Pencarian

Pendekar Sakti 10

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


Nenek yang berwajah mengerikan itu mengangguk. "Boleh saja, dia adalah seorang pemuda gagah yang berbakat baik dan sebagai murid Ang-bin sin-kai, dia bahkan berhak merasai daging ikan Kilin. Kau berceritalah sementara aku mengurus ikan ini."setelah berkata demikian, nenek itu lalu mengangkat ikan tadi, dibawanya ke dapur.
Adapun Kong Hoat tertawa "tawa, lalu berkata kepada Kwan Cu. "Saudara yang baik, maafkan kalau tadi aku ragu-ragu karena aku harus minta ijin dari ibuku lebih dulu sebelum membuka rahasia tentang ikan itu."
"Tidak apa, saudara Kong Hoat. Aku bahkan kagum sekali melihat sikapmu kepada ibumu, sebagai sikap seorang hauw-ji(anak berbakti) tulen!"
"Mendiang susiok (paman guru)," kata Kong Hoat tanpa memperdulikan pujian Kwan Cu, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
275 "adalah seorang ahli dalam ilmu berenang dan menyelam.Dari susiok inilah aku mendengar bahwa untuk dapat menjadi ahli dalam air, maka obat yang paling baik adalah ikan Kilin.
Dagingnya dapat menguatkan tubuh dan lemaknya apabila dimakan, membuat kulit kita tahan akan tekanan air dingin dan gigitan air garam. Tulang-tulang siripnya kalau dikeringkan dan dijadikan bubuk, dapat menjadi obat yang mujarab sekali bagi kita sehingga tulang-tulang kaki tangan kita menjadi amat kuat untuk memukul air dalam berenang. Lemaknya dapat dijadikan minyak dan apabila kita menggunakan minyak ini untuk membasahi kulit, maka tubuh kita akan menjadi licin sehingga memudahkan kita bergerak di dalam air. Yang hebat adalah paru-parunya, karena paru-paru ini merupakan obat sehingga kita akan kuat bertahan lama-lama di dalam air tanpa kehabisan napas."
Akan tetapi Kwan Cu tidak tertarik oleh semua ini. Memang dia tidak tertarik akan kepandaian di dalam air. Sebagai seorang yang biasa merantau di darat, tentu saja dia tidak begitu tertarik seperti Kong Hoat yang memang semenjak kecil bermain-main di dekat air selalu.
Betapapun juga, ketika daging ikan Kilin disuguhkan, Kwan Cu makan beberapa potong dan merasa betapa daging itu mendatangkan hawa hangat di dalam perut dan dadanya. Tahulah dia bahwa memang daging ini mengandung khasiat yang amat baik bagi peredaran darahnya, sehingga dia menjadi girang dan menghaturkan terima kasihnya. Kini mereka bercakap-cakap bertiga. Dalam percakapan ini tahulah Kwan Cu bahwa wanita tua itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal dan yang pernah disebut-sebut namanya oleh suhunya, yakni yang disebut-sebut Liok-te Mo-li (Iblis Wanita Bumi). Adapun Kong Hoat adalah putera tunggalnya yang dididik ilmu silat olehnya semenjak kecil sehingga pemuda itu pun memiliki kepandaian yang tinggi. "Saudara Kwan Cu, sungguh amat mengherankan hati kami. Kau yang begini muda mempunyai keinginan mengarungi samudra, berkelana dengan perahu di daerah yang terkenal amat berbahaya ini, sebenarnya kau mencari apakah?" tanya Kong Hoat.
Kwan Cu tersenyum. Ia merasa tidak enak untuk membohong kepada orang-orang yang jujur dan baik ini, akan tetapi untuk berkata terus terang bahwa ia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pun tidak berani. Suhunya sudah memesan kepadanya dengan sungguh-sungguh agar dia jangan sekali-kali menceritakan kepada siapapun juga tentang kitab itu.
Maka dia berkata, "Saudara yang baik, sebagai seorang pemuda aku hanya ingin meluaskan pengetahuanku saja, hendak melihat apakah yang terdapat di sebelah sana samudera yang luas ini."
Kong Hoat memandang kepadanya dengan kagum dan dari pandangan mata ini tahulah Kwan Cu bahwa sebetulnya pemuda itu ingin pergi seperti dia. Tak terasa pula fajar telah menyingsing dan Kwan Cu segera berdiri lalu berpamit kepada tuan rumah.
"Nanti dulu, kau boleh mempergunakan dayung simpananku yang paling baik," kata Kong Hoat yang segera berlari ke belakang. Tak lama kemudian dia kembali membawa sebatang dayung berwarna hitam yang panjang dan berat. "Dayung ini jauh lebih baik dari pada lima batang dayung biasa." kata Kong Hoat gembira, "Kau seorang pemuda gagah perkasa, amat cocok memegang dayung ini, saudara Kwan Cu."
Kwan Cu menerima dayung itu dan ternyata bahwa dayung itu terbuat dari pada baja hitam yang kuat sekali. Selain dapat digunakan sebagai dayung, juga dapat dipergunakan sebagai senjata yang boleh diandalkan. "Terima kasih saudara Kong Hoat. Kau baik sekali dan mudah-mudahan saja aku akan mendapat kesempatan membalas budimu yang baik ini." Kata Kwan Cu girang.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
276 Kong Hoat lalu memberikan perahunya kepada Kwan Cu, bahkan membantu Kwan Cu
mengangkat perahu itu ke pinggir dan menurunkannya di air. Matahari baru nampak sinarnya yang kemerahan di permukaan laut, akan tetapi raja siang itu sendiri belum memperlihatkan dirinya yang agung. "Ingat, saudara Kwan Cu, dalam bulan ini angin bertiup dari selatan menuju ke utara dan ombak yang paling dahsyat terdapat di mulut Laut Po-hai. Bagian barat tidak berbahaya akan tetapi kalau kau memasuki Laut Po-hai hati-hati jangan kau membiarkan perahumu mendekati kepulauan yang berada di sebelah utara dekat mulut Sungai Yalu, karena di situ terdapat pulau-pulau aneh yang amat berbahaya, selain itu, terdapat pula batu-batu karang yang sukar dilalui perahu. Itu semua masih belum hebat, karena sebelum tiba di daerah berbahaya itu, kau akan berhadapan dengan ikan-ikan hiu yang amat liar dan ganas."
"Terima kasih atas segala nasihatmu, saudara Kong Hoat, akan kuingat baik-baik semua nasihat itu," jawab Kwan Cu.
Tiba-tiba nenek tua Liok-te Mo-li datang berlari-lari. Tangannya membawa bungkusan kuning dan ia berkata kepada Kwan Cu, "Kau seorang pemuda yang berani, dan sebagai tamuku, sudah semestinya kalau aku memberi sedikit bekal. Nah, kau terimalah beberapa helai daun Liong-cu-hio (Daun Mustika Naga) ini untuk bekal di tengah pelayaranmu yang berbahaya itu." Sambil berkata demikian, nenek itu memberikan bungkusan kuning kepada Kwan Cu.
Kwan Cu menerimanya sambil menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika dia teringat akan nama daun itu sebagai daun ajaib, yang membunuh jangkrik-jangkrik malam tadi, dia menjadi ngeri. "Maaf, suthai, biarpun teecu berterima kasih sekali, akan tetapi tolonglah menerangkan kepada teecu yang bodoh tentang khasiat daun-daun ini untuk teecu. Terus terang saja teecu masih merasa ngeri apabila melihat keliahaian daun ini. Sekarang suthai memberi bekal ini, bagaimanakah teecu harus mempergunakannnya?"
Liok-te Mo-li tertawa berkikikan. " Memang, siapa orangnya yang takkan merasa ngeri"
Memegang saja tanganmu akan menjadi hangus! Akan tetapi ada daya penolaknya, anak muda, sebelum kau memegang daun-daun ini, kau basahi kedua tanganmu dengan air laut lebih dulu. Air garam itu mempunyai daya untuk menolak racun yang keluar dari daun-daun itu. Pada saat kau menghadapi bahaya dari ikan-ikan buas, kau lemparkan saja daun-daun ini ke air dan karena air laut menutupi racun daun, tentu ikan-ikan itu tidak mengetahui akan bahayanya daun-daun ini dan mereka akan menelannya mentah-mentah. Dan kalau mereka kemasukan daun-daun ini di dalam perutnya, ha-ha-ha, kau akan melihat pesta yang hebat akan tetapi terhindar dari ancaman ikan-ikan itu. Nah, selamat kau akan berlayar, anak muda.
Apabila bertemu dengan gurumu, katakan bahwa Liok-te Mo-li masih hidup dan
mengharapkan dapat bertemu dengan dia." Sambil tertawa-tawa nenek itu lau berlari pergi meninggalkan Kwan Cu dan Kong Hoat.
"Selamat saudara Kwan Cu. Ternyata ibuku amat suka kepadamu, kalau tidak demikian tidak mungkin kau akan diberi daun Liong-cu-hio itu. Kau tahu, dia amat sayang kepada daun-daun aneh itu dan agaknya dia rela mengorbankan nyawa untuk menjaga daun-daun itu. Sekarang atas kehendak sendiri ia memberi daun-daun kepadamu, itu pertanda bahwa kita memang berjodoh. Harap kau berhasil dengan usahamu, saudaraku yang baik."
Kwan Cu terkejut dan memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan kepada
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
277 pemuda tinggi besar itu. Kong Hoat tertawa bergelak dan kembali kedua matanya
mengucurkan air mata! "Jangan heran, kawanku. Kami bukanlah orang jahat dan juga orang-orang terlalu bodoh. Ibu dan aku sudah dapat menduga bahwa kau tentu mencari sesuatu atau setidaknya mengandung maksud tertentu sehingga kau berani berlayar menuju ke pulau-pulau aneh itu. Kalau tidak demikian, sungguh hanya seorang yang miring otaknya yang mau pergi berlayar ke sana tanpa tujuan tertentu. Dan kami tahu betul bahwa kau tidak berotak miring, bahkan cerdik sekali."
"Akan tetapi, alasan itu tidak cukup untuk membuat kalian menduga bahwa kau pergi dengan tujuan sesuatu," Kwan Cu membantah.
"Sahabat baik, kau kira kami orang-orang yang tidak bertelinga" Sudah biasanya bahwa tempat-tempat yang aneh dan berbahaya terdapat barang-barang yang aneh dan berbahaya pula. Mustika yang paling baik adalah mustika naga. Gigi yang baik adalah gigi harimau, dan tanduk yang paling kuat adalah tanduk di mulut gajah. Kami sudah mendengar bahwa di pulau-pulau yang amat aneh dan berbahaya itu terdapat barang-barang aneh dan amat berharga. Aku sendiri kalau tidak ditahan oleh ibuku, sudah lama menyelidiki keadaan pulau-pulau aneh itu." Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Kong Hoat nampak kecewa sekali. Akan tetapi dia segera menyambungnya, "Apapun juga yang kupikirkan, memang ibu lebih benar.
Kepandaianku belum cukup untuk dapat kupergunakan menyelidiki pulau-pulau yang berbahaya itu, berbeda dengan kau, saudara Kwan Cu. Kepandaianmu amat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada kepandaian ibu sendiri, maka hanya kaulah yang kiranya akan dapat mendatangi pulau itu dengan berhasil."
"Kau terlalu memuji, saudara Kong Hoat.Akan tetapi biarlah pujianmu itu kuangggap sebagai doamu dan terima kasih banyak atas keramahanmu dan juga sampaikan terima kasihku kepada ibumu mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali kelak." Setelah berkata demikian, Kwan Cu mulai mendayung perahunya ke tengah,dipandang oleh Kong Hoat yang berdiri bagaikan raksasa muda, dengan kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Pemuda ini merasa iri hati dan ingin sekali dia dapat mengggantikan Kwan Cu berlayar menuju pulau-pulau yang penuh rahasia itu.
*** Dayung pemberian Kong Hoat memang baik sekali. Dayung ini panjang berat dan ujungnya lebar serta cekung sehingga sekali saja mendayung, perahu bergerak maju dengan pesatnya.
Kwan Cu merasa gembira sekali dan setelah beberapa kali menggerakkan dayungnya, perahunya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
Pemandangan indah sekali. Permukaan air bagaikan kaca, diam tak bergerak dan berkilauan, berwarna hijau kemerahan karena sinar matahari yang merah terbayang di permukaan air. Air yang diterjang oleh kepala perahunya pecah menjadi dua seperti sutera digunting. Tenaga dayungnya demikian kuat sehingga air pecah oleh perahunya tidak mengeluarkan suara.
Perahunya meluncur cepat tanpa bergoyang, enak dan nyaman sekali. Kehidupan di laut nampak mati tiada seekor pun burung laut terbang di atas air, tiada seekor pun ikan nampak bergerak di permukaan laut. Benar "benar hening dan sunyi menimbulkan suasana yang menyeramkan, seakan-akan laut itu berubah menjadi alam maut yang tiada ujungnya.
Namun Kwan Cu tidak merasa takut. Biarpun dia tidak pernah berlayar dan tidak pernah berada di laut, hatinya berdebar penuh ketegangan. Ia teringat bahwa dia dianggap sebagai Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
278 "anak laut"oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua kakek yang menemukan dia terlempar oleh ombak samudra. Agaknya kenangan inilah yang membuat Kwan Cu selalu berdebar aneh apabila dia teringat akan laut. Kini setelah dia mendapatkan dirinya terapung di atas laut seorang diri di dalam perahunya, dia merasa seakan-akan dia telah kembali ke alam asalnya dari mana dia datang!
Setelah matahari mulai nampak di permukaan laut, merupakan bola besar berwarna merah yang bernyala-nyala, kehidupan mulai tampak. Air yang tadinya "tidur"mulai bergerak sedikit dan di kanan kirinya mulai kelihatan air itu berkeriput.mulai terdengar suara mencicit dari burung-burung laut yang berterbangan di atas air, menyambar-nyambar ke air mencari mangsa pengisi perut. Mulai terdengar air berkecipak kalau ada ikan yang mulai "mandi"
cahaya matahari di permukaan air. Mulai kelihatan kehidupan di dalam air melalui sinar matahari, karena kini makin banyaklah kelihatan ikan berenang ke sana ke mari seperti kesibukan orang-orang yang bangun dari tidur dan mulai dengan pekerjaan masing-masing.
Melihat semua ini, Kwan Cu tertarik sekali dan dia menghela napas berulang-ulang. Ia ingat akan ajaran-ajaran dari Gui Tin atau Gui-siucai yang sudah meninggal dunia. Gurunya itu dahulu seringkali mengajarkanya tentang filsafat hidup, tentang ujar-ujar para cerdik pandai di jaman dahulu.
Alam itu kekal abadi karena hidup bukan untuk diri pribadi
Ucapan di atas itu dari Nabi Lo Cu dan kini Kwan Cu menyaksikan betapa hebatnya dan besarnya alam dunia. Hidup dekat dengan masyarakat, yakni dengan sesama manusia, ucapan ini takkan ada artinya atau setidaknya takkan kelihatan isi atau inti sarinya. Ini dikarenakan manusia memang hidup penuh nafsu dan selalu melakukan sesuatu dengan tujuan demi kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi inilah sumber dari pada segala malapetaka yang terjadi di antara manusia.
Kini, setelah berada seorang diri di atas lautan, Kwan Cu terbuka matanya dan dia melihat, dan mengakui kebesaran alam yang kekal abadi, melihat pula apa maksud kata-kata pujangga atau Nabi Lo Cu tentang alam yang hidup bukan untuk kepentingan diri pribadi. Lihat saja matahari itu. Dia muncul dan tenggelam sesuai dengan tugasnya yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Dia melakukan tugasnya, semata-mata untuk memberi atau menjadi kegunaan bagi setiap yang membutuhkannya, sedikit pun tidak pernah meminta, itulah sang matahari. Lihatlah lautan bebas, pusat kehidupan, tidak saja pusat kehidupan berjuta macam ikan dan benda hidup lainya, juga pusat kehidupan manusia dan makluk di darat. Dari laut datangnya zat kehidupan, karena dari lautlah datangnya air di darat. Akan tetapi, seperti matahari sifatnya, laut pun tak pernah meminta, hanya memberi sifat alam yang suci. Alam memberi, memberi dan memberi, tak pernah meminta. Segala sesuatu di alam ini, dapat di pergunakan oleh manusia, bahkan setelah manusia mati, bumi masih memberi tempat untuk menyelimuti jenazahnya!
Melihat burung beterbangan di angkasa dan ikan-ikan berenang di dalam air dengan bebas dan senangnya, tersenyumlah Kwan Cu. Mengapa justeru burung diberi sayap sehingga pandai terbang di angkasa sedangkan ikan diberi kesanggupan hidup di dalam air" Alangkah besar perbedaan antara kedua jenis binatang ini dan mereka ini keduanya adalah makluk hidup! Alangkah besar kekuasaan Thian, alangkah indahnya alam dan isinya, alangkah gaib dan penuh rahasia mujijat yang luar biasa hebatnya adalah pekerjaan Thian. Dan dia, seorang manusia, seorang makluk jenis lain pula, kini saksi segala keindahan itu. Sambil menikmati Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
279 kehebatan pembukaan kebesaran alam di depan matanya Kwan Cu melanjutkan gerakan dayungnya, menuju ke arah kelompok pulau terdekat yang nampak dari situ sebagai bayang-bayang membiru. Hatinya diliputi kesegaran semangat dan kegembiraan. Dorongan aneh membuat dia demikian girang sehingga pemuda ini sambil mendayung perahunya lalu bernyanyi!
Menjelang tengah hari belum juga perahunya tiba di kelompok pulau yang sudah kelihatan semenjak pagi tadi. Kwan Cu terheran-heran. Pulau-pulau itu tidak juga berubah. Apakah perahunya tidak bergerak maju" Tidak mungkin, pikirnya. Memang karena di seluruh penjuru perahu hanya kelihatan air belaka, nampaknya perahu itu tidak bergerak. Akan tetapi kalau dilihat air yang terpecah oleh kepala perahunya, jelas kelihatan bahwa perahunya bergerak dengan pesat ke depan.
Inilah keanehan pertama yang dialami oleh pemuda ini. Sebetulnya kelompok pulau-pulau itu masih amat jauh. Hanya sinar matahari yang menipunya sehingga kelihatannya amat dekat kelompok pulau itu . Ia merasa penasaran dan mengerahkan tenaganya, mendayung lebih cepat lagi, ke arah kelompok pulau itu. Ia memang tidak tahu di mana letaknya pulau yang dijadikan tempat menyimpan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng karena di dalam kitab sejarah penginggalan Gui-suicai hanya ditulis bahwa kitab rahasia itu disimpan di dalam sebuah pulau kosong, kecil berbentuk bundar yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih, yang terdapat di antara pulau-pulau besar di lautan ini. Akan tetapi, Kwan Cu mengambil keputusan untuk mengunjungi semua pulau yang berada di situ dan akhirnya tentu dia akan dapat mencari pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih itu.
Akan tetapi setelah matahari condong ke barat, terjadi keanehan kedua. Kalau tadi kelompok pulau-pulau itu tak pernah juga kelihatan makin dekat biar pun dia telah mendayung perahunya secara cepat sekali selama setengah hari, kini tiba-tiba kelompok pulau itu bahkan menghilang dari pandangan mata!
Kwan Cu menghentikan gerakan dayungnya dan memandang ke sekeliling dengan
bingung.Tak salah lagi tadi kelompok pulau itu berada di depan, mengapa sekarang tiba-tiba lenyap" Hal ini pun akibat permainan matahari yang membuat kepulauan itu lenyap ditelan uap putih yang membubung naik dari laut sehingga pandang mata pemuda itu tak dapat menembusnya dan membuat kelompok kepulauan itu tidak kelihatan olehnya. Kwan Cu teringat akan kata-kata Kong Hoat tentang keanehan lautan ini maka dia tersenyum dan berkata, "Memang aneh sekali. Akan tetapi biarlah, aku harus melanjutkan dan mengambil jurusan yang berlawanan dengan matahari, siapa tahu kalau-kalau kepulauan tadi akan mucul pula setelah puas menggodaku." Pemuda yang tabah ini lalu mendayung terus dan mulau berpeluh karena matahari telah membakar kulitnya. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan gemuruh yang mengerikan dari arah kiri. Kwan Cu yang tidak bisa berlayar, tidak tahu suara apakah itu. Ia menghentikan gerakan dayungnya, akan tetapi setelah dia memandang ke sekelilingnya dia tidak melihat sesuatu, hanya nampak awan-awan hitam di arah selatan dan timur. Kembali terdengar suara itu, kini lebih hebat lagi dan Kwan Cu merasa seakan-akan suara itu timbul dari dasar laut. "Hebat! Suara siapakah itu" Suara Hai-liong-ong (Naga Raja Laut) ataukah suara makhluk lain yang hebat" Hem, benar-benar luar biasa hebat alam ini, besar dan berkuasa!" Ia merasa dirinya amat kecil tak berarti dan lambat-laun timbul juga kengerian dalam hatinya, sesungguhpun tak boleh dibilang bahwa Kwan Cu merasa takut.
Namun, dia merasa lebih tenang andaikata Ang-bin Sin-kai gurunya berada di situ bersamanya pada saat itu. Ia teringat akan suhunya dan diam-diam ia tertawa dengan hati penuh kasih sayang kepada suhunya itu. Suhunya seorang manusia aneh yang kuat dan hebat seperti lautan ini. Kembali terdengar suara gemuruh dan kini suara ini terdengar begitu hebat Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
280 sehingga Kwan Cu tidak tahan untuk tidak menengok ke belakang. Tiba-tiba anak muda ini memandang dengan mata terbelalak ke arah kiri. Dari tengah lautan yang tidak bertepi itu dia melihat sesuatu yang tinggi dan panjang datang bergulung kepadanya. Sesuatau yang nampak belang-belang putih hitam, seperti seekor naga. "Naga laut?" bisiknya sambil menahan napas.
"Hai-liong-ong?" kata suara hatinya penuh kengerian. Memang hebat sekali penglihatan pada waktu itu. Dari arah kiri, datang benda itu, makin lama makin panjang dan besar, dan biarpun benda itu masih jauh, telah datang angin bertiup keras, membuat air di depan perahu bergelombang. Gelombang makin besar dan tiba-tiba Kwan Cu merasa terkejut sekali karena berbareng dengan suara gemuruh seperti derap kaki ribuan ekor kuda di samping suara lengking tinggi panjang seperti suara ribuan batang suling yang ditiup secara aneh seperti kalau Yok-ong meniup suling, perahunya terangkat tinggi-tinggi dan permukaan laut tiba-tiba naik tinggi sekali, lalu turun lagi seperti kalau di daratan terjadi gempa bumi yang hebat. Dan kini benda panjang seperti naga itu telah datang dekat, membawa bunyi gemuruh dan tahulah Kwan Cu dengan hati tidak karuan rasanya bahwa yang disangka naga itu sebenarnya adalah gelombang laut hebat!
"Celaka!" serunya dan dia mencoba untuk menahan keseimbangan perahunya dengan dayung.
Akan tetapi, di dalam tangan samudra yang besar kuat dan hebat tenaganya itu, tenaga Kwan Cu merupakan tenaga seekor semut bagi seorang raksasa. Perahu berikut Kwan Cu masih memegang dayung terputar-putar, membuat kepala pemuda itu menjadi pening sekali. Namun dia masih dapat berlaku tenang dan cepat Kwan Cu melemparkan dayungnya ke dalam perahu, dan dengan kedua tangan dia memegangi ombak laut dan satu-satunya harapan baginya adalah perahunya itu. Biarpun perahunya akan terbalik, tetap saja perahu kayu itu takkan tenggelam dan akhirnya tentu akan terapung juga. Kalau dia tidak terlepas dari perahu, dia masih ada harapan untuk menyelamatkan dirinya. Tiba-tiba, sebuah gelombang atau lebih tepat disebut anak gelombang yang nakal memegang perahu dan melontarkannya ke atas bagikan seorang anak kecil melontarkan sebutir batu kerikil saja. Perahu terlempar ke atas.
Dayungnya terlempar keluar dan karena dayung itu terbuat dari baja, maka benda ini jatuh lebih dulu, ditelan gelombnag dan agaknya akan menjadi tontonan bagi penghuni laut.
Adapun Kwan Cu yang ikut terlempar ke atas, hampir saja direnggutkan keluar dari perahu pula. Baiknya dia berlaku gesit dan cepat, kedua tangannya memeluk perahu sekuat tenaga dan agaknya hanya maut saja yang kuasa merenggutnya terlepas dari perahu itu! Mati hidup aku harus bersama perahuku ini, pikirnya nekat. Perahu bersama Kwan Cu terhempas kembali ke dalam air, disambut oleh gelombang, diputar-putarkan, dipermainkan, dikocok ke sana ke mari dengan hebatnya. Kwan Cu masih memeluk perahu, kadang-kadang ia berada di atas perahu, kadang-kadang dia berada di bawah perahu dan hanya dapat menahan napas lalu berusaha membalikkan tubuhnya sehingga berhasil di atas perahu, kadang-kadang dia dan perahunya lenyap ditelan gelombang dan timbul pula di tempat lain. Siksaan ini dibarengi dengan bunyi-bunyian yang luar biasa dan yang membuat pemuda itu merasa seakan-akan dia telah berada di dasar neraka. Satu keanehan terjadi. Ketika dia dipermainkan oleh gelombang menderu, tiba-tiba dia teringat akan sesuatau dan seakan-akan terbayang dalam ingatannya suatu pengalaman yang hampir sama dengan pengalaman yang sedang dia alami sekarang ini.
Tiba-tiba saja teringatlah dia betapa dia pernah menjadi permainan gelombang dan ombak seperti ini, teringat pula betapa orang-orang sekapal telah tenggelam ditelan gelombang, betapa kapal itu karam dan membawa pula dua orang yang kini terbayang di depan matanya.
"Ayah"! Ibu"!" tiba-tiba Kwan Cu memekik keras. Kini terbayanglah seorang laki-laki dan seorang wanita dan baru sekarang dia tahu bahwa wajah-wajah ini adalah wajah-wajah ayah bundanya yang tewas dalam amukan gelombang! Tahulah dia sekarang mengapa dia
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
281 ditemukan oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu dan dianggap sebagai "anak laut". Ayah bundanya tewas di lautan dan agaknya dia sendiripun akan mengalami nasib yang sama.
"Ayah".Ibu".tolonglah anakmu?" ia berbisik. Kemudian timbul marahnya kepada
gelombang dan laut. "Kakek laut tak mungkin kau dapat menewaskan aku!" pekiknya nyaring sambil memeluk perahu itu erat-erat. Sebagai jawaban, sebuah gelombang yang besar mengangkat perahunya dan melemparkan perahu itu ke atas jauh dari situ. Kwan Cu ikut terlempar, akan tetapi kini terbangun semangatnya untuk melawan gelombang yang sudah menewaskan kedua orang tuanya, timbul semangatnya untuk berjuang menghadapi kekuatan alam ini, untuk hidup. "Kakek gelombang, setelah membunuh orang tuaku, tak mungkin kau dapat membunuhku pula. Orang tuaku akan mencegahmu!" teriaknya berkali-kali. Kwan Cu bagaikan gila. Biarpun dia diterima oleh gelombang lain, dilemparkan dan diterima kembali seperti sebuah bal dalam sebuah permainan serombongan anak-anak nakal, dia tetap bersemangat, bahkan kini dia tidak merasa takut sedikitpun juga. Rasa takutnya berubah menjadi kegembiraan!
"Kakek laut, mari kita bermain-main!" serunya berkali-kali. "Mari kita berkelahi sebagai laki-laki kalau kau memang jantan!"
Demikianlah, biarpun sedang dipermainkan oleh gelombang laut dan taufan menghebat, sedikitpun Kwan Cu tidak merasa takut, sebaliknya dia menantang dan merasa gembira. Hal inilah yang sesungguhnya menolong nyawanya. Orang-orang yang menghadapi maut, kalau dia dapat berlaku tenang dan tak putus asa, akalnya akan bertambah dan dia tidak menjadi gugup. Demikianpun Kwan Cu, kegembiraan dan semangatnya membuat dia tahan menderita, bahkan tenaganya menjadi besar dan kini dia mulai mempergunakan kaki tangannya untuk memukul dan mendorong ombak, mencari jalan bagi perahunya agar meluncur ke tempat yang aman. Memang, kalau diperhatikan di antara gelombang yang menghebat itu, terdapat air yang tenang yakni air yang berada diantara dorongan dua gelombang yang membalik.
Kwan Cu berjuang mati-matian dengan hati gembira, sambil menantang-nantang gelombang dan akhirnya dia berhasil mendorong perahunya ke tempat yang agak aman, yakni yang gelombangnya tidak begitu besar. Ia berhasil membalikkan perahunya dan duduk di dalam perahu. Memang betul di situ masih ada ombak menyerang, akan tetapi dengan kedua tangannya di pinggir perahu menekan-nekan dan mendorong-dorong air, dia dapat mencegah perahunya berputar dan dapat beristirahat sejenak setelah menjadi permainan ombak yang membuat tenaganya habis dan tubuhnya lelah sekali.
Ia tidak tahu bahwa gelombang tadi telah membawa perahunya ke tengah laut dan telah membawa dia jauh sekali dari tempat di mana dia bertemu dengan taufan. Juga Kwan Cu tidak merasa lagi bahwa dia tadi telah berhadapan dengan maut dalam waktu yang amat lama.
Tiba-tiba saja seperti datangnya, taufan berhenti, laut tenang sekali. Kwan Cu tidak tahu bahwa gelombang tadi sebetulnya hanya "lewat" saja dan kini taufan yang mengamuk itu masih mengamuk hebat di tempat lain. Setelah air laut menjadi tenang, tenang pula hati Kwan Cu dan barulah pemuda ini tahu bahwa amukan taufan tadi begitu lama sehingga waktu itu telah menjelang senja! Hal ini dapat dia duga dari keadaan matahari yang telah tenggelam di barat, meninggalkan sinar melayu dan di timur sudah nampak bulan pudar seperti wajah seorang dara jelita yang sedang sakit dan pucat. Langit bersih sekali, laut tenang dan benar-benar mengherankan. Tiba-tiba Kwan Cu menjadi muak dan tak tahan pula dia muntah-muntah di luar perahu. Tadi di waktu di ombang-ambingkan oleh gelombang, dia merasa gembira, kini setelah keadaan menjadi tenang, dia bahkan merasa tidak enak dan mual sekali.
Akan tetapi, tidak banyak yang dimuntahkan karena semenjak malam tadi, semenjak makan daging ikan Kilin bersama Kong Hoat dan ibunya, dia tidak makan apa-apa lagi. Perutnya Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
282 mulai berkeruyuk minta isi, akan tetapi di tengah laut itu, dari mana dia bisa mendapatkan makan" Ia teringat akan daun Liong-cu-hio pemberian Liok-te Mo-li. Tak terasa tangannya meraba punggung dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa bungkusan pakaiannya masih terikat di punggung dan bahwa bungkusan daun mujijat itu pun masih berada di situ, sungguhpun kesemuanya itu basah kuyup seperti tubuh dan pakaiannya yang dipakainya. Tiba-tiba, bagaikan sebuah layar hitam dibuka yang tadinya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan, dia melihat bayangan sebuah pulau yang penuh dengan pohon-pohon tinggi besar. Ia menjadi girang bukan main. Di sanalah terdapat makanan, pikirnya.
Dengan penuh semangat, Kwan Cu lalu mempergunakan kedua tangannya untuk digerakkan seperti dayungnya. Perahu meluncur ke depan, menuju pulau itu, makin terheran-heranlah Kwan Cu. Ketika tadi untuk pertama kalinya dia melihat pulau itu, pohon-pohon yang telah kelihatan amat besar dan karenanya dia menjadi dan mengira bahwa pulau itu tentulah sudah dekat, akan tetapi, biarpun perahunya jelas mendekati pulau dan daratan makin nampak nyata, ternyata bahwa pulau itu masih jauh dan kini pohon-pohon telah kelihatan begitu besar sampai-sampai Kwan Cu beberapa kali menggosok kedua matanya.
"Apakah aku bermimpi" Ataukah mataku yang sudah tidak beres lagi" Kalau tidak bermimpi dan mataku tidak rusak, tentu otakku yang sudah menjadi berubah dan tidak waras lagi!"
Tidak mengherankan kalau Kwan Cu berkata demikian, karena apa yang dilihatnya memang sukar untuk dapat diterima oleh akal sehat. Setelah perahunya makin dekat, dia melihat daratan yang luar biasa luasnya dan yang paling hebat adalah pohon-pohon yang dari jauh sudah nampak besar-besar tadi. Kini setelah dekat, pohon-pohon itu ternyata luar biasa besarnya dan biarpun Kwan Cu sudah banyak merantau dengan suhunya serta sudah sering kali memasuki hutan-hutan besar liar di mana tumbuh pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun usianya, namun selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan pohon-pohon sebesar yang tumbuh di pulau itu!
Makin dekat, makin heranlah dia karena nampak kehijauan yang tinggi seperti alang-alang!
Pulau setan apakah yang berada di hadapanku itu" Akan tetapi tidak dapat lama dia mengagumi dan mengherankan pemandangan di atas pulau yang ternyata luas sekali itu, karena cuaca telah menjadi gelap dan kini yang nampak hanyalah pohon-pohon raksasa yang kelihatan tinggi besar dan hitam menyeramkan dengan latar belakang langit yang pucat. Kwan Cu sudah lelah sekali, bukan karena kehabisan tenaga karena pemuda yang sudah mendapat gemblengan hebat dari Ang-bin Sin-kai ini telah dapat mengatur pernapasannya sehingga tenaganya telah kembali pulih lagi. Akan tetapi, perutnya yang lapar dan perih itulah yang membuatanya lemas dan letih kalau saja dia tadi tidak muntah-muntah, agaknya dia takkan begitu letih. Sudah seringkali dia berpuasa, tiga hari tiga malam tidak makan saja baginya belum apa-apa. Cuaca makin gelap dan hanya dengan bayangan pohon-pohon besar sebagai petunjuk, Kwan Cu terus mengayuh perahunya dengan kedua tangannya ke darat. Namun air laut yang berkeriput itu tidak dapat menerima sinar bulan dengan baik sehingga nampak air menghitam, hanya berkilau di sana-sini. Tiba-tiba perahu Kwan Cu tertahan oleh sesuatu yang berat. Kwan Cu mendorong air agar perahunya menyingkir dari penghalang itu. Ia mengira bahwa perahunya tentu terhalang oleh batu karang yang tidak dapat dilihatnya dalam kegelapan itu. Akan tetapi langkah kagetnya ketika tiba-tiba "batu karang" itu bergerak-gerak! Karena tertarik hatinya, Kwan Cu mengulur tangannya untuk mendorong "batu karang" yang dapat bergerak-gerak itu. Hampir dia berteriak ketika jari-jarinya menjamah benda yang lunak, seperti?".seperti tubuh seorang makhluk. "Tentu ikan yang terdampar ke pantai," pikirnya menetapkan hatinya yang berdebar. "Ooleihaaaaiii"!!" terdengar "batu karang" atau "ikan" itu berteriak keras sekali. Kwan Cu tersentak kaget sehingga hampir saja dia terjungkal ke dalam air. Ia kemarin malam sudah merasa heran sekali menyaksikan ikan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
283 Kilin yang ditangkap oleh Kong Hoat, karena selamanya belum pernah melihat ikan seaneh itu. Akan tetapi sekarang, mendengar seekor ikan besar bisa mengeluarkan suara
"ooleihaaaiii"..!" dengan suara seperti manusia, benar-benar membuat dia merasa ragu-ragu apakah benar-benar dia belum menjadi gila!
Dengan hati-hati kembali dia kembali mendekatkan tangannya ke depan. Kini menghadapi sesuatu yang begini aneh, dia untuk sementara lupa kepada pulau itu dan belum ingin mendarat sebelum menyelidiki lebih dulu sebetulnya ikan macam apakah yang bisa mengeluarkan suara seperti itu. "Hayalieee"!" Kwan Cu menarik kembali tangannya seperti dipagut ular dan merasa bulu tengkuknya berdiri satu demi satu. Bukan main! Tak mungkin ada ikan bisa mengeluarkan suara seperti itu. Akan tetapi rasa keingintahuannya melebihi rasa ngerinya. Ia mendorong air sehingga perahunya maju dan kini dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ke depan. Ia berlaku hati-hati sekali dan menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan sikap siap sedia kalau-kalau "ikan" itu, akan menggigitnya tentu dia akan cepat memukul. Akan tetapi, keheranannya memuncak ketika kedua tangannya dengan tepat sekali kena memegang dua buah telinga manusia yang besar sekali. Saking kagetnya, Kwan Cu tidak melepaskan kedua buah telinga itu, sebaliknya dia memandang ke depan dengan mata terbelalak sambil mengerahkan seluruh tenaga pandangan matanya. Kebetulan sekali bulan agak terang cahayanya. Ia mula-mula melihat sepasang mata lebar yang mengkilap. Kemudian, kelihatanlah olehnya sebuah kepala manusia yang besarnya empat atau lima kali kepala manusia biasa! Kepala ini gundul dan sedikit rambut kepala diikat. Kulit muka dan kepala hitam sekali, dan inilah yang membuat kepala ini tidak kelihatan di dalam gelap! "Seorang manusia!" pikir Kwan Cu dengan girang. Di tempat yang aneh seperti itu, pertemuan dengan seorang manusia, bagaimanapun anehnya manusia itu, amat
menggirangkan hatinya. Untuk sesaat dia lupa bahwa manusia berkulit hitam ini mempunyai kepala yang luar yang luar biasa sekali besarnya. "Saudara siapakah" Dan mengapa malam-malam berada di laut" Apakah saudara sedang mandi" Maaf kalau perahuku menganggumu."
Demikianlah pemuda itu bicara dengan gembira sambil melepaskan pegangan kedua
tangannya pada telinga orang.
Sebaliknya, muka yang besar itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak lebar dan mulutnya yang berbibir lebar itu mengeluarkan kata-kata yang sama sekali asing bagi telinga Kwan Cu. Ketika kepala ini bicara, kadang-kadang nampak deretan gigi yang besar dan putih berkilat dari balik bibir tebal. Mendengar ucapan orang orang itu, teringatlah Kwan Cu bahwa orang ini tentulah seorang dari suku bangsa yang tidak mengerti bahasa Han dan yang mempunyai bahasa daerah sendiri. Maka ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, "Maaf, aku tidak mengerti bahasamu dan kau agaknya tidak mengerti pula apa maksud kata-kataku. Maafkan aku tidak mengganggu lebih lama, karena aku hendak mendarat." Sambil berkata demikian, Kwan Cu menggunakan jari telunjuknya untuk menuding ke arah darat. Setelah itu, pemuda ini lalu menggunakan tangan untuk mendayung perahunya ke pinggir. Akan tetapi, tiba-tiba orang yang terbenam di air sampai lehernya itu, menggerakkan leher dan tahu-tahu sepasang lengan yang besar dan panjang sekali timbul dari permukaan air dan diletakkan di atas perahu Kwan Cu. Sepasang lengan yang hitam dan besar panjang itu mempunyai tenaga yang amat kuat sehingga ketika menindih perahu-perahu kecil itu tertindih hampir tenggelam! Kwan Cu terkejut sekali, bukan oleh tenaga tindihan ini, melainkan oleh besar dan panjangnya lengan yang berotot besar itu. Baru dia teringat akan besarnya kepala di permukaan air. Sampai lama dia melihat kepala dan lengan orang hitam itu dan dengan bulu tengkuk berdiri dia membayangkan betapa tingginya orang ini. Seorang raksasa yang belum pernah didengarnya dalam buku dongeng, apalagi dilihatnya! Kemudian dia melihat bahwa pergelangan dua tangan itu terbelenggu oleh rantai baja yang kuat, dan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
284 mendengar suara orang itu, tahulah dia bahwa orang itu minta tolong kepadanya agar suka membuka belenggu itu.
Teringatlah Kwan Cu akan sebuah dongeng yang dibacanya dari buku kuno, dongeng yang terjadi di tanah barat. Di dalam dongeng itu diceritakan betapa seorang anak laki-laki membebaskan seorang jin dari belenggu, akan tetapi setelah dibebaskan, jin itu bahkan hendak memakan anak itu. Dongeng itu singkatnya begini: Seorang bocah nelayan menjala ikan di laut. Tersangkut di dalam jalanya bukannya ikan-ikan besar, melainkan pundi-pundi yang tertutup mulutnya. Karena ingin tahu apa isinya, dibukanya sumbat mulut pundi-pundi itu. Apa isinya" Bukan emas permata atau harta benda, melainkan asap hijau yang bergulung ke atas kemudian membentuk ujud yang mengerikan, yakni seorang jin raksasa. Kemudian jin raksasa itu hendak menjadikan anak itu sebagai mangsanya. Anak itu mendapat akal dia berpura-pura heran dan tidak percaya bahwasannya seorang raksasa begitu besar bisa masuk ke dalam pundi-pundi yang demikian kecilnya.
Dikatakannya kalau raksasa itu mau membuktikan bahwa benar-benar ia dapat masuk ke dalam pundi-pundi, baru dia mau percaya bahwa raksasa itu seorang jin dan dia mau dimakan tanpa perlawanan. Jin raksasa itu tertawa bergelak dan berubah menjadi asap, lalu masuk ke dalam pundi-pundi itu. Anak itu cepat mengambil sumbat dan menutup pundi-pundi kembali seperti tadi sehingga jin itu tidak dapat keluar, kemudian dibuangnya pundi-pundi itu ke dalam laut kembali! Kwan Cu teringat akan dongeng itu. Raksasa yang terbenam di dalam laut ini apakah seorang jin pula" Kalau nanti raksasa ini hendak memakannya, tidak ada akal baginya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi aku bukan anak penakut, pikirnya.
Kalau dia bermaksud jahat, aku sanggup melawannya. Orang tinggi besar yang bertenaga kuat seperti dia ini, belum tentu mempunyai kecerdikan. Bukankah dia begitu bodoh sehingga setelah kedua tangannya dibelenggu, dia mandah tinggal di dalam air dan tidak bisa keluar dengan jalan kaki di darat" Ia bodoh sekali dan kasihan, sebagai manusia terhadap manusia lain, aku harus menolongnya. Bukankah dia juga seorang manusia" Dengan berpikir demikian, Kwan Cu mulai berusaha untuk membuka belenggu tangan raksasa itu. Ia melihat betapa bibir yang tebal itu tersenyum ramah ketika dia mulai berusaha membuka belenggu.
Agaknya orang hitam besar ini gembira melihat Kwan Cu sudah mengerti akan kehendaknya dan mau melepaskannya daripada belenggu. Akan tetapi, dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga tenaga Kwan Cu buyar, kedua kakinya harus mempunyai landasan yang kuat dan keras. Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air. Akan tetapi, segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat mengerakkan tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri. "Bodoh! Tolol! Mengapa aku lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali" Dia boleh jadi tidak tenggelam, ke air hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam." Hampir saja dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya. Rantai besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu amat sukar, kalau terlapau banyak dia mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi. "Mari kita mendarat!" katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke pantai. "Disana akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?" Akan tetapi raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil
memperlihatkan sepasang lengannya yang terbelenggu, seakan-akan hendak berkata bahwa dengan kedua tangan terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas. Akhirnya dia mendapat akal. Raksasa itu Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
285 berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu karang. Mengapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai landasan kakinya" Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua kakinya hanya sampai di perut! Cepat Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan protes dari si raksasa dan kini kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu! "Yoleihi, yoleihi!" raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa raksasa itu bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu, raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.
"Tolol, dia begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat" Tolol sekali orang itu." Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke darat dan setelah dia tiba di darat, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan makiannya terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan tolol dengan hati geli. Ternyata bahwa raksasa itu setibanya di darat, sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang lengannya terbelenggu! Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik
perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk menarik-narik belenggu yang mengikat kakinya.
Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu. "Yoleihi, yoleihi"! Dasa alihee teelu?" kata raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali. Ia menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali renggut telah berhasil mematahkan kakinya. Akan tetapi Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya bulan. Pertama-tama dia kagum sekali melihat raksasa hitam yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki terpentang. Biarpun dia telah dapat menduganya, namun melihat tubuh raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu dan otot-otot memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali. Rambutnya hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala dan pakaian yang menutup tubuh hanyalah sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal. Selain bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa. Raksasa itu memandang kepada Kwan Cu dengan ramah, kemudia dia mengulur tangannya dan memegang tangan pemuda ini. Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak takut lagi. Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu. Dengan demikian besar sekali kemungkinannya bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya dan membiarkan dia terbenam di dalam laut. Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah kepadanya ini. Maka berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari pohon-pohonnya, tanaman-tanamannya, sampai rumput dan batu, bahka katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang lebih tiga kali ukuran biasa! Yang mengherankan hatinya, biarpun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini tidak lebih keras daripada suara manusia biasa, sungguhpun lebih besar dan parau. Adapun raksasa itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Ia memandang kepada "orang kecil" ini dan sering tertawa bergelak dengan nada Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
286 geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga. "Kau mentertawakan aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan kalau kau tiba di duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tantang kebaikan dan keburukan" Yang besar mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib." Biarpun Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti" Sebaliknya, ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali.
Akan tetapi, ketika melihat betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar, raksasa itu makin terheran. Langkah raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar langkah orang biasa, namun karena Kwan Cu mempergunakan ilmu lari cepat, dia sama sekali tidak tertinggal.
Raksasa itu penasaran, melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja Kwan Cu dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikitpun juga. Raksasa itu mulai berlari, namun sambil tertawa geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya, bahkan kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat meninggalkannya! Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah kelihatan api penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh rendah seperti sebuah dusun yang sedang dirundung kemalangan hebat. Raksasa itu tertawa geli dan berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mengerti sama sekali. Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di tempat itu terdapat dusun dan orang-orang, juga wanita-wanita seperti yang dapat dia dengar suara tangisnya. Kalau begitu tentulah ada sekelompok suku bangsa tinggal di tempat ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain dapat bertemu dengan sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan siapa tahu kalau-kalau mereka akan dapat memberi petunjuk di mana adanya pulau berpohon putih yang dicari-carinya.
Dusun itu mempunyai banyak pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat.
Modelnya sederhana saja namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah model Tiongkok pesisir timur. Akan tetapi, pada malam hari itu, agaknya sebagian besar dari rumah-rumah itu ditinggalkan penghuninya dan ternyata mereka berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar dan berada di tengah-tengah dusun itu.
Melihat bangunan induk ini, Kwan Cu menjadi bengong.bukan main besar dan kokoh kuatnya bangunan ini, tiada ubahnya istana kaisar sendiri, hanya bedanya bangunan ini seluruhnya terbuat dari pada kayu yang besar-besar. Juga lampu-lampu gantung yang dipergunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di dusun itu terbuat dari pada kayu. Sebagai pengganti kaca dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat di tembusi oleh sinar api. Nyala api tetap terang, dan ternyata bahwa orang pun mempergunakan minyak untuk lampu-lampu ini!
Raksasa membawa Kwan Cu langsung ke sebuah ruangan lebar di mana berkumpul semua orang-orang laki perempuan yang kesemuanya adalah raksasa bertubuh tinggi besar. Mereka ini duduk bersimpuh, ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar di mana dipasang lilin seperti orang melakukan semacam sembahyangan. Ketika raksasa itu muncul di bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan terjadilah sesuatu yang mengherankan hati Kwan Cu.
Pemuda ini melihat orang laki-laki serentak mundur, bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang menjatuhkan diri berlutut kepada raksasa hitam yang baru datang. Orang-orang wanita menjadi pucat dan menjerit-jerit ketakutan seperti melihat setan! Terdengarlah pekik-pekik ketakutan dan suara orang kalang kabut. Raksasa itu mengangkat kedua tangannya dan berkata-kata dengan suara yang berpengaruh seakan-akan menghibur. Setelah dia selesai berkata-kata, semua orang berlutut dihadapannya dan dari rombongan wanita, berlari keluar Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
287 seorang gadis raksasa yang bertubuh tinggi ramping dan berwajah halus dan boleh dibilang cantik, biarpun kulitnya kelihatan kehitaman dan tubuhnya juga tinggi besar. Namun jika dibandingkan dengan yang lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil menangis, gadis raksasa ini menubruk raksasa itu dan keduanya berpelukan. Kini semua orang yang berada di situ nampak girang, senyum timbul di wajah mereka yang rata-rata membayangkan kejujuran. Tiba-tiba seorang wanita menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu. Keadaan menjadi geger setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini. Agaknya baru sekarang mereka melihat Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi suara ketawa geli.
Orang-orang perempuan tertawa terkekeh dan orang-orang lelaki tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Kwan Cu. Kwan Cu menjadi mendongkol sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam kegemasannya lupalah dia akan perutnya yang lapar.
"Sudahlah, sudahlah, aku bukan badut! Kalau kalian tidak suka melihat aku, aku pun tidak sudi berada disini terlalu lama." Sambil berkata demikian, dia hendak pergi dari situ. Tidak sudi dia dijadikan bahan tertawaan oleh semua orang itu hanya karena dia bertubuh normal!
Akan tetapi raksasa hitam yang agaknya jadi kepala mereka itu, mengulur tangan mencegah dia keluar, kemudia raksasa ini mengangkat tangan memberi tanda kepada semua orang supaya berhenti tertawa dan bicara panjang lebar. Agaknya dia menceritakan pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah menolongnya. Hal ini dapat diduga ketika semua orang kini memandang ke arah Kwan Cu dengan kagum sekali. Dan tiba-tiba gadis raksasa yang tadi memeluk raksasa hitam itu, berlari mendekati Kwan Cu, menggunakan kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang itu untuk memeluk Kwan Cu
lalu"..mencium hidungnya! Hampir saja Kwan Cu berlari keluar saking malu dan jengahnya.
Ia memberontak dengan halus, melepaskan diri dari pelukan gadis raksasa itu dan berdiri dengan muka merah sampai ke telinganya! Ia melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita yang berpakaian cukup sopan, yakni dengan semacam kain berkembang tebal di selimutkan dari pundak menutup leher sampai kelutut, datang mengerumuninya. Ia sudah merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan menciuminya.
Akan tetapi dia merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya mendekatinya, meraba-raba tangan dan kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung dan gelang dari emas tulen dan memberikan perhiasan itu kepadanya sebagai tanda kagum!
Sambil tersenyum dan menggelengkan kepala Kwan Cu menolak semua hadiah itu dengan halus. Raksasa hitam yang ternyata adalah raja suku bangsa ini lalu memberi perintah dan bubarlah semua orang. Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di ruangan ini diadakan pesta untuk menghormat raja dan Kwan Cu! Pemuda ini mendapat kenyataan bahwa tidak semua raksasa berkulit hitam arang seperti kepalanya. Ada yang agak putih walaupun bagi bangsa Han masih termasuk hitam, bahkan wanita-wanitanya rata-rata mempunyai kulit yang hitam-hitam manis. Meja sembahyang yang tadi dipasang di tengah ruangan, dibawa pergi dan sebagai gantinya dipasang meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini, Kwan Cu melompat dari tempat duduknya karena dia melihat di antara kain-kain berwarna yang dipergunakan untuk menghias meja makan yang panjang dan lebar itu, terdapat sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan dalam kitab sejarah Gui-siucai atau dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Ia membaca sajak kuno itu dan cepat berpaling kepada raksasa hitam yang juga memandangnya dengan heran. Ketika Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu seakan-akan bertanya, raja-raja raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan tetapi dengan bahasa yang sama sekali asing bagi Kwan Cu. Kemudian Kwan Cu lalu membaca sajak itu keras-keras dan kini giliran raja raksasa itu untuk memandangnya dengan bingung. Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan jari tangannya untuk menggurat-gurat meja yang halus. Sambil mengerahkan lweekangnya dia dapat menulis beberapa huruf dari tulisan kuno itu yang berbunyi. "Apakah kau dapat Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
288 membaca tulisanku ini?" Raja raksasa terkejut sekali nampaknya lalu berteriak keras. Semua orang yang sibuk membereskan tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan perempuan dapat membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu. Mereka bersorak-sorak girang dan raja itu lalu memberi perintah. Seorang diantara mereka berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing dan lembaran kulit pohon yang di dalamnya putih dan halus.
Dengan pisau itu, memang amat mudah dan enak untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lebaran kulit pohon.
"Tentu saja kami dapat membaca tulisanmu. Agaknya tulisan kami sama, hanya suara bacaannya yang bikin berbeda." Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati Kwan Cu.
Pesta dimulai dan daging panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar girang, membuat dia mengilar akan tetapi juga baru melihat saja dia sudah merasa kenyang!
Daging-daging yang dihidangkan di hadapannya begitu besar dan berbau sedap.
Kini dia dapat "bercakap-cakap" dengan rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan dia mendapat penjelasan dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.
Kalau dia yang membacanya, nama raja raksasa itu adalah Lakayong, dan raja ini adalah seorang duda dengan puterinya bernama Liyani, yakni gadis raksasa yang menangis sambil memeluknya tadi, atau juga gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan Cu setelah mendengar bahwa pemuda ini telah menolong ayahnya! Suku bangsa raksasa itu menurut mereka disebut bangsa Kuyu, keturunan dari bangsa raksasa yang sudah di sangka lenyap dari daratan tiongkok. Mereka hidup sampai beberapa keturunan di atas pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat sebagai raja oleh karena dia mempunyai tenaga paling besar dan menurut tradisi mereka, setelah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan, maka dia diangkat menjadi raja. Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya. Di antara pembantu-pembantunya terdapat dua orang raksasa lain yang dalam kepandaian bertempur dan kehebatan tenaga, hanya kalah sedikit oleh Lakayong. Mereka ini bernama Wisang dan Kasang yang oleh Lakayong diangkat menjadi pembantu-pembantunya yang paling berkuasa.
Akan tetapi, sudah lama dua orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mengandung maksud untuk merebut kedudukan. Apalagi ketika dua orang itu bergantian mengajukan pinangan terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka makin menaruh hati dendam.
Bangsa Kuyu mempunyai kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap kali bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap raja selalu mandi di laut seorang diri, katanya untuk menerima berkah dari Dewa bulan demi kebahagiaan bangsanya. Pada malam hari kemarin, seperti biasa Raja Lakayong mandi di laut memenuhi peraturan tradisi dan minta bekah bagi rakyatnya, tiba-tiba dia diserang oleh dua orang pembantunya, yaitu Wisang dan Kasang. Kalau saja mereka bertempur di darat, agaknya biarpun dikeroyok dua, Raja Lakayong takkan kalah. Akan tetapi pertempuran di air melelahkan. Ia sudah mulai tua sedangkan lawannya masih muda dan pandai berenang.
Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan dilemparkan ke laut agar mati tenggelam atau dimakan ikan liar. Kemudian Wisang dan Kasang berlari ke darat, memberi tahu kepada semua orang bahwa ketika sedang mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan mereka berdua telah berusaha untuk menolong namun tidak berhasil, sebaliknya menderita luka-luka. Padahal luka-luka mereka itu adalah karena pukulan Raja Lakayong yang melawan hebat sebelum dia dikalahkan!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
289 Semua orang menjadi berduka, terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan sampai sehari semalam. Adapun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak kelihatan lagi. Hal ini karena mereka masih amat akan percaya tahyul dan mereka beranggapan bahwa sebelum sehari semalam, arwah orang yang mati masih berkeliaran untuk menuntut balas pada musuh-musuhnya! Karena itu, selama sehari semalam mereka tidak berani keluar dan bersembunyi di dalam sebuah gua yang gelap agar arwah dari Raja Lakayong tidak dapat mencari mereka! Ini pula sebabnya ketika raja Lakayong muncul pada malam hari itu, kedua penghianat itu tidak kelihatan di situ. Demikianlah penuturan Raja Lakayong pada Kwan Cu.
"Baiknya Dewa Air masih melindungiku," Raja Lakayong menutur selanjutnya, "sehingga ombak membawaku ke tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku dapat berdiri di dalam air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar tidak terguling, karena sekali aku terguling, aku akan mati. Kebetulan sekali kau datang, sahabat baik, dan aku tertolong."
"Di mana adanya dua orang yang jahat itu" Aku ingin sekali memukul kepala mereka!" tulis Kwan Cu dengan gemas.
Lakayong tertawa bergelak. "Kamu mengagumkan sekali, saudara kecil yang gagah,"
tulisnya. "Akan tetapi kau tidak tahu kalau Wisang dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya aku yang mampu menandingi mereka, itupun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat sekali, apa daya orang kecil seperti kau?"
Ketika kedua orang itu bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu di baca semua orang ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu saja Liyani yang memandang kepada Kwan Cu dengan kagum sekali.
"Kau kecil dan lemah, akan tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu," tulis gadis itu dengan tulisan tangannya yang halus.
Kwan Cu merasa mendongkol karena raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.
"Biarpun aku kecil, aku berani menghadapi keroyokan mereka berdua!" tulisnya. Tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar setelah semua orang membacanya. Seorang laki-laki tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan telunjuknya kepada Kwan Cu dan berkata-kata dengan keras.
"Dia bilang apa?" Kwan Cu menulis. Akan tetapi Raja Lakayong menggelengkan kepalanya, seakan-akan segan untuk "menerjemahkan" kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan kata-kata pertanyaannya itu kepada Liyani.
Gadis ini segera menuliskan jawabannya tanpa mempedulikan ayahnya yang tampaknya melarangnya.
"Dia seorang kuat, dan berkata bahwa bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual, seorang laki-laki yang berani mengeluarkan ucapan membual harus berani pula
membuktikannya omongannya itu."
Membaca jawaban itu, Kwan Cu melompat berdiri. Orang-orang tidak bisa mengikuti gerakannya yang cepat seperti burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat pemuda kecil itu berdiri di depan raksasa muda yang menegurnya tadi dan bertolak pinggang seperti menantang. Raksasa muda tertawa dan mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu duduk kembali. Dorongannya itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
290 menyambar ke arah dada Kwan Cu seperti gajah menyeruduk. Akan tetapi dengan sedikit saja miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak dan secepat kilat dia dari samping menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan kaki untuk menendang belakang lutut raksasa itu. Terdengar raksasa itu berteriak dan tak dapat bertahan lagi ia jatuh tersungkur dengan hidung lebih dulu!
Orang-orang tertegun melihat hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tak percaya akan apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan memujinya. Raksasa itu bangun kembali dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah. Setelah memandang dengan mata yang terbelalak, dia lalu menyerang, kini dengan kedua tangan dipentang lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari kiri dan kanan. Serangan itu dahsyat sekali, akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah saja baginya untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai angin kosong. Raksasa itu terheran ketika kedua tangannya memukul angin, maka dengan bernafsu ia menubruk, kini dengan tubuh membungkuk seperti seekor lembu jantan hendak menyeruduk.
Kwan Cu berpikir, bahwa kalau ia tidak memperlihatkan kelihaiannya, tentu ia akan dipandang rendah oleh orang-orang ini. Maka ia menanti kesempatan baik. Ketika lawannya menyeruduk, menyerang dengan kedua tangan dan kepala, ia bergerak cepat sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas kepala lawannya! Semua orang tertegun, akan tetapi raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia kehilangan lawannya.
"Bocah cilik, jangan lari kau sembunyi!" teriakannya dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Kwan Cu. Akan tetapi orang yang berada di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang disangka bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang raksasa muda itu! Kwan Cu tidak mau membuang waktu lagi, dengan gerakan yang cepat sekali dia menggunakan jari tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Ia melihat urat besar dan seketika itu juga raksasa itu jatuh berlutut. Kwan Cu menyerang terus, kini menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang dan raja Lakayong karena dengan tiba-tiba raksasa muda itu terguling jatuh dan menangis keras!
Semua orang menjadi gempar dan raksasa itu dikerubung dan ditanyai, akan tetapi ia tidak menjawab melainkan tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan darahnya yang membuat semua badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar tanpa dapat dicegah lagi, ternyata Kwan Cu telah menggunakan Ilmu Silat Sin-ci-tin-san (Satu Jari Merobohkan Gunung)!
Liyani segera menghampiri Kwan Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia berlaku waspada, siap mengelak kalau-kalau akan dipeluk. Akan tetapi Liyani
menghampirinya dengan membawa tulisannya yang ketika ia baca berbunyi,
"Kau apakan dia"
Kwan Cu tersenyum dan membalasnya dengan tulisan
"Tidak apa-apa, hanya memberi pelajaran kepadanya, kau minta menarik lagi kata-kata yang memandang rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!"
Gadis itu sambil tersenyum gembira berlari-lari kearah raksasa yang masih menangis bergulingan seperti anak kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa itu berkaok-kaok yang diterjemahkan oleh Liyani.
"Dia sudah kapok dan minta ampun." Kwan Cu merasa kasihan. Ia menghampiri pemuda raksasa itu, lalu menepuk dan mengurut punggungnya! lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
291 membungkuk kepada Kwan Cu lalu beranjak pergi dari situ dengan malu. Kwan Cu duduk lagi di dekat Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengurutkan kening, lalu menulis,
"Kau menggunakan ilmu hoat-sut (ilmu sihir), aku tidak suka akan ilmu curangmu itu, lebih baik menghandalkan tenaga dan berkelahi dengan jujur."
Kwan Cu dapat memaklumi jalan pikiran raksasa sederhana dan jujur ini. Maka ia lalu menulis dengan panjang lebar.
"Tidak ada kecurangan caraku dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga. Kalau aku disuruh bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu jujur dan adil namanya" Sama saja seekor kelinci disuruh menghadapi harimau! Tenagaku jauh lebih kecil, maka aku harus menggunakan akal. Aku tadi juga menggunakan pukulan akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya yang ditujukan pada bagian yang menyakitkan."
"Tubuhnya kuat, tak mungkin dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit." bantah Lakayong. "Kau keliru." Jawab Kwan Cu. "di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah. Kalau kau tidak percaya, coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok bagian lututmu ini sendiri." Sambil berkata demikian Kwan Cu meraba sambungan lutut raksasa itu.
Sambil tersenyum Raja Lakayong mengetokkan jarinya pada bagian itu dan dia berseru kesakitan dan secara otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang menendang karena tersentuh uratnya yang amat perasa. Dengan rasa terheran-heran raksasa itu mengetuknya berkali-kali dan akhirnya Kwan Cu melarangnya karena hal itu dapat berbahaya sekali.
"Jika kau menggunakan pukulan menghantam lawan, mungkin ia tak kan raboh, akan tetapi agak ke bawah kau memukul mengenai sambungan lututnya, pasti ia roboh. Apakah akal ini dapat dikatakan curang?"
Lakayong kagum sekali. Lalu ia minta penjelasan lebih lanjut.
"Mungkin aku akan menghadapi seorang di antara dua orang penghianat itu. Mereka masih muda dan kuat, sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga dan aku perlu mengetahui rahasia tubuh ini," katanya.
Kwan Cu lalu memberi penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul sambungan siku daripada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak daripada mengenai dada, dan memberi petunjuk berbahaya yaitu leher, ulu hati, lambung dan lain-lain.
Raja Lakayong menjadi girang sekali dan hampir sampai pagi ia menerima petunjuk dari Kwan Cu.
"Di mana adanya dia orang jahat itu?" tanyanya.
"Mereka bersembunyi, akan tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus, mereka tidak berani meninggalkan pulau dan besok ia akan menghadap juga."
"Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?"
"Kau akan melihat sendiri besok," jawab Lakayong sambil tertawa. "Yang sudah pasti, mereka akan menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami."
Adapun Liyani yang suka kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa mereka kepada Kwan Cu. Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan Cu, dibantu Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
292 pula oleh otaknya yang cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat mengerti beberapa ucapan terpenting dalam percakapan sehari-hari. Maka mulailah dia bercakap-cakap dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka menjadi gembira sekali.
Melihat Suling yang berada di buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang aneh itu. Kwan Cu tersenyum lalu meniup sulingnya. Berserabutan orang-orang yang tadinya udah pulang ke pondok masing-masing untuk melihat apakah yang dapat berbunyi demikian aneh dan merdu. Adapun Liyani saking gembiranya lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang menurut Kwan Cu amat melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan pinggang bergerak, semacam tari perut !
Atas kehendak Raja Lakayong, pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk memberi kesempatan pada tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang bersih di dalam gedung besar itu berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan kamar puterinya.
Lakayong sebentar saja sudah tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa lelah sekali, tidur melenyapkan keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak dan segar.
Lebih dulu ia mengganti pakaiannya yang basah kuyub dengan pakaian yang sudah dia panggang di dekat api unggun sehingga menjadi kering.
Pada keesokan harinya dia bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di dalam kamarnya. Ia membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan kayu ketika melihat yang tertawa-tawa itu adalah Liyani yang sudah memasuki kamarnya. Gadis itu telah membuka buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan bajunya dipegang gadis itu sambil tertawa-tawa, seperti seorang gadis remaja memegang dan merasa geli melihat pakaian anak kecil! Memang, celana sutra dari pemuda itu ketika dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya kelihatan seperti celana anak kecil saja!
Ketika melihat Liyani mulai membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-cu-hio, Kwan Cu melompat dan merampas bungkusan itu.
"Jangan sentuh ini!" katanya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
Mata yang bening itu terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu di pagi hari, Kwan Cu harus mengaku bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari bangsanya. Kulitnya yang kehitaman itu tidak membosankan dan bibirnya yang tebal itu nampak penuh dan manis.
"Mengapa tidak boleh?" tanyanya heran, kejujurannya membuat ia tidak merasa tersinggung.
"Karena benda yang terbungkus kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuhnya, akan mejadi hangus tanganmu itu."
Liyani menjadi terkejut sekali dan melangkah mundur.
"Kau orang aneh, barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku ". aku suka padamu, suka sekali padamu." Setelah berkata demikian gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Kwan Cu yang berdiri dengan muka merah sekali. Pemuda ini baru berumur enam belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang cinta kasih antara laki-laki dan wanita.
Tadinya mengira bahwa rasa suka yang dinyatakan berkali-kali oleh gadis raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat dalam hati orang bersahabat, namun melihat sinar mata gadis itu yang aneh sekali, membuat dia merasa jengah dan tidak enak hati!
Wanita-wanita pelayan datang membawa air pencuci muka, air minum dan makanan,
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
293 menyediakan semua itu sambil tertawa-tawa seakan-akan menghadapi sesuatau yang lucu.
Kwan Cu mendongkol sekali dan berpikir bahwa dia tidak betah terlalu lama tinggal di pulau raksasa ini karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil dari pada penduduk di situ akan membuat dia kelihatan sebagai makluk yang aneh dan menggelikan. Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan. Namun, minuman yang disediakan amat enak, menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu lezat sekali, semacam kue yang manis.
Tak lama kemudian datanglah Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.
"Saudara kecil yang baik, apakah kau enak tidur?" tanyanya.
Kwan Cu mengucapkan terima kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
"Saudara Kwan Cu, marilah kau ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,"
kata Lakayong sambil mengandeng tangan Kwan Cu. Ketika mereka tiba di luar, ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama tujuh orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka ini adalah pembantu-pembantu dari Lakayong.
Kwan Cu berjalan bersama Lakayong menuju ke sebelah Barat di mana terdapat sebuah telaga yang berbentuk bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang biru itu kelihatan tenang, akan tetapi kadang-kadang nampak berombak dan sekali-kali muncullah kepala seekor binatang yang membuat Kwan Cu terheran-heran dan merasa ngeri. Kepala binatang yang muncul di permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya seperti seekor singa, liar dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan tubuhnya agak panjang karena ekornya yang berambut merah berada jauh di belakangnya. Apakah ini yang disebut naga" Ataukah singa air"
Lakayong mengajak Kwan Cu duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan agaknya sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh orang itu duduk di sebelah kiri.
"Sudah siapkan mereka?" tanya Lakayong pada orang-orangnya.
"Mereka sedang menuju ke sini," jawab pembantunya dengan hormat.
Betul saja, tak lama kemudian nampak dua raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka berjalan berdampingan seperti dua ekor gajah muda menuju ketempat itu. Setiba mereka di depan Lakayong, dua orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.
"Kalian sudah mendengar keputusanku!" kata Lakayong dengan kata dingin. "Karena di antara kamu tidak ada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian harus menyatakan kemenangan dengan bertanding di atas batu jamur. Yang kalah menjadi mangsa singa telaga, yang menang akan berhadapan dengan aku sendiri!"
"Kami mengerti!" jawab dua orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah Kwan Cu penuh kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget.
Tujuh orang pembantu segera menyediakan sebuah perahu besar dan dua orang raksasa muda itu menunggang perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa di tengah telaga itu terdapat sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti jamur besar. Tahulah dia bahwa dua raksasa muda itu harus bertanding di atas batu karang itu.
"Apakah mereka yang bernama Wisang dan Kasang?" tanyanya kepada Lakayong.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
294 Raja raksasa itu mengangguk dengan tersenyum.
"Benar, merekalah pengkhianat-pengkhianat itu. Sayang sekali, mereka sebetulnya merupakan dua orang muda yang paling cakap yang gagah di antara suku bangsa kami."
"Masih lebih baik mempunyai pembantu kurang cakap akan tetapi jujur daripada pembantu cakap akan tetapi khianat," kata Kwan Cu.
"Kau betul sekali, saudaraku, cocok dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku menjatuhkan hukuman itu kepada mereka.
Diam-diam Kwan Cu mengagumi kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman seperti itu, yang menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan bebas begitu saja. Namun tetap saja mereka datang menyerah! Dan alangkah anehnya hukuman itu.
Keduanya disuruh bertanding dan yang menang akan mendapat kesempatan bertanding dengan raja Lakayong!
"Bagaimana kalau dengan pertandingan kedua nanti kau kalah?" tanya Kwan Cu.
"Aku kalah" Tak mungkin. Apalagi setelah mendapat petujuk darimu tentang bagian-bagian tubuh yang lemah, biarpun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan dapat merobohkan mereka,"
kata Lakayong sambil ketawa gembira.
"Akan tetapi, andaikata kau tetap kalah?" Kwan Cu mendesak.
"Kalau aku kalah" Tak bisa lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan Liyani."
Kwan Cu tertegun. Alangkah sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa raja raksasa ini sama sekali tidak berlaku sewenang-wenang. Bukanlah kalau dia mau dengan mudah saja dia bisa saja suruh tangkap dan bunuh dua pengkhianat itu" Akan tetapi, mendengar bahwa Liyani akan diperistri oleh seorang pemenang, Kwan Cu menjadi
penasaran. "Bukankah Liyani sudah menolak pinangan mereka?"
"Karena Liyani puteriku maka dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak suka.
Akan tetapi, ia tak akan boleh menolak pinangan seorang raja."
Percakapan berhenti dan kini dua orang raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang disebut batu jamur. Dengan otot-otot kaki tangan mengembung lalu merayap naik keatas batu karang itu. Tidak sembarang orang dapat merayap sepereti itu karena batu karang itu bentuknya seperti jamur dan terjal. Selain sukar, juga amat berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga telah siap sedia menanti dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di sekitar batu jamur itu! Sekali saja kaki terpeleset dan jatuh ke air, tak kan ada pertolongan lagi.
Setelah kedua orang itu, Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka berdiri berhadapan seperti dua orang jago berlagak. Siap untuk mulai pertandingan. Penduduk dusun itu semua datang untuk menyaksikan pertandingan ini, dan dari gerak dan suara mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para penonton itu saling bertaruh untuk jago masing-masing.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
295 Matahari telah tinggi dan kini semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di pinggir telaga termasuk Liyani mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu. Adapun raja
Lakayong duduk di sebelah kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan gembira sekali.
Pertandingan di atas batu jamur jarang sekali diadakan dan semenjak dahulu sudah beberapa keturunan, batu jamur itu hanya dipergunakan untuk bertanding bagi calon-calon raja. Akan tetapi dalam pertandingan calon raja, di sekeliling batu terdapat perahu-perahu besar sehingga kalo ada yang kalah dan jatuh ke bawah, dia tak akan dimakan singa telaga dan melompat ke perahu.
Berbeda dengan pertandingan sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat hukuman, maka setelah kedua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya perahu besar yang membawa dua orang raksasa muda tadi ke batu jamur, disingkirkan! Dengan demikian berarti bahwa siapa yang kalah akan terkubur di dalam perut singa telaga!
Kemudian Lakayong lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang raksasa itu bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu bahwa dua orang raksasa muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat
kepadanya. Sebelum dua orang raksasa itu menghadap raja tadi, malamnya mereka telah mendengar dari raksasa yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian. Mereka tahu bahwa yang menolong raja adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang bahwa yang mendatangkan malapetaka dan yang menggagalkan rencana mereka adalah Kwan Cu. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa biarpun kecil, pemuda asing itu memiliki kepandaian bertempur yang mengherankan, kedua orang raksasa muda itu menjadi makin benci dan iri hati.
Pertempuran yang terjadi di atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama tangguh. Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat tenaga agar lawannya terlempar jatuh dari atas batu jamur. Memang amat mengerikan dan menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak berapa lebar dan sekali telah terlempar atau tergelincir ke bawah berarti maut menjadi bagiannya!
Kwan Cu melihat betapa kedua orang raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga daripada otak. Mereka memiliki kekuatan dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot tebal itu menjadi kebal. Pukulan dan tendangan lawan seperti tidak terasa dan dorongan tak cukup kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang kokoh kuat itu. Diam-diam Kwan Cu menjadi geli menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang anak-anak yang bergulat saja.
Kalau dia yang maju, dia percaya bahwa dalam beberapa gerakan saja dia akan dapat mengalahkan mereka.
Para penonton bersorak-sorak, menyoraki jago masing-masing. Ada kalanya Wisang tertindih, ada kalanya Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya sehingga pertandingan makin lama makin seru dan mengerikan. Liyani tertawa-tawa gembira dan gadis ini nampaknya senang sekali menyaksikan pertandingan antara dua raksasa itu. Raja Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali menganggukkan kepala sambil berkata perlahan kepada Kwan Cu.
"Kau betul, saudaraku. Mereka itu tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul dan menendang bagian-bagian anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja.
Kalau mereka itu menyerang ke arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang kau ajarkan kepadaku, tentu pertandingan akan selesai dengan cepat. Ah, aku girang sekali karena terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan mereka tanpa menghabiskan tenaga!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

296 Akan tetapi pemuda itu tak segembira Lakayong, bahwa Kwan Cu memandang ke arah pertempuran dengan kening berkerut. Matanya yang tajam dapat melihat hal-hal yang aneh dalam pertempuran itu. Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik sekali dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan Kasang. Kesempatan yang cukup untuk mereka pergunakan dalam merobohkan lawan. Benar-benarkah mereka begitu bodoh dan buta" Tak mungkin, hanya ada satu jawaban untuk memecahkan jawaban ini, yaitu bahwa kedua orang itu tidak berkelahi sesungguh hati!
"Mereka hanya main-main saja!" katanya penuh curiga. "Mereka tidak berkelahi dengan sesungguhnya!"
Lakayong tertawa dengan bergelak."Kau lucu sekali, sahabatku. Orang berkelahi mati-matian dan maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa mereka itu hanya main-main saja" Ha,ha ha!"
"Jangan kau menertawakan daku, Raja Lakayong, aku berani bertaruh bahwa sampai matahari tenggelam tak seorang pun di antara mereka yang akan kalah."
Akan tetapi Lakayong tidak percaya dan demikianlah, pertempuran dilakukan dengan hebatnya. Orang-orang wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah senja tiba, belum juga ada yang kalah dan menang. Seorang demi seorang mereka pergi, bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini harus melakukan tugas pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki pada pergi. Yang masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu saja.
Tak lama kemudian pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton pertempuran yang masih saja berjalan ramai itu. Akhirnya matahari terbenam dan sebagai penggantinya, bulan bertahta di angkasa raya. Raja Lakayong malu dan menepuk-nepuk lalu merangkul pundak Kwan Cu dengan tangan kirinya sambil berkata,
"Dugaanmu tidak meleset, saudara kecil. Benar saja sampai bulan muncul, belum ada yang kalah. Mereka berdua sama berani dan sama kuat. Sayang sekali mereka harus dihukum."
Kwan Cu tidak menjawab. Ia tahu bahwa percuma saja apabila dia berkukuh menyatakan bahwa dua orang itu tidak bertempur sesungguhnya. Ia tahu bahwa Raja ini terlalu jujur sehingga tidak mengerti tentang kepalsuan dan pura-pura, maka tidak dapat pula tidak dapat membedakan pertempuran pura-pura dan pertempuran sesungguhnya.
"Pertempuran terpaksa ditunda sampai besok pagi, dewa bulan tidak suka menyaksikan manusia berkelahi," kata Lakayong yang memberi isyarat dengan tangannya. Pembantu-pembantunya mendayung perahu besar dan kedua raksasa yang bertempur itu diperintahkan menghentikan dan menunda pertandingan itu untuk diulang kembali besok pagi.
Dua orang raksasa itu kelihatan letih sekali. Tubuh mereka yang tinggi besar itu penuh peluh sampai berkilauan dan kelihatan lemas. Mereka dibawa ke pinggir telaga dan Lakayong berkata,
"Besok dimulai lagi pertandingan kalian pada waktu matahari muncul. Sekarang kalian boleh beristirahat." Raja ini lalu memberi perintah agar dua orang jago ini dihidangi makanan yang lezat kemudian dia mengajak Kwan Cu kembali ke dusun.
Dugaan bahwa Wisang dan Kasang bertanding dengan pura-pura adalah tepat, karena Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
297 menurut dua orang raksasa muda ini sengaja bertempur dengan main-main, tidak bermaksud saling mengalahkan. Berbeda dengan kawan-kawannya, dua orang raksasa ini agak lebih cerdik. Mereka maklum bahwa kalau di antara seorang dari mereka menang dan harus menghadapi Lakayong, tetap saja si pemenang itu akan kalah oleh sang Raja yang kuat itu.
Oleh karena ini mereka berunding dan mendapat akal. Mereka takkan saling mengalahkan sehingga mereka akan dapat menghadapi Lakayong berdua!
Sementara itu, didalam rumah Raja Lakayong, Kwan Cu bercakap-cakap dengan Raja itu dikawani oleh Liyani.
"Mereka benar-benar mengagumkan, kuat sekali," kata Raja Lakayong. Kwan Cu merasa tidak ada gunanya dan semenjak tadi memutar otak untuk memecahkan masah itu. Ia juga merasa ngeri kalau membayangkan betapa dua orang raksasa muda yang kuat itu akhirnya akan menjadi mangsa singa telaga.
"Raja Lakayong, kau bilang sayang sekali kalau sampai dua orang itu tewas, bukan" Mengapa tidak mengampuni dan menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu yang cakap?"
"Mengampuni tidak mungkin. Sudah menjadi kebiasaan kami menghukum orang-orang
bersalah."
"Bukan mengampuni sama sekali. Maksudku jangan menyuruh mereka bertanding di batu jamur itu, agar kita dapat menyaksikan dari dekat. Mereka harus diberi keinsyafan bahwa kau lebih kuat dari mereka dan kita harus mencari akal untuk menundukkan mereka."
"Bagaimana maksudmu, saudaraku yang baik" tanya Lakayong.
Begini," jawab Kwan Cu yang sudah merencanakan sebuah akal yang baik. "Besok pagi suruhlah mereka bertanding di tempat yang terbuka dan kita menyaksikan dari dekat. Yang menang biarlah kulawan sebagai gantimu dan aku akan memberi hajaran kepadanya sampai ia tunduk betul. Atau boleh juga kau turun tangan memberi hajaran. Kalau mereka sudah yakin betul bahwa mereka tiada harapan untuk menangkan kau, kurasa mereka tidak begitu bodoh dan nekat untuk memberontak."
Lakayong mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Memang dia sendiri adalah seorang yang berhati penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, maka tentu saja dia akan merasa lebih girang kalau saja dapat menyelamatkan nyawa kedua orang raksasa muda itu, sungguhpun kedua raksasa itu sudah pernah berusaha untuk menbunuhnya. Rakyatnya membutuhkan orang-orang kuat seperti Wisang dan Kasang dan dia akan lebih suka mempunyai mantu di antara kedua raksasa muda itu dari pada pemuda yang lain di antara penghuni pulau itu.
"Baiklah, besok akan kucoba rencanamu itu." Kemudian mereka berpaling kepada Liyani sambil bertanya, "Liyani, kau menolak pinangan kedua orang muda itu. Sebetulnya siapakah yang paling baik di antara mereka berdua" Menurut pandanganmu, siapa diantara Wisang dan Kasang" Bagaimana dengan Wisang?"
Biarpun pertanyaan seperti ini yang dilakukan oleh ayahnya di depan orang lain tentu akan membikin malu kepada seorang gadis biasa, namun Liyani tidak merasa malu, bahkan tersenyum manis, lalu menjebirkan bibirnya lalu mengejek. "Wisang " Dia orang kasar, aku tidak suka kepadanya."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
298 "Kalau Kasang bagaimana?" mendesak ayahnya.
"Dia cukup halus dan baik, akan tatapi?" berkata demikian, Liyani mengerling kepada Kwan Cu, membuat hati pemuda cilik ini menjadi berdebar bingung.
"Akan tetapi kenapa?" Lakayong mendesak pula.
"Dia pernah kalah oleh Ayah. Aku hanya mau menjadi isteri seorang yang lebih kuat dan pandai dari pada kau, Ayah," katanya dengan sikap manja dan kembali gadis ini tersenyum dan mengerling kepada Kwan Cu.
Celaka dua belas, pikir Kwan Cu. Benar-benar gadis berkepala batu yang pikirannya aneh.
Mana bisa Kasang menangkan Lakayong" Semua pemuda di pulau itu tak dapat menangkan Lakayong dan sekarang gadis ini bersikap manis kepadanya karena biarpun dia seorang bertubuh kecil, dia telah memperlihatkan kepandaian dan agaknya gadis raksasa ini mengharapkan bahwa dia akan dapat mengalahkan ayahnya!
Adapun Lakayong ketika mendengar jawaban puterinya itu, tertawa bergelak dan berkata,
"Anak bodoh! Agaknya kau tak kan dapat menikah sebelum aku menjadi orang tua dan lemah!"
Liyani tidak menjawab, lalu tak lama kemudian ia meninggalkan ayahnya dan Kwan Cu, berjalan pergi ke kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu.
"Dia seorang anak baik, seorang gadis yang menjadi kembang di antara rakyatku semua," kata Lakayong memuji puterinya. "Sayang dia keras kepala. Kalau dia menjadi istri Kasang, tentu dia akan mempunyai seorang putera yang gagah perkasa."
"Biarlah besok kita menundukkan lebih dulu dua orang muda itu dan barulah mencari akal agar supaya puterimu itu suka menerima tunangan Kasang," kata Kwan Cu.
Lakayong memandang dengan muka kagum dan bersyukur. "Agaknya dewa-dewa mengirim kau datang untuk menolong kami, saudara kecil. Biarpun semua akal dan caramu belum dijalankan aku percaya bahwa kau yang telah memperlihatkan kesaktian akan berhasil. Aku berterimakasih kepadamu."
"Tidak apa, Raja Lakayong. Sebaliknya aku pun telah kau terima sebagai tamu dengan sikap yang ramah-tamah. Ini saja membuat aku bersyukur sekali. Kau dan rakyatmu adalah orang-orang jujur, satu sifat yang kukagumi di antara sifat-sifat yang baik, maka aku bersedia untuk membantu kalian."
"Kalau saja aku dapat melakukan sesuatu untuk membalas budimu, aku akan merasa girang sekali, saudara Kwan Cu."
Hampir saja Kwan Cu membuka rahasianya tentang pulau kecil di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang dicarinya, akan tetapi dia masih sempat menahan lidahnya.
"Memang ada sesuatu yang hendak kutanyakan kepadamu dan mengharap kalau-kalau kau dapat membantuku, akan tetapi biarlah hal itu kutunda dulu dan akan kuceritakan kalau urusanmu ini sudah beres," jawabnya. Kemudian mereka mengaso.
*** Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
299 Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah bangun dari tidurnya. Seperti kemarin, dia telah melihat Liyani berada di kamarnya. Ia merasa menyesal mengapa kamar-kamar besar di rumah ini semuanya tiada pintunya, kalau ada akan ditutupnya rapat-rapat agar jangan ada orang masuk begitu saja. Melihat seorang gadis berada di kamarnya, biarpun gadis itu seorang gadis raksasa membuat Kwan Cu merasa jengah dan kikuk sekali.
"Nona Liyani, kau sudah berada di sini?" tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali. Biasanya dia menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa jengah dan malu mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut "Nona". Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona dana dalam gugupnya dia meyebut
"siocia" yang berarti Nona.
"Eh, saudara Kwan Cu, apakah artinya siocia?" tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang lebar bening.
"Oh, ya, aku lupa. Itu bahasaku, dipergunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah," jawabnya.
Liyani mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Lucu sekali kedenganrannya. Apa-apa yang ada padamu lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidurpun kelihatan lucu dan menyenangkan." Kwan Cu terheran. "Lucu" Bagaimana sih tidurku?" tanyanya ingin tahu.
"Kau tidur begitu anteng seperti" seperti seorang wanita."
"Seperti wanita" Apa maksudmu?"
"Atau seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan orang laki-laki dewasa di sini.
Kau sama sekali tidak mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak."
"Hmmm".." Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.
"Memang". Aku masih anak-anak, anak kecil yang tidak ada sifat jantan," katanya dengan sebal sambil melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu. Ia berdiri dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!
Liyani dapat merasai suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu maka sambil tersenyum ia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.
"Tidak, saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Kau biarpun keecil sekali, namun gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan dewa."
"Gila!" kata Kwan Cu makin gemas.
"Akupun tidak percaya," kata Liyani tertawa, "Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil. Akan tetapi kau gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Eh, saudaraku yang baik. Menurut perkiraanmua siapakah yang akan menang di antara Wisang dan Kasang?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
300 "Kau mengharapkan siapa yang menang?" tanya Kwan Cu.
Liyani cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau seorang gadis manja.
"Belum menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu."
Kwan Cu menjawab terus terang. "Kurasa biarpun ini hari mereka bertanding sehari penuh, takkan ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura belaka, karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura."
"Menurut pandanganmu".. siapakah yang lebih baik diantara kedua orang itu?"
Diam-diam Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangannya dalam hal memilih jodoh!
"Hmm?". Bagaimanakan aku dapat mengatakan hal itu" Aku belum kenal mereka dan
menurut keadaan luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas dan sama kuat.
Sukarlah mengatakan yang mana lebih baik." Katanya terus terang dengan hati-hati.
"Wisang orangnya kasar. Pernah ia akan mengejar dan hendak memaksaku berlaku manis kepadanya," kata gadis itu cemberut.
"Kalau begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu," kata Kwan Cu memancing.
"Memang dia lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang ia pun kelihatan kasar bagiku."
"Apakah ada orang yang lebih baik dan halus dari padanya?" Kwan Cu memancing karena siapa tahu kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.
"Semua pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, kalau tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!" gadis itu menarik napas panjang.
Kwan Cu terkejut dan merasa kawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini"
"Aku kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu."
Liyani menarik napas panjang, nampak kecewa sekali. "Itulah! Kalau kau mempunyai tubuh sebesar kami, takkan susah payah aku memilih calon jodohku." Berdebar hati Kwan Cu.
Benar benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berdua saja dengan gadis ini.
"Akan tetapi biarpun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu." Sambil berkata demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu. Pemuda ini sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan membawa air pencuci muka dan makanan pagi.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
301 "Baginda menanti di kebun belakang dan orang-orang sudah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan," kata pelayan itu.
Setelah pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakan-akan terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.
Benar saja, di situ banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.
Wisang dan Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat Liyani, mereka memandan dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, kemudian sekarang agaknya pemuda itu hendak
merebut hati Liyani.
Akan tetapi mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong sudah memberi aba-aba dan keduanya segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka bergerak-gerak dengan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.
Akan tetapi, belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton di situ, termasuk raja Lakayong dan puterinya, benar-benar memang kena diakali.
Kwan Cu menjadi gemas sekali dan selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang bertarung berhenti.
Wisang menjura kepada Lakayong dan berkata,
"Aku dan Kasang mempunyai kekuatan dan kepandaian yang sama, tak mungkin ada yang kalah atau menang. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah, biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!"
Tahulah kini Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka telah bermufakat untuk tidak merobohkan lawannya agar mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam marahnya Kwan Cu melompat ke tengah lapangan dan berkata dengan suara kaku,
"Kalian ini orang-orang curang dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tidak mau menjatuhkan lawan" Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja yang sudah tua!"
Wisang dan Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan Cu dengan mata mendelik.
"Saudara Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orang-orang ini memang perlu dihajar!" kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri dengan tegapnya. Memang tubuh Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.
Akan tetapi Kwan Cu merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini menandakan bahwa mereka lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang biarpun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
302 "Tidak! Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang sudah lebih tua."
Wisang menjadi marah sekali. Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking kuatnya tenaga kakinya ini.
"Jahanam kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapakah berani mencampuri urusan bangsa kami" Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?"
Panas dada Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,
"Raja Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku menghadapi mereka ini memberi hajaran kepada merreka sebagai wakilmu." Tanpa menanti jawaban, KwanCu lalu
menghadapi dua orang raksasa itu sambil berkata,
"Kalian majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura seperti tadi!"
Wisang tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau sehingga menggetarkan anak telinga.
"Huaa-ha-ha-ha! Kau anak kecil kupencet denga ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami berdua?"
"Manusia sombong, pantas saja puteri Liyani tidak suka kepadamu, kau kasar dan sombong.
Jangankan baru kalian berdua, biarpun kau mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku takkan mundur setapak!" "Setan kecil kau sudah bosan hidup!" teriak Wisang dan segera mengerakkan kepalan tangannya yang besarnya seperti kepala Kwan Cu itu, menonjok ke arah kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya menyambar ke perut Wisang yang besar.
"Ngekkkk!" tubuh Wisang yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi perut.
"Aduh" aduh" bangsat kecil". Aduh"." Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas sekali. Semua orang yang menonton termasuk Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.
Seruling Samber Nyawa 15 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Pukulan Naga Sakti 13
^