Pencarian

Pendekar Sakti 16

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
451 Di lain fihak, Kong Hoat juga didesak hebat oleh para bajak yang kini mempergunakan jala untuk mengalahkannya.
"Kwan Cu, mengapa kau diam saja?" Sui Ceng berseru gemas melihat pemuda ini masih enak-enak saja duduk di bawah pohon.
"Sebentar aku rampas jala-jala mereka," kata Kwan Cu yang cepat mengeluarkan sulingnya, kemudian dia berlari menghampiri Sui Ceng karena selain dia lebih menghawatirkan keselamatan gadis ini, juga dalam pertempuran dua rombongan itu, Sui Ceng yang lebih berbahaya kedudukannya karena selain dikeroyok oleh para bajak, juga di situ ada Oei Liong dan Oei Hwa yang lihai.
Dengan gerakan yang kaku dibuat-buat, Kwan Cu menyerbu dengan sulingnya. Ia tidak menyerang siapapun juga, hanya menanti dan ketika ada jala seorang bajak laut dilemparkan ke atas untuk menangkap Sui Ceng, tubuhnya berkelebat, sulingnya digerakkan ke arah jala dan tahu-tahu jala itu robek di tengah-tengahnya, tak dapat dipergunakan lagi. Lain jala menyambar, Kwan Cu mengulur tangan kirinya dan tahu-tahu jala ini telah dirampasnya, disendal cepat dan putuslah tali jala yang dipegang oleh bajak itu!
Sui Ceng kagum dan memuji kecerdikan Kwan Cu, sungguhpun ia melihat bahwa semua itu bukan karena kepandaian Kwan Cu, melainkan karena kecerdikannya. Ia segera meniru perbuatan Kwan Cu, menyambut setiap jala,disambar dan ditarik kuat-kuat sehingga tali jala menjadi putus!
"Kanda, mengapa engkau membantunya" Dia membikin susah pada kami!" seru Oei Hwa dengan kecewa sekali.
"Kwan Cu, calon isterimu itu bawel sekali, perlu digampar mulutnya!" kata Sui Ceng gemas dengan suara menghina, dan ia cepat melompat ke arah Oei Hwa, Benar-benar mengirim pukulan atau tamparan pada muka Oei Hwa.
Dalam menampar ini, Sui ceng mempergunakan gerak tipu Yu-coan-hoa-jiu (Pukulan Menembus Bunga), maka biarpun tidak hebat datangnya, namun sukar dielakkan.
"Plak!" sebelah pipi Oei Hwa kena ditampar oleh Sui Ceng sehingga kelihatan bekas kemerah-merahan dan bibir yang terkena tamparan juga menjadi berdarah. Sui Ceng tertawa girang dan puas, akan tetapi sebaliknya Oei Hwa menjadi marah sekali.
"Liong-ko, terpaksa aku harus menghancurkan kepala budak ini!" seru Oei Hwa marah sekali dan ia cepat melemparkan pedang di tangan kirinya ke arah Sui Ceng. Lemparan pedang ini adalah ilmu timpuk yang disebut Kim-liong-touw-ka (Naga Emas membuka Pakaian) dan hebatnya buka main. Pedang itu meluncur bagaikan kilat cepatnya, menyambar ke arah dada Sui Ceng.
Tentu saja Sui Ceng terkejut sekali karena ini benar-benar tak pernah disangka-sangkanya, dan tahu-tahu sudah ada "pedang terbang" menuju ke dadanya. Ia cepat melempar tubuh ke kiri akan tetapi tubuhnya masih akan terserempet pedang kalau tidak pada saat itu, pedang yang meluncur tadi tahu-tahu berbunyi "tring...!" dan menyeleweng ke pinggir!
Sui Ceng cepat memasang kuda-kuda dan Oei Hwa yang melihat timpukan pedang kirinya meleset, segera melompat maju dan memutar pedang di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya cepat mencabut lipatan jalanya. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika melihat betapa jalanya itu sudah hancur dan robek-robek.
Semua itu adalah perbuatan Kwan Cu yang bekerja dengan cepat dan diam-diam,
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
452 mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang tinggi tanpa diketahui oleh siapapun juga. Tadi ketika melihat Oei Hwa bergerak, dia sudah tahu bahwa nona ini hendak mempergunakan pedang untuk menimpuk, maka dia segera menyusul timpukan itu dengan batu kecil sehingga pedang tadi tidak dapat mengenai tubuh Sui Ceng. Kemudian dengan gerakan seperti seorang yang mainkan ilmu silat secara ngawur, dia menggerakkan sulingnya ke sana ke mari dan dalam keadaan kacau balau itu dia telah berhasil merusak jala-jala dari Oei Hwa, Oei Liong, dan beberapa orang bajak lain yang berdekatan!
Setelah melihat bahwa keadaan Sui Ceng tidak berbahaya lagi, dia menenggok ke arah Kong Hoat. Alangkah kagetnya keetika melihat pemuda kasar ini telah tertangkap oleh jala, dan pemuda ini mengamuk, memutar dayung di dalam jala itu sehingga para bajak tidak berani mendekat, hanya menambah jala untuk memperkuat kurungan sehingga sebentar saja tubuh Kong Hoat sudah dikurung oleh tujuh helai jala. Ia benar-benar seperti seekor ikan buas tertangkap di dalam jala, bergerak-gerak dan meronta-ronta tanpa dapat keluar dari jala, akan tetapi juga mereka yang menangkapnya tidak berani turun tangan!
Kwan Cu cepat melompat dan dengan sulingnya dia menyontek jal-jala itu. Para bajak menyerbu, akan tetapi dengan amat lincah dan gerakan lucu dibuat-buat seakan-akan gerakannya kaku, Kwan Cu mengelak dan memutari jala. Ia seperti sedang main kucing dan tikus, dikejar-kejar oleh para bajak dan menggelilingi jala itu. Akan tetapi, Kwan Cu diam-diam mempergunakan kepandaiannya. Suling di tangannya yang dipegang ketika dia berlari-lari mengitari jala menjauhi para bajak, diam-diam telah merobek jala itu di sana sini sehingga tiba-tiba Kong Hoat merasa jala itu mengendur. Ketika nelayan ini mempergunakan dayungnya mengangkat, ternyata jala-jala itu telah robek dengan mudah saja dia keluar dari situ.
"Jahanam keparat, rasakan pembalasanku!" seru nelayan ini dengan marah dan dayungnya mengamuk hebat sekali.
Kwan Cu kembali duduk di bawah dibawah pohon sambil menonton pertempuran. Ia melihat Sui Ceng kini hanya dikeroyok dua oleh Oei Hwa dan Oei Liong, karena para anak buah bajak sudah pada mengundurkan diri, Tidak berani lagi menghadapi gadis perkasa itu.
Adapun Kong Hoat juga dijauhi oleh lawan-lawannya setelah dia berhasil menyapu roboh enam orang bajak lagi. Melihat Sui Ceng di keroyok, Kong Hoat lalu berlari-lari sambil menyeret dayungnya, langsung membantu Sui Ceng.
Pertempuran terpecah dua, Sui Ceng menghadapi Oei Hwa sedangkan Kong Hoat mengamuk dan menyerang Oei Liong. Hebat sekali pertempuran ini dan kepandaian mereka seimbang, hanya bedanya Kong Hoat lebih mengandalkan tenaga besar sedangkan Oei Liong lihai sekali permainan goloknya dan lebih cepat gerakkannya.
Adapun pertandingan antara Sui Ceng dan Oei Hwa tidak begitu ramai, karena memang tingkat kepandaian Sui Ceng jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Oei Hwa. Setelah kini tidak dikeroyok lagi. Sui Ceng menggerakkan sabuk merahnya demikian cepatnya sehingga Oei Hwa menjadi pening dan tak lama kemudian ia menjerit, terhuyung-huyung dan roboh telentang tak bergerak lagi. Ujung sabuk di tangan Sui Ceng telah menotok jalan darah kematian di dadanya!
Melihat Kong Hoat terdesak oleh Oei Liong, Sui Ceng cepat menggerakkan sabuknya. Pada saat itu, golok Oei Liong tengah menyambar dari atas untuk dibacokkan ke arah kepala Kong Hoat, akan tetapi alangkah terkejut hati Oie Liong ketika tiba-tiba dia merasa goloknya terlepas dari tangan dan ketika dia menengok, ternyata bahwa goloknya itu telah terampas Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
453 oleh sabuk merah Sui Ceng. Kecut hati kepala bajak ini dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun.
Melihat ini, Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi Kong Hoat segera menggerakkan dayungnya dan sekali kemplang saja remuklah kepala Luan-ho Oei Liong.
"Saudara Kong Hoat, mengapa kau bunuh dia yang sudah tidak melawan?" tanya Sui Ceng dengan suara tidak puas, karena ia menganggap perbuatan Kong Hoat ini keterlaluan.
"Bun-lihiap, kejahatan seperti pohon liar dan untuk membasminya kita harus mencabut akarnya. Kalau kepalanya mati, anak buahnya masih ada harapan untuk kapok," kata Kong Hoat.
Kata-kata ini segera terbukti karena para anak buah bajak yang melihat dua orang pemimpin mereka tewas, sisanya lalu melempar senjata dan berlutut. Mereka khawatir kalau-kalau keluarga mereka yang tinggal di dusun itu dibasmi oleh tiga orang pendekar itu, maka cepat-cepat mereka memohon ampun.
"Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar), mohon sudi mengampuni kami."
Melihat bahwa kata-kata Kong Hoat ternyata benar, Sui Ceng lalu tersenyum dan berkata,
"Terserah kepadamu untuk meghadapi mereka, saudara Kong Hoat. Kau lebih mengerti bagaimana harus melayani mereka itu."
Kong Hoat lalu mengangkat dayungnya dan memalangkan dayung itu di depan dadanya, kemudian dia berkata,
"Kalian semua harus bersyukur bahwa dua orang kawanku yang gagah perkasa ini masih mengampuni jiwa anjingmu. Sekarang kalian harus dapat mengubah cara hidupmu. Kami takkan melarang kalau kiranya kalian membajak perahu-perahu pembesar pemerintah penjajah, atau minta sumbangan dari para hartawan. Akan tetapi, jangan bertindak sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh dua orang pemimpinmu yang sudah tewas.
Kalian kami bebaskan, akan tetapi hati-hati, kalau lain kali kami masih mendengar bahwa sepak terjangmu keterlaluan, pohon ini menjadi contohnya!" Setelah berkata demikian, Kong Hoat menggerakkan dayungnya ke arah sebatang pohon. Terdengar suara keras dan pohon itu tumbang karena patah dihantam oleh dayung itu.
Semua bajak menjadi pucat dan mengangguk-angguk menyatakan taat akan pesanan ini.
"Ketahuilah, bahwa kawan-kawanku ini adalah pendekar-pendekar berilmu tinggi, sedangkan aku sendiri biarpun tidak ternama akan tetapi kiranya kalian sudah mendengar nama ibuku, yakni Liok-te Mo-li!"
Mendengar nama ini, benar saja semua bajak itu menjadi gemetar seluruh tubuh mereka dan saling memandang dengan gelisah. Nama Liok-te Mo-li siapakah yang tidak pernah mendengarnya" Wanita sakti itu boleh dibilang menjadi ratu dari segala bajak air, karena selain sakti, juga pandai sekali dalam air dan ganasnya terhadap penjahat luar biasa.
"Hamba sekalian akan mentaati perintah dan tidak berani melanggarnya," kata beberapa orang bajak itu.
"Nah, sekarang uruslah semua mayat ini dan ubah cara hidup kalian," kata pula Kong Hoat.
Kemudian tanpa banyak cakap lagi, Kong Hoat, Sui Ceng dan Kwan Cu keluar dari dusun itu.
Setelah tiba di luar hutan, Kong Hoat lalu menjura kepada Sui Ceng dan Kwan Cu, katanya Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
454 dengan sejujurnya.
"Ji-wi benar-benar hebat sekali, siauwte benar-benar tunduk atas kepandaian Ji-wi yang luar biasa tingginya. Mudah-mudahan saja kelak siauwte akan mempunyai keberuntungan untuk bertemu dengan Ji-wi. Selamat tinggal." Setelah berkata demikian, nelayan muda itu menyeret dayung dan pergi situ.
Sui Ceng dan Kwan Cu berpandangan dan Kwan Cu tertawa
"Kong Hoat benar-benar hebat dan mengagumkan. Akan tetapi kau lebih-lebih luar biasa sekali, Sui Ceng. Aku tunduk betul akan kepandaian."
"Akan tetapi kau lebih cerdik, Kwan Cu. Tadi aku benar-benar binggung sekali ketika dikurung oleh jala-jala itu. Baiknya kau datang dan memberi contoh yang amat baik. Aku percaya penuh bahwa dengan akalmu yang cerdik, kau akan mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silat. Eh, kata guruku, kau mungkin sudah mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Betulkah ini?"
Merah wajah Kwan Cu. tadi dia sudah berhasil menyembuyikan kepandaiannya, maka kini dia hanya menggeleng-geleng kepalanya tanpa memberi jawaban. Untuk menyimpangkan perhatian Sui Ceng dia tiba-tiba berkata,
"Sui Ceng, tadi kau kehilangan sepasang pedangmu, apakah kau tidak mau mengambilnya dulu" Bukankah tadi dirampas oleh Oei Liong?"
Sui Ceng benar saja lupa untuk bertanya-tanya lagi tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebaliknya ia menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Pedang-pedang itu pedang biasa saja, tanpa itu pun aku masih mempunyai ang-kin ini. Kalau pedang Liong-coan-kiam, barulah boleh disebut pedang baik!"
"Liong-coa-kiam" Pedang apakah itu dan milik siapa?" tanya Kwan Cu dengan suara girang karena dia berhasil mengalihkan perhatian Sui Ceng dari pertanyaan tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sui Ceng kelihatan kaget dan menyesal bahwa dia telah terlanjur bicara tentang pedang itu.
"Pedang Liong-coa-kiam adalah pedang peninggalan Menteri Lu Pin untukmu, berada di Goa Tengkorak."
Kwan Cu teringat akan tugasnya mengunjungi Goa Tengkorak, Maka dia lalu berkata cepat.
"Aah, aku harus ke sana sekarang juga! Aku perlu bertemu dengan kong-kong Lu Pin."
Sudah bergerak bibir Sui Ceng untuk menceritakn tentang kematian Lu Pin, akan tetapi ditahannya bibir itu. Memang, biarpun Sui Ceng pernah berkata akan pesan terakhir dari Menteri Lu Pin, namun Kwan Cu mengira bahwa kong-kongnya masih hidup, yakni menurut anggapan orang-orang di dalam istana.
"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Sui Ceng.
Kwan Cu nampak kecewa. "Benar katamu, Sui Ceng. Kau.......kau tentu tidak sudi melakukan perjalanan bersamaku."
Sui Ceng tertawa melihat sikap pemuda ini. "Bukan begitu, memang kita tidak mempunyai keperluan untuk melakukan perjalanan bersama. Bahkan aku mengajak kau berlomba, siapakah yang akan dapat memenuhi pesanan kong-kongmu itu lebih dahulu."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
455 "Hm" kau tidak adil. Kau sudah tahu akan pesanan itu, sedangkan aku belum. Baiklah, aku segera akan menyusulmu, Sui Ceng. Kita pasti akan bertemu lagi kelak."
"Selamat berpisah," kata Sui Ceng sambil memutar tubuhnya.
"Selamat berpisah sampai berjumpa kembali," kata Kwan Cu tanpa memutar tubuh, bahkan memandang kepada gadis itu yang mulai berjalan pergi. Akan tetapi tiba-tiba Sui Ceng membalikan tubuhnya sambil berseru.
"Kwan..." Ia terpaksa menghentikan panggilannya karena melihat bahwa pemuda itu ternyata belum pergi, masih berdiri memandangnya! Merah muka Sui Ceng melihat kenyataan ini.
"Ada apakah, Sui Ceng" Masih ada sesuatau yang harus kita bicarakan agaknya?"
"Aku lupa untuk bertanya tentang sikapmu tadi ketika kita masih dibelenggu," berkata sampai di sini, wajah nona itu menjadi makin merah dan sepasang matanya menyinarkan cahaya penasaran. "Kau bilang bahwa kau gembira sekali karena keaadan kita waktu itu menyatakan bahwa kita seakan-akan saling.......saling menikah" Mengapa" Mengapa kau gembira?"
Terbelalak lebar sepasang mata Kwan Cu yang bersinar tajam dan berpengaruh itu. Perlahan-lahan kedua pipinya merah sekali. Akan tetapi, pemuda ini semenjak bersumpah di depan Liyani, gadis raksasa itu bahwa dia mencintai seoang gadis yang bernama Bun Sui Ceng, dia sering kali melamun dan bermimpi tentang gadis ini. Dan semenjak itu dia betul-betul merasa betapa dia mencintai Sui Ceng! Terdorong oleh kejujurannya, pula karena dia melihat bahwa Sui Ceng juga seorang gadis jujur, dia lalu memberanikan diri, menekan hatinya yang berguncang, lalu berkata dengan gagahnya.
"Mengapa aku gembira dapat menikah dengan engkau" Sui Ceng, karena aku.......aku cinta kepadamu!"
Sui Ceng bengong. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian terus terang, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan isi hatinya, mengaku cinta padanya. Akan tetapi ia lalu teringat akan sesuatu dan mukanya menyatakan kemarahan.
"Kwan Cu, bagus benar watakmu! Bukankaah kau sudah tahu bahwa aku ini tunangan The Kun Beng?"
"Memang aku sudah tahu," kata Kwan Cu mengangguk.
"Dan kau masih berani menyatakan ci.......cinta ...padaku?"
"Mengapa tidak?"
"Kau mengkhianati Kun Beng yang kau anggap kawan sendiri!"
Kwan Cu mengangguk. "Memang, akan tetapi kalau aku tidak berterus terang, bukankah itu berarti aku mengkhianati hati sendiri" Pula, terus terang saja kukatakan bahwa Kun Beng tidak berharga untuk menjadi suamimu!"
Makin terheranlah gadis itu dan untuk kedua kalinya ia bengong. Kemudian ia bertanya Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
456 bibirnya tersenyum mengejek, "Hm, dan kaupikir bahwa kaulah orang yang paling berharga untuk menjadi.........menjadi suamiku?"
Kwan Cu mengangguk. "Memang, begitulah pikiranku."
Sui Ceng membanting-banting kakinya. "Kau kurang ajar sekali, Kwan Cu. Kau besar mulut!
Kalau ada pedang di tanganku, tentu kau akan kuserang!"
"Kau sudah melakukan hal itu di atas perahu."
"Ya, akan tetapi terganggu, belum sampai aku menusuk dadamu."
" Kau ingin sekali membunuhku?"
"Ya, kalau kau begitu sombong, begitu kurang ajar, dan begitu rendah hati memburukkan nama orang lain di depanku."
"Dengan ang-kinmu itu pun kau dapat melakukan pembunuhan terhadapku, Sui Ceng.
Mengapa kau tidak lakukan hal itu?"
Sui Ceng tertegun. "Selain sombong".. kau" kau" "
"Ya"."
"Kau juga tabah sekali. Kau orang aneh, agaknya kau sudah sudah miring otakmu." Setelah berkata demikian, Sui Ceng lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Kwan Cu.
Kwan Cu mengangkat kedua tangan, meraba-raba kepalanya sendiri dan menggerutu.
"Benar-benarkah sudah miring otakku" Mengapa aku begini tergila-gila setelah melihatnya"
Ah". jangan-jangan sudah miring benar-benar otakku". " Sambil menggerutu dan mengeluh panjang pendek, Kwan Cu pergi dari situ, langsung menuju bukit di mana terdapat Goa Tengkorak, tempat bersembunyi kong-kongnya, yakni Menteri Lu Pin.
*** Di dalam Goa Tengkorak yang menyeramkan itu terdengar suara orang menangis.
"Kong-kong, aku bersumpah untuk membasmi keturunan An Lu Shan manusia jahanam itu!"
Terdengar orang yang menangis itu berkata dan suaranya lebih menyeramkan lagi karena bergema di dalam goa yang besar penuh tengkorak-tengkorak raksasa itu. Orang ini adalah Lu Kwan Cu yang berhasil mendapatkan Goa Tengkorak di mana kong-kong angkatnya telah meninggal dunia. Ketika memasuki goa, Kwan Cu belum mengetahui bahwa Menteri Lu Pin telah meninggal dunia, akan tetapi setelah dia membaca tulisan berukir di dinding, mencabut pedang Liong-coan-kiam, lalu menuju ke hio-louw, dia melihat makam kong-kongnya itu dan menangislah dia. Hatinya amat terharu. Mereka itu dua saudara yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan. Lu Sin dan Lu Pin. Dan keduanya merupakan orang-orang yang amat dijunjung tinggi dan dikasihani oleh Kwan Cu. Kini keduanya tewas karena membela kebenaran, membela negara dan bangsa. Dan hanya dia seoranglah yang berkewajiban membalas dendam, atau lebih tepat lagi berkewajiban melanjutkan cita-cita mereka berdua.
Kemudian Kwan Cu meninggalkan goa itu setelah menutupi goa itu dengan batu-batu dan alang-alang seperti yang dilakukan oleh Sui Ceng dulu. Hati dan pikirannya penuh cita-cita, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
457 dan dia merasa sebagai seorang yang memanggul banyak macam tugas kewajiban. Pertama-tama, dia akan membalas dendam kepada para pembunuh Ang-bin Sin-kai, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin dan para pembantu mereka. Ke dua, dia akan mencari keluar An Lu Shan dan akan membunuh mereka semua, sesuai dengan pesan kong-kongnya, Menteri Lu Pin. Urusan ke tiga, dia juga harus mencari Kun Beng dan Swi Kiat, untuk memenuhi permintaan Gouw Kui Lan, gadis yang bernasib malang itu.
Berpikir tentang Kun Beng dan Swi Kiat, Kwan Cu teringat akan Bun Sui Ceng. Hatinya berdebar kalau dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu beberapa hari yang lalu. Sui Ceng benar-benar telah menjadi seorang gadis yang melampaui keindahan gadis dalam mimpinya. Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis itu, dan hatinya perih kalau teringat bahwa gadis itu telah ditunangkan dengan Kun Beng. Bukan perih karena cemburu atau iri, melainkan karena dia mendapat kenyataan batwa Kun Beng bukanlah seorang pemuda yang patut menjadi suami Sui Ceng. Bukankah Kun Beng telah melakukan hal yang amat rendah terhadap Gouw Kui Lan" Tidak, Kun Beng tidak seharusnya menjadi suami Sui Ceng. Dia akan mencegah terjadinya perjodohan itu! Kasihan kepada Kui Lan, juga kasihan kepada Sui Ceng.
Dengan cepat Kwan Cu melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena dia hendak menyelidiki betul-betul di mana dia dapat mencari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan musuh-musuh yang lain. la teringat kepada Lu Thong, cucu kong-kongnya yang berhati khianat itu, ia akan mempergunakan kekerasan, memaksa Lu Thong mengaku di mana adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Juga dia akan mengunjungi An Kong putera An Lu Kui. Kali ini dia akan membunuh orang ini, juga An Lu Kui, karena mereka ini adalah keluarga An Lu Shan.
Semenjak Kwan Cu menyerbu ke kota raja dan berhasil menolong Kui Lan keluar dari gedung An Kong, tembok kota raja dijaga makin keras. Jangankan manusia biasa, seekor burung pun agaknya tak mungkin lewat di atas tembok kota raja tanpa terlihat oleh para penjaga yang banyak jumlahnya dan yang melakukan penjagaan secara bergilir .
Akan tetapi Kwan Cu bukanlah manusia biasa, juga bukan burung yang tidak mempunyai akal budi. Dengan gerakannya yang amat gesit, Kwan Cu dapat melewati penjagaan dan melompat ke atas tembok, mempergunakan kegelapan malam sehingga dia dapat masuk ke kota raja tanpa terlihat oleh siapapun juga.
Ternyata bahwa kota raja telah terjadi perubahan besar. Di antara mereka yang bersaingan merebutkan kedudukan, Si Su Beng kawan pemberontak An Lu Shan telah berhasil
membunuh putera An Lu Shan yang dulu membunuh ayahnya sendiri. Kemudian Si Su Beng berhasil menduduki tempat tertinggi. Hal ini adalah berkat bantuan jago-jagonya, terutama sekali berkat bantuan Kiam Ki Sianjin, tosu yang berjuluk Pak-kek Sian-ong itu.
Biarpun diam-diam An Lu Kui dan kaki tangannya menaruh hati dendam karena pangeran yang terbunuh itu adalah keponakannya sendiri, namun An Lu Kui tidak berani berbuat sesuatu. Hanya diam-diam dia mengumpulkan kawan-kawannya mencari jalan untuk
merampas kembali kedudukan yang dipertuan di Kerajaan Tang yang sudah dirampasnya itu.
Malam itu gelap dan dingin sekali hawanya. Kwan Cu pertama-tama segera menuju ke rumah gedung di mana tinggal An Kong pangeran botak putera An Lu Kui yang dulu pernah diserbunya ketika dia menolong Gouw Kui Lan. Baginya An Kong juga keturunan atau keluarga An Lu Shan maka patut dibinasakan. Lagi pula, manusia macam An Kong itu memang sudah pantas kalau menerima hukuman mati, karena hidupnya hanya mengotorkan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
458 dunia dan melakukan kejahatan dan kekejian belaka.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kwan Cu berhasil mengintai ke dalam. Di ruang tengah dia melihat An Kong tengah bercakap-cakap dengan dua orang perwira yang dikenalnya sebagai panglima-panglima pembantu An Lu Kui yang dulu pernah dikalahkan. Mereka itu adalah Cang Kwan yang berwajah brewok dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi yang bagi Kwan Cu bukan apa-apa. Melihat An Kong, bangkit amarah di dada Kwan Cu, karena tidak saja pangeran botak ini mengingatkan dia akan Kui Lan yang bernasib malang, akan tetapi dia juga teringat, akan keluarga Lu yang terbinasa karena kekejaman keluarga An.
"An Kong anjing botak, aku datang untuk mengambil nyawamu!" kata Kwan Cu sambil melayang ke bawah. Tadi ketika mengintai, dia mempergunakan dua kakinya dikaitkan pada balok melintang di bawah genteng dan kini tubuhnya melayang bagaikan seekor garuda menyambar.
An Kong dan dua orang panglima itu terkejut sekali. Pangeran botak ini cepat mencabut cambuk dan kebutannya, dan melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang pernah merobohkannya dan merampas Kui Lan yang membuatnya tergila-gila, dia marah sekali.
"Bagus, kau datang mencari mampus!" serunya dan sebelum tubuh Kwan Cu tiba di atas lantai, kebutan dan cambuknya sudah menyambar dari kanan kiri.
Akan tetapi kali ini kedatangan Kwan Cu bukan untuk main-main atau menguji
kepandaiannya. la datang dengan maksud membunuhi musuh-musuh besar yang membuat Menteri Lu Pin sekeluarga terbinasa secara sia-sia. Begitu melihat kebutan dan cambuk melayang dari kanan kiri, dengan sekelebatan saja dia sudah melihat dari pundak orang ke mana arah tujuan serangan ini. Tingkat kepandaian pemuda ini setelah menguasai pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng memang tak dapat diukur lagi tingginya. Ia sudah mengatahui semua pokok dasar segala macam serangan ilmu silat, maka menghadapi serangan dari An-kong, dia telah tahu bagaimana untuk melayaninya. Dengan tangan kirinya, dia menggunakan gerak tipu Kong-ciak-siu-po (Burung Merak Sambut Mustika), yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya sendiri Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak). Dalam sekejap mata sebelum An Kong tahu apa yang telah terjadi, cambuknya telah kena dirampas oleh tangan kiri Kwan Cu. Pemuda sakti ini tidak berhenti sampai di situ saja, dan pada saat kedua kakinya sudah menginjak lantai, tangan kanannya bergerak melakukan pukulan Pek-in-hoat-sut, menghantam ke arah kebutan yang memukul dari kanannya.
"Krak!" terdengar kebutan itu patah berikut tulang lengan An Kong disusul oleh menjeritnya pangeran botak itu yang terlempar ke belakang dan roboh sambil mengerang-erang kesakitan.
"Kau kejam sekali! Ada permusuhan apakah antara kau dan aku maka datang-datang kau menjatuhkan tangan maut?" teriak An Kong sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tidak saja dia terheran-heran dan amat kagum, akan tetapi dia juga amat ketakutan melihat sinar mata Kwan Cu yang tajam berpengaruh.
"Ingat saja apa yang sudah terjadi dengan keluarga Lu. Kau sebagai keluarga An harus mati."
Setelah berkata demikian, dari tempat dia berdiri, Kwan Cu mengarahkan pukulan kepada pangeran botak itu. Biarpun jarak antara mereka ada dua tombak, dan tangan Kwan Cu tak pernah menyentuh dada An Kong, namun pangeran ini menjerit dan tewas pada saat itu juga karena hawa pukulan Pek-in-hoat-sut yang keluar dari pukulan tangan Kwan Cu telah menghancurkan isi dadanya!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
459 Untuk sesaat, dua orang perwira pembantu An Lu Kui berdiri bengong dan tak dapat berkata-kata. Akan tetapi melihat pangeran itu rebah miring tak bernapas lagi, mereka menjadi marah dan segera menyerbu dengan senjata di tangan. Namun Kwan Cu tentu saja tidak gentar, dan dia pun tidak sudi melayani orang-orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusannya.
Sekali tubuhnya bergerak dua orang perwira itu roboh tertotok. Mereka sendiri tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Memang, dengan penglihatannya yang sudah luar biasa, pula karena dia memiliki gerakan cepat sekali, Kwan Cu telah mendahului mereka dan sebelum serangan mereka sampai dia telah menotok mereka dengan kedua tangannya.
Kwan Cu menyeret tubuh Cang Kwan, si panglima brewok, dijambaknya rambutnya dan diberdirikan, lalu dibebaskannya dari totokan.
"Hayo katakan, di mana adanya An Lu Kui ?" bentaknya setelah orang itu terbebas dari totokan.
Cang Kwan gemetar ketakutan. Ia adalah seorang panglima yang sudah banyak pengalaman bertempur dan kepandaiannya boleh dibilang sudah menduduki tempat cukup tinggi. Akan tetapi dalam tangan pemuda ini, dia tak lebih seperti seorang bocah yang bodoh dan canggung saja.
"An-ciangkun berada di gedungnya sendiri " jawabnya perlahan.
"Di mana itu" Hayo kauantar aku!" Kwan Cu mengempit tubuh yang tinggi besar itu bagaikan seorang dewasa mengempit sebuah boneka, lalu tubuhnya berkelebat keluar dari ruang itu terus melayang naik ke atas genteng. Atas petunjuk Cang Kwan, mereka tiba di atas sebuah gedung yang angker di dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.
"Panggil An Lu Kui naik, lekas kalau minta nyawamu selamat!" Kwan Cu mengancam perlahan.
Karena sudah tidak berdaya dalam kempitan pemuda sakti ini, Panglima Cang Kwan lalu berteriak, suaranya parau memecah kesunyian malam,
"An-ciangkun, harap kau suka keluar, siauwte menanti di atas genteng. Penting sekali!"
teriaknya. Hening sesaat kemudian terdengar suara orang dari bawah genteng, terheran-heran.
"Eh, eh, eh, bukankah di atas itu Cang-ciangkun" Mengapa tidak turun saja?" itulah suara An Lu Kui, dan tak lama kemudian nampak bayangan orang di bawah genteng.
Kwan Cu melemparkan tubuh Cang Kwan ke bawah dan dia sendiri lalu melompat menyusul.
Karena tadi sudah berjanji hendak mengampuni nyawa panglima itu, Kwan Cu mendahului, sampai di tanah dan dengan sebelah kaki dia menendang tubuh yang jatuh itu, mencegah tubuh itu terbanting hancur. Akan tetapi tendangan ini cukup membuat Cang Kwan pingsan untuk beberapa lama.
Adapun An Lu Kui ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama Cang Kwan, menjadi terkejut sekali dan hendak berlari masuk. Namun dia kalah cepat dan dengan sebuah pukulan tangan kiri, Kwan Cu membuat An Lu Kui roboh terguling dengan tulang iga patah-patah!
"lnilah pembalasan dari keluarga Menteri Lu Pin yang telah binasa oleh keluargamu!" kata Kwan Cu. Melihat panglima itu masih bergulat dengan maut, pemuda ini tidak tega dan sekali dia mengerahkan tenaga Pek-in-hoat-sut memukul ke arah An Lu Kui, panglima itu tewas tanpa banyak penderitaan lagi.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
460 Tiba-tiba berkelebat empat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Kwan Cu telah dikurung oleh empat orang kakek. Tiga orang di antaranya adalah tosu-tosu yang berjenggot panjang. Kwan Cu segera mengenal bahwa seorang di antara tiga tosu itu bukan lain adalah Kiam Ki Sianjin yang lihai, dan tosu ke dua dia masih ingat adalah Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang pernah dibasmi oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai. Yang seorang lagi adalah seorang hwesio berkepala gundul yang bertubuh gemuk. la tidak kenal siapa adanya hwesio ini dan tidak kenal pula tosu ke tiga, akan tetapi sikap mereka menunjukkan bahwa mereka pun memiliki kepandaian tinggi.
"Eh, eh, eh, dia sudah membunuh An-ciangkunl" seru Kiam Ki Sianjin kaget. "Anak muda, bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu K wan Cu, yang dulu pernah
menyerbu di istana ?"
Kwan Cu berdiri tenang dan tersenyum. "Benar, Kiam Ki Sianjin. Kau dan kawan-kawanmu datang apakah hendak menangkap aku?"
Empat orang kakek itu saling pandang dan tertawa. Mereka kagum melihat sikap pemuda yang amat tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.
"Bagus, bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai hati khianat ini. Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat terang."
Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng Sian-jin, dia telah menjadi panas perutnya. Inilah seorang di antara mereka yang mengeroyok gurunya, Ang-bin Sin-kai. Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu, maka seketika itu juga dia mempunyai niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya itu pula. Oleh karena itu, tanpa banyak kata lagi dia mengikuti empat orang kakek itu menuju ke sebuah bangunan yang paling tinggi di antara semua bangunan di situ.
Ruang depan bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya pergi.
Kwan Cu mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata akan tetapi matanya melirik ke arah Pek-eng Sianjin dengan penuh kebencian.
"Orang muda she Lu, apakah kau membunuh An-ciangkun atas suruhan Pangeran Lu Thong?" Kiam Ki Sianjin bertanya setelah dia mempersilakan pemuda itu duduk menghadapi meja bundar yang terukir indah.
"Aku tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong. Aku membunuh An Lu Kui dan juga An Kong, karena aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam An Lu Shan dan kaki tangannya."
"Hm, kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu, karenanya kami juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua, sayang sekali masih ada seorang yang sempat melarikan dirinya. Dialah keturunan terakhir dari An Lu Shan."
"Siapakah dia ?" Kwan Cu mendesak karena dia memang tertarik mendengar bahwa masih ada keturunan An Lu Shan yang masih hidup.
"Namanya An Kai Seng, entah dia kini berada di mana. Akan tetapi dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan-kawan."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
461 "Aku pasti akan mendapatkannya!" kata Kwan Cu tegas.
"Bagus, kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas semua sampai habis!" kata Kiam Ki sianjin yang merasa diri amat cerdik telah dapat mempergunakan tenaga Kwan Cu secara tidak langsung untuk membasmi orang-orang yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja baru yang menjadi majikannya! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan menduduki tempat tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena maklum bahwa keluarga An Lu Shan tentu akan menaruh hati dendam, diam-diam Si Su Beng menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk membasmi saja semua orang yang dapat mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini bertemu dengan Kwan Cu, dengan cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan merasa diri amat pandai.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini tertawa bergelak.
"Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu tak bertulang itu menyemburkan kata-kata yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang macam kau ini tahu apa akan perjuangan membela rakyat" Kau sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah, menindas rakyat. Tak malukah kau sebagai seorang Han" Hah, memualkan perutku benar! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja kau akan pembalasan rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan kalau aku sudah menyelesaikan tugasku, aku pun akan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah asing dan memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau ini!"
Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya, bukan karena takut kepada ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang
setidaknya menikam ulu hati itu.
"Bangsat bermulut lancang! Kaukira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat keluar dengan kepala utuh dari sini" Kau mencari mampus sendiri!"
Kwan Cu tertawa mengejek. "Siapa takut padamu" Aku bahkan hendak bicara lebih dulu dengan babi kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!" la melangkah maju dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya. "Pek-eng Sianjin, mengakulah apakah kau dahulu ikut pula mengeroyok suhu Ang-bin Sin-kai sehingga suhu mengalami kebinasaan?"
"Pinto (aku) pinto tidak tahu apa-apa " jawab tosu itu dengan gugup. Memang dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin-kai ini, maka dia sudah gentar sekali.
"Hm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama saja. Kau harus mampus, kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan yang lain-lain!"
"Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!" Kiam Ki Sianjin membentak marah. "Kau bersikap seakan-akan kau tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun. Orang muda macam engkau hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan tadi" Ha, ha, ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!"
Adapun Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera teringat bahwa dia telah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun berkata, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
462 "Anak muda, biarpun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir pula di sana. Habis kau mau apakah?" Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin mencabut pedangnya dan bersikap gagah.
"Nanti dulu, Pek-eng Toyu, pinto yang menjadi tuan rumah dan pinto yang berhak memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!" Kiam Ki Sianjin mencegah dan dia melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang. "Lu Kwan Cu, apakah kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini" Mari kau layani aku barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula."
Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.
"Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula" Ingat, kali ini bukan pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-eng Sianjin. Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu perjuangan rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam lagu yang hendak kaunyanyikan!"
Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan pedang hitamnya, dia tidak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Maka kini dia berlaku cerdik dan dia hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu pukulan-pukulan yang aneh-aneh itu.
Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata,
"Kita memang tidak ada alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja kepandaian menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!" Kiam Ki Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah mempelajari dengan baiknya cara mempergunakan meja, bangku atau kursi sebagai senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba pada saat dia tidak bersiap dengan senjata tajam. la telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan itu. la sudah siap dengan sindiran-sindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu.
Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam ilmu silat pada pokok dasarnya yang dipelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata,
"Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!" Pemuda ini menoleh kepada Pek-eng Sian-jin dan berkata, "Tosu siluman, biarlah kau bernapas lega untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!"
"Jangan banyak mengobrol, lihat senjataku!" Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.
Kwan Cu terkejut. Tak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki Sianjin Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
463 dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata tajam yang lain. Ia cepat melompat untuk,menghindarkan diri, tidak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki Sianjin melakukan penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja sehingga bagi Kwan Cu sulit pula untuk melihat pergerakan pundak dan paha lawannya! Inilah yang dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan dapat melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia mempergunakan pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan dapat mengatur siasat serangannya!
Untuk belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana ke mari. Pukulan-pukulan dengan meja itu benar-benar hebat sekali, angin pukulannya sampai terasa oleh tiga orang kakek yang menonton pertempuran. Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan hawa pukulan itu!
Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi, tidak akan kalah tinggi kiranya oleh tingkat dari lima tokoh besar, sungguhpun namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka. oleh karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya sakit dan penasaran bukan main. la prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa rajinnya, bahkan memperpanjang waktu samadhinya dan memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga lweekangnya.
Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia hendak membalas kekalahannya yang dulu. Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai. Bagaimana seorang dapat mempergunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik" Tak salah lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah tangga ini.
Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Ia segera mengerahkan ginkangnya dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin, Kwan Cu mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit! Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu silat meja itu.
Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga kewalahan.
Mejanya tak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.
"Roboh kau!" seru Kiam Ki Sianjin.
"Sabar, orang tua," jawab Kwan Cu yang cepat menggerakkan kedua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga. Adapun meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.
"Bagus sekali!" Kiam Ki Sianjin tak terasa lagi memuji saking kagumnya melihat betapa Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
464 dengan mudah pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.
Akan tetapi tiba-tiba Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi hanya dielakkan oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu, melainkan heran karena pemuda itu mainkan silat meja yang tadi dimainkannya! Ilmu silat meja itu adalah ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini dapat meniru sedemikian baiknya" Apakah di waktu dia berlatih dalam kamarnya, pemuda ini diam-diam mengintainya"
Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, biarpun keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kalipun juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak mempergunakan ginkangnya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras. Dua meja bertumbukan di udara.
"Krakkk!" Dan meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa kaki meja yang dipegang oleh kakek ini telah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga "senjata" itu masih berada di tangannya.
Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. la tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu telah menggunakan tangan kirinya memukul meja dan berkat lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya. Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin masih penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk mengambilnya kembali. Terpaksa dia lalu tersenyum pahit dan berkata,
"Lu Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, pinto minta pengajaran darimu." .
Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat. Maka dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh, "Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum sekali. Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan Pek-eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas." Kwan Cu lalu menoleh kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek,
"Pek-eng Sianjin, marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan perhitungan!"
Pek-eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Ia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja tidak dapat merobohkan pemuda ini, apalagi dia. Tanpa malu-malu dia lalu berka ta kepada Kwan Cu,
"Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai, kau telah berlaku ngawur saja kalau menantang pinto. Ketahuilah bahwa sesungguhnya pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan yang membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dan Toat-beng Hui-houw.
Kalau tidak percaya, kauboleh tanya kepada Kiam Ki Sianjin atau kepada siapapun juga."
Kwan Cu merasa ragu-ragu, dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-benar tidak berdosa.
"Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
465 "Memang begitulah sepanjang yang pinto dengar, akan tetapi pinto tidak menyaksikan sendiri, bagaimana pinto dapat menanggung?" jawab Kiam Ki Sianjin. Sebetulnya, tosu ini biarpun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng Sianjin tidak ikut membunuh Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi sikap Pek-eng Sianjin dianggapnya amat pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.
"Betapapun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok suhu," akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-eng Sianjin.
Pucatlah muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang amat besar.
Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik. Kalau dia menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan orang, masih ada waktu kelak untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu berkata,
"Pinto bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi kehormatan dan nama baik pinto."
Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin yang sudah dia ketahui kwalitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran, biarpun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya, setidaknya dia telah memberi tamparan kepada batinnya.
"Pek-eng Sianjin, baik sekali kau mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau takkan mampu dan berani mengeroyok mendiang guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu." Kembali Kwan Cu tertawa.
Menggigil tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora marahnya. Ia telah dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dengan mata bernyala-nyala dia berkata,
"Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu itu, aku menantangmu untuk mengadu kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san. Beranikah kau datang ke sana memenuhi tantanganku?"
Kwan Cu tersenyum menyindir. "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok" Akan tetapi jangan khawatir, aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!"
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu.
Sebelum Kwan Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan Cu, segera mengebutkan lengan bajunya dan menghadapinya sambil tersenyum.
"Nanti dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda memiliki kepandaian tinggi dan watak yang sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah murid Ang-bin Sin-kai si pengemis itu?"
Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini pendek bundar, mulutnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat daripada kain mahal dan mewah. Sinarnya matanya memandang rendah sekali, karena memang
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
466 sesungguhnya hwesio ini tidak percaya kalau pemuda sehijau ini memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.
"Losuhu siapakah dan ada maksud apa mengajak bicara kepadaku?" jawab Kwan Cu acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya.
Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil berkata, "Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai tamu, sudah seharusnya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar dengan pemuda ini.
Sudah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-bin Sin-kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia telah keburu meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu."
Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat sampai di mana kehebatan hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu dan berkata,
"Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-pai.
Bian Ti Losuhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu, apakah kau berani menghadapinya?"
Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka menghadapi hwesio itu, Kwan Cu tentu saja menyatakan tidak sudi, karena memang pemuda ini tidak ingin bertempur dengan orang-orang yang tiada urusan dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi tokoh Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali menerima!
"Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda berterima kasih akan diberi pelajaran," jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan memandang kepada Bian Ti Hosiang.
Hwesio ini mencabut pedangnya dan berkata, "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar gembira dapat mencoba kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu, keluarkanlah pedangmu yang kausembunyikan di balik jubahmu itu."
Kwan Cu terkejut. Ia memang membawa pedang Liong-coan-kiam, peninggalan dari
kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Ia telah mengambil keputusan untuk mempergunakan pedang itu hanya jika menghadapi musuh-musuh besarnya.
Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan pedang Liong-coan-kiam karena kepandaian mereka masih amat rendah baginya. Kalau kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-beng Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam. Kini hwesio gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia
membawa-bawa sebatang pedang, hal itu menandakan bahwa mata hwesio ini tajam sekali. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti Hosiang dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini berhadapan dengan tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Maka dia lalu menjura sambil tertawa.
"Ah, tidak tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Ho-siang Locianpwe dari Bu-tong-pai. Kiam-hoat {ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor di seluruh jagad, mana boanpwe berani mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu pedang lain"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
467

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apalagi di antara boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini." Kwan Cu mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini tidak dirampas oleh bajak sungai.
Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda yang pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda dengan kata-kata yang ditujukan kepada Pek-eng Sianjin tadi. Akan tetapi, di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai, yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya memegang sebatang suling bambu! Ia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Kl Sianjin segera tersenyum berkata,
"Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai dan membabat putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"
Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Kalau dia bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling itu dan hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk
menimbulkan pengaruh lweekangnya,
"Lu-sicu, bersiaplah menghadapi pedangku!" Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-kiam-kiat-ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat yang lihai.
Namun siasat ini terhadap Kwan Cu tidak mempan sama sekali karena pemuda ini sudah tahu akan maksud lawan sungguhpun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni menggunakan Tian-kiam-kiat-ciang yang sama baiknya dengan gerakannya. Bahkan pemuda yang bergerak belakangan ini, jauh lebih cepat dari dia.
Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dulu digerakkan menyamping membabat pedang! Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu ketika pedangnya yang hendak membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.
Pedangnya tergetar ketika beradu dengan suling dan K wan Cu yang cerdik tentu saja tidak mau mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Namun dalam pertemuan
senjata ini, dia sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekangnya. Maka dia menjadi lebih tabah menghadapi pedang lawan.
Bian n Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu mempunyai gerak tipu yang sama atau hampir sama atau hampir sama dengan Tian-kiam-kiat-ciang, atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini. Maka dia lalu memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu pedang Hoa-khai-tiauw-yang (Bunga Mekar MenghadapMatahari). Ilmu pedang ini boleh dibilang adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat) ketika dia memainkan Hoa-khai-tiauw-yang ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat bergulung-gulung mengitari tubuh Kwan Cu.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
468 Untuk sesaat Kwan Cu melengak. Tak disangkanya bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai memang benar-benar hebat luar biasa. Cepat-cepat dia mempergunakan ginkangnya, bergerakan memutar menurut gerakan pedang lawan, akan tetapi lebih cepat lagi sambil kadang-kadang menyentuh pedang itu apabila terlalu mendekati tubuhnya. Juga dengan gerakan Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) dia dapat menyentil pedang dengan telunjuk tangan kirinya sehingga beberapa kali terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Bian Ti Hosiang tergetar. Hal ini dilakukan oleh Kwan Cu karena dia hendak melihat baik-baik bagaimana jalannya ilmu pedang yang amat indah itu.
Setelah menghadapi serangan belasan jurus, giranglah hati Kwan Cu karena dia segera dapat mengenal "jiwa" atau isi dari pada ilmu pedang yang dimainkan oleh pendeta itu. Pokok dasar ilmu pedang itu adalah berdasarkan kedudukan Sha-kak-pouw (Kedudukan Kaki Segi Tiga) dan mengingatkan Kwan Cu akan gambar-gambar di goa Pulau Pek-hio-to yang juga di antaranya terdapat llmu Silat Segi Tiga. Dengan girang dia lalu memuji,
"Bagus sekali ilmu pedangmu, Locianpwe!"
Akan tetapi, mulutnya memuji demikian, sulingnya lalu bergerak, membalas serangan hwesio itu dengan ilmu pedang yang sama betul seperti yang dimainkan oleh Bian Ti Hosiang pada saat itu! Tadi Kwan Cu sudah diserang sampai delapan belas jurus. Dia tidak tahu berapa banyak macamnya jurus-jurus ilmu pedang lawan, akan tetapi kini dia mempergunakan jurus-jurus yang tadi dia lihat dimainkan oleh kakek ini.
Bian Ti Hosiang menjadi pucat. Ia mainkan jurus-jurus yang paling sulit, akan tetapi pemuda itu menghadapinya dengan jurus yang sama pula! Memang gerakan pemuda itu tidak begitu sempurna dalam mainkan jurus ilmu pedangnya ini, namun harus diakui lebih cepat dan lebih kuat dari padanya!
"Eh, bocah! Dari mana kau mencuri ilmu pedang partai Bu-tong-pai?" katanya tanpa menghentikan serangannya, bahkan membacok ke arah kepala Kwan Cu dengan gerak tipu Gunakan Kapak Membelah Kayu.
Kwan Cu mengelak dan membalas serangan itu dengan ilmu yang serupa, sambil menjawab,
"Gerakan ilmu pedang tidak dimonopoli oleh Bu-tong-pai sendiri. Siapapun boleh saja menggerakkan kaki tangan asalkan dia bisa!"
Sehabis berkata demikian, Kwan Cu lalu tiba-tjba mengubah ilmu silatnya dan kini sulingnya diputar cepat.
"Kau hanya bisa meniru-niru. Mana ilmu silat yang kaupelajari dari Ang-bin Sin-kai?"
Belum habis kata-kata itu, Bian Ti Hosiang terpaksa harus memutar pedang melindungi tubuhnya karena tiba-tiba suling di tangan pemuda itu lenyap dan dia merasa ada hawa dingin mengurungnya dari semua penjuru.
"Inilah ilmu pedang dari mendiang suhu!" kata Kwan Cu. Memang benar, dia telah mainkan ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat yang dulu pernah dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia memiliki kepandaian aseli dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, ilmu pedang itu berubah luar biasa sekali. Ang-bin Sin-kai sendiri kalau masih hidup dan melihat cara Kwan Cu mainkan Hun-khai Kiam-hoat, tentu akan terheran-heran dan kagum sekali. Dia sendiri takkan sanggup mainkan ilmu pedang itu seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu.
Hal ini tak perlu diherankan. Ilmu pedang tetap merupakan ilmu atau teori belaka. Betapapun Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
469 sulit dan hebatnya ilmu silat. Kalau yang melakukan atau memainkan masih dangkal kepandaiannya, takkan berarti apa-apa, bahkan makin tinggi ilmu silatnya dimainkan oleh orang yang masih rendah pengetahuannya, makin kacaulah ilmu silat itu. Sebaliknya, biarpun hanya mainan ilmu silat sederhana saja, kalau yang mainkan itu sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga lweekang serta ginkang yang sempurna, ilmu silat sederhana itu akan berubah menjadi ilmu silat yang hebat. Apalagi Hun-khai Kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan, diciptakan oleh Ang-bin Sin-kai, tokoh besar dari timur yang sudah amat terkenal namanya.
Setelah membikin bingung Bian Ti Hosiang sampai tiga puluh jurus lebih untuk
"memperkenalkan" kelihaian Ang-bin Sin-kai, Kwan Cu lalu menggunakan sulingnya menotok jalan darah di dekat siku hwesio itu sehingga tiba-tiba hwesio itu melompat mundur, tangan kanannya seperti lumpuh tak bertenaga lagi, akan tetapi jari-jari tangannya masih dapat mencengkeram gagang pedangnya sehingga tidak terlepas! Dengan lweekangnya yang tinggi, dia telah dapat memulihkan pula jalan darahnya. Ia menjadi merah mukanya. Tahulah hwesio itu bahwa pemuda lawannya benar-benar tidak mempunyai keinginan bermusuhan, karena kalau saja lawannya mau, sambungan sikunya tadi bisa ditotok sampai terlepas
"Omitohud! Ilmu pedang dari Ang-bin Sin-kai benar-benar hebat, pinceng kagum dan takluk.
Lebih hebat lagi kau yang masih begitu muda sudah memiliki kepandaian yang tinggi, Lu-sicu," katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Cianpwe terlalu memuji. Kalau Cianpwe tidak berlaku mengalah, mana boan-pwe Sanggup menandingi ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang demikian lihai?" jawab Kwan Cu. Untuk sikap orang yang demikian merendah, jujur dan baik, tentu saja dia tidak berani berlaku kasar.
Tiba-tiba tosu yang seorang lagi menggerakkan lengan bajunya dan sekali melompat dia telah berada di depan Kwan Cu. Berbeda dengan Bian Ti Hosiang, tosu ini tidak minta perkenan dari Kiam Ki Sianjin, melainkan terus saja menantang Kwan Cu.
"Eh, anak muda. Kau diberi hati menjadi makin sombong. Cobalah kau menghadapi pinto untuk beberapa belas jurus."
Melihat cara tosu ini melompat, Kwan Cu maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli lweekang yang telah memiliki ginkang luar biasa sekali. Pemuda itu menghadap kepada Kiam Ki Sianjin dan bertanya,
"Kiam Ki Sianjin, siapakah adanya Totiang ini?" ia tidak mau langsung bertanya kepada tosu itu, karena untuk sikap yang kasar dan memandang rendah Kwan Cu juga mengimbanginya.
"Lu-sicu, dia ini adalah Bin Hong Siansu, tokoh terkenal dari Kim-san-pai."
Kwan Cu terkejut. Ia sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu silat partai persilatan Kim-san-pai. "Sudah lama aku mendengar bahwa Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai adalah seorang tua yang bijaksana yang patut menjadi locianpwe, tidak tahu ada hubungan apakah Totiang ini dengan Bin Kong Siansu?"
Melihat pemuda itu tidak langsung bicara dengan dia, Bin Hong Siansu menjadi mendongkol sekali. Ia membentak keras, "Bin Kong Siansu adalah suhengku. Kulihat tadi kepandaianmu mengadalkan ginkang yang tinggi, marilah kita main-main sebentar dengan tangan kosong untuk menguji apakah kau dapat menandingi ilmu silat dari Kim-san-pai."
"Bin Hong Siansu, bukan aku yang menghendaki pertandingan, melainkan kau sendiri.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
470 Majulah!" Kwan Cu menantang dan cara dia bicara berbeda dengan ketika dia menghadapi Bian Ti Hosiang, karena dia sudah merasa mendongkol melihat sikap tosu ini.
Bin Hong Siansu bertubuh jangkung kurus dan jenggotnya panjang sekali. Dengan senyum mengejek dia lalu memasang kuda-kuda, kaki kirinya diangkat sedikit di depan tubuh, tangan kirinya dipentang jauh dan tangan kanan dikepal, ditaruh di pinggang. Inilah pembukaan dari Ilmu Silat Hek-tiauw-hoat (Ilmu Silat Rajawali Hitam).
Kwan Cu tidak mengenal ilmu silat ini akan tetapi dengan tabah sekali pemuda ini lalu meniru pembukaan itu dan menanti penyerangan lawan dalam keadaan seperti itu!
Bin Hong Siansu melihat sikap pemuda ini menjadi amat mendongkol dan gemas.
Pembukaannya itu bukanlah kuda-kuda biasa, melainkan sikap penyerangan yang amat berbahaya. Lawan yang menghadapinya dengan kuda-kuda biasa, betapapun tangguhnya, akan dapat dia serang dengan hebat dan jarang sekali serangannya ini gagal. Akan tetapi pemuda ini secara main-main telah berani meniru pembukaan ilmu silatnya, tanda bahwa pemuda itu hendak mempermainkannya dan memandang rendah.
"Awas batok kepalamu!" bentaknya keras dan tiba-tiba tangan kirinya yang tadi dipentang melakukan serangan, memukul miring dari atas menuju kepala Kwan Cu. Akan tetapi dengan diam-diam dan cepat sekali melebihi kecepatan pukulan pertama, kepalan tangan kananlah yang merupakan serangan penyebar maut, karena tangan kanan ini memukul ke arah ulu hati Kwan Cu, siap dibuka untuk mencengkeram apabila pukulan itu dielakkan atau ditangkis!
Kwan Cu belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian tosu ini, akan tetapi dia dapat menduga bahwa kepandaian tosu ini cukup tinggi, maka dia tidak berani berlaku gegabah.
Serangan itu tidak disambutnya, melainkan dielakkannya sambil meloncat mundur sejauh satu tombak. Akan tetapi, bagaikan bayangannya sendiri, tahu-tahu tosu itu telah meloncat pula dan menyerang terus lebih hebat dan cepat!
Kwan Cu terkejut. Ginkang kakek ini benar-benar sudah lihai sekali, namun dia tidak gentar.
Ia mengelak terus dan bahkan menguji kecepatan kakek itu tanpa membalas serangan. Maka berputaranlah dua orang itu, berloncat-loncatan ke sana ke mari. Kwan Cu yang mengelak meloncat mundur atau ke samping, sedangkan Bin Hong Siansu yang menyerang tentu saja meloncat ke depan. Namun jarak mereka masih saja sama, belum pernah satu kalipun serangan tosu itu mengenai tubuh Kwan Cu. Bagi orang lain yang tidak memiliki kepandaian tinggi, apabila melihat mereka berdua, tentu mengira bahwa mereka hanya main loncat-loncatan saja, akan tetapi sesungguhnya, Kwan Cu dihujani serangan. Akan tetapi, bagi Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang, mereka kagum sekali karena dalam gerakan-gerakan ini, terbukti bahwa ginkang dari pemuda itu memang lebih tinggi daripada ginkang Bin Hong Siansu. Biarpun pemuda itu meloncat sambil mundur atau menyamping, namun tosu itu yang meloncat ke depan ternyata tak pernah berhasil menyerangnya! Hal ini sudah merupakan sesuatu yang aneh dan luar biasa. Bin Hong Siansu mempunyai julukan Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) dan dari julukannya saja sudah dapat diduga bahwa ginkangnya luar biasa tingginya. Namun menghadapi pemuda itu Dewa Tanpa Bayangan ternyata kalah gesit!
"Bocah siluman, kau pengecut!" tiba-tiba Bin Hong Siansu menghentikan serangannya dan tidak mengejar lagi. "Kalau kau memang laki-laki terimalah seranganku, jangan hanya melarikan diri!"
Kwan cu .tersenyum mengejek. "Hanya sampai di situ sajakah keuletanmu" Kau ingin aku membalas dan menyambut seranganmu" Baik, terimalah!" Dan pemuda itu lalu mulai Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
471 menyerang Bin Hong Siansu kini dia tidak mau meniru-niru lagi melainkan cepat
menggerakkan kedua tangan memainkan ilmu silatnya Pek-in-hoat-sut!
Melihat datangnya pukulan tangan kanan Kwan Cu lambat saja dan merupakan ilmu pukulan biasa Bin Hong Siansu mengeluarkan suara menghina dari hidungnya. Memang dia belum pernah melihat Pek-in-hoat-sut, dan bukan dia saja, orang-orang kang-ouw juga jarang atau tidak pernah melihat ilmu silat ini. Hanya Kiam Ki Sianjin seorang yang pernah melihat, bahkan merasai kelihaian ilmu pukulan itu.
Melihat datangnya pukulan lambat-lambat, Bin Hong Siansu lalu membentak keras dan menggunakan ujung lengan bajunya yang kiri mengebut tangan itu, mengarah urat nadi di pergelangan tangan lawan.
"Brettt!" Terdengar suara kain pecah dan ujung lengan baju itu hancur, robekan kain beterbangan ke sana sini ketika ujung lengan baju itu mendekati lengan tangan Kwan Cu yang telah mengebulkan uap putih.
Bukan kepalang kagetnya tosu itu. Ujung lengan bajunya belum menyentuh tangan pemuda itu, bagaimana bisa hancur dan robek-robek"
"Ilmu siluman" !" teriaknya dan dia menendang cepat-cepat dengan kakinya. Akan tetapi, Kwan Cu sudah menjadi marah sekali mendengar hinaan dan melihat kesombongan tosu itu.
Ia mengubah ilmu silatnya dan kini menggunakan jurus ke dua puluh satu dari Kong-ciak-sin-na. Tangan kanannya menotok ke arah kaki yang menendang, sedangkan tangan kirinya menyambar ke arah muka Bin tiong Siansu.
Tosu itu cepat menarik kembali kakinya, akan tetapi dia segera menjerit, "Aduuuhhh"
kurang ajar kau". !"
Kiam Ki Sianjin dan Bian Ti Hosiang terdengar tertawa geli. Apakah yang telah terjadi"
Ternyata bahwa tangan kiri pemuda itu telah mencengkeram dan mencabut sebagian dari jenggot yang panjang di dagu Bin Hong Siansu!
Biarpun dia marah sekali sehingga kepalanya terasa pening, namun tosu itu adalah seorang yang dapat melihat keadaan. Kalau tadi lawannya mau, tentu tangan kirinya, bukan mencabut jenggot melainkan melakukan pukulan yang berbahaya dan dia takkan dapat mengelaknya.
Maka sambil menggigit bibirnya yang menjadi pucat, dia berkata,
"Ku telah menghinaku, lain kali Kim-san-pai akan mencarimu!" Setelah berkata demikian, tosu itu menjura kepada Kiam Ki Sianjin dan berkata, "Kiam Ki Toyu, urusan kita telah selesai dan kita akan saling bertemu lagi bulan lima hari ke lima belas sebagaimana yang sudah kita tentukan bersama. Selamat tinggal dan kau juga, Bian Ti Hosiang, sampai jumpa kembali di puncak Tai-hang-san." Sekali lagi tosu ini memandang kepada Kwan Cu dengan mata mendelik, kemudian dia lalu melompat keluar dari ruangan itu dan lenyap di dalam gelap.
Bian Ti Hosiang juga merangkapkan kedua tangan di depan dada, berkata dengan suara tenang, "Pinceng juga masih ada
urusan lain, Kiam Ki Toyu, terima kasih atas segala perhatianmu. Sampai bertemu di Tai-hang-san pada waktu yang sudah ditentukan." Hwesio ini berpaling kepada Kwan Cu dan berkata, "Orang muda, pinceng telah mendapat pengalaman baru setelah bertemu denganmu, terima kasih!" Lalu dia pun melompat keluar sambil menggerakkan lengan bajunya.
Mendengar ucapan dua orang tokoh kang-ouw itu, Kwan Cu tertarik hatinya. "Kiam Ki Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
472 Sianjin, ada apakan di puncak Tai-hang-san pada bulan lima hari ke lima belas?" .
Kiam Ki Sianjin merasa ragu-ragu untuk menjawab, kemudian dia tersenyum dan berkata,
"Akan ada musyawarah besar di antara tokoh-tokoh sedunia."
"Musyawarah tentang apa?"
"Akan diputuskan tentang pendirian semua partai mengenai permusuhan antara mereka yang membantu pemerintah dan yang membantu rakyat yang memberontak. Kau hehdak mencari Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo dan Toat-beng Hui-houw" Nah, di puncak itulah kau akan menjumpai mereka."
Berdebar hati Kwan Cu. Ia setengah percaya akan keterangan ini, akan tetapi dia tidak perlu menyelidiki kebenaran omongan itu.
"Terima kasih," katanya sambil bertindak pergi, "juga terima kasih atas keteranganmu tentang keturunan An Lu-Shan. Aku akan mencari An Kai Seng."
Kiam Ki Sianjin tertawa senang. "Terima kasih kembali, Lu-sicu. Kau sudah berjasa untukku."
Tanpa mempedulikan kata-kata ini, Kwan Cu lalu melompat dan ketika dia sampai di tembok istana, dia mendengar suara ribut-ribut. Mengertilah dia bahwa orang-orang telah menemukan mayat An Lu Kui dan An Kong.
*** Bun Sui Ceng sebenarnya telah lebih dulu sampai di kota raja daripada Kwan Cu. Akan tetapi gadis ini tidak segera mencari keluarga An Lu Shan untuk dibasminya sebagaimana telah dipesankan oleh Menteri Lu Pin. Dia seorang gadis yang amat hati-hati dan setelah kehilangan pedangnya, ia ingin mencari senjata dulu, akan tetapi bukan sembarang pedang.
Untuk keperluan ini, beberapa malam ia telah menggeledah rumah-rumah bangsawan di kota raja untuk mencari kalau-kalau di antara mereka ada yang mempunyai pedang pusaka.
Usahanya sia-sia belaka dan sampai lima hari ia tidak berhasil.
Hatinya kesal sekali dan pada hari ke lima itu, ia memasuki sebuah restoran besar. Sambil makan masakan mahal yang dipesannya, ia mendengar dari seorang pelayan tua yang suka mengobrol tentang keadaan di kota raja, terutama sekali mengenai diri keluarga istana.
Terkejutlah Sui Ceng ketika mendengar bahwa putera An Lu Shan telah tewas dan kini yang menjadi orang paling berkuasa di kota raja adalah Si Su Beng. Kemudian secara halus dan tidak kentara, Sui Ceng dapat memancing pelayan itu untuk bercerita tentang gudang senjata di mana tersimpan banyak senjata-senjata pusaka dari Kerajaan Tang.
Girang hati Sui Ceng bukan kepalang. Malamnya ia lalu pergi masuk ke dalam istana dan berhasil mencuri sebatang pedang dari gudang senjata. Pedang ini biarpun bukan pusaka yang ampuh, namun merupakan pedang panjang yang amat baik, terbuat daripada logam putih seperti perak. Dengan girang ia lalu membawa pedang itu dan cepat didatanginya seorang tukang pandai pembuat pedang untuk membeli sarung pedang baru. Ia bukan seorang bodoh dan tidak nanti ia mau menggunakan sarung pedang aselinya karena hal ini tentu hanya akan mendatangkan keributan belaka. Setelah dimasukkan ke dalam sarung pedang baru, ia berani menggantungkan pedang itu di pinggangnya.
Pada keesokan harinya, kembali ia mendatangi rumah makan itu untuk mendengar berita.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
473 Benar saja, pelayan tua itu sudah siap pula dengan cerita barunya, yakni tentang keributan di istana karena ada pedang yang tercuri. Pelayan itu tidak mencurigai Sui Ceng, karena dia sudah dapat menduga bahwa gadis ini adalah seorang gadis pendekar yang sikapnya halus dan sopan, jadi terang seorang pendekar budiman. Pula, tentang pencurian dari gedung senjata bukan merupakan hal yang aneh.
"Sudah sering kali terjadi senjata-senjata lenyap dari gedung senjata itu, Nona. Padahal jendela dan pintunya tidak terbuka." Kemudian disambungnya dengan suara berbisik. "Dan kabarnya, senjata-senjata itu kemudian terlihat dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin pejuang rakyat!"
Kata-kata ini membuat Sui Ceng suka sekali kepada pelayan tua itu, karena ia maklum bahwa biarpun bekerja di rumah makan kota raja, di dalam hatinya kakek ini bersimpati terhadap perjuangan rakyat!
Tiba-tiba. terdengar suara orang di pintu luar.
"He, pelayan, sediakan meja dan masakan yang paling enak di rumah makan ini. Perutku lapar sekali!"
Pelayan tua itu menengok dan dia tertegun, demikian pula Sui Ceng. Yang datang itu bukanlah tamu kaya atau seorang bangsawan, melainkan seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis, celananya tambal-tambalan, bajunya sudah butut, rambutnya dipotong pendek dan berdiri bagaikan rambut landak, demikian pula jenggotnya dipotong pendek dan kelihatan keras seperti jarum-jarum. Kalau pelayan itu tercengang melihat seorang berpakaian miskin seperti itu memesan masakan yang paling enak, adalah Sui Ceng tertegun melihat sikap orang ini. Baru keadaan luarnya saja sudah aneh.
Orangnya begitu muda, wajahnya tampan sekali. Akan tetapi rambut dan jenggotnya betul-betul mengerikan dan tak terasa pula Sui Ceng meraba pipi dan dagunya. Melihat cambang seperti itu ia merasa mukanya gatal-gatal dan geli. Akan tetapi sepasang mata pemuda aneh itu bersinar-sinar mengeluarkan cahaya, tanda bahwa dia memiliki kepandaian tinggi.
Pelayan tua itu, benar seperti dugaan Sui Ceng, adalah seorang yang simpati kepada perjuangan rakyat. Melihat pemuda ini, setelah ragu-ragu sebentar, dia lalu cepat-cepat maju menghampiri dan dengan hormat dia menjura.
"Sicu, selamat datang dan silakan duduk. Aku akan segera memesankan masakan untukmu.
Perlukah aku mengeluarkan arak wangi" Akan tetapi harganya agak mahal, seguci
harganya"."
"Tak peduli berapa harganya keluarkan saja. Cukup ini untuk membayarnya?" Pemuda itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang emas yang besarnya sama dengan tiga jari tangan.
Pelayan itu tertegun dan wajahnya berseri. la tadinya khawatir kalau-kalau orang ini adalah seorang kang-ouw kasar yang akan makan tanpa membayar sehingga takut kalau terjadi keributan di situ. Akan tetapi melihat uang emas ini, lenyap kecurigaannya dan cepat-cepat dia berkata,
"Sicu, simpan kembali uangmu. Aku percaya kepadamu. Memperlihatkan emas di muka umum, hanya memancing datangnya pencopet dan perampok."
Pemuda itu menyimpan emasnya dan tersenyum menyindir. "Segala macam pencopet, maling dan perampok kecil siapakah yang takut" Nona itu biarpun hanya seorang gadis, tidak takut rampok, apalagi aku seorang jantan!" katanya sambil mengerling seleretan ke arah Sui Ceng Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
474 lalu membuang muka lagi.
Sui Ceng mengerutkan kening dan tadinya mengira bahwa pemuda ini kurang ajar, akan tetapi karena pemuda itu tidak terus memandangnya, ia tidak jadi marah dan perhatiannya tercurah kepada pemuda aneh ini.
Tak lama kemudian, pelayan tua mengeluarkan hidangan yang serba enak. Pemuda seperti pengemis itu lalu makan dan minum dengan lahapnya. Pelayan tua melayani tamu-tamu lain yang duduk meja jauh dari tempat itu.
Sambil makan minum, pemuda pengemis itu mengegerutu seorang diri,
"Tunggu saja, jahanam she Lu! Kau boleh pergi bersembunyi akan tetapi besok pagi tentu kepalamu akan hancur oleh pukulanku! Tunggu saja, aku akan menenggak darahmu seperti ini!" Ia minum arak dari cawannya. "Aku akan menusuk matamu seperti ini!" Dan ditusukkan sumpitnya pada bakso besar lalu dimasukkan ke dalam mulut.
Kalau saja pemuda aneh itu tidak menyebut nama orang she Lu, tentu Sui Ceng akan merasa geli dan lucu melihat perbuatan dan mendengar kata-katanya. Akan tetapi she yang disebut oleh pemuda itu membuat hatinya berdebar. Bukankah yang dimaksudkan oleh pemuda itu adalah Lu Kwan Cu"
Dengan hati tertarik sekali, setelah pemuda itu membayar makanan dan meninggalkaa restoran, gadis itu pun membayar dan cepat ia mengikuti pemuda itu. Dari jauh ia melihat pemuda itu menuju ke luar kota raja melalui pintu barat dan segera berjalan masuk ke dalam sebuah kelenteng kuno yang sudah rusak yang berada di pinggir jalan. Di depan kelenteng itu banyak sekali terdapat pengemis-pengemis dan melihat pemuda ini masuk, para pengemis tua muda lalu bangun berdiri dan memberi hormat. Pemuda itu mengangguk ke kanan kiri lalu mengeluarkan uang perak pengembalian uang emasnya, 1alu melemparkan uang itu kepada mereka. Para pengemis lalu membagi rata uang itu dengan wajah girang.
"Hm, siapakah dia" Sikapnya mencurigakan sekali, akan tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu sebelum dia melakukan apa-apa. Benarkah dia mengancam Kwan Cu" Aku harus mengawasi orang ini," pikir Sui Ceng.
Malam itu kembali Sui Ceng menganggur saja. Ia sudah mendapatkan pedang yang cukup lumayan, akan tetapi karena ia tertarik oleh pemuda jembel itu, ia menunda maksudnya untuk memasuki istana. Ia pun sudah mendengar bahwa keluar An Lu Shan yang masih ada hanyalah Panglima An Lu Kui dan Pangeran An Kong. Akan tetapi baginya, pemuda jembel itu lebih menarik untuk diselidiki, karena siapa tahu kalau-kalau pemuda jembel itu merupakan ancaman bagi Kwan Cu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi Sui Ceng sudah berada di luar kota raja dan cepat-cepat ia bersembunyi ketika melihat pemuda jembel itu keluar dari kelenteng dan berjalan dengan gagah ke arah kota raja, dan langsung menuju ke restoran besar. Sui Ceng mendahului dan masuk ke dalam restoran, memesan teh hangat.
Seperti kemarin, pemuda jembel itu memesan makanan dan arak. Ketika pemuda jembel itu tengah makan minum, Sui Ceng yang sengaja duduk di pojok agak jauh, mendengar berita baru yang amat menggemparkan dari pelayan tua.
"Semalam terjadi hal yang amat aneh, An-ciangkun dan An-siauw-ongya telah dibunuh orang!"
Sui Ceng hampir melompat dari bangkunya. "Kaumaksudkan An Lu Kui dan An Kong?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
475 Kakek itu mengangguk-angguk. "Jangan keras-keras, Nona. Kalau terdengar orang lain kita celaka."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa berkakakan. Ternyata pemuda jembel itu yang tertawa. Akan tetapi dia tidak menengok ke arah Sui Ceng yang duduk di belakang.
"Anjing-anjing penjilat mampus! Ha, ha, ha, kalau daging mereka itu dimasak, biarpun semangkok harganya seribu tail akan kubeli juga. Ha, ha, ha!"
Sui Ceng memberi tanda kepada pelayan tua untuk pergi dan ia lalu keluar dari restoran itu.
Akan tetapi gadis ini menyelinap dan bersembunyi di balik rumah, tidak berjauhan dari restoran itu. Setelah melihat pemuda jembel itu berjalan keluar, dia mengikutinya dari jauh.
Pemuda itu berjalan terus, menuju ke timur dan setelah tiba di depan sebuah rumah gedung yang amat besar dan mentereng, dia lalu masuk ke dalam pekarangan rumah dengan langkah lebar dan muka berseri seakan-akan dia memasuki rumahnya sendiri!
Sui Ceng terheran-heran. Ia melihat tiga orang pelayan memburu keluar dan membentak.
"Pengemis jembel, sudah berkali-kali kami katakan bahwa majikan kami sedang keluar. Hayo pergi sebelum kami menyeretmu keluar!"
Pengemis muda itu tertawa bergelak. "Sekarang aku tidak percaya. Pergilah kalian!" Sambil berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat dan tahu-tahu tiga orang pelayan itu terlempar tiga tombak lebih dan jatuh dengan kepala benjut dan tulang patah. Mereka tak dapat berdiri lagi, mengaduh-aduh dan mengelus-elus kepala serta bagian tubuh yang terbanting keras.
Sui Ceng cepat menyelinap ke belakang gedung dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang naik ke atas genteng. Ia hendak mengintai apa yang akan terjadi di rumah gedung itu dan ia merasa kagum melihat kelihaian pengemis muda itu yang sekali bergerak telah dapat melontarkan tiga orang pelayan yang tinggi besar itu!
"Dia lihai sekali. Siapakah dia dan apa yang dicarinya di gedung ini?"
Tak lama kemudian Sui Ceng melihat dua orang mendatangi ke rumah itu dari dua jurusan.
Yang seorang adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan, datang dari sebelah kiri rumah dan kedatangannya amat mencurigakan karena pemuda ini melompat turun dari sebuah pohon yang tumbuh di pinggir rumah! Agaknya, seperti juga Sui Ceng, telah semenjak tadi pemuda itu mengintai di situ. Orang ke dua adalah seorang laki-laki muda pula, tubuhnya nampak kuat dan dadanya bidang, kepalanya besar dan sikapnya angkuh. Pemuda ini datang dari luar pintu dan di belakangnya ikut tiga orang pelayan yang jalan terpincang-pincang.
Pada saat itu, terdengar suara bentakan keras dan dari dalam rumah keluarlah pemuda jembel dengan sikap mengancam. Mukanya menjadi keras dan menyeramkan dan dengan tindakan lebar dia langsung menghampiri pemuda yang baru datang dari luar. Sui Ceng berdebar hatinya. Apakah yang akan terjadi" Siapakah tiga orang muda yang kelihatannya lihai-lihai dan yang sama sekali belum dikenalnya itu" Gadis ini karena tahu bahwa orang-orang yang di bawah amat lihai, dengan hati-hati lalu mendekam di atas genteng dan mengintai dari wuwungan. Orang yang melihat gadis itu mendekam di situ tentu akan merasa ngeri kalau-kalau ia akan jatuh dari tempat yang amat tinggi itu.
"Hm, inikah perampok jembel yang telah mengacau rumahku?" bentak pemuda yang bertubuh gagah.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
476 Pengemis muda itu kini sudah berdiri berhadapan dengan pemuda tuan rumah Mereka saling pandang seperti dua ekor jago berlaga hendak bertanding.
"Ha, ha, ha, kaukah yang bernama Lu Thong" Pantas saja, sesuai dengan mukamu yang seperti anjing, ternyata kau memang anjing penjilat, tidak malu menjilati darah keluarga sendiri dan pantat dari bangsat penjajah. Sekarang aku datang, mukamu yang seperti anjing itu harus dibikin rusak!"
Terdengar suara ketawa dan ternyata pemuda tampan yang tadi melayang turun dari atas pohon tertawa sambil mendekap mulutnya.
"Ha, tepat sekali makian itu".. " katanya. perlahan, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh pemuda jembel, tuan rumah yang bukan lain adalah Lu Thong sendiri, dan juga oleh Sui Ceng. Akan tetapi oleh karena pemuda jembel dan Lu Thong sudah berhadapan mereka tidak menghiraukan ejekan pemuda tampan itu.
"Bangsat busuk, siapakah kau" Kau kira akan mudah saja berlagak di depan Lu Thong" Kau sudah bosan hidup agaknya!"
"Kau mau tahu namaku" Aku adalah Han Le, murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku mendengar tentang nasib keluarga Menteri Lu Pin, akan tetapi kau sebagai keturunan terakhir bukannya bersakit hati terhadap penjajah, bahkan menjilat-jilat untuk mendapat sesuap nasi. Benar-benar anjing busuk!" kata pemuda pengemis itu yang bernama Han Le.
"Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai masih mempunyai murid lain. Kau memang patut menjadi murid jembel itu. Agaknya dia telah memberi pelajaran kepadamu bagaimana caranya menjadi jembel busuk!" Lu Thong memaki lalu menyerang dengan hebatnya.
Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dia memiliki tenaga besar sekali.
Akan tetapi karena dia pernah menerima ilmu pukulan yang hebat dari Ang-bin Sin-kai, yakni Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), dia segera mempergunakan ilmu silat ini untuk menyerang pemuda jembel yang mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai.
Han Le cepat mengelak sambil memaki, "Kau menggunakan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng"
Sungguh tidak tahu malu!" Pemuda ini pun lalu mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi lawannya. Segera mereka bertempur hebat sekali. Kepandaian mereka
berimbang, demikian pula tenaga dan kegesitan mereka. Sungguh hebat gerakan setiap serangan mereka sehingga Sui Ceng yang berada di atas genteng masih dapat merasai sambaran angin pukulan yang dahsyat.
Hati Sui Ceng berdebar. Tanpa disengaja ia telah menyaksikan pertempuran antara murid-murid dua orang tokoh besar. Memang, baik Lu Thong maupun Han Le telah mewarisi kepandaian guru mereka sehingga mereka itu kini seakan-akan mewakili Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai untuk melanjutkan pertempuran-pertempuran antara dua orang kakek itu yang dahulu dilakukan sering kali, akan tetapi keduanya sama kuat dan tidak ada yang pernah kalah. Sayangnya, akhir-akhir ini Ang-bin Sin-kai terpaksa tewas karena keroyokan.
Kalau hanya Jeng-kin-jiu yang menyerangnya, agaknya sehari semalam keduanya tidak akan kalah atau menang.
Seratus jurus telah berlalu dan keduanya masih belum ada yang dapat mendesak lawan.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
477 Dari atas genteng, sui Ceng tiada habisnya mengagumi pertempuran di bawah itu. Memang jembel itu adalah seorang ahli lweekang dan ilmu silatnya selalu berdasarkan tenaga dalam yang dahsyat. Sebaliknya, Lu Thong memiliki ilmu silat yang kuat sekali, dan dia adalah seorarg ahli gwakang yang telah mencapai tingkat tinggi sehingga dia dapat mengimbangi kepandaian lawannya. Sistem yang dipergunakan oleh Lu Thong adalah tenaga keras menindih yang lemah, sebaliknya Han Le mempergunakan kehalusan dan kelemasan
lweekang untuk memunahkan tenaga kasar.
Akan tetapi, biarpun kedua orang muda itu belum dikenalnya, sekali mendengar percakapan antara mereka tadi, simpati
Sui Ceng terjatuh kepada pemuda jembel itu. Betapa tidak" Han Le adalah murid dari Ang-bin Sin-kai, seorang tokoh besar yang telah tewas sebagai seorang gagah pembela perjuangan rakyat. Adapun Lu Thong adalah murid Jeng-kin-jiu yang telah membantu penjajah, apalagi kalau diingat bahwa Lu Thong, adalah cucu dari Lu Pin yang telah dibinasakan seluruh keluarganya oleh penjajah, kini pemuda mewah ini bahkan menjadi kaki tangan penjajah.
Tiba-tiba Han Le mengubah ilmu silatnya dan kini gerakannya amat aneh dan sukar diduga lebih dulu. Benar saja, setelah pemuda jembel ini mengeluarkan ilmu silatnya yang amat aneh itu, Lu Thong terdesak hebat dan selalu menangkis atau mengelak, main mundur terus.
Sui Ceng merasa girang melihat ini dan yang lebih aneh lagi, pemuda tampan yang juga menonton seperti dia dan semenjak tadi tersenyum-senyum sekarang bertepuk tangan memuji,
"Bagus sekali! Ilmu silat seperti itu belum pernah aku melihatnya! Saudara sin-kai (pengemis sakti), terus hajar dia. Bunuh saja orang tidak berbudi itu"
Lu Thong yang terdesak hebat itu, tiba-tiba lalu berjongkok dan sekali dia menggerakkan kedua tangan ke depan sambil membentak, "Hah!" kedua tangan itu mendorong ke depan dengan tubuhnya berjongkok. Inilah semacam sinkang yang luar biasa sekali, yang merupakan kepandaian simpanan dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Hebatnya pukulan ini luar biasa sekali. Han Le merasa betapa dari dua tangan lawan itu menyambar tenaga yang bukan main hebatnya, yang mendorongnya dengan hebat. Terkejutlah dia dan pemuda ini cepat melompat ke atas berpoksai di udara. Biarpun dia dapat menggagalkan serangan lawan ini, namun tetap saja hawa pukulan itu membuat dia terlempar sampai tiga tombak lebih!
Pemuda tampan yang menjadi penonton melakukan gerakan berbareng dengan Sui Ceng.
Keduanya melompat dan menghadapi Lu Thong, terus menyerang tanpa bertanya lagi!
Pemuda tampan itu menyerang dengan pukulan hebat ke arah lambung Lu Thong dari sebelah kanan, sedang Sui Ceng yang menyambar bagaikan seekor burung garuda, memukul pula dari atas sebelah kiri dengan tangan kanannya menotok pundak!
Lu Thong terkejut sekali. Gerakan dua orang ini tidak kalah cepatnya dari pada gerakan Han Le, maka diam-diam dia mengeluh dan secepat kilat dia menggulingkan diri, terus bergulingan sehingga terhindar dari pukulan-pukulan itu. Kemudian dia melompat cepat dan dengan marah membentak, "Kalian ini anjing-anjing pengecut hendak melakukan pengeroyokan. Jangan kaukira aku takut. Tunggu aku mengambil senjataku!" Setelah berkata demikian, LuThong berlari memasuki gedungnya dan tak lama kemudian dia telah keluar lagi sambil menyeret sebuah toya yang besar, panjang dan hebat.
Sementara itu, Han Le memandang kepada Sui Ceng dan pemuda tampan itu dengan muka terheran. Tak disangkanya bahwa dua orang ini memiliki ilmu silat, tinggi pula. Memang dia sudah dapat menduga bahwa Sui Ceng, gadis yang dua kali dijumpainya di dalam restoran, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
478 adalah seorang kang-ouw, akan tetapi tak disangkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang demikian cepatnya ketika tadi menyerang Lu Thong.
Adapun Sui Ceng dan pemuda tampan itu saling pandang, agaknya mereka seperti pernah saling bertemu, namun lupa lagi entah di mana dan bilamana. Sebelum mereka keburu membuka mulut, Lu Thong sudah keluar pula dan dengan amat marahnya dia lalu menyerang HanLe. Pemuda jembel ini mengelak dengan lompatan jauh sambil merogoh ikat
pinggangnya yang tertutup oleh baju luar dan tahu-tahu di tangannya telah kelihatan sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ternyata bahwa dia telah membawa sebatang po-kiam (pedang pusaka) yang disembunyikan di belakang baju luarnya.
Pertempuran hebat terjadi lagi antara Han Le dan Lu Thong. Kini bahkan lebih seru daripada tadi karena keduanya mempergunakan senjata. Namun, seperti juga tadi, Lu Thong memperlihatkan bahwa dia benar-benar patut menjadi murid Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, karena ilmu toyanya memang kuat sekali. Sungguhpun permainan pedang Hun-khai Kiam hoat dari Han Le juga hebat, namun pertahanan Lu Thong tidak dapat di-bobolkan. Beberapa kali Han Le mengeluarkan tipu-tipu yang amat aneh, bukan Hun-khai Kiam-hoat dan juga bukan dari cabang persilatan lain, amat aneh gerakannya dan tiap kali pemuda jembel itu mengeluarkan serangan yang aneh ini, Lu Thong menjadi bingung dan terpaksa melompat mundur sambil memutar toya menjaga diri. la benar-benar tidak dapat menghadapi ilmu pedang yang aneh sekali, yang digerakkan dengan membuat lingkaran-lingkaran besar keci1, nampaknya kacau namun berisi tenaga yang kuat dan sinar pedangnya menyilaukan mata.
Akan tetapi, setelah lawannya mundur, Han Le tidak dapat melanjutkan ilmu pedangnya yang aneh ini dan kembali melawan dengan Hun-khai Kiam-hoat, seakan-akan dia memiki semacam ilmu pedang aneh yang belum dipelajarinya sampai hafal benar.
Sementara itu, pemuda tampan yang tadi ikut menyerang Lu Thong, kini setelah melihat Sui Ceng, memandang seperti orang terkena pesona. Sampai lama dia tidak dapat berkata-kata, kemudian dengan hati berdebar dia melangkah maju, menghadapi Sui Ceng lalu menegur halus,
"Nona, kalau aku tidak salah duga, bukankah Nona ini nona Bun Sui Ceng murid dari Kiubwe Coa-li?"
Sui Ceng terkejut. Memang sejak tadi pun ia merasa sudah kenal pemuda ini, akan tetapi ia lupa lagi. Mendengar pemuda itu menyebut namanya, ia lalu berkata,
"Bagaimana saudara bisa tahu bahwa aku adalah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li"
siapakah saudara?"
Mendengar ini, tiba-tiba wajah yang tampan itu berseri gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat wajah itu nampak makin tampan. "Sekali bertemu aku sudah menduga! Apalagi menyaksikan cara kau menyerang bangsat she Lu itu! Nona, aku adalah The Kun Beng?"
Seketika itu juga, wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Ia hanya dapat membuka mulut dan dari bibirnya keluar kata-kata, "Ah" ahhh" " Bagaimana ia takkan merasa jengah dan gugup bertemu dengan pemuda yang ternyata adalah tunangannya itu!
Kun Beng mengerti bahwa tunangannya itu tentu jengah dan malu-malu, maka dia cepat mencari jalan untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini. Katanya dengan wajah berseri,
"Ceng-moi, marilah kita membantu pemuda itu untuk membinasakan jahanam Lu Thong.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
479 Mari kita bertiga berlumba, siapa yang akan dapat merobohkan dia lebih dulu!" Sambil berkata demikian, Kun Beng lalu mencabut senjatanya, yakni sebatang tombak pendek.
Sui Ceng berani lagi mengangkat muka dan memandang kepada pemuda itu. Empat mata bertemu pandang dan keduanya mendapat kenyataan yang amat menyenangkan, yakni bahwa orang yang dipastikan menjadi jodoh masing-masing itu bukan tidak menyenangkan hati. Kun Beng tersenyum, Sui Ceng tersenyum pula sambil mengangguk ia mencabut pedangnya.
Keduanya lalu melompat dan menyerbu Lu Thong yang masih bertempur ramai menghadapi Han Le.
Kepandaian Sui Ceng dan Kun Beng sudah amat tinggi, tidak kalah oleh tingkat kepandaian dua orang muda yang sedang bertempur itu atau setidaknya berimbang. Maka menyerbunya dua orang ini membuat Lu Thong menjadi sibuk sekali. Menghadapi pedang di tangan Han Le saja sudah berat baginya, apalagi kini ditambah oleh pedang Sui Ceng dan tombak Kun Beng.
Mereka bertiga adalah murid-murid dari tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, maka betapapun tangguh ilmu toyanya, dia terdesak hebat sekali.
"Kalian curang! Main keroyokan!" bentaknya berulang-ulang sambil memutar toyanya dengan nekat.
"Membunuh seekor anjing jahat atau ular keji tak perlu ,menggunakan aturan lagi. Kau lebih jahat daripada anjing penjilat atau ular!" seru Kun Beng sambil mempercepat permainan tombaknya. Sui Ceng juga mempercepat gerakan pedangnya.
"Traaang! Traaang!" Lu Thong mengeluh dan roboh. Ia berhasil menangkis pedang dan tombak Sui Ceng dan Kun Beng, akan tetapi karena datangnya serangan itu cepat dan kuat sekali, toyanya terlepas, dari tangannya dan pada saat itu, Han Le dapat mengirim tendangan yang mengenai lututnya sehingga Lu Thong terlempar dan roboh dengan sambungan lutut terlepas! Ia tak berdaya lagi dan meramkan mata sambil menggigit bibir, menanti datangnya senjata lawan yang akan menamatkan riwayatnya.
"Tahan dulu! Jangan bunuh dia!!" tiba-tiba terdengar suara orang berseru dan tahu-tahu ketika bayangan orang berkelebat, di depan Lu Thong telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan bersikap tenang sekali.
Sui Ceng berubah air mukanya ketika mengenal bahwa pemuda yang datang ini bukan lain adalah Kwan Cu! Akan tetapi, di depan tunangannya, ia diam saja karena merasa malu untuk menegur pemuda ini, apalagi kedatangannya demikian aneh, seakan-akan hendak membela Lu Thong, manusia yang dianggap tidak berbudi dan patut dibunuh itu.
"Hm, siapakah kau dan mengapa kau menahan kami yang hendak membunuh bangsat ini?"
tanya Han Le penasaran dan sepasang matanya yang amat tajam menentang pandang mata Kwan Cu. Akan tetapi yang dipandang tidak menjadi gentar, bahkan dengan suara
bersungguh-sungguh dan kening dikerutkan dia berkata,
"Aku tahu bahwa sesungguhnya kalian berhak membunuhnya, karena dia memang telah tersesat dan melakukan hal yang amat tidak patut. Aku percaya bahwa kalian hendak membunuh dia karena kalian adalah pejuang-pejuang rakyat yang membenci penjajah yang menguasai tanan air kita. Akan tetapi ada satu hal yang kuminta kalian ingat, yakni bahwa pemuda ini adalah keturunan terakhir daripada Menteri Lu Pin!"
"Kau mengoceh! Justeru karena dia keturunan Menteri Lu Pin maka harus dibinasakan!" seru Han Le yang sudah marah sekali. Pedangnya berkelebat membacok ke arah Lu Thong, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada sambaran angin dari sisinya dan pedang serta tangannya yang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
480 sedang menyerang Lu Thong itu terpental ke samping. Bukan main marahnya pemuda jembel ini. Ia cepat melompat dan membalikkan tubuh menghadapi Kwan Cu.
"Kau agaknya juga kaki tangan penjajah, patut dibikin mampus lebih dulu!" Segera dia menyerang dengan pedangnya, mainkan ilmu Hun-khai Kiam-hoat yang amat berbahaya.
Kwan Cu mengelak cepat dan tertegun menyaksikan ilmu pedang pemuda jembel yang gagah perkasa ini. Karena dia merasa tidak mungkin pemuda ini mainkan Hun-khai Kiam-hoat yang dikenalnya baik, dia sengaja mengelak terus sambil memperhatikan gerakan-gerakan pemuda itu.
Adapun Sui Ceng memandang dengan bengong. Pemuda jembel itu mengaku sebagai murid Ang-bin Sin-kai, mengapa dengan Kwan Cu mereka tidak saling mengenal" Bukankah Kwan Cu juga murid Ang-bin Sin-kai" Gadis ini benar-benar merasa heran sehingga ia hanya berdiri seperti patung dan menonton mereka yang sedang bertempur.
Kun Beng juga tidak ingat lagi siapa adanya pemuda yang datang melindungi Lu Thong itu, maka dengan tersenyum dia lalu menggerakkan tombaknya dan berkata kepada Sui Ceng.
"Ceng-moi, biar aku binasakan dulu pengkhianat itu, kemudian kita membantu Han Le membikin mampus pengkhianat yang baru datang." Cepat tombaknya bergerak menusuk dada Lu Thong.
"Trang!!" Tombaknya terpental dan Kun Beng memandang kepada Sui Ceng dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Ceng-moi, mengapa kau menangkis tombakku" Apa artinya ini?"
"Dia itu adalah Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai, bukan pengkhianat. Kita dengarkan dulu apa yang hendak dia katakan maka dia mencegah kita membunuh pengkhianat ini."
Kun Beng terkejut dan cepat dia memandang kepada Kwan Cu yang dengan tangan kosong selalu mengelakkan diri dari serangan pedang Han Le.
"Lu Kwan Cu bocah gundul dahulu itu". ?"" tanyanya seperti kepada diri sendiri.
Sementara itu, Kwan Cu menjadi makin terheran-heran karena ketika Han Le yang pandai mainkan Hun-khai Kiam-hoat itu tidak berhasil merobohkannya, lalu tiba-tiba Han Le mengubah ilmu pedangnya, mengeluarkan ilmu pedang yang aneh, yakni dengan membuat lingkaran-lingkaran dengan pedangnya, mengurung tubuh Kwan Cu.
"Heeeeei "..! Berhenti dulu! Siapakah kau yang bisa mainkan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat dan ilmu pedang menurut Ilmu Silat Thian-te-sin-coan {Lingkaran Sakti Langit Bumi) ini ?"
Han Le juga terkejut mendengar seruan Kwan Cu, akan tetapi pemuda ini sudah terlalu panas perutnya karena sebegitu jauh dia belum berhasil merobohkan pemuda yang bertangan kosong itu. Tanpa menjawab dia mempercepat gerakan pedangnya. Akan tetapi ia terkejut sekali karena lawannya bergerak mengikuti serangannya dan tiba-tiba saja lawannya itu mendahului gerakannya yang agaknya sudah dimengerti betul oleh lawannya, lalu tahu-tahu gagang pedangnya kena dicengkeram dan dirampas!
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 9 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 24
^