Pendekar Sakti Suling Pualam 20
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 20
dengan wajah kehijau-hijauan.
"Mereka berdua...." tutur Lim Peng Hang tentang itu.
"Beberapa hari kemudian Bun Yang pun pulang, kemudian
mereka bertiga berangkat ke Tibet."
"Lalu bagaimana?" tanya Lim Ceng Im.
"Sepuluh hari lalu, Si Pincang dan Bu Ceng Sianli ke markas
pusat Kay Pang menemui ayah untuk menyampaikan suatu
kabar." "Kabar buruk?" Wajah Lim Ceng Im makin pucat,
sementara Tio Cie Hiong mendengarkan dengan penuh
perhatian dan keningnya tampak berkerut-kerut.
"Memang kabar buruk." Lim Peng Hang mengangguk
kemudian memandang Bu Ceng Sianli. "Sianli, beritahukanlah
kepada putriku!"
"Ceng Im...." Bu Ceng Sianli menghela nafas dengan mata
bersimbah air. "Aku memperoleh informasi bahwa ketua Kui
Bin Pang bernama Kwee Teng An berangkat ke Tibet, maka
aku pun segera berangkat ke sana."
Bu Ceng Sianli menutur tentang pertarungan di kuil Dhalai
Lhama, kemudian muncul Tio Bun Yang dan lain sebagainya.
"Kwee Teng An bilang telah membunuh Goat Nio?" tanya
Lim Ceng Im. "Itu berarti dia bohong. Ya, kan?"
"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Karena itu, Adik Bun
Yang berubah seperti kehilangan sukma. Aku terus
menghiburnya agar dia bisa tenang dan tabah. Akan tetapi
setelah kami berada di Tionggoan, mendadak muncul Si
Pincang yang harus mampus ini, ternyata dia kenal Adik bun
Yang." "Betul," sahut orang tua pincang sambil menghela nafas
panjang. "Aku yang bersalah, karena tidak tahu Goat Nio
adalah kekasih Bun Yang. Aku menceritakan tentang ketua Kui
Bin Pang bersama seorang gadis cantik."
"Engkau memberitahukannya nama gadis itu?" tanya Sam
Gan Sin Kay mendadak.
"Ya." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Itulah kesalahanku. Setelah mengetahui gadis itu bernama
Goat Nio, maka Bun Yang terus-menerus mendesakku untuk
meng-unlarnya ke Tebing Selaksa Bunga."
"Engkau mengantarnya ke sana?" tanya Sam Gan Sin Kay
dengan kening berkerut-kerut.
"Ya." Orang tua pincang mengangguk. "Bu Ceng Sianli juga
ikut." "Lalu apa yang terjadi?" tanya Tio Tay Seng dengan wajah
mulai memucat. "Adik Bun Yang terus berdiri mematung di pinggir jurang.
Aku memperingatkannya agar hati-hati, dan dia pun manggutmanggut.
Namun kemudian dia bergumam memanggil Goat
Nio, dan setelah itu mendadak...."
"Mendadak apa?" tanya Lim Ceng Im dengan tubuh
menggigil. "Adik Bun Yang...!" Bu Ceng Sianli terisak isak. "Dia terjun
ke jurang itu."
"Hah" Bun Yang...!" Lim Ceng Im langsung pingsan,
sedangkan Tio Cie Hiong duduk di tempat dengan wajah pucat
pias. "Ceng Im!" teriak Lim Peng Hang.
"Tenang!" ujar Bu Ceng Sianli, lalu menhampiri Lim Ceng
Im, dan menyalurkan Hia Goan Sin Kang ke dalam tubuhnya.
Berselang beberapa saat kemudian, tersadarlah Lim Ceng
Im, dan seketika juga menangis gerung-gerungan.
"Bun Yang! Bun Yang...!"
"Goat Nio! Goat Nio...!" Kou Hun Bijin masih berteriakteriak
memanggil nama putrinya.
"Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang...!" teriak Lie Ai Ling
sambil menangis meraung-raung. "Kakak Bun Yang...!"
Kacaulah suasana di ruang itu. Bu Ceng Sianli berusaha
menghibur Lim Ceng Im, sedangka Kim Siauw Suseng dan
Kou Hun Bijin masih saling berpeluk-pelukan sambil menangis
sedih, dan orang tua pincang tampak serba salah, karena
tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sam Gan Sin Kay mendekati Tio Cie Hiong dan bersiap-siap
kalau Tio Cie Hiong terjadi sesuatu.
Lui Hui San juga sedih menangis sepasang matanya
membengkak. Kam Hay Thian menghiburnya sambil terisakisak-
Sie Keng Hauw juga terus menghibur Lie Ai Ling.
Berselang beberapa saat kemudian, begitu suara tangisan
itu mulai reda, tiba-tiba terdengarlah suara Tio Cie Hiong.
"Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio akan mati
begitu saja."
"Kami pun tidak percaya," ujar Kim Siauw Suseng dan Kou
Hun Bijin. "Mereka berdua tiada tampang pendek umur."
"Ayah," tanya Lim Ceng Im. "Apakah Ayah sudah ke Tebing
Selaksa Bunga itu?"
"Kami berempat sudah ke Tebing itu," jawab Lim Peng
Hang dan menambahkan, "Bahkan sudah turun ke dasar
jurang." "Ayah menemukan mayat Bun Yang?" tanya Lim Ceng Im
sambil menangis sedih.
"Kami tidak menemukan mayatnya." Lim Peng Uang
menggeleng-gelengkan kepala. "Mungkin sudah digondol
binatang buas."
"Ayah, kenapa Paman Gouw tidak ikut ke sini?"
"Dia ke Tayli memberitahukan kepada mereka tentang
kejadian ini."
"Aku tetap tidak percaya Bun Yang dan Goat Nio mati
begitu saja," ujar Tio Cie Hiong lagi sambil mengerutkan
kening. "Sebab tidak ditemukan mayatnya maupun mayat
Goat Nio. Tidak mungkin mayat mereka akan digondol
binatang, itu tidak mungkin."
"Kalau begitu," ujar Lie Man Chiu yang terdiam dari tadi.
"Kita harus pergi memeriksa dassr jurang itu."
"Betul." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Kita berangkat
besok pagi."
Keesokan paginya, berangkatlah mereka ke Tionggoan
menuju markas pusat Kay Pang, sebab mereka ingin
menunggu kedatangan pihak Tayli.
-ooo0dw0ooo- Kini mereka telah tiba di markas pusat Kay Pang. Dua hari
kemudian muncullah pihak Tayli yakni Toan Wie Kie, Gouw
Sian Eng, Lam Kioi Be Liong, Toan Pit Lian dan lainnya.
"Ceng Im...." Gouw Sian Eng langsung memeluknya sambil
menangis. "Kami sedih sekali"
"Sian Eng! Bun Yang...." Air mata Lim Ce Im berderai-derai.
"Itu bagaimana mungkin" Bagaimana mungkin?" ujar Gouw
Sian Eng terisak-isak. "Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan
Goat Nio akan mati begitu saja. Aku tidak percaya!"
Sementara Lim Peng Hang, Gouw Han Tio dan lainnya juga
sedang berunding dengan serius sekali, ternyata mereka
bersepakat untuk pergi memeriksa dasar jurang itu, bahkan
juga pohon-pohon yang tumbuh di dinding jurang.
Oleh karena itu, Lim Peng Hang memerintahkan puluhan
anggota Kay Pang untuk mencari tali sebanyak-banyaknya.
Sie Keng Hauw, Kam Hay Thian, Yo Kiam Neng, Toan Beng
Kiat dan lainnya juga sedang bercakap-cakap dengan wajah
murung. "Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio mati di
dasar jurang itu," ujar Toan Beng kiat
"Aku pun kurang percaya," sambung Bokyong Sian Hoa.
"Kalau benar mereka berdua mati di dasar jurang itu. Thian
(Tuhan) sungguh tidak adil!"
"Aaaah...!" Lam Kiong Soat Lan menghela nafas panjang.
"Kini ketua Kui Bin Pang itu telah tewas. Seharusnya Bun Yang
dan Goat Nio melangsungkan pernikahan, namun malah...."
"Kakak Bun Yang begitu baik, berhati bajik dan sering
menolong orang. Mungkinkah dia dan Goat Nio akan mati
begitu saja?" ujar Lie Ai Ling lalu menambahkan, "Sebelum
menyaksikan mayat mereka, aku tidak percaya kalau mereka
dikata-kan sudah mati."
"Bun Yang berkepandaian begitu tinggi, tak mungkin dia
akan mati di dasar jurang itu," sahut Bokyong Sian Hoa. "Aku
yakin dia masih hidup...."
Hal 80-81 ga ada
sudah tiada, apa artinya aku hidup lagi?"
"Tenang!" Bu Ceng Sianli menepuk bahunya dan terus
menghiburnya. Sementara Sam Gan Sin Kay hanya duduk termenung,
sama sekali tidak mengucurkan air mata, namun wajahnya
tampak pucat pias.
"Ayah...." Lim Peng Hang mendekatinya. "Jagadiri baikbaik!"
"Aaah...!" Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang. "Yang
tua tidak mati, yang muda malah begitu cepat mati! Thian
(Tuhan) sungguh tidak adil! Bukankah lebih baik mencabut
nyawaku daripada nyawa Bun Yang" Aaaah...!"
"Ayah...." Lim Peng Hang menggeleng-gelenkan kepala.
"Peng Hang," pesan Sam Gan sin Kay. "Engkau harus baikbaik
menjaga Lim Ceng Im, sebab dia akan berlaku nekad!
Jangan sampai dirinnya terjadi apa-apa, sebab kalau dirinya
terjadi apa-apa Cie Hong akan menjadi gila!"
"Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk
Keesokan harinya, berangkatlah mereka semua menuju
Tebing Selaksa Bunga dengan perasaan tercekam.
-oo0dw0oo- Mereka semua memandang ke bawah jurang itu dengan
wajah pucat pias sebab jurang itu begitu dalam, bagaimana
mungkin bisa hidup bagi yang jatuh kedalamnya" Itu
membuat Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin langsung menangis
meraung-raung. "Bun Yang! Bun Yang...!"
"Goat Nio! Goat Nio...!"
Sementara yang lainnya sibuk menyambung tali tali, dan
setelah tersambung semuanya barulah diikatkan pada sebuah
pohon. "Siapa yang turun duluan?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Aku," sahut Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin serentak.
"Kalian tidak boleh turun, cukup menunggu disini saja!"
ujar Sam Gan Sin Kay sungguh-sungguh.
"Tidak." Lim Ceng Im menggelengkan kepala. "Kalau aku
tidak diperbolehkan turun, aku pasti akan meloncat ke
bawah." "Ceng Im...." Bukan main terkejutnya Tio Cie Hiong.
"Aku pun akan meloncat ke bawah," ujar Kou Hun Bijin.
"Biar bagaimanapun aku harus turun."
"Isteriku...." Kim Siauw Suseng menghela nafas panjang.
"Baiklah, engkau boleh ikut turun."
"Aku sudah pernah turun, biar aku turun duluan!" ujar Bu
Ceng Sianli, lalu memegang tali itu sekaligus merosot ke
bawah. Menyusul adalah orang tua pincang, kemudian Lim Peng
Hang dan lainnya. Berselang beberapa saat, mereka semua
sudah berada di dasar jurang itu.
"Kita berpencar mencari Bun Yang dan Goat Nio," ujar Tio
Tay Seng dan menambahkan, "Tapi sebelum hari gelap, kita
semua harus kembali ke sini."
Mulailah mereka berpencar. Tio Cie Hiong bersama Lim
Ceng Im, begitu pula Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.
Mereka mencari ke sana ke mari, juga memasuki goa-goa
yang terdapat di sana. Setelah hari mulai gelap, mereka
semua berkumpul kembali di tempat semula. Mereka
menggeleng-gelengkan kepala, namun tiada seorang pun
yang membuka mulut.
"Bun Yang...." Lim Ceng Im mulai menangis lagi. "Mayatnya
pasti telah digondol binatan buas."
"Goat Nio...." Kou Hun Bijin juga mulai menangis sedih.
"Kemana mayatnya... aaah...!"
"Heran?" gumam Sam Gan Sin Kay. "Kalau mereka mati di
dasar jurang ini, mayat mereka seharusnya berada di sini.
Tapi...." "Mungkinkah mereka jatuh ke dalam telaga ini?" tanya Tio
Tay Seng. "Seandainya mereka jatuh ke dalam telaga ini tentunya
akan timbul lagi," sahut Sam Gan Sin Kay. "Aku telah mencari
di pinggir telaga, namun tidak menemukan mayat mereka."
"Kalau begitu...." ujar Kim Siauw Suseng. "Mayat mereka
pasti telah digondol binatang buas."
"Tapi...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Di dasar
jurang ini tiada jejak binatang buas."
"Kalau begitu, kemana mayat mereka?" tanya Kim Siauw
Suseng. "Itulah yang membingungkan." sahut Tio Cie hiong dan
melanjutkan, "Mungkinkah mereka masih hidup dan berhasil
memanjat ke atas?"
"Itu tipis kemungkinannya," ujar Lim Peng liang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Apabila mereka belum mati
dan berhasil naik ke atas, tentunya mereka sudah ke markas
pusat Kay Pang.
"Mungkin mereka terluka parah, maka mengobati luka
mereka di suatu tempat, sehingga belum ke markas pusat Kay
Pang," ujar Kim Siauw Suseng seakan menghibur dirinya
sendiri. "Itu memang mungkin." Sam Gan Sin Kay manggutmanggut.
"Dan juga itu yang kita harap-kan "
"Mumpung belum begitu gelap, lebih baik kita segera naik!"
usul Tio Tay Seng. "Sebab kabut putih makin menebal."
"Baik." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Mari kita naik, tapi
harus hati-hati!"
Mereka mulai naik satu persatu. Beberapa saat kemudian,
mereka semua sudah berada di atas.
"Bun Yang! Bun Yang...!" jerit Lim Ceng Im sambil
memandang ke bawah. Tio Cie Hiong terus menjaga di sisinya.
"Goat Nio! Goat Nio...!" Kou Hun Bijin juga berteriak-teriak
memanggil putrinya. "Goat Nio...!"
Tio Tay Seng cuma menggeleng-gelengkan kepala, dan
setelah itu ia pun berseru.
"Mari kita kembali ke markas pusat Kay Pang!"
Mereka semua segera meninggalkan Tebing Selaksa Bunga
itu. karena malam sudah larut.
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh empat
Mengadakan upacara sembayang
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka semua telah tiba di markas pusat Kay Pang.
Seketika Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin menangis sedih lagi,
Tio Cie Hiong dan Kim Siauw Suseng cuma menghela nafas
panjang. "Aku tidak habis pikir," ujar Sam Gan Si Kay. "Goat Nio
jatuh ke jurang itu, sedangkal Bun Yang yang terjun ke dalam.
Tapi tidak terdapat mayat mereka di dasar jurang itu. Itu...
sungguh mengherankan!"
"Memang." Orang tua pincang manggut-manggut. "Aku
yang menyaksikan gadis itu jatuh ke jurang itu, namun kita
tidak menemukan mayatnya."
"Bun Yang juga terjun ke dalam jurang itu. tapi...." Bu
Ceng Sianli mengerutkan kening. "Kenapa kita tidak berhasil
menemukan mayatnya?"
"Hanya ada dua kemungkinan," ujar Lim Peng Hang setelah
berpikir lama sekali. "Pertama mereka tidak mati dan berhasil
naik ke atas lalu pergi. Kedua mereka tenggelam ke dasar
telaga ttu, maka kita tidak berhasil menemukan mayat
mereka." "Biasanya orang tenggelam ke dalam air, beberapa hari
kemudian pasti timbul dipermukaan lagi tapi...," ujar Sam Gan
Sin Kay. "Aku telah memeriksa pinggir telaga itu, tapi tidak
menemu-kan mayat mereka. Karena itu, aku berkesimpulan
bahwa mereka masih hidup."
"Kalau mereka masih hidup, kenapa tidak ke mari?" tanya
Lim Ceng Im. "Mungkin luka mereka belum sembuh, maka belum ke
mari," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Kita tunggu beberapa hari," ujar Kim Siauw niseiig. "Kalau
mereka tetap tidak ke mari, berarti mereka telah mati."
"Goat Nio! Goat Nio...!" Kou Hun Bijin langsung menangis.
"Aaakh...!"
Beberapa hari kemudian, memang ada yang muncul. Tapi
bukan Tio Bun Yang dan Siangi Koan Goat Nio, melainkan
para ketua tujuh partai.
Mereka bertujuh melangkah ke dalam dengan wajah
murung. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong segera
menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang, para ketua!"
"Kami ke mari turut berduka cita," ucap Hui Khong Taysu,
ketua partai Siauw Lim. "Omitohud Tidak disangka Bun Yang
dan Goat Nio akan mengalami nasib begitu!"
"Dari mana Taysu tahu tentang itu?" tanya Lim Peng Hang.
"Lim Pangcu!" Hui Khong Taysu tersenyum getir. "Berita itu
mulai tersiar dalam rimba persilatan. Setelah menerima berita
tersebut, kami segera ke mari."
"Terimakasih!" ucap Lim Peng Hang dengan wajah murung.
"Terus terang," ujar It Hian Tojin, ketua partai Butong.
"Aku sama sekali tidak percaya Bun Yang dan Goat Nio
bernasib begitu, tidak mungkin mereka berumur pendek."
"Bun Yang berhati baik," ujar Hui Khol Taysu. "Walau dia
pusing memikirkan Goat Nio namun dia masih menolong orang
lain. Omitohud Semoga Sang Budda melindunginya!"
"Lim Pangcu," tanya It Hian Tojin. "Bagaimana kejadian
itu?" "Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang, lalu
menutur tentang kejadian itu.
Para ketua tujuh partai besar itu mendengarkan dengan
penuh perhatian, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dan
orang tua pincang dengan mata agak terbelalak. Mereka
kelihatan tidak begitu percaya akan usia Bu Ceng Sianli \ang
hampir sembilan puluh. Namun karena dalam suasana duka,
maka para ketua tujuh partai besar itu sama sekali tidak
bertanya mengenai Bu Ceng Sianli.
"Jadi kalian semua sudah mencari di dasar jurang itu?"
tanya It Hian Tojin.
"Ya." Lim Peng Hang mengangguk. "Tapi tidak menemukan
mayat Bun Yang maupun mayat Goat Nio."
"Kalau begitu...." ujar It Hian Tojin penuh harapan.
"Mereka pasti masih hidup."
"Kami pun menduga begitu...," ujar Gouw Han lnmg.
"Tapi... seandainya mereka tidak mati di dasar jurang dan
berhasil naik ke atas, tentunya mereka sudah ke mari."
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Mungkinkah mereka
terluka parah, sehingga harus mengobati luka mereka di suatu
tempat. Jadi... mereka belum ke mari?"
"Kami pun berpikir begitu dan menunggui telah beberapa
hari, tapi...." Gouw Han Tion menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun Yang dai Goat Nio tetap belum ke mari, itu membuat
harapan kami jadi kandas."
"Kalau begitu, kita harus menunggu lagi," ujai It Hian Tojin
dan menambahkan dengan sungguh sungguh. "Kami pun mau
tinggal di sini untu turut menunggu Bun Yang dan Goat Nio."
"Terimakasih!" ucap Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang.
Tak terasa dua puluh hari telah berlalu, namun Tio Bun
Yang dan Siang Koan Goat Nio tetap tidak muncul, itu betulbetul
membuat mereka putus asa. Lim Ceng Im dan Kou Hun
Biji pun mulai menangis sedih lagi, yang lain terus menerus
menghela nafas panjang.
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Bagai mana kalau aku
mengadakan upacara sembahyang?"
"Maksud Taysu upacara sembahyang arwah?" tanya Kou
Hun Bijin. "Ya." Hui Khong Taysu mengangguk.
"Jadi Taysu menganggap putriku telah mati?" Kou Hun Bijin
menatap Hui Khong Taysu dengan penuh kegusaran. .
"Omitohud!" sahut Hui Khong Taysu menegaskan. "Upacara
sembahyang yang akan kulakukan itu, sungguh berarti dan
berguna bagi yang mati maupun yang hidup. Percayalah!"
"Terimakasih, Taysu!" ucap Lim Peng Hang. "Silakan Taysu
mengadakan ucapara sembahyang."
"Omitohud!" Hui Khong Taysu manggut-manggut, lalu
mulai mempersiapkan semua keperluan upacara sembahyang.
Kaum muda menyalakan lilin dan memasang hio, dan para
ketua tujuh partai besar serta para tingkatan tua duduk
bersila. Setelah lilin dinyalakan dan asap hio mulai mengepul
kaum muda itu pun ikut duduk bersila.
Tak lama kemudian, mulailah Hui Khong Taysu membaca
doa dengan hidmat sekali. Entah berapa saat kemudian,
barulah Hui Khong Taysu berenti membaca doa lalu bangkit
berdiri, yang lain pun mengikutinya.
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Kalau Bun Yang dan
Goat Nio sudah mati, arwah mereka pasti akan tenang.
Seandainya mereka belum mati. mereka pasti akan segera ke
mari!" "Terimakasih, Taysu!" ucap Lim Peng Hang.
"Omitohud!" sahut Hui Khong Taysu. "Lim pangu. kami
mau mohon pamit."
"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut lalu bersama
Gouw Han Tiong dan Tio Cie Hiong mengantar para ketua itu
sampai di luar markas!
Setelah para ketua itu pergi, barulah mereka kembali
masuk, sedangkan Lim Ceng Im dan Kom Hun Bijin mulai
menangis lagi. "Aaaah...!" Tio Cie Hiong menghela nafas panjang sambil
mendekati Lim Ceng Im. "Adik Im, jangan terus menangis!
Aku... aku makin tidak tahan! Aku...."
Wajah Tio Cie Hiong makin pucat pias. San Gan Sin Kay
terperanjat menyaksikannya dan cepat-cepat mendekatinya
sekaligus memegang tangannya erat-erat dan berkata,
"Cie Hiong, engkau harus tenang dan tabah"
"Yaaa." Tio Cie Hiong mengangguk, namun mendadak
mulutnya menyemburkan darah segar "Uaaakh! Uaaaakh...!"
"Kakak Cie Hiong...!" panggil Lim Ceng Im
"Tenanglah Ceng Im!" Lim Peng Hang menghampirinya dan
berbisik, "Engkau jangan terus menerus menangis! Cie Hiong
terus menekan rasa sedihnya dalam hati, karena engkau
menangis lagi itu membuat kesedihannya meledak, sehingga
langsung memuntahkan darah segar. Kalau dia tidak bisa
tenang, pasti terluka dalam."
"Kakak Cie Hiong...." Air mata Lim Ceng Im berderai-derai,
ia terus menahan isak tangisnya
"Cie Hiong!" ujar Sam Gan Sin Kay. "Cepatlah engkau
duduk dan menghimpunlah lweekangmu!"
Tio Cie Hiong mengangguk perlahan, lalu duduk bersila dan
sekaligus menghimpun Pan Yok Ilian Thian Sin.Kang.
Berselang beberapa saat kemudian, wajahnya mulai tampak
agak kemerah-merahan. Itu membuat Sam Gan Sin Kay dan
lainnya menghela nafas lega.
"Kakak Cie Hiong...." Lim Ceng Im langsung memeluknya
erat-erat. "Aku... aku tidak akan menangis lagi. Sungguh!"
Walau Lim Ceng Im berkata demikian, namun air matanya
terus berlinang-linang.
"Adik Im...." Tio Cie Hiong membelainya. "Aku tidak tahan
melihat engkau terus menangis."
"Aku berjanji, mulai sekarang tidak akan menangis lagi!"
ujar Lim Ceng Im sambil menahan isak tangisnya.
"Adik Im," ujar Tio Cie Hiong dengan mata basah. "Kita
harus tabah menghadapi kenyataan im."
"Kakak Cie Hiong," tanya Lim Ceng Im mendadak.
"Sungguhkah Bun Yang telah mati?"
"Mudah-mudahan dia masih hidup!" sahut Tio Cie Hiong.
"Itu adalah harapan kita. Lagi pula kita tidak menemukan
mayatnya, maka kemung-hnan besar dia masih hidup."
"Kalau dia sudah mati, kita...."
"Adik Im!" Tio Cie Hiong membelainya. "Biar
bagaimanapun, kita harus tabah menghadapinya."
"Ya, Kakak Cie Hiong." Lim Ceng Im manggut-manggut
sambil menahan isak tangisnya.
-oo0dw0oo- Sebulan kemudian, Toan Wie Kie dan lainnya berpamit
untuk pulang ke Tayli. Namun Toan Beng Kiat, Bokyong Sian
Hoa, Yo Kiam Hend dan Lam Kiong Soat Lan belum mau
pulang ka Tayli, karena mereka ingin ikut ke pulau Hong
Hoang To. "Jadi kalian ingin ke pulau Hong Hoang To?" tanya Toan
Wie Kie. "Ya, Ayah." Toan Beng Kiat mengangguk.
"Itu...." Toan Wie Kie memandang Gouw Sian Eng seraya
bertanya, "Bagaimana menurutmu?"
"Kini ketua Kui Bin Pang telah tewas, berarti rimba
persilatan telah aman," sahut Gouw Sian Eng. "Maka biarlah
mereka ke pulau Hong Hoari To, mungkin hati kakak Cie Hiong
dan Ceng Im akan terhibur."
"Ngmm!" Toang Beng Kiat manggut-mangguj kemudian
berpesan kepada putranya, "Tapi kalian tidak boleh nakal di
sana." "Ya, Ayah." Toan Beng Kiat menganggii sambil tersenyum.
"Kami sudah bukan anak kecil, bagaimana mungkin nakal?"
Toan Wie Kie tersenyum, lalu bersama yang lain berpamit
kepada Sam Gan Sin Kay Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin,
Tio Tay Seng, Lim Peng Uang dan lainnya. Setelah itu,
berangkatlah mereka kembali ke Tayli.
Beberapa hari kemudian, pihak pulau Hong Hoaang To juga
berpamit kepada Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng
Sianli dan orang tua pincang.
"Ayah," ujar Lim Ceng Im. "Kami mau pulang ke pulau
Hong Hoang To!"
"Ng!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Ceng Im, jangan
terus berduka, sebab kalau engkau terus berduka, akan
mempengaruhi Cie Hiong!"
"Ya, Ayah." Lim Ceng Im mengangguk.
"Peng Hang," pesan Sam Gan Sin Kay. "Kalau engkau
sudah merasa tua, lebih baik pilih sekarang untuk
menggantimu dan engkau boleh tinggal di pulau Hong Hoang
to." "Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk sambil tersenyum.
"Tunggu beberapa tahun lagi, aku pasti akan mengundurkan
diri dari jabatanku."
"Baiklah." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut
Sementara Tio Cie Hiong memandang Bu Ceng Sianli, lalu
mendekatinya sambil memberi pesan.
"Maaf, Sianli! Sejak kita bertemu, aku samai sekali tidak
mengucapkan terimakasih kepada Sianli," ujar Tio Cie Hiong.
"Sekarang aku mengucapkan terimakasih kepada Sianli,
karena Sianli begitu baik terhadap Bun Yang."
"Tidak usah berterimakasih," sahut Bu Cengli Sianli sambil
menghela nafas panjang. "Aku sangat menyayanginya,
tentunya harus baik terhadapnya! Tapi kini dia sudah tiada...."
"Sianli," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Selama ini
aku terus berpikir, dan semakin tidak yakin Bun Yang serta
Goat Nio telah mati. Oleh karena itu, aku masih berharap dia
kembali ke pulau Hong Hoang To."
"Mudah-mudahan!" sahut Bu Ceng Sianli. "Aku pun
berharap begitu."
Sementara orang tua pincang terus-menerus memandang
Sie Keng Hauw, setelah itu ia pula mendekati mereka.
"Keng Hauw!" panggilnya dengan suara rendah.
"Ada apa, Guru?" tanya Sie Keng Hauw heran "Engkau mau
ikut ke pulau Hong Hoang To"'
Orang tua pincang balik bertanya sambil menatapnya
dalam-dalam. "Ya, Guru." Sie Keng Hauw mengangguk.
"Ngmm!" Orang tua pincang manggut-manggut. "Jadi
engkau sungguh-sungguh mencintai Lie Ai Ling?"
"Ya, Guru." Sie Keng Hauw mengangguk lagi sambil
memandang Lie Ai Ling yang berdiri di sisinya, sehingga wajah
gadis itu tampak kemerah-merahan.
"Baiklah." Orang tua pincang manggut-manggut lagi dan
tersenyum-senyum, kelihatan ia gembira sekali. "Kalau begitu,
beberapa bulan kemudian, guru akan ke pulau Hong Hoang To
menemui Lie Man Chiu untuk membicarakan pernikahan
kalian." "Guru...." Wajah Sie Keng Hauw langsung memerah. "Itu
terlampau cepat, lebih baik setahun Iagi "
"Aaaah...!" Orang tua pincang menghela nafas panjang.
"Tak terduga sama sekali, Bun Yang dan Buat Nio...."
"Guru, mereka sedang menunggu kami."
"Cepatlah kalian susul mereka!"
"Guru," ucap Sie Keng Hauw. "Sampai jumpa'"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sampai jumpa, muridku!" sahut orang tua pincang.
Setelah Sie Keng Hauw tidak kelihatan, barulah orang tua
pincang itu kembali masuk.
"Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang.
"Mereka sudah pulang ke Tayli dan pulau Hong Hoang To, kini
cuma tinggal kita."
"Lim Pangcu," ujar orang tua pincang. "Aku mau pamit."
"Cepatlah engkau pergi!" sahut Bu Ceng Sianli ketus.
"Semua itu gara-gara engkau!"
"Sianli...." Orang tua pincang menundukkan kepala.
"Aku...."
"Sudahlah!" Bu Ceng Sianli menggeleng-gelengkan kepala.
"Percuma aku terus menerus mempersalahkanmu!"
"Sianli, aku mohon diri, semoga kita semua akan berjumpa
lagi dalam suasana yang menyenangkan!" ucap orang tua
pincang, lalu melangkah pergi meninggalkan markas pusat
Kay Pang. "Aaaah...!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang.
"Sebetulnya dia tidak bersalah, hanya saja tidak bisa melihat
situasi." "Sianli," ujar Lim Peng Hang. "Aku justru tidak habis pikir.
Apakah benar Bun Yang dan Goat Nio sudah tewas?"
"Itu memang merupakan suatu teka-teki," sahut Bu Ceng
Sianli. "Sebab kita tidak menemukan! mayatnya, sedangkan
tidak mungkin mayatnya akan digondol binatang buas."
"Memang tidak mungkin." Lim Peng Hang manggutmanggut.
"Sebab tiada jejak binatang buas di dasar jurang itu,
pertanda tiada binatang buas di sana."
"Tapi...." Bu Ceng Sianli mengerutkan kening "Kenapa
mayat mereka tidak berada di sana" Itu sungguh
membingungkan. Mungkinkah mayat mereka tenggelam ke
dasar telaga itu?"
"Setahuku...," sahut Gouw Han Tiong. "Mayat tidak akan
tenggelam, melainkan malah terapung di permukaan air. Maka
tidak mungkin Bun Yang dan Goat Nio mati di dalam telaga
itu." "Heran?" Lim Peng Hang terus menggelengkan kepala.
"Mungkinkah Bun yang dan Goat Nio tidak mati?"
"Menurutku...," ujar Bu Ceng Sianli. "Bun Yang dan Goat
Nio tidak berumur pendek, jadi tidak mungkin mereka berdua
akan mati sedemikian muda."
Tiba-tiba Cian Chiu Lo Kay masuk ke dalam bersama
seorang gadis, yakni Ngo Tok Kauwcu Phang Ling Cu, yang
wajah gadis itu tampak pucat pias.
"Pangcu," Lapor Cian Chiu Lo Kay. "Ngo Tok Kauwcu ingin
bertemu Pangcu."
"Ya," sahut Lim Peng Hang sambil manggut-manggut. "Ling
Cu, silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil duduk.
Sedangkan Cian Chiu Lo Kay segera mengundurkan diri dari
situ. "Ling Cu!" Lim Peng Hang memberitahukan. 'Wanita muda
ini adalah Bu Ceng Sianli."
"Apa?" Ngo Tok Kauwcu terbelalak. "Kelihaiannya Sianli
baru berusia dua puluhan. Padahal sesungguhnya...."
"Engkau sudah tahu berapa usiaku?" tanya Bu Ceng Sianli.
"Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Adik Bun Yang
memberitahukan kepadaku, maka akui tahu usia Sianli."
"Ling Cu!" Lim Peng Hang menatapnya. "Engkau sudah
tahu tentang kejadian Bun Yang?"
"Tidak begitu jelas, justru itu aku ke ingin bertanya tentang
Adik Bun Yang," ujar Ngo Tok Kauwcu. "Aku menerima berita
bahwa Adik Bun Yang terjun ke jurang, dan mati di dasar
jurang itu. Benarkah berita itu?"
"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut
"Haaah" Adik Bun Yang...." Ngo Tok Kauwcu pingsan
seketika. Bu Ceng Sianli segera mengurut urat di lehernya, berselang
sesaat barulah Ngo Tok Kauwcu tersadar dari pingsannya.
"Adik Bun Yang" Adik Bun Yang...!" ucap Ngo Tok Kauwcu
memanggil nama pemuda tersebut. "Adik Bun Yang...!"
"Tenanglah Ling Cu!" ujar Bu Ceng Sianli
"Sianli," tanya Ngo Tok Kauwcu. "Di mana makamnya?"
"Tidak ada makamnya," sahut Bu Ceng Sianli sambil
menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan, "Dia mati
di dasar jurang.''
"Dia dimakamkan di dasar jurang itu?"
"Ling Cu!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Kami
tidak berhasil menemukan mayatnya."
"Apa?" Wajah Ngo Tok Kauwcu pucat pula "Dia mati tanpa
kuburan?" "Kira-kira begitulah," sahut Bu Ceng Sianli dan melanjutkan,
"Tapi kami justru tidak habis pikir tentang itu."
"Maksud Sianli?" Ngo Tok Kauwcu heran.
"Kalau dia mati di dasar jurang itu, tentunya ada
mayatnya," ujar Bu Ceng Sianli. "Kami berjumlah puluhan
orang telah memeriksa jurang itu, tapi tidak mememukan
mayat Bun Yang maupun mayat Goat Nio."
"Mungkinkah mayat mereka telah digondol binatang buas?"
tanya Ngo Tok Kauwcu.
"Tidak mungkin," Jawab Lim Peng Hang. "Sebab di dasar
jurang itu tiada jejak binatang buas, berarti tiada binatang
buas di sana."
"Kalau begitu...." Wajah Ngo Tok Kauwcu tampak berseri.
"Mungkin Adik Bun Yang masih hidup."
"Kami pun menduga begitu, dan itu yang kita harapkan,"
sahut Lim Peng Hang. "Kami berharap Bun Yang dan Goat Nio
akan muncul di sini, namun sudah sekian lama kami
menunggu, mereka berdua tak pernah muncul."
"Aaaah...!" keluh Ngo Tok Kauwcu. "Tidak mungkin Adik
Bun Yang akan mati dengan cara begitu. Tidak mungkin."
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh lima
Menteri Ma tewas
Di saat Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli
dan Ngo Tok Kauwcu sedang membicarakan masalah Tio Bun
Yang dengan serius muncul Cian Chiu Lo Kay dan melapor.
"Pangcu, di luar ada seorang gadis ingin bertemu Bun
Yang." "Oh?" Lim Peng Hang tertegun. "Siapa gadis itu?"
"Gadis itu bernama Ma Giok Ceng. Dia bilang kenal baik
dengan Bun Yang." Cian Chiu Lo Ka memberitahukan. "Bahkan
katanya Bun Yang pernah berpesan, apabila ada urusan
penting, dia boleh ke mari mencari Bun Yang."
"Kakek Lim!" Ngo Tok Kauwcu membertahukan. "Aku kenal
dia, sebab Adik Bun Yang pernah membawanya ke markasku!"
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggu "Lo Kay, cepat
suruh dia masuk!"
"Ya, Pangcu." Cian Chiu Lo Kay segera keluar.
Tak seberapa lama kemudian, tampak seorang gadis
melangkah ke dalam dengan wajah duka. Ketika melihat Ngo
Tok Kauwcu, gadis itu langsung memanggilnya sambil
menangis. "Kakak Ling Cu!" Gadis itu memang Ma Giok Ceng, putri
Menteri Ma. "Kakak Ling Cu...."
"Adik Giok Ceng!" sahut Ngo Tok Kauwcu sambil bangkit
berdiri. "Kakak Ling Cu!..." Ma Giok Ceng mendekap di dada Ngo
Tok Kauwcu. "Kakak Ling Cu...."
"Ada apa?" tanya Ngo Tok Kauwcu sambil membelainya.
"Kenapa engkau menangis" Apa yang telah terjadi?"
"Kakak Ling Cu, Ayahku... ayahku sudah meninggal," sahut
Ma Giok Ceng dengan air mata berderai-derai.
"Apa?" Ngo To Kauwcu terperanjat. "Tenanglah! Mari
kuperkenalkan, mereka adalah ketua dan Tetua Kay Pang
serta Bu Ceng Sianli."
Ma Giok Ceng segera memberi hormat kepada mereka, lalu
memandang Bu Ceng Sianli teraya berkata.
"Kakak Sianli sungguh cantik, aku yakin kakak Bun Yang
pasti suka kepadamu."
"Giok Ceng!" Bu Ceng Sianli tersenyum getir. "Kami boleh
dikatakan sebagai kakak beradik."
"Oh?" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang. "Dia pun
menganggapku sebagai adiknya."
Bu Ceng Sianli manggut-manggut, sedangkan Lim Peng
Hang terus memandangnya dengan mala tak berkedip.
"Nona Ma, sebetulnya siapa engkau dan cara Bagaimana
engkau berkenalan dengan Bun Yang?" tanya Lim Peng Hang.
"Ayahku adalah Menteri Ma." Ma Giok Ceng
memberitahukan. "Pada waktu itu aku minggat dari rumah, di
tengah jalan bertemu para penjahat, untung muncul Kakak
Bun Yang menolongku."
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Adik Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu memandangnya seraya
bertanya, "Bagaimana ayahmu mati?"
"Dibunuh para penjahat," jawab Ma Giok Ceng dan
menutur. "Malam itu ketika aku baru mau tidur, mendadak
aku mendengar suara yangl mencurigakan. Aku segera
bangun dan keluar dari kamarku, aku melihat belasan orang
berendap endap menuju kamar ayahku, yang semuanya ber
senjata. Aku langsung membentak, maksudku agar mereka
kabur, tapi mereka malah menyerangku Beberapa di
antaranya mendobrak pintu kamar ayahku, dan tak lama
terdengarlah suara jeritan ayahku. Aku menerobos masuk ke
dalam kamal Ayahku sudah tergeletak bermandikan darah,
tapi masih sempat berseru menyuruhku kabur, bahkan juga
memberitahukan bahwa para pembunuh itu adalah anak buah
menteri Bun, saingan berat ayahku."
"Aaaah...!" Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang. "Itu
sungguh tak disangka sama sekali"
"Untung kakak Bun Yang pernah mengajar ilmu silat tingkat
tinggi, maka aku berhasil meloloskan diri," ujar Ma Giok Ceng
melanjutkan "Ialu aku langsung ke mari, tak terduga kakak Iing Cu juga
berada di sini."
"Maksudmu mau tinggal di sini?" tanya Ngo tok Kauwcu.
"Ayahku telah mati dibunuh, aku... aku tidak punya tempat
tinggal," sahut Ma Giok Ceng terisak-isak. "Karena itu, aku ke
mari mencari kakak Hun Yang."
"Kenapa engkau tidak langsung ke markasku'.'" tanya Ngo
Tok Kauwcu. "Markas kakak berada di kota Kang Shi, sangat jauh sekali,"
ujar Ma Giok Ceng. "Lagi pula kakak Bun Yang pernah
berpesan, apabila ada urusan penting, aku boleh ke mari
mencarinya. "Nona Ma...." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Jadi engkau masih belum tahu apa yang telah terjadi
atas diri Bun Yang?"
"Haah?" Wajah Ma Giok Ceng langsung memucat. "Apa
yang telah terjadi atas dirinya?"
'Dia terjun ke jurang...." Lim Peng Hang menutur tentang
kejadian itu dan menambahkan,"Hlingga kini kami masih tidak
tahu pasti dia masih hidup atau sudah mati."
"Kakak Bun Yang...." Mendengar itu, Ma Giok Ceng nyaris
pingsan, kemudian menangis "Kenapa Kakak Bun Yang begitu
bodoh" Aaaah" Kenapa dia membunuh diri dengan cara terjun
ke jurang?"
"Cinta," sahut Bu Ceng Sianli. "Dia berbuat begitu karena
cinta." "Tapi...." Air mata Ma Giok Ceng berderai-derai. "Kalaupun
cinta, seharusnya tidak perlu begitu nekat membunuh diri.
Sungguh bodoh kakak Bun Yang! Aaaah...!"
"Giok Ceng!" Bu Ceng Sianli menatapnya "Engkau pernah
jatuh cinta?"
"Pernah." Ma Giok Ceng mengangguk.
"Jatuh cinta pada siapa?" tanya Bu Ceng Sianli.
"Kakak Bun Yang," jawab Ma Giok Cenj jujur. "Pertama kali
melihatnya, aku langsung jatuh cinta kepadanya. Tapi dia
memberitahukan kepadaku, bahwa dia sudah punya kekasih.
Betapa sedih dan kecewanya hatiku, namun aku tidak punya
pikiran untuk membunuh diri."
"Seandainya Bun Yang juga mencintaimu, hubungan kalian
sudah sekian lama, lalu mendadajk Bun Yang jatuh ke jurang.
Nah, bagaimana engkau?" tanya Bu Ceng Sianli mendadak.
"Aku... akan ikut mati," sahut Ma Giok Ceng sambil
menundukkan kepala.
"Begitu pula Bun Yang, dia rela mati bersama kekasihnya
itu." ujar Bu Ceng Sianli.
"Sungguh bahagia sekali Goat Nio! Sedangkan aku...." Ma
Giok Ceng mulai menangis sedih lagi
"Adik Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Aku pun
pernah jatuh cinta kepada Adik Bun Yang, bahkan dia pula
yang menyembuhkan mukaku. Tapi setelah tahu dia punya
kekasih, aku menjaga diri dari jarak. Sebab dia adalah pemuda
baik, aku tidak sampai hati merusaknya. Karena Itu, aku
menganggapnya sebagai adik."
"Aaaah...!" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang.
"Hi hi hi!" Mendadak Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan.
"Sebelum bertemu Adik Bun Yang, aku malah bertemu Goat
Nio. Tapi pada waktu itu aku tidak tahu gadis itu adalah
kekasihnya. Kemudian aku bertemu Adik Bun Yang dan seperti
kalian, aku pun jatuh cinta kepadanya. Tapi di saat aku ingat
akan usiaku, maka aku tersadar. oleh karena itu, aku pun
menganggapnya sebagai adik."
"Kakak baru berusia dua puluhan?" Ma Giok Ceng
menatapnya heran. "Kenapa barusan mengatakan begitu?"
"Giok Ceng!" Bu Ceng Sianli tersenyum. "Sesungguhnya
usiaku sudah hampir sembilan puluh."
"Hah" Apa?" Ma Giok Ceng terbelalak. "Kakak kok bergurau
sih?" "Adik Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Bu
Ceng Sianli, tidak bergurau, umurnya memang sudah hampir
sembilan puluh...."
Ngo Tok Kauwcu menjelaskan mengenai apa yang dialami
Bu Ceng Sianli, Ma Giok Ceng mendengar dengan mulut
ternganga lebar.
"Karena itu..." sambung Bu Ceng Sianli. "Aku pun kembali
muda dan itu sungguh merupakan suatu kemujizatan alam."
"Oooh!" Ma Giok Ceng manggut-manggut "Kakak sungguh
beruntung!"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nona Ma'" Lim Peng Hang menatapnya sambil bertanya.
"Apa rencanamu selanjutnya?"
"Entahlah." Ma Giok Ceng menggelengkan kepala. "Aku
tidak tahu."
"Adik Giok Ceng," usul Ngo Tok Kauwcu "Bagaimana kalau
engkau ikut aku" Markasku sangat aman bagi dirimu."
"Terimakasih, Kakak Ling Cu! Tapi...." Ma Giok Ceng
mengerutkan kening.
"Kenapa?" Ngo Tok Kauwcu menatapnya. "Engkau tidak
mau tinggal di markasku?"
"Kakak Ling Cu, aku ingin balas dendam" sahut Ma Giok
Ceng sungguh-sungguh.
"Itu sulit bagimu...." Ngo Tok Kauwcu. "Adik Giok Ceng,
aku harap engkau jangan cari mati"
"Kakak Ling Cu, aku...."
"Aku punya usul," ujar Ngo Tok Kauwcu mendadak.
"Mungkin engkau akan menerima usu! ku."
"Apa usulmu, kakak Ling Cu?"
"Adik Bun Yang dan aku kenal baik dengan Lie Tsu Seng.
Kalau engkau ingin balas dendam terhadap menteri Bun,
engkau harus bergabung dengan Lie Tsu Seng. Kita ke
markasnya dan memberitahukan tentang kejadian Adik Bun
Yang kepada Bibi Suan Hiang serta yang lain."
"Baik." Ma Giok Ceng mengangguk. "Aku bersedia
bergabung dengan Lie Tsu Seng."
"Kapan kalian akan berangkat ke markas Lie Isu Seng?"
tanya Lim Peng Hang.
"Sekarang," jawab Ngo Tok Kauwcu. "Sebab kami harus
segera memberitahukan pada mereka tentang kejadian Adik
Bun Yang."
"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Ling Cu!" Bu Ceng Sianli memandangnya seraya bertanya,
"Engkau tahu berada di mana markas Lie Tsu Seng?"
"Kalau tidak salah, markas Lie Tsu Seng berada di pinggir
kota Lam An. Ya kan?" sahut Ngo Tok Kauwcu.
"Betul." Bu Ceng Sianli mengangguk.
"Kakek Lim, Kakek Gouw, Sianli!" Ngo Tok Kauwcu bangkit
dari duduknya. "Kami mohon pamit."
"Baiklah." Lim Peng Hang mengangguk. "Selamat jalan!"
Ma Giok Ceng juga berpamit kepada mereka, lalu mengikuti
Ngo Tok Kauwcu meninggalkan markas pusat Kay Pang.
"Aaaah...!" Lim Peng Hang menggeleng-geleng kepala.
"Tidak disangka begitu banyak gadis jatuh cinta pada Bun
Yang, untung Bun Yang tidak mata keranjang! Tapi kini dia...."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan., "Kalau aku
tidak berpikir panjang, tentunya Adik Bun Yang sudah berada
dalam pelukanku!"
"Sianli...." Gouw Han Tiong terbelalak.
"Justru Adik Bun Yang adalah pemuda baik dan berhati
bajik, maka aku sangat menyayanginya, sehingga membuat
aku berpikir panjang pula," ujar Bu Ceng Sianli sambil
menghela nafas panjang. "Ketika Adik Bun Yang terjun ke
jurang; aku pun ingin ikut terjun. Untung Si Pincang itu keburu
mencegahku, kalau tidak, kini aku pun sudah mati di dasar
jurang itu."
"Terimakasih, Sianli!" ucap Lim Peng Hang "Sianli begitu
baik terhadap cucuku."
"Aaaah...!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Aku
kagum dan salut kepada Adik Bun Yang, dia begitu setia
terhadap Goat Nio. Walau berada di belakang gadis itu, dia
sama sekali tidak menyeleweng padahal begitu banyak gadis
cantik mencintainya. Itu yang membuatku kagum dan salut
kepadanya."
"Tapi sayang sekali." Lim Peng Hang menggelenggelengkan
kepala. "Kini Bun Yang sudah tiada."
"Mudah-mudahan dia dan Goat Nio masih hidup!" ucap Bu
Ceng Sianli ambil bangkit dari tempat duduknya. "Maaf, aku
mohon pamit!"
"Sianli...." Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
memandangnya, mereka berdua ingin menahannya tapi tidak
berani membuka mulut.
"Sampai jumpa!" ucap Bu Ceng Sianli lalu melesat pergi.
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang,
kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela
nafas panjang. "Seharusnya julukannya diganti...." Ujar Lim Teng Hang.
"Benar." Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Harus
diganti dengan Toh Ceng Sianli (Bidadari Kelebihan
Perasaan)."
"Aku tidak menyangka...." Lim Peng Hang menggelenggelengkan
kepala. "Begitu banyak gadis jatuh cinta kepada
Bun Yang."
"Aaaah...!" Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. "Kita
tidak tahu Bun Yang sudah mati ataukah masih hidup."
-oo0dw0oo- Jilid : 16 Di saat Lim Feng Hang dan Gnuw Han Tiong bercakapcakap
sambil menghela nafas panjang, tiba-tiba berkelebat
sosok bayangan ke dalam, lalu berdiri di hadapan mereka.
"Siapa?" bentak Lim Peng Hang terkejut.
"Maaf!" sahut pendatang itu sambil memberi hormat.
Ternyata dia masih muda, berusia dua puluh limaan.
"Kedatanganku telah menggangu ketenangan Lim Pangcu dan
Couw Tiangio."
"Siapa engkau?" tanya Lim Peng Hang sambil menatapnya
tajam. "Aku adalah Kim Coa Long Kun (Pendekar Pdang Ular
Emas), kawan baik Tio Bun Yang."
"'Haah?" Bukan main terkejutnya Lim Peng Uang dan Gouw
Han Tiong. "Silahkan duduk!"
"Terimakasih!" ucap Kim Coa Long Kun sambil duduk.
"Bun Yang telah menceritakan tentang dirimu," ujar Lim
Peng Hang. "Tak disangka engkau ke mari hari ini."
"Lim Pangcu!" Kim Coa Long Kun menatapnya seraya
berkata, "Bun yang boleh dikatakan sebagai adikku. Dia telah
memberitahukan kepadaku tentang apa yang dialaminya."
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut.|
"Belum lama ini..." ujar Kim Coa Long Kun dengan kening
berkerut-kerut. "Aku mendengar suatu kabar yang sangat
mengejutkan, yakni Adik Bun yang terjun ke jurang. Betulkah
itu?" "Betul." Lim Peng Hang mengangguk.
"Aaah...!" keluh Kim Coa Long Kun. "Kenapa dia begitu
bodoh" Aku pun mendengar bahwa kekasihnya jatuh ke
jurang itu, maka dia...."
"Tidak salah." Lim Peng Hang manggut-mang- gut,
kemudian menutur sejelas-jelasnya mengenai kejadian itu.
"Adik Bun Yang...." Kim Coa Long Kun menggelenggelengkan
kepala. "Jadi dia berhasil mem bunuh ketua Kui Bin
Pang?" "Ya." Lim Peng Hang menghela nafas pan jang. "Cinta!
Karena cinta dia terjun ke jurang itu."
"Apakah Lim Pangcu dan lainnya sudah turun ke dasar
jurang itu?"
"Kami berjumlah puluhan orang telah turun ke dasar jurang
itu, tapi tidak menemukan mayat Bun Yang maupun mayat
Goat Nio."
"Kalau begitu...." Kim Coa Long Kun mengerutkan kening.
"Itu masih merupakan teka teki. Bun Yang dan Goat Nio masih
hidup, atau mati, justru tidak bisa dipastikan. Ya, kan?"
"Ya." Lim Peng Hang mengangguk.
"Mudah-mudahan Adik Bun Yang masih hidup, dia kawanku
satu-satunya! Aku cocok dengannya..." ujar Kim Coa Long Kun
sambil menghela nafas panjang dan menambahkan, "Dia
pemuda baik, gagah dan berhati bajik."
"Oh ya!" Lim Peng Hang teringat sesuatu dan segeralah
bertanya, "Engkau telah berhasil menyelidiki musuhmusuhmu?"
"Belum." Kim Coa Long Kun mengelengkan kepala. "Adik
Bun Yang yang memberitahu kepada Lim Pangcu?"
"Ng!" Lim Peng Hang mengangguk. "Kim Coa I ong Kun,
kami pihak Kay Pang bersedia membantumu menyelidiki
musuh-musuhmu itu."
"Terimakasih, Lim Pangcu!" ucap Kim Coa Long Kun. "Tapi
bukankah akan merepotkan pihak Kay Pang?"
"Tentu tidak," sahut Lim Peng Hang. "Engkau kawan baik
Bun Yang, sudah barang tentu kami harus membantumu."
"Terimakasih, Lim Pangcu!" Kim Coa Long Kun langsung
memberi hormat.
"Tapi...." Gouw Han Tiong memandangnya seraya berkata,
"Kami harus tahu bagaimana ciri- ciri musuh-musuhmu itu."
"Mereka berlima memakai topeng dan meng gunakan
pedang, namun aku yakin mereka berlima adalah saudara
kandung," ujar Kim Coa Long Kun. "Karena mereka saling
memanggil kakak dan adik."
"Kalau begitu...." Gouw Han Tiong manggut- manggut. "Itu
tidak begitu sulit diselidiki. Mereka memakai topeng agar
wajah mereka tidak dikenali. Maka aku berkesimpulan bahwa
mereka bukan penjahat, melainkan berasal dari perguruan
atau keluarga yang terkenal."
"Terimakasih atas petunjuk Gouw Tianglo!" ucap Kim Coa
Long Kun dengan wajah berseri. "Selama ini aku tidak
memikirkan tentang ini, terimakasih!"
"Kim Coa Long Kun!" Gouw Han Tiong tertawa. "Dalam hal
ini, kami pasti membantumu!"
"Terimakasih, terimakasih!" Kim Coa Long Kun bangkit dari
duduknya. "Maaf, Lim Pangcu dan Gouw Tianglo, aku mohon
pamit, sampai jumpa!"
Kim Coa Long Kun langsung melesat pergi. Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian Lim Peng
Hang berkata. "Ternyata Kim Coa Long Kun bukan penjahat. Kelihatannya
dia pun sangat setia kawan."
"Kita harus membantunya menyelidiki musuh- musuhnya
itu," sahut Gouw Han Tiong. "Kita mencari lima bersaudara
dari keluarga persilatan."
"Sementara ini kita belum bisa membantunya...." Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Sebab aku masih terkenang
Bun Yang."
"Aaaah...!" keluh Gouw Han Tiong. "Bun Yang dan Goat
Nio...." -oo0dw0oo- Di tepi jurang di Tebing Selaksa Bunga, tampak sosok
bayangan berdiri tak bergerak sama sekali, ternyata Bu Ceng
Sianli. "Adik Bun Yang...." gumamnya dengan air mala meleleh.
"Aku tidak menyangka engkau akan berakhir dengan cara
begitu. Adik Bun Yang, sebetulnya engkau masih hidup atau
sudah mati?"
Bu Ceng Sianli terisak-isak. Ia kelihatan sedih sekali dan
kemudian bergumam lagi.
"Engkau adalah pemuda yang amat setia pada cinta, boleh
dikatakan tiada duanya di dunia. Aku bangga sekali, karena
engkau mau mengaku diriku sebagai kakakmu. Aku sungguh
bangga sekali!" Bu Ceng Sianli terus bergumam. "Tapi kini...
engkau sudah tiada, tidak mungkin engkau masih hidup."
Di saat bersamaan, terdengar suara langkah yang sangat
ringan mendatangi tepi jurang itu. Segeralah ia melesat ke
belakang pohon.
Muncul seorang pemuda berwajah dingin, yang tidak lain
Kim Coa Long Kun. Sungguh di luar dugaan, Pendekar Pedang
Ular Emas itu pun datang di Tebing Selaksa Bunga. Ia berdiri
di tepi jurang, matanya memandang ke bawah sambil
bergumam. "Aaaah...! Sedemikian dalam jurang ini, bagaimana
mungkin Adik Bun Yang bisa hidup?" Mata Kim Coa Long Kun
mulai basah. "Adik Bun Yang, kita adalah sahabat juga boleh
dikatakan sebagai saudara. Aku justru tidak menyangka
engkau akan terjun ke jurang ini. Engkau... engkau sungguh
setia pada kekasihmu! Aku... aku kagum kepadamu."
Bu Ceng Sianli yang bersembunyi di belakang pohon,
terheran-heran mendengar gumaman pemuda itu, karena ia
tidak kenal Kim Coa Long Kun.
"Adik Bun Yang..." gumam Kim Coa Long Kun lagi. "Kita
bertemu cuma dua kali. namun rasa solidaritas kita sudah
dalam sekali. Oleh karena itu, aku harus berkabung untukmu.
Caraku berkabung yakni membunuh seratus penjahat rim ba
persilatan, dikarenakan engkau dan Goat Nio mati gara-gara
perbuatan penjahat."
Mendadak Kim Coa Long Kun membentak ambil menoleh
ke arah pohon tempat Bu Ceng Sianli bersembunyi. "Siapa di
situ?" "Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan .ambil
memunculkan diri. "Hei! Anak muda, cukup tajam
pendengaranmu!"
"Eh?" Kim Coa Long Kun tertegun ketika melihat seorang
gadis keluar dari balik pohon. "Siapa engkau" Kenapa
bersembunyi di situ?"
"Aku adalah Bu Ceng Sianli, aku datang duluan. Karena
mendengar suara langkah, maka aku segera bersembunyi di
balik pohon itu."
"Bu Ceng Sianli..." gumam Kim Coa Long Kun. "Rasanya
aku pernah mendengar julukan- in u."
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan lagi. "Hi hi hi!
Anak muda, beritahukanlah julukanmu!"
"Julukanku adalah Kim Coa Long kun."
"Oooh!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut. "Ternyata aku
berhadapan dengan Pendekar Pedang Ular Emas yang sadis."
"Nona!" Kim Coa Long Kun menatapnya dingin. "Kenapa
engkau berada di sini" Punya hubungan dengan Bun Yang?"
"Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berada tli sini?"
sahut Bu Ceng Sianli.
"Hm!" dengus Kim Coa Long Kun. "Adik Bun Yang sudah
mati bersama kekasihnya, percuma engkau terus berada di
sini." "Lho?" Bu Ceng Sianli tertawa. "Memangnya kenapa aku
tidak boleh berada di sini" Hanyi engkau yang boleh berada di
sini?" "Aku adalah sahabatnya, lagi pula kami sudah mengangkat
saudara." "Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan "Kim Coa Long
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kun, tidak baik engkau ber bohong."
"Siapa yang berbohong?" Wajah Kim Cos Long Kun
berubah dingin sekali. "Kalau aku tidah ingat engkau punya
hubungan dengan Adik Bun Yang, lehermu sudah kuputuskan
dengan pedang ku!"
"Wuaaah!" Bu Ceng Sianli tertawa. "Engkau sungguh sadis,
belum apa-apa sudah mau pengga kepalaku!"
"Siapa suruh engkau omong sembarangan?" bentak Kim
Coa Long kun. "Sekali lagi engkau omong yang bukan-bukan,
sekali cabut pedangku, kepalamu pasti terpental!"
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli menatapnya. "Tadi aku telah
mendengar gumamanmu, maka aku bilang engkau
berbohong. Karena engkau dan Bun Yang belum mengangkat
saudara." "Engkau...." Wajah Kim Coa Long Kun ke merah-merahan.
"Beritahukan, ada hubungan apa engkau dengan Adik Bun
Yang?" "Hubungan Kakak adik."
"Apa" Hubungan kakak adik?"
"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Aku menganggapnya
sebagai adik, dan dia menganggapku sebagai kakak. Nah,
bukankah hubungan kami adalah hubunggn kakak adik?"
"Bagaimana mungkin?" ujar Kim Coa Long Kun. "Engkau
masih muda dan sangat cantik pula, tidak mungkin engkau
tidak mencintainya."
"Terimakasih atas pujianmu!" ucap Bu Ceng Sianli sambil
menghela nafas panjang. "Ketika pertama kali bertemu dia,
aku memang jatuh cinta kepadanya. Kemudian dia
memberitahukan kepadaku bahwa dia sudah punya kekasih."
"Tentunya membuatmu kecewa sekali." ujar Kim Coa Long
Kun dan menambahkan, "Adik IJun Yang benar, dia harus
berterus terang kepadamu."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Bun Yang
adalah pemuda baik dan berhati bajik, maka aku pun harus
tahu diri dan ingat akan usiaku."
"Usiamu?" Kim Coa Long Kun menatapnya. "Bukankah
usiamu baru dua puluhan?"
"Kalau aku beritahukan, mungkin engkau tidak akan
percaya," ujar Bu Ceng Sianli melanjutkan, "Sesungguhnya
usiaku sudah mendekati kepala sembilan."
"Mendekati kepala sembilan?" Kim Coa Long kun terbelalak.
"Maksudmu mendekati usia sembilan puluh?"
"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk.
"Itu bagaimana mungkin?" Kim Coa Long Kun tidak
percaya. "Aku tidak bohong," ujar Bu Ceng Sianli, lalu menutur
tentang apa yang dialaminya.
Kim Coa Long Kun mendengarkan dengan mulut ternganga
lebar, kelihatannya ia masih kurang percaya.
"Sungguhkah itu?" tanyanya.
"Percuma aku bohong," sahut Bu Ceng Sianli, kemudian
menghela nafas panjang. "Aku ke maii untuk mengenangnya."
"Oh ya!" Kim Coa Long Kun teringat sesuatu "Sianli,
bagaimana menurutmu mengenai kejadian Adik Bun Yang?"
"Maksudmu?"
"Maksudku Bun Yang dan Goat Nio sudah mati atau masih
hidup?" "Itu memang suatu teka teki," sahut Bu Ceng Sianli sambil
mengerutkan kening. "Sebab kami tidak menemukan mayat
Bun Yang maupun Goal Nio!"
"Aku sudah dengar dari Lim Pangcu," ujai Kim Coa Long
Kun menambahkan. "Itu memang membingungkan. Namun
kalau Bun Yang masih hidup, tentunya dia sudah ke markas
pusat Kay Pang."
"Kami memang merasa tidak habis pikir...." Bu Ceng Sianli
menggeleng-geleng kepala.
"Hm!" dengus Kim Coa Long Kun dingin "Aku bersumpah
akan membunuh seratus penjahat."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan
"Aku setuju."
"Baiklah!" Kim Coa Long Kun memberi hormat, lalu
mendadak melesat pergi.
Bu Ceng Sianli terus tertawa. "Bagus, bagus! Kim Coa Long
Kun akan membantai seratus penjahat...!"
Bu Ceng Sianli melesat pergi. Apa yang dikatakan Kim Coa
Long Kun memang dilaksanakannya. Dia membantai seratus
penjahat. Hal itu membuat namanya sangat ditakuti para
penjahat! Tapi setelah itu, ia pun menghilang entah ke mana,
sama sekali tiada kabar beritanya lagi.
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh enam
Utusan Manchuria
Ngo Tok Kauwcu dan Ma Giok Ceng telah tiba di markas Lie
Tsu Seng. Betapa gembiranya Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan,
Lie Tsu Seng dan lainnya menyambut kedatangan keduanya.
Tapi ketika menyaksikan wajah mereka berdua, Yo Suan
Hiang dan Tan Giok Lan tersentak, sebah wajah Ngo Tok
Kauwcu dan Ma Giok Ceng tampak murung sekali.
"Bibi Suan Hiang!" panggil Ngo Tok Kauwcu sekaligus
memberi hormat pada mereka, lalu memperkenalkan mereka
pula. "Ini Ma Giok Ceng, putri kesayangan Menteri Ma."
"Hah?" Yo Suan Hiang terbelalak. "Gadis ini putri
kesayangan Menteri Ma?"
"Betul." Ngo Tok Kauwcu mengangguk, sedangkan Ma Giok
Ceng segera memberi hormat pada mereka.
"Ayahku sudah tewas." Ma Giok Ceng memberitahukan
sambil terisak-isak, kemudian menuturku tentang kejadian itu.
Yo Suan Hiang menghela nafas panjang. "Jadi kini Menteri
Bun yang berkuasa di istana?"
"Ya!" Ma Giok Ceng mengangguk. "Sebetulnya ayahku
sangat jahat, tapi setelah bertemu kakak Bun Yang, ayahku
tidak begitu mencampuri urusan istana lagi. Tapi... malah
dibunuh oleh anak buah Menteri Bun."
"Engkau kenal Bun Yang?" tanya Tan Giok Lan.
Ma Giok Ceng mengangguk. "Dia yang menolong aku."
"Oooh!" Tan Giok Lam manggut-manggut.
Sementara Lie Tsu Seng diam saja. Beberapa saat
kemudian baru dia membuka mulut.
"Bagaimana Bun Yang" Dia baik-baik saja dan sudah
berkumpul dengan Goat Nio?"
"Dia memang sudah berkumpul dengan Goat Nio," ujar Ma
Giok Ceng sambil menangis. "Aku... aku sedih sekali."
"Giok Ceng!" Yo Suan Hiang tersenyum. "Engkau mencintai
Bun Yang?"
"Aku memang mencintainya, tapi begitu tahu dia sudah
punya kekasih, maka aku menganggapnya sebagai kakak,"
jawab Ma Giok Ceng dengan air mata berderai-derai.
"Kalau begitu, seharusnya engkau bergembira karena
mereka berdua sudah berkumpul kembali." ujar Yo Suan
Hiang. "Tapi, kenapa engkau bersedih?"
Ma Giok Ceng terisak-isak sedih. "Kakak Bun Yang dan Goat
Nio berkumpul di alam baka..." ujarnya menjelaskan.
Betapa terkejutnya Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan dan
lainnya. "Maksudmu mereka sudah mati?"
Ma Giok Ceng mengangguk dengan air mata bercucuran.
"Bun Yang...," Yo Suan Hiang nyaris pingsan. Begitu pula
Tan Giok Lan. Gadis itu pun nyaris pingsan seketika.
"Ling Cu," Yo Suan Hiang memandangnya dengan air mata
meleleh. "Engkau tahu jelas tentang itu?"
Ngo Tok Kauwcu mengangguk, lalu menutui sejelasjelasnya
tentang kejadian tersebut.
"Maka kami datang untuk memberitahukan,' tambah Ma
Giok Ceng dengan air mata berlinang^ linang.
"Aaaah...," Yo Suan Hiang menghela nafas panjang. "Ini
sungguh di luar dugaan!" ,
"Mayat Adik Bun Yang tidak diketemukan mungkinkah Adik
Bun Yang belum mati?" gumam Tan Giok Lan.
"Semula pihak Kay Pang, Pulau Hong Hoang To, dan pihak
Tayli juga berpendapat begitu Tapi...," Ngo Tok Kauwcu
menggeleng-geleng kepala. "Bun Yang dan Goat Nio tidak
muncul, itu membuat mereka jadi putus harapan."
"Adik Bun Yang...," Tan Giok Lan menangis sedih. "Aku
tidak percaya! Aku tidak percaya Adik Bun Yang sudah mati!
Aku tidak percaya!"
Karena Tan Giok Lan mulai menangis sedih, membuat Yo
Suan Hiang, Ngo Tok Kauwcu, dan Ma Giok Ceng pun ikut
menangis. Sementara Lie Tsu Seng diam saja. Hanya sepasang
matanya telah basah dan dia terus- menerus menghela nafas
panjang. Berselang beberapa saat kemudian, barulah reda isak
tangis itu. Lie Tsu Seng berkata.
"Kami semua turut berduka cita. Bun Yang adalah pemuda
baik, gagah, dan berhati bajik. Tak disangka akan mengalami
nasib itu."
"Tapi...." ujar Tan Ju Liang mendadak, "Menurut aku, Bun
Yang masih hidup. Dia tidak mungkin berumur pendek begitu.
Lagipula tidak ditemukan mayatnya."
"Tapi sudah sekian lama dia tidak kembali ke markas Pusat
Kay Pang, itu pertanda dia sudah iiada," ujar Ngo Tok Kauwcu
sambil menggeleng- gelengkan kepala dan melanjutkan,
"Kalaupun mengalami luka parah, tentunya dia sudah kembali
ke markas Pusat Kay Pang!"
"Mungkin lukanya itu belum sembuh," sahut Tan Ju Liang.
"Mudah-mudahan!" ucap Yo Suan Hiang, kemudian
memandang Ma Giok Ceng seraya bertanya. "Giok Ceng, apa
rencanamu sekarang?"
"Ayahku sudah tewas, maka aku ingin bergabung saja di
sini," jawab Ma Giok Ceng sungguh-sungguh.
"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya dalam- dalam. "Engkau
adalah putri almarhum Menteri Ma, bagaimana mungkin
engkau bergabung dengan kami yang dicap sebagai
pemberontak?"
"Aku ingin balas dendam!" ujar Ma Giok ("eng. "Karena itu,
aku harus bergabung di sini."
"Bagus, bagus! Ha ha ha...!" Lie Tsu Seng tertawa gelak.
"Apabila Menteri Bun dapat ditangkap kelak, pasti kuserahkan
padamu!" "Terima kasih, Paman," ucap Ma Giok Ceng.
"Oh ya!" Lie Tsu Seng memandangnya. "Betulkah ayahmu
mulai berubah baik setelah bertemu Bun Yang?"
"Betul!" Ma Giok Ceng mengangguk. "Ayahku berharap,
Bun Yang memperisteriku, bahkan juga batal bersekongkol
dengan pihak Manchuria!"
"Oh?" Lie Tsu Seng terbelalak, kemudian manggutmanggut.
"Itu adalah jasa Bun Yang, tapi akhirnya menteri Ma
mati dibunuh juga."
"Itu karena ayahku memprotes usul Menteri Bun dihadapan
kaisar, maka Menteri Bun mengutus belasan orang untuk
membunuh ayahku." Ma Giok Ceng memberitahukan.
"Menteri Bun mengajukan usul apa pada kaisar?" tanya Yo
Suan Hiang. "Sebetulnya sudah lama ayahku merencanakan itu, tapi
setelah bertemu kakak Bun Yang, rencana itu dibatalkannya."
jawab Ma Giok Ceng dan melanjutkan, "Menteri Bun
mengusulkan pada kaisar, agar bekerja sama dengan pihak
Manchuria untuk menghancurkan para pemberontak."
"Bagaimana cara bekerjasama itu?" tanya Yo Suan Hiang.
"Menteri Bun akan meminjam pasukan Manchuria untuk
menyerang para pemberontak, karena itu ayahku memprotes
keras." jawab Ma Giok Ceng.
"Oooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Baiklah,
engkau boleh bergabung dengan kami."
"Terima kasih, Bibi!" Ma Giok Ceng segera memberi hormat
pada semuanya yang berada di situ.
"Adik Giok Ceng," ucap Ngo Tok Kauwcu. Selamat berjuang
demi rakyat!"
"Terima kasih!" Ma Giok Ceng mengangguk.
"Maaf!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil bangkit berdiri. "Aku
tidak bisa lama-lama di sini. Sebab masih ada urusan lain yang
harus kuselesaikan, aku mohon pamit. Sampai jumpa!"
Mendadak Ngo Tok Kauwcu melesat pergi, Ma Giok Ceng
langsung berteriak memanggilnya.
"Kakak Ling Cu! Kakak Ling Cu...!"
"Giok Ceng!" Yo Suan Hiang menggeleng- geleng kepala.
"Percuma engkau berteriak memanggilnya, dia sudah jauh."
"Aaaah...," keluh Ma Giok Ceng dengan wajah murung.
"Ayahku mati dibunuh, sedangkan Kakak Bun Yang terjun ke
jurang. Goat Nio sungguh bahagia, kani dia telah berkumpul
dengan Kakak Bun Yang. Sebaliknya, kita kehilangannya."
"Tidak mungkin! Tidak mungkin...," gumam Lie Tsu Seng
mendadak. "Tidak mungkin Bun Yang sudah mati! Itu tidak
mungkin." -oo0dw0oo- Sementara itu, di kediaman Menteri Bun tampak meriah
dan semarak suasananya.
Terdengar pula suara tawa gelak bernada gembira.
Ternyata Menteri Bun menjamu beberapa tamu terhormat.
Mereka para utusan dari Manchuria, yaitu Kim Ih Hoat Ong
(Pendeta Jubah Emas), beliau adalah guru besar di Manchuria,
kepandaiannya sudah sulit diukur lagi berapa tingginya. Kim Ih
Hoat Ong juga membawa Cap Sah Sin Eng (Tiga Belas Elang
Sakti) yang berkepandaian tinggi sekali, ikut pula Pancha
Putra Raja Manchuria.
"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gembira. "Aku tidak
sangka kalian sedemikian cepat tiba di sini!"
"Karena Menteri Bun yang mengundang, maka kami harus
melakukan perjalanan siang malam agar cepat tiba di sini,"
sahut Pancha. "Namun kami tidak tahu, bagaimana cara
kerjasama kita itu?"
"Tentunya kalian sudah tahu, telah terjadi pemberontakan
di kerajaan kami. Oleh karena itu, kami mohon bantuan
kalian," ujar Menteri Bun.
"Bagaimana kami membantu?" tanya Pancha.
"Aku sudah berunding dengan kaisar. Atas persetujuan
kaisar, aku ingin pinjam pasukan kalian," jawab Menteri Bun
dengan suara rendah.
"Ha ha ha!" Pancha tertawa gelak. "Untuk apa menteri Bun
ingin pinjam pasukan dari kami?"
"Untuk menumpas para pemberontak!" sahut menteri Bun.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah pasukan di sini sudah begitu lemah, tidak mampu
menumpas para pemberontak itu?" tanya Pancha bernada
menyindir. Hingga harus pinjam pasukan kami?"
"Perlu diketahui, para pemberontak itu terdiri dari kaum
pesilat yang berkepandaian tinggi."
"Ha ha ha! Ha ha ha...." Mendadak Kim Ih Hoat Ong
tertawa gelak memekakkan telinga. "Menteri Bun, sejak aku
lahir tidak pernah memasuki daerah Tionggoan. Namun aku
sudah pernah ke Thian Tok (India), Turki, Persia, dan Nepal.
Aku terus merantau menuntut ilmu silat, tujuanku untuk
mengalahkan para jago di rimba persilatan Tionggoan. Aku
harap menteri Bun \udi memberitahukan tentang para jago
itu." "Baik!" Menteri Bun mengangguk, kemudian memandang
salah seorang pengawalnya. "Engkau beritahukan pada Kim Ih
Hoat Ong!"
Pengawal itu segera memberitahukan. "Di rimba persilatan
Tionggoan terdapat tujuh partai besar dan satu Kay Pang
(Partai Pengemis). Para ketua rata-rata berkepandaian tinggi."
"Aku sudah tahu itu!" Potong Kim Ih Hoat Ong. "Yang ingin
kutahu adalah orang yang berkepandaian paling tinggi masa
ini, sebab kepandaian para ketua masih berada jauh di bawah
kepandaianku!"
"Yang berkepandaian paling tinggi adalah Tio Bun Yang,
putra kesayangan Pek Ih Sin Hiap Tu Cie Hiong yang
bermukim di Pulau Hong Hoan| To. Tapi belum lama ini tersiar
berita, bahw; Giok Siauw Sin Hiap Tio Bun Yang terjun kt
jurang, mati atau hidupnya merupakan suatu teki teki,"
Pengawal itu memberitahukan. "Di rimb; persilatan juga telah
muncul Bu Ceng Sianli, yan| kepandaiannya sangat tinggi
sekali, cantik dar masih muda."
"Oh?" Pancha tampak tertarik sekali. "Berapa usianya?"
"Dua puluhan," sahut pengawal itu dan mc nambahkan,
"Para penghuni Pulau Hong Hoanj To rata-rata berkepandaian
tinggi sekali."
"Siapa mereka itu?" tanya Kim Ih Hoat Ong
"Mereka adalah majikan Pulau Hong Hoani To, Tio Cie
Hiong, Lim Ceng Im, Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng,
Kou Hun Bijin dan lainnya," jawab pengawal itu. "Kepandaian
mereka sungguh tinggi sekali, namun mereka sudah tidak
mencampuri urusan rimba persilatan lagi."
"Kalau begitu, sayang sekali!" ujar Kim Ih Hoat Ong. "Aku
mau menyertai Pancha ke mari, justru ingin mengalahkan para
jago di Tionggoan ini."
"Bagaimana kalau Hoat Ong bertanding dengan para ketua
tujuh partai besar?" tanya pengawal itu mendadak,
"Percuma." Kim Ih Hoat Ong menggelengkan, kepala. "Aku
yakin dapat mengalahkan mereka 5 dalam tiga puluh jurus."
"Apa?" Pengawal itu terbelalak. "Hoat Ong dapat
mengalahkan para ketua itu dalam tiga puluh jurus?"
"Engkau tidak percaya?" tanya Kim Ih Hoat Ong sambil
tertawa. "Maaf!" sahut pengawal itu. "Terus terang, aku memang
kurang percaya, sebab para ketua i itu berkepandaian tinggi."
"Siapa ketua partai Siauw Lim?" Tanya Kim Ih Hoat Ong
mendadak. "Hui Khong Taysu."
"Seandainya engkau bertanding melawannya, apakah
engkau mampu bertahan berapa lama?"
"Mungkin cuma kuat bertahan sampai seratus lurus."
"Ngmm!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut, kemudian
berkata, "Aku tetap duduk di sini, engkau boleh menyerang
aku dengan senjata. Mari kita lihat engkau mampu bertahan
berapa jurus!"
"Tapi...." Pengawal itu memandang menteri Bun.
"Turutilah Hoat Ong!" ujar menteri Bun, yang memang
ingin menyaksikan kepandaian Kim Ih Hoat Ong.
"Ya." Pengawal itu mengangguk, lalu berdiri di hadapan
Kim Ih Hoat Ong, sekaligus menghunus pedangnya. "Maaf!"
Pengawal itu langsung menyerangnya, namun mendadak
badan Kim Ih Hoat Ong meluncur ke atas, sehingga membuat
pengawal tersebut menyerang tempat kosong. Secepat kilat
pedangnya menyerang ke atas.
Kim Ih Hoat Ong tertawa, kemudian sebelah kakinya
menendang pedang itu, sekaligus mengibaskan lengan
jubahnya. Pengawal itu terdorong ke belakang beberapa
langkah sedangkan Kim Ih Hoat Ong duduk kembali di
kursinya. Betapa terkejutnya pengawal itu. Ia sama sekali tidak
menyangka kalau Kim Ih Hoat Ong berkepandaian begitu
tinggi. Mendadak ia memekik keras, lalu menyerangnya
dengan ilmu pedang andalannya.
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak, dan
sekonyong-konyong badannya terangkat ke atas bersama
kursi yang didudukinya.
Ia berputar-putar ke sana ke mari, sedangkan pengawal itu
terus menyerangnya dengan jurus jurus mematikan. Di saat
itulah Kim Ih Hoat Ong membentak keras, sekaligus
mengibaskan lengan jubahnya. Seketika juga pengawal itu
terpental beberapa depa dan pedangnya sudah menjadi
beberapa potong.
Bukan main terkejutnya pengawal itu, dan metelah berdiri
tegak, wajahnya pun tampak pucat pias.
"Bagaimana?" tanya Kim Ih Hoat Ong. "Aku , cuma
menggunakan tangan kosong, sedangkan engkau
menggunakan pedang. Engkau cuma mampu bertahan berapa
jurus?" "Dua puluh jurus," sahut pengawal itu jujur.
"Kalau aku bersungguh-sungguh, engkau cuma mampu
bertahan kurang lebih sepuluh jurus," ujar Kim Ih Hoat Ong.
"Ya." Pengawal itu manggut-manggut.
"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gelak. "Agar menarik
perhatian para jago di rimba persilatan Tionggoan, Hoat Ong
harus mengalahkan ketua partai Siauw Lim. Sebab partai
Siauw Lim sangat terkenal."
"Betul." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut. "Aku harus
membuat kegemparan di rimba persilatan Tinggoan! Ha ha
ha...!" "Oh ya!" Menteri Bun menatapnya sambil berkata, "Hoat
Ong masih tampak gagah, sebetulnya dia berusia berapa?"
"Menteri Bun," sahut Pancha sambil tertawa. "Hoat Ong
sudah berusia seratus lebih."
"Apa?" menteri Bun terbelalak. "Tapi Hoat Ong kelihatan
seperti berusia enam puluhan."
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Menteri Bun
harus tahu, sejak kecil aku sudah belajar ilmu silat, bahkan
tidak pernah menyentuh kaum wanita. Di samping itu, aku
pernah makan semacam buah langka yang menambah
lweekang- ku!"
"Oooh!" Menteri Bun manggut-manggut. "Ohya, kenapa
Hoat Ong tidak pernah memasuki daerah Tionggoan?"
"Karena aku tahu banyak orang berkepandaian tinggi di
rimba persilatan Tionggoan, dan aku tidak mau
mempermalukan diri sendiri. Maka sebelum berkepandaian
tinggi, aku tidak akan memasuki daerah Tionggoan." Kim Ih
Hoat Ong memberitahukan. "Sebetulnya aku sudah malas
terhadap urusan rimba persilatan, tapi ayah Pancha terusmenerus
bermohon kepadaku untuk mengajar di istana.
Akhirnya aku mengabulkannya. Ayah Pancha girang sekali,
sehingga menghadiahkan jubah emas ini padaku."
"Setelah itu..." tambah Pancha. "Ayah mengutus kami ke
mari menemui menteri Bun. Kebetulan sekali juga merupakan
kesempatan Hoat Ong untuk menggemparkan rimba persilatan
Tionggoan. Ha ha ha...!"
"Kalau begitu...." Menteri Bun memandang mereka. "Kapan
kalian akan berangkat ke kuil Siauw Lim?"
"Besok pagi," sahut Kim Ih Hoat Ong, lalu tertawa gelak.
"Ha ha ha...!"
-ooo0dw0ooo- Belasan hari kemudian, tersiarlah berita yang sangat
menggemparkan rimba persilatan bahwa ketua partai Siauw
Lim, Butong dan Kun Lun dikalahkan oleh Kim Ih Hoat Ong,
Koksu (Guru Istana) Manchuria. Pihak Kay Pang juga
mendengar berita tersebut. Dapat dibayangkan betapa
terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.
"Apa yang dikatakan M a Giok Ceng tempo hari memang
benar, kini putra raja Manchuria, Kim Ih Hoat Ong dan Cap
Sah Sin Eng mulai mengacau di rimba persilatan Tionggoan,"
ujar Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh tinggi kepandaian Kim ih Hoat Ong!" sahut Gouw
Han Tiong dengan kening berkerut-kerut. "Dia mampu
mengalahkan ketiga ketua itu dalam dua puluh lima jurus. Itu
sungguh di luar dugaan!"
"Mungkinkah dia masih berniat mengalahkan ketua partai
lain?" tanya Lim Peng Hang meminta pendapat Gouw Han
Tiong. "Menurut aku..." ujar Gouw Han Tiong selelah berpikir
beberapa saat. "Dia tidak akan mengalahkan ketua partai lain
lagi." "Kenapa?" tanya Lim Peng Hang heran.
"Sebab...." Gouw Han Tiong menjelaskan. "Kim Ih Hoat
Ong mengalahkan ketiga ketua itu, semata-mata hanya untuk
mempermalukan kaum rimba persilatan Tionggoan dan
menghendaki munculnya pesilat tangguh melawannya."
"Ngmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Tidak salah,
tujuannya memang beg1' u."
"Mungkin juga, Kim In Hoat Ong itu akan ke mari." ujar
Gouw Han Tong melanjutkan.
"Kalau begitu, kita harus bersiap-siap," sahut Lim Peng
Hang, kemudian menghela nafas panjang. "Aaaah, terjadi
kendala lagi dalam rimba persilatan!"
Gouw Kan Tong mengalihkan pembicaraan. "Belum lama
ini .. Kim Coa Long Kun telah membanta," seratus penjahat
lalu menghilang. Entah apa sebabnya, dia membantai para
penjahat itu."
"Karena itu para penjahat yang masih hidup segera
bersembunyi Memang sadis sekali Kini Coa Long Kun itu."
tambah Lim Peng Hang
Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Hingga kini
Bun Yang dan Goat Nio tiada kanar beritanya, mereka berdua
sudah mati."
"Tiada harapan lagi Gouw Han Tong menghela nafas
panjang "Sudah sekian lama dia tidak kembali, dia... dia pasti
sudah tiada."
"Entah bagaimana keadaan Cie Hiong dan putriku di Pulau
Hong Hoang To, apakah mereka tabah menghadapi kenyataan
itu?" gumam Lim Peng Hang lalu menghela nafas panjang.
"Ingin rasanya aicu ke Pulau Hong Hoang To menengok
mereka...."
Ucapannya terhenti karena dikejutkan oleh berkelebatnya
sosok bayangan memasuki markas.
"Siapa?" bentak Lim Peng Hang.
"Maaf!" Terdengar suara sahutan dan tampak berdiri
seorang gadis yang ternyata adalah Ngo Tok Kauwcu-Phang
Ling Cu. "Kakek Lim, Kakek Gouw!"
"Oh! Ling Cu!" Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Duduklah!"
"Terimakasih, Kakek Lim!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil
duduk. "Ling Cu!" Gouw Han Tiong menatapnya sambu bertanya,
"Ada suatu yang penting?"
"Kakek Gouw sudah mendengar berita tentang Kim Ih Hoat
Ong mengalahkan ketua partai Siauw Lim dan ketua partai
lainnya?" "Kami sudah mendengarnya," sahut Gouw Han Tiong dan
menambahkan. "Pancha, putra raja Vlanchuria, Kim Hoat Ong
dan Cap Sah Sin Eng berada di rumah Menter Run sebagai
tamu terhormat, mereka adalah utusan raja Manchuria."'
"Betul." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Aku khawatir Kim
Ih Hoat Ong dan lainnya akan ke mari, maka aku segera ke
sini bermaksud membantu."
"Terimakasih, Ling Cu!" ucap Lim Peng Hang, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata. "Tentunya
engkau pun ingin bertanya tentang Bun Yang dan Goat Nio,
bukan?" "Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk.
"Tiada kabar beritanya, kelihatannya sudah tiada harapan."
Lim Peng Hang menghela nafas panjang "Aaaah...!"
"Kakek Lim!" kening Ngo Tok Kauwcu berkerut. "Aku tetap
tidak percaya kalau Bun Yany telah mati. Aku tetap tidak
percaya." "Mau tidak mau engkau harus percaya, sebab hingga saat
ini Bun Yang dan Goat Nio tidak kemari," ujar Lim Peng Hang
dengan wajah murung "Sudah sekian lama, bagaimana
mungkin mereka masih hidup?"
"Kita semua masih dalam duka malah muncul Kim Ih Hoat
Ong. Sungguh di luar dugaan'" ujar Gouw Han Tiong.
"Kepandaian Kim Ih Hoat Ong tinggi sekali Dia mampu
mengalahkan tiga ketua itu hanya dalam dua puluh lima
jurus." Ngo Tok Kauwcu memandang mereka dan bertanya,
"Apakah Kakek Lun dan KakeK Gouw sanggup melawan Kim
Ih Hoat Ong itu?"
"Kalaupun kami bergabung melawannya, aku yakin kami
berdua pasti kalah," sahut Lim Peng Hang jujur
"Oh?" Air muka Ngo Tok Kauwcu berubah "Bagaimana k a
kalau seandainya Kim Ih Hoal Ong ke mari''"
"Tentunya harus melawannya." Lim Peng Hang tersenyum
getir. "Kelihatannya Kun Ih Hoat Ong itu hanya ingin
menaklukkan pesilat tangguh dalan rimba persilatan
Tionggoan. karena dia tidak membunuh."
"Menurut aku..." ujar Gouw Han Tiong. "Kim Ih Hoat Ong
tidak akan ke maki atau ke pariai .ain, karena dia punya suatu
rencana." "Oh?" Lim Peng Hang memandangnya. "Rencana apa itu?"
"Aku tidak bisa mengatakan secara pasti," sahut Gouw Han
Tiong "Yang jelas dia mempunyai rencana busuK."
"Aku justru tidak habis pikir," ujar Lim Peng Hang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Tujuan Kim Ih Hoat Ong dan
liannya ke Tionggoan hanya urusan kerajaan, kenapa Kim Ih
Hoat Ong malah mengusik ketiga ketua itu?"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang mengheiankan " Gouw Han Tiong mengerutkan
kening. "Tentunya ada sesuatu dibalik itu Maka, sebaiknya kita
tunggu perkembangan selanjutnya."
"Betul." Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Kakak Lim," tanya Ngo Tok Kauwcu mendadak. "Bolehkah
aku tinggal di sini beberapa hari?"
"Tentu boleh, tentu boleh," jawab Lim Peng Hang dan
menambahkan, "Kami sangat berterima kasih atas
kesediaanmu tinggal di sini beberapa hari, mudah mudahan
ada kabar beiita tentang Bun Yang!"
"Kakek Lim...." Wajah Ngotok Kauwcu agak kemerahmerahan.
"Aku tetap tidak percaya kalau adik Bun Yang telah
mati, aku tidak percaya sama sekali. Aku harap dia dan Goat
Nio akan muncul di sini!"
"Mudah-mudahan!" ucap Lim Peng Hang. "Itu yang kita
harapkan."
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh tujuh
Pertarungan yang menegangkan
Di ruang tengah rumah Menteri Bun, tampak belasan orang
sedang bersulang sambil tertawa tawa. Mereka adalah
Pancha, Kim Ih Hoat Ong, Cap Sah Sin Eng dan tuan rumah
sendiri. "Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gelak. "Kini nama Hoat
Ong sudah membubung tinggi di rimba persilatan Tionggoan!"
"Aku tidak menyangka sama sekali kalau kepandaian ketiga
ketua partai itu cuma begitu saja!" ujar Kim Ih Hoat Ong
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak sampai dua
puluh lima jurus telah kukalahkan."
"Itu pertanda kepandaian Hoat Ong tinggi sekali," sahut
Menteri Bun dan tertawa lagi, kemudian bertanya. "Apakah
Hoat Ong masih ber niat mengalahkan ketua partai lain?"
"Tidak perlu," jawab Kim Ih Hoat Ong. "Aku lelah
mengalahkan ketiga ketua itu, maka aku yakin tidak lama lagi
akan muncul pesilat tangguh melawanku. Ha ha ha...!"
"Oh ya!" Menteri Bun memandang mereka seraya bertanya.
"Sudah sekian lama kalian berada di sini, apakah aku perlu
memanggil beberapa wanita cantik untuk melayani kalian?"
"Aku tidak perlu," sahut Kim Ih Hoat Ong. "Mungkin mereka
membutuhkan."
"Bagaimana kalian?" tanya Menteri Bun kepada Pancha dan
Can Sah Sin Eng. "Katakan saja, tidak usah malu-malu!"
"Aku sangat tertarik akan tarian dan musik Tionggoan,"
sahut Pancha sungguh-sungguh. "Apakah ada penari dan
pemain musik di sini?"
"Ada." Menteri Bun tersenyum. Ia bertepuk langan tiga kali,
lalu muncullah seorang pelayan wanita menghadapnya sambil
memberi hormat.
"Tuan Besar mau pesan apa?" tanyanya dengan hormat.
"Cepat atur para penari dan pemain musik yang cantikcantik
di sini?" ujar menteri Bun.
"Ya, Tuan Besar." Pelayan wanita itu mengangguk. lalu
pergi. Berselang beberapa saat kemudian, muncullah belasan
gadis cantik, yang semuanya membawa berbagai macam alat
musik. Mereka memberi hormat, setelah itu para pemain
musik lalu duduk.
Tak lama terdengarlah suara alunan musi yang amat
menyedapkan telinga dan para pena mulai menari dengan
lemah gemulai mengiku irama musik itu.
"Ha ha ha!" Pancha tertawa gembira. "Buka main indahnya
tarian mereka! Sungguh luar biasa
"Engkau tertarik?" tanya menteri Bun.
Pancha mengangguk, kemudian tanyanya be bisik, "Menteri
Bun, gadis-gadis itu boleh mi layaniku?"
"Tentu boleh." Menteri Bun tertawa. "Seba engkau adalah
Putra Mahkota Manchuria! Ha h ha! Mari kita bersulang!"
Mereka mulai bersulang lagi sambil menil mati musik dan
tarian itu. Berselang beberap saat, barulah musik itu berhenti.
Para penari pu berhenti menari, dan langsung memberi horm;
sambil tersenyum lembut.
"Bagus, bagus!" Pancha tertawa gembira sambil bertepuk
tangan. "Aku harap para pemai musik tetap bermain musik,
sedangkan para pi nari menemani kami minum!"
"Ya, Tuan Muda!" sahut mereka serentak.
Para pemain musik segera memainkan alunan musik
masing-masing, sedangkan para penari langsung menghampiri
Pancha, lalu menuangkan arak ke dalam cangkir masingmasing.
"Silakan minum!" ucap para penari itu.
"Terimakasi, terimakasih! Ha ha ha...!" Pancha tertawa
gembira. Tak berapa lama kemudian, Kim Ih Hoat Ong pemandang
mereka seraya berkata dengan wibawa.
"Cukup!" Ia lalu memandang Menteri Bun. "Suruh mereka
pergi!" "Baik." Menteri memandang para pemain musik dan para
penari itu. "Cukup sampai di sini, sekarang kalian boleh
beristirahat."
"Ya, Tuan Besar," sahut mereka.
"Menteri Bun," ujar Pancha. "Berikan kepada mereka
seorang dua puluh tael emas!"
"Ya." Menteri Bun bertepuk tangan satu kali, kemudian
muncul kepala pengurus.
"Ada perintah apa. Tuan Besar?" tanya kepala lengurus itu
sambil memberi hormat.
"Ambilkan dua ratus tael emas!" sahut Menteri Bun.
"Ya, Tuan Besar." Kepala pengurus itu segera pergi
mengambil uang emas, dan tak seberapa jma ia sudah
kembali menghadap Menteri Bun.
"Berikan mereka seorang dua puluh tael emas!" ujar
Menteri Bun sambil menunjuk para pemain iiusik dan para
penari itu. "Ya, Tuan Besar." Kepala pengurus segera lembagi-bagikan
uang emas itu. "Terimakasih, Tuan Besar." ucap para pemain musik dan
para penari itu dengan wajah berseri-seri mengundurkan diri
dari ruang tersebut.
"Oh ya!" Menteri Run memandang Kim Ih Hoat Ong seraya
bertanya. "Kenapa Hoat Ong tidak mau menyentuh kaum
wanita?" "Sebab sejak kecil aku belajar Tong Cu Sin Kang (Tenaga
Sakti Anak Perjaka), maka aku tidak boleh berhubungan intim
dengan kaum wanita," jawab Kim Ih Hoat Ong
memberitahukan "Aku telah berhasil mencapai tingkat
tertinggi membuat dinku tidak mempan senjata tajam mau
pun racun."
Menter Bun manggut-manggut. "Sungguh hebat Hoat
Ong!" "Perlu kuberitahukan," ujar Kim Ih Hoat Ong "Pancha juga
berkepandaian tinggi, begitu pula Cap Sah Sin Eng. Karena
Cap Sah Sin Eng bergerak sesuai dengan Cap Sah Sin Eng Tin
(Formasi Tiga Relas Elang Sakti)."
"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gembira "Oh ya! Aku
punya Suatu ide untuk Hoat Ong."
''Ide apa?" tanya Kim Ih Hoat Ong.
"Menangkap Lie Tsu Seng," jawab Menteri Bun serius.
"Apabila Hoat Ong mampu menangkapnya hidup-hidup atau
membunuhnya, kiasar pasti gembira sekali. Bahkan juga akan
menggemparkan rimba persilatan Tionggoan, sebab banyak
kaum rimba persilatan berkepandaian tinggi bergabung
dengan pemimpin pemberontak itu."
"Ngmmm!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut dan
bertanya. "Di mana markas Lie Tsu Seng?"
"Di pinggir kota Lam An."
"Pancha," tanya Kim Ih Hoat Ong. "Kapan kita berangkat ke
sana menangkap pemimpin pemberontak itu?"
"Itu terserah Hoat Ong saja," sahut Pancha, kemudian
bertanya kepada Menteri Bun sambil tersenyum. "Apakah Bu
Ceng Sianli juga bergabung dengan Lie Tsu Seng?"
"Ya." Menteri Bun mengangguk.
"Bagus, bagus!" Pancha tertawa gembira. "Hoat Ong harus
menundukkannya!"
"Baik." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.
"Oh ya!" ujar Pancha mendadak. "Aku hampir melupakan
satu hal penting."
"Hal apa?" tanya Menteri Bun.
"Mengenai adikku Bokyong Sian Hoa." Pancha
memberitahukan. "Dia adalah putri pamanku, sudah lama dia
datang di Tionggoan ini, apakah menteri Bun tahu tentang
dirinya?" "Maaf, aku sama sekali tidak tahu." Menteri Bun
menggelengkan kepala.
"Aaaah...!" Pancha menghela natas panjang. 'Aku rindu
sekali kepadanya."
"Akan kuutus beberapa pengawalku untuk menyelidikinya,"
ujar menteri Bun.
"Terimakasih!" Pancha manggut-manggut lalu bertanya
kepada Kim Ih Hoat Ong. "Kapan kita berangkat ke pinggir
kota Lam An?"
"Besok pagi," sahut Kim Ih Hoat Ong singkat.
"Kalau begitu..." ujar menteri Bun. "Akan kuperintahkan
puluhan pengawalku menyertai kalian."
"Itu tidak perlu, cukup kami saja." tegas Kim Ih Hoat Ong
dan menambahkan, "Para pengawal kalian semuanya gentong
nasi. Percuma mereka ikut kami pergi menangkap Lie Tsu
Seng." "Ya, ya." Menteri Bun manggut-manggut, kemudian
tertawa gelak. "Ha ha ha! Akan tamat riwayat Lie Tsu Seng
kali ini! Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo- Di sebuah batu besar dekat pantai, tampak beberapa orang
duduk sambil bercakap-cakap. Mereka adalah Toan Beng Kiat,
Bokyong Sian Hoa, Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling, Kam Hay
Thian, Lu Hui San, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan.
"Aaaah...." Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Aku tak
menyangka kalau kakak Bun yang dan Goat Nio begitu pendek
umur!" katanya.
"Aku masih tidak percaya kalau mereka berdua sudah
mati," ujar Kam Hay Thian. "Sebab di dasar jurang itu tidak
terdapat mayat mereka."
"Aku pun tidak percaya kalau mereka berdua sudah mati,"
sela Lu Hui San. "Itu bagaimana mungkin?"
"Sungguh mengherankan!" ujar Bokyong Sian Hoa. "Goat
Nio terjatuh ke jurang itu, sedang Kakak Bun Yang terjun ke
situ. Namun kita tidak menemukan mayat mereka. Bukankah
itu sungguh mengherankan?"
"Memang." Toan Beng Kiat manggut-manggut. "Oleh
karena itu, aku berkesimpulan bahwa mereka berdua belum
mati. Sebab di dasar jurang itu pun tiada binatang buas, jadi
tidak mungkin mayat mereka digondol binatang buas."
"Tapi. .." Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Kenapa Kakak
Bun yang dan Goat Nio tidak kembali ke markas pusat Kay
Pang?" "Sie Keng Hauw menggeleng-gelengkan kepala. "Memang
membingungkan dan merupakan teka teki."
"Kami ke mari justru untuk menunggu..." ujar Toan Beng
Kiat melanjutkan. "Menunggu kemunculan Bun Yang dan Goat
Nio. Tapi hingga kini mereka berdua masih belum muncul."
"Mungkin...." Lie Ai Ling mulai terisak-isak. "Kakak Bun
Yang dan Goat Nio sudah mati, Thian (Tuhan) sungguh tidak
adil!" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala, kemudian
memandang Lam Kiong Soat Lan seraya berkata.
"Kita sudah sekian lama berada di Pulau Hong Hoang To
ini, bagaimana kalau besok pag' krta pulang ke Tayli?"
Lam Kiong Soat Lan mengarah pada Yo Kiam Heng.
"Bagaimana?"
"Terserah engkau," jawab Yo Kiam Heng sambil tersenyum.
"Aku menurut saja."
"Baiklah." Lam K'ong Soat Lan manggut-manggut sambil
tersenyum lembut "Kita pulang ke Tayli esok pagi."
"Yaaah!" Waiah Lie Ai Ling tampak murung. "Kok begitu
cepat kal in pulang ke Tayli " tanyanya.
"Sudah lama kami tinggal di sini, aku khawatir orang tua
kami akan mencemaskan kami" ujar Toan Beng Kiat dan
berpesan. "Oh ya! Apabila ada kabar beritanya mengenai Bun
Yang dan Goat Nio, harap kalian segera ke Tayli
memberitahukan kepada kami!"
"BaiK." Lie Ai ling mengangguk.
Keesokan harinya, Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa. Yo
Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan berpam it kepada TJO
Tay Seng dan lainnya, kemudian mereka berempit
meninggalkan Pulau Hong Hoang To
-oo0dw0oo- Kini mereka berempat telah berada di Tionggoan. Dalam
perjalanan ini tak henti-hentinya mereka membicarakan Tio
Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio,-
"Bagaimana kalau kita ke markas pusat Kay Pang, siapa
tahu sudah ada berita di sana!" usul Toan Beng Kiat.
"Baik." Bokyong S'an Hoa, Yo Kiam heng dan Lam Kong
Soat Lan mengangguk
Mereka berempat lalu menuju arah markas pusat Kay Pang,
yang harus melewatkan kota Lam An. T saat berada di pinggir
kola tersebut, mereka menyaksikan suatu pertarungan vang
amat seru dan sengit.
"Hah?" Lie Ai Ling terperanjat. "Bukankah yang sedang
bertarung itu Bibi Suan Hiang Kakak Giok Lan, Paman Tan Ju
Linng dan Lin Cin An. Mereka tampak terdesak oleh tiga belas
penyerang itu!"
"Betul" Lu Hi San manggut-manggut. "Mereka Bibi Suan
Hiang, Kakak Giok Lan dan .."
"Hah?" Bokyong Sian Hoa tampak terkejuf sekali "Pemuda
itu Pancha putra pamanku, pendeta tua itu adalah Kim Ih Hoat
Ong dan tiga belas orang tu adalah Cap Sah Sin Eng! Mereka
berkepandaian tinggi sekali!"
"Ayoh! I'ita harus cepat membantu Bibi Suan Hiang!" seru
Toan Beng Kiat.
Saat uu Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan dan lainnya telah
terluka. Toan Beng Kiat bersiul panjang sambil melesat ke
arah Cap Sah Sin Eng. Beg 'u pula Bokyong Sian Hoa dan
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lainnya. "Begitu kaki mereka menginjak tanah. Cap Sah Sin Eng
langsung mengepung mereka.
"Siapa kalian?" tanya pemimpin Cap Sah Sin Eng.
"Kami dari Tayli!" sahut Toan Beng Kiat jujur dan
menambahkan, "Kami harap tuan-tuan sudi melepaskan
mereka!" "Kalian dari Tayli?" Pemimpin Cap Sah Sin Eng
mengerutkan kening. "Kami pihak Manchuria tidak pernan
bertikai dengan pihak Tayli. aku harap kalian jangan
mencampuri urusan kami!"
Bersamaan itu, Pancha menghampir mereka sambil
menatap Bokyong Sian Hoa, kemudian berseru girang.
"Adik Sian Hoa! Adik Sian Hoa...."
"Jangan panggil aku!' bentak Bokyong Sian Hoa. "Aku benci
engkau dan benci ayahmu!"
"Adik Sian Hoa...." Pancha menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu adalah urusan kedua orang tua kita, sedangKan kita
bukankah sangat baik dari kecil" Lagi pula aku yang
membantumu kabur dari istana.. ."
"Diam!" bentak Bokyong Sian Hoa lagi. "Ayahmu
membunuh kedua orang tuaku, aku... aku...."
"Adik Sun Hoa...." Pancha menghela nafas panjang. "Kita
kakak beradik."
"Engkau masih ingat kita kakak beradik?" Bokyong Sian
Hoa memandangnya sinis.
"Betul." Pancha manggut-manggut.
"Kalau begitu, kalian harus melepaskan mereka!" ujar
Bokyong Sian Hoa sambil menunjuk Yo Suan Hiang dan
lainnya. "Akan kubicarakan dengan Kim Ih Hoat Ong." Pancha
segera mendekatinya, kemudian mereka berbisik-bisik.
"Baik." Kim Ih Hoat Ong mengangguk. "Tidak apa-apa kita
melepaskan mereka, tapi kita harus menangkap Sian Hoa dan
lainnya." "Hoat Ong...." Pancha terkejut.
"Kelihatannya adikmu itu sudah tidak mau ikut kita, lagi
pula aku punya suatu rencana," ujar Kim Ih Hoat Ong berbisik.
"Kalau kita tangkap teman-teman Sian Hoa. dapat kita jadikan
sandera untuk menukar dengan Lie Tsu Seng."
Pancha manggut-manggut, lalu mendekati Bokyong Sian
Hoa dan berkata sambil tersenyum, "Kami akan melepaskan
mereka, tapi engkau dan teman-temanmu harus ikut kami."
"Tidak!" tegas Bokyong Sian Hoa. "Kami tidak akan ikut
kalian, pokoknya tidak!"
"Adik Sian Hoa! Kalau begitu, apa boleh buat!" sahut
Pancha dan berseru. "Cap Sah Sin Eng, tangkap mereka, tapi
jangan kalian lukai!"
"Ya," sahut Cap Sah Sin Eng.
Sedangkan Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam
Heng dan Lam Kiong Soan Lan segera menghunus pedang
masing-masing. Mendadak pemimpin Cap Sah Sin Eng bersiul, seketika juga
tiga belas orang itu bergerak berputar-putar mengelilingi Toan
Beng Kiat dan lainnya. Ternyata tiga belas orang itu mulai
menyusun formasi Cap Sah Sin Eng Tin.
"Mari kita serang mereka!" seru Toan Beng Kiat.
Mereka berempat mulai menyerang, namun justeru terjadi
hal yang tak terduga, yaitu begitu mereka menyerang, malah
menyerang kawan sendiri. Sementara Cap Sah Sin Eng terus
berputar, bahkan kemudian meluncur ke atas dan sekaligus
menyerang. "Celaka!" keluh Toan Beng Kiat. "Mereka menggunakan
semacam formasi. Soat Lan, kita simpan saja pedang kita.
Lebih baik kita menyerang dengan Kim Kong Cap Sah Ciang
(Tiga Belas Jurus Pukulan Cahaya Emas)."
"Baik." Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat segera
menyarungkan pedang masing-masing.
Setelah itu, mulailah mereka menyerang Cap Sah Sin Eng
dengan ilmu pukulan tersebut. Akan tetapi, pukulan mereka
justru nyaris melukai kawan sendiri.
Ketika mereka menyerang Cap Sah Sin Eng, mendadak
yang diserang itu menghilang, yang muncul malah Yo Kiam
Heng dan Bokyong Sian Hoa. Maka, mereka berdua cepatcepat
menarik serangan masing-masing.
Berselang beberapa saat kemudian, Toan Beng Kiat,
Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan
mulai terdesak dan tampak lelah sekali.
"Lumpuhkan mereka dengan totokan!" seru pemimpin Cap
Sah Sin Eng. Mulailah Cap Sah Sin Eng menyerang mereka dengan Peng
Khong Tiam Hiat (Ilmu Menotok Jalan Darah Jarak Jauh). Tak
seberapa lama kemudian, Toan Beng Kiat dan lainnya telah
tertotok, sehingga mereka berempat berdiri tak bergerak di
tempat. "Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak lalu mendadak
melesat ke arah mereka, sekaligus menotok jalan darah
mereka lagi. "Mereka akan lumpuh tujuh hari tujuh malam dan
siapa pun tidak akan mampu membebaskan totokan itu! Ha ha
ha...!" "Maafkan aku. Sian Hoa!" ucap Pancha. "Aku terpaksa
menyuruh Cap Sah Sin Eng bertindak kurang ajar terhadap
kalian." "Diam!" bentak Bokyong Sian Hoa dengan mata berapi-api.
"Kalau engkau ingin membunuhku cepatlah bunuh!"
"Adik Sian Hoa!" Pancha tersenyum. "Bagaimana mungkin
aku membunuhmu" Kita adalah...."
"Hm!" dengus Bokyong Sian Hoa dingin. "Jangan bermulut
manis, aku benci!"
"Adik Sian Hoa...." Pancha menggeleng-gelengkan kepala.
Di saat bersamaan terdengarlah suara tawa cekikikan.
"Hi hi hi! Hi hi hi...!" Kemudian muncul seorang gadis
berusia dua puluhan, yang ternyata Bu Ceng Sianli-Tu Siao
Cui. "Kakak! Kakak!" seru Bokyong Sian Hoa girang. "Cepat
tolong kami!"
"Tenanglah!" sahut Bu Ceng Sianli sambil tersenyum. "Aku
pasti menolong kalian."
Ketika Bu Ceng Sianli muncul, Pancha terpukau oleh
kecantikannya. Ia memandang wanita itu dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga lebar.
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Anak muda!
Kenapa engkau memandangku seperti kehilangan sukma?"
"Ha ha ha!" Pancha tertawa. "Nona sangat cantik sehingga
membuat sukmaku hilang!"
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tersenyum manis.
"Aku tidak bohong," sahut Pancha dan bertanya. "Maaf,
bolehkah aku tahu siapa Nona?"
"Aku Bu Ceng Sianli. Siapa engkau?"
Pancha, Kim Ih Hoat Ong dan Cap Sah Sin Eng terperanjat.
Mereka tidak menyangka kalau gadis cantik itu adalah Bu
Ceng Sianli yang sangat terkenal.
Pancha manggut-manggut. "Ternyata aku berhadapan
dengan Bu Ceng Sianli yang sangat terkenal dalam rimba
persilatan Tionggoan. Namaku Pancha."
"Engkau Putra Mahkota raja Manchuria?" tanya Bu Ceng
Sianli sambil menatapnya tajam.
"Betul." Pancha mengangguk.
"Bagus!" Bu Ceng Sianli tertawa. "Cepatlah engkau suruh
pendeta jelek itu membebaskan totokannya!"
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Bu Ceng
Sianli, aku tidak menyangka kalau engkau masih muda dan
sedemikian cantik. Sungguh beruntung aku bertemu engkau di
sini!" "Hei, pendeta jelek! Cepatlah membebaskan totokanmu
yang di badan mereka!" sahut Bu Ceng Sianli.
"Aku adalah Kim Ih Hoat Ong, sudah lama aku mendengar
nama besar Nona. Oleh karena itu...."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa geli. "Pendeta jelek,
engkau sedang merayu ya?"
"Bu Ceng Sianli!" Kim Ih Hoat Ong menatapnya tajam.
"Kudengar kepandaianmu sangat tinggi, maka aku ingin
bertanding."
"Bertanding dengan siapa?"
"Denganmu."
"Tapi...." Bu Ceng Sianli memandang Toan Beng Kiat dan
lainnya. "Mereka harus kau bebaskan dulu."
"Kalau engkau mampu mengalahkan aku, aku pasti
membebaskan mereka. Tapi apabila engkau kalah, engkau
harus ikut kami ke Manchuria, karena.... Pancha, Putra
Mahkota raja Manchuria sangat tertarik kepadamu." ujar Kim
Ih Hoat Ong. "Betul, betul," sela Pancha sambil tersenyum. "Nona, aku
memang sangat tertarik kepadamu. Aku... aku pun sudah
jatuh hati."
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Tapi
bagaimana kalau pertandingan berakhir dengan seri?"
"Kalau seri, aku harus membawa mereka pergi," sahut Kim
Ih Hoat Ong dan menambahkan, "Kita bertanding secara adil."
"Tentu." Bu Ceng Sianli manggut-manggut dan bertanya,
"Kita akan bertanding dengan cara apa?"
"Cukup dengan tangan kosong," sahut Kim Ih Hoat Ong
dan menambahkan, "Hanya sampai batas seratus jurus saja."
"Bagaimana kalau seri?"
"Tadi aku sudah bilang, kalau seri aku tetap membawa
pergi mereka. Namun pertandingan boleh dilanjutkan kelak."
"Baik." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Aku setuju."
Kim Ih Hoat Ong dan Bu Ceng Sianli berdiri berhadapan,
dan masing-masing menghimpun lwee- kang. Kim Ih Hoat
Ong menghimpun Tong Cu Sin Kang (Tenaga Sakti Anak
Perjaka), sedangkan Bu Ceng Sianli menghimpun Hian Goan
Sin Kang. "Hoat Ong!" seru Pancha mendadak. "Jangan melukai Nona
itu!" "Tenang!" sahut Kim Ih Hoat Ong sambil manggutmanggut.
"Anak muda," ujar Bu Ceng Sianli sekaligus melemparkan
sebuah senyuman kearabnya.
"Nona...." Pancha terbelalak menyambut senyuman itu,
bahkan semakin terpukau, kemudian berkata kepada Kim Ih
Hoat Ong. "Hoat Ong! Bagaimanapun engkau harus dapat
mengalahkannya!"
Kim Ih Hoat Ong mengangguk, lalu mulai menyerang Bu
Ceng Sianli. Bu Ceng Sianli tertawa nyaring sambil berkelit,
sekaligus balas menyerang. Terjadilah pertarungan yang amat
menegangkan. Pancha menyaksikan pertarungan itu dengan
hati berdebar-debar, sebab kalau pertarungan itu berakhir
seri, Kim Ih Hoat Ong cuma bisa membawa pergi Bokyong
Sian Hoa dan lainnya. Namun apabila menang, maka Bu Ceng
Sianli harus ikut mereka ke Manchuria, itu yang
diharapkannya. Sementara pertandingan itu terus berlangsung, tak terasa
sudah melewati puluhan jurus. Mereka berdua mulai cemas
dan terperanjat, karena tidak menyangka pihak lawan memiliki
kepandaian yang begitu tinggi.
"Bu Ceng Sianli," ujar Kim Ih Hoat Ong kagum.
"Kepandaianmu sungguh tinggi sekali. Aku kagum akan
kepandaianmu."
"Sama." sahut Bu Ceng Sianli sambil berkelit, karena
mendadak Kim Ih Hoat Ong menyerangnya. "Pendeta jelek,
kepandaianmu pun tinggi sekali."
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak sambil berhenti
menyerang Bu Ceng Sianli seraya berkata, "Kini tinggal tiga
jurus lagi, ini merupakan jurus-jurus penentuan. Berhatihatilah,
aku akan mengeluarkan ilmu andalanku."
"Terimakasih atas peringatanmu!" sahut Bu Ceng Sianli.
"Aku sudah siap menyambut ilmu andalanmu."
"Hati-hati!" seru Kim Ih Hoat Ong. Mendadak ia menyerang
Bu Ceng Sianli dengan San Hai Ho Liu Ciang Hoat (Ilmu
Pukulan Gunung Laut Dan Arus Sungai), dan mengeluarkan
jurus Teng Tia Ju San (Tenang Tegar Bagaikan Gunung).
Sekonyong-konyong lengan jubah Kim Ih Hoat Ong
melembung, dan ia melesat ke arah Bu Ceng Sianli.
Bu Ceng Sianli tertawa nyaring. Di saat bersamaan
sepasang telapak tangannya memancarkan cahaya putih, dan
berkelebatan menangkis serangan Kim Ih Hoat Ong. Ternyata
wanita itu mengeluarkan ilmu Hian Goan Ci, yaitu jurus Thay
Yang Kuang Hui (Matahari Bersinar Terang).
Blaaam! Terdengar suara benturan. Ilmu pukulan San Hai
Ho Liu Ciang Hoat beradu dengan ilmu Jari Sakti Hian Goan Ci.
Kim Ih Hoat Ong dan Bu Ceng Sianli berdiri tak bergeming
di tempat, namun yang menyaksikan itu malah pucat pias
wajahnya. Beberapa saat kemudian Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak,
lalu berkata dengan suara parau.
"Ha ha ha! Lweekangmu sungguh tinggi! Aku tidak
menyangka kalau engkau mampu menangkis seranganku."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa nyaring. "Pendeta jelek,
lweekangmu juga tinggi sekali. Aku tidak menyangka kalau
dadamu tidak berlubang oleh Hian Goan Ci."
"Kini tinggal dua jurus lagi. Berhati-hatilah! Aku akan
menyerangmu lebih dahsyat."
"Silakan! Aku sudah siap menyambut seranganmu."
Mendadak Kim Ih Hoat Ong memekik keras dan menyerang
Bu Ceng Sianli dengan jurus Hai Po Thau Thau (Gelombang
Laut Menderu Deru). Lengan jubah Kim Ih Hoat Ong bergerakgerak
menimbulkan suara menderu-deru ke arah Bu Ceng
Sianli. Di saat bersamaan, tiba-tiba jari tangan Bu Ceng Sianli
bergerak-gerak secepat kilat, sehingga berubah jadi ribuan
jari. Itulah jurus Cian Ci Keng Thian (Ribuan Jari Mengejutkan
Langit). Blaam! Ces! Ces! Cesss...!" Terdengar suara benturan dan
suara lain. Bu Ceng Sianli termundur-mundur beberapa langkah,
sedangkan Kim Ih Hoat Ong tetap berdiri di tempat.
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Jurus ini kita
seri, sebab engkau berhasil membuatku termundur-mundur
beberapa langkah, namun aku pun berhasil melubangi lengan
jubahmu!" "Ha ha ha! Betul!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kini tinggal satu jurus lagi, perlukan kita lanjutkan?"
"Terserah!"
"Menurut aku..." ucapan Kim Ih Hoat Ong terputus, karena
mendadak terdengar suara tawa gelak yang memekakkan
telinga. "Ha ha ha! Ha ha ha!" Melayang turun seorang tua, yang
tidak lain Si Pincang. "Asyik! Ada pertandingan seru!"
"Pincang!" bentak Bu Ceng Sianli. "Mau apa engkau ke
mari?" "Mau jadi penonton," sahut orang tua pincang. "Bukankah
masih ada satu jurus lagi?"
"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli.
"Maaf!" ucap Kim Ih Hoat Ong sambil memandang orang
tua pincang. "Bolehkah aku tahu siapa engkau?"
"Aku adalah Si Pincang." sahut orang tua pincang sambil
tertawa. "Engkau pasti Kim Ih Hoat Ong dari Manchuria. Ya,
kan?" "Betul." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.
"Lihay juga engkau, pendeta jelek," ujar orang tua pincang.
"Engkau mampu mengalahkan ketiga ketua itu hanya dalam
dua puluh lima jurus. Kalau aku mau, aku pun mampu
mengalahkan mereka dalam jurus sekian pula."
"Oh?" Kim Ih Hoat Ong tampak tersentak.
"Betul." Orang tua pincang mengangguk. "Tapi...."
"Kenapa?" Kim Ih Hoat Ong menatapnya tajam.
"Walau kita berkepandaian tinggi, tapi masih bukan lawan
seorang pendekar muda," sahut orang tua pincang. "Mungkin
dalam lima puluh jurus dia mampu mengalahkanmu."
"Oh, ya?" Kim Ih Hoat Ong tampak tidak percaya. "Siapa
pendekar muda itu?"
"Dia adalah Giok Siauw Sin Hiap-Tio Bun Yang." Orang tua
pincang memberitahukan.
"Dia?" Kim Ih Hoat Ong mengerutkan kening. "Aku pernah
mendengar tentang dia, tapi bukankah dia sudah mati di dasar
jurang?" "Ha ha ha!" Orang tua pincang tertawa. "Dia tidak mati,
mungkin tidak lama lagi dia akan muncul."
"Bagus, bagus!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.
"Apabila dia muncul, aku pasti bertanding dengan dia."
"Pendeta jelek," tanya Bu Ceng Sianli. "Bagaimana"
Perlukah kita melanjutkan pertandingan ini?"
"Bagaimana kalau kita lanjutkan lain kali saja?" Kim Ih Hoat
Ong balik bertanya.
"Boleh...." Bu Ceng Sianli memandang Toan Beng Kiat dan
lainnya. "Tapi engkau harus membebaskan mereka!"
"Tidak bisa!" Kim Ih Hoat Ong menggelengkan kepala.
"Sesuai dengan perjanjian, aku harus membawa mereka!"
"Kalau begitu...." Wajah Bu Ceng Sianli tampak gusar
sekali. "Mari kita bertanding lagi!"
"Nona!" sela Pancha. "Lebih baik lain kali saja. Jangan
dilanjutkan sekarang. Kami tidak akan mengganggu para
pengawal Lie Tsu Seng itu, hanya membawa Bokyong Sian
Hoa dan lainnya ke tempat tinggal menteri Bun...."
"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli.
"Nona...." Pancha tampak kecewa sekali. "Aku bermaksud
baik." "Sianli." bisik orang tua pincang. "Biar mereka pergi, lebih
baik kita berunding di markas Lie Tsu Seng."
"Pendeta jelek!" ujar Bu Ceng Sianli. "Kalian boleh
membawa mereka berempat ke rumah Menteri Bun, tapi
apabila kalian berani mengganggu seujung ramput pun,
Menteri Bun pasti kubantai dan kalian pasti kukejar sampai
Manchuria!"
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Bu Ceng Sianli
dan engkau Si Pincang, sampai jumpa!"
"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli.
"Nona!" Pancha menatapnya dengan mata berbinar-binar.
"Kita pasti berjumpa kembali!"
"Huh!" sahut Bu Ceng Sianli. "Siapa ingin berjumpa dengan
pendeta jelek! Dasar tak tahu malu!"
"Nona...." Pancha menghela nafas panjang, lalu melangkah
pergi. Setelah mereka pergi, Bu Ceng Sianli melototi orang tua
pincang seraya membentak.
"Kenapa engkau tadi omong besar di hadapan Kim Ih Hoat
Ong?" "Aku terpaksa omong besar, kalau tidak..." sahut orang tua
pincang melanjutkan. "Kita dan lainnya pasti celaka. Sebab
kepandaian pendeta jelek, Pancha dan tiga belas orang itu
sangat tinggi sekali. Kita tidak mampu melawan mereka, maka
harus membiarkan mereka membawa Toan Beng Kiat dan
lainnya." "Pincang!" ujar Bu Ceng Sianli sinis. "Engkau sangat
pengecut!"
"Aku bukan pengecut, namun menggunakan otak," sahut
orang tua pincang. "Bukankah kita masih bisa berunding
tentang itu?"
Di saat mereka sedang berdebat, tampak Yo Suan Hiang,
Tan Giok Lan dan lainnya mendekati mereka, lalu memberi
hormat sambil berkata.
"Terimakasih atas pertolongan Sianli dan lo cianpwee! Tapi
Toan Beng Kiat dan lainnya...."
"Percayalah! Mereka tidak akan membunuhnya," sahut
orang tua pincang.
"Sianli, lo cianpwee, mari ke markas Lie Tsu Seng!" ajak Yo
Suan Hiang. "Kita berunding di sana saja."
"Baik." Bu Ceng Sianli manggut-manggut, kemudian
mereka semua menuju ke markas Lie Tsu Seng.
Lie Tsu Seng dan lainnya duduk di dalam tenda. Yo Suan
Hiang, Bu Ceng Sianli, orang tua pincang dan lainnya sudah
berada di dalam. Wajah mereka tampak serius sekali,
sedangkan Lie Tsu Seng terus mengerutkan kening.
Lie Tsu Seng menghela nafas panjang. "Entah bagaimana
nasib Toan Beng Kiat dan lainnya! Sungguh mencemaskan!"
"Aku yakin mereka tidak akan terjadi apa- apa," ujar orang
tua pincang dan menambahkan, "Sebab Bokyong Sian Hoa
berada di tengah- tengah mereka, tentunya gadis itu akan
membela yang lain."
"Ngmm!" Lie Tsu Seng manggut-manggut. "Itu memang
benar, sebab mereka tiada urusan dengan menteri Bun atau
dengan pihak Manchuria. Tapi... kenapa Kim Ih Hoat Ong
menangkap mereka" Mungkinkan ada suatu rencana busuk di
balik itu?"
"Mungkin." Bu Ceng Sianli mengangguk dan bertanya,
"Kenapa pihak Manchuria ke mari?"
"Mereka ingin menangkapku," sahut Lie Tsu Seng. "Kalau
kalian tidak muncul, aku pasti sudah ditangkap."
"Hmm!" dengus Bu Ceng Sianli dingin. "Lain kali aku harus
membunuh pendeta jelek itu!"
"Sianli!" Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Belum tentu engkau mampu membunuhnya, sebab
kepandaian Kim Ih Hoat Ong itu tinggi sekali, belum ditambah
Pancha dan tiga belas orang itu."
"Benar." Bu Ceng Sianli manggut-manggut. "Kepandaian
pendeta jelek itu memang tinggi sekali. Hian Goan Ci tidak
dapat melukainya."
"Apa?" orang tua pincang terbelalak. "Hian Goan Ci tidak
dapat melukainya" Ilmu apa yang dimilikinya?"
"Tong Cu Sin Kang," sahut Bu Ceng Sianli memberitahukan.
"Maka badannya kebal terhadap senjata tajam, racun dan ilmu
pukulan apa pun."
"Bukan main!" Orang tua pincang menggeleng- gelengkan
kepala. "Kalau begitu siapa yang sanggup melawannya?"
"Lho?" Bu Ceng Sianli menatapnya heran. "Bukankah
engkau bilang tidak lama lagi Bun Yang akan muncul" Tadi
aku kira engkau sudah bertemu dia."
"Aku...." Orang tua pincang tersenyum. "Aku membohongi
pendeta jelek itu, agar dia merasa penasaran terhadap Bun
Yang." "Oooh!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut, kemudian
tertawa seraya berkata, "Hi hi hi! Engkau memang licik,
namun ada baiknya juga membohongi pendeta jelek itu."
"Oh ya!" Mendadak orang tua pincang menatap Bu Ceng
Sianli dengan penuh perhatian.
"Eh?" Bu Ceng Sianli melotot. "Kenapa engkau
memandangku seperti kucing melihat ikan?"
"Aku punya akal untuk membebaskan Toan Beng Kiat dan
lainnya," sahut orang tua pincang dengan wajah berseri.
"Akal apa?" tanya Bu Ceng Sianli. "Apakah berkaitan
dengan diriku?"
"Betul." Orang tua pincang manggut-manggut. "Hanya
engkau yang dapat menolong mereka berempat, namun harus
melalui seseorang."
"Maksudmu?" Bu Ceng Sianli tidak mengerti.
"Beritahukanlah!"
"Pancha sudah jatuh cinta kepadamu, maka peralatlah dia
untuk membebaskan Toan Beng Kiat dan lainnya!"
"Omong kosong!" bentak Bu Ceng Sianli. "Dari pada
berbuat itu, lebih aku bertanding mati-matian dengan pendeta
jelek itu!"
"Tapi...."
"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli. Seketika juga orang tua
pincang itu diam, namun kemudian bergumam.
"Cuma berpura-pura mencintai Pancha, lalu memperalatnya
membebaskan Toan Beng Kiat."
"Pincang!" Bu Ceng Sianli melotot. "Engkau kira mereka
begitu bodoh" Hm! Dasar pincang dan tak punya otak!"
"Jangan berdebat!" ujar Lie Tsu Seng. "Lebih baik kita lihat
perkembangan selanjutnya, setelah itu barulah kita berunding
kembali." "Benar." Orang tua pincang manggut-manggut.
"Aku khawatir Toan Beng Kiat dan lainnya dijadikan
sandera " -oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh delapan
Curahan kerinduan dan cinta kasih
Betulkah Tio Bun Yang sudah mati" Ia telah terjun ke
jurang, tapi di dasar jurang itu tidak terdapat mayatnya. Apa
yang telah terjadi atas dirinya setelah terjun ke jurang"
Tentunya ia tidak akan hilang begitu saja.
Ternyata Tio Bun Yang jatuh di telaga di dasar jurang itu.
Luncuran badannya begitu cepat, maka begitu jatuh, langsung
tenggelam. Sungguh di luar digaan, di dasar telaga itu terdapat
pusaran air, yang membuat badan Tio Bun Yang berputarputar,
akhirnya ia pun pingsan.
Perlahan-lahan Tio Bun Yang membuka matanya, rupanya
ia sudah siuman dari pingsannya.
Tampak seorang gadis berdiri di hadapannya tengah
memandangnya dengan mesra dan penuh cinta kasih, bahkan
Lencana Pembunuh Naga 2 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Hati Budha Tangan Berbisa 2
dengan wajah kehijau-hijauan.
"Mereka berdua...." tutur Lim Peng Hang tentang itu.
"Beberapa hari kemudian Bun Yang pun pulang, kemudian
mereka bertiga berangkat ke Tibet."
"Lalu bagaimana?" tanya Lim Ceng Im.
"Sepuluh hari lalu, Si Pincang dan Bu Ceng Sianli ke markas
pusat Kay Pang menemui ayah untuk menyampaikan suatu
kabar." "Kabar buruk?" Wajah Lim Ceng Im makin pucat,
sementara Tio Cie Hiong mendengarkan dengan penuh
perhatian dan keningnya tampak berkerut-kerut.
"Memang kabar buruk." Lim Peng Hang mengangguk
kemudian memandang Bu Ceng Sianli. "Sianli, beritahukanlah
kepada putriku!"
"Ceng Im...." Bu Ceng Sianli menghela nafas dengan mata
bersimbah air. "Aku memperoleh informasi bahwa ketua Kui
Bin Pang bernama Kwee Teng An berangkat ke Tibet, maka
aku pun segera berangkat ke sana."
Bu Ceng Sianli menutur tentang pertarungan di kuil Dhalai
Lhama, kemudian muncul Tio Bun Yang dan lain sebagainya.
"Kwee Teng An bilang telah membunuh Goat Nio?" tanya
Lim Ceng Im. "Itu berarti dia bohong. Ya, kan?"
"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Karena itu, Adik Bun
Yang berubah seperti kehilangan sukma. Aku terus
menghiburnya agar dia bisa tenang dan tabah. Akan tetapi
setelah kami berada di Tionggoan, mendadak muncul Si
Pincang yang harus mampus ini, ternyata dia kenal Adik bun
Yang." "Betul," sahut orang tua pincang sambil menghela nafas
panjang. "Aku yang bersalah, karena tidak tahu Goat Nio
adalah kekasih Bun Yang. Aku menceritakan tentang ketua Kui
Bin Pang bersama seorang gadis cantik."
"Engkau memberitahukannya nama gadis itu?" tanya Sam
Gan Sin Kay mendadak.
"Ya." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Itulah kesalahanku. Setelah mengetahui gadis itu bernama
Goat Nio, maka Bun Yang terus-menerus mendesakku untuk
meng-unlarnya ke Tebing Selaksa Bunga."
"Engkau mengantarnya ke sana?" tanya Sam Gan Sin Kay
dengan kening berkerut-kerut.
"Ya." Orang tua pincang mengangguk. "Bu Ceng Sianli juga
ikut." "Lalu apa yang terjadi?" tanya Tio Tay Seng dengan wajah
mulai memucat. "Adik Bun Yang terus berdiri mematung di pinggir jurang.
Aku memperingatkannya agar hati-hati, dan dia pun manggutmanggut.
Namun kemudian dia bergumam memanggil Goat
Nio, dan setelah itu mendadak...."
"Mendadak apa?" tanya Lim Ceng Im dengan tubuh
menggigil. "Adik Bun Yang...!" Bu Ceng Sianli terisak isak. "Dia terjun
ke jurang itu."
"Hah" Bun Yang...!" Lim Ceng Im langsung pingsan,
sedangkan Tio Cie Hiong duduk di tempat dengan wajah pucat
pias. "Ceng Im!" teriak Lim Peng Hang.
"Tenang!" ujar Bu Ceng Sianli, lalu menhampiri Lim Ceng
Im, dan menyalurkan Hia Goan Sin Kang ke dalam tubuhnya.
Berselang beberapa saat kemudian, tersadarlah Lim Ceng
Im, dan seketika juga menangis gerung-gerungan.
"Bun Yang! Bun Yang...!"
"Goat Nio! Goat Nio...!" Kou Hun Bijin masih berteriakteriak
memanggil nama putrinya.
"Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang...!" teriak Lie Ai Ling
sambil menangis meraung-raung. "Kakak Bun Yang...!"
Kacaulah suasana di ruang itu. Bu Ceng Sianli berusaha
menghibur Lim Ceng Im, sedangka Kim Siauw Suseng dan
Kou Hun Bijin masih saling berpeluk-pelukan sambil menangis
sedih, dan orang tua pincang tampak serba salah, karena
tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sam Gan Sin Kay mendekati Tio Cie Hiong dan bersiap-siap
kalau Tio Cie Hiong terjadi sesuatu.
Lui Hui San juga sedih menangis sepasang matanya
membengkak. Kam Hay Thian menghiburnya sambil terisakisak-
Sie Keng Hauw juga terus menghibur Lie Ai Ling.
Berselang beberapa saat kemudian, begitu suara tangisan
itu mulai reda, tiba-tiba terdengarlah suara Tio Cie Hiong.
"Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio akan mati
begitu saja."
"Kami pun tidak percaya," ujar Kim Siauw Suseng dan Kou
Hun Bijin. "Mereka berdua tiada tampang pendek umur."
"Ayah," tanya Lim Ceng Im. "Apakah Ayah sudah ke Tebing
Selaksa Bunga itu?"
"Kami berempat sudah ke Tebing itu," jawab Lim Peng
Hang dan menambahkan, "Bahkan sudah turun ke dasar
jurang." "Ayah menemukan mayat Bun Yang?" tanya Lim Ceng Im
sambil menangis sedih.
"Kami tidak menemukan mayatnya." Lim Peng Uang
menggeleng-gelengkan kepala. "Mungkin sudah digondol
binatang buas."
"Ayah, kenapa Paman Gouw tidak ikut ke sini?"
"Dia ke Tayli memberitahukan kepada mereka tentang
kejadian ini."
"Aku tetap tidak percaya Bun Yang dan Goat Nio mati
begitu saja," ujar Tio Cie Hiong lagi sambil mengerutkan
kening. "Sebab tidak ditemukan mayatnya maupun mayat
Goat Nio. Tidak mungkin mayat mereka akan digondol
binatang, itu tidak mungkin."
"Kalau begitu," ujar Lie Man Chiu yang terdiam dari tadi.
"Kita harus pergi memeriksa dassr jurang itu."
"Betul." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Kita berangkat
besok pagi."
Keesokan paginya, berangkatlah mereka ke Tionggoan
menuju markas pusat Kay Pang, sebab mereka ingin
menunggu kedatangan pihak Tayli.
-ooo0dw0ooo- Kini mereka telah tiba di markas pusat Kay Pang. Dua hari
kemudian muncullah pihak Tayli yakni Toan Wie Kie, Gouw
Sian Eng, Lam Kioi Be Liong, Toan Pit Lian dan lainnya.
"Ceng Im...." Gouw Sian Eng langsung memeluknya sambil
menangis. "Kami sedih sekali"
"Sian Eng! Bun Yang...." Air mata Lim Ce Im berderai-derai.
"Itu bagaimana mungkin" Bagaimana mungkin?" ujar Gouw
Sian Eng terisak-isak. "Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan
Goat Nio akan mati begitu saja. Aku tidak percaya!"
Sementara Lim Peng Hang, Gouw Han Tio dan lainnya juga
sedang berunding dengan serius sekali, ternyata mereka
bersepakat untuk pergi memeriksa dasar jurang itu, bahkan
juga pohon-pohon yang tumbuh di dinding jurang.
Oleh karena itu, Lim Peng Hang memerintahkan puluhan
anggota Kay Pang untuk mencari tali sebanyak-banyaknya.
Sie Keng Hauw, Kam Hay Thian, Yo Kiam Neng, Toan Beng
Kiat dan lainnya juga sedang bercakap-cakap dengan wajah
murung. "Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio mati di
dasar jurang itu," ujar Toan Beng kiat
"Aku pun kurang percaya," sambung Bokyong Sian Hoa.
"Kalau benar mereka berdua mati di dasar jurang itu. Thian
(Tuhan) sungguh tidak adil!"
"Aaaah...!" Lam Kiong Soat Lan menghela nafas panjang.
"Kini ketua Kui Bin Pang itu telah tewas. Seharusnya Bun Yang
dan Goat Nio melangsungkan pernikahan, namun malah...."
"Kakak Bun Yang begitu baik, berhati bajik dan sering
menolong orang. Mungkinkah dia dan Goat Nio akan mati
begitu saja?" ujar Lie Ai Ling lalu menambahkan, "Sebelum
menyaksikan mayat mereka, aku tidak percaya kalau mereka
dikata-kan sudah mati."
"Bun Yang berkepandaian begitu tinggi, tak mungkin dia
akan mati di dasar jurang itu," sahut Bokyong Sian Hoa. "Aku
yakin dia masih hidup...."
Hal 80-81 ga ada
sudah tiada, apa artinya aku hidup lagi?"
"Tenang!" Bu Ceng Sianli menepuk bahunya dan terus
menghiburnya. Sementara Sam Gan Sin Kay hanya duduk termenung,
sama sekali tidak mengucurkan air mata, namun wajahnya
tampak pucat pias.
"Ayah...." Lim Peng Hang mendekatinya. "Jagadiri baikbaik!"
"Aaah...!" Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang. "Yang
tua tidak mati, yang muda malah begitu cepat mati! Thian
(Tuhan) sungguh tidak adil! Bukankah lebih baik mencabut
nyawaku daripada nyawa Bun Yang" Aaaah...!"
"Ayah...." Lim Peng Hang menggeleng-gelenkan kepala.
"Peng Hang," pesan Sam Gan sin Kay. "Engkau harus baikbaik
menjaga Lim Ceng Im, sebab dia akan berlaku nekad!
Jangan sampai dirinnya terjadi apa-apa, sebab kalau dirinya
terjadi apa-apa Cie Hong akan menjadi gila!"
"Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk
Keesokan harinya, berangkatlah mereka semua menuju
Tebing Selaksa Bunga dengan perasaan tercekam.
-oo0dw0oo- Mereka semua memandang ke bawah jurang itu dengan
wajah pucat pias sebab jurang itu begitu dalam, bagaimana
mungkin bisa hidup bagi yang jatuh kedalamnya" Itu
membuat Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin langsung menangis
meraung-raung. "Bun Yang! Bun Yang...!"
"Goat Nio! Goat Nio...!"
Sementara yang lainnya sibuk menyambung tali tali, dan
setelah tersambung semuanya barulah diikatkan pada sebuah
pohon. "Siapa yang turun duluan?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Aku," sahut Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin serentak.
"Kalian tidak boleh turun, cukup menunggu disini saja!"
ujar Sam Gan Sin Kay sungguh-sungguh.
"Tidak." Lim Ceng Im menggelengkan kepala. "Kalau aku
tidak diperbolehkan turun, aku pasti akan meloncat ke
bawah." "Ceng Im...." Bukan main terkejutnya Tio Cie Hiong.
"Aku pun akan meloncat ke bawah," ujar Kou Hun Bijin.
"Biar bagaimanapun aku harus turun."
"Isteriku...." Kim Siauw Suseng menghela nafas panjang.
"Baiklah, engkau boleh ikut turun."
"Aku sudah pernah turun, biar aku turun duluan!" ujar Bu
Ceng Sianli, lalu memegang tali itu sekaligus merosot ke
bawah. Menyusul adalah orang tua pincang, kemudian Lim Peng
Hang dan lainnya. Berselang beberapa saat, mereka semua
sudah berada di dasar jurang itu.
"Kita berpencar mencari Bun Yang dan Goat Nio," ujar Tio
Tay Seng dan menambahkan, "Tapi sebelum hari gelap, kita
semua harus kembali ke sini."
Mulailah mereka berpencar. Tio Cie Hiong bersama Lim
Ceng Im, begitu pula Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.
Mereka mencari ke sana ke mari, juga memasuki goa-goa
yang terdapat di sana. Setelah hari mulai gelap, mereka
semua berkumpul kembali di tempat semula. Mereka
menggeleng-gelengkan kepala, namun tiada seorang pun
yang membuka mulut.
"Bun Yang...." Lim Ceng Im mulai menangis lagi. "Mayatnya
pasti telah digondol binatan buas."
"Goat Nio...." Kou Hun Bijin juga mulai menangis sedih.
"Kemana mayatnya... aaah...!"
"Heran?" gumam Sam Gan Sin Kay. "Kalau mereka mati di
dasar jurang ini, mayat mereka seharusnya berada di sini.
Tapi...." "Mungkinkah mereka jatuh ke dalam telaga ini?" tanya Tio
Tay Seng. "Seandainya mereka jatuh ke dalam telaga ini tentunya
akan timbul lagi," sahut Sam Gan Sin Kay. "Aku telah mencari
di pinggir telaga, namun tidak menemukan mayat mereka."
"Kalau begitu...." ujar Kim Siauw Suseng. "Mayat mereka
pasti telah digondol binatang buas."
"Tapi...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Di dasar
jurang ini tiada jejak binatang buas."
"Kalau begitu, kemana mayat mereka?" tanya Kim Siauw
Suseng. "Itulah yang membingungkan." sahut Tio Cie hiong dan
melanjutkan, "Mungkinkah mereka masih hidup dan berhasil
memanjat ke atas?"
"Itu tipis kemungkinannya," ujar Lim Peng liang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Apabila mereka belum mati
dan berhasil naik ke atas, tentunya mereka sudah ke markas
pusat Kay Pang.
"Mungkin mereka terluka parah, maka mengobati luka
mereka di suatu tempat, sehingga belum ke markas pusat Kay
Pang," ujar Kim Siauw Suseng seakan menghibur dirinya
sendiri. "Itu memang mungkin." Sam Gan Sin Kay manggutmanggut.
"Dan juga itu yang kita harap-kan "
"Mumpung belum begitu gelap, lebih baik kita segera naik!"
usul Tio Tay Seng. "Sebab kabut putih makin menebal."
"Baik." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Mari kita naik, tapi
harus hati-hati!"
Mereka mulai naik satu persatu. Beberapa saat kemudian,
mereka semua sudah berada di atas.
"Bun Yang! Bun Yang...!" jerit Lim Ceng Im sambil
memandang ke bawah. Tio Cie Hiong terus menjaga di sisinya.
"Goat Nio! Goat Nio...!" Kou Hun Bijin juga berteriak-teriak
memanggil putrinya. "Goat Nio...!"
Tio Tay Seng cuma menggeleng-gelengkan kepala, dan
setelah itu ia pun berseru.
"Mari kita kembali ke markas pusat Kay Pang!"
Mereka semua segera meninggalkan Tebing Selaksa Bunga
itu. karena malam sudah larut.
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh empat
Mengadakan upacara sembayang
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka semua telah tiba di markas pusat Kay Pang.
Seketika Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin menangis sedih lagi,
Tio Cie Hiong dan Kim Siauw Suseng cuma menghela nafas
panjang. "Aku tidak habis pikir," ujar Sam Gan Si Kay. "Goat Nio
jatuh ke jurang itu, sedangkal Bun Yang yang terjun ke dalam.
Tapi tidak terdapat mayat mereka di dasar jurang itu. Itu...
sungguh mengherankan!"
"Memang." Orang tua pincang manggut-manggut. "Aku
yang menyaksikan gadis itu jatuh ke jurang itu, namun kita
tidak menemukan mayatnya."
"Bun Yang juga terjun ke dalam jurang itu. tapi...." Bu
Ceng Sianli mengerutkan kening. "Kenapa kita tidak berhasil
menemukan mayatnya?"
"Hanya ada dua kemungkinan," ujar Lim Peng Hang setelah
berpikir lama sekali. "Pertama mereka tidak mati dan berhasil
naik ke atas lalu pergi. Kedua mereka tenggelam ke dasar
telaga ttu, maka kita tidak berhasil menemukan mayat
mereka." "Biasanya orang tenggelam ke dalam air, beberapa hari
kemudian pasti timbul dipermukaan lagi tapi...," ujar Sam Gan
Sin Kay. "Aku telah memeriksa pinggir telaga itu, tapi tidak
menemu-kan mayat mereka. Karena itu, aku berkesimpulan
bahwa mereka masih hidup."
"Kalau mereka masih hidup, kenapa tidak ke mari?" tanya
Lim Ceng Im. "Mungkin luka mereka belum sembuh, maka belum ke
mari," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Kita tunggu beberapa hari," ujar Kim Siauw niseiig. "Kalau
mereka tetap tidak ke mari, berarti mereka telah mati."
"Goat Nio! Goat Nio...!" Kou Hun Bijin langsung menangis.
"Aaakh...!"
Beberapa hari kemudian, memang ada yang muncul. Tapi
bukan Tio Bun Yang dan Siangi Koan Goat Nio, melainkan
para ketua tujuh partai.
Mereka bertujuh melangkah ke dalam dengan wajah
murung. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong segera
menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang, para ketua!"
"Kami ke mari turut berduka cita," ucap Hui Khong Taysu,
ketua partai Siauw Lim. "Omitohud Tidak disangka Bun Yang
dan Goat Nio akan mengalami nasib begitu!"
"Dari mana Taysu tahu tentang itu?" tanya Lim Peng Hang.
"Lim Pangcu!" Hui Khong Taysu tersenyum getir. "Berita itu
mulai tersiar dalam rimba persilatan. Setelah menerima berita
tersebut, kami segera ke mari."
"Terimakasih!" ucap Lim Peng Hang dengan wajah murung.
"Terus terang," ujar It Hian Tojin, ketua partai Butong.
"Aku sama sekali tidak percaya Bun Yang dan Goat Nio
bernasib begitu, tidak mungkin mereka berumur pendek."
"Bun Yang berhati baik," ujar Hui Khol Taysu. "Walau dia
pusing memikirkan Goat Nio namun dia masih menolong orang
lain. Omitohud Semoga Sang Budda melindunginya!"
"Lim Pangcu," tanya It Hian Tojin. "Bagaimana kejadian
itu?" "Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang, lalu
menutur tentang kejadian itu.
Para ketua tujuh partai besar itu mendengarkan dengan
penuh perhatian, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dan
orang tua pincang dengan mata agak terbelalak. Mereka
kelihatan tidak begitu percaya akan usia Bu Ceng Sianli \ang
hampir sembilan puluh. Namun karena dalam suasana duka,
maka para ketua tujuh partai besar itu sama sekali tidak
bertanya mengenai Bu Ceng Sianli.
"Jadi kalian semua sudah mencari di dasar jurang itu?"
tanya It Hian Tojin.
"Ya." Lim Peng Hang mengangguk. "Tapi tidak menemukan
mayat Bun Yang maupun mayat Goat Nio."
"Kalau begitu...." ujar It Hian Tojin penuh harapan.
"Mereka pasti masih hidup."
"Kami pun menduga begitu...," ujar Gouw Han lnmg.
"Tapi... seandainya mereka tidak mati di dasar jurang dan
berhasil naik ke atas, tentunya mereka sudah ke mari."
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Mungkinkah mereka
terluka parah, sehingga harus mengobati luka mereka di suatu
tempat. Jadi... mereka belum ke mari?"
"Kami pun berpikir begitu dan menunggui telah beberapa
hari, tapi...." Gouw Han Tion menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun Yang dai Goat Nio tetap belum ke mari, itu membuat
harapan kami jadi kandas."
"Kalau begitu, kita harus menunggu lagi," ujai It Hian Tojin
dan menambahkan dengan sungguh sungguh. "Kami pun mau
tinggal di sini untu turut menunggu Bun Yang dan Goat Nio."
"Terimakasih!" ucap Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang.
Tak terasa dua puluh hari telah berlalu, namun Tio Bun
Yang dan Siang Koan Goat Nio tetap tidak muncul, itu betulbetul
membuat mereka putus asa. Lim Ceng Im dan Kou Hun
Biji pun mulai menangis sedih lagi, yang lain terus menerus
menghela nafas panjang.
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Bagai mana kalau aku
mengadakan upacara sembahyang?"
"Maksud Taysu upacara sembahyang arwah?" tanya Kou
Hun Bijin. "Ya." Hui Khong Taysu mengangguk.
"Jadi Taysu menganggap putriku telah mati?" Kou Hun Bijin
menatap Hui Khong Taysu dengan penuh kegusaran. .
"Omitohud!" sahut Hui Khong Taysu menegaskan. "Upacara
sembahyang yang akan kulakukan itu, sungguh berarti dan
berguna bagi yang mati maupun yang hidup. Percayalah!"
"Terimakasih, Taysu!" ucap Lim Peng Hang. "Silakan Taysu
mengadakan ucapara sembahyang."
"Omitohud!" Hui Khong Taysu manggut-manggut, lalu
mulai mempersiapkan semua keperluan upacara sembahyang.
Kaum muda menyalakan lilin dan memasang hio, dan para
ketua tujuh partai besar serta para tingkatan tua duduk
bersila. Setelah lilin dinyalakan dan asap hio mulai mengepul
kaum muda itu pun ikut duduk bersila.
Tak lama kemudian, mulailah Hui Khong Taysu membaca
doa dengan hidmat sekali. Entah berapa saat kemudian,
barulah Hui Khong Taysu berenti membaca doa lalu bangkit
berdiri, yang lain pun mengikutinya.
"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Kalau Bun Yang dan
Goat Nio sudah mati, arwah mereka pasti akan tenang.
Seandainya mereka belum mati. mereka pasti akan segera ke
mari!" "Terimakasih, Taysu!" ucap Lim Peng Hang.
"Omitohud!" sahut Hui Khong Taysu. "Lim pangu. kami
mau mohon pamit."
"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut lalu bersama
Gouw Han Tiong dan Tio Cie Hiong mengantar para ketua itu
sampai di luar markas!
Setelah para ketua itu pergi, barulah mereka kembali
masuk, sedangkan Lim Ceng Im dan Kom Hun Bijin mulai
menangis lagi. "Aaaah...!" Tio Cie Hiong menghela nafas panjang sambil
mendekati Lim Ceng Im. "Adik Im, jangan terus menangis!
Aku... aku makin tidak tahan! Aku...."
Wajah Tio Cie Hiong makin pucat pias. San Gan Sin Kay
terperanjat menyaksikannya dan cepat-cepat mendekatinya
sekaligus memegang tangannya erat-erat dan berkata,
"Cie Hiong, engkau harus tenang dan tabah"
"Yaaa." Tio Cie Hiong mengangguk, namun mendadak
mulutnya menyemburkan darah segar "Uaaakh! Uaaaakh...!"
"Kakak Cie Hiong...!" panggil Lim Ceng Im
"Tenanglah Ceng Im!" Lim Peng Hang menghampirinya dan
berbisik, "Engkau jangan terus menerus menangis! Cie Hiong
terus menekan rasa sedihnya dalam hati, karena engkau
menangis lagi itu membuat kesedihannya meledak, sehingga
langsung memuntahkan darah segar. Kalau dia tidak bisa
tenang, pasti terluka dalam."
"Kakak Cie Hiong...." Air mata Lim Ceng Im berderai-derai,
ia terus menahan isak tangisnya
"Cie Hiong!" ujar Sam Gan Sin Kay. "Cepatlah engkau
duduk dan menghimpunlah lweekangmu!"
Tio Cie Hiong mengangguk perlahan, lalu duduk bersila dan
sekaligus menghimpun Pan Yok Ilian Thian Sin.Kang.
Berselang beberapa saat kemudian, wajahnya mulai tampak
agak kemerah-merahan. Itu membuat Sam Gan Sin Kay dan
lainnya menghela nafas lega.
"Kakak Cie Hiong...." Lim Ceng Im langsung memeluknya
erat-erat. "Aku... aku tidak akan menangis lagi. Sungguh!"
Walau Lim Ceng Im berkata demikian, namun air matanya
terus berlinang-linang.
"Adik Im...." Tio Cie Hiong membelainya. "Aku tidak tahan
melihat engkau terus menangis."
"Aku berjanji, mulai sekarang tidak akan menangis lagi!"
ujar Lim Ceng Im sambil menahan isak tangisnya.
"Adik Im," ujar Tio Cie Hiong dengan mata basah. "Kita
harus tabah menghadapi kenyataan im."
"Kakak Cie Hiong," tanya Lim Ceng Im mendadak.
"Sungguhkah Bun Yang telah mati?"
"Mudah-mudahan dia masih hidup!" sahut Tio Cie Hiong.
"Itu adalah harapan kita. Lagi pula kita tidak menemukan
mayatnya, maka kemung-hnan besar dia masih hidup."
"Kalau dia sudah mati, kita...."
"Adik Im!" Tio Cie Hiong membelainya. "Biar
bagaimanapun, kita harus tabah menghadapinya."
"Ya, Kakak Cie Hiong." Lim Ceng Im manggut-manggut
sambil menahan isak tangisnya.
-oo0dw0oo- Sebulan kemudian, Toan Wie Kie dan lainnya berpamit
untuk pulang ke Tayli. Namun Toan Beng Kiat, Bokyong Sian
Hoa, Yo Kiam Hend dan Lam Kiong Soat Lan belum mau
pulang ka Tayli, karena mereka ingin ikut ke pulau Hong
Hoang To. "Jadi kalian ingin ke pulau Hong Hoang To?" tanya Toan
Wie Kie. "Ya, Ayah." Toan Beng Kiat mengangguk.
"Itu...." Toan Wie Kie memandang Gouw Sian Eng seraya
bertanya, "Bagaimana menurutmu?"
"Kini ketua Kui Bin Pang telah tewas, berarti rimba
persilatan telah aman," sahut Gouw Sian Eng. "Maka biarlah
mereka ke pulau Hong Hoari To, mungkin hati kakak Cie Hiong
dan Ceng Im akan terhibur."
"Ngmm!" Toang Beng Kiat manggut-mangguj kemudian
berpesan kepada putranya, "Tapi kalian tidak boleh nakal di
sana." "Ya, Ayah." Toan Beng Kiat menganggii sambil tersenyum.
"Kami sudah bukan anak kecil, bagaimana mungkin nakal?"
Toan Wie Kie tersenyum, lalu bersama yang lain berpamit
kepada Sam Gan Sin Kay Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin,
Tio Tay Seng, Lim Peng Uang dan lainnya. Setelah itu,
berangkatlah mereka kembali ke Tayli.
Beberapa hari kemudian, pihak pulau Hong Hoaang To juga
berpamit kepada Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng
Sianli dan orang tua pincang.
"Ayah," ujar Lim Ceng Im. "Kami mau pulang ke pulau
Hong Hoang To!"
"Ng!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Ceng Im, jangan
terus berduka, sebab kalau engkau terus berduka, akan
mempengaruhi Cie Hiong!"
"Ya, Ayah." Lim Ceng Im mengangguk.
"Peng Hang," pesan Sam Gan Sin Kay. "Kalau engkau
sudah merasa tua, lebih baik pilih sekarang untuk
menggantimu dan engkau boleh tinggal di pulau Hong Hoang
to." "Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk sambil tersenyum.
"Tunggu beberapa tahun lagi, aku pasti akan mengundurkan
diri dari jabatanku."
"Baiklah." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut
Sementara Tio Cie Hiong memandang Bu Ceng Sianli, lalu
mendekatinya sambil memberi pesan.
"Maaf, Sianli! Sejak kita bertemu, aku samai sekali tidak
mengucapkan terimakasih kepada Sianli," ujar Tio Cie Hiong.
"Sekarang aku mengucapkan terimakasih kepada Sianli,
karena Sianli begitu baik terhadap Bun Yang."
"Tidak usah berterimakasih," sahut Bu Cengli Sianli sambil
menghela nafas panjang. "Aku sangat menyayanginya,
tentunya harus baik terhadapnya! Tapi kini dia sudah tiada...."
"Sianli," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Selama ini
aku terus berpikir, dan semakin tidak yakin Bun Yang serta
Goat Nio telah mati. Oleh karena itu, aku masih berharap dia
kembali ke pulau Hong Hoang To."
"Mudah-mudahan!" sahut Bu Ceng Sianli. "Aku pun
berharap begitu."
Sementara orang tua pincang terus-menerus memandang
Sie Keng Hauw, setelah itu ia pula mendekati mereka.
"Keng Hauw!" panggilnya dengan suara rendah.
"Ada apa, Guru?" tanya Sie Keng Hauw heran "Engkau mau
ikut ke pulau Hong Hoang To"'
Orang tua pincang balik bertanya sambil menatapnya
dalam-dalam. "Ya, Guru." Sie Keng Hauw mengangguk.
"Ngmm!" Orang tua pincang manggut-manggut. "Jadi
engkau sungguh-sungguh mencintai Lie Ai Ling?"
"Ya, Guru." Sie Keng Hauw mengangguk lagi sambil
memandang Lie Ai Ling yang berdiri di sisinya, sehingga wajah
gadis itu tampak kemerah-merahan.
"Baiklah." Orang tua pincang manggut-manggut lagi dan
tersenyum-senyum, kelihatan ia gembira sekali. "Kalau begitu,
beberapa bulan kemudian, guru akan ke pulau Hong Hoang To
menemui Lie Man Chiu untuk membicarakan pernikahan
kalian." "Guru...." Wajah Sie Keng Hauw langsung memerah. "Itu
terlampau cepat, lebih baik setahun Iagi "
"Aaaah...!" Orang tua pincang menghela nafas panjang.
"Tak terduga sama sekali, Bun Yang dan Buat Nio...."
"Guru, mereka sedang menunggu kami."
"Cepatlah kalian susul mereka!"
"Guru," ucap Sie Keng Hauw. "Sampai jumpa'"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sampai jumpa, muridku!" sahut orang tua pincang.
Setelah Sie Keng Hauw tidak kelihatan, barulah orang tua
pincang itu kembali masuk.
"Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang.
"Mereka sudah pulang ke Tayli dan pulau Hong Hoang To, kini
cuma tinggal kita."
"Lim Pangcu," ujar orang tua pincang. "Aku mau pamit."
"Cepatlah engkau pergi!" sahut Bu Ceng Sianli ketus.
"Semua itu gara-gara engkau!"
"Sianli...." Orang tua pincang menundukkan kepala.
"Aku...."
"Sudahlah!" Bu Ceng Sianli menggeleng-gelengkan kepala.
"Percuma aku terus menerus mempersalahkanmu!"
"Sianli, aku mohon diri, semoga kita semua akan berjumpa
lagi dalam suasana yang menyenangkan!" ucap orang tua
pincang, lalu melangkah pergi meninggalkan markas pusat
Kay Pang. "Aaaah...!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang.
"Sebetulnya dia tidak bersalah, hanya saja tidak bisa melihat
situasi." "Sianli," ujar Lim Peng Hang. "Aku justru tidak habis pikir.
Apakah benar Bun Yang dan Goat Nio sudah tewas?"
"Itu memang merupakan suatu teka-teki," sahut Bu Ceng
Sianli. "Sebab kita tidak menemukan! mayatnya, sedangkan
tidak mungkin mayatnya akan digondol binatang buas."
"Memang tidak mungkin." Lim Peng Hang manggutmanggut.
"Sebab tiada jejak binatang buas di dasar jurang itu,
pertanda tiada binatang buas di sana."
"Tapi...." Bu Ceng Sianli mengerutkan kening "Kenapa
mayat mereka tidak berada di sana" Itu sungguh
membingungkan. Mungkinkah mayat mereka tenggelam ke
dasar telaga itu?"
"Setahuku...," sahut Gouw Han Tiong. "Mayat tidak akan
tenggelam, melainkan malah terapung di permukaan air. Maka
tidak mungkin Bun Yang dan Goat Nio mati di dalam telaga
itu." "Heran?" Lim Peng Hang terus menggelengkan kepala.
"Mungkinkah Bun yang dan Goat Nio tidak mati?"
"Menurutku...," ujar Bu Ceng Sianli. "Bun Yang dan Goat
Nio tidak berumur pendek, jadi tidak mungkin mereka berdua
akan mati sedemikian muda."
Tiba-tiba Cian Chiu Lo Kay masuk ke dalam bersama
seorang gadis, yakni Ngo Tok Kauwcu Phang Ling Cu, yang
wajah gadis itu tampak pucat pias.
"Pangcu," Lapor Cian Chiu Lo Kay. "Ngo Tok Kauwcu ingin
bertemu Pangcu."
"Ya," sahut Lim Peng Hang sambil manggut-manggut. "Ling
Cu, silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil duduk.
Sedangkan Cian Chiu Lo Kay segera mengundurkan diri dari
situ. "Ling Cu!" Lim Peng Hang memberitahukan. 'Wanita muda
ini adalah Bu Ceng Sianli."
"Apa?" Ngo Tok Kauwcu terbelalak. "Kelihaiannya Sianli
baru berusia dua puluhan. Padahal sesungguhnya...."
"Engkau sudah tahu berapa usiaku?" tanya Bu Ceng Sianli.
"Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Adik Bun Yang
memberitahukan kepadaku, maka akui tahu usia Sianli."
"Ling Cu!" Lim Peng Hang menatapnya. "Engkau sudah
tahu tentang kejadian Bun Yang?"
"Tidak begitu jelas, justru itu aku ke ingin bertanya tentang
Adik Bun Yang," ujar Ngo Tok Kauwcu. "Aku menerima berita
bahwa Adik Bun Yang terjun ke jurang, dan mati di dasar
jurang itu. Benarkah berita itu?"
"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut
"Haaah" Adik Bun Yang...." Ngo Tok Kauwcu pingsan
seketika. Bu Ceng Sianli segera mengurut urat di lehernya, berselang
sesaat barulah Ngo Tok Kauwcu tersadar dari pingsannya.
"Adik Bun Yang" Adik Bun Yang...!" ucap Ngo Tok Kauwcu
memanggil nama pemuda tersebut. "Adik Bun Yang...!"
"Tenanglah Ling Cu!" ujar Bu Ceng Sianli
"Sianli," tanya Ngo Tok Kauwcu. "Di mana makamnya?"
"Tidak ada makamnya," sahut Bu Ceng Sianli sambil
menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan, "Dia mati
di dasar jurang.''
"Dia dimakamkan di dasar jurang itu?"
"Ling Cu!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Kami
tidak berhasil menemukan mayatnya."
"Apa?" Wajah Ngo Tok Kauwcu pucat pula "Dia mati tanpa
kuburan?" "Kira-kira begitulah," sahut Bu Ceng Sianli dan melanjutkan,
"Tapi kami justru tidak habis pikir tentang itu."
"Maksud Sianli?" Ngo Tok Kauwcu heran.
"Kalau dia mati di dasar jurang itu, tentunya ada
mayatnya," ujar Bu Ceng Sianli. "Kami berjumlah puluhan
orang telah memeriksa jurang itu, tapi tidak mememukan
mayat Bun Yang maupun mayat Goat Nio."
"Mungkinkah mayat mereka telah digondol binatang buas?"
tanya Ngo Tok Kauwcu.
"Tidak mungkin," Jawab Lim Peng Hang. "Sebab di dasar
jurang itu tiada jejak binatang buas, berarti tiada binatang
buas di sana."
"Kalau begitu...." Wajah Ngo Tok Kauwcu tampak berseri.
"Mungkin Adik Bun Yang masih hidup."
"Kami pun menduga begitu, dan itu yang kita harapkan,"
sahut Lim Peng Hang. "Kami berharap Bun Yang dan Goat Nio
akan muncul di sini, namun sudah sekian lama kami
menunggu, mereka berdua tak pernah muncul."
"Aaaah...!" keluh Ngo Tok Kauwcu. "Tidak mungkin Adik
Bun Yang akan mati dengan cara begitu. Tidak mungkin."
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh lima
Menteri Ma tewas
Di saat Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli
dan Ngo Tok Kauwcu sedang membicarakan masalah Tio Bun
Yang dengan serius muncul Cian Chiu Lo Kay dan melapor.
"Pangcu, di luar ada seorang gadis ingin bertemu Bun
Yang." "Oh?" Lim Peng Hang tertegun. "Siapa gadis itu?"
"Gadis itu bernama Ma Giok Ceng. Dia bilang kenal baik
dengan Bun Yang." Cian Chiu Lo Ka memberitahukan. "Bahkan
katanya Bun Yang pernah berpesan, apabila ada urusan
penting, dia boleh ke mari mencari Bun Yang."
"Kakek Lim!" Ngo Tok Kauwcu membertahukan. "Aku kenal
dia, sebab Adik Bun Yang pernah membawanya ke markasku!"
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggu "Lo Kay, cepat
suruh dia masuk!"
"Ya, Pangcu." Cian Chiu Lo Kay segera keluar.
Tak seberapa lama kemudian, tampak seorang gadis
melangkah ke dalam dengan wajah duka. Ketika melihat Ngo
Tok Kauwcu, gadis itu langsung memanggilnya sambil
menangis. "Kakak Ling Cu!" Gadis itu memang Ma Giok Ceng, putri
Menteri Ma. "Kakak Ling Cu...."
"Adik Giok Ceng!" sahut Ngo Tok Kauwcu sambil bangkit
berdiri. "Kakak Ling Cu!..." Ma Giok Ceng mendekap di dada Ngo
Tok Kauwcu. "Kakak Ling Cu...."
"Ada apa?" tanya Ngo Tok Kauwcu sambil membelainya.
"Kenapa engkau menangis" Apa yang telah terjadi?"
"Kakak Ling Cu, Ayahku... ayahku sudah meninggal," sahut
Ma Giok Ceng dengan air mata berderai-derai.
"Apa?" Ngo To Kauwcu terperanjat. "Tenanglah! Mari
kuperkenalkan, mereka adalah ketua dan Tetua Kay Pang
serta Bu Ceng Sianli."
Ma Giok Ceng segera memberi hormat kepada mereka, lalu
memandang Bu Ceng Sianli teraya berkata.
"Kakak Sianli sungguh cantik, aku yakin kakak Bun Yang
pasti suka kepadamu."
"Giok Ceng!" Bu Ceng Sianli tersenyum getir. "Kami boleh
dikatakan sebagai kakak beradik."
"Oh?" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang. "Dia pun
menganggapku sebagai adiknya."
Bu Ceng Sianli manggut-manggut, sedangkan Lim Peng
Hang terus memandangnya dengan mala tak berkedip.
"Nona Ma, sebetulnya siapa engkau dan cara Bagaimana
engkau berkenalan dengan Bun Yang?" tanya Lim Peng Hang.
"Ayahku adalah Menteri Ma." Ma Giok Ceng
memberitahukan. "Pada waktu itu aku minggat dari rumah, di
tengah jalan bertemu para penjahat, untung muncul Kakak
Bun Yang menolongku."
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Adik Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu memandangnya seraya
bertanya, "Bagaimana ayahmu mati?"
"Dibunuh para penjahat," jawab Ma Giok Ceng dan
menutur. "Malam itu ketika aku baru mau tidur, mendadak
aku mendengar suara yangl mencurigakan. Aku segera
bangun dan keluar dari kamarku, aku melihat belasan orang
berendap endap menuju kamar ayahku, yang semuanya ber
senjata. Aku langsung membentak, maksudku agar mereka
kabur, tapi mereka malah menyerangku Beberapa di
antaranya mendobrak pintu kamar ayahku, dan tak lama
terdengarlah suara jeritan ayahku. Aku menerobos masuk ke
dalam kamal Ayahku sudah tergeletak bermandikan darah,
tapi masih sempat berseru menyuruhku kabur, bahkan juga
memberitahukan bahwa para pembunuh itu adalah anak buah
menteri Bun, saingan berat ayahku."
"Aaaah...!" Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang. "Itu
sungguh tak disangka sama sekali"
"Untung kakak Bun Yang pernah mengajar ilmu silat tingkat
tinggi, maka aku berhasil meloloskan diri," ujar Ma Giok Ceng
melanjutkan "Ialu aku langsung ke mari, tak terduga kakak Iing Cu juga
berada di sini."
"Maksudmu mau tinggal di sini?" tanya Ngo tok Kauwcu.
"Ayahku telah mati dibunuh, aku... aku tidak punya tempat
tinggal," sahut Ma Giok Ceng terisak-isak. "Karena itu, aku ke
mari mencari kakak Hun Yang."
"Kenapa engkau tidak langsung ke markasku'.'" tanya Ngo
Tok Kauwcu. "Markas kakak berada di kota Kang Shi, sangat jauh sekali,"
ujar Ma Giok Ceng. "Lagi pula kakak Bun Yang pernah
berpesan, apabila ada urusan penting, aku boleh ke mari
mencarinya. "Nona Ma...." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Jadi engkau masih belum tahu apa yang telah terjadi
atas diri Bun Yang?"
"Haah?" Wajah Ma Giok Ceng langsung memucat. "Apa
yang telah terjadi atas dirinya?"
'Dia terjun ke jurang...." Lim Peng Hang menutur tentang
kejadian itu dan menambahkan,"Hlingga kini kami masih tidak
tahu pasti dia masih hidup atau sudah mati."
"Kakak Bun Yang...." Mendengar itu, Ma Giok Ceng nyaris
pingsan, kemudian menangis "Kenapa Kakak Bun Yang begitu
bodoh" Aaaah" Kenapa dia membunuh diri dengan cara terjun
ke jurang?"
"Cinta," sahut Bu Ceng Sianli. "Dia berbuat begitu karena
cinta." "Tapi...." Air mata Ma Giok Ceng berderai-derai. "Kalaupun
cinta, seharusnya tidak perlu begitu nekat membunuh diri.
Sungguh bodoh kakak Bun Yang! Aaaah...!"
"Giok Ceng!" Bu Ceng Sianli menatapnya "Engkau pernah
jatuh cinta?"
"Pernah." Ma Giok Ceng mengangguk.
"Jatuh cinta pada siapa?" tanya Bu Ceng Sianli.
"Kakak Bun Yang," jawab Ma Giok Cenj jujur. "Pertama kali
melihatnya, aku langsung jatuh cinta kepadanya. Tapi dia
memberitahukan kepadaku, bahwa dia sudah punya kekasih.
Betapa sedih dan kecewanya hatiku, namun aku tidak punya
pikiran untuk membunuh diri."
"Seandainya Bun Yang juga mencintaimu, hubungan kalian
sudah sekian lama, lalu mendadajk Bun Yang jatuh ke jurang.
Nah, bagaimana engkau?" tanya Bu Ceng Sianli mendadak.
"Aku... akan ikut mati," sahut Ma Giok Ceng sambil
menundukkan kepala.
"Begitu pula Bun Yang, dia rela mati bersama kekasihnya
itu." ujar Bu Ceng Sianli.
"Sungguh bahagia sekali Goat Nio! Sedangkan aku...." Ma
Giok Ceng mulai menangis sedih lagi
"Adik Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Aku pun
pernah jatuh cinta kepada Adik Bun Yang, bahkan dia pula
yang menyembuhkan mukaku. Tapi setelah tahu dia punya
kekasih, aku menjaga diri dari jarak. Sebab dia adalah pemuda
baik, aku tidak sampai hati merusaknya. Karena Itu, aku
menganggapnya sebagai adik."
"Aaaah...!" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang.
"Hi hi hi!" Mendadak Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan.
"Sebelum bertemu Adik Bun Yang, aku malah bertemu Goat
Nio. Tapi pada waktu itu aku tidak tahu gadis itu adalah
kekasihnya. Kemudian aku bertemu Adik Bun Yang dan seperti
kalian, aku pun jatuh cinta kepadanya. Tapi di saat aku ingat
akan usiaku, maka aku tersadar. oleh karena itu, aku pun
menganggapnya sebagai adik."
"Kakak baru berusia dua puluhan?" Ma Giok Ceng
menatapnya heran. "Kenapa barusan mengatakan begitu?"
"Giok Ceng!" Bu Ceng Sianli tersenyum. "Sesungguhnya
usiaku sudah hampir sembilan puluh."
"Hah" Apa?" Ma Giok Ceng terbelalak. "Kakak kok bergurau
sih?" "Adik Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Bu
Ceng Sianli, tidak bergurau, umurnya memang sudah hampir
sembilan puluh...."
Ngo Tok Kauwcu menjelaskan mengenai apa yang dialami
Bu Ceng Sianli, Ma Giok Ceng mendengar dengan mulut
ternganga lebar.
"Karena itu..." sambung Bu Ceng Sianli. "Aku pun kembali
muda dan itu sungguh merupakan suatu kemujizatan alam."
"Oooh!" Ma Giok Ceng manggut-manggut "Kakak sungguh
beruntung!"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nona Ma'" Lim Peng Hang menatapnya sambil bertanya.
"Apa rencanamu selanjutnya?"
"Entahlah." Ma Giok Ceng menggelengkan kepala. "Aku
tidak tahu."
"Adik Giok Ceng," usul Ngo Tok Kauwcu "Bagaimana kalau
engkau ikut aku" Markasku sangat aman bagi dirimu."
"Terimakasih, Kakak Ling Cu! Tapi...." Ma Giok Ceng
mengerutkan kening.
"Kenapa?" Ngo Tok Kauwcu menatapnya. "Engkau tidak
mau tinggal di markasku?"
"Kakak Ling Cu, aku ingin balas dendam" sahut Ma Giok
Ceng sungguh-sungguh.
"Itu sulit bagimu...." Ngo Tok Kauwcu. "Adik Giok Ceng,
aku harap engkau jangan cari mati"
"Kakak Ling Cu, aku...."
"Aku punya usul," ujar Ngo Tok Kauwcu mendadak.
"Mungkin engkau akan menerima usu! ku."
"Apa usulmu, kakak Ling Cu?"
"Adik Bun Yang dan aku kenal baik dengan Lie Tsu Seng.
Kalau engkau ingin balas dendam terhadap menteri Bun,
engkau harus bergabung dengan Lie Tsu Seng. Kita ke
markasnya dan memberitahukan tentang kejadian Adik Bun
Yang kepada Bibi Suan Hiang serta yang lain."
"Baik." Ma Giok Ceng mengangguk. "Aku bersedia
bergabung dengan Lie Tsu Seng."
"Kapan kalian akan berangkat ke markas Lie Isu Seng?"
tanya Lim Peng Hang.
"Sekarang," jawab Ngo Tok Kauwcu. "Sebab kami harus
segera memberitahukan pada mereka tentang kejadian Adik
Bun Yang."
"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Ling Cu!" Bu Ceng Sianli memandangnya seraya bertanya,
"Engkau tahu berada di mana markas Lie Tsu Seng?"
"Kalau tidak salah, markas Lie Tsu Seng berada di pinggir
kota Lam An. Ya kan?" sahut Ngo Tok Kauwcu.
"Betul." Bu Ceng Sianli mengangguk.
"Kakek Lim, Kakek Gouw, Sianli!" Ngo Tok Kauwcu bangkit
dari duduknya. "Kami mohon pamit."
"Baiklah." Lim Peng Hang mengangguk. "Selamat jalan!"
Ma Giok Ceng juga berpamit kepada mereka, lalu mengikuti
Ngo Tok Kauwcu meninggalkan markas pusat Kay Pang.
"Aaaah...!" Lim Peng Hang menggeleng-geleng kepala.
"Tidak disangka begitu banyak gadis jatuh cinta pada Bun
Yang, untung Bun Yang tidak mata keranjang! Tapi kini dia...."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan., "Kalau aku
tidak berpikir panjang, tentunya Adik Bun Yang sudah berada
dalam pelukanku!"
"Sianli...." Gouw Han Tiong terbelalak.
"Justru Adik Bun Yang adalah pemuda baik dan berhati
bajik, maka aku sangat menyayanginya, sehingga membuat
aku berpikir panjang pula," ujar Bu Ceng Sianli sambil
menghela nafas panjang. "Ketika Adik Bun Yang terjun ke
jurang; aku pun ingin ikut terjun. Untung Si Pincang itu keburu
mencegahku, kalau tidak, kini aku pun sudah mati di dasar
jurang itu."
"Terimakasih, Sianli!" ucap Lim Peng Hang "Sianli begitu
baik terhadap cucuku."
"Aaaah...!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Aku
kagum dan salut kepada Adik Bun Yang, dia begitu setia
terhadap Goat Nio. Walau berada di belakang gadis itu, dia
sama sekali tidak menyeleweng padahal begitu banyak gadis
cantik mencintainya. Itu yang membuatku kagum dan salut
kepadanya."
"Tapi sayang sekali." Lim Peng Hang menggelenggelengkan
kepala. "Kini Bun Yang sudah tiada."
"Mudah-mudahan dia dan Goat Nio masih hidup!" ucap Bu
Ceng Sianli ambil bangkit dari tempat duduknya. "Maaf, aku
mohon pamit!"
"Sianli...." Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
memandangnya, mereka berdua ingin menahannya tapi tidak
berani membuka mulut.
"Sampai jumpa!" ucap Bu Ceng Sianli lalu melesat pergi.
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang,
kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela
nafas panjang. "Seharusnya julukannya diganti...." Ujar Lim Teng Hang.
"Benar." Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Harus
diganti dengan Toh Ceng Sianli (Bidadari Kelebihan
Perasaan)."
"Aku tidak menyangka...." Lim Peng Hang menggelenggelengkan
kepala. "Begitu banyak gadis jatuh cinta kepada
Bun Yang."
"Aaaah...!" Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. "Kita
tidak tahu Bun Yang sudah mati ataukah masih hidup."
-oo0dw0oo- Jilid : 16 Di saat Lim Feng Hang dan Gnuw Han Tiong bercakapcakap
sambil menghela nafas panjang, tiba-tiba berkelebat
sosok bayangan ke dalam, lalu berdiri di hadapan mereka.
"Siapa?" bentak Lim Peng Hang terkejut.
"Maaf!" sahut pendatang itu sambil memberi hormat.
Ternyata dia masih muda, berusia dua puluh limaan.
"Kedatanganku telah menggangu ketenangan Lim Pangcu dan
Couw Tiangio."
"Siapa engkau?" tanya Lim Peng Hang sambil menatapnya
tajam. "Aku adalah Kim Coa Long Kun (Pendekar Pdang Ular
Emas), kawan baik Tio Bun Yang."
"'Haah?" Bukan main terkejutnya Lim Peng Uang dan Gouw
Han Tiong. "Silahkan duduk!"
"Terimakasih!" ucap Kim Coa Long Kun sambil duduk.
"Bun Yang telah menceritakan tentang dirimu," ujar Lim
Peng Hang. "Tak disangka engkau ke mari hari ini."
"Lim Pangcu!" Kim Coa Long Kun menatapnya seraya
berkata, "Bun yang boleh dikatakan sebagai adikku. Dia telah
memberitahukan kepadaku tentang apa yang dialaminya."
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut.|
"Belum lama ini..." ujar Kim Coa Long Kun dengan kening
berkerut-kerut. "Aku mendengar suatu kabar yang sangat
mengejutkan, yakni Adik Bun yang terjun ke jurang. Betulkah
itu?" "Betul." Lim Peng Hang mengangguk.
"Aaah...!" keluh Kim Coa Long Kun. "Kenapa dia begitu
bodoh" Aku pun mendengar bahwa kekasihnya jatuh ke
jurang itu, maka dia...."
"Tidak salah." Lim Peng Hang manggut-mang- gut,
kemudian menutur sejelas-jelasnya mengenai kejadian itu.
"Adik Bun Yang...." Kim Coa Long Kun menggelenggelengkan
kepala. "Jadi dia berhasil mem bunuh ketua Kui Bin
Pang?" "Ya." Lim Peng Hang menghela nafas pan jang. "Cinta!
Karena cinta dia terjun ke jurang itu."
"Apakah Lim Pangcu dan lainnya sudah turun ke dasar
jurang itu?"
"Kami berjumlah puluhan orang telah turun ke dasar jurang
itu, tapi tidak menemukan mayat Bun Yang maupun mayat
Goat Nio."
"Kalau begitu...." Kim Coa Long Kun mengerutkan kening.
"Itu masih merupakan teka teki. Bun Yang dan Goat Nio masih
hidup, atau mati, justru tidak bisa dipastikan. Ya, kan?"
"Ya." Lim Peng Hang mengangguk.
"Mudah-mudahan Adik Bun Yang masih hidup, dia kawanku
satu-satunya! Aku cocok dengannya..." ujar Kim Coa Long Kun
sambil menghela nafas panjang dan menambahkan, "Dia
pemuda baik, gagah dan berhati bajik."
"Oh ya!" Lim Peng Hang teringat sesuatu dan segeralah
bertanya, "Engkau telah berhasil menyelidiki musuhmusuhmu?"
"Belum." Kim Coa Long Kun mengelengkan kepala. "Adik
Bun Yang yang memberitahu kepada Lim Pangcu?"
"Ng!" Lim Peng Hang mengangguk. "Kim Coa I ong Kun,
kami pihak Kay Pang bersedia membantumu menyelidiki
musuh-musuhmu itu."
"Terimakasih, Lim Pangcu!" ucap Kim Coa Long Kun. "Tapi
bukankah akan merepotkan pihak Kay Pang?"
"Tentu tidak," sahut Lim Peng Hang. "Engkau kawan baik
Bun Yang, sudah barang tentu kami harus membantumu."
"Terimakasih, Lim Pangcu!" Kim Coa Long Kun langsung
memberi hormat.
"Tapi...." Gouw Han Tiong memandangnya seraya berkata,
"Kami harus tahu bagaimana ciri- ciri musuh-musuhmu itu."
"Mereka berlima memakai topeng dan meng gunakan
pedang, namun aku yakin mereka berlima adalah saudara
kandung," ujar Kim Coa Long Kun. "Karena mereka saling
memanggil kakak dan adik."
"Kalau begitu...." Gouw Han Tiong manggut- manggut. "Itu
tidak begitu sulit diselidiki. Mereka memakai topeng agar
wajah mereka tidak dikenali. Maka aku berkesimpulan bahwa
mereka bukan penjahat, melainkan berasal dari perguruan
atau keluarga yang terkenal."
"Terimakasih atas petunjuk Gouw Tianglo!" ucap Kim Coa
Long Kun dengan wajah berseri. "Selama ini aku tidak
memikirkan tentang ini, terimakasih!"
"Kim Coa Long Kun!" Gouw Han Tiong tertawa. "Dalam hal
ini, kami pasti membantumu!"
"Terimakasih, terimakasih!" Kim Coa Long Kun bangkit dari
duduknya. "Maaf, Lim Pangcu dan Gouw Tianglo, aku mohon
pamit, sampai jumpa!"
Kim Coa Long Kun langsung melesat pergi. Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian Lim Peng
Hang berkata. "Ternyata Kim Coa Long Kun bukan penjahat. Kelihatannya
dia pun sangat setia kawan."
"Kita harus membantunya menyelidiki musuh- musuhnya
itu," sahut Gouw Han Tiong. "Kita mencari lima bersaudara
dari keluarga persilatan."
"Sementara ini kita belum bisa membantunya...." Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Sebab aku masih terkenang
Bun Yang."
"Aaaah...!" keluh Gouw Han Tiong. "Bun Yang dan Goat
Nio...." -oo0dw0oo- Di tepi jurang di Tebing Selaksa Bunga, tampak sosok
bayangan berdiri tak bergerak sama sekali, ternyata Bu Ceng
Sianli. "Adik Bun Yang...." gumamnya dengan air mala meleleh.
"Aku tidak menyangka engkau akan berakhir dengan cara
begitu. Adik Bun Yang, sebetulnya engkau masih hidup atau
sudah mati?"
Bu Ceng Sianli terisak-isak. Ia kelihatan sedih sekali dan
kemudian bergumam lagi.
"Engkau adalah pemuda yang amat setia pada cinta, boleh
dikatakan tiada duanya di dunia. Aku bangga sekali, karena
engkau mau mengaku diriku sebagai kakakmu. Aku sungguh
bangga sekali!" Bu Ceng Sianli terus bergumam. "Tapi kini...
engkau sudah tiada, tidak mungkin engkau masih hidup."
Di saat bersamaan, terdengar suara langkah yang sangat
ringan mendatangi tepi jurang itu. Segeralah ia melesat ke
belakang pohon.
Muncul seorang pemuda berwajah dingin, yang tidak lain
Kim Coa Long Kun. Sungguh di luar dugaan, Pendekar Pedang
Ular Emas itu pun datang di Tebing Selaksa Bunga. Ia berdiri
di tepi jurang, matanya memandang ke bawah sambil
bergumam. "Aaaah...! Sedemikian dalam jurang ini, bagaimana
mungkin Adik Bun Yang bisa hidup?" Mata Kim Coa Long Kun
mulai basah. "Adik Bun Yang, kita adalah sahabat juga boleh
dikatakan sebagai saudara. Aku justru tidak menyangka
engkau akan terjun ke jurang ini. Engkau... engkau sungguh
setia pada kekasihmu! Aku... aku kagum kepadamu."
Bu Ceng Sianli yang bersembunyi di belakang pohon,
terheran-heran mendengar gumaman pemuda itu, karena ia
tidak kenal Kim Coa Long Kun.
"Adik Bun Yang..." gumam Kim Coa Long Kun lagi. "Kita
bertemu cuma dua kali. namun rasa solidaritas kita sudah
dalam sekali. Oleh karena itu, aku harus berkabung untukmu.
Caraku berkabung yakni membunuh seratus penjahat rim ba
persilatan, dikarenakan engkau dan Goat Nio mati gara-gara
perbuatan penjahat."
Mendadak Kim Coa Long Kun membentak ambil menoleh
ke arah pohon tempat Bu Ceng Sianli bersembunyi. "Siapa di
situ?" "Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan .ambil
memunculkan diri. "Hei! Anak muda, cukup tajam
pendengaranmu!"
"Eh?" Kim Coa Long Kun tertegun ketika melihat seorang
gadis keluar dari balik pohon. "Siapa engkau" Kenapa
bersembunyi di situ?"
"Aku adalah Bu Ceng Sianli, aku datang duluan. Karena
mendengar suara langkah, maka aku segera bersembunyi di
balik pohon itu."
"Bu Ceng Sianli..." gumam Kim Coa Long Kun. "Rasanya
aku pernah mendengar julukan- in u."
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan lagi. "Hi hi hi!
Anak muda, beritahukanlah julukanmu!"
"Julukanku adalah Kim Coa Long kun."
"Oooh!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut. "Ternyata aku
berhadapan dengan Pendekar Pedang Ular Emas yang sadis."
"Nona!" Kim Coa Long Kun menatapnya dingin. "Kenapa
engkau berada di sini" Punya hubungan dengan Bun Yang?"
"Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berada tli sini?"
sahut Bu Ceng Sianli.
"Hm!" dengus Kim Coa Long Kun. "Adik Bun Yang sudah
mati bersama kekasihnya, percuma engkau terus berada di
sini." "Lho?" Bu Ceng Sianli tertawa. "Memangnya kenapa aku
tidak boleh berada di sini" Hanyi engkau yang boleh berada di
sini?" "Aku adalah sahabatnya, lagi pula kami sudah mengangkat
saudara." "Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan "Kim Coa Long
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kun, tidak baik engkau ber bohong."
"Siapa yang berbohong?" Wajah Kim Cos Long Kun
berubah dingin sekali. "Kalau aku tidah ingat engkau punya
hubungan dengan Adik Bun Yang, lehermu sudah kuputuskan
dengan pedang ku!"
"Wuaaah!" Bu Ceng Sianli tertawa. "Engkau sungguh sadis,
belum apa-apa sudah mau pengga kepalaku!"
"Siapa suruh engkau omong sembarangan?" bentak Kim
Coa Long kun. "Sekali lagi engkau omong yang bukan-bukan,
sekali cabut pedangku, kepalamu pasti terpental!"
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli menatapnya. "Tadi aku telah
mendengar gumamanmu, maka aku bilang engkau
berbohong. Karena engkau dan Bun Yang belum mengangkat
saudara." "Engkau...." Wajah Kim Coa Long Kun ke merah-merahan.
"Beritahukan, ada hubungan apa engkau dengan Adik Bun
Yang?" "Hubungan Kakak adik."
"Apa" Hubungan kakak adik?"
"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Aku menganggapnya
sebagai adik, dan dia menganggapku sebagai kakak. Nah,
bukankah hubungan kami adalah hubunggn kakak adik?"
"Bagaimana mungkin?" ujar Kim Coa Long Kun. "Engkau
masih muda dan sangat cantik pula, tidak mungkin engkau
tidak mencintainya."
"Terimakasih atas pujianmu!" ucap Bu Ceng Sianli sambil
menghela nafas panjang. "Ketika pertama kali bertemu dia,
aku memang jatuh cinta kepadanya. Kemudian dia
memberitahukan kepadaku bahwa dia sudah punya kekasih."
"Tentunya membuatmu kecewa sekali." ujar Kim Coa Long
Kun dan menambahkan, "Adik IJun Yang benar, dia harus
berterus terang kepadamu."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Bun Yang
adalah pemuda baik dan berhati bajik, maka aku pun harus
tahu diri dan ingat akan usiaku."
"Usiamu?" Kim Coa Long Kun menatapnya. "Bukankah
usiamu baru dua puluhan?"
"Kalau aku beritahukan, mungkin engkau tidak akan
percaya," ujar Bu Ceng Sianli melanjutkan, "Sesungguhnya
usiaku sudah mendekati kepala sembilan."
"Mendekati kepala sembilan?" Kim Coa Long kun terbelalak.
"Maksudmu mendekati usia sembilan puluh?"
"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk.
"Itu bagaimana mungkin?" Kim Coa Long Kun tidak
percaya. "Aku tidak bohong," ujar Bu Ceng Sianli, lalu menutur
tentang apa yang dialaminya.
Kim Coa Long Kun mendengarkan dengan mulut ternganga
lebar, kelihatannya ia masih kurang percaya.
"Sungguhkah itu?" tanyanya.
"Percuma aku bohong," sahut Bu Ceng Sianli, kemudian
menghela nafas panjang. "Aku ke maii untuk mengenangnya."
"Oh ya!" Kim Coa Long Kun teringat sesuatu "Sianli,
bagaimana menurutmu mengenai kejadian Adik Bun Yang?"
"Maksudmu?"
"Maksudku Bun Yang dan Goat Nio sudah mati atau masih
hidup?" "Itu memang suatu teka teki," sahut Bu Ceng Sianli sambil
mengerutkan kening. "Sebab kami tidak menemukan mayat
Bun Yang maupun Goal Nio!"
"Aku sudah dengar dari Lim Pangcu," ujai Kim Coa Long
Kun menambahkan. "Itu memang membingungkan. Namun
kalau Bun Yang masih hidup, tentunya dia sudah ke markas
pusat Kay Pang."
"Kami memang merasa tidak habis pikir...." Bu Ceng Sianli
menggeleng-geleng kepala.
"Hm!" dengus Kim Coa Long Kun dingin "Aku bersumpah
akan membunuh seratus penjahat."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan
"Aku setuju."
"Baiklah!" Kim Coa Long Kun memberi hormat, lalu
mendadak melesat pergi.
Bu Ceng Sianli terus tertawa. "Bagus, bagus! Kim Coa Long
Kun akan membantai seratus penjahat...!"
Bu Ceng Sianli melesat pergi. Apa yang dikatakan Kim Coa
Long Kun memang dilaksanakannya. Dia membantai seratus
penjahat. Hal itu membuat namanya sangat ditakuti para
penjahat! Tapi setelah itu, ia pun menghilang entah ke mana,
sama sekali tiada kabar beritanya lagi.
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh enam
Utusan Manchuria
Ngo Tok Kauwcu dan Ma Giok Ceng telah tiba di markas Lie
Tsu Seng. Betapa gembiranya Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan,
Lie Tsu Seng dan lainnya menyambut kedatangan keduanya.
Tapi ketika menyaksikan wajah mereka berdua, Yo Suan
Hiang dan Tan Giok Lan tersentak, sebah wajah Ngo Tok
Kauwcu dan Ma Giok Ceng tampak murung sekali.
"Bibi Suan Hiang!" panggil Ngo Tok Kauwcu sekaligus
memberi hormat pada mereka, lalu memperkenalkan mereka
pula. "Ini Ma Giok Ceng, putri kesayangan Menteri Ma."
"Hah?" Yo Suan Hiang terbelalak. "Gadis ini putri
kesayangan Menteri Ma?"
"Betul." Ngo Tok Kauwcu mengangguk, sedangkan Ma Giok
Ceng segera memberi hormat pada mereka.
"Ayahku sudah tewas." Ma Giok Ceng memberitahukan
sambil terisak-isak, kemudian menuturku tentang kejadian itu.
Yo Suan Hiang menghela nafas panjang. "Jadi kini Menteri
Bun yang berkuasa di istana?"
"Ya!" Ma Giok Ceng mengangguk. "Sebetulnya ayahku
sangat jahat, tapi setelah bertemu kakak Bun Yang, ayahku
tidak begitu mencampuri urusan istana lagi. Tapi... malah
dibunuh oleh anak buah Menteri Bun."
"Engkau kenal Bun Yang?" tanya Tan Giok Lan.
Ma Giok Ceng mengangguk. "Dia yang menolong aku."
"Oooh!" Tan Giok Lam manggut-manggut.
Sementara Lie Tsu Seng diam saja. Beberapa saat
kemudian baru dia membuka mulut.
"Bagaimana Bun Yang" Dia baik-baik saja dan sudah
berkumpul dengan Goat Nio?"
"Dia memang sudah berkumpul dengan Goat Nio," ujar Ma
Giok Ceng sambil menangis. "Aku... aku sedih sekali."
"Giok Ceng!" Yo Suan Hiang tersenyum. "Engkau mencintai
Bun Yang?"
"Aku memang mencintainya, tapi begitu tahu dia sudah
punya kekasih, maka aku menganggapnya sebagai kakak,"
jawab Ma Giok Ceng dengan air mata berderai-derai.
"Kalau begitu, seharusnya engkau bergembira karena
mereka berdua sudah berkumpul kembali." ujar Yo Suan
Hiang. "Tapi, kenapa engkau bersedih?"
Ma Giok Ceng terisak-isak sedih. "Kakak Bun Yang dan Goat
Nio berkumpul di alam baka..." ujarnya menjelaskan.
Betapa terkejutnya Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan dan
lainnya. "Maksudmu mereka sudah mati?"
Ma Giok Ceng mengangguk dengan air mata bercucuran.
"Bun Yang...," Yo Suan Hiang nyaris pingsan. Begitu pula
Tan Giok Lan. Gadis itu pun nyaris pingsan seketika.
"Ling Cu," Yo Suan Hiang memandangnya dengan air mata
meleleh. "Engkau tahu jelas tentang itu?"
Ngo Tok Kauwcu mengangguk, lalu menutui sejelasjelasnya
tentang kejadian tersebut.
"Maka kami datang untuk memberitahukan,' tambah Ma
Giok Ceng dengan air mata berlinang^ linang.
"Aaaah...," Yo Suan Hiang menghela nafas panjang. "Ini
sungguh di luar dugaan!" ,
"Mayat Adik Bun Yang tidak diketemukan mungkinkah Adik
Bun Yang belum mati?" gumam Tan Giok Lan.
"Semula pihak Kay Pang, Pulau Hong Hoang To, dan pihak
Tayli juga berpendapat begitu Tapi...," Ngo Tok Kauwcu
menggeleng-geleng kepala. "Bun Yang dan Goat Nio tidak
muncul, itu membuat mereka jadi putus harapan."
"Adik Bun Yang...," Tan Giok Lan menangis sedih. "Aku
tidak percaya! Aku tidak percaya Adik Bun Yang sudah mati!
Aku tidak percaya!"
Karena Tan Giok Lan mulai menangis sedih, membuat Yo
Suan Hiang, Ngo Tok Kauwcu, dan Ma Giok Ceng pun ikut
menangis. Sementara Lie Tsu Seng diam saja. Hanya sepasang
matanya telah basah dan dia terus- menerus menghela nafas
panjang. Berselang beberapa saat kemudian, barulah reda isak
tangis itu. Lie Tsu Seng berkata.
"Kami semua turut berduka cita. Bun Yang adalah pemuda
baik, gagah, dan berhati bajik. Tak disangka akan mengalami
nasib itu."
"Tapi...." ujar Tan Ju Liang mendadak, "Menurut aku, Bun
Yang masih hidup. Dia tidak mungkin berumur pendek begitu.
Lagipula tidak ditemukan mayatnya."
"Tapi sudah sekian lama dia tidak kembali ke markas Pusat
Kay Pang, itu pertanda dia sudah iiada," ujar Ngo Tok Kauwcu
sambil menggeleng- gelengkan kepala dan melanjutkan,
"Kalaupun mengalami luka parah, tentunya dia sudah kembali
ke markas Pusat Kay Pang!"
"Mungkin lukanya itu belum sembuh," sahut Tan Ju Liang.
"Mudah-mudahan!" ucap Yo Suan Hiang, kemudian
memandang Ma Giok Ceng seraya bertanya. "Giok Ceng, apa
rencanamu sekarang?"
"Ayahku sudah tewas, maka aku ingin bergabung saja di
sini," jawab Ma Giok Ceng sungguh-sungguh.
"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya dalam- dalam. "Engkau
adalah putri almarhum Menteri Ma, bagaimana mungkin
engkau bergabung dengan kami yang dicap sebagai
pemberontak?"
"Aku ingin balas dendam!" ujar Ma Giok ("eng. "Karena itu,
aku harus bergabung di sini."
"Bagus, bagus! Ha ha ha...!" Lie Tsu Seng tertawa gelak.
"Apabila Menteri Bun dapat ditangkap kelak, pasti kuserahkan
padamu!" "Terima kasih, Paman," ucap Ma Giok Ceng.
"Oh ya!" Lie Tsu Seng memandangnya. "Betulkah ayahmu
mulai berubah baik setelah bertemu Bun Yang?"
"Betul!" Ma Giok Ceng mengangguk. "Ayahku berharap,
Bun Yang memperisteriku, bahkan juga batal bersekongkol
dengan pihak Manchuria!"
"Oh?" Lie Tsu Seng terbelalak, kemudian manggutmanggut.
"Itu adalah jasa Bun Yang, tapi akhirnya menteri Ma
mati dibunuh juga."
"Itu karena ayahku memprotes usul Menteri Bun dihadapan
kaisar, maka Menteri Bun mengutus belasan orang untuk
membunuh ayahku." Ma Giok Ceng memberitahukan.
"Menteri Bun mengajukan usul apa pada kaisar?" tanya Yo
Suan Hiang. "Sebetulnya sudah lama ayahku merencanakan itu, tapi
setelah bertemu kakak Bun Yang, rencana itu dibatalkannya."
jawab Ma Giok Ceng dan melanjutkan, "Menteri Bun
mengusulkan pada kaisar, agar bekerja sama dengan pihak
Manchuria untuk menghancurkan para pemberontak."
"Bagaimana cara bekerjasama itu?" tanya Yo Suan Hiang.
"Menteri Bun akan meminjam pasukan Manchuria untuk
menyerang para pemberontak, karena itu ayahku memprotes
keras." jawab Ma Giok Ceng.
"Oooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Baiklah,
engkau boleh bergabung dengan kami."
"Terima kasih, Bibi!" Ma Giok Ceng segera memberi hormat
pada semuanya yang berada di situ.
"Adik Giok Ceng," ucap Ngo Tok Kauwcu. Selamat berjuang
demi rakyat!"
"Terima kasih!" Ma Giok Ceng mengangguk.
"Maaf!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil bangkit berdiri. "Aku
tidak bisa lama-lama di sini. Sebab masih ada urusan lain yang
harus kuselesaikan, aku mohon pamit. Sampai jumpa!"
Mendadak Ngo Tok Kauwcu melesat pergi, Ma Giok Ceng
langsung berteriak memanggilnya.
"Kakak Ling Cu! Kakak Ling Cu...!"
"Giok Ceng!" Yo Suan Hiang menggeleng- geleng kepala.
"Percuma engkau berteriak memanggilnya, dia sudah jauh."
"Aaaah...," keluh Ma Giok Ceng dengan wajah murung.
"Ayahku mati dibunuh, sedangkan Kakak Bun Yang terjun ke
jurang. Goat Nio sungguh bahagia, kani dia telah berkumpul
dengan Kakak Bun Yang. Sebaliknya, kita kehilangannya."
"Tidak mungkin! Tidak mungkin...," gumam Lie Tsu Seng
mendadak. "Tidak mungkin Bun Yang sudah mati! Itu tidak
mungkin." -oo0dw0oo- Sementara itu, di kediaman Menteri Bun tampak meriah
dan semarak suasananya.
Terdengar pula suara tawa gelak bernada gembira.
Ternyata Menteri Bun menjamu beberapa tamu terhormat.
Mereka para utusan dari Manchuria, yaitu Kim Ih Hoat Ong
(Pendeta Jubah Emas), beliau adalah guru besar di Manchuria,
kepandaiannya sudah sulit diukur lagi berapa tingginya. Kim Ih
Hoat Ong juga membawa Cap Sah Sin Eng (Tiga Belas Elang
Sakti) yang berkepandaian tinggi sekali, ikut pula Pancha
Putra Raja Manchuria.
"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gembira. "Aku tidak
sangka kalian sedemikian cepat tiba di sini!"
"Karena Menteri Bun yang mengundang, maka kami harus
melakukan perjalanan siang malam agar cepat tiba di sini,"
sahut Pancha. "Namun kami tidak tahu, bagaimana cara
kerjasama kita itu?"
"Tentunya kalian sudah tahu, telah terjadi pemberontakan
di kerajaan kami. Oleh karena itu, kami mohon bantuan
kalian," ujar Menteri Bun.
"Bagaimana kami membantu?" tanya Pancha.
"Aku sudah berunding dengan kaisar. Atas persetujuan
kaisar, aku ingin pinjam pasukan kalian," jawab Menteri Bun
dengan suara rendah.
"Ha ha ha!" Pancha tertawa gelak. "Untuk apa menteri Bun
ingin pinjam pasukan dari kami?"
"Untuk menumpas para pemberontak!" sahut menteri Bun.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah pasukan di sini sudah begitu lemah, tidak mampu
menumpas para pemberontak itu?" tanya Pancha bernada
menyindir. Hingga harus pinjam pasukan kami?"
"Perlu diketahui, para pemberontak itu terdiri dari kaum
pesilat yang berkepandaian tinggi."
"Ha ha ha! Ha ha ha...." Mendadak Kim Ih Hoat Ong
tertawa gelak memekakkan telinga. "Menteri Bun, sejak aku
lahir tidak pernah memasuki daerah Tionggoan. Namun aku
sudah pernah ke Thian Tok (India), Turki, Persia, dan Nepal.
Aku terus merantau menuntut ilmu silat, tujuanku untuk
mengalahkan para jago di rimba persilatan Tionggoan. Aku
harap menteri Bun \udi memberitahukan tentang para jago
itu." "Baik!" Menteri Bun mengangguk, kemudian memandang
salah seorang pengawalnya. "Engkau beritahukan pada Kim Ih
Hoat Ong!"
Pengawal itu segera memberitahukan. "Di rimba persilatan
Tionggoan terdapat tujuh partai besar dan satu Kay Pang
(Partai Pengemis). Para ketua rata-rata berkepandaian tinggi."
"Aku sudah tahu itu!" Potong Kim Ih Hoat Ong. "Yang ingin
kutahu adalah orang yang berkepandaian paling tinggi masa
ini, sebab kepandaian para ketua masih berada jauh di bawah
kepandaianku!"
"Yang berkepandaian paling tinggi adalah Tio Bun Yang,
putra kesayangan Pek Ih Sin Hiap Tu Cie Hiong yang
bermukim di Pulau Hong Hoan| To. Tapi belum lama ini tersiar
berita, bahw; Giok Siauw Sin Hiap Tio Bun Yang terjun kt
jurang, mati atau hidupnya merupakan suatu teki teki,"
Pengawal itu memberitahukan. "Di rimb; persilatan juga telah
muncul Bu Ceng Sianli, yan| kepandaiannya sangat tinggi
sekali, cantik dar masih muda."
"Oh?" Pancha tampak tertarik sekali. "Berapa usianya?"
"Dua puluhan," sahut pengawal itu dan mc nambahkan,
"Para penghuni Pulau Hong Hoanj To rata-rata berkepandaian
tinggi sekali."
"Siapa mereka itu?" tanya Kim Ih Hoat Ong
"Mereka adalah majikan Pulau Hong Hoani To, Tio Cie
Hiong, Lim Ceng Im, Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng,
Kou Hun Bijin dan lainnya," jawab pengawal itu. "Kepandaian
mereka sungguh tinggi sekali, namun mereka sudah tidak
mencampuri urusan rimba persilatan lagi."
"Kalau begitu, sayang sekali!" ujar Kim Ih Hoat Ong. "Aku
mau menyertai Pancha ke mari, justru ingin mengalahkan para
jago di Tionggoan ini."
"Bagaimana kalau Hoat Ong bertanding dengan para ketua
tujuh partai besar?" tanya pengawal itu mendadak,
"Percuma." Kim Ih Hoat Ong menggelengkan, kepala. "Aku
yakin dapat mengalahkan mereka 5 dalam tiga puluh jurus."
"Apa?" Pengawal itu terbelalak. "Hoat Ong dapat
mengalahkan para ketua itu dalam tiga puluh jurus?"
"Engkau tidak percaya?" tanya Kim Ih Hoat Ong sambil
tertawa. "Maaf!" sahut pengawal itu. "Terus terang, aku memang
kurang percaya, sebab para ketua i itu berkepandaian tinggi."
"Siapa ketua partai Siauw Lim?" Tanya Kim Ih Hoat Ong
mendadak. "Hui Khong Taysu."
"Seandainya engkau bertanding melawannya, apakah
engkau mampu bertahan berapa lama?"
"Mungkin cuma kuat bertahan sampai seratus lurus."
"Ngmm!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut, kemudian
berkata, "Aku tetap duduk di sini, engkau boleh menyerang
aku dengan senjata. Mari kita lihat engkau mampu bertahan
berapa jurus!"
"Tapi...." Pengawal itu memandang menteri Bun.
"Turutilah Hoat Ong!" ujar menteri Bun, yang memang
ingin menyaksikan kepandaian Kim Ih Hoat Ong.
"Ya." Pengawal itu mengangguk, lalu berdiri di hadapan
Kim Ih Hoat Ong, sekaligus menghunus pedangnya. "Maaf!"
Pengawal itu langsung menyerangnya, namun mendadak
badan Kim Ih Hoat Ong meluncur ke atas, sehingga membuat
pengawal tersebut menyerang tempat kosong. Secepat kilat
pedangnya menyerang ke atas.
Kim Ih Hoat Ong tertawa, kemudian sebelah kakinya
menendang pedang itu, sekaligus mengibaskan lengan
jubahnya. Pengawal itu terdorong ke belakang beberapa
langkah sedangkan Kim Ih Hoat Ong duduk kembali di
kursinya. Betapa terkejutnya pengawal itu. Ia sama sekali tidak
menyangka kalau Kim Ih Hoat Ong berkepandaian begitu
tinggi. Mendadak ia memekik keras, lalu menyerangnya
dengan ilmu pedang andalannya.
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak, dan
sekonyong-konyong badannya terangkat ke atas bersama
kursi yang didudukinya.
Ia berputar-putar ke sana ke mari, sedangkan pengawal itu
terus menyerangnya dengan jurus jurus mematikan. Di saat
itulah Kim Ih Hoat Ong membentak keras, sekaligus
mengibaskan lengan jubahnya. Seketika juga pengawal itu
terpental beberapa depa dan pedangnya sudah menjadi
beberapa potong.
Bukan main terkejutnya pengawal itu, dan metelah berdiri
tegak, wajahnya pun tampak pucat pias.
"Bagaimana?" tanya Kim Ih Hoat Ong. "Aku , cuma
menggunakan tangan kosong, sedangkan engkau
menggunakan pedang. Engkau cuma mampu bertahan berapa
jurus?" "Dua puluh jurus," sahut pengawal itu jujur.
"Kalau aku bersungguh-sungguh, engkau cuma mampu
bertahan kurang lebih sepuluh jurus," ujar Kim Ih Hoat Ong.
"Ya." Pengawal itu manggut-manggut.
"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gelak. "Agar menarik
perhatian para jago di rimba persilatan Tionggoan, Hoat Ong
harus mengalahkan ketua partai Siauw Lim. Sebab partai
Siauw Lim sangat terkenal."
"Betul." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut. "Aku harus
membuat kegemparan di rimba persilatan Tinggoan! Ha ha
ha...!" "Oh ya!" Menteri Bun menatapnya sambil berkata, "Hoat
Ong masih tampak gagah, sebetulnya dia berusia berapa?"
"Menteri Bun," sahut Pancha sambil tertawa. "Hoat Ong
sudah berusia seratus lebih."
"Apa?" menteri Bun terbelalak. "Tapi Hoat Ong kelihatan
seperti berusia enam puluhan."
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Menteri Bun
harus tahu, sejak kecil aku sudah belajar ilmu silat, bahkan
tidak pernah menyentuh kaum wanita. Di samping itu, aku
pernah makan semacam buah langka yang menambah
lweekang- ku!"
"Oooh!" Menteri Bun manggut-manggut. "Ohya, kenapa
Hoat Ong tidak pernah memasuki daerah Tionggoan?"
"Karena aku tahu banyak orang berkepandaian tinggi di
rimba persilatan Tionggoan, dan aku tidak mau
mempermalukan diri sendiri. Maka sebelum berkepandaian
tinggi, aku tidak akan memasuki daerah Tionggoan." Kim Ih
Hoat Ong memberitahukan. "Sebetulnya aku sudah malas
terhadap urusan rimba persilatan, tapi ayah Pancha terusmenerus
bermohon kepadaku untuk mengajar di istana.
Akhirnya aku mengabulkannya. Ayah Pancha girang sekali,
sehingga menghadiahkan jubah emas ini padaku."
"Setelah itu..." tambah Pancha. "Ayah mengutus kami ke
mari menemui menteri Bun. Kebetulan sekali juga merupakan
kesempatan Hoat Ong untuk menggemparkan rimba persilatan
Tionggoan. Ha ha ha...!"
"Kalau begitu...." Menteri Bun memandang mereka. "Kapan
kalian akan berangkat ke kuil Siauw Lim?"
"Besok pagi," sahut Kim Ih Hoat Ong, lalu tertawa gelak.
"Ha ha ha...!"
-ooo0dw0ooo- Belasan hari kemudian, tersiarlah berita yang sangat
menggemparkan rimba persilatan bahwa ketua partai Siauw
Lim, Butong dan Kun Lun dikalahkan oleh Kim Ih Hoat Ong,
Koksu (Guru Istana) Manchuria. Pihak Kay Pang juga
mendengar berita tersebut. Dapat dibayangkan betapa
terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.
"Apa yang dikatakan M a Giok Ceng tempo hari memang
benar, kini putra raja Manchuria, Kim Ih Hoat Ong dan Cap
Sah Sin Eng mulai mengacau di rimba persilatan Tionggoan,"
ujar Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sungguh tinggi kepandaian Kim ih Hoat Ong!" sahut Gouw
Han Tiong dengan kening berkerut-kerut. "Dia mampu
mengalahkan ketiga ketua itu dalam dua puluh lima jurus. Itu
sungguh di luar dugaan!"
"Mungkinkah dia masih berniat mengalahkan ketua partai
lain?" tanya Lim Peng Hang meminta pendapat Gouw Han
Tiong. "Menurut aku..." ujar Gouw Han Tiong selelah berpikir
beberapa saat. "Dia tidak akan mengalahkan ketua partai lain
lagi." "Kenapa?" tanya Lim Peng Hang heran.
"Sebab...." Gouw Han Tiong menjelaskan. "Kim Ih Hoat
Ong mengalahkan ketiga ketua itu, semata-mata hanya untuk
mempermalukan kaum rimba persilatan Tionggoan dan
menghendaki munculnya pesilat tangguh melawannya."
"Ngmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Tidak salah,
tujuannya memang beg1' u."
"Mungkin juga, Kim In Hoat Ong itu akan ke mari." ujar
Gouw Han Tong melanjutkan.
"Kalau begitu, kita harus bersiap-siap," sahut Lim Peng
Hang, kemudian menghela nafas panjang. "Aaaah, terjadi
kendala lagi dalam rimba persilatan!"
Gouw Kan Tong mengalihkan pembicaraan. "Belum lama
ini .. Kim Coa Long Kun telah membanta," seratus penjahat
lalu menghilang. Entah apa sebabnya, dia membantai para
penjahat itu."
"Karena itu para penjahat yang masih hidup segera
bersembunyi Memang sadis sekali Kini Coa Long Kun itu."
tambah Lim Peng Hang
Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Hingga kini
Bun Yang dan Goat Nio tiada kanar beritanya, mereka berdua
sudah mati."
"Tiada harapan lagi Gouw Han Tong menghela nafas
panjang "Sudah sekian lama dia tidak kembali, dia... dia pasti
sudah tiada."
"Entah bagaimana keadaan Cie Hiong dan putriku di Pulau
Hong Hoang To, apakah mereka tabah menghadapi kenyataan
itu?" gumam Lim Peng Hang lalu menghela nafas panjang.
"Ingin rasanya aicu ke Pulau Hong Hoang To menengok
mereka...."
Ucapannya terhenti karena dikejutkan oleh berkelebatnya
sosok bayangan memasuki markas.
"Siapa?" bentak Lim Peng Hang.
"Maaf!" Terdengar suara sahutan dan tampak berdiri
seorang gadis yang ternyata adalah Ngo Tok Kauwcu-Phang
Ling Cu. "Kakek Lim, Kakek Gouw!"
"Oh! Ling Cu!" Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Duduklah!"
"Terimakasih, Kakek Lim!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil
duduk. "Ling Cu!" Gouw Han Tiong menatapnya sambu bertanya,
"Ada suatu yang penting?"
"Kakek Gouw sudah mendengar berita tentang Kim Ih Hoat
Ong mengalahkan ketua partai Siauw Lim dan ketua partai
lainnya?" "Kami sudah mendengarnya," sahut Gouw Han Tiong dan
menambahkan. "Pancha, putra raja Vlanchuria, Kim Hoat Ong
dan Cap Sah Sin Eng berada di rumah Menter Run sebagai
tamu terhormat, mereka adalah utusan raja Manchuria."'
"Betul." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Aku khawatir Kim
Ih Hoat Ong dan lainnya akan ke mari, maka aku segera ke
sini bermaksud membantu."
"Terimakasih, Ling Cu!" ucap Lim Peng Hang, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata. "Tentunya
engkau pun ingin bertanya tentang Bun Yang dan Goat Nio,
bukan?" "Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk.
"Tiada kabar beritanya, kelihatannya sudah tiada harapan."
Lim Peng Hang menghela nafas panjang "Aaaah...!"
"Kakek Lim!" kening Ngo Tok Kauwcu berkerut. "Aku tetap
tidak percaya kalau Bun Yany telah mati. Aku tetap tidak
percaya." "Mau tidak mau engkau harus percaya, sebab hingga saat
ini Bun Yang dan Goat Nio tidak kemari," ujar Lim Peng Hang
dengan wajah murung "Sudah sekian lama, bagaimana
mungkin mereka masih hidup?"
"Kita semua masih dalam duka malah muncul Kim Ih Hoat
Ong. Sungguh di luar dugaan'" ujar Gouw Han Tiong.
"Kepandaian Kim Ih Hoat Ong tinggi sekali Dia mampu
mengalahkan tiga ketua itu hanya dalam dua puluh lima
jurus." Ngo Tok Kauwcu memandang mereka dan bertanya,
"Apakah Kakek Lun dan KakeK Gouw sanggup melawan Kim
Ih Hoat Ong itu?"
"Kalaupun kami bergabung melawannya, aku yakin kami
berdua pasti kalah," sahut Lim Peng Hang jujur
"Oh?" Air muka Ngo Tok Kauwcu berubah "Bagaimana k a
kalau seandainya Kim Ih Hoal Ong ke mari''"
"Tentunya harus melawannya." Lim Peng Hang tersenyum
getir. "Kelihatannya Kun Ih Hoat Ong itu hanya ingin
menaklukkan pesilat tangguh dalan rimba persilatan
Tionggoan. karena dia tidak membunuh."
"Menurut aku..." ujar Gouw Han Tiong. "Kim Ih Hoat Ong
tidak akan ke maki atau ke pariai .ain, karena dia punya suatu
rencana." "Oh?" Lim Peng Hang memandangnya. "Rencana apa itu?"
"Aku tidak bisa mengatakan secara pasti," sahut Gouw Han
Tiong "Yang jelas dia mempunyai rencana busuK."
"Aku justru tidak habis pikir," ujar Lim Peng Hang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Tujuan Kim Ih Hoat Ong dan
liannya ke Tionggoan hanya urusan kerajaan, kenapa Kim Ih
Hoat Ong malah mengusik ketiga ketua itu?"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang mengheiankan " Gouw Han Tiong mengerutkan
kening. "Tentunya ada sesuatu dibalik itu Maka, sebaiknya kita
tunggu perkembangan selanjutnya."
"Betul." Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Kakak Lim," tanya Ngo Tok Kauwcu mendadak. "Bolehkah
aku tinggal di sini beberapa hari?"
"Tentu boleh, tentu boleh," jawab Lim Peng Hang dan
menambahkan, "Kami sangat berterima kasih atas
kesediaanmu tinggal di sini beberapa hari, mudah mudahan
ada kabar beiita tentang Bun Yang!"
"Kakek Lim...." Wajah Ngotok Kauwcu agak kemerahmerahan.
"Aku tetap tidak percaya kalau adik Bun Yang telah
mati, aku tidak percaya sama sekali. Aku harap dia dan Goat
Nio akan muncul di sini!"
"Mudah-mudahan!" ucap Lim Peng Hang. "Itu yang kita
harapkan."
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh tujuh
Pertarungan yang menegangkan
Di ruang tengah rumah Menteri Bun, tampak belasan orang
sedang bersulang sambil tertawa tawa. Mereka adalah
Pancha, Kim Ih Hoat Ong, Cap Sah Sin Eng dan tuan rumah
sendiri. "Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gelak. "Kini nama Hoat
Ong sudah membubung tinggi di rimba persilatan Tionggoan!"
"Aku tidak menyangka sama sekali kalau kepandaian ketiga
ketua partai itu cuma begitu saja!" ujar Kim Ih Hoat Ong
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak sampai dua
puluh lima jurus telah kukalahkan."
"Itu pertanda kepandaian Hoat Ong tinggi sekali," sahut
Menteri Bun dan tertawa lagi, kemudian bertanya. "Apakah
Hoat Ong masih ber niat mengalahkan ketua partai lain?"
"Tidak perlu," jawab Kim Ih Hoat Ong. "Aku lelah
mengalahkan ketiga ketua itu, maka aku yakin tidak lama lagi
akan muncul pesilat tangguh melawanku. Ha ha ha...!"
"Oh ya!" Menteri Bun memandang mereka seraya bertanya.
"Sudah sekian lama kalian berada di sini, apakah aku perlu
memanggil beberapa wanita cantik untuk melayani kalian?"
"Aku tidak perlu," sahut Kim Ih Hoat Ong. "Mungkin mereka
membutuhkan."
"Bagaimana kalian?" tanya Menteri Bun kepada Pancha dan
Can Sah Sin Eng. "Katakan saja, tidak usah malu-malu!"
"Aku sangat tertarik akan tarian dan musik Tionggoan,"
sahut Pancha sungguh-sungguh. "Apakah ada penari dan
pemain musik di sini?"
"Ada." Menteri Bun tersenyum. Ia bertepuk langan tiga kali,
lalu muncullah seorang pelayan wanita menghadapnya sambil
memberi hormat.
"Tuan Besar mau pesan apa?" tanyanya dengan hormat.
"Cepat atur para penari dan pemain musik yang cantikcantik
di sini?" ujar menteri Bun.
"Ya, Tuan Besar." Pelayan wanita itu mengangguk. lalu
pergi. Berselang beberapa saat kemudian, muncullah belasan
gadis cantik, yang semuanya membawa berbagai macam alat
musik. Mereka memberi hormat, setelah itu para pemain
musik lalu duduk.
Tak lama terdengarlah suara alunan musi yang amat
menyedapkan telinga dan para pena mulai menari dengan
lemah gemulai mengiku irama musik itu.
"Ha ha ha!" Pancha tertawa gembira. "Buka main indahnya
tarian mereka! Sungguh luar biasa
"Engkau tertarik?" tanya menteri Bun.
Pancha mengangguk, kemudian tanyanya be bisik, "Menteri
Bun, gadis-gadis itu boleh mi layaniku?"
"Tentu boleh." Menteri Bun tertawa. "Seba engkau adalah
Putra Mahkota Manchuria! Ha h ha! Mari kita bersulang!"
Mereka mulai bersulang lagi sambil menil mati musik dan
tarian itu. Berselang beberap saat, barulah musik itu berhenti.
Para penari pu berhenti menari, dan langsung memberi horm;
sambil tersenyum lembut.
"Bagus, bagus!" Pancha tertawa gembira sambil bertepuk
tangan. "Aku harap para pemai musik tetap bermain musik,
sedangkan para pi nari menemani kami minum!"
"Ya, Tuan Muda!" sahut mereka serentak.
Para pemain musik segera memainkan alunan musik
masing-masing, sedangkan para penari langsung menghampiri
Pancha, lalu menuangkan arak ke dalam cangkir masingmasing.
"Silakan minum!" ucap para penari itu.
"Terimakasi, terimakasih! Ha ha ha...!" Pancha tertawa
gembira. Tak berapa lama kemudian, Kim Ih Hoat Ong pemandang
mereka seraya berkata dengan wibawa.
"Cukup!" Ia lalu memandang Menteri Bun. "Suruh mereka
pergi!" "Baik." Menteri memandang para pemain musik dan para
penari itu. "Cukup sampai di sini, sekarang kalian boleh
beristirahat."
"Ya, Tuan Besar," sahut mereka.
"Menteri Bun," ujar Pancha. "Berikan kepada mereka
seorang dua puluh tael emas!"
"Ya." Menteri Bun bertepuk tangan satu kali, kemudian
muncul kepala pengurus.
"Ada perintah apa. Tuan Besar?" tanya kepala lengurus itu
sambil memberi hormat.
"Ambilkan dua ratus tael emas!" sahut Menteri Bun.
"Ya, Tuan Besar." Kepala pengurus itu segera pergi
mengambil uang emas, dan tak seberapa jma ia sudah
kembali menghadap Menteri Bun.
"Berikan mereka seorang dua puluh tael emas!" ujar
Menteri Bun sambil menunjuk para pemain iiusik dan para
penari itu. "Ya, Tuan Besar." Kepala pengurus segera lembagi-bagikan
uang emas itu. "Terimakasih, Tuan Besar." ucap para pemain musik dan
para penari itu dengan wajah berseri-seri mengundurkan diri
dari ruang tersebut.
"Oh ya!" Menteri Run memandang Kim Ih Hoat Ong seraya
bertanya. "Kenapa Hoat Ong tidak mau menyentuh kaum
wanita?" "Sebab sejak kecil aku belajar Tong Cu Sin Kang (Tenaga
Sakti Anak Perjaka), maka aku tidak boleh berhubungan intim
dengan kaum wanita," jawab Kim Ih Hoat Ong
memberitahukan "Aku telah berhasil mencapai tingkat
tertinggi membuat dinku tidak mempan senjata tajam mau
pun racun."
Menter Bun manggut-manggut. "Sungguh hebat Hoat
Ong!" "Perlu kuberitahukan," ujar Kim Ih Hoat Ong "Pancha juga
berkepandaian tinggi, begitu pula Cap Sah Sin Eng. Karena
Cap Sah Sin Eng bergerak sesuai dengan Cap Sah Sin Eng Tin
(Formasi Tiga Relas Elang Sakti)."
"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gembira "Oh ya! Aku
punya Suatu ide untuk Hoat Ong."
''Ide apa?" tanya Kim Ih Hoat Ong.
"Menangkap Lie Tsu Seng," jawab Menteri Bun serius.
"Apabila Hoat Ong mampu menangkapnya hidup-hidup atau
membunuhnya, kiasar pasti gembira sekali. Bahkan juga akan
menggemparkan rimba persilatan Tionggoan, sebab banyak
kaum rimba persilatan berkepandaian tinggi bergabung
dengan pemimpin pemberontak itu."
"Ngmmm!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut dan
bertanya. "Di mana markas Lie Tsu Seng?"
"Di pinggir kota Lam An."
"Pancha," tanya Kim Ih Hoat Ong. "Kapan kita berangkat ke
sana menangkap pemimpin pemberontak itu?"
"Itu terserah Hoat Ong saja," sahut Pancha, kemudian
bertanya kepada Menteri Bun sambil tersenyum. "Apakah Bu
Ceng Sianli juga bergabung dengan Lie Tsu Seng?"
"Ya." Menteri Bun mengangguk.
"Bagus, bagus!" Pancha tertawa gembira. "Hoat Ong harus
menundukkannya!"
"Baik." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.
"Oh ya!" ujar Pancha mendadak. "Aku hampir melupakan
satu hal penting."
"Hal apa?" tanya Menteri Bun.
"Mengenai adikku Bokyong Sian Hoa." Pancha
memberitahukan. "Dia adalah putri pamanku, sudah lama dia
datang di Tionggoan ini, apakah menteri Bun tahu tentang
dirinya?" "Maaf, aku sama sekali tidak tahu." Menteri Bun
menggelengkan kepala.
"Aaaah...!" Pancha menghela natas panjang. 'Aku rindu
sekali kepadanya."
"Akan kuutus beberapa pengawalku untuk menyelidikinya,"
ujar menteri Bun.
"Terimakasih!" Pancha manggut-manggut lalu bertanya
kepada Kim Ih Hoat Ong. "Kapan kita berangkat ke pinggir
kota Lam An?"
"Besok pagi," sahut Kim Ih Hoat Ong singkat.
"Kalau begitu..." ujar menteri Bun. "Akan kuperintahkan
puluhan pengawalku menyertai kalian."
"Itu tidak perlu, cukup kami saja." tegas Kim Ih Hoat Ong
dan menambahkan, "Para pengawal kalian semuanya gentong
nasi. Percuma mereka ikut kami pergi menangkap Lie Tsu
Seng." "Ya, ya." Menteri Bun manggut-manggut, kemudian
tertawa gelak. "Ha ha ha! Akan tamat riwayat Lie Tsu Seng
kali ini! Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo- Di sebuah batu besar dekat pantai, tampak beberapa orang
duduk sambil bercakap-cakap. Mereka adalah Toan Beng Kiat,
Bokyong Sian Hoa, Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling, Kam Hay
Thian, Lu Hui San, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan.
"Aaaah...." Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Aku tak
menyangka kalau kakak Bun yang dan Goat Nio begitu pendek
umur!" katanya.
"Aku masih tidak percaya kalau mereka berdua sudah
mati," ujar Kam Hay Thian. "Sebab di dasar jurang itu tidak
terdapat mayat mereka."
"Aku pun tidak percaya kalau mereka berdua sudah mati,"
sela Lu Hui San. "Itu bagaimana mungkin?"
"Sungguh mengherankan!" ujar Bokyong Sian Hoa. "Goat
Nio terjatuh ke jurang itu, sedang Kakak Bun Yang terjun ke
situ. Namun kita tidak menemukan mayat mereka. Bukankah
itu sungguh mengherankan?"
"Memang." Toan Beng Kiat manggut-manggut. "Oleh
karena itu, aku berkesimpulan bahwa mereka berdua belum
mati. Sebab di dasar jurang itu pun tiada binatang buas, jadi
tidak mungkin mayat mereka digondol binatang buas."
"Tapi. .." Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Kenapa Kakak
Bun yang dan Goat Nio tidak kembali ke markas pusat Kay
Pang?" "Sie Keng Hauw menggeleng-gelengkan kepala. "Memang
membingungkan dan merupakan teka teki."
"Kami ke mari justru untuk menunggu..." ujar Toan Beng
Kiat melanjutkan. "Menunggu kemunculan Bun Yang dan Goat
Nio. Tapi hingga kini mereka berdua masih belum muncul."
"Mungkin...." Lie Ai Ling mulai terisak-isak. "Kakak Bun
Yang dan Goat Nio sudah mati, Thian (Tuhan) sungguh tidak
adil!" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala, kemudian
memandang Lam Kiong Soat Lan seraya berkata.
"Kita sudah sekian lama berada di Pulau Hong Hoang To
ini, bagaimana kalau besok pag' krta pulang ke Tayli?"
Lam Kiong Soat Lan mengarah pada Yo Kiam Heng.
"Bagaimana?"
"Terserah engkau," jawab Yo Kiam Heng sambil tersenyum.
"Aku menurut saja."
"Baiklah." Lam K'ong Soat Lan manggut-manggut sambil
tersenyum lembut "Kita pulang ke Tayli esok pagi."
"Yaaah!" Waiah Lie Ai Ling tampak murung. "Kok begitu
cepat kal in pulang ke Tayli " tanyanya.
"Sudah lama kami tinggal di sini, aku khawatir orang tua
kami akan mencemaskan kami" ujar Toan Beng Kiat dan
berpesan. "Oh ya! Apabila ada kabar beritanya mengenai Bun
Yang dan Goat Nio, harap kalian segera ke Tayli
memberitahukan kepada kami!"
"BaiK." Lie Ai ling mengangguk.
Keesokan harinya, Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa. Yo
Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan berpam it kepada TJO
Tay Seng dan lainnya, kemudian mereka berempit
meninggalkan Pulau Hong Hoang To
-oo0dw0oo- Kini mereka berempat telah berada di Tionggoan. Dalam
perjalanan ini tak henti-hentinya mereka membicarakan Tio
Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio,-
"Bagaimana kalau kita ke markas pusat Kay Pang, siapa
tahu sudah ada berita di sana!" usul Toan Beng Kiat.
"Baik." Bokyong S'an Hoa, Yo Kiam heng dan Lam Kong
Soat Lan mengangguk
Mereka berempat lalu menuju arah markas pusat Kay Pang,
yang harus melewatkan kota Lam An. T saat berada di pinggir
kola tersebut, mereka menyaksikan suatu pertarungan vang
amat seru dan sengit.
"Hah?" Lie Ai Ling terperanjat. "Bukankah yang sedang
bertarung itu Bibi Suan Hiang Kakak Giok Lan, Paman Tan Ju
Linng dan Lin Cin An. Mereka tampak terdesak oleh tiga belas
penyerang itu!"
"Betul" Lu Hi San manggut-manggut. "Mereka Bibi Suan
Hiang, Kakak Giok Lan dan .."
"Hah?" Bokyong Sian Hoa tampak terkejuf sekali "Pemuda
itu Pancha putra pamanku, pendeta tua itu adalah Kim Ih Hoat
Ong dan tiga belas orang tu adalah Cap Sah Sin Eng! Mereka
berkepandaian tinggi sekali!"
"Ayoh! I'ita harus cepat membantu Bibi Suan Hiang!" seru
Toan Beng Kiat.
Saat uu Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan dan lainnya telah
terluka. Toan Beng Kiat bersiul panjang sambil melesat ke
arah Cap Sah Sin Eng. Beg 'u pula Bokyong Sian Hoa dan
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lainnya. "Begitu kaki mereka menginjak tanah. Cap Sah Sin Eng
langsung mengepung mereka.
"Siapa kalian?" tanya pemimpin Cap Sah Sin Eng.
"Kami dari Tayli!" sahut Toan Beng Kiat jujur dan
menambahkan, "Kami harap tuan-tuan sudi melepaskan
mereka!" "Kalian dari Tayli?" Pemimpin Cap Sah Sin Eng
mengerutkan kening. "Kami pihak Manchuria tidak pernan
bertikai dengan pihak Tayli. aku harap kalian jangan
mencampuri urusan kami!"
Bersamaan itu, Pancha menghampir mereka sambil
menatap Bokyong Sian Hoa, kemudian berseru girang.
"Adik Sian Hoa! Adik Sian Hoa...."
"Jangan panggil aku!' bentak Bokyong Sian Hoa. "Aku benci
engkau dan benci ayahmu!"
"Adik Sian Hoa...." Pancha menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu adalah urusan kedua orang tua kita, sedangKan kita
bukankah sangat baik dari kecil" Lagi pula aku yang
membantumu kabur dari istana.. ."
"Diam!" bentak Bokyong Sian Hoa lagi. "Ayahmu
membunuh kedua orang tuaku, aku... aku...."
"Adik Sun Hoa...." Pancha menghela nafas panjang. "Kita
kakak beradik."
"Engkau masih ingat kita kakak beradik?" Bokyong Sian
Hoa memandangnya sinis.
"Betul." Pancha manggut-manggut.
"Kalau begitu, kalian harus melepaskan mereka!" ujar
Bokyong Sian Hoa sambil menunjuk Yo Suan Hiang dan
lainnya. "Akan kubicarakan dengan Kim Ih Hoat Ong." Pancha
segera mendekatinya, kemudian mereka berbisik-bisik.
"Baik." Kim Ih Hoat Ong mengangguk. "Tidak apa-apa kita
melepaskan mereka, tapi kita harus menangkap Sian Hoa dan
lainnya." "Hoat Ong...." Pancha terkejut.
"Kelihatannya adikmu itu sudah tidak mau ikut kita, lagi
pula aku punya suatu rencana," ujar Kim Ih Hoat Ong berbisik.
"Kalau kita tangkap teman-teman Sian Hoa. dapat kita jadikan
sandera untuk menukar dengan Lie Tsu Seng."
Pancha manggut-manggut, lalu mendekati Bokyong Sian
Hoa dan berkata sambil tersenyum, "Kami akan melepaskan
mereka, tapi engkau dan teman-temanmu harus ikut kami."
"Tidak!" tegas Bokyong Sian Hoa. "Kami tidak akan ikut
kalian, pokoknya tidak!"
"Adik Sian Hoa! Kalau begitu, apa boleh buat!" sahut
Pancha dan berseru. "Cap Sah Sin Eng, tangkap mereka, tapi
jangan kalian lukai!"
"Ya," sahut Cap Sah Sin Eng.
Sedangkan Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam
Heng dan Lam Kiong Soan Lan segera menghunus pedang
masing-masing. Mendadak pemimpin Cap Sah Sin Eng bersiul, seketika juga
tiga belas orang itu bergerak berputar-putar mengelilingi Toan
Beng Kiat dan lainnya. Ternyata tiga belas orang itu mulai
menyusun formasi Cap Sah Sin Eng Tin.
"Mari kita serang mereka!" seru Toan Beng Kiat.
Mereka berempat mulai menyerang, namun justeru terjadi
hal yang tak terduga, yaitu begitu mereka menyerang, malah
menyerang kawan sendiri. Sementara Cap Sah Sin Eng terus
berputar, bahkan kemudian meluncur ke atas dan sekaligus
menyerang. "Celaka!" keluh Toan Beng Kiat. "Mereka menggunakan
semacam formasi. Soat Lan, kita simpan saja pedang kita.
Lebih baik kita menyerang dengan Kim Kong Cap Sah Ciang
(Tiga Belas Jurus Pukulan Cahaya Emas)."
"Baik." Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat segera
menyarungkan pedang masing-masing.
Setelah itu, mulailah mereka menyerang Cap Sah Sin Eng
dengan ilmu pukulan tersebut. Akan tetapi, pukulan mereka
justru nyaris melukai kawan sendiri.
Ketika mereka menyerang Cap Sah Sin Eng, mendadak
yang diserang itu menghilang, yang muncul malah Yo Kiam
Heng dan Bokyong Sian Hoa. Maka, mereka berdua cepatcepat
menarik serangan masing-masing.
Berselang beberapa saat kemudian, Toan Beng Kiat,
Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan
mulai terdesak dan tampak lelah sekali.
"Lumpuhkan mereka dengan totokan!" seru pemimpin Cap
Sah Sin Eng. Mulailah Cap Sah Sin Eng menyerang mereka dengan Peng
Khong Tiam Hiat (Ilmu Menotok Jalan Darah Jarak Jauh). Tak
seberapa lama kemudian, Toan Beng Kiat dan lainnya telah
tertotok, sehingga mereka berempat berdiri tak bergerak di
tempat. "Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak lalu mendadak
melesat ke arah mereka, sekaligus menotok jalan darah
mereka lagi. "Mereka akan lumpuh tujuh hari tujuh malam dan
siapa pun tidak akan mampu membebaskan totokan itu! Ha ha
ha...!" "Maafkan aku. Sian Hoa!" ucap Pancha. "Aku terpaksa
menyuruh Cap Sah Sin Eng bertindak kurang ajar terhadap
kalian." "Diam!" bentak Bokyong Sian Hoa dengan mata berapi-api.
"Kalau engkau ingin membunuhku cepatlah bunuh!"
"Adik Sian Hoa!" Pancha tersenyum. "Bagaimana mungkin
aku membunuhmu" Kita adalah...."
"Hm!" dengus Bokyong Sian Hoa dingin. "Jangan bermulut
manis, aku benci!"
"Adik Sian Hoa...." Pancha menggeleng-gelengkan kepala.
Di saat bersamaan terdengarlah suara tawa cekikikan.
"Hi hi hi! Hi hi hi...!" Kemudian muncul seorang gadis
berusia dua puluhan, yang ternyata Bu Ceng Sianli-Tu Siao
Cui. "Kakak! Kakak!" seru Bokyong Sian Hoa girang. "Cepat
tolong kami!"
"Tenanglah!" sahut Bu Ceng Sianli sambil tersenyum. "Aku
pasti menolong kalian."
Ketika Bu Ceng Sianli muncul, Pancha terpukau oleh
kecantikannya. Ia memandang wanita itu dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga lebar.
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Anak muda!
Kenapa engkau memandangku seperti kehilangan sukma?"
"Ha ha ha!" Pancha tertawa. "Nona sangat cantik sehingga
membuat sukmaku hilang!"
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tersenyum manis.
"Aku tidak bohong," sahut Pancha dan bertanya. "Maaf,
bolehkah aku tahu siapa Nona?"
"Aku Bu Ceng Sianli. Siapa engkau?"
Pancha, Kim Ih Hoat Ong dan Cap Sah Sin Eng terperanjat.
Mereka tidak menyangka kalau gadis cantik itu adalah Bu
Ceng Sianli yang sangat terkenal.
Pancha manggut-manggut. "Ternyata aku berhadapan
dengan Bu Ceng Sianli yang sangat terkenal dalam rimba
persilatan Tionggoan. Namaku Pancha."
"Engkau Putra Mahkota raja Manchuria?" tanya Bu Ceng
Sianli sambil menatapnya tajam.
"Betul." Pancha mengangguk.
"Bagus!" Bu Ceng Sianli tertawa. "Cepatlah engkau suruh
pendeta jelek itu membebaskan totokannya!"
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Bu Ceng
Sianli, aku tidak menyangka kalau engkau masih muda dan
sedemikian cantik. Sungguh beruntung aku bertemu engkau di
sini!" "Hei, pendeta jelek! Cepatlah membebaskan totokanmu
yang di badan mereka!" sahut Bu Ceng Sianli.
"Aku adalah Kim Ih Hoat Ong, sudah lama aku mendengar
nama besar Nona. Oleh karena itu...."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa geli. "Pendeta jelek,
engkau sedang merayu ya?"
"Bu Ceng Sianli!" Kim Ih Hoat Ong menatapnya tajam.
"Kudengar kepandaianmu sangat tinggi, maka aku ingin
bertanding."
"Bertanding dengan siapa?"
"Denganmu."
"Tapi...." Bu Ceng Sianli memandang Toan Beng Kiat dan
lainnya. "Mereka harus kau bebaskan dulu."
"Kalau engkau mampu mengalahkan aku, aku pasti
membebaskan mereka. Tapi apabila engkau kalah, engkau
harus ikut kami ke Manchuria, karena.... Pancha, Putra
Mahkota raja Manchuria sangat tertarik kepadamu." ujar Kim
Ih Hoat Ong. "Betul, betul," sela Pancha sambil tersenyum. "Nona, aku
memang sangat tertarik kepadamu. Aku... aku pun sudah
jatuh hati."
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Tapi
bagaimana kalau pertandingan berakhir dengan seri?"
"Kalau seri, aku harus membawa mereka pergi," sahut Kim
Ih Hoat Ong dan menambahkan, "Kita bertanding secara adil."
"Tentu." Bu Ceng Sianli manggut-manggut dan bertanya,
"Kita akan bertanding dengan cara apa?"
"Cukup dengan tangan kosong," sahut Kim Ih Hoat Ong
dan menambahkan, "Hanya sampai batas seratus jurus saja."
"Bagaimana kalau seri?"
"Tadi aku sudah bilang, kalau seri aku tetap membawa
pergi mereka. Namun pertandingan boleh dilanjutkan kelak."
"Baik." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Aku setuju."
Kim Ih Hoat Ong dan Bu Ceng Sianli berdiri berhadapan,
dan masing-masing menghimpun lwee- kang. Kim Ih Hoat
Ong menghimpun Tong Cu Sin Kang (Tenaga Sakti Anak
Perjaka), sedangkan Bu Ceng Sianli menghimpun Hian Goan
Sin Kang. "Hoat Ong!" seru Pancha mendadak. "Jangan melukai Nona
itu!" "Tenang!" sahut Kim Ih Hoat Ong sambil manggutmanggut.
"Anak muda," ujar Bu Ceng Sianli sekaligus melemparkan
sebuah senyuman kearabnya.
"Nona...." Pancha terbelalak menyambut senyuman itu,
bahkan semakin terpukau, kemudian berkata kepada Kim Ih
Hoat Ong. "Hoat Ong! Bagaimanapun engkau harus dapat
mengalahkannya!"
Kim Ih Hoat Ong mengangguk, lalu mulai menyerang Bu
Ceng Sianli. Bu Ceng Sianli tertawa nyaring sambil berkelit,
sekaligus balas menyerang. Terjadilah pertarungan yang amat
menegangkan. Pancha menyaksikan pertarungan itu dengan
hati berdebar-debar, sebab kalau pertarungan itu berakhir
seri, Kim Ih Hoat Ong cuma bisa membawa pergi Bokyong
Sian Hoa dan lainnya. Namun apabila menang, maka Bu Ceng
Sianli harus ikut mereka ke Manchuria, itu yang
diharapkannya. Sementara pertandingan itu terus berlangsung, tak terasa
sudah melewati puluhan jurus. Mereka berdua mulai cemas
dan terperanjat, karena tidak menyangka pihak lawan memiliki
kepandaian yang begitu tinggi.
"Bu Ceng Sianli," ujar Kim Ih Hoat Ong kagum.
"Kepandaianmu sungguh tinggi sekali. Aku kagum akan
kepandaianmu."
"Sama." sahut Bu Ceng Sianli sambil berkelit, karena
mendadak Kim Ih Hoat Ong menyerangnya. "Pendeta jelek,
kepandaianmu pun tinggi sekali."
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak sambil berhenti
menyerang Bu Ceng Sianli seraya berkata, "Kini tinggal tiga
jurus lagi, ini merupakan jurus-jurus penentuan. Berhatihatilah,
aku akan mengeluarkan ilmu andalanku."
"Terimakasih atas peringatanmu!" sahut Bu Ceng Sianli.
"Aku sudah siap menyambut ilmu andalanmu."
"Hati-hati!" seru Kim Ih Hoat Ong. Mendadak ia menyerang
Bu Ceng Sianli dengan San Hai Ho Liu Ciang Hoat (Ilmu
Pukulan Gunung Laut Dan Arus Sungai), dan mengeluarkan
jurus Teng Tia Ju San (Tenang Tegar Bagaikan Gunung).
Sekonyong-konyong lengan jubah Kim Ih Hoat Ong
melembung, dan ia melesat ke arah Bu Ceng Sianli.
Bu Ceng Sianli tertawa nyaring. Di saat bersamaan
sepasang telapak tangannya memancarkan cahaya putih, dan
berkelebatan menangkis serangan Kim Ih Hoat Ong. Ternyata
wanita itu mengeluarkan ilmu Hian Goan Ci, yaitu jurus Thay
Yang Kuang Hui (Matahari Bersinar Terang).
Blaaam! Terdengar suara benturan. Ilmu pukulan San Hai
Ho Liu Ciang Hoat beradu dengan ilmu Jari Sakti Hian Goan Ci.
Kim Ih Hoat Ong dan Bu Ceng Sianli berdiri tak bergeming
di tempat, namun yang menyaksikan itu malah pucat pias
wajahnya. Beberapa saat kemudian Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak,
lalu berkata dengan suara parau.
"Ha ha ha! Lweekangmu sungguh tinggi! Aku tidak
menyangka kalau engkau mampu menangkis seranganku."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa nyaring. "Pendeta jelek,
lweekangmu juga tinggi sekali. Aku tidak menyangka kalau
dadamu tidak berlubang oleh Hian Goan Ci."
"Kini tinggal dua jurus lagi. Berhati-hatilah! Aku akan
menyerangmu lebih dahsyat."
"Silakan! Aku sudah siap menyambut seranganmu."
Mendadak Kim Ih Hoat Ong memekik keras dan menyerang
Bu Ceng Sianli dengan jurus Hai Po Thau Thau (Gelombang
Laut Menderu Deru). Lengan jubah Kim Ih Hoat Ong bergerakgerak
menimbulkan suara menderu-deru ke arah Bu Ceng
Sianli. Di saat bersamaan, tiba-tiba jari tangan Bu Ceng Sianli
bergerak-gerak secepat kilat, sehingga berubah jadi ribuan
jari. Itulah jurus Cian Ci Keng Thian (Ribuan Jari Mengejutkan
Langit). Blaam! Ces! Ces! Cesss...!" Terdengar suara benturan dan
suara lain. Bu Ceng Sianli termundur-mundur beberapa langkah,
sedangkan Kim Ih Hoat Ong tetap berdiri di tempat.
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Jurus ini kita
seri, sebab engkau berhasil membuatku termundur-mundur
beberapa langkah, namun aku pun berhasil melubangi lengan
jubahmu!" "Ha ha ha! Betul!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kini tinggal satu jurus lagi, perlukan kita lanjutkan?"
"Terserah!"
"Menurut aku..." ucapan Kim Ih Hoat Ong terputus, karena
mendadak terdengar suara tawa gelak yang memekakkan
telinga. "Ha ha ha! Ha ha ha!" Melayang turun seorang tua, yang
tidak lain Si Pincang. "Asyik! Ada pertandingan seru!"
"Pincang!" bentak Bu Ceng Sianli. "Mau apa engkau ke
mari?" "Mau jadi penonton," sahut orang tua pincang. "Bukankah
masih ada satu jurus lagi?"
"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli.
"Maaf!" ucap Kim Ih Hoat Ong sambil memandang orang
tua pincang. "Bolehkah aku tahu siapa engkau?"
"Aku adalah Si Pincang." sahut orang tua pincang sambil
tertawa. "Engkau pasti Kim Ih Hoat Ong dari Manchuria. Ya,
kan?" "Betul." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.
"Lihay juga engkau, pendeta jelek," ujar orang tua pincang.
"Engkau mampu mengalahkan ketiga ketua itu hanya dalam
dua puluh lima jurus. Kalau aku mau, aku pun mampu
mengalahkan mereka dalam jurus sekian pula."
"Oh?" Kim Ih Hoat Ong tampak tersentak.
"Betul." Orang tua pincang mengangguk. "Tapi...."
"Kenapa?" Kim Ih Hoat Ong menatapnya tajam.
"Walau kita berkepandaian tinggi, tapi masih bukan lawan
seorang pendekar muda," sahut orang tua pincang. "Mungkin
dalam lima puluh jurus dia mampu mengalahkanmu."
"Oh, ya?" Kim Ih Hoat Ong tampak tidak percaya. "Siapa
pendekar muda itu?"
"Dia adalah Giok Siauw Sin Hiap-Tio Bun Yang." Orang tua
pincang memberitahukan.
"Dia?" Kim Ih Hoat Ong mengerutkan kening. "Aku pernah
mendengar tentang dia, tapi bukankah dia sudah mati di dasar
jurang?" "Ha ha ha!" Orang tua pincang tertawa. "Dia tidak mati,
mungkin tidak lama lagi dia akan muncul."
"Bagus, bagus!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.
"Apabila dia muncul, aku pasti bertanding dengan dia."
"Pendeta jelek," tanya Bu Ceng Sianli. "Bagaimana"
Perlukah kita melanjutkan pertandingan ini?"
"Bagaimana kalau kita lanjutkan lain kali saja?" Kim Ih Hoat
Ong balik bertanya.
"Boleh...." Bu Ceng Sianli memandang Toan Beng Kiat dan
lainnya. "Tapi engkau harus membebaskan mereka!"
"Tidak bisa!" Kim Ih Hoat Ong menggelengkan kepala.
"Sesuai dengan perjanjian, aku harus membawa mereka!"
"Kalau begitu...." Wajah Bu Ceng Sianli tampak gusar
sekali. "Mari kita bertanding lagi!"
"Nona!" sela Pancha. "Lebih baik lain kali saja. Jangan
dilanjutkan sekarang. Kami tidak akan mengganggu para
pengawal Lie Tsu Seng itu, hanya membawa Bokyong Sian
Hoa dan lainnya ke tempat tinggal menteri Bun...."
"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli.
"Nona...." Pancha tampak kecewa sekali. "Aku bermaksud
baik." "Sianli." bisik orang tua pincang. "Biar mereka pergi, lebih
baik kita berunding di markas Lie Tsu Seng."
"Pendeta jelek!" ujar Bu Ceng Sianli. "Kalian boleh
membawa mereka berempat ke rumah Menteri Bun, tapi
apabila kalian berani mengganggu seujung ramput pun,
Menteri Bun pasti kubantai dan kalian pasti kukejar sampai
Manchuria!"
"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Bu Ceng Sianli
dan engkau Si Pincang, sampai jumpa!"
"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli.
"Nona!" Pancha menatapnya dengan mata berbinar-binar.
"Kita pasti berjumpa kembali!"
"Huh!" sahut Bu Ceng Sianli. "Siapa ingin berjumpa dengan
pendeta jelek! Dasar tak tahu malu!"
"Nona...." Pancha menghela nafas panjang, lalu melangkah
pergi. Setelah mereka pergi, Bu Ceng Sianli melototi orang tua
pincang seraya membentak.
"Kenapa engkau tadi omong besar di hadapan Kim Ih Hoat
Ong?" "Aku terpaksa omong besar, kalau tidak..." sahut orang tua
pincang melanjutkan. "Kita dan lainnya pasti celaka. Sebab
kepandaian pendeta jelek, Pancha dan tiga belas orang itu
sangat tinggi sekali. Kita tidak mampu melawan mereka, maka
harus membiarkan mereka membawa Toan Beng Kiat dan
lainnya." "Pincang!" ujar Bu Ceng Sianli sinis. "Engkau sangat
pengecut!"
"Aku bukan pengecut, namun menggunakan otak," sahut
orang tua pincang. "Bukankah kita masih bisa berunding
tentang itu?"
Di saat mereka sedang berdebat, tampak Yo Suan Hiang,
Tan Giok Lan dan lainnya mendekati mereka, lalu memberi
hormat sambil berkata.
"Terimakasih atas pertolongan Sianli dan lo cianpwee! Tapi
Toan Beng Kiat dan lainnya...."
"Percayalah! Mereka tidak akan membunuhnya," sahut
orang tua pincang.
"Sianli, lo cianpwee, mari ke markas Lie Tsu Seng!" ajak Yo
Suan Hiang. "Kita berunding di sana saja."
"Baik." Bu Ceng Sianli manggut-manggut, kemudian
mereka semua menuju ke markas Lie Tsu Seng.
Lie Tsu Seng dan lainnya duduk di dalam tenda. Yo Suan
Hiang, Bu Ceng Sianli, orang tua pincang dan lainnya sudah
berada di dalam. Wajah mereka tampak serius sekali,
sedangkan Lie Tsu Seng terus mengerutkan kening.
Lie Tsu Seng menghela nafas panjang. "Entah bagaimana
nasib Toan Beng Kiat dan lainnya! Sungguh mencemaskan!"
"Aku yakin mereka tidak akan terjadi apa- apa," ujar orang
tua pincang dan menambahkan, "Sebab Bokyong Sian Hoa
berada di tengah- tengah mereka, tentunya gadis itu akan
membela yang lain."
"Ngmm!" Lie Tsu Seng manggut-manggut. "Itu memang
benar, sebab mereka tiada urusan dengan menteri Bun atau
dengan pihak Manchuria. Tapi... kenapa Kim Ih Hoat Ong
menangkap mereka" Mungkinkan ada suatu rencana busuk di
balik itu?"
"Mungkin." Bu Ceng Sianli mengangguk dan bertanya,
"Kenapa pihak Manchuria ke mari?"
"Mereka ingin menangkapku," sahut Lie Tsu Seng. "Kalau
kalian tidak muncul, aku pasti sudah ditangkap."
"Hmm!" dengus Bu Ceng Sianli dingin. "Lain kali aku harus
membunuh pendeta jelek itu!"
"Sianli!" Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Belum tentu engkau mampu membunuhnya, sebab
kepandaian Kim Ih Hoat Ong itu tinggi sekali, belum ditambah
Pancha dan tiga belas orang itu."
"Benar." Bu Ceng Sianli manggut-manggut. "Kepandaian
pendeta jelek itu memang tinggi sekali. Hian Goan Ci tidak
dapat melukainya."
"Apa?" orang tua pincang terbelalak. "Hian Goan Ci tidak
dapat melukainya" Ilmu apa yang dimilikinya?"
"Tong Cu Sin Kang," sahut Bu Ceng Sianli memberitahukan.
"Maka badannya kebal terhadap senjata tajam, racun dan ilmu
pukulan apa pun."
"Bukan main!" Orang tua pincang menggeleng- gelengkan
kepala. "Kalau begitu siapa yang sanggup melawannya?"
"Lho?" Bu Ceng Sianli menatapnya heran. "Bukankah
engkau bilang tidak lama lagi Bun Yang akan muncul" Tadi
aku kira engkau sudah bertemu dia."
"Aku...." Orang tua pincang tersenyum. "Aku membohongi
pendeta jelek itu, agar dia merasa penasaran terhadap Bun
Yang." "Oooh!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut, kemudian
tertawa seraya berkata, "Hi hi hi! Engkau memang licik,
namun ada baiknya juga membohongi pendeta jelek itu."
"Oh ya!" Mendadak orang tua pincang menatap Bu Ceng
Sianli dengan penuh perhatian.
"Eh?" Bu Ceng Sianli melotot. "Kenapa engkau
memandangku seperti kucing melihat ikan?"
"Aku punya akal untuk membebaskan Toan Beng Kiat dan
lainnya," sahut orang tua pincang dengan wajah berseri.
"Akal apa?" tanya Bu Ceng Sianli. "Apakah berkaitan
dengan diriku?"
"Betul." Orang tua pincang manggut-manggut. "Hanya
engkau yang dapat menolong mereka berempat, namun harus
melalui seseorang."
"Maksudmu?" Bu Ceng Sianli tidak mengerti.
"Beritahukanlah!"
"Pancha sudah jatuh cinta kepadamu, maka peralatlah dia
untuk membebaskan Toan Beng Kiat dan lainnya!"
"Omong kosong!" bentak Bu Ceng Sianli. "Dari pada
berbuat itu, lebih aku bertanding mati-matian dengan pendeta
jelek itu!"
"Tapi...."
"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli. Seketika juga orang tua
pincang itu diam, namun kemudian bergumam.
"Cuma berpura-pura mencintai Pancha, lalu memperalatnya
membebaskan Toan Beng Kiat."
"Pincang!" Bu Ceng Sianli melotot. "Engkau kira mereka
begitu bodoh" Hm! Dasar pincang dan tak punya otak!"
"Jangan berdebat!" ujar Lie Tsu Seng. "Lebih baik kita lihat
perkembangan selanjutnya, setelah itu barulah kita berunding
kembali." "Benar." Orang tua pincang manggut-manggut.
"Aku khawatir Toan Beng Kiat dan lainnya dijadikan
sandera " -oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh delapan
Curahan kerinduan dan cinta kasih
Betulkah Tio Bun Yang sudah mati" Ia telah terjun ke
jurang, tapi di dasar jurang itu tidak terdapat mayatnya. Apa
yang telah terjadi atas dirinya setelah terjun ke jurang"
Tentunya ia tidak akan hilang begitu saja.
Ternyata Tio Bun Yang jatuh di telaga di dasar jurang itu.
Luncuran badannya begitu cepat, maka begitu jatuh, langsung
tenggelam. Sungguh di luar digaan, di dasar telaga itu terdapat
pusaran air, yang membuat badan Tio Bun Yang berputarputar,
akhirnya ia pun pingsan.
Perlahan-lahan Tio Bun Yang membuka matanya, rupanya
ia sudah siuman dari pingsannya.
Tampak seorang gadis berdiri di hadapannya tengah
memandangnya dengan mesra dan penuh cinta kasih, bahkan
Lencana Pembunuh Naga 2 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Hati Budha Tangan Berbisa 2