Pencarian

Pendekar Sakti Suling Pualam 8

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 8


merupakan gadis dewasa, tentu akan membayangkan itu,
bukan?" "Yaaah!" Siang Koan Goat Nio menghela nafas. "Alangkah
baiknya kita tidak memikirkan dan tidak membayangkannya,
agar tidak pusing."
"Goat Nio!" Lie Ai Ling tersenyum. "Ayohlah, kita masuk di
sini sangat dingin!"
"Baik," Siang Koan Goat Nio mengangguk kemudian
mereka bangkit berdiri lalu berjalan memasuki markas.
Malam itu mereka semua tidak bisa tidur, karena perasaan
masing-masing tercekam oleh sesuatu.
-ooo0dw0ooo- Kegusaran Seng Hwee Sin Kun telah memuncak, entah
sudah berapa kali ia memukul meja dengan wajah merah
padam. "Jadi kalian gagal membasmi Tiong Ngie Pay?"
"Ya." Tok Chiu Ong mengangguk dan memberitahukan, "Itu
dikarenakan kehadiran beberapa orang di markas itu."
"Oh?" Seng Hwee Sin Kun mengerutkan kening. "Siapa
mereka?" "Chu Ok Hiap, Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan dan
lain-lainnya." Pat Pie Lo Koay memberitahukan. "Karena itu,
kami gagal membasmi Tiong Ngie Pay."
"Hmm!" dengus Seng Hwee Sin Kun dingin. "Mereka semua
betul-betul merupakan duri dalam mata! Kita harus membasmi
mereka dulu!"
"Itu tidak perlu," sahut Pat Pie Lo Koay. "Sebab mereka
merupakan suatu umpan bagi kita. setelah mereka
meninggalkan markas Tiong Ngie way, barulah kami pergi
menyerang Tiong Ngie Way lagi."
"Bagus!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Tidak
mungkin mereka tidak akan meninggalkan larkas Tiong Ngie
Pay itu! Ha ha ha...!"
Memang benar apa yang dikatakan Seng Hwee Sin Kun,
keesokan harinya Toan Beng Kiat dan lainnya meninggalkan
markas Tiong Ngie Pay menuju markas pusat Kay Pang.
Akan tetapi, di tengah jalan telah terjadi sesuatu, ternyata
Kam Hay Thian meninggalkan mereka secara diam-diam. Hal
itu sangat mengelisahkan Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat
Lan, Lie mi Ling, Siang Koan Goat Nio dan Lu Hui San.
"Aaaah...." Toan Beng Kiat menghela nafas "anjang. "Tak
disangka Kam Hay Thian begitu keras hati!"
"Bukan keras hati, melainkan tidak mau ber-aul," sahut Lie
Ai Ling sambil menggeleng-[ clengkan kepala.
"Bukan karena tidak mau bergaul, aku yakin Ada masalah
lain," ujar Lam Kiong Soat Lan. [ Tentunya karena Goat Nio."
"Mungkin karena aku," sahut Siang Koan I ioat Nio dengan
kening berkerut-kerut.
"Malam itu kalian berdua duduk di balik pohon," ujar Lam
Kiong Soat Lan sambil memandang Siang Koan Goat Nio. "Apa
yang kalian bicarakan?"
"Dia mencurahkan isi hatinya, tapi aku menolak," sahut
Siang Koan Goat Nio. "Mungkin karena itu, maka dia
memisahkan diri dengan kita."
"Ngmm!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. "Itu
memang masuk akal, namun kepergian-nya itu akan
membahayakan dirinya pula."
"Maksudmu dia akan pergi ke Lembah Kabut Hitam?" tanya
Lie Ai Ling dengan hati tersentak
"Mungkin." Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Sebab dia
telah bertekad ingin membunuh Seng Hwee Sin Kun."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi menyusulnya?"
tanya Lu Hui San seakan mengusulkan.
"Jangan!" Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Lebih
baik kita ke markas pusat Kay Pang saja. Kita berunding dulu
dengan kakekku dan kakek Lim."
"Jadi engkau membiarkan Kam Hay Thian pergi menempuh
bahaya seorang diri?" tanya Lu Hui San tidak senang.
"Jangan salah paham!" sahut Toan Beng Kiai sambil
tersenyum. "Dia memang meninggalkan kita, namun belum
tentu dia pergi ke lembah itu Lagi pula dia bukan pemuda
bodoh yang akan bertindak tanpa suatu perhitungan matang."
"Benar," sela Lam Kiong Soat Lan. "Lebih baik kita
melanjutkan perjalanan ke markas pusat Kay Pang saja. Kita
berunding bersama di sana, tidak perlu berdebat di sini
membuang-buang waktu."
"Aaaah...." Lu Hui San menghela nafas panjang dan tidak
mau banyak bicara lagi, kemudian mereka melanjutkan
perjalanan menuju markas pusat Kay Pang.
-ooo0dw0ooo- Dua hari kemudian, mereka sudah tiba di markas pusat Kay
Pang. Dapat dibayangkan betapa gembiranya Gouw Han Tiong
dan Lim Peng Hang.
"Kakek! Kakek Lim..." panggil Toan Beng Kiat sambil
memberi hormat.
"Kalian...." Gouw Han Tiong tertawa gembira. "Duduklah!"
Mereka duduk. Gouw Han Tiong memandang Toan Beng
Kiat seraya berkata.
"Kalian dari mana?"
"Kami____" Toan Beng Kiat menutur semua kejadian itu,
kemudian menambahkan sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Sungguh sayang sekali Kam Hay Thian memisahkan
diri dengan kami!"
"Pemuda itu____" Gouw Han Tiong menghela nafas.
"Terlampau terbawa oleh emosinya sendiri."
"Aku yakin..." ujar Lim Peng Hang sambil menatap mereka.
"Pasti ada suatu masalah d antara kalian. Ya, kan?"
"Ya," Lam Kiong Soat Lan mengangguk.
"Masalah apa itu?" tanya Lim Peng Hang sambil
mengerutkan kening. "Jangan ditutup-tutupi, jelaskan saja!"
"Itu dikarenakan____" Lam Kiong Soat Lan
memberitahukan. "Maka dia memisahkan diri dengan kami."
"Aaaah...." Lim Peng Hang menghela nafas lagi. "Di saat
begitu malah timbul masalah yang tak menyenangkan!"
"Kakek Lim," sela Lie Ai Ling. "Memang ada baiknya Goat
Nio menolak langsung. Kalau tidak, lama-kelamaan akan
bertambah gawat."
"Ngmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut, kemudian
berkata dengan kening berkerut. "Aku justru tidak habis pikir,
kenapa Seng Hwee Kauw menyerang Tiong Ngie Pay?"
"Mungkin...." ujar Gouw Han Tiong setelah berpikir sejenak.
Seng Hwee Kauw telah bekerja sama dengan Hiat Ih Hwe,
maka Seng Hwee Kau menyerang Tiong Ngie Pay dengan
maksud membantu Hiat Ih Hwe."
"Benar." Lim Peng Hang mengangguk. "Kita pun harus
berhati-hati, karena kemungkinan besar Seng Hwee Kauw
juga akan menyerang ke mari."
"Apakah kejadian itu, perlu kita beritahukan kepada Sam
Gan Sin Kay?" tanya Gouw Han Tiong.
"Memang seharusnya, tapi____" Lim Peng Hang
menggeleng-gelengkan kepala. "Ayahku sudah tidak mau
mencampuri urusan rimba persilatan."
"Cuma memberitahukan, bukan berarti Sam Gan Sin Kay
harus ke mari," ujar Gouw Han Tiong dan menambahkan.
"Kalau kita tidak memberitahukan, aku khawatir kita pula yang
akan dipersalahkannya."
"Benar." Lim Peng Hang mengangguk. "Kalau begitu, siapa
yang akan berangkat ke Pulau Hong Hoang To?"
"Bagaimana, kalau Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
saja?" usul Gouw Han Tiong sambil tersenyum.
"Ngmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Itu memang
baik, jadi mereka bisa tahu pulau itu."
"Beng Kiat!" Gouw Han Tiong menatapnya. "Bagaimana
kalau engkau dan Soat Lan yang berangkat ke pulau Hong
Hoang To?"
"Baik, Kakek." Toan Beng Kiat mengangguk, kemudian
memandang Lu Hui San seraya bertanya, "Engkau mau ikut
dengan kami ke Pulau Hong Hoang To?"
"Aku____" Lu Hui San menggelengkan kepala.
Toan Beng Kiat tampak kecewa, dan iti membuat Gouw
Han Tiong mengerutkan kenin lalu memandang Lim Peng
Hang. "Kapan mereka berangkat?"
"Besok juga boleh," sahut Lim Peng Hang.
"Beng Kiat, besok kalian berdua berangkatlah ke Pulau
Hong Hoang To! Jangan menunda waktu, sebab keadaan
telah gawat!" ujar Gouw Han Tiong sungguh-sungguh dan
berpesan. "Ingat, jangan menimbulkan urusan dalam
perjalanan!"
"Ya, Kakek." Toan Beng Kiat mengangguk.!
"Ai Ling, Goat Nio dan Hui San! Kalian bertiga tinggal di sini
beberapa hari!" tegas Lim Peng Hang. "Jangan pergi secara
diam-diam!"
"Ya." Ketiga gadis itu menyahut serentak.
Keesokan harinya, berangkatlah Toan Beng Kiat bersama
Lam Kiong Soat Lan ke Pulau Hong Hoang To.
-ooo0dw0ooo- Lie Ai Ling, Siang Koan Goat Nio dan Lu Hui San duduk di
halaman markas pusat Kay Pang. Wajah Lu Hui San tampak
murung, kelihatannya sedang memikirkan sesuatu.
"Hui San!" Lie Ai Ling tersenyum. "Engkau sedang
memikirkan apa?"
"Terus terang, aku sedang memikirkan Kam Hay Thian,"
sahut Lu Hui San jujur. "Aku khawatir akan terjadi sesuatu
atas dirinya. Sebab dia begitu keras hati, maka pasti ke
lembah itu."
"Jangan khawatir!" ujar Siang Koan Goat Nio. . "Walau dia
keras hati, namun tidak bodoh. Kalaupun dia berangkat ke
lembah itu, tentu dia sudah berpikir matang sekali."
"Memang, namun...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan
kepala. "Bagaimana mungkin dia seorang diri mampu
melawan Seng Hwee Sin Kun?"
"Kalau begitu, kita harus bagaimana?" tanya "Lie Ai Ling.
"Kita harus pergi membantunya," sahut Lu Hui San
sungguh-sungguh. "Dia teman baik kita, apakah kita tega
membiarkan dia seorang diri menempuh bahaya?"
"Itu____" Lie Ai Ling menghela nafas panjang.
"Kalau kalian berdua tidak mau pergi membantunya, biar
aku seorang diri yang pergi."
"Hui San!" Siang Koan Goat Nio menatapnya. "Kami juga
mempunyai rasa solidaritas, hanya saja...."
"Kenapa?" tanya Lu Hui San.
"Bukankah lebih baik kita tunggu Beng Kiat dan Soat Lan
pulang dulu, barulah kita pergi kelembah itu?" sahut Siang
Koan Goat Nio. Lu Hui San tersenyum getir, kemudian menghela nafas
panjang. "Tentunya Kam Hay Thian sudah jadi mayat di lembah itu,"
ujar Lu Hui San dengan mata basah.
"Hui San____" Lie Ai Ling tersentak. "Engkau...."
"Aku memang jatuh hati kepadanya, tapi dia Lu Hui San
menggeleng-gelengkan kepala. "Dia acuh tak acuh
terhadapku, namun aku tidak mempermasalahkan itu, sebab
aku merasa kasihan dan simpati kepadanya."
"Hui San," tanya Siang Koan Goat Nio mendadak. "Engkau
mencintainya?"
"Ya." Lu Hui San mengangguk. "Tapi aku tahu dia tidak
mencintaiku. Namun... aku tetap merasa kasihan dan simpati
kepadanya. Karena itu, aku harus pergi membantunya."
"Baiklah." Siang Koan Goat Nio manggut "Mari kita pergi
bersama, tapi kita tidak boleh berterus terang kepada kedua
kakek itu. Karena mereka pasti tidak mengijinkan."
"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Lu San.
"Aku mempunyai akal," sahut Lie Ai Ling dengan wajah
berseri. "Alasan kita pergi mencari Kakak Bun Yang."
"Benar." Siang Koan Goat Nio mengangguk. Jadi kita pasti
diijinkan pergi mencari Bun Yang."
"Kalau begitu, mari kita menemui kedua kakek itu!" ajak Lie
Ai Ling sambil tersenyum.
Mereka bertiga memasuki markas, kebetulan Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong sedang duduk di ruang depan.
"Kakek Lim, Kakek Gouw..." panggil Lie Ai Ling sambil
mendekati mereka.
"Ada apa?" tanya Lim Peng Hang.
"Yaaah____" Lie Ai Ling menghela nafas panjang,
kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil duduk.
"Lho?" Lim Peng Hang tercengang. "Ai ling, apa engkau
menghela nafas panjang?"
"Tadi..." Lie Ai Ling menghela nafas panjang lagi.
"Ada apa, beritahukanlah!" desak Lim Peng liang sambil
menatapnya. "Jangan ragu!"
"Tadi aku melihat Goat Nio duduk melamun di bawah
pohon, wajahnya murung sekali____"
"Lho" Kenapa?" Lim Peng Hang memandang Siang Koan
Goat Nio, dan gadis itu segera menundukkan kepala.
"Oooh!" Gouw Han Tiong tertawa. "Jangan-jangan dia
sedang memikirkan cucumu itu!"
"Bun Yang?" Lim Peng Hang terbelalak.
"Siapa lagi kalau bukan cucumu yang tampan itu?" sahut
Gouw Han Tiong, kemudian tertawa sambil memandang Lie Ai
Ling. "Betulkah Goa Nio terus-menerus memikirkan Bun Yang?"
"BetuL" Lie Ai Ling mengangguk. "Bahkan kadangkadang...."
"Kenapa?" tanya Lim Peng Hang cepat.
"Goat Nio sering menangis seorang diri," sahut Lie Ai Ling
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dan bergumam
memanggil nama Kakak Bun Yang."
"Oh?" Lim Peng Hang tersentak. "Kok bisa begitu" Padahal
Goat Nio belum bertemu Bun Yang."
"Itu gara-garaku juga." Lie Ai Ling menghela nafas
panjang. "Sebab aku sering memuji Kakak Bun Yang di
hadapannya, maka dia sangat tertarik sehingga?"
"Ingin sekali bertemu dia?" tanya Gouw Hai Tiong.
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Oleh karena itu, aku
pikir...."
"Kalian bermaksud pergi mencari Bun Yang?" tanya Lim
Peng Hang dan merasa kasihan pada Siang Koan Goat Nio.
"Kami memang bermaksud begitu, tapi...." Lil Ai Ling
menggelengkan kepala. "Belum tentu kami diijinkan pergi. Ya,


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan?" "Tidak salah," sahut Lim Peng Hang.
"Kalau begitu____" Lie Ai Ling menghela nafas panjang.
"Pasti celaka."
"Kenapa celaka?" tanya Lim Peng Hang dengan kening
berkerut. "Goat Nio____Goat Nio pasti sakit rindu, yang tiada
obatnya." sahut Lie Ai Ling.
"Benar." sela Gouw Han Tiong. "Sakit rindu memang tiada
obatnya, kecuali bisa bertemu orang yang dirindukannya."
"Kalau begitu harus bagaimana?" Lim Peng liang
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kita harus mengijinkan mereka pergi mencari Bun Yang.
Kalau tidak, Goat Nio pasti celaka," sahut Gouw Han Tiong.
"Mereka berdua belum pernah bertemu, kenapa bisa jadi
begitu?" Lim Peng Hang merasa heran.
"Bisa saja begitu." Gouw Han Tiong tertawa.
Bukankah kita pernah dengar, ada seorang pemuda jatuh
hati kepada Sang Bidadari yang di dalam lukisan, akhirnya
sakit rindu dan kemudian meninggal!"
"Ngmmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Baiklah. Aku mengijinkan mereka pergi mencari Bun
Yang." "Terimakasih, Kakek Lim!" ucap Lie Ai Ling dengan wajah
berseri. "Kapan kalian akan berangkat pergi mencari Bun Yang?"
tanya Lim Peng Hang sambil memandang mereka bertiga.
"Sekarang," sahut ketiga gadis itu serentak.
"Apa?" Lim Peng Hang tertegun. "Sekarang?"
"Ya." Ketiga gadis itu mengangguk.
"Bagaimana kalau besok saja?" tanya Lir Peng Hang.
"Bagaimana mungkin Goat Nio bisa menunggu sampai
besok?" Gouw Han Tiong tertawa
"Sudahlah, biar mereka berangkat sekarang saja!
"Baik." Lim Peng Hang manggut-manggut lalu memandang
mereka bertiga seraya berpesan "Kalian harus berhati-hati,
jangan sampai bertemu Seng Hwee Kauw atau Hiat Ih Hwe!"
"Kami pasti berhati-hati," ujar Lie Ai Lin berjanji. "Kami
pergi mencari kakak Bun Yan bukan pergi mencari gara-gara
dengan pihak Sen Hwee Kauw atau Hiat Ih Hwe."
"Mudah-mudahan kali ini kalian akan bertemu Bun Yang,
cucuku itu!" ucap Lim Peng Hang dan menambahkan. "Kalau
bertemu dia, kalian harus ajaklah ke mari!"
"Ya." Ketiga gadis itu mengangguk, lalu berangkat dengan
wajah berseri-seri, dan yang paling gembira adalah Lu Hui
San. -ooo0dw0ooo- Bagian ke dua puluh sembilan
Muncul Penolong
Di dalam markas Tiong Ngie Pay, tampak Yo Suan Hiang
sedang bercakap-cakap dengan Tan Ju Liang, Lim Cin An, Cu
Tiang Him dan Tan Giok Lan.
"Bagaimana menurut kalian, apakah pihak Seng Hwee
Kauw masih akan menyerang ke mari?" tanya Yo Suan Hiang
serius. "Menurutku..." jawab Tan Ju Liang dengan kening berkerutkerut.
"Pihak Seng Hwee Kauw pasti akan menyerang ke mari
lagi." "Apa alasanmu?"
"Sebab kini Toan Beng Kiat dan lainnya telah meninggalkan
markas kita ini, maka pihak Seng Hwee Kauw pasti
memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang lagi."
"Benar." Yo Suan Hiang manggut-manggut. 'Tapi kita pun
sudah siap menyambut penyerangan mereka, lagi pula para
anggota kita terlatih, tidak seperti para anggota Seng Hwee
Kauw." "Betul." Lim Cin An mengangguk. "Namun pemimpin
mereka pasti berkepandaian tinggi, maka kita harus hati-hati."
"Kita semua memang harus hati-hati," ujar Yo Suan Hiang,
kemudian memandang Tan Giok Lan seraya berkata. "Engkau
harus baik-baik menjaga diri, sebab kepandaianmu masih
rendah." "Ya, Bibi." Tan Giok Lan mengangguk.
"Lapor pada ketua!" seru salah seorang anggota sambil
berlari masuk. "Pihak Seng Hwe Kauw mulai menyerang ke
mari." "Demi Tiong Ngie Pay, kita semua harus bertempur matimatian!"
sahut Yo Suan Hiang.
"Ya!" sahut para anggota penuh semanga "Kami semua
rela mati demi Tiong Ngie Pay!"
"Bagus!" Yo Suan Hiang tertawa gembira "Mari kita sambut
mereka!" Yo Suan Hiang dan lainnya langsung melesai ke luar.
Setelah sampai di luar markas, mereka melihat tiga orang tua
berdiri di situ, dan satu di antaranya seorang wanita tua.
Mereka bertiga adalah Hek Sim Popo, Pek Bin Kui dan Leng
Bin Hoatsu. "Maaf!" ucap Yo Suan Hiang sambil memberi hormat.
"Selama ini, kami tidak bermusuhan dengan pihak kalian,
kenapa mendadak kalian menyerang ke mari?"
"Ha ha ha!" Pek Bin Kui tertawa. "Aku adalah Pek Bin Kui,
dia adalah Leng Bin Hoatsu dan wanita tua itu adalah Hek Sim
Popo. Kami menyerang ke mari atas perintah Kauwcu."
"Kauwcu kalian pasti Seng Hwee Sin Kun." ujar Yo Suan
Hiang dan menambahkan, "Kami tidak bermusuhan dengan
Seng Hwee Sin Kun kenapa dia memerintah kalian untuk
menyerang kami?"
"He he he!" Hek Sim Popo tertawa terkekeh. "Kalian harus
tahu, Kauwcu kami dan ketua Hiat Ih Hwe sudah bekerja
sama. Oleh karena itu, kami mewakili Hiat Ih Hwe membasmi
kalian. He he he...!"
"Oooh! Ternyata begitu!" Yo Suan Hiang manggut-manggut
sambil tertawa dingin. "Kalian kira gampang membasmi Tiong
Ngie Pay" Sebaliknya mungkin kalian yang akan menjadi
mayat di tempat ini."
"Serang mereka!" perintah Leng Bin Hoatsu kepada para
anak buahnya untuk menyerang para anggota Tiong Ngie Pay.
Begitu perintah itu diturunkan, seketika terjadilah
pertempuran dahsyat antara para anggota Seng Hwee Kauw
dengan para anggota Tiong Ngie Pay. Sedangkan Leng Bin
Hoatsu, Pek Bin Kui dan Hek Sim Popo juga mulai menyerang
mereka. Yo Suan Hiang melawan Hek Sim Popo, Tan Ju Liang
melawan Pek Bin Kui, Lim Cin An dan Cu Tiang Him melawan
Leng Bin Hoatsu.
Belasan jurus kemudian, Yo Suan Hiang tampak mulai
terdesak. Oleh karena itu, ia terpaksa menggunakan Cit Loan
Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling), ciptaan Tio
Cie Hiong. Begitu Yo Suan Hiang menggunakan ilmu [pedang tersebut,
seketika juga Hek Sim Popo merasa pusing dan matanya
berkunang-kunang.
Hal itu membuatnya terkejut sekali. Ia pun segera
mengeluarkan ilmu andalannya, sehingga pertarungan mereka
menjadi bertambah sengit.
Sementara Tan Ju Liang juga sudah mulai berada di bawah
angin, bahkan lengannya telah terluka oleh senjata lawan.
Begitu pula Lim Cin An dan Cu Tiang Him. Mereka mulai
terdesak dan paha mereka telah terluka.
"Ha ha ha!" Pek Bin Kui dan Leng Bin Hoatsi tertawa gelak
sambil menyerang mereka dengar jurus-jurus yang
mematikan. Di sisi lain, yaitu Hek Sim Popo, nenek itu tampak terdesak
oleh Yo Suan Hiang yang menggunakan Cit Loan Kiam Hoat.
Namun Yo Suar Hiang terkejut ketika melihat Tan Ju Liang,
Lim Cin An dan Cu Tiang Him yang dalam keadaan bahaya.
Mendadak ia membentak keras sambil menyerang Hek Sim
Popo dengan jurus Ban Kiam Hi Thian (Selaksa Pedang
Terbang Ke Langit), namun cepat-cepat Hek Sim Popo
menangkis dengan jurus Heng Soh Cian Kun (Menyapu Ribuan
Prajurit). Trang! Terdengar suara benturan senjata.
Yo Suan Hiang tetap berdiri di tempat, tetapi Hek Sim Popo
terpental beberapa depa. Untung nenek itu memiliki lweekang
tinggi, kalau tidak, ia pasti sudah terluka dalam.
Hek Sim Popo terkejut bukan kepalang, namun mendadak
balas menyerang Yo Suan Hiang dengan senjata rahasia.
Serr! Serrr! Serrrr!
Yo Suan Hiang cepat-cepat memutar pedangnya untuk
menangkis senjata-senjata rahasia itu, sehingga membuatnya
tidak sempat membantu Tan Ju Liang dan Lim Cin An maupun
Cu Tiang Him. Sementara para anggotanya sudah banyak yang mati.
Namun sisanya masih melawan secara mati-matian.
Sedangkan Tan Ju Liang, Lim Cin An, dan Cu Tiang Him sudah
tak mampu balas menyerang. Mereka bertiga hanya bertahan
mati-matian. Tampaknya tidak lama lagi, ketiga-tiganya pasti
akan mati di ujung senjata Pek Bin Kui dan Leng Bin Hoatsu.
Akan tetapi, di saat bersamaan terdengarlah suara siulan
yang amat nyaring kemudian melayang turun seorang gadis
berusia dua puluhan, berparas cantik tapi tampak dingin
sekali. Ketika melayang turun, gadis itu mengibaskan
tangannya menaburkan racun ke arah para anggota Seng
Hwee Kauw. "Aaaakh! Aaaakh! Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan yang
menyayat hati. Belasan anggota Seng Hwee Kauw roboh
sambil menggeliat-geliat, dan berselang sesaat tubuh mereka
mengeluarkan asap. Ternyata mereka telah mati dengan
daging mencair.
Betapa terkejutnya para anggota Seng Hwee Kauw lain.
Mereka segera mundur dengan wajah pucat pias.
Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui dan Hek Sim1 Popo juga
terkejut bukan main. Mereka memandang gadis itu sambil
mundur beberapa langkah.
"Siapa engkau?" bentak Leng Bin Hoatsu. "Kenapa
mencampuri urusan kami?"
"Kalian memang tidak kenal aku, tapi aku kenal kalian
semua!" sahut gadis itu sambil tersenyum dingin. "Aku ke mari
justru ingin mencampuri urusan kalian. Karena kalau
bertarung aku pasti kalah, maka aku menggunakan racun!"
"Beritahukan!" bentak Hek Sim Popo. "Siapa engkau?"
"Aku bernama Phang Ling Cu, juga adalah Ngo Tok
Kauwcu," sahut gadis itu.
"Haaah...!" Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui dan Hek Sim Popo
tersentak. Mereka tersentak bukan dikarenakan Ngo Tok
Kauwcu itu berkepandaian tinggi, melainkan Ngo Tok Kauw
sangat terkenal racunnya. "Engkau... engkau Ngo Tok
Kauwcu?" "Kalau kalian tidak percaya, boleh coba racunku!" Phang
Ling Cu mengangkat sebelah tangannya.
Seketika juga Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui dan Hek Sim
Popo meloncat ke belakang dengan wajah pucat pias.
"Hmm!" dengus Phang Ling Cu dingin. "Kalian masih belum
mau enyah dari sini" Ingin merasakan kelihayan racunku?"
Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui dan Hek Sim Popo saling
memandang, kemudian mereka melangkah pergi. Para
anggota Seng Hwee Kauw segera mengikuti mereka
meninggalkan tempat itu.
Phang Ling Cu tertawa dingin. Yo Suan Hiang
menghampirinya sambil memberi hormat.
"Terimakasih atas bantuanmu, Ngo Tok Kauw-cu!"
ucapnya. "Tidak usah mengucapkan terimakasih," sahut Phang Ling
Cu sambil tersenyum ramah. "Panggil saja namaku! Aku
bernama Phang Ling Cu, dan engkau pasti Yo Suan Hiang. Aku
pun harus memanggil bibi."
"Ling Cu____" Yo Suan Hiang tertegun. "Kok engkau tahu
namaku?" "Siapa tidak kenal ketua Tiong Ngie Pay yang selalu
menentang Hiat Ih Hwe" Lagipula...." Phang Ling Cu
tersenyum lagi. "Aku berhutang budi kepada adik Bun Yang."
"Engkau kenal Tio Bun Yang?" Yo Suan Hiang terbelalak.
"Kenal." Phang Ling Cu mengangguk. "Dia yang
menyembuhkan wajahku."
"Oooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Ling Cu, mari
kita masuk!"
"Terimakasih!" ucap Phang Ling Cu.
"Cepat kalian obati anggota-anggota yang terluka" ujar Yo
Suan Hiang pada Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him.
"Ya, Ketua," sahut mereka bertiga dan segera mengobati
anggota-anggota yang terluka.
Sementara Yo Suan Hiang dan Phang Ling Cu telah berada
di dalam markas dan mereka duduk berhadapan.
"Tiong Ngie Pay berhutang budi padamu, Ling Cu," ujar Yo
Suan Hiang. "Kalau engkau tidak segera muncul, Tiong Ngie
Pay pasti hancur."
"Jangan berkata begitu, Bibi Suan Hiang!" sahut Phang Ling
Cu. "Tadi aku sudah bilang, Adik Bun Yang yang
menyembuhkan wajahku. Kalau tidak, aku masih memakai
cadar dan wajahku sangat menyeramkan."
"Oh ya!" Yo Suan Hiang menatapnya seraya bertanya. "Di
mana engkau bertemu Bun Yang"*
"Di kota Kang Shi..." jawab Phang Ling Cu dan menutur
tentang kejadian itu sambil tersenyum. "Adik Bun Yang berhati
bajik, luhur dan mulia. Aku kagum dan salut padanya."
"Setelah itu, dia ke mana?"
"Entahlah."
"Aaaah!" Yo Suan Hiang menghela nafas panjang. "Sudah
lama aku tidak bertemu dia, aku sudah rindu sekali
kepadanya!"
"Dia memang pemuda yang baik, berkepandaian tinggi tapi
tidak menyombongkan diri."
"Benar," Yo Suan Hiang manggut-manggut. ''Oh ya, engkau
sengaja ke mari atau kebetulan...."
"Boleh dikatakan sengaja ke mari, tapi juga boleh dikatakan
kebetulan," sahut Phang Ling Cu. '"Justru malah membantu
Bibi Suan Hiang."
"Ling Cu!" Yo Suan Hiang memandangnya. "Karena engkau
membantu kami, Seng Hwee Kauw pasti mendendam
padamu."

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memang mempunyai dendam pada Seng Hwee Sin
Kun," ujar Phang Ling Cu memberitahukan. "Karena Seng
Hwee Sin Kun membunuh ayahku, maka aku harus menuntut
balas." "Ayahmu dibunuh oleh Seng Hwee Sin Kun?"
"Ya," Phang Ling Cu mengangguk sambil menghela nafas.
"Padahal ayahku teman baiknya."
"Oh?" Yo Suan Hiang terbelalak. "Lalu kenapa Seng Hwee
Sin Kun membunuh ayahmu?"
"Dia ingin menyerakahi kitab Seng Hwee Cin Keng. Oleh
karena itu, dia membunuh ayahku demi memperoleh kitab itu.
Akhirnya dia berhasil, bahkan berhasil pula menguasai semua
ilmu yang tercantum di dalam kitab itu."
"Ooooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Ternyata
begitu! Tapi... apakah engkau mampu melawan Seng Hwee
Sin Kun?" "Aku bukan lawannya, namun aku mahir racun." Phang
Ling Cu memberitahukan. "Aku akan berusaha membunuhnya
dengan racun."
"Itu akan berhasil?"
"Belum tentu," Phang Ling Cu menggeleng kan kepala.
"Oleh karena itu, aku harus berunding dengan Adik Bun
Yang." "Sayang sekali, Bun Yang tidak berada di sini, ujar Yo Suan
Hiang dan memberitahukan. "Tapi belum lama ini justru
muncul Toan Beng Kiat Kam Hay Thian dan lainnya ke mari.
Pada waktu itu, pihak Seng Hwee Kauw pun menyerang
namun pihak Seng Hwee Kauw tidak pmelawan mereka, dan
akhirnya kabur."
"Kalau begitu, Seng Hwee Sin Kun sangat licik," ujar Phang
Ling Cu dingin dan melanjutkan "Setelah mereka pergi, dia
perintahkan para anak buahnya menyerang lagi."
"Karena itu, aku harus berterimakasih kepadamu," ucap Yo
Suan Hiang setulus hati.
"Bibi Suan Hiang!" Phang Ling Cu tersenyum "Jangan
mengucapkan terimakasih kepadaku, karena aku memang
mempunyai dendam dengan Seng Hwee Sin Kun! Oh ya, aku
mau mohon pamit!"
"Kenapa begitu cepat?"
"Aku akan pergi mencari Adik Bun Yang."
"Ling Cu, cobalah engkau ke markas pusa Kay Pang, siapa
tahu Bun Yang berada di sana!"
"Baiklah. Aku akan ke sana." Phang Ling Cu bangkit berdiri.
"Bibi Suan Hiang, sampai jumpa!'
"Sampai jumpa, Ling Cu!" sahut Yo Suan
Hiang dan berpesan. "Kalau bertemu Bun Yang, tolong
beritahukan bahwa aku sangat rindu kepadanya."
"Ya, Bibi Suan Hiang," Phang Ling Cu mengangguk, lalu
melesat pergi. -ooo0dw0ooo- Sementara itu, di dalam markas Seng Hwee Kauw, tampak
Seng Hwee Sin Kun marah-marah sambil memukul meja.
"Kenapa kalian bertiga, bisa gagal membasmi Tiong Ngie
Pay?" "Kauwcu!" Leng Bin Hoatsu memberitahukan. "Sebetulnya
kami hampir berhasil membasmi Tiong Ngie Pay, tapi?"
"Kenapa?" tanya Seng Hwee Sin Kun sambil mengerutkan
kening. "Mendadak muncul seorang gadis bernama Phang Ling Cu,
yang mengaku dirinya adalah Ngo Tok Kauwcu. Gadis itu
mahir menggunakan racun, sehingga belasan anggota kita
mati keracunan," sahut Leng Bin Hoatsu.
"Phang Ling Cu" Dia sudah muncul?" gumam Seng Hwee
Sin Kun. "Kauwcu kenal gadis itu?" tanya Pek Bin Kui.
"Kenal," Seng Hwee Sin Kun mengangguk. "Dia putri teman
baikku itu. Tak disangka dia pun mahir menggunakan racun!"
"Racun yang digunakannya sungguh lihay sekali!" ujar Hek
Sim Popo. "Belasan anggota kita itu mati dengan daging
mencair, sungguh menakutkan!"
"Hmm!" dengus Seng Hwee Sin Kun dingin. "Dia pasti akan
menuntut balas atas kematian, ayahnya, maka kalian harus
hati-hati menghadapinya."
"Ya!" sahut mereka serentak.
"Dia mahir menggunakan racun, namun aku tidak takut
akan racunnya," ujar Seng Hwee Si Kun sambil tertawa. "Ha
ha ha...!"
"Kenapa begitu?" tanya Pat Pie Lo Koay.
"Aku memiliki Seng Hwee Sin Kang, maka, aku kebal
terhadap racun apa pun." Seng Hwee Sin Kun
memberitahukan. "Karena itu, dia tidak bisa membunuhku
dengan racun."
"Oooh!" Pat Pie Lo Koay manggut-manggut.
"Kauwcu!" ujar Leng Bin Hoatsu mendadak dengan wajah
serius. "Aku punya suatu usul."
"Usul apa" Beritahukanlah!" sahut Seng Hwee Sin Kun
sambil menatapnya. "Mudah-mudahan usul yang dapat
dipakai!" "Tentu usul yang dapat dipakai." Leng Bin Hoatsu tertawa.
"Usulku yakni kita harus melatih dan sekaligus mengajar ilmu
silat kepada para anggota kita, sebab mereka masih agak
kacau di saat bertempur, dan kepandaian mereka masih
rendah!" "Ngmmm!" Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut.
"Usulmu kuterima."
"Terimakasih, Kauwcu!" ucap Leng Bin Hoatsu sambil
memberi hormat.
"Kuserahkan tugas itu kepada kalian," ujar Seng Hwee Sin
Kun sungguh-sungguh dan memandang mereka tajam.
"Setelah itu, kalian boleh pergi menyerang Tiong Ngie Pay
lagi." "Ya, Kauwcu," sahut mereka berlima sambil mengangguk.
"Kami pasti melaksanakan tugas itu dengan baik."
"Bagus, bagus!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Ha ha
ha...!" -ooo0dw0ooo- Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan yang berlayar ke
Pulau Hong Hoang To telah tiba di pulau tersebut. Kedatangan
mereka justru membingungkan para penghuni pulau itu,
karena tidak kenal Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
"Siapa kalian berdua?" tanya Tio Tay Seng dengan kening
berkerut. "Kenapa kalian berani datang di pulau ini?"
"Maaf!" ucap Toan Beng Kiat sambil member hormat.
"Namaku Toan Beng Kiat, dan dia ber nama Lam Kiong Soat
Lan." "Oooh!" Wajah Tio Tay Seng langsung berseri "Ternyata
kalian datang dari Tayli, silakan duduk!
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lai duduk, Sam Gan
Sin Kay menatap mereka serayi bertanya,
"Bagaimana kabarnya orang tua kalian" Mereka baik-baik
saja?" "Orang tua kami baik-baik saja," jawab Toan Beng Kiat dan
memberitahukan. "Kami ke mari atas perintah Kakek Lim dan
Kakek Gouw untuli menyampaikan suatu kabar berita."
"Oh?" Tio Tay Seng memandang mereka "Kabar berita
apa?" "Pihak Seng Hwee Kauw terus-menerus berupaya
membunuh kami, bahkan belum lama in pihak Seng Hwee
Kauw menyerang Tiong Ngie Pay," jawab Toan Beng Kiat
memberitahukan "Mungkin dalam waktu dekat, pihak Seng
Hwee Kauw akan menyerang markas pusat Kay Pang.
"Oh?" Wajah Sam Gan Sin Kay berubah "Kalian tahu siapa
ketua Seng Hwee Kauw?"
"Ketua Seng Hwee Kauw adalah Seng Hwee Sin Kun. Dialah
pembunuh kakek tua dan Lan Kiong hujin," ujar Toan Beng
Kiat. "Oooh!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggut
"Kini di rimba persilatan telah muncul seorang Chu Ok Hiap
(Pendekar Pembasmi Penjahat), bernama Kam Hay Thian,"
Toan Beng Kiat memberitahukan. "Putera Kam Pek Kian dan
Lie Siu Sien."
"Apa"!" Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im terbelalak. "Kam
Hay Thian itu putra mereka?"
"Ya." Toan Beng Kiat mengangguk. "Tapi... ayahnya sudah
meninggal."
"Oh?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Kapan ayahnya
meninggal?"
"Sudah lama. Ayahnya dibunuh orang karena menolong
seorang tua dan memperoleh sebuah kitab Seng Hwee Cin
Keng." "Kalau begitu, pembunuh ayahnya adalah Seng Hwee Sin
Kun?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Ya." Toan Beng Kiat mengangguk. "Oleh karena itu, Kam
Hay Thian bersumpah akan membunuh Seng Hwee Sin Kun.
Ketika kami menuju markas pusat Kay Pang, dia memisahkan
diri dengan kami."
"Itu...." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Kami pun bertemu Goat Nio, Ai Ling dan berkenalan
dengan seorang gadis bernama Lu Hui San." Toan Beng Kiat
memberitahukan. "Mereka bertiga berada di markas pusat Kay
Pang." "Oooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Nah!" ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa. "Kini giliranku
bicara. Aku ingin bertanya kepada Soat Lan, sebab dari tadi
dia diam saja."
"Bibi mau tanya apa?" Lam Kiong Soat Lan tersenyum.
"Apakah putriku sudah bertemu Bun Yang?" Ternyata ini
yang ditanyakan Kou Hun Bijin.
"Belum." Lam Kiong Soat Lan menggelengkan kepala.
"Apa?" Kou Hun Bijin terbelalak, kemudian memandang Tio
Cie Hiong sambil berkata. "Adik, sebetulnya putramu itu hilang
ke mana?" "Aku... aku mana tahu!" sahut Tio Cie Hiong.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Bun Yang
sangat tampan, jangan-jangan____"
"Apa?" tanya Kou Hun Bijin sambil melotot. "Ayoh,
lanjutkan!"
"Jangan-jangan dia dikurung oleh janda cantik," sahut Sam
Gan Sin Kay dengan tertawa gelak.
"Hmm!" dengus Kou Hun Bijin. "Kalau Bun Yang berani
berbuat begitu, akan kutampar mukanya sampai rusak!"
"Eeeh?" Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. "Dia putra Cie Hiong
dan Ceng Im, bukan putramu lho!"
"Aku tidak perduli!" sahut Kou Hun Bijin melotot. "Pokoknya
aku harus hajar dia!"
"Lho" Isteriku!" Kim Siauw Suseng tersenyum.
"Pembicaraanmu kok menyimpang sampai begitu jauh?"
"Pengemis bau yang memulai."
"Dia sudah sinting, kenapa engkau ikut sinting pula?"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Isterimu
memang sudah gila, Bun Yang belum jadi mantunya, tapi dia
sudah begitu galak. Bagaimana kelak kalau sudah jadi
mantunya" Itu betul-betul gawat."
Sementara Tio Tay Seng, Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
cuma menggeleng-gelengkan kepala. Di saat itulah muncul Lie
Man Chiu dan Tio Hong Hoa. Wajah mereka berseri-seri,
namun kemudian terperangah, karena melihat Toan Beng Kiat
dan Lam Kiong Soat Lan. Tio Cie Hiong segera
memperkenalkan. Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
langsung memberi hormat.
"Ooooh!" Lie Man Chiu manggut-manggut sambil
tersenyum. "Ternyata mereka putra Toan Wie Kie dan putri
Lam Kiong Bie Liong!"
"Kalian berdua bertemu Ai Ling, putriku?" tanya Tio Hong
Hoa. "Kami sudah bertemu Ai Ling dan Goat Nio," jawab Lam
Kiong Soat Lan. "Mereka berada di markas pusat Kay Pang."
"Kalian sudah bertemu Bun Yang belum?" tanya Lie Man
Chiu. "Belum," Toan Beng Kiat menggelengkan kepala.
"Heran!" gumam Tio Hong Hoa. "Anak itu pergi ke mana?"
"Dia____" Sam Gan Sin Kay baru mau mengatakan
sesuatu, tapi Kou Hun Bijin telah melototinya.
"Awas!" ancamnya. "Kalau berani mencetus kan yang
bukan-bukan, pipimu pasti bengkak!"
"Ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak "Sastrawan sialan,
isterimu kok begitu galak! Kalau aku adalah engkau, dia sudah
ku____" "Apa?" tanya Kou Hun Bijin, yang kelihatan nya sudah siap
menampar Sam Gan Sin Kay yang bermulut usil itu.
"Ti... tidak!" Sam Gan Sin Kay meleletkan lidahnya.
"Sudahlah, jangan terus bergurau!" tandas Tio Tay Seng
serius. "Kini rimba persilatan mulai kacau, kita harus
bagaimana?"
"Paman," sahut Tio Cie Hiong. "Aku dan Adik Ceng Im
sudah tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan."
"Sama," sela Sam Gan Sin Kay.
"Begini saja," ujar Kim Siauw Suseng. "Kita lihat dulu
bagaimana perkembangan selanjutnya. Apabil terjadi sesuatu
di sana, Lim Peng Hang pasti akan mengutus orang ke mari
memberitahukan. Seandai nya begitu, barulah kita berunding
bersama." "Setuju!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggut
Tio Tay Seng juga mengangguk, lalu memandang Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan seraya berkata,
"Kalian berdua tinggal di sini dulu, tidak usah buru-buru ke
Tionggoan."
"Ya." Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
mengangguk. "Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Tio Tocu, sudah
waktunya kita main catur."
"Baik." Tio Tay Seng juga tertawa. Mereka berdua lalu pergi
main catur. Sedangkan yang lain masih bercakap-cakap
dengan Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
-ooo0dw0ooo- Di markas Hiat Ih Hwe, tampak Lu Thay Kam duduk
dengan wajah tak sedap dipandang. Gak Gong Heng duduk di
sebelahnya sambil mengerutkan kening, kemudian
menundukkan kepala.
"Jadi Seng Hwee Kauw tidak berhasil membasmi Tiong Ngie


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pay?" tanya Lu Thay Kam bernada gusar.
"Ya." Gak Cong Heng mengangguk. "Dua kali Seng Hwee
Kauw menyerang Tiong Ngie Pay, tapi gagal."
"Apa?" Lu Thay Kam tertegun. "Dua kali menyerang tapi
gagal" Kenapa begitu" Apakah Seng Hwee Kauw cuma mainmain?"
"Seng Hwee Kauw tidak main-main, Lu Kong Kong." Gak
Cong Heng memberitahukan. "Sebab banyak anggota Seng
Hwee Kauw yang menjadi korban di markas Tiong Ngie Pay."
"Kalau begitu____" Lu Thay Kam mengerutkan kening. "...
mungkinkah ketua Tiong Ngie Pai berkepandaian tinggi
sekali!" "Ada beberapa orang membantu Tiong Ngie Pay, maka
penyerangan pertama kali itu gagal."
"Siapa yang membantu Tiong Ngie Pay?"
"Chu Ok Hiap, Toan Beng Kiat, Lam Kiong, Soat Lan, Lie Ai
Ling, Siang Koan Goat Nio dan____" Gak Cong Heng tidak
berani melanjutkan.
"Dan siapa?" tanya Lu Thay Kam.
"Lu Hui San," sahut Gak Cong Heng sambil menundukkan
kepala. "Apa"!" Lu Thay Kam tersentak. "Putriku...."
"Nona Hui San telah bergabung dengan mereka, jadi____"
"Aaaah...!" Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Kenapa
San San bertemu mereka?"
"Kini Nona Hui San berada di markas pusat Kay Pang.
Perlukah aku menyuruh beberapa orang ke markas pusat Kay
Pang?" "Tidak usah," Lu Thay Kam menggelengkan kepala.
"Biarkan saja."
"Tapi...."
"Itu tidak jadi masalah. Kalau dia sudah bosan merantau,
tentu akan pulang."
"Oh ya!" Gak Cong Heng memberitahukan. "Semalam ada
utusan Seng Hwee Kauw ke mari."
"Utusan itu menyampaikan apa?"
"Minta maaf atas kegagalan itu, kini para anggota Seng
Hwee Kauw sedang dilatih dan diajarkan ilmu silat. Mungkin
tidak lama lagi, mereka akan menyerang Tiong Ngie Pay."
"Bagus, bagus!" Lu Thay Kam tertawa terbahak-bahak.
"Tiong Ngie Pay memang harus dibasmi. Kalau tidak,
perkumpulan itu merupakan kalangan bagi kita."
"Benar, Lu Kong Kong," sahut Gak Cong Heng dan ikut
tertawa. "Kita harus terus memperalat Seng Hwee Kauw."
"Tidak salah. Ha ha ha...!" Lu Thay Kam tertawa terbahakbahak
lagi, lalu melesat pergi.
-ooo0dw0ooo- Bagian ke tiga puluh
Cai Hoat Cat (Penjahat Pemetik Bunga)
Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanan bersama
monyet bulu putih, yang duduk di bahunya. Ketika hari mulai
gelap, Tio Bun Yang memasuki sebuah desa yang cukup
besar. Akan tetapi, sungguh mengherankan! Padahal hari baru
mulai gelap, namun rumah-rumah penduduk desa itu telah
tertutup rapat.
"Heran?" gumam Tio Bun Yang. "Kenap? semua rumah
telah ditutup" Apakah telah terjadi sesuatu di desa ini?"
Monyet bulu putih bercuit sambil manggut manggut seakan
mengatakan 'Ya'.
Tio Bun Yang menengok ke sana ke mari kemudian
mendekati salah sebuah rumah dan mengetuk perlahan.
Lama sekali barulah pintu rumah itu terbuka sedikit dan
seorang tua melongok ke luar. Ketika melihat Tio Bun Yang,
orang tua itu tampak menarik nafas lega.
"Siapa engkau, anak muda?" tanya orang tua itu.
"Aku pengembara, Paman," jawab Tio Bun Yang dengan
ramah. "Hari baru mulai malam, tapi kenapa para penduduk
desa ini sudah menutup pintu?"
"Anak muda____" Orang tua itu menghela nafas panjang.
"Telah terjadi sesuatu di desa ini."
"Paman, apa yang telah terjadi?"
"Anak muda, masuklah, aku akan mencerita kannya!"
Orang tua itu membuka pintu, kemudian Tio Bun Yang
melangkah ke dalam.
"Paman, ceritakanlah apa yang telah terjadi!"
"Duduklah dulu, anak muda!" ucap orang tua itu, kemudian
berseru. "Cing Cing! Cepat suguhkan teh untuk tamu kita!"
"Tidak usah repot-repot, Paman!" ujar Tio Bun Yang.
"Tidak apa-apa." Orang tua itu tertawa.
Tak lama tampak seorang gadis berusia dua puluhan
menyuguhkan secangkir teh. Cukup cantik gadis itu. Justru
gadis itu terbelalak ketika melihat Tio Bun Yang, wajahnya
pun agak kemerah-merahan.
"Silakan minum, Tuan!" ucapnya malu-malu.
"Terimakasih, Kak!" Tio Bun Yang tersenyum.
Senyuman Tio Bun Yang membuat gadis tergebui terpukau,
sehingga berdiri terpaku di tempat.
"Cing Cing!" Orang tua itu tertawa gelak. "Kenapa engkau?"
"Ayah...." Cing Cing menundukkan kepala.
"Kalau mau duduk, duduklah!" ujar orang tua itu. "Jangan
terus berdiri di situ, tidak baik lho!"
"Ayah...." Cing-Cing duduk di sebelah orang tua itu dengan
sikap malu-malu.
"Anak muda!" Orang tua itu menatap Tio Bun Vang dengan
penuh perhatian. "Siapa engkau?"
"Namaku Tio Bun Yang. Paman, ceritakanlah apa yang
telah terjadi di desa ini?"
"Belum lama ini, di desa ini muncul seorang Cai Hoa Cat
(Penjahat Pemetik Bunga), sehingga para penduduk desa
tercekam."
"Penjahat itu memetik bunga apa?" Heran Tio I Bun Yang.
"Kenapa bisa membuat para penduduk desa ini tercekam?"
"Anak muda..." orang tua itu terbelalak. "Engkau tidak tahu
istilah itu?"
"Istilah apa?"
"Cai Hoa Cat adalah penjahat pemerkosa wanita." Orang
tua itu memberitahukan. "Karena itu, sebelum hari gelap para
penduduk desa sudah menutup pintu rumah. Aku punya anak
gadis, maka ketakutan sekali."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Malam ini
penjahat itu akan muncul?"
"Mungkin." Orang tua itu menghela nafas panjang.
"Penjahat itu menculik kaum gadis lalu diperkosa, dilepaskan
keesokan harinya."
"Kalau begitu..." ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh. "Aku
harap malam ini dia muncul di sini!"
"Apa"!" Orang tua itu melotot. "Kok engkau begitu jahat"
Cing Cing adalah putriku satu-satunya, juga merupakan
harapanku. Engkau...."
"Paman!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku harap penjahat itu
muncul di sini, karena aku akan menangkapnya. Jadi Paman
jangan salah paham."
"Eh" Anak muda!" Orang tua itu terbelalak. "Engkau jangan
bergurau, penjahat itu lihay sekali! Puluhan pemuda di
kampung ini mengeroyoknya, namun malah dirobohkannya
dengan mudah sekali."
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum lagi. "Paman, sudah berapa
banyak gadis yang diperkosa penjahat itu?"
"Sudah belasan," sahut orang tua itu sambil menggelenggelengkan
kepala. "Padahal penjahat itu masih muda, bahkan
cukup tampan. Tapi dia justru melakukan perbuatan terkutuk
itu." "Paman, kalau begitu____" Tio Bun Yang menatapnya.
"Bolehkah malam ini aku menginap di sini?"
"Boleh," sahut Cing Cing cepat.
"Eh?" Orang tua itu tertegun. "Ayah belum menjawab,
kenapa engkau sudah menyahut tanpa persetujuan ayah"
Bagaimana kalau dia juga penjahat?"
"Ayah!" Cing Cing tersenyum. "Kalau dia penjahat, mungkin
masih banyak anak gadis yang bersamanya."
"Cing Cing, engkau...." Orang tua itu menggelenggelengkan
kepala, kemudian manggut-manggut. "Benar juga
ya!" "Paman!" Tio Bun Yang tertawa kecil, sedangkan monyet
bulu putih bercuit-cuit sambil menyengir.
"Ei, monyet!" Orang tua itu melotot. "Kenapa engkau
menyengir" Mau minum arak ya?"
Monyet bulu putih manggut-manggut. Orang tua itu
ternganga lebar mulutnya kemudian tertawa gelak.
"Anak muda, monyetmu mengerti bahasa manusia ya?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Ha ha ha!" Orang tua itu tertawa lagi. "Cing Cing,
ambilkan arak wangi yang ayah simpan tahunan itu! Ayah
ingin bersulang dengan monyet bulu putih ini!"
"Ya, Ayah." Cing Cing berlari ke dalam. Berselang sesaat ia
sudah kembali dengan membawa tiga buah cangkir dan
sebuah kendi berisi arak wangi. Gadis itu menaruh cangkircangkir
ke hadapan mereka, lalu menuang arak wangi.
"Ha ha!" Orang tua itu tertawa. "Mari kita bersulang!"
Mereka bertiga bersulang bersama. Bukan main monyet
bulu putih itu, hanya sekali teguk keringlah cangkirnya, lalu
disodorkan ke hadapan Cing Cing. Gadis itu segera menuang
arak wangi ke dalam cangkir yang di tangan monyet bulu
putih, yang kemudian bercuit seakan mengucapkan
terimakasih. Setelah itu, monyet bulu putih mengangkat
cangkirnya, seperti mengajak orang tua itu bersulang.
"Luar biasa!" Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Arakku masih ada setengah cangkir, tapi monyet bulu putih
sudah tambah, sungguh luar biasa! Tidak akan mabuk tuh?"
"Jangan khawatir, Paman!" ujar Tio Bun Yang. "Kauw heng
tidak akan mabuk, percayalah!"
"Oooh!" Orang tua itu tertawa. "Anak muda, monyet bulu
putih itu begitu kecil, kenapa kau panggil kauw heng?"
"Kecil badannya, namun usianya____"
"Berapa usianya?"
"Tiga ratus tahun lebih sedikit."
"Apa"!" Orang tua itu terbelalak. "Anak muda, tidak baik
membohongi orang tua lho!"
"Paman, aku tidak pernah bohong," sahut Tio Bun Yang.
"Kauw heng memang sudah berusia tiga ratus tahun lebih, dia
berasal dari Gunung Thian San."
"Oh?" Mulut orang tua itu ternganga lebar. "Luar biasa,
sungguh luar biasa sekali! Kalau begitu, aku pun harus
memanggilnya kauw heng.
"Ha ha! Kauw heng, mari kita bersulang!" Orang tua itu
meneguk arak wanginya perlahan-lahan, tapi sebaliknya
monyet bulu putih itu malah menghabiskan araknya dengan
sekali teguk. "Haah...?" Orang tua itu melotot. "Celaka! Kalau arak wangi
ini habis, aku tidak mampu beli lagi."
"Jangan khawatir, Paman," ujar Tio Bun Yang sambil
mengeluarkan setael uang emas dan diberikannya kepada
orang tua itu seraya berkata.
"Ini untuk Paman membeli arak wangi."
"Apa" Untuk membeli arak wangi?" Oranj tua itu terbelalak.
"Setael uang emas ini bisa untuk membeli sawah, aku tidak
berani menerimanya.'
"Terimalah!" desak Tio Bun Yang. "Kalau tidak, kami akan
merasa tidak enak."
"Tapi?" Orang tua itu tampak ragu menerimanya.
Monyet bulu putih bercuit-cuit kelihatannya tidak senang.
"Eh" Kenapa kauw heng?" Orang tua itu heran.
"Kalau Paman menolak, kauw heng pasti marah," ujar Tio
Bun Yang memberitahukan. "Kauw heng..."
Mendadak monyet bulu putih melempar cangkir yang
dipegangnya ke dinding, membuat orang tua itu dan putrinya
tercengang. Ceeeep! Cangkir itu menancap di dinding.
"Haaah...?" Orang tua itu dan putrinya terkejut bukan
main, mereka berdua saling memandang.
"Paman, kauw heng mulai marah lho!" ujai Tio Bun Yang
sambil tersenyum. "Maka Paman harus menerima uang emas
ini." "Ba... baik." Orang tua itu segera mengambil uang emas
tersebut. "Tuan!" Cing Cing menatapnya. "Kauw heng kelihatan
berkepandaian tinggi. Aku yakin Tuan. pasti berkepandaian
tinggi pula."
"Kira-kira begitulah." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Oh
ya, jangan memanggilku Tuan, panggil saja namaku!"
"Mungkin usiaku lebih besar, bagaimana kalau aku
memanggilmu Adik Bun Yang?"
"Baik." Tio Bun Yang mengangguk. "Jadi aku harus
memanggilmu Kakak Cing Cing."
"Terimakasih!" ucap Cing Cing sambil tersenyum manis.
"Sama-sama." Tio Bun Yang juga tersenyum.
"Terimakasih, anak muda!" ucap orang tua itu dan
menambahkan. "Dengan adanya uang emas ini maka aku bisa
membeli sawah."
"Paman ingin membeli sawah?"
"Ya."
"Kalau begitu..." Tio Bun Yang mengeluarkan setael uang
emas lagi, lalu diberikan kepada orang tua itu seraya berkata.
"Penambahan untuk Paman membeli sawah."
"Eh" Anak muda...." Orang tua itu terbeliak. "Aku...."
"Kalau Paman tidak menerima, kauw heng pasti marah,"
ujar Tio Bun Yang. Monyet bulu putih langsung menyeringai.
"Ba... baik. Terimakasih..." ucap orang tua itu sambil
menerima uang emas tersebut
"Sekarang sudah malam, lebih baik Paman dan Kakak Cing
Cing pergi tidur saja."
"Adik Bun Yang, aku ingin melihatmu menangkap penjahat
itu," sahut Cing Cing yang tidak mau beranjak dari tempat
duduknya. "Ha ha!" Orang tua itu tertawa. "Putriku begitu, aku pun
sama." "Eeeh?" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
Namun mendadak dia mengerutkan kening, dan monyet bulu
putih bercuit-cuit.
"Ada apa?" tanya orang tua itu heran.


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Penjahat itu sudah datang," sahut Tio Bun Yang dengan
suara rendah. "Haaah...?" Wajah orang tua itu dan putrinya langsung
berubah pucat. "Bagaimana baiknya?"
"Tenanglah, Paman!" ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum.
Tak berapa lama kemudian terdengarlah seruan di luar.
"Cing Cing yang cantik manis, aku datang menjemputmu
untuk pergi bersenang-senang!"
"Dia... penjahat itu." Suara orang tua tersebut bergemetar.
"Penjahat itu mau menculik Cing Cing."
"Tenang!" Tio Bun Yang beranjak ke pintu, sedangkan
monyet bulu putih tetap duduk di bahunya.
Tio Bun Yang membuka pintu, dilihatnya seorang pemuda
berwajah cukup tampan berdiri di luar.
"Kawan! Siapa engkau" Kenapa engkau begitu tak
bermoral?" tanya Tio Bun Yang sambil menatapnya tajam.
"Padahal engkau cukup tampan, tentunya tidak sulit
memperisteri gadis cantik."
"Diam!" bentak pemuda itu. "Siapa engkau" Kenapa engkau
mencampuri urusanku?"
"Namaku Tio Bun Yang," jawabnya memberitahukan.
"Kebetulan aku menginap di sini, maka aku harus melindungi
Cing Cing. Kawan, beritahukanlah namamu!"
"Dengar baik-baik! Namaku Kwee Teng An. Aku mau
bersenang-senang dengan gadis yang mana pun, engkau tidak
berhak turut campur!"
"Saudara Kwee!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Engkau baru berusia dua puluhan dan cukup tampan, tapi
kenapa justru mengambil jalan sesat?"
"Eh" Kenapa engkau mencampuri urusanku?" bentak Kwee
Teng An. "Engkau ingin cari mati ya?"
"Terus terang, aku masih merasa kasihan dan simpati
kepadamu!"
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa. "Engkau tidak perlu
berbaik hati kepadaku, cepatlah engkau enyah! Kalau tidak,
engkau pasti mati di ujung pedangku!"
Kwee Teng An menghunus pedangnya, lalu menatap Tio
Bun Yang dengan dingin dan bengis. Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mengeluarkan suling
pualamnya. "Saudara Kwee, sebetulnya aku merasa tidak tega
memusnahkan kepandaianmu! Tapi... engkau sama sekali
tidak mau bertobat, maka aku terpaksa harus bertindak agar
engkau tidak bisa melakukan kejahatan lagi!"
"Hmm!" dengus Kwee Teng An. "Engkau memang ingin cari
mampus! Lihat seranganku!"
Kwee Teng An langsung menyerangnya dengan sengit. Tio
Bun Yang berkelit dan balas menyerang.
Sementara orang tua dan putrinya yang ketakutan itu,
memberanikan diri mengintip ke luar. Kebetulan Tio Bun Yang
mulai bertarung dengan penjahat itu, maka wajah mereka
bertambah pucat.
Para penduduk desa juga mulai berhambur ke luar. Mereka
menyaksikan pertarungan itu dengan hati berdebar-debar
tegang. Semuanya berharap Tio Bun Yang dapat mengalahkan
penjahat itu. Setelah bertarung belasan jurus, Tio Bun Yang merasa
kagum kepada Kwee Teng An, karena kepandaian penjahat itu
cukup tinggi. Mendadak Kwee Teng An membentak keras,
ternyata ia menyerang Tio Bun Yang dengan jurus
simpanannya, yaitu jurus Lui Soh Ngo Gak (Halilintar
Menyambar Lima Bukit).
Dahsyat, cepat dan lihay jurus itu. Tampak pedang Kwee
Teng An berkelebat-kelebat menyambar Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang bersiul panjang. Ia tidak berkelit, melainkan
menangkis serangan Kwee Teng An dengan jurus Hai Lang
Thau Thau (Ombak Laut Menderu-deru).
Trannng! Terdengar suara benturan dua senjata.
Tio Bun Yang berdiri tegak di tempat, sedangkan Kwee
Teng An terpental dua tiga depa ke belakang dengan wajah
pucat pias. "Maaf Saudara Kwee!" seru Tio Bun Yang. "Aku terpaksa
harus memusnahkan kepandaian-mu!"
Tio Bun Yang melesat ke arah Kwee Teng An sekaligus
menyerangnya dengan jurus Cian In Giok Siauw (Ribuan
Bayangan Suling Pualam).
"Aaaaakh...!" jerit Kwee Teng An, yang jatuh terduduk.
Mulutnya mengeluarkan darah dan salah satu urat di tubuhnya
telah putus sehingga kepandaiannya musnah seketika.
"Engkau... engkau____"
"Kini kepandaianmu telah musnah. Aku harap selanjutnya
jadilah engkau orang baik-baik!"
"Tio Bun Yang! Aku bersumpah akan menuntut balas
dendam ini!" Kwee Teng An menatapnya dengan penuh
dendam, kemudian berusaha bangkit untuk berdiri.
Para penduduk desa itu bersorak sorai penuh kegembiraan
ketika melihat Tio Bun Yang berhasil merobohkan penjahat
pemetik bunga. Begitu pula orang tua dan putrinya yang di
dalam rumah, mereka berdua segera berlari ke luar lalu
menghampirinya.
"Anak muda, sungguh hebat engkau!" Orang tua itu
mengacungkan jempolnya ke hadapan Tio Bun Yang.
"Adik Bun Yang," ujar Cing Cing dengan wajah berseri.
"Dugaanku tidak meleset, engkau berkepandaian tinggi."
Tio Bun Yang hanya tersenyum. Sedangkan monyet bulu
putih yang duduk di bahunya juga bercuit-cuit.
"Terimakasih siauw hiap!" ucap seorang tua, yang ternyata
seorang Kepala Desa. "Engkau telah menyelamatkan desa
kami." "Itu memang tugasku." Tio Bun Yang ter-l senyum.
"Kebetulan aku lewat di desa ini, kemudian menginap di
rumah Cing Cing."
"Oooh!" Kepala Desa itu manggut-manggut dan berkata.
"Karena engkau telah menyelamatkan desa kami, maka kami
harus mengadakan pesta untuk menjamu siauw hiap."
"Tidak usah, Paman!" Tio Bun Yang menggelengkan kepala.
"Aku masih harus melanjutkan perjalanan."
"Belum pagi____" Kepala Desa itu tampak kecewa.
"Tidak apa-apa." Tio Bun Yang memandang orang tua itu
dan Cing Cing. "Paman, Kakak Cing Cing, sampai jumpa!"
Tio Bun Yang melesat pergi. Hal itu sungguh mengejutkan
orang tua dan putrinya, yang tidak menyangka Tio Bun Yang
akan begitu cepat pergi.
"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang!" seru Cing Cing.
Akan tetapi, Tio Bun Yang sudah tidak kelihatan. Seketika
Cing Cing menangis terisak-isak.
"Ayah...." Air mata Cing Cing berderai-derai. "Kenapa adik
Bun Yang begitu cepat pergi!"
"Dia memang pemuda baik, ramah tamah dan tak mau
disanjung," sahut orang tua itu. "Maka dia segera pergi."
"Adik Bun Yang____" Cing Cing terus terisak-isak.
"Cing Cing!" Orang tua itu tersenyum. "Percayalah! Kelak
kalian akan bertemu lagi."
"Tidak mungkin." Cing Cing menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara Kwee Teng An terus berusaha bangkit untuk
berdiri, namun sama sekali tidak bertenaga. Penduduk desa
memandangnya dengan penuh kebencian. Mendadak salah
seorang tua berseru.
"Dia telah memperkosa anak gadisku, sehingga anak
gadisku gantung diri. Karena itu, mari kita lemparkan dia ke
dalam jurang!"
"Setuju!" sahut yang lain.
Beberapa orang langsung menyeret Kwee Teng An,
sedangkan Kepala Desa cuma menggeleng-gelengkan kepala.
Kwee Teng An terus berkertak gigi dengan mata membara.
Tak seberapa lama kemudian, ia telah diseret sampai di
pinggir jurang, lalu orang-orang desa itu melemparnya ke
jurang yang menganga lebar.
"Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan panjang. Badan Kwee
Teng An terus melayang ke bawah jurang yang ribuan kaki
dalamnya. Tak lama setelah Tio Bun Yang meninggalkan desa itu, hari
mulai terang. Tio Bun Yang melanjutkan perjalanan, dan
mengambil arah timur karena ingin ke markas Tiong Ngie Pay
yang ada di pinggir Kota Hay Hong.
Dua hari kemudian, ia telah tiba di marka tersebut. Betapa
gembiranya Yo Suan Hiang, Ta Ju Liang, Lim Cin An dan Cu
Tiang Him. Merek menyambutnya dengan penuh kehangatan,
lalu mengajaknya bersulang sambil bercakap-cakap.
"Bibi," Tio Bun Yang menatap Yo Suan Hiang.
"Bagaimana keadaan Tiong Ngie Pay belakangan ini?"
tanyanya. "Bertambah maju, tapi____" Yo Suan Hiang mengerutkan
kening. "Kenapa?" Tio Bun Yang heran. "Telah terjadi sesuatu?"
"Seng Hwee Kauw dua kali menyerang ke mari." Yo Suan
Hiang memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Oh?" Tio Bun Yang tertegun. "Bukankah Tiong Ngie Pay
tidak bermusuhan dengan Seng Hwee Kauw" Kenapa Seng
Hwee Kauw menyerang ke mari?"
"Seng Hwee Kauw dan Hiat Ih Hwe telah bekerja sama,
maka Seng Hwee Kauw menyerang kami," sahut Tan Ju Liang.
"Namun untung...."
"Kebetulan Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, Lie Ai
Ling, Siang Koan Goat Nio dan lainnya berada di sini. Mereka
membantu kami, sehingga pihak Seng Hwee Kauw melarikan
diri." Yo Suan Hiang memberitahukan.
"Oh!" Wajah Tio Bun Yang berseri. "Jadi mereka berada di
sini?" "Sudah berangkat ke markas pusat Kay Pang," ujar Yo
Suan Hiang dan menambahkan. "Beberapa hari kemudian
setelah mereka pergi, mendadak Seng Hwee Kauw menyerang
lagi." "Oh?" Kening Tio Bun Yang berkerut. "Tentunya pihak Bibi
banyak yang menjadi korban."
"Tidak." Yo Suan Hiang tersenyum. "Sebaliknya malah
pihak Seng Hwee Kauw yang menjadi korban."
"Kok begitu?" Tio Bun Yang bingung.
"Karena muncul seorang gadis membantui kami," ujar Yo
Suan Hiang memberitahukan.
"Siapa gadis itu?"
"Phang Ling Cu."
"Apa?" Tio Bun Yang terbelalak. "Kakak Ling Cu" Maksud
Bibi Ngo Tok Kauwcu?"
"Betul," Yo Suan Hiang mengangguk. "Dia ke mari
mencarimu, justru malah menyelamatkan Tiong Ngie Pay."
"Oooh!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku tak menyangka dia
ke mari mencariku, tapi secara tidak langsung malah
menyelamatkan Tiong Ngie Pay."
"Oh ya!" Yo Suan Hiang menatapnya. "Eng-kaukah yang
mengobati mukanya?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk lalu sekaligus menutur
tentang kejadian itu, kemudian bertanya. "Kenapa dia ke mari
mencariku?"
"Katanya ingin berunding denganmu, sebab musuh
besarnya berkepandaian tinggi sekali."
"Maksudnya Seng Hwee Sin Kun?"
"Ya." Yo Suan Hiang mengangguk. "Oh ya, ada seorang
gadis berada di sini, mungkin engkau tidak dapat menerka
siapa dia."
"Oh?" Tio Bun Yang tercengang. "Apakah dia Phang Ling
Cu?" "Phang Ling Cu sudah pergi," sahut Yo Suan Hiang sambil
tersenyum. "Toan Beng Kiat dan lainnya yang membawa gadis
itu ke mari, kini dia tinggal di sini."
"Siapa gadis itu?" tanya Tio Bun Yang.
"Dia Tan Giok Lan!" Yo Suan Hiang memberitahukan.
"Siapa?" Tio Bun Yang tertegun. "Kenapa dia berada di sini"
Bukankah dia dan kedua orang tuanya berada di kampung
halamannya?"
"Kedua orang tuanya telah dibunuh oleh para anggota Hiat
Ih Hwe, dan diapun dikejar-kejar."
"Toan Beng Kiat yang menolongnya?"
"Ya."
"Bibi, di mana Kakak Giok Lan?"
"Tiang Him! Panggil Giok Lan ke mari!" ujar Yo Suan Hiang
kepada Cu Tiang Him.
"Ya." Cu Tiang Him masuk ke dalam. Berselang sesaat ia
sudah kembali bersama Tan Giok Lan.
"Adik Bun Yang!" seru Tan Giok Lan girang. "Adik Bun
Yang...." "Kakak Giok Lan!" Tio Bun Yang memandangnya sambil
tersenyum. "Aku tak menyangka, engkau tinggal di sini."
"Adik Bun Yang!" Mata Tan Giok Lan mulai basah. "Kedua
orang tuaku mati di bunuh para anggota Hiat Ih Hwe."
"Bibi Suan Hiang telah memberitahukan kepadaku.
Syukurlah engkau dapat meloloskan diri!" ujar Tio Bun Yang
sambil menarik nafas.
"Kalau engkau tidak mengajarku ilmu silat, aku pasti sudah
mati." Tan Giok Lan terisak-isak.
"Sudahlah, jangan menangis! Engkau aman di sini." Tio Bun
Yang tersenyum. "Oh ya, bagaimana kepandaianmu" Sudah
maju pesat?" tanyanya.
"Ya." Tan Giok Lan mengangguk. "Bibi Suan Hiang terus
mengajarku, maka kepandaianku menjadi maju pesat."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut, kemudian
memandang Yo Suan Hiang seraya berkata. "Aku sudah
bertemu Lie Tsu Seng."
"Apa"!" Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu
Tiang Him terbelalak. "Engkau bertemu Lie Tsu Seng, yang
gagah berani itu?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk lalu menutur tentang
kejadian itu. "Oleh karena itu, aku ingin berunding dengan
Bibi," tambahnya.
"Mengenai apa?"
"Kini Hiat Ih Hwe telah bekerja sama dengan Seng Hwee
Kauw, mungkin Seng Hwee Kauw akan menyerang lagi," ujar
Tio Bun Yang. "Itu sungguh membahayakan Tiong Ngie Pay,
maka alangkah baiknya kalau Tiong Ngie Pay bergabung


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Lie Tsu Seng."
"Aku memang sudah berpikir begitu, tapi____"
Yo Suan Hiang menggeleng-gelengkan kepala.
"Belum tentu Lie Tsu Seng akan menerima kami."
"Percayalah!" Tio Bun Yang tersenyum. "Paman Lie pasti
senang sekali menerima kalian, sebab aku sudah
memberitahukan kepadanya."
"Oh?" Wajah Yo Suan Hiang berseri, kemudian bertanya
kepada Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him.
"Bagaimana menurut kalian?"
"Setuju!" sahut mereka serentak. "Memang sudah
waktunya kita bergabung dengan Lie Tsu Seng, yang sudah
barang tentu akan menambah kekuatan kita."
"Baik." Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Kalau begitu,
mari kita bergabung dengan Lie Tsu Seng!"
"Bibi Suan Hiang," usul Tio Bun Yang. "Kini semuanya telah
setuju, maka Tiong Ngie Pay harus segera berangkat ke
markas Lie Tsu Seng. Kalau tidak, aku khawatir Seng Hwee
Kauw akan menyerang ke mari lagi."
"Baik." Yo Suan Hiang mengangguk. "Besok pagi kami akan
berangkat ke sana."
"Kalau begitu, aku mau mohon diri." Tio Bun Yang bangkit
dari tempat duduknya.
"Bun Yang...." Yo Suan Hiang terbelalak. "Kenapa begitu
cepat engkau berpamit?"
"Aku harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang."
Tio Bun Yang memberitahukan.
"Baiklah." Yo Suan Hiang manggut-manggut.
"Oh ya, Bun Yang...."
"Ada apa?" Tio Bun Yang tercengang karena melihat Yo
Suan Hiang tersenyum serius.
"Apakah engkau sudah punya kekasih?" tanyai Yo Suan
Hiang mendadak.
"Belum," sahut Tio Bun Yang dengan wajah agak kemerahmerahan.
"Aku... tidak memikirkan itu."
"Itu____" Yo Suan Hiang tersenyum lagi. "____Siang Koan
Goat Nio sangat cantik, kalem dan lemah lembut. Dia putri
kesayangan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. Alangkah
baiknya?" "Bibi Suan Hiang...." Wajah Tio Bun Yang bertambah
merah. "Aku?"
"Adik Bun Yang!" Tan Giok Lan memandangnya seraya
berkata sungguh-sungguh. "Siang Koan Goat Nio memang
serasi denganmu. Dia boleh dikatakan secantik bidadari."
"Kakak Giok Lan____" Tio Bun Yang menggelenggelengkan
kepala. "Aku?"
"Dia juga berada di markas pusat Kay Pang. Kalau engkau
langsung berangkat ke sana, pasti bertemu dia," ujar Yo Suan
Hiang. "Baik." Tio Bun Yang mengangguk. "Bibi Suan Hiang, Kakak
Giok Lan dan paman-paman, aki mohon pamit. Sampai
jumpa!" "Selamat jalan!" sahut mereka serentak, lalu mengantar Tio
Bun Yang sampai di luar markas.
Begitu sampai di luar markas, Tio Bun Yang langsung
melesat pergi laksana kilat.
"Bun Yang dan Goat Nio memang merupakan pasangan
yang serasi, mudah-mudahan mereka berjodoh!" ucap Yo
Suan Hiang dengan suara rendah.
"Ha ha ha!" Tan Ju Liang tertawa gelak. "Mereka berdua
pasti berjodoh!"
Keesokan harinya, Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An
dan Cu Tiang Him bersama para anggota berjumlah seratusan
orang berangkat ke markas Lie Tsu Seng. Mereka justru tidak
tahu, setelah mereka berangkat, Seng Hwee Kauw muncul
menyerang lagi, namun markas Tiong Ngie Pay telah kosong.
"Heran!" gumam Leng Bin Hoatsu dengan kening berkerut.
"Bagaimana markas Tiong Ngie Pay ini bisa kosong tiada
seorang pun?"
"Mungkinkah pihak Tiong Ngie Pay telah menduga akan
penyerangan ini, maka mengosongkan markas ini?" sahut Pek
Bin Kui. "Mungkin." Hek Sim Popo manggut-manggut. "Kalau tidak,
bagaimana mungkin markas ini kosong begini?"
"Lalu apa langkah kita?" tanya Tok Chiu Ong.
"Menurut aku..." sahut Pat Pie Lo Koay. "Alangkah baiknya
kita berpencar mencari mereka."
"Baik." Leng Bin Hoatsu mengangguk.
"Jangan!" Pek Bin Kui menggelengkan kepala, wajahnya
tampak serius. "Kita tidak boleh berpencar mencari Tiong Ngie
Pay." "Kenapa?" tanya Pat Pie Lo Koay sambil menatapnya.
"Bukankah tugas kita membasmi mereka?"
"Benar." Pek Bin Kui mengangguk. "Tugas kita memang
membasmi mereka, tapi kini mereka tidak berada di markas
ini, berarti tugas kita telah selesai."
"Aku sama sekali tidak mengerti, bolehkah dijelaskan?" Pat
Pie Lo Koay menatapnya dalam-dalam.
"Tadi engkau mengusulkan kita berpencar mencari mereka,
usul itu tidak dapat diterima," tegas Pek Bin Kui serius. "Sebab
apabila kita berpencar mencari mereka, berarti
membahayakan diri kita sendiri."
"Oh!" tertegun Pat Pie Lo Koay.
"Lo Koay!" Leng Bin Hoatsu tertawa. "Memang benar apa
yang dikatakan Pek Bin Kui. Kalau kita berpencar mencari
mereka, sudah barang tentu mengurangi kekuatan kita,
bahkan amat membahayakan diri kita pula."
"Benar." Hek Sim Popo manggut-manggut. "Kita tidak boleh
berpencar mencari mereka."
"Kalau begitu...." Pat Pie Lo Koay menengok ke sana ke
mari, kemudian mengusulkan. "Kita bakar saja markas Tiong
Ngie Pay ini."
"Usul ini harus diterima," sahut Pek Bin Kui sambil tertawa
gelak. "Kita tidak berhasil membasmi para anggota Tiong Ngie
Pay, namun berhasil membumi hanguskan markas ini,
tentunya Seng Hwee Sin Kun akan merasa puas."
"Ha ha ha!" Leng Bin Hoatsu juga tertawa terbahak-bahak,
dan setelah itu ia pun perintahkan para anggota untuk
membakar markas Tiong Ngie Pay.
Berselang beberapa saat, tampak api mulai berkobar-kobar
melalap markas Tiong Ngie Pay itu. Para anggota Seng Hwee
Kauw pun bersorak sorai penuh kegembiraan, Leng Bin Hoatsu
dan lainnya tersenyum-senyum. Setelah api yang berkobarkobar
itu menjalar ke seluruh markas tersebut, barulah
mereka meninggalkan tempat itu untuk kembali ke markas
Seng Hwee Kauw.
Betapa gembiranya Lie Tsu Seng ketika mengetahui
kedatangan Yo Suan Hiang bersama para anggotanya. Ia
segera keluar dari tendanya untuk menyambut kedatangan
mereka. "Selamat datang. Ketua Yo!" ucap Lie Tsu Seng sembari
memberi hormat.
"Selamat bertemu, Paman Lie!" sahut Yo
Suan Hiang dan sekaligus balas memberi hormat. "Maaf,
kedatangan kami telah mengganggumu!"
"Sama sekali tidak mengganggu, malah aku merasa
gembira sekali," ujar Lie Tsu Seng sambil tertawa gelak. "Ha
ha ha! Mari silakan masuk!"
"Terimakasih!" ucap Yo Suan Hiang lalu melangkah ke
dalam tenda. Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him
mengikutinya dari belakang.
"Silakan duduk!" Lie Tsu Seng mempersilakan mereka
duduk, dan salah seorang anak buahnya langsung
menyuguhkan arak wangi.
Mereka duduk, kemudian Yo Suan Hiang memperkenalkan
Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him. Lie Tsu Seng dan
mereka bertiga saling memberi hormat, setelah itu Lie Tsu
Seng mengangkat minumannya.
"Mari kita bersulang!" ucapnya sambil tertawa. "Ha ha
ha...!" Mereka mulai bersulang sambil mengobrol. Berselang
beberapa saat barulah Lie Tsu Seng bertanya dengan serius.
"Apakah ada sesuatu penting, maka Ketua Yo ke mari?"
"Ya." Yo Suan Hiang mengangguk. "Tio Bun Yang ke
markasku, dan mengusulkan agar kami bergabung
denganmu."
"Oh?" Wajah Lie Tsu Seng berseri. "Apakah engkau
bersedia bergabung dengan kami?"
"Kami datang ke mari justru ingin bergabung," sahut Yo
Suan Hiang memberitahukan. "Kami telah bersepakat untuk
itu." "Bagus, bagus! Ha ha ha!" Lie Tsu Seng tertawa gembira.
"Terimakasih atas kesediaan kalian bergabung dengan kami!
Mari kita bersulang lagi!"
"Mari!" Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu
Tiang Him bersulang lagi dengan Lie Tsu Seng, sehingga
suasana di dalam tenda itu menjadi semarak.
Di saat itulah melangkah ke dalam dua lelaki gagah, lalu
memberi hormat kepada Lie Tsu Seng.
"Bagus, bagus!" Lie Tsu Seng tertawa. "Kalian berdua
sudah kembali, mari kuperkenalkan!"
Lie Tsu Seng memperkenalkan Yo Suan Hiang dan lainnya
kepada dua lelaki itu, kemudian menambahkan.
"Mereka berdua adalah pembantu handalku bernama Lie
Sih Beng dan Lie Sih Heng, yang keduanya berkepandaian
cukup tinggi."
Lie Sih Beng dan Lie Sih Heng segera memberi hormat
kepada Yo Suan Hiang dan lainnya, setelah itu barulah mereka
duduk. "Bagaimana tugas kalian?" tanya Lie Tsu Seng mendadak.
"Apakah sudah dilaksanakan dengan baik?"
"Ya." Lie Sih Beng mengangguk. "Hanya kurang
memuaskan, karena...."
"Kenapa?" Lie Tsu Seng menatap mereka. "Jelaskanlah!"
"Ada beberapa kelompok pemberontak tidak bersedia
bergabung dengan kita. Padahal kami telah menjelaskan,
bahwa apabila kita semua tidak bersatu, sulit sekali untuk
sukses," jawab Lie Sih Beng memberitahukan.
"Ngmm!" Lie Tsu Seng manggut-manggut. "Siapa kepala
kelompok pemberontak itu?"
Lie Sih Beng memberitahukan. Wajah Tan Ju Liang berseri
ketika mendengar nama-nama yang disebutkan Lie Sih Beng.
"Aku kenal mereka," ujar Tan Ju Liang sambil tertawa
gembira. "Mereka adalah teman-teman akrabku, hanya saja
sudah belasan tahun kami tidak bertemu."
"Kalau begitu____" Lie Tsu Seng memandangnya dalamdalam
seraya berkata. "Tentunya Sau-dara Tan bersedia
membantu dalam hal ini."
"Ha ha ha!" Tan Ju Liang tertawa gelak. "Itu sudah pasti,
Saudara Lie. Sebab kini kita sudah bergabung, maka tugas
kalian adalah tugas kami pula."
"Terimakasih, Saudara Tan!" ucap Lie Tsu Seng sambil
manggut-manggut gembira dan menambah-kan. "Mulai
sekarang kita semua adalah saudara seperjuangan, suka dan
duka harus pikul bersama."
"Benar." Lim Cin An mengangguk. "Karena itu, kita pun
harus membagi tugas sesuai dengan kemahiran masingmasing."
"Tidak salah." Lie Tsu Seng manggut-manggut, kemudian
memandang Lie Sih Beng dan Lie Sih Heng seraya bertanya.
"Kalian berdua punya suatu ide?"
"Begini..." sahut Lie Sih Beng. "Setahu kami, Ketua Yo
berkepandaian tinggi, maka alangkah baiknya dia diangkat
menjadi pengawal pribadi."
"Ngmm!" Lie Tsu Seng mengangguk. "Itu memang tepat
sekali." "Sedangkan Saudara Tan mahir mengenai siasat perang,
karena itu dia harus diangkat menjadi penasihat," ujar Lie Sih
Beng sungguh-sungguh.
"Benar." Lie Tsu Seng mengangguk lagi, lalu memandang
Tan Ju Liang seraya bertanya. "Saudara Tan, tidak
berkeberatan, bukan?"
"Tentu tidak. Hanya saja____" Kening Tan Ju Liang
berkerut. "... aku khawatir tidak dapat melaksanakan tugas itu
dengan baik."
"Ha ha ha!" Lie Tsu Seng tertawa gelak. "Saudara Tan,
jangan merendahkan diri lho!"
"Aku tidak merendahkan diri, melainkan berkata
sesungguhnya," sahut Tan Ju Liang. "Apa tugas Lim Cin An
dan Cu Tiang Him?"
"Kami berempat akan melatih para anggota berperang,"
jawab Lie Sih Beng sungguh-sungguh.
"Bagus!" Lie Tsu Seng manggut-manggut, kemudian
tertawa gelak seraya berkata. "Ha ha ha! Mari kita bersulang
lagi!" -oo0dw0oo- Bagian ke tiga puluh satu
Berpadu Suara Suling
Sementara itu, Siang Koan Goat Nio, Lie Ai Ling dan Lu Hui
San telah tiba di sebuah lembah yang sangat indah. Mereka
bertiga lalu duduk beristirahat di bawah sebuah pohon.
"Kalau kita terus beristirahat, kapan akan tiba di Gunung
Hek Ciok San?" ujar Lu Hui San sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Tenanglah!" sahut Lie Ai Ling. "Kita tidak perlu tergesagesa,
sebab belum tentu Kam Hay Thian langsung menuju ke
sana." "Dia sangat keras hati, aku yakin dia pasti menuju ke
sana," Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau kita
terlambat menyusulnya, aku khawatir...."
"Jangan khawatir!" Lie Ai Ling tersenyum. "Tidak akan
terjadi suatu apa pun atas dirinya, percayalah!"
"Aaaah!" Lu Hui San menghela nafas panjang. "Aku tahu,
engkau cuma menghiburku."
"Hui San!" Siang Koan Goat Nio menatapnya lembut. "Kam
Hay Thian cukup cerdik, tentunya dia tidak akan bertindak
ceroboh, pasti memperhitungkan langkah-langkahnya. Oleh
karena itu, engkau tidak perlu terlampau cemas."
"Goat Nio...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala.
"Entah apa sebabnya, aku terus memikirkannya."
"Hui San!" Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Itu pertanda


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau telah jatuh hati padanya, sehingga terus
memikirkannya."
"Benar," sela Lie Ai Ling sambil tertawa kecil. "Hui San,
engkau memang telah jatuh hati padanya. Tapi... kuharap
engkau dapat mengendalikan perasaan hatimu, agar tidak
menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan."
"Aku tahu itu." Lu Hui San manggut-manggut.
"Goat Nio," Lie Ai Ling tersenyum. "Lembah ini indah sekali,
alangkah baiknya engkau meniup suling di sini," ujarnya.
"Eh" Engkau...." Siang Koan Goat Nio menggelenggelengkan
kepala. "Ada-ada saja! Mana boleh aku meniup
suling di saat Hui San sedang risau?"
"Justru suara sulingmu akan mengusir kerisauannya," sahut
Lie Ai Ling sambil tersenyum. "Ya, kan Hui San?"
"Kira-kira begitulah." Lu Hui San manggut-manggut.
"Memang baik sekali Goat Nio meniup suling di tempat yang
sangat indah ini."
"Nah, Goat Nio," desak Lie Ai Ling. "Ayolah!"
Siang Koan Goat Nio mengeluarkan suling emasnya, lalu
meniupnya sambil memandang jauh ke depan. Terdengarlah
suara suling yang amat merdu dan menggetarkan kalbu. Lie Ai
Ling dan Lu Hui San mendengar dengan penuh perhatian,
akhirnya pikiran mereka menerawang.
Memang kebetulan sekali, Tio Bun Yang, yang sedang
menuju markas pusat Kay Pang justru melewati lembah itu.
Ketika mendengar suara alunan suling itu, ia langsung
berhenti dan tampak tertegun. Makin lama hatinya makin
tertarik, sehingga tanpa sadar ia mengeluarkan suling
pualamnya, lalu ditiupnya untuk mengiringi suara suling itu.
Betapa terkejutnya ketiga gadis itu ketika mendengar suara
suling tersebut, terutama Lie Ai Ling yang mengenali suara
suling itu. "Haaaah" Kakak Bun Yang?" gumamnya.
Siang Koan Goat Nio meliriknya, namun tidak berhenti
meniup sulingnya, kemudian wajahnya tampak berseri.
"Tidak salah," gumam Lie Ai Ling sambil bangkit untuk
berdiri. "Itu pasti Kakak Bun Yang, aku mengenali suara
sulingnya."
Berselang sesaat, muncullah Tio Bun Yang dan monyet bulu
putih, yang duduk di bahunya.
"Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang...!" seru Lie Ai Ling
girang. Tio Bun Yang tersenyum sambil meniup sulingnya,
sedangkan monyet bulu putih bercuit-cuit seakan menyahut.
Pertama kali Siang Koan Goat Nio melihat Tio Bun Yang,
justru langsung tertarik padanya. Begitu pula Tio Bun Yang, ia
sangat tertarik pada gadis itu.
Otomatis irama suara suling pualamnya berubah,
kedengarannya seperti mencurahkan isi hati Si Peniup Suling
itu. Irama suara suling emas pun berubah, sepertinya
menerima curahan hati itu. Dapat dibayangkan, betapa lembut
dan merdunya paduan suara suling tersebut.
Lie Ai Ling dan Lu Hui San mendengarkan dengan mulut
ternganga lebar, terpukau dan terkesima.
Sementara Tio Bun Yang mulai mendekati Siang Koan Goat
Nio, sedangkan gadis itu pun bangkit berdiri, lalu melangkah
ke arah pemuda itu. Setelah dekat, barulah mereka berhenti
meniup suling, berdiri mematung saling memandang dengan
mata berbinar-binar.
"Goat Nio," ujar Lie Ai Ling memberitahukan. "Dia adalah
Kakak Bun Yang, yang sering kuceritakan kepadamu."
Siang Koan Goat Nio tidak menyahut, namun wajahnya
tampak berseri dan agak kemerah-merahan.
"Kakak Bun Yang!" Lie Ai Ling memperkenalkan. "Dia
adalah Siang Koan Goat Nio, putri kesayangan Kim Siauw
Suseng dan Kou Hun Bijin."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Selamat
bertemu, Nona Goat Nio!" ucapnya sambil memberi hormat.
"Selamat bertemu!" sahut Siang Koan Goat Nio sambil
tersenyum malu-malu. "Jangan panggil aku Nona, panggil
saja____" "Adik Goat Nio," sela Lie Ai Ling dan menambahkan.
"Engkau pun harus panggil dia Kakak Bun Yang, lho!"
"Eh" Engkau____" Wajah Siang Koan Goat Nio berubah
menjadi merah dan menunduk dalam-dalam. "Ai Ling, engkau
jangan menggodaku!"
"Aku berkata sesungguhnya, tidak menggoda sama sekali,"
sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil, kemudian menatap Tio
Bun Yang dengan penuh perhatian dan berseru tak tertahan,
"Wuaaah!"
"Adik Ai Ling!" Tio Bun Yang tercengang. "Kenapa engkau?"
"Kakak Bun Yang," sahut Lie Ai Ling. "Engkau bertambah
tampan, memang serasi sekali dengan Goat Nio."
"Oh?" Tio Bun Yang tersenyum.
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menatapnya. "Jangan
omong yang bukan-bukan, tidak baik lho!" tegurnya.
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa geli. "Jangan pura-pura,
padahal engkau girang sekali dalam hati! Engkau kira aku
tidak tahu ya?"
"Engkau____" Wajah Siang Koan Goat Nio memerah lagi.
"Adik Ai Ling!" Tio Bun Yang menatapnya seraya bertanya.
"Kenapa kalian berada di lembah ini?"
"Kakak Bun Yang, kami bertiga sedang menuju Gunung
Hek Ciok San." Lie Ai Ling memberitahukan.
"Untuk apa kalian ke sana?" tanya Tio Bun Yang.
"Menyusul Kam Hay Thian," ujar Lie Ai Ling dan menutur
semua itu. "... maka kami bertiga berangkat ke sana."
"Adik Ai Ling____" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Tidak seharusnya engkau membohongi kakekku, lagi
pula Seng Hwee Sin Kun berkepandaian tinggi sekali. Belum
tentu kalian mampu melawannya, kenapa kalian tidak berpikir
panjang?" "Aku____" Lie Ai Ling menundukkan kepala.
"Jangan mempersalahkan Ai Ling!" ujar Lu Hui San
mendadak. "Aku yang mendesaknya untuk berangkat ke
Gunung Hek Ciok San."
"Oh?" Tio Bun Yang memandangnya. Tiba-tiba ia terbelalak
karena melihat sebuah tanda di leher gadis itu.
"Kakak Bun Yang____" Lie Ai Ling mengerutkan kening.
"Kenapa engkau?"
"Adik Ai Ling, siapa nona ini" Engkau belum
memperkenalkannya," sahut Tio Bun Yang, yang tetap
memandang Lu Hui San, tentunya membuat gadis itu tersipu.
"Dia bernama Lu Hui San." Lie Ai Ling memberitahukan
dengan wajah tak sedap dipandang, karena mengira Tio Bun
Yang tertarik pada gadis itu.
"Lu Hui San..." gumam Tio Bun Yang. Ternyata ia teringat
akan penuturan Sie Kuang Han, orang tua yang ditolongnya
itu. "Hui San! Hui San...."
"Kakak Bun Yang!" Lie Ai Ling melotot. "Kenapa sih
engkau" Kenapa terus bergumam menyebut nama Hui San?"
"Aku____" Tio Bun Yang agak tergagap. "Aku... teringat
sesuatu. Oh ya, siapa orang tua Hui San?"
"Ayahku bernama Lu Kam Thay," sahut Lu Hui San
memberitahukan.
"Lu Kam Thay..." gumam Tio Bun Yang lagi dengan kening
berkerut. "Lu Kam Thay... Lu Thay Kam____"
Wajah Lu Hui San tampak berubah ketika mendengar
gumaman itu, sehingga langsung menatap Tio Bun Yang
dengan kening berkerut-kerut.
"Eeeh?" Lie Ai Ling tercengang. "Kenapa sih kalian berdua"
Kok terus saling memandang?"
"Tidak ada apa-apa," sahut Tio Bun Yang sambil
tersenyum, kemudian mengalihkan pembicaraan. "Jadi kalian
tetap akan berangkat ke Gunung Hek Ciok San?"
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Karena markas Seng Hwee
Kauw berada di Lembah Kabut Hitam di gunung itu, maka
kami harus ke sana."
"Kalau begitu..." ujar Tio Bun Yang setelah berpikir sejenak,
aku ikut kalian ke sana."
"Oh?" Lie Ai Ling girang bukan main. "Kalau engkau ikut,
kita pasti dapat melawan Seng Hwee Sin Kun."
"Mari kita berangkat sekarang!" ajak Lu Hui San.
"Baik." Tio Bun Yang mengangguk.
Mereka berempat lalu berangkat menuju Gunung Hek Ciok
San. Dalam perjalanan tak henti-hentinya Tio Bun Yang
memperhatikan Lu Hui San. Itu tidak terlepas dari mata Siang
Koan Goat Nio, sehingga membuat gadis itu menjadi kecewa
sekali dan tidak habis pikir, kenapa Tio Bun Yang bersifat mata
keranjang"
--oo0dw0oo- Malam harinya, mereka berempat terpaksa bermalam di
dalam sebuah rimba. Lie Ai Ling menyalakan ranting dan
dahan yang ditumpukkan jadi satu, sedangkan Lu Hui San
berjalan pergi, kemudian duduk di bawah sebuah pohon.
Berselang sesaat, muncul sosok bayangan mendekatinya,
yang tidak lain Tio Bun Yang.
"Maaf!" ucapnya sambil duduk. "Bolehkah kita bercakapcakap
sejenak?" "Tentu saja boleh," sahut Lu Hui San sambil tersenyum.
"Mau bercakap-cakap mengenai apa?"
"Mengenai dirimu."
"Oh?" Lu Hui San mengerutkan kening. "Ada apa diriku?"
"Ayahmu adalah Lu Thay Kam?" tanya Tio Bun Yang
mendadak sambil menatapnya tajam.
"Nama ayahku adalah Lu Kam Thay," sahut Lu Hui San
seakan menegaskan. "Bukan Lu Thay Kam."
"Nona Hui San____" Tio Bun Yang tersenyum.
"Aku harap engkau jangan membohongiku, sebab
menyangkut riwayat hidupmu."
"Maksudmu?" Lu Hui San mengerutkan kening.
"Engkau harus menjawab sejujurnya, benarkah Lu Thay
Kam adalah ayahmu?" tanya Tio Bun Yang lagi.
"Itu____" Lu Hui San menundukkan kepala.
"Lu Thay Kam adalah ayah angkatmu, kan?" Tio Bun Yang
menatapnya. "Engkau harus menjawab dengan jujur, karena
aku akan menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan asalusulmu."
"Engkau tahu asal usulku?" Lu Hui San tersentak.
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Namun engkau harus
memberitahukan dengan jujur, barulah aku berani
memastikan asal usulmu."
"Terus terang...." Lu Hui San mulai memberitahukan. "Lu
Thay Kam memang ayah angkatku____"
"Jadi engkau tidak tahu siapa ayah kandungmu?"
"Tidak tahu, sebab ayah angkatku itu tidak pernah
memberitahukan."
"Nona Hui San, sebetulnya engkau bermarga Sie." Tio Bun
Yang memberitahukan. "Aku telah bertemu pamanmu, yang
bernama Sie Kuang Han...."
Tio Bun Yang menutur tentang itu, dan Lu Hui San
mendengar dengan penuh perhatian, kemudian air matanya
meleleh. "Jadi____" Gadis itu terisak-isak. "Lu Thay Kam yang
membunuh kedua orang tuaku?"
"Menurut pamanmu, Lu Thay Kam memfitnah ayahmu,"
ujar Tio Bun Yang sambil menghela nafas panjang. "Karena
itu, kaisar menurunkan perintah menghukum mati kalian
sekeluarga termasuk keluarga pamanmu."
"Aaaah...!" keluh Lu Hui San. "Aku sama sekali tidak tahu,
Lu Thay Kam begitu jahat!"
"Nona Hui San____" Tio Bun Yang menatapnya.
"... engkau tidak usah berduka, karena kini engkau masih
punya seorang paman."
"Aku... aku sangat berterimakasih kepadamu! Kalau tidak
bertemu engkau, tentunya aku tidak akan tahu asal-usulku?"
"Nona Hui San, aku bersedia mengantarmu pergi menemui
pamanmu. Maukah engkau pergi menemui pamanmu itu?"
"Bukankah akan merepotkanmu?"
"Tidak." Tio Bun Yang tersenyum. "Bagaimana kalau kita
berangkat esok?"
"Baik. Tapi...."
"Kenapa?"
"Bagaimana Goat Nio dan Ai Ling?"
"Tentunya mereka harus ikut," ujar Tio Bun I Yang dan
menambahkan. "Setelah engkau bertemu pamanmu itu,
barulah kita berangkat ke Gunung Hek Ciok San."
"Baik." Lu Hui San mengangguk, kemudian mereka berdua
bercakap-cakap lagi.
Mereka justru tidak tahu sama sekali, bahwa ada sepasang
mata sedang memandang ke arah mereka, yaitu Siang Koan
Goat Nio. "Aaaah...!" Gadis itu menghela nafas panjang, ia berdiri di
balik sebuah pohon dengan mata basah.
"Kenapa dia____"
"Goat Nio!" Lie Ai Ling mendekatinya, kemudian
memandang ke arah Tio Bun Yang dengan penuh
kejengkelan. "Aku tak menyangka sama sekali kalau dia begitu
cepat berubah. Padaha! dia tidak bersifat begitu, namun?"
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio tersenyum getir.
"Kelihatannya dia sangat tertarik pada Lu Hui San."
"Itu... tidak boleh." sahut Lie Ai Ling. "Pokoknya Kakak Bun
Yang tidak boleh jatuh hati pada Hui San."
"Ai Ling...." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Engkau tidak berhak melarangnya, sudahlah!"
"Hm!" dengus Lie Ai Ling dingin. "Sebelum bertemu Kakak
Bun Yang, Hui San menyatakan telah jatuh hati pada Kam Hay
Thian. Tapi kini dia kelihatan begitu akrab dengan Kakak Bun
Yang. Sungguh keterlaluan!"
"Ai Ling, biarkan saja! Lebih baik kita kembali ke Pulau
Hong Hoang To. Aku ingin mengajak kedua orang tuaku
pulang ke tempat tinggal kami di luar perbatasan."
"Goat Nio!" Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Itu urusan
nanti, yang penting sekarang aku harus pergi mencaci Kakak
Bun Yang." katanya.
"Jangan!" cegah Siang Koan Goat Nio.
"Kalau aku tidak mencacinya, rasanya____"
"Sudahlah!" potong Siang Koan Goat Nio. "Jangan
menimbulkan masalah lagi!"
"Memang sudah terlanjur, maka harus dipermasalahkan,"


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahut Lie Ai Ling sambil menarik Siang Koan Goat Nio ke
tempat Tio Bun Yang.
Kemunculan mereka berdua sama sekali tidak mengejutkan
Tio Bun Yang maupun Lu Hui San, sebaliknya malah
mempersilakan mereka duduk.
"Adik Ai Ling, Goat Nio, silakan duduk!" ucap
Tio Bun Yang dengan tersenyum. "Mari kita mengobrol
bersama!" "Kakak Bun Yang!" Lie Ai Ling langsung menudingnya. "Aku
tak menyangka, ternyata engkau adalah pemuda yang begitu
macam. Aku merasa malu sekali."
"Lho?" Tio Bun yang bingung. "Memangnya kenapa?"
"Tanya saja kepada dirimu sendiri!" sahut Lie Ai Ling
dingin, lalu memandang Lu Hui San. "Aku pun tak menyangka,
engkau gadis semacam itu."
"Ai Ling!" Lu Hui San tertegun. ''Kenapa engkau" Apa
salahku sehingga engkau mengatakan begitu?"
"Hm!" dengus Lie Ai Ling dingin. "Engkau mengatakan
kepadaku telah jatuh hati pada Kam Hay Thian, namun
setelah bertemu Kakak Bun Yang...."
"Ai Ling!" Lu Hui San menghela nafas panjang. "Engkau
telah salah paham. Sebetulnya____"
"Sebetulnya apa?" bentak Lie Ai Ling, yang kemudian
menuding Tio Bun yang. "Engkau tak punya perasaan sama
sekali. Goat Nio datang di Tionggoan justru ingin mencarimu.
Aku sering menceritakan kepadanya tentang dirimu, dia
sangat tertarik dan berharap cepat-cepat bertemu. Kini kalian
telah bertemu, bahkan mencurahkan isi hati masing-masing
pula melalui suara suling. Tapi engkau malah mendekati Lu
Hui San secara diam-diam. Sungguh keterlaluan!"
"Ai Ling!" Wajah Tio Bun Yang berseri. "Betulkah Goat Nio
sangat tertarik kepadaku...?"
"Betul." Lie Ai ling mengangguk. "Tapi engkau justru tak
punya perasaan sama sekali. Sungguh mempermalukan diri
sendiri!" "Engkau telah salah paham padaku," ujar Tio Bun Yang
sambil tersenyum. "Aku bukanlah pemuda semacam itu."
"Tapi sudah terbukti____"
"Bukti yang tidak kuat." Tio Bun Yang tersenyum lagi.
"Sebetulnya kami berdua berada di sini...."
"Memadukan cinta kan?" potong Lie Ai Ling dengan melotot
dan mendengus dingin.
"Hmmm...!"
"Membicarakan sesuatu." sahut Tio Bun Yang dengan
serius dan menambahkan, "Sebab menyangkut rahasia
seseorang, maka aku harus menemui Hui San secara diamdiam.
Karena itu, malah menimbulkan kecurigaanmu."
"Oh?" Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Agar aku
mempercayaimu, ceritakanlah tentang itu!"
"Tapi...." Tio Bun Yang melirik Lu Hui San.
"Kini sudah bukan rahasia lagi, lebih baik terbuka saja,"
ujar Lu Hui San sambil menghela nafas panjang. "Ai Ling, Goat
Nio, sebelumnya aku mohon maaf kepada kalian, karena aku
merahasiakan sesuatu terhadap kalian."
"Menutup apa?" tanya Lie Ai Ling heran.
"Identitas diriku," sahut Lu Hui San dan melanjutkan,
"Sebetulnya ayahku bukan Lu Kam Thay, melainkan Lu Thay
Kam." "Apa?" seru Lie Ai Ling tak tertahan. "Lu Thay Kam adalah
ayahmu?" "Ya." Lu Hui San mengangguk. "Tapi dia bukan ayah
kandungku, melainkan ayah angkat."
"Jadi____" Lie Ai Ling terbelalak. "Kakak Bun Yang tahu
tentang itu?"
"Ya. Dia memang tahu. Namun karena masih ragu maka
dia bertanya kepadaku," sahut Lu Hui San. "Bahkan dia juga
tahu asal-usulku. Maka untuk memastikan itu, dia menemuiku
di sini." "Oh?" Lie Ai Ling menarik nafas lega, kemudian menegur
Tio Bun Yang. "Kenapa Kakak Bun Yang tidak mau
memberitahukan kepadaku dan Goat Nio?"
"Sebab aku harus merahasiakannya, berhubung Lu Thay
Kam adalah ketua Hiat Ih Hwe," sahut Tio Bun Yang. "Jadi aku
harus merahasiakannya, agar tidak menimbulkan hal-hal yang
tak diinginkan."
"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut.
"Sekali lagi aku mohon maaf," ucap Lu Hui San, lalu
menghela nafas panjang seraya berkata, "Karena Bu Yang
telah bertemu pamanku, maka aku pun harus
memberitahukan kepada kalian mengenai identitasku."
"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Kakak Bun Yang bertemu
pamanmu" Itu?"
"Benar." Tio Bun Yang mengangguk. "Aku memang telah
bertemu pamannya, yang bernama Sie Kuang Han?"
Tio Bun Yang menutur tentang itu, Lie Ai Ling dan Siang
Koan Goat Nio mendengar dengan penuh perhatian.
"Kakak Bun Yang," ujar Lie Ai Ling seusai Tio Bun Yang
menutur. "Aku dan Goat Nio telah salah paham terhadapmu,
maaf ya!" "Tidak apa-apa." Tio Bun Yang tersenyum. "Tapi lain kali
engkau tidak boleh langsung menuduh sebelum tahu jelas
suatu masalah."
"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Ohya, Kakak Bun Yang,
bolehkah engkau menuturkan semua pengalamanmu itu?"
"Tentu boleh." Tio Bun Yang manggut-manggut kemudian
menuturkan semua pengalamannya.
"Kakak Bun Yang, aku tak menyangka engkau mengunjungi
daerah Miauw," ujar Lie Ai Ling. "Bagaimana keadaan daerah
itu?" "Aman dan tenang," sahut Tio Bun Yang memberitahukan.
"Pemandangan di sana pun sangat indah menakjubkan."
"Kakak Bun Yang...." Lie Ai Ling tersenyum. "Kalau sempat,
bagaimana kalau kelak kita pergi ke sana?"
"Baik." Tio Bun Yang mengangguk. "Ohya! Besok kita
semua akan berangkat ke tempat tinggal Paman Sie, maka
lebih baik kita beristirahat sekarang."
"Oh?" Lie Ai Ling memandang Lu Hui San. "Kita tidak jadi
pergi ke Gunung Hek Ciok San?"
"Setelah menemui pamanku, barulah kita berangkat ke
sana." Lu Hui San memberitahukan. "Sebab aku harus tahu
bagaimana kematian kedua orang tuaku."
"Ngmmm!" Lie Ai Ling manggut-manggut, kemudian
menarik Lu Hui San seraya berkata, "Mari kita ke tempat lain
untuk beristirahat, jangan mengganggu Kakak Bun Yang dan
Goat Nio! Mereka berdua harus mencurahkan isi hati masingmasing."
"Ai Ling____" Wajah Siang Koan Goat Nio terasa panas.
"Engkau?"
"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Kami harus memberi
kesempatan kepada kalian berdua untuk memadu cinta."
"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio betul-betul salah tingkah
dibuatnya. "Engkau sungguh keterlaluan!"
"Aku tidak keterlaluan, melainkan tahu diri," sahut Lie Ai
Ling, lalu menarik Lu Hui San meninggalkan tempat itu.
"Dia masih bersifat kekanak-kanakan," ujar Tio Bun Yang
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Namun berhati baik."
"Juga sangat polos," sambung Siang Koan
Goat Nio dan menambahkan. "Aku suka sekali kepadanya."
"Goat Nio____" Tio Bun Yang menatapnya dengan mata
berbinar-binar. "Tadi Ai Ling bilang engkau tertarik padaku,
benarkah?"
"Aku____" Siang Koan Goat Nio menundukkan kepalanya.
"Ya."
"Goat Nio!" Mendadak Tio Bun Yang memegang tangan
gadis itu. "Aku pun tertarik padamu, bahkan boleh dikatakan
telah... telah jatuh hati padamu."
"Oh?" Hati Siang Koan Goat Nio langsung berbunga-bunga.
"Engkau tidak bohong?"
"Aku tidak pernah bohong, percayalah!" sahut Tio Bun
Yang lembut dan bertanya, "Engkau juga jatuh hati padaku?"
"Ng!" Siang Koan Goat Nio mengangguk perlahan. "Kedua
orang tuaku berharap____"
"Kedua orang tuamu berharap apa?"
"Berharap kita... bisa bertemu secepatnya."
"Kini kita sudah bertemu. Kalau kedua orang tuamu tahu..."
ujar Tio Bun Yang dengan tersenyum, "pasti girang sekali."
"Ya." Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. Tapi kedua
orang tuaku tidak tahu bahwa kita v udah bertemu."
"Itu tidak apa-apa." Tio Bun Yang tersenyum. "vang
penting kita sudah bertemu. Ohya, betulkah Kam Hay Thian
tertarik padamu?"
"Betul." Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Tapi aku
menolaknya secara terang-terangan, agar dia mundur."
"Tapi____" Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Bukankah Lu Hui San jatuh hati padanya?"
"Betul." Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang.
"Bahkan Lam Kiong Soat Lan pun jatuh hati padanya."
"Oh?" Tio Bun Yang tersentak. "Kalau begitu...."
"Yaaah!" Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang
lagi. "Aku justru khawatir, kelak akan terjadi sesuatu di antara
mereka." "Bagaimana mungkin?"
"Tentu saja mungkin. Sebab cinta dapat membutakan
orang, bahkan juga akan membuat keruh hati orang yang
bersangkutan."
"Kalau begitu..." ujar Tio Bun Yang setelah berpikir sejenak.
"Kita harus berusaha menjernihkan hati mereka, agar tidak
terjadi sesuatu di kemudian hari."
"Ng!" Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Ohya, setelah
bertemu Paman Sie, kita harus segera berangkat ke Gunung
Hek Ciok San. Karena aku khawatir...."
"Akan terjadi sesuatu atas diri Kam Hay Thian?" tanya Tio
Bun Yang. "Ya. Sebab pemuda itu berhati keras." Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku khawatir dia akan celaka di tangan Seng Hwee Sin
Kun." "Kalau begitu, besok pagi kita harus menggunakan ginkang
menuju tempat tinggal Paman Sie. Kita tidak boleh membuang
waktu." "Benar." Siang Koang Goat Nio manggut-manggut. "Kita
tidak boleh membuang waktu. Mari kita beristirahat sekarang!"
"Baik." Tio Bun Yang mengangguk. "Tapi alangkah baiknya
kita bercakap-cakap sejenak dengan Ai Ling dan Hui San."
"Ng!" Siang Koan Goat Nio menuju tempat kedua gadis itu,
Tio Bun Yang mengikutinya dari belakang.
-ooo0dw0ooo- Jilid 7 "Eh?" Lie Ai Ling terheran heran ketika melihat mereka.
"Kok kalian ke maii sih" Sudah cukup kalian mencurahkan isi
hati masing-masing?"
"Ai Ling!" tegur Siang Koan Goal Nio. "Jangan suka
menggoda! Ka!au kelak engkau bertemu pemuda idaman
hatimu, aku pasti balas menggodamu."
"Tidak apa-apa," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil.
"Ohya, besok pagi kita akan berangkat ke tempat tinggal
Paman Ste?"
"Ya," sahut Tio Bun Yang. "Kita harus menggunakan
ginkang agar cepat sampai di tempat itu."
"Lho?" Lie Ai Ling tercengang. "Memangnya kenapa?"
"Sebab kita masih harus berangkat ke Gunung Hek Ciok
San," ujar Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Engkau
sudah lupa ya?"
"Bagaimana mungkin aku lupa" Kalau begitu, kita harus
beristirahat sekarang," sahut Lie Ai Ling dan menambahkan
sambil tertawa. Tapi kalau kalian berdua masih ingin
mengobrol, terserah kalian berdua lho!"
"Adik Ai Ling!" legui Tio Bun Yang lembut. "Tidak baik
terus-menerus menggoda Goat Nio."
"Wuah, sudah mulai membela dia!" sahut Lie ai ling sambil
tertawa. "Baru bertemu lhol Hi hi hi...!"
-ooo0dw0ooo- Bagian ke tiga puluh dua
Budi dan Dendam
Dua hari kemudian, Tio Bun Yang, Siang Koan Goal Nio, Lie
Ai Ling dan Lu Hui San sudah tiba di tempat tinggal Sie Kuang
Han Kemunculan Tio Bun Yang bersama ketiga gadis itu
sangat mengherankan Sie Kuang Han.
"Bun Yang____" Sie Kuang Han terbelalak.
"Paman!" Tio Bun Yang tersenyum. "Lihatlah siapa gadis
ini?" tanyanya sambil menunjuk Lu Hui San. Sie Kuang Han
segera memperhatikan gadis tersebut.
"Engkau____" Sepasang mata Sie Kuang Han bertambah
terbelalak ketika metibat sebuah tanda di leher gadis itu.
"Engkau adalah____"
"Aku Lu Hui San." Gadis itu memberitahukan. "Paman
adalah?" "Hui San..." gumam Sie Kuang Han. "Tidak salah. Engkau
memang Sie Hui San. Nak, akhirnya kita bertemu "
Sie Kuang Han memandangnya dengan air mata
bercucuran. Lu Hui San langsung mendekapnya dan menangis
terisak-isak. "Paman! Paman____"
"Nak____" Sie Kuang Han membelainya. "Paman tak
menyangka sama sekali, ternyata engkau masih hidup."
"Paman, ceritakanlah tentang kematian kedua orang tuaku,
aku ingin mengetahuinya!"
"Duduklah!" ujar Si Kuang Han.
Setelah Lu Hui San, Tio Bun Yang, Siang Koan Goal Nio dan
Lie Ai Ling duduk, barulah Sie Kuang Han menceritakan
tentang kematian kedua orang tua Lu Hui San.
"Jadi..." ujar Lu Hui San dengan mata berapi-api. "Lu Thay
Kam yang membunuh kedua orang tuaku?"
"Ya." Sie Kuang Han mengangguk. "Tapi paman berhasil
meloloskan diri dengan membawa Keng Hauw. Justru paman
tak menduga kalau engkau masih hidup dan dibesarkan oleh
Lu Thay Kam yang sangat jahat itu."
"Dia... dia..." gumam Lu Hui San dengan suara bergemetar.
"Dia yang membunuh kedua orang tuaku, maka aku harus
balas membunuhnya!"
"Betul." Sie Kuang Han manggut-uianggut. "Engkau harus


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balas dendam, lagi pula engkau bisa mendekati Lu Thay Kain."
"Paman, aku pasti balas dendam!" ujar Lu Hui San berjanji.
"Aku pasti membunuh Lu Thay Kam!"
"Sayang sekali!" Sie Kuang Han menggeleng-gelengkan
kepala. "Keng Hauw belum pulang."
"Paman, kira-kira kapan Kakak Keng Hauw pulang?"
"Entahlah. Mungkin dalam tahun ini dia akan pulang," sahut
Sie Kuang Han dan melanjutkan, "Ohya, kalian bermalam di
sini saja!"
"Ya." Lu Hui San mengangguk. Namun diam-diam gadis itu
telah mengambil suatu keputusan.
Ternyata di tengah malam ia meninggalkan tempat itu
tanpa memberitahu Sie Kuang Han maupun lainnya.
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Siang Koan Goat
Nio dan Lie Ai Ling ketika bangun, karena tidak melihat Lu Hui
San. "Lho" Ke mana Hui San?" tanya Lie Ai Ling sambil berlari ke
luar. Tio Bun Yang dan Sie Kuang Han yang sedang duduk di
ruang depan tampak tersentak ketika melihat mereka berlari
ke luar. "Goat Nio, ada apa?" tanya Tio Bun Yang.
"Kakak Bun Yang tidak melihat Hui San?" Siang Koan Goat
Nio balik bertanya dengan kening berkerut.
"Bukankah dia tidur bersama kalian" Kenapa...."
"Dia tidak berada di tempat tidur," sahut Lie Ai Ling. "Kami
kira dia sudah bangun, tapi dia tidak berada di sini."
"Apa"!" Sie Kuang Han terkejut. "Dia tidak berada di dalam
kamar?" "Tidak ada." Lie ai ling menggelengkan kepala. "Janganjangan...."
"Ah, celaka!" Sie Kuang Han bangkit berdiri lalu berjalan
mondar-mandir. "Kemungkinan besar dia telah berangkat ke
ibu kota. Aku telah bersalah semalam karena mendesaknya
harus membalas dendam."
"Kalau begitu kita harus bagaimana?" Lie Ai Ling
mengerutkan kening, kemudian memandang Tio Bun Yang
seraya bertanya. "Kakak Bun Yang, apakah kita harus
berangkat ke ibu kota juga?"
"Memang harus." Tio Bun Yang mengangguk, lalu
membelai monyet bulu putih yang duduk di bahunya. Kauw
heng, kita harus berangkat ke ibu kota."
Monyet bulu putih bercuit manggut-manggut. Sedangkan
Sie Kuang Han terus menghela nafas panjang.
"Bagaimana Paman, mau ikut kami ke ibu kota?" tanya Tio
Bun Yang. "Tidak." Sie Kuang Han menggelengkan kepala. "Aku telah
bersumpah tidak akan kembali ke ibu kota Kalian saja yang
berangkat."
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Bun Yang," ujar Sie Kuang Han bermohon" Tolong
selamatkan Hui San!"
"Paman Sie," sahut Lie Ai Ling. "Kami pasti berusaha
menyelamatkannya, Paman tak usah khawatir."
Terimakasih!" ucap Sie Kuang Han. "Terima-kasih...."
-ooo0dw0ooo- Tio Bun Yang, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sudah
tiba di ibu kota. Mereka mencari rumah penginapan karena
hari sudah mulai gelap. Lie Ai Ling berjalan sambil menengok
ke sana ke mari, ternyata ia mengagumi gedung-gedung
mewah yang berdiri tegak di ibu kota
"Wuah sungguh mewah dan indah gedung-gedung itu!"
seru Lie Ai Ling sambil menunjuk kian ke mari.
"Ai Ling," bisik Siang Koan Goat Nio. "Kita ke mari bukan
untuk menikmati keindahan ibu kota, melainkan untuk mencari
Hui San." "Aku tahu." Lie Ai Ling tersenyum. "Namun memang indah
sekali ibu kota ini."
"Memang indah." Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Tapi
kita tidak punya waktu untuk menikmati keindahannya."
Tak seberapa !ama kemudian, mereka sudah sampai di
sebuah rumah penginapan mewah. Seorang pelayan
menyambut mereka dengan hormat sekali.
"Tuan dan Nona membutuhkan kamar yang besar?" tanya
pelayan itu dengan ramah.
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Mari ikut aku masuk!" ujar pelayan sambil berjalan masuk,
Tio Bun Yang, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
mengikutinya.. "Kakak Bun Yang," bisik Lie Ai Ling. "Kita cukup satu kamar
saja?" Tio Bun Yang mengangguk. Lie Ai Ling dan Siang Koan
Goat Nio saling memandang. Berselang sesaat, mereka sudah
sampai di depan sebuah kamar.
"Kamar ini cukup besar dan mewah, kalian merasa cocok?"
tanya pelayan sambil menunjuk kamar tersebut.
"Cocok." Tio Bun Yang manggut manggut, lalu melangkah
ke dalam diikuti Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling.
"Tuan mau pesan makanan atau minuman?"
"Tolong ambilkan tehl" sahut Tio Bun Yang.
"Ya." Pelayan itu segera melangkah pergi, tapi tak lama
telah kembali dengan membawa sebuah teko dan tiga buah
cangkir. "Tuan, ini teh wangi."
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.
Pelayan itu menaruh apa yang dibawanya di atas meja, lalu
menuang teh wangi itu ke dalam cangkir.
"Siiakan minum!" ucap pelayan.
"Terimakasih!" Tio Bun Yang memberi setael perak kepada
pelayan itu. Betapa girangnya pelayan tersebut.
"Terimakasih Tuanl Terimakasih..." ucap pelayan itu
dengan wajah berseri-seri, lalu meninggalkan kamar tersebut.
Tio Bun Yang segera merapatkan pintu, kemudian duduk
seraya berkata kepada Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling.
"Mari kita minuml"
Kedua gadis itu mengangguk. Mereka bertiga lalu
menghirup teh yang masih bangat itu.
"Kakak Bun Yang, apa rencanamu sekarang?" tanya Lie Ai
Ling mendadak sambil menatapnya.
"Rencanaku____" Tio Bun Yang memberitahukan. "Setelah
larut malam, aku akan ke tempat tinggal Lu Thay Kam "
"Seorang diri?" Lie Ai Ling terbelalak.
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Kakak Bun Yang...." Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Itu
sangat membahayakan dirimu."
'Tidak akan membahayakan diriku, percayalah!" Tio Bun
Yang tersenyum.
"Menurut aku..." pikir Lie Ai Ung sejenak dan melanjutkan.
"Lebih baik kami Ikut."
"Itu tidak perlu." Tio Bun Yang menggelengkan kepala.
"Sebab kalau kalian ikut, justru akan merepotkan aku."
"Bagaimana mungkin kami akan merepotkan-mu?" sahut
Lie Ai Ling. "Kami bisa menjaga diri."
"Tapi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening seraya
berkata, "aku akan kurang leluasa bergerak."
"Kakak Bun Yang...."
"Ai Ling," ujar Siang Koan Goat Nio. "Memang lebih baik
kita tidak ikut agar perhatian Kakak Bun Yang tidak
terpecahkan."
"Goat Niol" Lie Ai Ling tidak mengerti. "Kita ikut dengan
tujuan membantu, bukan untuk memecahkan perhatiannya."
"Benar." Siang Koan Goat Nio manggut manggut. "Namun
secara tidak langsung akan memecahkan perhatiannya, maka
engkau harus mengerti."
"Tapi...."
"Adik Al Ling!" Tio Bun Yang memandangnya sambil
tersenyum. "Engkau jangan bandel!"
"Aku...."
"Ai Ling, kita tunggu di da!am kamar ini aja, biar Bun Yang
pergi seorang diri!" Siang Koan Goat Nio memegang bahunya.
"Engkau harus mengerti"
"Goat Niol" Lie Ai Ling menatapnya dalam-dalam. "Engkau
bisa berlega hati membiarkannya pergi seorang din?"
"Kenapa tidak?" Siang Koan Goat Nio tersenyum, kemudian
wajahnya berubah serius. Tapi kalau hingga pagi belum
kembali, kita harus menyusul ke tempat tinggal Lu Thay Kam "
"Baiklah." Lie Ai Ling mengangguk.
Setelah larut malam, barulah Tio Bun Yang pergi ke istana
tempat tinggal Lu Thay Kam, sedangkan Siang Koan Goat Nio
dan Lie Ai Ling tetap menunggu di dalam kamar penginapan
Sementara itu. Lu Hui San telah tiba duluan di istana
bagian barat tempat tinggal Lu Thay Kam. Akan tetapi. Lu
Thay Kam tidak ada di tempat.
"Ayahku pergi ke mana?" tanyanya pada salah seorang
dayang. "Lu Kong Kong pergi semalam. Nona," jawab dayang
memberitahukan. "Hingga saat ini masih belum pulang."
"Kira-kira pergi ke mana ayahku?"
"Maaf Nona, aku tidak tahu!"
"Hmm!" dengus Lu Hui San sambil melangkah ke ruang
khusus. Dayang itu terbelalak menyaksikan sikap Lu Hui San yang
kaku dan dingin, kemudian ia pun segera meninggalkan
tempat itu. Lu Hui San duduk di ruang khusus dengan wajah dingin.
Setelah larut malam, tampak sosok bayangan berkelebat
memasuki ruang khusus itu, yang ternyata Lu Thay Kam.
"San Sanl" seru Lu Thay Kam girang. "Anakku, kapan
engkau kembali?"
Lu Hui San tetap duduk diam, matanya menatap Lu Thay
Kam dengan dingin sekali.
"San San!" Lu Thay Kam tertegun menyaksikan sikap Lu
Hui San yang bermusuhan itu. "Kenapa engkau?"
Perlahan-lahan Lu Hui San bangkit dari tempat duduknya,
lalu menuding Lu Thay Kam seraya membentak,
"Engkau penjahat!"
"San San...." Lu Thay Kam terbelalak. "Aku ayahmu,
kenapa engkau mengataiku penjahat?"
'Hrnml' dengus Lu Hui San dingin. "Engkau pembunuh
kedua orang tuaku!"
"San San!" Lu Thay Kam tersentak. "Siapa yang bilang
begitu?" "Aku sudah bertemu Sie Kuang Han, pamanku! Dia yang
memberitahukan kepadaku tentang kematian kedua orang
tuaku!" sahut Lu Hui San sambil mendekati Lu Thay Kam.
"Aku tak menyangka sama sekali, ternyata engkau yang
membunuh kedua orang tuaku!"
"Pamanmu itu sungguh tak tahu diri!" ujar Lu Thay Kam
sengit. "Tidak seharusnya dia memberitahukan hal itu
kepadamu."
"Kenapa?"
"Karena____" Lu Thay Kam mengerutkan kening.
"Sudahlah Kini engkau sudah tahu tentang itu, lalu apa
kehendakmu?"
"Aku harus membunuhmu!" sahut Lu Hui San dengan mata
berapi-api. "Aku harus membunuhmu!"
"San San!" Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Selama
belasan tahun, aku membesarkanmu dengan penuh kasih
sayang. Namun kini...."
"Engkau pembunuh kedua orang tuaku!" landas Lu Hui
San. "Maka aku harus membalaskan dendamnya!"
"Aaaah. !" Lu Thay Kam menghela nafas panjang lagi. "San
San, engkau harus tahu. Kedua orang tuamu mati dikarenakan
politik dalam istana, jadi____"
"Engkau yang membunuh kedua orang tuaku, kan?"
"Benar."
"Kalau begitu, malam ini pun aku harus membunuhmu!"
bentak Lu Hui San sambil menghunus pedang pusaka Han
Kong Kiam "San Sanl" Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku sangat menyayangimu. Kalau engkau ingin
membunuhku, silakan!"
"Aku memang harus membunuhmu!" sahut Lu Hui San dan
sekaligus mendekati Lu Thay Kam dengan menggenggam
erat-erat pedang pusaka tersebut, kelihatannya gadis itu
memang ingin membunuhnya.
Sedangkan Lu Thay Kam tetap berdiri di tempat lak
bergerak, sepasang matanya memandang Lu Hui San dengan
penuh kasih sayang.
Tersentuh juga hati gadis iiu, namun ia mengeraskan
hatinya, kemudian mendadak diayunkannya pedang pusaka
itu ke arah Lu Thay Kam.
Sementara Lu Thay Kam tetap berdiri di tempat dengan
wajah berduka. Kelihatannya ia tidak mau menangkis pedang
pusaka itu. Di saat pedang pusaka itu sedang menyambar ke arah
leher Lu Thay Kam, tiba-tiba meluncur satu benda secepat
kilat ke arah pedang pusaka itu.
Trang! Benda itu menghantam pedang Lu Hui San.
Bukan main terkejutnya Lu Hui San, karena merasa
tangannya semutan sehmgga pedang pusaka itu terlepas dari
tangannya. Pedang pusaka itu meluncur ke arah dinding dan menancap
di sana. Kejadian yang tak terduga itu membuat Lu Thay Kam
tertebak, bahkan sangat terperanjat. Sebab benda yang
menghantam pedang pusaka itu adalah sebutir kerikil, namun
Rahasia 180 Patung Mas 11 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Harpa Iblis Jari Sakti 34
^