Pencarian

Pendekar Remaja 6

Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


mendengar suara "plok" tadi, akan tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu hanya mengira bahwa itu adalah suara buah busuk yang jatuh di atas tanah di luar kelenteng.
Benda hitam kecil ke dua meluncur cepat, disusul dengan yang ke tiga dan ke empat. Tiba-tiba Hok Ti Hwesio berseru keras dan mencabut pisau belatinya dengan marah sekali. Kali ini ia merasa sakit sekali pada hidung dan kedua telinganya. Dengan tepat sekali tiga pel tanah liat kecil itu menghantam hidung dan kedua daun telinganya. Tak salah lagi, ini tentu perbuatan seorang manusia. Tak mungkin binatang cecak bisa melempar tai demikian kebetulan!
"Bangsat rendah, kalau kau memang berani, turunlah!" bentaknya sambil mendongakkan kepalanya memandang ke arah genteng. Akan tetapi malang baginya, karena ia berseru sambil menengadah sebutir pel tanah liat yang tidak kelihatan dan tidak terdengar menyambarnya, tahu-tahu telah memasuki mulutnya dan tak tertahan pula terus masuk ke tenggorokan turun ke perut!
"Kurang ajar! Keparat!!" Hok Ti Hwesio menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat ia telah melompat keluar dan langsung naik ke genteng, sedangkan Wi Kong Siansu, Kam Seng, Tan-kauwsu dan Ong Tek memandang kelakuan hwesio itu dengan heran.
Ketika tiba di atas genteng, Hok Ti Hwesio memandang ke sana ke mari akan tetapi ia tidak melihat bayangan seekor kucing pun di atas genteng. Dengan mendongkol dan juga heran sekali ia melompat turun dan kembali ke dalam ruang itu. Ia berpikir bahwa kalau memang benar ada orang mengganggunya, tentu orang itu melakukan hal itu karena marah mendengar ia tadi menantang Pendekar Bodoh, maka dengan suara keras ia berkata,
"Kalau yang datang tadi Pendekar Bodoh atau konco-konconya, maka ternyata bahwa Pendekar Bodoh dan konco-konconya hanyalah pengecut-pengecut besar yang berani
menyerang dengan sembunyi! Kalau ia berani turun ke sini, dalam beberapa jurus saja tentu pisauku ini akan menembus lehernya!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
165 Baru saja ucapannya habis, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari atas, "Bangsat gundul bermulut besar!" Berbareng dengan bentakan itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah sekali.
Semua orang terkejut melihat gadis ini, karena bagaimanakah seorang dara muda remaja memiliki gin-kang yang sedemikian tingginya sehingga kedatangannya sampai tidak terdengar sama sekali"
Yang lebih terkejut adalah Kam Seng, karena sekali memandang saja ia mengenal gadis ini sebagai Lili!
"Lili...!" ia berseru perlahan dengan mata terbelalak. Kalau orang melihat sinar matanya, di situ akan terbayang kasih sayang yang besar, tercampur kebencian yang mengejutkan.
Memang, semenjak dahulu ketika tertolong oleh Sinkai Lo Sian, Kam Seng merasa kagum dan suka sekali kepada Lili. Ia kagum akan kecantikan dan kejenakaan gadis ini, sehingga dulu seringkali ia diam-diam memandang kepada gadis itu dengan pikiran melamun. Akan tetapi, di samping rasa kasih sayangnya ini, ia mangandung kebencian hebat sekali mengingat bahwa dara jelita ini adalah puteri dari musuh besarnya, Pendekar Bodoh!
Seruan perlahan ini terdengar juga oleh Lili, maka ia menengok dan tersenyum manis.
"Kukira tadi bukan Kam Seng yang berada di sini, akan tetapi ternyata benar-benar kau!
Mengapa kau berada di sini" Di manakah Suhu dan Supek?" tanyanya sambil memandang tajam. Sinar matanya berkelebat seakan-akan menembus dada Kam Seng sehingga pemuda itu merasa tak enak hati sekali dan mukanya berubah merah.
Sementara itu, Wi Kong Siansu dan yang lain-lain juga sudah bangkit dari tempat duduknya, dan Hok Ti Hwesio bertanya kepada Kam Seng,
"Sute, siapakah perempuan ini?"
Tiba-tiba timbul sebuah pikiran yang baik dalam otak Kam Seng. Ia memang mempunyai perasaan tidak suka kepada Hok Ti Hwesio yang kini menjadi suhengnya, dan ia ingin mengadu hwesio ini dengan Lili agar dengan demikian ia dapat mengadukan dua orang yang termasuk dalam daftar musuhnya.
"Suheng, kau tadi mencari Pendekar Bodoh. Nah, inilah puterinya yang bernama Sie Hong Li atau Lili!"
Lili makin terheran mendengar ucapan Kam Seng ini. "Dan Si Gundul ini kalau tidak salah tentulah si tukang membelek perut, bukan" Apakah dia sekarang menjadi suhengmu, Kam Seng?"
Makin merahlah muka Kam Seng mendengar hal ini. "Lili..." katanya perlahan. "Sekarang tidak ada hubungan antara kau dan aku lagi, aku... aku sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, yaitu suhuku yang baru ini!"
Lili tersenyum mengejek. "Siapa bilang bahwa kau dan aku pernah ada hubungan" Dari dulu pun kita tidak mempunyai hubungan sesuatu!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
166 Sementara itu, Hok Ti Hwesio tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Bagus, hendak kulihat sampai di mana kelihaian anak dari Pendekar Bodoh!" Sambil berkata demikian, ia lalu menyerang dengan pisau belatinya, menusuk ke arah dada Lili yang berdiri dengan tenang. Melihat tusukan ini, Lili tertawa mengejek dan sambil mengelak gesit ia mentertawakan hwesio itu.
"Tukang sembelih babi! Bagaimana kau berani berlagak di depan nonamu?" Apakah kau masih ingin merasai pel tanah liat lagi" Masih kurang kenyangkah yang tadi itu?" Sambil berkata demikian, tangan Lili terayun dan ia melemparkan dua butir pel lagi yang masih dipegangnya. Dengan cepat sekali dua butir pel itu menyambar ke arah sepasang mata Hok Ti Hwesio!
Bukan main kagetnya Si Kepala Gundul ini, ketika melihat dua titik hitam berkelebat menyambar matanya. Ia cepat menundukkan mukanya, akan tetapi serangan dua butir pel tanah liat itu benar-benar cepat sekali.
"Tak! Tak!" Bagaikan dua buah pelor besi, dua butir pel tanah liat itu melesat di atas kepalanya yang gundul, sungguhpun tak dapat melukai kulitnya yang kebal, namun cukup mendatangkan rasa sakit!
"Perempuan liar, kau harus mampus!" serunya marah dan ia lalu maju lagi menyerang dengan cepat, menggunakan gerak tipu yang disebut Coan-jiu-ciongkiam (Lonjorkan Lengan Sembunyikan Pedang). Gerakan ini merupakan serangan yang berbahaya sekali, karena ia melakukan serangan dengan pukulan tangan kanan sambil menyembunyikan pedang kecil itu di bawah lengannya. Pedang kecil ini siap untuk diputar dan ditusukkan apabila pukulan itu dapat dielakkan lawan.
Akan tetapi, Lili yang sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari ayah ibunya, bahkan sudah menerima ilmu silat warisan dari Swie Kiat Siansu yang diturunkan melalui ayahnya, tentu saja hanya mentertawakan serangan ini. Ia maklum bahwa pedang kecil yang tersembunyi di bawah lengan itu akan melakukan serangan lanjutan, maka ia lalu memutar kedudukan kakinya, mengelak sambil mainkan Ilmu Silat Sianli Utauw (Tari Bidadari) yang indah sehingga tubuhnya seakan-akan sedang menari-nari menghadapi serangan lawannya.
Mulutnya yang kecil manis itu tiada hentinya tersenyum dan sambil menggerakkan tubuh mengerling tajam ke arah lawannya, ia menyindir,
"Tikus gundul! Tiada guna kau maju memperlihatkan kebodohanmu! Suruhlah Bouw Hun Ti si keparat itu keluar untuk kuambil kepalanya!"
Hok Ti Hwesio makin marah, apalagi ketika ia mendengar Wi Kong Siansu berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu,
"Itulah Ilmu Silat Sianli Utauw yang lihai dari Ang I Niocu! Hok Ti, kau mundurlah karena kau takkan menang menghadapi Nona ini!"
Hanya seorang saja di dunia ini yang ditakuti dan ditaati oleh Hok Ti Hwesio, yaitu gurunya, Ban Sai Cinjin. Biarpun ia menghormati supeknya ini, namun di dalam kemarahan dan rasa penasarannya terhadap Lili ucapan supeknya itu bahkan menambah kemarahannya.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
167 "Biarlah, Supek. Masa teecu tidak dapat mengalahkan perempuan liar ini?" Ia lalu maju lagi dan kini mengirim serangan maut bertubi-tubi. Pisau belati di tangannya menyambar-nyambar cepat sekali dan karena gin-kangnya memang sudah tinggi, sedangkan pisau itu kecil dan ringan, ditambah tenaga lwee-kangnya yang sudah baik, maka tubuhnya lenyap berubah menjadi segunduk bayangan yang mengurung tubuh Lili dari segenap jurusan.
Lili sudah mempelajari ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan biarpun belum sempurna seperti ayahnya, namun dara jelita yang gagah perkasa ini sudah mengerti pula tentang dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, maka dengan enaknya ia menghadapi serangan-serangan Hok Ti Hwesio.
Ia melihat hwesio itu menyerangnya dengan gerak tipu Tiang-ging-king-thian (Pelangi Panjang Melengkung di Langit) dan pedang kecil itu menyambar di atas kepalanya, sedangkan kaki kanan hwesio itu menendang dengan cepatnya sambil mengerahkan tenaga Kim-kong-twi (Tendangan Sinar Emas). Melihat gerakan pedang dan kaki yang menendang, Lili dapat menduga bahwa lawannya tentu memancingnya untuk mengetakkan tendangan itu dengan gerak lompat Kim-le-coan-po (Ikan Gabus Terjang Ombak) atau Cian-liong-seng-thian (Naga Sakti Naik ke Langit) agar tubuhnya naik ke atas sehingga pedang kecil yang berkelebat di atas kepalanya itu dapat menyerangnya dengan gerak tipu Liong-ting-thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga).
Ia maklum pula akan berbahayanya serangan beruntun ini, akan tetapi dasar Lili memang berhati tabah, berwatak nakal jenaka, dan sudah memiliki perhitungan yang tepat maka dengan sengaja seakan-akan tidak tahu bahaya, ia segera melompat ke atas mengelakkan serangan tendangan lawan dengan Ilmu Lompat Cian-liong-seng-thian!
Hok Ti Hwesio menjadi girang sekali melihat pancingannya berhasil dan benar saja, seperti yang sudah diduga oleh Lili, pedang kecil di tangannya lalu menyambar dari atas, memapaki kepala Lili dengan gerakan Liong-ting-thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga)! Satu hal yang tidak terduga oleh Lili, yaitu sambil melakukan serangan berbahaya ini, tangan kiri Hok Ti Hwesio tidak tinggal diam dan maju memukul ke arah dada gadis itu dengan pukulan yang mengandung tenaga Thiat-ciang-kang (Pukulan Tangan Besi)!
Kam Seng yang melihat bahaya mengancam gadis cantik yang diam-diam menjatuhkan cinta kasihnya itu, hampir saja berseru ngeri karena bagaimanakah orang dapat menghindarkan diri dari bahaya serangan sehebat itu"
Akan tetapi Lili berlaku tenang. Ia mengangkat tangan kirinya ke atas dan menggerakkan tangannya itu secara luar biasa sekali ke arah pedang lawan sehingga terdengar suara
"cring...!!" dan ternyata ia telah berhasil menangkis pedang lawannya itu dengan gelang emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya! Adapun pukulan ke arah dadanya itu ia sambut dengan tangan kanannya, dengan telapak tangan dari jari-jari yang dikembangkan!
"Ah... tangan kanan itu sudah terang mainkan Pek-in-hoatsut akan tetapi tangan kiri itu...
apakah itu yang disebut Kong-ciak Sinna, ilmu-ilmu lihai dari Bu Pun Su?" terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum.
Akan tetapi, orang lain tidak memperhatikan ucapan ini karena memang lebih tertarik melihat akibat dari dua gerakan gadis yang lihai itu. Hok Ti Hwesio tadi merasa kaget setengah mati ketika menyaksikan betapa gadis muda itu dapat menangkis pedangnya hanya dengan gelang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
168 di tangannya! Akan tetapi kekagetannya itu tidak berarti apabila dibandingkan dengan kenyataan yang ia hadapi ketika pukulan tangan kirinya bertumbuk dengan telapak tangan gadis itu! Ia tidak merasa bahwa kepalan tangannya sudah bertemu dengan telapak tangan kanan lawannya, akan tetapi dari telapak tangan itu mengebul uap putih dan ia merasa lengan kirinya seakan-akan hendak patah! Rasa sakit menusuk-nusuk tulang lengannya yang kiri, dan ia tahu bahwa itu adalah akibat membaliknya tenaga pukulannya sendiri!
Sambil berseru keras hwesio ini melompat ke belakang dan cepat menggunakan gagang pedangnya untuk menotok urat lengan kirinya dan dengan cara demikian ia membuyarkan tenaga sendiri yang membalik karena tangkisan gadis secara istimewa tadi!
"Perempuan liar! Jangan lari!" teriak Hok Ti Hwesio dengan keras dan marah, suatu sikap untuk menutup rasa malunya dan untuk memperbesar semangatnya. Ia menubruk maju lagi dan kini ia bersilat lebih hati-hati. Diam-diam ia merasa penasaran dan sedih sekali sehingga ingin sekali ia menangis berkaok-kaok saking jengkelnya. Bagaimanakah dia, Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin, yang semenjak masih kecil dengan rajin dan tekunnya mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, bahkan telah memiliki kekebalan dan ilmu kesaktian yang berdasarkan ilmu hitam, sudah "bertapa" mencari kesaktian dari mahluk halus, bermalam di tanah pekuburan, kini dengan pedang di tangan tidak berdaya menghadapi seorang gadis yang bertangan kosong" Saking jengkelnya, ia tidak ingat lagi akan pengalamannya yang tadi.
Kalau Hok Ti Hwesio tidak begitu jengkel dan penasaran, tentu telah terbuka matanya bahwa ia menghadapi seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripadanya.
"Hemm, tikus gundul! Binatang rendah macam kau inikah yang hendak melawan ayah" Ha, kau perlu diberi rasa sedikit!" Setelah berkata demikian, Lili mengubah caranya bersilat dan kini ia mainkan Sianli Utauw bagian yang paling cepat. Tubuhnya seakan-akan lenyap berubah menjadi sinar kemerahan dari bajunya yang berkembang merah itu, dan pandangan mata Hok Ti Hwesio menjadi pening. Seringkali ia menyaksikan gurunya atau supeknya bersilat dengan hebat, akan tetapi belum pernah melihat yang secepat ini. Ia lalu mengamuk dan menggunakan pedang kecilnya menyambar ke arah bayangan tubuh lawannya, akan tetapi tiap kali pedangnya menyerang, ia merasa hanya mengenai angin saja karena lawannya sudah dapat mengelak lebih dulu. Dan sebagai imbangannya, terdengar suara "tok!" karena kepalanya telah kena diketok oleh jari tangan Lili.
Beberapa puluh jurus mereka bertempur dan entah sudah beberapa belas kali terdengar suara
"tak-tok! tak-tok!" karena selalu tangan atau kaki Lili berkenalan dengan kepala yang gundul klimis itu. Gadis ini benar-benar merasa kagum dan heran. Ketokan, pukulan, dan tendangannya itu dilakukan dengan tenaga lwee-kang yang penuh dan kuat sekali, jangankan baru kepala orang, biarpun kepala patung batu akan pecah atau retak terkena serangan ini.
Bagaimanakah hwesio ini dapat menerima semua pukulan itu dengan adem saja, seakan-akan yang hinggap di kepalanya hanyalah lalat-lalat belaka"
Sebaliknya, Hok Ti Hwesio menjadi demikian mendongkol, malu, penasaran dan marah sehingga tak terasa lagi dari kedua matanya keluar dua titik air mata yang besar-besar! Bukan main gemasnya karena kepalanya dibuat main bola oleh gadis ini, dan biarpun ia dapat menahan pukulan itu, namun tetap saja ia merasa sedikit puyeng!
Wi Kong Siansu khawatir kalau-kalau murid keponakan ini akan mendapat luka di dalam otaknya akibat pukulan-pukulan lihai itu, maka ia segera membentak, "Hok Ti! Mundur kau...!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
169 Kali ini Hok Ti Hwesio tidak membangkang, karena di dalam suara supeknya terdengar perintah yang amat keras. Pula, tadinya ia ingin mengadu nyawa karena merasa malu mengundurkan diri mengaku kalah setelah ia tadi bersumbar, kini ia melihat kesempatan baik karena supeknya yang memerintahnya mundur! Dengan gerak lompatan Naga Hitam
Berjungkir Balik ia melompat ke belakang, membuat poksai (salto) tiga kali dan tiba-tiba ketika tubuhnya masih berjumpalitan itu, pisau belati yang berada di tangannya telah ia lontarkan ke arah Lili!
Inilah keistimewaan Hok Ti Hwesio. Pedang kecil atau pisau belati itu menyambar dengan cepatnya, merupakan sinar putih yang mengkilap menuju ke arah leher Lili yang sama sekali tidak menyangkanya. Akan tetapi, dengan tenang sekali dan masih tersenyum, Lili mengangkat tangan kiri ke depan leher dan dengan gerak tipu Kwan-im-siu-koai-to (Dewi Kwan Im Menyambut Golok Siluman) ia telah dapat menangkap hui-kiam (pedang terbang) itu dan berbareng pada saat itu juga, ia mengirim pulang pedang itu dengan melontarkannya ke arah perut Hok Ti Hwesio disusul suara ejekannya,
"Nah, makanlah pisau penyembelih babimu ini!"
Baru saja tubuh Hok Ti Hwesio melompat turun, pisaunya telah terbang menyambar perutnya yang kecil karena jarang makan itu. Ia terkejut sekali dan tidak sempat mengelak atau menangkis, maka ia lalu mengerahkan kekebalannya ke tempat yang terserang itu dan "bret!"
hanya pakaiannya sajalah yang terobek oleh pisau itu, akan tetapi kulitnya lecet pun tidak!
"Terlalu enak bagimu!" Lili berseru penasaran dan sambil melangkah maju dua tindak, ia melancarkan pukulan Pek-in-hoatsut ke arah hwesio itu dengan kedua lengannya!
"Celaka!" seru Wi Kong Siansu dan tosu ini dari tempatnya lalu menggerakkan ujung kedua lengan bajunya menangkis serangan angin pukulan yang dilancarkan oleh Lili ini. Akan tetapi, masih tetap saja sebagian tenaga pukulan ini menyerang Hok Ti Hwesio sehingga hwesio itu terpental menubruk dinding di belakangnya yang terpisah tiga tombak lebih dari padanya! Kalau saja pukulan ini tidak tertahan oleh angin tangkisan Wi Kong Siansu tak dapat diharapkan Hok Ti Hwesio akan dapat bernapas lagi. Biarpun ia kebal, akan tetapi pukulan Pek-in-hoatsut menembus semua kekebalan dan merusak tubuh bagian dalam. Kini Hok Ti Hwesio juga terluka, akan tetapi tidak parah dan tidak membahayakan jiwanya, namun cukup membuat ia duduk mengeluh panjang pendek dan berusaha mengerahkan
tenaga dalam untuk memulihkan lukanya.
"Ganas, ganas...!" kata Wi Kong Siansu sambil memandang kepada Lili. "Tak kusangka bahwa Pek-in-hoatsut dari Bu Pun Su yang budiman dan penuh hati welas asih itu kini dipergunakan oleh cucu muridnya secara demikian kejam!"
Lili tersenyum manis dan menjura kepada Wi Kong Siansu, lalu berkata, "Wi Kong Siansu, aku yang muda sudah seringkali mendengar namamu yang besar sebagai seorang yang berkepandaian tinggi. Ucapanmu tadi memang kuakui ada benarnya akan tetapi agaknya kau orang tua telah menjadi pikun dan lupa akan ejekan orang-orang jaman dahulu yang berbunyi
: peluh orang lain berbau busuk, akan tetapi kotoran sendiri berbau sedap! Tadi mudah saja kau mencela aku yang muda, bahkan membawa nama Sucouw Bu Pun Su. Akan tetapi,
bukankah tikus gundul itu murid keponakanmu sendiri" Mengapa kau tidak mencelanya sama sekali" Apakah kauanggap bahwa perbuatannya terhadap aku tadi cukup pantas?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
170 Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. Ia tidak tahu bahwa Lili memang semenjak kecil gemar berkelahi dan karena seringkali bertengkar, maka ia menjadi pandai berdebat! Apalagi karena ia seringkali mendengar ayahnya memberi nasihat dengan segala macam ujar-ujar kuno, maka ujar-ujar yang kiranya dapat ia pergunakan untuk "memukul"
lawan, telah hafal di dalam kepalanya.
Dengan kata-katanya yang lantang itu, gadis ini sama sekali tidak memandang muka Wi Kong Siansu sehingga tosu itu menjadi penasaran sekali. Ia merasa ditantang!
"Hemm, Nona muda, biarpun kau puteri Pendekar Bodoh, tak selayaknya kau bersikap begini sombong di hadapan Toat-beng Lo-mo! Agaknya ayahmu hanya memberi didikan ilmu silat saja kepadamu, sama sekali tidak memberi pelajaran tentang tata susila dan sopan santun!"
Kembali Lili tersenyum lebih manis lagi. Makin manis senyum gadis ini makin berbahayalah dia, karena itu adalah tanda bahwa ia sedang mengasah otaknya dan berada dalam keadaan yang amat waspada.
"Totiang, orang-orang dahulu yang lebih tua daripadamu telah menyatakan bahwa manusia dihormat oleh sesamanya bukan karena keputihan rambutnya (usia tua), melainkan karena keputihan hatinya (budiman)."
Mulai bersinar pandang mata Wi Kong Siansu. "Bocah lancang mulut! Apakah kau mau menyatakan bahwa kauanggap aku seorang jahat?"
"Tidak ada sangka-menyangka dalam hal ini, Totiang," kata Lili sambil mengerling ke arah Kam Seng dengan pandangan mengejek. "Ayah pernah berkata bahwa burung gagak hanya akan berkawan dengan mayat, sedangkan burung Hong hanya berkawan dengan burung
sorga! Aku tidak berani menyatakan atau menyangka bahwa Totiang dan orang-orang lain jahat pula, akan tetapi aku berani menyatakan bahwa orang-orang yang bernama Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio yang keduanya tinggal di tempat ini juga adalah binatang-binatang rendah yang harus dimusnakan dari muka bumi ini!"
Ucapan ini terasa bagaikan tamparan pedas di muka Wi Kong Siansu, akan tetapi terhadap Kam Seng merupakan ujung pedang yang menikam di ulu hatinya. Mukanya yang tadi merah sekarang berubah menjadi pucat.
Wi Kong Siansu berkata lagi, "Hemm, kau masih kanak-kanak akan tetapi mulutmu jahat sekali. Sikapmu menantang padaku, akan tetapi aku masih malu untuk menghadapi seorang anak kecil seperti kau. Kam Seng, kauwakili aku dan coba kau uji kepandaian Nona ini!"
Kam Seng tak berani membantah. Gurunya sudah tahu bahwa sebelum ia datang di tempat itu, ia adalah suheng dari gadis ini, maka kalau sekarang ia memperlihatkan sikap ragu-ragu dan membantah, tentu gurunya akan menaruh hati curiga kepadanya. Pula, Lili adalah anak dari musuh besarnya yang harus pula ia balas, sungguhpun cara membalas dendam terhadap Lili telah ada rencana lain dalam otaknya! Ia amat sayang kalau nona yang begini cantik manis sampai terbinasa. Akan lebih baik kalau ia dapat mengambil nona ini menjadi isterinya!
Bukan karena cinta kasih murni, akan tetapi hanya untuk mempermainkan anak musuh besarnya!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
171 Sambil menekan debar jantungnya, Kam Seng melangkah maju dan mencabut pedangnya.
"Lili," katanya dengan suara tenang, "kau telah berani menghina Suhu. Cabutlah pedangmu itu dan mari kita main-main sebentar. Hendak kulihat apakah kepandaianmu sesuai dengan kesombonganmu ini!"
Lili tidak menjawab, bahkan lalu menatap pemuda itu dan memandang dengan penuh
perhatian dari kepala sampai ke kaki. Ia melihat pemuda ini sekarang nampak tampan dan gagah, mukanya putih terawat, rambutnya tersisir rapi dan diikat ke atas. Pakaiannya bersih dan terbuat dari sutera mahal, baju warna merah dengan leher kuning emas dan celana warna biru. Alangkah jauh bedanya dengan Kam Seng yang dulu itu! Dulu hanya seorang pengemis kelaparan dan kurus kering, berpakaian compang-camping dan kotor.
"Hemm, Kam Seng, kau benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat! Pakaianmu
semewah keadaan dalam ruangan ini! Hanya sayangnya, tidak semua keadaan di luar mencerminkan keadaan di dalam! Banyak kutemui keindahan luar yang hanya menjadi kedok daripada kebobrokan di sebelah dalam!" Suara ini dikeluarkan dengan bibir masih tersenyum simpul, seakan-akan ia adalah seorang dewasa yang memberi nasihat kepada seorang anak kecil.
"Sudahlah, Lili, jangan banyak cakap lagi," jawab Kam Seng dengan muka kemerah-
merahan. "Tidak ada gunanya bertanding kata-kata, cabutlah pedangmu!"
"Lagakmu seperti orang gagah saja!" Lili masih menyindir dan dengan gerakan perlahan ia mengeluarkan sebuah kipas dari dalam bajunya, membuka kipas itu lalu mengipasi tubuhnya yang tidak gerah!
Bagi pandangan orang lain dan juga Kam Seng, agaknya sikap Lili ini memandang rendah sekali kepada lawannya. Bahkan Kam Seng tidak mengira bahwa gadis itu akan
menghadapinya dengan kipas di tangan!
"Lili lekas kau keluarkan pedangmu aku tidak mau menyerang orang bertangan kosong!"
Ucapan ini sengaja dikeluarkan dengan keras untuk memberi tamparan kepada Hok Ti Hwesio yang dibencinya.
Akan tetapi, Lili hanya tersenyum dan mengipasi tubuhnya makin cepat lagi. "Untuk menghadapi seekor lalat, cukup dengan sehelai kipas!" katanya.
Tidak seperti Kam Seng dan orang-orang lain, Wi Kong Siansu memandang kepada kipas di tangan Lili itu dengan penuh perhatian. Bukan kipasnya yang menarik perhatiannya, melainkan cara jari tangan gadis itu memegang kipas itu. Orang lain kalau memegang kipas tentu gagangnya digenggam di telapak tangan di antara empat jari dan ibu jari. Akan tetapi Lili memegang kipas itu dengan gagang dijepit antara ibu jari dan telunjuk, sedangkan tiga jari tangan yang lain lurus dan tegang! Berdebarlah dada tosu ini karena pegangan ini mengingatkan ia akan jago tua di utara, yaitu Swie Kiat Siansu, ahli Kipas Maut! Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya. Bagaimana gadis ini bisa menjadi murid Swie Kiat Siansu"
"Kam Seng, jangan pandang ringan kipas itu, kau seranglah!" katanya kepada muridnya.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
172 Lili diam-diam memuji ketajaman mata tosu itu, sedangkan Kam Seng menjadi terkejut dan memperhatikan kipas di tangan Lili. Kipas itu gagangnya berwarna putih kekuningan seperti tulang. Ia dapat menduga bahwa kalau kipas ini dipergunakan sebagai senjata, tentu gagang kipas itu terbuat daripada gading yang keras. Layar atau permukaan kipas entah terbuat dari apa, kekuningan pula akan tetapi telah digambari gunung dan sungai dan ditulisi syair pula. Ia masih merasa ragu-ragu. Bagaimanakah kipas sekecil itu akan dipergunakan sebagai senjata"
Akan tetapi karena suhunya telah menyuruhnya menyerang, ia lalu bergerak maju. "Awas pedang!" teriaknya dan menyeranglah dia dengan gerak tipu Liu-seng-kan-goat (Bintang Mengejar Bulan), sebuah gerak tipu serangan yang cukup berbahaya. Bagaikan sebuah bintang, ujung pedang itu bergerak secara berantai dan dapat mengejar terus kemana saja sasarannya bergerak. Kini yang dijadikan sasaran oleh pedangnya adalah pundak kanan Lili.
Dengan memilih sasaran pundak kanan, Kam Seng hendak menyatakan bahwa dia tidak berniat jahat atau menewaskan gadis itu. Dengan menyerang pundak, maka ia memberi banyak kesempatan kepada Lili untuk mengelak.
Akan tetapi, ternyata Lili sama sekali tidak mengelak, bahkan menanti datangnya serangan ini dengan senyum mengejek. Kam Seng terkejut sekali. Betapapun juga, tidak bisa membatalkan serangannya karena hal ini akan membikin marah suhunya dan biarpun hanya pundak, kalau terkena pedangnya tentu akan terluka hebat juga! Serangannya ini amat cepat dan dilakukan dengan tenaga lwee-kang sepenuhnya.
Ketika ujung pedang Kam Seng sudah berada dekat sekali dengan baju Lili yang menutup pundak, tiba-tiba gadis itu yang masih saja mengipasi tubuhnya dengan kipas lalu mengubah gerakan kipasnya dan kini ia mengebut ke arah pedang Kam Seng yang ujungnya sudah mendekati pundaknya. Kam Seng hampir mengeluarkan seruan keras saking kagetnya.
Gerakan sederhana dengan kipas di tangan luar biasa sekali dibarengi penyerangan luar biasa sekali. Sekaligus kipas itu telah melakukan tiga gerakan yang luar biasa. Muka kipas menangkis ujung pedang, kebutannya mendatangkan angin yang menyambar mukanya
sehingga membuat ia tak dapat membuka mata, dan gagang kipas dari gading itu cepat sekali melakukan totokan berbahaya ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang!
"Lihai sekali...!" terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum. "Aku berani bertaruh bahwa ini tentulah Ilmu Kipas Maut dari Swie Kiat Siansu!"
Sementara itu Kam Seng yang lincah gerakannya telah dapat melompat mundur dan mukanya menjadi pucat. Karena tadi memandang rendah hampir ia terkena totokan dalam segebrakan saja. Sedangkan Lili makin kagum mendengar ucapan Wi Kong Siansu yang ternyata dapat mengenal ilmu silatnya demikian cepatnya.
Kam Seng berlaku hati-hati dan kini ia tidak berlaku seji (sungkan) lagi. Ia mengerahkan kepandaiannya dan menyerang dengan cepat, mempergunakan Ilmu Pedang Hek-kwi-kiamsut, yaitu ilmu pedang ciptaan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang amat ganas dan selain kuat juga amat cepat gerakannya.
Diam-diam Lili kagum juga melihat ilmu pedang ini. Sayang ia telah berkumpul dengan orang-orang jahat, pikirnya, kalau ia terus terdidik oleh orang baik-baik, tentu ilmu sitatnya akan amat berguna. Sama sekali Lili tidak tahu bahwa sesungguhnya dasar ilmu silat Kam Seng ia dapat dari pendidikan Mo-kai Nyo Tiang Le. Hanya ilmu pedangnya ini memang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
173 pelajaran dari Wi Kong Siansu. Agaknya pemuda ini merasa malu untuk mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Nyo Tiang Le guna menghadapi gadis ini.
Lili maklum bahwa ilmu kepandaian Kam Seng lebih baik dan lebih berbahaya daripada Hok Ti Hwesio. Perbedaan yang amat mencolok antara kedua orang ini ialah bahwa Hok Ti Hwesio mendasarkan kepandaiannya untuk daya tahan, tubuhnya kebal, pertahanannya kuat, bahkan batok kepalanya pun dapat menahan pukulan maut. Sebaliknya, Kam Seng
mendasarkan kepandaiannya pada daya serang. Serangannya berbahaya dan cepat, tidak memberi banyak kesempatan kepada lawan. Akan tetapi, daya tahannya tidak sekuat Hok Ti Hwesio.
Ilmu Kipas Maut yang ia warisi dari Swie Kiat Siansu adalah semacam ilmu silat yang luar biasa sekali, dan disebut ilmu silat San-sui-san-hwat (Ilmu Kipas Gunung dan Air). Kipas yang dulu dipergunakan oleh Swie Kiat Siansu adalah kipas yang layarnya terbuat daripada kulit harimau, akan tetapi sebagai seorang gadis, Lili tidak suka mempergunakan kipas yang buruk rupa. Ia sengaja membuat kipas yang kecil dan indah bentuknya, dengan layar dari kain tebal yang dilukisi dan ditulisi syair. Dengan demkian, kipasnya ini tidak saja dapat dipergunakan untuk senjata, akan tetapi juga dapat dipakai untuk pemantas dan untuk mencari angin sejuk. Lukisan di atas kipasnya ini indah sekali dan syairnya ditulis sendiri oleh ayahnya, maka Lili merasa sayang sekali kepada kipas ini. Dalam perkelahian menghadapi lawan, baru kali ini ia mempergunakan kipas ini, maka ia berlaku amat hati-hati agar jangan sampai lukisan pada kipas itu menjadi rusak. Maka ia lalu menutup kipasnya, dan hanya menggunakan gagangnya saja untuk menghadapi Kam Seng.
Hal ini tidak saja memperlambat kemenangannya, bahkan membuat ia sukar sekali
menjatuhkan lawannya. Kalau kipas itu dibuka, maka senjata istimewa ini menjadi tiga kali lipat lebih berbahaya, karena gagangnya berubah menjadi dua di kanan kiri yang keduanya dapat dipergunakan untuk menotok. Permukaan kipas dapat dipergunakan untuk
mengacaukan pandangan mata musuh, bahkan angin kipasannya saja dapat membingungkan lawan. Dengan menutup kipas itu, maka senjata ini hanya merupakan sebuah gagang yang digerakkan untuk menangkis atau mengirim serangan totokan.
Sebelum berguru kepada Wi Kong Siansu, terlebih dulu Kam Seng telah mendapatkan gemblengan dari Mo-kai Nyo Tiang Le dan ia telah banyak menderita sehingga ia menjadi tekun sekali melatih lwee-kang, maka ilmu pedangnya kini sama sekali tak dapat dibilang rendah tingkatnya. Kalau saja Lili tidak sayang kepada kipasnya dan melayaninya dengan kipas terbuka, dapat dipastikan bahwa kurang dari dua puluh jurus saja Kam Seng akan dapat dirobohkan. Akan tetapi, karena Lili menghadapinya dengan kipas tertutup, maka
pertempuran berjalan sengit dan ramai sekali. Namun masih saja Lili selalu berada di pihak penyerang, karena dengan pengertiannya akan dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, gadis ini dapat menduga gerakan-gerakan dan perkembangan serangan lawan dan dapat
mendahuluinya. Berbeda dengan ketika melawan Hok Ti Hwesio, Lili tidak mau
mengejeknya dan tidak mau mempermainkannya pula, karena tidak terkandung kebencian di dalam hatinya terhadap Kam Seng, hanya penyesalan dan kekecewaan besar melihat pemuda itu tersesat.
Setelah bertempur hampir lima puluh jurus, perlahan akan tetapi pasti Lili mulai mendesak Kam Seng. Pemuda ini merasa penasaran sekali, karena bagaimanakah Lili dapat berkelahi demikian kuatnya dengan hanya bersenjata sebuah kipas kecil" Ia mengerahkan ilmu silat Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
174 yang ia pelajari dari Mo-kai Nyo Tiang Le, akan tetapi sia-sia belaka. Kipas Lili benar-benar hebat sekali dan selalu ujung gagang gading itu mengancam jalan darahnya.
Pada saat pedangnya berkelebat membabat pinggang Lili dan dapat ditangkis oleh Lili yang mementalkan gagang gadingnya dan membalas dengan totokan ke arah iga, terpaksa Kam Seng menjatuhkan diri ke bawah dengan gerak tipu Harimau Lapar Mengintai Korban.
Dengan amat cepatnya, ia lalu menggerakkan pedang menyapu pergelangan kaki gadis itu.
Menghadapi serangan ini, Lili memperlihatkan kepandaiannya yang mengagumkan. Ia tidak melompat ke atas untuk menyelamatkan kakinya, bahkan ia lalu memapaki datangnya pedang ini dengan gerakan kaki yang disebut gerak tipu Dewa Bumi Menginjak Ular. Kaki kanannya dengan kecepatan luar biasa dan dari arah atas menyerong ke bawah dapat menyambut permukaan pedang dan sambil meminjam tenaga serangan lawan, ia menekan dan
menggerakkan tenaga lwee-kang pada kakinya yang terus menindih dan menginjak pedang itu di atas tanah!
Kam Seng terkejut sekali. Ia cepat mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia belaka. Pedangnya itu seakan-akan terjepit dan tertindih oleh batu karang yang berat sekali sehingga tak dapat terlepas dari tindihan kaki Lili yang memandangnya sambil tersenyum! Kemudian, gagang kipas gading di tangan Lili menyambar turun, menotok ke arah pundak kanan Kam Seng. Melihat datangnya totokan yang amat berbahaya ini, terpaksa pemuda itu melakukan hal yang membuatnya mendapat malu dan yang sekaligus menyatakan kekalahannya. Yaitu ia melepaskan gagang pedangnya dan menggulingkan tubuhnya ke belakang dengan gerakan Trenggiling Turun dari Lereng! Ia dapat menghindarkan diri dari totokan, akan tetapi ia harus melepaskan pedangnya yang berarti bahwa ia telah kalah!
Dengan muka merah ia melompat bangun dan berdiri menundukkan muka akan tetapi diam-diam ia amat mengagumi gadis puteri musuh besarnya itu.
"Hebat..., hebat...!" kata Wi Kong Siansu sambil melangkah maju menghadapi Lili yang masih menginjak pedang. Sekali tosu tua ini mengebutkan ujung lengan bajunya, maka tubuhnya merendah dan ujung lengan baju melibat gagang pedang itu bagaikan seekor ular.
Lalu ia membetot keras akan tetapi mukanya tiba-tiba menjadi merah ketika merasa bahwa pedang itu tak dapat terbetot dari injakan kaki Lili! Ia terkejut dan diam-diam ia kagum sekali karena ternyata bahwa tenaga injakan itu benar-benar hebat. Ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu nggunakan tenaga Thai-san-cui, karena hanya dengan ilmu pengerahan tenaga ini sajalah betotannya dapat tertahan. Kakek ini tersenyum-senyum, kemudian sambil berseru,
"Lepas!" ia lalu mengerahkan tenaga Im-yang-cui. Tenaga betotannya kali ini bukanlah tenaga membetot semata, karena ujung bajunya itu membetot dengan terbalik, yaitu bahkan mendorong pedang itu ke depan, kemudian ditengah-tengah dorongannya ini, ia lalu menarik keras. Inilah tenaga Im-yang-cui yang sifatnya bertentangan, akan tetapi dapat dipergunakan dengan berbareng maka kehebatannya pun luar biasa sekali.
Lili maklum bahwa ia tidak dapat mempertahankan injakannya lagi, maka ia tiba-tiba melepaskan tenaga injakannya sambil berbareng menekuk jari kakinya, yaitu ibu jari dan jari kedua, lalu jari-jari kakinya itu menggunakan gerakan menyentik pedang itu! Memang gadis ini selain nakal, juga banyak akal dan lihai sekali. Sungguhpun jari kakinya tersembunyi di dalam sepatu kain, namun tenaganya dapat berkurang karenanya, dan masih dapat melakukan gerakan yang lihai ini. Pedang itu yang terbetot oleh ujung lengan baju Wi Kong Siansu, ditambah dengan tenaga menyentik dari jari kaki Lili, tiba-tiba bergerak membalik dan seakan-akan terbang menuju ke arah leher tosu itu!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
175 Kini Wi Kong Siansu yang maklum akan demonstrasi yang diperlihatkan oleh gadis itu, tidak mau "kalah muka"! Melihat datangnya pedang yang melayang ke arah lehernya, ia lalu merendahkan tubuh dan membuka mulutnya. Pedang itu, dengan tepat sekali memasuki mulutnya dan tergigitlah ujung pedang itu oleh gigi si kakek yang lihai! Semua orang memandang dengan melongo melihat betapa gagang pedang itu bergoyang-goyang seakanakan pedang itu telah menancap di batang pohon! Lili sendiri pun merasa kagum dan terkejut karena makin maklum bahwa ia kini menghadapi seorang tosu yang berilmu tinggi sekali.
Dengan tenang Wi Kong Siansu mengambil pedang itu dari mulutnya, kemudian tersenyum-senyum kepada Lili lalu berkata,
"Siancai... Sungguh seorang gadis yang lihai, cerdik, nakal dan tabah sekali! Nona, kau masih begini muda, akan tetapi telah mewarisi kepandaian Pendekar Bodoh, bahkan telah mewarisi kepandaian Swie Kiat Siansu! Tidak percuma kau menjadi puteri Pendekar Bodoh!
Akan tetapi pinto (aku) tidak ingin bertanding melawan seorang kanak-kanak seperti kau.
Lebih baik kau pulang saja dan kalau memang kau ingin mengacau rumah tangga kawan-kawanku, suruhlah ayahmu yang datang ke sini."
"Totiang, kau tidak ingin bertanding melawan aku, sebaliknya siapakah yang ingin bertempur dengan kau" Sudah kukatakan bahwa kedatanganku bukan hendak berurusan dengan kau, dan juga aku tidak butuh sesuatu dari Kam Seng atau kepala gundul itu! Aku hanya perlu mencari manusia busuk bernama Bouw Hun Ti untuk kupenggal lehernya dan kubawa pulang
kepalanya!"
Pada waktu itu, Bouw Hun Ti tidak berada di kelenteng itu, bahkan tidak ada pula di dusun Tong-sin-bun, oleh karena orang she Bouw ini semenjak beberapa hari yang lalu telah pergi jauh ke utara. Bouw Hun Ti memang seorang yang amat cerdik dan hati-hati. Biarpun ia telah berhasil mengundang datang Wi Kong Siansu untuk memperkuat kedudukannya namun ia masih berkhawatir juga. Setelah berunding dengan suhu dan supeknya itu dan mendapat persetujuan, ia lalu berangkat ke utara untuk mengunjungi tiga orang sahabat baiknya yang berilmu tinggi yaitu yang disebut Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun).
Ketiga orang ini adalah orang-orang yang aneh dan sakti dan yang tinggal di Hailun, yaitu sebuah kota di daerah Mancuria. Bouw Hun Ti mengunjungi mereka untuk membujuk mereka datang dan bersama-sama menghancurkan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya. Ia
mempunyai harapan besar untuk mendapat bantuan ketiga orang ini yang masih terhitung keluarga dari Panglima Mongol yang bernama Balaki dan yang dulu tewas dalam perang ketika orang Mongol menyerbu ke selatan (baca cerita Pendekar Bodoh).
Mendengar ucapan Lili yang menyatakan hendak memenggal leher Bouw Hun Ti, Wi Kong Siansu tertawa.
"Ah, sungguh kau sombong sekali, Nona. Belum tentu Bouw Hun Ti akan demikian
mudahnya menyerahkan lehernya untuk kau sembelih! Pula, pada saat ini, murid
keponakanku itu tidak berada di sini."
"Bohong!" seru Lili marah. "Totiang, kauingatlah. Sungguhpun aku tidak ingin bermusuhan dengan kau orang tua, akan tetapi kalau kau menyembunyikan dan membela keparat Bouw Hun Ti, terpaksa aku berlaku kurang ajar!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
176 Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dari kelenteng disusul dengan mengebulnya asap hitam dan berkelebatnya tubuh seorang tua pendek gemuk yang berpakaian mewah. Ban Sai Cinjin telah datang sambil membawa huncwenya yang mengebulkan asap hitam, tanda bahwa ia telah siap untuk bertempur! Bagaimanakah orang ini bisa datang ke kelenteng itu pada waktu malam gelap"
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, hampir semua rumah penginapan dan toko-toko besar di dusun Tong-sin-bun adalah milik dari Ban Sai Cinjin. Demikian pula rumah penginapan di mana Lili bermalam, adalah rumah penginapan orang tua ini pula. Para pengurus hotel ketika menyaksikan kecantikan Lili, segera memberi laporan kepada Ban Sai Cinjin yang mata keranjang dan rnemang berwatak sebagai bandot tua. Ia amat girang mendengar bahwa di hotel itu bermalam seorang gadis cantik jelita, dan penuturan pengurus rumah itu bahwa gadis ini nampaknya berkepandaian tinggi, bahkan makin menggembirakan hatinya.
"Ha-ha-hi-hi! Itulah yang selama ini kucari-cari," katanya. "Aku sudah bosan dengan gadis-gadis yang lemah. Aku sudah bosan dengan bunga-bunga harum yang mudah layu dan rontok.
Aku menghendaki bunga hutan, bunga liar. Ha-ha-ha!"
Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa gadis itu keluar dari kamar tanpa diketahui ke mana perginya, dan ditunggu-tunggu belum juga kembali mulai curigalah hati Ban Sai Cinjin. Di dusun sekecil Tong-sin-bun, orang dapat melancong ke manakah" Apalagi seorang gadis muda! Ia teringat akan penuturan pengurus hotel bahwa gadis itu berkepandaian silat, dan karena Ban Sai Cinjin merasa bahwa ia mempunyai banyak musuh yang mendendam sakit hati kepadanyaa maka ia lalu berlaku waspada. Digantinya tembakau pada huncwenya dan ia lalu berlari cepat menuju ke kelenteng di tengah hutan itu, benar saja, ia melihat gadis cantik jelita itu berada di dalam kelentengnya dan mengucapkan ancaman terhadap muridnya Bouw Hun Ti.
Ia lalu tertawa dan melompat masuk, dan sambil menyembunyikan rasa kagumnya
menyaksikan kecantikan yang luar biasa dari gadis itu ia berkata,
"Nona, kau mencari Bouw Hun Ti" Ha-ha, muridku ini sedang pergi jauh. Biarlah aku mewakilinya menyambutmu yang sudah datang dari tempat jauh. Kalau aku tahu, tentu kau tak kuperbolehkan mendiami kamar hotelku yang kecil itu, akan kusediakan kamar besar dan mewah di rumahku. Ha-ha-ha!"
Melihat munculnya orang tua itu, maklumlah Lili bahwa ia harus melawan mati-matian, karena ia tahu akan kelihaian dan kejahatan Ban Sai Cinjin.
"Hemm, aku tahu siapa kau ini. Ban Sai Cinjin, aku memang datang untuk memenggal leher muridmu Bouw Hun Ti, untuk membalas dendamku ketika aku terculik olehnya di waktu aku masih kecil dan terutama sekali untuk membalasnya karena ia telah membunuh kakekku, yaitu Yo Se Fu!"
"Mudah saja, mudah. Marilah kau ikut aku ke rumah, dan sementara menanti datangnya Bouw Hun Ti, kita makan minum untuk menghormat kedatanganmu!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
177 Lili maklum bahwa orang tua ini mencari perkara. Menghadapi Ban Sai Cinjin tak boleh gegabah, apalagi di situ terdapat Wi Kong Siansu yang menjadi suheng dari orang tua mewah ini, maka kalau tidak diserang, lebih baik jangan mencari penyakit sendiri.
"Ban Sai Cinjin, kata-katamu sama hitamnya dengan tembakaumu yang berbau busuk! Siapa mau meladeni orang seperti kau" Kalau Bouw Hun Ti si jahanam itu tidak berada di sini, sudahlah!" Ia lalu menggerakkan kakinya hendak pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba Ban Sai Cinjin bergerak maju menghadang di tengah jalan.
"Ha-ha-hi-hi, enak saja kau mau pergi dari sini! Kau datang ke kelentengku tanpa kupanggil, dan kau datang dengan maksud jahat, apakah aku harus membiarkan kau berlaku sesuka hatimu" Hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani membuka mulut besar hendak membunuh muridku. Siapakah adanya kau yang sombong ini?"
"Suhu, dia adalah puteri dari Pendekar Bodoh dan tadi dia pun hampir saja membunuh teecu!" tiba-tiba Hok Ti Hwesio berkata sambil menudingkan jarinya ke arah Lili dengan pandangan marah. Hwesio muda ini ingin sekali suhunya membalaskan hinaan yang ia alami tadi.
Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ini. Kalau gadis ini sudah dapat mengalahkan Hok Ti Hwesio, itu tandanya bahwa kepandaian gadis ini tak boleh dibuat gegabah. Ia menengok kepada Kam Seng dan Wi Kong Siansu dengan heran.
"Ada Suheng dan Kam Seng di sini, bagaimana dia bisa mengganggu Hok Ti?"
Kam Seng buru-buru berkata, "Teecu juga sudah kena dikalahkan oleh Nona ini."
"Hem, hem, lihai juga," Ban Sai Cinjin mengangguk-angguk. "Baiknya Suheng belum turun tangan, biarlah aku yang meringkus bocah ini!" Sambil berkata demikian, dengan gerakan yang tak terduga-duga, Ban Sai Cinjin mengulurkan tangan kirinya hendak menangkap pundak Lili.
Gadis itu cepat mengelak dan menggunakan kipasnya yang masih terpegang untuk mengebut dan menotok pergelangan tangan yang diulur itu. Ban Sai Cinjin hanya tersenyum-senyum saja dan sama sekali tidak mau mengelak. Kakek ini telah memiliki kekebalan yang melebihi Hok Ti Hwesio dan ia tidak takut akan segala totokan biasa saja.
"Awas, Sute!" seru Wi Kong Siansu yang maklum bahwa sutenya memandang rendah
kepada gadis muda itu. Akan tetapi sudah terlambat, karena ujung gagang kipas di tangan Lili dengan tepat telah menotok jalan darah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin. Kakek ini mengerahkan kekebalannya, akan tetapi ia segera menjerit karena kaget dan kesakitan dan alangkah terkejutnya ketika ia merasa betapa lengan kirinya menjadi lumpuh! Bukan main hebatnya totokan yang dilancarkan oleh kipas Lili ini, sehingga ia dapat mematahkan kekebalan Ban Sai Cinjin dan masih dapat menembusi kulit tebal itu untuk mencari sasarannya.
Sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin melompat ke belakang dan cepat ia menggunakan tangan kanannya untuk mengetok dan mengurut lengan kirinya dan dengan cepat ia dapat membebaskan lengan kirinya dari pengaruh totokan yang lihai itu!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
178 Lili juga terkejut dan kagum sekali. Totokannya tadi berbahaya dan dapat menewaskan seorang lawan, akan tetapi kakek itu tidak dapat roboh dan bahkan dapat memulihkan kembali jalan darahnya dengan cepat.
"Kurang ajar!" teriak Ban Sai Cinjin dengan marah sekali sehingga mukanya jadi pucat yang merah itu berubah menjadi pucat sekali. "Kau ganas dan liar, harus mampus di tanganku!"
Cepat seperti harimau menerkam ia lalu menubruk maju dan menggerakkan huncwenya mengetok kepala Lili dengan gerakan yang cepat sekali. Lili tidak mau berlaku lambat dan tiba-tiba nampak sinar terang berkelebat menyilaukan mata ketika gadis ini mencabut pedangnya, yaitu Liong-coan-kiam pemberian ayahnya! Terdengar bunyi keras, "trang...!!"
ketika huncwe itu beradu dengan pedang dan bunga api berpijar indah.
Ilmu silat Ban Sai Cinjin benar-benar hebat, ganas dan kuat sekali. Huncwe di tangannya menyambar-nyambar, diliputi uap hitam yang menyeramkan dan berbau tidak enak sekali.
Akan tetapi, pedang Liong-coan-kiam di tangan Lili, bergerak dengan indahnya pula. Sedikit pun huncwe lawannya tak dapat mendekati tubuhnya, karena ke mana saja huncwe itu berkelebat, selalu terhalang oleh sinar pedang yang agaknya secara otomatis mengikuti gerakan lawannya. Tubuh gadis itu ketika bersilat pedang bergerak dengan lincah dan indah bagaikan orang sedang menari, begitu lemah gemulai, namun demikian kuatnya. Benar-benar mengagumkan dan kini Wi Kong Siansu sendiri memandang dengan mata terbelalak, bukan saja saking kagumnya, akan tetapi juga karena heran dan bingung. Belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang sehebat dan seaneh ini! Inilah limu pedang Liong-cu Kiam-sut, ciptaan Pendekar Bodoh. Ilmu pedang Liong-cu Kiam-sut ini berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, ilmu pedang sederhana yang aneh dan lihai sekali yang diciptakan oleh Sie Cin Hai Si Pendekar Bodoh (baca cerita Pendekar Bodoh).
Oleh karena ilmu pedang ini ciptaan ayah Lili sendiri dan tak pernah diturunkan kepada orang lain, tentu saja ilmu pedang ini jarang sekali terlihat di dunia persilatan, berbeda dengan ilmu-ilmu pedang cabang persilatan besar seperti Go-bi Kiam-hwat, Kun-lun Kiam-hwat, dan lain-lain yang banyak dimainkan oleh para muridnya.
Kalau dilihat Lili sedang mainkan pedang ini, agaknya ia lebih mahir daripada ayahnya sendiri, yaitu dalam hal kelincahan dan keindahan gerakan. Akan tetapi, sesungguhnya tentu saja ia tidak dapat menandingi ayahnya, terutama sekali dalam kematangan gerakan dan pengalaman pertempuran. Kini menghadapi seorang lawan berat seperti Ban Sai Cinjin, biarpun ilmu pedangnya berhasil membingungkan lawan dan membuat huncwe maut di
tangan Ban Sai Cinjin tak banyak berhasil, namun pertempuran ini membuat gadis itu menjadi letih sekali. Tiap kali senjatanya beradu dengan senjata lawan, ia merasa urat-uratnya tergetar dan pertempuran kali ini telah memaksa ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga. Ia memang tak usah khawatir akan terkena senjata lawan, akan tetapi sebaliknya, sukarlah pula baginya untuk dapat merobohkan lawan tangguh ini. Huncwe itu benar-benar lihai sekali dan memiliki gerakan yang serba aneh dan tak terduga.
Ban Sai Cinjin menjadi gemas dan marah luar biasa. Perasaan ini timbul dari rasa malu dan penasaran. Benar-benarkah dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut juga Si Golok Malaikat, orang yang sudah puluhan tahun malang-melintang di kalangan kang-ouw dan jarang sekali menemui tandingan, kini tidak berdaya merobohkan seorang bocah yang belum ada dua puluh tahun usianya" Dan seorang bocah perempuan pula, yang berkulit halus, bermata bintang, berbibir merah semringah, dan nampak lemah" Jarang ada seorang lawan, seorang kang-ouw yang bagaimana tangguh pun, dapat melawan huncwenya lebih dari dua puluh jurus. Akan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
179 tetapi gadis manis ini telah melawannya sampai lima puluh jurus dan sedikit pun ia belum dapat menjatuhkannya!
"Bangsat perempuan, kau harus mampus!" tiba-tiba Ban Sai Cinjin berseru marah dan kini tangan kirinya yang tadi tidak ikut menyerang, lalu dikepal-kepal dan kepalan tangan itu tak lama kemudian berubah menjadi kemerah-merahan!
Thio Kam Seng atau lebih benar Song Kam Seng, terkejut sekali melihat kepalan susioknya ini. Celaka, pikirnya, kini Lili berada di pinggir jurang maut! Ia maklum bahwa kalau kepalan tangan kiri Ban Sai Cinjin sudah menjadi kemerah-merahan, itu tandanya bahwa kakek ini telah mengerahkan tenaga Ang-tok-jiu (Tangan Merah Beracun)! Jangankan sampai terkena pukul, baru tersambar oleh angin pukulan tangan Ang-tok-jiu ini saja, lawan dapat roboh menderita luka hebat yang dapat membawanya ke lubang kubur!
Harus diakui bahwa Lili adalah seorang gadis yang boleh dikata masih hijau pengalamannya dalam hal pertempuran dan jarang sekali ia bertempur menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ban Sai Cinjin. Akan tetapi, ia adalah puteri dari sepasang suami isteri pendekar besar.
Ayahnya, Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh, adalah seorang ahli silat yang jarang tandingannya, sedangkan ibunya, Kwee Lin atau Lin Lin, juga memiliki kepandaian yang amat tinggi. Lebih-lebih lagi karena baik ayah maupun ibunya telah mempunyai banyak sekali pengalaman pertempuran dan terutama sekali ayahnya telah seringkali menghadapi akal-akal dan ilmu-jimu jahat dan kejam yang dimiliki golongan hek-to (jalan hitam, penjahat). Maka seringkali gadis ini didongengi oleh ayah bundanya, juga tentang Ang-se-jiu (Tangan Pasir Merah) dan Ang-tok-jiu ia pernah mendengar dari ayahnya.
Ia tidak mengira bahwa kakek ini memiliki ilmu yang jahat ini, maka setelah melihat kepalan tangan kiri Ban Sai Cinjin berubah merah, cepat ia menyelipkan kipasnya di saku baiunya dan ia pun lalu menggerak-gerakkan tangan kirinya lalu mengerahkan tenaga khi-kangnya, bergerak-gerak ke kanan kiri sehingga tak lama kemudian dari seluruh lengan kirinya mengebullah uap putih. Inilah Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut, ilmu turunan dari sucouwnya (kakek guru) yang bernama Bu Pun Su!
Pada saat huncwe Ban Sai Cinjin melayang ke arah pelipisnya, ia menangkis dengan pedangnya dan secepat kilat Ban Sai Cinjin menonjok ke arah dadanya dengan langan kiri yang mengandung tenaga Racun Merah itu! Angin pukulan itu telah lebih dulu menyambar dan dengan tenang akan tetapi waspada dan cepat sekali Lili lalu menangkis pula dengan tangan kiri.
Hebat sekali tenaga pukulan Angtok-jiu dan tenaga tangkisan Pek-in-hoatsut ini. Orang tak melihat dua lengan tangan itu beradu, akan tetapi tubuh kedua orana itu terpental mundur sampai dua tindak ke belakang! Ban Sai Cinjin menjadi pucat saking kagetnya melihat betapa gadis muda itu dapat menangkis pukulan mautnya sedemikian lihainya. Adapun Lili juga terkejut sekali dan buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam dan mengatur napasnya ketika merasa betapa seluruh urat pada tangan kirinya terasa kesemutan! Ini adalah tanda bahwa betapa pun hebatnya ilmu silat Pekin-hoat-sut, namun dalam hal tenaga dalam, ia masih kalah terhadap kakek ini.
Pengalaman ini membuat ia berlaku hati-hati sekali. Berkali-kali Ban Sai Cinjin melancarkan serangan, pukulan Ang-tok-jiu, karena kakek ini pun maklum bahwa ia masih menang tenaga dan kalau ia menyerang bertubi-tubi, ada harapan ia akan melukai gadis itu. Akan tetapi kini Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
180 Lili menangkis dengan cerdik sekali. Ia menggunakan tangkisan dari ilmu pukulan Pek-in-hoat-sut dari samping, dengan cara menyampok tenaga serangan lawan dari samping, tidak mengadu tenaga seperti tadi. Oleh karena ini, selalu apabila pukulan Ang-tok-jiu datang, ia tidak perlu mengadu tenaganya, dan hanya menyampok dari samping sambil mengelak saja.
Dengan demikian tenaga pukulan lawan yang hebat itu tidak langsung datangnya dan tidak demikian telak menghantamnya.
Wi Kong Siansu makin kagum saja, demikian pula Ban Sai Cinjin diam-diam kagum sekali kepada puteri Pendekar Bodoh ini. Tadinya ia tidak ingin mempergunakan kelicikan dalam pertempuran ini, karena ia segan untuk merobohkan lawannya yang masih muda dan wanita pula ini dengan ilmu hitam. Namun, karena tahu bahwa ia tidak mudah dapat merobohkannya, dan hal ini akan lebih memalukannya lagi, tiba-tiba ia lalu menyedot huncwenya dan sekali ia berseru keras, dari mulutnya menyembur keluar asap hitam yang amat berbahaya menuju ke muka Lili!
Gadis itu terkejut sekali. Sungguhpun asap itu masih jauh dari mukanya, namun ia telah mencium baunya yang amat memuakkannya dan ia cepat melempar tubuhnya ke belakang, melakukan gerakan Burung Walet Pulang ke Sarang membuat gerakan poksai (salto) sampai tiga kali dan turun beberapa tombak jauhnya dari lawannya.
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. Ia maklum bahwa lawannya takut kepadanya, maka ia berseru, "Nona manis, kau hendak lari ke mana?" Lalu ia menyedot huncwenya pula dan kesempatan itu ia pergunakan untuk membuka kantong tembakau yang tergantung pada huncwenya dan mengisi mulut huncwe itu dengan tembakau baru. Ia mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya dengan asap mautnya!
Lili maklum bahwa sungguhpun hawa Pek-in-hoat-sut dari tangan kirinya akan dapat menolak asap hitam itu buyar terkena hawa Pek-in-hoat-sut, asap yang ringan itu masih akan dapat menyerangnya. Asap macam ini tidak menyerangnya mengandalkan tenaga tiupan, melainkan mengandalkan kejahatan racun yang dikandungnya. Maka ia lalu melepaskan tenaga Pek-in-hoat-sut dari lengan kirinya dan sebagai gantinya ia lalu mengeluarkan kipasnya. Sekali ia menggerakkan jari tangan kirinya, kipasnya ini telah terkembang dan dipegangnya seperti hendak mengipas tubuhnya.
Ban Sai Cinjin belum tahu gadis ini telah mewarisi Ilmu Silat San-sui-san-hwat (Ilmu Kipas Bukit dan Air) yang lihai dari Swie Kiat Siansu, maka tanpa memperhatikan kipas ini, ia lalu menyerbu lagi dengan sekaligus mengeluarkan tiga serangannya. Tangan kirinya memukul dengan Ang-tok-jiu, tangan kanan menggerakkan huncwe menotok leher, dan dari mulutnya menyemburkan asap yang hitam dan tebal ke arah muka lawannya!
Lili merasa girang melihat lawannya tidak memperhatikan kipasnya dan gadis yang cerdik ini mengambil keputusan untuk merobohkan lawannya yang amat lihai ini. Ia menanti datangnya serangan dengan amat tenang dan sengaja berlaku agak lambat untuk menarik perhatian lawan. Untuk menghindarkan diri dari tiga serangan itu, ia mempergunakan gin-kangnya (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, berkelit ke kanan sambil merendahkan tubuh, karena maklum bahwa asap hitam itu tidak akan turun ke bawah. Ia sengaja menanti untuk memancing lawannya. Benar saja, Ban Sai Cinjin melihat keadaan gadis yang agaknya lambat gerakannya ini, menjadi girang dan mengira bahwa gadis itu telah terkena racun asap hitamnya, maka ia melanjutkan serangan dengan mencengkeram ke bawah dan mengayun Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
181 huncwenya. Akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba kipas di tangan kiri Lili dikebutkan ke arah uap hitam yang tebal tadi sehingga uap itu melayang ke arah muka Ban Sai Cinjin!
Tentu saja sebelumnya, Ban Sai Cinjin telah mempergunakan obat penawar untuk menolak pengaruh asap hitam dari huncwenya sendiri sehingga serangan asap yang membalik ke mukanya ini tidak membahayakannya sama sekali. Akan tetapi bukan itulah kehendak Lili.
Kebutan kipasnya ini bermaksud membuat asap hitam itu menutupi pandang mata lawannya dan maksudnya ini memang berhasil baik. Betapapun juga, Ban Sai Cinjin tidak berani menghadapi racun asap tembakaunya sendiri dengan mata terbuka.
Untuk sesaat sambil meniup ke arah asap itu ia meramkan matanya dan dengan tak terduga-duga sekali, tiba-tiba ia merasa pangkal lengan kirinya sakit sekali! Ternyata bahwa tadi ketika ia sedang menghadapi asap yang membalik itu, secepat kilat Lili mengelak dari serangan kedua tangannya, bergerak sambil menggeser kaki ke kanan dan dari samping ia mengirim totokan dengan kipasnya yang dapat tepat sekali mengenai pangkal lengan kiri lawannya!
Tubuh Ban Sai Cinjin terhuyung ke belakang dan tiba-tiba ia merasa datangnya angin dingin ke arah leher dan lambungnya! Ia maklum akan bahaya maut itu. Ternyata bahwa
lambungnya telah diserang oleh pedang Liong-coan-kiam dengan gerakan Lutung Sakti Memetik Buah sedangkan lehernya telah diserang oleh sepasang gagang kipas dengan gerakan Gunung Thai-san Menimpa Kepala!
Ban Sai Cinjin mengeluarkan keringat dingin dan cepat ia menjatuhkan diri ke belakang, akan tetapi gerakan kipas ke arah lehernya itu luar biasa cepatnya "Krek!" terdengar suara dan pundaknya masih terkena gagang kipas itu.
Ban Sai Cinjin menjerit dan maklum bahwa tulang pundaknya telah terlepas sambungannya!
Lili tidak niau memberi hati dan terus mendesak dengan serangan yang lebih hebat lagi.
Agaknya nyawa Ban Sai Cinjin terpaksa akan meninggalkan raganya tak lama lagi.
Akan tetapi, tentu saja Wi Kong Siansu tidak mau tinggal diam melihat sutenya terancam bahaya maut. Cepat bagaikan seekor burung gagak menyambar bangkai, ia melompat ke belakang gadis itu dan mengirim serangan dengan kebutan ujung lengan bajunya!
Lili sedang mengerahkan tenaga dan perhatiannya untuk menewaskan kakek mewah yang dibencinya itu. Sungguhpun ia mendengar angin pukulan Wi Kong Siansu dari belakang dan mencoba untuk mengelak, ia tetap terlambat. Gerakan Wi Kong Siansu luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jalan darah kim-to-hiat di punggungnya telah kena tertotok oleh ujung lengan baju tosu itu. Lili mengeluh perlahan, kipas dan pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya dengan lemas tak berdaya terkulai ke atas lantai!
Ban Sai Cinjin dengan meringis-ringis telah dapat bangun kembali dan melihat keadaan Lili yang sudah roboh oleh suhengnya, ia masih dapat tertawa terbahak-bahak. "Bagus, Suheng, bagus! Kau telah dapat merobohkan kuda betina liar ini!" Matanya berkilat penuh dendam terhadap Lili dan ia bergerak perlahan maju menghampiri gadis muda itu. Lili masih dapat memandang lawannya ini dan pikirannya masih berjalan terang, akan tetapi seluruh tubuhnya sudah lemas tak dapat digerakkan lagi. Gadis ini maklum akan bahaya yang akan menimpa dirinya dan sinar ketakutan terbayang pada matanya. Gadis ini tidak takut akan mati, akan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
182 tetapi ia maklum bahwa terjatuh ke dalam tangan manusia iblis seperti Ban Sai Cinjin ini, nasibnya akan jauh lebih mengerikan daripada kematian!
Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba bayangan tubuh Kam Seng berkelebat dan pemuda ini tahu-tahu telah mendahului Ban Sai Cinjin menyambar tubuh Lili yang terus dipeluk dan dipondongnya!
"Kam Seng! Kau lepaskan dia!" Ban Sai Cinjin berseru keras dengan mata melotot. Kam Seng memandang kepada susioknya. Hatinya bimbang ragu. Di lubuk hatinya ada perasaan cinta besar terhadap gadis ini, sungguhpun perasaan itu tertutup kabut kebenciannya karena kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, musuh besarnya! Kalau gadis jelita ini harus mati, maka dialah yang berhak membunuhnya, bukan orang lain. Apalagi ia merasa ngeri dan jijik memikirkan akan gadis jelita ini di tangan susioknya. Maka ia lalu memandang kepada suhunya dan berkata,
"Suhu, maukah Suhu memberikan puteri musuhku ini kepada teecu?"
Wi Kong Siansu adalah seorang kakek yang tajam pandangan matanya. Karena
pengalamannya, ia dapat merasa bahwa muridnya yang tersayang tentu jatuh hati dan tertarik oleh kecantikan gadis ini. Ia pun dapat melihat sinar mata dahsyat dari mata sutenya, maka ia lalu berkata kepada sutenya,
"Sute, berikan gadis ini kepada Kam Seng. Kau tentu masih ingat bahwa ayah gadis ini adalah musuh besar dari Kam Seng dan biarkanlah ia melepaskan sakit hati dan dendamnya kepada puteri musuh besarnya!"
Ban Sai Cinjin memandang marah, akan tetapi ia lalu tertawa.
"Baik, baik, Suheng. Kau yang meronohkannya, maka kau pula yang berhak menentukan nasibnya. Akan tetapi awaslah kalau gadis ini sampai terlepas, Kam Seng. Dia lihai sekali dan kau takkan dapat menguasainya!"
Wi Kong Siansu juga tertawa. "Sute, kau sudah tua. Kam Seng lebih muda, maka kau tentu tahu akan kehendak hatinya melihat gadis cantik ini. Biarlah, dia melampiaskan dendamnya dan biar dia pula yang menghabiskan nyawa musuhnya ini. Hati-hati, Kam Seng, jangan sampai dia terlepas!"
Juga Hok Ti Hwesio berkata Kam Seng sambil menyeringai,


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sute, kalau kau sudah selesai dengan dia berikanlah kepadaku. Aku perlu jantungnya untuk obat!" Kemudian hwesio ini berjalan masuk ke kelenteng. Sambil tertawa-tawa Ban Sai Cinjin juga berjalan masuk untuk mengobati lukanya.
Ong Tek, putera pangeran yang semenjak tadi menyaksikan segala peristiwa ini dengan dada berdebar dan muka pucat, lalu pergi pula ke dalam kamarnya sambil menarik tangan Tan-kauwsu. Kini Wi Kong Siansu tinggal berdua dengan Kam Seng yang masih memondong tubuh Lili yang lemas.
"Muridku, kau tentu mencinta gadis ini, bukan?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
183 Bukan main terkejutnya hati pemuda itu mendengar ucapan suhunya. Untuk beberapa lama ia tidak mau dan tak dapat menjawab, akan tetapi akhirnya ia menjawab juga dengan perlahan,
"Suhu lebih waspada dan awas. Sesungguhnya, sakit hati teecu terhadap ayah gadis ini amat besar, oleh karena itu, teecu hendak menjadikannya sebagai isteri di luar kehendaknya ataupun kehendak orang tuanya. Hal ini akan dapat teecu pergunakan untuk membalas penghinaan dan sakit hati, kalau tak terkabul cita-cita teecu menewaskan Pendekar Bodoh."
Wi Kong Siansu menggeleng-geleng kepalanya. "Salah... salah..., muridku. Aku mengerti akan maksudmu, akan tetapi apakah kaukira akan mudah saja menjadikan gadis ini sebagai sekutu kita" Biarpun kau dapat memaksanya menjadi isterimu, akan tetapi apa kaukira dia akan tunduk begitu saja" Kau jangan memandang rendah gadis ini. Dia benar-benar lihai sekali. Lebih baik kau tamatkan saja riwayatnya agar kelak kita tidak mengalami gangguan dari padanya." Tosu ini membicarakan tentang mati hidup seorang gadis bagaikan bicara tentang seekor domba saja! Memang, bagi Wi Kong Siansu, urusan-urusan dunia sudah tidak masuk hitungan pula dan mati hidup baginya hanya urusan kecil.
"Akan teecu pikir-pikir dulu, Suhu," kata Kam Seng dan ia lalu membawa Lili ke dalam kamarnya. Di ruang dalam, ia bertemu dengan Ong Tek yang menghadangnya dan pemuda tanggung ini berkata,
"Suheng... hendak kau apakan gadis ini?"
Wajah Kam Seng berubah merah. "Kau tak usah tahu, Sute. Kau masih kecil dan belum tahu urusan. Gadis ini adalah musuh besarku, ayahnya dulu telah membunuh ayahku."
"Ah...!" hanya demikian seruan Ong Tek yang segera berlari kembali ke dalam kamarnya.
Akan tetapi sebelum memasuki kamarnya ia merasa pundaknya dipegang orang. Ketika ia menengokg ternyata Hok Ti Hwesio yang memegangnya.
"Ong-sute, jangan kau turut campur dengan urusan itu. Seng-sute sedang berpesta-pora, mendapat keuntungan besar, mendapat hadiah seorang bidadari jelita. Kau tentu tidak tahu...!
Ha-ha-ha!"
"Tidak... tidak!" Ong Tek menjadi pucat dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Suheng, besok pagi juga aku akan pergi dari sini. Aku mau pulang saja ke kota raja! Tak tertahan olehku semua kejadian yang mengerikan ini. Tak kusangka sama sekali bahwa kalian demikian... demikian..."
"Apa maksudmu, Sute?" Hok Ti Hwesio memandang tajam.
"Mengapa kalian begitu kejam terhadap seorang gadis seperti dia?" Sambil berkata demikian, Ong Tek lalu melompat ke dalam kamarnya dan menutupkan pintunya keras-keras, terdengar ia menangis dan berkata-kata dengan Tan-kauwsu utusan dari kota raja itu.
Hok Ti Hwesio termenung sambil mengerutkan jidat. Kemudian ia lalu mencari suhu dan supeknya untuk menceritakan sikap dari putera pangeran ini.
Sementara itu, dengan dada berdebar keras, Kam Seng memondong tubuh Lili ke dalam kamarnya, menutup daun pintu dan melemparkan tubuh Lili ke atas pembaringannya. Gadis Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
184 itu terbanting ke atas pembaringan dengan tubuh lemas dan rebah telentang tak berdaya.
Hanya sepasang matanya saja yang masih bertenaga dan kini ditujukan kepada Kam Seng dengan tajam berapi-api! Ia telah mendengar semua percakapan tadi dan tahu akan maksud pemuda ini. Yang membuatnya terheran-heran adalah ketika mendengar bahwa Kam Seng adalah musuh besar Pendekar Bodoh, bahwa ayahnya telah membunuh ayah pemuda ini!
Sungguh-sungguh mengherankan, akan tetapi keheranannya ini tersapu habis oleh
kebenciannya terhadap pemuda ini. Ia maklum bahwa ia tidak berdaya sama sekali. Telah dicobanya untuk membebaskan diri daripada totokan Wi Kong Siansu, akan tetapi sia-sia saja.
Ia maklum dengan hati penuh kengerian bahwa ia telah berada di dalam tangan Kam Seng dan takkan dapat melawan sedikitpun juga. Akan tetapi masih ada semangat di dalam hatinya yang tidak karuan rasanya itu, yaitu semangat membalas dendam. Biarlah, pikirnya, dan tunggulah saja! Kalau aku sampai terlepas daripada totokan ini, akan kuhancurkan kepalamu sampai menjadi bubur!
Sementara itu, Kam Seng duduk menghadapi Lili dengan wajah sebentar merah sebentar pucat. Ia menatap wajah dan tubuh Lili tanpa berkedip. Seribu satu macam pikiran teraduk di dalam hatinya. Pikirannya menjadi pening. Berkali-kali ia telah mengulurkan tangan hendak meraba muka gadis, itu, akan tetapi selalu ditariknya kembali. Pandang mata Lili yang bagaikan dua sinar api itu terasa menusuk matanya. Hatinya penuh gairah kalau ia melihat wajah yang manis hidung yang kecil bangir, apalagi bibir yang luar biasa indah dan manisnya itu. Akan tetapi sepasang mata Lili merupakan dua pedang mustika yang membuat ia senantiasa tak enak pikiran.
"Dia musuh besarku!" demikian bisik hatinya. "Aku boleh membunuhnya, menghinanya!
Ayahku dulu terbunuh oleh ayahnya!"
"Akan tetapi ia dan Sin-kai Lo Sian pernah menolongku!" bisik lain suara hatinya. "Dan aku... aku cinta kepadanya. Alangkah baiknya kalau ia bisa menjadi isteriku untuk selamanya!"
"Sekarang pun kau bisa mengambilnya menjadi isterimu!" bisik suara pertama.
"Siapa tahu kalau ia akan dapat tunduk terhadapmu dan membalas cintamu. Setidaknya malam ini kau akan menjadi suaminya!"
Terdorong oleh bisikan ini, Kam Seng mengulurkan tangan kanan untuk beberapa lama jari-jari tangannya membelai rambut Lili yang halus. Belaian ini penuh dengan kasih sayang, akan tetapi tiba-tiba ia menarik kembali tangannya ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata Lili.
Demikianlah, sampai lewat tengah malam Kam Seng berada dalam keadaan ragu-ragu. Nafsu dendamnya mendorongnya untuk membunuh Lili, untuk menghinanya, untuk melampiaskan sakit hatinya terhadap ayah gadis itu. Akan tetapi lain kekuasaan menahan kehendaknya ini, kekuasaan cinta. Kekuasaan ini membuat ia tidak tega untuk menyakiti Lili baik menyakiti hati maupun raganya.
Akhirnya ia tidak kuat pula menghadapi pandangan mata Lili. Ia mencabut pedangnya dan ia hendak membebaskan gadis ini dari siksaan lebih lanjut. Hendak dibunuhnya gadis ini dan habis perkara!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
185 "Lili," katanya sambil berdiri dengan pedang di tangan. "Aku akan membunuhmu, dan sebelum itu hendaknya kau ketahui bahwa kau adalah puteri musuh besarku! Ayahku bernama Song Kun dan menjadi kakak seperguruan ayahmu, akan tetapi ayahmu telah membunuhnya! Ayahmu telah membunuh ayahku dan karena itulah aku hidup sengsara.
Karena itulah ibuku terlunta-lunta dan aku menjadi yatim piatu, menjadi pengemis untuk bertahun-tahun lamanya! Karena itu kau harus mati! Kau harus berterima kasih kepadaku karena kau terhindar dari penghinaan, terhindar dari penghinaan Susiok, dan... dan... aku pun tidak sampai hati menghinamu! Aku... aku kasihan kepadamu!"
Ia berhenti sebentar dan dilihatnya air mata mengalir turun dari sepasang mata indah dan jelita itu.
"Lili, bersedialah untuk mati," katanya sambil mengangkat pedangnya.
Dari kedua mata gadis itu tidak nampak rasa takut sedikit pun, bahkan sinar berapi-api tadi telah padam, bibirnya agak tersenyum. Lili memang merasa lega bahwa ia tidak akan menjadi kurban penghinaan dan ia menghadapi kematian dengan amat tabahnya. Kam Seng mengayun pedangnya ke atas dan... tiba-tiba ia menurunkan pedangnya kembali, bahkan pedang itu terlepas ke atas lantai! Ia lalu meramkan mata dan menubruk Lili, lalu... mencium jidat gadis itu satu kali. Dilemparkannya tubuhnya ke belakang, terduduk di atas bangku yang tadi didudukinya.
Ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya. Terdengar elahan napas berkali-kali. "Ah, Lili... aku... aku tidak tega membunuhmu... aku... aku cinta kepadamu!"
Sinar mata Lili mulai berapi-api lagi. Untuk ciuman pada jidatnya itu saja ia dapat membunuh Kam Seng kalau dapat. Keadaan menjadi sunyi kembali. Kam Seng duduk seperti tadi, menghadapi Lili, tak tahu harus berbuat apa! Betapa pun bencinya kepada Pendekar Bodoh, hatinya tidak tega untuk mengganggu atau membunuh gadis ini.
"Lili... Lili... aku tidak sanggup membunuhmu... tanganku gemetar... bagaimana aku sanggup membunuh gadis yang kucinta dengan seluruh jiwaku" Tidak, Lili, tidak! Aku takkan membunuhmu, akan tetapi... aku pasti hendak mencari ayahmu, aku harus membalas sakit hatiku terhadap Pendekar Bodoh...!" demikian keluh kesah yang keluar dari mulut Kam Seng sambil menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.
Pada saat itu, terdengar suara senjata-senjata beradu di ruang depan dibarengi teriakan Hok Ti Hwesio, "Supek... tolong...! Supek, lekas bantu...! Lekas bantu merobohkan gadis setan ini...!"
Mendengar seruan ini, Kam Seng melompat bangun. Kalau Hok Ti Hwesio sampai minta tolong kepada suhunya, yaitu Wi Kong Siansu, dan tidak minta tolong kepada suhunya sendiri, berarti bahwa tentu terjadi malapetaka hebat dan datang musuh yang tangguh. Ia hendak melompat keluar dari kamarnya, akan tetapi ia teringat kepada Lili dan merasa khawatir bahwa kalau ia meninggalkan gadis itu seorang diri, jangan-jangan gadis yang dikasihinya itu akan diganggu oleh Hok Ti Hwesio atau Ban Sai Cinjin. Ia merasa ragu-ragu sebentar, lalu menghampiri Lili dan berkata,
"Lili, aku hendak membebaskanmu. Ketahuilah, bahwa perbuatanku ini hanya terdorong oleh rasa cinta kasih terhadapmu, dan ketahuilah pula bahwa pada suatu hari aku pasti akan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
186 membalas dendamku pada ayahmu yang sudah membunuh ayahku!" Setelah berkata
demikian, Kam Seng lalu menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lili. Ia telah belajar ilmu silat dari Wi Kong Siansu, maka ia tahu pula bagaimana harus membuka totokan dari suhunya itu. Setelah menotok pundak gadis itu, ia lalu melompat keluar sambil membawa pedangnya, langsung menuju ke ruang depan dari mana terdengar suara senjata beradu.
Biarpun pengaruh totokan yang menghentikan jalan darahnya telah lenyap dan jalan darahnya telah terbuka kembali, namun Lili masih merasa lemas dan hanya dapat bergerak perlahan. Ia segera mengumpulkan semangat dan mengatur pernapasannya untuk
melancarkan kembali jalan darahnya. Ia melihat betapa kipas dan pedangnya telah ditaruh di atas meja dalam kamar itu oleh Kam Seng. Hatinya merasa tidak karuan dan ia telah mengalami ketegangan hebat selama dibawa di dalam kamar Kam Seng. Kini ia merasa terharu, marah, malu, dan juga diam-diam ia merasa berterima kasih kepada pemuda itu. Ada sedikit rasa girang di dalam hatinya bahwa sungguhpun pemuda itu telah menggabungkan diri dengan orang-orang jahat, namun pada dasarnya hati pemuda itu tidaklah kejam dan jahat.
Masih ada kegagahan dalam lubuk hati Kam Seng. Ia teringat akan supeknya Song Kun, karena ia pernah ia diceritakan tentang halnya Song Kun ini oleh ibunya.
Setelah kesehatannya pulih kembali, Lili lalu mengambil senjata-senjatanya dan melompat keluar di mana kini suara senjata masih beradu ramai sekali. Ketika ia tiba di ruang luar, di bawah sinar lampu ia melihat seorang gadis cantik manis yang memiliki gerakan lincah sekali, sedang bertempur dikeroyok tiga oleh Ban Sai Cinjin, Song Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio! Sungguh mengagumkan sekali betapa gadis cantik manis itu menghadapi lawannya sambil tersenyum-senyum dan mainkan kedua tangannya yang tak memegang senjata. Ginkangnya sungguh hebat dan mengagumkan, bagaikan seekor kupu-kupu bermain di antara tiga bunga itu menyambar-nyambar di antara tiga gulungan sinar senjata di tangan tiga pengeroyoknya.
"Goat Lan...!" Lili berteriak girang ketika ia mengenal wajah manis yang tersenyum-senyum itu.
"Hai, Lili, anak nakal! Kau di sini?" Gadis itu dalam menghadapi desakan lawan-lawannya masih sempat berjenaka.
"Goat Lan, jangan khawatir. Mari kita basmi tiga anjing busuk ini!" Lili lalu mencabut keluar kipas dan pedangnya, lalu menyerbu dan menyerang Ban Sai Cinjin. Ia merasa segan dan sungkan untuk menyerang Kam Seng, maka ia sengaja memilih Ban Sai Cinjin dan
membiarkan Goat Lan menghadapi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio.
Ban Sai Cinjin sudah merasai kelihaian Lili, bahkan tadi sore pundaknya telah terluka hebat oleh gadis ini. Dalam keadaan sehat ia masih belum dapat mengalahkan Lili, apalagi sekarang pundaknya masih belum sembuh benar, tentu saja ia merasa amat gelisah. Kalau saja ia tidak sedang terluka, tadipun Goat Lan tidak nanti dapat mempermainkannya begitu mudah. Dan ia maklum bahwa belum tentu ia kalah oleh Lili kalau saja tadi sore ia tidak bertempur dengan main-main dan memandang rendah. Terpaksa ia menggigit bibir, dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ban Sai Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang selain berkepandaian amat tinggi, juga telah mengenal banyak sekali taktik perkelahian dan mempunyai banyak tipu-tipu curang. Pengalamannya luas sekali dan tenaga lwee-kangnya sudah mendekati batas kesempurnaan. Oleh karena itu biarpun ia sudah terluka masih amat sukarlah bagi Lili untuk Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
187 dapat merobohkan kakek mewah ini. Sebaliknya, jangan harap bagi Ban Sai Cinjin untuk mengalahkan puteri Pendekar Bodoh yang memiliki ilmu kipas dan ilmu pedang yang luar biasa sekali.
Berbeda dengan pertempuran antara Lili dan Ban Sai Cinjin yang berjalan seru dan seimbang pertempuran antara gadis cantik manis dan kedua pengeroyoknya, Kam Seng dan Hok Ti Hwesio, berjalan berat sebelah. Ketika tadi dikeroyok tiga, gadis itu masih dapat melayani dengan senyum simpul, apalagi sekarang. Biarpun kepandaian Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sudah jauh lebih tinggi daripada kepandaian silat para ahli silat biasa, namun bagi gadis manis itu mereka berdua ini masih merupakan ahli-ahli silat kelas rendah saja!
Bagaimanakah gadis itu yang ternyata adalah Kwee Goat Lan, dapat tiba-tiba muncul di situ"
Dan mengapa tahu-tahu sudah dikeroyok oleh Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio pada saat Lili tertawan dalam kamar Kam Seng"
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dalam percakapan antara Ong Tek putera pangeran dan Hok Ti Hwesio, pemuda cilik dari kota raja itu merasa amat muak dan tidak senang melihat peristiwa yang terjadi di dalam kuil di mana ia belajar silat kepada Ban Sai Cinjin. Betapapun juga, Ong Tek adalah seorang pemuda bangsawan yang semenjak kecil dididik dengan pelajaran-pelajaran kesopanan dan juga ia telah banyak membaca kitab-kitab kuno di mana terdapat segala macam pelajaran tentang kebajikan. Ia menjadi terkejut dan juga kecewa melihat dengan kedua mata sendiri betapa jahat adanya orang-orang yang selama ini ia hormati dan junjung tinggi. Maka ia lalu masuk ke dalam kamarnya sambil menangis, lalu ia memaksa kepada Tan-kauwsu, utusan dari ayahnya itu, untuk pada malam hari itu juga meninggalkan kuil dan pulang ke kota raja.
Sikap pemuda bangsawan ini membuat Hok Ti Hwesio menjadi curiga dan cepat hwesio ini menjumpai suhunya. Ketika Ban Sai Cinjin mendengar keadaan muridnya dari kota raja itu, ia pun mengerutkan alisnya.
"Sungguh berbahaya," katanya perlahan. "Kalau anak itu pulang dan menceritakan segala peristiwa yang terjadi kepada ayahnya dan para pembesar, nama kita akan hancur dan tercemar."
"Mengapa pusing-pusing, Suhu" Kalau Sute tidak mau menurut kehendak kita dan bahkan hendak merusak nama kita, lebih baik kita lenyapkan dia dan guru silat itu, habis perkara!"
Ban Sai Cinjin menjadi ragu-ragu. "Enak saja kau bicara! Apa kaukira Ong Tek itu orang biasa saja yang boleh kita perbuat sesuka kita! Kalau ia sampai lenyap, apa kaukira Pangeran Ong tidak akan mencari dan menimbulkan huru-hara yang akan menyulitkan kita?"
Hok Ti Hwesio tersenyum "Apa sih bahayanya seorang putera bangsawan macam Ong Tek"
Sedangkan menghadapi orang-orang besar seperti pendekar Pek-le-to Lie Kong Sian, Mo-kai Nyo Tiang Le, Sin-kai Lo Sian, kita masih dapat membereskan mereka tanpa banyak ribut dan tak seorang pun mengetahui, apalagi seorang manusia macam Ong Tek dan seorang guru silat seperti orang she Tan itu" Suhu, mengapa kita tidak mau meminjam nama puteri Pendekar Bodoh untuk melenyapkan mereka" Kita siarkan bahwa yang menewaskan Ong Tek dan Tan-kauwsu adalah puteri Pendekar Bodoh, bukankah ini baik sekali?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
188 Ban Sai Cinjin berseri wajahnya. "Kau benar! Kau memang cerdik sekali, Hok Ti!" ia memuji. "Kita lenyapkan kedua orang itu, kemudian kita bikin puteri Pendekar Bodoh seperti Lo Sian. Ha-ha-ha-ha! Akan lenyap jejak mereka dan tak seorang pun mengetahuinya."
Pada saat itu, terdengar tindakan kaki dua orang yang berlari keluar dari kelenteng itu.
"Nah, itu mereka agaknya hendak melarikan diri pada malam hari ini juga. Kita harus bertindak cepat sebelum Supek mengetahui!" kata Hok Ti Hwesio yang merasa takut kepada supeknya, Wi Kong Siansu yang pada saat itu sudah berada di dalam kamarnya.
Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio lalu melompat keluar dan mereka melihat Ong Tek diikuti oleh Tan-kauwsu yang menggendong buntalan pakaian putera pangeran itu.
"Ong Tek, kau hendak pergi ke manakah?" Ban Sai Cinjin membentak.
Melihat suhunya datang bersama Hok Ti Hwesio, Ong Tek menjadi terkejut dan sinar ketakutan membayangi wajahnya yang tampan.
"Suhu... teecu hendak... hendak pulang ke kota raja bersama Tan-suhu. Teecu... merasa rindu kepada ayah dan ibu...!"
"Hemm, kau hendak lari dari kami, ya" Bagus, murid macam apa kau ini" Tidak boleh, kau tidak boleh pergi! Kau tentu hendak membuka mulut besar di kota raja tentang kami, ya?"
"Tidak... tidak, Suhu... tidak!" kata Ong Tek dengan muka pucat ketika melihat suhunya melangkah maju dengan huncwe mengancam di tangan.
"Kau murid durhaka. Kau harus diberi hajaran!"
Tan-kauwsu melompat maju. "Jangan kau berani mengganggu Ong-kongcu, Ban Sai Cinjin!
Ingat, dia adalah putera Pangeran Ong!"
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. "Haha-ha. Segala tikus busuk seperti kau berani pula ikut campur bicara! Apa kaukira aku takut kepada segala macam pangeran" Biar kepada Kaisar sendiri pun aku tidak takut!" Ia lalu melangkah maju dan mengayun huncwenya ke arah kepala guru silat she Tan itu! Serangan ini hebat dan cepat sekali, akan tetapi Tan-kauwsu sungguhpun tidak memiliki ilmu silat yang dibandingkan dengan kepandaian Ban Sai Cinjin, namun ia telah banyak merantau dan telah memiliki pengalaman yang banyak dalam
pertempuran. Cepat ia mengelak ke belakang akan tetapi hawa pukulan huncwe itu masih membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.
Pada saat Ban Sai Cinjin hendak mengejar untuk mengirim pukulan maut, tiba-tiba dari atas genteng menyambar turun sesosok bayangan manusia yang begitu cepat gerakannya sehingga nampak bagaikan seekor burung garuda menyambar.
"Manusia setan!" seru bayangan itu dengan suaranya yang nyaring dan merdu. "Kau benar-benar kejam!" dan tiba-tiba huncwe di tangan Ban Sai Cinjin yang sudah dipukulkan ke arah kepala Tan-kauwsu itu terpental mundur oleh tenaga pukulan dari atas!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
189 Ketika Ban Sai Cinjin yang merasa terkejut sekali itu memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang gadis yang cantik manis dengan dua lesung pipit di sepasang pipinya. Gadis ini cantik dan jenaka sekali, sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi, mulutnya tersenyum lebar sehingga giginya yang rata dan putih berkilau bagaikan mutiara itu nampak berkilat. Ban Sai Cinjin tercengang karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa seorang gadis muda dapat menahan huncwenya dengan tangan kosong saja! Ia maklum bahwa ia sedang menghadapi seorang gadis muda yang menjadi murid orang sakti.
Gadis cantik itu tersenyum manis. "Kau tentu yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut.
Hemm, pantas saja kau disebut Huncwe Maut, karena hampir saja kau membunuh orang lagi." Ia lalu menengok ke arah Ong Tek dan Tan-kauwsu, lalu berkata kepada Ong Tek,
"Aku sudah mendengar bahwa kau adalah seorang putera pangeran. Entah bagaimana kau bisa tersesat dalam neraka dunia ini, akan tetapi itu bukan urusanku. Lebih baik kau lekas melanjutkan niatmu pergi dari sini. Lebih cepat lebih baik. Jangan takut, boneka besar pengusir burung di sawah ini serahkan saja kepadaku!"
Ong Tek memandang tajam, agaknya untuk mengukir wajah gadis penolongnya itu dalam ingatannya, kemudian ia mengangguk memberi hormat dan segera pergi, diikuti oleh Tan-kauwsu.
"Ong Tek, jangan kau berani pergi dari sini!" seru Hok Ti Hwesio yang segera mencabut pisaunya dan menyambitkan pisau terbangnya itu ke arah Ong Tek!
Pisau itu terbang lewat di dekat gadis itu yang dengan tenang mengulur tangan dan sekali tangannya bergerak, pisau itu telah disampok ke bawah sehingga pisau itu kini meluncur ke bawah dan menancap di atas lantai!
"Hemm, hwesio gundul, sudah banyak aku mendengar tentang hwesio-hwesio gundul yang pada hakekatnya hanyalah penjahat-penjahat rendah dan yang mencemarkan nama para pendeta Buddha! Agaknya kau yang paling rendah diantara mereka semua!"
Bukan main marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan dan melihat sikap gadis itu. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang dengan huncwenya. Juga Hok Ti Hwesio lalu menubruk kembali pisaunya, mencabutnya dari lantai dan maju menyerang. Ban Sai Cinjin yang biasanya amat sayang kepada gadis cantik, biarpun harus diakui bahwa dara di hadapannya ini memiliki kecantikan yang amat menggiurkan dan jarang terdapat, kini sama sekali tidak terguncang hatinya, bahkan ingin sekali ia membunuh gadis ini. Demikianlah, Ban Sai Cinjin dan muridnya lalu menyerang hebat kepada gadis manis itu yang melayani mereka dengan tangan kosong.
Sungguh hebat ilmu gin-kang dari gadis itu. Dengan lincahnya ia dapat mengelakkan dari sambaran huncwe dan pisau lawannya, bahkan ia masih sempat memaki-maki,
mentertawakan dan membalas serangan mereka dengan pukulan-pukulan yang tidak boleh dipandang ringan. Ban Sai Cinjin terkejut sekali melihat sepak terjang gadis ini. Diam-diam ia mengeluh dalam hatinya. Selamanya hidup, belum pernah ia mengalami malam sesial ini.
Berturut-turut telah datang dua orang gadis yang aneh dan lihai sekali! Kalau saja ia tidak terluka pundaknya oleh pukulan kipas dari Lili sore tadi, tentu ia akan dapat menyerang lebih baik terhadap gadis yang baru datang ini. Ia dapat melihat betapa gadis itu mempergunakan Ilmu Silat Bi-ciong-kun (Kepalan Menyesatkan) yang menjadi pecahan Ilmu Silat Tangan Kosong Kwan-im-siu-ban-po (Dewi Kwan Im Menyambut Selaksa Musuh)! Akan tetapi
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
190 pergerakan kedua tangan gadis ini aneh, agak berbeda dengan ilmu silat tersebut, dan yang membuatnya diam-diam harus mengakui dan mengagumi adalah ilmu ginkang dari gadis ini.
Ilmu meringankan tubuhnya mengingatkan ia kepada empat besar di dunia dan terutama sekali kepada Bu Pun Su! Akan tetapi, gadis yang kini tertawan dalam kamar Kam Seng dan yang menjadi cucu murid Bu Pun Su sendiri, agaknya tidak sehebat ini ilmu gin-kangnya!
Melihat betapa ia dan gurunya sama sekali tak berdaya, bahkan telah dua kali ia menerima pukulan tangan halus akan tetapi antep itu, Hok Ti Hwesio mulai berteriak-teriak memanggil supeknya minta bantuan! Hanya berkat ilmu kebalnya yang hebat, ia terhindar dari malapetaka ketika tangan gadis itu berhasil memukulnya sampai dua kali.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, teriakan-teriakan Hok Ti Hwesio terdengar oleh Kam Seng yang berada di dalam kamarnya menghadapi Lili yang tertawan. Suara senjata yang didengarnya adalah suara pisau di tangan Hok Ti Hwesio beradu dengan huncwe Ban Sai Cinjin. Memang, Goat Lan yang jenaka dan nakal itu berkali-kali menyampok tangan Hok Ti Hwesio sehingga pisaunya menjadi nyeleweng dan membentur senjata suhunya sendiri, membuat Ban Sai Cinjin menjadi makin marah dan mendongkol.
Goat Lan terheran ketika melihat seorang pemuda tampan dengan pedang di tangan maju mengeroyoknya. Ia melihat gerakan pedang yang cukup tangkas dan lihai. Kini setelah dikeroyok tiga, ia tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas dengan serangannya.
Akan tetapi ia benar-benar tabah dan jenaka. Biarpun tiga orang lawannya amat tangguh, ia masih melayani mereka dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahan gerakan
tubuhnya, menyambar-nyambar di antara gelombang serangan.
Dan pada saat itu, datanglah Lili. Hal ini benar-benar tak pernah disangka oleh Goat Lan.
Tentu saja ia menjadi amat gembira dan girang. Telah bertahun-tahun ia tidak bertemu dengan Lili, mungkin sudah ada tiga tahun. Ia melihat betapa calon adik iparnya ini maju menyerbu dengan senjata kipas dan pedang. Ia merasa amat heran ketika melihat betapa Lili menyerbu Ban Sai Cinjin dengan muka merah dan mata berapi, agaknya Lili amat marah dan membenci kakek mewah itu.
Melihat kemarahan Lili yang agaknya penuh nafsu membunuh itu, Goat Lan tidak mau main-main lagi dan ketika ia berseru keras, kaki kanannya dengan gerakan Soan-hong-twi (Tendangan Kitiran Angin) telah berhasil menendang- tubuh belakang Hok Ti Hwesio.
Tendangan ini dilakukan dengan tenaga yang ratusan kati beratnya dan cukup membuat tulang punggung lawan menjadi patah-patah. Akan tetapi, bagaikan sebuah bal karet, tubuh Hok Ti Hwesio terpental keras dan ketika membentur dinding, lalu mental kembali dan bergulingan di atas lantai tanpa luka sedikit pun! Goat Lan terheran-heran sehingga untuk sesaat ia berdiri bengong memandang manusia bal itu! Tentu saja ia tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio telah melatih diri dengan ilmu kebal yang luar biasa dan yang dimilikinya setelah ia makan jantung tiga orang manusia!
Pada saat Goat Lan berdiri bengong memandang Hok Ti Hwesio saking herannya, Kam Seng mengirim tusukan maut dengan pedangnya. Ujung pedangnya telah berada dekat sekali dengan dada kiri Goat Lan, akan tetapi alangkah terkejut hati Kam Seng ketika tiba-tiba, bagaikan tubuh seekor ular, tubuh gadis itu melenggok ke kiri dan tusukan itu hanya lewat, di pinggir tubuhnya saja! Dan sebelum Kam Seng kehilangan rasa herannya, tiba-tiba ia merasa lengan kanannya sakit dan pedangnya telah terlepas dari pegangannya! Tanpa ia ketahui, Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
191 dengan gerakan yang amat cepat bagaikan kilat menyambar, Goat Lan telah mengirim totokan ke arah urat nadinya!
Hok Ti Hwesio telah bangun berdiri lagi, demikian juga Kam Seng telah mengambil kembali pedangnya karena totokan tadi tidak berbahaya, akan tetapi kedua orang itu kini merasa ragu-ragu dan hanya memandang kepada gadis itu dengan bengong. Mereka mengira sedang berhadapan dengan setan, karena bagaimanakah seorang gadis cantik lagi muda itu dapat menghadapi mereka dengan tangan kosong dan membuat mereka tak berdaya dengan dua kali serangan saja"
Sementara itu, Ban Sai Cinjin telah diserang dan didesak hebat oleh Lili yang berusaha membunuhnya! Pundak yang tadi terluka mulai terasa amat sakit dan agaknya sambungan tulang yang telah disambung itu kini terlepas lagi! Keadaannya benar-benar berbahaya dan Goat Lan hanya memandang sambil tertawa-tawa.
Pada saat itu, terdengar seruan orang dan tahu-tahu dari dalam menyambar angin yang menolak kipas Lili yang sedang dipukulkan ke arah dada Ban Sai Cinjin! Goat Lan terkejut ketika melihat betapa kipas itu terpental dan tahu bahwa dari dalam ada orang berkepandaian tinggi yang turun tangan. Benar saja, seruan tadi lalu disusul dengan munculnya seorang tosu tua.
"Nona Sie!" kata tosu itu ketika Lili melompat mundur. "Muridku telah berlaku baik kepadamu, mengapa kau masih mati-matian mengacaukan tempat tinggal orang lain?"
Melihat munculnya tosu yang sore tadi telah merobohkannya, kemarahan Lili makin memuncak. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Wi Kong Siansu ini jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, akan tetapi puteri Pendekar Bodoh ini memang memiliki ketabahan yang diwarisinya dari ayah bundanya.
"Tosu siluman, rasakan pembalasanku!" teriaknya keras dan ia cepat menyerang dengan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Liong-cu-kiam-sut di tangan kanan dan mainkan San-sui-san-hwat (Ilmu Kipas Gunung dan Air) dengan tangan kirinya!
Wi Kong Siansu sudah tahu akan kelihaian gadis galak ini, maka ia berlaku hati-hati sekali dan mainkan kedua lengan bajunya dengan cepat. Juga Goat Lan berdiri dengan kagum memandang ilmu silat yang dimainkan oleh Lili. Diam-diam ia mengakui bahwa ilmu silat Lili benar-benar hebat sekali. Akan tetapi ketika ia melihat gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu, ia lebih kaget lagi. Ujung lengan baju yang terbuat dari kain lemas itu kini mengeras bagaikan ujung toya baja dan tiap kali terbentur dengan pedang atau gagang kipas Lili, terdengar suara keras dan senjata di tangan gadis itu terpental ke belakang.
Melihat hal ini saja maklumlah Goat Lan bahwa kepandaian tosu tua ini benar-benar hebat dan kalau dibiarkan saja, Lili mungkin takkan dapat menang. Maka ia lalu mencabut senjatanya dan berseru,
"Kakek tua, jangan kau orang tua menghina yang muda!"
Ketika Wi Kong Siansu melihat datangnya serangan dan melihat senjata di tangan Goat Lan, kakek ini terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur. Ternyata bahwa gadis ini sekarang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
192 memegang dua batang bambu kuning yang hanya sebesar lengan anak-anak dan berujung runcing, panjangnya kira-kira hanya tiga kaki!
"Tahan, Nona. Apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?"
Goat Lan memang bersifat nakal dan jenaka, maka sambil tersenyum-senyum ia menjawab,
"Totiang (sebutan untuk pendeta tua), aku yang muda tidak mau membawa-bawa nama orang-orang tua untuk menakuti-nakuti kau!"
Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. "Siapa takut kepadamu" Biarpun Hok Peng Taisu sendiri yang datang, aku Wi Kong Siansu belum tentu akan takut kepadanya!
Hanya kulihat bahwa sepasang bambu runcingmu itu adalah bambu runcing yang merupakan kepandaian tunggal dari Hok Peng Taisu."
"Sudahlah, tak perlu membawa-bawa nama orang tua itu di tempat yang kotor ini.
Pendeknya, kalau Totiang takut, sudah saja jangan kau mengganggu adikku ini!"
"Siapa takut" Biarlah, biar kumencoba kepandaian Bu Pun Su dan Swie Kiat Siansu yang diturunkan kepada Nona Sie ini dan sekalian kurasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!" Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu lalu mencabut pedangnya yang disembunyikan di balik jubahnya yang lebar. Pedang ini bersinar kehitaman dan inilah pedang mustika yang amat ganas dan berbahaya yang bernama Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam)!
Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu memang telah menciptakan semacam ilmu pedang tunggal yang pada waktu itu merupakan sebuah dari ilmu-ilmu pedang yang paling terkenal dan ditakuti di masa itu. Ilmu pedang ini ia ciptakan berdasarkan pedang mustikanya yang didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san. Karena pedang itu mengeluarkan sinar kehitam-hitaman dan didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san (Bukit Setan Hitam), maka ia lalu memberi nama Hek-kwi-kiam pada pedang itu dan lalu memberi nama pada ilmu pedang ciptaannya Hek-kwi-kiamsut. Biarpun Kam Seng sudah mempelajari ilmu pedang ini dengan tekunnya, akan tetapi oleh karena ilmu pedang ini amat sukar dan banyak sekali
perubahannya, maka kepandaian itu boleh dibilang belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian Wi Kong Siansu Si Iblis Tua Pencabut Nyawa!
"Majulah, anak-anak muda! Biarlah kalian mendapat kehormatan mengenal Hek-kwi-kiamsut dari dekat!"
Akan tetapi Lili yang amat marah sudah tak sabar lagi mendengar ocehan tosu itu dan cepat maju menyerang dengan pedangnya. Goat Lan yang dapat menduga kelihaian tosu itu, lalu maju pula membarengi gerakan Lili dan mengirim serangan dengan bambu runcingnya.
Sesungguhnya, dari kedua suhunya yang menggemblengnya selama delapan tahun, yaitu Sin Kong Tianglo Si Raja Obat dan Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak, Giok Lan hanya menerima latihan-latihan ilmu silat tangan kosong dan lwee-kang serta gin-kang. Akan tetapi gadis ini tentu saja tidak mau meniru kedua suhunya yang mempergunakan senjata-senjata yang paling aneh di antara sekalian senjata ahli silat di dunia ini. Yok-ong Sin Kong Tianglo selalu mempergunakan senjata keranjang obat dan pisau pemotong rumput, sedangkan Im-yang Giok-cu mempergunakan senjata guci arak. Oleh karena itu, di samping menerima
gemblengan ilmu silat dari kedua kakek sakti ini, Goat Lan juga mempelajari ilmu pedang dari ayahnya dan terutama sekali yang paling disukai ialah mempelajari ilmu bambu runcing dari ibunya! Bahkan setelah ia dapat mainkan ilmu bambu runcing dengan pandai, ia lalu Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
193 minta kepada ayahnya untuk membuatkan bambu runcing terbuat dari sepasang bambu kuning seperti milik ibunya! Hanya dengan senjata inilah Goat Lan melakukan
perantauannya! Ilmu silat Goat Lan tentu saja sudah amat tinggi dan tangguh. Ia telah menerima gemblengan dari empat orang berkepandaian tinggi dan biasanya ia hanya menghadapi para lawan yang betapa lihai pun dengan kedua kaki tangannya sambil mengandalkan gin-kangnya yang seperti ibunya itu. Akan tetapi kini menghadapi Wi Kong Siansu, terpaksa ia mengeluarkan bambu-runcingnya.
Demikian pula dengan WiKong Siansu. Biasanya, orang tua ini selalu memandang rendah lawan-lawannya dan tak pernah ia mengeluarkan pedang mustikanya. Kini menghadapi dua orang gadis cantik dan masih muda ia sampai mengeluarkan pedangnya, dapat diketahui bahwa tosu ini sama sekali tidak berani memandang ringan kepada Lili dan Goat Lan. Bahkan Ban Sai Cinjin sendiri memandang heran dan ia bersiap sedia dengan hati berdebar-debar.
Hok Ti Hwesio dan Kam Seng tentu saja hanya berdiri di sudut ruang yang luas itu sambil menonton dan sama sekali tidak berani mencoba untuk ikut turun tangan.
Pertempuran kali ini memang benar-benar hebat sekali. Ilmu Pedang Hek-kwi-kiam-sut luar biasa ganas dan cepatnya sehingga ruang yang terang oleh cahaya lampu itu menjadi muram, karena sinar pedang itu bergulung-gulung bagaikan uap gunung berapi yang mengandung abu hitam. Akan tetapi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan merupakan titik kuning, yang kadang-kadang berkelebat bagaikan halilintar menyambar dengan cepatnya. Adapun pedang Liong-coan-kiam terkenal sebagai pedang yang ampuh, kini digerakkan dengan Ilmu Pedang Liong-cu-kiam-sut sungguh mengagumkan, berkelebat-kelebat bersinar putih bagaikan perak merupakan seekor naga perkasa yang bermain-main di antara awan hitam dan halilintar!
Kipas maut di tangan kiri Lili merupakan pusat angin yang apabila digerakkan membuat para penonton merasakan sambaran angin dingin yang aneh! Empat ilmu silat yang luar biasa tingginya kini bertemu, dimainkan oleh tiga orang, sungguh merupakan pemandangan yang sukar dilihat orang! Ban Sai Cinjin, Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio sampai berdiri bengong bagaikan terpaku di lantai.
Bagi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang ilmu kepandaiannya jauh lebih rendah, tidak ada kemungkinan sama sekali bagi mereka untuk ikut turun tangan dalam pertempuran, maha dahsyat itu, akan tetapi tidak demikian dengan Ban Sai Cinjin. Apabila diukur tingkat kepandaiannya, memang ia tidak usah mengaku kalah terhadap dua orang gadis itu. Maka diam-diam kakek mewah ini lalu menelan dua butir pel dan mengurut-urut pundaknya, membenarkan letak tulang pundak dan mengatur napasnya. Setelah pundaknya tidak begitu sakit lagi, ia lalu mengeluarkan tembakau hitamnya yang berbahaya, dan mulai mengisi kepala huncwenya dengan tembakau beracun itu. Tak lama kemudian, mengebullah asap tembakau yang membuat kepala menjadi pening dan napas menjadi sesak. Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sendiri terpaksa melangkah mundur menjauhi agar jangan sampai terkena serangan asap beracun itu.
Goat Lan adalah murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, maka tentu saja ia juga mempelajari ilmu pengobatan, terutama sekali tentang racun yang seringkali dipergunakan oleh kaum hek-to (jalan hitam, yaitu orang-orang jahat). Begitu hidungnya mencium bau asap tembakau yang mulai melayang-layang di ruangan itu, ia maklum bahwa kakek mewah dengan huncwe mautnya itu akan turun tangan, mengandalkan huncwe dan asapnya yang lihai. Cepat tangan kirinya menancapkan bambu runcing yang kiri di ikat pinggang, menjaga Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
194 diri dengan bambu runcing kanan, lalu menggunakan tangan kirinya untuk merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan dua butir buah yang putih warnanya, lalu menyerahkan sebutir kepada Lili sambit berkata,
"Lili, masukkan buah ini ke dalam mulut dan gigit! Jangan telan!"
Lili menerima buah itu dan ketika ia menggigitnya, maka mulut dan hidungnya terasa dingin dan pedas, akan tetapi tercium hawa yang amat harum keluar dari mulut dan hidungnya.
Pada saat itu, Ban Sai Cinjin sudah melompat maju dan menyerbu dengan huncwe mautnya sambil mengebulkan asap hitam dari mulutnya ke arah dua orang gadis itu. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat Lili dan Goat Lan tidak mengelak dan menerima asap itu tanpa terpengaruh sedikit pun! Ternyata bahwa asap hitam itu sebelum dapat memasuki hidung atau mulut kedua orang dara pendekar ini, telah diusir kembali oleh hawa harum yang keluar dari mulut dan hidung mereka!
Akan tetapi, setelah Ban Sai Cinjin ikut menyerbu, sibuk jugalah Lili dan Goat Lan. Tadi ketika menghadapi dan mengeroyok Wi Kong Siansu, keadaan mereka baru dapat disebut seimbang, masih saja mereka berdua merasa amat sukar untuk dapat merobohkan Toat-beng Lo-mo yang memang sakti itu. Kini, Ban Sai Cinjin yang memiliki ilmu kepandaian tidak lebih rendah daripada tingkat mereka, tentu saja menimbulkan banyak kesukaran dan terpaksa keduanya mengerahkan kepandaian pada penjagaan diri.
"Lili, mari kita pergi, malam sudah lewat!" kata Goat Lan sambil memutar kedua bambu runcingnya menghadapi pedang hitam Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu. Memang, malam telah terganti pagi dan ayam-ayam hutan mulai berkokok nyaring, burung-burung mulai berkicau.
"Ha-ha-ha, nona-nona manis! Kalian baru boleh pergi setelah meninggalkan tubuh kalian yang bagus di sini. Hanya nyawa kalian saja yang bisa pergi! Ha! ha!" Ban Sai Cinjin tertawa bergelak karena girangnya melihat betapa ia dan suhengnya dapat mendesak kedua nona lihai itu.
Sesungguhnya, pertempuran itu boleh dibilang amat ganjil. Wi Kong Siansu tetap dikeroyok dua oleh Lili dan Goat Lan, sedangkan Ban Sai Cinjin hanya membantu suhengnya dengan serangan-serangan curang kepada dua orang nona itu. Lili dan Goat Lan tak dapat membalas kakek mewah ini karena mereka selalu harus mencurahkan perhatian terhadap Toat-beng Lo-mo yang benar-benar berbahaya dan lihai. Kedua nona itu merasa serba sulit. Kalau seorang di antara mereka meningalkan Toai-beng Lo-mo untuk menghadapi Ban Sai Cinjin, mungkin sekali ia dapat merobohkan Ban Sai Cinjin yang sudah terluka pundaknya.
Akan tetapi kawan yang ditinggalkan juga amat berbahaya kedudukannya dan mungkin tak akan kuat menghadapi Toat-beng Lo-mo. Maka mereka tetap saling bantu dan tidak mau meninggalkan kawan dan bersama-sama menghadapi desakan Toat-beng Lo-mo dan Ban Sai Cinjin tanpa dapat membalas!
Sesungguhnya, Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu biarpun hati nurani dan
perikemanusiaannya amat tipis, namun ia masih mempunyai kegagahan dan keangkuhan, tidak mempunyai sifat pengecut dan rendah seperti sutenya. Mendengar ejekan sutenya terhadap dua orang nona itu, ia merasa amat jengah dan malu. Dua orang kakek yang telah Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
195 terkenal tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah membuat nama besar di kalangan kangouw, kini menghadapi dua orang gadis yang usianya baru belasan tahun dan telah bertempur dua ratus jurus belum juga dapat mengalahkan mereka! Apalagi kalau ia mengingat bahwa dua orang gadis muda ini adalah anak dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng Taisu, Bu Pun Su dan Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus merobohkan atau menewaskan mereka ini. Juga ada sedikit rasa sayang dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda yang demikian cantik jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian tingginya. Sebagai seorang ahli silat yang kawakan, tentu saja ia selalu merasa sayang kepada orang-orang muda yang berbakat dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.
Tiba-tiba Lili dan Goat Lan yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku nekad, merasa betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah.
Mereka merasa heran sekali, akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun tabah dan beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan membunuh diri. Cepat mereka mempergunakan kesempatan selagi pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil sinarnya, mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin yang amat nekad menyerang membabi buta. Hampir saja Ban Sai Cinjin menjadi kurban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu dari pihak terserang menjadi pihak penyerang, telah memberi kesempatan kepada Lili dan Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari ruangan itu!
Petualang Asmara 24 Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Amanat Marga 5
^