Pendekar Latah 13
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Bagian 13
begitu pedas, biar Toaci berkesempatan berpikir!"
"Aku tidak perlu berpikir segala..."
Tempat pembicaraan mereka ini berada disebuah lakukan
gunung yang cukup berbahaya keadaannya, mereka tengah
berdiri diatas sebuah batu cadas besar yang bentuknya seperti
sebatang golok yang mencuat keluar dibawahnya adalah
jurang yang dalam, karena letaknya yang berbahaya orang2
Hwi-liong-to tak ada yang berani mengundurkan diri dari
tempat ini, maka sekian lama mereka bicara, namun tidak ada
orang yang datang menggangggu.
Akan tetapi ada seseorang yang sedang memperhati
percakapan mereka, baru saja Jilian Ceng-poh bicara, tiba2
didengarnya seseorang menyela dengan tertawa: "Jilian
Cuncu, kenapa kalian bersaudara sedang bertengkar disini?"
Yang datang bukan lain adalah Liu Goan-ka.
Diam2 mencelos hati Jilian Ceng-poh, batinnya:
"Untung.aku tadi tidak menerima ajakan mereka!" betapapun
hubungan sedarah daging masih melekat dalam sanubarinya,
lekas dia memberi isyarat dengan kedipan mata, maksudnya
supaya lekas mereka menyingkir.
-------------- Apakah Liu Goan-cong dapat pimpin orang2 gagah
menjebol kepungan Hwi liong-to-cu dan kamrat2nya"
Dapatkah Khing Cau berdua menemukan San San" Apakah
San San berhasil menuntut batas kepada Lam san-hou"
Siapakah sebenarnya pembunuh Ko-gwat Sian-su"
Dapatkah Bu-Iim-thian-kiau membongkar kedoknya"
(Bersambung ke bagian 27)
Bagian 27 Tapi kedatangan Liu Goan-ka amat cepat! Tahu2 orang
sudah berada ditengah2 mereka, betapa tajam pandangan
matanya, setelah dekat dia lantas tahu bahwa Jliian Cenghun
berdua pernah berkunjung ke Jian-liu-cheng, sapanya dengan
tertawa besar: "Jadi kalian adalah adik Jilian Cuncu, dulu
kalian berkunjung ke-kampungku, sungguh aku berlaku
kurang hormat! sesama saudara lebih baik kalau hidup rukun
dan kumpul bersama, kenapa kalian harus lari2?" tiba2 kedua
lengannya terkembang, dengan jurus Cou-yu-kay-kiong
(kanan kiri mementang busur) tangan kiri mencengkram Jilian
Ceng-hun tangan kanan mencengkram Jilian Ceng-sia.
Kedua kakak beradik ini sudah waspada dan siaga,
serempak mereka membentak: "Bangsat tua, biar kami adu
jiwa dengan kau." Jilian Ceng-hun keluarkan serulingnya
menutuk Jian-kin-hiat, sementara Jilian Ceng-sia keluarkan
golok sabit menabas kedua kakinya, berbareng ujung
goloknya menusuk ke Hoan-tiau-hiat dilututnya.
Batu sebesar ini tiba cukup untuk berdiri empat orang, apa
lagi harus bertempur, sisa luangnya tidak banyak lagi. Liu
Goan-ka menghardik sekali, tanpa hiraukan tutukan seruling
Jilian Ceng-hun, jari2 tangannya tiba2 terulur mencengkram
pi-pa-kut dipundaknya. Berbareng kakinya terangkat
menendang pergelangan tangan Jilian Ceng-sia yang
memegangi golok, Liu Goan-ka sudah kembangkan ilmu
menutuk jalian darah dari tingkat tinggi, "plak" dengan telak
seruling Jilian Ceng-sia mengena Jian-kin-hiat, seketika terasa
serulingnya ditolak oleh segulung kekuatan tahu2 cengkraman
Lu Goan-ka sudah berada didekat tubuhnya.
Karena tutukan serulingnya tidak berhasil sulit Jilian Cenghun
tarik senjatanya untuk melindungi badan, terpaksa dia
kerahkan kekuatan Lwekang-nya ditelapak tangannya
melawan secara kekerasan, pergelangan tangan Jilian Cengsia
tidak kena tendangan cuma goloknya saja yang terpental
lepas, Liu Goan-ka segera menghardik
"Turun!" berbareng telapak kiri didorong, karena
kehilangan senjata Jilian Ceng-sia di paksa gunakan pukulan
telapak tangan melawan. Dengan kedua tangannya Liu Goanka
harus melawan gempuran kedua kakak beradik, ketiganya
lantas bertempur sengit diatas batu cadas yang tergantung
diatas jurang, untung belum lama Liu Goan-ka baru saja adu
pukulan dengan Liu Goan-cong, sedikit banyak tenaganya
sudah terkuras, kini belum lagi sempat dipulihkan.
Dengan dua lawan satu Jilian kakak beradik menjadi
setanding sama kuat pihak manapun tak mampu mendorong
lawannya menerjang ke dalam jurang.
Betapa berbahaya dan amat menggiriskan keadaan
mereka, tampak badan Liu Goan-ka sedikit terbungkuk
tenaganya terus mendorong keluar, sementara kedua kaki
seperti terpaku kencang diatas batu, tapi belakang
punggungnya merupakan udara kosong yang tak bisa buat
menahan dirinya lagi.
Jilian bersaudara masing2 berada dikanan kiri depannya,
tungkak kaki Jilian Ceng-hun sudah menongol separo diluar
batu cadas yang melintang itu, keadaan Ceng-sia lebih
berbahaya lagi, kaki kirinya sudah tiada tempat berpijak lagi,
dia hanya mengandalkan sebatang pilar babi yang kuat ! buat
pegangani seluruh kekuatan mereka terpusatkan ditangan
kanan melawan gempuran Liu Goan-ka, meski sebelah tangan
yang lain bisa bergerak namun tidak leluasa untuk melukai
orang. Diatas batu cadas ini masih terdapat seorang, yaitu Jilian
Ceng-poh, didalam keadaan sama bertahan bila dia mau
dengan pukulan ringan saja menyerang Liu Goan-ka, dengan
mudah orang akan terpukul jatuh kedalam jurang.
Kebalikannya bila dia membantu Liu Goan-ka, dengan
gampang pula dia dapat membunuh kedua adiknya, jiwa
ketiga orang sama tergenggam ditangannya.
Apakah dia harus mengingat hubungan persaudaraan, Atau
mempertahankan kedudukan diri sendiri yang hidup dalam
kemewahan tapi membantu kelaliman"
Sulit Jilian ceng-poh berkeputusan, antara bijaksana dan
jahat sedang berperang didalam batinnya, sehingga dia
kebingungan dan tak bisa berkeputusan.
Sebaliknya Liu Goan-ka dan Jilian bersaudara masing2
sedang tumplek seluruh kekuatan dan perhatian untuk
menghadapi lawan, didalam detik2 menentukan mati hidup
jiwa sendiri, mereka tidak punya pikiran kalut malah, hati
tentram dan mantap, sedikitpun tidak takut lagi.
Yang lebih gelisah dan kebingungan sudah tentu Khing Ciau
dan Cin Long-giok, semula mereka hendak turun gunung,
waktu berpaling melihat keadaan yang serba kritis ini, jantung
mereka serasa hampir melompat keluar, setelah beradu
pandang tanpa banyak bicara cepat mereka ayun langkah
memburu kesana.
Dari tempat mereka ini menuju kebatu cadas itu harus
melalui beberapa tempat yang cukup berbahaya dan harus
membunuh dan menggempur mundur musuh yang tak
terhitung banyaknya, mungkin sebelum mereka tiba ditempat
tujuan, pertempuran disana sudah mencapai babak terakhir
antara mati dan hidup, sedikitpun tidak terpikir oleh mereka
bahwa usaha mereka hendak menolong orang disana
hakekatnya tiada gunanya sama sekali. Tapi mereka tidak
pikirkan hal ini.
Se-konyong2 tampak sebuah bayangan orang laksana
burung terbang tengah meluncur kearah batu cadas yang
terletak ditebing itu, terdengar suaranya membentak:
"Bangsat tua, mampuslah kau!" belum sempat tiba keatas
batu cadas, dari bawah tebing dia sudah ayun lengannya.
Bayangan ini bukan lain adalah Hong-lay-mo-Ii Liu Jingyau,
pamannya sendiri dia maki sebagai "Bangsat"
menandakan bahwa dia sudah amat benci dan dendam,
Begitu kebutnya terayun, puluhan batang benang kebutnya
seketika meluncur seperti senjata rahasia melesat dengan
cepat dan kuat.
Meski sedang melayani kedua musuhnya, tapi Liu Goan-ka
tetap pasang mata dan kuping memperhatikan keadaan
sekelilingnya. dalam keadaan biasa dia tidak perlu gentar
menghadapi Hong-lay-mo-li, tapi dalam keadaan bertahan
seperti ini, asal sebatang benang kebut orang mengenai
dirinya, jiwanya bakal terancam.
Terutama benang2 kebut Hong-lay-mo-li mengincar muka,
kalau matanya tertumpuk buta, tak berani dia membayangkan
akibatnya. Liu Goan-ka cukup tahu sampai dimana kelihayan Honglay-
mo-li, cepat sekali dia sudah bertindak, tiba2 dia
kendorkan kedua telapak tangannya, berbareng kakinya
menjejak sehingga badannya mencelat mundur karena tenaga
pukulan telapak tangan kakak beradik Jilian kehilangan
penghalang, pukulan mereka jadi menerjang kearah
badannya. Hebat memang kepandaian Liu Goan-ka, tampak ditengah
udara dia gunakan gaya burung dara jumpalitan, benang2
kebut timpukan Hong-laynmo-li mengenai tempat kosong
semua. Karena gempuran kedua kekuatan pukulan lawan, badan
Liu Goan-ka tak terkendali membentur batu sehingga jidatnya
bocor, darah bercucuran.
Sigap sekali tangannya menekan batu pilar, sekali lagi
badannya jumpalitan melompat keatas tancap kaki dllereng
gunung terus lari sipat kuping. Jilian Ceng-poh tertegun
sebentar, mana dia berani bicara dengan kedua adiknya lagi,
ter-sipu2 diapun mengikuti langkah Liu Goan-ka.
Cepat Jilian Ceng-sia jemput golok sabitnya terus melompat
turun dari atas batu cadas, teriaknya girang: "Liu Lihiap,
terima kasih akan bantuanmu! inilah Jiciku Ceng-hun!"
Jilian Ceng-hun ikut melompat turun, berhadapan dengan
Hong-lay-mo-li, terasa seperti silau pandangannya oleh
kecantikan orang, dlam2 dia membandingkan diri sendiri
dengan orang, sekilas dia melengak, batin-nya: "Memang
tidak bernama kosong nama Hong-lay-mo-li, bukan saja ilmu
silatnya tinggi, kecantikannya melebihi bidadari. Tak heran
Bulim-thian-kiau Tam Ih-tiong jatuh cinta ke-pati2
kepadanya." mengikuti adiknya segera iapun menyatakan
terima kasih. "Ceng-hun cici," ujar Hong-lay-mo-li, "kau menolong
seluruh saudara2 dipangkalan, aku sendiri belum
mengucapkan terima kasih kepadamu."
"Negeri Kim adalah musuh kedua bangsa kita. bantu
membantu sesamanya adalah jamak. Hanya memberi kabar
bukan suatu pekerjaan berat, tidak perlu cici
menyinggungnya."
Hong-lay-mo-li tiada tempo berbasa basi lagi, memangnya
keadaan masih tetap genting, para Cecu dan pengikut2nya
tengah berbondong turun kebawah untuk kumpul untuk
mengurangi jatuhnya korban, mereka tidak bisa membawa
anak buah masing2 menerjang naik kebalik gunung untuk
melarikan diri, sebagai Lok-lim Beng-cu daerah utara Honglay-
mo-li tidak bisa berpeluk tangan mengawasi saudara2
sehaluan menjadi korban, maka dia ikut berjuang demi mati
hidup mereka. Dengan menenteng kedua senjatanya Honglay-
mo-li pimpin mereka menerjang dari atas gunung
kebawah. Sementara itu, dari kejauhan Khing Ciau dan Cin Long-giok
juga melihat perubahan disini, maka lega juga hati nrerekap
jarak cukup jauh, perang tanding sedang berkobar dimana2,
maka Hong-lay-mo-lipun tidak melihat kehadiran mereka
disini. Baru saja Khing-Ciau tiba dibalik gunung sebelah sana,
tahu2 mereka dhadang oleh tujuh orang musuh.
Keenam orang ini adalah Siau-thaubak Hwi-liong-to. ilmu
silatnya biasa saja, tapi Khing Ciau tidak mau menurunkan
tangan keji, dengan mengembangkan Sip-hun kiam-koat,
dalam sekejap saja dia tusuk roboh empat orang diantaranya
dengan Hiat-to tertutuk, sisa lainnya segera lari pontang
panting. Baru saja Khing Ciau melangkah kebawah tiba2 dilihatnya
orang2 yang lari tadi putar balik, berbareng didengarnya
sebuah suara kasar membentak: "Oh, kiranya kau bocah ini
ternyata bernyali besar, di Tiang-kang kau tidak mampus,
berani juga meluruk ke Hwi-liong-to! Haha. kali ini jiwamu
takkan terampun lagi."
Kumandang suaranya orangnyapun telah tiba, ternyata dia
bukan lain adalah kepala perompak yang malang melintang di
Tiangkang - Jau-hay-kiau Hoan Thong, Mendengar teriakan
anak buahnya yang lari ketakutan, segera dia memburu
datang dan kesamplok dengan Khing Ciau.
Hoan Thong adalah saudara angkat Hwi-liong-to-cu dan
Lam-san-hou, terhitung kepandaiannya yang terlemah, tapi
dibanding kekuatan Khing Ciau dan Cin Long-giok, orang
masih jauh lebih kuat.
Gaman Hoan Thong adalah sebatang dayung lebih pendek
dari dayung perahu biasanya, tapi panjangnya ada tujuh kaki
lebih, satu kail lipat lebih panjang dari pedang panjang yang
digunakan Khing Ciau dan Cin Long-giok.
Dengan deru angin yang kencang dayung ini mengemplang
tiba dengan sejurus Hoan-kang-to-hay (membalik sungai
menuang laut) mengarah batok kepala Khing Ciau.
Lekas Khing Ciau membalas dengan sejurus Hing-ka-kimliang,
"Tang" kembang api berpijar, pedang yang digunakan
adalah gaman mestika, maka dayung Hoan Thong sampai
gumpil sebagian tapi dayung itu cukup berat bobotnya,
sehingga Khing Ciau sendiri rasakan telapak tangannya
kesemutan. Dari samping Cin Long-giok lancarkan jurus Tay-bok-houyan
pedangnya menusuk lurus bagai melesatnya anak panah,
mengincar lambung bawah Hoan Thong, jurus ini adalah tipu
pedang ajaran keluarganya yang cukup keji.
Sayang gerakannya rada lambat, waktu ujung pedangnya
hampir mengenal sasarannya. Hoan Thong sudah sempat
menarik dayung menangkis pergi, kontan Cin Long-giok
sendiri rasakan segulung tenaga besar menerjang dirinya
sehingga dia berputar dua kali hampir saja tersungkur jatuh
oleh tenaga tolakan lawan yang besar.
Hoan Thong menghardik sekali, dayung panjang disapukan
melintang, pengait meluruskan pedang Khing Ciau menekan
kebawah, tenaganya dilandasi oleh Tay yan-sin-kang, meski
kalah kuat dibanding Hoan Thong, tapi kekuatan sapuan
lawan berhasil dia sampuk menceng kesamping, sehingga Cin
Long-giok tidak tersapu luka.
Tenaga Cin Long-giok memang lemah, tapi Gin-kangnya
lebih tinggi, dengan tangkas cepat dia menyelinap sambil
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berputar dengan lincah, dimana pedangnya berkelebat tiba2
dia berada didepan Hoan Thong, lain saat sudah berada
dikirinya cepat sekali sudah menggeser kesebelah kanan pula,
sekaligus dia lancarkan tujuh delapan kali tusukan, setiap
tusukan sudah ditarik balik sebelum mengenai sasaran, isi
kosong sukar diraba, yang terang dia selalu menghindari
bentrokan lagi dengan dayung orang, tapi sekali lawan lena
tusukan gertakan akan segera melobangi badan orang.
Terpaksa Hoan Thong putar kencang dayungnya seperti
kitiran sehingga hujan badaipun rasanya takkan tembus, Tapi
karena harus menjaga diri disamping balas menyerang, maka
tekanan rangsakannya kepada Khing Ciau jauh berkurang.
Tapi dayung lebih panjang dari pedang, Khing Ciau harus
berhadapan secara langsung, harus melindungi Cin Long-giok
yang main sergap lagi, maka tidaklah heran kalau senjata
mereka sering beradu, Lwekang Khing Ciau terang bukan
tandingan Hoan Thong, lama kelamaan, napasnya mulai
sengal2, keringat gemerobyos.
Anak buah Hoan Thong mengundang sebarisan tukang
gantol, dari beberapa tombak diluar kalangan mereka
mengepung sehingga Khing Ciau berdua takkan mungkin lari.
Memang mereka tidak berani ikut turun tangan, tapi bagi
Hoan Thong sudah merupakan pembantu yang terpercaya.
Didalam keadaan kepepet dan tak mungkin lolos ini, Khing
Ciau harus pertaruhkan jiwa raganya bertempur mati2an
puluhan jurus kemudian, Khing Ciau sudah kehabisan tenaga.
daya tahannyapun sudah mulai kendor.
Hoan Thong gelak2, serunya: "Bocah keparat, kalau ingin
hidup. buang senjata dan berlutut minta ampun."
Khing Ciau gusar, tenaga dia kerahkan diujung pedang
"sret" tiba2 dia menusuk, Bila tenaga yang dia kerahkan
besar, tenaga tolakan lawanpun semakin besar, dengan
memutar dayung untuk melindungi badan laksana tameng.
sekali ketuk dan tekan, Khing Ciau tergetar mundur
sempoyongan tiga langkah.
"Bagus, kau tidak mau menyerah, biar kuhabisi saja
jiwamu." bentak Hoan Thong, dengan deru angin yang keras,
lagi2 dayungnya mengemplang dengan jurus yang sama,
batok kepala Khing Ciau kelihatannya bakal remuk redam.
Disaat genting bagi keselamatan jiwa Khing Ciau yang
sudah kehabisan tenaga, sekonyong2 tampak sinar emas
berkelebat tiba laksana kilat menyamber, tapi entah dari
mana, tahu2 membentur dayung Hoan Thong dengan
kerasnya. "Tang" kembali kembang api berpijar, begitu keras
benturan ini serasa pekak telinga, sedang dayung Hoan Thong
itupun tergetar terbang ketengah udara.
Hoan Thong menjerit keras, tanpa kuasa badannya katut
terlempar, ditengah udara dia bersalto ke-belakang, kebetulan
meluncur turun kearah rombongan anak buahnya yang
bersenjata gantolan.
Kejadian berlangsung teramat cepat dan diluar dugaan,
barisan gantol itu tiba2 menghadapi kejadian mendadak,
begitu melihat ada orang menerjang tiba secara reflek
sebelum melihat jelas siapa yang tiba, puluhan batang
gantolan panjang serempak bekerja.
Hoan Thong membentak gusar: "Sudah buta mata kalian?"
begitu kedua lengannya menggentak berbareng menarik
kebelakang, tiga batang gantolan yang mengenai badannya
seketika kesendal putus jadi enam potong, dua orang lain
terjengkang roboh menghadap langit, sampai kepala terbentur
batu dan bocor keluar kecap.
Tapi tangan dan kaki Hoan Thong keburu terluka oleh
ujung gantolan tajam, meski tangkainya putus, tapi ujung
gantolan itu masih menghunjam dalam dikulit dagingnya,
darah bercucuran dengan deras.
Waktu sinar emas itu jatuh ditanah, ternyata adalah sebuah
gelang baja, setelah membentur dayung dan jatuh ditanah
masih berputar2 dan menggelinding ditanah, dimana gelang
baja ini menggelinding pasir dan batu2 pecah berhamburan.
serasa bumi bergetar.
Sudah tentu kawanan brandal itu belum pernah melihat
senjata seaneh ini, takut terlindas gelang bundar ini, serempak
mereka lari pontang panting, keadaan Hoan Thong paling
mengenaskan segera dia jatuhkan diri terus menggelundung
kebawah lereng gunung, setelah membentur batu cadas besar
baru gelang baja itu jatuh dan berhenti.
Kejut dan girang Khing Ciau bukan main, teriak-nya: "Sattoasiok!"
tahu2 orang sudah berada dibelakangnya tengah
menepuk pundaknya, Waktu Khing Ciau berpaling memang
benar Sat-lotoa adanya. Tampak sekujur badannya berlepotan
darah, demikian juga kepala dan mukanya kotor dan kusut
masai. "Sat toasiok, kenapa kau?" tanya Khing Ciau kaget, "Kau
terluka?" Sat-lotoa lompat kesana menjemput gelangnya, sahutnya:
"Ttdak apa2. lekas ikut aku."
Sebetulnya Khing Ciau diirundung berbagai pertanyaan
sejak pagi2 orang menghilang, kini muncul tiba2 lalu hendak
mengajak dirinya kemana" Terpaksa dia tekan perasaan
hatinya, dengan menarik Cin Long-giok dia kuti langkah Satlotoa.
Sebagian besar anak buah Hwi-liong-to sudah
mengundurkan diri keatas gunung, arah yang ditempuh Satlotoa
adalah jalanan gunung yang belukar dan berbahaya,
maka mereka bisa maju terus tanpa mendapat rintangan.
Padahal Hong-lay-mo-li dan Hoa Kok-ham sudah pimpin
orang banyak turun kebawah kumpul dengan orang banyak.
Tapi Sat-lotoa tidak bawa mereka menuju ketempat
berkumpul. "Sat-toasiok, Liu Lihiap kan berada disebelah sana!" teriak
Khing Ciau. Tanpa menjawab Sat-lotoa ayun sebelah tangannya, "Serr"
sebatang panah ular yang mengeluarkan sinar hijau
menjulang keangkasa, "Mari kesini!" Sat-lotoa berseru sambil
berlari Waktu itu Hong-lay-mo-li dan lain2 sedang heran dengan
cara bagaimana harus menerjang keluar dari kepungan ini,
tiba2 dilihatnya panah ular berapi itu, lalu dilihatnya pula
Khing Ciau bertiga sedang ber-lari2 kearah sana dengan tergesa2.
Maka tergerak hatinya, katanya: "Sat-lotoa adalah Lok-lim
cianpwe, panah ularnya itu mengundang kita, pasti ada
keperluan yang amat genting disana." maka dia bawa orang
banyak mengejar kearah sana.
"Sat-toasiok." seru Khing Ciau, "mereka sudah menuju
kemari, perlukah kita menunggu kedatangan mereka?"
"Tidak sempat lagi, cepatlah ikut aku menolong orang."
seru Sat-Iotoa.
Khing Ciau kaget, tanyanya: "Menolong siapa?"
Sat-lotoa gugup dan tidak sabar: "Kau ikut saja, Orang
yang tidak kau kenal, tidak sempat kuterangkan kepadamu."
sambil ber-cakap2 mereka sudah berlari puluhan tombak
jauhnya. Cepat sekali mereka sudah memasuki sebuah lembah
belukar yang penuh ditumbuhi semak2 ber-duri, untung Khing
Ciau membawa pedang mestika sehingga mereka tidak
kesulitan, puluhan langkah kemudian, lapat2 kupingnya
mendengar suara benturan senjata keras, Khing Ciau
celingukan, suara itu kedengaran kurang jelas, se-olah2
berada dalam tanah dibawah kaki mereka, baru saja Khing
Ciau keheranan, tiba2 dilihatnya Sat-lotoa berhenti dan
berkata: "Sudah sampai!"
Khing Ciau memandang kearah tempat yang ditunjuk Satlotoa,
dilihatnya sebuah mulut gua yang penuh ditaburi
semak2 belukar, semak2 berduri itu banyak yang sama
terpapas dan disingkirkan kesamping, tentulah perbuatan Satlotoa
dan temannya. Tanpa banyak pikir segera Khing Ciau putar pedangnya
menerjang masuk mengikuti jejak Sat-lotoa, Cin Long-giok
mengintil dibelakangnya.
Cahaya didalam gua samar2, tapi tampak bayangan orang
ber-gerak2. Untung sejak kecil Khing Ciau sudah latihan
senjata rahasia, pandangan matanya lebih tajam dari orang
biasa, setelah dekat dan dia pasang mata lebih tajam, maka
dilihatnya keadaan dua pihak musuh yang sedang
berhadapan. Dilihatnya dua orang perempuan yang gundul kepalanya
dengan jubah Ni-koh tengah berhantam dengan serombongan
perompak seorang Nikoh tengah melabrak seseorang dan
bertempur dengan sengit, sementara Nikoh yang lain
membendung kawanan perompak yang lain supaya mereka
tidak mengganggu pertandingan satu lawan satu disebelah
sini. Pertama2 perhatian Khing Ciau tertuju kearah Nikoh yang
bertarung satu lawan satu, sekilas pandang dia cukup kenal
bayangan orang, keruan melonjak jantungnya, kejut dan
girang bukan main, teriaknya: "San San."
Saat itu juga Sat-lota sudah berseru: "Hian-tit-li tak usah
kuatir, orang2 kita segera datang!"
Nikoh yang muda belia dan cantik ini memang San San
adanya, orang yang dilabraknya itu adalah Lam-san-hou.
Tangan kiri memegang kebut, tangan kanan San San
bersenjata pedang, Lam San-hou bertangan kosong, Tapi
permainannya adalah Lo-han-kun setiap gerak kepalan
tangannya mengeluarkan deru angin tajam. sehingga San San
tak mampu mendekatinya.
Begitu tiba Khing Ciau sudah maju hendak membantunya
Sat-lotoa segera berseru: "Khing-siang-kong, kau boleh
berjaga diluar gelanggang, Keponakanku hendak menuntut
kematian ayahnya!"
Khing Ciau sadar, segera dia mengiakan, lalu ber diri diluar
gelanggang, Ujung pedangnya terangkat mengincar punggung
Lam-san-hou, tapi dia tidak bergerak sementasa Sat-lotoa ajak
Cin Long-giok menyerbu kedalam gerombolan kawanan
perompak. Meski Khing Ciau berdiri tegak tidak turun tangan, namun
merupakan tekanan juga bagi Lam san-hou. San San
mendapat ajaran murni dari Hong-lay-mo-li, Thian-lo-hud-tim
dan Yo-hun-kiam-hoat sama dapat dimainkan dengan
sempurna, sayang Lwekangnya saja yang belum memadai.
Begitu ketenangan Lam-san-hou terganggu, permainan
menjadi kacau balau, dari diserang kini San San berbalik balas
menyerang dan berada diatas angin.
Gerombolan perompak yang hendak menerjang kearah sini
dipimpin oleh Liong-in Taysu yang berkepandaian paling
tinggi, Sat-lotoa angkat gelang bajanya menghantam secara
kekerasan melawan tongkat lawan, berat tongkat Liong-in
Taysu ada lima enam puluh kati, sudah tentu tenaga
pukulannya bukan olah2 hebatnya, tapi latihan tenaga luar
Sat-lotoa juga sudah mencapai ketingkat yang sempurna,
malah setingkat lebih tinggi dari lawannya.
Begitu kedua senjata saling bentrok, suaranya amat
dahsyat seperti bom meledak memekak telinga, apa lagi
didalam gua gema suaranya laksana air bah yang melanda
tiba, beberapa orang serasa kepala hampir pecah dan
berkaok2 kalap seperti gila dan lari pontang penting sambil
membuang senjata.
Kedua orang sama2 kerahkan tenaga berhantam secara
keras, yang punya tenaga besar tentu akhirnya akan menang,
Dalam sekejap saja, tongkat Hwesio Liong-in Taysu yang
besar itu sudah melengkung mirip sebuah gelang yang
terputus sebagian.
Sat-lotoa gelak2, gelang bajanya berputar dan mengepruk,
kembali dia ketuk tongkat lawan terus ditariknya kesamping,
Liong-in Taysu memang sudah kehabisan tenaga, sekuat
tenaga dia masih berusaha mempertahankan diri, namun tiba2
mulutnya menguak keras seperti babi disembelih, tongkat
yang melengkung seperti gelang itu terlepas terbang!
Badannya sempoyongan terus tersungkur ke depan. Kebetulan
ujung pedang Cin Long-giok teracung dan telak masuk
kedalam dadanya.
Nikoh yang satu lagi berusia pertengahan umur, dengan
memutar kebutnya, terang Lwekangnya jauh lebih unggul dari
Sat-lotoa, namun karena dia orang beragama, maka tidak
menurunkan tangan keji, paling2 hanya mengetuk atau
menyendal lepas gaman2 lawan, berbareng kebut menutuk
Hiat-to mereka sehingga tidak berkutik menghadapi Nikoh
yang satu ini, apalagi dillihatnya Liong-in Taysu andalan
mereka sudah ajal, mereka yang tidak terluka atau tertutuk
Hiat-tonya serempak angkat langkah seribu.
Sebagai gembong iblis yang kejam dan telengas,
menghadapi situasi yang menyudutkan dirinya ini, mau tidak
mau Lam-san-hou menjadi gelisah juga. Pada saat itulah
didengarnya suara derap langkah orang banyak tengah
mendatangi dibarengi suara berisik dari percakapan mereka.
Tahu bahwa pihak lawan kedatangan bala bantuan segera
dia pergencar pukulannya dengan setaker sisa tenaganya,
begitu San San terdesak beberapa langkah, dia segera putar
badan lari sipat kuping.
Kebetulan Khing Ciau menghadang disebelah sini, sejak
lama dia sudah pikirkan cara untuk menghadapi musuh, begitu
bergerak dia lantas gunakan Hou-bwe-ga tipu harimau
menendang dan menyabet dengan ekor, kedua kakinya
menendang menyimpang satu sama lain, disusul dengan
pukulannya, tendangan dan pukulan ini merupakan tipu
kepandaian kebanggaannya tak kira ilmu silat Khing Ciau
sudah begitu kuat, disangkanya dengan serangan hebat ini dia
akan bikin lawannya mampus.
Diluar tahunya setelah Khing Ciau mendapat ajaran
Lwekang Liu Goan-cong, dibaurkan dengan Tay-yan-sin-kang,
kini kekuatannya selipat lebih besar dari dulu, Begitu
tendangan Lam-san-hou menyerang tiba, lekas Khing Ciau
gunakan langkah naga melingkar pindah kedudukan,
berbareng pedangnya menusuk, kekuatan pukulan Pek-pausin-
kun Lam-san-hou hanya membuatnya tergeliat saja tanpa
tergentak mundur, maka tusukannya ini tetap keras dan tepat.
"Crat" pergelangan tangan orang tertusuk dengan telak,
kontan Lam-san hou melolong kesakitan, kakinya melompat
minggir tiga tindak, kebetulan San San sudah memburu tiba,
disana dia ayun pedangnya dengan seluruh kekuatannya,
belum lagi Lam-san-hou sempat berpaling, pedang San San
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah amblas masuk kedalam perutnya.
San San cabut pedangnya, serunya mendongak: "Ayah,
putrimu hari ini membalaskan denganmu." baru saja dia
hendak memenggal kepala Lam-san-hou, kebetulan Hong-laymo-
li dan lain2 keburu tiba.
Tang-hay-liong jalan paling depan, Lam-san-hou masih
bernapas senin kemis, segera dia menggelinding kekaki orang,
Betapapun Tang-hay liong tidak tega melihat keadaannya,
katanya: "Kau memang terlalu jahat dan mendapat ganjaran
yang setimpal. Pada penitisan lagi baik2lah menjadi manusia,
Nona Gok, harap sukalah pandang muka Lohu, berilah
kematian dengan utuh." pelan2 dia tambahkan sekali pukulan
kepada Lam-san-hou, supaya mengurangi derita adiknya,
seketika Lam-san-hou putus nyawa.
San San beranjak maju, katanya sambil merangkap kedua
tangan: "Pinni Biau-cit terima kasih akan bantuan Khingkongcu."
suaranya sember dan gemetar.
"San San-cici," teriak Cin Long-giok, "kau, kau kenapa kau
cukur rambut jadi Nikoh?" dengan kencang dia pegang kedua
tangan orang, San San tertawa tawar, kembali merangkap tangan,
ujarnya: "Datang dari asalnya, kembali ke asalnya pula,
Masing2 mempunyai sebab dan akibat, biarlah jodoh
menentukan, Takdir sudah menentukan, janganlah mencari
kerisauan sendiri."
Sebagai orang yang cerdik Khing Ciau dan Cin Long-giok
maklum akan apa yang dimaksud dengan kata2 seperti syair
ini, tak terasa kecut dan mendelu hati mereka.
Hong-lay-mo-li juga pimpin Ong Ih-ting dan puluhan Cecu
lainnya memburu datang. urusan besar lebih penting, tak
sempat dia ajak orang bicara, katanya kepada Sat-Iotoaj "Satlocin-
pwe, apa yang terjadi disini?"
Tatkala itu dengan kerja sama orang2 gagah itu lembah
semak2 itu kini sudah dibikin bersih sehingga dengan leluasa
orang banyak bisa masuk kedalam gua, ada yang bikin obor
dari ranting2 kering itu, sehingga keadaan dalam gua bisa
terlihat rada jelas.
Tampak didalam gua ini terdapat banyak sekali pemandang
aneh dan mempesonakan dari batu2 gunung dan batu laut,
seperti ratna. batu2 akik, batu jade dan berbagai macam batubatu
hiasan yang dibuat oleh tangan seorang ahli, makluk
atau binatang2 lain, perempuan2 cantik, ada pula yang seperti
kuntilanak dan makhluk2 aneh yang jarang terlihat, sungguh
suatu pemandangan yang luar biasa dan menakjupkan.
Sayang sekali mereka hanya bisa melihat pemandangan
aneh2 ini selintas lalu saja, insaf akan kedudukan yang
berbahaya, betapapun mereka lebih mementingkan
keselamatan hidup lebih dulu, Apalagi gua ini panjang dan tak
tahu sampai dimana ujungnya. Kini jumlah mereka masih
tersisa enam tujuh ratusan orang, semuanya sudah masuk
kedalam gua besar dan panjang ini, maka mereka berdiri
saling berdesakan semua orang ber-tanya2 dalam hati:
"Sat-lotoa membawa kita kemari, enta apa maksudnya?"
Sat-lotoa segera menarik suara dan berseru lantang: "Gua
ini bakal tembus kepesisir dilautan sana." seketika semua
orang bersorak gembira, sementara itu San San dan Nikoh
pertengahan umur itu sudah berada disamping Hong-lay-moli.
Hong-lay-mo-li hanya sempat memberi hormat saja, tak
sempat banyak bicara lagi.
Demikian pula cara bagaimana Sat-lotoa bisa menemukan
gua ini juga tak sempat tanya lagi, segera dia tenteng pedang
berjalan lebih dulu.
Sebagai Bu-lim Cianpwe, meski mengalami berbagai
kesulitan Sat-lotoa masih tetap tabah dan bekerja dengan
cermat, apa lagi berada disarang musuh sudah tentu hatinya
tidak akan tentram, setelah samadi dua jam, tenaganya sudah
pulih seluruhnya, belum lagi hari terang tanah, secara diam2
dia sudah mengeloyor keluar menyelidiki keadaan pulau ini.
Sebetulnya Liu Goan-ka dan Hwi-liong-to-cu sudah kerja
sama dengan baik, semuanya berjalan sesuai dengan rencana
mereka, sayang sekali betapapun sempurna rencana mereka,
toh masih ada juga lobang kelemahannya, dan kelemahan itu
terletak pada gua yang satu ini.
Gua ini memang terbentuk oleh alam, dulu penduduk
setempat sering menggunakannya untuk berteduh dari segala
bencana alam, didepan mulut gua sengaja ditanami tanaman
berduri, setelah sekian tahun lamanya, tetumbuhan hidup
subur, maka orang2 dari luar takkan tahu dan sukar
ditemukan Hwi-liong-to-cu sendiri baru beberapa hari yang
lalu, karena hendak mengurung orang2 gagah, sekali lagi dia
mengadakan inspeksi akan situasi pulaunya ini dan secara
tidak sengaja pula dia temukan gua ini.
Waktu amat mendesak, gua amat besar lagi, untuk
menyumbat gua ini terang tidak keburu lagi, maka mereka
mengadakan persiapan ala kadarnya, Lam san-hou dan Liongin
Taysu memimpin sekawanan anak buahnya menjaga disini.
Pikirnya gua yang terahasia ini takkan mudah ditemukan,
bahwa menugaskan orang berjaga hanya menjaga segala
kemungkinan saja.
Sungguh amat kebetulan waktu masih subuh itulah Satlotoa
diam2 sudah mulai menjelajahkan kakinya dari satu ke
lain tempat menyelidiki keadaan pulau ini, ditengah jalan dia
kesamplok dengan dua Thaubak Lam-san-hou. Kedua
Thaubak ini sedang menuju ke gua itu untuk piket.
Karena tahu bakal terjadi pertempuran besar2an, mereka
bersyukur bahwa dirinya ditugaskan menjaga gua saja yang
jauh lebih aman, maka sepanjang jalan tanpa sadar mereka
mengobrol panjangl lebar. Di-luar tahu mereka sejak tadi Sat
lotoa sedang menguntit mereka, seluruh percakapan mereka
didengarnya dengan jelas.
Sudah tentu kejut Sat-lotoa bukan main mendengar
rencana mereka, maka dengan lebih hati2 dia kuntit terus
kedua orang ini, pikirnya hendak mencari tahu dulu letak dari
pada gua itu, karena dia berkesimpulan hanya gua inilah
kemungkinan satu2nya jalan untuk menolong orang2 gagah
itu meloloskan diri.
Dari kejauhan saja Sat-lotoa awasi kedua Thaubak itu
masuk kedalam gua, baru saja dia mau balik tak nyana dia
kesampok dengan San San dan Nikoh pertengahan umur itu.
Ayah San San dulu adalah kenalan baik Sat-lotoa, segera
dia perkenalkan Nikoh pertengahan umur ini adalah gurunya,
meski heran dan tak mengerti Sat-lotoa tidak sempat bertanya
panjang lebar. Tahu bahwa Lam-san-hou musuh besarnya menjaga gua
itu, San San bertekad hendak masuk kesana menuhtut balas,
Sat-lotoa pikir, dengan adanya dua bantuan ini, bila Lam-sanhou
dapat disingkirkan, sungguh merupakan suatu perubahan
diluar dugaan bagi musuh.
Kalau sampai mereka bersiaga dan memasang perangkap
dan sebagainya tentu banyak menimbulkan banyak rintangan
yang berbahaya, Maka dia setuju akan saran San San.
Tak nyana kecuali Lam-san-hou, didalam gua ini ada pula
Liong-in Taysu dan puluhan Thaubak yang berkepandaian
lumayan, pertempuran seru segera terjadi Sat-lotoa terluka
ringan, beberapa Thaubak berhasil dibunuhnya, tahu bahwa
San San dan gurunya kuat bertahan, dan lagi didengarnya
suara gemuruh seperti gugur gunung diluar sana, itulah waktu
batu2 besar dan balok2 digelundungkan menyumbat mulut
lembah, tahu bahwa Liu Goan-ka dan kamrat2nya sudah turun
tangan, waktu cukup mendesak, terpaksa dia mengundurkan
diri keluar untuk memberi kabar kepada orang banyak.
Gua ini panjang enam tujuh li, dengan langkah cepat
mereka kira2 setengah jam sudah tiba diujung gua yang lain.
Benar juga mereka tiba dipesisir laut. Tampak langit cerah,
ombak bergulung2, setelah berada diluar gua, lautan teduh
terbentang dihadapan mereka, meski disini tiada musuh, tapi
hati semua orang mencelos pula, rasa senangnya tadi seketika
sirna. Ternyata perahu dan kapal2 yang berada di darmaga
didalam teluk sana sudah hilang seluruhnya, Tanpa ada kapal
tumbuh sayappun mereka takkan lolos dari pulau ini.
Diisaat mereka kebingungan itulah, tiba2 terdengar orang
gelak2, dari atas gunung muncul serombongan kawanan
perampok, Hwi-liong-to-cu dan Hoan Thong berdiri paling
depan, berdiri dipinggir jurang, mereka tertawa ter-kial2,
kesenangan seperti orang gila.
"Mari kita adu jiwa sama mereka!" saking sengit Ong Ihting
berseru. Hwi-Iiong-to-cu gelak2 serunya: "Yang tidak takut mati
hayolah naik kemari?" tangannya terayun, anak2 panah
seketika dibidikan bagai hujan lebat.
Untung jarak mereka cukup jauh, bidikan panah2 mereka
tiada satupun yang mengenai sasarannya. Tapi orang2
gagahpun tak bisa berbuat apa2, jangan kata hendak
meloloskan diri. Mau tidak mau mereka mandah dihujani anak
panah, dan memaki kalang kabut, maka terjadilah perang
mulut dari atas dan bawah dengan ramainya.
Akhirnya Ong Ih-ting tidak sabar lagi, katahya: "Liu-Lihiap,
dari pada kepepet dan mati kelaparan di-sini, marilah kita
terjang keatas adu jiwa dengan mereka."
Belum lagi mereka selesai berunding, tiba2 Hoa Kok-ham
berseru: "Coba kalian lihat, apakah itu?"
Waktu semua orang memandang kearah lautan, tampak
titik2 layar kapal yang terkembang tengah berderet
mendatangi dari lautan teduh sana, jelas itulah barisan dari
kapal2 besar. Disaat orang banyak keheranan dan bertanya2,
barisan kapal2 besar itu sudah masuk kedalam teluk,
jumlahnya tidak kurang dari lima enam puluh buah, puluhan
buah diantaranya adalah kapal2 para tecu diri Thayouw yang
mereka pakai waktu berkunjung ke Hwi-liong-to ini.
Ong Ih-ting gusar, katanya: "Pasti perbuatan kawanan
perampok Hwi-liong-to, kapal kita sudah mereka rampas, kini
putar balik hendak menggencet kita dari dua jurusan."
"Ong-cecu," kata Hong-lay-mo-li "lihatlah bendera itu."
Tampak pada sebuah kapal yang terbesar ditengah barisan
kapal2 itu berkibar sebuah bendera besar yang disulam seekor
harimau dengan benang emas, ber-kibar2 tertiup angin, dari
jauh kelihatan sudah menyolok mata.
"ltulah bendera kebesaran Hoan-kang-hou Li Po. Li Po
adalah gerombolan Hoan Thong dan selalu maIang melintang
di Tiang-kang, Baik, merekapun meluruk kemari, mari kita siap
menyerbu keatas dan rebut kapal mereka."
Tengah mereka berbincang itu, barisan kapal2 itu sudah
berlabuh, tampak kapal terbesar ditengah itu, tiba2 mengerek
sebuah bendera lain yang lebih besar, itulah bendera pasukan
air yang berkuasa disepanjang sungai Tiangkang.
Diujung kapal berdiri seorang perwira dengan seragam
militer dan menyoreng golok, laki2 ini bukan lain adalah Hoahkang-
hou Li Po. Tengah semua orang ter-herah2 dan kebat kebit,
Terdengar Li Po berseru dengan Iantang: "Harap para
saudara2 tidak curiga dan kaget, aku Li Po mendapat perintah
dari Loh ciangkun, untunglah Liu Lihiap ada disini, bagaimana
isi hatiku Liu Lihiap tentu sudah tahu, Li Po sekarang adalah
pembantu Loh-ciangkun! Loh-ciangkun sudah menduga akan
kejadian hari ini, maka Li Po diutus kemari untuk menjemput
para saudara pulang. Maaf kedatanganku terlambat."
Rencana Hwi-liong-to-cu amat muluk dan sempurna, dia
kira dengan mudah akan dapat menjaring seluruh musuh, tak
nyana tahu2 Li Po muncul menggagalkan rencananyai keruan
gusarnya bukan kepalang.
Hoan-Thong segera tampil kedepan, katanya: "Jite, sudah
puluhan tahun kau bekerja sama dengan aku, orang hidup
dikalangan Kangouw harus mengutamakan kesetiaan, kenapa
kau sekarang malah ingkar janji membela musuh malah, ini
bukankah..."
Tak sabar lagi Hwi-liong-to-cu menukas: "Bukankah ini
yang dinamakan menjual teman untuk kesenangan sendiri?"
Li Po balas mendamprat dengan suara lantang: "Kau
katakan aku menjual teman untuk kesenanganku sendiri,
sebaliknya aku mau bilang kau menjual negara demi
kepentinganmu sendiri! Toako, di Tiangkang kau pernah
melawan pasukan Kim, bicara soal kesetiaan, kau harus
pikirkan dulu nusa dan bangsamu! Semula kau laki2 gagah
yang berjiwa luhur, kenapa sekarang terima diperbudak oleh
kawanan durhaka itu, memangnya tidak malu kau ditertawai
rakyat sejagat" Hoan-toako, sukalah kau bertobat dan berpikir
dengan kepala dingin, lekas kembali kejalan benar sebelum
terlambat !"
Sejak ditawan pasukan Kim di Tiangkang tempo hari,
karena takut mati dan salah berpikir, akhirnya dia terima
diperbudak oleh musuh bangsa, sebetulnya hati kecilnya
sudah amat sesal. Kini mendengar nasehat Li Po, seketika rasa
malu dan menyesal mengetuk sanubarinya. sikapnya jadi
masgul dan mulut terkancing.
Tiba2 Hw-liong-to-cu tertawa dingin, tiba2 Hoan Thong
berpaling dilihatnya muka Hwi-liong-to-cu kaku dingin, sorot
matanya yang beringas liar tengah menatap dirinya.
Hoan Thong ter-sirap darahnya: "Cong-toako, aku... aku..."
"Kau kenapa" Baik ya saudaramu itu! Hai, awas, berdirilah
tegak!" dengan membalikan telapak tangan, segulung angin
pukulan Bik-khong-ciang segera melandai, Hoan Thong
mencelat keterjang jumpalitan dari atas batu, teriaknya
dengan suara serak: "Kau sungguh kejam! Han-sam nio-cu!"
belum habis kata2nya kepalanya sudah kebentur batu cadas
yang runcing, seketika badannya hancur dan putus jiwanya.
Li Po menghela napas, ujarnya: "Hoan-toako, terlalu
mengenaskan kematianmu! Berangkatlah dengan baik2, dua
musuhmu akan kutuntut balas kepada mereka." dua orang
yang dimaksud sudah tentu adalah Hwi-liong-to-co dan Hamsam-
niocu yang dulu mengatur tipu daya menjebak Hoan
Thong sehingga dia terinia diperbudak oleh musuh, kini
menemui ajalnya dengan mengenaskan secara tidak langsung
kematiannya ini memang lantaran tipu daya Han-sam-nio-cu
dulu. Keselamatan orang banyak harus diutamakan, maka Li Po
segera pimpin mereka naik keatas kapal. Hong-lay-mo-li
dengan ayahnya, bersama Khing Ciau, Cin Long-giok San San
dan Sat-lotoa dan lain2 naik kapal Li Po.
Sementara Pendekar latah Hoa Kok-ham ditarik Thi-pit-su
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seng naik kekapal Ong Ih-ting, setelah semua orang naik
keatas kapal, barisan kapal ini segera berlaju pula ketengah
lautan teduh. Setelah mengalami pertempuran besar yang melelahkan
semua orang sama istrahat kedalam kamar masing2. Khing
Ciau dan Cin Long-glok masih sempat membicarakan San San.
sementara Hong-lay-mo-li bersama ayahnya menutup diri
dalam sebuah kamar, setelah mendengar cerita putrinya
tentang pengalamannya di Jian-liu-cheng yang hampir saja
ditipu Liu Goan-ka, akhirnya Liu Goan-cong berkata dengan
tertawa getir: "Pengalaman hidupku, tujuh delapan bagian sudah
dituturkan Goan-ka kepadamu. Mencuri pusaka diistana raja
Kim dan pelarian di kalangan kangouw yang ber-belit2 itu
semua memang kenyataan Cuma semua itu adalah
pengalamanku sendiri, dan dia mengaku akan diriku
kepadamu. Tapi dia ada mengelabui kau sebuah peristiwa lain,
biarlah sekarang kutambahkan."
Teringat akan peristiwa masa lalu yang menyedihkan itu,
tak terasa ber-kaca2 mata Liu Goan-cong, katanya:
"Sebetulnya aku enggan menyinggung kejadian lama ini, tapi
kau adalah putri tunggalku, kau harus tahu akan dendam
negara dan kebencian keluarga, biar kau tahu cara bagaimana
kematian ibumu."
"Apa yang dituturkan Goan-ka memang tidak salah, aku
membawa anak menyeret istri melarikan diri, sepanjang jalan
ber-ulang2 kali mengalami sergapan para pengejar dari jago2
istana Kim. Tapi dalam cerita ini dk tidak menyebutkan
seorang lagi yang ikut dalam pelarian itu, yaitu dia sendiri."
Liu Goan-cong lalu meneruskan: "Sejak kecil Goan-ka hidup
bersamaku, otaknya cerdik dan pandai bekerja, aku sendiri
yang mengajarkan ilmu silat kepadanya, setelah berhasil
mencuri pusaka diistana raja Kim, membunuh delapan belas
jago2 mereka, hukumannya adalah mati bagi seluruh
keluarga, Maka waktu aku melarikan diri, Goan-ka kubawa
juga, disamping untuk menyelamatkan diri, sekaligus untuk
membantu aku. Waktu itu cukup gagah dan berani sepak terjangnya,
baktinya terhadap negara membakar hatinya untuk mati dan
hidup seperjuangan dengan aku.
"Musuh yang mengejar serombongan demi serombongan,
barisan terakhir yang meluruk tiba adalah empat orang opsir
tinggi dari Gi-lim-kun negeri Kim, lihay sekali kepandaian
mereka, dengan menggendong kau, terpaksa aku lawan
mereka dengan sebelah tangan, keempat musuh itu akhirnya
mati dua luka parah dua, mereka berhasil kita pukul mundur
bersama ibumu. Tapi aku sendiri terluka tujuh tempat seluruh badan
berlepotan darah. Luka ibumu lebih parah lagi, aku masih bisa
jalan, sebaliknya setelah luka2 dia terserang demam lagi.
Untungnya kau dan Goan-ka tidak kurang suatu apa, karena
setiap musuh datang kami selalu berusaha untuk melindungi
dia dan kau. "Setelah bertempuran terakhir ini, Goan-ka tiba2 bertanya:
"Kak, kalian berdua sama terluka, kalau musuh mengejar
datang pula, bagaimana menghadapinya?"
"Aku tidak tahu apa maksudnya, sahutku menghela napas:
"Terpaksa pasrah nasib saja. Marilah cari tempat untuk
istirahat beberapa hari, setelah luka2 sembuh baru berangkat
lagi. Beberapa hari ini, kau perlu bekerja lebih berat untuk
keselamatan kita.
"Goan-ka tahu biasanya watakku amat kukuh dam keras,
setelah mendengar jawabanku dia lantas tahu bahwa luka2ku
tentu amatberat. Tiba2 dia cengkram ibumu dan berkata
dengan muka beringas: "Kak, bukan adikmu tidak sudi
melindungimu, yang terang aku tidak sudi ajal bersama kalian!
Harapan untuk lolos sudah terlalu kecil, daripada kita semua
mampus, biarlah aku meloloskan diri, kelak bila ada
kesempatan pasti kutuntut balas bagi kematian kalian. Kak,
kau tetap ditempatmu, serahkan gambar lukisan Hiat-to-tongjin
dan Ji-goan-hian itu kepadaku."
"Semula aku pernah memikirkan akal ini, tapi sekarang dia
menawan ibumu untuk mengancam dan menekian aku supaya
menyerahkan kedua pusaka silat itu, benar2 tidak pernah
terbayang dalam benakku. Baru sekarang aku sadar akan jiwa
kebinatangannya. Disaat2 menghadapi keadaan kritis dan
gawat itu, tersingkaplah kedok aslinya.
"Lama juga aku terlongong, terang jiwa kotornya itu takkan
bisa diperbaiki lagi, dengan sedih aku berkata: "Baiklah,
memang tidak salah ucapanmu, untuk menyelamatkan diri aku
sudah tiada harapan lagi, dari pada kedua ilmu pelajaran silat
ini terjatuh lagi ke tangan musuh, lebih baik kuserahkan
kepadamu. Semoga setelah kau berhasil mempelajari ilmu,
gunakanlah kepada musuh2"
"Setelah terlaksana keinginannya, Goan-ka segera berlalu.
Harus dikasihani ibumu yang terluka parah, harus
menanggung malu lagi, karena sedih dan malu serta marah,
sakitnya bertambah berat, hari itu juga dia meninggal dunia.
"Setelah Goan-ka pergi, ibumu meninggal pula, dengan
keadaanku waktu itu terang takkan mampu melindungimu
pula, terpaksa kucopot jubahku membuntalmu, lalu kutaruh
kau dipinggir jalan, Kuharap ada orang yang berhati bacik
kebetulan lewat sudi memungutmu sebagai anak, agaknya
Thian Yang Maha Kuasa memang berwelas asih kepada
umatnya, memang rejekimu sendiri juga besar, kebetulan kau
dipungut oleh Kongsun Ih, maha guru silat yang termashur
pada jaman ini."
Sampai disini, Hong-lay-mo-li rada heran, tanyanya: "Ayah,
kaupun sudah tahu akan pengalaman hidupku?"
Liu Goan-cong manggut2, ujarnya: "Hoa Kok-ham sudah
tuturkan kepadaku, pernah aku minta dia bantu mencari
jejakmu, maka kuserahkan kedua benda tanda bukti itu,
bukankah dia sudah berikan kepadamu?"
Merah muka Hong-lay-mo-li, katanya: "Yah, apakah jubah
yang kau buat membungkus aku dan secarik kertas leherku
itu?" "Sedikitpun tidak salah. Apa kau tidak bertanya secara jelas
kepadanya?"
"Dia suruh kacungnya Pek-siu-lo untuk mengantar kado
kepadaku Belakangan memang pernah bertemu beberapa kali,
tapi tiada kesempatan bicara. Yah, kenapa kau... kau berikan
tanggal kelahiranku kepada orang luar?"
Liu Goan-cong tertawa, ujarnya: "Kok-ham bukan orang
luar. Ayahnya Hoa Ci-thong adalah sahabat kentalku, Kami
mempunyai maksud dan tujuan yang sama, maka mau terima
undangan raja Kim untuk ikut menyelami gambar lukisan Hiatto-
tong-jin dan Ci-goan-bian ciptaan Tan Pok itu.
Waktu mereka melarikan diri dari istana negeri Kim setelah
berhasil mendapatkan apa yang diinginkan, mereka dikeroyok
oleh jago2 istana, ai, akhirnya hanya ketinggalan aku saja
yang berhasil lolos, Hoa Ci-thong bersama beberapa kawan
yang lain terbunuh dan ada pula yang tertawan kembali.
Untuk melindungi akulah Hoa Ci-thong mengorbankan jiwa
raganya, budi pertolongannya terang tak bisa kubalas
langsung kepadanya, dia punya seorang putra yaitu Hoa Kokham,
maka kuharap kelak hanya bisa membalas kebaikan
ayahnya terhadap putranya yang satu ini.
"Tapi waktu itu aku terluka dalam yang amat berat,
terpaksa melarikan diri ke atas gunung, mencukur rambut jadi
Hwesio, disamping mengobati luka2 sekaligus menghilangkan
jejak supaya tidak menjadi perhatian orang. Meski demikian,
jiwamu memang selamat, tapi aku toh harus menderita karena
badan menjadi cacat, Tidak mungkin aku bergerak untuk
mencari putra tunggal temanku itu,
"Sepuluhan tahun kemudian, tak nyana datang suatu hari,
Hoa Kok-ham malah yang berhasil menemukan diriku. Kiranya
setelah tumbuh dewasa dia berhasil mempelajari ilmu silat
warisan keluarganya untuk mencari tahu kabar ayahnya, maka
selama ini diapun sedang mencariku. Sayang sekali aku hanya
bisa memberitahu kabar kematian ayahnya kepadanya. Belum
lagi aku sempat membalas kebaikannya, malah aku minta
bantuannya lagi.
"Cacatku waktu itu belum sembuh seluruhnya, terpaksa
kuminta bantuannya untuk mencari kau. Kuserahkan tanggal
kelahiramnu sebagai tanda pengenal, sebetulnya akupun
menaruh suatu harapan yang mendalam, memangnya kau
belum memahami maksud2 ku?"
Merah seperti kepiting direbus selebar muka Hong-lay-moli,
ternyata ayahnya memang bermaksud menjodohkan dirinya
dgn Hoa Kok-ham sebetulnya diluar tahu sang ayah, Hoa Kokham
diwaktu memberikan kado dulu ada menyelipkan pula
kado pemberian pribadinya yaitu sepasang kacang merah,
secara tidak langsung melalui sepasang kacang merah ini, dia
sudah menyatakan isi hatinya.
Liu Goan cong bergelak tawa, serunya: "Laki2 dewasa
harus berkeluarga, perempuan besar harus menikah,
memangnya ada apanya pula yang harus dibuat malu?"
Hong-lay-moli berkata lirih sambil tunduk kepala: "Yah,
sekarang negara kita sedang dalam keadaan gawat kita ayah
beranak juga baru saja kumpul kembali soal ini biarlah ditunda
dulu." Liu Goan-cong melengak, cepat sekali dia sudah ter-loroh2.
"Yah, apa yang kau tertawakan?"
"Kutertawakan kalian muda-mudi jaman sekarang pura2
malu2 kucing belaka, waktu kuserahkan tanggal lahirmu
kepada Kok-ham, tentunya dia sudah tahu akan maksud
tujuanku, sayang kalian belum pernah sempat bicara dari hati
ke hati, entah kenapa pula dia pura2 bodoh" Tapi kau
memang benar, sebelum musuh penjajah terusir dari tanah air
kita, dengan bekal apa kita akan membangun keluarga" Baik
soal ini ditunda saja, setelah peperangan berakhir, baru kita
singgung soal perjodohan ini."
Lega juga hati Hong-lay-mo-li. Tiba2 ayahnya menghela
napas, katanya lebih lanjut: "Kalau dibicarakan amat
disesalkan, hidup setengah abad ini, beruntun aku harus
menerima kebaikan dua anak muda dari angkatan baru, celaka
lagi aku belum bisa membalas budi mereka, Seorang adalah
Kok-ham seorang yang lain adalah pendekar muda dari negeri
Kim itu." Tak tertahan tercetus pertanyaan dari mulut Hong-lay-moli:
"Yah, orang yang kau maksud, apakah... apakah Bu-limthian-
kiau?" "Benar, Yau-ji, aku tahu kau pernah bertemu dengan dia.
Benar tidak?"
"Yah, kau hutang budi apa kepada Bu-lim-thian-kiau?"
"Berkat bantuahnyalah sehingga badanku yang sudah
cacad ini dapat disembuhkan lagi secepat ini, Kalau tidak
mungkn harus menunggu sepuluh tahun lagi"
"Apa Bu-lim-thian-kiau juga mahir ilmu pengobatan?"
"Bukan begitu halnya Dia punya seorang guru bangsa Kim.
sebagai pewaris gurunya yang bercita2 menentang
peperangan dan cinta damai. Maka dia tidak sudi menerima
undangan rajanya untuk masuk kedalam lembaga penyelidikan
Hiat-to-tong-jin itu.
"Tiga belas gambar lukisan Hiat-to-tong-jin yang berjumlah
dua puluh lembar dan bagian atas dari Ci-goan hoan ciptaan
Tan Pok itu sudah berada denganku setelah aku melarikan diri
Baru guru Bu-lim-thian-kiau datang, menyatakan suka
membantu menyelidiki intisari dari gambar2 lukisan itu.
Bagian 28 Sebagai bangsa dewek, sudah tentu raja Kim percaya
penuh kepadanya, Tak nyana, empat belas gambar lukisan
Hiat-to-tong-jin dan bagian kedua dari Ci-goan-bian yang
masih ditangan mereka akhirnya berhasil dia rebut pada suatu
malam yang gelap mendadak dia melarikan diri dengan
membawa semua gambar-2 dan inti pelajaran Lwekang itu.
Ternyata dia sendiri mempunyai tujuan lain, supaya kedua
ilmu mujijat ini tidak terjatuh ketangan orang jahat maka dia
bertekad masuk keistana untuk merebutnya.
"Dia sudah tahu akan kejadian yang menimpa diriku, maka
dia ingin sekali bertemu dengan aku, supaya gambar lukisan
Hiat-to-tong-jin dan ajaran Lwe-kang dari Ci-goanhian itu
menjadi lengkap seluruhnya. Sayang sekali takdir sudah
menentukan belum lagi cita-citanya terlaksana, sebelum dia
bertemu dengan aku. dia sudah mangkat lebih dulu."
"Mendapat pesan dan warisan gurunya Bu-lim-thian-kiau
selalu mencari jejak saudara seperguruannya dari anak didik
bangsa Song dan Liau yang setingkat gurunya itu, suatu hari
akhirnya tiba diatas gunung dimana aku tetirah disana dia
menemukan dua orang Sumoaynya putri dari murid bangsa
Liau. Waktu itu Kok-ham sudah lama pergi, maka mereka
tidak pernah bertemu."
"Mendapat tahu bahwa didalam kuil bobrok diatas gunung
ada seorang Hwesio tua yang aneh tingkah lakunya, segera
dia datang mohon bertemu, pertama kali dia datang kutolak,
kedua kali datang tengah malam, karena gerak gerikku yang
tidak leluasa, aku sedang samadi didalam kamar, kukira dia
sebagai alap2 pemburu dari negeri Kim, maka kulancarkan
ilmu tutuk dari tingkat tinggi, kekuatan jariku menembus
jendela mengincar Hiat-to-nya.
"Dia tidak sampai roboh karena tutukkanku, tapi setengah
badannya kesemutan sekian lamanya baru pulih seperti sedia
kala Tapi karena tutukanku itu, asal usulku secara tidak
langsung sudah terbongkar ilmu tutuk yang kulancarkan
adalah hasil ajaran dari Hiat-to-tong-jin, maka dia lantas tahu
akan asal usul diriku.
"Maka dia utarakan cita2 gurunya semasa hidupnya yangingin
bertemu dengan aku, dikatakan kedatangannya hanya
untuk menunaikan cita2 gurunya saja, secara suka rela dia
hendak menyerahkan empat belas gambar Hiat-to-tong-jin
dan bagian kedua dari Ci-goan-bian itu kepadaku."
"SemuIa aku tidak mau percaya, tapi dia sudah lempar
masuk barang itu kedalam segera kubuka dan kuperiksa,
memang benar dan asli, baru aku mau percaya kepadanya.
Sejak itu dia lantas menjadi sahabatku yang baik."
"Memangnya aku memerlukan ajaran Lwekang Ci-goanbian
bagian kedua, untuk menyembuhkan cacad badanku,
maka kuterima baik pemberiannya itu. Betul juga dalam
jangka tiga bulan, penyakitku sudah sembuh seluruhnya,
kecuali kaki kananku yang belum sembuh betul, aku sudah
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa bergerak seperti manusia umumnya." sampai disini tiba2
dia menghela napas panjang.
"Kenapa ayah menghela napas?" tanya Hong-lay-mo-li.
"Tam Ih-tiong merupakan tunas muda yang paling
menonjol juga dari kalangan pendekar, bicara soal ilmu silat
dan sastra, dia tidak kalah dengan Hoa Kok-ham, cuma
sayang dia adalah bangsa Kim." setelah menghela napas, dia
menengadah dengan pandangan mendelong, mu!utpun
menggumam: "Tapi untung juga dia orang Kim!"
Sudah tentu Hong-lay-mo-li cukup mengerti apa yang
dimaksud dengan igauan ayahnya, Tak terasa hatinya menjadi
masgul dan hambar.
Liu-Goancong juga seperti memikirkan apa2, tiba2 dia
berkata mengawasi putrinya: "Dari cerita Khing Ciau, katanya
Hoa Kok-ham dan Bu-lim-thian-kiau pernah berkelahi, waktu
itu kaupun saksikan kejadian itu, apa sih yang telah terjadi?"
"ltu hanya salah paham belaka."
"Salah paham bagaimana?"
Terpaksa Hong-lay-moli tuturkan kejadian hari itu,
Kata Liu Goan-cong kemudian: "Kalau begitu Hoa Kok-hamlah
yang harus disalahkan. Dia salah mengenali orang, jelas
orang itu sengaja menyamar sebagai Bu-lim-thian-kiau."
"Siapakah orang itu?"
"Dialah orang berkedok yang kau temui didalam taman
istana raja itu."
Hong-lay-mo-li girang, kata-nya: "Ternyata sesuai dengan
rekaanku, untung ayah tahu seluk beluk persoalan mi. Kalau
tidak Tam Ih-tiong akan selalu penasaran. Tokoh macam apa
sih sebenarnya orang berkedok itu?"
"Orang itu bernama Wanyen Tiang-ci, semula menjabat
komandan Gi-lim-kun negeri Kim, belakangan dia meletakan
jabatan, terus mengasingkan diri selama dua puluhan tahun."
"Uh, kenapa?"
"Dia menyembunyikan diri didalam istana untuk
mempelajari gambar tulisan Hiat-to-tongjin dan Lwe-kang
ciptaan Tan Pok yang termuat didalam Ci-goan-bian itu,
sebagai pimpinan tertinggi dari lembaga penyelidikan itu,
kalau orang lain hanya memperoleh petilan2 dari gambar2 dari
ajaran2 itu, sebaliknya dia bisa mengangkangi secara lengkap.
Kini dia muncul lagi dikalangan Kangouw, malah unjuk diri
di Kanglam, tentunya dia sudah berhasil mempelajari ilmunya,
maka dia mau keluar bekerja demi negerinya."
"Tak heran diapun mahir menggunakan ilmu menutup
napas memutus urat nadi, malah permainan silatnya mirip2
dengan Tam Ih-tiong, ternyata kepandaiannya hasil ajaran
dari kedua ilmu mujijat itu."
"Sayang sekali latihannya belum matang betul, Dia sangka
aku sudah meninggal, diluar tahunya bahwa aku masih hidup,
tiga gebrakan setelah adu pukulan, baru aku tahu bahwa
ilmunya belum sempurna."
"Tak heran waktu itu dia kelihatan begitu gugup dan
ketakutan, dikatakan sudah tiada tempat berpijak bagi dirinya
di Kanglam!"
"Ilmu silat orang ini amat tinggi dan banyak ragamnya,
cerdik dan pandai menggunakan otak lagi, setelah lari ke
negerinya, membantu raja Kim yang lalim, betapapun
merupakan bibit bencana bagi rakyat kedua negeri.
Meski ilmunya belum sempurna tapi dalam jaman ini
kecuali aku dan gurumu Kongsun Ih, masih ada seorang lagi
yang kelak pasti akan bisa mengalahkan dia yaitu Kongsun Ki."
"Sayang sekali suhengku itu nyeleweng kejalan sesat. Ai,
mungkin suhengku inilah yang kelak merupakan bibit bencana
yang terbesar, sebagai putra tunggal guru, aku jadi kehabisan
akal cara bagaimana untuk menghadapinya"
"Setelah peperangan ini, aku akan bertandang ke-rumah
gurumu, disamping berterima kasih akan asuhannya terhadap
kau, kukira perbuatan dan kebejatan putranya ini harus
diberitahu kepadanya."
"Guruku berwatak keras dan polos, jikalau tahu akan
semua hal itu, mungkin bisa memukulnya sampai mampus.
Tapi beliau hanya punya seorang putra, setelah
membunuhnya, pasti beliaupun akan menyesal dan memeras
hidupnya, aku, aku merasa tidak tega."
"Lantaran itulah maka aku harus menemui gurumu. Aku
akan bujuk dia untuk memunahkan ilmu silat anaknya, supaya
kelak bisa meninggalkan keturunan."
"Ya, hanya jalan inilah yang harus ditempuh."
Pembicaraan ayah beranak ini amat panjang dan mencakup
banyak persoalan, tanpa terasa dari siang hari mereka
mengobrol sampai hari menjadi gelap. Li Po melarang
siapapun mengganggu mereka, maka santapan malampun
diantara kedalam kamar.
Setelah pembicaraan panjang lebar ini, banyak persoalan
yang mengganjel dalam sanubari Hong-1ay-mo-li boleh dikata
sudah terjawab seluruhnya, setelah makan malam dia, suruh
ayahnya istirahat, seorang diri dia keluar mencari hawa diatas
geladak, biarlah hembusan angin laut yang dingin itu,
membuyarkan kerisauan hatinya, supaya kepalanya dingin dan
perasaan tenang, supaya dia bisa berpikir lebih cermat.
Disaat Hong-lay-mo-li beranjak dengan perasaan hambar,
tiba2 dilihatnya gadis baju putih berdiri di-pinggir dek sana,
itulah San San adanya, orang menghadap kearahnya.
Lekas Hong-lay-mo-li menghampiri sapanya: "Adikku,
kenapa kau mencukur rambut menjadi Nikoh?"
"Siocia, maaf aku tak bisa melayanimu lagi. Aku,
kerisauanku terlalu banyak, tak mungkin dibereskan, setelah
kupikir terpaksa aku menempuh jalanku hari ini."
Mendelu dan getir hati Hong-lay-mo-li, pelan2 dia tarik
tangan orang, katanya: "Dik, untuk menghilangkan kerisauan
hati, sementara boleh juga kau mencukur rambut, bukankah
ayahku juga menjadi Hwesio dan puluhan tahun lamanya,
baru sekarang dia kembali preman."
"Dalam dunia ini aku sudah tidak punya sanak tiada
kandang, terang aku tidak akan kembali jadi..."
"Jadi kau bersumpah tak mau menikah seumur hidup. Em,
begitu baik, supaya kau bisa hidup dengan aman dan tentram.
Eh, aku belum tanya kau, siapakah gurumu itu, sejak kapan
kau angkat guru kepadanya?"
"Memang aku hendak memberitahu, Guruku bergelar Hwisiok,
tapi asal usulnya diwaktu preman adalah kakak dari Bulim-
thian-kiau."
Hong-lay-mo-li merasa diluar dugaan, tanyanya: "Cara
bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?"
"Setelah aku lolos dari cengkraman Kongsun Ki bersama
Khing Ciau, ditengah jalan kami berpisah, setelah Kongsun Ki
digebah pergi, tak nyana dia malah menguntit jejakku, Waktu
itu dia memaksa Siang Ceng-hong menjadi istrinya yang
kedua, sengaja dia biarkan aku pergi bersama Khing Ciau
untuk membuat Siang Ceng-hong cemburu, setelah aku
menempuh perjalanan seorang diri, dia mengejarku lagi.
"Dia gunakan Hoa-hiat-to hendak melukai aku, untung
dengan ilmu kebut yang kau ajarkan itu, sementara aku kuat
bertahan, namun keadaanku sudah amat gawat. Disaat jiwaku
terancam itulah, se-konyong2 irama seruling mengalun dari
atas gunung."
"Bu-lim-thian-kiau telah tiba?" tanya Hong-lay-mo-li.
"Ya, Bu-lim-thian-kiau telah datang! Tapi sebelum Bu-limthian-
kiau memburu datang, keparat itu beruntun melontarkan
tiga kali Bik-khong-ciang, sehingga aku terhantam jungkir
balik dan semaput. Belakangan baru aku tahu bila Bu-limthian-
kiau tidak datang tepat pada waktunya, tentu aku sudah
ajal oleh pukulan beracunnya."
"Sungguh harus disesalkan, aku mempunyai suheng yang
begitu bejat. Akhirnya?"
"Entah berapa lamanya, waktu aku siuman. ternyata aku
berada didalam sebuah kuil, Bu lim-thian-kiau dengan seorang
Nikoh pertengahan duduk disampingku, Nikoh itu adalah
kakak Bu-lim-thian-kiau, yaitu guruku yang sekarang Hwi-siok
Sinni. Berkat rawatan dan pengobatannya luka2ku sembuh
dengan cepat, setelah segar bugar aku lantas angkat guru
kepadanya, mencukur rambut menjadi Nikoh."
"Apa dia sudah tahu asal usulmu?"
"Sudah kututurkan kepadanya, setelah tahu riwayat hidup
dan sebagai pelayanmu, Suhu semakin sayang kepadaku.
Ternyata dia memang punya suatu maksud."
"Aku tahu apa maksud hatinya." tukas Hong-lay-mo-li
dengan muka merah.
San San tertawa, katanya: "Siocia, aku tahu isi hatimu
secara tidak langsung sudah kujelaskan kepada Suhu bahwa
kau sudah punya pujaan hati. Akhirnya dia minta kepadaku
supaya memberitahu keadaan adiknya kepadamu"
Merah muka Hong-lay-mo-li, tapi tak tertahan dia bertanya:
"Bu-lim-thian-kiau kenapa?"
"Tidak apa2, sejak pulang dari Ling-an dia jatuh sakit.
akulah yang merawatnya di dalam kuil itu. Dua hari lamanya
badannya panas membara, sering pingsan dan mengigau,
selalu menyebut namamu."
"Sekarang sakitnya sudah sembuh?"
"Kesehatan badannya sudah pulih. Luka2 hatinya, aku tidak
bisa mengatakan. Kakaknya sering berkhotbah kepadanya,
tapi badannya kelihatan kurus, belakangan sikapnya selalu
dingin tidak suka bicara. Aku tidak berani menyinggung
namamu dihadapannya."
"Waktu dia masih sakit Yalu Hoan-ih dua kali
mengunjunginya, memberitahu akan pertemuan kaum
perampok di Hwi-liong-to. Setelah sakitnya sembuh, dia lantas
meninggalkan Ci-hun-am, katanya mau ke Hwi-liong-to untuk
menemui para kawan dari Kang-ouw."
"Kenapa beberapa hari ini tidak kelihatan bayangannya"
Bukankah dia kemari bersama kalian?"
"Tidak. Dia berangkat lebih dulu, Belakangan kuingat
bahwa Lam-san-hou pasti juga berada di Hwi-liong-to, kuduga
Siocoa pasti akan meluruk kesinr juga. Maka kuutarakan isi
hatiku kepada Suhu, dan mohon diri kepadanya, Tak nyana
Suhu malah mau pergi juga.Katanya mau menemui kau, ingin
melihat orang macam apa sebenarnya kau ini, sehingga
adiknya jatuh hati ke-pati2."
Sampai disini pembicaraan mereka, se-konyong2 terdengar
suara siulan panjang yang melengking terbawa hembusan
angin laut, Hong-lay-mo-li melengak. Katanya dengan suara
rendah: "ltulah siulan Siau-go-kan-kun."
Tampak sesosok bayangan orang tengah mendatangi,
itulah ayah Hong-lay-mo-li Liu Goan-cong adanya. Katanya
tertawa: "Yau-ji, sudah kentongan ketiga, kau belum lagi
tidur?" "Yah, coba dengar, bukankah itu siulan Hoa Kok-ham?"
"Ya, memang siulannya, Malam sudah selarut ini, dia belum
tidur juga, agaknya sedang berkobar rasa senang hatinya."
habis berkata lalu dia bersenandung, habis senandung diapun
ikut bersiul dengan suaranya yang nyaring panjang dan
bening. Lapat2 berpadu dengan siulan Hoa Kok-ham.
Hong-lay-mo-li tertawa, katanya: "Yah, jangan kau bikin
orang lain kaget dan terjaga dari tidurnya."
"Hari ini hatiku terlalu gembira, Ya, malam sudah berlarut
tidak pantas mengganggu tidur orang, marilah istirahat."
Dari siulan Koa Kok-ham Hog-lay-mo-li dapat merabakan
perasaan hatinya, sudah tentu malam ini dia gulak gulik tak
bisa pulas. Disebuah kapal yang laih, Hoa Kok-ham sendiripun
tidak bisa tidur.
Hoa Kok-ham satu kapal bersama teman baiknya Th:-pitsu-
seng Bun Yat-hoan, Dasar suka mencampuri urusan orang
lain, Bun Yat-hoan memuji Hong-lay-mo-li setinggi langit,
serta menganjurkan Siau-go-kan-kun untuk meminangnya,
malah dia ajukan dirinya suka menjadi jombIang, sudah tentu
Hoa Kok-ham hanya menyengir saja akan banyolannya,
terpaksa dia layani ala kadarnya saja, setelah Bun Yat-hoan
jatuh pulas, dia sendiri belum juga bisa tidur.
Akhirnya dia kenakan baju luarnya, secara diam2 ngeloyor
keluar, Hatinya sedang gejoIak, maka ingin dia melihat
pemandangan malam dilautan teduh.
Gelombang lautan mengalun timbul tenggelam, demikian
pula perasaan Hoa Kok-ham ikut timbul tenggelam pula,
terbayang akan kenangan lama selama ini, hatinya serasa
hambar dan seperti kehilangan apa2.
Disaat dia terlongong menatap kearah kejauhan di ufuk
timur sana, tiba2 didengarnya suara seorang perempuan
berkata dengan suara hening dingin: "Apakah ini Hoa
Tayhiap" Beruntung dapat bersua disini, Pinni mohon maaf
akan kelancanganku ini!"
Waktu Hoa Kok-ham berpaling dilihatnya seorang Nikoh
pertengahan umur berdiri dihadapannya, Hoa Kok-ham tahu
orang adalah Nikoh yang bersama dengan dayang Hong-laymo-
li itu, meski hati ter-heran2 dan tak mengerti, segera dia
membalas hormat, katanya: "Aku yang rendah memang Hoa
Kok-ham, sebutan Tayhiap sungguh tidak berani kuterima."
Sungguh tak kira basa basi yang sudah umum ini justru
mendapat sindiran pedas dari si Nikoh, Katanya dingin: "Orang
sama memanggilmu Siau-go-kan-kun, ternyata kaupun punya
kepandaian tahu apa yang bakal terjadi."
Tegak alis Hoa Kok-ham, katanya setelah melenggong:
"Aku tidak setimpal menjadi Tayhiap, tapi jalan kebenaran dan
jiwa pendekar, sedikitpun tidak pernah kuabaikan, Entah
perbuatan apa yang salah ku-lakukan, sampai Taysu
mengolokku begini rupa?"
"Demi seorang perempuan, kau menuntut balas dendam
pribadi tanpa pikirkan kepentingan umum, sebagai orang yang
tidak setia terhadap teman. Dengan jiwa yang sempit seperti
ini, apakah itu kelakuan seorang pendekar?"
Bergetar hati Hoa Kok-ham, berubah mukanya, katanya:
"Maksudmu karena peristiwa di Siau-hou-san waktu aku
menempur Bu-lim-thian-kiau itu?"
"Tidak salah Bukankah Bu-lim-thian-kiau adalah teman
karibmu?" "Semula memang. Tapi dia adalah pangeran negeri Kim,
hari itu, aku... aku..." seluk beluk persoalan ini amat rumit,
Siau-go-kah-kun kehilangan kontrol dan tidak tahu cara
bagaimana harus memberi penjelasan.
"Kau kenapa?" Nikoh itu mendesak lebih lanjut. "Kau mau
berkata salah paham bukan?"
"Benar, Karena dia seorang pangeran Kim maka jika jahat
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa dia melakukan tindakan yang tidak menguntungkan bagi
negeri Song kita, kebetulan malam itu terjadi peristiwa
pembunuhan itu, aku salah paham bahwa dia adalah
seseorang lain itu."
"Kau katakan salah paham, sebaliknya aku mau berkata
kau memang sengaja berbuat demikian karena rasa sirik dan
jelus, kau sedang cari alasan untuk menyingkirkan duri
didepan matamu, kukatakan kau membalas budi pekerti
dengan kebencian."
Berubah hebat air muka Hoa Kok-ham mendengar cercahan
ini, katanya naik pitam: "Taysu, terlalu cupat pandanganmu
menilai pribadi aku orang she Hoa! Aku yakin bukan manusia
serendah seperti yang kau katakan! Harap tanya cara
bagaimana aku membalas budi dengan kebencian?"
"Tentang pasukan besar negeri Kim akan menyerbu ke
selatan. bukankah Bu-lim-thian-kiau yang pertama kali
memberi kabar kepadamu?" Siau-go-kan-kun mengiakan.
"Kau agulkan diri sebagai pendekar pembela nusa dan
bangsa, dengan kabar yang dia bocorkan kepadamu, sehingga
negeri Song kalian bisa bersiap dan siaga, merupakan suatu
keberuntungan besar bagi rakyat negerimu, bagimu sendiri
bukankah merupakan suatu budi besar pula?"
Tertusuk perasaan Hoa Kok-ham, katanya: "Memang benar
ucapanmu, memang tidak pantas aku menaruh curiga
terhadapnya, Memang waktu itu aku rada gegabah, jadi bukan
sengaja, sengaja..."
Nikoh itu tertawa dingin, tukasnya: "Sengaja atau tidak,
hanya kau sendiri yang tahu, Kau memukulnya sampai luka
parah. ini merupakan kenyataan. Baik, sekarang kutanya kau
pula, kau salah sangka bahwa dia adalah seorang yang lain,
jadi kau sudah tahu bahwa orang berkedok yang muncul
malam itu bukan dia?"
"Ya, sudah tahu, Tapi baru kemaren kuketahui dari
penjelasan seorang Lo-cianpwe. Aku menyesalpun sudah
kasep." Mendapat angin si nikoh mendesak lebih lanjut, kataiiya:
"Baik sekali, ingin kutanya pula, bagamana kepandaian silat
Bu-lim-thian-kiau dibanding dirimu?"
"Setanding alias sama kuat"
"Orang berkedok itu?"
"Belum pernah bergebrak jadi belum bisa mengukur
kepandaiannya. Tapi dinilai dari gerak geriknya, kalau harus
melawannya, mungkin belum tentu aku bisa mengalahkan
dia." "Nah, itulah, bila malam itu Bu-lim-thian-kiau bergabung
dengan orang berkedok itu mengeroyokmu, Hoa Tayhiap
jiwamu mungkin sudah amblas sejak malam itu. Dia rela
melawanmu seorang diri, menaruh belas kasihan lagi,
sehingga kau sempat memukulnya luka parah, tentunya sejak
lama kau sudah tahu bahwa dia amat penasaran akan
tuduhanmu. Kau menyesal tidak?"
Rona muka Hoa Kok-ham berubah ganti berganti,
tanyanya: "Siapa kau" Darimana kau bisa tahu urusan sejelas
dan sebanyak ini?"
"Masih ada yang tidak kau ketahui setelah berhasil mencuri
pusaka dari istana raja negeri Kim, ayah Liu Jing-yau akhirnya
tanpa daksa selama dua puluh tahun tidak bisa disembuhkan,
kenapa didalam waktu singkat belakangan ini mendadak bisa
sembuh" Kau tahu jasa2 siapa?"
"Memangnya Tam Ih-tiong yang tolong mengobatinya?"
tanya Hoa Kok-ham hambar. Dia tahu keadaan Liu Goancong,
untuk menyembuhkan cacat kakinya orang perlu tiga tahun
lagi baru berhasil menjebol urat nadinya yang sudah beku dan
buntu, maka diapun merasa heran bahwa Liu Goan-cong
sembuh begini cepat.
Tapi diapun tahu jelas bahwa Bu-lim-thian-kiau sedikitpun
tidak pandai ilmu pertabiban.
"Cacat Liu Goan-cong memang bukan disembuhkan oleh
pengobatan ilmu pertabiban, tapi terpautnya tidak jauh. Yang
benar empat belas gambar lukisan Hia-to-tong-jin dan bagian
kedua dari Ci-goan-bian peninggalan guru Bu-lim-thian-kiau
diberikan kepada Liu Goan-cong, maka didalam jangka tiga
bulan Liu Goan-cong berhasil menembus Im-wi dan Yang-wi
dua urat nadi penting dibadannya yang buntu, sehingga dia
bisa berjalan lagi."
Siau-go-kan-kun amat terperanjat maklumlah Hiat-to-tongjin
dan Ci-goan-bian merupakan pusaka kaum persilatan yang
diincar oleh kaum Bulim. Kalau apa yang dikatakan si Nikoh
benar adanya, maka budi pertolongan ini tentu jauh lebih
berharga daripada Tam Ih-tiong menolongnya langsung
dengan ilmu pengobatan..."
Nikoh pertengahan umur itu tertawa dingin, katanya: "Kau
tidak percaya" untung ayahnya berada diatas kapal yang lain,
besok pagi boleh kau langsung tanya kepadanya! Hehe,
ayahmu adalah sahabat karibnya, ternyata diapun tidak
jelaskan soal ini kepadamu."
Betapa pedih dan luluh hati Hoa Kok-ham, katanya : "Tak
usah tanya lagi, aku percaya akan keteranganmu, Tapi Kau
bisa tahu semua persoalan ini demikian jelas, siapa kau
sebenarnya?"
"Aku adalah kakak Tam Ih-tiong, aku tahu bahwa adikku
mencintai Liu Jing-yau setulus hatinya sebetulnya mereka
sudah tahu sama tahu! Kenapa" Kau cemburu" Atau Sirik dan
benci" Atau sediih hati" Hari itu kau bertekad membunuh
adikku, sekarang aku melukai hatimu lagi, kaupun boleh
bunuh aku untuk lampiaskan kedongkolan hatimu! Tapi aku
membeber kenyataan, kau tidak akan bisa menghapus
kenyataan ini."
Bagai kemasukan setan sikap Hoa Kok-ham, tiba2 dia
bersiul panjang melengking dengan hebatnya, begitu keras
dan dahsyat siulannya laksana pekikan naga sehingga
burung2 camar kaget, gelombang ombakpun mendampar
semakin dahsyat
Sudah tentu Nikoh pertengahan umur ini tahu bahwa Hoa
Kok-ham tidak akan membunuh dirinya, tapi karena siulan
menggila dari Hoa Kok-ham yang mendadak ini, diapun
terperanjat sampai menyurut mundur selangkah.
Setelah tenang hatinya, sikap Hoa Kok-ham seperti orang
loyo, katanya pelan2: "PuIanglah beritahu kepada adikmu,
katakan bahwa aku rela mengalah kepadanya." suaranya
mendelu dan serak, kedengarannya sumbang dan pilu.
Karena tujuan sudah tercapai si Nikoh yaitu Hwi-siok Sinni
segera merangkap kedua telapak tangan, katanya setelah
bersabda Budha: "Lebih cepat kau keluar dari gelanggang,
lebih cepat kau lulus dari kerisauan hati, Hoa Tayhiap ternyata
memang seorang yang tahu diri, seorang yang cerdik, Kalau
begitu sekarang pinni mohon diri."
Hwi-siok Taysu pergi dengan hati riang karena keinginan
sudah tercapai, sebaliknya Hoa Kok-ham tetap berdiri
mematung, hatinya kosong melompong.
Mendengar siulannya, Bun Yat-hoan tersentak bangun dan
memburu keluar, tak lama kemudian Ong Ih-ting juga ikut
keluar, mereka kira terjadi apa2.
"Kok-ham," ujar Bun Yat-hoan tertawa "Seorang diri apa
yang sedang kau lakukan disitu" kukira kau kebentur sesuatu
diluar dugaan?"
Hoa Kok-liam tersentak sadar, sahutnya: "Tidak apa2,
karena terlalu iseng aku bersiul sampai membuat kaget
kalian." Melihat sikap dan roman muka orang yang kurang wajar,
Bun Yat-hoan bertanya: "Apakah hatimu rada kurang enak."
"Tidak, tidak apa2."
Pada saat itulah siulan panjang Liu Goan-cong kumandang
dari kejauhan sana.
Ong Ih-ting tertawa: "Liu Lo-cianpwe agaknya juga terlalu
iseng, besok boleh kau ajak dia membicarakan soal Lwekang,
sekarang, tiba saatnya untuk tidur." sementara dalam hati dia
membanting tingkah laku Hoa Kok-ham memang aneh,
julukan "Pendekar Latah" kiranya memang tidak bernama
kosong. Hari kedua tepat tengah hari barisan kapal ini mulai
memasuki muara Tiangkang, para Cecu yang berpangkalan di
gunung dan orang2 gagah semua mendarat disini, semua
menuju kearahnya sendiri2, sementara para Cecu yang
berkuasa diperairan tetap tinggal diatas kapal, direncanakan
terbagi dua rombongan rombongan pertama dibawah
pimpinan Ong Ih-ting kembali ke Thayouw mengerahkan
segala kekuatan dari tiga belas pangkalan disana serempak
melawan serbuan pasukan Kim, rombongan kedua dipimpin Li
Po, berpangkalan di Tiangkang, berjajar dan kerja sama
dengan pasukan air Loh Bun-ing.
Hong-lay-moli bersama ayahnya, Cin Long-giok. Khing Ciau,
San San dan lain2 mendarat disini, Cin Long-giok ingin
mengajak San San pulang ke Kiang-im, tapi San San
menjawab: "Tidak, kini aku sudah menjadi murid Budha, aku
harus ikut guruku." Khing dan Cin tahu isi hatinya, terpaksa
mereka melepasnya pergi.
Sementara itu Liu Goan-cong melihat Siau-go-kan-kun
sedang berjalan dalam rombongan orang banyak dengan
kepala tertunduk, segera dia memapak kesana, katanya
tertawa:" Hian-tit, banyak terima kasih akan bantuanmu
menemukan puteriku, katanya kalian sering bertemu. tapi
sebelum ini Yau-ji belum tahu akan hubungan keluarga kita,
kini dia sudah tahu. Hayolah Yau-ji, beri hormat kepada Hoasiheng."
Hong-lay-mo-li memberi hormat, katanya: "Terima kasih
akan budi pertolongan Siheng, Terima kasih, terima kasih
akan kadomu." teringat akan pemberian "kacang merah" tak
terasa merah malu selebar mukanya.
Mehhat orang menyinggung kadonya dengan mimik muka
yang malu2 lagi, tergerak hati Hoa Kok-ham, tapi lekas dia
berpikir: "Dia sudah menjadi milik Bu-lim-thian-kiau, Hoa Kokham,
kenapa kau mencari kerisauan melulu!" segera dia belas
menghormat, katanya tawar: "Sebetulnya aku tidak membantu
apa2, untunglah kalian ayah beranak sudah kumpul, terhitung
sudah selesai tugasku, Liu-lopek tiada pesan apa lagi bukan"
Maaf siautit hendak mohon diri lebih dulu."
Liu Goan-cong melenggong, katanya: "Hoa-hiantit, kau
tiada urusan penting lagi bukan" Loh-ciangkun sedang perlu
bantuan, mari kau ikut aku kesana, bagaimana?"
"Hal ini..."
"Dengan ayahmu aku sudah angkat saudara umpama
saudara kandung sendiri, terhitung kita keluarga sendiri, kalian
umpama saudara kandung pula, kenapa harus sungkan
sepanjang jalan ini boleh kita membicarakan ilmu2 silat."
"Terima kasih akan maksud baik Lopek." sahut Siau-go
kan-kun, "Soalnya siautit ada janji dengan seorang teman,
tidak enak bila aku tidak menepatinya, Terpaksa biarlah lain
kesempatan saja, biar siautit mohon petunjuk kepada Lopek."
Liu Goan-cong kurang senang, tapi Hoa Kok-ham sudah
menampik secara halus, terpaksa dia bilang: "Kalau demikian,
setelah urusanmu selesai kuharap kau selekasnya menyusul
kami di Jay-ciok-ki. Yau-ji, antarlah Toakomu."
"Tidak usahlah," segera Hoa Kok-ham menampik, "Nona
Liu, peristiwa di Siau-hou-san tempo hari sungguh membuat
hatiku tidak tentram, kini aku sudah tahu kesalahan memang
berada dipihakku. maka aku mohon maaf kepadamu."
Hong-lay-mo-li kikuk dan serba susah pula, katanya dengan
tertawa dipaksakan: "Kejadian yang sudah lalu buat apa
disinggung lagi?"
"Benar, kalau nona Liu tidak ambil dihati, maka legalah
hatiku." setelah memberi hormat segera dia putar badan
mengejar kearah Thi-pit-su-seng Buh Yat-hoan.
Bun Yat-hoan keheranan, katanya: "Lho, kenapa kau ikut
aku, seharusnya kau bersama keluarga Liu ayah beranak."
"Jangan banyak omong, mari bertanding Ginkang dengan
aku. aku berani pastikan, kau tidak akan mampu mengejarku!"
Terpaksa Bun Yat-hoan mengejarnya dengan kencang.
Lapat2 Liu Goan-cong mendengar percakapan mereka, tapi
betapa hebat ilmu Ginkang mereka, dalam sekejap saja, sudah
hilang tak kelihatan lagi.
Hong-lay-mo-li merasa hambar. Liu Goan-congpun geleng2
kepala, ujarnya: "Entah kalian anak2 muda sedang main
purikan apa" Kok-ham memang terlalu membawa adatnya
sendiri." "Ayah biarlah dia pergi." kata Hong-lay-mo-li dengan
hambar dan sedih. "selama hidupku biar aku meladeni ayah
saja, soal nikah segala tak usah disinggung lagi."
Tergerak hati Liu Goan-cong, katanya: "Kok-han
menyinggung kejadian di Siau-hou-san, se-olah2 dia sudah
tahu duduk perkaranya, kalau tidak masakah dia mau
mengaku salah. Tapi kenapa dia minta maaf kepadamu?"
"Ti... tidak apa2." sahut Hong-lay-mo-li dengan muka
merah, "Dia, dia kira aku berat sebelah dan membela Bu-limthian-
kiau." Dari pembicaraan semalam dan jawaban Liu Jing-yau
sekarang Liu Goan-cong sudah bisa berkesimpulan, katanya
menghela napas: "Urusan kalian bikin aku risau saja, baiklah,
ini urusan masa depanmu, biar kau sendiri yang memberi
keputusan. Tapi kau katakan tak mau nikah seumur hidup
segala, ini ucapan anak2 belaka."
Hong-lay-mo-li tertawa, katanya: "Kita ayah beranak
berpisah dua puluhan tahun, hari ini bersua kembali, tibalah
saatnya aku menebus baktiku kepada ayah, biarlah aku
menemani ayah untuk beberapa tahun lamanya?"
Disamping berduka dan haru, Liu Goan-cong tertawa pula
dengan berlinang air mata, katanya: "Benar, putriku sudah
kembali di haribaanku, apa pula yang harus kucari" Yang
terang aku masih harap kau lekas berkeputusan. Kalau
sekarang kau sedang risau, boleh sementara tak usah kau
pikirkan soal perjodohan, setelah peperangan ini berakhir baru
kita perbincangkan lagi."
Maksud Hong-lay-mo-li hanya untuk menghibur ayahnya,
tapi kerisauan hatinya belum terlampias juga. Tiba2 teringat
olehnya akan kabar yang diberitahu oleh San San, bahwa Bulim-
thian-kiau juga datang ke Hwi-liong-to, tapi kenapa tidak
kelihatan bayangannya" Sudah tentu Hong-lay-moli tidak tahu.
Bulim-thian-kiau saat maha sedang berada dpuncak gunung
yang tidak jauh dari mana dia berada, orang sedang mengharap2
cemas akan kedatangannya.
Tapi dia hanja ingin melihatnya saja dari kejauhan, itu
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah lebih dari cukup untuk memuaskan hatinya, yang
terang dia tidak ingin bertemu muka.
Memang semula Bu-lim-thian-kiau ingin meluruk ke Hwi
liong-to lantaran dia, tapi belakangan dia merubah niatnya,
juga lantaran dia pula.
Ternyata ditengah perjalanan tiba2 dia teringat, kalau dia
hadir di pertemuan besar di Hwi-liong-to itu, bukan saja bisa
bertemu dengan Hong-lay-mo-li, sekaligus juga akan bertemu
dengan Siau-go-kan-kun. Maka terbayanglah adegan yang
terjadi di Siau-hou-san tempo hari.
Beberapa hari lamanya Bu-lim-thian-kiau mondar mandir
dipesisir laut, akhirnya dia berkeputusan "Kejadiaa seperti hari
itu jangan sampai terulang lagi. Yang perempuan adalah gadis
pujaanku, yang laki2 adalah ksatria perkasa yang kukagumi,
dari pada ketiganya sama2 terluka lahir batin, biarlah derita ini
kupikul seorang diri!" demikian akhirnya Bu-lim-thian-kiau rela
berkorban sendiri
Setelah membatalkan niatnya pergi ke Hwi-liong-to,
sebetulnya langsung hendak pulang kekampung halaman
selanjutnya tidak usah bertemu lagi dengan Hong-lay-mo-li
dan Siau-go-kan-kun, namun berat dan sukar dia pergi begitu
saja, Pikirnya: "Aku tak bisa pergi ke Hwi-liong-to. Tapi aku
melhat mereka pulang dengan selamat, baru dengan lega hati
aku tinggalkan tempat ini." karena pikirannya Ini, siang malam
dia menunggu mereka pulang.
Hari itu seperti biasa dia berada dipuncak gunung
memandang jauh ketengah lautan, duduk berdiri hatinya jadi
tidak tentram, dilihatnya iringan kapal2 itu sudah mendarat,
paling lama satu jam lagi Hong-lay moli bakal lewat dari
bawah gunung ini. "Apakah dia sudah rujuk kembali dengan
Siau-go-kan-kun" Hari ini pulang bersama" Ai Hong-lay-mo-li
pasti tidak mengalami bahaya diatas Hwi-liong-to?"
Hatinya semakin gundah maka dia masuk kedalam hutan
lalu meniup serulingnya, agaknya berusaha menekan gejolak
hatinya, setengah jam kemudian baru naik kepuncak lagi
memandang kebawah Kalau Hong-lay-mo-li dan Siau-go-kankun
berada dalam kapal2 itu, saat mana tentu mereka juga
sudah mendarat dan berada ditengah perjalanan
Belum lagi tiupan lagu serulingnya berakhir, tiba2
didengarnya sebuah suara dingin berkata: "Tam kongcu, asyik
benar kau berada disini!"
Bu-lim-thian-kiau kaget, segera dia hentikan tiupan
serulingnya sambil berpaling, tampak seorang laki2 berpakaian
baju hijau berusia empat puluhan, kedua biji matanya berkilat
terang, tangannya memegang sebatang tongkat bambu hijau,
seluruh badannya dibungkus serba hijau, sehingga
kelihatannya amat menyolok dan seram.
Dengan kepandaian Bu-lim-thian-kiau sekarang, meski
hatinya tidak tenang, tapi orang ini sudah dekat didepannya
baru dia mengetahui terang kepandaiannya tidak berada
dibawah dirinya.
Setelah kaget dan melihat jelas, kembali Bu-lim thian-kiau
melenggong, teriaknya tertahan: "Apakah, kau Wanyenciangkun?"
"Tam-kongcu," laki2 baju hijau tertawa dingin, "kau masih
ingat kepadaku?" ternyata orang ini dulu adalah komandan Gilim-
kun diistana negeri Kim yaitu Wanyen Tiang-ci adanya.
Dulu waktu mengundang para tokoh2 kosen persilatan masuk
kedalam lembaga penyelidikan dua ilmu pusaka persilatan,
dialah yang menjadi pemimpinnya"
"Wanyen Ciangkun." ujar Bu-lim-thian-kiau, "untuk apa kau
datang ke Kanglam?"
Wanyen Tiang-ci tertawa dingin, katanya: "pertanyaan ini
seharusnya kutujukan kepadamu, kau ini pangeran negeri
Kim, menyelundup ke Kanglam secara diam2, apa kerjamu
disini?" "Aku tidak punya jabatan tidak punya pangkat, aku suka
kemana, memangnya perduli apa dengan kau?"
"Karena kau pangeran negeri Kim, maka aku berhak
mengawasimu! Negeri Kim dan dynasti Song bermusuhan,
kedudukan tinggi sebagai pangeran dinegeri Kim tidak mau
kau jabat, toh kau juga tidak mendapat perintah dan tugas
dari raja. secara pribadi kau melarikan diri kenegeri musuh, itu
berarti pengkhianat, apa tidak boleh aku mengurus kau?"
"Bahwasanya aku memang tidak setuju kalian main
kekuatan dan membuang2 harta untuk menjajah negeri lain,
akupun tidak pandang negeri Song sebagai musuh negeri."
"Tam Ih-tiong!" bentak Wanyen Tiang-ci, "berani kau
berontak ya!"
"Wanyen Tiang-ci, kau punya ambisi buruk dan mengejar
kedudukan tinggi, membantu kelaliman sehingga raja semakin
sewenang2. Kalau peperangan ini benar2 terjadi, jelas
merupakan bencana besar bagi rakyat negeri Song,
memangnya apa pula manfaat yang diperoleh rakyat negeri
Kim kita?"
"Ternyata kau memang menentang dan berontak kepada
Baginda, membela musuh malah! Hm, apakah kau yang
berikan gambar Hiat-to-tong-jin dan sisa Ci-goan-bian itu
kepada Liu Goan-cong?"
"Memangnya itu hasil karya Tan Pok dari negeri Song
mereka. umpama benar kuberikan kepada Liu Goan-cong, itu
berarti kukembalikan kepada bangsa Song. Karena kejahatan
dan kekejaman kalian sehingga keluarga Liu Goan-cong
berantakan dan badan cacat, aku kembalikan buku mengobati
luka2nya, bicara terus terang, itu berarti menebus dosa2
kalian!" Wanyen Tiang-ci gusar, damratnya: "Kau sekongkol dan
berkomplot dengan musuh, bukti sudah nyata, berani juga kau
berdebat segala" Baik, kalau kau berani bicaralah langsung
kepada Baginda raja!"
Maklumlah yang membuat Wanyen Tiang-ci murka adalah
karena soal ini, dengan tekun menggembleng diri Wanyen
Tiang-ci mempelajari kedua ilmu mujijat itu, semula dia kira
kelak dirinya bakal malang melintang didunia tanpa tandingan,
siapa tahu Liu Goan-Congpun memperoleh seluruh pelajaran
kedua ilmu mujipat itu secara lengkap juga, sehingga
kepandaiannya setingkat lebih tinggi.
Gebrak pertama kali diistana raja Song tempo hari
membuat dirinya ngacir mencawat ekor, kejadian itu
merupakan penghinaan besar bagi pamor dan gengsinya.
Kalau diusut sebab musabahnya lantaran gara2 Bu-limthian-
kiau yang memberikan buku2 itu kepada Liu Goan-cong,
Maka penasaran hatinya selama ini harus dia lampiaskan
kepada Bu-lim-thian-kiau.
Tegak alis Bu-lim-thian-kiau, ejeknya: "Kalau aku tidak sudi
kau mau apa?"
"Jikalau kau masih mengaku diri sebagai pangeran negeri
Kim, kuhormati kau. Kini kau sudah menjadi pehgkhianat
bangsa dan memberontak kepada raja, berkomplot dengan
musuh lagi, aku tidak perlu pandang kau sebagai pangeran
segala, kau kira aku masih sungkan terhadapmu?"
"Bagus, Wanyen Ciangkun, mari silakan kau turun tangan!"
"Tidak kau terima dlringkus. masih ingin aku turun tangan"
Baik, orang lain takut kepada Bu-lim-thian-kiau, ingin aku
melihat sampai dimana kau berani terberang begini rupa.
Awas, sambut serangan ini."
Berbareng tongkat hijaunya terangkat, dimana tongkat itu
berkelebat menjadi bayangan hijau, dalam sekejap bayangan
Wanyen Tiang-ci se-olah2 menjadi tujuh delapan banyaknya,
serempak merangsak dari berbagai penjuru mengincar Kiking-
pat-meh ditubuh Bu-lim-thian-kiau.
Lekas Bu-lim-thian-kiau juga ayunkan serulingnya, diapun
menaburkan bayangan seruling yang memutih, maka
terdengarlah suara trang tring dari benturan kedua senjata,
dalam sekejap mata tongkat Wanyen Tiang-ci dan seruling Bulim-
thian-kiau saling bentur sebanyak tiga puluh enam kali,
tongkat bambu itu tak mampu menghancurkan seruling,
seruling juga tidak mampu membuat tongkat itu putus.
"Suuuiitt!" dimana seruling Bu-lim-thian-kiau ditiup,
menyamberlah segulung hawa murni disertai suara
melengking yang tajam, terasa panas dan membakar kulit.
Lekas Wanyen Tiang-ci kebut lengan bajunya menimbulkan
segulung angin dingin mematahkan samberan hawa panas,
sebat sekali kakinya berkisar, gerak tubuhnya teramat cepat,
tahu2 orangnya sudah berputar ke belakang Bu-lim-thian-kiau,
dimana tongkatnya terayuh menutuk Toa-cui-hiat.
Tanpa berpaling kepala, Bu-lim-thian-kian lintangkan
telapak tangan laksana golok, dengan sejurus Hian-niau-hoatsa
(burung sakti menggaris pasir), tahu2 tangannya mengiris
kebelakang, Wanyen Tiang-ci mendengus, tongkatnya
menutul tanah, sebat sekali badannya berputar dan
menyingkir kesamping.
Wanyen Tiang-ci mengejek dingin: "Kepandaian menutup
hawa memutus urat nadi yang bagus, kau bisa memangnya
aku tidak bisa" Diberi tidak membalas kurang hormat, nah
kaupun sambutlah serangan-ku!"
Kelima jarinya menjadi rapat lalu terayun ditengah udara,
maka terdengarlah suara mendesis yang ramai, pergelangan
tangan Bu-lim-thian-kiau seketika terasa sedikit kesemutan,
lekas dia kerahkan hawa murninya, dimana mulutnya meniup
segulung hawa murni untuk memapak jentikan tenaga dingin
lawan, tapi tak urung napasnya sedikit memburu dan tersurut
mundur tiga langkah.
Wanyen Tiang-ci gelak2, serunya: "Kau sudah tahu
kelihayanku?" kedua pihak sama2 menggunakan ilmu
menutup hawa memutus urat nadi, tapi roman muka Wanyen
Tiang-ci tenang dan wajar, kelihatannya tidak cidara apa2,
terang dalam bidang ilmu ini dia lebih unggul setingkat dari
Bu-lim-thian-kiau.
Lekas Bu-lim-thian-kiau sampuk serulingnya menangkis
tongkat bambu lawan, bentaknya: "Kau, jadi kaulah
pembunuh Ko-gwat Sian-su!"
"Baru sekarang kau tahu?" ejek Wanyen Tiang-ci dengan
tertawa besar. "Kurangajar, kalau secara terang2an kau bunuh Ko-gwat
Siansu itu perbuatan laki2 jantan, kenapa kau menyaru diriku,
membunuh orang secara sembunyi2?"
"Malah aku menyaru dirimu menemiu Gui Liang-seng itu
menteri kerajaan Song pula, sengaja supaya Siau-go-kan-kun
mengetahui jejakku, kau belum tahu?"
Serasa, hampir meledak dada Bu-lim-thian-kiau mendengar
pengakuan orang. makinya: "Kau sebagai seorang jenderal
dari negeri Kim, namun tidak tahu malu melakukan perbuatan
keji dan rendah seperti ini!"
Wanyen Tiang-ci gelak2, katanya: "Goblokmu sendiri! Yang
terang aku ingin supaya kau tidak dapat bercokol diantara
para pendekar dari negeri Song, tujuanku hanya untuk
menolongmu juga, supaya kau tidak sekongkol dengan
musuh, kau tidak berterima kasih akan usahaku. berbalik
memakiku, memangnya kau tidak tahu kebaikkan."
Saking gusar Bu-lim-thian-kiau serasa tenggorokannya
tersumbat, seruling diayun, dengan gencar dia menyerang.
"Tam-pwecu," jengek Wanyen Tiang-ci, "Kau hendak adu
jiwa" Baik, jangan kau salahkan kalau aku tidak kasihan lagi
kepadamu."
Ilmu yang dipelajari Bu-lim-thian-kiau dari Hiat-to-tong-jin
dan Ci-goan-bian sudah tentu tidak selengkap dan sempurna
seperti yang diyakinkan Wanyen Tiang-ci, tapi ilmu silat
perguruannyapun amat luas dan digdaya, merupakan ilmu
silat tingkat tinggi yang lihay sekali, maka kalau diukur dan
dinilai kepandaian kedua orang, masing2 memiliki
kelebihannya sendiri2, menurut teori Bu-lim-thian-kiau masih
mampu menandingi Wanyen Tiangci.
Sayang sekali belum lama ini dia jatuh sakit, meski sudah
sembuh tapi kesehatanya belum sembuh seratus persen,
semangat tempurnya tidak segairah sebelumnya. Dibawah
rangsakan Wanyen Tiang-ci laksana hujan badai, lima puluh
jurus kemudian, dia sudah rasakan tenaganya semakin lemah,
jelas dirinya takkan kuat melawan lebih lama.
Untunglah disaat2 Bu-lim-thian-kiau menghadapi situasi
yang krisis ini, mendadak terdengarlah suara gelak tawa yang
panjang kumandang ditengah angkasa, begitu keras dan kuat
gelak tawa ini sampai daon2 pohon rontok berhambur,
burung2 terkejut beterbangan. Ternyata Siau-go-kan-kun
mendadak datang, di-belakangnya mengejar datang pula Thipit-
su-seng Bun Yat-hoan.
Ternyata kebetulan mereka lewat dari bawah gunung,
mendengar suara pertempuran sengit diatas sini, lekas mereka
belok kearah sini untuk melihat apa yang terjadi, Meski jarak
masih cukup jauh, tapi perdebatan Bu-lim-thian-kiau dan
Wanyen Tiang-ci barusan sudah didengarnya dengan jelas.
Siau-go-kan-kun membentak: "Jadi kau keparat inilah
pembunuh Ko-gwat Sian-su!"
"Kalau benar mau apa?" jengek Wanyen Tiang-ci sambil
menggentak tongkat bambu.
Dimana kipas lempit Siau-go-kan-kun menuding dia incar
Hiat-to penting lawan sambil membentak pula: "Kubunuh
kau!" Wanyen Tiang-ci putar bambunya satu lingkaran, terpaksa
dia lontarkan permainan Keng-sin-ci-hoat, ilmu tutuk tingkat
tinggi, kini dengan bambu dia menggantikan jari, sudah tentu
perbawanya jauh lebih hebat dari pada serangan dengan jari,
ilmu tutuk Siau-go-kan-kun setingkat lebih rendah, Terdengar
"cret" baju Siau-go-kah-kun tahu2 tertutuk berlobang.
Wanyen Tiang-ci gelak2, ujarnya: "Kau hendak bunuh aku,
paling sedikit kau harus belajar sepuluh tahun lagi!" belum
lenyap kata2nya, Siau-go-kan-kun sudah gunakan Ih-singhoan-
wi, kipas lempitnya laksana golok, tahu2 meluncur maju
mengiris pergelangan tangannya. terus menabas miring pula
secepat kilat Ternyata dalam bidang ilmu tutuk memang kepandaian
Siau-kan-kun setingkat lebih rendah, tapi latihan Lwekangnya
justru lebih kuat dari Wanyen Tiang-ci, tutukan bambu
Wanyen Tiang-ci paling hanya membuat bajunya lobang,
namun tidak berhasil menu-tuknya roboh, setelah menutup
Hiat-to dan mengerahkan hawa murni, secara kekerasan dia
sambut bambu Wanyen Tiang-ci, meski ujung tongkat
mengenai badannya, hanya terasa kesemutan saja, sedikitpun
tidak mempengaruhi gerak geriknya.
Kipas Siau-go-kan-kun bisa digunakan sebagai potlot tapi
juga digunakan sebagai Ngo-hing-kiam, jurus yang
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilancarkan ini Hing-huh-toan-hong menabas ke urat nadi di
pergelangan tangan orang, yang digunakan adalah jurus2 dari
Ngo-hing-kiam. Dengan kekuatan Lwekang Siau-go-kan-kun, dimana
kipasnya menyamber tangannya tidak kalah dari golok pusaka,
jikalau kena tertabas, urat2 nadi dan pergelangan tangannya
mungkin bisa tertabas kutung.
Wanyen Tiang-ci tahu akan kelihayan serangan ini, sudah
tentu dia tidak mandah tangannya jadi bulanan lawan. Sebat
sekali dia merubah gerakan, tahu2 kakinya meluncur mundur
beberapa langkah, lengan bajunya dikebut segulung angin
tajam segera menerpa ke mukanya, hampir saja menggulung
lepas kipasnya. Didalam kesibukannya ini, serempak dia ayun
tongkatnya menangkis seruling Bu-lim-thian-kiau.
Kipas Siau-go-kan-kun terkembang balas dikebaskan
kemuka, kebetulan serangan angin yang menyampuk
mukanya kena dia punahkan dua gulung kekuatan angin
bentrok ditengah udara dan berputar seperti angin lesus,
beberapa tombak sekitar gelanggang tersapu bersih sehingga
daon pasir dan debu beterbangan.
Hanya beberapa gebrak saja kedua pihak saling serang,
masing2 sudah tahu akan tingkat dan keahlian sendiri2, paling
hanya sama kuat alias seri dan setanding, siapapun takkan
mampu membunuh lawannya.
Tapi situasi sekarang sudah menjadikan Wanyen Tiang-ci
harus melawan dua musuh, meski kekuatan Bu-lim-thian-kiau
sudah banyak terkuras, tapi dia membekal jurus2 tipu silat
yang tinggi, apalagi tiupan hawa panas dan murni dari Loangiok-
siau itu merupakan suatu tekanan dan ancaman pula.
Apalagi diluar gelanggang masih ada Thi-pit-su-seng Bun
Yat-hoan yang sembarang waktu siap menyergap dan
menyerang Wanyen Tiang-ci cukup tahu diri bahwa hari ini
dirinya takkan bisa banyak mengambil keuntungan, akhirnya
dia berkeputusan untuk lari saja.
Kepandaian silat Wanyen Tiang-ci berkat tetirah dua
puluhan tahun memang bukan olah2 lihaynya, meski digencet
oleh dua tokoh silat kosen, dia masih mampu membebaskan
diri dari libatan musuh.
Tampak tongkat bambunya disurung kesamping
menggunakan kekuatan lengket, sehingga seruling Bu-limthian-
kiau tertarik minggir, memang tenaga Bu-lim-thian-kiau
sudah terkuras, hampir saja dia tidak kuasa kendalikan diri.
Lekas Siau-go kan-kun tabaskan kipas-nya, lekas Wanyen
Tiang-ci tegakkan tongkatnya, bersama seruling Bu-lim-thiankiau
yang dibetotnya itu membentur kipas Hoa Kok-ham,
meminjam tenaga menggempur tenaga, Siau-go-kan-kun
dipaksa menyingkir kesamping setapak besar, Bu-lim-thiankiau
gusar, setelah serulingnya berhasil menggentak lepas dari
betotan lawan. "Suuuiiiit." kembali dia titip hawa murni, seketika Wanyen
Tiang-ci mendehem keras seperti babi disembelih, meski
sedikit dilukai tapi dia masih mampu menggunakan tipu
burung dara jumpalitan, badannya melambung ketengah
udara terus meluncur beberapa tombak jauhnya.
Bun Yat-hoan menghardik keras, kedua potlotnya meluncur
terbang, Badan Wanyen Tiang-ci masih terapung ditengah
udara. lekas dia kerahkan tenaga, terpaksa dia hanya bisa
menggunakan tenaga pantulan saja dengan tongkatnya
mengetuk dan menyendal, "Ting" sebuah potlot yang terbang
didepan kena diketuknya menceng terbang kesamping.
Tapi potlot kedua hanya sedikit bergeming saja, ujung
potlot yang tajam itu masih menyerempet lengannya,
sehingga kulit dagingnya seperti terkupas, untuk tidak sampai
melukai tulangnya. Wanyen Tiang-ci menjerit keras, ditengah
udara kembali dia gunakan jumpalitan ditengah mega,
badannya meluncur kelereng dibawah sana, dalam sekejap
saja sudah lari tak kelihatan lagi bayangannya
Melihat orang sudah terluka tapi masih mampu
mengembangkan Pat-pou-kan-siam ilmu Ginkang tingkat
tinggi, diam2 Bun Yat-hoan mencelos juga hatinya.
Bu-lim-thian-kiau segera menyimpan serulingnya, katanya:
"Terima kasih akan bantuan Hoa-heng."
Siau-go-kan-kun tertawa gelak2, katanya: "Waktu di Siauhou-
san aku salah menuduhmu se-mena2, kini pertikaian itu
boleh kita anggap tidak pernah terjadi, kau tidak usah
berterima kasih kepadaku, akupun tidak usah menyesal lagi."
Bu-lim-thian-kiau melengak, katanya: "Untunglah Hoa-heng
sudah mengerti duduknya perkara, kejadian lalu tak usah
disinggung lagi Apakah Hoa-heng dari Hwi Iiong-to?" Apakan
semua orang selamat?"
"Kau menguatirkan Liu Jing-you bukan?" kata Siau-go-kankun
tawar, "Tunggulah dlsini untuk menemuinya, maaf aku
tidak menemanimu lagi."
"Hoa-heng, tunggu sebentar, aku ada omongan." tapi
dalam waktu dekat sukar juga dia mengutarakan isi hatinya.
"Tam-kongsu." ujar Siaugo-kan-kun setelah gelak tawa,
"Kau tak usah jelaskan lagi, aku rela mengundurkan diri dari
persaingan ini, mengaku kalah saja, memangnya kau belum
puas juga?"
-------------------
Dapatkah Bu-Iim-thian-kiau membujuk Wanyen Liang siraja
lalim membatalkan serbuannya ke selatan" Apa pula akibat
yang menimpa dirinya"!
Apakah Hong-lay-mo-Ii dan Liu Goan-cong mampu
meloloskan diri dari kepungan pasukan besar negeri Kim"
(Bersambung ke bagian 29)
Bagian 29 "Hoa-heng, kau salah! Bahwasanya aku tidak ingin bersaing
dengan kau, Liu Lihiap dia... dia dengan kau adalah "pasangan
setimpal" belum sempat di ucapkan, kata-katanya sudah
terputus oleh gelak tawa Siau-go-kan-kun. Katanya: "Buat apa
kau masih pura2" Kau suruh orang bicara dengan aku,
bagaimana perjanjian kalian dan bagaimana isi hatimu, aku
sudah jelas. Kau tak usah kuatir, selanjutnya aku akan kelana
di Kang-ouw. se-kali2 tidak akan mengganggu kalian, supaya
kau tidak membenciku."
"lni, apa2an ucapanmu ini?" Bu-lim-thian-kiau keheranan
dan tidak mengerti.
"Tunggulah pujaan hatimu, boleh kau bicara kepadanya!"
tukas Siau-go-kan-kun. diiringi gelak tawa-nya melejit turun
kebawah gunung.
"Hoa-heng, Hoa-heng! Soal apa yang bikin kalian
bertengkar?" dengan kencang Bun-Yat-hoan mengejar
kebawah gunung, Tapi sedikit banyak dia sudah tahu
persoalan berkisar pada diri Hong-lay-mo-li.
Setelah sakit dan habis bertempur tak mungkin Bu-limthian-
kiau mengejar dan menyandaknya. Lama dia menjublek
memikirkan kata2 Siau-go-kan-kun tentang utusan dirinya
untuk bicara dengan Siau-go-kan-kun, mimpipun tidak pernah
terpikir olehnya akan kakaknya sendiri.
Setelah berkeluh kesah seorang diri saking sedih dia
keluarkan pula serulingnya lalu meniupkan lagu2 yang
melawan hati. seluruh kepedihan dan penasaran hatinya dia
limpahkan melalui lagu2 serulingnya.
Demi menjaga gengsi sebagai gadis perawan yang
mempunyai perasaan halus, sudah tentu Hong lay-mo-li tidak
mau mengejar Siau-go-kan-kun, akhirnya bersama sang ayah
mereka memperlambat langkah, waktu mereka lewat dibawah
gunung, kebetulan masih sempat mendengar irama seruling
Bu-lim-thian-kiau
Bergetar hati Hong-Lay-mo-li, dia dapat merasakan dari
irama seruling Bu-lim-thian-kiau yang sedih dan pilu, seketika
hatinyapun menjadi kalut dan hambar, apakah dirinya harus
menemui Bu-lim-thian-kiau atau tidak"
Agaknya Liu Goan-cong dapat meraba perasaan hati
anaknya, katanya: "itulah irama seruling Bu-lim-thian-kiau, Dia
menanam budi terhadapmu, sudah menjadi kawan karib lagi,
asal hati lurus dan berpikiran jernih, kenapa kau takut
menemuinya?"
"Kalau ayah hendak menemui dia, biarlah anak menemani."
sahutnya kemudian,
Liu Goan-cong segera bersuit panjang, dengan lwekang
mengirim suara gelombang panjang segera dia berteriak:
"Apakah Tam-kongcu disana?" dengan putrinya mereka
kembangkan Ginkang berlari naik keatas gunung.
Irama seruling masih bergema dialam pegunungan, tapi
waktu mereka ayah beranak tiba diatas, ternyata keadaan
sunyi senyap, Bayangan Bu-lim-thian-kiau sudah tidak terlihat
lagi. Ternyata, berdiri dari tempat ketinggian, dengan j jelas Bulim-
thian-kiau melihat keadaan dibawah, dia sudah melihat
Hong-Iay-moli, namun Hong-lay-moli tidak melihat dirinya,
setelah tahu Hong-lay-mo-li tidak kurang suatu apa, lega pula
hatinya. Kini maksud kedatangannya sudah terlaksana, maka
secara diam2 dia berlaru dari arah lain.
Dengan pilu Hong-lay-mo-li menghela napas, Liu Goan-
Congpun ikut prihatin, katanya membujuk: "Setelah
peperangan ini berakhir, kelak, pasti masih ada kesempatan
bertemu dengan mereka. Marilah sekarang kita menyusul ke
Jay-ciok-ki saja."
Mereka ayah beranak mengembangkan Ginkang tingkat
tinggi, tak usah takut menghadapi jalan gunung yang sukar,
menempuh jalan yang dekat lekas sekali mereka menuju ke
Jay-ciok-ki. Kalau dari jalan tanah datar mereka harus menempuh
delapan ratus li, tapi lewat jalan pegunungan, jarak
diperpendek menjadi lima ratus li saja. Hari ketiga tepat
tengah hari, mereka sudah tiba di Jay-ciok-ki dan langsung
menuju keperkemahan pasukan Loh Bun-ing.
Hong-lay-mo-ll sudah cukup dikenal oleh anak buah Loh
Bun-ing, maka kedatangan mereka disambut dengan meriah,
tanpa memberi laporan lebih dulu, tak usah ditanyai lagi,
langsung mereka dibawa masuk.
Tapi ada juga tentara yang berlari mendahului memberi
laporan, Mendengar kedatangan mereka ayah beranak. sudah
tentu bukan kepalang senang hati Loh Bun-ing, segera dia
menyambut keluar dan membawa-masuk keperkemahannya.
Liu Goan-cong memberi hormat kepada Loh Bun-ing, baru
saja dia perkenalkan diri, Loh Bun-ing sudah tertawa, katanya:
"Bakti Liu-locianpwe bagi negara serta peristiwa besar yang
terjadi dulu, sudah lama aku mendengar cerita Hoa Tayhiap.
Hari ini Lo-ciangpwe sudi datang membantu, sungguh
diharapkanpun sukar diperoleh!"
Ternyata sebelum pergi ke Hwi-Hong-to Hoa Kok-ham
sudah diperkenalkan oleh Sin Gi-cik dan menemui Loh Bun-ing
lebih dulu Begitu duduk Hong-lay-mo-li lantas menanyakan situasi
terakhir Loh Bun-ing tertawa, katanya: "Ada sebuah hal memang
hendak kurundingkan dengan Liu Lihiap."
"Ah, aku tahu apa, masakah Loh-ciangkun malah bertanya
kepadaku?"
"Liu Lihiap tak usah sungkan, kau adalah Bulim Bengcu dari
lima propinsi diutara, aku memang ingin minta pendapatmu."
"Pasti Hoa Kok-ham yang cerewet, menceritakan asal
usulku kepadanya." demikian batin Hong-lay-mo-li.
Berkata Loh Bun-ing lebih lanjut: "Sekarang pasukan besar
musuh sudah dipusatkan disebrang sungai, kabarnya malah
Wanyen Liang sendiri yang memimpinnya. Mungkin didalam
waktu dekat ini serbuan mereka akan segera dimulai."
"Kalau begitu kebetulan kedatanganku, Loh-ciang-kun ada
tugas apa, menempuh lautan api atau gunung golok pasti
kulaksanakan!"
"Aku mendapat perintah untuk berjaga dan
mempertahankan diri di sepanjang sungai, untuk
membendung serbuan musuh menyebrang, untuk ini aku
sudah lama mempersiapkan diri. Tapi jumlah musuh teramat
besar dan kuat untuk bisa mengalahkan mereka, aku masih
memerlukan kerja sama dan bantuan pasukan gerilyawan dari
utara." "Semua kelompok gerilyawan diutarapun sudah
mempersiapkan diri, cuma belum tahu bagaimana keadaan
mereka sekarang." sejak meninggalkan pangkalan Hong-laymo-
li sudah putus hubungan dengan anak buahnya.
"Kebetulan kemaren ada orang pihak kalian yang datang,
malah orang ini adalah teman baikmu! Dari persoalan yang
hendak kurundingkan adalah cara bagaimana kita
mengadakan kontak dan kerja sama dengan para saudara
disebelah utara, Baiklah undang dulu temanmu itu kemari."
segera dia memberi pesan kepada seorang anak buahnya.
Tengah Hong-lay-mo-li bertanya2 dalam hati, lekas sekali
pesuruh itu sudah kembali, dimana tenda tersingkap dan
masuklah seorang gadis, begitu kedua orang beradu pandang
seketika mereka bersorak girang. "Siocia, bagus sekali, aku
bertemu dengan kau:"
"Bing-cu, kiranya kau: Apakah Tay Mo suruh kau kemari?"
Seperti diketahui gadis yang bernama Bing-cu ini adalah
salah seorang dayang kepercayaan Hong-lay-mo-li Waktu
hendak keselatan Hong-lay-mo-li serahkan jabatan pimpinan
tertinggi kepada Tay Mo, Bing-cu sebagai pembantunya.
"Benar," sahut Bing-cu. "Kawan2 gerilya sudah berkumpul
semua dari berbagai tempat kini sudah berada disebelah utara
sungai Tapi ada sedikit kesulitan terpaksa Tay Mo cici suruh
aku kemari minta bantuan."
"Kesulitan apa?" tanya Hong-lay-mo-li.
"Semua pimpinan pasukan gerilya itu sama bertekad
bertempur sampai titik darah penghabisan Tapi mereka tahu
diri bukan tandingan pasukan negeri yang berdisplin tinggi,
Tay Mo cici terpaksa mewakili jabatanmu, tapi, tapi..."
"O, aku mengerti, mereka tidak suka dipimpin dan
diperintah oleh Tay Mo bukan" Ya, terpaksa aku harus kembali
secepatnya."
Setelah dirundingkan dengan sempurna, diputuskan Honglay-
mo-li kembali diiringi Bing-cu dan ayahnya, tak lupa Loh
Bun-ing mengundang pula dua anak buahnya yang pandai
berenang untuk mengawal mereka dalam perjalanan ditengah
sungai. Seorang berperawakkan tinggi kekar, bernama Li Kiat,
seorang lagi bertubuh sedang gesit dan cekatan bernama Ong
Siang, Semula kedua orang ini adalah anak buah Li Po, malah
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Li Kiat adalah keponakan Li Po, bukan saja mereka sudah
hidup puluhan tahun diperairan Tiangkang, mengenai seluk
beluk disinipun jelas sekali.
Setelah segala sesuatunya dibicarakan lagi lebih matang,
segera Hong-lay-mo-li mohon diri, katanya pula: "Ciangkun
tidak usah kuatir, selama hayat masih dikandung badan,
Pendekar Pemetik Harpa 8 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es 18
begitu pedas, biar Toaci berkesempatan berpikir!"
"Aku tidak perlu berpikir segala..."
Tempat pembicaraan mereka ini berada disebuah lakukan
gunung yang cukup berbahaya keadaannya, mereka tengah
berdiri diatas sebuah batu cadas besar yang bentuknya seperti
sebatang golok yang mencuat keluar dibawahnya adalah
jurang yang dalam, karena letaknya yang berbahaya orang2
Hwi-liong-to tak ada yang berani mengundurkan diri dari
tempat ini, maka sekian lama mereka bicara, namun tidak ada
orang yang datang menggangggu.
Akan tetapi ada seseorang yang sedang memperhati
percakapan mereka, baru saja Jilian Ceng-poh bicara, tiba2
didengarnya seseorang menyela dengan tertawa: "Jilian
Cuncu, kenapa kalian bersaudara sedang bertengkar disini?"
Yang datang bukan lain adalah Liu Goan-ka.
Diam2 mencelos hati Jilian Ceng-poh, batinnya:
"Untung.aku tadi tidak menerima ajakan mereka!" betapapun
hubungan sedarah daging masih melekat dalam sanubarinya,
lekas dia memberi isyarat dengan kedipan mata, maksudnya
supaya lekas mereka menyingkir.
-------------- Apakah Liu Goan-cong dapat pimpin orang2 gagah
menjebol kepungan Hwi liong-to-cu dan kamrat2nya"
Dapatkah Khing Cau berdua menemukan San San" Apakah
San San berhasil menuntut batas kepada Lam san-hou"
Siapakah sebenarnya pembunuh Ko-gwat Sian-su"
Dapatkah Bu-Iim-thian-kiau membongkar kedoknya"
(Bersambung ke bagian 27)
Bagian 27 Tapi kedatangan Liu Goan-ka amat cepat! Tahu2 orang
sudah berada ditengah2 mereka, betapa tajam pandangan
matanya, setelah dekat dia lantas tahu bahwa Jliian Cenghun
berdua pernah berkunjung ke Jian-liu-cheng, sapanya dengan
tertawa besar: "Jadi kalian adalah adik Jilian Cuncu, dulu
kalian berkunjung ke-kampungku, sungguh aku berlaku
kurang hormat! sesama saudara lebih baik kalau hidup rukun
dan kumpul bersama, kenapa kalian harus lari2?" tiba2 kedua
lengannya terkembang, dengan jurus Cou-yu-kay-kiong
(kanan kiri mementang busur) tangan kiri mencengkram Jilian
Ceng-hun tangan kanan mencengkram Jilian Ceng-sia.
Kedua kakak beradik ini sudah waspada dan siaga,
serempak mereka membentak: "Bangsat tua, biar kami adu
jiwa dengan kau." Jilian Ceng-hun keluarkan serulingnya
menutuk Jian-kin-hiat, sementara Jilian Ceng-sia keluarkan
golok sabit menabas kedua kakinya, berbareng ujung
goloknya menusuk ke Hoan-tiau-hiat dilututnya.
Batu sebesar ini tiba cukup untuk berdiri empat orang, apa
lagi harus bertempur, sisa luangnya tidak banyak lagi. Liu
Goan-ka menghardik sekali, tanpa hiraukan tutukan seruling
Jilian Ceng-hun, jari2 tangannya tiba2 terulur mencengkram
pi-pa-kut dipundaknya. Berbareng kakinya terangkat
menendang pergelangan tangan Jilian Ceng-sia yang
memegangi golok, Liu Goan-ka sudah kembangkan ilmu
menutuk jalian darah dari tingkat tinggi, "plak" dengan telak
seruling Jilian Ceng-sia mengena Jian-kin-hiat, seketika terasa
serulingnya ditolak oleh segulung kekuatan tahu2 cengkraman
Lu Goan-ka sudah berada didekat tubuhnya.
Karena tutukan serulingnya tidak berhasil sulit Jilian Cenghun
tarik senjatanya untuk melindungi badan, terpaksa dia
kerahkan kekuatan Lwekang-nya ditelapak tangannya
melawan secara kekerasan, pergelangan tangan Jilian Cengsia
tidak kena tendangan cuma goloknya saja yang terpental
lepas, Liu Goan-ka segera menghardik
"Turun!" berbareng telapak kiri didorong, karena
kehilangan senjata Jilian Ceng-sia di paksa gunakan pukulan
telapak tangan melawan. Dengan kedua tangannya Liu Goanka
harus melawan gempuran kedua kakak beradik, ketiganya
lantas bertempur sengit diatas batu cadas yang tergantung
diatas jurang, untung belum lama Liu Goan-ka baru saja adu
pukulan dengan Liu Goan-cong, sedikit banyak tenaganya
sudah terkuras, kini belum lagi sempat dipulihkan.
Dengan dua lawan satu Jilian kakak beradik menjadi
setanding sama kuat pihak manapun tak mampu mendorong
lawannya menerjang ke dalam jurang.
Betapa berbahaya dan amat menggiriskan keadaan
mereka, tampak badan Liu Goan-ka sedikit terbungkuk
tenaganya terus mendorong keluar, sementara kedua kaki
seperti terpaku kencang diatas batu, tapi belakang
punggungnya merupakan udara kosong yang tak bisa buat
menahan dirinya lagi.
Jilian bersaudara masing2 berada dikanan kiri depannya,
tungkak kaki Jilian Ceng-hun sudah menongol separo diluar
batu cadas yang melintang itu, keadaan Ceng-sia lebih
berbahaya lagi, kaki kirinya sudah tiada tempat berpijak lagi,
dia hanya mengandalkan sebatang pilar babi yang kuat ! buat
pegangani seluruh kekuatan mereka terpusatkan ditangan
kanan melawan gempuran Liu Goan-ka, meski sebelah tangan
yang lain bisa bergerak namun tidak leluasa untuk melukai
orang. Diatas batu cadas ini masih terdapat seorang, yaitu Jilian
Ceng-poh, didalam keadaan sama bertahan bila dia mau
dengan pukulan ringan saja menyerang Liu Goan-ka, dengan
mudah orang akan terpukul jatuh kedalam jurang.
Kebalikannya bila dia membantu Liu Goan-ka, dengan
gampang pula dia dapat membunuh kedua adiknya, jiwa
ketiga orang sama tergenggam ditangannya.
Apakah dia harus mengingat hubungan persaudaraan, Atau
mempertahankan kedudukan diri sendiri yang hidup dalam
kemewahan tapi membantu kelaliman"
Sulit Jilian ceng-poh berkeputusan, antara bijaksana dan
jahat sedang berperang didalam batinnya, sehingga dia
kebingungan dan tak bisa berkeputusan.
Sebaliknya Liu Goan-ka dan Jilian bersaudara masing2
sedang tumplek seluruh kekuatan dan perhatian untuk
menghadapi lawan, didalam detik2 menentukan mati hidup
jiwa sendiri, mereka tidak punya pikiran kalut malah, hati
tentram dan mantap, sedikitpun tidak takut lagi.
Yang lebih gelisah dan kebingungan sudah tentu Khing Ciau
dan Cin Long-giok, semula mereka hendak turun gunung,
waktu berpaling melihat keadaan yang serba kritis ini, jantung
mereka serasa hampir melompat keluar, setelah beradu
pandang tanpa banyak bicara cepat mereka ayun langkah
memburu kesana.
Dari tempat mereka ini menuju kebatu cadas itu harus
melalui beberapa tempat yang cukup berbahaya dan harus
membunuh dan menggempur mundur musuh yang tak
terhitung banyaknya, mungkin sebelum mereka tiba ditempat
tujuan, pertempuran disana sudah mencapai babak terakhir
antara mati dan hidup, sedikitpun tidak terpikir oleh mereka
bahwa usaha mereka hendak menolong orang disana
hakekatnya tiada gunanya sama sekali. Tapi mereka tidak
pikirkan hal ini.
Se-konyong2 tampak sebuah bayangan orang laksana
burung terbang tengah meluncur kearah batu cadas yang
terletak ditebing itu, terdengar suaranya membentak:
"Bangsat tua, mampuslah kau!" belum sempat tiba keatas
batu cadas, dari bawah tebing dia sudah ayun lengannya.
Bayangan ini bukan lain adalah Hong-lay-mo-Ii Liu Jingyau,
pamannya sendiri dia maki sebagai "Bangsat"
menandakan bahwa dia sudah amat benci dan dendam,
Begitu kebutnya terayun, puluhan batang benang kebutnya
seketika meluncur seperti senjata rahasia melesat dengan
cepat dan kuat.
Meski sedang melayani kedua musuhnya, tapi Liu Goan-ka
tetap pasang mata dan kuping memperhatikan keadaan
sekelilingnya. dalam keadaan biasa dia tidak perlu gentar
menghadapi Hong-lay-mo-li, tapi dalam keadaan bertahan
seperti ini, asal sebatang benang kebut orang mengenai
dirinya, jiwanya bakal terancam.
Terutama benang2 kebut Hong-lay-mo-li mengincar muka,
kalau matanya tertumpuk buta, tak berani dia membayangkan
akibatnya. Liu Goan-ka cukup tahu sampai dimana kelihayan Honglay-
mo-li, cepat sekali dia sudah bertindak, tiba2 dia
kendorkan kedua telapak tangannya, berbareng kakinya
menjejak sehingga badannya mencelat mundur karena tenaga
pukulan telapak tangan kakak beradik Jilian kehilangan
penghalang, pukulan mereka jadi menerjang kearah
badannya. Hebat memang kepandaian Liu Goan-ka, tampak ditengah
udara dia gunakan gaya burung dara jumpalitan, benang2
kebut timpukan Hong-laynmo-li mengenai tempat kosong
semua. Karena gempuran kedua kekuatan pukulan lawan, badan
Liu Goan-ka tak terkendali membentur batu sehingga jidatnya
bocor, darah bercucuran.
Sigap sekali tangannya menekan batu pilar, sekali lagi
badannya jumpalitan melompat keatas tancap kaki dllereng
gunung terus lari sipat kuping. Jilian Ceng-poh tertegun
sebentar, mana dia berani bicara dengan kedua adiknya lagi,
ter-sipu2 diapun mengikuti langkah Liu Goan-ka.
Cepat Jilian Ceng-sia jemput golok sabitnya terus melompat
turun dari atas batu cadas, teriaknya girang: "Liu Lihiap,
terima kasih akan bantuanmu! inilah Jiciku Ceng-hun!"
Jilian Ceng-hun ikut melompat turun, berhadapan dengan
Hong-lay-mo-li, terasa seperti silau pandangannya oleh
kecantikan orang, dlam2 dia membandingkan diri sendiri
dengan orang, sekilas dia melengak, batin-nya: "Memang
tidak bernama kosong nama Hong-lay-mo-li, bukan saja ilmu
silatnya tinggi, kecantikannya melebihi bidadari. Tak heran
Bulim-thian-kiau Tam Ih-tiong jatuh cinta ke-pati2
kepadanya." mengikuti adiknya segera iapun menyatakan
terima kasih. "Ceng-hun cici," ujar Hong-lay-mo-li, "kau menolong
seluruh saudara2 dipangkalan, aku sendiri belum
mengucapkan terima kasih kepadamu."
"Negeri Kim adalah musuh kedua bangsa kita. bantu
membantu sesamanya adalah jamak. Hanya memberi kabar
bukan suatu pekerjaan berat, tidak perlu cici
menyinggungnya."
Hong-lay-mo-li tiada tempo berbasa basi lagi, memangnya
keadaan masih tetap genting, para Cecu dan pengikut2nya
tengah berbondong turun kebawah untuk kumpul untuk
mengurangi jatuhnya korban, mereka tidak bisa membawa
anak buah masing2 menerjang naik kebalik gunung untuk
melarikan diri, sebagai Lok-lim Beng-cu daerah utara Honglay-
mo-li tidak bisa berpeluk tangan mengawasi saudara2
sehaluan menjadi korban, maka dia ikut berjuang demi mati
hidup mereka. Dengan menenteng kedua senjatanya Honglay-
mo-li pimpin mereka menerjang dari atas gunung
kebawah. Sementara itu, dari kejauhan Khing Ciau dan Cin Long-giok
juga melihat perubahan disini, maka lega juga hati nrerekap
jarak cukup jauh, perang tanding sedang berkobar dimana2,
maka Hong-lay-mo-lipun tidak melihat kehadiran mereka
disini. Baru saja Khing-Ciau tiba dibalik gunung sebelah sana,
tahu2 mereka dhadang oleh tujuh orang musuh.
Keenam orang ini adalah Siau-thaubak Hwi-liong-to. ilmu
silatnya biasa saja, tapi Khing Ciau tidak mau menurunkan
tangan keji, dengan mengembangkan Sip-hun kiam-koat,
dalam sekejap saja dia tusuk roboh empat orang diantaranya
dengan Hiat-to tertutuk, sisa lainnya segera lari pontang
panting. Baru saja Khing Ciau melangkah kebawah tiba2 dilihatnya
orang2 yang lari tadi putar balik, berbareng didengarnya
sebuah suara kasar membentak: "Oh, kiranya kau bocah ini
ternyata bernyali besar, di Tiang-kang kau tidak mampus,
berani juga meluruk ke Hwi-liong-to! Haha. kali ini jiwamu
takkan terampun lagi."
Kumandang suaranya orangnyapun telah tiba, ternyata dia
bukan lain adalah kepala perompak yang malang melintang di
Tiangkang - Jau-hay-kiau Hoan Thong, Mendengar teriakan
anak buahnya yang lari ketakutan, segera dia memburu
datang dan kesamplok dengan Khing Ciau.
Hoan Thong adalah saudara angkat Hwi-liong-to-cu dan
Lam-san-hou, terhitung kepandaiannya yang terlemah, tapi
dibanding kekuatan Khing Ciau dan Cin Long-giok, orang
masih jauh lebih kuat.
Gaman Hoan Thong adalah sebatang dayung lebih pendek
dari dayung perahu biasanya, tapi panjangnya ada tujuh kaki
lebih, satu kail lipat lebih panjang dari pedang panjang yang
digunakan Khing Ciau dan Cin Long-giok.
Dengan deru angin yang kencang dayung ini mengemplang
tiba dengan sejurus Hoan-kang-to-hay (membalik sungai
menuang laut) mengarah batok kepala Khing Ciau.
Lekas Khing Ciau membalas dengan sejurus Hing-ka-kimliang,
"Tang" kembang api berpijar, pedang yang digunakan
adalah gaman mestika, maka dayung Hoan Thong sampai
gumpil sebagian tapi dayung itu cukup berat bobotnya,
sehingga Khing Ciau sendiri rasakan telapak tangannya
kesemutan. Dari samping Cin Long-giok lancarkan jurus Tay-bok-houyan
pedangnya menusuk lurus bagai melesatnya anak panah,
mengincar lambung bawah Hoan Thong, jurus ini adalah tipu
pedang ajaran keluarganya yang cukup keji.
Sayang gerakannya rada lambat, waktu ujung pedangnya
hampir mengenal sasarannya. Hoan Thong sudah sempat
menarik dayung menangkis pergi, kontan Cin Long-giok
sendiri rasakan segulung tenaga besar menerjang dirinya
sehingga dia berputar dua kali hampir saja tersungkur jatuh
oleh tenaga tolakan lawan yang besar.
Hoan Thong menghardik sekali, dayung panjang disapukan
melintang, pengait meluruskan pedang Khing Ciau menekan
kebawah, tenaganya dilandasi oleh Tay yan-sin-kang, meski
kalah kuat dibanding Hoan Thong, tapi kekuatan sapuan
lawan berhasil dia sampuk menceng kesamping, sehingga Cin
Long-giok tidak tersapu luka.
Tenaga Cin Long-giok memang lemah, tapi Gin-kangnya
lebih tinggi, dengan tangkas cepat dia menyelinap sambil
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berputar dengan lincah, dimana pedangnya berkelebat tiba2
dia berada didepan Hoan Thong, lain saat sudah berada
dikirinya cepat sekali sudah menggeser kesebelah kanan pula,
sekaligus dia lancarkan tujuh delapan kali tusukan, setiap
tusukan sudah ditarik balik sebelum mengenai sasaran, isi
kosong sukar diraba, yang terang dia selalu menghindari
bentrokan lagi dengan dayung orang, tapi sekali lawan lena
tusukan gertakan akan segera melobangi badan orang.
Terpaksa Hoan Thong putar kencang dayungnya seperti
kitiran sehingga hujan badaipun rasanya takkan tembus, Tapi
karena harus menjaga diri disamping balas menyerang, maka
tekanan rangsakannya kepada Khing Ciau jauh berkurang.
Tapi dayung lebih panjang dari pedang, Khing Ciau harus
berhadapan secara langsung, harus melindungi Cin Long-giok
yang main sergap lagi, maka tidaklah heran kalau senjata
mereka sering beradu, Lwekang Khing Ciau terang bukan
tandingan Hoan Thong, lama kelamaan, napasnya mulai
sengal2, keringat gemerobyos.
Anak buah Hoan Thong mengundang sebarisan tukang
gantol, dari beberapa tombak diluar kalangan mereka
mengepung sehingga Khing Ciau berdua takkan mungkin lari.
Memang mereka tidak berani ikut turun tangan, tapi bagi
Hoan Thong sudah merupakan pembantu yang terpercaya.
Didalam keadaan kepepet dan tak mungkin lolos ini, Khing
Ciau harus pertaruhkan jiwa raganya bertempur mati2an
puluhan jurus kemudian, Khing Ciau sudah kehabisan tenaga.
daya tahannyapun sudah mulai kendor.
Hoan Thong gelak2, serunya: "Bocah keparat, kalau ingin
hidup. buang senjata dan berlutut minta ampun."
Khing Ciau gusar, tenaga dia kerahkan diujung pedang
"sret" tiba2 dia menusuk, Bila tenaga yang dia kerahkan
besar, tenaga tolakan lawanpun semakin besar, dengan
memutar dayung untuk melindungi badan laksana tameng.
sekali ketuk dan tekan, Khing Ciau tergetar mundur
sempoyongan tiga langkah.
"Bagus, kau tidak mau menyerah, biar kuhabisi saja
jiwamu." bentak Hoan Thong, dengan deru angin yang keras,
lagi2 dayungnya mengemplang dengan jurus yang sama,
batok kepala Khing Ciau kelihatannya bakal remuk redam.
Disaat genting bagi keselamatan jiwa Khing Ciau yang
sudah kehabisan tenaga, sekonyong2 tampak sinar emas
berkelebat tiba laksana kilat menyamber, tapi entah dari
mana, tahu2 membentur dayung Hoan Thong dengan
kerasnya. "Tang" kembali kembang api berpijar, begitu keras
benturan ini serasa pekak telinga, sedang dayung Hoan Thong
itupun tergetar terbang ketengah udara.
Hoan Thong menjerit keras, tanpa kuasa badannya katut
terlempar, ditengah udara dia bersalto ke-belakang, kebetulan
meluncur turun kearah rombongan anak buahnya yang
bersenjata gantolan.
Kejadian berlangsung teramat cepat dan diluar dugaan,
barisan gantol itu tiba2 menghadapi kejadian mendadak,
begitu melihat ada orang menerjang tiba secara reflek
sebelum melihat jelas siapa yang tiba, puluhan batang
gantolan panjang serempak bekerja.
Hoan Thong membentak gusar: "Sudah buta mata kalian?"
begitu kedua lengannya menggentak berbareng menarik
kebelakang, tiga batang gantolan yang mengenai badannya
seketika kesendal putus jadi enam potong, dua orang lain
terjengkang roboh menghadap langit, sampai kepala terbentur
batu dan bocor keluar kecap.
Tapi tangan dan kaki Hoan Thong keburu terluka oleh
ujung gantolan tajam, meski tangkainya putus, tapi ujung
gantolan itu masih menghunjam dalam dikulit dagingnya,
darah bercucuran dengan deras.
Waktu sinar emas itu jatuh ditanah, ternyata adalah sebuah
gelang baja, setelah membentur dayung dan jatuh ditanah
masih berputar2 dan menggelinding ditanah, dimana gelang
baja ini menggelinding pasir dan batu2 pecah berhamburan.
serasa bumi bergetar.
Sudah tentu kawanan brandal itu belum pernah melihat
senjata seaneh ini, takut terlindas gelang bundar ini, serempak
mereka lari pontang panting, keadaan Hoan Thong paling
mengenaskan segera dia jatuhkan diri terus menggelundung
kebawah lereng gunung, setelah membentur batu cadas besar
baru gelang baja itu jatuh dan berhenti.
Kejut dan girang Khing Ciau bukan main, teriak-nya: "Sattoasiok!"
tahu2 orang sudah berada dibelakangnya tengah
menepuk pundaknya, Waktu Khing Ciau berpaling memang
benar Sat-lotoa adanya. Tampak sekujur badannya berlepotan
darah, demikian juga kepala dan mukanya kotor dan kusut
masai. "Sat toasiok, kenapa kau?" tanya Khing Ciau kaget, "Kau
terluka?" Sat-lotoa lompat kesana menjemput gelangnya, sahutnya:
"Ttdak apa2. lekas ikut aku."
Sebetulnya Khing Ciau diirundung berbagai pertanyaan
sejak pagi2 orang menghilang, kini muncul tiba2 lalu hendak
mengajak dirinya kemana" Terpaksa dia tekan perasaan
hatinya, dengan menarik Cin Long-giok dia kuti langkah Satlotoa.
Sebagian besar anak buah Hwi-liong-to sudah
mengundurkan diri keatas gunung, arah yang ditempuh Satlotoa
adalah jalanan gunung yang belukar dan berbahaya,
maka mereka bisa maju terus tanpa mendapat rintangan.
Padahal Hong-lay-mo-li dan Hoa Kok-ham sudah pimpin
orang banyak turun kebawah kumpul dengan orang banyak.
Tapi Sat-lotoa tidak bawa mereka menuju ketempat
berkumpul. "Sat-toasiok, Liu Lihiap kan berada disebelah sana!" teriak
Khing Ciau. Tanpa menjawab Sat-lotoa ayun sebelah tangannya, "Serr"
sebatang panah ular yang mengeluarkan sinar hijau
menjulang keangkasa, "Mari kesini!" Sat-lotoa berseru sambil
berlari Waktu itu Hong-lay-mo-li dan lain2 sedang heran dengan
cara bagaimana harus menerjang keluar dari kepungan ini,
tiba2 dilihatnya panah ular berapi itu, lalu dilihatnya pula
Khing Ciau bertiga sedang ber-lari2 kearah sana dengan tergesa2.
Maka tergerak hatinya, katanya: "Sat-lotoa adalah Lok-lim
cianpwe, panah ularnya itu mengundang kita, pasti ada
keperluan yang amat genting disana." maka dia bawa orang
banyak mengejar kearah sana.
"Sat-toasiok." seru Khing Ciau, "mereka sudah menuju
kemari, perlukah kita menunggu kedatangan mereka?"
"Tidak sempat lagi, cepatlah ikut aku menolong orang."
seru Sat-Iotoa.
Khing Ciau kaget, tanyanya: "Menolong siapa?"
Sat-lotoa gugup dan tidak sabar: "Kau ikut saja, Orang
yang tidak kau kenal, tidak sempat kuterangkan kepadamu."
sambil ber-cakap2 mereka sudah berlari puluhan tombak
jauhnya. Cepat sekali mereka sudah memasuki sebuah lembah
belukar yang penuh ditumbuhi semak2 ber-duri, untung Khing
Ciau membawa pedang mestika sehingga mereka tidak
kesulitan, puluhan langkah kemudian, lapat2 kupingnya
mendengar suara benturan senjata keras, Khing Ciau
celingukan, suara itu kedengaran kurang jelas, se-olah2
berada dalam tanah dibawah kaki mereka, baru saja Khing
Ciau keheranan, tiba2 dilihatnya Sat-lotoa berhenti dan
berkata: "Sudah sampai!"
Khing Ciau memandang kearah tempat yang ditunjuk Satlotoa,
dilihatnya sebuah mulut gua yang penuh ditaburi
semak2 belukar, semak2 berduri itu banyak yang sama
terpapas dan disingkirkan kesamping, tentulah perbuatan Satlotoa
dan temannya. Tanpa banyak pikir segera Khing Ciau putar pedangnya
menerjang masuk mengikuti jejak Sat-lotoa, Cin Long-giok
mengintil dibelakangnya.
Cahaya didalam gua samar2, tapi tampak bayangan orang
ber-gerak2. Untung sejak kecil Khing Ciau sudah latihan
senjata rahasia, pandangan matanya lebih tajam dari orang
biasa, setelah dekat dan dia pasang mata lebih tajam, maka
dilihatnya keadaan dua pihak musuh yang sedang
berhadapan. Dilihatnya dua orang perempuan yang gundul kepalanya
dengan jubah Ni-koh tengah berhantam dengan serombongan
perompak seorang Nikoh tengah melabrak seseorang dan
bertempur dengan sengit, sementara Nikoh yang lain
membendung kawanan perompak yang lain supaya mereka
tidak mengganggu pertandingan satu lawan satu disebelah
sini. Pertama2 perhatian Khing Ciau tertuju kearah Nikoh yang
bertarung satu lawan satu, sekilas pandang dia cukup kenal
bayangan orang, keruan melonjak jantungnya, kejut dan
girang bukan main, teriaknya: "San San."
Saat itu juga Sat-lota sudah berseru: "Hian-tit-li tak usah
kuatir, orang2 kita segera datang!"
Nikoh yang muda belia dan cantik ini memang San San
adanya, orang yang dilabraknya itu adalah Lam-san-hou.
Tangan kiri memegang kebut, tangan kanan San San
bersenjata pedang, Lam San-hou bertangan kosong, Tapi
permainannya adalah Lo-han-kun setiap gerak kepalan
tangannya mengeluarkan deru angin tajam. sehingga San San
tak mampu mendekatinya.
Begitu tiba Khing Ciau sudah maju hendak membantunya
Sat-lotoa segera berseru: "Khing-siang-kong, kau boleh
berjaga diluar gelanggang, Keponakanku hendak menuntut
kematian ayahnya!"
Khing Ciau sadar, segera dia mengiakan, lalu ber diri diluar
gelanggang, Ujung pedangnya terangkat mengincar punggung
Lam-san-hou, tapi dia tidak bergerak sementasa Sat-lotoa ajak
Cin Long-giok menyerbu kedalam gerombolan kawanan
perompak. Meski Khing Ciau berdiri tegak tidak turun tangan, namun
merupakan tekanan juga bagi Lam san-hou. San San
mendapat ajaran murni dari Hong-lay-mo-li, Thian-lo-hud-tim
dan Yo-hun-kiam-hoat sama dapat dimainkan dengan
sempurna, sayang Lwekangnya saja yang belum memadai.
Begitu ketenangan Lam-san-hou terganggu, permainan
menjadi kacau balau, dari diserang kini San San berbalik balas
menyerang dan berada diatas angin.
Gerombolan perompak yang hendak menerjang kearah sini
dipimpin oleh Liong-in Taysu yang berkepandaian paling
tinggi, Sat-lotoa angkat gelang bajanya menghantam secara
kekerasan melawan tongkat lawan, berat tongkat Liong-in
Taysu ada lima enam puluh kati, sudah tentu tenaga
pukulannya bukan olah2 hebatnya, tapi latihan tenaga luar
Sat-lotoa juga sudah mencapai ketingkat yang sempurna,
malah setingkat lebih tinggi dari lawannya.
Begitu kedua senjata saling bentrok, suaranya amat
dahsyat seperti bom meledak memekak telinga, apa lagi
didalam gua gema suaranya laksana air bah yang melanda
tiba, beberapa orang serasa kepala hampir pecah dan
berkaok2 kalap seperti gila dan lari pontang penting sambil
membuang senjata.
Kedua orang sama2 kerahkan tenaga berhantam secara
keras, yang punya tenaga besar tentu akhirnya akan menang,
Dalam sekejap saja, tongkat Hwesio Liong-in Taysu yang
besar itu sudah melengkung mirip sebuah gelang yang
terputus sebagian.
Sat-lotoa gelak2, gelang bajanya berputar dan mengepruk,
kembali dia ketuk tongkat lawan terus ditariknya kesamping,
Liong-in Taysu memang sudah kehabisan tenaga, sekuat
tenaga dia masih berusaha mempertahankan diri, namun tiba2
mulutnya menguak keras seperti babi disembelih, tongkat
yang melengkung seperti gelang itu terlepas terbang!
Badannya sempoyongan terus tersungkur ke depan. Kebetulan
ujung pedang Cin Long-giok teracung dan telak masuk
kedalam dadanya.
Nikoh yang satu lagi berusia pertengahan umur, dengan
memutar kebutnya, terang Lwekangnya jauh lebih unggul dari
Sat-lotoa, namun karena dia orang beragama, maka tidak
menurunkan tangan keji, paling2 hanya mengetuk atau
menyendal lepas gaman2 lawan, berbareng kebut menutuk
Hiat-to mereka sehingga tidak berkutik menghadapi Nikoh
yang satu ini, apalagi dillihatnya Liong-in Taysu andalan
mereka sudah ajal, mereka yang tidak terluka atau tertutuk
Hiat-tonya serempak angkat langkah seribu.
Sebagai gembong iblis yang kejam dan telengas,
menghadapi situasi yang menyudutkan dirinya ini, mau tidak
mau Lam-san-hou menjadi gelisah juga. Pada saat itulah
didengarnya suara derap langkah orang banyak tengah
mendatangi dibarengi suara berisik dari percakapan mereka.
Tahu bahwa pihak lawan kedatangan bala bantuan segera
dia pergencar pukulannya dengan setaker sisa tenaganya,
begitu San San terdesak beberapa langkah, dia segera putar
badan lari sipat kuping.
Kebetulan Khing Ciau menghadang disebelah sini, sejak
lama dia sudah pikirkan cara untuk menghadapi musuh, begitu
bergerak dia lantas gunakan Hou-bwe-ga tipu harimau
menendang dan menyabet dengan ekor, kedua kakinya
menendang menyimpang satu sama lain, disusul dengan
pukulannya, tendangan dan pukulan ini merupakan tipu
kepandaian kebanggaannya tak kira ilmu silat Khing Ciau
sudah begitu kuat, disangkanya dengan serangan hebat ini dia
akan bikin lawannya mampus.
Diluar tahunya setelah Khing Ciau mendapat ajaran
Lwekang Liu Goan-cong, dibaurkan dengan Tay-yan-sin-kang,
kini kekuatannya selipat lebih besar dari dulu, Begitu
tendangan Lam-san-hou menyerang tiba, lekas Khing Ciau
gunakan langkah naga melingkar pindah kedudukan,
berbareng pedangnya menusuk, kekuatan pukulan Pek-pausin-
kun Lam-san-hou hanya membuatnya tergeliat saja tanpa
tergentak mundur, maka tusukannya ini tetap keras dan tepat.
"Crat" pergelangan tangan orang tertusuk dengan telak,
kontan Lam-san hou melolong kesakitan, kakinya melompat
minggir tiga tindak, kebetulan San San sudah memburu tiba,
disana dia ayun pedangnya dengan seluruh kekuatannya,
belum lagi Lam-san-hou sempat berpaling, pedang San San
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah amblas masuk kedalam perutnya.
San San cabut pedangnya, serunya mendongak: "Ayah,
putrimu hari ini membalaskan denganmu." baru saja dia
hendak memenggal kepala Lam-san-hou, kebetulan Hong-laymo-
li dan lain2 keburu tiba.
Tang-hay-liong jalan paling depan, Lam-san-hou masih
bernapas senin kemis, segera dia menggelinding kekaki orang,
Betapapun Tang-hay liong tidak tega melihat keadaannya,
katanya: "Kau memang terlalu jahat dan mendapat ganjaran
yang setimpal. Pada penitisan lagi baik2lah menjadi manusia,
Nona Gok, harap sukalah pandang muka Lohu, berilah
kematian dengan utuh." pelan2 dia tambahkan sekali pukulan
kepada Lam-san-hou, supaya mengurangi derita adiknya,
seketika Lam-san-hou putus nyawa.
San San beranjak maju, katanya sambil merangkap kedua
tangan: "Pinni Biau-cit terima kasih akan bantuan Khingkongcu."
suaranya sember dan gemetar.
"San San-cici," teriak Cin Long-giok, "kau, kau kenapa kau
cukur rambut jadi Nikoh?" dengan kencang dia pegang kedua
tangan orang, San San tertawa tawar, kembali merangkap tangan,
ujarnya: "Datang dari asalnya, kembali ke asalnya pula,
Masing2 mempunyai sebab dan akibat, biarlah jodoh
menentukan, Takdir sudah menentukan, janganlah mencari
kerisauan sendiri."
Sebagai orang yang cerdik Khing Ciau dan Cin Long-giok
maklum akan apa yang dimaksud dengan kata2 seperti syair
ini, tak terasa kecut dan mendelu hati mereka.
Hong-lay-mo-li juga pimpin Ong Ih-ting dan puluhan Cecu
lainnya memburu datang. urusan besar lebih penting, tak
sempat dia ajak orang bicara, katanya kepada Sat-Iotoaj "Satlocin-
pwe, apa yang terjadi disini?"
Tatkala itu dengan kerja sama orang2 gagah itu lembah
semak2 itu kini sudah dibikin bersih sehingga dengan leluasa
orang banyak bisa masuk kedalam gua, ada yang bikin obor
dari ranting2 kering itu, sehingga keadaan dalam gua bisa
terlihat rada jelas.
Tampak didalam gua ini terdapat banyak sekali pemandang
aneh dan mempesonakan dari batu2 gunung dan batu laut,
seperti ratna. batu2 akik, batu jade dan berbagai macam batubatu
hiasan yang dibuat oleh tangan seorang ahli, makluk
atau binatang2 lain, perempuan2 cantik, ada pula yang seperti
kuntilanak dan makhluk2 aneh yang jarang terlihat, sungguh
suatu pemandangan yang luar biasa dan menakjupkan.
Sayang sekali mereka hanya bisa melihat pemandangan
aneh2 ini selintas lalu saja, insaf akan kedudukan yang
berbahaya, betapapun mereka lebih mementingkan
keselamatan hidup lebih dulu, Apalagi gua ini panjang dan tak
tahu sampai dimana ujungnya. Kini jumlah mereka masih
tersisa enam tujuh ratusan orang, semuanya sudah masuk
kedalam gua besar dan panjang ini, maka mereka berdiri
saling berdesakan semua orang ber-tanya2 dalam hati:
"Sat-lotoa membawa kita kemari, enta apa maksudnya?"
Sat-lotoa segera menarik suara dan berseru lantang: "Gua
ini bakal tembus kepesisir dilautan sana." seketika semua
orang bersorak gembira, sementara itu San San dan Nikoh
pertengahan umur itu sudah berada disamping Hong-lay-moli.
Hong-lay-mo-li hanya sempat memberi hormat saja, tak
sempat banyak bicara lagi.
Demikian pula cara bagaimana Sat-lotoa bisa menemukan
gua ini juga tak sempat tanya lagi, segera dia tenteng pedang
berjalan lebih dulu.
Sebagai Bu-lim Cianpwe, meski mengalami berbagai
kesulitan Sat-lotoa masih tetap tabah dan bekerja dengan
cermat, apa lagi berada disarang musuh sudah tentu hatinya
tidak akan tentram, setelah samadi dua jam, tenaganya sudah
pulih seluruhnya, belum lagi hari terang tanah, secara diam2
dia sudah mengeloyor keluar menyelidiki keadaan pulau ini.
Sebetulnya Liu Goan-ka dan Hwi-liong-to-cu sudah kerja
sama dengan baik, semuanya berjalan sesuai dengan rencana
mereka, sayang sekali betapapun sempurna rencana mereka,
toh masih ada juga lobang kelemahannya, dan kelemahan itu
terletak pada gua yang satu ini.
Gua ini memang terbentuk oleh alam, dulu penduduk
setempat sering menggunakannya untuk berteduh dari segala
bencana alam, didepan mulut gua sengaja ditanami tanaman
berduri, setelah sekian tahun lamanya, tetumbuhan hidup
subur, maka orang2 dari luar takkan tahu dan sukar
ditemukan Hwi-liong-to-cu sendiri baru beberapa hari yang
lalu, karena hendak mengurung orang2 gagah, sekali lagi dia
mengadakan inspeksi akan situasi pulaunya ini dan secara
tidak sengaja pula dia temukan gua ini.
Waktu amat mendesak, gua amat besar lagi, untuk
menyumbat gua ini terang tidak keburu lagi, maka mereka
mengadakan persiapan ala kadarnya, Lam san-hou dan Liongin
Taysu memimpin sekawanan anak buahnya menjaga disini.
Pikirnya gua yang terahasia ini takkan mudah ditemukan,
bahwa menugaskan orang berjaga hanya menjaga segala
kemungkinan saja.
Sungguh amat kebetulan waktu masih subuh itulah Satlotoa
diam2 sudah mulai menjelajahkan kakinya dari satu ke
lain tempat menyelidiki keadaan pulau ini, ditengah jalan dia
kesamplok dengan dua Thaubak Lam-san-hou. Kedua
Thaubak ini sedang menuju ke gua itu untuk piket.
Karena tahu bakal terjadi pertempuran besar2an, mereka
bersyukur bahwa dirinya ditugaskan menjaga gua saja yang
jauh lebih aman, maka sepanjang jalan tanpa sadar mereka
mengobrol panjangl lebar. Di-luar tahu mereka sejak tadi Sat
lotoa sedang menguntit mereka, seluruh percakapan mereka
didengarnya dengan jelas.
Sudah tentu kejut Sat-lotoa bukan main mendengar
rencana mereka, maka dengan lebih hati2 dia kuntit terus
kedua orang ini, pikirnya hendak mencari tahu dulu letak dari
pada gua itu, karena dia berkesimpulan hanya gua inilah
kemungkinan satu2nya jalan untuk menolong orang2 gagah
itu meloloskan diri.
Dari kejauhan saja Sat-lotoa awasi kedua Thaubak itu
masuk kedalam gua, baru saja dia mau balik tak nyana dia
kesampok dengan San San dan Nikoh pertengahan umur itu.
Ayah San San dulu adalah kenalan baik Sat-lotoa, segera
dia perkenalkan Nikoh pertengahan umur ini adalah gurunya,
meski heran dan tak mengerti Sat-lotoa tidak sempat bertanya
panjang lebar. Tahu bahwa Lam-san-hou musuh besarnya menjaga gua
itu, San San bertekad hendak masuk kesana menuhtut balas,
Sat-lotoa pikir, dengan adanya dua bantuan ini, bila Lam-sanhou
dapat disingkirkan, sungguh merupakan suatu perubahan
diluar dugaan bagi musuh.
Kalau sampai mereka bersiaga dan memasang perangkap
dan sebagainya tentu banyak menimbulkan banyak rintangan
yang berbahaya, Maka dia setuju akan saran San San.
Tak nyana kecuali Lam-san-hou, didalam gua ini ada pula
Liong-in Taysu dan puluhan Thaubak yang berkepandaian
lumayan, pertempuran seru segera terjadi Sat-lotoa terluka
ringan, beberapa Thaubak berhasil dibunuhnya, tahu bahwa
San San dan gurunya kuat bertahan, dan lagi didengarnya
suara gemuruh seperti gugur gunung diluar sana, itulah waktu
batu2 besar dan balok2 digelundungkan menyumbat mulut
lembah, tahu bahwa Liu Goan-ka dan kamrat2nya sudah turun
tangan, waktu cukup mendesak, terpaksa dia mengundurkan
diri keluar untuk memberi kabar kepada orang banyak.
Gua ini panjang enam tujuh li, dengan langkah cepat
mereka kira2 setengah jam sudah tiba diujung gua yang lain.
Benar juga mereka tiba dipesisir laut. Tampak langit cerah,
ombak bergulung2, setelah berada diluar gua, lautan teduh
terbentang dihadapan mereka, meski disini tiada musuh, tapi
hati semua orang mencelos pula, rasa senangnya tadi seketika
sirna. Ternyata perahu dan kapal2 yang berada di darmaga
didalam teluk sana sudah hilang seluruhnya, Tanpa ada kapal
tumbuh sayappun mereka takkan lolos dari pulau ini.
Diisaat mereka kebingungan itulah, tiba2 terdengar orang
gelak2, dari atas gunung muncul serombongan kawanan
perampok, Hwi-liong-to-cu dan Hoan Thong berdiri paling
depan, berdiri dipinggir jurang, mereka tertawa ter-kial2,
kesenangan seperti orang gila.
"Mari kita adu jiwa sama mereka!" saking sengit Ong Ihting
berseru. Hwi-Iiong-to-cu gelak2 serunya: "Yang tidak takut mati
hayolah naik kemari?" tangannya terayun, anak2 panah
seketika dibidikan bagai hujan lebat.
Untung jarak mereka cukup jauh, bidikan panah2 mereka
tiada satupun yang mengenai sasarannya. Tapi orang2
gagahpun tak bisa berbuat apa2, jangan kata hendak
meloloskan diri. Mau tidak mau mereka mandah dihujani anak
panah, dan memaki kalang kabut, maka terjadilah perang
mulut dari atas dan bawah dengan ramainya.
Akhirnya Ong Ih-ting tidak sabar lagi, katahya: "Liu-Lihiap,
dari pada kepepet dan mati kelaparan di-sini, marilah kita
terjang keatas adu jiwa dengan mereka."
Belum lagi mereka selesai berunding, tiba2 Hoa Kok-ham
berseru: "Coba kalian lihat, apakah itu?"
Waktu semua orang memandang kearah lautan, tampak
titik2 layar kapal yang terkembang tengah berderet
mendatangi dari lautan teduh sana, jelas itulah barisan dari
kapal2 besar. Disaat orang banyak keheranan dan bertanya2,
barisan kapal2 besar itu sudah masuk kedalam teluk,
jumlahnya tidak kurang dari lima enam puluh buah, puluhan
buah diantaranya adalah kapal2 para tecu diri Thayouw yang
mereka pakai waktu berkunjung ke Hwi-liong-to ini.
Ong Ih-ting gusar, katanya: "Pasti perbuatan kawanan
perampok Hwi-liong-to, kapal kita sudah mereka rampas, kini
putar balik hendak menggencet kita dari dua jurusan."
"Ong-cecu," kata Hong-lay-mo-li "lihatlah bendera itu."
Tampak pada sebuah kapal yang terbesar ditengah barisan
kapal2 itu berkibar sebuah bendera besar yang disulam seekor
harimau dengan benang emas, ber-kibar2 tertiup angin, dari
jauh kelihatan sudah menyolok mata.
"ltulah bendera kebesaran Hoan-kang-hou Li Po. Li Po
adalah gerombolan Hoan Thong dan selalu maIang melintang
di Tiang-kang, Baik, merekapun meluruk kemari, mari kita siap
menyerbu keatas dan rebut kapal mereka."
Tengah mereka berbincang itu, barisan kapal2 itu sudah
berlabuh, tampak kapal terbesar ditengah itu, tiba2 mengerek
sebuah bendera lain yang lebih besar, itulah bendera pasukan
air yang berkuasa disepanjang sungai Tiangkang.
Diujung kapal berdiri seorang perwira dengan seragam
militer dan menyoreng golok, laki2 ini bukan lain adalah Hoahkang-
hou Li Po. Tengah semua orang ter-herah2 dan kebat kebit,
Terdengar Li Po berseru dengan Iantang: "Harap para
saudara2 tidak curiga dan kaget, aku Li Po mendapat perintah
dari Loh ciangkun, untunglah Liu Lihiap ada disini, bagaimana
isi hatiku Liu Lihiap tentu sudah tahu, Li Po sekarang adalah
pembantu Loh-ciangkun! Loh-ciangkun sudah menduga akan
kejadian hari ini, maka Li Po diutus kemari untuk menjemput
para saudara pulang. Maaf kedatanganku terlambat."
Rencana Hwi-liong-to-cu amat muluk dan sempurna, dia
kira dengan mudah akan dapat menjaring seluruh musuh, tak
nyana tahu2 Li Po muncul menggagalkan rencananyai keruan
gusarnya bukan kepalang.
Hoan-Thong segera tampil kedepan, katanya: "Jite, sudah
puluhan tahun kau bekerja sama dengan aku, orang hidup
dikalangan Kangouw harus mengutamakan kesetiaan, kenapa
kau sekarang malah ingkar janji membela musuh malah, ini
bukankah..."
Tak sabar lagi Hwi-liong-to-cu menukas: "Bukankah ini
yang dinamakan menjual teman untuk kesenangan sendiri?"
Li Po balas mendamprat dengan suara lantang: "Kau
katakan aku menjual teman untuk kesenanganku sendiri,
sebaliknya aku mau bilang kau menjual negara demi
kepentinganmu sendiri! Toako, di Tiangkang kau pernah
melawan pasukan Kim, bicara soal kesetiaan, kau harus
pikirkan dulu nusa dan bangsamu! Semula kau laki2 gagah
yang berjiwa luhur, kenapa sekarang terima diperbudak oleh
kawanan durhaka itu, memangnya tidak malu kau ditertawai
rakyat sejagat" Hoan-toako, sukalah kau bertobat dan berpikir
dengan kepala dingin, lekas kembali kejalan benar sebelum
terlambat !"
Sejak ditawan pasukan Kim di Tiangkang tempo hari,
karena takut mati dan salah berpikir, akhirnya dia terima
diperbudak oleh musuh bangsa, sebetulnya hati kecilnya
sudah amat sesal. Kini mendengar nasehat Li Po, seketika rasa
malu dan menyesal mengetuk sanubarinya. sikapnya jadi
masgul dan mulut terkancing.
Tiba2 Hw-liong-to-cu tertawa dingin, tiba2 Hoan Thong
berpaling dilihatnya muka Hwi-liong-to-cu kaku dingin, sorot
matanya yang beringas liar tengah menatap dirinya.
Hoan Thong ter-sirap darahnya: "Cong-toako, aku... aku..."
"Kau kenapa" Baik ya saudaramu itu! Hai, awas, berdirilah
tegak!" dengan membalikan telapak tangan, segulung angin
pukulan Bik-khong-ciang segera melandai, Hoan Thong
mencelat keterjang jumpalitan dari atas batu, teriaknya
dengan suara serak: "Kau sungguh kejam! Han-sam nio-cu!"
belum habis kata2nya kepalanya sudah kebentur batu cadas
yang runcing, seketika badannya hancur dan putus jiwanya.
Li Po menghela napas, ujarnya: "Hoan-toako, terlalu
mengenaskan kematianmu! Berangkatlah dengan baik2, dua
musuhmu akan kutuntut balas kepada mereka." dua orang
yang dimaksud sudah tentu adalah Hwi-liong-to-co dan Hamsam-
niocu yang dulu mengatur tipu daya menjebak Hoan
Thong sehingga dia terinia diperbudak oleh musuh, kini
menemui ajalnya dengan mengenaskan secara tidak langsung
kematiannya ini memang lantaran tipu daya Han-sam-nio-cu
dulu. Keselamatan orang banyak harus diutamakan, maka Li Po
segera pimpin mereka naik keatas kapal. Hong-lay-mo-li
dengan ayahnya, bersama Khing Ciau, Cin Long-giok San San
dan Sat-lotoa dan lain2 naik kapal Li Po.
Sementara Pendekar latah Hoa Kok-ham ditarik Thi-pit-su
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seng naik kekapal Ong Ih-ting, setelah semua orang naik
keatas kapal, barisan kapal ini segera berlaju pula ketengah
lautan teduh. Setelah mengalami pertempuran besar yang melelahkan
semua orang sama istrahat kedalam kamar masing2. Khing
Ciau dan Cin Long-glok masih sempat membicarakan San San.
sementara Hong-lay-mo-li bersama ayahnya menutup diri
dalam sebuah kamar, setelah mendengar cerita putrinya
tentang pengalamannya di Jian-liu-cheng yang hampir saja
ditipu Liu Goan-ka, akhirnya Liu Goan-cong berkata dengan
tertawa getir: "Pengalaman hidupku, tujuh delapan bagian sudah
dituturkan Goan-ka kepadamu. Mencuri pusaka diistana raja
Kim dan pelarian di kalangan kangouw yang ber-belit2 itu
semua memang kenyataan Cuma semua itu adalah
pengalamanku sendiri, dan dia mengaku akan diriku
kepadamu. Tapi dia ada mengelabui kau sebuah peristiwa lain,
biarlah sekarang kutambahkan."
Teringat akan peristiwa masa lalu yang menyedihkan itu,
tak terasa ber-kaca2 mata Liu Goan-cong, katanya:
"Sebetulnya aku enggan menyinggung kejadian lama ini, tapi
kau adalah putri tunggalku, kau harus tahu akan dendam
negara dan kebencian keluarga, biar kau tahu cara bagaimana
kematian ibumu."
"Apa yang dituturkan Goan-ka memang tidak salah, aku
membawa anak menyeret istri melarikan diri, sepanjang jalan
ber-ulang2 kali mengalami sergapan para pengejar dari jago2
istana Kim. Tapi dalam cerita ini dk tidak menyebutkan
seorang lagi yang ikut dalam pelarian itu, yaitu dia sendiri."
Liu Goan-cong lalu meneruskan: "Sejak kecil Goan-ka hidup
bersamaku, otaknya cerdik dan pandai bekerja, aku sendiri
yang mengajarkan ilmu silat kepadanya, setelah berhasil
mencuri pusaka diistana raja Kim, membunuh delapan belas
jago2 mereka, hukumannya adalah mati bagi seluruh
keluarga, Maka waktu aku melarikan diri, Goan-ka kubawa
juga, disamping untuk menyelamatkan diri, sekaligus untuk
membantu aku. Waktu itu cukup gagah dan berani sepak terjangnya,
baktinya terhadap negara membakar hatinya untuk mati dan
hidup seperjuangan dengan aku.
"Musuh yang mengejar serombongan demi serombongan,
barisan terakhir yang meluruk tiba adalah empat orang opsir
tinggi dari Gi-lim-kun negeri Kim, lihay sekali kepandaian
mereka, dengan menggendong kau, terpaksa aku lawan
mereka dengan sebelah tangan, keempat musuh itu akhirnya
mati dua luka parah dua, mereka berhasil kita pukul mundur
bersama ibumu. Tapi aku sendiri terluka tujuh tempat seluruh badan
berlepotan darah. Luka ibumu lebih parah lagi, aku masih bisa
jalan, sebaliknya setelah luka2 dia terserang demam lagi.
Untungnya kau dan Goan-ka tidak kurang suatu apa, karena
setiap musuh datang kami selalu berusaha untuk melindungi
dia dan kau. "Setelah bertempuran terakhir ini, Goan-ka tiba2 bertanya:
"Kak, kalian berdua sama terluka, kalau musuh mengejar
datang pula, bagaimana menghadapinya?"
"Aku tidak tahu apa maksudnya, sahutku menghela napas:
"Terpaksa pasrah nasib saja. Marilah cari tempat untuk
istirahat beberapa hari, setelah luka2 sembuh baru berangkat
lagi. Beberapa hari ini, kau perlu bekerja lebih berat untuk
keselamatan kita.
"Goan-ka tahu biasanya watakku amat kukuh dam keras,
setelah mendengar jawabanku dia lantas tahu bahwa luka2ku
tentu amatberat. Tiba2 dia cengkram ibumu dan berkata
dengan muka beringas: "Kak, bukan adikmu tidak sudi
melindungimu, yang terang aku tidak sudi ajal bersama kalian!
Harapan untuk lolos sudah terlalu kecil, daripada kita semua
mampus, biarlah aku meloloskan diri, kelak bila ada
kesempatan pasti kutuntut balas bagi kematian kalian. Kak,
kau tetap ditempatmu, serahkan gambar lukisan Hiat-to-tongjin
dan Ji-goan-hian itu kepadaku."
"Semula aku pernah memikirkan akal ini, tapi sekarang dia
menawan ibumu untuk mengancam dan menekian aku supaya
menyerahkan kedua pusaka silat itu, benar2 tidak pernah
terbayang dalam benakku. Baru sekarang aku sadar akan jiwa
kebinatangannya. Disaat2 menghadapi keadaan kritis dan
gawat itu, tersingkaplah kedok aslinya.
"Lama juga aku terlongong, terang jiwa kotornya itu takkan
bisa diperbaiki lagi, dengan sedih aku berkata: "Baiklah,
memang tidak salah ucapanmu, untuk menyelamatkan diri aku
sudah tiada harapan lagi, dari pada kedua ilmu pelajaran silat
ini terjatuh lagi ke tangan musuh, lebih baik kuserahkan
kepadamu. Semoga setelah kau berhasil mempelajari ilmu,
gunakanlah kepada musuh2"
"Setelah terlaksana keinginannya, Goan-ka segera berlalu.
Harus dikasihani ibumu yang terluka parah, harus
menanggung malu lagi, karena sedih dan malu serta marah,
sakitnya bertambah berat, hari itu juga dia meninggal dunia.
"Setelah Goan-ka pergi, ibumu meninggal pula, dengan
keadaanku waktu itu terang takkan mampu melindungimu
pula, terpaksa kucopot jubahku membuntalmu, lalu kutaruh
kau dipinggir jalan, Kuharap ada orang yang berhati bacik
kebetulan lewat sudi memungutmu sebagai anak, agaknya
Thian Yang Maha Kuasa memang berwelas asih kepada
umatnya, memang rejekimu sendiri juga besar, kebetulan kau
dipungut oleh Kongsun Ih, maha guru silat yang termashur
pada jaman ini."
Sampai disini, Hong-lay-mo-li rada heran, tanyanya: "Ayah,
kaupun sudah tahu akan pengalaman hidupku?"
Liu Goan-cong manggut2, ujarnya: "Hoa Kok-ham sudah
tuturkan kepadaku, pernah aku minta dia bantu mencari
jejakmu, maka kuserahkan kedua benda tanda bukti itu,
bukankah dia sudah berikan kepadamu?"
Merah muka Hong-lay-mo-li, katanya: "Yah, apakah jubah
yang kau buat membungkus aku dan secarik kertas leherku
itu?" "Sedikitpun tidak salah. Apa kau tidak bertanya secara jelas
kepadanya?"
"Dia suruh kacungnya Pek-siu-lo untuk mengantar kado
kepadaku Belakangan memang pernah bertemu beberapa kali,
tapi tiada kesempatan bicara. Yah, kenapa kau... kau berikan
tanggal kelahiranku kepada orang luar?"
Liu Goan-cong tertawa, ujarnya: "Kok-ham bukan orang
luar. Ayahnya Hoa Ci-thong adalah sahabat kentalku, Kami
mempunyai maksud dan tujuan yang sama, maka mau terima
undangan raja Kim untuk ikut menyelami gambar lukisan Hiatto-
tong-jin dan Ci-goan-bian ciptaan Tan Pok itu.
Waktu mereka melarikan diri dari istana negeri Kim setelah
berhasil mendapatkan apa yang diinginkan, mereka dikeroyok
oleh jago2 istana, ai, akhirnya hanya ketinggalan aku saja
yang berhasil lolos, Hoa Ci-thong bersama beberapa kawan
yang lain terbunuh dan ada pula yang tertawan kembali.
Untuk melindungi akulah Hoa Ci-thong mengorbankan jiwa
raganya, budi pertolongannya terang tak bisa kubalas
langsung kepadanya, dia punya seorang putra yaitu Hoa Kokham,
maka kuharap kelak hanya bisa membalas kebaikan
ayahnya terhadap putranya yang satu ini.
"Tapi waktu itu aku terluka dalam yang amat berat,
terpaksa melarikan diri ke atas gunung, mencukur rambut jadi
Hwesio, disamping mengobati luka2 sekaligus menghilangkan
jejak supaya tidak menjadi perhatian orang. Meski demikian,
jiwamu memang selamat, tapi aku toh harus menderita karena
badan menjadi cacat, Tidak mungkin aku bergerak untuk
mencari putra tunggal temanku itu,
"Sepuluhan tahun kemudian, tak nyana datang suatu hari,
Hoa Kok-ham malah yang berhasil menemukan diriku. Kiranya
setelah tumbuh dewasa dia berhasil mempelajari ilmu silat
warisan keluarganya untuk mencari tahu kabar ayahnya, maka
selama ini diapun sedang mencariku. Sayang sekali aku hanya
bisa memberitahu kabar kematian ayahnya kepadanya. Belum
lagi aku sempat membalas kebaikannya, malah aku minta
bantuannya lagi.
"Cacatku waktu itu belum sembuh seluruhnya, terpaksa
kuminta bantuannya untuk mencari kau. Kuserahkan tanggal
kelahiramnu sebagai tanda pengenal, sebetulnya akupun
menaruh suatu harapan yang mendalam, memangnya kau
belum memahami maksud2 ku?"
Merah seperti kepiting direbus selebar muka Hong-lay-moli,
ternyata ayahnya memang bermaksud menjodohkan dirinya
dgn Hoa Kok-ham sebetulnya diluar tahu sang ayah, Hoa Kokham
diwaktu memberikan kado dulu ada menyelipkan pula
kado pemberian pribadinya yaitu sepasang kacang merah,
secara tidak langsung melalui sepasang kacang merah ini, dia
sudah menyatakan isi hatinya.
Liu Goan cong bergelak tawa, serunya: "Laki2 dewasa
harus berkeluarga, perempuan besar harus menikah,
memangnya ada apanya pula yang harus dibuat malu?"
Hong-lay-moli berkata lirih sambil tunduk kepala: "Yah,
sekarang negara kita sedang dalam keadaan gawat kita ayah
beranak juga baru saja kumpul kembali soal ini biarlah ditunda
dulu." Liu Goan-cong melengak, cepat sekali dia sudah ter-loroh2.
"Yah, apa yang kau tertawakan?"
"Kutertawakan kalian muda-mudi jaman sekarang pura2
malu2 kucing belaka, waktu kuserahkan tanggal lahirmu
kepada Kok-ham, tentunya dia sudah tahu akan maksud
tujuanku, sayang kalian belum pernah sempat bicara dari hati
ke hati, entah kenapa pula dia pura2 bodoh" Tapi kau
memang benar, sebelum musuh penjajah terusir dari tanah air
kita, dengan bekal apa kita akan membangun keluarga" Baik
soal ini ditunda saja, setelah peperangan berakhir, baru kita
singgung soal perjodohan ini."
Lega juga hati Hong-lay-mo-li. Tiba2 ayahnya menghela
napas, katanya lebih lanjut: "Kalau dibicarakan amat
disesalkan, hidup setengah abad ini, beruntun aku harus
menerima kebaikan dua anak muda dari angkatan baru, celaka
lagi aku belum bisa membalas budi mereka, Seorang adalah
Kok-ham seorang yang lain adalah pendekar muda dari negeri
Kim itu." Tak tertahan tercetus pertanyaan dari mulut Hong-lay-moli:
"Yah, orang yang kau maksud, apakah... apakah Bu-limthian-
kiau?" "Benar, Yau-ji, aku tahu kau pernah bertemu dengan dia.
Benar tidak?"
"Yah, kau hutang budi apa kepada Bu-lim-thian-kiau?"
"Berkat bantuahnyalah sehingga badanku yang sudah
cacad ini dapat disembuhkan lagi secepat ini, Kalau tidak
mungkn harus menunggu sepuluh tahun lagi"
"Apa Bu-lim-thian-kiau juga mahir ilmu pengobatan?"
"Bukan begitu halnya Dia punya seorang guru bangsa Kim.
sebagai pewaris gurunya yang bercita2 menentang
peperangan dan cinta damai. Maka dia tidak sudi menerima
undangan rajanya untuk masuk kedalam lembaga penyelidikan
Hiat-to-tong-jin itu.
"Tiga belas gambar lukisan Hiat-to-tong-jin yang berjumlah
dua puluh lembar dan bagian atas dari Ci-goan hoan ciptaan
Tan Pok itu sudah berada denganku setelah aku melarikan diri
Baru guru Bu-lim-thian-kiau datang, menyatakan suka
membantu menyelidiki intisari dari gambar2 lukisan itu.
Bagian 28 Sebagai bangsa dewek, sudah tentu raja Kim percaya
penuh kepadanya, Tak nyana, empat belas gambar lukisan
Hiat-to-tong-jin dan bagian kedua dari Ci-goan-bian yang
masih ditangan mereka akhirnya berhasil dia rebut pada suatu
malam yang gelap mendadak dia melarikan diri dengan
membawa semua gambar-2 dan inti pelajaran Lwekang itu.
Ternyata dia sendiri mempunyai tujuan lain, supaya kedua
ilmu mujijat ini tidak terjatuh ketangan orang jahat maka dia
bertekad masuk keistana untuk merebutnya.
"Dia sudah tahu akan kejadian yang menimpa diriku, maka
dia ingin sekali bertemu dengan aku, supaya gambar lukisan
Hiat-to-tong-jin dan ajaran Lwe-kang dari Ci-goanhian itu
menjadi lengkap seluruhnya. Sayang sekali takdir sudah
menentukan belum lagi cita-citanya terlaksana, sebelum dia
bertemu dengan aku. dia sudah mangkat lebih dulu."
"Mendapat pesan dan warisan gurunya Bu-lim-thian-kiau
selalu mencari jejak saudara seperguruannya dari anak didik
bangsa Song dan Liau yang setingkat gurunya itu, suatu hari
akhirnya tiba diatas gunung dimana aku tetirah disana dia
menemukan dua orang Sumoaynya putri dari murid bangsa
Liau. Waktu itu Kok-ham sudah lama pergi, maka mereka
tidak pernah bertemu."
"Mendapat tahu bahwa didalam kuil bobrok diatas gunung
ada seorang Hwesio tua yang aneh tingkah lakunya, segera
dia datang mohon bertemu, pertama kali dia datang kutolak,
kedua kali datang tengah malam, karena gerak gerikku yang
tidak leluasa, aku sedang samadi didalam kamar, kukira dia
sebagai alap2 pemburu dari negeri Kim, maka kulancarkan
ilmu tutuk dari tingkat tinggi, kekuatan jariku menembus
jendela mengincar Hiat-to-nya.
"Dia tidak sampai roboh karena tutukkanku, tapi setengah
badannya kesemutan sekian lamanya baru pulih seperti sedia
kala Tapi karena tutukanku itu, asal usulku secara tidak
langsung sudah terbongkar ilmu tutuk yang kulancarkan
adalah hasil ajaran dari Hiat-to-tong-jin, maka dia lantas tahu
akan asal usul diriku.
"Maka dia utarakan cita2 gurunya semasa hidupnya yangingin
bertemu dengan aku, dikatakan kedatangannya hanya
untuk menunaikan cita2 gurunya saja, secara suka rela dia
hendak menyerahkan empat belas gambar Hiat-to-tong-jin
dan bagian kedua dari Ci-goan-bian itu kepadaku."
"SemuIa aku tidak mau percaya, tapi dia sudah lempar
masuk barang itu kedalam segera kubuka dan kuperiksa,
memang benar dan asli, baru aku mau percaya kepadanya.
Sejak itu dia lantas menjadi sahabatku yang baik."
"Memangnya aku memerlukan ajaran Lwekang Ci-goanbian
bagian kedua, untuk menyembuhkan cacad badanku,
maka kuterima baik pemberiannya itu. Betul juga dalam
jangka tiga bulan, penyakitku sudah sembuh seluruhnya,
kecuali kaki kananku yang belum sembuh betul, aku sudah
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa bergerak seperti manusia umumnya." sampai disini tiba2
dia menghela napas panjang.
"Kenapa ayah menghela napas?" tanya Hong-lay-mo-li.
"Tam Ih-tiong merupakan tunas muda yang paling
menonjol juga dari kalangan pendekar, bicara soal ilmu silat
dan sastra, dia tidak kalah dengan Hoa Kok-ham, cuma
sayang dia adalah bangsa Kim." setelah menghela napas, dia
menengadah dengan pandangan mendelong, mu!utpun
menggumam: "Tapi untung juga dia orang Kim!"
Sudah tentu Hong-lay-mo-li cukup mengerti apa yang
dimaksud dengan igauan ayahnya, Tak terasa hatinya menjadi
masgul dan hambar.
Liu-Goancong juga seperti memikirkan apa2, tiba2 dia
berkata mengawasi putrinya: "Dari cerita Khing Ciau, katanya
Hoa Kok-ham dan Bu-lim-thian-kiau pernah berkelahi, waktu
itu kaupun saksikan kejadian itu, apa sih yang telah terjadi?"
"ltu hanya salah paham belaka."
"Salah paham bagaimana?"
Terpaksa Hong-lay-moli tuturkan kejadian hari itu,
Kata Liu Goan-cong kemudian: "Kalau begitu Hoa Kok-hamlah
yang harus disalahkan. Dia salah mengenali orang, jelas
orang itu sengaja menyamar sebagai Bu-lim-thian-kiau."
"Siapakah orang itu?"
"Dialah orang berkedok yang kau temui didalam taman
istana raja itu."
Hong-lay-mo-li girang, kata-nya: "Ternyata sesuai dengan
rekaanku, untung ayah tahu seluk beluk persoalan mi. Kalau
tidak Tam Ih-tiong akan selalu penasaran. Tokoh macam apa
sih sebenarnya orang berkedok itu?"
"Orang itu bernama Wanyen Tiang-ci, semula menjabat
komandan Gi-lim-kun negeri Kim, belakangan dia meletakan
jabatan, terus mengasingkan diri selama dua puluhan tahun."
"Uh, kenapa?"
"Dia menyembunyikan diri didalam istana untuk
mempelajari gambar tulisan Hiat-to-tongjin dan Lwe-kang
ciptaan Tan Pok yang termuat didalam Ci-goan-bian itu,
sebagai pimpinan tertinggi dari lembaga penyelidikan itu,
kalau orang lain hanya memperoleh petilan2 dari gambar2 dari
ajaran2 itu, sebaliknya dia bisa mengangkangi secara lengkap.
Kini dia muncul lagi dikalangan Kangouw, malah unjuk diri
di Kanglam, tentunya dia sudah berhasil mempelajari ilmunya,
maka dia mau keluar bekerja demi negerinya."
"Tak heran diapun mahir menggunakan ilmu menutup
napas memutus urat nadi, malah permainan silatnya mirip2
dengan Tam Ih-tiong, ternyata kepandaiannya hasil ajaran
dari kedua ilmu mujijat itu."
"Sayang sekali latihannya belum matang betul, Dia sangka
aku sudah meninggal, diluar tahunya bahwa aku masih hidup,
tiga gebrakan setelah adu pukulan, baru aku tahu bahwa
ilmunya belum sempurna."
"Tak heran waktu itu dia kelihatan begitu gugup dan
ketakutan, dikatakan sudah tiada tempat berpijak bagi dirinya
di Kanglam!"
"Ilmu silat orang ini amat tinggi dan banyak ragamnya,
cerdik dan pandai menggunakan otak lagi, setelah lari ke
negerinya, membantu raja Kim yang lalim, betapapun
merupakan bibit bencana bagi rakyat kedua negeri.
Meski ilmunya belum sempurna tapi dalam jaman ini
kecuali aku dan gurumu Kongsun Ih, masih ada seorang lagi
yang kelak pasti akan bisa mengalahkan dia yaitu Kongsun Ki."
"Sayang sekali suhengku itu nyeleweng kejalan sesat. Ai,
mungkin suhengku inilah yang kelak merupakan bibit bencana
yang terbesar, sebagai putra tunggal guru, aku jadi kehabisan
akal cara bagaimana untuk menghadapinya"
"Setelah peperangan ini, aku akan bertandang ke-rumah
gurumu, disamping berterima kasih akan asuhannya terhadap
kau, kukira perbuatan dan kebejatan putranya ini harus
diberitahu kepadanya."
"Guruku berwatak keras dan polos, jikalau tahu akan
semua hal itu, mungkin bisa memukulnya sampai mampus.
Tapi beliau hanya punya seorang putra, setelah
membunuhnya, pasti beliaupun akan menyesal dan memeras
hidupnya, aku, aku merasa tidak tega."
"Lantaran itulah maka aku harus menemui gurumu. Aku
akan bujuk dia untuk memunahkan ilmu silat anaknya, supaya
kelak bisa meninggalkan keturunan."
"Ya, hanya jalan inilah yang harus ditempuh."
Pembicaraan ayah beranak ini amat panjang dan mencakup
banyak persoalan, tanpa terasa dari siang hari mereka
mengobrol sampai hari menjadi gelap. Li Po melarang
siapapun mengganggu mereka, maka santapan malampun
diantara kedalam kamar.
Setelah pembicaraan panjang lebar ini, banyak persoalan
yang mengganjel dalam sanubari Hong-1ay-mo-li boleh dikata
sudah terjawab seluruhnya, setelah makan malam dia, suruh
ayahnya istirahat, seorang diri dia keluar mencari hawa diatas
geladak, biarlah hembusan angin laut yang dingin itu,
membuyarkan kerisauan hatinya, supaya kepalanya dingin dan
perasaan tenang, supaya dia bisa berpikir lebih cermat.
Disaat Hong-lay-mo-li beranjak dengan perasaan hambar,
tiba2 dilihatnya gadis baju putih berdiri di-pinggir dek sana,
itulah San San adanya, orang menghadap kearahnya.
Lekas Hong-lay-mo-li menghampiri sapanya: "Adikku,
kenapa kau mencukur rambut menjadi Nikoh?"
"Siocia, maaf aku tak bisa melayanimu lagi. Aku,
kerisauanku terlalu banyak, tak mungkin dibereskan, setelah
kupikir terpaksa aku menempuh jalanku hari ini."
Mendelu dan getir hati Hong-lay-mo-li, pelan2 dia tarik
tangan orang, katanya: "Dik, untuk menghilangkan kerisauan
hati, sementara boleh juga kau mencukur rambut, bukankah
ayahku juga menjadi Hwesio dan puluhan tahun lamanya,
baru sekarang dia kembali preman."
"Dalam dunia ini aku sudah tidak punya sanak tiada
kandang, terang aku tidak akan kembali jadi..."
"Jadi kau bersumpah tak mau menikah seumur hidup. Em,
begitu baik, supaya kau bisa hidup dengan aman dan tentram.
Eh, aku belum tanya kau, siapakah gurumu itu, sejak kapan
kau angkat guru kepadanya?"
"Memang aku hendak memberitahu, Guruku bergelar Hwisiok,
tapi asal usulnya diwaktu preman adalah kakak dari Bulim-
thian-kiau."
Hong-lay-mo-li merasa diluar dugaan, tanyanya: "Cara
bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?"
"Setelah aku lolos dari cengkraman Kongsun Ki bersama
Khing Ciau, ditengah jalan kami berpisah, setelah Kongsun Ki
digebah pergi, tak nyana dia malah menguntit jejakku, Waktu
itu dia memaksa Siang Ceng-hong menjadi istrinya yang
kedua, sengaja dia biarkan aku pergi bersama Khing Ciau
untuk membuat Siang Ceng-hong cemburu, setelah aku
menempuh perjalanan seorang diri, dia mengejarku lagi.
"Dia gunakan Hoa-hiat-to hendak melukai aku, untung
dengan ilmu kebut yang kau ajarkan itu, sementara aku kuat
bertahan, namun keadaanku sudah amat gawat. Disaat jiwaku
terancam itulah, se-konyong2 irama seruling mengalun dari
atas gunung."
"Bu-lim-thian-kiau telah tiba?" tanya Hong-lay-mo-li.
"Ya, Bu-lim-thian-kiau telah datang! Tapi sebelum Bu-limthian-
kiau memburu datang, keparat itu beruntun melontarkan
tiga kali Bik-khong-ciang, sehingga aku terhantam jungkir
balik dan semaput. Belakangan baru aku tahu bila Bu-limthian-
kiau tidak datang tepat pada waktunya, tentu aku sudah
ajal oleh pukulan beracunnya."
"Sungguh harus disesalkan, aku mempunyai suheng yang
begitu bejat. Akhirnya?"
"Entah berapa lamanya, waktu aku siuman. ternyata aku
berada didalam sebuah kuil, Bu lim-thian-kiau dengan seorang
Nikoh pertengahan duduk disampingku, Nikoh itu adalah
kakak Bu-lim-thian-kiau, yaitu guruku yang sekarang Hwi-siok
Sinni. Berkat rawatan dan pengobatannya luka2ku sembuh
dengan cepat, setelah segar bugar aku lantas angkat guru
kepadanya, mencukur rambut menjadi Nikoh."
"Apa dia sudah tahu asal usulmu?"
"Sudah kututurkan kepadanya, setelah tahu riwayat hidup
dan sebagai pelayanmu, Suhu semakin sayang kepadaku.
Ternyata dia memang punya suatu maksud."
"Aku tahu apa maksud hatinya." tukas Hong-lay-mo-li
dengan muka merah.
San San tertawa, katanya: "Siocia, aku tahu isi hatimu
secara tidak langsung sudah kujelaskan kepada Suhu bahwa
kau sudah punya pujaan hati. Akhirnya dia minta kepadaku
supaya memberitahu keadaan adiknya kepadamu"
Merah muka Hong-lay-mo-li, tapi tak tertahan dia bertanya:
"Bu-lim-thian-kiau kenapa?"
"Tidak apa2, sejak pulang dari Ling-an dia jatuh sakit.
akulah yang merawatnya di dalam kuil itu. Dua hari lamanya
badannya panas membara, sering pingsan dan mengigau,
selalu menyebut namamu."
"Sekarang sakitnya sudah sembuh?"
"Kesehatan badannya sudah pulih. Luka2 hatinya, aku tidak
bisa mengatakan. Kakaknya sering berkhotbah kepadanya,
tapi badannya kelihatan kurus, belakangan sikapnya selalu
dingin tidak suka bicara. Aku tidak berani menyinggung
namamu dihadapannya."
"Waktu dia masih sakit Yalu Hoan-ih dua kali
mengunjunginya, memberitahu akan pertemuan kaum
perampok di Hwi-liong-to. Setelah sakitnya sembuh, dia lantas
meninggalkan Ci-hun-am, katanya mau ke Hwi-liong-to untuk
menemui para kawan dari Kang-ouw."
"Kenapa beberapa hari ini tidak kelihatan bayangannya"
Bukankah dia kemari bersama kalian?"
"Tidak. Dia berangkat lebih dulu, Belakangan kuingat
bahwa Lam-san-hou pasti juga berada di Hwi-liong-to, kuduga
Siocoa pasti akan meluruk kesinr juga. Maka kuutarakan isi
hatiku kepada Suhu, dan mohon diri kepadanya, Tak nyana
Suhu malah mau pergi juga.Katanya mau menemui kau, ingin
melihat orang macam apa sebenarnya kau ini, sehingga
adiknya jatuh hati ke-pati2."
Sampai disini pembicaraan mereka, se-konyong2 terdengar
suara siulan panjang yang melengking terbawa hembusan
angin laut, Hong-lay-mo-li melengak. Katanya dengan suara
rendah: "ltulah siulan Siau-go-kan-kun."
Tampak sesosok bayangan orang tengah mendatangi,
itulah ayah Hong-lay-mo-li Liu Goan-cong adanya. Katanya
tertawa: "Yau-ji, sudah kentongan ketiga, kau belum lagi
tidur?" "Yah, coba dengar, bukankah itu siulan Hoa Kok-ham?"
"Ya, memang siulannya, Malam sudah selarut ini, dia belum
tidur juga, agaknya sedang berkobar rasa senang hatinya."
habis berkata lalu dia bersenandung, habis senandung diapun
ikut bersiul dengan suaranya yang nyaring panjang dan
bening. Lapat2 berpadu dengan siulan Hoa Kok-ham.
Hong-lay-mo-li tertawa, katanya: "Yah, jangan kau bikin
orang lain kaget dan terjaga dari tidurnya."
"Hari ini hatiku terlalu gembira, Ya, malam sudah berlarut
tidak pantas mengganggu tidur orang, marilah istirahat."
Dari siulan Koa Kok-ham Hog-lay-mo-li dapat merabakan
perasaan hatinya, sudah tentu malam ini dia gulak gulik tak
bisa pulas. Disebuah kapal yang laih, Hoa Kok-ham sendiripun
tidak bisa tidur.
Hoa Kok-ham satu kapal bersama teman baiknya Th:-pitsu-
seng Bun Yat-hoan, Dasar suka mencampuri urusan orang
lain, Bun Yat-hoan memuji Hong-lay-mo-li setinggi langit,
serta menganjurkan Siau-go-kan-kun untuk meminangnya,
malah dia ajukan dirinya suka menjadi jombIang, sudah tentu
Hoa Kok-ham hanya menyengir saja akan banyolannya,
terpaksa dia layani ala kadarnya saja, setelah Bun Yat-hoan
jatuh pulas, dia sendiri belum juga bisa tidur.
Akhirnya dia kenakan baju luarnya, secara diam2 ngeloyor
keluar, Hatinya sedang gejoIak, maka ingin dia melihat
pemandangan malam dilautan teduh.
Gelombang lautan mengalun timbul tenggelam, demikian
pula perasaan Hoa Kok-ham ikut timbul tenggelam pula,
terbayang akan kenangan lama selama ini, hatinya serasa
hambar dan seperti kehilangan apa2.
Disaat dia terlongong menatap kearah kejauhan di ufuk
timur sana, tiba2 didengarnya suara seorang perempuan
berkata dengan suara hening dingin: "Apakah ini Hoa
Tayhiap" Beruntung dapat bersua disini, Pinni mohon maaf
akan kelancanganku ini!"
Waktu Hoa Kok-ham berpaling dilihatnya seorang Nikoh
pertengahan umur berdiri dihadapannya, Hoa Kok-ham tahu
orang adalah Nikoh yang bersama dengan dayang Hong-laymo-
li itu, meski hati ter-heran2 dan tak mengerti, segera dia
membalas hormat, katanya: "Aku yang rendah memang Hoa
Kok-ham, sebutan Tayhiap sungguh tidak berani kuterima."
Sungguh tak kira basa basi yang sudah umum ini justru
mendapat sindiran pedas dari si Nikoh, Katanya dingin: "Orang
sama memanggilmu Siau-go-kan-kun, ternyata kaupun punya
kepandaian tahu apa yang bakal terjadi."
Tegak alis Hoa Kok-ham, katanya setelah melenggong:
"Aku tidak setimpal menjadi Tayhiap, tapi jalan kebenaran dan
jiwa pendekar, sedikitpun tidak pernah kuabaikan, Entah
perbuatan apa yang salah ku-lakukan, sampai Taysu
mengolokku begini rupa?"
"Demi seorang perempuan, kau menuntut balas dendam
pribadi tanpa pikirkan kepentingan umum, sebagai orang yang
tidak setia terhadap teman. Dengan jiwa yang sempit seperti
ini, apakah itu kelakuan seorang pendekar?"
Bergetar hati Hoa Kok-ham, berubah mukanya, katanya:
"Maksudmu karena peristiwa di Siau-hou-san waktu aku
menempur Bu-lim-thian-kiau itu?"
"Tidak salah Bukankah Bu-lim-thian-kiau adalah teman
karibmu?" "Semula memang. Tapi dia adalah pangeran negeri Kim,
hari itu, aku... aku..." seluk beluk persoalan ini amat rumit,
Siau-go-kah-kun kehilangan kontrol dan tidak tahu cara
bagaimana harus memberi penjelasan.
"Kau kenapa?" Nikoh itu mendesak lebih lanjut. "Kau mau
berkata salah paham bukan?"
"Benar, Karena dia seorang pangeran Kim maka jika jahat
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa dia melakukan tindakan yang tidak menguntungkan bagi
negeri Song kita, kebetulan malam itu terjadi peristiwa
pembunuhan itu, aku salah paham bahwa dia adalah
seseorang lain itu."
"Kau katakan salah paham, sebaliknya aku mau berkata
kau memang sengaja berbuat demikian karena rasa sirik dan
jelus, kau sedang cari alasan untuk menyingkirkan duri
didepan matamu, kukatakan kau membalas budi pekerti
dengan kebencian."
Berubah hebat air muka Hoa Kok-ham mendengar cercahan
ini, katanya naik pitam: "Taysu, terlalu cupat pandanganmu
menilai pribadi aku orang she Hoa! Aku yakin bukan manusia
serendah seperti yang kau katakan! Harap tanya cara
bagaimana aku membalas budi dengan kebencian?"
"Tentang pasukan besar negeri Kim akan menyerbu ke
selatan. bukankah Bu-lim-thian-kiau yang pertama kali
memberi kabar kepadamu?" Siau-go-kan-kun mengiakan.
"Kau agulkan diri sebagai pendekar pembela nusa dan
bangsa, dengan kabar yang dia bocorkan kepadamu, sehingga
negeri Song kalian bisa bersiap dan siaga, merupakan suatu
keberuntungan besar bagi rakyat negerimu, bagimu sendiri
bukankah merupakan suatu budi besar pula?"
Tertusuk perasaan Hoa Kok-ham, katanya: "Memang benar
ucapanmu, memang tidak pantas aku menaruh curiga
terhadapnya, Memang waktu itu aku rada gegabah, jadi bukan
sengaja, sengaja..."
Nikoh itu tertawa dingin, tukasnya: "Sengaja atau tidak,
hanya kau sendiri yang tahu, Kau memukulnya sampai luka
parah. ini merupakan kenyataan. Baik, sekarang kutanya kau
pula, kau salah sangka bahwa dia adalah seorang yang lain,
jadi kau sudah tahu bahwa orang berkedok yang muncul
malam itu bukan dia?"
"Ya, sudah tahu, Tapi baru kemaren kuketahui dari
penjelasan seorang Lo-cianpwe. Aku menyesalpun sudah
kasep." Mendapat angin si nikoh mendesak lebih lanjut, kataiiya:
"Baik sekali, ingin kutanya pula, bagamana kepandaian silat
Bu-lim-thian-kiau dibanding dirimu?"
"Setanding alias sama kuat"
"Orang berkedok itu?"
"Belum pernah bergebrak jadi belum bisa mengukur
kepandaiannya. Tapi dinilai dari gerak geriknya, kalau harus
melawannya, mungkin belum tentu aku bisa mengalahkan
dia." "Nah, itulah, bila malam itu Bu-lim-thian-kiau bergabung
dengan orang berkedok itu mengeroyokmu, Hoa Tayhiap
jiwamu mungkin sudah amblas sejak malam itu. Dia rela
melawanmu seorang diri, menaruh belas kasihan lagi,
sehingga kau sempat memukulnya luka parah, tentunya sejak
lama kau sudah tahu bahwa dia amat penasaran akan
tuduhanmu. Kau menyesal tidak?"
Rona muka Hoa Kok-ham berubah ganti berganti,
tanyanya: "Siapa kau" Darimana kau bisa tahu urusan sejelas
dan sebanyak ini?"
"Masih ada yang tidak kau ketahui setelah berhasil mencuri
pusaka dari istana raja negeri Kim, ayah Liu Jing-yau akhirnya
tanpa daksa selama dua puluh tahun tidak bisa disembuhkan,
kenapa didalam waktu singkat belakangan ini mendadak bisa
sembuh" Kau tahu jasa2 siapa?"
"Memangnya Tam Ih-tiong yang tolong mengobatinya?"
tanya Hoa Kok-ham hambar. Dia tahu keadaan Liu Goancong,
untuk menyembuhkan cacat kakinya orang perlu tiga tahun
lagi baru berhasil menjebol urat nadinya yang sudah beku dan
buntu, maka diapun merasa heran bahwa Liu Goan-cong
sembuh begini cepat.
Tapi diapun tahu jelas bahwa Bu-lim-thian-kiau sedikitpun
tidak pandai ilmu pertabiban.
"Cacat Liu Goan-cong memang bukan disembuhkan oleh
pengobatan ilmu pertabiban, tapi terpautnya tidak jauh. Yang
benar empat belas gambar lukisan Hia-to-tong-jin dan bagian
kedua dari Ci-goan-bian peninggalan guru Bu-lim-thian-kiau
diberikan kepada Liu Goan-cong, maka didalam jangka tiga
bulan Liu Goan-cong berhasil menembus Im-wi dan Yang-wi
dua urat nadi penting dibadannya yang buntu, sehingga dia
bisa berjalan lagi."
Siau-go-kan-kun amat terperanjat maklumlah Hiat-to-tongjin
dan Ci-goan-bian merupakan pusaka kaum persilatan yang
diincar oleh kaum Bulim. Kalau apa yang dikatakan si Nikoh
benar adanya, maka budi pertolongan ini tentu jauh lebih
berharga daripada Tam Ih-tiong menolongnya langsung
dengan ilmu pengobatan..."
Nikoh pertengahan umur itu tertawa dingin, katanya: "Kau
tidak percaya" untung ayahnya berada diatas kapal yang lain,
besok pagi boleh kau langsung tanya kepadanya! Hehe,
ayahmu adalah sahabat karibnya, ternyata diapun tidak
jelaskan soal ini kepadamu."
Betapa pedih dan luluh hati Hoa Kok-ham, katanya : "Tak
usah tanya lagi, aku percaya akan keteranganmu, Tapi Kau
bisa tahu semua persoalan ini demikian jelas, siapa kau
sebenarnya?"
"Aku adalah kakak Tam Ih-tiong, aku tahu bahwa adikku
mencintai Liu Jing-yau setulus hatinya sebetulnya mereka
sudah tahu sama tahu! Kenapa" Kau cemburu" Atau Sirik dan
benci" Atau sediih hati" Hari itu kau bertekad membunuh
adikku, sekarang aku melukai hatimu lagi, kaupun boleh
bunuh aku untuk lampiaskan kedongkolan hatimu! Tapi aku
membeber kenyataan, kau tidak akan bisa menghapus
kenyataan ini."
Bagai kemasukan setan sikap Hoa Kok-ham, tiba2 dia
bersiul panjang melengking dengan hebatnya, begitu keras
dan dahsyat siulannya laksana pekikan naga sehingga
burung2 camar kaget, gelombang ombakpun mendampar
semakin dahsyat
Sudah tentu Nikoh pertengahan umur ini tahu bahwa Hoa
Kok-ham tidak akan membunuh dirinya, tapi karena siulan
menggila dari Hoa Kok-ham yang mendadak ini, diapun
terperanjat sampai menyurut mundur selangkah.
Setelah tenang hatinya, sikap Hoa Kok-ham seperti orang
loyo, katanya pelan2: "PuIanglah beritahu kepada adikmu,
katakan bahwa aku rela mengalah kepadanya." suaranya
mendelu dan serak, kedengarannya sumbang dan pilu.
Karena tujuan sudah tercapai si Nikoh yaitu Hwi-siok Sinni
segera merangkap kedua telapak tangan, katanya setelah
bersabda Budha: "Lebih cepat kau keluar dari gelanggang,
lebih cepat kau lulus dari kerisauan hati, Hoa Tayhiap ternyata
memang seorang yang tahu diri, seorang yang cerdik, Kalau
begitu sekarang pinni mohon diri."
Hwi-siok Taysu pergi dengan hati riang karena keinginan
sudah tercapai, sebaliknya Hoa Kok-ham tetap berdiri
mematung, hatinya kosong melompong.
Mendengar siulannya, Bun Yat-hoan tersentak bangun dan
memburu keluar, tak lama kemudian Ong Ih-ting juga ikut
keluar, mereka kira terjadi apa2.
"Kok-ham," ujar Bun Yat-hoan tertawa "Seorang diri apa
yang sedang kau lakukan disitu" kukira kau kebentur sesuatu
diluar dugaan?"
Hoa Kok-liam tersentak sadar, sahutnya: "Tidak apa2,
karena terlalu iseng aku bersiul sampai membuat kaget
kalian." Melihat sikap dan roman muka orang yang kurang wajar,
Bun Yat-hoan bertanya: "Apakah hatimu rada kurang enak."
"Tidak, tidak apa2."
Pada saat itulah siulan panjang Liu Goan-cong kumandang
dari kejauhan sana.
Ong Ih-ting tertawa: "Liu Lo-cianpwe agaknya juga terlalu
iseng, besok boleh kau ajak dia membicarakan soal Lwekang,
sekarang, tiba saatnya untuk tidur." sementara dalam hati dia
membanting tingkah laku Hoa Kok-ham memang aneh,
julukan "Pendekar Latah" kiranya memang tidak bernama
kosong. Hari kedua tepat tengah hari barisan kapal ini mulai
memasuki muara Tiangkang, para Cecu yang berpangkalan di
gunung dan orang2 gagah semua mendarat disini, semua
menuju kearahnya sendiri2, sementara para Cecu yang
berkuasa diperairan tetap tinggal diatas kapal, direncanakan
terbagi dua rombongan rombongan pertama dibawah
pimpinan Ong Ih-ting kembali ke Thayouw mengerahkan
segala kekuatan dari tiga belas pangkalan disana serempak
melawan serbuan pasukan Kim, rombongan kedua dipimpin Li
Po, berpangkalan di Tiangkang, berjajar dan kerja sama
dengan pasukan air Loh Bun-ing.
Hong-lay-moli bersama ayahnya, Cin Long-giok. Khing Ciau,
San San dan lain2 mendarat disini, Cin Long-giok ingin
mengajak San San pulang ke Kiang-im, tapi San San
menjawab: "Tidak, kini aku sudah menjadi murid Budha, aku
harus ikut guruku." Khing dan Cin tahu isi hatinya, terpaksa
mereka melepasnya pergi.
Sementara itu Liu Goan-cong melihat Siau-go-kan-kun
sedang berjalan dalam rombongan orang banyak dengan
kepala tertunduk, segera dia memapak kesana, katanya
tertawa:" Hian-tit, banyak terima kasih akan bantuanmu
menemukan puteriku, katanya kalian sering bertemu. tapi
sebelum ini Yau-ji belum tahu akan hubungan keluarga kita,
kini dia sudah tahu. Hayolah Yau-ji, beri hormat kepada Hoasiheng."
Hong-lay-mo-li memberi hormat, katanya: "Terima kasih
akan budi pertolongan Siheng, Terima kasih, terima kasih
akan kadomu." teringat akan pemberian "kacang merah" tak
terasa merah malu selebar mukanya.
Mehhat orang menyinggung kadonya dengan mimik muka
yang malu2 lagi, tergerak hati Hoa Kok-ham, tapi lekas dia
berpikir: "Dia sudah menjadi milik Bu-lim-thian-kiau, Hoa Kokham,
kenapa kau mencari kerisauan melulu!" segera dia belas
menghormat, katanya tawar: "Sebetulnya aku tidak membantu
apa2, untunglah kalian ayah beranak sudah kumpul, terhitung
sudah selesai tugasku, Liu-lopek tiada pesan apa lagi bukan"
Maaf siautit hendak mohon diri lebih dulu."
Liu Goan-cong melenggong, katanya: "Hoa-hiantit, kau
tiada urusan penting lagi bukan" Loh-ciangkun sedang perlu
bantuan, mari kau ikut aku kesana, bagaimana?"
"Hal ini..."
"Dengan ayahmu aku sudah angkat saudara umpama
saudara kandung sendiri, terhitung kita keluarga sendiri, kalian
umpama saudara kandung pula, kenapa harus sungkan
sepanjang jalan ini boleh kita membicarakan ilmu2 silat."
"Terima kasih akan maksud baik Lopek." sahut Siau-go
kan-kun, "Soalnya siautit ada janji dengan seorang teman,
tidak enak bila aku tidak menepatinya, Terpaksa biarlah lain
kesempatan saja, biar siautit mohon petunjuk kepada Lopek."
Liu Goan-cong kurang senang, tapi Hoa Kok-ham sudah
menampik secara halus, terpaksa dia bilang: "Kalau demikian,
setelah urusanmu selesai kuharap kau selekasnya menyusul
kami di Jay-ciok-ki. Yau-ji, antarlah Toakomu."
"Tidak usahlah," segera Hoa Kok-ham menampik, "Nona
Liu, peristiwa di Siau-hou-san tempo hari sungguh membuat
hatiku tidak tentram, kini aku sudah tahu kesalahan memang
berada dipihakku. maka aku mohon maaf kepadamu."
Hong-lay-mo-li kikuk dan serba susah pula, katanya dengan
tertawa dipaksakan: "Kejadian yang sudah lalu buat apa
disinggung lagi?"
"Benar, kalau nona Liu tidak ambil dihati, maka legalah
hatiku." setelah memberi hormat segera dia putar badan
mengejar kearah Thi-pit-su-seng Buh Yat-hoan.
Bun Yat-hoan keheranan, katanya: "Lho, kenapa kau ikut
aku, seharusnya kau bersama keluarga Liu ayah beranak."
"Jangan banyak omong, mari bertanding Ginkang dengan
aku. aku berani pastikan, kau tidak akan mampu mengejarku!"
Terpaksa Bun Yat-hoan mengejarnya dengan kencang.
Lapat2 Liu Goan-cong mendengar percakapan mereka, tapi
betapa hebat ilmu Ginkang mereka, dalam sekejap saja, sudah
hilang tak kelihatan lagi.
Hong-lay-mo-li merasa hambar. Liu Goan-congpun geleng2
kepala, ujarnya: "Entah kalian anak2 muda sedang main
purikan apa" Kok-ham memang terlalu membawa adatnya
sendiri." "Ayah biarlah dia pergi." kata Hong-lay-mo-li dengan
hambar dan sedih. "selama hidupku biar aku meladeni ayah
saja, soal nikah segala tak usah disinggung lagi."
Tergerak hati Liu Goan-cong, katanya: "Kok-han
menyinggung kejadian di Siau-hou-san, se-olah2 dia sudah
tahu duduk perkaranya, kalau tidak masakah dia mau
mengaku salah. Tapi kenapa dia minta maaf kepadamu?"
"Ti... tidak apa2." sahut Hong-lay-mo-li dengan muka
merah, "Dia, dia kira aku berat sebelah dan membela Bu-limthian-
kiau." Dari pembicaraan semalam dan jawaban Liu Jing-yau
sekarang Liu Goan-cong sudah bisa berkesimpulan, katanya
menghela napas: "Urusan kalian bikin aku risau saja, baiklah,
ini urusan masa depanmu, biar kau sendiri yang memberi
keputusan. Tapi kau katakan tak mau nikah seumur hidup
segala, ini ucapan anak2 belaka."
Hong-lay-mo-li tertawa, katanya: "Kita ayah beranak
berpisah dua puluhan tahun, hari ini bersua kembali, tibalah
saatnya aku menebus baktiku kepada ayah, biarlah aku
menemani ayah untuk beberapa tahun lamanya?"
Disamping berduka dan haru, Liu Goan-cong tertawa pula
dengan berlinang air mata, katanya: "Benar, putriku sudah
kembali di haribaanku, apa pula yang harus kucari" Yang
terang aku masih harap kau lekas berkeputusan. Kalau
sekarang kau sedang risau, boleh sementara tak usah kau
pikirkan soal perjodohan, setelah peperangan ini berakhir baru
kita perbincangkan lagi."
Maksud Hong-lay-mo-li hanya untuk menghibur ayahnya,
tapi kerisauan hatinya belum terlampias juga. Tiba2 teringat
olehnya akan kabar yang diberitahu oleh San San, bahwa Bulim-
thian-kiau juga datang ke Hwi-liong-to, tapi kenapa tidak
kelihatan bayangannya" Sudah tentu Hong-lay-moli tidak tahu.
Bulim-thian-kiau saat maha sedang berada dpuncak gunung
yang tidak jauh dari mana dia berada, orang sedang mengharap2
cemas akan kedatangannya.
Tapi dia hanja ingin melihatnya saja dari kejauhan, itu
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah lebih dari cukup untuk memuaskan hatinya, yang
terang dia tidak ingin bertemu muka.
Memang semula Bu-lim-thian-kiau ingin meluruk ke Hwi
liong-to lantaran dia, tapi belakangan dia merubah niatnya,
juga lantaran dia pula.
Ternyata ditengah perjalanan tiba2 dia teringat, kalau dia
hadir di pertemuan besar di Hwi-liong-to itu, bukan saja bisa
bertemu dengan Hong-lay-mo-li, sekaligus juga akan bertemu
dengan Siau-go-kan-kun. Maka terbayanglah adegan yang
terjadi di Siau-hou-san tempo hari.
Beberapa hari lamanya Bu-lim-thian-kiau mondar mandir
dipesisir laut, akhirnya dia berkeputusan "Kejadiaa seperti hari
itu jangan sampai terulang lagi. Yang perempuan adalah gadis
pujaanku, yang laki2 adalah ksatria perkasa yang kukagumi,
dari pada ketiganya sama2 terluka lahir batin, biarlah derita ini
kupikul seorang diri!" demikian akhirnya Bu-lim-thian-kiau rela
berkorban sendiri
Setelah membatalkan niatnya pergi ke Hwi-liong-to,
sebetulnya langsung hendak pulang kekampung halaman
selanjutnya tidak usah bertemu lagi dengan Hong-lay-mo-li
dan Siau-go-kan-kun, namun berat dan sukar dia pergi begitu
saja, Pikirnya: "Aku tak bisa pergi ke Hwi-liong-to. Tapi aku
melhat mereka pulang dengan selamat, baru dengan lega hati
aku tinggalkan tempat ini." karena pikirannya Ini, siang malam
dia menunggu mereka pulang.
Hari itu seperti biasa dia berada dipuncak gunung
memandang jauh ketengah lautan, duduk berdiri hatinya jadi
tidak tentram, dilihatnya iringan kapal2 itu sudah mendarat,
paling lama satu jam lagi Hong-lay moli bakal lewat dari
bawah gunung ini. "Apakah dia sudah rujuk kembali dengan
Siau-go-kan-kun" Hari ini pulang bersama" Ai Hong-lay-mo-li
pasti tidak mengalami bahaya diatas Hwi-liong-to?"
Hatinya semakin gundah maka dia masuk kedalam hutan
lalu meniup serulingnya, agaknya berusaha menekan gejolak
hatinya, setengah jam kemudian baru naik kepuncak lagi
memandang kebawah Kalau Hong-lay-mo-li dan Siau-go-kankun
berada dalam kapal2 itu, saat mana tentu mereka juga
sudah mendarat dan berada ditengah perjalanan
Belum lagi tiupan lagu serulingnya berakhir, tiba2
didengarnya sebuah suara dingin berkata: "Tam kongcu, asyik
benar kau berada disini!"
Bu-lim-thian-kiau kaget, segera dia hentikan tiupan
serulingnya sambil berpaling, tampak seorang laki2 berpakaian
baju hijau berusia empat puluhan, kedua biji matanya berkilat
terang, tangannya memegang sebatang tongkat bambu hijau,
seluruh badannya dibungkus serba hijau, sehingga
kelihatannya amat menyolok dan seram.
Dengan kepandaian Bu-lim-thian-kiau sekarang, meski
hatinya tidak tenang, tapi orang ini sudah dekat didepannya
baru dia mengetahui terang kepandaiannya tidak berada
dibawah dirinya.
Setelah kaget dan melihat jelas, kembali Bu-lim thian-kiau
melenggong, teriaknya tertahan: "Apakah, kau Wanyenciangkun?"
"Tam-kongcu," laki2 baju hijau tertawa dingin, "kau masih
ingat kepadaku?" ternyata orang ini dulu adalah komandan Gilim-
kun diistana negeri Kim yaitu Wanyen Tiang-ci adanya.
Dulu waktu mengundang para tokoh2 kosen persilatan masuk
kedalam lembaga penyelidikan dua ilmu pusaka persilatan,
dialah yang menjadi pemimpinnya"
"Wanyen Ciangkun." ujar Bu-lim-thian-kiau, "untuk apa kau
datang ke Kanglam?"
Wanyen Tiang-ci tertawa dingin, katanya: "pertanyaan ini
seharusnya kutujukan kepadamu, kau ini pangeran negeri
Kim, menyelundup ke Kanglam secara diam2, apa kerjamu
disini?" "Aku tidak punya jabatan tidak punya pangkat, aku suka
kemana, memangnya perduli apa dengan kau?"
"Karena kau pangeran negeri Kim, maka aku berhak
mengawasimu! Negeri Kim dan dynasti Song bermusuhan,
kedudukan tinggi sebagai pangeran dinegeri Kim tidak mau
kau jabat, toh kau juga tidak mendapat perintah dan tugas
dari raja. secara pribadi kau melarikan diri kenegeri musuh, itu
berarti pengkhianat, apa tidak boleh aku mengurus kau?"
"Bahwasanya aku memang tidak setuju kalian main
kekuatan dan membuang2 harta untuk menjajah negeri lain,
akupun tidak pandang negeri Song sebagai musuh negeri."
"Tam Ih-tiong!" bentak Wanyen Tiang-ci, "berani kau
berontak ya!"
"Wanyen Tiang-ci, kau punya ambisi buruk dan mengejar
kedudukan tinggi, membantu kelaliman sehingga raja semakin
sewenang2. Kalau peperangan ini benar2 terjadi, jelas
merupakan bencana besar bagi rakyat negeri Song,
memangnya apa pula manfaat yang diperoleh rakyat negeri
Kim kita?"
"Ternyata kau memang menentang dan berontak kepada
Baginda, membela musuh malah! Hm, apakah kau yang
berikan gambar Hiat-to-tong-jin dan sisa Ci-goan-bian itu
kepada Liu Goan-cong?"
"Memangnya itu hasil karya Tan Pok dari negeri Song
mereka. umpama benar kuberikan kepada Liu Goan-cong, itu
berarti kukembalikan kepada bangsa Song. Karena kejahatan
dan kekejaman kalian sehingga keluarga Liu Goan-cong
berantakan dan badan cacat, aku kembalikan buku mengobati
luka2nya, bicara terus terang, itu berarti menebus dosa2
kalian!" Wanyen Tiang-ci gusar, damratnya: "Kau sekongkol dan
berkomplot dengan musuh, bukti sudah nyata, berani juga kau
berdebat segala" Baik, kalau kau berani bicaralah langsung
kepada Baginda raja!"
Maklumlah yang membuat Wanyen Tiang-ci murka adalah
karena soal ini, dengan tekun menggembleng diri Wanyen
Tiang-ci mempelajari kedua ilmu mujijat itu, semula dia kira
kelak dirinya bakal malang melintang didunia tanpa tandingan,
siapa tahu Liu Goan-Congpun memperoleh seluruh pelajaran
kedua ilmu mujipat itu secara lengkap juga, sehingga
kepandaiannya setingkat lebih tinggi.
Gebrak pertama kali diistana raja Song tempo hari
membuat dirinya ngacir mencawat ekor, kejadian itu
merupakan penghinaan besar bagi pamor dan gengsinya.
Kalau diusut sebab musabahnya lantaran gara2 Bu-limthian-
kiau yang memberikan buku2 itu kepada Liu Goan-cong,
Maka penasaran hatinya selama ini harus dia lampiaskan
kepada Bu-lim-thian-kiau.
Tegak alis Bu-lim-thian-kiau, ejeknya: "Kalau aku tidak sudi
kau mau apa?"
"Jikalau kau masih mengaku diri sebagai pangeran negeri
Kim, kuhormati kau. Kini kau sudah menjadi pehgkhianat
bangsa dan memberontak kepada raja, berkomplot dengan
musuh lagi, aku tidak perlu pandang kau sebagai pangeran
segala, kau kira aku masih sungkan terhadapmu?"
"Bagus, Wanyen Ciangkun, mari silakan kau turun tangan!"
"Tidak kau terima dlringkus. masih ingin aku turun tangan"
Baik, orang lain takut kepada Bu-lim-thian-kiau, ingin aku
melihat sampai dimana kau berani terberang begini rupa.
Awas, sambut serangan ini."
Berbareng tongkat hijaunya terangkat, dimana tongkat itu
berkelebat menjadi bayangan hijau, dalam sekejap bayangan
Wanyen Tiang-ci se-olah2 menjadi tujuh delapan banyaknya,
serempak merangsak dari berbagai penjuru mengincar Kiking-
pat-meh ditubuh Bu-lim-thian-kiau.
Lekas Bu-lim-thian-kiau juga ayunkan serulingnya, diapun
menaburkan bayangan seruling yang memutih, maka
terdengarlah suara trang tring dari benturan kedua senjata,
dalam sekejap mata tongkat Wanyen Tiang-ci dan seruling Bulim-
thian-kiau saling bentur sebanyak tiga puluh enam kali,
tongkat bambu itu tak mampu menghancurkan seruling,
seruling juga tidak mampu membuat tongkat itu putus.
"Suuuiitt!" dimana seruling Bu-lim-thian-kiau ditiup,
menyamberlah segulung hawa murni disertai suara
melengking yang tajam, terasa panas dan membakar kulit.
Lekas Wanyen Tiang-ci kebut lengan bajunya menimbulkan
segulung angin dingin mematahkan samberan hawa panas,
sebat sekali kakinya berkisar, gerak tubuhnya teramat cepat,
tahu2 orangnya sudah berputar ke belakang Bu-lim-thian-kiau,
dimana tongkatnya terayuh menutuk Toa-cui-hiat.
Tanpa berpaling kepala, Bu-lim-thian-kian lintangkan
telapak tangan laksana golok, dengan sejurus Hian-niau-hoatsa
(burung sakti menggaris pasir), tahu2 tangannya mengiris
kebelakang, Wanyen Tiang-ci mendengus, tongkatnya
menutul tanah, sebat sekali badannya berputar dan
menyingkir kesamping.
Wanyen Tiang-ci mengejek dingin: "Kepandaian menutup
hawa memutus urat nadi yang bagus, kau bisa memangnya
aku tidak bisa" Diberi tidak membalas kurang hormat, nah
kaupun sambutlah serangan-ku!"
Kelima jarinya menjadi rapat lalu terayun ditengah udara,
maka terdengarlah suara mendesis yang ramai, pergelangan
tangan Bu-lim-thian-kiau seketika terasa sedikit kesemutan,
lekas dia kerahkan hawa murninya, dimana mulutnya meniup
segulung hawa murni untuk memapak jentikan tenaga dingin
lawan, tapi tak urung napasnya sedikit memburu dan tersurut
mundur tiga langkah.
Wanyen Tiang-ci gelak2, serunya: "Kau sudah tahu
kelihayanku?" kedua pihak sama2 menggunakan ilmu
menutup hawa memutus urat nadi, tapi roman muka Wanyen
Tiang-ci tenang dan wajar, kelihatannya tidak cidara apa2,
terang dalam bidang ilmu ini dia lebih unggul setingkat dari
Bu-lim-thian-kiau.
Lekas Bu-lim-thian-kiau sampuk serulingnya menangkis
tongkat bambu lawan, bentaknya: "Kau, jadi kaulah
pembunuh Ko-gwat Sian-su!"
"Baru sekarang kau tahu?" ejek Wanyen Tiang-ci dengan
tertawa besar. "Kurangajar, kalau secara terang2an kau bunuh Ko-gwat
Siansu itu perbuatan laki2 jantan, kenapa kau menyaru diriku,
membunuh orang secara sembunyi2?"
"Malah aku menyaru dirimu menemiu Gui Liang-seng itu
menteri kerajaan Song pula, sengaja supaya Siau-go-kan-kun
mengetahui jejakku, kau belum tahu?"
Serasa, hampir meledak dada Bu-lim-thian-kiau mendengar
pengakuan orang. makinya: "Kau sebagai seorang jenderal
dari negeri Kim, namun tidak tahu malu melakukan perbuatan
keji dan rendah seperti ini!"
Wanyen Tiang-ci gelak2, katanya: "Goblokmu sendiri! Yang
terang aku ingin supaya kau tidak dapat bercokol diantara
para pendekar dari negeri Song, tujuanku hanya untuk
menolongmu juga, supaya kau tidak sekongkol dengan
musuh, kau tidak berterima kasih akan usahaku. berbalik
memakiku, memangnya kau tidak tahu kebaikkan."
Saking gusar Bu-lim-thian-kiau serasa tenggorokannya
tersumbat, seruling diayun, dengan gencar dia menyerang.
"Tam-pwecu," jengek Wanyen Tiang-ci, "Kau hendak adu
jiwa" Baik, jangan kau salahkan kalau aku tidak kasihan lagi
kepadamu."
Ilmu yang dipelajari Bu-lim-thian-kiau dari Hiat-to-tong-jin
dan Ci-goan-bian sudah tentu tidak selengkap dan sempurna
seperti yang diyakinkan Wanyen Tiang-ci, tapi ilmu silat
perguruannyapun amat luas dan digdaya, merupakan ilmu
silat tingkat tinggi yang lihay sekali, maka kalau diukur dan
dinilai kepandaian kedua orang, masing2 memiliki
kelebihannya sendiri2, menurut teori Bu-lim-thian-kiau masih
mampu menandingi Wanyen Tiangci.
Sayang sekali belum lama ini dia jatuh sakit, meski sudah
sembuh tapi kesehatanya belum sembuh seratus persen,
semangat tempurnya tidak segairah sebelumnya. Dibawah
rangsakan Wanyen Tiang-ci laksana hujan badai, lima puluh
jurus kemudian, dia sudah rasakan tenaganya semakin lemah,
jelas dirinya takkan kuat melawan lebih lama.
Untunglah disaat2 Bu-lim-thian-kiau menghadapi situasi
yang krisis ini, mendadak terdengarlah suara gelak tawa yang
panjang kumandang ditengah angkasa, begitu keras dan kuat
gelak tawa ini sampai daon2 pohon rontok berhambur,
burung2 terkejut beterbangan. Ternyata Siau-go-kan-kun
mendadak datang, di-belakangnya mengejar datang pula Thipit-
su-seng Bun Yat-hoan.
Ternyata kebetulan mereka lewat dari bawah gunung,
mendengar suara pertempuran sengit diatas sini, lekas mereka
belok kearah sini untuk melihat apa yang terjadi, Meski jarak
masih cukup jauh, tapi perdebatan Bu-lim-thian-kiau dan
Wanyen Tiang-ci barusan sudah didengarnya dengan jelas.
Siau-go-kan-kun membentak: "Jadi kau keparat inilah
pembunuh Ko-gwat Sian-su!"
"Kalau benar mau apa?" jengek Wanyen Tiang-ci sambil
menggentak tongkat bambu.
Dimana kipas lempit Siau-go-kan-kun menuding dia incar
Hiat-to penting lawan sambil membentak pula: "Kubunuh
kau!" Wanyen Tiang-ci putar bambunya satu lingkaran, terpaksa
dia lontarkan permainan Keng-sin-ci-hoat, ilmu tutuk tingkat
tinggi, kini dengan bambu dia menggantikan jari, sudah tentu
perbawanya jauh lebih hebat dari pada serangan dengan jari,
ilmu tutuk Siau-go-kan-kun setingkat lebih rendah, Terdengar
"cret" baju Siau-go-kah-kun tahu2 tertutuk berlobang.
Wanyen Tiang-ci gelak2, ujarnya: "Kau hendak bunuh aku,
paling sedikit kau harus belajar sepuluh tahun lagi!" belum
lenyap kata2nya, Siau-go-kan-kun sudah gunakan Ih-singhoan-
wi, kipas lempitnya laksana golok, tahu2 meluncur maju
mengiris pergelangan tangannya. terus menabas miring pula
secepat kilat Ternyata dalam bidang ilmu tutuk memang kepandaian
Siau-kan-kun setingkat lebih rendah, tapi latihan Lwekangnya
justru lebih kuat dari Wanyen Tiang-ci, tutukan bambu
Wanyen Tiang-ci paling hanya membuat bajunya lobang,
namun tidak berhasil menu-tuknya roboh, setelah menutup
Hiat-to dan mengerahkan hawa murni, secara kekerasan dia
sambut bambu Wanyen Tiang-ci, meski ujung tongkat
mengenai badannya, hanya terasa kesemutan saja, sedikitpun
tidak mempengaruhi gerak geriknya.
Kipas Siau-go-kan-kun bisa digunakan sebagai potlot tapi
juga digunakan sebagai Ngo-hing-kiam, jurus yang
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilancarkan ini Hing-huh-toan-hong menabas ke urat nadi di
pergelangan tangan orang, yang digunakan adalah jurus2 dari
Ngo-hing-kiam. Dengan kekuatan Lwekang Siau-go-kan-kun, dimana
kipasnya menyamber tangannya tidak kalah dari golok pusaka,
jikalau kena tertabas, urat2 nadi dan pergelangan tangannya
mungkin bisa tertabas kutung.
Wanyen Tiang-ci tahu akan kelihayan serangan ini, sudah
tentu dia tidak mandah tangannya jadi bulanan lawan. Sebat
sekali dia merubah gerakan, tahu2 kakinya meluncur mundur
beberapa langkah, lengan bajunya dikebut segulung angin
tajam segera menerpa ke mukanya, hampir saja menggulung
lepas kipasnya. Didalam kesibukannya ini, serempak dia ayun
tongkatnya menangkis seruling Bu-lim-thian-kiau.
Kipas Siau-go-kan-kun terkembang balas dikebaskan
kemuka, kebetulan serangan angin yang menyampuk
mukanya kena dia punahkan dua gulung kekuatan angin
bentrok ditengah udara dan berputar seperti angin lesus,
beberapa tombak sekitar gelanggang tersapu bersih sehingga
daon pasir dan debu beterbangan.
Hanya beberapa gebrak saja kedua pihak saling serang,
masing2 sudah tahu akan tingkat dan keahlian sendiri2, paling
hanya sama kuat alias seri dan setanding, siapapun takkan
mampu membunuh lawannya.
Tapi situasi sekarang sudah menjadikan Wanyen Tiang-ci
harus melawan dua musuh, meski kekuatan Bu-lim-thian-kiau
sudah banyak terkuras, tapi dia membekal jurus2 tipu silat
yang tinggi, apalagi tiupan hawa panas dan murni dari Loangiok-
siau itu merupakan suatu tekanan dan ancaman pula.
Apalagi diluar gelanggang masih ada Thi-pit-su-seng Bun
Yat-hoan yang sembarang waktu siap menyergap dan
menyerang Wanyen Tiang-ci cukup tahu diri bahwa hari ini
dirinya takkan bisa banyak mengambil keuntungan, akhirnya
dia berkeputusan untuk lari saja.
Kepandaian silat Wanyen Tiang-ci berkat tetirah dua
puluhan tahun memang bukan olah2 lihaynya, meski digencet
oleh dua tokoh silat kosen, dia masih mampu membebaskan
diri dari libatan musuh.
Tampak tongkat bambunya disurung kesamping
menggunakan kekuatan lengket, sehingga seruling Bu-limthian-
kiau tertarik minggir, memang tenaga Bu-lim-thian-kiau
sudah terkuras, hampir saja dia tidak kuasa kendalikan diri.
Lekas Siau-go kan-kun tabaskan kipas-nya, lekas Wanyen
Tiang-ci tegakkan tongkatnya, bersama seruling Bu-lim-thiankiau
yang dibetotnya itu membentur kipas Hoa Kok-ham,
meminjam tenaga menggempur tenaga, Siau-go-kan-kun
dipaksa menyingkir kesamping setapak besar, Bu-lim-thiankiau
gusar, setelah serulingnya berhasil menggentak lepas dari
betotan lawan. "Suuuiiiit." kembali dia titip hawa murni, seketika Wanyen
Tiang-ci mendehem keras seperti babi disembelih, meski
sedikit dilukai tapi dia masih mampu menggunakan tipu
burung dara jumpalitan, badannya melambung ketengah
udara terus meluncur beberapa tombak jauhnya.
Bun Yat-hoan menghardik keras, kedua potlotnya meluncur
terbang, Badan Wanyen Tiang-ci masih terapung ditengah
udara. lekas dia kerahkan tenaga, terpaksa dia hanya bisa
menggunakan tenaga pantulan saja dengan tongkatnya
mengetuk dan menyendal, "Ting" sebuah potlot yang terbang
didepan kena diketuknya menceng terbang kesamping.
Tapi potlot kedua hanya sedikit bergeming saja, ujung
potlot yang tajam itu masih menyerempet lengannya,
sehingga kulit dagingnya seperti terkupas, untuk tidak sampai
melukai tulangnya. Wanyen Tiang-ci menjerit keras, ditengah
udara kembali dia gunakan jumpalitan ditengah mega,
badannya meluncur kelereng dibawah sana, dalam sekejap
saja sudah lari tak kelihatan lagi bayangannya
Melihat orang sudah terluka tapi masih mampu
mengembangkan Pat-pou-kan-siam ilmu Ginkang tingkat
tinggi, diam2 Bun Yat-hoan mencelos juga hatinya.
Bu-lim-thian-kiau segera menyimpan serulingnya, katanya:
"Terima kasih akan bantuan Hoa-heng."
Siau-go-kan-kun tertawa gelak2, katanya: "Waktu di Siauhou-
san aku salah menuduhmu se-mena2, kini pertikaian itu
boleh kita anggap tidak pernah terjadi, kau tidak usah
berterima kasih kepadaku, akupun tidak usah menyesal lagi."
Bu-lim-thian-kiau melengak, katanya: "Untunglah Hoa-heng
sudah mengerti duduknya perkara, kejadian lalu tak usah
disinggung lagi Apakah Hoa-heng dari Hwi Iiong-to?" Apakan
semua orang selamat?"
"Kau menguatirkan Liu Jing-you bukan?" kata Siau-go-kankun
tawar, "Tunggulah dlsini untuk menemuinya, maaf aku
tidak menemanimu lagi."
"Hoa-heng, tunggu sebentar, aku ada omongan." tapi
dalam waktu dekat sukar juga dia mengutarakan isi hatinya.
"Tam-kongsu." ujar Siaugo-kan-kun setelah gelak tawa,
"Kau tak usah jelaskan lagi, aku rela mengundurkan diri dari
persaingan ini, mengaku kalah saja, memangnya kau belum
puas juga?"
-------------------
Dapatkah Bu-Iim-thian-kiau membujuk Wanyen Liang siraja
lalim membatalkan serbuannya ke selatan" Apa pula akibat
yang menimpa dirinya"!
Apakah Hong-lay-mo-Ii dan Liu Goan-cong mampu
meloloskan diri dari kepungan pasukan besar negeri Kim"
(Bersambung ke bagian 29)
Bagian 29 "Hoa-heng, kau salah! Bahwasanya aku tidak ingin bersaing
dengan kau, Liu Lihiap dia... dia dengan kau adalah "pasangan
setimpal" belum sempat di ucapkan, kata-katanya sudah
terputus oleh gelak tawa Siau-go-kan-kun. Katanya: "Buat apa
kau masih pura2" Kau suruh orang bicara dengan aku,
bagaimana perjanjian kalian dan bagaimana isi hatimu, aku
sudah jelas. Kau tak usah kuatir, selanjutnya aku akan kelana
di Kang-ouw. se-kali2 tidak akan mengganggu kalian, supaya
kau tidak membenciku."
"lni, apa2an ucapanmu ini?" Bu-lim-thian-kiau keheranan
dan tidak mengerti.
"Tunggulah pujaan hatimu, boleh kau bicara kepadanya!"
tukas Siau-go-kan-kun. diiringi gelak tawa-nya melejit turun
kebawah gunung.
"Hoa-heng, Hoa-heng! Soal apa yang bikin kalian
bertengkar?" dengan kencang Bun-Yat-hoan mengejar
kebawah gunung, Tapi sedikit banyak dia sudah tahu
persoalan berkisar pada diri Hong-lay-mo-li.
Setelah sakit dan habis bertempur tak mungkin Bu-limthian-
kiau mengejar dan menyandaknya. Lama dia menjublek
memikirkan kata2 Siau-go-kan-kun tentang utusan dirinya
untuk bicara dengan Siau-go-kan-kun, mimpipun tidak pernah
terpikir olehnya akan kakaknya sendiri.
Setelah berkeluh kesah seorang diri saking sedih dia
keluarkan pula serulingnya lalu meniupkan lagu2 yang
melawan hati. seluruh kepedihan dan penasaran hatinya dia
limpahkan melalui lagu2 serulingnya.
Demi menjaga gengsi sebagai gadis perawan yang
mempunyai perasaan halus, sudah tentu Hong lay-mo-li tidak
mau mengejar Siau-go-kan-kun, akhirnya bersama sang ayah
mereka memperlambat langkah, waktu mereka lewat dibawah
gunung, kebetulan masih sempat mendengar irama seruling
Bu-lim-thian-kiau
Bergetar hati Hong-Lay-mo-li, dia dapat merasakan dari
irama seruling Bu-lim-thian-kiau yang sedih dan pilu, seketika
hatinyapun menjadi kalut dan hambar, apakah dirinya harus
menemui Bu-lim-thian-kiau atau tidak"
Agaknya Liu Goan-cong dapat meraba perasaan hati
anaknya, katanya: "itulah irama seruling Bu-lim-thian-kiau, Dia
menanam budi terhadapmu, sudah menjadi kawan karib lagi,
asal hati lurus dan berpikiran jernih, kenapa kau takut
menemuinya?"
"Kalau ayah hendak menemui dia, biarlah anak menemani."
sahutnya kemudian,
Liu Goan-cong segera bersuit panjang, dengan lwekang
mengirim suara gelombang panjang segera dia berteriak:
"Apakah Tam-kongcu disana?" dengan putrinya mereka
kembangkan Ginkang berlari naik keatas gunung.
Irama seruling masih bergema dialam pegunungan, tapi
waktu mereka ayah beranak tiba diatas, ternyata keadaan
sunyi senyap, Bayangan Bu-lim-thian-kiau sudah tidak terlihat
lagi. Ternyata, berdiri dari tempat ketinggian, dengan j jelas Bulim-
thian-kiau melihat keadaan dibawah, dia sudah melihat
Hong-Iay-moli, namun Hong-lay-moli tidak melihat dirinya,
setelah tahu Hong-lay-mo-li tidak kurang suatu apa, lega pula
hatinya. Kini maksud kedatangannya sudah terlaksana, maka
secara diam2 dia berlaru dari arah lain.
Dengan pilu Hong-lay-mo-li menghela napas, Liu Goan-
Congpun ikut prihatin, katanya membujuk: "Setelah
peperangan ini berakhir, kelak, pasti masih ada kesempatan
bertemu dengan mereka. Marilah sekarang kita menyusul ke
Jay-ciok-ki saja."
Mereka ayah beranak mengembangkan Ginkang tingkat
tinggi, tak usah takut menghadapi jalan gunung yang sukar,
menempuh jalan yang dekat lekas sekali mereka menuju ke
Jay-ciok-ki. Kalau dari jalan tanah datar mereka harus menempuh
delapan ratus li, tapi lewat jalan pegunungan, jarak
diperpendek menjadi lima ratus li saja. Hari ketiga tepat
tengah hari, mereka sudah tiba di Jay-ciok-ki dan langsung
menuju keperkemahan pasukan Loh Bun-ing.
Hong-lay-mo-ll sudah cukup dikenal oleh anak buah Loh
Bun-ing, maka kedatangan mereka disambut dengan meriah,
tanpa memberi laporan lebih dulu, tak usah ditanyai lagi,
langsung mereka dibawa masuk.
Tapi ada juga tentara yang berlari mendahului memberi
laporan, Mendengar kedatangan mereka ayah beranak. sudah
tentu bukan kepalang senang hati Loh Bun-ing, segera dia
menyambut keluar dan membawa-masuk keperkemahannya.
Liu Goan-cong memberi hormat kepada Loh Bun-ing, baru
saja dia perkenalkan diri, Loh Bun-ing sudah tertawa, katanya:
"Bakti Liu-locianpwe bagi negara serta peristiwa besar yang
terjadi dulu, sudah lama aku mendengar cerita Hoa Tayhiap.
Hari ini Lo-ciangpwe sudi datang membantu, sungguh
diharapkanpun sukar diperoleh!"
Ternyata sebelum pergi ke Hwi-Hong-to Hoa Kok-ham
sudah diperkenalkan oleh Sin Gi-cik dan menemui Loh Bun-ing
lebih dulu Begitu duduk Hong-lay-mo-li lantas menanyakan situasi
terakhir Loh Bun-ing tertawa, katanya: "Ada sebuah hal memang
hendak kurundingkan dengan Liu Lihiap."
"Ah, aku tahu apa, masakah Loh-ciangkun malah bertanya
kepadaku?"
"Liu Lihiap tak usah sungkan, kau adalah Bulim Bengcu dari
lima propinsi diutara, aku memang ingin minta pendapatmu."
"Pasti Hoa Kok-ham yang cerewet, menceritakan asal
usulku kepadanya." demikian batin Hong-lay-mo-li.
Berkata Loh Bun-ing lebih lanjut: "Sekarang pasukan besar
musuh sudah dipusatkan disebrang sungai, kabarnya malah
Wanyen Liang sendiri yang memimpinnya. Mungkin didalam
waktu dekat ini serbuan mereka akan segera dimulai."
"Kalau begitu kebetulan kedatanganku, Loh-ciang-kun ada
tugas apa, menempuh lautan api atau gunung golok pasti
kulaksanakan!"
"Aku mendapat perintah untuk berjaga dan
mempertahankan diri di sepanjang sungai, untuk
membendung serbuan musuh menyebrang, untuk ini aku
sudah lama mempersiapkan diri. Tapi jumlah musuh teramat
besar dan kuat untuk bisa mengalahkan mereka, aku masih
memerlukan kerja sama dan bantuan pasukan gerilyawan dari
utara." "Semua kelompok gerilyawan diutarapun sudah
mempersiapkan diri, cuma belum tahu bagaimana keadaan
mereka sekarang." sejak meninggalkan pangkalan Hong-laymo-
li sudah putus hubungan dengan anak buahnya.
"Kebetulan kemaren ada orang pihak kalian yang datang,
malah orang ini adalah teman baikmu! Dari persoalan yang
hendak kurundingkan adalah cara bagaimana kita
mengadakan kontak dan kerja sama dengan para saudara
disebelah utara, Baiklah undang dulu temanmu itu kemari."
segera dia memberi pesan kepada seorang anak buahnya.
Tengah Hong-lay-mo-li bertanya2 dalam hati, lekas sekali
pesuruh itu sudah kembali, dimana tenda tersingkap dan
masuklah seorang gadis, begitu kedua orang beradu pandang
seketika mereka bersorak girang. "Siocia, bagus sekali, aku
bertemu dengan kau:"
"Bing-cu, kiranya kau: Apakah Tay Mo suruh kau kemari?"
Seperti diketahui gadis yang bernama Bing-cu ini adalah
salah seorang dayang kepercayaan Hong-lay-mo-li Waktu
hendak keselatan Hong-lay-mo-li serahkan jabatan pimpinan
tertinggi kepada Tay Mo, Bing-cu sebagai pembantunya.
"Benar," sahut Bing-cu. "Kawan2 gerilya sudah berkumpul
semua dari berbagai tempat kini sudah berada disebelah utara
sungai Tapi ada sedikit kesulitan terpaksa Tay Mo cici suruh
aku kemari minta bantuan."
"Kesulitan apa?" tanya Hong-lay-mo-li.
"Semua pimpinan pasukan gerilya itu sama bertekad
bertempur sampai titik darah penghabisan Tapi mereka tahu
diri bukan tandingan pasukan negeri yang berdisplin tinggi,
Tay Mo cici terpaksa mewakili jabatanmu, tapi, tapi..."
"O, aku mengerti, mereka tidak suka dipimpin dan
diperintah oleh Tay Mo bukan" Ya, terpaksa aku harus kembali
secepatnya."
Setelah dirundingkan dengan sempurna, diputuskan Honglay-
mo-li kembali diiringi Bing-cu dan ayahnya, tak lupa Loh
Bun-ing mengundang pula dua anak buahnya yang pandai
berenang untuk mengawal mereka dalam perjalanan ditengah
sungai. Seorang berperawakkan tinggi kekar, bernama Li Kiat,
seorang lagi bertubuh sedang gesit dan cekatan bernama Ong
Siang, Semula kedua orang ini adalah anak buah Li Po, malah
Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Li Kiat adalah keponakan Li Po, bukan saja mereka sudah
hidup puluhan tahun diperairan Tiangkang, mengenai seluk
beluk disinipun jelas sekali.
Setelah segala sesuatunya dibicarakan lagi lebih matang,
segera Hong-lay-mo-li mohon diri, katanya pula: "Ciangkun
tidak usah kuatir, selama hayat masih dikandung badan,
Pendekar Pemetik Harpa 8 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es 18