeng yang ingin
merajai persilatan. Musuh satu-satunya yang masih ada
dianggapnya cuma Kang Hay-thian seorang saja, maka
dengan mengandung maksud menuntut balas segera ia
menjelajahi Tionggoan pula bersama putranya yang bernama
Dun Seng-tiong itu.
Mengenai diri Hong Tju-tjiau, dia adalah satu di antara
jago-jago bayangkara kerajaan Boan yang berhasil
menyelamatkan diri dalam pertempuran besar di atas Bin-san
pada 20 tahun yang lalu itu. Ia pernah mendapat petunjuk
ilmu silat dari Bun
Ting-bik, maka boleh dikata telah angkat saudara dengan
Bun To-tjeng. Sesudah menyelamatkan diri, kuatir kalau orang-orang dari
kalangan persilatan mencari perkara padanya, maka Hong Tjutjiau
tidak berani menjual diri pula kepada pihak kerajaan, ia
mengasingkan diri dan tinggal menyepi di pegunungan Tji-lai
sini. Kedatangan Bun To-tjeng kali ini lantas tinggat di
rumahnya. Hong Tju-tjiau pribadi sudah tentu tidak berani main gila
kepada Kang Hay-thian, tapi dengan dukungan Bun To-tjeng
dengan sendirinya nyalinya menjadi besar. Begitulah maka
kedua orang itu siang dan malam selalu memikirkan cara
bagaimana bisa membalas sakit hati mereka.
Setelah berhasil meyakinkan Sam-siang-sin-kang, seperti
juga pamannya di masa dahulu, ambisi Bun To-tjeng sangat
besar dan menilai diri sendiri teramat tinggi. Namun mau tak
mau ia masih jeri juga terhadap ahli waris kesayangan Kim Siih,
yaitu Kang Hay-thian, ia merasa belum yakin bisa
mengalahkan Kang Hay-thian. Sebab itulah biar pun siang dan
malam mereka ingin lekas dapat menuntut balas, tapi sebegitu
jauh mereka masih belum berani bertindak, mereka sedang
menantikan kesempatan yang paling menguntungkan.
Dan kesempatan yang baik itu kini telah tiba. Tiga hari lagi
Kang Hay-thian akan mengawinkan putrinya, kebetulan utusan
Bu-tong-pay yang akan hadir ke sana, yaitu Tjin Goan-ko pada
saat yang diharapkan itu justru menerobos ke tempat
kediaman Hong Tju-tjiau, maka Bun To-tjeng lantas
memasang perangkap bersama Hong Tju-tjiau, Tjin Goan-ko
terpancing untuk menceritakan maksud tujuan
kedatangannya, lalu pemuda itu dibius dengan arak 'Djiantjhit-
tjui'. Bun To-tjeng, Hong Tju-tjiau dan Bun Seng-tiong
bertiga sebelumnya sudah makan obat penawar sehingga
mereka sendiri tidak sampai mabuk.
Namun terhadap tipu muslihat itu sedikitpun Hong Biausiang
tidak tahu menahu, sebab itulah ia minta ikut minum
arak dan membikin perjamuan rada runyam dan
pertanyaannya juga membikin kikuk Bun To-tjeng.
Syukur Hong Tju-tjiau lantas menyela, "Anak Siang, kau
tidak perlu tanya urusan orang tua. Apa yang dilakukan ayah
dan Mim-sioksiok tentu takkan salah."
Dasar watak Hong Biau-siang memang aleman dan sok
nif^in tahu segala, maka dengan mulut menjengkit ia tetap
ber-tnnyn, "Anak justru ingin tahu, mengapa seorang Tayhiap
yang irmtashur itu sampai dimusuhi oleh Bun-sioksiok?"
"Memang, Kang Hay-thian disebut sebagai Tayhiap, tapi
osungguhnya cuma nama kosong saja untuk mengapusi orang
yang tidak tahu, padahal sesungguhnya....." kata Bun To-tjeng
dengan tersenyum.
"Sesungguhnya apa?" tanya Biau-siang. Bun To-tjeng
melirik sekejap kepada Hong Tju-tjiau, lalu menjawab, "Boleh
juga kukatakan padamu. Sesungguhnya Kang Hay-thian
adalah pemberontak yang melawan pihak kerajaan."
"Melawan kerajaan" Apa sih jeleknya jika begitu?" ujar
Biau-siang. "Kemarin dulu aku mendengar pembicaraan
beberapa orang pemburu di atas gunung, katanya pembesar
kerajaan mla-rata adalah orang jahat semua, suka memeras
rakyat, memungut pajak liar, merampas harta benda rakyat
kecil dan macam-macam perbuatan tercela sehingga mereka
terpaksa sembunyi di pegunungan dan hidup sebagai
pemburu." Kiranya Hong Biau-siang ini dilahirkan sesudah Hong Tjutjiau
mengasingkan diri di Tji-lay-san. Lantaran takut dicari
oleh kaum ksatria, maka Hong Tju-tjiau tidak pernah
menceritakan asal-usulnya sendiri kepada putrinya itu.
Tahun ini Hong Biau-siang baru berumur 19 tahun,
selamanya tidak pernah keluar jauh dari rumah. Cuma sifatnya
memang lincah dan suka berkeliaran di lereng gunung.
Walaupun Tji-lay-san sangat sedikit penduduknya, tapi ada
juga beberapa keluarga pemburu, di bawah gunung ada lebih
banyak keluarga petani, dari mereka Hong Biau-siang
mendengar cerita tentang Kang Hay-thian serta perbuatan
kaum pembesar korup yang menindas rakyat. Cuma ia tidak
tahu ayahnya sendiri sebenarnya juga jago bayangkara
kerajaan. Maka Bun To-tjeng berkata pula dengan tertawa, "Nona
yang baik, kau jangan percaya kepada cerita-cerita rakyat
yang bodoh itu. Memang ada juga pembesar negeri yang
jahat, tapi banyak pula yang baik. Bukankah kau pernah
bersekolah dan membaca bahwa rakyat harus setia kepada
junjungannya, jadi kerajaan yang berkuasa harus dipatuhi,
mana boleh dilawan malah?"
Memangnya Hong Biau-siang masih hijau, ia menjadi
bingung mendengar ucapan Bun To-tjeng itu.
Lalu Bun To-tjeng berkata pula, "Hong-toako, agaknya kau
belum memberitahukan siapa dirimu kepada Titii (keponakan
perempuan). Jika usaha kita sekali ini berhasil, maka tidak
perlu lagi kau merahasiakannya kepada putrimu ini."
Hong Tju-tjiau mengangguk. Tapi Hong Biau-siang lantas
berseru, "Ayah, apa maksud kalian ini" Selamanya ayah bilang
dirinya adalah orang persilatan, selain ini apakah ada
kedudukan lain?"
"Anak bodoh, sabar dulu, tiga hari lagi ayah tentu akan
memberitahukan padamu dengan jelas," kata Tju-tjiau dengan
tertawa. "Mulai sekarang kau jangan lagi mengganggu
pembicaraan orang tua. Bun-hiante, marilah kita bicara urusan
pokok saja. Cara bagaimana kita harus menindak bocah ini,"
katanya sambil menuding Tjin Goan-ko yang menggeletak tak
sadar itu. "Bocah ini akan tetap merupakan bibit bencana bila
dibiarkan hidup terus, lebih baik sekali potong mampuskan dia
saja," ujar Bun Seng-tiong.
"Ya, dibunuh saja juga baik," sokong Bun To-tjeng.
Segera Hong Biau-siang menimbrung lagi, "Baru saja kalian
memperlakukan dia sebagai tamu terhormat, dia pun tidak
berdosa apa-apa, mengapa kalian ingin membunuhnya?"
"Kau ini tahu apa" Sudah kukatakan jangan mengganggu
urusan orang tua, kembali kau mengacau lagi," semprot Hong
Tju-tjiau. "Tapi, Bun-hiante, bocah ini adalah murid Bu-tongpay?"
Hong Tju-tjiau sendiri memiliki harta benda cukup besar,
kuatir akibatnya akan merugikan dia, sedangkan Bun To-tjeng


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan enak saja dapat kabur.
Bun To-tjeng menjadi kurang senang, tapi ia masih
memerlukan kerjasama dari Hong Tju-tjiau, maka terpaksa ia
berlagak tenang, katanya, "Baiklah, jiwanya sementara ini
boleh ditunda, sesudah usaha kita berhasil barulah kita
rundingkan lagi, toh dia tak mungkin bisa kabur."
"Memangnya, sesudah minum 'Djian-tjhit-tjui sedikitnya dia
akan mabuk tujuh hari tujuh malam," ujar Hong Tju-tjiau
dengan perasaan lega.
"Anak Tiong, seretlah bocah ini ke dalam kamar, kerjakan
apa yang kukatakan," kata Bun To-tjeng kemudian.
Bun Seng-tiong mengiakan, segera ia mengangkat tubuh
Tjin Goan-ko dan menyeretnya ke kamarnya sendiri.
"Ayah, kepalaku terasa pusing, aku akan pergi tidur saja,"
kata Biau-siang.
"Baiklah, boleh kau pergi tidur saja daripada mengganggu
di sini," sahut Hong Tju-tjiau.
Sesudah Bun Seng-tiong dan Hong Biau-siang pergi, maka
tertawalah Bun To-tjeng bersama Hong Tju-tjiau. Kata Bun
To-tjeng, "Sungguh tidak nyana pada saat kita pusing
memikirkan pelaksanaan rencana kita, tahu-tahu bocah ini
menerobos kemari. Ini benar-benar kesempatan bagus yang
dihadiahkan Thian kepada kita."
"Cara bagaimana kita harus bertindak, coba Bun-hiante
suka menerangkan," kata Hong Tju-tjiau.
"Maksudku menyuruh anak Tiong menyaru sebagai bocah
ini dan kita ikut dia menyelundup ke tempat Kang Hay-thian,
kemudian....."
"Nanti dulu," sela Tju-tjiau. "Caramu ada kelemahannya,
padahal kita hanya punya sehelai kartu undangan."
"Kartu undangan ini ditujukan kepada ketua Bu-tong-pay,
tapi tidak menentukan bahwa kartu undangan ini hanya
berlaku untuk seorang saja. Padahal anak murid Bu-tong
sangat banyak, kita kan dapat memalsu sebagai orang Butong-
pay, sebagai pengiring bocah she Tjin ini. Kang Hay-thian
terkenal suka bergaul, kalau kita datang menjadi tamunya
masakah dia akan merintangi kita" Sudah tentu, jika orang
yang tidak dikenal asal-usulnya memang sulit untuk menyusup
ke sana. Tapi sekarang kita hadir bersama murid Bu-tong-pay,
tentu urusan akan berbeda."
"Tapi, tapi kalau di antara tetamu itu ada yang kenal bocah
she Tjin itu, lalu bagaimana?" tanya Tju-tjiau.
"Ini sudah kupikirkan," jawab To-tjeng. "Pertama, bocah
she Tjin ini baru pertama kali ini mengembara keluar, tokohtokoh
Kangouw yang terkemuka tentu masih jarang yang
kenal dia. Maka aku pun yakin di antara tamu-tamu Kang Hai
thian tentu tiada yang kenal dia. Kedua, dari pamanku aku
mendapatkan Di-yong-tan (obat rias muka), perawakan anak
Tiong hampir serupa dengan bocah she Tjin ini, sesudah
menyamar, kecuali gurunya atau orang-orang yang
berdekatan dengan dia setiap hari, rasanya juga sukar untuk
membedakannya Apalagi tujuan kita harus menyelundup ke
sana dan tidak perlu tinggal terlalu lama."
"Namun aku masih rada kuatir sebab dahulu pernah terjadi
peristiwa yang serupa, maka besar kemungkinan Kang Haythian
telah berjaga-jaga sebelumnya" ujar Tju-tjiau.
"Apa kau maksudkan kejadian putra Yap Tu-hu yang
memalsukan keponakan Kang Hay-thian dahulu itu?" tanya
Bun To-tjeng. Meskipun dia tinggal terpencil di lautan, tapi
setiba di Tionggoan ia sudah menyelidiki segala seluk beluk
keluarga Kang. Sebab itulah ia pun mendapat tahu tentang
kejadian Yap Leng-hong yang dipalsukan itu.
"Ya" sahut Hong Tju-tjiau. "Lantaran sudah mengalami
kejadian itu, maka dia tentu penuh waspada Sedangkan istri
Kang Hay-thian juga seorang wanita yang cerdik dan lihai."
"Kau masih belum paham urusan seluruhnya" ujar Bun Totjeng.
"Tampaknya kedua hal ini memang serupa, tapi
sebenarnya berbeda dahulu Yap Leng-hong palsu pernah
tinggal beberapa tahun lamanya di rumah Kang Hay-thian,
sedangkan kita cuma perlu beberapa jam saja menyusup ke
rumahnya Kedua Tjin Goan-ko ini adalah anak muda angkatan
baru, kita dapat memakai waktu yang tepat dan memasuki
rumah Kang May-thian beberapa saat sebelum upacara
perkawinan dilangsungkan. Untuk menyambut seorang tamu
angkatan muda tentu tidak perlu dilakukan sendiri oleh tuan
rumah dan cukup oleh petugas penyambut tamu saja rasanya
Kang Hay-thian juga takkan mengundang anak muda ke
tempat duduk yang utama, ini berarti Kang Hay-thian dan
istrinya tiada sempat buat bertemu muka dengan Tjin Goan-ko
palsu. Jelas keadaan demikian sangat berbeda dengan Yap
Leng-hong palsu dahulu."
"Lalu bagaimana tindakan kita sesudah menyusup ke
sana?" tanya Tju-tjiau pula.
"Itu adalah urusanku sendiri," kata Bun To-tjeng. "Mungkin
aku belum mampu memenangkan Kang Hay-thian, tapi untuk
melayani anak muridnya kuyakin sudah jauh dari cukup. Aku
dapat menggunakan cara kilat sekaligus membekuk putri dan
menantunya untuk dipakai sebagai sandera kau sendiri boleh
menjaga anak Tiong saja, dalam keadaan kacau kalian lantas
kabur terlebih dulu."
Mendengar dirinya tidak perlu ikut bertempur, diam-diam
Hong Tju-tjiau merasa lega ia pikir kalau urusan gagal dan
Bun lo-tjeng dijatuhkan Kang Hay-thian, dalam keaadan
kacau-balau dirinya masih ada kesempatan melarikan diri. Jika
usaha membekuk sandera berhasil, maka resiko yang
ditempuh inipun ada harganya untuk dilakukan.
"Dan sudah tentu, setelah usaha kita berhasil, tenaga
kalian ayah dan anak masih sangat diperlukan," kata Bun Totjeng
pula. "Setahuku, Kang Hay-thian teramat benci oleh
pihak kerajaan, soalnya dia belum secara terang-terangan
memberontak, ilmu silatnya juga teramat tinggi, maka
seketika pihak kerajaan belum bisa mengapa-apakan dia."
"Ya, sudah tentu pihak kerajaan ingin sekali bisa
membunuh Kang Hay-thian, soalnya ilmu silat Kang Hay-thian
memang luar biasa sehingga tiada orang yang berani
mengutik-utik dia, sebab itu pula Kang Hay-thian berani
mengadakan pesta besar-besaran. Tapi, betapapun tinggi ilmu
silat Kang Hay-thian sekarang, dengan datangnya Bun-hiante
sekali ini tentu gelar jago nomor satu tidak akan menjadi
miliknya lagi."
Bun To-tjeng tertawa senang, katanya, "Ah, Hong-toako
terlalu menilai tinggi diriku. Untuk bicara terus terang, sudah
tentu aku tak gentar kepada Kang Hay-thian, tapi kalau satu
lawan satu, mungkin kalah atau menang juga masih menjadi
teka-teki. Cuma saja aku masih berani mengambil resiko
menyusup ke rumahnya."
"Ya, sudah tentu. Dengan kepandaian Bun-hiante, usahv
mu sekali ini pasti akan berhasil dengan gilang gemilang,"
Hong Tju-tjiau mengumpak pula.
"Setelah putri dan menantunya tertawan sebagai sandera,
kukira Kang Hay-thian akan menjadi jeri dan tidak berani main
gila lagi kepada kerajaan," kata To-tjeng pula. "Dan sesudah
berhasil usaha kita menawan musuh, selanjurnya masih
diperlukan bantuanmu. Kau pernah menjadi anggota
bayangkara selama sepuluh tahun, tentu kau masih punya
teman sejawat di kotaraja. Maka hasil usaha kita ini perlu
bantuanmu untuk dilaporkan ke sana."
Sudah tentu Hong Tju-tjiau paham maksud Bun To-tjeng
yang kemaruk kedudukan dan kepingin pangkat itu. Jawabnya
dengan tertawa, "Untuk ini tidak perlu Bun-laute kemukakan
lagi. Sudah tentu kita takkan menyerahkan putri Kang Haythian
secara percuma, pasti akan membicarakan syarat yang
seimbang bagimu. Komandan-komandan Gi-lim-kun mungkin
seketika tak bisa diganti, tapi untuk menjadi wakil komandan
kukira masih tidak sukar dicapai."
"Hahaha!" Bun To-tjeng tertawa senang. "Jika kelak aku
menduduki tempat yang baik, tentu juga aku takkan lupa
padamu. Kita ini kan ada rejeki dirasakan bersama, ada rugi
dipikul berdua."
"Aku akan merasa puas bilamana aku dapat kembali
kepada jabatanku yang dulu," ujar Tju-tjiau tertawa. "Setelah
kekalahan di Bin-san dahulu, aku tidak berani pulang ke
kotaraja dan menyingkir ke pegunungan sunyi ini. Selama 20-
an tahun mi aku tak pernah meninggalkan pegunungan ini,
hidupku benar-benar sangat mengesalkan."
"Dan sekarang adalah kesempatan bagus yang harus kita
kerjakan sebaik-baiknya," kata To-tjeng. "Eh, ada sesuatu
masih diperlukan bantuan Titli, dari kata-katanya tadi aku
menjadi ragu-ragu, entah dia dapat melakukannya dengan
baik atau tidak."
"Urusan apa?" tanya Tju-tjiau.
"Jika kita bertiga berangkat ke tempat Kang Hay-thian itu,
maka bocah she Tjin itu harus dijaga oleh Biau-siang Titli.
Tugas ini tidaklah sukar, aku hanya kuatir dia mempunyai
jalan berpikirnya sendiri dan jangan-jangan dia malah akan
membebaskan bocah itu, jika demikian tentu urusan kita bisa
runyam." "Aku akan memperingatkan dia dengan sungguh-sungguh,
kau jangan kuatir, betapapun terhadap kata-kataku dia masih
tetap patuh," ujar Tju-tjiau.
Begitulah pada saat itu juga Hong Biau-siang ternyata tidak
kembali ke kamarnya seperti katanya tadi, tapi diam-diam dia
pergi mengintai apa yang sedang dilakukan Bun Seng-tiong.
Entah mengapa, selama berteman beberapa bulan dengan
Bun Seng-tiong, terhadap ilmu silat pemuda itu memang Biausiang
sangat kagum, tapi hubungan di antara kedua mudamudi
itu seakan-akan terhalang oleh sesuatu yang sukar
disebutkan. Kemudian waktu muncul Tjin Goan-ko, setelah
dibandingkan, samar-samar Biau-siang merasa pada diri Bun
Seng-tiong itu ngaknya tidak terdapat jiwa yang besar, tidak
punya kepribadian yang luhur.
Sungguh aneh juga, meski Tjin Goan-ko baru pertama kali
bertemu dengan dia, tapi Biau-siang sudah menaruh simpati
padanya. Paling tidak ia anggap tingkah laku Tjin Goan-ko itu
cukup untuk disebut sebagai seorang 'pendekar' yang baik.
Kini Biau-siang hendak pergi mengintai Bun Seng-tiong,
tapi yang benar ia merasa kuatir kalau-kalau Seng-tiong
mencelakai Tjin Goan-ko. Ia merasa simpatik kepada Tjin
Goan-ko yang tanpa berdosa telah dibikin susah, maka had
kecilnya merasa tidak tentram walau pun dia sendiri tidak ikut
di dalam komplotan keji ayahnya itu.
Saat itu Bun Seng-tiong sudah menanggalkan pakaian Tjin
Goan-ko dan ditukar dengan pakaiannya sendiri. Teringat
pada pertandingan di taman siang tadi, diam-diam rasa
dengkinya timbul pula, terutama bila ingat pujian Hong Biausiang
yang diberikan kepada ilmu pedang Tjin Goan-ko itu.
Tiba-tiba ia melolos pedang dan diacungkan ke tenggorokan
Tjin Goan-ko, pikirnya, "Sayang Hong-pepek tidak mau terima
usulku, kalau tidak, alangkah baiknya jika sekali tusuk
kumampuskan bocah ini. Hm, sekarang dia jatuh di bawah
cengkeramanku, meski tak kubunuh, asalkan Pi-peh-kut
(tulang pundak) bocah ini kubisui patah, tentu segala
kepandaian silatnya akan punah. Permusuhan dengan Butong-
pay toh sudah terang terjadi, betapapun beras sudah
menjadi nasi, rasanya Hong-pepek juga tak dapat
menyalahkan aku."
Sembari mengancam tenggorokan Tjin Goan-ko dengan
ujung pedangnya, tapi Seng-tiong masih ragu-ragu dan
seketika masih belum berani turun tangan. Ketika mendadak
ia menjadi nekat dan akan memotong tulang pundak Tjin
Goan-ko tanpa peduli akibatnya, sekonyong-konyong
terdengar jeritan kaget di belakangnya, "He, Seng-tiong, apa
yang hendak kau lakukan?"
Kiranya Hong Biau-siang datang tepat pada waktunya dan
sempat mencegah perbuatan keji Bun Seng-tiong. Waktu
Seng-tiong menoleh, terpaksa ia menyapa dengan tertawa
kikuk, "O, kiranya kau. Kau membikin kaget saja padaku."
Menolehnya Bun Seng-tiong membuat Hong Biau-siang
terkejut juga. Kiranya selain Bun Seng-tiong sudah menukar
pakaian Tjin Goan-ko, bahkan wajahnya juga sudah dirias
hampir mirip dengan murid Bu-tong-pay itu, sekilas hampir
saja Biau-siang mengira yang dihadapinya adalah Tjin Goan-ko
sendiri. Maka dengan mengomel Biau-siang menjawab, "Kaulah
yang membikin kaget padaku. Mengapa kau hendak
membunuh dia dan untuk apalagi kau menyamar sebagai
dia?" "Mana bisa aku hendak membunuh dia" Soalnya kau tadi
telah memuji dia, maka sekarang aku sengaja menakut-nakuti
kau saja," sahut Seng-tiong dengan tertawa. "Eh, apakah kau
pe-nujui bocah ini" Jika betul biarlah aku membunuhnya
sungguh-sungguh."
"Ngaco-belo, siapa yang kupenujui" Siapa pun tiada yang
kupenujui?" sahut Biau-siang uring-uringan. "Kau bilang
hendak menakut-nakuti aku dan pura-pura hendak
membunuhnya. Tapi mengapa kau menyamar seperti dia
pula" Apa maksudmu?"
"Coba katakan dulu, mirip tidak penyamaranku ini?" tanya
Seng-tiong tertawa.
"Selain suara, hakikatnya kau seperti saudara kembarnya.
Apakah kau memang hendak memalsukan dia" Untuk apa?"
Tiba-tiba Bun Seng-tiong menyengir dan berlagak memberi
hormat kepada Hong Biau-siang, lalu berkata dengan suara
yang dibuat-buat, "Nona Hong, terimalah hormatku ini?"
Nyata ia menirukan lagak lagu Tjin Goan-ko.
"Cis," omel Biau-siang. "Bagaimana, kau belum lagi
menjawab pertanyaanku tadi!"
"Ya, memang betul, aku memang sengaja menyaru sebagai
dia," jawab Seng-tiong kemudian. "Bila kau ingin tahu lebih
jelas boleh kau tanyakan kepada ayahmu sendiri."
"Apakah ayah yang suruh kau berbuat demikian" Aku tidak
percaya." "Kau tidak percaya boleh kau tanyakan pada ayahmu
sekarang juga. Baiklah, mari kita ke depan sana, agar kau
tidak selalu kualir aku mencelakai kau punya si dia."
Biau-siang menjadi serba salah, pikirnya, "Perbuatanmu
yang tidak pantas ini masakah terhitung seorang ksatria"
Mengapa ayah menyuruh dia melakukan hal yang demikian
secara sembunyi-sembunyi?"
Setelah berpikir sejenak, lalu Hong Biau-siang menjawab,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah, kepalaku rada pusing, aku akan pulang ke kamarku
saja. Aku takkan percaya kepada omonganmu."
Bun Seng-tiong yakin si nona takkan berani sembrono,
maka mereka lantas keluar kamar, pintu kamar digembok
lebih dulu. Lalu Seng-tiong berkata, "Baiklah silakan kau
mengaso saja. Sebentar nanti kita bicara lagi."
Waktu melihat penyamaran Bun Seng-tiong, Tju-tjiau
merasa puas dan memuji akan kepandaiannya itu. Setelah
memberi petunjuk seperlunya kepada sang putra tentang
rencana mereka, lalu Bun To-tjeng berkata, "Hendaklah kau
berlatih dengan baik, besok juga kita lantas berangkat ke
sana" Ketika mengetahui Hong Biau-siang akan ditugaskan
menjaga Tjin Goan-ko, diam-diam Bun Seng-tiong merasa
tidak enak. Rupanya Hong Tju-tjiau dapat melihat sikap Bun Seng-tiong
itu, katanya "Apakah kau merasa kuatir meninggalkan mereka
di sini?" Kiranya Hong Tju-tjiau sudah ada maksud hendak berbesanan
dengan Bun To-tjeng. Sebenarnya ia sangat senang
melihat pergaulan Seng-tiong dan Biau-siang kian rapat dan
menyangka mereka sudah cocok satu sama lain. Sebab itulah
ia menyangka Seng-tiong merasa berat meninggalkan Biausiang
di rumah. Tentu saja Seng-tiong tidak dapat mengemukakan isi
hatinya, terpaksa ia menjawab, "Bukannya aku merasa kuatir.
Soalnya kulihat adik Siang seperti belum paham duduknya
perkara dan menaruh simpati kepada bocah she Tjin itu. Aku
berpendapat ada lebih baik Hong-lopek menjelaskan kepada
adik Siang bahwa urusan kita ini menyangkut penuntutan sakit
hati Hong-lopek sendiri, dengan demikian adik Siang tentu
akan membantu dengan sepenuh tenaga dan pikiran."
Setelah berpikir sejenak, kemudian Tju-tjiau berkata
"Baiklah, sekarang juga akan kukatakan padanya."
Kamar Hong Biau-siang terletak di bagian paling belakang,
untuk ke sana harus melalui kamar Bun Seng-tiong dima-na
disekap Tjin Goan-ko yang tak sadarkan diri itu.
Ketika lewat kamar Seng-tiong, tiba-tiba timbul rasa curiga
Bun To-tjeng. Menurut keyakinannya, orang yang mabuk
tentu bernapas lebih berat daripada orang biasa. Dengan
ketajaman pnnca indra Bun To-tjeng, dari luar kamar
seharusnya ia dapat mendengar suara napas Tjin Goan-ko itu.
Tapi sekarang tampaknya di dalam kamar itu sunyi senyap
tiada sesuatu suara pun.
"Entah, bagaimana keadaan bocah itu, marilah kita coba
melongoknya" kata Bun To-tjeng.
"Kukira dia masih pulas seperti babi mati," ujar Tju-tjiau
dengan tertawa.
Tak terduga begitu pintu kamar dibuka, keadaan di dalam
kamar membuat mereka menjadi melongo kesima.
Ternyata daun jendela di sebelah sana tampak terpentang,
bau harum arak Djian-tjhit-tjui itu sayup-sayup masih tercium,
lapi kamar itu sudah kosong melompong, Tjin Goan-ko sudah
tak nampak batang-hidungnya.
Cepat Bun To-tjeng melompat keluar, dari atas gununggunungan
di tengah taman dipandangnya sekitarnya tapi
suasana malam sunyi kelam tiada bayangan seorang pun.
Setelah masuk kembali, dengan suara petahan To-tjeng
membisiki Hong Tju-m'au, "Cobalah tanya saja kepada
putrimu." Kuatir dan gusar pula Hong Tju-tjiau, katanya "Jika budak
itu yang melepaskan bocah she Tjin, sekali hantam tentu akan
kubinasakan dia."
"Hong-toako jangan marah dulu, paling betul ditanya
dahulu," ujar To-tjeng.
Segera Hong Tju-tjiau mendatangi kamar Hong Biau-siang
dan menggedor pintu, serunya, "Anak Siang, sedang apa kau
di dalam kamar" Lekas keluar!"
"Kepalaku terasa pening dan ingin tidur," sahut Biau-siang
dari dalam. "Keluar!" bentak Tju-tjiau.
Maka terdengar suara kresak-kresek Hong Biau-siang turun
dari tempat tidur serta mendekati pintu, sejenak kemudian
pintu dibuka, mata si nona tampak masih keriyap-keriyap
sepat, tanyanya, "Ada apa ayah" Tengah malam buta adakah
sesuatu yang harus dirundingkan dengan aku?"
Ketika Bun to-tjeng bertiga mengamat-amati keadaan
kamar, tertampak di dalam kamar itu tiada sesuatu tanda ada
orang lain kecuali Hong Biau-siang sendiri.
Dengan suara bengis Hong Tju-tjiau lantas bertanya, "Dimanakah
bocah she Tjin itu?"
Biau-siang melengak, tapi mendadak air mukanya berubah,
katanya dengan suara penasaran, "Apa artinya ini, ayah"
Bukankah bocah itu telah kalian cekoki hingga mabuk" Hendak
mencari dia kan mesti pergi ke kamar Bun-toako?"
"Di hadapanku kau jangan berlagak pilon," semprot Tjutjiau.
"Bocah she Tjin itu telah kau lepaskan bukan?"
Sungguh penasaran dan mendongkol Hong Biau-siang, tapi
terasa juga rasa senang yang tak terkatakan ketika
mendengar bahwa Tjin Goan-ko telah kabur. Segera ia
menjawab, "Ayah, mengapa lupa bahwa bocah she Tjin itu
dalam keadaan mabuk, cara bagaimana aku sanggup
membawa dia keluar dan menyembunyikan dia" O, ayah,
mengapa ayah menuduh putrimu sendiri tanpa alasan?"
Lalu menangislah dia dengan sedih.
Diam-diam Tju-tjiau dapat menerima alasan putrinya itu,
rasanya dengan kepandaian Biau-siang yang terbatas itu
takkan mampu melepaskan Tjin Goan-ko yang dalam keadaan
tak bisa berkutik itu. Maka ia lantas berkata, "Baiklah,
anggaplah aku ang salah paham padamu, kau jangan
menangis lagi."
Bun Seng-tiong sengaja hendak mencari muka, ia pun
mendekati Biau-siang dan berkata, "Ya, karena salahku yang
tak becus menjaga tawanan sehingga membikin adik Siang
yang menderita penasaran."
Biau-siang masih terguguk-guguk dan tak menggubris
kepada pemuda itu.
"Baiklah, mari kita coba memeriksa lagi lebih teliti," ajak
Tju-tjiau. Lalu mereka bertiga pun meninggalkan kamar Biausiang.
Lebih dulu Tju-tjiau mendatangi kamar obatnya untuk
memeriksa obat pemunah Djian-tjhit-tjui, tapi obat itu
ternyata tersimpan dengan baik tanpa kurang sedikitpun.
Diam-diam Tju-tjiau merasa lega, katanya, "Memang aku kira
anak Siang juga takkan berani mencuri obatku. Sekarang jelas
obat pemunahnya tiada kurang sedikitpun, sedikitnya bocah
itu akan mabuk tanpa sadar selama tujuh hari tujuh malam.
Meski kita tak membunuhnya, tapi keadaan sama seperti
terbunuh, sementara itu kita sudah sempat pergi pulang dari
Tong-peng-koan."
Sebaliknya Bun To-tjeng menjadi tidak tentram malah
setelah terbukti hilangnya Tjin Goan-ko itu bukan dilepaskan
oleh Hong Biau-siang. Katanya, "Aneh, dalam keadaan sadar
bocah she Tjin itu pasti tidak bisa kabur dengan sendirinya.
Dan inilah yang sedang kukuatirkan."
Maklum, bila betul ada seorang yang mampu melarikan Tjin
Goan-ko, maka kepandaian orang itu pasti tergolong kelas
wahid, kalau tidak, mustail Bun To-tjeng tidak mendengar
sesuatu suara apa pun.
"Dengan menggondol satu orang, tentu mereka belum
terlalu jauh dari sini," ujar Bun Seng-tiong.
Segera mereka bertiga mengejar keluar dan mencari ubekubekan
sampai belasan li jauhnya, namun tiada bayangan
seorang pun yang diketemukan. Padahal luas Tji-lay-san itu
ada ratusan li, sudah tentu mereka tidak dapat mencari ke
setiap pelosok.
Akhirnya Bun To-tjeng berkata, "Hong-toako, agaknya
kepandaian orang itu tidak di bawah kita, besar kemungkinan
saat ini dia sudah jauh meninggalkan Tji-lay-san."
"Lalu, apakah kita tetap akan berangkat ke Tong-pengkoan
atau tidak?" tanya Tju-tjiau.
"Kesempatan baik sukar dicari, kita tetap melanjutkan
rencana semula," kata Bun To-tjeng.
Tapi menghilangnya Tjin Goan-ko benar-benar membikin
hati Hong Tju-tjiau tidak enak sehingga dari wajahnya
kelihatan perasaannya yang ragu-ragu.
Bun To-tjeng lantas menghiburnya, "Bukankah kau
mengatakan bocah itu akan mabuk selama tujuh hari tujuh
malam tanpa sadar. Sekalipun ada orang membawa lari dia
juga takkan dapat mengorek sesuatu keterangan dari bocah
she Tjin itu. Dan dengan sendiri tiada yang tahu rencana yang
telah kita atur."
"Tapi, tapi kalau orang Kang Hay-thian yang membawa lari
dia, lantas bagaimana?" ujar Tju-tjiau.
"Masakah Kang Hay-thian bisa meramal, darimana dia
mengetahui bocah she Tjin itu kebetulan kesasar ke tempatmu
ini?" kata Bun To-tjeng dengan tertawa.
"Habis siapakah orangnya menurut persangkaanmu?"
"Darimana aku tahu" Cuma, sekalipun orang itu juga tamu
yang akan pergi ke tempat Kang Hay-thian juga kita tak perlu
kualir. Pertama dia toh tidak mengetahui akan rencana kita.
Kedua, setelah mengetahui bocah she Tjin itu bukan mabuk
biasa, tentu dia akan mengira keracunan dan pasti akan buruburu
mencari tabib yang berdekatan di sini dan dia takkan
sempat memburu ke Tong-peng-koan lagi. Sesungguhnya, jika
kita ingin mengerjakan urusan besar betapapun kita harus
berani mengambil resiko. Apakah kesempatan yang bagus ini
akan kau sia-siakan begitu saja, Hong-toako?"
Sebenarnya Hong Tju-tjiau masih takut-takut, tapi
rangsangan pangkat dan hadiah besar telah membikin gelap
pikirannya. Seketika ia menjadi tabah setelah digosok-gosok
oleh Bun To-tjeng. Katanya kemudian, "Baiklah, seperti orang
judi, memang kita harus berani bertaruh satu kali. Besok juga
kita lantas berangkat. Cuma sekarang anak Siang sudah tiada
tugas lagi, apakah dia perlu dibawa serta?"
"Kukira dia lebih baik disuruh menjaga rumah saja, sekali
pun ada orang kosen yang menggerayangi rumahmu juga
rasanya takkan mempersulit seorang gadis yang masih hijau,"
kata To-tjeng. Terpaksa Hong Tju-tjiau setuju. Setiba di rumah ia sudah
menduga putrinya tentu akan ribut lagi jika Biau-Siang tidak
diperbolehkan ikut Tak tersangka nona itu ternyata dingindingin
saja ketika diberitahu persoalannya, katanya,
"Memangnya aku lebih suka tinggal di rumah saja daripada
ikut memalsukan tamu orang."
Sikap Biau-siang yang lunak ini berbalik menimbulkan rasa
curiga Hong Tju-tjiau. Pikirnya, "Bocah she Tjin itu telah
menghilang secara aneh, jangan-jangan Biau-siang
mengetahui persoalannya tapi sengaja tutup mulut?"
Akan tetapi karena tiada sesuatu bukti, pula usul
membiarkannya menjaga rumah juga datang dari dia sendiri,
terpaksa ia tidak dapat mengubah maksudnya lagi. Besoknya
mereka lantas berangkat ke Tong-peng-koan dengan rencana
hendak menculik putri dan menantu Kang Hay-thian.
Sesungguhnya memang bukan Hong Biau-siang yang
melepaskan Tjin Goan-ko, bahkan siapa yang menolong Goanko
juga dia tidak tahu menahu. Cuma dia lebih suka tinggal di
rumah memang setengahnya dia berharap akan sempat
bertemu pula dengan Goan-ko, di samping itu ia pun sudah
jemu kepada $un Seng-tiong dan tidak ingin berada bersama
lagi dengan pemuda itu.
"Siapakah orang yang telah menolong pergi Tjin Goan-ko
itu" Dia tidak punya obat pemunah, selama tujuh hari tujuh
malam ini Goan-ko takkan sadar, lalu apa yang diperbuatnya?"
begitulah Biau-siang menimang-nimang sendiri.
Maksud Biau-siang ingin bertemu dengan Tjin Goan-ko
bukanlah lantaran hatinya sudah bersemi cinta, walaupun dia
memang menaruh hati kepada pemuda itu, namun apa pun
juga mereka baru saja kenal sehingga hakikatnya belum dapat
bicara tentang cinta segala. Cuma disebabkan dia
menghormat dan mengagumi sikap ksatria Tjin Goan-ko,
maka dia berharap berkesempatan berbuat sesuatu yang
berguna bagi pemuda itu. Yang dia pikir adalah semoga orang
itu tidak mampu menyadarkan Tjin Goan-ko dan terpaksa
harus datang lagi ke rumahnya untuk mencuri obat pemunah
yang tempat penyimpanannya sangat dirahasiakan, untuk
mana dialah yang akan mengambilkan obatnya dan diberikan
kepadanya. Nyata pikiran Biau-siang itu terlalu kekanak-kanakan, ia
tidak tahu bahwa ayahnya tidak sebodoh dugaannya. Bukan
saja ayahnya sudah memeriksa penyimpanan obat pemunah
itu, bahkan sudah membawa serta semua obat itu waktu
berangkat ke Tong-peng-koan.
Begitulah harapan Hong Biau-siang akan bertemu dengan
Goan-ko selain untuk memenuhi rasa ingin tahu dimana Goanko
bersembunyi pada saat itu, juga sesungguhnya dia ingin
tahu tokoh macam apakah orang yang telah membawa lari
Goan-ko itu. Habis siapakah gerangan orang yang menolong pergi Tjin
Goan-ko itu" Tentang ini marilah kita ikuti dulu pengalaman
Goan-ko yang aneh dan menarik.
Tjin Goan-ko sendiri tidak tahu dia sudah mabuk sampai
berapa lama, ketika sadar kembali, tiba-tiba ia merasa
punggungnya menempel di atas tanah yang keras, lembab lagi
dingin. Cepat ia meloncat bangun sambil kucek-kucek
matanya dan celingukan kian kemari.
Ternyata sekitarnya adalah pepohonan belaka, kiranya
dirinya terbaring di tengah hutan, di atas tanah penuh lumut,
tampaknya tempat yang jarang diinjak manusia, bahkan
binatang pun tiada yang lewat di situ.
Sang surya tampak baru saja menongol, mutiara embun
belum lagi kering, pantas punggungnya terasa lembab dan
dingin. Setelah jelas keadaan sekitarnya, Goan-ko menjadi terheran-
heran dan mengira dirinya sedang mimpi buruk.
Ia coba kucek-kucek matanya pula dengan air embun
sehingga pikirannya rada jernih, maka mulailah ia teringat
kepada kejadian perjamuan di rumah Hong Tju-tjiau, dimana
dia telah disuguh tiga cawan arak berturut-turut.
"Hanya tiga cawan arak saja mengapa aku menjadi
mabuk?" demikian pikirnya. "Seumpama mabuk juga


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seharusnya aku berbaring di rumah keluarga Hong itu,
mengapa aku bisa berada di sini" Ai, apa barangkali aku
benar-benar sedang mimpi?"
Tapi ketika ia coba menggigit jarinya sendiri, rasanya toh
sangat sakit, jadi dirinya sekali-sekali bukan di alam mimpi.
Sedang Goan-ko merasa bingung, tiba-tiba terdengar orang
bergelak tertawa. Seorang pengemis muda tampak sedang
mendatanginya sambil berjalan sembari bertembang.
Yang ditembangkan pengemis muda itu adalah sebuah lagu
kaum jembel yang bernama 'kembang kacang', lagunya
jenaka menertawakan, malahan lagu itu seakan-akan
menyindir Tjin Goan-ko yang telah kesengsem kepada anak
dara orang dan akhirnya mabuk tak sadarkan diri.
Tjin Goan-ko melihat pengemis muda itu rambutnya awutawutan
dan mukanya kotor, tapi baju yang dipakai biarpun
banyak tambalan tampaknya rada bersih, usianya kira-kira
baru 20-an tahun, jadi sebaya dengan Goan-ko sendiri.
"He, siapa kau" Apa maksud tembangmu itu?" tegur Goanko.
"Apa maksudnya kau sendiri kan tahu," sahut jembel muda
itu dengan menyeringai. "Eh, kenapa kau berada di sini
apakah kau sedang mimpi?"
Memangnya Goan-ko sedang menyangsikan dirinya apakah
dalam mimpi, maka mukanya menjadi merah kena di katai
oleh si jembel muda itu. Sahutnya kemudian, "Ya, aku justru
tidak paham mengapa aku bisa berada di sini" Jika kau tahu
harap kau suka menjelaskan."
"Sudah tentu aku tahu, sebab akulah yang membikin kau
sampai di sini," kata si jembel. "Bagaimana, apakah lelap
tidurmu?" Goan-ko menjadi gusar, dampratnya, "Kiranya kau yang
main gila padaku!"
"Hm," si jembel mendengus, "Main gila" Huh, jika aku tidak
membikin kau terbang ke sini mungkin saat ini kau telah
binasa secara tidak sadar. Memang, di sini sudah tentu tidak
seenak tidur di rumah keluarga Hong, jika kau senang boleh
lekas kau pulang ke sana saja. Boleh minum lagi arak Djiantjhit-
tjui sepuas-puasnya agar kau dapat mimpi muluk-muluk
lagi sesukamu."
Sebisanya Goan-ko menahan mendongkolnya, katanya
kemudian, "Aku takkan bertengkar dengan kau, masa bodoh
jika kau ingin memaki diriku, tapi kau harus menjelaskan dulu
apakah Djian-tjhit-tjui yang kau maksudkan itu" Memangnya
kau maksudkan arak yang kuminum di rumah Hong Tju-tjiau
itu adalah arak berbisa?"
Sembari bicara ia coba mengatur napas dan mengerahkan
tenaga dalam, tapi segala sesuatu berjalan dengan lancar dan
tiada tanda-tanda keracunan.
"Biarpun aku bilang arak itu berbisa juga tentu kau tidak
percaya," kata si jembel. "Silakan kau bercermin sendiri ke
tepi kolam sana."
Memang tidak jauh dari tempat Goan-ko berbaring situ
terdapat sebuah kolam yang terjadi dari genangan air yang
merembes keluar dari celah-celah mata air.
Waktu Goan-ko bercermin ke tepi kolam itu, ternyata
badannya sendiri sangat kotor, ini masih dapat dimengerti
karena dirinya tadi terbaring ditempat yang lembab dan sudah
tentu belepotan kotoran tanah. Yang mengherankan adalah
badan-nya sendiri hanya memakai baju dalam yang tipis, baju
luar sudah tak tampak lagi.
"Tentu kau sudah main gila lagi kepadaku, kemana kau
telah membawa bajuku?" omel Goan ko.
"Bajumu" Sudah kujual, kugadaikan , mau apa lagi kau?"
jawab si jembel dengan tertawa dingin. "Ya, boleh au anggap
saja aku yang telah mencuri bajumu"
Sungguh tak terkatakan mendongkolnya Goan-ko, bisa-bisa
dia ingin menghajar jembel itu. Tapi ia masih bisa bersabar
dan patuh kepada ajaran gurunya yang sering
memperingatkan dia agar jangan sembrono dan suka pakai
kekerasan terhadap siapa pun juga.
Sikap Goan-ko yang hampir meledak itu rupanya dapat
diketahui si jembel muda itu, dengan tertawa ia mengolokolok,
"Bagaimana" Kau tidak berterima kasih kepadaku
sebaliknya mau berkelahi dengan aku ya?"
Sedapat mungkin Goan-ko menahan perasaannya,
tanyanya kemudian, "Kau bilang anggap saja kau yang
mencuri bajuku, jika demikian siapakah pencuri yang
sebenarnya?"
"Sesungguhnya kau terlalu kurang ajar terhadapku," kata si
jembel dengan kurang senang. "Cuma, mengingat kau adalah
angkatan muda, maka aku dapat mengampuni kau. Namun,
bila kau minta aku menjelaskan persoalannya padamu, maka
kau harus minta maaf dulu kepadaku."
Terpaksa Goan-ko minta maaf, katanya, "Sekarang
dapatkah kau ceritakan hal yang sebenarnya?"
Baiklah, akan kuceritakan hal yang sebenarnya. Cuma,
jangan-jangan kau tetap tak percaya padaku. Tentang bajumu
itu, pencurinya bukan lain adalah Bun Seng-tiong, dia yang
telah membelejeti kau."
"Untuk apa dia membelejeti bajuku?" kata Goan-ko, benar
saja dia belum berani mempercayai si jembel muda itu.
"Darimana aku mengetahui untuk apa dia membelejeti
bajumu, yang jelas memang dia yang melakukan hal itu."
"Baiklah, anggaplah aku percaya pada ceritamu ini. Aku
telah dicekoki dengan arak berbisa dan pemuda she Bun itu
yang membelejeti bajuku. Jika demikian bukankah mereka
adalah orang jahat" Ini kan terlalu aneh, padahal kalau
mereka bermaksud jahat padaku kan tidak perlu memakai
arak berbisa segala?"
"Sudah kukatakan tadi, percaya atau tidak terserah
padamu." "Untuk percaya kan aku harus mendapatkan alasan yang
masuk diakal."
"Yang kukatakan adalah kejadian sesungguhnya yang aku
ketahui, yang tidak kuketahui pasti tak kukatakan secara
ngawur. Jika kau ingin alasan yang masuk diakal, hm,
darimana aku bis, tahu apa alasannya mereka berbuat
demikian padamu" Ai, lebih baik kau saja yang bercerita, coba
terangkan padaku sebenarnya kau hendak pergi kemana, apa
yang hendak kau lakukan dan apa yang pernah kau ucapkan
di rumah keluarga Hong itu. Eh, bisa jadi dari sini aku akan
memperoleh bahan untuk menerka alasan apa sehingga
mereka memperlakukan kau dengan cara demiki-an.
Diam-diam Goan-ko berpendapat kepergiannya ke rumah
Kang Hay-thian toh bukan sesuatu rahasia. Tapi pengemis
yang dekil ini toh bukan orang persilatan, buat apa kukatakan
padanya. Maka dengan acuh tak acuh ia menjawab,
"Urusanku boleh dikesampingkan, biar aku bertanya padamu
lebih dulu."
"Boleh juga, silakan tanya. Cuma untuk selanjurnya jika
bicara hendaklah kau tambahkan suatu kata 'mohon', misalnya
mohon tanya," jawab si jembel. Lalu dengan lagak tuan besar
ia berduduk di atas sebuah batu dan menunggu pertanyaan
Tjin Goan-ko. "Baik, mohon tanya, kalau menurut ceritamu tadi, jadi kau
yang telah menolong aku ke sini. Dengan cara bagaimana kau
menolong aku?"
"Itu kan terlalu gampang. Aku masuk ke rumah Hong Tjutjiau
dan memanggul kau ke sini."
"Memangnya Bun To-tjeng dan Hong Tju-tjiau mau
membiarkan kau pergi datang sesukanya?"
"Jika aku ingin datang dan mau pergi pula, memangnya
mereka bisa melarang aku" Hendaklah kau mengetahui bahwa
saat ini mereka pun seperti kau seakan-akan di alam mimpi."
"Hm, besar amat omonganmu. Mohon tanya berapa usia
tuan tahun ini?" jengek Goan-ko dengan mendongol. Pikirnya
dengan kepandaian Bun To-tjeng yang lihai itu masakah dapat
diingusi seorang jembel macam kau?"
Pengemis muda itu tampak melirik, katanya kemudian, "O,
jadi maksudmu aku tidak mampu menolong kau" Apakah kau
sangka hanya tokoh angkatan tua dunia persilatan yang
sanggup menyelamatkan kau?"
"Ya, kira-kira begitulah!" sahut Goan-ko dengan sengaja.
"Huh, kau ini tentunya murid Lui Tjin-tju bukan?"
Goan-ko sangat geram karena si pengemis muda itu
menyebut nama gurunya secara kasar. Tapi ia pun terperanjat
mendengar asal-usulnya sendiri dapat diketahui dengan begitu
saja. Segera ia pun menjawab, "Betul, ketua Bu-tong-pay
memang guruku adanya."
"Hahaha!" tiba-tiba jembel muda itu tertawa. "Bicara
tentang tingkatan menurut orang Kangouw sebenarnya aku
tidak biasa dan selamanya aku tidak ambil pusing kepada adat
istiadat demikian. Tapi kalau kau ingin aku mengatakan terus
terang, maka kau harus menjura tiga kali lebih dulu
kepadaku."
Goan-ko menjadi naik pitam, jawabnya dengan suara keras,
"Mengapa aku harus menjura padamu" Memangnya kau ini
kaum Lotjianpwe (angkatan tua)?"
"Benar, bicara tentang umur memang aku belum tua, tapi
tingkatanku cukup tua. Kau adalah tingkatan cucu muridku,
gurumu lebih rendah satu angkatan daripadaku. Jika kau
cuma menyembah tiga kali padaku sebenarnya masih murah
bagimu." Goan-ko benar-benar tidak tahan amarahnya lagi,
bentaknya gusar, "Masih tidak jadi soal jika kau mengolok-olok
aku, tapi kau berani pula menghina guruku?"
"Cara bagaimana aku menghina dia?" tanya si jembel.
"Kau.....kau seorang pengemis cilik berani mengaku
angkatan lebih tua dari guruku!" teriak Goan-ko.
"Apa yang terhina" Yang kukatakan ini adalah
sesungguhnya," kata si jembel dengan lagak acuh tak acuh.
"Gurumu sesungguhnya memang angkatan lebih muda
daripada diriku. Kelak bila aku punya anak barulah gurumu
terhitung sama tingkatannya dengan anakku."
"Bagus, jadi kau sengaja mengolok-olok ya" Ini, rasakan
kepalanku," bentak Goan-ko dengan gusar. Kontan ia lantas
menjotos. Tapi jembel itu ternyata tidak menghindar juga
tidak menangkis. Goan-ko berbalik kuatir melukainya, maka
pukulannya cepat ditahan di tengah jalan dan tidak
diteruskan. "Bicara berkelahi sebenarnya aku paling suka," kata si
jembel dengan tertawa. "Tapi kau terhitung angkatan cucuku,
aku tidak boleh bergebrak dengan kau. Begini saja, boleh kau
pukul aku sesukamu. Tapi ingin kukatakan di muka, asal kau
tidak takut rugi boleh kau serang aku."
"Aku pun ingin katakan padamu bahwa pukulanku ini dapat
menghancurkan batu, apakah kau tidak takut akan kupukul
rnati?" "Tadi aku telah memperingatkan kau, jika kau pukul aku,
kau sendirilah yang akan rugi. Jika tidak percaya boleh kau
serang saja."
Sungguh gusar Goan-ko tak kepalang, pikirnya, "Jika aku
tidak memberi sedikit tahu rasa kepadanya tentu dia mengira
Bu-tong-pay gampang diolok-olok. Daripada mencemarkan
nama baik perguruan aku harus menghajar pengemis ini."
Maka tanpa pikir lagi pukulannya lantas diteruskan. Cuma
tenaga yang dia gunakan hanya tiga bagian saja.
Jarak tempat duduk si jembel dengan Tjin Goan-ko boleh
dikata sangat dekat, pantasnya pukulannya pasti akan kena
sasarannya dengan telak. Tak terduga pukulan Goan-ko itu
mengenai tempat kosong. Sekilas pandangannya serasa
kabur, si jem-bel yang duduk di atas batu itu sudah lenyap.
Keruan Goan-ko terkejut. Baru sekarang ia tahu pengemis
itu benar-benar seorang kosen. Segera terdengar suara jembel
itu sedang tertawa di belakangnya sambil mengolok-olok,
"Jangan sungkan-sungkan, sudah kukatakan kau adalah
tingkatan cucuku, boleh kau pukul sesukanya, sekali-sekali aku
takkan balas menghantam kau."
Walaupun sudah tahu orang adalah tokoh ajaib yang
berkepandaian tinggi, tapi Goan-ko tidak rela dirinya diolokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
olok, kembali tangannya membalik dan menghantam pula
dengan lebih keras daripada tadi. Namun serangannya tetap
mengenai tempat kosong.
"He, aku berada di sini!" demikian kembali si suara si
jembel mengiang di belakangnya sebelah kiri.
Saking gemasnya Goan-ko terus membalik ke arah suara
orang dan berbareng kedua tangannya menghantam, ia yakin
serangannya sekali ini pasti takkan sia-sia.
Terdengar si jembel berseru, "Aduh, celaka!"
Mendadak sesosok bayangan melayang lewat di atas kepala
Goan-ko dan kembali terdengar seruannya, "Ai, sayang,
kembali luput!"
Dengan menahan perasaannya Goan-ko lantas
mengeluarkan pukulan berantai Kiu-goan-lian-hoan-tjiang,
sejenis pukulan andalan Bu-tong-pay yang lihai. Pukulan yang
mengutamakan langkah-langkah tertentu dan diperhitungkan
ini biarpun kemari" lawannya menghindar juga sukar lolos dari
ancaman pukulannya.
"Bagus! Kau adalah setingkat cucuku, ilmu pukulanmu ini
sudah boleh dikatakan lumayan!" demikian si jembel memuji
dengan rada lebih mendekati olok-olok. Bahkan dengan lagak
acuh tak acuh ia terus berjalan kian kemari di bawah serangan
Goan-ko yang gencar itu dengan berpanggung tangan seakanakan
orang yang sedang berjalan-jalan iseng mengendorkan
otot. Namun demikian seenaknya si jembel itu berjalan toh
pukulan Tjin Goan-ko itu sedikitpun tak berhasil, bahkan ujung
bajunya saja tak tersentuh.
"Jika kau punya kepandaian, marilah kita bertanding
pukulan berhadapan," demikian teriak Goan-ko dengan
penasaran. "Aku hanya pandai terima pukulan, balas menyerang aku
tidak bisa," sahut si jembel dengan tertawa. "Eh, cucu yang
baik, biarlah aku terima mentah-mentah sekali pukulanmu.
Boleh kau lakukan saja!"
Tanpa bicara lagi Goan-ko lantas menyerang, dengan tipu
'Wan-kiong-sia-tiau' atau pentang busur memanah rajawali,
dengan kepalan kiri dan telapak tangan kanan ia terus
menghantam ke arah datangnya suara si jembel.
Goan-ko menyangka lawan pasti akan berkelit, tak terduga
pengemis itu ternyata berani berkata berani berbuat, ia benarbenar


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhenti di depan Goan-ko dan membiarkan dirinya
diserang. Maka tanpa ampun lagi dengan tepat perut si jembel kena
kepalan Goan-ko. Sedetik itu Goan-ko masih kukir kalau-kalau
si jembel kena dilukai olehnya, maka diam-diam ia mengeluh
dan menyesal. Siapa tahu ketika kepalannya menempel tubuh lawan, tibatiba
rasanya seperti mengenai segumpal kapas yang lunak tak
bertenaga. Goan-ko bermaksud menarik kembali kepalannya
dengan cepat, tapi mendadak perut lawan seperti timbul suatu
arus tenaga sembrani, ternyata kepalannya kena disedot oleh
tenaga pengisap itu dan sukar ditarik kembali lagi. Keruan
muka Goan-ko menjadi merah padam dan serba susah.
Ketika pengemis muda itu bergelak tertawa sambil
membusungkan perutnya, serentak Goan-ko merasa seperti
ditolak oleh suatu kekuatan maha dahsyat, tanpa kuasa
tubuhnya terlempar dan mencelat sampai beberapa meter
jauhnya. "Nah, apa kataku, sekarang kau percaya atau tidak"
Untung kau mengurangi tenaga pukulanmu, kalau tidak tentu
kau akan terjungkal lebih keras lagi," kata pengemis itu.
Waktu Goan-ko merangkak bangun, ia melihat dirinya tepat
jatuh di depan sepotong batu besar, jika terpentalnya tadi
lebih keras, pasti kepalanya bisa pecah menumbuk batu itu.
Keruan muka Goan-ko merah padam dan tak bisa bersuara
pula. "Sekarang kau percaya aku mampu menolong kau dari
rumah keluarga Hong itu atau tidak?" tanya si jembel dengan
tertawa. Setelah kalah dan merasa kepandaian lawan sungguh sukar
diukur, mau tak mau Goan-ko sangat kagum. Namun dengan
angkuh ia menjawab, "Aku mengakui kepandaianmu, tapi kau
telah menghina Bu-tong-pay kami, untuk ini....."
"Eh, kiranya kau masih tidak rela menjadi angkatan muda
seperti apa yang kukatakan tadi" Baiklah, jika hal mana kau
anggap sebagai penghinaan, maka bolehlah kita berkawan
sama tingkatan saja. Memangnya aku tidak suka bicara
'entang tingkatan segala dengan orang. Padahal kalau mau
diurutkan benar-benar, baik gurumu mau pun tokoh-tokoh
Kangouw yang sudah ternama juga masih terhitung angkatan
lebih rendah daripada aku. Baiklah, apakah sekarang Tjinheng
boleh bercerita terus terang padaku?"
Walaupun Goan-ko masih menyangsikan si pengemis lebih
tua satu angkatan daripada gurunya, tapi orang sudah mau
bergaul sama tingkat dengan dirinya, betapapun rasa marah
Tjin Goan-ko tadi lantas lenyap sebagian besar dan merasa
tidak enak untuk bersungut pula. Segera ia berkata, "Baiklah,
aku percaya kau sanggup menolong aku dari rumah Hong Tjutjiau
itu. Tapi untuk apa kau melakukannya" Apakah mereka
benar-benar hendak membikin susah padaku?"
"Rupanya kau belum percaya sepenuhnya kepada ceritaku,"
kata si jembel dengan tertawa. "Untuk apa mereka hendak
mencelakai kau sudah tentu aku tidak tahu. Yang jelas arak
yang mereka cekokkan pada kau itu bernama 'Djian-tjhit-tjui'.
Ketika she Bun itu membelejeti bajumu juga kusaksikan
sendiri." "Djian-tjhit-tjui" Jika demikian sudah berapa hari aku
mabuk?" gumam Goan-ko. Ia merasa ragu-ragu merasakan
dirinya dapat mabuk hanya minum tiga cawan arak itu.
"Mestinya kau akan mabuk selama tujuh hari tujuh malam,
tapi sekarang kau cuma tak sadar selama sehari semalam, hal
ini lantaran kau sudah minum satu biji Pik-ling-tan dariku. Pil
ini teruat dari teratai salju yang tumbuh di Thian-san,
khasiatnya buat memusnahkan racun dan menyegarkan
badan. Cuma pil ini bukan obat pemunah khusus bagi Djiantjhit-
tjui, maka kau tetap mabuk sampai sehari semalam
lamanya." "O, jika demikian hari ini baru tanggal 12 bulan delapan?"
"Benar, ada apa" Apakah kau ada urusan penting?" Diamdiam
Goan-ko merasa bersyukur dirinya dapat sadar dalam
waktu yang belum tertambat untuk berangkat ke Tong-pengkoan.
Lantaran belum tahu asal-usul si jembel, maka samarsamar
saja 'a menjawab, "Ya, ada sedikit urusan, tapi masih
keburu kukerjakan. Eh, aku belum lagi bertanya namamu yang
terhormat Kepandaianmu sehebat ini, entah kau orang kosen
dari aliran mana?"
Semula Goan-ko meragukan pengemis itu adalah anggota
Kay-pang, itu organisasi kaum jembel yang besar dan disegani
di dunia Kangouw. Tapi ketua Kay-pang, yaitu Tiong Tiang
thong adalah sahabat baik gurunya, setahunya ilmu silat Tiong
Tiang-thong itu gayanya sangat berbeda dengan pengemis
muda ini, apalagi ilmu andalan Kay-pang adalah Kun-goan-itki-
kang yang lihai. Sebaliknya waktu jembel muda ini
menggunakan perutnya untuk mengisap dan membuatnya
terpental tadi jelas adalah sejenis Lwekang yang hebat dan
berlawanan dengan ilmu Kay-pang itu. Dari sini terang sekali
jembel muda ini bukanlah orang Kay-pang.
Maka terdengar jembel muda itu bergelak tertawa dan
menjawab, "Orang kosen segala tak berani kuterima. Tentang
namaku sebenarnya teramat jamak. Eh, kau punya uang
tidak?" Pertanyaan ini membuat Goan-ko meiengak heran,
jawabnya kemudian, "Apakah kau kekurangan sangu" Aku
tidak banyak membawa uang, tapi beberapa tail uang perak
sekedar untuk biaya perjalanan masih ada."
"Aku bukan minta sedekah padamu," kata jembel itu. "Kau
mempunyai benda lain yang lebih bernilai daripada uang perak
atau tidak?"
"Benda yang lebih bernilai dari perak tentulah emas. Kalau
emas aku tidak punya."
"Kau tidak punya, sebaliknya aku punya. Aku justru she
Kim, Kim artinya emas, bukankah she ini teramat jamak.
Mengenai namaku terlebih-lebih jamak lagi. Aku bernama
Tiok-liu."
"Kim Tiok-Iiu?" pikir Goan-ko. "Nama ini belum pernah
kudengar. Sungguh aneh, orang berkepandaian tinggi
demikian mengapa tak pernah kudengar" Jangan-jangan ia
pun seperti aku baru pertama kali ini berkelana?"
Dalam pada itu terdengar jembel she Kim itu melanjutkan,
"Aku tidak tergolong pada aliran mana pun, aku tidak pernah
berguru. Tokoh-tokoh ternama dari berbagai aliran persilatan
pada zaman ini kalau diurut* an paling-paling juga sama
tingkatannya dengan aku, tiada seorang pun di antara mereka
yang sesuai untuk menjadi guruku."
Goan-ko mengira orang suka membual, pikirnya, "Orang
Kangouw memang banyak yang punya pantangan, jika dia
tidak mau menerangkan asal-usul perguruannya, buat apa aku
bertanya lebih jauh. Cuma kalau dinilai dari kepandaiannya
yang tinggi memang sudah memadai tokoh-tokoh kelas satu
dari berbagai golongan persilatan."
Dengan tertawa kemudian ia bertanya pula, "Maaf jika aku
ingin tanya pula sesuatu kepada Kim-heng. Bukankah kau
mengatakan telah menolong aku dari rumah keluarga Hong
itu. Hal ini dapat kupercayai. Tapi mengapa kau bisa
mendatangi keluarga Hong itu dan menolong diriku" Apakah
kau pun menaruh sesuatu kecurigaan kepada mereka?"
"Benar, ketika kau berkelahi dengan bocah she Bun di
taman bunga itu dan kemudian kau diundang ke dalam rumah
oleh Hong Tju-tjiau dan Bun To-tjeng, semuanya itu telah
kulihat sendiri. Lantaran merasa sangsi, maka diam-diam aku
menyusup ke sana untuk mengintip. Dan benar saja kau
masuk perangkap mereka."
"Jika demikian sebenarnya orang-orang macam apakah
mereka itu sehingga menimbulkan rasa curigamu?"
"O, kiranya sampai saat ini kau belum tahu siapa mereka.
Pantas, jika tahu tentu kau takkan minum arak suguhan
mereka." "Ya, Siaute memang benar-benar tidak tahu siapa mereka
itu," sahut Goan-ko Diam-diam ia merasa heran, padahal kalau
Bun To-tjeng bertiga itu mau menangkapnya toh tidak perlu
memakai cara pengecut dan mencekokinya dengan arak
segala. Selagi Kim Tiok-liu hendak bicara lagi, tiba-tiba seperti
mengetahui sesuatu dan pasang kuping dengan cermat.
Sejenak kemudian baru ia berkata, "Jika kukatakan mungkin
kau masih belum percaya. Biarlah nanti orang lain yang akan
mengatakan padamu. Marilah ikut padaku!"
Goan-ko tidak tahu dirinya hendak dibawa kemana lagi,
tapi ia lantas ikut juga di belakang Kim Tiok-liu. Setelah berlari
puluhan langkah, sayup-sayup Goan-ko baru mendengar
bahwa di luar hutan sana ada suara tindakan orang.
Tiba-tiba Kim Tiok-liu berbisik padanya, "Marilah kita
mendengarkan pembicaraan mereka, hati-hati jangan sampai
kita dipergoki mereka."
Segera ia ajak Goan-ko berlari lagi sebentar, lalu mereka
melompat ke atas sebatang pohon besar, dari tempat yang
tinggi dapatlah Goan-ko melihat ada dua orang laki-laki
sedang mendatangi.
Kedua orang itu seorang tinggi dan yang lain pendek,
keduanya berusia kira-kira setengah abad. Terdengar yang
tinggi sedang berkata, "Tju-toako, kau kira anak dara itu
berdusta tidak?"
"Kukira tidak," demikian jawab yang pendek. "Jika mereka
di rumah, masakah mereka tidak mau menemui kita?"
"Ya, seharusnya mereka menemui kita. Orang she Bun itu
aku tidak kenal baik, tapi Hong Tju-tjiau adalah kawan sejawat
kita selama bertahun-tahun di masa lampau. Kita sudah
membe-ritahu nama dan mohon bertemu, jika dia di rumah,
seharusnya dia akan menyambut kedatangan kita. Cuma, bisa
jadi lantaran sesuatu hal, maka dia sengaja menghindar untuk
menemui kita."
"Hal apa?" tanya si pendek.
"Mungkin dia takut kedatangan kita adalah untuk mengusut
kesalahannya. Dalam pertempuran di Bin-san dahulu kawan
kita telah mati 17 orang, hanya dia dan So Bong yang berhasil
lolos. Sepulangnya di kotaraja, So Bong telah dipenjarakan
selama tiga tahun, sebaliknya Hong Tju-tjiau sengaja
melarikan diri dari tugas, dosanya terang lebih besar daripada
So Bong. Bisa jadi kuatir Sat-tjongkoan sengaja mengirim kita
untuk menangkapnya, maka dia tidak berani menemui kita."
"Anak dara itu benar-benar kurang ajar, masakah tanpa
banyak omong terus menutup pintu kembali. Coba kalau tidak
mengingat ayahnya, sungguh aku ingin mendobrak pintu dan
menghajar anak dara tak tahu adat itu," demikian si pendek
marah-marah. "Apakah kita perlu kembali ke sana dan bicara lebih jelas
padanya?" usul kawannya yang tinggi.
"Huh, jika Hong Tju-tjiau tidak mau memperhatikan kita,
biar ke sana lagi juga percuma. Kukira soalnya bukan dia takut
kepada kita, tapi takut kepada Kang Hay-thian. Biarpun kita
adalah kawan lamanya, juga dia kuatir kalau-kalau tanpa
sengaja kita membocorkan tempat persembunyiannya ini."
"Bun To-tjeng di rumahnya sendiri masakah dia masih takut
kepada Kang Hay-thian. Sat-tjongkoan mengirim kita ke sini
untuk mengundang Bun To-tjeng, maksudnya justru hendak
menggunakan orang she Bun ini untuk melayani Kang Haythian.
Tapi kalau mereka berdua juga takut kepada Hay-thian,
maka undangan Sat-tjongkoan ini bukankah percuma saja?"
"Dahulu paman Bun To-tjeng yang bernama Bun Ting-Bik
itu sangat sombong, katanya ilmu silatnya nomor satu di
seluruh jagad. Tak terduga dalam pertempuran di Bin-san ilmu
silatnya malah kena dipunahkan oleh Kim Si-ih. Betapapun
kepandaian Bun To-tjeng juga belum melebihi pamannya
dahulu, sebaliknya Kang Hay-thian sudah mewariskan segenap
kepandaian Kim Si-ih. Menurut pendapatku mungkin Bun Totjeng
masih bukan tandingan Kang Hay-thian."
"Peduli dia dapat menandingi Kang Hay-thian atau tidak,
yang penting perintah Sat-tjongkoan harus kita laksanakan.
Kita pergi ke sana lagi dan bicara padanya. Asal Bun To-tjeng
sudah menerima undangan kita, malahan Hong Tju-tjiau juga
akan dikembalikan kepada jabatannya semula, mustail dia
takkan menerima dengan senang hati?"
"Jika Hong-tju-tjiau tetap menghindari kita, lalu
bagaimana?"
"Tiada jalan lain, terpaksa kita bekuk dulu putrinya itu dan
mau tak mau Hong Tju-tjiau pasti akan muncul."
"Bila Hong Tju-tjiau benar-benar tidak berada di rumah?"
"Kita masih dapat memaksa anak dara itu menceritakan
kemana mereka pergi."
"Baiklah, jika sudah begini tekadmu, marilah kita kembali
ke sana." Begitulah kedua orang itu lantas putar haluan dan me-nuju
pula ke rumah Hong Tju-tjiau.
Seperginya kedua orang itu, dengan tertawa Kim Tiok-liu
berkata kepada Goan-ko, "Nah, sudah kau dengar sendiri,
sekarang kau sudah jelas belum?"
Wajah Goan-ko menjadi pucat dan sebentar merah pula,
katanya, "Kiranya Bun To-tjeng dan Hong Tju-tjiau adalah
antek kerajaan. Ya, pahamlah aku sekarang."
Memang Goan-ko sekarang sudah jelas siapa diri Bun Totjeng
serta Hong Tju-tjiau, bahkan ia pun paham mengapa
dirinya dicekoki arak hingga mabuk serta bajunya dibelejeti.
"Setahuku Bun To-tjeng dan putranya serta Hong Tju-tjiau
kemarin pagi-pagi sudah berangkat. Di rumah memang tinggal
anak dara itu saja. Eh, kenapakah kau, Tjin-heng?"
Kiranya Goan-ko sedang termangu-mangu. Ia melengak
ketika ditegur, jawabnya dengan gelagapan, "O, aku, aku
sedang berpikir....."
"Memikirkan anak dara itu bukan?" sela Tiok-liu.
"Bu.....bukan, tapi kupikir bagaimana kalau.....kalau kita
pun pergi melihatnya"
"Ya aku tahu tentu kau kuatir anak dara itu mengalami
apa-apa" ujar Tiok-liu tertawa. "Baiklah, sudah tentu aku akan
mengiringi keinginanmu untuk ke sana"
Wajah Goan-ko bertambah merah karena isi "latinya
dengan jitu kena dikatai Kim Tiok-liu. Sahutnya kikuk, "Ah,
Kim-heng jangan salah sangka Siaute cuma kasihan kepada
nona Hong itu, lagak lagunya tampaknya adalah seorang baik.
Biar pun ayahnya adalah seorang jahat, rasanya dia pasti tidak
tahu menahu."
"Sudahlah, mari kita lekas berangkat ke sana" kata Tiok-liu


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa Segera mereka melompat turun. Tiba-tiba Tiok-liu
berkata pula, "Jika kau ingin melihat tontonan menarik,
sebaiknya suara langkah kita jangan sampai didengar
mereka." Habis itu ia lantas menggandeng tangan Goan-ko, lalu
berlari secepat terbang ke depan. Goan-ko merasa tubuhnya
mengambang seakan-akan kaki tidak menempel tanah.
Padahal Ginkangnya terhitung nomor satu di antara sesama
saudara seperguruannya gurunya juga sering memuji
kemahirannya itu, tapi sekarang ia baru tahu bahwa di atas
langit masih ada langit, orang pandai masih ada yang lebih
pandai. Ia merasa biar Gin-kang gurunya juga tidak mampu
menandingi si jembel muda ini, pantas dia mampu menolong
aku keluar dari rumah Hong Tju tjiau tanpa diketahui oleh
tokoh lihai seperti Bun To-tjeng itu.
Tidak antara lama mereka sudah dapat melihat bayangan
kedua laki-laki tadi di bagian depan. Kim Tiok-liu lantas
melambatkan langkahnya dan menggunakan pepohonan
sebagai aling-aling, mereka terus mempertahankan jarak
belasan meter dari kedua orang di depan. Setiba di sebelah
rumah Hong Tju-tjiau, kedua orang itu lantas berhenti. Kim
Tiok-liu berdua mengawasi dengan bersembunyi di tengah
semak-semak dari kejauhan.
Setelah merandek sejenak, akhirnya kedua orang itu
mengetok pintu. Tadinya mereka menyangka Hong Biau-siang
pasti tak akan membuka pintu, tak terduga si nona membuka
pintunya dengan cepat.
Rupanya Biau-siang sedang menantikan kedatangan Goanko
atau orang lain yang mungkin datang untuk memintakan
obat penawar Djian-tjhit-tjui baginya. Sebab itulah ketika pintu
diketok dengan cepat, ia lantas membuka pintu. Tak terduga
ketika pintu terbuka, kiranya kembali kedua orang yang telah
datang tadi. "Ayahku tidak di rumah, Bun-sioksiok juga sudah pergi, hal
ini sudah kukatakan kepada kalian tadi, mengapa kalian
datang pula?" omel Biau-siang dengan gusar. Habis itu daun
pintu hendak digabrukkan lagi.
Namun orang yang tinggian itu sempat berkata, "Nanti dulu
nona Hong, dengarkan dulu bicaraku."
Berbareng kakinya lantas menahan kc depan sehingga
daun pintu yang sudah merapat itu kena ditolak terpentang.
Pendekar Pemetik Harpa 33 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pedang Dan Kitab Suci 18
^