Pencarian

Kisah Si Rase Terbang 3

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 3


beribu macam bahaya, mereka bertiga akhirnya berhasil juga merampasnya kembali untuk
kemudian dikubur di suatu tebing belukar yang sangat curam dan belum pernah diinjak orang"
Tak mungkin mereka percaya kata kakak itu, yang agaknya hendak memberi kesan, bahwa beliau
itu berada di Ciok Mui Kiap.
"Setelah mereka berhasil menyingkirkan kakak angkat mereka, bertiga mereka segera coba
membunuh si penghianat. Tetapi kali ini, penjagaan di istana itu sudah diperkuat, sehingga sukar
sekali ditembusi. Beberapa kali mereka mencoba. Tetapi setiap kali mereka menampak kegagalan.
Hal meninggalnya kakak angkat mereka segera tersiar di luar dan para orang gagah, memuji
mereka - yang menurut pendapat umum sudah membunuh kakak angkat yang berdosa itu, tanpa
ragu-ragu " demi untuk menegakkan kewibawaan kaum Kang Ouw. Ketika berita itu akhirnya
sampaijuga di kuping anak si kakak angkat yang malang, pemuda ini menjadi sangat sedih dan
segera berangkat ke Kun Beng untuk menuntuk balas."
"Putera itu telah membuat kesalahan besar. Walaupun " sebagai anak, ia wajib menuntut
balas bagi ayahnya " tetapi ia harus mengingat, bahwa kejahatan dan dosa ayahnya itu sangat
besarnya. Tidak selayaknya ia harus bertindak demikian," kata Po Si, memotong cerita Yok Lan.
"Ayahku pun berpendapat demikian. Tetapi sebaliknya jalan pemikiran pemuda itu pun punya
alasan-alasannya sendiri hingga sebenarnya sukar untuk kita menetapkan salah-benarnya
Setibanya di Kun Beng ia segera mencari jejak ketiga paman angkat itu, yang tak lama kemudian
dijumpainya di suatu kuil rusak. Melihat kedatangan pemuda itu, tiga orang itu terkejut bukan
main. Segera juga mereka sudah bertempur dengan sengit. Tak usah ditunggu terlalu lama, ketika
sudah ternyata, bahwa pemuda itu benar-benar sudah mewarisi seluruh kepandaian ayahnya.
Bertiga mereka masih tak mampu menandinginya. Tidak sampai setengah jam, ketiga paman itu
sudah digulingkan seorang demi seorang. Ketiga-tiganya sudah tidak mengharap akan dapat
meninggalkan tempat itu dalam keadaan masih bernyawa. Tetapi dugaan mereka meleset jauh.
Setelah mereka jatuh tidak berdaya, si pemuda bukan lantas membinasakan mereka. Sebaliknya ia
berujar, 'Pamanku, ayahku telah rela menerima hinaan dan ejekan sekian lamanya Ia dituduh
sebagai penjual majikan. Ia dimaki sebagai penghianat rendah yang tamak kemewahan. Tetapi,
tahukah kalian bahwa ia mempunyai suatu tujuan lain yang sangat penting dan tak dapat
diceritakan kepada segala orang" Suatu rahasia yang besar sekali artinya. Biarlah, mengingat,
bahwa kalian adalah saudara-saudara angkat ayahku, aku tidak akan mencabut jiwa kalian. Lekaslekaslah
kalian pulang dan tunggulah kedatanganku pada tanggal 15 bulan tiga, tahun depan.'
Menutup kata-katanya, ia segera merebut kembali golok kebesaran Cwan Ong yang sudah berada
di tangan mereka itu dan segera berlalu."
"Kejadian itu adalah di awal musim semi. Tanpa ayal lagi ketiga-tiganya segera berangkat
pulang ke utara. Setelah tiba di rumah masing-masing, mereka segera mengumpulkan seluruh
keluarga mereka dan kemudian menceritakan pengalaman mereka yang sangat hebat itu. Semua
anggauta keluarga mereka menyatakan, bahwa mereka tidak bersalah, karena sebagai penjual
majikan dan sebagai pelindung musuh besar mereka, si penghianat Gouw Sam Kwi, sudah
sepantasnya mereka bertindak untuk menyingkirkannya. Rata-rata para anggauta keluarga itu
tidak percaya, bahwa dengan segala kenyataan itu, si Rase Terbang masih mempunyai maksud
tertentu yang sangat penting. Mereka beranggapan, bahwa putera Si Rase Terbang hanya pandai
memutar lidah. Lambat laun berita itu telah tersiar luas di antara sahabat-sahabat mereka. Pada
tanggal yang telah dijanjikan, sahabat-sahabat itu beramai-ramai datang di tempat mereka untuk
membantu menghadapi putera si Rase Terbang. Tepat sebagai janjinya, ia telah datang."
"Hari ini juga tanggal 15 bulan tiga!" teriak Tian Ceng Bun tertahan. Seketika itu, semua orang
menjadi kaget dan mereka juga ingat, bahwa si Rase Terbang yang harus dihadapi mereka,
menurut Ie koankee, juga akan datang seorang diri untuk menuntut balas. Agaknya antara kisah
yang diceritakan Yok Lan dan kejadian yang mereka alami hari itu " walaupun berbeda waktu
lebih seratus tahun " ada hubungannya.
Karena sangat ingin tahu, dengan tak sabar mereka memandang Yok Lan, menantikan ia
melanjutkan pula ceritanya. Tetapi pada saat itu Khim Ji telah datang dengan kantong sutera dan
segera diletakkannya di atas pangkuan Yok Lan.
"Nyalakan lagi sedikit dupa?" perintahnya kepada pelayan itu.
Khim Ji segera melakukan perintah itu. Ia membawa sebuah hiolo kecil dari batu giok putih dan
meletakkannya di atas meja di samping Yok Lan. Segera juga segulung asap yang harum sudah
memenuhi seluruh ruangan, melegakan dada semua hadirin.
"Jika aku berada seorang diri dalam ruangan ini, kau boleh menyalakan dupa ini. Tetapi
sekarang begini banyak orang, mengapa kau menyalakan yang ini?" Yok Lan mencomel.
"Benar bodoh, aku," kata Khim Ji sambil tertawa dan segera masuk untuk menggantikan dupa
itu. Sedang para pendengarnya sudah tak sabar menantikannya, Yok Lan justeru melanjutkan
memberi petunjuk kepada Khim Ji. Kali ini ia menyuruh Khim Ji melihat apakah hiolo itu sudah
betul letaknya.
Khim Ji bersenyum lagi dan segera memindahkan hiolo itu dengan melihat jurusan angin.
Setelah itu ia menambahkan teh di cangkir nonanya dan kemudian haru pergi.
Karena agak mendongkol, maka semua hadirin berkata di dalam hati, "Percuma 'Kim Bian Hud'
disebut jago yang tiada tandingannya, sedang puterinya dimanjakannya sehingga menjadi begini
aleman." Sesaat kemudian, Yok Lan mengangkat cangkirnya, memeriksa tehnya sebentar dan
meletakkannya kembali, setelah minum sedikit. Para hadirin menduga, bahwa ia akan segera
melanjutkan ceritanya, tetapi ia justeru berkata, "Kepalaku rasanya agak pening dan aku akan
mengaso sebentar. Harap paman dan saudara sekalian memaafkan."
Semua orang di situ jadi sangat mendongkol, tetapi mereka semua tak berani mengutarakan
perasaan masing-masing dan hanya saling memandang tanpa mengucapkan sesuatu.
Agaknya, setelah tercengangnya hilang, Co Hun Ki sudah hendak mengumbar amarahnya,
tetapi Tian Ceng Bun masih keburu mencegahnya dan kata-kata yang sudah berada di ambang
mulutnya tak jadi keluar.
Tak lama, sedari Yok Lan meminta diri, ia sudah keluar pula. Ternyata ia sudah berganti
pakaian dan pupur serta yancinya sudah dicuci hilang. Dalam kesederhanaan itu, ia bahkan
kelihatan semakin cantik.
Khim Ji berjalan di belakangnya dengan membawa sebuah bantal tersalut kulit rase putih, yang
segera diletakannya di atas kursi nonanya. Yok Lan duduk dengan hati-hati dan kemudian baru
bersiap-siap untuk melanjutkan ceritanya.
"Malam itu, di rumah si tabib diadakan perjamuan besar yang dihadiri ratusan orang gagah dari
seluruh kalangan Kang-ouw. Dengan tenang mereka menantikan kedatangan putera si Rase
Terbang. Sekian lama mereka sia-sia menantikan kedatangannya dan banyak yang sudah
menduga, bahwa ia tak berani datang karena banyaknya orang gagah yang hadir di situ. Tetapi,
secara mendadak, dengan terdengarnya suatu bunyi yang sangat perlahan, menjelang tengah
malam, di antara mereka itu sudah bertambah seorang yang berdiri di atas meja utama dan tak
ketahuan dari mana datangnya. Di antara ratusan hadirin, yang hampir semua terdiri dari tokohtokoh
kenamaan, tak seorang mengetahui bagaimana dan sejak kapan ia sudah tiba. Orang itu
masih sangat muda, dilihat dari mukanya, agaknya ia baru berusia duapuluh tahun lebih sedikit. Ia
mengenakan pakaian berkabung dan di punggungnya diselipkan sebilah golok. Tanpa
memperdulikan ratusan orang itu, ia segera menghampiri ketiga paman angkatnya. 'Paman
bertiga, dapatkah aku berbicara dengan kalian di suatu tempat tersendiri"' pintanya. Sebelum
ketiga orang itu dapat mengucapkan jawaban mereka, seorang tokoh Ngo Bi Pay sudah
mendahului berteriak, 'Laki-laki sejati, tak suka bersembunyi. Segala apa dibicarakannya dengan
terus terang dan ia tak takut didengar orang banyak. Sebagai juga ayahmu, yang menjual majikan
untuk keuntungannya sendiri, kulihat kau pun bukan orang baik-baik. Samwi jangan sampai
terperangkap akal-bulusnya.' Begitu ia selesai mengucapkan kata-katanya ini, segera terdengar
beberapa bunyi menggapelok yang nyaring. Ternyata jago Ngo Bi Pay itu sudah ditampar enam
kali, mulutnya berdarah dan sekian banyak giginya sudah rontok karenanya."
"Peristiwa ini tentu saja sangat mengejutkan para hadirin. Mereka tak mengerti mengapa anak
muda itu dapat memiliki kepandaian setinggi itu dan mengapa gerak-geriknya demikian cepat.
Dalam ketakutan mereka tak berani mengucapkan sepatah kata dan begitu juga dengan tokoh
Ngo Bi Pay yang jumawa tadi. Kecuali tiga adik angkat si Rase Terbang itu, tak ada yang
mengetahui, bahwa kepandaian pemuda itu didapat dari ayahnya dan kecepatannya bergerak "
yang tak dapat dilihat ratusan orang itu " adalah kepandaiannya yang istimewa dan dinamakan
'Pek Pian Kwi Eng' (Bayangan Setan yang Berubah Ratusan Kali), bahkan agaknya si anak sudah
melebihi ayahnya dalam kepandaian itu."
"Sementara itu putera si Rase Terbang sudah berbicara lagi kepada ketiga saudara angkat
ayahnya. Ia mengatakan, bahwa jika ia berniat membinasakan mereka, tak usah ia melepaskan
mereka di kuil kuno itu dan menunggu sehingga hari itu. Ia menambahkan bahwa soal yang akan
dibicarakannya, tak boleh dibicarakan di hadapan orang banyak. Karena alasannya itu sangat
masuk di akal, maka si tabib memutuskan untuk menuruti permintaannya. Berempat, mereka
pergi ke suatu tempat yang sunyi. Para tamu yang ditinggalkan dalam ruangan perjamuan itu,
berhenti makan-minum dan hanya saling memandang dengan membungkam."
"Kira-kira setengah jam kemudian, keempat orang itu sudah keluar kembali. Sedang para tamu
itu menunggu perkembangan selanjutnya secara tak diduga, si tabib sudah menjura kepada
mereka dan mengucapkan terima kasihnya atas setia kawan mereka yang harus dipuji. Kemudian,
sebelum mereka dapat membalas penghormatan itu, ia dan kedua saudara angkatnya sudah
mengangkat golok masing-masing dan menggorok leher mereka sendiri. Para hadirin benar-benar
terperanjat melihat perbuatan nekat itu. Mereka beramai-ramai meloncat untuk mencegah, tetapi
sudah terlambat."
"Putera si Rase Terbang berlutut di hadapan jenazah tiga paman angkatnya sebagai lazimnya
seorang muda menghormati arwah sanak yang lebih tua. Setelah itu, ia segera memungut tiga
buah golok paman angkatnya dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meninggalkan ruangan
tersebut. Peristiwa ini terjadinya terlalu cepat dan ketika mereka dapat menetapkan hati mereka,
anak muda itu sudah berlalu jauh sekali."
"Berbondong-bondong mereka memburu keluar untuk mengejar dan mereka saling
menganjurkan supaya jangan membiarkan 'penjahat' itu lolos. Tetapi, mana dapat mereka
menyusulnya. Sementara itu, di dalam ruangan tadi, putera-puteri ketiga orang yang malang itu
sudah merangkul mayat ayah masing-masing sambil menangis memilukan. Ketika para tamu itu
kembali mereka menanyakan kepada seluruh keluarga tiga orang itu, bahkan menanya juga para
pelayan rumah itu, apa yang telah dibicarakan anak si Rase Terbang tadi sehingga berakibat
demikian hebat. Tetapi tak seorang dapat memberikan keterangan. Semua orang gagah yang
berkumpul di situ merasa sangat kasihan melihat putera-puteri tiga orang itu dan mereka ramairamai
mengambil ketetapan untuk memberikan bantuan agar keturunan tiga keluarga tersebut
dapat melaksanakan pembalasan sakit hati. Kegusaran di kalangan Kang Ouw yang diterbitkan
karena peristiwa itu sungguh hebat. Tetapi, seperginya dari rumah si tabib, putera si Rase
Terbang telah menghilang, entah kemana. Untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan
bersama pada malam itu, maka para orang gagah kemudian mendidik putera-puteri ketiga
saudara itu. Berkat didikan sekian banyak orang pandai, akhirnya para keturunan itu jadi memiliki
kepandaiannya yang sangat tinggi, dan kepandaian mereka bukan terbatas pada satu macam
kepandaian saja."
Berbicara sampai di sini, Yok Lan berhenti sebentar untuk menghela napas panjang-panjang
dan memandang ke sekitarnya, memandang wajah para pendengarnya. Kemudian ia melanjutkan
pula, "Semakin tinggi kepandaian mereka, bertambah kuat pula keinginan mereka untuk menuntut
balas. Benar-benar harus disesalkan, ilmu silat, sebagai juga semua ilmu, dapat mendatangkan
bahagia tetapi juga dapat menerbitkan bencana." Yok Lan mengucapkan kata-katanya yang
terakhir itu dengan penyesalan.
Untuk berapa lama ia tak dapat meneruskan ceritanya, ia hanya memandang api di anglo
dengan sikap seakan-akan terpesona ceritanya sendiri.
Karena melihat, bahwa yang lain semua menantikan lanjutan cerita itu dengan sikap tak sabar,
maka Po Si menggantikan Yok Lan meneruskan kisah itu.
"Cara nona Biauw menceritakan kisah itu benar-benar menarik. Walaupun ia tidak menyebutkan
nama-nama, tetapi kuyakin bahwa kalian tentu sudah mengerti, bahwa tiga adik angkat si Rase
Terbang adalah, yang menyaru sebagai tabib she Biauw, si pengemis she Hoan dan si kuli she
Tian. Sebagai tadi sudah diceritakan, kemudian keturunan tiga saudara itu memiliki kepandaian
yang sangat tinggi dan masing-masing mendirikan partai sendiri. Kepandaian keluarga Biauw yang
khas, kemudian terkenal sebagai "Biauw Kee Kiam Hoat" sedang keluarga Hoan meneruskan
tradisi penyamaran leluhurnya dan mendirikan "Hin Han Kay Pang" (partai pengemis) dan keluarga
Tian mendirikan "Thian Liong Bun" yang sejak itu sehingga sekarang masih dikenal sebagai
kusebutkan barusan."
Whi Su Tiong dan In Kiat, dua tokoh utama Thian Liong Bun pada dewasa itu, dua-dua merasa
sangat malu, karena dalam kedudukan mereka itu, mereka juga tidak mengetahui asal-usul partai
mereka sendiri.
Dalam pada itu, Po Si sudah melanjutkan pula, "Ketika berapa puluh tahun kemudian keturunan
orang-orang she Biauw, Hoan dan Tian itu dapat menemukan putera si Rase terbang, ia ini
ternyata sudah sangat tua. Kepandaiannya sudah sangat mundur dan tenaganya sudah tidak ada
lagi. Karena itu, ia tak dapat menandingi mereka dan dapat didesak, sehingga harus bunuh diri
juga. Demikianlah, selanjutnya, keturunan empat keluarga itu balas-membalas bergiliran selama
lebih seratus tahun terakhir ini dan sepanjang masa itu, turun-menurun setiap putera keluarga itu
tak dapat hidup tenteram dan hampir selalu harus menemukan kematian tidak wajar. Dengan
mata-kepalaku sendiri, aku telah menyaksikan pertempuran hebat antara mereka, yang sampai
pada detik ini adalah pertempuran yang terakhir."
Yok Lan mendadak mengangkat kepalanya dan memandang Po Si.
"Taysu, kisah ini sudah kudengar dari orang lain. Tak usah kau menceritakannya lagi," katanya.
"Tetapi sahabat-sahabat ini belum pernah mendengarnya, maka silakan kau menceritakannya
kepada mereka," jawab Po Si.
'Ah, ketika itu, setelah selesai menceritakan kisah empat pengawal Cwan Ong itu, ayahku
menceritakan suatu kejadian yang sangat memilukan dan sampai sekarang, setiap kali teringat
kembali, hatiku menjadi sedih. Kata ayahku, karena kejadian itu, ia masih membutuhkan
pedangnya, yang juga harus dipelihara ketajamannya, terutama untuk membunuh seorang lagi."
Yok Lan berhenti sebentar untuk mengatasi perasaannya. Lewat berapa lama baru ia dapat
meneruskan ceritanya.
"Yang akan kuceritakan ini, telah terjadi sepuluh tahun sebelum aku dilahirkan. Entah
bagaimana nasib anak yang harus dikasihani itu, selalu aku berdoa agar ia masih hidup dan
keadaannya baik senantiasa."
Para pendengarnya menjadi bingung, mereka tak mengerti, siapa sebenarnya "anak yang harus
dikasihani" itu. Juga, apa hubungannya dengan soal mereka itu, masih merupakan suatu teka-teki
sulit bagi mereka. Dengan penuh pengharapan mereka sebentar memandang Yok Lan dan
sebentar pula memandang Po Si dengan sikap seperti minta penjelasan.
Mendadak saja, terdengar seorang hamba " yang berdiri di samping " berkata dengan suara
serak, "Nona, karena hatimu begitu mulia, tentu doamu akan terkabul, kupercaya, bahwa 'anak
yang harus dikasihani' itu masih hidup dan keadaannya juga baik."
Semua hadirin menengok ke arah suara itu. Mereka melihat seorang yang sudah berusia lanjut,
berambut jarang tanpa lengan kanan sedang menyanggah sebuah penampan dengan tangan
kirinya. Mukanya mengerikan karena bekas luka yang panjang, menjalur dari alis kanannya sampai
di sisi kiri mulutnya.
Melihat wajahnya, semua orang merasa heran. Pikir mereka; "Setelah terluka begitu hebat,
sungguh luar-biasa, bahwa ia masih dapat hidup terus sampai hari ini.
Ketika mereka masih terheran-heran memandang wajah orang itu, Yok Lan sudah mulai
bercerita lagi.
"Di samping mendoa, agar ia selamat selalu, aku juga mengharapkan, supaya ia tidak belajar
ilmu silat. Aku berdoa, supaya ia sebagai aku ini, sekelumit ilmu silat pun tidak mengerti. Aku
yakin, bahwa ini paling baik bagi dirinya."
Kata-kata Yok Lan yang terakhir ini sungguh di luar dugaan para hadirin. Mereka jadi
tercengang dan dalam kurang percaya mereka berpikir, bahwa sebagai puteri kesayangan Biauw
Jin Hong, tak mungkin ia tak mengerti ilmu silat, tetapi jika melihat tindak-tanduknya yang sangat
lemah-lembut, memang agaknya ia sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat.
Yok Lan agaknya dapat menerka keragu-raguan mereka. Maka untuk menghilangkan
kesangsian orang-orang itu ia menerangkan, "Menurut ayahku , empat keluarga, Ouw, Biauw,
Hoan dan Tian telah dapat balas-membalas selama berapa keturunan, justeru karena mereka
semua pandai silat. Betapa tinggi juga kepandaian seorang anggauta keluarga itu, akhirnya ia
mesti mengalami kematian yang tidak wajar. Jika sefihak harus pusing memikirkan usaha
membalas sakit hati orang tuanya, fihak yang lain harus selalu berjaga-jaga dengan hati kebatkebit,
karena lambat atau lekas, tentu akan ada yang datang mencarinya, untuk menuntut balas.
Tak pernah ada keturunan keluarga itu yang dapat hidup tenang sampai datang saatnya dipanggil
pulang oleh Yang Kuasa. Jika, karena kepandaiannya yang sangat tinggi, ia dapat terhindar dari
kebinasaan di waktu mudanya, tentu di hari-hari terakhirnya, jika usianya sudah melampaui tujuhpuluhan,
akan datang seorang mencari balas. Jelaslah, bahwa karena ilmu silat, empat keluarga
itu harus menderita terus-menerus sampai entah berapa turunan. Karena itu, maka ayah telah
menetapkan, bahwa setelah ia, seluruh keturunan keluarga Biauw tidak boleh belajar silat pula.
Biarlah, ia akan menjadi orang she Biauw terakhir yang pandai silat Kurasa kata-katanya itu sangat
benar dan aku juga yakin bahwa ilmu silat hanya akan mendatangkan malapetaka bagi keluarga
kami." "Ayahku telah berpikir sempurna. Jika kelak ia harus mati terbunuh keturunan keluarga Ouw,
dengan aku sebagai puteri tunggalnya tak mengerti ilmu silat, permusuhan itu dapat berakhir
sampai di situ saja dan walaupun kami tidak dapat membalas sakit hati itu, kami akan dapat
melanjutkan hidup kami dengan tenteram."
"Siancay, siancay," sabda Po Si sambil merangkap kedua tangannya. "Biauw Tayhiap benarbenar
sangat bijaksana. Kesediaannya, membiarkan Biauw Kee Kiam Hoat yang tersohor tiada
taranya, menjadi musna dan lenyap setelah ia pulang ke alam baka, membuktikan, betapa luhur
budinya. Ia benar-benar tiada tandingannya dalam dunia ini."
Secara kebetulan Yok Lan menengok ke arah pelayan yang tadi telah turut mengemukakan
pendapatnya itu. Di dalam matanya, Yok Lan melihat suatu sinar yang luar biasa dan ia menjadi
heran. Ketika itu, sebenarnya para hadirin sedang menantikan lanjutan ceritanya dengan sikap
tidak sabar. Tetapi bukannya ia segera meneruskan bercerita, sebaliknya ia bahkan memberi
hormat kepada semua orang itu, meminta diri dan segera bertindak masuk meninggalkan mereka
dalam ketidakpuasan.
Tetapi, sesaat kemudian Po Si sudah mengambil-alih tugas nona itu dan ia mulai bercerita
dengan menerangkan, bahwa, karena berperasaan halus, Yok Lan tentu tak dapat mengatasi
perasaannya, jika ia harus menceritakan kejadian yang memilukan itu. "Maka, biarlah loolap yang
melanjutkan cerita ini," katanya.
"Sejak awal permusuhan itu, karena orang she Ouw itu dikutuk kalangan Kang Ouw, sebagai
penjual majikan karena tamak kemewahan, maka turunannya selalu harus menempati kedudukan
terpencil yang sangat tidak menguntungkan. Mereka tak pernah mendapat simpati kalangan Kang
Ouw, bahkan selalu mereka dianggap sebagai sampah. Betapa tinggi juga kepandaian mereka,


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena dalam pertempuran sengit selalu tidak ada yang berfihak kepada mereka, dengan
sendirinya mereka jadi sudah kalah angin."
"Hanya berkat kepandaian mereka yang benar-benar tiada taranya, mereka selalu masih dapat
mewujudkan cita-cita mereka. Pula hampir setiap tingkat keturunan mereka tentu mempunyai
seorang yang luar biasa. Di waktu tiba saatnya ia bertindak untuk memenuhkan pesan orang
tuanya, tak perduli menang-kalahnya, tentu akan terjadi banjir darah."
"Meskipun ketiga keluarga Biauw, Hoan dan Tian berjumlah lebih banyak dan dapat
menghimpun tenaga lebih besar, lagi pula mendapat dukungan seluruh kalangan Kang Ouw,
walaupun mereka selalu berjaga-jaga dengan sangat telitinya, tetapi dengan kecerdikan dan
kepandaian serta kesabaran mereka, anak-cucu keluarga Ouw selalu dapat membobolkan
penjagaan mereka dan melaksanakan pembalasan sakit hati turun-menurun itu."
"Setiap kali salah-satu fihak berhasil membinasakan musuhnya, golok kebesaran Cwan Ong
berpindah tangan. Begitulah semasa pemerintahan Khong Hi, empat keluarga itu terus-menerus
berebut golok pusaka tersebut, juga antara keluarga Biauw, Hoan dan Tian sendiri kemudian terbit
percekcokan karenanya. Di masa itu, justeru di fihak keluarga Ouw muncul dua orang yang
berkepandaian luar biasa tingginya. Dalam suatu pertempuran sengit, dua saudara itu telah
berhasil membunuh dan melukakan dua puluh tiga orang dari fihak lawannya. Tentu saja tiga
keluarga yang asalnya berdiri sefihak dan kemudian bercekcok sendiri itu menjadi sangat cemas.
Adalah keluarga Tian yang kemudian berhasil mengumpulkan sokongan dari banyak sekali orangorang
Kang Ouw. Berkat bantuan mereka itu, dengan beramai-ramai mengeroyok dua saudara
Ouw itu, akhirnya dapat juga dua saudara itu dibinasakan. Setelah itu, semua orang gagah dari
seluruh negeri berkumpul di Lokyang untuk membentuk perserikatan dan dalam pertemuan itu
pula diputuskan, bahwa selanjutnya golok pusaka tersebut akan berada di bawah penilikan
keluarga Tian. Selain itu, juga ditetapkan, bahwa bila saja keluarga Ouw berani datang untuk coba
merebut kembali golok tersebut, maka keluarga Tian akan mengangkat golok tersebut sebagai
pertanda untuk kalangan Kang Ouw, supaya berbondong-bondong datang membantu menghadapi
musuh itu, tidak perduli mereka sedang menghadapi urusan pribadi yang betapa penting juga."
"Pertemuan itu terjadi lebih kurang seratus tahun yang lalu, dan sedikit demi sedikit, sudah
mulai terlupa sehingga sekarang sudah hampir tiada yang mengetahui lagi hal ini, hanya Ciang
Bun Jin dari Thian Liong Bun yang masih menganggap golok itu penting sekali. Tetapi kemudian
Thian Liong Bun sendiri terpecah menjadi cabang selatan dan utara. Kabarnya, setiap sepuluh
tahun sekali kedua cabang tersebut saling menggantikan menyimpan golok tersebut. Whi heng
dan In heng, benarkah kabar yang loolap dengar itu?"
"Benar," jawab Whi Su Tiong dan In Kiat hampir bersama.
Po Si tertawa. Ia senang sekali, mendapat kenyataan, bahwa perkataannya benar sesuai
dengan kenyataan.
"Sebagai tadi telah kukatakan, lambat-laun orang sudah lupa akan soal sebenarnya dan karena
tidak tahu, anak-murid Thian Liong Bun kemudian menganggap golok tersebut sebagai pusaka
partai mereka, tanpa mengetahui asal-usulnya. Tetapi dalam suatu hal, loolap masih berada dalam
kegelapan, mengenai hal ini rasanya hanya Co heng yang dapat menerangkan."
"Soal apa?" tanya Hun Ki dengan lantang.
"Sependengaran loolap, saban kali terjadi penggantian Ciang Bun Jin, Ciang Bun Jin yang lama
selalu menceritakan asal-usul golok tersebut kepada penggantinya, tetapi mengapa Co heng yang
sekarang menjadi Ciang Bun Jin tak dapat menjawab pertanyaan loolap mengenai golok itu, tadi"
Apakah Tian Kui Long telah melupakan kebiasaan ini?"
Tak tahu Hun Ki, bagaimana ia harus menjawab. Seluruh mukanya menjadi merah padam dan
ia sudah hampir melontarkan kata-kata keras sekena-kenanya, untuk menutup malunya Tetapi
dalam pada itu Tian Ceng Bun sudah keburu menyelak.
"Kejadian ini telah disebabkan kemalangan keluarga kami. Sebelum bisa menjelaskan hal itu
kepada Co suheng, ayahku mendadak sudah keburu dicelakakan orang," katanya
"Pantas, pantas. Kali ini adalah untuk kedua kalinya aku melihat golok ini. Yang pertama kali
adalah duapuluh tujuh tahun yang lalu."
Mendengar ini, Ceng Bun menarik kesimpulan, bahwa kata-kata Po Si itu tepat dengan cerita
Yok Lan. Pikirnya, "Tadi nona Biauw mengatakan, bahwa kejadian yang menyedihkan itu telah
terjadi sepuluh tahun sebelum ia dilahirkan, sedang usianya sekarang kira-kira tujuh belas tahun.
Tentunya hweeshio ini telah melihat golok itu untuk pertama kalinya ketika terjadinya peristiwa
yang dimaksudkan nona Biauw."
Sementara itu, Po Si sudah meneruskan ceritanya.
"Ketika itu, loolap belum memeluk agama dan sedang menjalankan pekerjaan tabib di desa
dekat kota Congciu. Penduduk Congciu rata-rata menyukai ilmu silat, tua-muda, hampir semua
laki-laki di situ tentu sudah pernah mempelajari sejurus-dua jurus ilmu silat dan ketika itu,
pekerjaan loolap adalah menyembuhkan luka-luka atau keseleo terkena pukulan atau karena
jatuh. Juga loolap mengerti sedikit ilmu silat ajaran guruku dahulu."
"Karena desa itu agak terpencil letaknya dan penduduknya hanya bilang ratus orang saja, maka
penghasilan loolap sebagai tabib tentu tak mencukupi untuk dapat mendirikan rumah tangga.
Pada suatu malam di akhir tahun itu, loolap sedang enak tidur sendiri, ketika mendadak saja
loolap dikejutkan gedoran pada pintu rumah loolap. Di luar angin sedang bertiup dengan
kencangnya, perapian dalam rumah sudah lama padam, maka dapat dimengerti, jika loolap jadi
segan bangun menempuh hawa sedingin waktu itu. Akan tetapi, yang menggedor pintu itu,
agaknya jadi kalap dan memukul semakin keras sambil berteriak-teriak, 'Hai! Tabib, tabib!
Bangun!' Kian lama gedorannya juga teriakannya semakin keras. Dari suaranya loolap tahu, bahwa
orang itu tentu bukan orang setempat, lagu suaranya sebagai lagu suara Kwansay (daerah
perbatasan barat). Karena kuatir, jika pintu rumahku akan hancur, maka loolap lekas-lekas
mengenakan baju dan hendak membuka pintu. Tetapi sedang tanganku baru mengangkat
palangnya, pintu itu sudah menjebelak karena didorong entah dihajar dengan kerasnya dari
sebelah luar. Jika bukannya aku masih keburu berkelit, tentu kepalaku sudah menjadi korban dan
sedikitnya sudah akan menjadi benjol."
"Orang yang menerjang masuk itu membawa obor. Di bawah penerangan apinya, loolap
melihat wajahnya yang sangat gugup. Dan ketika itu ia masih saja berteriak, 'Tabib! Tabib!' Loolap
segera menanyakan, mengapa ia begitu gugup dan membangunkan diriku tengah malam butarata."
"Walaupun terang-terang ia sudah melihat, bahwa loolap sudah berdiri di hadapannya, masih
saja ia menjawab dengan berteriak sekuat suaranya. Katanya ada yang sakit keras dan loolap
harus berangkat seketika itu juga. Kata-katanya ditutup dengan melemparkan sepotong uang
perak di atas meja. Yang dilontarkannya itu berj umlah tidak kurang daripada duapuluh tahil.
Selama mengobati orang-orang sedesaku, paling banyak loolap menerima upah berapa ratus bun
(sen) dan seumur hidupku aku belum pernah memiliki uang sebanyak itu. Loolap tentu saja
menjadi sangat terperanjat tetapi juga girang. Tanpa ayal pula kubereskan uang itu dan segera
berangkat mengikutinya. Selama tanya-jawab tadi aku telah memperhatikan mukanya. Di
wajahnya kelihatan sifat-sifat kesatria, sikapnya agak kasar dan agaknya ia beruang, tetapi
tingkah-lakunya pada saat itu mencerminkan kekuatirannya yang sangat besar. Agaknya ia
sangat tergesa-gesa, karena sebelum loolap selesai merapikan pakaian, ia sudah mengulurkan
tangannya dan menyeret loolap sambil menyambar peti obatku dengan sebelah tangannya lagi.
Loolap minta perkenan untuk menutup pintu dulu, tetapi ia segera menekankan agar loolap jangan
kuatir, karena apa saja yang tercuri selama kepergianku akan digantinya semua. Ternyata ia
membawa loolap ke penginapan "Peng An Khek Tiam," satu-satunya penginapan di desa itu.
Meskipun penginapan itu tidak terlalu kecil, tetapi keadaannya sangat kotor lagi gelap. Loolap
menjadi agak heran. Pikirku, mengapa orang beruang sebagai ia, mau menginap di tempat
seburuk itu. Loolap tak sempat berpikir panjang-panjang, ia sudah segera menyeret loolap ke
sebuah ruangan yang terang karena banyaknya lilin yang dinyalakan di situ. Loolap melihat empatlima
orang laki-laki berdiri di situ, agaknya sedang menantikan kembalinya. Seketika melihat
kembalinya dengan membawa loolap, mereka tampak girang dan segera, beramai-ramai,
menghantar diriku ke sebuah ruangan di sebelah timur."
"Begitu melangkah masuk, loolap menjadi sangat terkejut. Di atas bale-bale, loolap melihat
empat orang berbaring berjajar dengan badan penuh luka-luka berdarah. Di bawah penerangan
sebatang lilin yang dibawakan salah seorang itu, loolap memeriksa mereka dengan terliti dan
mendapat kenyataan, bahwa mereka semua telah terluka parah. Loolap menanyakan, mengapa
bisa sampai kejadian begitu, tetapi yang membawa loolap ke situ membentak dengan bengisnya,
supaya loolap segera mengobati mereka tanpa banyak rewel-rewel menanyakan urusan orang lain.
Alangkah galaknya orang itu. Karena kuatir membangkitkan amarah mereka yang semua juga
tampak bengis, loolap segera melakukan yang diminta atau, lebih benar, yang diperintahkannya.
Baru loolap selesai membalut dan mengobati mereka, orang itu sudah membentak pula,
mengatakan, bahwa di kamar sebelah masih ada lagi yang harus ditolong. Juga di kamar itu
terdapat orang-orang yang terluka parah, salah-seorang di antara mereka bahkan seorang wanita.
Agaknya mereka telah dilukakan dengan senjata tajam. Loolap bekerja sebaik-baiknya dan tak
lama kemudian sudah berhasil menghentikan darah yang mengucur keluar dari luka-luka itu.
Berkat obat untuk meringankan sakit, mereka sudah segera tidur nyenyak."
"Melihat hasil pekerjaanku, orang-orang itu rupa-rupanya menjadi gembira dan sikap mereka
jadi berubah, mereka memperlakukanku dengan lemah-lembut. Selain itu mereka memerintah
pelayan untuk menyediakan sebuah bale-bale darurat yang dibuat dengan daun pintu, agar
dengan demikian loolap dapat berada di situ dan dapat pula diminta pertolonganku setiap waktu."
"Ketika ayam berkokok, mendadak kembali loolap dikejutkan dari tidur nyenyak. Kali ini
terdengar derap kaki kuda yang ramai sekali, orang yang tadi menyambut loolap segera keluar
menyambut pendatang-pendatang baru itu. Aku pura-pura tidur terus, tetapi sesaat kemudian
terdengar mereka sudah bertindak masuk kembali. Aku mengintip dari belakang selimut. Agaknya,
yang disambut itu adalah dua orang yang kini berjalan di depan. Dua orang itu tentu
berkedudukan tinggi, karena para penyambut itu berlaku sangat hormat terhadap mereka. Hanya,
anehnya, dari dua orang itu, seorang berdandan sebagai pengemis tetapi pandangan matanya
sangat tajam, sedang kawannya adalah seorang yang berwajah sangat cakap dan usianya juga
belum seberapa."
"Kedua orang itu lantas saja mendekati bale-bale untuk memeriksa penderita-penderita itu.
Begitu melihat kedatangan mereka, semua penderita itu segera berbangkit dengan menahan sakit.
Terang sekali bahwa mereka sangat menghormati dua orang itu. Kudengar mereka menyebutkan
si pengemis dengan Hoan Pangcu dan si anak muda dengan Tian siangkong."
Po Si berhenti sebentar untuk menoleh kepada Tian Ceng Bun dan berkata, "Ketika itu, pertama
kali aku bertemu dengan ayahmu, nona belum dilahirkan. Ayahmu berotak cerdas dan sikapnya
tegas serta kecakapannya mengambil keputusan dengan cepat, benar-benar sangat
mengagumkan dan sampai hari ini masih kukagumi."
Teringat ayahnya, Ceng Bun jadi sangat sedih. Sementara itu Po Si sudah melanjutkan lagi
ceritanya. "Dari antara orang-orang yang tidak terluka, seorang segera menerangkan kepada dua
pendatang baru itu, bahwa seorang sahabat dari keluarga Thio telah mengikuti suami-isteri yang
mereka inginkan, sedari masih berada di luar Dinding Besar dan mereka sudah berani
memastikannya bahwa sebuah kotak besi " yang agaknya menjadi pusat perhatian " benarbenar
berada pada suami-isteri tersebut."
Mendengar kata-kata "kotak besi" itu, para pendengarnya lantas saja mengerti, bahwa yang
dimaksudkan, tentu bukan lain daripada kotak yang diperebutkan mereka juga.
"Aku melihat Hoan Pangcu menganggukkan kepalanya, orang yang memberikan keterangan itu
lalu melanjutkan keterangannya. Ia mengatakan, bahwa ia dan rombongannya sudah menantikan
suami-isteri itu di Tong Koan Tun dan di samping itu juga mengirim seorang untuk
memberitahukan hal itu kepada mereka dan Biauw Tayhiap. Selanjutnya ia menceritakan,
bagaimana orang yang diincar itu, sudah mencium bau lebih dahulu dan pada suatu saat, sudah
menegur para penguntitnya. Ia menanyakan, untuk apa orang-orang itu terus-menerus menguntit
ia dan isterinya dan apakah mereka itu orang-orang suruan Biauw Hoan Tian tiga keluarga
Agaknya si orang she Thio telah menjawab membenarkan, karena orang yang diincar itu sudah
segera berubah wajahnya, dan dengan sekali bertindak, sudah merampas golok si Thio toako itu.
Kemudian ia mematahkan golok itu dan membuangnya sebagai sampah. Segala itu telah terjadi
dalam berapa detik saja. Sebelum si Thio toako itu hilang kagetnya orang yang dikuntit itu sudah
membentak, Aku tidak mau mencelakakan banyak jiwa manusia, maka enyahlah dari sini!' Melihat
betapa lihaynya orang itu, kawan-kawan si Thio toako segera maju beramai-ramai sedang si orang
she Thio sendiri lalu coba menendang perut isteri orang itu, yang sedang mengandung. Karena
perbuatan si Thio yang sangat kelewatan, sang suami menjadi sangat gusar dan sambil
mendamperat ia merebut sebilah golok pula dari tangan salah seorang penguntitnya. Dalam
serintasan saja ia sudah melukakan tujuh orang. Jika tadinya ia mengatakan, bahwa ia tidak mau
mencelakakan orang, pada saat itu ia berlaku sangat ganas, saking gemasnya."
"Tian siangkong menanyakan apa lagi yang dikatakan musuh itu. Si juru bicara menerangkan,
bahwa musuh itu tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya dalam amarahnya ia sudah hendak
melukakan lebih banyak orang, tetapi isterinya telah mencegah dengan mengatakan, bahwa demi
keselamatan anaknya yang belum lahir, ia harus berlaku sedikit murah. Teriakan sang isteri telah
menolong sisa rombongan penguntit itu. Sang suami segera menghentikan pertempuran itu dan
mematahkan golok rampasannya."
"Mendengar cerita itu, Tian siangkong agaknya jadi ketarik. Ia berpaling kepada Hoan Pangcu,
seakan-akan hendak mengetahui pendapatnya, kemudian menanyakan pula, Benarkah ia
mematahkan golok itu dengan tangannya saja"' Jawab si juru bicara, 'Benar, ketika itu aku berada
di sampingnya dan aku telah melihat gerakannya dengan jelas sekali.' Karena jawaban yang
memastikan itu, agaknya Tian siangkong menjadi bimbang. Hoan Pangcu segera menghiburnya. Ia
mengatakan, bahwa Biauw Tayhiap tentu akan dapat menandinginya."
"Ketika itu, juru bicara tadi sudah berbicara pula. Menurut pendapatnya, dalam perjalanannya
ke Kanglam, musuh mereka itu tentu akan lewat di situ dan jika Tian siangkong dan Hoan Pangcu
berdua mencegatnya, musuh itu tentu tak akan terlolos. Tetapi kedua orang itu tidak menjawab.
Wajah mereka muram dan diliputi ketegangan, dengan suara tertekan mereka berunding sambil
bertindak keluar."
"Loolap menunggu sampai mereka sudah keluar, baru loolap pura-pura mendusin dan buruburu
menggantikan obat tujuh orang itu. Di dalam hati loolap terdapat pertanyaan, siapakah orang
yang disebut musuh itu. Agaknya dalam keganasannya ia berhati murah, karena, walaupun lukaluka
korbannya tidak enteng, tetapi tiada seorang yang terluka di tempat berbahaya."
"Besok harinya, di waktu senja, sedang seluruh rombongan itu menghadapi makan malam,
tiba-tiba datang seorang sambil berlari-lari dan berteriak, 'Sudah datang!' Seketika itu, wajah
segenap anggauta rombongan menjadi tegang. Mereka segera meletakkan sumpit masing-masing
dan berlari keluar sambil melolos senjata. Diam-diam loolap juga turut keluar untuk melihat
keramaian yang agaknya akan segera terjadi, meskipun hatiku berdebar-debar sangat keras. Rasa
ingin tahuku telah menekan perasaan takut."
"Tiba di luar, loolap melihat sebuah kereta besar tengah mendatangi dengan meninggalkan
segulung debu yang mengepul tinggi. Hoan pangcu dan Tian siangkong segera memimpin orangorang
mereka maju memapaki dengan senjata terhunus. Loolap juga mengikuti mereka dari
kejauhan."
"Setelah berhadapan dengan pencegatnya, kereta itu segera berhenti. Hoan Pangcu berseru,
'Orang she Ouw, keluarlah!' Dari dalam kereta itu terdengar jawaban seseorang, 'Kamu hendak
minta sedekah bukan" Baiklah, setiap pengemis kuberi satu bun!' Belum habis kumandang katakata
itu, ketika segera terlihat sekian banyak sinar kuning berkelebat disusul dengan terdengarnya
teriakan kesakitan ramai. Berturut-turut, dari antara pencegat-pencegat itu sudah roboh sekian
banyaknya. Juga Hoan Pangcu dan Tian siangkong yang berkepandaian sangat tinggi tidak
terluput dari timpukan musuh mereka itu. Pergelangan tangan mereka kena dihajar dan senjata
mereka, sebatang tongkat dan sebilah pedang, lantas saja jatuh di tanah."
"Tian siangkong segera mengajak Hoan Pangcu mundur. Tetapi Pangcu itu yang berkepandaian
sangat tinggi, tidak menghiraukan teriakannya. Ia mengangkat tongkat bajanya dan menghampiri
kawan-kawan yang telah dirobohkan lawan itu. Ia coba membuka kembali jalan darah mereka
yang tertutup karena timpukan yang sangat lihay itu. Loolap sendiri ketika itu juga sedikit-banyak
mengetahui hal 36 jalan darah pada tubuh manusia dan melihat gerakan Hoan Pangcu itu, loolap
yakin, bahwa Ketua partai pengemis itu akan dapat membebaskan kawan-kawannya dari totokan.
Sungguh di luar dugaan, bahwa segala daya-upaya itu tidak menghasilkan apa-apa. Walaupun ia
sudah memijat, mengurut dan menyentil dengan asjiknya, seorang jua tak dapat ditolongnya."
"Orang yang di dalam kereta itu agaknya melihat, bahwa Hoan Pangcu sudah kehabisan akal.
Gelak tertawanya menggema lagi disertai kata-katanya mengejek, 'Dasar pengemis, satu bun
masih tidak terima. Baiklah kutambahkan satu bun masing-masing lagi.' Kata-kata itu ditutup
dengan datangnya timpukan segenggam uang bun lagi. Dengan kecepatan yang luar biasa, sekian
banyak mata uang itu menyentuh jalan darah sekian banyak korbannya tadi, yang masih
menggeletak malang-melintang di tanah. 'Mati kau!' pikir loolap. Tetapi dugaanku itu meleset jauh.
Benar-benar luar biasa, begitu kesentuh, serentak mereka dapat berdiri lagi dan segera, tanpa
menengok, melarikan diri secepat mungkin."
"Karena tahu, bahwa fihaknya tak akan dapat menandingi musuh itu, Tian siangkong berseru
kepada orang itu, 'Orang she Ouw, hari ini kami menyerah kalah, tetapi, jika kau benar laki-laki,
janganlah kabur cepat-cepat!' Seruan itu tidak dijawab dengan kata-kata oleh musuhnya, hanya
dengan sebuah mata uang pula yang tepat sekali menghajar ujung pedangnya. Tenaga orang she
Ouw itu benar-benar luar biasa, dengan timpukan mata uang sekecil itu ia telah dapat
mementalkan pedang Tian siangkong yang lalu melayang pergi untuk kemudian menancap di
tanah. Ketika Tian siangkong mengangkat tangannya, loolap melihat, bahwa tangannya berdarah."
"Tian siangkong sendiri juga menginsyafi, bahwa lawan itu terlalu tangguh dan bersama
dengan Hoan Pangcu, ia melarikan diri menyusul kawan-kawannya yang sudah lari lebih dahulu
Mereka lari ke penginapan itu, kemudian mereka keluar lagi dengan menggendong kawan-kawan
yang terluka. Tanpa menoleh lagi mereka mengaburkan kuda masing-masing ke selatan."
"Tian siangkong memang pemurah, sebelum pergi ia telah menghadiahkan dua puluh tahil
perak kepadaku, dan wajahnya yang tampan meninggalkan kesan baik dalam pikiranku. Kupikir,
bahwa orang yang berada di dalam kereta itu tentu juga seorang jahat yang berhati kejam
bagaikan serigala. Bila tidak, mengapa seorang yang begitu baik seperti Tian siangkong bisa
bermusuh dengannya" Sementara itu, kereta tersebut sudah tiba di depan penginapan. Rasa ingin
tahu akhirnya mengalahkan rasa takutku. Ingin sekali aku mengetahui rupa orang jahat itu. Aku
berdiam di belakang meja pengurus hotel dan menantikan ia melangkah masuk."
"Tampak tirai kereta disingkap. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap-kokoh menampakkan
diri. Sungguh bengis lagi menakutkan wajah orang itu. Kulit mukanya hitam. Janggut dan kumis
tebal memenuhi mukanya, kaku, berdiri tegak-tegak. Rambutnya terurai kusutnya. Dalam
keseluruhannya, roman orang itu membangunkan bulu-roma."
'Ah, betapa terkejut hatiku pada saat itu. Dalam benak-pikiranku terkilas, 'Dari manakah
datangnya setan jahat ini"' Dalam ketakutanku, aku sudah hendak buru-buru lari pulang, tetapi,
sungguh aneh, tertatap matanya yang berpengaruh, aku tak dapat berkisar dari tempatku,
terpesona, termangu-mangu."
"Di dalam hatiku, aku sudah mencaci diriku, yang tak mau siang-siang pergi. Saat itu aku sudah
tak bisa menghindarinya lagi. Kakiku lemas, bagaikan terkena ilmu siluman. Sementara itu, si
orang berwajah menyeramkan bertanya, 'Saudara, adakah seorang tabib di sini"' Jawab pengurus
penginapan, 'Dialah tabib desa ini,' Tangannya menunjuk kepadaku."
"Dapatkah saudara-saudara mengerti, betapa gugup aku karenanya" Buru-buru aku


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggoyangkan tanganku. 'Bukan, bukan,' sangkalku terputus-putus, dan tubuhku menggigil.
Orang itu tertawa. 'Jangan takut, aku tak akan menelanmu,' katanya di antara tertawanya."
"Aku semakin ketakutan, dan coba menyangkal semakin keras, tetapi semua itu tidak
menghasilkan apa-apa. 'Jika aku mau, mudah saja bagiku untuk menelan kau hidup-hidup"
katanya dengan nada kurang senang."
"Tentu saja aku semakin ketakutan, tetapi ia hanya tertawa terbahak-bahak melihat sikapku.
Tahulah aku, bahwa kata-katanya tadi hanya diucapkan untuk bergurau. Dengan gusar aku
menggumam, 'Kurang-ajar, apakah kau mengira, bahwa aku dilahirkan untuk dijadikan bulanbulan
kelakarmu yang tidak menyenangkan"' Tetapi, tentu saja kujaga supaya ia tak mendengar
kata-kataku itu."
"Orang itu kini berpaling kepada pengurus penginapan. Ia minta disediakan kamar kelas satu
dan yang terbersih. Selain itu ia minta dicarikan dukun beranak, karena menurut katanya, isterinya
akan melahirkan. Kemudian ia mengatakan kepadaku, supaya aku tetap di situ, karena mungkin
sekali tenagaku akan dibutuhkan. Ia kuatir, jika isterinya telah terperanjat karena kejadian tadi,
sehingga mungkin akan sukar melahirkan."
'Aku mendapat kesan, bahwa pengurus penginapan sebenarnya berkeberatan, jika isteri orang
itu melahirkan di penginapannya, tetapi, agaknya sebagai juga aku, ia jeri melihat wajah orang itu
yang demikian bengis. Ia tak menolak, tetapi ia lekas-lekas memberitahukan, bahwa dukun
beranak di desa itu telah meninggal dunia berapa hari sebelumnya."
"Semakin menyeramkan wajah orang itu, demi mendengar keterangan si pengurus rumah
penginapan. Ia mengeluarkan sepotong uang perak. Diletakkannya uang itu di atas meja dan ia
menyuruh si pengurus penginapan mencarikannya dukun beranak di tempat lain, lebih cepat lebih
baik." 'Aku membelalakan mataku, dan berpikir keheran-heranan, mengapa dalam sehari itu aku bisa
berjumpa dengan demikian banyak orang-orang royal yang bagaikan menganggap uang tiada
harganya. Melihat uangnya, dalam hatiku aku sudah mengambil ketetapan akan menyediakan
tenagaku untuknya."
"Uangnya memang sangat membangkitkan selera. Juga pengurus serta para pelayan
penginapan segera melakukan segala perintahnya dengan suka hati. Sebentar saja, kamar yang
dipesannya sudah selesai disiapkan, dan laki-laki yang berwajah seperti setan jahat itu segera
menurunkan isterinya dari kereta tersebut. Seluruh tubuh wanita itu terbungkus rapat-rapat
dengan sehelai selimut kulit, tetapi wajahnya yang cantik tampak jelas, menyolok sekali di
samping wajah suaminya yang sangat menyeramkan, ibarat Thio Hui beristerikan Tiauw Sian."
"Besar sekali keherananku. Dalam hatiku aku berkata, bahwa wanita itu tentu telah dipaksa
kawin dengan laki-laki ini. Jika bukannya karena dipaksa, menurut anggapanku tak mungkin ia
mau menikah dengan suami yang begitu buruk tampangnya. Aku membandingkannya dengan
Tian siangkong, dan kesimpulanku adalah, bahwa wanita itu lebih sesuai menjadi isteri orang she
Tian itu."
"Tiba-tiba terkilas dalam pikiranku, bahwa wanita itu tentu yang menjadi sebab permusuhan
antara Tian siangkong dengan orang menakutkan ini. Mungkin sekali si pria buruk telah
merebutnya dari tangan Tian siangkong, mungkin sekali wanita itu asalnya memang isteri Tian
siangkong."
"Tengah hari lewat sedikit, kulit wanita itu berkeringat karena menahan sakit, dan mulutnya
tiada hentinya merintih. Pelayan yang disuruh mencari dukun beranak belum juga kembali. Si
setan jahat tampak semakin gelisah. Ia menjadi sibuk sendiri. Ia sudah hendak pergi mencari
dukun sendiri, tetapi isterinya tak mau ditinggalkannya seorang diri."
"Lama sekali mereka menunggu, tetapi pelayan yang pergi mencari dukun itu tak juga muncul.
Penderitaan wanita itu sudah semakin hebat. Agaknya, bayinya sudah tak bisa bersabar lagi. Maka
si setan jahat tampak semakin menyeramkan dalam puncak kerisauannya, ia segera menyuruh
aku yang menolong isterinya melahirkan. Saudara-saudara, coba kalian pikir, pantaskah
permintaannya itu" Pantaskah aku melakukan, pekerjaan dukun beranak" Oleh sebab itu, tentu
saja aku menolak keras-keras, karena aku yakin, bahwa aku akan bernasib malang sepanjang sisa
hidupku, jika pekerjaan itu kulakukan juga."
"Si setan tak mau menerima penolakanku. Ia segera mengeluarkan dua ratus tahil perak dari
sakunya dan menjanjikannya sebagai hadiahku, jika aku mau menurut perintahnya. Selain
memancing diriku dengan uang, ia juga memperlihatkan nasib apa yang akan kualami, jika aku
tetap menolak. Perlahan-lahan ia. menepuk sudut meja, yang seketika itu juga sudah somplak
sebagian. Dua contoh itu tentu saja hanya dapat memberikan ilham semacam kepadaku, yakni
menurut perintahnya. Bagiku sudah tak ada jalan tengah, aku harus kehilangan jiwa serta uang
sebanyak itu, atau aku bisa hidup terus dengan memiliki harta sebanyak belum pernah kupegang
selama hidupku. Saudara-saudara tentu juga mengerti, bahwa aku segera mengambil keputusan,
betapa pun takutku akan menjadi sial untuk selama-lamanya."
"Demikianlah, aku telah melakukan pekerjaan dukun beranak dan menolong nyonya itu
melahirkan seorang bayi yang montok-sehat. Walaupun baru dilahirkan, tangis bayi itu sangat
nyaringnya. Seluruh wajahnya berbulu, dan matanya juga membelalak lebar-lebar. Romannya
benar-benar mirip dengan roman ayahnya, sehingga aku berkeyakinan, bahwa setelah dewasa
anak itu tentu juga akan sejahat ayahnya."
"Sedang aku memikirkan segala itu, si setan jahat tampak kegirangan. Dengan wajah berseriseri
diberikannya kepadaku dua ratus tahil perak bagaikan uang itu tidak ada harganya. Juga
isterinya memberikan hadiah kepadaku, serenceng uang emas yang harganya tak di bawah harga
pemberian suaminya. Agaknya, mereka benar-benar merasa berbahagia, bahwa mereka telah
memperoleh seorang putera yang sehat. Si setan bahkan segera melangkah keluar dengan
membawa penampan yang berisikan uang perak untuk membagi-bagikan hadiah kepada semua
pegawai penginapan."
"Bagaikan semua itu dirasakannya belum cukup untuk merayakan kelahiran puteranya, si setan
jahat kemudian mengajak semua orang makan-minum sepuasnya. Tanpa memilih bulu, semua
orang yang kebetulan berada di situ, diajaknya serta dalam pesta itu, kuasa penginapan, orang
yang kebetulan lewat dan semua kacung dan tukang sapu diundangnya hadir."
"Semua orang menjadi girang sekali, tak ada yang tidak menghormatinya sekarang. Setelah
mengetahui, bahwa ia she Ouw, semua orang memanggilnya 'Ouw toaya' (tuan besar Ouw.)
Tetapi ia segera berkata, 'Benar aku she Ouw, dan sepanjang masa hidupku, jika aku menemukan
suatu kejadian tak adil, aku segera turun tangan membereskan ketidakadilan itu dengan bacokan
golokku. Setiap kali, satu bacokan sudah cukup, maka orang menyebutkan aku dengan 'It To'
(Sekali Tabas). Aku juga asalnya orang miskin. Uang yang kumiliki sekarang juga kudapatkan
dengan jalan mengambil alih sebagian dari kekayaan kaum kaya yang jahat. Sebagai perampok
aku tentu tak pantas disebut toaya, maka sebutlah saja 'Ouw toako'. Sebagai telah kuceritakan,
sedari saat pertama aku sudah yakin, bahwa ia bukannya seorang baik-baik. Dengan perkataannya
sudah terbuktilah sangkaku itu."
"Meskipun ia sendiri yang telah memintanya, tak seorang berani menyebutnya dengan Ouw
toako. Baru setelah ia mendesak berulang-ulang, dan setelah keberanian para hadirin dibangkitkan
oleh berapa cawan arak, semua menyebutnya dengan Ouw toako, sesuai dengan pintanya
Semakin lama semakin riang suasana pesta itu."
"Malam itu aku tak diijinkan pulang, dan harus menemaninya minum arak terus. Yang lain,
semua sudah rebah, hanya aku yang masih bisa melayaninya minum semangkok demi semangkok.
Sungguh menakjubkan kekuatannya minum arak. Semakin lama, ia bahkan semakin gembira,
sehingga akhirnya ia membawa puteranya yang baru dilahirkan itu keluar."
"Ia kembali ke tempat duduknya dan mencelupkan pada bibir bayi itu. Aku membelalakkan
mataku, karena bayi itu segera menghisap jari ayahnya dengan nikmat sekali. Sungguh
mengherankan, bahwa bayi yang baru berusia sehari sudah suka minum arak. Si setan jahat
sebaliknya tambah semakin gembira dan segera mengulangi perbuatannya, sedang si bayi juga
semakin asjik menghisap setiap kali jari ayahnya tiba di bibirnya. Benar-benar anak setan arak
yang kelak akan menjadi setan arak juga."
"Tiba-tiba dari arah selatan terdengar derap kaki kuda yang riuh. Agaknya, tak kurang dari duatiga
puluh penunggang kuda yang datang ke arah mereka. Tak lama pula, tindakan-tindakan kuda
itu berhenti di muka penginapan tersebut. Segera juga pintu penginapan sudah digedor keraskeras.
Kuasa penginapan sudah mulai agak sadar kembali. Ia lekas-lekas berbangkit dan berjalan
terhuyung-huyung membukakan pintu."
"Berapa puluh laki-laki bersenjata lengkap serentak muncul di ambang pintu. Mereka tak segera
masuk dan berdiam diri saja. Salah seorang di antara mereka kemudian melangkah masuk dan
duduk di sebuah meja di dekat pintu. Sebuah bungkusan kuning diturunkan dari punggungnya ke
atas meja Bungkusan itu bertuliskan tujuh buah huruf yang terbaca, 'Ta Pian Thian Hee Bu Tek
Ciu'." Demi mendengar Po Si menyebutkan bungkusan pendatang baru dalam ceritanya itu, semua
pendengarnya serentak mengalihkan pandangan mata masing-masing ke arah papan yang
digantungkan dalam ruang itu. Tetapi segera juga Po Si sudah melanjutkan ceritanya.
"Kesukaan Biauw Tayhiap memakai gelar temberang itu, sekarang kuanggap sebagai kebiasaan
memandang rendah kepada orang lain, tetapi malam itu aku terkejut bukan main. Aku
memperhatikannya dengan seksama. Tubuhnya tinggi kurus, kulit mukanya kuning-pucat, mirip
dengan warna kulit seorang yang berpenyakitan. Sepasang tangannya lebar tetapi kurus, ibarat
sepasang kipas rusak yang tinggal tulang-tulangnya saja. Ketika itu, aku belum tahu siapa
namanya, tetapi gelarnya yang dituliskan pada bungkusannya sudah cukup mengecutkan."
"Jika aku terperanjat dan memperhatikan kejadian itu, Ouw It To tampak sebagai juga tidak
mendengar, tidak melihat dan tidak menghiraukan kedatangan sekian banyak orang itu. Di fihak
lain, juga Biauw Tayhiap tak mengucapkan sepatah kata, tetapi semua pengikutnya
memperlihatkan pandangan penuh amarah kepada Ouw It To, yang masih terus memberikan arak
kepada puteranya dengan asyiknya Setiap kali bayi itu sudah mengeringkan arak yang melekat
pada jarinya, ia sendiri minum secawan. Tanpa memperhatikan, orang tak akan tahu, bahwa
suasana dalam ruangan itu sudah tegang sekali, tetapi aku telah melihat segala apa, dan hatiku
berdebar-debar dengan kerasnya. Kesunyian itu menambah ketegangan. Setiap saat salah
seorang bisa mulai menyerang dan jika sudah demikian, pertempuran tentu sudah tak dapat
dilakkan lagi."
"Demikianlah sekian lama kedua orang itu hanya duduk diam di tempat masing-masing.
Semakin lama kesunyian itu semakin menekan perasaan orang, dan sudah berulang kali, dalam
khayalku, aku membayangkan, bagaimana salah seorang meloncat ke arah lawannya bagaikan
seekor harimau menerkam mangsanya. Tiba-tiba kesunyian itu dipecalikan panggilan wanita itu
dari dalam. Bayi itu seketika memperdengarkan tangisnya yang nyaring."
"Seketika mendengar dua suara itu, tangan Ouw It To tampak bergetar mangkuk arak di
tangannya jatuh, pecah berentakan di lantai. Wajahnya juga berubah. la segera berbangkit
dengan memeluk bayinya. Biauw Tayhiap tertawa mengejek dan segera melangkah keluar tanpa
mengucapkan sepatah kata. Orang-orangnya juga turut meninggalkan ruangan itu. Sesaat
terdengar derap kaki kuda mereka yang riuh, dan kemudian semua sunyi kembali."
"Semula kuduga, bahwa suatu pertempuran sengit tentu sudah tak akan dapat dihindarkan lagi,
tetapi ternyata hanya karena tangis bayi itu, mereka jadi berpisah dengan begitu saja. Juga semua
orang benar-benar tidak mengerti."
"Sementara itu, Ouw It To telah masuk ke dalam kamar dengan puteranya. Kudendar isterinya
menanyakan siapa yang baru berbicara dengannya. Ouw It To mengatakan, bahwa mereka hanya
berapa penjahat kecil saja, yang sedikit pun tak usah ditakuti, dan ia menganjurkan supaya
isterinya tidur saja dengan tenang. Sang isteri menghela napas dan berkata, bahwa ia sudah tahu,
jika yang datang itu adalah Biauw Tayhiap. Kudengar pula, bagaimana Ouw It To coba
membantah, dan bagaimana kemudian isterinya mengutarakan pendapatnya, bahwa jika bukan
'Kim Bian Hud' yang datang, sungguh mustahil, bahwa suara Ouw It To akan bergetar dan
wajahnya tampak kuatir."
"Ouw It To agaknya tak dapat menjawab atau menyangkal lebih jauh. Katanya kemudian
sambil menghela napas, bahwa jika isterinya itu sudah tahu, tak dapat ia mengatakan suatu apa
lagi dan selanjutnya ia berkata, bahwa ia juga tak takut kepada jago yang tiada tandingannya itu.
Isterinya ternyata juga sangat berani, dan menganjurkan sang suami supaya menetapkan hatinya,
karena, bila saja"karena mengingat isteri dan anaknya " Ouw It To menjadi ragu-ragu,
kedudukannya akan tidak menguntungkan jika kelak berhadapan dengan Biauw Jin Hong, bahkan
mungkin sekali ia akan kalah."
"Kudengar Ouw It To menghela napas lagi dan berkata, bahwa selamanya ia tak pernah takut
kepada siapa juga, tetapi sungguh mengecewakan, bahwa malam itu ia menjadi agak jeri juga,
entah karena apa. Ia mengakui pula, bahwa tadi, ketika 'Kim Bian Hud' meletakkan bungkusannya
di atas meja dan melirik ke arah puteranya, ia jadi ketakutan dan sekujur badannya menjadi basah
berkeringat. Ia membenarkan pendapat isterinya, bahwa ia memang telah menjadi takut kepada
'Kim Bian Hud'."
"Isterinya coba menghiburnya dengan mengatakan, bahwa ketakutan Ouw It To itu bukannya
ketakutan wajar, tetapi karena kuatir, jika puteranya akan dicelakakan lawannya. Terdengar jawab
Ouw It To dengan suara ragu-ragu, bahwa ia tidak percaya, jika 'Kim Bian Hud' " yang tersohor
sebagai pendekar " akan berlaku demikian keji, mencelakakan seorang wanita atau anak orok.
Dari nada suaranya dapat diketahui, bahwa ia kurang yakin akan dapat menandingi lawannya.
Tiba-tiba di dalam hatiku timbul rasa kasihan. Beda dengan rupa wajahnya, ternyata hati Ouw It
To agak lemah."
"Dalam pada itu, isterinya menganjurkan supaya Ouw It To membawa lari putera mereka itu ke
utara, sedang dia sendiri kelak, bila sudah kuat, akan menyusul. Nada suaranya mengesankan
kasih sayangnya yang besar sekali. Ouw It To tentu saja tak mau menyetujui saran isterinya. Ia
berkata, bahwa daripada harus meninggalkan isterinya menghadapi bahaya seorang diri saja, lebih
baik mereka sama-sama berdiam di situ, dan jika harus mati, mati juga bersama."
"Isterinya menyesal sekali, bahwa tadinya ia telah merintangi maksud sang suami untuk pergi
ke Kanglam, menantang 'Kim Bian Hud'. Jika tahu, akan terjadi demikian, lebih baik ia
membiarkannya mencari 'Kim Bian Hud' ketika itu, ketika ia masih bebas."
"Menurut Ouw It To, hari itu juga ia belum tentu kalah, hanya suaranya kurang meyakinkan.
Agaknya, di dalam hatinya ia sendiri kurang percaya kepada perkataannya. Walaupun teraling
dinding yang agak tebal, kudengar jelas-jelas, bahwa suaranya tergetar."
"Tiba-tiba kudengar isterinya minta Ouw It To berjanji sesuatu kepadanya, dan ketika sang
suami menanyakan apa yang harus dijanjinya, ia segera membentangkan maksud-nya, supaya
menerangkan kedudukannya di waktu itu kepada 'Kim Bian Hud' secara terus-terang dan minta ia
itu berlaku murah"
"Ouw It To mengatakan, bahwa ia juga sudah berpikir begitu ketika melihat 'Kim Bian Hud' tadi,
tetapi ia merasa, bahwa jika ia sendiri yang berbicara, agaknya sukar sekali berhasil, maka ia
menyarankan untuk mengutus seorang lain saja. Sang isteri menyarankan aku, si tabib, yang
dikatakannya cukup pintar dan menurut pendapatnya tentu bisa disuruh melakukan tugas itu."
"Ouw It To kurang setuju, karena menurut pendapatnya, aku terlalu tamak, sehingga tak bisa
dipercaya. Menurut isterinya, justeru karena sifat itu, jika dijanjikan hadiah yang besar, aku tentu
akan berusaha melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Sungguh tepat kata mereka. Ketika itu, aku
memang sangat tamak. Untuk memperoleh hadiah besar, tentu saja aku bersedia melakukan apa
saja. Memang demikian sifatku di masa muda."
"Demikian kemudian terjadinya. Setelah mereka berunding lagi sebentar, keluarlah Ouw It To
untuk memanggil aku. Ia menyuruh aku besoknya pagi-pagi datang untuk menyampaikan sepucuk
surat kepada Biauw Tayhiap. Tanpa sangsi aku segera memberikan kesanggupan untuk
melakukan tugas, yang menurut pendapatku, sama-sekali tak ada kesukarannya."
"Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, tibalah seorang pembawa surat Biauw Tayhiap untuk Ouw
It To. Kudengar nyonya Ouw membacakan isinya, yakni tantangan untuk bertempur dan Biauw
Tayhiap menyilakan Ouw It To memilih saatnya. Ouw It To segera menulis balasannya dan
menyuruh aku turut pada pembawa surat Biauw Tayhiap untuk menyampaikannya."
"Aku meminjam seekor kuda dan segera mengikuti pembawa surat itu. Tiga puluh li lebih kami
berjalan ke arah selatan. Di sebuah rumah besar aku berjumpa dengan Biauw Tayhiap. Juga Hoan
Pangcu dan Tian siangkong berada di situ. Di samping mereka, kulihat banyak orang, lakiperempuan,
toosu, hweeshio, nikouw dan lain-lain lagi."
"Setelah surat itu dibaca, berkatalah Tian siangkong, bahwa mereka tak usah menantikan Ouw
It To memilih hari lagi, dan sebaiknya mereka semua berangkat besoknya. Kepadaku ia berpesan,
supaya Ouw It To siang-siang menyediakan tiga buah peti mati. Katanya, agar mereka tak usah
berabe lagi nantinya."
"Semua pengalamanku itu kusampaikan kepada Ouw It To suami-isteri. Tadinya kusangka,
bahwa mereka tentu akan mencaci lawan-lawan itu sebagai orang-orang yang tak
berprikemanusiaan. Ternyata tak demikian jadinya, mereka hanya saling memandang tanpa
mengucapkan sepatah kata. Kemudian, keduanya hanya memperhatikan anak mereka dengan
cinta yang berlimpa-limpa, mungkin karena sudah yakin, bahwa ajal mereka sudah di depan mata,
dan dalam berapa waktu sisa hidup mereka itu, mereka hendak memberikan semua yang dapat
diberikan."
"Sepanjang malam itu aku tak dapat tidur tenang. Rupa-rupa mimpi buruk selalu datang
mengganggu. Sebentar aku bermimpi, bagaimana Ouw It To membunuh Biauw Tayhiap. Sesaat
pula, dalam mimpiku aku melihat, bagaimana Biauw Tayhiap membunuh orang she Ouw itu, atau
tiba-tiba aku bermimpi, bahwa mereka berbalik hendak membunuhku. Lewat tengah malam,
mungkin juga sudah menjelang pagi, tiba-tiba aku terjaga. Aku mendengar tangis seseorang dari
balik dinding. Setelah kuperhatikan, aku mendapat kenyataan, bahwa yang kudengar itu adalah
tangis Ouw It To. Sungguh tak kuduga, bahwa seorang yang berwajah begitu menyeramkan, lagi
gagah perkasa juga bisa menangis, bahkan menangis begitu memilukan."
'Aku menganggap, bahwa ia takut mati, dan seketika itu pandanganku terhadapnya merosot.
Kuanggap ia tak punya guna. Tetapi sesaat kemudian tahulah aku, bahwa ia menangisi nasib
anaknya, yang dikatakannya sungguh malang, bahwa sekecil itu, ia sudah akan kehilangan
ayahnya. Di antara tangisnya, aku mendengar ia berkata, 'Siapakah yang akan menyayangmu
kelak"' Meskipun tadinya aku telah memakinya sebagai pengecut, lama-lama aku merasa kasihan
juga, bahkan akhirnya aku mengagumi cintanya kepada anaknya. Sungguh tak kusangka, bahwa
seorang kasar sebagainya bisa menyinta begitu mesra."
"Terdengar isterinya menghiburnya, bahwa jika Ouw It To tewas di bawah senjata Biauw
Tayhiap, ia yakin, bahwa ia sendiri tidak akan turut tewas, sehingga anak mereka tak akan
terlantar. Sungguh besar makna kata-kata isterinya itu. Ouw It To menjadi girang dan
semangatnya bangkit kembali. Suaranya sudah tidak bergetar lagi, ketika ia berkata, bahwa
hatinya menjadi lega, karena ia tak usah kuatir, jika anaknya akan tanpa pelindung. Dengan nada
tetap, dikatakannya, bahwa ia akan bisa bertempur dengan hati tenang, bahkan dengan gembira,
mengingat bahwa lawan yang harus dihadapinya adalah seorang jago yang tiada tandingannya di
dunia." "Saat itu aku sudah heran, tetapi lebih heran pula aku ketika kemudian aku mendengar ia
tertawa terbahak-bahak, dan berkata, 'Moay Cu, mati tak sukar, bahkan membebaskan seseorang
dari segala kesulitan. Tetapi kau yang akan hidup terus, tentu akan menemukan tak sedikit
kesukaran dan kesengsaraan. Sebenarnya, aku tak tega meninggalkan kau seorang diri.' Njonya
Ouw menjawab, bahwa dengan mengasuh anak mereka, ia tentu akan terhibur. Ia berjanji untuk
mendidik anak itu supaya menjadi seorang pahlawan, seorang pahlawan sebagai juga bapaknya,
yang selalu berusaha untuk membebaskan rakyat dari tindakan segala pembesar korup, hartawan
jahat dan para buaya darat."


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku semakin heran mendengar percakapan mereka itu. Kudengar Ouw It To bertanya, apakah
isterinya tak menyesalkan semua perbuatannya selama itu. Isterinya bukan hanya tidak menyesal,
bahkan membenarkan semua perbuatan itu. Agaknya Ouw It To semakin gembira, dan ia
berpesan, supaya, bila kelak ia jadi tewas, kotak besi pusaka yang dimilikinya, diberikan kepada
puteranya pada ulang-tahun keenam belasnya."
'Aku ketarik sekali kepada kotak besi pusaka itu. Diam-diam aku mengintip dari cela pintu.
Ketika itu, nyonya Ouw sudah bisa bangun dan sedang mendukung anaknya. Ouw It To sendiri
tengah memegang sebuah kotak besi, kotak besi yang kalian lihat di sini sekarang, yang berisikan
golok kebesaran Cwan Ong."
"Tentu saja, ketika itu aku juga belum tahu apa yang terdapat di dalamnya. Besar sekali
minatku untuk melihat isinya, tetapi Ouw
It To menyimpan lagi kotak itu tanpa membukanya sebentar saja. Setelah itu Ouw It To
merebahkan diri dan segera tidur lelap sekali. Suara mendengkurnya memenuhkan kamarnya,
bahkan terdengar di seluruh penginapan itu."
'Aku juga kembali ke tempat tidurku, tetapi sia-sia saja aku memejamkan mataku. Aku tak bisa
pulas. Suaranya mendengkur terus mengganggu telingaku. Aku jadi berpikir, memikirkan mereka.
Sudah cukup mengherankan, bahwa seorang cantik seperti nyonya Ouw rela kawin dengan
seorang yang berwajah demikian buruk. Lebih mengherankan pula adalah, bahwa agaknya, ia
telah menikah dengan pilihannya sendiri. Jika ditilik dari cintanya kepada suaminya, tak mungkin ia
menikah bukan atas maunya sendiri."
"Pada hari ketiga, sebelum terang tanah, nyonya Ouw sudah keluar dari kamarnya dan
menyuruh pelayan berbelanja, membeli daging babi, daging kambing, ayam, itik dan rupa-rupa
sayur-mayur, sedang ia sendiri kemudian mengolah semua itu. Aku menjadi agak heran, tak dapat
kuterka guna apa ia menyediakan sekian banyak makanan yang istimewa. Aku coba
menasihatkannya, supaya ia tidak terlalu berat bekerja, mengingat, bahwa ia baru saja
melahirkan,"
'Atas segala nasihatku, ia hanya tertawa saja. Setelah mendusin dan keluar dari kamarnya, Ouw
It To sendiri juga coba mencegahnya bercapai-lelah terlalu banyak, tetapi juga ia tak berhasil.
Kata Ouw It To kemudian, sambil tertawa, bahwa ia akan merasa berbahagia, bila merasakan
masakan isterinya sekali lagi sebelum menutup mata."
'Aku baru mengerti, bahwa nyonya Ouw hendak mengadakan pesta selamat berpisah untuk
suaminya, dan ia tak mau membiarkan orang lain yang menyiapkan hidangannya."
"Menjelang tengah hari nyonya itu baru selesai, karena ia telah membuat hampir empat puluh
macam hidangan. Ouw It To kemudian menyuruh pelayan membawakan berapa puluh kati arak.
Dengan dilayani isterinya, kemudian Ouw It To duduk makan seorang diri. Kedua-duanya tampak
berseri-seri, bagaikan tak merasa kuatir atau tegang sedikit jua. Aku membuka mataku lebarTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lebar, sungguh mentakjubkan kekuatan perut orang she Ouw itu. Segera juga ia sudah
menghabiskan tak sedikit hidangan itu dan berapa puluh mangkuk arak."
"Sebelum ia selesai, dari jauh terdengarlah derap kaki kuda yang kian mendekat. Sekali ini,
Ouw It To bahkan tertawa mendengar kedatangan musuhnya. Ia hanya berpesan, supaya
isterinya kelak menyampaikan kepada puteranya, bahwa ia mengharapkan, agar dalam segala
tindakannya, putera itu dapat berlaku lebih keras dan bisa pula turun-tangan secara lebih kejam
dari ia sendiri."
"Njonya Ouw memberikan janjinya Kemudian ia bersenyum dan berkata, bahwa ia juga sangat
berminat melihat macam jago yang tak ada tandingannya itu, Biauw Tayhiap."
"Ia tak usah menunggu terlalu lama, karena sebentar pula Biauw Tayhiap sudah muncul
dengan diapit Hoan Pangcu dan Tian siangkong dan diikuti berpuluh penunggang kuda. Tanpa
menoleh, Ouw It To menyilakan mereka makan bersama Undangannya disambut tanpa ragu-ragu
oleh Biauw Tayhiap, yang tanpa sungkan-sungkan lantas duduk berhadapan dengannya dan
segera mengangkat semangkuk arak. Agaknya, Tian siangkong terperanjat melihat perbuatan
Biauw Tayhiap itu."
"Dengan gugup ia coba mencegah. Dikatakannya, bahwa mereka (Ouw It To suami-isteri)
mungkin telah mencampurkan racun ke dalam semua hidangan dan arak itu. Biauw Tayhiap tak
menghiraukan nasihatnya, dan berkata bahwa Ouw It To, menurut pendapatnya, tak mungkin
berbuat demikian rendah. Segera juga ia sudah makan-minum dengan lahapnya, sebagai juga
tuan rumahnya, hanya caranya lebih halus."
"Njonya Ouw telah memperhatikan Biauw Tayhiap dengan seksama. Tiba-tiba ia berkata,
'toako, memang selain Biauw Tayhiap, tak ada lagi yang bisa menandingi kau, dan begitu pun
sebaliknya. Kepercayaan, keteguhan hati dan keberanian yang barusan kalian perlihatkan benarbenar
tak dapat ditiru orang lain.' Tertawalah Ouw It To sebagai sambutan atas pujian isterinya,
dan ia juga membalasnya dengan pujian, bahwa di antara semua wanita, nyonya Ouw tiada
tandingannya."
"Kemudian, nyonya Ouw berpaling kepada Biauw Tayhiap dan mengatakan, bahwa ia akan
puas bila suaminya kelak tewas di bawah senjata Biauw Tayhiap. Menurut pendapatnya, mati
terbunuh Biauw Tayhiap bukannya kematian yang mengecewakan. Ia juga mengharapkan, agar
Biauw Tayhiap juga akan berperasaan demikian. Pada akhirnya kata-katanya, ia mengajak Biauw
Tayhiap sama-sama mengeringkan secawan arak."
"Agaknya, Biauw Tayhiap bukannya seorang yang suka membuang banyak kata-kata. Dengan
singkat ia menjawab, 'BAIK,' dan segera juga sudah akan mengeringkan arak yang disuguhkan
kepadanya oleh nyonya itu. Kali ini Hoan Pangculah yang buru-buru menyelak, mencegahnya
meminum arak itu dengan berkata, bahwa ia sebaiknya berhati-hati, karena biasanya, wanitalah
yang paling kejam."
"Wajah Biauw Tayhiap agak berubah, jelaslah, bahwa ia kurang senang akan cegahan
kawannya. Tanpa mengatakan suatu apa, ia segera menghabiskan arak itu."
"Kemudian nyonya itu berbangkit, dan sambil menimang anaknya ia berkata lagi, 'Biauw
Tayhiap adakah urusan yang masih belum terselesaikan olehmu" Bila ada, agaknya, bila kau kelak
tewas katakanlah kepadaku, karena di bawah golok suamiku, kawan-kawanmu itu belum tentu
mau menguruskannya.' Selama berapa saat, Biauw Tayhiap tampak bimbang, tetapi akhirnya ia
bercerita, bahwa empat tahun sebelumnya, untuk mengurus suatu keperluan ia telah pergi ke
Leng Lam. Sedang ia tak berada di rumah, datanglah seorang yang mengaku bernama Siang Kiam
Beng dari Bu Teng Koan di Shoatang."
"Agaknya si nyonya mengenal orang itu, dan menanyakan, apakah orang itu bukan tokoh
utama dari Pat Kwa Bun yang terkenal lihay dengan Pat Kwa To-nya. 'Kim Bian Hud' mengiakan,
dan segera melanjutkan ceritanya. Katanya, karena mendengar gelarnya 'Menjelayah Kemanamana
Tidak Ada Tandingannya' orang itu datang untuk coba-coba bertanding dengannya. Agaknya
ia tak puas, karena tidak dapat berjumpa dengan Biauw Tayhiap. Orang iiu berlaku kasar dan
kemudian bercekcok dengan saudara Biauw Tayhiap. Dalam pertempuran vang kemudian terjadi,
orang itu lelah menggunakan suatu tipu, dan berhasil membunuh kedua saudara Biauw Tayhiap.
Tak puas dengan itu saja, ia juga membunuh adik perempuan Biauw Tayhiap sekalian."
"Biauw Tayhiap menghela napas. Ia mengatakan, bahwa" meskipun kepandaian kedua
adiknya itu belum sempurna " tetapi kepandaian mereka sudah tak dapat dikatakan lemah.
Bahwa Siang Kiam Beng dapat membunuh kedua-duanya sekaligus, menandakan betapa hebat
kepandaiannya. Lagi pula, karena adanya permusuhan turun-menurun antara keluarga Biauw dan
keluarga Ouw, selama empat tahun itu, Biauw Tayhiap tak sempat mencari musuhnya untuk
menuntut balas."
"Setelah ia berhenti bercerita, Ouw Hujin menghiburnya dengan kata bahwa Biauw Tayhiap tak
usah kuatir. Bila sampai kejadian Biauw Tayhiap tak dapat melaksanakan sendiri pembalasan sakit
hati tersebut, ia dan suaminya tentu tak akan tinggal diam saja. Pada wajah Biauw Tayhiap
terbayang rasa terima kasihnya, tetapi bersama dengan itu ia segera berbangkit dan sambil
menghunus pedangnya ia menantang Ouw It To bertanding seketika itu juga."
"Ouw It To tak menghiraukan tantangannya. Dengan tenang dan dengan sama lahapnya pula,
ia terus makan dan minum tanpa menjawab. Kata Ouw Hujin, 'Biauw Tayhiap, meskipun
kepandaian suamiku sangat tinggi, tetapi belum tentu ia bisa menang.' 'Kim Bian Hud' sadar. 'Ah,
aku lupa,' katanya, dan ia segera menanyakan pesan Ouw It To, yang kelak mungkin harus
diwakilkannya melaksanakan."
"Ouw It To segera berbangkit dan berkata, 'Bila aku sampai terbunuh olehmu, kelak anakku
tentu akan menuntut balas. Tetapi, pintaku hanya supaya kau merawatnya baik-baik' Di dalam
hatiku aku sudah membayangkan jawab 'Kim Bian Hud'. Aku yakin, bahwa ia tentu akan menolak,
karena siapakah yang sudi merawat seorang anak yang kelak akan merupakan bahaya bagi dirinya
sendiri. Maka betapa terperanjat aku, dapatlah kalian membayangkannya sendiri, ketika
mendengar jawab Biauw Tayhiap dengan nada meyakinkan, 'Baik, bila kau yang tak beruntung,
anakmu akan kurawat sebagai juga anakku sendiri.' Dengan mataku dibuka lebar-lebar aku
memandang dua orang itu."
"Sesungguhnya aku tak mengerti, mengapa dua orang itu, yang sebentar lagi sudah akan
bertempur mati-matian, tanpa berhenti sebelum salah seorang jatuh sebagai kurban, dapat
bercakap-cakap dengan asyik bagaikan dua sahabat karib yang saling mengagumi. Kulihat, bahwa
Hoan Pangcu dan Tian siangkong agak kecewa melihat kelakuan Biauw Tayhiap. Mungkin mereka
sedang kuatir, jika pertempuran itu tak jadi berlangsung, sedang pada saat itu mereka hanya
masih bisa mengandalkan tenaga 'Kim Bian Hud' seorang."
"Kembali terjadi hal tiba-tiba yang tak terduga. Ouw It To berbangkit, dan selagi orang-orang
coba menerka apa yang dikehendakinya, ia mencabut goloknya dan menyilakan Biauw Tayhiap
segera mulai. Biauw Tayhiap memberi hormat dengan pedangnya, sesuai dengan peraturan adat,
tetapi Tian siangkong justeru menjadi tak sabar karenanya dan menyerukan, supaya 'Kim Bian
Hud' tak segan-segan pula."
"Beda jauh dengan harapannya tentu, ternyata Biauw Tayhiap bukan saja tak menghiraukan
seruannya, bahkan sebaliknya membentak supaya ia dan yang lain-lain segera keluar. Sungguh
kasar 'Kim Bian Hud' memperlakukan kawannya sendiri. Wajah Tian siangkong menjadi merah
seluruhnya, entah karena malu, entah karena marah. Tetapi nada suara Biauw Tayhiap yang
agaknya tak suka dibantah, membuatnya melangkah keluar bagaikan anjing terpukul, diikuti Hoan
Pangcu dan yang lain."
"Ketika itu dua harimau itu sudah saling berhadapan, hanya pertempuran belum juga dimulai,
karena keduanya sedang saling mengalah dan saling menyilakan menyerang lebih dulu. Akhirnya
Ouw It To menurut. Ia melangkah maju dan membuka serangan dengan suatu bacokan dari atas,
menuju ke kepala 'Kim Bian Hud'."
"Itulah permulaan dari pertempuran, yang " berani kupastikan " tentu belum pernah ada
taranya. Dengan menyenderungkan tubuhnya sedikit, Biauw Tayhiap sudah dapat menghindari
serangan itu."
"Dengan suatu gerakan yang indah, Biauw Tayhiap menggerakkan pedangnya ke lambung
kanan lawannya. Ouw It To menangkis sambil memperingatkan, bahwa goloknya adalah golok
mustika. 'Kim Bian Hud' mengaturkan terima kasihnya sambil membebaskan pedangnya dari
benturan golok lawan. Sebelum dan sesudah itu berpuluh, bahkan beratus kali, aku sudah
melihat orang pibu, tetapi tak pernah aku melihat pertempuran sedahsyat itu, apalagi yang sabansaban
saling memperingatkan selaku mereka. Sebelum pertandingan itu berlangsung lama, kedua
tanganku sudah terasa dingin dan hatiku berdebar keras-keras."
"Pada suatu saat terdengar bunyi senjata beradu disusul gemerincing benda logam yang jatuh
di lantai. Ternyata pedang 'Kim Bian Hud' telah patah, tetapi ia tak menjadi jera karenanya. Ia
melanjutkan perlawanannya dengan tangan kosong, tetapi seketika itu Ouw It To meloncat keluar
dari kalangan dan menganjurkan supaya Biauw Tayhiap berganti senjata dulu."
"Jawab Biauw Tayhiap, 'Tak usah.' Tetapi Tian siangkong sudah mengangsurkan pedangnya
sendiri. Setelah bersangsi sebentar, 'Kim Bian Hud' menerima juga pedang itu dan pertempuran
sudah dilanjutkan lagi dengan dahsyat."
"Di dalam hatiku aku memuji Ouw It To, tetapi juga mengatakannya tolol, bukankah pada
umumnya, dalam pertempuran demikian, setiap orang akan mendesak lebih keras, bila ia sudah
berhasil merusakkan senjata lawannya. Juga sikap Biauw Tayhiap menimbulkan kekagumanku,
meskipun tanpa senjata, belum tentu ia akan mengalami kekalahan, tetapi ketika menjawab Ouw
It To ia sudah mengaku kalah setingkat, karena senjatanya dapat dirusakkan. Belakangan baru
aku mengerti, bahwa " setelah bertempur sekian lama dan semakin mengenal ketangkasan
masing-masing " keduanya jadi saling mengagumi. Benar-benar sifat kesatria yang tiada
keduanya."
"Semakin seru pertempuran itu. Kadang-kadang terlihat, bagaimanamerekaberpencar saling
menjauhkan, tetapi sebentar pula keduanya sama-sama melompat maju dan saling menyerang
pula dengan gerak-gerak yang lincah lagi mendebarkan hati. Berpuluh-puluh jurus sudah lewat,
tetapi keduanya masih sama tangkasnya. Pada suatu saat, tiba-tiba 'Kim Bian Hud' melancarkan
suatu serangan istimewa. Agaknya, Ouw It To sudah tak mungkin bisa menghindarkan
tenggorokannya dari ujung pedang lawannya. Tetapi selagi kubuka mataku lebar-lebar dengan
hati berdebar keras sekali, dan sedang Tian siangkong dan kawan-kawan sudah berseru
kegirangan, tiba-tiba Ouw It To menjatuhkan diri ke belakang bersama dengan gerakan goloknya
yang sekali lagi menghajar pedang 'Kim Bian Hud' dan mematahkannya untuk kedua kalinya."
"Pada detik selanjutnya Ouw It To sudah berbangkit dan minta maaf. Ia menyatakan, bahwa ia
sebenarnya tak bermaksud mengandalkan ketajaman goloknya, tetapi karena serangan 'Kim Bian
Hud' barusan itu terlalu hebat, tak dapat tidak ia harus menangkis juga dengan kesudahan sebagai
itu. Biauw Tayhiap menjawab dengan singkat saja, dan kemudian meminjam sebilah pedang pula
dari Tian siangkong. Tiba-tiba Ouw It To juga minta diberi pinjaman sebilah golok, katanya,
supaya dengan demikian mereka dapat mengeluarkan kepandaian masing-masing dengan sebaikbaiknya."
"Permintaan Ouw It To itu tentu saja sangat menggirangkan bagi Tian siangkong dan kawankawan,
karena tadinya mereka sudah kuatir, bila andalan mereka akhirnya akan menampak
kegagalan juga. Dengan segala senang hati ia segera mengambil sebilah golok dari tangan
seorang kawannya dan mengangsurkannya kepada Ouw It To."
"Sesaat Ouw It To menimbang-nimbang golok pinjaman itu di tangannya. Biauw Tayhiap
menanyakan apakah senjata itu terlalu enteng baginya, dan sembari berkata begitu ia
mengangkat pedangnya. Dengan ujung dua jari tangan kirinya ia memegang ujung pedang
tersebut, entah dengan cara apa, tiba-tiba patahlah sudah ujung pedang itu. Aku membelalakan
mataku, takjub melihat tenaga jari orang itu."
"Beda dengan aku dan banyak orang lain, Ouw It To justeru jadi tertawa. 'Biauw Jin Hong,
bahwa kau tak mau menerima belas kasihan orang lain, benar-benar merupakan suatu bukti,
bahwa namamu sebagai Tayhiap (pahlawan besar) bukannya nama kosong belaka.' Biauw Tayhiap
menolak pujian itu dengan berapa kata merendah, kemudian ia berkata, bahwa masih ada sesuatu
yang hendak diterangkannya kepada Ouw It To."
"Setelah Ouw It To menyi-lakannya bicara, berkatalah ia. Sebenarnya aku sudah lama
mendengar dan insyaf bahwa kepandaianku belum tentu bisa dibandingkan dengan kepandaianmu.
Gelar "Menjelayah Seluruh Dunia Tanpa Menemukan Tandingan" bukannya untuk
menyombongkan kebisaanku, tetapi guna Sebelum ia dapat menyelesaikan perkataannya, Ouw It
To sudah menyelak lebih dulu. Aku juga sudah lama mengerti guna apa kau memakai gelar itu,
yakni untuk memancing aku turun ke Kanglam, dan kau yakin, bahwa, bila saja kau berhasil
mengalahkan aku, kau akan berhak penuh untuk memegang gelar tersebut. Sekarang, lebih baik
kita melanjutkan pertandingan ini.' Serentak dua harimau itu sudah saling menerkam lagi."
"Sekali ini mereka sama-sama menggunakan senjata biasa. Keduanya benar-benar bertempur
dengan mengandalkan kepandaian masing-masing. Alangkah seruhnya pertempuran itu, yang
berlangsung sehingga ratusan jurus tanpa adanya tanda akan berakhir lekas-lekas. Lama-lama,
tampak sebagai juga Ouw It To mulai terdesak. Agaknya ia sudah lebih banyak bertahan daripada
menyerang. Tian siangkong dan Hoan Pangcu sudah memperlihatkan kegembiraan mereka.
Tetapi, ternyata kemenangan yang mereka bayangkan masih jauh sekali. Serangan-serangan
Biauw Tayhiap yang bagaimana lihay juga, selalu terbentur pada pembelaan Ouw It To yang
sangat rapatnya."
"Tiba-tiba datanglah suatu saat, dalam mana Ouw It To bertukar siasat. Ia tidak hanya
membela diri lagi. Bertubi-tubi datanglah serangan-serangannya yang dahsyat lagi sangat
membahayakan. Semakin mengagumkan pertempuran selanjutnya itu. Biauw Tayhiap terus
melayani lawannya dengan tenang tetapi lincah sekali. Ruangan yang agak luas itu bagaikan
menjadi penuh dengan bayangan tubuh dan senjata mereka. Tampaknya, bagaikan bukan hanya
dua orang yang bertempur, tetapi puluhan Biauw Jin Hong dan puluhan Ouw It To."
"Ketika itu, meskipun belum terhitung ahli, aku juga sudah pernah belajar bersilat dengan
golok, maka setelah sekian lama memperhatikan permainan golok Ouw It To, aku menjadi heran
sekali. Belum pernah aku mendengar atau melihat, bahwa pelindung tangan dan gagang yang
menonjol di belakang tangan pemegangnya, juga bisa digunakan untuk menyerang atau
menangkis. Beda dengan umumnya, agaknya tak ada bagian golok yang tak berguna baginya."
"Sungguh sukar diraba permainan goloknya. Mengenai silat dengan pedang, aku tak dapat turut
berbicara. Tetapi melihat kenyataan, bahwa terhadap Ouw It To yang demikian hebat, 'Kim Bian
Hud' masih bisa melayaninya dengan seimbang, dapatlah dipastikan, bahwa kepandaian orang itu
juga tak mudah dicarikan keduanya. Menurut para ahli, pedang dapat disamakan dengan burung
hong yang lincah lagi indah dipandang setiap gerakannya Tentang golok telah dikatakan, bahwa
senjata itu dapat diibaratkan seekor harimau yang ganas. Masing-masing di antara kedua senjata
itu mempunyai faedahnya dan kelemahannya sendiri. Tetapi di tangan dua orang itu, yang tampak
hanyalah faedahnya, lihaynya, tanpa kelemahan yang sekecil ujung kuku."
"Mula-mula aku masih bisa mengikuti setiap perkembangan pertempuran, tetapi lamakelamaan,
kepalaku terasa berputar dan mataku berkunang-kunang. Jika aku masih berani terus
memandang pertempuran itu, tentu aku akan jatuh, maka buru-buru aku berpaling ke arah lain.
Kini hanya angin kedua senjata mereka, yang menderu-deru, kudengar dengan kerapkali
diseling gemerincing beradunya kedua senjata itu. Aku coba melihat wajah nyonya Ouw. Tadinya
kusangka, bahwa wajahnya tentu tegang bila bukannya ketakutan, tetapi dugaanku ternyata
keliru. Sedikit saja tak tampak sifat ketakutan pada wajahnya, ia bahkan masih bisa bersenyum"
'Aku berpaling ke arah pertempuran lagi. Kulihat, bahwa Ouw It To pun bersenyum, bersenyum
bagaikan ia sudah yakin akan kemenangan. Kutatap wajah Biauw Tayhiap, tetapi aku tak melihat
apa-apa pada mukanya. Ketika aku tujukan pandanganku ke arah lain, ke arah Tian siangkong dan
Hoan Pangcu, kulihat, bahwa wajah keduanya sudah menjadi tegang sekali. Sebentar-sebentar
kulihat mereka terperanjat, teranglah sudah, bahwa mereka kuatir, jika Biauw Tayhiap "
pengharapan mereka satu-satunya " akan kalah."
"Segala sesuatu yang kulihat itu, membingungkan pikiranku. Aku tak tahu, siapa yang akan
kalah dan siapa yang akan menang. Sekonyong-konyong telingaku menangkap bunyi gendewa
menjeperet. Buru-buru aku menoleh. Ternyata Tian siangkong yang menggunakan gendewa itu
untuk melepaskan pelurunya, menyerang Ouw It To, yang tengah mencurahkan perhatiannya
kepada Biauw Tayhiap. Sungguh mengagumkan, bahwa Ouw It To bisa membebaskan diri dari
semua pelurunya. Kemudian, sambil tertawa terbahak-bahak, Ouw It To melontarkan goloknya ke
atas lantai dan berseru, 'Biauw Jin Hong, aku menyerah kalah!' Kulihat, bahwa muka Biauw
Tayhiap berubah seketika. Sungguh menyeramkan wajahnya, bila ia marah."
"Tanpa mengucapkan sepatah kata ia meloncat ke arah Tian siangkong dan merebut
gendewanya. Kemudian dengan sekali mengerahkan tenaganya, ia sudah mematahkan gendewa
itu. Sambil membuang sisa senjata itu, dengan suara bagaikan guntur ia mengusir Tian siangkong,
yang "meloyor" pergi bagaikan anjing terpukul. Kelakuan Biauw Tayhiap menimbulkan
keherananku lagi. Mengapa sedang kawannya kuatir jika ia kalah dan mendapat cedera, bahkan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungkin akan tewas, pertolongan kawan itu justeru membangkitkan amarahnya. Benar-benar aku
tak bisa mengikuti jalan pikirannya."
"Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Biauw Tayhiap kemudian mengangkat golok di lantai
itu dan melemparkannya kepada Ouw It To. Setelah golok itu berada dalam tangan Ouw It To
lagi, ia segera melancarkan serangannya. Pertempuran itu berlangsung terus sampai jauh lewat
lohor. Akhirnya, sambil menangkis serangan Biauw Tayhiap, Ouw It To berseru, 'Perutku sudah
lapar, maukah kau menyertai aku makan"' Saran itu mendapat sambutan baik dari fihak Biauw Jin
Hong." "Bagaikan sahabat-sahabat yang akrab, bahkan sebagai dua saudara, mereka kemudian duduk
menghadapi hidangan itu lagi. Ouw It To makan dengan lahap sekali, sebaliknya Biauw Jin Hong
hanya makan sedikit-sedikit."
"Karena melihat lawannya itu makan demikian sedikit, maka Ouw It To menanyakan, apakah
makanannya kurang enak. Biauw Tayhiap menjawab dengan pujian dan mengambil sepotong
paha ayam lagi. Demikianlah mereka makan minum, bagaikan di antara mereka tidak terdapat
apa-apa, tetapi begitu mereka sudah merasa kenyang, segera juga mereka bergeberak pula.
Keduanya telah mengeluarkan seluruh kepandaian masing-masing, tetapi sama-sama tak
memperoleh hasil. Walaupun tubuh Ouw It To begitu tegap-kekar, tetapi ternyata, bahwa segala
gerakannya lincah sekali. Ia bergerak secepat angin, seimbang dengan kegesitan lawannya yang
berbadan lebih menguntungkan. Semakin lama semakin cepat pula mereka bergerak pergi-datang
di seluruh ruangan. Kembali mataku kabur. Tiba-tiba aku dikejutkan teriakan seseorang. Ternyata
Ouw It To yang berpekik, karena pada saat itu ia terpeleset dan jatuh di atas kedua lututnya."
"Amat baiknya kesempatan ini bagi Biauw Jin Hong. Dengan maju selangkah ia akan dapat
menamatkan riwayat lawannya dengan mudah sekali. Tetapi, seakan-akan sengaja untuk
memperbesar keherananku, seketika itu juga 'Kim Bian Hud' meloncat ke belakang, memisahkan
diri dari lawannya dan menyia-nyiakan kesempatan yang tak mudah didapatnya untuk keduakalinya.
Sambil berbuat demikian, ia bahkan masih berkata, Ah, kau telah menginjak peluru. Lain
kali hati-hatilah.' Dalam pada itu Ouw U To sudah berdiri dengan tegaknya pula, dan ia
mengucapkan terima kasihnya dengan bersenyum, tetapi bukannya terima kasih atas keseganan
lawannya menggunakan ketika yang baik itu, hanya terima kasih atas nasihat yang baru
diberikan."
"Kemudian dipungutnya semua peluru itu dari lantai dan disentilkan keluar lewat jendela. 'Kim
Bian Hud' maju pula, dan mereka sudah lekas terlibat dalam pertempuran mati-matian lagi.
Sampai lewat senja, mereka belum memperoleh keputusan tentang siapa yang kalah dan siapa
yang menang. Cuaca sudah semakin gelap, dan pada suatu saat Biauw Tayhiap meloncat keluar
dari kalangan. Dengan nada sungguh-sungguh ia berkata, 'Ouw heng, kepandaianmu benar-benar
sangat tinggi, dan aku sangat kagum dibuatnya. Perlukah kita minta obor untuk melanjutkan
pertempuran ini"' Ouw It To menolak pujian lawannya dengan tertawa. Kemudian dikatakannya,
'Ampunilah jiwaku untuk sehari lagi.' Sambil berkata, 'Jangan merendah,' Biauw Tayhiap segera
memberi hormat dan membalikkan tubuhnya untuk berlalu tanpa banyak bercakap pula."
"Sekejap sunyilah sudah suasana di sekitar penginapan itu. Pikiranku masih kacau. Bingung
sekali aku memikirkan kedua orang gagah itu. Sehari mereka bertempur mati-matian, tetapi
akhirnya bukannya mereka jadi saling membenci semakin hebat, sebaliknya mereka bahkan jadi
saling mengagumi. Aneh, benar-benar aneh."
"Setelah semua musuhnya berlalu, Ouw It To segera menghabiskan sisa hidangan yang masih
berada di meja. Kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata, ia meloncat ke punggung kudanya
dan melarikannya secepat kilat. Aku yakin, bahwa ia tentu akan pergi ke rumah besar di selatan
desa itu untuk menyelidiki keadaan musuhnya. Mula-mula, aku hendak memberikan kabar kepada
Tian siangkong, agar ia dapat berjaga-jaga, tetapi akhirnya kubatalkan niatku, karena kuatir
kepergok Ouw It To."
"Walaupun malam itu tak ada suara mendengkurnya yang mengganggu tidurku, aku tak dapat
memejamkan mata. Lama sekali aku sudah menantikan pulangnya. Aku menjadi heran. Jarak
antara desa dan rumah besar itu tak berapa jauh, mengapa sudah demikian lama ia belum juga
pulang. Mungkin ia telah kepergok Biauw Tayhiap dan telah tewas dikeroyok."
"Hatiku berdebar keras, karena saat itu aku juga sudah kagum kepadanya, tetapi anehnya di
kamar sebelah aku tak mendengar nyonya Ouw berkeluh-kesah, sebagai lasimnya dilakukan
seorang jika ia berkuatir. Bahkan setiap kali menimang anaknya, kudengar suaranya riang,
bagaikan hatinya gembira. Aneh, sungguh aneh."
"Di waktu fajar, aku baru mendengar derap kaki kuda, dan sesaat kemudian terdengar Ouw It
To sudah kembali. Aku menjenguk keluar, tetapi kembalinya bukan dengan kudanya yang semula.
Ia telah bertolak dengan kuda berbulu kelabu, tetapi kembalinya kini dengan kuda berbulu coklat
kekuning-kuningan. Baru saja Ouw It To turun, kudanya itu terhuyung dan serentak roboh. Benar
mengejutkan, aku mendekatinya dan coba memeriksanya. Aku mendapat kenyataan, bahwa
sekujur badan kuda itu penuh keringat berbusa Teranglah sudah, bahwa kuda itu roboh, mati,
karena terlalu letih."
"Tentu saja semakin heran hatiku. Sudah dapat dipastikan, bahwa semalam Ouw It To telah
melakukan perjalanan jauh, tetapi entah ke mana. Sungguh sukar diterka jalan pikirannya,
mengapa, sedang ia menghadapi pertempuran mati-matian melawan seorang musuh yang belum
tentu dapat dikalahkannya, bukannya ia mengaso, tetapi justeru melakukan perjalanan yang
meletihkan dan memakan waktu semalam suntuk. Aneh, memang aneh dia."
"Isterinya ternyata sudah bangun, dan sudah pula menyediakan makanan untuk suaminya.
Kulihat, bahwa Ouw It To tidak tidur lagi. Ia bermain-main dengan anaknya sambil menantikan
kedatangan musuhnya. Tak usah terlalu lama ia menunggu. Segera juga musuh-musuh itu sudah
datang pula Sebagai juga kemarinnya, pagi itu Ouw It To dan Biauw Tayhiap makan-minum
bersama dulu untuk kemudian, tanpa berkata suatu apa, segera bertempur pula Hanya hari itu
agaknya Ouw It To lebih banyak membela diri daripada menyerang. Walaupun begitu, hari itu juga
tak menghasilkan keputusan."
"Di waktu senja mereka berhenti bertempur, dan ketika akan berpisah, berkatalah 'Kim Bian
Hud', 'Ouw heng, hari ini tenagamu tampak mundur, mungkin sekali besok kau akan kalah.' 'Belum
tentu,' jawab Ouw It To, 'hari ini aku memang agak letih, karena semalam suntuk aku tak tidur.'
Jawab Ouw It To itu tentu saja mencengangkan Kim Bian Hud', dan ia pun segera menanyakan
mengapa Ouw It To berbuat demikian."
"Ouw It To tertawa dan mengatakan, bahwa ia hendak menghadiahkan sesuatu kepada Biauw
Tayhiap. Ia berlari masuk ke kamarnya dan kemudian kembali dengan membawa sebuah
bungkusan, yang diangsurkannya kepada 'Kim Bian Hud'. Bungkusan itu ternyata berisikan sebuah
kepala manusia, sedang di samping itu terdapat sebilah golok bergigi. Hoan Pangcu bercuriga.
Agaknya ia menyangka, bahwa kepala itu tentu kepala salah seorang kawannya. Ia segera maju
untuk turut melihat, dan serentak berseru dengan mata dibuka lebar-lebar. 'Itulah kepala Siang
Kiam Beng,' katanya dengan tersengal-sengal. 'Kim Bian Hud' memeriksa golok yang dibungkus
bersama dengan kepala itu. Pada gagangnya ternyata telah diukirkan empat huruf, 'Pat Kwa Bun
Siang'. Kini ia tak sangsi lagi, tetapi untuk jelasnya ia bertanya apakah Ouw It To semalam itu tak
tidur karena pergi ke Bu Teng Koan."
"Ouw It To mengiakan dengan tertawa, dan menceritakan, bahwa untuk itu ia bahkan telah
menyebabkan tewasnya beberapa ekor kuda, karena ia pun tak mau mengingkari janjinya untuk
melanjutkan pertempuran hari itu. Kurasa, bahwa semua orang yang mendengar itu harus
tercengang. Yang paling jelas, adalah, bahwa keherananku tak kepalang. Jarak antara Congciu
dan Bu Teng Koan tak kurang dari tiga ratus li. Benar mengherankan, bahwa ia bisa
menyelesaikan perjalanan pergi-pulang itu dalam waktu semalam. Lebih mengagumkan pula,
karena sebelum bisa pulang, ia harus membunuh dulu seorang jago silat yang sangat disegani di
daerah utara. Entah dengan cara apa ia telah bertindak, sehingga semua itu dapat diselesaikannya
demikian cepat."
"Agaknya, 'Kim Bian Hud' menganggap semua itu biasa saja. Perhatiannya ternyata lebih
tertarik kepada soal lain. Tanyanya, 'Dengan bagian ilmu silatmu yang mana, kau telah
membunuhnya"' Ouw It To menjawab, bahwa ia tidak menggunakan ilmu silat golok. Menurut
kesannya, kepandaian Siang Kiam Beng benar-benar sudah sukar dicarikan tandingan, dan hanya
dengan tipu serangan Ciong Thian Ciang So Cin Pwee Kiam' akhirnya ia bisa juga
mengalahkannya."
"Baru setelah mendengar cerita ini 'Kim Bian Hud' tampak heran. 'Bukankah tipu-serangan itu
salah satu bagian dari ilmu silat keluargaku"' tanyanya. Lagi-lagi Ouw It To tertawa, kemudian ia
berkata, bahwa ia memang telah merobohkan Siang Kiam Beng dengan sebilah pedang. Kulihat,
bahwa wajah 'Kim Bian Hud' kini memperlihatkan rasa terima kasih yang sangat besar dan itu pun
segera dinyatakannya dengan jujur. Ouw It To tak mau menerima pemberian hormat serta terima
kasih 'Kim Bian Hud', karena menurut pendapatnya sendiri, ia hanya telah mewakilkan Biauw
Tayhiap Lebih lanjut, ia menyatakan, bahwa yang berjasa adalah ilmu silat keluarga Biauw, yang
disebutnya sebagai tiada taranya dalam dunia."
"Jelaslah semua bagiku sekarang. Sungguh kagum aku dibuat dua orang itu. Meskipun mereka
bermusuh, bahkan sudah bertekad untuk bertempur terus sehingga salah satu jatuh tak
bernyawa, keduanya tak menyembunyikan rasa kagum masing-masing kepada lawannya. Bahwa
Ouw It To tidak menggunakan goloknya untuk mengambil kepala Siang Kiam Beng, sudah
merupakan bukti, bahwa ia sangat menghormati 'Kim Bian Hud'. Bahwa sebagai musuhnya, 'Kim
Bian Hud' mau menerima budi Ouw It To yang sebesar itu, juga merupakan bukti, bahwa
sebaliknya ia menghormat Ouw It To tinggi-tinggi."
"Tetapi, aku masih lebih kagum kepada Ouw It To. Benar tak kusangka, bahwa dengan wajah
sebengis itu, hatinya sebenarnya sangat mulia. Dengan caranya, ia telah mengangkat derajat ilmu
silat keluarga Biauw. Jika ia telah membunuh Siang Kiam Beng dengan kepandaiannya sendiri, ia
akan memberikan kesan, bahwa ia bukannya hendak berbuat baik, bahkan akan tampak sebagai
hendak menyombongkan ilmu silat keluarganya sendiri. Sungguh mulia hatinya, tetapi lebih
mengherankan pula, bahwa dalam sehari saja ia sudah bisa memahamkan ilmu silat 'Kim Bian
Hud' yang belum pernah dilihatnya, bahkan sudah bisa menggunakannya dengan sempurna. Juga
tak kurang mengagumkan tindakannya dengan menyerahkan hasil pekerjaannya semalam itu,
setelah menyelesaikan pertempuran hari itu. Bila pagi itu, sebelum bertempur, ia sudah
menyerahkan kepala Siang Kiam Beng, mungkin sekali orang akan menyangka, bahwa ia hendak
menunda kematiannya, dan bermaksud menempatkan 'Kim Bian Hud' dalam kedudukan yang tak
memungkinkannya membunuh sang lawan."
"Jalan pikiranku itu agaknya sama dengan jalan pikiran Hoan Pangcu dan Tian siangkong.
Kulihat mereka saling memberi isyarat, kemudian melangkah pergi dengan bersama. Biauw
Tayhiap tak mengikuti dua kawannya itu. Sesaat ia memandang putera Ouw It To. Tiba-tiba ia
membuka bungkusan kuning yang tak pernah ketinggalan di punggungnya. Sedari saat pertama
aku melihat bungkusan itu rasa ingin tahuku sudah timbul, maka aku segera memperhatikannya
dengan dua-dua mataku dibuka lebar-lebar. Aku menjadi kecewa, karena isinya ternyata hanya
berapa potong baju, baju biasa yang tak ada keistimewaannya."
"Ternyata bukannya isinya yang istimewa, justeru kain pembungkus itu sendiri yang bukannya
barang biasa. Di sebelah dalamnya, kain itu bersulamkan delapan huruf gelar Biauw Tayhiap.
Dengan suara kecil 'Kim Bian Hud' mengejanya satu demi satu. Kemudian ia mengulurkan
sepasang tangannya, untuk menggantikan nyonya Ouw mendukung anak itu. Setelah berada
dalam dukungannya, anak itu segera diselimutkannya dengan kain kuning tersebut. Kemudian ia
berpaling kepada Ouw It To. 'Ouw heng, jika sampai terjadi sesuatu dengan dirimu, kau boleh
berpulang dengan hati tenang karena kujamin, bahwa tak seorang akan berani menghina
puteramu,' katanya. Berbalik Ouw It To yang kini menghaturkan terima kasih berulang-ulang
sedang 'Kim Bian Hud' sibuk menolak dengan kata-kata merendah."
"Malam itu, Ouw It To tidur pulas benar, suara mendengkurnya lebih keras dari ketika pertama
kali aku mendengarnya. Menjelang tengah-malam, sekonyong-konyong telingaku menangkap
bunyi langkah berindap-indap, enteng sekali, di atas atap rumah. Menyusul itu terdengar
seseorang membentak, 'Ouw It To, lekaslah keluar untuk menerima kematian!' Ouw It To tak
mendengar seruan dari luar itu. Ia tetap mendengkur keras-keras. Orang-orang yang berada di
atap rumah itu, agaknya menjadi semakin bernapsu.
Mereka mencaci semakin keras dengan kata-kata yang semakin kotor, sedang jumlah mereka
pun jadi semakin banyak. Semua itu tidak memberikan hasil yang diharapkan. Ouw It To masih
tetap mendengkur dengan asyiknya. Menurut anggapanku, Ouw It To itu terlalu ceroboh.
Meskipun kepandaiannya sempurna sekali, tetapi mengingat jumlah musuhnya yang besar, tak
seharusnya ia tidur begitu lelap."
"Kemudian perhatian tertarik kepada hal lain. Aku mendengar jelas-jelas, bahwa isterinya
belum pulas, karena sebentar aku mendengarnya bernyanyi sambil menimang puteranya. Sedikit
pun ia tidak memperlihatkan tanda takut. Lagi-lagi aku menjadi heran. Sementara itu, suara
orang-orang di atas atap bertambah riuh, membisingkan, tetapi tak seorang jua berani menerjang
masuk. Kira-kira selama setengah jam mereka sudah cuma-cuma mencaci, ketika tiba-tiba
kudengar nyonya Ouw berkata, dengan suaranya yang merdu lagi halus, 'Nak, di luar ada
sekawanan anjing buduk menggonggong, mungkin sekali mereka akan tetap membisingkan
sampai pagi, supaya ayahmu tak bisa tidur dan menjadi letih. Bukankah anjing buduk itu sangat
kurang ajar"' Anak yang baru berusia berapa hari itu tentu saja tak menjawab. Kemudian
berkatalah nyonya itu lagi. 'Kau benar-benar anak baik, memang anjing-anjing itu sepantasnya
diusir. Biarlah ibu keluar sebentar untuk mengusir anjing-anjing kurang-ajar itu.' Kemudian aku
melihat ia keluar dengan mendukung anak itu dan membekal sehelai selendang sutera putih."
"Hatiku berhenti berdebar sekejap, mataku membelalak lebar-lebar, karena nyonya itu
melayang ke atap bagaikan seekor burung hong. Sungguh tak kusangka, bahwa nyonya yang
tampak lemah-gemulai itu pandai bersilat, bahkan sudah jelas, berkepandaian sangat tinggi. Buruburu
aku membuka jendela lebih lebar pula, agar bisa melihat lebih banyak serta lebih nyata."
"Di atap rumah, kelihatan berapa puluh laki-laki berdiri berjajar dengan bersenjata lengkap.
Dalam keadaan setengah gelap itu, mereka tampak menyeramkan, dan dengan munculnya si
nyonya, mereka berteriak semakin membisingkan. Tiba-tiba kelihatan suatu sinar putih meluncur
ke arah orang-orang itu, yang segera disusul pekik salah seorang di antara mereka. Ternyata
selendang nyonya Ouw telah melibat dan merebut golok orang itu, yang tubuhnya kini
terpelanting ke bawah."
"Kawan-kawan orang itu terpesona sebentar, tetapi segera juga mereka sudah maju dengan
serentak untuk mengerojok si nyonya seorang. Di bawah cahaya redup sang bulan, kulihat
selendang sutera putih itu melayang pergi-datang bagaikan seekor naga yang sedang menari
dengan hati riang. Indah sekali tampaknya, tetapi mentakjubkan akibatnya. Berturut-turut
terdengar seorang berteriak disusul gemerincing senjata jatuh dan bunyi padam sebuah tubuh
yang terpelanting ke tanah. Sebentar saja sudah belasan orang dirobohkan nyonya yang kelihatan
lemah lunglai itu. Segera juga, aku memperoleh kawan dalam kagetku, yakni sisa tamu-tamu tak
diundang itu. Berapa puluh orang yang belum roboh kini tak berani menyerang lagi. Sedetik
mereka berdiri dengan mulut melompong, untuk didetik lain lari tunggang-langgang dengan
meninggalkan kuda dan senjata masing-masing."
"Mataku bagaikan hendak meloncat keluar karena peristiwa itu. Kemudian kulihat, bagaimana
dengan tenangnya nyonya Ouw menyapu semua senjata itu ke bawah dengan sekali
menggerakkan selendangnya. Setelah itu, ia kembali ke kamarnya bagaikan tak terjadi apa-apa.
Selama itu, Ouw It To tiada hentinya mendengkur, agaknya ia tak mendengar heboh yang baru
terjadi itu."
"Keesokan harinya, pagi sekali, nyonya Ouw sudah keluar dari kamarnya untuk menyiapkan
makanan bagi suaminya dan menyuruh seorang pelayan mengumpulkan semua senjata yang
berserakan untuk kemudian diikat menjadi satu dan digantungkan di depan pintu. Setiap kali
tertiup angin pagi, senjata-senjata itu menerbitkan bunyi bergemerincing dengan nada rupa-rupa,
bagaikan musik kacau yang dimainkan tanpa irama."
"Sebagai juga kemarinnya, hari itu 'Kim Bian Hud' sudah muncul di waktu seluruh desa baru
mendusin. Segera juga ia tertarik kepada bunyi gemerincing itu, tetapi demi melihat dan
mengenali semua senjata itu, wajahnya segera berubah. Seketika itu, ia sudah mengerti apa yang
telah terjadi semalam. Ia menoleh dan memandang pengikut-pengikutnya tajam-tajam. Semua
orang itu, tanpa kecuali menundukkan kepala, ketakutan, dan ketika kemudian terdengar suara
'Kim Bian Hud' mendamperat mereka, seorang jua tak berani mengangkat kepala. Beramai-ramai
mereka mundur berapa langkah."
'"Kim Bian Hud" berpaling kepada Ouw It To. Ia minta maaf untuk kekurang ajaran para
pengecut itu, yang dikatakannya telah mengganggu tidur Ouw It To. Orang she Ouw itu
menjawabnya dengan tertawa. Dikatakannya, bahwa ia tak terganggu sama sekali, karena
isterinya telah mengusir anjing-anjing yang menyalak dan melolong itu. Wajah 'Kim Bian Hud'
tampak keheran-heranan, tetapi dari mulutnya hanya terdengar, 'Terima kasih atas kemurahan
hati nyonya, yang telah mengampunkan pengecut-pcngccut ini.' Tak lama lagi, Ouw It To dan
Biauw Tayhiap sudah bertempur dongan dahsyatnya."
"Hari itu juga tak menghasilkan kcputusan, betapa juga mereka berusaha untuk saling
merobohkan dengan seantero kepandaian mereka. Di waktu berhenti, petang itu, 'Kim Bian Hud'
menyatakan, bahwa ia hendak menemani Ouw It To minum arak dan bercakap-cakap sepuaspuasnya
sepanjang malam. Ouw It To menyambut maksudnya itu dengan kegirangan.
Dikatakannya, bahwa dengan demikian mereka memang bisa memperoleh faedah tak sedikit.
Setelah mendapat persetujuan lawannya, Biauw Tayhiap segera berpaling kepada Tian siangkong
dan menyuruhnya serta kawan-kawannya pulang, karena ia akan menginap dan tidur seranjang
dengan Ouw It To."
"Jika bagiku hal itu sudah mengejutkan, dapat dibayangkan, betapa perasaan Tian siangkong
dan Hoan Pangcu ketika mendengar maksud Biauw Tayhiap. Buru-buru mereka berkata, 'Hatihatilah
terhadap tipu-muslihatnya ____' Mereka tak dapat menyelesaikan perkataan itu, karena
'Kim Bian Hud' sudah segera memotong dengan nada kurang senang, 'Tak usah kau mengurus
diriku. Aku merdeka untuk melakukan sukaku.' Tian siangkong masih coba membantah. 'Tetapi,
janganlah kau lupa akan sakit-hati keluargamu, janganlah menjadi seorang tak berbakti" katanya.
Kim Bian Hud' tak mengatakan suatu apa, tetapi melihat wajahnya saja, Tian siangkong dan Hoan
Pangcu beramai sudah berlalu dengan wajah ketakutan."
"Malam itu, aku juga turut tak tidur siang-siang. Kulihat mereka berdua makan-minum dengan
riang sambil merundingkan ilmu silat. 'Kim Bian Hud' membentangkan seluruh intisari ilmu
keluarganya, dan Ouw It To juga berbuat demikian. Dengan berlalunya sang waktu, semakin asyik
pula percakapan mereka. Mereka sama-sama menyesal, bahwa mereka tak dapat saling mengenal
lebih siang. Kerapkali percakapan mereka itu diseling dengan gerakan-gerakan untuk menjelaskan
dengan kata-kata saja. Kadang-kadang mereka bahkan berbangkit dan sama-sama
memperaktekkan suatu gerakan. Gelak tertawa mereka sebentar-sebentar bergema memenuhi
ruangan itu."
"Telingaku menangkap seluruh percakapan mereka, tetapi sedikit pun aku tak mengerti, apa
yang dimaksudkan. Sampai jauh lewat tengah malam mereka asyik terus, tetapi akhirnya Ouw It
To memesan sebuah kamar kelas satu pula. Benar-benar mereka tidur berdua seranjang malam
itu. Terkilas dalam otakku, 'Di situlah mereka tidur berjajar. Entah siapa yang akan turun-tangan
lebih dulu.' Sebentar aku percaya, bahwa 'Kim Bian Hud' akan celaka, tetapi sebentar lagi aku
berbalik yakin, bahwa Ouw It To " yang beroman kasar " tentu lebih bodoh dan akan menjadi
kurban." "Tak dapat aku mengendalikan hatiku lagi. Dengan indap-indap aku mendekati jendela kamar
mereka. Sebagai pencuri, aku kemudian menempelkan telingaku ke daun jendela untuk
mendengarkan. Ternyata mereka belum puas bercakap-cakap, walaupun setengah malam lebih


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah dilewatkan mereka dengan demikian. Hanya, kini mereka bukannya bercakap tentang ilmu
silat lagi. Ketika itu mereka sedang bercerita tentang pengalaman masing-masing yang aneh.
Banyak sekali kudengar, bagaimana 'Kim Bian Hud' atau Ouw It To menolong rakyat yang
menderita dari tangan pembesar atau hartawan lalim, dan banyak pula yang kudengar tentang
cara-cara mereka membunuh orang-orang jahat itu."
"Semakin lama, semakin nyatalah, betapa banyak persamaan dan betapa sedikit perbedaan
antara angan-angan mereka. Tiba-tiba aku mendengar 'Kim Bian Hud' menghela napas dan
berkata, 'Sayang, sungguh sayang.'
Ketika Ouw It To menanyakan maksudnya, berkatalah Biauw Tayhiap, bahwa ia " yang selalu
berlaku tinggi-hati, tak suka bergaul " malam itu benar-benar telah menemukan seorang yang
berharga untuk dijadikan sahabat, bahkan orang satu-satunya dengan siapa ia suka bersahabat.
Kemudian kudengar Ouw It To minta, supaya " bila ia yang kalah dan tewas " 'Kim Bian Hud'
suka sering-sering menjenguk isterinya. Dikatakannya, bahwa isterinya itu berjiwa kesatria, jauh
lebih berharga dari kawan-kawan 'Kim Bian Hud' yang turut datang. Dengan nada mengajak Biauw
Tayhiap menjawab, bahwa semua orang itu bukan kawannya dan tak berharga sedikit jua untuk
dijadikan kawan."
"Semalam suntuk mereka tak tidur, dan aku juga turut tak tidur karenanya. Hanya, karena aku
berdiri di luar, di antara angin malam yang sejuk, seluruh tubuhku menjadi kaku kedinginan. Di
waktu fajar, mendadak 'Kim Bian Hud' menghampiri jendela. Sebelum aku dapat menyingkir,
terdengar tegurannya dengan nada dingin, 'Belum cukupkah kau mendengarkan semalam suntuk"'
Bersama dengan itu jendela terbuka dan kepalaku terhajar sesuatu yang keras. Sebelum roboh tak
sadarkan diri, aku masih mendengar Ouw It To mencegah 'Kim Bian Hud' mengambil jiwaku."
"Entah berapa lama aku pingsan, aku tersadar di atas bale-baleku. Perlahan-lahan aku ingat
segala kejadian itu. Aku turun dari bale-bale, dan seketika itu aku merasakan kepalaku sakit sekali.
Aku coba bercermin. Betapa terperanjat aku, ketika melihat, bahwa hampir seluruh mukaku
bengkak dan berwarna keungu-unguan. Hari itu aku tak berani keluar menonton pertempuran.
Aku berdiam di dalam, tetapi di dalam hatiku kumengutuk 'Kim Bian Hud'. Sebelum itu, aku
berharap supaya Biauw Tayhiap yang menang, tetapi saat itu aku berbalik mengharapkan
kemenangan Ouw It To. Pikirku, 'Biarlah Ouw It To menghajarnya dengan satu-dua bacokanl' Aku
sendiri tak bisa menuntut balas, maka biarlah orang she Ouw itu yang membalaskan hinaan itu."
"Petang itu, setelah bertempur sehari dengan kesudahan tetap seperti kemarinnya, kudengar
'Kim Bian Hud' minta diri. Menurut katanya, ia masih ingin bercakap-cakap lagi, tetapi ia kuatir jika
nyonya Ouw menjadi marah, maka ia berjanji untuk menginap lagi besok malamnya, bila tidak
terjadi suatu apa. Ouw It To menjawabnya dengan tertawa. Setelah Biauw Tayhiap berlalu, tibatiba
nyonya Ouw membawakan secawan arak kepada suaminya sambil menghaturkan selamat.
Ouw It To tak mengerti maksud isterinya. 'Karena besok, kau tentu akan bisa mengalahkan Biauw
Tayhiap,' jawab sang isteri."
"Kata-kata sang isteri itu tentu saja membingungkan Ouw It To. Sudah lebih dari seribu jurus ia
bertempur melawan 'Kim Bian Hud', tetapi belum sekali jua ia melihat kelemahan 'Kim Bian Hud'.
Sungguh mustahil, jika keesokan harinya ia pasti akan menang. Dengan bersenyum ragu-ragu ia
menatap wajah isterinya, yang sebaliknya sebagai juga tak menghiraukan kebimbangannya dan
berkata kepada putera mereka, 'Anakku, bapakmulah yang tiada tandingannya di seluruh dunia.
Suaranya mencerminkan keyakinannya akan kebenaran pendapatnya."
"Kemudian Ouw It To menanyakan, mengapa isterinya begitu yakin, dan jawab isterinya, Aku
telah melihat kelemahannya!' Agaknya Ouw It To masih kurang percaya, tetapi isterinya segera
berkata pula, bahwa ciri 'Kim Bian Hud' hanya kelihatan dari belakang, sehingga Ouw It To yang
selalu berhadapan dengan lawannya, biarpun bertempur seratus hari lagi, tentu tak akan melihat
ciri lawan itu. Sebaliknya nyonya Ouw yang melihat dari samping kerapkali melihat Biauw Tayhiap
membelakanginya."
"Selanjutnya, nyonya Ouw menceritakan, bagaimana selama empat hari berturut-turut, ia telah
memperhatikan setiap gerak-tipu 'Kim Bian Hud'. 'Terutama aku terperanjat, karena selama itu
kulihat, bahwa penjagaannya tak memperlihatkan suatu cacad juga. Aku kuatir, jika terus-menerus
demikian, kelak akan tiba saatnya kau agak lengah, dan kau menampak celaka, sedang pada
lawanmu sedikit pun tak tampak kesalahan yang memungkinkan senjata lawan menerobos masuk.
Harpa Iblis Jari Sakti 28 Musuh Dalam Selimut Karya Liang Ie Shen Pedang Berkarat Pena Beraksara 2
^