Pendekar Sakti Suling Pualam 5
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 5
"Oooh!" Tan Thiam Song manggut-manggUt "Putri adik
atau kakak ayahmu?"
"Kakak ayahku," jawab Tio Bun Yang dan bertanya. "Di
mana Paman bertemu mereka?"
"Di kota Keng Ciu." Tan Thiam Song memberitahukan.
"Pada hari itu aku sedang merayakan ulang tahunku...."
"Jadi mereka berdua yang menyelamatkan Paman?" tanya
Tio Bun Yang girang.
"Betul" Tan Thiam Song rnengangguk.
"Oh ya!" Mendadak Nyonya Tan menatapnya. "Engkau
kenal Siang Koan Goat Nio itu?"
"Aku tidak kenal." Tio Bun Yang menggelengkan kepala.
"Julukannya adalah Kim Siauw Siancu" Tan Thiam Song
memberitahukan. "Engkau kenal, kan?"
"Kim Siauw Siancu?" Tio Bun Yang menggelengkan kepala
lagi "Aku memang tidak kenal"
"Dia bersama Lie Ai Ling, kenapa engkau tidak kenal?" Tan
Thiam Song heran.
"Justru membingungkan," sahut Tio Bun Yang. "Karena aku
tidak menyangka adik Ai Ling datang di Tionggoan, bahkan
bersama gadis lain yang bernama Siang Koan Goat Nio."
"Tio siauw-hiap." Tan Giok Lan memandangnya. "Engkau
dan Lie Ai Ling dibesarkan di Pulau Hong Hoang To?"
"Betul," Tio Bun Yang mengangguk. "Oh ya, jangan
memanggilku Tio siauw-hiap, panggil saja namaku!"
"Baiklah." Tan Giok Lan tersenyum.
"Bun Yang!" Tan Thiam Song memandangnya sambil
tertawa-tawa. "Berapa usiamu sekarang?"
"Tujuh belas."
"Usia putriku sudah... dua puluh. Engkau memanggil dia
kakak, dia memanggilmu adik. Bagaimana?"
"Bun Yang!" Tan Thiam Song menatapnya. "Engkau masih
muda, tapi kepandaianmu sudah begitu tinggi. Karena itu, aku
ingin mengajukan sebuah permintaan, tapi entah dikabulkan
atau tidak?"
"Permintaan apa?" tanya Tio Bun Yang.
"Permintaanku... yakni mengajar putriku ilmu silat," Tan
Thiam Song memberitahukan.
"Haah?" Mulut Tio Bun Yang ternganga lebar. Ia tidak
menyangka kalau Tan Thiam Song akan mengajukan
permintaan tersebut.
"Adik Bun Yang...." tanya Tan Giok Lan. "Engkau tidak sudi
mengabulkan permintaan ayahku?"
"Bukan tidak sudi, melainkan...."
"Apa?"
"Tidak gampang belajar ilmu silat, lagi pula aku tidak bisa
lama-lama di sini, sebab harus
meneruskan perjalanan."
"Bun Yang," ujar Tan Thiam Song mendesaknya. "Jangan
mengecewakan kami, ajarlah putriku ilmu silat!"
"Itu...." Akhirnya Tio Bun Yang mengangguk. "Baiklah!"
"Terima kasih, Bun Yang!" ucap Tan Thiam Song sambil
tertawa gelak. "Terima kasih, Adik Bun Yang!" Wajah Tan Giok Lan
berseri-seri, sebab mempunyai banyak kesempatan untuk
mendekati pemuda itu.
Keesokan harinya, mulailah Tio Bun Yang mengajar Tan
Giok Lan cara-cara bertatih lweekang. Itu adalah cara berlatih
Pan Yok han Thian Sin Kang. Setelah gadis itu mengerti,
barulah Tio Bun Yang mengajarkan Hong Hoang Kiam Hoat
(Ilmu Pedang Burung Phoenix), kemudian ia pun mengajarnya
Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat).
"Kakak Giok Lan, engkau harus terus berlatih lweekang,"
ujar Tio Bun Yang dan menambahkan. "Ilmu Pedang Hong
Hoang Kiam Hoat adalah ilmu pedang andalan bibiku, maka
engkau harus tekun berlatih."
"Ya," Tan Giok Lan mengangguk.
"Apabila engkau tidak sanggup melawan orang yang
berkepandaian lebih tinggi darimu, pergunakanlah Kiu Kiong
San Tian Pou untuk meloloskan diri!" pesan Tio Bun Yang.
"Ya." Tan Giok Lan mengangguk lagi. Setelah gadis itu
berhasil menguasai semua ilmu itu, Tio Bun Yang mohon
pamit. Sudah barang tentu membuat Tan Giok Lan menangis
sedih, berat rasanya berpisah dengan pemuda itu.
-oo0dw0oo- Bagian ke Enam belas
Malaikat Api Suci
Dilembah Hek Bu Kok (Lembah Kabut Hitam) terdapat
sebuah bangunan yang amat besar. Karena siang malam
tertutup kabut kehitam-hitaman, maka lembah itu dinamai
Lembah Kabut Hitam. Bangunan besar itu adalah tempat
tinggal Seng Hwee Sin Kun (Malaikat Api Suci), yang dua
tahun lalu ia membunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Hari ini ?a mengundang beberapa tokoh tua golongan hitam
ke tempat tinggalnya, guna membahas sesuatu yang sangat
penting. Tokoh-tokoh tua golongan hitam yang diundangnya itu
adalah Tok Chiu Ong (Raja Tangan Beracun), Pek Bin Kui
(Setan Muka Putih), Hek Sim Popo (Nenek Hati Hitam), Leng
Bin Hoatsu (Pendeta Muka Dingin) dan Pat Pie Lo Koay
(Siluman Tua Lengan Delapan). Mereka semua rata-rata sudah
berusia tujuh puluhan dan berkepandaian tinggi.
"Ha ha-ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Tahukah
kalian kenapa aku mengundang kalian kemari?"
"Itu yang kami bingungkan," sahut Hek Sim Popo.
"Tentunya bukan untuk makan-makan, bukan?"
"Terus terang," ujar Seng Hwee Sin Kun "Dua tahun lalu
aku telah mernbunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin."
"Oh?" Para tokoh tua golongan hitam saling memandang,
kemudian mereka tertawa terkekeh-kekeh. "He he he! Bagus!
Bagus sekali!"
"Setelah membunuh mereka berdua...." lanjut Seng Hwee
Sin K?n, "Aku pun berangkat ke Kwan Gwa membunuh Kwan
Gwa Siang Koay dan Lak Kui."
"Oh, ya?" para tokoh tua golongan hitam itu terperanjat.
"Engkau mampu membunuh mereka?"
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak "Tentu!
Karena aku telah berhasil mempelajari Seng Hwee Sin Kang
(Tenaga Sakti Api Suci)?"
"Apa"!" Mereka tertegun. "Engkau telah berhasil
mempelajari ilmu itu?"
"Betul" Seng Hwee Sin Kun mengangguk, "Kalau tidak,
bagaimana mungkin aku mampu m?mbunuh Kwan Gwa Siang
Koay dan Lak Kui, juga menyebut diriku Seng Hwee Sin Kun?"
"Selamat! Selamat!" ucap mereka sambil tertawa gembira.
"Kami tidak menyangka engkau dapat menguasai ilmu itu"
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terbahak-bahak.
"Belasan tahun lalu, aku berhasil memperoleh Seng Hwee Tan
(Pil Api Suci), namun teman baikku justru malah memperoteh
Seng Hwee Cin Keng (Kitab Pusaka Api Suci). Karena itu, aku
berusaha merebut kitab pusaka itu. Dia berhasil melarikan diri
dalam keadaan terluka parah, kemudian ditolong oleh Kam
Pek Kian. Akan tetapi, akhirnya kitab pusaka itu jatuh
ketanganku."
"Engkau merebutnya dari tangan Kam Pek Kian itu?" tanya
Tok Chiu Ong. "Betul." Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Bahkan
aku pun membunuhnya. Ha ha ha...!"
"Kalau begitu...." ujar Pek Bin Kui sambil tertawa. "Kini
sudah saatnya kita bangkit berdiri."
"Tidak salah." Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut dan
menambahkan. "Tentunya kalian tahu, Ang Bin Sat Sin adalah
kakak seperguruanku, dia dibunuh oleh Kwan Gwa Siang Koay
dan Lak Kui, maka aku membunuh mereka."
"Lalu kenapa engkau juga membunuh Tui Hun Lojin dan
Lam Kiong hujin?" tanya Pat Pie Lo Koay mendadak.
"Karena mereka mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin
Hiap-Tio Cie Hiong, maka harus dibunuh," sahut Seng Hwee
Sin Kun. "Oooh!" Pat Pie Lo Koay manggut-manggut.
"Bagus!" ujar Hek Sim Popo. "Pokoknya siapa yang
mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap, harus dibantai
habis!" "Betul," sambung Leng Bin Hoatsu. "Sebab tujuh partai
besar dan kaum rimba persilatan lainnya telah mengakuinya
sebagai Bu Lim Beng Cu (Ketua Rimba Persilatan)."
"Tapi...." Pat Pie Lo Koay menggeleng-gelengkan kepala.
"Kepandaian Pek Ih Sin Hiap tinggi sekali, mampu membunuh
Bu Lim Sam Mo."
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kini kita
tidak perlu takut kepadanya, sebab aku menguasai Seng Hwee
Sin Kang, Seng Hwee Kiam Hoat dan Seng Hwee Ciang Hoat.
Ilmuku itu dapat menandinginya, lagi pula kalian pun telah
memperdalam ilmu masing-masing, bukan?"
"Betul," Hek Sim Popo mengangguk. "Lantaran
memperdalam ilmu, maka kita semua tiada kesempatan
bergabung dengan Bu Lim Sam Mo."
"Namun kita mempunyai kesempatan lain," ujar Seng Hwee
Sin Kun serius. "Inilah yang akan kurundingkan bersama
kalian semua."
"Mengenai apa?" tanya Tok Chiu Ong tertarik.
"Tentunya mengenai kita," Seng Hwee Sin Kun tertawa.
"Oh ya, kalian dapat mengumpulkan berapa banyak kaum
golongan hitam?"
"Kalau dijumlahkan, mungkin diatas lima puluh," jawab Hek
Sim Popo memberitahukan.
"Bagus, bagus!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gembira. "Kini
di dalam rimba persilatan sudah tiada It Ceng, Ji Khie dan Sam
Mo lagi. Bahkan Bu Tek Pay juga telah bubar sekian lama oleh
karena itu kita harus mendirikan suatu partai baru. Kalian
setuju7" "Setuju!" sahut mereka semua,dengan serentak.
"Kalau begitu, aku ingin mendirikan Seng Hwee Kauw
(Agama Api Suci). Bagaimana menurut kalian" Seng Hwee Sin
Kun memandang mereka.
"Tentunya kami tidak berkeberatan," sahut Hek Sim Popo.
"Sebab kepandaianmu lebih tinggi dari kami, maka kami harus
menurut." "Bagus! Ha ha ha...." Seng Hwee Sin Kun tertawa gembira
sambil melanjutkan dengan suara lantang. "Dalam Seng Hwee
Kauw harus ada ketua, wakil ketua, penasihat dan pelindung
hukum. Oleh karena itu, kita harus menyusunnya atas
kesepakatan kita bersama."
"Betul," Leng Bin Hoatsu manggut-manggut.
"Kepandaianmu paling tinggi, maka engkau harus menjadi
ketua." "Setuju!" sahut yang lain.
"Terima kasih!" ucap Seng Hwee Sin Kun sambil tersenyum.
"Lalu siapa yang menjadi wakil ketua?"
"Menurutku...." ujar Tok Chiu Ong. "Leng Bin Hoatsu harus
menjadi wakil ketua."
"Setuju!" sahut yang lain.
"Kalau begitu...." Wajah Seng Hwee Sin Kun tampak serius.
"Mulai sekarang Leng Bin Hoatsu sebagai wakil ketua."
"Terima kasih!" ucap Leng Bin Hoatsu.
"Siapa yang cocok untuk menjadi penasihat?" tanya Seng
Hwee Sin Kun sambil memandang mereka.
"Pek Bin Kui," sahut Tok Chiu Ong. "Sebab Pek Bin Kui
sangat licik dan banyak akal, dia memang cocok untuk
menjadi penasihat."
"Bagaimana?" tanya Seng Hwee Sin Kun. "Kalian setuju?"
"Setuju!" Terdengar suara sahutan.
"Baik." Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut sambil
tersenyum. "Mulai sekarang, Pek Bin Kui sebagai penasihat
Seng Hwee Kauw.
"Terima kasih!" ucap Pek Bin Kui.
"Sekarang harus pilih seorang pelaksana hukum," ujar Seng
Hwee Sin Kun. "Siapa yang pantas menjadi pelaksana
hukum?" "Hek Sim Popo," sahut Leng Bin Hoatsu. "Sebab dia berhati
kejam, maka pantas menjadi pelaksana hukum."
"Balk," Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Hek Sim
Popo, mulai sekarang engkau Sebagai pelaksana hukum Seng
Hwee Kauw."
"Terima kasih!" ucap Hek Sim Popo sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
"Terakhir adalah Pat Pie La Koay dan Tok Chiu Ong,
otomatis mereka berdua sebagai pelindung hukum," ujar Seng
Hwee Sin Kun. "Terima kasih!" ucap Pat Pie La Koay dan Tok Chiu Ong.
"Nah!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kini telah usai
penyusunan pengurus, maka besok kalian harus pergi
mengumpulkan kaum golongan hitam, tetapi harus kembali
tiga hari kemudian."
"Ya," sahut mereka serentak.
"Kini di dalam rimba persilatan te1ah muncul Hiat Ih Hwe
dan Tiong Ngie Pay, yang kedua-duanya cukup kuat. Tapi...."
Seng Hwee Sin Kun memberitahukan sambil tertawa terbahakbahak.
"Kedua perkumpulan itu justru saling membunuh. Maka kita
tidak perlu mengusik kedua perkumpulan itu. Biar mereka
terus saling membunuh, akhirnya kita yang akan mengeruk
keuntungan."
"Benar," sahut Pek Bin Kui sambil tertawa. "Setelah itu,
barulah kita taklukkan kedua perkumpulan itu."
"Tidak salah," Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak.
"Bagaimana menurutmu mengenai tujuh partai besar"
Perlukah kita menaklukkan partai-partai itu?"
"Untuk sementara tidak perlu," sahut Pek Bin Kui. "Yang
perlu kita taklukkan justru Kay Pang. Sebab Kay Pang sangat
kuat, lagi pula mempunyai hubungan erat. dengan Pek Ih Sin
Hiap-Tio Cie Hiong."
"Memang benar apa yang dikatakan Pek Bin Kui," ujar Leng
Bin Hoatsu. "Tapi...."
"Aku tahu maksudmu," Pek Bin Kui tertaw?. "Sebelum Seng
Hwee Kauw kita memiliki kekuatan yang cukup, jangan
mengusik Kay Pang. Ya, kan?"
"Betul," Leng Bin Hoatsu manggut-manggut.
"Itu sudah dalam perhitunganku," Pek Bin Kui tertawa dan
menambahkan. "Namun kita boleh bergerak secara gelap
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk membantai para anggotanya."
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa. "Ide yang tepat,
bahkan kita pun harus membunuh orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan Tio Cie Hiong!"
"Tidak salah," Leng Bin Hoatsu mengangguk. "Setelah itu,
barulah kita mengarah pada tujuh partai besar."
"Ngmm!" Seng Hwee Sin Kun manggut. "Ingat, kita harus
mempersatukan semua kaum golongan hitam, dan memecah
belahkan golongan putih!"
"Ha ha ha!" Pek Bin Kui tertawa gelak. "Tentunya aku
mempunyai akal untuk memecah belahkan partai-partai
golongan putih."
"Bagus!" Seng Hwee Sin Kun tertawa. "Itu memang
tugasmu." "Oh ya!" Tiba-tiba Leng Bin Hoatsu mengerutkan kening.
"Kalau kita memusuhi Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong, sudah
barang tentu akan menghadapi pihak pulau Hong Hoang To.
Karena itu, kita harus berpikir matang."
"Akan kita rundingkan lagi nanti, sehab sekarang Seng
Hwee Kauw belum resmi berdiri," sahut Seng Hwee Sin Kun
dan menambahkan. "Pokoknya ada masalah apa pun, kita
berenam harus berunding bersama demi kemajuan Seng
Hwee Kauw kita."
"Ya!" sahut yang lain serentak.
"Kalau begitu, kita beristirahat dulu sekarang," ujar Seng
Hwee Sin Kun. "Sebab besok kalian harus pergi
mengumpulkan para golongan hitam."
"Ya!" Yang lain manggut-manggut, lalu pergi beristirahat di
kamar yang telah disediakan Seng
Hwee Sin Kun. Keesokan harinya, berangkatlah mereka
berlima untuk melaksanakan tugas itu.
-oo0dw0oo- Tiga hari kemudian, mereka telah kembali dan masingmasing
membawa belasan orang kaum golongan hitam,
sehingga membuat suasana di dalam bangUnan itu menjadi
ramai sekali. "Saudara-saudara sekalian..." ujar Seng Hwee Sin Kun
dengan suara lantang. "Kalian semua terpencar-pencar tidak
karuan, maka aku akan mempersatukan kalian!"
"Terima kasih!" sahut mereka semua.
"Oleh karena itu, kami berenam ingin mendirikan Seng
Hwee Kauw," Seng Hwee Sin Kun menatap mereka. "Kalian
semua boleh bergabung menjadi anggota kami. Bagaimana,
kalian setuju?"
"Setuju!" sahut mereka sambil bersorak sorai penuh
kegembiraan. "Akan tetapi...." ujar Seng Hwee Sin Kun serius. "Kalian
semua harus bersumpah setia kepada Seng Hwee Kauw."
"Ya!" Mereka semua mengangguk lalu bersumpah setia.
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gembira. "Bagus,
bagus! Jadi kalian semua harus tahu, aku sebagai ketua Seng
Hwee Kauw. Leng Bin Hoatsu sebagai wakil, Pek Bin Kui
sebagai penasihat, Hek Sim Popo sebagai pelaksana hukum,
sedangkan Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong sebagai
pelindung hukum. OIeh karena itu, siapa yang berani
berkhianat atau melanggar hukum yang berlaku di Seng Hwee
Kauw, maka Hek Sim Popo berhak menghukum kalian."
"Ya!" sahut mereka semua.
seru Seng Hwee Sin Kun dengan suara lantang. "Hari ini
kuresmikan Seng Hwee Kauw!"
"Hidup Seng Hwee Kauw! Hidup Seng Hwee Kauw...!"
teriak mereka semua dengan penuh semangat.
"Kalian semua pun sudah sah menjadi anggota Seng Hwee
Kauw," ujar Seng Hwee Sin Kun dan menambahkan. "Kalian
semua mempunyai seragam Seng Hwee Kauw, yaitu pakaian
serba hijau."
"Terima kasih Ketua," sahut para anggota Serentak.
"Kalian semua harus ingat, siapa berani berkhianat pasti
dihukum mati," ujar Seng Hwee Sin Kun sungguh-sungguh.
"Tapi kalau kalian memperkosa kaum wanita, itu adalah
kesenangan kalian, maka tidak di hukum."
"Horeee!" seru para anggota girang.
"Sekarang kalian semua boleh beristirahat disini, tapi
jangan berisik mengganggu kami yang akan merundingkan
sesuatu!" "Ya, Ketua!" Para anggota langsung duduk dan mulai
bercakap-cakap dengan wajah berseri-seri.
Sedangkan Seng Hwee Sin Kun mulai berunding dengan
Leng Bin Hoatsu dan lainnya. "Kini kita sudah mempunyai
anggota lima puluh orang lebih, maka harus diatur," ujar Seng
Hwee Sin Kun. "Ketua,w"usul Pek Bin Kui. "Mereka harus jadi beberapa
regu, dan setiap regu harus mempunyai seorang kepala
"Benar," Leng Bin Hoatsu~ mangut-mangut.
"Aku yakin, tidak lama lagi anggota kita akan bertambah."
"Ngmm!" Seng Hwee Sin Kun mengangguk. "Karena itu,
mereka harus diatur sebaik-baiknya."
"Pelaksana hukum! Siapa yang berkhianat harus dihukum
mati!" ujar Leng Bin Hoatsu.
"Ya, Wakil Ketua," Hek Sun Popo mengangguk.
"Bagaimana cara kita memilih kepala regu?" tanya Tok Chiu
Ong. "Itu gampang sekali," sahut Pek Bin Kui sambil tersenyum.
"Kita suruh mereka memperlihatkan kepandaian masingmasing,
agar kita bisa menilai kepandaian mereka. Siapa yang
berkepandaian tinggi, dialah yang kita pilih sebagai kepa1a
regu." "Kalau begitu, kita harus memilih sepuluh kepala regu,"
ujar Leng Bin Hoatsu.
"Betul" sahut Pek Bin Kui. "Sebab pasti masih banyak kaum
golongan hitam yang akan bergabung dengan kita."
"Ha ha ha?" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak, kalau
begitu, nanti kita suruh mereka memperlihatkan kepandaian
masing-masing."
"Setelah itu...." sambung Pek Bin Kui. "Kita harus
mengadakan pesta untuk merayakan berdirinya Seng Hwee
Kauw kita."
"Baik," Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Kita pun
harus bersulang bersama untuk itu."
"Benar," Hek Sim Popo tertawa terkekeh-kekeh. "Tidak
lama lagi, Seng Hwee Kauw akan lahir di rimba persilatan. He
he he...!"
"Lalu bagaimana rencana kita?" tanya Tok Chiu Ong.
"Harus turun tangan tethadap pihak mana dulu?"
"Terhadap para anggota Kay Pang dan orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong,"
jawab Seng Hwee Sin Kun.
"Ketua, bukankah itu akan memancing Tio Cie Hiong
keluar" Kalau dia muncul kembali dalam rimba persilatan,
apakah tidak akan merepotkan kita?"
"Itu tidak jadi masalah," tegas Seng Hwee Sin Kun dan
menambahkan. "Terus terang, aku sanggup melawannya."
"Kalau begitu, legalah hati kami," ujar Leng Bin Hoatsu.
"Apakah kalian ragu akan kepandaianku?" tanya Seng
Hwee Sin Kun sambil tertawa. "Kalau kalian ragu, akan
kuperlihatkan Seng Hwee Sin Kang."
"Itu memang ada baiknya juga," sahut Leng Bin Hoatsu.
"Baik," Seng Hwee Sin Kun manggut-mangut, lalu berjalan
ke tengah-tengah ruangan. Para anggota langsung minggir
dan bersorak kegirangan karena akan menyaksikan
kepandaian ketua mereka.
Seng Hwee Sin Kun berdiri di tengah-tengah ruang itu, lalu
mulai menghimpun Seng Hwee Sin Kang.
"Kalian semua harus lebih jauh lagi Kalau tidak, kalian pasti
mati hangus dalam jarak tiga depa," ujar Seng Hwee Sin Kun
mengingatkan. Para anggota yang agak dekat segera minggir,sedangkan
Seng Hwee Sin Kun terus menghimpun lweekangnya.
Berselang sesaat, sekujur badannya mulai memancarkan
cahaya kehijau-hijauan, sekaligus mengeluarkan hawa yang
panas sekali. Mendadak Seng Hwee Sin Kun membentak keras, lalu mulai
memperlihatkan Seng Hwee Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Api
Suci). Seketika terlihat cahaya kehijau-hijauan berkelebat ke
sana kemari. Leng Bin Hoatsu dan lainnya terbelalak. Mereka sama sekali
tidak menyangka Seng Hwee Ciang Hoat begitu hebat.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah Seng Hwee Sin
Kun berhenti, namun ruang itu masih diliputi hawa panas.
"Hidup Seng Hwee Sin Kun! Hidup Seng Hwee Kauw.!"
teriak para anggota riuh gemuruh.
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak.Ia kembali
ke tempat duduknya lalu bertanya. "Bagaimana ilmuku itu?"
"Sungguh hebat sekali," sahut Leng Bin Hoatsu dan lainnya.
"Kami yakin engkau dapat melawan Tio Cie Hiong."
"Mungkin malah dapat membunuhnya," sambung Hek Sim
Popo. "Aku memang berniat membunuh Tio Cie Hiong," sahut
Seng Hwee Sin Kun. "Kalau aku berhasil membunuhnya, rimba
persilatan pun pasti akan mengakui Seng Hwee Kauw sebagai
Bu Lim Beng Cu. Ha-ha-ha...!"
"Benar!" sahut Leng Bin Hoatsu dan lainnya sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
Setelah itu, Leng Bin Hoatsu perintah para anggota agar
memperlihatkan kepandaian masing-masing.
Maka terpilihlah sepuluh kepala regu, kemudian pesta pun
dimulai dengan semarak sekali.
-oo0dw0o- Bagian ke Tujuh belas
Orang Penebus Dosa
Sementara itu, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling terus
melanjutkan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang.
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Lie Ai Ling berbicara
dengan wajah cerah ceria.
"Hi-hi-hi...!" Gadis itu mendadak tertawa geli.
"Ai Ling, kenapa engkau tertawa geli" Apa yang
menggelikanmu?" tanya Siang Koan Goat Nio dengan rasa
heran. "Tentu saja menggelikan," sahut Lie Ai Ling
memberitahukan. "Sebab kini aku adaiah Hong Hoang Lihiap,
sedangkan engkau adalah Kim Siauw Siancu."
"Engkau memang mengada-ada," Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan "Karena itu,
justru akan timbul masalah"
"Masalah?" Lie Ai Ling terbelalak. "Apakah kita salah
menolong Tan Tayjin yang baik hati itu?"
"Tidak salah, cuma...."
"Cuma kenapa?"
"Itu akan menyeret kita ke dalam masalah," Siang Koan
Goat Nio menghela nafas panjang. "Sebab pihak Hiat Ih Hwe
pasti tidak akan tinggal diam."
"Kalau mereka muncul, kita hajar saja mereka...."
Ketika Lie Ai Ling baru usai berkata demikian, terdengarlah
suara tawa yang memekakkan telinga, dan tak lama kemudian
muncullah belasan orang berpakaian merah.
"Nona," ujar salah seorang berpakaian merah. "Tadi
engkau bilang mau menghajar kami. Nah, kami telah muncul,
silakan menghajar kami!"
"Apakah kalian para anggota Hiat Ih Hwe?" tanya Lie Ai
Ling sambil menghunus pedang pusakanya, sedangkan Siang
Koan Goat Nio mengeluarkan suling emasnya sambil menatap
mereka. "Betul!" sahut orang berpakalan merah itu. "Aku adalah
kepala regu ini. Kami kemari khususnya untuk membunuh
kalian!" "Oh?" Lie Ai Ling tertawa dingin. "Kalian kira kami patung
yang tak bisa melawan?"
"Ha ha ha!" Kepala regu Hiat Ih Hwe itu tertawa gelak.
"Kalian berdua sungguh cantik! Kalau bersedia menemaniku
bersenang-senang, aku pasti mengampuni nyawa kalian!"
"Diam!"bentak Lie Ai Ling gusar. "Sebetulnya aku tidak mau
membunub kalian, tapi karena engkau begitu kurang ajar,
maka aku terpaksa mencabut nyawamu!"~
"Oh, ya?" Kepala regu Hiat Ih Hwe tertawa gelak, kemudian
memberikan perintah kepada para anak buahnya. "Serang
mereka!" Seketika para anak buah itu menyerang Lie Ai Ling dan
Siang Koan Goat Nio dengan berbagai macam senjata.
Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berkelit, lalu balas
menyerang. Lie Ai Ling menggunakan Hong Hoang Kiam Hoat
(Ilmu Pedang Burung Phoenix), sedangkan Siang Koan Goat
Nio menggunakan Cap Pwee Kim Siauw Ciang Hoat (Delapan
Belas Jurus Maut Suling Emas)..
Terjadilah pertarungan sengit. Sementara kepala regu Hiat
Ih Hwe itu cuma berdiri menonton.
Walau diserang belasan orang, Siang Koan Goat Nio dan Lie
Ai Ling masih mampu melawan. Akan tetapi, kedua gadis itu
kurang berpengalaman dalam hal bertarung Karena itu,
mereka mulai berada di bawah angin.
"Goat Nio ujar Lie Ai Ling "Kita mulai terdesak, terpaksa
narus menggunakan Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing
Tujuh Keliling)?"
"Ya!" Siang Koan Goat Nio mengangguk.
Akan tetapi, ketika mereka baru mau menggunakan ilmu
pedang tersebut, mendadak melayang turun seseorang
bertopeng, yang langsung menyerang kepala regu Hiat Ih
Hwe yang berdiri menonton itu.
"Aaaakh...!" Kepala regu Hiat Ih Hwe itu menjerit menyayat
hati, kemudian roboh dengan mulut menyemburkan darah
segar. "Engkau... eng-kau...."
Putuslah nafas kepala regu Hiat Ih Hwe itu. Tentunya
sangat mengejutkan para anggota Hiat Ih Hwe yang sedang
bertarung dengan Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling,
sehingga mer?ka langsung berhenti.
"Hm!" dengus orang bertopeng. "Kalian semua harus
mampus!" Orang bertopeng langsung menyerang belasan anggota
Hiat Ih Hwe itu. Dalam sekejap mata robohlah belasan
anggota Hiat Ih Hwe itu dengan mulut menyemburkan darah
segar, dan tak lama kemudian nyawa mereka pun melayang.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih atas pertolongan Tuan!" ucap Siang Koan
Goat Nio sambil memberi hormat.
Orang bertopeng manggut-manggut, lalu memandang Lie
Ai Ling, yang sedang memandang mayat-mayat itu dengan
mata terbelalak.
"Goat Nio!" serunya kemudian. "Lima belas orang
semuanya mati!"
"Ai Ling, cepatlah engkau mengucapkan terima kasih
kepada Tuan penolong ini!" ujar Siang
Koan Goat Nio. "Ya," Lie Ai Ling menghampiri orang bertopeng itu, lalu
memberi hormat dan berkata. "Terima kasih atas pertolongan
Tuan !" "Siapa kalian?" tanya orang bertopeng.
"Namaku Lie Ai Ling, dan dia bernama Siang Koan Goat
Nio," jawab Lie Ai Ling memberitahukan. "Aku Hong Hoang
Lihiap, dan dia Kim Siauw Siancu."
"Hmm!" dengus orang bertopeng "Belum berpengalaman
sudah berani berkelana! Kalian berdua dari mana?"
"Dan Pulau Hong Hoang To," sahut Lie Ai Ling sambil
menatap orang bertopeng.
"Dia?" Orang bertopeng itu menunjuk Siang~oan Goat Nio.
"Dia bersamaku datang dari Pulau Hong Hoang To," Lie Ai
Ling memberitahukan secara jujur. Tapi dia bukan lahir di
pulau itu, tapi kedua orang tuanya kenal baik dengan kakek
dan pamanku."
"Oooh!" Orang bertopeng manggut-manggUt."Kalian
berdua masih kecil, lebih baik kembali ke Hong Hoang To.
Jangan berkelana di Tionggoan!"
"Hi-hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Usia kami sudah enam belas,
bukan anak kecil lagi. Lagi pula kami tidak bisa kembali ke
Pulau Hong Hoang To."
"Kenapa?"
"Aku datang di Tionggoan ini untuk mencari ayahku,
sedangkan dia ingin mencari kakak Bun Yang?"
"Siapa ayahmu?"
"Lie Man Chiu," jawab Lie Ai Ling sambil menghela nafas
panjang. "Sudah tujuh tahun dia meninggalkanku dan ibuku
Kasihan ibuku...."
"Kenapa ibumu?"
"Ibuku jadi kurus, tua dan rambutnya cepat memutih
karena memikirkan ayahku. Oh ya, apakah Tuan tahu di mana
ayahku?" "Tidak tahu."
"Aaaah!" keluh Lie Ai Ling. "Entah di mana ayahku, aku
sudah rindu sekali kepadanya walau dia begitu tega
meninggalkan kami."
"Aku menasehati kalian, lebih baik kalian segera kembali ke
Puiau Hong Hoang To."
"Eh...!" Lie Ai Ling terbelalak. "Tuan punya hak apa
menyuruh kami kembali ke Hong Hoang To?"
"Aku memang punya hak," sahut orang bertopeng.
"Hi-hi!" Lie Ai Ling tertawa geli. "K?mi tidak kenal Tuan,
Tuan pun tidak kenal kami. Kenapa Tuan mengatakan punya
hak?" "Pokoknya kalian harus segera kembali ke Hong Hoang To!"
"Maaf!" ucap Siang Koan Goat Nio yang terus diam dari
tadi. "Bolehkah kami tahu siapa Tuan?"
"Aku adalah... orang penebus dosa!"
"Apa"!" Siang Koan Goat Nio dan Lie Ling terbelalak. "Tuan
orang penebus dosa?"
"Betul!"
"Tuan pernah melakukan dosa apa?" tanya Lie Ai Ling
sambil menatapnya. "Bolehkah Tuan membenitahukan kepada
kami?" "Tidak boleh!" Orang Penebus Dosa itu menglengka?
kepala, kemudian bertanya sungguh-sungguh. "Jadi kalian
tidak mau kembali ke Pulau Hong Hoang To?"
"Tidak salah," sahut Lie Ai Ling. "Sebab aku harus mencari
ayahku, kasihan ibu...."
"Kalau begitu, ke mana tujuan kalian sekarang?" tanya
Orang Penebus Dosa itu dengan penuh perhatian.
"Kami mau ke markas pusat Kay Pang." Lie Ai Ling
memberitahukan.
"Oooh!" Orang Penebus Dosa itu manggut-manggut.
"Kalian berdUa harus berhati-hati, sampai jumpa!"
"Orang Penebus Dosa itu melesat pergi, Siang~oan Goat
Nio dan Lie Ai Ling termangu-mangu ditempat.
"Goat Nio! Sebetulnya siapa orang itu?"
"Entahlah," Siang Koan Goat Nio menggeleng kepala.
"Tapi...."
"Ada apa?"
"Kelihatannya dia sangat memperhatikanmu," Siang Koan
Goat Nio memberitahukan. "Baik maupun nada suaranya?"
"Goat Nio!" Lie Ai Ling tertawa. "Kini engkau yang
mengada-ada, itu bagaimana mungkin?"
"Aku yakin tidak salah pandanganku."
"Sudahlah! Mari kita meneruskan perjala?an!" ajak Lie Ai
Ling. "Tempat ini jadi seram karena begitu banyak mayat"
"Baik! Mari kita pergi!" Siang Koan Goat Nio mengangguk.
Mereka berdua meneruskan perjalanan
menuju markas pusat Kay Pang.
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Lie Ai Ling
membicarakan Orang Penebus Dosa itu.
"Heran!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa dia menyebut dirinya Orang Penebus Dosa?"
"Mungkin dia pernah melakukan suatu perbuatan yang
berdosa," sahut Siang Koan Goat Nio.
"Betul," Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kalau tidak,
bagaimana mungkin dia menyebut dirinya Orang Penebus
Dosa" Ya, kan?"
"Ya," Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Kepandaiannya sangat tinggi, dalam waktu sekejap dia
mampu membunuh para anggota Hiat Ih Hwe hanya dengan
tangan kosong."
"Ngmm!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kalau Orang
Penebus Dosa itu tidak muncul, entah apa jadinya karena kita
menggunakan Cit Loan Kiam Hoat!"
"Para anggota Hiat Ih Hwe itu pasti terkapar semua," sahut
Siang Koan Goat Nio. "Oh ya, aku justru masih merasa heran."
"Heran kenapa?"
"Kenapa Orang Penebus Dosa itu harus memakai topeng?"
"Benar. Kenapa ya?"
"Kalau dia tidak kenal kita, dia pasti kenal anggota Hiat Ih
Hwe itu. Karena itu, dia harus pakai topeng agar dirinya tidak
dikenali."
"Masuk akal," Lie Ai Ling mengangguk. "Tapi siapa dia?"
"Mungkinkah...," sahut Slang Koan Goat Nio dengan kening
berkerut. "Dia ayahmu?"
"Apa"!" Lie Ai Ling tertegun. "Bagaimana mungkin" Sebab
suaranya begitu parau, tidak mirip suara ayahku."
"Dia sengaja membuat suaranya menjadi parau, lagi
pula...," lanjut Siang Koan Goat Nio. "Ketika aku berbicara
kepadanya, dia malah terus memandangmu. Itu sungguh
mencurigakan."
"Kenapa tadi engkau tidak bertanya kepadanya?" tegur Lie
Ai Ling. Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Percuma," katanya.
"Kenapa percuma?"
"Dia pasti tidak akan mengaku."
"Goat Nio aku tidak yakin kalau dia ayahku."
"Al Ling, aku percaya dia pasti akan muncul lagi."
"Kalau dia muncul lagi, aku pasti menyambar topengnya,"
ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Aku ingin tahu, betulkah
dia ayahku?"
"Aku pasti membantumu," Siang Koan Goat Nio tersenyum.
"Terima kasih!" ucap Lie Ai Ling sambil tersenyum pula.
"Goat Nio, engkau baik sekali terhadapku. Aku pasti
memberitahukan kepada Kakak Bun Yang."
-oo0dw0oo- Dua hari kemudian, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
telah tiba di markas pusat Kay Pang. Kedatangan dua gadis itu
membuat Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong gembira sekali.
Lim Peng Hang langsung menyuruh mereka duduk,
kemudian menyuruh salah seorang anggota menyuguhkan
minuman. "Ha-ha-ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak,"Tak kusangka
kalian sudah mulai mengembara!"
"Kakek Lim, aku mengembara karena ingin ingin mencari
ayah!" Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oh?" Lim Peng Hang tersenyum. "Lalu apa tujuan Goat Nio
mengembara?"
"Mencari pengalaman," sahut Siang Koan Goat Nio.
"Kakek Lim!" Lie Ai Ling tersenyum. "Sesungguhnya dia
mengembara dengan tujuan...."
"Al Ling!" Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening.
"Apa tujuannya" Benitahukanlah!" desak Lim Peng Hang.
"Tujuannya adalah mencari Kakak Bun Yang?" Lie Ai LAng
memberitahukan.
Seketika itu juga wajah Siang Koan Goat Nio kemerahmerahan,
dan langsung menunduk dalam-dalam.
"Oh, ya?" Lim Peng Hang menatap Siang Koan Goat Nio
yang menundukkan kepalanya, kemudian tertawa terbahakbahak.
"Ha ha ha. . .!"
"Mereka berdua memang merupakan pas?ngan yang
serasi," sela Gouw Han Tiong mendadak dan tertawa gelak
pula. "Betul," Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kakak Bun Yang
dan Goat Nio sungguh merupakan pasangan yang serasi.
Kakak Bun Yang tampan, Goat Nio cantik."
"Ai Ling...." Wajah Siang Koan Goat Nio makin memerah.
"Oh ya, Kakek Lim!" tanya Lie Ai Ling. "Apakah Kakak Bun
Yang sudah ke mari?"
"Sudah!" Lim Peng Hang mengangguk.
"Oh?" Lie Ai Ling nampak gembira. "Di mana" Cepatlah
panggil dia ke mari, aku mau kenalkannya pada Goat Nio."
"Sayang sekali!" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Lho" Kenapa?" Lie Ai Ling terbelalak.
"Dia sudah meninggaikan markas ini," Lim Peng Hang
membentahukan "Dia pergi menyelidiki pembunuh Tui Hun
Lojin dan Lam Kiong hujin"
"Yaaah!" Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Kami
terlambat sampai di disini Kalau tidak
terlambat, pasti bertemu Kakak Bun Yang!"
"Tadak apa-apa" Lim Peng Hang tersenyum, "Masih banyak
waktu dan kesempatan bagi Goat Nio bertemu Bun Yang"
"Betul," Lie Ai Ling tertawa kecil seraya berkata "Takkan lari
jodoh dikejar"
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio betul-betul kewalahan
digoda Lie Ai Ling terus-menerus. "Jangan terus
menggodaku!"
"Goat Nio!" Lie Ai Ling tersenyum. "Aku tidak
menggodamu, melainkan berkata sesungguhnya."
Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan. "Engkau
terus mengatakan begitu, bagaimana kalau dia telah bertemu
gadis lain yang cantik jelita" Ya, kan?"
"Tidak mungkin," sahut Lie Ai Ling "Sebab Kakak Bun Yang
tidak gampang jatuh hati terhadap gadis yang mana pun,
percayalah" Aku yakin, begitu dia melihatmu pasti jatuh hati
kepadamu."
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. Sementara Lam Peng Hang dan Gouw Han Tiong hanya
saling memandang, berselang sesaat barulah ketua Kay Pang
itu membuka mulut.
"Oh ya! Bagaimana pengalaman kalian dalam perjalanan
menuju ke mari?"
"Wuah, bukan main!" sahut Lie Ai Ling.
"Apa yang bukan main?" tanya Gouw Han Tiong sambil
tertawa. "Bolehkah engkau menjelaskan tentang "Bukan main"
itu?" "Ketika kami sampai di kota Keng Ciu...," tutur Lie Ai Ling
sambil tersenyum-senyum. "Aku berhasil menyelamatkan
nyawa seorang pembesar yang baik hati."
"Syukurlah!" ucap Lim Peng Hang sambil tertawa. "Aku
yakin Hong Hoang Lihiap dan Kim Siauw Siancu pasti mulai
terkenal dalam rimba persilatan."
"Tapi...." Gouw Han Tiong mengbela nafas panjang.
"Tentunya juga akan menjadi masalah bagi mereka berdua."
"Betul," Lie Ai Ling mengangguk. "Dua hari yang lalu, kami
dihadang belasan anggota Hiat Ih Hwe lagi."
"Lalu bagaimana?" tanya Lim Peng Hang.
"Mereka ingin membunuh kami, maka kami terpaksa
melawan." Lie Ai Ling memberitahukan. namun kami berdua
kurang berpengalaman dalam hal bertarung."
"Kalian berdua kalah?" tanya Gouw Han Tiong dengan
kening berkerut.
"Kalah sih tidak, hanya berada di bawah angin." Lie Ai Lang
tersenyum dan melanjutkan "Oleh karena itu, kami terpaksa
harus menggunakan Cit Loan Kiam Hoat, tapi. . . ."
"Kenapa?" Lim Peng Hang menatapnya.
"Di saat kami baru mau menggunakan ilmu pedang
tersebut, mendadak muncul seseorang bertopeng membantu
kami" "Kemudian bagaimana?" tanya Gouw Han Tiong dengan
rasa tertarik "Dengan tangan kosong dia membunuh kepala regu
anggota Hiat Ih Hwe, lalu membunuh para anak buahnya
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening, "Dia
membunuh mereka hanya dengan tangan kosong?"
"Betul" Lie Ai Ling mengangguk.
"Kalau begitu, sungguh tinggi kepandaiannya," ujar Lim
Peng Hang dan bertanya, "Kalian tahu siapa orang bertopeng
itu?" "Aku bertanya padanya, dia menyebut dirinya Orang
Penebus Dosa." Lie Ai Ling memberitahukan.
"Apa?" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tertegun
"Orang Penebus Dosa?"
Lie Ai Ling mengangguk "Kakek Lim dan Kakek Gouw tahu
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapa Orang Penebus dosa itu?"
"Kami tidak tahu" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
menggelengkan kepala dan bergumam. "Heran" Siapa orang
itu?" "Menurut terkaanku..." sela Siang Koan Goat Nio. "Orang
Penebus Dosa itu adalah Paman Man Chiu.
"Apa?" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong terbelalak.
"MenurutmU dia Lie Man Chiu?"
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Apa alasanmu menerka begitu?" tanya Lim Peng Hang.
"Sebab ketika aku mengucapkan terima kasih kepadanya,
dia diam saja tapi malah terus memandang Ai Ling." Siang
Koan Goat Nio memberitahukan. "Lagi pula dia terus-menerUs
mendesak kami pulang ke Pulau Hong Hoang To."
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening.
"Betulkah dia Lie Man Chiu?" tanya Gouw Han Tiong seakan
bergumam. "Tapi kenapa harus memakai topengT"
"Mungkin dia tidak menghendaki Ai Ling dan aku
mengenalinYa, mungkin juga tidak menghendaki para anggota
Hiat Ih Hwe mengenalinya," jawab Siang Koan Goat Nio dan
menambahkan. "Dia pun tampak begitu menaruh perhatian
kepada ibu Ai Ling. Itulah yang membuatku menerka dirinya
adalah Paman Man Chiu."
"Orang Penebus Dosa. Orang Penebus Dosa..." gumam Lim
Peng Hang. "Berarti dia pernah berbuat dosa, kini dia
menebus dosanya."
"Paman Man Chiu meningalkan anak isteri, bukankah itu
merupakan suatu dosa?" ujar Siang
Koan Goat Nio. "Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Kalau begitu,
memang ada kemungkinan dia Lie
Man Chiu!"
"Selama tujuh tahun ini, kita sama sekali tidak mendengar
kabar beritanya. Jangan-jangan dia..." ujar Gouw Han Tiong
setelah berpikir sejenak.
"Dia mengabdi kepada Lu Thay Kam, maka dia
merahasiakan identitas dirinya!"
"Masuk akal," Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Lain kali kalau bertemu dia, aku pasti membuka
topengnya," ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Agar bisa
tahu jelas siapa dia."
"Kepandaiannya begitu tinggi, bagaimana mungkin engkau
dapat membuka topengnya?" Lim Peng Hang tersenyum.
"Memang." Lie Ai Ling mengangguk. "Namun aku
mempunyal akal."
"Oh, ya?" Lim Peng Hang tersenyum lagi. "Dia menyebut
dirinya Orang Penebus Dosa, pertanda dia sangat menyesali
perbuatannya dulu, dan berarti kini dia telah sadar. Aku yakin
dia pasti akan muncul lagi menemuimu."
"Goat Nio juga bilang demikian," ujar Lie Ai Ling.
"Oh ya?" Gouw Han Tiong menatapnya. "Dia bertanya
kalian mau ke mana?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk.
"Engkau memberitahukan?"
"Ya" "Bagus!" Gouw Han Tiong tersenyum "Kalau begitu, kalian
tinggal di sini dulu Karena aku yakin dia pasti akan ke mari.
"Oh?" Lie Ai Ling kurang yakin "Kalau Orang Penebus Dosa
itu tidak kemari, bukankah kami menunggu dengan sia~sia?"
"Percayalah~" ujar Gouw Han Tiong "Kalau benar dia Lie
Man Chiu, pasti kemari menemuimu."
"Tapi kami tidak bisa lama-lama di sini"
"Kenapa?"
"Kami masih ingin mengembara, lagi pula Goat Nio ingin
pergi mencari Kakak Bun Yang, aku harus menemaninya"
"Cukup sepuluh hari kalian tinggal di sini, dalam sepuluh
hari ini kalau Orang Penebus Dosa itu tidak keman, berarti dia
bukan Lie Man Chiu," ujar Gouw Han Tiong
"Baiklah," Lie Ai Ling mengangguk, kemudian bertanya
kepada Siang Koan Goat Nio. "Bagaimana" Engkau tidak
berkeberatan, bukan?"
"Aku memang tidak berkeberatan, tapi apakah tidak akan
merepotkan Kakek Lim dan Kakek Gouw?" sahut Siang Koan
Goat Nio. "Tentu tidak." Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
tertawa. "Kalau begitu, kami mengucapkan terima kasih!" ucap
Siang Koan Goat Nio.
"Oh ya! Putra Gouw Sian Eng dan putri Lam Kiong Bie
Liong sudah menjadi murid Tayli Lo Ceng," Gouw Han Tiong
memberitahukan dengan wajah berseri-seri. "Mereka berada
di Gunung Thay San."
"Oh?" Lie Ai Ling tersenyum. "Kalau begitu, mereka pasti
akan memiliki kepandaian tinggi."
"Mudah-mudahan!" ucap Gouw Han Tiong sambil tertawa.
"Kalian pasti bertemu mereka kelak."
"Sungguh menggembirakan bisa bertemu mereka!" ujar Lie
Ai Ling tersenyum dan menambahkan.
"Mudah-mudahan Goat Nio bisa bertemu Kakak Bun Yang
secepatnya! Katau tidak...."
"Ai Ling, jangan menggoda aku lagi!" tegur Siang Koan
Goat Nio dengan wajah sedikit cemberut.
"Hi-hi-hi!" Lie Ai Ling tertawa geli.
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang,
kemudian mereka berdua pun tertawa, sehingga membuat
wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan.
-oo0dw0oo- Bagian ke delapan belas
Dendam membara Kam Hay Thian terus melanjutkan perjalanannya. Hari ini
panasnya sungguh luar biasa, sehingga pakaiannya menjadi
basah oleh keringat, akhirnya ia berteduh di bawah sebuah
pohon. "Kapan aku akan berhasil mencari pembunuh ayahku?"
gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mendadak
ia mendengar suara 'Kraak'.
Kam Hay Thian terkejut bukan main, karena suara itu
berasal dari cincin giok di jari manisnya. Ternyata cincin giok
itu telah retak, kemudian pecah.
"Haaah?" Wajahnya langsung memucat, sebab menurut
kepercayaan, apabila giok yang dipakai itu pecah, pertanda
akan terjadi sesuatu atau telah terjadi sesuatu atas diri
pemiliknya. Cincin giok itu pemberian Lie Beng Cu, putri guru silat di
kota Leng An. "Cincin giok ini telah pecah, apakah telah terjadi sesuatu
atas diri Beng Cu?" gumamnya dengan wajah pucat pias. "Aku
harus segera be-iangkat ke kota Leng An."
Kam Hay Thian segera berangkat ke kota h-iscbut, dan dua
hari kemudian ia telah tiba dan l.mpsung menuju rumah guru
silat Lie. Seorang pembantu tua menyambutnya, dan ketika
melihat Kam Hay Thian, terbelalaklah pembantu tua itu.
"Engkau... engkau Kam Hay Thian?"
"Betul, Paman," sahut Kam Hay Thian sambil mengangguk.
"Di mana guru silat Lie dan Bcng Cu?"
"Mereka...." Pembantu tua itu terisak-isak. "Mari ke dalam!"
Kam Hay Thian tersentak ketika melihat pembantu tua itu
terisak-isak. Ia yakin telah terjadi sesuatu atas diri guru silat
Lie atau Lie Beng Cu. Kemudian ia mengikuti pembantu tua itu
ke dalam. "Mereka...." Pembantu tua menunjuk sebuah meja abu,
yang dialasnya terdapat dua buah papan nisan bertuliskan
nama guru silat Lie dan nama Lie Beng Cu.
"Haaah...?" Kam Hay Thian langsung berlutut dengan air
mata berderai. "Paman... Beng Cu...."
Pembantu tua itu juga menangis terisak-isak dengan air
mata bercucuran, sedangkan wajah Kam Hay Thian telah
berubah kehijau-hijauan.
"Paman tua, bagaimana mereka mati?" tanya Kam Hay
Thian dengan suara bergemetar.
"Dua hari yang lalu...." Pembantu tua itu memberitahukan.
"Mendadak muncul belasan anggota Hiat Ih Hwe, Guru silat
Lie dan Nona Beng Cu mati dibunuh oleh para anggota Hiat Ih
Hwe itu." "Kenapa para anggota Hiat Ih Hwe mcm-l bunuh Paman
dan Beng Cu?"
"Sebulan yang lalu, tanpa sengaja guru silat Lie menolong
beberapa orang Tiong Ngie Pay, yang dilukai pihak Hiat Ih
Hwe. Karena itu, pihak Hiat Ih Hwe kemari membunuh guru
silat Lie dan Nona Beng Cu," tutur pembantu tua itu dan
menambahkan. "Sebelum menghembuskan nafas
penghabisan, Nona Beng Cu masih menyebut namamu."
"Beng Cu...." Kam Hay Thian menangis ge-i ung-gerungan,
kemudian bersumpah di hadapan meja abu itu. "Aku
bersumpah, mulai hari ini aku .ikan membunuh para anggota
Hiat Ih Hwe! Paman Lie, Beng Cu! Kalian tenanglah! Aku pasti
membalaskan dendam kalian, aku pasti akan membunuh para
anggota Hiat Ih Hwe!"
"Terimakasih, Hay Thian!" ucap pembantu tua dengan air
mata berlinang dan memberitahukan. "Sungguh kasihan guru
silat Lie dan Nona Beng Cu! Walau sudah sekarat, tapi Nona
Beng Cu masih menyebut namamu."
Kam Hay Thian telah meninggalkan kota Ieng An dengan
membawa dendam yang mem-l'aia. Karena guru silat Lie dan
Lie Beng Cu yang begitu baik hati itu telah mati dibunuh oleh
para anggota Hiat Ih Hwe, maka ia bersumpah akan
membunuh para anggota perkumpulan itu.
Ketika ia memasuki sebuah rimba, mendadak mendengar
suara pertarungan. Segeralah ia melesat ke tempat itu,
kemudian dilihatnya beberapa orang sedang bertarung matimatian
melawan belasan orang berpakaian merah. Begitu
melihat orang-orang berpakaian merah, seketika juga
darahnya mendidih.
"Berhenti!" bentaknya dengan suara mengguntur.
Orang-orang yang sedang bertarung itu terkejut bukan
main, dan langsung berhenti bertarung.
Kam Hay Thian menghampiri orang-orang berpakaian
merah selangkah demi selangkah dengan wajah kehijauhijauan.
"Siapa engkau?" bentak salah seorang berpakaian merah,
yang rupanya kepala regu para anggota Hiat Ih Hwe itu.
"Siapa kalian?" Kam Hay Thian balik bertanya dengan
dingin. "Kami para anggota Hiat Ih Hwe!" sahut oranj" berpakaian
merah itu sambil tertawa dingin. "Siapa engkau" Sungguh
besar nyalimu mencampur urusan kami!"
"Bagus, bagus! Aku adalah Chu Ok Hiap (Pendekar
Pembasmi Penjahat)!" sahut Kam Ha Thian dengan wajah
semakin menghijau, dan pei lahan-lahan ia menghunus
pedangnya. "Ajal kalian lelah tiba hari ini!"
"Hm!" dengus orang berpakaian merah itu dan berseru.
"Serang dia!"
Para anggota Hiat Ih Hwe langsung menye-langnya dengan
senjata tajam. Kam Hay Thian tertawa dingin sambil
menggerakkan pedangnya. Seketika pedang itu mengeluarkan
hawa dingin, yang tentunya sangat mengejutkan para
penyeang itu. Orang-orang yang bertarung tadi ternyata anggota Tiong
Ngie Pay. Mereka tampak mencemaskan Kam Hay Thian.
Trang! Trang! Trang...! Terdengar suara benturan senjata,
yang disusul oleh suara jejerkan yang menyayat hati.
"Aaaakh! Aaaaakh! Aaaaaakh...!" Tampak lima orang
berpakaian merah telah roboh dengan dada berlubang, yang
mengucurkan darah segar, dan nyawa mereka pun melayang
seketika. Ternyata Kam Hay Thian menggunakan Ilmu Pedang Pak
Kek Kiam Hoat, dan mengeluarkan pirus Thian Gwa Kiam In
(Bayangan Pedang Di luar Langit) menyerang para anggota
Hiat Ih Hwe itu.
Setelah berhasil membunuh lima orang Hiat Ih Hwe, Kam
Hay Thian juga menyerang lagi laksana kilat dengan jurus
yang sama. Terdengar lagi suara jejerkan yang menyayat hati,
lima orang Hiat Ih Hwe roboh mandi darah dan mati seketika pula.
Menyaksikan kejadian itu, sisa-sisa anggota Hiat Ih Hwe
berusaha melarikan diri. Kam Hay Thian tertawa dingin
sekaligus menyerang mereka dengan jurus Hoan Thian Liak Te
(Membalikkan Langit Meretakkan Bumi).
"Aaaakh! Aaaakh! Aaaakh...." Sisa-sisa ang-gota Hiat Ih
Hwe menjerit, lalu roboh tak bernyawa lagi.
Kam Hay Thian memandang mayat-mayat itu sambil
tertawa dingin kemudian dengan tenang menyarungkan
pedangnya. Sementara para anggota Tiong Ngie Pay berdiri mematung
di tempat. Mereka sangat kagum dan kaget akan
kesadisannya. Berselang beberapa saat kemudian, barulah ada
salah seorang dari mereka yang membuka mulut.
"Terimakasih, siauw hiap!"
"Tidak usah berterimakasih, aku memang ada dendam
dengan Hiat Ih Hwe. Kebetulan melihat mereka bertarung
dengan kalian, maka aku membunuh mereka," sahut Kam Hay
Thian. "Siauw hiap, bagaimana kalau engkau ikut kami menemui
ketua?" tanya salah seorang anggota Tiong Ngie Pay.
"Kalian dari perkumpulan apa?" tanya Kami Hay Thian.
"Tiong Ngie Pay."
"Oooh!" Kam Hay Thian manggut-manggut. "Baiklah. Aku
akan menemui ketua kalian."
"Terimakasih, siauw hiap!" ucap para anggota Tiong Ngie
Pay girang, lalu berangkat ke markas mereka bersama Kam
Hay Thian. Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him
menyambut kedatangan Kam Hay Thian dengan penuh
kegembiraan, apa lagi setelah mengetahui pemuda itu telah
membantu para anggotanya.
"Terimakasih, siauw hiap!" ucap Yo Suan Hiang.
"Aku adalah Chu Ok Hiap." Kam Hay Thian
memberitahukan. "Maka jangan memanggilku siauw hiap!"
"Chu Ok Hiap!" Yo Suan Hiang tersenyum iainah. "Bolehkah
kami tahu namamu?"
"Namaku Kam Hay Thian."
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa kedua orang tuamu?"
"Ayahku bernama Kam Pek Kian, tapi sudah almarhum
karena dibunuh penjahat," Kam Hay Thian memberitahukan.
"Ibuku bernama Lie Siu Su-n."
"Lie Siu Sien..." gumam Yo Suan Hiang sambil berpikir
keras. "Rasanya aku pernah mendengar nama tersebut."
"Tidak mungkin," Kam Hay Thian menggelengkan kepala.
"Sebab ibuku bukan wanita rimba persilatan."
"Tapi aku memang pernah mendengar nama tersebut...."
Yo Suan Hiang terus berpikir, kemudian mendadak berseru
girang. "Aku sudah ingat! Aku sudah ingat! Ternyata aku
pernah mendengar nama ibumu dari Tio Cie Hiong!"
"Apa"!" Kam Hay Thian tertegun. "Paman Cie Hiong?"
"Benar," Yo Suan Hiang mengangguk. "Dia pernah
menceritakan tentang ibumu kepada kami."
"Aku mengembara justru ingin mencari Paman Cie Hiong,"
Kam Hay Thian memberitahukan.
"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya sambil bertanya.
"Kenapa engkau mau mencarinya?"
"Kata ibuku, kepandaian Paman Cie Hiong tinggi sekali.
Kalau aku ingin menuntut balas kematian ayahku, harus
berguru kepada Paman Cie Hiong."
"Ooooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut "Tapi
kepandaianmu sekarang sudah tinggi, di mana engkau
belajar?" "Tanpa sengaja aku memasuki sebuah goa. tutur Kam Hay
Thian dan menambahkan. "Tujuh tahun kemudian, barulah
aku menguasai ilmu-ilmu itu."
"Hay Thian!" Yo Suan Hiang terbelalak. "Sungguh
beruntung engkau, sebab kitab-kitab pusaka itu milik Bu Lim
Sam Mo. Goa itu bekas markas Bu Tek Pay. Oh ya, apakah
kau bawa kedua kitab pusaka itu?"
"Tidak. Kedua kitab itu telah kubakar."
"Bagus! Kedua kitab itu memang harus dibakar. Kalau
tidak, tentu akan menimbulkan ben-i ana," ujar Yo Suan Hiang
dan bertanya. "Kenapa ayahmu dibunuh penjahat?"
"Dikarenakan sebuah kitab pusaka, yaitu kitab Song Hwee
Cin Keng." Kam Hay Thian memberitahukan. "Pada waktu itu
aku masih kecil...."
"Kitab Seng Hwee Cin Keng?" Yo Suan Hiang mengerutkan
kening. "Apakah itu kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi?"
"Betul," Kam Hay Thian mengangguk. "Maka kini aku
sedang mencari penjahat itu."
"Oh ya, sejak kapan engkau meninggalkan rumah?" tanya
Yo Suan Hiang. "Sejak aku berusia sebelas tahun, dan kini usiaku sudah
delapan belas tahun," jawab Kam Hay Thian.
"Hay Thian, kenapa engkau begitu mendendam kepada
Hiat Ih Hwe?" tanya Yo Suan Hiang mendadak.
"Karena mereka membunuh guru silat Lie dan putrinya...."
tutur Kam Hay Thian melanjutkan. "Karena itu, aku
bersumpah di hadapan meja abu guru silat Lie dan putrinya,
bahwa aku akan membunuh semua anggota Hiat Ih Hwe."
"Jadi guru silat Lie dan putrinya dibunuh karena tanpa
sengaja guru silat Lie menolong beberapa anggotaku?" tanya
Yo Suan Hiang de ngan wajah murung.
"Ya," Kam Hay Thian mengangguk.
"Aaaakh...!" keluh Yo Suan Hiang. "Sungguh diluar
dugaan!" "Hmm!" dengus Kam Hay Thian dingin dan penuh dendam.
"Pokoknya aku harus membunuh semua anggota Hiat Ih
Hwe!" "Hay Thian!" Yo Suan Hiang menatapnya. "Apakah kini
engkau masih ingin mencari Tio Cie Hiong?"
"Bagaimana menurut Bibi?" tanya Kam Hay Thian.
"Menurutku sudah tidak perlu," jawab Yo Suan Hiang.
"Sebab kepandaianmu sudah begitu tinggi."
"Tapi aku belajar tanpa petunjuk orang! mungkin ada
sedikit kesalahan," ujar Kam Hai Thian. "Maka kepandaianku
belum mencapai tingkat atas, karena itu aku harus minta
petunjuk kepada Paman Cie Hiong."
"Tempat tinggal Cie Hiong jauh sekali, yaitu di Pulau Hong
Hoang To," Yo Suan Hiang memberitahukan. "Jadi... oh ya!
Cie Hiong mempunyai seorang putra bernama Tio Bun Yang,
yang berkepandaian sangat tinggi. Aku telah menyaksikan
kepandaiannya. Dia pernah ke mari tapi kini ?iitah berada di
mana. Aku yakin engkau akan bertemu dia kelak, jadi engkau
boleh minta petunjuk kepadanya."
"Benarkah kepandaiannya sudah tinggi sekali?"
"Benar," Yo Suan Hiang mengangguk. "Mungkin telah
menyamai kepandaian ayahnya."
"Kalau begitu, aku harus minta petunjuk kepadanya."
"Itu memang baik sekali," Yo Suan Hiang manggutmanggut.
"Oh ya, Hay Thian. Maukah engkau bergabung
dengan kami?"
"Aku bersedia bergabung, namun tidak mau terikat," sahut
Kam Hay Thian terus terang. "Kareena aku masih harus pergi
mencari pembunuh ayahku, bahkan juga harus mencari Bun
Yang." "Itu tidak menjadi masalah," Yo Suan Hiang teisenyum.
"Jadi sementara ini engkau boleh tinggal di sini, dan kapan
pun engkau mau pergi, kami tidak akan menahanmu."
"Baiklah! Terimakasih!" ucap Kam Hay Thian.
Di ruang khusus dalam istana bagian barat tempat tinggal
Lu Thay Kam, tampak Lu Thay Kam sedang duduk dengan
wajah serius. Lie Man Chiu duduk di sebelahnya, namun
tampak mela mun.
"Man Chiu!" Lu Thay Kam menatapnya. "Ke napa engkau
melamun" Apa yang terganjel dala hatimu?"
"Tidak." Lie Man Chiu menggelengkan kq pala.
"Tentunya engkau tahu, banyak anggota kit, yang musnah
kepandaiannya, bahkan juga hanya' yang mati," ujar Lu Thay
Kam dengan kenin berkerut. "Bagaimana engkau mengurusi
itu?" "Yang memusnahkan kepandaian anggota kita adalah Giok
Siauw Sin Hiap, yang membunuh anggota kita adalah orang
bertopeng dan Chu O Hiap," jawab Lie Man Chiu
memberitahukan.
"Kalau begitu...." Lu Thay Kam menatapnya lagi. "Sudah
waktunya engkau turun tangan"
"Ya, Lu Kong Kong."
"Yaaah!" Mendadak Lu Thay Kam menghe nafas panjang.
"Entah kini San San merantai sampai di mana" Aku... aku
rindu sekali kepadanya."
"Lu Kong Kong rindu kepadanya?"
"Ya," Lu Thay Kam mengangguk. Tentu engkau tahu, dia
bukan anak kandungku. Aku telah dikebiri jadi Thay Kam,
bagaimana mungkin bisa punya anak?"
"Dia putri angkat Lu Kong Kong, namun Lu Kong Kong
kelihatan begitu sayang kepadanya."
"Benar," Lu Thay Kam manggut-manggut. "Aku memang
sayang sekali kepadanya."
"Lu Kong Kong...." Lie Man Chiu menundukkan kepala.
"Engkau ingin mengatakan apa, katakanlah!" Lu Kong Kong
tersenyum. "Jangan ragu, sudah lujuh tahun lebih engkau
mengabdi kepadaku."
"Lu Kong Kong...." Lie Man Chiu menghela nafas panjang.
"Belum lama ini aku selalu teringat kepada anak isteriku."
"Oh?" Lu Kong Kong menatapnya. "Kalau begitu, lebih baik
kau ajak mereka tinggal di sini suja."
"Terimakasih atas maksud baik Lu Kong Kong!" ucap Lie
Man Chiu. "Terus terang, aku...."
"Engkau ingin mengundurkan diri, bukan?"
"Betul," Lie Man Chiu mengangguk. "Sebab |ku sudah rindu
sekali kepada anak isteriku."
"Aku maklum," Lu Thay Kam manggut-mang-|ut. "Namun
aku masih sangat membutuhkan bantuanmu."
"Lu Kong Kong...."
"Jadi engkau ingin pergi menengok anak isteri-mu?"
"Ya."
"Tidak mau kembali ke sini lagi?"
"Ya."
"Man Chiu...." Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa engkau mau melepaskan kehidupanmu yang serba
mewah di sini?"
"Lu Kong Kong, kini aku baru sadar bahwa anak isteriku
melebihi segala apa pun. Oleh karena itu aku ingin hidup
tenang, damai dan bahagia bersama anak isteriku."
"Man Chiu...." Lu Thay Kam menghela nafas. "Tentunya
aku tidak akan menghadangmu, namun alangkah baiknya
engkau kembali ke sini lagi."
"Lu Kong Kong, aku tidak berani berjanji tentang itu," ujar
Lie Man Chiu sungguh-sungguh.
"Kalau begitu... baiklah. Kapan engkau akan pergi?" tanya
Lu Thay Kam dengan wajah muram.
"Sekarang," jawab Lie Man Chiu.
"Sekarang?" Lu Thay Kam terbelalak. "Kenapa begitu
cepat?" "Lu Kong Kong, aku sudah rindu sekali kepada anak
isteriku, sudah tujuh tahun lebih aku berpisah dengan
mereka." "Yaah!" Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau begitu, aku harus memberimu sedikit hadiah ...."
"Terimakasih! Itu tidak usah, Lu Kong Kong,' potong Lie
Man Chiu cepat. "Lu Kong Kong tida| melarangku pergi, aku
sudah berterimakasih sekali pada Lu Kong Kong."
"Terus terang," ujar Lu Kong Kong sungguh-sungguh.
"Kalau aku tidak mempunyai anak angkat, mungkin aku tidak
akan memahami perasaanmu. Sebaliknya aku malah akan
mencap dirimu sebagai pengkhianat. Tapi... aku mempunyai
anak, yaitu San San yang sangat kusayangi."
"Lu Kong Kong.." Lie Man Chiu tersentak.
"Jangan cemas!" Lu Thay Kam tersenyum. "Aku yakin
engkau pasti tahu, betapa jahatnya aku karena selalu
membunuh pembesar dan jenderal yang setia. Tapi di antara
kita terdapat rasa persahabatan yang dalam sekali. Ingat,
selamanya kita tetap sahabat!"
"Lu Kong Kong...." Mendadak Lie Man Chiu menjatuhkan
diri berlutut di hadapan Lu Thay Kam.
"Man Chiu, engkau boleh pergi sekarang untuk menemui
anak isteri mu. Mudah-mudahan anak isterimu akan
memaafkanmu!" ujar Lu Thay Kam dan menambahkan. "Aku
pun mempercayaimu tidak akan membocorkan tentang San
San yang pergi merantau itu."
"Jangan khawatir Lu Kong Kong!"
"Baiklah. Engkau boleh pergi sekarang, semoga kita akan
berjumpa lagi!" usai berkata begitu, Lu Thay Kam
meninggalkan ruang khusus itu.
Lama sekali Lie Man Chiu berlutut di situ, kini ia
kebingungan dan tidak habis berpikir! Sebetulnya Lu Thay
Kam jahat atau baik" Yang jelas ia telah berhutang budi
kepadanya. ---ooo0dw0ooo---
Di ruang depan markas pusat Kay Pang, tampak Lim Peng
Hang, Gouw Han Tiong, Siangi Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
sedang duduk. Kening Lie Ai Ling terus berkerut-kerut.
"Sudah hampir sepuluh hari kami tinggal di sini, tapi Orang
Penebus Dosa itu tetap tidak muncul. Lebih baik kami pergi
saja," ujar Lie Ai Ling.
"Ai Ling!" Lim Peng Hang tersenyum. "Ber-j sabarlah
beberapa hari lagi! Kalau Orang Penebus Dosa itu masih tidak
muncul, barulah kalian pergi."
"Mungkinkah Orang Penebus Dosa itu bukan Lie Man
Chiu?" tanya Gouw Han Tiong dengan kening berkerut.
"Kalau dia tetap tidak muncul, berarti bukan Lie Man Chiu,"
sahut Lim Peng Hang.
"Aku ingin cepat-cepat pergi mencari Kakak Bun Yang," ujar
Lie Ai Ling. "Kenapa engkau yang kalut?" tanya Gouw
Han Tiong sambil tersenyum.
"Aku kalut karena Goat Nio," sahut Lie Ai Ling.
"Kenapa karena aku?" Wajah Siang Koan Goat Nio
kemerah-merahan. "Jangan bawa-bawa diriku lho!"
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Memangnya aku tidak tahu"
Setiap malam engkau duduk melamun di dalam kamar,
tentunya memikirkan Kakak Bun Yang."
"Bertemu juga belum, kenapa aku harus memikirkannya?"
sahut Siang Koan Goat Nio dengan wajah memerah.
"Engkau...." Ucapan Lie Ai Ling terhenti mendadak, karena
di saat bersamaan tampak sesosok bayangan berkelebat
memasuki ruangan itu.
"Siapa?" bentak Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
serentak. Orang yang berkelebat ke dalam itu memakai topeng.
Begitu melihat orang bertopeng itu, Siang Koan Goat Nio dan
Lie Ai Ling langsung berseru.
"Orang Penebus Desa!"
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Silakan duduk,
Orang Penebus Dosa! Kami memang sedang menunggu
kedatanganmu."
Orang Penebus Dosa diam saja, tapi terus memandang Lie
Ai Ling, kemudian dengan perlahan-lahan melepaskan
topengnya. Orang itu ternyata benar Lie Man Chiu.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong tertawa. "Dugaan kami tidak meleset, engkau
memang Lie Man Chiu!"
"Paman Lim, Paman Gouw!" panggil Lie Man Chiu sambil
memberi hormat.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Engkau
bersembunyi di mana selama tujuh tahun ini?"
"Aku...." Lie Man Chiu menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian memandang Lie Ai Ling seraya berkata. "Ai Ling,
engkau sudah besar...."
"Diam!" bentak Lie Ai Ling mendadak dengan air mata
berderai-derai. "Engkau sungguh kejam, jahat dan tak punya
perasaan!"
"Ayah terima semua cacianmu, Nak," ujar Lie Man Chiu
dengan mata basah. "Ayah terima semua cacianmu."
"Engkau begitu tega meninggalkan kami! Karena itu, ibu
sering sakit!" Lie Ai Ling menangis terisak-isak sambil
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuding Lie Man Chiu. "Eng kau bukan ayahku! Cepat pergi!
Pergiiii!"
"Nak!" Air mata Lie Man Chiu meleleh "Maafkanlah ayah,
kini ayah telah sadar."
"Ayah...." Panggil Lie Ai Ling, sekaligus meri dekap di dada
Lie Man Chiu. "Nak! Ooooh, anakku!" Lie Man Chiu memj belainya dengan
penuh kasih sayang dan terisak isak. "Engkau sudi memaafkan
ayah?" "Ng!" Lie Ai Ling mengangguk. "Ayah kasihan ibu."
"Ayah tahu...." Lie Man Chiu terus membelainya.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Semua yang
buruk telah berlalu, habis gelap terbitlah terang! Man Chiu,
sudah waktunya engkau kembali ke Pulau Hong Hoang To."
"Ya, Paman Lim." Lie Man Chiu manggut-manggut.
"Selamat Paman Man Chiu!" ucap Siang Koan Goat Nio
mendadak sambil tersenyum. "Tidak lama lagi Paman Man
Chiu akan berkumpul kembali dengan isteri."
"Terimakasih!" sahut Lie Man Chiu. "Oh ya, engkau putri
Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Hijin?"
"Ya," Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Terimakasih atas kesediaanmu mendampingi Ai Ling
mencariku!" ucap Lie Man Chiu.
"Ayah!" Lie Ai Ling mulai tersenyum. "Sesungguhnya dia
ingin mencari Kakak Bun Yang."
"Oh" Dia sudah kenal Bun Yang?"
"Belum, tapi...."
"Ai Ling!" Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan.
"Jangan mulai menggoda aku!"
"Hi hi!" Lie Ai Ling tertawa, padahal barusan ia menangis
dengan air mata berderai-derai, namun kini sudah bisa
tertawa! "Man Chiu!" Gouw Han Tiong menatapnya, "'selama ini
engkau berada di mana?"
"Paman Gouw!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang.
"Semua itu telah berlalu, jadi tidak usah diceritakan lagi."
Gouw Han Tiong manggut-manggut, kemudian
memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Man Chiu, ayahku dan Lam Kiong hujin mati dibunuh
orang." "Apa"!" Lie Man Chiu terkejut bukan main. "Kapan terjadi?"
"Dua tahun yang lalu," jawab Gouw Han Tiong. "Ayahku
dan Lam Kiong hujin terkena semacam pukulan yang
menghanguskan badan mereka."
"Oh?" Lie Man Chiu terbelalak. "Ilmu pukulan apa itu?"
"Kami tidak mengetahuinya," sahut Gouw Han Tiong dan
menambahkan. "Bahkan hingga saat ini kami juga tidak tahu
siapa pelakunya."
"Heran!" gumam Lie Man Chiu. "Ilmu pukulan apa itu?"
"Ilmu pukulan yang mengandung api," ujar Lim Pang Heng.
"Itu merupakan ilmu pukulan yang sangat dahsyat."
"Aaakh...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang. "Terus
terang, aku sudah jenuh akan rimba persilatan."
"Ayah," tanya Lie Ai Ling mendadak. "Kapan ayah akan
pulang ke Pulau Hong Hoang To?"
"Besok," jawab Lie Man Chiu dan melanjutn kan. "Kalian
berdua juga harus ikut aku pulang."
"Tidak mau ah!" sahut Lie Ai Ling cepat. "Aku masih ingin
mengembara, lagi pula kami belum bertemu Kakak Bun Yang."
"Begini," ujar Lie Man Chiu lembut. "Kita pulang dulu,
setelah itu barulah kalian mengembara lagi."
"Tapi...." Lie Ai Ling tampak ragu, kemudian memandang
Siang Koan Goat Nio seakan minta pendapatnya.
"Itu baik juga. Kita berdua memang harus pulang bersama
Paman Man Chiu, agar tidak mencemaskan ibumu," ujar Siang
Koan Goat Nio. "Kalau begitu, bukankah engkau tidak bertemu Kakak Bun
Yang?" Lie Ai Ling mengerutkan kening.
"Bukankah kita masih akan mengembara" Berarti masih
banyak kesempatan, bukan?" Siang Koan Goat Nio tersenyum.
"Baru asyik mengembara, sudah harus pulang!" Lie Ai Ling
menghela nafas panjang.
"Nak!" Lie Man Chiu tersenyum lembut. "Selelah pulang,
kalian masih boleh pergi mengembara."
"Baiklah," Lie Ai Ling manggut-manggut.
"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio menatap Lie Man Chiu.
"Kenapa Paman membunuh para anggotata Hiat Ih Hwe itu?"
"Untuk menutup mulut mereka," sahut Lie Man Chiu tanpa
berpikir. "Kalau begitu, Paman pasti mempunyai hubungan dengan
Hiat Ih Hwe, bukan?" Siang Koan Goat Nio menatapnya lagi.
"Yaaah!" Lie Man Chiu menggeleng-gelengkan kepala.
"Semua itu telah berlalu, tidak perlu diungkit kembali."
Siang Koan Goat Nio diam. Sedangkan Lim Peng Hang dan
Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian mereka
berdua pun manggut-manggut.
"Man Chiu," tanya Lim Peng Hang. "Jadi engkau akan
berangkat besok?"
"Ya," Lie Man Chiu mengangguk.
"Tolong sampaikan salamku kepada semua orang yang di
sana!" pesan Lim Peng Hang.
"Pasti kusampaikan," ujar Lie Man Chiu.
"Terimakasih, Man Chiu!" ucap Lim Peng Hang sambil
tersenyum. "Sama-sama," Lie Man Chiu juga tersenyum
"Man Chiu!" Mendadak Lim Peng Hang me natapnya dalamdalam
seraya bertanya. "Kenapa tujuh tahun yang lalu,
engkau mempunyai pikiran untuk mengangkat nama di rimba
persilatan?"
"Aaaah!" Lie Man Chiu menghela nafas. "Itu dikarenakan
dengki, sehingga timbul pula suat ambisi."
"Oh?" Lim Peng Hang heran. "Engkau dengki karena apa?"
"Karena Tio Cie Hiong," jawab Lie Man Chiu terus terang.
"Dia dipuji dan disanjung, bahkan tujuh partai besar dan kaum
rimba persilatan lannya mengakuinya sebagai Bu Lim Beng Cu.
Itu membuatku jadi dengki."
"Ayah," tegur Lie Ai Ling. "Paman Cie Hiong begitu baik dan
menghargai Ayah, sebaliknya Ayah malah merasa dengki
kepadanya. Kalau kita sudah sampai di Pulau Hong Hoang To,
Ayah harus minta maaf kepadanya!"
"Tentu," Lie Man Chiu mengangguk. "Bahkan aku pun
harus mohon ampun kepada kakek dan ibumu."
"Bagus!" Lie Ai Ling tertawa gembira. "Kini Ayah telah sadar
akan kesalahan itu, karena itu aku merasa bahagia sekali."
"Nak...." Lie Man Chiu tersenyum.
"Syukurlah!" ucap Lim Peng Hang. "Man Chiu, aku ucapkan
selamat padamu, semoga tidak lama lagi engkau dapat
berkumpul kembali bersama liong Hoa!"
"Man Chiu!" Gouw Han Tiong tersenyum. "Aku pun
mengucapkan selamat padamu!"
"Terimakasih Paman Lim! Terimakasih Paman Gouw!" ucap
Lie Man Chiu terharu sekali. "Terimakasih!"
---ooo0dw0ooo---
Bagian ke sembilan belas
Kemunculan para anggota Seng Hwee Kauw
( Agama Api Suci)
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan yang mulai
mengembara itu telah tiba di kota Keng Ciu. Mereka berdua
mengembara bukan demi mengangkat nama maupun mencari
pengalaman, melainkan berusaha mencari jejak pembunuh Tui
Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Ketika tiba di kota itu, mereka terbelalak, karena melihat
begitu banyak prajurit kerajaan memukuli dan menyiksa para
penduduk. "Beng Kiat," bisik Lam Kiong Soat Lan. "Bagaimana kalau
kita menolong mereka?"
Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Jangan
mencampuri urusan kerajaan!"
"Tapi...."
"Hari sudah senja, lebih baik kita mencari rumah
penginapan," potong Toan Beng Kiat.
Lam Kiong Soat Lan terpaksa menurut. Tak lama kemudian
mereka sudah sampai di sebuah rumah penginapan yang
cukup mewah. Pelayan segera menghampiri mereka sambil
tersenyum senyum, kemudian bertanya ramah.
"Tuan muda dan Nona membutuhkan kamar?"
"Ada kamar besar?" tanya Toan Beng Kiat.
"Ada," sahut pelayan itu. "Mari ikut aku!"
Pelayan itu mengajak mereka ke dalam, lalu berhenti di
depan sebuah kamar yang cukup besar.
"Bagaimana kamar ini?" tanya pelayan sambil membuka
pintu kamar itu.
Toan Beng Kiat melongok ke dalam, kemudian manggutmanggut.
"Kamar ini saja," ujarnya.
"Tuan muda dan Nona mau pesan makanan atau
minuman?" tanya pelayan itu dengan hormat.
"Tolong ambilkan teh!" sahut Toan Beng Kiat.
"Ya." Pelayan itu melangkah pergi.
Sedangkan Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
melangkah memasuki kamar itu, lalu duduk berhadapan.
"Heran!" ujar Lam Kiong Soat Lan sambil mengerutkan
kening. "Kenapa prajurit kerajaan memukuli dan menyiksa
para penduduk kota?"
"Soan Lan!" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala.
"Lebih baik jangan banyak m usan!"
"Tapi sungguh kasihan para penduduk kota Itu." Lam Kiong
Soat Lan menghela nafas panjang.
"Sudahlah!" Toan Beng Kiat menatapnya. "Kita masih harus
ke markas pusat Kay Pang, jangan menimbulkan urusan yang
tak diinginkan!"
Lam Kiong Soat Lan diam. Tak lama muncullah pelayan
membawakan satu teko teh dan sebuah cangkir.
"Tuan muda!" Pelayan itu memberitahukan degan wajah
berseri. "Ini teh wangi."
"Terimakasih!" ucap Toan Beng Kiat sekaligus memberikan
persen kepada pelayan itu.
"Terimakasih, Tuan Muda!" Pelayan itu girang bukan main.
"Terimakasih...."
"Pelayan!" panggil Lam Kiong Soat Lan mendadak.
"Bolehkah aku bertanya satu hal kepadamu?"
"Silakan, Nona!" Pelayan itu mengangguk. "Nona mau
bertanya tentang apa?"
"Kenapa prajurit-prajurit kerajaan memukuli dan menyiksa
para penduduk kota itu?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Itu...." Pelayan tersebut menghela nafas panjang sekaligus
memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Setelah Tan Tayjin mengundurkan diri dari jabatannya di kota
ini, beliau diganti oleh seorang pembesar yang bertindak
sewenang-wenang. Pajak penduduk di kota ini dinaikkan, dan
siapa yang tidak membayar pajak pasti dipukul dan disiksa."
"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. "Ternyata
begitu!" "Nona masih mau bertanya apa?"
Lam Kiong Soat Lan menggelengkan kepala. Maka pelayan
itu lalu meninggalkan kamar ter sebut.
"Beng Kiat," bisik Lam Kiong Soat Lan. "Kita harus pergi
menghajar pembesar itu."
"Soat Lan...." Toan Beng Kiat menggeleng polengkan
kepala. "Itu urusan kerajaan, kita jangan turut campur."
"Tapi prajurit-prajurit itu sungguh keterlaluan, begitu pula
pembesar itu. Maka... malam ini kita harus pergi menghajar
pembesar itu."
"Soat Lan...." Toan Beng Kiat berpikir lama sekali, akhirnya
mengangguk. "Terimakasih, Beng Kiat!" ucap Lam Kiong Soat Lan dengan
wajah berseri. "Tapi ingat! Engkau tidak boleh melukai sia-papun," pesan
Toan Beng Kiat sambil menatapnya. "Cukup menakuti
pembesar itu saja."
"Ya." Lam Kiong Soat Lan mengangguk.
--ooo0dw0ooo-- Setelah larut malam, tampak dua sosok bayangan
berkelebat di wuwungan rumah pembesar kota itu, kemudian
meloncat turun sekaligus mendekati sebuah jendela. Dua
sosok bayangan itu ternyata Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan. Mereka berdua mengintip ke dalam jendela, yang kebetulan
kamar pembesar itu. Tampak pembesar itu sedang duduk
bersama seorang wanita berusia empat puluhan. Wajah
mereka kelihatan muram.
"Walau ditambah dengan harta kekayaan kita, masih tidak
bisa mencukupi target yang ditentu kan Lu Thay Kam. Ini
sungguh celaka...."
"Lalu harus bagaimana?" tanya wanita ituf berkeluh.
"Aaaah...!" Pembesar itu menghela nafas pan jang. "Lu
Thay Kam pasti menghukum kita."
Di saat bersamaan, daun jendela itu terbuka kemudian
tampak dua sosok bayangan melesat kel dalam, yang tidak
lain Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
"Perampok!" jerit wanita itu.
"Kami bukan perampok!" sahut Lam Kion Soat Lan sambil
menatap pembesar itu dengan tajam.
"Kalian berdua mau apa ke mari?" tanya pem besar itu
dengan kening berkerut.
"Mau menghajarmu!" sahut Lam Kiong Soa Lan. "Karena
para anak buahmu memukuli da menyiksa para penduduk
kota ini!"
"Oh, itu!" Pembesar tersebut manggut-manggut. "Kalau
begitu, kalian berdua sama sekali tid tahu tentang masalah
ini." "Masalah apa?" Lam Kiong Soat Lan melot
"Lu Thay Kam mengangkatku menjadi pembesar di kota ini,
namun mengharuskan aku menaikkan pajak di kota ini pula.
Aku terpaksa harus mentaatinya, sebab kalau tidak aku pasti
hukum." "Hm!" dengus Lam Kiong Soat Lan. "Kalau begitu, engkau
yang menyuruh prajurit-prajurit itu memukuli dan menyiksa
para penduduk kota ini?"
"Memang!" Pembesar itu mengangguk. "Tapi hanya
terhadap orang kaya yang tidak mau membayar pajak!"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nona...." ujar wanita itu sambil menghela nafas. "Tahukah
engkau, kami bersedia mengorbankan harta benda kami demi
mencukupi target yang ditentukan Lu Thay Kam! Karena kami
sama sekali tidak memungut pajak dari penduduk miskin."
"Betulkah begitu?" tanya Lam Kiong Soat Lan kurang
percaya. "Betul." Pembesar itu mengangguk, kemudian menunjuk
sebuah kotak yang ada di atas meja. "Kotak itu berisi
perhiasan isteriku. Barang-ba-iang itu bukan hasil korupsi,
melainkan pemberian orang tuanya ketika kami menikah."
"Oh?" Lam Kiong Soat Lan melirik Toan Beng kiat.
"Kalau begitu, Paman bukan pembesar jahat," ujar Toan
Beng Kiat. "Maaf, kami telah salah menilai!"
"Tidak apa-apa." Pembesar itu tersenyum. "Aku ini asal dari
rakyat, sudah barang tentu harus membela rakyat. Tapi nyawa
kami terancam...."
"Kenapa terancam?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Kalau kami berani melanggar perintah Lu Thay Kam, maka
kami pasti dibunuh." Pembesar itu memberitahukan.
"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.
"Maaf, Paman!" tanya Toan Beng Kiat. "Betulkah di kota ini
terdapat orang kaya yang tak maui membayar pajak?"
"Betul." Pembesar itu mengangguk. "Mereka pura-pura
tidak mempunyai uang, dan mengemu-kakan berbagai alasan
untuk menolak kenaikan pajak."
"Paman tahu siapa mereka?" tanya Toan Bengl Kiat lagi.
"Mereka adalah hartawan Liauw, hartawan Lim dan
hartawan Phang," jawab pembesar itu.
"Paman tahu di mana rumah mereka?"
"Tahu." Pembesar itu memberitahukan.
"Kalau begitu, kami mohon pamit, sebentar akan kembali
ke mari lagi," ujar Toan Beng Kiai sambil memberi isyarat
kepada Lam Kiong Soal Lan. Gadis itu mengangguk, dan
mereka berdul lalu melesat pergi.
"Mereka mau ke mana?" Tanya wanita itu.
"Tentu ke rumah para hartawan itu," sahul pembesar itu
sambil tersenyum. "Para hartawa! itu memang harus dihajar
biar kapok! Kalau tidak, mereka sama sekali tidak mau
membayar pajak!"
"Tapi...." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kita
tidak bisa bertahan lama, sebab...."
"Aku tahu, tapi apa boleh buat" Padahal aku ingin
mengundurkan diri, namun tiada alasan."
"Ada." Wanita itu tersenyum. "Berpura-pura snkit,
kemudian mohon pengunduran diri."
"Ide yang bagus!" Pembesar itu tertawa. "Lebih baik kita
hidup tenang di kampung."
"Betul...."
Mendadak Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan melesat
ke dalam, dan tangan gadis itu membawa sebuah bungkusan.
"Benar apa yang dikatakan Paman," ujar Toan beng Kiat.
"Para hartawan itu bersenang-senang dengan beberapa
wanita cantik. Kami mengancam mereka sehingga mereka
mengeluarkan harta benda masing-masing. Nah, bungkusan
ini berisi harta benda mereka, kini kuserahkan kepada
Paman." "Terimakasih, siauw hiap!" ucap pembesar itu dan
menambahkan. "Secara tidak langsung kalian pun telah
menolong rakyat miskin."
"Maksud Paman?" tanya Toan Beng Kiat.
"Maksudku rakyat miskin tidak usah membayar pajak
dengan adanya harta benda para d u tawan ini." Pembesar
tersebut memberitahukan.
"Paman," ujar Lam Kiong Soat Lan sungguh-auij'guh.
"Menurutku, lebih baik Paman mengundurkan diri saja."
"Kami memang telah memikirkan hal itu, tapi...." Pembesar
itu mengerutkan kening. "Kalau yang menggantikan aku
adalah pembesar korup, celakalah penduduk miskin di kota
ini." "Maaf!" ucap Toan Beng Kiat. "Kami tidak bisa terusmenerus
menolong Paman, sebab kami masih harus
melanjutkan perjalanan."
"Aku tahu itu...." Pembesar tersebut manggut-manggut.
"Oh ya! Bolehkah aku tahu nama kali an?"
"Namaku Beng Kiat, nama adikku Soat Lan,' sahut Toan
Beng Kiat, kemudian menarik Lan Kiong Soat Lan, sekaligus
diajaknya melesat pergi
Pembesar itu dan isterinya termangu-mangu Mereka saling
memandang lalu menghela nafi panjang.
"Sungguh hebat kepandaian mereka!" ujar pembesar itu.
"Kalau mereka bersedia mengabdi kepada kerajaan, mungkin
Dinasti Beng masih dapat dipertahankan."
"Aaaah!" Wanita itu menghela nafas panjang lagi.
"Kelihatannya tidak lama lagi Dinasti Ben akan runtuh."
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan terus melanjutkan
perjalanan ke markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan
mereka terus menerus membicarakan tentang itu.
"Beng Kiat, kalau begitu, yang jahat adalah Lu Thay Kam."
"Benar," Toan Beng Kiat mengangguk. "Tapi itu urusan
kerajaan, kita tidak perlu turut campur."
"Aku tidak menyangka pembesar itu begitu baik. Untung
kita tidak sembarangan turun tangan melukainya!"
"Makanya lain kali kalau mau bertindak, harus berpikir
dulu." "Ya." Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Sejak kita
memasuki Tionggoan, sudah banyak yang kita dengar tentang
Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay. Hiat Ih Hwe selalu
membunuh para pembesar dan jenderal setia, sedangkan
Tiong Ngie Pay malah selalu menentang Hiat Ih Hwe,
sehingga kedua perkumpulan itu sering saling bunuh
membunuh."
"Itu urusan Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay, kita boleh
dengar tapi jangan turut campur. Eng-k .m harus ingat itu!"
pesan Toan Beng Kiat.
"Beng Kiat!" Lam Kiong Soat Lan mengerutkan kening.
"Kenapa engkau kelihatan begitu ikut akan urusan sih?"
"Bukannya takut, melainkan tugas kita jauh lebih berat,"
sahut Toan Beng Kiat. "Apakah engkau lupa, bahwa kita masih
harus mencari jejak pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin?" "Bagaimana aku lupa?" ujar Lam Kiong Soal Lan. "Lam
Kiong hujin adalah nenekku, sedang kan Tui Hun Lojin adalah
kakek tuamu."
"Oleh karena itu, kita jangan menimbulka urusan lain di
rimba persilatan! Itu akan me repotkan kita."
"Ya, aku menurut."
"Nah, harus begitu." Toan Beng Kiat tcr senyum. Mendadak
muncul beberapa orang ber pakaian hijau, yang kemudian
memandang Toa Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sambil tc
tawa-tawa. "Ha ha ha! Kita ditugaskan untuk membun mereka,
ternyata mereka masih sedemikian muda ujar salah seorang
berpakaian hijau. "Kita janga membunuh gadis itu, lebih baik
bersenang-scna dulu dengannya. Bagaimana?"
"Setuju!" sahut yang lain sambil tertawa geli "Kita harus
bergilir!"
"Siapa kalian?" bentak Lam Kiong Soat gusar, karena
mereka mengeluarkan kata-ka kotor.
"Kami adalah anggota Seng Hwee Kauw (Agama Api Suci)!"
sahut orang yang merupakan pala. "Kalian berdua pasti
bernama Toan Be Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, bukan?"
"Kok kalian tahu nama kami?" Toan Beng Kiat tertegun.
"Tentu tahu!" Orang berpakaian hijau itu tertawa. "Karena
kami ditugaskan untuk membunuh kalian!"
"Oh?" Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat lian
mengerutkan kening, kemudian mereka pun menghunus
pedang masing-masing.
"Wuah! Mau melawan ya?"
"Hm!" dengus Toan Beng Kiat. "Kalian kira pampang
membunuh kami" Sebaliknya malah kalian yang akan mati di
ujung pedang kami!"
"Mari kita serang mereka!" seru orang berpakaian hijau itu.
Tampak beberapa bilah pedang mengarah ke Tuan Beng
Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan Segera berkelit,
kemudian balas menyerang menggunakan Thian Liong Kiam
Hoat (Ilmu Pedang Naga Kahyangan).
Terjadilah pertarungan sengit. Belasan jurus kemudian,
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat lian terpaksa
mengeluarkan jurus-jurus andalan.
Toan Beng Kiat mengeluarkan jurus Thian Liong Jip Hai
(Naga Kahyangan Masuk Ke Laut), sedangkan Lam Kiong Soat
Lan mengeluarkan jurus Thian Liong Cioh Cu (Naga
Kahyangan Merebut Mutiara)
"Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...!" Terdengarlah suara jeritan.
Para anggota Seng Hwee Kauw itu terhuyung-huyung. Mereka
telah terluka dan darah mereka pun terus mengucur.
"Hm!" dengus Toan Beng Kiat. "Cepatlah kalian enyah!
Kalau tidak, kalian pasti mati di ujung pedang kami!"
Para anggota Seng Hwee Kauw saling memandang, lalu
meninggalkan tempat itu. Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat
Lan memandang punggung mereka sambil menggelengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gelengkan kepala. Kemudian Toan Beng Kiat berkata dengan
kening berkerut-kerut.
"Aku tidak menyangka kalau mereka tahu nama kita."
"Heran!" gumam Lam Kiong Soat Lan. "Dari mana mereka
tahu nama kita" Padahal kita baru menginjak Tionggoan ini."
"Menurutku, Seng Hwee Kauw pasti mempunyai dendam
dengan orang tua kita. Sebali mereka muncul untuk
membunuh kita."
"Tapi sejak kita memasuki daerah Tionggoan, sama sekali
tidak pernah mendengar tentang perkumpulan itu. Namun
justru muncul mendadak untuk membunuh kita."
"Soat Lan, kita harus segera berangkat ke markas pusat
Kay Pang untuk memberitahukan kepada kakekku tentang
kejadian ini," ujar Toan Beng Kiat. "Mungkin Seng Hwee Kauw
yang membunuh kakek tuaku dan nenekmu."
"Agama Api Suci...." gumam Lam Kiong Soat Lan. "Agama
Api.... Api.... Benar, mungkin pihak Seng Hwee Kauw yang
membunuh nenekku dan kakek tuamu."
"Ayoh, mari kita berangkat!" ajak Toan Beng Kiat. Lam
Kiong Soat Lan mengangguk. Mereka berdua segera
meninggalkan tempat itu menuju markas pusat Kay Pang.
Dalam perjalanan, Toan Heng Kiat terus berpikir dengan
kening berkerut-kerut.
"Beng Kiat, kenapa engkau?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Kenapa dari tadi keningmu berkerut-kerut?"
"Aku sedang memikirkan Seng Hwee Kauw itu." sahut Toan
Beng Kiat. "Padahal kita baru memasuki daerah Tionggoan,
bagaimana mereka bisa tahu nama kita" Bukankah itu sangat
mengherankan?"
"Benar," Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. "Bahkan
mereka berniat membunuh kita."
"Aku yakin, Seng Hwee Kauw yang membunuh kakek tuaku
dan nenekmu," ujar Toan Heng Kiat dan menambahkan.
"Sebab mereka juga mau membunuh kita."
"Mungkin tidak salah dugaanmu." Lam Kiong Soat Lan
manggut-manggut lagi. "Oleh karena itu, kita harus memburu
waktu agar cepat sampai di markas pusat Kay Pang."
"Maka...," tegas Toan Beng Kiat. "Jangan menimbulkan
masalah lain dalam perjalanan, sebabl itu akan menghambat
waktu kita."
"Ya." Lam Kiong Soat Lan mengangguk.
--ooo0dw0ooo-- Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di markas
pusat Kay Pang, yang tentunya sangat menggirangkan Gouw
Han Tiong dan Lim Peng Hang.
"Kakek!" panggil Toan Beng Kiat.
"Kakek Lim!" Lam Kiong Soat Lan juga memanggil mereka
dengan hormat. Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang tertawa
gembira. "Beng Kiat!" Gouw Han Tiong terus menatapnya dengan
penuh perhatian. "Ternyata engkau sudah besar!"
"Tentu." Toan Beng Kiat tersenyum. "Kini usiaku sudah
enam belas, sudah hampir dewasa.'
"Betul, betul! Ha ha ha!" Gouw Han Tionj tertawa. "Ayoh,
kalian duduklah!"
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan duduk, sedangkan
Gouw Han Tiong masih tetap memandang Toan Beng Kiat
sambil tertawa gem bira.
"Kalian berdua adalah murid Tayli Lo Ceng, tentunya sudah
berkepandaian tinggi, bukan?" tanya Gouw Han Tiong.
"Entahlah," Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Kami
tidak mengetahuinya."
"Apa yang kalian pelajari dari Tayli Lo Ceng?" tanya Lim
Peng Hang sambil tersenyum.
"Beberapa macam ilmu pukulan dan ilmu pedang." Toan
Beng Kiat memberitahukan. "Setelah itu, barulah guru
mengajar kami Kim Kong Sin Kang dan Kim Kong Ciang Hoat."
"Oh?" Gouw Han Tiong terbelalak. "Apakah itu merupakan
ilmu simpanan Tayli Lo Ceng?"
"Betul," Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Guru juga
memberitahukan, bahwa ilmu tersebut tidak diajarkan kepada
Paman Man Chiu!"
"Kenapa?" tanya Gouw Han Tiong dengan rasa heran.
"Kata guru, Paman Man Chiu terlampau berambisi dan...
dan...." Wajah Lam Kiong Soat Lan kemerah-merahan,
kemudian memandang Toan Beng Kiat seraya bertanya.
"Engkau ingat?"
"Aku pun sudah lupa," sahut Toan Beng Kiat.
"Ha ha ha!" Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang tertawa.
"Itu tidak apa-apa. Lupa yah sudahlah!"
"Guru mengingatkan kami, kalau tidak terpaksa jangan
mengeluarkan ilmu tersebut." Toan Beng Kiat
memberitahukan. "Sebab ilmu pukulan tersebut sangat hebat
dan lihay."
"Oooh!" Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Oh ya!" ujar
Lim Peng Hang memberitahukan. "Kalian terlambat datang.
Beberapa hari lalu Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berada
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di sini. Lie Ai Ling adalah putri Lie Man Chiu, sedangkan Siang
Koan Goat Nio adalah putri Kim Siauw Suseng."
"Oh?" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala.
"Sayang sekali! Kalau kami tidak terlambat kemari, pasti
bertemu mereka!"
"Benar," Lim Peng Hang manggut-manggut. "Oh ya,
bagaimana pengalaman kalian dalam perjalanan ke mari?"
"Cukup menegangkan," jawab Toan Beng Kiat dan menutur
tentang kejadian yang mereka alami.
"Apa"!" Kening Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
berkerut-kerut ketika mendengar tentang Seng Hwee Kauw.
"Jadi kini di rimba persilatan telah muncul Seng Hwee Kauw?"
"Ya," Toan Beng Kiat mengangguk. "Menurut kami,
kemungkinan besar kakek tua dan Lan Kiong hujin dibunuh
pihak Seng Hwee Kauw."
"Oh?" Gouw Han Tiong tersentak dan ber gumam. "Seng
Hwee (Api Suci)...."
"Itu memang mungkin," sela Lim Peng Hang "Sebab Tui
Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mat hangus, mungkin terkena
Seng Hwee?"
"Mungkin tapi belum pasti," sahut Gouw Hai
Tiong, kemudian memandang Toan Beng Kiat M-raya
berkata. "Sungguh sayang sekali kalian terlambat sampai di
sini, karena Lie Man Chiu, Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio
telah berangkat ke Hong Hoang To beberapa hari yang lalu.
Seandainya kalian tidak terlambat, mereka akan membawa
berita ini ke pulau itu."
"Apa" Paman Man Chiu...." Toan Beng Kiat terbelalak.
"Dia telah sadar, maka ikut putrinya dan Siang Koan Goat
Nio pulang ke Pulau Hong Hoang To." Gouw Han Tiong
memberitahukan, lalu menghela nafas panjang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Rimba persilatan akan banjir
ilarah lagi, karena kemunculan Seng Hwee Kauw!"
"Kakek," ujar Toan Beng Kiat. "Kami akan tinggal di sini
beberapa hari, setelah itu kami akan pergi menyelidiki Seng
Hwee Kauw."
"Itu...." Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu sungguh berbahaya, lebih baik Kalian jangan
menyelidikinya."
"Kakek!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Guru kami menitip
sepucuk surat untuk orang tua kami," katanya.
"Oh" Bagaimana isi surat itu?" tanya Gouw Han Tiong.
"Surat itu berbunyi...." Toan Beng Kiat memberitahukan.
"Maka kami diperbolehkan pergi ke Tionggoan."
"Oooh!" Gouw Han Tiong manggut-manggut "Kalau begitu,
kalian tinggal di sini beberapa hari barulah pergi menyelidiki
Seng Hwee Kauw itu!
"Ya, Kakek," Toan Beng Kiat mengangguk.
"Kalian berdua harus ingat," pesan Lim Pen Hang. "Kalau
ada apa-apa, kalian berdua haru segera kemari."
"Ya," Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soi Lan mengangguk.
Mereka berdua tinggal di markas pusat Kay Pang beberapa
hari, setelah itu, barulah mereld pergi menyelidiki Seng Hwee
Kauw. Lie Man Chiu, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling telah
tiba di Pulau Hong Hoang To. Tampak Lie Man Chiu berlutut di
hadapan Lie Tay Seng, sedangkan Tio Tay Seng menatapnya
dengan dingin sekali.
"Engkau masih punya muka kemari?" bentak Tio Tay Seng
gusar. "Engkau bukan manusia melainkan binatang yang tak
kenal budi!"
"Mantu mohon ampun, mantu memang telah bersalah...,"
ujar Lie Man Chiu terisak-isak.
"Hmm!" dengus Tio Tay Seng. "Lebih baik engkau segera
meninggalkan pulau ini, aku tidak sudi menerimamu lagi!"
"Tio Tocu," ujar Sam Gan Sin Kay sambil menggelenggelengkan
kepala. "Kini dia telah menyadari semua
kesalahannya, bahkan sudah pulung dan mau insyaf pula.
Maka dia harus di-ampuni agar bisa berkumpul kembali
bersama isterinya, berilah dia kesempatan untuk bertobat!"
"Tidak bisa!" Tio Tay Seng menggelengkan kepala.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Sudahlah,
jangan terus berpura-pura marah. Aku tahu engkau bergirang
dalam hati karena dia telah pulang bersama putrinya dan
putriku." "Bijin...." Tio Tay Seng mengerutkan kening.
"Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Tio Tocu,
semua itu telah berlalu. Aku yakin mulai sekarang putrimu
pasti hidup tenang dan bahagia."
"Paman!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Jangan membuat
Kakak Hong Hoa bertambah menderita. Kini Man Chiu telah
pulang, maka Kakak Hong Moa harus hidup bahagia."
"Heran?" gumam Tio Tay Seng. "Kenapa kalian semua
membela Man Chiu yang telah melakukan kesalahan?"
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring, "Tio Tocu, kami
tidak membelanya, melainkan membela putrimu yang telah
menderita tujuh tahun lebih."
"Aaaah...!" Tio Tay Seng menghela nafas. "Man Chiu,
cepatlah engkau ke kamar menemui Hong Hoa!"
"Ya." Lie Man Chiu mengangguk dan girang bukan main,
karena ucapan itu pertanda Tio Taji Seng telah
mengampuninya. Maka segeralah ia ke dalam menuju kamar
Tio Hong Hoa. Sementara Lie Ai Ling terus menerus menghibur Tio Hong
Hoa, karena Tio Hong Hoa menangis dengan air mata
berderai-derai, berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya.
"Ibu, maafkanlah ayah!" ujar Lie Ai Ling dan
menambahkan. "Kini ayah telah sadar."
"Dia kejam! Dia tak punya perasaan. Dia..." Ucapan Tio
Hong Hoa terputus, karena pintu kamarnya terbuka. Lie Man
Chiu berjalan ke dalam sambil memandangnya. Ketika melihat
Tio Hong Hoa begitu kurus dan rambutnya mulai memutih,
melelehlah air matanya.
Begitu melihat ayahnya memasuki kamar itu, Lie Ai Ling
segera meninggalkan kamar itu menuju ruangan depan.
Sementara Lie Man Chiu mendekati Tio Hong Hoa dengan
air mata berlinang-linang. Tio Hong Hoa menundukkan kepala
sambil menangis ter isak-isak dengan air mata berderai-derai.
"Adik Hong Hoa, isteriku..." panggil Lie Mal Chiu dengan
suara serak. "Mau apa engkau pulang" Ayoh, cepat pergi!" hentak Tio
Hong Hoa. "Isteriku...." Lie Man Chiu duduk di sisinya. "Aku mohon
ampun padamu, aku memang bersalah...."
"Engkau kejam, dan tak punya perasaan!" Tio liong Hoa
menudingnya. "Aku bukan isterimu!"
"Adik Hong Hoa!" Lie Man Chiu memandangnya dengan air
mata bercucuran. "Aku memang kejam dan tak punya
perasaan, tapi kini ?ku telah sadar. Adik Hong Hoa, engkau
adalah isteriku yang tercinta."
"Hmm!" dengus Tio Hong Hoa. "Tujuh tahun lebih aku
hidup menderita bersama Ai Ling, sebaliknya engkau...."
"Aaaah...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang,
kemudian mendadak menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio
Hong Hoa. "Adik Hong Hoa, aku mohon ampun!"
Tio Hong Hoa diam saja.
"Adik Hong Hoa, berilah aku kesempatan untuk
memperbaiki diri, agar dapat menebus dosaku!"
Tio Hong Hoa tetap diam, bahkan membuang muka.
"Adik Hong Hoa, engkau tidak sudi meng-ampuniku?" Lie
Man Chiu menatapnya putus asa. "Baiklah! Aku akan mati di
hadapanmu untuk menebus dosaku."
Lie Man Chiu menghunus pedangnya, namun mendadak Tio
Hong Hoa memeluknya erat-erat. "Kakak Chiu...."
"Adik Hong Hoa!" Lie Man Chiu membelainya. "Engkau sudi
mengampuniku?"
Tio Hong Hoa mengangguk dengan air mata berderai, lalu
mendekap di dada Lie Man Chiu sambil menangis tersedusedu.
"Isteriku," ujar Lie Man Chiu lembut. "Jangan menangis
lagi! Mulai sekarang kita tidak akar berpisah, aku akan selalu
mendampingimu dengar penuh cinta kasih...."
"Kakak Chiu...." Perlahan-lahan Tio Hong, Hoa
mendongakkan kepalanya memandang suaminya, kemudian
tersenyum. "Isteriku!" Lie Man Chiu mengangkatnya ke tempat tidur.
Mereka berdua duduk di pinggir tempat tidur untuk
mencurahkan rasa rindunya Sementara itu, Lie Ai Ling sudah
sampai di ruang depan. Sam Gan Sin Kay yang tak sabaran itu
langsung bertanya. "Bagaimana" Beres?"
"Apanya yang beres?" Lie Ai Ling balik bertanya dengan
heran. "Apakah ayah dan ibumu sudah berpeluk pelukan?" Sam
Gan Sin Kay menatapnya sambil tersenyum.
"Entahlah," sahut Lie Ai Ling sambil dudu "Aku tidak
melihatnya, karena begitu ayahku masuk, aku langsung
keluar." "Engkau sungguh bodoh." Sam Gan Sin Kay menggelenggelengkan
kepala. "Seharusnya engkau tetap di situ
menyaksikannya."
"Itu urusan orang tua, mana boleh aku menyaksikannya?"
sahut Lie Ai Ling.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Pengemis bau,
engkau memang sudah pikun."
"Kalau mereka berdua sudah berpeluk-pelukan, kita pun
ikut gembira," ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa terbahakbahak.
"Artinya mereka sudah akur...."
"Dasar pengemis bau!" tegur Kou Hun Bijin sambil tertawa
nyaring. "Mereka berdua adalah suami isteri, tentunya akan
akur kembali."
"Betul, betul! Ha ha ha...!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.
"Oh ya!" Kou Hun Bijin menatap putrinya seraya bertanya.
"Apakah engkau sudah bertemu Bun Yang?"
Siang Koan Goat Nio menggelengkan kepala.
"Apa?" Kou Hun Bijin terbelalak. "Engkau belum bertemu
Bun Yang kok sudah pulang?"
"Ibu, aku...." Siang Koan Goat Nio melirik Lie Ai Ling.
"Dia menemani kami pulang," ujar Lie Ai Ling cepat.
"Yah, ampun!" Kou Hun Bijin menepuk keningnya sendiri.
"Tujuanmu ke Tionggoan bukankah demi mencari Bun Yang"
Kenapa engkau malah menemani mereka pulang" Dasar anak
bodoh!" "Ibu...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.
"Kami terlambat sampai di markas pusat Kay Pang. Kalau
tidak terlambat, kami pasti bertemu Kakak Bun Yang." Lie Ai
Ling memberitahukan!
"Jadi...." Wajah Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im langsung
berseri. "Bun Yang sudah ke markas pusat Kay Pang?"
"Ya," Lie Ai Ling mengangguk. "Kata Kakek Lim,
kepandaian Kakak Bun Yang sudah tinggi sekali."
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im kelihatan gembira sekali.
Sementara Kou Hun Bijin terus memandang putrinya, lama
sekali barulah membuka mulut.
"Kenapa kalian terlambat sampai di markas pusat Kay
Pang?" "Ketika kami sampai di kota Keng Ciu, kami menolong
seorang pembesar yang baik hati...," jawab Siang Koan Goat
Nio dan menutur tentang pengalaman itu.
"Ternyata begitu!" Kou Hun Bijin manggut-manggut.
"Berarti..." ujar Tio Cie Hiong setelah berpikir sejenak. "Man
Chiu mempunyai hubungan dengan pihak Hiat Ih Hwe!"
"Benar," Tio Tay Seng mengangguk. "Biar nanti dia yang
menceritakannya, sebab kita harus tahu itu."
"Heran?" gumam Sam Gan Sin Kay mendadak. "Kenapa
mereka berdua begitu lama di dalam kamar" Janganjangan...."
"Jangan-jangan kenapa?" tanya Lie Ai Ling tercengang.
"Tidak mungkin ayah dan ibu akan ribut."
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Janganjangan
ayah dan ibumu sedang...."
"Pengemis bau!" tegur Kim Siauw Suseng. "Jangan omong
sembarangan di depan anak-anak! Dasar...."
"Maksudku jangan-jangan mereka berdua sudah akur dan
asyik," sahut Sam Gan Sin Kay dan tertawa lagi.
"Itu yang kuharapkan," ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh.
"Jadi kita pun harus ikut gembira."
"Betul, betul." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut.
"Memang itu yang kita harapkan. Ha ha ha...!"
"Kakek," ujar Lie Ai Ling sambil memandang lio Tay Seng.
"Aku dan Goat Nio masih mau ke l'ionggoan."
"Maksudmu pergi mengembara?" tanya Tio lay Seng.
"Ya," Lie Ai Ling mengangguk. "Sebab Goat Nio belum
bertemu Kakak Bun Yang."
"Tapi...." Tio Tay Seng mengerutkan kening. "Itu akan
dibicarakan nanti saja. Tergantung pada keputusan kedua
orang tuamu."
"Ayah yang menjanjikan begitu," Lie Ai Ling
memberitahukan.
"Oh?" Tio Tay Seng menatapnya. "Jadi ayahmu
memperbolehkanmu pergi ke Tionggoan lagi?"
"Ayah yang menjanjikan itu," sahut Lie Ai Ling.
"Kalau Goat Nio belum bertemu Bun Yang, aku tetap
penasaran," sela Kou Hun Bijin. "Oleh karena itu, aku
mengijinkan Goat Nio ke Tionggoan mencari Bun Yang."
"Ibu...." Wajah Siang Koan Goat Nio memerah.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Bijin, kenapa
engkau yang penasaran sih?"
"Tentu." Kou Hun Bijin mengangguk. "Goat Nio adalah
putriku, tentunya aku berharap dia mempunyai suami yang
baik." "Oooh!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Tidak salah,
Bun Yang memang merupakan calon suami yang baik. Aku
berani menjamin."
"Kuingat selalu ucapanmu itu," sahut Kou Hun Bijin.
"Apabila ternyata tidak, pipimu pasti bengkak kutampar."
"Celaka!" keluh Sam Gan Sin Kay. "Gara-gara banyak mulut
jadi masalah!"
"Makanya lain kali jangan banyak mulut," ujar Kim Siauw
Suseng sambil tertawa gelak.
Bersamaan itu, muncullah Lie Man Chiu dengan wajah
berseri, begitu pula Tio Hong Hoa yang di sampingnya.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Kayak
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengantin saja! Sudah beres kalian?"
"Beres," sahut Lie Man Chiu sambil tersenyum, dan
kemudian mendekati Tio Cie Hiong sekaligus menjura. "Cie
Hiong, aku minta maaf!"
"Lho" Kenapa engkau minta maaf kepadaku?" tanya Tio Cie
Hiong dengan rasa heran.
"Karena...." Lie Man Chiu menghela nafas panjang dan
melanjutkan. "Tujuh tahun yang lalu, aku merasa dengki dan
iri kepadamu, sehingga membuatku berambisi."
"Kenapa begitu?"
"Engkau selalu dipuji, disanjung dan dihormati pula. Oleh
karena itu, aku dengki dan iri kepadamu."
"Engkau...." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Oleh karena itu, maka aku berambisi mengangkat namaku
untuk menyaingimu. Akhirnya aku meninggalkan anak
isteri...." ujar Lie Man Chiu sambil menghela nafas panjang.
"Sepasang kakiku membawa diriku sampai di ibu kota. Di sana
aku bertemu Lu Thay Kam, kemudian aku mengabdi
kepadanya."
"Ternyata begitu!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Apakah Lu Thay Kam ketua Hiat Ih Hwe?"
"Betul," Lie Man Chiu mengangguk. "Dia mengajarku ilmu
Ie Hoa Ciap Bok, lalu mengangkatku sebagai wakilnya,
merangkap sebagai kepala pengawal di tempat tinggalnya."
"Tentunya engkau hidup senang di situ," ujar Tio Tay Seng
dengan wajah tak sedap dipandangi
"Memang begitulah," Lie Man Chiu mengaku "Tapi selama
tujuh tahun, aku tidak pernah tidur bersama dayang yang
mana pun."
"Tak terduga sama sekali, engkau masih dapat mengekang
hawa nafsu!" ujar Sam Gan Sin Ka dan menambahkan.
"Pantas tadi begitu lama di dalam kamar!"
"Kakek pengemis...." Wajah Lie Man Chiu memerah.
"Lalu bagaimana engkau bisa sadar dari kesalahanmu itu?"
tanya Kou Hun Bijin mendada
"Aku melihat seekor anak burung...." Lie Ma Chiu
memberitahukan. "Karena itu hatiku tersentuh dan seketika
teringat pula kepada Hong Hoa dan putriku di pulau ini."
"Syukurlah!" Kim Siauw Suseng manggu manggut. "Lalu
apa rencanamu sekarang?"
"Tidak akan meninggalkan pulau ini lagi, lama-lamanya
mendampingi Hong Hoa untuk lewati hari-hari yang indah dan
bahagia," ja Lie Man Chiu sungguh-sungguh.
"Bagus, bagus!" ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa. "Ha
ha ha...!"
"Oh ya!" Tio Tay Seng teringat sesuatu. "Betulkah engkau
telah berjanji pada Ai Ling, bahwa engkau
memperbolehkannya ke Tionggoan lagi?"
"Betul," Lie Man Chiu mengangguk. "Aku memang pernah
menjanjikan itu."
"Ayah tidak boleh ingkar janji lho!" ujar Lie Ai Ling cepat.
"Tentu." Lie Man Chiu tersenyum. "Tapi itu pun tergantung
pada ibumu."
"Ibu tidak berkeberatan, kan?" tanya Lie Ai Ling sambil
tersenyum. "Akan dirundingkan lagi mengenai itu," sahut lio Hong Hoa
dan menambahkan. "Kalau semuanya setuju, ibu pun tidak
berkeberatan!"
"Aku yakin semuanya setuju, terutama Kim Siauw Suseng
dan Kou Hun Bijin," ujar Lie Ai ling dan melanjutkan. "Sebab
aku harus menemani Goat Nio ke Tionggoan mencari Kakak
Bun Yang."
"Betul, betul," sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa
cekikikan. "Hi hi hi...!"
"Isteriku setuju, aku pun setuju," sambung Knn Siauw
Suseng. "Pengemis bau! Bagaimana engkau?"
"Aku tidak berkeberatan," sahut Sam Gan Sin Kny,
kemudian bertanya kepada Tio Tay Seng. "Tio Tocu,
bagaimana engkau?"
"Terserah kepada kedua orang tuanya," sahut Tio Tay
Seng. "Kami berdua...," ujar Lie Man Chiu sambi memandang Lie
Ai Ling dengan penuh kasih sayang. "Tentunya juga tidak
berkeberatan. Tapi kami baru berkumpul, jadi tidak boleh
cepat-cepat ke Tionggoan."
"Terimakasih Ayah," ucap Lie Ai Ling dengari wajah berseri.
"Terimakasih Ibu!"
--ooo0dw0ooo- Bagian ke dua puluh
Gadis cantik suku Miauw
Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanan bersama
monyet bulu putih. Ia berusaha keras untuk menguak misteri
kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Hari ini ketika ia sampai di tempat sep mendadak ia
mendengar suara ribut-ribut di depan. Segeralah ia melesat ke
arah asal datangnya suara itu kemudian meloncat ke atas
sebuah pohon. Dilihatnya seorang gadis cantik dikerumuni beberapa orang
berpakaian hijau. Gadis itu berpakaian aneh warna warni,
sepasang tangan dan kakinya memakai gelang, dan telinganya
memakai anting yang bergemerlapan.
Begitu melihat gadis tersebut, Tio Bun Yang tahu bahwa
gadis itu bukan gadis Tionggoan. Tampak gadis itu marahmarah
sambil menuding orang-orang berpakaian hijau itu,
bahkan membentak pula.
"Kalian jangan kurang ajar! Kata ibuku, orang Tionggoan
baik-baik, tidak tahunya begitu kurang Ajar!"
"Kami memang orang baik-baik," sahut salah seorang
berpakaian hijau. "Kalau kami jahat, tentunya tidak akan
mengajakmu bersenang-senang. Ha ha ha...!"
"Jangan kurang ajar!" bentak gadis itu lagi.
"Nona cantik, engkau dari mana?" tanya orang Itu sambil
menatapnya dengan penuh nafsu birahi.
"Kalian tidak usah tahu aku datang dari mana!" sahut gadis
itu dan mengancam. "Kalau kalian berani kurang ajar
terhadapku, aku pasti tidak memberi ampun kepada kalian!"
"Ha ha ha! Kami tidak minta ampun, melainkan ingin minta
dirimu menemani kami!" Orang berpakaian hijau itu
mendekatinya, lalu mendadak menjulurkan tangannya untuk
meraba pipi gadis itu
Gadis itu cepat-cepat berkelit, sekaligus menghunus
pedangnya. Ditatapnya mereka dengan tajam seraya berkata.
"Aku tidak menyangka orang Tionggoan sedemikian tak
tahu diri!"
"He he he! Engkau menghunus pedang" Mau bertarung
dengan kami" Lebih baik jangan, sebab kami tidak sampai hati
melukaimu. Alangkah baiknya engkau menemani kami tidur,
pokoknya...."
Sebelum orang berpakaian hijau itu usai berkata, gadis itu
telah mengayunkan pedangnya.
Breeet! Pakaian orang itu tersobek. Untung ia cepat
berkelit, kalau tidak ia pasti terluka.
"Serang dia!" seru orang berpakaian hijau itu.
Teman-temannya langsung menyerang gadis! itu dengan
pedang dan golok. Gadis itu berkelit! lalu balas menyerang.
Tio Bun Yang terbelalak ketika melihat gerakan pedang
gadis itu, karena gerakan pedang itu ternyata Tui Hun Kiam
Hoat (Ilmu Pedang! Pengejar Roh).
Sayang sekali, gadis itu belum berpengalaman maka
belasan jurus kemudian sudah berada dibawah angin.
"Ha ha ha!" Orang-orang berpakaian hijau tertawa
terkekeh. "Sudahlah! Lebih baik engkau menyerah saja! Kami
merasa tidak tega melukai mu!"
"Berhenti!" Terdengar suara bentakan da mendadak
melayang turun seseorang, yang tidak lain Tio Bun Yang
bersama monyet bulu puti yang duduk di bahunya.
Orang-orang berpakaian hijau terperanjat. Mereka langsung
berhenti menyerang gadis itu, kemudian memandang Tio Bun
Yang dengan kening berkerut.
"Siapa engkau?"
"Siapa kalian?"
"Kami anggota Seng Hwee Kauw, maka engkau jangan
coba-coba mencampuri urusan kami kalau ingin selamat!"
"Seng Hwee Kauw?" Tio Bun Yang berpikir, karena tidak
pernah mendengar nama perkumpulan itu.
"Cepatlah engkau enyah, jangan cari mati di sini!" Ujar
salah seorang berpakaian hijau itu.
"Seharusnya kalian yang enyah dari sini, bukan aku!" sahut
Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Oh?" Orang berpakaian hijau itu tertawa. "Siapa engkau"
Kenapa berani omong besar di hadapan kami?"
"Aku adalah Giok Siauw Sin Hiap!" sahut Tio Kun Yang
sambil memperlihatkan suling pualamnya.
"Haaah?" Orang-orang berpakaian hijau tampak terkejut,
kemudian mendadak menyerangnya.
"Kalian memang cari penyakit!" ujar Tio Bun Yang sambil
berkelit. Kemudian ia balas menyerang menggunakan Giok
Siauw Bit Ciat Kang khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah
Kepandaian), dan mengeluarkan jurus Cian In Giok Siauw
(Ribuan Bayangan Suling Kumala).
"Aaaakh! Aaaakh! Aaaaakh...!" Terdengar, suara jeritan
yang saling menyusul. Orang-orang' berpakaian hijau itu
roboh dengan mulut mengeluarkan darah. Ternyata salah satu
urat penting mereka telah putus, dan kepandaian mereka
musnah seketika.
Hanya dengan satu jurus Tio Bun Yang berhasil
memusnahkan kepandaian mereka, itu karena kepandaian
mereka masih rendah.
"Cepatlah kalian pergi!" bentak Tio Bun Yang.
Orang-orang berpakaian hijau itu berusaha bangkit untuk
berdiri, lalu berjalan pergi dengari sempoyongan.
"Hi hi hi!" Gadis itu tertawa geli.
"Nona!" ujar Tio Bun Yang. "Sudah amari sekarang, engkau
boleh meninggalkan tempat ini."
Gadis itu terbelalak. "Kenapa engkau mengusirku?"
"Aku tidak mengusirmu, melainkan...." Mendadak Tio Bun
Yang teringat sesuatu. "Oh ya, siapa yang mengajarmu ilmu
pedang Tui Hun Kiam Hoat?"
"Kok engkau tahu?" tanya gadis itu dengan rasa heran.
"Aku melihat gerakan pedangmu tadi," Tio Bun Yang
memberitahukan. "Maka aku tahu."
"Oooh!" Gadis itu manggut-manggut. "Ibu yang
mengajarku."
"Siapa ibumu?"
"Jangan terus bertanya, aku sudah capek berdiri!" tandas
gadis itu. "Lebih baik kita mengobrol di bawah pohon saja."
"Baik." Tio Bun Yang mengangguk sambil tersenyum.
Mereka berdua lalu duduk di bawah sebuah pohon. Gadis
itu terus menatapnya sehingga membuat Tio Bun Yang
terheran-heran.
"Kenapa engkau terus memandangku?"
"Engkau sungguh tampan," sahut gadis itu. "Monyet yang
duduk di bahumu juga indah sekali bulunya."
"Engkau...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
Sedangkan monyet bulu putih itu bercuit-cuit seakan merasa
gembira sekali karena dipuji.
"Oh ya! Aku lupa menjawab pertanyaanmu tadi." Gadis itu
tersenyum. "Ibuku adalah putri kepala suku Miauw."
"Kalau begitu... engkau gadis Miauw?"
"Betul."
"Kok engkau begitu lancar berbahasa Han?"
"Sejak kecil aku sudah belajar bahasa Han." Gadis Miauw
itu memberitahukan. "Ibu yang mengajarku."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Oh ya, siapa
yang mengajar ibumu ilmu pedang itu?"
"Orang Han."
"Kapan?"
"Sudah lama sekali, mungkin dua puluhan tahun yang lalu.
Aku datang di Tionggoan justru mau cari orang Han itu, ibu
yang menyuruhku mencarinya."
"Bolehkah aku tahu nama orang Han itu?"
"Namanya Tio Cie Hiong."
"Apa"!" Tio Bun Yang terbelalak. "Engkau mau
mencarinya?"
"Ya." Gadis Miauw itu mengangguk. "Engkau tahu Tio Cie
Hiong berada di mana?"
"Tahu." Tio Bun Yang mengangguk. "Tio Cie Hiong adalah
ayahku." "Apa"!" Kini giliran gadis Miauw itu yana terbelalak.
"Engkau... engkau puteranya?"
Kisah Pendekar Bongkok 14 Bara Naga Karya Yin Yong Kisah Sepasang Rajawali 3
"Oooh!" Tan Thiam Song manggut-manggUt "Putri adik
atau kakak ayahmu?"
"Kakak ayahku," jawab Tio Bun Yang dan bertanya. "Di
mana Paman bertemu mereka?"
"Di kota Keng Ciu." Tan Thiam Song memberitahukan.
"Pada hari itu aku sedang merayakan ulang tahunku...."
"Jadi mereka berdua yang menyelamatkan Paman?" tanya
Tio Bun Yang girang.
"Betul" Tan Thiam Song rnengangguk.
"Oh ya!" Mendadak Nyonya Tan menatapnya. "Engkau
kenal Siang Koan Goat Nio itu?"
"Aku tidak kenal." Tio Bun Yang menggelengkan kepala.
"Julukannya adalah Kim Siauw Siancu" Tan Thiam Song
memberitahukan. "Engkau kenal, kan?"
"Kim Siauw Siancu?" Tio Bun Yang menggelengkan kepala
lagi "Aku memang tidak kenal"
"Dia bersama Lie Ai Ling, kenapa engkau tidak kenal?" Tan
Thiam Song heran.
"Justru membingungkan," sahut Tio Bun Yang. "Karena aku
tidak menyangka adik Ai Ling datang di Tionggoan, bahkan
bersama gadis lain yang bernama Siang Koan Goat Nio."
"Tio siauw-hiap." Tan Giok Lan memandangnya. "Engkau
dan Lie Ai Ling dibesarkan di Pulau Hong Hoang To?"
"Betul," Tio Bun Yang mengangguk. "Oh ya, jangan
memanggilku Tio siauw-hiap, panggil saja namaku!"
"Baiklah." Tan Giok Lan tersenyum.
"Bun Yang!" Tan Thiam Song memandangnya sambil
tertawa-tawa. "Berapa usiamu sekarang?"
"Tujuh belas."
"Usia putriku sudah... dua puluh. Engkau memanggil dia
kakak, dia memanggilmu adik. Bagaimana?"
"Bun Yang!" Tan Thiam Song menatapnya. "Engkau masih
muda, tapi kepandaianmu sudah begitu tinggi. Karena itu, aku
ingin mengajukan sebuah permintaan, tapi entah dikabulkan
atau tidak?"
"Permintaan apa?" tanya Tio Bun Yang.
"Permintaanku... yakni mengajar putriku ilmu silat," Tan
Thiam Song memberitahukan.
"Haah?" Mulut Tio Bun Yang ternganga lebar. Ia tidak
menyangka kalau Tan Thiam Song akan mengajukan
permintaan tersebut.
"Adik Bun Yang...." tanya Tan Giok Lan. "Engkau tidak sudi
mengabulkan permintaan ayahku?"
"Bukan tidak sudi, melainkan...."
"Apa?"
"Tidak gampang belajar ilmu silat, lagi pula aku tidak bisa
lama-lama di sini, sebab harus
meneruskan perjalanan."
"Bun Yang," ujar Tan Thiam Song mendesaknya. "Jangan
mengecewakan kami, ajarlah putriku ilmu silat!"
"Itu...." Akhirnya Tio Bun Yang mengangguk. "Baiklah!"
"Terima kasih, Bun Yang!" ucap Tan Thiam Song sambil
tertawa gelak. "Terima kasih, Adik Bun Yang!" Wajah Tan Giok Lan
berseri-seri, sebab mempunyai banyak kesempatan untuk
mendekati pemuda itu.
Keesokan harinya, mulailah Tio Bun Yang mengajar Tan
Giok Lan cara-cara bertatih lweekang. Itu adalah cara berlatih
Pan Yok han Thian Sin Kang. Setelah gadis itu mengerti,
barulah Tio Bun Yang mengajarkan Hong Hoang Kiam Hoat
(Ilmu Pedang Burung Phoenix), kemudian ia pun mengajarnya
Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat).
"Kakak Giok Lan, engkau harus terus berlatih lweekang,"
ujar Tio Bun Yang dan menambahkan. "Ilmu Pedang Hong
Hoang Kiam Hoat adalah ilmu pedang andalan bibiku, maka
engkau harus tekun berlatih."
"Ya," Tan Giok Lan mengangguk.
"Apabila engkau tidak sanggup melawan orang yang
berkepandaian lebih tinggi darimu, pergunakanlah Kiu Kiong
San Tian Pou untuk meloloskan diri!" pesan Tio Bun Yang.
"Ya." Tan Giok Lan mengangguk lagi. Setelah gadis itu
berhasil menguasai semua ilmu itu, Tio Bun Yang mohon
pamit. Sudah barang tentu membuat Tan Giok Lan menangis
sedih, berat rasanya berpisah dengan pemuda itu.
-oo0dw0oo- Bagian ke Enam belas
Malaikat Api Suci
Dilembah Hek Bu Kok (Lembah Kabut Hitam) terdapat
sebuah bangunan yang amat besar. Karena siang malam
tertutup kabut kehitam-hitaman, maka lembah itu dinamai
Lembah Kabut Hitam. Bangunan besar itu adalah tempat
tinggal Seng Hwee Sin Kun (Malaikat Api Suci), yang dua
tahun lalu ia membunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Hari ini ?a mengundang beberapa tokoh tua golongan hitam
ke tempat tinggalnya, guna membahas sesuatu yang sangat
penting. Tokoh-tokoh tua golongan hitam yang diundangnya itu
adalah Tok Chiu Ong (Raja Tangan Beracun), Pek Bin Kui
(Setan Muka Putih), Hek Sim Popo (Nenek Hati Hitam), Leng
Bin Hoatsu (Pendeta Muka Dingin) dan Pat Pie Lo Koay
(Siluman Tua Lengan Delapan). Mereka semua rata-rata sudah
berusia tujuh puluhan dan berkepandaian tinggi.
"Ha ha-ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Tahukah
kalian kenapa aku mengundang kalian kemari?"
"Itu yang kami bingungkan," sahut Hek Sim Popo.
"Tentunya bukan untuk makan-makan, bukan?"
"Terus terang," ujar Seng Hwee Sin Kun "Dua tahun lalu
aku telah mernbunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin."
"Oh?" Para tokoh tua golongan hitam saling memandang,
kemudian mereka tertawa terkekeh-kekeh. "He he he! Bagus!
Bagus sekali!"
"Setelah membunuh mereka berdua...." lanjut Seng Hwee
Sin K?n, "Aku pun berangkat ke Kwan Gwa membunuh Kwan
Gwa Siang Koay dan Lak Kui."
"Oh, ya?" para tokoh tua golongan hitam itu terperanjat.
"Engkau mampu membunuh mereka?"
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak "Tentu!
Karena aku telah berhasil mempelajari Seng Hwee Sin Kang
(Tenaga Sakti Api Suci)?"
"Apa"!" Mereka tertegun. "Engkau telah berhasil
mempelajari ilmu itu?"
"Betul" Seng Hwee Sin Kun mengangguk, "Kalau tidak,
bagaimana mungkin aku mampu m?mbunuh Kwan Gwa Siang
Koay dan Lak Kui, juga menyebut diriku Seng Hwee Sin Kun?"
"Selamat! Selamat!" ucap mereka sambil tertawa gembira.
"Kami tidak menyangka engkau dapat menguasai ilmu itu"
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terbahak-bahak.
"Belasan tahun lalu, aku berhasil memperoleh Seng Hwee Tan
(Pil Api Suci), namun teman baikku justru malah memperoteh
Seng Hwee Cin Keng (Kitab Pusaka Api Suci). Karena itu, aku
berusaha merebut kitab pusaka itu. Dia berhasil melarikan diri
dalam keadaan terluka parah, kemudian ditolong oleh Kam
Pek Kian. Akan tetapi, akhirnya kitab pusaka itu jatuh
ketanganku."
"Engkau merebutnya dari tangan Kam Pek Kian itu?" tanya
Tok Chiu Ong. "Betul." Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Bahkan
aku pun membunuhnya. Ha ha ha...!"
"Kalau begitu...." ujar Pek Bin Kui sambil tertawa. "Kini
sudah saatnya kita bangkit berdiri."
"Tidak salah." Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut dan
menambahkan. "Tentunya kalian tahu, Ang Bin Sat Sin adalah
kakak seperguruanku, dia dibunuh oleh Kwan Gwa Siang Koay
dan Lak Kui, maka aku membunuh mereka."
"Lalu kenapa engkau juga membunuh Tui Hun Lojin dan
Lam Kiong hujin?" tanya Pat Pie Lo Koay mendadak.
"Karena mereka mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin
Hiap-Tio Cie Hiong, maka harus dibunuh," sahut Seng Hwee
Sin Kun. "Oooh!" Pat Pie Lo Koay manggut-manggut.
"Bagus!" ujar Hek Sim Popo. "Pokoknya siapa yang
mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap, harus dibantai
habis!" "Betul," sambung Leng Bin Hoatsu. "Sebab tujuh partai
besar dan kaum rimba persilatan lainnya telah mengakuinya
sebagai Bu Lim Beng Cu (Ketua Rimba Persilatan)."
"Tapi...." Pat Pie Lo Koay menggeleng-gelengkan kepala.
"Kepandaian Pek Ih Sin Hiap tinggi sekali, mampu membunuh
Bu Lim Sam Mo."
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kini kita
tidak perlu takut kepadanya, sebab aku menguasai Seng Hwee
Sin Kang, Seng Hwee Kiam Hoat dan Seng Hwee Ciang Hoat.
Ilmuku itu dapat menandinginya, lagi pula kalian pun telah
memperdalam ilmu masing-masing, bukan?"
"Betul," Hek Sim Popo mengangguk. "Lantaran
memperdalam ilmu, maka kita semua tiada kesempatan
bergabung dengan Bu Lim Sam Mo."
"Namun kita mempunyai kesempatan lain," ujar Seng Hwee
Sin Kun serius. "Inilah yang akan kurundingkan bersama
kalian semua."
"Mengenai apa?" tanya Tok Chiu Ong tertarik.
"Tentunya mengenai kita," Seng Hwee Sin Kun tertawa.
"Oh ya, kalian dapat mengumpulkan berapa banyak kaum
golongan hitam?"
"Kalau dijumlahkan, mungkin diatas lima puluh," jawab Hek
Sim Popo memberitahukan.
"Bagus, bagus!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gembira. "Kini
di dalam rimba persilatan sudah tiada It Ceng, Ji Khie dan Sam
Mo lagi. Bahkan Bu Tek Pay juga telah bubar sekian lama oleh
karena itu kita harus mendirikan suatu partai baru. Kalian
setuju7" "Setuju!" sahut mereka semua,dengan serentak.
"Kalau begitu, aku ingin mendirikan Seng Hwee Kauw
(Agama Api Suci). Bagaimana menurut kalian" Seng Hwee Sin
Kun memandang mereka.
"Tentunya kami tidak berkeberatan," sahut Hek Sim Popo.
"Sebab kepandaianmu lebih tinggi dari kami, maka kami harus
menurut." "Bagus! Ha ha ha...." Seng Hwee Sin Kun tertawa gembira
sambil melanjutkan dengan suara lantang. "Dalam Seng Hwee
Kauw harus ada ketua, wakil ketua, penasihat dan pelindung
hukum. Oleh karena itu, kita harus menyusunnya atas
kesepakatan kita bersama."
"Betul," Leng Bin Hoatsu manggut-manggut.
"Kepandaianmu paling tinggi, maka engkau harus menjadi
ketua." "Setuju!" sahut yang lain.
"Terima kasih!" ucap Seng Hwee Sin Kun sambil tersenyum.
"Lalu siapa yang menjadi wakil ketua?"
"Menurutku...." ujar Tok Chiu Ong. "Leng Bin Hoatsu harus
menjadi wakil ketua."
"Setuju!" sahut yang lain.
"Kalau begitu...." Wajah Seng Hwee Sin Kun tampak serius.
"Mulai sekarang Leng Bin Hoatsu sebagai wakil ketua."
"Terima kasih!" ucap Leng Bin Hoatsu.
"Siapa yang cocok untuk menjadi penasihat?" tanya Seng
Hwee Sin Kun sambil memandang mereka.
"Pek Bin Kui," sahut Tok Chiu Ong. "Sebab Pek Bin Kui
sangat licik dan banyak akal, dia memang cocok untuk
menjadi penasihat."
"Bagaimana?" tanya Seng Hwee Sin Kun. "Kalian setuju?"
"Setuju!" Terdengar suara sahutan.
"Baik." Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut sambil
tersenyum. "Mulai sekarang, Pek Bin Kui sebagai penasihat
Seng Hwee Kauw.
"Terima kasih!" ucap Pek Bin Kui.
"Sekarang harus pilih seorang pelaksana hukum," ujar Seng
Hwee Sin Kun. "Siapa yang pantas menjadi pelaksana
hukum?" "Hek Sim Popo," sahut Leng Bin Hoatsu. "Sebab dia berhati
kejam, maka pantas menjadi pelaksana hukum."
"Balk," Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Hek Sim
Popo, mulai sekarang engkau Sebagai pelaksana hukum Seng
Hwee Kauw."
"Terima kasih!" ucap Hek Sim Popo sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
"Terakhir adalah Pat Pie La Koay dan Tok Chiu Ong,
otomatis mereka berdua sebagai pelindung hukum," ujar Seng
Hwee Sin Kun. "Terima kasih!" ucap Pat Pie La Koay dan Tok Chiu Ong.
"Nah!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kini telah usai
penyusunan pengurus, maka besok kalian harus pergi
mengumpulkan kaum golongan hitam, tetapi harus kembali
tiga hari kemudian."
"Ya," sahut mereka serentak.
"Kini di dalam rimba persilatan te1ah muncul Hiat Ih Hwe
dan Tiong Ngie Pay, yang kedua-duanya cukup kuat. Tapi...."
Seng Hwee Sin Kun memberitahukan sambil tertawa terbahakbahak.
"Kedua perkumpulan itu justru saling membunuh. Maka kita
tidak perlu mengusik kedua perkumpulan itu. Biar mereka
terus saling membunuh, akhirnya kita yang akan mengeruk
keuntungan."
"Benar," sahut Pek Bin Kui sambil tertawa. "Setelah itu,
barulah kita taklukkan kedua perkumpulan itu."
"Tidak salah," Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak.
"Bagaimana menurutmu mengenai tujuh partai besar"
Perlukah kita menaklukkan partai-partai itu?"
"Untuk sementara tidak perlu," sahut Pek Bin Kui. "Yang
perlu kita taklukkan justru Kay Pang. Sebab Kay Pang sangat
kuat, lagi pula mempunyai hubungan erat. dengan Pek Ih Sin
Hiap-Tio Cie Hiong."
"Memang benar apa yang dikatakan Pek Bin Kui," ujar Leng
Bin Hoatsu. "Tapi...."
"Aku tahu maksudmu," Pek Bin Kui tertaw?. "Sebelum Seng
Hwee Kauw kita memiliki kekuatan yang cukup, jangan
mengusik Kay Pang. Ya, kan?"
"Betul," Leng Bin Hoatsu manggut-manggut.
"Itu sudah dalam perhitunganku," Pek Bin Kui tertawa dan
menambahkan. "Namun kita boleh bergerak secara gelap
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk membantai para anggotanya."
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa. "Ide yang tepat,
bahkan kita pun harus membunuh orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan Tio Cie Hiong!"
"Tidak salah," Leng Bin Hoatsu mengangguk. "Setelah itu,
barulah kita mengarah pada tujuh partai besar."
"Ngmm!" Seng Hwee Sin Kun manggut. "Ingat, kita harus
mempersatukan semua kaum golongan hitam, dan memecah
belahkan golongan putih!"
"Ha ha ha!" Pek Bin Kui tertawa gelak. "Tentunya aku
mempunyai akal untuk memecah belahkan partai-partai
golongan putih."
"Bagus!" Seng Hwee Sin Kun tertawa. "Itu memang
tugasmu." "Oh ya!" Tiba-tiba Leng Bin Hoatsu mengerutkan kening.
"Kalau kita memusuhi Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong, sudah
barang tentu akan menghadapi pihak pulau Hong Hoang To.
Karena itu, kita harus berpikir matang."
"Akan kita rundingkan lagi nanti, sehab sekarang Seng
Hwee Kauw belum resmi berdiri," sahut Seng Hwee Sin Kun
dan menambahkan. "Pokoknya ada masalah apa pun, kita
berenam harus berunding bersama demi kemajuan Seng
Hwee Kauw kita."
"Ya!" sahut yang lain serentak.
"Kalau begitu, kita beristirahat dulu sekarang," ujar Seng
Hwee Sin Kun. "Sebab besok kalian harus pergi
mengumpulkan para golongan hitam."
"Ya!" Yang lain manggut-manggut, lalu pergi beristirahat di
kamar yang telah disediakan Seng
Hwee Sin Kun. Keesokan harinya, berangkatlah mereka
berlima untuk melaksanakan tugas itu.
-oo0dw0oo- Tiga hari kemudian, mereka telah kembali dan masingmasing
membawa belasan orang kaum golongan hitam,
sehingga membuat suasana di dalam bangUnan itu menjadi
ramai sekali. "Saudara-saudara sekalian..." ujar Seng Hwee Sin Kun
dengan suara lantang. "Kalian semua terpencar-pencar tidak
karuan, maka aku akan mempersatukan kalian!"
"Terima kasih!" sahut mereka semua.
"Oleh karena itu, kami berenam ingin mendirikan Seng
Hwee Kauw," Seng Hwee Sin Kun menatap mereka. "Kalian
semua boleh bergabung menjadi anggota kami. Bagaimana,
kalian setuju?"
"Setuju!" sahut mereka sambil bersorak sorai penuh
kegembiraan. "Akan tetapi...." ujar Seng Hwee Sin Kun serius. "Kalian
semua harus bersumpah setia kepada Seng Hwee Kauw."
"Ya!" Mereka semua mengangguk lalu bersumpah setia.
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gembira. "Bagus,
bagus! Jadi kalian semua harus tahu, aku sebagai ketua Seng
Hwee Kauw. Leng Bin Hoatsu sebagai wakil, Pek Bin Kui
sebagai penasihat, Hek Sim Popo sebagai pelaksana hukum,
sedangkan Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong sebagai
pelindung hukum. OIeh karena itu, siapa yang berani
berkhianat atau melanggar hukum yang berlaku di Seng Hwee
Kauw, maka Hek Sim Popo berhak menghukum kalian."
"Ya!" sahut mereka semua.
seru Seng Hwee Sin Kun dengan suara lantang. "Hari ini
kuresmikan Seng Hwee Kauw!"
"Hidup Seng Hwee Kauw! Hidup Seng Hwee Kauw...!"
teriak mereka semua dengan penuh semangat.
"Kalian semua pun sudah sah menjadi anggota Seng Hwee
Kauw," ujar Seng Hwee Sin Kun dan menambahkan. "Kalian
semua mempunyai seragam Seng Hwee Kauw, yaitu pakaian
serba hijau."
"Terima kasih Ketua," sahut para anggota Serentak.
"Kalian semua harus ingat, siapa berani berkhianat pasti
dihukum mati," ujar Seng Hwee Sin Kun sungguh-sungguh.
"Tapi kalau kalian memperkosa kaum wanita, itu adalah
kesenangan kalian, maka tidak di hukum."
"Horeee!" seru para anggota girang.
"Sekarang kalian semua boleh beristirahat disini, tapi
jangan berisik mengganggu kami yang akan merundingkan
sesuatu!" "Ya, Ketua!" Para anggota langsung duduk dan mulai
bercakap-cakap dengan wajah berseri-seri.
Sedangkan Seng Hwee Sin Kun mulai berunding dengan
Leng Bin Hoatsu dan lainnya. "Kini kita sudah mempunyai
anggota lima puluh orang lebih, maka harus diatur," ujar Seng
Hwee Sin Kun. "Ketua,w"usul Pek Bin Kui. "Mereka harus jadi beberapa
regu, dan setiap regu harus mempunyai seorang kepala
"Benar," Leng Bin Hoatsu~ mangut-mangut.
"Aku yakin, tidak lama lagi anggota kita akan bertambah."
"Ngmm!" Seng Hwee Sin Kun mengangguk. "Karena itu,
mereka harus diatur sebaik-baiknya."
"Pelaksana hukum! Siapa yang berkhianat harus dihukum
mati!" ujar Leng Bin Hoatsu.
"Ya, Wakil Ketua," Hek Sun Popo mengangguk.
"Bagaimana cara kita memilih kepala regu?" tanya Tok Chiu
Ong. "Itu gampang sekali," sahut Pek Bin Kui sambil tersenyum.
"Kita suruh mereka memperlihatkan kepandaian masingmasing,
agar kita bisa menilai kepandaian mereka. Siapa yang
berkepandaian tinggi, dialah yang kita pilih sebagai kepa1a
regu." "Kalau begitu, kita harus memilih sepuluh kepala regu,"
ujar Leng Bin Hoatsu.
"Betul" sahut Pek Bin Kui. "Sebab pasti masih banyak kaum
golongan hitam yang akan bergabung dengan kita."
"Ha ha ha?" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak, kalau
begitu, nanti kita suruh mereka memperlihatkan kepandaian
masing-masing."
"Setelah itu...." sambung Pek Bin Kui. "Kita harus
mengadakan pesta untuk merayakan berdirinya Seng Hwee
Kauw kita."
"Baik," Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Kita pun
harus bersulang bersama untuk itu."
"Benar," Hek Sim Popo tertawa terkekeh-kekeh. "Tidak
lama lagi, Seng Hwee Kauw akan lahir di rimba persilatan. He
he he...!"
"Lalu bagaimana rencana kita?" tanya Tok Chiu Ong.
"Harus turun tangan tethadap pihak mana dulu?"
"Terhadap para anggota Kay Pang dan orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong,"
jawab Seng Hwee Sin Kun.
"Ketua, bukankah itu akan memancing Tio Cie Hiong
keluar" Kalau dia muncul kembali dalam rimba persilatan,
apakah tidak akan merepotkan kita?"
"Itu tidak jadi masalah," tegas Seng Hwee Sin Kun dan
menambahkan. "Terus terang, aku sanggup melawannya."
"Kalau begitu, legalah hati kami," ujar Leng Bin Hoatsu.
"Apakah kalian ragu akan kepandaianku?" tanya Seng
Hwee Sin Kun sambil tertawa. "Kalau kalian ragu, akan
kuperlihatkan Seng Hwee Sin Kang."
"Itu memang ada baiknya juga," sahut Leng Bin Hoatsu.
"Baik," Seng Hwee Sin Kun manggut-mangut, lalu berjalan
ke tengah-tengah ruangan. Para anggota langsung minggir
dan bersorak kegirangan karena akan menyaksikan
kepandaian ketua mereka.
Seng Hwee Sin Kun berdiri di tengah-tengah ruang itu, lalu
mulai menghimpun Seng Hwee Sin Kang.
"Kalian semua harus lebih jauh lagi Kalau tidak, kalian pasti
mati hangus dalam jarak tiga depa," ujar Seng Hwee Sin Kun
mengingatkan. Para anggota yang agak dekat segera minggir,sedangkan
Seng Hwee Sin Kun terus menghimpun lweekangnya.
Berselang sesaat, sekujur badannya mulai memancarkan
cahaya kehijau-hijauan, sekaligus mengeluarkan hawa yang
panas sekali. Mendadak Seng Hwee Sin Kun membentak keras, lalu mulai
memperlihatkan Seng Hwee Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Api
Suci). Seketika terlihat cahaya kehijau-hijauan berkelebat ke
sana kemari. Leng Bin Hoatsu dan lainnya terbelalak. Mereka sama sekali
tidak menyangka Seng Hwee Ciang Hoat begitu hebat.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah Seng Hwee Sin
Kun berhenti, namun ruang itu masih diliputi hawa panas.
"Hidup Seng Hwee Sin Kun! Hidup Seng Hwee Kauw.!"
teriak para anggota riuh gemuruh.
"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak.Ia kembali
ke tempat duduknya lalu bertanya. "Bagaimana ilmuku itu?"
"Sungguh hebat sekali," sahut Leng Bin Hoatsu dan lainnya.
"Kami yakin engkau dapat melawan Tio Cie Hiong."
"Mungkin malah dapat membunuhnya," sambung Hek Sim
Popo. "Aku memang berniat membunuh Tio Cie Hiong," sahut
Seng Hwee Sin Kun. "Kalau aku berhasil membunuhnya, rimba
persilatan pun pasti akan mengakui Seng Hwee Kauw sebagai
Bu Lim Beng Cu. Ha-ha-ha...!"
"Benar!" sahut Leng Bin Hoatsu dan lainnya sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
Setelah itu, Leng Bin Hoatsu perintah para anggota agar
memperlihatkan kepandaian masing-masing.
Maka terpilihlah sepuluh kepala regu, kemudian pesta pun
dimulai dengan semarak sekali.
-oo0dw0o- Bagian ke Tujuh belas
Orang Penebus Dosa
Sementara itu, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling terus
melanjutkan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang.
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Lie Ai Ling berbicara
dengan wajah cerah ceria.
"Hi-hi-hi...!" Gadis itu mendadak tertawa geli.
"Ai Ling, kenapa engkau tertawa geli" Apa yang
menggelikanmu?" tanya Siang Koan Goat Nio dengan rasa
heran. "Tentu saja menggelikan," sahut Lie Ai Ling
memberitahukan. "Sebab kini aku adaiah Hong Hoang Lihiap,
sedangkan engkau adalah Kim Siauw Siancu."
"Engkau memang mengada-ada," Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan "Karena itu,
justru akan timbul masalah"
"Masalah?" Lie Ai Ling terbelalak. "Apakah kita salah
menolong Tan Tayjin yang baik hati itu?"
"Tidak salah, cuma...."
"Cuma kenapa?"
"Itu akan menyeret kita ke dalam masalah," Siang Koan
Goat Nio menghela nafas panjang. "Sebab pihak Hiat Ih Hwe
pasti tidak akan tinggal diam."
"Kalau mereka muncul, kita hajar saja mereka...."
Ketika Lie Ai Ling baru usai berkata demikian, terdengarlah
suara tawa yang memekakkan telinga, dan tak lama kemudian
muncullah belasan orang berpakaian merah.
"Nona," ujar salah seorang berpakaian merah. "Tadi
engkau bilang mau menghajar kami. Nah, kami telah muncul,
silakan menghajar kami!"
"Apakah kalian para anggota Hiat Ih Hwe?" tanya Lie Ai
Ling sambil menghunus pedang pusakanya, sedangkan Siang
Koan Goat Nio mengeluarkan suling emasnya sambil menatap
mereka. "Betul!" sahut orang berpakalan merah itu. "Aku adalah
kepala regu ini. Kami kemari khususnya untuk membunuh
kalian!" "Oh?" Lie Ai Ling tertawa dingin. "Kalian kira kami patung
yang tak bisa melawan?"
"Ha ha ha!" Kepala regu Hiat Ih Hwe itu tertawa gelak.
"Kalian berdua sungguh cantik! Kalau bersedia menemaniku
bersenang-senang, aku pasti mengampuni nyawa kalian!"
"Diam!"bentak Lie Ai Ling gusar. "Sebetulnya aku tidak mau
membunub kalian, tapi karena engkau begitu kurang ajar,
maka aku terpaksa mencabut nyawamu!"~
"Oh, ya?" Kepala regu Hiat Ih Hwe tertawa gelak, kemudian
memberikan perintah kepada para anak buahnya. "Serang
mereka!" Seketika para anak buah itu menyerang Lie Ai Ling dan
Siang Koan Goat Nio dengan berbagai macam senjata.
Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berkelit, lalu balas
menyerang. Lie Ai Ling menggunakan Hong Hoang Kiam Hoat
(Ilmu Pedang Burung Phoenix), sedangkan Siang Koan Goat
Nio menggunakan Cap Pwee Kim Siauw Ciang Hoat (Delapan
Belas Jurus Maut Suling Emas)..
Terjadilah pertarungan sengit. Sementara kepala regu Hiat
Ih Hwe itu cuma berdiri menonton.
Walau diserang belasan orang, Siang Koan Goat Nio dan Lie
Ai Ling masih mampu melawan. Akan tetapi, kedua gadis itu
kurang berpengalaman dalam hal bertarung Karena itu,
mereka mulai berada di bawah angin.
"Goat Nio ujar Lie Ai Ling "Kita mulai terdesak, terpaksa
narus menggunakan Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing
Tujuh Keliling)?"
"Ya!" Siang Koan Goat Nio mengangguk.
Akan tetapi, ketika mereka baru mau menggunakan ilmu
pedang tersebut, mendadak melayang turun seseorang
bertopeng, yang langsung menyerang kepala regu Hiat Ih
Hwe yang berdiri menonton itu.
"Aaaakh...!" Kepala regu Hiat Ih Hwe itu menjerit menyayat
hati, kemudian roboh dengan mulut menyemburkan darah
segar. "Engkau... eng-kau...."
Putuslah nafas kepala regu Hiat Ih Hwe itu. Tentunya
sangat mengejutkan para anggota Hiat Ih Hwe yang sedang
bertarung dengan Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling,
sehingga mer?ka langsung berhenti.
"Hm!" dengus orang bertopeng. "Kalian semua harus
mampus!" Orang bertopeng langsung menyerang belasan anggota
Hiat Ih Hwe itu. Dalam sekejap mata robohlah belasan
anggota Hiat Ih Hwe itu dengan mulut menyemburkan darah
segar, dan tak lama kemudian nyawa mereka pun melayang.
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terima kasih atas pertolongan Tuan!" ucap Siang Koan
Goat Nio sambil memberi hormat.
Orang bertopeng manggut-manggut, lalu memandang Lie
Ai Ling, yang sedang memandang mayat-mayat itu dengan
mata terbelalak.
"Goat Nio!" serunya kemudian. "Lima belas orang
semuanya mati!"
"Ai Ling, cepatlah engkau mengucapkan terima kasih
kepada Tuan penolong ini!" ujar Siang
Koan Goat Nio. "Ya," Lie Ai Ling menghampiri orang bertopeng itu, lalu
memberi hormat dan berkata. "Terima kasih atas pertolongan
Tuan !" "Siapa kalian?" tanya orang bertopeng.
"Namaku Lie Ai Ling, dan dia bernama Siang Koan Goat
Nio," jawab Lie Ai Ling memberitahukan. "Aku Hong Hoang
Lihiap, dan dia Kim Siauw Siancu."
"Hmm!" dengus orang bertopeng "Belum berpengalaman
sudah berani berkelana! Kalian berdua dari mana?"
"Dan Pulau Hong Hoang To," sahut Lie Ai Ling sambil
menatap orang bertopeng.
"Dia?" Orang bertopeng itu menunjuk Siang~oan Goat Nio.
"Dia bersamaku datang dari Pulau Hong Hoang To," Lie Ai
Ling memberitahukan secara jujur. Tapi dia bukan lahir di
pulau itu, tapi kedua orang tuanya kenal baik dengan kakek
dan pamanku."
"Oooh!" Orang bertopeng manggut-manggUt."Kalian
berdua masih kecil, lebih baik kembali ke Hong Hoang To.
Jangan berkelana di Tionggoan!"
"Hi-hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Usia kami sudah enam belas,
bukan anak kecil lagi. Lagi pula kami tidak bisa kembali ke
Pulau Hong Hoang To."
"Kenapa?"
"Aku datang di Tionggoan ini untuk mencari ayahku,
sedangkan dia ingin mencari kakak Bun Yang?"
"Siapa ayahmu?"
"Lie Man Chiu," jawab Lie Ai Ling sambil menghela nafas
panjang. "Sudah tujuh tahun dia meninggalkanku dan ibuku
Kasihan ibuku...."
"Kenapa ibumu?"
"Ibuku jadi kurus, tua dan rambutnya cepat memutih
karena memikirkan ayahku. Oh ya, apakah Tuan tahu di mana
ayahku?" "Tidak tahu."
"Aaaah!" keluh Lie Ai Ling. "Entah di mana ayahku, aku
sudah rindu sekali kepadanya walau dia begitu tega
meninggalkan kami."
"Aku menasehati kalian, lebih baik kalian segera kembali ke
Puiau Hong Hoang To."
"Eh...!" Lie Ai Ling terbelalak. "Tuan punya hak apa
menyuruh kami kembali ke Hong Hoang To?"
"Aku memang punya hak," sahut orang bertopeng.
"Hi-hi!" Lie Ai Ling tertawa geli. "K?mi tidak kenal Tuan,
Tuan pun tidak kenal kami. Kenapa Tuan mengatakan punya
hak?" "Pokoknya kalian harus segera kembali ke Hong Hoang To!"
"Maaf!" ucap Siang Koan Goat Nio yang terus diam dari
tadi. "Bolehkah kami tahu siapa Tuan?"
"Aku adalah... orang penebus dosa!"
"Apa"!" Siang Koan Goat Nio dan Lie Ling terbelalak. "Tuan
orang penebus dosa?"
"Betul!"
"Tuan pernah melakukan dosa apa?" tanya Lie Ai Ling
sambil menatapnya. "Bolehkah Tuan membenitahukan kepada
kami?" "Tidak boleh!" Orang Penebus Dosa itu menglengka?
kepala, kemudian bertanya sungguh-sungguh. "Jadi kalian
tidak mau kembali ke Pulau Hong Hoang To?"
"Tidak salah," sahut Lie Ai Ling. "Sebab aku harus mencari
ayahku, kasihan ibu...."
"Kalau begitu, ke mana tujuan kalian sekarang?" tanya
Orang Penebus Dosa itu dengan penuh perhatian.
"Kami mau ke markas pusat Kay Pang." Lie Ai Ling
memberitahukan.
"Oooh!" Orang Penebus Dosa itu manggut-manggut.
"Kalian berdUa harus berhati-hati, sampai jumpa!"
"Orang Penebus Dosa itu melesat pergi, Siang~oan Goat
Nio dan Lie Ai Ling termangu-mangu ditempat.
"Goat Nio! Sebetulnya siapa orang itu?"
"Entahlah," Siang Koan Goat Nio menggeleng kepala.
"Tapi...."
"Ada apa?"
"Kelihatannya dia sangat memperhatikanmu," Siang Koan
Goat Nio memberitahukan. "Baik maupun nada suaranya?"
"Goat Nio!" Lie Ai Ling tertawa. "Kini engkau yang
mengada-ada, itu bagaimana mungkin?"
"Aku yakin tidak salah pandanganku."
"Sudahlah! Mari kita meneruskan perjala?an!" ajak Lie Ai
Ling. "Tempat ini jadi seram karena begitu banyak mayat"
"Baik! Mari kita pergi!" Siang Koan Goat Nio mengangguk.
Mereka berdua meneruskan perjalanan
menuju markas pusat Kay Pang.
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Lie Ai Ling
membicarakan Orang Penebus Dosa itu.
"Heran!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa dia menyebut dirinya Orang Penebus Dosa?"
"Mungkin dia pernah melakukan suatu perbuatan yang
berdosa," sahut Siang Koan Goat Nio.
"Betul," Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kalau tidak,
bagaimana mungkin dia menyebut dirinya Orang Penebus
Dosa" Ya, kan?"
"Ya," Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Kepandaiannya sangat tinggi, dalam waktu sekejap dia
mampu membunuh para anggota Hiat Ih Hwe hanya dengan
tangan kosong."
"Ngmm!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kalau Orang
Penebus Dosa itu tidak muncul, entah apa jadinya karena kita
menggunakan Cit Loan Kiam Hoat!"
"Para anggota Hiat Ih Hwe itu pasti terkapar semua," sahut
Siang Koan Goat Nio. "Oh ya, aku justru masih merasa heran."
"Heran kenapa?"
"Kenapa Orang Penebus Dosa itu harus memakai topeng?"
"Benar. Kenapa ya?"
"Kalau dia tidak kenal kita, dia pasti kenal anggota Hiat Ih
Hwe itu. Karena itu, dia harus pakai topeng agar dirinya tidak
dikenali."
"Masuk akal," Lie Ai Ling mengangguk. "Tapi siapa dia?"
"Mungkinkah...," sahut Slang Koan Goat Nio dengan kening
berkerut. "Dia ayahmu?"
"Apa"!" Lie Ai Ling tertegun. "Bagaimana mungkin" Sebab
suaranya begitu parau, tidak mirip suara ayahku."
"Dia sengaja membuat suaranya menjadi parau, lagi
pula...," lanjut Siang Koan Goat Nio. "Ketika aku berbicara
kepadanya, dia malah terus memandangmu. Itu sungguh
mencurigakan."
"Kenapa tadi engkau tidak bertanya kepadanya?" tegur Lie
Ai Ling. Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Percuma," katanya.
"Kenapa percuma?"
"Dia pasti tidak akan mengaku."
"Goat Nio aku tidak yakin kalau dia ayahku."
"Al Ling, aku percaya dia pasti akan muncul lagi."
"Kalau dia muncul lagi, aku pasti menyambar topengnya,"
ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Aku ingin tahu, betulkah
dia ayahku?"
"Aku pasti membantumu," Siang Koan Goat Nio tersenyum.
"Terima kasih!" ucap Lie Ai Ling sambil tersenyum pula.
"Goat Nio, engkau baik sekali terhadapku. Aku pasti
memberitahukan kepada Kakak Bun Yang."
-oo0dw0oo- Dua hari kemudian, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
telah tiba di markas pusat Kay Pang. Kedatangan dua gadis itu
membuat Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong gembira sekali.
Lim Peng Hang langsung menyuruh mereka duduk,
kemudian menyuruh salah seorang anggota menyuguhkan
minuman. "Ha-ha-ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak,"Tak kusangka
kalian sudah mulai mengembara!"
"Kakek Lim, aku mengembara karena ingin ingin mencari
ayah!" Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oh?" Lim Peng Hang tersenyum. "Lalu apa tujuan Goat Nio
mengembara?"
"Mencari pengalaman," sahut Siang Koan Goat Nio.
"Kakek Lim!" Lie Ai Ling tersenyum. "Sesungguhnya dia
mengembara dengan tujuan...."
"Al Ling!" Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening.
"Apa tujuannya" Benitahukanlah!" desak Lim Peng Hang.
"Tujuannya adalah mencari Kakak Bun Yang?" Lie Ai LAng
memberitahukan.
Seketika itu juga wajah Siang Koan Goat Nio kemerahmerahan,
dan langsung menunduk dalam-dalam.
"Oh, ya?" Lim Peng Hang menatap Siang Koan Goat Nio
yang menundukkan kepalanya, kemudian tertawa terbahakbahak.
"Ha ha ha. . .!"
"Mereka berdua memang merupakan pas?ngan yang
serasi," sela Gouw Han Tiong mendadak dan tertawa gelak
pula. "Betul," Lie Ai Ling manggut-manggut. "Kakak Bun Yang
dan Goat Nio sungguh merupakan pasangan yang serasi.
Kakak Bun Yang tampan, Goat Nio cantik."
"Ai Ling...." Wajah Siang Koan Goat Nio makin memerah.
"Oh ya, Kakek Lim!" tanya Lie Ai Ling. "Apakah Kakak Bun
Yang sudah ke mari?"
"Sudah!" Lim Peng Hang mengangguk.
"Oh?" Lie Ai Ling nampak gembira. "Di mana" Cepatlah
panggil dia ke mari, aku mau kenalkannya pada Goat Nio."
"Sayang sekali!" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Lho" Kenapa?" Lie Ai Ling terbelalak.
"Dia sudah meninggaikan markas ini," Lim Peng Hang
membentahukan "Dia pergi menyelidiki pembunuh Tui Hun
Lojin dan Lam Kiong hujin"
"Yaaah!" Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Kami
terlambat sampai di disini Kalau tidak
terlambat, pasti bertemu Kakak Bun Yang!"
"Tadak apa-apa" Lim Peng Hang tersenyum, "Masih banyak
waktu dan kesempatan bagi Goat Nio bertemu Bun Yang"
"Betul," Lie Ai Ling tertawa kecil seraya berkata "Takkan lari
jodoh dikejar"
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio betul-betul kewalahan
digoda Lie Ai Ling terus-menerus. "Jangan terus
menggodaku!"
"Goat Nio!" Lie Ai Ling tersenyum. "Aku tidak
menggodamu, melainkan berkata sesungguhnya."
Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan. "Engkau
terus mengatakan begitu, bagaimana kalau dia telah bertemu
gadis lain yang cantik jelita" Ya, kan?"
"Tidak mungkin," sahut Lie Ai Ling "Sebab Kakak Bun Yang
tidak gampang jatuh hati terhadap gadis yang mana pun,
percayalah" Aku yakin, begitu dia melihatmu pasti jatuh hati
kepadamu."
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. Sementara Lam Peng Hang dan Gouw Han Tiong hanya
saling memandang, berselang sesaat barulah ketua Kay Pang
itu membuka mulut.
"Oh ya! Bagaimana pengalaman kalian dalam perjalanan
menuju ke mari?"
"Wuah, bukan main!" sahut Lie Ai Ling.
"Apa yang bukan main?" tanya Gouw Han Tiong sambil
tertawa. "Bolehkah engkau menjelaskan tentang "Bukan main"
itu?" "Ketika kami sampai di kota Keng Ciu...," tutur Lie Ai Ling
sambil tersenyum-senyum. "Aku berhasil menyelamatkan
nyawa seorang pembesar yang baik hati."
"Syukurlah!" ucap Lim Peng Hang sambil tertawa. "Aku
yakin Hong Hoang Lihiap dan Kim Siauw Siancu pasti mulai
terkenal dalam rimba persilatan."
"Tapi...." Gouw Han Tiong mengbela nafas panjang.
"Tentunya juga akan menjadi masalah bagi mereka berdua."
"Betul," Lie Ai Ling mengangguk. "Dua hari yang lalu, kami
dihadang belasan anggota Hiat Ih Hwe lagi."
"Lalu bagaimana?" tanya Lim Peng Hang.
"Mereka ingin membunuh kami, maka kami terpaksa
melawan." Lie Ai Ling memberitahukan. namun kami berdua
kurang berpengalaman dalam hal bertarung."
"Kalian berdua kalah?" tanya Gouw Han Tiong dengan
kening berkerut.
"Kalah sih tidak, hanya berada di bawah angin." Lie Ai Lang
tersenyum dan melanjutkan "Oleh karena itu, kami terpaksa
harus menggunakan Cit Loan Kiam Hoat, tapi. . . ."
"Kenapa?" Lim Peng Hang menatapnya.
"Di saat kami baru mau menggunakan ilmu pedang
tersebut, mendadak muncul seseorang bertopeng membantu
kami" "Kemudian bagaimana?" tanya Gouw Han Tiong dengan
rasa tertarik "Dengan tangan kosong dia membunuh kepala regu
anggota Hiat Ih Hwe, lalu membunuh para anak buahnya
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening, "Dia
membunuh mereka hanya dengan tangan kosong?"
"Betul" Lie Ai Ling mengangguk.
"Kalau begitu, sungguh tinggi kepandaiannya," ujar Lim
Peng Hang dan bertanya, "Kalian tahu siapa orang bertopeng
itu?" "Aku bertanya padanya, dia menyebut dirinya Orang
Penebus Dosa." Lie Ai Ling memberitahukan.
"Apa?" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tertegun
"Orang Penebus Dosa?"
Lie Ai Ling mengangguk "Kakek Lim dan Kakek Gouw tahu
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapa Orang Penebus dosa itu?"
"Kami tidak tahu" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
menggelengkan kepala dan bergumam. "Heran" Siapa orang
itu?" "Menurut terkaanku..." sela Siang Koan Goat Nio. "Orang
Penebus Dosa itu adalah Paman Man Chiu.
"Apa?" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong terbelalak.
"MenurutmU dia Lie Man Chiu?"
"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Apa alasanmu menerka begitu?" tanya Lim Peng Hang.
"Sebab ketika aku mengucapkan terima kasih kepadanya,
dia diam saja tapi malah terus memandang Ai Ling." Siang
Koan Goat Nio memberitahukan. "Lagi pula dia terus-menerUs
mendesak kami pulang ke Pulau Hong Hoang To."
"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening.
"Betulkah dia Lie Man Chiu?" tanya Gouw Han Tiong seakan
bergumam. "Tapi kenapa harus memakai topengT"
"Mungkin dia tidak menghendaki Ai Ling dan aku
mengenalinYa, mungkin juga tidak menghendaki para anggota
Hiat Ih Hwe mengenalinya," jawab Siang Koan Goat Nio dan
menambahkan. "Dia pun tampak begitu menaruh perhatian
kepada ibu Ai Ling. Itulah yang membuatku menerka dirinya
adalah Paman Man Chiu."
"Orang Penebus Dosa. Orang Penebus Dosa..." gumam Lim
Peng Hang. "Berarti dia pernah berbuat dosa, kini dia
menebus dosanya."
"Paman Man Chiu meningalkan anak isteri, bukankah itu
merupakan suatu dosa?" ujar Siang
Koan Goat Nio. "Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Kalau begitu,
memang ada kemungkinan dia Lie
Man Chiu!"
"Selama tujuh tahun ini, kita sama sekali tidak mendengar
kabar beritanya. Jangan-jangan dia..." ujar Gouw Han Tiong
setelah berpikir sejenak.
"Dia mengabdi kepada Lu Thay Kam, maka dia
merahasiakan identitas dirinya!"
"Masuk akal," Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Lain kali kalau bertemu dia, aku pasti membuka
topengnya," ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Agar bisa
tahu jelas siapa dia."
"Kepandaiannya begitu tinggi, bagaimana mungkin engkau
dapat membuka topengnya?" Lim Peng Hang tersenyum.
"Memang." Lie Ai Ling mengangguk. "Namun aku
mempunyal akal."
"Oh, ya?" Lim Peng Hang tersenyum lagi. "Dia menyebut
dirinya Orang Penebus Dosa, pertanda dia sangat menyesali
perbuatannya dulu, dan berarti kini dia telah sadar. Aku yakin
dia pasti akan muncul lagi menemuimu."
"Goat Nio juga bilang demikian," ujar Lie Ai Ling.
"Oh ya?" Gouw Han Tiong menatapnya. "Dia bertanya
kalian mau ke mana?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk.
"Engkau memberitahukan?"
"Ya" "Bagus!" Gouw Han Tiong tersenyum "Kalau begitu, kalian
tinggal di sini dulu Karena aku yakin dia pasti akan ke mari.
"Oh?" Lie Ai Ling kurang yakin "Kalau Orang Penebus Dosa
itu tidak kemari, bukankah kami menunggu dengan sia~sia?"
"Percayalah~" ujar Gouw Han Tiong "Kalau benar dia Lie
Man Chiu, pasti kemari menemuimu."
"Tapi kami tidak bisa lama-lama di sini"
"Kenapa?"
"Kami masih ingin mengembara, lagi pula Goat Nio ingin
pergi mencari Kakak Bun Yang, aku harus menemaninya"
"Cukup sepuluh hari kalian tinggal di sini, dalam sepuluh
hari ini kalau Orang Penebus Dosa itu tidak keman, berarti dia
bukan Lie Man Chiu," ujar Gouw Han Tiong
"Baiklah," Lie Ai Ling mengangguk, kemudian bertanya
kepada Siang Koan Goat Nio. "Bagaimana" Engkau tidak
berkeberatan, bukan?"
"Aku memang tidak berkeberatan, tapi apakah tidak akan
merepotkan Kakek Lim dan Kakek Gouw?" sahut Siang Koan
Goat Nio. "Tentu tidak." Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
tertawa. "Kalau begitu, kami mengucapkan terima kasih!" ucap
Siang Koan Goat Nio.
"Oh ya! Putra Gouw Sian Eng dan putri Lam Kiong Bie
Liong sudah menjadi murid Tayli Lo Ceng," Gouw Han Tiong
memberitahukan dengan wajah berseri-seri. "Mereka berada
di Gunung Thay San."
"Oh?" Lie Ai Ling tersenyum. "Kalau begitu, mereka pasti
akan memiliki kepandaian tinggi."
"Mudah-mudahan!" ucap Gouw Han Tiong sambil tertawa.
"Kalian pasti bertemu mereka kelak."
"Sungguh menggembirakan bisa bertemu mereka!" ujar Lie
Ai Ling tersenyum dan menambahkan.
"Mudah-mudahan Goat Nio bisa bertemu Kakak Bun Yang
secepatnya! Katau tidak...."
"Ai Ling, jangan menggoda aku lagi!" tegur Siang Koan
Goat Nio dengan wajah sedikit cemberut.
"Hi-hi-hi!" Lie Ai Ling tertawa geli.
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang,
kemudian mereka berdua pun tertawa, sehingga membuat
wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan.
-oo0dw0oo- Bagian ke delapan belas
Dendam membara Kam Hay Thian terus melanjutkan perjalanannya. Hari ini
panasnya sungguh luar biasa, sehingga pakaiannya menjadi
basah oleh keringat, akhirnya ia berteduh di bawah sebuah
pohon. "Kapan aku akan berhasil mencari pembunuh ayahku?"
gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mendadak
ia mendengar suara 'Kraak'.
Kam Hay Thian terkejut bukan main, karena suara itu
berasal dari cincin giok di jari manisnya. Ternyata cincin giok
itu telah retak, kemudian pecah.
"Haaah?" Wajahnya langsung memucat, sebab menurut
kepercayaan, apabila giok yang dipakai itu pecah, pertanda
akan terjadi sesuatu atau telah terjadi sesuatu atas diri
pemiliknya. Cincin giok itu pemberian Lie Beng Cu, putri guru silat di
kota Leng An. "Cincin giok ini telah pecah, apakah telah terjadi sesuatu
atas diri Beng Cu?" gumamnya dengan wajah pucat pias. "Aku
harus segera be-iangkat ke kota Leng An."
Kam Hay Thian segera berangkat ke kota h-iscbut, dan dua
hari kemudian ia telah tiba dan l.mpsung menuju rumah guru
silat Lie. Seorang pembantu tua menyambutnya, dan ketika
melihat Kam Hay Thian, terbelalaklah pembantu tua itu.
"Engkau... engkau Kam Hay Thian?"
"Betul, Paman," sahut Kam Hay Thian sambil mengangguk.
"Di mana guru silat Lie dan Bcng Cu?"
"Mereka...." Pembantu tua itu terisak-isak. "Mari ke dalam!"
Kam Hay Thian tersentak ketika melihat pembantu tua itu
terisak-isak. Ia yakin telah terjadi sesuatu atas diri guru silat
Lie atau Lie Beng Cu. Kemudian ia mengikuti pembantu tua itu
ke dalam. "Mereka...." Pembantu tua menunjuk sebuah meja abu,
yang dialasnya terdapat dua buah papan nisan bertuliskan
nama guru silat Lie dan nama Lie Beng Cu.
"Haaah...?" Kam Hay Thian langsung berlutut dengan air
mata berderai. "Paman... Beng Cu...."
Pembantu tua itu juga menangis terisak-isak dengan air
mata bercucuran, sedangkan wajah Kam Hay Thian telah
berubah kehijau-hijauan.
"Paman tua, bagaimana mereka mati?" tanya Kam Hay
Thian dengan suara bergemetar.
"Dua hari yang lalu...." Pembantu tua itu memberitahukan.
"Mendadak muncul belasan anggota Hiat Ih Hwe, Guru silat
Lie dan Nona Beng Cu mati dibunuh oleh para anggota Hiat Ih
Hwe itu." "Kenapa para anggota Hiat Ih Hwe mcm-l bunuh Paman
dan Beng Cu?"
"Sebulan yang lalu, tanpa sengaja guru silat Lie menolong
beberapa orang Tiong Ngie Pay, yang dilukai pihak Hiat Ih
Hwe. Karena itu, pihak Hiat Ih Hwe kemari membunuh guru
silat Lie dan Nona Beng Cu," tutur pembantu tua itu dan
menambahkan. "Sebelum menghembuskan nafas
penghabisan, Nona Beng Cu masih menyebut namamu."
"Beng Cu...." Kam Hay Thian menangis ge-i ung-gerungan,
kemudian bersumpah di hadapan meja abu itu. "Aku
bersumpah, mulai hari ini aku .ikan membunuh para anggota
Hiat Ih Hwe! Paman Lie, Beng Cu! Kalian tenanglah! Aku pasti
membalaskan dendam kalian, aku pasti akan membunuh para
anggota Hiat Ih Hwe!"
"Terimakasih, Hay Thian!" ucap pembantu tua dengan air
mata berlinang dan memberitahukan. "Sungguh kasihan guru
silat Lie dan Nona Beng Cu! Walau sudah sekarat, tapi Nona
Beng Cu masih menyebut namamu."
Kam Hay Thian telah meninggalkan kota Ieng An dengan
membawa dendam yang mem-l'aia. Karena guru silat Lie dan
Lie Beng Cu yang begitu baik hati itu telah mati dibunuh oleh
para anggota Hiat Ih Hwe, maka ia bersumpah akan
membunuh para anggota perkumpulan itu.
Ketika ia memasuki sebuah rimba, mendadak mendengar
suara pertarungan. Segeralah ia melesat ke tempat itu,
kemudian dilihatnya beberapa orang sedang bertarung matimatian
melawan belasan orang berpakaian merah. Begitu
melihat orang-orang berpakaian merah, seketika juga
darahnya mendidih.
"Berhenti!" bentaknya dengan suara mengguntur.
Orang-orang yang sedang bertarung itu terkejut bukan
main, dan langsung berhenti bertarung.
Kam Hay Thian menghampiri orang-orang berpakaian
merah selangkah demi selangkah dengan wajah kehijauhijauan.
"Siapa engkau?" bentak salah seorang berpakaian merah,
yang rupanya kepala regu para anggota Hiat Ih Hwe itu.
"Siapa kalian?" Kam Hay Thian balik bertanya dengan
dingin. "Kami para anggota Hiat Ih Hwe!" sahut oranj" berpakaian
merah itu sambil tertawa dingin. "Siapa engkau" Sungguh
besar nyalimu mencampur urusan kami!"
"Bagus, bagus! Aku adalah Chu Ok Hiap (Pendekar
Pembasmi Penjahat)!" sahut Kam Ha Thian dengan wajah
semakin menghijau, dan pei lahan-lahan ia menghunus
pedangnya. "Ajal kalian lelah tiba hari ini!"
"Hm!" dengus orang berpakaian merah itu dan berseru.
"Serang dia!"
Para anggota Hiat Ih Hwe langsung menye-langnya dengan
senjata tajam. Kam Hay Thian tertawa dingin sambil
menggerakkan pedangnya. Seketika pedang itu mengeluarkan
hawa dingin, yang tentunya sangat mengejutkan para
penyeang itu. Orang-orang yang bertarung tadi ternyata anggota Tiong
Ngie Pay. Mereka tampak mencemaskan Kam Hay Thian.
Trang! Trang! Trang...! Terdengar suara benturan senjata,
yang disusul oleh suara jejerkan yang menyayat hati.
"Aaaakh! Aaaaakh! Aaaaaakh...!" Tampak lima orang
berpakaian merah telah roboh dengan dada berlubang, yang
mengucurkan darah segar, dan nyawa mereka pun melayang
seketika. Ternyata Kam Hay Thian menggunakan Ilmu Pedang Pak
Kek Kiam Hoat, dan mengeluarkan pirus Thian Gwa Kiam In
(Bayangan Pedang Di luar Langit) menyerang para anggota
Hiat Ih Hwe itu.
Setelah berhasil membunuh lima orang Hiat Ih Hwe, Kam
Hay Thian juga menyerang lagi laksana kilat dengan jurus
yang sama. Terdengar lagi suara jejerkan yang menyayat hati,
lima orang Hiat Ih Hwe roboh mandi darah dan mati seketika pula.
Menyaksikan kejadian itu, sisa-sisa anggota Hiat Ih Hwe
berusaha melarikan diri. Kam Hay Thian tertawa dingin
sekaligus menyerang mereka dengan jurus Hoan Thian Liak Te
(Membalikkan Langit Meretakkan Bumi).
"Aaaakh! Aaaakh! Aaaakh...." Sisa-sisa ang-gota Hiat Ih
Hwe menjerit, lalu roboh tak bernyawa lagi.
Kam Hay Thian memandang mayat-mayat itu sambil
tertawa dingin kemudian dengan tenang menyarungkan
pedangnya. Sementara para anggota Tiong Ngie Pay berdiri mematung
di tempat. Mereka sangat kagum dan kaget akan
kesadisannya. Berselang beberapa saat kemudian, barulah ada
salah seorang dari mereka yang membuka mulut.
"Terimakasih, siauw hiap!"
"Tidak usah berterimakasih, aku memang ada dendam
dengan Hiat Ih Hwe. Kebetulan melihat mereka bertarung
dengan kalian, maka aku membunuh mereka," sahut Kam Hay
Thian. "Siauw hiap, bagaimana kalau engkau ikut kami menemui
ketua?" tanya salah seorang anggota Tiong Ngie Pay.
"Kalian dari perkumpulan apa?" tanya Kami Hay Thian.
"Tiong Ngie Pay."
"Oooh!" Kam Hay Thian manggut-manggut. "Baiklah. Aku
akan menemui ketua kalian."
"Terimakasih, siauw hiap!" ucap para anggota Tiong Ngie
Pay girang, lalu berangkat ke markas mereka bersama Kam
Hay Thian. Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him
menyambut kedatangan Kam Hay Thian dengan penuh
kegembiraan, apa lagi setelah mengetahui pemuda itu telah
membantu para anggotanya.
"Terimakasih, siauw hiap!" ucap Yo Suan Hiang.
"Aku adalah Chu Ok Hiap." Kam Hay Thian
memberitahukan. "Maka jangan memanggilku siauw hiap!"
"Chu Ok Hiap!" Yo Suan Hiang tersenyum iainah. "Bolehkah
kami tahu namamu?"
"Namaku Kam Hay Thian."
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa kedua orang tuamu?"
"Ayahku bernama Kam Pek Kian, tapi sudah almarhum
karena dibunuh penjahat," Kam Hay Thian memberitahukan.
"Ibuku bernama Lie Siu Su-n."
"Lie Siu Sien..." gumam Yo Suan Hiang sambil berpikir
keras. "Rasanya aku pernah mendengar nama tersebut."
"Tidak mungkin," Kam Hay Thian menggelengkan kepala.
"Sebab ibuku bukan wanita rimba persilatan."
"Tapi aku memang pernah mendengar nama tersebut...."
Yo Suan Hiang terus berpikir, kemudian mendadak berseru
girang. "Aku sudah ingat! Aku sudah ingat! Ternyata aku
pernah mendengar nama ibumu dari Tio Cie Hiong!"
"Apa"!" Kam Hay Thian tertegun. "Paman Cie Hiong?"
"Benar," Yo Suan Hiang mengangguk. "Dia pernah
menceritakan tentang ibumu kepada kami."
"Aku mengembara justru ingin mencari Paman Cie Hiong,"
Kam Hay Thian memberitahukan.
"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya sambil bertanya.
"Kenapa engkau mau mencarinya?"
"Kata ibuku, kepandaian Paman Cie Hiong tinggi sekali.
Kalau aku ingin menuntut balas kematian ayahku, harus
berguru kepada Paman Cie Hiong."
"Ooooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut "Tapi
kepandaianmu sekarang sudah tinggi, di mana engkau
belajar?" "Tanpa sengaja aku memasuki sebuah goa. tutur Kam Hay
Thian dan menambahkan. "Tujuh tahun kemudian, barulah
aku menguasai ilmu-ilmu itu."
"Hay Thian!" Yo Suan Hiang terbelalak. "Sungguh
beruntung engkau, sebab kitab-kitab pusaka itu milik Bu Lim
Sam Mo. Goa itu bekas markas Bu Tek Pay. Oh ya, apakah
kau bawa kedua kitab pusaka itu?"
"Tidak. Kedua kitab itu telah kubakar."
"Bagus! Kedua kitab itu memang harus dibakar. Kalau
tidak, tentu akan menimbulkan ben-i ana," ujar Yo Suan Hiang
dan bertanya. "Kenapa ayahmu dibunuh penjahat?"
"Dikarenakan sebuah kitab pusaka, yaitu kitab Song Hwee
Cin Keng." Kam Hay Thian memberitahukan. "Pada waktu itu
aku masih kecil...."
"Kitab Seng Hwee Cin Keng?" Yo Suan Hiang mengerutkan
kening. "Apakah itu kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi?"
"Betul," Kam Hay Thian mengangguk. "Maka kini aku
sedang mencari penjahat itu."
"Oh ya, sejak kapan engkau meninggalkan rumah?" tanya
Yo Suan Hiang. "Sejak aku berusia sebelas tahun, dan kini usiaku sudah
delapan belas tahun," jawab Kam Hay Thian.
"Hay Thian, kenapa engkau begitu mendendam kepada
Hiat Ih Hwe?" tanya Yo Suan Hiang mendadak.
"Karena mereka membunuh guru silat Lie dan putrinya...."
tutur Kam Hay Thian melanjutkan. "Karena itu, aku
bersumpah di hadapan meja abu guru silat Lie dan putrinya,
bahwa aku akan membunuh semua anggota Hiat Ih Hwe."
"Jadi guru silat Lie dan putrinya dibunuh karena tanpa
sengaja guru silat Lie menolong beberapa anggotaku?" tanya
Yo Suan Hiang de ngan wajah murung.
"Ya," Kam Hay Thian mengangguk.
"Aaaakh...!" keluh Yo Suan Hiang. "Sungguh diluar
dugaan!" "Hmm!" dengus Kam Hay Thian dingin dan penuh dendam.
"Pokoknya aku harus membunuh semua anggota Hiat Ih
Hwe!" "Hay Thian!" Yo Suan Hiang menatapnya. "Apakah kini
engkau masih ingin mencari Tio Cie Hiong?"
"Bagaimana menurut Bibi?" tanya Kam Hay Thian.
"Menurutku sudah tidak perlu," jawab Yo Suan Hiang.
"Sebab kepandaianmu sudah begitu tinggi."
"Tapi aku belajar tanpa petunjuk orang! mungkin ada
sedikit kesalahan," ujar Kam Hai Thian. "Maka kepandaianku
belum mencapai tingkat atas, karena itu aku harus minta
petunjuk kepada Paman Cie Hiong."
"Tempat tinggal Cie Hiong jauh sekali, yaitu di Pulau Hong
Hoang To," Yo Suan Hiang memberitahukan. "Jadi... oh ya!
Cie Hiong mempunyai seorang putra bernama Tio Bun Yang,
yang berkepandaian sangat tinggi. Aku telah menyaksikan
kepandaiannya. Dia pernah ke mari tapi kini ?iitah berada di
mana. Aku yakin engkau akan bertemu dia kelak, jadi engkau
boleh minta petunjuk kepadanya."
"Benarkah kepandaiannya sudah tinggi sekali?"
"Benar," Yo Suan Hiang mengangguk. "Mungkin telah
menyamai kepandaian ayahnya."
"Kalau begitu, aku harus minta petunjuk kepadanya."
"Itu memang baik sekali," Yo Suan Hiang manggutmanggut.
"Oh ya, Hay Thian. Maukah engkau bergabung
dengan kami?"
"Aku bersedia bergabung, namun tidak mau terikat," sahut
Kam Hay Thian terus terang. "Kareena aku masih harus pergi
mencari pembunuh ayahku, bahkan juga harus mencari Bun
Yang." "Itu tidak menjadi masalah," Yo Suan Hiang teisenyum.
"Jadi sementara ini engkau boleh tinggal di sini, dan kapan
pun engkau mau pergi, kami tidak akan menahanmu."
"Baiklah! Terimakasih!" ucap Kam Hay Thian.
Di ruang khusus dalam istana bagian barat tempat tinggal
Lu Thay Kam, tampak Lu Thay Kam sedang duduk dengan
wajah serius. Lie Man Chiu duduk di sebelahnya, namun
tampak mela mun.
"Man Chiu!" Lu Thay Kam menatapnya. "Ke napa engkau
melamun" Apa yang terganjel dala hatimu?"
"Tidak." Lie Man Chiu menggelengkan kq pala.
"Tentunya engkau tahu, banyak anggota kit, yang musnah
kepandaiannya, bahkan juga hanya' yang mati," ujar Lu Thay
Kam dengan kenin berkerut. "Bagaimana engkau mengurusi
itu?" "Yang memusnahkan kepandaian anggota kita adalah Giok
Siauw Sin Hiap, yang membunuh anggota kita adalah orang
bertopeng dan Chu O Hiap," jawab Lie Man Chiu
memberitahukan.
"Kalau begitu...." Lu Thay Kam menatapnya lagi. "Sudah
waktunya engkau turun tangan"
"Ya, Lu Kong Kong."
"Yaaah!" Mendadak Lu Thay Kam menghe nafas panjang.
"Entah kini San San merantai sampai di mana" Aku... aku
rindu sekali kepadanya."
"Lu Kong Kong rindu kepadanya?"
"Ya," Lu Thay Kam mengangguk. Tentu engkau tahu, dia
bukan anak kandungku. Aku telah dikebiri jadi Thay Kam,
bagaimana mungkin bisa punya anak?"
"Dia putri angkat Lu Kong Kong, namun Lu Kong Kong
kelihatan begitu sayang kepadanya."
"Benar," Lu Thay Kam manggut-manggut. "Aku memang
sayang sekali kepadanya."
"Lu Kong Kong...." Lie Man Chiu menundukkan kepala.
"Engkau ingin mengatakan apa, katakanlah!" Lu Kong Kong
tersenyum. "Jangan ragu, sudah lujuh tahun lebih engkau
mengabdi kepadaku."
"Lu Kong Kong...." Lie Man Chiu menghela nafas panjang.
"Belum lama ini aku selalu teringat kepada anak isteriku."
"Oh?" Lu Kong Kong menatapnya. "Kalau begitu, lebih baik
kau ajak mereka tinggal di sini suja."
"Terimakasih atas maksud baik Lu Kong Kong!" ucap Lie
Man Chiu. "Terus terang, aku...."
"Engkau ingin mengundurkan diri, bukan?"
"Betul," Lie Man Chiu mengangguk. "Sebab |ku sudah rindu
sekali kepada anak isteriku."
"Aku maklum," Lu Thay Kam manggut-mang-|ut. "Namun
aku masih sangat membutuhkan bantuanmu."
"Lu Kong Kong...."
"Jadi engkau ingin pergi menengok anak isteri-mu?"
"Ya."
"Tidak mau kembali ke sini lagi?"
"Ya."
"Man Chiu...." Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa engkau mau melepaskan kehidupanmu yang serba
mewah di sini?"
"Lu Kong Kong, kini aku baru sadar bahwa anak isteriku
melebihi segala apa pun. Oleh karena itu aku ingin hidup
tenang, damai dan bahagia bersama anak isteriku."
"Man Chiu...." Lu Thay Kam menghela nafas. "Tentunya
aku tidak akan menghadangmu, namun alangkah baiknya
engkau kembali ke sini lagi."
"Lu Kong Kong, aku tidak berani berjanji tentang itu," ujar
Lie Man Chiu sungguh-sungguh.
"Kalau begitu... baiklah. Kapan engkau akan pergi?" tanya
Lu Thay Kam dengan wajah muram.
"Sekarang," jawab Lie Man Chiu.
"Sekarang?" Lu Thay Kam terbelalak. "Kenapa begitu
cepat?" "Lu Kong Kong, aku sudah rindu sekali kepada anak
isteriku, sudah tujuh tahun lebih aku berpisah dengan
mereka." "Yaah!" Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau begitu, aku harus memberimu sedikit hadiah ...."
"Terimakasih! Itu tidak usah, Lu Kong Kong,' potong Lie
Man Chiu cepat. "Lu Kong Kong tida| melarangku pergi, aku
sudah berterimakasih sekali pada Lu Kong Kong."
"Terus terang," ujar Lu Kong Kong sungguh-sungguh.
"Kalau aku tidak mempunyai anak angkat, mungkin aku tidak
akan memahami perasaanmu. Sebaliknya aku malah akan
mencap dirimu sebagai pengkhianat. Tapi... aku mempunyai
anak, yaitu San San yang sangat kusayangi."
"Lu Kong Kong.." Lie Man Chiu tersentak.
"Jangan cemas!" Lu Thay Kam tersenyum. "Aku yakin
engkau pasti tahu, betapa jahatnya aku karena selalu
membunuh pembesar dan jenderal yang setia. Tapi di antara
kita terdapat rasa persahabatan yang dalam sekali. Ingat,
selamanya kita tetap sahabat!"
"Lu Kong Kong...." Mendadak Lie Man Chiu menjatuhkan
diri berlutut di hadapan Lu Thay Kam.
"Man Chiu, engkau boleh pergi sekarang untuk menemui
anak isteri mu. Mudah-mudahan anak isterimu akan
memaafkanmu!" ujar Lu Thay Kam dan menambahkan. "Aku
pun mempercayaimu tidak akan membocorkan tentang San
San yang pergi merantau itu."
"Jangan khawatir Lu Kong Kong!"
"Baiklah. Engkau boleh pergi sekarang, semoga kita akan
berjumpa lagi!" usai berkata begitu, Lu Thay Kam
meninggalkan ruang khusus itu.
Lama sekali Lie Man Chiu berlutut di situ, kini ia
kebingungan dan tidak habis berpikir! Sebetulnya Lu Thay
Kam jahat atau baik" Yang jelas ia telah berhutang budi
kepadanya. ---ooo0dw0ooo---
Di ruang depan markas pusat Kay Pang, tampak Lim Peng
Hang, Gouw Han Tiong, Siangi Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
sedang duduk. Kening Lie Ai Ling terus berkerut-kerut.
"Sudah hampir sepuluh hari kami tinggal di sini, tapi Orang
Penebus Dosa itu tetap tidak muncul. Lebih baik kami pergi
saja," ujar Lie Ai Ling.
"Ai Ling!" Lim Peng Hang tersenyum. "Ber-j sabarlah
beberapa hari lagi! Kalau Orang Penebus Dosa itu masih tidak
muncul, barulah kalian pergi."
"Mungkinkah Orang Penebus Dosa itu bukan Lie Man
Chiu?" tanya Gouw Han Tiong dengan kening berkerut.
"Kalau dia tetap tidak muncul, berarti bukan Lie Man Chiu,"
sahut Lim Peng Hang.
"Aku ingin cepat-cepat pergi mencari Kakak Bun Yang," ujar
Lie Ai Ling. "Kenapa engkau yang kalut?" tanya Gouw
Han Tiong sambil tersenyum.
"Aku kalut karena Goat Nio," sahut Lie Ai Ling.
"Kenapa karena aku?" Wajah Siang Koan Goat Nio
kemerah-merahan. "Jangan bawa-bawa diriku lho!"
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Memangnya aku tidak tahu"
Setiap malam engkau duduk melamun di dalam kamar,
tentunya memikirkan Kakak Bun Yang."
"Bertemu juga belum, kenapa aku harus memikirkannya?"
sahut Siang Koan Goat Nio dengan wajah memerah.
"Engkau...." Ucapan Lie Ai Ling terhenti mendadak, karena
di saat bersamaan tampak sesosok bayangan berkelebat
memasuki ruangan itu.
"Siapa?" bentak Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
serentak. Orang yang berkelebat ke dalam itu memakai topeng.
Begitu melihat orang bertopeng itu, Siang Koan Goat Nio dan
Lie Ai Ling langsung berseru.
"Orang Penebus Desa!"
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Silakan duduk,
Orang Penebus Dosa! Kami memang sedang menunggu
kedatanganmu."
Orang Penebus Dosa diam saja, tapi terus memandang Lie
Ai Ling, kemudian dengan perlahan-lahan melepaskan
topengnya. Orang itu ternyata benar Lie Man Chiu.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong tertawa. "Dugaan kami tidak meleset, engkau
memang Lie Man Chiu!"
"Paman Lim, Paman Gouw!" panggil Lie Man Chiu sambil
memberi hormat.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Engkau
bersembunyi di mana selama tujuh tahun ini?"
"Aku...." Lie Man Chiu menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian memandang Lie Ai Ling seraya berkata. "Ai Ling,
engkau sudah besar...."
"Diam!" bentak Lie Ai Ling mendadak dengan air mata
berderai-derai. "Engkau sungguh kejam, jahat dan tak punya
perasaan!"
"Ayah terima semua cacianmu, Nak," ujar Lie Man Chiu
dengan mata basah. "Ayah terima semua cacianmu."
"Engkau begitu tega meninggalkan kami! Karena itu, ibu
sering sakit!" Lie Ai Ling menangis terisak-isak sambil
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuding Lie Man Chiu. "Eng kau bukan ayahku! Cepat pergi!
Pergiiii!"
"Nak!" Air mata Lie Man Chiu meleleh "Maafkanlah ayah,
kini ayah telah sadar."
"Ayah...." Panggil Lie Ai Ling, sekaligus meri dekap di dada
Lie Man Chiu. "Nak! Ooooh, anakku!" Lie Man Chiu memj belainya dengan
penuh kasih sayang dan terisak isak. "Engkau sudi memaafkan
ayah?" "Ng!" Lie Ai Ling mengangguk. "Ayah kasihan ibu."
"Ayah tahu...." Lie Man Chiu terus membelainya.
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Semua yang
buruk telah berlalu, habis gelap terbitlah terang! Man Chiu,
sudah waktunya engkau kembali ke Pulau Hong Hoang To."
"Ya, Paman Lim." Lie Man Chiu manggut-manggut.
"Selamat Paman Man Chiu!" ucap Siang Koan Goat Nio
mendadak sambil tersenyum. "Tidak lama lagi Paman Man
Chiu akan berkumpul kembali dengan isteri."
"Terimakasih!" sahut Lie Man Chiu. "Oh ya, engkau putri
Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Hijin?"
"Ya," Siang Koan Goat Nio mengangguk.
"Terimakasih atas kesediaanmu mendampingi Ai Ling
mencariku!" ucap Lie Man Chiu.
"Ayah!" Lie Ai Ling mulai tersenyum. "Sesungguhnya dia
ingin mencari Kakak Bun Yang."
"Oh" Dia sudah kenal Bun Yang?"
"Belum, tapi...."
"Ai Ling!" Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan.
"Jangan mulai menggoda aku!"
"Hi hi!" Lie Ai Ling tertawa, padahal barusan ia menangis
dengan air mata berderai-derai, namun kini sudah bisa
tertawa! "Man Chiu!" Gouw Han Tiong menatapnya, "'selama ini
engkau berada di mana?"
"Paman Gouw!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang.
"Semua itu telah berlalu, jadi tidak usah diceritakan lagi."
Gouw Han Tiong manggut-manggut, kemudian
memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Man Chiu, ayahku dan Lam Kiong hujin mati dibunuh
orang." "Apa"!" Lie Man Chiu terkejut bukan main. "Kapan terjadi?"
"Dua tahun yang lalu," jawab Gouw Han Tiong. "Ayahku
dan Lam Kiong hujin terkena semacam pukulan yang
menghanguskan badan mereka."
"Oh?" Lie Man Chiu terbelalak. "Ilmu pukulan apa itu?"
"Kami tidak mengetahuinya," sahut Gouw Han Tiong dan
menambahkan. "Bahkan hingga saat ini kami juga tidak tahu
siapa pelakunya."
"Heran!" gumam Lie Man Chiu. "Ilmu pukulan apa itu?"
"Ilmu pukulan yang mengandung api," ujar Lim Pang Heng.
"Itu merupakan ilmu pukulan yang sangat dahsyat."
"Aaakh...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang. "Terus
terang, aku sudah jenuh akan rimba persilatan."
"Ayah," tanya Lie Ai Ling mendadak. "Kapan ayah akan
pulang ke Pulau Hong Hoang To?"
"Besok," jawab Lie Man Chiu dan melanjutn kan. "Kalian
berdua juga harus ikut aku pulang."
"Tidak mau ah!" sahut Lie Ai Ling cepat. "Aku masih ingin
mengembara, lagi pula kami belum bertemu Kakak Bun Yang."
"Begini," ujar Lie Man Chiu lembut. "Kita pulang dulu,
setelah itu barulah kalian mengembara lagi."
"Tapi...." Lie Ai Ling tampak ragu, kemudian memandang
Siang Koan Goat Nio seakan minta pendapatnya.
"Itu baik juga. Kita berdua memang harus pulang bersama
Paman Man Chiu, agar tidak mencemaskan ibumu," ujar Siang
Koan Goat Nio. "Kalau begitu, bukankah engkau tidak bertemu Kakak Bun
Yang?" Lie Ai Ling mengerutkan kening.
"Bukankah kita masih akan mengembara" Berarti masih
banyak kesempatan, bukan?" Siang Koan Goat Nio tersenyum.
"Baru asyik mengembara, sudah harus pulang!" Lie Ai Ling
menghela nafas panjang.
"Nak!" Lie Man Chiu tersenyum lembut. "Selelah pulang,
kalian masih boleh pergi mengembara."
"Baiklah," Lie Ai Ling manggut-manggut.
"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio menatap Lie Man Chiu.
"Kenapa Paman membunuh para anggotata Hiat Ih Hwe itu?"
"Untuk menutup mulut mereka," sahut Lie Man Chiu tanpa
berpikir. "Kalau begitu, Paman pasti mempunyai hubungan dengan
Hiat Ih Hwe, bukan?" Siang Koan Goat Nio menatapnya lagi.
"Yaaah!" Lie Man Chiu menggeleng-gelengkan kepala.
"Semua itu telah berlalu, tidak perlu diungkit kembali."
Siang Koan Goat Nio diam. Sedangkan Lim Peng Hang dan
Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian mereka
berdua pun manggut-manggut.
"Man Chiu," tanya Lim Peng Hang. "Jadi engkau akan
berangkat besok?"
"Ya," Lie Man Chiu mengangguk.
"Tolong sampaikan salamku kepada semua orang yang di
sana!" pesan Lim Peng Hang.
"Pasti kusampaikan," ujar Lie Man Chiu.
"Terimakasih, Man Chiu!" ucap Lim Peng Hang sambil
tersenyum. "Sama-sama," Lie Man Chiu juga tersenyum
"Man Chiu!" Mendadak Lim Peng Hang me natapnya dalamdalam
seraya bertanya. "Kenapa tujuh tahun yang lalu,
engkau mempunyai pikiran untuk mengangkat nama di rimba
persilatan?"
"Aaaah!" Lie Man Chiu menghela nafas. "Itu dikarenakan
dengki, sehingga timbul pula suat ambisi."
"Oh?" Lim Peng Hang heran. "Engkau dengki karena apa?"
"Karena Tio Cie Hiong," jawab Lie Man Chiu terus terang.
"Dia dipuji dan disanjung, bahkan tujuh partai besar dan kaum
rimba persilatan lannya mengakuinya sebagai Bu Lim Beng Cu.
Itu membuatku jadi dengki."
"Ayah," tegur Lie Ai Ling. "Paman Cie Hiong begitu baik dan
menghargai Ayah, sebaliknya Ayah malah merasa dengki
kepadanya. Kalau kita sudah sampai di Pulau Hong Hoang To,
Ayah harus minta maaf kepadanya!"
"Tentu," Lie Man Chiu mengangguk. "Bahkan aku pun
harus mohon ampun kepada kakek dan ibumu."
"Bagus!" Lie Ai Ling tertawa gembira. "Kini Ayah telah sadar
akan kesalahan itu, karena itu aku merasa bahagia sekali."
"Nak...." Lie Man Chiu tersenyum.
"Syukurlah!" ucap Lim Peng Hang. "Man Chiu, aku ucapkan
selamat padamu, semoga tidak lama lagi engkau dapat
berkumpul kembali bersama liong Hoa!"
"Man Chiu!" Gouw Han Tiong tersenyum. "Aku pun
mengucapkan selamat padamu!"
"Terimakasih Paman Lim! Terimakasih Paman Gouw!" ucap
Lie Man Chiu terharu sekali. "Terimakasih!"
---ooo0dw0ooo---
Bagian ke sembilan belas
Kemunculan para anggota Seng Hwee Kauw
( Agama Api Suci)
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan yang mulai
mengembara itu telah tiba di kota Keng Ciu. Mereka berdua
mengembara bukan demi mengangkat nama maupun mencari
pengalaman, melainkan berusaha mencari jejak pembunuh Tui
Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Ketika tiba di kota itu, mereka terbelalak, karena melihat
begitu banyak prajurit kerajaan memukuli dan menyiksa para
penduduk. "Beng Kiat," bisik Lam Kiong Soat Lan. "Bagaimana kalau
kita menolong mereka?"
Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Jangan
mencampuri urusan kerajaan!"
"Tapi...."
"Hari sudah senja, lebih baik kita mencari rumah
penginapan," potong Toan Beng Kiat.
Lam Kiong Soat Lan terpaksa menurut. Tak lama kemudian
mereka sudah sampai di sebuah rumah penginapan yang
cukup mewah. Pelayan segera menghampiri mereka sambil
tersenyum senyum, kemudian bertanya ramah.
"Tuan muda dan Nona membutuhkan kamar?"
"Ada kamar besar?" tanya Toan Beng Kiat.
"Ada," sahut pelayan itu. "Mari ikut aku!"
Pelayan itu mengajak mereka ke dalam, lalu berhenti di
depan sebuah kamar yang cukup besar.
"Bagaimana kamar ini?" tanya pelayan sambil membuka
pintu kamar itu.
Toan Beng Kiat melongok ke dalam, kemudian manggutmanggut.
"Kamar ini saja," ujarnya.
"Tuan muda dan Nona mau pesan makanan atau
minuman?" tanya pelayan itu dengan hormat.
"Tolong ambilkan teh!" sahut Toan Beng Kiat.
"Ya." Pelayan itu melangkah pergi.
Sedangkan Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
melangkah memasuki kamar itu, lalu duduk berhadapan.
"Heran!" ujar Lam Kiong Soat Lan sambil mengerutkan
kening. "Kenapa prajurit kerajaan memukuli dan menyiksa
para penduduk kota?"
"Soan Lan!" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala.
"Lebih baik jangan banyak m usan!"
"Tapi sungguh kasihan para penduduk kota Itu." Lam Kiong
Soat Lan menghela nafas panjang.
"Sudahlah!" Toan Beng Kiat menatapnya. "Kita masih harus
ke markas pusat Kay Pang, jangan menimbulkan urusan yang
tak diinginkan!"
Lam Kiong Soat Lan diam. Tak lama muncullah pelayan
membawakan satu teko teh dan sebuah cangkir.
"Tuan muda!" Pelayan itu memberitahukan degan wajah
berseri. "Ini teh wangi."
"Terimakasih!" ucap Toan Beng Kiat sekaligus memberikan
persen kepada pelayan itu.
"Terimakasih, Tuan Muda!" Pelayan itu girang bukan main.
"Terimakasih...."
"Pelayan!" panggil Lam Kiong Soat Lan mendadak.
"Bolehkah aku bertanya satu hal kepadamu?"
"Silakan, Nona!" Pelayan itu mengangguk. "Nona mau
bertanya tentang apa?"
"Kenapa prajurit-prajurit kerajaan memukuli dan menyiksa
para penduduk kota itu?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Itu...." Pelayan tersebut menghela nafas panjang sekaligus
memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Setelah Tan Tayjin mengundurkan diri dari jabatannya di kota
ini, beliau diganti oleh seorang pembesar yang bertindak
sewenang-wenang. Pajak penduduk di kota ini dinaikkan, dan
siapa yang tidak membayar pajak pasti dipukul dan disiksa."
"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. "Ternyata
begitu!" "Nona masih mau bertanya apa?"
Lam Kiong Soat Lan menggelengkan kepala. Maka pelayan
itu lalu meninggalkan kamar ter sebut.
"Beng Kiat," bisik Lam Kiong Soat Lan. "Kita harus pergi
menghajar pembesar itu."
"Soat Lan...." Toan Beng Kiat menggeleng polengkan
kepala. "Itu urusan kerajaan, kita jangan turut campur."
"Tapi prajurit-prajurit itu sungguh keterlaluan, begitu pula
pembesar itu. Maka... malam ini kita harus pergi menghajar
pembesar itu."
"Soat Lan...." Toan Beng Kiat berpikir lama sekali, akhirnya
mengangguk. "Terimakasih, Beng Kiat!" ucap Lam Kiong Soat Lan dengan
wajah berseri. "Tapi ingat! Engkau tidak boleh melukai sia-papun," pesan
Toan Beng Kiat sambil menatapnya. "Cukup menakuti
pembesar itu saja."
"Ya." Lam Kiong Soat Lan mengangguk.
--ooo0dw0ooo-- Setelah larut malam, tampak dua sosok bayangan
berkelebat di wuwungan rumah pembesar kota itu, kemudian
meloncat turun sekaligus mendekati sebuah jendela. Dua
sosok bayangan itu ternyata Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan. Mereka berdua mengintip ke dalam jendela, yang kebetulan
kamar pembesar itu. Tampak pembesar itu sedang duduk
bersama seorang wanita berusia empat puluhan. Wajah
mereka kelihatan muram.
"Walau ditambah dengan harta kekayaan kita, masih tidak
bisa mencukupi target yang ditentu kan Lu Thay Kam. Ini
sungguh celaka...."
"Lalu harus bagaimana?" tanya wanita ituf berkeluh.
"Aaaah...!" Pembesar itu menghela nafas pan jang. "Lu
Thay Kam pasti menghukum kita."
Di saat bersamaan, daun jendela itu terbuka kemudian
tampak dua sosok bayangan melesat kel dalam, yang tidak
lain Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
"Perampok!" jerit wanita itu.
"Kami bukan perampok!" sahut Lam Kion Soat Lan sambil
menatap pembesar itu dengan tajam.
"Kalian berdua mau apa ke mari?" tanya pem besar itu
dengan kening berkerut.
"Mau menghajarmu!" sahut Lam Kiong Soa Lan. "Karena
para anak buahmu memukuli da menyiksa para penduduk
kota ini!"
"Oh, itu!" Pembesar tersebut manggut-manggut. "Kalau
begitu, kalian berdua sama sekali tid tahu tentang masalah
ini." "Masalah apa?" Lam Kiong Soat Lan melot
"Lu Thay Kam mengangkatku menjadi pembesar di kota ini,
namun mengharuskan aku menaikkan pajak di kota ini pula.
Aku terpaksa harus mentaatinya, sebab kalau tidak aku pasti
hukum." "Hm!" dengus Lam Kiong Soat Lan. "Kalau begitu, engkau
yang menyuruh prajurit-prajurit itu memukuli dan menyiksa
para penduduk kota ini?"
"Memang!" Pembesar itu mengangguk. "Tapi hanya
terhadap orang kaya yang tidak mau membayar pajak!"
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nona...." ujar wanita itu sambil menghela nafas. "Tahukah
engkau, kami bersedia mengorbankan harta benda kami demi
mencukupi target yang ditentukan Lu Thay Kam! Karena kami
sama sekali tidak memungut pajak dari penduduk miskin."
"Betulkah begitu?" tanya Lam Kiong Soat Lan kurang
percaya. "Betul." Pembesar itu mengangguk, kemudian menunjuk
sebuah kotak yang ada di atas meja. "Kotak itu berisi
perhiasan isteriku. Barang-ba-iang itu bukan hasil korupsi,
melainkan pemberian orang tuanya ketika kami menikah."
"Oh?" Lam Kiong Soat Lan melirik Toan Beng kiat.
"Kalau begitu, Paman bukan pembesar jahat," ujar Toan
Beng Kiat. "Maaf, kami telah salah menilai!"
"Tidak apa-apa." Pembesar itu tersenyum. "Aku ini asal dari
rakyat, sudah barang tentu harus membela rakyat. Tapi nyawa
kami terancam...."
"Kenapa terancam?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Kalau kami berani melanggar perintah Lu Thay Kam, maka
kami pasti dibunuh." Pembesar itu memberitahukan.
"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.
"Maaf, Paman!" tanya Toan Beng Kiat. "Betulkah di kota ini
terdapat orang kaya yang tak maui membayar pajak?"
"Betul." Pembesar itu mengangguk. "Mereka pura-pura
tidak mempunyai uang, dan mengemu-kakan berbagai alasan
untuk menolak kenaikan pajak."
"Paman tahu siapa mereka?" tanya Toan Bengl Kiat lagi.
"Mereka adalah hartawan Liauw, hartawan Lim dan
hartawan Phang," jawab pembesar itu.
"Paman tahu di mana rumah mereka?"
"Tahu." Pembesar itu memberitahukan.
"Kalau begitu, kami mohon pamit, sebentar akan kembali
ke mari lagi," ujar Toan Beng Kiai sambil memberi isyarat
kepada Lam Kiong Soal Lan. Gadis itu mengangguk, dan
mereka berdul lalu melesat pergi.
"Mereka mau ke mana?" Tanya wanita itu.
"Tentu ke rumah para hartawan itu," sahul pembesar itu
sambil tersenyum. "Para hartawa! itu memang harus dihajar
biar kapok! Kalau tidak, mereka sama sekali tidak mau
membayar pajak!"
"Tapi...." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kita
tidak bisa bertahan lama, sebab...."
"Aku tahu, tapi apa boleh buat" Padahal aku ingin
mengundurkan diri, namun tiada alasan."
"Ada." Wanita itu tersenyum. "Berpura-pura snkit,
kemudian mohon pengunduran diri."
"Ide yang bagus!" Pembesar itu tertawa. "Lebih baik kita
hidup tenang di kampung."
"Betul...."
Mendadak Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan melesat
ke dalam, dan tangan gadis itu membawa sebuah bungkusan.
"Benar apa yang dikatakan Paman," ujar Toan beng Kiat.
"Para hartawan itu bersenang-senang dengan beberapa
wanita cantik. Kami mengancam mereka sehingga mereka
mengeluarkan harta benda masing-masing. Nah, bungkusan
ini berisi harta benda mereka, kini kuserahkan kepada
Paman." "Terimakasih, siauw hiap!" ucap pembesar itu dan
menambahkan. "Secara tidak langsung kalian pun telah
menolong rakyat miskin."
"Maksud Paman?" tanya Toan Beng Kiat.
"Maksudku rakyat miskin tidak usah membayar pajak
dengan adanya harta benda para d u tawan ini." Pembesar
tersebut memberitahukan.
"Paman," ujar Lam Kiong Soat Lan sungguh-auij'guh.
"Menurutku, lebih baik Paman mengundurkan diri saja."
"Kami memang telah memikirkan hal itu, tapi...." Pembesar
itu mengerutkan kening. "Kalau yang menggantikan aku
adalah pembesar korup, celakalah penduduk miskin di kota
ini." "Maaf!" ucap Toan Beng Kiat. "Kami tidak bisa terusmenerus
menolong Paman, sebab kami masih harus
melanjutkan perjalanan."
"Aku tahu itu...." Pembesar tersebut manggut-manggut.
"Oh ya! Bolehkah aku tahu nama kali an?"
"Namaku Beng Kiat, nama adikku Soat Lan,' sahut Toan
Beng Kiat, kemudian menarik Lan Kiong Soat Lan, sekaligus
diajaknya melesat pergi
Pembesar itu dan isterinya termangu-mangu Mereka saling
memandang lalu menghela nafi panjang.
"Sungguh hebat kepandaian mereka!" ujar pembesar itu.
"Kalau mereka bersedia mengabdi kepada kerajaan, mungkin
Dinasti Beng masih dapat dipertahankan."
"Aaaah!" Wanita itu menghela nafas panjang lagi.
"Kelihatannya tidak lama lagi Dinasti Ben akan runtuh."
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan terus melanjutkan
perjalanan ke markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan
mereka terus menerus membicarakan tentang itu.
"Beng Kiat, kalau begitu, yang jahat adalah Lu Thay Kam."
"Benar," Toan Beng Kiat mengangguk. "Tapi itu urusan
kerajaan, kita tidak perlu turut campur."
"Aku tidak menyangka pembesar itu begitu baik. Untung
kita tidak sembarangan turun tangan melukainya!"
"Makanya lain kali kalau mau bertindak, harus berpikir
dulu." "Ya." Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Sejak kita
memasuki Tionggoan, sudah banyak yang kita dengar tentang
Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay. Hiat Ih Hwe selalu
membunuh para pembesar dan jenderal setia, sedangkan
Tiong Ngie Pay malah selalu menentang Hiat Ih Hwe,
sehingga kedua perkumpulan itu sering saling bunuh
membunuh."
"Itu urusan Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay, kita boleh
dengar tapi jangan turut campur. Eng-k .m harus ingat itu!"
pesan Toan Beng Kiat.
"Beng Kiat!" Lam Kiong Soat Lan mengerutkan kening.
"Kenapa engkau kelihatan begitu ikut akan urusan sih?"
"Bukannya takut, melainkan tugas kita jauh lebih berat,"
sahut Toan Beng Kiat. "Apakah engkau lupa, bahwa kita masih
harus mencari jejak pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin?" "Bagaimana aku lupa?" ujar Lam Kiong Soal Lan. "Lam
Kiong hujin adalah nenekku, sedang kan Tui Hun Lojin adalah
kakek tuamu."
"Oleh karena itu, kita jangan menimbulka urusan lain di
rimba persilatan! Itu akan me repotkan kita."
"Ya, aku menurut."
"Nah, harus begitu." Toan Beng Kiat tcr senyum. Mendadak
muncul beberapa orang ber pakaian hijau, yang kemudian
memandang Toa Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sambil tc
tawa-tawa. "Ha ha ha! Kita ditugaskan untuk membun mereka,
ternyata mereka masih sedemikian muda ujar salah seorang
berpakaian hijau. "Kita janga membunuh gadis itu, lebih baik
bersenang-scna dulu dengannya. Bagaimana?"
"Setuju!" sahut yang lain sambil tertawa geli "Kita harus
bergilir!"
"Siapa kalian?" bentak Lam Kiong Soat gusar, karena
mereka mengeluarkan kata-ka kotor.
"Kami adalah anggota Seng Hwee Kauw (Agama Api Suci)!"
sahut orang yang merupakan pala. "Kalian berdua pasti
bernama Toan Be Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, bukan?"
"Kok kalian tahu nama kami?" Toan Beng Kiat tertegun.
"Tentu tahu!" Orang berpakaian hijau itu tertawa. "Karena
kami ditugaskan untuk membunuh kalian!"
"Oh?" Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat lian
mengerutkan kening, kemudian mereka pun menghunus
pedang masing-masing.
"Wuah! Mau melawan ya?"
"Hm!" dengus Toan Beng Kiat. "Kalian kira pampang
membunuh kami" Sebaliknya malah kalian yang akan mati di
ujung pedang kami!"
"Mari kita serang mereka!" seru orang berpakaian hijau itu.
Tampak beberapa bilah pedang mengarah ke Tuan Beng
Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan Segera berkelit,
kemudian balas menyerang menggunakan Thian Liong Kiam
Hoat (Ilmu Pedang Naga Kahyangan).
Terjadilah pertarungan sengit. Belasan jurus kemudian,
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat lian terpaksa
mengeluarkan jurus-jurus andalan.
Toan Beng Kiat mengeluarkan jurus Thian Liong Jip Hai
(Naga Kahyangan Masuk Ke Laut), sedangkan Lam Kiong Soat
Lan mengeluarkan jurus Thian Liong Cioh Cu (Naga
Kahyangan Merebut Mutiara)
"Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...!" Terdengarlah suara jeritan.
Para anggota Seng Hwee Kauw itu terhuyung-huyung. Mereka
telah terluka dan darah mereka pun terus mengucur.
"Hm!" dengus Toan Beng Kiat. "Cepatlah kalian enyah!
Kalau tidak, kalian pasti mati di ujung pedang kami!"
Para anggota Seng Hwee Kauw saling memandang, lalu
meninggalkan tempat itu. Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat
Lan memandang punggung mereka sambil menggelengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gelengkan kepala. Kemudian Toan Beng Kiat berkata dengan
kening berkerut-kerut.
"Aku tidak menyangka kalau mereka tahu nama kita."
"Heran!" gumam Lam Kiong Soat Lan. "Dari mana mereka
tahu nama kita" Padahal kita baru menginjak Tionggoan ini."
"Menurutku, Seng Hwee Kauw pasti mempunyai dendam
dengan orang tua kita. Sebali mereka muncul untuk
membunuh kita."
"Tapi sejak kita memasuki daerah Tionggoan, sama sekali
tidak pernah mendengar tentang perkumpulan itu. Namun
justru muncul mendadak untuk membunuh kita."
"Soat Lan, kita harus segera berangkat ke markas pusat
Kay Pang untuk memberitahukan kepada kakekku tentang
kejadian ini," ujar Toan Beng Kiat. "Mungkin Seng Hwee Kauw
yang membunuh kakek tuaku dan nenekmu."
"Agama Api Suci...." gumam Lam Kiong Soat Lan. "Agama
Api.... Api.... Benar, mungkin pihak Seng Hwee Kauw yang
membunuh nenekku dan kakek tuamu."
"Ayoh, mari kita berangkat!" ajak Toan Beng Kiat. Lam
Kiong Soat Lan mengangguk. Mereka berdua segera
meninggalkan tempat itu menuju markas pusat Kay Pang.
Dalam perjalanan, Toan Heng Kiat terus berpikir dengan
kening berkerut-kerut.
"Beng Kiat, kenapa engkau?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Kenapa dari tadi keningmu berkerut-kerut?"
"Aku sedang memikirkan Seng Hwee Kauw itu." sahut Toan
Beng Kiat. "Padahal kita baru memasuki daerah Tionggoan,
bagaimana mereka bisa tahu nama kita" Bukankah itu sangat
mengherankan?"
"Benar," Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. "Bahkan
mereka berniat membunuh kita."
"Aku yakin, Seng Hwee Kauw yang membunuh kakek tuaku
dan nenekmu," ujar Toan Heng Kiat dan menambahkan.
"Sebab mereka juga mau membunuh kita."
"Mungkin tidak salah dugaanmu." Lam Kiong Soat Lan
manggut-manggut lagi. "Oleh karena itu, kita harus memburu
waktu agar cepat sampai di markas pusat Kay Pang."
"Maka...," tegas Toan Beng Kiat. "Jangan menimbulkan
masalah lain dalam perjalanan, sebabl itu akan menghambat
waktu kita."
"Ya." Lam Kiong Soat Lan mengangguk.
--ooo0dw0ooo-- Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di markas
pusat Kay Pang, yang tentunya sangat menggirangkan Gouw
Han Tiong dan Lim Peng Hang.
"Kakek!" panggil Toan Beng Kiat.
"Kakek Lim!" Lam Kiong Soat Lan juga memanggil mereka
dengan hormat. Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang tertawa
gembira. "Beng Kiat!" Gouw Han Tiong terus menatapnya dengan
penuh perhatian. "Ternyata engkau sudah besar!"
"Tentu." Toan Beng Kiat tersenyum. "Kini usiaku sudah
enam belas, sudah hampir dewasa.'
"Betul, betul! Ha ha ha!" Gouw Han Tionj tertawa. "Ayoh,
kalian duduklah!"
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan duduk, sedangkan
Gouw Han Tiong masih tetap memandang Toan Beng Kiat
sambil tertawa gem bira.
"Kalian berdua adalah murid Tayli Lo Ceng, tentunya sudah
berkepandaian tinggi, bukan?" tanya Gouw Han Tiong.
"Entahlah," Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Kami
tidak mengetahuinya."
"Apa yang kalian pelajari dari Tayli Lo Ceng?" tanya Lim
Peng Hang sambil tersenyum.
"Beberapa macam ilmu pukulan dan ilmu pedang." Toan
Beng Kiat memberitahukan. "Setelah itu, barulah guru
mengajar kami Kim Kong Sin Kang dan Kim Kong Ciang Hoat."
"Oh?" Gouw Han Tiong terbelalak. "Apakah itu merupakan
ilmu simpanan Tayli Lo Ceng?"
"Betul," Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Guru juga
memberitahukan, bahwa ilmu tersebut tidak diajarkan kepada
Paman Man Chiu!"
"Kenapa?" tanya Gouw Han Tiong dengan rasa heran.
"Kata guru, Paman Man Chiu terlampau berambisi dan...
dan...." Wajah Lam Kiong Soat Lan kemerah-merahan,
kemudian memandang Toan Beng Kiat seraya bertanya.
"Engkau ingat?"
"Aku pun sudah lupa," sahut Toan Beng Kiat.
"Ha ha ha!" Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang tertawa.
"Itu tidak apa-apa. Lupa yah sudahlah!"
"Guru mengingatkan kami, kalau tidak terpaksa jangan
mengeluarkan ilmu tersebut." Toan Beng Kiat
memberitahukan. "Sebab ilmu pukulan tersebut sangat hebat
dan lihay."
"Oooh!" Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Oh ya!" ujar
Lim Peng Hang memberitahukan. "Kalian terlambat datang.
Beberapa hari lalu Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berada
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di sini. Lie Ai Ling adalah putri Lie Man Chiu, sedangkan Siang
Koan Goat Nio adalah putri Kim Siauw Suseng."
"Oh?" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala.
"Sayang sekali! Kalau kami tidak terlambat kemari, pasti
bertemu mereka!"
"Benar," Lim Peng Hang manggut-manggut. "Oh ya,
bagaimana pengalaman kalian dalam perjalanan ke mari?"
"Cukup menegangkan," jawab Toan Beng Kiat dan menutur
tentang kejadian yang mereka alami.
"Apa"!" Kening Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
berkerut-kerut ketika mendengar tentang Seng Hwee Kauw.
"Jadi kini di rimba persilatan telah muncul Seng Hwee Kauw?"
"Ya," Toan Beng Kiat mengangguk. "Menurut kami,
kemungkinan besar kakek tua dan Lan Kiong hujin dibunuh
pihak Seng Hwee Kauw."
"Oh?" Gouw Han Tiong tersentak dan ber gumam. "Seng
Hwee (Api Suci)...."
"Itu memang mungkin," sela Lim Peng Hang "Sebab Tui
Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mat hangus, mungkin terkena
Seng Hwee?"
"Mungkin tapi belum pasti," sahut Gouw Hai
Tiong, kemudian memandang Toan Beng Kiat M-raya
berkata. "Sungguh sayang sekali kalian terlambat sampai di
sini, karena Lie Man Chiu, Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio
telah berangkat ke Hong Hoang To beberapa hari yang lalu.
Seandainya kalian tidak terlambat, mereka akan membawa
berita ini ke pulau itu."
"Apa" Paman Man Chiu...." Toan Beng Kiat terbelalak.
"Dia telah sadar, maka ikut putrinya dan Siang Koan Goat
Nio pulang ke Pulau Hong Hoang To." Gouw Han Tiong
memberitahukan, lalu menghela nafas panjang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Rimba persilatan akan banjir
ilarah lagi, karena kemunculan Seng Hwee Kauw!"
"Kakek," ujar Toan Beng Kiat. "Kami akan tinggal di sini
beberapa hari, setelah itu kami akan pergi menyelidiki Seng
Hwee Kauw."
"Itu...." Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu sungguh berbahaya, lebih baik Kalian jangan
menyelidikinya."
"Kakek!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Guru kami menitip
sepucuk surat untuk orang tua kami," katanya.
"Oh" Bagaimana isi surat itu?" tanya Gouw Han Tiong.
"Surat itu berbunyi...." Toan Beng Kiat memberitahukan.
"Maka kami diperbolehkan pergi ke Tionggoan."
"Oooh!" Gouw Han Tiong manggut-manggut "Kalau begitu,
kalian tinggal di sini beberapa hari barulah pergi menyelidiki
Seng Hwee Kauw itu!
"Ya, Kakek," Toan Beng Kiat mengangguk.
"Kalian berdua harus ingat," pesan Lim Pen Hang. "Kalau
ada apa-apa, kalian berdua haru segera kemari."
"Ya," Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soi Lan mengangguk.
Mereka berdua tinggal di markas pusat Kay Pang beberapa
hari, setelah itu, barulah mereld pergi menyelidiki Seng Hwee
Kauw. Lie Man Chiu, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling telah
tiba di Pulau Hong Hoang To. Tampak Lie Man Chiu berlutut di
hadapan Lie Tay Seng, sedangkan Tio Tay Seng menatapnya
dengan dingin sekali.
"Engkau masih punya muka kemari?" bentak Tio Tay Seng
gusar. "Engkau bukan manusia melainkan binatang yang tak
kenal budi!"
"Mantu mohon ampun, mantu memang telah bersalah...,"
ujar Lie Man Chiu terisak-isak.
"Hmm!" dengus Tio Tay Seng. "Lebih baik engkau segera
meninggalkan pulau ini, aku tidak sudi menerimamu lagi!"
"Tio Tocu," ujar Sam Gan Sin Kay sambil menggelenggelengkan
kepala. "Kini dia telah menyadari semua
kesalahannya, bahkan sudah pulung dan mau insyaf pula.
Maka dia harus di-ampuni agar bisa berkumpul kembali
bersama isterinya, berilah dia kesempatan untuk bertobat!"
"Tidak bisa!" Tio Tay Seng menggelengkan kepala.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Sudahlah,
jangan terus berpura-pura marah. Aku tahu engkau bergirang
dalam hati karena dia telah pulang bersama putrinya dan
putriku." "Bijin...." Tio Tay Seng mengerutkan kening.
"Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Tio Tocu,
semua itu telah berlalu. Aku yakin mulai sekarang putrimu
pasti hidup tenang dan bahagia."
"Paman!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Jangan membuat
Kakak Hong Hoa bertambah menderita. Kini Man Chiu telah
pulang, maka Kakak Hong Moa harus hidup bahagia."
"Heran?" gumam Tio Tay Seng. "Kenapa kalian semua
membela Man Chiu yang telah melakukan kesalahan?"
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring, "Tio Tocu, kami
tidak membelanya, melainkan membela putrimu yang telah
menderita tujuh tahun lebih."
"Aaaah...!" Tio Tay Seng menghela nafas. "Man Chiu,
cepatlah engkau ke kamar menemui Hong Hoa!"
"Ya." Lie Man Chiu mengangguk dan girang bukan main,
karena ucapan itu pertanda Tio Taji Seng telah
mengampuninya. Maka segeralah ia ke dalam menuju kamar
Tio Hong Hoa. Sementara Lie Ai Ling terus menerus menghibur Tio Hong
Hoa, karena Tio Hong Hoa menangis dengan air mata
berderai-derai, berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya.
"Ibu, maafkanlah ayah!" ujar Lie Ai Ling dan
menambahkan. "Kini ayah telah sadar."
"Dia kejam! Dia tak punya perasaan. Dia..." Ucapan Tio
Hong Hoa terputus, karena pintu kamarnya terbuka. Lie Man
Chiu berjalan ke dalam sambil memandangnya. Ketika melihat
Tio Hong Hoa begitu kurus dan rambutnya mulai memutih,
melelehlah air matanya.
Begitu melihat ayahnya memasuki kamar itu, Lie Ai Ling
segera meninggalkan kamar itu menuju ruangan depan.
Sementara Lie Man Chiu mendekati Tio Hong Hoa dengan
air mata berlinang-linang. Tio Hong Hoa menundukkan kepala
sambil menangis ter isak-isak dengan air mata berderai-derai.
"Adik Hong Hoa, isteriku..." panggil Lie Mal Chiu dengan
suara serak. "Mau apa engkau pulang" Ayoh, cepat pergi!" hentak Tio
Hong Hoa. "Isteriku...." Lie Man Chiu duduk di sisinya. "Aku mohon
ampun padamu, aku memang bersalah...."
"Engkau kejam, dan tak punya perasaan!" Tio liong Hoa
menudingnya. "Aku bukan isterimu!"
"Adik Hong Hoa!" Lie Man Chiu memandangnya dengan air
mata bercucuran. "Aku memang kejam dan tak punya
perasaan, tapi kini ?ku telah sadar. Adik Hong Hoa, engkau
adalah isteriku yang tercinta."
"Hmm!" dengus Tio Hong Hoa. "Tujuh tahun lebih aku
hidup menderita bersama Ai Ling, sebaliknya engkau...."
"Aaaah...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang,
kemudian mendadak menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio
Hong Hoa. "Adik Hong Hoa, aku mohon ampun!"
Tio Hong Hoa diam saja.
"Adik Hong Hoa, berilah aku kesempatan untuk
memperbaiki diri, agar dapat menebus dosaku!"
Tio Hong Hoa tetap diam, bahkan membuang muka.
"Adik Hong Hoa, engkau tidak sudi meng-ampuniku?" Lie
Man Chiu menatapnya putus asa. "Baiklah! Aku akan mati di
hadapanmu untuk menebus dosaku."
Lie Man Chiu menghunus pedangnya, namun mendadak Tio
Hong Hoa memeluknya erat-erat. "Kakak Chiu...."
"Adik Hong Hoa!" Lie Man Chiu membelainya. "Engkau sudi
mengampuniku?"
Tio Hong Hoa mengangguk dengan air mata berderai, lalu
mendekap di dada Lie Man Chiu sambil menangis tersedusedu.
"Isteriku," ujar Lie Man Chiu lembut. "Jangan menangis
lagi! Mulai sekarang kita tidak akar berpisah, aku akan selalu
mendampingimu dengar penuh cinta kasih...."
"Kakak Chiu...." Perlahan-lahan Tio Hong, Hoa
mendongakkan kepalanya memandang suaminya, kemudian
tersenyum. "Isteriku!" Lie Man Chiu mengangkatnya ke tempat tidur.
Mereka berdua duduk di pinggir tempat tidur untuk
mencurahkan rasa rindunya Sementara itu, Lie Ai Ling sudah
sampai di ruang depan. Sam Gan Sin Kay yang tak sabaran itu
langsung bertanya. "Bagaimana" Beres?"
"Apanya yang beres?" Lie Ai Ling balik bertanya dengan
heran. "Apakah ayah dan ibumu sudah berpeluk pelukan?" Sam
Gan Sin Kay menatapnya sambil tersenyum.
"Entahlah," sahut Lie Ai Ling sambil dudu "Aku tidak
melihatnya, karena begitu ayahku masuk, aku langsung
keluar." "Engkau sungguh bodoh." Sam Gan Sin Kay menggelenggelengkan
kepala. "Seharusnya engkau tetap di situ
menyaksikannya."
"Itu urusan orang tua, mana boleh aku menyaksikannya?"
sahut Lie Ai Ling.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Pengemis bau,
engkau memang sudah pikun."
"Kalau mereka berdua sudah berpeluk-pelukan, kita pun
ikut gembira," ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa terbahakbahak.
"Artinya mereka sudah akur...."
"Dasar pengemis bau!" tegur Kou Hun Bijin sambil tertawa
nyaring. "Mereka berdua adalah suami isteri, tentunya akan
akur kembali."
"Betul, betul! Ha ha ha...!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.
"Oh ya!" Kou Hun Bijin menatap putrinya seraya bertanya.
"Apakah engkau sudah bertemu Bun Yang?"
Siang Koan Goat Nio menggelengkan kepala.
"Apa?" Kou Hun Bijin terbelalak. "Engkau belum bertemu
Bun Yang kok sudah pulang?"
"Ibu, aku...." Siang Koan Goat Nio melirik Lie Ai Ling.
"Dia menemani kami pulang," ujar Lie Ai Ling cepat.
"Yah, ampun!" Kou Hun Bijin menepuk keningnya sendiri.
"Tujuanmu ke Tionggoan bukankah demi mencari Bun Yang"
Kenapa engkau malah menemani mereka pulang" Dasar anak
bodoh!" "Ibu...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.
"Kami terlambat sampai di markas pusat Kay Pang. Kalau
tidak terlambat, kami pasti bertemu Kakak Bun Yang." Lie Ai
Ling memberitahukan!
"Jadi...." Wajah Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im langsung
berseri. "Bun Yang sudah ke markas pusat Kay Pang?"
"Ya," Lie Ai Ling mengangguk. "Kata Kakek Lim,
kepandaian Kakak Bun Yang sudah tinggi sekali."
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im kelihatan gembira sekali.
Sementara Kou Hun Bijin terus memandang putrinya, lama
sekali barulah membuka mulut.
"Kenapa kalian terlambat sampai di markas pusat Kay
Pang?" "Ketika kami sampai di kota Keng Ciu, kami menolong
seorang pembesar yang baik hati...," jawab Siang Koan Goat
Nio dan menutur tentang pengalaman itu.
"Ternyata begitu!" Kou Hun Bijin manggut-manggut.
"Berarti..." ujar Tio Cie Hiong setelah berpikir sejenak. "Man
Chiu mempunyai hubungan dengan pihak Hiat Ih Hwe!"
"Benar," Tio Tay Seng mengangguk. "Biar nanti dia yang
menceritakannya, sebab kita harus tahu itu."
"Heran?" gumam Sam Gan Sin Kay mendadak. "Kenapa
mereka berdua begitu lama di dalam kamar" Janganjangan...."
"Jangan-jangan kenapa?" tanya Lie Ai Ling tercengang.
"Tidak mungkin ayah dan ibu akan ribut."
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Janganjangan
ayah dan ibumu sedang...."
"Pengemis bau!" tegur Kim Siauw Suseng. "Jangan omong
sembarangan di depan anak-anak! Dasar...."
"Maksudku jangan-jangan mereka berdua sudah akur dan
asyik," sahut Sam Gan Sin Kay dan tertawa lagi.
"Itu yang kuharapkan," ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh.
"Jadi kita pun harus ikut gembira."
"Betul, betul." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut.
"Memang itu yang kita harapkan. Ha ha ha...!"
"Kakek," ujar Lie Ai Ling sambil memandang lio Tay Seng.
"Aku dan Goat Nio masih mau ke l'ionggoan."
"Maksudmu pergi mengembara?" tanya Tio lay Seng.
"Ya," Lie Ai Ling mengangguk. "Sebab Goat Nio belum
bertemu Kakak Bun Yang."
"Tapi...." Tio Tay Seng mengerutkan kening. "Itu akan
dibicarakan nanti saja. Tergantung pada keputusan kedua
orang tuamu."
"Ayah yang menjanjikan begitu," Lie Ai Ling
memberitahukan.
"Oh?" Tio Tay Seng menatapnya. "Jadi ayahmu
memperbolehkanmu pergi ke Tionggoan lagi?"
"Ayah yang menjanjikan itu," sahut Lie Ai Ling.
"Kalau Goat Nio belum bertemu Bun Yang, aku tetap
penasaran," sela Kou Hun Bijin. "Oleh karena itu, aku
mengijinkan Goat Nio ke Tionggoan mencari Bun Yang."
"Ibu...." Wajah Siang Koan Goat Nio memerah.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Bijin, kenapa
engkau yang penasaran sih?"
"Tentu." Kou Hun Bijin mengangguk. "Goat Nio adalah
putriku, tentunya aku berharap dia mempunyai suami yang
baik." "Oooh!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Tidak salah,
Bun Yang memang merupakan calon suami yang baik. Aku
berani menjamin."
"Kuingat selalu ucapanmu itu," sahut Kou Hun Bijin.
"Apabila ternyata tidak, pipimu pasti bengkak kutampar."
"Celaka!" keluh Sam Gan Sin Kay. "Gara-gara banyak mulut
jadi masalah!"
"Makanya lain kali jangan banyak mulut," ujar Kim Siauw
Suseng sambil tertawa gelak.
Bersamaan itu, muncullah Lie Man Chiu dengan wajah
berseri, begitu pula Tio Hong Hoa yang di sampingnya.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Kayak
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengantin saja! Sudah beres kalian?"
"Beres," sahut Lie Man Chiu sambil tersenyum, dan
kemudian mendekati Tio Cie Hiong sekaligus menjura. "Cie
Hiong, aku minta maaf!"
"Lho" Kenapa engkau minta maaf kepadaku?" tanya Tio Cie
Hiong dengan rasa heran.
"Karena...." Lie Man Chiu menghela nafas panjang dan
melanjutkan. "Tujuh tahun yang lalu, aku merasa dengki dan
iri kepadamu, sehingga membuatku berambisi."
"Kenapa begitu?"
"Engkau selalu dipuji, disanjung dan dihormati pula. Oleh
karena itu, aku dengki dan iri kepadamu."
"Engkau...." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Oleh karena itu, maka aku berambisi mengangkat namaku
untuk menyaingimu. Akhirnya aku meninggalkan anak
isteri...." ujar Lie Man Chiu sambil menghela nafas panjang.
"Sepasang kakiku membawa diriku sampai di ibu kota. Di sana
aku bertemu Lu Thay Kam, kemudian aku mengabdi
kepadanya."
"Ternyata begitu!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Apakah Lu Thay Kam ketua Hiat Ih Hwe?"
"Betul," Lie Man Chiu mengangguk. "Dia mengajarku ilmu
Ie Hoa Ciap Bok, lalu mengangkatku sebagai wakilnya,
merangkap sebagai kepala pengawal di tempat tinggalnya."
"Tentunya engkau hidup senang di situ," ujar Tio Tay Seng
dengan wajah tak sedap dipandangi
"Memang begitulah," Lie Man Chiu mengaku "Tapi selama
tujuh tahun, aku tidak pernah tidur bersama dayang yang
mana pun."
"Tak terduga sama sekali, engkau masih dapat mengekang
hawa nafsu!" ujar Sam Gan Sin Ka dan menambahkan.
"Pantas tadi begitu lama di dalam kamar!"
"Kakek pengemis...." Wajah Lie Man Chiu memerah.
"Lalu bagaimana engkau bisa sadar dari kesalahanmu itu?"
tanya Kou Hun Bijin mendada
"Aku melihat seekor anak burung...." Lie Ma Chiu
memberitahukan. "Karena itu hatiku tersentuh dan seketika
teringat pula kepada Hong Hoa dan putriku di pulau ini."
"Syukurlah!" Kim Siauw Suseng manggu manggut. "Lalu
apa rencanamu sekarang?"
"Tidak akan meninggalkan pulau ini lagi, lama-lamanya
mendampingi Hong Hoa untuk lewati hari-hari yang indah dan
bahagia," ja Lie Man Chiu sungguh-sungguh.
"Bagus, bagus!" ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa. "Ha
ha ha...!"
"Oh ya!" Tio Tay Seng teringat sesuatu. "Betulkah engkau
telah berjanji pada Ai Ling, bahwa engkau
memperbolehkannya ke Tionggoan lagi?"
"Betul," Lie Man Chiu mengangguk. "Aku memang pernah
menjanjikan itu."
"Ayah tidak boleh ingkar janji lho!" ujar Lie Ai Ling cepat.
"Tentu." Lie Man Chiu tersenyum. "Tapi itu pun tergantung
pada ibumu."
"Ibu tidak berkeberatan, kan?" tanya Lie Ai Ling sambil
tersenyum. "Akan dirundingkan lagi mengenai itu," sahut lio Hong Hoa
dan menambahkan. "Kalau semuanya setuju, ibu pun tidak
berkeberatan!"
"Aku yakin semuanya setuju, terutama Kim Siauw Suseng
dan Kou Hun Bijin," ujar Lie Ai ling dan melanjutkan. "Sebab
aku harus menemani Goat Nio ke Tionggoan mencari Kakak
Bun Yang."
"Betul, betul," sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa
cekikikan. "Hi hi hi...!"
"Isteriku setuju, aku pun setuju," sambung Knn Siauw
Suseng. "Pengemis bau! Bagaimana engkau?"
"Aku tidak berkeberatan," sahut Sam Gan Sin Kny,
kemudian bertanya kepada Tio Tay Seng. "Tio Tocu,
bagaimana engkau?"
"Terserah kepada kedua orang tuanya," sahut Tio Tay
Seng. "Kami berdua...," ujar Lie Man Chiu sambi memandang Lie
Ai Ling dengan penuh kasih sayang. "Tentunya juga tidak
berkeberatan. Tapi kami baru berkumpul, jadi tidak boleh
cepat-cepat ke Tionggoan."
"Terimakasih Ayah," ucap Lie Ai Ling dengari wajah berseri.
"Terimakasih Ibu!"
--ooo0dw0ooo- Bagian ke dua puluh
Gadis cantik suku Miauw
Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanan bersama
monyet bulu putih. Ia berusaha keras untuk menguak misteri
kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Hari ini ketika ia sampai di tempat sep mendadak ia
mendengar suara ribut-ribut di depan. Segeralah ia melesat ke
arah asal datangnya suara itu kemudian meloncat ke atas
sebuah pohon. Dilihatnya seorang gadis cantik dikerumuni beberapa orang
berpakaian hijau. Gadis itu berpakaian aneh warna warni,
sepasang tangan dan kakinya memakai gelang, dan telinganya
memakai anting yang bergemerlapan.
Begitu melihat gadis tersebut, Tio Bun Yang tahu bahwa
gadis itu bukan gadis Tionggoan. Tampak gadis itu marahmarah
sambil menuding orang-orang berpakaian hijau itu,
bahkan membentak pula.
"Kalian jangan kurang ajar! Kata ibuku, orang Tionggoan
baik-baik, tidak tahunya begitu kurang Ajar!"
"Kami memang orang baik-baik," sahut salah seorang
berpakaian hijau. "Kalau kami jahat, tentunya tidak akan
mengajakmu bersenang-senang. Ha ha ha...!"
"Jangan kurang ajar!" bentak gadis itu lagi.
"Nona cantik, engkau dari mana?" tanya orang Itu sambil
menatapnya dengan penuh nafsu birahi.
"Kalian tidak usah tahu aku datang dari mana!" sahut gadis
itu dan mengancam. "Kalau kalian berani kurang ajar
terhadapku, aku pasti tidak memberi ampun kepada kalian!"
"Ha ha ha! Kami tidak minta ampun, melainkan ingin minta
dirimu menemani kami!" Orang berpakaian hijau itu
mendekatinya, lalu mendadak menjulurkan tangannya untuk
meraba pipi gadis itu
Gadis itu cepat-cepat berkelit, sekaligus menghunus
pedangnya. Ditatapnya mereka dengan tajam seraya berkata.
"Aku tidak menyangka orang Tionggoan sedemikian tak
tahu diri!"
"He he he! Engkau menghunus pedang" Mau bertarung
dengan kami" Lebih baik jangan, sebab kami tidak sampai hati
melukaimu. Alangkah baiknya engkau menemani kami tidur,
pokoknya...."
Sebelum orang berpakaian hijau itu usai berkata, gadis itu
telah mengayunkan pedangnya.
Breeet! Pakaian orang itu tersobek. Untung ia cepat
berkelit, kalau tidak ia pasti terluka.
"Serang dia!" seru orang berpakaian hijau itu.
Teman-temannya langsung menyerang gadis! itu dengan
pedang dan golok. Gadis itu berkelit! lalu balas menyerang.
Tio Bun Yang terbelalak ketika melihat gerakan pedang
gadis itu, karena gerakan pedang itu ternyata Tui Hun Kiam
Hoat (Ilmu Pedang! Pengejar Roh).
Sayang sekali, gadis itu belum berpengalaman maka
belasan jurus kemudian sudah berada dibawah angin.
"Ha ha ha!" Orang-orang berpakaian hijau tertawa
terkekeh. "Sudahlah! Lebih baik engkau menyerah saja! Kami
merasa tidak tega melukai mu!"
"Berhenti!" Terdengar suara bentakan da mendadak
melayang turun seseorang, yang tidak lain Tio Bun Yang
bersama monyet bulu puti yang duduk di bahunya.
Orang-orang berpakaian hijau terperanjat. Mereka langsung
berhenti menyerang gadis itu, kemudian memandang Tio Bun
Yang dengan kening berkerut.
"Siapa engkau?"
"Siapa kalian?"
"Kami anggota Seng Hwee Kauw, maka engkau jangan
coba-coba mencampuri urusan kami kalau ingin selamat!"
"Seng Hwee Kauw?" Tio Bun Yang berpikir, karena tidak
pernah mendengar nama perkumpulan itu.
"Cepatlah engkau enyah, jangan cari mati di sini!" Ujar
salah seorang berpakaian hijau itu.
"Seharusnya kalian yang enyah dari sini, bukan aku!" sahut
Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Oh?" Orang berpakaian hijau itu tertawa. "Siapa engkau"
Kenapa berani omong besar di hadapan kami?"
"Aku adalah Giok Siauw Sin Hiap!" sahut Tio Kun Yang
sambil memperlihatkan suling pualamnya.
"Haaah?" Orang-orang berpakaian hijau tampak terkejut,
kemudian mendadak menyerangnya.
"Kalian memang cari penyakit!" ujar Tio Bun Yang sambil
berkelit. Kemudian ia balas menyerang menggunakan Giok
Siauw Bit Ciat Kang khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah
Kepandaian), dan mengeluarkan jurus Cian In Giok Siauw
(Ribuan Bayangan Suling Kumala).
"Aaaakh! Aaaakh! Aaaaakh...!" Terdengar, suara jeritan
yang saling menyusul. Orang-orang' berpakaian hijau itu
roboh dengan mulut mengeluarkan darah. Ternyata salah satu
urat penting mereka telah putus, dan kepandaian mereka
musnah seketika.
Hanya dengan satu jurus Tio Bun Yang berhasil
memusnahkan kepandaian mereka, itu karena kepandaian
mereka masih rendah.
"Cepatlah kalian pergi!" bentak Tio Bun Yang.
Orang-orang berpakaian hijau itu berusaha bangkit untuk
berdiri, lalu berjalan pergi dengari sempoyongan.
"Hi hi hi!" Gadis itu tertawa geli.
"Nona!" ujar Tio Bun Yang. "Sudah amari sekarang, engkau
boleh meninggalkan tempat ini."
Gadis itu terbelalak. "Kenapa engkau mengusirku?"
"Aku tidak mengusirmu, melainkan...." Mendadak Tio Bun
Yang teringat sesuatu. "Oh ya, siapa yang mengajarmu ilmu
pedang Tui Hun Kiam Hoat?"
"Kok engkau tahu?" tanya gadis itu dengan rasa heran.
"Aku melihat gerakan pedangmu tadi," Tio Bun Yang
memberitahukan. "Maka aku tahu."
"Oooh!" Gadis itu manggut-manggut. "Ibu yang
mengajarku."
"Siapa ibumu?"
"Jangan terus bertanya, aku sudah capek berdiri!" tandas
gadis itu. "Lebih baik kita mengobrol di bawah pohon saja."
"Baik." Tio Bun Yang mengangguk sambil tersenyum.
Mereka berdua lalu duduk di bawah sebuah pohon. Gadis
itu terus menatapnya sehingga membuat Tio Bun Yang
terheran-heran.
"Kenapa engkau terus memandangku?"
"Engkau sungguh tampan," sahut gadis itu. "Monyet yang
duduk di bahumu juga indah sekali bulunya."
"Engkau...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
Sedangkan monyet bulu putih itu bercuit-cuit seakan merasa
gembira sekali karena dipuji.
"Oh ya! Aku lupa menjawab pertanyaanmu tadi." Gadis itu
tersenyum. "Ibuku adalah putri kepala suku Miauw."
"Kalau begitu... engkau gadis Miauw?"
"Betul."
"Kok engkau begitu lancar berbahasa Han?"
"Sejak kecil aku sudah belajar bahasa Han." Gadis Miauw
itu memberitahukan. "Ibu yang mengajarku."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Oh ya, siapa
yang mengajar ibumu ilmu pedang itu?"
"Orang Han."
"Kapan?"
"Sudah lama sekali, mungkin dua puluhan tahun yang lalu.
Aku datang di Tionggoan justru mau cari orang Han itu, ibu
yang menyuruhku mencarinya."
"Bolehkah aku tahu nama orang Han itu?"
"Namanya Tio Cie Hiong."
"Apa"!" Tio Bun Yang terbelalak. "Engkau mau
mencarinya?"
"Ya." Gadis Miauw itu mengangguk. "Engkau tahu Tio Cie
Hiong berada di mana?"
"Tahu." Tio Bun Yang mengangguk. "Tio Cie Hiong adalah
ayahku." "Apa"!" Kini giliran gadis Miauw itu yana terbelalak.
"Engkau... engkau puteranya?"
Kisah Pendekar Bongkok 14 Bara Naga Karya Yin Yong Kisah Sepasang Rajawali 3