Pendekar Remaja 13
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Setelah Ban Sai Cinjin tidak berhasil mengadakan persekutuan jahat dengan Perwira Bu Kwan Ji, maka kakek jahat ini lalu pergi dan langsung menuju ke utara. Ia mengubah cita-citanya. Kini ia berusaha menggunakan kekuatan tentara Mongol, berpura-pura membantu Malangi Khan untuk kemudian setelah mendapat kemenangan, merampas kedudukan tinggi di kerajaan! Ia terkenal hartawan dan dengan mempergunakan hartanya, banyak orang yang gagah-gagah yang terbujuk oleh Ban Sai Cinjin untuk membantu usahanya yang penuh khianat ini.
Ketika secara tiba-tiba Ban Sai Cinjin melihat Lie Siong, tak tertahan lagi ia segera membentak dan memandang dengan penuh kebencian. Sebaliknya, Lie Siong yang sudah pernah melihat Ban Sai Cinjin juga timbul marahnya.
"Setan tua, kau berada di sini" Orang macam kau tentu tidak mempunyai maksud baik!"
bentak Lie Siong sambil mencabut pedangnya. Akan tetapi pada saat itu, Ban Sai Cinjin telah melihat Lo Sian dan kakek ini memandang dengan wajah berubah. Ketika kakek mewah ini melihat betapa Lo Sian seakan-akan tidak mengenalnya, ia menjadi lega dan bertanya,
"Pengemis tua ini bukankah gurumu?" kata-kata ini mengandung sindiran dan juga
percobaan untuk menguji apakah Lo Sian masih belum sembuh dari pengaruh racun yang dulu ia jejalkan ke mulutnya.
"Bangsat tua tak usah banyak mulut! Minggirlah dan beri kami jalan sebelum kesabaranku habis!" kata Lie Siong. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali Lie Siong rnenyerang saja kakek itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia sudah maklum akan kepandaian Ban Sai Cinjin, dan dengan adanya Lo Sian dan Lilani di situ, akan lebih beratlah tugasnya. Kepandaian kedua orang ini masih jauh untuk dapat menghadapi Ban Sai Cinjin dan kalau kakek mewah ini mengganggu mereka, akan sukarlah baginya untuk melindungi mereka. Oleh karena ini maka Lie Siong menahan kesabarannya dan kalau mungkin hendak menjauhi kakek lihai ini tanpa pertempuran.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
391 Akan tetapi pengemis yang menyeramkan itu ketika melihat Lo Sian, rambutnya dan jenggotnya yang kaku seakan-akan menjadi semakin kaku, sepasang matanya memandang marah.
"Bukankah kau yang bernama Sin-kai Lo Sian?" tanyanya sambil menudingkan jari
telunjuknya ke arah Lo Sian.
Sesungguhnya pada saat itu Lo Sian sedang memandang kepada Ban Sai Cinjin dengan mata terbelalak. Ia merasa seperti pernah melihat orang tua yang berpakaian mewah dengan baju bulu itu, akan tetapi lupa lagi di mana. Ketika mendengar orang menyebutkan namanya, ia lalu memandang kepada pengemis yang menyeramkan itu sambil menjawab,
"Benar, kawan. Aku adalah Lo Sian."
"Bagus!" seru Coa-ong Lojin dengan marah. "Kaulah yang menjadi biang keladi dan mengacau perkumpulanku ketika aku pergi. Tidak ingatkah kau?" Memang dahulu di waktu mudanya, pernah Lo Sian mengobrak-abrik Coa-tung Kai-pang, akan tetapi tentu saja ia tidak ingat lagi akan hal itu.
Ia hendak menjawab, akan tetapi tidak diberi kesempatan oleh Coa-ong Lojin yang telah menyerangnya dengan tangan kosong. Ilmu silat dari raja pengemis ini benar-benar hebat.
Sepasang lengannya bergerak bagaikan dua ekor ular dan mengarah kepada leher dan lambung Lo Sian.
Lie Siong melihat hebatnya serangan ini, maka cepat ia melompat dan menggerakkan pedangnya menahan serangan itu sambil membentak, "Pengemis hina, jangan berlaku sombong di depan kami!"
Coa-ong Lojin terkejut sekali melihat berkelebatnya sinar pedang di tangan Lie Siong.
Sungguhpun pedang itu tidak diserangkan kepadanya, hanya dipergunakan untuk menjaga Lo Sian, namun lidah pedang naga yang panjang berwarna merah itu menyambar ke jurusan urat nadi tangan kanannya. Sambil berseru keras ia menarik kembali tangannya dan kemudian menyerang Lie Siong dengan hebat. Dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu sebatang tongkat bengkak-bengkok seperti ular telah berada di tangannya dan tongkat itu dipergunakan untuk menyerang dada Lie Siong. Tentu saja pemuda ini tidak berlaku lambat dan cepat menangkis dengan keras untuk mematahkan tongkat itu. Akan tetapi ia kaget sekali karena ternyata bahwa tongkat itu sama sekali tidak menjadi rusak ketika beradu dengan pedangnya dan ketika mereka bertempur, Lie Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu tongkat pengemis ini hebat luar biasa! Memang, Coa-ong Lojin adalah seorang berilmu tinggi dan ia sendiri yang menciptakan Ilmu Tongkat Hoa-tung-hwat ini. Seorang yang telah dapat menciptakan ilmu silat tentu dapat dibayangkan betapa tinggi dan mahir dia dalam hal ilmu silat.
Tentu saja Lie Siong tidak mau kalah, untungnya ia telah mempelajari gin-kang luar biasa dari ibunya, dan dalam hal ilmu silat, ibunya telah menggemblengnya semenjak kecil sehingga ia telah memiliki kepandaian yang tinggi.
Lo Sian ketika melihat betapa Lie Siong telah bertempur dengan hebat, tidak mau tinggal diam dan demikian pula Lilani. Mereka berdua maju bersama untuk membantu Lie Siong.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
392 Akan tetapi dari samping berkelebat bayangan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dibarengi suaranya yang parau.
"Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel. Kau masih belum melupakan ilmu silatmu?" Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin lalu menghadapi Lilani dan Lo Sian. Tentu saja kedua orang itu bukan lawannya dan sebentar saja ujung huncwenya telah dapat menotok roboh Lilani dan Lo Sian! Kemudian sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin menyerbu dan membantu Coa-ong Lojin mengeroyok Lie Siong!
Kalau hanya menghadapi Coa-ong Lojin atau Ban Sai Cinjin seorang saja Lie Siong pasti akan dapat mempertahankan diri dan belum tentu kalah. Akan tetapi kini ia dikeroyok oleh dua orang kakek yang lihai itu, tentu saja ia menjadi repot sekali. Apalagi ia merasa amat gelisah ketika melihat betapa Lo Sian dan Lilani telah dirobohkan oleh Ban Sai Cinjin.
Kebenciannya terhadap Ban Sai Cinjin meluap-luap dan pedang naganya ditujukan terus untuk merobohkan kakek mewah ini. Oleh karena perhatiannya terutama ditujukan untuk menghadapi kakek ini, maka setelah pertempuran berjalan hampir lima puluh jurus, ujung tongkat ular dari Coa-ong Lojin dengan tepat menotok pundaknya dari kanan. Lie Siong mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terhuyung-huyung, pedangnya terlepas dari pegangan dan robohlah ia tak sadarkan diri lagi!
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. "Kita bawa mereka ke rumahku!" katanya setelah mengambil pedang Lie Siong, dan Coa-ong Lojin lalu berlari cepat, menuju ke rumah gedung milik Ban Sai Cinjin.
Di kota ini Ban Sai Cinjin amat berpengaruh. Kota ini telah ditinggalkan oleh para petugas dan penjaga, maka siapa yang berani menghalangi kakek mewah yang kaya dan lihai ini"
Ketika tadi terjadi pertempuran, orang-orang telah meninggalkan jalan itu sehingga sepi.
Setelah tiba di dalam gedung, Ban Sai Cinjin lalu melemparkan tubuh Lie Siong dalam sebuah kamar. "Dia yang paling berbahaya," katanya. Kemudian ia membawa Lo Sian dan Lilani ke dalam ruang depan. Dengan sekali tepuk saja Lilani dan Lo Sian siuman kembali dari keadaan yang tak berdaya. Lilani segera menghampiri Lo Sian dan memegang tangan kanan pengemis ini dengan wajah pucat dan penuh kekuatiran. Sebaliknya Lo Sian tetap tenang, berdiri memandang kepada Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin.
"Ban Sai Cinjin, apakah yang hendak kaulakukan kepada dua orang ini?" tanya Coa-ong Lojin sambil tertawa-tawa dan menenggak arak yang sudah tersedia di atas meja. Matanya yang besar itu mengerling ke arah Lilani penuh gairah.
Ban Sai Cinjin tersenyum. "Kalau kau suka bunga Haimi ini, ambillah," katanya kepada kawannya itu yang hanya tertawa saja. "Dia sudah menyebabkan kematian banyak orang tamuku, bahkan rumahku sampai dibakar oleh pemuda tadi! Adapun pengemis ini... ah, lihat, bukankah dia seperti boneka hidup?" Ia mendekati Lo Sian yang menentang pandang matanya dengan berani.
"Lo Sian, kau benar-benar sudah lupa kepadaku?"
Sesungguhnya Lo Sian sama sekali tidak ingat lagi kepada Ban Sai Cinjin, akan tetapi ia telah mendengar banyak dari Lili tentang kakek mewah ini, maka dengan senyum mengejek ia berkata,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
393 "Sungguhpun ingatanku sudah banyak berkurang dan aku tak pernah bertemu kau, akan tetapi aku sudah cukup banyak mendengar namamu, Ban Sai Cinjin! Kau seorang pandai yang jahat dan tidak berperikemanusiaan. Kalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah. Akan tetapi jangan kau mengganggu Nona ini, karena dia hendak mencari dan kembali kepada bangsanya, orang-orang Haimi. Dan pula, pemuda itu harap kaubebaskan, jangan kau mengganggu putera seorang pendekar besar yang berjiwa bersih. Dia adalah putera dari pendekar besar Lie Kong Sian, harap kau mengingat nama ayahnya dan melepaskannya!"
Tadi ketika mendengar bahwa Lilani sedang mencari suku bangsanya, Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin saling pandang dengan muka berubah. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda yang ditawannya itu adalah putera Lie Kong Sian, tiba-tiba wajah Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan kaget sekali.
"Apa..." Dia putera Lie Kong Sian... Kalau begitu kau... kau ingat lagi akan peristiwa dahulu...?""
Lo Sian sebetulnya tidak mengerti maksud pertanyaan ini, akan tetapi dia adalah seorang yang banyak pengalaman dan cerdik. Sengaja ia mengangguk dan berkata, "Mengapa tidak ingat" Kaumaksudkan peristiwa dahulu tentang Lie Kong Sian Tai-hiap" Tentu saja!"
"Bangsat rendah! Jadi kau sengaja membawa puteranya untuk mencariku" Ah, kalau begitu kalian harus mampus!"
Kakek mewah ini bangkit berdiri dan huncwe mautnya sudah dipegang erat-erat di dalam tangannya.
"Nanti dulu, sahabat," tiba-tiba Coa-ong Lojin mencegahnya. "Kau boleh saja membunuh Lo Sian, akan tetapi gadis ini..." ia menghampiri Lilani yang menjadi ketakutan. "Eh, Nona, benar-benarkah kau hendak pergi mencari bangsamu?"
Lilani mengangguk tanpa dapat mengeluarkan suara jawaban.
"Kenalkah kau kepada Saliban?"
"Dia adalah pamanku."
Kembali Coa-ong Lojin dan Ban Sai Cinjin saling pandang.
"Biar aku yang membawamu kepada pamanmu, Nona!" kata Ban Sai Cinjin. "Pamanmu
adalah kawan baik kami, jangan kuatir, kami takkan mengganggumu. Akan tetapi pengemis ini dan pemuda tadi harus mampus!"
"Jangan bunuh mereka!" Lilani menjerit dengan bingung dan ia bersikap untuk melawan mati-matian guna membela Lo Sian dan Lie Siong.
"Kau tidak tahu, Nona. Mereka ini orang-orang berbahaya yang kelak hanya akan
menggagalkan rencana kita, rencana kami dan pamanmu. Nah, Lo Sian, kau bersiaplah untuk mampus!" Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian. Sementara itu, Lo Sian semenjak tadi telah memutar otaknya. Ah, pasti ada apa-apanya dalam ucapan Ban Sai Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
394 Cinjin tadi. Kakek mewah ini pasti tahu akan kematian Lie Kong Sian dan menurut ucapannya tadi, sangat boleh jadi Lie Kong Sian terbunuh oleh Ban Sai Cinjin.
"Ban Sai Cinjin!" katanya sambil memandang tajam sama sekali tidak gentar menghadapi saat-saat maut iu. "Jadi kaukah yang membunuh Lie Kong Sian?"
Terdengar suara ketawa yang parau dan menyeramkan dari kakek mewah itu. "Ha-ha-ha!
Kau kini berpura-pura tidak tahu" Sebentar lagi kau boleh menyusul dia!!" Huncwenya terayun, akan tetapi tiba-tiba Lilani menubruk Lo Sian, melindunginya dan berteriak keras,
"Jangan bunuh dia!"
"Lilani, minggirlah, biar aku menghadapinya. Aku tidak takut mati," kata Lo Sian. "Sekarang puaslah hatiku karena aku sudah tahu siapa yang membunuh Lie Kong Sian Tai-hiap."
Akan tetapi Lilani memegangi tangan Lo Sian dan tidak mau melepaskannya. Ban Sai Cinjin kembali mengangkat huncwenya, siap untuk dipukulkan. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan sesosok bayangan melompat masuk dari pintu depan.
"Ban Sai Cinjin, manusia rendah! Jadi kaukah yang mendalangi semua pemberontakan dan pengkhianatan?" Ketika Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin menengok, mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar yang berwajah kasar berdiri sambil bertolak pinggang.
"Sin-houw-enghiong Kam Wi!" kata Ban Sai Cinjin dengan alis dikerutkan. "Kau yang kudengar sudah bertapa mengasingkan diri di Kun-lun-san, datang ke sini mau apakah" Aku mempunyai perhitungan lama dengan Sin-kai Lo Sian, apakah kau mau mencampuri urusan orang lain?"
"Ban Sai Cinjin, jangan kau memutar balik persoalan. Urusan dengan segala macam pengemis tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, tadi mendengar bahwa kau adalah sahabat dari Saliban, maka mudah saja diduga bahwa tentu kau pula yang membujuk orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk menjadi pengkhianat-pengkhianat amat rendah. Dan hal ini, aku Sin-houw-enghiong Kam Wi tak dapat membiarkannya begitu saja!"
Sambil berkata demikian ia melirik ke arah Coa-ong Lojin, karena sesungguhnya ketika tadi menyatakan bahwa urusan dengan segala macam pengemis ia tidak mempunyai sangkut-paut diam-diam ia telah menyindir Coa-ong Lojin.
Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. "Kam Wi, kau manusia macam apa
berani berlagak besar-besaran di hadapanku" Sepak-terjangku yang manapun juga, kau tidak boleh tahu dan tidak boleh mencampuri. Urusan hubunganku dengan Saliban, baik kita bicarakan nanti setelah aku bikin mampus pengemis hina ini!" Ia kembali hendak
menghampiri Lo Sian yang masih dipegangi lengannya oleh Lilani.
"Tahan dulu! Tidak boleh kau mengabaikan aku begitu saja, Ban Sai Cinjin! Kaukira aku orang macam apa maka tidak kaulayani lebih dulu?"
Kini Ban Sai Cinjin benar-benar menjadi marah. "Kam Wi, biarpun orang lain boleh takut mendengar kepandaianmu Houw-jiauw-kang, akan tetapi aku Ban Sai Cinjin tidak takut!
Sebetulnya apakah kehendakmu?"
"Kau harus ikut dengan aku ke kota raja untuk menerima kuhuman atas pengkhianatanmu!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
395 "Ho-ho! Sejak kapan tokoh Kun-lun-pai menjadi kaki tangan kaisar?" Ban Sai Cinjin menyindir.
"Ban Sai Cinjin, dengan membawamu ke kota raja, berarti aku masih memandang mukamu sebagai orang kang-ouw. Aku selamanya tidak mempedulikan urusan pemerintah, akan tetapi kalau negara sedang dikacau musuh dan timbul pengkhianat seperti engkau, aku harus turun tangan. Tinggal kau pilih, kubawa ke kota raja atau kau minta diadili oleh orang-orang kangouw sendiri!"
"Kalau aku memilih yang terakhir?" tantang Ban Sai Cinjin.
"Hukuman dunia kang-ouw bagi seorang pengkhianat bangsa hanyalah kematian!"
"Bagus, Kam Wi! Kau hendak menghukum mati kepadaku" Ha-ha-ha! Aku merasa seperti mendengar seekor kucing hendak membunuh harimau! Majulah biar aku membereskan jiwa anjingmu dulu sebelum aku bikin mampus Lo Sian!"
Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menggerakkan huncwenya, akan tetapi Coa-ong Lojin yang semenjak tadi sudah menjadi marah sekali kepada Kam Wi yang dianggapnya sombong, segera mendahuluinya berkata,
"Sahabat Ban Sai Cinjin, biar aku sendiri yang membereskan cacing dari bukit Kun-lun-san ini!" Karena melihat bahwa Kam Wi tidak bersenjata, Coaong Lojin tidak mau merendahkan diri dengan menyerang dan menggunakan senjata tongkatnya. Ia maju memukul dengan tangan kosong.
Kam Wi cepat mengelak. "Ha-ha, sejak tadi aku sudah menduga bahwa kau tentulah raja pengemis Coa-tung Kai-pang yang jahat dan hina dina! Hayo keluarkan tongkatmu yang lapuk itu, hendak kulihat betapa jahatnya tongkat ularmu."
"Bangsat she Kam! Sudah lama aku mendengar bahwa Houw-jiauw-kang dari Kun-lun-pai adalah hebat sekali. Kebetulan sekali kau datang mengantar kesombonganmu di sini, biar kucoba sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersikap sesombong ini!" Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu menyerang dengan kedua tangan dibuka dan jari-jari tangannya mengeras dan menegang. Melihat betapa kedua tangan pengemis itu kini tergetar dan mengeluarkan cahaya kehitaman, tahulah Kam Wi bahwa lawannya ini memiliki ilmu pukulan yahg ia dengar disebut Hek-coa-tok-jiu (Tangan Racun Ular Hitam) yang amat berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut dan cepat ia mengelak lalu mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung lawan dan hampir saja lambung Coa-ong Lojin menjadi korban. Harus diketahui bahwa tidak saja Ilmu Silat Houw-jiauw-kang ini amat hebat, akan tetapi juga tenaga lwee-kang dari Kam Wi sudah mencapai tingkat tinggi sehingga biarpun cengkeramannya tidak mengenai sasaran, namun angin pukulannya telah membuat lawannya merasa lambungnya terlanggar benda tajam! Coaong Lojin menjadi terkejut sekali dan tahulah dia bahwa tokoh Kun-lun-pai ini benar-benar tak boleh dibuat permainan! Ia lalu bersilat dengan amat hati-hati.
Namun segera ternyata bahwa kepandaian Kam Wi benar-benar lebih menang setingkat.
Selain ia menang tenaga, juga gin-kangnya amat mengagumkan. Kedua kakinya berlompatan bagaikan seekor harimau dan kedua tangannya amat panas ganas. Sekali saja Coa-ong Lojin Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
396 kena sampok atau diterkam, pasti akan celakalah dia. Hal ini dimaklumi sedalamnya oleh Coa-ong Lojin, maka setelah bertempur dua puluh jurus lebih, raja pengemis yang berlaku hati-hati ini mulai terdesak dan main mundur.
"Ha-ha-ha, begini sajakah kepandaian raja pengemis dari Coa-tung Kai-pang" Hayo, jembel busuk, keluarkan kepandaianmu! Mana tongkatmu pemukul anjing itu?" Kam Wi mengejek sambil menyerang makin hebat.
Sementara itu, Lo Sian dan Lilani menyaksikan pertempuran itu dengan hati gelisah. Lo Sian maklum bahwa biarpun kepandaian tokoh Kun-lun-pai ini lebih tinggi, namun apabila Ban Sai Cinjin maju mengeroyok, akan celakalah dia. Ia merasa bingung sekali. Untuk membantu, ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh.
Tiba-tiba terdengar Lo Sian berseru keras, "Sin-houw-enghiong, awas belakang!" Sebetulnya seruan ini tidak perlu lagi, karena Kam Wi yang berkepandaian tinggi sudah mendengar adanya suara angin pukulan amat hebat menyambar dari belakang. Pada saat itu ia sedang mendesak Coa-ong Lojin, maka ketika mendengar suara pukulan dari belakang dan melihat berkelebatnya huncwe maut yang berkilauan, cepat ia berseru keras sekali. Tubuhnya mumbul ke atas dan kaki kanannya menendang ke depan untuk menghalangi serangan gelap dari Coaong Lojin. Dengan lompatan tinggi yang dilakukan dengan gin-kang hebat ini selamatlah ia dari serangan Ban Sai Cinjin yang dilakukan dengan cara pengecut sekali itu. Setibanya tubuhnya di atas, Kam Wi lalu menukar kedudukan kakinya, kaki kiri yang ditekuk ke belakang itu tiba-tiba ditendangkan pula ke arah Coa-ong Lojin, sedangkan kaki kanan bagaikan halilintar menyambar dengan sepakan ke belakang sehingga kedua kaki itu menggunting. Kaki kanan menyerang ke arah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin! Inilah gerakan tendangan berantai yang disebut Soan-hoang-twi yang lihai sekali karena sepasang kaki itu melakukan tendangan dengan tenaga seribu kati beratnya!
"Bangsat Ban Sai Cinjin, kau benar-benar curang sekali!" seru Kam Wi yang kini telah turun lagi ke bawah. Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mempedulikan makian ini, dengan muka merah saking marah dan malunya ia lalu menyerang dengan huncwe mautnya, sedangkan Coa-ong Lojin juga sudah mencabut tongkat ularnya!
Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai itu benar-benar tangguh karena selain ilmu silatnya sudah tinggi, ia memiliki banyak sekali pengalaman bertempur melawan orang-orang pandai. Akan tetapi kali ini ia menghadapi dua orang jago kawakan yang tingkat kepandaiannya sudah sama dengan dia, maka dengan bertangan kosong saja menghadapi mereka, bagaimana ia dapat bertahan"
Lo Sian dan Lilani yang telah menjadi bingung itu baru teringat bahwa kalau Lie Siong dapat membantu, tentu Kam Wi akan dapat menghadapi dua orang lawan jahat itu, maka ketika melihat betapa dua orang kakek itu sedang mengeroyok Kam Wi, Lo Sian dan Lilali lalu berlari ke dalam kamar di mana Lie Siong tadi dilempar oleh Ban Sai Cinjin. Mereka melihat pemuda ini masih rebah tak bergerak, hanya napasnya saja yang masih ada seperti orang pingsan. Cepat Lo Sian menepuk pundak pemuda itu dan mengurut jalan darahnya. Akan tetapi ia tidak dapat membebaskan Lie Siong dari totokan Coa-ong Lojin yang selain lihai, juga berbeda dengan totokan biasa. Betapapun Lo Sian mengurut-urut pundak Lie Siong, tetap saja pemuda itu tidak sadar dan pundaknya bahkan ada tanda titik merah sebesar kacang kedelai. Lo Sian menjadi gelisah sekali sedangkan Lilani lalu mulai menangis sambil memeluki tubuh Lie Siong.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
397 "Mari kita bawa dia lari keluar dari sini saja!" kata Lilani.
"Kau boleh bawa dia lari, Lilani. Akan tetapi aku tidak dapat meninggalkan Sin-houw-enghiong begitu saja. Aku harus membantunya, biarpun untuk usaha ini akan tewas. Tidak selayaknya aku meninggalkan seorang penolong begitu saja mati sendiri!"
Lilani dapat memaklumi sifat gagah dari Lo Sian ini. Dia sendiri pun kalau tidak ingat akan keselamatan Lie Siong yang dicintanya, belum tentu sudi meninggalkan Kam Wi dalam keadaan terancam bahaya seperti itu. Maka gadis ini lalu memondong tubuh Lie Siong dan berkata, "Lo-enghiong, berlakulah hati-hati!" kemudian ia melompat keluar dari pintu belakang.
Lo Sian segera kembali ke ruang depan dan ia melihat betapa Kam Wi kini telah terdesak hebat sekali. Sungguh amat lucu dan harus dikasihani orang tinggi besar ini yang bertangan kosong, melompat ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat dan huncwe maut. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan kedua orang lawannya.
"Sin-houw-enghiong, biar siauwte membelamu dengan nyawaku!" tiba-tiba Lo Sian berseru keras. Pengemis Sakti ini telah melepaskan ikat pinggangnya dan ia menyerbu bersenjatakan ikat pinggang ini. Biarpun ikat pinggang itu hanya terbuat dari sehelai kain, namun di dalam tangan seorang ahli dapat menjadi senjata yang cukup berbahaya. Dan sesungguhnya, kepandaian Lo Sian sudah mencapai tingkat tinggi juga, hanya saja apabila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin, atau Sin-houw-enghiong Kam Wi, ia masih ketinggalan amat jauh!
Lo Sian amat benci kepada Ban Sai Cinjin, sungguhpun ia tidak ingat lagi akan perlakuan kejam kakek mewah ini terhadapnya belasan tahun yang lalu. Mungkin perasaan hatinya membisikkan sesuatu karena baru melihatnya saja, Lo Sian sudah merasa benci sekali. Oleh karena itu, begitu ia menyerbu ia tujukan ikat pinggangnya untuk menyerang Ban Sai Cinjin.
Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali. "Jembel kelaparan! Aku tidak akan mengampuni jiwamu untuk kedua kalinya!" Sambil berkata demikian, huncwenya bergerak cepat dan ia sengaja menangkis ikat pinggang itu, terus memutar huncwenya sedemikian rupa. Sebetulnya ikat pinggang itu ketika dipergunakan oleh Lo Sian, telah menjadi kaku seperti besi. Akan tetapi begitu beradu dengan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin, tenaga lwee-kang yang disalurkan oleh Lo Sian ke dalam ikat pinggangnya menjadi buyar karena ia memang kalah tenaga sehingga ikat pinggang menjadi lemas lagi. Karena ikat pinggang itu kini telah melibat huncwe, ketika Ban Sai Cinjin mengerahkan tenaga membetotnya, terlepaslah ikat pinggang itu dari tangan Lo Sian. Dalam keadaan terhuyung-huyung Lo Sian hendak mempertahankan diri, akan tetapi tangan kiri Ban Sai Cinjin cepat meluncur maju dan sekali totok saja robohlah Lo Sian dengan tubuh lemas. Jalan darah kin-hun-hiat di bagian iganya telah kena ditotok sehingga biarpun pikirannya masih terang dan panca inderanya masih dapat dipergunakan, namun seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi.
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, akan tetapi cepat ia kembali mengeroyok Kam Wi, karena sebentar saja ia meninggalkan Kam Wi untuk menghadapi Lo Sian, keadaan Coa-ong Lojin menjadi terdesak hebat oleh jagoan dari Kun-lun-pai itu. Kini kembali Kam Wi terkurung dan jago Kun-lun yang sudah lelah ini pun akhirnya kena ditendang roboh oleh Ban Sai Cinjin!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
398 "Ha-ha-ha!" Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, dan dengan amat tenangnya ia lalu memasang tembakau pada pipanya yang panjang, menyalakan tembakaunya dan mengebulkan asap yang wangi. Ia nampak puas sekali, demikian pun Coa-ong Lojin.
"Kita bereskan saja mereka sekarang juga agar jangan merupakan gangguan lagi!" kata pengemis tongkat ular itu.
"Nanti dulu, aku mau bicara sedikit kepada mereka," jawab Ban Sai Cinjin yang segera menghampiri Kam Wi yang sudah menggeletak di lantai dengan mata melotot
memandangnya penuh keberanian.
"Orang she Kam! Sesungguhnya tidak ada permusuhan di antara kita, akan tetapi kau sendiri yang datang mencari mampus, maka jangan menjadi penasaran kalau hari ini kau menemui maut. Kalau kau memiliki kepandaian lebih tinggi, tentu bukan engkau melainkan kami yang menggeletak di sini tak bernyawa lagi! Sebelum aku membunuhmu, ketahuilah bahwa memang sesungguhnya aku yang mengadakan persekutuan dengan bangsa Mongol! Kau tahu mengapa" Karena Kaisar amat lemah, tidak pantas menjadi seorang junjungan! Aku tahu, kau membela Kaisar karena keponakanmu, Kam-ciangkun, menjadi panglima kerajaan. Karena itu aku harus membunuhmu!"
Kemudian Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian dan berkata, "Kau pengemis jembel hina dina, selalu kau mencampuri urusanku, selalu kau menghalangi jalanku. Agaknya memang dahulu di dalam penjelmaan yang lalu kau telah berhutang nyawa kepadaku maka sekarang kau takkan mampus kalau tidak di tanganku. Dulu aku sudah mengampuni jiwamu dan hanya merampas ingatanmu, akan tetapi agaknya kau iri hati kepada Lie Kong Sian dan suhengmu Mo-kai Nyo Tiang Le. Kau juga harus mampus!"
Bukan main kagetnya hati Lo Sian mendengar ini. Baru sekarang ia tahu bahwa yang membuat ia menjadi gila dan kehilangan pikiran adalah Ban Sai Cinjin, yang membunuh Lie Kong Sian juga orang ini, bahkan suhengnya, Mo-kai Nyo Tiang Le sebagaimana yang telah diceritakan oleh Lili kepadanya, agaknya juga telah terbunuh oleh penjahat besar ini! Akan tetapi apa dayanya" Ia telah berada di dalam tangan orang ini dan agaknya tak lama lagi ia akan mati, maka seperti juga Kam Wi, Lo Sian hanya memandang dengan mata melotot, sedikit pun tidak merasa takut.
"Coa-ong Lojin, kauhabiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!" kata Ban Sai Cinjin sambil mengangkat huncwenya, hendak diketokkan ke arah kepala Lo Sian, sedangkan Coa-ong Lojin juga mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke arah jalan darah atau urat kematian dari Kam Wi!
Akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang yang luar biasa sekali bagaikan halilintar menyambar dan "trang-trang!" tongkat dan huncwe itu telah tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin maupun Coa-ong Lojin merasa telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu melangkah mundur sampai lima tindak.
Ketika dua orang ini mengangkat muka memandang, berubahlah air muka mereka bahkan Coa-ong Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal takut itu kali ini nampak gentar juga. Dua orang yang menggerakkan pedang secara luar biasa sekali dan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
399 berhasil mencegah Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun.
Yang laki-laki gagah sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, sepasang matanya membayangkan kejujuran hati yang tulus dan di tangannya nampak sebatang pedang yang berkilau cahayanya. Yang wanita biarpun sudah setengah tua, nampak cantik sekali dengan bibir mengandung senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang bersinar penuh keberanian.
Pantas saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin merasa gentar menghadapi sepasang orang gagah ini, karena mereka bukan lain adalah suami isteri yang amat terkenal yaitu Pendekar Bodoh dan isterinya! Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh dan Lin Lin, isterinya yang
berkepandaian tinggi, datang pada saat yang amat tepat untuk menolong nyawa Lo Sian dan Kam Wi.
"Pendekar Bodoh?" bibir Ban Sai Cinjin masih sempat mengeluarkan kata-kata yang membayangkan kegelisahannya.
Cin Hai terseyum, senyum yang dingin. "Ban Sai Cinjin, telah lama aku mendengar namamu.
Telah lama aku ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Bouw Hun Ti untuk menagih hutang. Sekarang kebetulan sekali kami berdua sempat menghalangi terjadinya sebuah di antara kekejamanmu. Akan tetapi oleh karena aku telah menerima tantangan suhengmu, Wi Kong Siansu, dan karena kau tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan aku, kali ini aku takkan mengganggumu! Pergilah!"
Bukan main malu dan marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. Ia berada di rumah sendiri, bagaiman Pendekar Bodoh ini berani mengusirnya begitu saja seperti seekor anjing"
Biarpun ia telah mendengar nama besar Pendekar Bodoh dan tentang kelihaiannya, akan tetapi belum pernah merasakan kelihaian itu dan pula dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut, bukanlah seorang bubeng-siauw-cut (orang rendah tak terkenal) juga bukan orang biasa.
"Pendekar Bodoh, lagakmu benar-benar sama besarnya dengan namamu, akan tetapi aku masih meragukan apakah kepandaianmu juga sebesar itu. Aku berada di rumahku sendiri, bagaimana kau bisa mengusirku?" lagak Ban Sai Cinjin menantang.
"Aku tidak mengusirmu pergi dari rumahmu, hanya minggat dari depan mataku. Sebal aku melihatmu!" kata Lin Lin yang mewakili suaminya.
Makin merah muka Ban Sai Cinjin. Kedua kaki tangannya berbunyi karena ia telah menahan kemarahannya sambil mengepalkan tinju sehingga pipa yang digenggamnya hampir remuk!
"Kalau aku tidak mau pergi?" tantangnya.
"Mau atau tidak, pergilah!" bentak Pendekar Bodoh sambil melangkah cepat ke arah kakek mewah itu.
Ban Sai Cinjin ketika melihat betapa Pendekar Bodoh menghampirinya tanpa memegang pedang, timbul sifat pengecut dan liciknya. Tiba-tiba ia menggerakkan huncwe mautnya yang dipukulkan sehebatnya ke arah kepala Cin Hai! Akan tetapi Ban Sai Cinjin kecelik besar kalau mengira bahwa serangan tiba-tiba secara pengecut ini akan dapat menghancurkan kepala Pendekar Bodoh. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah memiliki kepandaian yang luar biasa sekali yang diwarisinya dari suhunya, yaitu Bu Pun Su. Kepandaian yang luar biasa Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
400 sekali, yaitu pengertian tentang dasar dan pokok segala macam gerakan tubuh manusia di waktu melakukan gerakan silat. Oleh karena itu, menyerang Pendekar Bodoh dengan tiba-tiba dan tak tersangka, sama saja sukarnya dengan menyerang angin!
Belum juga huncwe itu bergerak, baru gerakan pundak Ban Sai Cinjin saja sudah dapat dilihat dan diketahui oleh Cin Hai, sehingga sebelum huncwe melayang ke kepalanya, ia telah tahu bahwa huncwe itu akan melayang dan menyerangnya. Dengan tenang sekali Cin Hai mendiamkan saja, akan tetapi setelah huncwe melayang dekat dan Ban Sai Cinjin sudah merasa girang sekali tiba-tiba terdengar seruan kaget dari Ban Sai Cinjin dan tubuh kakek ini terlempar dan melayang keluar dari pintu ruangan itu! Suara tubuhnya jatuh berdebuk disusul berkelontangnya huncwe yang menyusulnya!
Bukan main terkejut dan herannya hati Ban Sai Cinjin. Bagaimana bisa terjadi hal seperti itu"
Ia tidak melihat Pendekar Bodoh bergerak, dan tadi sudah jelas sekali terlihat olehnya betapa huncwenya sudah mampir mengenai kepala lawannya. Ia hanya melihat tangan kiri dan kaki kanan lawannya bergerak sedikit pada saat huncwenya sudah hampir mengenai sasaran dan tahu-tahu ia telah terdorong sedemikian hebatnya!
Sesungguhnya, ketika tadi Cin Hai melihat serangan Ban Sai Cinjin, ia berlaku tenang saja.
Ia tahu dengan pasti bagaimana serangan itu akan dilanjutkan, maka ia mendiamkannya saja dan ketika tangan yang memegang huncwe sudah hampir mengenai kepalanya, secepat kilat akan tetapi tetap tenang tangan kiri Cin Hai melayang dibarengi uap putih mengebul darl tangannya. Inilah sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut! Sambaran hawa putih yang keluar dari pukulan ini membuat tangan Ban Sai Cinjin terdorong sehingga pukulannya menjadi menceng dan tidak mengenai kepala Cin Hai dan berbareng dengan saat itu juga, kaki kanan Cin Hai telah melayang dan mendorong tubuh lawannya yang sama sekali tidak mengira akan hal ini. Demikianlah, dengan mudah Cin Hai telah membuktikan omongannya, yaitu memaksa Ban Sai Cinjin pergi dari depannya.
Sementara itu, Coa-ong Lojin melihat hal itu dengan mata terbelalak. Ia melihat dengan jelas betapa dengan mudahnya Pendekar Bodoh mengalahkan Ban Sai Cinjin. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Akan tetapi ia dapat melihat bahwa kekalahan yang demikian mudah dari Ban Sai Cinjin terjadi karena kesalahan kakek itu sendiri. Dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin terlalu mencurahkan perhatian penjagaan diri. Memang serangan balasan dari Pendekar Bodoh tadi terjadi amat diluar sangkaan dan mungkin di sinilah letaknya kekuatan dan kelihaian Pendekar Bodoh. Coa-ong Lojin merasa dapat menghadapi Pendekar Bodoh, sungguhpun tidak akan menang, akan tetapi ia mungkin dapat bertahan sampai beberapa lama, tidak seperti Ban Sai Cinjin, baru segebrakan saja sudah terlempar keluar pintu.
Lin Lin semenjak tadi sudah memperhatikan Coa-ong Lojin dan juga Kam Wi yang
menggeletak di bawah dan tadi hendak dibunuh oleh pengemis itu. Kini nyonya ini maju menghampiri Coa-ong Lojin dan berkata, "Kalau aku tidak salah sangka, kau tentu Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang. Tongkat ularmu itu mengingatkan aku siapa adanya kau ini. Akan tetapi, mengapa kau hendak membunuh orang ini?"
"Isteriku, dia itu adalah Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh besar dari Kun-lun-pai!" kata Cin Hai kepada Lin Lin.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
401 "Hemm, Sin-houw-enghiong terkenal sebagai seorang gagah yang berpribudi tinggi mengapa hendak kaubunuh?" kembali Lin Lin bertanya kepada Coa-ong Lojin yang untuk sesaat menjadi pucat tak dapat menjawab.
"Aku hanya terbawa-bawa oleh Ban Sai Cinjin, akan tetapi..." ia mengangkat dadanya memberanikan hatinya, "peduli apakah kalian dengan urusanku?" Diam-diam Ketua Coa-tung Kai-pang ini mengira bahwa Pendekar Bodoh tentu akan membela puteranya yang telah menjadi Ketua Hek-tung Kai-pang, padahal sesungguhnya Cin Hai dan Lin Lin belum tahu bahwa putera mereka, Hong Beng, telah diangkat menjadi ketua Hek-tung Kai-pang dan telah menanam bibit permusuhan dengan Coa-tung Kai-pang.
"Burung gagak tentu memilih kawan burung mayat!" kata Lin Lin. "Sudahlah, kami tidak ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Pergilah!"
Biarpun merasa mendongkol dan marah, namun Coa-ong Lojin lebih hati-hati daripada Ban Sai Cinjin dan ia tidak berani melawan.
"Pendekar Bodoh, kali ini aku Coa-ong Lojin mengalah terhadapmu, karena tidak ada sebab bagiku untuk mengadu nyawa. Akan tetapi lain kali aku takkan sudi menelan hinaan macam ini lagi!" Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu berjalan pergi.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan, "Pengemis kelaparan, jangan kau pergi dulu!"
Dan dari luar menyambar bayangan orang yang sekali mengulur tangan telah menerkam ke arah pundak Coa-ong Lojin! Raja pengemis ini terkejut sekali dan cepat menyabet dengan tongkatnya, akan tetapi dengan gerakan yang indah dan gesit sekali, orang itu mengelak dan sekali tangannya bergerak, tongkat ular itu telah kena dirampasnya! Orang ini bukan lain adalah Kwee An, murid Eng Yang Cu tokoh Kim-san-pai, juga murid dari Pek Mo-ko Si Iblis Baju Putih, dan pula menjadi murid dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng (bacalah cerita Pendekar Bodoh).
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin sebelum berangkat ke utara menyusul Hong Beng dan Goat Lan, mereka lebih dulu mampir di Tiang-an dan Kwee An lalu ikut dengan mereka untuk mencari puterinya, Goat Lan. Perjalanan tiga orang pendekar besar ini dilakukan dengan cepat dan lancar sekali. Dan pada suatu hari, mereka bertemu dengan Lilani yang menggendong Lie Siong sambil mengalirkan air mata!
Tentu saja melihat keganjilan ini, ketiga orang pendekar itu berhenti dan menahan Lilani.
Melihat wajah Lilani, Kwee An memandang dengan bengong. Ia merasa seperti pernah melihat gadis cantik ini, akan tetapi tidak ingat lagi, entah dimana. Lin Lin maju menghampiri Lilani dan bertanya,
"Nona yang manis, apakah yang telah terjadi dengan pemuda itu" Siapa kau dan siapa pula dia?"
Melihat sikap dan wajah tiga orang setengah tua yang gagah itu, Lilani merasa kagum. Akan tetapi gadis ini masih merasa ragu-ragu untuk menceritakan keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau mereka ini juga kawan-kawan dari Ban Sai Cinjin"
Pendekar Bodoh dapat melihat keraguan gadis itu, maka ia lalu berkata,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
402 "Nona tak perlu kau mencurigai kami, karena kami biasanya hanya menolong orang, tak pernah mau mengganggu orang."
"Siapakah Sam-wi yang mulia" Mengapa pula menahan perjalananku" Kawanku ini terluka hebat dan perlu dicarikan obat, maka harap Sam-wi suka melepaskan aku yang malang ini."
Kwee An yang semenjak tadi memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian karena merasa sudah pernah bertemu dengan muka ini, lalu maju dan begitu melihat keadaan Lie Siong ia berseru kaget,
"Nona, kawanmu ini terluka oleh senjata berbisa! Lekas kauceritakan keadaanmu dan jangan meragukan kami. Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan orang-orang baik. Pendekar di hadapanmu ini adalah Pendekar Bodoh dan kau tidak boleh mencurigainya lagi."
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah Lilani menjadi berseri. Ia menurunkan tubuh Lie Siong yang dipondongnya, kemudian serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cin Hai sambil berkata,
"Sie Tai-hiap, tolonglah aku yang sengsara ini, tolonglah aku demi orang tuaku yang Taihiap telah kenal. Aku adalah Lilani, anak dari Manako dan Meilani!"
"Kau anak Meilani...?"" Kwee An yang berseru kaget dan barulah kini ia ingat bahwa wajah gadis ini seperti pinang dibelah dua, serupa benar dengan wajah Meilani, gadis Haimi yang telah menjadi "isterinya" di luar kehendaknya itu (baca cerita Pendekar Bodoh)! Juga Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan teringat mereka akan Meilani yang pernah mereka jumpai.
"Bangunlah, Nak. Kau kenapakah dan siapa pula kawanmu ini?" tanya Lin Lin sambil membangunkan gadis itu. "Tentu saja kami kenal baik dengan ayah ibumu, bahkan ini adalah Kwee Tai-hiap saudara tuaku yang boleh kausebut sebagai ayah tirimu!" Sungguh keterlaluan Lin Lin, dalam keadaan demikian ia masih dapat menggoda kakaknya. Tentu saja Kwee An menjadi jengah sendiri ketika Lilani tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut pula di depannya.
"Bangunlah, bangunlah, dan lekas kau bercerita. Siapa pemuda ini dan mengapa ia sampai terluka begini hebat?"
"Dia bernama Lie Siong, putera dari Lie Kong Sian Tai-hiap dan..."
"Apa katamu?" Lin Lin hampir menjerit. "Kau bilang pemuda ini putera Lie-suheng... jadi dia... dia putera Ang I Niocu?""
Lilani mengangguk dan dengan singkat ia menceritakan pertemuannya dengan Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin. Ketika mendengar betapa Lo Sian dan Kam Wi masih berada di dalam bahaya hebat, Pendekar Bodoh tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia minta tolong kepada Kwee An untuk merawat Lie Siong karena sedikit-sedikit Kwee An tahu cara pengobatan orang yang terluka, sedangkan ia sendiri lalu menarik tangan isterinya dan diajak berlari cepat sekali menuju ke rumah yang ditunjuk oleh Lilani.
Adapun Kwee An setelah memeriksa luka Lie Siong dengan teliti, dengan amat terkejut ia melihat bahwa bisa yang masuk ke dalam tubuh pemuda melalui luka kecil itu amat berbahaya dan dia tidak sanggup mengobatinya. Ia lalu bertanya lagi kepada Lilani siapa yang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
403 melukai pemuda itu, dan ketika mendengar bahwa Lie Siong terluka oleh tongkat Coa-ong Lojin, ia segera memondong tubuh Lie Siong dan berkata,
"Hayo kita kejar mereka! Hanya Coa-ong Lojin saja yang dapat menolong nyawa pemuda ini!" Dan bersama Lilani mereka lalu berlari cepat menyusul Pendekar Bodoh dan isterinya.
Demikianlah, ketika Kwee An tiba di situ dan melihat Coa-ong Lojin hendak pergi, ia lalu memberikan Lie Siong kepada Lilani dan ia sendiri lalu menyerang Coa-ong Lojin dan berhasil merampas tongkatnya.
"Pengemis ular," kata Kwes An dengan sikap mengancam. "Jangan kau pergi dulu. Kalau kau tidak mau memberi obat untuk menyembuhkan luka Lie Siong, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini dengan kepala masih menempel di lehermu!"
Coa-ong Lojin berdiri bengong karena kaget dan herannya. Bagaimana orang dapat
merampas tongkatnya dengan sedemikian mudahnya"
"Siapakah kau?" tanyanya.
"Kau berhadapan dengan orang she Kwee dari Tiang-an. Sudah tak perlu banyak cakap, lekas kau keluarkan obat untuk menyembuhkan lukanya," kata pula Kwee An sambil menunjuk ke arah Lie Siong yang dipondong masuk oleh Lilani.
"Kalau aku tidak mau dan tidak takut mati?" tantang Coa-ong Lojin sambil tersenyum mengejek.
Kwee An menjadi gemas. "Bangsat rendah! Tahukah kau bahwa aku pernah menerima
pelajaran dari Pek Mo-ko" Tahukah kau artinya ini" Aku dapat membuat kau menderita selama hidup, hidup tidak mati pun tidak! Selain itu, aku akan pergi mencari kawan-kawanmu, semua anggauta Coa-tung Kai-pang akan kubasmi habis sampai bersih!"
"Engko An, biarkan aku mencokel kedua matanya kalau dia tidak mau menyembuhkan
putera Enci Im Giok (Ang I Niocu)!" kata Lin Lin dengan gemas sekali.
"Dan aku pun harus mematahkan kedua lengannya kalau dia berkukuh tak mau mengobati Lie Siong!" kata Cin Hai.
Mau tidak mau ngeri juga hati Coa-ong Lojin mendengar ancaman-ancaman ini, apalagi ia pernah mendengar nama Pek Mo-ko sebagai tokoh besar yang memiliki kepandaian
mengerikan sekali. Tadi pun sudah ia saksikan kepandaian Kwee An yang demikian mudah merampas tongkatnya. Ia menarik napas panjang, merasa tidak sanggup menghadapi tiga orang pendekar besar yang lihai ini. Dikeluarnya sebungkus obat bubuk putih dari saku bajunya dan berkatalah dia dengan gemas,
"Biarlah kali ini aku Coa-ong Lojin mengaku kalah dan menurut kehendak orang lain. Akan tetapi lain kali aku akan membikin pembalasan!" Ia melemparkan bungkusan obat kepada Kwee An dan hendak pergi.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
404 "Nanti dulu!" seru Cin Hai. "Obat itu belum dibuktikan kemanjurannya!" Sambil berkata demikian Pendekar Bodoh menggerakkan tubuhnya yang melesat ke arah pengemis itu dan sekali ia menggerakkan tangannya tidak ampun lagi Coa-ong Lojin roboh tertotok.
Sementara itu, Lin Lin sudah menghampiri Lo Sian dan memulihkan kesehatannya setelah menotok dan mengurut pundaknya. Sin-kai Lo Sian merasa gembira sekali dan ucapan pertama yang keluar dari mulutnya adalah,
"Dia harus disembuhkan, dia adalah putera Ang I Niocu!"
Cin Hai juga membebaskan totokan pada diri Kam Wi yang cepat melompat berdiri dan tanpa berkata sesuatu, orang yang kasar dan jujur ini lalu mengangkat tangan dan memukul ke arah Coa-ong Lojin yang telah duduk bersandar tembok tanpa berdaya lagi! Akan tetapi cepat-cepat Cin Hai menangkap tangannya. Pukulan Kam Wi ini dilakukan dengan keras sekali, akan tetapi ia tertegun ketika merasa betapa dalam tangkapan Cin Hai, ia tak kuasa menggerakkan tangannya itu.
"Dia orang jahat, harus dibunuh!" katanya dengan keras.
"Sabar dulu, Sin-houw-enghiong! Dia harus membuktikan dulu bahwa obat yang diberikan untuk menyembuhkan Lie Siong benar-benar manjur," kata Cin Hai.
Setelah dihibur-hibur oleh Cin Hai dan Lin Lin, akhirnya Kam Wi menjadi sabar dan mereka semua lalu menyaksikan betapa Kwee An mengobati Lie Siong. Atas petunjuk dari Coa-ong Lojin yang masih dapat bicara dengan lemah, luka di pundak kanannya itu lalu dicuci bersih dan diboboki obat bubuk yang sudah dicairkan dengan air. Kemudian, dengan obat bubuk itu pula, Lie Siong diberi minum obat dicampur sedikit arak. Setelah pengobatan ini, semua orang berdiam, menanti hasil pengobatan itu.
"Sebentar lagi ia akan siuman dan sembuh," kata Coa-ong Lojin dengan perlahan.
"Awas, kalau kata-katamu tidak terbukti, aku sendiri yang akan memukul hancur kepalamu yang jahat!" kata Kam Wi dengan melototkan kedua matanya yang lebar.
Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh Coa-ong Lojin, tak lama kemudian terdengar Lie Siong mengeluh dan pemuda ini membuka matanya. Wajahnya yang pucat telah menjadi merah kembali, sebaliknya luka di pundak yang tadinya merah telah mulai menjadi pulih.
"Baiknya kau tidak membohong sehingga jiwamu masih tertolong!" kata Pendekar Bodoh.
Sebagai seorang budiman, ia tidak melanggar janji dan melihat betul-betul Lie Siong dapat disembuhkan, ia lalu menghampiri Coa-ong Lojin, membebaskan totokannya hingga
pengemis itu dapat melompat berdiri.
"Baiklah kali ini aku Coa-ong Lojin telah menerima penghinaan berkali-kali. Kelak di puncak Thai-san aku akan memperkuat rombongan Wi Kong Siansu untuk menghadapi
kalian!" Setelah berkata demikian, pengemis bertongkat ular ini hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi sudah melompat ke depannya dan sekali menendang, tubuh pengemis itu terlempar keluar dari pintu.
"Ha-ha-ha! Pengemis ular, lain kali bukan pantatmu yang kutendang melainkan kepalamu!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
405 Setelah Coa-ong Lojin pergi, Lie Siong memandang semua orang itu dengan heran. Ia menoleh kepada Lo Sian dengan mata mengandung pertanyaan, sehingga Sin-kai Lo Sian tersenyum dan berkata,
"Lie Siong, kau berhadapan dengan orang-orang sendiri. Sungguh baik sekali nasibmu sehingga hari ini kau dapat bertemu dan ditolong oleh mereka ini. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Pendekar Bodoh dan isterinya, sedangkan orang gagah itu adalah Kwee An Tai-hiap dari Tiang-an!" Memang sebelumnya Lo Sian telah mendapat keterangan dari Lilani yang memperkenalkan tiga orang besar itu.
Tentu saja Lie Siong menjadi terkejut sekali, akan tetapi pemuda ini dapat menekan perasaannya, dan tidak memperlihatkan perubahan pada wajahnya yang tampan.
"Siong-ji (Anak Siong), ayah dan ibumu adalah seperti kakak kami sendiri," kata Lin Lin dengan terharu sambil menatap wajah yang tampan itu.
Lie Siong memandang kepada Lin Lin. Alangkah cantiknya nyonya ini, hampir sama dengan Lili, yang tak pernah lenyap bayangannya dari depan matanya itu. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya yang nampak tua. Tiba-tiba ia menjadi terharu sekali ketika teringat akan ibunya yang telah ditinggalkannya. Ibunya, mempunyai sahabat-sahabat baik seperti ini, mengapa ibunya hidup menderita" Mengapa ayahnya sampai mati tanpa ada pembelaan dari mereka ini" Mereka ini adalah pendekar-pendekar besar seperti yang telah seringkali disebut-sebut oleh ibunya, akan tetapi mengapa ibunya dan dia sampai hidup di tempat asing" Hatinya menjadi dingin sekali. Keangkuhan hati pemuda ini tersinggung karena dalam keadaan tertimpa malapetaka, justru orang-orang ini yang menolongnya. Alangkah bodoh, lemah, dan tak berdaya ia nampak dalam pandangan mata ketiga orang ini! Padahal ia ingin sekali memperlihatkan kepada Pendekar Bodoh dan isterinya, bahwa keturunan Ang I Niocu tidak kalah oleh mereka!
Akan tetapi, oleh karena telah ditolong oleh mereka, terpaksa Lie Siong lalu maju menjura memberi hormat dan berkata, "Sungguh siauwte harus menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sam-wi yang gagah perkasa. Semoga Thian akan memberi kesempatan kepada siauwte untuk kelak membalas budi ini. Maafkanlah bahwa siauwte harus melanjutkan perjalanan mencari ayah, karena selain siauwte siapa lagi yang akan mencarinya?" Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menoleh kepada Lilani, "Mari kita pergi!"
Gadis itu memandang dengan terheran-heran, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah ajakan pemuda yang menjadi pujaan hatinya" Ia hanya memandang kepada Lin Lin dengan sedih, kemudian sambil menahan isak, ia lalu melompat dan menyusul Lie Siong yang sudah lari terlebih dahulu.
"Eh, eh, Lie Siong tunggu dulu! Aku akan menunjukkan tempatnya kepadamu!"
Lo Sian berseru keras dan segera mengejar pula.
Adapun Kwee An, Lin Lin, dan Cin Hai menjadi melengak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata saking herannya. Kemudian mereka saling pandang dengan perasaan aneh.
Bagaimanakah pemuda itu dapat bersikap sedemikian dinginnya"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
406 "Dia seperti orang marah," kata Cin Hai.
"Tidak, seperti orang malu," kata Lin Lin.
"Menurut pandanganku, seperti orang yang merasa penasaran. Sungguh aneh!" kata Kwee An.
Selagi ketiga orang itu terheran-heran, suasana yang tidak enak itu dipecahkan oteh suara Kam Wi yang keras,
"Ah, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu, bahkan mendapat pertolongan dari tiga orang pendekar besar! Ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, memang agaknya Thian telah menyetujui usulku. Aku memang hendak bertemu dengan kau, Sie Tai-hiap!"
Cin Hai membalas penghormatan tokoh Kun-lun-pai itu. "Kam-enghiong, harap kau tidak berlaku sungkan. Bantu dan memberantas kejahatan di antara kalangan kita sudah merupakan kewajiban yang tak perlu dikotori oleh sebutan pertolongan ataupun budi. Kehormatan apakah yang hendak kauberikan kepada kami maka kali hendak mencari kami dan usul apakah yang kaumaksudkan itu?"
"Harap kau dan isterimu tidak menganggap aku berlaku kurang ajar apabila kesempatan ini kukemukakan maksud hatiku. Ketahuilah, aku mempunyai seorang anak keponakan yang bernama Kam Liong, sekarang menjabat pangkat sebagai panglima muda di kerajaan. Tentu kalian masih ingat kepada Kam Hong Sin saudara tuaku, nah, Kam- Liong adalah putera satu-satunya."
"Kami sudah pernah bertemu dengan Kam Liong itu, Kam-enghiong. Dia adalah seorang pemuda yang gagah dan baik."
Berseri wajah Kam Wi mendengar ucapan Lin Lin ini. "Bagus sekali, agaknya memang Thian telah menjadi penunjuk jalan! Toanio, seperti juga kau dan suamimu, aku pun telah melihat puterimu yang bernama Sie Hong Li! Juga suhengku, Suhu dari Kam Liong yang kaukenal sebagai tokoh pertama dari Kun-lun-pai, yaitu Tiong Kun Tojin, amat suka metihat puterimu yang cantik dan gagah itu! Oleh karena itu, kami sudah sependapat, yaitu aku, Kam Liong, dan suhunya, untuk mengajukan pinangan kepada Sie Tai-hiap untuk menjodohkan Kam Liong dengan Nona Sie Hong Lie!"
Mendengar pinangan yang tiba-tiba dan terus terang di tempat yang tidak semestinya ini, kedua orang tua itu terkejut dan tersipu-sipu. Wajah Lin Lin menjadi merah karena jengah.
Belum pernah terpikir olehnya akan menerima lamaran orang dan sungguhpun di dalam hatinya ia amat suka kepada Kam Liong, akan tetapi mulutnya tak dapat berkata sesuatu. Ia hanya memandang kepada suaminya yang kebetulan juga memandang kepadanya dengan
mata bodoh. Sampai lama suami isteri ini hanya saling pandang, tak dapat menjawab, bahkan tidak berani memandang kepada Sin-houw-enghiong Kam Wi yang masih menanti jawaban mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli, dan ternyata yang tertawa itu adalah Kwee An.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
407 "Ha-ha-ha, bagaimanakah kalian ini" Anak perempuan dilamar orang, kok hanya saling pandang seperti pemuda-pemudi yang main mata?"
Kwee An biasanya pendiam dan tidak banyak berkelakar, akan tetapi sekali ini ia berkumpul dengan Lin Lin yang suka menggodanya, ia selalu mencari kesempatan untuk balas menggoda adiknya ini! Tentu saja Lin Lin menjadi makin bingung dan akhirnya Cin Hai yang dapat mengeluarkan kata-kata sambil menjura kepada Kam Wi,
"Kami menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas kehormatan yang Kam-enghiong berikan kepada kami. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa anak kami Hong Li yang bodoh dan buruk rupa itu mendapat perhatian dari keponakanmu, dari Tiong Kun Tojin dan dari kau sendiri. Sesungguhnya puteri kami yang bodoh itu terlalu rendah, apabila dibandingkan dengan Kam-ciangkun yang biarpun masih muda sudah menduduki pangkat sedemikian tingginya, selain lihai juga menjadi murid tokoh Kun-lun-pai yang terkenal."
"Bagus, bagus! Jadi kalian setuju" Kalian menerima pinanganku?" Kam Wi yang jujur dan kasar itu segera memutuskannya.
"Bukan begitu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa, tak dapat kami memutuskan begitu saja..." kata Cin Hai.
"Hemm, jadi Sie Tai-hiap menolak?" kembali Kam Wi memutuskan omongan Pendekar
Bodoh. Cin Hai tersenyum, ia maklum bahwa Kam Wi memiliki watak yang amat kasar, polos, dan tidak sabaran.
"Tenanglah, Kam-enghiong. Urusan perjodohan bukanlah urusan jual beli barang murahan saja. Hal ini harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Kami tidak dapat
memutuskannya sekarang, berilah waktu kepada kami untuk memikirkannya,
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempertimbangkannya dan terlebih dulu kami harus bertemu dan bicara dengan Lili puteri kami itu."
"Pendekar Bodoh, kita adalah golongan orang-orang yang tak pandai bicara, karena lebih mudah bicara dengan kepalan tangan daripada dengan bibir dan lidah. Kalau kiranya kalian berdua menolak pinangan ini, tak usah banyak sungkan, nyatakan saja, sekarang. Aku takkan merasa penasaran atau marah, karena sudah semestinya sesuatu pinangan akan mengalami dua hal, diterima atau tidak."
"Bagaimana kami dapat menolak pinanganmu" Kami berlaku sombong dan kurang ajar kalau menolaknya. Sesungguhnya kami tidak melihat sesuatu yang mengecewakan pada diri Kam Liong, akan tetapi..."
"Ha-ha-ha-ha, jadi kau suka" Bagus, aku yang menanggung bahwa Kam Liong benar-benar akan merupakan seorang suami yang baik dan bijaksana, seorang anak mantu yang berbakti!
Terima kasih atas penerimaanmu, Pendekar Bodoh, kita akan mencari hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan."
"Nanti dulu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa. Kalau tadi kunyatatakan bahwa aku tidak menolak, itu bukan berarti bahwa aku menerimanya. Seperti telah kukatakan tadi, Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
408 berilah waktu. Kami sedang menghadapi masa sukar, tugas kewajiban menghadang di depan mata, siapa mempunyai kesempatan untuk bicara tentang perjodohan" Tunggulah sampai musuh terusir semua, sampai kami dapat bertemu dengan putera dan puteri kami dalam keadaan selamat, barulah kita akan bicara tentang perjodohan ini!"
"Baik, baik. Betapapun juga aku yakin bahwa kau tidak menolak dan ucapan itu sudah setengah menerima. Baik, kita menanti sampai selesai tugas kami membela tanah air. Kalau keadaan sudah aman, aku akan membawa Kam Liong datang ke Shaning menentukan hari baik! Nah, selamat tinggal, dan terima kasih atas pertolongan tadi!" Setelah berkata demikian dengan wajah berseri gembira Kam Wi lalu meninggalkan rumah itu.
Pendekar Bodoh menarik napas panjang. "Alangkah kasar dan jujurnya orang itu! Urusan perjodohan dianggap mudah begitu saja. Itulah kalau orang tidak mempunyai anak sendiri, tidak merasa betapa sukarnya menetapkan jodoh bagi anak perempuan."
"Sesungguhnya orang itu gegabah sekali," kata Kwee An, "belum juga diberi keputusan, dia sudah menetapkan dengan yakin bahwa lamarannya diterima. Orang seperti itu kelak akan dapat menimbulkan keributan karena kebodohan, kejujuran, dan kekasarannya."
"Terus terang saja, aku sendiri sudah setuju kalau Lili mendapatkan jodoh seperti Kam Liong," kata Lin Lin. "Kita sudah menyaksikan sendiri betapa pemuda itu sopan santun, lemah lembut, dan juga sudah menyatakan jasanya dengan membantu Hong Beng dan juga kita. Bukankah perbuatannya itu saja sudah memperlihatkan bahwa ia suka kepada Lili dan bahwa ia tidak hendak main-main dalam urusan perjodohan ini?"
"Betapapun juga, keputusannya harus kau serahkan kepada Lili sendiri, karena urusan ini menyangkut kebahagiaan seumur hidupnya. Aku takkan merasa puas apabila dia sendiri tidak menyetujui perjodohan ini. Dia yang akan menikah, dia yang akan menanggung segala akibatnya, dia yang akan sengsara atau senang kalau sudah terjadi perjodohan itu. Maka aku menyesal sekali mengapa Sin-houw-enghiong demikian pasti dan tergesa-gesa menganggap kita sudah menerima pinangannya."
Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara sambil tiada hentinya membicarakan urusan pinangan yang dilakukan oleh Kam Wi dengan cara yang kasar itu.
*** Dengan hati mengkal Lie Siong berlari, akan tetapi ia tidak berlari terlalu cepat karena kalau ia melakukan hal ini, tentu Lilani akan tertinggal jauh. Oleh karena itu, maka sebentar saja ia telah tersusul oleh Lo Sian yang mengejarnya.
"Perlahan dulu, Anak Siong!" kata Sin-kai Lo Sian setelah dapat menyusul pemuda itu. Lie Siong berhenti karena Lilani telah mendahuluinya berhenti menanti datangnya pengemis tua itu.
"Mengapa kau meninggalkan mereka begitu saja" Bukankah mereka itu kawan-kawan baik ibu dan ayahmu" Kau telah mereka tolong, akan tetapi kau meninggalkan mereka seakan-akan seorang yang marah, kenapakah?" Lo Sian menegur Lie Siong yang mendengar dengan kepala ditundukkan.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
409 "Alangkah rendah pandangan mereka terhadapku," hanya ini yang diucapkan oleh Lie Siong karena sesungguhnya ia tidak suka hal itu dibicarakan lagi. "Lopek, kau menyusulku ada apakah" Karena kau sendiri tidak tahu dan tidak ingat lagi apa yang telah terjadi dengan mendiang ayahku, aku tak perlu mengganggumu lagi. Kembalilah kau kepada mereka dan ceritakan bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak tahu diri dan tak tahu menerima budi.
Biarlah namaku, nama ibu dan ayahku, mereka lupakan!"
Lo Sian tertegun melihat sikap yang dingin dan kaku ini. Ia benar-benar merasa heran sekali melihat keadaan dan watak pemuda yang aneh ini.
"Lie Siong, setelah beberapa lama aku melakukan perjalanan bersamamu, belum juga aku dapat mengerti watakmu, sungguhpun harus kuakui bahwa aku suka kepadamu. Aku
menyusulmu bukan untuk mengganggumu, melainkan karena aku kini telah dapat menduga siapa adanya pembunuh ayahmu dan di mana kiranya dapat menemukan makam ayahmu."
"Siapa pembunuhnya" Di mana makamnya?" suara Lie Siong terdengar menggetar dan
wajahnya memucat. Lo Sian lalu menceritakan tentang ucapan dan sikap Ban Sai Cinjin ketika tadi hendak membunuhnya.
"Tak salah lagi," katanya sebagai penutup penuturannya, "pembunuh ayahmu pasti bukan lain orang adalah Ban Sai Cinjin sendiri! Dan kurasa, untuk mencari jejak ayahmu atau makamnya, kita harus pergi ke tempat tinggal Ban Sai Cinjin, yaitu di dusun Tong-sin-bun!"
"Di tempat di mana aku pernah membakar rumahnya?"
Lo Sian mengangguk. "Dekat dusun itu terdapat sebuah kuil milik Ban Sai Cinjin dan kalau tidak salah, di situlah kita akan dapat menemui jejak-jejak ayahmu atau makamnya. Kalau kau kehendaki, mari kuantarkan kau ke sana untuk menyelidiki."
"Kembali ke Tong-sin-bun?" kata Lie Siong ragu-ragu. "Kita telah tiba sejauh ini?" Ia menengok ke arah Lilani. "Kita sudah dekat dengan tempat di mana kita akan menemukan rombongan suku bangsa Haimi. Lebih baik kita mencari suku bangsa itu lebih dulu untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya. Setelah itu, barulah kita kembali ke selatan untuk menyelidiki hal ini."
Lo Sian menyatakan setuju dan demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara menuju ke kaki Gunung Alaka-san di sebelah barat. Di sepanjang jalan Lie Siong berkata bahwa kalau memang betul ayahnya telah terbunuh oleh Ban Sai Cinjin ia bersumpah untuk membalas dendam dan akan mencari serta membunuh Ban Sai Cinjin, biarpun untuk itu ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Pada masa itu, keadaan di tapal batas sebelah utara memang amat genting. Pertempuran-pertempuran telah pecah dan terjadi di mana-mana, di mana saja rombongan pengacau bangsa Tartar dan Mongol bertemu dengan rombongan pasukan pemerintah yang menjaga di
perbatasan. Malangi Khan amat pandai dalam siasatnya. Tidak saja ia membujuk dan menarik bangsa Tartar untuk bergabung dengan pasukannya dan sama-sama memukul ke selatan dengan janji-janji muluk, akan tetapi juga ia telah membujuk suku-suku bangsa Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk bersama-sama menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok. Juga ia Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
410 masih berusaha untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk membantu usaha penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan janji kedudukan.
Bahkan dengan Ban Sai Cinjin ia telah mengadakan hubungan yang erat, dan menjanjikan bahwa kalau kelak pemerintah kaisar telah terguling, ia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar! Ban Sai Cinjin sendiri bukan seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah janji muluk ini akan tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun mempunyai rencana. Kalau mereka bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan dan
mendapat kemenangan, dengan mudah saja ia akan mempergunakan pengaruhnya untuk
mengkhianati orang-orang Mongol itu dan ia akan dapat berkuasa di kota raja.
Suku bangsa Haimi lama dikuasai oteh Malangi Khan. Semenjak ia memukul bangsa Haimi ini sehingga kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa ini menjadi semacam bangsa jajahan. Saliban, yang tadinya menjadi pembantu Manako, dengan sikapnya yang pandai menjilat, terpakai oleh Malangi Khan dan orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh dibilang ia menjadi kaki tangan bangsa Mongol.
Saliban mengumpulkan orang-orangnya baik dengan halus maupun secara paksa, untuk bergabung kembali dan bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup kuat untuk membantu usaha kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya mengacaukan pertahanan tentara kerajaan di selatan. Berkat usaha Saliban, bangsa Haimi banyak yang ditangkap dan dijadikan anggauta pasukan secara paksa, sehingga sungguhpun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka membantu orang Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju juga.
Pada suatu hari, barisan suku bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dipimpin sendiri oleh Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang mengurung sepasukan penjaga tapal batas yang hanya berjumlah tiga puluh orang. Sungguh menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka rata-rata berkumis panjang, kecuali Saliban sendiri yang semenjak muda telah membuang kumisnya, bersenjata golok dan pedang lalu menyerbu sambil
berteriak-teriak menyeramkan.
Sebentar saja, pasukan kerajaan yang jauh lebih kecil jumlahnya itu telah terkurung rapat-rapat dan sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang perwira tua dari pasukan kerajaan ini dengan mati-matian bertempur mainkan sepasang pedangnya. Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya mandi darah akan tetapi perwira ini harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena ia tidak hendak menyerah sebelum titik darah terakhir!
Pada saat itu, tiba-tiba keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata bahwa entah dari mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang seorang gadis cantik yang mainkan pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang tunggal di tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya menggerakkan pedang, robohlah seorang lawan!
Gadis muda ini bukan lain adalah Sie Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam Wi, paman dari Kam Liong, gadis ini lalu melarikan diri meninggalkan rombongan Kam Liong. Karena ia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang perjalanannya, ia tidak bertemu dengan seorang manusia pun, ia telah salah mengambil jalan dan yang disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!
Demikianlah, ketika ia melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan dikurung oleh pasukan berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta dan tanpa
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
411 mengeluarkan kata-kata Lili lalu membantu pasukan kerajaan itu dan menyerang barisan berkumis dengan hebatnya.
Akan tetapi, pada saat Lili datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua itu hanya sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh saking lelah dan banyak mengeluarkan darah. Beberapa bacokan golok menamatkan riwayatnya. Sebentar kemudian hanya Lili seorang saja yang masih dikeroyok oleh puluhan orang berkumis.
Saliban yang melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang kalau gadis ini sampai mengalami kematian, maka ia lalu berseru,
"Kawan-kawan, jangan bunuh gadis ini. Tangkap hidup-hidup!"
Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan daripada dijalankan, karena jangan kata hendak menangkap hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan main! Tiap orang yang terlalu berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi roboh terkena tendangan atau kena sambaran hawa pukulan dari tangan kiri gadis itu, atau juga roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tidak mau membunuh orang. Melihat orang-orang berkumis ini, teringatlah ia akan cerita ayah bundanya tentang bangsa Haimi, maka ia tidak tega untuk membunuh seorang pun di antara mereka.
"Bukankah kalian ini orang-orang Haimi" Mengapa memusuhi tentara kerajaan" Dengarlah, aku adalah puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian, Manako dan Meilani!" seru Lili di antara amukannya.
Benar saja, mendengar seruannya ini, sebagian besar orang Haimi lalu mengundurkan diri.
Mereka sudah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik daripada kepala mereka yang dahulu, Manako. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan Saliban yang mendorong mereka untuk maju lagi dan mengadakan pengeroyokan.
Lili menjadi kewalahan juga dan tak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa merobohkan atau menewaskan beberapa orang diantara mereka.
"Mana Manako atau Meilani" Suruh mereka keluar biar aku bicara dengan mereka!"
teriaknya lagi, akan tetapi siapakah yang berani melayaninya" Biarpun semua orang Haimi itu timbul hati simpatinya terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada Saliban.
Celaka bagi Lili pada saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang! Orang-orang Mongol ini ketika melihat betapa sepasukan orang Haimi mengeroyok seorang gadis Han, cepat mereka menyerbu dan mengeroyok Lili. Keadaan Lili menjadi lebih berbahaya lagi.
Biarpun ia mengamuk hebat, akan tetapi bagaimana ia dapat melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya" Mereka itu kini mulai mempergunakan kaitan dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi terhalang. Ia melawan terus dan pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita dikeroyok oleh ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biarpun sudah ribuan jurus, belum juga gadis ini kalah! Sudah bertumpuk mayat dan pandangan mata Lili sudah menjadi kabur. Kepalanya pening, peluhnya membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak mungkin baginya untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat ia lalu menyerbu, maksudnya hendak membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum ia roboh.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
412 Tiba-tiba terdengar sorak-sorai bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang lain datang menolong! Orang-orang Mongol memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang terdiri dari seratus orang itu. Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi Lili sudah lelah sekali sehingga ketika kakinya terjirat tambang, tubuhnya terhuyung lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya dan dalam sekejap mata saja ia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban mengempitnya dan membawanya lari bersama orang-orangnya.
Lili yang roboh pingsan saking lelahnya tidak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata ia telah berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya memang menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang merupakan tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar. Lili tak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat dan ia didudukkan menyandar batu karang.
Ketika ia membuka matanya, ia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api, duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi. Dahulu, secara iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan memberi pelajaran kepadanya tentang bahasa Haimi, maka biarpun hanya sedikit, Lili dapat menangkap percakapan mereka.
"Jangan, Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Taihiap yang sudah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!" terdengar seorang Haimi yang sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis. Ucapan ini agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ, karena mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu menjadi marah.
"Siapa takut Pendekar Bodoh" Tidak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orang-orang Mongol" Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula. Kalau kita membawanya kepada Malangi Khan dan mempersembahkannya, tentu ia akan berterima kasih dan girang sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik ini."
Kembali terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju. Hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Ia mendapat kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini betapapun juga masih menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka agaknya takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.
Diam-diam Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong, mendengar lamaran yang kasar dan yang membuat mukanya menjadi selalu merah kembali kalau diingatnya. Meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh ke dalam tangan serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan Mongol! Kalau ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia! Akan tetapi, Lili tak pernah putus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini takkan mati putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada.
Betapapun hebat malapetaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri. Dengan pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia lalu meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
413 Memang cerdik sekali pikiran Lili ini. Kalau ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia takkan dapat tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan kegelisahan dan tak dapat tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Sungguhpun kaki tangannya terasa kaku dan kesemutan, namun ia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tidak bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut.
Melihat keadaan orang-orang ini, timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup seperti orang-orang ini. Agaknya tidak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya sebagai budak belian, di bawah perintah orang Haimi tak berkumis yang telah diperbudak pula oleh orang Mongol itu. Kemanakah perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah bundanya"
Dan pada saat Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga telah bangun dan sedang menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita. Cuaca pagi hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Dalam pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari dari kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biarpun di sana-sini sudah ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing. Tangan wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan sinar mencorong bagaikan bintang pagi, mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan wanita baju merah itu lebih pendek daripada Liong-cukiam ayahnya.
Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya. Tak terasa lagi gadis ini meramkan matanya. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung! Cepat-cepat ia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut dan kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap putih. Lili melakukan gerakan ini selain untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya, "Siapa kau" Dari mana kau mempelajari Pen-in-hoatsut?"
Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Wajah ini setelah terlihat jelas ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
414 kecantikan wanita itu, dan pada saat itu juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
"Ang... Ang... I Niocu...." katanya dengan suara gemetar. Kedua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.
"Kau siapakah" Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!" kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu adanya.
"Ah... Ie-ie (Bibi) Im Giok...!" Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu. Semenjak kecilnya, ibunya seringkali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri (baca cerita Pendekar Bodoh). Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukah karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguhpun ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa malapetaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas pipinya.
Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. "Kau puteri Lin Lin, anak Cin Hai...?" bisiknya.
"Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie Hong Beng."
Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tak dapat menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!
Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.
"Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!" teriaknya.
Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili dan berkata, "Apakah mereka ini yang menangkapmu" Ha-haha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-iemu, biarpun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!" Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya! Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam, asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan pedang ini di dalam gua, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai sedangkan yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
415 Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia dapat menduga bahwa wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.
"Ie-ie Im Giok, tahan dulu...!" teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu yang memegang pedang. "Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!"
Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili kuatir kalau-kalau nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan, "Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kaupakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka."
"Terima kasih, Ie-ie, tak usah!" jawab Lili gembira. "Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!" Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam.
Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menanti datangnya serbuan puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
"Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang semenjak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani!
Agaknya sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang jahat! Kalian hidup dalam bahaya kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan memukul hancur bangsa Mongol!
Lebih baik tinggalkan kepalamu yang jahat itu dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!"
Tak seorang pun diantara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan dengan pedang di tangan.
"Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan
sesombong itu" Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu jahat sekali!"
"Ha-ha, kau bernama Saliban" Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku" Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan secara
pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
416 Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya akan tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras, "Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!"
Akan tetapi tak seorang pun diantara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata.
Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti. Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban.
Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu. Akan tetapi, dengan amat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban.
Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.
Ang I Niocu mau tidak mau tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sinna. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah dan tabah seperti ibunya, akan tetapi tenang dan penuh perhitungan seperti ayahnya. Ah, ia merasa menyesal mengapa ia telah menjauhkan diri dari mereka ini, kalau saja ia tahu bahwa Cin Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah ini, dari dahulu tentu sudah dipinangnya gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!
Kalau dibuat perbandingan, ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah Lili membalas serangan lawannya. Ia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu tangan kirinya bergerak, terdengarlah suara "plok!" yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.
Saliban merasa seakan-akan kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang dipijaknya serasa beralun. Akan tetapi ia masih dapat mempertahankan dirinya, sungguhpun ia merasa betapa separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar, ia tetap saja maju menyerang dengan mati-matian!
Saliban memekik kesakitan ketika pukulan Pek-in-hoatsut itu mengenai dadanya. Pedangnya terampas dengan mudah dan akibat pukulan yang lihai itu, tubuhnya terpental sampai beberapa tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah kumpulan kawan-kawannya yang
memandang dengan mata terbelalak kagum.
Lili memang betul berhati pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya ia tidak niat membunuh Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras merampas
pedangnya dan menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya. Maka ia terkejut sekali melihat betapa tiba-tiba orang-orang Haimi yang berkumis panjang itu kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak dengan golok dan pedang mereka. Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban menjadi hancur lebur tercacah oleh puluhan batang golok dan pedang.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
417 Lili melompat ke tempat itu hendak mencegah, akan tetapi terlambat. Tubuh Saliban telah hancur tidak karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat Lili melompat dekat, mereka lalu melepaskan senjata dan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis gagah itu.
"Lihiap, jahanam ini sudah terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami," kata seorang Haimi tua yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak Saliban.
"Semenjak bangsa kami diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol sehingga kepala kami yang bernama Manako melarikan diri dan Meilani telah tewas, kami hidup seperti budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran dan hati sendiri. Bangsat rendah Saliban ini menambah malapetaka, karena ia pandai bermuka-muka sehingga diangkat oleh Malangi Khan sebagai kepala kami. Hari ini, Lihiap telah datang dan membebaskan kami dari tindasan Saliban, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari tindasan orang-orang Mongol. Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan malapetaka yang lebih besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri kami dibunuh oleh orang Mongol!" Setelah orang tua ini berkata demikian, terdengar isak tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi itu telah menangis sedih.
Ang I Niocu yang datang berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu dengan suara mengejek, "Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja yang panjang, akan tetapi pikiranmu pendek sekali. Hanya tampang saja yang gagah akan tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi wanita yang selemah-lemahnya! Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata. Persoalan tak mungkin dapat dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Kalau kalian mempunyai kesulitan, lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena Nona ini sekali mengeluarkan kesanggupan pasti akan dipenuhi."
Orang-orang Haimi yang mendengar kata-kata ini, menjadi merah mukanya karena malu dan jengah. Mendengar nasihat tentang kegagahan dari seorang wanita tua, sungguh amat memalukan sekali.
"Siapakah kau, Toanio, yang mengeluarkan kata-kata segagah ini?" tanya orang Haimi tua tadi.
Dengan suara bangga, Lili lalu memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka. "Kalian tentu pernah mendengar nama Ang I Niocu, bukan" Nah, inilah dia Ang I Niocu, pendekar wanita terbesar di segala jaman! Dia adalah Twa-ieku yang tercinta. Dengan adanya dia di sini, apakah kalian masih ragu-ragu lagi bahwa aku takkan dapat menolong kalian" Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang hanya seorang manusia biasa itu, biarpun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang dewata, dengan Ie-ieku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!"
Nama besar Ang I Niocu memang sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat sampai ke timur, maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali yang tua-tua, telah mendengar dan mengenal nama ini, maka serentak mereka memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, kami mulai hari ini mengangkat Lihiap dan Niocu sebagai pemimpin-pemimpin kami. Hanya kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib bangsa kami.
Ketahuilah, Lihiap dan Niocu, setelah kami dikalahkan oleh bangsa Mongol, keluarga kami yaitu isteri, orang-orang tua dan anak-anak kami semua dikumpulkan dalam sebuah kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa hari sekali kami diperkenankan menjumpai Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
418 mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang jahat untuk merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak mau kami tidak berani membantah perintah mereka yang dikeluarkan melalui mulut Saliban yang khianat!"
Mendengar penuturan ini, baik Lili maupun Ang I Niocu menjadi marah sekali.
"Di mana tempat keluarga kalian itu terkurung?" tanya Ang I Niocu.
"Tidak jauh dari sini, di sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san," jawab orang Haimi tua tadi.
"Nah, kita tunggu apa lagi" Mari berangkat ke sana untuk menolong mereka," kata pula Ang I Niocu. Orang-orang Haimi itu terkejut sekali.
"Akan tetapi... tempat itu dijaga oleh seratus orang-orang yang jahat."
Lili menjadi hilang sabar. "Pengecut! Kalian tadi sudah mengaku kami berdua sebagai pemimpin, mengapa sekarang masih banyak membantah lagi" Apakah kalian tidak percaya kepada Ie-ieku" Kalau tidak percaya, sudah saja, kami pergi meninggalkan kalian!"
Mendengar ini buru-buru orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian dengan wajah gembira orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang jumlahnya masih ada empat puluh dua orang lalu beramai-ramai mereka pergi menuju ke dusun di mana keluarga mereka yang jumlahnya hampir seratus orang wanita, orang-orang tua, dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.
Tempat dimana keluarga Haimi itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Di situ hanya terdapat gubuk-gubuk yang amat sederhana dan miskin, dan penghidupan keluarga Haimi itu tidak lebih baik daripada penghidupan sekelompok ternak. Di sekeliling kampung itu benar saja dijaga oleh orang-orang Mongol yang bersenjata lengkap, dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu mendapat gangguan yang kurang ajar dari para penjaganya.
Ang I Niocu dari Lili yang mengepalai empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke kampung itu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini bercakap-cakap seperti dua orang keluarga yang telah lama berpisah.
"Ie-ie, aku pernah bertemu dengan puteramu," kata Lili.
Ang I Niocu cepat menengok dan memandang dengan wajah berseri.
"Betulkah" Kau sudah bertemu dengan Siong-ji" Di mana" Bagaimana dia?"
Lili adalah seorang gadis yang jujur seperti ayahnya. Biarpun ia gemar sekali berjenaka, akan tetapi pada saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.
"Menyesal sekali harus kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga... kurang ajar sekali, Ie-ie!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
419 Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini, sehingga ia lalu menoleh ke belakang dan membentak semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat! Kemudian ia menarik tangan Lili ke bawah batang pohon dan berkata, suaranya amat menyeramkan, "Nah, katakanlah terus terang, mengapa kau menganggap dia demikian" Apakah yang telah ia perbuat?"
"Perjumpaanku yang pertama adalah ketika dia, dia mengganggu seorang gadis cantik!"
Kembali Ang I Niocu terkejut sekali.
"Tak mungkin! Siong-ji takkan melakukan perbuatan seperti itu!"
Akan tetapi Lili lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong ketika pemuda ini hendak meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya sehingga kemudian ia bertempur dengan Lie Siong.
"Agaknya puteramu itu... mencinta gadis itu atau sebaliknya."
"Siapa gadis itu, Lili" Dan mengapa puteraku bersama dengan dia dan melakukan perjalanan bersama?"
"Bagaimana aku dapat menjawab pertanyaan ini, Ie-ie" Aku hanya bertemu sebentar dan pertemuan itu pun bukan pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur karena tidak saling mengenal."
"Hmm, sudahlah, dan kemudian di mana lagi kau berjumpa dengan dia?"
"Yang kedua kalinya, kami berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat ini... puteramu dan aku telah bertempur karena puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dan dalam pertempuran ini...
ia..." Lili berhenti sebentar karena wajahnya menjadi merah sekali dan untuk sejenak ia menundukkan mukanya, "dia telah... berlaku amat kurang ajar terhadap aku, Ie-ie..."
"Ia berbuat apakah" Lekas, lekas ceritakan, aku tak sabar lagi."
"Dia telah merampas sebelah sepatuku!"
"Apa...?"" Kini Ang I Niocu memandang dengan mata terbelatak. "Merampas sepatumu"
Untuk apakah?"
Makin merah wajah Lili. "Entahlah, siapa tahu?" Ia cemberut, sehingga hampir Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin Lin, ibunya. "Aku tak dapat mengejar karena kakiku telanjang. Ia pergi sambil membawa sepatuku dan luka di punggungnya."
"Hmm, aneh... aneh, mengapa Siong-ji menjadi begitu aneh?"
"Masih belum hebat, Ie-ie. Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah bundaku pergi ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
420 "Gila! Apa artinya semua ini, Lili" Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo Sian" Kalau misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuhnya.
Akan tetapi menculik pengemis, untuk apa?"
Sebetulnya Lili merasa enggan untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang mata Ang I Niocu demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus dadanya, maka ia tidak berani menyembunyikannya lagi.
"Harap Ie-ie mendengar dengan tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui sebuah hal amat penting dan mengejutkan hati. Dia menyatakan dan terdengar oleh puteramu bahwa... bahwa... suamimu telah meninggal dunia."
Lili melihat betapa wajah Ang I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan tetapi tidak sebuah pun seruan kaget keluar dari mulutnya.
"Di mana matinya" Bagaimana dan oleh siapa?" hanya demikian tanyanya.
"Inilah soalnya, Ie-ie. Ini pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan terhadap diri Sin-kai Lo Sian, untuk memaksanya memberi keterangan. Ah, kasihan orang tua itu, dia sesungguhnya tak dapat memberi keterangan itu karena ingatannya telah hilang."
"Apakah maksudmu?"
Dengan jelas Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu bangkit berdiri. Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata keluar dari mulutnya lagi. Lili memandang dengan terharu dan kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah. Menderita pukulan batin yang hebat, mendengar kematian suaminya, tidak mencak-mencak atau menangis seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi berdiri mengatur napas dan termenung menenteramkan batin untuk mengatasi pukulan itu.
Tanpa bergerak atau menoleh, tiba-tiba Ang I Niocu berkata,
"Lili, bencikah kau kepada anakku?"
Lili terkejut sekali. Tak pernah disangkanya akan mendapat pertanyaan seperti ini. Ia, seorang gadis yang jujur, apalagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak boleh membohong. Bencikah ia kepada Lie Siong pernuda kurang ajar itu" Wajah pemuda itu seringkali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan kekurangajarannya.
"Tidak, Ie-ie. Penuturanku tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku.
Mengapa aku harus membencinya" Biarpun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan membawa lari sepatuku..."
"Itu tanda dia suka kepadamu, anak bodoh!"
Lili tertegun. "Aku... aku tidak benci kepadanya Ie-ie," katanya dengan hati tetap karena ia tidak membenci ketika mengatakan hal ini.
"Dan kau suka kepadanya?" tanya Pula Ang I Niocu, masih belum bergerak dan tidak menoleh.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
421 Berdebar jantung Lili. Sungguh hebat sekali Ang I Niocu ini, menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan demikian jitu dan langsung, benar-benar menyulitkannya. Agaknya demikian pula kalau pendekar wanita ini menyerang lawan dengan pedang. Jitu, hebat, dan langsung!
"Ie-ie, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu ini" Sungguh sukar bagiku untuk menjawab. Apakah maksudmu dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?"
"Masudku, Lili," kata Ang I Niocu yang kini tiba-tiba menoleh dan memandang tajam kepada gadis itu, "karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh, kaulah yang akan menjadi jodohnya! Dulu ketika aku bertemu dengan puteri Kwee An dan Ma Hoa yang bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa dialah yang patut menjadi mantuku."
"Enci Goat Lan adalah tunangan Engko Hong Beng," Lili memprotes.
"Lebih-lebih begitu. Setelah aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan
memperbolehkan Siong-ji menikah selain dengan engkau!"
Bukan main jengahnya perasaan Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke telinganya dan dadanya berdebar, ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu tanda girang atau marah.
"Tak mungkin, Ie-ie. Puteramu itu telah mencintai seorang gadis lain yang melakukan perjalanan bersama dia!"
"Apakah kau yakin bahwa Siong-ji mencintainya?"
"Aku tidak mau tahu urusan orang lain," jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya kalau marah. "Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya."
"Tak mungkin Siong-ji menjatuhkan hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti engkau.
Ah, sudahlah, hal itu mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau menjadi mantuku?"
"Ie-ie, dalam hal ini, aku hanya menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku dapat memutuskannya sendiri?"
Ang I Niocu memberi tanda ke belakang agar rombongan itu bergerak lagi, tanda bahwa percakapan dengan Lili telah dihabisinya. Kali ini, di sepanjang perjalanan Lili tidak banyak bercakap lagi. Ia merasa kikuk dan malu-malu terhadap Ang I Niocu setelah pendekar wanita itu menyatakan hendak mengambil mantu padanya. Terbayang berganti-ganti wajah Kam Liong, Song Kam Seng, dan Lie Siong. Kam Liong dan Song Kam Seng tak dapat disangkal lagi tentu mencintainya, jelas nampak dalam sikap mereka. Akan tetapi Lie Siong" Benarkah ucapan Ang I Niocu bahwa perampasan sepatu itu menjadi tanda bahwa pemuda itu suka kepadanya" Apakah bukan sekedar menghinanya belaka"
Ketika rombongan sudah tiba di depan pintu gerbang dusun di mana keluarga Haimi itu ditahan, para penjaga menghardik orang-orang Haimi itu.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
422 "Siapa menyuruh kalian datang pada waktu ini" Belum tiba waktunya kalian diperbolehkan masuk ke sini! Mana Saliban" Panggil ia maju, agar dia yang bicara dengan kami," kata kepala penjaga, seorang Mongol yang tinggi besar dan berwajah menyeramkan.
"Bangsat Mongol tak usah banyak buka mulut! Lebih baik buka pintu gerbang dan
minggatlah kau dan orang-orangmu dari sini!" Lili melompat maju sambil menudingkan kipasnya. Semenjak tadi gadis ini telah mencabut kipasnya dan mengipasi tubuhnya yang berkeringat karena perjalanan itu. Keadaan gadis ini dan Ang I Niocu memang di sepanjang jalan menimbulkan keheranan para orang Haimi. Hawa udara amat dinginnya akan tetapi kedua orang wanita itu berpeluh dan nampaknya kepanasan! Mereka tidak tahu bahwa memang Lili dan Ang I Niocu mengerahkan hawa dalam tubuh untuk membikin panas
tubuhnya, melawan hawa dingin dan melancarkan peredaran darah, maka mereka merasa kepanasan sampai berkeringat. Adapun kipas Lili, ini dahulu tidak dirampas oleh Saliban karena tidak seorang pun menduga bahwa kipas itu adalah sebuah senjata yang ampuh dari Lili.
Orang Mongol tinggi besar yang mendengar bentakan ini, tertawa bergelak gelak. "Ha-ha-ha!
Mana Saliban" Bagus benar, ia telah membawa seorang tawanan wanita yang sedemikian cantiknya!
Sayang otaknya agak miring! Akan tetapi aku suka memberinya sepuluh potong uang emas untukmu! Ha-ha-ha!"
Akan tetapi suara ketawanya segera disusul oleh pekik mengerikan ketika Lili menggerakkan kipasnya yang gagangnya dengan telak menotok leher orang Mongol itu. Pekik mengerikan ini hanya keluar untuk mengantar nyawanya meninggalkan raganya.
Gegerlah seketika karena orang-orang Haimi juga sudah menyerbu dan menyerang para penjaga Mongol itu. Juga Ang I Niocu segera bergerak, pedangnya merupakan halilintar menyambar-nyambar dan di mana sinar pedangnya berkelebat, sebuah kepala orang Mongol terpisah dari lehernya! Amukan Lili dan Ang I Niocu sedemikian hebatnya sehingga sebentar saja sisa para penjaga Mongol itu melarikan diri sambil berteriak-teriak ketakutan, meninggalkan kawan-kawan mereka yang sudah tewas bertumpuk-tumpuk di luar pintu gerbang.
Pertemuan antara keluarga Haimi dan para perajurit Haimi itu sungguh amat mengharukan.
Akan tetapi Ang I Niocu segera memberi perintah agar semua orang segera meninggalkan kampung itu dan beramai-ramai menuju ke timur. Di sebelah timur terdapat sebuah hutan lebat di lereng Bukit Alkata-san dan di sinilah mereka berhenti. Ang I Niocu tidak takut akan pembalasan orang-orang Mongol, akan tetapi tentu saja sukar baginya untuk melindungi sekian banyaknya orang apabila terjadi pertempuran dengan orang-orang Mongol. Setelah berada di tengah hutan, orang-orang Haimi lalu membuat pagar dan pondok-pondok darurat, kemudian diadakan penjagaan yang kuat.
Setelah itu, orang Haimi yang tua itu lalu memimpin kawan-kawannya untuk berlutut menghaturkan terima kasih kepada Lili dan Ang I Niocu.
"Lili, kaupimpin orang-orang ini. Kasihan mereka. Aku mendengar bahwa bala tentara kerajaan dan orang-orang gagah sedang melakukan penjagaan untuk memukul mundur orang-Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
423 orang Mongol. Kalau keadaan sudah aman, barulah kautinggalkan orang-orang ini, atau boleh kau serahkan kepada penjagaan tentara kerajaan."
"Aku akan memimpin mereka mencari kerajaan di mana terbenteng tentara kerajaan di mana terdapat pula Engko Hong Beng, Enci Goat Lan dan mungkin kedua orang tuaku Ie-ie."
"Hmm, jadi Cin Hai dan Lin Lin juga sudah turun tangan untuk mengusir orang-orang Mongol" Bagus! Sayang sekali aku tidak ada nafsu untuk mencampuri pertempuran ini. Aku hendak mencari puteraku, dan untuk mencari pembunuh suamiku. Kaubawalah mereka ke mana kau suka, Lili, akan tetapi berhati-hatilah. Melihat ilmu silatmu aku percaya sepenuhnya bahwa kau akan dapat melakukan tugas ini."
Setelah berkata demikian dan memelyk Lili, Ang I Niocu lalu berkelebat pergi. Dalam pandangan mata orang-orang Haimi yang berada di situ, nyonya merah ini sama saja dengan menghilang karena lompatannya demikian cepat sehingga tidak kelihatan lagi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali.
"Untuk sementara, dalam beberapa hari ini, biar kita beristirahat dulu di sini," kata Lili kepada orang-orang Haimi itu, "kita mengumpulkan tenaga dan menjaga kalau-kalau ada pasukan Mongol yang menyerang. Kemudian, kita harus pergi ke lereng Alkata-san untuk mencari benteng pertahanan tentara kerajaan."
Kait Perpisahan 3 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Harpa Iblis Jari Sakti 8
Setelah Ban Sai Cinjin tidak berhasil mengadakan persekutuan jahat dengan Perwira Bu Kwan Ji, maka kakek jahat ini lalu pergi dan langsung menuju ke utara. Ia mengubah cita-citanya. Kini ia berusaha menggunakan kekuatan tentara Mongol, berpura-pura membantu Malangi Khan untuk kemudian setelah mendapat kemenangan, merampas kedudukan tinggi di kerajaan! Ia terkenal hartawan dan dengan mempergunakan hartanya, banyak orang yang gagah-gagah yang terbujuk oleh Ban Sai Cinjin untuk membantu usahanya yang penuh khianat ini.
Ketika secara tiba-tiba Ban Sai Cinjin melihat Lie Siong, tak tertahan lagi ia segera membentak dan memandang dengan penuh kebencian. Sebaliknya, Lie Siong yang sudah pernah melihat Ban Sai Cinjin juga timbul marahnya.
"Setan tua, kau berada di sini" Orang macam kau tentu tidak mempunyai maksud baik!"
bentak Lie Siong sambil mencabut pedangnya. Akan tetapi pada saat itu, Ban Sai Cinjin telah melihat Lo Sian dan kakek ini memandang dengan wajah berubah. Ketika kakek mewah ini melihat betapa Lo Sian seakan-akan tidak mengenalnya, ia menjadi lega dan bertanya,
"Pengemis tua ini bukankah gurumu?" kata-kata ini mengandung sindiran dan juga
percobaan untuk menguji apakah Lo Sian masih belum sembuh dari pengaruh racun yang dulu ia jejalkan ke mulutnya.
"Bangsat tua tak usah banyak mulut! Minggirlah dan beri kami jalan sebelum kesabaranku habis!" kata Lie Siong. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali Lie Siong rnenyerang saja kakek itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia sudah maklum akan kepandaian Ban Sai Cinjin, dan dengan adanya Lo Sian dan Lilani di situ, akan lebih beratlah tugasnya. Kepandaian kedua orang ini masih jauh untuk dapat menghadapi Ban Sai Cinjin dan kalau kakek mewah ini mengganggu mereka, akan sukarlah baginya untuk melindungi mereka. Oleh karena ini maka Lie Siong menahan kesabarannya dan kalau mungkin hendak menjauhi kakek lihai ini tanpa pertempuran.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
391 Akan tetapi pengemis yang menyeramkan itu ketika melihat Lo Sian, rambutnya dan jenggotnya yang kaku seakan-akan menjadi semakin kaku, sepasang matanya memandang marah.
"Bukankah kau yang bernama Sin-kai Lo Sian?" tanyanya sambil menudingkan jari
telunjuknya ke arah Lo Sian.
Sesungguhnya pada saat itu Lo Sian sedang memandang kepada Ban Sai Cinjin dengan mata terbelalak. Ia merasa seperti pernah melihat orang tua yang berpakaian mewah dengan baju bulu itu, akan tetapi lupa lagi di mana. Ketika mendengar orang menyebutkan namanya, ia lalu memandang kepada pengemis yang menyeramkan itu sambil menjawab,
"Benar, kawan. Aku adalah Lo Sian."
"Bagus!" seru Coa-ong Lojin dengan marah. "Kaulah yang menjadi biang keladi dan mengacau perkumpulanku ketika aku pergi. Tidak ingatkah kau?" Memang dahulu di waktu mudanya, pernah Lo Sian mengobrak-abrik Coa-tung Kai-pang, akan tetapi tentu saja ia tidak ingat lagi akan hal itu.
Ia hendak menjawab, akan tetapi tidak diberi kesempatan oleh Coa-ong Lojin yang telah menyerangnya dengan tangan kosong. Ilmu silat dari raja pengemis ini benar-benar hebat.
Sepasang lengannya bergerak bagaikan dua ekor ular dan mengarah kepada leher dan lambung Lo Sian.
Lie Siong melihat hebatnya serangan ini, maka cepat ia melompat dan menggerakkan pedangnya menahan serangan itu sambil membentak, "Pengemis hina, jangan berlaku sombong di depan kami!"
Coa-ong Lojin terkejut sekali melihat berkelebatnya sinar pedang di tangan Lie Siong.
Sungguhpun pedang itu tidak diserangkan kepadanya, hanya dipergunakan untuk menjaga Lo Sian, namun lidah pedang naga yang panjang berwarna merah itu menyambar ke jurusan urat nadi tangan kanannya. Sambil berseru keras ia menarik kembali tangannya dan kemudian menyerang Lie Siong dengan hebat. Dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu sebatang tongkat bengkak-bengkok seperti ular telah berada di tangannya dan tongkat itu dipergunakan untuk menyerang dada Lie Siong. Tentu saja pemuda ini tidak berlaku lambat dan cepat menangkis dengan keras untuk mematahkan tongkat itu. Akan tetapi ia kaget sekali karena ternyata bahwa tongkat itu sama sekali tidak menjadi rusak ketika beradu dengan pedangnya dan ketika mereka bertempur, Lie Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu tongkat pengemis ini hebat luar biasa! Memang, Coa-ong Lojin adalah seorang berilmu tinggi dan ia sendiri yang menciptakan Ilmu Tongkat Hoa-tung-hwat ini. Seorang yang telah dapat menciptakan ilmu silat tentu dapat dibayangkan betapa tinggi dan mahir dia dalam hal ilmu silat.
Tentu saja Lie Siong tidak mau kalah, untungnya ia telah mempelajari gin-kang luar biasa dari ibunya, dan dalam hal ilmu silat, ibunya telah menggemblengnya semenjak kecil sehingga ia telah memiliki kepandaian yang tinggi.
Lo Sian ketika melihat betapa Lie Siong telah bertempur dengan hebat, tidak mau tinggal diam dan demikian pula Lilani. Mereka berdua maju bersama untuk membantu Lie Siong.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
392 Akan tetapi dari samping berkelebat bayangan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dibarengi suaranya yang parau.
"Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel. Kau masih belum melupakan ilmu silatmu?" Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin lalu menghadapi Lilani dan Lo Sian. Tentu saja kedua orang itu bukan lawannya dan sebentar saja ujung huncwenya telah dapat menotok roboh Lilani dan Lo Sian! Kemudian sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin menyerbu dan membantu Coa-ong Lojin mengeroyok Lie Siong!
Kalau hanya menghadapi Coa-ong Lojin atau Ban Sai Cinjin seorang saja Lie Siong pasti akan dapat mempertahankan diri dan belum tentu kalah. Akan tetapi kini ia dikeroyok oleh dua orang kakek yang lihai itu, tentu saja ia menjadi repot sekali. Apalagi ia merasa amat gelisah ketika melihat betapa Lo Sian dan Lilani telah dirobohkan oleh Ban Sai Cinjin.
Kebenciannya terhadap Ban Sai Cinjin meluap-luap dan pedang naganya ditujukan terus untuk merobohkan kakek mewah ini. Oleh karena perhatiannya terutama ditujukan untuk menghadapi kakek ini, maka setelah pertempuran berjalan hampir lima puluh jurus, ujung tongkat ular dari Coa-ong Lojin dengan tepat menotok pundaknya dari kanan. Lie Siong mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terhuyung-huyung, pedangnya terlepas dari pegangan dan robohlah ia tak sadarkan diri lagi!
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. "Kita bawa mereka ke rumahku!" katanya setelah mengambil pedang Lie Siong, dan Coa-ong Lojin lalu berlari cepat, menuju ke rumah gedung milik Ban Sai Cinjin.
Di kota ini Ban Sai Cinjin amat berpengaruh. Kota ini telah ditinggalkan oleh para petugas dan penjaga, maka siapa yang berani menghalangi kakek mewah yang kaya dan lihai ini"
Ketika tadi terjadi pertempuran, orang-orang telah meninggalkan jalan itu sehingga sepi.
Setelah tiba di dalam gedung, Ban Sai Cinjin lalu melemparkan tubuh Lie Siong dalam sebuah kamar. "Dia yang paling berbahaya," katanya. Kemudian ia membawa Lo Sian dan Lilani ke dalam ruang depan. Dengan sekali tepuk saja Lilani dan Lo Sian siuman kembali dari keadaan yang tak berdaya. Lilani segera menghampiri Lo Sian dan memegang tangan kanan pengemis ini dengan wajah pucat dan penuh kekuatiran. Sebaliknya Lo Sian tetap tenang, berdiri memandang kepada Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin.
"Ban Sai Cinjin, apakah yang hendak kaulakukan kepada dua orang ini?" tanya Coa-ong Lojin sambil tertawa-tawa dan menenggak arak yang sudah tersedia di atas meja. Matanya yang besar itu mengerling ke arah Lilani penuh gairah.
Ban Sai Cinjin tersenyum. "Kalau kau suka bunga Haimi ini, ambillah," katanya kepada kawannya itu yang hanya tertawa saja. "Dia sudah menyebabkan kematian banyak orang tamuku, bahkan rumahku sampai dibakar oleh pemuda tadi! Adapun pengemis ini... ah, lihat, bukankah dia seperti boneka hidup?" Ia mendekati Lo Sian yang menentang pandang matanya dengan berani.
"Lo Sian, kau benar-benar sudah lupa kepadaku?"
Sesungguhnya Lo Sian sama sekali tidak ingat lagi kepada Ban Sai Cinjin, akan tetapi ia telah mendengar banyak dari Lili tentang kakek mewah ini, maka dengan senyum mengejek ia berkata,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
393 "Sungguhpun ingatanku sudah banyak berkurang dan aku tak pernah bertemu kau, akan tetapi aku sudah cukup banyak mendengar namamu, Ban Sai Cinjin! Kau seorang pandai yang jahat dan tidak berperikemanusiaan. Kalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah. Akan tetapi jangan kau mengganggu Nona ini, karena dia hendak mencari dan kembali kepada bangsanya, orang-orang Haimi. Dan pula, pemuda itu harap kaubebaskan, jangan kau mengganggu putera seorang pendekar besar yang berjiwa bersih. Dia adalah putera dari pendekar besar Lie Kong Sian, harap kau mengingat nama ayahnya dan melepaskannya!"
Tadi ketika mendengar bahwa Lilani sedang mencari suku bangsanya, Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin saling pandang dengan muka berubah. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda yang ditawannya itu adalah putera Lie Kong Sian, tiba-tiba wajah Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan kaget sekali.
"Apa..." Dia putera Lie Kong Sian... Kalau begitu kau... kau ingat lagi akan peristiwa dahulu...?""
Lo Sian sebetulnya tidak mengerti maksud pertanyaan ini, akan tetapi dia adalah seorang yang banyak pengalaman dan cerdik. Sengaja ia mengangguk dan berkata, "Mengapa tidak ingat" Kaumaksudkan peristiwa dahulu tentang Lie Kong Sian Tai-hiap" Tentu saja!"
"Bangsat rendah! Jadi kau sengaja membawa puteranya untuk mencariku" Ah, kalau begitu kalian harus mampus!"
Kakek mewah ini bangkit berdiri dan huncwe mautnya sudah dipegang erat-erat di dalam tangannya.
"Nanti dulu, sahabat," tiba-tiba Coa-ong Lojin mencegahnya. "Kau boleh saja membunuh Lo Sian, akan tetapi gadis ini..." ia menghampiri Lilani yang menjadi ketakutan. "Eh, Nona, benar-benarkah kau hendak pergi mencari bangsamu?"
Lilani mengangguk tanpa dapat mengeluarkan suara jawaban.
"Kenalkah kau kepada Saliban?"
"Dia adalah pamanku."
Kembali Coa-ong Lojin dan Ban Sai Cinjin saling pandang.
"Biar aku yang membawamu kepada pamanmu, Nona!" kata Ban Sai Cinjin. "Pamanmu
adalah kawan baik kami, jangan kuatir, kami takkan mengganggumu. Akan tetapi pengemis ini dan pemuda tadi harus mampus!"
"Jangan bunuh mereka!" Lilani menjerit dengan bingung dan ia bersikap untuk melawan mati-matian guna membela Lo Sian dan Lie Siong.
"Kau tidak tahu, Nona. Mereka ini orang-orang berbahaya yang kelak hanya akan
menggagalkan rencana kita, rencana kami dan pamanmu. Nah, Lo Sian, kau bersiaplah untuk mampus!" Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian. Sementara itu, Lo Sian semenjak tadi telah memutar otaknya. Ah, pasti ada apa-apanya dalam ucapan Ban Sai Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
394 Cinjin tadi. Kakek mewah ini pasti tahu akan kematian Lie Kong Sian dan menurut ucapannya tadi, sangat boleh jadi Lie Kong Sian terbunuh oleh Ban Sai Cinjin.
"Ban Sai Cinjin!" katanya sambil memandang tajam sama sekali tidak gentar menghadapi saat-saat maut iu. "Jadi kaukah yang membunuh Lie Kong Sian?"
Terdengar suara ketawa yang parau dan menyeramkan dari kakek mewah itu. "Ha-ha-ha!
Kau kini berpura-pura tidak tahu" Sebentar lagi kau boleh menyusul dia!!" Huncwenya terayun, akan tetapi tiba-tiba Lilani menubruk Lo Sian, melindunginya dan berteriak keras,
"Jangan bunuh dia!"
"Lilani, minggirlah, biar aku menghadapinya. Aku tidak takut mati," kata Lo Sian. "Sekarang puaslah hatiku karena aku sudah tahu siapa yang membunuh Lie Kong Sian Tai-hiap."
Akan tetapi Lilani memegangi tangan Lo Sian dan tidak mau melepaskannya. Ban Sai Cinjin kembali mengangkat huncwenya, siap untuk dipukulkan. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan sesosok bayangan melompat masuk dari pintu depan.
"Ban Sai Cinjin, manusia rendah! Jadi kaukah yang mendalangi semua pemberontakan dan pengkhianatan?" Ketika Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin menengok, mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar yang berwajah kasar berdiri sambil bertolak pinggang.
"Sin-houw-enghiong Kam Wi!" kata Ban Sai Cinjin dengan alis dikerutkan. "Kau yang kudengar sudah bertapa mengasingkan diri di Kun-lun-san, datang ke sini mau apakah" Aku mempunyai perhitungan lama dengan Sin-kai Lo Sian, apakah kau mau mencampuri urusan orang lain?"
"Ban Sai Cinjin, jangan kau memutar balik persoalan. Urusan dengan segala macam pengemis tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, tadi mendengar bahwa kau adalah sahabat dari Saliban, maka mudah saja diduga bahwa tentu kau pula yang membujuk orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk menjadi pengkhianat-pengkhianat amat rendah. Dan hal ini, aku Sin-houw-enghiong Kam Wi tak dapat membiarkannya begitu saja!"
Sambil berkata demikian ia melirik ke arah Coa-ong Lojin, karena sesungguhnya ketika tadi menyatakan bahwa urusan dengan segala macam pengemis ia tidak mempunyai sangkut-paut diam-diam ia telah menyindir Coa-ong Lojin.
Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. "Kam Wi, kau manusia macam apa
berani berlagak besar-besaran di hadapanku" Sepak-terjangku yang manapun juga, kau tidak boleh tahu dan tidak boleh mencampuri. Urusan hubunganku dengan Saliban, baik kita bicarakan nanti setelah aku bikin mampus pengemis hina ini!" Ia kembali hendak
menghampiri Lo Sian yang masih dipegangi lengannya oleh Lilani.
"Tahan dulu! Tidak boleh kau mengabaikan aku begitu saja, Ban Sai Cinjin! Kaukira aku orang macam apa maka tidak kaulayani lebih dulu?"
Kini Ban Sai Cinjin benar-benar menjadi marah. "Kam Wi, biarpun orang lain boleh takut mendengar kepandaianmu Houw-jiauw-kang, akan tetapi aku Ban Sai Cinjin tidak takut!
Sebetulnya apakah kehendakmu?"
"Kau harus ikut dengan aku ke kota raja untuk menerima kuhuman atas pengkhianatanmu!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
395 "Ho-ho! Sejak kapan tokoh Kun-lun-pai menjadi kaki tangan kaisar?" Ban Sai Cinjin menyindir.
"Ban Sai Cinjin, dengan membawamu ke kota raja, berarti aku masih memandang mukamu sebagai orang kang-ouw. Aku selamanya tidak mempedulikan urusan pemerintah, akan tetapi kalau negara sedang dikacau musuh dan timbul pengkhianat seperti engkau, aku harus turun tangan. Tinggal kau pilih, kubawa ke kota raja atau kau minta diadili oleh orang-orang kangouw sendiri!"
"Kalau aku memilih yang terakhir?" tantang Ban Sai Cinjin.
"Hukuman dunia kang-ouw bagi seorang pengkhianat bangsa hanyalah kematian!"
"Bagus, Kam Wi! Kau hendak menghukum mati kepadaku" Ha-ha-ha! Aku merasa seperti mendengar seekor kucing hendak membunuh harimau! Majulah biar aku membereskan jiwa anjingmu dulu sebelum aku bikin mampus Lo Sian!"
Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin menggerakkan huncwenya, akan tetapi Coa-ong Lojin yang semenjak tadi sudah menjadi marah sekali kepada Kam Wi yang dianggapnya sombong, segera mendahuluinya berkata,
"Sahabat Ban Sai Cinjin, biar aku sendiri yang membereskan cacing dari bukit Kun-lun-san ini!" Karena melihat bahwa Kam Wi tidak bersenjata, Coaong Lojin tidak mau merendahkan diri dengan menyerang dan menggunakan senjata tongkatnya. Ia maju memukul dengan tangan kosong.
Kam Wi cepat mengelak. "Ha-ha, sejak tadi aku sudah menduga bahwa kau tentulah raja pengemis Coa-tung Kai-pang yang jahat dan hina dina! Hayo keluarkan tongkatmu yang lapuk itu, hendak kulihat betapa jahatnya tongkat ularmu."
"Bangsat she Kam! Sudah lama aku mendengar bahwa Houw-jiauw-kang dari Kun-lun-pai adalah hebat sekali. Kebetulan sekali kau datang mengantar kesombonganmu di sini, biar kucoba sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersikap sesombong ini!" Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu menyerang dengan kedua tangan dibuka dan jari-jari tangannya mengeras dan menegang. Melihat betapa kedua tangan pengemis itu kini tergetar dan mengeluarkan cahaya kehitaman, tahulah Kam Wi bahwa lawannya ini memiliki ilmu pukulan yahg ia dengar disebut Hek-coa-tok-jiu (Tangan Racun Ular Hitam) yang amat berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut dan cepat ia mengelak lalu mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Tangan kanannya mencengkeram ke arah lambung lawan dan hampir saja lambung Coa-ong Lojin menjadi korban. Harus diketahui bahwa tidak saja Ilmu Silat Houw-jiauw-kang ini amat hebat, akan tetapi juga tenaga lwee-kang dari Kam Wi sudah mencapai tingkat tinggi sehingga biarpun cengkeramannya tidak mengenai sasaran, namun angin pukulannya telah membuat lawannya merasa lambungnya terlanggar benda tajam! Coaong Lojin menjadi terkejut sekali dan tahulah dia bahwa tokoh Kun-lun-pai ini benar-benar tak boleh dibuat permainan! Ia lalu bersilat dengan amat hati-hati.
Namun segera ternyata bahwa kepandaian Kam Wi benar-benar lebih menang setingkat.
Selain ia menang tenaga, juga gin-kangnya amat mengagumkan. Kedua kakinya berlompatan bagaikan seekor harimau dan kedua tangannya amat panas ganas. Sekali saja Coa-ong Lojin Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
396 kena sampok atau diterkam, pasti akan celakalah dia. Hal ini dimaklumi sedalamnya oleh Coa-ong Lojin, maka setelah bertempur dua puluh jurus lebih, raja pengemis yang berlaku hati-hati ini mulai terdesak dan main mundur.
"Ha-ha-ha, begini sajakah kepandaian raja pengemis dari Coa-tung Kai-pang" Hayo, jembel busuk, keluarkan kepandaianmu! Mana tongkatmu pemukul anjing itu?" Kam Wi mengejek sambil menyerang makin hebat.
Sementara itu, Lo Sian dan Lilani menyaksikan pertempuran itu dengan hati gelisah. Lo Sian maklum bahwa biarpun kepandaian tokoh Kun-lun-pai ini lebih tinggi, namun apabila Ban Sai Cinjin maju mengeroyok, akan celakalah dia. Ia merasa bingung sekali. Untuk membantu, ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh.
Tiba-tiba terdengar Lo Sian berseru keras, "Sin-houw-enghiong, awas belakang!" Sebetulnya seruan ini tidak perlu lagi, karena Kam Wi yang berkepandaian tinggi sudah mendengar adanya suara angin pukulan amat hebat menyambar dari belakang. Pada saat itu ia sedang mendesak Coa-ong Lojin, maka ketika mendengar suara pukulan dari belakang dan melihat berkelebatnya huncwe maut yang berkilauan, cepat ia berseru keras sekali. Tubuhnya mumbul ke atas dan kaki kanannya menendang ke depan untuk menghalangi serangan gelap dari Coaong Lojin. Dengan lompatan tinggi yang dilakukan dengan gin-kang hebat ini selamatlah ia dari serangan Ban Sai Cinjin yang dilakukan dengan cara pengecut sekali itu. Setibanya tubuhnya di atas, Kam Wi lalu menukar kedudukan kakinya, kaki kiri yang ditekuk ke belakang itu tiba-tiba ditendangkan pula ke arah Coa-ong Lojin, sedangkan kaki kanan bagaikan halilintar menyambar dengan sepakan ke belakang sehingga kedua kaki itu menggunting. Kaki kanan menyerang ke arah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin! Inilah gerakan tendangan berantai yang disebut Soan-hoang-twi yang lihai sekali karena sepasang kaki itu melakukan tendangan dengan tenaga seribu kati beratnya!
"Bangsat Ban Sai Cinjin, kau benar-benar curang sekali!" seru Kam Wi yang kini telah turun lagi ke bawah. Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mempedulikan makian ini, dengan muka merah saking marah dan malunya ia lalu menyerang dengan huncwe mautnya, sedangkan Coa-ong Lojin juga sudah mencabut tongkat ularnya!
Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai itu benar-benar tangguh karena selain ilmu silatnya sudah tinggi, ia memiliki banyak sekali pengalaman bertempur melawan orang-orang pandai. Akan tetapi kali ini ia menghadapi dua orang jago kawakan yang tingkat kepandaiannya sudah sama dengan dia, maka dengan bertangan kosong saja menghadapi mereka, bagaimana ia dapat bertahan"
Lo Sian dan Lilani yang telah menjadi bingung itu baru teringat bahwa kalau Lie Siong dapat membantu, tentu Kam Wi akan dapat menghadapi dua orang lawan jahat itu, maka ketika melihat betapa dua orang kakek itu sedang mengeroyok Kam Wi, Lo Sian dan Lilali lalu berlari ke dalam kamar di mana Lie Siong tadi dilempar oleh Ban Sai Cinjin. Mereka melihat pemuda ini masih rebah tak bergerak, hanya napasnya saja yang masih ada seperti orang pingsan. Cepat Lo Sian menepuk pundak pemuda itu dan mengurut jalan darahnya. Akan tetapi ia tidak dapat membebaskan Lie Siong dari totokan Coa-ong Lojin yang selain lihai, juga berbeda dengan totokan biasa. Betapapun Lo Sian mengurut-urut pundak Lie Siong, tetap saja pemuda itu tidak sadar dan pundaknya bahkan ada tanda titik merah sebesar kacang kedelai. Lo Sian menjadi gelisah sekali sedangkan Lilani lalu mulai menangis sambil memeluki tubuh Lie Siong.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
397 "Mari kita bawa dia lari keluar dari sini saja!" kata Lilani.
"Kau boleh bawa dia lari, Lilani. Akan tetapi aku tidak dapat meninggalkan Sin-houw-enghiong begitu saja. Aku harus membantunya, biarpun untuk usaha ini akan tewas. Tidak selayaknya aku meninggalkan seorang penolong begitu saja mati sendiri!"
Lilani dapat memaklumi sifat gagah dari Lo Sian ini. Dia sendiri pun kalau tidak ingat akan keselamatan Lie Siong yang dicintanya, belum tentu sudi meninggalkan Kam Wi dalam keadaan terancam bahaya seperti itu. Maka gadis ini lalu memondong tubuh Lie Siong dan berkata, "Lo-enghiong, berlakulah hati-hati!" kemudian ia melompat keluar dari pintu belakang.
Lo Sian segera kembali ke ruang depan dan ia melihat betapa Kam Wi kini telah terdesak hebat sekali. Sungguh amat lucu dan harus dikasihani orang tinggi besar ini yang bertangan kosong, melompat ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat dan huncwe maut. Ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangan kedua orang lawannya.
"Sin-houw-enghiong, biar siauwte membelamu dengan nyawaku!" tiba-tiba Lo Sian berseru keras. Pengemis Sakti ini telah melepaskan ikat pinggangnya dan ia menyerbu bersenjatakan ikat pinggang ini. Biarpun ikat pinggang itu hanya terbuat dari sehelai kain, namun di dalam tangan seorang ahli dapat menjadi senjata yang cukup berbahaya. Dan sesungguhnya, kepandaian Lo Sian sudah mencapai tingkat tinggi juga, hanya saja apabila dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin, atau Sin-houw-enghiong Kam Wi, ia masih ketinggalan amat jauh!
Lo Sian amat benci kepada Ban Sai Cinjin, sungguhpun ia tidak ingat lagi akan perlakuan kejam kakek mewah ini terhadapnya belasan tahun yang lalu. Mungkin perasaan hatinya membisikkan sesuatu karena baru melihatnya saja, Lo Sian sudah merasa benci sekali. Oleh karena itu, begitu ia menyerbu ia tujukan ikat pinggangnya untuk menyerang Ban Sai Cinjin.
Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali. "Jembel kelaparan! Aku tidak akan mengampuni jiwamu untuk kedua kalinya!" Sambil berkata demikian, huncwenya bergerak cepat dan ia sengaja menangkis ikat pinggang itu, terus memutar huncwenya sedemikian rupa. Sebetulnya ikat pinggang itu ketika dipergunakan oleh Lo Sian, telah menjadi kaku seperti besi. Akan tetapi begitu beradu dengan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin, tenaga lwee-kang yang disalurkan oleh Lo Sian ke dalam ikat pinggangnya menjadi buyar karena ia memang kalah tenaga sehingga ikat pinggang menjadi lemas lagi. Karena ikat pinggang itu kini telah melibat huncwe, ketika Ban Sai Cinjin mengerahkan tenaga membetotnya, terlepaslah ikat pinggang itu dari tangan Lo Sian. Dalam keadaan terhuyung-huyung Lo Sian hendak mempertahankan diri, akan tetapi tangan kiri Ban Sai Cinjin cepat meluncur maju dan sekali totok saja robohlah Lo Sian dengan tubuh lemas. Jalan darah kin-hun-hiat di bagian iganya telah kena ditotok sehingga biarpun pikirannya masih terang dan panca inderanya masih dapat dipergunakan, namun seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi.
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, akan tetapi cepat ia kembali mengeroyok Kam Wi, karena sebentar saja ia meninggalkan Kam Wi untuk menghadapi Lo Sian, keadaan Coa-ong Lojin menjadi terdesak hebat oleh jagoan dari Kun-lun-pai itu. Kini kembali Kam Wi terkurung dan jago Kun-lun yang sudah lelah ini pun akhirnya kena ditendang roboh oleh Ban Sai Cinjin!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
398 "Ha-ha-ha!" Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, dan dengan amat tenangnya ia lalu memasang tembakau pada pipanya yang panjang, menyalakan tembakaunya dan mengebulkan asap yang wangi. Ia nampak puas sekali, demikian pun Coa-ong Lojin.
"Kita bereskan saja mereka sekarang juga agar jangan merupakan gangguan lagi!" kata pengemis tongkat ular itu.
"Nanti dulu, aku mau bicara sedikit kepada mereka," jawab Ban Sai Cinjin yang segera menghampiri Kam Wi yang sudah menggeletak di lantai dengan mata melotot
memandangnya penuh keberanian.
"Orang she Kam! Sesungguhnya tidak ada permusuhan di antara kita, akan tetapi kau sendiri yang datang mencari mampus, maka jangan menjadi penasaran kalau hari ini kau menemui maut. Kalau kau memiliki kepandaian lebih tinggi, tentu bukan engkau melainkan kami yang menggeletak di sini tak bernyawa lagi! Sebelum aku membunuhmu, ketahuilah bahwa memang sesungguhnya aku yang mengadakan persekutuan dengan bangsa Mongol! Kau tahu mengapa" Karena Kaisar amat lemah, tidak pantas menjadi seorang junjungan! Aku tahu, kau membela Kaisar karena keponakanmu, Kam-ciangkun, menjadi panglima kerajaan. Karena itu aku harus membunuhmu!"
Kemudian Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian dan berkata, "Kau pengemis jembel hina dina, selalu kau mencampuri urusanku, selalu kau menghalangi jalanku. Agaknya memang dahulu di dalam penjelmaan yang lalu kau telah berhutang nyawa kepadaku maka sekarang kau takkan mampus kalau tidak di tanganku. Dulu aku sudah mengampuni jiwamu dan hanya merampas ingatanmu, akan tetapi agaknya kau iri hati kepada Lie Kong Sian dan suhengmu Mo-kai Nyo Tiang Le. Kau juga harus mampus!"
Bukan main kagetnya hati Lo Sian mendengar ini. Baru sekarang ia tahu bahwa yang membuat ia menjadi gila dan kehilangan pikiran adalah Ban Sai Cinjin, yang membunuh Lie Kong Sian juga orang ini, bahkan suhengnya, Mo-kai Nyo Tiang Le sebagaimana yang telah diceritakan oleh Lili kepadanya, agaknya juga telah terbunuh oleh penjahat besar ini! Akan tetapi apa dayanya" Ia telah berada di dalam tangan orang ini dan agaknya tak lama lagi ia akan mati, maka seperti juga Kam Wi, Lo Sian hanya memandang dengan mata melotot, sedikit pun tidak merasa takut.
"Coa-ong Lojin, kauhabiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!" kata Ban Sai Cinjin sambil mengangkat huncwenya, hendak diketokkan ke arah kepala Lo Sian, sedangkan Coa-ong Lojin juga mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke arah jalan darah atau urat kematian dari Kam Wi!
Akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang yang luar biasa sekali bagaikan halilintar menyambar dan "trang-trang!" tongkat dan huncwe itu telah tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin maupun Coa-ong Lojin merasa telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu melangkah mundur sampai lima tindak.
Ketika dua orang ini mengangkat muka memandang, berubahlah air muka mereka bahkan Coa-ong Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal takut itu kali ini nampak gentar juga. Dua orang yang menggerakkan pedang secara luar biasa sekali dan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
399 berhasil mencegah Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun.
Yang laki-laki gagah sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, sepasang matanya membayangkan kejujuran hati yang tulus dan di tangannya nampak sebatang pedang yang berkilau cahayanya. Yang wanita biarpun sudah setengah tua, nampak cantik sekali dengan bibir mengandung senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang bersinar penuh keberanian.
Pantas saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin merasa gentar menghadapi sepasang orang gagah ini, karena mereka bukan lain adalah suami isteri yang amat terkenal yaitu Pendekar Bodoh dan isterinya! Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh dan Lin Lin, isterinya yang
berkepandaian tinggi, datang pada saat yang amat tepat untuk menolong nyawa Lo Sian dan Kam Wi.
"Pendekar Bodoh?" bibir Ban Sai Cinjin masih sempat mengeluarkan kata-kata yang membayangkan kegelisahannya.
Cin Hai terseyum, senyum yang dingin. "Ban Sai Cinjin, telah lama aku mendengar namamu.
Telah lama aku ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Bouw Hun Ti untuk menagih hutang. Sekarang kebetulan sekali kami berdua sempat menghalangi terjadinya sebuah di antara kekejamanmu. Akan tetapi oleh karena aku telah menerima tantangan suhengmu, Wi Kong Siansu, dan karena kau tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan aku, kali ini aku takkan mengganggumu! Pergilah!"
Bukan main malu dan marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. Ia berada di rumah sendiri, bagaiman Pendekar Bodoh ini berani mengusirnya begitu saja seperti seekor anjing"
Biarpun ia telah mendengar nama besar Pendekar Bodoh dan tentang kelihaiannya, akan tetapi belum pernah merasakan kelihaian itu dan pula dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut, bukanlah seorang bubeng-siauw-cut (orang rendah tak terkenal) juga bukan orang biasa.
"Pendekar Bodoh, lagakmu benar-benar sama besarnya dengan namamu, akan tetapi aku masih meragukan apakah kepandaianmu juga sebesar itu. Aku berada di rumahku sendiri, bagaimana kau bisa mengusirku?" lagak Ban Sai Cinjin menantang.
"Aku tidak mengusirmu pergi dari rumahmu, hanya minggat dari depan mataku. Sebal aku melihatmu!" kata Lin Lin yang mewakili suaminya.
Makin merah muka Ban Sai Cinjin. Kedua kaki tangannya berbunyi karena ia telah menahan kemarahannya sambil mengepalkan tinju sehingga pipa yang digenggamnya hampir remuk!
"Kalau aku tidak mau pergi?" tantangnya.
"Mau atau tidak, pergilah!" bentak Pendekar Bodoh sambil melangkah cepat ke arah kakek mewah itu.
Ban Sai Cinjin ketika melihat betapa Pendekar Bodoh menghampirinya tanpa memegang pedang, timbul sifat pengecut dan liciknya. Tiba-tiba ia menggerakkan huncwe mautnya yang dipukulkan sehebatnya ke arah kepala Cin Hai! Akan tetapi Ban Sai Cinjin kecelik besar kalau mengira bahwa serangan tiba-tiba secara pengecut ini akan dapat menghancurkan kepala Pendekar Bodoh. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai telah memiliki kepandaian yang luar biasa sekali yang diwarisinya dari suhunya, yaitu Bu Pun Su. Kepandaian yang luar biasa Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
400 sekali, yaitu pengertian tentang dasar dan pokok segala macam gerakan tubuh manusia di waktu melakukan gerakan silat. Oleh karena itu, menyerang Pendekar Bodoh dengan tiba-tiba dan tak tersangka, sama saja sukarnya dengan menyerang angin!
Belum juga huncwe itu bergerak, baru gerakan pundak Ban Sai Cinjin saja sudah dapat dilihat dan diketahui oleh Cin Hai, sehingga sebelum huncwe melayang ke kepalanya, ia telah tahu bahwa huncwe itu akan melayang dan menyerangnya. Dengan tenang sekali Cin Hai mendiamkan saja, akan tetapi setelah huncwe melayang dekat dan Ban Sai Cinjin sudah merasa girang sekali tiba-tiba terdengar seruan kaget dari Ban Sai Cinjin dan tubuh kakek ini terlempar dan melayang keluar dari pintu ruangan itu! Suara tubuhnya jatuh berdebuk disusul berkelontangnya huncwe yang menyusulnya!
Bukan main terkejut dan herannya hati Ban Sai Cinjin. Bagaimana bisa terjadi hal seperti itu"
Ia tidak melihat Pendekar Bodoh bergerak, dan tadi sudah jelas sekali terlihat olehnya betapa huncwenya sudah mampir mengenai kepala lawannya. Ia hanya melihat tangan kiri dan kaki kanan lawannya bergerak sedikit pada saat huncwenya sudah hampir mengenai sasaran dan tahu-tahu ia telah terdorong sedemikian hebatnya!
Sesungguhnya, ketika tadi Cin Hai melihat serangan Ban Sai Cinjin, ia berlaku tenang saja.
Ia tahu dengan pasti bagaimana serangan itu akan dilanjutkan, maka ia mendiamkannya saja dan ketika tangan yang memegang huncwe sudah hampir mengenai kepalanya, secepat kilat akan tetapi tetap tenang tangan kiri Cin Hai melayang dibarengi uap putih mengebul darl tangannya. Inilah sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut! Sambaran hawa putih yang keluar dari pukulan ini membuat tangan Ban Sai Cinjin terdorong sehingga pukulannya menjadi menceng dan tidak mengenai kepala Cin Hai dan berbareng dengan saat itu juga, kaki kanan Cin Hai telah melayang dan mendorong tubuh lawannya yang sama sekali tidak mengira akan hal ini. Demikianlah, dengan mudah Cin Hai telah membuktikan omongannya, yaitu memaksa Ban Sai Cinjin pergi dari depannya.
Sementara itu, Coa-ong Lojin melihat hal itu dengan mata terbelalak. Ia melihat dengan jelas betapa dengan mudahnya Pendekar Bodoh mengalahkan Ban Sai Cinjin. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Akan tetapi ia dapat melihat bahwa kekalahan yang demikian mudah dari Ban Sai Cinjin terjadi karena kesalahan kakek itu sendiri. Dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin terlalu mencurahkan perhatian penjagaan diri. Memang serangan balasan dari Pendekar Bodoh tadi terjadi amat diluar sangkaan dan mungkin di sinilah letaknya kekuatan dan kelihaian Pendekar Bodoh. Coa-ong Lojin merasa dapat menghadapi Pendekar Bodoh, sungguhpun tidak akan menang, akan tetapi ia mungkin dapat bertahan sampai beberapa lama, tidak seperti Ban Sai Cinjin, baru segebrakan saja sudah terlempar keluar pintu.
Lin Lin semenjak tadi sudah memperhatikan Coa-ong Lojin dan juga Kam Wi yang
menggeletak di bawah dan tadi hendak dibunuh oleh pengemis itu. Kini nyonya ini maju menghampiri Coa-ong Lojin dan berkata, "Kalau aku tidak salah sangka, kau tentu Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang. Tongkat ularmu itu mengingatkan aku siapa adanya kau ini. Akan tetapi, mengapa kau hendak membunuh orang ini?"
"Isteriku, dia itu adalah Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh besar dari Kun-lun-pai!" kata Cin Hai kepada Lin Lin.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
401 "Hemm, Sin-houw-enghiong terkenal sebagai seorang gagah yang berpribudi tinggi mengapa hendak kaubunuh?" kembali Lin Lin bertanya kepada Coa-ong Lojin yang untuk sesaat menjadi pucat tak dapat menjawab.
"Aku hanya terbawa-bawa oleh Ban Sai Cinjin, akan tetapi..." ia mengangkat dadanya memberanikan hatinya, "peduli apakah kalian dengan urusanku?" Diam-diam Ketua Coa-tung Kai-pang ini mengira bahwa Pendekar Bodoh tentu akan membela puteranya yang telah menjadi Ketua Hek-tung Kai-pang, padahal sesungguhnya Cin Hai dan Lin Lin belum tahu bahwa putera mereka, Hong Beng, telah diangkat menjadi ketua Hek-tung Kai-pang dan telah menanam bibit permusuhan dengan Coa-tung Kai-pang.
"Burung gagak tentu memilih kawan burung mayat!" kata Lin Lin. "Sudahlah, kami tidak ingin lebih lama lagi bicara denganmu. Pergilah!"
Biarpun merasa mendongkol dan marah, namun Coa-ong Lojin lebih hati-hati daripada Ban Sai Cinjin dan ia tidak berani melawan.
"Pendekar Bodoh, kali ini aku Coa-ong Lojin mengalah terhadapmu, karena tidak ada sebab bagiku untuk mengadu nyawa. Akan tetapi lain kali aku takkan sudi menelan hinaan macam ini lagi!" Setelah berkata demikian, Coa-ong Lojin lalu berjalan pergi.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan, "Pengemis kelaparan, jangan kau pergi dulu!"
Dan dari luar menyambar bayangan orang yang sekali mengulur tangan telah menerkam ke arah pundak Coa-ong Lojin! Raja pengemis ini terkejut sekali dan cepat menyabet dengan tongkatnya, akan tetapi dengan gerakan yang indah dan gesit sekali, orang itu mengelak dan sekali tangannya bergerak, tongkat ular itu telah kena dirampasnya! Orang ini bukan lain adalah Kwee An, murid Eng Yang Cu tokoh Kim-san-pai, juga murid dari Pek Mo-ko Si Iblis Baju Putih, dan pula menjadi murid dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng (bacalah cerita Pendekar Bodoh).
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin sebelum berangkat ke utara menyusul Hong Beng dan Goat Lan, mereka lebih dulu mampir di Tiang-an dan Kwee An lalu ikut dengan mereka untuk mencari puterinya, Goat Lan. Perjalanan tiga orang pendekar besar ini dilakukan dengan cepat dan lancar sekali. Dan pada suatu hari, mereka bertemu dengan Lilani yang menggendong Lie Siong sambil mengalirkan air mata!
Tentu saja melihat keganjilan ini, ketiga orang pendekar itu berhenti dan menahan Lilani.
Melihat wajah Lilani, Kwee An memandang dengan bengong. Ia merasa seperti pernah melihat gadis cantik ini, akan tetapi tidak ingat lagi, entah dimana. Lin Lin maju menghampiri Lilani dan bertanya,
"Nona yang manis, apakah yang telah terjadi dengan pemuda itu" Siapa kau dan siapa pula dia?"
Melihat sikap dan wajah tiga orang setengah tua yang gagah itu, Lilani merasa kagum. Akan tetapi gadis ini masih merasa ragu-ragu untuk menceritakan keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau mereka ini juga kawan-kawan dari Ban Sai Cinjin"
Pendekar Bodoh dapat melihat keraguan gadis itu, maka ia lalu berkata,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
402 "Nona tak perlu kau mencurigai kami, karena kami biasanya hanya menolong orang, tak pernah mau mengganggu orang."
"Siapakah Sam-wi yang mulia" Mengapa pula menahan perjalananku" Kawanku ini terluka hebat dan perlu dicarikan obat, maka harap Sam-wi suka melepaskan aku yang malang ini."
Kwee An yang semenjak tadi memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian karena merasa sudah pernah bertemu dengan muka ini, lalu maju dan begitu melihat keadaan Lie Siong ia berseru kaget,
"Nona, kawanmu ini terluka oleh senjata berbisa! Lekas kauceritakan keadaanmu dan jangan meragukan kami. Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan orang-orang baik. Pendekar di hadapanmu ini adalah Pendekar Bodoh dan kau tidak boleh mencurigainya lagi."
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah Lilani menjadi berseri. Ia menurunkan tubuh Lie Siong yang dipondongnya, kemudian serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cin Hai sambil berkata,
"Sie Tai-hiap, tolonglah aku yang sengsara ini, tolonglah aku demi orang tuaku yang Taihiap telah kenal. Aku adalah Lilani, anak dari Manako dan Meilani!"
"Kau anak Meilani...?"" Kwee An yang berseru kaget dan barulah kini ia ingat bahwa wajah gadis ini seperti pinang dibelah dua, serupa benar dengan wajah Meilani, gadis Haimi yang telah menjadi "isterinya" di luar kehendaknya itu (baca cerita Pendekar Bodoh)! Juga Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan teringat mereka akan Meilani yang pernah mereka jumpai.
"Bangunlah, Nak. Kau kenapakah dan siapa pula kawanmu ini?" tanya Lin Lin sambil membangunkan gadis itu. "Tentu saja kami kenal baik dengan ayah ibumu, bahkan ini adalah Kwee Tai-hiap saudara tuaku yang boleh kausebut sebagai ayah tirimu!" Sungguh keterlaluan Lin Lin, dalam keadaan demikian ia masih dapat menggoda kakaknya. Tentu saja Kwee An menjadi jengah sendiri ketika Lilani tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut pula di depannya.
"Bangunlah, bangunlah, dan lekas kau bercerita. Siapa pemuda ini dan mengapa ia sampai terluka begini hebat?"
"Dia bernama Lie Siong, putera dari Lie Kong Sian Tai-hiap dan..."
"Apa katamu?" Lin Lin hampir menjerit. "Kau bilang pemuda ini putera Lie-suheng... jadi dia... dia putera Ang I Niocu?""
Lilani mengangguk dan dengan singkat ia menceritakan pertemuannya dengan Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin. Ketika mendengar betapa Lo Sian dan Kam Wi masih berada di dalam bahaya hebat, Pendekar Bodoh tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia minta tolong kepada Kwee An untuk merawat Lie Siong karena sedikit-sedikit Kwee An tahu cara pengobatan orang yang terluka, sedangkan ia sendiri lalu menarik tangan isterinya dan diajak berlari cepat sekali menuju ke rumah yang ditunjuk oleh Lilani.
Adapun Kwee An setelah memeriksa luka Lie Siong dengan teliti, dengan amat terkejut ia melihat bahwa bisa yang masuk ke dalam tubuh pemuda melalui luka kecil itu amat berbahaya dan dia tidak sanggup mengobatinya. Ia lalu bertanya lagi kepada Lilani siapa yang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
403 melukai pemuda itu, dan ketika mendengar bahwa Lie Siong terluka oleh tongkat Coa-ong Lojin, ia segera memondong tubuh Lie Siong dan berkata,
"Hayo kita kejar mereka! Hanya Coa-ong Lojin saja yang dapat menolong nyawa pemuda ini!" Dan bersama Lilani mereka lalu berlari cepat menyusul Pendekar Bodoh dan isterinya.
Demikianlah, ketika Kwee An tiba di situ dan melihat Coa-ong Lojin hendak pergi, ia lalu memberikan Lie Siong kepada Lilani dan ia sendiri lalu menyerang Coa-ong Lojin dan berhasil merampas tongkatnya.
"Pengemis ular," kata Kwes An dengan sikap mengancam. "Jangan kau pergi dulu. Kalau kau tidak mau memberi obat untuk menyembuhkan luka Lie Siong, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini dengan kepala masih menempel di lehermu!"
Coa-ong Lojin berdiri bengong karena kaget dan herannya. Bagaimana orang dapat
merampas tongkatnya dengan sedemikian mudahnya"
"Siapakah kau?" tanyanya.
"Kau berhadapan dengan orang she Kwee dari Tiang-an. Sudah tak perlu banyak cakap, lekas kau keluarkan obat untuk menyembuhkan lukanya," kata pula Kwee An sambil menunjuk ke arah Lie Siong yang dipondong masuk oleh Lilani.
"Kalau aku tidak mau dan tidak takut mati?" tantang Coa-ong Lojin sambil tersenyum mengejek.
Kwee An menjadi gemas. "Bangsat rendah! Tahukah kau bahwa aku pernah menerima
pelajaran dari Pek Mo-ko" Tahukah kau artinya ini" Aku dapat membuat kau menderita selama hidup, hidup tidak mati pun tidak! Selain itu, aku akan pergi mencari kawan-kawanmu, semua anggauta Coa-tung Kai-pang akan kubasmi habis sampai bersih!"
"Engko An, biarkan aku mencokel kedua matanya kalau dia tidak mau menyembuhkan
putera Enci Im Giok (Ang I Niocu)!" kata Lin Lin dengan gemas sekali.
"Dan aku pun harus mematahkan kedua lengannya kalau dia berkukuh tak mau mengobati Lie Siong!" kata Cin Hai.
Mau tidak mau ngeri juga hati Coa-ong Lojin mendengar ancaman-ancaman ini, apalagi ia pernah mendengar nama Pek Mo-ko sebagai tokoh besar yang memiliki kepandaian
mengerikan sekali. Tadi pun sudah ia saksikan kepandaian Kwee An yang demikian mudah merampas tongkatnya. Ia menarik napas panjang, merasa tidak sanggup menghadapi tiga orang pendekar besar yang lihai ini. Dikeluarnya sebungkus obat bubuk putih dari saku bajunya dan berkatalah dia dengan gemas,
"Biarlah kali ini aku Coa-ong Lojin mengaku kalah dan menurut kehendak orang lain. Akan tetapi lain kali aku akan membikin pembalasan!" Ia melemparkan bungkusan obat kepada Kwee An dan hendak pergi.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
404 "Nanti dulu!" seru Cin Hai. "Obat itu belum dibuktikan kemanjurannya!" Sambil berkata demikian Pendekar Bodoh menggerakkan tubuhnya yang melesat ke arah pengemis itu dan sekali ia menggerakkan tangannya tidak ampun lagi Coa-ong Lojin roboh tertotok.
Sementara itu, Lin Lin sudah menghampiri Lo Sian dan memulihkan kesehatannya setelah menotok dan mengurut pundaknya. Sin-kai Lo Sian merasa gembira sekali dan ucapan pertama yang keluar dari mulutnya adalah,
"Dia harus disembuhkan, dia adalah putera Ang I Niocu!"
Cin Hai juga membebaskan totokan pada diri Kam Wi yang cepat melompat berdiri dan tanpa berkata sesuatu, orang yang kasar dan jujur ini lalu mengangkat tangan dan memukul ke arah Coa-ong Lojin yang telah duduk bersandar tembok tanpa berdaya lagi! Akan tetapi cepat-cepat Cin Hai menangkap tangannya. Pukulan Kam Wi ini dilakukan dengan keras sekali, akan tetapi ia tertegun ketika merasa betapa dalam tangkapan Cin Hai, ia tak kuasa menggerakkan tangannya itu.
"Dia orang jahat, harus dibunuh!" katanya dengan keras.
"Sabar dulu, Sin-houw-enghiong! Dia harus membuktikan dulu bahwa obat yang diberikan untuk menyembuhkan Lie Siong benar-benar manjur," kata Cin Hai.
Setelah dihibur-hibur oleh Cin Hai dan Lin Lin, akhirnya Kam Wi menjadi sabar dan mereka semua lalu menyaksikan betapa Kwee An mengobati Lie Siong. Atas petunjuk dari Coa-ong Lojin yang masih dapat bicara dengan lemah, luka di pundak kanannya itu lalu dicuci bersih dan diboboki obat bubuk yang sudah dicairkan dengan air. Kemudian, dengan obat bubuk itu pula, Lie Siong diberi minum obat dicampur sedikit arak. Setelah pengobatan ini, semua orang berdiam, menanti hasil pengobatan itu.
"Sebentar lagi ia akan siuman dan sembuh," kata Coa-ong Lojin dengan perlahan.
"Awas, kalau kata-katamu tidak terbukti, aku sendiri yang akan memukul hancur kepalamu yang jahat!" kata Kam Wi dengan melototkan kedua matanya yang lebar.
Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh Coa-ong Lojin, tak lama kemudian terdengar Lie Siong mengeluh dan pemuda ini membuka matanya. Wajahnya yang pucat telah menjadi merah kembali, sebaliknya luka di pundak yang tadinya merah telah mulai menjadi pulih.
"Baiknya kau tidak membohong sehingga jiwamu masih tertolong!" kata Pendekar Bodoh.
Sebagai seorang budiman, ia tidak melanggar janji dan melihat betul-betul Lie Siong dapat disembuhkan, ia lalu menghampiri Coa-ong Lojin, membebaskan totokannya hingga
pengemis itu dapat melompat berdiri.
"Baiklah kali ini aku Coa-ong Lojin telah menerima penghinaan berkali-kali. Kelak di puncak Thai-san aku akan memperkuat rombongan Wi Kong Siansu untuk menghadapi
kalian!" Setelah berkata demikian, pengemis bertongkat ular ini hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi sudah melompat ke depannya dan sekali menendang, tubuh pengemis itu terlempar keluar dari pintu.
"Ha-ha-ha! Pengemis ular, lain kali bukan pantatmu yang kutendang melainkan kepalamu!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
405 Setelah Coa-ong Lojin pergi, Lie Siong memandang semua orang itu dengan heran. Ia menoleh kepada Lo Sian dengan mata mengandung pertanyaan, sehingga Sin-kai Lo Sian tersenyum dan berkata,
"Lie Siong, kau berhadapan dengan orang-orang sendiri. Sungguh baik sekali nasibmu sehingga hari ini kau dapat bertemu dan ditolong oleh mereka ini. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Pendekar Bodoh dan isterinya, sedangkan orang gagah itu adalah Kwee An Tai-hiap dari Tiang-an!" Memang sebelumnya Lo Sian telah mendapat keterangan dari Lilani yang memperkenalkan tiga orang besar itu.
Tentu saja Lie Siong menjadi terkejut sekali, akan tetapi pemuda ini dapat menekan perasaannya, dan tidak memperlihatkan perubahan pada wajahnya yang tampan.
"Siong-ji (Anak Siong), ayah dan ibumu adalah seperti kakak kami sendiri," kata Lin Lin dengan terharu sambil menatap wajah yang tampan itu.
Lie Siong memandang kepada Lin Lin. Alangkah cantiknya nyonya ini, hampir sama dengan Lili, yang tak pernah lenyap bayangannya dari depan matanya itu. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya yang nampak tua. Tiba-tiba ia menjadi terharu sekali ketika teringat akan ibunya yang telah ditinggalkannya. Ibunya, mempunyai sahabat-sahabat baik seperti ini, mengapa ibunya hidup menderita" Mengapa ayahnya sampai mati tanpa ada pembelaan dari mereka ini" Mereka ini adalah pendekar-pendekar besar seperti yang telah seringkali disebut-sebut oleh ibunya, akan tetapi mengapa ibunya dan dia sampai hidup di tempat asing" Hatinya menjadi dingin sekali. Keangkuhan hati pemuda ini tersinggung karena dalam keadaan tertimpa malapetaka, justru orang-orang ini yang menolongnya. Alangkah bodoh, lemah, dan tak berdaya ia nampak dalam pandangan mata ketiga orang ini! Padahal ia ingin sekali memperlihatkan kepada Pendekar Bodoh dan isterinya, bahwa keturunan Ang I Niocu tidak kalah oleh mereka!
Akan tetapi, oleh karena telah ditolong oleh mereka, terpaksa Lie Siong lalu maju menjura memberi hormat dan berkata, "Sungguh siauwte harus menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sam-wi yang gagah perkasa. Semoga Thian akan memberi kesempatan kepada siauwte untuk kelak membalas budi ini. Maafkanlah bahwa siauwte harus melanjutkan perjalanan mencari ayah, karena selain siauwte siapa lagi yang akan mencarinya?" Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menoleh kepada Lilani, "Mari kita pergi!"
Gadis itu memandang dengan terheran-heran, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah ajakan pemuda yang menjadi pujaan hatinya" Ia hanya memandang kepada Lin Lin dengan sedih, kemudian sambil menahan isak, ia lalu melompat dan menyusul Lie Siong yang sudah lari terlebih dahulu.
"Eh, eh, Lie Siong tunggu dulu! Aku akan menunjukkan tempatnya kepadamu!"
Lo Sian berseru keras dan segera mengejar pula.
Adapun Kwee An, Lin Lin, dan Cin Hai menjadi melengak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata saking herannya. Kemudian mereka saling pandang dengan perasaan aneh.
Bagaimanakah pemuda itu dapat bersikap sedemikian dinginnya"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
406 "Dia seperti orang marah," kata Cin Hai.
"Tidak, seperti orang malu," kata Lin Lin.
"Menurut pandanganku, seperti orang yang merasa penasaran. Sungguh aneh!" kata Kwee An.
Selagi ketiga orang itu terheran-heran, suasana yang tidak enak itu dipecahkan oteh suara Kam Wi yang keras,
"Ah, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu, bahkan mendapat pertolongan dari tiga orang pendekar besar! Ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, memang agaknya Thian telah menyetujui usulku. Aku memang hendak bertemu dengan kau, Sie Tai-hiap!"
Cin Hai membalas penghormatan tokoh Kun-lun-pai itu. "Kam-enghiong, harap kau tidak berlaku sungkan. Bantu dan memberantas kejahatan di antara kalangan kita sudah merupakan kewajiban yang tak perlu dikotori oleh sebutan pertolongan ataupun budi. Kehormatan apakah yang hendak kauberikan kepada kami maka kali hendak mencari kami dan usul apakah yang kaumaksudkan itu?"
"Harap kau dan isterimu tidak menganggap aku berlaku kurang ajar apabila kesempatan ini kukemukakan maksud hatiku. Ketahuilah, aku mempunyai seorang anak keponakan yang bernama Kam Liong, sekarang menjabat pangkat sebagai panglima muda di kerajaan. Tentu kalian masih ingat kepada Kam Hong Sin saudara tuaku, nah, Kam- Liong adalah putera satu-satunya."
"Kami sudah pernah bertemu dengan Kam Liong itu, Kam-enghiong. Dia adalah seorang pemuda yang gagah dan baik."
Berseri wajah Kam Wi mendengar ucapan Lin Lin ini. "Bagus sekali, agaknya memang Thian telah menjadi penunjuk jalan! Toanio, seperti juga kau dan suamimu, aku pun telah melihat puterimu yang bernama Sie Hong Li! Juga suhengku, Suhu dari Kam Liong yang kaukenal sebagai tokoh pertama dari Kun-lun-pai, yaitu Tiong Kun Tojin, amat suka metihat puterimu yang cantik dan gagah itu! Oleh karena itu, kami sudah sependapat, yaitu aku, Kam Liong, dan suhunya, untuk mengajukan pinangan kepada Sie Tai-hiap untuk menjodohkan Kam Liong dengan Nona Sie Hong Lie!"
Mendengar pinangan yang tiba-tiba dan terus terang di tempat yang tidak semestinya ini, kedua orang tua itu terkejut dan tersipu-sipu. Wajah Lin Lin menjadi merah karena jengah.
Belum pernah terpikir olehnya akan menerima lamaran orang dan sungguhpun di dalam hatinya ia amat suka kepada Kam Liong, akan tetapi mulutnya tak dapat berkata sesuatu. Ia hanya memandang kepada suaminya yang kebetulan juga memandang kepadanya dengan
mata bodoh. Sampai lama suami isteri ini hanya saling pandang, tak dapat menjawab, bahkan tidak berani memandang kepada Sin-houw-enghiong Kam Wi yang masih menanti jawaban mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli, dan ternyata yang tertawa itu adalah Kwee An.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
407 "Ha-ha-ha, bagaimanakah kalian ini" Anak perempuan dilamar orang, kok hanya saling pandang seperti pemuda-pemudi yang main mata?"
Kwee An biasanya pendiam dan tidak banyak berkelakar, akan tetapi sekali ini ia berkumpul dengan Lin Lin yang suka menggodanya, ia selalu mencari kesempatan untuk balas menggoda adiknya ini! Tentu saja Lin Lin menjadi makin bingung dan akhirnya Cin Hai yang dapat mengeluarkan kata-kata sambil menjura kepada Kam Wi,
"Kami menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas kehormatan yang Kam-enghiong berikan kepada kami. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa anak kami Hong Li yang bodoh dan buruk rupa itu mendapat perhatian dari keponakanmu, dari Tiong Kun Tojin dan dari kau sendiri. Sesungguhnya puteri kami yang bodoh itu terlalu rendah, apabila dibandingkan dengan Kam-ciangkun yang biarpun masih muda sudah menduduki pangkat sedemikian tingginya, selain lihai juga menjadi murid tokoh Kun-lun-pai yang terkenal."
"Bagus, bagus! Jadi kalian setuju" Kalian menerima pinanganku?" Kam Wi yang jujur dan kasar itu segera memutuskannya.
"Bukan begitu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa, tak dapat kami memutuskan begitu saja..." kata Cin Hai.
"Hemm, jadi Sie Tai-hiap menolak?" kembali Kam Wi memutuskan omongan Pendekar
Bodoh. Cin Hai tersenyum, ia maklum bahwa Kam Wi memiliki watak yang amat kasar, polos, dan tidak sabaran.
"Tenanglah, Kam-enghiong. Urusan perjodohan bukanlah urusan jual beli barang murahan saja. Hal ini harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Kami tidak dapat
memutuskannya sekarang, berilah waktu kepada kami untuk memikirkannya,
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempertimbangkannya dan terlebih dulu kami harus bertemu dan bicara dengan Lili puteri kami itu."
"Pendekar Bodoh, kita adalah golongan orang-orang yang tak pandai bicara, karena lebih mudah bicara dengan kepalan tangan daripada dengan bibir dan lidah. Kalau kiranya kalian berdua menolak pinangan ini, tak usah banyak sungkan, nyatakan saja, sekarang. Aku takkan merasa penasaran atau marah, karena sudah semestinya sesuatu pinangan akan mengalami dua hal, diterima atau tidak."
"Bagaimana kami dapat menolak pinanganmu" Kami berlaku sombong dan kurang ajar kalau menolaknya. Sesungguhnya kami tidak melihat sesuatu yang mengecewakan pada diri Kam Liong, akan tetapi..."
"Ha-ha-ha-ha, jadi kau suka" Bagus, aku yang menanggung bahwa Kam Liong benar-benar akan merupakan seorang suami yang baik dan bijaksana, seorang anak mantu yang berbakti!
Terima kasih atas penerimaanmu, Pendekar Bodoh, kita akan mencari hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan."
"Nanti dulu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa. Kalau tadi kunyatatakan bahwa aku tidak menolak, itu bukan berarti bahwa aku menerimanya. Seperti telah kukatakan tadi, Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
408 berilah waktu. Kami sedang menghadapi masa sukar, tugas kewajiban menghadang di depan mata, siapa mempunyai kesempatan untuk bicara tentang perjodohan" Tunggulah sampai musuh terusir semua, sampai kami dapat bertemu dengan putera dan puteri kami dalam keadaan selamat, barulah kita akan bicara tentang perjodohan ini!"
"Baik, baik. Betapapun juga aku yakin bahwa kau tidak menolak dan ucapan itu sudah setengah menerima. Baik, kita menanti sampai selesai tugas kami membela tanah air. Kalau keadaan sudah aman, aku akan membawa Kam Liong datang ke Shaning menentukan hari baik! Nah, selamat tinggal, dan terima kasih atas pertolongan tadi!" Setelah berkata demikian dengan wajah berseri gembira Kam Wi lalu meninggalkan rumah itu.
Pendekar Bodoh menarik napas panjang. "Alangkah kasar dan jujurnya orang itu! Urusan perjodohan dianggap mudah begitu saja. Itulah kalau orang tidak mempunyai anak sendiri, tidak merasa betapa sukarnya menetapkan jodoh bagi anak perempuan."
"Sesungguhnya orang itu gegabah sekali," kata Kwee An, "belum juga diberi keputusan, dia sudah menetapkan dengan yakin bahwa lamarannya diterima. Orang seperti itu kelak akan dapat menimbulkan keributan karena kebodohan, kejujuran, dan kekasarannya."
"Terus terang saja, aku sendiri sudah setuju kalau Lili mendapatkan jodoh seperti Kam Liong," kata Lin Lin. "Kita sudah menyaksikan sendiri betapa pemuda itu sopan santun, lemah lembut, dan juga sudah menyatakan jasanya dengan membantu Hong Beng dan juga kita. Bukankah perbuatannya itu saja sudah memperlihatkan bahwa ia suka kepada Lili dan bahwa ia tidak hendak main-main dalam urusan perjodohan ini?"
"Betapapun juga, keputusannya harus kau serahkan kepada Lili sendiri, karena urusan ini menyangkut kebahagiaan seumur hidupnya. Aku takkan merasa puas apabila dia sendiri tidak menyetujui perjodohan ini. Dia yang akan menikah, dia yang akan menanggung segala akibatnya, dia yang akan sengsara atau senang kalau sudah terjadi perjodohan itu. Maka aku menyesal sekali mengapa Sin-houw-enghiong demikian pasti dan tergesa-gesa menganggap kita sudah menerima pinangannya."
Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara sambil tiada hentinya membicarakan urusan pinangan yang dilakukan oleh Kam Wi dengan cara yang kasar itu.
*** Dengan hati mengkal Lie Siong berlari, akan tetapi ia tidak berlari terlalu cepat karena kalau ia melakukan hal ini, tentu Lilani akan tertinggal jauh. Oleh karena itu, maka sebentar saja ia telah tersusul oleh Lo Sian yang mengejarnya.
"Perlahan dulu, Anak Siong!" kata Sin-kai Lo Sian setelah dapat menyusul pemuda itu. Lie Siong berhenti karena Lilani telah mendahuluinya berhenti menanti datangnya pengemis tua itu.
"Mengapa kau meninggalkan mereka begitu saja" Bukankah mereka itu kawan-kawan baik ibu dan ayahmu" Kau telah mereka tolong, akan tetapi kau meninggalkan mereka seakan-akan seorang yang marah, kenapakah?" Lo Sian menegur Lie Siong yang mendengar dengan kepala ditundukkan.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
409 "Alangkah rendah pandangan mereka terhadapku," hanya ini yang diucapkan oleh Lie Siong karena sesungguhnya ia tidak suka hal itu dibicarakan lagi. "Lopek, kau menyusulku ada apakah" Karena kau sendiri tidak tahu dan tidak ingat lagi apa yang telah terjadi dengan mendiang ayahku, aku tak perlu mengganggumu lagi. Kembalilah kau kepada mereka dan ceritakan bahwa aku adalah seorang pemuda yang tidak tahu diri dan tak tahu menerima budi.
Biarlah namaku, nama ibu dan ayahku, mereka lupakan!"
Lo Sian tertegun melihat sikap yang dingin dan kaku ini. Ia benar-benar merasa heran sekali melihat keadaan dan watak pemuda yang aneh ini.
"Lie Siong, setelah beberapa lama aku melakukan perjalanan bersamamu, belum juga aku dapat mengerti watakmu, sungguhpun harus kuakui bahwa aku suka kepadamu. Aku
menyusulmu bukan untuk mengganggumu, melainkan karena aku kini telah dapat menduga siapa adanya pembunuh ayahmu dan di mana kiranya dapat menemukan makam ayahmu."
"Siapa pembunuhnya" Di mana makamnya?" suara Lie Siong terdengar menggetar dan
wajahnya memucat. Lo Sian lalu menceritakan tentang ucapan dan sikap Ban Sai Cinjin ketika tadi hendak membunuhnya.
"Tak salah lagi," katanya sebagai penutup penuturannya, "pembunuh ayahmu pasti bukan lain orang adalah Ban Sai Cinjin sendiri! Dan kurasa, untuk mencari jejak ayahmu atau makamnya, kita harus pergi ke tempat tinggal Ban Sai Cinjin, yaitu di dusun Tong-sin-bun!"
"Di tempat di mana aku pernah membakar rumahnya?"
Lo Sian mengangguk. "Dekat dusun itu terdapat sebuah kuil milik Ban Sai Cinjin dan kalau tidak salah, di situlah kita akan dapat menemui jejak-jejak ayahmu atau makamnya. Kalau kau kehendaki, mari kuantarkan kau ke sana untuk menyelidiki."
"Kembali ke Tong-sin-bun?" kata Lie Siong ragu-ragu. "Kita telah tiba sejauh ini?" Ia menengok ke arah Lilani. "Kita sudah dekat dengan tempat di mana kita akan menemukan rombongan suku bangsa Haimi. Lebih baik kita mencari suku bangsa itu lebih dulu untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya. Setelah itu, barulah kita kembali ke selatan untuk menyelidiki hal ini."
Lo Sian menyatakan setuju dan demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara menuju ke kaki Gunung Alaka-san di sebelah barat. Di sepanjang jalan Lie Siong berkata bahwa kalau memang betul ayahnya telah terbunuh oleh Ban Sai Cinjin ia bersumpah untuk membalas dendam dan akan mencari serta membunuh Ban Sai Cinjin, biarpun untuk itu ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Pada masa itu, keadaan di tapal batas sebelah utara memang amat genting. Pertempuran-pertempuran telah pecah dan terjadi di mana-mana, di mana saja rombongan pengacau bangsa Tartar dan Mongol bertemu dengan rombongan pasukan pemerintah yang menjaga di
perbatasan. Malangi Khan amat pandai dalam siasatnya. Tidak saja ia membujuk dan menarik bangsa Tartar untuk bergabung dengan pasukannya dan sama-sama memukul ke selatan dengan janji-janji muluk, akan tetapi juga ia telah membujuk suku-suku bangsa Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk bersama-sama menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok. Juga ia Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
410 masih berusaha untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk membantu usaha penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan janji kedudukan.
Bahkan dengan Ban Sai Cinjin ia telah mengadakan hubungan yang erat, dan menjanjikan bahwa kalau kelak pemerintah kaisar telah terguling, ia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar! Ban Sai Cinjin sendiri bukan seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah janji muluk ini akan tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun mempunyai rencana. Kalau mereka bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan dan
mendapat kemenangan, dengan mudah saja ia akan mempergunakan pengaruhnya untuk
mengkhianati orang-orang Mongol itu dan ia akan dapat berkuasa di kota raja.
Suku bangsa Haimi lama dikuasai oteh Malangi Khan. Semenjak ia memukul bangsa Haimi ini sehingga kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa ini menjadi semacam bangsa jajahan. Saliban, yang tadinya menjadi pembantu Manako, dengan sikapnya yang pandai menjilat, terpakai oleh Malangi Khan dan orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh dibilang ia menjadi kaki tangan bangsa Mongol.
Saliban mengumpulkan orang-orangnya baik dengan halus maupun secara paksa, untuk bergabung kembali dan bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup kuat untuk membantu usaha kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya mengacaukan pertahanan tentara kerajaan di selatan. Berkat usaha Saliban, bangsa Haimi banyak yang ditangkap dan dijadikan anggauta pasukan secara paksa, sehingga sungguhpun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka membantu orang Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju juga.
Pada suatu hari, barisan suku bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dipimpin sendiri oleh Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang mengurung sepasukan penjaga tapal batas yang hanya berjumlah tiga puluh orang. Sungguh menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka rata-rata berkumis panjang, kecuali Saliban sendiri yang semenjak muda telah membuang kumisnya, bersenjata golok dan pedang lalu menyerbu sambil
berteriak-teriak menyeramkan.
Sebentar saja, pasukan kerajaan yang jauh lebih kecil jumlahnya itu telah terkurung rapat-rapat dan sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang perwira tua dari pasukan kerajaan ini dengan mati-matian bertempur mainkan sepasang pedangnya. Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya mandi darah akan tetapi perwira ini harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena ia tidak hendak menyerah sebelum titik darah terakhir!
Pada saat itu, tiba-tiba keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata bahwa entah dari mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang seorang gadis cantik yang mainkan pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang tunggal di tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya menggerakkan pedang, robohlah seorang lawan!
Gadis muda ini bukan lain adalah Sie Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam Wi, paman dari Kam Liong, gadis ini lalu melarikan diri meninggalkan rombongan Kam Liong. Karena ia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang perjalanannya, ia tidak bertemu dengan seorang manusia pun, ia telah salah mengambil jalan dan yang disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!
Demikianlah, ketika ia melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan dikurung oleh pasukan berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta dan tanpa
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
411 mengeluarkan kata-kata Lili lalu membantu pasukan kerajaan itu dan menyerang barisan berkumis dengan hebatnya.
Akan tetapi, pada saat Lili datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua itu hanya sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh saking lelah dan banyak mengeluarkan darah. Beberapa bacokan golok menamatkan riwayatnya. Sebentar kemudian hanya Lili seorang saja yang masih dikeroyok oleh puluhan orang berkumis.
Saliban yang melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang kalau gadis ini sampai mengalami kematian, maka ia lalu berseru,
"Kawan-kawan, jangan bunuh gadis ini. Tangkap hidup-hidup!"
Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan daripada dijalankan, karena jangan kata hendak menangkap hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan main! Tiap orang yang terlalu berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi roboh terkena tendangan atau kena sambaran hawa pukulan dari tangan kiri gadis itu, atau juga roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tidak mau membunuh orang. Melihat orang-orang berkumis ini, teringatlah ia akan cerita ayah bundanya tentang bangsa Haimi, maka ia tidak tega untuk membunuh seorang pun di antara mereka.
"Bukankah kalian ini orang-orang Haimi" Mengapa memusuhi tentara kerajaan" Dengarlah, aku adalah puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian, Manako dan Meilani!" seru Lili di antara amukannya.
Benar saja, mendengar seruannya ini, sebagian besar orang Haimi lalu mengundurkan diri.
Mereka sudah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik daripada kepala mereka yang dahulu, Manako. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan Saliban yang mendorong mereka untuk maju lagi dan mengadakan pengeroyokan.
Lili menjadi kewalahan juga dan tak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa merobohkan atau menewaskan beberapa orang diantara mereka.
"Mana Manako atau Meilani" Suruh mereka keluar biar aku bicara dengan mereka!"
teriaknya lagi, akan tetapi siapakah yang berani melayaninya" Biarpun semua orang Haimi itu timbul hati simpatinya terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada Saliban.
Celaka bagi Lili pada saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang! Orang-orang Mongol ini ketika melihat betapa sepasukan orang Haimi mengeroyok seorang gadis Han, cepat mereka menyerbu dan mengeroyok Lili. Keadaan Lili menjadi lebih berbahaya lagi.
Biarpun ia mengamuk hebat, akan tetapi bagaimana ia dapat melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya" Mereka itu kini mulai mempergunakan kaitan dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi terhalang. Ia melawan terus dan pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita dikeroyok oleh ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biarpun sudah ribuan jurus, belum juga gadis ini kalah! Sudah bertumpuk mayat dan pandangan mata Lili sudah menjadi kabur. Kepalanya pening, peluhnya membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak mungkin baginya untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat ia lalu menyerbu, maksudnya hendak membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum ia roboh.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
412 Tiba-tiba terdengar sorak-sorai bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang lain datang menolong! Orang-orang Mongol memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang terdiri dari seratus orang itu. Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi Lili sudah lelah sekali sehingga ketika kakinya terjirat tambang, tubuhnya terhuyung lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya dan dalam sekejap mata saja ia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban mengempitnya dan membawanya lari bersama orang-orangnya.
Lili yang roboh pingsan saking lelahnya tidak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata ia telah berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh cahaya api unggun besar yang dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya memang menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang merupakan tempat terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar. Lili tak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat dan ia didudukkan menyandar batu karang.
Ketika ia membuka matanya, ia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api, duduk bercakap-cakap dalam bahasa Haimi. Dahulu, secara iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan memberi pelajaran kepadanya tentang bahasa Haimi, maka biarpun hanya sedikit, Lili dapat menangkap percakapan mereka.
"Jangan, Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Taihiap yang sudah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!" terdengar seorang Haimi yang sudah tua berkata terhadap orang Haimi yang tak berkumis. Ucapan ini agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ, karena mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu menjadi marah.
"Siapa takut Pendekar Bodoh" Tidak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orang-orang Mongol" Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini jangan kita lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula. Kalau kita membawanya kepada Malangi Khan dan mempersembahkannya, tentu ia akan berterima kasih dan girang sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik ini."
Kembali terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju. Hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Ia mendapat kesimpulan bahwa orang-orang Haimi ini betapapun juga masih menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi mereka agaknya takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.
Diam-diam Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong, mendengar lamaran yang kasar dan yang membuat mukanya menjadi selalu merah kembali kalau diingatnya. Meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan Hong Beng dan Goat Lan bahkan kini terjatuh ke dalam tangan serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah menjadi kaki tangan Mongol! Kalau ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia! Akan tetapi, Lili tak pernah putus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini takkan mati putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada.
Betapapun hebat malapetaka mengancam, ia akan dapat menolong diri sendiri. Dengan pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia lalu meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tangannya.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
413 Memang cerdik sekali pikiran Lili ini. Kalau ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia takkan dapat tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan kegelisahan dan tak dapat tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Sungguhpun kaki tangannya terasa kaku dan kesemutan, namun ia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia merasa heran sekali ketika melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tidak bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut.
Melihat keadaan orang-orang ini, timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup seperti orang-orang ini. Agaknya tidak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya sebagai budak belian, di bawah perintah orang Haimi tak berkumis yang telah diperbudak pula oleh orang Mongol itu. Kemanakah perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah bundanya"
Dan pada saat Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga telah bangun dan sedang menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita. Cuaca pagi hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Dalam pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari dari kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biarpun di sana-sini sudah ditambal, namun tidak mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing. Tangan wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan sinar mencorong bagaikan bintang pagi, mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan wanita baju merah itu lebih pendek daripada Liong-cukiam ayahnya.
Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri menjadi ngeri mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya. Tak terasa lagi gadis ini meramkan matanya. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi limbung! Cepat-cepat ia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah bhesi dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut dan kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap putih. Lili melakukan gerakan ini selain untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil bertanya, "Siapa kau" Dari mana kau mempelajari Pen-in-hoatsut?"
Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Wajah ini setelah terlihat jelas ternyata merupakan wajah seorang nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan kulit mukanya sudah penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
414 kecantikan wanita itu, dan pada saat itu juga teringatlah Lili dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
"Ang... Ang... I Niocu...." katanya dengan suara gemetar. Kedua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.
"Kau siapakah" Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!" kata pula wanita itu yang memang betul Ang I Niocu adanya.
"Ah... Ie-ie (Bibi) Im Giok...!" Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu. Semenjak kecilnya, ibunya seringkali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh suami isteri (baca cerita Pendekar Bodoh). Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukah karena selalu terbayang olehnya bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguhpun ia telah mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa malapetaka dan menjadi tua sekali, namun tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak tertahan pula mengalir di atas pipinya.
Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. "Kau puteri Lin Lin, anak Cin Hai...?" bisiknya.
"Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie Hong Beng."
Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati seperti baja ini tak dapat menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang tercinta!
Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.
"Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!" teriaknya.
Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili dan berkata, "Apakah mereka ini yang menangkapmu" Ha-haha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-iemu, biarpun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap mata!" Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya! Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam, asalnya merupakan siang-kiam (pedang pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan pedang ini di dalam gua, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang diberikan kepada Cin Hai sedangkan yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
415 Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia dapat menduga bahwa wanita baju merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.
"Ie-ie Im Giok, tahan dulu...!" teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu yang memegang pedang. "Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok. Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!"
Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili kuatir kalau-kalau nyonya luar biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan, "Kau seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kaupakailah pedangku untuk menghadapi kepala mereka."
"Terima kasih, Ie-ie, tak usah!" jawab Lili gembira. "Untuk membunuh seekor anjing, tak patut mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!" Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam.
Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menanti datangnya serbuan puluhan orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu, maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
"Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh yang semenjak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani!
Agaknya sekarang kalian telah diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang jahat! Kalian hidup dalam bahaya kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan memukul hancur bangsa Mongol!
Lebih baik tinggalkan kepalamu yang jahat itu dan kembalilah kepada keluargamu masing-masing!"
Tak seorang pun diantara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke depan dengan pedang di tangan.
"Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan
sesombong itu" Terpaksa sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu jahat sekali!"
"Ha-ha, kau bernama Saliban" Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku" Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan secara
pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya kau telah mampus dalam tanganku!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
416 Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya akan tetapi oleh karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia menjadi berani. Ia berseru keras, "Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!"
Akan tetapi tak seorang pun diantara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata.
Ucapan Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka mengambil keputusan hendak berdiam diri dulu, menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan yang mereka takuti. Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban.
Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu. Akan tetapi, dengan amat mudahnya Lili mengelak ke kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban.
Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka. Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.
Ang I Niocu mau tidak mau tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil mainkan Ilmu Silat Kong-ciak-sinna. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah dan tabah seperti ibunya, akan tetapi tenang dan penuh perhitungan seperti ayahnya. Ah, ia merasa menyesal mengapa ia telah menjauhkan diri dari mereka ini, kalau saja ia tahu bahwa Cin Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah ini, dari dahulu tentu sudah dipinangnya gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!
Kalau dibuat perbandingan, ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah Lili membalas serangan lawannya. Ia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu tangan kirinya bergerak, terdengarlah suara "plok!" yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.
Saliban merasa seakan-akan kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang dipijaknya serasa beralun. Akan tetapi ia masih dapat mempertahankan dirinya, sungguhpun ia merasa betapa separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar, ia tetap saja maju menyerang dengan mati-matian!
Saliban memekik kesakitan ketika pukulan Pek-in-hoatsut itu mengenai dadanya. Pedangnya terampas dengan mudah dan akibat pukulan yang lihai itu, tubuhnya terpental sampai beberapa tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah kumpulan kawan-kawannya yang
memandang dengan mata terbelalak kagum.
Lili memang betul berhati pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya ia tidak niat membunuh Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras merampas
pedangnya dan menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya. Maka ia terkejut sekali melihat betapa tiba-tiba orang-orang Haimi yang berkumis panjang itu kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak dengan golok dan pedang mereka. Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban menjadi hancur lebur tercacah oleh puluhan batang golok dan pedang.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
417 Lili melompat ke tempat itu hendak mencegah, akan tetapi terlambat. Tubuh Saliban telah hancur tidak karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat Lili melompat dekat, mereka lalu melepaskan senjata dan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis gagah itu.
"Lihiap, jahanam ini sudah terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami," kata seorang Haimi tua yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak Saliban.
"Semenjak bangsa kami diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol sehingga kepala kami yang bernama Manako melarikan diri dan Meilani telah tewas, kami hidup seperti budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran dan hati sendiri. Bangsat rendah Saliban ini menambah malapetaka, karena ia pandai bermuka-muka sehingga diangkat oleh Malangi Khan sebagai kepala kami. Hari ini, Lihiap telah datang dan membebaskan kami dari tindasan Saliban, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari tindasan orang-orang Mongol. Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan malapetaka yang lebih besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri kami dibunuh oleh orang Mongol!" Setelah orang tua ini berkata demikian, terdengar isak tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi itu telah menangis sedih.
Ang I Niocu yang datang berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu dengan suara mengejek, "Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja yang panjang, akan tetapi pikiranmu pendek sekali. Hanya tampang saja yang gagah akan tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi wanita yang selemah-lemahnya! Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata. Persoalan tak mungkin dapat dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Kalau kalian mempunyai kesulitan, lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena Nona ini sekali mengeluarkan kesanggupan pasti akan dipenuhi."
Orang-orang Haimi yang mendengar kata-kata ini, menjadi merah mukanya karena malu dan jengah. Mendengar nasihat tentang kegagahan dari seorang wanita tua, sungguh amat memalukan sekali.
"Siapakah kau, Toanio, yang mengeluarkan kata-kata segagah ini?" tanya orang Haimi tua tadi.
Dengan suara bangga, Lili lalu memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka. "Kalian tentu pernah mendengar nama Ang I Niocu, bukan" Nah, inilah dia Ang I Niocu, pendekar wanita terbesar di segala jaman! Dia adalah Twa-ieku yang tercinta. Dengan adanya dia di sini, apakah kalian masih ragu-ragu lagi bahwa aku takkan dapat menolong kalian" Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang hanya seorang manusia biasa itu, biarpun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang dewata, dengan Ie-ieku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!"
Nama besar Ang I Niocu memang sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat sampai ke timur, maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali yang tua-tua, telah mendengar dan mengenal nama ini, maka serentak mereka memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, kami mulai hari ini mengangkat Lihiap dan Niocu sebagai pemimpin-pemimpin kami. Hanya kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib bangsa kami.
Ketahuilah, Lihiap dan Niocu, setelah kami dikalahkan oleh bangsa Mongol, keluarga kami yaitu isteri, orang-orang tua dan anak-anak kami semua dikumpulkan dalam sebuah kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa hari sekali kami diperkenankan menjumpai Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
418 mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang jahat untuk merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak mau kami tidak berani membantah perintah mereka yang dikeluarkan melalui mulut Saliban yang khianat!"
Mendengar penuturan ini, baik Lili maupun Ang I Niocu menjadi marah sekali.
"Di mana tempat keluarga kalian itu terkurung?" tanya Ang I Niocu.
"Tidak jauh dari sini, di sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san," jawab orang Haimi tua tadi.
"Nah, kita tunggu apa lagi" Mari berangkat ke sana untuk menolong mereka," kata pula Ang I Niocu. Orang-orang Haimi itu terkejut sekali.
"Akan tetapi... tempat itu dijaga oleh seratus orang-orang yang jahat."
Lili menjadi hilang sabar. "Pengecut! Kalian tadi sudah mengaku kami berdua sebagai pemimpin, mengapa sekarang masih banyak membantah lagi" Apakah kalian tidak percaya kepada Ie-ieku" Kalau tidak percaya, sudah saja, kami pergi meninggalkan kalian!"
Mendengar ini buru-buru orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian dengan wajah gembira orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang jumlahnya masih ada empat puluh dua orang lalu beramai-ramai mereka pergi menuju ke dusun di mana keluarga mereka yang jumlahnya hampir seratus orang wanita, orang-orang tua, dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.
Tempat dimana keluarga Haimi itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Di situ hanya terdapat gubuk-gubuk yang amat sederhana dan miskin, dan penghidupan keluarga Haimi itu tidak lebih baik daripada penghidupan sekelompok ternak. Di sekeliling kampung itu benar saja dijaga oleh orang-orang Mongol yang bersenjata lengkap, dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu mendapat gangguan yang kurang ajar dari para penjaganya.
Ang I Niocu dari Lili yang mengepalai empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke kampung itu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini bercakap-cakap seperti dua orang keluarga yang telah lama berpisah.
"Ie-ie, aku pernah bertemu dengan puteramu," kata Lili.
Ang I Niocu cepat menengok dan memandang dengan wajah berseri.
"Betulkah" Kau sudah bertemu dengan Siong-ji" Di mana" Bagaimana dia?"
Lili adalah seorang gadis yang jujur seperti ayahnya. Biarpun ia gemar sekali berjenaka, akan tetapi pada saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.
"Menyesal sekali harus kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga... kurang ajar sekali, Ie-ie!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
419 Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini, sehingga ia lalu menoleh ke belakang dan membentak semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat! Kemudian ia menarik tangan Lili ke bawah batang pohon dan berkata, suaranya amat menyeramkan, "Nah, katakanlah terus terang, mengapa kau menganggap dia demikian" Apakah yang telah ia perbuat?"
"Perjumpaanku yang pertama adalah ketika dia, dia mengganggu seorang gadis cantik!"
Kembali Ang I Niocu terkejut sekali.
"Tak mungkin! Siong-ji takkan melakukan perbuatan seperti itu!"
Akan tetapi Lili lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong ketika pemuda ini hendak meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya sehingga kemudian ia bertempur dengan Lie Siong.
"Agaknya puteramu itu... mencinta gadis itu atau sebaliknya."
"Siapa gadis itu, Lili" Dan mengapa puteraku bersama dengan dia dan melakukan perjalanan bersama?"
"Bagaimana aku dapat menjawab pertanyaan ini, Ie-ie" Aku hanya bertemu sebentar dan pertemuan itu pun bukan pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur karena tidak saling mengenal."
"Hmm, sudahlah, dan kemudian di mana lagi kau berjumpa dengan dia?"
"Yang kedua kalinya, kami berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat ini... puteramu dan aku telah bertempur karena puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dan dalam pertempuran ini...
ia..." Lili berhenti sebentar karena wajahnya menjadi merah sekali dan untuk sejenak ia menundukkan mukanya, "dia telah... berlaku amat kurang ajar terhadap aku, Ie-ie..."
"Ia berbuat apakah" Lekas, lekas ceritakan, aku tak sabar lagi."
"Dia telah merampas sebelah sepatuku!"
"Apa...?"" Kini Ang I Niocu memandang dengan mata terbelatak. "Merampas sepatumu"
Untuk apakah?"
Makin merah wajah Lili. "Entahlah, siapa tahu?" Ia cemberut, sehingga hampir Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin Lin, ibunya. "Aku tak dapat mengejar karena kakiku telanjang. Ia pergi sambil membawa sepatuku dan luka di punggungnya."
"Hmm, aneh... aneh, mengapa Siong-ji menjadi begitu aneh?"
"Masih belum hebat, Ie-ie. Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah bundaku pergi ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
420 "Gila! Apa artinya semua ini, Lili" Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo Sian" Kalau misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuhnya.
Akan tetapi menculik pengemis, untuk apa?"
Sebetulnya Lili merasa enggan untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang mata Ang I Niocu demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus dadanya, maka ia tidak berani menyembunyikannya lagi.
"Harap Ie-ie mendengar dengan tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui sebuah hal amat penting dan mengejutkan hati. Dia menyatakan dan terdengar oleh puteramu bahwa... bahwa... suamimu telah meninggal dunia."
Lili melihat betapa wajah Ang I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan tetapi tidak sebuah pun seruan kaget keluar dari mulutnya.
"Di mana matinya" Bagaimana dan oleh siapa?" hanya demikian tanyanya.
"Inilah soalnya, Ie-ie. Ini pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan terhadap diri Sin-kai Lo Sian, untuk memaksanya memberi keterangan. Ah, kasihan orang tua itu, dia sesungguhnya tak dapat memberi keterangan itu karena ingatannya telah hilang."
"Apakah maksudmu?"
Dengan jelas Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu bangkit berdiri. Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata keluar dari mulutnya lagi. Lili memandang dengan terharu dan kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah. Menderita pukulan batin yang hebat, mendengar kematian suaminya, tidak mencak-mencak atau menangis seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi berdiri mengatur napas dan termenung menenteramkan batin untuk mengatasi pukulan itu.
Tanpa bergerak atau menoleh, tiba-tiba Ang I Niocu berkata,
"Lili, bencikah kau kepada anakku?"
Lili terkejut sekali. Tak pernah disangkanya akan mendapat pertanyaan seperti ini. Ia, seorang gadis yang jujur, apalagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak boleh membohong. Bencikah ia kepada Lie Siong pernuda kurang ajar itu" Wajah pemuda itu seringkali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan kekurangajarannya.
"Tidak, Ie-ie. Penuturanku tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku.
Mengapa aku harus membencinya" Biarpun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan membawa lari sepatuku..."
"Itu tanda dia suka kepadamu, anak bodoh!"
Lili tertegun. "Aku... aku tidak benci kepadanya Ie-ie," katanya dengan hati tetap karena ia tidak membenci ketika mengatakan hal ini.
"Dan kau suka kepadanya?" tanya Pula Ang I Niocu, masih belum bergerak dan tidak menoleh.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
421 Berdebar jantung Lili. Sungguh hebat sekali Ang I Niocu ini, menyerang dengan pertanyaan-pertanyaan demikian jitu dan langsung, benar-benar menyulitkannya. Agaknya demikian pula kalau pendekar wanita ini menyerang lawan dengan pedang. Jitu, hebat, dan langsung!
"Ie-ie, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu ini" Sungguh sukar bagiku untuk menjawab. Apakah maksudmu dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?"
"Masudku, Lili," kata Ang I Niocu yang kini tiba-tiba menoleh dan memandang tajam kepada gadis itu, "karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh, kaulah yang akan menjadi jodohnya! Dulu ketika aku bertemu dengan puteri Kwee An dan Ma Hoa yang bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa dialah yang patut menjadi mantuku."
"Enci Goat Lan adalah tunangan Engko Hong Beng," Lili memprotes.
"Lebih-lebih begitu. Setelah aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan
memperbolehkan Siong-ji menikah selain dengan engkau!"
Bukan main jengahnya perasaan Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke telinganya dan dadanya berdebar, ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu tanda girang atau marah.
"Tak mungkin, Ie-ie. Puteramu itu telah mencintai seorang gadis lain yang melakukan perjalanan bersama dia!"
"Apakah kau yakin bahwa Siong-ji mencintainya?"
"Aku tidak mau tahu urusan orang lain," jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya kalau marah. "Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya."
"Tak mungkin Siong-ji menjatuhkan hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti engkau.
Ah, sudahlah, hal itu mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau menjadi mantuku?"
"Ie-ie, dalam hal ini, aku hanya menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku dapat memutuskannya sendiri?"
Ang I Niocu memberi tanda ke belakang agar rombongan itu bergerak lagi, tanda bahwa percakapan dengan Lili telah dihabisinya. Kali ini, di sepanjang perjalanan Lili tidak banyak bercakap lagi. Ia merasa kikuk dan malu-malu terhadap Ang I Niocu setelah pendekar wanita itu menyatakan hendak mengambil mantu padanya. Terbayang berganti-ganti wajah Kam Liong, Song Kam Seng, dan Lie Siong. Kam Liong dan Song Kam Seng tak dapat disangkal lagi tentu mencintainya, jelas nampak dalam sikap mereka. Akan tetapi Lie Siong" Benarkah ucapan Ang I Niocu bahwa perampasan sepatu itu menjadi tanda bahwa pemuda itu suka kepadanya" Apakah bukan sekedar menghinanya belaka"
Ketika rombongan sudah tiba di depan pintu gerbang dusun di mana keluarga Haimi itu ditahan, para penjaga menghardik orang-orang Haimi itu.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
422 "Siapa menyuruh kalian datang pada waktu ini" Belum tiba waktunya kalian diperbolehkan masuk ke sini! Mana Saliban" Panggil ia maju, agar dia yang bicara dengan kami," kata kepala penjaga, seorang Mongol yang tinggi besar dan berwajah menyeramkan.
"Bangsat Mongol tak usah banyak buka mulut! Lebih baik buka pintu gerbang dan
minggatlah kau dan orang-orangmu dari sini!" Lili melompat maju sambil menudingkan kipasnya. Semenjak tadi gadis ini telah mencabut kipasnya dan mengipasi tubuhnya yang berkeringat karena perjalanan itu. Keadaan gadis ini dan Ang I Niocu memang di sepanjang jalan menimbulkan keheranan para orang Haimi. Hawa udara amat dinginnya akan tetapi kedua orang wanita itu berpeluh dan nampaknya kepanasan! Mereka tidak tahu bahwa memang Lili dan Ang I Niocu mengerahkan hawa dalam tubuh untuk membikin panas
tubuhnya, melawan hawa dingin dan melancarkan peredaran darah, maka mereka merasa kepanasan sampai berkeringat. Adapun kipas Lili, ini dahulu tidak dirampas oleh Saliban karena tidak seorang pun menduga bahwa kipas itu adalah sebuah senjata yang ampuh dari Lili.
Orang Mongol tinggi besar yang mendengar bentakan ini, tertawa bergelak gelak. "Ha-ha-ha!
Mana Saliban" Bagus benar, ia telah membawa seorang tawanan wanita yang sedemikian cantiknya!
Sayang otaknya agak miring! Akan tetapi aku suka memberinya sepuluh potong uang emas untukmu! Ha-ha-ha!"
Akan tetapi suara ketawanya segera disusul oleh pekik mengerikan ketika Lili menggerakkan kipasnya yang gagangnya dengan telak menotok leher orang Mongol itu. Pekik mengerikan ini hanya keluar untuk mengantar nyawanya meninggalkan raganya.
Gegerlah seketika karena orang-orang Haimi juga sudah menyerbu dan menyerang para penjaga Mongol itu. Juga Ang I Niocu segera bergerak, pedangnya merupakan halilintar menyambar-nyambar dan di mana sinar pedangnya berkelebat, sebuah kepala orang Mongol terpisah dari lehernya! Amukan Lili dan Ang I Niocu sedemikian hebatnya sehingga sebentar saja sisa para penjaga Mongol itu melarikan diri sambil berteriak-teriak ketakutan, meninggalkan kawan-kawan mereka yang sudah tewas bertumpuk-tumpuk di luar pintu gerbang.
Pertemuan antara keluarga Haimi dan para perajurit Haimi itu sungguh amat mengharukan.
Akan tetapi Ang I Niocu segera memberi perintah agar semua orang segera meninggalkan kampung itu dan beramai-ramai menuju ke timur. Di sebelah timur terdapat sebuah hutan lebat di lereng Bukit Alkata-san dan di sinilah mereka berhenti. Ang I Niocu tidak takut akan pembalasan orang-orang Mongol, akan tetapi tentu saja sukar baginya untuk melindungi sekian banyaknya orang apabila terjadi pertempuran dengan orang-orang Mongol. Setelah berada di tengah hutan, orang-orang Haimi lalu membuat pagar dan pondok-pondok darurat, kemudian diadakan penjagaan yang kuat.
Setelah itu, orang Haimi yang tua itu lalu memimpin kawan-kawannya untuk berlutut menghaturkan terima kasih kepada Lili dan Ang I Niocu.
"Lili, kaupimpin orang-orang ini. Kasihan mereka. Aku mendengar bahwa bala tentara kerajaan dan orang-orang gagah sedang melakukan penjagaan untuk memukul mundur orang-Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
423 orang Mongol. Kalau keadaan sudah aman, barulah kautinggalkan orang-orang ini, atau boleh kau serahkan kepada penjagaan tentara kerajaan."
"Aku akan memimpin mereka mencari kerajaan di mana terbenteng tentara kerajaan di mana terdapat pula Engko Hong Beng, Enci Goat Lan dan mungkin kedua orang tuaku Ie-ie."
"Hmm, jadi Cin Hai dan Lin Lin juga sudah turun tangan untuk mengusir orang-orang Mongol" Bagus! Sayang sekali aku tidak ada nafsu untuk mencampuri pertempuran ini. Aku hendak mencari puteraku, dan untuk mencari pembunuh suamiku. Kaubawalah mereka ke mana kau suka, Lili, akan tetapi berhati-hatilah. Melihat ilmu silatmu aku percaya sepenuhnya bahwa kau akan dapat melakukan tugas ini."
Setelah berkata demikian dan memelyk Lili, Ang I Niocu lalu berkelebat pergi. Dalam pandangan mata orang-orang Haimi yang berada di situ, nyonya merah ini sama saja dengan menghilang karena lompatannya demikian cepat sehingga tidak kelihatan lagi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali.
"Untuk sementara, dalam beberapa hari ini, biar kita beristirahat dulu di sini," kata Lili kepada orang-orang Haimi itu, "kita mengumpulkan tenaga dan menjaga kalau-kalau ada pasukan Mongol yang menyerang. Kemudian, kita harus pergi ke lereng Alkata-san untuk mencari benteng pertahanan tentara kerajaan."
Kait Perpisahan 3 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Harpa Iblis Jari Sakti 8