Pendekar Sakti 13
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam bersikap garang, sedangkan para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu.
Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali. Sambil memutar-mutar cambuk mereka menyeringai dan masing-masing menghampiri korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.
Seorang perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton dan berkata keras-keras.
"Lihatlah, begini nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!"
teriaknya dan mulailah menghitung, "Satu"..!"
Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.
"Tar"..!" Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh di tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan terdengar dan baju mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet. Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini di sebut pemimpin-pemimpin gerombolan" Mereka begitu lemah. Sebenarnya, mereka ini sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.
"Dua?"!" Komandan itu memberi aba-aba.
Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!
Mereka cepat memandang dan seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,
"Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini."
Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu telah terlepas dari ikatan tangan mereka! Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!
Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.
"Kau siapakah berani mati mengacau disini" Apa kehendakmu?" Biarpun bersikap galak, namun para perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.
"Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu takkan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Kalau memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas akan puas."
Para perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
361 pemuda ini tentulah dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.
"Kau betul-betul hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk" Mereka ada sepuluh orang, masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali cambukan?" tanya seorang perwira.
Pemuda itu menoleh ke arah penonton dan pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan namun matanya mengandung pengaruh luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan berubah giranglah wajah pemuda yang tadinya amat keruh dan muram.
"Boleh, boleh, sesukamulah!" katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, "Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas dosa-dosaku!"
"Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!" bentak komandan itu.
"Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima puluh kali!" jawab pemuda itu yang menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.
Komandan itu menjadi cemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang gila pikirnya.
Lebih baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang
"bijaksana" dan yang berlaku adil.
"Rakyat semua!" serunya memandang kepada penonton. "Orang muda ini dengan sesuka sendiri mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian harus membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!"
Sepuluh orang itu saling pandang seperti tidak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.
"Saudara yang baik, sudah yakinkah kau akan menolong kami sepuluh orang" Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu." Kata seorang di antara bekas tawanan itu.
Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,
"Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?"
Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton akan tetapi tentu saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.
"Hayo, pukul aku!" teriak pemuda ini.
Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda supaya menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Sekali ini dia menghadapi pengalaman yang aneh. Ia sudah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan dengan tiga kali cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang dengan secara aneh sekali dapat merampas cambuknya tadi, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa. Pemuda ini dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, telah dapat merampas cambuk Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
362 sepuluh orang algojo dan cambuk-cambuk itu lalu dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh. Ketika para algojo mengambil cambuk masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat daripada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!
Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan gentar, akan tetapi setelah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan.
Dengan lagak gagah algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman itu mengangkat cambuk tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali kemudian dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.
"Tar"..!" Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan putus atau stidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang seperti gila lakunya ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa. Baju pemuda itu robek dan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu mengrutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia agaknya sama sekali tidak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia meramkan kedua matanya, menahan jatuhnya air mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa. Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya mulai robek di sana-sini. Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil, meramkan kedua matanya.
"Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati.
Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat".."
Tak seorangpun di antara para penonton maupun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata perlahan,
"Dia benar-benar menerima hukuman dengan suka rela. Ah?" orang inilah harapan
rakyat"..! Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!"
Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu! Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu" Dia ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu! Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu Fu dapat menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Ia teringat akan pesan suhunya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhunya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini. Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat di tempuh dengan amat mudah, karena sekarang dia bukanlah Kwan Cu pada empat tahun yang lalu. Kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali tanpa dia sadari dan dia kini benar-benar telah menjadi seorang yang sakti.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
363 Setelah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil.
Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.
Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu, karena memang pemuda ini setelah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah di kuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri. Ia telah terbuka mata hatinya tentang kekuasaan Thian, dan dia percaya sepenuhnya bahwa peristiwa di dunia ini, sesungguhnya dilakukan oleh manusia, namun keputusan terakhir di tangan Thian. Oleh karena ini, betapapun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan
pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!
Hanya satu hal yang terpikir olehnya di saat dia mendengar itu, bahwa suhunya tentu pergi ke kota raja. Suhunya adalah kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula, pada peristiwa pengoperan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat kepada Menteri Lu Pin. Mustahil kalau Ang-bin Sin-kai diam saja dan tidak menengok keadaan kota raja.
"Pasti Suhu berada di kota raja dan tidak aneh kalau aku mendapatkan dia di dapur isatana, siapapun juga kaisarnya yang menempati istana itu," pikir Kwan Cu dengan geli
mengenangkan kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.
Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan, dia mendengar pula tentang usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah tidak mempengaruhi ketenangan batinnya. Ia
melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong adalah harta satu-satunya.
Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengusngsi yang menuju ke selatan, menjauhi pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang mengungsi ke selatan, sejauh mungkin.
Ketika dia telah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.
Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba di antara para pengungsi, terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang:
"Seekor babi gemuk memimpin negara
mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia"
Akan tetapi srigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran?"! Penasaran?".!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
364 Sayang sekali dua saydara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga,
pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran"..! Penasaran?".!
Berkali-kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai seorang di antara para pengungsi menegurnya,
"Tu-siucai, harap kau diam jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua di tangkap dan dihukum mati?"
Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,
"Didalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan bangsa bisa dapat dipertahankan" Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku."
Orang yang menegurnya tadi hendak menegur lagi dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa si penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa di lihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lengap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi kaget, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat setan di tengah hari.
"Di mana dia" Kemana perginya Tu-siucai?" terdengar suara susul menyusul.
"Dia menghilang begitu saja!" Ramailah rombongan itu akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan itu sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa yang aneh itu.
Apakah betul penyanyi tadi dapat menghilang" Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang sastrawan yang berbatin kuat berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja. Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin meniup keras ke arah mukanya. Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata, "Siauwte mohon maaf sebanyaknya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku lancang membawa Siucai ke sini."
Tu Fu biarpun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Kini dia
menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.
"Seorang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapakah namamu dan murid siapakah kau?"
"Siauwte seorang tak berarti, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi, amat menarik hati siauwte. Bolehkah siauwte mengetahui siapakah adanya mereka itu" Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
365 Tu Fu tertawa. "Orang muda yang aneh, kau lebih aneh daripada Ang-bin Sin-kai Lu Sin!
Baiklah, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin."
"Apakah yang terjadi dengan mereka?" Kwan Cu bertanya dan biarpun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai seorang, maka sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja menggerakkan hatinya.
Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh.
Demikian pula sastrawan Tu Fu. Biarpun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang manapun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan. Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,
"Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai" Ada hubungan apa pula antara kau dengan keluaraga Lu?"
"Sudah siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tak perlu dibicarakan tentang diri siauwte."
"Hm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kauceritakan apa hubunganmu dengan Ang-bin Sin-kai, kalau tidak jangan harap mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!"
Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklun bahwa dia menghadapi seorang yang
berwatak keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata, "Ang-bin Sin-kai adalah guruku."
Mendengar ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu, "Bu-pun-su, murid macam apa engkau ini" Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran dan sekarang tiba-tiba kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia" Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tak bernapas lagi" Guru dalam bahaya dan berjuang mati-matian mempertahankan nama baik negara dan bangsa kau bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau pura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu" Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!"
Kwan Cu menjura lagi. "Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta."
"Ang-bin Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat tokoh-tokoh kang-ouw membela pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu kota raja. Akan tetapi dia tidak kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhumu benar-benar seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
366 perkasa." Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhunya itu. Tak terasa pula dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Ia terharu sekali akan nasib gurunya yang amat dia cinta, setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara. Hatinya mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhunya, akan tetapi kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa kesemuanya itu adalah kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,
"Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati" Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?"
Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.
"Wahai semua mahluk yang kebetulan berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang kuhormati?"
Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang mempunyai pengaruh luar biasa.
"Siucai yang baik, siauwte mana berani mencela guru" Siauwte hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa memang kesemuanya adalah kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian" Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu tidak melihat kenyataan ini?"
Tu Fu makin marah-marah. "Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya kalau orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan goblok! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang seperti mangkok berkembang tanpa isi. Apa gunanya" Hanya untuk pameran belaka! Bu-pun-su, kau bermimpi dalam sadar.
Jalan Tuhan memang luar biasa dan tak dapat di mengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa bahwa manusia juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, bukankah itu kehendak Thian pula" Kalau kau tidak dapat membela tanah air dan bangsa, membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, patutkah kau disebut seorang anak bangsa" Hm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!" Tu Fu marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.
Kwan Cu tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.
"Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhuku dan yang dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?"
"Bu-pun-su murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
367 Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dahulu, gurunya yang pertama, yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kekaguman. Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya kepada Tu Fu. Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan gurunya bahkan melebihi gurunya dalam hal ilmu filsafat dan kebatinan. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,
"Locianpwe, teecu telah berlaku kurang hormat mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat betapa besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai, oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu berlaku, karena sesungguhnya teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana."
"Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan," kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh. "Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar sadar bahwa tindakan suhumu itu baik dan sempurna" Di kota ini Thian-cin, tak jauh dari sini , orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan dihukum cambuk. Kalau kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka kau akan dapat melanjutkan usaha suhumu membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan bangsa."
Mendengar ini, bangkit semangat Kwan Cu. "Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai takkan sia-sia belaka." Tanpa menanti jawaban Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-cin di mana sedang berlangsung penghukuman cambuk atas diri sepuluh orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat. Kwan Cu menrunkan tu Fu di antara para penonton sedangkan dia sendiri sebagaimana telah dituturkan di bagian depan turun tangan merampas cambuk, mencegah di lanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman kepada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.
Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan.
Biarpun para penonton merasa amat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, namun diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan mata dan sama sekali tidak pernah mengaduh, biarpun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk.
Suara cambuk mereka memecah di udara lalu disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu dan menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,
"Cukup, Bu-pun-su sudah lima puluh kali kau menerima hukuman!" Inilah suara dari sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali.
Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang demikian jujur dan setia kepada sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
368 terhadap Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal kalau dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.
Baru saja ucapan ini dikeluarkan oleh Tu Fu, tiba-tiba algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa sehingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri. Demikianlah lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu sehingga membalik melukai pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan algojo terobek kulitnya sehingga dia melepaskan cambuk, mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah!
Komandan pasukan mengira bahwa algojo itu saking lelahnya merasa sakit tangannya. Ia sudah amat mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lain untuk turun tangan.
Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu.
Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula!
Geger keadaan di situ. Para anggauta pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apalagi ketika Kwan Cu dengan sekali renggut saja mematahkan ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau. Para perwira bala tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau balaunya.
Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa kawan-kawan sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagaikan daun-daun kering tertiup angin. Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tak lama kemudian, anggauta-anggauta pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan demikian pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya. Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka sepuluh orang perwira telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para tawanan! Adapun pemuda luar biasa itu, entah pergi kemana karena tidak kelihatan bayangannya lagi.
Semenjak peristiwa itu, nama Bu-pun-su terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan.
Nama ini mendatangkan rasa gentar dalam hati mereka, karena selama menghadapi para pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah memperlihatkan kepandaiannya ketika dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapapun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-cin dan dia menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk pujangga itu. Ia benar-benar tunduk kepada sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu. Kalau pujangga itu lahir batin membenci semua pasukan An Lu Shan yang telah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci kepada para anggauta pasukan. Oleh karena ini ketika dia dikepung dia tidak menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
369 Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut namanya, dia menjadi amat terharu dan timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang.
Yang membuat dia merasa amat heran dan juga mendongkol adalah ketika dia mendengar bahwa Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhunya. Ia tahu bahwa antara suhunya dan Jeng-kin-jiu, terdapat hubungan yang amat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan" Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini maka orang pertama yang hendak adalah Jeng-kin-jiu.
Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada pasukan itu, mengancam perwiranya. Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas pasukan dengan cara mengukir dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:
KALAU MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL
NYAWA! BU PUN SU Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggauta-anggauta pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggauta pasukan pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata. Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, dengan memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas pasukan pemberontak.
*** Karena melakukan perjalanan cepat biarpun banyak ganguan di jalan untuk menolong rakyat dari gangguan pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian sampailah Kwan Cu di kota raja. Ia teringat ketika bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali. Ia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.
Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar, agaknya rumah makan ini pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besr itu. Ia disambut oleh seorang pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan kecurigaan karena rumah makan yang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
370 besar ini biasanya hanya dimasuki oleh hartawan-hartawan dan para bangsawan belaka.
Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan dan biaya-biaya lainnya, maka dia telah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya ketika dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.
Rumah makan itu banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan dan suara ketawa mereka memecah di ruang makan itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik, laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Diam-diam Kwan Cu merasa geli karena dia tahu bahwa laki-laki botak itu di waktu bicara mengerahkan tenaga khikangnya yang lumayan juga sehingga suaranya terdengar nyaring sekali.
Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di depan meja yang terletak di pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Namun Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa
makanan. Sambil menanti makan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus makan tulang yang hitam. Pengemis-pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, seorang di antaranya terpincang-pincang. Melihat ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang.
Bukan saja para pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu.
Pengemis-pengemis itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi. Dia lalu melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya.
Pelayan itu datang dengan muka angkuh.
"Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu.
Aku yang akan bayar."
Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
"Pesanan Tuan akan kamu layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan sendiri."
"Mengapa begitu?" tanya Kwan Cu dengan suara sabar.
"Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!"
Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya. "Baiklah, biar aku yang memberikan sendiri."
"Hei, A-kiu?"!" tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
371 Kwan Cu. Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlari, menghampiri meja si botak.
"Ada apakah memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?" katanya
membungkuk-bungkuk.
"Bagaimana sih kerjaanmu" Banyak lalat busuk tidak kauusir dari sini?" Sambil berkata demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu. "Membikin bau saja!"
Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik.
Pendengaran Kwan Cu amat tajam dan dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dia sendiri! Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali.
Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah, bahkan merasa kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja.
Orang muda botak yang di sebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.
"Nah, aku terima kalah," kata Kwan Cu. "Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini." Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.
"Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?" Pangeran Muda An yang botak itu membentak dan mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh. Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang bersenjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat daripada logam hitam diuntai, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh pendeta).
Kwan Cu sudah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu dan kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini seorang berpangkat pula.
Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini dan kemarahannya membuat mukanya menjadi merah sekali. Dengan gerekan istimewa, kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya. Ujung kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding!
Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian serta lweekang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
372 yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,
"Terlalu banyak orang pandai sekarang sehingga di mana saja melihat orang memamerkan tenaga!" Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat kakinya. Dengan gerakan perlahan dia memegang meja itu dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding. Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun karena ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini bahkan lebih tinggi kepandaiannya daripada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding.
Pemuda botak ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, menjadi berubah air mukanya. Ia menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.
"Eh, kiranya Suheng tidak menginginkan keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang ajar ini kepada Suheng." Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek, lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti oleh kawan-kawannya yang kelihatan takut sekali terhadap pemuda baju mewah yang baru datang.
Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di mana dan bilamana. Tiga orang pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan Cu. Agaknya keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.
Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang kepada Kwan Cu dengan penuh perhatian. Sepasang matanya memandang dan mulutnya tersenyum setengah mengejek.
Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
"Kiranya benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya.
Ah, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?" kata pemuda itu sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.
Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.
"Lu Thong?"!" serunya.
Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di tempat terbuka itu.
"Kita masih bersaudara, bukan" Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara dengan enak dan leluasa."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
373 Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan benci.
"Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,"
jawabnya. Lu Thong mainkan alisnya. "Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu"
Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar
keterangan yang sejelasnya tentang semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun" Nah, keterangan itu hanya bisa kaudapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah kautakut?"
Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, maka dengan gagah dia
menjawab, "Siapa takut" Kau mau bisa berbuat apakah terhadap aku" Baik, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kaulakukan."
Lu Thong tertawa girang dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!
Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota.
Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat. Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula. Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini telah dapat mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong dengan diam-diam.
Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong dan Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!
"Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok," katanya tertawa,
"karena itu, mereka inilah yang menghiburku dan dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup sebatang kara ini."
Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan kepadanya dengan sikap genit.
Juga dia melihat tiga orang pengemis tadi kini telah ikut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
"Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa."
Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka warna dan dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai, juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
374 "Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong," kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Ia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu maupun taman bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri. "Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan amat kuat seperti takut akan kedatangan musuh."
Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah penuh dengan hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh dengan arak wangi.
"Duduklah, saudaraku. Matamu benar-benar awas dan kau dapat menduga tepat. Memang di kota raja sekarang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja untuk para pembesar dan penduduk, bahwa di dalam istana sendiri terjadi kekacauan dan persaingan hebat."
"Seperti halnya suhumu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhuku," kata Kwan Cu dengan pandang mata tajam.
"Jangan kau persalahkanaku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan."
"akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, sungguhpun seluruh keluarganya telah musnah?".." Kwan Cu menyindir.
"Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kong-kong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup."
Berubah wajah Kwan Cu. "Benarkah" Di mana beliau?"
"Itulah soalnya, Kwan Cu. Kong-kong telah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya kong-kong Lu Pin. Oleh karena itulah, biarpun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan."
Kembali Kwan Cu tertegun. "Apa" Pemberontak itu sudah meninggal dunia?"
"Huuusss, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorng panglima gagah perkasa dan bahkan telah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak nanti aku diangkat menjadi pangeran dan dianggap sebagai putera angkatnya sendiri."
"Hemmm, begitukah"..?" kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak sekali terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk ayah bundanya, dan semua orang, telah dibinasakan oleh An Lu Shan dan dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.
"Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu."
"Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku kesini untuk menceritakan semua itu?"
Kwan Cu bertanya.
Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan kecerdikannya dan yang membuat Kwan Cu bersikap waspada. "Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di kota raja."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
375 Maka berceritalah Lu Tong. Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono telah mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sudah dibantah oleh banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin. Akan tetapi kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya, benar saja An Lu Shan memberontak dengan sejumlah tentara tidak kurang dari lima belas laksa orang yang telah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang, lalu pemberontak ini memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja seperti kaisarnya.
Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang amat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit. Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang istimewa, lagipula dibantu oleh orang-orang pandai, kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan dan kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.
An Lu Shan dan kaki tangan, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, laksana orang-orang kelaparan menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan terjadilah perebutan kekuasaan.
Dalam keributan ini, An Lu Shan telah dibunuh oleh puteranya sendiri. Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa saling memperngaruhi dan menanam bibit permusuhan dan persaingan yang dalam sekali dengan diam-diam.
Adapun fihak tentara Kerajaan Tang, masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Ketika bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kepada kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak. Dengan hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara Tang sendiri!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan, sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar. Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan dapat bersembunyi di dalam gua yang selanjutnya di sebut Gua Tengkorak, karena bekas menteri ini membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang binatang purbakala yang banyak terdapat di dalam gua itu.
Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan telah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.
Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,
"Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapapun juga, An Lu Shan telah bersikap baik terhadap aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
376 hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga agar persaingan itu tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua adalah tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Adapun golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan."
"Hm, diakah" Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu," kata Kwan Cu yang teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin Sinkai.
"Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong."
"Pemuda botak hidung belang tadi?" tanya Kwan Cu. "Dan dia itu sutemu?"
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lu Thong menarik napas panjang. "Suhu selalu tidak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia itu sebagai murid ke dua."
"Lu Thong, sebetulnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku" Apakah maksudmu membawaku ke sini" Aku datang ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?"
"Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhumu tewas oleh suhuku?" tanya Lu Thong mengerutkan kening.
"Bukan hanya oleh suhumu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut."
"Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang salah sekali, hendak
membalaskan sakit hati karena kakek Lu Pin dihukum sekeluarganya oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang telah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?"
Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.
"Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, sungguhpun hanya cucu angkat dari kong-kong Lu Pin. Keturunan Lu hanya kau dan aku saja dan kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga kita!"
"Apa maksudmu?"
"Dengar baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing, bermaksud saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?"
"Apa?" Kwan Cu membelalakkan matanya. "Kau bercita-cita menjadi kaisar?"
"Apa salahnya" Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap negara. Sudah sepatutnya kalau turunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja" Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
377 dari suhu bahwa kaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik."
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu. "Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku dapat membuat perhitungan dengan dia!"
Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong dan wajahnya yang tadi kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
"Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!"
"Tidak, Lu Thong, aku seorang yang tidak ada kepandaian (Ba Pun Su)," jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan tindakan kaki menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa mengundurkan diri, kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang sekarang telah berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang berkilauan!
anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja" Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa kaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik."
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu. "Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku dapat membuat perhitungan dengan dia!"
Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong dan wajahnya yang tadi kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
"Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!"
"Tidak, Lu Thong, aku seorang yang tidak ada kepandaian (Ba Pun Su)," jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan tindakan kaki menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa mengundurkan diri, kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang sekarang telah berganti Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
378 pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang berkilauan!
"Lu Thong, apa kehendakmu?" tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.
"Kehendakku?" jawab Lu thong menyindir. "Sudah kukatakan tadi bahwa aku menghendaki kau membantuku untuk mencapai cita-citaku."
"Aku tidak sudi!"
"Kau tetap bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku, Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhuku, ini sudah merupakan dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua
kalinya, kalau memang telah mendapatkan kitan Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih ingatkah kau betapa dahulu ketika kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan aku dan suhumu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi" Nah, karena sekarang kau berkeras kepala,
perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka ini adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia macam engkau berani menolak ajakanku yang baik?"
Bukan main panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang amat menghina dan
merendahkannya itu.
"Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan kaki depan melihat orang
melemparkan tulang kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong.
Sudahlah, aku tidak ada waktu banyak untuk melayani obrolanmu." Setelah berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu, akan tetapi tiba-tiba tiga orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.
"Kalian mau apa?" bentak Kwan Cu.
Lu Thong memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab, "Hendak mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!"
Ucapan ini di tutup oleh berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat.tidak percuma mereka mendapat julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.
Ini kalau dilihat oleh mata orang lain, namun bagi mata Kwan Cu gerakkan itu tidak seberapa hebat. Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan dan pengertian tenatng pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat, dia telah lebih dulu dapat menduga kemana tiga batang pedang itu hendak menyerangnya! Oleh karena itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan mereka itu akan disusul oleh gerakan lain. Hal ini dapat dia lihat dari pergerakan pundak dan pandangan mata mereka, maka sebelum tiga orang itu sempat melanjutkan serangannya setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang dimiringkan ke arah pangkal lengan.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
379 "Plak! Plak! Plak!" tiga kali jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas, ketiga orang Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya. Adapun pedang yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka tiba-tiba menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!
Untuk sesaat Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia telah melompat dengan senjatanya di tangan. Seperti main sulap saja melihat dia tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat daripada emas. Bagaimana tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadinya tidak kelihatan dia bawa" Ternyata bahwa toya itu dibuat istimewa, bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat di gulungkan di pinggang, tertutup oleh baju luar.
"Kwan Cu, ternyata selama kau tidak muncul, kau telah memiliki kepandaian yang lumayan.
Hendak kulihat apakah kau cukup kuat menahan seranganku!!"bentak Lu Thong sambil mengayun toyanya.
Kwan Cu dapat merasai angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan memiliki tenaga seperti gajah. Menurut penuturan Ang-bin sin-kai, untuk masa itu, tingkat kepandaian Jeng-kin-jiu sudah tinggi sekali dan dialah satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga dapat menggunakan tenaga sampai seribu kati kuatnya! Kwan Cu maklum bahwa Lu Thong tentu telah mewarisi tenaga dan kepandaian suhunya, maka dia berlaku amat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun putih, dia tahu cara bagaimana harus menghadapi serangan toya yang bertenaga besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran toya yang datang bertubi-tubi.
Setelah menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti sarinya! Kalau dia mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, baru sempurna jalannya.
Maka Kwan Cu segera mencabut sulingnya dan mulailah dia melakukan serangan balasan. Ia dapat menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan bergerak, bahkan dia telah tahu kemana toya akan menyambar hanya dengan
memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!
Sebaliknya Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini takkan mengherankan. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu mengelak.
Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu sudah melangkah ke arah yang
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
380 berlawanan dengan maksud pukulan toyanya, seakan-akan Kwan Cu sudah tahu lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang. Kemudian Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu sama benar gerakannya dengan serangan toyanya, hanya bedanya kalau dia menyerang dengan gwakang untuk menghancukan kepala atau mematahakan tulang, adalah Kwan Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.
Pertempuran ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan lebih dulu oleh lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan tetapi tiba-tiba diubah lagi dengan ilmu silat lain yang sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang, sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.
Lu Thong merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toya dari pegangan. Kwan Cu menyusul dengan sebuah totokan pula ke arah pundak, kini untuk membebaskan totokan pertama tadi lalu melompat ke belakang, berdiri tegak dan berkata,
"Lu Thong, melihat muka Kong-kong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!" Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari situ.
Lu Thong menarik napas panjang dan membanting di atas bangku. Ia tidak mempedulikan tiga orang pembantunya yang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang diri.
"Dia benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya," pikir Lu Thong penasaran. Ia tidak menyusahkan keadaan dengan suhunya yang terancam oleh Kwan Cu, juga tidak memikirkan kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja.
Sayang Kwan Cu yang sakti tidak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana, seorang pemuda yang sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan nasihat Kwan Cu"
Sampai berhari-hari Lu Thong bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik.
*** Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tak seorang pun manusia menyangka bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas gentang bangunan itu. Memang, biarpun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang dapat menembus penjagaan sehingga dapat berlari-lari di atas genteng" Penjagaan seluruh pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi seklai, apalagi musuh dijaga oleh penjaga-penjaga yang berdiri di sepanjang tembok! Seekor burung pun takkan dapat lewat tanpa terlihat oleh barisan penjaga.
Namun, bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang telah memiliki ilmu kepandaian luar biasa yang membuatnya menjadi seorang sakti. Tidak sukar baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang cepat sekali. Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa terlihat oelh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga ada penjaga yang melihat bayangan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
381 berkelebat, akan tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh lampu penerangan di luar tembok.
Kwan Cu sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan tokoh-tokoh lain yang telah membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di kota raja. Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja, pertama-tama karena dia hendak menyelidiki di dalam isatana dulu. Siapa tahu kalau-kalau di antara musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Ia ingin menyelidiki dan sekalian ia teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita tadi.
Dia pernah dibawa oleh suhunya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhunya, mereka langsung menuju ke dapur istana dan tidak pernah menyelidiki keadaan istana dari atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu. Ia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.
Di bawah genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu, terdapat langit-langit yang tebal, maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apalagi banyak sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat. Seringkali dia harus mempergunakan kakinya untuk bergantung dengan kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng. Namun, dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula orang-orang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya para pengawal istana.
Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu dinyalakan besar. Beberapa orang laki-laki tengah duduk menghadapi meja panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat. Tertarik hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu. Ia selalu berlaku hati-hati sekali maka ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan ringan sekali bagaikan daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini, melayang turun, lalu jalan perlahan menuju ke tempat itu.
Dari balik jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia melihat lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di antaranya berpakaian seorang panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.
Ketika Kwan Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu. Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli dirinya memikirkan betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam pondongan Ang-bin Sinkai. Panglima itu masih nampak tegap dan gagah, biarpun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
382 Dua orang panglima yang lainnya itu dia tidak kenal, akan tetapi dia dapat menduga bahwa nereka pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik perhatiannya untuk mendengar percakapan mereka.
"Apakah Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku kepada putera mahkota?" terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu. Kwan Cu maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah membunuh ayahnya sendiri itu. Maka dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Seorang di antara dua hwesio itu menganguk-angguk, "Sudah, Ong-ya," Kwan Cu merasa geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan kepada seorang pangeran muda.
"Apa pendapat beliau?" tanya An Lu Kui.
"Beliau merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, karena harta yang dibawa oleh Menteri Lu Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan."
Mendengar jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kongkongnya, Lu Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.
"Dan beliau memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?" tanya An Lu Kui.
Hwesio itu mengangguk. "Itulah sebabnya maka beliau memutus pinceng (saya) berdua sengaja untuk merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si)."
"Bagus," kata An Lu Kui. "Memang dalam menghadapi para pemberontak yang makin kuat dan dalam mengatur rencana mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan seluruh tenaga. Herannya mengapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak datang."
"Pinto (aku, sebutan pendeta To) datang!" tiba-tiba terdengar suara dari jauh dan diam-diam Kwan Cu terkejut. Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus mengirim jawaban, adalah seorang berkepandaian tinggi yang mahir menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka cepat pemuda ini menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.
Tak lama kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam ruangan.
"Kalian amat sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!" Setelah berkata demikian, tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi. Kwan Cu makin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.
"Dia itulah orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!"
Tak lama kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata, "Keadaan aman Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
383 tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!"
An Lu Kui tertawa bergelak. "Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati melakukan pengintaian" Mari, Totiang silakan duduk. Karena Totiang belum lama datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo Beng Hosiang yang berjuluk San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu, inilah pembantu dan penasihat, juga guru dari Panglima Si Su Beng, yang bernama Kiam Ki Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara)."
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan dua orang hwesio itu.
"Hm, hm, hm, apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor" Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apalagi?"
Pujian ini sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, maka biarpun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura bertanya, "Pinceng (saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya menggegerkan dunia, tidak tahu dengan Toyu (Sahabat) masih ada hubungan apakah?"
Wajah Kiam Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidaksenangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Kiam Ki Sianjin ini adatnya memang sombong, dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggap mengembari namanya. Mereka berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, bertempur hebat. Setelah hampir satu hari mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Maka kini mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini sudah mendengar akan pertempuran itu.
Suara ketawa dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Namun tenaga khikangyang terkandung dalam suara itu seakan-akan
menggetarkan tiang-tiang ruangan itu.
"Gunung dan bukit biarpun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biarpun berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa dipersamakan dengan pinto?" Jawabnya ini sudah menyatakan betapa sombongnya tosu ini yang menganggap diri sendiri gunung dan Pak-lo-sian hanya bukit, atau yang mengumpamakan diri sendiri naga dan Pak-lo-sian hanya ular biasa!
Di antara mereka ini, sebagaimana telah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, memang terdapat persaingan. Bu-eng Siang-hiap dan dua orang hwesio gundul itu, adalah pengikut setia dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, sedangkan Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan. Tentu saja sudah ada perasaan dendam dan bermusuhan di dalam hati mereka satu terhadap yang lain. Kini hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, mereka mau datang berkumpul untuk
merundingkan cara menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu. Tak mengherankan apabila di dalam percakapan mereka, terdengar ucapan-ucapan yang
menyindir dan saling memandang rendah.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
384 Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, mendengar ucapan Kiam Ki Sianjin yang
menyombongkandiri, menjadi tak senang.
"Memang nama besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat seperti naga!"
katanya sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang. Sudah terang sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti bukit dan ular!
Melihat suasana sudah mulai panas antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka melihat perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur. Pada masa itu, dia justeru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai cita-citanya, yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, kedua untuk mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan.
Setelah dua hal ini tercapai dan beres, barulah dia akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik sekali. Ia melompat di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,
"Di waktu rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa, akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi sudi bersabar dan mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan hal-hal yang penting demi keselamatan negara."
An Lu Kui masih merupakan orang yang berpengaruh karena dia adalah paman dari putera mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.
"Kiam Ki Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat."
Kiam Ki Sianjin sambil tertawa. "Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto dengan baik, tentu masih belum percaya."
Suasana damai dan persahabatan dapat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.
"Silakan Ang-ciankung menguraikan rencananya," kata Kiam Ki Sianjin yang
mempergunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas. Padahal malam hari itu, udara amat dinginnya. Tosu yang sombong ini masih saja hendak mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan memperlihatkan bahwa dia bukanlah "orang biasa!"
Melihat sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
"Menurut hasil penyelidikan para mata-mata kita," An Lu Kui mulai bicara, "pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani makin merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan. Akan tetapi, agaknya mereka itu, biarpun mendapat pimpinan orang-orang pandai, takkan banyak berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan. Kemudian mata-Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
385 mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang yang amat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!"
"Ah, tentu harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!" teriak Kiam Ki Sianjin.
"Memang! Anjing Lu Pin itu menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai pemberontakan," kata An Lu Kui marah.
"Keparat jahanam!" Mo Beng Hosiang ikut memaki. "Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya."
An Lu Kui mengangguk-angguk. "Begitulah kiranya. Memang, semenjak dahulu pun sudah diketahui oleh semua orang bahwa Menteri Lu Pin adalah menteri yang paling setia kepada Kerajaan Tang. Seluruh keluarganya telah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun dia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang terbaik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan, harta pusaka Kerajaan Tang dapat dirampas, kiraku dengan sendirinya tanpa dipukul, para pemberontak itu akan mengundurkan diri."
"Akan tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?" tanya Mo Keng Hosiang atau Si Ruyung Pemecah Gunung.
"Benar, di mana kita bisa mencari dia" Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencarinya dengan sia-sia. Agaknya dia telah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak."
Kata Mo Beng Hosiang.
"Tadinya aku pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus," kata An Lu Kui, "akan tetapi baru-baru ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia telah bersembunyi ke dalam sebuah goa dan dari situlah dia mengatur dan merencanakan semua pemberontakan para petani."
Mendengar ini, tidak saja kedua hwesio dan Kiam Ki Sianjin menjadi amat tertarik, bahkan Kwan Cu yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar-debar dan baru sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia adanya kong-kong angkatnya, Menteri Lu Pin. Ketika dia mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kong-kong angkatnya itu. Akan tetapi selama ini, pikirannya penuh oleh keadaan suhunya yang meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia pikirkan lagi. Akan tetapi sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa amat kagum terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!
"Kong-kong benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya." Kata Kwan Cu di dalam hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat persembunyian kakek angkatnya itu.
"Di goa manakah dia bersembunyi?" teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya. Suaranya tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan" Bukan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
386 karena mereka terlalu membenci menteri ini, tetapi semata-mata karena menteri itu membawa harta pusaka kerajaan! Inilah yang merupakan daya penarik luar biasa. Harta yang terdapat di dalam istana itu telah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah habis. Kini semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia, ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.
"Inilah yang masih harus diselidiki," jawab An Lu Kui sambil mengeluarkan segulung kertas.
"Menurut penyelidikan, dia bersembunyi di dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit Tengkorang Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tidak terdapat bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru saja muncul menjadi sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan, bukit ini adanya di antara Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang mengalir di situ."
An Lu Kui lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh perhatian. "Pembantuku ini, Cang-ciangkun, telah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu," kata An Lu Kui kepada seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.
Panglima perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, berwajah keren dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.
"Pasukan penyelidik yang kupimpin telah sampai di bagian ini. Dis epanjang jalan kami mencari keteangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh."
"Ang-bin Sin-kai?"." Kata Kiam Ki Sianjin perlahan. An Lu Kui mengangguk
membenarkan. "Kemudian kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa, seringkali daerah ini didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biarpun tak seorang pun yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, karena setelah mereka pergi lagi, menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat."
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk, "Sangat boleh jadi"." Akan tetapi tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang pada saat itu, Kwan Cu amat memperhatikan dan ingin sekali dia melihat peta di atas meja itu, maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Sedikit suara ini ternyata telah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.
Ketika Kiam Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan.
Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.
"Siapa?". kau?"?"" An Lu Kui bertanya. Maksudnya hendak membentak marah, akan
tetapi melihat cara pemuda itu masuk begitu saja tanpa mereka ketahui, membuat dia terheran-heran dan gugup. Apalagi ketika pada saat dia mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
387 An Lu Kui dan kawan-kawannya bersiap menyambut, akan tetapi tiba-tiba tubuh pemuda itu terapung ke atas kepala mereka terus ke atas lalu tiba-tiba sebelum menyentuh langit-langit, tubuh itu berjungkir balik dan kini bagaikanseekor capung beterbangan di dalam kamar, tubuh pemuda itu menukik ke bawah lalu tahu-tahu gulungan peta itu telah dirampasnya!
An Lu Kui hendak menubruk, akan tetapi terlambat karena Kwan Cu sudah melompat pula dari atas meja melalui kepalanya dan kini pemuda itu telah berdiri di tengah ruangan sambil tersenyum-senyum dan peta itu dia masukan ke dalam saku dengan sikap amat tenang! Untuk sejenak, An Lu Kui dan kawan-kawannya tercengang, karena sesungguhnya gerakan pemuda tadi luar biasa sekali. Tiada ubahnya seekor capung atau burung yang amat ringan dan gesit.
Kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri sukarlah untuk mempercayai kejadian itu.
"Siapa kau yang berani mati bermain gila di sini?" kembali An Lu Kui membentak dan kini panglima ini mencabut sepasang tombaknya yang lihai.
Kwan Cu tersenyum dan menjawab, "An-ciangkun, apakah baik kabarmu" Kau sudah
kelihatan tua, akan tetapi tetap saja ganas dan galak!"
Mendengar ini, An Lu kui tercengang dan tidak jadi menyerang, sebaliknya Cang Kwan panglima brewokan itu membentak,
"Bangsat kecil, siapakah kau yang sudah bosan hidup?"
"Bangsat besar, aku bernama Lu Kwan Cu. Kalian tadi membuka mulut besar hendak menangkap kong-kongku Lu Pin" Jangan bermimpi, Kawan!"
"Bohong besar!" seru Liong Tek Kauw panglima kedua pembantu An Lu Kui, "Aku tahu betul keadaan Menteri Lu Pin dan dia tidak mempunyai cucu yang bernama Lu Kwan Cu!"
Kwan Cu tersenyum lagi. "Tentu kau seorang panglima pengkhianat dan penjilat maka kau tahu baik akan keadaan kong-kongku. Akan tetapi aku tidak peduli akan kata-katamu itu, pengkhianat. Pendeknya jangan kalian bermimpi untuk menangkap Menteri Lu Pin yang setia dan gagah berani, pahlawan bangsa tidak seperti kalian ini, katak-katak busuk yang berbahaya."
"Tangkap dia!" tiba-tiba An Lu Kui berseru keras. "Dia adalah bocah gundul murid Ang-bin Sin-kai! Aku ingat sekarang, dia memang telah diakui cucu oleh Lu Pin!" Sambil berkata demikian, An Lu Kui lalu menyerang dengan sepasang tombaknya.
Kwan Cu mengelak tangkas sambil menyindir. "Hm, kau sudah ingat betapa dahulu aku pernah membagi beberapa kali tamparan kepadamu, An-ciangkun?"
"Bangsat, mampuslah kau!" seru An Lu Kui sengit dan tombaknya melakukan gerakan menyilang dari kanan kiri, hendak menggunting leher pemuda itu.
Akan tetapi, hanya dengan merendahkan tubuh sedikit saja, Kwan Cu sudah dapat
membebaskan diri dari ancaman dan sepasang tombak itu melayang melalui atas kepalanya.
Cang Kwan dan Liong Tek Kauw dua orang panglima pembantu An Lui Kui dengan marah maju menyerang dengan golok besar mereka yang menyambar-nyambar menyilaukan mata ketika terkena cahaya lampu yang terang.
"Rebahlah kalian!" bentak Kwan Cu dan tahu-tahu ketika dua batang golok itu sudah dekat Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
388 dengan tubuhnya dari kanan kiri, dia melompat ke belakang dan sebelum dua orang panglima itu dapat menarik kembali golok mereka, dua kali berturut-turut Kwan Cu menotok dengan telujuknya dan aneh sekali! Dua orang panglima itu roboh dan terus bergulingan sambil mengaduh-aduh, kemudian mereka tak bergerak lagi, rebah dengan tubuh lemas tak berdaya di dekat dinding.
Kwan Cu tidak mau membuang banyak waktu. Ketika dia melihat An Lu Kui tercengang, dia menggerakkan kakinya, melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan panglima itu.
Terdengar suara keras ketika sepasang tombak itu terlepas dari pegangan An Lu Kui dan terlempar jauh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring. An Lu Kui masih mencoba untuk mengelak ketika tangan Kwan Cu menyambar, namun terlambat, pundaknya kena di tepuk dan panglima ini jatuh duduk dengan tubuh lemas dan setengah tubuhnya sebelah kanan terasa lumpuh!
Pada saat itu, angin pukulan menyambar dari depan dan belakang. Kiranya dua orang hwesio itu sudah turun tangan. Tadi mereka hanya menonton saja karena memang sebetulnya di dalam hati mereka, dua orang hwesio ini tidak suka kepada An Lu Kui dan mencurigainya.
Akan tetapi, setelah melihat An Lu Kui dan dua orang pembantunya telah roboh, mereka tidak mau tinggal diam dan segera menyerang. Mo Beng Hosiang Si Tangan Kilat menyerang dengan kedua tangannya yang dibuka jari-jarinya, melakukan pukulan hebat sekali, sesuai dengan julukannya. Adapun Mo Keng Hosiang Si Ruyung Pemecah Gunung telah menyerang dengan ruyungnya yang aneh. Joan-pian (ruyung lemas) itu merupakan rantai pendek yang ujungnya di pasangi bola baja sebesar kepalan tangan dan digerakkan dengan ayunan keras menghantam punggung Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali melihat datangnya serangan yang memang hebat sekali ini. Dengan tangan kirinya dia menangkis pukulan Mo Beng Hosiang sehingga hwesio itu terhuyung ke belakang. Hampir saja bola baja di ujung joan-pian yang dipakai menyerang oleh Mo Keng Hosiang mengenai sasarannya, yakni punggung Kwan Cu. Pemuda ini yang maklum
menghadapi lawan-lawan tangguh, cepat mencabut sulingnya sambil mengelak dengan gerakan Kong-ciak-kai-peng (Merak Membuka Sayap) sehingga serangan senjata Mo Keng Hosiang lewat di atas punggung dan kepalanya. Sekaligus Kwan Cu menyerang Mo Beng Hosiang yang sudah maju lagi itu dengan sulingnya. Mo Beng Hosiang bukan seorang lemah, dia memiliki ilmu pukulan yang di sebut Pek-lek-sin-jiu (Tangan Geledek Sakti). Menghadapi pukulan suling yang biarpun dilakukan perlahan namun telah dapat dia duga kehebatannya itu, dia cepat menampar dengan tangan kanannya. Jari-jari tangan kanan ini menegang dan kaku seperti baja. Tamparannya dilakukan keras sekali dengan maksud membuat suling itu remuk atau terlepas dari pegangan Kwan Cu.
Namun pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tak dapat di ukur tingginya. Baru melihat sekali saja dia sudah tahu kemana tamparan itu di arahkan, maka sebelum tamparan datang, sulingnya sudah di tarik ke bawah dan tangan kirinya yang tadi di pentang, memukul ke depan sambil tubuhnya diputar sedemikian rupa dan cepat sekali sebelah kakinya menendang ke arah Mo Keng Hosiang!
Bukan main hebatnya serangan ini dan amat indah pula gerakannya sehingga terdengar pujian, "Bagus sekali!" Yang memuji ini adalah Kiam Ki Sianjin yang berdiri menonton saja.
Seperti sikap Bu-eng Sian-hiap ketika menonton pertempuran antara Kwan Cu dengan An Lu Kui bersama dua orang pembantunya, kini Kiam Ki Sianjin juga menonton saja, enggan membantu dua orang hwesio itu yang memang tidak disukainya. Namun diam-diam dia amat memperhatikan gerakan pemuda aneh itu dan makin lama kedua mata tosu ini makin Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
389 terbelalak lebar karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan ilmu silat demikian anehnya seperti yang dimainkan oleh pemuda pemegang suling itu!
Kiam Ki Sianjin adalah seorang kang-ouw yang ulung dan banyak pengalaman. Telah banyak dia melihat ilmu silat tinggi-tinggi dan aneh-aneh. Bahkan dia dapat mengenal ilmu silat dari lima tokoh besar dunia persilatan, yakni ilmu-ilmu silat dari Ang-bin Sin-kai, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan Kiubwe Coa-li . Akan tetapi belum pernah dia melihat ilmu silat yang di mainkan oleh pemuda ini. Tadi dia mendengar seruan An Lu Kui bahwa pemuda ini adalah murid dari Ang-bin Sinkai dan memang betul, gerakan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia perhatikan, ternyata banyak sekali perbedaannya. Pemuda ini bergerak seenaknya saja seperti bukan orang main silat, lebih patut disebut main-main saja, seperti seorang pemuda tidak becus main silat yang pura-pura mau bermain silat. Akan tetapi, semua gerakannya tepat sekali menghindarkan diri dari serangan kedua lawannya dan biarpun gerakannya ketolol-tololan, namun bukan main hebatnya. Apalagi setelah dia memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu kini bersilat tepat seperti ilmu silat yang dimainkan oleh kedua lawannya, Kiam Ki Sianjin menjadi bengong! Tiap kali diserang oleh Mo Beng Hosiang, pemuda iti melayani hwesio tangan kilat itu dengan ilmu silat yang mirip sekali dengan Pek-lek-sin-jiu! Adapun apabila Mo Keng Hosiang yang menyerang, juga pemuda ini
menghadapinya dengan ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Ruyung Pemecah Gunung itu.
"Iblis muda dari manakah dia" Ilmu silat apa yang telah dia pelajari?" Demikian Kiam Ki Sianjin bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri. Tosu yang cerdik itu sengaja tidak mau turun tangan lebih dulu, bukan saja karena dia memang tidak suka membantu dua orang hwesio kepercyaan putera mahkota yang diam-diam dimusuhi pula oleh muridnya, Si Su Beng, akan tetapi juga dia hendak mempelajari lebih dulu gerakan pemuda itu untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaiannya agar nanti kalau dia harus menghadapi pemuda itu, dia sudah dapat mengetahui cara bagaimana harus melawannya.
Adapun Kwan Cu, setelah beberapa puluh jurus menghadapi keroyokan dua orang hwesio itu, diam-diam terkejut. Baru kali ini dia menjumpai lawan-lawan yang benar-benar tangguh.
Kisah Si Bangau Putih 9 Pendekar Cacad Karya Gu Long Dewi Ular 8
Di belakang tiang itu, berjajar barisan yang berpakaian seragam bersikap garang, sedangkan para penonton berdiri berjejal di tempat yang agak jauh, menghadapi sepuluh orang itu.
Kemudian datanglah sepuluh orang prajurit yang membawa cambuk panjang. Mereka ini rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali. Sambil memutar-mutar cambuk mereka menyeringai dan masing-masing menghampiri korbannya, siap menanti komando dari pemimpin mereka.
Seorang perwira pasukan maju ke depan, menghadapi para penonton dan berkata keras-keras.
"Lihatlah, begini nasib para pengacau! Pukul mereka ini masing-masing lima puluh kali!"
teriaknya dan mulailah menghitung, "Satu"..!"
Sepuluh orang algojo itu mengayun cambuk.
"Tar"..!" Hampir berbareng sepuluh batang cambuk itu jatuh di tubuh sepuluh orang tawanan. Jerit mengerikan terdengar dan baju mereka robek-robek. Darah mengalir dari kulit di mana cambuk itu menyabet. Wajah para penonton menegang. Mana mungkin sepuluh orang ini di sebut pemimpin-pemimpin gerombolan" Mereka begitu lemah. Sebenarnya, mereka ini sastrawan-sastrawan yang memiliki hati anti kepada An Lu Shan. Perasaan mereka itu terdengar oleh mata-mata dan mereka ditangkap. Juga ada sebagian di antara mereka yang tidak punya uang untuk memberi sogokan sehingga mereka menjadi korban fitnah belaka.
"Dua?"!" Komandan itu memberi aba-aba.
Akan tetapi sebelum sepuluh orang algojo itu menjatuhkan cambuk untuk kedua kalinya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan berteriaklah sepuluh orang algojo itu dengan terkejut karena tahu-tahu cambuk mereka terlepas dari tangan!
Mereka cepat memandang dan seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana telah berdiri di situ, di kedua tangannya kelihatan sepuluh batang cambuk itu. Wajah pemuda yang tampan sekali ini kelihatan berkerut ketika dia berkata,
"Jangan pukul mereka yang tidak berdosa! Lepaskan mereka ini."
Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemuda ini kembali menggerakkan tubuhnya dan dalam sekejap mata saja sepuluh orang tawanan itu telah terlepas dari ikatan tangan mereka! Semua orang menjadi melongo karena pemuda itu hanya berlari dari tiang ke tiang, tidak kelihatan dia melepaskan tali, akan tetapi ternyata ikatan tangan orang-orang itu telah putus semua!
Para prajurit menjadi gempar. Beberapa orang perwira datang menghampiri pemuda itu dengan golok terhunus.
"Kau siapakah berani mati mengacau disini" Apa kehendakmu?" Biarpun bersikap galak, namun para perwira ini tidak berani sembarangan turun tangan karena mereka telah menyaksikan sendiri kelihaian pemuda aneh ini.
"Aku datang untuk mewakili orang-orang itu, kasihan mereka yang bertubuh lemah, tentu takkan kuat menerima lima puluh kali cambukan. Kalau memang kalian haus akan hiburan menyiksa orang, biarlah aku yang mewakili hukuman mereka. Ikatlah aku dan cambuklah sesukamu, agar hatimu yang buas akan puas."
Para perwira itu saling pandang dengan mata terbelalak. Tadinya mereka mengira bahwa Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
361 pemuda ini tentulah dari barisan rakyat yang memberontak, tidak tahunya pemuda ini adalah seorang yang tidak waras otaknya.
"Kau betul-betul hendak mewakili mereka menerima hukuman cambuk" Mereka ada sepuluh orang, masing-masing menerima lima puluh cambukan, apakah kau bersedia menerima lima ratus kali cambukan?" tanya seorang perwira.
Pemuda itu menoleh ke arah penonton dan pandang matanya bertemu dengan pandangan mata seorang berpakaian sastrawan yang pakaiannya sudah banyak tambalan namun matanya mengandung pengaruh luar biasa sekali. Sastrawan tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya kepada pemuda itu dan berubah giranglah wajah pemuda yang tadinya amat keruh dan muram.
"Boleh, boleh, sesukamulah!" katanya kepada para perwira itu dengan wajah berseri, akan tetapi kembali wajahnya muram dan berduka ketika dia menyambung kata-katanya, "Aku memang sudah patut menerima hukuman lima puluh kali cambukan atas dosa-dosaku!"
"Lima ratus kali, bukan lima puluh kali!" bentak komandan itu.
"Sesukamulah, mau lima ratus atau seribu kali. Akan tetapi yang patut kuterima sebagai hukumanku adalah lima puluh kali!" jawab pemuda itu yang menghampiri sebuah di antara tiang-tiang dan memeluk tiang di belakang tubuhnya.
Komandan itu menjadi cemas dan geli. Tak perlu bersitegang dengan seorang gila pikirnya.
Lebih baik dia memperlihatkan kepada rakyat yang menonton bahwa dia adalah seorang yang
"bijaksana" dan yang berlaku adil.
"Rakyat semua!" serunya memandang kepada penonton. "Orang muda ini dengan sesuka sendiri mewakili hukuman yang hendak dijatuhkan kepada sepuluh orang ini. Kami berlaku adil dan menerima permintaannya. Hai, kalian sepuluh orang yang bernasib baik, kalian kami bebaskan, akan tetapi sebagai gantinya, kalian harus membayar denda setiap orang lima puluh tail perak. Kami beri waktu tiga hari lamanya!"
Sepuluh orang itu saling pandang seperti tidak percaya akan pendengaran sendiri. Tadinya mereka sudah mengira bahwa mereka pasti akan mati di tiang siksaan itu. Dengan mata penuh terima kasih akan tetapi juga belas kasihan karena mengira pemuda ini berotak miring, mereka memandang kepada pemuda ini.
"Saudara yang baik, sudah yakinkah kau akan menolong kami sepuluh orang" Cambukan lima ratus kali akan merenggut nyawamu." Kata seorang di antara bekas tawanan itu.
Namun pemuda ini menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi sambil berkata,
"Pergilah, pergilah! Untuk apa mengganggu aku yang mau menjalani hukumanku?"
Sepuluh orang itu lalu minggir dan berdiri di antara para penonton akan tetapi tentu saja mereka tidak mau pergi sebelum menonton apa yang akan terjadi atas diri pemuda yang aneh itu.
"Hayo, pukul aku!" teriak pemuda ini.
Komandan menunjuk seorang algojo yang paling kuat tubuhnya dan memberi tanda supaya menjalankan hukuman cambuk itu. Algojo ini segera menghampiri pemuda yang amat aneh itu dan wajahnya menyeringai gembira. Sekali ini dia menghadapi pengalaman yang aneh. Ia sudah merasa bosan menyiksa orang-orang yang lemah dan yang jatuh pingsan dengan tiga kali cambukan saja. Akan tetapi, pemuda ini, yang berotak miring dan yang dengan secara aneh sekali dapat merampas cambuknya tadi, benar-benar merupakan seorang hukuman yang luar biasa. Pemuda ini dengan gerakan yang tidak dapat dilihat, telah dapat merampas cambuk Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
362 sepuluh orang algojo dan cambuk-cambuk itu lalu dilemparkan ke tanah dengan sikap acuh tak acuh. Ketika para algojo mengambil cambuk masing-masing dari tanah, ternyata bahwa gagang cambuk yang terbuat daripada kayu telah hancur sama sekali, tinggal cambuknya saja!
Tentu saja hal itu membuat semua orang merasa khawatir dan gentar, akan tetapi setelah sekarang pemuda itu dengan suka rela mau menerima hukuman, benar-benar merupakan hal yang amat luar biasa dan menggembirakan.
Dengan lagak gagah algojo yang terpilih untuk menjalankan hukuman itu mengangkat cambuk tak bergagang itu tinggi-tinggi di atas kepala, mengayun-ayunkannya beberapa kali kemudian dengan sekuat tenaga dia menimpakan ujung cambuk ke arah dada pemuda yang kini kedua tangannya telah diikatkan pada tiang oleh seorang algojo lain.
"Tar"..!" Semua penonton menahan napas, mengharapkan sesuatu yang aneh. Mereka itu semua mengharapkan cambuk itu akan putus atau stidak-tidaknya, cambukan itu takkan terasa oleh pemuda aneh yang seperti gila lakunya ini. Akan tetapi, semua orang menahan napas dan merasa amat kecewa. Baju pemuda itu robek dan cambuk itu meninggalkan tanda merah pada kulitnya. Pemuda itu mengrutkan kening dan nampaknya berduka sekali, akan tetapi harus diakui bahwa dia agaknya sama sekali tidak merasakan perihnya bekas cambuk. Bahkan dia meramkan kedua matanya, menahan jatuhnya air mata dan bibirnya bergerak-gerak seperti berdoa. Cambuk itu menari-nari di atas tubuhnya, mengenai mukanya yang tampan, pakaiannya mulai robek di sana-sini. Di antara hujan cambukan, terdengar pemuda itu berkata perlahan sambil, meramkan kedua matanya.
"Suhu, semoga Suhu puas melihat hukuman yang teecu terima dengan segala kerelaan hati.
Biarlah Suhu menganggap ini sebagai hukuman teecu yang meninggalkan Suhu sehingga Suhu teraniaya oleh orang-orang jahat".."
Tak seorangpun di antara para penonton maupun para prajurit An Lu Shan mengerti apa maksud kata-kata itu. Hanya seorang saja yang mengerti, yakni sastrawan tua yang pakaiannya tambal-tambalan itu. Sastrawan ini memandang tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata perlahan,
"Dia benar-benar menerima hukuman dengan suka rela. Ah?" orang inilah harapan
rakyat"..! Benar-benar dia agaknya yang mewarisi isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!"
Memang benar, pemuda yang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang seperti gila dan bersikap aneh, yang sekarang menerima cambukan dengan mata meram dan tiada sakit sedikit pun keluhan keluar dari bibirnya, bukan lain adalah Lu Kwan Cu! Siapakah sastrawan berbaju tambal-tambalan itu yang berdiri di antara para penonton dan yang agaknya mengerti akan sikap aneh dari Kwan Cu" Dia ini bukan lain adalah pujangga besar, pecinta rakyat jelata, pujangga yang namanya tetap harum sampai ribuan tahun lamanya, yakni Tu Fu! Untuk mengetahui bagaimana Kwan Cu bisa dapat berada di tempat itu dan bagaimana pula pujangga Tu Fu dapat menonton pelaksanaan hukuman itu, marilah kita mundur dulu beberapa hari yang lalu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lu Kwan Cu meninggalkan pulau berpohon putih dan dengan perahu buatannya sendiri, dia menuju ke barat, ke daratan Tiongkok. Ia teringat akan pesan suhunya Ang-bin Sin-kai, bahwa suhunya itu hendak bertapa di pantai Laut Po-hai. Maka dia menujukan perahunya ke pantai ini. Kesukaran-kesukaran di dalam pelayaran itu dapat di tempuh dengan amat mudah, karena sekarang dia bukanlah Kwan Cu pada empat tahun yang lalu. Kepandaiannya telah meningkat puluhan kali, bahkan ratusan kali tanpa dia sadari dan dia kini benar-benar telah menjadi seorang yang sakti.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
363 Setelah mendarat di pantai Laut Po-hai, dia mencari-cari gurunya, akan tetapi hasilnya nihil.
Kemudian dia bertemu dengan para nelayan di dekat pantai, dan dari mereka inilah dia mendengar tentang pemberontakan An Lu Shan dan tentang perubahan hebat yang telah terjadi selama empat tahun itu.
Kwan Cu mendengarkan semua itu tanpa perhatian. Ia tidak tertarik sama sekali tentang semua kejadian itu, karena memang pemuda ini setelah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pandangannya telah luas sekali, tidak sempit dan tidak mudah di kuasai oleh nafsu dan pertimbangan otak sendiri. Ia telah terbuka mata hatinya tentang kekuasaan Thian, dan dia percaya sepenuhnya bahwa peristiwa di dunia ini, sesungguhnya dilakukan oleh manusia, namun keputusan terakhir di tangan Thian. Oleh karena ini, betapapun janggal terdengarnya oleh orang lain, Kwan Cu percaya pula bahwa berhasilnya pasukan
pemberontak An Lu Shan juga merupakan penentuan dari Yang Maha Kuasa!
Hanya satu hal yang terpikir olehnya di saat dia mendengar itu, bahwa suhunya tentu pergi ke kota raja. Suhunya adalah kakak dari Menteri Lu Pin yang menjadi kakek angkatnya pula, pada peristiwa pengoperan kekuasaan itu tentu setidaknya mendatangkan akibat kepada Menteri Lu Pin. Mustahil kalau Ang-bin Sin-kai diam saja dan tidak menengok keadaan kota raja.
"Pasti Suhu berada di kota raja dan tidak aneh kalau aku mendapatkan dia di dapur isatana, siapapun juga kaisarnya yang menempati istana itu," pikir Kwan Cu dengan geli
mengenangkan kesukaan gurunya menyikat habis hidangan kaisar di dalam istana.
Maka berangkatlah Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di dalam perjalanan, dia mendengar pula tentang usaha rakyat menentang pemerintah An Lu Shan dan melihat betapa keadaan memang benar-benar berubah tidak mempengaruhi ketenangan batinnya. Ia
melakukan perjalanan cepat tanpa menarik perhatian orang lain. Bagi orang lain, dia hanya seorang pemuda tampan sederhana yang berpakaian buruk, menggendong sebuah buntalan dan di samping pakaian butut itu, suling pemberian Hang-houw-sian Yok-ong adalah harta satu-satunya.
Beberapa kali dia bertemu dengan rombongan pengusngsi yang menuju ke selatan, menjauhi pasukan-pasukan An Lu Shan yang terkenal buas dan kejam. Terutama sekali mereka yang memiliki anak-anak gadis, banyak yang mengungsi ke selatan, sejauh mungkin.
Ketika dia telah tiba di dekat kota Thian-cin, dia melihat pula serombongan pengungsi terdiri dari para petani yang kehilangan tanah dan kehilangan pekerjaan. Berbondong-bondong mereka berjalan kaki menuju ke selatan, mencari hidup baru. Mereka berjalan dengan kaki lemas karena memang telah melakukan perjalanan jauh, dan wajah mereka semua nampak muram.
Ketika Kwan Cu bertemu dengan rombongan ini, tiba-tiba di antara para pengungsi, terdengar seorang tua bernyanyi dengan suara yang lantang:
"Seekor babi gemuk memimpin negara
mana negara bisa kuat dan rakyat bisa bahagia"
Akan tetapi srigala utara lebih jahat lagi.
Tak saja rakyat diabaikan, bahkan dicekik mati.
Negara kacau, selalu timbul pengkhianatan bangsa.
Penasaran?"! Penasaran?".!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
364 Sayang sekali dua saydara Lu menjadi korban.
Menteri setia ditumpas habis sekeluarga,
pendekar gagah korbankan nyawa dengan sia-sia.
Penasaran"..! Penasaran?".!
Berkali-kali orang itu mengucapkan nyanyian ini sampai seorang di antara para pengungsi menegurnya,
"Tu-siucai, harap kau diam jangan bernyanyi seperti itu. Apakah kau ingin kita semua di tangkap dan dihukum mati?"
Mendengar teguran ini, si penyanyi tidak menjawab, hanya berkata seorang diri dengan suara keras,
"Didalam dunia memang banyak orang yang berhati pengecut dan penakut. Bagaimana kehormatan bangsa bisa dapat dipertahankan" Aku pergi mengungsi bukan karena takut kepada pemberontak An, melainkan karena tidak kuat melihat keadaan lebih lama lagi, muak perutku dan ingin muntah saja mulutku."
Orang yang menegurnya tadi hendak menegur lagi dengan muka merah, akan tetapi tiba-tiba dia berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak lebar. Ternyata bahwa si penyanyi yang ditegurnya tadi, tanpa di lihat bagaimana terjadinya tahu-tahu telah lengap dari tengah-tengah rombongan itu. Tidak saja si penegur itu yang menjadi kaget, bahkan orang-orang lain juga menjadi bengong seperti melihat setan di tengah hari.
"Di mana dia" Kemana perginya Tu-siucai?" terdengar suara susul menyusul.
"Dia menghilang begitu saja!" Ramailah rombongan itu akan tetapi karena mereka khawatir akan pengejaran pasukan An Lu Shan, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan itu sambil tiada hentinya membicarakan peristiwa yang aneh itu.
Apakah betul penyanyi tadi dapat menghilang" Sebenarnya penyanyi itu adalah pujangga Tu Fu, seorang sastrawan yang berbatin kuat berpikiran tajam dan berbakat luar biasa, namun bertubuh lemah. Mana bisa dia menghilang begitu saja. Ketika dia bicara dengan penegurnya tadi, tahu-tahu berkelebat bayangan yang hampir tak dapat dilihat oleh pandangan mata dan tahu-tahu Tu Fu merasa tubuhnya dibawa melompat cepat sekali melewati kepala orang-orang dalam rombongan pengungsi itu! Sastrawan ini terpaksa meramkan mata karena angin meniup keras ke arah mukanya. Ketika dia membuka mata, ternyata dia telah berdiri di dalam hutan, jauh dari rombongan pengungsi yang tidak kelihatan lagi. Di hadapannya berdiri seorang pemuda sederhana yang menjura sambil berkata, "Siauwte mohon maaf sebanyaknya kepada Tu-siucai yang terhormat karena siauwte telah berani berlaku lancang membawa Siucai ke sini."
Tu Fu biarpun seorang sastrawan namun pengalamannya sudah banyak dan luas sekali, bahkan dia mengenal semua tokoh-tokoh kang-ouw yang paling terkenal. Kini dia
menghadapi Kwan Cu dengan senyum di bibir dan matanya memandang kagum.
"Seorang muda yang gagah perkasa dan lihai sekali. Siapakah namamu dan murid siapakah kau?"
"Siauwte seorang tak berarti, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), dan tidak ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Akan tetapi, dua saudara Lu yang Siucai nyanyikan tadi, amat menarik hati siauwte. Bolehkah siauwte mengetahui siapakah adanya mereka itu" Apakah mereka itu Lu Sin dan Lu Pin?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
365 Tu Fu tertawa. "Orang muda yang aneh, kau lebih aneh daripada Ang-bin Sin-kai Lu Sin!
Baiklah, Bu-pun-su (Tiada Kepandaian), aku akan menyebutmu Bu-pun-su saja, sebutan yang merupakan pujian tertinggi sungguh pun aku masih belum tahu apakah kau patut mendapat sebutan itu. Memang benar, yang kunyanyikan tadi adalah menteri setia Lu Pin dan pendekar perkasa Ang-bin Sin-kai Lu Sin."
"Apakah yang terjadi dengan mereka?" Kwan Cu bertanya dan biarpun dia telah menekan goncangan hatinya, namun dia tetap saja berdebar-debar. Di dalam dunia ini, manusia yang dipandang dan yang selalu dikenangnya hanya Ang-bin Sin-kai seorang, maka sesuatu yang terjadi kepada kakek sakti ini tentu saja menggerakkan hatinya.
Orang-orang yang memiliki kepandaian istimewa, hampir selalu mempunyai tabiat aneh.
Demikian pula sastrawan Tu Fu. Biarpun dia tidak mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, namun ketabahan hati dan keangkuhannya tidak kalah oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang manapun juga. Kekerasan hati dan keteguhan semangatnya laksana baja yang tak dapat dibengkokkan. Ketika dia mendengar pertanyaan Kwan Cu yang terdengar seperti tuntutan, dia mengedikkan kepalanya dan memandang tajam sambil berkata,
"Orang muda, ada hubungan apa antara kau dan Ang-bin Sin-kai" Ada hubungan apa pula antara kau dengan keluaraga Lu?"
"Sudah siauwte katakan bahwa siauwte seorang tidak berharga, tak perlu dibicarakan tentang diri siauwte."
"Hm, anak sombong. Jangan coba merendahkan diri di depan air! Kauceritakan apa hubunganmu dengan Ang-bin Sin-kai, kalau tidak jangan harap mendengar sesuatu tentang dia dari mulutku!"
Kwan Cu menghela napas kewalahan. Ia maklun bahwa dia menghadapi seorang yang
berwatak keras dan bersemangat baja, maka dia mengalah dan berkata, "Ang-bin Sin-kai adalah guruku."
Mendengar ini sastrawan Tu Fu mencak-mencak, membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu, "Bu-pun-su, murid macam apa engkau ini" Sudah bertahun-tahun Ang-bin Sin-kai tewas dalam penasaran dan sekarang tiba-tiba kau muncul menanyakan apa yang terjadi dengan dia" Apa gunanya air bagi tetumbuhan yang mati mengering dan apa gunanya obat bagi si sakit yang sudah tak bernapas lagi" Guru dalam bahaya dan berjuang mati-matian mempertahankan nama baik negara dan bangsa kau bersembunyi tidak memperlihatkan diri. Sekarang guru sudah tewas di tangan orang jahat, kau pura-pura muncul dan tanya-tanya apa yang telah terjadi dengan gurumu" Kau sudah sepantasnya mendapat hukuman! Kalau aku menjadi gurumu, kau kuhukum lima puluh kali cambukan pada tubuhmu!"
Kwan Cu menjura lagi. "Siucai yang terhormat, sudilah kiranya menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi dengan guruku Ang-bin Sin-kai yang tercinta."
"Ang-bin Sin-kai adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan berjiwa besar, tidak seperti engkau yang katanya menjadi muridnya. Melihat tokoh-tokoh kang-ouw membela pemberontak An Lu Shan, dia menjadi penasaran dan menyerbu kota raja. Akan tetapi dia tidak kuat menghadapi tokoh-tokoh besar seperti Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan lain-lain karena dikeroyok. Suhumu benar-benar seorang patriot sejati, seorang pahlawan gagah Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
366 perkasa." Bukan main sedihnya hati Kwan Cu mendengar akan nasib suhunya itu. Tak terasa pula dua titik air mata meloncat keluar dari sepasang matanya. Ia terharu sekali akan nasib gurunya yang amat dia cinta, setua itu masih terlibat urusan dunia dan terpaksa mengorbankan nyawa untuk nama dan kehormatan negara. Hatinya mulai diliputi rasa sakit hati dan dendam terhadap para pembunuh suhunya, akan tetapi kesadarannya timbul ketika dia teringat bahwa kesemuanya itu adalah kehendak Thian yang tak dapat di cegah lagi. Hatinya menjadi dingin lagi dan dia berkata perlahan,
"Mengapa Suhu begitu lemah menurutkan nafsu hati" Apakah Suhu tidak tahu bahwa semua itu sudah menjadi kehendak alam yang berkuasa?"
Mendengar ini, kembali Tu Fu mencak-mencak dan membanting-banting kaki.
"Wahai semua mahluk yang kebetulan berada di dekat tempat ini. Dengarlah kalian kata-kata seorang pemuda hijau yang berlagak menjadi ahli filsafat besar! Seorang pemuda masih berbau minyak dan param berani mencela gurunya, Ang-bin Sin-kai yang kuhormati?"
Merah muka Kwan Cu mendengar ini. Ia menjawab perlahan karena entah mengapa, dia merasa segan dan tunduk menghadapi orang tua ini yang mempunyai pengaruh luar biasa.
"Siucai yang baik, siauwte mana berani mencela guru" Siauwte hanya menyatakan dengan sebenarnya bahwa memang kesemuanya adalah kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Apakah daya manusia menghadapi kehendak dan keputusan Thian" Kita hanya bisa menerima, mengapa suhu tidak melihat kenyataan ini?"
Tu Fu makin marah-marah. "Inilah namanya memanggang daging dengan api bernyala, matang dan gosong luarnya, sedangkan di sebelah dalamnya masih mentah! Demikian pula hasilnya kalau orang memberi pelajaran terlalu dalam kepada seorang pemuda yang masih hijau dan goblok! Akibatnya menjadi seorang pemuda berlagak ahli filsafat padahal masih mentah! Pengetahuan mendalam tanpa pengalaman matang seperti mangkok berkembang tanpa isi. Apa gunanya" Hanya untuk pameran belaka! Bu-pun-su, kau bermimpi dalam sadar.
Jalan Tuhan memang luar biasa dan tak dapat di mengerti oleh manusia dan memang sudah menjadi kewajiban manusia untuk menyerahkan seluruh hasil dan keputusan kepada Thian dengan penuh iman dan kepercayaan. Akan tetapi jangan kau lupa bahwa manusia juga berhak untuk berikhtiar, untuk berusaha demi kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Penyerahan secara membuta tanpa disertai ikhtiar, itu bahkan berarti penghinaan namanya! Kau dilahirkan bertanah air, berbangsa, bukankah itu kehendak Thian pula" Kalau kau tidak dapat membela tanah air dan bangsa, membiarkan tanah air dan bangsa dihina dan diinjak-injak oleh kaki orang lain, patutkah kau disebut seorang anak bangsa" Hm, kau memang pantas dicambuk lima puluh kali!" Tu Fu marah-marah dan masih banyak kata-kata pedas dilontarkan kepada pemuda itu.
Kwan Cu tertegun. Semua kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sastrawan tua ini merupakan hal baru baginya, menancap di ulu hatinya dan terasa betul-betul olehnya. Ia terlalu diayun oleh lamunan Nabi Lo Cu yang memang sukar ditangkap artinya.
"Siucai yang bijaksana, siapakah sebenarnya kau yang kenal baik kepada suhuku dan yang dapat mengeluarkan buah pemikiran sedemikian baiknya?"
"Bu-pun-su murid murtad, belum pernahkah gurumu menyebut nama Tu Fu si sastrawan miskin?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
367 Kwan Cu terkejut sekali mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, bukan satu dua kali bahkan telah berkali-kali, karena dahulu, gurunya yang pertama, yakni Gui-siucai, berkali-kali menyebut nama Tu Fu ini dengan penuh kekaguman. Gui Tin menyebut nama Tu Fu sebagai pujangga dan sastrawan yang paling besar di samping sastrawan Li Po, seorang sastrawan patriot yang berjiwa besar. Tidak itu saja, bahkan gurunya, Ang-bin Sin-kai sering menyatakan kekagumannya kepada Tu Fu. Kini melihat sendiri orangnya dan mendengar ucapannya yang amat berkenan di dalam hatinya, sekaligus tunduklah hati Kwan Cu. Ia merasa berhadapan dengan seorang yang setingkat dengan gurunya bahkan melebihi gurunya dalam hal ilmu filsafat dan kebatinan. Maka serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tu Fu. Dengan amat terharu dia berkata,
"Locianpwe, teecu telah berlaku kurang hormat mohon maaf sebanyaknya. Sekarang teecu melihat betapa besar dosa teecu terhadap suhu Ang-bin Sin-kai, oleh karena itu mohon petunjuk dari Locianpwe bagaimana selanjutnya teecu berlaku, karena sesungguhnya teecu tidak tahu harus berlaku bagaimana."
"Pertama-tama kau harus di hukum lima puluh kali cambukan," kata Tu Fu dengan wajah sungguh-sungguh. "Orang muda seperti engkau ini mudah terharu, mudah berduka dan mudah gembira. Siapa bisa percaya bahwa kau benar-benar sadar bahwa tindakan suhumu itu baik dan sempurna" Di kota ini Thian-cin, tak jauh dari sini , orang-orang baik-baik dan tidak berdosa sedang ditangkapi dan dihukum cambuk. Kalau kau bisa mencegah perlakuan sewenang-wenang itu dan mewakili mereka kau akan dapat melanjutkan usaha suhumu membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang amat berbahaya bagi keselamatan negara dan bangsa."
Mendengar ini, bangkit semangat Kwan Cu. "Mari, Locianpwe, akan teecu perlihatkan bahwa kepercayaan Locianpwe terhadap murid Ang-bin Sin-kai takkan sia-sia belaka." Tanpa menanti jawaban Kwan Cu menyambar tubuh sastrawan itu dan dibawanya lari cepat sekali ke kota Thian-cin di mana sedang berlangsung penghukuman cambuk atas diri sepuluh orang sastrawan yang didakwa menjadi pemimpin para gerombolan pengacau yang sesungguhnya adalah pejuang-pejuang rakyat. Kwan Cu menrunkan tu Fu di antara para penonton sedangkan dia sendiri sebagaimana telah dituturkan di bagian depan turun tangan merampas cambuk, mencegah di lanjutkannya hukuman itu dan dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan sebagai hukuman kepada dirinya yang membiarkan gurunya tewas di tangan orang-orang jahat.
Demikianlah sebabnya mengapa Kwan Cu dapat datang di Thian-cin bersama sastrawan Tu Fu dalam saat yang amat tepat sehingga dia dapat menolong sepuluh orang hukuman itu dan sebaliknya dengan suka rela dia menerima cambukan-cambukan dari algojo yang tidak mengenal kasihan.
Biarpun para penonton merasa amat ngeri menyaksikan pemuda yang dianggapnya setengah gila dicambuki, namun diam-diam mereka merasa heran sekali, mengapa pemuda ini meramkan mata dan sama sekali tidak pernah mengaduh, biarpun pakaiannya robek-robek dan tubuhnya serta mukanya penuh dengan gurat-gurat merah bekas cambuk.
Suara cambuk mereka memecah di udara lalu disusul menjepretnya ujung cambuk memecah pakaian Kwan Cu dan menimpa kulit dadanya, susul-menyusul sampai puluhan kali. Tiba-tiba di antara para penonton terdengar suara,
"Cukup, Bu-pun-su sudah lima puluh kali kau menerima hukuman!" Inilah suara dari sastrawan besar Tu Fu yang menghitung jumlah cambukan itu sampai lima puluh kali.
Pujangga ini benar-benar merasa kagum terhadap Kwan Cu yang demikian jujur dan setia kepada sumpahnya. Juga dia merasa kagum akan kesadaran pemuda itu yang merasa berdosa Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
368 terhadap Ang-bin Sin-kai dan untuk kedosaannya menebus dengan lima puluh kali cambukan, padahal kalau dipikir benar-benar, pemuda itu tidak berdosa apa-apa, karena ketika gurunya ditewaskan orang, dia benar-benar tidak tahu.
Baru saja ucapan ini dikeluarkan oleh Tu Fu, tiba-tiba algojo yang mencambuk tubuh Kwan Cu itu menjerit keras dan cambuknya terlepas dari pegangan karena telapak tangannya berdarah! Ternyata bahwa ketika cambukan yang ke lima puluh satunya tiba, Kwan Cu mengerahkan tenaga sedemikian rupa sehingga tenaga cambukan itu membalik dan melukai telapak tangan si pemegang cambuk sendiri. Demikianlah lihainya Kwan Cu yang sudah dapat menyalurkan tenaga itu sehingga membalik melukai pecut. Getaran tenaga yang membalik itu membuat telapak tangan algojo terobek kulitnya sehingga dia melepaskan cambuk, mengaduh-aduh sambil memegangi tangan kanannya yang berdarah!
Komandan pasukan mengira bahwa algojo itu saking lelahnya merasa sakit tangannya. Ia sudah amat mendongkol melihat pemuda itu dicambuk lima puluh kali masih belum apa-apa, maka segera dia memberi aba-aba kepada sembilan orang algojo yang lain untuk turun tangan.
Sembilan batang cambuk berputar di atas kepala dan jatuh bertubi-tubi ke tubuh Kwan Cu.
Akan tetapi, kembali terdengar jerit kesakitan susul menyusul, sembilan batang cambuk itu terlempar dan sembilan orang algojo memegang tangan kanan yang berdarah pula!
Geger keadaan di situ. Para anggauta pasukan mencabut senjata, para penonton kagum dan juga ketakutan. Apalagi ketika Kwan Cu dengan sekali renggut saja mematahkan ikatan tangannya, keadaan menjadi makin kacau. Para perwira bala tentara An Lu Shan segera memberi aba-aba dan membawa anak buahnya maju mengepung. Ratusan orang mengepung seorang saja, dapat dibayangkan betapa hiruk-pikuk dan kacau balaunya.
Akan tetapi, barisan belakang terpaksa mundur kembali ketika mereka tiba-tiba tertimpa kawan-kawan sendiri yang dilempar-lemparkan dari depan bagaikan daun-daun kering tertiup angin. Terdengar pekik kesakitan di sana-sini dan tak lama kemudian, anggauta-anggauta pasukan menjadi bingung sekali karena pemuda aneh itu tidak kelihatan lagi, dan demikian pula para perwira mereka tidak terdengar lagi komadonya. Ketika mereka memandang, alangkah terkejutnya mereka sepuluh orang perwira telah terikat erat-erat di sepuluh buah tiang yang tadinya disediakan untuk menyiksa para tawanan! Adapun pemuda luar biasa itu, entah pergi kemana karena tidak kelihatan bayangannya lagi.
Semenjak peristiwa itu, nama Bu-pun-su terkenal di kalangan pasukan-pasukan An Lu Shan.
Nama ini mendatangkan rasa gentar dalam hati mereka, karena selama menghadapi para pejuang rakyat, belum pernah ada yang selihai pemuda aneh itu.
Setelah memperlihatkan kepandaiannya ketika dikepung oleh barisan itu dan berhasil membebaskan diri dari kepungan tanpa terlihat oleh siapapun juga, Kwan Cu membawa sastrawan Tu Fu keluar dari Thian-cin dan dia menghaturkan terima kasih atas segala petunjuk pujangga itu. Ia benar-benar tunduk kepada sastrawan ini, hanya ada sedikit perbedaan perasaan antara dia dan Tu Fu. Kalau pujangga itu lahir batin membenci semua pasukan An Lu Shan yang telah menggulingkan kerajaan dan seperti juga lain-lain pejuang ingin sekali membasmi habis An Lu Shan dan seluruh pengikutnya, adalah Kwan Cu tidak dapat menaruh rasa benci kepada para anggauta pasukan. Oleh karena ini ketika dia dikepung dia tidak menewaskan lawan, hanya memberi hajaran dan melempar-lemparkan mereka saja!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
369 Setelah Kwan Cu mendengar dari Tu Fu bahwa pada saat akan tewas, Ang-bin Sin-kai menyebut-nyebut namanya, dia menjadi amat terharu dan timbullah kebenciannya kepada mereka yang telah membunuh gurunya. Ia mendengar dari Tu Fu yang agaknya mengerti akan segala peristiwa itu bahwa tokoh-tokoh besar yang mengeroyok Ang-bin Sin-kai sehingga tewas adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Toat-beng Hui-houw, dan Pek-eng Sianjin. Nama-nama ini dicatat oleh Kwan Cu di dalam hatinya dan dia mengambil keputusan untuk mencari mereka seorang demi seorang.
Yang membuat dia merasa amat heran dan juga mendongkol adalah ketika dia mendengar bahwa Jeng-kin-jiu juga ikut mengeroyok suhunya. Ia tahu bahwa antara suhunya dan Jeng-kin-jiu, terdapat hubungan yang amat erat, bagaimana kedua orang tokoh ini sampai saling bermusuhan" Dia sendiri masih mempunyai hubungan amat erat dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena namanya pun adalah pemberian dari hwesio gendut itu. Oleh karena ini maka orang pertama yang hendak adalah Jeng-kin-jiu.
Ia berpisah dari Tu Fu yang seperti biasa hendak merantau. Kwan Cu langsung menuju ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, setiap kali bertemu dengan pasukan-pasukan An Lu Shan yang menindas rakyat, pemuda ini pasti menolongnya, memberi hajaran kepada pasukan itu, mengancam perwiranya. Semua ini dia lakukan tanpa memperlihatkan diri, hanya menuliskan ancaman di dalam kamar markas pasukan dengan cara mengukir dinding batu dengan telunjuknya yang berbunyi singkat:
KALAU MASIH BERANI MENINDAS RAKYAT, AKU AKAN DATANG MENGAMBIL
NYAWA! BU PUN SU Banyaknya kejadian yang amat tidak adil dan kekejaman-kekejaman dari fihak pasukan terhadap rakyat, membuat hati Kwan Cu makin lama makin panas terbakar. Tadinya dia mengira bahwa anggauta-anggauta pasukan itu hanya memenuhi perintah saja dan segala dosa dia timpakan kepada para pemimpin kaki tangan An Lu Shan. Akan tetapi, makin lama menjadi kenyataan baginya bahwa rata-rata anggauta pasukan pemberontak An Lu Shan memang kasar dan kejam, ganas dan menindas rakyat jelata. Namun seberapa bisa, Kwan Cu masih berusaha menghindarkan diri agar jangan sampai membunuh orang, dengan memberi ancaman seperti yang dia ukirkan pada dinding-dinding markas pasukan pemberontak.
*** Karena melakukan perjalanan cepat biarpun banyak ganguan di jalan untuk menolong rakyat dari gangguan pasukan-pasukan An Lu Shan, beberapa pekan kemudian sampailah Kwan Cu di kota raja. Ia teringat ketika bersama gurunya datang di kota raja dan keadaan sekarang kelihatannya tiada perubahan sama sekali. Ia menuju ke jalan di mana dahulu berdiri rumah gedung dari Menteri Lu Pin. Ternyata bahwa rumah itu kini telah berubah bentuk, bahkan rumah ini agaknya masih baru. Tidak ada tanda-tanda atau bekas dari rumah yang lama.
Kwan Cu berjalan terus lalu memasuki rumah makan yang besar, agaknya rumah makan ini pun baru karena seingatnya dahulu tidak ada rumah makan ini di jalan besr itu. Ia disambut oleh seorang pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, maklumlah, pakaian Kwan Cu yang amat bersahaja itu tentu saja menimbulkan kecurigaan karena rumah makan yang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
370 besar ini biasanya hanya dimasuki oleh hartawan-hartawan dan para bangsawan belaka.
Kwan Cu tidak mempedulikan sikap pelayan ini. Di dalam perjalanannya, dia mendapat kenyataan bahwa dia memang perlu sekali membawa bekal uang untuk makan dan biaya-biaya lainnya, maka dia telah mengambil cukup banyak emas dari kamar harta seorang pembesar kaya raya ketika dia memberi ancaman kepada pembesar yang terkenal sebagai penindas kaum tani itu.
Rumah makan itu banyak tamunya dan sebagian besar adalah orang-orang muda dengan pakaian mewah. Mereka bercakap-cakap sambil makan dan suara ketawa mereka memecah di ruang makan itu. Orang-orang ini tidak menarik perhatian Kwan Cu, hanya seorang laki-laki berkepala botak yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun cukup menarik, laki-laki ini sedang bicara dengan suara yang dalam, lantang dan bertenaga, sedangkan banyak pemuda berpakaian mewah mendengarkan ceritanya sambil tertawa-tawa. Diam-diam Kwan Cu merasa geli karena dia tahu bahwa laki-laki botak itu di waktu bicara mengerahkan tenaga khikangnya yang lumayan juga sehingga suaranya terdengar nyaring sekali.
Pelayan rumah makan mempersilakan Kwan Cu duduk di depan meja yang terletak di pojok, agak jauh dari tamu-tamu lain. Padahal di dekat tamu-tamu itu masih ada beberapa tempat yang kosong. Namun Kwan Cu tidak ambil peduli dan segera dia memesan beberapa
makanan. Sambil menanti makan, Kwan Cu duduk melamun sambil memandang keluar jendela rumah makan. Dilihatnya seorang pelayan mengusir pergi tiga orang pengemis. Seekor anjing kurus makan tulang yang hitam. Pengemis-pengemis itu berjalan dengan kaki lemas, seorang di antaranya terpincang-pincang. Melihat ini, diam-diam Kwan Cu menghela napas panjang.
Bukan saja para pengemis itu mengingatkan dia akan gurunya, Ang-bin Sin-kai, juga pemandangan itu membuat dia melihat perbedaan yang amat menyolok antara kehidupan tiga orang manusia dan manusia-manusia lain yang tengah makan sambil berkelakar itu.
Pengemis-pengemis itu tiada ubahnya seperti anjing kurus itu, bahkan mungkin lebih kelaparan lagi. Dia lalu melambaikan tangan kepada pelayan yang tadi menyambutnya.
Pelayan itu datang dengan muka angkuh.
"Tolong bikin tiga mangkok masak bihun lagi dan berikan kepada tiga orang pengemis itu.
Aku yang akan bayar."
Pelayan itu mengerutkan keningnya, akan tetapi dia tentu saja tidak dapat membantah kehendak seorang tamu. Ia mengangguk-angguk, kemudian membuka mulut.
"Pesanan Tuan akan kamu layani, akan tetapi untuk memberikan kepada para jembel itu, harap Tuan berikan sendiri."
"Mengapa begitu?" tanya Kwan Cu dengan suara sabar.
"Oleh karena kalau kami yang memberikan, mereka akan menjadi keenakan dan biasa, dan setiap hari tentu akan datang ke sini mengharapkan pemberian seperti itu!"
Kwan Cu menahan sabar dan menekan kegemasan dalam hatinya. "Baiklah, biar aku yang memberikan sendiri."
"Hei, A-kiu?"!" tiba-tiba laki-laki botak itu memanggil pelayan yang sedang bicara dengan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
371 Kwan Cu. Pelayan itu cepat meninggalkan Kwan Cu tanpa pamit, setengah berlari, menghampiri meja si botak.
"Ada apakah memanggil hamba, An-siauw-ongya (Pangeran Muda she An)?" katanya
membungkuk-bungkuk.
"Bagaimana sih kerjaanmu" Banyak lalat busuk tidak kauusir dari sini?" Sambil berkata demikian, si botak melirik ke arah Kwan Cu. "Membikin bau saja!"
Pelayan itu mengerti akan sindiran ini dan dia tersenyum-senyum, lalu mendekati meja mereka dan bicara bisik-bisik, menceritakan bahwa pemuda asing itu memesan masakan untuk tiga orang pengemis. Terdengar suara ketawa meledak.
Kwan Cu melirik dan melihat mereka semua memandang ke arahnya sambil bisik-bisik.
Pendengaran Kwan Cu amat tajam dan dari mejanya dia dapat mendengar semua percakapan mereka yang membicarakan dia. Bahkan dia mengerti pula bahwa yang dimaksudkan dengan lalat busuk adalah dia sendiri! Akan tetapi kesabaran Kwan Cu memang luar biasa sekali.
Sedikit pun dia tidak merasa mendongkol atau marah, bahkan merasa kasihan melihat betapa pemuda-pemuda itu menyia-nyiakan waktu muda begitu saja.
Orang muda botak yang di sebut An-siauw-ongya itu bangkit berdiri dari bangkunya, diikuti oleh kawan-kawannya. Akan tetapi Kwan Cu seperti tidak melihatnya, meletakkan mangkok yang sudah kosong ke atas meja dan menepuk pundak pelayan itu sehingga pulih kembali keadaan tubuh pelayan ini yang menjadi amat pucat dan ketakutan.
"Nah, aku terima kalah," kata Kwan Cu. "Ternyata kau memang sudah biasa makan masakan busuk dan rumah makan ini memang hanya menjual masakan yang sudah bau. Terimalah pembayaran ini." Ia melemparkan beberapa potong uang perak ke atas meja.
"Pengemis liar dari mana berani main gila dan mengacau di kota raja?" Pangeran Muda An yang botak itu membentak dan mencabut keluar sepasang senjatanya yang aneh. Melihat senjata itu, diam-diam Kwan Cu merasa heran karena hanya orang berilmu silat tinggi saja yang bersenjata seperti itu. Tangan kanan pangeran botak itu memegang sebuah joan-pian (ruyung lemas) yang terbuat daripada logam hitam diuntai, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah hudtim (pengebut yang biasa digunakan oleh pendeta).
Kwan Cu sudah bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, kalau-kalau orang botak itu dan kawan-kawannya hendak menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, terlihat tiga orang pengemis yang tadi dia beri makanan, datang bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian mewah sekali. Melihat pakaiannya, terang bahwa orang muda ini seorang berpangkat pula.
Pangeran An yang botak itu tadinya tidak melihat kedatangannya tamu baru ini dan kemarahannya membuat mukanya menjadi merah sekali. Dengan gerekan istimewa, kebutan di tangan kirinya menyambar ke arah meja yang menghalang di depannya. Ujung kebutan itu melilit kaki meja dan sekali dia menggerakkan tangan, meja kosong itu terbang ke kiri dan empat buah kakinya menancap pada dinding dan menempel di situ. Amat aneh dan lucu meja itu kini menempel miring dengan empat kaki pada dinding!
Kwan Cu terkejut. Terang bahwa si botak ini memamerkan kepandaiannya dan harus dia akui bahwa hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian serta lweekang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
372 yang sudah tinggi tingkatnya. Akan tetapi sebelum si botak turun tangan, orang muda berpakaian mewah yang baru masuk itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata,
"Terlalu banyak orang pandai sekarang sehingga di mana saja melihat orang memamerkan tenaga!" Sambil berkata demikian, dia melangkah ke arah dinding di mana meja itu menancap empat kakinya. Dengan gerakan perlahan dia memegang meja itu dan sekali renggut ke bawah, meja itu telah terlepas dari dinding. Ketika Kwan Cu memandang ke arah dinding, dia menjadi makin keheranan dan tertegun karena ternyata bahwa pemuda berpakaian mewah yang datang ini bahkan lebih tinggi kepandaiannya daripada si botak tadi. Dengan sekali gentak saja sudah dapat mematahkan empat kaki meja yang rata dengan dinding sehingga seakan-akan lubang dinding yang ditusuk oleh kaki meja, kini telah disumbat rapat dan rata dengan permukaan dinding.
Pemuda botak ketika memandang kepada orang yang baru datang ini, menjadi berubah air mukanya. Ia menyimpan kembali sepasang senjatanya dan berkata sambil tersenyum pahit.
"Eh, kiranya Suheng tidak menginginkan keributan. Biarlah siauwte meninggalkan pengemis kurang ajar ini kepada Suheng." Sehabis berkata demikian, pemuda botak ini sambil tertawa-tawa mengejek, lalu meninggalkan ruangan rumah makan, diikuti oleh kawan-kawannya yang kelihatan takut sekali terhadap pemuda baju mewah yang baru datang.
Kini perhatian Kwan Cu tertuju kepada pemuda pakaian mewah ini. Makin dia pandang, makin dikenalnya muka pemuda ini. Ia merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengan pemuda ini, hanya dia lupa lagi di mana dan bilamana. Tiga orang pengemis tadi kini berdiri di luar pintu dan jelas sekali bahwa di antara tiga orang pengemis itu dan pemuda ini pasti ada hubungan dan dapat diduga pula bahwa kedatangan pemuda ini pun atas pemberitahuan tiga orang pengemis itu. Makin heranlah hati Kwan Cu. Agaknya keadaan di kota raja ini penuh dengan rahasia. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang pengemis itu memang mata-mata yang menyamar dan bekerja untuk kepentingan pemuda mewah ini. Tentu pemuda ini pun tinggi pangkatnya, kalau tidak demikian, tidak nanti pemuda botak yang disebut pangeran muda itu menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan sikapnya begitu mengalah.
Sementara itu, pemuda berpakaian mewah ini juga memandang kepada Kwan Cu dengan penuh perhatian. Sepasang matanya memandang dan mulutnya tersenyum setengah mengejek.
Melihat sinar mata dan senyum itu, timbul rasa tidak suka di hati Kwan Cu. Pemuda yang bersikap halus namun mempunyai watak dasar yang sombong sekali, jauh lebih sombong dari pemuda botak tadi, pikirnya. Hanya kesombongannya tersembunyi di balik kehalusan yang disengaja dan kelicinan yang luar biasa. Terhadap orang seperti ini aku harus berlaku hati-hati sekali, pikir Kwan Cu.
"Kiranya benar sekali laporan Sam-lokai (Tiga Pengemis Tua) bahwa kota raja kedatangan seorang pemuda luar biasa, seorang tamu agung yang menyembunyikan keadaan sebenarnya.
Ah, Kwan Cu, sudah lupakah kau kepadaku?" kata pemuda itu sambil tersenyum dan menghampiri Kwan Cu.
Kwan Cu hampir melompat dari bangkunya. Baru sekarang dia teringat siapa adanya orang ini.
"Lu Thong?"!" serunya.
Lu Thong memperlebar senyumnya, lalu memberi tanda agar supaya Kwan Cu jangan banyak bicara di tempat terbuka itu.
"Kita masih bersaudara, bukan" Nah, marilah kau ikut dengan aku ke rumahku, di sana kita dapat bicara dengan enak dan leluasa."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
373 Akan tetapi, melihat senyum pemuda yang dulu amat sombong dan jahat itu, Kwan Cu menjadi makin curiga dan benci.
"Aku tidak mau pergi bersama murid orang yang telah menewaskan guruku secara keji,"
jawabnya. Lu Thong mainkan alisnya. "Aha, kau sudah mendengar tentang hal yang mentertawakan itu"
Kwan Cu, kita kesampingkan dulu urusan orang-orang tua itu. Kau mau mendengar
keterangan yang sejelasnya tentang semua keadaan selama kau menyembunyikan diri sampai bertahun-tahun" Nah, keterangan itu hanya bisa kaudapatkan dari aku. Marilah kau mampir ke rumahku, ataukah kautakut?"
Keangkuhan hati Kwan Cu tersentuh dengan tantangan ini, maka dengan gagah dia
menjawab, "Siapa takut" Kau mau bisa berbuat apakah terhadap aku" Baik, aku ikut denganmu, hendak kulihat apa yang hendak kaulakukan."
Lu Thong tertawa girang dan memberi tanda kepada tiga orang pengemis tua yang masih berdiri di luar pintu. Tiga orang pengemis itu lalu berlari pergi dengan cepat sekali dan kembali Kwan Cu tertegun. Kiranya para pengemis yang tadi menimbulkan belas kasihannya, bukanlah pengemis sembarangan!
Lu Thong membawa Kwan Cu pergi ke sebuah gedung yang mentereng di bagian barat kota.
Tadi ketika pemuda mewah ini bercakap-cakap dengan Kwan Cu di dalam rumah makan, para pelayan tidak ada yang berani mendekat. Di sepanjang jalan pun, semua orang yang bertemu dengan Lu thong, memberi hormat dengan sopan sekali, bahkan serombongan tentara yang kebetulan lewat, cepat bersikap tegak dan memberi hormat pula. Diam-diam Kwan Cu memuji bahwa pemuda ini telah dapat mengangkat diri dalam kedudukan yang tinggi. Ia merasa heran sekali mengapa kakek angkatnya, Menteri Lu Pin yang terbinasa sekeluarga, keadaanya jauh berbeda dengan cucunya ini. Akan tetapi dia tidak banyak bertanya, hanya mengikuti Lu Thong dengan diam-diam.
Ketika memasuki rumah gedung itu, banyak pelayan menyambut kedatangan Lu Thong dan Kwan Cu dengan penuh penghormatan. Di antara para penyambut, terdapat lima orang wanita muda yang cantik jelita dan dengan sikap biasa seakan-akan hal itu tidak ada keanehannya, Lu Thong memperkenalkan lima orang itu sebagai selir-selirnya!
"Aku belum menikah dan masih menanti datangnya jodoh yang cocok," katanya tertawa,
"karena itu, mereka inilah yang menghiburku dan dan mengusir kesepian dari anak malang yang hidup sebatang kara ini."
Kwan Cu hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi tidak berkata sesuatu, juga tidak mempedulikan sinar mata para wanita muda yang ditujukan kepadanya dengan sikap genit.
Juga dia melihat tiga orang pengemis tadi kini telah ikut menyambut dengan pakaian bagus dan sikap hormat sambil tertawa-tawa.
"Mari kita bicara di dalam taman bunga, saudara Kwan Cu. Di sana hawanya lebih enak dan leluasa."
Kwan Cu harus mengakui, bahwa taman bunga ini indah sekali. Tidak saja di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka warna dan dihias pula dengan sebuah kolam ikan yang penuh ikan emas dan bunga teratai, juga di tengah-tengah taman bunga itu dibuat tanah lapang yang amat bersih dan lega, agaknya tempat berlatih ilmu silat.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
374 "Kau hidup mewah dan senang sekali, Lu Thong," kata Kwan Cu sambil memandang ke sekeliling tempat itu. Ia mendapat kenyataan bahwa baik rumah gedung itu maupun taman bunganya, dikelilingi oleh tembok yang tinggi sekali dan di atas tembok dipasangi kawat berduri. "Akan tetapi kau juga menjaga tempatmu ini dengan amat kuat seperti takut akan kedatangan musuh."
Lu Thong tertawa dan mengajak Kwan Cu duduk menghadapi meja yang telah penuh dengan hidangan-hidangan mewah dan guci arak berukir yang penuh dengan arak wangi.
"Duduklah, saudaraku. Matamu benar-benar awas dan kau dapat menduga tepat. Memang di kota raja sekarang tidak aman, kekacauan hebat timbul, tidak saja untuk para pembesar dan penduduk, bahwa di dalam istana sendiri terjadi kekacauan dan persaingan hebat."
"Seperti halnya suhumu Jeng-kin-jiu yang mengeroyok dan menewaskan suhuku," kata Kwan Cu dengan pandang mata tajam.
"Jangan kau persalahkanaku dalam urusan itu. Suhu juga merasa amat menyesal dan sekarang suhu tidak mau lagi menginjak kota raja karena merasa menyesal telah ikut terseret dalam permusuhan."
"akan tetapi muridnya bahkan hidup mewah di sini, sungguhpun seluruh keluarganya telah musnah?".." Kwan Cu menyindir.
"Kau tidak tahu, Kwan Cu. Kong-kong (kakek) Lu Pin sebenarnya masih hidup."
Berubah wajah Kwan Cu. "Benarkah" Di mana beliau?"
"Itulah soalnya, Kwan Cu. Kong-kong telah dapat melarikan diri membawa harta benda istana yang besar sekali harganya, dan sampai sekarang tak seorang pun mengetahui di mana adanya kong-kong Lu Pin. Oleh karena itulah, biarpun semua keluarga terbinasa, aku terpaksa harus mencari kedudukan setelah ditolong oleh suhu dan diberi ampun oleh mendiang Panglima An Lu Shan."
Kembali Kwan Cu tertegun. "Apa" Pemberontak itu sudah meninggal dunia?"
"Huuusss, jangan keras-keras kau bicara, Kwan Cu. Panglima An Lu Shan adalah seorng panglima gagah perkasa dan bahkan telah menjadi kaisar yang bijaksana. Kalau tidak demikian, tidak nanti aku diangkat menjadi pangeran dan dianggap sebagai putera angkatnya sendiri."
"Hemmm, begitukah"..?" kata Kwan Cu sambil merapatkan bibirnya. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa muak sekali terhadap pemuda ini. Seluruh keluarganya, termasuk ayah bundanya, dan semua orang, telah dibinasakan oleh An Lu Shan dan dia sendiri mau diangkat menjadi puteranya! Alangkah rendahnya watak pemuda ini.
"Kau agaknya tidak tahu sama sekali tentang keadaan di sini, Kwan Cu."
"Memang aku tidak tahu, bukankah kau mengajak aku kesini untuk menceritakan semua itu?"
Kwan Cu bertanya.
Lu Thong kembali tersenyum, senyum yang mengandung ejekan dan rahasia, senyum yang membayangkan kecerdikannya dan yang membuat Kwan Cu bersikap waspada. "Baiklah, kuceritakan semuanya dengan jelas keadaan di kota raja."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
375 Maka berceritalah Lu Tong. Sebagaimana diketahui, Kaisan Hian Tiong yang lalim itu dengan cara amat sembrono telah mengangkat An Lu Shan, seorang Panglima Tartar menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Ho-pei. Hal ini sudah dibantah oleh banyak menteri, terutama sekali ditentang oleh Menteri Lu Pin. Akan tetapi kaisar tidak mempedulikan semua teguran itu yang diajukan dengan alasan bahwa amat berbahaya mengangkat panglima asing dengan kekuasaan besar. Akhirnya, benar saja An Lu Shan memberontak dengan sejumlah tentara tidak kurang dari lima belas laksa orang yang telah dilatih sempurna sekali dalam hal ilmu pedang, lalu pemberontak ini memukul ke selatan!
Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tidak berdaya sama sekali. Para pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja seperti kaisarnya.
Memang, keadaan Kaisar Hian Tiong amat lemah. Kaisar ini sendiri seakan-akan menjadi boneka saja yang selalu menuruti kehendak seorang isterinya yang amat cantik, yakni Yang Kui Hui yang tersohor cantik jelita dan genit. Oleh karena pertahanan amat lemah dan bala tentara An Lu Shan memang istimewa, lagipula dibantu oleh orang-orang pandai, kerajaan dapat dirampas oleh An Lu Shan dan kaisar sendiri lalu melarikan diri mengungsi ke Se-cuan.
An Lu Shan dan kaki tangan, keluarga serta pembantu-pembantunya terdiri dari orang-orang kasar. Sekali mendapatkan tahta kerajaan, laksana orang-orang kelaparan menghadapi hidangan-hidangan lezat. Mereka menjadi mata gelap dan terjadilah perebutan kekuasaan.
Dalam keributan ini, An Lu Shan telah dibunuh oleh puteranya sendiri. Keributan merajalela, tidak saja di dalam istana terjadi perebutan kekuasaan, bahkan hal itu menjalar sampai di luar istana. Banyak sekali orang-orang berkuasa saling memperngaruhi dan menanam bibit permusuhan dan persaingan yang dalam sekali dengan diam-diam.
Adapun fihak tentara Kerajaan Tang, masih bersetia dan selalu melakukan perlawanan pembalasan. Ketika bala tentara Tang mengawal kaisar dan isterinya mengungsi, mereka mendesak kepada kaisar untuk merelakan Yang Kui Hui, karena mereka menganggap bahwa permaisuri inilah yang menjadi biang keladi sehingga pemerintah menjadi lemah dan mudah terjatuh ke dalam tangan pemberontak. Dengan hati sedih kaisar tak dapat menolak desakan ini sehingga akhirnya, di tengah jalan Yang Kui Hui di hukum mati oleh tentara Tang sendiri!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Menteri Lu Pin dapat melarikan diri membawa harta benda Kerajaan Tang. Keluarganya, termasuk semua pelayan, telah dihukum mati oleh An Lu Shan, sedangkan Menteri Lu Pin sendiri selalu dikejar-kejar dan dicari-cari oleh karena An Lu Shan maklum bahwa menteri itu membawa lari sejumlah harta negara yang amat besar. Telah dituturkan pula betapa Menteri Lu Pin ditolong oleh Ang-bin Sin-kai dan dapat bersembunyi di dalam gua yang selanjutnya di sebut Gua Tengkorak, karena bekas menteri ini membuat tengkorak-tengkorak raksasa dari tulang-tulang binatang purbakala yang banyak terdapat di dalam gua itu.
Hanya Lu Thong yang selamat dan terbebas dari hukuman An Lu Shan. Bahkan ketika pemuda ini datang ke kota raja bersama gurunya, yakni Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, An Lu Shan telah memaafkannya dan mengambilnya sebagai anak angkat, diberi gelar pangeran dan diberi kedudukan istimewa.
Semua ini diceritakan oleh Lu Thong dengan jelas sekali, dan sebagai penutup ceritanya, dia berkata,
"Demikianlah, saudara Kwan Cu. Betapapun juga, An Lu Shan telah bersikap baik terhadap aku, dan setelah dia terbunuh oleh puteranya sendiri, di dalam istana terdapat persaingan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
376 hebat secara diam-diam. Mereka saling menjaga agar persaingan itu tidak mengacaukan bala tentara. Akan tetapi memang benar-benar terdapat persaingan yang luar biasa hebatnya, yakni antara tiga golongan. Golongan pertama adalah pangeran mahkota yang telah membunuh An Lu Shan beserta pengikutnya, golongan kedua adalah tangan kanan An Lu Shan yang bernama Si Su Beng. Adapun golongan ketiga adalah Pangeran An Lu Kui, adik dari An Lu Shan."
"Hm, diakah" Aku pernah bertemu dengan panglima kasar itu," kata Kwan Cu yang teringat akan pengalamannya dahulu ketika dia menghajar An Lu Kui, dalam pondongan Ang-bin Sinkai.
"Ya, memang dia dan tadi kau telah bertemu dengan puteranya yang bernama An Kong."
"Pemuda botak hidung belang tadi?" tanya Kwan Cu. "Dan dia itu sutemu?"
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lu Thong menarik napas panjang. "Suhu selalu tidak bisa melepaskan orang yang memiliki bakat baik. Dia itu sebagai murid ke dua."
"Lu Thong, sebetulnya semua ceritamu itu tidak menarik hatiku, karena tiada sangkut pautnya dengan aku" Apakah maksudmu membawaku ke sini" Aku datang ke kota raja untuk mencari Jeng-kin-jiu, di manakah gurumu itu?"
"Kwan Cu, benar-benarkah kau hendak membalaskan sakit hati karena suhumu tewas oleh suhuku?" tanya Lu Thong mengerutkan kening.
"Bukan hanya oleh suhumu, melainkan oleh keroyokan tokoh-tokoh besar yang bersikap pengecut."
"Kwan Cu, kau keliru. Gurumu Ang-bin Sin-kai itu memang salah sekali, hendak
membalaskan sakit hati karena kakek Lu Pin dihukum sekeluarganya oleh An Lu Shan. Dia tidak dapat melihat keadaan, sedangkan suhu beserta lain orang telah membantu pemerintah baru, untuk apa membela pemerintah lama yang sudah runtuh?"
Kwan Cu hendak membantah, akan tetapi Lu Thong segera melanjutkan kata-katanya dengan suara membujuk.
"Kwan Cu, sudahlah jangan kita bicarakan tentang urusan orang-orang tua itu. Kita masih muda dan masih banyak harapan untuk maju. Ingatlah bahwa kau adalah keturunan Lu pula, sungguhpun hanya cucu angkat dari kong-kong Lu Pin. Keturunan Lu hanya kau dan aku saja dan kalau saja kau suka membantuku, kita dapat mengangkat nama keluarga kita!"
"Apa maksudmu?"
"Dengar baik-baik, Kwan Cu. Kini golongan-golongan berkuasa sedang bersaing, bermaksud saling menjatuhkan. Kalau saja kita berdua dapat mengatasi mereka dan tahta kerajaan jatuh ke dalam tangan kita, bukankah hal itu baik sekali?"
"Apa?" Kwan Cu membelalakkan matanya. "Kau bercita-cita menjadi kaisar?"
"Apa salahnya" Nenek moyangku adalah orang-orang besar yang sudah banyak sekali jasanya terhadap negara. Sudah sepatutnya kalau turunannya mendapat anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja" Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
377 dari suhu bahwa kaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik."
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu. "Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku dapat membuat perhitungan dengan dia!"
Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong dan wajahnya yang tadi kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
"Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!"
"Tidak, Lu Thong, aku seorang yang tidak ada kepandaian (Ba Pun Su)," jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan tindakan kaki menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa mengundurkan diri, kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang sekarang telah berganti pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang berkilauan!
anugerah besar. Apa sukarnya menjadi raja" Agaknya aku takkan seburuk Kaisar Hian Tiong yang lemah! Aku mendengar dari suhu bahwa kaulah orangnya yang kiranya akan berhasil menemukan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Nah, marilah kita bekerja sama, saudaraku yang baik."
Berubah muka Kwan Cu ketika Lu Thong menyebut nama kitab itu. "Tidak, tidak! Aku tidak mau mengotorkan pikiranku dengan segala perkara kerajaan ini. Kau mau menjadi raja, sesukamulah. Aku tidak butuh, yang kubutuhkan hanya pemberitahuan di mana adanya Jeng-kin-jiu agar aku dapat membuat perhitungan dengan dia!"
Mendengar suara Kwan Cu yang tegas ini, berubahlah sikap Lu Thong dan wajahnya yang tadi kelihatan manis budi menjadi keras. Senyumnya masih menghias mukanya yang tampan, akan tetapi kini senyum itu masam dan penuh ejekan.
"Kwan Cu, agaknya benar kata suhu bahwa kau sudah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka kau berani menetang suhu!"
"Tidak, Lu Thong, aku seorang yang tidak ada kepandaian (Ba Pun Su)," jawab Kwan Cu tenang.
Dengan bibir tetap tersenyum mengejek, Lu Thong memberi isyarat kepada para selirnya yang telah datang dengan tindakan kaki menggiurkan dan agaknya mereka hendak menghibur tamu. Para selir ini dengan heran dan kecewa mengundurkan diri, kemudian ketika Lu Thong bertepuk tangan tiga kali, muncullah tiga orang pengemis tua yang sekarang telah berganti Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
378 pakaian sebagai panglima-panglima! Agaknya tepukan tangan itu merupakan isyarat, karena tiga orang tua ini begitu datang lalu mengurung Kwan Cu dan ketika tangan bergerak, tangan mereka telah mencabut pedang yang berkilauan!
"Lu Thong, apa kehendakmu?" tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.
"Kehendakku?" jawab Lu thong menyindir. "Sudah kukatakan tadi bahwa aku menghendaki kau membantuku untuk mencapai cita-citaku."
"Aku tidak sudi!"
"Kau tetap bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku, Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhuku, ini sudah merupakan dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua
kalinya, kalau memang telah mendapatkan kitan Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih ingatkah kau betapa dahulu ketika kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan aku dan suhumu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi" Nah, karena sekarang kau berkeras kepala,
perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka ini adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia macam engkau berani menolak ajakanku yang baik?"
Bukan main panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang amat menghina dan
merendahkannya itu.
"Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan kaki depan melihat orang
melemparkan tulang kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong.
Sudahlah, aku tidak ada waktu banyak untuk melayani obrolanmu." Setelah berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu, akan tetapi tiba-tiba tiga orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.
"Kalian mau apa?" bentak Kwan Cu.
Lu Thong memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab, "Hendak mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!"
Ucapan ini di tutup oleh berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat.tidak percuma mereka mendapat julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.
Ini kalau dilihat oleh mata orang lain, namun bagi mata Kwan Cu gerakkan itu tidak seberapa hebat. Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan dan pengertian tenatng pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat, dia telah lebih dulu dapat menduga kemana tiga batang pedang itu hendak menyerangnya! Oleh karena itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan mereka itu akan disusul oleh gerakan lain. Hal ini dapat dia lihat dari pergerakan pundak dan pandangan mata mereka, maka sebelum tiga orang itu sempat melanjutkan serangannya setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang dimiringkan ke arah pangkal lengan.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
379 "Plak! Plak! Plak!" tiga kali jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas, ketiga orang Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya. Adapun pedang yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka tiba-tiba menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!
Untuk sesaat Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia telah melompat dengan senjatanya di tangan. Seperti main sulap saja melihat dia tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat daripada emas. Bagaimana tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadinya tidak kelihatan dia bawa" Ternyata bahwa toya itu dibuat istimewa, bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat di gulungkan di pinggang, tertutup oleh baju luar.
"Kwan Cu, ternyata selama kau tidak muncul, kau telah memiliki kepandaian yang lumayan.
Hendak kulihat apakah kau cukup kuat menahan seranganku!!"bentak Lu Thong sambil mengayun toyanya.
Kwan Cu dapat merasai angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan memiliki tenaga seperti gajah. Menurut penuturan Ang-bin sin-kai, untuk masa itu, tingkat kepandaian Jeng-kin-jiu sudah tinggi sekali dan dialah satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga dapat menggunakan tenaga sampai seribu kati kuatnya! Kwan Cu maklum bahwa Lu Thong tentu telah mewarisi tenaga dan kepandaian suhunya, maka dia berlaku amat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun putih, dia tahu cara bagaimana harus menghadapi serangan toya yang bertenaga besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran toya yang datang bertubi-tubi.
Setelah menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti sarinya! Kalau dia mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, baru sempurna jalannya.
Maka Kwan Cu segera mencabut sulingnya dan mulailah dia melakukan serangan balasan. Ia dapat menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan bergerak, bahkan dia telah tahu kemana toya akan menyambar hanya dengan
memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!
Sebaliknya Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini takkan mengherankan. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu mengelak.
Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu sudah melangkah ke arah yang
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
380 berlawanan dengan maksud pukulan toyanya, seakan-akan Kwan Cu sudah tahu lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang. Kemudian Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu sama benar gerakannya dengan serangan toyanya, hanya bedanya kalau dia menyerang dengan gwakang untuk menghancukan kepala atau mematahakan tulang, adalah Kwan Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.
Pertempuran ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan lebih dulu oleh lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan tetapi tiba-tiba diubah lagi dengan ilmu silat lain yang sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang, sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.
Lu Thong merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toya dari pegangan. Kwan Cu menyusul dengan sebuah totokan pula ke arah pundak, kini untuk membebaskan totokan pertama tadi lalu melompat ke belakang, berdiri tegak dan berkata,
"Lu Thong, melihat muka Kong-kong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!" Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari situ.
Lu Thong menarik napas panjang dan membanting di atas bangku. Ia tidak mempedulikan tiga orang pembantunya yang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang diri.
"Dia benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya," pikir Lu Thong penasaran. Ia tidak menyusahkan keadaan dengan suhunya yang terancam oleh Kwan Cu, juga tidak memikirkan kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja.
Sayang Kwan Cu yang sakti tidak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana, seorang pemuda yang sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan nasihat Kwan Cu"
Sampai berhari-hari Lu Thong bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik.
*** Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tak seorang pun manusia menyangka bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas gentang bangunan itu. Memang, biarpun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang dapat menembus penjagaan sehingga dapat berlari-lari di atas genteng" Penjagaan seluruh pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi seklai, apalagi musuh dijaga oleh penjaga-penjaga yang berdiri di sepanjang tembok! Seekor burung pun takkan dapat lewat tanpa terlihat oleh barisan penjaga.
Namun, bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang telah memiliki ilmu kepandaian luar biasa yang membuatnya menjadi seorang sakti. Tidak sukar baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang cepat sekali. Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa terlihat oelh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga ada penjaga yang melihat bayangan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
381 berkelebat, akan tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh lampu penerangan di luar tembok.
Kwan Cu sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan tokoh-tokoh lain yang telah membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di kota raja. Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja, pertama-tama karena dia hendak menyelidiki di dalam isatana dulu. Siapa tahu kalau-kalau di antara musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Ia ingin menyelidiki dan sekalian ia teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita tadi.
Dia pernah dibawa oleh suhunya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhunya, mereka langsung menuju ke dapur istana dan tidak pernah menyelidiki keadaan istana dari atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu. Ia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.
Di bawah genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu, terdapat langit-langit yang tebal, maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apalagi banyak sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat. Seringkali dia harus mempergunakan kakinya untuk bergantung dengan kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng. Namun, dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula orang-orang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya para pengawal istana.
Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu dinyalakan besar. Beberapa orang laki-laki tengah duduk menghadapi meja panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat. Tertarik hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu. Ia selalu berlaku hati-hati sekali maka ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan ringan sekali bagaikan daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini, melayang turun, lalu jalan perlahan menuju ke tempat itu.
Dari balik jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia melihat lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di antaranya berpakaian seorang panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.
Ketika Kwan Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu. Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli dirinya memikirkan betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam pondongan Ang-bin Sinkai. Panglima itu masih nampak tegap dan gagah, biarpun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
382 Dua orang panglima yang lainnya itu dia tidak kenal, akan tetapi dia dapat menduga bahwa nereka pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik perhatiannya untuk mendengar percakapan mereka.
"Apakah Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku kepada putera mahkota?" terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu. Kwan Cu maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah membunuh ayahnya sendiri itu. Maka dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Seorang di antara dua hwesio itu menganguk-angguk, "Sudah, Ong-ya," Kwan Cu merasa geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan kepada seorang pangeran muda.
"Apa pendapat beliau?" tanya An Lu Kui.
"Beliau merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, karena harta yang dibawa oleh Menteri Lu Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan."
Mendengar jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kongkongnya, Lu Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.
"Dan beliau memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?" tanya An Lu Kui.
Hwesio itu mengangguk. "Itulah sebabnya maka beliau memutus pinceng (saya) berdua sengaja untuk merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si)."
"Bagus," kata An Lu Kui. "Memang dalam menghadapi para pemberontak yang makin kuat dan dalam mengatur rencana mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan seluruh tenaga. Herannya mengapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak datang."
"Pinto (aku, sebutan pendeta To) datang!" tiba-tiba terdengar suara dari jauh dan diam-diam Kwan Cu terkejut. Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus mengirim jawaban, adalah seorang berkepandaian tinggi yang mahir menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka cepat pemuda ini menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.
Tak lama kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam ruangan.
"Kalian amat sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!" Setelah berkata demikian, tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi. Kwan Cu makin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.
"Dia itulah orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!"
Tak lama kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata, "Keadaan aman Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
383 tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!"
An Lu Kui tertawa bergelak. "Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati melakukan pengintaian" Mari, Totiang silakan duduk. Karena Totiang belum lama datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo Beng Hosiang yang berjuluk San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu, inilah pembantu dan penasihat, juga guru dari Panglima Si Su Beng, yang bernama Kiam Ki Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara)."
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan dua orang hwesio itu.
"Hm, hm, hm, apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor" Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apalagi?"
Pujian ini sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, maka biarpun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura bertanya, "Pinceng (saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya menggegerkan dunia, tidak tahu dengan Toyu (Sahabat) masih ada hubungan apakah?"
Wajah Kiam Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidaksenangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Kiam Ki Sianjin ini adatnya memang sombong, dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggap mengembari namanya. Mereka berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, bertempur hebat. Setelah hampir satu hari mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Maka kini mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini sudah mendengar akan pertempuran itu.
Suara ketawa dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Namun tenaga khikangyang terkandung dalam suara itu seakan-akan
menggetarkan tiang-tiang ruangan itu.
"Gunung dan bukit biarpun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biarpun berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa dipersamakan dengan pinto?" Jawabnya ini sudah menyatakan betapa sombongnya tosu ini yang menganggap diri sendiri gunung dan Pak-lo-sian hanya bukit, atau yang mengumpamakan diri sendiri naga dan Pak-lo-sian hanya ular biasa!
Di antara mereka ini, sebagaimana telah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, memang terdapat persaingan. Bu-eng Siang-hiap dan dua orang hwesio gundul itu, adalah pengikut setia dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, sedangkan Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan. Tentu saja sudah ada perasaan dendam dan bermusuhan di dalam hati mereka satu terhadap yang lain. Kini hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, mereka mau datang berkumpul untuk
merundingkan cara menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu. Tak mengherankan apabila di dalam percakapan mereka, terdengar ucapan-ucapan yang
menyindir dan saling memandang rendah.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
384 Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, mendengar ucapan Kiam Ki Sianjin yang
menyombongkandiri, menjadi tak senang.
"Memang nama besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat seperti naga!"
katanya sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang. Sudah terang sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti bukit dan ular!
Melihat suasana sudah mulai panas antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka melihat perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur. Pada masa itu, dia justeru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai cita-citanya, yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, kedua untuk mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan.
Setelah dua hal ini tercapai dan beres, barulah dia akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik sekali. Ia melompat di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,
"Di waktu rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa, akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi sudi bersabar dan mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan hal-hal yang penting demi keselamatan negara."
An Lu Kui masih merupakan orang yang berpengaruh karena dia adalah paman dari putera mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.
"Kiam Ki Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat."
Kiam Ki Sianjin sambil tertawa. "Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto dengan baik, tentu masih belum percaya."
Suasana damai dan persahabatan dapat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.
"Silakan Ang-ciankung menguraikan rencananya," kata Kiam Ki Sianjin yang
mempergunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas. Padahal malam hari itu, udara amat dinginnya. Tosu yang sombong ini masih saja hendak mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan memperlihatkan bahwa dia bukanlah "orang biasa!"
Melihat sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.
"Menurut hasil penyelidikan para mata-mata kita," An Lu Kui mulai bicara, "pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani makin merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan. Akan tetapi, agaknya mereka itu, biarpun mendapat pimpinan orang-orang pandai, takkan banyak berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan. Kemudian mata-Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
385 mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang yang amat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!"
"Ah, tentu harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!" teriak Kiam Ki Sianjin.
"Memang! Anjing Lu Pin itu menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai pemberontakan," kata An Lu Kui marah.
"Keparat jahanam!" Mo Beng Hosiang ikut memaki. "Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya."
An Lu Kui mengangguk-angguk. "Begitulah kiranya. Memang, semenjak dahulu pun sudah diketahui oleh semua orang bahwa Menteri Lu Pin adalah menteri yang paling setia kepada Kerajaan Tang. Seluruh keluarganya telah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun dia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang terbaik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan, harta pusaka Kerajaan Tang dapat dirampas, kiraku dengan sendirinya tanpa dipukul, para pemberontak itu akan mengundurkan diri."
"Akan tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?" tanya Mo Keng Hosiang atau Si Ruyung Pemecah Gunung.
"Benar, di mana kita bisa mencari dia" Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencarinya dengan sia-sia. Agaknya dia telah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak."
Kata Mo Beng Hosiang.
"Tadinya aku pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus," kata An Lu Kui, "akan tetapi baru-baru ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia telah bersembunyi ke dalam sebuah goa dan dari situlah dia mengatur dan merencanakan semua pemberontakan para petani."
Mendengar ini, tidak saja kedua hwesio dan Kiam Ki Sianjin menjadi amat tertarik, bahkan Kwan Cu yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar-debar dan baru sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia adanya kong-kong angkatnya, Menteri Lu Pin. Ketika dia mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kong-kong angkatnya itu. Akan tetapi selama ini, pikirannya penuh oleh keadaan suhunya yang meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia pikirkan lagi. Akan tetapi sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa amat kagum terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!
"Kong-kong benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya." Kata Kwan Cu di dalam hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat persembunyian kakek angkatnya itu.
"Di goa manakah dia bersembunyi?" teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya. Suaranya tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan" Bukan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
386 karena mereka terlalu membenci menteri ini, tetapi semata-mata karena menteri itu membawa harta pusaka kerajaan! Inilah yang merupakan daya penarik luar biasa. Harta yang terdapat di dalam istana itu telah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah habis. Kini semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia, ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.
"Inilah yang masih harus diselidiki," jawab An Lu Kui sambil mengeluarkan segulung kertas.
"Menurut penyelidikan, dia bersembunyi di dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit Tengkorang Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tidak terdapat bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru saja muncul menjadi sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan, bukit ini adanya di antara Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang mengalir di situ."
An Lu Kui lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh perhatian. "Pembantuku ini, Cang-ciangkun, telah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu," kata An Lu Kui kepada seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.
Panglima perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, berwajah keren dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.
"Pasukan penyelidik yang kupimpin telah sampai di bagian ini. Dis epanjang jalan kami mencari keteangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh."
"Ang-bin Sin-kai?"." Kata Kiam Ki Sianjin perlahan. An Lu Kui mengangguk
membenarkan. "Kemudian kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa, seringkali daerah ini didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biarpun tak seorang pun yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, karena setelah mereka pergi lagi, menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat."
Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk, "Sangat boleh jadi"." Akan tetapi tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang pada saat itu, Kwan Cu amat memperhatikan dan ingin sekali dia melihat peta di atas meja itu, maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Sedikit suara ini ternyata telah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.
Ketika Kiam Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan.
Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.
"Siapa?". kau?"?"" An Lu Kui bertanya. Maksudnya hendak membentak marah, akan
tetapi melihat cara pemuda itu masuk begitu saja tanpa mereka ketahui, membuat dia terheran-heran dan gugup. Apalagi ketika pada saat dia mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
387 An Lu Kui dan kawan-kawannya bersiap menyambut, akan tetapi tiba-tiba tubuh pemuda itu terapung ke atas kepala mereka terus ke atas lalu tiba-tiba sebelum menyentuh langit-langit, tubuh itu berjungkir balik dan kini bagaikanseekor capung beterbangan di dalam kamar, tubuh pemuda itu menukik ke bawah lalu tahu-tahu gulungan peta itu telah dirampasnya!
An Lu Kui hendak menubruk, akan tetapi terlambat karena Kwan Cu sudah melompat pula dari atas meja melalui kepalanya dan kini pemuda itu telah berdiri di tengah ruangan sambil tersenyum-senyum dan peta itu dia masukan ke dalam saku dengan sikap amat tenang! Untuk sejenak, An Lu Kui dan kawan-kawannya tercengang, karena sesungguhnya gerakan pemuda tadi luar biasa sekali. Tiada ubahnya seekor capung atau burung yang amat ringan dan gesit.
Kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri sukarlah untuk mempercayai kejadian itu.
"Siapa kau yang berani mati bermain gila di sini?" kembali An Lu Kui membentak dan kini panglima ini mencabut sepasang tombaknya yang lihai.
Kwan Cu tersenyum dan menjawab, "An-ciangkun, apakah baik kabarmu" Kau sudah
kelihatan tua, akan tetapi tetap saja ganas dan galak!"
Mendengar ini, An Lu kui tercengang dan tidak jadi menyerang, sebaliknya Cang Kwan panglima brewokan itu membentak,
"Bangsat kecil, siapakah kau yang sudah bosan hidup?"
"Bangsat besar, aku bernama Lu Kwan Cu. Kalian tadi membuka mulut besar hendak menangkap kong-kongku Lu Pin" Jangan bermimpi, Kawan!"
"Bohong besar!" seru Liong Tek Kauw panglima kedua pembantu An Lu Kui, "Aku tahu betul keadaan Menteri Lu Pin dan dia tidak mempunyai cucu yang bernama Lu Kwan Cu!"
Kwan Cu tersenyum lagi. "Tentu kau seorang panglima pengkhianat dan penjilat maka kau tahu baik akan keadaan kong-kongku. Akan tetapi aku tidak peduli akan kata-katamu itu, pengkhianat. Pendeknya jangan kalian bermimpi untuk menangkap Menteri Lu Pin yang setia dan gagah berani, pahlawan bangsa tidak seperti kalian ini, katak-katak busuk yang berbahaya."
"Tangkap dia!" tiba-tiba An Lu Kui berseru keras. "Dia adalah bocah gundul murid Ang-bin Sin-kai! Aku ingat sekarang, dia memang telah diakui cucu oleh Lu Pin!" Sambil berkata demikian, An Lu Kui lalu menyerang dengan sepasang tombaknya.
Kwan Cu mengelak tangkas sambil menyindir. "Hm, kau sudah ingat betapa dahulu aku pernah membagi beberapa kali tamparan kepadamu, An-ciangkun?"
"Bangsat, mampuslah kau!" seru An Lu Kui sengit dan tombaknya melakukan gerakan menyilang dari kanan kiri, hendak menggunting leher pemuda itu.
Akan tetapi, hanya dengan merendahkan tubuh sedikit saja, Kwan Cu sudah dapat
membebaskan diri dari ancaman dan sepasang tombak itu melayang melalui atas kepalanya.
Cang Kwan dan Liong Tek Kauw dua orang panglima pembantu An Lui Kui dengan marah maju menyerang dengan golok besar mereka yang menyambar-nyambar menyilaukan mata ketika terkena cahaya lampu yang terang.
"Rebahlah kalian!" bentak Kwan Cu dan tahu-tahu ketika dua batang golok itu sudah dekat Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
388 dengan tubuhnya dari kanan kiri, dia melompat ke belakang dan sebelum dua orang panglima itu dapat menarik kembali golok mereka, dua kali berturut-turut Kwan Cu menotok dengan telujuknya dan aneh sekali! Dua orang panglima itu roboh dan terus bergulingan sambil mengaduh-aduh, kemudian mereka tak bergerak lagi, rebah dengan tubuh lemas tak berdaya di dekat dinding.
Kwan Cu tidak mau membuang banyak waktu. Ketika dia melihat An Lu Kui tercengang, dia menggerakkan kakinya, melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan panglima itu.
Terdengar suara keras ketika sepasang tombak itu terlepas dari pegangan An Lu Kui dan terlempar jauh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring. An Lu Kui masih mencoba untuk mengelak ketika tangan Kwan Cu menyambar, namun terlambat, pundaknya kena di tepuk dan panglima ini jatuh duduk dengan tubuh lemas dan setengah tubuhnya sebelah kanan terasa lumpuh!
Pada saat itu, angin pukulan menyambar dari depan dan belakang. Kiranya dua orang hwesio itu sudah turun tangan. Tadi mereka hanya menonton saja karena memang sebetulnya di dalam hati mereka, dua orang hwesio ini tidak suka kepada An Lu Kui dan mencurigainya.
Akan tetapi, setelah melihat An Lu Kui dan dua orang pembantunya telah roboh, mereka tidak mau tinggal diam dan segera menyerang. Mo Beng Hosiang Si Tangan Kilat menyerang dengan kedua tangannya yang dibuka jari-jarinya, melakukan pukulan hebat sekali, sesuai dengan julukannya. Adapun Mo Keng Hosiang Si Ruyung Pemecah Gunung telah menyerang dengan ruyungnya yang aneh. Joan-pian (ruyung lemas) itu merupakan rantai pendek yang ujungnya di pasangi bola baja sebesar kepalan tangan dan digerakkan dengan ayunan keras menghantam punggung Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali melihat datangnya serangan yang memang hebat sekali ini. Dengan tangan kirinya dia menangkis pukulan Mo Beng Hosiang sehingga hwesio itu terhuyung ke belakang. Hampir saja bola baja di ujung joan-pian yang dipakai menyerang oleh Mo Keng Hosiang mengenai sasarannya, yakni punggung Kwan Cu. Pemuda ini yang maklum
menghadapi lawan-lawan tangguh, cepat mencabut sulingnya sambil mengelak dengan gerakan Kong-ciak-kai-peng (Merak Membuka Sayap) sehingga serangan senjata Mo Keng Hosiang lewat di atas punggung dan kepalanya. Sekaligus Kwan Cu menyerang Mo Beng Hosiang yang sudah maju lagi itu dengan sulingnya. Mo Beng Hosiang bukan seorang lemah, dia memiliki ilmu pukulan yang di sebut Pek-lek-sin-jiu (Tangan Geledek Sakti). Menghadapi pukulan suling yang biarpun dilakukan perlahan namun telah dapat dia duga kehebatannya itu, dia cepat menampar dengan tangan kanannya. Jari-jari tangan kanan ini menegang dan kaku seperti baja. Tamparannya dilakukan keras sekali dengan maksud membuat suling itu remuk atau terlepas dari pegangan Kwan Cu.
Namun pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tak dapat di ukur tingginya. Baru melihat sekali saja dia sudah tahu kemana tamparan itu di arahkan, maka sebelum tamparan datang, sulingnya sudah di tarik ke bawah dan tangan kirinya yang tadi di pentang, memukul ke depan sambil tubuhnya diputar sedemikian rupa dan cepat sekali sebelah kakinya menendang ke arah Mo Keng Hosiang!
Bukan main hebatnya serangan ini dan amat indah pula gerakannya sehingga terdengar pujian, "Bagus sekali!" Yang memuji ini adalah Kiam Ki Sianjin yang berdiri menonton saja.
Seperti sikap Bu-eng Sian-hiap ketika menonton pertempuran antara Kwan Cu dengan An Lu Kui bersama dua orang pembantunya, kini Kiam Ki Sianjin juga menonton saja, enggan membantu dua orang hwesio itu yang memang tidak disukainya. Namun diam-diam dia amat memperhatikan gerakan pemuda aneh itu dan makin lama kedua mata tosu ini makin Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
389 terbelalak lebar karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan ilmu silat demikian anehnya seperti yang dimainkan oleh pemuda pemegang suling itu!
Kiam Ki Sianjin adalah seorang kang-ouw yang ulung dan banyak pengalaman. Telah banyak dia melihat ilmu silat tinggi-tinggi dan aneh-aneh. Bahkan dia dapat mengenal ilmu silat dari lima tokoh besar dunia persilatan, yakni ilmu-ilmu silat dari Ang-bin Sin-kai, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, dan Kiubwe Coa-li . Akan tetapi belum pernah dia melihat ilmu silat yang di mainkan oleh pemuda ini. Tadi dia mendengar seruan An Lu Kui bahwa pemuda ini adalah murid dari Ang-bin Sinkai dan memang betul, gerakan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia perhatikan, ternyata banyak sekali perbedaannya. Pemuda ini bergerak seenaknya saja seperti bukan orang main silat, lebih patut disebut main-main saja, seperti seorang pemuda tidak becus main silat yang pura-pura mau bermain silat. Akan tetapi, semua gerakannya tepat sekali menghindarkan diri dari serangan kedua lawannya dan biarpun gerakannya ketolol-tololan, namun bukan main hebatnya. Apalagi setelah dia memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu kini bersilat tepat seperti ilmu silat yang dimainkan oleh kedua lawannya, Kiam Ki Sianjin menjadi bengong! Tiap kali diserang oleh Mo Beng Hosiang, pemuda iti melayani hwesio tangan kilat itu dengan ilmu silat yang mirip sekali dengan Pek-lek-sin-jiu! Adapun apabila Mo Keng Hosiang yang menyerang, juga pemuda ini
menghadapinya dengan ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Ruyung Pemecah Gunung itu.
"Iblis muda dari manakah dia" Ilmu silat apa yang telah dia pelajari?" Demikian Kiam Ki Sianjin bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri. Tosu yang cerdik itu sengaja tidak mau turun tangan lebih dulu, bukan saja karena dia memang tidak suka membantu dua orang hwesio kepercyaan putera mahkota yang diam-diam dimusuhi pula oleh muridnya, Si Su Beng, akan tetapi juga dia hendak mempelajari lebih dulu gerakan pemuda itu untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaiannya agar nanti kalau dia harus menghadapi pemuda itu, dia sudah dapat mengetahui cara bagaimana harus melawannya.
Adapun Kwan Cu, setelah beberapa puluh jurus menghadapi keroyokan dua orang hwesio itu, diam-diam terkejut. Baru kali ini dia menjumpai lawan-lawan yang benar-benar tangguh.
Kisah Si Bangau Putih 9 Pendekar Cacad Karya Gu Long Dewi Ular 8